Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
FREKUENSI GEN KAPPA KASEIN (κ-Kasein) PADA SAPI PERAH FH BERDASARKAN PRODUKSI SUSU DI BPTU BATURRADEN (The Frequency of κ-Casein Gene of Holstein-Friesian (HF) Dairy Cattle Based on Milk Production in BPTU Baturraden) C. SUMANTRI1, A. ANGGRAENI3, R.R.A. MAHESWARI1, K. DIWYANTO3, A. FARAJALLAH2 dan B. BRAHMANTIYO3 1 Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Bogor 3 Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Jl. Raya Pajajaran Kav. E-59, Bogor16151 2
ABSTRACT The objective of this research was to study the effect of κ-casein polymorphism on milk yield of Holstein Friesian (HF) in Indonesia.The research used HF dairy cattle (heifers and cows) reared by BPTU Baturraden Purwokerto. Cows were selected proportionally based on the consideration for the three milk production classifications (high level for milk yield production >5000, moderate 4000-5000 and low < 4000 l/lactation). The research activities were carried out through: blood collecting for heifers and cows, amplifying DNA with PCR and PCR products were digested by Pst 1 enzyme restriction, and identifying correlation between κcasein gene polymorphism on milk yield production. The frequency of genotype and allele or gene of κcasein was calculated by Warwick and Legates,whereas the significant test of genotype frequency between observation and expectation was calculated by χ2 test. The result showed that cows in BPT-HMT Baturraden had two alleles κ-casein polymorphism, i.e. allele or gene A (0.47) and B (0.53); therefore, three genotypes existed including AA (0.20), AB (0.53), and BB (0.26). Friesian cows had the frequency of AA genotype almost the same as with BB and lower than genotype AB ratio of 0.20:0.53:0.26. The frequency genotype of AB in the moderate and high milk production classification are 0.65 and 0.44. It was higher than AA (0.16 and 0.34) and BB (0.19 and 0.22). The results showed the genotype κ-casein AA and AB had affected significantly on the milk production. Key words: κ-casein polymorphism, dairy cattle, milk yield ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini untuk mepelajari pengaruh genotipe dari gen κ-kasein terhadap produksi susu. Penelitian menggunakan sapi FH betina (dara dan laktasi) yang dipelihara oleh BPTU Baturraden, Purwokerto. Sapi perah FH laktasi dipilih secara proporsional berdasarkan klasifikasi nilai pemuliaan (Estimated Breeding Value/EBV) tinggi, sedang, dan rendah, sebanyak 249 ekor untuk diketahui polimorfisme gen κ-kasein-nya. Tahapan kegiatan meliputi: pengambilan sampel darah sapi untuk diidentifikasi polimorfisme gen κ-kasein-nya, amplifikasi DNA dengan PCR dan produknya dipotong menggunakan enzim Pst I, dan identifikasi korelasi antara polimorphisme gen κ-kasein dengan sifat produksi susu. Frekuensi genotipe dan alel gen κ-casein dihitung dengan metode WARWICK dan LEGATES, sedangkan uji nyata dari frekuensi genotipe teramati dan harapan dihitung menggunakan Uji Kebaikan-Suai (χ2). Sapi FH di BPTU Baturraden mempunyai polimorfime κ-kasein dengan dua alel yakni A (0,47) dan B (0,53) sehingga diperoleh tiga genotipe meliputi genotipe AA (0,21), AB (0,53), dan BB (0,26). Salah satu faktor yang mempengaruhi frekuensi gen κ-kasein pada populasi sapi FH di BPTU Baturraden adalah intensifnya penggunaan beberapa pejantan sapi FH bergenotipe AB mempunyai proporsi yang tinggi pada klasifikasi produksi susu sedang (0,65) dan produksi susu tinggi (0,44). Sapi FH bergenotipe AA mempunyai proporsi yang hampir sama pada klasifikasi produksi tinggi dan sedang (0,34 dan 0,37), sedangkan BB mempunyai frekuensi genotipe lebih kecil yaitu untuk klasifikasi produksi susu tinggi, sedang dan rendah
175
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
sebagai berikut 0,22, 0,19 dan 0,03. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan yang nyata (p<0,05) antara genotipe κ-kasein dengan produksi susu. Kata kunci: Gen κ-kasein, sapi perah, produksi susu
