II. 2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Susu Susu yang biasa dikenal didefinisikan sebagai air susu ambing hewan sehat yang tidak dikurangi atau ditambahi suatu apapun. Susu diperoleh dari hasil sekresi normal kelenjar susu pada hewan sehat secara teratur dan sekaligus. Hewan penghasil susu biasanya adalah jenis hewan mamalia terutama sapi, kambing, kerbau dan unta. Untuk konsumsi manusia pada umumnya dipergunakan susu sapi, walaupun pada daerah tertentu juga mengkonsumsi susu kambing dan susu kerbau (Syarief, 1991). Susu merupakan cairan berbentuk koloid agak kental yang berwarna putih sampai kuning, tergantung jenis hewan, makanan dan jumlah susu. Apabila volume yang agak besar, susu tampak sebagai cairan berwarna putih atau kuning padat (opaque), namun bila dalam suatu lapisan yang tipis (volume yang sedikit) akan tampak transparan. Pemisahan lemak susu menyebabkan warnanya menjadi agak kebiruan (Syarief, 1991). Lemak susu berbentuk emulsi dengan ukuran diameter lemak yang memungkinkan terjadinya pemisahan “cream” dan pembuatan keju. Lemak susu inilah yang menentukan aroma dan cita rasa susu maupun hasil olahannya. Aroma dan cita rasa susu sangat dipengaruhi oleh laktosanya. Penyimpangan aroma susu dapat berasal dari hewan penghasil susu. Warna susu sangat bervariasi, dari putih kebiruan sampai kuning keemasan, tergantung jenis hewan penghasilnya, jenis makanannya dan jumlah kandungan lemaknya. Sifat susu yang perlu diperhatikan adalah susu merupakan media yang baik sekali bagi pertumbuhan mikroorganisme, sehingga apabila penanganannya tidak baik akan dapat menimbulkan penyakit (Syarief, 1991). Susu adalah cairan, tidak termasuk kolostrum, yang disekresikan oleh mamalia dari kelenjar mamae untuk memberi nutrisi turunannya. Komponen utama dari susu adalah air, lemak, protein dan laktosa. Sekitar 80-85% protein susu adalah kasein. Air susu segar mempunyai pH antara 6,5-6,7 (Adams dan Moss, 1995). Susu yang sering dikomsumsi oleh manusia adalah susu yang berasal dari sapi kambing dan kerbau. Zaman sekarang susu yang paling banyak dikomersialkan adalah susu sapi. Susu berwarna putih, putih kekuningan, cairan buram, warna yang dihasilkan diakibatkan pencaran dan absorpsi sinar oleh tetesan lemak susu dan misel protein. Oleh karena itulah, susu skim berwarna putih. Susu berasa sedikit manis, sedangkan aromanya cukup memuakkan. Beberapa protein, karbohidrat, mineral dan komponen lainnya terlarut dalam serum susu. Bobot jenis susu sekitar 1,029-1,039 pada suhu 15oC. Bobot jenis susu menurun dengan meningkatnya kandungan lemak dalam susu, dan meningkat dengan meningkatnya jumlah protein, gula susu dan garam yang terdapat dalam susu (Belitz et al., 2009).
