perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KEBIJAKAN PEMERINTAH KABUPATEN SRAGEN DALAM RANGKA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT MELALUI PENGGALANGAN DANA WUKIRWATI MENURUT PENDEKATAN HUKUM RESPONSIF
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajad Magister Program Studi Ilmu Hukum Minat Utama : Hukum dan Kebijakan Publik
Disusun Oleh : Suharto NIM : S310409021
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SU R A KtoAuser R TA commit 2011
i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KEBIJAKAN PEMERINTAH KABUPATEN SRAGEN DALAM RANGKA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT MELALUI PENGGALANGAN DANA WUKIRWATI MENURUT PENDEKATAN HUKUM RESPONSIF
Disusun Oleh : Suharto NIM : S310409021
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing : Dewan Pembimbing
Jabatan 1.
2.
Pembimbing I
Pembimbing II
Nama
Tanda tangan
Prof. Dr. Adi Sulistyono, S.H., M.H. NIP : 196302091988031003 Prasetyo Hadi Purwandoko,S.H, M.S. NIP : 196004161986011002
……………… ……...………
……………… ……..……….
Mengetahui: Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum
Prof. Dr. Adi Sulistyono, S.H., M.H NIP : 196302091988031003 commit to user
ii
Tanggal
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KEBIJAKAN PEMERINTAH KABUPATEN SRAGEN DALAM RANGKA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT MELALUI PENGGALANGAN DANA WUKIRWATI MENURUT PENDEKATAN HUKUM RESPONSIF
Disusun Oleh :
Suharto NIM : S3104090
Telah disetujui oleh Tim Penguji : Jabatan Ketua
Nama
Tanda Tangan
Tanggal
Prof. Dr. H. Setiono, SH.,MS ....................... ...................
Sekretaris Burhanudin Harahap, SH.,MH.,Msi.,PhD ....................... ................... Anggota
1. Prof. Dr. Adi Sulistyono, SH., MH. ....................... ................... 2. Prasetyo Hadi Purwandoko, SH., MS. ....................... ................... Mengetahui,
Ketua Program Prof. Dr. Adi Sulistyono, SH., MH. Studi Ilmu Hukum NIP : 196302091988031003 ....................... ................... Direktur Program Pascasarjana
Prof. Dr. Ir Ahmad Yunus, MS NIP : 196107171986011001 ....................... ................... commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Nama
: Suharto
NIM
: S3104090 Menyatakan
dengan
sesungguhnya
bahwa
tesis
yang
berjudul:
“Kebijakan Pemerintah Kabupaten Sragen Dalam Rangka Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Melalui Penggalangan Dana Wukirwati Menurut Pende-katan Hukum Responsif“, adalah benar-benar karya saya sendiri. Hal yang bukan karya saya, dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tersebut di atas tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik, yang berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.
Surakarta, Oktober 2011 Yang membuat pernyataan,
SUHARTO
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat, rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Kebijakan Pemerintah Kabupaten Sragen Dalam Rangka Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Melalui Penggalangan Dana Wukirwati Menurut Pendekatan Hukum Responsif”. Tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan pendidikan
S-2
Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis sangat menyadari bahwa penulisan tesis ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan koreksi, saran dan kritikan yang bersifat membangun guna penyempurnaan tesis ini. Berbagai hambatan penulis hadapi dalam penyusunan tesis ini, namun berkat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, maka hambatan tersebut dapat diatasi. Oleh karena itu, melalui kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Ravik Karsidi, selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Bapak Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS, selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH. M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 4. Bapak Prof. Dr. Adi Sulistyono, SH. MH., selaku Ketua Program Magister Ilmu
Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta dan
Pembimbing I yang telah meluangkan waktu untuk mengarahkan dan membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini. 5. Bapak Burhanudin Harahap, S.H.,M.H.,M.Si.,Ph.D, selaku Sekretaris Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 6. Bapak Prasetyo Hadi Purwandoko, SH., MS., selaku Pembimbing II yang commit to user telah membantu dan mengarahkan penulis dalam menyusun tesis ini.
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7. Bapak Prof. Dr. H. Setiono, S.H., M.S., selaku Ketua tim penguji tesis. 8. Bapak/ Ibu Dosen
Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret Surakarta 9. Seluruh Staf Program Studi Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. 10. Para Pejabat Satuan Perangkat Daerah Pemerintah Kabupaten Sragh Kabupaten Sragen khususnya staf Bagian Hukum Sekretariat Daerah Pemerintah Kabupaten Sragen yang telah memberikan masukan dan membantu terselesaikannya penulisan tesis. 11. Ibunda yang selalu mendoakan dan merestui setiap langkah perjalanan hidup yang ditempuh anaknya sebagai konsekuensi dari tindakannya yang telah diambil apapun yang dirasakan ; bahagia, sedih dan duka serta pahit dan getirnya kehidupan. 12. Isteri tercinta Trie Ratna Wahyuningsih, yang selalu memberikan motivasi dan semangat serta dorongan untuk menyelesaikan penulisan tesis. 13. Anak-anak terkasih ; Wahyudo Tora Hananto, S.H, M.H, Novita Ayu Hartantrie, S.Sos dan Karina Ajeng Hanavitrie yang sekarang masih menempuh Program Sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial Politik Jurusan Administrasi Negara Universitas Sebelas Maret Surakarta yang selalu memberikan spirit bahkan sering mengolok-olok apabila tugas-tugas yang mestinya diselesaikan tidak segera dikerjakan. 14. Cucu-cucu yang cantik ; Justicia Tiara Maharani dan Medicia Laura Mahadewi. 15. Rekan-rekan mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta khususnya Konsentrasi Hukum Kebijakan Publik Angkatan 2009. 16. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan tesis ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, namun penulis sangat berharap kepada semua pihak agar tesis ini dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Surakarta, Oktober 2011 Penulis
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ......................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING .............................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN TESIS ............................................................
iii
HALAMAN PERNYATAAN .......................................................................
iv
KATA PENGANTAR ...................................................................................
v
DAFTAR ISI ..................................................................................................
viii
ABSTRAK .....................................................................................................
ix
ABSTRACT ...................................................................................................
x
BAB I : PENDAHULUAN ............................................................................
xi
A. Latar Belakang Masalah .....................................................................
1
B. Perumusan Masalah ...........................................................................
1
C. Tujuan Penelitian ...............................................................................
5
D. Manfaat Penelitian .............................................................................
6
BAB II : LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR .................
7
A. Landasan Teori ...................................................................................
8
1. Tinjauan tentang Pemerintahan Daerah .......................................
8
2. Tinjauan Umum tentang Kewenangan Daerah ............................
8
3. Tinjauan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan .............
14
4. Teori tentang Kebijakan Publik ..................................................
19
5. Hubungan Hukum dan Kebijakan Publik ....................................
28
6. Penggalangan Dana Masyarakat ..................................................
36
7. Tinjauan Hukum Responsif ........................................................
43
B. Kerangka Berpikir ..............................................................................
46
BAB III : METODE PENELITIAN ..............................................................
54
A. Jenis Penelitian ...................................................................................
56
B. Pendekatan Penelitian ........................................................................
56
C. Lokasi Penelitian ...............................................................................
58
D. Jenis dan Sumber Data ....................................................................... to user E. Teknik Pengumpulan Datacommit .................................................................
59
viii
59
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
F. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum ............................................
60
BAB IV : HASIL PENELITIAN, ANALISIS DAN PEMBAHASAN .........
61
A. Hasil Penelitian
62
1. Gambaran umum ………………………………………………...
62
a. Lokasi Penelitian …………………………………………...
62
b. Pola Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Daerah Kabupaten
62
Sragen ………………………………………………………… c. Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah
64
Kabupaten Sragen ……………………………………………. 2. Kewenangan Bupati Sragen dalam menggalang Dana
65
Masyarakat ……………………………………………………… 3. Kedudukan Peraturan Bupati Sragen Nomor 16 Tahun 2009
73
ditinjau menurut pendekatan hukum responsif …………………. 78 B. Hasil Analisis 1. Kewenangan Bupati Sragen dalam menggalang Dana Masyarakat .................................................................................. .
2. Kedudukan Peraturan Bupati Sragen Nomor 16 Tahun 2009
81 81 81
ditinjau menurut pendekatan hukum responsif ............................ 89 BAB V : KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN ............................... A. Kesimpulan ........................................................................................
94
B. Implikasi .............................................................................................
94
C. Saran ...................................................................................................
94 95
Daftar Pustaka ................................................................................................
commit to user
ix
97
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK SUHARTO, S.310409021, KEBIJAKAN PEMERINTAH KABUPATEN SRAGEN DALAM RANGKA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT MELALUI PENGGALANGAN DANA WUKIRWATI MENURUT PENDEKATAN HUKUM RESPONSIF, Tesis : Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Kewenangan Bupati Sragen dalam Penggalangan dana dari masyarakat melalui Peraturan Bupati Sragen tentang Pengelolaan Dana Wujud Mikir Sukowati (WUKIRWATI) Kabupaten Sragen. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif atau doktrinal, yaitu berdasar pada hukum positif di dalam sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, dengan mendasarkan pada konsep hokum yang ke-2 dimana hokum dikonsepsikan sebagai norma atau kaidah yang bersifat positif dalam sistem perundang-undangan. Bentuk penelitian yang digunakan adalah diagnostik evaluatif, karena merupakan kajian yang bersifat analitis. Analisis datanya menggunakan analisis deduktif, karena melakukan inventarisas segenap peraturan hokum dengan dikomunikasikan dengan data empiris hasil wawancara. Berdasarkan hasil penelitian dan pengkajian terhadap Peraturan Bupati Sragen tentang Pengelolaan Dana Wujud Mikir Sukowati (WUKIRWATI) Kabupaten Sragen berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan peraturan pelaksanaan lainnya serta ditinjau menurut pendekatan hukum responsif diperoleh kesimpulan Pertama, Bupati Sragen berwenang menetapkan Peraturan Bupati Sragen tentang Pengelolaan Dana Wujud Mikir Sukowati (WUKIRWATI) Kabupaten Sragen, Kedua, kedudukan penetapan Peraturan Bupati Sragen tentang Pengelolaan Dana Wujud Mikir Sukowati (WUKIRWATI) Kabupaten Sragen ditinjau menurut pendekatan hukum responsif merupakan langkah yang dapat dibenarkan secara yuridis, karena produk hukum daerah tersebut ditetapkan dalam rangka untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, hukum itu memang diciptakan untuk kepentingan masyarakat bukan sebaliknya dan penetapan Peraturan Bupati Sragen Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Dana Wujud Mikir Sukowati (WUKIRWATI) Kabupaten Sragen tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi berdasarkan pada kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.
commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT SUHARTO, S.310409021, THE POLITICS OF SRAGEN GOVERNMENT TO INCREASE WELFARE SOCIETY THROUGH FUND-RAISING WUKIRWATI ACCORDING TO RESPONSIVE LEGAL APPROACH, Thesis : Postgraduate Program of Sebelas Maret of Surakarta.
This research aims to determine the authority of the Regent Sragen about fund-raising Wukirwati in order to Sragen Regent Regulation of the management of Funds wukirwati in Sragen Regency.
This is normative legal research, with positive law in Indonesia legal system, based on legal concept of the second. Using an evaluative-diagnostic method and deductive analysis, this research is about to find rules so that it can be adjusted with empirical data from the interview.
Then, the conclusions are : first, Regent of Sragen have the power to establish Regent Regulation of the Management of Funds wukirwati in Sragen Regency. It was according to Law No. 12/2011 of the Establishment of Regulations, and Law No. 32/2004 of the Local Governance. Second, according to responsive legal approach, position of the Regent to established that Regulation were legally correct. It was establishes to increases welfare society, and it was not contrary with higher regulations.
commit to user
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional yang hanya dapat terwujud apabila didukung oleh cara dan metode yang pasti, bakudan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah beberapa kali diubah,dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memberikan kewenangan yang sangat luas kepada setiap pemerintah daerah. Kewenangan pemerintah daerah adalah sepanjang kewenangan tersebut tidak menjadi kewenangan pemerintah pusat, pemerintah daerah mempunyai keleluasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemberian otonomi yang sangat luas tersebut kepada daerah pada dasarnya
diarahkan
untuk
mempercepat
terwujudnya
kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan partisipasi masyarakat. Di samping itu melalui otonomi yang luas daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, pemerintah daerah mempunyai kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberikan pelayanan, peningkatan partisipasi, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. commit to user
1
perpustakaan.uns.ac.id
Penyelenggaraan
digilib.uns.ac.id
kebijakan pemerintahan yang “tidak terikat”
memang membuka peluang yang lebar bagi fungsi peraturan secara administratif. Secara keseluruhan, dapatlah dibayangkan betapa banyak peraturan perundang-undangan yang belum tentu semuanya memenuhi syarat asas perundang-undangan (wet gevings principle) yang patut dan baik.1 Penyelenggara pemerintahan daerah dalam melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban dan tanggungjawabnya, atas dasar kuasa peraturan perundangundangan yang lebih tinggi dapat menetapkan kebijakan daerah yang dirumuskan dalam produk hukum daerah, baik dalam bentuk peraturan daerah, peraturan kepala daearah maupun keputusan kepala daerah dengan ketentuan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya, tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan daerah lainnya. Pemberian otonomi kepada daerah dan pemberian kewenangan kepada daerah dalam menetapkan produk hukum daerah dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan keleluasaan kepada daerah sesuai dengan kondisi lokalistiknya dan untuk mendekatkan jarak antara pejabat daerah dengan masyarakatnya sehingga terbangun suasana komunikatif yang intensif dan harmonis, artinya keberadaan rakyat di daerah sebagai pendukung utama demokrasi mendapat tempat dan saluran untuk berpartisipasi dalam menyusun produk hukum daerah yang akan ditetapkan. Dengan demikian keberhasilan suatu penyelenggaraan pembangunan pada era otonomi daerah tidak terlepas dari adanya peran serta masyarakat secara aktif. Masyarakat daerah, baik sebagai kesatuan sistem maupun sebagai individu, merupakan bagian integral yang sangat penting dari sistem pemerintahan daerah, karena prinsip penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera. Oleh sebab itu, maka tanggung jawab atas penyelenggaraan pemerintahan daerah, sesungguhnya bukan saja 1
Kusumarita Atyanto, Hukum tentang Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan commit to user Kebijakan, Jurnal Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila Edisi Nomor 4 Bulan November Tahun 2009, Jakarta, hlm. 46
2
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berada di tangan pemerintah daerah dan aparat pelaksananya, tetapi juga menjadi tanggungjawab masyarakat daerah yang bersangkutan. Penyelenggaraan
pemerintahan
daerah
pada
era
otonomi
dikembangkan agar pemerintah daerah dapat menggalang partisipasi masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya, apabila masyarakat ikut berperan aktif dan dilibatkan, pemerintah daerah dalam membuat kebijakan daerah akan mendapat dukungan dari masyarakat. Hal-hal yang mendasar dalam otonomi daerah adalah kuatnya upaya untuk mendorong pemberdayaan masyarakat, pengembangan prakarsa dan kreativitas, peningkatan peran serta masyarakat, dan pengembangan peran dan fungsi DPRD yang memberikan otonomi secara penuh kepada daerah Kabupaten/Kota untuk membentuk dan melaksanakan kebijakab menurut prakarsa dan aspirasi masyarakatnya. Artinya, saat ini daerah sudah diberi kewenangan penuh untuk merencanakan, melaksanakan, mengawasi, mengendalikan dan mengevaluasi kebijakan-kebijakan daerah. Dengan semakin besarnya partisipasi masyarakat ini, desentralisasi kemudian akan mempengaruhi komponen kualitas pemerintahan lainnya. Salah satu berkaitan dengan pergeseran orientasi pemerintah, dari command and control menjadi berorientasi pada tuntutan dan kebutuhan public. Orientasi yang seperti ini kemudianbakan menjadi dasar bagi pelaksanaan peran pemerintah sebagai stimulator, fasilitator, koordianator dan entrepenur (wirausaha) dalam proses pembangunan.2 Oleh karena itu, penyelenggaraan pemerintahan daerah yang demokratis dan akuntabel merupakan konsekuensi logis dari otonomi daerah. Paradigma-paradigma
tersebut
digunakan
untuk
menciptakan
kemaslahatan bagi masyarakat, mulai dari pradigma dikotomi politik dan administrasi, prinsip-prinsip administrasi, administrasi publik sebagai ilmu politik, administrasi publik sebagai ilmu administrasi, administrasi publik
2
Asri Umar, Kerangka Strategis Perubahan Manajemen Keuangan Daerah Sebagai Implikasi UU RI Nomor 22 Tahun 1999 dan UU RI Nomor 35 Tahun 1999, Jurnal Hukum Pro commit to user Justitia Fakultas Hukum Universitas Perahyangan Bandung, Tahun XXII No.2, April 2004 (Terakreditasi), hlm. 67
3
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sebagai ilmu administrasi publik, administrasi public sebagai administrasi pembangunan, reformasi admnistrasi, New Public Management hingga Good Governance.3 Berdasarkan Visi dan Misi yang ditetapkan oleh Bupati Sragen dalam rangka mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat, mencanangkan tiga prioritas kebijakan antara lain pada bidang ekonomi, pendidikan dan kesehatan yang dilaksanakan secara bersama-sama, berkesinambungan dan konsisten pada periode pertama menjabat sebagai Bupati Sragen dimulai pada tahun 2001-2006 dan dilanjutkan pada periode jabatan yang kedua pada tahun 2006-2011.Untuk
mewujudkan
peningkatan
kesejahteraan
masyarakat
khususnya pada bidang ekonomi, maka diprioritaskan untuk mendorong masyarakat untuk berwirausaha, untuk memulai berwirausaha lebih banyak ditentukan oleh keberanian berinovasi dan bekerja keras.4 Adapun upaya yang dikembangkan antara lain program dana bergulir (recovery fund) di masing-masing satuan kerja perangkat daerah dengan sasaran masyarakat yang masuk kategori miskin, kelompok usaha ekonomi produktif dengan model pinjaman lunak bunga di bawah bank konvensional tanpa agunan dianggarkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Dikarenakan keterbatasan anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Sragen, Bupati Sragen berinisiatif yang pada intinya meminta dukungan dan partisipasi masyarakat Sragen secara sukarela untuk membantu Pemerintah
Daerah
untuk
mempercepat
mewujudkan
peningkatan
kesejahteraan masyarakat Sragen dan sebagai wadah partisipasi masyarakat diterbitkan produk hukum daerah untuk menggalang dana dari masyarakat dengan Program Penggalangan Dana Wukirwati di wilayah Kabupaten Sragen yang ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
3
John Maynard Smith, Reinventing Government : How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Public Sector, Nature 393 : 639-40
user Untung Wiyono, Menyiasati Hidupcommit dengan to Berwirausaha, Perusda Percetakan dan Penerbitan, Sragen, 2008, hlm. 113 4
4
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berdasarkan uraian tersebut, hakekat Program Penggalangan Dana Wukirwati adalah menghimpun sumbangan masyarakat di wilayah Kabupaten Sragen dikelola dan dikembalikan ke masyarakat untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat dan bantuan sosial. Pendekatan hukum responsif diharapkan bisa membantu memecahkan persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Tujuan hukum harus benarbenar untuk mensejahterakan masyarakat dalam kepentingan yang lebih besar, bukan untuk kepentingan mereka yang berkuasa. 5 Penulisan tesis ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang nyata mengenai kebijakan pemerintah Kabupaten Sragen dalam menghimpun dana yang berasal dari masyarakat melalui Penggalangan Dana Wukirwati. Sejalan dengan fokus penulisan tesis ini penulis bermaksud Fokus dalam menganalisisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang kewenangan Bupati Sragen dalam menggalang atau menghimpun dana dari masyarakat yang ditetapkan dengan Peraturan Bupati Sragen, dan ditinjau menurut pendekatan hukum responsif. Dengan mempertimbangkan hal hal sebagaimana tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk mengajukan tesis dengan judul : “Kebijakan Pemerintah
Kabupaten
Sragen
Dalam
Rangka
Peningkatan
Kesejahteraan Masyarakat Melalui Penggalangan Dana Wukirwati Menurut Pendekatan Hukum Responsif “
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang sebagaimana tersebut diatas , untuk menegaskan masalah yang akan diteliti agar lebih mudah dalam pengkajiannya dan tercapai sasaran yang diinginkan, dapat dirumuskan dengan rumusan masalah sebagai berikut :
user in Transition Toward Responsive Law, Philipe Nonet dan Philip Selznick,commit Law andtoSociety New York, Harper and Row, 1978, 164 5
5
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1. Apakah Bupati Sragen mempunyai kewenangan menggalang dana dari masyarakat dengan menetapkan Peraturan Bupati Sragen Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Wujud Mikir Sukowati (Wukirwati) Kabupaten Sragen ? 2. Bagaimanakah kedudukan Peraturan Bupati Sragen Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Wujud Mikir Sukowati (Wukirwati) Kabupaten Sragen dalam sistem perundang-undangan, ditinjau dari pendekatan hukum responsif?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian merupakan sasaran yang ingin dicapai sebagai pemecahan masalah yang dihadapi dan sekaligus untuk melakukan pengkajian dari aspek hukum. Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan diatas, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Tujuan Obyektif : a. Untuk mengetahui dasar hukum tentang kewenangan Bupati Sragen dalam menggalang dana dari masyarakat dengan menetapkan Peraturan Bupati Sragen Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Wujud Mikir Sukowati (Wukirwati) Kabupaten Sragen ? b. Untuk mengetahui kedudukan Peraturan Bupati Sragen Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Wujud Mikir Sukowati (Wukirwati) Kabupaten Sragen dalam sistem perundangundangan ditinjau menurut pendekatan Hukum Responsif ? 2. Tujuan Subyektif a. Untuk memperoleh data yang lengkap guna penyusunan tesis untuk melengkapi persyaratan dalam mencapai gelar Magister dalam Program Studi Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Kebijakan Publik di Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. commit to user
6
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Untuk menambah pengetahuan dan pemahaman penulis terhadap penerapan teori-teori Hukum dan peraturan Perundang-undangan hukum yang berlaku serta untuk melakukan kajian hukum. c. Untuk menambah pengetahuan dalam melakukan pengkajian suatu kebijakan pemerintah daerah yang berkaitan dengan peningkatkan kesejahteraan masyarakat.
