Temanku yang baik, bila aku boleh memberi saran, bacalah kisah ini dalam ketenangan malam hari. Biar bagaimanapun, Warna Keajaiban lebih nyata di sela-sela pekatnya gelap malam.
www.gadispenenunmimpi.com
CV Nulisbuku Jendela Dunia
Gadis Penenun Mimpi & Pria yang Melipat Kertas Terbang by Gina Gabrielle Copyright © 2016 by Gina Gabrielle ISBN 978-602-744-343-3 All rights reserved. Cover design by Uly Novita Andrian Siahaan
Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang keras memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa pun tanpa izin tertulis dari pengarang.
Buku ini dapat dipesan melalui nulisbuku.com atau www.gadispenenunmimpi.com
“Some day you will be old enough to start reading fairy tales again.” —C.S. Lewis
Gerbang Hampir Tertutup
T
emanku, kau harus bergegas!
Terdengarkah? Langit retak dan bunyinya berderakderak. Dunia Mimpi terancam hancur. Gerbangnya sedang menutup diri. Ini adalah saat-saat genting. Lekas! Aku tidak mau terkunci di luar sini. Percayalah padaku. Aku harus membawamu masuk melewati gerbang ini dan memandumu dalam sebuah Mimpi. Itu adalah tugasku, dan aku tidak pernah lalai dalam menjalankan tugas. Bahkan saat langit akan runtuh sekalipun. Jadi ikutlah aku, dan dengarkan baik-baik. Perjalanan ini akan sangat berbeda dari perjalananmu yang lain. Jangan bergantung pada matamu, dan jangan mengandalkan telingamu saja——hal-hal seperti itu tak terlalu berguna di negeri yang sebentar lagi akan kita kunjungi. Persiapkan dirimu.
1
Mari menyelam ke dalam pekatnya tinta, masuk menyelinap jauh ke bawah kesadaran manusia. Biarkan jiwamu yang melihat dan mendengar. Aku jamin, segalanya akan segera menjadi berbeda begitu kau melewati gerbang ini. Satu, dua, tiga, empat. Bahannya sudah lengkap. Mimpimu sudah bisa ditenun. Empat, tiga, dua, satu. Mari bermimpi bersamaku.
2
Bermimpi sedikit, bermimpi sebentar, dalam naungan langit dan awan-awan lebar. Saat dunia terlampau gelap, tutup matamu dalam lelap. Bermimpilah sedikit, walau Hati terasa pahit. Jatuh dalam lelap, sebetulnya tak jauh beda dengan jatuh dalam cinta: perlahan terbuai, lalu hanyut dalam sekejap. Jadi bermimpilah sebentar, walau harapan mulai pudar. Walau jiwamu itu telaga, hitam bagai kelam jelaga. Satu, dua, tiga, empat. Tutup matamu erat-erat. Empat, tiga, dua, satu. Mari bermimpi bersamaku.
(Kutipan lirik Nyanyian di Ujung Pelangi, diambil dari Koleksi Perkamen Langka milik Istana Masa Kini.)
3
Pria dari Lembah Es
T
adinya ia hanyalah seorang pria muda biasa, berjalan melanglang buana dengan Hati yang merah cerah dan terpampang jelas. Rambutnya yang berwarna madu seakan menari dalam hembusan angin, begitupun kemeja longgar yang dikenakannya. Sinar siang hari terlihat berkilauan, memantul di atas mata cokelatnya. Sepatu botnya berketak-ketuk menyentuh tanah, ritme langkahnya diselaraskan dengan siulan dan petikan lincah ukulele yang selalu ia bawa ke mana-mana. Dengan topi berhiaskan sehelai bulu panjang, ia terlihat persis seperti musisi keliling yang sama sekali tak memedulikan dunia. Dan memang benar, ia tidak peduli. Di awal perjalanannya, pria itu menyadari bahwa banyak orang menutupi Hati mereka rapat-rapat sembari berjalan. Mana mungkin Hati bisa tahan disekap seperti itu? Sungguh sebuah kebodohan, pikirnya.
