Grand Design Reformasi PNS
Lembaga Administrasi Negara Jakarta 2010
Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Grand Design Reformasi PNS Oleh : Agustinus Sulistyo, et al. Cet. 1 - Jakarta : Pusat KKSDA-LAN, 2010 xix, 163 hlm.; 21 x 16 cm ISBN 978-602-8463-06-5
Grand Design Reformasi PNS
Diterbitkan oleh : Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur Lembaga Administrasi Negara Jl. Veteran Nomor 10, Jakarta Pusat Telp. (021) 3868201-05 ext. 151, 152 Fax. (021) 3866857, 3865102
Cetakan I, Oktober 2010 Desain sampul : Agustinus Sulistyo Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari Penerbit
2
Grand Design Reformasi PNS
Tim Penyusun :
Sri Hadiati, WK., SH., MA Dra. Emma Rahmawiati, MSi. Akhyar Effendi, SE., MSi. Dra. Puji Hastuti, MPd. Agustinus Sulistyo Tri P., SE., MSi. Trimo Santoso, S.Sos., MAP Drs. Hari Budimawan Hartoto, SIP., MSi. Ratri Istania, SIP., MA Budi Sudarso, S.Sos. Syamsuarman, S.Sos., MSi. Rusmiyati, AMd. Dede Sopari, SAP Nuryati
Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur Lembaga Administrasi Negara Jakarta 2010
3
Sambutan Kepala Lembaga Administrasi Negara Pemerintah melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi telah mencanangkan Grand Design dan Roadmap Reformasi Birokrasi yang bertujuan membentuk birokrasi yang profesional dengan karakter: adaptif, berintegritas, berkinerja tinggi, bebas dan bersih KKN, mampu melayani publik, netral, berdedikasi dan memegang teguh nilai-nilai dasar serta kode etik aparatur negara. Salah satu sasaran yang hendak direformasi dalam Grand Design dan Roadmap Reformasi Birokrasi adalah sumber daya manusia aparatur, yaitu dengan mewujudkan sosok SDM aparatur yang berintegritas, netral, kompeten, capable, profesional, berkinerja tinggi dan sejahtera. Sejalan dengan tujuan tersebut, Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur, Lembaga Administrasi Negara pada tahun 2010 ini melakukan kajian Grand Design Reformasi PNS untuk mendukung reformasi birokrasi tersebut. Grand Design Reformasi PNS ini bertujuan untuk mengisi dan merinci reformasi SDM aparatur yang ada dalam reformasi birokrasi. Selain itu juga dilengkapi dengan roadmap yang memuat agenda-agenda prioritas sehingga sosok PNS sebagaimana diharapkan dapat diwujudkan. Semoga hasil kajian ini dapat memberikan manfaat dalam upaya pelaksanaan reformasi PNS di Indonesia. Bagi semua pihak yang membantu dalam penyusunan kajian ini diucapkan terima kasih. Jakarta, Oktober 2010 Kepala Lembaga Administrasi Negara
Asmawi Rewansyah
4
Kata Pengantar Pemerintah secara jelas menyatakan bahwa reformasi birokrasi harus dilakukan sebagai upaya untuk memperbaiki berbagai kelemahan sistem birokrasi yang bertahun-tahun berlangsung. Setelah relatif tertinggal dibandingkan reformasi di bidang politik, pemerintah Kabinet Indonesia Bersatu II menegaskan kembali komitmennya untuk melakukan perubahan di dalam sistem birokrasi pemerintahan. Setidaknya melalui penguatan peran dan fungsi Kementerian PAN dan RB. Pada tahun 2011 diharapkan semua instansi pemerintah pusat sudah melakukan program reformasi birokrasi di lingkungannya masing-masing. Salah satu program pemerintah dalam reformasi birokrasi adalah reformasi PNS yang juga telah mulai dilakukan secara internal oleh beberapa instansi pemerintah sebagai pilot project dan diakui keberhasilannya oleh publik walaupun masih banyak kekurangan yang ditemui. Kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah dalam melaksanakan reformasi PNS memaksa pemerintah untuk tidak bisa melaksanakan program tersebut secara serentak. Di tengah semangat yang tinggi untuk memperbaiki sistem birokrasi, termasuk didalamnya manajemen PNS maka menjadi sangat penting bagi pemerintah untuk memiliki sebuah konsep yang jelas, fokus dan terukur dalam rangka pelaksanaan reformasi sistem birokrasi secara keseluruhan. Lembaga Administrasi Negara sebagai salah satu instansi pemerintah yang bergelut didalam pembangunan sistem administrasi negara perlu ikut memberikan kontribusi dalam menyiapkan konsep reformasi birokrasi khususnya reformasi PNS melalui kajian Grand Design Reformasi PNS. Kajian ini diharapkan dapat melengkapi kajian-kajian sebelumnya yang telah dilakukan oleh banyak pihak, baik dari pemerintah maupun pihak lain yang peduli terhadap perbaikan sistem kepegawaian sipil Indonesia.
Jakarta, Oktober 2010 Deputi Bidang Kajian Kinerja Kelembagaan dan Sumber Daya Aparatur Sri Hadiati WK
5
Executive Summary Pelaksanaan reformasi di Indonesia yang dimulai pada tahun 1998 sudah berjalan lebih dari satu dasawarsa lebih. Sudah banyak perubahan yang terjadi termasuk dalam tata kelola penyelenggaraan pemerintahan. Demokrasi semakin berkembang, masyarakat semakin terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Praktik demokrasi terlihat dari masyarakat yang sudah diberi kesempatan secara langsung untuk memilih pemimpinnya, baik ditingkat pusat (pemilihan Presiden secara langsung) maupun ditingkat daerah (pemilu kada). Akan tetapi berbeda kondisinya dengan reformasi birokrasi, khususnya reformasi PNS. Terlihat masih banyak ketinggalan. Banyak gambaran yang diberikan oleh berbagai kalangan yang menunjukkan bahwa birokrasi atau PNS di Indonesia masih menunjukkan gambaran yang memprihatinkan. Jumlah PNS yang mencapai sebesar 4.732.472 orang (data per Mei 2010) ternyata masih menunjukkan kinerja yang lemah. Sebagaimana pernah diungkapkan oleh Meneg. PAN, Taufiq Effendi bahwa 55% dari total PNS Indonesia yang mencapai sekitar 3,6 juta orang berkinerja buruk (Kompas, 12 Januari 2007). Gambaran yang sama juga diberikan oleh Setya Budi (2007), yang menyebutkan bahwa PNS mempunyai tingkat profesionalisme yang rendah, kemampuan pelayanan yang tidak optimal, rendahnya tingkat reliability, assurance, tangibility, empathy dan responsiveness, tidak memiliki tingkat integritas sebagai pegawai pemerintah sehingga tidak mempunyai daya ikat emosional dengan instansi dan tugas-tugasnya, tingginya penyalahgunaan wewenang (KKN), tingkat kesejahteraan yang rendah dan tidak terkait dengan tingkat pendidikan, prestasi, produktivitas dan disiplin pegawai. Kondisi saat ini masih menunjukkan gambaran yang kurang lebih sama. Sebagaimana diungkapkan oleh Kepala BKN dalam Seminar Grand Design Reformasi PNS (2010). Bahwa ada beberapa masalah dalam pengelolaan PNS antara lain : mismatch yang menyebabkan sosok PNS yang diharapkan tidak sesuai dengan tuntutan kompetensi bidang tugasnya, terjadi under employement di kalangan PNS karena tidak jelasnya tugas dan kewenangan masing-masing pegawai, alokasi dan distribusi PNS yang tidak seimbang dan merata baik dari sisi kualitas maupun kuantitas, rendahnya tingkat produktivitas atau kinerja PNS, penerapan sistem reward and punishment yang tidak tegas yang berdampak tidak ada motivasi kerja, masih rendahnya tingkat kesejahteraan pegawai dan beberapa permasalahan lainnya. Mengapa kondisi itu terjadi? Kajian Grand Design Reformasi PNS menunjukkan bahwa penyelesaian masalah tersebut tidak bisa dilakukan secara parsial. Penyelesaian masalah tersebut harus dilakukan secara gradual, simultan dan komprehensif. Untuk bisa mendukung hal tersebut maka diperlukan satu grand design yang dilengkapi dengan road map-nya. Tujuan penyusunan grand design reformasi PNS adalah untuk memberikan arah kebijakan pelaksanaan reformasi PNS selama kurun waktu 2010-2025 supaya pelaksanaan reformasi PNS dapat berjalan secara efektif, efisien, terukur, konsisten, terintegrasi dan berkelanjutan. Grand design reformasi PNS memuat penyempurnaan dan pembenahan terhadap berbagai perangkat yang terkait dengan pengelolaan PNS, seperti profil atau sosok PNS yang diinginkan, key success factor yang bisa menjadi kunci sukses pendorong perubahan, arah kebijakan yang jelas, penguatan posisi kelembagaan yang terkait dengan 6
pengelolaan PNS, serta manajemen PNS yang ideal sehingga bisa mewujudkan tujuan reformasi PNS dengan baik. Sementara tujuan yang hendak dicapai dengan adanya road map adalah untuk memberikan arah dan panduan bagi pelaksanaan reformasi sistem manajemen PNS di kementerian/lembaga dan pemerintah daerah supaya efektif, efisien, terukur, konsisten, terintegrasi dan berkelanjutan sehingga tujuan yang ada dalam grand design dapat diwujudkan dengan baik. Reformasi sistem manajemen PNS paling tidak mencakup empat (4) bidang, yaitu : (1) konsolidasi struktural yang memiliki empat (4) agenda : penataan ulang kewenangan instansi pusat dan daerah yang bertanggung jawab dalam pengelolaan PNS, pembentukan KKS (Komisi Kepegawaian Sipil), penguatan netralitas PNS, dan revitalisasi unified system untuk pengelolaan PNS dalam konteks NKRI; (2) Penataan manajemen yang mempunyai sembilan (9) agenda : penyusunan rencana induk kebutuhan dan pengembangan PNS, perbaikan sistem rekrutmen dan seleksi, penyusunan sistem karier, pengembangan sistem pendidikan dan pelatihan, perumusan penilaian kinerja, penyusunan sistem penggajian, penyesuaian pola perpindahan PNS, penyusunan mekanisme dan prosedur pemberhentian, dan penyempurnaan sistem pensiun; (3) bidang pengembangan budaya dan kode etik PNS dengan tujuh (7) agenda : membangun nilai etika, budaya kerja dan kode etik PNS, penguatan penegakan hukum, pengembangan budaya kerja yang berorientasi pada kinerja dan daya saing, internalisasi nilai-nilai good governance, penerapan change management dalam proses reformasi, penerapan local wisdom dalam proses reformasi, dan pengembangan kepemimpinan aparatur yang efektif; dan (3) bidang penerapan dan pengembangan ICT (information and communication technology) dengan empat (4) agenda : pengembangan pengelolaan kepegawaian berbasis IT, pembangunan database PNS nasional, pengembangan single identity number, dan penerapan e-office. Untuk mendukung pelaksanaan reformasi sistem manajemen PNS, Tim menyarankan adanya reposisi dan penguatan instansi-instansi yang terlibat secara langsung dalam pengelolaan kepegawaian (PNS). Instansi yang terlibat dalam pengelolaan PNS adalah : Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN dan RB), Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Lembaga Administrasi Negara (LAN) serta perlunya pembentukan Komisi Kepegawaian Negara (KKN) sebagai instansi baru yang independen dan bertugas menjaga profesionalitas PNS tanpa dibebani kepentingan politis tertentu.
7
Daftar Isi
Hal. Judul Kajian
1
Sambutan
4
Kata Pengantar
5
Executive Summary
6
Daftar Isi
8
Daftar Tabel
10
Daftar Diagram
11
Bab I
Pendahuluan
12
A.
Latar Belakang Masalah
12
B.
Perumusan Masalah
15
C.
Tujuan Kajian
16
D.
Hasil yang Diharapkan
16
E.
Ruang Lingkup Kajian
16
F.
Signifikansi Kajian
16
G.
Metode Penelitian
16
Bab II
Bab III
Bab IV
Studi Pustaka dan Studi Empiris
18
A.
Konsep Reformasi PNS
18
B.
Konsep Kepegawaian di Sektor Publik
23
C.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
25
D.
Pengalaman Pelaksanaan Reformasi PNS
31
Pengelolaan PNS di Indonesia
48
A.
Sejarah Pengelolaan PNS
48
B.
Permasalahan Internal
66
C.
Permasalahan Eksternal
76
Grand Design Reformasi Sistem Manajemen PNS di Indonesia
84
A.
Tujuan Grand Design
84
B.
Profil PNS
84 8
Bab V
Bab VI
C.
Key Success Factor Reformasi PNS
89
D.
Arah Penyempurnaan Kebijakan Pengelolaan PNS
94
E.
Penguatan dan Reposisi Kelembagaan dalam Pengelolaan PNS
98
F.
Manajemen PNS yang Ideal
99
Road Map Reformasi Sistem Manajemen PNS di Indonesia
115
A.
Pendahuluan
115
B.
Tujuan
116
C.
Ruang Lingkup
116
D.
Road Map Reformasi Sistem Manajemen PNS
117
Penutup
120
A.
Kesimpulan
120
B.
Saran
121
Daftar Bacaan
122
9
Daftar Tabel
Hal. Tabel 2.1
Elemen dari Reformasi Tahap Dasar dan Reformasi Tahap Lanjut
21
Tabel 2.2
Sistem Karir dan Sistem Posisi
22
Tabel 2.3
Jenis Pekerjaan yang Dikategorikan sebagai Kepegawaian Negeri : Pengalaman dari 27 Negara-negara Anggota Uni Eropa
24
Tabel 2.4
Perbedaan antara PNS yang Dipekerjakan dibawah Undang-Undang Publik dan Pegawai yang Diatur dengan Kontrak Swasta (Kasus di Jerman)
25
Tabel 3.1
Syarat Pengangkatan dalam Golongan
56
Tabel 5.1
Road Map Reformasi Sistem Manajemen PNS
117
10
Daftar Diagram
Hal. Diagram 4.1
Mekanisme Perpindahan Pegawai atas Permintaan Sendiri antar Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota
111
Diagram 4.2
Mekanisme Perpindahan Pegawai atas Penugasan antar Daerah Kabupaten/Kota
112
Diagram 5.2
Road Map dan Agenda Reformasi Sistem Manajemen
119
PNS 2010-2025
11
Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan reformasi bukan merupakan suatu peristiwa yang baru bagi penyelenggaraan pemerintahan Indonesia. Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Orde Baru dengan mengeluarkan deregulasi dan debirokratisasi merupakan salah satu contoh penerapan reformasi yang terkait dengan pembenahan birokrasi. Namun titik kulminasi wacana reformasi yang memperoleh perhatian lebih fokus terjadi pada tahun 1998 ketika dampak krisis global melanda Indonesia. Dimana pada saat itu, semua sistem pemerintahan yang telah disusun dan diimplementasikan oleh pemerintahan Orde Baru selama lebih dari tiga dasa warsa tidak mampu mengatasi krisis global yang terjadi di Indonesia. Kepercayaan masyarakat terhadap sistem pemerintahan mulai luntur dan menginginkan adanya perubahan sistem manajemen pemerintahan yang baru. Selain itu adanya keinginan untuk bangkit menjadi salah satu negara besar yang disegani di dunia dengan sejumlah tolok ukur keberhasilan yang signifikan di aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Salah satu implementasi reformasi yang dilaksanakan adalah di bidang politik yang ditandai dengan digelarnya PEMILU yang lebih demokratis dan menghasilkan wakil-wakil rakyat (DPR dan DPRD) yang dipilih secara langsung. Reformasi politik juga ditandai dengan semakin menguatnya posisi DPR dan DPRD dalam penyelenggaraan pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah. Fungsi check and balances dan peran sebagai mitra pemerintah bisa lebih dimaksimalkan oleh anggota dewan. Hasil reformasi juga terlihat dari diselenggarakannya untuk pertama kalinya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat. Kebebasan rakyat dalam memberikan aspirasi politik lebih dihargai dan lebih didengar setelah reformasi bergulir. Selain itu, salah satu kesalahan yang terjadi pada saat pemerintahan Orde Baru adalah penerapan tata pemerintahan yang sentralistis, dengan sistem penerapan tata pemerintahan yang desentralistis. Implementasi perubahan ini ditandai dengan dikeluarkannya paket Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang lebih dikenal dengan paket Undang-Undang Otonomi Daerah. Selanjutnya pada tahun 2004 kedua undang-undang ini 12
diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004. Paket Undang-Undang ini telah memberikan wewenang yang besar kepada pemerintah daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri sehingga kemakmuran masyarakat diharapkan lebih cepat tercapai. Dampak langsung penerapan manajemen pemerintahan desentralistis adalah terjadinya sejumlah pemekaran pemerintahan daerah di Indonesia (baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota). Sampai akhir Desember 2008 telah terbentuk 215 daerah otonom baru yang terdiri dari 7 Provinsi, 173 Kabupaten dan 35 Kota. Dengan demikian total jumlahnya mencapai 524 daerah otonom yang terdiri dari 33 Provinsi, 398 Kabupaten dan 93 Kota ( www.depdagri.go.id). Semakin bertambahnya jumlah wilayah administrasi atau daerah otonom tentunya mempunyai dampak yang sangat besar menyangkut kesiapan sumber daya manusia, sarana prasarana, pembiayaan dan lain sebagainya. Tetapi yang jelas semangat pemekaran daerah tersebut adalah untuk lebih mendekatkan pelayanan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Implikasi dari penerapan manajemen pemerintahan yang desentralistis adalah kesiapan sumber daya manusia yang lebih menitikberatkan pada aspek sumber daya manusia aparatur (PNS). Secara kuantitas jumlah PNS per Mei 2010 sebesar 4.732.472 (www.bkn.go.id) sedangkan jumlah penduduk Indonesia berdasarkan Sensus 2010 diperkirakan sebesar 235 juta jiwa, sehingga perbandingan PNS dengan penduduk adalah 1 : 50. Berdasarkan data secara kuantitas tersebut, terlihat tidak ada permasalahan namun fakta yang terjadi dilapangan menunjukkan sejumlah permasalahan dalam pengelolaan PNS di Indonesia. Misalnya, masih rendahnya kinerja PNS sebagaimana pernah disebutkan oleh mantan Meneg. PAN, Taufiq Effendi. Beliau menyebutkan bahwa 55% dari total PNS Indonesia yang mencapai sekitar 3,6 juta orang berkinerja buruk (Kompas, 12 Januari 2007). Kemudian ternyata kondisi ini belum berubah, dalam seminar nasional ”Pencegahan Korupsi melalui Reformasi Birokrasi”, beliau kembali mengungkapkan sejumlah masalah yang masih melingkupi PNS, yaitu etos kerja yang rendah, kesejahteraan yang rendah serta penyebaran pegawai yang tidak merata (Kompas, 10 Desember 2007). Gambaran yang sama juga diberikan oleh Setya Budi (2007), PNS digambarkan mempunyai tingkat profesionalisme yang rendah, kemampuan pelayanan yang tidak optimal, rendahnya tingkat reliability, assurance, tangibility, empathy dan responsiveness, tidak memiliki tingkat integritas sebagai pegawai pemerintah sehingga tidak mempunyai daya ikat emosional dengan instansi dan tugas-tugasnya, tingginya penyalahgunaan wewenang (KKN), tingkat kesejahteraan yang rendah dan tidak terkait dengan tingkat pendidikan, prestasi, produktivitas dan disiplin pegawai. Begitu banyaknya permasalahan yang melingkupi PNS, maka tidak heran kalau mantan 13
Meneg. PAN, Taufiq Effendi menyebutkan bahwa reformasi birokrasi/PNS di seluruh departemen dan kementerian baru bisa terwujud pada tahun 2025 (http://web.bisnis.com/, 4 Desember 2008). Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh LAN pada tahun 2005 mengenai Manajemen PNS yang Efektif berhasil mengidentifikasi permasalahan yang ada dalam pengelolaan PNS di Indonesia. Misalnya, rendahnya profesionalisme, tingkat kesejahteraan yang belum memadai, distribusi dan komposisi yang belum ideal, penempatan dalam jabatan yang belum didasarkan pada kompetensi, penilaian kinerja yang belum objektif, kenaikan pangkat yang belum didasarkan pada prestasi kerja, budaya kerja dan ethos kerja yang masih rendah, penerapan peraturan disiplin yang tidak dilaksanakan secara konsisten serta persoalan-persoalan internal PNS lainnya. Dr. Edy Topo Ashari, Kepala BKN dalam Seminar Grand Design Reformasi PNS menyebutkan sejumlah permasalahan yang melingkupi PNS kita, yaitu : mismatch antara PNS yang ada dengan tuntutan bidang tugasnya, under employement karena belum adanya target atau kontrak kinerja PNS dalam melaksanakan tugasnya, alokasi dan distribusi PNS yang tidak seimbang terkait kualitas dan kuantitasnya, rendahnya produktivitas PNS, database yang tidak up to date, belum diterapkannya kebijakan reward and punishment, rendahnya kesejahteraan dan penghasilan PNS dan formasi yang belum berbasis kebutuhan riil. Mencermati kondisi tersebut tidak salah apabila Dr. Ismail Mohamad, Deputi Bidang Program dan Reformasi Birokrasi, Kementerian PAN dan RB menegaskan bahwa tujuan reformasi birokrasi adalah membentuk birokrasi yang profesional, dengan karakteristik : adaptif, berintegritas, berkinerja tinggi, bebas dan bersih KKN, mampu melayani publik, netral, berdedikasi, dan memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik aparatur negara”. Selain itu beliau juga menyebutkan bahwa salah satu sasaran utama yang dmasukkan dalam dokumen Arah Reformasi Birokrasi adalah sumber daya aparatur. Sosok sumber daya aparatur yang diharapkan adalah yang berintegritas, netral, kompeten, capable, profesional, berkinerja tinggi dan sejahtera (Seminar Grand Design Reformasi PNS, LAN Jakarta 29 Juli 2010). Sasaran lainnya yang harus juga dicapai adalah reformasi organisasi, tata laksana, peraturan perundangan, pengawasan, akuntabilitas, pelayanan publik dan budaya kerja aparatur. Untuk bisa mewujudkan sosok SDM aparatur yang berintegritas, netral, kompeten, capable, profesional, berkinerja tinggi dan sejahtera perlu didukung dengan reformasi pada aspek kelembagaan, ketatalaksanaan, pengawasan, akuntabilitas, pelayanan publik serta budaya kerja aparatur. Karena itu keseluruhan aspek tersebut merupakan satu kesatuan yang saling mendukung. Melihat kondisi tersebut dapat dipahami bahwa pelaksanaan Reformasi Birokrasi bukanlah merupakan pekerjaan yang mudah karena berkaitan dengan sejumlah revitalisasi, restrukturisasi 14
dan reorganisasi fungsi-fungsi pemerintahan, melibatkan jutaan pegawai, serta membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Dengan demikian reformasi birokrasi memerlukan sejumlah langkahlangkah secara bertahap, konkrit, realistis, sungguh-sungguh serta upaya yang luar biasa.
Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa reformasi birokrasi khususnya yang terkait dengan sistem manajemen SDM aparatur (PNS) menjadi fokus utama, karena pada aspek inilah banyak sekali perubahan-perubahan yang harus dilakukan. Karena citra birokrasi suatu negara sepenuhnya ditentukan oleh PNS sebagai pelaksana tugas-tugas birokrasi pemerintahan. Melihat banyaknya permasalahan yang melingkupi sosok PNS maka sepanjang belum mampu keluar dari segala permasalahan tersebut maka PNS dalam derajat tertentu akan memberi beban bagi penyelenggaraan pemerintahan. Kondisi inilah yang saat ini menjadi tantangan yang dihadapi oleh Pemerintah Indonesia. UndangUndang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian belum mampu mewujudkan sosok PNS yang profesional, sejahtera dan netral. Gagasan terhadap reformasi sistem manajemen PNS sudah sering dilontarkan dan disusun oleh banyak pakar dan institusi yang peduli terhadap PNS. Namun upaya tersebut belum sepenuhnya berhasil karena begitu banyaknya hambatan dan kendala yang bersifat sistemik, saling terkait. Untuk itu diperlukan grand design dan road map tentang reformasi PNS yang memuat semua aspek yang dibutuhkan sehubungan dengan reformasi PNS. Grand design reformasi PNS diharapkan akan menjadi desain besar dalam rangka penyelenggaraan reformasi PNS yang disertai dengan tahapan dan langkah-langkah strategis melalui road map yang akan disusun nanti. Untuk itu Lembaga Administrasi Negara melalui Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur perlu menegaskan kembali komitmennya untuk ikut berperan dalam mendorong terwujudnya reformasi birokrasi khususnya reformasi PNS di Indonesia melalui dilakukannya kajian Grand Design Reformasi PNS. Indonesia akan maju jika birokrasinya maju, jika PNS-nya profesional, netral dan sejahtera. B. Perumusan Masalah Melihat begitu kompleksnya permasalahan yang melingkupi pengelolaan PNS di Indonesia maka sangat perlu untuk menyusun grand design reformasi PNS. Kajian ini berupaya menyusun
grand design yang mampu memberikan pedoman dalam melakukan reformasi PNS sehingga PNS yang handal, profesional dan beretika dapat diwujudkan. Untuk lebih memfokuskan kajian maka permasalahan dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana grand design reformasi PNS Indonesia? 2. Bagaimana road map reformasi PNS Indonesia tahun 2010-2025? 15
C. Tujuan Kajian Tujuan kajian Grand Design Reformasi PNS adalah : 1. Menyusun grand design reformasi PNS Indonesia; 2. Menyusun road map reformasi PNS Indonesia tahun 2010-2025.
D. Hasil yang Diharapkan Hasil yang diharapkan dalam pelaksanaan kajian Grand Design Reformasi PNS adalah : 1. Tersusunnya grand design reformasi PNS Indonesia yang memuat semua aspek desain reformasi PNS yang dibutuhkan; 2. Tersusunnya road map reformasi PNS Indonesia yang berisikan peta kegiatan, tahapan dan langkah-langkah strategis dalam pelaksanaan reformasi PNS mulai dari tahun 2010-2025.
E. Ruang Lingkup Kajian Kajian Grand Design Reformasi PNS ini pada intinya akan membahas aspek-aspek yang terkait dengan grand design reformasi PNS, khususnya tahapan-tahapan dalam sistem manajemen atau pengelolaan PNS yang mencakup proses rekrutmen sampai pensiun serta mengidentifikasi peta kegiatan, tahapan dan langkah-langkah strategis dalam pelaksanaan reformasi PNS mulai dari tahun 2010-2025. F. Signifikansi Kajian
Kajian ini memiliki nilai strategis dengan pertimbangan sebagai berikut : 1. Reformasi PNS sangat terkait erat dengan upaya reformasi birokrasi secara keseluruhan yang sudah menjadi tekad pemerintahan Presiden SBY; 2. Reformasi PNS dirasakan belum dilakukan secara serius karena belum adanya arah kebijakan reformasi PNS sehingga dirasakan perlu disusun grand design reformasi PNS dengan pendekatan yang komprehensif; 3. Reformasi PNS selain memerlukan grand design sebagai arah kebijakan juga perlu dilengkapi dengan road map yang memuat : tahapan kegiatan yang harus dilakukan, jangka waktu pelaksanaannya dan peran masing-masing institusi yang terlibat dalam pelaksanaan reformasi PNS.
G. Metode Penelitian Kajian Grand Design Reformasi PNS di Indonesia bersifat deskriptif analitis dengan pendekatan kualitatif. Dengan pendekatan ini diharapkan data dan informasi yang diperoleh di 16
lapangan dapat dijelaskan dan diuraikan secara lengkap untuk memperoleh gambaran yang jelas terkait substansi kajian. Lokasi penelitian Kajian Grand Design Reformasi PNS di Indonesia ditetapkan dengan mempertimbangkan karakteristik daerah, keterwakilan menurut lokasi geografis, keberadaan narasumber yang ditemui serta pertimbangan lain yang dapat mempermudah penggalian data dan informasi. Kajian Grand Design Reformasi PNS di Indonesia mengambil lokasi di enam (6) Provinsi, yaitu Provinsi Riau, Daerah Istimewa Jogjakarta, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan Bali. Metode yang digunakan untuk pengumpulan data dalam kajian ini terdiri dari : 1. Focus Group Discussion (FGD), dilakukan untuk memperoleh kesepakatan bersama diantara narasumber yang diundang terkait satu tema kajian. Narasumber/peserta yang dipilih untuk kegiatan FGD adalah para akademisi dan birokrasi yang memahami mengenai tema-tema yang dipilih dimasing-masing provinsi. 2. Wawancara mendalam (in-depth interview), wawancara ini dilakukan untuk menggali data secara mendalam dengan narasumber (key informant) terpilih. Narasumber yang dipilih adalah para akademisi atau birokrasi yang memahami substansi kajian. Pada prinsipnya wawancara ini dilakukan untuk memperdalam substansi kajian dari sudut pandang nara sumber. 3. Kajian kepustakaan, kegiatan ini dimaksudkan untuk memperoleh data pendukung kajian melalui telaahan buku, literatur, dokumen, peraturan perundang-undangan serta sumbersumber lain yang relevan dengan kajian. Key informant dan narasumber yang akan ditemui adalah para akademisi di universitas yang ada dimasing-masing lokasi kajian dan para pejabat pemerintah provinsi yang menguasai substansi kajian. Data yang diperlukan untuk kajian ini terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer adalah data dan informasi yang berupa pernyataan para key informant dan narasumber yang disampaikan dalam proses FGD atau wawancara mendalam. Sementara data sekunder diperoleh dari proses kajian kepustakaan. Data dan informasi yang diperoleh tersebut selanjutnya dianalisis dengan pendekatan
deskriptif analisis, yaitu dengan memberikan makna secara analitis dengan mengkaji data dan informasi hasil dari FGD maupun wawancara mendalam dan teori yang dikembangkan dalam penelitian. Sedangkan data-data sekunder yang diperoleh dianalisis dan digunakan sebagai data pendukung. Dalam melakukan analisis ini diperlukan kepekaan peneliti dalam menganalisis suatu data atau informasi baik yang diperoleh dari key informant maupun hasil pengamatan serta dari sumber-sumber lain. 17
Bab II Studi Pustaka dan Studi Empiris A. Konsep Reformasi PNS Untuk mendapatkan pemahaman yang jelas tentang konsep reformasi PNS dan netralitas PNS, berikut ini disajikan ulasan terkait kedua konsep tersebut. 1. Reformasi PNS dan Modernisasi PNS Istilah reformasi maupun modernisasi adalah dua (2) istilah yang kerap kali dipertukarkan dan pada saat yang bersamaan dibedakan satu dengan lainnya. Namun apakah kedua istilah tersebut mempunyai makna yang sama? Menurut Cambridge Advanced Learner‟s Dictionary, reformasi atau reformation yang berasal dari kata kerja reform adalah perbaikan atau perkembangan (kearah yang lebih baik) khususnya perubahan perilaku seseorang atau struktur dari sesuatu (University, 2005). Sedangkan yang dimaksud dengan modernisasi yang berasal dari kata modern, yaitu pembuatan dan perancangan sesuatu dengan menggunakan pemikiran dan metode terbaru (University, 2005). Dengan demikian, dalam pengertian ini reformasi biasanya terkait dengan aspek politis selain administratif dalam arti luas karena menyangkut perubahan sosial baik politik, sosial maupun ekonomi, terutama yang menyangkut reformasi dalam bidang administrasi negara. Sedangkan modernisasi lebih kepada tindakan teknokratis stratejik. Demmke, Henökl dan Moilanen (2008) menyebutkan bahwa di semua model reformasi manajemen sumber daya manusia di sektor publik kebanyakan bersifat politis, judisial dan ekonomis (atau gabungan dari semuanya). Kombinasi dari kepentingan politik, tekanan ekonomi, dan kesan yang buruk akan pelayanan publik serta reformasi yang tergesa-gesa. Artinya, bahwa reformasi di bidang MSDM tidak selalu mengikuti model teoritis dan tidak didasarkan pada perhitungan rasional dan fakta yang sebenarnya. Seringkali hal ini terlihat sebagai keinginan untuk membuat administrasi yang baru dan lebih baik sebagai suatu inspirasi, kepercayaan dan budaya dan bukan sebagai kebutuhan nyata untuk reformasi. Misalnya keinginan untuk perubahan, fleksibilitas, kreativitas dan kinerja tidak benar-benar menggambarkan tentang dampak dan hasil.
18
Lebih lanjut Demmke, Henökl dan Moilanen (2008) menyatakan bahwa seringkali inisiasi untuk melakukan reformasi di bidang HRM tentang bagaimana meningkatkan kinerja individu, tidak benar-benar memperhatikan bahwa sesungguhnya kinerja individu tersebut telah baik. Bahkan cenderung mengabaikan kepuasan kerja dari PNS itu sendiri, kinerja PNS bahkan dikaitkan dengan kondisi penggajian yang rendah. Seperti yang dikatakan Algore (1993, dalam Demmke, Henökl dan Moilanen (2008)) bahwa permasalahan mendasar dari sektor publik adalah sistemnya dan bukan PNS-nya. OECD dalam kajiannya di tahun 2008 menyebutkan bahwa modernisasi manajemen sumber daya merupakan produk utama dari setengah abad yang lalu, yang terkait dengan makalah seorang profesor dari MIT, Douglas McGreggor dalam “The Human Side of the Enterprise”. Ide utamanya adalah orang akan bekerja lebih baik dan berkontribusi jika dimotivasi, dibandingkan jika hanya diperintah. Jin Park (2010), seorang profesor dari KDI School, Seoul, Korea Selatan dalam tulisannya Public Sector Reform menyebutkan bahwa tujuan pelaksanaan reformasi di sektor publik khususnya di Korea Selatan adalah to achieve a small and efficient, but better-servicing, government. Target pertama adalah untuk melakukan downsizing birokrasi terkait dengan anggaran, pegawai dan fungsinya. Target kedua adalah meningkatkan kemampuan pegawainya dan kemampuan formulasi kebijakan yang efektif. Target ketiga adalah meningkatkan pelayanan dan kebijakan masyarakat. Dari tulisan tersebut dapat disimpulkan bahwa langkah pertama dalam reformasi birokrasi di sektor publik adalah melakukan perubahan struktur birokrasinya. Terkait dengan reformasi PNS, Manning dan Parison (2003) menyebutkan bahwa ada empat (4) area perencanaan reformasi kelembagaan sektor publik dan kebijakan publik, yaitu perencanaan pembiayaan publik, manajemen SDM dan kepegawaian negeri, struktur organisasi eksekutif, serta beban kebijakan dan peranan yang dibawakan oleh pemerintah. Mengenai reformasi manajemen SDM dan kepegawaian negeri, Manning dan Parison (2003) menyebutkan reformasi ini meliputi karir PNS, penentuan batas aktivitas yang dapat dilakukan oleh pribadi seorang PNS, insentif bagi kegiatan dan penentuan tentang bagaimana seorang PNS direkrut. Reformasi, khususnya di sektor publik termasuk didalamnya reformasi Manajemen PNS dilakukan melalui dua (2) tahap, yaitu reformasi dasar (basic reform) dan reformasi tahap lanjut (advanced reforms), seperti yang disebutkan oleh Manning dan Parison (2003). Tahapan reformasi dasar bermaksud untuk mencapai atau memperkuat disiplin sektor publik, sedangkan reformasi tahap lanjut menyangkut pemantapan perilaku disiplin dari PNS dan budaya organisasi yang kuat.
19
Reformasi PNS tahap dasar meliputi meningkatkan keberlangsungan kerja, memperkuat perlindungan terhadap pengaruh politis, membuat aturan hukum bagi CPNS dengan pengaturan umum tentang syarat dan waktu. Reformasi ini berakibat pada insentif bagi PNS termasuk didalamnya standardisasi bagi pengajuan promosi dan penghargaan, mendorong karir jangka panjang dalam kepegawaian negeri, membentuk sistem PNS tertutup (Manning dan Parison, 2003). Reformasi PNS tahap lanjut meliputi keadaan yang merupakan kebalikan daripada kegiatan yang dilakukan pada reformasi tahap awal. Misalnya didalam manajemen karir, pengurangan masa kerja (tenure) dan membuat syarat dan pengaturan waktu yang mendekati dengan pengaturan yang terdapat pada sektor swasta. Kemudian juga, pemisahan dan diversifikasi dalam penggajian juga dilakukan, selain itu target kinerja juga semakin ditingkatkan yang mendorong insentif bagi individu meskipun penerapan tunjangan kinerja mengundang pro dan kontra dalam penerapannya. Selain itu, juga dilakukan rekrutmen secara terbuka untuk semua posisi dan jabatan PNS (Manning dan Parison, 2003).
20
Tabel 2.1 Elemen dari Reformasi Tahap Dasar dan Reformasi Tahap Lanjut
Manajemen Karir
Kesatuan PNS Reformasi Manajemen PNS Insentif individu
Keterbukaan
Reformasi tahap dasar dimaksudkan untuk mencapai atau memperkuat disiplin sektor publik Memperkuat keberlangsungan kerja dan perlindungan thd intervensi politik. Menciptakan pengaturan umum bagi CPNS dengan syarat dan waktu tertentu. Mekanisme pengajuan standardisasi promosi dan penghargaan. Mendukung pengembangan karir dengan sistem tertutup.