2.2
Kasein Kasein adalah protein yang ditemukan di dalam susu sapi, diekstrak dari susu sapi secara komersial sejak abad ke 20. Protein dapat didefinisikan sebagai substansi yang pada dasarnya merupakan molekul – molekul besar yang terdiri dari asam amino yang tergabung secara kimiawi. Karbon, hidrogen, nitrogen, oksigen, sulfur dan kadang – kadang fosfor, merupakan elemen – elemen yang terdapat pada protein. Susu sapi mengandung sekitar 3,5%
4
protein, yang secara lebih terinci terdiri dari 2,9% kasein dan 0,6% protein whey (Webb et al., 1981). Menurut Adnan (1984), kasein di dalam susu merupakan partikel yang besar. Di dalamnya tidak hanya terdiri dari zat-zat organik, melainkan mengandung juga zat anorganik seperti kalsium, fosfor dan magnesium. Kasein yang merupakan partikel yang besar dan senyawa yang kompleks tersebut dinamakan juga misel kasein (casein micell). Misel kasein tersebut besarnya tidak seragam, berkisar antara 30 - 300 mμ. Kasein juga mengandung sulfur (S) yang terdapat pada metionin (0,69%) dan sistin (0,09%). Kasein adalah protein yang khusus terdapat dalam susu. Dalam keadaan murni, kasein berwarna putih seperti salju, tidak berbau dan tidak mempunyai rasa yang khas. Selanjutnya Buda et al. (1980) menjelaskan, bahwa kasein dapat diendapkan oleh asam, enzim rennet dan alkohol. Oleh karena itu, kasein dalam susu dapat dikoagulasikan atau digumpalkan oleh asam yang terbentuk di dalam susu sebagai aktivitas dari mikrobia, sehingga pada susu basi terdapat dua lapisan yaitu gumpalan dan cairan, gumpalan tersebut merupakan kasein. Buckel et al. (1987) secara sederhana mengelompokan protein susu menjadi dua kelompok utama, yaitu kasein dan protein whey. Menurut Swaisgood (1985), total protein di dalam susu berjumlah 30-35 g/l dengan mutu gizi yang sangat tinggi. Di New Zealand, kasein diendapkan dari susu skim. Susu skim diberi asam untuk menghasilkan atau diberikan enzim untuk menghasilkan kasein renet. Kasein dipisahkan dari whey, dicuci (dibersihkan) kemudian dikeringkan. Kasein asam dapat larut dalam air dengan mereaksikan kasein asam tersebut dengan alkali, yang biasa disebut caseinates (Southward, 2000). Kasein komersial umumnya dihasilkan dari susu skim dimana pengendapan kasein dilakukan dengan penambahan asam atau renet (Webb et al., 1981). Kasein komersial yang diproduksi merupakan substansi granular bewarna putih kekuningan. Dalam keadaan murni, kasein bewarna putih salju, tidak berbau dan tidak berasa. Kasein menyumbang warna putih susu (Buckel et al.,1987). Komposisi kasein komersial terdiri atas 88,5% protein, 0,2% lemak, 7,0% air, dan mempunyai kadar abu 3,8% (Webb et al., 1981). Titik isoelektrik kasein adalah pada pH sekitar 4,6. Pada pH tersebut acid casein dipresipitasi dari susu. Didalam susu yang memiliki pH sekitar 6,6 misel kasein memiliki energi yang negatif dan stabil didalamnya. Kasein dapat digunakan pada industri non pangan dan pangan. Pada industri non pangan kasein dapat digunakan sebagai perekat pada kayu, pelapis kertas, synthetic fibres, plastik untuk kancing dan sebagainya, pada industri pangan biasa digunakan sebagai emulsifikasi, meningkatkan nutrisi, dan lain – lain (Southward,2000). Kasein dalam air susu merupakan partikel yang besar. Di dalamnya tidak saja terdiri dari zat-zat organik, melainkan mengandung juga zat-zat anorganik seperti kalsium dan fosfor. Di samping itu, magnesium dan sitrat terdapat dalam jumlah lebih kecil. Kasein dapat diendapkan pada pH 4,6 karena pH tersebut merupakan titik isoelektriknya. Stabilitas kasein mulai terganggu pada pH 5,3 (Belitz et al., 2009). Kasein juga merupakan senyawa amfoter yang dapat bereaksi dengan asam maupun basa, karena molekulnya mempunyai muatan positif dan negatif. Pada titik isoelektrik muatan positif dan negatif sama. Pada pH di atas titik isoelektriknya, protein tersebut bermuatan negatif. Oleh karena itu, pada elektroforesis molekulnya akan bergerak ke elektrode yang bermuatan positif. Begitu sebaliknya pada pH di bawah titik isoelektrik, protein mempunyai muatan positif, dan akan bergerak ke elektroda yang bermuatan negatif. Kasein tidak mengalami hidrasi, oleh karena itu, pada titik isoelektriknya mudah sekali diendapkan.
