BAB III EVALUASI GENETIK PADA SAPI PERAH Chalid Talih l , Asep Anang2, dan Heni Indrijani 2 ' Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor 2 Fakultas Petemakan Universitas Padjadjaran, Bandung
I.
PENDARULUAN
Perbaikan genetik sapi perah dapat dilakukan pada ternak jantan maupun betina. Ternak jantan berpeluang mempunyai keturunan yang lebih banyak dibandingkan ternak betina sehingga mendapatkan perhatian yang lebih besar . Karena ternak jantan tidak menghasilkan susu maka evaluasi potensi genetik dapat diperoleh melalui informasi produktivitas dan nilai genetik dari kerabatnya, baik hubungan kekerabatan ke bawah, ke atas, maupun ke samping . Ke bawah dapat melalui pedet betina dan seterusnya, ke atas melalui induk, pejantan dan seterusnya, sedangkan ke samping melalui saudara sepupu dan seterusnya . Pada prinsipnya, potensi genetik ternak dapat dinilai melalui nilai genetik atau nilai pemuliaan yang dimiliki oleh semua kerabatnya yang lain, utamanya adalah dengan keluarga terdekat . Pada ternak betina selain dapat diperoleh secara langsung melalui produksi susunya sendiri, nilai genetiknya dapat diperhitungkan juga melalui semua kerabat yang memiliki hubungan kekerabatan dengan ternak tersebut . Kegiatan penilaian genetik pada sapi perah dapat dilaksanakan melalui beberapa tahapan meliputi : identifikasi ternak dan rekording (pencatatan silsilah, produksi, reproduks], cacat dan sebagainya yang dimiliki oleh ternak tersebut), 71
Profit Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
tabulasi rekording, analisis genetik, ranking semua ternak berdasarkan nilai genetiknya dan seleksi berdasarkan nilai genetik dan uji performan serta uji zuriat . Hasil seleksi memilih ternak-ternak terbaik untuk menghasilkan keturunannya dan mengeluarkan ternak afkir, menerbitkan label keunggulan untuk minimal 10 ranking terbaik pada ternak jantan dan seluruh temak betina pada breeding herd (kelompok ternak bibit), mengatur perkawinan untuk menghasilkan peningkatan mutu genetik pada generasi berikutnya, dan mengulangi proses tersebut pada generasi ternak selanjutnya dengan meminimalkan derajat inbreeding . Di Indonesia identifikasi sapi perah secara intensif baru dimulai dalam 5 tahun terakhir yang dikoordinir secara nasional dan rekording dilaksanakan sejalan dengan pelaksanaan identifikasi . Sebagian besar data rekording belum ditujukan untuk penggunaan perbaikan genetik, tetapi baru pada pemanfataan untuk perbaikan manajemen . Walaupun demikian, secara bertahap rekording akan diarahkan untuk pemanfaatan dalam perbaikan genetik. Perbaikan genetik yang dilaksanakan di Indonesia selama ini adalah memanfaatkan proven bulls yang diseleksi di luar negeri dengan mengimpor semen dan pejantan yang diinseminasikan kepada sapi perah di Indonesia . Hasilnya adalah kurangnya kemampuan adaptasi dari keturunannya dimana basil ranking pejantan pada tahun yang berbeda menunjukkan pejantan unggul yang berbeda bahkan pejantan pada tahun sebelumnya pun bisa mengungguli pejantan yang datang belakangan (Talib, 2001a). Seharusnya, pejantan yang datang belakangan lebih baik dari pejantan sebelumnya karena program breeding di negara asal pejantan sangat balk . Oleh karena itu, Indonesia perlu melakukan uji zuriat untuk menghasilkan sapi-sapi perah unggul di Indonesia (Pallawarukka dan Talib, 2007) . Dengan majunya pengetahuan DNA maka penggabungan antara analisis kuantitatif genetik dan DNA merupakan cara terbaik dalam menilai keunggulan individu ternak. Sayangnya
72
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
pengetahuan tentang DNA masih terbatas sehingga baru dapat mendeteksi sifat yang dipengaruhi oleh single gen. Perbaikan genetik pada produksi susu sapi perah akan meningkatkan potensi dan kemampuan produksi susu secara bertahap yang bersifat permanen . Perbaikan genetik dengan manajemen spesifik pada lingkungan tertentu, hanya akan meningkatkan produktivitas sesuai kapasitas lingkungan tersebut (Talib, 2002) . Hal inilah yang dituju oleh pernulia karena tidak ada ternak yang unggul dalam semua ekosistem . II .
SEJARAH UJ1 GENETIK
Adanya sifat genetik yang diturunkan dari tetua kepada anaknya, mulai dikuantitatifkan oleh Mendell dengan melaksanakan penelitian yang intensif melalui prosedur penelitian yang benar, menggunakan 29 ribu tanaman Pisum sativum dari tahun 1856-1863 dan mempublikasikan hasilnya pada tahun 1866 . Hasilnya adalah dua hukum pada genetik, yaitu hukum pertama "Law of segregation" dan hukum kedua adalah hukum pewarisan atau "Inheritance law" . Kedua hukum ini semakin diakui kebenarannya dengan semakin majunya ilmu genetika sehingga digelari Bapak Genetika . Mendell memperkenalkan istilah homozygous untuk individu yang mengandung gen yang sama dominan atau resesif dan heterozygous untuk individu yang mengandung gen dominan dan resesif. Penelitian ini dilanjutkan oleh Hardy-Weinberg, menghasilkan Hardy Weinberg-Principle . Hukum equilibrium Hardy-Weinberg dijadikan dasar dalam menghitung perubahanperubahan genetik dan frekuensi gen dengan memanfaatkan Hukum Mendell . Justru frekuensi gen inilah poin utama yang dituju perubahannya dalam genetika kuantitatif (animal breeding) atau pemuliaan, karena seleksi pada ternak ditujukan untuk mengubah frekuensi gen dalam populasi . Sejak saat itu langkah Hardy-Weinberg dilanjutkan oleh peneliti-peneliti lain .
73
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
Penggunaan biometrik sebagai tools dalam pemuliaan telah dimulai sejak awal abad ke-19 yang dipelopori Wright (1917) yang mendasarkan pengembangan dalam pemuliaan ternak dari korelasi dan regresi linier dalam setiap subgroup dalam populasi . Usaha ini dilanjutkan oleh Henderson (1953) yang mengembangkan korelasi dan regresi multiple linier di dalam subgroup ke dalam pembagian yang lebih detail pada estimasi komponen varians dan covarians dari setiap faktor yang berpengaruh pada nilai genetik dan mampu mengeluarkan pengaruh variabel lingkungan permanen dan variabel random sehingga nilai genetik yang diperoleh lebih akurat . Teknik ini dikenal dengan nama best linear unbiased prediction (BLUP) . Falconer dan Mackay (1996) telah mereview hasil-hasil penelitian tentang kemajuan-kemajuan dalam pengembangan biometriks untuk pemuliaan . Kinghorn (1992) melalui prinsipprinsip modern dalam mengestimasi breeding value dan Swalve (1995a) mengembangkan test day model dalam mengestimasi parameter dan nilai genetik produksi susu . Ilmuwan-ilmuwan ini telah member] pengaruh signifikan dalam ilmu pemuliaan . Sekarang berbagai model biometrik telah dikembangkan dalam berbagai softwares untuk menghitung parameter genetik pada satu sifat atau lebih untuk kepentingan seleksi . Dalam dekade terakhir berkembang marker assisted selection (MAS), yaitu teknik perbaikan genetik dengan mengombinasikan kuantitatif genetik (KG) dan biologi molekular (BM) . KG menghitung perubahan frekuansi gen dalam populasi akibat seleksi, sedangkan BM mempelajari perubahan gen/allele pada individu ternak akibat seleksi KG. MAS memanfaatkan analisis DNA ternak unggul hasil seleksi dikombinasikan dengan rekording individu ternak unggul tersebut dan diterapkan untuk mengenal individu ternak unggul secara dini melalui analisis DNA . Kelemahan MAS belum dapat secara langsung mengidentifikasi ternak unggul yang keunggulannya diperoleh melalui resultante pengaruh dari banyak gen (kuantitatif) . Untuk menutupi kelemahannya, MAS berusaha mengidentifikasi allele/genom atau potongan-potongan 74
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
gen berupa beberapa loci yang dikenal sebagai marker gene yang berhubungan secara langsung dengan keunggulan yang dimiliki oleh ternak unggul tersebut . Kelebihan MAS ini dikembangkan dengan teknik quantitative trait loci (QTL). Kalau uji MAS sukses maka individu unggul akan dapat diidentifikasi sejak embrio . QTL adalah kumpulan loci (kumpulan beberapa locus) yang diperkirakan akan dapat mengontrol sifat keunggulan individu yang bernilai kuantitatif dan dapat diturunkan kepada keturunannya . QTL dikembangkan dengan memanfaatkan MAS untuk mengidentifikasi jumlah minimum loci yang dapat dikategorikan sebagai loci yang bersifat QTL. MAS tidak akan mampu mengidentifikasi semua loci yang bersifat QTL, karena dibutuhkan banyak sekali loci yang berhubungan dengan pengontrolan sifat keunggulan seekor ternak . Melalui MAS dapat dibuat peta kawasan kelompok loci yang diperkirakan berpengaruh pada sifat kuantitatif tersebut : Jika terbukti kawasan loci tersebut berpengaruh langsung pada sifat kuantitatif yang dituju, maka dapat dikembangkan model regresi untuk menentukan seberapa besar pengaruhnya kawasan loci secara total maupun secara parsial dari masing-masing loci pada sifat tersebut . Produksi susu pada sapi perah bernilai kuantitatif yang dipengaruhi oleh banyak gen pada banyak loci yang lebih banyak belum diketahui . Dalam penerapan animal breeding pada peternakan sapi perah, perhatian difokuskan pada seleksi sapi jantan dan sapi betina . Sejak ditemukannya teknik inseminasi buatan (IB), perhatian lebih besar diberikan pada pejantan dibandingkan pada induk . Sejak ini, dikenal berbagai teknik untuk evaluasi pejantan pada sapi perah seperti performan testing, uji zuriat, sire model dan terakhir animal model . Bioteknologi reproduksi pada sapi betina terus berkembang dan ditemukan teknik multiple ovulation and embryo transfer (MOET), yang dalam skala terbatas dapat memanfaatkan ovum dari juvenile . Teknik tersebut membuat sapi betina menghasilkan lebih dari satu sel telur pada satu kali birahi dan 75