Reformasi tahap lanjut
Pengurangan masa kerja (tenure).
Pemisahan dan diversifikasi sistem penggajian.
Target kinerja tahunan. Perubahan menuju position
based system (sistem manajemen PNS terbuka).
Sumber: Manning dan Parison (2003)
Dengan demikian, reformasi manajemen PNS meliputi dua tahap, yaitu : tahap awal atas dasar yang lebih ditujukan untuk memperkuat disiplin PNS dan kestabilan sistem PNS. Dan tahap lanjut yang lebih kepada perubahan yang mendekati sistem manajemen SDM yang dilakukan oleh sektor swasta. 2. Sistem Karir vs Sistem Posisi Reformasi dan modernisasi PNS dan manajemen SDM pada umum masih berkutat pada pertanyaan tentang perlukah merubah sistem manajemen SDM dari sistem tertutup menuju terbuka atau kebalikannya. 21
Tabel 2.2 Sistem Karir dan Sistem Posisi
I. Persyaratan untuk masuk sebagai PNS
Sistem Karir
Sistem Posisi
1. Rekrutmen hanya untuk mengisi posisi awal sebagai PNS;
1. Rekrutmen untuk posisi manajemen tengah; 2. Tidak dibutuhkan jenjang pendidikan ttt, tapi keahlian khusus utk mengisi suatu jabatan; 3. Tidak diperlukan diklat atau masa percobaan diawal karir; 4. Tidak ada sistem promosi; 5. Berdasarkan kontrak seperti pada sektor swasta;
2. Jenjang pendidikan khusus untuk mengisi posisi terntentu; 3. Diklat dan masa percobaan pada tahap awal karir;
II. Pengembangan karir III. Kepegawaian
IV. Sistem Remunerasi
V. Sistem Pensiun
VI. Kebijakan ketenaga kerjaan
4. Sistem promosi; 5. Pekerjaan seumur hidup; 6. Berdasarkan skema yang ditetapkan undang-undang; 7. Berdasarkan skema yang ditetapkan undang-undang; 8. Kebijakan khusus yang mengatur tentang partisipasi dalam organisasi atau serikat pekerja yang terkait dengan pembuatan kebijakan tentang kondisi kerja PNS;
Sumber : Auer, Demmke & Polet, 1996
22
6. Persetujuan kolektif atau bersifat individual 7. Persetujuan kolektif; 8. Kondisi kerja PNS dibentuk berdasarkan negosiasi antara otoritas PNS dengan serikat pekerja PNS dalam suatu kesepakatan kolektif. Status keikutsertaan dalam serikat pekerja sama dengan yang ada di sektor swasta;
OECD (2005) dalam Demmke, Hammerschmid dan Meyer (2007) membuat karakteristik dari kedua sistem tersebut sebagai berikut : 1. Sistem karir, dengan ciri dengan jenjang karir PNS yang panjang, kemudian kekhususan dalam rekrutmen, penekanan yang kuat pada pengembangan karir yang didasarkan pada senioritas dan perbedaan yang kontras antara kepegawaian dalam sektor publik dan sektor swasta; 2. Sistem posisi, dengan ciri dengan fokus kepada seleksi untuk mengisi jabatan pada tiap posisi, akses yang lebih terbuka dan tingginya mobilitas antara pegawai di sektor publik dengan swasta. B. Konsep Kepegawaian di Sektor Publik Istilah kepegawaian dalam sektor publik sangat beragam baik dari definisi maupun komposisi dan jenisnya. Kepegawaian di sektor publik meliputi pegawai negeri sipil, militer, kepolisian, diplomat, guru, profesor pada universitas, pegawai pada badan usaha milik negara, pegawai pada badan usaha milik daerah dan lain sebagainya. Selain itu statusnya pun beragam, dari pegawai tetap, pegawai kontrak langsung kepada pihak pertama dalam hal ini institusi publik dan pegawai outsourching melalui pihak ketiga yang terlibat kontrak dengan pihak pertama (institusi publik). Namun ternyata, definisi dan kategori tentang kepegawaian di sektor publik sangat beragam, namun ada persamaan dan perbedaan diantaranya. Untuk memudahkan perbedaan, kepegawaian sektor publik dibagi atas kepegawaian negeri (civil service) dan kepegawaian publik (public employee). Secara traditional perbedaan antara PNS dengan pegawai sektor publik lainnya dapat dilihat dari prosedur rekrutmen, pengembangan karir, sistem penggajian, kemanfaatan jaminan sosial. Dengan berdasarkan pada kriteria-kriteria tersebut, maka secara tradisional, perbedaannya jelas antara satu dengan lainnya (OECD, 2008). Untuk dapat melihat dan membedakan antara PNS dengan pegawai sektor publik serta pegawai lainnya, Bank Dunia telah membuat beberapa kriteria (dalam Demmke dan Moilanen, 2010), yaitu: 1. PNS ditunjuk dengan keputusan dari otorisasi institusi publik yang berdasarkan pada hukum tentang PNS. Keputusan yang dibuat oleh institusi negara itu harus didasarkan dengan ketentuan dalam memperkerjakan PNS; 2. Sekali diangkat, maka seorang PNS akan sulit untuk diberhentikan (jaminan keamanan pekerjaan atau keberlangsungan pekerjaan yang tinggi); 3. Banyak pembatasan yang dikenakan kepada PNS dibandingkan dengan pegawai lainnya terkait dengan aktivitas yang dilakukannya; 23
4. Status PNS biasanya berada dalam lingkup PNS pusat atau nasional atau PNS daerah (terkait dengan wilayah kerja seorang PNS, apakah PNS pusat atau daerah). Demmke dan Moilanen (2010) mengatakan bahwa di semua negara anggota Uni Eropa, PNS dipekerjakan berdasarkan pada undang-undang tentang PNS kecuali untuk Republik Ceska, Swedia dan Inggris. Di ketiga negara ini tidak mempunyai undangundang yang secara khusus mengatur tentang PNS. PNS di Swedia berstatus bukan sebagai PNS tetapi sebagai pegawai sektor publik, sehingga diatur dengan undang-undang sektor publik. Sedangkan di Republik Ceska tidak ada pegawai publik yang dikategorikan sebagai „PNS‟ tetapi hanya sebagai pegawai sektor publik dan pegawai publik yang bekerja pada pemerintahan daerah (Demmke dan Moilanen, 2010). Tabel di bawah ini akan menggambarkan dengan lebih jelas jenis pekerjaan apa saja yang masuk dalam kategori “PNS dan bukan PNS”: Tabel 2.3 Jenis Pekerjaan yang Dikategorikan sebagai Kepegawaian Negeri: Pengalaman dari 27 Negara-negara Anggota Uni Eropa (Frekuensi dalam tanda kurung) Sektor
Non
Kepegawaian
Kepegawaian
negeri Pusat
Negeri Khusus
Kepegawaian Negeri
Total
100 (27)
0 (0)
0 (0)
100 (27)
85 (22)
0 (0)
15 (4)
100 (27)
Fungsi diplomatik
59 (16)
41 (11)
0 (0)
100 (27)
Fungsi yudisial
48 (13)
33 (9)
19 (5)
100 (27)
Kepolisian
41 (11)
44 (12)
15 (4)
100 (27)
Militer
37 (10)
37 (10)
26 (7)
100 (27)
Pendidikan
19 (5)
30 (8)
52 (14)
100 (27)
Universitas
19 (5)
26 (7)
56 (16)
100 (27)
Rumah Sakit
19 (5)
26 (7)
56 (15)
100 (27)
Administrasi (kepegawaian) PNS Pemerintah Pusat Lembagalembaga pemerintahan
Sumber : Demmke & Moilanen, 2010
24
Tabel 2.4 Perbedaan Antara PNS yang diperkerjakan dibawah Undang-Undang Publik dan Pegawai yang diatur dengan Kontrak Swasta (Kasus di Jerman) PNS Undang-undang publik (Undang-undang PNS) Dimasukan dalam Lembar Negara (Ernnung
durch Hoenitsakt)
Pegawai Publik Lainnya Hukum Perdata (Privat) Undang-undang tenaga kerja umum
Regulasi melalui undang-undang
Regulasi melalui kontrak
Keharusan untuk memberikan pelayan („Obligation to care‟ Principle / Alimentationsprinzip)
Prinsip saling memberikan keuntungan (Mutual Exchange Principle / Gegenleistungsprinzip)
Tidak mempuyai hak untuk melakukan mogok kerja
Hak untuk melakukan mogok kerja
Loyalitas dan netralitas
Tidak ada ketentuan khusus
Pekerjaan seumur hidup
Berdasarkan kontrak
Sistem karir
Sistem Posisi
Skema pensiun khusus
Skema pensiun umum
Sumber : Auer, Demmke & Polet, 1996
C. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) / Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Berdasarkan kondisi bangsa Indonesia saat ini, tantangan yang dihadapi dalam 20 tahunan mendatang dengan memperhitungkan modal dasar yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, dan amanat pembangunan yang tercantum dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka Visi Pembangunan Nasional tahun 2005-2025 adalah : Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur. Dengan penjelasan sebagai berikut : (1) Mandiri, bangsa mandiri adalah bangsa yang mampu mewujudkan kehidupan sejajar dan sederajat dengan bangsa lain yang telah maju dengan mengandalkan pada kemampuan dan kekuatan sendiri; (2) Maju, suatu bangsa dikatakan makin maju apabila sumber daya manusianya memiliki kepribadian bangsa, berakhlak mulia, dan berkualitas pendidikan yang tinggi, (3) Adil, sedangkan bangsa adil berarti tidak ada diskriminasi dalam bentuk apapun, baik antar individu, gender, maupun wilayah, (4) Makmur, kemudian
25
bangsa yang makmur adalah bangsa yang sudah terpenuhi seluruh kebutuhan hidupnya, sehingga dapat memberikan makna dan arti penting bagi bangsa-bangsa lain di dunia. Untuk mewujudkan visi tersebut ada delapan (8) Misi Pembangunan Nasional adalah sebagai berikut : 1. Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila, adalah memperkuat jati diri dan karakter bangsa melalui pendidikan yang bertujuan membentuk manusia yang bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, mematuhi aturan hukum, memelihara kerukunan internal dan antar umat beragama, melaksanakan interaksi antarbudaya, mengembangkan modal sosial, menerapkan nilai-nilai luhur budaya bangsa, dan memiliki kebanggaan sebagai bangsa Indonesia dalam rangka memantapkan landasan spiritual, moral dan etika pembangunan bangsa. 2. Mewujudkan bangsa yang berdaya-saing adalah mengedepankan pembangunan sumber daya manusia berkualitas dan berdaya saing; meningkatkan penguasaan dan pemanfaatan iptek melalui penelitian; pengembangan dan penerapan menuju inovasi secara berkelanjutan; membangun infrastruktur yang maju serta reformasi di bidang hukum dan aparatur negara; dan memperkuat perekonomian domestik berbasis keunggulan setiap wilayah menuju keunggulan kompetitif dengan membangun keterkaitan sistem produksi, distribusi, dan pelayanan termasuk pelayanan jasa dalam negeri. 3. Mewujudkan masyarakat demokratis berlandaskan hukum adalah memantapkan kelembagaan demokrasi yang lebih kokoh; memperkuat peran masyarakat sipil; memperkuat kualitas desentralisasi dan otonomi daerah; menjamin pengembangan media dan kebebasan media dalam mengomunikasikan kepentingan masyarakat; dan melakukan pembenahan struktur hukum dan meningkatkan budaya hukum dan menegakkan hukum secara adil, konsekuen, tidak diskriminatif, dan memihak rakyat kecil. 4. Mewujudkan Indonesia aman, damai dan bersatu adalah membangun kekuatan TNI hingga melampaui kekuatan esensial minimum serta disegani di kawasan regional dan internasional; memantapkan kemampuan dan meningkatkan profesionalisme Polri agar mampu melindungi dan mengayomi masyarakat; mencegah tindak kejahatan dan menuntaskan tindakan kriminalitas; membangun kapabilitas lembaga intelijen dan kontra-intelijen negara dalam penciptaan keamanan nasional; serta meningkatkan kesiapan komponen cadangan, komponen pendukung pertahanan dan kontribusi industri pertahanan nasional dalam sistem pertahanan semesta. 5. Mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan adalah meningkatkan pembangunan daerah; mengurangi kesenjangan sosial secara menyeluruh, keberpihakan kepada masyarakat, kelompok dan wilayah/daerah yang masih lemah; menanggulangi kemiskinan dan pengangguran secara drastis; menyediakan akses yang sama bagi masyarakat terhadap berbagai pelayanan sosial serta sarana dan prasarana ekonomi; serta menghilangkan diskriminasi dalam berbagai aspek termasuk gender. 26
6. Mewujudkan Indonesia asri dan lestari adalah memperbaiki pengelolaan pelaksanaan pembangunan yang dapat menjaga keseimbangan antara pemanfaaatan, keberlanjutan, keberadaan dan kegunaan sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan tetap menjaga fungsi, daya dukung, dan kenyamanan dalam kehidupan pada masa kini dan masa depan, melalui pemanfaatan ruang yang serasi antara penggunaan untuk pemukiman, kegiatan sosial ekonomi, dan upaya konservasi; meningkatkan pemanfaatan ekonomi sumber daya alam dan lingkungan yang berkesinambungan; memperbaiki pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk mendukung kualitas kehidupan; memberikan keindahan dan kenyamanan kehidupan; serta meningkatkan pemeliharaan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati sebagai modal dasar pembangunan. 7. Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional adalah menumbuhkan wawasan bahari bagi masyarakat dan pemerintah agar pembangunan Indonesia berorientasi kelautan; meningkatkan kapasitas sumber daya manusia yang berwawasan kelautan melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan; mengelola wilayah laut nasional untuk mempertahankan kedaulatan dan kemakmuran; dan membangun ekonomi kelautan secara terpadu dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber kekayaan laut secara berkelanjutan. 8. Mewujudkan Indonesia berperan penting dalam pergaulan dunia internasional adalah memantapkan diplomasi Indonesia dalam rangka memperjuangkan kepentingan nasional; melanjutkan komitmen Indonesia terhadap pembentukan identitas dan pemantapan integrasi internasional dan regional; dan mendorong kerja sama internasional, regional dan bilateral antar masyarakat, antar kelompok, serta antarlembaga di berbagai bidang. Strategi untuk melaksanakan Visi dan Misi tersebut dijabarkan secara bertahap dalam periode lima tahunan atau RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah). Masing-masing tahap mempunyai skala prioritas dan strategi pembangunan yang merupakan kesinambungan dari skala prioritas dan strategi pembangunan pada periode-periode sebelumnya. Tahapan skala prioritas utama dan strategi RPJM secara ringkas adalah sebagai berikut : 1. RPJM ke-1 (2005–2009) diarahkan untuk menata kembali dan membangun Indonesia di segala bidang yang ditujukan untuk menciptakan Indonesia yang aman dan damai, yang adil dan demokratis, dan yang tingkat kesejahteraan rakyatnya meningkat. 2. RPJM ke-2 (2010–2014) ditujukan untuk lebih memantapkan penataan kembali Indonesia di segala bidang dengan menekankan pada upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia termasuk pengembangan kemampuan iptek serta penguatan daya saing perekonomian. 3. RPJM ke-3 (2015–2019) ditujukan untuk lebih memantapkan pembangunan secara menyeluruh di berbagai bidang dengan menekankan pencapaian daya saing kompetitif perekonomian berlandaskan keunggulan sumber daya alam dan sumber daya manusia berkualitas serta kemampuan iptek yang terus meningkat.
27
4. RPJM ke-4 (2020–2025) ditujukan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur melalui percepatan pembangunan di berbagai bidang dengan menekankan terbangunnya struktur perekonomian yang kokoh berlandaskan keunggulan kompetitif di berbagai wilayah yang didukung oleh SDM berkualitas dan berdaya saing.
1. Identifikasi Permasalahan Secara umum permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan reformasi birokrasi adalah reformasi belum dilaksanakan secara sistematis dan komprehensif. Sehingga harapan untuk dapat meningkatkan kinerja dan citra birokrasi sebagaimana dituntut masyarakat belum mampu diwujudkan. Hal ini ditandai dengan masih adanya praktek-praktek penyalahgunaan kewenangan, dan masih belum sinerginya berbagai peraturan perundangan dalam rangka pelaksanaan penyelenggaraan negara. Permasalahan dan tantangan yang telah teridentifikasi sesuai dengan draft RPJMN 2010-2014 meliputi : 1. Reformasi birokrasi dan pembangunan aparatur di Indonesia belum terkonsilidasi secara baik, sebagaimana ditunjukan oleh variabilitas kinerja yang sangat tinggi antar sektor, departemen/lembaga dan daerah, 2. Pelayanan publik yang terjangkau, efisien, berkualitas, berkeadilan, dan mampu menjawab kebutuhan warga dan masyarakat masih lebih menjadi harapan daripada kenyataan, 3. Proliferasi birokrasi terjadi secara multi dimensional dan cenderung sulit dikendalikan, 4. Upaya mempercepat peningkatan profesionalisme aparatur negara masih mengalami banyak kendala terutama dengan meningkatnya politisasi birokrasi, etnosentrisme di daerah, hubungan kekerabatan, dan primordialisme dalam birokrasi pemerintah, 5. Perbaikan sistem akuntabilitas birokrasi dan aparaturnya masih mengalami banyak kendala, terkait dengan ketidakjelasan ukuran kinerja, metoda penilaian, pembagian peran antar lembaga pengawasan, dan fungsi pengawasan itu sendiri, 6. Percepatan sistem perencanaan dan penganggaran terutama di daerah yang masih perlu dilakukan secara terus menerus.
Permasalahan tersebut diatas dapat terjadi karena adanya berbagai faktor, baik yang bersifat internal maupun eksternal pemerintahan. Faktor internal seperti demokrasi, desentralisasi dan birokrasi sendiri yang berdampak kepada kompleksitas permasalahan dimaksud. Sedangkan dari faktor eksternal, adalah perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu pesat, dan pengaruh globalisasi yang masih berdampak kuat dalam mencari alternatif solusi dan kebijakan dibidang aparatur negara.
28
2. Arah Pembangunan Jangka Menengah Ke-2 (2010-2014) Berlandaskan pelaksanaan, pencapaian dan sebagai keberlanjutan RPJM ke-1, RPJM ke-2 ditujukan untuk lebih memantapkan penataan kembali Indonesia di segala bidang dengan menekankan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia termasuk pengembangan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta penguatan daya saing perekonomian. Kondisi aman dan damai di berbagai daerah Indonesia terus membaik dengan meningkatnya kemampuan dasar pertahanan dan keamanan negara yang ditandai dengan peningkatan kemampuan postur dan struktur pertahanan negara serta peningkatan kemampuan lembaga keamanan negara. Kondisi itu sejalan dengan meningkatnya kesadaran dan penegakan hukum, tercapainya konsolidasi penegakan supremasi hukum dan penegakan hak asasi manusia, serta kelanjutan penataan sistem hukum nasional. Sejalan dengan itu, kehidupan bangsa yang lebih demokratis semakin terwujud ditandai dengan membaiknya pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah serta kuatnya peran masyarakat sipil dan partai politik dalam kehidupan bangsa. Posisi penting Indonesia sebagai negara demokrasi yang besar makin meningkat dengan keberhasilan diplomasi di forum internasional dalam upaya pemeliharaan keamanan nasional, integritas wilayah dan pengamanan kekayaan sumber daya alam nasional. Selanjutnya, kualitas pelayanan publik yang lebih murah, cepat, transparan, dan akuntabel makin meningkat yang ditandai dengan terpenuhinya standar pelayanan minimum di semua tingkatan pemerintah. Dalam RPJMN ke-2 ini ditetapkan 11 Prioritas Nasional + 3 Prioritas Nasional Lainnya. Didalam 11 Prioritas Nasional RPJMN 2010-2014 tersebut yang berhubungan langsung dengan Tata Kelola Kepemerintahan yaitu pada Prioritas Nasional 1, yaitu Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola. Tata kelola pemerintahan yang baik merupakan tatanan pengelolaan manajemen yang ditandai dengan penerapan prinsip-prinsip tertentu, antara lain : keterbukaan, akuntabilitas, efektivitas dan efisiensi, supremasi hukum, keadilan, dan partisipasi. Penerapan tata kelola pemerintahan yang baik secara konsisten dan berkelanjutan oleh sebuah negara mempunyai peranan yang sangat penting bagi tercapainya sasaran pembangunan nasional, dan dapat menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi secara efektif dan efisien. Terbangunnya tata kelola pemerintahan yang baik dalam manajemen pemerintahan akan tercermin dari berkurangnya tingkat korupsi, makin banyaknya keberhasilan pembangunan di berbagai bidang, dan terbentuknya birokrasi pemerintahan yang profesional dan berkinerja tinggi. Oleh karena itu, guna mewujudkan visi pembangunan nasional berupa kesejahteraan, masyarakat, demokrasi dan keadilan, tata kelola pemerintahan yang baik dalam manajemen 29
pemerintahan harus dilaksanakan secara konsisten dan berkelanjutan. Penerapan tata kelola pemerintah yang baik tersebut harus dilakukan pada seluruh aspek manajemen penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan pengendaliannya. Penerapan tata kelola pemerintahan yang baik diharapkan terwujud dalam pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, pelayanan publik yang berkualitas, serta kapasitas dan akuntabilitas kinerja bikrokrasi yang tinggi. Ketiganya merupakan prasyarat keberhasilan pembangunan. Tanpa pemerintahan yang bersih akan sulit dicapai pengelolaan sumber daya pembangunan secara akuntabel, yang akan berakibat langsung pada menurunnya kualitas pelayanan publik, serta menghilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Melalui penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, keadilan dan kepentingan masyarakat luas dapat dijaga, martabat dan integritas bangsa di mata dunia ditingkatkan, dan akhirnya makin meningkatkan kepercayaan rakyat terhadap penyelenggara pemerintahan dan pembangunan. Pelayanan publik juga merupakan hal yang penting karena kewajiban utama pemerintah di setiap negara adalah memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakatnya agar dapat hidup lebih aman, nyaman dan sejahtera. Kewajiban ini harus dipenuhi oleh pemerintah karena rakyat, sebagai pemegang kedaulatan, telah memberikan kewenangannya kepada pemerintah untuk menguasai dan mengolah sumber daya pembangunan. Berbagai bentuk pelayanan publik diperlukan oleh masyarakat untuk memenuhi hajat hidupnya sehari-hari, untuk meningkatkan kesejahteraannya dan untuk mengekspresikan dirinya secara maksimal. Pelayanan publik yang baik juga memfasilitasi dunia usaha nasional, sehingga dapat ikut memacu peningkatan kapasitas perekonomian nasional. Hal itu semua hanya dapat dicapai dengan adanya kinerja birokrasi yang efektif. Birokrasi yang efektif bertujuan untuk memastikan tercapainya tujuan utama dari kebijakan publik dan pembangunan nasional, yaitu kesejahteraan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan. Birokrasi yang efisien bertujuan untuk mengurangi pemborosan sumber-sumber daya negara dan agar sumber-sumber daya negara dimanfaatkan secara optimal dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan nasional. Sementara itu, birokrasi yang akuntabel memastikan bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional dapat dipertanggungjawabkan dari sisi akuntabilitas kinerjanya kepada publik secara luas. Tema pada prioritas 1 ini adalah pemantapan tata kelola pemerintahan yang lebih baik melalui terobosan kinerja secara terpadu, penuh integritas, akuntabel, taat kepada hukum yang berwibawa dan transparan. Peningkatan kualitas pelayanan publik yang ditopang oleh efisiensi 30
struktur pemerintah di pusat dan di daerah, kapasitas pegawai pemerintah yang memadai dan data kependudukan yang baik. Salah satu program unggulan dalam tema prioritas ini adalah Sumber Daya Manusia, yaitu Penyempurnaan pengelolaan PNS yang meliputi sistem rekrutmen, pendidikan, penempatan, promosi dan mutasi PNS secara terpusat yang diharapkan selesai pada tahun 2011 dengan rencana aksi kegiatan meliputi : 1. Penyusunan kebijakan perencanaan SDM aparatur. Dengan sasaran : (1) tersusunnya kebijakan (PP) sistem pengadaan/rekruitmen dan seleksi PNS; (2) tersusunnya kebijakan (PP) tentang kebutuhan pegawai (formasi). 2. Pengembangan kebijakan pemantapan pengembangan SDM aparatur. Dengan sasaran : (1) tersusunnya kebijakan tentang manajemen kepegawaian (UU tentang SDM Aparatur Negara); (2) tersusunnya kebijakan tentang pola dasar karir PNS; (3) tersusunnya kebijakan tentang penilaian kinerja pegawai (SKP); (4) tersusunnya kebijakan tentang penilaian, pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dalam dan dari jabatan struktural; (5) tersusunnya kebijakan diklat jabatan PNS; (6) tersusunnya kebijakan tentang pengangkatan PNS dalam jabatan struktural. 3. Pengembangan kebijakan kesejahteraan SDM Aparatur. Dengan sasaran : (1) tersusunnya kebijakan (UU/PP) tentang remunerasi dan tunjangan kinerja Pegawai Negeri; (2) tersusunnya kebijakan sistem pensiun PNS; (3) tersusunnya kebijakan tentang sistem pengelolaan dana pensiun PNS.
D. Pengalaman Pelaksanaan Reformasi PNS Untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh dan sebagai bahan perbandingan, maka kajian ini juga menyajikan pengalaman dari beberapa negara selain pengalaman dari dalam negeri termasuk pada pemerintahan daerah dalam mengelola kepegawaiannya dan upaya refomasi dalam pengelolaan kepegawaian yang sudah mereka lakukan. Hal ini bisa diambil sebagai pelajaran mengenai kelemahan, kelebihan dan tantangan yang dapat dijadikan masukan dan perhatian dalam pembuatan grand design manajamen PNS di Indonesia. Hasil studi ini diperlukan sebagai masukan, perhatian dan pelajaran bagi Indonesia dalam penyusunan Grand Design Reformasi PNS sesuai dengan kondisi dan kebutuhan Indonesia dan bukan dimaksudkan untuk meniru secara mutlak apa yang telah dilakukan oleh negara lain tanpa adanya penyesuaian dengan kondisi asli 31
Indonesia. Data dan informasi terkait reformasi di Korea Selatan dan Thailand merupakan hasil kajian Blue Print Reformasi Birokrasi yang dilakukan oleh Lembaga Administrasi Negara pada tahun 2004. Sementara pengalaman reformasi dari Inggris dan Amerika Serikat diperoleh melalui wawancara dengan narasumber oleh Tim kajian. Pengalaman dari dalam negeri diambil dari Kementerian Keuangan dan Pemerintah Provinsi Gorontalo. Data dan informasi dari Kementerian Keuangan diperoleh dari buku Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan. Sementara data dan informasi dari Pemerintah Provinsi Gorontalo diperoleh dari buku karya Dr. Fadel Muhamad, Gubernur Gorontalo yang menceritakan pengalam beliau sebagai Gubernur Gorontalo dengan berbagai inovasi, masalah serta keberhasilannya. Dalam sub bab ini juga disajikan tentang hasil kajian terbaru (2010) mengenai kecenderungan dan hasil reformasi kepegawaian negeri di 27 negara anggota Uni Eropa yang dilakukan oleh Christoph Demmke dari European Institute of Public Administration (EIPA) dan Timo Moilanen dari Universitas Helsinki. 1. Pengalaman negara lain Beberapa negara yang dijadikan sumber referensi dalam kajian ini adalah Republik Korea Selatan, Thailand, Inggris dan Amerika Serikat. Keempat negara ini memiliki keunikan baik dalam bentuk negara seperti kerajaan untuk Thailand dan Inggris yang juga menjadi negara kesatuan, negara federal untuk Amerika Serikat dan bentuk negara kesatuan yang bukan kerajaan seperti Republik Korea Selatan. a. Pengalaman Republik Korea Selatan Republik Korea adalah salah satu contoh negara Asia yang berhasil melakukan reformasi birokrasi dengan meletakkan dasar-dasar kebijakan yang cukup kokoh. Hal ini terbukti dari relatif pesatnya perkembangan kehidupan ekonomi Korea dan berkurangnya secara signifikan tingkat korupsi di pemerintahan dalam dekade terakhir. Beberapa kebijakan dasar yang dilakukan oleh Civil Service Commission untuk mendukung reformasi pegawai negeri ini adalah : 1. Membangun Konsolidasi Otoritas Kepegawaian yang Terpusat ( Establishment of the Central Personnel Authority) Civil Service Commission mengembangkan kebijakan-kebijakan kepegawaian yang strategis, membangun sistem penilaian kinerja, merekrut bakat-bakat inti (core talents), memberikan kesempatan pendidikan dan pelatihan, dan menggali ukuran-ukuran reformatif lainnya untuk memperbaiki sistem manajemen modal manusia pemerintah. 32
Disamping itu, manajemen pegawai negeri senior akan disentralisasikan kepada Civil Service Commission, sedangkan manajemen pegawai negeri level menengah dan bawah didesentralisasikan kepada masing-masing instansi pemerintah.
Civil Service Commission juga menyediakan bimbingan dan dukungan yang terus diperbaiki bagi setiap instansi pemerintah dengan terus menerus mengkaji dan memberikan saran mengenai praktek-praktek manajemen sumber daya manusia. Selain itu, Civil Service Commission juga memonitor kemajuan reformasi pegawai negeri dan memastikan praktik-praktik kepegawaian berjalan secara adil di setiap instansi pemerintah dalam rangka melindungi sistem merit. 2. Pengelolaan Database Sumber Daya Manusia bagi Pelayanan Publik (Management of HR Database for Public Service) Pengelolaan database sumber daya manusia bagi pelayanan publik ini dibentuk untuk mengumpulkan dan menyimpan data kepegawaian dari berbagai level dan bidang keahlian yang nantinya dapat digunakan. Formulir untuk registrasi database ini dikirimkan kepada perorangan dan organisasi yang terpilih. Database ini menawarkan informasi yang akurat dan objektif tentang kecocokan calon untuk jabatan-jabatan publik kepada otoritas yang berhak mengangkat dalam pembuatan keputusan pengangkatan
political appointee, jabatan terbuka, dan kepala badan yang berafiliasi pada pemerintah. 3. Pengembangan Metode Rekrutmen yang Beragam dan Terbuka ( Development of Diverse and Open Recrutment Method) Pengembangan metode rekrutmen ini dimaksudkan untuk menarik individu-individu yang berbakat dan memiliki kompetensi dari berbagai latar belakang untuk masuk menjadi pegawai negeri sehingga diharapkan dapat memperbaiki kualitas pelayanan publik. Dalam hubungan ini ditempuh kebijakan-kebijakan : a. Memperkenalkan metode rekrutmen yang fleksibel dan beragam untuk memenuhi tuntutan perubahan dalam pelayanan umum. Metode seleksi yang selama ini digunakan secara bertahap akan diganti dengan Public Service Aptitute Test (PSAT) yang dapat menilai secara lebih baik sikap dan kecerdasan seseorang. b. Memperluas sistem jabatan terbuka. Kebijakan ini dimaksudkan untuk menarik individu yang memiliki bakat-bakat inti (core talents) dari sektor swasta ke sektor publik. c. Memajukan program pertukaran personil antar kementerian, pemerintah pusat dan daerah, serta sektor publik dan sektor swasta. Sejak 2004 mulai diperkenalkan program pertukaran Direktur Jenderal antar kementerian, dan terdapat 80 orang staf 33
d.
e.
f.
g.
dari pemerintah pusat dan daerah ikut serta dalam program ini untuk 40 jabatan serta terdapat 22 staf dari 13 kementerian yang bekerja di perusahaan-perusahaan swasta sejak Juli 2004. Memperluas program job posting. Job posting merupakan sistem rekrutmen yang kompetitif dalam pegawai negeri untuk mengisi jabatan-jabatan kosong baik di dalam mapun di luar kementerian. Jumlah kementerian yang ikut dalam job posting ini mengalami peningkatan dari 4 kementerian pada tahun 2001 menjadi 29 kementerian pada tahun 2003, sedangkan jumlah pekerjaan yang diisi mengalami peningkatan tajam dari 5 (2001) menjadi 234 (2003). Inovasi Sistem Pendidikan dan Pelatihan (Innovation of Training and Development System). Program-program pendidikan dan pelatihan didisain secara beragam, memiliki standar yang tinggi, self-motivated dan sesuai kebutuhan. Untuk itu, Civil Service Commission menetapkan kebijakan pendidikan dan pelatihan, menjalan program-program pelatihan inti, memberikan dukungan serta memonitor pelatihanpelatihan yang dilaksanakan oleh masing-masing instansi pemerintah. Masing-masing instansi pemerintah bertanggung-jawab atas disain program pelatihan dasar dan khusus untuk masing-masing stafnya. Memajukan Keterwakilan dalam Pegawai Negeri (Promotion of Representativeness within the Civil Service). Melalui kebijakan ini, Pemerintah Korea berusaha meningkatkan keterwakilan kelompok minoritas dalam pegawai negeri seperti perempuan, orang cacat, ilmuwan, insinyur dan mereka yang berasal dari luar kota Metropolitan Seoul. Kebijakan ini dapat meningkatkan nilai-nilai demokrasi dalam pegawai negeri Republik Korea. Untuk meningkatkan porsi perempuan ini, kepada perempuan diberikan ujian rekrutmen khusus dan tunjangan-tunjangan yang menarik termasuk cuti untuk merawat anak (childcare leave). Pembentukan Pegawai Negeri Senior (Inauguration of the Senior Civil Service). Keseluruhan kapasitas dan kinerja pemerintahan akan didorong oleh pemeliharaan dan penempatan pegawai negeri senior yang kompeten di seluruh jenjang pemerintahan. Pegawai negeri senior merujuk pada Sekretaris Jenderal dan Direktur Jenderal dari instansi pemerintah pusat yang memiliki keahlian manajerial dan kepemimpinan yang luar biasa. Dibandingkan sistem hierarki yang berdasarkan senioritas tradisional, pegawai negeri senior sekarang ini dikelola melalui sistem grade yang baru yang ditentukan oleh tingkat kesulitan pekerjaan. Pada masa lalu, gaji, tunjangan dan bonus pegawai negeri senior ditentukan oleh pangkat dan masa kerja, sekarang ini pegawai negeri senior dibayar sesuai dengan tingkat kesulitan pekerjaan dan kinerja. Dibentuknya pegawai negeri senior ini – mulai tahun 2006 – akan diberlakukan secara bertahap setelah dilakukan analisa jabatan (job analysis) secara cermat pada jabatan34
jabatan senior yang utama di lingkungan instansi pemerintah pusat serta berdasarkan pertimbangan pendapat publik dan revisi peraturan perundang-undangan. Penilaian (Establishment of Performance Management and Appraisal System). Secara umum kebijakan ini dimaksudkan untuk mengaitkan antara kinerja dan reward sehingga pegawai negeri menjadi lebih termotivasi untuk bekerja lebih giat. Untuk itu, langkah-langkah yang ditempuh adalah : (a) membangun manajemen kinerja dan sistem penilaian yaitu dengan menciptakan indeks pengukuran kinerja dan sistem mengikuti jejak kinerja (performance tracking system); (b) menerapkan sistem manajemen kinerja untuk grade 4 ke atas; (c) memperbaiki sistem penilaian untuk grade 5 ke bawah yaitu dengan memisahkan evaluasi bagi kinerja, kompetensi dan perilaku individual; dan (d) meningkatkan sistem penilaian yang menggunakan 360 derajat. i. Penerapan Manajemen Sumber Daya Manusia Secara Elektronik dalam Pemerintahan (Application of e-HRM in the Government). Personnel Policy Support System (PPSS) menawarkan manajemen sumber daya manusia secara elektronik bagi pegawai negeri dan setiap instansi pemerintah. Semua fungsi kepegawaian mulai dari rekrutmen sampai pensiun dapat dikelola oleh PPSS ini secara transparan dan efisien. Melalui eHRM ini, dapat tersedia statistik dan analisa data dari manajemen sumber daya manusia secara lebih terintegrasi. j. Perencanaan Perbaikan Kondisi Kerja (Planning of Improved Working Conditions). Untuk menciptakan kondisi kerja yang lebih menyenangkan, dilakukan keseimbangan level gaji antara sektor publik dan sektor swasta, mengaitkan antara tingkat kesulitan pekerjaan dengan kinerja, dan menyediakan berbagai jenis kesejahteraan. Sehubungan dengan ini, Pemerintah Korea melakukan langkahlangkah : (a) menetapkan perencanaan bagi sistem gaji yang seimbang antara sektor publik dan sektor swasta dan sistem gaji yang objektif dan rasional; (b) reorganisasi sistem gaji yang ditentukan oleh tingkat kesulitan pekerjaan dan kinerja. Untuk itu, ditetapkan : sistem pembayaran kinerja bagi Direktur Jenderal dan jabatan h. Pembentukan Manajemen Kinerja dan Sistem
yang lebih tinggi, yang sejalan dengan pembentukan pegawai negeri senior; (b) sistem gaji yang berdasarkan kinerja diperluas bagi Direktur Divisi dan jabatan-jabatan penelitian; proporsi gaji yang terkait dengan kinerja secara bertahap akan ditingkatkan; dan (c) Mengimplementasikan berbagai program tunjangan untuk mempertinggi motivasi dan semangat pegawai negeri seperti rencana tunjangan kafetaria, program subsidi waktu luang, dan program-program kesejahteraan lainnya.