5
Pengendapan kasein dapat juga dijalankan dengan enzim proteolitik semacam enzim pepsin dan fisin (Belitz et al., 2009). Protein dengan penambahan asam atau pemanasan akan mengalami koagulasi. Pada pH isoelektrik (pH larutan tertentu biasanya berkisar 4 – 4,5 dimana protein mempunyai muatan positif dan negatif sama, sehingga saling menetralkan) kelarutan protein sangat menurun. Pada temperatur diatas 600C kelarutan protein akan berkurang (koagulasi), karena pada temperatur yang tinggi energi kinetik molekul protein meningkat sehingga terjadi getaran yang cukup kuat untuk merusak ikatan atau struktur sekunder, tertier dan kuartener yang menyebabkan koagulasi. Denaturasi dapat diartikan suatu proses terpecahnya ikatan hidrogen, ikatan garam atau bila susunan ruang atau rantai polipetida suatu molekul protein berubah. Dengan perkataan lain, denaturasi adalah terjadi kerusakan struktur sekunder, tertier dan kuartener, tetapi struktur primer (ikatan peptida) masih utuh (Simanjuntak, 2008). Menurut Southward (2000), proses presipitasi untuk mendapatkan kasein merupakan proses pengasaman. Dalam reaksi kimia yang sederhana, proses tersebut dapat dilihat pada Gambar 1 dengan R adalah kasein : H2N-R-COO- + H+ Kasein misel (pH=6,6) Dispersi koloid
+
H3N-R-COOacid casein (pH=4,6) Partikel yang tidak larut
Gambar 1. Reaksi Antara Kasein dengan Asam (Southward, 2000) Kasein dapat terkoagulasi akibat adanya pertumbuhan bakteri di dalam susu, karena terjadi proses fermentasi laktosa menjadi asam laktat, sehingga menyebabkan susu menjadi asam dan kasein akan terkoagulasi. Proses inilah yang terjadi pada susu yang telah basi (McGee, 2004). Kasein memiliki sifat yang dapat merekatkan, sehingga kasein dapat diubah menjadi lem jika dibuat bersifat basa dengan menambahkan kapur, sodium karbonat, boraks atau triethanclamine, atau diubah menjadi suatu lapisan dalam bentuk kertas, atau suatu bahan pokok untuk pembuatan sejenis plastik yang digunakan untuk membuat kancing, hiasan dan akhirnya dapat digunakan dalam industri tekstil wool (Simanjuntak, 2008). Kasein jika ditambahkan dengan alkali akan menjadi caseinates yang merupakan bentuk lain dari kasein yang lebih larut dalam air. Alkali yang biasa digunakan adalah natrium hidroksida (NaOH), kalsium hidroksida (Ca(OH)2) dan kalium hidroksida (KOH). Pada Gambar 2 dapat dilihat reaksi antara acid casein dengan alkali. +
H3N-R-COO- + OHH2N-R-COO- + H2O Acid Casein caseinate (pH=4,6) (pH=6,6) Partikel yang tidak larut dispersi koloid (Calcium caseinate) Gambar 2. Reaksi antara Kasein dan Alkali (Southward, 2000) Komposisi kimia antara acid casein, rennet casein dan calsium caseinate dapat dilihat pada Tabel 1. Kasein asam (acid casein ) merupakan kasein yang didapatkan dengan bantuan asam atau dengan bantuan inokulasi bakteri, sedangkan kasein renet (rennet casein)
6
adalah kasein yang didapatkan dengan bantuan enzim. Kalsium kaseinat merupakan kasein yang sudah dicampurkan dengan alkali. Tabel 1. Komposisi kimia antara acid casein, rennet casein dan calsium caseinate Komponen Kasein Asam Kasein Renet Kalsium Kaseinat Air (%) 11,4 11,4 3,8 Protein (%) 85,4 79,9 91,2 Abu (%) 1,8 7,8 3,8 Laktosa (%) 0,1 0,1 0,1 Lemak (%) 1,3 0,8 1,1 Sodium (%) <0,1 <0,1 <0,1 Kalsium (%) 0,1 2,6 – 3,0 1,3 – 1,6 pH 4,6 – 5,4 7,3 – 7,7 6,8 – 7,0 pH dari whey setelah 4,3 – 4,6 6,5 – 6,7 pemisahan kasein Kelarutan dalam air (%) 0 0 90 – 98 Sumber : Southward (2000)
2.3
Kapur Tohor (CaO) Senyawa alkali tanah yang paling berlimpah di alam adalah senyawa-senyawa kalsium. Di setiap gunung dan bukit dijumpai batu kapur, yaitu CaCO3 yang bercampur dengan tanah lempung dan zat-zat lain. Batu kapur merupakan jenis batuan yang paling banyak digunakan. Kegunaan utama batu kapur adalah sebagai bahan bangunan (70%), pembuatan semen (15%), pengolahan besi, salah satu bahan campuran gelas, serta sebagai bahan baku CaO dan Ca(OH)2 (Hermiyati, 2009). CaCO3 murni digunakan sebagai bahan pasta gigi, bahan kapur tulis dan zat tambahan pada pembuatan kertas agar menyerap tinta dengan baik. CaO dikenal sebagai kapur tohor, dan jika dicampurkan dengan air akan segera membentuk air kapur, Ca(OH) 2. Oleh karena harganya murah, Ca(OH)2 merupakan basa yang paling banyak digunakan dalam bidang industri. Kegunaan lain Ca(OH)2 adalah