Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
IDENTIFIKASI GEN κ-KASEIN UNTUK SELEKSI PADA SAPI PERAH (Gen κ-Kasein Identification for Dairy Cattle Selection) HASANATUN HASINAH dan BESS TIESNAMURTI Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor
ABSTRACT Genetic variation has found in most of milk protein and had affected to milk production and compisition. Some of the genetic variation of milk casein (α-, β- and κ-casein) and β-laktoglobulin may influence the milk composition of the yield processing milk. κ-casein genetic polymorphism had been etected on the level of protein and DNA. In the cattle that has been detected consisted of alele A and B. This could be done by PCR technique using cutting restriction enzyme and splitted into a gel along with under the UV visualization. The relationship between gen κ-casein of alele A and alele B with milk production, milk fat and milk protein have been caused by the difference of breed, population and analysis method. Alele B has isoleusin and alanin at the position of 136 and 148 respectivelly of amino acid, as a change of treonin and aspertat on alele A. Alele B is responsible for milk production and the content of high milk protein, but not affected to the content of milk fat. The results show that gen κ-casein could be used as a tools for selection on milk production and milk composition. This can be used to conduct selection that more efficient and free of environmental effect. Based on this genetic identification, the potency of cattle production could be determine earlier. Keywords: κ-casein, selection, dairy cattle ABSTRAK Beberapa variasi genetik ditemukan pada sebagian besar protein susu dan berpengaruh pada produksi dan komposisi susu. Kasein merupakan salah satu protein yang paling banyak jumlahnya dalam susu. Beberapa variasi genetik pada kasein susu (α-, β- dan κ-kasein) dan β-laktoglobulin dapat mempengaruhi komposisi serta hasil pengolahan susu. Polimorfisme genetik κ-kasein telah dapat dideteksi pada level protein maupun DNA. Pada sapi yang telah diidentifikasi umumnya terdiri dari dua alel yaitu A dan B. Hal ini dilakukan dengan menggunakan teknik PCR menggunakan enzim restriksi yang dipotong, dan dilakukan pemisahan dalam gel serta divisualisasi dibawah sinar UV. Hubungan antara alel A dan alel B gen κ-kasein dengan produksi susu, lemak susu dan protein susu disebabkan oleh perbedaan bangsa, populasi dan metode analisis. Alel B memiliki isoleusin dan alanin berturut-turut pada posisi 136 dan 148 urutan asam amino, sebagai pengganti treonin dan aspertat pada alel A. Alel B bertanggungjawab untuk produksi susu dan kandungan protein susu yang tinggi, tetapi tidak berpengaruh pada kandungan lemak susu. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa penciri genetik gen κ-kasein pada sapi dapat dipergunakan sebagai alat bantu dalam menseleksi produksi susu dan komposisi susu. Penciri indikator sifat produksi dapat dimanfaatkan untuk melakukan seleksi dengan lebih efisien serta bebas dari pengaruh lingkungan. Dengan penciri genetik tersebut potensi produksi ternak dapat diketahui secara lebih dini. Kata kunci: κ-kasein, seleksi, sapi perah
PENDAHULUAN Susu dan produk susu telah dikenal sebagai bahan makanan yang bergizi tinggi dan sangat penting untuk kebutuhan manusia karena mengandung zat yang sangat diperlukan oleh tubuh seperti protein, karbohidrat, lemak,
130
vitamin dan mineral. Susu dapat dibuat menjadi produk olahan, seperti susu bubuk, keju dan lain-lain. Kebutuhan susu sapi semakin meningkat seiring dengan semakin tingginya kesadaran masyarakat akan pentingnya konsumsi susu. Untuk mensuplai
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