35
Kesimpulan dan Analisis
Reformasi kepegawaian negeri di Republik Korea Selatan dilakukan melalui serangkaian kebijakan yang dibuat oleh CSC; Profesionalisme pengelolaan kepegawaian negeri dalam CSC mencegah politisasi PNS; Kebijakan-kebijakan tersebut dilakukan secara simultan dan sistematis; Keinginan politik yang kuat dan komitmen yang tinggi menjadi kunci keberhasilan suatu upaya reformasi; Penerapan sistem kompetisi dalam proses rekrutmen, pengisian posisi stratejik dalam suatu sistem kepegawaian negeri yang terbuka; Penerapan sentralisasi otorisasi kepegawaian negeri yang bersamaan dengan desentralisasi pengelolaan manajemen kepegawaian untuk pegawai negeri level menengah dan bawah.
b. Pengalaman Thailand Pengalaman reformasi pengelolaan manajemen PNS di Thailand dapat ditinjau dari kepegawaian negeri di Thailand dan reformasi kepegawaian negeri di Thailand. Thailand memiliki kondisi yang kurang lebih sama dengan Indonesia setelah keduanya mengalami krisis keuangan pada tahun 1998 dan kemudian bangkit untuk mengatasi krisis ekonomi dan memacu pertumbuhan ekonominya. Konflik politik dan sosial yang terjadi di Thailand juga terjadi di Indonesia, tentunya dengan latar belakang dan kompleksitas yang berbeda. Dengan demikian, pengalaman Thailand dipandang perlu untuk dijadikan bahan refleksi dan pembelajaran dalam mereformasi kepegawaian negerinya bagi Indonesia. Reformasi kepegawaian di Thailand terkait dengan program reformasi sektor publik yang dilakukan sejak tahun 1997-2001 yang dipicu oleh krisis moneter yang terjadi pada waktu tersebut. Reformasi pada sistem kepegawaian ini lebih banyak dilakukan oleh CSC (Civil Service Commission). Perubahan yang dilakukan dalam sistem administrasi kepegawaian diawali dari rekrutmen sampai dengan pegawai pensiun. Peranan pegawai negeri dan pejabat politik didefinisi ulang dan gaji akan berdasar pada performance dengan memperhatikan sektor privat. Disiplin ditegakkan namun diimbangi dengan penerapan reward and punishment. Dengan kata lain melalui pendekatan 36
sistem manajemen pegawai yang baru organisasi akan ramping dengan pegawai yang berkualitas, disiplin, akuntabel, netral dari unsur politik, dengan diberikan gaji yang kompetitif dengan sektor privat. Perubahan-perubahan strategi SDM meliputi, klasifikasi, kompensasi, rightsizing (jumlah dan kualitas), rekruitmen dan seleksi, jenis pegawai, sistem evaluasi kinerja untuk kenaikan gaji, sistem penilaian kinerja untuk promosi, pengembangan dan pelatihan. 1. Strategi SDM yang terintegrasi yang meliputi : struktur organisasi, budaya organisasi, perencanaan pegawai dan pemanfaatannya, sistem informasi SDM, pelatihan bagi pegawai, manajemen kinerja, kondisi pekerjaan, dan kualitas hidup. Semuanya terintegrasi dan menjadi acuan bagi pelaksanaan reformasi selanjutnya. 2. Perubahan klasifikasi. Saat ini klasifikasi pegawai negeri di Thailand terdiri dari 6 cluster dan 11 level. Pada cluster pertama (terendah) yaitu untuk tingkat umum terdiri dari level 1-3/4; level 2-4/5, dan level 3-5/6. sedangkan pada cluster kedua sampai keenam masingmasing adalah level 7, 8,9,10, dan 11. 3. Dalam dua tahun kedepan pengclusteran ini akan diubah menjadi 4 cluster dimana cluster general terdiri dari 4 level, cluster akademik/riset terdiri dari 5 level, cluster manajemen terdiri dari 2 level dan cluster eksekutif terdiri dari 2 level. Masing-masing mempunyai pay scale yang berbeda dan perpindahan ke cluster yang lebih tinggi berdasarkan pada komptensi, kinerja, klasifikasi, dan tingkat akademik. 4. Perubahan sistem penggajian. Struktur penggajian di Thailand berdasarkan pada kinerja pegawai dan terdiri dari gaji pokok; tunjangan jabatan (dua pertiga dari gaji pokok); tunjangan kesejahteraan yang terdiri dari perumahan, kesehatan, transport, perjalanan, dan pendidikan; dan bonus yang sudah masuk dalam anggaran. 5. Rightsizing. Kebijakan yang dipakai dalam program ini adalah ramping, pengurangan biaya personel, pengurangan jumlah pegawai (meminimalisir redundancy), peningkatan efisiensi. Sedangkan dalam pelaksanaannya adalah tidak lagi membentuk lembaga baru atau penambahan posisi yang berdampak pada biaya personel, minus growth dalam arti pensiun 80% diganti hanya 20%, memberikan insentif pada kementerian/departemen yang berhasil mengurangi jumlah posisi/jabatan, perpindahan pegawai dari pusat ke daerah, mendesain dan menerapkan program pensiun dini, fokus pada peningkatan efisiensi dan kompensasi. 6. Rekruitmen dan Seleksi. Dalam program ini telah diterapkan kebijakan baru, yaitu berdasarkan pada sistem merit dan kompetensi, pelaksanaan ujian yang kompetitif dengan 3 tahap, penggunaan e-administration untuk rekrutmen dan ujian/test, diberikan pula beasiswa untuk melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi bagi yang terpilih, sistem rekrutmen secara terbuka sehingga membuka peluang untuk mendapatkan kandidat terbaik. 37
7. Disamping status pegawai negeri maka dibuka jenis kepegawaian yang baru, yaitu pegawai kontrak dan pegawai temporer/bulanan. 8. Penilaian kinerja pegawai dibedakan menjadi dua, yaitu : a. Untuk peningkatan gaji, dilakukan oleh pimpinan, sebanyak 2 kali dalam setahun, faktor yang dinilai meliputi output dan karakteristik. Output terdiri dari kualitas, kuantitas, hasil, dan waktu yang dipergunakan. Sedangkan karakteristik meliputi kemampuan, disiplin, tanggung jawab, dan ketekunan. b. Untuk promosi, dilakukan oleh pimpinan, faktor yang dinilai : pengetahuan terkait dengan pekerjaan, kemampuan, keahlian khusus, sikap dan tingkah laku, potensialitas, pengalaman. Untuk jabatan tinggi, yaitu senior officer sampai dengan kepala divisi ada tambahan evaluator, yaitu melalui komisi departemen, sedangkan deputi direktur ke atas harus melalui komisi menteri. Disamping itu ada seleksi tertulis yang meliputi visi, research paper, dan test tertulis lainnya. 9. Pelatihan dan pengembangan. Dalam era reformasi ini diperkenalkan program fast track, yaitu program pengembangan bagi pegawai muda yang sangat potensial dan berkinerja bagus untuk ditempatkan di departemen tertentu. Program ini mendorong fleksibilitas dalam penerapan peraturan yang ada. Disamping itu dikembangkan pula program ”change agent” dimana dari seluruh pegawai negeri yang ada dipilih + 60 orang pertahun untuk dilatih dan ditempatkan di departemen berbeda untuk menjadi pemimpin dan fasilitator perubahan. Diharapkan orang-orang inilah yang nantinya menjadi motor reformasi dan mendorong kinerja serta produktivitas pemerintah.
Kesimpulan dan Analisis PNS di Thailand dibagi dalam 11 level dan pengelompokan PNS ini juga dibagi dalam 4 kelompok jenis pekerjaan; Reformasi kepegawaian negeri di Thailand merupakan bagian dari reformasi sektor publik yang telah dimulai sejak 1997 sejak terjadinya krisis moneter di Thailand; Reformasi PNS di Thailand terintegrasi dalam hal kelembagaan dengan instansi lain yang terlibat dalam reformasi sektor publik; Ada pembagian pekerjaan yang jelas antara instansi yang bertanggungjawab dalam reformasi sektor publik sebagai suatu sistem; Strategi manajemen SDM di Thailand meliputi 8 (delapan) hal, yaitu strategi yang terintegrasi, perubahan klasifikasi pekerjaan dan tingkat pekerjaan, perubahan sistem penggajian, kebijakan right sizing, rekrutmen dan seleksi, pembukaan jenis pegawai baru : kontrak dan pegawai bulanan, penilaian kinerja, kebijakan promosi, dan pelatihan dan pengembangan. 38
Hasil reformasi ini belum memperlihatkan dampaknya apakah berhasil merubahan kondisi yang kepada keadaan yang lebih baik atau tidak? Tidak ada data yang menggambarkan tentang hasil reformasi ini. c. Pengalaman Inggris Professor Gavin Drewry dari University of London dan Claire Cameron (Public
Administration Institute-Inggris) yang ditermui pada saat IAS-IASIA Conference, Bali 12-15 Juli 2010 mengatakan bahawa pengelolaan PNS di Inggris sepenuhnya dilakukan oleh Civil Service Comission (CSC). CSC menjadi superior body untuk pengelolaan PNS, sebagaimana halnya KPK dalam penanganan korupsi. CSC beranggotakan paling banyak 10 orang. Organisasi ini bersifat independen. Agar menjadi independen maka harus tegas dan jelas masa kerjanya. Anggotanya bisa berasal dari berbagai bidang (manajemen, hukum, ekonomi, dan sebagainya), berasal dari berbagai latar belakang (profesional, akademisi, birokrasi, parlemen dan sebagainya), mereka harus profesional, bersih dan paham mengenai masalah kepegawaian. CSC (Civil Service Commission) dibentuk di Inggris bertujuan supaya bisa memilih ataupun memperoleh PNS yang profesional bebas dari intervensi politis. Di Inggris juga terjadi intervensi politis karena adanya spoil system dalam pengelolaan kepegawaiannya. Faktor strong leadership memegang peran yang sangat besar dalam upaya mewujudkan birokrasi yang profesional. Reformasi kepegawaian negeri di Inggris dimulai dalam pemerintahan Perdana Menteri Margaret Thatcher. Melalui kepimpinan yang kuat, diletakkan berbagai pondasi dalam perwujudan profesionalisme PNS. Di Inggris, pegawai pemerintah disebut dengan Queen Servant (pelayan ratu). Ada dua (2) jalur untuk menjadi queen servant, yaitu melalui pemilihan (elected) dengan menjadi pejabat politis (parlemen/DPR), atau melalui jalur karier dengan menjadi PNS (civil
servant). PNS dibagi dalam tiga level, yaitu top manager (senior), middle manager dan lower manager. Di Inggris ada PNS pusat dan PNS daerah (local). Ada juga pegawai yang bekerja untuk pemerintah tetapi tidak berstatus PNS. Pengelolaan PNS pusat dan PNS daerah berbeda. Guru di Inggris bukan PNS, mereka diangkat oleh pemerintah daerah.
39
Kesimpulan dan Analisis Kepemimpinan yang kuat dan komitmen secara nasional menjadi kunci reformasi PNS di Inggris yang dimulai pada masa pemerintahan Thatcher; Praktik spoil system dalam kepegawaian di Inggris merupakan pemicu gerakan reformasi kepegawaian negeri; Status pegawai yang bekerja pada bidang pemerintahan di Inggris tidak semuanya berstatus PNS; Peranan CSC di Inggris sangat dominan di dalam pengelolaan PNS, kedudukan yang independen menjaganya tetap netral dari politisasi terhadap birokrasi; Profesional CSC juga digambarkan dengan komposisi orang yang duduk dalam CSC juga berlatar belakang profesional dari semua latar belakang profesi yang mengerti mengenai kepegawaian; Ketegasan dan kejelasan tugas CSC memperkuat peranannya dalam pengelolaan PNS di Inggris yang professional. d. Pengalaman Amerika Serikat Meredith A. Newman, Presiden American Society for Public Administration (ASPA) yang ditemui pada saat IAS-IASIA Conference di Bali, Juli 2010, mengatakan bahwa dalam pelaksanaan reformasi birokrasi di Amerika Serikat dilakukan oleh pucuk pimpinan, yaitu Presiden Obama yang didukung sepenuhnya oleh parlemen. Tindakan yang dilakukan oleh Presiden Obama adalah melakukan sejumlah implementasi kebijakan seperti penerapan
New Public Service yang merupakan pengembangan dari public service (dilakukan pada jaman John F. Kennedy). Hal ini merupakan salah satu perwujudan dari janji kampanye presiden Obama untuk melakukan reformasi di bidang Manajemen Sumber Daya Manusia ( Human Resources
Management). Untuk melaksanakan hal ini maka presiden membentuk komite Manajemen Sumber Daya Manusia merupakan organisasi non-profit. Komite ini dipimpin oleh John Barry yang merupakan pejabat setingkat menteri dan diangkat langsung oleh presiden. Komite ini melakukan kerjasama dengan sejumlah kementerian dan akademisi untuk melakukan reformasi terhadap pedelition service system. Reformasi yang akan dilakukan pada saat sekarang tentunya berbeda dengan reformasi yang sudah dilakukan 60 tahun yang lalu yang menghasilkan suatu revolusi industri yang mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
40
Terdapat enam (6) aspek yang dilakukan oleh Amerika dalam melaksanakan reformasi PNS antara lain: rekruitmen, reformasi di sistem pembayaran (paid system reform) yang didalamnya memfokuskan pembayaran berdasarkan kinerja, performance management,
training in development, manajemen hubungan pegawai (labour management relation) dan insourcing (pegawai melakukan kontrak kerja dengan pemerintah). Pelaksanaan reformasi PNS yang dilakukan oleh Amerika Serikat pada dasarnya adalah pengembangan dan perbaikan terhadap manajemen sumber daya manusia. Begitu pula pelaksanaan reformasi terhadap pelayanan publik juga sejalan dengan pengembangan ilmu administrasi publik. Pelaksanaan reformasi PNS yang akan dilakukan di Indonesia dapat juga menggabungkan sejumlah aspek yang telah dilaksanakan oleh Amerika Serikat. Usulan yang diajukan dalam pelaksanaan reformasi PNS antara lain : reformasi di sistem pembayaran gaji. Besaran pembayaran harus mengikuti sistem pasar yang berlaku di perusahaan besar. Langkah berikutnya adalah melakukan rekrutmen terhadap sejumlah pegawai muda yang profesional, energik untuk melamar menjadi PNS dengan tawaran untuk diberikan sistem pembayaran (paid system) sesuai dengan perusahaan besar. Sehingga akan menumbuhkan minat bagi anak-anak muda profesional untuk menjadi PNS. Dukungan dari politisi untuk pelaksanaan reformasi PNS sangat dibutuhkan, selain itu pula perlu diperkuat dengan peningkatan nilai, moral dan etika kepada PNS untuk mencegah terjadinya tindak Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Pegawai dalam melaksanakan pekerjaan pada saat sekarang sesuai dengan job
description yang sudah disepakatinya, namun dalam melakukan reformasi PNS tidak hanya sebatas melakukan apa yang diuraikan dalam uraian pekerjaan tetapi harus melakukan lebih dari itu, sehingga inovasi serta terobosan-terobosan baru dalam melaksanakan pekerjaannya. Aspek insiatif pegawai memiliki peran yang sangat penting dalam melaksanakan pekerjaaanya. Pimpinan harus memiliki sikap afektif (memiliki sifat empati) bukan efektif, dengan demikian pelaksanaan reformasi PNS diharapkan akan berjalan dengan penuh perasaan untuk dilaksanakan secara benar. (Pengalaman pelaksanaan reformasi di Latvia). Peningkatan kompetensi di lingkungan pendidikan sangat dibutuhkan, hal ini sangat berkaitan erat dengan akuntabilitas pelaksanaan pekerjaan dengan kompetensi yang dimiliki oleh pegawai. Harus adanya kesesuaian antara pendidikan yang dimiliki oleh PNS dengan 41
pekerjaan yang dilakukannya, sehingga akuntabilitas dari hasil pekerjaan dapat dipertanggungjawabkan Harus ditanamkan sifat pekerjaan dilakukan secara gotong royong (team work) bukan sifatnya individu, hal ini disebabkan sifat pekerjaan yang harus diselesaikan membutuhkan sejumlah keterampilan (skill) yang beragam dan tentunya dimiliki oleh sejumlah pegawai.
e. Hasil Studi Empiris tentang Reformasi PNS sebagai Studi Perbandingan Dalam makalahnya Geoffrey Shepherd (2003) menjelaskan tentang model universal dari reformasi PNS di negara-negara berkembang bahwa sistem patronase sekarang ini seharusnya bukanlah suatu kejahatan yang universal. Sistem ini dapat juga mempunyai keuntungan yang bekerja dengan kondisi tertentu. Selain itu, reformasi hanya bermanfaat ketika digerakan oleh kekuatan eksternal yang sangat berpengaruh. Namun reformasi PNS dilakukan dibawah tradisi politik dan cara yang berbeda di negara yang berbeda. Meskipun menuju ke arah yang sama dengan model kelembagaan yang mirip merit system. Lebih lanjut Shepherd mengatakan bahwa tidak ada reformasi yang dilakukan secara instant. Hukum mungkin dapat ditulis dengan cepat, tetapi perubahan dapat berlangsung selama berpuluh-puluh tahun untuk dapat menjadi kurang lebih sama diantara kelembagaan eksekutif. Kecenderungan menuju PNS yang profesional dengan merit system juga dimaksudkan untuk pengembangan PNS sebagai kelembagaan sektor publik yang berpengaruh dan kelompok kepentingannya sendiri. Shepherd juga mengatakan bahwa reformasi sistem merit, sementara waktu dipandang dapat menyelesaikan masalah, namun juga menciptakan masalah baru dalam penerapannya di negara berkembang. Seperti pertentangan antara penerapan „sistem merit„ yang menuntut managemen yang „tidak flesibel‟, dan di sisi lain prinsip manajerialis yang menuntut fleksibelitas yang tinggi, yang sering membuka upaya „politisasi‟ yang besar. Dalam seminar tentang hasil studi yang dilakukan oleh Christoph Demmke dan Timo Moilanen tentang “Civil Services in The EU of 27: Reform Outcomes and the future of the
Civil Service Outcomes of A Comparative Survey” menunjukkan hasil reformasi dan trend di semua anggota Uni Eropa yaitu terdapat proses debirokratisasi yang luas diantara negara anggota Uni Eropa dan reformasi struktur organisasi yang lebih ramping, yang meliputi :
42
1. 2. 3. 4.
Reformasi struktur organisasi karir; Desentralisasi kewenangan kepegawaian kepada manajer lini; Meningkatnya diskresi kewenangan kepada manajer lini; Flesibilitas dalam hal prosedur rekrutmen, pengembangan karir dan keberlangsungan kerja. Selain itu adanya pertautan antara kondisi kerja PNS dengan pegawai sektor publik lainnya dan dengan pegawai swasta. Kemudian juga kebijakan reformasi yang baru seperti penyederhanaan hambatan administratif. Serta adanya peningkatan mobilitas PNS, seperti: 1. Mobilitas organisasional seperti pengurangan dan mengabaikan pola karir yang kaku dan bersifat hierarkis (meningkatnya mobilitas PNS). Hal ini terjadi karena tanggungjawab dan pekerjaan dari PNS juga didelegasikan kepada pegawai sektor publik lainnya; 2. Mobilitas PNS : mendorong kesukarelaan dan keharusan mobilitas pekerjaan; 3. Mobilitas public-private : mendorong mobilitas antara sektor publik dan sektor swasta. Lebih lanjut, studi ini juga menemukan adanya perubahan dari kepegawaian negeri yang tradisional menuju kepegawaian negeri yang terbuka dan fleksibel seperti tidak adanya rekrutmen tertutup untuk semua posisi kepegawaian negeri, terbukanya peluang untuk melakukan outsourcing (waktu sementara) bagi pengisian jabatan manajer tingkat menengah dan tinggi, pengakuan pengalaman kerja di sektor swasta ke dalam penjumlahan masa kerja, pengembangan karir dan penghitungan pensiun. Kecenderungan lainnya yang ditangkap dari studi ini adalah juga tentang jaminan keberlangsungan pekerjaan bahwa pada hakikatya jaminan keberlangsungan pekerjaan PNS masih ada, kemudian masa kerja seumur hidup secara perlahan akan menghilang serta semakin banyak alasan untuk memberhentikan PNS. Selain itu, studi ini juga menemukan semakin menjauhnya praktik birokrasi tradisional, kemudian juga tidak adanya model yang seragam dalam reformasi PNS di negara-negara Uni Eropa, Negara-negara Uni Eropa menunjukkan prioritas dan jalur reformasi yang berbede-beda dan reformasi yang baru tidak serta-merta menghasilkan hasil yang lebih baik. Sebagai gambaran tentang masa depan kepegawaian negeri, studi ini menemukan bahawa makin banyak yang anti birokrasi, tetapi tidak ada model reformansi PNS yang secara universal dapat diterima. Tetapi, beberapa karakteristik birokrasi tradisional (Weberian Model) tetap ada. Namun, semakin berkurangnya PNS (dalam artian PNS tradisional), semakin berkurangnya kondisi kerja PNS yang spesifik, semakin rampingnya 43
struktur organisasi (jenjang karir semakin memudahkan PNS). Kemudian juga semakin kaburnya batasan antara PNS dengan pegawai sektor publik lainnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa negara-negara anggota Uni Eropa telah jauh meninggalkan struktur organisasi kepegawaian negeri yang hierarkis, lebih bersifat terbuka dan fleksibel. Namun tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa sistem baru lebih baik, karena reformasi menghasilkan 2 (dua) sisi, yaitu sisi positif dan sisi buruk. New public management, tidak menghasilkan hasil reformasi yang diinginkan. Beberapa karakteristik dari birokrasi tradisional masih ada. Trend saat ini menggulirkan pertanyaan tentang kebutuhan sistem kepegawaian negeri yang khusus.
2. Pengalaman dalam Negeri (Kementerian Keuangan dan Provinsi Gorontalo) Sebagai gambaran tentang upaya reformasi kepegawaian negeri yang telah dilakukan saat ini, kajian ini mengambil contoh pengalaman reformasi kepegawaian yang sudah dilakukan di Kementerian Keuangan pada instansi pemerintah pusat dan Provinsi Gorontalo pada instansi pemerintah daerah. a. Kementerian Keuangan Kementerian Keuangan merupakan salah satu instansi pusat yang menjadi pilot project reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan dituangkan dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 30/KMK.01/2007. Dalam surat keputusan tersebut dijelaskan bahwa program reformasi birokrasi meliputi 3 (tiga) bidang utama, yaitu : (1) penataan organisasi, (2) penyempurnaan proses bisnis, dan (3) peningkatan kualitas sumber daya manusia. Reformasi bidang kepegawaian atau SDM di Kementerian Keuangan dilakukan dengan melakukan perubahan mindset atau cara pandang. Pegawai atau SDM dipandang sebagai asset yang sangat penting dan memegang peranan strategis dalam pelaksanaan reformasi sehingga perlu dikelola dengan baik. Pengelolaan SDM mencakup peningkatan kualitas atau kompetensi, penempatan SDM yang kompeten pada tempat dan waktu yang sesuai, sistem pola karier yang jelas dan terukur, pengelolaan SDM berbasis kompetensi, serta keakuratan dan kecepatan penyajian informasi SDM sesuai kebutuhan. Program peningkatan manajemen SDM terdiri dari penyelenggaraan diklat berbasis kompetensi, pembangunan assessment center, penyusunan pola mutasi, peningkatan disiplin dan pengintegrasian sistem informasi pegawai (SIMPEG). 44
Diklat berbasis kompetensi dilakukan dengan tujuan supaya kompetensi yang terbentuk sesuai dengan tuntutan jabatan/pekerjaan. Tuntutan ini didahului dengan dilakukannya penyusunan standar kompetensi jabatan untuk seluruh jabatan eselon II dan sebagian eselon III yang strategis. Kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan assessment center untuk melihat profil kompetensi pejabat eselon II dan III. Apabila dilihat ada kesenjangan (gap) antara standar kompetensi yang dipersyaratkan dengan kompetensi yang dimiliki pejabat maka dilakukan upaya peningkatan kompetensi melalui diklat berbasis kompetensi. Pola mutasi juga diperbaiki untuk menjamin objektivitas dan transparansi dalam perpindahan karier pegawai. Pola mutasi terdiri dari 3 (tiga) pola, yaitu : (1) perpindahan jabatan vertikal (promosi), (2) perpindahan jabatan horisontal (perpindahan jabatan struktural dalam eselon yang sama dan/atau perpindahan jabatan fungsional dalam tingkat yang sama pada unit yang berbeda), (3) perpindahan jabatan diagonal (perpindahan jabatan struktural kedalam jabatan fungsional dan sebaliknya). Pola mutasi jabatan didasarkan pada aspek : persyaratan administrasi sesuai peraturan, unsur prestasi kerja, jangka waktu menduduki jabatan dan lokasi unit kerjanya, peringkat jabatan, hukuman/sanksi yang pernah diterima, persyaratan khusus untuk jabatan. Sementara untuk penegakan disiplin dikeluarkan berbagai kebijakan teknis oleh Menteri Keuangan. Misalnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 29/PMK.01/2007 yang mewajibkan setiap unit eselon I menyusun kode etik PNS sesuai karakteristik masing-masing unit. Kode etik ini menuntun pegawai dalam bersikap dan berperilaku, dan apabila melanggar maka akan dikenakan sanksi moral. Dengan berbagai program tersebut diharapkan kedepan SDM Kementerian Keuangan dapat menjadi sosok yang profesional dan bertanggung jawab.
Kesimpulan dan Analisis
Adanya mandat sebagai pilot project reformasi birokrasi, kepemimpinan yang kuat dari pimpinan puncak Kementerian Keuangan, mendukung pelaksanaan reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan; Pembuatan SOP (standard operating procedures) pada setiap proses bisnis yang dilakukan telah menyediakan standardisasi bagi kegiatan yang dilakukan; Reformasi kepegawaian yang dilakukan di Kementerian Keuangan merupakan bagian yang integral dari reformasi birokrasi yang dilakukan secara internal; 45
Reformasi birokrasi di bidang kepegawaian terutama yang terkait dengan perubahan mindset dari pegawai di lingkungan Kementerian Keuangan; Reformasi teknis dalam pengelolaan kepegawaian mencakup penerapan tunjangan kinerja (remunerasi), bidang pendidikan dan pelatihan serta kebijakan mutasi pegawai. b. Propinsi Gorontalo Upaya reformasi bidang SDM aparatur di Propinsi Gorontalo lebih kepada upaya perubahan budaya kerja birokrasi yang sesuai dengan penerapan prinsip New Public Management yang dipraktikkan oleh Kepala Daerah Provinsi Gorontalo pada saat Fadel Muhammad menjabat sebagai Gubernur. Selain itu, upaya penerapan manajemen kinerja bagi PNS di lingkungan pemerintah Provinsi Gorontalo juga menjadi andalan dibidang reformasi kepegawaian di provinsi tersebut. Kepemimpinan yang kuat dan inovatif menjadi kunci reformasi bidang pemerintahan di Gorontalo, termasuk didalamnya reformasi bidang SDM aparatur. Lebih lanjut, upaya penerapan manajemen kinerja di Provinsi Gorontalo didasarkan pada asumsi bahwa untuk meningkatkan kinerja harus dibedakan terlebih dahulu menjadi kinerja aksi dan kinerja hasil. Hal ini disebabkan karena faktor-faktor yang mempengaruhinya berbeda-beda sehingga diperlukan perlakuan atau kebijakan yang berbeda untuk meningkatkannya. Sebagai contoh, untuk meningkatkan kinerja aksi maka yang harus dilakukan adalah mengembangkan kualitas manajer dan sistem manajemen organisasi pemerintah daerah. Pengembangannya sendiri difokuskan pada kapasitas manajemen dibidang keuangan, sumber daya manusia dan teknologi informasi (IT). Kemudian upaya peningkatan kinerja pemerintah daerah tidak cukup dilakukan hanya dengan membenahi kapasitas manajemen kewirausahaan saja, tetapi harus secara simultan mempersiapkan budaya organisasi yang mendukungnya, yaitu dengan menghadirkan national culture dan development culture. Kesimpulan yang dihasilkan adalah bahwa pengembangan kapasitas manajemen kewirausahaan merupakan prasyarat untuk meningkatkan kinerja pemerintah daerah. Untuk mengimplementasikan tujuan tersebut, maka dibuat agenda reformasi pemerintahan daerah di Gorontalo yang meliputi 7 (tujuh) agenda dan diantaranya adalah mengenai agenda bagi reformasi kepegawaian seperti melakukan refomasi birokrasi pemerintah daerah. Reformasi ini terkait dengan upaya pengembangan kapasitas manajemen organisasi dan personel serta membangun budaya organisasi birokrasi pemerintah 46
daerah yang berwatak kewirausahaan. Upaya yang dilakukan adalah dengan memberikan insentif melalui tunjangan kinerja daerah yang bertujuan untuk meningkatkan motivasi pegawai dengan menilai dan menghargai prestasi kerja mereka. Kesimpulan dan Analisis Kunci reformasi kepegawaian yang terintegrasi dengan reformasi birokrasi di Provinsi Gorontalo adalah kepemimpinan yang kuat, inovatif dan responsif; Reformasi kepegawaian terutama diarahkan pada pelaksanaan manajemen kinerja dan budaya kerja aparatur; Penerapan manajemen kinerja terkait dengan tunjangan kinerja, namun belum ada data yang menunjukkan sejauh mana dampak penerapan manajemen kinerja terhadap kinerja PNS sendiri; Semangat kewira-usahaan pada birokrasi menjadi instrumen bagi perubahan yang dilakukan di Gorontalo; Meskipun HDI (human development index) meningkat, namun belum ada data yang kuat sejauhmana reformasi kepegawaian ini berdampak bagi kinerja organisasi secara keseluruhan dan perubahan yang lebih baik dalam praktik manajemen kepegawaian secara utuh dalam suatu sistem.
47
Bab III Pengelolaan PNS di Indonesia A. Sejarah Pengelolaan PNS
Untuk bisa menghasilkan sistem pengelolaan pegawai yang baik, maka langkah yang bijaksana adalah dengan berkaca pada sejarah pengelolaannya dimasa-masa lalu. Dengan melihat, mencermati dan menganalisa sistem pengelolaan pegawai yang pernah dilakukan, maka akan diperoleh berbagai kelebihan maupun kekurangan sistem pengelolaan pada masa itu. Memang tentunya ada perbedaan nuansa, situasi, kondisi dan perkembangan paradigma yang berkembang pada masa itu. Pengelolaan pegawai tidak bisa dilepaskan dengan lembaga atau instansi yang ada dalam pemerintahan. Maka dalam upaya melihat pengelolaan pegawai juga perlu dilihat lembaga-lembaga yang ada pada masa-masa itu. Berikut ini diuraikan sejarah singkat pengelolaan kepegawaian di Indonesia yang diambil dari buku SANKRI, Buku II, Lembaga Administrasi Negara, Jakarta, 2003. 1. Masa Penjajahan Belanda Sebagaimana dijelaskan diawal bahwa Indonesia pernah mengalami masa penjajahan oleh beberapa negara, diantaranya Portugis, Belanda, Inggris dan Jepang. Belanda menjajah Indonesia paling lama, kurang lebih selama 350 tahun. Maka tidak bisa dipungkiri bahwa nuansa Belanda masih banyak mewarnai kehidupan di Indonesia, termasuk dalam pengelolaan kepegawaian. Bahkan istilah PNS yang dipergunakan untuk menyebut orang-orang yang bekerja bagi pemerintah diyakini berasal dari bahasa Belanda : burgerlijk landsdienaar yang berarti burgerlijk = sipil atau biasa (bukan militer), land = negeri atau negara dan dienaar = pegawai yang memperoleh upah atau gaji. Sehingga burgerlijk landsdienaar bisa diartikan sebagai orang yang bekerja bagi pemerintah, berasal dari masyarakat biasa (bukan militer) dan memperoleh gaji. Selain itu, pada masa penjajahan Belanda, PNS seringkali juga disebut dengan istilah ambtenaar, civiel ambtenaar, atau civil personeele. Pada masa penjajahan Belanda, birokrasi atau pemerintahan yang dibentuk adalah untuk memperlancar urusan atau kepentingan Belanda di Indonesia terutama yang terkait dengan perdagangannya. Jabatan-jabatan atau posisi strategis diduduki oleh orang-orang Belanda. Sementara orang-orang pribumi atau disebut dengan golongan priyayi dijadikan wakil 48
pemerintah Belanda. Mereka dijadikan penghubung antara masyarakat dengan pemerintah Belanda. Dalam penataan pegawai, peraturan yang paling dominan disusun oleh Pemerintah Belanda adalah yang terkait dengan penggajian pegawai. Ada beberapa peraturan penggajian yang disusun pada masa penjajahan Belanda, yaitu : 1. Bezoldigingsregeling Burgerlijke Landsdienaren Tahun 1925 (BBL 1925) atau Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil Tahun 1925. Berlaku sejak tanggal 1 Pebruari 1925; 2. Herziene Bezoldegingsregeling Burgerlijke Landsdienaren Tahun 1934 (HBBL 1934); 3. Bezoldigingsregeling Burgerlijke Landsdienaren Tahun 1938 (BBL 1938); dan 4. Betalingsregeling Ambtenaaren en Gepensioneerden Tahun 1949 (BAG 1949) atau Peraturan Pembayaran Pegawai dan Pensiunan Tahun 1949. Untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahannya di Indonesia, Pemerintah Belanda menggunakan orang-orang pribumi untuk memperoleh simpati rakyat. Pegawai pemerintah tersebut dikenal dengan istilah ambtenaar yang ditugaskan di kantor pusat pemerintahan maupun di kantor regional. Mereka bertugas mendampingi dan mengawasi para penguasa daerah (bupati, adipati dan sebagainya). Para pegawai pemerintahan Belanda, selain dari orang-orang Eropa atau Belanda juga berasal dari orang-orang pribumi atau bumi putera. Mereka membedakan jabatan-jabatan yang boleh diduduki oleh orang Eropa/Belanda dengan jabatan-jabatan yang boleh diisi oleh orang pribumi. Jabatan yang diperuntukkan bagi warga Eropa/Belanda adalah : Gouverneur Generaal
van Nederlandsch Indie (Gubernur Jenderal Hindia Belanda), Gouverneur (Gubernur, memimpin Provinsi), Resident (Residen, memimpin Karesidenan), Asistent Resident (Asisten Residen, memimpin Kabupaten) dan Controleur (Kontrol). Sedangkan jabatan yang bisa diduduki oleh orang-orang pribumi terdiri dari : Regent (Bupati, memimpin Kabupaten), Ronggo, Patih (Sekretaris Kabupaten), Penghulu Besar dan
Jaksa di Karesidenan, Wedono, Kliwon, Manteri Besar, Demang Kepala, Districtshoofd (Demang) dan Onderdistrictshoofd (Asisten Demang). Pengelolaan pegawai pada masa penjajahan Belanda terdapat diskriminasi, yang membedakan antara pegawai orang pribumi atau bumi putera dengan pegawai orang Eropa/Belanda. Dalam Bezoldigingsregeling Burgerlijke Landsdienaren Tahun 1925 (BBL 1925) diatur bahwa pengangkatan pegawai dibedakan dalam beberapa skala. Skala A, yaitu kelompok untuk pegawai dengan pangkat/jabatan rendahan diberikan untuk pegawai dari orang pribumi 49
atau bumi putera. Skala B, yaitu kelompok untuk pegawai dengan pangkat/jabatan menengah diberikan untuk pegawai dari orang Eropa/Belanda dan orang pribumi atau bumi putera yang mempunyai latar belakang pendidikan dan pola hidup setara dengan orang Eropa. Dan skala C, yaitu kelompok untuk pegawai dengan pangkat/jabatan tinggi yang hanya boleh diduduki oleh orang-orang Eropa/Belanda. Dalam BBL 1925 ini, penggajian pegawai diatur berdasarkan pada ijasah sekolah, pangkat/jabatan (betrekking), masa kerja (dienstjaar) dan skala gajinya (bezoldigingsschaal). Dalam perkembangannya, BBL 1925 ini diubah pada tahun 1938, yaitu dengan disusunnya Bezoldigingsregeling Burgerlijke Landsdienaren Tahun 1938 (BBL 1938). Dengan perubahan ini maka diskriminasi dalam pengelolaan pegawai juga dihapuskan. Semua kedudukan dalam kepegawaian bisa diduduki oleh semua pegawai, baik orang pribumi maupun orang Eropa/Belanda. Tetapi pada kenyataannya, tetap ada jabatan-jabatan yang memang khusus bagi orang Eropa/Belanda, yaitu jabatan-jabatan yang tinggi dan strategis. Dalam BBL 1938, penggajian diberikan dengan sistem horisontal dan sistem blok. Artinya, pegawai yang mendapat kenaikan pangkat dari ruang ke ruang dalam skala yang sama ditetapkan gajinya menurut sistem horisontal (diberikan gaji pokok menurut ruang yang baru yang segaris dengan gaji pokok yang diterimanya dalam pangkat yang lama). Tapi apabila terjadi kenaikan pangkat atau perpindahan kesuatu jabatan dalam skala gaji lain, akan diberikan gaji yang terdekat ke atas dari gaji pokok yang lama (sistem blok). Dalam mengelola pegawai, pemerintah Belanda menganut sistem tertutup. Artinya, pengangkatan pegawai untuk menduduki suatu jabatan hanya dimungkinkan dari bawah (promosi), yaitu dengan memperhatikan ijasah sekolah dan persyaratan lain yang ditetapkan. Pada masa ini sudah disusun daftar urut kepangkatan (ranglijst) yang menunjukkan urutan pegawai yang didasarkan pada ijasah yang dimiliki pegawai dan kecakapannya. Ijasah sangat penting dalam penentuan kariernya. Apabila pegawai tidak mempunyai pendidikan yang lebih tinggi maka sampai akhir masa kariernya dia akan berada di jabatan tersebut karena dia tidak akan dipromosikan ke jabatan yang lebih tinggi. Pengelolaan pensiun bagi pegawai juga sudah dilakukan pada masa pemerintahan Belanda, tepatnya sejak tahun 1887. Pada tahun 1926 peraturan pensiun diperbarui dan diberlakukan bagi semua pegawai baik pegawai pribumi maupun pegawai Belanda yang dikenal dengan nama Indische Burgelijk Pensioen Reglement. Untuk membiayai dana pensiun maka disusun sistem dana pensiun yang menjaga ketersediaan dana untuk membiayai pembayaran pensiun pegawai. 50
2. Masa Penjajahan Inggris Pada masa penjajahan Inggris, yang menjalankan pemerintahan di Indonesia adalah Letnan Gubernur Raffles yang menggunakan sistem yang lebih bersifat demokratis. Dengan kata lain, pemerintahan yang lebih mendekat ke masyarakat. Semboyan Raffles yang terkenal adalah “from the people, by the people and for the people”. Sehingga kebijakan pemerintahannya ditujukan untuk meningkatkan kemampuan berpikir dan meningkatkan taraf kehidupan masyarakat. Pada masa pemerintahan Raffles, banyak posisi, jabatan, kedudukan yang ada pada masa penjajahan Belanda dihapuskan, misalnya jabatan Bupati, Demang atau pamong praja lainnya. Karena menurut Raffles, para pejabat tersebut justru mengganggu, bahkan melakukan pemerasan kepada masyarakat sehingga menghambat kemajuannya. Sebagai gantinya diangkat Residen yang bertanggung jawab langsung kepada Raffles. Kebijakan yang ditempuh oleh Raffles untuk mengurangi peran para pimpinan/pamong praja adalah dengan memberikan status hukum kepada rakyat (orang dewasa dan kepala keluarga). Salah satu kebijakan yang dilakukan adalah dengan menyatakan semua tanah dimiliki negara dan rakyat dijadikan penyewa/penggarap tanah (landrent). Di daerah-daerah dilakukan pengukuran luas tanah dan registrasi tanah yang dimiliki oleh masyarakat dan selanjutnya diambil alih oleh negara dan ditetapkan sewanya (landrente) yang harus dibayar. Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh Raffles adalah segala sesuatu diolah dan diputuskan di pusat selanjutnya diinstruksikan pelaksanaannya kepada pejabat-pejabat di daerah. Struktur organisasi pemerintahan dan administrasi yang disusun pada masa pemerintahan Raffles adalah : The Secretary‟s Office (Sekretariat Negara);
The Revenue Committee (Direktorat Jenderal Pajak); The Commercial Committee (Direktorat Jenderal Perdagangan); The General Treasury (Direktorat Jenderal Keuangan); The Civil Pay Office (Badan Administrasi Kepegawaian); The Accountants Office (Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara); The Post Department (Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi); The Superintendent of Public Building and Works (Direktorat Jenderal Pekerjaan Umum); The Salt Department (Direktorat Jenderal Urusan Garam); The Forest Department (Direktorat Jenderal Kehutanan); dan The Supreme Court of Justice (Mahkamah Agung).