untuk pemurnian gula pasir, penetralan keasaman tanah dan pengolahan air limbah industri (Davey, 1991). Ketika mengapur tembok, air kapur dioleskan pada dinding. warna putih pada tembok muncul setelah air kapur bereaksi dengan gas CO2 dari udara untuk membentuk CaCO3. Batu kapur atau gamping dapat terjadi dengan beberapa cara, yaitu secara organik, mekanik atau secara kimia. Sebagian besar batu kapur yang terdapat di alam terjadi secara organik. Jenis ini berasal dari pengendapan cangkang atau rumah siput dan kerang. Batu kapur dapat berwarna putih susu, abu-abu muda, abu-abu tua, coklat bahkan hitam, tergantung pada mineral pengotornya (Hermiyati, 2009). Mineral karbonat yang umum ditemukan berasosiasi dengan batu kapur adalah aragonit, yang merupakan mineral metabase karena pada kurun waktu tertentu dapat berubah menjadi kalsit (CaCO3). Mineral lainnya yang umum ditemukan berasosiasi dengan batu kapur adalah dolomit, siderit (FeCO3), ankerit (Ca2MgFe(CO3)4) dan magnesit (MgCO3). Penggunaan batu kapur sudah beragam, selain untuk bahan bangunan, industri kertas, industri karet digunakan juga pada industri penyamakan kulit, yaitu pada proses limming yang berfungsi untuk membengkakkan kulit (Hermiyati, 2009).
7
Kalsium oksida yang biasa disebut dengan quicklime atau kapur tohor terbentuk dengan proses pemanasan batuan kapur (CaCO3) dengan penambahan air. CaO akan menjadi bentuk yang lebih tidak mudah terbakar (less caustic), tetapi masih merupakan alkali kuat, kalsium hidroksida (Ca(OH)2) (Oates, 1998). Pada Gambar 3 dapat dilihat reaksi pembentukan kalsium oksida dan kalisum hidroksida dari batu kapur (CaCO3). CaO memiliki densitas sebesar 3,37 g/cm3, larut dalam air pada suhu 20°C dan memiliki bobot jenis sebesar 56,08 g/mol (Merck Index, 2000). CaCO3 + panas CaO + H2O
CaO + CO2 Ca (OH)2
Gambar 3. Proses pembentukan kalsium oksida dan kalsim hidroksida (Oates, 1998)
2.4
Gambir Tanaman gambir (Uncaria gambir Roxb) termasuk famili Rubiaceae (kopi-kopian). Batangnya berkayu berbentuk semak dan daunnya bulat telur, atasnya lonjong tersusun berhadap-hadapan. Tinggi tanaman gambir berkisar 1,5-2 m dapat memanjat tanaman lain dengan cara melingkar-lingkar, warna batang coklat muda sampai coklat tua, warna daun hijau muda sampai hijau coklat dan coklat muda, dengan panjang petiole 0,2-0,4 cm warna hijau. Tanaman ini tumbuh baik dari dataran rendah sampai ketinggian 900 m di atas permukaan laut, curah hujan merata sepanjang tahun yaitu 2500-3000 mm/tahun dengan penyinaran cahaya matahari cukup banyak dan suhu udara 18-29oC. Tanaman tersebut akan tumbuh baik pada tanah yang gembur, dapat diperbanyak secara vegetatif dan generatif (Yusmeiarti et al., 2000 ; Hamzah, 2004). Gambir merupakan komoditas spesifik dan unggulan daerah Provinsi Sumatera Barat, yang berorientasi ekspor dan merupakan sumber mata pencarian petani. Daerah penghasil utama gambir adalah Kabupaten Lima Puluh Kota dan Kabupaten Pesisir Selatan. Saat ini, gambir juga sudah mulai dihasilkan oleh Kabupaten Agam dan Kabupaten Pasaman. Daerah Kecamatan Kapur IX Kabupaten Lima Puluh Kota bahkan merupakan sentra produksi gambir terbesar di dunia (Gumbira Sa’id et al., 2009). Delapan puluh persen dari total ekspor gambir Indonesia berasal dari Sumatera Barat (Sumbar). Nilai ekspor gambir Sumbar mencapai US $ 622.460.00 yang didukung oleh produksi gambir mencapai 13.249 ton dengan luas panen 19,316 Ha (Dinas Perkebunan Sumbar, 2007). Tanaman gambir dapat diandalkan sebagai investasi jangka panjang karena dianggap tidak mempunyai musuh alam. Tanaman gambir memiliki nilai ekonomi dibagian batang dan daunnya (Amos et al., 2004). Getah atau ekstrak daun dan ranting tanaman gambir yang telah dikeringkan merupakan produk yang dikenal sebagai gambir, sedangkan nama dagangnya ialah gambier, cutch, catechu atau pale catechu (Gumbira-Sa’id et al., 2009). Gambir merupakan komoditas perkebunan rakyat yang terutama ditujukan untuk ekspor. Tanaman gambir termasuk dalam famili Rubiaceae, kegunaannya antara lain adalah untuk zat pewarna dalam industri batik, industri penyamak kulit, ramuan makan sirih, sebagai obat untuk penyakit tertentu dan digunakan pula sebagai bahan baku pembuatan permen dalam acara adat di India serta sebagai penjernih pada industri air (Susilobroto, 2000).