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
dapat dibuahi . Embrio yang dihasilkan dipanen untuk ditransfer pada sapi betina penerima, baik dalam keadaan segar maupun dalam bentuk embrio beku . Teknik ini pada prinsipnya adalah memaksimalkan penggunaan seekor induk untuk menghasilkan keturunan yang lebih banyak. Dalam penerapannya pada animal breeding, kemajuan dalam bioteknologi reproduksi pada ternak jantan dan betina, dimanfaatkan untuk percepatan peningkatan frekuensi gen yang diinginkan, perbanyakan jumlah ternak unggul dan pemendekan selang generasi . Secara ringkas dikatakan bahwa biometrik adalah tools yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi keunggulan setiap individu terhadap individu lain dalam populasinya pada sifat tertentu yang diseleksi, dan marker gen dapat mengidentifikasi gen-gen yang mengontrol keunggulan individu pada ternak hasil seleksi pada usia dini . Bioteknologi reproduksi adalah tools untuk mempercepat perbanyakan hewan-hewan unggul terseleksi tersebut . Untuk Indonesia, karena petaksanaan perbaikan genetik baru dimulai beberapa tahun lalu maka langkah yang ditempuh adalah : (1) perbaikan genetik dilakukan pada sapi Holstein secara bertahap, yaitu mengidentifikasi ternak-ternak tersebut, melaksanakan rekording pada ternak teridentifikasi, dan menerapkan seleksi berdasarkan nilai genetik . Rekording masih sulit diterapkan secara luas maka digunakan uji zuriat nasional pada kelompok ternak terbatas untuk menghasilkan pejantan unggul, (2) perbanyakan jumlah populasi melalui impor sapi Holstein, (3) perbanyakan populasi sapi perah melalui upgrading sapi Peranakan Ongole ke arah sapi Holstein . III . PRINSIP-PRINSIP UTAMA DALAM PEMULIAAN TERNAK DAN PENERAPAN BIOMETRIK Ada tiga prinsip utama dalam pemuliaan ternak, yaitu : (a) menentukan tujuan utama dari program breeding (breeding objectives), (b) evaluasi genetik, dan (c) pola penerapan program breeding yang tepat agar tujuan dapat tercapai dengan 76
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
cepat melalui penggunaan cara evaluasi yang paling akurat. Prinsip dalam pelaksanaan perbaikan genetik ada dua, yaitu : (a) penerapan seleksi pada ternak murni untuk memaksimalkan pewarisan pada sifat-sifat yang dapat diturunkan secara terukur melalui gen-gen aditif, dan (b) kawin silang (crossbreeding), yaitu memaksimalkan pemanfaatan gen-gen non aditif yang berdampak pada optimalnya heterosigositas sifat pewarisan yang tidak linier. 111.1 Tujuan Breeding Pada sapi perah tujuan breeding di Indonesia yang utama adalah melakukan perbaikan genetik untuk meningkatkan produksi susu . Rataan produksi susu sapi perah per ekor adalah 3000 kg/ekor/laktasi (Ditjen Peternakan, 2008) . Pada heberapa perusahaan, yang dimaksud dengan usaha meningkatkan produksi susu meliputi produksi susu, protein susu, dan lemak susu secara simultan . Dalam memilih cara evaluasi genetik dapat dipilih yang paling cocok dan dapat diterapkan di Indonesia. Misalnya, jika dipilih sire model maka tujuannya adalah memilih pejantan yang mempunyai nilai genetik yang paling menguntungkan dengan harapan bahwa pedet-pedet betina yang dihasilkan adalah yang akan memberikan keuntungan terbesar melalui produksi susu yang dihasilkan . Keuntungan terbesar yang diperoleh adalah dari jumlah produks susu yang dihasilkan, sedangkan peran lemak susu dan total plate count (TPC) dalam harga kurang signifikan . Di Australia, yang menerapkan peningkatan produksi, protein dan lemak susu secara simultan, keuntungan yang diperoleh peternak dari susu mengikuti jumlah modal yang dikeluarkan petani untuk memproduksi susu, yaitu : Keuntungan = 4 x protein + 2 x lemak - 0,025 volume susu (Goddart, 1992) . Jika keuntungan dari faktor-faktor lain sudah konstan, maka seleksi untuk peningkatan kandungan protein dan lemak susu berdampak langsung pada keuntungan yang diperoleh peternak . 77
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
Nilai negatif pada produksi susu tidak berarti bahwa yang diinginkan dari seleksi adalah menurunkan produksi susu menjadi lebih rendah . Tetapi jika kandungan protein dan lemak juga sudah konstan maka penurunan volume susu secara terbatas adalah suatu keuntungan . Jika ketiga hal ini sudah konstan dan tidak ada peningkatan, maka sudah tidak ada keuntungan yang diperoleh dari seleksi pada produksi susu . Tujuan dari fungsi keuntungan tersebut menunjukkan bahwa target pencapaian dalam penerapan pemuliaan pada sapi perah harus jelas, yaitu sifat yang ingin ditingkatkan melalui perbaikan genetik harus dapat berdampak langsung pada nilai keuntungan secara finansial bagi peternak . Fungsi keuntungan ini tidak selamanya akan berlaku seperti rumusan di atas karena ada beberapa sifat dengan variasi genetik yang berbeda, yaitu kecepatan pemerahan dan panjangnya umur produktif ternak yang dipelihara . Sifat lain yang berpengaruh pada keuntungan tetapi lebih disebabkan oleh pengaruh lingkungan, yaitu konsumsi pakan . Biasanya konsumsi pakan diperhitungkan keuntungannya dengan menggunakan besaran bobot badan dan produksi susu berdasarkan standar pakan (Goddart, 1992) . Peningkatan dalam konsumsi pakan per ekor akan berpengaruh pada jumlah/kapasitas tampung sapi yang dipelihara . Seleksi peningkatan produksi susu berkorelasi positif dengan peningkatan bobot badan sampai tahapan tertentu, yang berarti berkorelasi positif dengan peningkatan jumlah konsumsi pakan . Secara garis besar konsumsi pakan serat (hijauan) dalam keadaan segar sebesar 10% dari bobot badan seekor sapi, dan konsumsi dalam bahan kering berkisar antara 2,5-3,5% dari bobot badan sapi, tergantung fase pertumbuhan dan potensi produksi . Sekali tujuan breeding telah ditetapkan maka harus konsisten dalam menjalankannya karena membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menghasilkan . Selanjutnya adalah memilih kriteria seleksi terbaik yang dapat memberikan hasil secara balk, akurat dan tercepat serta paling ekonomis untuk 78
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
perbaikan genetik yang dituju . Hal yang terpenting dalam hal ini adalah memilih teknik evaluasi genetik terbaik dan sesuai dengan situasi dan kondisi lokasi tempat ternak-ternak tersebut dipelihara, yang akan digunakan untuk mendapatkan nilai genetik ternak-ternak tersebut . 111.2 Evaluasi Genetik Terdapat beberapa tahapan yang perlu dilakukan agar evaluasi genetik dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien . Hal ini diharapkan dapat memberikan hasil yang mempunyai nilai akurasi tinggi dan penerapannya memberikan keuntungan tertinggi bagi peternak. 111.3 Identifikasi pada sapi perah Identifikasi individual pada sapi perah merupakan hal utama yang harus diterapkan dalam mengaplikasikan pemuliaan . Di Indonesia penerapan identitas secara individual telah dilaksanakan secara sendiri-sendiri, baik oleh koperasi, perusahaan maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) . Namun, penerapan identitas ini baru bersifat lokal dan belum bersifat nasional . Sejak Tahun 2004, dibangun kerja sama antara Ditjen Peternakan, Pemda terkait, Puslitbang Peternakan, Perguruan Tinggi (IPB), Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI), perusahaan peternakan sapi perah komersial dan LSM Naksatra dan A1-Zaytun, untuk melaksanakan Program Uji Zuriat Nasional . Identifikasi sapi meliputi : nomor urut (urutan lahir pada hari itu, tanggal lahir, bulan lahir, tahun lahir), seks, bangsa sapi, organisasi (koperasi, perusahaan, LSM), kecamatan, kabupaten, provinsi, IB/TE . Informasi selengkapnya tentang hal-hal yang dikerjakan dalam Uji Zuriat seperti rekording, software yang digunakan, metode analisis dan lainlain, telah diterbitkan dalam buku Petunjuk Operasional Pelaksanaan Uji Zuriat Sapi Perah Nasional (Direktorat Perbibitan, 2007) .
79
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
Prinsip identifikasi adalah memberikan identitas pada seekor sapi dan tidak pernah diberikan pada sapi lainnya serta sedapatnya memberikan informasi tambahan tentang sapi tersebut agar mudah dikenali . 111 .4 Rekording pada sapi perah Catatan reproduksi dapat digunakan untuk perencanaan perkawinan dan produksi, menilai kesuburan tern..k dan mothering ability selama mengandung dan melahirkan serta membangun silsilah untuk pedet yang akan dilahirkan . Catatan produksi susu dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan produksi ternak tersebut untuk tujuan pemulihan dan perbaikan manajemen . Hal ini juga dapat diterapkan untuk mengetahui kondisi kesehatan dan kecukupan pakan yang diberikan dengan kemampuan produksi ternak tersebut melalui kurva produksi per individu ternak . Idealnya pencatatan produksi •dilakukan setiap hari, terutama untuk Pusat Pembibitan Sapi Perah . Pencatatan yang lengkap merupakan suatu persyaratan mutlak demi ketepatan seleksi ternak dan pembanding dengan metodemetode estimasi yang diterapkan pada tempat lain serta untuk pengembangan ilmu pemuliaan ke depan . Ada beberapa sistem pencatatan produksi susu yang dapat digunakan, yaitu : a. Official-dairy herd improvement Pencatatan dilakukan satu kali dalam sebulan, yang dilakukan oleh seorang supervisor dari asosiasi sapi perah . Kunjungan ke peternak dilakukan secara bergiliran untuk mencatat produksi susu harian pagi dan sore serta mengambil sampel susu untuk dianalisis kadar lemak dan protein . Sistem ini digunakan dalam uji zuriat nasional dengan rekorder yang ditunjuk Dinas Peternakan untuk mengidentifikasi dan mencatat produksi susu (milk only record), serta mempersiapkan untuk dapat dimasukkan ke dalam dairy herd improvement registry (DHIR) kelak .