4
Teman, biar kuberitahukan satu hal padamu: Hati hanya punya satu keinginan, yaitu untuk bebas merasa. Itulah persisnya yang pemuda itu lakukan—membebaskan Hatinya—dan ia pun merasa bahagia. Ia suka merasa bebas dan bahagia. Namun, kalau saja ia mengambil waktu sebentar untuk melihat dengan lebih seksama, maka ia akan mendapati Hatinya yang terpampang itu ternyata sudah lusuh dan penuh goresan. Hujan dan terik mendera silih berganti. Ia pun terus berjalan, dan karenanya terus bersinggungan, menyerempet, kadang menabrak di sini dan sana. Awalnya ia masih tidak sadar. Namun, semakin hari goresan di Hatinya semakin bertambah. Pemuda itu bingung harus berbuat apa. Sakit yang tadinya terasa seperti tusukan jarum dan hanya sesekali datang, kini mulai mengganggunya terus-menerus. Sinar siang hari terasa perih. Air hujan terasa perih. Angin terasa perih. Senyumnya memudar. Rasanya berat dan sangat melelahkan untuk bahkan berpapasan dengan orang lain. Entah bagaimana, mereka pasti akan bersinggungan dan goresan di Hatinya akan bertambah.
5
Pemuda itu lantas berhenti berjalan. Apalagi yang bisa ia lakukan? Ia tidak bisa kembali ke tempat asalnya, dan melanjutkan perjalanan terasa sangat menyesakkan. Memikirkan hari esok dan semua perih yang akan ia dapat membuatnya semakin sulit bernapas. Di saat seperti itulah sesosok perempuan datang tiba-tiba, membelai lembut Hatinya yang tanpa perlindungan. Sepertinya ia tahu perempuan itu. Rasanya mereka sering berada di jalan yang sama, dan pernah beberapa kali bertegur sapa. Hati perempuan itu, sama seperti hampir semua orang yang ia temui sebelumnya, tertutup rapat dan tidak bisa dilihat. “Berikanlah Hatimu padaku. Akan kurawat sampai sembuh,” katanya teduh. Pemuda itu pun menurut tanpa curiga. Harapannya timbul kembali. Ia mengambil ukulele yang tersampir di bahunya dan mulai bermusik sambil menunggu. Sebentar lagi, semua goresan itu akan segera lenyap. Semua sakit itu akan hilang. Ia akan bisa melanjutkan perjalanannya kembali. Semuanya akan kembali seperti sedia kala. Tetapi, alih-alih menyembuhkan, perempuan itu malah menikam dan membuang Hatinya begitu saja.
6
Pemuda itu bahkan tidak mampu berteriak. Rasa terkejut dan sakit seperti meledak dalam dirinya, menghujam ke segala arah, menyumbat tenggorokannya sampai tidak ada suara yang bisa keluar. Ia tidak kuat lagi berdiri. Terengah-engah menahan sakit, ia hanya bisa melihat saat Hati miliknya jatuh ke dalam air yang gelap dan mulai tenggelam. Aku tidak tahu apa persisnya yang terjadi, Teman, tapi entah bagaimana akhirnya pemuda itu bisa menyeret dirinya untuk bergerak. Dengan susah payah ia mengambil Hatinya kembali, dan kemudian ia melihatnya: sebuah luka sayatan yang menganga lebar. Perempuan itu telah menghilang. Ia sendirian dan terluka. Tiba-tiba saja, dunia terasa lebih besar dan kosong. Ia memaksa dirinya untuk berjalan, tapi langkah-langkah kakinya yang semula ringan kini menjadi berat dan perlahan. Setiap kali ia menapak, luka di Hatinya bereaksi. Seakan ada yang meremas lukanya, lalu melepasnya sebentar supaya ia bisa bernapas, dan kemudian meremasnya lagi. Sayatan itu berdenyut, memanas, dan terasa pedih luar biasa. Ia tidak mengerti mengapa ini semua terjadi padanya, tetapi ia tahu bahwa luka itu harus disembuhkan sesegera mungkin.
7
Sayangnya, bahkan di Dunia Mimpi pun belum ada ramuan obat yang bisa menyembuhkan luka Hati. Akhirnya ia menjadi seperti mereka yang tadinya ia cemooh: ia mulai menyembunyikan dan menutup Hatinya rapat-rapat supaya tak ada lagi yang bisa menyakitinya. Mungkin saja ternyata orang-orang itu juga menutup Hati karena terluka, siapa tahu. Ia tidak peduli. Yang ia tahu hanyalah lukanya terasa sakit sekali. Terseok-seok menahan kesakitan yang semakin menjadi, ia akhirnya berjalan bersama mereka untuk mencari tahu bagaimana caranya sembuh. Ia bertanya, kemudian berjalan, dan lalu bertanya lagi. Temanku, di tengah kelelahannya berjalan, entah bagaimana ia tertidur dan masuk ke dalam sebuah Mimpi yang sangat aneh. Banyak hal dari Mimpi itu yang tak bisa ia ingat, tetapi ia ingat melihat kertas terlipat yang terbang ditiup angin, menunjukkan jalan baginya. Patut kau camkan bahwa ia bukannya yakin akan apa yang ia lakukan. Sebenarnya ia sama sekali tidak yakin. Tetapi, Teman, saat kau tidak tahu apa yang harus kaulakukan, kau akan mencoba segalanya. Bahkan hal yang paling tidak masuk akal sekalipun. Jadi pemuda itu pun mencoba, karena ia sama sekali tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia berjalan mengikuti arah kertas tersebut terbang dalam Mimpi yang dilihatnya. Pemuda itu berjalan, berjalan, dan terus berjalan.