PENDAHULUAN Kemampuan sapi perah Friesian Holstein (FH) untuk menghasilkan susu pada pemeliharaan di Indonesia masih rendah, dengan tingkat variasi produksi cukup luas antara lokasi dengan ketinggian yang berbeda. Rataan produksi susu di daerah dataran tinggi dicapai sekitar 12,5 liter/ekor/hari, sedangkan di daerah dataran rendah masih sekitar 7,8 liter/ ekor/hari (BAPPENAS, 1990). Lebih jauh evaluasi mutu genetik produksi susu yang dilakukan secara terbatas oleh Tim Puslitbangnak pada sejumlah perusahaan sapi perah mengindikasikan hanya sekitar 5% sapi betina FH mempunyai produksi susu sekitar atau melebihi 20 liter/ekor/hari (sekitar 6.000 liter/ekor/laktasi) (ANGGRAENI, 2000). Sementara evaluasi keunggulan genetik produksi susu pada sekitar 90% populasi sapi perah nasional yang ada di peternakan rakyat masih sulit dilaksanakan dikarenakan kendala seperti SDM, teknis, institusi dan sosial. Seleksi keunggulan genetik melalui identifikasi gen yang diprediksi berasosiasi kuat dengan sifat produksi dan kualitas susu akan sangat mendukung bagi program perbaikan genetik sapi FH domestik (BOVENHUIS et al., 1992). Kasein yang merupakan fraksi terbanyak (sekitar 80%) dari protein susu sapi, diketahui berada di bawah kontrol empat lokus dengan runutan genom αs1-, β-, αs2-, dan κ-kasein dengan panjang 250 kb pada kromosom 6 /BTA 6q31. (FERRETTI et al., 1990; THREADGILL dan WOMACK, 1990; dan RIJNKELS et al., 1997). MALIK et al. (2000) menyatakan sejauh ini diketahui ada enam alel dari gen κ-kasein yakni alel A, B, C, E, F, dan G. Protein κ-casein sendiri memiliki 169 asam amino dengan variasi terjadi pada kodon 136 dan 148. Sebagai contoh alel A mempunyai treonin (ACC) pada kodon 136 dan asam aspartat (GAT) pada kodon 148, sedangkan alel B memiliki masing-masing isoleusin (ATC) dan alanin (GTC) pada kedua kodon tersebut. Alel A dan B dari κ-kasein sangat umum ditemukan pada rumpun sapi
176
perah Bos taurus seperti FH, Guernsey, Jersey, Ayrshire dan Brown Swiss (SWAISGOOD, 1992). NG-KWAI-HANG et al. (1986) menyatakan adanya pengaruh signifikan (P<0,01) varian genetik dari α s1-, β-, κ-kasein, dan βlactoglobulin terhadap uji harian untuk produksi susu dan komposisi susu pada sapi FH. Produksi susu harian yang tinggi berasosiasi dengan αs1-kasein BB, β-kasein A1A3, κ-kasein AA, dan β-laktoglobulin AA. Bila dikaji pengaruh κ-kasein sendiri, AB diasosiasikan dengan produksi 1,4 kg produksi susu per hari lebih tinggi dari AA dan BB. Sedangkan GONYON et al. (1987) yang meneliti asosiasi polimorfisme protein susu dari β-laktoglobulin, αs1-, β-, dan κ-kasein pada sejumlah sifat laktasi melaporkan urutan genotipe AA>AB>BB dalam menghasilkan susu. Sapi bergenotipe AA menghasilkan susu sekitar 90 kg per laktasi lebih tinggi dari rataan herdmate (HM), BB di bawah HM, sedangkan AB sama dengan HM. Demikian pula IKONEN et al. (1999) melaporkan pengaruh model lokus tunggal pada dua lokus β- dan κ-kasein terhadap produksi susu. Sapi dengan genotipe AA mempunyai produksi susu lebih tinggi dibandingkan AB dan BB, yakni AA pada rataan HM (5861 kg), sedangkan AB–29 dan BB–54 kg di bawah HM. Dengan adanya kecenderungan keterkaitan yang kuat antara lokus kasein dengan produksi susu, maka tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui kemungkinan penggunaan gen κkasein sebagai penciri genetik untuk menseleksi sapi perah FH sebagai bibit berpotensi genetik produksi susu tinggi, khususnya pada manajemen pemeliharaan intensif di Indonesia. MATERI DAN METODE Sapi FH pengamatan Sejumlah 249 ekor sapi diambil sampel darah untuk dianalisa genotipe κ-kaseinnya,
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
tetapi jumlah seluruh sapi FH laktasi yang dievaluasi berdasarkan produksi susu terkoreksi nilai pemuliaannya ada 151 ekor dengan klasifikasi peringkat sebagai berikut: (1) Klasifikasi produksi tinggi dengan produksi susu per laktasi di atas 5000 liter, ada 64 ekor, (2) Klasifikasi produksi sedang dengan produksi susu per laktasi 4000-5000 liter, ada 57 ekor dan (3) Klasifikasi produksi rendah dengan produksi susu per laktasi di bawah 4000 liter ada 30 ekor.