so
Profit Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
b. Dairy herd improvement registry (DHIR) Pencatatan seperti pada oj~cial-dairy herd improvement, hanya saja hal ini dilakukan oleh asosiasi peternakan bangsa sapi murni tertentu . c. Owner sample (OS) Pencatatan dilakukan sebulan sekali, tetapi pencatatan dan pengambilan contoh air susu dilakukan sendiri oleh para peternak . d AM-PM recording Pencatatan dilakukan satu kali dalam satu bulan . Jika pencatatan pada bulan sebelumnya dilakukan pencatatan produksi susu pagi hari (AM), maka pencatatan pada bulan berikutnya dilakukan terhadap produksi susu sore hari (PM) . Pencatatan produksi susu dan pengambilan contoh air susu dapat dilakukan oleh peternak sendiri atau supervisor . e. Weigh a day a month (WADAM) Pencatatan produksi susu dilakukan sekali sebulan oleh peternak sendiri tanpa mengambil contoh air susu . Jika dilakukan pada tanggal yang sama setiap bulan disebut juga center date method (CDM) . f. Milk only record (MOR) Supervisor mencatat produksi susu pada setiap sapi satu bulan sekali selama 24 jam tanpa mengambil contoh air susunya . Rekording yang dilakukan di tingkat koperasi saat ini adalah rekording tentang manajemen yang ditujukan untuk memudahkan dan meningkatkan efisiensi pelayanan koperasi kepada para anggota . Pencatatan ini meliputi identifikasi ternak dan peternak, aktivitas reproduksi, penyakit dan jumlah produksi susu per kandang dan bukan per individu serta kualitas susu per mobil susu . Untuk kepentingan seleksi, pencatatan produksi susu harus dilaksanakan secara individual . Pencatatan pada beberapa perusahaan masih bervariasi, ada yang mencatat setiap hari dan ada juga yang mencatat secara periodik . Pencatatan dilaksanakan sendiri oleh peternak secara perorangan ataupun 81
Proftl Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
oleh perusahaan sehingga termasuk dalam owner sample . Penerapan official record barn akan mulai diterapkan dengan membentuk official recorders yang dibiayai secara bersama oleh Ditjenak, GKSI dan Pemda (dinas terkait) . Pencatatan oleh para official recorder ini yang diterapkan dalam Uji Zuriat Nasional. Rekording secara nasional akan dimulai pada doughter cow (DC, pedet betina dalam uji zuriat) dan saudara kontemporarinya serta induk yang melahirkan . Sampai akhir Maret tahun 2009 semua DC selesai dikawinkan . Ditargetkan jumlah DC per calon pejantan unggul (CPU) minimal berjumlah 30 ekor yang selesai laktasi pertama . Ada 8 ekor CPU yang diuji dan hanya akan ada 4 ekor yang lulus ujian . 111 .5 Seleksi pada sapi perah Seleksi adalah memilih ternak atau sekelompok ternak yang unggul secara genetik untuk menjadi tetua bagi generasi berikutnya dan mengeluarkan ternak yang kurang baik . Semakin besar keragaman suatu populasi, semakin efektif seleksi dilakukan . Rekording dilakukan untuk memenuhi prasyarat agar seleksi dapat dilakukan ke arah target seleksi yang ingin dicapai . Pada sapi perah, target utama yang ingin dicapai melalui seleksi adalah peningkatan produksi susu, dan dari segi manajemen adalah perbaikan efisiensi produksi secara menyeluruh serta perbaikan kesehatan ternak per satuan waktu tertentu . Pada beberapa negara, target produksi susu yang dimaksud adalah peningkatan produksi susu, kadar lemak susu, dan protein susu . Masalah yang dihadapi adalah peningkatan produksi susu mempunyai korelasi negatif dengan peningkatan lemak dan peningkatan fertilitas walaupun hal terakhir ini masih banyak perdebatan . Oleh karena itu, perlu pengkajian yang lebih detail dalam hal-hal tersebut dan perlu sangat hati-hati dalam memerhatikan individu ternak pada sifat-sifat tersebut di atas agar seleksi dapat berdampak positif pada target akhir, yaitu peningkatan produktivitas populasi .
82
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
111.6 Catatan produksi susu 305 hari Kemampuan produksi susu seekor sapi perah dapat diperoleh dari pencatatan setiap hari karena akan menggambarkan secara langsung produksi selama satu laktasi (disesuaikan pada 305 hari) . Cara ini paling akurat tetapi membutuhkan banyak waktu, tenaga dan biaya . Prosedur pendugaan produksi susu yang berdasarkan pencatatan harian lengkap 305 hari (kumulatif) mengabaikan bentuk kurva l ktasi, karena nilai rataan yang berasal clan catatan yang berurutan dikalikan dengan jumlah hari di antara pencatatan tersebut dan kemudian dikumulatifkan . Rekording di banyak negara adalah sekali per bulan atau per dua minggu. Pada peternakan yang melakukan pencatatan produksi susunya sekali sebulan, maka pendugaan produksi susu dalam satu periode laktasi sebagai berikut : Y=Yh;pi
di mana : Y = dugaan produksi susu pada suatu periode laktasi h = jumlah hari pada bulan pencatatan ke-i p = produksi susu dalam satu hari pencatatan pada bulan ke-i I = 1,2,3 n Berdasarkan contoh data pada Tabel 1, jika diasumsikan bahwa panjang laktasi sapi tersebut adalah 317 hari dengan jumlah produksi susu bulanan seperti pada Tabel 1, maka total produksi susunya adalah 4318,8 kg . Hasil perhitungan pendugaan produksi susu total selama satu laktasi, perlu distandarisasi dengan menggunakan faktor koreksi yang dikeluarkan oleh USDA-DHIA . Faktor koreksi yang paling banyak digunakan adalah faktor koreksi produksi susu yang disesuaikan -ke arah lama laktasi 305 hari, umur dewasa, dan pemerahan dua kali per hari . Standarisasi lama laktasi 305 hari didasarkan pada perhitungan bahwa reproduksi seekor sapi perah paling optimal apabila dapat beranak satu kali dalam satu tahun, dengan lama periode kering 8 minggu maka selang kelahiran menjadi 12 bulan . Umur dewasa dicapai pada 83
Proftl Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
bulan ke-72 dengan produksi susu tertinggi, oleh karenanya data distandarisasi ke "setara dewasa" (SD) atau mature equivalent (ME) . Pemerahan distandar kedua kali pemerahan karena jumlah pemerahan berpengaruh juga pada jumlah produksi susu . Tabel 1 . Contoh erhitun an roduksi susu Tanggal pencatatan Produksi susu (kg) Jumlah hari Produksi susu dugaan (kg) 21/03/2002 7,9 31 244,9 21/04/2002 13,7 30 411,0 21/05/2002 20,5 31 635,5 21/06/2002 18,5 30 555,0 31 502,2 21/07/2002 16,2 21/08/2002 14,5 31 449,5 21/09/2002 14,2 30 426,0 21/10/2002 12,5 31 387,5 21/11/2002 11,5 30 345,0 21/12/2002 9,2 31 285,2 21/01/2003 7,0 11 77,0 01/02/2003 Dikeringkan 317 4318,8
Faktor-faktor koreksi tersebut dikembangkan berdasarkan sapi FH di Amerika Serikat . Oleh karena pembuatan faktor koreksi membutuhkan banyak data dan harus mewakili banyak tempat, saat ini belum dapat dibuat di Indonesia sehingga sementara dapat rnenggunakan faktor koreksi tersebut (Tabel 2 dan 3) . Contoh : sapi dengan ear tag no 517 melahirkan anak pertama umur 3 tahun 3 bulan, lama laktasi 280 hari . Total produksi susu sebesar 5500 kg dengan tiga kali pemerahan per hari . Produksi susu ME = 5500 X 1,04 X 1,15 X 0,86 = 5657,08 kg. Faktor koreksi selengkapnya yang dikeluarkan oleh USDADHIA untuk perhitungan in] dapat dilihat pada Hardjosubroto (1994) .
84
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia Tabel 2 . Faktor koreksi lama laktasi kurang dari 305 hari menjadi lama laktasi 305 hari Lama laktasi 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160 170 180 190 200 210 220 230 240 250 260 270 280 290 300
Umur < 36 bulan 8,32 6,24 4,99 4,16 3,58 3,15 2,82 2,55 2,34 2,16 2,01 1,88 1,77 1,67 1,58 1,51 1,44 1,38 1,32 1,27 1,23 1,19 1,15 1,12 1,08 1,06 1,03 1,01
Umur ? 36 bulan 7,42 5,57 4,47 3,74 3,23 2,85 2,56 2 32 2,13 1,98 1,85 1,73 1,64 1,55 1,48 1,41 1,35 1,30 1,26 '1,22 1,18 1,14 1,11 1,09 1,06 1,04 1,03 1,01
Pengoreksian untuk menduga produksi susu 305 hari perlu dilakukan karena lama laktasi, umur beranak pertama dan jumlah pemerahan setiap ternak tidak selalu sama, dan kadangkadang data tersebut tidak terdapat pada tabel faktor koreksi . Interpolasi ataupun persamaan regresi dapat diterapkan untuk penyesuaian umur setara dewasa dan lama laktasi 305 hari .