8
Singkat cerita, langkah kakinya menuntunnya ke Lembah Es. Tempat itu sebenarnya lebih tepat disebut ngarai karena berada di antara pegunungan batu tinggi berwarna kelabu. Jalan setapak untuk masuknya panjang, sempit, dan berangin kencang. Semakin jauh melangkah, rasanya pemuda itu seperti masuk ke dalam perut gunung. Udara terasa semakin dingin. Jalan sempit tersebut membawanya ke sebuah dataran beku yang kosong. Butir-butir salju berjatuhan perlahan, menumpuk di mana-mana, padahal saat itu sudah bukan musim dingin. Tiba-tiba ada yang menggenggam telapak tangannya dari bawah. “Tempat ini adalah tempat yang tepat mengistirahatkan Hatimu yang luka, Manusia.”
untuk
Terkejut, pemuda itu menyentakkan tangannya sampai lepas. Kakinya serasa terpaku ke tanah tempatnya berdiri. Dengan napas menderu, ia membelalak memandang sosok yang baru saja menyapanya. Seorang anak laki-laki tembus pandang. Pemuda itu bisa melihat wajah dan bentuk tubuhnya, tetapi anak itu sama sekali tidak berwarna. Ia bisa melihat menembus tubuhnya; anak laki-laki itu terlihat seperti bayangan transparan. “Jangan takut,” menggandengnya.
ujar
anak
9
itu
sambil
kembali
Ada sesuatu dalam suara anak tembus pandang itu. Suaranya lirih namun jelas dan tajam, terasa dingin di Hati seperti rasa serpihan-serpihan halus es saat menerpa kulit, dihembuskan oleh angin Lembah Es. Tangan kecil yang menggenggamnya pun terasa sejuk. Terkesima, juga merasa nyaman dengan kesejukan yang ia rasakan, pemuda itu menurut saja saat si anak lelaki menuntunnya berjalan di atas padang es menuju sebuah lahan yang lebih luas lagi. Ada banyak anak-anak tembus pandang di sana, lelaki dan perempuan, masing-masing memeluk sebuah Hati. Di sebelah masing-masing mereka ada manusia yang menunggu. Sebagian bercakap-cakap, sebagian hanya diam menatap. Temanku, jika kau memperhatikan dengan seksama, kau akan melihat bahwa setiap Hati di tempat itu terluka dengan cara yang berbeda. “Yang itu mengerdil dan menjadi sempit karena tidak mau belajar bagaimana caranya menjadi lapang,” kata sang anak sambil menunjuk ke bongkahan kisut dalam pelukan seorang anak perempuan tembus pandang. Anak lelaki itu menarik tangan si pemuda supaya ia terus melangkah maju. Mereka melewati seorang anak tembus pandang lain yang sedang berbaring sambil memeluk dua belah patahan Hati. “Yang itu memaksa diri menjadi besar. Tetapi, karena dilakukan dengan tergesa-gesa tanpa pikir panjang, akhirnya malah jadi rapuh dan lantas patah.” 10
Anak lelaki itu terus berjalan sambil menjelaskan. “Yang itu mengeras sampai akhirnya tidak bisa merasakan apa-apa lagi,” ujarnya sambil menunjuk seorang anak tembus pandang yang berlutut, seakan memohon agar bisa melembutkan Hati batu dalam pelukannya. Pemuda itu terpana. Lembah Es ini adalah tempat yang sangat tidak biasa, pikirnya. Belum sempat mencerna semua yang barusan ia lihat, tibatiba lewatlah seorang wanita muda yang hendak berlari keluar dari Lembah Es. Di belakangnya, seorang anak perempuan tembus pandang mengejar sambil memeluk sesuatu yang tampak seperti Hati. Anak perempuan itu menangis tanpa suara. “Kasihan sekali. Ia merasa tidak lagi memerlukan Hati, lantas membuangnya. Padahal ia takkan bisa hidup tanpa Hati. Tidak ada yang bisa,” komentar anak lelaki itu sambil menggelengkan kepalanya. “Mengapa anak perempuan itu tidak memberitahukan saja hal tersebut padanya?” tanya si pemuda. Anak tersebut masih terus berlari sambil memeluk Hati yang dibuang pemiliknya. “Kau sangka dia belum mencoba?” Anak lelaki itu menghela napas. “Percuma. Untuk apa lagi berbicara jika sudah pasti takkan didengar? Menurutku mengejarnya pun percuma saja.” Ia lalu berhenti berjalan dan berbalik menghadap si pemuda. 11
“Mari, berikan Hatimu, aku akan menyejukkannya,” katanya sambil mengulurkan tangan. “Menyejukkan? Kusangka kau akan menyembuhkannya.” “Tidak, tidak. Tugas kami di sini hanyalah membuat Hatimu sejuk dan lembut, sesejuk dan selembut mungkin,” jelas anak lelaki itu sambil terus mengulurkan tangan. “Lalu, setelah menyejukkannya, mengembalikannya begitu saja kepadaku?”