51
Dalam menjalankan pemerintahannya, Raffles dibantu oleh pegawai-pegawai bangsa Inggris yang kebanyakan adalah perwira militer yang berpengalaman dalam pemerintahan di India. Mereka menduduki jabatan-jabatan di direktorat jenderal, residen dan asisten residen. Beberapa kebijakan pada masa pemerintahan Raffles yang terpenting adalah : 1. Adanya job description dan instruksi yang jelas bagi para pejabat terutama residen dan bupati beserta adanya sumber-sumber pendapatan yang sah dari pemerintah; 2. Adanya perbaikan kedudukan kepala desa dan instruksi yang jelas untuk administrasi negara; 3. Hak milik atas tanah diberikan kepada petani yang rajin dan produktif; 4. Kerja rodi, kerja paksa dan kerja sukarela dihapuskan, demikian juga pemerasan dan pemaksaan penyerahan produk pertanian; 5. Lalu lintas perdagangan bebas, penghapusan berbagai biaya yang tidak perlu, pengurangan biaya eksport import; 6. Peningkatan budidaya kopi dan sistem perdagangannya; 7. Monopoli pemerintah dalam produksi garam untuk mengurangi monopoli pengusaha Tionghoa. 3. Masa Penjajahan Jepang Terkait dengan pengelolaan pegawai, pemerintah Jepang mengeluarkan peraturan gaji pegawai yang dimuat dalam Osamu Seizin Nomor 13 tanggal 1 Juni 1943 tentang Pengangkatan dan Gaji Pegawai Negeri di Jawa dan Osamu Seizin Nomor 122 tanggal 12 Juli 1943 tentang Aturan Pengangkatan dan Gaji Pegawai Bantuan. Pada masa pemerintahan Jepang, pegawai dibedakan menjadi empat kelompok, yaitu : golongan pekerja, pegawai rendah, pegawai menengah dan pegawai tinggi. Pengelompokan pegawai ini menjadi dasar dalam pemberian gaji pegawai. Ijasah sekolah dipergunakan sebagai ukuran kecakapan atau pengetahuan pegawai bukan sebagai dasar dalam perhitungan gajinya. Pemberian uang pensiun pegawai diganti dengan pemberian onyokin atau uang kurnia.
4. Masa Awal Kemerdekaan (1945-1949) Masa pemerintahan Indonesia dimulai pada tanggal 17 Agustus 1945 pada saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Pada saat itu disepakati bahwa dasar negara adalah Pancasila dan UUD 1945, dan menetapkan Ir. Soekarno sebagai Presiden RI dan dr. M. Hatta sebagai Wakil Presiden RI. Ini adalah masa awal Indonesia untuk mengelola bangsa dan negaranya secara mandiri tanpa campur tangan penjajah bangsa lain. Semua syarat untuk mewujudkan satu negara yang berdaulat telah dipenuhi, yaitu : adanya rakyat yang berdaulat, 52
adanya wilayah negara, adanya kedaulatan negara, adanya pemerintahan, adanya tujuan negara dan adanya bentuk negara. Tujuan dari pembentukan negara Indonesia secara jelas dan tegas tercantum dalam pembukaan UUD 1945, yaitu : (1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2) Memajukan kesejahteraan umum; (3) Mencerdaskan kehidupan bangsa; (4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pada masa awal pemerintahan Indonesia, birokrasi dirasakan tidak ada kekompakan karena masih kuatnya kepentingan politik di dalam departemen-departemen yang dibentuk. Kondisi ini berdampak pada masa-masa awal kemerdekaan ini pemerintahan belum stabil dan seringkali mengalami perubahan. Berikut ini dijelaskan secara singkat Kabinet yang pernah dibentuk pada masa-masa awal kemerdekaan Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno. Pada tahun 1948 dibentuk Kantor Urusan Pegawai (KUP) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1948. KUP berkedudukan di Jogjakarta dan bertugas menangani urusan pegawai pemerintah Indonesia yang terkait dengan kedudukan dan gaji pegawai negeri serta mengawasi supaya peraturan-peraturan yang terkait dengan masalah tersebut dapat dijalankan dengan semestinya. Dalam bukunya yang berjudul Manajemen Kepegawaian Sipil di Indonesia (2008), Miftah Thoha menjelaskan bahwa KUP dalam perkembangannya menjadi cikal bakal terbentuknya Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN). KUP dipimpin oleh seorang Kepala yang diangkat oleh Presiden atas usul Perdana Menteri dan berkedudukan langsung dibawah dan bertanggung jawab kepada Perdana Menteri. Tugas Kepala KUP dalam rangka menata administrasi kepegawaian meliputi hal-hal berikut ini : 1. Mengawasi supaya peraturan yang terkait kedudukan dan gaji pegawai negeri bisa dilaksanakan dengan baik; 2. Memberikan petunjuk dan kalau perlu mengadakan tindakan korektif; 3. Mengusulkan kepada pemerintah tentang perubahan atau penambahan peraturan yang terkait; 4. Jika dipandang perlu atau ada usulan, dapat mengusulkan kepada yang berwajib (pejabat yang berwenang) untuk mengadakan peraturan mengenai kedudukan dan gaji pegawai negeri. 53
Sedangkan hak yang dimiliki oleh Kepala KUP ada dua, yaitu : (1) meminta kepada semua pegawai (baik sipil maupun militer) untuk memberikan keterangan yang diperlukan untuk melaksanakan tugasnya; dan (2) meminta pengiriman laporan-laporan dari kementerian, jawatan dan perusahaan negeri. Untuk menjamin supaya koordinasi dapat dilaksanakan dengan baik, maka semua peraturan yang mengatur mengenai pegawai negeri harus dengan persetujuan Kepala KUP. Dan apabila ada perselisihan atau perbedaan pendapat terkait penafsiran/pemahaman terkait peraturan kepegawaian antara Menteri dengan Kepala KUP, maka pendapat Kepala KUP yang dianggap benar atau harus diputuskan oleh Perdana Menteri. Disini terlihat bagaimana strategisnya posisi Kepala KUP, sehingga dituntut menguasai masalah administrasi kepegawaian. Terkait dengan sistem penggajian pegawai, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1948 dikeluarkan Peraturan Gaji Pegawai 1948 atau dikenal dengan istilah PGP 1948. Dalam PGP 1948 ini, banyak diadopsi sistem penggajian masa penjajahan Belanda (BBL 1938) dengan menghilangkan adanya diskriminasi dalam pengangkatan pegawai. Gaji pegawai didasarkan pada harga kebutuhan hidup yang meliputi 36 komponen kebutuhan hidup yang layak. Dengan dasar perhitungan tahun 1940, pengeluaran minimum seorang PNS yang sudah berkeluarga adalah sebesar Rp 42,67,- maka gaji minimum PNS ditetapkan sebesar Rp 45,- dan gaji tertinggi adalah Rp 750,- atau (1 : 17), perubahan/kenaikan gaji menggunakan sistem horisontal. Pada masa awal kemerdekaan ini, masih ada beberapa wilayah yang dikuasai oleh Belanda (wilayah timur Indonesia, sebagian pulau Sumatera dan sebagian pulau Jawa). Sehingga untuk menjalankan pemerintahannya Belanda (NICA) mendirikan pemerintahan federal yang tunduk kepada kerajaan Belanda. Pegawainya adalah bekas pegawai yang bekerja untuk pemerintah Jepang dan Hindia Belanda. Untuk mengkoordinasikannya, dibentuk Dienst
Algemene Personele Zaken (DAPZ) berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Dalam perkembangannya DAPZ disebut Djawatan Umum Urusan Pegawai (DUUP).
5. Masa Republik Indonesia Serikat (RIS) (1949-1950) Pada masa ini pemerintah Indonesia berbentuk pemerintahan federal dengan konstitusi UUD Sementara RIS. Wilayah kekuasaannya meliputi seluruh daerah Indonesia yang terdiri dari Negara Republik Indonesia dan negara-negara Federal bentukan Belanda, yaitu : Negara 54
Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan (termasuk Distrik Federal Jakarta), Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Sumatera Timur (termasuk Asahan Selatan dan Labuhan Baru), Negara Sumatera Selatan, Daerah lain yang berdiri sendiri, yaitu Jawa Tengah, Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara dan Kalimantan Timur. Pembentukan RIS berdampak pada pengelolaan pegawai negeri sipilnya, yaitu dilakukannya penyatuan antara PNS RI dengan PNS negara federal. Dalam praktiknya, penyatuan ini ternyata bermasalah karena adanya perbedaan yang mencolok, khususnya dalam penggajian. PNS RI sesuai PGP (Peraturan Gaji Pegawai) 1948 gaji minimalnya sebesar Rp 45 dan gaji maksimalnya sebesar Rp 750 atau 1 : 17. Sementara PNS federal yang diatur dengan BAG (Betalingsregeling Ambtenaren en Gepensioneereen) 1949, gaji minimalnya sebesar Rp 30 dan gaji maksimalnya sebesar Rp 1.925 atau 1 : 64. Untuk mengatasi masalah tersebut maka, pemerintahan RIS menetapkan kenaikan untuk PNS RIS menjadi Rp 67,5 untuk gaji minimal dan Rp 1.125 untuk gaji maksimal, atau 1 : 20. Selain adanya perbedaan dalam gaji, juga ada perbedaan dalam hal kecakapan atau pengetahuan yang dimiliki. Pegawai RI dianggap lebih setia kepada pemerintah RI tetapi kecakapan atau pengetahuannya kurang. Sementara pegawai federal dianggap kurang setia kepada pemerintah RI tetapi mempunyai kecakapan atau pengetahuan yang lebih bagus. Sehingga dalam penggabungannya, posisi-posisi strategis atau pimpinan selalu diberikan kepada pegawai RI sementara pegawai federal hanya mendapat posisi yang kurang strategis. Pegawai federal atau pegawai yang bekerja untuk pemerintah Belanda disebut golongan “ko”. Pegawaipegawai “ko” ini mendapat diskriminasi dalam penempatan, promosi atau pengangkatan dalam jabatan. Mereka dinomorduakan karena dianggap tidak setia kepada pemerintah RI. Dalam pengelolaan pegawainya, Pemerintah RIS mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1950 tentang Peraturan Sementara tentang Penetapan Jabatan dan Gaji PNS. Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur tentang syarat pengangkatan dalam masing-masing golongan, sebagai berikut :
55
Tabel 3.1 Syarat Pengangkatan dalam Golongan No
Golongan
Persyaratan
1.
I
Sekedar dapat membaca dan menulis.
2.
II
Sekurang-kurangnya berijasah Sekolah Rakyat (SR sekarang SD) 6 tahun atau pengetahuan yang sederajat.
3.
II A
Sekurang-kurangnya berijasah SR 6 tahun ditambah fak (kejuruan) sekurang-kurangnya 1 tahun.
4.
III
Sekurang-kurangnya berijasah Sekolah Menengah Umum Bagian Pertama (SMUP, sekarang SLTP) atau mempunyai pengetahuan yang sederajat.
5.
III A
Sekurang-kurangnya berijasah Sekolah Menengah Umum Bagian Atas (SMUA sekarang SLTA) ditambah pelajaran fak khusus 1 tahun.
6.
IV
Sekurang-kurangnya berijasah SMUA atau pengetahuan yang sederajat.
7.
V
Sekurang-kurangnya berijasah SMUA ditambah pelajaran fak khusus 2 tahun
8.
VI
Sekurang-kurangnya berijasah Sekolah Tinggi (akademi) atau pengetahuan lain yang dianggap sederajat dengan itu.
Sumber : Buku SANKRI II, LAN 2004
6. Masa Berlakunya UUD Sementara 1950 (1950-1959) Pada masa ini, pegawai-pegawai yang bekerja bagi pemerintah Indonesia terdiri dari pegawai yang sebelumnya bekerja bagi pemerintah Belanda dan pegawai yang sebelumnya bekerja bagi pemerintah Jepang. Mereka tetap bekerja seperti biasa, melanjutkan tugastugasnya yang memang tidak banyak mengalami perubahan. Permasalahan yang muncul adalah 56
terkait dengan peraturan kepegawaian yang berlaku. Pada saat itu, pemerintah Indonesia belum bisa atau belum mampu menyusun peraturan-peraturan untuk mengelola pegawainya, maka peraturan-peraturan kepegawaian yang berlaku pada masa Belanda dan Jepang masih tetap dipergunakan. Penggunaan peraturan-peraturan Belanda dan Jepang ini ternyata membawa permasalahan tersendiri karena kebanyakan peraturan tersebut masih dalam bahasa Belanda dan Jepang. Padahal tidak semua pegawai pemerintah Indonesia mampu berbahasa Belanda atau Jepang. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka secara berangsur-angsur pemerintah Indonesia mulai mengeluarkan peraturan-peraturan kepegawaian sendiri. Antara lain : 1. Undang-Undang Darurat Nomor 25 Tahun 1950 dan Undang-Undang Darurat Nomor 34 Tahun 1950 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian PNS RIS. Undang-Undang ini kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1961. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun Tahun 1951 tentang Istirahat karena Hamil. 3. Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun Tahun 1951 tentang Pernyataan sebagai Pegawai Negeri Tetap. 4. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun Tahun 1952 tentang Pemberhentian Sementara sebagai PNS. 5. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun Tahun 1952 tentang Daftar Susunan Pangkat dan Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri. 6. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun Tahun 1952 tentang Daftar Pernyataan Kecakapan Pegawai Negeri. 7. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun Tahun 1952 tentang Hukuman Jabatan. 8. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun Tahun 1952 tentang Larangan Mencari Penghasilan dan Memimpin Perusahaan dalam Lapangan Partikulir. 9. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun Tahun 1955 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil Republik Indonesia (PGPN 1955). Dan lain sebagainya. Dalam pelaksanaan peraturan-peraturan tersebut, Kepala Kantor Urusan Pegawai (KUP) dapat mengeluarkan petunjuk teknis pelaksanaan peraturan. Tujuannya supaya ada kesamaan pengertian dan keseragaman dalam pelaksanaan. Pada masa ini pengelolaan kepegawaian masih dilakukan oleh dua instansi, yaitu KUP yang mengelola PNS Republik Indonesia dan DUUP (Djawatan Urusan Umum Pegawai) yang mengelola PNS Belanda. Dalam perkembangannya pada tahun 1950, kedua instansi ini digabung menjadi satu dengan nama KUP. Penggabungan ini dengan dasar hukum Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1950.
57
7. Masa Berlakunya UUD 1945 (1959-1966) Pada masa ini ada perubahan peraturan terkait dengan sistem penggajian pegawai. PGPN 1955 yang merupakan peraturan penggajian untuk PNS diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 200 Tahun 1961 tentang Peraturan Gaji PNS RI atau biasa disebut PGPN 1961. Dalam PGPN 1961 digunakan satu skala gaji untuk semua PNS. Gaji pokok ditetapkan berdasarkan tingkat pendidikan, pangkat dan masa kerja. Perbandingan gaji pokok terendah dan tertinggi adalah 1 : 20. Selain gaji pokok, seorang PNS juga menerima tunjangan keluarga dan tunjangan kemahalan. Selain itu masih ada tunjangan lain, yaitu : tunjangan kompensasi atas resiko pekerjaan, tunjangan ganti rugi, tunjangan perpindahan dan tunjangan ujian kenaikan pangkat. Pada masa ini penetapan pangkat PNS pertama kali didasarkan pada ijasah sekolah/kursus yang disyaratkan pada pengangkatan pertama. Pada umumnya seorang pegawai dapat naik pangkat yang lebih tinggi sebanyak empat kali dalam satu rangkaian jabatan sesuai ijasahnya. Untuk bisa naik pangkat ke rangkaian jabatan yang lebih tinggi, pegawai wajib mengikuti ujian kenaikan pangkat. Kepangkatan ini akan menentukan golongan gaji yang diterima oleh pegawai. Dalam PGPN 1955 peraturan gaji anggota POLRI masih menyatu dengan gaji PNS. Pada masa berlakunya UUD 1945 kembali maka POLRI dipisahkan dengan PNS dan mempunyai dasar hukum sendiri. Peraturan gaji untuk PNS diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 200 Tahun 1961 (PGPN 1961) dan peraturan gaji bagi anggota POLRI dengan Peraturan Gaji Polisi Tahun 1961 (PGPol 1961). Pada masa awal kemerdekaan sampai pada masa ini, berbagai peraturan pemerintah, peraturan presiden, keputusan presiden yang dikeluarkan pemerintah didasarkan pada UUD (UUD 1945, UUD RIS, UUDS RI). Kondisi ini membuat kebijakan yang dikeluarkan pemerintah seringkali kurang menguntungkan bagi PNS. Kondisi ini menuntut pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kepegawaian. UU ini berupaya meletakkan dasar-dasar dalam pembinaan PNS yang meliputi kedudukan, kewajiban, hak dan pembinaan PNS Indonesia.
8. Masa Orde Baru (1966-1998) Masa Orde Baru selalu identik dengan kekuasaan absolut Presiden Soeharto yang menguasai pemerintahan Indonesia selama 30 tahun lebih. Pada masa Orde Baru pengawasan pemerintah terhadap partai dilakukan secara ketat dan mendalam. Hanya ada tiga partai yang 58
diijinkan ikut dalam pemilu, yaitu : partai pemerintah, Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Golkar merupakan wajah politik partisan dari birokrasi negara. Pegawai pemerintah dilarang bergabung dengan PPP atau PDI. Bahkan, Korpri dibentuk sebagai mesin politik birokrasi yang mengikat seluruh PNS di Indonesia untuk memilih Golkar. Pejabat dan tentara pensiunan dijadikan pemimpin Golkar di tingkat nasional, provinsi maupun lokal. Pengelolaan
kepegawaian
(PNS)
pada
masa
pemerintahan
Presiden
Soeharto
menggunakan dasar hukum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Pelaksanaan pengelolaan PNS menurut UU ini secara umum bersifat sentralistik. Pemberlakuan sistem sentralistik ini diterapkan pada hampir semua proses manajemen PNS, yaitu mulai dari proses rekrutmen sampai dengan pensiun. Pemerintah Daerah baik ditingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota yang merupakan sub ordinat dalam pemerintahan hanya melaksanakan semua kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah Pusat.
Beberapa pokok pengaturan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 adalah terkait dengan rekrutmen. Sebelum melakukan rekrutmen pegawai didahului dengan proses penyusunan formasi PNS yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1976. Formasi adalah jumlah dan susunan pangkat PNS yang diperlukan oleh suatu satuan organisasi negara untuk mampu melaksanakan tugas pokok untuk jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang penertiban dan penyempurnaan aparatur negara. Penetapan formasi bertujuan supaya masing-masing satuan organisasi negara mempunyai jumlah dan mutu pegawai yang sesuai kebutuhan. Setelah kebutuhan formasi PNS disusun, tahapan selanjutnya adalah melakukan pengadaan pegawai. Dengan kata lain, pengadaan pegawai adalah proses kegiatan untuk mengisi formasi yang lowong. Kebijakan tentang pengadaan pegawai diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1976 tentang pengadaan PNS. Pengadaan dilakukan melalui seleksi yang meliputi seleksi administrasi maupun seleksi kompetensi. Bagi calon yang lolos seleksi maka diangkat dalam menjadi Calon PNS (CPNS). Selanjutnya CPNS wajib mengikuti masa percobaan selama kurang lebih dua tahun sebelum diangkat menjadi PNS. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 juga diatur mengenai promosi yang merupakan salah satu bentuk penghargaan bagi pegawai yang berprestasi untuk memangku tanggung jawab yang lebih besar, berupa pemberian kenaikan pangkat atau jabatan. Terkait kenaikan pangkat PNS ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1980. Kenaikan pangkat PNS dapat dilakukan dalam empat (4) cara, yaitu 59
kenaikan reguler, kenaikan pilihan, kenaikan istimewa dan kenaikan pengabdian. Kenaikan reguler adalah kenaikan pangkat secara otomatis apabila PNS sudah bekerja selama 4 tahun atau lebih dalam pangkat yang sama dengan hasil penilaian kinerja baik. Kenaikan pangkat pilihan diberlakukan bagi PNS yang menjabat jabatan fungsional, dimana apabila bisa memenuhi angka kredit tertentu maka bisa dinaikkan pangkatnya. Kenaikan pangkat istimewa diberikan bagi PNS yang mempunyai prestasi kerja yang luar biasa dan memberikan manfaat bagi bangsa dan negara. Sementara kenaikan pangkat pengabdian adalah kenaikan pangkat yang diberikan bagi PNS yang sudah memasuki Batas Usia Pensiun (BUP). Selain berupa kenaikan pangkat, promosi juga dapat diberikan berupa pemberian jabatan tertentu. Jabatan adalah suatu kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak seorang PNS dalam suatu susunan organisasi dan bisa berupa jabatan struktural maupun jabatan fungsional. Secara umum hal-hal yang dijadikan pertimbangan untuk penempatan dalam jabatan adalah sebagai berikut : penilaian pelaksanaan pekerjaan, keahlian, perhatian (interest), Daftar Urut Kepangkatan (DUK), kesetiaan, pengalaman, dapat dipercaya, kemungkinan pengembangan. Pemberian gaji kepada PNS diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang Penggajian PNS. Besar atau kecilnya gaji seseorang PNS ditentukan oleh pangkat dan masa kerja yang dimiliki. Pangkat adalah kedudukan yang menunjukkan tingkat seseorang PNS dalam rangkaian susunan kepegawaian dan digunakan sebagai dasar penggajian. Kepada PNS yang diangkat dalam suatu pangkat diberikan gaji pokok berdasarkan golongan ruang yang ditetapkan untuk pangkat itu sebagaimana tersebut dalam lampiran Peraturan Pemerintah. Gaji pokok untuk CPNS adalah sebesar 80% dari gaji pokok yang diberikan untuk PNS. Apabila CPNS tersebut telah mempunyai masa kerja yang dapat diperhitungkan untuk menetapkan gaji pokok, diberikan gaji pokok yang segaris dengan pengalaman kerjanya yang diakui sebagai masa kerja golongan. Pemberian gaji pokok tersebut diatas setinggi-tingginya berdasarkan gaji pokok maksimum dalam golongan ruang yang bersangkutan dikurangi 2 (dua) kali kenaikan gaji berkala yang terakhir dalam golongan ruang tersebut. Kepada seorang yang diangkat langsung menjadi PNS apabila telah mempunyai pengalaman kerja yang dapat diperhitungkan untuk menetapkan gaji pokok, diberikan gaji pokok yang segaris dengan pengalaman kerja yang ditetapkan sebagai masa kerja golongan. Masa kerja yang dapat diperhitungkan untuk menetapkan gaji pokok bagi CPNS dan PNS ditetapkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 diatur juga mengenai pendidikan dan pelatihan (diklat) PNS. Tujuannya supaya ada jaminan keserasian pembinaan 60
terhadap PNS. Pengaturannya sendiri meliputi kegiatan perencanaan, termasuk perencanaan anggaran, penentuan standar, pemberian akreditasi, penilaian dan pengawasan. Pada prinsipnya diklat PNS ada 2 (dua), yaitu : Diklat Pra Jabatan dan Diklat Dalam Jabatan. Diklat Pra Jabatan (pre service trainning) adalah diklat yang diberikan kepada CPNS dengan tujuan supaya bisa terampil dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Sementara Diklat Dalam Jabatan (in service trainning) adalah diklat yang bertujuan untuk meningkatkan mutu, keahlian, kemampuan dan keterampilan PNS. Diklat Pra Jabatan merupakan diklat yang wajib diikuti oleh semua CPNS. CPNS yang tidak lulus dari Diklat Pra Jabatan tidak dapat diangkat menjadi PNS. CPNS yang tidak lulus dari Diklat Pra Jabatan diberikan kesempatan mengikuti sekali lagi. Apabila tetap tidak lulus, maka ia diberhentikan dengan hormat sebagai CPNS. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, pemerintah berusaha meningkatkan kesejahteraan PNS dengan tujuan supaya PNS dapat memusatkan perhatian sepenuhnya untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Kesejahteraan ini meliputi kesejahteraan material dan spiritual, seperti jaminan hari tua, bantuan perawatan kesehatan, bantuan kematian, bantuan perumahan, dan lain-lain yang serupa dengan itu. Penyelenggaraan program kesejahteraan PNS diatur dan dibina oleh Pemerintah Pusat. Untuk membiayai usaha-usaha kesejahteraan PNS tersebut, maka setiap PNS dipungut iuran sebesar 10% dari penghasilan setiap bulan, dengan perincian sebagai berikut : 4 3/4% untuk iuran dana pensiun, 2% untuk iuran pemeliharaan kesehatan, 31/4% untuk iuran tabungan hari tua. Ketentuan mengenai iuran ini diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1974 dan diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 8 tahun 1977. Dalam masa pemerintahan Orde baru, disusun suatu Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai disiplin pegawai. Pengaturan ini untuk menjamin supaya PNS bisa menjadi sosok Aparatur Negara, Abdi Negara, dan Abdi Masyarakat yang penuh kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila, UUD 1945, Negara, dan Pemerintah serta bersatu padu, bermental baik, berwibawa, berdaya guna, berhasil guna, bersih, bermutu tinggi dan sadar akan tanggung jawabnya untuk menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan. Selain daripada itu dalam Peraturan Pemerintah juga diatur mengenai tata cara pemeriksaan, tata cara penjatuhan dan penyampaian hukuman disiplin, serta tata cara pengajuan keberatan apabila PNS yang dijatuhi hukuman disiplin itu merasa keberatan atas hukuman disiplin yang dijatuhkan kepadanya. Tujuan hukuman disiplin adalah untuk memperbaiki dan mendidik PNS yang 61
melakukan pelanggaran disiplin. Oleh sebab itu setiap pejabat yang berwenang wajib memeriksa lebih dahulu dengan seksama PNS yang melakukan pelanggaran itu. Pada masa orde baru juga dikeluarkan Undang-Undang yang mengatur mengenai pensiun PNS, yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969. Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan pensiun adalah jaminan hari tua dan berfungsi sebagai balas jasa terhadap PNS yang telah bertahun-tahun mengabdikan diri kepada negara. Pada hari tua, kekuatan jasmani seseorang semakin berkurang, daya tahan jasmani semakin lemah dan menyebabkan lebih sering terserang penyakit, tanggungan ada kalanya tidak makin berkurang, yang semuanya ini memerlukan pembiayaan yang cukup banyak, tetapi pendapatan makin berkurang. Inilah yang menjadi perhatian Pemerintah supaya PNS tidak kehilangan semangat bekerja. Dasar pensiun yang dipakai untuk menentukan besarnya pensiun pokok, ialah gaji pokok terakhir sebulan yang berhak diterima oleh pegawai yang berkepentingan berdasarkan peraturan gaji yang berlaku baginya. Pemberian pensiun ditentukan oleh pejabat yang berhak memberhentikan pegawai yang bersangkutan, di bawah pengawasan dan koordinasi Kepala BAKN (sekarang BKN). Pegawai yang diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil berhak menerima pensiun, jika pada saat pemberhentiannya sebagai PNS : (1) Telah mencapai usia sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun dan mempunyai masa kerja untuk pensiun sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) tahun; (2) Oleh badan/pejabat yang ditunjuk oleh Departemen Kesehatan berdasarkan peraturan tentang pengujian kesehatan PNS, dinyatakan tidak dapat bekerja lagi dalam jabatan apapun juga karena keadaan jasmani atau rohani yang disebabkan oleh dan karena ia menjalankan kewajibannya, atau; (3) Mempunyai masa-kerja sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun dan oleh badan/pejabat yang ditunjuk oleh Departemen Kesehatan berdasarkan pengaturan tentang pengujian kesehatan PNS, dinyatakan tidak dapat bekerja lagi dalam jabatan apapun juga karena keadaan jasmani atau rohani, yang tidak disebabkan oleh dan karena ia menjalankan kewajiban jabatannya.
62
9. Masa Orde Reformasi (1998 – Sekarang)
a. Masa Transisi (Presiden BJ. Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati) Pemerintahan Presiden Gus Dur dapat dikatakan tidak mempunyai komitmen yang jelas dalam upaya perbaikan birokrasi yang dipimpinnya. Bahkan pada saat itu, berkembang isu putera daerah dalam jabatan-jabatan birokrasi, terutama di tingkat daerah. Posisi-posisi strategis dalam pemerintahan diduduki oleh orang-orang asli daerah bahkan saudarasaudara pimpinan. Bahkan pada masa ini banyak dilakukan kenaikan pangkat yang tidak sesuai peraturan untuk mengejar posisi-posisi tersebut. Hal ini sering disebut dengan “pangkat Naga Bonar”. Kondisi ini berdampak pada pelaksanaan pemerintahan yang tersendat-sendat dan tidak efektif. Banyak pimpinan instansi yang tidak/kurang mampu melaksanakan tugas dan kewajibannya karena memang tidak mempunyai kemampuan sebagaimana dibutuhkan. Pasar terus bergolak dalam kondisi tidak menentu, friksi yang terjadi diantara elit politik (anggota dewan) dan elit birokrasi (pemerintah) menjadi sebuah dikotomi masalah yang memperlemah posisi birokrasi dalam menyelenggarakan fungsi pemerintahan dan pembangunan. Bahkan anggota dewan disebut “anak-anak TK” oleh Presiden Gus Dur karena ketidakmampuan mereka untuk memahami, mengerti dan bekerjasama dengan pemerintah. Pada masa ini birokrasi hanya menjadi elemen bangsa yang tersubordinasi terhadap kepentingan-kepentingan politik lain. Birokrasi menjadi mandeg, statis dan stagnan, keinginan untuk segera pulih dari krisis tidak terjadi. Pada masa pemerintahan Presiden Gus Dur terjadi pembubaran dua Departemen, yaitu Departemen Sosial dan Departemen Penerangan. Alasan pembubaran ini dengan alasan : tugas kedua Departemen tersebut bisa dilaksanakan oleh sektor swasta atau masyarakat. Pembubaran kedua Departemen ini membawa dampak yang cukup rumit terkait dengan distribusi pegawainya. Berbagai permasalahan yang muncul pada masa pemerintahan Presiden Gus Dur ini, terutama friksi yang terjadi dengan anggota dewan pada akhirnya membawa Presiden Gus Dur pada impeachment. Anggota dewan akhirnya meminta Presiden Gus Dur untuk mundur. Pengganti Presiden Gus Dur adalah yang dahulu menjabat sebagai Wakil Presiden, yaitu Megawati. Pada masa pemerintahan Presiden Megawati, dua Departemen yang pada masa Presiden Gus Dur dibubarkan, yaitu Departemen Sosial dan Departemen Penerangan dihidupkan kembali. Pada masa pemerintahan Presiden Megawati dapat dikatakan kondisi Indonesia semakin membaik, stabilitas ekonomi tercapai dan konflik kepentingan antar elit 63
berkurang. Hal ini dimungkinkan karena statusnya sebagai seorang Presiden perempuan sehingga pendekatan yang dilakukan lebih lembut dan ramah khas seorang ibu. Juga statusnya sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang sering dizalimi oleh pemerintah telah meningkatkan simpati dan dukungan masyarakat kepadanya. Kondisi-kondisi inilah yang membuat pemerintahan Presiden Megawati bisa membawa arah yang lebih baik. Bisa dikatakan walaupun belum sepenuhnya berhasil membawa Indonesia keluar dari kubangan krisis, Presiden Megawati mampu mengawali sebuah proses demokrasi sebagai era baru bagi Indonesia dalam menyongsong era demokratisasi.
b. Masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono atau lebih dikenal dengan Presiden SBY merupakan masa pemerintahan yang lebih baik dalam aspek reformasi birokrasi. Pemerintahan Presiden SBY saat ini memasuki periode kedua dengan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I dan Jilid II. Pemerintahan Presiden SBY ditandai dengan adanya kontrak kinerja antara Presiden dengan para Menterinya. Kontrak kinerja ini merupakan salah satu komitmen Presiden untuk bisa melakukan evaluasi terhadap kinerja Menteri dan atau Kementeriannya. Pada masa pemerintahan Presiden SBY, birokrasi Indonesia berada pada kondisi yang cukup mengenaskan. Beberapa kondisi misalnya sebagaimana dicatat oleh Global Competitiveness Index (GCI, 2009) disebutkan bahwa the most problematic factors for
doing businesses di Indonesia, mencakup : inefficient government bureaucracy, policy instability, corruption, dan restrictive labor regulations. Sementara data Corruption Percention Index (CPI, 2009) dari Transparency International yang dianggap mencerminkan “kebersihan birokrasi”, Indonesia masih berada pada kelompok peringkat terbawah dengan skor 2.8, dari skala 1 sampai 10. Kemudian dari survey yang dilakukan oleh Political and
Economy Risk Consultancy (PERC, 2010) di 16 negara tujuan investasi di Asia Pasifik, Indonesia dikategorikan sebagai negara paling korup dengan skor 9.27, turun secara signifikan dibandingkan skor tahun 2009 yaitu, 8.32 (dalam skala 0-10). Kondisi inilah yang harus diperbaiki oleh Presiden SBY dengan program reformasi birokrasi. Keseriusan pemerintahan Presiden SBY diwujudkan dengan memberikan tugas tambahan pada Kementerian PAN. Kementerian PAN dimandatkan menjai koordinator pelaksanaan reformasi birokrasi dan menambahkan nama kementeriannya menjadi Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi. Dengan adanya kelembagaan yang secara resmi menangani reformasi birokrasi secara khusus diharapkan pelaksanaannya menjadi lebih 64
baik. Dalam Seminar Reformasi Birokrasi untuk Mewujudkan Aparatur Negara yang Profesional, Efektif dan Efesien dalam Rangka Peningkatan Pelayanan Publik pada tanggal 13 April 2010, Dr. Ismail Muhammad (Deputi KemenPAN dan RB) menyebutkan beberapa permasalahan internal birokrasi antara lain : efektivitas peraturan perundang-undangan dibidang aparatur negara yang masih tumpang tindih, inkonsisten, tidak jelas, multi tafsir, pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lain; pola pikir (mind-set) dan budaya kerja (culture-set) belum sepenuhnya mendukung birokrasi yang profesional serta benar-benar memiliki pola pikir yang melayani masyarakat dan pencapaian kinerja yang lebih baik, masih adanya praktek penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang dalam proses penyelenggaraan pemerintahan, serta belum mantapnya akuntabilitas kinerja pemerintah. Komitment pemerintahan Presiden SBY dalam upaya pelaksanaan reformasi birokrasi juga diwujudkan dengan menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Tahun 2005-2025. Masa 20 tahun ini selanjutnya dibagi dalam program lima tahunan yang disebut dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). RPJM I (2005-2010) berfokus pada penataan kembali NKRI, membangun Indonesia yang aman dan damai, adil dan demokratis dengan tingkat kesejahteraan yang lebih baik. RPJM II (2010-2015) berfokus pada pemantapan kembali NKRI, meningkatkan kualitas SDM, membangun kemampuan ilmu dan teknologi serta memperkuat daya saing perekonomian. RPJM III (2015-2020) berfokus pada pemantapan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis SDA dan SDM yang berkualitas serta kemampuan ilmu dan teknologi. RPJM IV (2020-2025) berfokus pada upaya mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur melalui percepatan pembangunan di segala bidang dengan struktur perekonomian yang kokoh berlandaskan keunggulan kompetitif. Reformasi birokrasi diawali dengan adanya pilot project pelaksanaan reformasi birokrasi dengan menggunakan ukuran-ukuran yang jelas dan tegas terkait kinerja. Ada tiga (3) kementerian yang dijadikan pilot project, yaitu Kementerian Keuangan, BPKP dan MA. Reformasi dilakukan pada tiga (3) bidang utama, yaitu penataan kelembagaan, penyempurnaan proses bisnis dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Tujuan reformasi birokrasi ini secara spesifik adalah untuk menciptakan aparatur negara yang bersih, profesional dan bertanggung jawab, serta menciptakan birokrasi yang efisien dan efektif sehingga dapat memberikan pelayanan publik yang prima. Pemberian remunerasi 65
yang besar bukanlah tujuan utama dari pelaksanaan reformasi tetapi sebagai dampak semakin baiknya kinerja seorang pegawai atau instansinya. Pada saat pemerintahan Presiden SBY inilah bisa dikatakan pilar-pilar reformasi birokrasi mulai kelihatan wujudnya. Meskipun ada juga beberapa kasus yang muncul, sebagai contoh kasus di perpajakan yang melibatkan Gayus (pegawai golongan III di Dirjen Pajak Kementerian Keuangan). Kasus ini dikenal dengan kasus mafia pajak. Kemudian muncul lagi berbagai kasus yang melibatkan berbagai insitusi terkait mafia kasus (markus). Kondisi-kondisi ini justeru menunjukkan keberhasilan pelaksanaan reformasi birokrasi. Kasus-kasus yang dahulunya tidak kelihatan menjadi terangkat ke permukaan dan terungkap.