8
Gambir dapat juga digunakan sebagai bahan pencelup (dyeing) pada industri tekstil dan bahan pengawet ikan hasil tangkapan laut (Gove dan Webster,1966). Gambir digunakan sebagai pewarna pada batik soga tetapi warna kecoklat-cokelatan itu baru muncul jika ditambahkan suatu garam diazonium (Lemmens, 1998). Pada proses pencelupan, gambir diutamakan untuk mewarnai sutera dan bahan pakaian militer. Selain itu, gambir juga berguna sebagai bahan penjernih bir pada industri bir (Heyne, 1987). Kandungan tanin pada gambir dapat digunakan sebagai penawar racun dan logam berat. Tanin akan mengendapkan alkaloid dan logam berat dengan membentuk senyawa yang tidak larut (Bakhtiar, 1991). Menurut Gumbira-Sa’id et al. (2009), berdasarkan perbedaan bentuknya, gambir yang diproduksi di Indonesia dibedakan menjadi gambir bootch, lumpang, coin, wafer block, dan stick. Gambir bootch berbentuk tabung silinder. Namun, karena perubahan bentuk akibat proses pengeringan, maka gambir bootch kering tidak memiliki bentuk silinder yang merata. Gambir lumpang menyerupai gambir bootch yang berbentuk silinder tetapi memiliki cekungan seperti lumpang pada salah satu ujung silinder. Gambir coin menyerupai gambir bootch yang berbentuk silinder, namun gambir coin memiliki ukuran tinggi yang lebih kecil sehingga tampak seperti coin. Gambir wafer block adalah gambir asalan (berupa gambir bootch atau gambir lumpang) yang diproses ulang dan dicetak berbentuk balok. Gambir stick serupa dengan gambir wafer block yang berbentuk balok dan seragam, namun bahan baku yang digunakan adalah daun dan ranting tanaman gambir, bukan gambir asalan seperti pada gambir wafer block. Standar mutu gambir di Indonesia ditentukan berdasarkan SNI 02-3391-2000 yang dapat dilihat pada Tabel 2.
No 1.
2. 3. 4. 5.
Tabel 2. Persyaratan Mutu Gambir berdasarkan SNI 02-3391-2000 Persyaratan Jenis Uji Satuan Mutu I Mutu II a. Bentuk Utuh Utuh b. Warna Kuning Kuning Kecoklatan Kehitaman c. Bau Khas Khas Kadar Air b/b (%) Maks. 14 Maks. 16 Kadar Abu b/b (%) Maks. 5 Maks. 5 Kadar Katekin b/b (%) Min. 60 Min. 50 a. Kadar bahan tidak larut b/b (%) Maks. 7 Maks. 10 dalam air b. kadar bahan tidak larut b/b (%) Maks. 12 Maks. 16 dalam alkohol Sumber : Badan Standarisasi Nasional (2000)
Di dalam gambir terdapat beberapa komponen kimia, antara lain katekin, asam catechu tannat, quarsetin, catechu merah, gambir fluoresin, abu, lemak dan lilin. Kandungan utama adalah katekin (7-33%) dan asam catechu tannat (20-25%) (Thorpe dan Whiteley 1921 diacu dalam Nazir 2000). Dalam perdagangan, gambir merupakan istilah untuk ekstrak kering tanaman gambir. Ekstrak tersebut mengandung asam catechin (memberikan rasa manis enak), asam catechu tanat (memberikan rasa pahit) dan quercetine (pewarna kuning) (Tarwiyah, 2001). Menurut Muchtar (2000), senyawa tanin dalam gambir memberikan aroma dan rasa
9
yang khas serta warna merah kecoklatan, mudah larut dalam air dingin dan alkohol, tetapi tidak larut dalam ester dan bila airnya diuapkan akan membentuk kristal yang bewarna coklat kemerahan, sedangkan katekin memberikan rasa manis dan enak, tidak mudah larut dalam air dingin dan larut baik dalam air panas, serta pada keadaan kering berbentuk kristal berwarna kuning. Menurut Gumbira-Sa’id et al. (2009), senyawa utama yang terkandung di dalam gambir adalah pseudotanin katekin dan phlobatanin asam cathechutannat dengan persentase masing – masing senyawa adalah 7 – 30% dan 22-55%. Komponen – komponen yang terdapat dalam daun gambir dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Komponen – komponen yang terdapat dalam daun gambir No Nama Komponen