kau
akan
“Ya.” “Tapi aku mau supaya Hatiku tidak terluka dan takkan pernah bisa terluka lagi.” “Manusia, tahukah kau bahwa luka itu sebenarnya tak terhindarkan? Kau hanya perlu Hati yang sejuk dan lembut, yang bisa sembuh dari luka apapun juga dengan kecepatan mengagumkan,” kata anak lelaki tembus pandang itu dengan sungguh. Teman, Lembah Es memang sebenarnya hanyalah tempat untuk mendinginkan Hati sejenak saat kau tak sanggup lagi berjalan menanggung sakitnya luka. Akan sembuh atau tidak nantinya, itu tergantung pada si empunya Hati. Setidaknya begitulah yang aku tahu, tetapi pemuda itu tidak terima dan lantas bersikeras. “Tidak, aku tak mau ada luka di Hatiku ini. Aku tak mau hanya mendinginkannya. Aku mau disembuhkan. Sekarang juga.”
12
Sang anak menghela napas sebelum berkata, “Seperti yang sudah kubilang tadi, terluka itu tak terhindarkan. Saat kau menjalani hidupmu di luar sana, Hatimu bisa saja tergores, tersayat, dan bahkan patah. Kecuali kalau kau terus-terusan menutupinya, tapi itupun akan membuatnya membatu atau mengerdil, seperti yang sudah kaulihat tadi.” “Aku tak peduli. Aku tak mau terluka. Tidak sekarang, dan tidak nanti,” tegas si pemuda lagi, dan anak lelaki tembus pandang itu pun menyerah. Untuk apa terus berbicara jika sudah pasti takkan didengar? “Baiklah, jadi apa yang kauinginkan? Ingat, aku tak punya kekuatan untuk menyembuhkan Hati,” tanya anak itu. Sang pemuda kehilangan kesabarannya dan menukas, “Bekukan saja kalau begitu, supaya aku tak usah merasakan sakit lagi!” Anak tembus pandang itu menarik napas dengan terkejut dan menatapnya lama dalam diam. Kemudian ia menghilang seluruhnya, dan sebagai gantinya angin mulai mendesau dengan ganas, suaranya seakan mengelilingi diri pemuda itu. “Berapa lama, Manusia?” tanya sebuah suara dengan sangat dingin. Suara lembah itu datang entah dari mana, tapi kini terdengar dengan jelas, setengah mendesis di telinga si pemuda. Ia merasa sedikit takut, tapi lalu lukanya itu berdenyut. Sayatannya semakin menganga lebar. Sakit menghantam luar biasa keras, mengalahkan semua rasa takut yang ada. 13
Angin masih bertiup, seakan menunggu jawaban. Pemuda itu melihat ke sekelilingnya, ke arah semua salju dan kesejukan yang membelai luka di Hatinya. Rasanya sangat nyaman. Untuk sejenak rasa sakitnya menghilang. Ia berharap dingin itu datang lagi, supaya ia tak perlu menghadapi kenyataan bahwa Hatinya terluka parah. Ia mencoba untuk tak melihat tatkala merenggut Hati itu dari tempatnya semula disematkan dan menjawab, “Selamalamanya.” Lalu dataran es tempatnya berpijak mulai berkeretak dan bergejolak. Laksana permukaan air yang bergelombang, es itu retak menjadi serpihan-serpihan kecil dan menggulung ke arah sang pemuda, membentuk sebuah tiang di hadapannya. Ada sesuatu yang membius dari tiang beku tersebut. Waktu seakan melambat. “Ada yang ingin membekukan Hati.” Anak-anak tembus pandang di tempat itu mulai saling berbisik. Teman, di Lembah Es ini, bisikan yang paling lirih sekalipun bisa terdengar jelas sampai ke mana-mana. Dan nampaknya isi bisikan kali ini mencuri perhatian semua orang. Bahkan para manusia yang sedang beristirahat di tempat itu menoleh penasaran. “Lihat, lihat, ada yang ingin membekukan Hatinya.” Begitu kata mereka, satu dengan yang lain.