85
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia Tabel 3 . Faktor koreksi lama laktasi lebih dari 305 hari menjadi lama laktasi 305 hari Lama laktasi Faktor koreksi 305-308 309 - 312 313 - 316 317 - 320 321 - 324 325-326 329-332 333-336 337-340 341 - 344 345-348 349-352 353-356 357-360 361 - 364 365
1 0,99 0,98 0,97 0,96 0,95 0,94 0,93 0,92 0,91 _ 0,90 0,89 0,88 _ 0,87 0,86 0,85
Sumber : Hardj osubroto (1994)
Di Indonesia, pemerahan umumnya dilakukan 2 kali sehari . Padahal, pemerahan 3 kali sehari (per delapan jam) dapat diharapkan akan meningkatkan produksi susu sampai 15%. Sistem pemasaran susu yang ada meliputi peternak menyetor susu yang diproduksi melalui sistem penjemputan 2 kali sehari (pagi dan sore) kepada koperasi . Pemerahan 3 kali sehari membuat peluang terjadinya mastitis lebih besar, karena pembukaan lubang tempat keluar susu pada ambing menjadi lebih lama dan peluang kontaminasi mikroorganisme akan lebih besar. Dalam program uji zuriat nasional, rekording dimulai pada hari ke delapan setelah melahirkan atau paling lambat 45 hari setelah beranak . Pengukuran dilakukan menggunakan test interval method (TIM) dengan interval pengukuran 25-35 hari, minimal 10 kali pencatatan dalam laktasi pertama, menggunakan timbangan skala 0,1 kg. Perhitungan evaluasi mutu genetik memasukkan pengaruh gabungan kelompoktahun-musim pada saat beranak (herd year season of calving atau HYS) sebagai pengaruh tetap utama. Pengaruh umur, dimasukkan ke umur saat beranak, dengan model umum:
86
Profil U.saha Peternakan .Sapl Perah di Indonesia
Y;ik
= di mana : Yijk HYS; = ASJI = ak = e;j k =
=HY4+AS, +a k
+elk
Produksi susu 305 hari dalam kg Pengaruh kelompok-tahun-musim Pengaruh umur dan musim beranak Pengaruh genetik aditif ternak Galat
111.7 Catatan produksi susu test day Melihat bahwa catatan produksi susu kumulatif 305 hari kurang praktis maka para pemulia di negara yang maju sapi perahnya beralih ke penggunaan metode catatan test day (TD) atau hari uji . Produksi susu hanya diukur satu hari (24 jam) pada interval waktu tertentu selama laktasi dengan selang waktu antara dua pencatatan bisa sama ataupun tidak . Pencatatan dapat berdasarkan tanggal setiap bulan, atau berdasarkan hari setiap dua minggu . Penggunaan catatan ini tentunya lebih murah dibandingkan dengan catatan setiap hari kumulatif 305 hari . Ada dua pendekatan model hari uji atau TD, yaitu : a) Metode dua-langkah (two-step method) . Metode ini menggunakan catatan test day berdasarkan koreksi terhadap faktor lingkungan, kemudian diduga dengan produksi 305 hari . Nilai pemuliaan diduga dari catatan 305 hari terkoreksi . b) Metode satu-langkah (one-step method). Metode ini menduga nilai pemuliaan langsung berdasarkan catatan produksi harian tanpa koreksi dahulu . Keuntungan utama dari model TD adalah pengaruh tetap hari uji dapat dianalisis langsung dalam model dengan data yang ada, tanpa menunggu laktasi berakhir . Untuk meningkatkan akurasi dalam evaluasi genetik, model TD dapat dihubungkan langsung dengan status ternak (seperti bunting) atau juga dengan musim. Dalam uji zuriat nasional, TD tidak digunakan karena variasi pemeliharaan sapi perah sangat beragam sehingga digunakan TIM dengan 10 catatan per individu ternak agar 87
Profit Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
keragaman dalam tahun berjalan dapat terwakili dalam setiap pencatatan . Model TD akan akurat digunakan jika keragaman budidaya relatif kecil . 111.8 Pendugaan parameter genetik pada sapi perah Performen ternak merupakan hasil kerja dari faktor genetik, lingkungan, dan interaksi keduanya . Ragam yang timbul dalam suatu populasi disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan serta interaksi antara keduanya . Faktor genetik terdiri dari genetik aditif, dominan dan epistasis . Untuk produksi susu faktor genetik aditif lebih diperhatikan karena bersifat kuantitatif, merespons pada seleksi dan dapat diwariskan secara linier kepada keturunannya . Faktor lingkungan dalam pemuliaan dibagi menjadi dua, yaitu lingkungan temporer dan lingkungan permanen . Lingkungan temporer adalah faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap satu pengukuran dalam suatu kurun waktu tertentu dan tidak berpengaruh terhadap pengukuran yang lain. Lingkungan permanen adalah faktor lingkungan tetap yang memengaruhi individu sepanjang hidupnya dan berpengaruh pada sifat lain yang terkait . Faktor-faktor lingkungan tidak diwariskan kepada keturunannya . Parameter genetik dibuat untuk menggambarkan hubungan pewarisan sifat-sifat yang bernilai ekonomis dan bersifat kuantitatif antara tetua dengan keturunannya di dalam suatu populasi . Dari hubungan pewarisan inilah dikembangkan berbagai teknik evaluasi pada tetua serta kerabat lainnya melalui penerapan biometrik . Tujuannya untuk meningkatkan frekuensi gen sifat yang diseleksi dan mendapatkan keunggulan nilai genetik seekor ternak atas ternak lainnya pada suatu populasi . 111.9 Heritabilitas produksi susu Heritabilitas (h2) didefinisikan sebagai bagian dari keragaman fenotipik dalam suatu populasi yang dipengaruhi oleh faktor genetik aditif, nilainya berkisar dari nol - 1 . Nilai h2 88
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
dihitung sebagai proporsi dari ragam genetik aditif terhadap ragam fenotipik (ragam genetik dan ragam lingkungan) . Nilai h2 tidak selalu mudah dihitung dengan ketepatan tinggi dan bervariasi tergantung pada metode yang digunakan, jumlah data 2 dan kondisi populasi (Tabel 4 dan 5) . Semakin besar nilai h suatu sifat menggambarkan semakin besar pula kemampuan diwariskannya sifat tersebut kepada anaknya . h2=b o5 di mana : b = koefisien regresi ; 0= sifat yang diukur pada pedet p = rataan tetua 0 pada sifat yang sama . Nilai h2 produksi susu sapi FH antara 0,20-0,76 . Perhitungan h2 didasarkan pada prinsip bahwa ternak-ternak yang berkerabat akan memiliki performan yang lebih mirip dibandingkan dengan yang tidak berkerabat .
89
Profii Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
10
v
4) N1
Y Y
N N N . C
Y
Y
m m Y
m
0 0 0 W W N N N N c c c m
W W 0 0 0 0 N V
c cm
m
m m
C
=) C C
0
C
Q Q Q Q J J J J J >>>>> 000000000022222 Z Z Z Z Z Z Z Z Z Z W W W W W Q Q Q Q QQ QQ Q Q
~~ O 6
Q Q Q Q Q Q
2 m
C
r m
N N N(C N cO O c V 10 In W W W W W W W W O O O O O O O O O m m O O) m O) m O O
10E
m
F
W m m W W m N N N O W (") W (`') W W W W N W M 0 0 0 0 0 0 0 m m `-' L ~"' 'D "O m c a _ _ v c c c c
NO NO NO N N
M
~ C N G
I I I I I I I I I O O O O N N N
Y m O EEY r
m N ((') (D O N m (n
N-
N
m_
(O N
m
_ LO W W N O C I~ m e- V V O O N M N M V V r~ M O O - O
N N- N N M V N V N N M N M M (M O O O O O O O O O C) O O O O O
(U Y N N +i Y) m > C m CD CL C !o m C N
w
m
O 0 0 a 0 C) 0 0 a 0 C) 0 0 0 + +I +I +I +1 + +1 +1 +I +I +I +1 N- (D M LO N, (O O M N (O V M (O (O
=
(mp
n m m mW V M
M N- (D NO m M M O N M N V m N
V ~-- V O a 0 N- N W N C) O
O O W M V O M (M O N M V M W N (O M (O W (0 O N tn N- N- O N M W m V
+I +I + +1 M T tp V V W m W t, O V
+I +1 -(D (O (O W O (O LO m O M (O V n m
m
M
N (D m r-
+I +1 +1 +1 +1 +I +1 O((D(DM o o o m N O O V N (O U) m O t- Lo tn M N O M (D m M M N O M W (N (O M M V (D N N -
M N N N N m N N M M V V M
C m C
Y a
d C. H
90
N m
m
c c ~] o O LL - C Z- 2 O y -0 m m m c'o m m c c m (0 -0 U N p p "0o CO c Q m Q c 3 Q Q >> n m N N N m m m N . Y m N N H H J-
N
N o y F U
Z` N m p a mm c F
mdH H FJ - =ZQ HF~-a mm CL CL rmaaa(n(nmaammm
Proflu Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
F- FY _ = R t p O c) N (h
S
h C)
N O
Io
Q)
O) 7
C' O
(N 00 03 l)) lL) V O O O
N M O O
M_ . Milli N 111=-- milli 11 . IIUIIIli INC-7Milli N IIC_7milli I r
a
N ~2 4~ O_ O
00
M
O
N O
N
O
0
0
c d
00 O m
N m
0) ~
~
W ~
a
w
0) ~
U)
O
O O N .-. O N cu
C
a a
¢ o
(n
m
w
(7
91
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
111.10 Nilai Pemuliaan atau Nilai Genetik Nilai pemuliaan (NP) adalah nilai keunggulan genetik yang dimiliki oleh setiap individu ternak terhadap ternak lain dalam populasinya . NP ditentukan oleh gen-gen yang diwariskan pada keturunannya berdasarkan prestasi ternak itu sendiri, tetua, keturunan, dan kerabat lain dalam populasinya . Semakin akurat pendugaan NP dan semakin cermat pelaksanaan program pemuliaan, akan berdampak pada semakin besar respons seleksi yang diperoleh . Walaupun NP merupakan cenninan kualitas genetik individu ternak, tetapi karena NP dipengaruhi oleh besaran rataan populasi maka ranking seekor ternak di suatu populasi belum tentu sama jika ternak tersebut digunakan pada populasi lain . Hal terpenting dalam pendugaan NP atau estimated breeding value (EBV) melalui fenotipik adalah memisahkan pengaruh genetik dari pengaruh lingkungan sehingga h2 yang diperoleh akurat . Dengan demikian, NP yang diperoleh setiap ternak benar-benar menunjukkan potensi genetik yang dimilikinya . NP atau nilai genetik (G) merupakan fungsi linier dari fenotipik (P) (Gambar 1) .
G
Gambar 1 . Hubungan linier antara nilai pemuliaan dan fenotipik
Secara matematis ditulis sebagai : G = bP NP dapat diduga jika b (koefisien regresi) diketahui : h cov(G, P) cov(G, G + E) cov(G, G) + cov(G, E') (7P 6P
92
aP
Profil Usaha Pelernakan Sapi Perah di Indonesia
di mana E adalah lingkungan . Jika diasumsikan cov (G, E) = 0: cov(G,G) o b It 6p up
NP =G=h = P Untuk mempermudah dalam meranking ternak maka dalam menghitung NP individu, nilai fenotipik setiap individu dikurangi dengan rataan populasinya : NP =h'(I -p)
di mana Pi = catatan fenotipik seekor ternak, dan It = rataan fenotipik populasi Fenotipik (baik Pi atau p) produksi susu 305 hari harus yang terhadap faktor-faktor lingkungan terkoreksi pemerahan, panjang memengaruhi, yaitu umur, frekuensi laktasi, musim, dan atau faktor lain seperti manajemen spesifik dan pakan (Talib, 2001b). 111 .11 Respons Seleksi Respons seleksi adalah rataan kenaikan fenotipik generasi berikutnya sebagai akibat penerapan seleksi populasi tersebut . Nilai respons seleksi ditentukan intensitas seleksi, h2 dan diferensial seleksi (simpangan fenotipik) . Secara matematik ditulis :
dari pada oleh baku
R = i.h'.a,
i = intensitas seleksi ; Di mana, R = respons seleksi ; h2 = heritabilitas ; Up = simpangan baku fenotipik . Pada dasarnya, intensitas seleksi adalah ukuran/nilai rataan sifat yang diukur pada ternak-ternak yang diseleksi lebih besar dan nilai rataan populasi sebelum diseleksi . Semakin besar perbedaan nilai rataan sifat yang diukur pada ternak terseleksi dari rataan populasi, berarti semakin tinggi intensitas seleksi . Atau semakin sedikit jumlah ternak yang diseleksi maka semakin tinggi nilai intensitas seleksi, yang berarti respons 93
Profit Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