Pst I. Sebanyak 4 µl DNA produk PCR, 0.5 µl 5 Unit Pst I, 0.5 µl 10x low buffer dimasukkan ke dalam 0,5 ml eppendorf, ditambah milique water steril sampai volume total 10 µl, dan inkubasi pada suhu 37 oC selama 1 jam. Elektroforesis dilakukan pada gel PAGE 1% dengan 200 Volt, selama 60 menit dan pewarnaan dengan perak nitrat selama 20 menit.
Ekstrasi DNA
Identifikasi nilai pemuliaan produksi susu sapi FH laktasi dilakukan dengan menggunakan metode Estimated Breeding Value (EBV) menurut SCHMIDT et al. (1988).
Sampel yang digunakan sebagai sumber DNA diambil dari sel darah. Ektraksi DNA dilakukan menurut SAMBROOK et al. (1989) yang dimodifikasi. Kurang lebih 5 ml sampel darah diektrasi untuk diambil DNA-nya. Setiap sampel darah dimasukkan ke dalam tabung falcon, disentrifugasi 3.500 rpm selama 10 menit sehingga terbentuk tiga lapisan yaitu plasma darah, buffy coat (lapisan sel darah putih berinti) dan sel darah merah. Analisis PCR-RFLP Analisis PCR dilakukan dengan cara sebagai berikut: 2 µl 50 ng sampel DNA, 0.25 µl 50 ng primer kappa-casein (κ-casein), primer forward (F) dengan runutan DNA 5’ AAA TCC CTA CCA TCA ATA CC dan 0.25 µl primer reverse (R) dengan runutan DNA 5’ CTT CTT TGA TGT CTC CTT AG, 1.25 µl 15 mM MgCl2, 1 µl 2 mM dNTPs dan 0,25 µl 4 Unit AmpliTaq gold DNA polimerase dan ditambah 7.75 µl milique water steril sampai total volume 12.75 µl. Tabung tersebut dimasukkan ke dalam mesin PCR dengan program sebagai berikut: Tahap 1, proses denaturasi 94 oC selama 10 menit. Tahap 2, proses denaturasi pada 94 oC selama 30 detik, diikuti dengan proses annealing (penggabungan kembali) pada suhu 55 oC selama 30 detik dan proses ektensi pada suhu 72 oC selama 1 menit. Seluruh proses pada Tahap 2 dilakukan dengan 40 X ulangan. Tahap 3, ektensi tambahan pada suhu 72 oC selama 5 menit.. Analisis PCR-RFLP dilakukan dengan cara produk PCR, dipotong dengan enzim restriksi
Evaluasi nilai pemuliaan
Frekuensi genotipe dan gen κ-kasein Frekuensi genotipe κ-kasein dihitung dengan cara menisbahkan jumlah sapi dengan genotipe tertentu terhadap jumlah total ketiga genotipe (AA, AB, dan BB). Sedangkan frekuensi alel gen κ-kasein dihitung menurut WARWICK dan LEGATES (1979) dengan rumus:
Q=
∑ Alel A ∑ Alel A + ∑ Alel a
1−Q =
∑ Alel A ∑ Alel A + ∑ Alel a
Uji frekuensi genotipe teramati terhadap frekuensi genotipe harapan Uji nyata dari frekuensi genotipe κ-kasein yang teramati dengan frekuensi harapan dihitung menggunakan Uji Kebaikan-Suai (χ2) menurut WALPOLE (1993) dengan rumus: (oi − ei )2 e1 i=1 Keterangan: χ2 = Sebaran khi-kuadrat Oi = Frekuensi teramati eI = Frekuensi harapan bagi sel ke-i
χ2
k
= ∑
177
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
Tabel 1. Frekuensi genotipe dan alel gen κ-kasein sapi FH di BPTU Baturraden
HASIL DAN PEMBAHASAN Kappa kasein dengan genotipe homozigot AA dan BB ditunjukkan pola monomerik (pita tunggal) dengan alel B berukuran 200 pb (pasangan basa) sedangkan A lebih kecil dari 200 pb dan genotipe heterozigot AB ditunjukkan oleh pola dimerik (dua pita) (Gambar 1).
