Perpustakaan Nasional RI: Data Katalog Dalam Terbitan (KDT) Prosiding seminar inovasi teknologi pertanian untuk pengembangan agribisnis industrial pedesaan di wilayah marjinal/penyunting, Muryanto [et al.]. - - Ungaran: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah, 2007. 723 hlm; ills.; 20 cm. ISBN: 1. Inovasi Teknologi Pertanian - - Seminar Nasional I. Judul II. Muryanto III. BPTP Jawa Tengah Penyunting: Muryanto Teguh Prasetyo Susanto Prawirodigdo Yulianto Agus Hermawan Ekaningtyas Kushartanti Sudi Mardiyanto Sumardi Redaksi Pelaksana: Tota Suhendrata Isnani Herianti M.D. Meniek Pawarti Herwinarni E.M. Ariarti Tyasdjaja Perancang Grafis: F. Rudi Prasetyo Hantoro Dibiayai oleh: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah Bukit Tegalepek, Sidomulyo, Kotak Pos 101 Ungaran 50501 Telp. : (024) 6924965 – 6924967 Fax. : (024) 6924966 Email :
[email protected];
[email protected]; Website : http://jateng.litbang.deptan.go.id
ii
PROSIDING SEMINAR INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN UNTUK PENGEMBANGAN AGRIBISNIS INDUSTRIAL PEDESAAN DI WILAYAH MARJINAL 8 NOVEMBER 2007
Penyunting Muryanto Teguh Prasetyo Susanto Prawirodigdo Yulianto Agus Hermawan Ekaningtyas Kushartanti Sudi Mardiyanto Sumardi
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
BALAI BESAR PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PERTANIAN 2007
PENGANTAR Seminar Nasional dengan tema Inovasi dan Alih Teknologi Pertanian untuk Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan di Wilayah Marginal merupakan kegiatan yang dikemas untuk menyampaikan infomasi hasil penelitian di wilayah marjinal. Seminar Nasional telah dilaksanakan pada 8 November 2007 di Semarang, Jawa Tengah, dan diikuti oleh para ilmuwan lingkup Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Tengah, Perguruan Tinggi, dan LSM. Selain itu juga diikuti oleh para praktisi, penentu kebijakan, pengguna teknologi, dan mahasiswa. Tujuan seminar adalah untuk mengkomunikasikan hasil-hasil penelitian, pengkajian, dan gagasan serta menjaring umpan balik untuk akselerasi inovasi dan alih teknologi pertanian dalam rangka pengembangan agribisnis industrial pedesaan. Prosiding ini adalah kumpulan dari bahan Seminar Nasional Inavasi dan Alih Teknologi Pertanian untuk Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan di Wilayah Marginal. terdiri dari 3 buku. Buku I berisi empat makalah utama yang membahas masalah kebijakan di bidang teknologi pertanian dan pengembangan agribisnis, serta 13 makalah penunjang yang berisi informasi teknologi pasca-produksi hasil kajian di lapangan pada berbagai komoditas. Buku II berisi teknologi produksi yang terdiri atas 44 makalah, dalam upaya peningkatan produksi di lahan marjinal untuk meningkatkan pendapatan petani. Teknologi yang dibahas antara lain terkait dengan budidaya dan usahatani berbagai komoditas, pakan, dan pemanfaatan sumber daya lahan. Buku III berisi alih teknologi dan sosial ekonomi pertanian yang terdiri atas 27 makalah, dalam upaya inovasi teknologi dan peningkatan kinerja usahatani. Teknologi yang dibahas meliputi kelembagaan, model diseminasi, dan pemasaran. Pada kesempatan ini disampaikan penghargaan serta ucapan terima kasih kepada scmua pihak yang telah memberikan kontribusi dan berpartisipasi dalam penyusunan prosiding ini. Semoga prosiding ini bermanfaat bagi kita semua.
Ungaran, Desember 2007 Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian
Dr. Ir. Muhrizal Sarwani, MS NIP. 080 069 528
ii
DAFTAR ISI
Halaman PENGANTAR
ii
DAFTAR ISI
iii
RUMUSAN BUKU III: ALIH INOVASI DAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN
v
1. Kebijakan subsidi pupuk terhadap kesinambungan pangan petani di Kabupaten Temanggung A. Choliq, A. Hermawan, dan Rusmadji
457
2. Dinamika kelompok tani dalam menghimpun modal usahatani di Desa Canggal, Kabupaten Temanggung Uka Kusnadi, E.Juarini, dan Sumanto
464
3. Pengaruh penyajian gambar VCD terhadap peningkatan pengetahuan petani tentang pengelolaan limbah ternak di wilayah desa miskin Herwinarni E.M, Ekaningtyas Kushartanti, Wahyudi Hariyanto
449
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam memproduksi suatu produk pangan di wilayah desa miskin Kabupaten Blora dan Temanggung Dian Maharso Yuwono, Agus Hermawan, dan Sularno
476
5. Meningkatkan kinerja usahatani melalui perbaikan teknologi pengelolaan air di daerah marjinal Teguh Prasetyo dan Cahyati Setiani.
486
6. Pengkajian keefektifan model penyajian media cetak (komik) dalam diseminasi inovasi pertanian di desa miskin Ekaningtyas Kushartanti, Herwinarni EM, dan Tota Suhendrata
493
7. Karakteristik petani jagung di lahan kering dataran tinggi Forita Dyah Arianti, A. Hermawan, dan A. Cholik
502
8. Pengawalan sertifikasi halal produk tomat (Lycopersicum esculentum mill) dan olahannya Agus Budiyanto dan Sunarmani
508
9. Strategi bertahan hidup, keberdayaan dan tingkat partisipasi petani lahan marjinal dalam program peningkatan pendapatan petani melalui inovasi di Kabupaten Blora Sumanto
516
10. Studi kelembagaan pemasaran produk olahan lempuyang wangi Sarjana, Indri Ambarsari dan Budi Hartoyo
531
11. Peran ternak kambing domba dalam pembangunan ekonomi rumah tangga pedesaan Bambang Winarso
539
12. Persepsi petugas dan petani maju terhadap inovasi pertanian yang didiseminasikan melalui komik dan VCD di wilayah majinal Wahyudi Hariyanto, Herwinarni E.M., dan Ekaningtyas Kushartanti
552
13. Tanggapan pengguna terhadap inovasi teknologi yang diintroduksikan di wilayah desa miskin Kabupaten Temanggung Tota Suhendrata
559
iii
14. Pengaruh kenaikan harga bahan bakar minyak terhadap kehidupan rumah tangga tani cabai rawit Sularno, Agus Hermawan, dan Dian Maharso Yuwono
565
15. Status dan prospek usaha ternak di lahan kering berlereng Kabupaten Temanggung Agus Hermawan, Sarjana,dan Abdul Choliq
571
16. Efektivitas gelar teknologi sebagai metode penyuluhan dalam penyebaran teknologi usaha tani padi gogo di lahan kering Trie Joko Paryono
579
17. Identifikasi dan kebutuhan inovasi teknologi pertanian di lahan kering dataran tinggi Teguh Prasetyo dan Cahyati Setiani
586
18. Permasalahan petani miskin terhadap anjuran tunda jual gabah Seno Basuki
593
19. Apresiasi pasar terhadap perbaikan teknologi usahatani di wilayah miskin Kabupaten Blora Sarjana
598
20. Respon petani setelah pelatihan perawatan sprayer kaitannya dengan penggunaan sprayer Nugroho Siswanto, Sri Budhi Lestari, dan Arlyna Budi Pustika
607
21. Potensi dan peluang usaha ternak kerbau di Desa Lerep, Kecamatan Ungaran, Kabupaten Semarang (Studi kasus) Rusmadji, S.Prawirodigdo, dan M.D. Meniek Pawarti
614
22. Kinerja pengawalan teknologi terhadap keberhasilan petani miskin : Studi kasus usahatani padi Seno Basuki, Sularno dan Sarjana
622
23. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap permintaan bakalan/bibit sapi potong (Studi kasus di Kabupaten Gunung Kidul) Nandang Sunandar
627
24. Peluang dan kendala dalam proses menuju agribisnis industrial pedesaan di daerah lahan kering (kasus Desa Serang, Kecamatan Karangreja, Kabupaten Purbalingga) Djoko Pramono, Rusmadji, dan Forita D. Arianti
633
25. Upaya pengembangan agroindustri mete di lahan kering Kabupaten Wonogiri Cahyati Setiani, Kendriyanto, dan Teguh Prasetyo
640
26. Dukungan teknologi pengendalian hama terpadu pada pengembangan usaha tani jeruk di lahan pesisir pantai selatan Kulon Progo Trimartini dan Prayitno al KS
648
27. Kelembagaan kemitraan usaha agroindustri empon-empon Cahyat Setiani dan Sarjana
654 663
DAFTAR PESERTA
iv
RUMUSAN HASIL SEMINAR Wilayah marjinal sebagai tema seminar dialamatkan untuk mengangkat kondisi lahan dan perekonomian masyarakat marjinal menjadi fokus perhatian sebagai pokok bahasan. Sehubungan dengan itu dalam seminar ini telah dibahas berbagai topik makalah yang berkaitan dengan lahan marjinal dan/atau masyarakat tani berstatus ekonomi lemah. Rumusan dari hasil seminar ini adalah sebagai berikut. • Lahan marjinal mempunyai keterbatasan dalam hal sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Di samping itu pada umumnya topografinya juga kurang sesuai untuk berusahatani. Oleh sebab itu lahan marjinal dicirikan dengan status hara dan kapasitas menahan air sangat rendah, fungsi hidrologi rusak, bahan organik kritis sebagai akibat erosi air maupun angin, terjadi pencemaran, dan konsekuensinya keadaan perekonomian masyarakat juga lemah. Kondisi tersebut merupakan salah satu penyebab tingkat kesejahteraan petani di lahan marjinal rendah. • Beberapa cara yang perlu dilakukan untuk meningkatkan produktivitas lahan marjinal di antaranya adalah pemakaian varietas tanaman unggul berumur genjah, penerapan pola tanam sesuai dengan curahan hujan, perbaikan teknik budidaya tanaman, serta usaha konservasi lahan. Namun kenyataannya, pengembangan teknologi pertanian di lahan marjinal yang merupakan konsentrasi petani miskin, kurang mendapat prioritas dibanding di lahan irigasi. Demikian juga dengan dukungan kelembagaan dan ketersediaan sarana/prasarana, serta akses informasi masih sangat terbatas. Kondisi seperti ini menempatkan masyarakat/petani semakin terpuruk dalam perangkap kemiskinan. • Sehubungan dengan kondisi ini diperlukan suatu upaya terprogram yang dirancang untuk dapat menjawab permasalahan di wilayah marjinal. • Kesejahteraan/pendapatan petani miskin seharusnya ditingkatkan melalui inovasi pertanian mulai dari tahap produksi sampai pemasaran hasil. Untuk itu diperlukan peningkatan akses petani terhadap informasi pertanian, dukungan pengembangan inovasi pertanian, serta upaya pemberdayaan petani. • Pendekatan partisipatif dalam perencanaan dan pelaksanaan, pengembangan kelembagaan serta perbaikan sarana/prasarana yang dibutuhkan di desa, merupakan alternatif dalam pemberdayaan petani untuk meningkatkan kemampuan mengadopsi inovasi. • Dalam upaya program peningkatan produktivitas lahan dan peningkatan pendapatan petani hendaknya dilakukan melalui pendekatan kawasan, pemberdayaan masyarakat, agribisnis, dan kelembagaan yang di dukung oleh sarana prasarana memadai. Sebagai alternatif program dapat digunakan sebagai pertimbangan adalah model Primatani dan Agropolitan. • Dalam program tersebut diperlukan dukungan pengembangan penyebarluasan inovasi pertanian, yang dimaksudkan untuk melakukan reorientasi dalam melakukan penelitian dan pengkajian pengembangan inovasi pertanian yang sesuai untuk kebutuhan para petani di lahan marjinal, serta untuk mendukung pelaksanaan diseminasi guna menginformasi kan potensi inovasi kepada petani dalam rangka meningkatkan produksi pertanian. • Beberapa inovasi teknologi hasil penelitian, kelembagaan dan diseminasi yang dapat dipertimbangkan sebagai referensi untuk mendukung upaya peningkatan produktivitas lahan dan pendapatan petani di wilayah marjinal. Inovasi-inovasi tersebut di antaranya adalah: Sub-Sektor tanaman pangan dan obat - Peningkatan produktivitas jagung, padi gogo, cabai kacang tanah, ubi jalar tanaman obat dengan lebih mengefisiensikan penggunaan pupuk NPK, aplikasi komponen-komponen pengelolaan tanaman terpadu (PTT), mengobtimalkan pemanfaatan embung, dan mengunakan varietas sesuai lahan.
v
- Pengendalian serangan organisme pengganggu tanaman bawang merah dan cabai secara simultan dengan pemupukan berimbang dan penggantian varietas Sub-Sektor peternakan - Pengembangan ternak ruminansia menggunakan strategi penyediaan pakan (hijauan maupun limbah pertanian/perkebunan) dengan konsep terprogram dan teknologi terapan. - Peningkatan produktivitas/reproduksi sapi perah dengan memperbaiki manajemen laktasi dan perbaikian pakan pada periode gestasi (flushing) Panen dan pasca-panen - Peningkatan nilai tambah hasil pertanian melalui perbaikan teknik panen, penggunaan alat untuk memanen, penyimpanan hasil, deversivikasi olahan hasil panen (teknologi pasca panen) yang dilengkapi dengan sertifikasi produk halal. Kelembagaan - Inovasi yang mencakup kelembagaan input produksi, proses produksi, pasca produksi hingga kelembagaan pasar. Di samping itu juga perlu adanya dukungan kemitraan usaha dengan swasta/pihak terkait. Diseminasi dan alih teknologi - Strategi diseminasi/mempercepat alih teknologi melalui kegiatan gelar, pelatihan, dan pendampingan teknologi yang dikemas dalam bentuk yang mudah dimengerti oleh petani (contohnya media cetak komik dan VCD) - Kegiatan diseminasi yang dikaitkan dengan PRIMATANI dan P4MI • Diperlukan keterpaduan antara materi penelitian/pengkajian dengan peneliti/pengkaji yang sesuai dengan keahliannya.
vi
Prosiding Seminar Nasional
KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TERHADAP KESINAMBUNGAN PANGAN PETANI DI KABUPATEN TEMANGGUNG (Fertilizer subsidize on the farmers food suntainble in Temanggung District) Abdul Choliq, Agus Hermawan, dan Rusmaji Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah
ABSTRAK Pencabutan kebijakan subsidi pupuk sebagai konsekuensi kesepakatan dengan lembaga donor International Monetery Fund (IMF) dirasa cukup memberatkan petani. Pencabutan subsidi pupuk awalnya diharapkan dapat berdampak positif karena meningkatkan efisiensi, ketersediaan dan harga pupuk di tingkat petani yang wajar sebagai akibat persaingan sehat antar pelaku bisnis pupuk. Kenyataan di lapangan, petani hanya dapat menikmati beberapa saat, karena harga pupuk naik menyebabkan biaya usahatani meningkat dan petani harus bersaing dengan komoditi yang sama dari luar negeri dengan harga yang relatif lebih murah. Penghentian hubungan antara Indonesia dengan IMF memberikan peluang bagi pemerintah untuk kembali menerapkan subsidi pupuk. Untuk melihat kecenderungan ketersediaan pangan dengan adanya penerapan kembali subsidi pupuk telah dilakukan survei di Kabupaten Temanggung. Data yang dikumpulkan melalui deret waktu dan wawancara dengan petani di daerah sentra produksi padi dan dianalisis secara deskriptif. Hasil yang diperoleh bahwa lebih dari separuh (56%) responden mengetahui adanya subsidi harga pupuk, meski manfaatnya belum dirasa secara signifikan. Pada usahatani padi, penggunaan pupuk (Urea dan SP-36) dari tahun 1994 cenderung meningkat sampai tahun 1998, sejalan dengan luas panen dan produksinya. Kondisi yang sebaliknya pasca 1998 yakni dimulainya pencabutan subsidi pupuk. Penerapan kembali subsidi harga pupuk memperlihatkan kecenderungan yang menggembirakan, tercermin mulai 2003 luas panen dan produksi usahatani padi mulai meningkat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Kata kunci: Subsidi pupuk, produksi padi, kesinambungan pangan.
ABSTRACT Fertilizer subsidize withdrawal, a consequents of the agreement made by the International Monetary Fund (IMF), was a hard situation for the farmers. At the beginning, such subsidize withdrawal was expected to a positive impact to the farmers due to efficiency improvement, availability and the price of the fertilizer was fair since there would be a healthy competition between fertilizer business person. In fact, the farmers only took for granted in a short time, because the price of fertilizer increased, thus input production cost increased also and the farmers have to compete with the similar product imported from foreign country which was cheaper. Relation disconnection between Indonesia and IMF let the government subsidize fertilizer for the farmers again. A survey was performed in Temanggung District to evaluate the effect of fertilizer subsidize on the trend of food availability. Data were collected through an interview to the farmers in the paddy centre, and analyzed descriptively. Results showed that 56% of respondent recognized the fertilizer subsidize for them, although the function had not significant yet. In paddy farming, the use of urea and SP fertilizers from the year of 1994 to 1998 tended to increase since the harvest area and production inclined. Contrast condition, appeared when fertilizer subsidized was withdrawn. Obviously, the encouraging trend appeared since fertilizer subsidized. Apparently, began from the year 2003 the paddy harvest area and production of the rice farming increased remarkably compared to thus in the previous years. Key words: Fertilizer subsidizes, rice production, food sustainability.
PENDAHULUAN Konsekuensi adanya kerjasama dengan lembaga donor International Monetery Fund (IMF), pemerintah harus menerapkan berbagai kebijakan yang terkadang tidak selalu berpihak pada petani. Meski kebijakan penghapusan subsidi pupuk adalah untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penggunaan dana pembangunan. Namun, pencabutan subsidi harga pupuk yang diterapkan pada Desember 1998 sangat dirasakan petani akan kesulitan dalam berusahatani. Terbukti adanya pencabutan subsidi pupuk berakibat harganya naik, namun demikian diharapkan kondisi ini dapat menjadikan petani agar lebih efisien dalam menggunakan pupuk, sehingga meningkatkan
457
Prosiding Seminar Nasional daya saing (Darmawan et al., 1995 dalam Darwis dan Nurmanaf, 2004; Dillon dan Hardakar, 1980; Hadi et al., 1997). Adnyana dan Kariyasa (2000) menyebut kan liberalisasi perdagangan dan pencabutan subsidi pupuk, dapat meningkatkan biaya usahatani, akibatnya produktivitasnya menurun. Selain itu harus bersaing dengan komoditi yang sama dari luar negeri dengan harga yang relatif lebih murah. Dalam kurun 1999-2003 produksi padi di Kabupaten Temanggung mengalami penurunan sebesar 3,09% per tahun, sedangkan laju penurunan luas panen padi sebesar -1,235% per tahun (BPS Kabupaten Temanggung, 2004). Soekirman, (2002) dalam Gatoet (2003) menyebutkan keadaan penurunan ini bila berlangsung terus menerus dapat berdampak negatif pada kualitas sumberdaya manusia sebagai akibat kekurangan energi dan protein. Pemberlakuan kembali subsidi harga pupuk yang diterapkan pemerintah memberi harapan baru bagi petani, biaya usahatani yang diharapkan cenderung menurun, produksi dan produktivitas usahatani kembali meningkat, sehingga kesinambungan pangan petani akan terjaga. Meskipun pada kenyataannya belum sepenuhnya petani merasakan adanya subsidi harga pupuk (Kariyasa et al., 2005), namun adanya subsidi harga pupuk ini memperlihatkan kecenderungan yang positif. Untuk melihat kecenderungan ketersediaan pangan dengan adanya penerapan kembali subsidi pupuk telah dilakukan survei di Kabupaten Temanggung pada Nopember 2005.
BAHAN DAN METODE Ruang lingkup kegiatan ini adalah untuk melihat upaya pemerintah dalam memberda yakan petani melalui kebijakan pemberian kembali subsidi pupuk. Lokasi pengkajian meliputi Desa Bulu Kecamatan Bulu dan Desa Dlimoyo Kecamatan Ngadirejo. Pemilihan lokasi ini didasarkan pada pertimbangan bahwa Kecamatan Bulu merupakan salah satu sentra padi di Kabupaten Temanggung. Kegiatan survei dilakukan pada bulan Nopember 2005. Data yang dikumpulkan adalah data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan melalui wawancara terstruktur dengan 54 petani responden. Data primer yang diamati antara lain karakteristik petani
458
responden, harga pupuk, dan persepsi adanya kebijakan subsidi pupuk. Data sekunder yang dikumpulkan antara lain data deret waktu (time series) produksi dan luas panen, perkembangan harga gabah dan pupuk, dan perkembangan penggunaan pupuk. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait (BPS dan Dinas terkait). Analisis deskriptif untuk melihat kecenderungan ketersediaan pangan dalam menjamin kesinambungan pangan petani sebagai dampak adanya subsidi harga pupuk.
HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Budidaya Padi Responden Keragaan budidaya padi yang dilakukan responden disajikan pada Tabel 1 dan 2. Pola tanam yang sering dilakukan oleh petani di Temanggung ada tiga pola tanam yang mendominasi, (1) padi – padi – palawija/ sayuran/tembakau (35%), (2) padi – tembakau – palawija/sayuran (28%), dan (3) padi – tembakau – bero (26%). Ditinjau dari pola tanam masing-masing responden, beragamnya pola tanam di Temanggung diduga karena lahan garapannya di lahan sawah. Komoditas pertanian yang sering diusahakan selain padi dan relatif banyak adalah tembakau. Varietas benih padi yang ditanam responden adalah varietas lokal seperti midun dan mencri, yang barasal dari memanfaatkan hasil panen sendiri. Semua sistem yang digunakan dalam cara tanam adalah tanam pindah (tapin). Umur benih yang ditanam antara yang berumur 20 – 30 hari dengan yang berumur > 30 hari hampir berimbang (antara 57% dibandingkan dengan 43%). Semua responden menyatakan pemupukan dilakukan berkisar antara 2 – 3 kali pemupukan. Perkembangan Penggunaan dan Harga Pupuk Dalam berusahatani padi, penggunaan pupuk oleh responden sangat bervariasi. Jenis dan dosis pupuk yang digunakan sangat dipengaruhi berbagai faktor, misal modal, kebiasaan, serta kemudahan responden untuk mendapatkannya. Hasil survei untuk mengetahui jenis pupuk yang paling dibutuhkan oleh responden pada usahatani padi serta cara mendapatkannya disajikan pada Tabel 3.
Prosiding Seminar Nasional Tabel 1. Keragaan pola tanam dan komoditas yang diusahakan petani responden Uraian Responden Pola tanam a. padi–padi–palawija/sayuran/tembakau b. padi – tembakau – palawija/sayuran c. padi – palawija – bero d. padi– tembakau – bero e. padi – padi – padi f. padi – sayuran Komoditas yang diusahakan selain padi a. Jagung b. Kacang tanah c. Kedele d. Cabe/lombok e. Tomat f. Tembakau
Frekuensi 54
Persen 100
19 15 1 14 1 4
35 28 2 26 2 7
17 2 1 24 11 34
31 4 2 44 20 63
Frekuensi 54
Persen 100
50 4
93 7
13 41
24 76
15 10 29
28 19 53
54
100
31 23
57 43
54
100
Tabel 2. Keragaan budidaya padi petani responden Uraian Responden Olah tanah a. Sempurna b. Sederhana Varietas benih a. IR-64 b. Lainnya Cara mendapatkan benih a. beli di toko pertanian b. beli di petani lain c. hasil panen sendiri Cara tanam Tapin Umur benih a. 20 – 30 hari b. > 30 hari Pemupukan dari semai sampai panen 2 – 3 kali pemupukan
Tabel 3 memberikan gambaran bahwa pupuk urea sangat dibutuhkan hampir semua responden dalam berusahatani padi. Pupuk SP-36 menduduki peringkat ke 2 setelah urea. Untuk mendapatkan pupuk yang dibutuhkan hampir semua responden dengan cara membeli tunai di toko, hanya sebagian kecil dengan hutang yang akan dibayar setelah panen (yarnen). Peran kelompok tani dalam penyediaan saprodi, khususnya pupuk belum nampak. Naiknya harga pupuk, sangat mempengaruhi sikap petani terhadap pemakaian pupuk (Darwis dan Nurmanaf,
2004), karena harus menyediakan modal tunai yang lebih banyak. Perkembangan penggunaan pupuk urea dan SP-36 di Kecamatan Bulu dan Ngadirejo, serta Kabupaten Temanggung disajikan pada Tabel 4. Penggunaan urea di Kabupaten Temanggung dari tahun 1994 sebesar 5.028 ton meningkat menjadi 7.018 ton pada tahun 2003. Sebaliknya penggunaan pupuk SP-36, pada tahun 1994 sebesar 3.845 ton cenderung menurun menjadi 2.472 ton pada tahun 2003. Penurunan ini diperkirakan akibat naiknya harga SP-36, akibatnya pemakaian dikurangi.
459
Prosiding Seminar Nasional Tabel. 3. Jenis pupuk yang paling dibutuhkan dan cara mendapatkannya Uraian Responden Pupuk yang paling dibutuhkan petani: a. Urea b. SP-36 c. KCL d. Pupuk kandang Cara mendapatkan a. Membeli tunai b. Hutang c. Pinjam pada kelompok lain
Frekuensi 54
Persen 100
52 22 7 4
96 41 13 7
53 1 -
98 2 -
Tabel 4. Perkembangan penggunaan pupuk urea dan SP-36 di Temanggung. Tahun 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Kec. Bulu 371 348 426 340 440 332 945 721
Urea (ton) Kec. Ngadirejo 459 449 449 481 539 346 168 690
Kab. Temanggung 5028 5498 5026 5749 5676 4884 7468 7018
Kec. Bulu 278 174 320 255 60 124 142 260
SP 36 (ton) Kec. Kab. Ngadirejo Temanggung 344 3845 224 2748 336 3770 360 4306 238 1073 129 1819 24 2080 254 2472
Sumber: BPS Kab. Temanggung
Kariyasa (2005) menyebutkan petani dalam berusahatani cenderung tidak lagi memperhatikan penggunaan pupuk berimbang, karena harga jual hasil pertanian yang fluktuatif dan cenderung merugikan petani akibat biaya produksi yang semakin meningkat. Adanya kebijakan Desember 1998, harga pupuk mengalami peningkatan yang signifikan, karena harga ditentukan oleh mekanisma pasar tanpa ada campur tangan lewat subsidi. Harga urea mencapai Rp1.100,-/kg, harga SP-36 sebesar Rp.1.600,/kg, harga KCL Rp.1.800,- dan Rp 1.100,-/kg harga pupuk ZA. Selanjutnya disebutkan bahwa harga urea mencapai Rp 1.370,-/kg pada MT 2002. Peningkatan harga pupuk bukan karena kelangkaan pasokan pupuk atau nilai tukar rupiah, tetapi disebabkan oleh distribusi pupuk yang tidak normal (Sinar Tani, 2004).
460
Persepsi Petani Terhadap Kebijakan Subsidi Pupuk Hasil pengkajian menunjukkan bahwa tidak semua petani mengetahui tentang kebijakan pemberlakuan subsidi harga pupuk. Persentase petani yang mengetahui kebijakan ini relatif lebih besar (56%) bila dibandingkan dengan yang tidak mengetahui (42%). Menurut responden, mereka mengetahui kebijakan ini terutama dari media massa (TV/koran) dan dari label pembungkus pupuk (Tabel 5), dan tidak ada yang mengetahui dari informasi petugas pertanian. Pada masa-masa mendatang, peranan penyuluh sebagai sumber informasi tentang berbagai kebijakan strategis pemerintah perlu ditingkatkan, sesuai dengan kebijakan Revitalisasi Pertanian Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang dicanangkan oleh pemerintah pada tanggal 11 Juni 2005 di Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat. Hal ini juga sejalan dengan hasil wawancara yang
Prosiding Seminar Nasional menunjukkan bahwa 69% responden Temanggung masih menganggap penyuluh sebagai petugas pertanian di lapangan sebagai pihak yang “bertanggung jawab” terhadap kurang sampainya informasi tentang subsidi. Dengan kata lain, para petani merasa bahwa seharusnya petugas pertanian memberikan informasi lebih jelas tentang kebijakankebijakan sektor pertanian yang diambil oleh pemerintah. Masalahnya, sebagian besar petani menyatakan tidak menyadari atau tidak merasakan manfaat langsung dari pemberlakuan kebijakan subsidi pupuk tersebut, hal ini dinyatakan oleh 83% petani responden. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa harga yang harus dibayar petani sama antara sebelum dan sesudah pemberlakuan kembali subsidi pupuk. Hanya sekitar 6% petani Temanggung yang menyatakan bahwa
harga pupuk menjadi lebih murah setelah pemberian kembali subsidi (Tabel 6). Kariyasa (2005) mengungkapkan kebijakan subsidi pupuk yang telah diberlakukan lagi membuka peluang dan yang diuntungkan adalah pabrikan pupuk. Pengalaman di lapangan dimana seringkali terjadi langka pasok dan lonjak harga bila petani membutuhkan jumlah pupuk relatif banyak. Untuk mengoptimalkan kebijakan subsidi pupuk perlu reorientasi dari pupuk anorganik ke organik (pupuk kandang). Kondisi ini akan membantu penyembuhan lahan “sakit” akibat penggunaan pupuk anorganik berlebihan. Pupuk organik selain mampu meningkatkan produktivitas juga memiliki prospek pasar yang cerah dibandingkan dengan produk pertanian anorganik.
Tabel 5. Persepsi terhadap kebijakan subsidi harga pupuk Uraian Responden Informasi adanya kebijakan subsidi pupuk: a. Mengetahui: - Petugas pertanian - TV/Koran - Penjual pupuk - Sesama petani anggota Kelompok tani - Label pada karung - Gabungan jawaban a. b. Tidak mengetahui c. Mengetahui sedikit dan kurang jelas Alasan pupuk bersubsidi kurang diketahui a. Kurang informasi dari petugas pert b. Kesengajaan penjual pupuk c. Jumlah pupuk yangg disubsidi sedikit d. Jawaban gabungan e. Tidak tahu
Frekuensi 54
Persen 100
30 9 11 10 23 1
56 17 20 19 42 2
37 3 2 3 9
69 6 4 6 16
Tabel 6. Manfaat yang dirasakan petani dengan adanya kebijakan subsidi pupuk Uraian Responden a. Bermanfaat, dengan alasan: - Harga pupuk lebih murah - Mudah mendapatkan pupuk b. Tidak bermanfaat, dengan alasan - Harga sama dengan sebelum ada kebijakan - Harga pupuk mahal - Gabungan jawan b. c. Tidak tahu
Frekuensi 54 4 3 1 45 18 21 6 5
Persen 100 8 6 2 83 33 39 11 9
461
Prosiding Seminar Nasional Dampak Kebijakan Subsidi Harga Pupuk Terhadap Kesinambungan Pangan a. Perkembangan luas panen padi Luas panen padi di Kecamatan Bulu, Kecamatan Ngadirejo, dan Kabupaten Temanggung dari tahun 1994 cenderung naik sampai pada tahun 1998. Untuk tahun selanjutnya cenderung mengalami penurunan sampai tahun 2001. Pada tahun 2002 – 2003 cenderung naik, dan pada tahun 2004 luas panen memperlihatkan kenaikan yang cukup signifikan. Bila melihat perkembangan luas panen padi di Temanggung pasca 1998 cenderung menurun, diduga sebagai akibat kebijakan Desember 1998. Adanya pencabutan subsidi pupuk menyebabkan kenaikan harga pupuk sehingga biaya usahatani padi meningkat. Kondisi ini mengurangi motivasi petani dalam berusahatni padi. Peningkatan luas panen padi di Temanggung pada tahun 2003 di duga dari efek positif yang diterima petani dengan adanya beberapa kebijakan seperti berlakunya kembali subsidi pupuk dan INPRES 2001 tentang perberasan yang mengatur harga gabah/beras pembelian pemerintah (HPP). Bila melihat data deret waktu selama 10 tahun terakhir, dampak kebijakan tersebut di atas memperlihatkan kecenderungan positif. Luas panen padi di Kabupaten Temanggung pada tahun 1994 seluas 24.984 ha cenderung meningkat sampai tahun 1998 yakni seluas 28.903 ha, kemudian memperlihatkan kecenderungan menurun sampai tahun 2001
(22.456 ha), dan kembali meningkat pada 2002 (24.543 ha) dan meningkat lagi pada tahun 2003 (26.213 ha). Kecenderungan penurunan dan peningkatan luas panen padi di Temanggung dalam kurun waktu 10 tahun (1994 – 2003) disajikan pada Tabel 7. b. Perkembangan produksi padi Produksi padi di Kecamatan Bulu, Kecamatan Ngadirejo, dan Kabupaten Temanggung dari tahun 1994 cenderung naik sampai pada tahun 1998. Perkembangan produksi selanjutnya cenderung mengalami penurunan sampai tahun 2002. Adanya kebijakan subsidi harga pupuk berdampak pada jumlah pupuk yang digunakan petani meningkat. Selain meningkatkan jumlah pupuk yang digunakan, produksi padi yang dihasilkan cenderung meningkat. Produksi padi di Temanggung pada tahun 1994 sebesar 147.863 ton meningkat menjadi 171.060 ton pada tahun 1998. Kemudian memperlihatkan kecenderungan menurun sejak adanya pencabutan subsidi pupuk sampai produksinya menjadi 138.521 ton pada tahun 2002, selanjutnya pada 2003 baru menunjukkan peningkatan menjadi 148.707 ton (Tabel 8). Adanya kebijakan subsidi pupuk, biaya proses produksi berpeluang lebih efisien, sehingga harga output bisa lebih murah. Dengan luas panen dan produksi padi yang meningkat, maka petani akan lebih mudah dalam mengakses untuk pemenuhan kebutuhan pangan. Demikian halnya harga beras yang cenderung turun akan membantu meningkatkan kesinambungan pangan petani.
Tabel 7. Perkembangan luas panen (ha) padi di Kabupaten Temanggung (1994 – 2003) Tahun 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Kec. Bulu 1754 1616 1756 1770 2304 2072 2033 1924 2115 2557
Sumber: BPS Kab. Temanggung
462
Luas panen ( ha ) Kec. Ngadirejo 2169 2116 2523 1749 2174 3007 2236 2023 1967 2265
Kab. Temanggung 24984 25823 26406 25019 28903 28731 26847 22456 24543 26213
Prosiding Seminar Nasional Tabel 8. Perkembangan produksi padi (ton) di Kabupaten Temanggung (1994 – 2003) Tahun
Kec. Bulu 10205 9398 10367 10436 13789 12117 11708 10544 12056 14793
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Produksi ( Ton ) Kec. Ngadirejo 12977 12316 14959 10191 14315 17633 13273 11110 11212 13131
Kab. Temanggung 147863 150254 156387 147168 171060 168096 154038 126939 138521 148707
Sumber: BPS Kab. Temanggung
KESIMPULAN DAN SARAN Meski kebijakan subsidi harga pupuk yang diterapkan kembali pasca pemutusan hubungan dengan IMF belum dirasakan manfaatnya oleh petani secara signifikan, namun dalam kurun waktu 10 tahun terakhir memperlihatkan kecenderungan yang positif dengan diperlihatkan luas panen dan produksi padi yang meningkat. Petugas Pertanian Lapangan (PPL) merupakan salah satu informan handal sebagai penyampai kebijakan yang keberadaanya menurut petani belum tergantikan, maka dimasa mendatang peran PPL perlu lebih ditingkatkan.
PUSTAKA Adnyana, M. O., dan K. Kariyasa. 2000. Perumusan kebijakan harga gabah dan pupuk dalam era pasar bebas. Laporan Bulanan Agustus 2000. Puslitbang Sosek Pertanian, Bogor. Badan Pusat Statistik Kabupaten Temanggung, 2004. Temanggung dalam angka 2004. BPS Kabupaten Temanggung.
Forum Penelitian Agro Ekonomi. Puslit bang Sosial Ekonomi Pertanian, FAE, 22 (1), Juli 2004. Dillon, J.P. and Hardakar. 1980. Farm management research for small farmer development. FAO, Rome. Gatoet, S. H. 2003. Simulasi dampak perubahan faktor-faktor ekonomi terhadap ketahanan pangan rumah tangga pertanian. Jurnal Agro Ekonomi. 21 (1) Mei 2003. PPSEP, Badan Litbang Pertanian, Hadi, P. U., Hendiarto, I W. Sudana, A. Pramono dan I. Utomo. 1997. Analisis kemampuan petani membeli pupuk. Laporan penelitian. Kerjasama antara PT. Petrokimia Gresik (Persero) dengan Puslit Sosek Pertanian. Kariyasa, K. 2005. Sistem integrasi tanamanternak dalam perspektif reorientasi kebijakan subsidi pupuk dan peningkatan pendapatan petani dalam analisis kebijakan pertanian. Agricultural Policy Analysis. 3 .(1) Maret 2005. Puslitbang Sosek Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian .
Darwis V., dan A. R. Nurmanaf. 2004. Kebijakan distribusi, tingkat harga dan penggunaan pupuk di tingkat petani.
463
Prosiding Seminar Nasional
DINAMIKA KELOMPOK TANI DALAM MENGHIMPUN MODAL USAHA TANI DI DESA CANGGAL, KABUPATEN TEMANGGUNG Uka Kusnadi, E. Juarini dan Sumanto Balai Penelitian Ternak
ABSTRAK Dalam pelaksanaan komponen tiga khususnya kegiatan mengembangkan dan melaksanakan program penelitian dan pengkajian lahan marginal sejak tahun 2003 P4MI bekerja sama dengan Balit/Puslit dan Puslitbang telah melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan sistem usahatani (SUT) secara terpadu antara tanaman dan ternak. Salah satu kegiatan tersebut adalah pengembangan SUT integrasi tanaman sayuran dan ternak domba di Desa Canggal Kecamatan Kledung Kabupaten Temanggung. Berdasarkan hasil penelitian tersebut telah banyak inovasi teknologi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian yang dapat diadopsi petani baik secara parsial maupun secara utuh. Namun dalam pelaksanaan pengembangan selanjutnya dihadapkan pada masalah permodalan. Dalam kaitan inilah telah dilakukan penelitian mengenai dinamika kelompok tani dalam menghimpun/menggalang modal selama 5 bulan. Metode penelitian dilakukan dengan cara ”Farm record keeping”, wawancara dan pengamatan langsung terhadap 20 orang petani peserta SUT. Data yang dikumpulkan meliputi; dinamika kelompok (jumlah anggota), sumber keuangan, perkembangan jumlah modal yang terkumpul dan kemampuan petani dalam menghimpun modal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, dinamika kelompok tani peningkatannya cukup signifikan yaitu sekitar 100%. Dana kelompok yang dimiliki saat ini berjumlah Rp 42.700.000 dari dana awal Rp 4.500.000,- (meningkat 849%). Dana tersebut berasal dari pengembalian ternak domba Rp 8.000.000 (18,7%), usahatani sayur Rp 13.000.000 (30,4%), usaha penyediaan pupuk kandang Rp 14.200.000 (33,26%) dan tabungan petani Rp 7.500 (17,6%). Kemampuan petani dalam menghimpun dana investasi rata-rata Rp 100.000/orang dengan tabungan bulanan Rp 5.000 - Rp 12.000. Kondisi ini menunjukkan bahwa prospek pengembangan SUT dilahan marginal cukup potensial apabila secara kelembagaan keuangan mikro di pedesaan ditumbuhkan secara partisipatif antara petani dan pembuat kebijakan. Kata kunci: SUT, modal, kelembagaan
PENDAHULUAN Badan Litbang Pertanian melalui Proyek Peningkatan Pendapatan Petani Miskin melalui Inovasi P4MI (Poor Farmers in come Improvement Trought Innovation Project /PFI3P), membangun sistem agribisnis di lahan marginal, melalui pemberdayaan petani, pengembangan kelembagaan desa dan perbaikan sarana/prasarana pendukung di desa secara partisipatif, disertai inovasi teknologi dan peningkatan akses pada jaringan informasi. Melalui pendekatan partisipatif mulai dari persiapan, perencanaan pelaksanaan dan evaluasi kegiatan diharapkan P4MI dapat mencapai sasarannya, yaitu meningkatkan penerapan inovasi teknologi dalam produksi dan pemasaran hasil pertanian bagi kelompok petani miskin yang berkelanjutan walaupun proyek telah selesai (Dimyati 2004). P4MI terdiri dari empat komponen yaitu (1) pemberdayaan petani, (2) pengembangan sumber informasi nasional dan lokal, (3)
464
dukungan untuk pengembangan inovasi pertanian dan desiminasi dan (4) manajemen proyek. Komponen 3 merupakan kegiatan yang langsung ditangani oleh Badan Litbang Pertanian, sedangkan komponen lainnya lebih banyak dilakukan oleh pemerintah daerah setempat. Lokasi kegiatan terfokus di 5 kabupaten 4 propinsi yaitu: Kabupaten Donggala di Sulawesi Tengah, Kabupaten Ende di Nusa Tenggara Timur, Kabupaten Lombok Timur di Nusa Tenggara Barat, Kabupaten Blora dan Kabupaten Temanggung di Jawa Tengah. Kelima kabupaten tersebut diidentifikasi sebagai daerah yang memiliki lahan marginal dan petani miskin yang penanganannya perlu diprioritaskan (Sekretariat Badan Litbang Pertanian 2006). Dalam Pelaksanaan komponen tiga khususnya kegiatan pengembangan dan pelaksanaan program penelitian dan pengkajian lahan marginal sejak tahun 2003 P4MI bekerjasama dengan Balit/Puslit dan
Prosiding Seminar Nasional Puslitbang telah melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan sistem usaha tani (SUT) secara terpadu antara tanaman dan ternak. Salah satu kegiatan tersebut adalah pengembangan SUT integrasi antara tanaman sayuran dan ternak domba di dataran tinggi Desa Canggal, Kecamatan Kledung, Kabupaten Temanggung. Berdasarkan hasil penelitian tersebut telah banyak inovasi teknologi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian yang dapat diadopsi petani baik secara parsial maupun secara utuh (Sudarmadi et al., 2004), sehingga tingkat produktivitas tanaman dan ternak domba meningkat secara signifikan. Namun demikian pada pelaksanaan pengembangan selanjutnya dalam penerapan teknologi, petani dihadapkan pada masalah permodalan (Kusnadi et al., 2005) Pertanyaan timbul dari mana petani memperoleh modal? Sedangkan pengembangan usahataninya tetap berjalan walaupun tidak signifikan. Dalam kaitan inilah penelitian mengenai dinamika kelompok tani dalam menghimpun/ menggalang modal usahatani di Desa Canggal Kabupaten Temanggung dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui dinamika petani, sumber-sumber dana yang dapat dihimpun petani dan perkembangan modal selanjutnya. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pedoman dasar bagi petani lainnya di daerah marginal yang mengembangkan SUT terutama dalam menghimpun dana kelompok tani di daerah yang mirip dengan Desa Canggal.
meliputi karakteristik petani, dinamika kelompok, (perkembangan jumlah anggota), sumber keuangan dan perkembangan modal serta kemampuan petani dalam menghimpun modal. Data kualitatif maupun kuantitatif dikumpulkan setiap bulan untuk selanjutnya dianalisa secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN I.
Karakteristik Petani
Berdasarkan hasil studi terhadap responden yang diwawancarai, pola usaha tani yang dilakukan petani sebagian besar adalah, pola usaha sayuran dilahan kering dengan komoditas utama yang diusahakan adalah kentang, kubis dan cabe. Komoditas lainnya adalah buncis, kacang merah dan sawi. Disamping bercocok tanam petani memelihara ternak domba yang diintroduksi P4MI sebanyak 60 ekor per kelompok. Keragaan karakteristik petani di lokasi penelitian di sajikan pada Tabel 1. Dari Tabel 1 menunjukkan bahwa petani kelompok ”Kerso Maju” memiliki potensi untuk berkembang lebih maju karena umur mereka relatif masih muda (37,5 tahun) dengan pendidikan dan pemilikan lahan usaha yang cukup serta memiliki usaha sampingan, maka pendapatan sebagai sumber keuangan untuk menghimpun modal sangat memungkinkan. Tingkat Pendapatan
BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan di lokasi kegiatan P4MI di Desa Canggal. Kecamatan Kledung, Kabupaten Temanggung selama lima bulan sejak bulan Juni sampai dengan bulan Oktober tahun 2006. Yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah petani yang terlibat dalam sistem usaha tani sayuran dan domba sebanyak 20 orang yang tergabung dalam kelompok tani ”Kerso Maju”
Pada umumnya petani di Desa Canggal Kecamatan Kledung Kabupaten Temanggung mempunyai mata pencaharian utama sebagai petani sayuran. Namun tidak selamanya usaha tanaman ini menguntungkan, bahkan sering mengalami gagal panen. Oleh karena itu ada sebagian petani berusaha diluar usaha tani (off farm atau non farm) dengan cara beternak atau bekerja sebagai kuli atau dagang, dengan rata-rata pendapatan dibawah Rp 250.000 per bulan (Kusnadi, et al., 2005).
Metode penelitian yang digunakan adalah ”Farm Record Keeping” wawancara dan pengamatan langsung dari lapangan (Manwan et al., 1996). Data yang dikumpulkan
Berdasarkan hasil pengamatan (farm record keeping) selama 5 bulan tingkat pendapatan petani dapat di lihat pada Tabel 2
465
Prosiding Seminar Nasional
Tabel 1. Karakteristik petani kelompok tani ”Kerso Maju” di Desa Canggal Kabupaten Temanggung Uraian pemilikan lahan usaha (ha) pemilikan ternak domba (ekor) umur (tahun) pendidikan (%) - SD - SMP - SMA - Perguruan Tinggi - Mata pencaharian utama (%) - Petani - Usaha sampingan (%) - Beternak domba - Non Farm (Dagang, kuli)
Rataan 0,5 3 37,5
-
45 30 20 5 100 100 20
Tabel 2. Struktur pendapatan rataan petani SUT di Desa Canggal selama 5 bulan Sumber pendapatan
Sebelum penelitian
Akhir penelitian
(Rp) *)
(Rp)
1.
Tanaman sayuran.
849.230
1.012.500
2.
Usaha Ternak domba.
320.000
1.125.000
3.
Non farm (dagang, kuli)
61.539
88.816
-
Total pendapatan
1.230.769
2.226.316
-
Rataan pendapatan/ bulan
246.154
445.263
995.547
81%
Kenaikan *) Sudarmadi et al., 2004 Dari Tabel 2 terlihat bahwa sumber pendapatan petani terbesar pada awalnya berasal dari tanaman sayuran, namun setelah aplikasi teknologi SUT berjalan untuk lima bulan kemudian tingkat pendapatan petani naik dan struktur pendapatan berubah, dimana pendapatan dari ternak domba menduduki peringkat pertama walaupun tidak signifikan. Tingkat pendapatan dari ternak domba ini jauh lebih baik dari hasil penelitian Kusnadi, et al., (2004) pada kondisi yang sama di Kabupaten Tangerang yang hanya mencapai Rp 850.000 selama lima bulan. Dari Tabel 2 terlihat pula bahwa rataan pendapatan petani per bulan meningkat dari Rp 246.154, menjadi Rp 445.263, (81%) atau rata-rata per bulan 16,2%. Hal ini menunjukkan bahwa SUT yang dilakukan petani dapat memberi harapan untuk berkembang lebih lanjut dengan
466
memupuk/ menyisihkan pendapatan untuk sumber modal. Dinamika Kelompok Tani Yang dimaksud dinamika kelompok tani disini terbatas pada perkembangan jumlah anggota kelompok dan aktivitas petani maupun kelompok dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan usaha petani. Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh data dan informasi mengenai dinamika petani selama lima bulan seperti terlihat pada tabel 3. Dari Tabel 3 terlihat bahwa dinamika kelompok tani sangat signifikan ditinjau dari jumlah anggota yang meningkat 100%, pemeliharaan domba dan pengolahan pupuk yang meningkat setiap bulannya serta kedatangan tamu yang mengunjungi kegiatan itu setiap bulannya selalu ada dalam frekuensi yang bertambah.
Prosiding Seminar Nasional
Tabel 3. Dinamika Kelompok tani SUT “Kerso Maju” di Desa Canggal Kabupaten Temanggung Uraian
Periode bulan ke.. 1
2
3
4
5
Perubahan
20
16
25
30
40
naik 100%
- tanam sayuran
-
+
+
+
+
aktif
- pelihara domba
+
+
++
++
++
naik
- pengolahan pupuk
-
++
+++
+++
+++
naik
- pekerjaan non farm
++
+
+
-
-
turun
- pertemuan kelompok
-
+
++
+++
+++
naik
- ikut pelatihan (studi banding)
-
+
-
+
+
naik
- kunjungan (kedatangan tamu) Keterangan : - tidak ada aktivitas + aktivitas bertambah
+
+
++
++
+++
naik
- jumlah anggota (orang)
Sebaliknya pekerjaan non farm kondisinya menurun. Hal ini membuktikan bahwa SUT di desa Canggal cukup dinamik dan berkembang serta memberi harapan dapat memperbaiki pendapatan petani miskin di lahan marginal. Sumber Permodalan Kelompok Berdasarkan “farm record keeping” dan pengamatan langsung, dana kelompok yang dimiliki pada saat akhir penelitian sebanyak Rp 42.700.000, sumber-sumber dana permodalan ini seperti terlihat pada Tabel 4. Dari Tabel 4 terlihat bahwa sumber dana kelompok untuk permodalan yang paling banyak diperoleh dari usaha penyediaan pupuk kandang (33,26%). Hal ini menunjukkan bahwa usaha penyediaan pupuk kandang sangat menguntungkan, mudah untuk dilakukan dan mudahnya untuk pemasaran
pupuk. Berdasarkan hasil pengamatan bahwa Desa Canggal membutuhkan sebanyak 600 rit/musim tanam atau setara dengan 1500 ton. Sebelumnya pupuk kandang ini didatangkan petani dari luar dengan harga Rp 750.000/rit (Rp 300/ kg). Saat ini kebutuhan pupuk baru dapat terpenuhi sekitar 47 ton per musim tanam. Oleh karena itu prospek untuk mencari modal dari usaha pupuk sangat menjanjikan. Disamping itu sumber dana dari pengembalian usaha tani sayuran dan ternak domba serta tabungan petani perlu diintensifkan. Kemampuan petani untuk menabung sebagai sumber dana untuk permodalan sangat bervariasi. Namun secara rata-rata dari 20 orang petani telah memberi kontribusi modal sebanyak Rp 100.000/orang sebagai tabungan pokok, dan Rp 10.000/orang sebagai tabungan bulanan
Tabel 4. Sumber-sumber dana untuk permodalan SUT pada kelompok tani “Kerso Maju” di Desa Canggal Kabupaten Temanggung Sumber dana
Banyaknya (Rp) Awal kegiatan
Akhir kegiatan
4.500.000
7.500.000 (17,6%)
1.
Tabungan petani
2.
Pengembalian ternak domba
-
8.000.000 (18,7%)
3.
Pengembalian usaha tani sayuran
-
13.000.000 (30,4%)
467
Prosiding Seminar Nasional 4.
Usaha penyediaan pupuk kandang
-
Jumlah
4.500.000
Kenaikan
Dari hasil dan pembahasan disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
dapat
Melihat dari karakteristik petani ditinjau dari umur, pendidikan dan pemilikan lahan, sangat potensial untuk mengembangkan SUT di lahan marginal
2.
Tingkat pendapatan petani menunjukkan peningkatan yang signifikan, sehingga diharapkan mampu untuk memupuk modal dalam pengembangan usahanya.
3.
Dinamika petani cukup dinamis ditinjau dari pertambahan jumlah anggota, aktivitas petani, dan kelompok dalam berorganisasi. Aktivitas yang menonjol adalah dalam usaha pegolahan pupuk.
4.
Sumber-sumber dana kelompok untuk permodalan yang paling besar berturutturut berasal dari usaha penyediaan pupuk, pengembalian dari usaha tani sayuran dan domba serta tabungan petani.
5.
Kemampuan petani untuk menabung sebagai sumber dana untuk permodalan sangat bervariasi. Namun secara rata-rata dari 20 orang petani telah memberi kontribusi modal sebanyak Rp 100.000 / orang sebagai simpanan pokok, dan Rp 10.000 / orang sebagai simpanan bulanan.
6.
Untuk perkembangan SUT di Canggal perlu digiatkan aktivitas petani melalui pembinaan dan bimbingan, baik teknis maupun non teknis yang berkaitan dalam sistem permodalan, sehingga dapat dicontoh oleh pihak atau kelompok tani lain yang memiliki agroekosistem yang mirip dengan Desa Canggal.
PUSTAKA Ananto, E. 2004. Strategi pencapaian sasaran pengembangan dan diseminasi inovasi teknologi pertanian pada wilayah miskin sumber daya alam. Makalah Workshop Pengembangan Pertanian Lahan Marginal P4MI. Badan Litbang Pertanian.
468
42.700.000.38.200.000 (849%)
KESIMPULAN DAN SARAN
1.
14.200.000 (33,26%)
Dimyati, A. 2004. Panduan perencanaan penelitian dan pengkajian pengembangan inovasi pertanian di lahan marginal P4MI. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Kusnadi. U, E. Juarini, Sajimin dan Isbandi. 2005. Produktivitas dan dampak integrasi ternak domba ekor gemuk terhadap pendapatan petani dalam sistem usaha sayuran di lahan marginal. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, 5 - 7 Sept 2005. Puslitbang Peternakan. Badan Litbang Pertanian. Kusnadi, U. 2004. Kontribusi ternak domba dalam meningkatkan pendapatan petani di lahan marjinal Kabupaten Tangerang Propinsi Banten. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis Special Edition Oktober 2004. Seminar Nasional Ruminansia, Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro Semarang. Hal. 17-22. Manwan, I. Dan Made Oka, A. 1996. Konsep penelitian dan pengembangan sistem usahatani. Makalah Seminar Usahatani Terpadu, 2 Nopember 1995. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian. Sekretariat Badan Litbang Pertanian. 2006. Panduan Umum Pengajuan Proposal Kesenjangan Tematik/Program Penelitian Lahan Marjinal. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Sudarmadi, Uka Kusnadi, A. Thomas dan Herina. 2004. Laporan akhir kegiatan/ pengembangan sistem usaha tani, integrasi ternak domba tanaman sayuran di Kabupaten Temanggung. Puslitbang Hortikultura dan PFI3P. Badan Litbang Pertanian.
Prosiding Seminar Nasional
PENGARUH MODEL PENYAJIAN GAMBAR VCD TERHADAP PENINGKATAN PENGETAHUAN PETANI TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH TERNAK DI WILAYAH DESA MISKIN (Influence Of Model Presentation Picture Video Compact Disk On The Farmers Knowledge Improvement Of Livestock Manure Processing At The Poor Village)
Herwinarni E. M, Ekaningtyas Kushartanti, dan Wahyudi Hariyanto
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah ABSTRAK Video Compact Disk (VCD) merupakan salah satu pilihan bentuk media komunikasi untuk belajar bagi pendidikan formal maupun non formal. Saat ini VCD banyak digunakan sebagai media komunikasi dalam kegiatan penyuluhan pertanian, termasuk di wilayah desa miskin. Agar dapat berhasil dan berdaya guna, perlu pengkajian untuk mengetahui model penyajian gambar VCD dan pengaruhnya terhadap peningkatan pengetahuan petani. Pengkajian dilakukan pada bulan Nopember – Desember 2007 di dua desa miskin Kabupaten Blora dan Temanggung, jumlah petani sampel masing-masing kabupaten 24 orang. Pengkajian dilakukan dengan pendekatan true experimental dan pretest postest control group design. Peubah bebas adalah dua model penyajian gambar VCD tanpa animasi (versi 1) dan dengan animasi (versi2), karakteristik responden dan keterdedahan petani terhadap informasi yang sesuai dengan isi pesan VCD. Peubah tidak bebas adalah tingkat pengetahuan petani tentang isi VCD. Materi dalam VCD adalah pengelolaan limbah ternak menjadi pupuk organik. Data dikumpulkan menggunakan metode wawancara dengan teknik daftar pertanyaan, selanjutnya dianalisis menggunakan teknik analisis deskriptif, korelasi Kendall’s tau dan uji t. Hasil menunjukkan bahwa kedua model penyajian gambar VCD efektif meningkatkan pengetahuan petani, tetapi jumlah nilai peningkatan pengetahuan melalui model penyajian gambar VCD dengan animasi lebih tinggi dibandingkan tanpa animasi. Hasil uji korelasi Kendall’s tau menunjukkan bahwa peningkatan pengetahuan yang diperoleh memang setelah melihat tayangan VCD, bukan oleh faktor karakteristik dan keterdedahan responden terhadap informasi yang sama dengan pesan VCD. Perbedaan model penyajian gambar VCD tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan pengetahuan petani. Respon responden sangat positif dengan pernyataan akan mencoba mempraktekkan inovasi tersebut. Kata kunci: Model penyajian gambar VCD, peningkatan pengetahuan petani
ABSTRACT In the era of high technology improvement, video compact disk (VCD) is one of the choices of communication media for formal and informal education. Currently, VCD is widely employed for communication media in agricultural extension, including at the poor village. Regard to the successfulness of the VCD employment for education media, the study on the proper picture design is needed. Thus, a study was conducted on November – December 2006 at two villages of both Blora and Temanggung Districts involving 48 farmers (24 farmers each district) as respondents. The present investigation used the pre-test post test control group design of true experimental. The treatments were model presentation picture VCD with and without animation (Version 1 and Version 2, respectively). These two VCD versions contain exactly the same information except for animation. Data were collected trough an interview to the respondents using questioner and analyzed using descriptive analysis, Kendall’s tau correlation, and t test. Results showed that either Version 1 or Version 2 VCD were effective for improving farmers knowledge, however, the animated VCD was better than non-animated version. It was determined that the farmer’s knowledge improved after learned from introduced VCD, but not because of the character not either open minded factors of the farmers to the same VCD information. Nevertheless, the farmers promised to adopt routinely the technology innovation of the processing of livestock manure for producing organic fertilizer. Key words: Model presentation picture VCD, knowledge improvement, farmer
469
Prosiding Seminar Nasional PENDAHULUAN Pembangunan pertanian berkelanjutan memerlukan dukungan teknologi yang relevan untuk mengantisipasi berbagai perubahan lingkungan strategis. Telah banyak teknologi yang dihasilkan oleh lembaga penelitian/ pengkajian, dan untuk mendiseminasikannya kepada pengguna secara cepat, tepat dan akurat dibutuhkan suatu sistem dan metode/media diseminasi/komunikasi yang tepat. Salah satu hasil pengkajian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah yang perlu didiseminasikan kepada masyarakat tani di wilayah desa miskin adalah tentang pengelolaan limbah peternakan menjadi pupuk organik. Dari hasil diskusi terfokus dengan aparat Dinas Pertanian Kabupaten Blora dan Temanggung, meliputi unsur struktural, KCD, UPTD, penyuluh pertanian dan kepala desa, dinyatakan bahwa inovasi pertanian tersebut dibutuhkan oleh para petani di wilayah desa miskin dan akan meningkatkan kinerja usahatani. Daya dan hasil guna inovasi pertanian BPTP Jawa Tengah salah satunya dipengaruhi oleh ketepatan penggunaan metode diseminasi. Metode yang biasa digunakan untuk mendiseminasikan inovasi pertanian kepada para petani di wilayah desa miskin adalah (1) komunikasi langsung dengan wahana pertemuan, (2) komunikasi langsung dan peragaan di lapang melalui kegiatan visitor Plot dan Gelar teknologi dan (3) komunikasi tidak langsung menggunakan media cetak dan media VCD. Diseminasi inovasi kepada masyarakat tani di wilayah desa miskin perlu mempertimbangkan kondisi dan karakteristiknya. Karakteristik petani di wilayah desa miskin berbeda dengan petani maju. Petani di desa miskin umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan akses kepada peluang ekonomi terbatas sehingga semakin tertinggal jauh dari masyarakat lainnya (Badan Pengembangan SDM, 2000). Petani di wilayah desa miskin mempunyai strategi yang berbeda-beda dalam usaha meningkatkan pendapatannya, tergantung dari sumber daya pertanian yang ada (Ashley and Carner, 1999; Carvey, 1999; Barret et al., 2000). Untuk itu menurut Berdeque dan
470
Escobar (2002), dalam pelaksanaan pengurangan kemiskinan di pedesaan harus bersifat lokal spesifik. Sehubungan dengan karakteristik petani miskin tersebut, maka pemilihan inovasi yang diintroduksikan, strategi dan media untuk mendiseminasikannya, sangat menentukan daya dan hasil guna inovasi tersebut. Penggunaan media VCD di wilayah desa miskin diharapkan dapat membantu mempercepat diseminasi inovasi pertanian, karena media VCD mempunyai beberapa kelebihan antara lain sifat pesannya permanen, dapat dilihat kapan saja, mudah disimpan, dan diputar kembali (Matindas K, 2003). Pada proses belajar mengajar dinyatakan bahwa penggunaan metode penyuluhan yang memerankan indera pendengar dapat menyerap informasi sebanyak 11% dan melalui indera penglihatan dapat menyerap materi sebanyak 83% (Pusluhtan, 1995). Dengan media VCD dalam proses belajar mengajar telah memerankan indera pendengar dan indera penglihatan. Gambar dalam VCD sebagai media komunikasi dapat disajikan dalam beberapa model antara lain menggunakan animasi, gambar sebenarnya, maupun kombinasi dari keduanya. VCD sebagai sarana belajar perlu dipilih model penyajian gambar yang tepat sehingga mudah dipahami isi pesannya dan dapat menjadi pedoman bagi pelaksanaan penerapan materi/pesan yang disampaikan. Pada saat ini sudah banyak VCD yang digunakan sebagai sarana belajar baik untuk pendidikan formal di sekolah-sekolah maupun non formal antara lain forum-forum penyuluhan. Dalam membuat VCD sebagai sarana belajar bagi petani perlu ditetapkan menggunakan model penyajian gambar yang bagaimana agar dapat berhasil dan berdaya guna. Berkaitan dengan hal tersebut maka perlu dilakukan pengkajian pengaruh model penyajian gambar VCD terhadap peningkatan pengetahuan petani tentang pengelolaan limbah peternakan di wilayah desa miskin. Pengkajian ini dilakukan dengan tujuan mendapatkan model penyajian gambar VCD yang tepat dan sesuai untuk meningkatkan pengetahuan petani serta mengetahui apa yang akan dilakukan petani sebagai tindak lanjut setelah menyaksikan tayangan VCD tersebut.
Prosiding Seminar Nasional
BAHAN DAN METODE Pengkajian dilakukan pada bulan November – Desember 2006 di dua lokasi yaitu Desa Mendenrejo, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Blora, dan Desa Tanurejo, Kecamatan Bansari, Kabupaten Temanggung. Lokasi pengkajian ditetapkan secara purposif dengan pertimbangan desa tersebut merupakan daerah wilayah desa miskin dan tingkat pengetahuan para petani di desa tersebut terhadap inovasi pengelolaan limbah ternak menjadi pupuk organik sebagai muatan isi VCD belum memadai. Populasi sasaran pengkajian ditetapkan juga secara purposif yaitu petani di daerah wilayah desa miskin dengan kisaran umur 15 – 64 tahun (usia produktif tenaga kerja). Pengambilan sampel untuk responden pengkajian dilakukan secara acak sederhana dan berjumlah 48 orang dengan rincian 24 orang dari Kabupaten Temanggung, dan 24 orang dari Kabupaten Blora. Pengkajian dilakukan dengan pendekatan true experimental dan desainnya adalah pretest postest control group design. Prosedur penempatan responden dalam unitunit eksperimental ke dalam dua kelompok perlakuan dilakukan secara acak (Campbell dan Stanley, 1963). Masing-masing kelompok terdiri atas 24 orang petani responden. Peubah bebas dalam pengkajian ini adalah dua model penyajian VCD yaitu model penyajian tanpa animasi (versi 1) dan model penyajian dengan animasi (versi2). Materi dua versi model penyajian VCD adalah pengelolaan limbah ternak menjadi pupuk organik yang ditetapkan melalui diskusi terfokus dengan unsur struktural dan para penyuluh pertanian Dinas Pertanian Kabupaten Blora dan Temanggung. Format penyajian VCD bersifat instruksional, bahasa yang digunakan bahasa Indonesia dengan kalimat naratif dan durasi penayangan 15 menit. Peubah terikat yang diukur adalah peningkatan pengetahuan petani tentang pengelolaan limbah ternak menjadi pupuk organik. Pengumpulan data menggunakan metode pengamatan, teknik daftar pertanyaan dan metode obyektif (Sevilla et al., 1993). Data yang dikumpulkan dalam pengkajian ini terdiri atas data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara terstruktur yang berpedoman pada kuesioner
dan wawancara mendalam baik dengan petani responden maupun informan lain yang berkaitan dengan permasalahan. Data sekunder diperoleh dari dokumen dan laporan dari instansi terkait. Data primer yang dikumpulkan meliputi: (1) karakteristik responden, (2) keterdedahan terhadap informasi pengolahan limbah ternak untuk pupuk organik, dan (3) tingkat pengetahuan responden terhadap materi/isi pesan VCD. Data tingkat pengetahuan responden dikumpulkan dua kali yaitu sebelum dan sesudah perlakuan dengan cara memberikan kuesioner yang berisi 11 pertanyaan tipe pilihan berganda (multiple-choice). Nilai 1 untuk jawaban benar dan 0 untuk jawaban yang salah. Untuk mengumpulkan dan meringkas data yang diperoleh serta menyajikannya dalam bentuk tabel distribusi frekuensi digunakan analisis deskriptif. Data primer yang bersifat kualitatif disusun dalam bentuk skala kuantitatif untuk mempermudah analisis data dengan memberikan nilai pada setiap jawaban (Nasir, 1999). Teknik pembuatan skala menggunakan metode Likert’s summated rating (LSR). Berbagai pernyataan dengan metode LSR tersebut dibuat dalam bentuk pernyataan positif (jawaban yang diharapkan), pernyataan yang netral/kurang dan pernyataan negatif (jawaban yang tidak diharapkan). Untuk pernyataan yang diharapkan diberi skor 3, pernyataan netral/kurang diberi skor 2 dan untuk pernyataan yang tidak diharapkan diberi skor 1 (Azwar, 2002). Teknik LSR ini digunakan untuk menyusun skala kuantitatif dari data ketededahan responden terhadap informasi pengolahan limbah ternak untuk pupuk organik. Peningkatan pengetahuan responden dianalisis dengan uji t. Untuk mengetahui keterhubungan antara karakteristik responden dan ketededahan responden terhadap informasi pengolahan limbah ternak untuk pupuk organik dengan peningkatan pengetahuan dianalisis dengan korelasi Kendall’s Tau. Adapun cara penggolongan tingkat pengetahuan digunakan rumus interval kelas (Dajan, 1986). II. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden Petani responden berdasarkan kelompok umur dalam adopsi menurut Wiriaatmadja (1978) didominasi oleh kelompok umur early
471
Prosiding Seminar Nasional adopter yaitu mempunyai umur kurang dari 41 tahun. Kisaran umur kedua kelompok responden berdasarkan jenis pengkajian berada pada kisaran 25 – 63 tahun dengan rerata 42,38. Berdasarkan tingkat pendidikan, jumlah petani responden didominasi oleh tingkat pendidikan SD yaitu 62,50% dan juga terdapat petani responden yang tidak mengikuti pendidikan secara formal (tidak sekolah), akan tetapi tidak ada yang buta huruf karena sudah mengikuti pendidikan tingkat kejar paket A.
Keterdedahan Terhadap Informasi Pengolahan Limbah Ternak Untuk Pupuk Organik Tingkat keterdedahan responden terhadap informasi pemanfaatan dan pengolahan limbah ternak untuk pupuk organik secara keseluruhan relatif rendah dengan rerata 2,05 dari nilai tertinggi 8. Nilai rerata tersebut diperoleh dari pernyataan sebagian besar petani responden yang pernah mendengar informasi pemanfaatan dan pengolahan limbah ternak untuk pupuk organik baik dari keluarga maupun kelompok tani (tabel 2). Nilai rerata keterdedahan petani responden VCD terhadap masing-masing informasi adalah 2,31 untuk pemanfaatan limbah ternak dan 1,79 untuk pengolahan limbah ternak sebagai pupuk organik. Nilai tertinggi masing-masing informasi tersebut adalah 4.
Pemilikan lahan sawah petani responden reratanya 0,50 ha dengan kisaran pemilikan 0,10 – 4 ha. Luas rerata pemilikan tegalan petani relatif kecil yaitu 0,0823 ha. Petani responden mempunyai tingkat pemilikan ternak sapi dan atau kambing antara 1 – 17 ekor, dengan rerata 1,23 untuk pemilikan sapi dan 1,92 untuk pemilikan kambing/domba.
Tabel 1. Keragaan jumlah responden berdasarkan kelompok umur dan tingkat pendidikan formal Karakteristik responden
VCD versi 1 (tanpa animasi)
Kelompok umur : - laggard (> 50 th) - late majority (46 – 50 th) - early majority (41 – 45 th) - early adopter (< 41 th) Jumlah Tingkat pendidikan formal : - tidak sekolah - SD - SLTP - SLTA Jumlah
VCD versi 2 (dengan animasi)
Jumlah
n
%
N
%
n
%
7 5 3 9 24
14,58 10,42 6,25 18,75 50
4 2 3 15 24
8,33 4,17 6,25 31,25 50
11 7 6 24 48
22,91 14,59 12,50 50,00 100
5 15 3 1 24
10,42 31,25 6,25 2,08 50
3 15 1 5 24
6,25 31,25 2,08 10,42 50
8 30 4 6 48
16,67 62,50 8,33 12,50 100
Tabel 2. Keragaan jumlah responden berdasarkan keterdedahan terhadap informasi pemanfaaatan dan pengolahan limbah ternak untuk pupuk organik Petani responden 2 versi VCD Frekuensi
pemanfaatan limbah ternak
pengolahan limbah ternak
belum pernah
n 1
% 2,1
n 23
% 47,9
pernah
37
77,1
15
31,3
kadang-kadang
4
8,3
6
12,5
sering Jumlah
6 48
12,5 100,0
4 48
8,3 100,0
472
Prosiding Seminar Nasional Hasil pengkajian menunjukkan bahwa setelah responden melihat tayangan VCD baik dari model penyajian dengan animasi dan tanpa animasi, terjadi peningkatan nilai pengetahuan dari responden. Rerata tingkat pengetahuan responden kelompok model penyajian VCD yang menggunakan animasi sedikit lebih tinggi (nilai rerata 6,5) bila dibandingkan dengan perolehan nilai kelompok responden dengan model penyajian VCD tanpa menggunakan animasi (nilai rerata 6), terdapat pada Tabel 4. Namun demikian, selisish nilai rerata yang kecil tersebut tidak cukup berarti untuk menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara peningkatan pengetahuan kelompok petani yang menonton VCD dengan animasi dan yang menonton VCD tanpa animasi. Tabel 3. menunjukkan keragaan tingkat pengetahuan awal dan akhir petani responden pada pengkajian model penyajian VCD dengan isi pesan tentang pengelolaan limbah ternak untuk pupuk organik.
Tingkat Pengetahuan Responden Tentang Materi VCD Pada pengkajian model penyajian VCD, pengetahuan awal responden VCD dengan model penyajian tanpa animasi (versi 1) maupun dengan model penyajian dengan animasi (versi 2) diperoleh hasil pada katagori rendah yaitu dengan nilai rerata sama 2,42. Sebagian besar responden dari kedua versi (70,8%) mempunyai tingkat pengetahuan yang berada pada kategori rendah (tabel 7). Nilai kedua kelompok responden (VCD dengan animasi dan VCD tanpa animasi) setelah melihat tayangan VCD menjadi meningkat dan tidak ada lagi tingkat pengetahuan petani responden yang terdapat pada kategori rendah. Bahkan pada kelompok VCD versi 2 yang pada awalnya tidak terdapat tingkat pengetahuan petani responden yang termasuk pada kategori tinggi, setelah menonton VCD versi 2 tersebut jumlah petani yang dikategorikan pada tingkat pengetahuan tinggi lebih banyak dari pada petani responden dari kelompok VCD versi 1 dengan rerata 8,92.
Tabel 3. Keragaan tingkat pengetahuan awal dan akhir petani responden pada pengkajian model penyajian VCD dengan isi pesan tentang pengolahan limbah ternak untuk pupuk organik
Tingkat pengetahuan
Rendah (< 3,67)
Pengetahuan awal Versi 1 Versi 2 (tanpa animasi) (dengan animasi) N % n % 17
17
70,8
0
0
0
0
Sedang (3,67 – 7,33)
6
25,0
7
29,2
7
29,2
4
16,7
Tinggi (7,34 - 11)
1
4,2
0
0
17
70,8
20
83,3
100,0
24
100,0
24
100,0
24
100,0
Jumlah
70,8
Pengetahuan akhir Versi 1 Versi 2 (tanpa animasi) (dengan animasi) n % n %
24
Rerata
2,42
2,42
8,42
8,92
Tabel 4. Keragaan rerata peningkatan pengetahuan petani berdasarkan model penyajian VCD Versi VCD Jumlah peningkatan pengetahuan
n
Rerata
versi 1 (tanpa animasi)
24
6,00
versi 2 (dgn animasi)
24
6,50
Rerata : Peningkatan pengetahuan petani responden terhadap isi pesan VCD setelah dianalisis dengan uji t untuk sampel berpasangan memperoleh nilai rerata peningkatan pengetahuan petani responden pada saat pretest dan postest berbeda secara
6,25 nyata. Hasil tersebut dapat diartikan bahwa VCD pengelolaan limbah ternak untuk pupuk organik efektif untuk meningkatkan pengetahuan responden.
473
Prosiding Seminar Nasional Peningkatan pengetahuan responden (Santoso, 2001). Dengan demikian tersebut berdasarkan hasil analisis korelasi peningkatan pengetahuan petani tentang Kendall’s tidak mempunyai hubungan yang pengelolaan limbah ternak untuk pupuk berarti dengan peubah karakteristik petani organik dapat dinyatakan karena responden responden yang meliputi umur, pendidikan, melihat tayangan VCD tentang materi tersebut luas pemilikan lahan usahatani, jumlah dalam pengkajian. pemilikan ternak sapi/ kambing/ domba dan Hasil pengujian lebih lanjut diperoleh peubah keterdedahan terhadap informasi kesimpulan bahwa rerata nilai peningkatan tentang limbah ternak. Ditemukan hubungan pengetahuan petani dari kedua model peningkatan pengetahuan petani responden penyajian VCD adalah identik yang berarti terhadap isi pesan dalam VCD dengan tidak berbeda nyata. karakteristiknya sangat lemah (Tabel 5) karena besaran angka korelasi di bawah 0,5 Tabel 5. Hubungan antara peningkatan pengetahuan dan karakteristik responden kelompok model penyajian VCD Kendall’s tau
Umur Pendidikan Keterdedahan thdp info limbah ternak Jumlah pemilikan lahan UT Jumlah pemilikan ternak
Peningkatan pengetahuan ,007 ,950 -,152 ,204 -,128 ,300 ,145 ,182 -,101 ,364
Koefisien korelasi Sig Koefisien korelasi Sig Koefisien korelasi Sig Koefisien korelasi Sig Koefisien korelasi Sig
Hasil analisis tersebut juga menunjukkan bahwa kedua varians jumlah peningkatan pengetahuan dari versi 1 dan 2 yang diasumsikan sama ternyata hasilnya memang sama, karena angka probabilitas yang diperoleh 0,06 > 0,05. Respon Responden Terhadap Isi Pesan VCD
pupuk organik baik yang disampaikan melalui VCD secara umum positif (tabel 7), hanya 1 orang yang menyatakan masih ragu-ragu apa yang akan dilakukan sebagai tindak lanjut setelah menonton VCD tersebut. Respon yang positif ini sesuai dengan pernyataan hampir semua responden yang melihat tayangan VCD (98%) bahwa isi pesan sesuai dengan kebutuhan.