seleksi akan semakin besar . Intensitas seleksi yang tinggi hanya diberlakukan pada pejantan sedangkan pada betina produktif digunakan intensitas seleksi rendah . Hal tersebut dilakukan karena ternak betina selain menghasilkan susu juga merupakan mesin penghasil pedet, yang sulit diperoleh dan mahal harganya. Dalam menerapkan seleksi pada suatu sifat perlu dilihat apakah sifat tersebut secara genetik berkorelasi positif atau negatif dengan sifat lainnya . Hal ini penting diperhatikan karena kalau bersifat positif maka seleksi pada sifat yang satu akan berdampak positif pada sifat lainnya dan jika berkorelasi negatif maka akan terjadi sebaliknya . Selain itu, juga sifat berkorelasi positif dapat digunakan untuk menyeleksi suatu sifat dengan menggunakan sifat lainnya yang lebih mudah dan murah diukur daripada sifat utama yang ingin diseleksi . Semakin besar h2 yang ada dalam populasi maka respons seleksi yang diperoleh juga akan semakin besar . Hal tersebut disebabkan karena h2 merupakan nilai superioritas fenotipe pada tetuanya yang dapat diwariskan pada keturunannya . Pada sifat yang diukur secara berulang maka dalam perhitungan respons seleksi perlu melibatkan nilai ripitabilitas, yaitu suatu besaran yang menggambarkan perbedaan fenotipik yang terdapat diantara ternak yang diukur dan disebabkan oleh semua jenis faktor yang mempengaruhinya baik genetik maupun lingkungan . Oleh karena itu disebut juga sebagai batas atas dari heritabilitas . Ripitabilitas ini juga merupakan intra-class correlation pada satu sifat yang diukur secara berulang pada ternak yang sama sehingga penggunaannya dalam perhitungan respons seleksi akan meningkatkan ketepatan/akurasi hasil pada sifat yang diseleksi. Maka respons seleksi untuk catatan berulang dapat ditulis sebagai berikut : 2 R(°) = (i h 6p)
n 1 + (n - 1)r
Di mana : R O = respons seleksi dengan pengamatan berulang ; i= intensitas seleksi; h2 = heritabilitas ; dan 6 p = simpangan baku fenotipnya; n = jumlah pengamatan tiap individu; r = ripitabilitas . 94
Profit Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
111.12 Evaluasi Pejantan Penilaian pada keunggulan pejantan lebih ketat daripada ternak betina karena peluang seekor pejantan untuk menghasilkan keturunan lebih banyak dari seekor betina dan jumlah yang dipelihara sedikit . Cara penilaian pejantan ada bermacam-macam mulai dari yang sederhana sampai yang paling akurat hasilnya, tergantung pada kelengkapan dan detail rekording yang dimiliki . a) Daughter comparison : yaitu evaluasi calon pejantan dengan mernbandingkan produksi anak betina dari calon pejantan yang satu dengan produksi anak betina dari calon lainnya . Dalam hal ini yang dihitung adalah kemampuan mewariskan kepada keturunannya ETA (estimated transmitting ability) . ETA = (A) (rataan produksi anak betina-rataan produksi populasi) . n A = (4-h`) n+ h'
di mana : n = jumlah anak betina dan h2 = nilai heritabilitas . b) Daughter dam comparison : yaitu evaluasi didasarkan atas perbandingan antara rataan produsi susu anak dengan rataan produksi susu induk . ETA = (A) (rataan produksi anak betina-rataan produksi populasi) - '`/2 h2 (rataan produksi induk-rataan produksi populasi) c) Daughter herdmate comparison (DHC) : yaitu evaluasi didasarkan atas perbandingan produksi anak betina dari calon pejantan dengan produksi dari herdmate yang beranak pada waktu hampir bersamaan . Modifikasi dari model ini adalah modified contemporary comparison (MCC), yaitu evaluasi dilakukan dengan membandingkan produksi sapi betina dengan produksi sapi betina lainnya yang diperah pada waktu yang sama (contemporary) . Pada MCC ditambahkan parameter repeatabilitas, yaitu untuk menentukan intra-class correlation pada suatu sifat yang diukur secara berulang pada seekor individu . Nilat repeatabilitas sama dengan nilai 95
Prgfil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
heritabilitas terendah karena mengandung pengaruh semua faktor genetik. d) Contemporary comparison (CC) : yaitu evaluasi didasarkan pada perbandingan produksi susu laktasi pertama anak betina calon pejantan yang diuji dengan produksi susu laktasi pertama anak betina pejantan lain yang berproduksi pada tempat, musim, dan tahun yang sama (contamporary) . Evaluasi ini digunakan untuk menghilangkan pengaruh perbedaan lingkungan di antara peternakan dan mengurangi kesalahan karena standar umur ke setara dewasa . Evaluasi dilakukan pada laktasi pertama . w(D C) n x n, CC =~ dimana w =- '
1
iv
ni + n,
D = rataan produksi laktasi pertama calon pejantan Y,w=jumlah anak betina efektif C = rataan produksi laktasi pertama contemporaries-nya anak-anak betina calon pejantan n, = jumlah anak betina calon pejantan ; n2 = jumlah anak betina contemporaries Modifikasi dari CC adalah CD (cumulative difference) dan ICC (improved contemporary comparison) . e) Cumulative difference (CD) dan improved contemporary comparison (ICC), yaitu metode CC dengan menggunakan NP calon pejantan ditambah dengan NP pejantan pembanding . Hanya saja pada ICC ditambahkan dengan memasukkan faktor koreksi untuk umur, potensi genetik, dan musim beranak . f) Breeding index (BI), yaitu evaluasi dilakukan dengan membandingkan NP calon pejantan dengan NP pejantan yang digunakan pada saat pertama kali evaluasi pejantan dilakukan yang ditetapkan dengan nilai 100 . Keunggulan calon pejantan yang terbaiklah yang digunakan untuk pengembangbiakan .
96
Prgfrl Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
IV. PENDUGAAN NILAI PEMULIAAN DENGAN BLUP IV.1 Teori Dasar BLUP BLUP berasal dari kata best linear unbiased prediction dengan pengertian disajikan pada Tabel 6 . Tabel 6 . Pen elasan BLUP
Linear
Memaksimumkan korelasi antara NP sesungguhnya (a) dan NP dugaan (a), atau meminimumkan Predicted Error Variance (P EV) . Var (a-6)4 minimum Pendugaan merupakan fungsi tinier dari pengamatan 4
Unbiased Prediction
E(g) = E(g) Dugaan dari efek random (NP)menjadi tidak bias Dugaan
Best
Sumber: Kinghorn (2002)
BLUP adalah suatu metode untuk pendugaan NP yang banyak digunakan sekarang . Kelebihan BLUP antara lain : (a) memperhitungkan semua pengaruh lingkungan tetap yang teridentifikasi dan langsung dimasukkan dalam model tanpa memperhitungkan seluruh informasi pengoreksian, (b) kekerabatan antarternak yang tercatat melalui numerator relationship matrix, (c) menduga NP ternak yang tidak mempunyai catatan produksi secara simultan (pejantan, induk, dan ternak lain) jika mempunyai hubungan kekerabatan dengan individu yang mempunyai catatan, dan (d) EBV yang dihasilkan lebih akurat . Dalam bentuk matrik, BLUP ditulis dengan mixed model : y=Xb+Zu+e . . . .
Di mana : y = vektor untuk pengamatan ( n x 1) b = vektor untuk efek tetap (p x 1) u = vektor untuk efek random (ternak) (q x 1) e = vektor untuk residu (n x 1) X = design matrik yang berhubungan dengan efek tetap (n x p) Z = design matrik yang berhubungan dengan efek random (n x q) Vektor untuk pengamatan meliputi sifat-sifat yang diamati, atau sifat-sifat yang akan diduga nilai pemuliaannya seperti : 97
Profit Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
produksi susu, kadar lemak, kadar protein, dan lain-lain . Efek tetap adalah faktor-faktor yang memengaruhi produksi yang bisa teridentifikasi, misalnya frekuensi pemerahan (satu kali, dua kali, tiga kali), musim (kemarau dan hujan) . Efek random adalah pengaruh ternak yang akan diduga nilai pemuliaannya, baik ternak yang mempunyai catatan, tetua, maupun saudarasaudaranya . Nilai harapan untuk y, u dan e adalah sebagai berikut : E u
dan ragam-peragamnya :
0 0
Di mana :
v
cov u
ZGZ'
e
ZG R G 0 R
R = to = G=Ao
cr = 6„= I = A =
ragam residu ragam genetik aditif matrik identitas matrik hubungan kekerabatan antar individu
Yang utama adalah menduga e dan u . h berhubungan dengan solusi dari efek tetap dan ~ adalah dugaan NP . Untuk menghitungnya dibentuk suatu persamaan mixed model (mixed model equation/MME) (Henderson, 1976) : XR 'X Z'R -' X
XR 'Z Z'R - ' Z + G '
h u
XR 'v Z'R -'v
dl mana
R = Ia,' .
Dengan mengalikan seluruhnya dengan T', diperoleh MME : XX
XZ
X'v
Z'X
Z'Z+A - 'a
Z'v
98
di mana :
a=
Profcl Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
IV.2 Kecermatan Dugaan Kecermatan pendugaan nilai pemuliaan (r) adalah korelasi antara nilai pemuliaan sesungguhnya dengan nilai pemuliaan dugaan. Semakin besar nilai r, semakin akurat pendugaan NP. Perhitungan r memerlukan elemen inverse diagonal dari MME (Henderson, 1975) . Misalkan koefisien inverse matrik MME : C•1 21
c„ Predicted error variance (PEV) = Var(u -u) = C 226r2 ; dan standard error prediction (SEP) = Jc,2 o rC, c,,
r = v[I-- C,2 a
IV.3 Menyusun Matrik Hubungan Kekerabatan (A) Hubungan kekerabatan merupakan komponen penting dalam BLUP . Hubungan kekerabatan menunjukan kemiripan antara individu yang diamati dan tetuanya atau saudarasaudaranya . Berdasarkan hubungan kekerabatan, individu-individu yang tidak mempunyai catatan produksi, tetapi mempunyai hubungan dengan individu yang mempunyai catatan, dapat diduga nilai pemuliaannya ; dan dapat memperhitungkan inbreeding . Matrik inbreeding adalah matrik simetris A . Diagonalnya menunjukan elemen ternak itu sendiri (a,i) . Nilai a„ sebanding dengan 1+F1, (F1 adalah koefisien inbreeding ternak i), di mana elemen lainnya (ad) adalah koefisien kekerabatan antara ternak i dengan ~. Contoh hubungan kekerabatan dengan menggunakan tiga ekor ternak beserta 3 ekor tetuanya seperti pada Tabel 7. Tabel 7 . Hubungan kekerabatan antara individu dan tetuanya 4 5
No. Ternak
1 3 1
Pejantan
Induk Tidak diketahui 2 2
Hubungan kekerabatan dapat juga diungkapkan seperti pada Gambar 2. 99
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
Gambar 2 . Hubungan kekerabatan digambarkan dengan garis
Dimensi dari matrik A adalah 6 x 6, dengan tiap elemen menunjukan hubungan kekerabatan antara individu, maka hubungan aditif antarindividunya dapat diungkapkan sebagaimana disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 . Hubun an aditif antarindividu den an contoh dari Tabel No. Ternak 1 2 3 4 5 6
1
1
Simetris
2
1
0 0 1
3
0,5 0 0 1
4
0 0,5 0,5 0 1
5
6 0,5 05 0 0 25 0 25 1
Ternak nomor 4 adalah anak ternak nomor 1, hubungannya adalah 0,5, sedangkan ternak nomor 4 dan 6 adalah saudara tiri, hubungannya adalah 0,25 . Hasil yang sama juga akan diperoleh jika menggunakan matrik A dan inverse matrik A -t . Dalam populasi yang besar dan hubungan kekerabatan yang ruwet, akan sulit untuk menulis matrik A tersebut sehingga dalam banyak kasus yang menggunakan ternak dalam jumlah besar maka perhitungan langsung membangun inverse matrik A-1 (Henderson, 1976) .