Komponen (%) 1 Catechin 7-33 2 Asam catechutannat 20-55 3 Pyrocathecol 20-30 4 Gambir floresensi 1-3 5 Red Catechu 3-5 6 Quersetin 2-4 7 Fixed Oil 1-2 8 Lilin 1-2 9 Alkaloid Sedikit Sumber : Thorpe danWhiteley (1921) diacu dalam Nazir (2000) Asam catechu tannat (C15H12O5) atau tanin merupakan anhidrat dari katekin. Tanin mudah berikatan dengan protein, karena mengandung sejumlah gugus hidroksil (Swain 1965 diacu dalam Harborne dan Sumere 1975). Atom H pada gugus hidroksil tersebut sangat reaktif dan dapat membentuk ikatan hidrogen dengan senyawa lain (Winarno dan Wirantakusumah 1981 diacu dalam Agriawati 2003). Dalam industri tekstil, tanin digunakan sebagai zat warna. Reaksi tanin dengan garam – garam logam seperti besi, krom, alumunium, dan timah akan menghasilkan warna biru tua dan hijau kehitam-hitaman (Suryadi, 1983). Katekin (C15H14O6) termasuk dalam struktur flavonoid, tidak bewarna dan dalam keadaan murni sedikit tidak larut dalam air dingin tetapi sangat larut dalam air panas, larut dalam alkohol dan etil asetat. Apabila katekin dipanaskan pada suhu 110°C atau dipanaskan pada larutan alkalikarbonat, maka akan kehilangan satu molekul air dan berubah menjadi asam catechu tannat (Thorpe dan Whiteley 1921 diacu dalam Nazir 2000).
2.5
Cat Cat didefinisikan sebagai suspensi pigmen padat didalam fase cair yang akan berubah menjadi film padat yang tidak tembus cahaya dan membentuk suatu lapisan tipis apabila diaplikasikan pada suatu permukaan. Pigmen merupakan partikel – partikel padat halus yang digunakan pada pembuatan cat dan tidak larut dalam vehicle. Vehicle adalah keseluruhan bagian zat cair dari suatu cat, termasuk pengikat pigmen, pembentuk film, pelarut mudah menguap (volatil) dan semua bahan yang terlarut didalamnya (Hall 1981 diacu dalam Hambali et al. 2002). Beberapa jenis bahan baku terlibat dalam pembuatan cat, tetapi intinya cat terdiri dari padatan (solids) dan cairan (liquids). Dengan bagian padatan tersebut tertahan (tersuspensi)
10
dalam porsi cairan atau carrier. Solids atau padatan adalah bahan yang tertinggal di permukaan setelah bagian liquid menguap. Solids terdiri dari beberapa material, setiap material dirancang untuk menghasilkan beberapa fitur dari cat, namun yang utama adalah pigmen dan perekat (binder) (Koleske, 1972). Komponen penyusun cat terdiri dari perekat, pigmen dan bahan tambahan lainnya (aditif) (Talbert, 2008). Ketika cat diaplikasikan ke permukaan proses pengeringan dimulai, bagian cair atau carrier mulai menguap dan meninggalkan lapisan film. Lapisan film terdiri dari perekat, pigmen dan aditif. Pada basis minyak partikel – partikel cat mulai bergabung dan membentuk partikel yang lebih panjang, proses tersebut dikenal sebagai chemical bonding (ikatan kimia). Pada cat basis air, pigmen, binder, dan aditif tidak secara kimiawi saling mengikat ketika cat mengering, namun partikel – partikel bergerak merapat atau mendekat atau menyatu bersama – sama untuk mengisi gap yang ditinggalkan oleh menguapnya partikel air. Fenomena diatas dikenal sebagai coalescence atau penyatuan (Talbert, 2008). Menurut Talbert (2008), perekat pada cat dapat digolongkan dalam dua jenis, convertible (dapat diganti atau diubah) dan nonconvertible (tidak dapar diganti atau dirubah). Perekat jenis convertible merupakan material yang digunakan pada reaksi polimerisasi untuk membentuk suatu lapisan padat setelah proses pengaplikasian ke suatu permukaan contohnya adalah alkyds, resin amino, resin epoxy, resin fenolik, resin poliurethan dan thermosetting acrylics. Sedangkan perekat jenis nonconvertible adalah perekat yang terpolimerisasi