Copyright @2016 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau meperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari Penerbit.
Diterbitkan oleh Unpad Press Gedung Rektorat Unpad Jatinangor, Lantai IV Jl. Ir. Soekarno KM 21 Bandung 45363 Telp. (022) 84288867/ 84288812 Fax : (022) 84288896 e-mail :
[email protected] /
[email protected] . http://press.unpad.ac.id Anggota IKAPI dan APPTI Editor : Rina Hermawati Dede Tresna Wiyanti Dede Mulyanto Erna Herawati Selly Riawanti Budiawati Supangkat Rimbo Gunawan Dede Mariana Caroline Paskarina Mudiyati Rahmatunnisa Tata Letak : Hardian Eko Nurseto Desainer Sampul : M. Taufany Rachman E.
Perpustakaan Nasional : Katalag Dalam Terbitan (KDT) Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Padjadjaran Prosiding Seminar Nasional dan Kebudayaan Penyunting, Putri, Nadya Hari. --Cet. pertama – Bandung; Unpad Press; 2016 ___h.; 29,7 cm ISBN <978-602-6308-8-9> I . Prosiding Seminar Nasional dan Kebudayaan
iii
DAFTAR ISI Kata Pengantar
iv
Daftar Isi
v
PANEL 1 PEREMPUAN DAN POLITIK GENDER Partisipasi Masyarakat Pesisir dalam Program Pemberdayaan Perempua di Kecamatan Cipatujah Kabupaten Tasikmalaya (Neneng Komariah, Pawit M. Yusup, Saleha Rodiah, Encang Saepudin) Eksistensi Perempuan Sebagai Penggerak Utama Ketahanan Pangan ( Studi Kasus Petani Melayu Perempuan di Dusun Semayong, Kabupaten Sambas Kalimantan Barat) (Atem, Annisa Sintha Putri Nusantara) Representasi Eksploitasi Seksualitas dalam novel 50 Riyal Sisi Lain TKW Indonesia di Arab Saudi karya Deni Wijaya (Hiyang Widya Prasastiani, Alfaratna Sefti Nurlaily, Ethis Kartika Sari) Gender dan Identitas: Representasi Sosial Perempuan Dalam Kumpulan Cerpen Wanita Muda Di Sebuah Hotel Mewah (Siti Nur Aisya Putri) Kesadaran Politik Difabel Perempuan: Studi di Yogyakarta (Titi Fitrianita, Ucca Arawindha) Perempuan Dayak Mali dalam Bingkai Kearifan Lokal (Nikodemus Niko) Partisipasi Perempuan dalam Kegiatan Kemasyarakatan Pasca Reformasi (Erna Herawati) Partisipasi Perempuan dalam Bidang Politik vs Budaya Masyarakat Indonesia (Randi) Bias Gender dalam Pemberitaan Aktivitas Politik Kaum Perempuan di Media (Eni Maryani, Agus Setiaman, Detta, Rachmawan) Dampak Pemberdayaan Perempuan Dalam Program Peningkatan Wanita Menuju Keluarga Sehat dan Sejahtera ( P2WKSS) (Studi Dampak pada Sikap dan Perilaku Perempuan dalam Membina Tumbuh Kembang Anak dan Remaja di Desa Sindangsari Kecamatan Cigedug Kabupaten Garut) (Nina Karlina, Mas Halimah) Negara dan Ibu Rumah Tangga: Wajah Sehari-hari pembentukan Negara dalam Bidang Kesehatan melalui Posyandu (Arief Wicaksono)
1
9
17
24 31 38 42 50 57 66
75
PANEL 2 KEPEMIMPINAN DAN POLITIK LOKAL DI INDONESIA Kontribusi Peran Politik Tuan Guru Dalam Masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan (Mukhtar Sarman) Tuan Tanah dan Lurah : Relasi Politik Lokal Patron Clien di Desa Sukorejo Kecamatan Godanglegi Kabupaten Malang dalam Kurun Waktu 2007-2012 (Annise Sri Maftuchin) Peran Opinion Leader Dalam Masyarakat Transisi (Studi di Desa Mekarsari Kecamatan Sukasari Kabupaten Sumedang) (Agus Rahmat, Hendarmawan, Edy Suryadi, Cipta Endyana) Kepemimpinan Lokal dalam Pengembangan Masyarakat Desa (Rudi Saprudin Darwis)
84 96 103
110
PANEL 3 ISU LINGKUNGAN DAN POLITIK Culture and Flood in Indonesia : A Student Perspective (Debora M. M. Hutajulu, Ayu S. Ardipramesa) Implementasi Komunikasi Lingkungan Melalui Ritual Hajat Laut di Kabupaten Pangandaran (Iriana Bakti, Susi Perbawasari, Kokom Komariah)
117 123
PANEL 4 KESEHATAN DAN BUDAYA MASYARAKAT Pola Komunikasi dan Budaya Sehat Pada Rumah Tangga Sangat Miskin (RSTM) Di Pedesaan (Asep Suryana, Putri Trulline) Menyelaraskan Kebijakan Kesehatan bagi Penderita Thalasemia di Kota Palangkaraya (Kesehatan Sebagai Produk Politik dan Budaya) (Saputra Adiwijaya dan Katriani Puspita Ayu) Kemiskinan dan Balita Gizi Buruk di Desa Penyangkak Kecamatan Kerkap Kabupaten Bengkulu (Rahma Syafitri)
v
128 136
145
PANEL 5 CIVIL SOCIETY DAN POLITIK KEWARGAAN Formasi Wacana Kewarganegaraan Pasca-Reformasi ( Caroline Paskarina) Peran Civil Society Dalam Membangun Budaya Demokrasi di Indonesia (Siti Witianti, Ratnia Solihah) Self-Adaptation of Children Beggars Toward Violence on Street Analysis of Logotheraphy Viktor Frank on Meaning of Misery of Child Beggars At Area Of Religious Tourism, Cirebon (Atwar Bajar) Homofobia dalam Film Dallas Buyers Club (Novia Adibagus Shofah) Benturan Kekuasaan : Polisi, Arema, dan Aremania (Indhar Wahyu Wira Harjo)
154 161 169
177 183
PANEL 6 BUDAYA POLITIK Perilaku Pemilih dan Budaya Politik dalam Pemilu di Indonesia Pasca Reformasi (Ratnia Solihah, Siti Witianti) Politik Kepercayaan: Sebuah Relasi Sosial dan Budaya dalam Perdagangan Komoditas di Pedesaan Sumatera (Amilda) Manfaat Perubahan Politik terhadap Identitas Budaya Pecinan Kekinian (Lya Dewi Anggraini)
191 202 211
PANEL 7 POLITIK PARIWISATA DAN PARIWISATA BUDAYA Dilema Sex Tourism dalam Paradigma Pembangunan Pariwisata Perkotaan (Widyastuti) Strategi Promosi Pariwisata Kota Bandung (Studi Kasus Aktivitas Bandung Creatif City Forum (BCCF) (Iwan Koswara, Duddy Zein) Peningkatan Citra Pangandaran melalui Kearifan Lokal oleh Pemerintah Kabupaten Pangandaran (Priyo Subekti, Hanny Hafiar, Dadang Sugiana) Global Tourism Challenges: Menuju Pariwisata Berbasis Syariah (Bagus Irawan)
219 229 236 241