Respon responden terhadap isi pesan tentang pengelolaan limbah ternak untuk Tabel 7. Keragaan respon responden terhadap isi pesan VCD (pengelolaan limbah ternak untuk pupuk organik) Respon responden Mencoba sendiri Mencoba dgn kelompok Melihat hasilnya dulu Mencari info lebih lanjut Ragu-ragu/ belum tahu Jumlah
474
Jumlah responden n 9 32 5 1 1 48
% 18,8 66,7 10,3 2,1 2,1 100,0
Prosiding Seminar Nasional
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Kedua model penyajian VCD baik dengan animasi maupun tanpa animasi berpengaruh meningkatkan pengetahuan petani tentang pengelolaan limbah ternak untuk pupuk organik. Akan tetapi model penyajian gambar VCD tidak berpengaruh secara nyata terhadap peningkatan pengetahuan petani, sedangkan model penyajian VCD dengan menggunakan animasi lebih berpengaruh nyata terhadap peningkatan pengetahuan petani. 2. Respon petani responden setelah menyaksikan dan mencermati tayangan VCD tentang pengelolaan limbah ternak untuk pupuk organik sangat positif, dan akan dilanjutkan dengan mencoba mempraktekkan pesan tersebut. Saran Model penyajian gambar dalam VCD yang disarankan digunakan adalah model penyajian gambar hidup dikombinasikan dengan animasi, karena lebih jelas dipahami isi pesannya. Penyajian media VCD perlu dilengkapi dengan buku pegangan yang isinya sama dengan yang terdapat pada VCD. III. IV. PUSTAKA Ashley, C. and Carney, D. 1999. Sustainable livelihood lesson from early experience. London. DFID. Azwar S. 2002. Sikap manusia, teori dan pengukurannya. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia dan Penyuluhan Pertanian (SDM). 2000. Penumbuhan dan pemberdayaan kelompok petani nelayan kecil (KPK). Departemen Pertanian dan Kehutanan. Jakarta. Berdegue J.A., and Escorbar, G. 2002. Rural diversity, agricultural, innovation polies and poverty reduction. Agricultural Research and extention network (Agren). Network Paper No. 122. July 2002 Campbel, D.T, Julian, C and Stanley. 1963. Experimental and quasi experimental designs for research. chicago: Rand McNally College Publishing Company. Dajan A., 1986. Pengantar metode statistika Jilid II. LP3ES, Jakarta. Matindas, K. 2003. Pengaruh format gambar dan simbol verbal komik pada peningkatan pengetahuan ibu-ibu usia subur tentang keluarga berencana di Desa Pasir Jambu Kecamatan Kedung Halang. Jurnal KMP (1) 1. .Forum Komunikasi Indonesia (FORKAPI), Bogor. Nasir, M. 1999. Metode penelitian. Jakarta Ghalia, Indonesia. Pusat Penyuluhan Pertanian. 1995. Pedoman pemilihan metode penyuluhan pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta. Santosa, S. 2001. SPSS statistik parametrik., PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta. Wiriaatmadja, S. 1978. penyuluhan pertanian. Yasaguna. Jakarta.
Pokok-pokok Penerbit C.V.
475
Prosiding Seminar Nasional
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUTUSAN PETANI DALAM MEMPRODUKSI SUATU PRODUK PANGAN DI WILAYAH DESA MISKIN KABUPATEN BLORA DAN TEMANGGUNG Dian Maharso Yuwono, Agus Hermawan, dan Sularno Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah
ABSTRAK Secara agregat jumlah produk pangan yang ada di pasaran tergantung kepada keputusan rumah tangga petani. Keputusan yang dimaksud adalah keputusan mereka untuk memproduksi maupun tidak memproduksi suatu produk Justifikasi dan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam kegiatan produksi sebagai respon dari dinamika lingkungan strategis disebut sebagai tactical adjustment. Di Indonesia, sebagian besar (+70%) penduduk termiskin tinggal di pedesaan. Sehubungan hal itu, telah dilakukan suatu pengkajian yang bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam memproduksi suatu produk pangan di wilayah desa miskin Blora dan Temanggung. Pengkajian dilaksanakan pada April – Desember 2006 di Desa Gandon, Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung, dan Desa Bogem, Kecamatan Japah, Kabupaten Blora. Komoditas pangan yang dikaji di Kabupaten Blora meliputi padi, dan jagung, sedangkan untuk Kabupaten Temanggung mencakup komoditas jagung dan cabai. Metode pengkajian yang digunakan adalah survei melalui wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuisioner) yang telah disiapkan terlebih dahulu dengan petani dan key informan lainnya. Jumlah responden untuk setiap produk pangan sejumlah 30 orang petani untuk masingmasing kabupaten. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa keputusan dalam menerapkan pola tanam di kedua lokasi pengkajian didominasi alasan yakni berdasar kebiasaan petani. Fluktuasi harga beras dan jagung, umumnya tidak berpengaruh terhadap luas tanam maupun mengganti dengan komoditas yang lebih menjanjikan. Sedangkan pada usahatani cabai di Desa Gandon, fluktuasi harga cabai relatif lebih berpengaruh terhadap keputusan petani pada luas tanam maupun perubahan komoditas yang diusahakan. Kata kunci: Keputusan memproduksi, produk pangan, desa miskin
PENDAHULUAN Ketahanan pangan mengandung tiga aspek penting yakni ketersediaan pangan, keterjangkauan pangan, dan keterjaminan mendapatkan pangan. Ketersediaan pangan berkaitan erat dengan usaha produksi dan distribusi sehingga pangan dapat tersedia secara cukup dan terdistribusi secara proporsional, sedangkan keterjangkauan berarti pangan tersedia sesuai dengan daya beli masyarakat. Tingkat ketersediaan pangan ditentukan oleh produksi dan kebutuhan untuk konsumsi. Sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat dibutuhkan peningkatan ketersediaan pangan agar ketahanan pangan terjamin. Peningkatan ketersediaan pangan dapat ditempuh melalui peningkatan produktivitas, populasi, serta substitusi dan diversifikasi produk (Suryana, 2000).
476
Analisis mikro di tingkat rumah tangga petani penting untuk dilakukan karena secara agregat jumlah produk pangan yang ada dipasaran (sisi penawaran) tergantung kepada keputusan rumah tangga petani. Keputusan yang dimaksud adalah keputusan mereka untuk memproduksi maupun tidak memproduksi suatu produk serta sampai seberapa jauh tingkat teknologi dan besaran input yang akan diimplementasikan dalam sistem produksinya yang menurut Kingwell (1994) terkait dengan risiko usahatani. Justifikasi dan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam kegiatan produksi sebagai respon dari dinamika lingkungan strategis disebut sebagai tactical adjustment (Kingwell, 994). Di negara dunia ke tiga, diantaranya Indonesia, sebagian besar (+70%) penduduk termiskin tinggal di pedesaan dengan penghidupan pokoknya bersumber dari pertanian subsisten (Todaro, 1998). Jumlah desa miskin yang berada di Propinsi Jawa
Prosiding Seminar Nasional Tengah mencapai 2.511 desa dan menyebar hampir di seluruh kabupaten, dua di antaranya adalah di Kabupaten Temanggung dan Blora masing-masing sebanyak 76 dan 88 desa (Mubyarto, 1999). Tingkat subsitensi petani di wilayah miskin Kabupaten Blora dan Temanggung (sebagai lokasi Proyek Peningkatan Pendapatan Petani melalui Inovasi/P4MI) terhadap produk pangan diduga akan tinggi. Komoditas pangan yang perlu dianalisis adalah jagung dan cabai untuk Kabupaten Temanggung, sedangkan untuk Kabupaten Blora komoditas adalah padi dan jagung. Komoditas tersebut merupakan komoditas yang selama ini banyak diusahakan petani di kedua kabupaten tersebut. Berdasarkan kondisi di atas, maka perlu suatu analisis yang bertujuan untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam memproduksi suatu produk pangan di wilayah desa miskin Blora dan Temanggung.
BAHAN DAN METODE Pengkajian dilaksanakan pada April – Desember 2006 di Desa Gandon, Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung, dan Desa Bogem, Kecamatan Japah, Kabupaten Blora. Penentuan lokasi tersebut berkoordinasi dengan Dinas pertanian masing-masing kabupaten lokasi pengkajian. Komoditas pangan yang dikaji di Kabupaten Blora meliputi padi, dan jagung, sedangkan untuk Kabupaten Temanggung mencakup komoditas jagung dan cabai. Metode pengkajian yang digunakan adalah survei melalui wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuisioner) yang telah disiapkan terlebih dahulu dengan petani dan key informan lainnya. Jumlah responden untuk setiap produk pangan ditentukan berdasarkan kuota (Cochran, 1977), yaitu 30 orang petani untuk masing-masing kabupaten. Informasi tentang seberapa jauh tactical adjustment petani di sentra produksi akan dianalisis secara diskriptif. Data yang dikumpulkan utamanya adalah keputusan petani untuk melakukan berbagai perubahan dalam sistem produksi dan tingkat risiko yang masih dapat ditanggung petani serta upaya petani dalam mengelola risiko usahatani tersebut. Fokus dari kajian ini lebih kepada tactical djustment petani terhadap perubahan musim dan harga harga produk.
HASIL DAN PEMBAHASAN Luas wilayah Desa Gandon 435 ha, sedangkan Desa Bogem memiliki luas wilayah 768,8 ha. Bagian terbesar dari wilayah Desa Gandon merupakan lahan tegalan (77,84%), sedangkan wilayah Desa Bogem didominasi (58,91%) lahan hutan. Adapun rincian luas lahan menurut pemanfaatannya di Desa Gandon dan Bogem sebagaimana tercantum pada Tabel 1. Apabila dilihat dari status penguasaan lahan garapan, seluruh petani responden di kedua lokasi pengkajian adalah tergolong pemilik penggarap, yakni petani yang mengelola lahan miliknya sendiri. Sesuai dengan kondisi agroekosistemnya, yakni lahan kering dataran tinggi, penguasaan lahan tegalan masing-masing petani di Desa Gandon lebih tinggi dibanding Desa Bogem. Hal sebaliknya terdapat pada luas penguasaan lahan sawah (Tabel 2). Keberhasilan penerapan usahatani dipengaruhi berbagai faktor, baik faktor intern maupun faktor ekstern. Salah satu faktor intern yang turut menentukan keberhasilan penerapan adalah identitas petani. Adapun unsur identitas petani responden yang dikaji adalah umur, jumlah tanggungan keluarga, keaktifan anggota keluarga dalam berusahatani, pendidikan, pengalaman berusahatani, dan sumber pendapatan petani. Komposisi petani responden menurut kelompok umur seperti tercantum pada Tabel 3. Persentase terbesar adalah petani pada kelompok umur 25 – 40 tahun, dimana untuk Desa Gandon persentasenya lebih besar dibanding dan desa Bogem, yakni 60% berbanding 40%. Wiriatmadja (1978) mengkaitkan antara umur dengan tingkat adopsi terhadap inovasi, dan mengklasifikasikan menjadi 4 kelompok, yakni umur 25 – 40 tahun sebagai pengetrap dini, 41 – 45 tahun sebagai pengetrap awal, 46 – 50 tahun sebagai pengetrap akhir, dan di atas 50 tahun sebagai penolak. Jika mengacu pada pendapat tersebut, maka petani responden didominasi oleh pengetrap dini. Data pada Tabel 4. menunjukkan, bahwa jumlah tanggungan keluarga di Desa Gandon terbesar adalah 3 orang, dimana persentasenya mencapai 40,00%, sedangkan jumlah tanggungan keluarga di Desa Bogem terbesar adalah 4 orang, dengan persentase 46,67%.
477
Prosiding Seminar Nasional Di Desa Gandon terdapat kondisi dimana porsi terbesar (53,33%) petani responden 51 – 75% anggota keluarganya aktif dalam mendukung usahatani, sedangkan di Desa
Bogem porsi terbesar (53,33%) petani responden 26 – 50% anggota keluarganya aktif dalam usahatani.
Tabel 1. Luas lahan menurut pemanfaatannya di lokasi pengkajian Desa Gandon No
Pemanfaatan lahan
1.
Luas (ha)
Desa Bogem
Persentase (%)
Luas (ha)
Persentase (%)
Sawah : a. Irigasi teknis
53,0
12,18
0,0
0,00
b. Irigasi setengah teknis
17,0
3,91
50,0
6,51
3,0
0,69
125,0
16,26
338,6
77,84
117,2
15,25
15,5
3,56
22,5
2,93
c. Tadah hujan 2.
Tanah kering a. Tegalan
3.
b. Pekarangan
4.
Hutan
0,0
0,00
452,8
58,91
5.
Lainnya
7,9
1,81
1,1
0,14
435
100,00
768,8
100,00
Jumlah Sumber : Monografi Desa Gandon dan Bogem, 2005
Tabel 2. Penguasaan lahan petani responden di lokasi pengkajian Luas penguasaan lahan
Persentase (%) Desa Gandon
Desa Bogem
a. Ladang : •
< 0,25 ha
10,00
39,39
•
0,25 - < 0,50 ha
33,33
27,27
•
> 0,50 ha
56,67
33,33
a. Sawah : •
< 0,25 ha
43,33
12,12
•
0,25 - < 0,50 ha
36,67
45,45
•
> 0,50 ha
20,00
42,42
Kualitas sumberdaya manusia petani responden dapat dikatakan sudah cukup baik, setidaknya apabila dilihat dari tingkat pendidikannya. Meskipun porsi terbesar petani hanya memiliki tingkat pendidikan SD atau kurang, namun petani yang berpendidikan di atas SD porsinya cukup besar, bahkan di Desa Gandon 10,00% petani responden berpendidikan diploma – perguruan tinggi. Kondisi pendidikan formal petani responden tersebut lebih tinggi dibanding ratarata untuk Indonesia. Hasil Sensus Pertanian tahun 1993 mendapatkan, bahwa 87,06%
478
pekerja sektor pertanian di Indonesia tingkat pendidikan formalnya maksimal hanya tamat SD, sementara yang berpendidikan SLTA sebesar 4,62%. Komposisi petani responden menurut tingkat pendidikan dapat dibaca pada Tabel 5. Pengalaman petani dalam berusahatani mempunyai arti yang cukup penting, karena akan mempengaruhi pengetahuan, sikap dan ketrampilan petani dalam melaksanakan usahataninya. Sejalan dengan umur petani Desa Bogem yang umumnya lebih tua, maka pengalamannya dalam dalam berusahatanipun
Prosiding Seminar Nasional umumnya lebih lama dibanding petani Desa Gandon. Pengalaman petani Desa Dandon sebagian besar (60,00%) berkisar 1 – 10 tahun, sedangkan di Desa Bogem didominasi
oleh petani yang berpengalaman 1 – 10 tahun dan 21 – 30 tahun (Tabel 6).
Tabel 3. Komposisi petani responden menurut kelompok umur Kelompok Umur
Persentase (% Desa Gandon
Desa Bogem
•
25 - 40 tahun
60,00
40,00
•
41 - 45 tahun
16,67
16,67
•
46 - 50 tahun
10,00
13,33
•
> 50 tahun
13,37
30,00
Tabel 4. Komposisi petani responden menurut jumlah tanggungan keluarga dan keaktifannya dalam usahatani Persentase (%) Uraian Desa Gandon
Desa Bogem
Jumlah tanggungan keluarga • • • • •
2 orang 3 orang 4 orang 5 orang > 5 orang
6,67 40,00 26,67 16,67 10,00
6,67 13,33 46,67 23,33 10,00
3,33 26,67 53,33 16,67
26,67 53,33 13,33 6,67
Tingkat keaktifan anggota keluarga dalam usahatani : • • • •
1 – 25% 26 – 50% 51 – 75% 76 – 100%
Tabel 5. Komposisi petani responden menurut tingkat pendidikannya Tingkat Pendidikan •
Tidak sekolah/tidak tamat SD
•
Persentase (% Desa Gandon
Desa Bogem
3,33
16,67
SD
43,33
33,33
•
SLTP
16,67
20,00
•
SLTA
26,67
30,00
•
Diploma/Perguruan tinggi
10,00
0,00
479
Prosiding Seminar Nasional Tabel 6. Komposisi petani responden menurut pengalamannya dalam berusahatani Pengalaman Berusahatani
Persentase (% Desa Gandon
Desa Bogem
•
1 – 10 tahun
60,00
36,67
•
11 – 20 tahun
16,67
16,67
•
21 – 30 tahun
13,33
30,00
•
> 30 tahun
10,00
16,67
Di Desa Gandon, mata pencaharian utama sebagian besar (93,33%) petani adalah dari usahatani, selebihnya bermata-pencaharian sebagai perangkat desa dan pegawai swasta. Untuk menunjang perekonomian rumah tangga petani, petani desa tersebut sebagian besar (56,67%) mempunyai pekerjaan sambilan, baik dari sektor pertanian (on farm dan off farm) maupun dari sektor lainnya, seperti tukang, membuat batu bata, dan ojek. Adapun petani responden Desa Bogem seluruhnya bermata-pencaharian utama dari usahatani dan 63,% diantaranya memiliki mata-pencaharian sambilan (Tabel 7). Pola tanam di Desa Gandon lebih bervariasi dibanding Desa Bogem. Sebagaimana halnya pola tanam pada lahan kering dataran tinggi lainnya, pola tanam di Desa Gandon sangat bervariasi, terutama pada lahan tegalan. Pada lahan sawah yang paling dominan (32,36%) adalah padi – cabai – padi/cabai/sayuran, sedangkan pada lahan tegalan pola tanam yang dominan (76,47%) adalah cabai/jagung/kacang tanah – jagung/ kacang tanah/ ketela rambat – bero. Adapun pola tanam yang paling dominan (75,76%) di Desa Bogem adalah padi – padi – jagung/kedelai, sedangkan pada lahan tegalan pola tanam yang paling banyak diterapkan (52,94%)
adalah jagung – jagung/kacang tanah/kedelai – bero. Pola tanam selengkapnya sebagaimana tercantum pada Tabel 8. Keputusan dalam menerapkan pola tanam di kedua lokasi pengkajian didominasi alasan yakni berdasar kebiasaan petani. Pertimbangan lain yang mendasari penerapan pola tanam tertentu adalah : (a) menyesuaikan dengan ketersediaan air; (b) mengikuti petani lain; (c) pertimbangan harga produk; (d) pertimbangan harga sarana produksi; (e) menyesuaikan kondisi modal yang dimiliki, dan (e) alasan lainnya, seperti untuk konsumsi keluarga, kesepakatan anggota kelompok (khusus untuk padi) dan memanfaatkan lahan sisa (Tabel 9). Kondisi hujan yang tidak menentu juga mempengaruhi keputusan petani dalam menjalankan usahataninya. Pada kondisi dimana hujan maju dibanding biasanya, tindakan petani di Desa Gandon yang dominan (58,82%) adalah segera menanam/membuat persemaian setelah terjadi hujan sekitar 3 – 4 hari. Sedangkan porsi petani di Desa Bogem, antara keputusan untuk segera menanam dengan menunggu hujan beberapa saat sebelum melakukan penanaman cenderung tidak berbeda jauh (47,06% berbanding 50,00%) (Tabel 10).
Tabel 7. Komposisi petani responden menurut sumber pendapatannya Mata Pencaharian a. Sumber pen dapatan utama : • On farm • Non farm b. Sumber pen dapatan sambilan : • On farm • Off farm • Non farm • Tidak ada
480
Persentase (% Desa Gandon Desa Bogem 93,33 6,67
100,00 0,00
30,00 10,00 16,67 43,33
26,67 23,33 13,33 36,67
Prosiding Seminar Nasional Tabel 8. Pola tanam di lokasi pengkajian Desa Gandon Jenis lahan Lahan sawah
Lahan tegalan
Desa Bogem
Pola tanam
Persentase (%)
Persentase (%)
• Padi – cabai – Padi/ cabai/sayuran
32,36
• Padi – padi – jagung/ kedelai
75,76
• Padi – cabai/jagung – bero
26,47
• Padi – jagung – kedelai
12,12
• Padi/cabai – padi – cabai
23,53
• Padi – padi - bero
12,12
• Padi – jagung – jagung/ kacang tanah/sayuran
17,65
• Cabai/jagung/kacang tanah – jagung/ kacang tanah/ ketela rambat – bero
76,47
• Jagung – jagung/ kacang tanah/ kedelai – bero
52,94
• Cabai + ketela rambat /ubi kayu – bero – bero
14,71
• Jagung/padi – jagung/kedelai/ kacang tanah/padi/ jagung/kacang tanah
41,18
• Jagung/cabai – kacang tanah/ubi kayu – jagung/cabai/kacang tanah
8,82
• Jagung – bero
5,88
Pola tanam
Tabel 9. Dasar keputusan petani dalam menerapkan pola tanam Dasar keputusan
Persentase (%) Desa Gandon
Desa Bogem
a.
Kebiasaan petani
41,33
51,79
b.
Sesuai dengan ketersediaan air
13,33
19,64
c.
Mengikuti petani lain
13,33
8,93
d.
Pertimbangan harga produk
1,33
7,14
e.
Pertimbangan harga sarana produksi
13,33
3,57
f.
Sesuai dengan modal yang dimiliki
13,33
5,36
g.
Alasan lainnya
4,00
3,57
Beberapa petani di Desa Bogem melakukan tindakan dengan menanam jagung terlebih dahulu, dimana setelah terdapat hujan
kontinyu akan menggantinya dengan tanaman padi, adapun tanaman jagung yang sudah
481
Prosiding Seminar Nasional tumbuh dimanfaatkan sebagai pakan ternak (tebon). Pada kondisi dimana hujan mundur beberapa saat dibanding biasanya, keputusan petani di kedua desa untuk menanam didominasi tindakan menunggu sampai hujan turun. Beberapa petani tetap melakukan
penanaman sesuai kebiasaan dengan mengupayakan pencarian air dari sumber terdekat. Selain itu, beberapa petani yang beragama Budha di Desa Gandon melakukakan upacara tertentu di vihara dengan harapan agar hujan segera turun. Beberapa petani di Desa Bogem pada kondisi ini tetap menyebar benih (ngretek).
Tabel 10. Keputusan petani terhadap kondisi hujan yang tidak normal Persentase (%)
Dasar keputusan
Desa Gandon
Desa Bogem
a. Hujan maju dibanding biasanya : -
Segera menanam/membuat persemaian
58,82
47,06
-
Penanaman menunggu hujan turun beberapa saat
38,24
50,00
-
Lainnya
2,94
2,94
b. Hujan mundur dibanding biasanya : -
Tetap menanam/tebar benih sesuai kebiasaan, dengan mengupayakan pencarian air
27,78
9,09
-
Penanaman menunggu sampai hujan turun
66,67
90,91
-
Melakukan upacara tertentu agar segera turun hujan
5,56
0,00
c. Pada saat musim hujan, hujan berhenti beberapa waktu : -
Mengupayakan pencarian air
67,65
63,64
-
Tidak ada tindakan
29,41
33,33
-
Lainnya
2,94
3,03
Tabel 11. Keputusan petani terhadap perubahan harga produk Uraian
Persentase (%) Desa Gandon
Desa Bogem
1. Padi a. Harga naik -
-
Menambah luas tanam padi pada MT berikutnya ? •
Ya
-
0,00
•
Tidak
-
100,00
Mengganti komoditas lain dengan padi ? •
Ya
-
0,00
•
Tidak
-
100,00
-
0,00
b. Harga turun -
Mengurangi luas tanam padi pada MT berikutnya ? •
482
Ya
Prosiding Seminar Nasional
Uraian • -
Tidak
Persentase (%) Desa Gandon -
Desa Bogem 100,00
Mengganti padi dengan komoditas lainnya •
Ya
-
0,00
•
Tidak
-
100,00
8,33
0,00
91,67
100,00
0,00
0,00
100,00
100,00
4,00
0,00
96,00
100,00
0,00
0,00
100,00
100,00
2. Jagung a. Harga naik -
-
Menambah luas tanam jagung MT berikutnya ? •
Ya
•
Tidak
Mengganti komoditas lain dengan jagung ? •
Ya
•
Tidak
b. Harga turun -
-
Mengurangi luas tanam jagung pada MT berikutnya ? •
Ya
•
Tidak
Mengganti jagung dengan komoditas lain? •
Ya
•
Tidak
3. Cabai a. Harga naik -
-
Menambah luas tanam cabai MT berikutnya ? •
Ya
28,57
-
•
Tidak
71,43
-
Mengganti komoditas lain dengan cabai ? •
Ya
20,00
-
•
Tidak
80,00
-
b. Harga turun -
-
Mengurangi luas tanam cabai pada MT berikutnya ? •
Ya
22,22
-
•
Tidak
77,78
-
7,41
-
92,59
-
Mengganti cabai dengan komoditas lainnya •
Ya
•
Tidak
483
Prosiding Seminar Nasional
Keputusan petani pada kondisi dimana pada saat musim hujan tiba-tiba hujan berhenti beberapa hari, keputusan yang dominan di kedua desa adalah mengupayakan air dari berbagai sumber terdekat untuk menyiram tanaman yang sudah ada, dan untuk itu beberapa petani bahkan menyewa diesel. Beberapa petani tidak melakukan tindakan apa-apa, dan apabila tanaman mati maka akan dilakukan penanaman lagi pada saat hujan turun kembali. Fluktuasi harga beras dan jagung, umumnya tidak berpengaruh terhadap luas tanam maupun mengganti dengan komoditas yang lebih menjanjikan. Sedangkan pada usahatani cabai di Desa Gandon, fluktuasi harga cabai relatif lebih berpengaruh terhadap keputusan petani pada luas tanam maupun perubahan komoditas yang diusahakan (Tabel 11).
Tabel 12 menunjukkan upaya petani terhadap anjloknya harga produk. Upaya yang dilakukan petani padi di Desa Bogem pada saat harga gabah/beras anjlok yang dominan (50,00%) adalah menyimpan, tindakan lainnya adalah memproses lebih lanjut (11,76%) dan tetap menjual meskipun harga anjlok (38,24%). Terhadap harga jagung yang anjlok, upaya petani Desa Gandon yang dominan adalah menyimpan (50,00%), sedangkan petani Desa Bogem umumnya tetap menjual dengan alasan tidak jagung tidak tahan untuk disimpan cukup lama. Mengingat cabai tidak tahan lama untuk disimpan, menjadikan petani cabai di Desa Gandon tetap menjual produknya meskipun harga anjlok.
Tabel 12. Upaya petani untuk mengatasi harga jual produk yang anjlok Uraian
Persentase (%) Desa Gandon
Desa Bogem
1. Padi a. Menyimpan
-
50,00
b. Memproses lebih lanjut
-
11,76
c. Tetap menjual
-
38,24
d. Lainnya
-
0,00
50,00
15,38
0,00
3,85
42,86
76,92
7,14
3,85
a. Menyimpan
0,00
-
b. Memproses lebih lanjut
0,00
-
100,00
-
0,00
-
2. Jagung a. Menyimpan b. Memproses lebih lanjut c. Tetap menjual d. Lainnya 2. Cabai
c. Tetap menjual d. Lainnya
KESIMPULAN •
•
484
Keputusan dalam menerapkan pola tanam di kedua lokasi pengkajian didominasi alasan yakni berdasar kebiasaan petani. Pada kondisi dimana hujan maju dibanding biasanya, tindakan petani di Desa Gandon yang dominan adalah
segera menanam/membuat persemaian setelah terjadi hujan sekitar 3-4 hari. Sedangkan porsi petani di Desa Bogem, antara keputusan untuk segera menanam dengan menunggu hujan beberapa saat sebelum melakukan penanaman cenderung tidak berbeda jauh. Pada kondisi dimana hujan mundur beberapa
Prosiding Seminar Nasional
•
•
saat dibanding biasanya, keputusan petani di kedua desa untuk menanam didominasi tindakan menunggu sampai hujan turun. Keputusan petani pada kondisi dimana pada saat musim hujan tiba-tiba hujan berhenti beberapa hari, keputusan yang dominan di kedua desa adalah mengupayakan air dari berbagai sumber terdekat untuk menyiram tanaman yang sudah ada. Fluktuasi harga beras dan jagung, umumnya tidak berpengaruh terhadap luas tanam maupun mengganti dengan komoditas yang lebih menjanjikan. Sedangkan pada usahatani cabai di Desa Gandon, fluktuasi harga cabai relatif lebih berpengaruh terhadap keputusan petani pada luas tanam maupun perubahan komoditas yang diusahakan Upaya yang dilakukan petani padi di Desa Bogem pada saat harga gabah/beras dan jagung yang anjlok yang dominan adalah menyimpan. Mengingat cabai tidak tahan lama untuk disimpan, menjadikan petani cabai di Desa Gandon tetap menjual produknya meskipun harga anjlok
PUSTAKA Cocrhan, W.G. 1977. Sampling techniques. 3rd. Ed. John Wiley and Sons Inc. Kingwell, R. 1994. Effects of tactical responses and risk aversion on farm wheat supply. Review of Marketing and Agricultural Economic: 62 (1). April 1994 Mubyarto. 1999. Pemberdayaan ekonomi rakyat. laporan kaji tindak program IDT. Aditya Media. Suryana, A. 2000. Harapan dan tantangan bagi subsektor peternakan dalam meningkatkan ketahanan pangan nasional. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian Peternakan – Badan Litbang Pertanian. Bogor. Todaro, M.P. 1998. Pembangunan ekonomi di dunia ketiga. P.T. Gelora Aksara Pratama. Jakarta. Ed. 6. Wiriatmadja, S. 1978. penyuluhan pertanian. Jakarta.
Pokok-pokok CV Yasagua.
485
Prosiding Seminar Nasional
PENINGKATAN KINERJA USAHATANI MELALUI PERBAIKAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN AIR DI DAERAH MARJINAL Teguh Prasetyo, Suprapto, Cahyati Setiani Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah
ABSTRAK Salah satu dasar yang dijadikan dalam pengembangan usahatani adalah mempertimbangkan potensi sumberdaya alam dan manusia. Pendekatan tersebut telah diterapkan dalam kegiatan Poor Farmer Income Improvement through Innovation Project (PFI3P), salah satu kegiatannya adalah pembuatan dam untuk keperluan usahatani. Untuk mengetahui kinerja dam yang telah dibangun, dilakukan penelitian dengan tujuan mendapatkan informasi pengelolaan air yang terkait dengan kegiatan usahatani. Metode yang digunakan adalah survey melalui wawancara menggunakan kuesioner terstruktur dan semi terstruktur. Responden adalah para petani yang lahan usahataninya memperoleh air dari dam. Penelitian dilakukan di Kabupaten Temanggung di Desa Ngabean, Kecamatan Candiroto, Desa Gilingsari Kecamatan Temanggung dan Desa Purwodadi, Kecamatan Tembarak. Diketahui bahwa Kabupaten Temanggung termasuk beriklim hujan tropis dengan rata – rata suhu udara berkisar antara 18.69 °C sampai 27.53° C. Sumberdaya air utama untuk pertanian adalah dari air hujan. Curah hujan tahunan selama 10 tahun terakhir berkisar antara 2320 mm sampai 2519 mm. Komoditas pertanian dominan yang dikelola petani adalah padi, jagung, tembakau dan cabe. Status penguasaan lahan di lokasi penelitian terbagi atas pemilik, penggarap, penyewa dan pemilik tapi juga menyewa. Luas pemilikan lahan yang terbanyak adalah kurang dari 0,5 Ha. Jumlah dam yang dibangun sebanyak 8 buah. Pada musim hujan I (MH I) luas areal pertanaman padi meningkat 119 Ha sebagai akibat adanya pasokan air dari dam. Akibat dibangunnya dam telah terjadi perubahan saat tanam dan penurunan lahan bero pada musim kemarau. Disarankan agar teknologi dam yang diintroduksikan dikombinasikan dengan teknologi pemupukan dan penggunaan varietas unggul serta saat tanam yang tepat sehingga dapat mencapai hasil yang optimal Kata kunci : Pengelolaan, air, usahatani, marjinal
PENDAHULUAN Pada dasarnya keputusan petani dalam melakukan usahatani tergantung dari faktor – faktor produksi. Faktor - faktor tersebut tidak lain adalah sumberdaya pertanian. Dengan kata lain bahwa sumberdaya pertanian adalah merupakan faktor – faktor produksi yang digunakan untuk masukan atau korbanan dalam suatu proses produksi pertanian (Reksohadiprodjo, 1996). Pada awalnya aspek penting yang dimasukkan dalam klasifikasi sumberdaya pertanian adalah aspek alam (lahan dan air), modal dan tenaga kerja (sumberdaya manusia). Dengan perkembangan yang ada kemudian muncul aspek lain yang dianggap penting yaitu teknologi, manajemen dan kelembagaan. Jika faktor tenaga kerja, modal, teknologi, manajemen dan kelembagaan berasal dari manusia, maka sumberdaya lahan dan air lebih bersifat pemberian alam (Soekartawi, 1993). Para petani mempunyai strategi yang berbeda-beda untuk meningkatkan pendapatan, tergantung dari keadaan sistem
486
pertanian yang berkembang di wilayahnya (Ashley and Carney, 1999). Untuk itu menurut Berdeque and Escobar, (2002) program yang disusun untuk membangun pertanian di pedesaan perlu didasarkan atas potensi sumberdaya di masing-masing lokasi dan dilihat hubungan langsung atau tidak langsung yang mempengaruhi produktivitas pertanian. Untuk menjawab persoalan tersebut Sumodiningrat et al, (1999), menyarankan agar program-program yang akan dilaksanakan perlu mempertimbangkan ciri spesifikasi pedesaan, terutama didasarkan atas potensi sumberdaya pertanian yang tersedia. Pendekatan ini diyakini lebih cocok untuk pengembangan pertanian di pedesaan saat ini termasuk pengembangan agribisnis di desa miskin (Riyadi dan Bratakusumah, 2003). Pendekatan tersebut tampaknya diterapkan dalam melaksanakan kegiatan pada Poor Farmer Income Improvement through Innovation Project (PFI3P), salah satu kegiatan tersebut adalah pembuatan dam di Kabupaten Temanggung. Tujuan yang ingin
Prosiding Seminar Nasional dicapai mendapatkan informasi kinerja usahatani terutama di lokasi yang telah ada bangunan dam.
BAHAN DAN METODE Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survey konvensional menggunakan kuesioner terstruktur untuk mengetahui karakteristik petani serta manajemen air dan Rapid Rural Appraisal (RRA) untuk mengetahui sistem pertanian wilayah. Penelitian dilakukan pada 2005 di Kabupaten Temanggung yaitu di Desa Ngabean, Kecamatan Candiroto, Desa Gilingsari Kecamatan Temanggung dan Desa Purwodadi Kecamatan Tembarak. Penetapan desa untuk lokasi penelitian yaitu desa yang telah ada bangunan dam. Responden adalah para petani yang lahan usahataninya memperoleh air dari embung atau dam. Jumlah petani di Kabupaten Temanggung adalah 60 orang petani yang terdiri dari 19 orang di Desa Ngabean, 21 orang di Gilingsari dan 20 orang di Desa Purwodadi. Jenis data yang dikumpulkan meliputi data sekunder dan primer. Data sekunder yang dikumpulkan terutama data iklim sedangkan data primer di tingkat petani meliputi: i) sistem pertanian tingkat desa ii) karakteristik petani, serta iii) pengelolaan lahan dan air. Data yang dikumpulkan kemudian ditabulasi dan dianalisis secara kualitatif dan deskriptif yang disajikan dalam bentuk narasi dan tabel. Semua hasil analisis dirangkum untuk mendiskripsikan kinerja sistem usahatani yang terkait dengan pembangunan dam.
HASIL DAN PEMBAHASAN Sistem Pertanian Wilayah Pada musim hujan pertama (MH I) tanaman dominan di Desa Purwodadi adalah jagung, cabe, sedangkan padi ditanam di lokasi yang berpengairan atau di dekat bangunan dam, sedangkan musim hujan kedua (MH II) tanaman didominasi padi, dan musim kemarau (MK) adalah tanaman tembakau, dan ketela pohon. Jagung yang biasa ditanam petani adalah jagung lokal dengan warna biji putih. Berdasarkan informasi yang disampaikan petani, pemupukan jagung dilakukan selama 2 kali, yaitu 15 hari setelah tanam (hst) dan 30 hst, dengan dosis antara 100 – 180 kg/ha. Jarak tanam jagung dan
ketela pohon dilakukan secara berselangseling yaitu 75 x 75 Cm. Produksi jagung mencapai sekitar 2 – 2,5 ton/ha dan potensi ini masih dapat ditingkatkan dengan perbaikan teknik budidaya terutama dengan perbaikan mutu benih dan pemupukan. Untuk padi benih yang digunakan sebagian besar menyatakan IR 64. Pupuk N dalam bentuk urea diberikan dengan takaran 200 – 300 kg/ha/musim, diberikan 2 – 3 kali. Pupuk SP 36 di berikan sekitar 100 kg/ha/musim, sedangkan KCl diberikan sebanyak 50 – 75 kg/ha/musim. Hasil yang diperoleh sekitar 4,8 ton/ha gabah kering panen. Di Desa Ngabean usahatani dominan adalah jagung (MH1 dan MK), tembakau (MK), dan sayuran (MH I). Teknik budidaya jagung yang diusahakan berbeda dengan yang dilakukan oleh petani di Desa Purwodadi terutama pada teknik pemupukan. Teknologi yang diterapkan relatif sederhana, pengolahan tanah sangat minim, pemupukan hanya diberikan satu kali yaitu pada umur 20 – 30 hst. Varietas yang digunakan adalah lokal dengan hasil yang diperoleh sekitar 1,5 – 2 ton pipilan kering/ha. Usahatani kobis diusahakan secara monokultur dengan pengolahan lahan secara minimum. Pemenuhan kebutuhan pupuk kandang dilakukan dengan cara memanfaatkan sisa dari tanaman tembakau. Pupuk an organik hanya menggunakan Urea dan SP 36 dengan dosis masing-masing 100 kg dan 50 kg / ha. Pengendalian hama penyakit secara teratur mulai dilakukan pada 35 – 70 hst dengan menggunakan obat-obatan yang merupakan campuran antara insektisida dan fungisida, seperti Antrakol dengan Azodrin. Di Desa Gilingsari usahatani dominan adalah padi (MH 1I). tembakau (MK), jagung, dan cabe (MK). Benih padi yang digunakan sebagian besar petani menyatakan IR 64. Pupuk N dalam bentuk urea diberikan dengan takaran 200 – 250 kg/ha/musim, diberikan 2 – 3 kali. Pupuk SP 36 diberikan antara 50 – 100 kg/ha/musim, sedangkan KCl diberikan sebanyak 75-100 kg/ha/musim. Teknologi budidaya cabe yang diterapkan adalah pemupukan dengan urea sekitar 150 – 225 kg/ha, SP 36 berkisar 60 – 90 kg/ha dan pupuk KCl antara 50 – 125 kg/ha. Bibit yang digunakan adalah jenis cabe tampar.
487
Prosiding Seminar Nasional Tembakau sampai saat ini masih menjadi andalan bagi petani hampir di semua lokasi. Masukan input utama yang didatangkan dari luar desa, adalah pupuk kandang, penggunaannya dapat mencapai 15 – 20 ton per ha. Pupuk an organik yang dipakai adalah Urea dan SP36 dan sedikit KCL. Dosis pupuk yang digunakan adalah Urea 250-300 kg/ha dan SP 36 75 – 150 kg/ha. Usahatani yang juga tampak berkembang di hampir semua agroekosistem adalah asparagus. Jenis ternak dominan yang diusahakan di lokasi penelitian adalah domba dan ayam buras. Ternak domba yang diusahakan petani adalah domba ekor tipis dengan skala usaha 2 – 10 ekor/rumahtangga. Hampir semua petani yang diajak diskusi memelihara ayam buras. Berdasarkan jumlah populasi domba yang ada dapat dikatakan bahwa Kabupaten Temanggung merupakan daerah yang mempunyai potensi untuk pengembangan agribisnis domba. Untuk buah dan sayuran yang menjadi andalan adalah klengkeng, pisang, lombok dan kobis dengan produksi tahun 2003 masing – masing sebanyak 3.354,5; 3.799,56; 14.514,03 dan 4.017 ton (Dinas Pertanian Temanggung 2004) Di lokasi penelitian termasuk beriklim hujan tropis dengan rata - rata suhu udara berkisar antara 18.69 °C sampai 27.53° C. Sumberdaya air utama untuk pertanian adalah dari air hujan. Hujan mulai turun pada pertengahan bulan Oktober dan terus deras pada bulan Nopember – Desember, puncaknya terjadi pada akhir bulan Januari hingga awal Februari. Curah hujan mulai berkurang pada bulan Maret. Berdasarkan data curah hujan diketahui bahwa lokasi penelitian beriklim tropis yang memiliki dua musim, yaitu musim hujan (Oktober/November–Maret/April) dan musim kemarau (April/Mei–September/Oktober) setiap tahunnya. Curah hujan tahunan selama 10 tahun terakhir berkisar antara 2320 mm sampai 2519 mm. Data curah hujan selama sepuluh tahun disajikan pada Tabel 1. Jenis Pekerjaan Seluruh responden menyatakan pekerjaan pokoknya adalah petani walaupun ada yang mempunyai pekerjaan sampingan. Pekerjaan sampingan ditujukan untuk menambah pendapatan rumahtangga pada umumnya penduduk mempunyai pekerjaan sampingan
488
sebagai tukang bangunan, pedagang, jasa buruh maupun sebagai pamong desa. Jumlah responden di Kabupaten Temanggung yang punya pekerjaan hanya sebagai petani sebanyak 46,67 %, seperti yang tertera pada Tabel 2. Pekerjaan sampingan ditujukan untuk menambah pendapatan rumahtangga. Dengan memperhatikan sumberdaya yang semakin terbatas yang dikuasai petani, tampaknya pekerjaan sampingan perlu dikembangkan pada tingkat keluarga petani. Hal ini penting karena untuk meningkatkan pendapatan petani dengan sumberdaya yang terbatas akan sulit dicapai. Tabel 1. Rerata curah hujan selama 10 tahun terakhir di lokasi pengkajian (mm) Kecamatan Bulan Candi Temangg Temba roto ung rak 324 Januari 372 384 470 Februari 314 321 Maret 220 248 254 April 237 182 236 Mei 230 134 140 Juni 89 89 111 Juli 54 71 91 Agustus 39 73 64 September 169 129 53 Oktober 148 197 166 November 201 271 204 Desember 338 321 296 Jumlah 2519 2401 2320 Zone B2 B2 B1 Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, 2004
Tabel 2. Jumlah dan komposisi responden yang mempunyai pekerjaan sampingan Jenis Pekerjaan Sebagai petani Pekerjaan sampingan : Pedagang Bangunan Jasa buruh Pamong desa Jumlah
Kab. Temanggung Jumlah Persentase (orang) (%) 28 46,67
8 7 12 5 60
13,33 11,67 20,00 8,33 100
Prosiding Seminar Nasional Status dan Pemilikan Lahan Lahan merupakan sumber daya utama, karena mempunyai sifat dan persyaratan sumber daya. Tedjojuwono (1997) menyebutkan bahwa lahan mempunyai produktivitas untuk dapat menghasilkan bahan nabati, dari hasil bahan nabati selanjutnya dihasilkan bahan hewani. Dari pernyataan tersebut dapatlah diketahui bahwa sumber daya lahan sangatlah berhubungan dengan usahatani tanaman dan ternak. Kalau dikaitkan dengan semakin sempitnya luas lahan yang dikuasai petani dan di lain pihak lahan merupakan faktor utama sumber daya, seyogyanya perlu dipikirkan kebijakan penguasaan lahan minimal untuk usahatani agar petani dapat hidup layak Luas pemilikan lahan oleh sebagian besar petani dinilai sempit yaitu rata - rata sekitar 0,3 ha per keluarga tani. Menurut Kasryno (2000) di P Jawa persentasi petani yang menguasai lahan kurang dari 0,5 ha sebesar 69,40 %. Hal tersebut juga terlihat dari hasil wawancara bahwa sebanyak 80 % petani hanya menguasai lahan paling luas 0,5 ha. sedangkan yang menguasai lebih dari 0, 5 ha hanya 20 % (Tabel 3. Status penguasaan lahan di lokasi penelitian terbagi atas pemilik, penggarap, penyewa dan pemilik tapi juga menyewa. Pada Tabel 4 tampak bahwa persentase pemilik penggarap mencapai sekitar 80% dari jumlah penduduk desa, sedangkan penyewa dan pemilik bukan penggarap masing-masing 15% dan 5%. Artinya sebagian besar petani pemilik lahan menggarap sendiri lahan yang dikuasai, selain itu mereka masih menyewa secara tahunan Status maupun luas penguasaan lahan menjadi dasar dari status sosial di pedesaan (Raharjo, 1999). Ada kecenderungan semakin luas lahan yang dikuasai, semakin tinggi status sosial di masyarakat desa. Selama 10 tahun terakhir luas lahan sawah di P Jawa telah berkurang yaitu dari 1.018.849 ha menjadi 1.007.592 ha, di lain pihak sistem warisan pembagian lahan dinilai berjalan dengan baik sehingga mengakibatkan penguasaan lahan per rumah tangga petani semakin sempit (Adimihardja 2004).
Tabel 3. Luas lahan yang dikuasai petani responden. Kabupaten Temanggung Luas (ha)
Jumlah
Persentase
< 0,25
(orang) 21
(%) 35,00
0,25 – 0,5
27
45,00
0,51 – 0,75
7
11,67
0,76 – 1,0
3
5,00
>1,0
2
3,33
Jumlah
60
100
Tabel 4. Jumlah dan komposisi responden menurut status penguasaan lahan Kab. Temanggung Status Penguasaan
Jumlah (orang) 47
Persentase (%) 78,33
Penyewa Pemilik dan sekaligus penyewa
8 5
13,33 8,34
Jumlah
60
100
Pemilik penggarap
Sekitar tahun 1970 an rata - rata pemilikan lahan per rumah tangga petani 0,75 ha, namun saat ini sebagian besar petani hanya memiliki lahan antara 0,25 ha – 0,5 ha, seperti yang diperoleh dari hasil penelitian ini, bahkan pemilikan kurang dari 0,25 ha menunjukkan perkembangan ( Fahmudin Agus et al 2001). Manajemen Air Air bagi pertanian sangat menentukan produktivitas dan produksi, karena ketersediaan air di suatu wilayah sangat menentukan intensitas dan luas tanam. Oleh karena itu perubahan keragaan sumberdaya air sangat besar dampaknya terhadap produksi pertanian. Fakta paling nyata adalah turunnya produksi pangan dan harga ternak ruminansia pada saat terjadi El Nino (kemarau panjang) pada tahun 1997(Karama et al, 2002), oleh karena itu perlu mendapat perhatian mengenai tindakan konservasi air (Asdaq, 1995).
489
Prosiding Seminar Nasional Dari data yang tersaji pada Tabel 1 tampak bahwa klasifikasi iklim menurut Oldeman termasuk dalam Tipe B2 dan B1. Hal ini menunjukkan bahwa curah hujan yang ada di kawasan tersebut tidak terlalu riskan untuk usaha pertanian setiap musim, namun perlu dikelola secara baik. Oleh karena itu dengan adanya bangunan dam di berbagai desa PFI3P dapat dikatakan sebagai tindakan pengelolaan dan konservasi sumberdaya air. Upaya mengembangkan teknologi pertanian berbasis pengelolaan air merupakan salah satu faktor penentu dalam upaya meningkatkan produksi pertanian Budidaya pertanian lahan kering dan tadah hujan sering mengalami hambatan salah satunya adalah terbatasnya air. Tehnologi pengelolaan air merupakan salah satu faktor penentu dalam upaya meningkatkan produksi pertanian di lahan kering dan tadah hujan, khususnya pada pertanian lahan kering. Oleh karena itu, sejalan dengan perkembangan dan kemajuan dibidang pengelolaan sumberdaya air, maka tehnologi pengelolaan air untuk usahatani perlu secara terus menerus disempurnakan (Irianto et al 1999). Ukuran Bangunan Dam Model bangunan yang diimplementasikan pada PFI3P di Kabupaten Temanggung adalah model bendung (Weir). Model bangunan bendung terdiri dari (1) Badan bendung, (2) Lantai hulu, (3) Lantai hilir, (4) Tanggul, (5) Pintu pengambilan air. Badan bendung berfungsi untuk menaikkan muka air, lantai hulu berfungsi untuk mengurangi laju rembesan air di bawah bendung, lantai hilir
(kolam olahan) berfungsi untuk merendam terjunan air, tanggul berfungsi untuk menahan longsoran tanah pada bagian sisi kanan kiri bendung, dan pintu pengambilan air berfungsi pendistribusian air ke lahan pertanian dan untuk menampung sediment. Ukuran dam tertera pada Tabel 4. Penerapan bangunan dam mampunyai ukuran yang berbeda-beda. Secara keseluruhan ukuran tinggi badan bendung berkisar antara 2 – 9,5 m, lebar berkisar antara 2 – 1 4 m, panjang saluran 12 – 300 m. Selain bangunan pokok juga terdapat bangunan tanggul penahan tanah dan peluap (anggel) sebagai penahan terjunan air. Pada Tabel 4 tampak ukuran dam yang telah dibuat di lokasi penelitian. Besar kecilnya ukuran dam dan debit air sangat menetukan kualitas pengelolaan sumberdaya air di DAS bagian hulu yang pada akhirnya akan meningkatkan keberlanjutan usahatani.(Irianto et al,. 2002). Hal yang dapat dilakukan antara lain adalah pengelolaan air permukaan, seperti pembuatan dam dan embung. Hal ini sesuai dengan pendapat Prasetyo et al., (2001) bahwa teknologi dam sangat cocok apabila di terapkan di DAS bagian hulu yang mempunyai banyak jaringan parit. Luas Lahan yang Terairi Luas lahan yang dapat terairi akan berpengaruh terhadap produksi usahatani tanaman. Pada Tabel 5 tampak adanya peningkatan luas areal tanam padi pada MH I setelah dibangun dam artinya produksi akan meningkat.
Tabel 4. Ukuran dam di lokasi penelitian Lokasi Dam Desa Ngabean • Dam Sepaton • Dam Sekarangan • Dam Secakran • Dam Selingseng Desa Gilingsari • Dam Sesilo Desa Purwodadi • Dam Selangit • Dam Sedagang • Dam Secacingan
490
Tinggi bendung (m)
Lebar bendung (m)
Panjang saluran (m)
Nama kali/parit
9,5 4 2 2,5
14 5 2 4
17 55 14 102
Lutut Lutut Lutut Lempong
3
14
300
Pacar
3,5 4 2,5
8 12 12
50 100 12
Gemilang Gemilang Gemilang
Prosiding Seminar Nasional Dam parit yang dibangun di Desa Ngabean mampu menambah luas areal tanam padi MH I karena bertambahnya luas lahan yang diairi. Peningkatan luas lahan yang diairi adalah 79 ha atau sebesar 171,74%, sedangkan di Desa Gilingsari meningkat 9 ha atau 450 % dan di Desa Purwodadi meningkat 38 ha atau 208,57 %. Secara keseluruhan luas
lahan yang dapat diairi sebelum dan sesudah pembuatan dam parit dapat dilihat pada Tabel 5. Dari Tabel 5 dapat diperhitungkan bahwa produksi padi pada MH I di lokasi penelitian yang semula sekitar 440 ton meningkat menjadi 1045 ton gabah kering giling, dengan asumsi bahwa produktivitas padi kering giling adalah 5 ton/Ha gabah kering giling.
Tabel 5. Luas areal pertanaman padi MH I sebelum dan sesudah pembangunan dam Lokasi Dam Desa Ngabean, • Dam Sepaton • Dam Sekarangan • Dam Secakran • Dam Selingseng Desa Gilingsari • Dam Sesilo Desa Purwodadi • Dam Selangit • Dam Sedagang • Dam Secacingan Jumlah
Sebelum (ha)
Sesudah (ha)
Penambahan areal (ha)
6 25 15 0
32 40 30 23
24 15 15 23
2
11
9
15 10 15 88
25 20 28 209
10 10 13 121
KESIMPULAN DAN SARAN 1.
2.
3.
Sebagian besar petani memiliki luas lahan 0,25 – 0,5 ha. Status penguasaan lahan terbagi atas pemilik dan penggarap, penyewa dan penggarap dan pemilik tapi masih juga menyewa. Lebih dari 50 % petani mempunyai pekerjaan sampingan yaitu sebagai pedagang, tukang, buruh dan pamong desa. Dam yang dibangun mampunyai ukuran yang berbeda-beda. Ukuran tinggi badan bendung berkisar antara 2 – 9,5 m, lebar berkisar antara 2 – 1 4 m, panjang saluran 12 – 300 m. Selain bangunan pokok juga terdapat bangunan tanggul penahan tanah dan peluap (anggel) sebagai penahan terjunan air.
Dam yang dibangun mampu menambah luas areal tanam padi pada MH I, karena bertambahnya luas lahan yang diairi. Peningkatan luas lahan yang diairi berkisar antara 9 sampai 79. Luas areal tanaman padi pada MH I bertambah 121 Ha.
4.
Disarankan kepada para petani pengguna air diberi motivasi agar tumbuh kesadaran pentingnya organisasi pengelola air.
5.
Disarankan agar areal usahatani yang terairi akibat terkena dampak bangunan dam perlu ada introduksi teknologi pemupukan dan penggunaan varietas unggul agar hasil yang diperoleh dapat optimal.
PUSTAKA Adimihardja, A., Wahyunto dan R. Shofiati. 2004. Gagasan pengendalian konversi lahan sawah dalam rangka peningkatan ketahanan pangan nasional. Prosiding Seminar Multifungsi pertanian dan konservasi sumberdaya lahan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor Asdak, C. 1995. Hidrologi dan pengelolaan daerah aliran sungai. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Ashley, C. and Carney, D. 1999. Sustainable livelihood lesson from early experience. London. DFID.
491
Prosiding Seminar Nasional Berdegue JA., and Escobar G. 2002. Rural diversity, agricultural, innovation polies and poverty reduction. agricultural research and extention network (Agren). Net work paper No. 122. July 2002 Dinas Pertanian Kabupaten Temanggung. 2003. Bank Data Pertanian Kabupaten Temanggung. Bagian Program Dinas Pertanian Temanggung Laporan Dinas Pertanian 2004. Kabupaten Blora, Blora.. Fahmuddin, A., Sukristyonubowo, Tagus Vadari dan C. Setiani. 2001. Catchment approach to managing soil erosion in Kaligarang catchment of Java. Management of Soil Erosion Consortium. Assembly. Semarang, Indonesia 7-11 November 2001 Irianto, G., J. Duchesne, F. Forest., P. Perez., C. Cudennec, T. Prasetyo and S. Karama. 1999. Rainfall-runoff harvesting for controlling erosion and sustaining upland agriculture development. Accepted for oral Presentation in the International Soil Conservation Organisation. Purdue University, Lafayette, USA. Irianto, G., Pujilestari, N., dan Nani Heryani. 2002. Pemanfaatan channel reservoir untuk menekan risiko pertanian. Makalah disampaikan pada Pertemuan Sosialisasi hasil analisis data iklim untuk antisipasi dampak El Nino di Jawa Tengah. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Jawa Tengah, Semarang Karama, S., G. Irianto, H. Shahbuddin, W. Estiningtyas. 2002. Karaktersistik dampak El Nino terhadap pertanian di Indonesia. Sosialisasi hasil analisis data iklim untuk antisipasi dampak El Nino. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Jawa Tengah, Semarang Kasryno, F. 2000. Sumberdaya manusia dan pengelolaan lahan pertanian di pedesaan Indonesia. Forum Penelitian Agroekonomi. PSE Bogor. Prasetyo, T dan C. Setiani. 2001. Teknologi sistem usahatani konservasi di DAS bagian hulu (Antara kebutuhan dan kepentingan). Prosiding Lokakarya Nasional Diversifikasi Tanaman.: Penelitian dan Pengembangan Sistem Usahatani. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
492
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2004. Penyusunan peta pewilayahan komoditas pertanian berdasarkan zona agroekologi, skala 1 : 50.000 Kabupaten Temanggung. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor Rahardjo. 1999. Pengantar sosiologi pedesaan dan pertanian, Gama University Press, Yogyakarta. Reksohadiprodjo S. 1996. Ekonomi sumber daya alam dan energi. BPFE Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Riyadi dan DS Bratakusumah. 2003. Perencanaan pembangunan daerah: strategi menggali potensi dalam mewujudkan otonomi daerah. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Soekartawi. 1993. Prinsip dasar ekonomi pertanian. teori dan aplikasi, Edisi revisi. PT. Raja Grafika Persada, Jakarta Sumodiningrat, G., Santosa B., dan Maiwa M. 1999. Kemiskinan, teori, fakta dan kebijakan. Impac. Jakarta Tedjojuwono. 1997. Pengolahan sumber daya tanah dalam rangka pengembangan sektor industri, PAU Studi Ekonomi FE UGM, Yogyakarta.
Prosiding Seminar Nasional
PENGKAJIAN MODEL PENYAJIAN MEDIA CETAK (KOMIK) DALAM DISEMINASI INOVASI PERTANIAN DI DESA MISKIN Ekaningtyas Kushartanti, Herwinarni Endah Mumpuni dan Tota Suhendrata Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah
ABSTRAK Dalam rangka pemberdayaan petani di desa miskin, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah telah mengintroduksikan dan mensosialisasikan berbagai inovasi pertanian. Tingkat pemanfaatan inovasi pertanian oleh pengguna salah satunya dipengaruhi oleh ketepatan penggunaan metode dan atau media diseminasi. Pemilihan metode atau media diseminasi dipengaruhi oleh jenis inovasi yang didiseminasikan dan karakteristik pengguna inovasi. Terkait dengan karakteristik petani di desa miskin, maka dilaksanakan pengkajian model penyajian media cetak/komik bulan Desember 2006 di Desa Mendenrejo Kecamatan Kradenan Kabupaten Blora dan Desa Tanurejo Kecamatan Bansari Kabupaten Temanggung Pada pengkajian tersebut dibuat dua model penyajian komik yaitu komposisi halaman: 2/3 gambar dan 1/3 kata-kata (versi 1) dan 1/3 gambar dan 2/3 kata-kata (versi 2). Inovasi pertanian yang didiseminasikan adalah pengelolaan limbah ternak untuk pupuk organik. Topik/materi, ukuran, warna dan bahasa dibuat sama. Tujuan pengkajian adalah mengetahui pengaruh model penyajian komik terhadap peningkatan pengetahuan petani tentang isi pesan/materi, tingkat persepsinya terhadap isi pesan/materi dan tingkat persepsi terhadap model penyajian komik. Responden adalah petani sebanyak 24 orang tiap Kabupaten. Data primer dikumpulkan dengan metode survei menggunakan teknik wawancara dan kuesioner sedangkan data sekunder dari dinas/instansi/lembaga terkait. Peningkatan pengetahuan dinilai dengan tipe pertanyaan multiple choice, dianalisis dengan uji t. Keterhubungan antara karakteristik responden dengan tingkat pemahaman dianalisis dengan korelasi Kendall’s Tau. Penilaian tingkat persepsi digunakan penskalaan model Likert Summated Ratings (LRS), dianalisis dengan uji parameter proporsi. Kedua model penyajian komik versi 1 maupun versi 2, dapat meningkatkan pengetahuan petani tentang isi pesan/materi Persepsi petani terhadap isi pesan/materi model penyajian komik versi 1 maupun versi 2 positif/tinggi, berarti sesuai dengan kebutuhan/keinginan petani.
Kata kunci : Komik, model penyajian, diseminasi, inovasi pertanian
PENDAHULUAN Penanganan pengentasan penduduk dari kemiskinan merupakan salah satu agenda yang diprioritaskan untuk ditangani dalam kerangka pembangunan pertanian. Di Jawa Tengah, keragaan desa miskin relatif hampir tersebar di seluruh kabupaten. Jumlah desa miskin di Jawa Tengah mencapai 2.511, diantaranya di Kabupaten Blora dan Temanggung termasuk mempunyai desa miskin relatif banyak (Mubyarto, 1999). Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah kemiskinan, tetapi sampai pada tahun 2003 jumlah penduduk miskin di Jawa Tengah dengan batasan Rp. 119.403,-/kapita/bulan masih mencapai 6.799.800 jiwa (BPS, 2004). Dalam rangka pemberdayaan para petani di desa miskin Kabupaten Blora dan Temanggung, BPTP Jawa Tengah sejak tahun 2003 dengan dana dari Poor Farmer Improvement Income Through Innovasion Project (PFI3P) melaksanakan berbagai
kegiatan pengkajian dan diseminasi inovasi pertanian. Kegiatan pengkajian dan diseminasi yang telah diintroduksikan dan disosialisasikan sekitar 24 jenis inovasi pertanian. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan pendapatan petani di desa miskin Kabupaten Blora dan Temanggung. Inovasi adalah sesuatu yang baru, dapat berupa barang, ide atau gagasan serta teknologi yang diperkenalkan kepada seseorang atau masyarakat agar terjadi perbaikan dalam usahanya, dalam kehidupannya. Seseorang dapat menganggap barang, ide/gagasan, teknologi tersebut baru, namun belum tentu hal tersebut dianggap baru bagi orang lain (Rogers dan Shomaker, 1971; Mardikanto, 1993). Menurut Deptan (2005) inovasi adalah kegiatan penelitian, pengembagan dan atau perekayasaan yang bertujuan mengembangkan penerapan praktis nilai dan konteks ilmu pengetahuan dan teknologi kedalam produk atau proses produksi. Sedangkan inovasi teknologi adalah
493
Prosiding Seminar Nasional aktivitas untuk membawa hasil penelitian dan perekayasaan kepada pengguna atau pasar. Daya dan hasil guna inovasi pertanian BPTP Jawa Tengah ditentukan oleh tingkat pemanfaatan inovasi oleh pengguna. Berkaitan dengan hal itu, maka kesesuaian inovasi hasil pengkajian BPTP Jawa Tengah dengan pengguna dan ketepatan penggunaan metode dan atau media dalam diseminasi inovasi kepada pengguna merupakan faktor penentu daya dan hasil guna inovasi BPTP Jawa Tengah tersebut. Diseminasi inovasi pertanian BPTP diartikan sebagai upaya mengkomunikasikan dan menyebarluaskan inovasi hasil-hasil penelitian/pengkajian BPTP kepada penguna (Badan Litbang Pertanian, 1999). Diseminasi teknologi pertanian hasil pengkajian BPTP Jawa Tengah telah dilaksanakan dengan berbagai kegiatan, metode dan media. Jenis media yang digunakan BPTP Jawa Tengah dalam diseminasi adalah media interpersonal, media Audio-Video dan media cetak. Pemilihan penggunaan media diseminasi terkait erat terhadap tiga hal (i) tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan diseminasi, (2) jenis inovasi/teknologi pertanian yang didiseminasikan dan (3) karakteristik sasaran. Karakteristik sasaran (target audience) terbagi kedalam kelompok sasaran (target group) yang secara khas memiliki latar belakang yang berbeda (pendidikan, profesi, sosial ekonomi, dll). Perbedaan tersebut menurut Van Den Ban & Hawkins (1996) menuntut perbedaan dalam memformulasikan bentuk penyajian isi pesan/materi dalam media. Dalam penggunaan media yang penting adalah efek yang diharapkan dan cara menggunakannya untuk menjamin agar arti pesan menjadi sejelas mungkin. Roggers dan Shoemakers dalam Hanafi, (1987) menyatakan bahwa pemilihan media perlu disesuaikan dengan tujuan komunikasinya, konteks pesan dan siapa penerimanya. Media termasuk diantaranya adalah media cetak merupakan salah satu unsur persyaratan sampainya informasi yang dikomunikasikan dan didiseminasikan dari komunikator (orang yang menyampaikan pesan/informasi) kepada komunikan (orang yang menerima pesan/informasi). Scheder (1991) menyatakan bahwa dengan bantuan
494
media cetak pengetahuan dapat disimpan dan digunakan kembali oleh orang yang memerlukannya. Sementara Hanafi (1984) lebih jauh mengemukakan tentang beberapa keunggulan media cetak, (1) orang yang membaca dapat mengatur kecepatan bacanya, berhenti sejenak untuk memikirkan apa yang sedang dibaca dan mengulagi kalimat-kalimat yang dipandang penting, (2) dapat menyimpan fakta-fakta, gagasan atau gambar dan (3) memiliki kemampuan dalam mengatasi selektifitas. Namun demikian media cetak tersebut memiliki beberapa kelemahan, antara lain: (1) kurang tepat bila digunakan pada masyarakat yang memiliki kemampuan baca rendah atau buta huruf, (2) kurang cepat mencapai sasaran, apabila dipakai sebagai satu-satunya teknik untuk menyampaikan pesan di daerah pedesaan dan (3) apabila tidak disiapkan secara seksama dan hati-hati justru akan kehilangan arti maksud dan tujuannya. Mendiseminasikan suatu inovasi kepada masyarakat tani di desa miskin berbeda dengan mendiseminasikannya kepada petani maju, karena berbeda karakteristiknya. Terkait dengan karakteristik petani di desa miskin, maka pemilihan inovasi yang diintroduksikan, strategi dan metode atau media untuk mendiseminasikannya, sangat menentukan daya dan hasil guna inovasi tersebut. Tujuan pengkajian ini adalah untuk mengetahui pengaruh model penyajian media cetak (komik) terhadap peningkatan pengetahuan dan persepsi petani dalam diseminasi inovasi pertanian di wilayah desa miskin Kabupaten Blora dan Temanggung. Diharapkan dengan menggunakan media cetak dapat menimbulkan efek koqnitif kepada sasaran (petani di desa miskin), artinya sasaran setelah membaca media cetak dapat memahami isi pesan media tersebut dan meningkat pengetahuan/wawasannya dan juga tergerak hatinya sehingga mempunyai persepsi dan respon positif terhadap inovasi yang diperkenalkan.
BAHAN DAN METODE Pengkajian model penyajian media cetak (komik) dalam diseminasi inovasi pertanian di desa miskin telah dilakukan di Kabupaten Blora dan Temanggung bulan Desember 2006. Inovasi pertanian yang didiseminasikan (isi pesan/muatan isi/materi) pada kegiatan pengkajian model penyajian komik adalah satu topik yang sama. Isi pesan tersebut
Prosiding Seminar Nasional
Persentase (%)
ditentukan dengan melaksanakan diskusi terfokus dengan unsur struktural dan para penyuluh pertanian Dinas Pertanian Kabupaten Blora dan Temanggung. Hasil diskusi terfokus menetapkan topik/materi/ muatan isi dari pengkajian model penyajian komik adalah pengelolaan limbah ternak untuk pupuk organik. Berkaitan dengan hal tersebut maka dipilih lokasi pengkajian yang merupakan desa miskin dan tingkat pengetahuan para petani di desa tersebut terhadap pengelolaan limbah peternakan menjadi pupuk organik belum memadai. Adapun lokasi pengkajian adalah Desa Mendenrejo Kecamatan Kradenan Kabupaten Blora dan Desa Tanurejo Kecamatan Bansari Kabupaten Temanggung. Sebagai responden adalah petani berjumlah 48 orang terdiri dari 24 orang dari Kabupaten Blora dan 24 orang dari Kabupaten Temanggung. Penentuan responden dilakukan secara sengaja. Sebagai peubah terikat dalam pengkajian ini adalah tingkat pengetahuan petani, dan persepsi petani terhadap isi pesan/materi komik dan persepsi petani terhadap model penyajian komik. Adapun untuk peubah bebas, ada dua model penyajian yaitu komposisi halaman: 2/3 gambar dan 1/3 kata-kata (komik versi 1) dan komposisi halaman : 1/3 gambar dan 2/3 kata-kata (komik versi 2). Model penyajian komik dibuat sama dalam hal ukuran, warna dan bahasa. Jadi pada pengkajian tersebut hanya dibedakan pada model penyajiannya sesuai dengan faktor-faktor yang akan dikaji. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Pengumpulan data
40 35 30 25 20 15 10 5 0
primer dilaksanakan dengan metode survei dengan menggunakan teknik wawancara dan kuesioner. Sedangkan data sekunder dikumpulkan dari dinas/instansi/lembaga terkait. Tingkat pemahaman dinilai dengan item pertanyaan tipe pilihan berganda (multiple choice) dan dianalisis dengan uji t. Untuk mengetahui keterhubungan antara karakteristik responden dengan tingkat pengetahuan dianalisis dengan korelasi Kendall’s Tau. Penilaian tingkat persepsi responden terhadap isi pesan komik serta tingkat persepsi responden terhadap model penyajian komik digunakan penskalaan model Likert Summated Ratings/LRS (Azwar, 2002) dan dianalisis menggunakan uji parameter proporsi. Adapun cara penggolongan tingkat pemahaman dan tingkat persepsi tersebut digunakan rumus interval kelas (Dajan, 1986).
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden Petani Mengacu pada Wiriaatmadja (1978), responden didominasi oleh kelompok umur early adopter yaitu mempunyai umur kurang dari 41 tahun (Gambar 1). Kisaran umur responden antara 26 – 65 tahun dengan rerata 44,25 tahun. Berdasarkan tingkat pendidikan, didominasi oleh tingkat pendidikan SD. Terdapat responden yang tidak mengikuti pendidikan secara formal (tidak sekolah), akan tetapi tidak ada yang buta huruf karena sudah mengikuti pendidikan sejenis kejar paket A (Gambar 2).
35.4 27.1 22.9 14.6
Early adopter Early mayority Late mayority Laggard
Gambar 1. Keragaan responden berdasarkan kelompok umur
495
Persentase (%)
Prosiding Seminar Nasional
80 70 60 50 40 30 20 10 0
72.9
10.4
Tidak sekolah SD SLTP SLTA
10.4 6.3
Gambar 2. Keragaan responden berdasarkan pendidikan Pemilikan lahan sawah petani responden berada pada kisaran 0,10 – 1,5 ha dengan rerata 0,416 ha. Luas rerata pemilikan tegalan 0,10 ha. Pemilikan ternak sapi dan atau kambing/domba antara 1 – 18 ekor, dengan rerata 1,42 untuk pemilikan sapi dan 1,10 untuk pemilikan kambing/domba. Tingkat keterdedahan petani responden terhadap informasi pemanfaatan dan pengolahan limbah ternak untuk pupuk organik secara keseluruhan relatif rendah dengan rerata 2,05 dari nilai tertinggi 8. Nilai rerata tersebut diperoleh dari pernyataan sebagian besar petani responden yang pernah mendengar informasi pemanfaatan dan pengolahan limbah ternak untuk pupuk organik baik dari keluarga maupun kelompok tani. Keragaan Tingkat Pengetahuan Responden Hasil pengkajian menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan awal sebagian besar responden terhadap isi pesan media cetak yaitu tentang pengelolaan limbah ternak untuk pupuk organik sebelum membaca komik versi 1 dan versi 2 terdapat pada kategori rendah yaitu sebanyak 54,2%. Hasil ini diperkuat juga dengan nilai reratanya yaitu 6,69 dari nilai tertinggi 18. Apabila dilihat dari masing-
496
masing kelompok pengkajian yaitu kelompok komik versi 1 dan komik versi 2 diperoleh hasil bahwa sebagian besar petani responden mempunyai tingkat pengetahuan awal pada kategori rendah hingga sedang. Pada kelompok komik versi 1 tingkat pengetahuan awal petani responden yang berada pada katagori rendah sampai sedang sebanyak 95,8% dengan rerata 6,46 dan pada kelompok versi 2 sebanyak 87,5% dengan rerata 6,92 (Tabel 1). Nilai rerata pengetahuan petani responden meningkat tajam setelah membaca komik sesuai dengan masing-masing versi penyajiannya. Nilai yang diperoleh petani responden berada pada kisaran 8 hingga 15 dengan rerata kelompok komik versi 1 adalah 14,92 sama dengan nilai rerata kelompok versi 2. Tingkat pengetahuan responden pada kedua kelompok versi penyajian setelah membaca komik sebagian besar berada pada kategori tinggi, kelompok versi 1 : 83,3% dan versi 2: 75%. Selisih angka positif antara pengetahuan awal hasil pretest dan pengetahuan akhir hasil postest menunjukkan adanya peningkatan pengetahuan petani responden setelah membaca komik. Peningkatan pengetahuan petani responden secara keseluruhan terdapat pada kisaran angka 2 sampai dengan 16 dengan rerata 7,98 seperti yang terdapat pada Tabel 2.
Prosiding Seminar Nasional Tabel 1. Keragaan tingkat pengetahuan awal dan akhir petani responden pada pengkajian model penyajian media cetak
Tingkat pengetahuan
Rendah (< 6,01) Sedang (6,01 – 12,0) Tinggi (12,01 - 18) Jumlah Rerata
Pengetahuan awal Versi 2 Versi 1 (1/3 gambar, (2/3 gambar, 2/3 kata) 1/3 kata) n % n % 12 50 14 58,3 11 45,8 7 29,2 1 4,2 3 12,5 24 100,0 24 100,0 6,46 6,92
Pengetahuan akhir Versi 2 Versi 1 (1/3 gambar, (2/3 gambar, 2/3 kata) 1/3 kata) n % N % 0 0 0 0 4 16,7 6 25,0 29 83,3 18 75,0 24 100,0 24 100,0 14,92 14,92
Tabel 2. Keragaan rerata peningkatan pengetahuan petani berdasarkan model penyajian komik Komponen
Versi komik
n
Rerata
Jumlah peningkatan pengetahuan
versi 1 (2/3 gmb 1/3 kata)
24
8,46
versi 2 (1/2 gmb 1/2 kata)
24
Rerata
7,50 7,98
Angka rerata peningkatan pengetahuan responden secara keseluruhan tersebut selanjutnya dianalisis dengan uji t untuk sampel berpasangan. Hasil pengujian menyatakan bahwa nilai t hitung: 12,303 lebih besar dan letaknya jauh di luar wilayah nilai t tabel baik pada selang kepercayaan 95% (2,021) maupun 99% (2,423). Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa rerata nilai pretest dan postest pengetahuan petani adalah berbeda nyata. Pernyataan ini sama dengan hasil pengujian berdasarkan angka probabilitas yang diperoleh yaitu 0,000
yang besarnya < 0,05 bahkan 0,01 yang berarti tingkat pengetahuan petani responden pada pretest dan postest berbeda nyata. Pengetahuan petani responden tentang pengelolaan limbah ternak untuk pupuk organik meningkat setelah membaca komik tidak mempunyai hubungan yang kuat dengan karakteristik seperti umur, pendidikan, keterdedahan terhadap informasi pengelolaan limbah ternak, pemilikan lahan dan ternak sapi/ kambing. Hal ini ditunjukkan oleh Tabel 3 yang menyatakan angka probabilitas karakteristik petani > 0,05.
Tabel 3. Hubungan antara peningkatan pengetahuan dan karakteristik petani responden kelompok model penyajian komik Kendall’s Tau
Umur Pendidikan Keterdedahan thdp info limbah ternak Jumlah pemilikan lahan UT Jumlah pemilikan ternak
Koefisien korelasi Sig Koefisien korelasi Sig Koefisien korelasi Sig Koefisien korelasi Sig Koefisien korelasi Sig
Peningkatan pengetahuan ,140 ,177 -,081 ,492 -,236 ,052 -,006 ,957 -,135 ,222
497
Prosiding Seminar Nasional
Angka rerata peningkatan pengetahuan petani responden masing-masing kelompok penyajian selanjutnya dianalisis dengan uji t untuk sampel independent. Hasil pengujian menyatakan bahwa rerata nilai peningkatan pengetahuan petani dari model penyajian media cetak dengan komposisi 2/3 halaman gambar, 1/3 halaman kata-kata dan sebaliknya adalah identik yang berarti tidak berbeda nyata, karena angka probabilitas dari uji t adalah 0,466 yang > 0,05. Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa kedua varians jumlah peningkatan pengetahuan dari versi 1 dan 2 yang diasumsikan sama ternyata hasilnya memang sama, karena angka probabilitas yang diperoleh 0,746 > 0,05. Akan tetapi bila dilihat dari rerata peningkatan pengetahuan masing-masing kelompok kedua model penyajian komik pada Tabel 2, maka model penyajian versi 1 yaitu penyajian komik dengan komposisi 2/3 halaman gambar, 1/3 halaman kata-kata nilai reratanya lebih tinggi (8,46) dibandingkan dengan versi 2 yaitu penyajian dengan komposisi 1/3 halaman untuk gambar, 2/3 halaman kata-kata (7,50). Namun demikian selisih nilai rerata tersebut tidak cukup berarti untuk menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara peningkatan pengetahuan kelompok responden petani yang membaca komik versi 1 dan versi 2. Hasil tersebut di atas sesuai dengan hasil evaluasi Kushartanti et al., (2004), menyatakan bahwa sebagian besar (>60%) responden Kepala Kantor Cabang Dinas (KCD) dan Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Dinas Pertanian Kabupaten Blora dan Temanggung menilai buku cerita bergambar (komik) tepat dan bermanfaat sebagai alat bantu penyuluhan bagi petani di desa miskin. Bagi wilayah kerja penyuluh pertanian yang kesulitan dalam menyiapkan sarana pemutaran VCD, penerbitan buku cerita bergambar akan lebih sesuai.