yang terdispersi dalam suatu medium yang akan menguap setelah lapisan cat diaplikasikan pada suatu permukaan, contohnya adalah cellulose, nitrocellulose dan resin vinil. Pada pembuatan cat alami diutamakan penggunaan bahan – bahan alami yang tidak merusak kesehatan, baik pada saat proses pembuatan maupun setelah proses pengecatan. Menurut Tyler (2009), berdasarkan hasil penelitian WHO (World Health Organization) telah ditemukan bahwa akibat adanya bahan – bahan yang terkandung pada cat modern saat ini para dekorator menghadapi kemungkinan 40% terkena penyakit kanker akibat adanya bahan – bahan yang terkandung pada cat yang memiliki efek karsinogenik. Kebanyakan cat yang beredar saat ini mengandung VOC (Volatile Organic Compounds) seperti aseton trichloroethilen, isopropyl alkohol dan metiletil keton. VOC menguap pada saat penggunaan dan ini merupakan salah satu hal dapat menyebabkan rusaknya lapisan ozon dan berbahaya bagi manusia, binatang dan tanaman. VOC sering menyebabkan mual, sakit kepala, asma dan masalah pernapasan lainnya (Tyler, 2009). Oleh karena itu, pembuatan cat alami berbasis kasein dan kapur tohor dengan pewarna alami gambir dapat dijadikan salah satu alternatif cat yang ramah lingkungan dan aman bagi kesehatan. Bahan – bahan yang biasa digunakan dalam pembuatan cat dapat dibagi menjadi beberapa kategori yaitu pigmen, perekat, pelarut dan aditif. Di bawah ini dibahas masing – masing kategori diatas. 1)
Pigmen Pigmen adalah padatan warna yang memberi warna pada suatu cat dan daya tutup (hiding power). Pigmen dapat diklasifikasikan menjadi dua kriteria, yaitu (1) alami atau sintetis dan (2) organik atau non organik. Pigmen alami berarti molekul pigmen diekstrak dari suatu mineral, tumbuhan atau binatang yang terjadi atau ada di alam, dan hanya dimodifikasi dengan cara digiling, dicuci, disaring, atau dipanaskan. Pigmen sintetis berarti molekul pigmen didapat atau diolah dengan cara
11
kimia atau proses kimia. Pigmen alami sudah banyak diganti dengan pigmen sintetis yang kekuatan dan variasi warnanya lebih baik (Bently dan Turner, 1997). Pigmen non organik adalah pigmen tersebut merupakan suatu mineral atau campuran mineral, seperti oxide, sulfide, metal atau earth. Organik dapat diartikan bahawa pigmen tersebut adalah molekul karbon dikombinasi dengan hidrogen, nitrogen atau oksigen. Dua kriteria tersebut dapat dikombinasikan untuk mendefinisakan empat kategori pigmen, yaitu non organik sintetis, non organik alami, organik sintetis, dan organik alami (Koleske, 1972). Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan berikut. 1. Pigmen non organik alami adalah pigmen logam atau batuan yang diekstrak dari bahan tambang atau mineral. 2. Pigmen non organik sintetis adalah pigmen logam atau batuan yang dibuat dengan mengkombinasikan bahan kimia dengan logam atau batuan mineral melalui proses kimia. 3. Pigmen organik alami adalah pigmen yang dibuat dari ekstrak tumbuhan atau binatang 4. Pigmen organik sintetis adalah pigmen berbasis karbon, seringkali dibuat dari turunan minyak bumi melalui proses kimia yang menyerupai sifat kimiawi dari pewarna hewan atau tumbuhan. Menurut Hall (1981), cat merupakan suspensi dari pigmen padat di dalam fase cair yang ketika diaplikasikan ke suatu permukaan akan mengering dan membentuk suatu lapisan padat. Pada lapisan cat kering, pigmen terdispersi dalam suatu matriks kontinyu (sebagai pengikat) yang umumnya berupa polimer. Hampir seluruh pigmen di industri cat menggunakan pigmen sintetis. Pigmen organik alami sudah lama ditinggalkan karena kalah dengan kekuatan warna dari pigmen sintetis dan variasi warna dari pigmen sintetis Pigmen yang biasa digunakan pada industri cat antara lain pigmen putih (Titanium oksida), pigmen kuning (Zinc chromate), pigmen hijau (Chromium oxide), pigmen biru (Prussian blue), pigmen merah (Red iron oxide), dan pigmen hitam (Carbon black) (Joko, 2009). Pada pembuatan cat alami, digunakan gambir sebagai pigmen atau pewarna, karena gambir mengandung senyawa tanin yang memberikan warna merah kecoklatan. 2)