D. Manfaat Penelitian Setiap penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat dan kegunaan baik secara teoritis maupun praktis berdasar dari hasil penelitian. Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Praktis a. Memberikan bahan pertimbangan dan rekomendasi bagi aparatur pemerintah daerah dalam penyusunan produk hukum daerah yang dikeluarkan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Sragen serta diharapkan dapat berguna bagi yang berminat melakukan penelitian terhadap masalah yang sama. b. Meningkatkan pengetahuan penulis tentang masalah-masalah dan ruang lingkup yang dibahas dalam penelitian ini. 2. Manfaat Teoritis Dalam hal ini manfaat teoritis dari penelitian ini diharapkan mencapai hasil sebagai berikut : a. Dapat
memberikan
konstribusi
dan
mengembangkan
ilmu
pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan hukum pemerintahan daerah pada khususnya. b. Semakin
memperkaya
konsep-konsep
dan
teori-teori
tentang
pelaksanaan otonomi daerah dan penyusunan produk hukum daerah. c. Dapat dipakai sebagai respon terhadap penelitian-penelitian sejenis untuk tahap berikutnya. commit to user
7
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Landasan Teori 1. Tinjauan tentang Pemerintahan Daerah Entitas Pemerintah Daerah dalam suatu negara merupakan sesuatu keniscayaan yang dapat ditemukan baik pada negara yang berbentuk federal maupun negara kesatuan. Keterkaitan bentuk negara federal dan negara kesatuan dengan pemerintah daerah adalah sehubungan dengan adanya pembagian kekuasaan negara yang bersifat vertikal.6 Kekuasaan negara tidak hanya dipegang oleh pusat, tetapi sebagian diserahkan dan dilaksanakan oleh entitas hirarkis yang kedudukannya membentuk hubungan centrum (pusat) dan periferi (daerah). Menurut Juanda, penerapan pembagian kekuasaan di dalam negara yang berbentuk federal dimulai dari pembagian kekuasaan antara pemerintah negara federal dengan pemerintah negara bagian.7 Pembagian kekuasaan dalam pemerintahan negara federal ini kemudian diatur di dalam konstitusi sebagai bentuk pakta tertulis penyatuan beberapa negara ke dalam satu negara federal baru. Sementara itu, di dalam negara kesatuan pembagian semacam itu tidak dijumpai karena pada asasnya seluruh kekuasaan dalam negara berada di tangan pemerintah pusat. Walaupun demikian, tidak berarti bahwa seluruh kekuasaan berada ditangan
pemerintah
pusat, karena ada kemungkinan
mengadakan dekonsentrasi kekuasaan ke daerah lain dan hal ini tidak
6
Soehino, Otonomi Daerah: Evaluasi dan Proyeksi, Yayasan Harkat Bangsa, Jakarta, 1997, hlm. 11
commit to user Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara DPRD dan Kepala Daerah, Bandung: Alumni, Bandung, 2005, hlm. 43 7
8
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
diatur di dalam konstitusi, lain halnya dengan negara kesatuan yang bersistem
desentralisasi, didalam
konstitusinya terdapat
suatu
ketentuan mengenai pemencaran kekuasaan tersebut.8 Pembentukan organisasi pemerintah di daerah pada negara kesatuan tidak sama dengan pembentukan negara bagian seperti dalam negara federal. Kedudukan pemerintah daerah dalam sistem negara kesatuan adalah subdivisi pemerintahan nasional. pemerintah daerah tidak memiliki kedaulatan sendiri sebagaimana negara bagian dalam negara federal, hubungan pemerintah daerah dengan pemerintah pusat adalah dependent dan subordinat sedangkan hubungan negara bagian dengan negara federal/pusat dalam negara federal adalah independent dan koordinatif.
9
Sehubungan sifat keuniversalan pemerintahan daerah (local self government) di beberapa negara terkandung di dalamnya ciri-ciri sebagai berikut ; a. Segala urusan yang diselenggarakan merupakan urusan yang sudah dijadikan urusan-urusan rumah tangga sendiri sehingga urusan-urusannya perlu ditegaskan secara rinci. b. Penyelenggaraan
pemerintahan
dilaksanakan
oleh
alat-alat
perlengkapan yang seluruhnya bukan terdiri dari para pejabat pusat akan tetapi pegawai pemerintah daerah. c. Penanganan segala urusan itu seluruhnya diselenggarakan atas dasar inisiatif atau kebijaksanaan sendiri. d. Hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang mengurus rumah tangga sendiri adalah hubungan pengawasan. e. Seluruh penyelenggaraannya pada dasarnya dibiayai dari sumber keuangan sendiri.
8
Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 65
commit to user dan Otonomi Daerah, PT.Gramedia Hanif Nurcholish, Teori dan Praktik Pemerintahan Widiasarana, Jakarta, 2005, hlm. 6 9
9
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Menurut Bhenyamin Hossein, keseluruhan prinsip tersebut menunjukkan pengertian pemerintah daerah sebagai suatu daerah otonom. Lebih lanjut diuraikan bahwa dalam pengertian ini, pemerintah daerah berkedudukan sebagai sub divisi politik nasional yang diatur oleh hukum dan secara substansil mempunyai kontrol atas urusan-urusan lokal. Badan pemerintah ini secara keseluruhan dipilih atau ditunjuk secara lokal. Dalam pengertian ini, pemerintah daerah mempunyai otonomi lokal yaitu mempunyai kewenangan mengatur (rules making) dan mengurus (rules aplication) kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri.10 Pertanyaan selanjutnya, seberapa besar batas kepentingan masyarakat yang dapat diatur dan diurus oleh pemerintah daerah. Dalam hal ini berarti mendiskusikan tentang cara penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Penyerahan tersebut dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu ultra vires doctrine dan general competente.11 Cara ultra vires doctrine menunjukkan cara di mana pemerintah pusat menyerahkan wewenang pemerintahan kepada daerah otonom dengan cara merinci satu per satu. Daerah otonom hanya boleh menyelenggarakan wewenang yang diserahkan tersebut. Sisa wewenang dari wewenang yang diserahkan kepada daerah otonom secara terpirinci tersebut tetap menjadi wewenang pusat. Dalam general competence, daerah otonom boleh menyelenggarakan semua urusan di luar yang dimiliki oleh pemerintah pusat. Artinya, pusat menyerahkan kewenangan pemerintahan kepada daerah otonom
untuk menyelenggarakan
berdasarkan
kebutuhan
dan
inisiatifnya sendiri di luar kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah
10
Bhenyamin Hossein, Transparansi Pemerintahan, Jurnal Inovasi, November, 2001, hlm. 3 commit user Sunaryo, Kebijakan Otonomi Daerah EratoReformasi, Jurnal Kosmik Hukum Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Vol. 2 No. 2 tahun 2009, hlm. 12 11
10
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pusat. Di sini pusat tidak menjelaskan secara spesifik kewenangan apa saja yang diserahkan kepada daerah. Adanya
pemerintahan
daerah
dimulai
dari
kebijakan
desentralisasi. Dengan mengutip pendapat Rondinelli, Nellis, dan Chema, menegaskan bahwa desentralisasi merupakan penciptaan atau penguatan
baik
pemerintahan
sub
keuangan nasional
maupun yang
hukum,
pada
unit-unit
penyelenggaraannya
secara
substansial di luar kontrol langsung pemerintah pusat.12 Sedangkan menurut Henry Maddick, bahwa desentralisasi adalah penyerahan kekuasaan secara hukum untuk menangani bidang-bidang atau fungsifungsi tertentu kepada daerah otonom.13 Secara umum, desentralisasi mencakup kepada empat bentuk, yaitu dekonsentrasi, devolusi, pelimpahan pada lembaga semi otonom, dan privatisasi. 14 Dekonsentrasi merupakan penyerahan beban kerja dari kementerian pusat kepada pejabat-pejabatnya yang berada di wilayah. Penyerahan ini tidak diikuti oleh kewenangan membuat keputusan dan diskresi untuk melaksanakannya. Selanjutnya, devolusi merupakan pelepasan fungsi tertentu dari pemerintah pusat untuk membuat satuan pemerintahan baru yang tidak dikontrol secara langsung. Tujuan
devolusi adalah
untuk memperkuat satuan
pemerintahan di bawah pemerintah pusat dengan cara mendelegasikan kewenangan dan fungsi. Selain dalam bentuk dekonsentrasi dan devolusi, desentralisasi juga dilakukan dengan cara pendelegasian pembuatan keputusan dan kewenangan
administratif
kepada
organisasi-organisasi
yang
melakukan fungsi-fungsi tertentu yang tidak di bawah pengawasan kementerian pusat. Pendelegasian tersebut menyebabkan pemindahan 12
Op. Cit, hlm. 10 Henry Maddick, Desentralisasi dalam Praktek, Pustaka Kendi, Yogyakarta, 2004, hlm. 9 14 commit toPusat userdan Pemerintah Daerah, Rineka Cipta, Irawan Soedjito, Hubungan Pemerintah Jakarta, 2003, hlm. 34 13
11
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
atau penciptaan kewenangan yang lebih luas kepada suatu organisasi yang secara teknis dan administratif mampu menganganinya, baik dalam merencanakan maupun melaksanakan. Dalam rangka desentralisasi, daerah otonom berada di luar hirarki organisasi pemerintah pusat, sedangkan dalam rangka dekonsentrasi, wilayah administrasi (field administration) dalam hirarki organisasi pemerintah pusat. Desentralisasi menunjukkan hubungan kekuasaan antar organisasi, sedangkan dekonsetrasi menunjukkan model hubungan kekuasaan inter organisasi.15 Dalam desentralisasi
praktik di Indonesia selama dan
dekonsentrasi,
juga
ini, di samping
dikenal
adanya
tugas
pembantuan (medebewind). Di Belanda medebewind diartikan sebagai pembantu penyelenggaraan kepentingan-kepentingan dari pusat atau daerah-daerah yang tingkatannya lebih atas oleh perangkat daerah yang lebih bawah. Menurut Bagir Manan, tugas pembantuan diberikan oleh pemerintah pusat atau pemerintah lebih atas kepada pemerintah daerah di bawahnya berdasarkan Undang-Undang.16 Oleh karena itu, medebewind sering disebut sebagai tantra/tugas pembantuan, karena tugas pembantuan pada dasarnya adalah melaksanakan kewenangan peme-rintah pusat atau pemerintah di atasnya, maka sumber biaya dari pemerintah yang memberikan penugasan, sumber biaya bisa berasal dari APBN atau APBD pemerintah daerah yang lebih tinggi. Menurut Moh. Mahfud MD, dalam konteks hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah, maka ketiga asas tersebut yaitu asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, dan asas tugas pembantuan, secara
15
Roger Montgomery, Indonesia’s Decentralization Policy : Initial Experiences and Emerging Problems, The International Journal of Law, Vol. 8, N.14, 2008, pp 23 16 to user Bagir Manan, Hubungan Pusatcommit dan Daerah Berdasarkan Asas Desentralisasi Menurut UUD 1945, PT. Sinar Harapan, Jakarta, 1994, hlm. 85
12
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bersama-sama menjadi asas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia.17 Salah satu prinsip negara hukum adalah bahwa setiap penyelenggaraan urusan pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan atau harus berdasarkan pada kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan, dengan kata lain setiap penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan harus memiliki legitimasi yaitu kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Tanpa dasar kewenangan, pemerintah tidak dapat melakukan tindakan yang dapat mempengaruhi hak dan kewajiban warganegara. Kewenangan
yang
diberikan
oleh
pemerintah
kepada
pemerintah provinsi, kabupaten/kota diberikan melalui tiga cara ; a. Atribusi, yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh pembuat Undang-Undang kepada organ pemerintahan, wewenang yang diberikan langsung dari Undang-Undang atau Peraturan Daerah. b. Delegasi, yaitu pelimpahan wewenang oleh organ pemerintahan kepada organ lainnya, wewenang ini adalah ketika daerah melaksanakan urusan yang berasal dari tugas pembantuan. c. Wewenang, yaitu prakarsa dan inisiatif yang muncul sendiri dari masing-masing daerah, seiring dengan kebebasan dan kemandirian yang dimiliki, sesuai dengan potensi serta kekhasan daerah, wewenang ini disebut urusan pemerintahan yang bersifat pilihan.18 Pemberian kewenangan dari pemerintah kepada pemerintah daerah secara normatif diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diubah beberapa kali terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
17
Moh. Mahfud M.D, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998, hlm. 93.
to user Pertama, FH UII Press, Yogyakarta, 2009, Ridwan, Hukum Administrasi Di commit Daerah, Cetakan hlm. 67 18
13
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintah yang meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama. 2. Tinjauan Umum tentang Kewenangan Daerah Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “kewenangan” adalah hal berwenang, hak dan kewajiban yang dipunyai untuk melakukan hal sesuatu.19 Sedangkan menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia20 dinyatakan bahwa: “Kewenangan adalah kemampuan bertindak berdasarkan hukum, baik bagi perseorangan maupun lembaga hukum dan lembaga negara semenjak negara dianggap sebagai suatu status hukum (state) ataupun masyarakat hukum (legal society) yang dibentuk dengan suatu perjanjian masyarakat (social contract), sesuai pendapat J. J. Rouseau, kewenangan-kewenangan negara ialah kewenangan pembentuk hukum atau legislatif, kewenangan menerapkan hukum atau eksekutif, dan kewenangan menegakkan hukum atau yudikatif. Ketiga kewenangan ini kemudian dikenal sebagai asas Trias Politica.” Definisi tentang kewenangan yang lain juga banyak dibahas oleh para sarjana, yang antara lain seperti yang dikemukakan oleh The Liang Gie 21 adalah sebagai berikut : “Wewenang adalah kekuasaan yang sah untuk memerintahkan sesuatu atau melakukan suatu tindakan.” Sedangkan menurut Josef Riwu Kaho22 dinyatakan bahwa “Wewenang dapat dirumuskan sebagai hak suatu unit atau satu satuan kerja atau seseorang untuk melakukan tindakan agar tugas atau pekerjaan dilaksa-nakan dengan penuh tanggung jawab.” 19
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka, hlm.1010. 20 Tim Penyusun, 1990. Ensiklopedi Nasional Indonesia. Jakarta : PT. Cipta Adi Pustaka. hlm.455. 21 The Liang Gie, 1968, hlm. 59 22 user di Negara Republik Indonesia. Jakarta : Josef Riwu Kaho. 1991. Prospek commit Otonomi to Daerah Rajawali Press, hlm 217.
14
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sedangkan menurut Andi Mustari Pide23 “Wewenang adalah kekuasaan Kepala Daerah yang lahir atau muncul sebagai akibat kekuasaan yang diperolehnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan karena kedudukan Kepala Daerah itu sendiri baik karena dirumuskan secara jelas dalam peraturan pelaksanaan maupun secara tidak tertulis.” Sebagai akibat dari pelaksanaan desentralisasi, timbullah daerahdaerah Otonom. Otonom berarti mempunyai peraturan sendiri atau mempunyai hak/kekuasaan/kewenangan untuk membuat peraturan sendiri (seringkali juga hak/kekuasaan/kewenangan pengaturan atau legislatif sendiri). Dengan demikian Daerah Otonom adalah daerah yang berhak dan berkewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri yang diatur dan diurus tersebut adalah tugas-tugas atau urusan-urusan tertentu yang diserahkan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah-daerah untuk diselenggarakan sesuai dengan kebijaksanaan, prakarsa, dan kemampuannya sendiri. Teknik yang dipergunakan untuk menetapkan bidang-bidang yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah adalah sebagai berikut : a. Sistem Residu (Teori Sisa) Dalam sistem ini, secara umum telah ditentukan lebih dahulu tugastugas yang menjadi wewenang Pemerintah Pusat, sedangkan sisanya menjadi urusan rumah tangga daerah. Kebaikan sistem ini terletak pada saat timbulnya keperluan-keperluan baru, Pemerintah Daerah dapat dengan cepat mengambil keputusan dan tindakan yang dipandang perlu, tanpa menunggu perintah dari Pusat. Sistem ini dapat pula menimbulkan kesulitan mengingat kemampuan daerah yang satu dengan yang lainnya tidak sama dalam berbagai lapangan atau bidang.
commit to user Andi Mustari Pide. 1999. Otonomi Daerah Dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI. Jakarta : Gaya Media Pratama, hlm. 51. 23
15
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Sistem Material Dalam sistem ini, tugas Pemerintah Daerah ditetapkan satu persatu secara limitatif atau terinci. Di luar tugas yang ditentukan merupakan urusan Pemerintah Pusat. Cara ini kurang fleksibel karena setiap perubahan tugas dan wewenang daerah baik yang bersifat pengurangan maupun penambahan harus dilakukan melalui prosedur yang lama. Hal ini menghambat kemajuan daerah yang mempunyai inisiatif atau prakarsa, karena harus menunggu penyerahan yang nyata bagi setiap urusan. c. Sistem Formal Dalam sistem ini, urusan yang termasuk dalam urusan rumah tangga daerah tidak secara apriori ditetapkan dalam atau dengan UndangUndang. Daerah boleh mengatur dan mengurus segala sesuatu yang dianggap penting bagi daerahnya, asal saja tidak mencakup urusan yang telah diatur dan diurus oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang lebih tinggi tingkatannya. d. Sistem Otonomi Riil Dalam sistem ini, penyerahan urusan atau tugas dan kewenangan kepada daerah didasarkan pada faktor yang nyata atau riil, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang riil dari daerah maupun Pemerintah Pusat serta pertumbuhan kehidupan masyarakat yang terjadi. Kemungkinan yang dapat timbul adalah bahwa tugas atau urusan yang selama ini menjadi wewenang Pemerintah Pusat dapat diserahkan kepada Pemerintah Daerah dengan melihat kepada kemampuan dan keperluannya untuk diatur dan diurus sendiri. Pada suatu ketika, bilamana dipandang perlu, tugas yang kini menjadi wewenang daerah dapat dise-rahkan kembali kepada Pemerintah Pusat atau ditarik kembali dari daerah. commit to user
16
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
e. Prinsip Otonomi yang Nyata, Dinamis, dan Bertanggungjawab. Menurut Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, pemberian otonomi kepada daerah harus didasarkan pada faktor-faktor, perhitungan-perhitungan, dan tindakan-tindakan atau kebijaksanaankebijaksanaan yang benar-benar dapat menjamin daerah yang bersangkutan secara nyata mampu mengurus rumah tangganya sendiri, pemberian otonomi itu harus benar-benar sejalan dengan tujuannya yaitu melancarkan pembangunan yang tersebar di seluruh pelosok negara. Otonomi daerah lebih merupakan kewajiban daripada hak, pemberian otonomi kepada daerah tidak seluas-luasnya. Keluasannya ditentukan oleh pertimbangan daya guna dan hasil guna dalam penyelenggaraan pemerintah di daerah. Tambahan istilah dinamis berasal dari Ketetapan MPR No. IV/ MPR/ 1978 Tentang GBHN yang menegaskan bahwa otonomi itu tidak statis.24 f. Prinsip Otonomi yang Luas, Nyata, dan Bertanggungjawab Menurut Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, kewenangan
otonomi
luas
adalah
keleluasaan
daerah
untuk
menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, perta-hanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Keleluasaan
otonomi
mencakup
pula
kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi. Yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup, dan berkembang di daerah. Yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggungjawab adalah berupa perwujudan pertanggungjawaban commit to user 24
Josef Riwu Kaho, 1991. Log.Cit.hlm. 15-20
17
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi. Urusan yang menjadi tugas daerah dalam kewenangan otonominya sesuai dengan asas desentralisasi, pada dasarnya terdiri atas : 1) Urusan-urusan yang telah diserahkan oleh Pusat kepada Daerah berdasarkan ketentuan tentang penyerahan urusan sebagaimana diatur dalam berbagai Peraturan Pemerintah tentang penyerahan urusan. 2) Urusan-urusan yang merupakan kewenangan aslinya sebagaimana ditetapkan di dalam Undang-Undang pembentukan daerahnya.25 g. Menurut Penjelasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemintahan diluar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup, dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang
bertanggung
jawab
adalah
otonomi
yang
dalam
penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud
pemberian
otonomi,
yang
pada
dasarnya
untuk
commit to user Perhimpunan Sarjana Administrasi Indonesia, 1985, Pemantapan Pelaksanaan UndangUndang Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah. Bandung : Sinar Baru, hlm. 36. 25
18
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian dari tujuan nasional. 3. Tinjauan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Istilah perundang-undangan mempunyai dua pengertian yaitu proses pembentukan peraturan negara, baik tingkat pusat maupun daerah dan segala peraturan negara yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik pusat maupun daerah. Dengan demikian ilmu perundang-undangan bukan hanya bicara tentang proses pembentukan peraturan pada tingkat negara (pusat) melainkan juga seluruh peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh daerah. Hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan adalah mengenai daya laku dan daya guna serta keabsahan organ pembentuknya. Apabila dibentuk oleh lembaga yang berwenang dan sesuai dengan norma hukum yang berlaku dan sah, maka norma seperti ini memiliki legitimasi dan dapat ditaati masyarakat. Ada beberapa asas umum peraturan perundang-undangan meliputi: a. Undang-Undang tidak berlaku surut. b. Undang-Undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula. c. Undang-Undang yang bersifat khusus menyampingkan UndangUndang yang bersifat umum. d. Undang-Undang yang berlaku belakangan membatalkan UndangUndang yang berlaku terlebih dulu. e. Undang-Undang tidak dapat diganggu gugat. f. Undang-Undang
sebagai
sarana
semaksimal
mungkin
dapat
mensejahterakan spiritual dan material bagi masyarakat maupun pribadi melalui pembaharuan atau pelestarian. Selain asas-asas hukum umum, juga terdapat asas-asas hukum khusus yang berlaku bagi pembentukan peraturan perundang-undangan. commit to user
19
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Menurut I.C. van der Vlies dalam bukunya yang berjudul “Het wetsbegrip en beginselen van behoorlijke regelgeving”, membagi asas-asas dalam pem-bentukan peraturan negara yang baik (beginselen van behoorlijke regel-geving) ke dalam asas-asas yang formal dan yang material. 26 Asas-asas yang formal meliputi : a. asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling); b. asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste orgaan); c. asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel); d. asas dapatnya dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid); e. asas konsensus (het beginsel van consensus). Asas-asas yang material meliputi: a. asas tentang terminologi dan sistematika yang benar; b. asas tentang dapat dikenali; c. asas perlakuan yang sama dalam hukum; d. asas kepastian hukum; e. asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual. Hamid S. Attamimi berpendapat, bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut, adalah sebagai berikut: a. Cita Hukum Indonesia, yang tidak lain adalah Pancasila yang berlaku sebagai “bintang pemandu”; b. Asas Negara Berdasar Atas Hukum yang menempatkan Undangundang sebagai alat pengaturan yang khas berada dalam keutamaan hukum, dan Asas Pemerintahan Berdasar Sistem Konstitusi yang menempatkan
Undang-undang
sebagai
dasar
dan
batas
penyelenggaraan kegiatan-kegiatan Pemerintahan. c. Asas-asas lainnya, yaitu asas-asas negara berdasar atas hukum yang menempatkan undang-undang sebagai alat pengaturan yang khas berada dalam keutamaan hukum dan asas-asas pemerintahan berdasar 26
Korb, K,B.,Public Law Functions and Legislation, The Cambridge Law Journal/Volume commit to user 70/Issue 02, 2011, pp 279-282. Diambil dari : http://www.britislaw.org.uk/online.html/archieve/ 00000462/ [Diakses pada 20 Juni 2010]
20
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sistem konstitusi yang menempatkan undang-undang sebagai dasar dan batas penyelenggaraan kegiatan-kegiatan pemerintahan. Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut itu meliputi juga: a. asas tujuan yang jelas; b. asas perlunya pengaturan; c. asas organ/lembaga dan materi muatan yang tepat; d. asas dapatnya dilaksanakan; e. asas dapatnya dikenali; f.