Genotipe
AA
51 (0,21)
AB
133 (0,53)
BB
65 (0,26)
Jumlah
Distribusi genotipe κ-kasein sapi FH pengamatan Berdasarkan hasil analisis genotipe κcasein pada sejumlah 249 ekor sapi FH di BPTU Baturraden seperti tercantum pada Tabel 1. Frekuensi genotipe untuk AA, AB dan BB sebagai berikut: 0,21, 0,53 dan 0,26, dengan demikian frekuensi untuk alel A sebesar 0,47 dan B sebesar 0,53.
Frekuensi genotipe
Frekuensi Alel A
B
0,47
0,53
249
Hasil uji signifikansi χ2 menunjukkan distribusi ketiga genotipe κ-casein AA, AB dan BB dalam populasi ada dalam kesetimbangan (Tabel 2.) Hampir samanya frekuensi genotipe AA dan BB gen κ-kasein pada populasi sapi FH di BPTU Baturraden berbeda dengan kondisi frekuensi genotipe sejumlah populasi sapi
200 pb 100 pb Gambar 1. Hasil elektroforesis gen κ-kasein produk (PCR-RFLP) Pst 1 pada 1 % akrilamida No. 1,7,8.9 dan10 genotipe (BB). No. 2,3, genotipe (AB) dan No.4,5 dan 6 genotipe (AA). DNA marker 100 bp ladder (M). Tabel 2. Frekuensi genotipe observasi (O) dan frekuensi genotipe harapan (E) κ- kasein sapi FH di BPTU Baturraden Genotipe AA AB BB Jumlah
178
Frekuensi observasi (O) 51 133 65 249
Frekuensi harapan (E) 62,25 124,5 62,5 249
χ2 hitung
χ2 tabel (005;2)
2,734
5,99
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
perah di beberapa negara bagian Amerika Serikat dan Kanada yang umumnya mempunyai frekuensi genotipe AA tertinggi. Beberapa penelitian menginformasikan frekuensi genotipe AA, AB dan BB sapi Holstein adalah 0,53 : 0,43 : 0,04 (NG-KWAIHANG et al., 1987); 0,68 : 0,29 : 0,03 (OJALA et al., 1997); 0,68 : 0,28 : 0,04 (BOBE et al., 1999). Sebaliknya pengamatan pada sapi Jersey umumnya memberikan frekuensi genotipe BB yang tinggi, seperti dilaporkan OJALA et al. (1997) dengan frekuensi genotipe AA, AB dan BB berurutan 0,02 : 0,20 : 0,78. Kegiatan seleksi produksi susu berdasarkan daya produksi susu atau nilai The Most Probable Producing Ability (MPPA) yang telah dilakukan secara rutin oleh BPTU Baturraden dan adanya kebijakan menggunakan semen beku impor diperkirakan menjadi penyebab meningkatnya genotipe tertentu dari κ-kasein. Dalam hal ini diindikasikan dengan adanya fluktuasi frekuensi gen yang tinggi per tahunnya. Hubungan genotipe κ-kasein dengan tingkat produksi susu Jumlah seluruh sapi FH laktasi yang dievaluasi nilai pemuliaannya (EBV) di BPTU Baturraden sebanyak 159 ekor (ANGGRAENI 2000), tetapi berdasarkan produksi susu yang terkoreksi dengan nilai pemuliaan diperoleh susunan peringkat sebagai berikut: (1) Tinggi dengan produksi susu per laktasi di atas 5000 liter, ada 64 ekor, (2) Sedang dengan produksi susu per laktasi 4000-5000 liter, ada 57 ekor dan (3) Rendah dengan produksi susu per laktasi di bawah 4.000 liter ada 30 ekor.
