Tehnik Mengajar yang Efektif
1
Oleh
Dr. Drs. Muhammad Idrus, S.Psi., M.Pd
2
Guru, dosen, mahaguru, ustadz, suhu, teacher -atau apapun istilahnyaadalah sosok makhluk yang pernah hadir dalam kehidupan manusia. Personifikasinya dapat bermacam-macam, pria, wanita, pengalaman, sejarah peradaban, atau apa saja yang daripadanya kita memperoleh pengalaman atau pengetahuan. Untuk itulah Robert J. Menges menyebut guru sebagai helper (penolong). Mungkin karena semua bisa menjadi guru, maka guru menjadi "tidak ada lagi". Ketiadaan ini harus dimaknai bukan secara ontologi, tetapi lebih secara epistemologi dan aksiologi. Tentunya dalam hal ini yang patut dipertanyakan adalah, siapa atau bagaimana guru yang baik itu? Meski pertanyaan ini ringan diucapkan, tapi diyakini sulit bagi kita untuk mengajukan jawaban yang memadai. Sebab, guru telah mengalami pergeseran makna, dan hampir-hampir hilang identitasnya sebagai guru. Dalam mitos pewayangan, "Guru" merupakan pemimpin para dewa. Meskipun lebih muda dari Semar (Hyang Ismaya), karena kelebihannya maka Guru diangkat menjadi pemimpin para dewa. Belajar dari cerita di atas, maka guru seharusnya memiliki kelebihan yang menjadikan dirinya sebagai figur pemimpin sesamanya. Lalu, apakah realita yang ada mendukung asumsi yang diajukan di atas? Makalah ini tidak bermaksud menggugat keberadaan guru, tetapi lebih mengupayakan bagaimana menjadi guru yang baik dalam segala situasi. Setidaknya bagi para pembina keagamaan mahasiswa baru UII.
1
Makalah disampaikan pada acara briefing Pembina Keagamaan Mahasiswa Baru UII tahun 1999/2000, yang diselenggarakan oleh LPPAI UII Tanggal 17 Oktober 1999 di Auditorium UII. 2 Dosen Jurusan Tarbiyah FIAI UII Yogyakarta
Ada tiga tahapan yang harus dilakukan oleh seorang guru agar dapat menjadi guru yang baik, dengan model pembelajaran yang efektif. Ketiga tahapan tersebut adalah :
Tahap Persiapan; Tahap Pelaksanaan; Tahap Evaluasi Ketiga tahap tersebut harus dialami oleh seorang guru dalam proses pembelajarannya. Tahap pertama Persiapan. Pada tahap ini ada beberapa langkah yang harus dipersiapkan agar dapat sukses dalam mengajar. Langkah tersebut terinci sebagai berikut: 1. Penguasaan Materi. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam mengajarnya, seorang guru harus menguasai materi secara baik. Bagi para pembina keagamaan, maka langkah awal ini harus dapat dipersiapkan secara baik, mengingat audien yang akan dihadapi adalah mahasiswa --yang mungkin teman, ataupun adik kelasnya--. Dengan begitu, penguasaan materi ini menjadi salah satu syarat agar dalam proses pembelajarannya nanti, para pembina keagamaan tidak mengalami kehabisan materi atau materi yang akan diajarkan lupa untuk disampaikan. Untuk penguasaan materi yang baik perlu membaca secara cermat tentang materi yang akan diajarkan kepada audien. Selain itu sebagai cara mengingat dianjurkan untuk menggunakan kertas ukuran 7,5 X 12,5 Cm untuk mencatat pointer yang akan disampaikan. Penggunaan kertas ini akan memudahkan guru melihat catatan, serta tidak mengganggu siswa dengan kesibukan guru membuka catatan. 2. Kenali individu peserta didik. Langkah kedua dalam persiapan adalah mengenali secara cermat audien yang akan diberi materi pembelajaran, baik dalam hal sifat ataupun kemampuan. Pengenalan ini selain akan lebih mudah untuk menyamakan persepsi bagi pendasaran materi, juga akan lebih mengakrabkan suasana belajar. Diharapkan dengan suasana yang akrab akan