asas perlakuan yang sama dalam hukum;
g. asas kepastian hukum; h. asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual. Apabila mengikuti pembagian mengenai adanya asas yang formal dan asas yang material, maka A. Hamid S. Attamimi cenderung untuk membagi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut tersebut ke dalam: a. Asas-asas formal, dengan perincian: 1) asas tujuan yang jelas; 2) asas perlunya pengaturan; 3) asas organ/ lembaga yang tepat; 4) asas materi muatan yang tepat; 5) asas dapatnya dilaksanakan; dan 6) asas dapatnya dikenali; b. Asas-asas material, dengan perincian: 1) asas sesuai dengan Cita Hukum Indonesia dan Norma Fundamental Negara; 2) asas sesuai dengan Hukum Dasar Negara; 3) asas sesuai dengan prinsip-prinsip Negara berdasar atas Hukum; 4) asas sesuai dengan prinsip-prinsip Pemerintahan berdasar Sistem Konstitusi.
commit to user
21
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik dirumuskan juga dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan khususnya Pasal 5 dan Pasal 6. Pasal 5 menjelaskan dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik yang meliputi: a. Kejelasan tujuan, bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundangundangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai; b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, adalah bahwa setiap jenis
Peraturan
Perundang-undangan
harus
dibuat
oleh
lembaga/pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang; c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan, bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis Peraturan Perundangundangannya; d. Dapat dilaksanakan, bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundangundangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundangundangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis; e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan, bahwa setiap Peraturan Perundangundangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; f.
Kejelasan rumusan, bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundangundangan sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan commitdalam to user berbagai macam interpretasi pelaksanaannya;
22
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
g. Keterbukaan, bahwa dalam proses Pembentukan Peraturan Perundangundangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan Peraturan Perundangundangan. Sementara Pasal 6 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menjelaskan bahwa asasasas yang harus dikandung dalam materi muatan Peraturan Perundangundangan dirumuskan sebagai berikut: a. Pengayoman, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketenteraman masyarakat; b. Kemanusiaan, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hakhak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional; c. Kebangsaan, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinnekaan) dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. Kekeluargaan, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan; e. Kenusantaraan, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila; f.
Bhinneka tunggal ika bahwa Materi Muatan Peraturan Perundangcommit to user undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku,
23
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut
masalah-masalah
sensitif
dalam
kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; g. Keadilan, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali; h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh berisi halhal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial; i.
Ketertiban dan kepastian hukum, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum;
j.
Keseimbangan; keserasian, dan keselarasan, bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan
Perundang-undangan
harus
mencerminkan
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara. Selain asas tersebut di atas, Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundangundangan yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan “asas lain sesuai dengan
bidang
hukum
Peraturan
Perundang-undangan
yang
bersangkutan”, antara lain: a. Dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah; b. Dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik. Beberapa bentuk peraturan hukum yang dapat digunakan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah dikenal dengan instrumen hukum daerah. Sesuai kedudukan hukum daerah otonom selaku commit to user
24
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
badan hukum publik dan lingkungan jabatan, maka peraturan hukum yang dapat digunakan adalah peraturan hukum perdata dan publik. Meskipun demikian, dalam bagian ini akan dibatasi pada instrumen hukum daerah otonom yang bersifat publik. Sebagaimana diketahui, daerah otonom selaku lingkungan jabatan dilekati wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan daerah dan urusan rumah tangga daerah.27 Keberadaan suatu instrument hukum daerah dalam bentuk hukum tertulis itu sangat penting dalam suatu negara hukum. Sebagai ketentuan tertulis yang mempunyai jangkaun terbatas dari berbagai unsur politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang paling berpengaruh pada saat pembentukan, karena itu mudah sekali aus (out of date) bila dibandingkan dengan perubahan masyarakat yang semakin cepat dan dinamis. Peraturan Kepala Daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat untuk melaksanakan Peraturan Daerah, baik dalam rangka otonomi maupun atas dasar tugas pembantuan. Peraturan Kepala Daerah ini identik dengan Peraturan Pemerintah, yakni sama-sama sebagai peraturan pelaksanaan (delegated legislation). Peraturan Pemerintah merupakan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang, sedangkan Keputusan Kepala Daerah merupakan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan Gubernur, Walikota atau Bupati untuk menjalankan Peraturan Daerah dan kewena-ngan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
commit to user Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2001, hlm. 71 27
25
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Bentuk Peraturan Kepala Daerah, antara lain sebagai berikut28 : a. Keputusan kepala daerah dalam rangka otonomi, yaitu peraturan perundang-undangan tingkat Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota yang ditetapkan oleh Gubernur, Walikota atau Bupati untuk melaksanakan peraturan daerah otonomi. b. Keputusan kepala daerah dalam rangka tugas pembantuan, yaitu peraturan
perundang-undangan
tingkat
daerah
Propinsi
dan
Kota/Kabu-paten yang ditetapkan oleh Gubernur, Walikota atau Bupati atas kuasa peraturan perundang-undangan lain yang berlaku. c. Keputusan kepala daerah dalam rangka dekonsentrasi, yaitu peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Gubernur selaku Kepala Wilayah atas kuasa peraturan perundang-undangan lain yang berlaku. Dalam
membentuk
peraturan
perundang-undangan
harus
mengindahkan landasan-landasan bagi keberadaan dan kekuatannya, maka suatu peraturan perundang-undangan yang baik harus memuat tiga landasan, yaitu landasan filosifis, landasan sosiologis dan landasan yuridis. Terkait dengan ketiga landasan tersebut, karena peraturan perundang-undangan itu adalah hukum yang bersifat dan berlaku mengikat umum, maka penekanan terhadap salah satu aspek saja tentu akan mengakibatkan terjadinya penyimpangan sifat dari hukum itu sendiri. Oleh sebab itu cara yang paling baik dan relevan untuk diterapkan adalah dengan memformulasikan ketiga landasan tersebut secara bersamasama kedalam suatu peraturan perundang-undangan.29 a) Landasan Filosofis: landasan membentuk peraturan perundangundangan didasarkan pada nilai filosofis yang mempertimbangkan
28
Marcus Lukman, Eksistensi Peraturan Kebijaksanaan dalam Bidang Perencanaan dan Pelaksanaan Rencana Pembangunan di Daerah serta Dampaknya terhadap Pembangunan Materi Hukum Tertulis Nasional, Gama Media, Yogyakarta, 1998, hlm.78
commit toLegal userDrafting & Desaian Naskah Akademik, B. Hestu Cipto Handoyo, Prinsip-prinsip Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2008, hlm. 63 29
26
perpustakaan.uns.ac.id
sifat-sifat
digilib.uns.ac.id
yang mengarah
atau
menitik beratkan
pada sifat
kebijaksanaan, yang tidak lain adalah pandangan hidup suatu bangsa yakni nilai-nilai moral atau etika, pembentukan peraturan perundangundangan tentu-nya harus mengindahkan nilai-nilai moral bangsa dan kepatutan, kebenaran, keadilan dan kemanusiaan yang bersifat universal. b) Landasan Sosiologis: suatu peraturan perundang-undangan dibentuk dengan mempertimbangkan dengan seksama setiap gejala sosial masyarakat yang berkembang, apabila peraturan perundang-undangan yang dibentuk mempertimbangkan persoalan-persoalan yang ada dalam masyarakat dari bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya maka pemberlakuan suatu peraturan perundang-undangan akan direspon atau dapat diterima dan dipatuhi masyarakat. c) Landasan Yuridis: setiap peraturan perundang-undangan yang dibentuk merupakan produk hukum yang pada prinsipnya pemberlakuannya harus mengandung nilai-nilai hukum pada umumnya, karena produk hukum yang dikeluarkan mengikat secara umum. Oleh karena itu, dalam pembentukannya harus memperhatikan beberapa persyaratan yuridis, antara lain : 1) Dibuat atau dibentuk oleh organ yang berwenang. 2) Adanya kesesuaian bentuk/jenis peraturan perundang-undangan dengan materi muatan yang akan diatur. 3) Adanya prosedur dan tata cara pembentukan yang telah ditentukan. 4) Tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Selain ketiga landasan tersebut diatas (filosofis, sosiologis dan yuridis) masih terdapat landasan lain, yaitu landasan teknis perancangan. Landasan teknis perancangan tidak boleh diabaikan dalam membuat peraturan perundang-undangan yang baik karena berkaitan erat dengan commit to user perumusan, konsistensi dalam hal-hal yang menyangkut kejelasan
27
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mempergunakan peristilahan atau sistematika dan penggunaan bahasa yang jelas.30 Penggunaan landasan ini diarahkan kepada kemampuan person atau lembaga dalam merepresentasikan tuntutan masyarakat dan dukungan masyarakat ke dalam produk hukum yang tertulis yakni peraturan perundang-undangan.31
4. Teori tentang Kebijakan Publik Definisi tentang kebijakan (policy) tidak ada pendapat yang tunggal, tetapi menurut konsep demokrasi modern kebijakan negara tidaklah hanya berisi cetusan pikiran atau pendapat para pejabat yang mewakili rakyat, tetapi opini publik juga mempunyai porsi yang sama besarnya untuk diisikan dalam kebijakan negara, misalnya kebijakan negara yang menaruh harapan banyak agar pelaku kejahatan dapat memberikan pelayanan sebaik-baiknya, dari sisi lain sebagai abdi masyarakat haruslah memperhatikan kepentingan publik. 32 Istilah
kebijakan
atau
sebagian
orang
mengistilahkan
kebijaksanaan seringkali disamakan pengertiannya dengan istilah policy. Hal tersebut barangkali dikarenakan sampai saat ini belum diketahui terjemahan yang tepat istilah policy ke dalam Bahasa Indonesia. Kebijakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata bijak yang berarti selalu menggunakan akal budinya; pandai; mahir; pandai bercakap-cakap, petah lidah33. Sedangkan kebijakan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia
berarti
kepandaian;
kemahiran;
kebijaksanaan;
30
H.Rojidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia, Mandar Maju, Bandung, l998, hlm.46 31
B. Hestu Cipto Handoyo, Loc. Cit. hlm. 72
32
Irfan M. Islamy, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara, Bumi Aksara, Jakarta, commit to user 2007, hlm. 10 33 Kamus Besar Bahasa Indonesia, PT Gramedia Pustaka, Jakarta, 2001, hlm. 42
28
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana di pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak. 34 Menurut Hoogerwerf pada hakekatnya pengertian kebijakan adalah semacam jawaban terhadap suatu masalah, merupakan upaya untuk memecahkan, mengurangi, mencegah suatu masalah dengan cara tertentu, yaitu dengan tindakan yang terarah. Dari beberapa pengertian tentang kebijakan yang telah dikemukakan oleh para ilmuwan tersebut, kiranya dapatlah ditarik kesimpulan bahwa pada hakekatnya studi tentang kebijakan mencakup pertanyaan: what, why, who, where, dan how.35 Semua pertanyaan itu menyangkut tentang masalah yang dihadapi lembaga-lembaga yang mengambil keputusan yang menyangkut isi, cara atau prosedur yang ditentukan, strategi, waktu keputusan itu diambil dan dilaksanakan. 36 Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan memberi arti kebijakan sebagai suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktek-praktek yang terarah37, sedangkan Carl J. Friedrich mendefinisikan kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijakan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Secara lebih rinci James E. Anderson memberi pengertian kebijakan negara sebagai kebijakan oleh badan-badan pejabat-pejabat pemerintah yang memiliki beberapa implikasi berikut ini 38 : 34
Ibid, hlm. 115 Raj. Bhala, Public Policy : Theory and Practices, Lexis Publising, Second Edition, Vol. 1 and Volume ., New York, 2001, pp. 254 36 Syahrir, Mencari Bentuk Otonomi Daerah : Suatu Solusi dalam Menjawab Kebutuhan Lokaldan Tantangan Global, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1988, hlm. 66 37 Subardono, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta: UII Press, Yogyakarta, 2006, hlm. 3 35
38
Budi Winarno, Kebijakan Publik, Teori Dan Proses, Jakarta, Media Presindo, Jakarta, 2007, hlm. 19 commit to user
29
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a) Kebijakan negara selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan yag berorientasi kepada tujuan; b) Kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabat pemerintah; c) Kebijakan itu adalah merupakan apa yang benar-benar dilakukan pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang pemerintah bermaksud akan melakukan suatu atau menyatakan akan melakukan sesuatu; d) Kebijakan negara itu bisa bersifat positif dalam arti merupakan bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu, atau bisa bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pejabat pemerintah untuk melakukan sesuatu. Setelah memahami dengan seksama pengertian dari kebijakan sebagaimana diuraikan di atas, adalah penting sekali bagi kita untuk menguraikan makna dari kebijakan publik, karena pada dasarnya kebijakan publik nyata-nyata berbeda dengan kebijakan privat/swasta, banyak sekali pengertian yang telah diungkapkan oleh pakar tentang kebijakan publik, namun demikian banyak ilmuwan yang merasakan kesulitan untuk mendapatkan pengertian kebijakan publik yang benarbenar memuaskan, hal tersebut dikarenakan sifat dari pada kebijakan publik yang terlalu luas dan tidak spesifik dan operasional. Di samping kesimpulan tentang pengertian kebijakan dimaksud, pada dewasa ini istilah kebijakan lebih sering dan secara luas dipergunakan dalam kaitannya dengan tindakan-tindakan pemerintah serta perilaku negara pada umumnya. Luasnya makna kebijakan publik sebagaimana disampaikan oleh Charles O. Jones di dalam mendefinisikan kebijakan publik sebagai antar hubungan di antara unit pemerintah tertentu dengan lingkungannya. Agaknya definisi ini sangat luas sekali
commit to user
30
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
nuansa pengertiannya, bahkan terdapat satu kesan sulit menemukan hakekat dari pada kebijakan publik itu sendiri. 39 Penyusunan rancangan peraturan daerah sebagaimana diuraikan di muka, tidak terlepas dari kebijakan di bidang tersebut yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Kebijakan publik menurut Thomas R. Dye adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan.40 Konsep tersebut sangat luas karena kebijakan publik mencakup sesuatu yang tidak dilakukan oleh pemerintah di samping yang dilakukan oleh pemerintah menghadapi suatu masalah publik. Sedangkan Richard Rose menyarankan bahwa kebijakan publik hendaknya dipahami sebagai serangkaian
kegiatan
yang
sedikit
banyak
berhubungan
beserta
konsekuensi-konsekuensi bagi mereka yang bersangkutan daripada sebagai suatu keputusan tersendiri.41 Di sisi lain, James E. Anderson merumuskan kebijakan sebagai perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu.42 Walaupun disadari bahwa kebijakan publik itu dapat dipengaruhi oleh para aktor dan faktor dari luar pemerintah. Lebih lanjut ditegaskan bahwa kebijakan publik sebagai pilihan kebijakan yang dibuat oleh pejabat atau badan pemerintah dalam bidang tertentu, misalnya bidang pendidikan politik, ekonomi, pendidikan, pertanian, industri, dan sebagainya. Di samping lingkupnya yang sangat luas, ditinjau dari hirarkinya, kebijakan publik dapat bersifat nasional, regional, maupun lokal. 43
39
Ibid, hlm. 30
40
Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru Utama, Semarang, 2005, hlm. 1 41
Budi Winarno, Loc. Cit. hlm. 17
42
Ibid, hlm. 35
commit to Konsep, user Teori, dan Aplikasi, Pustaka Pelajar, A.G. Subarsono, Analisis Kebijakan Publik: Yogyakarta, 2005, hlm. 5 43
31
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Di pihak lain, Edward C. George menyatakan bahwa tidak ada definisi yang tunggal dari kebijakan publik sebagaimana yang dimaksudkan adalah “what government say and do, or not to do”44. Bahkan David Easton mengemukakan bahwa “Policy is the authoritative allocation of value for the whole society" (pengalokasian nilai-nilai secara paksa dan atau sah pada seluruh anggota masyarakat), dimana melalui proses pembuatan keputusanlah komitmen-komitmen masyarakat yang acapkali masih kabur dan abstrak sebagaimana tampak dalam nilai-nilai dan tujuan-tujuan masyarakat, diterjemahkan oleh para aktor politik ke dalam komitmen-komitmen yang lebih spesifik menjadi tindakan-tindakan dan tujuan-tujuan yang konkrit.45 Pandangan lainnya dari kebijakan publik, melihat kebijakan publik sebagai keputusan yang mempunyai tujuan dan maksud tertentu, berupa serangkaian instruksi dan pembuatan keputusan kepada pelaksana kebijakan yang menjelaskan tujuan dan cara mencapai tujuan. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Soebakti bahwa kebijakan negara merupakan bagian keputusan politik yang berupa program perilaku untuk mencapai tujuan masyarakat negara. Kesimpulan dari pandangan ini adalah: pertama, kebijakan publik sebagai tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dan kedua, kebijakan publik sebagai keputusan pemerintah yang mempunyai tujuan tertentu.46 Dari beberapa pandangan tentang kebijakan negara tersebut, dengan mengikuti paham bahwa kebijakan negara itu adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi
44
Budi Winarno, Loc. Cit. hlm. 38
45
Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijakan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 39
user Analisis Komparasi. Bandung. Rafika Samodro Wibowo, Kebijakancommit Publik :toSuatu Aditama, Bandung, 1994, hlm.190 46
32
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kepentingan seluruh rakyat, Irfan M. Islamy menguraikan beberapa elemen penting dalam kebijakan publik,, yaitu : a) Bahwa kebijakan publik itu dalam bentuk peraturannya berupa penetapan tindakan-tindakan pemerintah. b) Bahwa kebijakan publik itu tidak cukup hanya dinyatakan tetapi dilaksanakan dalam bentuk yang nyata. c) Bahwa kebijakan publik, baik untuk melakukan sesuatu ataupun tidak melakukan sesuatu itu mempunyai dan dilandasi maksud dan tujuan tertentu. d) Bahwa kebijakan publik itu harus senantiasa ditujukan bagi kepentingan seluruh anggota masyarakat. Kebijakan publik pada akhirnya harus dapat memenuhi kebutuhan dan mengakomodasi kepentingan masyarakat. Penilaian akhir dari sebuah kebijakan publik adalah pada masyarakat. 47 Pandangan dari Fadillah Putra, proses reformasi dalam keseluruhan sistem sosio-politik yang terjadi di Indonesia, sampai saat ini memang masih belum dapat untuk segera dikatakan sudah ataupun hampir tuntas.48 Di dalam praktek penyelenggaraan negara sehari-hari, dan dalam kaitannya dengan hubungan antara negara dengan rakyat, nampaknya yang luput dari perhatian banyak khalayak umum adalah dimensi kebijakan
publik. Dalam
kesempatan
ini perlu
disadari bahwa
sesungguhnya esensi dari keberadaan negara adalah kebijakan publik. Kebijakan publik adalah bentuk nyata dari ruh negara, dan kebijakan publik adalah bentuk konkret dari proses persentuhan negara dengan rakyatnya. Oleh karena itu, kajian yang mendalam tentang apa dan bagaimana kebijakan publik itu perlu untuk segera diketengahkan dalam agenda perubahan yang terjadi. Sebab dengan adanya kesadaran ini sesungguhnya kita sedang mencermati aspek dinamis dan aspek yang 47 48
Irfan M. Islamy, Loc. Cit, hlm. 20 commit to user Fadillah Putra, Hukum Kebijakan Publik, Pustaka Pelajar, Malang, 2005, hlm.23
33
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
hidup dari relasi negara dengan rakyat. Paradigma kebijakan publik yang kaku dan tidak responsif akan menghasilkan wajah negara yang kaku dan tidak responsif pula. Demikian pula sebaliknya, paradigma kebijakan publik yang luwes dan responsif akan menghasilkan wajah negara yang luwes dan responsif pula. Sedangkan Don K. Price, menyebutkan bahwa proses pembuatan kebijaksanaan negara yang bertanggung jawab adalah proses melibatkan antara kelompok-kelompok ilmuwan, pemimpin-pemimpin organisasi profesional, para administrator dan para politisi.49 Secara umum kebijakan (policy) dapat dikategorikan menjadi tiga strata, yaitu kebijakan umum, kebijakan pelaksanaan dan kebijakan teknis. 1) Kebijakan Umum Kebijakan Umum adalah kebijakan yang menjadi pedoman atau petunjuk pelaksanaan baik yang bersifat positif maupun negatif meliputi keseluruhan wilayah atau instansi. Untuk wilayah negara, kebijakan umum mengambil bentuk Undang-Undang atau Keputusan Presiden dan sebagainya. Sementara untuk wilayah propinsi, selain dari peraturan dan kebijakan yang diambil pada tingkat pusat juga ada Keputusan Gubernur atau Peraturan Daerah yang diputuskan oleh DPRD. Suatu kebijakan umum dapat dijadikan pedoman bagi tingkatan kebijakan di bawahnya, minimal ada tiga kriteria yang harus dipenuhi, yaitu : a) Mempunyai cakupan kebijakan dengan meliputi keseluruhan wawasannya. Artinya, kebijakan tidak hanya meliputi dan ditunjukkan pada aspek tertentu atau sektor tertentu.