IV.4 Macam-macam Model BLUP Banyak model BLUP yang dikembangkan di bidang peternakan . Saat ini yang populer digunakan adalah BLUP dengan sire model ataupun animal model tergantung kelengkapan rekording yang dimiliki . Pada buku ini hanya akan dibahas model-model yang banyak digunakan untuk menduga NP pada sapi perah . Model tersebut adalah : (1) Sire model, (2) 1 00
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
Animal model, (3) Model catatan berulang, (4) Model regresi tetap, dan (5) Model multivariat . (1) BLUP sire model (model pejantan) Sire model merupakan model paling sederhana dari BLUR Sire model digunakan untuk evaluasi pejantan saja, atau untuk
evaluasi pejatan yang secara genetik unggul . Pengaruh genetik yang dipertimbangkan (dalam u) sedikit karena hanya menyangkut pejantan dan tetua-tetuanya saja, sedangkan pengaruh induk diabaikan . Model ini banyak digunakan untuk menduga parameter genetik dan fenotipik, sedangkan pendugaan nilai pemuliaan dilakukan dengan animal model. (2) BLUP animal model Animal model dipakai apabila kita ingin mengevaluasi seluruh ternak, baik yang mempunyai catatan maupun yang tidak . Dengan bantuan matrik hubungan kekerabatan (A), ternak-ternak yang tidak mempunyai catatan tetapi berkerabat dengan ternak lain yang mempunyai catatan dapat diduga nilai pemuliaannya. MME-nya dapat diungkapkan sebagai berikut : XX ZX
Z7
X'yI
u
Misalnya diketahui aA
=10 ,
di mana : = 20 .
a=
Jadi
a=
o
=2
Tabel 9 menunjukkan produksi susu 305 hari 5 ekor ternak yang ditempatkan di dua lokasi berbeda . Tiga ekor ternak, yaitu pejantan nomor 1, 2, dan induk nomor 3 tidak mempunyai catatan produksi . Nilai pemuliaan ternak-ternak ini dapat diduga melalui hubungan kekerabatan dengan ternak yang mempunyai catatan produksi . Ternak nomor 4 dan 6 telah menjadi tetua pada generasi berikutnya, jadi terjadi overlaping generation . Dengan demikian, ada 8 ternak yang akan dievalnasi, sebut saja g i , g2, g3, g4, g5, 96, g7, gs. Ternak nomor 4 tidak diketahui induknya, dan ternak nomor 7 dan 8 tidak diketahui bapaknya . Dengan mixed model v = Xh + zu + e ; dan MME di atas, diperoleh solusi 1 01
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
untuk NP, efek tetap (lokasi), SEP dan nilai kecermatan (r) seperti pada Tabel 10 . Tabel 9 . Contoh ternak yang mempunyai catatan dan tidak mempunyai catatan da at didu a NP-n a den an animal model 4 5 6 7 8
No . Ternak
1 2 1 -
No. Pejantan
3 3 4 6
No. Induk
Lokasi Bandung Malang Malang Bandung Bandung
Produksi susu (liter) 4809 3814 3731 3876 3850
Dari Tabel 10 diketahui bahwa, pejantan g, lebih baik daripada pejantan g2 . Ternak betina yang mempunyai nilai pemuliaan positif adalah g4 dan g6 dan dapat dipakai sebagai bibit . Anak betina g4 , yaitu g7, nilai pemuliaannya negatif, dan ini dapat disebabkan pengaruh dari pejantan yang tidak diketahui . Tabel 10 . Rin kasan hasil erhitun an NP den an animal model Efek Bandung Malang ,q 1 .q2
93 94 95
96
P7
98
4164,1 4279,8 154,7 -98,3 -21,4 193,9 -158,1 143,6 -8 -143,2
Solusi
SEP
4,291 4,350 4,442 4,068 4,146 4,232 4,077 3,943
r
0,282 0,232 0,115 0,415 0,375 0,324 0,411
(3) Catatan berulang (repeated measurements) Dalam evaluasi, sangat sering sifat yang diamati untuk kriteria seleksi diukur lebih dari satu kali . Pada sapi perah misalnya, produksi susu diukur pada laktasi kesatu, kedua, dan seterusnya . Ada dua cara untuk menganalisis catatan berulang : (1) catatan tersebut dianggap sebagai sifat yang berbeda, dan (2) catatan tersebut dianggap sebagai sifat yang sama . Cara pertama biasanya dilakukan pada analisis multivariat . Dalam bahasan ini, catatan berulang dilihat sebagai si fat yang sama sebagai ulangan . Model in] dikenal dengan model catatan berulang (repeated measurements) . 102
Profit Usaha Peternakan Sapi Perah
di
Indonesia
Alasan umum penggunaan catatan berulang yang dilihat sebagai ulangan adalah untuk mengurangi kesalahan pengukuran . Dengan catatan berulang, residu dapat dipisahkan menjadi : pe+e ; di mana pe = lingkungan permanen (dalam individu) ; e = residu antarindividu ; Dengan demikian, model umumnya dapat diungkapkan sebagai : y=Xb+Zu+Wpe+e
di mana W dan pe adalah design dan vektor matrik untuk lingkungan pennanen . MME-nya dapat ditulis sebagai berikut : XZ XX ZX ZZ+A"'a, W X W Z
X'W Z'W
b u
W'W + I a,,,,
dan, 1=matrikidentitas
pe
Xy Z'y WV
c7 dimana a,= - ; 01 1 11 69
-
Solusi dengan MME diperoleh hasil seperti pada Tabel 11 . Tabel 11 Rin kasan hasil erhitun an NP den an re eatedmeasurements Efek Lak, Lak 2 g, g2 93 94 g5 116 9, 98 pe 4 Pe 5 pe 6 pe7 Pe _
4069,7 4697,7 -118,0 -15,4 -79,0 -140,5 -62,6 -162,1 124,0 174,6 -119,1 -84,0 -63,6 129,5 137,3
Solusi
r
SEP
4,231 4,280 4,231 3,784 3,784 3,842 3,750 3,750
0,324 0,290 0,324 0,533 0,533 0,512 0,545 0,545
Dari solusi di atas terlihat bahwa ternak g7 dan g8 mempunyai nilai pemuliaan dan lingkungan permanen yang balk . Jumlah dari dugaan nilai pemuliaan dan lingkungan permanen (,, +pe,)disebut probable producting ability . Jika manajemennya sudah diketahui, hasil penjumlahan ini disebut juga most probable producting ability (MPPA) .
1 03
Profit Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
(4) Model regresi tetap Model regresi tetap (MRT) pertama kali diperkenalkan oleh Ptak dan Schaeffer (1993) pada sap] perah . Analisis ini dilatarbelakangi bahwa penggunaan catatan produksi 305 hari dikatakan mahal dan tidak fleksibel . Dikatakan mahal karena produksi harus dicatat tiap hari dan dikatakan tidak fleksibel karena menyangkut perbedaan biologis ternak pada masa laktasi yang sangat bervariasi dan berpengaruh terhadap keakuratan catatan. Karena keragaman sifat biologis ini produksi harus dikoreksikan terhadap panjang laktasi, umur setara dewasa, dan lain-lain . Di lain pihak faktor koreksi sangat spesifik untuk setiap populasi sehingga penggunaan faktor koreksi dari suatu populasi mungkin tidak tepat digunakan untuk populasi lain . Kelemahan lain dari penggunaan catatan produksi 305 hari adalah ternak selama laktasi harus berada dilingkungan yang sama, dengan kata lain apabila dalam suatu periode laktasi temak dipindahkan ke lingkungan yang berbeda, maka harus dilakukan pengkodean faktor lingkungan . Demikian juga dengan waktu evaluasi yang dilakukan, harus menunggu sampai ternak tersebut selesai laktasi . Para pemulia kemudian menggunakan catatan test day (TD/ hari uji) untuk evaluasi . Dengan penggunaan catatan TD, produksi tidak perlu dicatat setiap hari, tapi dicatat pada harihari tertentu dengan interval waktu tertentu . Penggunaan catatan TD dengan MRT mempunyai beberapa keuntungan, yaitu lebih murah karena produksi susu hanya dicatat pada satu hari dalam interval waktu tertentu dan lebih fleksibel karena perubahan lingkungan selama laktasi dapat dimasukan langsung dalam model . Model ini digunakan di banyak negara untuk evaluasi genetik nasional . MRT ini memperlakukan TD sebagai sifat yang sama atau ulangan. Pengulangan catatan disini dinamis karena produksi TD berubah sejalan dengan waktu laktasi dengan membentuk suatu kurva laktasi . Oleh karena itu, dalam analisis dipertimbangkan suatu persamaan regresi yang menggambarkan kurva laktasi sebagai kovariat . MRT disebut fixed regression 1 04
Prgfrl Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
model karena persamaan regresi dalam bentuk kovariat berada dalam matrik efek tetap (Xb) . Model matematik ataupun MME pada model regresi tetap sama dengan pada model catatan berulang, hanya pada model regresi tetap matrik Xb berisi kovariat yang diturunkan dari persamaan regresi kurva laktasi . Persamaan regresi yang sering dipakai adalah persamaan dari All dan Schaeffer (1987) . Contoh perhitungan menggunakan informasi dasar disajikan pada Tabel 12 . Tabel 12 . Produksi susu harian laktasi ke 2 dari 5 ekor sa i ada TD ¶ertentu 4 4 4 4 5 5 5 5 6 6 6 6 7 7 7 7 8 8 8 8
Ternak
1 1 1 1 2 2 2 2 1 1 1 1
Pejantan
-
-
6 6 6 6
30
62
a =-- 1,50, 6u
20
Induk
3 3 3 3 3 3 3 3 4 4 4
Jika diketahui : a'
-
=20, cr -
5 65 125 215 9 69 129 219 11 71 131 221 17 77 137 227 75 135 195 305
dan
30 =-=3,0 10
TD hari ke
11
=10 ;
16 22 10 9 15 17 10 . 9 11 13 7 5 10 13 11 _4 10 19 14 6
Produksi (liter)
maka :
Kovariate dari persamaan regresi All dan Schaeffer (1993) : Kovariate I = DIM/c, c adalah konstanta, dan ditetapkan pada 305 hart, Kovariate 2 = (DIM/c)2, Kovariate 3 = ln(c/DIM), Kovariate 4 =1n 2 (c/DIM) 105
Profit Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
di mana, DIM = day interval milk (waktu test/hari uji) . Model umum matematiknya adalah : y = xb + zu + wpe MME-nya sama dengan pada catatan berulang, maka solusi dengan MME diperoleh seperti pada Tabel 13 . Tabel 13 . Rin kasan hasil erhitun an NP den an BLUP model re resi teta Kov Kov2
g 98 pe5 pe 6 pe7 pe8
Efek
Solusi 17 886 14,859 21,722 -8 362 -0 347 0,523 -0,439 0,749 0,566 -1,355 -0,964 1,499 1,061 0,118 -0,962 -0,892 0,811
SEP
0 353 0 318 0 353 0 578 0,581 0 563 0 591 0 587
4,185 4,240 4 185 3,648 3,639 3,695 3 607 3,621
Ternak g4 , gs dan g8 mempunyai nilai pemuliaan dan lingkungan permanen (pe) yang baik sehingga ternak ini bisa dipakai untuk bibit, sedangkan pejantan g2 lebih baik dibandingkan dengan pejantan g, dilihat dari nilai pemuliaan . (5) Model multivariate Dalam evaluasi genetik, sifat yang dipertimbangan dalam kriteria seleksi bisa lebih dari satu . Pada sapi perah misalnya, sifat-sifat yang dipertimbangkan, yaitu produksi susu, lemak susu, protein susu, dan lain-lain . Apabila ragam dan peragam balk untuk genetik dan lingkungan diketahui, maka nilai pemuliaan untuk sifat-sifat tersebut dapat diduga dengan Model Multivariat . Untuk mempermudah notas i matrik dua sifat yang diamati maka modelnya ditulis sebagai berikut : Y, = X , b, + Z,11 1 + e„ dan v, =X,b, +Z,u, +e,