B. Permasalahan Internal PNS
Dari data dan informasi yang diperoleh dari lapangan dapat disampaikan bahwa permasalahan internal yang ada dalam pengelolaan PNS mencakup hampir di semua tahapan. Sejak perencanaan kebutuhan pegawai, seleksi atau rekrutmennya, penempatannya, promosinya, penikaian kinerjanya, penggajiannya, pengembangannya sampai pemberhentiannya. Semua tahap tersebut diindikasikan mengandung permasalahan yang berdampak pada pengelolaan pegawai yang tidak maksimal sehingga PNS menjadi tidak profesional. Hampir semua narasumber yang ditemui dilapangan menyatakan bahwa ada masalah dalam pengelolaan pegawai. Berikut ini disampaikan data dan informasi yang ditemukan di lapangan terkait permasalahan internal tersebut.
a. Penentuan Formasi Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2000 tentang Formasi Pegawai Negeri Sipil yang merupakan Perubahan dari Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1976, terdapat beberapa pengertian formasi. Pertama, formasi diartikan sebagai penetapan jumlah dan kualitas pegawai yang diperlukan oleh suatu organisasi berdasarkan kebutuhan yang nyata, dengan memperhitungkan perluasan dan penyempitan organisasi; kedua, formasi dapat juga didefinisikan sebagai pengendalian pengadaan yang terarah dan terinci, yang harus disusun berdasarkan struktur organisasi, jenis, sifat, beban kerja dan menggambarkan susunan pokok piramida kepegawaian yang serasi, sehingga dapat diambil kepastian adanya kelebihan atau kekurangan pegawai; dan ketiga, formasi diartikan pula sebagai jumlah dan susunan 66
pangkat PNS yang diperlukan oleh suatu organisasi negara untuk mampu melaksanakan tugas pokok dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh menteri yang bertanggungjawab dalam bidang penertiban dan penyempurnaan aparatur negara (Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1976). Tujuan ditetapkannya formasi adalah agar satuan-satuan organisasi tersebut dapat mempunyai jumlah dan mutu pegawai yang memadai sesuai dengan beban kerja dan tanggung jawab pada masing-masing organisasi. Lowongan formasi pada suatu organisasi pada umumnya disebabkan dua hal, yaitu : 1) adanya PNS yang berhenti karena alasan mengundurkan diri, diberhentikan dengan tidak hormat, meninggal dunia, atau 2) adanya perluasan organisasi sehingga membutuhkan tambahan pegawai. Penetapan formasi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) secara nasional ditentukan oleh Kementerian PAN dan RB untuk tiap-tiap Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah, yang memuat jumlah formasi, nama jabatan dan kualifikasi pendidikan tiaptiap jabatan dimaksud. Selama ini penentuan jumlah formasi CPNS setiap tahun yang ditetapkan oleh Kantor Kementerian PAN dan RB bagi tiap-tiap Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah, belum sepenuhnya didasarkan pada kebutuhan nyata tiap-tiap instansi yang didasarkan pada hasil analisis beban kerja (ABK) maupun analisis jabatan (anjab). Padahal penyusunan formasi ini menurut narasumber dari Pemerintah Provinsi Jogjakarta, merupakan kunci utama dalam melakukan reformasi kepegawaian. Pada saat penyusunan formasi inilah ditentukan mau seperti apa pegawai yang mau direkrut. Apa kompetensi yang dibutuhkan, berapa jumlahnya dan sebagainya. Bahkan untuk cara mudahnya, seringkali penentuan jumlah formasi hanya didasarkan pada jumlah pegawai yang akan pensiun (masuk BUP). Disisi yang lain, secara nasional penentuan jumlah formasi CPNS tiap-tiap instansi lebih didasarkan pada ketersediaan jumlah anggaran yang disetujui oleh Kementerian Keuangan. Jumlah anggaran yang disediakan untuk membayar gaji pegawai baru ini jumlahnya sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah kebutuhan riil tiap-tiap Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah. Hal ini berakibat pada sulitnya organisasi dalam memenuhi baik dari segi kualitas maupun dari segi kuantitas pegawai yang memadai sesuai dengan beban kerja dan tanggung jawab tiap-tiap organisasi. Formasi yang disusun sebagaimana dijelaskan didepan adalah formasi untuk PNS. Dari hasil analisis terhadap data lapangan ditemukan bahwa tidak semua pekerjaan yang ada dalam penyelenggaraan pemerintahan harus dikerjakan oleh seorang PNS. Ada beberapa karakteristik pekerjaan yang tidak perlu dilakukan oleh seorang pegawai dengan status PNS. Menurut Prof. Dr. Sofian Effendi, Guru Besar UGM Jogjakarta, 67
dalam penyelenggaraan pemerintahan tidak perlu semua dipegang oleh PNS. Perlu ada pegawai-pegawai non PNS untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan tertentu. Misalnya pegawai profesional yang bekerja di bidang pendidikan dan kesehatan tidak perlu berstatus PNS. Kemudian pegawai-pegawai yang bekerja di sektor pendukung yang tidak strategis, seperti tenaga sopir, tenaga keamanan atau lainnya juga tidak perlu berstatus PNS tetapi cukup tenaga honorer. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Prof. Dr. Miftah Thoha, MPA, Guru Besar UGM Jogjakarta, yang menyebutkan bahwa tidak semua tugas/pekerjaan yang ada di lingkup pemerintah harus dikerjakan oleh PNS tetapi bisa dilakukan oleh pihak swasta (outsourching). Menurut beliau, dengan kondisi ini dirasakan akan lebih menguntungkan. Misalnya dilihat dari aspek beban anggaran tentu lebih ringan karena pemerintah tidak perlu menanggung tunjangan anak, istri dan pensiun. Selain itu apabila ada masalah terkait kinerja maka bisa sewaktu-waktu diganti dengan yang lain. Kedua Guru Besar UGM tersebut juga menyebutkan bahwa kedepan semua formasi PNS harus diisi dengan jabatan-jabatan fungsional yang bisa menunjukkan spesifikasi pekerjaan tertentu. Sehingga begitu formasi ditetapkan bisa langsung diketahui tuntutan kompetensi yang dibutuhkan dan begitu formasi tersebut diisi, CPNS bisa langsung tahu apa tugas dan tanggung jawab pekerjaannya. b. Rekrutmen Proses berikutnya setelah ditetapkannya formasi adalah rekrutmen. Yang dimaksud dengan rekrutmen adalah suatu proses mencari, menemukan dan menarik calon-calon pegawai untuk dipekerjakan dalam suatu organisasi sebagai langkah awal mendapatkan calon pegawai yang setepat-tepatnya guna melakukan suatu pekerjaan atau menduduki suatu jabatan yang tersedia (Pusat Kajian Kinerja SDA, LAN, Evaluasi Sistem Rekrutmen PNS, 2007). Rekrutmen PNS atau pengadaan PNS (terminologi yang digunakan dalam Peraturan Pemerintah) merupakan aspek yang sangat penting untuk mendapatkan calon-calon pegawai yang tepat. Kegiatan rekrutmen mempunyai peran yang sangat penting dan menentukan bagi keberhasilan suatu organisasi. Berawal dari sub sistem inilah baik buruknya organisasi ditentukan, apakah akan menjadi organisasi yang maju atau justru akan tenggelam. Sistem rekrutmen yang berkualitas menjamin organisasi memperoleh pegawai yang kompeten sesuai dengan kebutuhan organisasi sehingga pengelolaan pegawai kedepan akan lebih baik. Namun sebaliknya jika rekrutmen dilakukan secara sembarangan maka sesungguhnya organisasi melakukan kesalahan yang sangat besar terhadap investasi pegawainya. Hal ini akan berakibat pada sulitnya
68
dalam : pengembangan pegawai baik, penerapan sistem karir, pemberian reward yang memadai bagi pegawai dan lain sebagainya. Banyaknya kecurangan dalam proses rekrutmen, seperti adanya titipan pejabat atau motif lain berlatar belakang koneksitas dan KKN, jual beli kursi, bocornya soal ujian, hasil ujian yang dimanipulasi atau lainnya merupakan sebagian kasus rendahnya kualitas rekrutmen PNS selama ini. Hal ini merupakan salah satu titik lemah dan salah satu akar masalah yang sampai saat ini belum dapat diselesaikan. Apabila rekrutmen pegawai dilakukan dengan cara-cara seperti ini, tidak mengherankan jika kualitas pegawai yang dihasilkan tidak akan dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi organisasi. Bahkan ada saran dari salah satu narasumber di FISIP Universitas Udayana Bali yang menyarankan supaya penyelenggaraan tes rekrutmen dikelola secara terpusat. Pengelolaan ini meliputi pembuatan soal dan pemeriksaan soalnya. Sehingga bisa dikontrol kualitas dan keamanannya. Sementara dalam penyelenggaraan tesnya bisa melibatkan pemerintah daerah tetapi tetap dengan supervisi dari pusat. Dalam penyelenggaraannya harus transparan dan profesional dan tidak ada muatan politis apapun. Pada saat rekrutmen inilah seringkali ditemukan berbagai kendala yang bisa membuat pengelolaan pegawai menjadi tidak baik. Sebagaimana dijelaskan oleh narasumber dari Pemerintah Provinsi Jogjakarta yang menyebutkan bahwa selama ini tes rekrutmen yang dilakukan baru mampu mengukur kemampuan akademik saja, tetapi tidak mampu mengukur perilaku dan moralitasnya. Sehingga seringkali ditemukan pegawai mempunyai kompetensi tinggi tetapi tidak mampu bekerja maksimal dan perilakunya tidak terpuji. Maka disarankan dalam rekrutmen ada tes kognitif untuk mengukur kemampuan akademik dan tes afektif untuk mengukur perilakunya. Terkait dengan rekrutmen PNS, narasumber dari FISIP Unair Surabaya menyebutkan bahwa tes rekrutmen yang dilaksanakan saat ini tidak sesuai dengan kebutuhan formasi yang ada. Karena apapun lowongan formasi yang ada tes yang dilaksanakan sama. Misalnya formasi untuk dokter, guru, sekretaris atau formasi yang lain materi tes yang diujikan sama, hanya dibedakan menurut tingkat pendidikannya saja (SLTA, D3 atau Sarjana). Sehingga spesifikasi kemampuan yang dibutuhkan untuk masing-masing formasi hanya dilihat dari ijasahnya saja. c. Penempatan Penempatan PNS pada posisi yang tepat bukan saja menjadi idaman setiap instansi, tetapi menjadi keinginan setiap PNS. Dengan demikian maka PNS dapat mengetahui ruang lingkup pekerjaan yang diberikan, disamping juga dapat 69
meningkatkan semangat dan kegairahan kerja serta disiplin kerjanya. Kesesuaian antara kemampuan yang dimiliki pegawai dengan tuntutan tugas dan tanggung jawab dalam jabatannya menjadi kunci utama dalam peningkatan kinerja pegawai. Maka prinsip right man on the right place harus benar-benar menjadi pegangan utama dalam tahap penempatan pegawai. Akan tetapi pada kenyataannya, pada saat ini penempatan PNS masih jauh dari prinsip tersebut. Hal ini berakibat pada tidak terpenuhinya kebutuhan suatu unit akan pegawai yang mempunyai kompetensi sesuai kebutuhannya. Sementara pegawai yang memiliki kompetensi yang dibutuhkan justeru ditempatkan pada unit yang tidak membutuhkan kompetensi tersebut. Di lingkungan PNS kondisi seperti ini hampir terjadi pada setiap instansi. Penempatan pegawai yang terkait dengan promosi jabatan khususnya dalam jabatan struktural juga menghadapi permasalahan yang sama. Promosi pegawai untuk menempati jabatan struktural lebih banyak ditentukan oleh selera pimpinan, sebagaimana diungkapkan oleh salah seorang narasumber di Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat. Kondisi ini semakin berkembang sejak kebijakan otonomi daerah diluncurkan pemerintah. Dimana pemerintah daerah diberi kewenangan yang cukup luas untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Bahkan narasumber di FISIP Universitas Udayana Bali mencatat bahwa ada penempatan yang tidak sesuai dengan formasi yang dilamar. Seharusnya penempatan seorang pegawai harus sesuai dengan formasi yang dilamar, yang artinya sesuai dengan kompetensi yang dimiliki, latar belakang pendidikannya dan juga tentu saja pengalaman kerja yang dimilikinya. Kondisi ini diperparah karena manajemen kepegawaian saat ini belum menerapkan sistem merit secara sungguh-sungguh. Meskipun secara kebijakan sudah diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, yang menegaskan bahwa pembinaan yang dilaksanakan berdasarkan sistim prestasi kerja dan sistim karier yang dititikberatkan pada sistim prestasi kerja. Sistem merit mendorong terciptanya kompetisi yang sehat, berdasarkan kompetensi dan kinerja pegawai. Hanya pegawai yang berprestasi dan memiliki kinerja unggul yang berhak menduduki suatu jabatan. Inilah pola karier yang ideal yang didasarkan pada prestasi kerja. Namun kenyataan yang terjadi selama ini, promosi pegawai tidak didasarkan pada prestasi kerjanya tetapi lebih ditentukan oleh selera pimpinan, unsur kedekatan, serta pertimbangan administratif yang belum menjamin kualitas atau kompetensi yang dimiliki pegawai. Dampaknya banyak promosi pejabat struktural yang tidak sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya sehingga pada akhirnya tidak mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawab pekerjaannya dengan baik. Pola karier yang terbangun menjadi tidak menentu, tidak sejalur atau sesuai antara tuntutan kompetensi 70
jabatan dengan kompetensi yang dimiliki pegawai. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh narasumber dari Pemerintah Provinsi Riau yang menyebutkan bahwa pola karier PNS seharusnya segaris dalam kompetensinya. Misalnya seorang pegawai yang berkarier dan menguasai kompetensi terkait keuangan maka diharapkan karier tertingginya adalah Kepala Bagian Keuangan atau Asisten Bidang Ekonomi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa, pegawai ditingkat bawah sebaiknya mempunyai kompetensi teknis yang spesifik/khusus, selanjutnya seiring dengan peningkatan kariernya maka kompetensi yang dimiliki menjadi semakin general (khususnya untuk kompetensi yang bersifat administrasi/ manajerial), tetapi kemampuan teknis yang dimiliki tetap spesifik dan menjadi semakin detail atau semakin menjadi pakar. Melihat kondisi tersebut maka penempatan pegawai seharusnya didasarkan pada analisis jabatan, analisis kompetensi serta kinerja pegawai. Demikian pula halnya dengan promosi pegawai bukan lagi semata-mata bagi-bagi jabatan kepada pegawai yang secara personal dekat dengan pimpinan, akan tetapi harus didasarkan pada pertimbangan profesional. Tantangannya adalah, bagaimana lingkungan birokrasi mengangkat dan menempatkan pegawai atas dasar kompetensi dan kemampuan pegawai. Posisi PNS saat ini sangat lemah dalam hal kariernya, sebagaimana dijelaskan oleh narasumber dari Pemerintahan Provinsi Riau, seorang PNS mau kerja rajin atau malas, mau berkinerja tinggi atau rendah tetap tidak tahu mau kemana kariernya karena yang menentukan adalah pejabat politis. Apakah mau dipromosi, dimutasi atau bahkan diberhentikan tidak bisa menolak. Dalam hal ini, narasumber dari Pemerintahan Provinsi Riau mengusulkan perlunya Baperjakat (Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan) sebagai badan yang berwenang dan bertanggung jawab dalam promosi pegawai untuk memperhatikan masukan data dari pihak yang berkompeten (misalnya bagian kepegawaian), yaitu dengan mencermati track record pegawai yang akan dipromosi. d. Pengembangan Pegawai Membahas pengembangan SDM aparatur pemerintah tentu tidak akan terlepas dari peraturan yang mendasarinya, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Pertimbangan yang memunculkan undang-undang ini adalah adanya keyakinan bahwa untuk mencapai tujuan nasional Republik Indonesia diperlukan PNS yang terampil menjalankan perannya sebagai abdi masyarakat yang menyelenggarakan pelayanan secara adil dan merata, serta menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dengan penuh kesetiaan kepada Pancasila dan UUD 1945. Dalam hal ini diperlukan sosok PNS yang mampu melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan secara 71
profesional dan bertanggung jawab, serta bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Kebutuhan ini tentu saja menuntut dilakukannya penyempurnaan pada upaya-upaya pengelolaan PNS. Dalam pengelolaan PNS harus diupayakan agar setiap PNS mempunyai kesempatan untuk menampilkan prestasi kerja secara optimal. Karena prestasi kerja inilah yang menjadi dasar dalam pengambilan keputusan untuk penempatan PNS. Untuk kepentingan itu, maka dalam manajemen PNS dilakukan pengaturan dalam penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan yang bertujuan untuk meningkatkan pengabdian, mutu, keahlian, kemampuan dan keterampilan PNS. Hal ini bertujuan supaya seorang PNS mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sehingga bisa menghasilkan prestasi kerja sebagaimana yang diharapkan. Dalam pelaksanaan pendidikan dan pelatihan harus diawali dengan melakukan analisis kebutuhan pendidikan dan pelatihan (Training Needs Asessment). Dalam kegiatan ini yang dilakukan adalah mengidentifikasi adanya kesenjangan kemampuan antara tuntutan jabatan dengan kemampuan nyata yang dikuasai pegawai. Hasil dari analisis kebutuhan diklat tersebut selanjutnya menjadi acuan dalam menyusun desain program pendidikan dan pelatihan mulai dari penetapan tujuan pelatihan, penetapan kurikulum/silabi, penetapan metode, penetapan peserta dan tenaga pengajar, strategi, evaluasi maupun sarana dan prasana yang diperlukan. Sebagaimana disarankan oleh narasumber dari Universitas Riau, bahwa dalam rangka tersebut maka diperlukan database kepegawaian yang selalu di-update. Database ini harus memuat berbagai informasi yang bukan hanya memuat data identitas pegawai saja tetapi juga memuat data kompetensinya. Dengan demikian program pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan benar-benar mampu mengatasi kesenjangan kompetensi dan mampu membentuk PNS menjadi profesional, memiliki pengetahuan, sikap atau nilai etika pemerintahan yang baik (good governance) dan keahlian yang diperlukan dalam meningkatkan kualitas kinerja pelayanan publik.
e. Penggajian dan Reward Salah satu fokus utama dalam reformasi birokrasi di Indonesia adalah penataan gaji PNS. Sistem penggajian PNS saat ini banyak yang mengkritik. Dari hasil kajian yang dilakukan LAN pada tahun 2008 dengan judul Sistem Penggajian PNS di Indonesia, berhasil diidentifikasi empat permasalahan dalam system penggajian PNS, yaitu : (1) terkait dengan nilai nominal yang menyatakan masih jauh dari jumlah ideal untuk meningkatkan kesejahteraannya, (2) terkait dengan sistem pembayarannya yang dibayar diawal bulan sehingga kurang memotivasi 72
PNS untuk bekerja maksimal, (3) terkait dengan sistemnya yang belum mengakomodasi beban kerja, tanggung jawab dan pada prestasi kerja sehingga semua PNS dalam golongan yang sama menerima nominal gaji yang sama tanpa melihat apakah dia rajin atau malas, pandai atau bodoh dan berkinerja atau tidak, (4) terkait dengan variabel penggajian yang melihat pada aspek masa kerja dan golongan/ruang. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2009 tentang Peraturan Gaji PNS disebutkan bahwa gaji pokok PNS terendah adalah sebesar Rp 1.040.000 (PNS Gol. I/a dengan masa kerja 0 tahun) dan gaji tertinggi adalah sebesar Rp 2.306.500 (PNS Gol. IV/e dengan masa kerja 0 tahun). Dari besaran tersebut terlihat bahwa perbandingan antara gaji terendah dengan gaji tertinggi kurang lebih adalah 1 : 3. Kondisi ini tentu kurang rasional apabila dilihat dari perbedaan masa kerja PNS yang selama 32 tahun. Kondisi inilah yang membuat sistem penggajian PNS saat ini kurang mempertimbangkan rasa keadilan. Demikian pula halnya dengan tidak adanya perbedaan antara gaji PNS diberbagai daerah yang tingkat kebutuhan beban hidupnya berbeda-beda. Nilai uang satu juta di daerah Jogjakarta tentu tidak sama dengan di daerah Papua. Kondisi ini tentu harus diakomodasi dalam sistem penggajian PNS yang baru apabila pemerintah berkeinginan untuk meningkatkan kesejahteraan PNS-nya. Dampak selanjutnya dari sistem penggajian PNS yang kurang bagus adalah tingkat kesejahteraan PNS yang masih rendah. Kondisi kesejahteraan yang memprihatinkan ini sangat mempengaruhi kinerja dan perilaku PNS. Narasumber dari Universitas Brawijaya Malang menyarankan perlunya perbaikan dalam system penggajian PNS dengan mempertimbangkan pay for performance, pay for person, pay
for position dan pay for live. Pay for performance untuk mengakomodasi kinerja, pay for person untuk mengakomodasi kompetensi, pay for position untuk mengakomodasi jabatan/ tanggung jawab dan pay for live untuk mengakomodasi perbedaan beban hidup. Ini konsep ini diyakini PNS akan bisa bekerja dengan maksimal dan termotivasi untuk selalu meningkatkan kinerjanya.
f. Penilaian Kinerja Pada hakekatnya penilaian kinerja adalah suatu proses untuk mengevaluasi atau menilai kinerja pegawai. Penilaian kinerja yang dilaksanakan dengan baik dan tertib, akan dapat membantu meningkatkan motivasi kerja dan loyalitas pegawai. Dengan dilaksanakannya penilaian kinerja yang baik, paling tidak para pegawai akan mengetahui sampai dimana dan bagaimana prestasi kerjanya diukur dan dinilai oleh atasan dan tim penilai. Kelebihan maupun kekurangan yang ada dari hasil penilaian 73
tersebut akan dapat memberikan motivasi bagi kemajuan-kemajuan pegawai pada masa yang akan datang. Pada saat ini sebagaimana dikemukakan oleh Miftah Thoha MPA, Guru Besar UGM Jogjakarta, penilaian kinerja PNS dengan menggunakan DP3 tidak jelas, tidak tegas dan tidak transparan. Kondisi ini berdampak hasil pengukuran kinerjanya bukan merupakan kinerja nyata pegawai. Hal yang sama juga oleh narasumber dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur yang menyatakan bahwa DP3 saat ini tidak relevan lagi untuk menilai kinerja pegawai. Bahkan dalam praktiknya, seringkali ada yang mengisi sendiri nilai-nilai dalam DP3nya. Kemudian nilainya tidak boleh turun dari nilai tahun sebelumnya. Narasumber ini juga menjelaskan berbagai kelemahan dalam DP3, misalnya DP3 tidak mempunyai standar penilaiannya, sehingga apabila pegawai pindah dari satu unit ke unit lainnya nilai DP3-nya bisa tertinggi atau terendah. Hal ini bisa terjadi karena ada atasan atau pejabat penilai yang royal dalam memberi nilai tetapi ada juga pejabat yang pelit. Disinilah kelemahan DP3 yang lain, yaitu subjektivitas penilai karena tidak adanya standar dalam pemberian nilai DP3. Narasumber dari Provinsi Nusa Tenggara Barat menambahkan bahwa penilaian kinerja dengan DP3 tidak terkait dengan langsung dengan reward and punishment system. DP3 hanya dijadikan sebagai persyaratan administrasi saja khususnya untuk keperluan kenaikan pangkat dan jabatan. DP3 juga dinilai tidak objektif, bias subjektivitasnya yang tinggi. Penilaian kinerja pegawai sebaiknya dilakukan secara sistematik terhadap hasil kinerja dan potensi yang dimiliki pegawai dalam upaya mengembangkan diri untuk kepentingan organisasinya. Dalam penilaian kinerja, sasaran yang menjadi obyek penilaian antara lain kecakapan dan kemampuan dalam melaksanakan tugas, cara membuat laporan atas pelaksanaan tugas, ketegaran jasmani maupun rohani dalam bekerja dan sebagainya. Hasil penilaian kinerja yang tinggi akan diberikan kepada pegawai yang memiliki disiplin dan dedikasi yang baik, berinisiatif positif, sehat jasmani dan rohani, bersemangat bekerja dan mengembangkan diri dalam pelaksanaan tugas, pandai bergaul dan sebagainya. Sehubungan dengan hal tersebut maka penilaian kinerja harus dikelola secara profesional dan oleh orang yang profesional, mengingat wilayah yang ditangani adalah wilayah yang paling sensitif sebab menyangkut kinerja itu sendiri, penilaian kinerja berikut dampaknya pada suasana kerja, dan pemberian kompensasi serta berbagai bentuk penghargaan lainnya kepada pegawai yang bekerja dalam suatu organisasi. Pengelolaan penilaian kinerja pegawai, selama ini kita kenal dengan istilah manajemen prestasi kerja atau manajemen kinerja.
74
Pada situs www.menpan.go.id disebutkan bahwa saat ini Kantor Kementerian PAN dan RB tengah menggodok Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Penilaian Kinerja PNS. Perubahan yang sangat mendasar pada sistem penilaian yang sedang digarap tersebut adalah adanya unsur Sasaran Kinerja Individu (SKI). Penilaian ini bertujuan untuk lebih mendorong karier PNS, karena instrumen penilaian berupa SKI, yang melibatkan seorang PNS mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan output yang dibebankan kepada PNS yang bersangkutan. Apabila penilaian sasaran kinerja individunya tidak baik, maka penilaiannya tidak baik. Masih dalam situs yang sama disebutkan oleh Deputi Bidang SDM Aparatur PAN, bahwa setiap PNS harus menyusun SKI berdasarkan Rencana Kerja Tahunan. SKI disetujui dan ditetapkan oleh pejabat penilai yang memuat kegiatan tugas pokok jabatan, bobot kegiatan, sasaran kerja dan target yang harus dicapai. SKI bersifat nyata dan dapat diukur. Nilai bobot kegiatan didasarkan pada tingkat kesulitan dan prioritas dengan jumlah bobot keseluruhan 100 yang ditetapkan setiap tahun pada bulan Januari. g. Pemberhentian Permasalahan yang berhasil diidentifikasi Tim terkait masalah pemberhentian adalah sulitnya memberhentikan atau “memecat” seorang PNS dan tidak jelasnya tata cara dalam perpanjangan BUP (batas usia pensiun). Sulitnya memecat PNS karena tidak tegasnya peraturan yang ada dan masih lemahnya penegakan peraturan tersebut. Seorang PNS yang melanggar peraturan maka harus dilakukan teguran lisan apabila masih melakukan pelanggaran maka dilanjutkan dengan melalui surat peringatan pertama, kedua dan ketiga. Sebagai contoh sulitnya memecat seorang PNS adalah apabila PNS yang tidak masuk kerja selama 3 (tiga) bulan berturut-turut bisa dikeluarkan. Pada praktiknya PNS tidak mungkin tidak masuk kerja selama tiga bulan berturut-turut karena mereka akan masuk pada saat mengambil gaji. Sehingga prasyarat tiga bulan berturut-turut tidak bisa terpenuhi. Selanjutnya dalam perpanjangan BUP, Tim juga mengidentifikasi adanya ketidakjelasan dalam pengaturannya. Menurut narasumber dari Universitas Riau, perpanjangan BUP ini sering diberikan kepada pejabat-pejabat yang dekat dengan pejabat politis. Bukan karena pertimbangan yang profesional, misalnya karena kemampuan yang dimiliki, belum ada pengganti yang tepat atau lainnya tetapi lebih karena alasan politis tertentu.