commit to user Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 1991, hlm. 58 49
34
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b) Memiliki jangka waktu yang panjang. Artinya masa berlaku atau tujuan yang ingin dicapai dengan kebijakan tersebut tidak berada dalam jangka waktu yang pendek, sehingga tidak mempunyai batas waktu tertentu. Karena itu, tujuan yang digambarkan sebagai istilah sasaran strategi kebijakan seringkali dianggap tidak jelas. Dengan kata lain dalam suatu kebijakan umum tidak tepat untuk menetapkan sasarannya secara sangat jelas dan rumusannya secara teknis. Rumusan yang demikian akan menghadapi kekuatan atau fleksibel dalam perubahan waktu jangka panjang dan akan mengalami kesulitan untuk diberlakukan di wilayah-wilayah kecil yang berbeda. c) Strategi kebijakan umum tidak bersifat operasional. Sebagaimana pengertian umum, pengertian operasional atau teknis juga bersifat relatif. Sesuatu yang dianggap umum untuk tingkat kabupaten mungkin dianggap teknis atau operasional di tingkat dibawahnya. Namun, suatu kebijakan yang bersifat umum tidak berarti kebijakan tersebut bersifat sederhana. 2) Kebijakan Pelaksanaan. Kebijakan Pelaksanaan adalah kebijakan yang menjabarkan kebijakan umum. Untuk tingkat pusat, peraturan pemerintah tentang pelaksanaan
undang-undang
atau
keputusan
menteri
yang
menjabarkan pelaksanaan Keputusan Presiden adalah contoh dari kebijakan pelaksanaan. Untuk tingkat propinsi, Keputusan Walikota/ Bupati atau keputusan seorang kepala dinas yang menjabarkan Keputusan Gubernur atau peraturan daerah bisa jadi suatu kebijakan pelaksanaan.
commit to user
35
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3) Kebijakan Teknis Kebijakan Teknis adalah kebijakan operasional yang berada di bawah kebijakan pelaksanaan. Secara umum, kebijakan umum adalah kebijakan tingkat pertama, kebijakan pelaksanaan adalah kebijakan tingkat kedua dan kebijakan teknis adalah kebijakan tingkat ketiga atau yang terbawah. Setiap kebijakan diatas memiliki bobot yang berbeda. Misalnya, kebijakan umum memiliki bobot yang berdampak luas dan sangat strategis sehingga dalam merumuskan memerlukan kecermatan dan keterlibatan beberapa pihak, khususnya para pakar ilmu pengetahuan dan praktisi karena di dalamnya juga berisi resiko yang berdampak luas. Di samping itu, dalam kebijakan umum walaupun unsur teknis memiliki bobot yang rendah tetapi dalam merumuskan kebijakan umum harus mempertimbangkan unsur teknis, apakah kebijakan itu nanti dilaksanakan di bawahnya. Terkadang sebuah proses kebijakan publik yang ada telah mencapai hasil (output) yang ditetapkan dengan baik, namun tidak memperoleh respons atau dampak (outcome) yang baik dari masyarakat atau kelompok sesamanya atau sebaliknya sebuah proses kebijakan publik tidak maksimal dalam mencapai hasil yang telah ditetapkan namun ternyata dampaknya cukup memuaskan bagi masyarakat secara umum. Kebijakan publik tidak lagi memilih proses internal (yang menghasilkan output) di satu sisi dengan dinamika masyarakat di sisi yang lain. Artinya mulai dari perumusan kebijakan publik sampai pada evaluasinya semua elemen yang ada dalam masyarakat harus dilibatkan secara partisipatif dan emansipatif. Sehingga dalam konteks ini hasil-hasil yang telah ditetapkan dalam sebuah produk kebijakan publik adalah hasil pembahasan dan kesepakatan bersama antara rakyat dengan negara. Proses pembuatan kebijakan publik berangkat dari realitas yang to user ada di dalam masyarakat.commit Realitas tersebut bisa berupa aspirasi yang
36
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berkembang, masalah yang ada maupun tuntutan atas kepentingan perubahan-perubahan. Dari realitas tersebut maka proses berikutnya adalah mencoba untuk mencari sebuah jalan keluar yang terbaik yang akan dapat mengatasi persoalan yang muncul atau memperbaiki keadaan yang ada sekarang. Hasil pilihan solusi tersebutlah yang dinamakan hasil kebijakan publik.
5.
Hubungan Hukum dan Kebijakan Publik Seperti yang dikemukakan Saiful Bahri, bahwa hubungan antara hukum dan kebijakan publik merupakan hubungan simbiosa mutualistik yang dapat dilihat dalam tiga bidang kajian yaitu formulasi, implementasi dan evaluasi kebijakan dan hukum.50 Hubungan hukum dan kebijakan publik dapat diuraikan sebagai berikut: a. Proses pembentukan kebijakan publik berangkat dari realitas yang ada di dalam masyarakat. Realitas tersebut bisa berupa aspirasi yang berkembang, masalah yang ada maupun tuntutan atas kepentingan perubahan-perubahan. Dari realitas tersebut maka proses berikutnya adalah mencoba untuk mencari jalan keluar yang terbaik yang akan dapat mengatasi persoalan yang muncul atau memperbaiki keadaan yang sekarang. Sebenarnya antara hukum dan kebijakan publik itu memiliki keterkaitan yang sangat erat. Bahkan sebenarnya tidak sekedar keterkaitan saja yanga ada diantara keduanya, pada sisi-sisi yang lain jutru lebih banyak kesamannya. Proses pembentukan hukum hasil akhirnya lebih difokuskan pada terbentuknya sebuah aturan dalam bentuk Undang-Undang.
commit to user Saiful Bahri, Hukum dan Kebjakan Publik, Yayasan Pembaharuan Administrasi Publik, Yogyakarta, 2004, hlm. 24 50
37
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Dalam melakukan penerapan hukum membutuhkan kebijakan publik sebagai
sarana
yang
mampu
mengaktualisasikan
dan
menkontekstualisasikan hukum tersebut dengan kebutuhan dan kondisi riil yang ada di masyarakat, sebab apabila responsifitas atura masyarakat hanya sepenuhnya diserahkan pada hukum semata, maka bukan tidak mungkin pada saatnya akan terjadi pemaksaan-pemaksaan yang tidak sejalan dengan cita-cita hukum itu sendiri yang ingin mensejahterakan masyarakat. Penerapan hukum menjadi sangat tergantung pada kebijakan publik sebagai sarana yang dapat mensukseskan berjalannya penerapan hukum itu sendiri. Sebab dengan adanya kebijakan publik, maka pemerintah pada level yang terdekat dengan masyarakat setempat akan mampu merumuskan apa-apa saja yang harus dilakukan agar penerapan hukum yang ada pada suatu saat dapat berjalan dengan baik. Pada dasarnya di dalam penerapan hukum di dalam penerapan hukum tergantung pada empat unsur, diantaranya adalah unsur hukum, unsur struktural, unsur masyarakat dan unsur budaya.51 1) Unsur Hukum Unsur hukum merupakan produk atau teks aturan-aturan hukum. Pada kasus tertentu ternyata unsur hukum ini tidak dapat diterapkan sama persis dengan harapan yang ada, maka kebijakan publik diharapkan mampu memberikan tindakan-tindakan yang lebih kontekstual dengan kondisi riil yang ada di lapangan. Ketika kebijakan publik melakukan hal tersebut, maka sesungguhnya berangkat dari unsur hukum yang dimaksud. Perencanaan dan langkah-langkah yang diambil oleh kebijakan publik bisa jadi tidak sepenuhnya sama dengan teks-teks aturan hukum yang ada, namun mengarah pada kesesuaian dengan unsur hukum, dengan demikian pada dasarnya kebijakan publik itu lebih sebagai upaya untuk commit toPenelitian user Setiono, Pemahaman Terhadap Metodologi Hukum, Universitas Sebelas Maret. Surakarta, 2006, hlm. 6 51
38
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
membantu atau memperlancar penerapan hukum yang telah ditetapkan. 2) Unsur Struktural Unsur struktural merupakan organisasi atau lembaga-lembaga yang diperlukan dalam penerapan hukum itu. Kebijakan publik dalam konteks unsur struktural ini lebih dominan berposisi sebagai sebuah seni, yaitu bagaimana mampu melakukan kreasi sedemikian rupa sehingga perfoma organisasi yang dialaminya itu dapat tampil dengan baik, sekaligus distorsi-distorsi pemaknaan dari unsur hukum yang ada tidak diselewengkan atau ditafsirkan berbeda di lapangan oleh para pelaksananya. 3) Unsur Masyarakat Unsur masyarakat merupakan sekumpulan kondisi sosial politik dan sosial ekonomi dari anggota masyarakat yang akan terkena dampak atas diterapkannya sebuah aturan hukum atau undangundang. Walaupun unsur-unsur kienerja organisasi atau institusi pelaksana
telah
berjalan
dengan
baik,
apabila
kondisi
masyarakatnya sedang kacau balau, tentu semua itu tidak dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Posisi dari kebijakan publik akan sangat berpengaruh dalam hal unsur masyarakat dalam penerapan hukum. 4) Unsur Budaya Unsur budaya merupakan sesuatu kebiasaan yang berkaitan dengan bagaimana isi kontekstualitas sebuah undang-undang yang hendak diterapkan dengan pola pikir, pola perilaku, norma-norma, nilainilai dan kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat. Unsur budaya dalam penerapan hukum sangat penting, sebab hal tersebut berkaitan dengan pemahaman masyarakat atas sebuah introduksi commit to user
39
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
nilai yang hendak ditransformasikan oleh sebuah undang-undang atau produk hukum. c. Hubungan hukum dan kebijakan publik dalam hal evaluasi dapat dilakukan dengan evaluasi dapat dilakukan dengan evaluasi peradilan administrasi
dan
evaluasi
kebijakan
publik.
Apabila
pada
kenyataannya masyarakat tidak puas atau merasa dirugikan oleh proses penerapan hukum yang ada dan ternyata hasil-hasil dari proses penerapan hukum itu tidak sesuai dengan yang diharapkan, maka peradilan administrasi akan menjalankan fungsinya. Menurut Leo Agustino, mengingat banyaknya masalah yang perlu disusun sebagai sebuah kebijakan publik, maka diperlukan proses formulasi kebijakan, yaitu bagaimana para analis kebijakan dapat mengenal masalah-masalah publik yang dibedakan dengan masalah privat. Pada intinya, studi mengenai formulasi kebijakan memberikan perhatian yang sangat dalam pada sifat-sifat (perumusan) masalah publik. 52 Dalam hal ini, perumusan masalah tersebut akan sangat membantu para analisi mendiagnosis persebaran masalah publik, memetakan tujuan yang memungkinkan, memadukan pandangan
yang berseberangan, dan
merancang peluang kebijakan yang baru. Dengan kerangka formulasi kebijakan publik inilah hukum mempunyai kedudukan yang sentral. Antara hukum dan kebijakan publik mempunyai keterkaitan erat. Pembandingan antara proses pembentukan hukum dan proses formulasi kebijakan publik di samping menunjukkan kesamaan diantara keduanya, juga menunjukkan bagaimana diantara keduanya berhubungan dan saling membantu.53 Dalam kerangka yang lebih umum, hal di atas menunjukkan adanya hubungan hukum dengan perubahan-perubahan sosial, suatu 52
Leo Agustino, Dasar-dasar Kebijakan Publik, AlfaBeta, Bandung, 2006, hlm. 96
commit toYogyakarta: user Edi Wibowo, Hukum dan Kebijakan Publik, Penerbit YPAPI, Yogyakarta, 2004, hlm. 53 53
40
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perubahan sosial biasanya dimulai pada suatu lembaga kemasyarakatan tertentu dan perubahan tersebut akan menjalar ke lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya. Sudah tentu proses tersebut menimbulkan masalah sejauh mana suatu lembaga kemasyarakatan tertentu tergantung kepada lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya atau sampai seberapa jauhkah suatu lembaga kemasyarakatan tertentu tidak terpengaruh oleh perubahan-perubahan yang terjadi. Sementara itu, di dalam kehidupan masyarakat hampir selalu ada perbedaan-perbedaan tertentu antara pola perikelakuan yang nyata dengan pola perikelakuan yang dikehendaki oleh hukum. Oleh karena itu, tepat apa yang dikatakan oleh Harry C. Bredemeier bahwa betapa pekerjaan hukum serta hasil-hasilnya tidak hanya merupakan urusan hukum, melainkan merupakan bagian dari proses kemasyarakatan yang lebih besar.54 Merujuk kepada gambaran di atas, relevan apa yang dikemukakan oleh Robert B. Seidman, bahwa kebijakan publik dipengaruhi oleh sejumlah faktor, diantaranya peraturan (rule).55 Peraturan niscaya dapat mengatur perilaku manusia ke arah yang diharapkan melalui kebijakan yang dibuat, akan tetapi dapat juga terjadi sebaliknya. Masalah publik, dalam konteks peraturan, akan muncul apabila bahasa yang digunakan dalam peraturan itu membingungkan; beberapa peraturan mungkin malah memberi peluang bagi terjadinya perilaku bermasalah; peraturan tak menghilangkan persebaran perilaku bermasalah; peraturan membuka peluang bagi perilaku yang tidak transparan; dan peraturan kemungkinan juga untuk memberikan wewenang yang berlebih kepada pelaksana peraturan untuk bertindak represif. Dengan tertib berpikir demikian, nampak bahwa suatu kebijakan publik tidak mungkin berwujud dalam ruang kosong, akan tetapi ia 54 55
to userMoral, Kompas, Jakarta, 1996, hlm. 143 Satjipto Rahardjo, Negara Hukumcommit dan Deregulasi Leo Agustino, Loc. Cit. hlm. 103
41
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menjadi suatu kebijakan oleh karena interaksi dengan lingkungan sekitar. Hal ini merupakan formulasi kebijakan model sistem, yaitu model formulasi kebijakan yang berangkat output suatu lingkungan atau sistem, yang tengah berlangsung. Kebijakan publik yang telah dibuat berpengaruh terhadap lingkungan sehingga menjadi proses timbal balik, dalam kehidupan modern memang permasalahan menyangkut masalah publik yang dihadapi pemerintah dimanapun juga sama saja, apalagi di negara berkembang seperti Indonesia yang dilihat dari sudut pandang geografis, demografi dan budaya yang berbeda-beda tentu saja permasalahan yang ada lebih kompleks. Dengan kondisi demikian memang bukanlah hal yang mudah bagi para pembuat kebijakan publik dalam merumuskan kebijakan publik yang benar-benar dapat menyelesaikan permasalahan publik. Namun setidaknya para pembuat kebijakan dituntut untuk lebih arif dalam merumuskan kebijakan dengan tidak mencampur-adukkan kepentingan publik dengan kepentingan elit, artinya kebijakan yang nantinya dikeluarkan harus bebas nilai (non politis). Tujuan utama penyelenggaraan pemerintahan adalah menciptakan kesejahteraan masyarakat (welfare staate) bukan membangun negara korporasi (corporate staate) maupun negara aparatur (aparatus staate). Untuk mewujudkan negara kesejahteraan (welfare staate) harus didukung oleh kebijakan publik pro rakyat, artinya kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah harus berdasarkan keinginan masyarakat dan bisa menyelesaikan masalah yang ada di masyarakat. Kebijakan publik dan implementasi kebijakan publik harus sejalan dengan arus utama kepentingan publik (public mission). Hubungan antara hukum dan kebijakan publik sangat erat bagaikan dua sisi mata uang, dimana produk hukum yang baik harus melalui proses komunikasi antara stakeholder dan partisipasi masyarakatnya dalam proses commit to Produk user hukum dibicarakan dalam dua penyusunan suatu kebijakan publik.
42
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sisi, yaitu sisi keadilan dan sisi legalitas sebagai upaya adanya kepastian hukum yang kemudian menjelma menjadi hukum positif. Tahap terakhir adalah pada tahap evaluasi kebijakan publik, dimana evaluasi berfungsi menentukan kebijakan yang ada telah berjalan dengan sukses atau telah mengalami kegagalan mencapai tujuan dan dampak-dampaknya. Evaluasi kebijakan publik juga sebagai dasar apakah kebijakan yang ada layak diteruskan, direvisi atau bahkan dihentikan sama sekali. 56 Dalam pelaksanaan kebijakan publik haruslah berhasil, tidak hanya pelaksanaannya saja yang harus berhasil akan tetapi tujuan yang terkandung dalam kebijakan publik itu haruslah tercapai, yaitu terpenuhinya kepentingan masyarakat 6. Penggalangan Dana Masyarakat Sesuai dengan tujuan negara yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar
1945
pada
alinea
keempat,
pemerintah
bertanggungjawab untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, untuk mewujudkan kehidupan yang layak dan bermartabat serta untuk memenuhi hak atas kebutuhan dasar warga negara demi tercapainya kesejahteraan sosial perlu peran serta pemerintah daerah dan masyarakat sendiri. Sebagaimana
diketahui
bersama
bahwa
bangsa
Indonesia
mempunyai ciri khusus sebagai budaya bangsa khususnya rasa kebersamaan yang tinggi dalam bentuk gotong-royong, yaitu kebiasaan saling bantu membantu satu sama lain
yang sampai sekarang masih
terpelihara dengan baik, hal tersebut menjadi modal untuk mewujudkan cita-cita bangsa sebagaimana diamanatkan dalam alinea keempat UndangUndang Dasar 1945 diatas. commit to user 56
Setiono, Loc. Cit. hlm. 5
43
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam rangka untuk mewujudkan cita-cita bangsa, pemerintah telah melakukan berbagai daya upaya untuk dapat merealisasikan amanat yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang dijabarkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan dari yang berbentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden maupun peraturan pelaksanaannya yang berbentuk Peraturan-Peraturan Menteri. Terkait dengan pengaturan penggalangan dana dari masyarakat diatur
dalam
Undang-Undang
Kesejahteraan Sosial,
Nomor
11
Tahun
2009
tentang
khususnya untuk penanggulangan kemiskinan,
pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat berkewajiban untuk berperan serta dengan tujuan untuk; a. Meningkatkan kapasitas dan pengembangan kemampuan dasar serta kemampuan berusaha masyarakat miskin; b. Memperkuat peran masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan kebijakan publik yang menjamin penghargaan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasar ; c. Mewujudkan kondisi dan lingkungan ekonomi, politik dan sosial yang memungkinkan masyarakat miskin dapat memperoleh kesempatan seluas-luasnya dalam pemenuhan hak-hak dasar dan peningkatan taraf hidup secara berkelanjutan ; dan d. Memberikan rasa aman bagi kelompok masyarakat miskin dan rentan. Penanggulangan kemiskinan dilaksanakan dalam bentuk penyuluhan dan bimbingan sosial, pelayanan sosial, penyediaan akses kesempatan kerja dan berusaha, penyediaan akses pelayanan kesehatan dasar, penyediaan akses pendidikan dasar, penyediaaan akses pelayanan perumahan dan permukiman dan/atau penyediaan akses pelatihan, modal usaha dan pemasaran hasil usaha.