1 06
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
dan y , adalah sifat kesatu dan kedua berturut-turut . X, Z, b, u, dan e telah didefinisikan terdahulu . Angka 1 dan 2 menunjukan sifat kesatu dan kedua . Untuk mencari solusi efek tetap dan NP, MME-nya dapat diungkapkan sebagai berikut: r ll r'X y, +r X,X,r'' XiZ r'' XiZ 2 r'2 b XiX y,
X,X r" Z ,'X , r 11 Z,'X,r 2 '
X ;X,r''' Z'X,r 12 1
Z,X,r 22
X_Z r 21 -, 1' ZI'Z , r'' +A g
Z,Z,r 2 '+A - 'g 21
X,,
Z, r'
'
Zi'Z_r 12 +A -' g 12 Z,Z,r 22 +A - 'g` 2
bz i
u,
, r ' X_V +r'~ X I Y2 r11Zl'Y, +r 12 Z'iYz
r 21 Z,V,
i
22 Z:y,
adalah elemen dari G 1 dan r', adalah elemen dari R,- ' . b, dan b, adalah solusi untuk efek tetap bagi sifat satu dan dua, dan u, dan u 2 adalah nilai pemuliaan untuk sifat satu dan dua . Contoh perhitungan didasarkan informasi pada Tabel 14 . gi,
Tabel 14 . Produksi susu dan lemak susu dari 5 ekor sapi di Bandung dan Malan Lokasi Produksi susu 305 Produksi lemak Peternakan hari (liter) , susu (gram) Ternak Pejantan Induk 4809 205 4 1 Bandung 147 2 3 Malang 3814 5 Malang 3731 176 6 1 3 3876 198 7 4 Bandung 3850 212 Bandung
Diketahui ragam dan peragam untuk aditif genetik (G) adalah: Produksi Susu
20
-5
Produksi Lemak - 5 3
dan diketahui ragam dan peragam untuk residu (R) adalah :
P roduksi Susu
r 40
- 11
Produksi Lemak [-11 30
107
Profil Usaha Pelernakan Sapi Perah di Indonesia
Solusinya adalah seperti pada Tabel 15 . Tabel 15 . Ringkasan hasil perhitungan NP produksi susu dan lernak susu Efek
Bandun Malang 91 92 g _94 95 ,96 97 9
den an mode! multivariate Produksi susu 305 hari 41603 3784,3 72,645 -11,819 -27 041 168 123 -31,249 7 580 -17,293 -96,748
208,699 159,094 -14,286 1,720 5,548 -34,315 5,354 -0 541 3,898 19,321
Lemak susu
Tabel 15 menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara NP produksi susu dan NP lemak susu . Apabila NP produksi susu positif, NP lemak susu negatif, dan sebaliknya . Dalam menduga NP total, biasanya dilakukan dengan pembobotan ekonomi, yaitu sampai berapa kali lebih penting produksi susu dibandingkan dengan produksi lemak . Ternak dapat di ranking berdasarkan NP total . Misalnya, apabila produksi susu dua kali lebih penting dari produksi lemak, NP total dapat dihitung dengan : NP total = 2 x NP produksi susu + NP produksi lemak V . PEMANFAATAN HASIL EVALUASI GENETIK PADA SAPI PERAH
Nilai pemuliaan hasil evaluasi kuantitatif genetik pada sapi perah yang diperoleh dimanfaatkan untuk meningkatkan kecepatan perbaikan genetik sifat yang dituju dalam populasi tertentu . Tahapan pemanfataan perbaikan genetik ini meliputi ranking ternak berdasarkan NP individu, seleksi ternak untuk memilih tetua bagi generasi berikutnya, mengeluarkan sapi-sapi afkir, pengaturan perkawinan untuk mendapatkan peningkatan perbaikan genetik yang optimal, menghitung besaran respons seleksi dan perbaikan produktivitas ternak yang diperoleh serta mempertahankan agar tetap terjadi peningkatan genetik pada sifat yang dituju dari generasi ke generasi berikutnya . 1 08
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
V.! Ranking Ternak dan Seleksi Hasil langsung dari evaluasi genetik adalah ranking ternak berdasarkan NP yang diperoleh pada semua ternak yang dapat dihitung besaran NP-nya, kemudian disortir dari yang besar sampai yang terkecil . Untuk pejantan pada populasi besar biasanya dipilih 10% dan induk 87,5% dan dara siap kawin 12,5% untuk menjadi tetua dari generasi selanjutnya . Tetapi pada populasi kecil ditentukan jumlah pejantan yang cukup untuk menekan tingkat inbreeding maksimal sekitar 6%. Jika diinginkan hasil yang lebih cepat lagi maka intensitas seleksi dapat ditingkatkan lebih besar dari nilai-nilai di atas, hanya perlu diperhatikan jumlah ternak laktasi yang dipertahankan agar tidak merugikan bagi para peternak yang terlibat di dalamnya, balk perusahaan perbibitan, commercial dairy farms, koperasi susu maupun gabungan kelompok petemak . Selain seleksi berdasarkan NP, juga perlu diperhatikan sifat cacat genetik ataupun cacat karena penyebab lingkungan yang permanen untuk juga dikeluarkan dari populasi . Sifat cacat genetik agar didata silsilahnya, dipelajari garis pewarisannya untuk mendapatkan sumber penurun sifat cacat tersebut, menghilangkan sifat cacat tersebut dari populasi tanpa mengganggu program perbaikan genetik . Seleksi dengan cara seperti ini agar dilaksanakan secara terus-menerus dengan penuh kehati-hatian dan konsisten, maka dalam setiap generasi akan terlihat perolehan hasil yang positip bagi peningkatan produktivitas populasi . V .2 Pengaturan Perkawinan Sapi-sapi terseleksi tersebut diatur perkawinannya untuk mendapatkan perbaikan produktivitas terbaik dengan derajat inbreeding minimal dalam populasi . Jika derajat inbreeding sudah susah dipertahankan sekitar 6% dan keragaman dalam populasi untuk sifat yang diseleksi sudah mempunyai besaran yang kecil, maka perlu dicari sumber genetik baru . 1 09
Profl Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
Umumnya, sifat genetik baru yang dicari adalah dari sumber pejantan (semen atau embrio) dan jika hal tersebut masih kurang mendukung maka dapat juga dimasukkan induk baru dari luar dengan nilai genetik tinggi untuk sifat yang diseleksi dengan memerhatikan catatan tentang sifat cacat genetik . Sistem perkawinan ini ditempuh untuk membuat keragaman barn dalam populasi dengan tetap menggeser nilai rataan populasi sifat yang diseleksi ke arah yang lebih baik dari generasi sebelumnya . V .3 Pola Breeding Sebagaimana telah dikemukakan bahwa tujuan breeding dalam sapi perah, yaitu peningkatan produksi susu melalui perbaikan genetik atau pemuliaan . Ada dua pola yang ditempuh, yaitu melalui seleksi pada ternak murni atau melalui kawin silang (crossbreeding) . Di Indonesia, para peternak balk secara langsung maupun tidak langsung telah memilih bahwa pola breeding pada sapi perah adalah melalui seleksi pada sapi Holstein . Pilihan ini tidak salah karena sampai saat ini bangsa sapi perah yang mempunyai produksi susu tertinggi di dunia adalah bangsa sapi Holstein . Artinya, jika disilangkan dengan bangsa sapi lainnya maka produksi susu sapi crossbred tersebut akan lebih rendah dari sapi Holstein . Bangsa sapi ini dikenal di dunia dengan nama negara tempat sapi tersebut telah diseleksi seperti American Holstein, Australian Holstein, dan lain-lain, dan mungkin juga nantinya akan muncul sapi Indonesian Holstein (Holstein Indonesia) . Sistem seleksi untuk diterapkan di Indonesia sebaiknya dengan menggunakan open nucleus breeding scheme (ONBS) dengan two tier atau dua strata (Talib, 2002 ; dan Talib, 2007) . Pada sistem ini awalnya populasi inti didiami oleh ternak-ternak terseleksi dengan potensi genetik tinggi yang dipilih dari populasi dasar (plasma) . Pada generasi selanjutnya ternak-ternak muda dengan nilai genetik yang rendah pada populasi inti dapat 1 10
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
dimasukkan ke populasi dasar, sedangkan ternak-ternak muda dengan nilai genetik tinggi pada populasi dasar yang nilai rataannya lebih baik dari rataan ternak pada populasi inti dapat diseleksi untuk dimasukkan ke populasi inti . Jika sistem ini berjalan dengan baik maka dalam setiap generasi akan terlihat peningkatan produktivitas, baik pada populasi inti maupun pada populasi dasar . Besaran peningkatan produktivitas yang akan dicapai tergantung pada besarnya nilai respons seleksi . V .4 Uji Zuriat Nasional Di Indonesia, perbaikan genetik dilakukan melalui Uji Zuriat Nasional . Uji tersebut melibatkan Direktorat perbibitan (BBPTU sapi perah) sebagai koordinator, komisi pertimbangan untuk pengontrolan dalam pelaksanaan agar sesuai dengan prosedur ilmiah dan Dinas Peternakan, LSM, Perusahaan dan Koperasi (GKSI dan anggotanya) sebagai peseria/pelaksana uji zuriat secara participatory. Sistem seleksi pada sapi perah yang digunakan adalah ONBS dengan dua strata yaitu inti dan plasma. Tahap I, pemilihan "Inti" didasarkan pada produktivitas populasi dasar sapi perah betina laktasi di Jawa (312 ekor) yang memiliki catatan produksi susu dan silsilah tetuanya dengan produksi susu lebih tinggi dari 6000 kg per laktasi, sedangkan "Plasma" adalah yang selainnya. Tahap II, ke 300-an ekor sapi-sapi tersebut kemudian dikawinkan dengan semen dari sapi-sapi pejantan unggul (proven bulls) asal Australia sejumlah 8 ekor dengan hubungan kekerabatan (inbreeding) minimal (dibawah 6%) dengan sapisapi Holstein yang ada di Indonesia ; berhasil dikawinkan 201 ekor induk . Dari pedet jantan yang dilahirkan, dipilih 32 ekor terbaik yang dimasukkan ke program rearing . Tahap 111, dua ekor pedet jantan terbaik dari setiap pejantan (jadi ada 16 ekor calon pejantan) dipilih untuk dijadikan calon pejantan . Satu ekor calon pejantan yang terbaik dari setiap pejantan tersebut digunakan dalam program Uji Zuriat Nasional sapi perah di Indonesia, sedangkan saudara tirinya disimpan 111
Profit Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