Tabel 3 menginformasikan sapi FH bergenotipe heterozigot AB mempunyai frekuensi yang tinggi pada klasifikasi produksi susu sedang (0,65) ada 37 ekor dan menurun pada klasifikasi produksi susu tinggi (0,44) ada 28 ekor. Sapi FH bergenotipe homozigot AA mempunyai frekuensi yang hampir sama (0,34 dan 0,37) pada klasifikasi produksi susu tinggi (22 ekor) dan rendah (11 ekor) dan frekuensi genotipe terendah (0,16) terdapat pada klasifikasi produksi susu sedang (9 ekor). Hasil ini berbeda dengan sapi FH bergenotipe Homozigot BB mempunyai frekuensi genotipe yang lebih kecil bila dibandingkan dengan AB dan AA yaitu 0,22, 0,19 dan 0,03 untuk klasifikasi produksi susu tinggi (14 ekor), sedang (11 ekor) dan rendah (1 ekor). Frekuensi alel gen κ-kasein A dan B hampir sama pada klasifikasi tinggi (0,56 vs 0,44) dan sedang (0,48 vs 0,52), sedangkan perbedaan frekuensi alel A dan B terdapat pada klasifikasi produksi susu rendah (0,67 vs 0,33). Perbedaan frekuensi alel pada kelompok sapi berdasarkan produksi susu disebabkan oleh adanya pengaruh genotipe secara nyata (p<0,05) terhadap produksi susu seperti terlihat pada Tabel 4. Meskipun ditemukan adanya hubungan yang nyata antara frekuensi genotipe κ-kasein dengan produksi susu, mempertimbangkan satu lokus κ-kasein untuk difungsikan sebagai penciri genetik dalam melihat asosiasinya dengan sifat produksi susu, akan memberikan respon yang tidak efektif dalam membantu kegiatan seleksi produksi susu pada ternak sapi perah, khususnya pada populasi sapi perah FH di BPTU Baturraden. Untuk mendapatkan gambaran hasil lebih jauh bagaimana pola
Tabel 3. Frekuensi genotipe dan alel Gen κ-kasein berdasarkan klasifikasi produksi susu tinggi, sedang dan rendah sapi FH di BPTU Baturraden Produksi susu (l)
Jumlah (ekor)
Frekuensi genotipe κ-kasein
Genotipe AA
AB
BB
AA
AB
BB
Frekuensi alel gen κ-kasein A
B
Tinggi
64
22
28
14
0,34
0,44
0,22
0,56
0,44
Sedang
57
9
37
11
0,16
0,65
0,19
0,48
0,52
Rendah
30
11
18
1
0,37
0,60
0,03
0,67
0,33
Jumlah
151
42
83
26
179
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
Tabel 4. Frekuensi genotipe κ-kasein observasi (O) dan harapan (E) berdasarkan klasifikasi produksi susu tinggi, sedang dan rendah sapi FH di BPTU Baturraden χ2 hitung
Genotipe κ-Kasein Produksi susu (l)
Jumlah (ekor)
AA O
AB E
O
BB E
O
E
Tinggi
64
22
17,81
28
35,18
14
11,02
Sedang
57
9
15,85
37
31,33
11
9,81
Rendah
30
11
8,34
18
16,49
1
5,17
Jumlah
151
42
83
asosiasi dari polimorfisme κ-kasein terhadap nilai pemuliaan dan daya produksi susu sapi FH tersebut, perlu kiranya dipertimbangkan lokus kasein lainnya yang memang terangkai sangat dekat pada daerah 250 kb dari segmen kromosom 6. Sebagaimana ditekankan oleh VELMALA et al. (1995), OJALA et al. (1997), dan IKONEN et al. (1999) perlunya mempertimbangkan haplotipe dari gen kasein (ketimbang terhadap satu lokus tunggal) untuk melihat asosiasinya dengan sifat produksi susu. Bahkan lebih jauh berdasarkan pemeriksaan keterkaitan haplotipe casein dengan QTL dalam membuka kemungkinan penggunaan haplotipe sebagai penciri genetik (MAS) untuk menseleksi sifat produksi susu tinggi sapi perah (VELMALA et al., 1995; dan IKONEN et al., 1999). Meskipun demikian hasil penelitian memberikan informasi bahwasanya lebih banyak sapi dengan nilai produksi susu tinggi mempunyai genotipe AA dan AB. Informasi yang diperoleh dari katalog pejantan yang tersedia, juga memberi indikasi pejantan dengan nilai pemuliaan tinggi cenderung mempunyai lebih banyak keturunan bergenotipe yang sama, AA dan AB. Berdasarkan kenyataan di atas dapat dinyatakan bahwasanya akan diperoleh peluang lebih besar pada sapi bergenotipe AA dan AB mempunyai kapasitas genetik produksi susu lebih tinggi daripada sapi bergenotipe BB. Rendahnya frekuensi genotipe AA sebesar 20,48% (51/249) pada populasi sapi FH di BPTU Baturraden, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, diperkirakan karena kebijakan dalam pemakaian semen beku terhadap beberapa pejantan yang dipakai