commit to user
44
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial mempunyai wewenang meliputi ; a. Penetapan kebijakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang bersifat lokal selaras dengan kebijakan pembangunan nansional dan provinsi di bidang kesejahteran sosial ; b. Koordinasi pelaksanaan program penyelenggaraaan kesejahteraan sosial di wilayahnya ; d. Pemberian ijin dan pengawasan pengumpula sumbangan dan penyaluran bantuan sosial sesuai dengan kewenangannya ; e. Pemeliharaan taman makam pahlawan dan ; f. Pelestarian nilai kepahlawanan, keperintisan, dan kesetiakawanan sosial. Adapun sumber daya penyelenggaraan kesejahteraan sosial meliputi sumber daya manusia, sarana dan prasarana serta sumber pendanaan. Sumber pendanaan berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan berasal dari sumbangan masyarakat, dana yang disisihkan dari badan usaha sebagai kewajiban dan tanggung jawab sosial dan lingkungan, bantuan asing sesuai dengan kebijakan Pemerintah dan peraturan perundangundangan dan sumber pendanaan yang sah lainnya. Usaha pengumpulan dan penggunaan sumber pendanaan yang berasal
dari
masyarakat
bagi
kepentingan
kesejahteraan
sosial
dilaksanakan oleh Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial baik secara perorangan, melalui keluarga, organisasi keagamaan, organisasi sosial kemasyarakatan, Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi profesi, badan usaha, lembaga kesejahteraan sosial lainnya.
commit to user
45
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7. Tinjauan tentang Hukum Responsif Berbicara tentang sejarah lahirnya teori hukum responsif tidak terlepas dari ruang lingkup yang melatarbelakangi lahirnya teori ini. Baik itu kondisi dimana teori ini pertama kali dilahirkan yaitu di Amerika maupun kondisi ketika akhirnya Indonesia mengadopsi teori hukum responsif untuk mengatasi ketidakberfungsian hukum di Indonesia sebagaimana mestinya. Kondisi Amerika yang mengalami krisis hukum menjadi awal lahirnya pemikiran hukum responsif. Kondisi yang relatif sama dengan apa yang terjadi di Indonesia saat ini, sebuah kondisi dimana krisis hukum yang terjadi bukan hanya bersifat teknis bagaimana menerapkan dan menjalankan hukum akan tetapi jauh lebih mendasar dari itu semua.57 Sebagai penggagas teori hukum responsif, Nonet dan Selznick memberikan sebuah konsepsi yang cukup mendalam tentang apa itu hukum responsif. Menurut keduanya hukum yang baik seharusnya memberikan sesuatu yang lebih daripada sekedar prosedur hukum. Hukum tersebut harus berkompeten dan juga adil ia seharusnya mampu mengenali keinginan publik dan punya komitmen terhadap tercapainya keadilan substantive.58 Disampaikan juga bahwa hukum responsif merupakan tradisi kaum realis (legal realism) dan sosiologis (sociological jurisprudence) yang memiliki satu tema utama yaitu membuka sekat-sekat dari pengetahuan hukum. Seharusnya ada penghargaan yang tinggi kepada semua hal yang mempengaruhi hukum dan yang menjadi persyaratan bagi efektifitasnya. Menurutnya pencarian hukum responsif merupakan upaya terusmenerus yang dilakukan oleh teori hukum modern. Hukum responsif 57
Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran tentang Ancangan antar Disiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional, Bandung, Sinar Baru, 1985, hlm. 8 58 to user Nusa Media, Bandung, 2008, hlm. 6 Philippe Nonet dan Philip Selznick,commit Hukum Responsif,
46
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berusaha mengatasi dilema antara integritas dan keterbukaan, suatu institusi responsif mempertahankan secara kuat hal-hal yang esensial bagi integritasnya sembari tetap memperhatikan atau memperhitungkan keberadaan kekuatan-kekuatan baru di dalam lingkungannya. Untuk melakukan ini hukum responsif memperkuat cara-cara dimana keterbukaan dan integritas dapat saling menopang walaupun terdapat benturan diantara keduanya. Hukum responsif menganggap tekanan-tekanan sosial sebagai sumber pengetahuan dan kesempatan untuk mengoreksi diri. Oleh karena itu diperlukan panduan berupa tujuan, tujuan-tujuan ini menetapkan standar untuk mengkritisi tindakan yang mapan dan karenanya membuka kesempatan untuk terjadinya perubahan. Pada saat yang bersamaan,
jika
benar-benar
dijadikan
pedoman
tujuan
dapat
mengontrol diskresi administratif, sehingga dapat mengurangi risiko terjadinya penyerahan institusional. Sebaliknya ketiadaan tujuan berakar pada kekakuan serta oportunisme. Hukum responsif beranggapan bahwa tujuan dapat dibuat cukup obyektif dan cukup berkuasa untuk mengontrol pembuatan peraturan yang adaptif. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan. Suatu contoh yang lazim untuk hal ini adalah doktrin "due process". Sebagai doktrin kontitusional "due process" mungkin hanya dipahami sebagai nama untuk serangkaian peraturan, yang dipaparkan secara historis, yang melindungi hak-hak atas atas pemberitahuan (right of notice), untuk didengar dalam persidangan, peradilan dengan sistem juri, dan hal lain semacam itu. Secara lebih spesifik hukum responsif mendorong dan mengembangkan kesopanan dalam dua cara pokok yaitu: a. Mengatasi kondisi sempitnya pandangan dalam moralitas komunal. Otoritas tujuan yang tumbuh cenderung mengurangi preskripsi dan simbolisme. Hukum responsif menuntut bahwa kebiasaan dan commitdan to user moralitas, sejauh moralitas kebiasaan ini mengklaim otoritas
47
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
hukum, harus dijustifikasi oleh suatu penilaian rasional mengenai pengorbanan dan manfaat. Salah satu akibatnya adalah tekanan untuk mendeskriminilisasi pelanggaran-pelanggaran terhadap nilai-nilai moral yang berlaku. Tatanan hukum lalu lebih beradab, atau tepatnya bahwa tatanan tersebut menjadi lebih santun, lebih menerima keragaman budaya, tidak terlalu mudah menjadi kejam terhadap halhal yang menyimpang dan eksentrik. Hal ini tidak Iantas berarti bahwa hukum melepaskan diri dan konsensus moral masyarakat. Ia hanya lebih menemukan konsensus di dalam aspirasi-aspirasi yang umum daripada di dalam norma perilaku yang spesifik, ia berusaha mengklarifikasi nilai-nilai yang dipertaruhkan dalam tatanan moral, sehingga akan membebaskan budaya dan tafsiran-tafsiran sempitnya. b. Mendorong suatu pendekatan baru terhadap krisis-krisis ketertiban umum yaitu suatu pendekatan yang berpusat pada masalah (problem centered) dan yang integratif secara sosial. Menurut hukum responsive rekontruksi hubungan sosial dianggap sebagai sumber utama untuk mencapai ketertiban umum. Dengan kata lain, hukum responsif dapat lebih siap mengadopsi "paradigma politik" dalam mengintrepetasikan ketidakpatuhan dan ketidaktertiban. Paradigma tersebut menggunakan suatu model pluralistik dari struktur kelompok di dalam masyarakat, dan karenanya menekankan realitas dan meneguhkan legitimasi konflik sosial. Ketidakpatuhan mungkin dapat dilihat sebagai perbedaan pendapat, dan penyimpangan sebagai munculnya suatu gaya hidup baru, kerusuhan tidak dianggap sebagai aksi massa yang tidak masuk akal atau sekedar merusak namun dipuji karena relevansinya sebagai proses sosial. Dengan jalan ini, seni negosiasi,diskusi, dan kompromi secara politis dan juga sopan ikut dilibatkan. Aliran hukum ini juga mengatakan bahwa "ideal pokok" hukum resposif adalah legalitas. Bahwa kontinuitas dipertahankan, namun ideal committidak to user mengenai legalitas seharusnya dikacaukan dengan pernak-pemik
48
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
"legalisasi", pengembangan peraturan dan formalitas prosedural. Polapola birokratis yang diterima sebagai due process (dipahami sebagai "bidang rintangan") atau sebagai akuntabilitas (dipahami sebagai dipenuhinya peraturan-peraturan jabatan) merupakan hal yang asing bagi hukum responsif. Ideal mengenai legalitas perlu dipahami secara lebih umum dan dibebaskan dari formalisme. Menurut
Nonet
dan
Selznick
tokoh
yang
pertama
kali
memunculkan konsep tentang hukum responsif pertama kali, ada suatu kebutuhan akan suatu teori hukum dan sosial yang disebut sebagai, pertama, affirm the worth of law; kedua, point out alternative to coercion and repression.59 Mereka memilih suatu definisi hukum yang luas yang mencakup sejumlah besar pengalaman-pengalaman hukum yang aneka ragam, tanpa meleburkan konsep hukum di dalam anggapan yang lebih luas mengenai kontrol sosial. Menurut Jerome Frank tujuan utama penganut realisme hukum (legal realism) adalah untuk membuat hukum menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan sosial. Oleh karena itu untuk mencapai tujuan ini mereka mendorong perluasan bidang-bidang yang memiliki keterkaitan secara hukum, agar pola pikir atau nalar hukum dapat mencakup pengetahuan di dalam konteks sosial dan memiliki pengaruh terhadap tindakan resmi aparat penegak hukum.60 Demikian juga tujuan penganut sociological jurisprudence yang memberi kemampuan bagi institusi hukum untuk secara lebih menyeluruh dan cerdas mempertimbangkan fakta-fakta sosial dimana hukum itu berproses dan diaplikasikan. Dengan demikian menurut kedua pemikir hukum ini dapat dikatakan bahwa lahirnya hukum responsif tidak terlepas dari pengaruh dua teori hukum yaitu legal realism dan sociological jurisprudence. Hakikatnya, hukum dituntut untuk bisa memecahkan dan memberikan solusi atas persoalan-persoalan tersebut. Nonet dan Selznick 59 60
commithlm. to user Philippe Nonet dan Philip Selznick, Op.Cit. 8 Ibid, hlm. 14
49
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berpikir dan berupaya untuk menemukan jalan menuju perubahan supaya hukum bisa mengatasi persoalan-persoalan tersebut. Selama kurun waktu tersebut, hukum hanya dipahami sebagai aturan-aturan yang bersifat kaku dan terlalu menekankan pada aspek the legal system tanpa melihat kaitan antara ilmu hukum tersebut dengan persoalan-persoalan yang harus ditangani, seperti dalam hal ini adalah masalah-masalah sosial. Hukum identik dengan ketertiban sebagai cermin pengaturan dari penguasa, di sisi lain ada juga pemahaman mengenai hukum yang lebih menekankan pada aspek legitimasi dari peraturan-peraturan itu sendiri. Padahal semestinya teori hukum hendak-nya tidak buta terhadap konsekuensi sosial dan tidak kebal terhadap pengaruh sosial. Hukum tidak berada di ruang hampa, tetapi ada bersama-sama dengan ilmu yang lain, sehingga bermanfaat bagi kehidupan manusia. 61 Memahami kenyataan itu, Nonet dan Selznick kemudian mencoba memasukkan unsur-unsur dan pengaruh ilmu sosial ke dalam ilmu hukum dengan menggunakan strategi ilmu sosial. Ada perspektif ilmu sosial yang harus diperhatikan untuk bekerjanya hukum secara keseluruhan sehingga hukum tidak hanya mengandung unsur pemaksaan dan penindasan semata. Pendekatan ilmu sosial memperlakukan pengalaman hukum sebagai sesuatu yang berubah-ubah dan kontekstual, sesuai dengan kondisi sosial masyarakat yang melingkupinya. Sebelum melangkah ke pemikiran hukum responsif, Nonet dan Selznick membedakan tiga klasifikasi dasar dari hukum dalam masyarakat, yaitu: hukum sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum represif), hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan melindungi integritas dirinya (hukum otonom), dan hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum responsif). Nonet dan Selznick beranggapan, bahwa hukum represif, otonom,
61
dan responsif bukan saja merupakan tipe-tipe hukum yang berbeda, tetapi commit to user Loc. Cit, hlm.24
50
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dalam beberapa hal juga merupakan tahapan-tahapan evolusi dalam hubungan hukum dengan tertib sosial dan tertib politik masyarakat. Keduanya selanjut-nya menyebut tahapan-tahapan evolusi tersebut sebagai model perkembangan (developmental model). Untuk menjelaskan perkembangan evolutif tersebut, menurut pandangan penulis tahapan ini dapat disandarkan pada momentum-momentum sosial politik yang penting dalam perjalanan sejarah suatu negara, yang membingkai secara kontekstual terhadap muncul dan berlakunya suatu peraturan hukum dalam masyarakat. Di antara ketiga tipe hukum tersebut, Nonet dan Selznick berargumen bahwa hanya tahapan III (hukum responsif) yang menjanjikan tertib kelembagaan yang langgeng dan stabil. Model perkembangan dapat disusun ulang dengan fokus pada hukum otonom, dengan menunjuk pada konflik-konflik pada tahapan tersebut yang menimbulkan tidak hanya resiko kembalinya pola-pola represif namun juga kemungkinan terjadinya responsivitas yang lebih maju. Hukum responsif berorientasi pada hasil, yaitu pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Dalam hukum responsif, tatanan hukum dinego-siasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi atau dipaksakan. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan. Dalam model hukum responsif ini, mereka menyatakan ketidaksetujuan terhadap doktrin yang dianggap mereka sebagai
interpretasi
yang
baku
dan
tidak
fleksibel.
Apa yang dipikirkan oleh Nonet dan Selznick, menurut Prof. Satjipto Rahardjo, sebetulnya bisa dikembalikan kepada pertentangan antara analytical jurisprudence di satu pihak dan sociological jurisprudence di lain pihak. Analytical jurisprudence berkutat di dalam sistem hukum positif dan ini dekat dengan tipe hukum otonom sebagaimana diungkapkan Nonet. Baik aliran analitis maupun Nonet melalui tipe hukum commithukum to useryang bersifat final dan tak dapat responsifnya menolak otonomi
51
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
diganggu gugat. Teori hukum responsif adalah teori hukum yang memuat pandangan kritis. Teori ini berpandangan bahwa hukum merupakan cara mencapai tujuan. Hukum tidak hanya rules, tetapi juga ada logika-logika yang lain. Bahwa memberlakukan jurisprudence saja tidak cukup, tetapi penegakan hukum harus diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial. Dan ini merupakan tantangan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum untuk bisa membebaskan diri dari kungkungan hukum murni yang kaku dan analitis. Produk hukum yang berkarakter responsif proses pembuatannya bersifat partisipasif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi semua elemen masyarakat, baik dari segi individu, ataupun kelompok masyarakat dan juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau kehendak dari masyarakat. Artinya produk hukum tersebut bukan kehendak dari penguasa untuk sekedar melegitimasikan kekuasaannya. Keberadaan hukum responsif dalam atmosfer wacana hukum di Indonesia tidak terlepas dari tahapan-tahapan perkembangan pemikiran hukum di Indonesia yang berkorelasi erat kondisi sosial politik yang melingkupinya.
commit to user
52
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
53
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Kerangka Berfikir Dilaksanakannya program penggalangan dana wukirwati, dengan sasaran seluruh lapisan masyarakat di Kabupaten Sragen dan dengan tidak memandang perbedaan agama, ras, suku atau golongan diharapkan dapat dipergunakan untuk pemberikan pinjaman modal bagi kelompok usaha ekonomi produktif maupun perorangan sebagai upaya untuk mempercepat proses
pembangunan
perekonomian,
pengentasan
kemiskinan
dan
terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Untuk merealisasikan program tersebut perlu adanya produk hukum yang menjadi dasar bagi penggalangan dana dari masyarakat oleh Bupati Sragen kemudian ditetapkan produk hukum daerah berupa Peraturan bupati yang mengatur tentang penggalangan dana Wukirwati yaitu Peraturan Bupati Sragen Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Wujud Mikir Sukowati (Wukirwati) Kabupaten Sragen, dengan harapan dana yang dihimpun dari masyarakat tersebut dapat membawa perubahan yang signifikan dalam rangka menggerakkan semangat gotong royong, kebersamaan, kesatuan dan persatuan masyarakat Kabupaten Sragen dalam ikut handarbeni dan memajukan daerah serta mensejahterakan masyarakat. Suatu pemerintahaan daerah yang demokratis dapat dikaji dari dua aspek, yaitu aspek tataran proses maupun aspek tataran substansinya. Penyelenggaraan pemerintahan daerah dikatakan demokratis secara proses, apabila pemerintahan daerah yang bersangkutan mampu membuka ruang bagi keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan terhadap sesuatu kebijakan daerah yang dilaksanakan. Peran serta semua komponen masyarakat sangat dibutuhkan guna menunjang percepatan keberhasilan pembangunan di segala bidang, baik berupa ide, gagasan, masukan, saran, bantuan berupa material maupun spiritual. Secara ringkas kerangka berpikir penulis dalam penulisan tesis terhadap kebijakan pemerintah Kabupaten Sragen dalam rangka peningkatan commit to user kesejahteraan masyarakat melalui penggalangan dana Wukirwati adalah
54
perpustakaan.uns.ac.id
dengan
digilib.uns.ac.id
melakukan
berdasarkan
pengkajian
tentang
kewenangan
pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun
Bupati
Sragen
2004 tentang
Pemerintahan Daerah yang telah beberapakali diubah terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial dan dikaitkan dengan teori kebijakan publik serta ditinjau melalui pendekatan hukum responsif. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Kewenangan Kepala Daerah
Delegasi
WewenangOtonomi Daerah
Atribusi
Peraturan Bupati Sragen Nomor 16 Tahun 2009 Partisipasi masyarakat Kesejahteraan masyarakat
commit to user
55
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III METODE PENELITIAN
Untuk memperoleh hasil penelitian yang memiliki bobot nilai tinggi serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka diperlukan suatu metode penelitian yang dapat memberikan arah dan pedoman dalam memahami obyek yang diteliti sehingga dapat berjalan dengan baik dan lancar sesuai dengan rencana yang ditetapkan. Untuk memperoleh kebenaran yang dapat dipercaya keabsahannya, suatu penelitian harus menggunakan suatu metode yang tepat dengan tujuan yang hendak dicapai sebelumnya, sedangkan dalam penentuan metode mana yang akan digunakan, penulis harus cermat agar metode yang dipilih nantinya tepat dan jelas sehingga
untuk
mendapatkan
hasil
dengan
kebenaran
yang
diharapkan
yang
dapat
dipertanggungjawabkan tercapai. Untuk
mencapai
tujuan
dalam
penelitian
ini
menggunakan metode sebagai berikut :
A. Jenis Penelitian. Tesis ini adalah penelitian hukum doktrinal atau normatif, yaitu penelitian hukum yang mencakup penelitian tehadap asas-asas hukum, sistematika
hukum,
taraf 62
perbandingan hukum.
sinkronisasi
hukum,
sejarah
hukum
dan
Menurut pendapat Soetandyo Wignjosoebroto, istilah
penelitian hukum doktrinal adalah penelitian terhadap hukum yang dikonsepkan dan dikembangkan atas dasar doktrin yang dianut olah sang
commit to user 62
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI press, Jakarta, 1983,hlm. 51
56
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pengkonsep atau sang pengembangnya.63 Selanjutnya dinyatakan bahwa terdapat lima konsep hukum, yaitu sebagai berikut 64 : 1. Hukum adalah asas-asas moral atau kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku universal. 2. Hukum merupakan norma atau kaidah yang bersifat positif di dalam sistem perundang-undangan. 3. Hukum adalah keputusan-keputusan badan peradilan dalam penyelesaian kasus atau perkara (in concreto) atau apa yang diputuskan oleh hakim. 4. Pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variabel sosial yang empirik. 5. Manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial sebagai tampak dalam interaksi mereka. Pada penelitian ini, penulis mendasarkan pada konsep hukum yang kedua, yang menurut Soetandyo Wignjosoebroto, hukum dalam hal ini dikonsepsikan sebagai norma atau kaidah yang bersifat positif dalam sistem perundang-undangan. Apabila dilihat dari bentuknya, penelitian ini termasuk ke dalam bentuk penelitian
diagnostik yang dimaksudkan untuk mendapatkan
keterangan mengenai sebab-sebab terjadinya suatu gejala atau beberapa gejala. Ditinjau dari spesifikasi penelitian, maka penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif atau doktrinal, dalam hal ini penelitian hukum doktrinal menjadikan kaidah-kaidah hukum abstrak sebagai ukuran kebenaran dalam studi hukum. Objek dan rujukan yang diacu dalam penelitian doktrinal adalah kaidah-kaidah dari norma, konsep dan doktrin yang berkembang dalam pemikiran hukum.65
63
Soetandyo Wignyosubroto, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Elsam Huma, Jakarta, 2002, hlm. 147-160 64
Setiono, Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian Hukum, Surakarta : Universitas Sebelas Maret, 2005, hlm. 4
commit toMetode user Penelitian Hukum, Rajawali, Jakarta, Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar 2004, hlm. 133 65
57
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Secara khusus, penelitian ini mencoba menggambarkan bagaimana hukum sebagai gejala sosial sebagai varibel bebas (independent variable) yang menimbulkan pengaruh dan akibat pada berbagai aspek kehidupan sosial, sehingga merupakan kajian hukum yang sosiologis (socio legal research).66 Sedangkan dilihat dari sifatnya termasuk penelitian yang deskriptif kualitatif, yaitu suatu penelitian yang bertujuan mendeskripsikan tentang kebijakan Pemerintah Kabupaten Sragen dalam penggalangan dana masyarakat.