498
Persepsi dan Respon Responden Suatu inovasi/teknologi yang diintroduksikan kepada seseorang berkaitan dengan keputusan yang dibuat oleh orang tersebut untuk menerima atau menolak inovasi tersebut. Proses penerimaan atau penolakan inovasi seseorang erat hubungannnya dengan persepsi dan respon orang tersebut. Persepsi seseorang terhadap suatu inovasi diartikan pengalaman tentang obyek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan (Desiderato, 1976 dalam Rakhmat, 2000). Sudjana (1990) dalam Maksum (1994) menyatakan bahwa persepsi diartikan sebagai tanggapan, pendapat yang didalamnya terkandung unsur penilaian seseorang terhadap obyek dan gejala (inovasi) berdasarkan pengalaman dan wawasan yang dimilikinya. Jadi pada hakekatnya persepsi adalah interpretasi seseorang terhadap suatu obyek menurut pengalaman dan pengetahuannya. a. Persepsi responden terhadap isi pesan/materi komik Persepsi responden terhadap isi pesan/materi model penyajian komik versi 1 dan versi 2 termasuk pada katagori tinggi/positif (Tabel 4). Hasil keragaan persepsi tersebut setelah dilakukan uji proporsi diperoleh Z-hitung lebih besar dari Z-tabel 5% sehingga signifikan artinya bahwa sebagian besar (>60%) responden dari kedua model penyajian media cetak komik mempunyai tingkat persepsi pada katagori tinggi/positif. Adapun keragaan komponen persepsi responden dari dua versi penyajian komik terhadap isi pesan/materi yaitu tentang pengelolaan limbah ternak untuk pupuk organik dapat dilihat pada Tabel 5.
Prosiding Seminar Nasional Tabel 4. Keragaan persepsi responden terhadap isi pesan komik Tingkat Persepsi petani terhadap isi pesan/materi komik Model penyajian komik
Rendah
Sedang
Jumlah
Tinggi
n
%
n
%
n
%
n
%
Versi 1 (2/3 gambar, 1/3 kata-kata)
0
0
3
12,50
21
87,50
24
100
Versi 2 (1/3 gambar, 2/3 kata-kata)
0
0
1
4,17
23
95,83
24
100
Tabel 5. Keragaan persepsi responden petani terhadap isi pesan/materi media cetak komik dilihat dari sifat/karakteristik inovasi Sifat/Karakteristik Inovasi
Tingkat Persepsi terhadap isi pesan komik varsi 1 (%)
Tingkat Persepsi terhadap isi pesan komik varsi 2 (%)
tinggi
Sedang
rendah
tinggi
sedang
rendah
Kompatibilitas
29,2
70,8
0
37,5
62,5
0
Kompleksitas
83,4
8,3
8,3
75,0
20,8
4,2
Keuntungan relatif
91,7
0
8,3
87,5
4,2
8,3
Trialibilitas
70,8
25,0
4,2
87,5
12,5
0
Observabilitas
87,5
12,5
0
83,3
16,7
0
1/3 gambar, 2/3 kata-kata disukai oleh 100% petani responden dengan pernyataanpernyataan tentang gambar, warna, ukuran huruf, ukuran komik, dan bahasa penyampaian dapat kategori tinggi (Tabel 6).
b. Persepsi responden terhadap model penyajian komik Model penyajian komik versi 1 dengan 2/3 gambar, 1/3 kata-kata, dan versi 2 dengan
Tabel 6. Keragaan jumlah responden petani berdasarkan tingkat persepsi terhadap model penyajian komik Tingkat persepsi terhadap model penyajian komik Model penyajian komik
rendah
sedang
Jumlah
tinggi
n
%
n
%
n
%
n
%
Versi 1 (2/3 gambar, 1/3 kata-kata)
0
0
0
0
24
100
24
100
Versi 2 (1/3 gambar, 2/3 kata-kata)
0
0
0
0
24
100
24
100
Respon Responden Terhadap Isi Pesan Komik Respon adalah pernyataan evaluatif atau reaksi perasaan dari diri seseorang terhadap suatu obyek. Bentuk respons tersebut dapat terwujud dalam suatu kesimpulan baik atau buruk, positif atau negatif, menyenangkan atau tidak menyenangkan, suka atau tidak suka yang kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi atau kecenderungan untuk
bersikap (Azwar, 2002). Respon responden terhadap isi pesan komik tentang pengelolaan limbah ternak untuk pupuk organik secara umum positif (Tabel 7). Respon yang positif ini sesuai dengan pernyataan hampir semua responden yang membaca komik bahwa isi pesan sesuai dengan kebutuhan. Responden memberi pernyataan tentang muatan isi/materi komik, bahwa akan mencoba inovasi pengelolaan limbah ternak untuk pupuk
499
Prosiding Seminar Nasional organik secara berkelompok atau sendiri, dan hanya sebagian kecil yang masih ragu-ragu
dengan pernyataan akan melihat dahulu hasil yang dilaksanakan pengguna lain.
Tabel 7. Keragaan respon responden terhadap isi pesan komik Item
n
%
Mencoba sendiri
12
25,0
Mencoba dgn kelompok
22
45,8
Melihat hasilnya dulu
4
8,4
Mencari info lebih lanjut
10
20,8
Ragu-ragu/ belum tahu
0
0
Jumlah
48
100,0
KESIMPULAN 1.
2.
Kedua model penyajian komik baik dengan komposisi halaman: 2/3 gambar dan 1/3 kata-kata (versi 1) maupun komposisi halaman: 1/3 gambar dan 2/3 kata-kata (versi 2) sama-sama dapat meningkatkan pengetahuan petani tentang pengelolaan limbah ternak untuk pupuk organik di desa miskin Kabupaten Blora dan Temanggung. Persepsi petani terhadap isi pesan/materi tentang pengelolaan limbah ternak untuk pupuk organik dan model penyajian komik komposisi halaman: 2/3 gambar dan 1/3 kata-kata (versi 1) maupun komposisi halaman: 1/3 gambar dan 2/3 kata-kata (versi 2) positif/tinggi berarti komik tersebut sesuai dengan kebutuhan petani.
3. Petani menyatakan respon positif terhadap muatan isi komik dengan pernyataan akan mencoba inovasi tersebut secara berkelompok atau sendiri, dan hanya sebagian kecil yang masih ragu-ragu dengan pernyataan akan melihat dahulu hasil yang dilaksanakan pengguna lain.
PUSTAKA Azwar, S. 2002. Sikap manusia, teori dan pengukurannya. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 1999. Panduan umum pelaksanaan penelitian, pengkajian dan diseminasi teknologi pertanian. Departeman Pertanian, Jakarta.
500
BPS. 2004. Pertumbuhan rumah tangga pertanian di indonesia (angka sangat sementara hasil sensus pertanian 2003/st03). Biro Pusat Statistik. Berita Resmi Statistik No. 06/VII/2 Januari 2004. Dajan, A. 1986. Pengantar metode statistika Jilid II. LP3ES. Jakarta. Departemen Pertanian. 2005. Peraturan menteri pertanian nomor: 03/Kpts/HK.060/I/2005 tanggal 17 Januari 2005 tentang pedoman penyiapan dan penerapan teknologi pertanian. Hanafi A. 1984. Memahami komunikasi antar manusia. Usaha Nasional. Surabaya. Hanafi, A. 1987. Memasyarakatkan ide-ide baru. Usaha Nasional. Surabaya. Kushartanti E. Ernawati, Siska P., Ariaty T., dan Muryanto, 2004. Pengembangan informasi teknologi pertanian. Laporan kegiatan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah. Ungaran. Maksum. 1994. Hubungan karakteristik petani lahan tadah hujan dengan persepsi mereka tentang faktor-faktor penghambat adopsi embung di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Tesis. Program Pascasarjana IPB. Mardikanto, T. 1993. Penyuluhan pembangunan pertanian. Sebelas Maret University Press, Surakarta. Mubyarto. 1999. Pemberdayaan ekonomi rakyat. Laporan kaji tindak IDT. Aditya Media.
Prosiding Seminar Nasional Pusat Penyuluhan Pertanian. 1995. Pedoman pemilihan metode penyuluhan pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta.
Van Den Ban A.W., dan Hawkins HS. 1996. Penyuluhan pertanian. Kanisius, Yogyakarta.
Rogers, EM. And Shoemaker FF. 1971. Communication of innovation a cross cultural approach. Free Press. New York.
Wiriaatmadja S. 1978. penyuluhan pertanian. Yasaguna, Jakarta
Pokok-pokok Penerbit C.V.
Scheder R. 1991. Perihal cetak mencetak. Kanisius, Yogyakarta.
501
Prosiding Seminar Nasional
KARAKTERISTIK PETANI JAGUNG DI LAHAN KERING DATARAN TINGGI Forita Dyah Arianti, Agus Hermawan, dan Abdul Choliq Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah
ABSTRAK Potensi produksi jagung di lahan kering dibatasi kendala agrofisik, biologis dan sosial budaya. Telah banyak dikemukakan penerapan teknologi yang tepat dalam menggali potensi sumberdaya lahan kering untuk meningkatkan produksi dan pendapatan petani. Namun dari aspek sosial budaya masih banyak yang belum diperhatikan. Perlu dirumuskan kerangka teoritis/aplikasi mencakup aspek agrofisik dan sosial budaya dalam pengembangan jagung di lahan kering. Manusia yang mempunyai kekuatan/kemampuan mudah diajak maju. Manusia berkualitas umumnya pekerja keras, ulet, rajin, pantang menyerah dan mau berkorban untuk mencapai sukses. Kajian bertujuan melihat karakteristik petani jagung di lahan kering dataran tinggi Desa Getas, Kecamatan Kaloran dan Desa Canggal, Kecamatan Kledung, Kabupaten Temanggung mengunakan metode survai. Hasil menunjukkan bahwa pertanian menjadi sumber penghidupan keluarga (87% responden). Tingkat pendidikan informal responden masih terbatas, karenanya diperlukan upaya meningkatkan kemampuan petani melalui pelatihan/kursus. Dalam pengembangan jagung di lahan kering perlu inovasi baru dalam penerapan teknologi budidaya disamping upaya mengubah manusia/petani dari belum berkualitas menjadi berkualitas. Petani yang mempunyai landasan kepribadian moral dan profesionalisme akan menjadi manusia dinamis, kreatif dan demokratis, diperlukan pembinaan secara intensif dan efektif. Hasil kajian menunjukkan korelasi positif antara luas lahan yang dikuasai dengan pendapatan petani dari kegiatan menjadi buruh diluar usaha pertanian dan korelasi negatif dengan pendapatan dari buruh pertanian. Pola tanam di lokasi pengkajian didominansi oleh jagung – ubi kayu – jagung. Dalam pengembangan usahatani jagung, subsistem input produksi perlu mendapat perhatian sehingga dapat tersedia tepat waktu. Kekuatan tawar petani dalam penentuan harga perlu ditingkatkan antara lain melalui persatuan antar petani. Usahatani jagung skala agribisnis perlu dicarikan mitra usaha yang dapat memberikan keuntungan kedua pihak.
Kata kunci: Karakteristik, petani, jagung, lahan kering
PENDAHULUAN Dewasa ini, lahan pertanian di Jawa Tengah semakin berkurang. Peluang untuk membuka lahan usaha baru (ekstensifikasi) sangat kecil. Lahan usahatani produktif yang ada bahkan menjadi semakin sempit karena adanya degradasi lahan dan konversi lahan pertaniann produktif untuk keperluan non pertanian (terutama industri dan perumahan). Pada tahun 1998 luas lahan pertanian adalah 1,385 juta ha dan pada tahun 2002 tinggal 998.456 ha (KOMPAS, 2004). Lebih lanjut menurut Khudori (2004) konversi lahan di wilayah pantura Jawa dan Bali mencapai 12.500 ha/tahun. Pertambahan penduduk dan sistem nilai warisan juga telah menyebabkan penyempitann penguasaan lahan. Akibatnya, jumlah rumah tangga petani gurem meningkat dari waktu ke waktu. Akibat lanjut dari fenomena ini adalah semakin kecilnya peluang untuk memenuhi kebutuhan hidup hanya dari sektor pertanian. Proses
502
penyempitan penguasaan lahan (guremisasi) di sisi lain juga mendorong sebagian petani untuk melepaskan hak penguasaan lahan sehingga memunculkan gejala akumulasi lahan pada sekelompok petani kaya (Hermawan, et al.,. 2004). Pembangunan pertanian di lahan kering dihadapkan pada dua masalah yang samasama memerlukan pemikiran dan perencanaan yang mendasar. Kedua masalah tersebut adalah (1) aspek agrofisik dan biologis (kesuburan tanah rendah, tanah masam, hama, penyakit, gulma dan sebagainya) dan (2) aspek sosial budaya, yaitu pembangunan manusia yang mengarah kepada manusia berkualitas. Menurut beberapa peneliti potensi produksi pertanian di lahan kering dibatasi oleh sejumlah kendala berbentuk agrofisik, biologis dan sosial ekonomi (Ananto et al., 1998).
Prosiding Seminar Nasional Salah satu masalah nasional yang dihadapi pada dewasa ini adalah ketersediaan pangan. Jagung merupakan komoditi yang penting dan strtagis disamping beras, karena jagung selain untuk bahan pangan juga sebagai alternatif sumber kebutuhan pakan ternak. Menguatnya kurs dolar Amerika akhir-akhir ini berpengaruh langsung terhadap kenaikan harga jagung, karena lebih dari 50% kebutuhan jagung dalam negeri dipenuhi dari import. Hal tersebut turut memicu kenaikan harga pakan karena sebagian besar bahan baku pakan ternak adalah jagung. Oleh karena itu, upaya peningkatan produksi jagung di dalam negeri perlu mendapatkan perhatian yang lebih besar. Selain melalui perluasan areal tanam, produksi jagung juga dapat di tingkatkan melalui perbaikan teknologi produksi di tingkat petani, mengingat masih rendahnya produktivitas. Dewasa ini rata-rata hasil jagung di tingkat petani adalah sekitar 2,5 t/ha (Puslitbangtan, 1998 dalam Handoyo, J. et al., 2003) dan di lahan kering di Desa Gentan, Kranggan, Kabupaten Temanggung sekitar 3,34 t/ha (Handoyo, J. et al., 2003). Makalah ini mencoba melihat kondisi usahatani jagung di lahan kering yang dilakukan selama ini. Oleh karena itu perlu dilakukan inventarisasi dan karakterisasi petani dalam budidayanya, sehingga ke depan dapat dijadikan pertimbangan untuk keperluan pemilihan teknologi dan cara pengembangannya. Tanpa penerapan teknologi yang tepat dan tanpa pengelolaan yang sesuai, lahan kering kurang produktif untuk pengembangan pertanian. Di samping itu aspek sosial budaya (manusia/petani) tidak bisa dipisahkan dengan aspek agrofisik dan biologis. Kualitas manusia perlu dikembangkan sedemikian rupa sehingga mampu mengelola setiap usaha yang mengarah kepada pembangunan.
BAHAN DAN METODE Lokasi pengkajian adalah di Desa Getas, Kecamatan Kaloran, dan Desa Canggal, Kecamatan Kledung, Kabupatan Temanggung. Penentuan lokasi dilaksanakan secara purposif. Pengambilan data dengan menggunakan metode survai (Singarimbun dan Effendie, 1989) yang dilaksanakan pada bulan September-Oktober 2004. Analisis data dilakukan secara deskriptif (Nazir, 1995).
Data yang dikumpulkan adalah data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan melalui wawancara terstruktur dengan pemuka masyarakat dan petani yang berjumlah 50 orang. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait, antara lain Badan Pusat Statistik, Dinas Pertanian, Kantor Kecamatan dan Desa). Data yang dikumpulkan meliputi karateristik petani dari segi pemilikan aset usahatani, tingkat penguasaan lahan, produktivitas dan struktur pendapatan petani.
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Kajian Desa Getas, Kecamatan Kaloran dan Desa Canggal, Kecamatan Kledung merupakan wilayah desa yang memiliki ketinggian lokasi di atas 1000 m dpl. Agroekologi lokasi kajian pada dasarnya didominasi oleh lahan kering. Lahan kering di tegalan maupun di ladang komoditas utama yang diusahakan adalah jagung dan ubi kayu untuk Desa Getas dan kentang dan kopi untuk Desa Canggal. Karakterisitik Petani Karakteristik petani responden dapat dilihat pada Tabel 1. Umur responden di dataran tinggi rata-rata 42,40 tahun dengan pengalaman dalam berusaha tani petani sekitar 22,33 tahun. Dilihat dari tingkat pendidikan informalnya petani responden masih terbatas, karena itu diperlukan upaya tertentu untuk meningkatkan kemampuan petani melalui pelatihan atau kursus untuk menambah pengetahuan sehingga dapat menjadi manusia berkualitas yang mampu untuk mengikuti dan mengadopsi teknologi yang terus berkembang. Menurut Mc Clelland (1961) dalam Wahyu (2002), kalau dalam sebuah masyarakat banyak orang yang memiliki need for achievment (a-Ach) yang tinggi diharapkan mereka akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Selanjutnya bila seseorang yang memiliki n – Ach tinggi maka ia akan menunjukkan optimisme yang tinggi pula, keberanian untuk mengubah nasib, dan tidak cepat menyerah.
503
Prosiding Seminar Nasional Tabel 1. Karakteristik petani responden Karakteristik responden Umur (th) Pengalaman aktif dalam usahatani (th) Tingkat pendidikan formal (%) 1. tidak sekolah/tidak lulus SD 2. lulus SD 3. SMP 4. SMA 5. PT Tingkat pendidikan informal (%) 1. tidak pernah 2. kursus/latihan non pertanian 3. kursus/latihan pertanian 4. kursus agribisnis (budidaya pemasaran) N
42,40 (14,60) 22,33 (13,13) 26,0 54,0 14,0 6,0 0 80,6 2,8 16,7 0 52
Ket : Angka dalam kurung menunjukkan standar deviasi
Distribusi pendapatan rumah tangga tani berdasarkan sumber pendapatan petani disajikan pada Tabel 2. Sekitar 87% petani lahan kering dataran tinggi menyatakan bahwa pertanian menjadi sumber penghidupan keluarga (Hermawan, et al., 2004). Namun demikian, dengan luas lahan dan ketersedian modal usahatani yang terbatas pada saat ini sangat sulit untuk hanya menggantungkan hidup dari sektor pertanian. Kegiatan usahatani selama ini masih terfokus pada aspek produksi (on-farm), sementara kegiatan usaha di luar produksi (off-farm) belum banyak berkembang. Padahal justru dari kegiatan off-farm seperti pengolahan hasil dan
pemasaran akan banyak memperoleh nilai tambah yang dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Berdasarkan kontribusinya dalam pendapatan, sektor pertanian di dataran tinggi mencapai 49,8%. Walaupun sumbangan kegiatan berburuh tani terhadap pendapatan relatif kecil, peranannya cukup penting dalam menyerap tenaga kerja yang tidak digunakan baik dalam kegiatan di sektor pertanian maupun non- pertanian. Penguasaan lahan yang relatif sempit sehingga tenaga keluarga yang tersedia per keluarga tani tidak semuanya terserap pada kegiatan usahatani sendiri.
Tabel 2. Kontribusi setiap kegiatan ekonomi produktif pada pendapatan petani selama setahun terakhir Uraian Pertanian Non Pertanian Transfer/kiriman Buruh pertanian Buruh non-pertanian Jumlah pendapatan
504
Rata-rata
Simpangan baku
------------- ( Rp. 000) -----------3247,0 3544,3 1763,1 3100,8 726,4 1746,2 347,6 733,5 1132,4 2409,0 7216,4
5590,4
Prosiding Seminar Nasional Penguasaan Lahan Lahan merupakan aset penting bagi petani. Sebaran luas lahan yang dikuasai petani ditampilkan pada Tabel 3. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa rata-rata penguasaan lahan di dataran tinggi adalah 4898,4 m2, terbagi atas lahan sawah seluas 1194,2 m2, tegalan 3503,6 m2 dan pekarangan 200,6 m2. Dari luas lahan garapan petani
tersebut secara rata-rata petani responden merupakan petani gurem. Hal ini mengingat dari luas total lahan yang dikuasai petani dataran tinggi kurang dari 0.5 ha, secara efektif lahan yang digarap petani rata-rata lebih kecil karena adanya perbedaan dalam pola usahatani antara lahan sawah, tegalan dan pekarangan.
Tabel 3. Sebaran penguasaan lahan petani di dataran tinggi Klasifikasi luas lahan (ha) 0,00 – 0,249 0,25 – 0,499 0,50 – 0,749 0,75 – 0,99 > 1,00 Rata-rata CV (%) Indeks Gini
Sawah 497,6 969,3 886,7 2642,9 3521,4 1194,2 162,5 0,698
Rata-rata penguasaan lahan (m2) Tegalan Pekarangan 836,6 132,4 2509,8 168,3 4628,3 205,3 5700,0 433,4 11464,3 311,5 3503,6 200,6 98,6 155,6 0,471 0,392
Gambaran struktur penguasaan lahan petani responden ditampilkan pada Tabel 4. Penguasaan lahan terdiri dari lahan milik sendiri, warisan orang tua, lahan yang diperoleh melalui transaksi sewa, sakap maupun bagi hasil. Menurut responden, status gadai tanah tidak lagi dipraktekkan sejak tahun 1970 an.
Total 1466,6 3647,3 5702,3 8776,2 15297,2 4898,4 84,0 0,395
Tidak tercapainya skala usaha yang optimal selain menyebabkan biaya tinggi juga mengakibatkan tidak tercukupnya kebutuhan rumah tangga petani hanya dari kegiatan usaha pertanian. Tabel 5 menampilkan kaitan antara luas lahan yang dikuasai dengan kontribusi setiap sumber pendapatan.
Tabel 4. Status penguasaan lahan petani dataran tinggi Status Persentase petani Persentase luas Milik, warisan orang tua 78,4 75,2 Milik hasil pembelian 19,6 11,1 Menyewa 13,7 9,1 Menyakap 9,8 4,6 Disakapkan 0,0 0,0 Jumlah persil 2,51 (2,22) Kaitan erat antara luas lahan yang dikuasai dengan jumlah pendapatan petani dari usaha pertanian ditunjukkan pada hasil kajian ini. Kegiatan pertanian masih merupakan sumber pendapatan bagi petani yaitu 31%. Menurut Hermawan, et al. (2004) di dataran tinggi, ditemukan korelasi positif antara luas lahan yang dikuasai dengan pendapatan yang diperoleh petani dari kegiatan menjadi buruh di luar usaha pertanian dan korelasi negatif dengan
pendapatan dari buruh pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa semakin luas lahan yang dikuasai semakin besar peluang petani memperoleh pendapatan dari sumber di luar usahataninya. Kecilnya pendapatan yang diperoleh dari usahatani pada petani berlahan sempit dikompensasi dengan upaya menjadi buruh tani. Pada petani berlahan sempit, kontribusi kedua jenis sumber pendapatann tersebut cukup besar, berturut - turut 22,5%
505
Prosiding Seminar Nasional dan 10,2% untuk buruh non pertanian dan
buruh pertanian.
Tabel 5. Kontribusi setiap sumber pendapatan petani di dataran tinggi, 2004. Klasifikasi Luas lahan
Pertanian
0,00- 0,249 0,25- 0,499 0,50- 0,749 0,75 – 0,99 > 1,00 Rata-rata (Rp.000) Simpangan baku Korelasi
18,5 42,4 48,9 69,7 62,4 3247,0 3544,3 0,769**
Kontribusi setiap sumber pendapatan (%) Non Kiriman/ Buruh Buruh non pertanian Transfer pertanian pertanian 39,2 9,6 10,2 22,5 23,5 12,7 5,3 16,1 20,6 10,4 4,6 15,5 23,7 6,0 0,6 0,0 14,3 7,4 0,6 15,4 1763,1 726,4 347,6 1132,4 3100,8 1746,2 733,5 2409,0 0,016 -0,030 -0,174* 0,219**
Jumlah pendapatan (Rp.000) 5919,8 6112,6 6989,8 7763,1 16235,1 7216,1 5590,4 0,558**
** sangat nyata ( α = 0,01), * ( α = 0,05) Kondisi Usaha Budidaya Di Lahan Kering Dataran Tinggi Pola tanam di lahan kering dataran tinggi umumnya jagung - ubi kayu - jagung (Tabel 6), hal tersebut mencerminkan bahwa petani cenderung mengutamakan penggunaan lahan untuk budidaya tanaman penghasil pokok yaitu jagung. Berdasarkan jenis pupuk dan
obat-obatan pertanian yang digunakan petani dalam usahatani di dataran tinggi relatif rentan terhadap dinamika harga input-input tunai (Tabel 7). Selain pupuk kandang, secara umum petani menggunakan semua jenis pupuk pabrikan, yang harus dibayar dengan uang tunai. Kondisi ini dapat berdampak negatif bilamana harga input melonjak
Tabel 6. Pola tanam setahun di lahan kering dataran tinggi. Pola tanam Sayuran – tembakau – sayuran Sayuran- tembakau- jagung Jagung – tembakau Jagung + ubi kayu- jagung Jagung + jahe Jagung- jagung Jagung + ubi kayu – cabai rawit Jagung + ubi kayu – sayuran jagung + ubikayu – kacang tanah- jagung
% petani 11,8 11,8 17,6 23,5 5,9 9,8 3,9 11,8 3,9
Keteranga: sayuran = kubis, kentang, bawang putih, bawang merah dan cabai Tabel 7 Penggunaan pupuk/obat-obatan pada lahan kering dataran tinggi Jenis pupuk Urea KCL SP – 36 NPK Pupuk cair Pupuk kandang Obat-obatan
506
% Petani 100 34,6 61,5 5,8 5,8 78,8 48,1
Prosiding Seminar Nasional KESIMPULAN DAN SARAN 1.
Tingkat pendidikan informal petani responden masih terbatas, karena itu diperlukan upaya untuk meningkatkan kemampuan petani seperti pelatihan, kursus, dan magang.
2.
Sekitar 87% petani lahan kering dataran tinggi menyatakan bahwa pertanian menjadi sumber penghidupan keluarga .
3.
Ditemukan korelasi positif antara luas lahan yang dikuasai dengan pendapatan yang diperoleh petani dari kegiatan menjadi buruh di luar usaha pertanian dan korelasi negatif dengan pendapatan dari buruh pertanian .
4.
Pola tanam di lahan kering dataran tinggi umumnya jagung – ubi kayu – jagung.
5.
Dalam usahatani jagung skala agribisnis, sub sistem input produksi perlu diperhatikan oleh instansi terkait sehingga dapat tersedia tepat pada waktunya.
6.
Untuk meningkatkan kekuatan tawar petani dalam hal harga jagung maka diupayakan penetapan harga jagung ditingkat petani melalui persatuan antar petani. Untuk itu, instansi terkait terutama para penentu kebijakan dituntut untuk memberikan dorongan, fasilitas dan peraturan yang saling mengikat.
Handoyo, J. dkk., 2003. Laporan Hasil Kajian Perbanyakan Benih Jagung. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah.Departemen Pertanian. Hermawan A., A. Choliq, F. D. Arianti, Sarjana, S. Suriatna, 2004. Laporan hasil kajian kinerja petani gurem dalam pembangunan pertanian di wilayah miskin dan upaya pengentasannya. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah. Departemen Pertanian. Khudori, 2004. Pemiskinan sistematis petani: prosentase petani gurem terus meningkat dalam Pikiran Rakyat, Kamis, 15 Januari 2004. KOMPAS, 2004. Pemerintah tak pernah berpihak pada petani. KOMPAS. Senin, 19 Januari 2004. Nasir, 1995. Indonesia.
Metode penelitian. Ghalia.
Singarimbun, M. dan S. Effendie. 1998. Metode penelitian survey. LP3ES. Jakarta. Wahyu, 2002. Aspek sosial budaya dan peranannya pembangunan pertanian di lahan marginal. Prosiding Seminar Nasional pertaniann lahan kering dan lahan rawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.
PUSTAKA Ananto, E.E., H. Subagyo, Inu G. Ismail, Uka Kusnadi, Trip Alihamsyah, Ridwan Thahir, Hermanto, dan Dewa K, S. Swastika, 1998. Prospek pengembangan sistem usaha pertanian di lahan pasang surut Sumatera Selatan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
507
Prosiding Seminar Nasional
PENGAWALAN SERTIFIKASI HALAL PRODUK TOMAT (Lycopersicum esculentum Mill) DAN OLAHANNYA (Initiation of halal certificate for processed tomato) Agus Budiyanto dan Sunarmani Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian, Bogor
ABSTRAK Persaingan industri pangan yang semakin ketat mendorong industri untuk memperhatikan tingkat kepercayaan konsumen. Saat ini produk pangan halal menjadi salah satu parameter kepercayaan konsumen terhadap status produk pangan. Produk olahan tomat berupa puree/bubur, sari buah, sirup, selai, pasta, saos, sambal dan dodol tomat diharapkan mendapatkan sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) sehingga produk yang dihasilkan dapat bersaing di pasaran. Studi ini menggunakan metode survey dan wawancara dengan pengelola produksi olahan tomat Sub Terminal Agribisnis (STA) Garut dan auditor Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LP POM) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Propinsi Jawa Barat. Titik kritis keharaman produk olahan tomat terdapat dievaluasi berdasarkan kandungan bahan-bahan tambahan yang digunakan. Bahan-bahan tambahan yang digunakan adalah gula, garam, minyak, agar-agar, cuka, asam sitrat dan natrium bensoat sudah mendapat sertifikat halal, sedangkan bahanbahan lain berupa tepung tapioka, tepung ketan, cabai dan bawang putih merupakan bahan nabati. Bahan tambahan yang digunakan pada produk olahan tomat tersebut akan mempermudah proses sertifikasi halal oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kata kunci: Sertifikat, halal, tomat
ABSTRACT Strict competition on food industry pushes many industries to pay more attention to consumer’s trust. Today, halal food is one of the indicators for consumer’s trust on food product status. In order to make the products able to compete in the market, tomato products such as puree, juice, syrup, jam, paste, sauce and dodol should have halal certificate from the Indonesian Council of Ulama (MUI). The study used a survey method by performing an interview to the producers of tomato products at STA (Agriculture of Sub Station) Garut and the auditors from The Assessment Institute for Foods, Drugs and Cosmetics (LP-POM), The Indonesian Council of Ulama (MUI) – West Java Indonesia. The critical point of halal safety in tomato processing products was determined by examination of the additive staff content. Results showed that the food additives, sugar, salt, vegetable oil, vinegar, ascorbic acid, and potassium benzoate were introduced in the tomato product, thus the product were certificated as halal foods. While another ingredients such as tapioca flour, sticky rice flour, chilli and garlic are vegetable spices which have already been considered as halal foodstuffs. Therefore, the tomato product containing these food additives is easily passed through the halal certification examination by The Indonesian Council of Ulama (MUI). Key words: Certificate, halal, tomato
PENDAHULUAN Tomat (Lycopersicum esculentum Mill) merupakan salah satu produk hortikultura yang berpotensi dan mempunyai prospek pasar yang cukup menjanjikan. Hal ini terlihat diantaranya dari kebutuhan pasar di dalam dan luar negeri. Berdasarkan BPS tahun 2003, impor tomat segar 379.781 kg, puree tomat dan pasta tomat 4.626.644 kg, ekspor tomat segar 571.469 kg, saus tomat 1.436.248 kg dan produk olahan tomat selain saus sebesar 1.750.173 kg (senilai 1.330.526 US$).
508
Produk tomat dan olahannya merupakan salah satu usaha industri pangan yang komersial. Dalam perdagangan bebas dan era globalisasi yang ketat ini kosumen merupakan salah satu penentu keberhasilan usaha tersebut, sehingga produk yang dihasilkan harus sesuai dan dapat memenuhi pemintaan konsumen. Konsumen Indonesia yang mayoritas muslim memiliki kepekaan terhadap masalah kehalalan suatu produk yang dikonsumsinya. Dengan demikian produk yang belum halal akan ditinggalkan oleh konsumen, sehingga berakibat kerugian industri pangan.
Prosiding Seminar Nasional Menurut Apriyantono (2001) makanan halal yaitu ditinjau dari segi syari’ah dan makanan yang baik (thoyyib) yaitu ditinjau dari segi kesehatan, gizi dan estetika. Sedangkan sesuai dengan kaidah usul fiqh, segala sesuatu yang Allah tidak melarangnya berarti halal. Sedangkan menurut Qardhawi (2002), halal ialah sesuatu yang mubah (diperkenankan) yang terlepas dari ikatan larangan, dan diizinkan oleh Pembuat Syari’at untuk dilakukan. Pangan halal menurut Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1999 tentang label dan iklan pangan adalah suatu produk pangan yang tidak mengandung unsur atau bahan yang haram atau dilarang untuk dikonsumsi umat Islam dan yang pengelolaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan agama Islam. Seiring dengan perkembangan teknologi pangan yang semakin meningkat, penentuan status kehalalan produk memerlukan pengkajian yang lebih mendalam dengan dukungan berbagai disiplin ilmu. Kebanyakan perusahaan pangan di negara ini masih ketergantungan dengan bahan-bahan impor dan bahan pangan impor pelu mendapat perhatian lebih dari segi status kehalalannya karena sering terjadi kasus yang bekaitan dengan masalah kehalalan tersebut. Oleh karena itu, sebagai satu-satuya lembaga yang menentukan status kehalalan produk, LPPOM MUI (Lembaga Pengkajian Pangan, Obatobatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia) perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak, konsumen dan pelaku industri pada khususnya. Dalam Al-Qur’an terdapat 27 perintah tentang makanan, dari 27 ayat tersebut 4 ayat selalu menekankan dua sifat yaitu boleh (halal) dan baik (thoyyib)”. Wahai manusia makanlah dari makanan yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kau mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan musuh yang nyata bagi kamu” (Al-Baqarah : 168). Dan ayat-ayat lainnya Al-Maidah : 88, Al-Anfal : 69 dan An-nahl :114 yang menekankan tentang dua sifat perintah tentang makan. Seiring dengan perkembangan teknologi, ilmu pangan pun mengalami kemajuan yang cukup pesat. Rekayasa proses, bahan pangan alternatif, modifikasi alat dan yang lainya menjadikan penentuan status kehalalan suatu produk menjadi lebih kompleks. Tidak cukup
hanya dengan pendekatan nash-nash yang ada saja, sehingga diperlukan sebagai disiplin ilmu lainnya. Dalam menghasilkan produk yang terjamin kehalalannya harus menetapkan Three Zero’s yaitu zero limit, zero defect, dan zero risk. Artinya bahwa tidak ada bahan haram yang terdapat dalam bahan mentah (zero limit), tidak ada sama sekali produk haram yang dihasilkan (zero defect), sehingga jika keduanya ditetapkan maka tidak ada resiko (zero risk) buruk yang akan ditanggung perusahaan Apriyantono (2004). Menurut Apriyantono et. al., (2003), penerapan titik kritis keharaman produk terdiri-dari enam komponen yaitu : 1. mengidentifikasi semua bahan yang termasuk haram dan najis 2. mengidentifikasi titik-titik kontrol kritis 3. membuat prosedur pemantauan 4. membuat tindakan koreksi 5. membuat dokumen-sistem perekaman 6. membuat prosedur verifikasi Penelitian ini bertujuan untuk mempermudah dalam proses sertifikasi halal sehingga produk tomat dan olahannya mendapat sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sertifikat adalah jaminan tertulis yang diberikan oleh lembaga atau laboratorium yang telah diakreditasi untuk menyatakan bahwa barang, jasa, proses, sistem atau pesonel telah memenuhi standar yang dipersyaratkan (BSN, 2002). Sertifikat halal adalah fatwa tertulis MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syari’at Islam (Girindra, 1997).
BAHAN DAN METODE Bahan yang digunakan pembuatan produk olahan tomat adalah tomat, gula, garam, agaragar, asam sitrat, asam askorbat, kalium sorbat, CMC, pektin, tepung tapioka, tepung ketan, bawang putih, cabai dan minyak. Metode yang dilakukan adalah survei dan wawancara dengan pengelola produksi olahan tomat Sub Terminal Agribisnis (STA) Garut dan auditor Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LP POM) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Propinsi Jawa Barat.
509
Prosiding Seminar Nasional HASIL DAN PEMBAHASAN Produk olahan tomat tambahannya adalah sbb :
dan
bahan
a. Puree tomat Puree merupakan bentuk olahan berupa hancuran sayuran atau buah dengan total padatan 10-12%. Puree dapat digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan sari buah, jam/selai, dan bahan pembuatan kue/es krim. Dalam proses pembuatan puree tomat, terlebih dahulu dibuat bubur tomat dengan
cara tomat hasil sortasi dilakukan pencucian dan blanshing (3 – 5 menit). Hasil blanshing dihancurkan sampai halus dan dilakukan penyaringan sehingga diperoleh bubur tomat. Selanjutnya bubur tomat dimasak sekitar 30 menit, kemudian ditambahkan kalium sorbat, dikemas dan dilakukan pasteurisasi. Bahan yang digunakan dalam pembuatan puree tomat berasal dari nabati dan kimia, sehingga akan mempermudah proses sertifikasi halal.
Tabel 1. Bahan-bahan yang digunakan pada pembuatan puree tomat Bahan
Komponen
Tomat
Tomat
Kalium sorbat
C6H7O2.K
Fungsi Bahan baku Pengawet
Merk/Produsen Petani
N
H
K
Keterangan
*
China/PT Brataco
*
Keterangan : N = Nabati, H = Hewani, K = Kimia
b. Sari buah tomat
c.
Sari buah dapat dibuat dari tomat segar ataupun dari puree yang telah tersedia. Dengan berbahan baku puree proses pembuatannya lebih singkat, berupa pemanasan pada saat pencampuran bahan tambahan. Proses pembuatan sari buah tomat adalah bubur tomat ditambahkan larutan CMC, dilakukan pemasakan dan pengadukan sambil ditambahkan gula, asam sitrat, kalium sorbat, asam sorbat dan pengemasan.
Jam atau selai adalah hasil olahan semi padat dari pemasakan bubur buah dengan penambahan gula dan pektin. Gula yang ditambahkan biasanya berkisar 45 - 65%, sedangkan penambahan pektin sebesar 0,51%. Rasa selai yang diinginkan oleh konsumen biasanya khas rasa asam, sehingga perlu ditambahkan asam sitrat sebagai penguat rasa 0,1 %.
Bahan-bahan yang digunakan secara umum berasal dari bahan kimia sehingga mempermudah proses sertifikasi halal produk ini. Namun pada poduk gula diperlukan sertifikat halal karena pada proses pembuatannya memerlukan penyaringan. Penyaringan gula biasanya menggunakan bahan arang aktif yang dapat berasal dari hewani (tulang : babi atau sapi) dan nabati (tempurung kelapa).
510
Selai tomat
Proses pembuatan selai tomat adalah bubur tomat dimasak sampai mendidih sambil dilakukan pengadukan dengan penambahan pektin dan gula. Adonan akan mengental berupa selai tomat, kemudian dkemas dan pasteurisasi. Bahan-bahan yang digunakan secara umum berasal dari bahan kimia dan nabati sehingga mempermudah proses sertifikasi halal produk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Prosiding Seminar Nasional Tabel 2. Bahan-bahan yang digunakan pada pembuatan sari buah tomat Bahan Tomat
Komponen Tomat
CMC
Carboximethil Cellulose Sukrosa
Gula
Kalium sorbat Asam sitrat Asam Askorbat
Fungsi Bahan baku Pengental
Merk/Produsen Petani Blanose/France
*
Pemanis
PT Angel Product
*
C6H7O2.K
Pengawet
China/PT Brataco
*
C6H8O7
Rasa asam
Cap Gajah/ PT Panca Kusuma
*
C6H8O2
N *
H
K
Hebei Welcome Pharmaceutical Co. Ltd/ China Keterangan : N = Nabati, H = Hewani, K = Kimia
Keterangan
Halal MUI Pusat 00120026800304 Exp 080308 Dibawah batas SNI Halal MUI Pusat 00170006100897 Exp 10-05-08
Pengawet
*
Tabel 3. Bahan-bahan yang digunakan pada pembuatan selai tomat Bahan Tomat Gula
Komponen Tomat Sukrosa
Fungsi Bahan baku Pemanis
Merk/Produsen Petani
Asam sitrat
C6H8O7
Rasa asam
Cap Gajah/ PT Panca Kusuma
Pektin
Asam poligalakturonat
Pengental
N *
H
K
Keterangan
* *
Halal MUI Pusat 00170006100897 Exp 10-05-08
China *
Keterangan : N = Nabati, H = Hewani, K = Kimia
d. Sirup tomat Sirup adalah salah satu jenis olahan buah segar yang banyak disukai. Dibuat dari sari buah atau puree dengan konsentrasi gula yang tinggi. Dengan demikian sirup dapat di simpan lama, karena gula selain sebagai pemanis juga sebagai pengawet. Proses pembuatan sirup tomat adalah bubur tomat dicampur dengan gula, kemudian dipanaskan sampai mendidih. Setelah mendidih ditambahkan larutan agar-agar, asam sitrat, pewarna makanan selama 5 – 10 menit sehingga diperoleh sirup, kemudian dikemas dan pasteurisasi. Bahan-bahan yang digunakan pada pembuatan sirup tomat adalah tomat (nabati), sedangkan pewarna ponceau 4R Cl 16255 dan
kalium sorbat berasal dari bahan kimia yang diperbolehkan sebagai syarat produk halal. Bahan berupa gula, agar-agar dan asam sitrat sudah mendapatkan halal MUI Pusat. Dengan demikian produk sirup tomat dengan kandungan bahan tersebut memenuhi syarat sebagai produk yang halal. e.
Pasta tomat
Hampir sama dengan puree, pasta adalah hasil olahan buah dalam bentuk bubur. Yang membedakan adalah nilai kepadatannya. Total padatan pada pasta tomat dapat mencapai 40%. Nilai kepadatan pasta tomat dapat dibagi dalam tiga bagian berikut ini: 1) Light tomato paste (8,4 -10,7%) 2) Medium tomato paste (10,7 – 12%) 3) Heavy tomato paste (25 – 40%)
511
Prosiding Seminar Nasional Tabel 4. Bahan-bahan yang digunakan pada pembuatan sirup tomat Bahan Tomat
Komponen Tomat
Agar-agar
Rumput laut
Fungsi Bahan baku Bahan tambahan
Sukrosa
Pemanis
Gula
Pewarna merah cabe
Ponceau 4R CI 16255
Pewarna
Asam sitrat
C6H8O7
Rasa asam
Kalium sorbat
C6H7O2.K
Pengawet
Merk/Produsen Petani
N *
H
Swallow Globe/ PT Dunia Bintang Walet PT Angel Product KoepoeKoepoe/PT Guna Cipta Multirasa Jakarta Cap Gajah/ PT Panca Kusuma
K
Keterangan
*
Halal MUI Pusat 2196092002 Exp 051108
*
Halal MUI Pusat 00120026800304 Exp 080308
*
Halal MUI Pusat 00170006100897 Exp 10-05-08 Dibawah batas SNI
*
China/PT Brataco
*
Keterangan : N = Nabati, H = Hewani, K = Kimia
Pasta tomat merupakan bahan baku dalam pembuatan saus tomat dan bahan tambahan dalam proses pengalengan daging, ikan, sayuran dan lain sebagainya. Sampai saat ini yang berlaku di industri pangan adalah keharusan warna merah cerah pada pasta tomat yang akan dibuat menjadi saus. Pasta yang berwarna merah tua/coklat biasanya dimanfaatkan untuk produk pengalengan daging.
Proses pembuatan pasta tomat adalah bubur tomat dipanaskan sampai mendidih. Pemanasan dilakukan terus menerus sampai mencapai kekentalan yang diinginkan. Selanjutnya ditambahkan pengawet berupa kalium sorbat. Pasta tomat yang diperoleh dikemas dan dilakukan pasteurisasi.
Tabel 5. Bahan-bahan yang digunakan pada pembuatan pasta tomat Bahan Tomat Kalium sorbat
Komponen Tomat C6H7O2.K
Fungsi Bahan baku Pengawet
Merk/Produsen Petani China/PT Brataco
N * *
H
K
Keterangan Dibawah SNI
batas
Keterangan : N = Nabati, H = Hewani, K = Kimia
Bahan tambahan yang digunakan berupa kalium sorbat yang berasal dari kimia sehingga telah memenuhi syarat produk halal dan mempermudah sertifikasi halal. f.
Saus tomat
Saus tomat dikenal sebagai penambah cita rasa dalam makanan, seperti mie baso, kentang goreng, roti, ayam goreng, pizza dan lain-lain. Selain itu juga digunakan sebagai bumbu masakan. Saus tomat dapat dibuat dari bahan tomat segar ataupun dari pasta tomat.
512
Dalam pembuatan saus dapat ditambahkan bahan pengisi seperti puree dari pepaya, ubi, wortel, labu kuning, tepung maizena atau bahan-bahan lain yang mengandung pektin sebagai pengental. Supaya mendekati warna asli tomat, ditambahkan pewarna makanan. Proses pembuatan saus tomat adalah pencampuran bubur tomat dengan larutan tepung tapioka kemudian dimasak dan diaduk. Setelah mendidih ditambahkan larutan bawang putih, gula, cuka dan minyak
Prosiding Seminar Nasional serta pengawet. Saos yang diperoleh dikemas dan pasteurisasi. Bahan-bahan tambahan yang digunakan pada pembuatan saos tomat berupa garam, cuka dan minyak sudah mendapat sertifikat halal, sedangkan bahan lain tepung tapioka dan bawang putih berasal dari bahan nabati. Oleh karena itu produk saos tomat dengan komposisi bahan tersebut memenuhi syarat sebagai produk yang halal. g. Sambal tomat Sama halnya dengan saus tomat, sambal tomat dapat dibuat dari tomat segar ataupun dari bentuk pastanya. Bila tersedia pastanya,
pembuatan sambal tomat dapat lebih menghemat waktu. Dalam pembuatan sambal diperlukan puree cabai merah, yang proses pembuatannya hampir sama dengan puree tomat. Bedanya, dalam penghancuran cabai merah (blender) diperlukan sejumlah air. Proses pembuatan sambal tomat adalah pencampuran bubur tomat dengan puree cabai dan larutan tapioka, kemudian dimasak dan diaduk sambil diberikan bumbu, gula, cuka garam dan minyak. Setelah campuran mendidih ditambahkan pengawet sehingga diperoleh sambal tomat.
Tabel 6. Bahan-bahan yang digunakan pada pembuatan saos tomat Bahan Tomat Garam
Komponen Tomat NaCl
Fungsi Bahan baku Bahan Baku
Bawang Putih Cuka
Bawang Putih CH3COOH
Bumbu
Minyak goreng
Kalium sorbat Tepung Tapioka
Merk/Produsen Petani PT Susanti Megah – Surabaya Pasar
N *
H
K
Keterangan
* Halal MUI 1526052001 EXP. 180707
Pusat
*
Rasa asam
Cap Gajah/ PT Panca Kusuma
Kelapa sawit, kacang kedelai, BHA, Vit E, b-karoten C6H7O2.K
Bahan tambahan
Tropical
*
Pengawet
*
Pati Singkong
Bahan dasar
China/PT Brataco Tjapung/ Manonjaya
Halal MUI Pusat * 00170006100897 Exp 10-05-08 Halal MUI Pusat 0007461297 Exp. 080206
Dibawah batas SNI
*
Keterangan : N = Nabati, H = Hewani, K = Kimia
513
Prosiding Seminar Nasional Tabel 7. Bahan-bahan yang digunakan pada pembuatan sambal tomat Bahan
Komponen
Fungsi
Merk/Produsen
N
Petani Petani PT Susanti Megah – Surabaya Pasar
* *
Tomat Cabe Garam
Tomat Cabe NaCl
Bahan baku Bahan dasar Bahan Baku
Bawang putih Cuka
Bawang putih CH3COOH
Bumbu
Natrium Bensoat
C7H6O2.Na
Rasa asam
Pengawet
H
Keterangan
*
Halal MUI Pusat 1526052001 EXP. 180707
*
Cap Gajah/ PT Panca Kusuma Wu Han Youji Industries Co. Ltd
K
Halal MUI Pusat 00170006100897 Exp 10-05-08 Halal China 07-082006
* *
Keterangan : N = Nabati, H = Hewani, K = Kimia
Bahan-bahan tambahan berupa garam, cuka dan pengawet telah mendapatkan sertifikat halal, sedangkan bahan lain berupa tomat, cabe dan bawang putih merupakan bahan nabati. Dengan demikian produk sambal tomat dengan komposisi bahan tersebut memenuhi syarat sebagai produk yang halal.
h. Dodol tomat Sama seperti manisan tomat, dodol tomat juga termasuk produk semi basah. Dodol tomat mempunyai rasa asam manis yang segar sehingga cukup disukai konsumen. Proses pembuatan selai tomat adalah bubur tomat yang dimasak ditambahkan larutan tepung ketan dan gula serta asam sitrat sambil diaduk sampai lengket sehingga diperoleh dodol.
Tabel 8. Bahan-bahan yang digunakan pada pembuatan dodol tomat Bahan Tomat Gula
Komponen Tomat Sukrosa
Fungsi Bahan baku Pemanis
Merk/Produsen Petani PT Angel Product
N *
H
K
* Asam sitrat Tepung ketan
C6H8O7
Rasa asam
Bahan dasar
Cap Gajah/ PT Panca Kusuma Petani
*
Keterangan Halal MUI Pusat 00120026800304 Exp 080308 Halal MUI Pusat 00170006100897 Exp 10-05-08
*
Keterangan : N = Nabati, H = Hewani, K = Kimia Bahan-bahan tambahan pada pembuatan dodol tomat berupa gula dan asam sitrat telah mendapatka sertifikat halal MUI Pusat, sedangkan bahan baku tomat dan bahan dasar tepung ketan merupakan produk nabati sehingga produk dodol sambal dengan
514
komposisi tersebut telah memenuhi syarat sebagai produk yang halal.
KESIMPULAN Produk olahan tomat berupa puree/bubur, sari buah, sirup, selai, pasta, saos, sambal dan dodol tomat. Titik kritis keharaman produk
Prosiding Seminar Nasional olahan tomat terdapat pada bahan-bahan tambahan yang digunakan. Bahan-bahan tambahan yang digunakan adalah gula, garam, agar-agar, minyak, asam sitrat, asam sorbat, kalium sorbat, tepung tapioka, tepung ketan, cuka, cabai, natrium bensoat dan bawang putih. Bahan-bahan tersebut secara umum berasal dari nabati dan kimia. Bahan tambahan yang digunakan telah mendapat sertifikat halal sehingga produk olahan tomat yang dihasilkan akan mempermudah dalam proses sertifikasi halal.
PUSTAKA Anonymous. Jakarta.
2003. Biro Pusat Statistik.
Apriyantono A. 2001. Pengaruh perkembangan teknologi pangan dalam menentukan status kehalalan produk pangan. Makalah Seminar Good Manufacturing Practices yang sesuai dengan Good Halal Pratices, Jakarta : 26 Juli 2001. Apriyantono A., Hermanianto J, Nurwahid. 2003. Pedoman produksi halal. Departemen Agama Republik Indonesia.
Badan Standarisasi Nasional. 2002. Pedoman 1004 – 2002. Panduan penyusunan rencana sistem analisa bahaya dan pengendalian titik kritis (HACCP). Jakarta : Badan Standarisasi Nasional. Budidaya Tomat. 2002. Direktorat Jendral Bina Produksi Hortikultura. Direktorat Tanaman Sayuran, Hias dan Aneka Tanaman. Girindra A. 1997. Masa lalu kini dan akan datang. Sewindu LP POM MUI Bogor : Lembaga Pengkajian Pangan, Obatobatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia. Petunjuk Teknis Penanganan Pascapanen Sayuran dan Buah (Jamur merang dan Markisa). 1999. Direktorat Bina Usaha tani dan Pengolahan Hasil. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura. Departemen Pertanian, Jakarta. Qardhawi Yusuf. 2002. Halal dan haram. Robbani Press. Jakarta. Suprapti, L. 2000. Membuat saus tomat. Trubus Agrisarana, Surabaya.
Apriyantono A. 2004. Teknologi dan manajemen pangan halal. Fakultas Teknologi Pertanian- IPB. Bogor.
515
Prosiding Seminar Nasional
STRATEGI BERTAHAN HIDUP, KEBERDAYAAN DAN TINGKAT PARTISIPASI PETANI LAHAN MARJINAL DALAM “PROGRAM PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI MELALUI INOVASI” DI KABUPATEN BLORA Sumanto Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor
ABSTRAK Rumah tangga petani lahan marjinal umumnya serba kekurangan, untuk dapat mempertahankan hidupnya tidaklah mencukupi dari hasil yang diperoleh dari lahan pertaniannya, jalan keluarnya, mencari tambahan dari usaha non pertanian pada waktu off season dengan cara masing-masing. Dalam rangka melihat bagaimana cara mempertahankan, keberdayaan dan partisipasi petani dalam program P4MI telah dilakukan studi terhadap petani di Blora, menggunakan penelitian rapid appraisal. Dalam analisisnya, sumber data banyak diperoleh dari informasi kuantitaif melalui survai. Unit penelitian ini adalah rumah tangga petani dua desa terpilih yang telah melakukan pembangunan “investasi desa P4MI”, yaitu: desa Puledagel, Kecamatan Jepon dan desa Kajengan, Kecamatan Todanan. Biasanya bila untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari tidak mencukupi dan modal usaha sudah tidak ada, petani akan melakukan alternatif penyelesaian secara individu, meminjam uang kepada saudara/teman (24,7%), anak/menantu (5,9%) dan orangtua/mertua (3,5%). Pilihan lain untuk modal pengadaan sarana produksi dengan mencari pinjaman ke toko, tengkulak atau menjual ternak. Sebagai konsekuensinya sarana produksi akan dikembalikan setelah produksi meskipun harga tersebut lebih mahal. Seringkali pilihan mencari hutangan/pinjaman tidak mendapatkan hasil, pilihan lain menjadi buruh upah sementara untuk mendapatkan modal usaha. Strategi petani di dua desa lainnya, yang dilakukan untuk tetap bertahan hidup adalah sebagai buruh tani, baik di desanya sendiri, di desa lain dalam kecamatan yang sama atau yang berbeda juga ke luar Kabupaten Blora. Keberdayaan dan kemandirian suatu masyarakat merupakan indikator bahwa suatu masyarakat secara mandiri mampu melakukan pengelolaan pengembangan masyarakat sebagai kelanjutan dari bantuan yang diberikan dari luar. Menurut dua desa yang diteliti, tingkat keberdayaan petani pada posisi masih rendah, sedangkan tingkat pastisipasi masyarakat tani membantu program secara umum memperlihatkan sudah cukup. Kata kunci: Ketahanan hidup, pemberdayaan, petani, lahan marjinal
PENDAHULUAN Pembangunan pertanian di lahan marjinal pada umumnya masih tertinggal dan kurang mendapat prioritas oleh pemerintah dimasa lalu. Namun saat ini pertanian lahan persawahan tampak cenderung sudah jenuh dengan ditandainya produktivitas lahan yang semakin menurun dan pemerintah mulai banyak melirik pada lahan non sawah, yaitu salah satunya pada lahan kering dan marjinal. Namun untuk pemberdayaan potensi lahan marjinal beserta seluruh isinya tidaklah mudah penanganannya, karena terbentur banyak kendala yang menghadang, diantara yang menonjol adalah kondisi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, permodalan, teknologi, sarana & prasarana yang kualitas dan jumlahnya kurang memadai dan informasi peluang pasar yang minim didalam tataran pedesaan.
516
Disamping itu ciri utama di lahan marjinal adalah sebagian besar usaha pertanian dilakukan secara tradisional dan bersifat subsisten yang artinya adalah suatu sistem bertani dengan tujuan utama dari rumah tangga petani masih untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarganya. Dalam kondisi yang demikian, keberadaan komunitas petani inilah yang biasanya menjadi kantongkantong wilayah kemiskinan. Dalam kemiskinan biasanya terkait dengan dimensi kerentanan, kelemahan fisik, tingkat isolasi dan ketidakberdayaan. Kondisi ini dapat diperparah oleh letak lahan marjinal yang posisinya berada pada wilayah “remote area” dimana letaknya sulit dijangkau oleh program-program tujuan pemberdayaan karena keterbatasan dalam akses transpotasi. Rumah tangga petani lahan marjinal umumnya serba kekurangan dan untuk dapat mempertahankan hidupnya tidaklah
Prosiding Seminar Nasional mencukupi dari hasil yang diperoleh dari lahan pertaniannya dan jalan keluarnya adalah petani mencari tambahan dari usaha non pertanian pada waktu off season dengan cara masing-masing. Dari beberapa pengalaman keproyekan terdahulu pada umumnya partisipasi petani dalam keikutsertaan program-program pemberdayaannya masih belum optimal karena petani masih diposisikan sebagai obyek bukan sebagai subyek. Kondisi ini akan sama atau mungkin akan lebih parah lagi pada petani lahan marjinal. Dalam rangka pemberdayaan petani lahan marjinal guna meningkatkan pendapatannya, Badan Litbang melalui Program Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi (P4MI), sedang membangun kelompok petani yang tergabung dalam wadah Komite Investasi Desa (KID) dengan prinsip dasar partisipasi mulai baik dari tahap perencanaan proposal yang diusulkan, pelaksanaannya, pasca pelaksanaan hingga monitoringnya di lima kabupaten terpilih. Salah satu lokasi kegiatan ini adalah di Kabupaten Blora. Dalam rangka melihat sosial budaya petani di Kabupaten Blora, telah dilakukan studi khusus oleh Tim Lab Sosio Fisip UI. Hasil penelitian tentang cara bertahan hidup, keberdayaan dan tingkat partisipasi petani lahan marjinal di Blora ini adalah merupakan bagian dari studi tersebut.
BAHAN DAN METODE Studi ini secara umum menggunakan penelitian rapid appraisal dengan prinsip triangulasi terhadap petani di Kabupaten Blora. Namun dalam analisisnya, sumber data banyak diperoleh dari informasi kuantitaif melalui survai. Unit penelitian ini adalah rumah tangga petani pada 2 desa terpilih yang telah melakukan pembangunan “investasi desa P4MI”, yaitu: Desa Puledagel, Kecamatan Jepon dan Desa Kajengan, Kecamatan Todanan. Setiap desa dipilih sebanyak 30 responden. Data kuantitatif diperoleh melalui wawancara dengan daftar pertanyaan terstruktur. Jenis data yang dikumpulkan meliputi: karakteristik responden, profil usaha, strategi bertahan hidup, keberdayaan petani dan tingkat partisipasi petani. Hasil pendataan tersebut kemudian diolah dan disajikan dalam bentuk tabel atau grafik sebagai alat analisisnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karaktristik Desa Terpilih Aksesbilitas Desa Puledagel, Kecamatan Jepon dan Desa Kanjengan, Kecamatan Todanan adalah desa penerima bantuan Program P4MI tahun 2003. Jarak Desa Puledagel dari Kabupaten menuju desa tersebut cukup dekat dan dapat ditempuh dengan kendaraan umum atau motor kurang lebih 4-5 km. Sedangkan Desa Kajengan, Kecamatan Todanan yang juga desa penerima Program P4MI mempunyai akses terjauh dengan kabupaten sekitar 40 km. Jarak dari masing-masing kota kecamatan menuju ke desa kurang lebih 3 km. Sebagian besar fasilitas dan kondisi jalan dari kabupaten menuju ke kecamatan dan ke dua desa sudah cukup baik dengan jalan beraspal. Namun ada sebagian kondisi fisik jalan mengalami kerusakan karena struktur tanah jalan bergelombang dan kurang padat. Mengingat terbatasnya angkutan umum yang menuju ke dua desa dari kabupaten, untuk mencapai desa-desa tersebut, umumnya sebagian masyarakat menggunakan kendaraan motor atau ojek dengan biaya sebesar Rp 10.000 sampai dengan Rp 15.000 Sebaliknya sebagian besar masyarakat di kedua desa juga banyak menggunakan kendaraan motor dan sepeda untuk menuju kecamatan dan kabupaten atau menggunakan ojek. Jalan dari kecamatan menuju kedua desa, sebagian besar dikelilingi dengan lahan pertanian yang diselingi dengan pemukiman penduduk. Disamping itu sarana dan prasarana pemerintah juga menempati tata ruang tersendiri yang berdekatan dengan pemukiman masyarakat. Kondisi geografi di dua desa tidak jauh berbeda, artinya kedua desa memiliki daerah dataran rendah dan dataran tinggi yang dihubungkan dengan jalan desa. Desa Puledagel agak masuk kedalam dari jalan kabupaten, kemudian dapat menembus ke desa Tempuredjo melalui jalan yang lebih kecil dan rusak. Desa Kanjengan terletak diujung jalan kabupaten lereng sebuah bukit dan merupakan kantung (enclave). Keterjangkauan desa-desa pada jalan kabupaten cenderung mempermudah masyarakat desa untuk melakukan kegiatan
517
Prosiding Seminar Nasional pemasaran, mencari informasi dan segala kegiatan yang mendukung pertanian. Aksesibilitas masyarakat desa pada sumberdaya ekonomi dapat mempengaruhi keberdayaannya. Gambar berikut ini akan memperlihatkan keterkaitan antara aksesibilitas dengan tingkat keberdayaan. Aksesibilitas masyarakat desa pada
sumberdaya ekonomi dapat mempengaruhi keberdayaannya. Gambar 1 memperlihatkan keterkaitan antara aksesibilitas dengan tingkat keberdayaan. Desa yang memiliki aksesibilitas tinggi, tinggi juga tingkat keberdayaannya, yang rendah tingkat aksesibilitasnya rendah juga tingkat keberdayaannya.
Kanjengan Tempuredjo Jalan Kabupaten
Puledagel
Blora
Sumber : Pusat Kajian Sosiologi FISIP UI (2006)
Gambar 1. Keterkaitan antara aksesibilitas dengan tingkat keberdayaan Keterjaungkauan dalam memenuhi kebutuhan sarana fisik usaha tani pada Desa Kanjengan tidak mudah mengingat lokasi yang relatif jauh dibandingkan dengan desa Puledagel, sedangkan desa yang memiliki kemudahan dalam memenuhi sarana fisik usaha tani adalah desa Puledagel. Faktor lain yang turut menentukan adalah jaringan kelembagaan pemasaran yang rendah di desa. Kecenderungan ini semakin meningkat karena setelah panen, nampak kebiasaan petani untuk menjual langsung hasil produksi ke pihak tengkulak. Fenomena ini didasarkan karena para petani tidak memiliki lagi uang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sebagian besar petani sangat bergantung pada tengkulak mengingat model transaksi penjualannya dilakukan dengan cara menjemput bola. Pola ini dianggap para petani lebih ideal dibandingkan harus dibawa ke pasar atau tempat transaksi lainnya karena membutuhkan biaya (ongkos) tambahan. Akses untuk memperoleh kemudahan penampungan hasil usaha tani hasil penelitian menunjukkan bahwa desa Puledagel lebih memiliki
518
kemudahan Kanjengan.
lebih
baik
ketimbang
desa
Tingkat aksesibilitas masyarakat petani juga dapat diketahui dari upayanya mencari informasi tentang berbagai program pertanian. Masyarakat tani di desa Kanjengan sangat rendah usahanya untuk berakses pada program pengembangan usaha tani sedang mereka yang berupaya mencari program bantuan usaha tani lebih banyak di desa Puledagel. Ini merupakan salah satu refleksi bahwa masyarakat di kedua desa terakhir sedikit lebih mandiri dalam upaya pengembangan kegiatan-kegiatan pertanian. Tidak aktifnya / rendahnya petani mencari informasi yang berkaitan dengan pertanian di lembaga BPTPDinas Pertanian (63,3%), LSM (93,3%) dan kelompok tani (70%). Di lain pihak sebagian besar petani cenderung mencari informasi antar sesama petani (70%). Sehinga tidak mengherankan bahwa rendahnya upaya petani dalam mencari informasi yang berakibat tidak bertambahnya ketrampilan usaha tani (56,6%) selebihnya menganggap cukup bertambah (33,3 %) dan tidak bertambah sama sekali (6,7%).
Prosiding Seminar Nasional Luas dan Penduduk Desa Desa Puledagel memiliki luas wilayah desa sebesar 210,8 ha yang sebagian besar peruntukannya digunakan untuk sawah tadah hujan (65,080 ha), sawah irigasi teknis (55,880 ha) dan sawah irigasi setengah teknis (48,055 ha). Sedangkan sisanya untuk perumahan dan pekarangan. Sebagian besar lahan digunakan untuk komoditas jagung dan lainnya dimanfaatkan pula komoditi padi. Untuk desa Kajengan memiliki luas 247,07 ha yang sebagian besar peruntukannya digunakan untuk sawah tadah hujan (215 ha), sawah irigasi setengah teknis (15 ha) dan tegalan (13,2 ha). Sebagian besar lahan digunakan untuk komoditas padi dan lainnya dimanfaatkan pula komoditi jagung. Dari segi mata pencaharian, 70% penduduk bekerja sebagai petani dan sisanya bekerja di berbagai bidang (Potensi Desa, 2004). Hal ini menunjukan bahwa sebagian besar masyarakat desa mengandalkan mata pencaharian mereka di sektor pertanian. Sebagian besar tingkatan penduduk adalah tamatan SD (63% di desa Puledagel dan 35% di desa Kajengan) dan hanya sebagian kecil dapat menamatkan pendidikan SMP dan SMA (Potensi Desa, 2004) . Gambaran ini juga menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk desa belum menempatkan pendidikan formal menjadi satu hal yang penting. Meskipun secara umum, tingkat pendidikan warga di dua desa terpilih dapat dikatakan rendah namun semangat dan motivasi warga dalam bekerja cukup tinggi. Masyarakat menganggap bahwa bekerja itu harus dilakukan dengan ikhlas dan sebagai perwujudan ibadah. Segala rintangan dan cobaan dalam hidup ini harus dihadapi dengan pasrah dan nrimo. Kekuatan ini nampaknya menjadi satu pemicu masyarakat desa dalam menghadapi berbagai cobaan berat sekalipun. Sebagian besar masyarakat juga menganggap bahwa perbedaan tingkat pendidikan ini tidak merupakan masalah di desa terpilih. Masyarakat menganggap bahwa hubungan antara warga merupakan peran yang harus dijaga keselarasannya karena hal tersebut merupakan cerminan keimaman seseorang di mata masyarakat.
Umumnya, orang yang berada dalam status sosial pendidikan tinggi, sosial dan ekonomi tinggi tersebut memiliki lahan lebih dari cukup karena mereka adalah orang-orang yang mempunyai jabatan atau kedudukan di pemerintahan desa. Fasilitas yang diberikan pemerintah kepada orang-orang yang menduduki jabatan di pemerintahan desa adalah diperbolehkan untuk menggarap tanah bengkok dengan luas yang telah ditentukan. Tokoh ini dianggap sebagai panutan karena usia yang telah matang, berpendidikan dan dapat mengayomi masyarakat. Penguasaan Lahan dan Jenis Komoditi Sebagian besar petani di Desa Puledagel dan Kajengan menganggap bahwa nilai tanah di masyarakat mempunyai nilai tinggi. Mereka beranggapan bahwa tanah tidak saja mempunyai nilai sosial dan juga nilai ekonomi. Secara sosial, tanah mempunyai makna sebagai tempat tinggal dan tempat berkumpulnya sanak saudara. Sebagian besar petani juga mengatakan bahwa hanya sedikit sekali warga di desa menyewa lahan atau pun melakukan pengolahan lahan dengan sistim bagi hasil. Sebagian besar warga menganggap bahwa meskipun rata-rata kepemilikan lahan mereka terbatas namun lahan tersebut tetap digarap. Bila dilihat kepemilikan lahan berdasarkan potret dua desa dapat digambarkan bahwa sebagian besar penduduk di Desa Kajengan dan Desa Puledagel memiliki lahan pertanian yang bervariasi seperti digambarkan Grafik 1. Luas penguasaan lahan di dua desa umumnya (60 – 63,3%) hanya kurang dari 0,5 ha/kk. Nilai tanah bagi sebagian besar masyarakat menentukan tingkatan status ekonomi warga di desa. Meskipun dalam masyarakat terdapat kepemilikan luas lahan yang bervariasi namun sebagian besar warga sependapat bahwa perbedaaan luas lahan sangat menentukan status ekonomi seseorang di masyarakat. Biasanya, seseorang yang memiliki tanah/lahan yang luas merupakan orang yang mempunyai kedudukan di desa, seperti kepala desa, aparat desa, toma/toga dan pengusaha. Namun, kepemilikan seseorang terhadap lahan yang luas ini tidak menjadi sumber masalah di masyarakat dua desa terpilih.
519
Jumlah Penduduk Berdasarkan Luas Lahan Pertanian
Ds. Puledagel
Ds. Kajengan
Prosiding Seminar Nasional
< 0,5 Ha
63.3
60
> 0,5 Ha
30
30
Tidak ada Lahan
6.7
10
100
100
Total Sumber : Pusat Kajian Sosiologi FISIP UI (2006)
Grafik 1. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jumlah Lahan Sebagian masyarakat di Desa Puledagel, Kecamatan. Jepon memilih pola tanam padi basah dan jagung sebagai pilihan komoditi dan hanya sebagian kecil yang menjalankan pola tanam cabe merah serta bawang merah. Hal yang sama juga terjadi di Desa Kajengan, Kecamatan. Todanan dimana sebagian besar masyarakat memilih padi basah dan jagung sebagai komoditi pola tanam mereka. Pemanfaatan lahan di dua desa terpilih menunjukkan bahwa sebagian besar lahan diperuntukkan usaha tani padi dan jagung yang mengandalkan tadah hujan dan irigasi. Kebutuhan masyarakat terhadap air menjadi sumber utama berjalannya pola pertanian ini. Kendala kelangkaan air yang disebabkan musim kemarau panjang dan terbatasnya sumber mata air menjadi masalah utama di Desa Puledagel dan Kajengan. Pola usaha ini berkorelasi erat dengan luas lahan sehingga sebagian besar penduduk mengandalkan pada sistim pertanian ini. Komoditi padi merupakan jenis yang banyak ditanam dimasyarakat karena jenis ini biasanya dikonsumsi sendiri (92,.8%). Komoditi jagung merupakan pilihan komoditi lainnya yang juga banyak ditanam karena selain dikonsumsi juga dapat dijual (73,5%). Jenis komoditi lainnya yang juga
520
dikembangkan oleh petani adalah cabe dan kacang namun jumlahnya relatif kecil. Sebagian besar petani sudah banyak melakukan terobosan dalam menggunakan teknologi usaha tanam. Misalnya menggunakan bibit dan pupuk unggulan. Bahkan, para petani berani mengeluarkan sedikit biaya tambahan untuk mendapatkan sarana produksi yang lebih baik. Informasi mengenai berbagai sarana produksi yang unggul diperoleh dari petugas penyuluh lapangan melalui organisasi kelompok tani dan kepala desa. Pilihan komoditi ini juga mengacu pada persediaan sarana produksi, bibit dan pupuk, dalam rangka proses pola tanam yang akan dilakukan oleh para petani. Sebagian besar petani sependapat bahwa bibit dan pupuk seringkali membawa masalah yang cukup serius dalam pola tanam mereka. Masalah yang sering dihadapi adalah sarana produksi mengalami fluktuasi harga dan kadang sulit diperoleh/langka. Tingginya harga sarana produksi dan distribusi yang tidak merata menyebabkan kebutuhan petani terhadap sarana produksi di atas tidak terpenuhi dan mengganggu proses pola tanam. Kondisi ini sangat menentukan hasil produksi petani dikemudian hari. Ada kalanya para petani
Prosiding Seminar Nasional menyimpan sendiri bibit untuk pola tanam tertentu seperti cabai merah. Sedangkan bibit untuk jagung dan bawang merah harus dibeli di toko karena penggunaan komoditi ini dari hasil panen akan mengakibatkan kualitas produksi tidak bagus. Teknologi Pada prinsipnya informasi teknologi sangat menentukan tingkat pengetahuan petani. Informasi teknologi yang mengacu pada sumber informasi usaha tani yang produktif, bervariasi dan efisien sangat membantu petani untuk memperoleh hasil produksi yang maksimum. Gambaran sumber informasi teknologi ini di dua desa terpilih mencerminkan pola yang hampir sama, yakni sebagian besar petani memperoleh informasi teknologi yang berasal dari sumber yang beragam seperti orang tua, sesama petani, petugas PPL, kelompok tani dan kepala desa. Umumnya, informasi teknologi berisi tentang ragam sarana komoditi yang ada, jenis-jenis pupuk dan alat produksi pertanian. Disamping informasi yang berkaitan dengan teknologi, informasi lainnya berkaitan dengan jaringan pemasaran hasil produksi. I nformasi jaringan pemasaran ini merupakan akhir dari kegiatan usaha tani untuk memperoleh keuntungan yang tinggi. Bagi masyarakat desa, kegiatan pemasaran pasca panen tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga namun juga merupakan kebutuhan untuk sistem sosial atau kemasyarakatan. Orientasi teknologi tidak saja mengacu pada penggunaan sarana produksi namun juga termasuk menggunakan alat produksi seperti traktor, huler dan lain sebagainya. Hasil wawancara mendalam dan diskusi kelompok terarah menggambarkan bahwa pemanfaatan lahan lahan marjinal lebih banyak menggunakan teknologi tradisional (turun temurun), seperti bajak dan cangkul. Masyarakat desa menganggap bahwa teknologi tradisional ini sudah merupakan turun temurun dari kakek, anak dan cucu. Di sisi lain, penggunaan teknologi tradisional ini didasarkan pada pertimbangan efisiensi modal petani. Sebagian besar masyarakat menganggap bahwa penggunaan teknologi ini mempunyai makna sosial. Artinya, teknologi ini masih menempatkan unsur melalui buruh upahan. Meskipun penggunaan buruh tidak saja mengandung nilai komersil namun lebih
banyak mengacu pada pola hubungan kerjasama (mitra) bagi warga desa yang tidak memiliki lahan pertanian. Prinsip kerjasama ini lebih banyak dilandaskan pada persaudaraan dan tercermin dalam berbagai tahap usaha tanam seperti masa perawatan, panen. Di luar dari kegiatan usaha tanam tersebut, prinsip kerja sama antar warga dituangkan dalam kegiatan gotong royong seperti pesta hajatan, pembangunan mesjid, rumah yang terbakar, kematian dan lain sebagainya. Meskipun sebagian besar masyarakat telah mengetahui tentang inovasi alat produksi modern namun hanya sebagian kecil saja yang mau menerapkan teknologi tersebut. Hal ini disebabkan alat produksi modern (traktor) jumlahnya terbatas dan tidak banyak tersedia di desa. Sebagian besar masyarakat mengatakan bahwa teknologi ini lebih tepat digunakan untuk pola tanam ladang basah dan kalaupun ada sudah dipesan oleh para petani yang mempunyai lahan luas dan modal besar. Umumnya sebagian besar masyarakat menganggap bahwa pemanfaatan alat produksi modern tidak banyak mempengaruhi hasil produksi. Tenaga Kerja Dalam melakukan pola usaha tani di dua desa terpilih nampak bahwa sebagian besar warga memanfaatkan modal tenaga kerja hanya terbatas dalam satu (unit) rumah tangga (87,8%) dan sisanya bervariasi dengan memanfaatkan tenaga buruh (4,4%). Suami sebagai kepala rumah tangga memang memegang peranan penting dalam pola usaha tani ini. Namun ternyata isteri mempunyai tingkat keterlibatan yang paling besar dalam mengolah usaha tani dan dilanjutkan dengan anak laki-laki yang belum menikah/sudah beranjak remaja. Untuk mengerjakan hasil produksi tersebut, sebagian besar warga melakukannya secara bersama dalam satuan rumah tangga. Biasanya suami dan istri bersama-sama turun ke sawah/ladang untuk mengerjakan pola usaha tani. Acapkali, mereka membayar buruh upahan dalam rangka mempercepat panen dengan upah yang telah disepakati bersama. Namun, ada kecenderungan pola menyewa buruh upahan ini tidak banyak dilakukan warga desa mengingat sebagian anggota keluarga juga membantu dalam pola usaha tersebut. Kondisi ini tampak pada Tabel 1.