PANEL 8 KOMUNIKASI POLITIK DAN BUDAYA KOMUNIKASI Reactive Strategy and Personal Image : A Guide For ‘Awkarin’ (Ditta Hummamy, Hanifah Amalia, Mohammad Shihab) Iklan Politik dan Dampaknya Terhadap Keputusan Memilih Partai Golkar Pada Pemilu Legislatif (Survey Pada Kalangan Pemilih Pemula Mahasiswa UPI Angkatan 2014 (Ramadhan Wengku Arizal, Heny Hendrayati) Public Relation For Tradisional Pencak Silat (Mohammad Shihab, I Nyoman Musiasa) Pemanfaatan Pagelaran Wayang Golek Sebagai Metode Kampanye Politik Pasangan Sabdaguna dalam Pemilukada Kabupaten Bandung Periode 2016-2021 (Yanti Setianti, Priyo Subekti, Yogaswara Sunandar) Budaya Politik dan Komunikasi Politik dan Transisi Demokrasi Pasca Orde Baru (Dede Mariana, Ari Ganjar Herdiansyah, Diah Fatma Sjoraida, Heru Riyanto) Pemilihan Gubernur DKI Jakarta Tahun 2017 dalam Meme : Sebuah Analisa Isi Terhadap Meme-meme di Dunia Maya (Nuning Kurniasih) PR Politik Sebaga Strategi Komunikasi Politik Jokowi (Evie Ariadne Shinta Dewi) Hoax Politik di Media Sosial Twitter (Studi Etnografi Virtual Tentang Keberadaan Hoax Politik di Media Sosial Twitter) (Renata Anisa, Rachmaniar) Reak Sebagai Media Komunikasi Tradisional Pada Masyarakat Cilengkrang Kecamatan Ujungberung (Feliza Zubair, Lukiati Komala)
247 253
261 265
271 279 285 290 294
PANEL 9 GERAKAN SOSIAL Peran Elit Non-Politik dalam Peningkatan Demokrasi Lokal di Bali Kasus Proses Penolakan Reklamasi Teluk Benoa (Diana Fawzia, Nursatyo, Truly Wangsalegawa) Perpustakaan Rakyat : Gerakan Emansipatoris dalam Mengembangkan Budaya Membaca dan Wacana Sosial (Dika Sri Pendanari) Demokrasi Buruh dan Kesejahteraan (Studi Deskriptif tentang Dinamika Organisasi Buruh dan Tingkat Kesejahteraan di Kabupaten Bandung) (Suwandi Sumartias dan Ikhsan Fuady) Representation of “Teman Ahok” As Form Cultural Identity and Resistence To Political Olygarchy (Anang Viki Pratama Hadju) Cultural consciousness Movement Against Corruption, Intellectual Academics in PerspectiveIntellectual Craftsmanship C. Wright Mills (Arie Wahyu Prananta)
vi
299 310 317
325 334
PANEL 10 FOLKLORE, IDENTITAS, DAN POLITIK LOKAL Revitalisasi dan Rekonstruksi Kearifan Lokal Untuk Membangun Hukum Kehutanan Yang Berkelanjutan (Caritas Woro Murdiati Runggandini) Boss Selalu Benar: Folklore di Tempat Kerja (Chico Adhibaskara Ekananda Hindarto) Menggali Kearifan Lokal Sosial Politik Masyarakat Minangkabau Melalui Ungkapan (Wirdanengsih Peranan Kearifan Lokal Dalam Pembangunan Desa di Minahasa (Studi di Desa Warembungan Kecamatan Pincleng Kabupaten Minahasa) (Welly Waworundeng) Model Pengelolaan Madrasah Mandiri Berbasis Kearifan Lokal (Junardi Harahap, Budi Rajab, Budhi Gunawan, Opan Suwartapradja) Pemilihan Wali Jorong Langsung dan Implikasinya Terhadap Budaya Politik Nagari (Irawati) Idiom Jawa dan Politik Elektoral Lokal (Iwan Nurhadi) Nilai Budaya Malapus dalam Penyelenggaran Pelayanan Publik di Kabuoaten Minahasa Selatan (Very Y. Londa)
344 353 358 364 368 371 379 385
PANEL 11 KEBIJAKAN, POLITIK, KEBUDAYAAN Dilema Kebijakan Land Reform (Anik Susanti, Nyimas Nadya Izana, Nike Kusumawanti) Kendala Budaya dalam Sosialisasi Kebijakan Penanganan Masalah Human Trafficking di Kabupaten Indramayu (Slamet Mulyana, Meria Octaviani, Ira Mirawati, Kismiyati El Karimah) Implikasi Budaya Populer terhadap Kebijakan Industri Kreatif Indonesia (Studi Kasus: Pengaruh Hallyu Terhadap Indonesia) (Seny Soniaty, Widyastuti, Rahmad Efendi) Pulau Sebatik : Sebuah Kajian Kawasan Perbatasan (Suatu Studi Tentang Masyarakat Terhadap Kawasan Perbatasan (Poppy Setiawati Nurisnaeny, Junardi Harahap) Pengaruh Sosial dan Budaya dalam Perumusan Sosial dan Budaya dalam Perumusan Kebijakan Desentralisasi Kewenangan Pusat di Daerah Dalam Penerapan UU No. 6/2014 Tentang Pemerintahan Daerah di Nagari Sumatra Barat (Tamrin) Tantangan Bagansiapiapi Menghadapi Globalisasi: Dengan Melestarikan Warisan Budaya (Lies Mariani)
vii
394 399
407 417 423
432
Seminar Nasional Politik dan Kebudayaan Departemen Antropologi, FISIP, Universitas Padjadjaran 24-25 Oktober 2016
FORMASI WACANA KEWARGANEGARAAN PASCA-REFORMASI
Caroline Paskarina Program Studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran e-mail:
[email protected]
Abstrak
PENDAHULUAN
Tulisan ini ingin mengungkapkan formasi wacana kewarganegaraan pascareformasi di Indonesia. Pascareformasi, wacana tentang kewarganegaraan justru tidak banyak dibicarakan, seolah ada keterputusan dengan masamasa sebelumnya, yakni masa kolonial, masa awal kemerdekaan, dan masa Orde Baru yang menempatkan wacana kewarganegaraan sebagai bagian dari strategi politik untuk menguatkan legitimasi kekuasaan negara atas nama nasionalisme. Tulisan ini berasumsi bahwa wacana kewarganegaraan pascareformasi telah mengalami dekonstruksi sebagai akibat dari berkembangnya gagasan komunitas politik dalam konteks demokratisasi. Seiring meluasnya kebebasan dan persamaan, wacana kewarganegaraan diartikulasikan dengan berbeda, sebagai bagian dari isu kesetaraan gender, kepedulian sosial, kebangkitan lokalitas, bahkan pengakuan hak asasi manusia. Kewarganegaraan tidak lagi sekedar menyangkut suatu identitas berhadapan dengan identitas lain, tetapi banyak identitas yang berupaya membentuk kesatuan kepentingan tanpa menghilangkan perbedaan di antaranya. Dengan menggunakan analisis diskursus, studi ini bertujuan memetakan beragam diskursus kewarganegaraan yang berkembang pascareformasi di Indonesia. Metode ini dapat menggambarkan