B. Pendekatan Penelitian Sehubungan dengan jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau doktrinal, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach). Pendekatan perundang-undangan digunakan untuk meneliti peraturan perundang-undangan yang normatifikasinya menjadi acuan bagi pelaksanaan kebijakan pemerintah Kabupaten Sragen. Pendekatan konsep digunakan untuk memahami prinsip-prinsip penghimpunan dana Wukirwati yang dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Sragen. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan dilakukan kajian pustaka, yang pada dasarnya mengandung makna aktivitas peneliti untuk berdialog secara kritis dengan pendapat pihak lain. Dengan kajian pustaka berarti kapasitas peneliti berhadapan dengan konsep-konsep yang terlebih dulu ada dan norma-norma hukum yang secara positif telah dan sedang berlaku. Kajian pustaka dilakukan secara selektif terhadap tema yang secara substansial relevan dengan kajian yang sedang dilakukan.67 Peneliti dituntut untuk secara kreatif mengadakan inventarisasi atas konsep-konsep atau teori-teori yang ada dan yang sedang berkembang, yang diyakini memiliki keterkaitan langsung maupun tidak langsung dengan maksud dan tujuan penelitian. Minimal
66
Ronni Hanitjo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum Juremetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hlm. 115. commit to user 67 Irawati Singarimbun. 1989 Log. Cit. hlm. 70-71
58
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
peneliti harus sanggup menemukan, menerangkan, dan meyakini rasionalitas konsep atau teori yang ada dalam kaitannya dengan variabel-variabel yang dipakai.68 Namun demikian, untuk memperkuat analisis juga akan digunakan pendekatan sosio legal secara terbatas. Artinya untuk memahami ketentuan hukum dalam suatu perundang-undangan tidak cukup memahaminya dalam susunan teks suatu peraturan, tetapi juga harus dipahami dari aspek sosial empiris yang mempengaruhi suatu peraturan perundang-undangan. Maka dalam penelitian ini juga dilakukan pengumpulan data lapangan dengan wawancara dan diskusi terbatas dengan subyek yang dipandang menguasai dan berkompeten dengan kebutuhan data.
C. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah di Perpustakaan Pusat UNS, Perpustakaan Fakultas Hukum UNS, dan di lingkungan kantor Pemerintah Kabupaten Sragen khususnya pada Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Sragen dan Satuan Kerja Perangkat Daerah yang berkaitan dengan penelitian penulisan tesis ini.
D. Jenis dan Sumber Data Karena penelitian dalam penulisan tesis ini merupakan penelitian hukum normatif atau doktrinal maka sumber data adalah bahan hukum yang menjadi materi dalam penelitian ini, antara lain : a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang terdiri atas peraturan perudang-undangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 7 UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan peraturan pelaksanaannya dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah beberapa kali diubah terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun commit to user 68
Sofian Effendi. 1989. Log. Cit. hlm. 32-33
59
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2008 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penulisan tesis. b. Bahan Hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer yang diperoleh dari bahan pustaka meliputi buku, makalah, jurnal, majalah dan lain-lain. c. Bahan Hukum Tersier, yaitu merupakan bahan yang memberikan kelengkapan informasi dari bahan hukum primer dan sekunder yang berasal dari kamus hukum, ensiklopedi dan lain-lain
E. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan dengan mengadakan pengkajian terhadap bahanbahan hukum berupa peraturan perundang-undangan dan produk hukum daerah yang berkaitan dengan penelitian penulisan tesis ini. Bahan hukum primer dan sekunder dikumpulkan berdasarkan klasifikasi topik permasalahan yang dirumuskan, berdasarkan sistem bola salju yang menggelinding, yaitu diawali dengan materi yang kecil dan berikutnya mengalir dengan mencakup materi yang semakin lama semakin besar. Bahan penelitian yang masuk selanjutnya diklasifikasi menurut sumber dan hirarkinya untuk dikaji secara komprehensif. Pada tahap ini dilakukan studi pustaka atas bahan hukum primer dan skunder. Data dihimpun dengan cara membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi, mengklasifikasi, dan menganalisis
peraturan
hukum,
literatur-literatur,
laporan
penelitian,
dokumen-dokumen resmi, serta sumber-sumber bacaan lainnya dengan cara menyalin, memfoto copy, atau memindahkan data yang relevan dengan kebutuhan penelitian. Lokasi yang ditentukan untuk penelitian adalah perpustakaan, tempat akses internet, dan instansi terkait.
commit to user
60
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
G. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum Untuk menjawab rumusan masalah, maka dilakukan inventarisasi segenap peraturan hukum yang terkait dengan kewenangan pemungutan dana oleh pemerintah daerah. Rekapitulasi data yang diperoleh selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan kategori tertentu. Data selanjutnya dianalisis secara deduktif untuk mendapatkan pola tertentu, yang selanjutnya dikomunikasikan dengan data empiris hasil wawancara dengan nara sumber sebagai kontrol data. Data yang telah dihimpun kemudian diuraikan dan dihubung-hubungkan sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematik guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Untuk memahami dan melakukan pendalaman terhadap usaha penemuan hukum, akan digunakan beberapa penafsiran, antara lain : 1. Penafsiran Gramatikal, yaitu cara penafsiran untuk mengetahui makna peraturan perundang-undangan dengan menggunakan uraian menurut bahasa, susunan kata, atau bunyi peraturan perundang-undangan; 2. Penafsiran Sistematik, yaitu penafsiran yang dilakukan dengan cara menghubungkan pasal-pasal tertentu dengan keseluruhan peraturan perundang-undangan yang berkaitan, dan jika perlu dengan keseluruhan sistem hukum yang berlaku pada suatu negara. 3. Penafsiran Teleologis, yaitu penafsiran yang dilakukan dengan memperhitungkan tuntutan perkembangan masyarakat; Pengolahan bahan hukum sebagaimana telah diinventarisasi dan diklasifikasikan dengan menggunakan penafsiran dan teknik analisis secara deduktif, yaitu dengan menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.
commit to user
61
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN, ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Umum a. Lokasi Penelitian Berdasarkan Sragen Dalam Angka Tahun 2009
69
, Kabupaten
Sragen merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Tengah. Secara geografis Kabupaten Sragen berada di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Batas batas wilayah Kabupaten Sragen: - Sebelah Timur
: Kabupaten Ngawi (Propinsi Jawa Timur)
- Sebelah Barat
: Kabupaten Boyolali
- Sebelah Selatan
: Kabupaten Karanganyar
- Sebelah Utara
: Kabupaten Grobogan
Luas wilayah Kabupaten Sragen adalah 941,55 km2 yang terbagi dalam 20 kecamatan, 12 kalurahan, dan 196 desa. Secara fisiologis, wilayah Kabupaten Sragen terbagi atas: - 40.037,93 Ha (42,52%)
: Lahan basah (sawah)
- 54.117,88 Ha (57,48%)
: Lahan kering
Kabupaten Sragen terletak pada: - 7 º 15 LS dan 7 º 30 LS - 110 º 45 BT dan 111 º 10 BT Wilayah Kabupaten Sragen berada di dataran dengan ketinggian rata rata 109 M diatas permukaan laut. Sragen mempunyai iklim tropis dengan suhu harian yang berkisar antara 19 - 31 ºC. Curah hujan rata-rata di bawah 3000mm per tahun dengan hari hujan di
69
bawah 150 hari per tahun. Jumlah penduduk Sragen berdasarkan data commit to user Badan Pusat Statistik, Sragen Dalam Angka Tahun 2009, Perusda Sragen, 2009.
62
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tahun 2010 sebanyak 865.417 jiwa, terdiri dari 427.253 penduduk lakilaki dan 438.164 penduduk perempuan. Kepadatan penduduk rata rata 919 jiwa/km2. - Luas Wilayah
: 94.155 Ha
- Luas Sawah
: 40.129 Ha
- Tanah Kering
: 54.026 Ha
Secara umum identifikasi kewilayahannya dibagi menjadi 2 bagian, yaitu : 1) Sebelah selatan Bengawan Solo : - Luas Wilayah :
32.760 ha (34,79 %)
- Tanah Sawah :
22.027 ha (54,85 %)
(terdiri dari 9 Kecamatan, 88 Desa dan Kelurahan) 2) Sebelah utara Bengawan Solo - Luas Wilayah : 61.395 ha (65,21 %) - Tanah Sawah : 18.102 ha (45,15 %) (terdiri dari 11 Kecamatan 120 Desa) Bengawan Solo merupakan sungai terpanjang di pulau Jawa, dengan mata air dari daerah Wonogiri dan bermuara di daerah Bojonegoro. Sungai ini panjangnya sekitar 548,53 km dan mengaliri dua provinsi yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kabupaten yang dilalui adalah Wonogiri, Pacitan, Sukoharjo, Klaten, Solo, Sragen, Ngawi, Blora, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, dan Gresik. Kabupaten Sragen berada di lembah daerah aliran Sungai Bengawan Solo yang mengalir ke arah timur. Sebelah utara berupa perbukitan, bagian dari sistem Pegunungan Kendeng. Sedangkan di selatan berupa pegunungan, lereng dari Gunung Lawu. Kabupaten Sragen terletak di jalur utama Solo-Surabaya. Hal ini menjadikan Kabupaten Sragen sebagai gerbang utama sebelah timur Provinsi Jawa Tengah, yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Timur. commit to user
63
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Pola Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Daerah Kabupaten Sragen Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Sragen Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pola Organisasi Pemerintahan Daerah Kabupaten Sragen, Pola Organisasi Pemerintahan Daerah Kabupaten Sragen terdiri atas : 1) DPRD. 2) Pemerintah Daerah yang terdiri atas Bupati beserta Perangkat Daerah. Sedangkan Perangkat Daerah terdiri atas: 1) Sekretariat Daerah termasuk didalamnya Staf Ahli Bupati; 2) Sekretariat DPRD; 3) Inspektorat Kabupaten; 4) Dinas Daerah, terdiri dari : a) Dinas Pendidikan; b) Dinas Kesehatan; c) Dinas Pekerjaan Umum; d) Dinas Perindustrian, Koperasi, dan Usaha Mikro, Kecil, Menengah; e) Dinas Sosial; f) Dinas Pertanian; g) Dinas Peternakan dan Perikanan; h) Dinas Perhubungan, Komunikasi, dan Informatika; i) Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil; j) Dinas Pendapatan, Pengelola Keuangan dan Aset Daerah; k) Dinas Perdagangan dan Perpajakan Daerah; l) Dinas Pariwisata, Kebudayaan , Pemuda dan Olah Raga; m) Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi. n) Dinas Kehutanan dan Perkebunan. 5) Lembaga Teknis Daerah yang berbentuk Badan, Kantor dan commit to user Rumah Sakit.
64
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a) Lembaga Teknis Daerah yang berbentuk Badan adalah : - Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA); - Badan Kepegawaian Daerah (BKD); - Badan
Kesatuan Bangsa, Politik, dan
Perlindungan
Masyarakat (Badan Kesbangpolinmas); - Badan Perijinan Terpadu (BPT) - Badan Keluarga Berencana, Pemberdayaan Masyarakat, dan Desa (BKBPMD); - Badan Pendidikan Pelatihan, dan Penelitian Pengembangan (Badan Diklat Litbang); - Badan Lingkungan Hidup (Badan LH); - Badan Pelaksana Penyuluhan (Bapeluh); - Badan Pemberdayaan Usaha Milik Daerah (BPUMD). b) Lembaga Teknis Daerah yang berbentuk Kantor adalah : - Kantor Ketahanan Pangan ; - Kantor Perpustakaan Daerah; - Kantor Pengelola Data Elektronik; - Kantor Arsip dan Dokumentasi. c) Lembaga Teknis Daerah yang berbentuk Rumah Sakit adalah Rumah Sakit Umum Daerah 6) Kecamatan; 7) Kelurahan; 8) Satuan Polisi Pamong Praja.
c. Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah Kabupaten Sragen Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah Kabupaten Sragen ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Sragen Nomor 11 Tahun 2008. Sekretariat Daerah merupakan unsur staf yang commit to user dipimpin oleh Sekretaris Daerah berada dibawah dan bertanggung-
65
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
jawab kepada Bupati yang bertugas dan berkewajiban membantu Bupati dalam menyusun kebijakan dan mengkoordinasikan Dinas Daerah dan Lembaga Tehnis Daerah. Dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya Sekretariat Daerah menyelenggarakan fungsi-fungsi ; 1) Penyusunan kebijakan Pemerintahan Daerah. 2) Pengkoordinasian pelaksanaan tugas Dinas Daerah dan Lembaga Teknis Daerah. 3) Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan Pemerintahan Daerah. 4) Pembinaan administrasi dan aparatur Pemerintah Daerah. 5) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Bupati sesuai dengan tugas dan fungsinya. Berdasarkan ketentuan pada Bab III pasal 5 Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah Kabupaten Sragen, Susunan Organisasi Sekretariat Daerah terdiri dari ; 1) Sekretaris Daerah. 2) Asisten Administrasi Pemerintahan, membawahi ; a) Bagian Pemerintahan dan Pertanahan, terdiri dari ; -
Sub Bagian Tata Pemerintahan Umum.
-
Sub Bagian Pemerintahan Desa.
-
Sub Bagian Pertanahan.
b) Bagian Hukum, terdiri dari ; -
Sub Bagian Peraturan Perundang-undangan.
-
Sub Bagian Pengkajian dan Dokumentasi Hukum
-
Sub Bagian Bantuan Hukum
c) Bagian Pemberdayaan Perempuan, terdiri dari ; -
Sub Bagian Peranan Perempuan.
-
Sub Bagian Bina Organisasi Perempuan. commit to user Sub Bagian Pendataan dan Evaluasi Kualitas Perempuan.
-
66
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3) Asisten Administrasi Pembangunan dan Kesejahteraan Rakyat membawahi ; a) Bagian Pembangunan, terdiri dari : -
Sub Bagian Bina Program.
-
Sub Bagian Pengendalian Pelaksanaan Pembangunan
-
Sub Bagian Pelaporan.
b) Bagian Sumber Daya Alam, terdiri dari : -
Sub Bagian Bina Perekonomian.
-
Sub Bagian Bina Produksi Daerah.
-
Sub Bagian Lingkungan Hidup.
c) Bagian Kesejahteraan Rakyat, terdiri dari : -
Sub Bagian Agama dan kerokhanian.
-
Sub Bagian Pendidikan.
-
Sub Bagian Kesejahteraan Masyarakat
-
Asisten Administrasi Umum, membawahi ;
d) Bagian Umum, terdiri dari : -
Sub Bagian Tata Usaha.
-
Sub Bagian Rumah Tangga dan Perlengkapan
-
Sub Bagian Sandi dan Telekomunikasi.
e) Bagian Organisasi dan Kepegawaian, terdiri dari : -
Sub Bagian Kelembagaan
-
Sub Bagian Ketatalaksanaan.
-
Sub Bagian Kepegawaian.
c. Bagian Hubungan Masyarakat dan Protokol, terdiri dari : -
Sub Bagian Pengumpulan Informasi.
-
Sub Bagian Pemberitaan dan Pembinaan Radio Siaran Publik Lokal
-
Sub Bagian Protokol.
Berdasarkan Peraturan Bupati Sragen Nomor 19 Tahun 2009 tentang Penjabaran Uraian Tugas Pokok dan Fungsi, Bagian Hukum commit to user menyelenggarakan fungsi pelaksanaan sebagian fungsi dan
67
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pengkoordinasian
perumusan
peraturan
perundang-undangan,
memberikan bantuan hukum dan pengkajian produk hukum daerah, mendokumentasikan dan mempublikasikan produk hukum. Ketentuan Pasal 12 Peraturan Bupati Sragen Nomor 19 Tahun 2009, Bagian Hukum mempunyai tugas, antara lain: 1) Menyiapkan konsep kerja dibidang produk hukum daerah; 2) Melaksanakan penyiapan bahan penyusunan rencana kerja Bagian Hukum; 3) Menyiapkan bahan koordinasi penyusunan Produk Hukum Daerah yang meliputi Peraturan Daerah, Peraturan Bupati, Keputusan Bupati dan Instruksi Bupati; 4) Melaksanakan
koordinasi
dengan
instansi
terkait
dalam
penyelesaian hukum; 5) Menyiapkan bahan, pedoman dan petunjuk teknis dalam pemberian bantuan hukum dan konsultasi hukum; 6) Menjabarkan program kerja di bidang hukum dengan membuat jadwal kegiatan sehingga semua rencana dapat dilaksanakan tepat waktu dan tepat sasaran; 7) Mengevaluasi pelaksaan tugas di bidang hukum; 8) Merencanakan pemberian bantuan hukum dan konsultasi hukum; 9) Memberikan saran dan pertimbangan kepada atasan; 10) Membuat laporan masalah-masalah hukum yang ada; 11) Memberikan
rekomendasi dan
penetapan
Daftar Penilaian
Pelaksanaan pekerjaan kepada Kepala Sub Bagian dan staf pelaksanaan; 12) Menjabarkan perintah atasan sesuai petunjuk/pedoman ketentuan yang berlaku; 13) Menyelenggarakan rapat staf secara rutin atau periodik untuk kelancaran pelaksanaan tugas; 14) Memaparkan bahan rapat dan menerima masukan-masukan dari commit to user bawahan dan memberi keputusan hasil rapat;
68
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
15) Mengkoordinir bawahan untuk menjalankan hasil rapat; 16) Mengarahkan dan menugaskan para Kepala Sub Bagian dan staf pelaksana; 17) Melakukan koordinasi dalam penyusunan laporan pelaksanaan RANHAM; 18) Melakukan koordinasi dalam pelaksanaan kegiatan RANHAM; 19) Melakukan koordinasi dalam upaya penegakan HAM; 20) Melakukan koordinasi dalam pemberian bantuan hukum dan konsultasi hukum kepada SKPD dalam melaksanakan tugas; 21) Menyusun konsep dalam rangka pemberian bantuan hukum dan konsultasi hukum kepada SKPD dalam melaksanakan tugas; 22) Menyusun bahan sebagai acuan dalam pemberian bantuan hukum dan konsultasi hukum; 23) Melaksanakan koordinasi dengan SKPD terkait dalam upaya penyelesaian permasalahan di bidang hukum; 24) Menyusun bahan rapat dan koordinasi di bidang tugasnya; 25) Menjabarkan perintah atasan sesuai dengan pedoman dan peraturan yang berlaku; 26) Mendistribusikan tugas kepada staf; 27) Memberikan petunjuk dan arahan kepada staf; 28) Memberikan saran dan pertimbangan kepada Asisten I mengenai langkah-langkah yang perlu di ambil di bidang tugasnya; 29) Membuat laporan sesuai dengan tugasnya; 30) Menyiapkan, mengolah dan menyimpan data elektronik serta mengoperasikan komputer/ Teknologi Informasi (IT); 31) Memberikan penilaian DP3 kepada Sub Bagian yang menjadi tanggungjawabnya. 32) Menyimpan dan mengarsipkan dokumen kepegawaian termasuk Surat Keputusan Penjatuhan Hukuman Disiplin PNS; 33) Melaksanakan tugas selain yang diberikan oleh Asisten I sesuai commit to user dengan tugas dan fungsinya.