75
C. Permasalahan Eksternal PNS Dalam perspektif sejarah bangsa, birokrasi yang menjadi cikal bakal jajaran PNS Indonesia adalah warisan kolonial yang sarat kepentingan kekuasaan. Struktur, norma, nilai, dan regulasi berkaitan dengan birokrasi tersebut diwarnai dengan orientasi pemenuhan kepentingan penguasa daripada pemenuhan hak sipil warga Negara. Dalam praktiknya, struktur dan proses yang dibangun merupakan instrumen untuk mengatur dan mengawasi perilaku masyarakat, bukan sebaliknya untuk mengatur pemerintah dalam tugas memberikan pelayanan kepada masyarakat. Misi utama birokrasi menurut paham kolonial tersebut adalah untuk mempertahankan kekuasaan dan mengontrol perilaku individu. Ungkapan yang sering didengar adalah "kalau bisa dibuat sulit, mengapa harus dimudahkan". Ini fakta sosial, birokrasi lebih seperti pangreh praja dari pada pamong praja, lebih ingin dilayani dari pada melayani. Anekdot seperti penyebutan istilah pamong
raja yang dipelintir menjadi among raja atau pelayan raja juga merendahkan martabat jajaran birokrasi tersebut. Buruknya mentalitas birokrasi yang kemudian disebut sebagai PNS kita saat ini, tidak terlepas dari warisan mentalitas, birokrasi kolonial, yang berfungsi mengawasi dan mengontrol, serta menguasai masyarakat, bukan melaksanakan dan menjalankan pemerintahan dengan baik, dalam melayani dan melindungi masyarakat dari kesewenangan. Kewenangan yang terlalu besar itu bahkan akhirnya menonjolkan peran birokrasi sebagai pembuat kebijakan ketimbang pelaksana kebijakan, lebih bersifat menguasai dari pada melayani masyarakat. Akhirnya, wajar saja jika kemudian PNS lebih dianggap sebagai sumber masalah atau beban masyarakat ketimbang sumber solusi bagi masalah yang dihadapi masyarakat. Fenomena itu terjadi karena tradisi PNS yang dibentuk lebih sebagai alat penguasa untuk menguasai masyarakat dengan segala sumber dayanya, bahkan kemudian terjadi politisasi PNS. Dengan kata lain, PNS dijadikan mesin negara dalam mengontrol perilaku masyarakat, sekaligus memanfaatkannya untuk mempertahankan kekuasaan. Dalam kultur demikian, korupsi, kolusi dan nepotisme adalah hal biasa dalam dunia kerja PNS. Kooptasi terhadap PNS ini berlarutlarut, tidak saja terjadi pada masa kolonial, bahkan pada masa Orde Baru PNS tak bisa dibedakan dengan single majority Golkar sebagai penguasa. Reformasi politik 1998 adalah pintu gerbang Indonesia menuju sejarah baru dalam dinamika politik nasional. Reformasi politik yang diharapkan dapat beriringan dengan reformasi PNS. Fakta sosial menunjukkan, reformasi birokrasi mengalami hambatan signifikan hingga kini, akibatnya masyarakat tidak dapat banyak memetik manfaat nyata dari reformasi politik tahun 1998. Sebagai bukti nyata atas situasi tersebut adalah buruknya pelayanan publik, misalnya biaya yang harus 76
dikeluarkan masyarakat secara ilegal dalam pengurusan berbagai dokumen, seperti pengurusan KTP, pembuatan SIM, perpanjangan STNK, pengurusan IMB, sertifikat tanah, ijin usaha, tata kelola pengadaan barang dan jasa pemerintah yang banyak menimbulkan kerugian negara, dan lain-lain. Setelah reformasi 1998 bergulir, kooptasi terhadap PNS tidak berhenti, tetapi mengalami metamorfosis yang dicirikan dengan multikooptasi oleh beragam partai politik dan kepentingan. Keadaan ini membentuk tidak saja sikap, perilaku, nilai, kultur para pejabat, dan sistem kerja, tetapi juga cara pandang dan budaya interaksi rakyat terhadap PNS. Bahkan praktik pemilihan langsung kepala daerah menyebabkan instabilitas dalam tubuh PNS. Promosi jabatan dipenuhi kepentingan dan afiliasi politik PNS terhadap kepala daerah. Aspek politik dan hukum menjadi begitu penting, reformasi PNS menjadi isu penting untuk mendapat kajian tersendiri, serta direalisasikan secara konsisten. Terlebih lagi, dikarenakan jajaran PNS pemerintah Indonesia telah memberikan sumbangsih yang sangat besar terhadap kondisi keterpurukan Bangsa Indonesia dalam krisis yang berkepanjangan. PNS yang telah dibangun oleh pemerintah sebelum era reformasi telah membangun budaya kental dengan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Namun demikian, pemerintahan pasca reformasi pun tidak menjamin keberlangsungan reformasi PNS dapat terealisasi dengan baik. Kurangnya komitmen pemerintah pasca reformasi terhadap reformasi PNS ini cenderung berbanding lurus dengan kurangnya komitmen pemerintah terhadap pemberantasan KKN yang sudah menjadi penyakit akut dalam PNS pemerintahan Indonesia selama ini. Tidak berbeda dengan rezim sebelum Orde Baru, di era pasca reformasi PNS menjadi alat mempertahankan kekuasaan. Para pejabat politik yang kini menjabat dalam birokrasi pemerintah ingin melestarikan budaya tersebut dengan mengaburkan antara pejabat karier dengan non-karier. Sikap mental seperti ini dapat membawa PNS dalam pemerintahan Indonesia kembali kepada kondisi PNS pada masa lalu. Lahirnya Undang-undang 22 Tahun 1999 melahirkan persoalan baru, termasuk pengelolaan kepegawaian. Undang-undang 32/2004 sebagai perubahan dari Undang-undang 22 Tahun 1999 masih memunculkan permasalahan dalam tata kelola PNS khususnya hubungan antara PNS pusat dan daerah yang banyak diwarnai intervensi politik. Menurut Gamawan Fauzi, Menteri Dalam Negeri, Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II dalam wawancara dengan Tempo Interaktif (2010), terbukti dari hasil evaluasi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, perkembangan 57 daerah otonom baru 77
dengan usia dibawah 3 tahun menunjukkan 80 persen bermasalah berkaitan dengan belum terlaksananya antara lain penyerahan personel. Kemudian, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tim Peneliti, terdapat beberapa permasalahan eksternal dalam pengelolaan PNS sebagaimana dijelaskan berikut ini :
1. Permasalahan Pertama “Pembina Kepegawaian”
Semenjak diberlakukannya otonomi daerah melalui Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah berikut perubahannya, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, berbagai persoalan muncul antara PNS pusat dan daerah terutama dalam masalah pembinaan kepegawaian. Menurut Prof. Dr. Sofian Effendi dari Universitas Gadjah Mada, berpendapat bahwa salah satu sumber masalah pembinaan kepegawaian karena Ryaas Rasyid sebagai Menteri Negara Otonomi Daerah yang membidani lahirnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menyetujui lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan PNS dalam Jabatan Struktural, menempatkan pejabat politis, Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati dan pejabat politis lainnya menjadi pembina PNS. Masalah pembina kepegawaian menjadi simpang siur karena kepentingan politis di dalam PNS pemerintahan tidak dapat tertahan. Berdasarkan masukan dari beberapa narasumber, antara lain Sekretaris, Kepala Bidang Mutasi dan beberapa pejabat struktural lain di lingkungan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi Sulawesi Selatan juga didukung pernyataan dari Dekan FISIP dan para dosen dari Universitas Hasanuddin, mengatakan bahwa persoalan tersebut diatas dapat ditangulangi dengan cara menempatkan sekretaris daerah sebagai pejabat karir tertinggi dalam birokrasi di daerah demi menghindari intervensi kuat terhadap PNS, jika pembina kepegawaian dipegang oleh kepala daerah. Logikanya, Sekretaris Daerah, Daerah, BKD Lombok Tengah, dan BKD Kota Mataram di Provinsi Nusa Tenggara Barat, mengatakan bahwa pembina kepegawaian dipegang oleh pejabat politis sangat tidak tepat karena mereka hanya berkuasa lima tahun. Sebaliknya, menurut narasumber dari BKD Provinsi Bali, bahwa seorang Sekretaris Daerah merupakan pejabat senior yang meniti karier dari bawah lebih memahami dan mengetahui seluk beluk permasalahan PNS dan mampu memberikan solusi bagi perbaikan kinerja PNS. Sayangnya, posisi sekretaris daerah saat ini terhitung paling rawan terkait dengan politisasi birokrasi. Menurut narasumber Sekretaris Daerah, Kepala BKD, Kepala Biro Hukum dan Organisasi Perundangan Provinsi Riau, tidak jarang, sekretaris daerah dengan mudahnya dicopot
78
karena berseberangan dengan kepala daerah, Bupati/Walikota, untuk kemudian menjadi staf ahli sampai masuk usia pensiun. Prof. Dr. Miftah Thoha dari MAP Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta juga didukung oleh BKD Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Jogjakarta, berpendapat bahwa saat ini kewenangan sekretaris daerah tidak terlepas dari pejabat politik. Oleh karena itu narasumber memandang penting adanya Undang-Undang Birokrasi Pemerintah yang di dalamnya ada ketentuan mengatur partai politik yang membina PNS. Intervensi pejabat politik dapat dibendung melalui pengetatan standar dan prosedur pengelolaan PNS yang memungkinkan perpindahan pegawai kabupaten ke provinsi. Sebagai perwakilan Pemerintah Pusat di daerah baru kemudian diatur oleh Pemerintah Pusat. 2. Permasalahan Kedua “PNS Perekat Kesatuan dan Persatuan Bangsa” Upaya resentralisasi pembinaan kepegawaian PNS melalui Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 129 yang menyebutkan “pemerintah melakukan pembinaan manajemen PNS daerah yang meliputi penetapan formasi, pengadaan, pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak dan kewajiban, maupun pengembangan kompetensi dan pengendalian jumlah, ternyata tidak juga memecahkan masalah karena sudah terlanjur ada stigma pegawai daerah diurus oleh daerah, sedangkan pusat hanya mengurus pegawai pusat saja. Akibatnya, nasib PNS daerah masih bergantung pada kebijaksanaan, wisdom, kepala daerah, bukan sekretaris daerah yang diharapkan lebih mengerti bagaimana kebutuhan sumber daya manusia di lingkungan pemerintahan. Menurut Sekretaris, Kepala Bidang Mutasi, dan beberapa pejabat struktural di lingkungan Provinsi Sulawesi Selatan, tidak perlu ada pengkotakan antara PNS pusat dan daerah. Konsekuensiya, PNS sebagai perekat persatuan bangsa hanya hanya ada satu yaitu PNS Indonesia. Di lain pihak, adanya kesenjangan kompetensi dan kinerja antara pegawai pusat dan daerah dimana pegawai daerah belum mampu mengejar ketertinggalan dari rekan-rekannya di pusat sangat memerlukan perhatian bersama. Upaya untuk memukul rata kemampuan pegawai daerah sama dengan pusat melalui otonomi daerah akan sia-sia belaka apabila pemerintah daerah tidak paham bagaimana membina pegawai mereka. Untuk itu, pentingnya pengelolaan PNS satu pintu terutama dalam hal pembinaan masih dirasa perlu demi menghindari masuknya orang-orang baru yang sama sekali tidak mengenal etos kerja PNS yang pada akhirnya merusak jenjang karir mereka di daerah sendiri. Hal ini sejalan dengan pendapat Prof. Dr. Miftah Thoha, dari MAP Universitas Gadjah Mada, mengatakan bahwa saat ini pimpinan lembaga bertanggung jawab dalam pengelolaan pegawai tidak mempunyai komitmen dan pemahaman yang memadai terkait 79
substansi, kondisi ini berdampak pada kebijakan yang dikeluarkan menjadi bersifat parsial tidak holistik, khususnya dalam melakukan reformasi PNS. Prof. Dr. Prijono Tjiptoherijanto (Guru Besar Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta) mengungkapkan bahwa PNS di negara manapun mempunyai tiga peran mendasar, yaitu : pertama, sebagai pelaksana peraturan dan perundangan yang telah ditetapkan pemerintah. Kedua, melakukan fungsi manajemen pelayanan publik, dan ketiga, PNS harus mampu mengelola pemerintahan. Didalam melaksanakan peran PNS tersebut, maka sosok PNS dituntut memiliki integritas dan berkepribadian sehingga amanat Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999, yaitu PNS sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa dan negara dapat diwujudkan. Oleh karena itu, PNS sebaiknya juga tidak perlu dibedakan antara PNS pusat dan daerah. Kebijakan non-diskriminatif tersebut sangat diperlukan guna meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Seperti disampaikan oleh narasumber dari Universitas Hasanuddin, sebaiknya PNS dapat berkarier di seluruh wilayah Indonesia. Istilah PNS pusat dan PNS daerah, hanya menunjukkan lokasi tugas bukan dalam hal kebijakan pengelolaannya sebagaimana disampaikan oleh Prof. Dr. Sofian Effendi dari Universitas Gadjah Mada.
3. Permasalahan Ketiga “Netralitas PNS” Berlangsungnya Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) secara langsung pada pertengahan tahun 2005 serta diberlakukannya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menurut pendapat narasumber Sekretaris, Kepala Bidang Mutasi, dan beberapa pejabat struktural di lingkungan Provinsi Sulawesi Selatan, membuka peluang bagi kepala daerah dan institusi politik afiliasinya memanfaatkan PNS untuk kepentingan-kepentingan politik kepala daerah. Terlebih lagi, menurut pendapat dari narasumber BKD di Provinsi Bali, aturan terkait dengan pemilukada tidak memberikan penjelasan bagaimana adanya larangan calon kepala daerah incumbent menggunakan fasilitas sarana dan prasarana milik negara sebagai modal untuk pelaksanaan kampanye calon incumbent sehingga perlu ketegasan. Senada dengan narasumber dari Provinsi Sulawesi Selatan, narasumber dari Universitas Hasanuddin mengatakan bahwa kuatnya intervensi elite daerah dalam menentukan formasi jabatan di daerah khususnya kepala daerah sangat terasa sehingga amanat peraturan perundangan tentang netralitas PNS sulit terwujud. Terlebih lagi, kebijakan otonomi daerah memunculkan isu tambahan tentang konsep putera daerah yang mengesampingkan kemampuan seorang PNS karena 80
adanya pertalian kekerabatan. Apabila isu putera daerah tetap dibiarkan mengemuka dapat berakibat merebaknya praktek nepotisme yang berujung pada korupsi dan kolusi dikalangan birokrasi pemerintahan daerah. Mutasi terkendala dengan adanya kepala daerah, Bupati/Walikota, yang tidak mau menerima pindahan pegawai dari daerah lain karena alasan mengembangkan pegawainya sendiri. Akhirnya, peluang menjadi PNS di daerah hanya terbuka bagi penduduk daerah setempat saja. Berdasarkan pendapat dari Prof. Dr. Sofian Effendi dari MAP Universitas Gadjah Mada, diperlukan adanya pemisahan antara pejabat politik dan karir. Batasan antara wilayah birokrasi dan wilayah politis harus dipertegas agar tidak terjadi penyimpangan dan intervensi ke wilayah birokrasi. Pertimbangannya, political will dari para pejabat politik terutama Presiden dirasa masih kurang terutama dengan pengangkatan menteri yang berasal dari partai politik. Menteri yang bertanggung jawab dalam pengelolaan PNS, ternyata terbukti tidak kompeten dalam memahami permasalahan pengelolaan PNS. Pejabat politik secara garis besar tidak memiliki kemampuan seperti pejabat karir (PNS) sehingga pejabat politik tidak boleh memimpin pejabat karir. Persoalan di daerah menunjukkan besarnya intervensi politis karena batasan wilayah birokrasi dan politis masih banyak wilayah abu-abu (grey area), sehingga menyuburkan politisasi PNS. Upaya mempertegas pemisahan pejabat politik dan karir ini akan mendukung netralitas PNS agar tidak berpolitik praktis serta mengurangi terjadinya politisasi birokrasi. Selanjutnya, narasumber dari Universitas Riau menegaskan pentingnya memudarkan wilayah abu-abu tersebut didalam lingkungan PNS karena adanya dua (2) jenis jabatan pimpinan, yaitu pejabat yang elected dan pejabat yang appointed. Saat ini, kedua jabatan ini ditentukan oleh pejabat politis yang lebih tinggi. Pangkal masalahnya adalah pejabat yang elected (dipilih) adalah pejabat yang dipilih langsung oleh rakyat secara demokratis, misalnya kepala daerah, merasa lebih berhak mengatur pejabat appointed. Pada prakteknya, pejabat elected memiliki kompetensi yang tidak/kurang sesuai dengan jabatannya karena mereka menjabat lebih karena menonjolkan popularitasnya. Oleh karena itu, keberadaan mereka perlu didukung oleh para pejabat appointed (ditunjuk) yang didukung dengan kompetensi yang sesuai dengan jabatan yang diduduki, misalnya posisi-posisi strategis, seperti menteri, staf ahli dan sebagainya.
Pendapat Prof. Dr. Miftah Thoha dari MAP Universitas Gadjah Mada, mengatakan perlunya sistem yang mampu membuat PNS netral dalam bentuk kebijakan, yaitu berupa peraturan yang jelas dan tegas dalam mengatur batas dan sanksinya. Dengan cara ini, menurut narasumber dari FISIP Universitas Airlangga, kebijakan-kebijakan politis yang terkait dengan pengelolaan PNS seperti pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS tidak 81
akan terjadi lagi. Selain itu, aturan semisal mengenai seleksi PNS di provinsi sudah harus menyertakan pihak ketiga (independen) sehingga bisa meminimalisir kepentingankepentingan tertentu dari para pejabat politis.
4. Permasalahan Keempat “Lembaga Independen atau Komisi Kepegawaian Negara”
Masalah pengelolaan PNS di Indonesia tidak dapat diserahkan begitu saja kepada pemerintah pusat maupun daerah tanpa ada kejelasan terkait kewenangan dalam hak dan kewajiban apabila terjadi permasalahan akibat intervensi politik dalam birokrasi. Dalam kondisi ini memang diperlukan satu lembaga yang independen untuk menentukan berbagai posisi dalam birokrasi (pemerintahan, jabatan karier). Menurut Prof. Dr. Sofian Effendi dari MAP Universitas Gadjah Mada, keberadaan Badan Pertimbangan Jabatan Nasional (Baperjanas) harus diketuai oleh Presiden walau dalam pengambilan keputusannya tetap memerlukan anggota yang independen, tidak berafiliasi dengan kepentingan politis (anggota para politik, menteri dan sebagainya). Komisi Kepegawaian Negara (KKN) seperti diamanatkan Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 perlu segera dibentuk sebagai lembaga regulator dan evaluator untuk rekrutmen sampai pensiun terutama dalam penetapan norma. Keputusan KKN mengikat bagi PNS, dan sebagai evaluator bisa memberi sanksi kepada PNS melalui instansi terkait. Berdasarkan pendapat narasumber dari Provinsi Sulawesi Selatan, demi menjaga integritas KKN, syarat independensi keanggotaan pada KKN wajib dipenuhi. KKN diisi oleh akademisi, birokrat dan bisnis atau swasta. Anggota KKN dipilih oleh Presiden sebagai kepala negara bukan sebagai kepala pemerintahan. Sekretariatnya pun dengan demikian harus lepas dari eksekutif. Berkaca dari pengalaman pengelolaan manajemen PNS di Inggris, Prof. Gavin Drewry dari
University of London dan Claire Cameron dari Public Administration Institute, keduanya mengungkapkan pentingnya keberadaan Civil Service Commission (CSC) dengan tujuan supaya dapat memilih atau memperoleh PNS yang profesional bebas dari intervensi politis. Mereka tidak memungkiri bahwa di negara mereka, para PNS juga tidak bebas dari intervensi politis karena adanya spoil system dalam pengelolaan kepegawaiannya. Oleh karena itu, Prof. Drewry dan Cameron berpendapat bahwa faktor strong leadership memegang peran yang sangat besar dalam upaya mewujudkan birokrasi yang profesional. Selanjutnya untuk menghindari pengaruh politis lebih jauh ke dalam dunia PNS, mereka memandang bahwa penegasan tugas dan kewenangan PNS wajib dituangkan di dalam suatu kebijakan atau peraturan, termasuk di dalamnya mengatur fungsi dan kedudukan top leader dalam birokrasi yang memang pejabat politis (Presiden, Gubernur, Bupati, Menteri). Pejabat politis menurut kedua narasumber tidak bersifat permanen karena 82
mereka dipilih lima tahun sekali sehingga sangat mungkin banyak kepentingan yang menjadi agenda dalam lima tahun tersebut.
5. Permasalahan Kelima “Budaya Kerja PNS”
Permasalahan eksternal tentu saja tidak dapat diselesaikan semata-mata hanya dengan menuntaskan persoalan manajemen, akan tetapi persoalan budaya kerja memerlukan perhatian sangat serius. Menurut pendapat Prof. Dr. Sofian Effendi dari MAP Universitas Gadjah Mada, perombakan budaya kerja PNS sangatlah rumit sehingga berbeda dengan dunia kerja swasta karena seluruh sumber daya yang ada akan mendukung. Di dalam lingkungan birokrasi pemerintahan, perubahan budaya kerja tidak serius dilakukan. Local wisdom atau kearifan lokal belum mendapatkan porsi yang tepat di dalam pengelolaan PNS terutama di daerah sehingga tak jarang intervensi politis kerap dibenturkan dengan budaya lokal. Berdasarkan masukan narasumber dari Provinsi Yogyakarta, kasus di Yogyakarta membuktikan bahwa kearifan lokal dalam mengurangi dampak permasalahan eksternal dalam pengelolaan PNS secara tepat. Dapat dikatakan bahwa secara umum tidak ada masalah terkait dengan pejabat politis di Yogjakarta karena tidak ada pejabat politis. Kepatuhan jajaran PNS terhadap budaya kerajaan sangat kental tidak membuat mereka anti terhadap fit and proper test dalam penempatan pejabat struktural dalam jabatan PNS. Di dalam tahap akhir test, rapat internal dengan Tim Baperjakat tetap dilakukan tanpa campur tangan Gubernur dengan didukung data dan fakta yang jelas termasuk track record, kemampuan atau kompetensi dan sebagainya. Dengan demikian, Daerah Istimewa Yogyakarta meskipun berbentuk kerajaan akan tetapi suasana demokratisnya sangat kuat. Lain halnya dengan kebanyakan daerah lain, pengaruh kearifan lokal dalam menanggulangi permasalahan eksternal pengelolaan PNS masih belum diberlakukan. Intervensi kepentingan masih saling tumpang-tindih dalam lingkungan PNS masih menolak perubahan sehingga praktek KKN semakin subur di kalangan PNS baik pusat maupun daerah.
83
Bab IV
Grand Design Reformasi Sistem Manajemen PNS di Indonesia A. Tujuan Grand Design Untuk mewujudkan PNS yang mampu menghadapi berbagai tuntutan dan tantangan yang semakin kompleks, perlu disusun suatu grand design reformasi PNS. Tujuannya adalah untuk memberikan arah kebijakan pelaksanaan reformasi PNS selama kurun waktu 2010-2025 supaya pelaksanaan reformasi PNS dapat berjalan secara efektif, efisien, terukur, konsisten, terintegrasi dan berkelanjutan. Grand design ini memuat penyempurnaan dan pembenahan terhadap berbagai perangkat yang terkait dengan pengelolaan PNS, seperti profil atau sosok PNS yang diinginkan,
key success factor yang bisa menjadi kunci sukses pendorong perubahan, arah kebijakan yang jelas dan tegas, penguatan posisi kelembagaan yang terkait dengan pengelolaan PNS, serta manajemen PNS yang ideal sehingga bisa mewujudkan tujuan reformasi PNS dengan baik. Kajian yang dilakukan menemukan fakta bahwa permasalahan kepegawaian (PNS) di Indonesia saat ini sangatlah kompleks, misalnya terkait posisi PNS diantara penyelenggara pemerintahan. Melihat kondisi tersebut maka Tim perlu melakukan pengelompokan terhadap penyelenggara pemerintah ini. Selanjutnya dari kajian yang dilakukan terlihat perlunya pendefinisian ulang terhadap pengertian PNS sebagaimana dijelaskan dibawah ini. Dari penjelasan tersebut ada perubahan pengertian, yaitu PNS yang dipahami saat ini adalah Pegawai Sipil (PS) sebagaimana dijelaskan dibawah ini. PNS dipahami sebagai Pegawai Negara Sipil sedangkan PS dipahami sebagai Pegawai Sipil yang identik dengan pengertian PNS saat ini. Sehingga dalam tulisan PNS seringkali dipergunakan secara bergantian. Untuk itu perlu dipahami konteksnya, apabila konteksnya adalah kondisi ideal maka yang dimaksud dengan PNS adalah PS, sementara apabila konteksnya adalah kondisi existing maka pengertian PNS adalah sama dengan PNS yang dipahami selama ini. Berikut ini diberikan penjelasan selengkapnya.
B. Profil PNS Gambaran sejarah menunjukkan bahwa ada perubahan yang cukup signifikan terhadap profil atau sosok PNS di Indonesia. Tri Widodo (2010) menunjukkan gambaran sebagai berikut : 84
(1) pada jaman penjajahan sampai Orde Lama, sosok PNS menunjukkan gambaran sebagai pangreh praja, yang mempunyai ciri-ciri mengabdi untuk penjajah bukan untuk rakyat, bersifat eksploitatif dan cenderung minta dilayani bukan melayani. (2) pada jaman Orde Baru sampai saat ini, sosok PNS menunjukkan gambaran sebagai pamong praja, yang mempunyai ciri-ciri mengerjakan tugastugas pemerintahan, bekerja untuk kepentingan bangsa sendiri, bersifat mengayomi, membina, membimbing, mengarahkan, menuntun, memberi semangat dan bekerja tanpa pamrih. Tetapi gambaran tersebut belumlah cukup, menurut Tri Widodo dimasa depan, PNS harus mempunyai sosok sebagai pamukti praja, yaitu sosok PNS yang bekerja sepenuhnya untuk kepentingan masyarakat, dunia usaha dan kemajuan wilayah, memberikan pelayanan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi dan menciptakan iklim usaha yang kondusif, bersifat memberdayakan masyarakat,
mengoptimalkan
potensi
daerah,
mendorong
daya
saing
produk
lokal,
mengembangkan daerah supaya menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dan pelayanan. Sementara itu dalam pedoman arah reformasi birokrasi Kementerian PAN dan RB secara tegas disebutkan bahwa profil PNS yang diharapkan atau ingin diwujudkan adalah sosok PNS yang berintegritas, netral, kompeten, capable, profesional, berkinerja tinggi dan sejahtera. Gambaran yang lebih ringkas dari profil PNS adalah sebagaimana disampaikan Kepala BKN dalam akronim PNS (Profesional, Netral dan Sejahtera). Namun demikian tentu bukan sesederhana itu untuk mendeskripsikan profil PNS Indonesia dan tidak sederhana pula cara mewujudkannya. Beberapa hal berikut ini perlu dicermati untuk bisa memahami profil PNS.
1. Jenis Pegawai Pemerintah Apabila dicermati saat ini banyak yang menyamakan semua pegawai negeri dalam satu kategori, yaitu PNS. Padahal tidak bisa disederhanakan seperti itu. Berikut ini disajikan berbagai pemikiran terkait dengan pengelompokan pegawai pemerintah, yaitu pegawai yang bekerja untuk pemerintah dan dibiayai dengan APBN. Berdasarkan kajian yang dilakukan, Tim memberikan pengertian baru yang diharapkan bisa memberikan ketegasan terhadap definisi pegawai-pegawai pemerintah sehingga mempertegas posisi, kewenangannya dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.
tugas
dan fungsi serta
a. Penyelenggara Negara Dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme disebutkan yang dimaksud dengan penyelenggara negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, 85
atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari kajian yang dilakukan, Tim menyimpulkan bahwa tidak semua penyelenggara negara adalah pejabat negara, sehingga Tim memberikan pengertian baru, yaitu unsur penyelenggara negara yang bertugas dan bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pemerintahan negara yang terdiri dari pejabat negara dan pegawai negara. Pengertian tersebut memberikan penegasan bahwa ada dua (2) kategori penyelenggara negara, yaitu pejabat negara dan pegawai negara. Sementara tugas dan tanggung jawabnya sama, yaitu dalam penyelenggaraan pemerintahan negara yang pada prinsipnya meliputi fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif.
b. Pejabat Negara Dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme disebutkan bahwa penyelenggara negara adalah pejabat negara. Pengertian tersebut menegaskan bahwa semua penyelenggara adalah pejabat negara. Padahal belum tentu demikian, tidak semua penyelenggara adalah pejabat negara. Mencermati hal tersebut maka Tim memberikan pengertian pejabat negara adalah penyelenggara negara yang menjadi pimpinan dan atau anggota lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 dan pejabat negara lainnya yang ditetapkan oleh undang-undang.
c. Pegawai Negara Sebagaimana dijelaskan didepan, bahwa penyelenggara negara terdiri dari pejabat negara dan pegawai negara. Pengertian pegawai negara adalah penyelenggara negara yang tidak menjadi pimpinan atau menjadi anggota lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 dan pejabat negara lainnya yang ditetapkan oleh undang-undang. Pengertian ini mempertegas bahwa penyelenggara negara terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu pejabat negara dan pegawai negara. Pegawai negara sendiri terdiri dari 2 (dua), yaitu pegawai negara militer (anggota TNI) dan pegawai negara sipil (PNS).
86
d. Pegawai Negara Militer (anggota TNI) Pengertian anggota TNI adalah pegawai negara yang dipersiapkan dan dipersenjatai untuk tugas-tugas pertahanan negara guna menghadapi ancaman militer maupun ancaman bersenjata sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
e. Pegawai Negara Sipil (PNS) Pengertian Pegawai Negara Sipil (PNS) adalah pegawai negara yang diserahi tugas dalam jabatan sipil atau diserahi tugas negara lainnya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pegawai Negara Sipil (PNS) terdiri dari anggota POLRI, Pegawai Sipil (PS) dan Pegawai Tidak Tetap (PTT).
f. Polisi Negara Republik Indonesia (anggota POLRI) Pengertian anggota POLRI adalah pegawai negara yang diberi tugas dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
g. Pegawai Sipil (PS)
Pengertian Pegawai Sipil (PS) adalah pegawai negara yang diberi tugas di bidang penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Pengertian PS ini sama dan identik dengan pengertian PNS yang dipahami saat ini. Pegawai Sipil terdiri dari pegawai kementerian, pegawai lembaga non kementerian, pegawai non militer yang bekerja di institusi TNI, pegawai non polisi yang bekerja di institusi POLRI, pegawai pemerintah daerah, pegawai sekretariat lembaga negara, sekretariat lembaga non struktural, pegawai Badan Layanan Umum (BLU) dan pegawai sipil lainnya yang dipekerjakan dan atau diperbantukan di instansi lainnya. h. Pegawai Tidak Tetap (PTT)
Pengertian Pegawai Tidak Tetap (PTT) adalah pegawai negara yang bekerja dalam jangka waktu tertentu sesuai kontraknya dan diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai peraturan perundangan yang berlaku. 87
Dengan adanya pengelompokan ini diharapkan masing-masing penyelenggara bisa fokus pada tugas dan fungsi serta tanggung jawab masing-masing. Dalam hal kebijakan atau peraturan pengelolaan pun dirasakan akan lebih mudah karena masingmasing jenis penyelenggara negara mempunyai hak dan kewajiban serta model pengelolaan yang berbeda. 2. Jumlah dan Komposisi PNS Menurut data yang dipublikasikan, pada bulan Mei 2010, jumlah PNS adalah sebesar 4.732.472 orang. Sementara jumlah penduduk Indonesia berdasarkan Sensus 2010 diperkirakan sebesar 235 juta jiwa. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa perbandingan PNS dengan penduduk adalah kurang lebih 1 : 50. Dilihat dari jumlahnya, tersebut dirasakan masih kurang karena melihat luasnya wilayah dan besarnya jumlah penduduk Indonesia yang harus mendapat pelayanan. Pendapat ini didukung oleh Prijono Tjiptoherijanto dan juga Ryaas Rasyid yang mengatakan bahwa idealnya pegawai negeri (birokrasi) bisa mencapai empat hingga lima persen dari jumlah penduduk agar pelayanan kepada masyarakat bisa maksimal (Tim Peneliti Puslitbang BKN). Apabila mengikuti gambaran ideal tersebut maka dibutuhkan jumlah PNS sebanyak 9 (sembilan) juta sampai 11 (sebelas) juta orang. Dua sampai tiga kali lipat dari PNS yang ada saat ini. Akan tetapi di lapangan, Tim menemukan bahwa di PNS terjadi fenomena under
emplyoment (pengangguran). Hal ini disebabkan karena begitu banyaknya pegawai yang ada sementara tugas dan pekerjaan tidak ada. Akan tetapi Tim juga menemukan adanya bentuk kekurangan pegawai, sehingga pegawai harus kerja over time. Dari kondisi tersebut dapat disimpulkan bahwa permasalahan utamanya bukanlah pada jumlahnya tetapi lebih pada distribusi yang tidak merata. Distribusi ini meliputi antar sektor, antar instansi, antar daerah maupun secara nasional. Selain itu tidak tepatnya proses perencanaan kebutuhan pegawai juga memegang peranan penting dalam menetapkan jumlah pegawai yang sesuai beban kerja nyata organisasinya. Selain jumlah, faktor lain yang perlu diperhatikan dalam profil PNS adalah komposisinya. Pengertian komposisi disini tidak hanya mencakup jenis kelamin atau tingkat pendidikan saja melainkan mencakup semua hal yang menunjukkan kualifikasi pegawai. Komposisi harus mencakup hal-hal yang bisa menggambarkan kompetensi dan potensi yang dimiliki seorang PNS. Sebagai contoh, misalnya pendidikan yang pernah diikuti baik struktural maupun teknis, 88
track record jabatan yang pernah dijabat dan pengalaman kerja yang dimiliki. Dan yang paling utama adalah catatan kinerjanya atau prestasi kerjanya. Untuk bisa mendukung hal ini maka penyusunan database kepegawaian yang selalu di-
update menjadi suatu kebutuhan yang pokok. Database pegawai harus dibangun dengan sistem yang sama, sebagaimana saat ini sedang dibangun oleh BKN dengan SAPK (sistem aplikasi pelayanan kepegawaian). SAPK dibangun oleh semua instansi, baik di tingkat pusat maupun daerah dan harus mengikuti standar yang ditetapkan oleh BKN sebagai instansi yang bertanggung jawab dalam administrasi kepegawaian. Sistem yang dibangun dan dikembangkan haruslah sama dan on line atau terhubung dengan semua jaringan.
C. Key Success Factor Reformasi PNS Proses percepatan pelaksanaan reformasi PNS tentunya tidak akan terlepas dari sejumlah key success factor (faktor kunci sukses) dalam proses pelaksanaannya. Dengan adanya faktor kunci sukses ini diharapkan mampu menjadi pendorong terjadinya proses pelaksanaan reformasi PNS. Faktor kunci sukses ini harus diwujudkan terlebih dahulu atau bisa juga disebut sebagai prasyarat (pre requisit condition) yang harus disiapkan terlebih dahulu untuk mendukung pelaksanaan reformasi sistem manajemen PNS. Sejumlah faktor kunci sukses yang diharapkan mampu mendorong pelaksanaan reformasi PNS adalah sebagai berikut :
1. Strong Leadership Salah satu aspek pendorong perubahan selalu dimulai dan berakhir dengan faktor manusia. Demikian pula untuk perubahan Manajemen Sumber Daya Aparatur yang akan dilakukan harus terlebih dahulu dimulai dari pucuk pimpinan tertinggi. Implementasi pelaksanaan demokrasi menghasilkan suatu pimpinan yang terpilih secara demokratis sehingga diharapkan mampu sebagai pengungkit utama dalam menjalankan suatu perubahan. Kriteria yang harus dimiliki oleh pimpinan untuk menjadi seorang pemimpin perubahan adalah : pertama, pemimpin harus mampu membuat pengikutnya mengagumi, menghormati, dan sekaligus mempercayainya, dimensi pertama disebut idealized influence (pengaruh ideal). Kedua, pemimpin harus mampu mengartikulasikan pengharapan yang jelas terhadap keinginan bawahan (masyarakatnya), mengimplementasikan komitmennya terhadap perwujudan visi, 89
misi yang telah dicanangkan, dan mampu menggugah spirit tim dalam organisasi melalui penumbuhan antusiasme dan optimisme. Kriteria kedua ini disebut inspirational motivational (motivasi inspirasi). Ketiga, pemimpin harus mampu menumbuhkan ide-ide baru, memberikan solusi yang kreatif terhadap permasalahan-permasalahan yang terjadi, dan memberikan motivasi ke bawahan untuk mencari pendekatan-pendekatan yang baru dalam melaksanakan tugas-tugas organisasi. Kriteria ketiga ini disebut intelellectual stimulation (stimulasi intelektual), sedangkan kriteria keempat adalah individualized consideration (konsiderasi individu), dalam dimensi ini pemimpin mau mendengarkan dengan penuh perhatian terhadap masukan-masukan yang diberikan oleh bawahan dan secara khusus memperhatikan kebutuhan-kebutuhan bawahan dalam proses pengembangan karir. Keempat kriteria inilah yang harus dimiliki oleh pimpinan yang dimulai dari tingkat yang paling tinggi, yaitu Kepala Negara sampai pada pimpinan eselon yang paling rendah di tingkat Kementerian, lembaga maupun pemerintah daerah.
2. Political Will
Aspek kemauan politik merupakan salah satu faktor kunci sukses yang bisa mendukung terlaksananya Reformasi PNS. Kemauan politik merupakan dukungan yang memiliki dampak yang positif bagi terlaksananya Reformasi PNS. Kemauan politik untuk mendukung terlaksananya reformasi PNS dapt berasal dari sejumlah stake holder seperti politisi, masyarakat, dan pemerintah. Usulan untuk melaksanakan reformasi PNS harus disosialisasikan dan didiskusikan di lingkungan politisi, hal ini disebabkan politisi memegang peranan yang sangat penting bagi terbitnya sejumlah peraturan yang terkait dengan reformasi PNS. Percepatan penerbitan peraturan perundang-undangan yang dilakukan di lingkungan parlemen terkait dengan implementasi reformasi PNS akan mampu mengawal pelaksanaan reformasi PNS sesuai dengan yang direncanakan. Dengan adanya komunikasi yang intensif dan efektif antara pihak eksekutif dan legislative dalam menyusun kebijakan/peraturan yang terkait reformasi PNS merupakan dua sisi mata uang yang saling mendukung bagi terlaksananya reformasi PNS. Namun selain itu dukungan politik juga dapat berasal dari masyarakat, dukungan ini dapat berasal dari organisasi masyarakat serta sejumlah lembaga-lembaga swadaya masyarakat untuk mendorong terjadinya proses reformasi PNS. Dukungan yang diberikan oleh masyarakat memiliki sifat yang membangun bagi perbaikan PNS di masa mendatang 90
3. Civil Service Commission Pembentukan Civil Service Comission (Komisi Pegawai Sipil) merupakan salah satu amanat Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999, yang disebut sebagai Komisi Kepegawaian Negara (KKN). Karena KKN ini fokus pada pengelolaan Pegawai Sipil (PS) maka nama yang lebih tepat adalah Komisi Kepegawaian Sipil (KKS). KKS dibentuk sebagai suatu lembaga independen yang memiliki otoritas pengelolaan dalam pelaksanaan reformasi PNS. Anggota KKS dipilih secara terbuka dan diuji melalui fit and proper test dan tidak memegang jabatan di instansi lain. Pemilihan anggota KKS dilakukan oleh Tim yang dibentuk oleh Presiden. KKS dibentuk berdasarkan Undang-Undang dengan masa kerja selama 5 (lima) tahun, serta Ketua dan Wakil Ketua KKS dipilih secara aklamasi oleh masing-masing anggotanya. Anggota KKS terdiri dari perwakilan dari unsur pemerintah, praktisi/swasta, tokoh masyarakat, pakar dan Pegawai Sipil aktif. Keberadaan KKS ini diharapkan tidak akan menimbulkan permasalahan dengan otoritas pengelolaan kepegawaian PNS yang sudah ada. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN dan RB) bertugas bertanggungjawab dalam penetapan kebijakan yang terkait dengan pengelolaan Pegawai Sipil. Lembaga Administrasi Negara (LAN) bertanggungjawab dalam kegiatan pengkajian, penelitian dan pengembangan, pembinaan dan penyelenggaraan diklat bagi Penyelenggara Negara. Badan Kepegawaian Negara (BKN) bertanggungjawab dalam kegiatan pembinaan pengelolaan dan administrasi kepegawaian sipil. Sementara Komisi Kepegawaian Sipil (KKS) bertugas membantu Presiden memberikan pertimbangan dibidang kebijakan kepegawaian khususnya dalam penetapan formasi nasional dan promosi untuk pejabat struktural eselon I serta memberikan saran dan arah kebijakan strategis dibidang kepegawaian sipil, menjaga netralitas Pegawai Sipil dan menjaga bahwa sistem merit berjalan dilingkungan Pegawai Sipil.
4. Netralitas PNS Netralitas PNS diperlukan sebagai upaya depolitisasi PNS terhadap kepentingankepentingan politis tertentu yang ingin memanfaatkan PNS dan birokrasi bagi kepentingan politik dan partai politik dari pejabat politik yang ada dalam birokrasi. Netralitas PNS menjadi sangat penting untuk menjamin profesionalisme PNS dan stabilitas birokrasi dari pengaruh politis. Profesionalisme PNS didefinisikan sebagai PNS yang keberadaanya didasarkan pada asas 91
yang menunjukkan bahwa pengelolaan pegawai negara didasarkan pada kompetensi, profesionalisme dan prestasi kerja. Merujuk pada definisi diatas, maka jika asas ini ditegakkan, maka dapat dihindari banyak kasus tentang rentannya posisi PNS terhadap pengaruh politis dari pejabat politis yang ada dalam birokrasi. Seperti misalnya tidak berdayanya Sekretaris Daerah dalam menolak keputusan daerah yang memindahkan atau memutasikannya tanpa berdasarkan alasan kebijakan kepegawaian yang jelas. Selain itu juga, ketidakberdayaan sekretaris daerah dan pejabat kepegawaian lainnya (jika tidak dilibatkan) didalam menentukan penempatan orang bagi jabatan strategis seperti kepala dinas-kepala dinas di daerah dan hal-hal lainnya yang terkait dengan kebijakan dalam pengelolaan PNS yang ada di daerah. Idealnya hal-hal diatas dapat dihindari jika netralitas PNS dapat benar-benar ditegakkan sehingga PNS dapat tetap bekerja dalam tugas dan fungsinya tanpa harus khawatir akan dipolitisasi oleh pejabat politis karena adanya perlindungan terhadap fungsi dan kedudukannya yang semata-mata didasarkan pada kinerjanya dan bukan kepada keputusan pribadi pimpinan politis. Jaminan tentang profesionalime PNS dalam birokrasi diperlukan sebagai upaya perlindungan akan berjalannya kinerja PNS secara profesional, untuk itu seorang PNS yang netral adalah pegawai yang netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta berkewajiban memberdayakan mayarakat. Untuk menjamin netralitas sebagaimana dimaksud diatas, maka PNS dilarang menjadi anggota atau pengurus partai politik.