14
“Tetapi, Hati yang sudah beku tidak mungkin dicairkan kembali. Masa ia mau membawa-bawa Hati beku seumur hidupnya?” tanya salah seorang anak. Anak tembus pandang tersebut terlihat sangat muda dan ketakutan melihat apa yang sedang dilakukan oleh pemuda itu. “Itu Hatinya. Itu kehendaknya. Kita tak punya kuasa apaapa untuk mencegahnya,” jawab anak lelaki yang tadinya menggandeng tangan si pemuda. Ia lalu menambahkan dengan muram, “Walaupun aku sungguh berharap ia tak melakukannya.” Sayangnya, Temanku, harapan anak itu tidak terwujud. Mata semua penghuni Lembah Es melihat saat si pemuda meletakkan Hatinya di atas tiang es tersebut, dan Hati itu langsung diselimuti dengan lapisan es yang akhirnya membongkah. Pemuda itu tak bisa merasakan apa-apa lagi. Tidak ada rasa sakit. Tidak ada rasa apa-apa. Saat itulah anak lelaki tembus pandang tadi kembali menyatakan dirinya di hadapan si pemuda. “Apa yang akan kau lakukan sekarang? Kau meminta lembah ini untuk membekukan Hatimu selama-lamanya. Jika kau pergi dan meninggalkan Hatimu di sini, kau akan mati.” “Aku akan menetap di sini, kalau begitu. Toh aku tak punya siapa-siapa di luar sana,” jawab pemuda itu. Ia menyadari bahwa suaranya menjadi semakin lirih seiring dengan setiap kata yang ia ucapkan, seakan hendak menyatu dengan desau angin dan serpihan-serpihan es yang terbawa bersama angin tersebut. 15
Ia lantas terduduk karena mulai merasa lemas, dan bersandar ke tiang es yang berisikan Hati bekunya. Anak lelaki tembus pandang itu menitikkan air mata, memeluknya, lalu menjadi debu es dan hilang tertiup angin. Dan pemuda yang membekukan Hatinya lalu tinggal di tempat itu, seorang diri. Lama-kelamaan, rambutnya yang dulu berwarna madu berubah menjadi kelabu dengan semburat-semburat biru tua. Kulitnya memucat di bawah lapisan es yang menyelubunginya. Matanya perlahan mengkristal dan menutup. Teman, sebetulnya pemuda itu tahu bahwa Hati hanya punya satu keinginan, yaitu untuk bebas merasa. Bukan beku. Maka dari itu, sebelum kedua kelopak matanya terkatup rapat, dari mulutnya yang gemetar kedinginan keluar sebuah bisikan lirih. “Seandainya saja ada yang bisa menyembuhkan Hatiku.” Sementara ia berbisik, Hatinya yang perlahan membeku dalam tiang es terus-menerus mengeluarkan kesedihan dan kepahitan. Bergabung dengan bisikan lirih sang pemuda, semuanya itu membumbung tinggi dan menghantam langit Lalu Hati itu beku seluruhnya.
16
“Berapa lama, Manusia?” tanya sebuah suara, dingin menusuk. Yang ditanya terdiam, letih dan sedih. Tak melihat jalan lain, tak terperikan pedih Hati. “Selamanya,” jawab sang pria, tak mau lukanya membusuk. Lalu angin keras berhembus mendesau, mengiringi tatapan mereka yang risau. Butir-butir salju menggulung, dan dalam seketika Hati terselubung, terkubur dalam es, jauh di dalam gunung. Pria dari Lembah Es, inilah legendanya: terluka lalu bekukan Hati tanpa tanya. Seandainya saja ia tahu sebuah rahasia, bahwa semua ini adalah sia-sia.
(Kutipan Pria dari Lembah Es, diambil dari Koleksi Perkamen Langka milik Istana Masa Kini.)
17
Terima kasih sudah membaca sebagian dari Gadis Penenun Mimpi & Pria yang Melipat Kertas Terbang. Silakan mengunjungi www.gadispenenunmimpi.com untuk informasi lebih lanjut. Buku ini juga dapat dipesan melalui nulisbuku.com.
18