pola-pola penciptaan makna tentang kewarganegaraan, mengungkap wacana dominan dan wacana tandingan yang membentuk diskursus kewarganegaraan. Tulisan ini menawarkan perspektif untuk melihat kewarganegaraan sebagai identitas politik yang dibentuk melalui permainan bahasa (language game) yang mencerminkan pertarungan interpretasi yang diartikulasikan oleh berbagai kepentingan. Perspektif ini menjadi alternatif untuk mengatasi kegagapan liberalisme dalam menjelaskan kewarganegaraan sebagai salahsatu identitas di antara beragam identitas lain, dan bukan juga sebagai identitas tunggal yang mengatasi identitas-identitas lian, seperti dalam perspektif republikanisme. Pemahaman akan kewarganegaraan sebagai identitas yang senantiasa dikonstruksi ulang memberi peluang untuk menempatkan formasi identitas kewarganegaraan sebagai bagian dari upaya membangun budaya demokrasi yang peka akan nalar di balik formasi wacana tersebut. Kata Kunci: identitas politik, kewarganegaraan, wacana
154
Reformasi telah membawa begitu banyak perubahan dalam berbagai dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama yang mengarah pada menguatnya demokratisasi. Berbagai praktik yang otoriter dikritisi dan diubah, termasuk juga dalam hal pembentukan identitas kewarganegaraan (citizenship) yang sebelum masa reformasi dilakukan melalui indoktrinasi. Pascareformasi, wacana tentang kewarganegaraan justru tidak banyak dibicarakan, seolah ada keterputusan dengan masa-masa sebelumnya, yakni masa kolonial, masa awal kemerdekaan, dan masa Orde Baru yang menempatkan wacana kewarganegaraan sebagai bagian dari strategi politik untuk menguatkan legitimasi kekuasaan negara atas nama nasionalisme. Pada masa pra- dan awal kemerdekaan, wacana kewarganegaraan ditempatkan dalam kerangka nationbuilding bersama-sama dengan wacana nasionalisme dan patriotisme. Adanya musuh bersama menjadi jargon utama yang memudahkan pembentukan identitas kewarganegaraan dilakukan, yakni identitas sebagai warga negara Indonesia berhadapan dengan identitas sebagai warga negara lain. Meskipun demikian, tidak mudah untuk membangun identitas ‘Indonesia’ ketika berhadapan dengan identitas etnik yang sebelumnya telah ada. Pertemuan di antara keragaman identitas ini yang membuat proses menjadi ‘Indonesia’ tidak pernah sepenuhnya bersifat dikotomis. Pembentukan identitas ‘Indonesia’ sebagai negarabangsa diilustrasikan oleh Ben Anderson (1983) sebagai komunitas terbayangkan, yang menyatakan bahwa sebelum terbentuknya sebuah identitas negarabangsa, telah eksis sebuah ide yang membayangkan tendensi ke arah persatuan bangsa melalui beberapa faktor pemersatu. Kendati batas-batas geografisnya ditinggalkan oleh penaklukan Belanda, tetapi komunitas terbayangkan Indonesia telah tercipta jauh sebelum pendudukan Belanda. Karena itu, Ben Anderson (1983: 12) percaya bahwa pembentukan
Seminar Nasional Politik dan Kebudayaan Departemen Antropologi, FISIP, Universitas Padjadjaran 24-25 Oktober 2016
identitas harus dipahami bukan dengan mengaitkannya dengan ideologi politik yang dijalankan secara sadar diri, tetapi dengan sistem budaya yang luas yang mendahuluinya, di luar dari prosesnya. Pada masa Orde Baru, negara berperan lebih dominan dalam proses pembentukan identitas kewarganegaraan. Proses ini masih berada dalam kerangka nation building yang dilekatkan dengan wacana modernisasi (pembangunan) politik. Modernisasi menuntut homogenisasi budaya politik. Jika homogenitas ideologis ini tidak ada, negara harus menjadi ujung tombak dalam menanamkan ‘budaya umum’ di antara warga negaranya yang beraneka ragam (Hefner, 2007). Konsekuensinya, pembentukan identitas nasional menuntut penggantian sejumlah besar otoritas politik tradisional, relijius, familial, dan etnis dengan sebuah otoritas politik nasional yang sekuler dan tunggal (Huntington, 1968: 34). Tanpa pemangkasan solidaritas-solidaritas etnorelijius yang dipromosikan oleh negara, pembentukan identitas nasional dan persatuan bangsa seakan terancam (Hefner, 2007). Negara memperoleh justifikasi untuk menggunakan pendekatan top down dalam membangun identitas tunggal kewarganegaraan untuk kepentingan penguatan persatuan dan kesatuan. Meskipun, di dalam praktiknya, proses ini memunculkan resistensi, baik yang bersifat manifes maupun laten, dari identitasidentitas lian yang termarginalkan. Wacana pluralisme kembali menguat ketika pada dekade 1990-an dan 2000-an, globalisasi dan demokratisasi mengalami pasang naik. Wacana ini dipicu oleh meningkatnya mobilitas manusia antarnegara yang muncul bersamaan dengan kebangkitan kembali etnis di masyarakat-masyarakat industrial maju dan menguatnya kembali etnorelijius di banyak bagian dunia yang sedang berkembang (Hefner, 2007). Identitas-identitas budaya semakin banyak mewarnai relasi antarwarga negara, mendorong negara untuk memikirkan kembali pola pengelolaan isu-isu kewarganegaraan, demi memelihara keharmonisan relasi sosial. Kewarganegaraan menjadi identitas yang lebih cair, sehingga memerlukan pendekatan yang lebih beragam untuk mengelolanya dengan lebih inklusif. Berangkat dari dinamika yang berlangsung dalam periode-periode di atas, juga dengan melihat berbagai kecenderungan yang berkembang dewasa ini, jelas bahwa kewarganegaraan bukan semata isu politik tetapi justru merupakan produk konstruksi yang lahir sebagai respon terhadap konteks yang berkembang. Kendati ada banyak literatur dan studi yang membahas tentang kewarganegaraan (Hefner, 2007; Kymlicka dan