5. Perubahan Peraturan Salah satu faktor kunci sukses yang tidak boleh ditinggalkan adalah dilakukannya perubahan peraturan yang terkait dengan pengelolaan PNS. Sebagaimana diketahui dari hasil kajian yang dilakukan oleh LAN pada tahun 2005 tentang Efektivitas Peraturan di Bidang Kepegawaian, ditemukan berbagai kelemahan yang terkait dengan peraturan tersebut. Peraturan yang terkait dengan pengelolaan kepegawaian baik Undang-Undang maupun Peraturan pelaksanaannya harus dilakukan revisi, diganti, diubah atau malah dicabut. Peraturan-peraturan tersebut ada yang sudah tidak relevan lagi pada saat ini, overlapping, mengatur substansi yang sama dan mengandung persepsi ganda. Kondisi tersebut apabila dibiarkan akan menimbulkan chaos atau kekacauan dalam pengelolaan kepegawaian. Maka perubahan peraturan menjadi suatu kebutuhan yang mutlak dalam reformasi pengelolaan PNS.
92
6. Law Enforcement Salah satu problem krusial dalam manajemen PNS adalah penegakan hukum yang masih lemah terkait dengan penerapan sanksi yang harus dikenakan kepada PNS jika melanggar aturan dan kode etik PNS. Kondisi ini selanjutnya mempengaruhi produktivitas PNS dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Pada tataran yang lebih nyata, lemahnya penegakan hukum telah ikut andil dalam membentuk buruknya nilai dan budaya kerja PNS. Stigma negatif yang selama ini disandang oleh PNS jelas diakibatkan oleh lemahnya law enforcement terhadap ketidakdisiplinan PNS, pelanggaran kode etik, penyalahgunaan wewenang, dan tindakan negatif lain yang merugikan negara dan publik. Penegakan law
enforcement dapat dilakukan melalui review terhadap peraturan perundangan yang berkaitan dengan disiplin dan kode etik pegawai apakah masih relevan dengan kondisi dan kebutuhan yang ada, dan komitmen untuk menjalankan peraturan perundangan yang ada.
7. Penerapan Manajemen Kinerja
Aspek yang memiliki pengaruh yang sedemikian besar untuk membentuk PNS yang profesional adalah kinerja yang dihasilkan oleh masing-masing individu PNS. Fakta yang ada adalah rendahnya kinerja PNS sehingga kegusaran ini diungkapkan oleh MenPAN Taufik Efendy bahwa hampir 55% kinerja yang dihasilkan rendah. Maka salah satu solusi yang ditawarkan adalah penerapan manajemen kinerja individu, yaitu setiap individu PNS memilki target kinerja yang jelas untuk dipenuhi pada setiap akhir tahun sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya. Implikasi dari implementasi manajemen kinerja individu adalah pemberian remunerasi ke setiap individu PNS. Pemberian remunerasi ini akan adil dengan besaran secara kuantitas terhadap kinerja yang dihasilkan oleh masing-masing individu PNS. Dengan demikian diharapkan individu PNS akan selalu terpicu untuk meningkatkan kinerjanya dikarenakan terkait dengan remunerasi yang diberikan. Agar implementasi manajemen kinerja dapat dipatuhi oleh setiap individu PNS maka pemerintah harus menyusun Undang-Undang tentang Manajemen Kinerja Individu PNS dengan tujuan adanya kepatuhan dari setiap penyelenggara pemerintahan untuk melaksanakan manajemen kinerja dalam setiap melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya. Substansi yang mendasar dari pelaksanaan manajemen kinerja yaitu setiap individu PNS harus memiliki target kinerja yang harus dicapai sesuai kesepakatan dengan atasannya. Hasil capaian akhir tahun itulah merupakan kinerja yang dihasilkan oleh setiap individu PNS. 93
Dengan adanya implementasi manajemen kinerja yang harus dimilki oleh setiap individu PNS maka diharapkan akan dapat memicu terjadi peningkatan kinerja dari masing-masing individu PNS. Peningkatan kinerja ini diharapkan juga mampu memberikan dampak yang positif bagi unit maupun organisasi dimana setiap individu PNS melaksanakan tugas dan kewajibannya.
8. Moratorium Rekrutmen PNS
Berdasarkan data BKN yang dipublikasikan per Mei 2010, jumlah PNS di Indonesia sebesar 4.732.472 orang sedangkan jumlah penduduknya berdasarkan sensus tahun 2010 diperkirakan sebesar 235 juta jiwa, sehingga perbandingan PNS dengan penduduk adalah kuarnag lebih adalah 1 : 50. Berdasarkan data tersebut terlihat tidak ada masalah yang serius, bahkan ada beberapa pakar yang menyebutkan bahwa perbandingan PNS dengan penduduk kurang lebih 4% - 5%. Artinya jumlah tersebut masih sangat kurang. Akan tetapi ternyata di lapangan ditemukan bahwa distribusi PNS baik dari aspek kualitas maupun kuantitas belum dapat dipetakan dengan baik. Kondisi ini berdampak ada instansi yang kelebihan pegawai, terlihat dengan banyaknya peagwai yang menganggur tetapi disisi lain ada instansi yang kekurangan pegawai terlihat dari seringnya pegawai kerja lembur. Sementara itu rekrutmen pegawai terus dilakukan bahkan semakin meningkat dari tahun ke tahun bahkan dilakukan dengan melakukan pengangkatan tenaga honorer daerah menjadi PNS. Kondisi ini tentunya tidak bisa dibiarkan terus menerus, pegawai harus bisa didistribusikan secara merata, baik secara kualitas maupun kuantitas. Pegawai perlu ditata ulang, mencakup kegiatan mutasi, promosi, penempatan sesuai dnegan tuntutan kompetensi organisasi dan kompetensi yang dimiliki pegawai. Agar penataan ulang PNS bisa maksimal dilakukan maka perlu adanya kesepakatan bersama dengan semua pihak untuk melakukan penghentian sementara (moratorium) pelaksanaan rekruitmen PNS. Selama masa moratorium ini maka dilakukan penataan ulang terhadap pegawai yang ada secara maksimal.
D. Arah Penyempurnaan Kebijakan Pengelolaan PNS Reformasi pengelolaan PNS harus sejalan dengan reformasi bidang politik yang sudah berjalan sejak 1998. Reformasi bidang politik difokuskan pada pembenahan sistem pemerintahan, yaitu merubah sistem pemerintahan yang cenderung sentralistik ke desentralistik dan merubah sistem politik yang lebih demokratis. Bisa dikatakan bahwa reformasi bidang politik sudah 94
menunjukkan hasil yang menggembirakan. Kehidupan politik menjadi semakin demokratis dengan diakuinya suara masyarakat dalam pemilihan pimpinan negara/daerah secara langsung merupakan contoh keberhasilan reformasi bidang politik. Untuk mempertahankan keberhasilan tersebut, reformasi dalam pengelolaan kepegawaian (PNS) sebagai soko guru pemerintahan nampaknya perlu mendapat perhatian lebih. Karena untuk mendukung reformasi secara nasional diperlukan birokrasi penyelenggara pemerintahan yang kompeten dan dikelola dengan baik. Secara kebijakan, reformasi pengelolaan PNS tidak bisa dipisahkan dengan reformasi birokrasi yang merupakan payungnya. Maka kedua reformasi ini harus berjalan selaras dan selurus. Reformasi birokrasi sendiri bukanlah merupakan sebuah proses yang mudah dan sederhana karena berkaitan dengan ribuan proses tugas dan fungsi pemerintahan, melibatkan jutaan manusia dan membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Reformasi birokrasi memerlukan terobosan baru (innovation breakthrough) dengan langkah-langkah secara bertahap, konkrit, realistis, sungguh-sungguh, bersifat thinking out of the box dan adanya a new paradigm shift serta upaya yang luar biasa (business not as usual). Reformasi birokrasi harus memiliki sebuah rencana besar yang diuraikan dalam tahapan-tahapan pelaksanaan yang jelas, visioner, menyeluruh, taktis, dan terukur. Rencana besar dan tahapan operasional inilah yang disebut dengan grand design dan langkah-langkahnya disebut dengan road map reformasi birokrasi. Arahan kebijakan reformasi birokrasi dapat dilihat dari beberapa dasar hukum antara lain sebagai berikut : a. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJM Tahun 2005 - 2025), menyebutkan bahwa : pembangunan aparatur negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme aparatur negara dan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, di pusat maupun di daerah, agar mampu mendukung keberhasilan pembangunan di bidang lainnya. b. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010 - 2014, menyebutkan : dalam rangka mendukung terwujudnya Indonesia yang sejahtera, demokratis dan berkeadilan, kebijakan pembangunan di bidang hukum dan aparatur diarahkan pada perbaikan tatakelola pemerintahan yang baik. Salah satu fokus prioritas pelaksanaannya adalah melalui : pemantapan pelaksanaan reformasi birokrasi. Dalam RPJMN 2010 - 2014 ditetapkan bahwa reformasi birokrasi sebagai Prioritas I pembangunan nasional. Secara rinci substansi inti dari reformasi birokrasi dan tata kelola yang menjadi Prioritas I diuraikan sebagai barikut :
95
1. Struktur : konsolidasi struktural dan peningkatan kapasitas kementerian/lembaga yang menangani aparatur negara, yaitu Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN dan RB), Badan Kepegawaian Negara (BKN), dan Lembaga Administrasi Negara (LAN) pada 2010; restrukturisasi lembaga pemerintah lainnya, seperti dibidang keberdayaan UMKM, pengelolaan energi pemanfaatan sumber daya kelautan, restrukturisasi BUMN, hingga pemanfaatan tanah dan penataan ruang bagi kepentingan rakyat banyak selambat-lambatnya 2014; 2. Otonomi daerah : penataan otonomi daerah melalui : 1) penghentian/pembatasan pemekaran wilayah; 2) peningkatan efisiensi dan efektivitas penggunaan dana perimbangan daerah; dan 3) penyempurnaan pelaksanaan pemilihan kepala daerah; 3. Sumber daya manusia : penyempurnaan pengelolaan PNS yang meliputi sistem rekrutmen, pendidikan, penempatan, promosi, dan mutasi PNS secara terpusat selambat-lambatnya 2011; 4. Regulasi : percepatan harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundangundangan di tingkat pusat dan daerah hingga tercapai keselarasan arah dalam implementasi pembangunan, diantaranya penyelesaian kajian 12.000 peraturan daerah selambatlambatnya 2011; 5. Sinergi antara pusat dan daerah : penetapan dan penerapan sistem Indikator Kinerja Utama Pelayanan Publik yang selaras antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah; 6. Penegakan hukum : peningkatan integrasi dan integritas penerapan dan penegakan hukum oleh seluruh lembaga dan aparat hukum 7. Data kependudukan : penetapan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan pengembangan Sistem Informasi dan Administrasi Kependudukan (SIAK) dengan aplikasi pertama pada kartu tanda penduduk selambat-lambatnya pada 2011. Sementara terkait dengan reformasi pengelolaan PNS, target yang ingin dicapai adalah aparatur yang berintegritas, netral, kompeten, capable, profesional, berkinerja tinggi dan sejahtera. Untuk mencapai target tersebut diperlukan langkah-langkah perubahan yang secara garis besar mencakup :
a. Penataan kembali sistem rekruitmen. Sistem rekruitmen menjadi kunci masuknya calon-calon pegawai unggul yang akan menjadi kunci peningkatan kinerja birokrasi. Sistem rekruitmen harus didasarkan pada sistem merit. Oleh karena itu, sistem rekuritmen harus dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal sebagai berikut : 1). Seleksi pegawai harus dilakukan dengan proses seleksi yang kompetitif; 2). Seleksi terhadap pegawai harus dilakukan dalam kaitan dengan kebutuhan kualifikasi dan kualitas pekerjaan yang dibutuhkan; 96
3). Seleksi juga harus dikaitkan dengan outcome dari pekerjaan yang nantinya akan dilaksanakan oleh calon pegawai yang terpilih; 4). Seleksi didasarkan atas hasil penilaian terhadap calon dengan ketiga kriteria di atas. Dengan diterapkannya sistem merit, diharapkan tidak lagi ada spoil system, yang cenderung lebih pada pendekatan kekerabatan, kolusi dan tidak berdasarkan kebutuhan nyata organisasi. Sistem rekrutmen harus dibuat terbuka untuk jabatan-jabatan tertentu yang kebijakannya ditetapkan oleh masing-masing Kementerian/ Lembaga/Pemerintah Daerah. Rekrutmen ini akan membuka kesempatan bagi profesional dari kalangan luar birokrasi untuk ikut serta memberikan kontribusinya pada kemajuan birokrasi.
b. Penataan sistem penggajian. Salah satu aspek penting untuk menarik calon-calon pegawai berkualitas adalah adanya sistem penggajian yang menarik. Sistem yang saat ini diterapkan, cenderung mengecilkan gaji pokok dan memperbesar sumber-sumber penghasilan lainnya (tunjangan). Sistem penggajian harus dikaitkan dengan beban kerja dan kinerja. Pegawai yang memiliki beban kerja yang lebih berat tentunya harus memperoleh penghasilan yang lebih besar pula, dan mereka yang berkinerja lebih tinggi harus memperoleh penghasilan yang lebih besar pula. c. Penataan sistem pensiun. Hal lain yang juga harus menjadi perhatian adalah sistem pensiun yang saat ini diterapkan. Perlu perubahan sistem pensiun yang komprehensif yang meliputi kelembagaan maupun sistemnya. d. Job analysis dan job evaluation. Job analysis dan job evaluation memiliki arti yang sangat penting dalam menentukan rating, remunerasi dan klasifikasi jabatan. Job analysis dan job evaluation sangat diperlukan dalam kaitan dengan penerapan merit sistem dalam penggajian. Dalam kaitan itu juga sangat diperlukan ketika dilakukan proses penilaian kebutuhan pegawai disertai dengan klasifikasi/kualifikasi kebutuhannya. e. Penilaian kinerja pegawai. Penerapan sistem merit dalam penggajian perlu didukung dengan penerapan sistem penilaian kinerja yang berkorelasi dengan kinerja yang dihasilkannya. Harus ada kaitan antara apa yang dihasilkan oleh seorang pegawai dengan apa yang ingin dicapai oleh unit kerja atau organisasinya. f. Pendidikan dan pelatihan pegawai. Job analysis dan job evaluation pada dasarnya akan menghasilkan beban kerja dan kualifikasi (standar kompetensi) posisi tertentu dalam organisasi. Dilain pihak keduanya juga akan memberikan informasi yang sangat bermanfaat bagi upaya untuk merancang kebutuhan diklat yang diperlukan bagi seorang pegawai yang akan menduduki jabatan tersebut. Karena itu, sistem diklat harus
97
dirancang sesuai dengan kebutuhan jabatan dan bukan melulu digeneralisasi secara umum atas dasar kompetensi yang generik. g. Etika. Meskipun sudah terdapat aturan yang memberikan batasan bagi setiap PNS untuk berperilaku sesuai dengan etika, namun demikian penegakan etika perlu lebih ditekankan. Harus ada punishment serta reward yang jelas bagi mereka yang melanggar etika ataupun mendorong penegakan etika. h. Perubahan pola pikir dan budaya kerja. Aspek perubahan yang paling sulit dilakukan adalah aspek yang terkait dengan perilaku pegawai. Untuk merubah pola pikir dan budaya kerja yang dipandang kurang mendukung birokrasi untuk lebih dapat berkinerja, diperlukan upaya jangka panjang yang secara terus menerus dan konsisten. Karena itu, manajemen PNS juga harus mampu membawa setiap pegawai untuk berperilaku menurut pola pikir dan budaya kerja yang diinginkan oleh organisasi birokrasi. Perilaku yang diinginkan adalah : profesional, berintegritas tinggi, menjadi pelayan masyarakat dan abdi negara. E. Penguatan dan Reposisi Kelembagaan dalam Pengelolaan PNS Kajian Lembaga Administrasi Negara pada tahun 2004 tentang Efektivitas Peraturan di Bidang Kepegawaian menunjukkan bahwa dalam pengelolaan kepegawaan (PNS) di Indonesia diindikasikan terjadi tumpang tindih (overlapping) dalam pelaksanaan tugas dan fungsi serta kewenangan dari instansi-instansi yang terlibat didalamnya khususnya ditingkat pusat. Kondisi ini berdampak pada kebijakan yang dikeluarkan oleh satu instansi seringkali tumpang-tindih dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh instansi lainnya. Artinya belum terdapat pembagian tugas dan kewenangan yang jelas antar instansi dalam perumusan kebijakan pengelolaan PNS sehingga kebijakan yang diterbitkan kurang dapat berjalan secara efektif dan efisien. Dalam struktur penataan kelembagaan instansi pemerintah pusat perlu dilakukan konsolidasi struktural dan peningkatan kapasitas kementerian/lembaga yang menangani aparatur negara. Hal ini dapat dilakukan melalui restrukturisasi organisasi dan tata kerja instansi, yaitu dengan melakukan rightsizing yang didasarkan pada analisis terhadap visi, misi, strategi serta tupoksi masing-masing instansi, sehingga diharapkan tercipta struktur kelembagaan yang proporsional, efektif dan efisien. Penataan kelembagaan pengelola PNS masa depan setidaknya memberikan arah dan tujuan yang jelas bagi terselenggaranya kepemerintahan yang baik ( good
governance) khususnya reformasi pengelolaan PNS. Arah reposisi kelembagaan dan konsolidasi struktural kapasitas kementerian/lembaga yang menangani
aparatur
negara
diharapkan
dapat 98
menghilangkan
adanya
tumpang-tindih
(overlapping) dalam pengelolaan PNS selama ini, sehingga tercipta kelembagaan yang adaptif, inovatif, efektif dan efisien. Ada empat instansi yang terlibat secara langsung dalam pengelolaan kepegawaian (PNS) di tingkat pusat, yaitu KPS (Komisi Pegawai Sipil), Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN dan RB), Lembaga Administrasi Negara (LAN) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN dan RB) bertugas bertanggungjawab dalam penetapan kebijakan yang terkait dengan pengelolaan Pegawai Sipil. Lembaga Administrasi Negara (LAN) bertanggungjawab dalam kegiatan pengkajian, penelitian dan pengembangan, pembinaan dan penyelenggaraan diklat bagi Penyelenggara Negara. Badan Kepegawaian Negara (BKN) bertanggungjawab dalam kegiatan pembinaan pengelolaan dan administrasi kepegawaian sipil. Sementara Komisi Kepegawaian Sipil (KKS) bertugas membantu Presiden memberikan pertimbangan dibidang kebijakan kepegawaian khususnya dalam penetapan formasi nasional dan promosi untuk pejabat struktural eselon I serta memberikan saran dan arah kebijakan strategis dibidang kepegawaian sipil. Koordinasi, integrasi dan sinkronisasi (KIS) diantara keempat instansi ini harus kuat dan terus menerus supaya kebijakan yang diambil satu dan padu, implementasinya juga satu dan padu sehingga output yang diharapkan dari kebijakan bisa maksimal.
F. Manajemen PNS yang Ideal Sesuai dengan kebutuhan terhadap penataan sistem manajemen PNS yang sejalan dengan
grand design reformasi birokrasi nasional, maka perubahan sistem manajemen PNS diarahkan sebagai berikut : 1. Rencana Induk (master plan) PNS Agar dapat memberikan hasil yang optimal, pengelolaan PNS perlu dilakukan secara terencana dan terukur. Rencana induk atau master plan PNS adalah perencanaan yang menyeluruh terhadap pengelolaan PNS yang dilakukan secara nasional baik dalam jangka panjang (25 tahun), jangka menengah (5 tahun) dan jangka pendek (tahunan). Perencanaan induk ini merupakan rujukan bagi seluruh kementerian/lembaga/pemerintah daerah dalam menjalankan praktik-praktik manajemen PNS. Sebagai rencana induk, dapat diketahui arah kebijakan dan strategi pengelolaan PNS kedepan sehingga dapat membentuk PNS yang sesuai dengan tujuan reformasi birokrasi, yaitu : membentuk birokrasi profesional, dengan
99
karakteristik : adaptif, berintegritas, berkinerja tinggi, bebas dan bersih KKN, mampu melayani publik, netral, berdedikasi dan memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik aparatur negara. Rencana
induk
PNS
ini
berfungsi
:
(1)
sebagai
acuan
bagi
seluruh
kementerian/lembaga/pemerintah daerah dalam menjalankan praktik-praktik manajemen PNS; (2) alat (tools) dalam menciptakan keselarasan dan sinkronisasi kebijakan pengelolaan kepegawaian secara nasional dan (3) pengendalian terhadap keseimbangan jumlah, kualifikasi, ketersediaan anggaran bagi PNS. Rencana induk PNS jangka panjang, menengah dan jangka pendek disusun oleh pemerintah dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan yang disampaikan oleh DPR, DPD dan Pemerintah Daerah. Pada dasarnya rencana induk ini mencakup antara lain : a. Kebijakan pokok mengenai pengelolaan PNS secara nasional yang diselaraskan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional. b. Kualitas dan kompetensi CPNS yang dibutuhkan menurut kementerian/lembaga/pemerintah daerah. c. Jumlah yang dibutuhkan menurut kementerian/lembaga/ pemerintah daerah. d. Jenis dan bentuk peningkatan kompetensi yang dibutuhkan. e. Jenis dan jenjang pendidikan dan pelatihan yang dibutuhkan. f. Jumlah kebutuhan anggaran untuk gaji, tunjangan, pengembangan pegawai, pensiun dan lain-lain.
2. Rekrutmen dan Seleksi Rekrutmen calon pegawai negeri sipil dilakukan setelah rencana induk PNS disusun. Dengan demikian, kebijakan rekrutmen didasarkan pada analisis yang lebih rasional dan benarbenar sesuai kebutuhan. Rekrutmen dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip : a. Selektif, rekrutmen dan seleksi PNS dilakukan secara sangat selektif karena yang akan dijaring adalah calon-calon PNS yang memiliki kompetensi tinggi, tidak sekedar orangorang yang mencari pekerjaan sebagai PNS. Disamping untuk mendapatkan tenaga-tenaga yang berkualitas – baik pengetahuan, keterampilan maupun moralitasnya – selektifitas penerimaan CPNS juga bertujuan untuk (a) mengefisienkan biaya pengembangan pegawai di kemudian hari, (b) mengurangi kemungkinan munculnya PNS yang memiliki low morale termasuk trouble maker. b. Merit, calon yang terjaring adalah mereka yang telah membuktikan dirinya mampu melewati serangkaian ujian dan seleksi. Mekanisme pelaksanaan ujian dan seleksi dirancang sedemikian rupa sehingga menutup peluang bagi praktik-praktik nepotisme dan kolusi. 100
Penerimaan CPNS berdasarkan merit mengandung pengertian bahwa seseorang menjadi CPNS adalah karena semata-mata berkat usaha dan kemampuan yang bersangkutan tanpa ada bantuan atau kemudahan yang diberikan oleh orang lain. c. Transparan, seluruh proses seleksi dilaksanakan secara transparan. Pengumuman CPNS yang lulus harus disertai dengan nilai akhir hasil ujian setiap mata ujian dan hasil tes potensi akademik, psikotes dan wawancara. Melalui transparansi proses rekrutmen dan seleksi CPNS baik di pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. d. Memiliki Kesempatan yang Sama (Equal Opportunity), setiap warga negara Indonesia yang telah memenuhi syarat memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi CPNS tanpa melihat suku, jenis kelamin, agama, latar belakang budaya dan tempat KTP dikeluarkan. Prinsip ini perlu ditekankan untuk menjamin bahwa birokrasi dibangun secara bersama-bersama dari berbagai komponen anak bangsa. Materi seleksi CPNS terdiri dari 5 (lima) tahap, yaitu : seleksi tahap I terdiri dari : bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan pengetahuan umum; seleksi tahap II terdiri dari : tes potensi akademik dan pengetahuan substansi; seleksi tahap III terdiri dari : tes psikologi dan seleksi tahap IV terdiri dari : wawancara I (dengan penyelenggara seleksi) dan wawancara II (dengan
user). Seleksi tahap terakhir (tahap V) adalah ujian menulis makalah, yaitu setiap CPNS diwajibkan menulis makalah dengan tema tertentu. Peserta yang berhak untuk mengikuti seleksi tahap II adalah mereka yang lulus tahap I. Dan yang mengikuti seleksi tahap III adalah mereka yang lulus tahap II. Demikian seterusnya. Untuk setiap calon yang akan diterima menjadi CPNS telah disiapkan uraian tugas (job description) oleh Bagian/Biro Kepegawaian/Badan Kepegawaian Daerah sesuai dengan tugas yang akan diemban. Hal ini dimaksudkan agar setiap CPNS yang diterima mengetahui secara lebih jelas ruang lingkup, bentuk, volume tugas/pekerjaan dan tanggung jawab yang akan diembannya. Untuk menjaga objektivitas seleksi, kementerian/lembaga/pemerintah daerah tidak diperkenankan melaksanakan sendiri proses seleksi CPNS. Untuk mencegah terjadinya KKN dalam proses rekrutmen dan seleksi ini, maka kedepan prosesnya menggunakan pendekatan e-recruitment dan e-exam. Dengan pendekatan ini diharapkan kontak langsung antara pelamar dan penyelenggara bisa diminimalisir sehingga memperkecil kemungkinan terjadinya KKN.
3. Sistem Karier Kebijakan karier PNS di Indonesia dapat dikatakan belum memiliki pola dasar yang kuat. Kondisi ini menyebabkan pembinaan karier PNS yang selama ini dilakukan tidak mampu 101
mewujudkan profesionalisme PNS di dalam birokrasi. Saat ini karier PNS secara baku terdiri dari dua jalur yaitu melalui jalur struktural dan jalur fungsional. Dalam implementasinya jalur
zig-zag dimana seorang PNS bisa pindah ke jalur lain juga dipraktikkan sesuai dengan kebutuhan organisasi. Pada dasarnya hal ini tidak menimbulkan masalah serius didalam organisasi sepanjang kompetensi pegawai bersangkutan memenuhi standar yang dibutuhkan. Syarat kompetensi jabatan menjadi rujukan utama dalam penerapan pola karier pegawai. Dimana jalur jabatan struktural mengutamakan kompetensi manajerial dan leadership sementara jalur jabatan fungsional mengutamakan kompetensi yang bersifat sektoral atau bidang keahlian tertentu. Permasalahan mendasar dalam pola karier adalah belum disusunnya pola dasar karier PNS yang jelas dari pemerintah meskipun ini merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Kondisi ini berdampak kementerian/lembaga/pemerintah daerah saling menunggu dan tidak bisa menyusun kebijakan pola karier pegawai di instansinya. Hasil kajian Lembaga Administrasi Negara pada tahun 2007 tentang Penyusunan Pola Karier PNS menyebutkan bahwa pola karier pegawai seharusnya sudah ditetapkan sebelum seorang pegawai masuk. Kotak-kotak jabatan dari jabatan yang paling rendah sampai jabatan yang paling tinggi dari suatu instansi sudah disusun dan ditetapkan lengkap dengan syarat kompetensi jabatannya. Pelamar yang diterima menjadi CPNS masuk sesuai dengan formasi jabatan yang dilamarnya. Semua pegawai mengawali kariernya sebagai pejabat fungsional yang menguasai kompetensi teknis sesuai bidangnya. Seiring dengan berjalannya waktu dan hasil dari penilaian kinerja serta potensi yang dimilikinya, maka seorang pegawai bisa dipromosikan. Promosi bisa berupa peningkatan ke jenjang yang lebih tinggi dalam jalur yang sama atau promosi ke jalur struktural karena dinilai mempunyai kompetensi dan potensi untuk bidang manajerial dan leadership. Akan tetapi apabila hasil penilaiannya justeru menunjukkan kinerja yang kurang bagus maka pegawai bisa dimutasi atau didemosi. Dimutasi apabila hasil penilaiannya menunjukkan bahwa ada ketidakcocokan kompetensi yang dimiliki dengan beban tugas dan tanggung jawabnya sehingga perlu dicarikan unit yang lebih sesuai. Sementara demosi diberikan apabila semua sudah sesuai tetapi memang pegawainya yang kurang mampu bekerja maka jenjangnya diturunkan sebagai konsekuensinya. Dengan format ini maka pegawai akan selalu termotivasi untuk berkinerja tinggi karena terkait langsung dengan jenjang kepangkatannya yang otomatis terkait dengan tunjangan dan kesejahteraan yang akan
102
diterimanya. Bahkan bagi pegawai yang memang mempunyai kompetensi tinggi dan berkinerja maksimal maka dapat lebih cepat meniti jenjang kariernya. Diharapkan dengan adanya format sistem karier ini maka kenaikan karier PNS tidak terhalang karena adanya kendala senioritas. Semua pegawai bisa ditampung dalam jalurnya masing-masing sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya.
4. Pendidikan dan Pelatihan Dalam rangka pengembangan kompetensi PNS, pendidikan dan pelatihan (diklat) bagi PNS diarahkan pada peningkatan kompetensi dan kapasitas individual PNS yang secara spesifik dibutuhkan dalam pelaksanaan tugas dan pekerjaan. Dengan demikian, sistem pendidikan dan pelatihan PNS adalah pendidikan dan pelatihan yang berbasis kompetensi (competence-based
training). Pendekatan pendidikan dan pelatihan yang berbasis kompetensi perlu diletakkan dalam arti yang sebenarnya sehingga setiap individu PNS yang selesai mengikuti diklat merasakan adanya peningkatan kompetensinya. Selain itu diklat juga menjadi syarat utama dalam pengembangan/promosi pegawai (khususnya diklatpim). Pegawai yang akan dipromosi dalam jenjang jabatan yang lebih tinggi selain ditunjukkan dengan adanya peningkatan kompetensi juga harus didukung sertifikat keikutsertaan dalam diklat yang sesuai dengan jabatannya. Tujuan pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan bagi PNS adalah : a. b. c. b. c.
Meningkatkan wawasan pengetahuan; Meningkatkan kemampuan analisis; Meningkatkan kemampuan kepemimpinan; Meningkatkan keterampilan; dan Meningkatkan kepribadian dan nilai-nilai luhur sebagai PNS. Jenis-jenis dan jenjang diklat PNS seperti yang ada sekarang dinilai cukup memadai, tetapi pendekatan dan kurikulumnya perlu lebih dipertajam. Jenis diklat yang ada saat ini, seperti diklat kepemimpinan (diklatpim) difokuskan untuk meningkatkan kompetensi kepemimpinan, diklat teknis dan diklat fungsional difokuskan untuk meningkatkan kompetensi teknis/fungsional yang terkait dengan tugas dan fungsi yang menjadi tanggung jawab pegawai. Perbedaan kompetensi, tuntutan pekerjaan/jabatan yang spesifikasinya berbeda-beda akan membutuhkan kurikulum, jenjang, dan materi pendidikan dan pelatihan yang juga berbeda. Identifikasi kompetensi aktual ini dapat diperoleh melalui training needs assessment 103
atau dari hasil kesepakatan kinerja. Dengan demikian, kebutuhan pendidikan dan pelatihan bersifat spesifik antar PNS. Kedepan perlu ada kebijakan yang menetapkan kebutuhan minimal bagi setiap PNS untuk mengikuti setiap tahunnya. Diklat ini dapat dilakukan sendiri oleh pegawai (swadana) maupun dibiayai oleh instansi dimana pegawai bertugas. Dengan kebijakan ini maka setiap PNS dapat mengembangkan kemampuan yang dimilikinya secara terus menerus tidak harus menunggu anggaran. Konsekuensinya adalah sistem karier yang dibangun harus sesuai dengan program diklat yang akan dilaksanakan.
5. Penilaian Kinerja Penilaian kinerja merupakan salah satu sub sistem yang sangat strategis dalam sistem manajemen PNS. Penilaian kinerja yang objektif akan memberikan banyak manfaat bagi upaya peningkatan kinerja seluruh PNS di tanah air. Pendekatan yang diusulkan bagi penilaian kinerja PNS adalah manajemen kinerja. Manajemen kinerja merupakan sebuah proses yang sistematis untuk memperbaiki kinerja orgnanisasi dengan mengembangkan kinerja individual dan tim. Jadi, jika ingin meningkatkan kinerja organisasi, maka harus meningkatkan dulu kinerja individu dan tim. Untuk bisa meningkatkan kinerja maka kinerja harus dinilai dan ada feed back yang jelas untuk memperbaiki kinerja. Manajemen kinerja adalah sebuah pendekatan yang strategis dan terintegrasi yang bertujuan untuk mencapai keberhasilan organisasi secara berkelanjutan dengan memperbaiki kinerja dan mengembangkan kemampuan orang-orang yang bekerja dalam organisasi tersebut. Sebelum proses manajemen kinerja dimulai, penempatan PNS perlu disesuaikan dengan kompetensinya. Argumen yang mendasari hal ini adalah bahwa PNS tidak mungkin menunjukkan kinerja optimal jika penempatan atau jabatan yang diemban tidak sesuai dengan kompetensinya. Manajemen kinerja dimulai dengan perencanaan kinerja (performance planning). Perencanaan kinerja ini dibuat di awal tahun antara PNS dengan atasan langsungnya dalam bentuk kesepakatan kinerja atau kontrak kerja. Kesepakatan kinerja ini memuat kesepakatan antara kedua belah pihak terhadap target kinerja yang akan dicapai oleh bawahan. Perencanaan kinerja memiliki fungsi yang sangat penting dalam keseluruhan proses manajemen kinerja, yaitu : 104
a. Perencanaan kinerja adalah kerangka dasar bagi implementasi manajemen kinerja. Dengan adanya perencanaan kinerja, atasan memiliki gambaran mengenai apa yang harus dilakukannya dan apa yang harus dicapai oleh bawahannya. b. Perencanaan kinerja memberikan dasar bagi pengelolaan kinerja sepanjang tahun. Dengan berpegang pada perencanaan kinerja, seorang atasan dapat mengetahui apakah bawahannya berhasil mencapai kinerja yang telah ditetapkan atau tidak. Dengan demikian atasan dapat memberikan fasilitasi secara tepat dalam mengelola kinerja bawahannya. c. Perencanaan kinerja memberikan arah bagi rencana pengembangan kapasitas dan kompetensi individual PNS karena didalamnya terdapat rencana pengembangan personal. d. Perencanaan kinerja merupakan dasar dalam mereview kinerja karena review kinerja dilakukan dengan berpegang pada kesepakatan kinerja. e. Perencanaan kinerja yang wujudnya adalah kesepakatan kinerja merupakan dasar dalam melakukan penilaian kinerja invidual PNS. Penilaian kinerja yang dilakukan di akhir tahun akan memperhatikan substansi yang terdapat dalam kesepakatan kinerja. Penilaian kinerja tidak dapat dilakukan tanpa adanya kesepakatan kinerja. f. Perencanaan kinerja pada dasarnya berfungsi untuk memperkuat komitmen setiap individu PNS dalam rangka mencapai target kinerja tertentu yang diharapkan organisasi. Melalui perencanaan kinerja, setiap individu PNS dituntut untuk menunjukkan komitmennya terhadap target kinerja yang diharapkan. g. Perencanaan kinerja juga berfungsi sebagai indikator dalam memberikan petunjuk bagi perbaikan kinerja invidual PNS ke depan. Kesepakatan kinerja yang dirancang untuk PNS di Indonesia memuat lima deskripsi mengenai tanggungjawab, uraian tugas, target kinerja, rencana pengembangan personal dan kebutuhan perlengkapan kerja. Setelah menyelesaikan perencanaan kinerja dengan menghasilkan kesepakatan kinerja, maka PNS menjalankan tugas dan tanggungjawabnya sehari-hari sesuai dengan apa yang telah disepakati. Tahapan selanjutnya adalah review kinerja (performance review). Review kinerja ini bertujuan untuk menjamin bahwa proses pencapaian target kinerja berjalan pada jalur yang benar. Review kinerja merupakan proses diskusi yang dilakukan oleh atasan dengan bawahan dalam rangka mereview tingkat capaian kinerja bawahan. Dengan melihat kemajuan yang dicapai oleh seorang PNS, dapat diketahui bahwa yang bersangkutan pada akhir tahun akan berhasil mencapai target kinerjanya atau tidak. Dari review ini juga akan diketahui masalahmasalah yang dihadapi oleh setiap PNS. Atasan wajib memberikan dukungan kepada bawahan sehingga target kinerja bawahan dapat dicapai pada akhir tahun. Dalam hal ini atasan berfungsi sebagai coach, mentor, counsellor, supervisor, advisor, trainer dan facilitator bagi bawahannya.