521
Prosiding Seminar Nasional Tabel 1. Tenaga kerja yang rutin terlibat Keterangan
Orang Tua Suami
Komoditi A Padi 5 (6,3%)
Komoditi B Jagung dan lainnya 5 (6,7%)
36 (45%)
34 (45,3%)
Istri
51(63,8%)
49 (65,3%)
Anak Lakilaki
38 (47,5%)
34 (45,3%)
Anak Perempuan
17 (21,3%)
15 (20,5%)
Lainnya
18 (22,5%)
15 (20,5%)
5 (6,3%)
5 (6,7%)
Tidak Ada
Sumber : Pusat Kajian Sosiologi FISIP UI (2006)
Data di atas menunjukkan bahwa peran istri dalam pola usaha tani cukup tinggi pada tahap-tahap penyiangan, penyemprotan dan panen. Sedangkan peran suami lebih dititik beratkan pada pembukaan tanah dan masa penyemprotan. Tahap-tahap dimana suami tidak terlibat dalam pola usaha tani maka tugas yang dilakukan adalah mencari kayu bakar dan memberi makan hewan ternak. Pola usaha tani yang berkaitan dengan tenaga kerja ini dapat digambarkan masing – masing desa seperti pada tabel 2. Tabel 2. Tenaga rumah tangga yang rutin terlibat dalam pertanian Anggota Rmh. Tangga
Desa Puledagel
Desa Kajengan
Suami
10 (17,5 %)
12 (21,1%)
Istri
18 (31,6 %)
14 (24,6%)
Anak laki-laki
17 (29,9 %)
12 (21,1%)
Anak perempuan
6 (10,6 %)
4 (7,0%)
Lainnya
6 (10,6 %)
10 (17,5%)
Data Potensi masing-masing desa, tahun 2004
Pemanfaatan tenaga rumah tangga yang rutin terlibat dalam kegiatan pertanian di dua desa mempunyai variasi yang tidak jauh berbeda. Umumnya, gambaran di dua desa menunjukkan bahwa isteri menempati urutan yang paling besar dalam kontribusi kegiatan pertanian. Kemudian di Desa Puledagel dan Kajengan, anak laki-laki dan suami merupakan kontribusi berikutnya sebagai bagian dari rumah tangga yang juga terlibat dalam kegiatan pertanian.
522
Dana Ada kecenderungan di dua desa terpilih bahwa modal usaha untuk pola tanam mereka diperoleh dari uang rumah tangga. Artinya, sebagian petani belum terbiasa untuk mengatur manajemen keuangan rumah tangga mereka secara professional. Modal usaha untuk kegiatan tani masih dicampur adukan antara uang rumah tangga dan pribadi, seperti uang sekolah anak, belanja, listrik dan lainlain. Permasalahan yang sering terjadi di kalangan para petani adalah bila mereka tidak mempunyai modal usaha untuk memulai pola tanam maka biasanya mereka mencari pinjaman ke kerabat. Modal usaha yang dikeluarkan untuk membeli sarana produksi cukup besar. Bahkan ada satu kebiasaan yang sering dilakukan para petani untuk mengutang sarana produksi ini ke toko/agen dengan harga yang lebih mahal. Biasanya ada kecenderungan setiap warga di desa yang kekurangan modal usaha melakukan pinjaman ke jaringan yang sudah dikenalnya. Hubungan yang saling percaya antar warga juga tercermin dalam kegiatan yang bersifat sosial yang dilakukan dengan gotong royong. Ikatan primodial (kekerabatan) merupakan satu nilai yang tetap terjaga di ketiga desa terpilih. Pemasaran Di sub bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa padi dan jagung merupakan komoditi dan hasil produksi utama yang dihasilkan di dua desa terpilih (Tabel 3). Namun ada sebagian warga yang melakukan usaha tani dengan komoditi yang bervariasi. Artinya ada kecenderungan warga petani melakukan pola usaha tani yang beraneka ragam selain padi dan jagung. Misalnya: bawang merah dan cabai merah. Hal ini Nampak di Desa Kajengan, Kecamatan Todanan. Tabel 3. Jenis komoditi pertanian yang dijadikan sumber produksi Jenis komoditi
Persentase (%)
Padi
53,5
Jagung
42,4
Cabe
2,1
Kacang
2,1
Sumber: Pusat Kajian Sosiologi FISIP UI (2006)
Prosiding Seminar Nasional Selain komoditi padi yang diprioritaskan untuk dimakan, ada beberapa komoditi lainnya yang dijual dalam rangka menambah penghasilan petani. Di bawah ini digambarkan pula komoditi yang dijual petani dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga, seperti terlihat pada Tabel 4. Kegiatan masyarakat dalam memasarkan hasil produksi tidak jarang mempengaruhi kehidupan masyarakat karena menyangkut tentang strategi dan harga produk. Seringkali, kegagalan petani dalam menjual hasil produksinya disebabkan karena sebagian besar petani tidak memiliki strategi dan harga jual produk yang sesuai dengan permintaan pasar. Berbagai kasus ditemui bahwa harga jual produk petani di tingkat desa sangat rendah dan bahkan seringkali harga tersebut dibawah harga pasar. Tabel 4. Jenis komoditi pertanian yang dijadikan sumber konsumsi Jenis komoditi pertanian yang dijual Padi Jagung Cabe Bawang Merah Kacang Kacang Panjang Jati
Persentase (%) 40,9 49,4 1,9 5,2 1,3 6,0 6,0
Sumber: Pusat Kajian Sosiologi FISIP UI (2006)
Padahal seharusnya harga jual produksi tersebut seharusnya bisa mendekati di tingkat konsumen atau pasar kecamatan. Kondisi di atas ditunjang pula dengan ketidakmampuan petani memiliki akses yang lebih luas mengenai jaringan pemasaran produksi mereka. Ada kecenderungan bahwa harga produk yang ditawarkan sangat ditentukan secara individual dan mereka mempunyai cara tersendiri menjual hasil panen ke pihak lain. Sebagian besar petani melakukan penjualan hasil produksi ke tengkulak yang datang ke rumah atau pasar tradisional. Dari dua desa, hanya Desa Puledagel, Kecamatan Jepon yang mempunyai pasar dan menjadi salah satu akses hasil produksi dijual. Sedangkan untuk Desa Kajengan, keberadaan pasar tradisional berada di kecamatan. Informasi di atas juga ditunjang dengan hasil wawancara secara kuantitatif yang
menggambarkan persebaran petani dalam memasarkan hasil pertanian mereka (Grafik 2) Dalam upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil pemasaran produksi petani maka perlu adanya kelembagaan pemasaran dalam memasarkan komoditas pertanian pada masyarakat petani lahan marjinal. Sampai saat ini nampaknya belum ada lembaga atau kelompok pemasaran di desa yang menerima hasil produksi petani. Kondisi ini yang mengharuskan petani menerima harga produksi komoditi dibawah rata-rata. Biasanya, petani tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan negosiasi mengenai harga jual hasil produksi dan para petani harus menerima harga penawaran yang dilakukan tengkulak karena hasil penjualan sangat dibutuhkan untuk kebutuhan hidup dan lainnya, seperti membayar hutang, modal usaha tani akan datang, undangan ritual dan hajatan serta lain-lain. Fenomena ini mewarnai di semua desa penelitian namun ada kecenderungan bahwa saat ini para petani sudah berani untuk menahan hasil produksi agar harga penawaran tidak jatuh/lebih tinggi. Strategi Kelangsungan Hidup Sebagian besar petani di desa menyatakan bahwa saat ini keuntungan yang diperoleh dengan usaha tani sangat tipis dan bahkan cenderung merugi akibat harga jual hasil produksi yang sangat rendah serta tidak sebanding dengan biaya produksi. Seringkali hasil produksi justru tidak menguntungkan karena kondisi lahan yang terserang hama dan penyakit. Ditambah dengan harga sarana produksi yang tidak menentu, mengakibatkan program pola tanam akan terganggu di masa berikutnya. Kondisi ini yang mengakibatkan para petani tidak mempunyai pilihan lain dan kehidupan petani menjadi lebih sulit. Biasanya bila untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari tidak mencukupi dan modal usaha sudah tidak ada maka para petani akan melakukan alternatif penyelesaian secara individu dengan meminjam uang kepada saudara dan teman (24.7%), anak/menantu (5.9%) dan orangtua/mertua (3.5%). Pilihan lain untuk modal pengadaan sarana produksi dengan cara mencari pinjaman ke toko, tengkulak atau menjual ternak. Sebagai konsekuensinya sarana produksi akan dikembalikan setelah produksi meskipun harga tersebut lebih mahal.
523
Prosiding Seminar Nasional
Jual Sendiri Ke Pasar Jual Ke Ijon
Ds. Kajengan
Ds. Puledagel
Lain-lan
Jual Sendiri Ke Pasar
15
70,4
Jual Ke Ijon
75
22,2
Lain-lain
10
7,4
Total
100
100
Ds. Puledagel
Ds. Kajengan
0%
20%
40%
60%
80%
Cara Petani Memasarkan Hasil Pertanian
100%
Sumber : Pusat Kajian Sosiologi FISIP UI ,2006
Grafik 2. Cara Memasarkan Hasil Pertanian Per Desa Seringkali pilihan mencari hutangan/ pinjaman tidak mendapatkan hasil maka pilihan lain adalah menjadi buruh upah sementara untuk mendapatkan modal usaha. Tabel berikut ini memperlihatkan strategi
petani di dua desa yang dilakukan untuk tetap bertahan hidup sebagai buruh tani, baik di desanya sendiri, di desa lain dalam kecamatan yang sama atau kecamatan yang berbeda juga ke luar Kabupaten Blora.
Luar kabupaten 26.3%
Desa di kecamatan lain 5.3% Desa lain sekecamatan 10.5%
Desa sendiri 57.9%
Sumber: Pusat Kajian Sosiologi FISIP UI (2006) Grafik 3. Strategi petani memilih tempat bekerja Grafik 3 mencerminkan bahwa petani di Kabupaten Blora lebih senang memburuh di desa sendiri dibanding ke luar desa, luar kecamatan, luar kabupaten. Disimpulkan
524
bahwa lapangan kerja masih terbuka di desa sendiri, disamping itu nilai kebersamaan yang dipegangnya “mangan ora mangan asal ngumpul”. Nilai kerja bagi petani marjinal
Prosiding Seminar Nasional adalah satu kesempatan untuk melakukan berbagai pekerjaan dan memperoleh uang. Fenomena yang terjadi adalah para petani yang mau menjadi buruh upahan intinya untuk mendapatkan kembali modal usaha. Hal ini tercermin pada kegiatan pola tanam dimana para petani yang mempunyai lahan luas memanfaatkan tenaga mereka sebagai buruh upahan. Sebagai buruh upahan, mereka mendapatkan uang dengan nilai yang berlaku di pasaran. Saat ini, upah buruh untuk satu hari kerja bervariasi antara Rp. 14.000,- sampai dengan Rp. 21.000,- perhari. Nilai materil ini dapat ditukar dengan non materil berupa hasil produksi yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Adapula masyarakat, mencari tambahan dengan cara mengembangkan ternak atau membuat kolam ikan terpadu. Hasil dari ternak dan ikan dijadikan tambahan modal usaha atau digunakan untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Data kuantitatif menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat di Kabupaten Blora bekerja sebagai petani dan menjadi pekerjaan utama yang ditekuni. Dengan demikian pilihan pekerjaan ini adalah strategi bertahan hidup bagi sebagian besar petani yang merupakan single occupation di sektor pertanian. Selain itu, sebagian kecil warga melakukan pekerjaan sampingan di sektor non pertanian yang meliputi jenis pekerjaan sebagai pedagang, buruh, guru, perangkat desa, wiraswasta, petugas pasar. Dinamika pekerjaan non pertanian ini menjadikan bentuk strategi bertahan hidup yang dilakukan adalah multiple occupation. Meskipun, anggota rumah tangga yang terlibat pada kegiatan pertanian dan non pertanian cukup rendah namun ada kecenderungan strategi ini dilakukan oleh para anggota keluarga seperti isteri, anak laki / perempuan yang mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi. Keterlibatan isteri di pekerjaan non pertanian lebih dominan dibandingkan dengan suami. Alternatif pekerjaan non pertanian ini merupakan satu pilihan karena tidak adanya sumber daya lain yang dapat dimanfaatkan setelah pasca produksi. Meskipun demikian masyarakat menganggap bahwa pekerjaan petani masih merupakan pilihan utama karena dapat menjamin keberlangsungan hidup keluarga, walaupun belum optimal.
suami, istri, anak laki-laki, anak perempuan dewasa) dioptimalkan perannya pada usaha pertanian komoditi konsumsi maupun produksi dan non pertanian. Dengan demikian unit keluarga masih merupakan unit produksi dan anggota keluarga merupakan asset sebagai pekerja keluarga. Kontribusi anggota keluarga, terutama tenaga perempuan secara fisik di pekerjaan pertanian nampak sedikit namun bila dilihat dari kontribusi pekerjaan non pertanian ternyata cukup besar terutama dari segi pendapatan keuangan. Keberdayaan Keberdayaan dan kemandirian suatu masyarakat merupakan indikator bahwa suatu masyarakat secara mandiri mampu melakukan pengelolaan pengembangan masyarakat sebagai kelanjutan dari bantuan yang diberikan dari luar. Bila dilihat menurut dua desa yang diteliti, tingkat keberdayaan petani pada posisi masih rendah. Hasil penelitian (Grafik 4) menunjukkan bahwa Desa Kajengan (56,7%) dan Desa Puledagel (30.0%) yang sudah menerima P4MI sejak tahun 200 /2004. Dengan demikian tingkat keberdayaan suatu desa tidak semata tergantung pada seberapa banyak dan besarnya program bantuan diberikan, namun lebih pada letak desa dengan aksesibilitasnya pada jalan kabupaten. Dari aspek gender (Grafik 5), tingkat keberdayaan petani perempuan dengan petani laki-laki juga menunjukkan perbedaan yang jelas. Hasil penelitian menyimpulkankan bahwa petani laki-laki lebih memiliki keberdayaan yang lebih kuat (42,9%) dibandingkan dengan keberdayaan yang ada pada petani perempuan. Petani perempuan di dua desa yang diteliti kurang mendapat tempat yang setara dengan petani laki. Dalam sektor pertanian pekerjaan petani perempuan hanya sekedar pelengkap “membantu“. Terlebih ketika menghadiri rapat-rapat di Kantor Desa atau mengikuti pelatihan atau penyuluhan yang lebih banyak dihadiri oleh petani lakilaki. Padahal kegiatan pertanian banyak juga dilakukan oleh perempuan. Tampak budaya patriakat masih kental pada budaya dan kehidupan petani Jawa di Kabupaten Blora.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa semua anggota rumah tangga (orangtua,
525
Ds. Puledagel
TINGKAT KEBERDAYAAN
Ds. Kajengan
Prosiding Seminar Nasional
RENDAH
56,7
30
SEDANG
10
50
TINGGI
33,3
20
TOTAL
100
10 0
MASYARAKAT TIGA DESA
Sumber: Pusat Kajian Sosiologi FISIP UI (2006)
Grafik 4. Tingkat keberadaan masyarakat di dua desa
Per emp uan
Laki- l aki
57. 50 %
2 6 .50 %
17.50 %
3 0 .6 0 %
rendah
2 5.0 0 %
4 2 .9 0 %
sedang
tinggi
Sumber: Pusat Kajian Sosiologi FISIP UI (2006)
Grafik 5. Tingkat keberdayaan petani menurut jenis kelamin Keberdayaan suatu masyarakat dapat diukur dari peningkatan kesejahteraan petani setelah memperoleh bantuan, akses terhadap sumberdya ekonomi, partisipasinya pada perencanaan, pelaksanaan program bantuan,
526
pemanfaatan program-program bantuan. Secara keseluruhan tingkat kesejahteraan masyarakat petani di dua desa terpilih dapat dilihat pada Tabel 5.
Prosiding Seminar Nasional Tabel 5. Kesejahteraan petani berdasarkan lima variabel Variabel
(1) Tidak memiliki
Kategori (2) (3) Berkurang Tetap
(4) Bertambah
Total (%)
1,1
100
Selama 3 tahun terakhir, ada perubahan luas lahan yang dimiliki
6,7
2,2
90,0
Selama 3 tahun terakhir, jumlah produksi pertanian bertambah banyak
4,4
12,2
65,6
15,6
100
Selama 3 tahun terakhir, jumlah ternak lebih banyak
20,0
15,6
28,9
34,4
100
Selama 3 tahun terakhir, modal usaha mengalami peningkatan
10,0
16,7
64,4
7,8
100
Selama 3 tahun terakhir, terdapat peningkatan jumlah simpanan
58,9
16,7
21,1
3,3
100
Sumber : Pusat Kajian Sosiologi FISIP UI (2006)
Gambaran yang menunjukkan tingkat kesejahteraan petani tidak menunjukkan peningkatan dapat dilihat dari perubahan lahan yang mereka miliki. Sebagian besar masyarakat mengatakan bahwa luas lahan penduduk selama 3 (tiga) tahun belakangan ini tetap saja (90%), tidak bertambah (6,7%) dan sedikit warga menyatakan berkurang (2,2%). Sedangkan untuk jumlah produksi komoditas pertanian, sebagian menyatakan tetap (65,6%), sedikit sekali yang menyatakan berkurang dan tidak bertambah (12,2% dan 4,4%). Jika keberdayaan petani dikaitkan dengan peningkatan jumlah ternak, umumnya sebagian mengatakan bertambah (34,4%) dan lainnya menyatakan tetap (28,9%), berkurang (15,6%) dan tidak bertambah (20,0%).
Keberdayaan dan kemandirian petani juga dapat dilihat dari partisipasi masyarakat dalam program pengembangan usaha tani. Secara keseluruhan tingkat pastisipasi masyarakat tani dari kedua desa cukup. Tingkat partisipasi masyarakat secara keseluruhan tidak menggambarkan perbedaan yang signifikan antara mereka yang kurang berpartisipasi dan tinggi partisipasinya pada program pengembangan desa. Di Desa Puledagel dan Kajengan justru masyarakatnya lebih banyak yang rendah partisipasinya (Grafik 6). Bila dibedakan tingkat partisipasi anggota rumah tangga menurut kedua desa, hasil penelitian menunjukkan bahwa di Desa Kajengan anggota rumah tangga kebanyakan belum aktif dalam organisasi/kelompok tani.
Kesejahteraan petani ditentukan pada jumlah produksi panen yang dihasilkan setiap tahunnya. Meskipun masyarakat menganggap bahwa berbagai pelaksanaan bantuan program pemerintah berdampak terhadap peningkatan hidup warga desa namun program tersebut belum dapat dinikmati oleh sebagian masyarakat desa, terutama bagi warga yang tinggal di daerah yang lebih tinggi dengan prasarana air yang terbatas. Potret mengenai kesejahteraan petani desa tercermin pada kegiatan warga selama 3 tahun belakangan ini dalam hal memperbaiki rumah yakni sebagian besar (91,1 %) menyatakan memperbaiki rumah dan selebihnya tidak .
Gambaran mengenai tingkat partisipasi perempuan dalam kegiatan program pengembangan desa dari desa-desa yang diteliti secara keseluruhan, disimpulkan bahwa tingkat partisipasi perempuan tani lebih rendah (32,5%) dibandingkan dengan partisipasi petani laki-laki (46,9%). Keikutsertaan masyarakat dalam pengelolaan program bantuan di desa, seperti dari merencanakan, sampai pelaksanaannya akan lebih efektif bila mereka dilibatkan dalam melakukan evaluasi/kontrol/pengendalian kegiatan program. Secara umum, pengawasan/kontrol masyarakat pada program pengembangan usaha tani masih rendah
527
Prosiding Seminar Nasional
Dengan berjalannya program P4MI di desa sangat membantu keberlangsungan hidup petani dalam rangka meningkatan pendapatan mereka. Kenyataan ini nampak bahwa
Puledagel
Rendah Kajengan Puledagel
Tinggi
Kajengan
TINGKAT PARTISIPASI MASYARAKAT TIGA DESA
RENDAH TINGGI
Ds. Puledagel
Sejauh mana masyarakat dapat melakukan pengawasan pada berjalannya program bantuan, setiap desa yang diteliti menyimpulkan hasil yang berbeda. Di Desa Puledagel dan Kanjengan keberdayaan dalam melakukan pengawasan masih rendah terhadap program bantuan yang diperolehnya. pedalaman. Umumnya, sebagian besar masyarakat mengatakan bahwa bila hasil panen tersebut tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup dan modal usaha maka mereka meminta bantuan kepada saudara atau kerabat.
sebagian besar petani merasakan manfaat bantuan sarana air dengan mendapatkan hasil produksi lebih banyak dibandingkan sebelumnya. Program bantuan ini ternyata tidak saja bermanfaat bagi warga yang memiliki lahan akan tetapi juga bagi warga yang tidak memiliki lahan karena tenaga mereka sebagai buruh upahan bertambah dengan adanya peningkatan panen. Secara khusus manfaat program pengembangan desa lebih dirasakan oleh masyarakat di Desa Puledagel dibandingkan dengan di Desa Kanjengan. Bisa dimengerti bahwa sebagaimana biasanya bantuan sering kurang menjangkau desa-desa yang lebih jauh ke pedalaman. Umumnya, sebagian besar masyarakat mengatakan bahwa bila hasil panen tersebut tidak mencukupi kebutuhan hidup dan modal usaha maka mereka meminta bantuan kepada saudara atau kerabat.
Ds. Kajengan
(45.6%) (Grafik 7). Beberapa pernyataan dari petani memberikan penjelasan akan pernyataan kesimpulan di atas:
13,3 10
23,3 10
Sumber: Pusat Kajian Sosiologi FISIP UI (2006)
Grafik 6. Partisipasi masyarakat di masing-masing desa 45,6% 40.1%
13,3%
Re nda h
S e da ng
Tinggi
Sumber: Pusat Kajian Sosiologi FISIP I (2006) Grafik 7. Tingkat kontrol/pengawasan masyarakat terhadap pengembangan program
528
Prosiding Seminar Nasional KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan -
Sebagian besar petani memiliki lahan dengan jumlah terbatas dan bekerja di sektor pertanian yang dilakukan secara turun temurun.
-
Tanah mempunyai nilai sosial karena berfungsi sebagai ikatan sosial dalam sistem kekerabatan masyarakat Blora. Secara ekonomi tanah digunakan sebagai sumber penghasilan atau sumber nafkah rumah tangga.
-
Komoditi yang ditanam adalah padi dan jagung dengan sedikit variasi tanaman tumpangsari untuk konsumsi dan produksi. Komoditi tersebut merupakan penghasilan untuk konsumsi dan produksi dalam satuan unit rumah tangga.
o Pengembangan usaha tani di bidang peternakan sesuai dengan karakter wilayah desa. o Pengembangan prasarana air untuk lokasilokasi yang tidak terjangkau melalui swadaya masyarakat. o Menyusun dan mengembangkan program pelatihan dan penyuluhan dalam upaya meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku petani dan ketrampilan usaha tani yang berkelanjutan dan terarah kepada individu dan kelompok. o Mengoptimalkan peran kelompok tani dan kelompok PKK melalui peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku dalam usaha tani.
-
Modal usaha dan unit tenaga kerja diperoleh dari unit rumah tangga untuk hasil produksi dan konsumsi.
o Membangun kios sarana produksi dan gudang hasil produksi dengan memanfaatkan pasar tradisional untuk menampung usaha tani masyarakat serta jaringan sosialnya di tingkat kecamatan dan kabupaten.
-
Pemasaran hasil produksi dijual secara langsung dan individual melalui pihak ke tiga (tengkulak).
o Menghidupkan kembali lembaga keuangan seperti Koperasi Pertanian Desa dan BPR Desa sumber akumulasi modal usaha tani.
-
Strategi yang dilakukan petani untuk tetap bertahan hidup selain bekerja sebagai petani, juga bekerja di sektor non pertanian (multiplicity occupational). Semua anggota keluarga petani baik lakilaki maupun perempuan terlibat dalam unit produksi pertanian dan non pertanian (optimalization resources).
o Menyusun Program “Desa Percontohan Usaha Tani“ di setiap linear kecamatan dan kabupaten untuk merangsang sikap gotong royong dan partisipasi masyarakat.
-
Partisipasi masyarakat tani masih dimobilisasi oleh aparat desa sehingga peran tokoh formal menjadi dominan. Kelompok sosial paguyuban lebih efektif dibandingkan dengan kelompok formal yang terbentuk atas dasar kepentingan.
-
Tingkat kesejahteraan petani di lahan marjinal rendah karena penghasilan dari sektor pertanian hanya cukup untuk kebutuhan hidupnya (subsisten).
Saran o Diversifikasi lahan melalui pemanfaatan inovasi teknologi yang tepat guna dan tepat sasaran serta bersifat local sensitive. o Pengenalan pola penanaman usaha tani dengan komoditi varietas unggul yang sesuai dengan karakter lahan.
o Menciptakan “Bapak patron sebagai katalis produksi petani untuk linear yang (kecamatan/kabupaten).
Angkat” sebagai penampung hasil dijual ke tingkat lebih tinggi
o Pemerintah desa/kecamatan membangun kerjasama dengan lembaga keuangan pemerintah (Bank) melalui program kredit UKM ke masyarakat petani dengan fasilitas khusus (bantuan modal) o Menciptakan lembaga keuangan mikro tingkat desa dan kecamatan. o Membangun jaringan pemasaran secara kolektif dengan memanfaatkan lembaga yang telah terbentuk, seperti Koperasi Pertanian Desa, Kelompok Tani. o Menciptakan stabilitas harga produksi dalam bentuk SK bersama dan regulasi di tingkat kecamatan dan kabupaten.
529
Prosiding Seminar Nasional PUSTAKA Kantor Statistik Kabupaten Blora. 2004. Blora Dalam Angka . Kantor Kecamatan Tondanan. Potensi Desa Kajengan,
2004.
Data
Kantor Kecamatan Jepon. 2004. Data Potensi Desa Puledagel Pusat Kajian Sosiologi FISIP UI. 2006. Studi pendekatan sosial budaya dalam pemberdayaan petani di tiga kabupaten. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. 2003. Memorandum Administrasi Proyek Untuk P4MI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian dan Bank Pembangunan Asia (ADB).
530
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2004. Panduan Kajian Sosial Desa dan Penyusunan Propoal Rencana Investasi Desa (RID). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. P4MI ADB Loan no 1909-INO (SF). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2004. Panduan Umum Pemberdayaan Petani. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. P4MI ADB Loan no 1909-INO (SF).
Prosiding Seminar Nasional
STUDI KELEMBAGAAN PEMASARAN PRODUK OLAHAN LEMPUYANG WANGI DI KABUPATEN BLORA (Study on marketing institution of zingiber aromaticum product in Blora District) Sarjana, Indrie Ambarsari, dan Budi Hartoyo Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah ABSTRAK Berkaitan dengan program peningkatan pendapatan petani miskin di wilayah marjinal, studi ini bertujuan untuk menemukenali kelembagaan pemasaran produk olahan lempuyang wangi yang mencakup: keterkaitan produk antar rantai pasar, organisasi dan distribusi nilai tambah. Lokasi studi di daerah-daerah sentra produksi empon-empon Kabupaten Blora. Pengumpulan data menggunakan metode wawancara terstruktur kepada operator produksi dan pemasaran. Analisis data secara deskriptif menggunakan presentasi grafikal dan tabuler. Hasil studi menunjukkan bahwa tiga komponen fungsi utama agroindustri telah berjalan, yaitu: (1) pasokan bahan baku (2) pengolahan simplisia kering, dan (3) distribusi dan pemasaran produk olahan lempuyang wangi. Bersamaan dengan berjalannya tiga fungsi agroindustri tersebut maka terjadi penciptaan nilai tambah bagi para operatornya. Hasil studi ini menunjukkan bahwa prakondisi yang telah berjalan memungkinkan untuk dikembangkannya agroindustri lempuyang wangi sebagai sumber peningkatan pendapatan rumah tangga masyarakat desa hutan. Kinerja kelembagaan dapat lebih ditingkatkan apabila dua permasalahan utama dapat diatasi, yaitu: pemenuhan standar mutu olahan, dan kontinuitas pasokan bahan baku/rimpang segar. Apabila kualitas produk yang dihasilkan para penambang dapat ditingkatkan maka nilai tambah yang diterimanya ada peluang untuk meningkat. Demikian halnya apabila kontinyuitas pasokan/produksi rimpang segar dapat dipertahankan atau bahkan jumlahnya dapat ditingkatkan, maka pendapatan para penambang akan dapat ditingkatkan. Oleh sebab itu disarankan untuk dilakukan pengembangan budidaya lempuyang wangi dan pembinaan mutu produk olahannya.
Kata Kunci: Lempuyang wangi, agroindustri, kelembagaan, pasar
ABSTRACT In relation to “The Poor Farmer Income Improvement Program in Marginal Area”, this study was purposed to identify the market institution of zingiber aromaticum product, including product interrelatedness among market chain, organization and value added distribution. The assessment was performed at the centre area of herbs production on District of Blora. Data collection was obtained by structural interview to the production and marketing operators and analysed using graphical and tabular presentation. The tree main components of agro-industry was on going, that is: raw material supply, processing dried chips, and distribution and marketing of processed products. Coincide a stroll of its function, then it will create the value added to each doers. Results showed that it is possible to develop agroindustry as a source of farmer income improvement under forest society. The institution performance would be improved if the main problems could be overcome, i.e.: fits quality standard of the processed products and continuity supply of the raw material. If the quality and continuity of raw material improved, then the improvement of farmer will be insured. In suggestion, development and guide for cultivation and quality products management should be conducted. Key words: Zingiber aromaticum, agro industry, institution, market
PENDAHULUAN Menurut Tjokrowinoto (1993) kemiskinan bukan saja merupakan masalah kesejahteraan (welfare), tetapi juga menyangkut permasalahan kerentanan (vulnerability), dan ketidakberdayaan (powerlessness). Secara konseptual pengembangan ekonomi
masyarakat dapat ditempuh melalui pengembangan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi yang telah berjalan dan penciptaan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru. Proyek peningkatan pendapatan petani miskin melalui inovasi (poor farmer income improvement trough inovation project/ PFI3P) diharapkan dapat menyentuh aspek-
531
Prosiding Seminar Nasional aspek permasalahan tersebut. Peningkatan kesejahteraan petani miskin diharapkan dapat dicapai melalui inovasi agribisnis di area proyek yang umumnya lahan marjinal/tadah hujan. Penguasaan lahan yang sempit dan tipologi lahan kering dengan curah hujan rendah merupakan kendala yang dihadapi dalam peningkatan pendapatan rumah tangga tani di Kabupaten Blora. Dalam kondisi tersebut, percepatan peningkatan pendapatan rumah tangga tani semestinya ditempuh tidak hanya melalui pengembangan inovasi budidaya pertanian, tetapi juga melalui inovasi pengembangan agroindustri komoditas pertanian unggulan. Salah satu komoditas spesifik Kabupaten Blora yang memiliki keunggulan, baik dari segi peluang pasarnya maupun potensi sumber daya lahannya adalah lempuyang wangi. Sentra produksi Lempuyang wangi tersebar di daerah pedesaan sekitar hutan di Kabupaten Blora. Produksi lempuyang wangi masih mengandalkan pengambilan secara langsung dari alam (hutan). Menurut Muljodihardjo (1996), usahatani empon-empon belum berkembang dikarenakan belum berkembangnya jaringan kerja yang sinergis antara petani dengan pihak-pihak yang berperan dalam pengolahan dan pemasaran hasil. Karakteristik menonjol dari keberhasilan suatu agroindustri adalah adanya ketergantungan antar elemen agroindustri. Austin (1992) dalam Siregar dan Friyatno (2002), menyatakan bahwa pemahaman mengenai keterkaitan antara elemen-elemen (yang terdiri dari tiga kegiatan inti, yaitu pengadaan bahan baku, pengolahan, dan pemasaran) sangat diperlukan untuk mencapai keberhasilan dalam merancang dan mengoperasikan agroindustri. Oleh sebab itu pengembangan agroindustri harus didasarkan pada kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada tiga komponen dasar agroindustri tersebut. Pemasaran merupakan titik awal dalam analisis proyek agroindustri (Siregar dan Friyatno, 2002). Studi ini bertujuan untuk menemukenali kelembagaan pemasaran produk lempuyang wangi yang telah berjalan, keterkaitan produk antar tingkatan pasar, organisasi dan distribusi nilai tambah.
532
BAHAN DAN METODE Metode Pengumpulan Data Data dan informasi yang diperlukan antara lain mencakup: jenis-jenis produk olahan empon-empon, standar mutu yang digunakan produk-produk sejenis, harga dan target konsumen, rantai tataniaga, kapasitas serapan pasar, dan distribusi nilai tambah. Sumber data mencakup hasil pengamatan lapang dan wawancara terstruktur terhadap responden yang terdiri dari para penambang hasil hutan (24 orang) dan pedagang pengumpul (6 orang), serta pertemuan terfokus yang melibatkan unsur pedagang, petani/pencari hasil hutan dan penyuluh pertanian setempat. Kegiatan survey dilakukan di daerah-daerah sentra produksi Kabupaten Blora, yaitu Kecamatan Japah, Jiken, Kradenan, Jepon, dan Ngawen. Metode Analisis Analisis potensi pasar meliputi struktur pasar input (bahan baku) dan pasar output, karakteristik produk dihasilkan dan dipasarkan pada setiap tingkatan pasar, keterkaitan produk antar subsistem/tingkatan pasar, organisasi dan patronage. Metode analisis yang digunakan mencakup: (1) tabulasi silang untuk mendiskripsikan karakteristik produk berdasarkan aspek-aspek pemasarannya; (2) analisis derajat konsentrasi pasar; (3) analisis marjin pemasaran; dan (4) analisis iklim usaha (persaingan, kemudahan usaha dan kepastian hukum).
HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Lempuyang Wangi Produksi empon-empon (termasuk lempuyang wangi) di Kabupaten Blora secara umum diperoleh dengan mengandalkan hasil penambangan hutan (liar), yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar hutan. Jenis empon-empon yang dikumpulkan meliputi lempuyang emprit (wangi), lempuyang pahit (gajah), kunci sayur, kunir putih gombyok, sambiroto, kulit kayu (pule dan ragen), pulet, nampu dan sebagainya. Operasional penambangan hasil hutan umumnya dilakukan oleh ibu-ibu rumah tangga. Budidaya emponempon masih sangat terbatas dan terkait dengan proyek-proyek rintisan budidaya empon-empon. Budidaya lempuyang wangi di desa Bogem seluas 7 ha ditanam di
Prosiding Seminar Nasional kawasan hutan dengan bantuan saprodi dari Dinas Perkebunan. Musim penambangan lempuyang wangi diawali pada awal musim kemarau, biasanya sekitar bulan Mei dan berakhir pada awal musim hujan (November). Pada awal musim kemarau dan awal musim hujan pencarian lebih mudah karena tanda-tanda keberadaan tanaman terlihat jelas, misalnya pada awal musim kemarau walaupun daun sudah mengering tetapi masih menempel pada rimpang, sedangkan pada awal musim hujan rimpang sudah mulai keluar tunas kembali. Walaupun demikian kualitas produk pada musim tersebut menurut tengkulak desa memiliki kualitas rendah. Kualitas terbaik yang diharapkan adalah hasil dari penambangan pada puncak musim kemarau (sekitar Juli) sampai dengan menjelang hujan turun. Masalahnya adalah pada musim tersebut sulit ditemukan lokasi-lokasi penambangan karena tanda-tanda fisik tanaman tidak ada. Sehingga intensitas penambangan tinggi justru terjadi pada awal musim kemarau dan awal musim hujan.
konsekuensi kerugian harga. Secara rinci karakteristik produk dan proses lmpuyang wangi yang dipasarkan oleh penambang hasil hutan adalah sebagai berikut: -
Rimpang segar: penjualan dalam bentuk rimpang segar bisa dipengaruhi oleh keinginan untuk segera mendapatkan uang tunai maupun karena pengepul menginginkan produk dalam bentuk rimpang segar (khususnya di Kecamatan Japah). Pengepul menginginkan produk dalam bentuk rimpang segar karena untuk memperoleh produk simplisia sesuai dengan mutu yang diinginkannya tidak dapat mengandalkan pada pemrosesan oleh para penambang. Oleh sebab itu pengepul yang bersangkutan melakukan proses pembuatan simplisia sendiri. Karakteristik rimpang segar yang dapat dipasarkan adalah: bersih dari akar, bersih dari tanah dan kotoran lainnya.
-
Rajangan basah dan malem: Sebagaimana yang terjadi pada penjualan dalam bentuk rimpang segar, penjualan produk dalam bentuk rajangan basah dan malem terutama didorong oleh keinginan mendapatkan uang tunai atau mendapatkan pemenuhan barang-barang kebutuhan pokok. Kebiasaan ini ditemukan di wilayah Kecamatan Kradenan. Pengepul yang merangkap sebagai pemasok barangbarang kebutuhan sehari-hari bagi masyarakat bersedia menukar lmpuyang wangi dalam bentuk produk tersebut dengan barang-barang kebutuhan seharihari. Dimaksudkan dengan rajangan basah adalah proses lanjutan pertama dari rimpang segar yang telah dibersihkan dari akar dan tanah, atau setelah rimpang dirajang langsung dipasarkan. Sedangkan rajangan malem adalah bahwa setelah dirajang lempuyang wangi sudah sempat dijemur tetapi belum memenuhi standar kekeringan simplisia kering.
-
Simplisia kering: penjualan lempuyang wngi dalam bentuk simplisia kering adalah yang paling umum dilakukan oleh para penambang dan yang diinginkan oleh para pengepul. Untuk mendapatkan simplisia kering proses yang umum dilakukan meliputi pembersihan rimpang dari akar, tanah dan kotoran lain, kemudian dirajang menggunakan pisau dan dijemur selama 47 hari (tergantung cuaca) untuk mencapai
Kapasitas Produksi Berkurangnya areal hutan dan penambangan secara tidak terkendali (bongkar habis) menyebabkan rumpun lempuyang wangi semakin sulit dicari dan jarak tempuh serta waktu pencarian semakin menjauh dari pemukiman. Jarak tempuh dari sentra-sentra pemukiman pencari hasil hutan saat ini mencapai 10-15 km. Mobilitas pencari hasil hutan semakin tinggi tidak hanya terbatas di hutan sekitar pemukiman tetapi bisa lintas desa dan kecamatan. Kapasitas produksi setiap pencari hasil hutan yang umumnya ibuibu rumah tangga sangat bervariasi tergantung kemampuan fisik dalam menggali maupun membawa pulang rimpang segar, serta jumlah rumpun tanaman yang ditemukan di hutan. Secara umum produksi mencapai sekitar 2050 kg segar atau sekitar 5 – 10 kg simplisia kering per orang per hari. Karakteristik Produk dan Proses Pencari hasil hutan secara umum menjual lempuyang wangi dalam bentuk simplisia kering. Walaupun demikian karena alasan cuaca dan mendesaknya kebutuhan uang tidak jarang mereka memaksakan untuk menjual produk dalam bentuk rimpang segar, simplisia basah, simplisia malem, yang tentu saja ada
533
Prosiding Seminar Nasional tingkat kekeringan yang diminta pengepul. Aktivitas perajangan lempuyang umumnya dilakukan di rumah selepas istirahat setelah pulang dari hutan. Namun, apabila sepulang dari hutan telah sore/malam, maka perajangan dilakukan keesokan harinya agar lempuyang dapat segera dikeringkan (dijemur) setelah dirajang. Untuk merajang sekitar 30 kg rimpang segar dibutuhkan waktu sekitar 2 jam. Sebagian pengepul sebenarnya menyarankan agar sebelum dirajang rimpang dicuci terlebih dulu agar bersih dari tanah yang menempel. Proses pencucian tidak dapat dilakukan karena keterbatasan sumber air pada musim kemarau. Kegiatan sortasi dan pembersihan produk dari sisa-sisa kotoran (sampah, tanah dan akar) hanya dilakukan oleh pencari hasil hutan yang memiliki kepedulian terhadap kualitas produknya. Mayoritas penambang menjual simplisia dalam kondisi kotor dan campur dengan sampah/tanah, ataupun simplisia rusak. Masalah kualitas simplisia ini banyak dikeluhkan oleh para pengepul simplisia lempuyang wangi. Solusi yang mereka ambil antara lain memberikan pengarahan kepada pencari hasil hutan, pembelian dalam bentuk simplisia basah, pemrosesan lanjutan (jemur ulang, pembersihan, dan sortir) sebelum dikemas untuk dipasarkan. Kelembagaan Produksi Penambang hasil hutan berasal dari desadesa sekitar hutan di Kecamatan Japah, Jepon, Jiken, Todanan, Kradenan, Ngawen, Randublatong dan sebagainya. Belum ada pendataan jumlah penambang hasil hutan dari setiap desa. Berdasarkan wawancara dari para penambang diperkirakan terdapat sekitar 20 orang penambang dari setiap desa di sekitar hutan. Operasional penambangan hasil hutan tidak terorganisir, kecuali untuk menjangkau lokasi penambangan keluar desa biasanya dilakukan secara berkelompok. Dalam penambangan hasil hutan tidak ada pewilayahan kerja, masyarakat di suatu desa dapat melakukan penambangan di sekitar hutan desa lain, bahkan di wilayah kecamatan lain. Model pemanfaatan sumber daya alam yang demikian menyebabkan para penambang kurang peduli terhadap kelestarian sumber daya. Semakin menipisnya populasi lempuyang wangi di hutan mendorong para
534
penambang melakukan penggalian habis setiap rumpun yang ditemukannya. Selain dengan alasan untuk mencari rumpun lempuyang wangi saja sudah sulit, dan apabila sebagian rimpang ditinggal belum tentu hasilnya mereka yang dapat menikmatinya. Berkaitan dengan masalah ini, para pengepul sepakat bahwa untuk menjaga keberlanjutan pasokan dan memenuhi permintaan pasar, budidaya dan pengendalian penambangan perlu dilakukan. Karena penguasaan lahan penambang umumnya sempit, lempuyang wangi disarankan dapat dikembangkan di lahan sela hutan jati milik perhutani, sesuai dengan kaidah-kaidah pengelolaan hutan bersama masyarakat. Pengendalian penambangan utamanya diarahkan agar masyarakat tidak melakukan penambangan habis pada setiap area pertanaman liar. Penambangan empon-empon dari hutan merupakan sumber pendapatan tambahan bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan jati. Kegiatan ini umumnya dilakukan oleh ibu-ibu rumah tangga. Alokasi waktu untuk kegiatan ini bervariasi tergantung jarak tempuh lokasi pencarian. Untuk desa-desa yang memiliki kawasan hutan yang relatif masih terpelihara membutuhkan waktu sekitar 3 – 5 jam (berangkat sekitar jam 8 pagi pulang sekitar jam 1 siang). Sedangkan untuk desa-desa yang populasi empon-empon di sekitarnya telah punah mencari ke desa atau kecamatan lain sehingga alokasi waktu yang dibutuhkan dapat mencapai sekitar 9 – 11 jam (berangkat sekitar jam 7 pagi pulang sekitar jam 5 sore).
Prosiding Seminar Nasional
13.43 5.26
38.05
21.78 7.64
0.28
13.56
Usahatani
Menambang hasil hutan
Usaha jasa pertanian
Usaha non pertanian
Transfer (hibah & pinjaman)
Buruh pertanian
Buruh non pertanian
Gambar 1. Kontribusi penambangan hasil hutan terhadap pendapatan rumah tangga petani di sekitar hutan Gambar 1 menunjukkan bahwa sumber pendapatan rumahtangga petani/penambang empon-empon meliputi budidaya pertanian (pangan, perkebunan, kehutanan, peternakan), buruh tani, menambang hasil hutan dan menangkap satwa liar. Usaha penambangan hasil hutan relatif memiliki peran yang nyata pada struktur pendapatan masyarakat sekitar hutan. Usaha pertanian secara keseluruhan (termasuk menambang hasil hutan) memberi kontribusi 51,89%, diantaranya berasal dari menambang hasil hutan (13,56%). Kelembagaan Pemasaran Lempuyang Wangi Setelah kering lempuyang wangi biasanya langsung dijual kepada pedagang pengumpul terdekat. Penambang tidak pernah melakukan tunda jual berapapun harga pasar yang berlaku. Pemasaran kepada pengepul, baik yang berada di desa penambang ataupun di lain desa atau lain kecamatan. Untuk memasarkan kepada pengepul desa umumnya penambang empon-empon mengantarkannya ke rumah pengepul. Sedangkan untuk menjual kepada tengkulak yang lebih besar (yang memiliki wilayah kerja lintas desa atau kecamatan), penambang dapat mengantar langsung ke rumahnya atau menunggu didatangi oleh tengkulak yang dimaksud. Tengkulak biasanya memberikan informasi jenis-jenis empon-empon yang diinginkan dan harga pembelian yang berlaku kepada para penambang hasil hutan. Selanjutnya para penambang akan mencari jenis empon-empon sesuai dengan pesanan para tengkulak. Pembayaran dilakukan secara kontan, dengan
harga yang umumnya telah disepakati sebelumnya. Tidak ada ikatan seorang penambang kemana menjual produk emponemponnya. Rantai Pemasaran, Pelaku dan Kapasitas Berdasarkan skala dan wilayah usahanya terdapat tiga klasifikasi pengepul, yaitu: (1) pengepul yang bekerja pada lingkup satu desa (lintas dusun dalam satu desa), (2) pengepul yang bekerja pada lingkup satu kecamatan (lintas desa dalam satu kecamatan) dan (3) pengepul yang bekerja dalam lingkup kabupaten (lintas kecamatan di Kabupaten Blora). Pengepul tingkat desa hanya menampung hasil penambang secara langsung di desa tempat tinggalnya. Umumnya di setiap sentra penambang terdapat dua orang penampung tingkat desa. Pengepul tingkat desa menerima/membeli lempuyang wangi dalam bentuk variasi produk, rimpang segar, rajangan basah, rajangan malem atau simplisia kering. Skala usaha penampung ini sekitar setengah kuintal simplisia kering setiap hari atau sekitar 3 ton setiap musim. Penampung tingkat desa tidak spesifik melakukan jual beli empon-empon, tetapi juga melakukan jual-beli produk pertanian lain, baik hasil budidaya maupun hasil penambangan dari hutan. Pengepul melakukan proses lanjutan sebelum memasarkan kembali, yaitu penjemuran dan pembersihan. Pengepul desa memasarkan simplisia kering kepada pengepul tingkat kecamatan maupun pengepul tingkat kabupaten.
535
Prosiding Seminar Nasional Pengepul tingkat kecamatan dapat menam pung hasil penambang secara langsung maupun melalui penampung lain, dari desa tempat tinggal maupun desa lain (lintas desa) dalam satu kecamatan. Pengepul tingkat kecamatan juga menerima/membeli lempuyang wangi dalam bervariasi bentuk produk, rimpang segar, rajangan basah, rajangan malem atau simplisia kering. Pengepul melakukan proses lanjutan sebelum memasarkan kembali, yaitu penjemuran dan pembersihan. Kapasitas penampung ini sekitar 20 ton setiap musim. Penampung tingkat kecamatan juga tidak spesifik melakukan jual beli empon-empon, tetapi juga melakukan jual-beli produk pertanian lain, baik hasil budidaya maupun hasil penambangan tanaman liar, serta penangkapan satwa liar. Pengepul tingkat kabupaten menampung hasil penambang secara langsung maupun melalui penampung lain dari kecamatan tinggal maupun kecamatan lain (lintas desa antar kecamatan) di Kabupaten Blora. Kapasitas penampung ini mencapai sekitar 50 ton simplisia kering per-musim.
Penambang: Memproduksi rimpang segar, simplisia kering atau basah
Terdapat dua kelompok penampung tingkat kabupaten berdasarkan bentuk produk yang dibeli, yaitu penampung yang membeli dalam bentuk rimpang segar dan memasarkannya dalam bentuk simplisia kering, dan penampung yang hanya membeli dalam bentuk simplisia kering. Penampung tingkat kabupaten memasarkan simplisia kering ke sub-sub agen (agen pemasok) bahan baku pabrik jamu dan bakul yang lebih besar, yang antara lain berlokasi di Solo, Sragen dan Semarang. Domisili penampung tingkat kabupaten tersebar di 3 kecamatan, yaitu Randublatung, Jepon dan Japah. Pembagian wilayah terjadi secara alamiah sejalan dengan perkembangan skala usaha masing-masing. Pengepul tingkat kabupaten melakukan proses penanganan lanjutan produk olahan lempuyang wangi, meliputi: membersihkan kotoran (tanah, simplisia berjamur, sampah dsb), pengeringan kembali untuk mendapatkan tingkat kekeringan yang ideal, dan sortir berdasarkan ukuran dan kualitas.
Pengepul desa: Proses lanjutan untuk meningkatkan kualitas (jemur ulang, pembersihan ulang, dan sortir Pengepul kecamatan / kabupaten/sub agen pabrik jamu: Proses lanjutan untuk meningkatkan kualitas sesuai permintaan pelanggan meliputi jemur ulang, pembersihan ulang, sortir dan pengemasan
Pembeli di luar Blora (Agen pabrik jamu/pelanggan lainnya
Gambar 2. Rantai tataniaga lempuyang wangi di Kabupaten Blora Karakteristik Produk dan Proses di Tingkat Pengepul Karakteristik produk akhir yang dipasarkan pengepul ke tingkatan rantai pasar berikutnya relatif sama, yaitu simplisia kering
536
yang telah memenuhi standar kualitas minimal yang diminta oleh pelanggannya, yaitu: (1). bersih dari kotoran, (2). bersih dari produk rusak (berjamur), (3). warna lapisan luar cerah, bisa putih atau agak kemerahan/
Prosiding Seminar Nasional kecoklatan, (4). panjang irisan tidak ada ketentuan yang penting memanjang, (5). ketebalan tidak ada ketentuan, yang penting tingkat kekeringan mencapai standar dan merata, dan (6). kekeringan memenuhi syarat, dengan ciri mudah dipatahkan, apabila dipatahkan bersuara klik, dan lapisan dalam berwarna putih kapur (tidak ada lagi warna kekuningan) Distribusi Nilai Tambah Ditunjukkan pada Tabel 1, harga pokok, struktur biaya pengolahan dan pemasaran pada setiap sub sistem agroindustri lempuyang wangi. Harga bahan baku dan biaya pengolahan pada tingkat penambang dikonversikan berdasarkan upah tenaga kerja yang berlaku di lokasi penelitian, yaitu 1 HOK setara dengan Rp 15.000. Produksi penambangan lempuyang wangi mencapai rata-rata 25 kg per HOK, sehingga harga pokok lempuyang wangi rata-rata Rp.600/kg. Biaya pengolahan sebesar 2/5 HOK untuk
setiap 20 – 30 kg bahan baku atau sekitar 5 – 7,5 kg simplisia kering. Dengan harga jual simplisia kering rata-rata Rp. 2.235 per-kg, maka penambang sebenarnya menderita kerugian Rp.1.365 per-kg simplisia kering. Harga bahan baku di tingkat pengepul desa, dengan diperhitungkan penyusutan sebesar 10 - 20%, rata-rata sebesar 2.410 perkg produk akhir. Biaya pengolahan sebesar rata-rata Rp 50 per kg, dan biaya pemasaran, berupa biaya transport sebesar Rp 15 per kg. Dengan demikian dengan harga jual rata-rata sebesar Rp 3.045 per kg, pengepul desa memperoleh keuntungan sebesar Rp 570 per kg. Sedangkan pengepul tingkat kecamatan / kabupaten, dengan harga pembelian bahan baku rata-rata Rp 3.300 per kg produk jadi dan harga jual sebesar Rp 4.575 per kg, memperoleh keuntungan rata-rata Rp 957 per kg.
Tabel 1. Analisis distribusi nilai tambah agroindustri lempuyang wangi di sentra produksi Harga bahan baku (Rp/kg)
Biaya Olah (Rp/kg)
Biaya pasar (Rp/kg)
Laba (Rp/kg)
Harga jual (Rp/kg)
Petani
2400
1.200
0
-1.365
2.235
Pengepul desa Pengepul kecamatan/ kabupaten
2.410 3.300
50 200
15 118
570 957
3.045 4.575
Rantai tataniaga simplisia lempuyang wangi
Responden: penambang 24 orang, pengepul 6 orang
Pengembangan Agroindustri Lempuyang Wangi Hasil studi pemasaran ini dapat diajukan acuan dalam pengembangan agroindustri lempuyang wangi. Berdasarkan hasil studi ini, untuk mengembangkan agroindustri lempuyang wangi lebih lanjut diperlukan penanganan terhadap dua masalah pokok yang dilatar belakangi oleh masalah sosial ekonomi yaitu: (1) pemenuhan standar mutu olahan di tingkat penambang yang masih rendah, dan (2) pasokan simplisia yang cenderung menurun dari tahun ke tahun karena bahan baku menggantungkan pada penambangan langsung dari alam bukan budidaya. Menurut Sarjana et al., (2004), apresiasi pasar harus dijadikan pertimbangan utama dalam upaya peningkatan kualitas produk pertanian. Peningkatan kualitas identik dengan
peningkatan biaya, sehingga harus ada penggantian atas resiko peningkatan biaya yang dikeluarkan oleh pelaku yang melakukan perbaikan kualitas. Sumber penggantian biaya tersebut adalah apresiasi pasar dalam bentuk peningkatan harga produk yang telah meningkat harganya. Berkaitan dengan peningkatan kualitas produk simplisia lempuyang wangi, para pengepul menyarankan agar ada pembinaan kepada para penambang, dan sebagai konsekuensinya mereka bersedia untuk berpartisipasi dalam pembinaan mutu dan meningkatkan harga sesuai dengan nilai resiko yang berkurang akibat peningkatan kualitas produk simplisia lempuyang wangi di tingkat penambang/petani. Dengan demikian, peningkat an kualitas produk dan nilai tambah yang diterima petani/penambang dapat
537
Prosiding Seminar Nasional ditempuh melalui kemitraan usaha antara pelaku-pelaku usaha dalam bidang penyediaan bahan baku, pengolahan dan pemasaran simplisia kering. Kemitraan usaha dapat berkelanjutan apabila terdapat kapasitas sumber daya yang memadai dari setiap pelaku atau unit usaha untuk menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan mitra usahanya sesuai dengan kesepakatan jumlah, kualitas, harga, waktu dan tempat. Keberlanjutan kemitraan usaha agroindustri perlu kontinyuitas proses produksi sesuai dengan serapan pasar, sehingga diperlukan adanya kepastian pasokan bahan baku. Pengambilan langsung dari alam, tidak dapat menjamin kontinyuitas pasokan bahan baku, sehingga juga tidak dapat menjamin keberlanjutan produksi. Dari sisi lain, penambangan langsung dari alam secara tidak terkendali membahayakan kelestarian sumberdaya alam lempuyang wangi yang telah memiliki posisi strategis dalam sistem pelayanan kesehatan masyarakat. Budidaya dan pengendalian penambangan perlu dilakukan. Budidaya lempuyang wangi dapat dikembangkan di lahan sela hutan jati milik perhutani dan masyarakat. Pengendalian penambangan utamanya diarahkan agar masyarakat tidak melakukan penambangan habis pada setiap area pertanaman liar.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Produksi simplisia lempuyang wangi memiliki peran strategis dalam struktur pendapatan masyarakat di sekitar hutan Simplisia lempuyang wangi memiliki prospek pasar yang baik Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangannya adalah pasokan bahan baku yang mengandalkan penambangan hasil hutan tidak menjamin keberlanjutan
538
produksi dan produk simplisia masih rendah kualitasnya Saran Perlu pengembangan budidaya melalui kerjasama antara masyarakat, perhutani dan instansi terkait sebagai pembina Perlu peningkatan kualitas produk simplisia melalui inovasi teknologi dan kelembagaan. Inovasi alat perajang tipe piringan dan penjemuran menggunakan para-para dapat diintroduksikan untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas produk. Sedangkan inovasi kelembagaan dimaksud adalah kemitraan usaha yang melibatkan unsur petani/penambang lempuyang wangi dan pengepul.
PUSTAKA Muljodihardjo, S. 1996. Kebijaksanaan pengembangan tanaman obat. Prosiding Forum Konsultasi Strategi dan Koordinasi Pengembangan Agroindustri Tanaman Obat. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor. Sarjana, Hermawan, A. Suriatna, S., Warsana, Kholiq, A. 2004. Kontribusi teknologi usahatani dan apresiasi pasar terhadap nilai tukar petani di wilayah miskin. BPTP Jawa Tengah. Siregar, M., dan Frijatno, S. 2002. Kebijakan pemilihan teknologi dan jenis agroindustri. Analisis kebijaksanaan: paradigma pembangunan dan kebijaksanaan pengembangan agroindustri. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Tjokrowinoto, M. 1993. Strategi alternatif pengentasan kemiskinan. Materi seminar bulanan P3PK Gadjah Mada. P3PK Gadjah Mada.
Prosiding Seminar Nasional
PERAN TERNAK KAMBING DOMBA DALAM MEMBANGUN EKONOMI RUMAH TANGGA PEDESAAN Bambang Winarso Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian ABSTRAK Kambing maupun domba (kado) merupakan jenis ternak ruminansia kecil yang banyak dikembangkan oleh masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan. Dengan semakin terbatasnya tingkat penguasaan lahan bagi masyarakat desa berdampak terhadap semakin berkembangnya masyarakat tani skala kecil dan petani tanpa lahan garapan (tunhakisma). Kondisi yang demikian menyebabkan semakin terbatasnya ruang gerak masyarakat golongan tersebut untuk mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga. Salah satu solusi untuk menambah penghasilan adalah memanfaatkan tenaga kerja keluarga yang ada dengan cara budidaya ternak, khususnya ternak kado. Budidaya ternak ini disamping dibutuhkan modal yang tidak terlalu besar, juga bisa dijadikan pekerjaan sampingan yang bisa diharapkan untuk menambah penghasilan keluarga. Permasalahannya masih banyak kelemahan ditingkat peternak baik menyangkut modal, teknologi budidaya, kegiatan bersifat sambilan, belum dikelola secara professional serta masalah lainnya. Tulisan ini merupakan hasil penelitian lapangan dan sebagian merupakan hasil review dari literatur terkait. Penelitian dilakukan di wilayah sentra pengembangan ternak kado baik di Jawa Timur, Jawa Tengah maupun di Jawa Barat, yang dilakukan pada tahun 2006. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebenarnya ternak kado memiliki prospek yang cerah untuk dijadikan andalan untuk menutupi kebutuhan ekonomi keluarga, selama usaha tersebut bisa dikelola dengan baik, peran pemerintah serta fihak-fihak lain terutama fihak perbankan sangat dibutuhkan.
Kata kunci : Kambing, domba, ekonomi rumah tangga, pedesaan
PENDAHULUAN Data sensus penduduk Tahun 2003 menunjukkan bahwa 20,23% penduduk di pedesaan merupakan penduduk miskin dengan jumlah yang masih sangat besar. Diantara penduduk miskin tersebut 2,76 juta merupakan penduduk pedesaan di Propinsi Jawa Timur 0,34 juta, Banten 1,98 juta, dan di Propinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah adalah merupakan ”petani gurem” artinya masyarakat yang hanya menguasai lahan 0,50 ha (Badan Statistik, 2005). Kondisi yang demikian perlu mendapat perhatian kita bersama. Dalam upaya untuk menambah penghasilan masyarakat yang tergolong gurem tersebut salah satunya adalah melalui upaya penambahan kegiatan. Diantaranya adalah melalui: budidaya ternak termasuk ternak kambing atau domba (kado). Yang mana jenis ternak ini merupakan ternak ruminansia kecil yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat pedesaan sebagai usaha sambilan yang dapat diandalkan hasilnya. Data sensus penduduk tahun 2003 juga menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga yang membudidayakan ternak kado adalah 4,38 juta KK dengan perincian bahwa 79,02%
merupakan peternak kambing dan 20,98% peternak domba. Seperti diketahui bahwa kado merupakan sumberdaya lokal yang populasinya cukup tinggi. Data tahun terakhir (2006) menunjukkan bahwa jumlah populasi ternak kado secara keseluruhan tidak kurang dari 22,59 juta ekor yang terdiri dari 14,05 juta ekor ternak kambing dan 8,54 juta ekor ternak domba. Dalam kondisi krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 banyak peternak mengalami kebangkrutan terutama peternak sapi potong maupun peternak unggas, namun keberadaan ternak kambing dan domba sebagai sumberdaya lokal justru tidak banyak terpengaruh (Yusdja, 2001). Melihat beberapa kondisi di atas selayaknya ternak ini lebih dianjurkan untuk dikembangkan di masyarakat. Di samping sebagai kegiatan yang dapat mengungkit pertumbuhan ekonomi masyarakat di pedesaan, upaya ini juga dapat menciptakan lapangan kerja. Permasalahannya tentu tidak sesederhana ini, banyak kendala yang masih perlu diatasi.
BAHAN DAN METODE Makalah ini merupakan hasil penelitian lapangan dan sebagian merupakan hasil riview
539
Prosiding Seminar Nasional dari literatur terkait. Penelitian dilakukan di wilayah sentra pengembangan ternak kado baik di Jawa Timur, Jawa Tengah maupun di Jawa Barat, yang dilakukan pada tahun 2006. Melalui analisis grafis dan tabulasi silang secara sederhana serta analisis diskriptif penulis mencoba menelaah sampai sejauh mana adanya peluang untuk lebih meningkatkan peran ternak kambing domba dalam membangun kinerja ekonomi rumah tangga di pedesaan. Hal ini didasarkan atas hasil pengamatan empiris di lapangan bahwa ternak kambing maupun domba sebenarnya dapat dijadikan andalan dalam membangun ekonomi masyarakat desa. Di sisi lain, kenyataan menunjukkan bahwa andil ternak tersebut dalam membangun kondisi ekonomi peternak tampaknya masih jauh dari yang diharapkan.
PEMBAHASAN A. Karakteristik Peternakan Kado a.
Penyebaran rumah tangga dan ternak
Data tahun terakhir (2006) menunjukkan bahwa jumlah populasi ternak kambing dan domba (kado) secara nasional adalah sebesar 22,59 juta ekor yang tersebar di seluruh wilayah propinsi di Indonesia. Dari besarnya angka populasi tersebut populasi ternak kambing sendiri adalah sebesar 14,05 juta ekor dan domba 8,54 juta ekor (Dit Jend. Peternakan, 2006). Dilihat dari peta penyebaran ternak kado di Indonesia populasi lebih terkonsentrasi di wilayah P.Jawa. Di mana wilayah Propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat tetap mendominasi populasi ternak kambing secara nasional. Data tahun 2006 menunjukkan juga bahwa 23,00% populasi ternak kado berada di Jawa Barat, 22,98% di Jawa Tengah, dan 16,97% di Jawa Timur. Sedangkan wilayah lain di luar Pulau Jawa yang memiliki potensi ternak kambing adalah Propinsi Lampung (4,45%), Sumatera Utara (4,15%), Sulawesi Selatan (4,38%) dan Banten (5,14%). Sedangkan wilayah propinsi-propinsi lain populasinya masih di bawah 4,0%. Dari peta situasi penyebaran tersebut, maka secara nasional penyebaran ternak tersebut belum merata. Dominasi populasi masih berada di wilayah propinsi-propinsi di Pulau Jawa, ini mengindikasikan bahwa pengembangan
540
ternak kado di luar Jawa peluangnya masih tinggi. Data perkembangan populasi ternak kado selama limabelas tahun terakhir (1992 – 2006, Ditjen Peternakan) menunjukkan trend yang terus berkembang. Kedua jenis ternak tersebut memiliki laju pertumbuhan rata-rata 0,97%/tahun dengan jumlah rata-rata per tahun 20,22 juta ekor. Walau jumlah pemotongan ternak tersebut juga mengalami perkembangan yang jauh lebih pesat, yaitu rata-rata 5,89%/tahun dengan tingkat pemotongan absolut rata-rata 3,64 juta ekor/pertahun, namun pertumbuhan populasinya tetap saja positif (Tabel 1). Perkembangan populasi ternak domba selama periode tersebut mengalami pertumbuhan yang lebih pesat daripada perkembangan populasi ternak kambing. Setidaknya ditunjukkan oleh tingginya angka laju pertumbuhan ternak domba yang rata-ratanya 1,74% tahun, sementara walaupun populasi kambing lebih besar namun rata-rata pertumbuhannya hanya 0,53% tahun. Dengan demikian berarti bahwa pengembangan ternak tersebut di masyarakat mengalami pertumbuhan yang cukup stabil. Hal ini mengindikasikan bahwa kambing maupun domba merupakan ternak yang diminati oleh masyarakat, yang tentu dengan alasan karena merupakan salah satu sumber pendapatan yang sangat membantu bagi ekonomi keluarga. Sementara hasil sensus penduduk tahun 2003 menunjukkan bahwa perkembangan populasi peternak kado berdasarkan jumlah rumah tangga peternak secara keseluruhan di Indonesia adalah 5,627 juta KK, di mana dari jumlah tersebut 10,6% adalah rumah tangga peternak kado, artinya secara nasional terdapat 596.462 KK peternak kado. Peternak kado tersebut sebagian besar berdomisili di Pulau Jawa yaitu di Propinsi Jawa Tengah 26,6%, Jawa Barat 19,0%, dan Jawa Timur 11,1% (Badan Pusat Statistik, 2007).
Prosiding Seminar Nasional
Jumlah Populasi (ekor)
Perkembangan Populasi dan Pemotongan Ternak Kado Thn 1992-2006 25000000 20000000 Kambing
15000000
Domba Kado
10000000
Pemotongan kado
5000000 0 1
3
5
7
9 11 13 15
Periode (thn)
Ternak kambing dan domba lokal Indonesia merupakan ternak yang memiliki prospek bisnis yang baik (Subandrio dan Djajanegara, 1996) yang potensi produktivitasnya tinggi, namum perlu diimbangi dengan pemberian pakan dan pengelolaan yang memadai. Kenyataan menunjukkan bahwa belum ada fihak swasta yang mau menginvestasikan modalnya untuk pengembangan budidaya ternak tersebut, artinya untuk mengembangkan ternak ini dalam skala yang lebih komersial tampaknya kurang diminati Dalam tataran nasional tampak bahwa periode terakhir tahun 2006 jumlah pengusaha yang mau mengembangkan ternak kambing dalam skala bisnis baru 1(satu) buah yaitu yang berlokasi di Bali, sementara pengusaha ternak domba ada 5 (lima) buah yang kesemuanya berlokasi di Jawa Barat (Dit. Jend. Peternakan, 2006). Kurang minatnya fihak swasta dalam mengembangkan ternak tersebut dikarenakan dalam budidaya ternak Kado perputaran modalnya (Asset Turn Over) relatif lamban dibandingkan dengan jenis ternak komersial lainnya, artinya keuntungan yang dihasilkan belum begitu menjanjikan. Sebenarnya pengembangan ternak ini memiliki peluang bisnis yang cukup baik, setidaknya dilihat dari peluang pasar terutama pasar domestik maupun pasar ekspor yang sepenuhnya belum terpenuhi sampai saat ini. b.
Keragaan usaha budidaya
Dilihat dari struktur penguasaan ternak, maka budidaya ternak kado didominasi oleh budidaya ternak skala kecil yang dicirikan oleh sifat usaha yang sambilan dan dalam skala 6 – 15 ekor, curahan dan alokasi tenaga kerja umumnya tenaga kerja keluarga. Di samping itu alokasi tenaga kerja yang ada dalam keluarga tersebut masih terfragmentasi
dengan kegiatan ekonomi lainnya. Yusdja et al. (2006) mengemukakan bahwa sebagian besar peternak masih tergolong peternak skala kecil (<20 ekor). Komposisi penguasaan ternak menunjukkan bahwa 45,0% responden memiliki sendiri tenaknya dengan skala penguasaan berkisar antara – 15 ekor/KK. Sementara pola campuran (milik sendiri + gaduh) sebesar 22,5% dengan kisaran penguasaan ternak antara 6 – 15 ekor dan sisanya merupakan peternak penggaduh. Masih sangat terbatas sekali peternak yang mampu mengusahakan dalam skala menengah keatas (> 200 ekor). Beberapa kendala yang masih di hadapi oleh para peternak, diantaranya adalah: (1) Modal usaha, bahwa dalam penguasaan ternak kado yang semakin besar maka tidak sedikit modal yang dibutuhkan. Baik untuk pengadaan bibit, untuk biaya pemeliharaan ternak dan kandang serta biaya peralatan. Lahan merupakan faktor utama dalam mendukung kelancaran usaha, budidaya ternak kado yang mengarah pada skala menengah dan skala besar tidak bisa mengandalkan pakan dari alam, melainkan harus dimiliki lahan rumput/hijauan pakan ternak sendiri agar kontinuitas dan kwalitas pakan bisa tetap terjaga, (2) Ketersediaan tenaga kerja, budidaya ternak kado membutuhkan ketersediaan tenaga kerja yang cukup, mengingat pengadaan pakan hijauan ternak merupakan kegiatan yang paling banyak membutuhkan porsi curahan waktu dan tenaga kerja. Ketersediaan tenaga kerja keluarga masih merupakan andalan, akan tetapi ketersediaan tersebut masih harus dialokasikan pada kegiatan produktif lainnya. Rendahnya penguasaan ternak bagi sebagian responden disebabkan oleh pola pemeliharaan yang tradisional yang cenderung mengandalkan ketersediaan tenaga keluarga. Sistem tradisional menjadikan curahan jam kerja tenaga keluarga cukup tinggi, karena kegiatan beternak kado cenderung dijadikan kegiatan sambilan. Mahalnya upah tenaga kerja harian di pedesaan menyebabkan peternak tidak mampu menyewa tenaga buruh harian, (3) Unsur manajemen terutama dalam perencanaan dan kontrol yang berkaitan dengan masalah terutama pengawasan terhadap kesehatan dan pemberian pakan ternak merupakan hal yang belum banyak dikuasai oleh peternak. Melihat ketiga hal tersebut, ada indikasi bahwa pengembangan
541
Prosiding Seminar Nasional ternak kado masih memiliki peluang yang besar untuk ditingkatkan secara intensif. c.
Masalah permodalan
Kebutuhan modal untuk memenuhi biaya usaha seperti pengadaan bibit, pakan, obatobatan serta perbaikan kandang dan peralatan merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh setiap peternak. Dalam memenuhi kebutuhan tersebut ada beberapa cara untuk mengatasinya, yaitu peternak berusaha sendiri maupun kerjasama dengan fihak ketiga seperti pedagang penampung hasil produksi, atau pinjaman dari saudara, tetangga, dan fihak perbankan. Kenyataan baru sebagian kecil peternak yang mampu mengatasi sendiri kebutuhan modal, sedangkan sebagian besar masih menemui kesulitan. Dalam upaya mengakses ke lembaga perbankan banyak peternak tidak mampu memenuhi persyaratan teknis yang dikenakan oleh fihak bank berupa agunan. Hanya sebagian kecil peternak yang mampu memenuhi persyaratan teknis tersebut. Di sisi lain, tidak sedikit peternak yang memiliki lahan namun enggan untuk berhubungan dengan bank karena diliputi kekhawatiran kalau-kalau agunannya disita, sebagai konsekuensi tidak mampu membayar cicilan hutangnya. Kemampuan penyediaan modal sendiri merupakan hal yang umum dalam budidaya ternak kado (Yusdja et al., 2006). Walau keluarga terdekat sangat berperan dalam mengatasi masalah kekurangan modal, tetapi prosentasenya masih kecil. Sementara peranan fihak ketiga seperti tengkulak maupun jasa pelepas uang lainnya masih sangat sedikit, bahkan peran lembaga perbankan sendiri juga sangat terbatas. Mengingat budidaya ternak kambing masa panennya tidak menentu dan cenderung jangka panjang, maka para pelepas uang umumnya enggan untuk memberikan pinjaman modal kepada peternak. Berbeda dengan kasus budidaya ternak itik, kerjasama antara peternak dengan para pedagang pakan ternak atau pedagang pengumpul telur di sentra pengembangan ternak justru terjalin dengan baik (Winarso, 2007). Hal ini karena itik mampu memberikan penghasilan harian, sehingga pinjaman modal dapat diangsur harian. Sementara pola kerjasama yang demikian tampaknya belum bisa diterapkan
542
pada usaha budidaya ternak kado. Oleh sebaba itu budidaya ternak kado kurang berkembang di masyarakat. B. Fungsi Ternak dalam Ekonomi Rumah Tangga a.