155
Norman, 1994; Kymlicka, 2003; Bosniak, 2001; Scott dan Lawson, 2001), tetapi yang belum banyak yang menggunakan analisis wacana untuk memahami konstruksi wacana kewarganegaraan.Tulisan ini menawarkan perspektif untuk melihat kewarganegaraan sebagai identitas politik yang diungkapkan dalam teks, yang mencerminkan pertarungan interpretasi yang diartikulasikan oleh berbagai kepentingan. Pemahaman akan kewarganegaraan sebagai identitas yang senantiasa dikonstruksi ulang memberi peluang untuk menempatkan formasi identitas kewarganegaraan sebagai bagian dari upaya membangun budaya demokrasi yang peka akan nalar di balik formasi wacana tersebut. Untuk menguraikan hal tersebut, tulisan ini akan terlebih dahulu membahas konsep dasar kewarganegaraan, selanjutnya memetakan wacana kewarganegaraan yang berkembang di Indonesia pascareformasi dengan menggunakan kasus-kasus yang muncul sebagai ilustrasi. Pada bagian akhir, disampaikan simpulan berupa pembelajaran yang dapat diambil dari perkembangan wacana kewarganegaraan tersebut bagi penguatan budaya demokrasi di Indonesia.
METODE Untuk menegaskan bahwa konsep kewarganegaraan bukan konsep yang alamiah, tetapi merupakan konstruksi yang senantiasa ditentukan oleh perubahanperubahan sosial, ekonomi, dan politik, maka tulisan ini menggunakan metode analisis wacana untuk mengungkapkan makna di balik konstruksi kewarganegaraan itu. Wacana diartikan sebagai seperangkat aturan dan praktik yang menentukan pemaknaan dalam suatu wilayah tertentu (Foucault, 1972). Memahami kewarganegaraan sebagai praktik diskursif dapat menyediakan alat analisis untuk secara kritis menyingkap makna di balik berbagai kepentingan yang melatarbelakangi produksi dan reproduksi teks tentang kewarganegaraan. Analisis wacana bertujuan mengungkapkan bagaimana kepentingan-kepentingan tersebut diekspresikan dan membentuk makna dari praktik kewarganegaraan. Penulis mengkaji sejumlah teks yang termuat dalam literatur untuk mengidentifikasi pernyataan-pernyataan yang membentuk cara pikir dan hal-hal yang dikaitkan dengan kewarganegaraan. Teks yang menjadi unit analisis dipilih secara acak dari bidang ilmu sosial dan politik, yang memuat tentang kewarganegaraan sebagai topik utama. Teks-teks ini diperoleh dari jurnal ilmiah
Seminar Nasional Politik dan Kebudayaan Departemen Antropologi, FISIP, Universitas Padjadjaran 24-25 Oktober 2016
dan e-book yang diakses secara bebas melalui internet. Untuk mengaitkan dengan konteks Indonesia pascareformasi, digunakan kasus-kasus kewarganegaraan yang muncul dalam pemberitaan media massa. Pernyataan yang tertuang dalam bentuk teks tersebut menunjukkan posisi tentang keanggotaan sebagai warga negara, identitas, nilai, partisipasi, dan pengetahuan-pengetahuan yang membentuk ekspresi keyakinan tentang kewarganegaraan, yang selanjutnya mencerminkan makna dari kewarganegaraan sekaligus memilah mana makna yang lebih dapat diterima dan mana yang tidak (Johnstone, 2002). Pilihan-pilihan dan klaim-klaim tersebut mengarah pada produksi, reproduksi, dan kontestasi dari makna tentang kewarganegaraan. Analisis tekstual dipakai untuk mengidentifikasi dimensi-dimensi sebagai berikut: (a) klaim yang dinyatakan oleh pengarang; (b) pilihan kata (kosa kata, slogan, gaya penulisan) yang dipakai pengarang; (c) nilai-nilai politik yang terkandung dalam teks; dan (d) konteks yang melatarbelakangi teks tersebut. Dengan menganalisis dimensi-dimensi tersebut, tulisan ini ingin mengungkapkan apa yang ingin dinyatakan oleh pengarang teks tersebut, apa ekspresi atau istilah yang digunakan untuk mengidentifikasi identitas kewarganegaraan, serta nilai-nilai apa yang ingin diperjuangkan oleh para penulis teks tersebut. Setelah menganalisis hal-hal tersebut, dapat diidentifikasi polapola wacana kewarganegaraan, yang dapat menggambarkan bagaimana kewarganegaraan dideskripsikan, perbedaan-perbedaan dalam klaim tentang bagaimana seharusnya karakteristik warga negara yang baik. HASIL DAN PEMBAHASAN Secara umum, kewarganegaraan mengandung sejumlah unsur, yakni: (a) memberi status keanggotaan bagi individu di dalam unit politik tertentu; (b) memberi identitas politik bagi individu; (c) membentuk seperangkat nilai, yang umumnya diinterpretasikan sebagai komitmen bagi kebaikan bersama dari unit politik tertentu; (d) mencakup partisipasi dalam proses politik; serta (e) meliputi upaya-upaya memperoleh dan menggunakan pengetahuan dan pemahaman tentang hukum, dokumen, struktur, dan proses pemerintahan (Enslin, 2000). Kewarganegaraan, dengan begitu, mencakup pemberian keanggotaan, identitas, nilai, dan hak-hak untuk berpartisipasi berdasarkan pengetahuan politik tertentu. Konsep lainnya dikemukakan oleh Marshall (dalam Katz, 2001) yang membagi lingkup kewarganegaraan ke dalam 3 (tiga) kategori, yakni kewarganegaraan
156