kebutuhan susu yang semakin meningkat diperlukan peningkatan produksi sapi perah. Produksi susu dalam negeri sampai saat ini belum mampu memenuhi kebutuhan permintaan masyarakat dikarenakan antara lain: rendahnya laju peningkatan populasi ternak perah dan produktivitas sapi perah yang belum memuaskan. Saat ini produksi susu dalam negeri hanya memenuhi 30% kebutuhan domestik. Produksi susu di indonesia sekitar 577,6 ribu ton (DITJEN PETERNAKAN, 2006) yang sebagian besar dihasilkan oleh sapi perah dan hanya sebagian kecil yang diproduksi ternak kerbau. Sapi perah yang ada di indonesia umumnya adalah sapi Friesian Holstein (FH) dan peranakannya (PFH). Di Indonesia, tingkat produksi susu sapi sangat bergantung pada mutu bibit, manajemen pemeliharaan dan ketersediaan modal. Rataan produksi masih sangat beragam, seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Tingkat produksi susu sapi di Indonesia Skala Peternak kecil Perusahaan
Rataan produksi kg/ekor/hari 5−8 8 − 24
Sumber: TALIB et al., 2001; ANGGRAENI et al., 2001
Peningkatan produktivitas ternak tergantung pada pengelolaan yang meliputi pemberian pakan, perawatan, lingkungan, serta faktor yang sangat penting yaitu kualitas bibit. Sapi yang berkualitas baik dapat diperoleh dengan cara seleksi terhadap sifat-sifat tertentu dari ternak tersebut. Salah satu cara untuk meningkatkan produksi susu adalah dengan memperbaiki mutu genetik. Peningkatan mutu genetik merupakan upaya dalam program pemuliaan untuk meningkatkan frekuensi gen yang menguntungkan terutama pada sifat-sifat kuantitatif sapi perah. Peningkatkan produktivitas dapat dilakukan dengan seleksi sifat-sifat yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Sejauh ini kriteria yang dipergunakan dalam seleksi produksi susu adalah jumlah susu yang diproduksi perlaktasi. Beberapa variasi genetik ditemukan pada sebagian besar protein susu dan menunjukkan pengaruh pada produksi susu dan komposisi susu serta secara tidak langsung akan mempengaruhi hasil pengolahan susu seperti keju. Polimorfisme yang ada pada protein susu
disebabkan oleh variasi genetik dan varian tersebut diwariskan berdasarkan hukum Pewarisan Mendel sederhana non dominan (OTAVIANO et al., 2005). Variasi tersebut pada umumnya dapat dideteksi melalui teknik elektroforesis berdasarkan perbedaan struktur atau muatan listrik molekul. Kasein Susu mengandung sejumlah protein yang jumlahnya berkisar antara 2,8-4,0% (ECKLES et al., 1957) dan menurut SOEPARNO et al. (2001) protein dalam susu terdiri atas kasein (80%), laktalbumin (18%) dan laktoglobulin (0,05 0,07%). Kasein merupakan komplek senyawa protein dengan garam Ca, P dan sejumlah kecil Mg dan sitrat sebagai agregat makromolekul yang disebut kalsium fosfo kaseinat atau misel kasein (ESKIN et al., 1990). Kasein dapat dipresipitasi oleh asam atau enzim rennin dan presipitasi kasein oleh rennin ini merupakan dasar untuk pembentukan curd dalam keju (BATH et al., 1985). Kasein merupakan salah satu protein dalam susu yang diketahui jumlahnya paling banyak dalam susu. Polimorfisme gen kasein susu telah dihubungkan dengan perbedaan komposisi susu, prosesing dan kualitas (MCLEAN, 1987) dan juga dengan karakteristik produksi (LIN et al., 1986). Kasein terdapat dalam susu sebagai suatu suspensi koloidal partikel-partikel kompleks yang disebut misel (SOEPARNO, 1992). Kasein terdiri dari tiga komponen yaitu α-kasein, βkasein dan δ-kasein. Alfa-kasein dan β-kasein terbentuk di dalam kelenjar susu atau ambing sedang δ-kasein mula-mula ditemukan di dalam aliran darah kemudian masuk ambing lalu bergabung dengan kompleks α-kasein dan dikenal sebagai κ-kasein (LAMPERT, 1975). κ-kasein adalah protein susu yang menyusun sekitar 12% - 15% dari total kasein pada susu sapi dan bertindak sebagai stabilisasi, yaitu mempertahankan seluruh kompleks kasein dalam suspensi koloidal yang memberikan warna putih susu (SOEPARNO, 1992). Jumlah dan tipe κ-kasein persentasenya berbeda-beda tergantung pada individu sapi itu sendiri (NG-KWAI-HANG et al., 1991). Gen kasein sapi meliputi sebuah fragmen sepanjang 200 kb di kromosom 6, yang dirangkai secara
131
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