Perekat (Binder) Perekat bertugas merekatkan partikel – partikel pigmen ke dalam lapisan film cat dan membuat cat merekat pada permukaan. Tipe perekat dan persentase perekat dalam suatu formula cat menentukan performa cat seperti daya rekat cat (Talbert, 2008). Perekat yang biasa digunakan dalam industri cat terbuat dari resin. Resin dapat dibuat dari bahan alam atau dari bahan sintetis. Pada umumnya resin yang digunakan pada industri cat saat ini adalah resin sintetis atau lateks. Lateks tersebut bukanlah lateks yang disebut sebagi karet alam, tetapi adalah sejenis resin yang fleksibel. Pada umumnya lateks yang digunakan pada cat tembok adalah akrilik dan ada berbagai macam jenis akrilik seperti lateks full acrylic, lateks styrene acrylic, dan vinyl acrylic (Talbert, 2008).
12
Kasein yang direaksikan dengan kalsium hidroksida (Ca(OH) 2) dapat digunakan sebagai perekat pada cat berbasis air. Kasein setelah direaksikan dengan kalsium hidroksida akan terjadi reaksi ionisasi dan kasein akan lebih larut dalam air dan akan memiliki sifat yang lengket seperti lem (Robertson, 1908).
No 1 1.1 1.2 2 3 3.1 3.2 4 5 6
3)
Pelarut (solvent) Sebuah cat membutuhkan bagian cair agar partikel pigmen, perekat dan material padat lainnya dapat mengalir. Cairan pada suatu cat disusun oleh pelarut. Solvent berasal dari kata dissolve dan diluent berasal dari kata dilute. Keduanya adalah suatu cairan yang mempunyai kemampuan untuk melarutkan (dissolve) suatu material. Keduanya juga dikenal sebagai thinner karena keduanya memiliki kemampuan untuk mengencerkan cat ke kekentalan yang diinginkan. Air meskipun dapat melarutkan senyawaan tidak dianggap sebagai pelarut untuk cat karena air tidak melarutkan resin. Air adalah solvent untuk gula karena gula dapat larut oleh air, bukan solvent untuk resin. Air pada cat lateks hanya sebagai pengencer bukan pelarut resin (Talbert, 2008). Lain halnya dengan cat lateks, cat alami yang menggunakan kasein dan kapur tohor sebagi perekat dapat menggunakan air sebagai pelarutnya. Saat kasein direaksikan dengan kapur tohor akan mudah larut dalam air, sehingga menjadikan cat tersebut lebih ramah lingkungan, dan membutuhkan sedikit energi untuk pembuatannya.
4)
Bahan Tambahan Lainnya (Aditif) Suatu cat dapat megandung satu atau lebih aditif atau zat tambahan. Zat tambahan tersebut akan membantu meningkatkan performa dari cat yang dihasilkan. Zat tambahan atau aditif dalah zat yang ditambahkan ke dalam cat dengan kadar relatif rendah, tetapi dapat mempengaruhi sifat-sifat dari cat, sebagai contoh yaitu drying agent, filler, anti foam, slip agents, dispersing agent, thickener dan lain-lain (Talbert, 2008). Standar mutu cat harus memenuhi syarat mutu SNI 3564-2009 seperti yang dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Syarat Mutu Cat Tembok Emulsi berdasarkan SNI 3564-2009 Uraian Satuan Persyaratan Daya Tutup a. Warna Cerah m2/L Min. 8 2 b. Warna Gelap m /L Min. 11 3 Densitas (Suhu 28 – 30 °C) g/cm Min. 1,2 Waktu Mengering a. Waktu Kering Sentuh Menit Maks. 30 b. Waktu Kering Keras Menit Maks. 60 Padatan Total % bobot Min. 40 Kekentalan (suhu 28 - 30 °C) KU (Krebs Unit) Min. 90 pH 7 – 9,5
13