Tenaga kerja
Salah satu permasalahan utama dalam usaha budidaya ternak kado adalah kebutuhan pakan yang harus tersedia setiap hari. Untuk mendapatkan pakan hijauan ternak sebagian besar peternak mengandalkan ketersediaan tenaga kerja keluarga yang tergantung pada komposisi demografi keluarga yang mencerminkan potensi ketersediaan tenaga dan beban ketergantungan (dependency) dalam keluarga yang bersangkutan. Ketersediaan tenaga merupakan faktor produksi penting dalam budidaya ternak kado terutama dengan pola pemeliharaan tradisional. . Permasalahannya dalam satu keluarga tidak semua anggota keluarga mampu mencurahkan tenaganya untuk hal-hal yang bersifat produktif. Demikian juga dalam budidaya ternak kado belum tentu semua anggota keluarga mampu melakukan kegiatan yang berkaitan dengan usaha ternak tersebut. Yusdja et al. (2006) melaporkan bahwa umur, pendidikan, jumlah keluarga/KK maupun pengalaman beternak cukup bervariasi antara keluarga peternak yang satu dengan lainnya. Dari segi umur sebagian besar (87,51%) responden berumur antara 31 – 55 thn. Sementara 2,50% responden berusia < 30 thn dan 10,00% responden berusia > 55 thn. Keragaan komposisi strata prosentase umur tersebut menunjukkan bahwa usia peternak kado secara umum merupakan usia produktif. Sementara peternak usia < 30 tahun yang sebenarnya merupakan generasi muda tampaknya minat terhadap kegiatan budidaya ternak kambing/domba masih rendah. Rendahnya minat generasi muda terhadap kegiatan budidaya ternak kado karena mereka lebih tertarik pada kegiatan sektor informal lainnya yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi. Berdasarkan tingkat penguasaan lahan oleh peternak, Yusdja et al. (2006) menunjukkan bahwa 57,50% peternak responden tidak memiliki lahan untuk tanaman rumput sama sekali. Ini membuktikan bahwa sebagian besar peternak dalam upaya memenuhi kebutuhan hijauan
Prosiding Seminar Nasional pakan ternak sepenuhnya mengandalkan pada ketersediaan rumput/hijauan pakan ternak dialam. Kondisi yang demikian menjadikan curahan jam kerja keluarga dalam mencari pakan ternak semakin tinggi terutama pada musim-musim kemarau yang merupakan musim paceklik hijauan pakan ternak hampir disemua lokasi. Disamping penguasaan asset lahan yang rendah, tingkat penguasaan ternak juga rendah, rendahnya penguasaan ternak disebabkan oleh pola budidaya yang masih tradisional yang cenderung mengandalkan ketersediaan tenaga kerja keluarga. Pola pemeliharaan yang demikian menjadikan curahan jam kerja tenaga keluarga cukup tinggi. Tingginya curahan kerja keluarga menjadikan kegiatan beternak kambing cenderung terbatas dan dijadikan kegiatan sambilan, terutama bagi responden yang memiliki aktivitas ekonomi lain diluar usaha ternak kado. Mahalnya upah tenaga kerja harian di pedesaan yang menyebabkan peternak tidak mampu menyewa tenaga buruh harian. Disisi lain kurangnya pengetahuan peternak terhadap perkembangan teknologi pakan, yang sebenarnya bisa menekan kebutuhan tenaga kerja, merupakan masalah yang belum teratasi. Seperti yang dikemukakan oleh Sudaryanto. dan Pasandaran, (1989) bahwa pola alokasi curahan kerja rumah tangga di pedesaan sangat dipengaruhi oleh kualitas sumberdaya lahan setempat. Rumahtangga di daerah dengan lahan pertanian yang relatif baik menunjukkan curahan kerja yang terspesialisasi dalam sektor pertanian. Sebaliknya rumahtangga di daerah pertanian yang marginal mencurahkan tenaga kerja pada berbagai sektor yang lebih beragam yang disebabkan oleh terbatasnya potensi lahan pertanian di daerah marginal tersebut. Selain kualitas sumberdaya lahan, struktur pemilikan asset produktif dan karakteristik rumahtangga ikut mempengaruhi pola curahan kerja rumahtangga. Budidaya ternak kado pola tradisional cenderung mengandalkan tenaga kerja keluarga dalam pengelolaannya terutama dalam memenuhi kebutuhan hijauan pakan ternak yang membutuhkan curahan jam kerja tinggi. Seperti dikemukakan oleh Hendayana. dan Togatorop, (2003) bahwa curahan jam kerja pertahun untuk memelihara ternak kado
di Jawa Barat berkisar antara 403,2 jam/hk/thn setara dengan 252 hari kerja/thn. Kondisi tersebut merupakan suatu korbanan (Opportunity Cost) yang tinggi, sempitnya peluang usaha produktif lainnya menyebabkan alokasi tenaga kerja keluarga dalam budidaya ternak kambing/domba terkadang tidak diperhitungkan oleh yang bersangkutan. Kondisi yang demikian menjadikan alokasi tenaga kerja untuk budidaya ternak kado lebih produktif daripada tidak ada kegiatan ekonomi samasekali bagi peternak. Untuk menekan tingginya curahan alokasi tenaga kerja dapat diatasi dengan cara menanam rumput dilahan pekarangan atau lahan milik peternak yang bersangkutan. Seperti yang dikemukakan oleh Priyanto dan Sudaryanto, (1998) bahwa dalam pengembangan ternak kado diperlukan pengembangan hijauan pakan ternak, agar kebutuhan alokasi tenaga kerja dapat ditekan. Namun permasalahannya tidak demikian sederhana, kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa banyak peternak tidak memiliki lahan, bahkan lahan pekarangan sekalipun. Sehingga solusi tersebut masih sulit untuk dilaksanakan bagi peternak yang tidak memiliki/menguasai lahan, yang pada akhirnya harus mencari hijauan pakan ternak di alam sekitarnya. Kemampuan seseorang dalam mencari hijauan pakan ternak tergantung dari jarak jauh dekatnya keberadaan hijauan serta tergantung musim paceklik rumput. Pencarian rumput di alam berkisar antara 1 – 2 jam untuk mendapatkan 50 kg HMT, akan tetapi dapat mencapai 4 jam bahkan 5 jam per 50 kg hijauan pakan ternak terutama pada musim paceklik rumput disaat puncak kemarau. Hal inilah yang menjadi pertimbangan peternak berapa ekor seharusnya mereka mampu memelihara ternak kado. Kapasitas maksimal tersebut merupakan ukuran yang telah diatur dengan sendirinya sesuai dengan tingkat luang waktu serta tenaga yang tersedia. Kegiatan budidaya ternak kado merupakan salah satu bentuk respon terhadap alternatif pemanfaatan peluang ekonomi yang masih ada, daripada tidak ada kegiatan produktif sama sekali. Jadi kegiatan budidaya ternak merupakan salah satu solusi karena kesempatan kerja maupun peluang usaha di daerah pedesaan semakin terbatas. Adanya
543
Prosiding Seminar Nasional persaingan yang semakin tajam dalam menawarkan jasa tenaga kerja di salah satu sisi, sementara di sisi lain adanya keterbatasan penguasaan lahan garapan menyebabkan kegiatan budidaya ternak kado menjadi salah satu solusi walau merupakan kegiatan yang memiliki asset turn over rendah. Hal ini merupakan salah satu peluang ekonomi yang dapat dengan mudah dapat dilakukan oleh setiap masyarakat pedesaan yang mau menekuninya. Kenyataan menunjukkan bahwa usaha ini ternyata dapat dijadikan terobosan atau bahkan dapat dijadikan penyangga ekonomi rumah tangga yang dapat menyelamatkan dari tekanan kebutuhan ekonomi yang terkadang bersifat emergency bagi suatu keluarga peternak. b. Sumber pendapatan dan asset tabungan keluarga Ada tiga pola budidaya ternak kado yang dilakukan oleh masyarakat yaitu : Pertama: pola pembibitan, budidaya ternak kado dengan tujuan utama untuk menghasilkan bibit, dimana peternak melakukan usaha pemeliharaan ternak dengan maksud utama untuk mendapatkan hasil berupa anak dari hasil usaha ternaknya. Bibit tersebut dapat saja berupa calon bibit seperti anakan kado jantan maupun anakan betina bakalan yang siap untuk dibesarkan. Kedua: - Pola Penggemukan, budidaya ternak dengan pola penggemukan atau pola pembesaran merupakan kegiatan pemeliharaan ternak dengan maksud utama untuk menghasilkan kado pedaging atau kado dewasa. Untuk memenuhi hasil tersebut peternak hanya memelihara ternak jantan bakalan yang dipelihara secara kereman, setelah dianggap cukup besar ternak tersebut dijual. Ketiga : Pola campuran antara keduanya. Yusdja et al. (2006) juga menunjukkan bahwa sebagian besar peternak adalah peternak penghasil bibit. Di wilayah Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Malang, Kabupaten Jombang maupun Kabupaten Purworejo menunjukkan bahwa sebagian besar peternak memiliki tujuan bahwa produk utama adalah pembibitan. Pola pembibitan masih merupakan pola dominan yang banyak diminati oleh peternak, walau ada sebagian dari peternak terutama di daerah Sukabumi telah mengarah pada pola penggemukan. Akan tetapi pola ini lebih bersifat insidentil
544
dan musiman terutama saat menjelang bulan Qurban. Dimana permintaan kado jantan dewasa pada bulan tersebut cukup tinggi untuk memenuhi kebutuhan upacara ritual Qurban. Usaha budidaya ternak kado merupakan salah satu solusi untuk mengatasi kesulitan/keterbatasan ekonomi rumah tangga bagi masyarakat pedesaan, terutama bagi keluarga yang tidak memiliki kesempatan ekonomi lainnya. Ternak tersebut merupakan sumberdaya yang dapat dibudidayakan sehingga mampu memberikan sumbangan pendapatan bagi pemiliknya. Baik berupa ternak hidup maupun produk samping lainnya seperti limbah kotoran ternak maupun susu. Dilihat dari struktur usahanya, maka ternak kado merupakan asset bergerak yang dapat diputar sehingga mampu memberikan pendapatan. Disamping merupakan asset bergerak maka ternak kado juga merupakan asset yang dapat berfungsi sebagai tabungan keluarga yang setiap saat dapat diuangkan makanala muncul kebutuhan ekonomi keluarga yang mendesak. Peran yang demikian penting dalam tata ekonomi keluarga, maka sebagian masyarakat peternak cenderung melakukan penjualan ternak menunggu adanya keterdesakan oleh kebutuhan sehingga kurang memperhitungkan untung rugi dalam usaha budidaya ternak. Hal ini tampaknya lebih ditentukan oleh pola pemeliharaan yang ditempuh oleh peternak. Seperti yang dikemukakan oleh Wahyuning et al. (1997), bahwa dilihat dari pola pemasaran hasil ternak yang dilakukan secara umum ditentukan oleh sistim/pola pemeliharaan yang dilakukan oleh peternak. Pemeliharaan ternak kado sistim kereman/penggemukan akan lebih terpola dalam kegiatan pemasaran ternaknya. Mereka melakukan perencanaan waktu penggemukan dan lebih berorientasi pada pendapatan hasil/keuntungan. Sementara pada sistim pembibitan yang umumnya banyak dilakukan oleh peternak maka sistim pemasarannya tidak menentu tergantung adanya kebutuhan finansial keluarga yang sifatnya cash. Sehingga pola kedua ini dapat dikatakan bahwa budidaya ternak kado merupakan usaha pemupukan modal tabungan keluarga melalui kegiatan budidaya ternak yang sewaktu-waktu muncul kebutuhan mendesak maka ternak
Prosiding Seminar Nasional tersebut salah satu andalan untuk menutupi kebutuhan finansial keluarga tersebut. Kebiasaan positif tentunya bagi masyarakat ekonomi lemah di pedesaan dimana sulitnya masyarakat menjangkau lembaga finansial formal maupun non formal, maka salah satu solusi untuk mengatasi masalah finansial keluarga adalah melalui usaha pemeliharaan ternak kado. Kegiatan ini lebih bisa diandalkan oleh sebagian masyarakat karena didukung oleh mudahnya memasarkan hasil ternak. Seperti yang dikemukakan oleh Hendayana (2001), bahwa dengan adanya bisnis antara peternak dan pedagang/bandar ternak yang mengarah kepada kemitraan usaha, menyebabkan satu sama lain saling membutuhkan. Adanya kerjasama tersebut menjadikan kemudahan menjual hasil lebih terjamin, walau sebenarnya kondisi ini mengandung kelemahan terutama difihak peternak karena adanya unsur ketergantungan. Dilihat dari besarnya sumbangan pendapatan dari hasil budidaya ternak kado, sementara fihak berpendapat bahwa usaha ini belum memberikan hasil yang signifikan untuk mencukupi kebutuhan ekonomi rumah tangga peternak. Studi yang dilakukan oleh Isbandi, (2004) menunjukkan bahwa budidaya ternak domba hanya mampu menyumbang 5,0% sampai dengan 10,0% pendapatan rumah tangga. Sedangkan Priyanto et al. (2001) menunjukkan angka sumbangan sebesar 13,14% sampai dengan 19,31%. Sementara Paat et al. (1992) mengemukakan bahwa usaha ini dapat memberikan
sumbangan pendapatan sebesar 15,0% sampai dengan 48,0% terhadap total pendapatan keluarga. Disisi lain Yusdja et al. (2006) justru mengemukakan hal yang lebih prospektif bahwa berdasarkan penelitian di beberapa lokasi sentra pengembangan ternak kado menunjukkan bahwa usaha budidaya ternak ini mampu memberikan share pendapatan keluarga sebesar antara 11,0% sampai dengan 25% pendapatan bagi 30,0% responden, sementara 47,% responden mengaku bahwa usaha tersebut mampu memberikan sumbangan pendapatan keluarga antara 26,0% sampai dengan 50,0% bahkan 22,5% responden mengaku dapat menutupi lebih dari separoh penghasilan keluarga dari hasil budidaya ternak tersebut (Tabel 1). Melihat angka prosentase tersebut menunjukkan bahwa budidaya ternak kado sebenarnya dapat diharapkan untuk menyumbang kebutuhan ekonomi keluarga walaupun hanya sebagian. Disamping itu informasi tersebut tentu merupakan sebuah harapan bagi perbaikan ekonomi keluarga peternak kado, artinya data tersebut setidaknya memberikan informasi bahwa kegiatan budidaya ternak kado mampu memberikan pendapatan yang cukup signifikan bagi banyak peternak. Hal yang demikian menjadikan kegiatan budidaya ternak ini merupakan salah satu solusi jalan keluar untuk mengatasi kesulitan ekonomi, walau dilihat dari besarnya omset perputaran modal sebenarnya rendah.
545
Prosiding Seminar Nasional Tabel 1. Besarnya sumbangan ternak kambing terhadap pendapatan keluarga di empat wilayah lokasi, tahun 2006 Besarnya persentase terhadap pendapatan
Kabupaten Sukabumi
Ciamis
Malang
Jombang
Rata-rata (%)
a. < 10 %
0
0
0
0
0
b. 11 % - 25 %
30
70
0
20
30
c. 26 % - 50 %
40
30
60
60
47,5
d. > 50 %
30
0
40
20
22.,5
Sumber: Yusdja et.al, (2006).
Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Santosa dan Sudaryanto (1989) bahwa kadaan kualitas produksi dan keterbatasan pemilikan asset telah mendorong sebagian penduduk desa untuk memasuki bidang-bidang pekerjaan yang sebenarnya kurang produktif. Namun demikian walaupun dilihat dari kemampuan asset turn over budidaya ternak kado tergolong rendah, pada kenyataan dapat dijadikan andalan bagi sementara keluarga di pedesaan, terutama mereka yang tidak memiliki peluang lainnya untuk berusaha. Secara kelayakan finansial menunjukkan bahwa hasil analisis usahatani budidaya ternak kado cukup menguntungkan. Ini dikarenakan kecilnya biaya yang harus dikeluarkan oleh setiap peternak. Biaya riil yang dikeluarkan peternak hanya sebatas biaya investasi awal yang memang cukup besar yaitu biaya untuk pengadaan ternak dan biaya pembuatan kandang ternak. Sementara biaya operasional hanya terbatas pada biaya penyusutan kandang dan peralatan, biaya pemeliharaan kandang dan biaya operasional lainnya yang relatif kecil. Rendahnya biaya usaha tani ternak ini menyebabkan usaha ini cukup layak untuk dikembangkan, setidaknya dilihat dari besarnya R/C Ratio diatas 2,0. Ini menunjukkan bahwa usaha budidaya ternak kado sangat menjanjikan. Kecilnya biaya usahatani ternak disamping disebabkan oleh sedikitnya biaya operasional, maka kebutuhan hijauan pakan ternak hampir tidak menggunakan biaya. Sebab kebutuhan pakan tersebut sepenuhnya dicari dialam bebas. Kalaupun ada pengeluaran biaya tunai biasanya terbatas pada biaya pembelian obatobatan, garam dapur sebagai pelengkap kebutuhan mineral ternak dan vitamin.
546
Seperti yang dikemukanan oleh Karokaro et. al, (2005) bahwa dengan skala 20 ekor induk setelah dua tahun pemeliharaan, maka peternak akan memperoleh pendapatan rata-rata 2 ekor sampai dengan 4 ekor perbulan yang siap untuk dipasarkan. Informasi tersebut merupakan hal yang cukup menggembirakan disatu sisi, disisi lain peluang peternak untuk memelihara ternak kado sebanyak tersebut tampaknya masih belum semua lokasi dapat melakukan dan masih menemui banyak kendala, baik kendala teknis, kendala ekonomis maupun kendala lainnya. Kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa peternak baru mampu memelihara ternak kado berkisar antara 6 ekor – 15 ekor, hal tersebut mencerminkan belum adanya respon peternak terhadap perubahan skala pemeliharaan yang lebih ekonomis. Hal ini disamping adanya kendala keterbatasan tenaga kerja keluarga juga belum tersedianya pola pemberian pakan yang lebih mudah, murah dan efisien. Kondisi inilah yang sebenarnya masih merupakan kendala dalam pengembangan budidaya ternak ruminansia khususnya ruminansia kecil seperti kambing dan domba. c.
Pemanfaatan lahan sekitar tempat tinggal
Lahan merupakan salah satu faktor produksi penting dalam budidaya ternak kado terutama untuk ditanami hijauan makanan ternak (HMT) dalam upaya menjaga pengadaan ketersediaan dan kontinuitas hijauan ternak. Disamping dibutuhkan untuk bangunan kandang ternak dengan segala fasilitasnya. Bangunan penunjang lainnya yang dianggap penting seperti gudang pakan, atau bangunan untuk memenuhi kebutuhan lainnya seperti penyimpanan peralatan. Berternak kado dapat dilakukan dengan pola intensif dimana ternak di kurung dalam
Prosiding Seminar Nasional kandang diperlakukan sedemikian rupa, sehingga kebutuhan pakan dan air minum diatur sesuai dengan kebutuhan, atau dapat dilakukan dengan cara sistem ekstensif dengan cara digembalakan di lahan terbuka. Lahan merupakan salah satu faktor produksi penting dalam budidaya ternak kado terutama untuk ditanami hijauan dalam upaya untuk memenuhi ketersediaan dan kontinuitas pakan ternak disamping untuk bangunan kandang ternak dengan segala fasilitasnya. Dalam kegiatan budidaya ternak tidak hanya kandang yang membutuhkan lahan, namun bangunan penunjang lainnya juga dianggap penting seperti bangunan gudang pakan, atau bangunan untuk memenuhi kebutuhan lainnya seperti penyimpanan peralatan. Yusja et al. (2006) mengemukakan bahwa bahwa sebagian besar (82,50%) peternak kambing samasekali tidak menguasai lahan sawah, kalaupun ada umumnya luasnya masih kurang dari 0,25 ha. Sementara tingkat penguasaan lahan tegalan/kebun, 27,50% responden samasekali tidak memilikinya, 22,50% hanya menguasai luasan kebun/tegalan kurang dari 0,26 ha dan 32,50% menguasai lahan tegalan/perkebunan seluas antara 0,26 ha – 0,50 ha. Sedangkan penguasaan lahan pekarangan juga sangat terbatas, dimana 65,0 % responden samasekali tidak menguasai lahan pekarangan 27,50% responden hanya menguasai lahan pekarangan kurang dari 0,25 ha dan 7,50% responden menguasai lahan pekarangan diatas 0,50 ha. Demikian juga dengan lahan untuk areal tanaman rumput sebagai bahan baku pakan ternak. Peternak tidak memiliki lahan untuk tanaman rumput (57,50%). Hal ini menunjukkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak kambingnya masih mengandalkan sepenuhnya pada ketersediaan rumput/hijauan pakan ternak dialam. Sementara untuk pengadaan kandang lahan yang diperlukan bervariasi antara 17m2 sampai dengan 28m2 dengan nilai kandang berrvariasi rata-rata Rp 670 ribu sampai dengan Rp 815 ribu per unit. Perbaikan kandang dilakukan satu kali setahun. Dengan kondisi yang demikian maka budidaya ternak kambing tidak lagi didasarkan atas penguasaan lahan oleh peternak, tetapi lebih menyandarkan pada kemurahan alam.
Kondisi tersebut diperburuk oleh semakin sempitnya areal lahan padang penggembalaan, dimana data selama kurun waktu selama dua puluh tahun terakhir (1986 – 2007) perkembangan luas lahan padang penggembalaan/padang rumput terutama di wilayah P. Jawa mengalami penurunan dengan laju penurunan rata-rata -1,93% per tahun. Dari 62,90 ribu ha (1987) menjadi 47,22 ribu ha pada tahun 2005. Kondisi yang demikian tentu akan semakin sulit untuk menjadikan beternak kambing dengan pola ekstensif yang membutuhkan areal penggmbalaan. Sementara kasus di luar P. Jawa justru sebaliknya disamping masih terdapat areal lahan padang penggembalaan/padang rumput yang sangat luas maka selama kurun waktu yang sama justru mengalami pertambahan luas areal. Dimana pada tahun 1986 seluas 2,35 juta ha meningkat menjadi 2,43 juta ha pada tahun 2005. Artinya potensi untuk mengembangkan ternak kado sistem ekstensif masih memiliki peluang yang cukup tinggi. Meningkatnya minat masyarakat untuk memelihara ternak kado disebabkan disamping semakin sempitnya peluang berusaha juga semakin terbatasnya tingkat penguasaan lahan oleh peternak. Kondisi demikian menyebabkan peluang untuk mendapatkan penghasilan yang mengandalkan pada lahan semakin terbatas. Hal inilah yang merupakan pendorong untuk menekuni peternakan khususnya ternak kado sebagai salah satu sumber mata pencaharian. Pemeliharaan ternak kado lebih banyak dikembangkan pada wilayah dengan dominasi utama lahan kering. Beberapa kasus di desa contoh menunjukkan bahwa sentra pengembangan ternak ini mengarah pada areal tanaman utama palawija, perkebunan atau bahkan lebih cenderung mengarah ke wilayah sekitar hutan, hal ini didasarkan atas ketersediaan pakan hijauan yang cukup tersedia. Disamping itu ketersediaan dan kontinuitas pakan merupakan faktor utama yang dipertimbangan peternak. Seperti yang dikemukakan oleh Suryana (1989) bahwa bagi rumahtangga pedesaan yang tidak punya lahan pertanian atau yang menguasai lahan sempit, kegiatan berburuh tani dan non pertanian merupakan alternatif kegiatan yang dapat memberikan tambahan bagi pendapatan rumah tangga. Demikian
547
Prosiding Seminar Nasional juga Nurmanaf (1989) juga mengemukakan bahwa total curahan tenaga kerja rumah tangga tampak lebih tinggi di desa-desa dengan potensi lahan sawah irigasi daripada di desa-desa dengan potensi lahan tadah hujan dan lahan kering. Hal ini mengindikasikan bahwa budidaya ternak kado memang merupakan solusi yang tepat bagi masyarakat pedesaan yang tidak menguasai lahan atau bagi masyarakat yang berlahan sempit. Budidaya ternak kado adalah kegiatan yang senantiasa membutuhkan ketekunan, kesungguhan dan keseriusan, apalabila usaha tersebut dapat berhasil dengan baik, dimana faktor keuntungan usaha menjadi suatu tujuan yang diharapkan. Keadaan yang demikian menjadikan usaha budidaya ternak kado tidak sekedar hobi, melainkan telah memperhitungkan segala faktor resiko yang harus dihadapi agar dalam usahanya senantiasa mendapatkan hasil. Budidaya ternak kambing bagi sebagian masyarakat sebenarnya merupakan usaha yang telah dilakukan secara turun-temurun, sehingga pengetahuan dan ketrampilan juga didapatkan dari generasi pendahulunya. d. Penyedia bahan baku industri Kegiatan agroindustri perlu dikembangkan agar tercipta keterkaitan yang erat antara sub sektor peternakan dan sektor industri. Sasaran pengembangan agroindustri mencakup lima hal pokok yaitu (1) menciptakan nilai tambah, (2) menciptakan lapangan kerja. (3) meningkatkan penerimaan devisa. (4) memperbaiki pembagian pendapatan dan (5) menarik pembangunan sektor pertanian (Simatupang dan Purwoto , 1990). Produk yang dihasilkan dari ternak kado disamping berupa ternak hidup, maka hasil utama lainnya adalah daging, susu, tulang, kulit, darah serta by product lainnya. Yang mana produk-produk tersebut bisa merupakan produk akhir yang siap dikonsumsi, tetapi juga dapat berfungsi sebagai produk antara yang merupakan bahan baku untuk produksi turunan selanjutnya. Pengamatan dilapangan menunjukkan bahwa belum banyak produk-produk antara tersebut yang dapat termanfaatkan kembali. Kasus seperti pemanfaatan limbah seperti darah, bulu, tulang dan limbah-limbah hasil ternak lainnya sebagian besar merupakan barang yang habis dibuang (“waste”) sama
548
sekali tidak termanfaatkan. Permasalahannya adalah sampai sejauh mana limbah tersebut telah diproses sehingga menjadi produk yantg lebih bermanfaat, dan sampai sejauh mana hasil ternak kado terutama daging, kulit dan susu dapat diproses lebih jauh menjadi komoditas lain yang memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi. Tulisan ini mencoba menelaah tentang kinerja kegiatan agroindustri dari ternak maupun hasil ternak kado. Winarso, (2007) mengemukakan bahwa kecilnya peran daging kado dalam menyumbang hasil industri daging ternak disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah (1) terbatasnya pasokan volume daging kado, sehingga tidak bisa mencukupi untuk dijadikan bahan baku industri lanjutan. (2) kontinuitas yang belum bisa diandalkan, mengingat ketersediaan daging kado dari hasil pemotongan yang terpencar-pencar dan sulit dikoordinir, (3) kuatnya pasar konsumen akan permintaan daging kado segar, sehingga ketersediaan pasokan daging segar untuk bahan baku industri lanjutan tidak/belum terpenuhi pasokannya. Dengan kondisi yang demikian maka kesempatan pengembangan ternak kado untuk memenuhi kebutuhan industri asal ternak kado peluangnya masih sangat besar. e. Sumbangan pendapatan lainnya Susu Budidaya kambing dengan tujuan utama untuk menghasilkan susu sebagai produk utama, belum banyak dikembangkan oleh peternak. Hal ini disebabkan bahwa untuk menghasilkan produk susu, kambing yang dipelihara adalah jenis PE (Peranakan Etawa). Disamping harga ternak jenis PE mahal, maka susu merupakan produk yang masih dirasa asing bagi sebagian besar peternak. Keragaan di lapangan menunjukkan bahwa pola ini umumnya baru dilakukan oleh pengusaha ternak skala besar yang memang menspesialisasikan usaha pada produksi susu kambing sebagai produk utamanya. Ditingkat peternak tradisional, minat untuk menghasilkan susu masih rendah, karena peternak lebih mengutamakan hasil ternak bibit sebagai produk utamanya. Kendala lain adalah kurangnya pemberian pakan yang bermutu kepada ternak sehingga menyebabkan produk susu yang dihasilkan
Prosiding Seminar Nasional masih rendah, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap hasil yang diterima peternak. Disamping itu peternak belum siap dengan masalah penanganan produk susu. Susu merupakan produk yang menuntut penangan secara higienis serta cepat agar susu tidak rusak. Disamping itu penanganan terhadap ternak yang akan diambil susunya dan tempat untuk melakukan pemerasan serta pengadaan sarana prasarana penting lainnya seperti, caning penampung susu, Cold storage dan alat-bantu lainnya yang kesemuanya perlu steril. Pengalaman menunjukkan tidak sedikit produk susu kambing yang ditolak oleh agen pengumpul karena penanganan produk susu yang kurang baik. Permasalahannya bahwa ditingkat peternak informasi tersebut belum sepenuhnya dipahami, dan hal tersebut masih merupakan kendala. Permasalahan lain bahwa kebiasaan minum susu kambing di tingkat masyarakat belum begitu membudaya, disamping harganya masih mahal, ketersediaan terbatas dan masih sulit ditemukan, disamping itu kontinuitas pasokannya masih belum bisa diandalkan. Banyak masyarakat yang belum memahami manfaat susu kambing yang sebenarnya sangat baik untuk kesehatan, informasi bagi masyarakat tentang manfaat susu kambing masih perlu lebih banyak diinformasikan dan disosialisasikan. Pupuk kandang Dari banyak literatur yang membicarakan tentang ternak kado, masalah limbah ternak ini tampaknya belum banyak dikupas, sehingga informasi tentang limbah kotoran ternak yang sebenarnya merupakan salah satu bentuk produk sampingan (by product) belum banyak tergali. Dari informasi di lapangan menunjukkan bahwa pupuk kandang bagi sebagian peternak telah memanfaatkannya untuk memenuhi kebutuhan pupuk organik tanaman yang dibudidayakan. Beberapa kasus menunjukkan bahwa pupuk kotoran ternak umumnya untuk memupuk tanaman baik tanaman pangan maupun tanaman perkebunan. Kasus di wilayah Jombang menunjukkan bahwa kotoran ternak kado digunakan untuk memupuk tanaman cengkeh sebagai tanaman utamnya. Sedangkan kasus di Ampelgading Malang kotoran ternak banyak digunakan
untuk memupuk kopi dan gamal, sedangkan di Cicurug (Sukabumi) banyak digunakan untuk memupuk tanaman hortikultura seperti sayursayuran dan tanaman bunga. Bagi peternak yang tidak memiliki lahan samasekali maka kotoran ternaknya sebagian responden menjualnya dan sebagian lagi diberikan kepada tetangga yang membutuhkannya. Dari ilustrasi tersebut diatas maka produk sampingan dari budidaya ternak kambing mampu memberikan manfaat sampingan bagi masyarakat yang mengelolanya.
KESIMPULAN Walaupun usaha budidaya ternak kado memiliki prospek baik, terutama peluang kuatnya pasar, kenyataan menunjukkan bahwa masih sulit peternak untuk meningkatkan skala usahanya dimana agar usaha ini dapat dijadikan sebagai andalan pendapatan keluarga. Permasalahan utama adalah curahan tenaga kerja yang sangat tinggi pada kegiatan pengadaan pakan. Sehingga sulit bagi peternak untuk mengembangkan usahanya karena keterbatasan kemampuan alokasi waktu dan tenaganya. Pembenahan manajemen pengadaan input terutama pakan dan bibit ternak merupakan suatu hal yang sangat dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Seyogyanya dalam memenuhi kebutuhan pakan, peternak tidak harus mengandalkan ketersediaan pakan alam, perlu solusi pakan buatan yang bisa dijangkau oleh peternak baik dalam harga, lokasi dan waktu guna menekan alokasi tenaga kerja yang cukup tinggi tersebut. Keterlibatan pemerintah maupun swasta dalam membangun kebutuhan hulu bisnis ternak potong khususnya dalam industri pakan dan industri bibit sangat diutamakan. Peternak tidak bisa dilepas sendirian kalau memang ada keinginan pemerintah menjadikan ternak potong baik ternak sapi, ternak kado maupun ternak potong lainnya sebagai pemicu pertumbuhan ekonomi di pedesaan.
PUSTAKA Badan Pusat Statistik. pertanian tahun 2003.
2003.
Sensus
Ditjend. Peternakan 1992 s/d 2006. Statistik Peternakan
549
Prosiding Seminar Nasional Priyanto dan B. Sudaryanto 1998. Pengembangan usaha ternak domba melalui peningkatan skala pemeliharaan induk di daerah lahan kering; Prosiding: Seminar nasional peternakan dan veteriner; Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Hendayana R. Dan M.Togatorop. 2003. Struktur curahan waktu kerja dan pendapatan peternak; Prosiding: Seminar nasional teknologi peternakan dan veteriner; Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Isbandi dan D. Priyanto. 2004. Sumbangan sub sektor usaha ternak domba dalam mendukung ekonomi rumah tangga di desa pasiripis dan tegalsari, jawa barat. Prosiding: Seminar nasional peternakan dan veteriner; Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Nurmanaf R. 1989. Alokasi Curahan Tenaga kerja Rumah tanga Pedesaan di Lampung; Prosiding: Patanas; Pusat Penelitian Agro Ekonomi. Paat PC., B. Sudaryanto, M.Sarjubang dan B. Setiadi. 1992. Effek skala usaha pembibitan kambing PE terhadap efisiensi dan adopsi teknologi; Prosiding: Saresehan usaha ternak kambing dan domba menjelang Era PJPT II, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Priyanto D., B. Setiadi, M. Martawidjaja dan D. Yulistiani. 2001. Peranan usaha ternak kambing local sebagai penunjang perekonomian petani di pedesaan; Prosiding: Seminar nasional teknologi peternakan dan veteriner; Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Hendayana R. 2001. Kinerja dan perspektif kemitraan dalam mendukung pengembangan agribisnis ternak domba; Prosiding Seminar nasional teknologi peternakan dan veteriner; Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Sabrani M. 1982. Respon pengembangan ternak domba terhadap pola tanaman dan jumlah petani; Prosiding: Seminar penelitian peternakan; Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
550
Santoso B. Dan Sudaryanto T. 1989. Pengaruh lingkungan produksi dan karakteristik demografi terhadap pola curahan kerja rumah tangga pedesaan di Kalimantan Selatan. Prosiding: Patanas; Pusat Penelitian Agro Ekonomi. S. Karo-karo, A. Priyanti dan J. Sianipar. 2005. Analisis kontribusi usaha agribisnis ternak kambing berbasis perkebunan kelapa sawit; Prosiding: Seminar nasional teknologi peternakan dan veteriner; Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Subandriyo dan A. Djajanegara. 1996. Potensi produktivitas ternak domba di Indonesia; Prosiding: Seminar nasional peternakan dan veteriner; Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Sudaryanto T dan E. Pasandaran. 1989. ; Perkembangan struktur produksi, ketenagakerjaan dan pendapatan rumahtangga pedesaan, Prosiding Patanas; Pusat Penelitian Agro Ekonomi. Suryana A. 1989. Perspektif mobilitas kerja dan kesempatan kerja pedesaan Prosiding: Patanas; Pusat Penelitian Agro Ekonomi. Wahyunig K. Sedjati, Ashari, U. Adiarti, S. Mawi dan E. Juarini. 1997. Profil usaha ternak domba di kecamatan jalancagaksubang; Prosiding: Seminar nasional peternakan dan veteriner; Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Winarso B. 2007. Prospek dan kendala pengembangan agribisnis ternak kambing/domba di Indonesia Workshop: Domba dan kambing. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor _________, 2007. Dinamika kegiatan agroindustri dalam menunjang budidaya ternak kambing domba. Workshop Domba dan Kambing. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. ____________; 2007. Kajian finansial usaha budidaya itik berdasarkan analisis sumberdaya permodalan di sentra pengembangan ternak itik di Jawa; Seminar Nasional Inovasi Teknologi dan Kelembagaan Pertanian Dalam Upaya Peningkatan pemberdayaan Masyarakat; BPPT Yogyakarta.
Prosiding Seminar Nasional Yusdja Y. , R. Sayuti, WK. Sedjati, I. Setiadji, I. Sodikin dan B. Winarso. 2005. Pengembangan model kelembagaan agribisnis unggas tradisional. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
Yusdja Y.; R. Sayuti, B. Winarso dan I. Sodikin. 2006. Kebijakan peningkatan manfaat dan nilai tambah sumberdaya ternak. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
551
Prosiding Seminar Nasional
PERSEPSI PETUGAS DAN PETANI MAJU TERHADAP TEKNOLOGI PENGELOLAAN LIMBAH TERNAK UNTUK PUPUK ORGANIK YANG DIDISEMINASIKAN MELALUI KOMIK DAN VCD DI WILAYAH MARGINAL (Perception of the agricultural extension staffs and advance-farmers on the technology innovation of the use of animal waste for organic fertilizer disseminated through the comic and VCD media in marginal area) Wahyudi Hariyanto, Herwinarni E.M., dan Ekaningtyas Kushartanti Balai Pengkajian teknologi Pertanian Jawa Tengah
ABSTRAK Introduksi dan sosialisasi inovasi teknologi pertanian di wilayah marginal Kabupaten Blora dan Temanggung sangat dipengaruhi oleh ketepatan penggunaan metode komunikasi. Pemilihan metode komunikasi dipengaruhi oleh jenis inovasi, pilihan media komunikasi, karakteristik wilayah dan sasaran. Pengkajian tentang persepsi petugas dan petani maju terhadap teknologi pengelolaan limbah ternak untuk pupuk organik yang didiseminasikan melalui komik dan VCD bertujuan untuk mengetahui persepsi petugas dan petani maju terhadap isi pesan/materi media cetak komik dan VCD inovasi pengelolaan limbah ternak untuk pupuk organik di wilayah marginal. Pengkajian dilakukan di Desa Tanurejo, Kecamatan Bansari, Kabupaten Temanggung dan Desa Mendenrejo, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Blora. Responden berjumlah 15 orang untuk masing-masing Kabupaten. Penilaian tingkat persepsi responden terhadap isi pesan VCD dan komik menggunakan penskalaan model Likert Summated Ratings (LRS) dan dianalisis menggunakan uji parameter proporsi. Pengkajian dilakukan dengan pendekatan true experimental dan desainnya pretest postest control group design. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa responden petugas/penyuluh pertanian dan petani maju hampir seluruhnya mempunyai persepsi positif/tinggi terhadap isi pesan/materi media komik dan VCD dan hanya 3,33% (1 orang) yang mempunyai persepsi pada katagori sedang. Kata kunci: Persepsi, inovasi, komik, VCD
ABSTRACT Introduction of agricultural technology innovation in marginal area of Blora and Temanggung area was strongly influenced by the appropriateness of the application of communication method. Commonly, the choice of communication method is influenced by the type of innovation, type of media, area characteristic and target group background. An assessment was directed to ward evaluating the perception of two target groups (the agricultural extension stuffs and advance farmers) on the technology innovation for processing organic fertilizer using cattle manure in marginal area. The present study was conducted at Tanurejo Village of Bansari Sub-district, Temanggung District and Mendenrejo Village, Kradenan Sub-district, Blora District. The number of respondent is 15 for each District. Measurement was made on perception grade by using Likert Summated Ratings (LRS) model and analyzed using proportional parametric. Assessment was conducted using the true experimental and pre-test post-test control group design. Results showed that almost all of respondents, the agricultural extension staffs and advantaged farmers, indicated a positive perception on the content of comic and VCD. It was documented that only 3.33 % (1 respondent) fall into medium category. Key words: Perception, inovation, comic, VCD
PENDAHULUAN Pembangunan pertanian berkelanjutan memerlukan dukungan inovasi teknologi yang relevan untuk mengantisipasi berbagai perubahan lingkungan strategis di semua tingkat. Untuk menjadikan sektor pertanian sebagai andalan perekonomian nasional
552
pemanfaatan teknologi spesifik lokasi dan efisiensi penggunaan faktor produksi (efisiensi alokatif, skala ekonomi) sebagai hasil penerapan Iptek/inovasi teknologi mutlak diperlukan (Departemen Pertanian, 2000).
Prosiding Seminar Nasional Pemanfaatan inovasi teknologi pertanian sangat diperlukan, karena secara umum terdapat kesenjangan antara produktivitas riel ditingkat usahatani dan produktivitas potensial komoditas petanian, yang berkisar antara 20100 persen (Departemen Pertanian, 2000). Keadaan di lapangan masih menunjukkan kesenjangan antara teknologi yang dihasilkan sumber teknologi dan penerapan teknologinya oleh pengguna. Penyebab adanya kesenjangan tersebut antara lain karena petani belum tahu atau tidak menerapkan teknologi hasil penelitian. Dengan alasan; (a) teknologi tidak sampai kepada petani, (b) teknologi tidak sesuai dengan kebutuhan petani, (c) teknologi belum dipahami dan diyakini oleh petani, (d) petani kesulitan mendapatkan sarana produksi yang dianjurkan, dan (e) kemampuan modal petani terbatas (Paryono et al., 2002). Inovasi adalah sesuatu yang baru, dapat berupa barang, ide atau gagasan serta teknologi yang diperkenalkan kepada seseorang atau masyarakat agar terjadi perbaikan dalam usahanya, dalam kehidupannya. Seseorang dapat menganggap barang, ide/gagasan, teknologi tersebut baru, namun belum tentu hal tersebut dianggap baru bagi orang lain (Rogers dan Shomaker, 1971; Mardikanto, 1993). Menurut Deptan (2005) inovasi adalah kegiatan penelitian, pengembagan dan atau perekayasaan yang bertujuan mengembangkan penerapan praktis nilai dan konteks ilmu pengetahuan dan teknologi kedalam produk atau proses produksi. Sedangkan inovasi teknologi adalah aktivitas untuk membawa hasil penelitian dan perekayasaan kepada pengguna atau pasar. Inovasi pertanian keluaran Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) seyogyanya merupakan inovasi yang dibutuhkan dan mempunyai nilai komersial serta memberi nilai tambah kepada khalayak penggunanya (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2003). Inovasi keluaran BPTP dapat berupa produk langsung (tangible) dan produk tidak langsung (intangible). Produk langsung antara lain dapat berupa teknologi spesifik lokasi dan varietas unggul lokal. Sedangkan produk tidak langsung dapat berupa pengetahuan, cara/prosedur, metode dan informasi baru yang berkaitan dengan peningkatan
pendapatan dan pengembangan pertanian yang dibutuhkan pengguna (Sulaiman, 2002). Pengguna inovasi BPTP Jawa Tengah memerlukan inovasi yang dapat menjawab permasalahan lapang, mengembangkan potensi ataupun berupa frontier technology (teknologi masa depan). Dinyatakan oleh Syam dan Wijono (1992), bahwa inovasi hasil penelitian dan pengkajian yang akan dijadikan materi penyuluhan oleh para penyuluh pertanian adalah inovasi yang relevan dengan permasalahan yang dihadapi petani. Berkaitan dengan hal tersebut, maka kesesuaian inovasi hasil pengkajian BPTP Jawa Tengah dengan potensi, kondisi, ataupun sebagai alternatif yang dapat memecahkan permasalahan lapang merupakan faktor penentu dimanfaatkannya inovasi tersebut oleh pengguna. Suatu inovasi yang diintroduksikan kepada seseorang berkaitan dengan keputusan yang dibuat oleh orang tersebut untuk menerima atau menolak inovasi. Proses penerimaan atau penolakan inovasi dari seseorang erat hubungannnya dengan persepsi dan respon orang tersebut. Van Den Ban & Hawkins (1996) menyatakan bahwa persepsi adalah proses menerima informasi atau stimulasi dari lingkungan dan mengubahnya kedalam kesadaran psikologis. Menurut Sudjana (1990) dalam Maksum (1994) menyatakan bahwa persepsi diartikan sebagai tanggapan, pendapat yang di dalamnya terkandung unsur penilaian seseorang terhadap obyek dan gejala (inovasi) berdasarkan pengalaman dan wawasan yang dimilikinya. Jadi pada hakekatnya persepsi adalah interpretasi seseorang terhadap suatu obyek menurut pengalaman dan pengetahuannya. Sedangkan respons adalah pernyataan evaluatif atau reaksi perasaan dari diri seseorang terhadap suatu obyek. Bentuk respons tersebut dapat terwujud dalam suatu kesimpulan baik atau buruk, positif atau negatif, menyenangkan atau tidak menyenangkan, suka atau tidak suka yang kemudian mengkristal sebagai potensi reaksi atau kecenderungan untuk bersikap (Azwar, 2002). Jadi seseorang menerima atau menolak terhadap suatu inovasi, akan diawali dengan proses persepsi dan respon terhadap inovasi tersebut, yang dilanjutkan dengan keputusan menerima (mengadopsi) atau menolak inovasi tersebut.
553
Prosiding Seminar Nasional Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi petugas dan petani maju terhadap isi pesan/materi media cetak komik dan VCD inovasi pengelolaan limbah ternak untuk pupuk organik di wilayah marginal.
BAHAN DAN METODE Pengkajian dilakukan di Desa Tanurejo, Kecamatan Bansari, Kabupaten Temanggung dan Desa Mendenrejo, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Blora. Kedua Kabupaten tersebut merupakan wilayah Marginal. Responden ber jumlah 15 orang untuk Kabupaten Temanggung dan 15 orang untuk kabupaten Blora. Responden kedua kabupaten tersebut diberi kesempatan menonton VCD dan membaca komik dalam satu kelompok. Data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data primer yang terkumpul meliputi: karakteristik responden, persepsi responden terhadap materi/isi pesan media cetak dan VCD. Penilaian tingkat persepsi responden terhadap isi pesan VCD dan komik digunakan penskalaan model Likert Summated Ratings (LRS) dan dianalisis menggunakan uji parameter proporsi. Pengkajian dilakukan dengan pendekatan true experimental dan desainnya pretest post-test control group design.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lokasi Pengkajian dilaksanakan di Desa Mendenrejo, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Blora dan di Desa Tanurejo, Kecamatan Bansari, Kabupaten Temanggung. Desa Mendenrejo terletak pada ketinggian 75 m dpl mempunyai luas wilayah 1.281 hektar terdiri atas sawah 550 hektar, pekarangan 274,03 hektar, tegalan 220,817 hektar, hutan 221,073 hektar, dan lain-lain 15,080 hektar. Jarak pusat Desa Mendenrejo ke pusat Kecamatan Kradenan sekitar 1 km. Jumlah penduduk 9.976 jiwa terdiri atas laki-laki 4.905 orang dan perempuan 5.071 orang. Mata pencaharian penduduk sebagian besar (93,52%) adalah petani baik di lahan milik sendiri maupun buruh tani. ternak yang dipelihara di Desa Mendenrejo meliputi sapi 736 ekor, kerbau 8 ekor, kambing/domba 4.878 ekor, ayam 14.046 ekor, dan ada juga kuda dan itik.
554
Desa Tanurejo terletak pada ketinggian 1074 m dpl mempunyai luas wilayah 57,126 hektar yang terdiri atas sawah : 40,44 hektar, tanah kering (tegal/ ladang, pemukiman) : 6,1 hektar, tanah perkebunan rakyat : 1 hektar, dan lainnya : 9,586 hektar. Jarak pusat desa ke ibu kota kecamatan 2 km dan ke ibukota kabupaten 15 km. Jumlah penduduk 725 orang terdiri atas 367 orang laki-laki dan 358 orang perempuan. Mata pencaharian penduduk sebagian besar (79,45%) adalah petani dan buruh tani. Ternak yang dipelihara di Desa Tanurejo saat pengkajian dilaksanakan meliputi sapi : 33 ekor, kerbau : 2 ekor, kambing : 300 ekor dan unggas (ayam dan itik) sebanyak 1.200 ekor. Karakteristik Responden Petugas/penyuluh pertanian dan petani maju yang menjadi responden seluruhnya berjumlah 30 orang, 15 orang dari Kabupaten Blora dan 15 orang dari Kabupaten Temanggung. Yang dimaksud dengan petugas pertanian adalah Kepala Cabang Dinas Pertanian Kecamatan Kradenan (Ka KCD) dan Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah Dinas Pertanian Kecamatan Bansari (Ka UPTD). Adapun proporsi antara petugas/penyuluh pertanian dan petani maju adalah 26,7% petugas/penyuluh pertanian dan 73,3% petani maju. Tampak pada tabel 1 bahwa umur/usia responden berkisar antara 41 sampai 51 tahun. Sebagian besar responden (56,7%) berada dalam kelompok umur kurang dari 41 tahun. Sedangkan pengalaman kerja dibidang masing-masing berada pada kisaran 3 sampai 36 tahun dengan rerata 17,20 tahun. Dilihat dari tingkat pendidikan sebagian besar responden (70%) tingkat pendidikannya adalah SLTP hingga SLTA. Responden yang mempunyai tingkat pendidikan D3 dan D4/S1 sebanyak 23,3% yaitu tingkat pendidikan para petugas yang terdiri atas Kepala KCD/UPTD dan PPL. Persepsi Terhadap Isi Pesan/Materi Media Cetak dan VCD Hasil pengkajian menunjukkan bahwa responden petugas/penyuluh pertanian dan petani maju hampir seluruhnya mempunyai persepsi positif/tinggi terhadap isi pesan/materi media cetak dan VCD tentang pengelolaan limbah ternak untuk pupuk organik dan hanya 3,33 % (1 orang) yang mempunyai persepsi pada katagori sedang
Prosiding Seminar Nasional (Tabel 2). Hasil keragaan persepsi tersebut setelah dilakukan uji proporsi diperoleh Zhitung lebih kecil dari Z-tabel 5 % sehingga signifikan artinya bahwa sebagian besar (>60 %) responden mempunyai tingkat persepsi pada katagori tinggi/positif.
proporsi lebih banyak dibandingkan dengan keterangannya. Proporsi gambar yang lebih banyak tersebut memaksa mereka untuk memperhatikan dan berminat mencermati lebih dalam tentang isi pesan dan tingkat kebaruan teknologi yang termuat di dalamnya. Hal ini akan berkaitan dengan pengalaman masa lampau responden untuk mempengaruhi pilihan terhadap persepsi.
Menurut responden media cetak komik enak dibaca karena komponen gambar diberi
Tabel 1. Keragaan jumlah responden petugas/penyuluh pertanian dan petani maju berdasarkan karakteristik personal No. 1.
2.
3.
4.
Karakteristik personal responden
Temanggung
Blora
Blora-Temanggung
n
%
n
%
n
%
Kelompok umur : - Kelompok Lamban (> 50 th) - Mayoritas Lambat (46 – 50 th) - Mayoritas Awal (41 – 45 th) - Pengadopsi (, 41 th) Jumlah
1 4 2 8 15
3,3 13,4 6,7 26,6 50,0
1 4 1 9 15
3,3 13,4 3,3 30,0 50,0
2 8 3 17 30
6.6 26.8 10 56.6 100
Tingkat pendidikan : - SD - SLTP - SLTA - D3 - D4/S1 Jumlah
2 6 3 2 2 15
6,7 20,0 10,0 6,7 6,6 50,0
0 5 7 0 3 15
0 16,6 23,4 0 10,0 50,0
2 11 10 2 5 30
6,7 36,6 33,4 6.7
Pekerjaan : -Petugas/Penyuluh Petanian -Petani Jumlah
4 11 15
13,4 36,6 50,0
4 11 15
13,4 36,6 50,0
8 22 30
26,8 73,2 100
Pengalaman kerja : - > 30 th - 21 – 30 th - 11 – 20 th - < 11 th Jumlah
5 4 6 0 15
16,6 13,4 20,0 0 50,0
6 4 4 1 15
20,0 13,4 13,4 3,2 50,0
11 8 10 1 30
36,6 26,8 33,4 3,2 100
100
Tabel 2. Keragaan persepsi responden petugas/penyuluh pertanian dan petani maju terhadap isi pesan/materi media cetak dan VCD Katagori Persepsi
Jumlah skor
Persepsi negatif/rendah
09,00 – 14,99
0
0
Persepsi sedang
15,00 – 20,99
1
3,33
Persepsi positif/tinggi
21,00 – 27,00
29
96,67
30
100
Jumlah Materi tentang inovasi pengelolaan limbah ternak untuk pupuk organik menurut responden termasuk teknologi yang baru di
Jumlah (orang)
Jumlah (%)
wilayahnya, walaupun secara umum responden sudah pernah mendengar pengelolaan limbah ternak untuk pupuk
555
Prosiding Seminar Nasional organik bahkan sebagian pernah mempraktekkannya di tingkat kelompok, tetapi mereka mengatakan lupa dan tidak pernah melakukannya lagi karena faktor pendampingan yang tidak berlanjut.
Dan isi pesan yang ditayangkan semuanya sudah pernah dikenal (tidak asing) oleh responden. Akan tetapi responden kesulitan untuk mengingat-ingat kembali materi yang disampaikan.
Persepsi positip responden yang tinggi terhadap materi inovasi teknologi pengelolaan limbah ternak untuk pupuk organik juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan mereka yang rata-rata SLTA dan berusia produktif atau early adopter (41 th) sebanyak 56,6%. Dengan karakteristik responden tersebut maka semangat untuk mencari teknologi baru spesifik lokasi dan upaya untuk menerapkan teknologi tersebut dengan kelompoknya semakin banyak. Dengan diperkenalkannya media komik dan VCD yang memuat inovasi teknologi lebih memacu semangat mereka untuk mencoba dan mempraktekkannya.
Hasil keragaan persepsi tersebut setelah dilakukan uji proporsi diperoleh Z-hitung besar dari Z-tabel 5% sehingga signifikan, artinya bahwa sebagian besar (>60%) responden mempunyai tingkat persepsi pada katagori tinggi/positif.
Berbeda dengan kelompok usia non produktif atau laggard yaitu lebih dari 50 th. Media cetak komik yang diperkenalkan tidak banyak membantu mereka untuk meningkatkan kegiatan usaha taninya karena tingkat pendidikan yang rendah (SD) jadi minat bacanya sangat rendah, tapi kelompok ini jumlahnya sangat sedikit (6,6%). Di samping itu terdapat hambatan fisik berupa ketidak jelasan mata dalam membaca karena faktor usia.
Adapun keragaan komponen persepsi responden petugas/penyuluh pertanian dan petani maju terhadap isi pesan/materi media cetak dan VCD yaitu tentang pengelolaan limbah ternak untuk pupuk organik dapat dilihat pada Tabel 3 Komponen kompatibilitas/keselarasan, tingkat persepsi responden terhadap isi pesan materi media cetak dan VCD dalam kategori sedang (56,7%), hal ini dipengaruhi oleh tingkat kepercayaan responden terhadap informasi yang diberikan, karena responden sudah pernah diperkenalkan dengan materi yang sama sebelumnya dan tingkat kepentingan yang dirasakan oleh responden belum perlu.
Untuk media VCD hampir semua responden memahami isi pesan dan memberikan respon positip terhadap inovasi teknologi yang diintroduksikan (pengelolaan limbah ternak untuk pupuk organik) karena media VCD merupakan media pandang dengar dengan tampilan pesan yang kongkrit.
Tabel 3. Keragaan komponen persepsi responden petugas/penyuluh pertanian dan petani maju terhadap isi pesan/materi media cetak dan VCD Sifat/Karakteristik Inovasi Kompatibilitas
Tingkat Persepsi (%) Tinggi
sedang
rendah
Jumlah (%)
40,0
56,7
3,3
100
33,3
0
100
Kompleksitas
66,7
Keuntungan relatif
100,0
0
0
100
Trialibilitas
76,7
23,3
0
100
Observabilitas
86,7
13,3
0
100
556
Prosiding Seminar Nasional Komponen Kompleksitas, tingkat persepsi responden tergolong cukup tinggi (66,7%), karena inovasi teknologi yang diperkenalkan cukup sederhana dan tidak membutuhkan tahapan-tahapan yang rumit. lat bantu berupa media cetak komik dan VCD sangat membantu responden untuk dapat merealisasikan inovasi teknologi tersebut karena penyajian media cetak komik dan VCD yang sederhana dan mudah dimengerti. Walaupun begitu responden masih hati-hati dalam memberikan respon, karena inovasi teknologi tersebut belum pernah dicoba, jadi responden belum mempunyai pengelaman dalam mengaplikasikan teknologi tersebut. Keuntungan relatif, tingkat persepsi responden tergolong sangat tinggi (100%), tingkat persepsi yang sangat tinggi ini karena inovasi teknologi yang diperkenalkan tidak membutuhkan biaya yang tinggi dan dapat memberikan keuntungan yang relatif. Hal ini yang memotivasi responden memberikan persepsi yang sangat tinggi terhadap isi pesan/materi yang disampaikan.
KESIMPULAN Persepsi responden terhadap inovasi teknologi pengelolaan limbah ternak untuk pupuk organik sangat dipengaruhi oleh jenis inovasi teknologi yang diintroduksikan. Pilihan media, kemasan dan isi pesan/materi sangat menentukan responden untuk memberikan persepsi positip atau negatif. Karakteristik wilayah sasaran berperan dalam menentukan pilihan isi pesan/materi dan kemasan media komik dan VCD. Respon positif yang tinggi diberikan responden karena responden sudah pernah mendapatkan informasi yang sama terhadap isi pesan/materi yang diintroduksikan. Respon positif juga dipengaruhi oleh pengalaman responden dalam mengamati inovasi teknologi yang ada di lingkungannya.
PUSTAKA Azwar, S. 2002. Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Komponen Trialibilitas, tingkat persepsi responden tergolong tinggi (76,7%), responden yang memberikan persepsi terhadap isi pesan/materi ini tergolong responden yang sudah pernah mencoba inovasi teknologi yang sama, karena mereka sudah mempunyai pengalaman mengaplikasikan teknologi tersebut, jadi faktor resiko kegagalan sangat kecil. Hal ini yang memotivasi responden untuk cepat memberikan persepsi yang positip terhadap inovasi teknologi yang diperkenalkan.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 1999. Panduan Umum Pelaksanaan Penelitian, Pengkajian dan Diseminasi Teknologi Pertanian. Departeman Pertanian, Jakarta.
Komponen observabilitas, tingkat persepsi responden tergolong tinggi (86,7%), karena responden sudah pernah melihat dan mengamati proses pembuatan kompos rekannya atau kelompok lain yang sudah mencoba. Dengan adanya media bantu berupa komik dan VCD yang diperkenalkan kepada mereka tentang materi yang sama terhadap apa yang sudah mereka lihat dan amati, maka dengan cepat mereka memberikan respon positip terhadap materi yang diperkenalkan tersebut. Responden sudah mempunyai pengalaman dengan cara mengamati dan berdiskusi mengenai pengalaman rekannya atau kelompok lain yang lebih dulu mencoba teknologi tersebut. Pengalaman mereka seringkali menjadi sebab untuk memulai suatu diskusi.
Budianto, D.A., 1991. Tanggapan Petani Terhadap Penggunaan Media Informasi Pertanian Dalam Penyuluhan Pertanian di Propinsi Jawa Tengah. Thesis Pasca Sarjana UGM Jogyakarta.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2004. Rancangan dasar Prima Tani (Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian). Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
Dayan, A. 1986. Pengantar Metode Statistika Jilid II. LP3ES. Jakarta. Maksum., 1994. Hubungan karakteristik petani lahan tadah hujan dengan persepsi mereka tentang faktor-faktor penghambat adopsi embung di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Tesis. Program Pascasarjana IPB. Mardikanto, T., 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Sebelas Maret University Press, Surakarta.
557
Prosiding Seminar Nasional Paryono T.J, Sarjana, E. Kushartanti, K.B. Prayogo, T. Suhendrata, B. Budiharto, D. Prajitno, Suharto, E.B. Prayitno, dan Indriyono. 2002. Evaluasi Dampak Teknologi Rekomendasi di Jawa Tengah. Laporan Kegiatan Diseminasi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah. Ungaran. Prayogo K, S Basuki, E. Kushartanti, W Haryanto, 1998. Evaluasi media informasi teknologi pertanian. Laporan Hasil Pengkajian BPTP Ungaran.
558
Rogers, EM. And Shoemaker FF., 1971. Communication of Innovation a Cross Cultural Approach. Free Press. New York. Departemen Pertanian, 2000. Memposisikan pertanian sebagai poros penggerak perekonomian nasional: Penajaman kebijakan dan program pembangunan 2000 – 2004. Jakarta.
Prosiding Seminar Nasional
TANGGAPAN PENGGUNA TERHADAP INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN YANG DIINTRODUKSIKAN DI WILAYAH DESA MISKIN KABUPATEN TEMANGGUNG V. Tota Suhendrata Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah
ABSTRAK Pengkajian ini dilakukan dengan mengevaluasi tanggapan pengguna (petugas Unit Pelaksana Teknis Daerah/UPTD, Penyuluh Pertanian Lapang/PPL, dan kepala Desa) terhadap inovasi teknologi pertanian yang diintroduksikan BPTP Jawa Tengah di Kabupaten Temanggung tahun 2003 dan 2004. Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode survai melalui wawancara menggunakan daftar pertanyaan pada bulan Oktober 2005. Pengambilan responden dilakukan secara sengaja. Responden berjumlah 26 orang terdiri dari petugas UPTD, PPL dan Kepala Desa di lokasi/tempat introduksi dan sosialisasi inovasi teknologi pertanian dilakukan. Tanggapan pengguna terhadap inovasi teknologi pertanian yang diintroduksikan dinilai dari pernyataan mereka tentang (1) tingkat kesesuaian inovasi dengan kebutuhan petani, (2) tingkat kemudahan untuk diterapkan petani, (3) kemampuan memberikan keuntungan, (4) tingkat manfaat bagi dinas pertanian dan (5) peran dinas pertanian dalam mensosialisasikan inovasi teknologi. Disamping itu dilakukan diskusi terfokus terhadap 3 jenis inovasi teknologi pertanian yang diintroduksikan, yaitu teknologi budidaya dan pasca panen jagung putih, teknologi perbaikan produksi tanaman lengkeng dan teknologi budidaya ayam hibrida. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa: (1) tanggapan petugas UPTD, penyuluh pertanian lapang dan Kepala Desa terhadap 9 jenis inovasi teknologi pertanian yang diintroduksikan BPTP Jawa Tengah tahun 2003 dan 2004 secara umum adalah positif/tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa inovasi teknologi pertanian yang diintroduksikan BPTP Jawa Tengah dapat diterima oleh pengguna di lokasi/tempat pengkajian atau diseminasi dilaksanakan, (2) tanggapan petugas UPTD, penyuluh pertanian lapang dan kepala Desa terhadap komponen teknologi dari 3 jenis inovasi teknologi pertanian yang diintroduksikan BPTP Jawa Tengah, secara keseluruhan cenderung positif, pernyataan ini memberi arti bahwa komponen teknologi pada ketiga inovasi pertanian ini dapat diterima oleh pengguna. Kata kunci: Tanggapan, inovasi teknologi, desa miskin, Temanggung
PENDAHULUAN Peran inovasi teknologi pertanian akan semakin penting mengingat pemerintah bertekad mengentaskan penduduk dari kemiskinan dalam rangka pembangunan pertanian. Inovasi adalah sesuatu yang baru, dapat berupa barang, ide atau gagasan serta teknologi yang diperkenalkan kepada seseorang atau masyarakat agar terjadi perbaikan dalam usahanya, dalam kehidupannya. Seseorang dapat menganggap barang, ide/gagasan, teknologi tersebut baru, namun belum tentu hal tersebut dianggap baru bagi orang lain (Rogers dan Shomaker, 1971; Mardikanto, 1993). Menurut Deptan (2005) inovasi adalah kegiatan penelitian, pengembagan dan atau perekayasaan yang bertujuan mengembangkan penerapan praktis nilai dan konteks ilmu pengetahuan dan teknologi kedalam produk atau proses produksi. Sedangkan inovasi teknologi adalah aktivitas untuk membawa hasil penelitian dan perekayasaan kepada pengguna atau pasar.
Peningkatan pemanfaatan Iptek/inovasi teknologi dengan teknologi tepat guna di bidang pertanian yang spesifik lokasi sangat diperlukan karena secara umum terdapat kesenjangan antara produktivitas riil di tingkat usahatani dan produktivitas potensial komoditas pertanian yang berkisar antara 20 – 100%. Untuk menjadikan sektor pertanian sebagai andalan perekonomian nasional pemanfaatan teknologi spesifik lokasi dan efisiensi penggunaan faktor produksi (efisiensi alokatif, skala ekonomi) sebagai hasil penerapan Iptek/inovasi teknologi mutlak diperlukan (Deptan, 2000). Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah kemiskinan, tetapi sampai pada tahun 2003 jumlah penduduk miskin di Jawa Tengah dengan batasan Rp 119.403/ kapita/bulan masih mencapai 6.799.800 jiwa (BPS, 2004). Untuk pemberdayaan para petani di wilayah desa miskin Kabupaten Temanggung, BPTP Jawa Tengah pada tahun 2003 dan 2004 dengan dana dari Poor Farmer
559
Prosiding Seminar Nasional Improvement Income through Innovasion Project (PFI3P) melaksanakan berbagai kegiatan pengkajian dan diseminasi inovasi pertanian. Dari kegiatan pengkajian dan diseminasi tersebut telah diintroduksikan dan disosialisasikan sekitar 9 jenis inovasi pertanian, yaitu (1) jagung putih (perbenihan, perbaikan teknologi usahatani, pengelolaan hara spesifik lokasi dan pasca panen), (2) perbaikan teknologi tanaman kopi, (3) perbaikan teknologi produksi tanaman lengkeng, (4) pengembangan ayam hibrida, (5) pengembangan padi VUTB Fatmawati, (6) penggemukan domba, (7) pengelolaan limbah kopi untuk pakan ternak, (8) VCD (ayam hibrida, padi gogo, dan perbibitan domba) dan (9) komik ayam hibrida. Tujuan utama mengintroduksikan dan mensosialisasikan inovasi pertanian tersebut adalah untuk meningkatkan pendapatan petani di wilayah desa miskin Kabupaten Temanggung. Inovasi pertanian keluaran BPTP seyogyanya merupakan inovasi yang dibutuhkan dan mempunyai nilai komersial serta memberi nilai tambah kepada khalayak penggunanya (Badan Litbang Pertanian, 2003). Inovasi keluaran BPTP dapat berupa produk langsung (tangible) dan produk tidak langsung (intangible). Produk langsung antara lain dapat berupa teknologi spesifik lokasi dan varietas unggul lokal. Sedangkan produk tidak langsung dapat berupa pengetahuan, cara/prosedur, metode dan informasi baru yang berkaitan dengan peningkatan pendapatan dan pengembangan pertanian yang dibutuhkan pengguna (Sulaiman, 2002). Pengguna inovasi BPTP Jawa Tengah memerlukan inovasi yang dapat menjawab permasalahan lapang, mengembangkan potensi ataupun berupa frontier technology (teknologi masa depan). Syam dan Wijono (1992), menyatakan bahwa inovasi hasil penelitian dan pengkajian yang akan dijadikan materi penyuluhan oleh para penyuluh pertanian adalah inovasi yang relevan dengan permasalahan yang dihadapi petani. Berkaitan dengan hal tersebut, maka kesesuaian inovasi hasil pengkajian BPTP Jawa Tengah dengan potensi, kondisi, ataupun sebagai alternatif yang dapat memecahkan permasalahan lapang merupakan faktor penentu dimanfaatkannya inovasi tersebut oleh pengguna.
560
Untuk mengetahui daya dan hasil guna inovasi teknologi pertanian yang telah diintroduksikan dan disosialisasikan kepada pengguna, maka perlu dilakukan evaluasi bagaimana tanggapan pengguna (petugas Unit Pelaksana Teknis Daerah/UPTD, Penyuluh Pertanian Lapang/PPL, dan Kepala Desa) terhadap inovasi teknologi pertanian yang telah diintroduksikan dan disosialisasikan. Tujuan pengkajian ini adalah untuk memperoleh informasi mengenai keragaan tanggapan pengguna terhadap inovasi teknologi pertanian yang telah diintroduksikan dan disosialisasikan pada tahun 2003 dan 2004.
BAHAN DAN METODE Pengkajian ini dilakukan dengan cara mengevaluasi tanggapan pengguna (petugas Unit Pelaksana Teknis Daerah/UPTD, Penyuluh Pertanian Lapang/PPL, dan Kepala Desa) terhadap inovasi teknologi pertanian yang diintroduksikan di Kabupaten Temanggung pada tahun 2003 dan 2004. Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode survai melalui wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan pada bulan Oktober 2005. Pengambilan responden dilakukan secara sengaja (purposive). Responden berjumlah 26 orang terdiri dari petugas UPTD, PPL, dan Kepala Desa di lokasi/tempat dilaksanakan introduksi dan sosialisasi inovasi teknologi pertanian. Tanggapan pengguna terhadap inovasi teknologi pertanian yang diintroduksikan dinilai dari pernyataan mereka tentang (1) tingkat kesesuaian inovasi dengan kebutuhan petani (2) tingkat kemudahan untuk diterapkan petani, (3) kemampuan memberikan keuntungan, (4) tingkat manfaat bagi dinas pertanian, dan (5) peran dinas pertanian dalam mensosialisasikan inovasi teknologi pertanian. Disamping itu dilakukan diskusi terfokus tethadap 3 jenis inovasi teknologi pertanian yang diintroduksikan, yaitu teknologi budidaya dan pasca panen jagung putih, teknologi perbaikan produksi tanaman lengkeng, dan teknologi budidaya ayam hibrida. Jenis data yang dikumpulkan dibagi dua yaitu data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan survai menggunakan kuesioner dengan teknik wawancara dan observasi lapang. Data sekunder dikumpulkan dari buku, catatan,
Prosiding Seminar Nasional laporan yang terdapat pada dinas/instansi terkait. Analisis tingkat tanggapan menggunakan penskalaan dengan metode Likert’s Summated Ratings. Berbagai pertanyaan dibuat dalam bentuk pernyataan positif (jawaban yang diharapkan), pernyataan netral dan pernyataan negatif (jawaban yang tidak diharapkan). Untuk jawaban yang diharapkan diberi skor 3, jawaban netral diberi skor 2 dan jawaban yang tidak diharapkan diberi skor 1 (Azwar, 2002). Tingkat tanggapan digolongkan menjadi tiga, yaitu tinggi, sedang dan rendah. Adapun cara penggolongannya digunakan rumus interval kelas, dan dilanjutkan dengan uji parameter proporsi (Dajan,1986).
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN a.
Karakteristik responden
Hasil evaluasi menunjukkan bahwa kisaran umur petugas UPTD antara 33 – 51 tahun (43,8 tahun), penyuluh pertanian lapang dan Kepala Desa di Temanggung masingmasing berumur antara 43 – 50 tahun (43,8 tahun) dan 38 – 52 tahun (45 tahun). Bila ditinjau dari tingkat pendidikan formal menunjukkan bahwa UPTD berpendidikan D3 20%, S1 60% dan S2 20%; penyuluh dan kepala desa adalah D3 83,33% dan S1 16,67% untuk penyuluh 50% SLTP dan 50% SLTA untuk Kepala Desa (Gambar 1).
Persentase (%)
90 80 70 60 50 40
UPTD PPL
30 20
Kades
10 0 SLTP
SLTA
D3
S1
S2
Tingkat Pendidikan
Gambar 1. Tingkat pendidikan responden b. Tanggapan responden Tanggapan terhadap 9 jenis inovasi teknologi pertanian yang diintroduksikan BPTP Jawa Tengah mendapat tanggapan positif dari peserta diskusi terfokus, yaitu pengguna (petugas UPTD, PPL dan Kepala Desa). Hal tersebut ditunjukkan dari hasil
evaluasi bahwa sebagian besar peserta (65,38%) memberikan respon tinggi. Dengan demikian dapat diartikan bahwa inovasi teknologi BPTP Jawa Tengah dapat diterima oleh pengguna (petugas UPTD, PPL dan Kepala Desa) lokasi/tempat pengkajian atau diseminasi dilaksanakan.
Tabel 1. Tanggapan pengguna (petugas UPTD, PPL dan Kepala Desa) terhadap 9 Jenis inovasi teknologi BPTP Jawa Tengah Kategori tanggapan
Skore
Frekuensi
%
Rendah
5,00 – 8,33
0
0
Sedang
8,34– 11,67
9
34,62
Tinggi
11,68 – 15,00
17
65,38
26
100
Jumlah
561
Prosiding Seminar Nasional
Bila dilihat dari komponen tanggapan pada umumnya responden memberi respon tinggi (Tabel 2). Pada komponen tanggapan tentang manfaat memberi pernyataan bahwa sebagian besar inovasi digunakan untuk penyusunan program pertanian wilayah, bahan penyuluhan pertanian, rencana kerja penyuluh pertanian,
dan pelatihan. Pendapat ini relatif sama dengan pendapat pejabat struktural dan PIU PFI3P pada Dinas Pertanian Kabupaten Temanggung. Disamping itu pengguna telah melaksanakan upaya sosialisasi beberapa inovasi tersebut.
Tabel 2. Keragaan komponen tanggapan pengguna (petugas UPTD, PPL dan Kepala Desa) terhadap 9 jenis inovasi teknologi BPTP Jawa Tengah Komponen tanggapan
Katagori tanggapan (%) Rendah
Sedang
Tinggi
Tingkat kesesuaian
0
23,08
79,92
Tingkat kemudahan
0
26,92
73,08
3,85
19,23
76,92
0
30,77
69,23
7,69
11,54
80,77
Kemampuan memberi keuntungan Tingkat manfaat Upaya Dinas dalam sosialisasi Hasil diskusi terfokus menunjukkan bahwa sebagian besar peserta diskusi terfokus memberi tanggapan sedang dan tinggi terhadap ketiga jenis inovasi teknologi pertanian yang diintroduksikan (teknologi budidaya dan pasca panen jagung putih, teknologi perbaikan produksi tanaman lengkeng, dan teknologi budidaya ayam hibrida), pernyataan ini memberi arti bahwa ketiga inovasi ini dapat diterima oleh pengguna. Hal ini juga didukung dari keragaan tanggapan terhadap komponen teknologi ketiga inovasi yang diintroduksikan (Tabel 3, 4 dan 5). Pada inovasi budidaya jagung putih MS-2, keragaan tanggapan terhadap komponen teknologi varietas jagung putih MS-2 pada katagori sedang (100%), hal ini dikarenakan jagung putih SM-2 selain mempunyai keunggulan juga mempunyai kekurangan/ kelemahan diantaranya biji kisut, kulit terlalu tebal sehingga tepung atau isi jagung menjadi lebih rendah daripada jagung putih lokal. Pada saat ini sebagian petani beralih kembali ke jagung putih lokal dan sebagian lagi mencoba jagung Srikandi putih. Pada komponen pemupukan terutama pada penggunaan pupuk KCl peserta diskusi belum memahami betul tingkat pemanfaatannya dan harga relatif mahal sehingga petani cenderung untuk tidak menerapkan rekomendasi cara pemupukan berimbang. Alat pemipil jagung sangat mendukung dalam kegiatan usahatani, alat
562
pemipil pedal lebih cepat dan cocok untuk digunakan pada skala usaha yang luas (pengusaha), sedangkan alat pemipil engkol lebih cocok digunakan dalam skala usaha rumah tangga petani. Sedangkan tanggapan petani terhadap inovasi teknologi budidaya dan pasca panen jagung putih positif, semua komponen inovasi yang diintroduksikan mendapat tanggapan tinggi dari petani. Namun demikian tingkat adopsi petani termasuk pada katagori sedang. Komponen yang diadopsi tinggi adalah jagung Srikandi putih dan cara pemupukan (Kushartanti et al., 2006). Pada inovasi budidaya lengkeng, komponen teknologi varietas (varietas pingpong) tingkat tanggapan pada katagori rendah (50%) dan sedang (50%), hal ini dikarenakan responden masih ragu-ragu karena belum melihat hasil atau produksinya, begitu juga pada perbanyakan benih secara vegetatif tingkat tanggapannya pada katagori rendah (33,33%) dan sedang (66,67%). Hal ini dikarenakan tingkat keberhasilannya masih rendah terutama pada perbanyakan benih secara okulasi. Menurut Kushartanti et al., (2005) tanggapan petani terhadap inovasi teknologi produksi lengkeng positif, namun tingkat adopsi petani terhadap inovasi tersebut secara umum relatif pada kategori sedang.
Prosiding Seminar Nasional Tabel 3. Keragaan tanggapan pengguna (petugas UPTD, PPL dan Kepala Desa) terhadap komponen teknologi budidaya dan pasca panen jagung putih Tingkat tanggapan (%)
Komponen Teknologi
Rendah
Sedang
Tinggi
Varietas
0
100
0
Cara penanaman
0
0
100
Pemupukan
0
40
60
Penyiangan dan pengendalian OPT
0
40
60
Alat pemipil
40
0
60
Tabel 4.
Keragaan tanggapan pengguna (petugas UPTD, PPL dan Kepala Desa) terhadap komponen teknologi perbaikan produksi tanaman lengkeng Tingkat tanggapan (%)
Komponen Teknologi Rendah
Sedang
Tinggi
Pemakaian pupuk kandang
0
33,33
66,67
Cara pemupukan tanaman umur < 5 tahun
0
16,67
83,33
Cara pemupukan tanaman umur > 5 tahun
0
16,67
83,33
Waktu pemupukan
0
16,67
83,33
Pengendalian OPT
0
16,67
83,33
Penyiangan dan pembumbunan
0
33,33
66,67
Pemangkasan
0
0
100
Varietas
50
50
0
33,33
66,67
0
Perbanyakan secara vegetatif
Tabel 5.
Keragaan tanggapan pengguna (petugas UPTD, PPL dan Kepala Desa) terhadap komponen teknologi budidaya ayam hibrida
Komponen Teknologi
Tingkat Tanggapan (%) Rendah
Sedang
Tinggi
Usaha telur tetas
0
50
50
Usaha DOC
0
25
75
Usaha pembesaran
0
100
0
Pada inovasi budidaya ayam hibrida, sebenarnya tanggapan responden cukup baik, yaitu masuk katagori sedang dan tinggi, tetapi pada saat ini usaha budidaya ayam hibrida sudah tidak ada, hal ini dikarenakan antara lain: kurang modal untuk pengadaan bibit/induk ayam, pasokan telur tetas dan DOC sulit diperoleh. Untuk mengembangkan budidaya ayam hibrida, sebaiknya usaha telur
tetas dan DOC dilakukan oleh pengusaha sedangkan di tingkat petani cukup usaha pembesaran. Sedangkan tanggapan petani terhadap inovasi budidaya ayam hibrida secara umum cenderung kurang bagus terutama yang dinyatakan oleh petani non kooperator, begitu juga tingkat adopsi petani terhadap inovasi tersebut cenderung rendah (Kushartanti et al., 2005).
563
Prosiding Seminar Nasional
KESIMPULAN 1.
2.
Tanggapan petugas UPTD, penyuluh pertanian lapang dan Kepala Desa terhadap 9 jenis inovasi teknologi peranian yang diintroduksikan BPTP Jawa Tengah pada 2003 dan 2004 secara umum adalah positif/tinggi. Dengan demikian dapat diartikan bahwa inovasi teknologi pertanian yang diintroduksikan dapat diterima oleh pengguna di lokasi/tempat pengkajian atau diseminasi dilaksanakan. Tanggapan petugas UPTD, penyuluh pertanian lapang dan Kepala Desa terhadap komponen teknologi dari 3 jenis inovasi yang diintroduksikan BPTP Jawa Tengah (teknologi budidaya dan pasca panen jagung putih, teknologi perbaikan produksi tanaman lengkeng, dan teknologi budidaya ayam hibrida), secara keseluruhan cenderung positif, pernyataan ini memberi arti bahwa komponen teknologi pada ketiga inovasi teknologi pertanian ini dapat diterima oleh pengguna.
PUSTAKA Azwar, S. 2002. Sikap manusia, teori dan pengukurannya. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Badan Litbang Pertanian. 2003. Panduan umum pelaksanaan penelitian dan pengkajian serta program informasi, komunikasi dan diseminasi di BPTP. Badan Litbang Pertanaian. BPS. 2004. Pertumbuhan rumah tangga pertanian di Indonesia (Angka Sangat Sementara Hasil sensus pertanian 2003/st03). Biro Pusat Statistik. Berita Resmi Statistik No. 06/VII/2 Januari 2004.