tandem dengan urutan: α-s1, β, α-s2, dan κ (LIEN dan ROGNE, 1993). Khusus gen κ-kasein meliputi sebuah fragmen sepanjang 13 kb yang dibagi ke dalam 5 ekson (ALEXANDER et al., 1988). Polimorfisme genetik kappa kasein Polimorfisme genetik κ-kasein telah dapat dideteksi pada level protein maupun DNA. Genom DNA dapat diisolasi dari sampel darah, jaringan, akar rambut dan dari semen. Guna mengetahui ragam gen kasein level DNA, dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknikteknik RFLP maupun mikrosatelit. Sampel DNA yang dihasilkan kemudian diamplifikasi dengan metode Polymerase Chain Reaction dan didigesti dengan enzim restriksi, selanjutnya dielektroforesis sehingga didapat pita-pita DNA alel κ-kasein yang dapat divisualisasi diatas sinar UV (ASTUTI, 2002). Pada sapi yang telah diidentifikasi umumnya terdiri dari dua alel yaitu A dan B dengan menggunakan enzim restriksi Hind III dan Taq I (LEVEZIEL et al., 1988 yang disitasi oleh CRONIN dan COCKETT, 1993). Perbedaan kedua alel tersebut adalah alel B mempunyai kandungan isoleusin dan alanin berturut-turut pada posisi 136 dan 148 urutan asam amino sebagai pengganti treonin dan aspartat pada alel A (MIRANDA et al., 1993). Hubungan antara alel A dan alel B κ-kasein dengan produksi susu, lemak susu dan protein susu telah banyak dilaporkan dengan sedikit perbedaan disebabkan oleh perbedaan bangsa, populasi dan metode analisis. Alel B dilaporkan sangat menguntungkan untuk produksi susu tetapi mungkin bersifat resesif karena tidak ada perbedaan antara genotipe AA dan AB. Alel B juga bertanggung jawab untuk protein susu dan persen protein susu yang tinggi, tetapi tidak berpengaruh pada persen lemak susu. SABOUR et al. (1993) menyatakan beberapa variasi genetik pada kasein susu tersebut mempengaruhi komposisi susu serta hasil pengolahan susu seperti keju. Genotipe AB dilaporkan menunjukkan produksi susu yang lebih tinggi dibanding genotipe AA dan BB, tetapi pada laporan lain disebutkan bahwa genotipe BB lebih tinggi dibandingkan kedua genotipe lain (MAO et al., 1992). Hasil-hasil
132
penelitian tersebut menunjukkan bahwa penciri genetik gen κ-kasein pada sapi dapat dipergunakan sebagai alat bantu dalam menseleksi produksi susu dan komposisi susu. Alel A dan B terdapat pada Bos taurus dan Bos indicus, frekuensinya hampir sama pada semua bangsa kecuali untuk FH (produksi susu) dan Jersey (produksi lemak) mempunyai frekuensi B masing-masing 0,32 dan 0,77 (BARROSO et al., 1997). Alel A banyak terdapat pada sapi Friesian, Ayrshire, Red Danish dan Zebu India, sedangkan alel B banyak ditemukan pada sapi Jersey, Normande, dan Zebu Afrika. Sapi potong umumnya mempunyai alel B. MITRA et al. (1998) dengan teknik PCR-RFLP (Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism) telah menemukan alel A dan B pada sapi Sahiwal dengan menggunakan enzim restriksi Hind III, Hinf I dan Taq I dengan frekuensi alel B sebesar 0,16. Pada sapi Sahiwal ditemukan genotipe AA dan genotipe AB sedangkan genotipe BB pada sapi ini tidak terdeteksi. SELEKSI DENGAN PENCIRI GENETIK Penelitian dalam usaha menentukan hubungan antara perbedaan biologis atau polimorfisme dengan sifat produksi dari ternak telah banyak dilakukan. Apabila hubungan itu dapat ditemukan dan cukup erat serta hubungan itu merupakan sifat khas dari seluruh populasi, maka dapat digunakan untuk seleksi sebagai indikator produktivitas (WARWICK et al., 1990). Polimorfisme gen mayor banyak dipelajari dan dimanfaatkan dalam kaitannya dengan sifat-sifat produksi pada ternak. Pada sapi perah dikenal gen mayor protein susu yang dikenal dengan sebutan MiPPo (Milk Protein Polymorphisms) antara lain gen mayor κkasein, β-laktoglobulin, β-kasein dan αlaktalbumin (MAO et al., 1992). Penciri indikator sifat produksi tersebut dapat dimanfaatkan untuk melakukan seleksi dengan lebih efisien. Seleksi dapat dilakukan pada saat ternak masih belum menunjukkan kemampuan produksinya, dengan penciri genetik potensi produksi ternak dapat diketahui secara lebih dini.