sipil, kewarganegaraan politik, dan kewarganegaraan sosial. Kewarganegaraan sipil meliputi hak-hak individu untuk berpendapat, menganut keyakinan tertentu, dan hak kepemilikan. Konsep ini lahir sebagai implikasi dari sistem kapitalisme yang memberikan jaminan perlindungan kepemilikan individual, persamaan hukum, dan kebebasan sipil. Kebebasan politik mencakup hak untuk berpartipasi dalam proses politik, seperti menjadi anggota dari lembaga-lembaga politik, atau memilih anggota dari lembaga-lembaga tersebut. Konsep ini lahir sebagai konsekuensi dari berkembangnya demokrasi perwakilan dan munculnya kelas menengah baru yang berperan penting dalam demokratisasi. Konsep kewarganegaraan sosial mulai berkembang pada abad ke-20 mencakup perwujudan hak-hak yang lebih luas, mulai dari hak untuk memperoleh kesejahteraan ekonomi dan keamanan hingga hak untuk memperoleh kehidupan yang layak. Konsep ini lahir sebagai konsekuensi dari berkembangnya praktik negara kesejahteraan yang mengubah relasi antara negara dan warga negara. Konsep-konsep di atas menunjukkan bahwa definisi dan ruang lingkup kewarganegaraan yang terus mengalami perkembangan secara dinamis, menjadi semakin kompleks. Dinamika ini juga turut mewarnai kontestasi makna yang lahir dari pergeseran ruang lingkup kewarganegaraan. Berdasarkan hasil analisis, terdapat 2 (dua) kategori wacana yang saling berkontestasi dalam membentuk konsep kewarganegaraan di Indonesia pascareformasi. Wacana dominan dibangun oleh dua kerangka konseptual, yakni civic republikan dan liberal. Sementara itu, wacana tandingan muncul melalui sejumlah diskursus kritis yang antara lain dibangun di atas klaim-klaim feminis, rekonstruksionis, kultural, dan transnasional. Pada bagian ini akan diuraikan karakteristik dari setiap wacana dan bagaimana masing-masing membentuk konstruksi makna kewarganegaraan yang berkembang di Indonesia.
Wacana Dominan: Pengakuan Negara Wacana kewarganegaraan yang dibangun di atas klaim civic republikan mengedepankan nilai-nilai kecintaan kepada tanah air dan pengabdian kepada komunitas politik formal (pemerintah atau negara). Sebagai anggota dari suatu komunitas politik, identitas warga negara dibentuk melalui pengenalan akan pengetahuan tentang karakteristik yang membentuk warga negara yang baik, antara lain ditandai oleh komitmen terhadap negara, penghormatan terhadap simbol-simbol negara, dan aktif berpartisipasi untuk kepentingan bersama, yang terutama dilakukan melalui pemberian suara
Seminar Nasional Politik dan Kebudayaan Departemen Antropologi, FISIP, Universitas Padjadjaran 24-25 Oktober 2016
dalam pemilihan umum, bergabung dalam partai politik, atau aktivitas-aktivitas sipil lainnya). Teks-teks utama yang mendukung wacana civic republikan ini dapat ditemukan dalam dokumen-dokumen regulasi negara, mulai dari Konstitusi hingga peraturan perundang-undangan yang lebih operasional. Karakter utama dari wacana ini adalah patriotisme yang dimanifestasikan melalui berbagai bentuk aktivitas sipil, baik melalui yang bersifat formal melalui pengabdian dalam institusi-institusi kenegaraan maupun melalui berbagai aktivitas sosial untuk kepentingan umum (Etzioni, 1993; Ravitch dan Viteritti, 2001). Nilai-nilai ini yang melandasi berbagai praktik untuk menumbuhkan rasa patriotisme dan nasionalisme. Maraknya kemunculan figur-figur politisi yang mengedepankan simbol-simbol patriotisme merupakan fenomena yang menjadi bukti bahwa wacana civic republikan masih kuat mendominasi konsepsi kewarganegaraan di Indonesia pascareformasi. Konsepsi ini juga marak dipraktikan oleh pemerintahan Orde Baru bahkan melalui institusi yang sistemik, antara lain melalui kurikulum Pendidikan Pancasila, Pendidikan Kewarganegaraan, penataran P4, dan penyelenggaraan upacara bendera di seluruh instansi resmi pemerintahan. Namun, berbeda dengan praktik di masa Orde Baru yang cenderung state-centered dan menggunakan pendekatan indoktrinasi, wacana civic republikan di masa pascareformasi mengalami revitalisasi melalui munculnya isu kedaulatan negara dan kebanggaan akan kejayaan bangsa. Wacana Indonesia sebagai negara maritim, misalnya yang dimunculkan oleh pemerintahan Jokowi, dapat menjadi ilustrasi revitalisasi wacana civic republikan untuk membangun kembali identitas nasional berdasarkan warisan kejayaan historis yang digabungkan dengan potensi sumber daya (laut) bagi kejayaan masa depan. Dalam konteks persaingan global, kemunculan wacana negara maritim turut berperan menumbuhkan jiwa patriotisme terutama ketika berkompetisi dengan negara-negara lain dalam hal pengelolaan sumber daya. Karena itu, besarnya dukungan publik terhadap keberanian Menteri Perikanan dan Kelautan dalam memperjuangkan eksistensi Indonesia di wilayah perairan sesungguhnya bukan semata menggambarkan prestasi Menteri Susi Pujiastuti, tetapi juga membuktikan bahwa identitas kebangsaan dapat dibentuk melalui aksi-aksi patriotik yang membangkitkan memori akan kejayaan di masa lampau. Formasi wacana kewarganegaraan yang dibangun di atas klaim civic republikan sangat menekankan pada
157
mode partisipasi yang bersifat kooperatif dan suportif terhadap institusi kenegaraan formal. Hal ini dijustifikasi oleh kewajiban warga negara untuk mematuhi berbagai peraturan yang dibuat oleh negara dan menghormati institusi-institusi formal kenegaraan. Konsep ‘tanggung jawab’ seringkali dihadapkan dengan konsep ‘hak’, sehingga berbicara tentang kewarganegaraan dalam konteks civic republikan menyangkut hubungan negara dengan warganya dalam hal perwujudan hak dan tanggung jawab (kewajiban) warga negara. Kesetiaan warga negara untuk memenuhi tanggung jawabnya lebih penting ketimbang pemenuhan hak-hak karena tujuan dari kewarganegaraan adalah untuk mencapai kepentingan bersama, bukan sekedar pemenuhan hak-hak warga negara. Pada sisi yang lain, wacana dominan kewarganegaraan juga dibangun di atas klaim politik liberal, yang