180
11.736
P 0.019
26
secara intensif seperti pejantan nomor P543 mempunyai anak 37 ekor masing-masing bergenotipe AA (3 ekor), AB (24 ekor) dan BB (10 ekor), dengan demikian frekuensi gen A dan B pada keturunannya sebesar 0,41 dan 0,59. Pejantan lainnya dengan nomor 58−18N, P1078 dan P542 mempunyai keturunan dengan frekuensi alel A rendah (0,2−0,29). Kemungkinan lainnya sapi-sapi berproduksi tinggi tidak tahan terhadap cekaman pakan dan rentan terhadap mastitis sehingga secara alami tersisih. Tingginya individu bergenotipe AB (53,4%; 133/249) memberikan peluang yang sama akan munculnya individu bergenotipe AA dan BB. KESIMPULAN Sapi FH di BPTU Baturraden mempunyai gen κ-kasein dengan dua alel yakni alel A dengan frekuensi (0,47) dan B (0,53) sehingga diperoleh tiga genotipe meliputi genotipe AA (0,21), AB (0,53), dan BB (0,26). Sapi FH bergenotipe AB mempunyai proporsi yang tinggi pada klasifikasi produksi susu sedang (0,65) dan produksi susu tinggi (0,44). Sapi FH bergenotipe AA mempunyai proporsi yang hampir sama pada klasifikasi produksi tinggi dan sedang (0,34 dan 0,37), sedangkan BB mempunyai frekuensi genotipe lebih kecil yaitu untuk klasifikasi produksi susu tinggi, sedang dan rendah sebagai berikut 0,22, 0,19 dan 0,03. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan yang nyata (p<0,05) antara genotipe κ-kasein dengan produksi susu. Kegiatan seleksi berdasarkan nilai daya produksi susu (MPPA) yang telah dilakukan secara rutin oleh BPTU Baturraden dan
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
penggunaan sebagian kecil pejantan tertentu secara intensif melalui semen beku impor diperkirakan menjadi penyebab meningkatnya frekuensi genotipe AB. DAFTAR PUSTAKA ANGGRAENI 2000. Identifikasi keunggulan genetik produksi susu sapi perah Fries Holland sebagai penghasil sapi perah bibit. Laporan Puslitnak tahun 1999 dan 2000. Bogor. BAPPENAS. 1990. Dairy and milk industry study. Final Report. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional and Faculty of Animal Science, Bogor Agricultural University in Cooperation with Directorate General of Livestock Services. BOBE, G., D.C. BEITZ, A.E. FREEMAN and G.L. LINDERBERG. 1999. Effect of milk protein genotypes on milk protein composition and its genetic parameter estimates. J. Dairy Sci. 82: 2797−2804. BOVENHUIS, H., J.A.M. VAN ARENDONK and S. KERVER.1992. Associations between milk protein polymorphism and milk production traits. J. Dairy Sci.75: 2549−2559. FERRETTI, L., P. LEONE and V. SGARAMELLA. 1990. Long range restriction analysis of the bovine casein genes. Nuc. Acids Res. 18: 6829-6833. GONYON, D.S., R.E. MATHER, H.C. HINES, G.F.W. HAENLEIN, C.W. ARAVE and S.N.GAUNT. 1987. Associations of bovine blood milk polymorphism with lactation traits: Holstein. J. Dairy Sci. 70: 2585−2598. IKONEN, T., M. OJALA and O. RUOTTINEN. 1999. Association between milk protein polymorphism and first lactation milk production traits in Finnish Ayrshire cows. J. Dairy Sci. 82: 1026−1033. MALIK, S., S. KUMAR and R. RANI. 2000. κ-Casein and β-casein alleles in crossbred and Zebu cattle from India using polymerase chain reaction and sequence-specific oligonucleotide probes. J. of Dairy Res. 67: 295−300.