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
Teknik genetika molekuler dapat memberikan hasil yang lebih menguntungkan untuk program pemuliaan karena dapat menentukan potensi seekor ternak, sebelum fenotipenya diketahui. Menurut HALEY (1995), penciri DNA menunjukan ada dua kemungkinkan aplikasi program seleksi untuk ternak yaitu kombinasi dua alel atau lebih bangsa dan seleksi alel dalam satu bangsa. Hal ini memberikan peluang untuk mempergunakan genotipe κ-kasein sebagai alat bantu dalam pelaksanaan seleksi pada sapi perah. Seleksi terhadap alel B mulai dilakukan terhadap pejantan IB sapi perah di Kanada. Seleksi pejantan IB diarahkan ke pejantan dengan genotipe BB, karena sifat-sifat baik seperti heat stability dan curd yang padat serta kandungan protein yang tinggi terutama kasein susu yang dibutuhkan oleh industri keju (SABOUR et al., 1993). Seleksi dengan memanfaatkan penciri genetik yang berhubungan dengan sifat produksi dan komposisi susu akan mempermudah dalam melakukan seleksi pada sapi perah. Dengan kemajuan bioteknologi dan tersedianya fasilitas teknologi DNA maka identifikasi genotipe kappa kasein dalam populasi dapat dilakukan, dan seleksi berdasar genotipe kappa kasein merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan. Seleksi dapat diterapkan pada jantan dan betina, dan identifikasi genotipe kappa kasein pada pedet yang muda memungkinkan, serta bebas dari pengaruh efek lingkungan. HASINAH (2003) dengan teknik PCR-RFLP melaporkan telah mengidentifikasi 3 genotipe κ-kasein pada sapi perah di BPTU Baturaden yaitu AA, AB dan BB, hasil digesti fragmen DNA κ-kasein ukuran 780 bp dengan enzim Hind III dan Pst I dengan frekuensi alel A dan alel B berturut-turut sebesar 0,67 dan 0,33.
Penciri genetik gen κ-kasein pada sapi dapat dipergunakan sebagai alat bantu dalam menseleksi produksi susu dan komposisi susu. Pada sapi (sapi perah dan sapi potong) dengan teknik PCR-RFLP telah ditemukan dua macam alel yaitu alel A dan B (sapi dengan genotipe AA, AB dan BB). Hubungan antara alel A dan alel B gen κ-kasein dengan produksi susu dan komposisi susu dengan sedikit perbedaan disebabkan oleh perbedaan bangsa, populasi dan metode analisis. Seleksi berdasar genotipe kappa kasein merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan. Seleksi dapat diterapkan pada jantan dan betina, dengan teknik genetika molekuler dapat menentukan potensi seekor ternak, sebelum fenotipe diketahui. Seleksi dengan penciri genetik, dapat mengetahui potensi produksi ternak secara lebih dini.
KESIMPULAN
BATH, D. L., F. N. DICKINSON, H. A. TUCKER and R. D. APPLEMEN. 1985. Dairy Cattle: Principles, Practices, Problems, Profits. Lea and Febiger. Philadelphia.
Untuk mensuplai kebutuhan susu yang semakin meningkat diperlukan peningkatan produksi sapi perah. Salah satu cara untuk meningkatkan produksi susu adalah dengan memperbaiki mutu genetik melalui seleksi pada sapi perah
DAFTAR PUSTAKA ALEXANDER, L. J., A. J. STEWART, A. G. MACHINLAY, T. V. KAPELINSKAYA, T. M. TKACH and I. GORODETSKY. 1998. Isolation and characterization of the bovine kappacasein gene. Europe Journal Biochemical 178: 395–401. ANGGRAENI, A. K. DIWYANTO. L. PRAHARANI, A. SALEH dan C. THALIB. 2001. Evaluasi mutu genetik sapi perah induk Fries Holland di daerah sentra produksi susu. Prosiding Hasil Penelitian Bagian Proyek “Rekayasa Teknologi Pertanian/ARMP–II” Puslitbang. Peternakan, Bogor. ASTUTI, M. 2002. Alternatif kriteria seleksi pada sapi perah. Kuliah Perdana Program Magister Ilmu Peternakan Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. BARROSO, A., S. DUNNER and J. CANON. 1997. Use of single-strand conformation polymorphisme analysis to perform simple genotyping of bovine κ-casein A, and B variants. J. Dairy Res. 64: 535–540.