564
Dajan, A. 1986. Pengantar metode statistika Jilid II. LP3ES. Jakarta. Departemen Pertanian. 2000. Memposisikan pertanian sebagai poros penggerak perekonomian nasional: Penajaman kebijakan dan program pembangunan 2000 – 2004. Jakarta. Departemen Pertanian. 2005. Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 03/Kpts/HK.060/I/2005 tanggal 17 Januari 2005 tentang Pedoman penyiapan dan penerapan teknologi pertanian. Kushartanti E, Cahyati Setyani, Herwinarni E M, T. Suhendrata, A. Hermawan dan I. Hadisubroto. 2005. Evaluasi dampak inovasi pertanian di wilayah desa miskin Kabupaten Blora dan Temanggung. Laporan Pengkajian BPTP Jawa Tengah. Kushartanti E, Tota Suhendrata dan Joko Pramono. 2006. Keragaan penerapan inovasi teknologi usahatani jagung putih, persepsi dan adopsi petani di Kabupaten Temanggung. Prosiding: Seminar nasional “IPTEK solusi kemandirian bangsa dalam tahun Indonesia untuk lmu pengetahuan. BPTP Yogyakarta – LIPI – UGM. Mardikanto, T. 1993. Penyuluhan pembangunan pertanian. Sebelas Maret University Press, Surakarta. Rogers, EM. And Shoemaker F. F. 1971. Communication of innovation a cross cultural approach. Free Press. New York. Sulaiman, F. 2002. Cakupan kegiatan program informasi, komunikasi dan diseminasi di BPTP. Materi Asistensi Pendampingan RPTP Januari 2003. Syam M., Widjono A. 1992. Keterkaitan Penelitian dan penyuluhan-persepsi. institusi dan tata hubungan kerja, dalam teknologi dan embung, Prosiding: Perakitan teknologi program keterkaitan penelitian penyuluhan. Badan Litbang Pertanian
Prosiding Seminar Nasional
PENGARUH KENAIKAN HARGA BAHAN BAKAR MINYAK TERHADAP KEHIDUPAN RUMAH TANGGA TANI CABAI RAWIT Sularno, Agus Hermawan dan Dian Maharso Yuwono Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah
ABSTRAK Pada tahun 2005 pemerintah mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM) sebanyak dua kali, masing-masing pada tanggal 1 Maret 2005 dan 1 Oktober 2005. Untuk mengetahui sampai sejauh mana pengaruh kenaikan harga BBM terhadap kinerja usahatani cabe rawit sebagai salah satu komoditas hortikultura, maka dilakukan survei di Desa Ringinlarik, Kecamatan Musuk, Kabupaten Boyolali, Propinsi Jawa Tengah pada akhir tahun 2005. Responden sebanyak 30 petani kooperator yang dipilih secara acak diwawancarai dengan menggunakan kuesioner terstruktur dan non terstruktur. Data primer yang dikumpulkan antara lain: pemenuhan kebutuhan rumah tangga dan sarana produksi, cara berpergian, transportasi sarana produksi dan hasil panen, serta persepsi petani terhadap kenaikan harga BBM. Dari data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif. Hasil analisis menunjukkan bahwa kenaikan harga BBM berpengaruh terhadap cara berpergian. Biaya transportasi mengalami kenaikan antara 2,8% - 102,7%, yaitu antara lain ke lahan naik 102,7%, ke dalam desa 83,5%, ke dalam kecamatan 2,8%, ke dalam kabupaten 101,4% dan ke antar kota naik 64,9%. Cara pengangkutan sarana produksi mengalami perubahan (menggunakan angkutan umum/sewa mobil turun dari 5,6% menjadi 0,0% dan menggunakan motor sendiri naik dari 16,7% menjadi 25.0%). Untuk pengangkutan hasil panen (menggunakan sepeda kumbang naik dari 0,0% menjadi 16,7% dan menggunakan mobil sendiri maupun angkutan umum turun dari 11,1% menjadi 0,0%. Kata kunci: Cabe rawit, rumah tangga tani, pengaruh, harga BBM.
ABSTRACT In 2005, the government reduced the subdidy of fuel oil twice. The first was in March the 1st, 2005 and the second was in October the 1st, 2005. The survey was carried out in Ringinlarik Village sub district of Musuk, Boyolali Regency and the Province of Central Java by the end of 2005. The purpose of the survey was to investigate how big the influence of fuel oil price rise toward the method of growing chilies as one of horticultural commodities. The respondents were 30 cooperative farmers’, who were randomly selected. They were interviewed by using structured and unstructured questionnaires. The primer data consisted of the fulfillment of the daily needs and the means of production, the way they traveling, the transportation for carrying the crops, and farmers’ perception toward fuel oil price rise. Then, the data were analyzed descriptively. The result showed that fuel oil price rise influenced to the way of people traveling and the transportation expensive increased between 2.8% to 102.7%. The transportation of production also changed (using public transportation or rental car decreased 5.6% became 0.0%) and the crops (riding privied motorcycle increased from 16.7% became 25.0%) and the crops (riding tandem bike increased from 0.0% became 16.7 and private car or public transportation decreased from 11.1% became 0.0%). Key words: Chilies, farmer life, influence, fuel price rise.
PENDAHULUAN Pemerintah Indonesia pada tahun 2005 mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM) sebanyak dua kali, yaitu pada tanggal 1 Maret 2005 melalui Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2005 harga BBM naik ratarata sebesar 29% dan Peraturan Presiden Nomor. 55/2005 tertanggal 1 Oktober 2005 BBM naik rata-rata sebesar 107%. Dalam jangka pendek kenaikan harga BBM akan menimbulkan masalah penurunan daya beli sejalan dengan kenaikan harga barang-barang atau inflasi (Maryoto, 2005 dalam Kompas, Sabtu, 26 Februari 2005; Ikhsan et al., 2005).
Inflasi sebagai dampak dari kenaikan harga BBM juga terjadi di negara lain, misalnya di Inggris (RBS, 2004). Beberapa alasan yang mendasari kebijakan ini adalah maraknya penyeludupan akibat disparitas harga jual domestik (dalam APBN 2005 sebesar US$ 24 per barrel) dengan harga luar negeri (dewasa ini mencapai US$ 50 per barrel) (Ikhsan et al. 2005). Kenaikan harga minyak internasional juga meningkatkan beban subsidi BBM dalam APBN karena Indonesia telah menjadi net importer BBM. Sektor jasa dan industri yang tidak secara menerus dikonsumsi (misalnya
565
Prosiding Seminar Nasional elektronik, otomotif, dan biro perjalanan) terkena dampak paling besar RBS (2004). Kenaikan harga BBM juga menurunkan insentif pengusaha untuk berinvestasi (Hilsenrath and Walker, 2004) pertumbuhan ekonomi secara umum akan menurun.
diperkirakan juga berdampak pada kehidupan petani cabai rawit. Cabai merupakan salah satu komoditas hortikultura penting di Indonesia yang luas arealnya selalu meningkat dari waktu ke waktu (Hartuti dan Sinaga, 1994).
Harga domestik yang terlalu rendah juga telah mendorong pertumbuhan tingkat konsumsi yang sangat tinggi (5% sepanjang tahun 2004). Alasan lain menyangkut masalah keadilan, di mana subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh kelompok 40% kelompok teratas (Ikhsan et al.,. 2005). Menurut Ikhsan (2005), distribusi subsidi pada hampir semua komponen BBM, hampir mendekati 1 dan hanya minyak tanah yang nilainya sekitar 0,6 sehingga bila subsidi BBM terus dibiarkan maka secara sadar proses ketimpangan distribusi pendapatan akan terus berlanjut. Hal ini mengindikasikan bahwa subsidi yang dikucurkan pemerintah telah salah sasaran (Suryadi, 2005).
Untuk mengetahui sampai sejauh mana pengaruh kenaikan harga BBM terhadap kehidupan rumah tangga tani cabai rawit, telah dilakukan pengkajian di Desa Ringinlarik, Kecamatan Musuk, Kabupaten Boyolali sebagai salah satu sentra produksi cabai rawit di wilayah Jawa Tengah.
Hasil analisis LPEM-UI dengan menggunakan model ekonomi keseimbangan umum (CGE/Computable General Equilibrium), secara keseluruhan dampak inflasi dari kenaikan BBM Maret 2005 adalah sebesar 0.9718%, lebih kecil dari dampak inflasi dari akumulasi kenaikan harga BBM selama tahun 2002 yang mencapai 2.02%. (Ikhsan et al., 2005). Hasil simulasi Ikhsan tersebut menunjukkan bahwa sektor transportasi, merupakan sektor yang terpengaruh paling besar akibat kenaikan harga BBM, yaitu mencapai 2,8 - 4,2%. sedangkan harga padi dan sayuran berturutturut naik sebesar 0.23% dan 0.26%. Harga pupuk diperkirakan naik sebesar 0.54%. Hasil simulasi tersebut jauh lebih rendah dibandingkan perkiraan pengamat, dimana diperkirakan harga makanan dan minuman olahan akan naik maksimal 5%, sedangkan produk pertanian naik sekitar 10% (Suara Merdeka, 28 Februari 2005). Menurut Hanson et al. (1993) pada sektor pertanian kenaikan harga BBM akan meningkatkan biaya produksi, menurunkan output dan menurunkan pendapatan petani. Selanjutnya karena permintaan produk pertanian umumnya tidak elastis maka penurunan produksi akan berdampak meningkatnya harga produk. Hasil akhir dari proses ini terhadap pendapatan petani menjadi tidak pasti (uncertain effect). Kenaikan BBM
566
BAHAN DAN METODE Pengkajian dampak kenaikan bahan bakar minyak (BBM) terhadap kehidupan petani cabai rawit dilakukan dengan metode survei di tingkat petani dengan mengacu pada Williams dan DeLano (2000) yang telah manganalisis dampak kenaikan harga minyak pada petani di Kansas dengan tekanan pada biaya produksi yang dievaluasi pada kondisi rata-rata petani. Survei dilaksanakan di Desa Ringinlarik, Kecamatan Musuk, Kabupaten Boyolali pada September 2005. Responden sebanyak 30 orang petani cabe rawit yang dipilih secara acak diwawancarai dengan kuesioner terstruktur dan non terstruktur. Data primer yang dikumpulkan meliputi penggunaan dan harga sarana produksi diantaranya pupuk, obat-obatan, benih. Selain sarana produksi juga harga produk di tingkat petani, skala usaha, tingkat produksi usahatani, serta persepsi petani terhadap kenaikan harga BBM. Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif. Analisis deskriptif sangat bermanfaat untuk mengelola data dalam jumlah besar. Analisis ini dapat digunakan untuk menggambarkan karakteristik statistik suatu variabel (Blalock, 1972). Selain metode grafis, juga digunakan beberapa alat analisis deskriptif, yaitu ratarata, standar deviasi, koefisien keragaman (coefficient of variation/CV) dan persentase.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Petani Hasil pengkajian dari segi pendidikan responden cabai rawit Kecamatan Musuk,
menunjukkan bahwa formal, para petani di Desa Ringinlarik, Kabupaten Boyolali
Prosiding Seminar Nasional sebagian besar berlatar belakang pendidikan SD (50%). Namun demikian ada responden yang berpendidiksn formal SMA sekitar 15% dan sampai perguruan tinggi sebesar 5% disajikan pada Tabel 1. Petani dengan pendidikan formal di atas rata-rata dapat menjadi inovator bagi petani lainnya. Keterbatasan pendidikan formal pada sebagian petani sebenarnya terkompensasi oleh pengalaman mereka dalam berusahatani cabai rawit yang rata-rata sudah diatas 20
tahun. Rata-rata umur petani adalah sekitar 47,1 tahun, maka umumnya para petani tersebut sudah menggeluti usahatani cabai rawit sejak mereka masih berusia muda. Menurut responden, mata pencaharian mereka pada umumnya adalah petani. Namun demikian, di samping kegiatan usahatani, kurang lebih 30% petani juga bekerja di sektor lain, yaitu : terutama sebagai sopir, menjadi perangkat desa, dan berdagang khususnya komoditas cabai rawit, tembakau, jagung dan cengkeh.
Tabel 1. Karakteristik petani cabai rawit di Desa Ringinlarik, Kecamatan Musuk, Kabupaten Boyolali 2005 Uraian Umur (th)
Nilai parameter 47,1 (7,2)
Tingkat pendidikan formal (%): 1. tidak sekolah/tidak lulus SD
5,0
2. lulus SD
45,0
3. SMP
30,0
4. SMA
15,0
5. Perguruan Tinggi Pengalaman aktif dalam usahatani (th)
5,0 20,9 (9,9)
Jumlah anggota keluarga:(orang)
4,9 (1,4)
Aktif dalam usahatani (orang):
1,9 (0,7)
(..) simpangan baku Lokasi pengkajian didominasi oleh lahan kering. Dilihat dari luas penguasaan lahan, aset yang dikuasai oleh petani adalah lahan tegalan dan pekarangan. Di desa tersebut tidak terdapat lahan persawahan. Rata-rata luas lahan tegalan yang dimiliki rata-rata adalah 2.473,7 m2, sedangkan penguasaan aset lahan pekarangan rata-rata mencapai 1.198,5 m2 disajikan pada Tabel 2. Berbeda dengan lokasi pengkajian lainnya, di desa ini tidak ditemukan sistem sewa lahan. Yang ada adalah sistem sakap pada sebagian kecil petani.
Dalam sistem sakap ini semua tenaga kerja untuk usahatani berasal dari penyakap, sedangkan semua sarana produksi dapat berasal dari penyakap maupun sharing antara penyakap dan pemilik lahan. Pembagian pendapatan, sistemnya dibagi dua yaitu 50% untuk penyakap dan 50% untuk yang punya lahan. Sistem lain adalah pembagian hasil dengan cara 2/3% untuk penyakap dan 1/3% untuk pemilik lahan.
567
Prosiding Seminar Nasional
Tabel 2. Luas penguasaan lahan (ha/m2) petani cabai rawit di Desa Ringinlarik, Kecamatan Musuk, Kabupaten Boyolali 2005. Luas (m2) 2.473,7 (2.187,3) 1.198,5 (804,4)
Jenis lahan Tegalan Pekarangan
Nilai jual (Rp) 84.777.777,8 (82.529.535,2) 34.858.333,3 (40.301.467,8)
(..) simpangan baku Kehidupan rumah tangga tani Kenaikan harga BBM berdasarkan hasil survai tidak sampai mengubah cara bepergian petani. Para petani bepergian ke lahan dan di dalam desa umumnya dengan cara berjalan kaki. Penggunaan motor sebagai sarana
transportasi cenderung meningkat sejalan dengan jarak tempuhnya. Sementara itu cara terbanyak yang digunakan untuk bepergian di dalam kabupaten dan antar kabupaten adalah dengan angkutan umum, seperti yang terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Cara berpergian petani cabai rawit, di Desa Ringinlarik, Kecamatan Musuk, Kabupaten Boyolali, 2005. Uraian 1. Jalan kaki 2. Sepeda 3. Motor sendiri 4. Motor ojek 5. Mobil sendiri 6. Angkutan umum
Ke lahan
Dalam Desa
Dalam Kabupaten
Antar Kabupaten
68,8
43,8
7,1
0,0
0,0
6,3
6,3
14,3
0,0
0,0
25,0
25,0
35,7
28,6
16,7
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
12,5
0,0
0,0
7,1
25,0
0,0
25,0
42,9
64,3
58,3
Kenaikan harga BBM berdampak besar pada biaya transportasi. Disajikan pada Tabel 4. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa kenaikan biaya transportasi yang ditanggung petani bisa lebih dari dua kali lipat dari biaya sebelum kenaikan harga BBM. Naiknya biaya transportasi ini mendorong petani untuk melakukan beberapa penyesuaian, khususnya dalam cara mengangkut sarana produksi dan hasil panen disajikan pada Tabel 5. Dapat dilihat bahwa berkaitan dengan kenaikan harga BBM cara pengangkutan sarana produksi dari rumah ke lahan tegalan sebagian mengalami perubahan, begitu juga cara pengangkutan hasil panen cabe rawit dari
568
Dalam Kecamatan
lahan usahatani ke rumah petani. Pengangkutan sarana produksi dengan menggunakan sepeda motor sendiri dan mobil sendiri setelah ada kenaikan harga BBM mengalami peningkatan. Untuk pengakutan sarana produksi dan hasil panen setelah ada kenaikan harga BBM sudah tidak menggunakan angkutan mobil umum atau sewa. Penyesuaian juga dilakukan petani pada pola pengadaan kebutuhan rumah tangga dan sarana produksi. Pada Tabel 6 ditunjukkan bahwa walaupun tempat pembelian sarana produksi dan kebutuhan pokok rumah tangga sehari-hari ada sebagian yang mengalami perubahan.
Prosiding Seminar Nasional Tabel 4. Cara bepergian dan biaya transportasi ke lahan usahatani, ke pasar atau kondangan di Desa Ringinlarik, Kecamatan Musuk, Kabupaten Boyolali 2005. Tujuan
Sebelum
1. Ke lahan
Sesudah
% kenaikan
925,0
1875,0
102,7
2. Bepergian dalam desa
1090,0
2000,0
83,5
3. Bepergian dalam kecamatan
4065,6
4178,6
2,8
4. Bepergian dalam kabupaten
3905,9
7867,6
101,4
21735,7
35833,3
64,9
5. Bepergian antar kota
Tabel 5. Cara pengangkutan sarana produksi dan hasil panen cabai rawit di Desa Ringinlarik, Kecamatan Musuk, Kabupaten Boyolali 2005. Sarana produksi sebelum sesudah
Uraian 1. Jalan kaki
Hasil panen sebelum sesudah
27,8
25,0
50,0
58,3
0,0
0,0
0,0
16,7
3. Motor sendiri
16,7
25,0
27,8
16,7
4. Mobil sendiri
11,1
16,7
11,1
0,0
5,6
0,0
11,1
0,0
50,0
50,0
11,1
8,3
2. Sepeda
5. Angkutan umum/mobil sewa 6. lainnya (gerobak)
Tabel 6. Tempat pembelian bahan kebutuhan rumah tangga dan saprodi di Desa Ringinlarik, Kecamatan Musuk, Kabupaten Boyolali, 2005. Tempat Pasar desa Pasar kecamatan Pasar kabupaten Kios/warung dlm desa Pedagang keliling Punya sendiri
Belanja pangan rumah tangga sblm ssdh 89,5 93,3 10,5 6,7
Bahan bakar (kayu/minyak/gas) sblm ssdh 37,5 30,0 0,0 10,0
Pengadaan saprodi Sblm ssdh 55,6 61,5 22,2 23,1
Pakaian sblm 42,9 0,0
ssdh 40,0 0,0
15,8
6,7
12,5
30,0
11,1
0,0
64,3
80,0
10,5
6,7
25,0
30,0
22,2
15,4
0,0
0,0
15,8
13,3
0,0
10,0
0,0
0,0
0,0
0,0
5,3
6,7
50,0
70,0
0,0
0,0
0,0
0,0
Keterangan : sblm = sebelum, ssdh = sesudah Persentase pengadaan kebutuhan pangan rumah tangga dan sarana produksi setelah kenaikan BBM di pasar desa meningkat, sementara pembelian di kios dan tempat pembelian lainnya menurun. Sementara itu untuk pengadan pakaian, petani cenderung membeli di pasar kabupaten. Kenaikan harga BBM juga mengubah pola penggunaan bahan
bakar, yaitu dari kompor minyak dan kayu bakar menjadi kayu bakar punya sendiri. Dampak yang dirasakan oleh petani sebagai akibat dari kenaikan BBM adalah meningkatnya pengeluaran. Hal ini dikemukakan oleh sekitar 92,3% petani. Sementara itu hanya sekitar 7,7% petani yang menyatakan bahwa pengeluaran mereka menurun setelah kenaikan harga BBM. Hasil
569
Prosiding Seminar Nasional analisis memang menunjukkan pengeluaran petani meningkat kenaikan harga BBM.
bahwa setelah
KESIMPULAN Dari uraian tersebut di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: • Kenaikan harga BBM berpengaruh terhadap cara berpergian ke lahan usahatani maupun keperluan ke dalam desa, dalam kecamatan dan dalam kabupaten. • Kenaikan harga BBM berpengaruh terhadap kenaikan biaya transportasi ke lahan usahatani maupun keperluan ke dalam desa, dalam kecamatan, dalam kabupaten dan antar kota naik antara 2,8% - 102,7%. • Kenaikan harga BBM berpengaruh terhadap penggunaan sarana transportasi untuk sarana produksi menggunnakan angkutan umum atau sewa dari 5,6% menjadi 0,0%. Sedangkan hasil panen menggunakan sepeda ontel naik dari 0,0% menjadi 16,7% dan mobil sendiri maupun umum turun dari 11,1% menjadi 0,0%.
PUSTAKA Hanson, K. S. Robinson, and G. Schluter. . 1993. Sectoral effects of a world oil price shock: economywide linkages to the agricultural sector. Journal of Agricultural and Resource Economics, 18(1): 96-116. Hastuti, N. dan R.M. Sinaga. 1994. Aspek panen dan pasca panen cabai. Penebar Swadaya Hal: 66-81.
570
Hilsenrath, J.E. and M. Walker. 2004. Oil prices start to pinch, stirring concern over economic impact. Staff Reporters of The Wall Street Journal. Ikhsan, M. 2005. Kenaikan harga BBM dan kemiskinan: tanggapan atas tanggapan: Kajian dampak kenaikan harga bbm 2005 terhadap kemiskinan. Inovasi Vol.3/XVII/Maret 2005. Hal: 19-22. Ikhsan, M., T. Dartanto, Usman, M. H. Sulistyo. 2005. Kajian dampak kenaikan harga BBM 2005 terhadap kemiskinan. Working Paper, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat. FEUI. Maryoto. 2005. Kondisi harga beras bila harga BBM dinaikkan. Kompas, Sabtu, 26 Februari 2005 RBS. 2004. The Economic Impact of High Oil Prices. The Royal Bank of Scotland Group. Suara Merdeka. 2005. Kenaikan harga makanan olahan maksimal 5%. Suara merdeka, Senin, 28 Februari 2005). Suryadi, K. 2005. Teror harga dan otonomi relatif masyarakat. Pikiran rakyat, Rabu, 02 Maret 2005. Williams, J.R. and F.D. DeLano. 2000. Impact of higher oil prices on production costs for kansas farm management association farms. Staff Paper No. 0101-D. Department of Agricultural Economics, Kansas State University, Manhattan,
Prosiding Seminar Nasional
STATUS DAN PROSPEK USAHA TERNAK DI LAHAN KERING BERLERENG KABUPATEN TEMANGGUNG (Status and prospect of livestock farming on dry-sloping land of Temanggung District) Agus Hermawan, Sarjana, dan Abdul Choliq Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah
ABSTRAK Kabupaten Temanggung merupakan sentra produksi tembakau yang umumnya diusahakan di dataran tinggi berlereng yang peka terhadap erosi. Jatuhnya harga tembakau dalam lima tahun terakhir mendorong petani untuk mencari cabang usaha alternatif, di mana salah satunya adalah usaha ternak. Untuk melihat status usaha ternak di desa miskin Kabupaten Temanggung pasca jatuhnya harga tembakau, dilaksanakan survei di empat desa miskin pada bulan September-Oktober 2004. Penelitian berlokasi di Desa Kebumen dan Pagergunung, Kecamatan Pringsurat yang terletak di dataran medium dan di Desa Getas, Kecamatan Kaloran dan Desa Canggal, Kecamatan Kledung yang terletak di dataran tinggi. Jumlah petani responden berturutturut adalah 39 petani dataran medium dan 52 petani dataran tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa domba merupakan jenis ternak utama dengan skala usaha rata-rata 5,0 ekor di dataran medium dan 4,19 ekor di dataran tinggi. Ternak sapi merupakan ternak ruminansia kedua terbanyak dengan skala usaha rata-rata 2,25 ekor dan 1,73 ekor masing-masing untuk dataran medium dan dataran tinggi. Selanjutnya, pendapatan petani dari usaha ternak di dataran medium dan dataran tinggi berturut-turut adalah 8,3% dan 7,0% yang menempati urutan pertama dan ketiga dari pendapatan petani dari usaha pertanian. Peranan usaha ternak, khususnya ternak sapi, sebagai usaha alternatif semakin penting di masa mendatang. Hal ini tampak dari rencana investasi petani, di mana pembelian ternak sapi menempati prioritas pertama bagi petani dataran tinggi, dan urutan ketiga di dataran medium. Kecenderungan petani untuk berusahatani ternak di lahan kering berlereng perlu didukung lebih lanjut karena selain menjadi sumber pendapatan bagi petani juga berdampak positif bagi ketahanan pangan daging dan mendukung pengembangan sistem usahatani konservasi di lahan kering berlereng. Kata kunci: Usaha ternak, lahan berlereng, ketahanan pangan, sistem usahatani konservasi
ABSTRACT Temanggung Regency is the tobacco centre of Java. Commonly, tobacco plant is grown on erasable sloping high land. In the last five years, tobacco price was worthless, extend to which forced the farmers looked forward to seeking other farming alternative to tobacco farm. Livestock farming was considered to be a prospective choice. A survey was carried out at in four poor villages to explore the recent farming status. The survey was performed at Kebumen and Pagergunung Villages, Pringsurat Sub District (medium land), Getas Village of Kaloran Sub District, and Canggal Village of Kledung Sub District in September-October 2004 (both are located in high land). The survey involved 39 and 52 farmers on medium and high land, respectively. Results showed that sheep was the dominant livestock raised on both areas. In average, each farmer family owned 5.0 head (medium land) and 4.19 head (high land). Furthermore, cattle took the second rank of farmers preference. In average each farmer family hold 2.25 and 1.73 head (for medium and high land, respectively). It was documented that livestock farming contributed 8.3% and 7.0% income of the medium and high land farmers, respectively. Livestock farming, especially cattle farming was considered to be more important income source for the near future. Obviously, cattle was the first investment priority for the high land farmers, but the medium land farmers put it as the third one. There was a trend that the farmers conduct more intensively livestock farming on sloping land. Thus, such farmers should be supported since to the role of livestock farming is their source of income. Nevertheless, its also has impact on meat sufficiency and land conservation development on the sloping high land. Key words: livestock farming, sloping high land, food sufficiency, conservation farming
PENDAHULUAN Luas Kabupaten Temanggung adalah 87.023 ha tetapi 76,3% nya didominasi oleh lahan kering (BPS Provinsi Jateng, 2003). Ketinggian tempat Kabupaten Temanggung
bervariasi dari 450 – 1350 m dpl. Kabupaten Temanggung selama ini dikenal sebagai salah satu sentra produksi tembakau yang umumnya diusahakan di dataran tinggi berlereng yang peka terhadap erosi. Perubahan lingkungan
571
Prosiding Seminar Nasional strategis telah menyebabkan jatuhnya harga tembakau dalam lima tahun terakhir dan mendorong petani untuk mulai meninggalkan usahatani tembakau. Bila pada tahun 2001 luas panen dan produksi tembakau berturutturut adalah 24.283,3 ha dan 14.260,05 ton, maka pada tahun 2003 luas panen dan produksi tembakau hanya 14.200 dan 7.720 (BPS Provinsi Jateng, 2002; 2004). Untuk itu Pemerintah Daerah Kabupaten Temanggung melalui instansi terkait serta petani terdorong untuk mencari cabang usaha alternatif pengganti tembakau. Beberapa hasil penelitian menunjukkan besarnya preferensi petani untuk membeli dan memperluas penguasaan lahan, sedangkan pilihan kedua adalah untuk membeli ternak (Rahmanto et al., 1989; Hermawan et al., 1993). Lahan dipilih petani karena sumberdaya ini menentukan tingkat hidup di pedesaan dan berkaitan dengan jangkauan kepada sumber pendapatan (Wiradi dan Makali, 1983). Sementara itu ternak mempunyai berbagai fungsi, yaitu sebagai sumber pendapatan, sarana tabungan, sosial, sumber pupuk kandang, dan membantu dalam pengolahan tanah. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya kontribusi usaha ternak bagi pendapatan petani miskin di Kabupaten Temanggung serta mengevaluasi tingkat efisiensi usahanya.
BAHAN DAN METODE Untuk melihat status usaha ternak di desa miskin Kabupaten Temanggung paska jatuhnya harga tembakau, dilaksanakan survei di empat desa miskin pada Bulan SeptemberOktober 2004. Untuk dapat menangkap status usaha ternak di dua tipologi agroekosistem Temanggung, dilakukan penelitian di Desa Kebumen dan Pagergunung, Kecamatan Pringsurat yang terletak di dataran medium dan di Desa Getas, Kecamatan Kaloran serta Desa Canggal, Kecamatan Kledung yang
572
terletak di dataran tinggi. Jumlah petani responden berturut-turut adalah 39 petani dataran medium dan 52 petani dataran tinggi. Data yang dikumpulkan adalah data primer, terutama yang menyangkut skala usaha ternak, sumber pendapatan, dan rencana investasi petani. Data dianalisis secara deskriptif, sedangkan prioritas rencana investasi petani dihitung dengan mengacu kepada Rahmanto et al. (1989)
HASIL PENELITIAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Gambaran lokasi penelitian ditampilkan pada Tabel 1. Dua desa pertama (Desa Pagergunung dan Desa Kebumen) terletak di Kecamatan Pringsurat dan berada pada ketinggian di bawah 700 meter diatas permukaan laut (m dpl). Dua desa lainnya, yaitu Desa Getas, Kecamatan Kaloran dan Desa Canggal, Kecamatan Kledung, terletak di dataran tinggi dengan ketinggian di atas 1000 m dpl. Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa dari segi luasan, Desa Canggal merupakan desa terkecil (101 ha) atau sekitar seperde lapan luas wilayah Desa Getas sebagai desa ter luas (815 hektar) Agroekosistem lokasi penelitian didominasi oleh lahan kering. Lahan sawah irigasi dalam skala yang cukup luas (sekitar 25% luas wilayah) hanya terdapat di Desa Kebumen, sementara di Desa Getas luas sawah hanya sekitar 5% dari luas wilayah. Secara umum komoditas tanaman utama yang diusahakan di lahan kering adalah jagung dan ubi kayu (Desa Getas), kentang dan kopi (Desa Canggal), klengkeng (Desa Pagergunung) serta salak dan jagung (Desa Kebumen). Semantara itu jenis ternak dominan di lokasi penelitian adalah sapi, domba, dan ayam (Tabel 2). Kambing dan kerbau dijumpai dalam jumlah terbatas di Desa Kebumen dan Getas.
Prosiding Seminar Nasional Tabel 1. Alokasi penggunaan lahan (ha) dan ketinggian tempat lokasi penelitian Jenis lahan Sawah teknis Sawah ½ teknis/ pengairan sederhana Tanah Kering - Bangunan - Tegal - Hutan rakyat - Lainnya Total luas desa Elevasi (m dpl.)
Kec. Pringsurat Ds. Kebumen
Ds. Pagergunung
Kec. Kaloran Ds. Getas
Kec. Kledung Ds. Canggal
101 -
-
45
-
293 113 73 12 408 500
46 293 30 17 388 670
30 721 8 815 1037
10 76 15 101 1200
Sumber: Profil desa Kecamatan Kaloran; Profil desa Kecamatan Parakan; Profil desa Kecamatan Pringsurat (1999).
Tabel 2. Populasi masing-masing jenis ternak di lokasi penelitian Kec.Pringsurat
Jenis ternak
Ds Kebumen Sapi Kerbau Kambing/Domba Ayam kampUng
Ds Pagergunung
29 37 1.140 2.220
42 1.355 1.473
Kec.Kaloran
Kec.Kledung
Ds. Getas
Ds. Canggal
433 1.681 2.876
10 18 200
Sumber: Profil desa Kecamatan Kaloran; Profil desa Kecamatan Parakan; Profil desa Kecamatan Pringsurat (1999).
Skala Usaha Ternak Berdasarkan hasil penelitian, usahatani ternak ruminansia merupakan jenis ternak yang umum diusahakan petani baik di dataran medium maupun dataran tinggi. Ternak sapi lebih banyak diusahakan oleh petani dataran tinggi (57,7%) dibandingkan dengan petani dataran medium (10,3%). Namun demikian rata-rata jumlah ternak sapi yang diusahakan petani di dataran medium (2,25 ekor/KK) lebih banyak dibandingkan dengan jumlah ternak sapi yang diusahakan petani di dataran tinggi (1,73 ekor/KK). Jenis usaha ternak sapi di dataran medium umumnya (75%) adalah usaha penggemukan, sedangkan sisanya (25%) usaha perbibitan. Bangsa sapi yang diusahakan adalah Peranakan Ongol (PO). Sapi PO dipilih petani karena pertambahan berat badannya
tinggi (40%), kuat digunakan untuk membajak (20%), dan harga mahal (40%). Di dataran tinggi, proporsi usaha ternak sapi dengan orientasi usaha penggemukan (45,2%) dan usaha perbibitan (44,8%) relatif berimbang. Berbeda dengan di dataran medium, bangsa sapi yang diusahakan petani beragam. Selain sapi PO (48,5%), bangsa sapi yang diusahakan di dataran tinggi adalah Simental Cross (18,2%), peranakan sapi FH (18,2%), Limousin (12,1%), dan Brahman (3,0%). Dibandingkan dengan di dataran medium, pemilihan bangsa sapi lebih bervariasi. Selain pertimbangan harga jual (29,7%), kecepatan pertambahan berat badan (24,3%), kekuatan sapi untuk membajak lahan (13,5%), sebagian petani juga menyatakan alasan kemampuan sapi untuk berkembang biak (16,2%), harga bakalan terjangkau (10,5%), dan daya tahan sapi dalam kondisi kekurangan pakan (5,4%).
573
Prosiding Seminar Nasional Tabel 3. Pemilikan ternak di dataran medium dan dataran tinggi di lokasi penelitian Jenis ternak Sapi Domba Ayam
Dataran medium % petani Skala usaha 10,3 2,25 (1,50) 59,0 5,00 (2,81) 12,8 24,20 (24,31)
Dataran tinggi % petani Skala usaha 57,7 1,73 (0,83) 50,0 4,19 (2,25) 30,8 5,13 (4,26)
Angka dalam kurung menunjukkan simpangan baku
Menurut data BPS Provinsi Jateng (2005), Kabupaten Temanggung merupakan daerah sentra produksi ternak domba dan menempati urutan pertama di Jawa Tengah dengan populasi ternak domba sebanyak 212.202 ekor. Ternak domba ini diusahakan petani baik di dataran medium maupun dataran tinggi dengan orientasi usaha perbibitan. Berbeda dengan ternak sapi, di dataran medium proporsi petani yang memelihara ternak domba (59%) serta jumlah ternak yang dipelihara (5 ekor/KK) lebih tinggi dibandingkan dengan di dataran tinggi, di mana sebanyak 50% petani memelihara ternak domba dengan rata-rata jumlah pemeliharaan ternak sebanyak 4,19 ekor/KK. Jenis ternak domba yang dipelihara adalah domba ekor gemuk (DEG). Ternak ayam merupakan jenis ternak utama ketiga yang banyak diusahakan petani, khususnya petani di dataran tinggi. Sebanyak 30,8% petani memelihara ternak ayam dengan rata-rata jumlah ternak sebanyak 5,13 ekor/KK. Jumlah ternak ayam per rumah tangga petani ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata jumlah ternak ayam yang dipelihara petani di dataran tinggi (24,2 ekor/KK) walaupun persentase petani yang memelihara ayam di dataran medium lebih sedikit, yaitu hanya 12,8%. Ternak ayam ini dipelihara dengan sistem umbaran. Sumber dan pengelolaan pakan ternak Ketersediaan hijauan pakan ternak seringkali menjadi pembatas upaya peningkatan skala usaha ternak ruminansia. Berdasarkan hasil penelitian, hijauan pakan ternak di lokasi terutama adalah dari rumput
574
lapangan dan rumput unggul (Tabel 4). Rumput unggul yang ditanam petani adalah rumput raja, gajah, dan setaria. Petani menanam rumput unggul di sepanjang bibir dan tampingan teras, batas pemilikan lahan, maupun di turus-turus jalan desa. Beberapa petani juga secara khusus menanam rumput unggul di bidang olah lahan, khususnya pada lahan yang banyak ditanami tanaman tahunan sehingga ternaungi dan tidak ekonomis apabila ditanami tanaman pangan/hortikultura. Penelitian Hermawan et al. (1996) di Desa Pasekan, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang menunjukkan bahwa penanaman rumput unggul telah menurunkan curahan tenaga kerja petani dalam mencari hijauan pakan. Penurunan curahan tenaga kerja pencarian hijauan pakan karena sudah tersedia di lahan memungkin kan petani untuk mengembangkan kegiatan ekonomi produktif (Setiani dan Hermawan, 1995) Lebih lanjut penelitian Hermawan et al. (2004) di eks sentra produksi jeruk keprok, Tawangmangu Kabupaten Karanganyar menunjukkan bahwa penanaman rumput unggul di sepanjang bibir dan tampingan teras pada lahan berlereng telah meningkatkan populasi ternak dan nilai ternak ruminansia petani serta mengubah komposisi pakan yang diberikan petani. Penanaman hijauan ternak juga berdampak positif pada lingkungan karena dapat mengurangi laju erosi. Menurut Dooelette dan Margrath (1990) dalam jangka panjang erosi tanah akan menyebabkan terjadinya degradasi lahan sampai tahap kritis yang dampaknya tidak hanya dirasakan oleh wilayah setempat di bagian hulu tetapi juga dirasakan oleh bagian hilir berupa bahaya sedimentasi, banjir, dan kekeringan.
Prosiding Seminar Nasional Tabel 4. Jenis hijauan pakan ternak ruminansia di lokasi penelitian Sapi Jenis hijauan
Dataran medium
Rumput lapang/alam Rumput unggul (gajah, raja, setaria, dll) Legum pohon (kaliandra, sengon, dll) Limbah pertanian (jerami, tebon, dll)
49,6 38,3 6,1 6,1
Sumber hijauan pakan lain, khususnya legum pohon dan limbah pertanian belum banyak digunakan oleh petani. Hanya sekitar 12,2% petani di dataran medium dan 1,2% petani di dataran tinggi yang menggunakan kedua jenis hijauan ini sebagai pakan ternak sapi serta berturut-turut sekitar 20,6% dan 4,1% petani di dataran medium dan dataran tinggi yang menggunakannya untuk pakan ternak domba. Konsisten dengan kondisi peternak di daerah lain, setiap tahun petani mengalami kekurangan hijauan pakan pada musim kemarau. Lama masa kekurangan hijauan pakan tersebut berturut-tarurut adalah sekitar 3,15 bulan di dataran medium dan 3,47 bulan di dataran tinggi. Untuk mengatasi masalah tersebut sebagian besar petani (45,5% di dataran medium dan 56,3% di dataran tinggi)
Domba Dataran Dataran Dataran tinggi medium tinggi ......... (%) .......... 60,1 40,1 67,8 38,6 39,3 28,0 0,0 17,8 4,1 1,2 2,8 0,0
mencari hijauan pakan ke tempat lain yang lebih jauh (Tabel 5). Alternatif lain yang dilakukan oleh sebagian petani adalah membeli hijauan pakan, memperbanyak pemberian pakan konsentrat, mengganti dengan batang pisang dan mengurangi jumlah pemberian pakan hijauan. Selain hijauan pakan, petani juga memberikan pakan tambahan/konsentrat. Jenis konsentrat yang diberikan terutama adalah dedak padi/katul, onggok ubi kayu, dan ubi jalar (Tabel 6). Jumlah konsentrat baik untuk ternak sapi maupun domba adalah sekitar 2-3 kg/ekor/hari di dataran medium dan sekitar 0,9–4,25 kg/ekor/hari di dataran tinggi. Sumber pakan konsentrat di dataran medium terutama merupakan hasil produksi sendiri (44,4%), sedangkan di dataran tinggi sebagian besar berasal dari pembelian (64,7%).
Tabel 5. Upaya petani dalam mengatasi kekurangan pakan hijauan (% petani) di lokasi penelitian Uraian Mencari ketempat yang lebih jauh Membeli pakan hijauan Memberi pakan konsentrat yang lebih banyak Menggantikan dengan batang pisang Mengurangi jumlah pakan hijauan yang diberikan
Dataran medium 45,5 18,2 0 27,3 9,1
Dataran tinggi 56,3 0 12,5 6,3 25,0
Tabel 6. Jenis pakan konsentrat yang diberikan pada ternak ruminansia dilokasi penelitian Dataran medium
Dataran tinggi
575
Prosiding Seminar Nasional % petani Sapi Dedak padi/katul Onggok ubi kayu Ubi jalar Lainnya Domba Dedak padi/katul Onggok ubi kayu Ubi jalar Lainnya
Jumlah (Kg/ekor/hari)
% petani
Jumlah (Kg/ekor/hari)
33,3 33,3 0,0 33,3
2,00 2,00 0.00 3,00
23,8 19,0 14,3 42,9
0,90 4,25 2,33 2,08
29,6 48,1 7,4 14,8
2,91 3,12 4,50 1,00
20,0 60,0 0,0 20,0
1,00 1,17 0.00 2,50
Pendapatan Petani Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan pertanian masih merupakan sumber pendapatan terbesar bagi petani. Kontribusi sektor pertanian berturut-turut memberikan kontribusi sebesar 30,6% dan 45% bagi petani di dataran medium dan tinggi (Tabel 7). Pendapatan dari usaha non-pertanian (antara lain berdagang) dan menjadi buruh nonpertanian (misalnya menjadi buruh bangunan), secara umum memberikan kontribusi pendapatan terbesar kedua dan ketiga setelah usaha pertanian. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proses transformasi struktur ekonomi di pedesaan terus berjalan. Di sisi lain, pendapatan dari kegiatan menjadi buruh pertanian hanya memberikan kontrIbusi
kurang dari 5 % pendapatan petani. Kondisi ini tampaknya berkaitan dengan kecilnya skala usaha sektor pertanian per rumah tangga petani dan sempitnya lahan usahatani sehingga cukup ditangani oleh tenaga kerja keluarga. Menurut hasil Sensus Pertanian 2003, jumlah petani gurem (petani dengan lahan sempit kurang dari 0,5 ha) meningkat sebesar 2,84%, yaitu dari 2,45 juta rumah tangga pada tahun 1993 menjadi 3,15 juta rumah tangga pada tahun 2003. Persentase rumah tangga petani gurem terhadap rumah tangga pertanian pengguna lahan juga meningkat, yaitu dari 69,06% di tahun 1993 menjadi 75,43% di tahun 2003 (BPS, 2004).
Tabel 7. Kontribusi setiap sumber pendapatan petani di dataran tinggi dan medium di lokasi penelitian Sumber Usaha pertanian Pangan Hortikultura Perkebunan Kehutanan Ternak Usaha non-pertanian Transfer Buruh pertanian Buruh non-pertanian Total
dataran medium (Rp 000) (%) 1.964,0 30,1 277,4 4,2 353,1 5,4 317,9 4,9 476,4 7,3 539,2 8,3 1.413,9 21,6 1.248,9 19,1 290,3 4,4 1.616,8 24,7 6.533,9 100,0 (3.651,0)
Angka dalam kurung menunjukkan simpangan baku
576
dataran tinggi (Rp 000) (%) 3.224,6 44,8 914,6 12,7 463,8 6,4 1.037,7 14,4 302,3 4,2 506,2 7,0 1.763,1 24,5 726,4 10,1 347,6 4,8 1.132,4 15,7 7.194,1 100,0 (5.590,4)
semua kasus (Rp 000) (%) 2.974,6 42,1 797,6 11,3 440,2 6,2 884,2 12,5 339,4 4,8 513,3 7,3 1.688,7 23,9 837,8 11,8 335,4 4,7 1.235,7 17,5 7.072,1 100,0 (5.236,1)
Prosiding Seminar Nasional Bagi petani dataran medium, usahatani ternak memberikan kontribusi paling besar (8,3%) disusul oleh usahatani tanaman kehutanan (7,3%) dan hortikultura (5,4%). Sementara itu di dataran tinggi, usahatani ternak menempati urutan ketiga (7,0%) setelah usahatani tanaman perkebunan (14,4%) dan usahatani tanaman pangan (12,7%). Perbedaan kontribusi pendapatan dari masing-masing subsektor disebabkan oleh perbedaan komoditas yang diusahakan. Di dataran tinggi, usahatani dominan adalah tanaman pangan (terutama jagung) serta tanaman perkebunan (khususnya tembakau dan kopi arabika) yang bernilai ekonomi tinggi. Sebaliknya di dataran medium, banyak lahan petani ditanami tanaman sengon serta kopi robusta sehingga tidak memungkinkan lagi ditanami dengan tanaman pangan/hortikulura karena ternaungi. Yang masih terbuka di dataran medium memang intensifikasi ternak, khusunya ternak ruminansia, karena rumput hijauan pakan ternak masih dapat ditanam di bawah tegakan.
ternak menempati urutan prioritas ketiga. Di sisi lain, petani dataran tinggi memberikan prioritas pertama pada pembelian ternak sapi, disusul dengan pembelian lahan pada urutan kedua. Perbedaan preferensi investasi petani di dua tipologi agroekosistem berkaitan dengan kegiatan usahatani komoditas nonternak yang selama ini diusahakan petani. Sebelum jatuhnya harga tembakau, petani di dataran tinggi mengusahakan komoditas tembakau secara intensif dan menjadikannya sebagai sumber pendapatan utama petani, sedangkan cabang usahatani lainnya lebih bersifat menunjang. Paska jatuhnya harga tembakau, petani berupaya untuk melakukan diversifikasi dan mencari cabang usahatani lain yang lebih prospektif. Salah satu cabang usaha yang sebelumnya tidak/ kurang intensif diusahakan dan dipandang mempunyai potensi besar sebagai alternatif pengganti tembakau adalah usahatani ternak sapi. Berbeda dengan petani dataran tinggi, petani dataran medium tidak mengusahakan tembakau serta tidak mengandalkan diri pada satu kegiatan usahatani tertentu dan cenderung melakukan diversifikasi usaha. Petani dataran medium menyadari bahwa untuk meningkatkan kinerja usahatani ternak diperlukan luasan lahan yang cukup. Lahan diperlukan untuk menanam hijuan pakan ternak.
Rencana Investasi Petani Preferensi penggunaan modal dan rencana investasi petani dataran medium dan dataran tinggi dapat dilihat pada Tabel 8. Petani lahan medium memberikan prioritas pertama pada pembelian lahan apabila mereka mempunyai uang, sementara itu pembelian
Tabel 8. Urutan prioritas penggunaan modal/uang, Kabupaten Temanggung, 2004 Uraian Dataran medium Membeli lahan sawah/tegalan: Membeli pekarangan/ rumah: Membeli sapi Membeli domba/ kambing Modal usaha pertanian Modal usaha bukan pertanian Dataran tinggi Membeli lahan sawah/tegalan: Membeli pekarangan/ rumah: Membeli sapi Membeli domba/ kambing Modal usaha pertanian Modal usaha bukan pertanian
I
Frekuensi petani pada tiap prioritas II III IV V VI
Skor prioritas*
11 4 4 1 11 8
10 4 10 4 5 1
5 13 4 2 5 2
6 4 5 5 4 3
0 0 7 9 4 3
0 3 0 5 1 5
4,5 3,5 3,8 2,7 3,9 2,6
16 7 17 4 5 3
9 6 15 6 11 3
11 9 8 4 10 0
7 7 6 4 7 5
1 7 0 7 4 6
0 1 0 3 1 7
4,5 3,5 4,7 2,6 3,6 2,1
* Besar skor menunjukkan kecenderungan responden dalam memilih opsi
577
Prosiding Seminar Nasional KESIMPULAN Paska jatuhnya harga tembakau dalam lima tahun terakhir, usahatani ternak menjadi salah satu alternatif yang dipilih petani Kabupaten Temanggung. Preferensi petani untuk berusahatani ternak di lahan kering berlereng perlu didukung lebih lanjut karena selain menjadi sumber pendapatan bagi petani juga berdampak positif bagi ketahanan pangan daging dan mendukung pengembangan sistem usahatani konservasi di lahan kering berlereng. Dukungan yang relevan dengan kondisi ekonomi masyarakat saat ini adalah meliputi bentuk introduksi inovasi teknologi dan pinjaman modal lunak untuk menerapkan inovasi teknologi serta pengembangan skala usaha.
PUSTAKA Badan Pusat Statistik. 2004. Pertumbuhan rumah tangga pertanian di Indonesia (Angka Sangat Sementara Hasil Sensus Pertanian 2003/st03). Biro Pusat Statistik. Berita Resmi Statistik. No. 06/ VII/2 Januari 2004. Badan Pusat Statistik Provinsi Jateng. 2002. Jawa Tengah dalam angka 2001. Biro Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah Badan Pusat Statistik Provinsi Jateng. 2003. Jawa Tengah dalam angka 2002. Biro Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah Badan Pusat Statistik Provinsi Jateng. 2004. Jawa Tengah dalam angka 2003. Biro Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah Badan Pusat Statistik Provinsi Jateng. 2005. Jawa Tengah dalam angka 2004. Biro Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah Dooelette, J.B. and W.B. Margrath. 1990. Watershed management in Asia: Strategies and technologies. World Bank Technical Paper No. 127. World Bank. Washington, D.C. Hermawan, A. C. Setiani, dan J. Parmono. 1993. Kredit dan perilaku petani di lahan kering DAS. Prosiding: Hasil penelitian PLK2T di DAS Serang Hulu. P3HTA. Badan Litbang Pertanian. Deptan, pp. 135 -152.
578
Hermawan, A. J. Pramono, C. Setiani, T. Prasetyo, D. Juanda. 1996. Dampak pengembangan usahatani konservasi terhadap peningkatan pendapatan petani dari sektor peternakan di Lahan Kering DAS: Studi kasus Desa Pasekan, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang. Makalah pada Seminar Nasional: Kiat Usaha Peternakan di Unsoed, Purwokerto, 2 Maret 1996. Hermawan, A. D, Juanda, M.D. Pertiwi, E. Iriani, H. Anwar. 2004. Dampak pengembangan sistem usahatani konservasi di bekas sentra jeruk keprok pada usahatani ternak ruminansia. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis: Special Edition Oktober 2004: Seminar Nasional Ruminansia, Semarang, 7 Oktober 2004. Buku 1. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. Pp. 44-49. Rahmanto, B. P. Amir. Dan A. Syam. 1989. Penjajagan persepsi petani terhadap nilai lahan garapan dan biaya pembuatan teras, serta preferensi petani dalam menanamkan modalnya. Risalah diskusi ilmiah hasil penelitian PLKK di DAS. P3HTA. Badan Litbang Pertanian. Hal:. 257-266. Setiani, C dan A. Hermawan. 1995. Keuntungan komparatif penanaman rumput pada bidang olah di lahan kering DAS bagian hulu. Prosiding: Pertemuan ilmiah komunikasi dan penyaluran hasil penelitian. Bandungan-Semarang, 10 Januari 1995. Badan Litbang Pertanian. Puslitbangnak, SBPT Klepu, pp.286-306. Wiradi, G. dan Makali. 1983. Penguasaan tanah dan kelembagaan. Dalam F. Kasryno (Ed). 1984. Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia. Pp. 45-130.
Prosiding Seminar Nasional
PERAN GELAR TEKNOLOGI SEBAGAI METODE PENYULUHAN DALAM PENYEBARAN TEKNOLOGI USAHATANI PADI GOGO DI LAHAN KERING Trie Joko Paryono dan Ernawati Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah
ABSTRAK Gelar teknologi sebagai metode penyuluhan dalam penyebaran teknologi usahatani padi gogo di lahan kering dilaksanakan di Kabupaten Banjarnegara, Oktober 2004 s/d. Maret 2005. Pada kegiatan ini diintroduksikan komponen teknologi: varietas padi gogo unggul baru Situ Patenggang, perlakuan benih, cara dan jarak tanam serta pemupukan. Tujuan pengkajian adalah (1) mengetahui keragaan hasil usahatani padi gogo di lahan kering, (2) mengetahui efektivitas metode gelar teknologi usahatani padi gogo. Gelar teknologi usahatani padi gogo dilakukan di Desa Tapen, Kecamatan Wanadadi, Kabupaten Banjarnegara seluas 2.500 m2. Metode yang digunakan adalah penyediaan lahan peragaan teknologi usahatani padi gogo di tingkat petani sebagai metode penyuluhan. Pada akhir kegiatan dilakukan survei dengan desain deskriptif komparatif. Data yang diamati/dicatat adalah keragaan hasil usahatani padi gogo di lahan kering, tingkat pemahaman, persepsi dan respon petani terhadap teknologi usahatani padi gogo. Data dikumpulkan melalui pengukuran langsung di lapangan dan wawancara dengan petani menggunakan kuesioner. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan uji-t. Hasil evaluasi menyatakan bahwa secara umum gelar teknologi merupakan metode yang efektif untuk penyebaran teknologi usahatani padi gogo di lahan kering. Hal ini ditunjukkan dari sebagian besar responden (76,2%) mempunyai pemahaman tinggi dan sebagian kecil (23,8%) pemahaman sedang. Seluruh responden (100%) mempunyai persepsi dan respon pada katagori tinggi. Hasil studi menunjukkan bahwa sebagian besar petani (> 60%) mempunyai tingkat pemahaman sedang, untuk tingkat persepsi dan respon sebagian besar petani (> 60%) termasuk dalam katagori tinggi. Selain itu diketahui bahwa sebagian besar responden (93,3%) yakin dapat menerapkan teknologi yang dianjurkan. Hal ini mendorong minat petani, sehingga seluruh responden menyatakan ingin mencoba menanam padi gogo Situ Patenggang. Kata kunci: Efektivitas, gelar teknologi, padi gogo, persepsi dan respon petani
PENDAHULUAN Diseminasi teknologi dan informasi merupakan suatu rangkaian kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan penciptaan teknologi. Hasil penelitian berupa teknologi akan menjadi sia-sia apabila tidak diikuti dengan usaha untuk menyebarkannya. Di lain pihak, kegiatan diseminasi bukan hanya kegiatan untuk menyebarluaskan informasi yang tersedia, tetapi juga dapat menjadi media untuk mendapatkan umpan balik bagi perencanaan kegiatan penelitian dan pengkajian (litkaji) dan diseminasi hasil penelitian selanjutnya serta mungkin pula sebagai bahan masukan bagi pengambil kebijakan (Badan Litbang Pertanian, 2001). Pengembangan berbagai kegiatan diseminasi inovasi hasil pengkajian didasarkan atas tiga hal yaitu, tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan diseminasi, karakteristik sasaran, dan jenis inovasi/teknologi pertanian. Karakteristik sasaran (target audience) terbagi ke dalam
kelompok sasaran (target group) yang secara khas memiliki latar belakang berbeda (pendidikan, profesi, sosial ekonomi, dan lainlain). Hal ini menurut Efendy (1985) menuntut perbedaan dalam memformulasikan bentuk penyajian isi pesan/materi dalam media. Sedangkan isi pesan/materi tersebut ditentukan oleh hasil-hasil litkaji pertanian berupa inovasi teknologi pertanian. Dalam penggunaan metode diseminasi teknologi, Prodjosuhardjo (1993) menyatakan bahwa media komunikasi TV, radio, dan media cetak dapat mempercepat adopsi tetapi sifat edukatif dan inovatifnya kurang. Hal ini menyebabkan petani merasa cukup memperoleh informasi sehingga acuh pada orang lain, termasuk kepada penyuluh, pada hal media tersebut tidak banyak mengajarkan ketrampilan. Untuk mengurangi kelemahan tersebut maka komunikasi interpersonal harus dikembangkan. Beberapa faktor yang saling berkait dalam diri petani dan mempengaruhi percepatan adopsi atau keberlanjutan suatu
579
Prosiding Seminar Nasional teknologi adalah: persepsi petani terhadap tingkat teknologi, motivasi dalam berusahatani, kondisi dan kemampuan, pola pengambilan keputusan terhadap tingkat resiko yang ditanggung, kultur/budaya, dan intensitas promosi teknologi (Hermawan, 1995). Oleh karena itu agar teknologi yang telah dihasilkan dapat segera diadopsi/dimanfaatkan para petani, maka dipilih metoda diseminasi yang cocok dan sesuai untuk petani, yaitu: harus jelas, tidak rumit, dapat memecahkan masalah, ada contoh langsung yang dapat dilihat dan/atau dicoba diterapkan dengan pendampingan petugas. Untuk memperoleh data berupa masalah, potensi, dan peluang yang tepat, perlu kegiatan identifikasi wilayah dengan melibatkan masyarakat secara partisipatif. Dengan cara ini maka upaya pemecahan masalah yang akan dilakukan tentu lebih tepat. Margaretha (2003) menyatakan bahwa dengan melibatkan masyarakat khususnya petani, mereka akan dapat menemukenali segala permasalahan yang mereka hadapi, sekaligus memahami potensi wilayah dan dirinya sendiri. Salah satu metode diseminasi yang mendekati harapan tersebut antara lain adalah Gelar Teknologi. Pada prinsipnya, gelar teknologi adalah suatu kegiatan untuk memperagakan teknologi pertanian unggulan hasil penelitian dan pengkajian yang sudah matang di lahan petani dan dilaksanakan oleh kelompok tani atau anggotanya, dengan bimbingan teknis seharihari oleh penyuluh pertanian lapangan (Badan Litbang, 2003). Sebagai metoda diseminasi/penyuluhan pertanian, gelar teknologi dilaksanakan oleh petani kooperator di bawah bimbingan penyuluh pertanian lapang, dan didampingi oleh peneliti dan penyuluh pertanian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Gelar teknologi merupakan metode alih inovasi yang komunikasinya interaktif dan langsung. Melalui forum gelar teknologi tersebut, para petani dan fasilitator dapat berdiskusi, bertukar informasi dan pengalaman tentang berbagai aspek yang berkaitan dengan teknologi pertanian yang diintroduksikan. Padi gogo merupakan salah satu komoditas alternatif yang dapat dikembangkan di lahan kering (tegalan) selain jagung dan ketela pohon. Tanaman tersebut tidak membutuhkan persyaratan khusus dan
580
dapat dibudidayakan pada tanah-tanah marginal dengan hasil cukup baik. Pada usahatani padi penggunaan varietas unggul dan benih bermutu merupakan faktor yang sangat menentukan produktivitas dan mutu hasil panen. Pada tahun 2002, telah dilepas 3 varietas unggul baru padi gogo yang perlu segera dikembangkan, salah satunya adalah varietas Situ Patenggang. Hasil pengkajian BPTP Jawa Tengah di Desa Bogem Kecamatan Japah Kabupaten Blora pada musim hujan 2003, produktivitas padi gogo Situ Patenggang dapat mencapai 6,54 t/ha GKP. Sedangkan produktivitas varietas Ciherang yang biasa ditanam petani hanya 3,30 t/ha GKP (Widarto et al., 2002). Berkaitan dengan beberapa hal tersebut maka dalam kesempatan ini, inovasi teknologi yang diterapkan dalam gelar teknologi adalah usahatani padi gogo di lahan kering. Dalam kegiatan tersebut disertai dengan praktek dan peragaan penerapan teknologi secara langsung, sehingga diharapkan melalui metode ini dapat mempercepat adopsi teknologi usahatani padi gogo di lahan kering. Evaluasi ini mempunyai dua tujuan yaitu untuk (1) mengetahui keragaan hasil usahatani padi gogo di lahan kering, dan (2) mengetahui efektivitas metode gelar teknologi untuk penyebaran teknologi usahatani padi gogo di lahan kering.
BAHAN DAN METODE Kerangka Pemikiran Evaluasi ini menduga bahwa gelar teknologi efektif sebagai metode penyuluhan dalam penyebaran teknologi, khususnya teknologi usahatani padi gogo di lahan kering. Kerangka pemikiran tersebut mendasari desain evaluasi ini yaitu deskriptif komparatif yang dilaksanakan dengan metode pembuatan peragaan penerapan usahatani padi gogo dan survai. Kegiatan peragaan penerapan usahatani padi gogo dilaksanakan oleh seorang petani kooperator pada lahan + 2.500 m2 di Desa Tapen, Kecamatan Wanadadi, Kabupaten Banjarnegara pada bulan Oktober 2004 s/d. Maret 2005. Sarana produksi berupa benih, pupuk, dan pestisida disediakan sebagai stimulan, sedangkan lahan dan tenaga kerja disediakan petani. Jenis tanaman yang diintroduksikan yaitu padi gogo varietas Situ Patenggang, dan sebagai pembandingnya
Prosiding Seminar Nasional adalah tanaman ubi kayu lokal yang biasa ditanam petani. Kegiatan survai dilakukan pada akhir kegiatan dengan responden 21 orang yang ditetapkan secara purposive, yaitu petani peserta temu lapang. Model Empiris Data yang diperlukan dalam kegiatan ini meliputi (1) aspek teknis (jumlah malai padi gogo/m2, persentase butir gabah hampa, dan berat 1.000 butir gabah, dan produktivitas padi berdasarkan hasil ubinan), (2) aspek ekonomi (data input dan output usahatani padi gogo), dan (3) aspek sosial (tingkat pemahaman, persepsi dan respon 21 responden terhadap inovasi padi gogo). Data tersebut dikumpulkan dengan melakukan pengamatan dan pengukuran secara langsung terhadap obyek sampel di lapangan atau survai menggunakan kuisioner. Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis sesuai dengan jenis data dan peruntukannya. Data aspek teknis dianalisis secara deskriptif (rata-rata, kisaran, persentase dan distribusi frekuensi), data aspek ekonomi diolah menggunakan analisis anggaran parsial sederhana, dan data aspek sosial yaitu persepsi dan respon menggunakan metode Likert’s Summated Ratings (KSR). Khusus untuk data sosial, langkahlangkah analisis secara lebih rinci dilakukan sebagai berikut.
Berbagai pernyataan dengan metode LSR tersebut dibuat dalam bentuk pernyataan positif (jawaban yang diharapkan), pernyataan yang netral dan pernyataan negatif (jawaban yang tidak diharapkan). Untuk pernyataan yang diharapkan diberi skor 3, pernyataan netral diberi skor 2 dan untuk pernyataan yang tidak diharapkan diberi skor 1 (Azwar, 2002). • Tingkat pemahaman, persepsi dan respon diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu (i) persepsi dan respon tinggi/positif, (ii) persepsi dan respon sedang dan (iii) persepsi dan respon rendah/negatif. Adapun cara penggolongannya digunakan rumus interval kelas (Dajan, 1986). • Untuk memantapkan hasil survai, maka dibuat pernyataan (hipotesis) bahwa sebagian besar (> 60%) responden mempunyai tingkat pemahaman tinggi serta persepsi dan respon tinggi/positif terhadap inovasi padi gogo, ayam hibrida dan pendederan gurami secara bertahap di kolam. Untuk membuktikan pernyataan tersebut digunakan uji parameter proporsi (Dajan, 1986). Berdasarkan hal-hal tersebut, maka kriteria yang digunakan untuk menilai tingkat pemahaman, persepsi dan respon responden dalam evaluasi ini adalah seperti data pada Tabel 1.
• Penilaian tingkat persepsi dan respon responden menggunakan penskalaan dengan metode Likert’s Summated Ratings (LSR). Tabel 1. Kriteria tingkat pemahaman, persepsi dan respon responden Tingkat Pemahaman No. 1. 2. 3.
Katagori Rendah Sedang Tinggi
Tingkat Persepsi dan Respon
Jumlah skor
Katagori
Jumlah skor
1,00 – 1,99 2,00 – 3,99 4,00 – 6,00
Rendah/negatif Sedang/netral Tinggi/positif
7,00 – 11,32 11,33 – 16,33 16,34 – 21,00
HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Hasil Usahatani Padi Gogo Lahan Kering Secara umum pertumbuhan tanaman padi gogo di lahan kering cukup baik. Keragaan padi gogo Situ Patenggang secara khusus disajikan pada Tabel 2. Data-data ini sangat
penting untuk mengetahui kelayakan teknis suatu teknologi untuk dapat dikembangkan di suatu lokasi. Keragaan biofisik tanaman padi gogo yang disajikan pada Tabel 2 tidak jauh berbeda dengan data deskripsi varietas padi gogo Situ Patenggang. Hal ini menunjukkan bahwa varietas gogo Situ Patenggang cocok untuk dikembangkan di wilayah Desa Tapen,
581
Prosiding Seminar Nasional Kecamatan Wanadadi, Kabupaten Banjarnegara dan sekitarnya. Dibandingkan produksi yang dicapai di Blora yaitu 6,54 t/ha gabah kering panen (GKP), produksi sebesar
5,94 t/ha tersebut masih dapat ditingkatkan, antara lain melalui peningkatan kualitas pemeliharaan.
Tabel 2. Keragaan komponen hasil dan hasil padi gogo di Desa Tapen, Kecamatan Wanadadi, Kabupa ten Banjarnegara Musim Hujan (MH) Tahun 2004/2005 Uraian Hasil dan Componen Hasil
Varietas Situ Patenggang
Jumlah malai/m2 (malai)
275
Persentase butir hampa (%)
14
Berat 1000 biji (g)
28
Hasil ubinan GKP (t/ha) Pada Tabel 3. disajikan data besarnya produksi, biaya produksi dan pendapatan usahatani di lahan kering. Pada pola introduksi disajikan usahatani monokultur padi gogo, sedangkan pola petani dengan tanaman ubi kayu sebagai pembanding. Data ini sangat penting, karena sangat berkaitan dengan tingkat kelayakan ekonomi penerapan teknologi tersebut. Dari aspek ekonomi, ternyata pola introduksi dalam pemanfaatan lahan kering cukup menguntungkan. Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa usahatani di lahan kering dengan teknologi pola introduksi hasilnya lebih baik dibandingkan pola petani. Jika dibandingkan dengan ubi kayu pola petani, diperoleh nilai margin benefit cost rasio (MBCR) sebesar 1,59 pada padi gogo. Nilai keuntungan untuk komoditas introduksi, ternyata juga lebih tinggi dibandingkan pola petani. Pada Tabel 3 juga nampak bahwa pada komoditas padi gogo terjadi peningkatan
5,94 pendapatan Rp 757.760,-/ha atau sekitar 59% bila dibanding kan dengan komoditas ubi kayu pola petani. Hal ini menunjukkan bahwa perlu adanya perubahan pola tanam dan disertai perbaikan teknologi budidaya tanaman di lahan kering (tegalan). Dalam hal ini perlu adanya upaya pergiliran tanaman dan tumpang sari, sehingga dapat meningkatkan produksi dan pendapatan petani. Selain itu pemanfaatan lahan secara baik sesuai dengan kondisi dan kemampuan secara tidak langsung akan menjaga keseimbangan ekosistem lahan dan kontinyuitas produksi. Pada Tabel 3 juga terlihat bahwa antara teknologi introduksi dibandingkan dengan pola petani menunjukkan adanya perbedaan, baik dari biaya produksi yang digunakan, produksi yang dicapai, maupun pendapatan nya. Secara umum dengan menerapkan inovasi pola introduksi biaya produksinya lebih tinggi, namun pendapatannya juga lebih tinggi dibandingkan pola petani.
Tabel 3. Rata-rata produksi, jumlah tenaga kerja, biaya produksi, pendapatan, dan margin usahatani lahan kering pola introduksi dan pola petani, MH. 2004/2005 (per hektar) Teknologi No. 1. 2. 3. 4. 5.
582
Uraian Produksi (kg/ha.) Jumlah tenaga kerja (HOK/ha.) Biaya produksi (Rp/ha.) Pendapatan (Rp/ha.) Margin benefit cost rasio (MBCR)
Introduksi (Padi gogo) 5.932 286 5.084.300 7.118.400
Pola petani (Ubi kayu) 1.786 210 2.013.160 3.289.500 1,25
Prosiding Seminar Nasional Pemahaman, persepsi dan respon petani terhadap inovasi introduksi Inovasi padi gogo yang diintroduksikan pada kegiatan gelar teknologi diharapkan dapat dipahami oleh sebagain besar (>60 %) petani. Selain itu, diharapkan juga sebagian
besar (> 60%) petani mempunyai persepsi dan respon positif/tinggi terhadap inovasi padi gogo tersebut. Keragaan hasil survai tentang tingkat pemahaman petani terhadap inovasi padi gogo dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Keragaan Pemahaman Responden terhadap Inovasi Padi Gogo (n=21) No 1. 2. 3.
Katagori Tingkat Jumlah skor Pemahanan Pemahaman rendah 0,00 – 1,99 Pemahaman sedang 2,00 – 3,99 Pemahaman tinggi 4,00 – 6,00 Jumlah t-hitung = 1,515 ; t-tabel 0,01= 2,528
Hasil survai pada Tabel 4 menunjukkan bahwa dari 21 orang responden, sebanyak 16 orang (76,2%) mempunyai pemahaman tinggi dan 5 orang (23,8%) mempunyai pemahaman sedang, serta tidak satu orangpun (0%) yang tidak paham terhadap inovasi padi gogo yang diintroduksikan. Komponen dari tingkat pemahaman yang perlu diperhatikan adalah bahwa sebagian besar petani belum memahami tentang (i) perlunya perlakuan benih padi gogo dengan Regent ST pada penanaman di wilayah yang sering mendapat serangan penggerek batang dan (ii) penanaman benih padi gogo cukup dengan 2-3 biji per lubang tanam, dan mereka menganggap bahwa dengan menanam 7 – 9 butir per lubang hasilnya akan lebih bagus.
Jumlah Petani 0 5 16 21 ; t-tabel 0,05 = 1,725
Persentase (%) 0 23,8 76, 2 100
Anggapan tersebut tidak tepat karena disamping hasilnya tidak berbeda dengan penanaman 2-3 biji per lubang, akan terjadi penambahan biaya input usahatani. Berbagai komponen inovasi padi gogo yang telah dipahami oleh sebagian besar petani adalah (i) padi gogo unggul baru Situ Patenggang, (ii) jarak tanam teratur 15 x 30 cm, (iii) diberi pupuk secara berimbang, (iv) pemberian pupuk organik perlu dilakukan 2 – 3 kali selama penanaman. Keragaan persepsi dan respon petani terhadap inovasi padi gogo di lahan kering disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Keragaan Persepsi dan Respon Responden terhadap Inovasi Padi Gogo (n=21) No 1. 2. 3.
Katagori Persepsi Dan Respon Rendah/negatif Sedang Tinggi/positif Jumlah t-hitung = 3,742
Jumlah skor 7,00 – 11,66 11,67 – 16,33 16,34 – 21,00 ; t-tabel 0,01= 2,528
Data Tabel 5 menunjukkan bahwa seluruh responden sebanyak 21 orang (100%) mempunyai persepsi dan respon pada katagori tinggi, yaitu dengan skor antara 16,34-21,00. Hasil keragaan tingkat pemahaman, persepsi dan respon responden terhadap inovasi padi gogo bila diuji dengan uji parameter proporsi, apakah sebagian besar (>60%) petani mempunyai pemahaman,
Jumlah Petani 0 0 21 21 ; t tabel 0,05 = 1,725
Persentase (%) 0 0 100 100
persepsi dan respon tinggi terhadap inovasi padi gogo, diperoleh hasil bahwa t-hitung untuk tingkat pemahaman 1,515 dan t-hitung untuk tingkat persepsi dan respon 3,742. Bila dibandingkan dengan t-tabel, maka t-hitung tingkat pemahaman lebih kecil dari t-tabel 0,05 dan t hitung untuk tingkat persepsi dan respon lebih besar dari t tabel 0,01. Dengan demikian dapat diartikan bahwa sebagian besar petani (>60%) mempunyai tingkat
583
Prosiding Seminar Nasional pemahaman sedang, namun untuk tingkat persepsi dan respon sebagian besar petani (>60%) termasuk dalam katagori tinggi. Ini menandakan bahwa metode gelar teknologi efektif digunakan untuk menyebarluaskan inovasi teknologi usahatani padi gogo di lahan kering. Hasil perhitungan keragaan per komponen persepsi dan respon petani terhadap inovasi padi gogo dapat dilihat pada Tabel 6. Dari hasil evaluasi diketahui bahwa sebagian besar responden (93,3%) yakin dapat menerapkan teknologi yang dianjurkan. Hal ini mendorong minat mereka, sehingga seluruh responden (100%) menyatakan ingin mencoba menanam padi gogo Situ Patenggang. Kesanggupan mereka tersebut didukung dengan persepsi positif mereka terhadap teknologi usahatani padi gogo seperti ditunjukkan data Tabel 6.
Bila melihat data Tabel 6, dapat dikatakan bahwa keraguan responden terhadap teknologi usahatani padi gogo sangat kecil, karena mereka mempunyai persepsi positif dalam kategori tinggi, yaitu berkisar antara 71,4 – 100%. Hal ini mengandung makna bahwa teknologi introduksi betul-betul diperlukan peserta (100%). Sementara itu peserta juga menganggap bahwa meskipun teknologi usahatani padi gogo Situ Patenggang masih relatif baru, namun petani berpendapat bahwa teknologi tersebut mudah dipahami, mudah diterapkan, mudah dilihat kelebihannya, relatif menguntungkan, dan tidak rumit. Indikator yang mereka katakan mudah tersebut semuanya termasuk kategori tinggi, yaitu masing-masing lebih dari 70%. Bahkan menurut responden, introduksi teknologi padi gogo ini diperkirakan dapat berkembang dengan baik di wilayahnya, yaitu dikemukakan oleh seluruh responden.
Tabel 6. Keragaan komponen persepsi dan respon responden pada inovasi padi gogo No
Persentase (%)
Komponen persepsi dan respon Tinggi 100
Sedang 0
Rendah 0
Inovasi tidak sulit diterapkan Inovasi tidak rumit diaplikasikan
81 71,4
17 28,6
0 0
4.
Inovasi lebih menguntungkan
95,2
4,8
0
5.
Keinginan untuk mencoba inovasi
100
0
0
6.
Ketertarikan warga desa untuk menerapkan inovasi
95,2
4,8
0
7.
Kemungkinan berkembangnya inovasi di desa
100
0
0
1.
Kesesuaian inovasi dengan kebutuhan petani
2. 3.
Tingginya tingkat pemahaman, persepsi dan respon petani terhadap inovasi usahatani padi gogo Situ Patenggang di lahan kering berkaitan erat dengan kelayakan teknis dan kelayakan ekonomis dari inovasi tersebut. Keragaan komponen hasil padi gogo (Tabel 2) menunjukkan bahwa teknologi usahatani padi gogo secara teknis layak dkembangkan di lahan kering setempat. Sementara itu keragaan data ekonomi yang tersaji pada Tabel 3 juga memperkuat bahwa secara ekonomi inovasi usahatani padi gogo di lahan kering layak dikembangkan.
584
KESIMPULAN Berdasarkan data hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa secara umum gelar teknologi efektif sebagai metode penyuluhan dalam penyebaran teknologi, khususnya teknologi usahatani padi gogo di lahan kering. Hal ini ditunjukkan adanya data sebagai berikut : a.
Keragaan data teknis berupa komponen hasil dan produksi padi gogo serta keragaan data ekonomi berupa biaya produksi, pendapatan usahatani, dan MBCR usahatani padi gogo menunjukkan bahwa teknologi usaha tani padi gogo secara teknis maupun
Prosiding Seminar Nasional
b.
ekonomis layak dikembang kan di lahan kering setempat.
Dayan, A. 1986. Pengantar metode statistika Jilid II. LP3ES. Jakarta.
Hasil analisis uji-t menunjukkan bahwa sebagian besar petani (>60%) mempu nyai tingkat pemahaman sedang, dan untuk tingkat persepsi dan respon sebagian besar petani (>60%) termasuk dalam katagori tinggi. Selain itu diketahui pula bahwa sebagian besar responden (93,3%) yakin dapat mene rapkan teknologi yang dianjurkan. Hal ini mendorong minat petani, sehingga seluruh responden (100%) menyatakan ingin mencoba menanam padi gogo Situ Patenggang.
Effendy O.E. 1985. Dinamika komunikasi. CV. Remaja Rosdakarya. Bandung.
PUSTAKA Azwar, S. 2002. Sikap manusia, teori dan pengukurannya. Pusaka Pelajar. Yogyakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2001. Pedoman penyelengga raan kegiatan diseminasi teknologi dan informasi pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta.
Margaretha. 2002. Harus diulang lagi ketika tahapan proses dilewati. Dalam Buletin DAFEP, Vol. 2, Tahun 2002. Proyek Desentralisasi Penyuluhan Pertanian dan Kehutanan. Jakarta. Prodjosuhardjo, M. 1993. Pembahasan terhadap makalah “pola penyuluhan pertanian terpadu dalam rangka mewu judkan kemandirian petani-nelayan”. Proc. Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia Pertanian dalam rangka Mewujudkan Kemandirian Petaninelayan. Seminar sehari Kerjasama PDHI-APP-PERHIPTANI di Magelang, 12 Oktober 1993. Widarto, Yulianto, J. Susilo, Y. Kamal, dan Sukur. 2003. Kajian pengembangan padi gogo di Kabupaten Blora. BPTP Jawa Tengah.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2003. Panduan umum pelaksanaan penelitian dan pengkajian serta program informasi, komunikasi dan diseminasi di BPTP. Departemen Pertanian, Jakarta.