terjalin satu bentuk relasi guru-siswa yang baik, yang akan memudahkan untuk tercapainya tujuan yang diharapkan. 3. Kehadiran. Proses pembinaan keagamaan yang dilaksanakan kelak berada di beberapa wilayah kampus UII yang letaknya berjauhan. Kehadiran guru pembimbing perlu diperhitungkan, agar tidak terjadi mengajar dalam keadaan tersengal. Untuk itu kehadiran guru pembimbing sebaiknya sebelum asar agar dapat shalat ashar berjamaah, sehingga setidaknya 30 menit sebelum acara pembinaan dilangsungkan pembina harus sudah sampai di lokasi pembinaan. 4. Persiapan diri, yang dimaksud di sini adalah pembimbing harus dapat menyiapkan mental dirinya sebelum mengajar di kelas. Perlu diingat bahwa peserta didik pembinaan keagamaan ini adalah mahasiswa tingkat I yang memiliki variasi baik dari budaya ataupun asal. Dengan begitu perbedaan budaya yang mungkin tidak sesuai dengan kultur budaya pembina harus dapat secara arif diatasi. Selain itu tidak jarang ditemukan mahasiswa bimbingan mereka adalah salah satu kenalan atau teman di kost-kost-an, sehingga mental ewuh-pakewuh harus dihilangkan. Belum lagi ada beberapa kelompok mahasiswa yang kerap mengabaikan pembinaan ini, tentunya pelbagai kondisi tersebut harus disikapi secara bijaksana. Tahap kedua yang harus dialami adalah tahap pelaksanaan. Terkait dengan tahapan ini ada beberapa langkah yang dapat diantisipasi pembimbing, yaitu: 1. Memilih dan menyesuaikan metode yang akan digunakan. Peserta didik yang akan diberi materi adalah mereka yang tidak dapat membaca dan menulis alQur’an dengan baik, serta ada beberapa kelompok di antar mereka yang tidak mengetahui secara baik kegiatan ibadah minimal yang harus dilaksanakan oleh umat Islam. Untuk itu tampaknya model metode yang dapat digunakan adalah model dengan mengadopsi model sorogan, atau bandongan. Kedua model ini tampaknya efektif bagi model pembelajaran seperti di atas. 2. Perhatikan scope dan sequence materi pelajaran. Setiap pembina keagamaan telah diberi kisi-kisi yang harus diajarkan, tentunya dengan improvisasi yang dimiliki oleh setiap individu pembina. Meskipun demikian, ada hal-hal yang
harus secara cermat diperhatikan, yaitu masalah scope (ruang lingkp materi) dan sequence (tahapan materi) yang harus diberikan. Terkait dengan scope, maka sudah seharusnya dibatasi oleh pembina keagamaan yang terkait langsung dengan kisi-kisi yang telah diberikan, dan jangan menyimpang terlalu jauh dari kisi-kisi yang ada. Selain itu, masalah sequence dimaksudkan agar peserta didik memperoleh pendasaran satu materi secara baik, sebelum yang bersangkutan masuk pada materi yang lebih sulit. 3. Dalam pelaksanaan pembelajaran, pembina sebagai guru di kelas juga harus memperhatikan penampilan dirinya. Penampilan fisik dalam berpakaian, asesoris yang dikenakan dapat mempengaruhi persepsi peserta didik. Dengan begitu, meski disadari bahwa parapembina keagamaan ini juga banyak yang berstatus mahasiswa tetapi tidak dapat tampil seenanknya saja. Demikian juga untuk pembina putri, pemakaian asesoris harus diperhatikan secara cermat agar tidak menjadi pusat perhatian yang keliru. Selain tampilan fisik, sikap dan bahasa yang ditunjukkan guru pada siswa juga akan menjadi perhatian. Selama ini banyak guru yang lupa bahwa faktor bahasa bukan hanya bahasa lisan, justru bahasa non-verbal ini terkadang memberi kesan yang berbeda. Bahasa lisan dapat digunakan pada saat menerangkan, merespon pertanyaan, ataupun menjawab pertanyaan peserta didik. Setidaknya bagi peserta didik, sikap membantu dari seorang pembina keagamaan sangat dibutuhkan mereka dalam belajar agama. 4. Bagi pembina keagamaan kesungguhan dalam mengajar yang ditunjukkan dengan gairah mengajar, datang tepat waktu sangat dibutuhkan. Dalam hal ini motivasi yang mendasari para pembina keaagamaan harus diluruskan untuk mencari keridhloaan dari allah SWT, dan tidak semata-mata hanya mengejar keinginan materi. 5. Sikap sabar seorang pembina agama dalam menerima pelbagai keluhan yang disampaikan oleh para peserta didik, akan menjadikan peserta didik memiliki gairah untuk belajar. Sabar, dalam arti bahwa respon balik yang diberikan para pembina keaagamaan hendaklah dalam batas-batas pendidikan.