Cronin, M. A. and N. Cockett. 1993. Kappa-casein polymorphisms among cattle breeds and Bison herds. Animal Genetics 24 : 135–138.
133
Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN. 2006. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan. Jakarta. ECKLES, C. H., W. B. COMBS and H. MACY. 1957. Milk and milk products. Tata McGraw-Hill Publ. Co., Ltd. Bombay New Delhi. ESKIN, N. A. M., H. M. HANDERSON and R. J. TOWNSEND. 1990. Biochemistry of foods. Academic Press, Inc. New York. HALEY, C.S. 1995. Livestock QTLs–bringing home the bacon ? Trends Genetics 11 : 488–492. HASINAH, H. 2003. Efek genotype kappa kasein dan paritas terhadap kadar lemak dan protein susu sapi FH di BPTU Baturraden. Thesis. UGM. Yogyakarta. LAMPERT, L. M. 1975. Modern dairy product. 3rd ed. Chemical Publishing Company, Inc. New York. LIEN, S. and S. ROGNE. Bovine casein haplotypes number, frequencies and applicability as genetic markers. Animal Genetics 24: 373– 376. MAO, I. L., L. G. BUTTAZZONI and R. ALEANDRI. 1992. Effect polymorphic milk protein genes on milk yield and composition traits in Holstein Cattle. Sect. A, Animal Sci. 42: 1–7. MCLEAN, D. M. 1987. Influence of milk protein variants on milk composition, yield, and cheese making properties. Animal Genetics 18: 100–102. MIRANDA, P, P. ANGLADE, M. F. MAHE’ and G. ERHARDT. 1993. Biochemical characterization of the bovine genetic κ-casein C dan E variants. Animal Genetics 24: 27–31. MITRA, A., P. SCHLEE, I. KRAUSE, J. BLUSCH, T. WEMER, C. R. BALAKRISHNAN and F. PIRCHNER. 1998. Kappa-casein polymerphisms in Indian Dairy cattle and buffalo: A new genetic variant in buffalo. Animal Biotechnology 9 (2) : 81–87.
134
NG-KWAI HANG, K. F., D. ZADWORNY, J. F. HAYES and U. KUHNLEIN. 1991. Identification of κcasein genotype in Holstein sires: Comparison between analysis of milk sample from daughters and direct analysis of semen samples from sires by polymerase chain reaction. J. Dairy Sci. 74: 2410–2415. OTAVIANO, A. R., H. TONHATI, J. A. D. SENA and M. F. C. MUÑOZ. 2005. Kappa-casein gene study with molecular markers in female buffaloes (Bubalus bubalis). Genetics and Molecular Biology 28 (2): 232–241. SABOUR, M. P., C. Y. LIN, A. KEOUGH, S. M. MECHANDA and A. J. LEE. 1993. Effects of selection practiced on the frequencies of κcasein and β-lactoglobulin genotypes in canadian artivicial insemination bulls. J. Dairy Sci. 76: 274–280. SOEPARNO. 1992. Susu dan komposisi susu. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. SOEPARNO, RIHASTUTI, INDRATININGSIH dan S. TRIATMOJO. 2001. Dasar teknologi hasil ternak. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. TALIB, C., A. ANGGRAENI, K. DIWIYANTO dan E. KURNIATIN. 2001. Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas sapi perah FH di bawah manajemen perusahaan komersial. Gakuryoku., Jurnal Ilmiah Pertanian. Vol : VII (1): 81–87. Persatuan Alumni dari Jepang, Bogor. WARWICK, E. J., J. M. ASTUTI dan W. HARDJOSUBROTO. 1990. Pemuliaan Ternak. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.