69
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berdasarkan Ketentuan Pasal 13 ayat 1 Peraturan Bupati Nomor 19 Tahun 2004, Sub Bagian Peraturan Perundang-undangan mempunyai tugas antara lain : 1) Membantu Kepala Bagian Hukum dibidang tugasnya; 2) Menyusun konsep rencana kerja dibidang tugasnya; 3) Menyusun Program Legislasi Daerah; 4) Mengikuti perkembangan hukum pada umumnya dan khususnya yang menyangkut tugas pemerintah daerah; 5) Mengadakan penelitian dan peninjauan kembali peratuaran daerah yang berhubungan dengan tugas pemerintah daerah; 6) Menyiapkan bahan koordinasi dan petunjuk tehnis pembinaan hukum; 7) Meneliti dan atau mempersiapkan bahan rancangan peraturan daerah; 8) Membuat dan atau meneliti atas produk-produk hukum antara lain: Rancangan Peraturan Daerah, Peratuaran Bupati, Keputusan Bupati dan Instruksi Bupati. 9) Mempersiapkan Rancangan Peratuaran Daerah, Peraturan Bupati, dan Instruksi Bupati yang memenuhi persyaratan formal dan persyaratan dari segi materinya sepanjang tidak diatur oleh atasan; 10) Menyusun petunjuk teknis
penyusunan produk-produk hukum
pemerintah daerah; 11) Menyiapkan bahan rapat dan koordinasi di bidang tugasnya; 12) Menjabarkan perintah atasan sesuai dengan pedoman dan peraturan yang berlaku; 13) Mendistribusikan tugas kepada bawahan; 14) Memberikan petunjuk dan arahan kepada bawahan; 15) Memberikan saran dan pertimbangan kepada atasan mengenai langkah-langkah yang perlu diambil dibidang tugasnya; 16) Membuat laporan sesuai dengan tugasnya; 17) Melakukan koordinasi antar Sub Bagian Hukum dalam melaksanakan tugas pokok; commit userdiberikan atasan; 18) Melaksanakan tugas-tugas laintoyang
70
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
19) Membantu mengkoordinasikan dalam penyampaian Raperda atau Perda
kepada
Pemerintah
Provinsi
dan
Pemerintah
untuk
dikonsultasikan, dievaluasi maupun klarifikasi 20) Membantu mengkoordinasikan dalam pelaksanaan evaluasi Raperda tentang APBDes, Tata Ruang dan Pungutan 21) Membantu dalam melaksanakan dan mengkoordinasikan dalam pengajuan Raperda tentang APBD, Tata Ruang, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah kepada Gubernur 22) Memberikan penilaian DP3 kepada staf yang menjadi tanggung jawabnya; 23) Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Bagian Hukum sesuai dengan tugas dan fungsinya. Berdasarkan Ketentuan Pasal 13 ayat 2 Peraturan Bupati Nomor 19 Tahun 2009, Sub Bagian Pengkajian dan Dokumentasi Hukum mempunyai tugas antara lain ; 1) Menyiapkan rencana kerja bidang pengkajian dan dokumentasi hukum; 2) Melaksanakan pengkajian dan evaluasi produk hukum daerah meliputi: Peraturan Daerah, Peraturan Bupati, Keputusan Bupati, Instruksi Bupati; 3) Melaksanakan evaluasi pelaksanaan produk hukum daerah meliputi: Peraturan Daerah, Peraturan Bupati, Keputusan Bupati, Instruksi Bupati; 4) Melaksanakan evaluasi pelaksanaan produk hukum desa Meliputi; Peraturan Desa, Peraturan Kepala Desa, Keputusan Kepala Desa; 5) Melaksanakan dokumentasi, publikasi dan sosialisasi produk hukum daerah meliputi: Peraturan Daerah, Peraturan Bupati, Keputusan Bupati, Instruksi Bupati ; 6) Membuat himpunan produk hukum daerah meliputi: Peraturan Daerah, Peraturan Bupati, Keputusan Bupati, Instruksi Bupati ; commit to user
71
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7) Melaksanakan penyebarluasan produk hukum daerah meliputi: Peraturan Daerah, Peraturan Bupati, Keputusan Bupati, Insruktur Bupati ; 8) Menginventarisasi dan sosialisasi produk hukum nasional meliputi: Undang-Undang,
Peraturan
Pemerintah,
Peraturan
Pemerintah
Pengganti Undang-Udang, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, Instru-si Presiden, Peraturan Menteri, Keputusan Menteri, Instruksi Menteri dan Membuat Buku Daftar Inventaris Produk Hukum; 9) Menyiapkan bahan-bahan rapat koordinasi; 10) Koordinasi antar Sub Bagian Hukum dalam menjalankan tugas pokok; 11) Menginventarisasi surat keluar dan surat masuk 12) Membuat Daftar Absensi; 13) Membuat Buku Penjagaan Kepegawaian; 14) Memberikan
penilaian
DP3
kepada
staf
yang
menjadi
tanggungjawabnya; 15) Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Bagian Hukum sesuai dengan tugas dan fungsinya. Berdasarkan Ketentuan Pasal 13 ayat 3 Peraturan Bupati Nomor 19 Tahun 2009, Sub Bagian Bantuan Hukum mempunyai tugas antara lain ; 1) Menyiapkan konsep dalam rangka pemberian bantuan hukum dan konsultasi hukum kepada satuan kerja perangkat daerah dalam melaksanakan tugas; 2) Melaksanakan penyiapan bahan sebagai acuan dalam pemberian bantuan hukum dan konsultasi hukum; 3) Melaksanakan koordinasi dengan satuan kerja terkait dalam upaya penyelesaian permasalahan dibidang hukum; 4) Menyiapkan bahan rapat dan koordinasi dibidang tugasnya; 5) Menjabarkan perintah atasan sesuai dengan pedoman dan peraturan yang berlaku; 6) Mendistribusikan tugas kepada bawahan; to user 7) Memberikan petunjuk commit dan arahan kepada bawahan;
72
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
8) Memberikan saran dan pertimbangan kepada Kepala Bagian Hukum mengenai langkah-langkah yang perlu diambil dibidang tugasnya; 9) Membantu Kepala Bagian Hukum dalam melakukan koordinasi dalam penyusunan laporan pelaksanaan RANHAM; 10) Membantu Kepala Bagian Hukum dalam melakukan koodinasi dalam upaya penegakan HAM; 11) Membantu Kepala Bagian Hukum dalam melakukan koordinasi dalam pemberian bantuan dan konsultasi hukum kapada SKPD dalam pelaksanakan tugas; 12) Membuat laporan sesuai dengan tugasnya; 13) Melaksanakan
koordinasi
antar
Sub
Bagian
Hukum
dalam
melaksanakan tugasnya; 14) Memberikan penilaian DP3 kepada staf yang menjadi tanggung jawabnya; 15) Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Bagian Hukum sesuai dengan tugas dan fungsinya.
2. Kewenangan Bupati Sragen dalam Menggalang Dana Masyarakat melalui Peraturan Bupati Nomor 16 Tahun 2009 Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dinyatakan bahwa Pemerintah Daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri urusan pemerintahan menurut azas otonomi dan tugas pembantuan, yang diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan
pelayanan,
pemberdayaan
dan
peran
serta
masyarakat, disamping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Republik Indonesia. commit to user
73
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Prinsip otonomi seluas-luasnya mengandung maksud daerah diberikan
kewenangan
mengurus
dan
mengatur
semua
urusan
pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintah yang meliputi; politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta agama. Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban sebagaimana diatur dalam pasal 22 huruf n Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah beberapakali diubah, terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yaitu kewajiban membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya. Di dalam ketentuan Pasal 25 huruf e Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah beberapakali diubah, terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah mempunyai tugas dan wewenang mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah. Kewajiban kepala daerah salah satunya adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemberian kewenangan dari pemerintah kepada pemerintah daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diubah beberapa kali terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintah yang meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama. Berdasarkan ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah beberapa kali diubah terakhir diubah dengan Undang-Undang commit to user Nomor 12 Tahun 2008 tentang
74
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah terdiri atas urusan wajib dan pilihan. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk kabupaten/kota antara lain meliputi beberapa hal sebagai berikut : 1) Perencanaan dan pengendalian pembangunan; 2) Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; 3) Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; 4) Penyediaan sarana dan prasarana umum; 5) Penanganan bidang kesehatan; 6) Penyelenggaraan pendidikan; 7) Penanggulangan masalah sosial; 8) Pelayanan bidang ketenagakerjaan; 9) Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; 10) Pengendalian lingkungan hidup; 11) Pelayanan kesehatan; 12) Pelayanan kependudukan, dan Catatan Sipil; 13) Pelayanan administrasi umum pemerintahan; 14) Pelayanan administrasi penanaman modal; 15) Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; 16) Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangundangan. Adapun urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang telah diubah beberapa kali terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan commit to user
75
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Daerah, Kepala Daerah sebagai kepala pemerintahan daerah mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut : 1) Memimpin
penyelenggaraan
pemerintahan
daerah
berdasarkan
kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD. 2) Mengajukan rancangan Peraturan Daerah. 3) Menetapkan Peraturan Daerah yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD. 4) Menyusun dan mengajukan rancangan Peraturan Daerah tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama. 5) Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah. 6) Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 7) Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 27 ayat (l) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diubah beberapa kali terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua
Atas
Undang-Undang
Nomor
32
Tahun
2004
tentang
Pemerintahan Daerah, Kepala Daerah mempunyai kewajiban sebagai berikut : 1) Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan UUD Tahun l945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; 2) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 3) Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat. 4) Melaksanakan kehidupan demokrasi. 5) Mentaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan. 6) Menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintahan commit to user daerah.
76
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7) Memajukan dan mengembangkan daya saing daerah. 8) Melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik. 9) Melaksanakan dan mempertangungjawabkan pengelolaan keuangan daerah. 10) Menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah Berdasarkan ketentuan Pasal 146 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah beberapa kali diubah terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa “Untuk melaksanakan peraturan daerah dan atas kuasa peraturan perundang-undangan lain yang berlaku, Kepala Daerah menetapkan peraturan Kepala Daerah dan atau Keputusan Kepala Daerah”. Secara redaksional, dalam ketentuan pasal ini mengisyaratkan beberapa bentuk peraturan kepala daerah, antara lain : 1) Keputusan Kepala Daerah dalam rangka otonomi daerah, yaitu Peraturan
perundang-undangan
tingkat
Daerah
Propinsi
dan
Kota/Kabupaten yang ditetapkan oleh Gubernur, Walikota/Bupati untuk melaksanakan wewenangnya sebagai daerah otonom untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. 2) Keputusan Kepala Daerah dalam rangka tugas pembantuan yaitu peraturan
perundang-undangan
tingkat
daerah
Propinsi
dan
Kabupaten/kota yang ditetapkan oleh Gubernur, Bupati/walikota atas kuasa peraturan perundang-undangan yang berlaku, dikenal dengan kewe-nangan delegasi. 3) Keputusan Kepala Daerah dalam rangka dekonsentrasi, yaitu peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Gubernur atas kuasa peraturan perundang-undangan lain yang berlaku, disebut kewenangan atribusi. commit to user
77
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Wewenang Bupati Sragen menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah beberapa kali diubah terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, merupakan wewenang yang bersumber dari kewenangan dalam rangka daerah otonom. Selanjutnya, berdasarkan pada ketentuan-ketentuan tersebut, Bupati Sragen memiliki kewenangan untuk menggalang dana dari masyarakat, sehingga Bupati Sragen menetapkan Peraturan Bupati Sragen Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Wukirwati (Wujud Mikir Sukowati) Kabupaten Sragen. Peraturan Bupati Sragen tersebut merupakan jenis peraturan perundangundangan yang mempunyai sifat mengatur dan berlaku mengikat, karena sudah diundangkan dalam ketentuan Pasal 81 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, yang berbunyi : “Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundang-undangan harus diundangkan dengan menempatkannya dalam Berita Daerah.”
3. Kedudukan Peraturan Bupati Sragen Nomor 16 Tahun 2009 Menurut Pendekatan Hukum Responsif. Di dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dijelaskan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. d. Peraturan Pemerintah. e. Peraturan Presiden.
commit to user
78
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
f. Peraturan Daerah Propinsi. g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Peraturan Bupati merupakan jenis peraturan perundang-undangan selain yang diakui produk hukum keberadaannya dan mempunyai kekuatan
hukum
mengikat
sepanjang
diperintah
oleh
peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perturan Perundang-undangan. Produk hukum daerah sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur penyusunan produk hukum daerah ada dua jenis produk hukum, yaitu produk hukum yang bersifat pengaturan dan penetapan. Produk hukum yang bersifat pengaturan, meliputi : a. Peraturan Daerah atau sebutan lain ; b. Peraturan Kepala Daerah ; c. Peraturan Bersama Kepala Daerah. Produk hukum yang bersifat penetapan, meliputi ; a. Keputusan Kepala Daerah ; a. Instruksi Kepala Daerah. Mekanisme penyusunan produk hukum daerah berdasarkan pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 ditindak lanjuti oleh Pemerintah Kabupaten Sragen dengan ditetapkannya Peraturan Bupati Sragen Nomor 15 Tahun 2006, diatur pada Bab III Bagian Kedua Pasal 14, adalah sebagai berikut ; 1. Konsep Rancangan Peraturan Bupati, Keputusan Bupati dan Instruksi Bupati disusun oleh
Instansi/Badan/Dinas/Kantor/Bagian
sesuai
dengan bidang tugasnya masing-masing. 2. Instansi/Badan/Dinas/Kantor/Bagian yang membidangi materi produk hukum daerah yang disusun menyampaikan konsep beserta bahancommit to user bahan pendukung disertai dengan alasan-alasannya kepada Kepala
79
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Bagian Hukum untuk dilakukan penelitian dan pengkajian yang meliputi dasar hukum, bentuk dan materinya. 3. Kepala
Bagian
Hukum
dapat
mengundang
Kepala
Satuan
Kerja/Instansi yang mengajukan konsep produk hukum daerah untuk dilakukan pembahasan yang mendalam, penelitian materi dan penyempurnaan teknis penyusunannya. 4. Setelah dilakukan pembahasan, penelitian dan penyempurnaan, Asisten menyampaikan konsep produk hukum daerah diajukan kepada Bupati melalui Sekretaris Daerah untuk memperoleh persetujuaan yang dilanjutkan dengan penandatanganan. 5. Sebelum konsep produk hukum daerah tersebut disampaikan kepada Bupati, terlebih dahulu harus mendapat paraf koordinasi dari Kepala Bagian Hukum, Asisten I dan Sekretaris Daerah. 6. Setelah ditanda tangani oleh Bupati, Kepala Bagian Hukum berkewajiban untuk memberikan nomor produk hukum daerah, kemudian diundangkan dalam berita daerah. Penyusunan Peraturan Bupati Sragen Nomor 16 Tahu 2009 tentang Penggalangan Dana Wujud Mikir Sukowati (Wukirwati) Kabupaten Sragen mekanismenya diawali dengan penyusunan drafnya dari Satuan Kerja Perangkat Daerah pemprakarsa, yaitu dari Bagian Perekonomian Sekretariat Daerah Pemerintah Kabupaten Sragen. Draf kemudian dikirim ke Bagian Hukum Sekretariat Daerah Pemerintah Kabupaten Sragen untuk dilaksanakan koreksi baik dari segi tata naskah, legal drafting dan dasar hukum yang mendasari disusunnya Peraturan Bupati Sragen sebagaimana tersebut diatas, setelah dilakukan koreksi ditindak lanjuti dengan diajukan Nota Dinas yang berisi tentang permohonan penandatanganan kepada Bupati, naskah dinas tersebut dibuat 4 (empat) rangkap melalui Asisten I Sekretaris Daerah untuk diberikan paraf dan Sekretaris Daerah memberikan catatan atau rekomendasi terhadap draf Peraturan Bupati untuk dapat diberikan pengesahan Bupati Sragen, setelah ditandatangani commit to user Bupati Sragen, kemudian Peraturan Bupati Sragen tersebut diatas
80
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
diberikan Nomor Peraturan Bupati dan diajukan kembali kepada Sekretaris Daerah untuk ditandatangaani dan selanjutnya diundangkan dalam
berita
daerah
dengan
diberikan
nomor
dan
tanggal
pengundangannya, kemudian dikirim kepada Satuan Kerja Perangkat Daerah pemprakarsa yaitu Bagian Perekonomian untuk selanjutnya diperbanyak dan disampaikan kepada Satuan Kerja Perangkat Daerah Pemerintah Kabupaten Sragen yang terkait dan dengan tembusan dikirim kepada Gubernur Jawa Tengah dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sragen. Dari prosedur mulai penyusunan draf Peraturan Bupati Sragen sampai diterbitkannya Peraturan Bupati Sragen Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penggalangan Dana Wujud Mikir Sukowati (Wukirwati) Kabupaten Sragen mekanismenya sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penerbitan Peraturan Bupati Sragen tersebut diatas merupakan produk hukum yang responsif, karena terbitnya memang ditujukan untuk kepentingan masyarakat, khususnya diprioritaskan hasil pengumpulan dana tersebut untuk pengentasan kemiskinan dengan memberikan bantuan modal usaha bagi yang mempunyai usaha ekonomi produktif
agar
usahanya dapat berkembang dan untuk bantuan yang sifatnya sosial.
B. Pembahasan 1. Kewenangan Bupati Sragen dalam Menggalang Dana Masyarakat Gagasan Bupati Sragen untuk melakukan penggalangan dana masyarakat melalui program Wukirwati diilhami dari pengumpulan dana masyarakat Minangkabau Sumatera Barat dengan nama Gerakan Seribu Minang (Gebuminang).70 Ide tentang gerakan tersebut pada intinya adalah commit to user 70
Untung Wiyono, Loc. Cit. hlm. 59
81
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
suatu gerakan dari masyarakat Minangkabau untuk menghimpun dana dari masyarakat Minang baik yang berada di perantauan maupun yang berada di wilayah adat masyarakat Minang. Dana yang terkumpul kemudian dikelola oleh masyarakat Minangkabau sendiri dan dipergunakan untuk membangun sarana dan prasarana masyarakat Minangkabau, antara lain membangun rumah di kota-kota besar di Indonesia untuk tempat pemondokan pelajar/mahasiswa dari Minangkabau, membangun tempattempat ibadah, berbagai fasilitas umum lainnya, dan mendirikan koperasi. Gagasan tersebut menginspirasi Bupati Sragen dalam rangka untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan pendapatan masyarakat, yang pada akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi Kabupaten Sragen. Pemerintah Kabupaten Sragen melalui Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD) selama ini telah mengalokasikan dana untuk memberikan pinjaman modal, khususnya bagi masyarakat yang tergolong keluarga miskin dan kelompok masyarakat ekonomi produktif yang kurang modal untuk melakukan usahanya melalui kebijakan Dana Bergulir (Recovery Fund). Dana untuk memenuhi kebutuhan masyarakat miskin dengan model pinjaman lunak tanpa agunan tersebut dialokasikan melalui Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), yaitu melalui beberapa dinas, antara lain melalui Dinas Perindustrian Koperasi dan UKM, Dinas Peternakan dan Perikanan, Dinas Perdagangan dan Perpajakan Daerah dan satuan kerja perangkat daerah lainnya. Namun karena keterbatasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pemerintah Daerah tidak mampu untuk melayani permintaan masyarakat secara maksimal. Untuk mengatasi hal tersebut dicari inovasi/ gagasan baru dengan model melakukan penggalangan dana yang berasal dari masyarakat dan dikembalikan pada masyarakat melalui pembiayaan kegiatan ekonomi maupun sosial. Masyarakat yang mau dan mampu serta merelakan sebagian dana yang dimiliki commit to useruntuk membantu masyarakat yang
82
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kurang mampu. Program tersebut mempunyai maksud untuk mendorong masyarakat bergotong royong bersatu padu membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan dapat mengurangi kemiskinan. Program penggalangan dana Wukirwati di Kabupaten Sragen merupakan kebijakan Bupati Sragen sebagai terobosan atau inovasi berupa alternatif yang diharapkan dapat memberikan pemecahan masalah dalam membangun Kabupaten Sragen. Program ini merupakan salah satu upaya untuk peningkatan kesadaran masyarakat dalam ikut handarbeni (merasa memiliki) dan memajukan daerah sekaligus sebagai wujud ibadah sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Penghimpunan dana masyarakat melalui penggalangan dana Wukirwati ditujukan kepada Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Sragen dan masyarakat warga Sragen baik yang berada di Sragen maupun diluar Sragen untuk menyumbang secara sukarela. Namun demikian, karena menyangkut kebijakan Kepala Daerah, maka secara normatif kebijakan tersebut harus dinyatakan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang tepat. Dalam
membentuk
peraturan
perundang-undangan
harus
mengindahkan landasan-landasan bagi keberadaan dan kekuatannya, maka suatu peraturan perundang-undangan yang baik harus memuat tiga landasan, yaitu landasan filosifis, landasan sosiologis dan landasan yuridis. Terkait dengan ketiga landasan tersebut, karena peraturan perundang-undangan itu adalah hukum yang bersifat dan berlaku mengikat untuk umum, maka penekanan terhadap salah satu aspek saja tentu akan mengakibatkan terjadinya penyimpangan sifat dari hukum itu sendiri. Oleh sebab itu, cara yang paling baik dan relevan untuk diterapkan adalah dengan memformulasikan ketiga landasan tersebut secara bersama-sama
commit to user
83
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ke dalam suatu peraturan perundang-undangan.71 Landasan tersebut adalah sebagai berikut ; a. Landasan Filosofis: landasan membentuk peraturan perundangundangan didasarkan pada nilai filosofis yang mempertimbangkan sifat-sifat
yang mengarah
atau
menitik
beratkan
pada sifat
kebijaksanaan, yang tidak lain adalah pandangan hidup suatu bangsa yakni nilai-nilai moral atau etika, pembentukan peraturan perundangundangan tentunya harus mengindahkan nilai-nilai moral bangsa dan kepatutan, kebenaran, keadilan dan kemanusiaan yang bersifat universal. b. Landasan Sosiologis: suatu peraturan perundang-undangan dibentuk dengan mempertimbangkan dengan seksama setiap gejala sosial masyarakat yang berkembang, apabila peraturan perundang-undangan yang dibentuk mempertimbangkan persoalan-persoalan yang ada dalam masyarakat dari bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya maka pemberlakuan suatu peraturan perundang-undangan akan direspon atau dapat diterima dan dipatuhi masyarakat. c. Landasan Yuridis: setiap peraturan perundang-undangan yang dibentuk
merupakan
pemberlakuannya
produk
harus
hukum
mengandung
yang
pada
nilai-nilai
prinsipnya
hukum
pada
umumnya, karena produk hukum yang dikeluarkan mengikat secara umum. Oleh karena itu, dalam pembentukannya harus memperhatikan beberapa persyaratan yuridis, antara lain : 1) Dibuat atau dibentuk oleh organ yang berwenang. 2) Adanya kesesuaian bentuk/jenis peraturan perundang-undangan dengan materi muatan yang akan diatur. 3) Adanya prosedur dan tata cara pembentukan yang telah ditentukan.