mengedepankan pengakuan atas kebebasan individual. Berbeda dengan civic republikan yang lebih mengutamakan pemenuhan kewajiban warga negara, wacana liberal justru mengutamakan hak-hak individu untuk membentuk, memperbaharui, dan mengejar hasratnya akan kehidupan yang baik dengan tetap memperhatikan penghormatan akan hak-hak orang lain (Abowitz dan Harnish, 2006). Pengakuan akan hak-hak individu ini mengarah pada pengakuan akan kesetaraan atau kemampuan semua orang, khususnya mereka yang semula termarginalkan untuk sepenuhnya melaksanakan kebebasannya dalam masyarakat. Dalam wacana ini, identitas kewarganegaraan dikonstruksi dalam konteks komunitas politik yang lebih sempit, dengan fokus yang lebih besar pada prosedur untuk menjamin proses pemerintahan dan kebijakan yang lebih adil dan inklusif (Gutmann, 2000). Formasi wacana kewarganegaraan yang bercorak liberal lebih menekankan pentingnya kemandirian individu untuk melaksanakan kebebasan, hak, dan kewajibannya (McLaughlin, 1992; Shafir, 1998), sehingga klaim utama yang menandai konstruksi identitas kewarganegaraan dalam formasi wacana liberal adalah otonomi, yang diartikan sebagai sikap kritis warga negara terhadap segala bentuk otoritas (Kymlicka, 1999). Karena itu, kemampuan untuk berpikir dan bertindak rasional menjadi sangat penting untuk membangun identitas kewarganegaraan. Kapasitas ini menjadi penting karena warga negara diharapkan menjadi subjek yang berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan pemerintahan (Benhabib, 1992; Habermas, 1996; Cohen, 1996; Gutmann dan Thompson, 1996). Untuk itu, identitas warga negara yang baik menurut formasi wacana liberal adalah individu-individu yang mandiri, berpikir terbuka,
Seminar Nasional Politik dan Kebudayaan Departemen Antropologi, FISIP, Universitas Padjadjaran 24-25 Oktober 2016
memiliki kapasitas untuk menghormati hak-hak orang lain, kemampuan untuk mengevaluasi kinerja pemerintah, dan kesediaan untuk berpartisipasi dalam ruang publik (Rawls, 1993; Galston, 1991). Dalam konteks ini, kemunculan berbagai ruang publik yang memanfaatkan media online menandai praktik kewarganegaraan dalam perspektif deliberatif ini. Formasi wacana kewarganegaraan dalam konstruksi wacana dominan menunjukkan negara sebagai arena utama dalam mengampu kewarganegaraan. Negara menjadi institusi yang memberikan pengakuan akan identitas warga negara, baik dalam lingkup yuridis formal, maupun dalam lingkup politik. Kewarganegaraan dalam formasi wacana dominan adalah soal pengakuan hak dan kewajiban para anggota suatu negara untuk berpartisipasi aktif dan kritis demi mendukung keberlangsungan tata kelola pemerintahan. Kasus-kasus kewarganegaraan yang muncul di Indonesia pascareformasi masih berkutat pada persoalan pembentukan identitas nasional dan status keanggotaan sebagai warga negara. Hal ini tergambar jelas dalam kasus Archandra Tahar dan Gloria Himmel yang menjadi perdebatan karena status dwi kewarganegaraannya. Kendati keduanya dinilai memiliki potensi besar untuk berkontribusi bagi Indonesia, tetapi argumentasi yuridis-formal yang menguat dalam perdebatan tentang status kewarganegaraan keduanya menunjukkan bahwa isu keanggotaan masih menjadi persoalan krusial dalam wacana kewarganegaraan di Indonesia. Dalam formasi ini, kendati mulai ada keberimbangan dalam relasi kekuasaan antara negara dan warga negara, tetapi isuisu kewarganegaraan yang diakui terbatas pada perwujudan dari hak dan kewajiban yang bersifat politik. Wacana Tandingan: Pengagenan Kewarganegaraan Pada sisi lain, muncul formasi wacana kewarganegaraan yang dikonstruksi atas dasar klaim yang berbeda. Wacana kritis memunculkan berbagai isu baru yang mempertanyakan kembali tentang keanggotaan, identitas, dan keterlibatan sebagai esensi kewarganegaraan. Wacana ini mencoba menggali agenda-agenda liberal dari kebebasan manusia dengan berfokus pada pengeksklusian yang terjadi akibat perbedaan-perbedaan gender, budaya, etnisitas, kebangsaan, ras, seksualitas, atau strata sosial-ekonomi. Wacana tandingan ini diperkuat oleh klaim-klaim feminis, kultural, rekonstruksionis, dan transnasionalis. Klaim feminis antara lain muncul dalam tulisan Noddings (1992) yang menunjukkan bahwa berbagai studi tentang kehidupan, kerja, dan kontribusi sosial kaum perempuan telah membawa pergeseran dalam studi-studi sosial, termasuk dalam hal kajian
158
kewarganegaraan. Dalam literatur-literatur posmodern dan dekonstruksionis, para feminis juga menekankan konstrusi difference dan kekuasaan sebagai aspekaspek sentral dalam teorisasi kewarganegaraan untuk mengubah secara radikal konsepsi ‘perempuan’ dalam dunia politik. Mouffe (1992) menekankan pentingnya memahami kewarganegaraan bukan sebagai identitas tunggal, tetapi sebagai pluralitas dari ikatan-ikatan khusus dan untuk penghargaan terhadap kebebasan individu. Klaim feminis mempertanyakan ulang sentralitas negara-bangsa sebagai pengampu kewarganegaraan dan ketunggalan identitas yang melahirkan kriteria tertentu yang justru membatasi perempuan untuk masuk ke dalam kriteria tersebut karena praktik-praktik pemilahan yang patriakhis. Klaim kebudayaan mempertanyakan bagaimana etnisitas, budaya-budaya minoritas, dan kelompokkelompok budaya lainnya menganggap kewarganegaraan sebagai peran dan identitas yang harus ditebus dengan ‘harga’ atau pengorbanan yang sangat mahal. Hal ini terjadi karena identitas kewarganegaraan