Dari 5 langkah dalam pelaksanaan, harus juga diingat kemampuan pembina dalam menguasai kelas. Dengan jumlah siswa kurang lebih sebanyak 25 orang, maka seorang guru harus mampu menguasai kelas dengan baik. Untuk itu tahapan minimal di atas hendaklah dipersiapkan secara baik. Berikutnya adalah tahap evaluasi, sebagai tahap untuk mengetahui kemampuan yang dimiliki siswa. Selain itu, tahapan ini dimaksudkan untuk mengukur keberhasilan guru dalam menyampaikan materi pembelajaran dan kemampuan siswa menerima materi pelajaran yang diberikan oleh guru. Adapun tahapan evluasi terdiri dari beberapa aktivitas yaitu: 1. Pelaksanaan pre test dan post test. Kedua aktivitas evaluasi ini perlu dilaksanakan agar dapat secara cermat diketahui kemampuan peserta didik. Pre test selain dimaksudkan untuk itu, juga dimaksudkan untuk pendasaran bagi pemberian materi yang akan diajarkan. Dengan pre test, para pembina akan secara baik mengenal kemampuan siswanya. Adapun post test hendaklah diberikan setelah beberapa materi dilaksanakan. 2. Reinforcement. Penguatan diberikan setelah siswa mencapai satu tahap yang memang dikehendaki oleh guru, penguatan ini hendaklah yang dapat memacu gairah siswa untuk belajar bukan sebagai tugas yang mungkin akan membosankannya. Reinforcement diberikan sebagai salah satu cara bagi guru untuk menyamakan materi yang akan diberikan pada seluruh siswa. 3. Remidial. Adakalanya ada siswa yang mengalami kegagalan menguasai materi tertentu. Untuk itu kepada mereka diberikan tambahan aktivitas yang dimaksudkan untuk penguasaan materi mendalam. Seperti juga penguatan, perbaikan ini hendaklah juga jangan sampai membuat siswa bosan. 4. Feed back. Respon balik hendaklah selalu diberikan guru pada setiap situasi yang mungkin. Artinya, guru jangan menunggu reaksi siswa terlalu lama, padahal saat itu dia mampu merespon isyarat yang dikemukakan oleh siswa. Respon ini tidak selalu menggunakan bahasa lisan, tetapi dapat juga menggunakan bahasa non-verbal.
Tiga tahapan mengajar di atas, hendaklah dicobakan oleh setiap pembina pada segala situasi. Satu hal yang mungkin perlu dilaksanakan adalah mencoba melakukan shadow teaching, yaitu berlatih mengajar tanpa kehadiran peserta didik, tetapi di hadapan kaca. Jika tahapan di atas sudah siap, ada beberapa yang harus dihindari oleh seorang pembina keagamaan saat mengajar di kelas, yaitu : 1.
Nervousness, kurang percaya diri.
2.
Speaking too quietly, berbicara perlahan.
3.
Speaking too quickly, berbicara cepat, hingga tidak dikehatui titik komanya lagi.
4.
Poor eye contact, kontak mata yang hanya pada satu titik saja, pandangan tidak menyebar ke seluruh penjuru kelas.
5.
Too many hesitations, terlalu banyak jeda berupa kata-kata yang tidak perlu.
6.
Monotonous voice, intonasi suara yang datar.
Beberapa unsur yang harus dihindari itu sebaiknya dihilangkan, jika tidak tentunya diupayakan dilakukan reduksi secara perlahan.(Muhammad Idrus 17101999).