sebagai cadangan kalau-kalau calon pejantan saudaranya mati/sakit (Direktorat Perbibitan, 2007) . Ke-16 ekor calon pejantan tersebut dipelihara sampai memproduksi sperma untuk dibekukan . Tahap IV, pemilihan participated cows (PC) sebagai calon induk dilakukan secara acak yang tersebar di seluruh Jawa (kecuali Banten) untuk dikawinkan dengan semen beku ke-8 ekor calon pejantan terseleksi tersebut . Perkawinan PC berakhir pada kuartal pertama tahun 2009 . Target pencapaian dalam setiap Tahapan uji zuriat nasional telah dilaporkan (Pallawarukka dan Talib, 2007 ; Direktorat Perbibitan, 2007) . Tahap V, kelahiran dan rearing daughter cows (DC) oleh masing-masing pemiliknya sampai selesai laktasi pertama . Tahap VI adalah menghasilkan proven bulls. Sekarang sudah memasuki Tahap V . Untuk menunjang ketersediaan data dibangun sistem rekording menggunakan official recorder ddn software SISI (sistem informasi sapi perah Indonesia) untuk collecting dan dokumentasi data . Pengukuran PC dan DC untuk evaluasi calon pejantan menggunakan test day recording (menggunakan 10 catatan, sebulan sekali dengan interval 25-35 hari sampai selesai laktasi pertama) . Data dianalisis dengan contamporary comparison . Sampai Tahun 2009, semua PC sudah selesai dikawinkan dengan semen calon pejantan dan sudah lebih dari 467 ekor DC (pedet dari calon pejantan) dilahirkan dan yang lainnya akan segera menyusul . Ditargetkan setiap calon pejantan akan memiliki sekitar 30 ekor DC yang selesai laktasi pertama . Diharapkan penyebaran yang merata tersebut akan menghasilkan proven bulls yang cocok dengan kondisi Indonesia . Jika Tahap VI selesai dilakukan, maka diperkirakan sistem rekording sapi perah di Indonesia telah terbangun dengan cukup balk sehingga identifikasi keberadaan induk-induk unggul (berdasarkan nilai genetik) akan dapat diketahui . Dengan demikian, uji zuriat lanjutan untuk menghasilkan proven bulls 112
Profil Usaha Peternalcan Sapi Perah di Indonesia
pengganti akan dapat dilakukan dengan tanpa mengimpor semen pejantan unggul lagi . Evaluasi genetik selanjutnya dapat menggunakan BLUP sire model ataupun animal model. Selanjutnya sistem seleksi dalam ONBS dapat diterapkan dengan baik, dimana perkawinan pada sapi-sapi betina akan dapat diatur melalui program SISI dan semua data akan terkumpul di BBPTUSP-Baturaden dan di masing-masing lokasi . Diharapkan pengaliran ternak dari inti ke plasma dan dari plasma ke inti sebagaimana diterangkan di atas dapat berjalan baik . Tujuannya agar selain derajat inbreeding menjadi minimal, juga peningkatan produktivitas ternak terjadi pada generasi berikutnya dan sifat cacat genetik kalau ada akan dapat dideteksi dan selanjutnya diminimalkan dalam populasi . Uji zuriat nasional juga diharapkan untuk meminimalkan ketergantungan Indonesia pada pejantan sapi perah impor yang ada selama ini . Ke depan, jika webside telah terbangun, maka keseluruhan data akan ditayangkan agar semua orang dapat mengakses data tersebut untuk digunakan sesuai kebutuhan masing-masing (saat in] baru Dinas Peternakan Jawa Barat yang menayangkannya) . Dengan data yang terkumpul akan dirancang untuk membangun Indonesian dairy herd registration book, dan mengekspor semen proven bulls sapi perah tropis yang dihasilkan jika kebutuhan Indonesia telah terpenuhi .
1 13
Profil Usaha Pelernakan Sapi Perah di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA Ali, T .E . and L.R . Schaeffer. 1987 . Accounting for Covariances Among Test Day Milk Yield In Dairy Cows . Can . Journal Anim . Sci ., 67 : 637-644 . Auran, T. 1976 . Studies on Monthly and Cumulative Monthly Milk Yield Records . Ill . Estimates of Genetic Parameters . Acta Agric .
Scand ., Stockholm . 26 : 3-9 . Baffour, A . 0 ., S . Brotherstone and W .G . Hill . 1996 . Genetic Analysis of Test Day Production In Second Lactation of British Holstein t riesian Cows . Archive fur Tierzucht . 39 : 213-226 . Cameron, N . D . 1997 . Selection Indices and Prediction of Genetic Merit in Animal Breeding . CAB International . Danell, B . 1982 . Studies on Lactation Yield and Individual Test Day
Yields of Swedish Dairy Cows . 11 . Estimates of Genetic and Phenotypic parameters . Acta Agric . Scand., Stockholm . 32 : 83-91 . Ditjen Peternakan . 2008 . Buku Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta . Direktorat Perbibitan . 2007 . Petunjuk Operasional Pelaksanaan Uji Zuriat Sapi Perah Nasional . Direktorat Perbibitan, Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta . Falconer, D .S . and T .F .C . Mackay . 1996 . Introduction to Quantitative
Genetics . 4`" . Ed . Longman Sci . and Tech . England. Gengler, N ., A . Tijani, G .R . Wiggans and J .C . Phipot . 2001 . Estimation of (Co) Variance Function for Test Day Yield During First and Second Laction in the United States . Abstract . Journal Dairy Sci . 84 :542 . Goddart, M . 1992 . Breeding Objectives for Dairy Cattle . In Animal Breeding the Modern Approach . Ed . K . Hammond, H .U . Grasser and C .A . McDonald . Hamidah, 1 . 1987 . Pendugaan Parameter Genetik Produksi Susu dari Sebagian Laktasi pada Sapi Perah Fries Holland . Tesis Magister Sains . Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hardjosubroto, W . 1994 . Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan . PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta . Henderson, C .R . 1953 . Estimation of Variance and Covariance Components . Biometrics . 9 : 226-252 . Henderson, C . R . 1975 . Best Linear Unbiased Estimation and Prediction Under a Selection Model . Biometrics . 31 : 423-447 .
1 14
Prgfil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia
Henderson, C . R . 1976 . A Simple Method for Computing the Inverse of a Numerator Relationship Matrix Used in Predicting of Breeding Values . Biometrics . 32 : 69-83 . Henderson, C . R . 1984 . Application of Linear Models in Animal Breeding . University of Guelph . Indrijani, H . 2001 . Penggunaan Catatan Test Day untuk Mengevaluasi Mutu Genetik Sapi Perah. Tesis Magister Sains . Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor . Indrijani, H . 2008 . Penggunaan Catatan Produksi Susu 305 Hari dan Catatan Produksi Susu Test Day (Hari Uji) untuk Menduga Nilai Pemuliaan Produksi Susu Sapi Perah . Disertasi . Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung . Kinghorn, B . 1992 . Principle of Estimated Breeding Values . In Animal Breeding to Modern Approach . Ed . K . Hammond, H .U . Grasser and C .A . McDonald. Sydney University . Lynch, M . dan Walsch. 1999 . Genetics and Analyses of Quantitative Traits. Sinauer Associetes, Inc . Makin, M . 1983 . Evaluasi Mutu Genetik Produksi Susu Sapi Perah Fries Holland Hasil IB dan Non IB di Daerah Kecgmatan Lembang Kabupaten Bandung . Tesis Megister Sains, Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor . Maylinda, S . 1986 . Pendugaan Nilai Pemuliaan dan Keefisienan Reproduksi Sapi Perah di Beberapa Peternakan Sapi Perah di Kabupaten dan Kotamadya Malang . Tesis Magister Sains . Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor . Mekir, W .J . 1982 . Parameter Fenotipik dan Genetik Sifat-sifat Reproduksi dan Produksi Sapi Perah Fries Holland di Beberapa Perusahaan Peternakan . Tesis Magister Sains . Program Pascasarjana IPB, Bogor. Pallawarukka dan Talib, 2007 . Uji Progeny untuk Menjaring Bibit Pejantan Unggul Sapi Perah di Indonesia . Prosiding Inovasi Teknologi Sapi Perah Unggul Indonesia yang Adaptif pada Kondisi Agroekosistem Berbeda untuk Meningkatkan Dayasaing, 2007 . Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor . Pander, B .L ., W.G . Hill and R . Thompson . 1992 . Genetic Parameters of Test Day Records of British Holstein-Friesian Heifers . Animal Production . Edinburgh 55 : 11-21 . Ptak, E. dan Schaeffer . 1993 . The Use of Test Day Yield For Genetic Evaluation of Dairy Sires and Cows . Livest . Prod . Sci ., 34 : 23-34 .
115
Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia Reents, R ., J .C .M . Dekker and L.R.Schaeffer. 1995 . Genetic Evaluation for Somatic Cell Score With a Test Day Model For Multiple Lactation . Journal Dairy Sci ., 78 : 2858-2870 . Rekaya, R . M .J . Cabarano and M . Toro . 1999 . The Use of Test Day Yield for Genetic Evaluation of Production Traits in Holstein-Friesian Cattle . Livest . Prod . Sci ., 57 : 203-217 . Swalve, H . H . 1995a . The Effect of Test Day Model on the Estimation of Genetic Parameters and Breeding Values for Dairy Yield Traits . Journal Dairy Sci ., 78 : 929-938 . Swalve, H . H . 1995b . Test Day Models in The Analysis of Dairy Production Data : A Review . Arcv . Tier ., Dummerstorf, 38(6) : 591612 . Talib, C . 2001a . Evaluasi Genetik Sapi Perah FH sebagai Temak Penghasil Bibit. 1 . Evaluasi Pejantan . Journal Ilmiah Gakuryoku Vol VI : 2 : 149-155, Persatuan Alumni dari Jepang-Persada . Talib, C . 2001b . Pengaruh Lingkungan pada Produksi Susu Sapi Fries Holland . Journal Ilmiah Gakuryoku Vol VI(1) : 79-84, Persatuan Alumni dari Jepang-Persada . Talib, C . 2002 . Faktor-faktor yang Mempengaruhi . Produktivitas Sapi
Perah FH dibawah Manajemen Perusahaan Komersial, Sukabumi, PT Taurus Dairy Farm . Journal Ilmiah Gakuryoku Vol VII(l) : 81-87, Persatuan Alumni dari Jepang-Persada . Talib, C ., 2007 . Grand Design Pembibitan Sapi Perah di Indonesia . Prosiding Inovasi Teknologi Sapi Perah Unggul Indonesia yang Adaptif pada Kondisi Agroekosistem Berbeda untuk Meningkatkan Dayasaing, 2007 . Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor . Wright, S . 1917 . The Average Correlation within Subgroups of a Population . Journal Washington Academic Science 7 : 532-535 .
1 16