NG-KWAI-HANG, K.F., J.F. HAYES, J.E. MOXLEY and H.G. MONARDES. 1986. Relationships between milk protein polymorphisms and major milk constituents in Holstein-Friesian cows. J. Dairy Sci. 69: 22−26. NG-KWAI-HANG, K.F., J.F. HAYES, J.E. MOXLEY and H.G. MONARDES. 1987. Variation in milk protein concentration associated with genetic polymorphism and environmental factors. J. Dairy Sci. 70: 563−570. OJALA, M., T.R. FAMULA and J.F. MEDRANO. 1997. Effects of milk protein genotypes on the variation for milk production traits of Holstein and Jersey cows in California. J. Dairy Sci. 80: 1776−1785. RIJNKELS, M., P.M. KOOIMAN, H.A. DEBOER and F.R. PIEPER. 1997. Organization of the bovine casein gene locus. Mammalian Genome. 8: 148−152. SAMBROOK, J., E.F. FRITSCH and T. MANIATIS. 1989. Molecular Cloning Laboratory Manual. 3rd Ed. Cold Spring Harbour Lab. Press. New York. SCHMIDT, G.H., L.D. VAN VLEK and M.F. HUTJENS. 1988. Principle of Dairy Science. 2 nd Edition. Prentice Hall, New Jersey. USA. SWAISGOOD, H.E. 1992. Chemistry of Caseins. In: Advanced Dairy Chemistry-1 Proteins. P.F. FOX. (Ed.). pp: 63-110. Elsevier Applied Science London and New York. THREADGILL, D.W. and J.E. WOMACK. 1990. Genomic analysis of the major bovine milk protein genes. Nucleic Acids Research. 18: 6935−6942. VELMALA, R., J. VILKKI, K. ELO and A. MAKITANILA. 1995. Casein haplotypes and their association with milk production traits in the Finnish Ayrshire cattle. Anim. Genet. 26(6): 419−425. WALPOLE, R.E.
1993. Pengantar Statistik. Edisi ke-3. Terjemahan. Bambang Sumantri. Gramedia. Jakarta.
WARWICK, E.J. and J.E. LEGATES. 1979. Breeding and Improvement of Farm Animals. 7th Edition. McGraw-Hill Book Company. USA.
181
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
DISKUSI Pertanyaan: 1.
Apakah nilai heritabilitasnya ada perbedaan atau tidak ?
2.
Pejantan di BPTU Baturraden banyak berasal dari Australia, apakah yang digunakan pada penelitian ini pejantannya berasal dari USA ?
Jawab: 1.
Penelitian mengenai nilai estimasi pemuliaan sudah dilakukan oleh Tim dari Puslitnak.
2.
Data diambil dari tahun 1988-2000 sehingga sering bisa untuk produksi susu tetapi di Baturraden sudah ada klarifikasi produksi susu A, B dan C selain itu pada waktu penelitian kita kesulitan mendapatkan sampel sperma untuk pengujian DNA.
182