seringkali diperoleh melalui asimilasi yang malah menghilangkan identitas kultural yang semula ada. Seperti juga klaim feminis yang mengkritisi ketunggalan identitas kewarganegaraan, klaim kultural juga mempertanyakan ulang proses pembentukan identitas tersebut yang berlangsung melalui proses asimilasi. Proses ini justru mengabaikan heterogenitas identitas yang telah ada jauh sebelum identitas nasional dibentuk oleh negara. Klaim ini mempermasalahkan konstruksi identitas nasional yang justru menjadi penyebab hilangnya pembedaanpembedaan kultural. Wacana dominan yang dibangun di atas klaim modernitas politik seringkali menyebabkan identitas-identitas tradisional terpinggirkan dalam proses lahirnya identitas nasional. Formasi wacana kewarganegaraan yang dibentuk oleh klaim kultural mencoba menempatkan kewarganegaraan dan keanggotaan warga negara secara politik sebagai aktivitas yang penuh dengan pertarungan dalam ranah budaya, representasi, penyebutan, bahasa, hak-hak minoritas, dan inklusivitas. Konstruksi identitas kewarganegaraan, dengan begitu, adalah proses yang dibentuk oleh upayaupaya untuk memperoleh pengakuan sebagai bagian dari identitas suatu negara-bangsa. Klaim konstruksionis menggunakan argumen-argumen progresif untuk mempertanyakan mengapa partisipasi aktif dan kritis dari masyarakat demokratis telah diabaikan dalam konseptualisasi kewarganegaraan yang bercorak liberal. Klaim ini terutama berfokus pada warga negara yang termarginalkan dalam proses politik dan berupaya memperjuangkan hak dan posisi tawar
Seminar Nasional Politik dan Kebudayaan Departemen Antropologi, FISIP, Universitas Padjadjaran 24-25 Oktober 2016
dari kelompok-kelompok marginal dengan merekonstruksi strata sosial. Klaim ini menggeser formasi wacana kewarganegaraan ke ranah sosialekonomi, mencakup hak-hak untuk memperoleh pekerjaan, jaminan keamanan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan (Wilson, 1994). Identitas kewarganegaraan dalam klaim ini dibentuk sebagai kapasitas warga negara untuk mempertanyakan ulang dan mengkritisi mengapa institusi-institusi formal kenegaraan tidak berfungsi optimal bagi seluruh warga negara. Wacana tandingan juga dibangun atas dasar klaim transnasionalis yang mengkonstruksi identitas kewarganegaraan dalam lingkup lokal, nasional, dan internasional. Warga negara dalam klaim ini adalah individu yang mengidentifikasi dirinya bukan hanya berdasarkan kebangsaannya tetapi juga dengan komunitas-komunitas lain melintasi batas-batas teritorial negara. Konsepsi keanggotaan menjadi lebih cair dan membuka peluang yang lebih luas bagi partisipasi warga negara dalam berbagai asosiasi lokal dan global. Kekuasaan yang lebih luas bagi warga negara dan sebaliknya peran negara yang lebih kecil merefleksikan argumen populis yang mendasari klaim transnasionalis, seperti juga pada klaim-klaim lain yang mendasari wacana kritis tentang kewarganegaraan. Isu diaspora merupakan ilustrasi kasus yang dapat digunakan untuk menggambarkan kebangkitan klaim transnasionalis dalam konstruksi identitas kewarganegaraan Indonesia saat ini. Dengan makin maraknya fenomena migrasi dan mobilitas penduduk Indonesia melampaui batas-batas wilayah negara, keberadaan para diaspora di berbagai penjuru dunia menjadi potensi sekaligus tantangan yang memerlukan pengelolaan komprehensif. Formasi wacana tandingan yang dibangun di atas klaim-klaim kritis tidak hanya mempertanyakan ulang konsepsi dasar kewarganegaraan, seperti siapa yang memenuhi syarat sebagai warga negara? Apa dasar mereka mendapatkannya? Apakah ia terkait dengan negara-bangsa, atau mereka berkembang melebihi batas-batas negara bangsa itu? Formasi wacana tandingan juga menggeser konstruksi kewarganegaraan sebagai produk dari kapasitas agen dalam merespon dinamika perubahan sosial-ekonomi di tingkat lokal dan global. Pemikiran ini berpendapat bahwa kewarganegaraan itu dapat dicapai melalui ‘pengagenan’ (agency) kewarganegaraan itu sendiri, yang pada dasarnya memiliki identitas yang berbedabeda. Sebagai sebuah pendekatan, hak-hak yang dimaksudkan juga dikembangkan dari hak-hak sipil dan politik, hingga juga mencakup hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, termasuk pula hak untuk berpartisipasi,
159
baik di tingkat lokal, nasional, maupun global (Kymlicka dan Norman, 1994). Dengan demikian, konsep itu telah berkembang melebihi batas-batas negara bangsa yang selama ini dianggap sebagai pengampu kewarganegaraan, dan menempatkan peran penting aktor-aktor non-negara dalam ‘peng-aku-an’ (claiming), monitoring dan penguatan hak-hak itu sendiri (Nyamu-Musembi 2002). Berbagai sumber yang dirujuk itu menunjukkan adanya kebutuhan untuk memahami bagaimana hak dan kewargaan dibentuk oleh konteks sosial, politik dan budaya yang berbeda. Demikian pula, konsepsi hak dan kewargaan yang universal itu telah dijembatani oleh relasi-relasi kekuasaan, hirarki sosial, dan seringkali kompetisi identitas, yang secara sekaligus dapat melibatkan sebagian suara dan identitas dan menyingkirkan yang lain. Pada saat yang sama, perlawanan-perlawanan yang dilakukan warga negara di berbagai pelosok dunia untuk mengartikulasikan dan menyatakan persepsi mereka dan mempraktekkan kewarganegaraan dalam kehidupan mereka sehari-hari, meski telah dilindungi hukum dan mekanisme yang disediakan negara tidak akan cukup tanpa kehadiran aktor-aktor non-negara itu sendiri.