105
Penilaian kinerja (performance evaluation) adalah kelanjutan dari perencanaan dan review kinerja yang mengukur keberhasilan realisasi dari perencanaan kinerja. Penilaian kinerja merupakan proses penilaian terhadap keseluruhan capaian target kinerja yang dihasilkan oleh seorang PNS sesuai dengan jabatan dan tanggungjawab yang diembannya dalam suatu periode waktu tertentu. Mengingat bahwa penilaian kinerja adalah tahapan yang krusial dalam manajemen kinerja, maka proses penilaian kinerja perlu berpegang pada sejumlah prinsip dasar. Prinsip-prinsip dasar tersebut adalah : a. Keadilan, keseluruhan proses penilaian kinerja dilandaskan pada rasa keadilan bagi semua PNS. Nilai-nilai keadilan dikedepankan agar manajemen kinerja dapat diimplementasikan secara efektif dan terukur. b. Transparansi, prinsip transparansi dalam penilaian kinerja perlu dibangun oleh atasan dan bawahan. Bawahan berhak mengetahui bukti atau alasan atas nilai kinerja yang diberikan oleh atasan. c. Independensi, hasil penilaian kinerja tahun tertentu tidak ada hubungannya dengan hasil penilaian kinerja tahun sebelumnya. Artinya, hasil penilaian kinerja seorang PNS dapat naik dan turun setiap tahun sesuai dengan kinerja yang dihasilkan. d. Pemberdayaan, penilaian kinerja ini memberikan kesempatan kepada setiap individu PNS untuk memberdayakan dirinya sendiri dan memberdayakan bawahannya. Sengaja dirancang sesederhana mungkin, diharapkan proses penilaian kinerja ini dapat dijalankan oleh PNS secara mandiri. e. Non diskriminasi, dalam menilai kinerja, perlu dicatat bahwa tidak ada diskriminasi menurut golongan, suku, agama, ataupun ras. Kinerja PNS dinilai hanya didasarkan pada capaian kinerja yang dihasilkannya. f. Semangat kompetisi, dengan menerapkan lima (5) prinsip diatas, diharapkan PNS dapat terpacu untuk saling meningkatkan kinerjanya. Semangat berkompetisi dalam meningkatkan kinerja perlu didorong bagi peningkatan kinerja PNS secara menyeluruh. Penilaian kinerja dalam manajemen kinerja yang dirancang untuk kebutuhan PNS ini, memiliki tiga (3) unsur, yaitu kesepakatan kinerja, review kinerja dan penilaian sejawat. a. Kesepakatan kinerja, realisasi terhadap target kinerja sebagaimana yang telah ditetapkan dalam kesepakatan kinerja. Kesepakatan kinerja memuat target-target yang akan dicapai. Pada akhir tahun dinilai sejauhmana target-target tersebut dicapai oleh PNS.
106
b. Review Kinerja, review kinerja menjadi salah satu unsure yang membentuk penilaian kinerja yang menyeluruh dari seorang PNS. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa saran atau rekomendasi yang diberikan oleh atasan kepada bawahan pada saat melakukan review kinerja ditulis dalam formulir review kinerja. Pada akhir tahun, atasan melihat apakah rekomendasi atau saran yang diberikan pada pertengahan tahun tersebut ditindaklanjuti oleh bawahan. Sejauhmana tindak lanjut tersebut dilakukan oleh bawahan adalah unsur penilaian dalam manajemen kinerja ini. Oleh karena itu, review kinerja memberikan basis bagi penilaian kinerja PNS. c. Penilaian Sejawat, penilaian terhadap dua (2) unsur di atas dilakukan oleh atasan. Atasan tetap merupakan pihak yang paling berwenang menilai kinerja bawahan. Namun demikian, dalam rangka menuju penilaian yang 3600 dan sekaligus meningkatkan objektifitas penilaian, maka perlu melibatkan pihak lain. Dalam hal ini perlu melibatkan rekan sejawat (kolega). Rekan sejawat memberikan penilaian khusus pada perilaku. Perlu digarisbawahi adalah bahwa penilaian dari rekan sejawat hanya diperuntukkan bagi pejabat fungsional umum (JFU). Untuk memudahkan proses penilaian terhadap ketiga unsur di atas, ditetapkan sejumlah aspek, indikator dan parameter penilaian. Aspek menunjukkan unsur utama penilaian, indikator menunjukkan dimensi substansial yang mengacu pada aspek penilaian dan parameter menunjukkan dimensi penilaian yang mengandung pernyataan operasional. 6. Penggajian Selanjutnya terkait dengan reformasi sistem penggajian PNS. Gaji yang dimaksud disini adalah kompensasi atau take home pay yang diterima PNS selama satu bulan kerja. Dalam pengertian ini gaji PNS terdiri dari gaji pokok dan tunjangan. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam reformasi sistem penggajian PNS ini, pertama, sistem penggajian PNS harus mengakomodasi adanya perbedaan tugas pokok, tanggung jawab dan beban kerja dari masingmasing instansi. Kondisi ini berdampak instansi yang mempunyai tugas pokok, tanggung jawab dan beban kerja berat perlu diapresiasi dengan memberikan gaji yang berbeda kepada pegawainya. Kedua, sistem penggajian PNS harus mengakomodasi adanya perbedaan biaya hidup di berbagai daerah. Hal ini untuk memenuhi amanat Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999, yaitu terkait upaya peningkatan kesejahteraan PNS, dengan nominal gaji yang sama tetapi hidup di daerah yang berbeda tentu nilai nominalnya akan berbeda, artinya tingkat kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan hidup juga berbeda. 107
Ketiga, sistem penggajian PNS harus mengakomodasi kompetensi atau kemampuan yang dimiliki oleh PNS. Kompetensi masing-masing PNS tentu berbeda dan perbedaan ini akan berpengaruh pada kemampuannya dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya. PNS yang kemampuannya tinggi harus dihargai lebih besar daripada PNS yang kemampuannya rendah.
Keempat, sistem penggajian PNS harus berdasarkan pada prestasi kerja atau kinerja PNS. Ini akan berdampak pada peningkatan motivasi PNS karena PNS yang berkinerja lebih tinggi akan menerima gaji lebih besar dari PNS yang kinerjanya rendah. Terakhir, kelima, secara nominal jumlah gaji yang diterima PNS harus mampu memenuhi kebutuhan standar hidup layak sehingga kesejahteraan PNS dapat meningkat dengan kata lain jumlah gaji PNS bisa bersaing dengan gaji pegawai swasta. Untuk itu maka sistem penggajian PNS diberikan berdasarkan pada
pay for position, pay for person, pay for performance dan pay for living cost. Pay for position adalah gaji yang diberikan kepada seorang PNS karena posisi atau jabatannya. Posisi atau jabatan ini bisa bermakna internal maupun eksternal. Makna internal berarti posisi atau jabatan yang dibandingkan dalam satu organisasi. Misalnya pay for position untuk eselon I dihargai lebih besar daripada eselon II, dan pay for position untuk eselon II dihargai lebih besar daripada eselon III, demikian seterusnya. Penghargaan ini menunjukkan bahwa beban kerja masing-masing posisi atau jabatan tersebut berbeda sesuai dengan tingkatnya dan ruang lingkup tugasnya. Sementara makna eksternal berarti posisi atau jabatan yang dibandingkan dengan organisasi lain. Hal ini untuk mengakomodasi bahwa beban kerja masing-masing organisasi berbeda meskipun berada dalam tingkat jabatan yang sama. Sebagai contoh misalnya beban kerja seorang pejabat eselon II di Kementerian Keuangan tentu berbeda dengan pejabat eselon II di Arsip Nasional (ARNAS). Untuk bisa memberikan pay for position yang adil maka perlu dilakukan analisis beban kerja (ABK) untuk semua jabatan atau posisi yang ada dalam suatu organisasi, yaitu untuk menentukan harga jabatan. Selain itu ABK secara nasional juga perlu dilakukan untuk menentukan harga suatu organisasi secara nasional. Selanjutnya pay for person adalah gaji yang diberikan kepada seorang PNS karena kompetensi atau kemampuan yang dimilikinya. Ini untuk menghargai adanya perbedaan kemampuan yang dimiliki oleh pegawai, pegawai yang mempunyai kemampuan lebih baik selayaknya dihargai lebih banyak dari pegawai yang kemampuannya lebih rendah. Pegawai yang mempunyai kemampuan lebih diyakini akan bisa lebih cepat menyelesaikan pekerjaannya dengan kata lain lebih berkinerja. Pay for person juga untuk menghargai jabatan-jabatan yang mempunyai karakteristik tertentu, misalnya jabatan tersebut langka, terbatas atau lainnya.
108
Sementara tunjangan pegawai diberikan berdasarkan pada pencapaian kinerja (pay for performance) dan perbedaan lokasi bertugas (pay for living cost). Pay for performance diberikan kepada pegawai berdasarkan pencapaian kinerjanya. Pencapaian kinerja ini dihitung berdasarkan hasil penilaian kinerja pegawai. Untuk keperluan ini maka harus disusun instrumen penilaian kinerja yang mampu mengukur kinerja nyata pegawai sehingga bisa ditetapkan nilai nominal gajinya. Nilai nominal dari pay for performance ini bisa berubah-ubah setiap bulannya tergantung pada hasil penilaian kinerja pegawai. Pada saat kinerja pegawai tinggi maka bisa memperoleh tunjangan yang besar dan pada saat kinerjanya rendah maka tunjangannya juga rendah. Sementara pay for living cost diberikan kepada pegawai berdasarkan pada lokasi tugasnya. Tunjangan ini bisa juga disebut dengan istilah tunjangan kemahalan. Tunjangan ini diberikan berbeda-beda tergantung pada hasil analisa kebutuhan hidup. Bagi daerah-daerah yang biaya hidupnya tinggi maka diberikan tunjangan yang lebih besar daripada daerah yang biaya hidupnya rendah. Pay for living cost ini juga untuk menghargai pegawaipegawai yang tempat tugasnya terpencil, sulit, terisolir dan sebagainya. Dengan reformasi sistem penggajian sebagaimana dijelaskan tersebut diharapkan PNS bisa hidup lebih sejahtera dan termotivasi untuk terus meningkatkan kinerjanya. Baik gaji maupun tunjangan yang diterima tidak diberikan berdasarkan perkiraan atau sama rasa sama rata tetapi benar-benar didasarkan pada perhitungan yang rasional. Selain pemberian gaji, penghargaan lain juga dapat diberikan bagi PNS yang menunjukkan prestasi kerja yang baik. Penghargaan ini dapat berupa tanda jasa atau bentuk penghargaan lainnya. Sementara bagi PNS yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundangan wajib dikenakan sanksi. Jenis pelanggaran ini terdiri dari : pelanggaran ringan, pelanggaran sedang dan pelanggaran berat. Sementara sanksi yang diberikan kepada PNS berupa : sanksi administratif, sanksi perdata dan sanksi pidana. Sanksi yang diberikan ini disesuaikan dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan seorang pegawai.
7. Perpindahan antar Daerah
Sejalan dengan peran PNS sebagai perekat bangsa dan menjalin persatuan serta kesatuan bangsa, maka perpindahan PNS antar daerah perlu lebih diperhatikan. Adapun tujuan-tujuan yang akan dicapai dari perpindahan ini adalah untuk : a. Menciptakan keseimbangan jumlah dan distribusi PNS antar daerah. Pemerintah daerah yang kekurangan PNS akan mendapatkan tambahan PNS dari daerah yang kelebihan baik antar propinsi maupun antar kabupaten/kota; 109
b. c. d. e.
Mengembangkan karier dan potensi PNS yang bersangkutan; Mendorong terjadinya transfer of knowledge; Mendorong percepatan pembangunan daerah; dan Mengurangi semangat primordialisme daerah dalam memandang keberadaan sumber daya manusianya. Perpindahan PNS antar daerah lebih didorong atas dasar perpindahan karena alasan kepentingan nasional, bukan atas kepentingan pribadi yang selama ini banyak diakomodir. Dalam konteks reformasi birokrasi, peran PNS dikembalikan kepada peran yang sebenarnya yaitu sebagai pegawai Republik Indonesia, bukan pegawai suatu kementerian/lembaga/pemerintah daerah tertentu. Oleh karena itu, PNS dapat dipindahkan atau ditempatkan di seluruh wilayah Republik Indonesia dalam rangka memperkuat jiwa nasionalisme. Secara umum pola perpindahan PNS dapat dibedakan atas dua bentuk, yaitu : 1. Perpindahan atas permintaan sendiri. Perpindahan dapat dipenuhi apabila memenuhi beberapa kriteria. Kriteria-kriteria tersebut adalah : a. Daerah penerima masih mengalami kekurangan jumlah PNS; b. Memiliki dasar alasan yang kuat baik alasan keluarga ataupun pengembangan kapasitas individu; Bagi PNS yang mengajukan permohonan pindah atas permintaan sendiri ini, Pemerintah tidak menanggung biaya pindahnya.
110
Diagram 4.1 Mekanisme Perpindahan Pegawai Atas Permintaan Sendiri Antar Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota DIR EKOMENDASIKAN OLEH PEJABAT P E MBINA KEPEGAWAIAN SETEMPAT
DIPROSES BKD/ BAG KEPEGAWAIAN
DITERIMA
PENGESAHAN OLEH PEJABAT PEMBINA KEPEGAWAIAN DAN KANREG BKN
DAERAH TUJUAN
PEMINDAHAN GAJI PERMOHONAN PINDAH
DASAR PERTIMBANGAN : KEBUTUHAN OBJEKTIF DAERAH TUJUAN
•PENDIDIKAN •KOMPETENSI •KINERJA •PANGKAT/GOLONGAN •KETERSEDIAAN FORMASI •USIA
DITOLAK
DAPAT MENGAJUKAN SEKALI LAGI PERMOHONAN SERUPA
Sumber : Kajian Perpindahan Pegawai Antar Daerah dalam Era Otonomi Daerah, Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur LAN, Jakarta, 2003.
2. Perpindahan karena penugasan. Prioritas Pemerintah dalam konteks perpindahan PNS adalah perpindahan karena alasan penugasan. Dimungkinkan seorang PNS yang direkrut oleh suatu kabupaten untuk dipindahkan ke kabupaten/kota lain setelah jangka waktu tertentu baik di dalam propinsi yang sama atau ke propinsi yang lain. Atas alasan kepentingan nasional, seorang PNS di daerah dapat dipindahkan ke pusat atau sebaliknya. Dan yang bersangkutan wajib memenuhi perintah tersebut. Oleh karena itu, semua biaya yang terkait dengan proses perpindahan ini ditanggung oleh pemerintah. Jenis perpindahan ini lebih bersifat direktif dan lebih berorientasi bagi pejabat struktural. Dalam bentuk diagram, mekanisme perpindahan pegawai atas penugasan ini dapat digambarkan berikut.
111
Diagram 4.2 Mekanisme Perpindahan Pegawai Atas Penugasan Antar Daerah Kabupaten/Kota
PENUGASAN PINDAH
DIPROSES BKD/ BAG KEPEGAWAIAN
DAERAH TUJUAN
PENGESAHAN GUBERNUR DAN KANREG BKN
DASAR PERTIMBANGAN KEBUTUHAN OBJEKTIF DAERAH PENERIMA
•PENDIDIKAN •KOMPETENSI •KINERJA •PANGKAT/GOLONGAN •KETERSEDIAAN FORMASI •PENGALAMAN/USIA
PEMINDAHAN GAJI
Sumber : Kajian Perpindahan Pegawai Antar Daerah dalam Era Otonomi Daerah, Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur LAN, Jakarta, 2003.
Dalam melakukan perpindahan pegawai, terdapat sejumlah pola perpindahan. Dalam lingkup pemerintah daerah, pola atau bentuk perpindahan tersebut dapat diklasifikasikan berikut ini : 1) Dari provinsi ke provinsi lainnya (antar propinsi), 2) Dari provinsi ke kabupaten dalam provinsi yang sama, 3) Dari provinsi ke kota dalam provinsi yang sama, 4) Dari provinsi ke kabupaten diluar provinsi yang bersangkutan, 5) Dari provinsi ke kota di luar provinsi yang bersangkutan, 6) Dari kabupaten ke provinsi dalam provinsi yang sama, 7) Dari kabupaten ke provinsi dalam provinsi yang berbeda, 8) Dari kabupaten ke kabupaten dalam provinsi yang sama (antar kabupaten dalam satu provinsi), 9) Dari kabupaten ke kabupaten di luar provinsi, 10) Dari kabupaten ke kota dalam provinsi yang sama, 11) Dari kabupaten ke kota di luar provinsi, 112
12) Dari kota ke provinsi dalam provinsi yang sama, 13) Dari kota ke provinsi yang berbeda, 14) Dari kota ke kota dalam provinsi yang sama, 15) Dari kota ke kota di provinsi yang berbeda, 16) Dari kota ke kabupaten dalam provinsi yang sama, 17) Dari kota ke kabupaten di luar provinsi. 8. Pemberhentian Pemberhentian PNS adalah hilangnya status seseorang sebagai PNS. Terdapat beberapa klasifikasi pemberhentian PNS ditinjau dari alasannya, yaitu : a. b. c. d. e. f. g. h.
Pemberhentian karena permintaan sendiri, Pemberhentian karena mencapai batas usia pensiun, Pemberhentian karena adanya penyederhanaan organisasi, Pemberhentian karena melakukan pelanggaran/tindak pidana/ penyelewengan, Pemberhentian karena tidak cakap jasmani dan atau rohani, Pemberhentian karena meninggalkan tugas, Pemberhentian karena meninggal dunia atau hilang, Pemberhentian karena gagal mencapai target kinerja selama tiga tahun berturut. Dalam rangka mendukung efektifitas penegakan disiplin di lingkungan PNS, kedepan
akan dirumuskan kebijakan yang membuat PNS lebih mudah untuk diberhentikan terutama karena melakukan pelanggaran/tindak pidana/penyelewengan, tidak cakap jasmani/rohani, hilang dan gagal menunjukkan kinerja sebagaimana yang diharapkan. Dengan diperketatnya aturan tentang syarat pemberhentian PNS, diharapkan akan lebih mudah memberhentikan PNS berdasarkan alasan-alasan tersebut. Dengan demikian, PNS lebih meningkatkan kinerja, disiplin dan kompetensinya jika tidak ingin kehilangan statusnya sebagai PNS. Status atau klasifikasi pemberhentian PNS disederhanakan menjadi dua (2), yaitu : diberhentikan dengan hormat, dan diberhentikan dengan tidak hormat. Kebijakan pemberhentian PNS, jenis-jenis pemberhentian, konsekuensi dan kewenangan serta pejabat yang berwenang memberhentikan PNS dimuat dalam satu peraturan perundangan.
9. Pensiun Sejalan dengan reformasi PNS ini, maka sistem pensiun PNS sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai perlu diubah. Undang-Undang tersebut dinilai tidak sesuai lagi dengan 113
perkembangan dan kebutuhan sekarang terutama yang berkaitan dengan sifat pensiun, pembiayaan, besaran manfaat, hak peserta dan pengelolaan dana pensiun. Mengutip laporan “Reformasi Sistem Pensiun PNS” program kerjasama BKN dan
Partnership for Governance Reform 2006, direkomendasikan bahwa : a. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai perlu diubah karena sifat pensiun yang dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang tersebut yang menyebutkan bahwa “pensiun merupakan hak bagi PNS yang memenuhi syarat dan merupakan jaminan hari tua serta sebagai balas jasa terhadap PNS yang telah bertahun-tahun mengabdikan diri kepada negara” ternyata sangat menentukan dan mempengaruhi sistem pembiayaan/ pembayaran, sistem pengelolaan dan besaran manfaat pensiun. b. Perlunya perubahan sistem pensiun PNS kedepan yang mengedepankan ciri-ciri sebagai berikut : (1) Adanya pengembalian akumulasi iuran pensiun bagi PNS yang diberhentikan tanpa hak pensiun; (2) Tidak perlu adanya syarat pemberhentian dengan hormat untuk mendapatkan hak pensiun; (3) Besarnya manfaat pensiun ditentukan dari hasil pengelolaan dana pensiun, bukan hanya sekedar pada kemampuan keuangan Negara; (4) Pembayaran pensiun harus dijamin oleh pemerintah; (5) Pembayaran iuran premi dilakukan baik oleh pegawai maupun pemerintah; (6) Keuntungan pengelolaan dana pensiun sepenuhnya digunakan untuk kesejahteraan peserta; (7) Adanya wakil peserta dalam pengelolaan dana pensiun baik sebagai pengurus maupun sebagai dewan pengawas. c. Kebijakan kenaikan gaji PNS dipisahkan dengan kebijakan kenaikan pensiun. d. Pemerintah perlu membentuk Lembaga Dana Pensiun PNS, yaitu lembaga dana pensiun yang bersifat independen.
114
Bab V
Road Map dan Agenda Reformasi Sistem Manajemen PNS di Indonesia A. Pendahuluan
Road map diperlukan sebagai dasar untuk memberikan panduan dan arah bagi pelaksanaan reformasi PNS. Sebagai salah satu hasil dari kajian Grand Design Reformasi PNS, road map merupakan dokumen penting yang berisi uraian langkah-langkah dan tahapan untuk digunakan sebagai pegangan para pengambil keputusan dalam pengelolaan PNS untuk menjalankan reformasi PNS sehingga berhasil dan tidak keluar dari tahapan yang telah ditentukan. Road Map dan Grand Design Reformasi PNS disusun untuk jangka waktu 15 tahun dari tahun 2010-2025 sesuai dengan tahapan RPJM maupun RPJP. Waktu 15 tahun dinilai cukup untuk melakukan reformasi PNS melalui program-program penataan dan perbaikan. Road Map menjadi dokumen penting bagi pelaksanaan reformasi PNS sehingga reformasi dapat dilakukan secara efektif, tepat sasaran dan membawa perubahan bagi sistem manajemen PNS kearah yang diharapkan.
Road map ini berisikan agenda kegiatan yang berdasarkan analisis Tim Peneliti merupakan agenda-agenda yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk melakukan reformasi sistem manajemen PNS secara terukur, fokus, dan berkelanjutan yang secara spesifik akan dilakukan oleh institusi pengelola manajemen PNS. Penguatan kelembagaan baik dalam konteks reposisi dan revitalisasi peran dan fungsi institusi pengelola PNS adalah sangat strategis untuk dapat mengatasi kompleksitas permasalahan kepegawaian sipil yang saling berkelindan. Strategi perlu disusun sehingga pelaksanaan reformasi PNS dapat berjalan sesuai dengan rencana. Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi, Lembaga Administrasi Negara, dan Badan Kepegawaian Negara ditambah Komisi Kepegawaian Negara (jika terbentuk) adalah strategic
partner institusi pemerintah yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan reformasi PNS. Reformasi PNS sebagai bagian dari reformasi birokrasi yang saat ini dilakukan pemerintah tidak akan dapat berjalan dengan baik jika ketiga lembaga negara tersebut tidak dapat bekerja sama 115
secara baik. Road map ini diharapkan dapat menjawab kebutuhan koordinasi strategis antar institusi pemerintah pengelola manajemen PNS sehingga harapan untuk melakukan reformasi PNS guna mewujudkan PNS yang profesional, sejahtera dan netral dapat tercapai.
B. Tujuan Tujuan yang hendak dicapai dengan adanya road map adalah untuk memberikan arah dan panduan bagi pelaksanaan reformasi sistem manajemen PNS di kementerian/lembaga dan pemerintah daerah supaya efektif, efisien, terukur, konsisten, terintegrasi dan berkelanjutan sehingga tujuan yang ada dalam grand design dapat diwujudkan dengan baik.
C. Ruang Lingkup Road map reformasi sistem manajemen PNS mencakup empat (4) kegiatan dan dua puluh empat (24) agenda. Empat kegiatan road map dan agenda kegiataannya adalah sebagai berikut : (1) konsolidasi struktural yang memiliki empat (4) agenda : penataan ulang instansi pusat dan daerah yang bertanggung jawab dalam pengelolaan PNS, pembentukan KKN (Komisi Kepegawaian Negara), penguatan netralitas PNS, dan revitalisasi unified system untuk pengelolaan PNS dalam konteks NKRI; (2) Penataan manajemen yang mempunyai sembilan (9) agenda : penyusunan rencana induk kebutuhan dan pengembangan PNS, perbaikan sistem rekrutmen dan seleksi, penyusunan sistem karier, pengembangan sistem pendidikan dan pelatihan, perumusan penilaian kinerja, penyusunan sistem penggajian, penyesuaian pola perpindahan PNS, penyusunan mekanisme dan prosedur pemberhentian, dan penyempurnaan sistem pensiun; (3) bidang pengembangan budaya dan kode etik PNS dengan tujuh (7) agenda : membangun nilai etika, budaya kerja dan kode etik PNS, penguatan penegakan hukum, pengembangan budaya kerja yang berorientasi pada kinerja dan daya saing, internalisasi nilai-nilai good governance, penerapan change management dalam proses reformasi, penerapan local wisdom dalam proses reformasi, dan pengembangan kepemimpinan aparatur yang efektif; dan (3) bidang penerapan dan pengembangan ICT (information and communication technology) dengan empat (4) agenda : pengembangan pengelolaan kepegawaian berbasis IT, pembangunan database PNS nasional, pengembangan single identity number, dan penerapan e-office.
116
D. Road Map Reformasi Sistem Manajemen PNS Mencermati kompleksitas permasalahan yang mengemuka dalam kebijakan dan praktik manajemen PNS serta tuntutan terhadap reformasi sistem manajemen PNS secara fundamental dan komprehensif, maka dirumuskan roadmap reformasi sistem manajemen PNS. Roadmap ini merupakan bentuk operasionalisasi grand disain reformasi sistem manajemen PNS yang berisikan agenda-agenda perubahan. Dengan demikian, roadmap adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan grand design reformasi sistem manajemen PNS. Perlu dicatat bahwa roadmap reformasi sistem manajemen PNS ini telah disesuaikan dengan roadmap reformasi birokrasi nasional yang cakupannya lebih luas. Roadmap reformasi sistem manajemen PNS ini mengacu pada reformasi birokrasi baik pada tingkatan makro, meso maupun tingkatan mikro yaitu penataan sistem manajemen SDM aparatur. Dengan demikian, roadmap beserta agenda-agenda dalam reformasi sistem manajemen PNS adalah elaborasi dari program reformasi birokrasi pada penataan sistem manajemen SDM Aparatur. Untuk mereformasi sistem manajemen PNS secara menyeluruh, terdapat empat (4) roadmap yang perlu dilakukan yang masing-masingnya memiliki keterkaitan yang erat satu sama lain. Keempat roadmap tersebut adalah : Tabel 5.1 Road Map Reformasi Sistem Manajemen PNS
1.
Konsolidasi
Konsolidasi struktural adalah penataan kelembagaan
struktural
diantara instansi pemerintah pusat dan daerah yang selama ini bertanggungjawab menyelenggarakan kebijakan dalam manajemen PNS. Konsolidasi struktural ini meliputi penataan tugas, peran dan tanggungjawab dan kewenangan masing-masing instansi sehingga tidak terjadi lagi tumpang tindih.
2.
Penataan sistem
Penataan
sistem
manajemen
PNS
merupakan
manajemen
pembenahan terhadap seluruh aspek manajemen kepegawaian yang meliputi penyusunan rencana induk, rekrutmen sampai pada pensiun.
117
3.
Pengembangan budaya dan kode
Pengembangan budaya dan kode etik PNS adalah salah satu roadmap dalam reformasi sistem
etik
manajemen PNS yang memberikan perhatian pada penguatan milai-nilai dan budaya yang berorientasi pada kinerja, penghargaan pada nilai-nilai dan moralitas yang luhur. Penguatan implementasi kode etik merupakan bagian dari roadmap ketiga ini.
4.
Penerapan dan
Penerapan dan pengembangan ICT merupakan salah
Pengembangan
satu
ICT
berlangsungnya
roadmap yang menjadi pendukung bagi keseluruhan
reformasi
sistem
manajemen PNS.
Rincian roadmap beserta agenda yang akan dilakukan untuk setiap roadmap, adalah sebagaimana disajikan dalam tabel di bawah ini.
118
Diagram 5.2 Roadmap dan Agenda Reformasi Sistem Manajemen PNS 2010-2025
Tujuan: Perub sist manaj PNS
Budaya & kode Etik: 1. Pengemb budaya kerja, 2. Penerapan local wisdom, 3. Pengemb kepemimpinan.
2020-2025
ICT: 1. Pengemb IT, 2. Penerapan e-office.
Penataan Manajemen: 1. Sistem Penggajian, 2. Pemberhentian, 3. Pensiun.
Konsolidasi Struktural: 1. Penataan ulang kelemb, 2. Pembentukan KKN, 3. Netralitas PNS.
Budaya & kode Etik: 1. Pengemb budaya kerja, 2. Internalisasi nilai GG, 3. Penerapan change management.
2015-2019
ICT: 1. Database,
Penataan Manajemen: 1. Rencana induk, 2. Sistem rekrutmen, 3. Sistem karier, 4. Sistem diklat, 5. Penilaian kinerja, 6. Sistem penggajian, 7. Pola perpindahan.
Budaya & kode Etik: 1. Membangun etika, 2. Penegakan hukum. ICT: 1. Database, 2. SIN.
2010-2014
Pada tabel diatas sekaligus juga dirancang tahun implementasinya yang dimulai tahun 2011 sampai 2025. Implementasi satu agenda dapat berlangsung selama satu tahun atau kurang, namun juga dapat memakan waktu selama beberapa tahun. Pelaksanaan keseluruhan agenda pada reformasi sistem manajemen PNS akan berlangsung selama periode 2010-2025 menyesuaikan dengan RPJM. Dalam kurun waktu 15 tahun tersebut, diharapkan seluruh agenda dapat diimplementasikan secara efektif. 119
Bab VI Penutup A. Kesimpulan Dari kajian yang sudah dilakukan dapat diberikan beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Pelaksanaan reformasi sistem manajemen PNS memerlukan grand design dan road map yang sesuai dengan pedoman yang ditetapkan dalam arah reformasi birokrasi nasional sebagai payungnya. 2. Profil PNS yang diharapkan diwujudkan dengan grand design dan road map reformasi sistem manajemen PNS adalah PNS yang profesional, netral dan sejahtera. 3. Sejumlah key success factor atau faktor kunci sukses yang diidentifikasi adalah : perlunya strong leadership dan political will, pembentukan civil service comission, terjaganya netralitas PNS, dilakukannya perubahan peraturan yang terkait dengan pengelolaan kepegawaian (PNS), adanya penegakan hukum, penerapan prinsip manajemen kinerja dalam pengelolaan pegawai serta dilakukannya moratorium rekrutmen untuk jangka waktu tertentu. 4. Agenda reformasi sistem manajemen PNS paling tidak mencakup empat (4) roadmap, yaitu : (1) konsolidasi struktural yang memiliki empat (4) agenda : penataan ulang instansi pusat dan daerah yang bertanggung jawab dalam pengelolaan PNS, pembentukan KKN (Komisi Kepegawaian Negara), penguatan netralitas PNS, dan revitalisasi unified system untuk pengelolaan PNS dalam konteks NKRI; (2) Penataan manajemen yang mempunyai sembilan (9) agenda : penyusunan rencana induk kebutuhan dan pengembangan PNS, perbaikan sistem rekrutmen dan seleksi, penyusunan sistem karier, pengembangan sistem pendidikan dan pelatihan, perumusan penilaian kinerja, penyusunan sistem penggajian, penyesuaian pola perpindahan PNS, penyusunan mekanisme dan prosedur pemberhentian, dan penyempurnaan sistem pensiun; (3) bidang pengembangan budaya dan kode etik PNS dengan tujuh (7) agenda : membangun nilai etika, budaya kerja dan kode etik PNS, penguatan penegakan hukum, pengembangan budaya kerja yang berorientasi pada kinerja dan daya saing, internalisasi nilai-nilai good governance, penerapan change management dalam proses reformasi, penerapan local wisdom dalam proses reformasi, dan pengembangan 120
kepemimpinan aparatur yang efektif; dan (3) bidang penerapan dan pengembangan ICT (information and communication technology) dengan empat (4) agenda : pengembangan pengelolaan kepegawaian berbasis IT, pembangunan database PNS nasional, pengembangan single identity number, dan penerapan e-office. 5. Instansi-instansi yang terlibat secara langsung dalam pengelolaan kepegawaian (PNS), yaitu : Komisi Kepegawaian Negara (KKN), Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN dan RB), Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Lembaga Administrasi Negara (LAN) perlu melakukan penguatan kapasitas serta melakukan reposisi terhadap tugas dan kewenangannya. 6. Sistem manajemen atau pengelolaan PNS perlu dilakukan dengan menggunakan pendekatan manajemen yang ideal. B. Saran 1.
2.
3. 4.
Dari analisis yang dilakukan dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut : Segera dilakukan penyusunan dan penetapan kebijakan atau peraturan yang terkait dengan pengelolaan kepegawaian (PNS) dalam bentuk Undang-Undang maupun peraturan pelaksanaannya. Segera dilakukan penguatan dan reposisi terhadap instansi-instansi yang terlibat dalam pengelolaan PNS, yaitu : Komisi Kepegawaian Negara (KKN), Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN dan RB), Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Lembaga Administrasi Negara (LAN). Penerapan manajemen yang ideal dalam pengelolaan PNS. Melaksanakan grand design reformasi PNS sesuai dengan road map yang ditetapkan.
121
DAFTAR BACAAN
Auer, A., Demmke, C., and Polet, R., (1996). Civil Services in the Europe of Fifteen : current Situation and Prospects. Maastricht : EIPA. Budi, Setia dan Sudrajat, Agus, (2007). Perbaikan Sistem Remunerasi PNS untuk Meningkatkan Kinerja dan Menghilangkan Social Cost, dalam Jurnal Administrasi dan Pembangunan, Edisi Khusus Januari 2007, Persadi, Jakarta. Lembaga Administrasi Negara Jakarta, (2004). Buku II SANKRI, Dalam Perspektif Perkembangan Sejarah, Lembaga Administrasi Negara Jakarta.
Demmke, C., (2005). Are Civil Servants Different Because They Are Civil Servants? Maastricht : EIPA. Demmke, C., (2007). Performance Assessment in the Public Services of the EU Member
States : Procedure for Performance Appraisal, for Employee Interviews and Target Agreements. Maastricht: EIPA. Demmke, C., and Moilanen, T., (2010). Civil Services in the EU of 27 : Reform Outcomes and the Future of the Civil Service-Outcomes of A Comparative Survey. Frankfurt: Peter Lang. Demmke, C., Hammerschmid, G., and Meyer, R., (2007). Measuring Individual and Organisational Performance in the Public Services of EU Member States. Maastricht : EIPA. Demmke, C., Henökl, T., and Moilanen, T., (2008). What Are Public Services Good At? Success of Public Services in the Field of Human Resource Management , Maastricht : EIPA. Drewry, G., and Cameron, C., (2010). Hasil wawancara Tentang Reformasi PNS di Inggris. Eva Etzioni - Halevy, Bureaucracy & Democracy : A Political Dilemma, Paperback, Routledge & Kegan Paul Books Ltd , November 1985. H. Jeddawi, Murtir, Prof., Dr., (2010). Karier PNS di Persimpangan Jalan, Sebuah Refleksi atas Kebijakan Kepegawaian di Era Otonomi Daerah, Gallery Ilmu, Yogyakarta. http://web.bisnis.com/ Kementerian Keuangan, Profile Reformasi Birokrasi Departemen Keuangan.
122
Lembaga Administrasi Negara, Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur, (2007). Kajian Evaluasi Sistem Rekrutmen PNS, Jakarta. Lembaga Administrasi Negara, Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur, (2005). Kajian Reformasi Birokrasi, Jakarta. Lembaga Administrasi Negara, Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur, (2005). Kajian Manajemen PNS yang Efektif, Jakarta. Lembaga Administrasi Negara, Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur, (2005). Kajian Efektivitas Peraturan di Bidang Kepegawaian, Jakarta. Lembaga Administrasi Negara, Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur, (2004). Kajian Blue Print Reformasi Birokrasi, Jakarta.
Manning, N., and Parison, N., (2003). International Public Administration Reform: Implications for the Russian Federation, Washington DC: World Bank. Mohamad, Ismail., (2010). "Kebijakan Reformasi Birokrasi Nasional dan Hubungannya Dengan Reformasi Sistem Manajemen Kepegawaian”, disampaikan pada Seminar Nasional Grand Design Manajemen PNS, LAN, Jakarta 29 Agustus 2010. Muhammad, Fadel, Dr., Ir., (2008). Reinventing Local Government, Pengalaman dari Daerah, PT Elex Media Komputindo, Jakarta.
Newman, A. M., (2010). Hasil Wawancara tentang Reformasi PNS di Amerika Serikat. OECD, (2008). The State of Public Service. Paris : OECD. Osborne dan Gaebler, (1995). Mewirausahakan Birokrasi, Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta. Park, Jin, (2010). Directions and Strategies for Indonesian Bureacracy Reform: Lessons from Korea . In P. Jin, A. Widaningrum and J. Park (Eds.), Governance Reform in Indonesia and Korea: A
Comparative Perspective. Yogyakarta : GMU Press.
Sheperd, G., (2003). Civil Service Reform in Developing Countries : Why Is It Going Badly? 11th International Anti Corruption Conference 25-38 May 2003. Seoul. Thoha, Miftah, Prof., Dr., MPA., (2008). Manajemen Kepegawaian Sipil di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
University, C., (2005). Cambridge Advanced Learner's Dictionary. Singapore : Cambridge University Press. 123
Utomo, W, Tri Widodo, (2010). Diskusi Grand Design Reformasi PNS, Lembaga Administrasi Negara, Jakarta, 15 Oktober 2010. www.bkn.go.id. www.depdagri.go.id. www.desentralisasi.org/makalah (down load, 26 Juni 2010). www.madina-sk.com (down load, 26 Juni 2010). www.menpan.go.id.
124