585
Prosiding Seminar Nasional
IDENTIFIKASI DAN KEBUTUHAN TEKNOLOGI USAHATANI DI LAHAN KERING DATARAN MEDIUM Teguh Prasetyo dan Cahyati Setiani Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah
ABSTRAK Studi mengenai identifikasi dan kebutuhan inovasi teknologi usahatani telah dilakukan di Desa Gandurejo, Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung. Desa tersebut termasuk tipologi agroekosistem lahan kering dataran medium. Tujuan studi untuk menginventarisasi permasalahan, akar masalah serta solusi pemecahan dan alternatif program aksi secara partisipatif. Hasil studi menunjukkan bahwa komoditas unggulan yang diusahakan oleh sebagian besar petani adalah tembakau, jagung dan domba, sedangkan yang dijadikan sebagai usahatani penyangga adalah cabe, ubikayu, pisang, kayu sengon, kelapa dan ayam buras. Penerimaan rumahtangga petani selain dari usahatani adalah buruh dan usaha lain diluar sektor pertanian. Total penerimaan petani adalah Rp 6.990.000 per tahun, sedangkan total pengeluaran adalah Rp 6.596.000. Pengeluaran terbanyak untuk keperluan rumah tangga adalah untuk kebutuhan pangan, pendidikan dan sosial. Permasalahan utama dalam usahatani jagung dan domba adalah produktivitas rendah. Akar permasalahan usahatani jagung adalah kualitas benih yang rendah, pemupukan yang kurang sesuai kebutuhan dan hama uret, sedangkan pada usahatani domba adalah kualitas bibit yang kurang baik, manajemen reproduksi dan pakan. Peningkatan produktivitas dapat dilakukan melalui pengembangan perbenihan, introduksi varietas adaptif tahan kekeringan, pemupukan berimbang, serta pengendalian hama terpadu. Pada usaha ternak domba program aksi yang diperlukan adalah introduksi bibit unggul (induk dan pejantan), pengaturan jarak beranak, perbaikan sistem perkandangan serta manajemen pakan. Untuk meningkatkan kinerja usahatani dan pendapatan petani disarankan pendekatan yang dilakukan adalah sistem agribisnis yang mengarah pada pengembangan agribisnis industrial pedesaan. Kata kunci: Identifikasi, kebutuhan ,inovasi teknologi, usahatani, lahan kering
PENDAHULUAN Pembangunan pertanian diharapkan mampu berperan dalam mengentaskan penduduk (terutama petani) dari kemiskinan. Penduduk miskin di Indonesia telah mendekati angka 40 juta, sebagian besar bekerja di sektor pertanian utamanya adalah petani. Di Provinsi Jawa Tengah jumlah desa miskin mencapai 2.511 desa dan menyebar hampir di seluruh kabupaten, diantaranya adalah di Kabupaten Temanggung. Petani miskin umumnya hidup di daerah lahan kering dan tadah hujan dengan infrastruktur ekonomi dan struktur sosial yang relatif belum memadai. Produksi pertanian yang dihasilkan relatif bervariasi (Irawan dan Pranadji, 2002). Menurut Tulus Tambunan (1999), yang menyebabkan kemiskinan adalah belum dikelolanya sumber daya alam dan manusia secara optimal. Faktor yang mempengaruhi antara lain: i) terbatasnya faktor produksi yang dimiliki, ii) kualitas sumberdaya manusia yang kurang memadai, iii) manajemen dan organisasi yang belum
586
baik, serta iv) lemahnya jiwa kewiraswastaan (enterpreneurship). Menurut Cernea (1988), strategi yang dapat dikembangkan untuk mengatasi masalah masyarakat miskin termasuk petani adalah menggali potensi lokal yang produktif, artinya dapat untuk menggerakkan kegiatan ekonomi secara nyata. Fagi (2002) menyatakan bahwa untuk memperbaiki tingkat pendapatan petani miskin, salah satu jalan yang dapat ditempuh adalah mengadopsi inovasi teknologi pertanian termasuk di dalamnya adalah inovasi kelembagaan. Selanjutnya dikatakan bahwa sebagian besar petani miskin tinggal di lahan kering . Oleh karena itu Irawan dan Pranaji (2002) menyarankan agar program yang terkait dengan kemiskinan difokuskan pada petani yang berdomisili di agroekosistem lahan kering, karena sumberdaya yang dimiliki terbatas dan mudah terdegradasi. Sehubungan dengan hal itu, diperlukan inovasi terhadap faktor – faktor penyebab yang selama ini mempengaruhi kehidupan dan tingkat pendapatan petani miskin (Ashley and Carney, 1999; Carney, 1999) Untuk itu
Prosiding Seminar Nasional menurut pengurangan kemiskinan di pedesaan harus didasarkan pada spesifik lokasi dan dilihat hubungan yang langsung maupun tidak langsung yang mempengaruhi produktivitas pertanian pada setiap strata luasan lahan yang berbeda. Sebelum inovasi dilakukan Berdeque and Escobar (2002) serta Barret et al., (2000). menyarankan agar terlebih dahulu dilakukan studi pemahaman desa secara partisipatif tujuannya agar petani dapat bersama–sama menginventaris permasalahan, akar masalah serta solusi pemecahan serta dapat menyusun program aksi sesuai kemampuan dan kebutuhan mereka. Prinsipnya adalah, petani diajak untuk menganalisis potensi sumberdaya yang ada di lingkungannya, kemudian memanfaatkan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya dengan mempertimbangkan latar belakang budaya yang mereka anut.
BAHAN DAN METODE Tahap awal sebelum melakukan pemahaman desa secara partisipatif adalah membentuk organisasi yang terdiri dari bidang agronomi, peternakan, sosial ekonomi, studi pembangunan, dan sistem usahatani. Lokasi kegiatan di Desa Gandurejo, Kecamatan Bulu, Kabupaten Temanggung. Tenaga tersebut bergabung dengan para tokoh masyarakat menjadi satu tim. Pendekatan yang digunakan dalam pengkajian adalah pemahaman desa secara partisipatif atau Participatory Rural Appraissal (Chambers, 1992) yaitu suatu pendekatan dengan cara saling berbagi informasi dengan masyarakat untuk mengetahui potensi dan permasalahan yang dihadapi serta mencari peluang dan alternatif pemecahannya. Secara garis besar informasi yang dibutuhkan meliputi: i) sumberdaya biofisik seperti topografi, sumberdaya lahan dan air, ii) sumberdaya manusia seperti karakteristik petani, iii) sistem ekonomi rumahtangga petani, iv) sistem usahatani, dan v) kelembagaan usahatani. Untuk melengkapi informasi primer tim mengumpulkan data sekunder dari monografi desa dan bersama – sama dengan para petani melakukan observasi lapang. Tim peneliti berperan sebagai fasilitator. Informasi yang diperoleh kemudian dikompilasi dan diedit, selanjutnya dianalisis menggunakan alat analisis dengan cara tabulasi silang dan
didiskripsikan berdasarkan informasi yang diperoleh.
HASIL DAN PEMBAHASAN Sumberdaya biofisik Luas Desa Gandurejo sekitar 381,75 ha, jarak desa dengan ibukota kecamatan 7 km, dengan kabupaten 15 km dan ibukota propinsi 50 km. Ketinggian tempat desa Gandurejo 700 – 800 m dpl. Topografi bergelombang 16%, berombak 81% dan datar 13%. Berdasarkan data rata-rata curah hujan selama 10 tahun terakhir, curah hujan tahunan adalah 2402 mm dan bulanan 137,655 mm. Kondisi iklim terdiri dari 7 – 9 bulan basah ( Oktober s/d Maret), dan 5 – 6 bulan kering (Juni s/d September). Suhu rata-rata harian berkisar antara 23,9 – 26.10C. Jenis tanah tegalan adalah Andosol. Kondisi tanah ini tergolong tanah yang berat jika diolah untuk usahatani tanaman semusim, terutama jika ketersediaan air melimpah, sehingga aerasi tanah berkurang. Tataguna lahan desa Gandurejo didominasi oleh lahan Tegalan (lahan kering seluas 351,75 ha (98%), sisanya seluas 30 ha (9%) merupakan lahan irigasi setengah teknis. Rata-rata kepemilikan lahan 0,25 ha sebanyak 15%, 0,25 – 0,5 ha sebanyak 52% dan lebih dari 0,5 ha sebanyak 33%. Ketersediaan air dalam satu tahun terbagi menjadi 3 katagori, yaitu: 1) Air melimpah, terjadi selama 4 bulan yaitu Nopember – Januari, 2). Cukup, terjadi selama 4 bulan, Pebruari – Juni, dan 3 ). Kurang mencukupi, terjadi selama 4 bulan, Juni – Oktober. Sistem Usahatani Dominan Tanaman dominan yang diusahakan dan yang diandalkan sebagai sumber pendapatan oleh petani adalah jagung dan tembakau. Secara bersamaan petani juga mengusahakan ternak. Usaha ternak yang dominan adalah domba dan ayam buras. Hampir semua komoditas diusahakan oleh petani dalam skala yang relatif kecil dan merupakan usaha diversifikasi. Usahatani jagung dilakukan secara tumpang gilir dengan ketela pohon. Jagung ditanam 2 kali dalam satu tahun yaitu bulan Oktober-Januari dan Januari-April. Petani tidak mempertimbangkan penggunaan varietas unggul. Hal ini dibuktikan dengan
587
Prosiding Seminar Nasional penggunaan varietas lokal yang dibenihkan oleh petani sendiri secara turum-temurun. Teknologi budidaya jagung yang diterapkan petani adalah jarak tanam 30 x 40 cm, 4 biji per lubang, penyiangan dan pembubunan dilakukan 2 kali pada umur 21 dan 40 HST, Pemupukan hanya diberikan pupuk urea yang diaplikasi pada umur 10 HST sebanyak 1 sendok (6 g)/rumpun. Rata-rata produksi jagung hanya 2,6 ton/ha, dari produksi tersebut 50% dikonsumsi, 10% digunakan untuk benih dan 40 % dijual. Tembakau yang diusahakan biasanya menggunakan jenis lokal yang disebut Kemloko, sistem penanaman secara monokultur dengan waktu penanaman dimulai bulan Maret – April biasanya setelah lahan jagung dan panen akan dilakukan pada bulan Agustus – September. Benih yang digunakan adalah varietas lokal Kemloko. Petani memperoleh bibit dari pasar/kios pertanian. Kemudian disemai sendiri, kebutuhan bibit berkisar antara 25.000 – 40.000/ha. Teknologi yang diterapkan dalam budidaya tembakau sudah lama dilakukan secara turun temurun. Penanaman menggunakan jarak tanam 70 X 60 cm, dan pemupukan yang dilakukan terdiri dari pupuk kandang 8 rit (sekitar 16 ton/ha), Urea 5 – 7 kw/ha, SP-36 4 kw/ha dan ditambahkan pupuk daun sebanyak 4 liter. Pada saat pupuk kandang dibenamkan biasanya ditambah dengan SP-36 sebanyak 50 – 75 kg/ha. Sebagai pupuk susulan pertama diberikan ½ bagian/dosis Urea yaitu pada umur 25-30 hst dan pemupukan susulan ke dua diberikan ½ dosis Urea yaitu pada umur 45 hst. Untuk pemeliharaan dilakukan penyemprotan fungisida Antracol sekitar 5 kg/ha dan insektida sebanyak 3 botol. Budidaya ternak domba pada umumnya masih bersifat sambilan. Pemilikan domba per petani berkisar 3 – 8 ekor Bibit yang digunakan adalah domba lokal, namun petani sudah mempertimbangkan kualitas. Pakan yang diberikan berupa rumput lapangan, rumput gajah dan pakan tambahan seperti dedak jagung atau katul. Hijauan yang diberikan ditempatkan pada lantai kandang. Sisa pakan bercampur dengan kotoran digunakan sebagai pupuk yang dibersihkan setiap 5 – 7 hari. Kandang domba umumnya masih bersatu dengan rumah petani. Model kandang yang digunakan adalah sistem
588
“lemprak” dengan lantai tanah. Sistem perkawinan tidak diatur, petani belum mengetahui secara jelas kapan domba dikawinkan. Umur penyapihan anak masih sangat beragam antar 3 – 5 bulan. Hal ini menyebabkan jarak beranak menjadi panjang. 6 – 7 bulan. Pemilikan ayam setiap rumah tangga petani berkisar 5 – 12 ekor. Ayam buras mempunyai peran yang penting dalam menyangga kebutuhan petani pada saat dibutuhkan, namun budidaya ayam buras dilakukan secara tradisional. Pada umumnya petani tidak mengenal teknologi perbibitan, pakan yang sesuai dan manajemen yang memadai. Perkawinan dan penetasan dilakukan secara alami dan pemeliharaannya tidak dikandangkan (liar). Akibatnya proiduktivitas ayam buras rendah. Produksi telur dalam satu tahun hanya 30 – 40 butir/ekor induk. Kematian anak ayam tinggi 50 – 90% pada setiap pergantian musim. Pada Gambar 1, tampak bahwa aliran input-output terdapat integrasi yang kuat antar komponen-komponen sub sistem produksi. Sebagai contoh output usaha ternak domba berupa pupuk kandang secara langsung dialokasikan sebagai komponen utama input untuk pupuk dalam budidaya tanaman jagung, tembakau, dan cabe. Sebaliknya sebagian output budidaya tanaman yaitu dedak jagung dialokasikan secara langsung sebagai input untuk pakan tambahan dalam kegiatan penggemukan domba. Kebutuhan benih jagung, cabe, ubi kayu, dan kacang tanah dipenuhi dari output kegiatan produktif rumah tangga petani sendiri Kebutuhan tenaga kerja untuk usahatani tanaman dan ternak sepenuhnya mengandalkan tenaga kerja keluarga. Integrasi yang kuat antar sub sistem produksi dalam sistem usahatani memiliki keuntungan dan kerugian bagi kinerja sistem tersebut. Keuntungan yang diperoleh antara lain adalah kebutuhan input eksternal tunai untuk kegiatan produktif menjadi rendah, sehingga meningkatkan ketahanan rumah tangga petani terhadap perubahan-perubahan lingkungan strategis, utamanya dinamika pasar input output produksi. Sedangkan kerugiannya antara lain adalah produktivitas kegiatan budidaya tanaman menjadi tidak optimal karena menggunakan benih dari
Prosiding Seminar Nasional usahatani sendiri yang telah mengalami degradasi potensi. Integrasi yang kuat antara sub sistem produksi dan sub sistem konsumsi dapat juga
mengindikasikan adanya subsistensi produksi. Sebagian kebutuhan konsumsi pangan rumah tangga seperti sayuran dan beras jagung dipenuhi dari hasil kegiatan produksi rumah tangga sendiri.
Gambar 1. Sistem usahatani desa gandurejo kabupaten temanggung. Struktur Penerimaan dan Pengeluaran Rumahtangga Petani Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa kontribusi usahatani dalam struktur penerimaan rumah tangga didominasi oleh penerimaan dari buruh dan usaha non pertanian, tembakau dan dari ternak domba. Peluang peningkatan kontribusi pendapatan usahatani dalam struktur ekonomi rumah tangga petani dapat dilakukan melalui peningkatan produktivitas, efisiensi dan nilai tambah usahatani serta pengembangan skala usaha komoditas-komoditas unggulan lokal.
Pemenuhan kebutuhan untuk menjalankan kegiatan usahatani yaitu untuk sarana produksi dan tenaga kerja dapat bersumber dari pembelanjaan uang tunai kepasar. Pengeluaran untuk usahatani adalah yang terbanyak yaitu 50%, kemudian untuk keperluan rumahtangga sekitar 43%, sisanya untuk keperluan sosial dan ditabung. Apabila pengeluaran dikaitkan dengan penerimaan, tampak bahwa setiap petani dapat menabung sebanyak Rp 33.000/bulan.
Tabel 1. Struktur penerimaan rumah tangga petani Desa Gandurejo, per tahun. 2004 Jenis Pendapatan - Penjualan jagung - Penjualan tembakau - Penjualan cabe - Penjualan kayu sengon - Penjualan kelapa - Penjualan pisang - Penjualan domba - Penjualan ayam - Penjualan ubi kayu - Buruh dan non usahatani Total
Jumlah (Rp) 322.500 2.400.000 225.000 162.500 25.000 30.000 1.520.000 125.000 55.000 2.125.000 6.990.000
Persentase (%) 4,61 34,33 3,21 2,32 0,35 0,43 21,74 1,79 0,78 30,40 100
589
Prosiding Seminar Nasional Tabel 2. Struktur pengeluaran rumah tangga petani Desa Gandurejo per tahun, 2004 Jumlah (Rp)
Persentase (%)
2. 850.000 496.000
42,91 7,46
1.520.000 350.000 75.000 140.000 500.000 100.000 65.000 400.000 394.000 6.990.000
22,89 5,27 1,13 2,19 7,53 1,50 0,98 6,02 0,67 100
Jenis Pengeluaran a. Biaya usahatani - Tanaman - Ternak b. Biaya rumah tangga - Konsumsi pangan - Konsumsi sandang - Perumahan - Listrik - Pendidikan - Kesehatan - Rekreasi c. Sosial d. Tabungan Total pengeluaran Permasalahan dan Alternatif Program Aksi Berdasarkan teknologi usahatani yang diterapkan petani dan produktivitas yang diperoleh, maka ternak domba dan jagung dapat dijadikan unggulan untuk mendapatkan prioritas pengembangan, sedangkan untuk tembakau tampaknya sudah ada pada daerah produksi. sedangkan usahatani komoditas lainnya dapat menjadi komoditas penyangga.
Pilihan tersebut menjadi semakin ideal apabila dipertimbangkan faktor integrasi antar komponen kegiatan produktif, dimana usaha penggemukan domba memiliki peran terbesar sebagai pemasok kebutuhan input usahatani tanaman, berupa pupuk kandang yang merupakan faktor paling strategis untuk meningkatkan kinerja budidaya tanaman, sedangkan jagung dapat dijadikan sebagai salah satu sumber pakan yang potensial, karena dapat memproduksi hijauan dan dedak.
Tabel 3. Permasalahan dan alternatif pemecahan masalah usahatani jagung Masalah Produktivitas rendah 2,6 ton/ha
Penyebab masalah
Varietas lokal
Benih keturunan Pemupukan kurang
Jarak tanam tidak teratur
Jumlah biji per-lubang tanam berlebihan Angin kencang menyebabkan tanaman roboh (Desember-Januari) Hama Uret Jual saat panen raya Hama bubuk saat penyimpanan
Harga jual rendah
Pada Tabel 3 menunjukan permasalahan utama dalam usahatani jagung adalah rendahnya produktivitas jagung yang
590
Alternatif pemecahan Introduksi varietas unggul Seleksi benih Pemupukan (sesuai unsur hara tersedia) Jarak tanam (70 X 40 cm) Perbaikan teknik budidaya
Pengendalian uret Pengendalian hama bubuk
disebabkan oleh penggunaan benih yang kualitasnya kurang baik, pemupukan kurang berimbang dan serangan hama bubuk pada
Prosiding Seminar Nasional saat disimpan. Permasalahan yang dihadapi pada usaha ternak domba adalah produktivitas yang relatif rendah seperti yang tertera pada Tabel 4. Penyebab utama karena kualitas bibit rendah, sistem perkandangan yang kurang optimal serta kualitas pakan yang kurang memadai. Induk, pejantan dan anak dipelihara dalam satu kandang, penyebabnya adalah keterbatasan lahan untuk kandang. Dampak yang dikuatirkan adalah adanya kawin campuran yang dapat mengakibatkan turunnya mutu genetik. Pertimbangan utama yang dijadikan dasar dari penyusunan program aksi atau alternatif pemecahan masalah adalah peningkatan pendapatan rumahtangga yang disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan petani. Produktivitas usahatani jagung masih berpeluang untuk ditingkatkan. Peningkatan
produktivitas dapat dilakukan melalui pengembangan perbenihan, introduksi varietas adaptif tahan kekeringan, dan pemupukan berimbang, pengendalian hama uret dan penerapan teknologi pasca panen. Pada usaha ternak domba program aksi yang diperlukan adalah introduksi bibit unggul (induk dan pejantan), teknologi manajemen reproduksi seperti inseminasi buatan, pengaturan jarak beranak, perbaikan sistem perkandangan serta manajemen pakan. Perbaikan manajemen pakan perlu difokuskan pada penanaman rumput unggul dan pemberian konsentrat pada induk menjelang beranak dan mengasuh anak serta usaha penggemukan.
Tabel 4. Permasalahan dan alternatif pemecahan masalah usahatani domba Masalah
Penyebab masalah
Pemecahan
Produktivitas rendah: Jarak beranak panjang Pertumbuhan anak lambat
Penggunaan bibit hasil perkawinan sedarah Kurangnya pengadaan Bibit unggul Tidak mengetahui manajemen perkawinan domba Penyakit kejang-kejang dan kembung Kurangnya pengetahuan tentang penyakit hewan. Pakan biasanya hanya menggunakan hijauan Pakan dimusim kemarau sulit
Bibit unggul harus disediakan Pengenalan manajemen perkawinan
KESIMPULAN DAN SARAN 1.
Komoditas unggulan yang diusahakan oleh sebagian besar petani adalah tembakau, jagung, dan domba, sedangkan yang dijadikan sebagai usahatani penyangga adalah cabe, ubikayu, pisang, kayu sengon, kelapa dan ayam buras
2.
Penerimaan rumahtangga petani selain dari usahatani adalah buruh dan usaha lain diluar sektor pertanian. Pengeluaran terbanyak untuk keperluan rumahtangga adalah untuk kebutuhan pangan, pendidikan dan sosial.
Pengenalan pencegahan penyakit Menggunakan pakan tambahan (konsentrat) dan teknik pengawetan pakan.
3.
Permasalahan utama dalam usahatani jagung dan domba adalah produktivitas rendah. Akar permasalahan usahatani jagung adalah kualitas benih yang rendah, pemupukan yang kurang sesuai kebutuhan dan hama uret, sedangkan pada usahatani domba adalah kualitas bibit yang kurang baik, manajemen reproduksi dan pakan.
4.
Peningkatan produktivitas dapat dilakukan melalui pengembangan perbenihan, introduksi varietas adaptif tahan kekeringan, dan pemupukan berimbang, serta pengendalian hama terpadu Pada usaha ternak domba program aksi yang diperlukan adalah
591
Prosiding Seminar Nasional
5.
introduksi bibit unggul (induk dan pejantan), pengaturan jarak beranak, perbaikan sistem perkandangan serta manajemen pakan.
Assessing the Impact of Agricultural Research on Poverty Allevation. San Jose, Costa Rica. International Centre for Tropical Agriculture (CIAT).
Untuk meningkatkan kinerja usahatani dan pendapatan petani disarankan agar pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan system agribisnis agar dapat menuju pada agribisnis industrial pedesaan.
Cernea M.M. 1988. Mengutamakan manusia dalam pembangunan. Variabel-variabel sosiologi di dalam pembangunan pedesaan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
PUSTAKA Ashley, C. and Carney, D. 1999. Sustainable livelihood lesson from early experience. London. DFID. Barret,C.B. Bezuneh, M., Clay DC.,and Reardon T. 2000. Heterogenous constraints, incentives and income diversification strategies in rural Africa. Berdegue JA., and Escobar G. 2002. Rural diversity, agricultural, innovation polies and poverty reduction. Agricultural research and extention Network (Agren). Net work paper No. 122. July 2002 Carney, D. 1999. Holistic approaches to poverty reduction: where does agricultural researchfit in? Paper submitted to the International Seminar on
592
Chambers, R. 1992. Memahami desa secara partisipatif. Penerbit Kanisius kerjasama dengan Mitra Tani Yogyakarta. Fagi AM. 2002. Informasi yang diperlukan oleh proyek pengentasan kemiskinan Kerjasama ADB, 2003-2007. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian . Bogor Irawan dan Pranadji. 2002. Pengendalian konservasi lahan. Seminar nasional multifungsi dan konservasi lahan pertanian. Puslitanak. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Tulus Tambunan. 1999. Reformasi industrialisasi perdesaan. Media Ekonomi Publishing (MEP). Fakultas Ekonomi Trisakti. Jakarta.
Prosiding Seminar Nasional
PERMASALAHAN PETANI MISKIN TERHADAP ANJURAN TUNDA JUAL GABAH Seno Basuki Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah
ABSTRAK Sistem produksi padi baik pada lahan sawah irigasi maupun lahan kering masih terpengaruh siklus iklim makro sehingga memiliki musim tanam (MT) tertentu. Adanya MT tersebut menciptakan terjadinya keadaan musim panen raya. Pada situasi demikian kekuatan penawaran dan permintaan pasar gabah tidak seimbang sehingga harganya jatuh. Untuk mencegah jatuhnya harga pemerintah mengeluarkan anjuran untuk melakukan tunda jual bagi produsen namun anjuran tersebut tidak efektif. Telah dilakukan kajian untuk mengetahui permasalahan tidak efektifnya anjuran tunda jual melalaui survei terhadap petani produsen padi di tiga kabupaten sentra padi yaitu Cilacap, Grobogan dan Sragen. Hasil kajian menunjukkan bahwa anjuran tunda jual tidak efektif karena terkendala oleh: a) kondisi sosial ekonomi petani yang terjerat kebutuhan finansial, b) keterbatasan aset untuk menangani paska panen dan c) adanya kebijakaan stabilisasi harga beras. Anjuran tunda jual agar efektif diperlukan adanya insentif terhadap produsen dan pengontrolan terhadap pemberitaan impor beras yang berlebihan. Kata kunci: Permasalahan, sosial, ekonomi, tunda jual, gabah, miskin
ABSTRACT The irrigated and dry land for paddy production both are influenced by macro climate so that have a certain of planting season (PS). It presented makes happen great harvest season.. This situation caused market unbalancing especially supply is over and demand is less so price are low. Government has been advice to delay selling in order it price no fall but those advice is not effective. The assessment were conducted to know it problems through survey to rice farmer at 3 prominent district as producer i.e. Cilacap, Grobogan and Sragen. The result indicated that advice to delay selling is not effective because constrained b : a) repressed of cost financing, b) limits of post harvest properties and c) presence of price stability policy for rice. The government advice to delay selling can be done effectively if there is incentive for the rice producer and controlled of excess news about imported rice . Key words: Problems, delay selling, rice, poor farmers
PENDAHULUAN Panen raya musim tanam (MT) I dan MT II masing-masing berlangsung singkat dan hampir bersamaan waktunya pada semua sentra produksi padi dalam suatu kawasan. Keadaan inilah yang menjadikan kelebihan penawaran gabah sehingga harganya menjadi sangat rendah karena proporsi terbesar produksi padi terutama berada pada lahan irigasi teknis (BPS, 2006). Secara teoritis seharusnya lahan irigasi teknis tidak mengenal adanya musim tanam karena dapat diusahakan kapan saja tanpa menunggu musim tertentu. Walaupun demikian ternyata dalam prakteknya penentuan tanam untuk MT I tetap mengacu pada siklus musim hujan yaitu pada bulan Oktober sampai Nopember berdasarkan
peraturan daerah propinsi. Penentuan saat MT I ini terkait dengan pengoptimalan pemanfaatan curah hujan secara efektif agar fungsi waduk juga optimal (Basuki et al., 2003) dan pertimbangan berdasarkan hasil ramalan dinamika populasi organisme pengganggu tanam (OPT) antara lain melalui tanam serempak (Baehaqi, 2000). Kondisi ini juga berlaku pada lahan sawah tadah hujan dan lahan kering yang menanam padi gogo, sehingga panen raya yang terjadi berdampak pada kelebihan penawaran yang tidak seimbang dengan kapasitas serapan pasar terutama pada hasil panen MT I. Terkait dengan kondisi panen raya yang selalu terjadi setiap tahun ternyata membawa kerugian bagi petani produsen karena selalu tidak mendapatkan harga penjualan yang wajar. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh
593
Prosiding Seminar Nasional para pedagang dengan memaksimalkan aktivitasnya mengikuti siklus musim panen. Dengan modal dan sarana yang dimiliki mereka dapat melakukan aksi pembelian dengan harga yang murah Sebagai misal perbandingan harga yang terjadi pada saat panen raya dan pada situasi normal yang terjadi pada 2005 di Kabupaten Sragen masing-masing adalah Rp 1200/kg GKP dan Rp 1.800/kg GKP, sedangkan pada 2006 lebih ekstrim lagi yaitu Rp 1200/kg dan Rp 2.800/kg. (Dipertan Sragen, 2006). Pada situasi demikian terlihat bahwa para produsen adalah pihak yang paling menderita kerugian karena harga yang terjadi tidak sebanding dengan modal yang dikeluarkan produsen menyangku: sarana produksi, upah dan biaya sewa. Namun demikian seluruh volume produksi petani terserap oleh pasar selama panen raya tersebut. Ini menunjukkan bahwa kekuatan modal pedagang mampu mengendalikan harga pasar beras. Keadaan ini memunculkan adanya dugaan kemungkinan terjadi kartelisasi dalam hal penghadangan harga yang dilakukan oleh sindikat pedagang. Dengan situasi yang timpang antara produsen dan pedagang yang masih terjadi sampai saat ini maka para produsen gabah harus menyadari bahwa sesungguhnya seluruh resiko usaha menjadi tanggungannya sendiri sementara itu para pedagang justru tanpa mendapat resiko. Keadaan ini seharusnya menggugah para produsen untuk kreatif melakukan upaya untuk dapat menolong dirinya sendiri agar terhindar dari ulah pedagang yang hanya mengambil keuntungannya saja. Pada sisi lain petani juga merupakan konsumen beras yang ikut menanggung adanya gejolak dinamika perberasan Banyak upaya yang dilakukan pihak pemerintah untuk menolong petani agar tidak selalu menderita kerugian akibat panen raya antara lain anjuran tentang tunda jual hasil panen sambil menunggu harga pasar yang layak. Permasalahannya adalah bahwa selama ini upaya-upaya tersebut kurang efektif dan petani tetap pada kondisi yang lemah dalam menghadapi rutinitas jatuhnya harga pada saat panen raya. Menurut survai Badan Bimas Ketahanan Pangan (BBMKP) Jawa Tengah (2005), hasil panen yang disimpan petani kurang dari 29 % sementara itu pedagang
594
menguasai sekitar 58 % dan sisanya berada dilumbung pemerintah, perusahaan dan lainnya. Berdasarkan data tersebut dapat digambarkan bahwa tingginya harga beras saat ini tidak dinikmati oleh petani, bahkan sebagai konsumen, petani juga merasakan tingginya harga ketika harus membeli. Banyak permasalahan sosial ekonomi yang diduga menjadi kendala mengapa sistem tunda jual tidak banyak dilakukan produsen padi. Untuk itulah dilakukan pengkajian untuk menemukan akar masalah mengapa anjuran sistem tunda jual sulit diterapkan dengan tujuan untuk mendapatkan bahan masukan bagi pengambil kebijakan sehubungan dengan penerapan tunda jual hasil panen padi.
BAHAN DAN METODE Kegiatan observasi data dilakukan terhadap 3 kabupaten sentra utama penghasil beras di Jawa Tengah yaitu: Sragen, Cilacap dan Grobogan. Data yang diperoleh merupakan rekaman keadaan beberapa tahun (2003 – 2006). Data primer diperoleh berdasarkan wawancara dengan kuesioner tertutup terhadap responden dari berbagai informan antara lain petani, penebas, pedagang dan penyuluh, sedangkan data sekunder diperoleh dari data statistik yang relevan. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif seperti rata-rata, frekwensi, proporsi, sedangkan untuk menjelaskan hubungan kasuistik dilakukan analisis melalui tabulasi silang.
HASIL DAN PEMBAHASAN Aliran Tunai Timpang Petani padi di Jawa Tengah mayoritas adalah petani gurem dengan luasan kurang dari 0,5 Ha KK (Sarjana et al., 2005). Dengan andalan alat produksi berupa lahan usahatani yang demikian ini mereka akan memaksimalkan produktivitas lahannya karena harus menghidupi sekitar 3-4 orang tanggungan keluarga. Untuk mencapai tujuan tersebut petani dituntut mengerahkan seluruh sumberdaya yang dapat diakses petani. Petani padi dalam proses produksi padi berperan ganda yaitu disatu sisi adalah manager usaha sedangkan disisi lain adalah pekerja untuk usahataninya. Keadaan tersebut menjadikan sistem ekonomi rumah tangga tani dapat berputar sehingga muncul istilah dalam usahatani padi input dari dalam keluarga dan
Prosiding Seminar Nasional input luar. Kebutuhan input luar ini peranannya sangat dominan karena merupakan faktor penentu keberhasilan usahatani misalnya pengolahan tanah, pemupukan, pengairan dan penyemprotan. Tabel 1 menunjukkan bahwa mayoritas pembayaran kewajiban terhadap input luar dijanjikan pada saat panen. Ini menunjukkan bahwa dalam usahatani padi para petani sesungguhnya kekurangan modal sehingga harus melakukan tunda bayar. Sistem tunda bayar demikian tentunya juga dibebani jasa pinjaman dan kondisi ini semakin menyulitkan petani sehingga secara terpaksa petani akan terpaksa menjual dengan menerima berapa pun harganya asal laku. Dari tabel tersebut nampak bahwa pola tunda bayar berlaku pada seluruh lokasi kajian. Dengan demikian terjadi ketimpangan distribusi finansial dimana para produsen pada
saat surplus masih menanggung kewajibankewajiban finansial yang besar kecuali biaya pengolahan tanah karena pengusaha traktor biasanya berasal dari luar daerah sehingga meminta tunai. Penelitian Basuki et al. (2003) menunjukkan bahwa komponen biaya eksternal ini mencapai lebih dari 40 %. Keadaan ini menunjukkan bahwa permasalahan permodalan ternyata melanda seluruh produsen padi terutama petani gurem, sehingga dari sisi ini juga menjadi penyebab mengapa anjuran tunda jual sulit diterapkan produsen padi. Sarana Pascapanen Kegiatan paska panen yang paling sederhana adalah pengeringan namun kegiatan ini banyak menemui kendala.
Tabel 1. Cara pembayaran biaya – biaya usahatani padi di Jawa Tengah Biaya Tunai Sewa Traktor
Cara Pembayaran Cilacap Grobogan Tunai dimuka = 70%, Tunai dimuka 50%, Bayar saat panen = 20%, Bayar saat panen =10%, lainnya 5% lainnya 40%
Sragen Tunai dimuka = 90%, Bayar saat panen = 5%, lainnya 5%
Saprodi
Tunai dimuka = 15%, Tunai dimuka = 25%, Tunai dimuka = 25%, Bayar saat panen = 75%, Bayar saat panen = 70%, Bayar saat panen = 70%, lainnya 5% lainnya 5% lainnya 5%
Iuran-iuran
Bayar saat panen 100%
Pemeliharaan
Tunai dimuka = 40 %, Tunai dimuka = 60%, Tunai dimuka = 52%, Bayar saat panen = 55%, Bayar saat panen = 35%, Bayar saat panen = 40%, lainnya 5% lainnya 5% lainnya 8%
Bayar saat panen 100%
Para petani pada era dibawah tahun 80 an masih melakukan kegiatan ini untuk mencukupi keperluan sendiri. Dengan memiliki simpanan hasil panen maka keluarga tani tersebut merasa tenteram. Pada masa sekarang sebenarnya petani masih menginginkan suasana demikian namun kesulitan prasarananya. Tabel 2 menunjukkan bahwa mayoritas petani produsen tidak memiliki sarana yang diperlukan pengeringan gabah walaupun hanya yang sederhana saja. Ketiadaan prasarana ini antara lain terkait erat dengan luasan lahan yang dikerjakan petani yang mayoritas adalah berlahan sempit sehingga pengadaan sendiri misalnya lantai jemur dirasa kurang efisien.
Bayar saat panen 100%
Hal lain yang menjadi kendala terbatasnya sarana pengeringan adalah mahalnya biaya pembangunan lantai jemur yang disebabkan oleh kelangkaan lahan kosong dan tingginya biaya pembangunan. Investasi lantai jemur permanen saat ini mencapai Rp 500.000 - Rp 1.000.000 per meter persegi dan untuk gudang dapat mencapai dua kalinya suatu nilai finansial yang sangat memberatkan petani kecil. Pada Tabel 2 juga nampak bahwa para petani mayoritas memiliki alat angkut misalnya sepeda motor atau sepeda biasa. Keberadaan alat ini bersifat multi guna sehingga menjadi prioritas rumah tangga tani untuk menyediakannya.
595
Prosiding Seminar Nasional sebagainya dilakukan bersamaan momentum panen. Demikian pula banyak kewajiban finansial lain atau pembelanjaan yang bersifat konsumtif termasuk pembangunan/ pemeliharaan rumah yang selalu dijanjikan jatuh temponya bersamaan dengan panen padi. Kondisi di atas menunjukkan bahwa momentum panen padi adalah puncak segala pengharapan yang telah membudaya dalam masyarakat baik sebagai petani maupun bukan petani. Dalam kaitannya dengan anjuran tunda jual hasil panen keadaan ini ikut menjadi kendala besar karena produsen padi adalah dilakukan oleh mayoritas petani gurem yang tentu saja masih kental dengan budaya demikian.
Budaya Panen Padi Momentum panen padi sejak dulu telah dijadikan segala puncak pengharapan bagi masyarakat baik sebagai petani maupun buruh tani. Pengharapan tersebut sampai kini belum mengalami perubahan meskipun seremonial panen telah mengalami perubahan karena panen padi telah digantikan oleh regu panen yang dibawa oleh pedagang. Tabel 3 menggambarkan bahwa pada daerah sentra penghasil padi masyarakatnya masih menjadikan panen padi sebagai saat jatuh tempo segala urusan ekonomi dan sosial. Masih banyak acara hajatan seperti kitanan anak, resepsi pernikahan, kirim do’a dan Tabel 2. Sarana pasca panen yang dimiliki petani Kebutuhan Pasca Panen Tempat Jemur
Cilacap Permanen 13,3%, Sederhana 46,7%, Tidak punya 40%
Kondisi Eksisting Grobogan Permanen 3,3%, Sederhana 53,3%, Tidak punya 43,4%
Sragen Permanen 16,7%, Sederhana 20%, Tidak punya 63,3%
Gudang
Permanen 0%, Sederhana 40%, Tidak punya 60%
Permanen 0%, Sederhana 53,3%, Tidak punya 46,7%
Permanen 3,3%, Sederhana 16,7%, Tidak punya 40%
Alat angkut
Punya 83,3% Tidak Punya 16,7%
Punya 93,3% Tidak Punya 6,7%
Punya 100% Tidak Punya 0%
Tabel 3. Aktivitas sosial dan ekonomi berdasarkan momentum panen Aktivitas sosial/Ekonomi Hajatan Bayar Kewajiban non Usahatani non rutinitas Belanja Konsumtif Pemeliharaan Rumah
Cilacap Ya =70 %, Tidak =30% Ya = 63,3%, Tidak =26,7% Ya= 86,7%, Tidak =13,3% Ya= 40%, Tidak=20%
Kebijakan Stabilisasi Harga Kebijakan stabilisasi harga beras merupakan upaya pemerintah untuk memberi rasa tenteram dalam masyarakat melalui mekanisme pasar. Selama ini stabilisasi harga ditempuh dengan cara antara lain dengan penetapan harga dasar gabah dan operasi pasar. Dari sisi pemerintah upaya ini sangat penting dilakukan mengingat keberhasilannya dapat dijadikan indikator keberhasilan pembangunan, namun pada sisi produsen
596
Lokasi Grobogan Ya= 86,7 %, Tidak =13,3% Ya = 66,7; Tidak =23,3 % Ya = 93,3%, Tidak = 6,7% Ya= 53,3%, Tidak= 46,7%.
Sragen Ya=76,7%, Tidak =23,3% Ya= 73,3%; Tidak =26,7% Ya = 80%, Tidak =20% Ya= 46,7%, Tidak = 53,3%
(petani) upaya ini kontradiktif dengan anjuran tunda jual. Kalau saja kebijakan stabilisasi harga dapat berjalan efektif maka tindakan untuk melakukan tunda jual adalah keputusan yang merugi karena petani akan menanggung biaya simpan. Anjuran tunda jual akan menarik dilakukan apabila pelaku masih melihat ekspektasi nilai barang dikemudian hari dan bagi petani kecil tidak akan melakukannya karena mereka takut rugi. Selama ini kebijakan stabilisasi harga memang belum berjalan efektif namun
Prosiding Seminar Nasional dinamika harga yang terjadi hanya menguntungkan pedagang karena mereka memiliki informasi yang lengkap mengenai situasi pasar beras sedangkan petani produsen tidak kebalikannya. Pengalaman produsen yang melakukan tunda jual mencatat bahwa memang terdapat siklus trend kenaikan harga
namun ketika harga pengharapan akan terjadi biasanya selalu muncul pemberitaan adanya impor beras dan ditindak lanjuti dengan operasi pasar. Keterpengaruhan produsen padi terhadap upaya pemerintah dalam hal stabilisasi harga disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Respon petani terhadap stabilisasi harga beras
Terpengaruh
Cilacap 56,0%
Lokasi Grobogan 63,3%
Sragen 73,3%
Tidak terpengaruh
43,3%
36,6%
26,3%
Respon Terhadap Stabilisasi Harga
jasa pengeringan dan memperbanyak penggalakan hidupnya kembali lumbung desa.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Respon terhadap anjuran tunda jual hasil panen petani masih rendah terkendala oleh adanya : 1.
2.
3.
Kesulitan finansial yang dialami petani sehingga jatuh tempo hampir semua kewajiban bayar terjadi pada saat panen baik untuk pemenuhan modal kerja, sarana produksi maupun kebutuhan lainnya. Keterbatasan pemilikan aset yang menunjang paska panen seperti tempat menjemur dan gudang penyimpanan sebagai akibat padatnya pemukiman penduduk. Kebijakan stabilisasi harga beras melalui operasi pasar dan impor beras tidak mendorong produsen beras melakukan tunda jual karena akan menderita kerugian biaya penyimpanan.
Saran Untuk menolong petani agar terhindar dari kerugian akibat jatuhnya harga saat panen raya dapat ditempuh upaya-upaya antara lain: 1.
Peningkatan volume opkup gabah petani oleh pemerintah sampai terjadi harga keseimbangan.
2.
Pemberian kemudahan fasilitas usaha pengelolaan paska panen seperti misalnya
3.
Pengontrolan berita/opini dalam media massa tentang impor beras meskipun impor mungkin akan dilakukan.
PUSTAKA Baehaqi. 2000. Dinamika populasi OPT padi. Makalah Seminar Antisipasi Krisis Pangan Melalui IP Padi 300. Semarang 4 April 2000. Basuki, S. Sarjana. 2003. Komponen biaya usahatani padi pada lahan sawah irigasi. (Tidak diterbitkan.) BBMKP Jateng. 2005. Data survey beras .. materi diskusi bersama deputi Menko perekonomian di Jawa Tengah. Dimanakah beras berada ? Semarang 22 Agustus 2005. BPS Jateng. 2006. Jawa Tengah dalam angka. Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Tengah. Semarang. Dipertan Sragen. 2006. pasar komoditas.
Informasi harga
Sarjana. A, Hermawan. I, Ambarsari. 2005. Profil pendapatan petani di wilayah miskin kabupaten blora. Prosiding: Seminar nasional. memacu pembangunan di era pasar global. Magelang 12 Juli 2005.
597
Prosiding Seminar Nasional APRESIASI PASAR TERHADAP PERBAIKAN TEKNOLOGI USAHATANI PADI DAN JAGUNG DI WILAYAH MISKIN KABUPATEN BLORA (Market appreciations to the farming technology improvements in blora poor areas) Sarjana Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah
ABSTRAK Perbaikan teknologi usahatani diharapkan secara bersama-sama dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas produk usahatani. Agar percepatan peningkatan pendapatan usahatani dapat dicapai maka perbaikan kualitas produk tersebut harus diapresiasi oleh pasar. Studi ini dimaksudkan untuk menentukan komponenkomponen teknologi usahatani yang dapat meningkatkan harga produk usahatani di wilayah miskin Kabupaten Blora. Wawancara terstruktur dilakukan terhadap 241 petani responden pada bulan April – Mei 2004, di Kecamatan Todanan (11 desa) dan Kecamatan Jepon (10 desa). Penentuan komponen-komponen teknologi usahatani yang dominan mempengaruhi harga produk menggunakan presentasi tabel persepsi petani dan kecenderungan garis linier input-harga produk. Komponen – komponen teknis budidaya, kecuali varietas, tidak secara jelas berpengaruh terhadap harga yang diterima petani. Variasi jenis dan jumlah alokasi input serta teknis aplikasinya tidak secara langsung diapresiasi oleh pasar. Secara parsial variasi komponen teknis budidaya lebih banyak mempengaruhi harga yang dibayar petani. Namun demikian, secara umum ada indikasi setiap perbaikan teknologi (yang direfleksikan oleh tingkat alokasi biaya) diikuti oleh peningkatan harga yang diterima petani dengan tingkat perbaikan yang menurun. Varietas padi merupakan satu-satunya komponen teknis budidaya yang secara langsung diapresiasi pasar. Sebagai implikasinya pengembangan teknologi usahatani di daerah miskin perlu di arahkan agar secara rasional lebih menekan penggunaan input tunai. Kata kunci: Teknologi, usahatani, harga produk, wilayah miskin
ABSTRACT The improvement of agricultural technology should improve both farming productivity and its products quality. For the next, to achieve the acceleration of farmer’s income improvement, market should appreciate those products quality improvements. The purpose of this study was to identify the main technology components, which increase the product price. The research was located at sub district of Todanan (11 villages) and Jepon (10 villages). Data collected by standardized interview to 241 respondents, in April – May 2004. The main technology components, which increase the product price, were identified by tabular presentation of farmer’s perceptions and linear trend line of input-product prices. The results shows that, despite of variety, most of culture techniques were not significantly influence the product prices. The market was indirectly appreciating the variation of input types, volumes, and application techniques partially. That variation encouraged the input price paid by farmers only. Nevertheless, by totally, there were indications that technology improvement (which reflected by increasing of cots allocation) will be followed by increasing of product prices on decreasing returns. Paddy variety is the only the one of technology component which had good directly market appreciation. Those results imply to direct the technology development in poor area rationally to reduce the external inputs allocations. Key words: Technology, farming, product prices, poor area.
PENDAHULUAN Pakpahan (1992) menyebutkan bahwa teknologi dibutuhkan petani untuk meningkatkan kapabilitas dalam memecahkan permasalahan dan memperkuat serta memperluas kesempatan produksi. Klaus, (1986) memberi gambaran teknologi tepat antara lain adalah menggunakan mineral dan sumberdaya energi secara paling efisien dan ramah lingkungan. Boediono (1980)
598
menyebutkan bahwa teknologi tercermin dalam kualitas sumber daya ekonomi, seperti kecekatan pengusaha, keterampilan dan keahlian tenaga kerja, efisiensi mesin dan sebagainya. Pengertian teknologi pertanian tidak dapat dilepaskan dari pengertian inovasi pertanian. Menurut Hanafi (1981) dalam Setiani (1998), inovasi adalah gagasan, tindakan atau alat yang dianggap baru tanpa mempertimbangkan apakah tindakan atau alat tersebut benar-benar baru apabila diukur
Prosiding Seminar Nasional dengan selang waktu pertama kali digunakan. Koentjaraningrat (1983) dalam Setiani (1998), inovasi merupakan suatu proses pembaharuan dari penggunaan sumber daya alam, energi, pengaturan baru dalam penggunaan tenaga kerja, dan teknologi baru yang menghasilkan produk-produk baru. Secara ekonomi, dasar permasalahan yang dihadapi oleh seorang petani kecil adalah langkanya sumber-sumber ekonomi dan tidak terbatasnya kebutuhan. Kelangkaan atau keterbatasan sumber daya lahan merupakan kendala utama peningkatan pendapatan bagi masyarakat petani yang kegiatan produksinya bersifat land base. Tingkat dan distribusi kepemilikan lahan seringkali dijadikan indikator tingkat kesejahteraan masyarakat, meskipun tidak sepenuhnya dapat mencerminkan keadaan tingkat kesejahteraan yang sebenarnya. Menurut Prakosa (2002) penguasaan lahan yang sempit menyebabkan adopsi teknologi menjadi stagnan dan sebagai implikasinya, sangat sulit mengharapkan para petani secara individual dapat mengembangkan pengelolaan sumber daya secara optimal dan efisien untuk peningkatan pendapatannya. Terlepas dari itu, upaya peningkatan pendapatan petani antara lain dapat ditempuh melalui peningkatan produktivitas dan kualitas produk secara efisien yang sangat membutuhkan peran teknologi tepat guna. Satu hal yang penting dalam introduksi teknologi bagi petani miskin adalah bahwa suatu paket atau komponen teknologi harus menghasilkan tambahan pendapatan baik melalui peningkatan produktivitas maupun kualitas produk secara efisien. Peningkatan produktivitas yang berarti peningkatan jumlah produk yang dihasilkan dan dipasarkan harus menggunakan biaya yang lebih rendah dari tambahan nilai output yang dihasilkan. Demikian pula dengan peningkatan kualitas produk harus dapat diapresiasi oleh pasar dengan peningkatan harga per satuan produk yang dihasilkan. Apabila kondisi tersebut dapat tercipta maka percepatan peningkatan pendapatan petani akan tercapai pula.
BAHAN DAN METODE Batasan Konsep dan Indikator Empiris
perbaikan kualitas produk yang dihasilkan petani. Konsep ini ditangkap dengan indikator empiris berupa tingkat harga produk yang lebih tinggi dibanding sebelum adanya perbaikan kualitas produk.
- Teknologi Usahatani: konsep teknologi dalam studi ini dibatasi pada cara atau metode serta proses yang dihasilkan dari penerapan dan pemanfaatan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang digunakan untuk budidaya pertanian atau menghasilkan serta memproduksi suatu produk primer pertanian, karena petani biasanya menjual produknya dalam bentuk produk primer. Berdasarkan asumsi ini, maka perbaikan teknologi antara lain ditangkap dengan indikator – indikator empiris sebagai berikut: perbaikan teknik/metode dan alat untuk penyiapan lahan, perbaikan varietas dan kelas bibit/benih serta teknik/metode penyiapannya, perbaikan teknik/metode dan alat untuk menanam, perbaikan teknik/ metode dan jenis bahan pemeliharaan tanaman, perbaikan teknik/metode dan alat untuk memanen, dan perbaikan tingkat alokasi (fisik atau rupiah) bahan dan sarana produksi, meliputi benih, pupuk, obatobatan dan tenaga kerja. Data dan Sumber Data dan informasi primer meliputi harga produk primer usahatani, teknologi usahatani serta apresiasi pasar terhadap variasi jenis dan tingkat teknologi, diperoleh dari hasil wawancara dengan petani. Jumlah responden 241 petani yang berasal dari Kecamatan Todanan (11 desa) dan Kecamatan Jepon (10 desa). Analisa Hubungan Antar Aspek yang Dikaji Analisa pengaruh komponen dan paket teknologi usahatani terhadap harga produk primer yang dihasilkan petani menggunakan : - presentasi tabel silang hubungan antara variasi jenis komponen/paket teknologi dengan harga produk yang dihasilkan - presentasi diagram persebaran hubungan antara variasi biaya produksi dengan pendapatan usahatani.
- Apresiasi Pasar adalah suatu respon yang diberikan oleh para pembeli terhadap
599
Prosiding Seminar Nasional HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Usahatani Padi Sawah Tabel 1. menunjukkan bahwa luas panen padi sawah per petani per tahun di wilayah desa-kota lebih rendah dibanding di wilayah desa-rural. Demikian pula ditinjau dari sumbangannya terhadap pendapatan rumah tangga, secara nominal usahatani padi sawah lebih berperan di wilayah desa-rural dibanding di wilayah desa-urban. Efisiensi usahatani padi sawah yang ditunjukkan oleh ratio pendapatan dibanding biaya di wilayah desa-rural cenderung lebih tinggi dibanding di wilayah desa-urban. Fenomena increasing
return to scale ini menunjukkan bahwa efisiensi alokasi input cenderung meningkat pada skala usaha yang lebih luas. Dari sisi lain pilihan alternatif input internal yang lebih banyak di wilayah desarural dan tingkat penerapan teknologi tepat yang lebih inten di wilayah desa-rural, diduga ikut mempengaruhi kondisi tersebut. Pada Tabel 2 ditunjukkan bahwa dalam struktur biaya usahatani, komponen bibit dan tenaga kerja lebih dominan di wilayah desa-urban, sedangkan komponen biaya pupuk dan non faktor produksi lebih dominan di wilayah desa-rural.
Tabel 1. Keragaan usahatani padi sawah (N=241) Wilayah Desa-urban
Desa-rural
Umum
Indikator Luas panen (Ha) Nilai Produksi (ribu rupiah) Biaya Usahatani (ribu rupiah) Pendapatan Usahatani (ribu rupiah) Nilai produksi / Biaya usahatani Luas panen (Ha) Nilai Produksi (ribu rupiah) Biaya Usahatani (ribu rupiah) Pendapatan Usahatani (ribu rupiah) Nilai produksi / Biaya usahatani Luas panen (Ha) Nilai Produksi (ribu rupiah) Biaya Usahatani (ribu rupiah) Pendapatan Usahatani (ribu rupiah) Nilai produksi / Biaya usahatani
Tabel 3 menunjukkan bahwa sistem panen dan pola penjualan hasil usahatani padi sawah, baik di wilayah desa-kota maupun wilayah desa relatif sama, yaitu dipanen sendiri dan penjualan dilakukan secara bertahap. Penguasaan lahan yang sempit menyebabkan orientasi usahatani untuk pemenuhan kebutuhan pangan menjadi sangat tinggi. Kondisi ini menunjukkan bahwa dalam pola pengambilan keputusan usahatani berlaku konsep diskonto. Semakin miskin petani akan semakin tinggi orientasinya pada pendapatan saat sekarang dan semakin tinggi
600
Rata-rata 0,18 826,38 384,17 442,21 2,15 0,31 1.415,83 607,97 807,86 2,33 0,29 1.344,90 581,04 763,86 2,31
kecenderungan untuk menghindari resiko. Kecenderungan menghindari resiko terkait dengan hakiki dari kemiskinan yaitu ketidakmampuan menciptakan biaya bagi orang lain untuk sumber pendapatannya. Dimaksud resiko di sini bukan saja resiko usahatani, tetapi juga resiko dalam pemenuhan kebutuhan pangan rumah tangga. Walaupun pada akhirnya sebagian produksi usahatani dipasarkan, penjualan hanya dilakukan pada saat cadangan untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga telah terjamin.
Prosiding Seminar Nasional Tabel 2. Struktur biaya usahatani padi sawah di wilayah desa miskin (N = 241) Komponen Biaya Bibit Pupuk Tenaga kerja Sewa lahan, bunga & pajak Sewa alat & irigasi
Desa-urban 13,31% 31,04% 49.62% 0,91% 5,16%
Desa-rural 8,02% 34,15% 45.91% 2,72% 9,20%
Umum 8,44% 33,90% 46,21% 2,58% 8,88%
Tabel 3. Sistem panen dan pemasaran hasil usahatani padi sawah (N = 241) Sistem panen dan pemasaran Panen sendiri & dijual bertahap Ditebaskan
Desa-urban 93,55% 6.49%
Keragaan Usahatani Padi Ladang Tabel 4 menunjukkan bahwa keragaan usahatani padi ladang menunjukkan fenomena yang relatif berbeda dari kondisi usahatani padi sawah. Luas panen padi ladang perpetani per-tahun di wilayah desa-kota lebih
Desa-rural 95,29% 4,69%
Umum 95,17% 4,83%
rendah dibanding di wilayah desa-rural. Namun demikian ditinjau dari sumbangannya terhadap pendapatan rumah tangga, secara nominal usahatani padi ladang lebih berperan di wilayah desa-kota dibanding di wilayah desa-rural.
Tabel 4. Keragaan usahatani padi ladang (N = 241) Wilayah Desa-kota
Desa
Umum
Indikator
Rata-rata
Luas panen (Ha) Nilai Produksi (ribu rupiah) Biaya Usahatani (ribu rupiah) Pendapatan Usahatani (ribu rupiah) Nilai produksi / Biaya usahatani Luas panen (Ha) Nilai Produksi (ribu rupiah) Biaya Usahatani (ribu rupiah) Pendapatan Usahatani (ribu rupiah) Nilai produksi / Biaya usahatani Luas panen (Ha) Nilai Produksi (ribu rupiah) Biaya Usahatani (ribu rupiah) Pendapatan Usahatani (ribu rupiah) Nilai produksi / Biaya usahatani
Kondisi tersebut nampaknya erat kaitannya dengan tingkat penerapan teknologi yang lebih tinggi di wilayah desa-kota dibanding wilayah desa-rural. Asumsi tersebut didasarkan pada jumlah alokasi biaya usahatani yang lebih besar di wilayah desakota. Hal ini memberi petunjuk bahwa intensitas perhatian masyarakat desa-urban
0,13 510 234 276 2,18 0,14 346 169 176 2,05 0,14 365 177 188 2,06
terhadap usahatani cenderung tinggi walaupun sumber mata pencahariannya banyak berasal dari kegiatan non usahatani. Posisi usahatani sebagai pengaman pemenuhan kebutuhan pangan pokok bagi rumah tangga diduga merupakan faktor pendorong bagi masyarakat desa-urban untuk meningkatkan intensifikasi usahataninya.
601
Prosiding Seminar Nasional Efisiensi usahatani padi ladang yang ditunjukkan oleh ratio pendapatan dibanding biaya di wilayah desa-rural cenderung lebih rendah dibanding di wilayah desa-kota. Pada Tabel 5. ditunjukkan bahwa ditinjau dari struktur biaya usahatani padi ladang tidak jauh berbeda dengan usahatani padi sawah, komponen bibit dan tenaga kerja lebih
dominan di wilayah desa-kota, sedangkan komponen biaya pupuk dan non faktor produksi lebih dominan di wilayah desa.. Tabel 6 menunjukkan bahwa sistem panen dan pola penjualan hasil usahatani padi ladang relatif tidak jauh berbeda dengan usahatani padi sawah .
Tabel 5. Struktur biaya usahatani padi ladang (N = 241) Komponen biaya Bibit Pupuk Tenaga kerja Sewa lahan, bunga & pajak Sewa alat, pengairan dll
Desa-urban 14,22% 24,42% 53,43% 0,38% 7,37%
Desa-rural 12,41% 37,76% 42,13% 1,19% 6,68%
Umum 12,69% 35,60% 43,88% 1,06% 6,78%
Tabel 6. Sistem panen dan pemasaran hasil usahatani padi ladang (N = 241) Sistem panen dan pemasaran hasil Panen sendiri dijual bertahap Ditebaskan
Desa-urban Desa-rural Umum 89,66% 94,10% 93,54% 10,34% 5,78% 6,56%
Keragaan Usahatani Jagung Tabel 7 menunjukkan bahwa keragaan usahatani jagung relatif sama dengan kondisi usahatani padi ladang. Luas panen jagung per-petani per-tahun di wilayah desa-urban lebih rendah dibanding di wilayah desa-rural. Namun demikian ditinjau dari sumbangannya terhadap pendapatan rumah tangga, secara nominal usahatani jagung lebih berperan di wilayah desa-urban dibanding di wilayah desa. Tingkat efisiensi usahatani jagung yang ditunjukkan oleh ratio pendapatan dibanding
602
biaya di wilayah desa-rural cenderung lebih rendah dibanding di wilayah desa-urban. Tabel 8 menunjukkan bahwa ditinjau dari struktur biaya usahatani, komponen bibit dan tenaga kerja lebih dominan di wilayah desaurban, sedangkan komponen biaya pupuk dan non faktor produksi (kecuali sewa alsintan dan irigasi) lebih dominan di wilayah desa-rural. Sistem panen dan pola penjualan hasil usahatani jagung relatif tidak jauh berbeda dengan usahatani padi.
Prosiding Seminar Nasional Tabel 7. Keragaan usahatani jagung (N = 241) Wilayah Desa-urban
Indikator
Rata-rata
Luas panen (Ha)
0,44
Nilai Produksi (ribu rupiah)
2.090
Biaya Usahatani (ribu rupiah)
660
Pendapatan Usahatani (ribu rupiah) Desa-rural
1.430
Nilai produksi / Biaya usahatani
3,17
Luas panen (Ha)
0,57
Nilai Produksi (ribu rupiah)
1.640
Biaya Usahatani (ribu rupiah)
628
Pendapatan Usahatani (ribu rupiah) Umum
1.011
Nilai produksi / Biaya usahatani
2,61
Luas panen (Ha)
0,55
Nilai Produksi (ribu rupiah)
1.698
Biaya Usahatani (ribu rupiah)
632
Pendapatan Usahatani (ribu rupiah)
1.066
Nilai produksi / Biaya usahatani
2,69
Tabel 8. Struktur biaya usahatani jagung (N 241 : 18 wil. Desa-kota, 223 Wil. Desa) Indikator Bibit Pupuk Tenaga kerja Sewa lahan, bunga dan pajak Sewa alat, irigasi dll
Desa-urban 12,08% 20,85% 49,25% 0,42% 17.39%
Desa-rural 12,05% 33,83% 40,66% 1,24% 12,22%
Umum 12,06% 32,06% 41,82% 1,13% 12,93%
Tabel 9. Sistem panen dan pemasaran hasil usahatani jagung (N 241 :18 wil. Desa-kota, 223 Wil. Desa) Indikator Panen sendiri dijual bertahap Ditebaskan Indikator Pengaruh Teknologi Usahatani Terhadap Harga yang Diterima Petani Seperti telah diuraiakan pada Bab Metode Penelitian, indikator empiris yang digunakan untuk menangkap apresiasi pasar terhadap perbaikan teknologi usahatani adalah hubungan antara jenis dan tingkat alokasi bahan dan sarana produksi dengan tingkat harga produk yang dihasilkan. Secara umum responden tidak mampu memberikan penjelasan/informasi hubungan secara langsung antara tingkat penerapan teknologi terhadap harga produk. Hal ini tentunya
Desa-urban 93,22% 6,75%
Desa-rural 92,88% 7,12%
Umum 92,94% 7,06%
sangat logis karena pada dasarnya variasi harga produk merefleksikan karakteristik produk yang diapresiasi oleh pasar. Sedangkan variasi karakteristik produk merupakan resultan bekerjanya banyak faktor, bukan pengaruh suatu komponen-komponen teknologi secara parsial. Ditunjukkan pada Tabel 10, untuk usahatani padi, varietas benih merupakan satu-satunya komponen teknologi yang diyakini petani memiliki pengaruh secara langsung terhadap tingkat harga produk. Varietas yang memiliki keunggulan dari segi
603
Prosiding Seminar Nasional rasa akan diapresiasi oleh pasar dan memiliki harga yang lebih tinggi dibanding varietas yang menghasilkan produk kurang enak. Sementara itu komponen-komponen teknologi lain, seperti kualitas (label) benih, teknik pengolahan lahan, teknik tanam, teknik pemeliharaan tanaman dan teknik panen diyakini tidak memiliki pengaruh secara langsung terhadap harga produk. Walaupun demikian komponen-komponen teknologi
tersebut memiliki pengaruh terhadap harga input dan jumlah produksi. Dari sisi alokasi sarana produksi pupuk dan pestisida juga tidak diyakini memiliki pengaruh secara langsung terhadap harga produk. Penggunaan bahan organik yang lebih intens pada lahan kering (padi ladang) tidak diapresiasi oleh pasar untuk memberikan tingkat harga yang lebih tinggi dibanding padi sawah yang lebih intens dalam penggunaan pupuk kimiawi.
Tabel 10. Matrik persepsi petani terhadap kualifikasi pengaruh komponen teknologi terhadap beberapa indikator kinerja usahatani padi dan jagung Komponen Teknologi Teknik penyiapan lahan Varietas Benih Kelas Benih Teknik tanam Jenis pupuk Jumlah pupuk Metode kendali OPT Teknik Panen
Padi Kualitas produk
Harga produk
Harga input
Jagung Jumlah Kualitas Produk produk
Harga input
Jumlah Produk
Harga produk
T
T
T
R
T T T T T T
T S T T T T
T S R T T T
T R R R R R
T T
T T
T T
R R
T T T
T T T
T T T
R R R
T
S
S
R
T
S
S
R
Catatan: T = Tinggi, S = Sedang, R = Rendah
Walaupun secara parsial (kecuali varietas benih) tidak dapat diidentifikasi pengaruh komponen-komponen teknologi usahatani terhadap harga produk, akan tetapi tingkat alokasi bahan dan sarana produksi secara keseluruhan (yang menggambarkan paket teknologi usahatani yang digunakan) mempengaruhi tingkat harga produk yang diterima petani. Gambar 1 dan Gambar 2 dimaksudkan untuk memberi penjelasan adanya indikasi pengaruh teknologi terhadap harga yang diterima petani. Pada Gambar 1. ditunjukkan bahwa peningkatan alokasi biaya usahatani padi sawah yang diasumsikan dapat merefleksikan tingkat alokasi bahan dan sarana produksi/ perbaikan tingkat teknologi yang diterapkan,
604
cenderung diikuti oleh peningkatan harga produk padi sawah yang diterima petani. Demikian halnya Gambar 2 menunjukkan bahwa peningkatan biaya usahatani jagung, yang diasumsikan dapat merefleksikan perbaikan teknologi usahatani jagung diikuti oleh peningkatan harga produk primer usahatani jagung. Kecenderungan tersebut dapat terjadi diduga karena peningkatan alokasi biaya dapat memperbaiki kualitas/ penampilan fisik produk yang diapresiasi oleh pasar. Di dalam masyarakat tani dikenal tiga kelas kualitas padi, yaitu super, sedang dan jelek, sementara itu untuk jagung dikenal kualitas baik dan kualitas jelek. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa inovasi teknologi memiliki peran terhadap peningkatan harga produk primer usahatani.
Prosiding Seminar Nasional Diagram persebaran harga produk berdasarkan tingkat alokasi biaya usahatani padi sawah Harga produk per-kg
2,000
y = 258.08Ln(x) - 1087.2 R2 = 0.1567
1,500 1,000 500 0 0
1,000 2,000
3,000 4,000 5,000
Biaya per ha (ribu rupiah)
Gambar 1. Persebaran harga produk usahatani padi sawah berdasarkan tingkat biaya per-ha Diagram persebaran harga produk usahatani jagung berdasarkan tingkatan alokasi biaya usahatani y = 527.98Ln(x) - 2796.2 R2 = 0.3712
2,000
kg (Rupiah)
Harga produk per-
2,500
1,500 1,000 500 0 -500 0
1,000
2,000
3,000
4,000
-1,000
Biaya per-ha (ribu rupiah)
Gambar 2. Persebaran harga produk usahatani jagung berdasarkan tingkat biaya per-ha
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan -
-
Komponen-komponen teknis budidaya, kecuali varietas, tidak secara jelas berpengaruh terhadap harga yang diterima petani. Demikian pula variasi jumlah alokasi input dan teknis aplikasinya tidak secara langsung diapresiasi oleh pasar. Namun demikian, secara umum ada indikasi setiap perbaikan teknologi (yang direfleksikan oleh tingkat alokasi biaya) akan diikuti oleh peningkatan harga yang diterima petani dengan tingkat perbaikan yang menurun. Varietas benih merupakan satu-satunya komponen teknis budidaya padi yang secara jelas mempengaruhi harga yang diterima petani.
Saran Pengembangan teknologi usahatani di daerah miskin perlu di arahkan agar secara rasional lebih menekan penggunaan input tunai (low external inputs).
PUSTAKA Boediono. 1980. Seri sinopsis pengantar ilmu ekonomi No. I. BPFE. Yogyakarta. Hal 3. Klaus, H.S. 1986. Technology assessment: An essentially political process. Impacp of Science on Society, No. 141. Unesco, London. Page 65-76. Pakpahan, A. 1992. Apakah ada ruang untuk meningkatkan pendapatan petani lahan kering tanpa merusak lingkungan? Risalah Lokakarya: Pelembagaan penelitian dan pengembangan sistem usahatani konservasi lahan kering hulu DAS Jratunseluna dan Brantas. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hal., 139-152.
605
Prosiding Seminar Nasional Prakosa., M. 2002. Pendekatan corporate farming dalam pengembangan agribisnis. Monograph Series No. 22 “ analisis kebijaksanaan: pendekatan pembangunan dan kebijaksanaan pengembangan agribisnis. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Hal 59-77.
606
Setiani, C. 1998. Tingkat adopsi dan dampak teknologi sistem usahatani konservasi di lahan kering DAS Jratunseluna bagian hulu. Tesis Program Pascasarjana Magister Studi Pembangunan. UKSWSalatiga.
Prosiding Seminar Nasional RESPON PETANI SETELAH PELATIHAN PERAWATAN SPRAYER KAITANNYA DENGAN PENGGUNAAN SPRAYER (Respon of farmer after treatment sprayer training its bearing with use sprayer) Nugroho Siswanto, Sri Budhi Lestari dan Arlyna Budi Pustika Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta
ABSTRAK Pengkajian ini dilakukan dengan metode survei, observasi dan pelatihan. Lokasi wilayah kecamatan Sanden dan Kretek Kabupaten Bantul dengan 60 petani responden. Analisa data; evaluasi sebelum pelatihan dan paska pelatihan dianalisis secara diskriptif. Hasil yang didapat: hasil wawancara pada saat pre-demo, dari 68 buah sprayer hanya 8 buah sprayer dengan kondisi tidak baik atau mengalami kerusakan, tapi setelah diadakan observasi jumlah total kerusakan komponen sprayer petani sebanyak 202 buah. Untuk observasi setelah pelatihan menunjukkan adanya perbaikan yang dilakukan oleh petani, jumlah total bagian sprayer yang rusak tinggal tersisa 28 atau ada 174 perbaikan atau penggantian sparepart sprayer yang dilakukan petani. Setelah pelatihan banyak manfaat yang didapat petani peserta pelatihan, yaitu bisa bongkar pasang sendiri (24,03%); bisa mengetahui bagian-bagian yang rusak (21,89%); bisa memperbaiki sendiri bagian yang rusak (21,03%); bisa mengganti sendiri bagian yang rusak (20,60%); dan bisa mengatakan kepada bengkel bagian yang harus diperbaiki atau diganti (12,45%). Untuk perawatan yaitu pencucian sprayer pada saat sebelum demonstrasi, yaitu dicuci setiap kali sehabis digunakan (1 orang); dicuci seminggu sekali (17 orang); dicuci akhir musim tanam (10 orang), dicuci setiap sehabis menggunakan herbisida (28 orang); dan tidak pernah dicuci sama sekali (4 orang). Sedangkan untuk saat sesudah demonstrasi (post-demo) seluruh peserta (60 orang) mencuci sprayernya setiap kali sehabis digunakan. Kata kunci: Pelatihan, sprayer, perawatan, observasi
ABSTRACT This Study conducted with training, observation and survey method was done at Sanden and Kretek Bantul with 60 responder farmer. Analysed data; evaluate before and post training by diskriptif analyse. The result of study indicated with by interview at the pre-demo, from 68 sprayer only 8 sprayer with bad condition, but after observation shown damage of sprayer component as much 202. For observation after training ( post-demo) shown existence of repair by farmer, 174 repair or replacement of spare part sprayer done by farmer. After training a lot of benefit which got farmer, that is can unload tide by xself (24,03%); can known the parts of ruined (21,89%); can repair by xself the ruined shares (21,03%); can change by xself the ruined shares (20,60%); and can tell to workshop of shares which must be repaired or changed (12,45%). The treatment of sprayer done by a farmer that is wash of sprayer at pre-demo, that is cleaned each time is used up used ( 1 farmer); cleaned one week once (17 farmer); cleaned final of season plant (10 farmer); cleaned each every used up use herbicide (28 farmer); and have never been cleaned (4 farmer). While after training (post-demo) all farmer (60 farmer) cleaning sprayer each time is used up used. Key words: Training, sprayer, treatment, observation
PENDAHULUAN Dalam pengaplikasian pestisida, sprayer digunakan secara intensif pada komoditas hortikultura. Alat dan teknik aplikasi sprayer mempunyai kinerja dan spesifikasi tertentu sesuai dengan tujuan penggunaan yang dirancang oleh pembuatnya sehingga penerapan teknik aplikasi yang tepat akan membuat alat tersebut berfungsi secara optimal. Informasi tentang teknik aplikasi dan penggunaan sprayer telah tercantum pada leaflet/brosur, namun banyak petani yang belum menggunakan sprayer dengan teknik yang sesuai petunjuk dalam leaflet, hanya
berdasar pada kebiasaan/perilaku di lingkungannya. Menurut Sarwono (1993), perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta interaksi manusia dan lingkungan yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan yang merupakan respon atau reaksi seseorang individu terhadap rangsangan yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Berdasarkan pengamatan di lapang, sering dijumpai bahwa petani belum menerapkan teknik aplikasi sprayer sesuai dengan petunjuk. Dijumpai pula kerusakan sprayer berupa keausan klep, kebocoran
607
Prosiding Seminar Nasional pompa, tangki dan nozzle yang dapat menyebabkan penggunaan pestisida pada volume yang melebihi dosis anjuran. Akumulasi dari penggunaan pestisida dengan volume yang melebihi dosis rekomendasi akan memperbesar biaya produksi. Selain itu kebocoran sprayer dapat menimbulkan ketidakamanan kesehatan manusia dan lingkungan hidup. Kesalahan dalam penggunaan pestisida dapat menyebabkan keracunan. Hasil uji Cholinesterase darah dengan Tintyometer Kit yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur terhadap tenaga pengguna pestisida pada tahun 1999 dari 86 petani yang diperiksa 61,63 % keracunan dan pada tahun 2000 sebanyak 34,38 % keracunan dari lokasi yang berbeda (Sulistyono, 2002). Keracunan pestisida dapat terjadi karena paparan (exposure) langsung oleh pestisida (menghirup, terkena percikan atau menyentuh sisa pestisida) yang dapat disebabkan oleh kebocoran atau kerusakan sprayer. Standar keamanan untuk pengaplikasian pestisida dan pengarahan penggunaan yang aman meliputi cara pelarutan, jumlah (konsentrasi), frekuensi dan periode aplikasi selama ini belum diketahui oleh petani (Uehara, 1996). Dari uraian tersebut, perlu adanya suatu kegiatan pengkajian untuk mengetahui perilaku petani terhadap penggunaan sprayer pada komoditas hortikultura di Bantul. Untuk meningkatkan wawasan dan kemampuan petani serta motivasi petani dalam penggunaan sprayer sesuai dengan teknik aplikasi, diperlukan adanya kegiatan pelatihan/kursus tani tentang teknik penggunaan dan perawatan sprayer. Melalui kursus diupayakan tidak sekedar mempengaruhi sikap dan sasaran, tetapi seringkali justru lebih ditekankan pada pembekalan pengetahuan dan ketrampilanketrampilan tertentu (Mardikanto, 1993). Hal ini sejalan dengan Ton (1991) yang menyatakan bahwa pelatihan atau kursus dapat diadakan oleh organisasi industri bahanbahan kimia pertanian. Kegiatan pelatihan semacam ini mestinya diikuti dengan evaluasi pasca pelatihan terhadap petani peserta dalam penggunaan sprayer.
BAHAN DAN METODE a.
608
Pengkajian ini dengan metode survai dan observasi; untuk mengetahui wawasan
dan kemampuan petani dalam penggunaan sprayer sebelum dan sesudah pelatihan. b.
Penentuan lokasi; lokasi ditentukan secara purposive yaitu di wilayah kecamatan Sanden dan Kretek Kabupaten Bantul.
c.
Penentuan responden; dilakukan dengan simple random sampling melibatkan 60 petani pemilik dan pengguna sprayer.
d.
Waktu pelaksanaan; dilakukan dari bulan April s/d September 2006.
e.