commit toLegal userDrafting & Desaian Naskah Akademik, B. Hestu Cipto Handoyo, Prinsip-prinsip Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2008, hlm. 63 71
84
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4) Tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Selain ketiga landasan tersebut diatas (filosofis, sosiologis dan yuridis) masih terdapat landasan lain, yaitu landasan teknis perancangan. Landasan teknis perancangan tidak boleh diabaikan dalam membuat peraturan perundang-undangan yang baik karena berkaitan erat dengan hal-hal yang menyangkut kejelasan perumusan, konsistensi dalam mempergunakan peristilahan atau sistematika dan penggunaan bahasa yang jelas.72 Dari hasil pengkajian terhadap ditetapkannya Peraturan Bupati Sragen Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Dana Wukirwati (Wujud Mikir Sukowati) Kabupaten Sragen, yang menjadi landasan pembentukan Peraturan Bupati ini adalah sebagai berikut ; a. Ditinjau dari aspek filosofis, Peraturan Bupati Sragen Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Dana Wukirwati (Wujud Mikir Sukowati) Kabupaten Sragen disusun berdasarkan pada kebijakan yang bersumber pada pandangan hidup suatu bangsa yakni nilai-nilai moral yang baik yang meliputi nilai kebenaran, keadilan, kesusilaan, kemanusiaan, religius dan nilai lain yang dianggap baik. Berdasarkan pemahaman seperti tersebut diatas, yang dimaksud landasan filosofis dari perundang-undangan tidak lain adalah berkisar pada daya tangkap pembentukan peraturan perundang-undangan terhadap nilai-nilai maupun dalam doktrin filsafat resmi negara, di Indonesia adalah nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai tersebut semestinya tersurat maupun tersirat dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan. Untuk menuangkan di dalam produk hukum daerah khususnya Peraturan Bupati, dalam hal ini terkait dengan substansi dari Peraturan Bupati Sragen Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Dana commit user H.Rojidi Ranggawidjaja, Pengantar IlmutoPerundang-Undangan Indonesia, Mandar Maju, Bandung, l998, hlm.46 72
85
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Wujud Mikir Sukowati (Wukirwati) Kabupaten Sragen, secara kongkrit memang tidak ditemukan secara rinci nilai-nilai dari pada Pancasila, namun kalau dipahami dari isi maupun substansi yang diatur dalam Peraturan Bupati Sragen Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Dana Wukirwati (Wujud Mikir Sukowati) Kabupaten Sragen disitu terlihat adanya nuansa gotong royong, saling membantu, kebersamaan, kemanusiaan, solidaritas antar warga, sehingga ditinjau dari landasan filosofis sudah terpenuhi. Gagasan tersebut telah memenuhi kesesuaian dengan sila kedua dan ketiga Pancasila, yaitu Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab dan Pesatuan Indonesia. b. Ditinjau dari aspek sosiologis; Peraturan Bupati Sragen Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Dana Wukirwati (Wujud Mikir Sukowati) Kabupaten Sragen ditetapkan harapannya adalah dipatuhi oleh seluruh masyarakat secara sadar dan sukarela, oleh karena itu setiap peraturan perundang-undangan yang akan diberlakukan perlu memperhatikan secara seksama setiap gejala sosial masyarakat, apabila hal tersebut tidak mendapatkan perhatian tidak tertutup kemungkinan peraturan tersebut tidak akan dipatuhi oleh masyarakat. Oleh sebab itu peraturan perundang-undangan yang ditetapkan akan berlaku efektif manakala berisikan atau selaras dengan kondisi yang ada dalam masyarakat. Warga masyarakat Sragen yang secara umum sedang dihadapkan dalam kondisi resesi perekonomian yang membuat beban ekonomi mereka semakin berat. Dalam menghadapi krisis tersebut diperlukan kerjasama saling membantu agar beban yang diterima oleh warga kurang mampu menjadi diringankan. Partisipasi dan kontribusi warga masyarakat Sragen dalam memberikan sumbangan adalah bentuk tanggungjawab sosial masyarakat yang guyub dan solider sebagai kesatuan identitas sosial yang berbasis kedaerahan. c. Ditinjau dari aspek yuridis; Peraturan Bupati Bupati Sragen Nomor 16 to userDana Wukirwati (Wujud Mikir Tahun 2009 tentang commit Pengelolaan
86
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sukowati) Kabupaten Sragen dibentuk dan dibuat oleh organ yang berwenang dalam hal ini Bupati Sragen. Bupati Sragen berwenang untuk menetapkan produk hukum daerah sesuai dengan tugas, wewenang dan kewajibannya sebagai Kepala Daerah Otonom yang berhak untuk mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah beberapa kali diubah terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan Bupati Sragen Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Dana Wukirwati (Wujud Mikir Sukowati) Kabupaten Sragen disusun berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang dalam diktum mengingat dicantumkan beberapa dasar hukumnya, antara lain ; 1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pembentukan Kabupaten-kabupaten di Wilayah Propinsi Jawa Tengah. 2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang dan barang. 3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah beberapa kali diubah terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahu 2004 tentang Pemerintah Daerah. 5) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Adanya kesesuaian bentuk/jenis maupun materi muatan yang diatur yaitu bentuk/jenisnya adalah Peraturan Bupati, Peraturan Bupati commit to user Sragen Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Dana Wukirwati
87
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(Wujud Mikir Sukowati) Kabupaten Sragen materi muatannya berbentuk pengaturan. Prosedur dan tata cara pembentukan Peraturan Bupati Sragen Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Dana Wukirwati (Wujud Mikir Sukowati) Kabupaten Sragen mekanisme penyusunannya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah serta Peraturan Bupati Sragen Nomor 15 Tahun 2006 tentang Mekanisme penyusunan produk hukum daerah. Oleh sebab itu, peraturan perundang-undangan yang ditetapkan akan berlaku efektif manakala berisikan atau selaras dengan kondisi yang ada dalam masyarakat. Sebuah kebijakan publik sebagai sarana untuk pemenuhan kebutuhan/kepentingan masyarakat, kebijakan publik sukses atau tidak tergantung pada masyarakat, apabila masyarakat merasa kebutuhan atau kepentingannya terpenuhi dari suatu kebijakan publik maka dengan sendirinya kebijakan publik yang telah dilaksanakan dianggap telah menjalankan fungsinya dengan baik dan benar rencana diterima oleh masyarakat, namun apabila kepentingan atau kebutuhan masyarakat tidak terpenuhi atau merasa dirugikan, maka dengan sendirinya ada anggapan bahwa kebijakan publik yang telah dilaksanakan tidak berhasil. Penggalangan
dana
Wukirwati
di
Kabupaten
Sragen
merupakan kebijakan yang ditetapkan oleh Bupati Sragen dalam rangka untuk melibatkan seluruh komponen masyarakat untuk berpartisipasi secara sukarela menyisihkan sebagian dana yang dimiliki melalui rekening yang telah ditentukan oleh Pemerintah Kabupaten Sragen. Berdasarkan data di Lembaga Kegotongroyongan Sosial commit to user Kabupaten Sragen, sebagai lembaga masyarakat yang dibentuk untuk
88
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mengelola dana Wukirwati, dilaporkan bahwa posisi keuangan atau dana sampai dengan bulan Nopember tahun 2010, penggalangan dana Wujud Mikir Sukowati (Wukirwati) Kabupaten Sragen yang terkumpul dari masyarakat adalah sebanyak Rp 1.914.047.000,- (Satu Milyard Sembilan ratus empat belas juta empat puluh tujuh rupiah). Dana tersebut telah dapat disalurkan kepada masyarakat melalui beberapa koperasi, khususnya kepada pedagang pasar, kelompok usaha produktif maupun perseorangan, dengan jumlah
pinjaman
mencapai sebanyak : 590 orang peminjam. Dana yang dipinjamkan tersebut semata-mata dipergunakan untuk kegiatan perekonomian yang produktif. Sehingga terbitnya Peraturan Bupati Sragen Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Dana Wukirwati (Wujud Mikir Sukowati) Kabupaten Sragen dapat dirasakan manfaatkan oleh masyarakat dan dapat diterima oleh masyarakat pada umumnya. Kebijakan publik yang dimaksudkan terkait penggalangan dana Wukirwati adalah suatu keputusan yang diambil oleh pemerintah daerah dengan maksud dan tujuan agar masyarakat Sragen dapat meningkatkan kesejahteraan. Hal ini dapat diartikan pertama, Kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Sragen adalah menggalang dana dari masyarakat yang dituangkan dalam Peraturan Bupati Sragen Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Dana Wujud Mikir Sukowati (Wukirwati) Kabupaten Sragen, dan kedua, Ditetapkannya Peraturan Bupati Sragen Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Dana Wujud Mikir Sukowati (Wukirwati) Kabupaten Sragen, sebagai keputusan pemerintah daerah Kabupaten Sragen dengan tujuan tertentu yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 2. Kedudukan Peraturan Bupati Sragen Nomor 16 Tahun 2009 ditinjau dari Pendekatan Hukum Responsif Awal mula masuknya konsepsi hukum responsif yang disampaikan commit to userkemudian mulai dikembangkan di Nonet dan Selznick ke Indonesia yang
89
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Indonesia melalui pemikiran yang dibawa oleh Satjipto Rahardjo lewat gagasan hukum progresifnya. Beliau memberikan istilah berbeda tentang hukum responsif yaitu hukum progresif. Akan tetapi secara tegas beliaupun menyampaikan bahwa hukum progresif memiliki tipe responsive. Prinsip utama yang dijadikan landasannya adalah “Hukum adalah untuk manusia”, bukan sebaliknya. Jadi manusialah yang menjadi penentu, prinsip ini menggeser landasan teori dari faktor hukum ke faktor manusia, konsekuensinya hukum bukanlah merupakan suatu yang mutlak dan final tetapi selalu dalam proses menuju kualitas kesempurnaan dalam arti menjadi hukum yang berkeadilan, hukum yang mampu mewujudkan kesejahteraan atau hukum yang peduli terhadap rakyat, sehingga tidak dipahami hanya terbatas pada pengertian hukum melalui penafsiran secara gramatikal ataupun sitematik saja, namun lebih dari itu berupa penafsiran yang bersifat kreatif dan inovatif sehingga dapat membuat sebuah terobosan hukum. Dalam setiap kebijakan yang ditetapkan oleh setiap pengambil keputusan ada dua hal yang harus menjadi bahan pertimbangan yaitu memadukan antara peraturan yang ada dan kenyataan yang ada dalam masyarakat. Artinya adalah bahwa peraturan atau kebijakan yang dibuat harus berdasar pada realita yang ada dalam masyarakat dan merupakan kewenangan yang dimiliki. Keputusan yang akan diambil belum tentu memenuhi rasa keadilan untuk semua orang dan tidak hanya dapat mengandalkan pada pertimbangan legalitas belaka, tapi juga dibutuhkan suatu keberanian untuk mengambil resiko apa yang menjadi keputusannya, karena tidak tertutup kemungkinan pro dan kontra dalam masyarakat. Oleh karena itu apakah kebijakan yang diambil itu nantinya bisa diterima masyarakat atau tidak tentunya waktu yang akan bicara, apakah kebijakan yang diambil dengan menetapkan suatu produk hukum dapat memberikan kesejahteraan masyarakat commit atau tidak, kalau memang dirasakan manfaatnya to user
90
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
oleh masyarakat tentunya kebijakan tersebut akan mendapat respon positif dan dukungan masyarakat. Langkah yang diambil oleh Bupati Sragen sebagai suatu kebijakan publik yang dituangkan dalam bentuk Peraturan Bupati Sragen Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Dana Wukirwati (Wujud Mikir Sukwati) Kabupaten Sragen dengan cara meminta kepada masyarakat untuk dapat menyumbangkan dana secara sukarela untuk dihimpun dalam suatu rekening yang ditetapkan oleh Bupati Sragen melalui bank yang ditunjuk. Dana yang terkumpul tersebut selanjutnya dikelola oleh sebuah Tim Pengelola yang ditunjuk dan ditetapkan dengan Keputusan Bupati Sragen. Dalam
pelaksanaan
pemanfaatan
dana
tersebut,
Tim
Pengelola
bekerjasama dengan koperasi atau lembaga keuangan mikro yang memenuhi persyaratan untuk menyalurkan kepada masyarakat yang membutuhkan, khususnya kepada kelompok masyarakat
ekonomi
produktif maupun perorangan yang memang secara riil membutuhkan modal untuk usaha agar meningkat kesejahteraannya dan dapat mengentaskan mereka dari kemiskinan, dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan lembaga keuangan yang baik. Keputusan Bupati Sragen menetapkan Peraturan Bupati Sragen Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Dana Wukirwati (Wujud Mikir Sukowati) Kabupaten Sragen merupakan bentuk inovasi atau terobosan yang ditempuh oleh Bupati Sragen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, untuk mempercepat pengentasan kemiskinan bagi masyarakat yang kurang mampu. Masyarakat yang lemah permodalannya, namun mempunyai potensi ekonomi yang baik, diberikan pinjaman ataupun bantuan modal usaha agar supaya dapat berusaha untuk meningkatkan taraf hidupnya. Dari segi kewenangan yang dimiliki oleh Bupati Sragen, kebijakan yang dilakukan Bupati Sragen berdasarkan kewenangan yang diberikan to user oleh undang-undang, yaitucommit ketentuan didalam Pasal 146 Undang-Undang
91
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu
kewajiban
membentuk dan menerapkan peraturan
perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya. Selanjutnya di dalam ketentuan Pasal 25 huruf e, kepala daerah mempunyai tugas dan wewenang mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah. Kewajiban kepala daerah salah satunya adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemberian kewenangan dari pemerintah kepada pemerintah daerah tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diubah beberapa kali terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintah yang meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama. Berdasarkan ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah beberapakali diubah terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah terdiri atas urusan wajib dan pilihan., urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah beberapa kali diubah terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan kewenangan daerah untuk mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri. commit to user
92
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Menurut Satjipto Raharjo pakar hukum yang mencetuskan hukum progresif sebagai manifestasi dari hukum responsif dapat dikatakan bahwa esensi dari hukum adalah kepentingan masyarakat73. Dengan demikian kedudukan Peraturan Bupati Sragen Sragen Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Dana Wujud Mikir Sukowati (Wukirwati) Kabupaten Sragen merupakan
produk hukum
yang responsif dalam
rangka untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
73
commit to user Satjipto Rahardjo, 2009, Log. Cit, hlm. 46
93
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V P E N U T UP
A. Kesimpulan Berdasarkan pada rumusan masalah dan sesuai dengan hasil penelitian dan pembahasan dikaitkan dengan teori-teori hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta ditinjau menurut pendekatan Hukum responsif dapat diambil kesimpulan sebagai berikut ; 1. Bupati Sragen mempunyai kewenangan menggalang dana masyarakat dengan menetapkan Peraturan Bupati Sragen sesuai wewenang yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah beberapakali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 22 huruf n dan pasal 25 huruf e. 2. Kedudukan Peraturan Bupati Sragen Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Dana Wujud Mikir Sukowati (Wukirwati) Kabupaten Sragen adalah sebagai produk hukum yang ditetapkan demi untuk kepentingan masyarakat dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, sehingga ditinjau dari hukum responsif produk hukum yang diterbitkan Bupati Sragen dalam menggalang dana dari masyarakat sudah tepat dan ideal dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. B. Implikasi Berdasarkan kesimpulan, terdapat beberapa implikasi sebagai berikut; 1. Ada perbedaan penafsiran atau interprestasi terhadap ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan khususnya didalam bunyi pasalpasal pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diubah beberapa kali terakhir diubah dengan Undangto user Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 12 Tahuncommit 2008 tentang
94
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya yang berkaitan dengan kewenangan pemerintah daerah dalam menetapkan produk hukum daerah, sehingga terjadi pro dan kontra dalam mensikapi ditetapkannya Peraturan Bupati Sragen Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Dana Wujud Mikir Sukowati (Wukirwati) Kabupaten Sragen 2. Landasan bagi yang tidak sepaham atau tidak setuju dengan adanya Peraturan Bupati Sragen Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Dana Wujud Mikir Sukowati (Wukirwati) Kabupaten Sragen akan melakukan penolakan dalam arti tidak berpartisipasi memberikan bantuan dana secara sukarela, baik bagi kalangan pegawai negeri maupun masyarakat pada umumnya, dengan masih adanya sebagian warga masyarakat yang tidak sependapat/ tidak setuju dengan penggalangan dana Wujud Mikir Sukowati yang ditetapkan dengan Peraturan Bupati Sragen, maka penggalangan dana Wujud Mikir Sukowati tidak dapat terlaksana secara optimal.
C. S a r a n Dari
hasil
kesimpulan
dan
implikasi tersebut
diatas, dapat
disampaikan beberapa saran sebagai berikut ; 1. Sebelum Bupati Sragen menetapkan suatu Produk hukum daerah khususnya Peraturan Bupati Sragen yang menyangkut kepentingan masyarakat secara umum hendaknya dilaksanakan sosialisasi maupun meminta saran, pendapat, usul dari stakeholder dengan melibatkan pakar hukum/akademisi. 2. Setiap
produk hukum daerah
yang akan
ditetapkan hendaknya
berpedoman pada kewenangan yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang telah beberapa kali diubah terkahir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang commit to user Pemerintah Daerah dan peraturan pelaksanaannya serta Undang-Undang
95
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan dan peraturan pelaksanaannya. 3. Penggalangan dana dari masyarakat hendaknya agar mendapatkan legitimasi dari masyarakat, Peraturan Bupati Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Dana Wujud Mikir Sukowati (Wukirwati) Kabupaten Sragen dapat ditingkatkan untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah Kabupaten Sragen.
commit to user
96
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR PUSTAKA
Buku, Jurnal Nasional, Jurnal Internasional A. G. Subarsono, Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori, dan Aplikasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali, Jakarta, 2004 Andi Mustari Pide. 1999. Otonomi Daerah Dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI. Jakarta : Gaya Media Pratama Arief Sidharta dkk, Hukum Progresif, Evolusi Pemikiran Hukum Baru (Genta Publishing, Yogyakarta, 2009 Asri Umar, Kerangka Strategis Perubahan Manajemen Keuangan Daerah Sebagai Implikasi UU RI Nomor 22 Tahun 1999 dan UU RI Nomor 25 Tahun 1999, Jurnal Hukum Pro Justitia Fakultas Hukum Uiniversitas Parahyangan Bandung, Tahun XXII Nomor 2, April 2004 (Terakreditasi) Bagir Manan, Hubungan Pusat dan Daerah Berdasarkan Asas Desentralisasi Menurut UUD 1945, PT. Sinar Harapan, Jakarta, 1994 ___________, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2001 Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijakan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997 Bhenyamin Hossein, Transparansi Pemerintahan, Jurnal Inovasi, November, 2001 B. Hestu Cipto Handoyo, Prinsip-prinsip Legal Drafting & Desaian Naskah Akademik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2008 Budi Winarno, Kebijakan Publik, Teori Dan Proses, Jakarta, Media Presindo, Jakarta, 2007 Edi Wibowo, Hukum dan Kebijakan Publik, Yogyakarta: Penerbit YPAPI, Yogyakarta, 2004. Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru commit to user Utama, Semarang, 2005
97
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Fadillah Putra, Hukum Kebijakan Publik, Pustaka Pelajar, Malang, 2005. Hanif Nurcholish, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, PT.Gramedia Widiasarana, Jakarta, 2005 Henry Maddick, Desentralisasi dalam Praktek, Pustaka Kendi, Yogyakarta, 2004 H.Rojidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia, Mandar Maju, Bandung, l998 Irawan Soedjito, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Rineka Cipta, Jakarta, 2003 Irfan M. Islamy, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 2007. Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia. Jakarta : Rajawali Press, 1991 Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara DPRD dan Kepala Daerah, Bandung: Alumni, Bandung, 2005. Korb, K,B.,Public Law Functions and Legislation, The Cambridge Law Journal/Volume
70/Issue
02,
2011,
pp
279-282.
Diambil
dari
:
http://www.britislaw.org.uk/online.html/archieve/ 00000462/ [Diakses pada 20 Juni 2010] Leo Agustino, Dasar-dasar Kebijakan Publik, AlfaBeta, Bandung, 2006 Marcus
Lukman,
Eksistensi
Peraturan
Kebijaksanaan
dalam
Bidang
Perencanaan dan Pelaksanaan Rencana Pembangunan di Daerah serta Dampaknya terhadap Pembangunan Materi Hukum Tertulis Nasional, Gama Media, Yogyakarta, 1998 Moh. Mahfud M.D, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998 Perhimpunan Sarjana Administrasi Indonesia, Pemantapan Pelaksanaan Undang-Undang Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah. Bandung : Sinar Baru, 1985 Ridwan, Hukum Administrasi Di Daerah, Cetakan Pertama, FH UII Press, Yogyakarta, 2009 commit to user
98
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Roger Montgomery, Indonesia’s Decentralization Policy : Initial Experiences and Emerging Problems, The International Journal of Law, Vol. 8, N.14, 2008 Ronni Hanitjo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum Juremetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984 Saiful Bahri, Hukum dan Kebjakan Publik, Yayasan Pembaharuan Administrasi Publik, Yogyakarta, 2004 Samodro Wibowo, Kebijakan Publik : Suatu Analisis Komparasi. Bandung. Rafika Aditama, Bandung, 1994 Satjipto Rahardjo, Negara Hukum dan Deregulasi Moral, Kompas, Jakarta, 1996 ______________, Hukum Progresif : Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009 Setiono, Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian Hukum,
Universitas
Sebelas Maret. Surakarta, 2006 Soehino, Otonomi Daerah: Evaluasi dan Proyeksi, Yayasan Harkat Bangsa, Jakarta, 1997 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI press, Jakarta, 1983 Soetandyo Wignyosubroto, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Ilsam Huma, Jakarta, 2002 Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 1991 Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1992 Subardono, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta: UII Press, Yogyakarta, 2006 Syahrir, Mencari Bentuk Otonomi Daerah : Suatu Solusi dalam Menjawab Kebutuhan Lokaldan Tantangan Global, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1988 Untung Wiyono, Menyiasati Hidup dengan Berwirausaha, Perusda Percetakan dan Penerbitan, Sragen, 2008 commit to user
99
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Yudi Kristiana, Menuju Kejaksaan Progresif, Studi Penyelidikan Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana, LSHP, Yogyakarta, 2009
Kamus dan Ensiklopedi Kamus Besar Bahasa Indonesia, PT Gramedia Pustaka, Jakarta, 2001 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka, 1990
commit to user
100