SIMPULAN Wacana kewarganegaraan pascareformasi telah mengalami dekonstruksi sebagai akibat dari berkembangnya gagasan komunitas politik dalam konteks demokratisasi. Seiring meluasnya kebebasan dan persamaan, wacana kewarganegaraan diartikulasikan dengan berbeda, sebagai bagian dari isu kesetaraan gender, kepedulian sosial, kebangkitan lokalitas, bahkan pengakuan hak asasi manusia. Kewarganegaraan tidak lagi sekedar menyangkut suatu identitas berhadapan dengan identitas lain, tetapi banyak identitas yang berupaya membentuk kesatuan kepentingan tanpa menghilangkan perbedaan di antaranya. Ada sejumlah poin simpulan penting yang perlu digarisbawahi. Masih terdapat dominasi dari klaimklaim civic republikan dan liberal dalam wacana kewarganegaraan di Indonesia saat ini, seperti tergambar dari masih kuatnya kaitan antara kewarganegaraan dengan peran negara sebagai institusi formal yang memberi pengakuan atas identitas kewarganegaraan. Meskipun demikian, harus diakui bahwa mulai muncul pandangan-pandangan kritis terhadap praktik-praktik formal tersebut, yang muncul sebagai konsekuensi dari menguatnya civil society dan aktor-aktor supra negara. Klaim-klaim yang dibangun
Seminar Nasional Politik dan Kebudayaan Departemen Antropologi, FISIP, Universitas Padjadjaran 24-25 Oktober 2016
di atas kerangka berpikir feminis, kultural, dan rekonstruksionis turut berperan melahirkan bentukbentuk baru agensi civic, identitas, dan keanggotaan dalam konsep kewarganegaraan. Bahkan, klaim transnasionalis juga turut memperkaya wacana kewarganegaraan dengan menyilangkan konsep geografis negara dengan kosmopolitanisme dan transnasionalisme, yang membentuk makna dan praktik-praktik baru dalam berwarga negara. Wacana kritis dan kosmopolitan melahirkan pertanyaan-pertanyaan baru tentang identitas (siapa sesungguhnya warga negara itu?), keanggotaan (siapa yang menjadi anggota suatu negara, bagaimana dengan batas-batas negara dalam konteks transnasional), dan kapasitas agensi (bagaimana seharusnya warga negara yang baik berperilaku). Pertanyaan-pertanyaan ini diperdebatkan di seluruh dunia oleh para ilmuwan dan aktivis, para pemikir politik, dan organisasi-organisasi supra negara lainnya. Meskipun demikian, wacana kritis ini masih sebatas perdebatan atau isu-isu semata, belum mewarnai kebijakan-kebijakan formal yang mengatur tentang kewarganegaraan. Implikasinya, secara formal praktik pengaturan kewarganegaraan masih merujuk pada pola-pola konvensional, padahal dalam perdebatan sehari-hari, isu kewarganegaraan sudah sangat beragam dan meluas seperti yang ditunjukkan oleh wacana kritis. Temuan tersebut menegaskan perlunya membuka ruang bagi masuknya pendekatan-pendekatan baru ke dalam kebijakan-kebijakan pengelolaan kewarganegaraan. Kebijakan-kebijakan ini dalam lingkup yang komprehensif, mencakup mulai dari kurikulum pendidikan kewarganegaraan hingga pada berbagai ragam pengaturan praktik kewarganegaraan kekinian, misalnya dalam hal pengelolaan diaspora atau ragam identitas etnis-relijius yang hingga kini masih terabaikan.
---***--DAFTAR PUSTAKA
(Paper) Abowitz, K.K., dan J. Harnish. 2006. Contemporary Discourse of Citizenship. Review of Educational Research, Vol. 76 (4): 653690. Kymlicka, W., dan W. Norman. 1994. Return of the Citizen: A Survey of Recent Work on Citizenship Theory. Ethics, 104, 352–381. McLaughlin, T. H. 1992. Citizenship, diversity and education: A philosophical perspective. Journal of Moral Education, 21(3), 235–250. [1]
Anderson, B. R. O’G. 1983. Imagined Communities: Reflection on the Origin and Spread of Nationalism. London: Verso.
160
Benhabib, S. 1992. Situating the Self: Gender, Community and Postmodernism in Contemporary Ethics. New York: Routledge. Bosniak, L. 2001. Dalam T. A. Aleinikoff dan D. Klusmeyer (Eds)., Citizenship Today: Global Perspectives and Practices (hal. 237–252). Washington, DC: Carnegie Endowment for International Peace Cohen, J. 1996. Dalam S. Benhabib (Ed.), Democracy and difference: Contesting the boundaries of the political (hal. 95–119). Princeton: Princeton University Press. Enslin, P. 2000. Dalam M. Leicester, C. Modgil, dan S. Modgil (Eds.), Politics, Education and Citizenship (hal. 149–150). New York: Falmer Press. Etzioni, A. 1993. The spirit of Community: Rights, Responsibilities, and the Communitarian Agenda. New York: Crown Publishing. Foucault, M. 1972. Archeology of Knowledge. New York: Harper Colophon Books. Galston, W. A. 1991. Liberal purposes; Goods, virtues and duties in the liberal state. Cambridge, UK: Cambridge University Press. Gutmann, A. 2000. Dalam L. M. McDonnell, P. M. Timpane, dan R. Benjamin (Eds.), Rediscovering the Democratic Purposes of Education (hal. 73–90). Lawrence: University Press of Kansas. Gutmann, A., dan Thompson, D. 1996. Democracy and Disagreement. Cambridge: Harvard University Press. Habermas, J. 1996. Dalam S. Benhabib (Ed.), Democracy and difference: Contesting the boundaries of the political (hal. 21– 30). Princeton: Princeton University Press. Hefner, R.W. 2007. Politik Multikulturalisme: Menggugat Realitas Kebangsaan. Yogyakarta: Kanisius. Hutington, S. P. 1968. Political Order in Changing Societies. London: Yale University Press. Johnstone, B. 2002. Discourse Analysis. Malden, MA: Blackwell Publishers. Katz, M. B. 2001. The price of Citizenship: Redefining the American Welfare State. New York: Metropolitan Books/Henry Holt. Kymlicka, W. 1999. Dalam M. Halstead dan T. H. McLaughlin (Eds.), Education in Morality (hal. 79–101). New York: Routledge _____. 2003. Kewargaan Multikultural. Jakarta: LP3ES. Mouffe, C. 1992. Dalam J. Butler dan J.W. Scott (Eds.), Feminists theorize the political (hal. 369–384). New York: Routledge. Noddings, N. 1992. The challenge to care in schools. New York: Teachers College Press. Nyamu-Musembi, C. 2002. Dalam Gaventa, J. Introduction; Exploring Citizenship, Participation and Accountability, IDS Bulletin Vol. 33, No. 2, 2002. Brighton: Institute of Development Studies, University of Sussex. Rawls, J. 1993. Political Liberalism. New York: Columbia University Press. Ravitch, D., dan Viteritti, J. P. (Eds.). 2001. Making Good Citizens: Education and Civil Society. New Haven, CT: Yale University Press. Scott, D., dan H. Lawson. 2001. Dalam A. Ross (Ed.), Learning for a Democratic Europe (hal. 349–356). London: Children’s Identity and Citizenship in Europe. Shafir, G. 1998. Dalam G. Shafir (Ed.), The citizenship debates: A reader (hal. 1–28). Minneapolis: University of Minnesota Press. Wilson, W. J. 1994. Dalam B. V. Steenbergen (Ed.), The condition of citizenship (hal. 49–65). Thousand Oaks, CA: Sage Publications.