Analisa data; evaluasi sebelum pelatihan dan paska pelatihan dianalisis secara diskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Survei dan Observasi Sprayer Sebelum Pelatihan Berdasarkan wawancara, sebelum dilakukan bongkar pasang melalui kegiatan pelatihan, beberapa komponen yang tidak berfungsi secara baik adalah klep (ada 3 sprayer), nozle (3 sprayer), tangkai (1 sprayer) dan pengungkit baut (1 sprayer). Berbeda dengan hasil wawancara pada saat survei, dari 68 buah sprayer hanya 8 buah sprayer dengan kondisi tidak baik atau mengalami kerusakan, terutama pada bagian nozle, klep. Dari 58 buah sprayer yang dipersiapkan peserta pelatihan, banyak komponen di dalamnya yang mengalami kerusakan. Kondisi sprayer hasil observasi terdapat pada Tabel 1. Kerusakan komponen yang ada pada sprayer jika diranking, paling banyak mengalami kerusakan adalah keran. Keran jika tidak segera diperbaiki ataupun diganti akan mendatangkan kerugian bagi petani. Dari sisi biaya, tidak efisien, karena banyak obat ataupun produk perlindungan tanaman yang terbuang. Jika dalam satu hitungan menit, obat yang terbuang sebanyak 5 ml, untuk menyemprot 1 tengki selama 15 menit, maka ada 75 ml yang terbuang. Dalam sehari berapa kali petani menyemprot, dalam satu musim tanam berapa saja petani menyemprot tanaman. Dengan demikian dapat dihitung uang mereka yang hilang. Keran yang bocor sangat riskan terhadap kesehatan diri petani dan
Prosiding Seminar Nasional lingkungannya. Tali tangki banyak yang rusak, mestinya sudah saatnya diganti, karena dengan tali yang tidak kencang lagi akan mengganggu jalannya penyemprotan. Demikian juga spuyer banyak mengalami kerusakan; hal ini tidak boleh dibiarkan
karena tidak efisiennya penggunaan PPT dan tingkat resiko bagi petani dan lingkungannya. Dengan adanya demonstrasi bongkar pasang sprayer dapat diketahui secara pasti komponen yang masih dalam kondisi baik dan komponen yang tidak berfungsi dengan baik.
Tabel 1. Kondisi sprayer pada masing-masing komponen Kondisi baik (buah/persen)
Kondisi tidak baik buah/persen)
Ranking
Spuyer
37 (67,79)
21 (32,21)
3
Sambungan dudukan spuyer dengan tangkai
53 (91,38 )
5 (8,62)
10
Tangkai
49 (84,48)
9 (15,52)
7
Sambungan tangkai dengan keran
52 (89,65)
6 (10,35)
9
Keran
32 (55,17)
26 (44,83)
1
Sambungan keran dengan pegangan
53 (91,38)
5 (8,62)
10
Pegangan
55 (94,83)
3 (5,17)
12
Sambungan pegangan dengan selang
57 (98,27)
1 (1,73)
13
Selang
55 (94,83)
3 (5,17)
12
Sambungan selang dengan pipa padut
53 (91,38)
5 (8,62)
10
Pipa padut
53 (91,38)
5 (8,62)
10
Tungkai / angkul
53 (91,38)
5 (8,62)
10
Pasak ( 2 buah )
52 (89,65)
6 (10,35)
9
Lubang pasak ( 2 buah )
42 (72,41)
16 (27,59)
4
Per
53 (91,38)
5 (8,62)
10
Komponen/bagian alat
Tutup piston atas
51 (87,93)
7 (12,07)
8
Cincin piston
49 (84,48)
9 (15,52)
7
Cincin / ring bebek
52 (89,65)
6 (10,35)
9
Sambungan tabung dengan tangki
49 (84,48)
9 (15,52)
7
Saringan tangki / saringan luar
46 (79,31)
12 (20,69)
5
Tutup tangki
54 (93,10)
4 (6,90)
11
Tali tangki
34 (58,62)
24 (41,38)
2
Tangki
48 (82,76)
10 (17,24)
6
Kondisi Petani Pasca Pelatihan Dua bulan setelah dilakukan pelatihan bongkar pasang dan perawatan sprayer diadakan survei post-demo kepada petani peserta pelatihan untuk melihat perubahan perilaku petani dalam penggunaan dan perawatan sprayer yang dipunyai. Perubahan perilaku yang terjadi pada petani peserta pelatihan akan dipakai untuk mengetahui seberapa besar manfaat pelatihan tersebut petani dan sebagai tolok ukur keberhasilan pelatihan yang dilakukan. Untuk mengetahui perubahan perilaku petani, maka perlu dicermati faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku petani. Kuatnya keinginan untuk menerapkan teknik penggunaan dan perawatan sprayer Pada saat sebelum dilakukan pelatihan petani ditanya jika diperkenalkan teknik perawatan sprayer apa mau menerapkan ternyata hasilnya 5 orang berkeinginan, 45 orang ragu-ragu dan 20 orang tidak ingin. Setelah dilakukan pelatihan, petani kembali ditanya pertanyaan yang sama hasilnya 60 orang berkeinginan. Selanjutnya ditanya jika diperkenalkan teknik aplikasi PPT apa mau menerapkan ternyata hasilnya 8 orang berkeinginan, 52
609
Prosiding Seminar Nasional orang ragu-ragu. Setelah dilakukan pelatihan, petani kembali ditanya pertanyaan yang sama hasilnya 60 orang berkeinginan. Ketika petani ditanya apakah rela meninggalkan pekerjaan lain untuk merawat/memperbaiki sprayer jika ada kerusakan, pada pre-demo hasilnya 27 orang berkeinginan, 25 orang ragu-ragu dan 8 orang tidak ingin. Sedangkan pada saat post-demo 57 orang berkeingginan dan 3 orang raguragu. Relakah petani meninggalkan pekerjaan lain jika bersamaan dengan waktu penyemprotan, pada saat pre-demo hasilnya 28 orang berkeinginan, 10 orang ragu-ragu dan 22 orang tidak ingin. Sedangkan pada saat post-demo 50 orang berkeingginan, 6 orang ragu-ragu, dan 4 orang tidak ingin. Mengenai bersedia tidaknya petani menyisihkan uang untuk biaya perawatan sprayer hasilnya 26 orang berkeinginan, 21 orang ragu-ragu dan 13 orang tidak ingin. Setelah dilakukan pelatihan, petani kembali ditanya pertanyaan yang sama hasilnya 56 orang berkeingginan, 2 orang ragu-ragu, dan 2 orang tidak ingin. Mencermati hasil jawaban dari kelima pertanyaan diatas terlihat bahwa petani sebelum mengalami sendiri sesuatu hal akan ragu-ragu bahkan menolak untuk melakukan sesuatu. Namun setelah melaksanakan sendiri
(pelatihan) mereka termotivasi untuk mengubah perilaku mereka dalam menerapkan teknik penggunaan dan perawatan sprayer, sehingga ada pengaruh yang nyata dari pelatihan ini yaitu bisa memotivasi petani merawat sprayernya. Hasil Observasi Sprayer Petani Observasi ini dilakukan untuk melihat/mengecek langsung kondisi sprayer petani apakah ada yang rusak atau tidak berfungsi optimal. Kegiatan observasi dilakukan dua kali, yaitu pada saat sebelum pelatihan (melihat kondisi awal sprayer petani sebelum dapat pelatihan yang nantinya dijadikan patokan dasar untuk menilai setelah diadakan pelatihan) dan setelah pelatihan (untuk melihat apa ada perubahan kondisi sprayer setelah petani mendapat ketrampilan bongkar pasang sprayer). Hasil observasi sebelum pelatihan (predemo) menunjukkan bahwa kerusakan banyak terjadi pada sprayer petani atau tiap sprayer ada komponen yang rusak/tidak berfungsi normal. Jumlah total kerusakan komponen sprayer petani sebanyak 202 buah, dengan rangking tertinggi yang rusak adalah keran bocor atau sudah aus (26 buah); kemudian tali tangki (24 buah); spuyer tidak mengabut atau bocor (21 buah); lubang pasak yang membesar (16 buah); saringan tangki kotor atau rusak (12 buah); sedang untuk detail bagian yang lain dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil observasi kerusakan komponen sprayer pre-demo dan post-demo Komponen sprayer Spuyer Sambungan dudukan spuyer dg tangkai Tangkai Sambungan tangkai dg keran Keran Sambungan keran dg pegangan Pegangan Sambungan pegangan dg selang Selang Sambungan selang dg pipa padud Pipa padud Tungkai/angkul Pasak (2 buah)
610
Yang rusak (pre-demo)
Yang rusak (post-demo)
Jumlah perbaikan
Persentase perbaikan
21
1
20
95,24
5 9 6 26 5 3 1 3 5 5 5 6
2 2 1 4 0 0 0 0 0 0 1 2
3 7 5 22 5 3 1 3 5 5 4 4
60,00 77,78 83,33 84,62 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 80,00 66,67
Prosiding Seminar Nasional
Komponen sprayer Lubang pasak Per Tutup piston atas Cincin piston Cincin/ring bebek Sambungan tabung dg tangki Saringan tangki Tutup tangki Tali tangki Tangki Jumlah Rata-rata
Yang rusak (pre-demo)
Yang rusak (post-demo)
Jumlah perbaikan
16 5 7 9 6 9 12 4 24 10 202
4 0 0 3 0 0 3 0 5 0 28
12 5 7 6 6 9 9 4 19 10 174
Untuk observasi setelah pelatihan (postdemo) menunjukkan adanya perbaikan yang dilakukan oleh petani, baik itu memperbaiki, membersihkan yang kotor atau mengganti bagian yang sudah rusak/aus. Hal ini ditunjukkan pada Tabel 2, bahwa jumlah total bagian sprayer yang rusak tinggal tersisa 28 (kebanyakan sudah aus dan harus diganti sehingga beberapa petani menunggu setelah panen/ada biaya) atau ada 174 perbaikan atau penggantian sparepart sprayer yang dilakukan petani, sehingga persentase rata-rata perbaikan yang sudah dilakukan petani mencapai 88,85%. Kondisi tersebut sangat jelas menunjukkan adanya hasil dari pelatihan dimana ada perubahan perilaku petani yang mau memperbaiki sprayernya yang rusak dan melakukan perawatan agar sprayernya awet. Hanya tinggal satu masalah yang dihadapi petani, yaitu jika yang rusak tabung atau tangki (bocor), maka harus dibawa ke bengkel/tukang patri karena tidak mempunyai ketrampilan dan alat untuk mengerjakannnya sendiri. Post-Demonstrasi Demontrasi/peragaan bongkar pasang alat semprot gendong tanpa mesin dilaksanakan di Kecamatan Sanden dan Kretek Kabupaten Bantul DIY, diikuti 60 petani yang berasal
Persentase perbaikan 75,00 100,00 100,00 66,67 100,00 100,00 75,00 100,00 79,17 100,00 88,85
dari 9 kelompok tani pilihan yang dianggap bisa mewakili keseluruhan petani bawang merah. Setelah dilakukan demonstrasi banyak manfaat yang di dapat petani peserta pelatihan (Tabel 3), yaitu bisa bongkar pasang sendiri (93,33%), bisa mengetahui bagian-bagian yang rusak (85%), bisa memperbaiki sendiri bagian yang rusak (81,67%); bisa mengganti sendiri bagian yang rusak (80%); dan bisa mengatakan kepada bengkel bagian yang harus diperbaiki atau diganti (48,33%). Dari hasil survai post-demo diketahui bahwa sprayer milik 60 orang peserta pelatihan sekarang bekerja dengan baik. Selama ini (dari habis demonstrasi sampai survei post-demo) bagian-bagian sprayer milik petani yang tidak pernah ada yang rusak sebanyak 27 orang dan ada 32 petani yang pernah mengganti, memperbaiki bagianbagian yang rusak. Bagian-bagian yang pernah diperbaiki atau diganti oleh petani (32 orang) antara lain klep, packing/seel, tabungnya/patri, spuyer, dan tali tangki. Sedangkan yang mengganti/memperbaikinya dilakukan oleh sendiri sebanyak 28 orang dan 4 orang oleh bengkel karena petani tidak punya peralatannya (patri tabung).
611
Prosiding Seminar Nasional Tabel 3. Beberapa manfaat yang dirasakan petani setelah mengikuti demonstrasi bongkar pasang sprayer Alasan
Orang (n=60)
Persentase (%)
Bisa bongkar pasang sendiri
56
93,33
Bisa mengetahui bagian-bagian yang rusak
51
85,00
Bisa memperbaiki sendiri bagian yang rusak
49
81,67
Bisa mengganti sendiri bagian yang rusak
48
80,00
Bisa mengatakan kepada bengkel bagian yang harus diperbaiki atau diganti
29
48,33
Dengan diganti atau diperbaikinya bagian-bagian sprayer yang rusak tersebut manfaat yang petani dapat antara lain (Tabel 4): hasil semprotan bagus, merata (73,33%), hasil kerja penyemprotan meningkat (51,67%), tidak khawatir badan kena bocoran racun (51,67%), hama terberantas tuntas (35%), obat-obatan tidak hilang karena bocorhemat/tidak boros (58,33%), dan bekerja nyaman (50%). Untuk perawatan sprayer yang dilakukan petani yaitu pencucian sprayer pada saat sebelum demonstrasi (pre-demo), yaitu dicuci setiap kali sehabis digunakan (1 orang), dicuci seminggu sekali (17 orang), dicuci akhir musim tanam (10 orang), dicuci setiap sehabis menggunakan herbisida (28 orang); dan tidak pernah dicuci sama sekali (4 orang).
Sedangkan untuk saat (post-demo) seluruh mencuci sprayernya digunakan, untuk hasil pada Tabel 5.
sesudah demonstrasi peserta (60 orang) setiap kali sehabis jelasnya dapat dilihat
Sedangkan untuk biaya perbaikan yang sanggup dikeluarkan oleh petani dalam merawat sprayer, bisa dikatakan bahwa semuanya sanggup mengeluarkan biaya hanya berbeda masing-masing besarnya, seperti ada yang berapun sanggup mengeluarkan biaya (28,33%), ada yang sanggup secukupnya (20,00%), ada yang tergantung kerusakan (11,67%), ada yang sesuai kerusakan (8,33%), dan ada sanggup mengeluarkan uang Rp.25.000, serta untuk hasil detailnya dapat dilihat dalam Tabel 6.
Tabel 4. Beberapa manfaat yang dirasakan petani dari perbaikan bagian alat semprot yang rusak Alasan
Orang (n=60)
Persentase (%)
Hasil semprotan bagus, merata
44
73,33
Hasil kerja penyemprotan meningkat
31
51,67
Tidak khawatir badan kena bocoran racun
31
51,67
Hama terberantas tuntas
21
35,00
Obat-obatan tidak hilang karena bocor-hemat/tidak boros
35
58,33
Bekerja nyaman
30
50,00
Tabel 5. Pencucian sprayer yang dilakukan petani baik pada saat pre-demo dan post-demo Pencucian
Pre-demo (n=60)
Post-demo (n=60)
Setiap kali sehabis digunakan
1
60
Seminggu sekali
17
0
Akhir musim tanam
10
0
Setiap sehabis menggunakan herbisida
28
0
Tidak pernah sama sekali
4
0
612
Prosiding Seminar Nasional
Tabel 6. Biaya perbaikan yang sanggup dikeluarkan petani dalam merawat sprayer Biaya yang dikeluarkan
(n=60)
Persentase (%)
Lihat kondisi sprayer
2
3,33
Kalau rusak diusahakan biayanya
1
1,67
Rp 50.000/tahun
1
1,67
17
28,33
4
6,67
Secukupnya
12
20,00
15 – 20 Ribu
2
3,33
Sesuai kerusakan
5
8,33
Berapapun sanggup Rp 15.000
Rp 100.000/tahun
2
3,33
Rp 10.000
2
3,33
Tergantung kerusakan
7
11,67
Rp 25.000
5
8,33
KESIMPULAN 1.
Hasil wawancara kerusakan komponen sprayer pada saat survei berbeda dengan observasi karena umummya petani belum mengetahui kriteria komponen yang baik.
2.
Petani melakukan perbaikan atau mengganti bagian sprayer yang rusak setelah mendapat pelatihan perawatan sprayer.
3.
4.
Manfaat yang didapat petani peserta pelatihan, yaitu bisa bongkar pasang sendiri, bisa mengetahui bagian-bagian yang rusak; bisa memperbaiki sendiri bagian yang rusak; bisa mengganti sendiri bagian yang rusak; dan bisa mengatakan kepada bengkel bagian yang harus diperbaiki atau diganti. Perawatan sprayer yang dilakukan petani sesudah pelatihan seluruh peserta mencuci sprayernya setiap kali sehabis digunakan.
PUSTAKA Mardikanto, T. 1993. Penyuluhan pembangunan pertanian. Sebelas Maret University Press. Surakarta. Sarwono, S. 1993. Gadjah Mada Yogyakarta.
Sosiologi kesehatan. University Press.
Sulistiyono. 2002. Pengetahuan, sikap dan tindakan petani bawang dalam penggunaan pestisida (Kasus di Kabupaten Nganjuk Propinsi Jawa Timur). Thesis Program Pascasarjana. IPB. Ton, S. W. 1991. Environmental considerations with use of pesticides in agriculture. Paper pada Lustrum ke-VIII Fakultas Pertanian USU, Medan. Uehara, K. 1996. The present state of plant protection in Japan-safety countermeasures for agriculture chemicals. Japan Pesticide Information, No. 61. Japan Plant Protection Association, Tokyo, Japan, pp. 3-6.
613
Prosiding Seminar Nasional
POTENSI DAN PELUANG USAHA TERNAK KERBAU DI DESA LEREP, KECAMATAN UNGARAN, KABUPATEN SEMARANG: STUDI KASUS (The potency and opportunity of buffalo farming at Lerep Village, Ungaran Sub-District of Semarang District : Case study) Rusmadji, M.D. Meniek Pawarti, dan S. Prawirodigdo Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah ABSTRAK Suatu pemaham pedesaan secara cepat telah dilaksanakan untuk mempelajari potensi dan peluang budidaya ternak kerbau di Desa Lerep, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang. Hasilnya menunjukkan bahwa peternak rata-rata memiliki 4 ekor kerbau. Peluang pengembangan ternak semakin terbuka dengan adanya perbedaan harga antara daging kerbau dan daging sapi. Peluang ini didukung oleh adanya kekurangan pemenuhan kebutuhan daging kerbau di beberapa kabupaten. Oleh karena terbatasnya modal yang dimiliki peternak, maka sistem usaha yang dilakukan adalah dengan cara gaduhan. Umumnya ternak kerbau dipelihara sebagai tabungan/aset dan sebagai tenaga kerja membajak sawah. Untuk anak kerbau jantan yang berumur 13 bulan harga jualnya Rp. 4 - 4,5 juta, sedangkan anak kerbau berumur 2 tahun berkisar antara Rp. 4,5 juta – 5 juta. Upah yang diterima sebagai pembajak sawah sebesar Rp 30.000/hari ditambah makan dan uang rokok senilai Rp 10.000. Fluktuasi harga sangat tergantung kebutuhan peternak, apabila peternak memerlukan dana, maka harga kerbau akan lebih murah bahkan dijual di bawah harga umum. Pemberdayaan peternak kerbau di pedesaan perlu dilakukan untuk mengatasi masalah keterbatasan modal peternak, rendahnya penguasaan teknologi serta lemahnya SDM dan kelembagaan petani. Di samping pendekatan teknis, pendekatan sosial budaya diperlukan untuk melakukan perubahan sikap, perilaku dan pola kerja. Kata kunci : Potensi, peluang, usaha ternak kerbau, Lerep.
ABSTRACT A rapid rural appraisal was performed to evaluate the potency and opportunity of buffallo village farm at Lerep Village, Ungaran Sub-District, Semarang District. Ten farmers, fiew key person, and Lerep Village government stuffs involved in the present investigation. The secondary data were obtained through village monograph. Results indicated that in average the farmers hold 4 heads of buffallo/family. However, due to limited financial, the farmers has conducted buffalo village farm by sharing capital with the other farmer. Commonly, the purpose of rising buffalo is for investation and druft animal for rice culture preparation. The price of a 13 month old male buffalo is about Rp.4,500,000. The work payment for ploughing padi land is Rp 40,000/day. It was documented the bargain posisition of the farmer for selling their buffalo was low went they strongly require financial support. In these circumtances, the price of buffalo event lower then the normal price. There is a high opportunity to improve buffalo farm since insufficient meat is available to supply the meat demand of the people in some district of Central Java. There is evidence that the farmers need solution for financial support, tecnology innovation, and proper organization. It is important to apply culture approach to change their atitude and work pattern. Key words: potency, buffallo, Lerep
PENDAHULUAN Sebagian besar peternak di Jawa memelihara kerbau (Bubalus bubalus) dengan tujuan untuk tenaga kerja dalam berusahatani. Ternak ini menjadi pilihan karena memiliki telapak kaki yang lebih lebar dibandingkan sapi atau kuda sehingga lebih kuat untuk bekerja di lahan pertanian yang berat. Pada umumnya ternak kerbau juga dipelihara sebagai tabungan (investasi) dengan hasil
614
sampingan pupuk kandang (Soedjatmiko dan Tondosalimo, 1977; Muljadi et al., 1980). Menurut Soedjatmiko dan Tondosalimo (1977) dalam pengembangan usaha ternak kerbau terdapat kendala yang antara lain adalah: (a) Terbatasnya permintaan produk daging kerbau, (b) Terbatasnya pasokan bakalan kerbau, dan (c) Dominasi tataniaga ternak kerbau oleh sekelompok kecil pengusaha. Priyanti et al., (2005)
Prosiding Seminar Nasional menambahkan bahwa terbatasnya pasokan bakalan terjadi seiring dengan berkurangnya fungsi dan peran kerbau dalam usahatani, berkurangnya lahan garapan , maupun sumber pakan kerbau. Di samping itu, usaha ternak kerbau lamban berkembang karena penampilan reproduksinya rendah. Diwyanto dan Handiwirawan (2006) melaporkan bahwa dewasa kelamin kerbau relatif lebih lambat dari pada ternak sapi, dan jarak kelahirannya (calving interval) juga panjang, yaitu sekitar 2 tahun. Lebih lanjut, pertambahan bobot badan kerbau berkisar antara 0,3 – 0,9 kg/hari dan persentase karkasnya relatif lebih kecil dibandingkan dengan yang dimiliki ternak sapi (< 50%). Walaupun mempunyai beberapa kelemahan, ternyata ternak kerbau juga memiliki keunggulan-keunggulan yang patut dipertimbangkan pengembangan budidayanya. Kelebihan-kelebihan itu antara lain (Diwyanto dan Handiwirawan, 2006; Mayunar, 2006): (a) mampu menghasilkan susu berlemak tinggi (kerbau Murrah), (b) kadar lemak daging ternak kerbau rendah dibanding jenis daging lainnya, (c), mampu bertahan hidup dengan baik dan berkembang biak di kawasan yang relatif sulit dengan kualitas pakan sangat rendah (berserat kasar tinggi), dan (c) dapat berkembang baik dalam rentang kondisi agroekosistem yang sangat luas dari daerah dengan kondisi basah sampai dengan kondisi yang kering. Lebih lanjut, berdasarkan sifatsifat biologis tersebut di atas Diwyanto dan Handiwirawan (2006) menarik kesimpulan bahwa pemeliharaan ternak kerbau lebih cocok dengan manajemen ekstensif. Sejalan dengan itu ternak kerbau sangat sesuai untuk dikembangkan di peternakan rakyat dengan sarana dan prasarana yang terbatas. Oleh karena itu untuk daerah-daerah dengan kondisi marjinal pengembangan kerbau sangat layak dipertimbangkan. Makalah ini mendiskusikan hasil studi eksploratif tentang potensi dan peluang usaha ternak kerbau di Desa Lerep, Kecamatan Ungaran, Kabupaten Semarang sebagai salah satu contoh kasus spesifik lingkungan yang terjadi di Indonesia. Adapun tujuan dari studi ini adalah untuk memperoleh informasi tentang kemungkinan meningkatkan budidaya ternak kerbau di wilayah marjinal sehingga berdampak pada peningkatan pendapatan petani.
BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan melalui pemahaman pedesaan secara singkat (Rappid Rural Appraisal) di Desa Lerep, Kecamatan Ungaran, Kabupaten Semarang. Koleksi data diperoleh dari Monografi Desa Nglerep (Data Sekunder) dan melalui wawancara dengan 10 orang petani ternak, Sesepuh Desa, Pamong Desa, dan Petugas Penyuluh Pertanian Kecamatan Ungaran (data primer), serta diperdalam dengan pengamatan langsung pada kondisi budidaya ternak kerbau di lokasi penelitian. Data-data yang dikoleksi adalah: populasi ternak, luas dan tataguna tanah desa, kultur budidaya ternak kerbau yang masih eksis, dan keberadaan maupun peluang akses ke lembaga keuangan. Selanjutnya, data yang di peroleh dari penelitian ini diinterpretasikan berdasarkan analisis non-parametrik mengikuti petunjuk yang diuraikan oleh Snedecor dan Cochran (1962).
HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi Budidaya Ternak Kerbau di Lokasi Studi Menurut Basyid (2006), pemberdayaan masyarakat tidak hanya memerlukan pendekatan teknis tetapi juga membutuhkan pendekatan sosial budaya yang dapat merangsang perubahan sikap, perilaku, dan pola kerja. Konsisten dengan pendapat Basyid, (2006), maka faktor penting yang perlu diperhatikan untuk keberhasilan upaya meningkatkan budidaya ternak kerbau di suatu daerah adalah eksistensi kultur budaya masyarakat tani (sosial ekonomi) yang mempunyai prospek untuk dapat mendukung program tersebut, daya dukung lahan, dan ketersediaan modal usaha. Berikut ini adalah data karakter kultur budaya, biofisik lahan pertanian, dan sumberdaya modal di Desa Nglerep Karakter Biofisik dan Kultur Budaya Masyarakat Desa Lerep Desa Lerep, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang luasnya dalah sekitar 682 ha (Monografi Desa Lerep, 2007). Desa ini terletak pada ketinggian antara 300 – 700 dpl. Sesuai proporsi topografinya Desa Lerep terdiri dari tanah datar 257 ha (38%) dan perbukitan/pegunungan 425 ha (62%). Luas
615
Prosiding Seminar Nasional lahan sawah adalah 191 ha, sedangkan luas tegalan/ladang adalah 299 ha. Selain itu juga terdapat tanah perkebunan pemerintah 70 ha dan perkebunan swasta 80 ha. Jumlah penduduk adalah 6.793 jiwa yang terdiri dari : Petani pemilik lahan 862, penyewa/penggarap 412 orang, buruh tani 438 orang, buruh industri 791 orang, buruh bangunan 885 orang, dan lain-lain 3.405 orang. Pada umumnya masyarakat di Desa Lerep memelihara ternak sapi, kerbau, domba, itik, dan ayam lokal. Dari data statistik populasi ternak di daerah Kabupaten Semarang dapat diperoleh informasi bahwa populasi ternak kerbau di Kecamatan Ungaran menduduki urutan
kelima setelah Kecamatan Pringapus (Tabel 1; BPS Kabupaten Semarang, 2006). Secara keseluruhan dapat diinterpretasikan bahwa eksistensi ternak kerbau bagi masyarakat di daerah Kabupaten Semarang masih penting. Disayangkan bahwa data populasi ternak tidak terdokumentasi pada Monograffi Desa. Walaupun demikian, berdasarkan hasil wawancara dengan Pamong dan Sesepuh Desa Lerep serta observasi terbatas melalui kunjungan langsung pada beberapa petani, maka populasi ternak ruminansia yang terdapat di desa tersebut dapat diestimasi (Tabel 2).
Tabel 1. Data populasi kerbau per kecamatan Tahun 2005 di daerah Kabupaten Semarang. Kecamatan Kuda 99 66 127 0 114 9 136 170 80 0 276 86 0 0 71 84 257
Getasan Tengaran Susukan Kaliwungu Suruh Pabelan Tuntang Banyubiru Jambu Sumowono Ambarawa Bawen Beringin Bancak Pringapus Bergas Ungaran Jumlah
Sapi potong 6254 5.123 6.325 3.425 4.256 3125 2.267 3.396 4.115 3.642 3.288 2.975 4.411 3.796 2.654 3.598 2.364
Jumlah ternak (ekor) Sapi perah 12.658 6.985 15 189 56 559 4.696 46 28 33 65 36 41 298 29 465 5.687
Kerbau 2 56 637 69 634 863 547 69 97 0 87 94 439 98 769 349 754 5.564
Kelinci 3.690 0 2.850 905 120 794 45 57 0 454 96 127 0 0 0 0 0
Sumber: BPS Kabupaten Semarang (2006). Tabel 2. Estimasi populasi ternak ruminansia di Desa Lerep Jenis ternak
Jumlah pemilik (orang)
Rata-rata pemilikan (ekor)
Jumlah ternak (ekor)
Sapi
92
2
184
Kerbau
64
4
264
Domba
54
4
216
616
Hasil wawancara dengan berbagai pihak di Desa Lerep, memberikan informasi bahwa tujuan memelihara ternak kerbau dan sapi adalah sebagai investasi, tenaga kerja untuk menggarap lahan sawah, dan hasil sampingan berupa manure ternak + sisa pakan sebagai bahan pupuk organik. Selain itu, usaha ternak kerbau juga dilakukan secara turun-temurun dan berfungsi sebagai sumber pendapatan keluarga yang pada saat musim tanam padi berfungsi sebagai tenaga pembajak sawah (Gambar 1).
Prosiding Seminar Nasional Tabel 3. Perubahan populasi ternak kerbau di Propinsi Jawa Tengah selama 5 tahun Tahun 2001 2002 2003 2004 2005
Jumlah populasi (ekor) 162.353 148.665 144.384 123.701 123.815
Sumber : BPS dan Bappeda Propinsi Jawa Tengah (2006)
Gambar 1. Penggarapan sawah menggunakan sepasang ternak kerbau Berbeda dengan daerah lainnya, para responden menjelaskan bahwa para petani hanya menggunakan kerbau atau sapi untuk menggarap lahan dan tidak menggunakan traktor. Selanjutnya diinformasikan bahwa dari tahun ke tahun populasi ternak kerbau di desa tersebut mengalami penurunan. Meskipun demikian populasinya di Desa terdokumentasi.
data dinamika Lerep tidak
Gambar 2. Kerbau yang diikat di pinggiran kali. Informasi berkurangnya ternak kerbau ini selaras dengan data penurunan jumlah populasi ternak kerbau di Propinsi Jawa Tengah sebesar 8,4% per tahun; Yaitu dari jumlah populasi 162.353 ekor pada tahun 2001 mejadi 123.815 ekor pada tahun 2005 (Tabel 3).
Indraningsih et al. (2006) menyebutkan bahwa secara umum populasi kerbau nasional meningkat antara tahun 2000 dan 2004, kecuali di pulau Jawa yang justru berkurang dari 638.122 ekor menjadi 597.751 ekor. Pada kesempatan yang sama Diwyanto dan Handiwirawan (2006) menyatakan bahwa dalam beberapa dasawarsa terakhir, populasi kerbau cenderung terus berkurang karena terjadi perubahan usahatani sebagai dampak kemajuan dalam bidang mekanisasi pertanian. Di samping itu Diwyanto dan Handiwirawan (2006) menegaskan bahwa berkurangnya populasi ternak kerbau juga terkait erat dengan kenyataan bahwa masyarakat yang memiliki kerbau hanya sebagai pemelihara (keeper) atau pengguna (user) dan bukan sebagai peternak dalam arti producer atau breeder. Data hasil wawancara dan pengamatan langsung mengindikasikan bahwa budidaya ternak kerbau di Desa Lerep dilakukan secara tradisional dan sederhana tanpa sentuhan inovasi teknologi. Kerbau dipelihara dalam kandang seadanya, sebagian terletak di belakang rumah bersebelahan dengan kamar petani ternak, dan bahkan ada yang hanya diikat dan ditambatkan pada patok-patok kayu di pinggiran kali (Gambar 2). Dalam kondisi ini apabila musim hujan tiba di atas ternakternak tersebut diberi pelindung air hujan menggunakan tenda biru. Adalah sangat wajar apabila penampilan reproduksi rendah juga menjadi faktor penghambat dalam peningkatan populasi ternak kerbau. Secara umum sudah dipahami bahwa ternak kerbau betina tidak menunjukkan gejala birahi yang tampak nyata seperti yang normalnya terjadi pada ternak sapi. Oleh karena itu penerapan program
617
Prosiding Seminar Nasional inseminasi buatan (IB) pada ternak kerbau untuk mempercepat perkembangan populasinya akan sangat sulit dilaksanakan.
ke ternak. Para petani juga menyimpan jerami padi sebagai cadangan pakan ternak kerbau pada musim kering.
Di sisi lain, wabah flu burung yang secara tragis memporak-porandakan usaha perunggasan sebagai pemasok utama kebutuhan protein hewani di Indonesia tampaknya juga ikut andil dalam pengurangan populasi ternak kerbau karena dipotong untuk memasok kebutuhan tersebut. Perlu dipahami bahwa olahan daging kerbau sudah lazim dan populer dikonsumsi di Jawa Tengah. Sebagai contoh, salah satu tujuan wisata ke Kota Kudus adalah untuk belanja soto kerbau Kudus sebagai masakan khasnya. Selain kota ini, di Desa Jebet, Kecamatan Petarukan Kabupaten Pemalang juga terdapat warung bakso daging kerbau yang sangat terkenal. Dengan demikian, paling tidak di Jawa Tengah dilaksanakan pemotongan ternak kerbau untuk memasok kebutuhan daging di kedua kabupaten ini.
Sumberdaya Modal.
Selanjutnya, meskipun akhir-akhir ini terjadi pengurangan yang cukup bermakna terhadap populasi ternak kerbau, berdasarkan data eksistensi ternak ini dan tradisi petani dalam menggarap lahan, maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat di Desa Lerep memiliki kultur budaya beternak kerbau. Pengalaman peternak yang cukup lama dalam beternak kerbau serta jumlah penduduk yang cukup banyak yang bergerak di bidang peternakan juga merupakan potensi atau modal utama untuk mengembangkan usaha ternak kerbau di pedesaan. Sejalan dengan itu dapat dinyatakan bahwa dari sisi faktor kultur budaya tidak terdapat hambatan terhadap kemungkinan peningkatan budidaya ternak kerbau. Selain itu, berdasarkan data tataguna tanah di Desa Lerep, maka dapat diprediksi bahwa limbah tanaman pangan dan gulma tanaman perkebunan dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan ternak ruminansia. Hal ini berarti daya dukung sumberdaya pakan untuk pengembangan budidaya ternak kerbau tidak ada hambatan. Hasil wawancara menjelaskan bahwa pada saat musim hujan, peternak menggembalakan kerbaunya untuk memberikan pakan hijauan ternak (PHT). Pada saat musim panen padi ternak kerbau diberi pakan jerami padi segar, 2 ikat (40 kg/ikat) untuk 4 ekor kerbau (2 dewasa+2 muda)/hari, dengan cara diberikan langsung
618
Seperti di desa-desa lainnya di Desa Lerep tidak terdapat lembaga keuangan yang kuat. Lembaga keuangan berupa koperasi simpan-pinjam dari modal iuran atau dari arisan warga kurang begitu bermakna untuk usaha pengembangan ternak kerbau secara mandiri. Akses ke bank untuk mendapatkan kredit guna pengembangan ternak kerbau tampaknya juga tidak dapat diharapkan dan tidak terpikirkan oleh petani untuk melakukannya. Di lain pihak, sebenarnya semangat peternak dalam budidaya ternak kerbau masih tinggi. Hasil wawancara dengan beberapa peternak diperoleh informasi bahwa usaha pemeliharaan kerbau masih menguntungkan. Karena terbatasnya modal yang dimiliki peternak, maka sistem usaha yang dilakukan dengan cara gaduhan/ menggaduh. Aturan bagi hasil secara tradisonal adalah anak pertama menjadi hak milik pemelihara/peternak, anak yang kedua dibagi dua dengan pemilik dari nilai jual, dan seterusnya untuk anak ketiga dan keempat. Pada saat musim tanam peternak mendapatkan tambahan pendapatan berupa upah sebagai tenaga kerja membajak sawah sebesar Rp. 30.000/hari plus makan dan uang rokok senilai Rp. 10.000. Peluang Usaha Peluang yang paling prospektif untuk mencapai keberhasilan upaya meningkatkan budidaya ternak kerbau di Indonesia saat ini adalah mengarahkan usaha peternakan kerbau untuk mencukupi kebutuhan daging domestik dan memenuhi kebutuhan tenaga kerja untuk menggarap lahan pertanian/perkebunan. Budidaya Ternak Kerbau untuk Memasok Kebutuhan Daging Daging sapi adalah salah satu produk ternak yang sebenarnya sangat disukai oleh konsumen. Tetapi karena harganya yang mahal, maka daging ini tidak terjangkau bagi masyarakat ekonomi sedang hingga ekonomi lemah. Oleh karena itu produk unggas menjadi pilihan utama bagi masyarakat umum, sebab harganya relatif murah. Selanjutnya, karena sebagian besar produk unggas menghilang dari pasar sebagai akibat
Prosiding Seminar Nasional serangan wabah penyakit, maka daging ternak kerbau mempunyai prospek cerah sebagai sumber protein hewani alternatif. Preferensi konsumen terhadap daging ternak kerbau cukup tinggi; hal ini diduga karena kandungan lemak daging tersebut rendah sehingga berkalori rendah, tetapi kandungan proteinnya tinggi (Karyadi dan Muhilal, 1992 yang disitasi oleh Mayunar, 2006). Perbandingan kandungan nutrien berbagai daging ternak dicantumkan pada Tabel 4. Akhir-akhir ini tampaknya pangsa pasar daging kerbau menjadi lebih luas karena harganya relatif lebih rendah dibandingkan daging sapi. Secara umum harga ternak kerbau hidup dan daging ternak kerbau lebih rendah dibandingkan harga ternak sapi dan dagingnya, kecuali di beberapa daerah yang memang lebih menyukai daging kerbau. Tabel 4.
Kandungan kalori, protein dan lemak berbagai daging ternak
Jenis daging Sapi
Kalori (Kcal/kg) 207
Protein (g/kg) 18,8
Lemak (g/kg) 14,0
Kerbau
85
18,7
0,5
Kambing
164
16,6
9,2
Domba
206
17,1
14,8
Ayam
302
18,2
25,0
Itik
326
16,6
28,6
Sumber: Karyadi dan Muhilal (1992) disitasi oleh Mayunar (2006)
Dari beberapa kajian diperoleh informasi bahwa usaha penggemukan ternak kerbau ternyata mampu memberikan keuntungan yang memadai, yaitu antara Rp 300 – 600 ribu/ekor. Menurut Diwyanto dan Handiwwirawan (2006) pada tahun 1994 harga ternak kerbau adalah Rp. 2.900/kg bobot hidup, di lain pihak harga ternak sapi mencapai Rp 2.998/kg bobot hidup. Pada kesempatan yang sama (tahun 2002), ketika harga ternak kerbau mencapai Rp. 8.201/kg bobot hidup harga ternak sapi sudah mencapai 14.554/kg bobot hidup. Secara umum nilai finansial daging dan ternak kerbau hidup selalu lebih murah dibandingkan dengan daging dan ternak sapi hidup, kecuali di beberapa daerah yang memang lebih menyukai daging kerbau (Diwyanto dan Handiwirawan, 2006). Priyanti dan Ratna Ayu Saptati (2006) menambahkan bahwa
proses jual beli ternak kerbau umumnya berdasarkan pada perkiraan bobot hidup ternak, performans, jenis kelamin, umur konformasi tubuh (kaki dan teracak), dan faktor lainnya seperti kepercayaan/ adat. Ketika dilaksanakan observasi di Desa Lerep para responden menegaskan, bahwa sebagai tabungan untuk cadangan biaya sekolah, biaya kesehatan, atau keperluan yang mendesak, ternak kerbau dijual kepada pedagang lokal. Secara umum harga jual anak kerbau jantan berumur 13 bulan adalah Rp 4 - 4,5 juta, sedangkan haraga anak kerbau umur 2 tahun berkisar antara Rp 4,5 juta – 5 juta. Fluktuasi harga sangat tergantung kebutuhan peternak, apabila peternak memerlukan dana cepat maka harga ternak kerbau akan lebih murah dan bahkan dijual di bawah harga umum. Lebih lanjut, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Tengah (2006) melaporkan bahwa pada tahun 2005 terjadi kekurangan daging ternak kerbau dalam jumlah yang sangat bermakna. Sebagai contoh, populasi ternak kerbau di Kabupaten Kudus terbukti tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan daging kerbau di daerah ini (Tabel 5). Hal ini menambah bukti yang menggembirakan bahwa sebenarnya memang terdapat peluang cerah untuk meningkatkan budidaya ternak kerbau sehingga dapat mendukung program pencukupan kebutuhan protein hewani bagi bangsa Indonesia. Tabel 5. Populasi, pemotongan dan produksi daging kerbau beberapa daerah Kabupaten Batang
Populasi (ekor) 3.396
Pemotongan (ekor) 1.500
Produksi daging (Kg) 47.576
Demak
2.770
2.912
546.000
Jepara
4.042
1.285
205.820
Kendal
4.838
11
Kudus
1.802
3.316
2.200
Magelang
13.521
0
7.660
Semarang
5.589
0
0
662.775
Sumber : Dinas Peternakan Propinsi Jawa Tengah (2006)
Tabel 5 menunjukkan bahwa di Kudus pada tahun 2005 terjadi kekurangan 1,542 ekor ternak kerbau untuk dipotong yang kuantitasnya setara dengan 283,6 ton daging ternak kerbau. Kondisi serupa juga terjadi di Kabupaten Demak.
619
Prosiding Seminar Nasional Budidaya Ternak Kerbau untuk Memenuhi Kebutuhan Tenaga Menggarap Lahan Pertanian. Pada dasarnya topografi lahan pertanian di Indonesia ada yang datar dan banyak juga yang miring. Bidang lahan-lahan pertanian bertopo grafi miring biasanya sempit dan berteras. Lahan dengan topografi demikian tidak efisien apabila digarap menggunakan mesin traktor. Oleh karena itu kehadiran ternak kerbau akan sangat membantu dalam mengolah/menggarap lahan pertanian. Sementara, di era back to nature akhir-akhir ini permintaan konsumen lebih mengarah pada semua produk pertanian organik. Dalam kondisi demikian, ternak kerbau tidak hanya berkontribusi tenaga kerja, tetapi juga dapat menjadi mesin biologis yang efisien dalam mengolah limbah pertanian (contoh jerami padi dan jerami jagung) menjadi bahan baku pupuk organik. Di lain pihak, disamping kestabilan pasokan bahan bakar minyak untuk traktor tidak pasti, polusi udara dan minyak yang tercecer di lahan pertanian juga prospektif menimbulkan pencemaran lingkungan. Oleh karena itu, kelemahan-kelemah tersebut justru membuka peluang pengembangan budidaya ternak kerbau di wilayah-wilyah marjinal di Indonesia.
KESIMPULAN Hasil studi kasus ini dapat disimpulkan bahwa sebagai salah contoh kondisi di wilayah marjinal di Indonesia, Desa Lerep memiliki potensi dan peluang untuk mengembangkan usaha ternak kerbau. Dapat disarankan bahwa untuk meningkatkan efisiensi usaha maka perlu dilakukan inovasi teknologi, dukungan modal, dan pembangan usaha di hulu, hilir, dan jasa penunjang dalam pembangunan pertanian.
PUSTAKA Basyid, A. 2006. Pemberdayaan masyarakat pertanian melalui penguatan modal usaha kelompok petani. Prosiding: Lokakarya nasional usaha ternak kerbau mendukung program kecukupan daging sapi. Sumbawa, 4 – 5 Agustus 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Halaman 49 – 63.
620
BPS dan Bappeda Propinsi Jawa Tengah. 2006. Jawa Tengah Dalam Angka. Biro Pusat Statistik dan BAPPEDA Propinsi Jawa Tengah Dinas Peternakan Propinsi Jawa Tengah. 2006. Statistik peternakan Tahun 2006. Diwyanto, K. dan E. Handiwirawan, 2006. Strategi pengembangan ternak kerbau : aspek penjaringan dan distribusi. Prosiding: Lokakarya nasional usaha ternak kerbau mendukung program kecukupan daging sapi. Sumbawa, 4 – 5 Agustus 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Halaman 3 – 12. Hamdan A., E. S. Rohaeni dan A. Subhan. 2006. Karakteristik sistem pemeliharaan kerbau rawa di Kalimantan Selatan. Prosiding: Lokakarya nasional usaha ternak kerbau mendukung program kecukupan daging sapi. Sumbawa, 4 – 5 Agustus 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Halaman 170 – 177. Indraningsih, R. Widiastuti dan Y. Sani. 2006. Upaya Pengembangan Peternakan Kerbau Dalam Menunjang Kecukupan Daging. Prosiding: Lokakarya nasional usaha ternak kerbau mendukung program kecukupan daging sapi. Sumbawa, 4 – 5 Agustus 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Halaman 10 – 124. Mayunar. 2006. Status dan prospek pengembangan ternak kerbau di Propinsi Banten. Prosiding: Lokakarya nasional usaha ternak kerbau mendukung program kecukupan daging sapi. Sumbawa, 4 – 5 Agustus 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Hal 163 – 169 Pemdes Lerep. 2007. Monografi Desa Lerep, September 2007. Muljadi, A., Santoso dan K. SurIadisastra. 1980. Peranan tenaga kerja ternak kerbau pada usahatani sawah Sumedang. Bulletin Peternakan no. 27: 21 – 30. Priyanti A., L. H. Prasetyo, E. Winarti, Y.C. Rahardjo, B. Bramantyo, Indraningsih dan S. Usmiati. 2005. Laporan penelitian Demand Driving. Pusat
Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian, Bogor.
Snedecor, G.W. and W.G. Cochran. 1962. Statistical methods. 5th Ed. The Iowa State University Press, Ames, Iowa, USA.
Priyanti A., dan R. Ayu Saptati. 2006. Analisis ekonomi dan tata niaga usaha ternak kerbau. Prosiding: Lokakarya nasional usaha ternak kerbau mendukung program kecukupan daging sapi. Sumbawa, 4 – 5 Agustus 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Hal. 142 – 150.
Soedjatmiko dan Tondosalimo. 1977. Laporan survey pengkajian kelayakan tenaga kerja ternak. Survey Agro Ekonomi. Jakarta.
621
Prosiding Seminar Nasional
KINERJA PENGAWALAN TEKNOLOGI TERHADAP KEBERHASILAN PETANI MISKIN : STUDI KASUS USAHATANI PADI (Performance of technology guide on the successfulness of poor farmer: Case study in rice farming) Seno Basuki, Sularno, dan Sarjana Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah
ABSTRAK Petani padi secara umum telah mengalami beberapa kali model intensifikasi antara lain: Pra Bimas, Insus, Supra Insus dan terakhir PMI dengan pendekatan pengelolaan tanaman terpadu (PTT). Penerapan model-model tersebut telah membawa dampak nyata berupa peningkatan produktivitas secara nasional dari hanya 2,42 ton/ha menjadi 4,46 ton/ha selama rentang waktu 30 tahun. Pencapaian hasil tersebut masih jauh dibawah potensi yang seharusnya dapat diperoleh. Hal ini karena secara mayoritas produksi padi dilakukan oleh petani gurem yang penerapan teknologinya sangat beragam sehingga hasilnya juga beragam. Kajian ini ditujukan untuk mengetahui pengaruh pembinaan terhadap penerapan inovasi komponen teknologi PTT terhadap produksi padi pada kelompok tani binaan dan non binaan di Kabupaten Cilacap dan Sragen. Hasil kajian menunjukkan bahwa petani binaan mampu mencapai tingkat produktivitas yang lebih tinggi secara homogen di kedua kabupaten contoh dengan Koefisien Keragaman (KK) masing-masing 13,5% dan 29,73% untuk Kabupaten Cilacap, sedangkan untuk Kabupaten Sragen 13,55% dan 25,23%. Faktor utama keberhasilan petani binaan karena adanya pengawalan teknologi dan jaminan ketersediaan sarana produksi. Sedangkan keragam yang tinggi pada petani non binaan disebabkan oleh tingkat penerapan teknologi yang variatif serta keterbatasan petani secara individu dalam penyediaan sarana produksi. Kata kunci: Pengawalan, teknologi , usahatani, padi, petani miskin
ABSTRACT Generally rice farmers have many changes in rice production intensification models such as: Pra Bimas, Insus, Supra Insus, and recently PMI with integrated planting management (IPM) approach. Application of these models have resulted in an improvement of national rice product from 2.42 ton/ha to 4.46 ton/ha during 30 years production period. However, such production improvements are still much lower than the production potential of the soil. Certainly, the major of the rice producers is the poor farmers who applied various technologies so that produce various results also. A study was performed to evaluate the effect of IPM technology innovation to the guided and non-guided farmers group in Cilacap and Sragen Districts. Results of the study showed that guided farmers capable to consistently produce higher rice production than the un-guided farmers group. For instance, in Cilacap District the coefficient variation were 13.5% versus 29.73% for guided and non-guided farmers, respectively. While in Sragen District were 13.55% versus 25.23% (for guided and un-guided farmers, respectively). It was determined that the main factor of the successfulness of the guided farmers were due to available technology innovation and input production. In contrast, a high variation rice production was encountered on un-guided farmers because of variation in technology application and lack of input production available. Key words: Guided, technology, farming, rice, poor farmer
PENDAHULUAN Intensifikasi padi sudah berlangsung sejak awal tahun 70-an, sejalan dengan itu terjadi kenaikan pencapaian produksi padi. Awal dijalankannnya program intensifikasi tingkat produktivitas padi baru mencapai 2,42 ton/ha selanjutnya hingga tahun 2002 sudah mencapai 4,46 ton/ha dan peningkatan produktivitas itu dirasakan sudah aksimal sehingga sulit dinaikan lagi (Las, 2005). Untuk melaksanakan intensifikasi perlu
622
dukungan dengan teknologi pengolahan lahan yang lebih tepat, penggunaan benih unggul bermutu dengan produktivitas yang lebih tinggi dan optimalisasi penggunaan air (Suryana, 2.000). Berbagai upaya penyempurnaan pelaksanaan intensifikasi telah dicoba di antaranya adalah dengan penerapan komponen pengelolaan tanaman terpadu (PTT). Penerapan komponen PTT telah terbukti pada luasan terkontrol dan sebagian hamparan (Sarjana et al., 2003).
Prosiding Seminar Nasional Pemanfaatan komponen teknologi diharapkan dapat dicapai peningkatan produksi dengan menggunanakn input yang tetap, atau dapat dicapai produksi yang tetap dengan menggunakan input yang lebih sedikit (Hermanto, 1998). Oleh karena itu agar usahatani padi menguntungkan maka perlu diupayakan agar komoditas padi dapat bersaing dengan komoditas lain. Salah satu usaha yang perlu dilakukan adalah dengan menekan biaya produksi per kilo gram serendah mungkin (Sularno et al., 2004). Ini dapat dilakukan dengan penerapan inovasi rekayasa teknologi dan sosial melalui pendekatan PTT dengan pengawalan yang intensif (Deptan, 2003).
tersebut. Salah satu hal yang paling menonjol dalam hal pembinaan petani adalah tidak terdapatnya sistem pembinaan yang mapan sehubungan dengan pencapaian produksi padi. Para petani sepertinya kehilangan arahan yang sebenarnya masih diperlukan karena mereka pada umumnya masih lemah dalam memecahkan permasalahan usahataninya. Padahal produsen padi mayoritas adalah petani gurem yang identik dengan kemiskinan yang tentu saja juga miskin akan inovasi teknologi (Sarjana et al., 2005). Untuk itulah dilakukan kajian tentang pentingnya pembinaan usahatani padi sebagai bahan masukan bagi para pengambil kebijakan.
Perbedaan model intensifikasi pola sebelum PTT dengan modelnya adalah terletak pada sistem kelembagaan dan muatan komponen teknologinya (Suyamto et al., 2005). Penerapan model intensifikasi sebelum adanya PTT menganut asas komando tersentral dan sistem kelembagaan yang seragam pula, sedangkan dalam konsep intensifikasi PTT mengacu pada optimalisasi sumberdaya lokal (spesifik lokasi) dengan sistem kelembagaan yang spesifik pula. Perbedaan ini menjadikan penerapan PTT di berbagai tempat berbeda-beda. Adanya ciri khas model ini mengharuskan para petani yang ingin memilih model ini untuk lebih memahami konsep PTT dibandingkan dengan sistem paket model intensifikasi terdahulu.
BAHAN DAN METODE
Model intensivikasi yang telah berlangsung puluhan tahun telah melembaga dalam komuninitas petani, namun sejak terjadinya reformasi sistem politik nasional telah terjadi perubahan dalam hal pembinaan petani. Sistem kelembagaan yang selama ini mengurus petani
Pengkajian dilakukan terhadap dua kelompok sasaran yaitu petani koperator yang memperoleh binaan dan petani non koperator yang telah terbiasa melaksanakan program intensifikasi pada dua kabupaten sentra penghasil padi di Jawa Tengah. Lokasi pengkajian disajikan pada Tabel 1. Data dikoleksi dengan cara wawancara menggunakan kuesioner terstruktur. Selanjutnya data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif untuk menilai pengaruh pengawalan teknologi terhadap kinerja usahatani. Variabel dan alat analisis yang digunakan disajikan pada Tabel 2. Di sisi lain, pengaruh pembinaan dinilai berhasil positif apabila hasil analisis menunjukkan tingkat hasil rata-rata produksi lebih tinggi, biaya produksi yang lebih efisien, dan titik impas/Break Even Point (BEP) produksi yang lebih rendah dengan koefisien keragaman yang rendah. Lebih lanjut, komponen teknologi yang diintroduksikan dicantumkan pada Tabel 3.
telah mengalami perubahan diberbagai daerah sesuai kehendak otoritas otonomi daerah Tabel 1. Lokasi pengambilan sampel Kabupaten
Uraian
Cilacap
Sragen
Lokasi
Desa Jangrana, Kecamatan, Kesugihan, Kabupaten Cilacap.
Desa Tenggak, Kecamatan Sidoarjo, Kabupaten Sragen.
Periode pengamatan
MK 2002
MH II dan MK 2002
Koperator 7 orang
Koperator 9 orang
Non koperator 12 orang
Non koperator 12 orang
Responden
623
Prosiding Seminar Nasional Tabel 2. Variabel pengamatan dan analisisnya Uraian
Keterangan
Produktivitas (kg/ha, kadar air 16 %)
Konversi hasil GKG dari ubinan dengan luasan 100 m persegi
Biaya Produksi (Rp/kg GKG)
Total biaya usahatani/total produksi
BEP Produksi (kg/ha GKG)
Total biaya usahatani/harga GKG Rata-rata pengamatan (x)
Analisis yang digunakan
Standar Deviasi (Std) Koefisien Keragaman (CV)
Tabel 3. Komponen teknologi yang diterapkan Komponen Teknologi
Introduksi
Petani
Varietas
IR 64 berlabel
IR 64, beragam
Perlakuan benih
Regent SC 80 ml/10 kg benih
Tidak menggunakan
Umur bibit
14 hari
21-35 hari
Jumlah bibit/lubang
Satu
3-6 batang
Penggunaan bahan orga nik
2 ton/ha
Tidak menggunakan
Dasar penentuan dosis pupuk P dan K
Status hara tanah dan target hasil
Beragam
Dasar penentuan saat pemberian dan dosis pupuk Urea.
BWD dan Target hasil
Beragam
Dasar pengendalian OPT
PHT
Beragam
HASIL DAN PEMBAHASAN Produktivitas Indikator keberhasilan usahatani ditunjukkan oleh tingkat produktivitas yang dicapai (Tabel 4). Secara umum pengawalan teknologi berpengaruh positif terhadap kenaikan produksi sebesar 61,89% di
Kabupaten Cilacap dan 10,25% di Kabupaten Sragen. Perbedaan proporsi kenaikan produktivitas menunjukkan tingkat penerapan teknologi yang lebih baik dan dukungan faktor eksternal yang memadai seperti jaringan irigasi dan kualitas sumber daya lahan.
Tabel 4. Produktivitas (kg/ha) GKG Uraian
Kabupaten Cilacap
Kabupaten Sragen
Koperator
Non koperator
Koperator
Non koperator
5,99
3,70
8,93
8,10
Simpangan Baku
+ 0,81
+ 1,10
+ 1,21
+ 1,72
Koefisien Keragaman (%)
13,52
29,73
13,55
21,23
Rata-rata
Pada Tabel 4 terlihat bahwa pengawalan teknologi di samping berpengaruh positif terhadap kenaikan produktivitas, ternyata juga mengurangi keragaman pencapaian hasil yang ditunjukkan oleh angka KK. Tabel 4 tersebut
624
menunjukkan bahwa nilai KK kelompok yang dikawal jauh lebih rendah (homogen) dari pada yang tidak dikawal. Melalui pengawalan teknologi terjadi komunikasi yang intensif antara pemandu teknologi dengan petani,
Prosiding Seminar Nasional dengan demikian tindakan atas keputusan yang diambil oleh petani lebih presisi sesuai kebutuhannya. Sementara itu tingginya keragaman hasil dari petani yang tidak memperoleh pengawalan teknologi terjadi karena tindakan/keputusan petani seringkali hanya didasarkan pada kebiasaan penerapan teknologi yang bersifat ikut-ikutan antar petani. Selain itu petani juga berpedoman pada kebiasaannya selama ini serta karena keterbatasan penyediaan input produksi oleh rumah tangga tani. Bagi individu yang secara finansial mampu menyediakan input cukup maka biasanya akan membawa keberhasilan usahataninya. Keadaan ini menjadikan penerapan teknologi berjalan tidak sesuai
baku teknis usahatani padi. Dari tabel tersebut dapat diketahui adanya tingkat pencapaian hasil yang ekstrim di Kabupaten Cilacap. Penampilan ini mengkonfirmasikan bahwa sebernarnya potensi lahan cukup tinggi. Rata-Rata Biaya Produksi Rata-rata biaya produksi (Rp/kg GKG) dapat dijadikan sebagai indikator keberhasilan dalam usahatani padi. Berdasarkan indikator tersebut, maka semakin kecil biaya produksi per kg hasil, dapat dikatakan usahataninya lebih efisien dan sebaliknya. Pada Tabel 4 ditunjukkan bahwa melalui pengawalan teknologi dapat diperoleh efisiensi usahatani lebih tinggi dibandingkan tanpa pengawalan. Secara umum tingkat efisiensi yang diperoleh juga relatif homogen.
Tabel 4. Rata-rata biaya produksi (Rp/kg GKG) Uraian
Kabupaten Cilacap
Kabupaten Sragen
Koperator
Non Koperator
Koperator
Rata-rata
710,18
1076,76
793,92
856,30
Simpangan Baku
76,80
125,81
66,63
110,00
Koefisien Keragaman (%)
10,71
11,68
8,4
12,85
Sementara itu pada kelompok yang tidak dibina, efisiensi yang dicapai nampak beragam. Keberagaman nilai rata-rata biaya produksi disebabkan oleh tingkat penerapan teknologi yang beragam pula. Melalui pengawalan tingkat penerapan teknologinya dapat lebih homogen karena dalam pengawalan teknologi tersebut dibangun sistem kelembagaan tani yang mengatur pengelolaan usahatani mulai dari penyediaan input produksi hingga penerapan teknologi. Dengan cara demikian maka pengambilan keputusan dan pelaksanaannya dilakukan secara kolektif atas bimbingan seorang pemandu. Titik Impas/Break-Even Point (BEP) Produksi Nilai BEP produksi yang dicapai petani yang mendapat dan tidak mendapat pengawalan teknologi ditunjukkan pada Tabel 5. Hasil analisis menunjukkan bahwa
Non Koperator
pengawalan teknologi cenderung berpengaruh positif sehingga menghasilkan nilai BEP produksi lebih rendah dengan tingkat keragaman yang rendah pula. Kecuali di Kabupaten Cilacap, karena petani yang tidak mengadopsi teknologi PTT memerlukan input lebih sedikit, maka produksi yang diperoleh juga lebih sedikit. Konsekuensinya, nilai BEP yang dihasilkan juga lebih rendah. Ini artinya bahwa input yang rendah dapat ditutup dengan tingkat produksi yang rendah pula. Hal ini menunjukkan bahwa dengan pengawalan teknologi para petani binaan mampu menerapkan teknologi sesuai anjuran. Demikian pula sebaliknya, tanpa pengawalan teknologi petani menghasilkan nilai BEP yang lebih tinggi dengan tingkat keragaman yang tinggi. Artinya bahwa secara umum mereka lebih variatif dalam menerapkan teknologi anjuran sehingga hasilnya juga variatif dan lebih rendah efisiensinya.
625
Prosiding Seminar Nasional Tabel 5. Titik impas (BEP) produksi (kg/ha) GKG Uraian
Kabupaten Cilacap
Kabupaten Sragen
Koperator
Non Koperator
Koperator
Non Koperator
3.545
3.320
5.901
5.780
Simpangan Baku
116
235
206
377
Koefisien Keragaman (%)
3,27
7,08
3,49
6,52
Rata-rata
KESIMPULAN Hasil kajian ini dapat disimpulkan bahwa: Pengawalan teknologi berpengaruh positif terhadap kenaikan prooduktivitas, dan peningkatan efisiensi usahatani. Melalui pengawalan teknologi pada kelompok sasaran akan diperoleh penerapan teknologi yang lebih presisi dan memperkecil keragaman hasil. Pengawalan teknologi disarankan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari program ketahanan pangan pemerintah khususnya produksi padi
PUSTAKA Departeman Pertanian. 2003. Pedoman Umum Kegiatan Percontohan Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu. Departemen Pertanian Jakarta. Hermanto. 1998. Pengembangan Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Dalam Mengantisipasi Krisis Produksi Bahan Pangan. Temu Informasi Teknologi Pertanian “Intensitas Pertanaman Padi” Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Ungaran. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Las, I. 2005. Inovasi teknologi padi, pengembangan dan replikasi PTT dalam PMI. Makalah Lokakarya PTTPHTT. Sukamandi 11-13 Desember 2005. Sarjana, A. Hermawan, dan I. Ambarsari. 2005. Profil pendapatan petani di wilayah miskin kabupaten Blora. Prosiding Seminar Nasional. Memacu Pembangunan di Era Pasar Global. Magelang 12 Juli 2005.
626
Sarjana, S. Basuki, S. Yunus, dan Rusmaji. 2003. Indikator Pembangunan Pertanian Jawa Tengah. Laporan Kegiatan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah. Badan Litbang Pertanian. Sularno dan S. Basuki. 2004. Penurunan Biaya Produksi Pada Usahatani Padi Sawah Melalui Pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu di Kabupaten Grobogan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian Propinsi Jawa Tengah, 2 (1): 9-18. Suryana, A. 2.000. Peran sektor pertanian dalam memenuhi kecukupan pangan nasional. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Teknologi Pertanian Dalam Upaya Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Pusat Penelitian dan Pengembangan sosial Ekonomi Pertanian Badan Litbang Pertanian. Suyamto. 2005. Tanya jawab tentang pengelolaan tanaman terpadu (PTT). Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
Prosiding Seminar Nasional
FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PERMINTAAN BAKALAN/BIBIT SAPI POTONG: Studi Kasus di Kabupaten Gunung Kidul Nandang Sunandar Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat
ABSTRAK Perkembangan teknologi dan arus informasi telah memacu mobilisasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor non pertanian, dengan implikasi berkurangnya penawaran tenaga kerja pada sektor pertanian. Indikasi tersebut telah banyak dilaporkan di berbagai daerah. Pada usahaternak sapi potong, berkurangnya penawaran tenaga kerja akan berpengaruh terhadap keberlanjutan usahaternak sapi potong. Faktor lain yang berpengaruh terhadap keberlanjutan usahaternak sapi potong adalah harga sarana produksi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan bibit/bakalan pada usahaternak sapi potong. Penelitian dilakukan di Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada bulan Maret-Juli 2005. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang dikumpulkan dengan cara survey. Penentuan lokasi kecamatan dilakukan secara purposive atas dasar jumlah populasi sapi potong. Lokasi yang dipilih untuk penelitian adalah Kecamatan Karang Mojo dan Semanu. Jumlah sampel ditentukan secara kuota yaitu 240 orang peternak sapi potong masing-masing 120 orang peternak sapi potong di Karang Mojo dan Semanu. Peternak sapi potong dikelompokkan berdasarkan manajemen dan sistem produksi, yaitu pembibitan dan penggemukan. Penentuan dan pemilihan sampel dilakukan secara simple random sampling. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan multiple regression analysis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) faktor-faktor yang berpengaruh terhadap permintaan bibit/bakalan adalah harga kandang, harga dedak, harga rumput, harga daging, dan dummy manajemen dan sistem produksi, (2) harga bibit/bakalan dan harga limbah pertanian tidak berpengaruh terhadap permintaan bibit/bakalan, dan (3) hubungan antara dedak dan rumput dengan bibit/bakalan bersifat komplementer, sementara hubungan antara rumput dengan bibit/bakalan bersifat suplementer. Kata kunci: Faktor berpengaruh, permintaan, bakalan, bibit, sapi potong, Gunung Kidul
PENDAHULUAN Pembangunan usahaternak sapi potong diarahkan kepada usaha ekonomi dengan tujuan (1) meningkatkan standar hidup peternak, (2) menyerap tenaga kerja, (3) meningkatkan pertumbuhan real income peternak, (4) pemenuhan kebutuhan daging nasional, dan (5) menjaga kelestarian lingkungan. Peningkatan jumlah penduduk, perbaikan kesejahteraan dan kesadaran gizi masyarakat telah mendorong konsumsi daging yang cenderung terus meningkat dan diperkirakan fenomena ini akan terus berlanjut. Pemenuhan kebutuhan daging sapi yang berasal dari pemotongan sapi lokal diperkirakan akan berekses terhadap perkembangan populasi dan keberlanjutan usahaternak sapi potong di pedesaaan. Keberlanjutan usahaternak sapi potong domestik saat ini menjadi perhatian banyak pihak terutama jika dikaitkan dengan program swasembada daging 2010 (Thawaf, 2003).
Sejalan dengan perkembangan teknologi dan arus informasi yang memacu mobilisasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor non pertanian dengan implikasi berkurangnya penawaran tenaga kerja di dalam sektor pertanian. Indikasi ini telah banyak dilaporkan di berbagai daerah. Berkurangnya penawaran tenaga kerja akan berpengaruh terhadap permintaan bibit/bakalan usahaternak sapi potong. Faktor lain yang berpengaruh terhadap permintaan bibit/bakalan adalah harga sarana produksi usahaternak sapi potong. Makalah ini mendiskusikan hasil analisis kondisi aktual permintaan bibit/bakalan pada usahaternak sapi potong diantara berbagai faktor yang mempengaruhinya.
BAHAN DAN METODE Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang dikumpulkan dengan cara survai di Kabupaten Gunung Kidul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
627
Prosiding Seminar Nasional Penentuan lokasi kecamatan dilakukan secara purposive atas dasar jumlah populasi sapi potong. Lokasi yang dipilih untuk penelitian adalah Kecamatan Karang Mojo dan Semanu.
Pemilihan Karang Mojo dan Semanu sebagai sample didasarkan pada pertimbangan bahwa dua lokasi ini merupakan daerah yang paling banyak memiliki populasi sapi potong.
Tabel 1. Populasi dan kepadatan sapi potong per kecamatan di Kabupaten Gunung Kidul, 2004 No.
Kecamatan
Luas 2
(km ) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Panggang Purwosari Paliyan Saptosari Tepus Tanjungsari Rongkop Girisubo Semanu Ponjong Karang Mojo Wonosari Playen Patuk Gedangsari Nglipar Ngawen Semin Gunung Kidul
99,80 71,76 58,07 87,83 104,91 71,63 83,46 94,57 108,39 104,49 80,12 75,51 105,26 72,04 68,14 73,87 46,59 78,92 1.485,36
Populasi Sapi Potong Kepadatan Sapi Potong (ekor) (ekor/km2) 4.062 3.620 4.329 4.877 6.386 6.379 6.933 7.266 8.727 6.544 9.265 5.670 7.924 6.627 2.408 4.673 4.643 5.940 106.273
40,70 50,45 74,55 55,53 60,87 89,05 83,07 76,83 80,51 62,63 115,64 75,09 75,28 91,99 35,34 63,26 99,66 75,27 71,55
Sumber : Gunung Kidul dalam angka, 2006.
Jumlah sampel ditentukan secara kuota yaitu 240 orang peternak sapi potong masingmasing 120 orang peternak sapi potong di Karang Mojo dan Semanu. Peternak sapi potong dikelompokkan berdasarkan manajemen dan sistem produksi, yaitu pembibitan dan penggemukan. Penentuan dan pemilihan sampel dilakukan secara simple random sampling (Nazir, 1988). Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan multiple regression. Produksi usahaternak sapi potong sebagai variabel dependen dinyatakan dengan Y dan berbagai faktor yang mempengaruhi produksi dinyatakan sebagai variabel independen X (Henderson dan Quandt, 1980). Dengan asumsi bahwa hubungan antara input dan output mengikuti fungsi Cobb-Douglas, maka fungsi produksi yang relevan sebagai dasar analisis untuk mengetahui permintaan input adalah : Y = A X1α X2β …..............................(1) Biaya variabel (BV) dan biaya tetap (BT)
628
dinyatakan dengan : BV = v1 X1 + v2 X2 ...........................(2) BT = Z ………….......................(3) Mengacu kepada persamaan (1), (2) dan (3) penjabaran fungsi permintaan input dilakukan dengan melihat konsep keuntungan maksimum. Fungsi keuntungan yang relevan dirumuskan dalam bentuk : Π = p (A X1α X2β) - v1 X1 - v2 X2 - Z ..................................................(4) di mana : Π = Keuntungan Y = Jumlah Output p = Harga Output X1, X2 = Jumlah input X1 dan X2 v1, v2 = Harga input X1 dan X2 Z = Biaya tetap α, β = Koefesien elastisitas input X1 dan X2
Prosiding Seminar Nasional Untuk mencapai keuntungan yang maximum, perlu dicari first-order conditions untuk persamaan (4) yaitu derivatif partial untuk input yaitu : δΠ -----
=
p α A X1α-1 X2β - v1 … (5)
=
p β A X1α X2β-1 – v2 …(6)
=
0
δ X1 δΠ -----
=
0
δ X2 Persamaan expantian path sebagai fungsi yang menunjukkan hubungan antara X1 dan X2 diperoleh dengan membagi persamaan (5) dengan (6), yaitu : α X2 v1 ------- = ----……………….…(7) βX v2 sehingga diperoleh persamaan : β v1 X2 = ------ X1 ...............................(8) α v2 α v2 X1 = ------ X2 ................................(9) β v1 Jika persamaan (8) disubtitusikan ke dalam persamaan (5) dan persamaan (9) ke dalam persamaan (6), maka diperoleh persamaan fungsi permintaan input X1 dan X2 (Henderson dan Quandt, 1980), dalam bentuk :
X1 =
α ---
(1-β)/γ
β ---
β/γ
(A p)1/γ
…....……………………….. (10) v2
v1 X2 =
α ---
α /γ
β ---
(1-α)/γ
(A
p)1/γ …………………………........(11) v2 v1 atau X1 = α (1-β)/γ β β/γ v1(β-1)/γ v2-β/γ (A p) 1/γ …..……..…………......................(12)
X2 = α α/γ β(1-α)/γ v1-α/γ v2(α-1)/γ (A p) 1/γ ……..…..…………...................... (13) Dari persamaan di atas untuk memudahkan pendugaan, persamaan permintaan input (12) dan (13) diubah ke dalam double natural logarithma (ln), yaitu : ln X1j = (1-β)/γ ln α1j + β/γ lnβ1 + (β-1)/γ ln v1j - β/γ ln v2j + 1/γ ln Aj + 1/γ ln pj + α2j D1j + ej ………….(14) dimana : X1j = Jumlah bibit/bakalan yang diminta (UT/Th) Pj = Harga Hasil produksi yang dihasilkan (Rp/kg erat hidup) V2j = Harga Bibit/bakalan sapi potong (UT/Th) X1j = Harga kandang (m2) X3j = Harga Konsentrat (kg/UT/Th) X4j = Harga Hijauan (kg/UT/Th) X5j = Harga Upah Tenaga kerja (HOK/UT/Th) D11 = Dummy Manajemen dan Sistem Produksi 1 = Sistem produksi penggemukan 0 = Sistem produksi pembibitan A = Konstanta αi dan βi = Koefesien variabel Xi ej = Gangguan stochastik dengan asumsi : ej ∼ N (0, σ2). Untuk mengetahui pengaruh variabel independen terhadap dependen dilakukan dengan tiga tahapan uji. Pertama, melakukan pengujian ketepatan model (R2). Kedua, melakukan uji pengaruh variabel independen dengan uji F. Ketiga, melakukan uji variabel independen secara individu dengan uji t. Nilai R2 ditentukan oleh rasio jumlah kuadrat penjelas (Explanatory Sum Square/ESS) dengan jumlah kuadrat total variabel (Total Sum Square/TSS), atau R2 = ESS/TSS. Model dikatakan baik jika memiliki nilai R2 mendekati 1. Uji F dilakukan untuk mengetahui pengaruh semua variabel independen secara simultan terhadap variabel dependen permintaan bibit/bakalan. Jika nilai F hitung lebih besar dari F-tabel pada tingkat kepercayaan tertentu, maka variabel independen secara bersama-sama berpengaruh terhadap permintaan bibit/bakalan. Untuk
629
Prosiding Seminar Nasional mengetahui pengaruh variabel independen secara parsial (individu), dilakukan dengan mengestimasi persamaan (1) terhadap setiap perubahan variabel independen yang diamati dengan menggunakan uji t.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis menunjukkan bahwa faktorfaktor yang berpengaruh terhadap permintaan bibit/bakalan adalah variabel harga kandang, harga dedak, harga rumput, harga daging, dan dummy manajemen dan sistem produksi. Variabel lain, yaitu harga bibit/bakalan dan harga limbah pertanian tidak berpengaruh secara terhadap permintaan bibit/bakalan .
1. Manajemen dan sistem produksi Variabel dummy manajemen dan sistem produksi (pembibitan dan penggemukan) berbeda nyata terhadap permintaan bibit/ bakalan. Penggemukan memiliki jumlah bibit/ bakalan yang dipelihara yang lebih tinggi daripada pembibitan. Hal ini ditunjukkan oleh nilai koefesien 0,134 yang berbeda pada tingkat kepercayaan 99%. Dengan demikian, konstanta fungsi permintaan penggemukan lebih tinggi daripada pembibitan. Konstanta permintaan bibit/bakalan pada penggemukan adalah – 0,511, sementara konstanta pembibitan adalah –0,645.
Tabel 2. Hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan bibit/bakalan Variabel Konstanta Harga Bibit/Bakalan Harga Kandang Harga Dedak Harga Rumput Harga Limbah Pertanian Harga Daging Dummy, Manajemen dan Sistem Produksi (Penggemukan = 1, Pembibitan = 0) F hitung = 120,720***
Koefesien Regresi - 0,645ns - 0,002ns 0,042*** - 0,164** - 0,366** 0,123ns 0,345** 0,134*** R2 = 62,720
t-hitung - 0,350 - 0,031 2,125 - 1,768 - 2,803 1,157 2,555 3,206 R2 Adj = 60,920
Keterangan : ***, Berbeda nyata (P< 0,01); **, Berbeda nyata (P< 0,05); *, Berbeda nyata (P< 0,1); ns, Tidak berbeda nyata
Tingginya permintaan bibit/bakalan pada penggemukan berkaitan erat dengan lebih singkatnya waktu pemeliharaan penggemukan dibandingkan dengan pembibitan. Rata-rata lama pemeliharaan pada sistem penggemukan adalah 13,27 bulan, sementara pada sistem produksi pembibitan adalah 65,02 bulan (5,42 tahun). Faktor lain yang berpengaruh terhadap tingginya permintaan pada penggemukan adalah sistem pengadaan bibit/bakalan. Pengadaan bibit/bakalan pada penggemukan dilakukan dengan cara membeli bibit/bakalan dari pasar hewan atau peternak lain. Sementara pada sistem pembibitan, pengadaan bibit/bakalan lebih banyak mengandalkan kepada bibit yang berasal dari hasil produksi usahaternak sapi potong yang dilakukan oleh peternak sendiri. Dengan kata lain, penggantian bibit (replacement stock) lebih banyak berasal dari usaha sendiri atau output
630
yang dihasilkan langsung digunakan sebagai input untuk periode usaha berikutnya. Pembelian bibit/bakalan dari pasar hewan atau peternak lain dilakukan jika ada indikasi penurunan kemampuan reproduksi atau ada ternak yang sakit pada sapi yang dipelihara. Sebagai gambaran dari 120 peternak pembibitan hanya 7 orang (5,83%) yang melakukan pembelian bibit dalam satu tahun terakhir. Sementara pada sistem produksi penggemukan, jumlah peternak yang membeli bakalan sebanyak 104 orang (86,67%). 2. Harga input dan harga output (daging) Harga input yang berpengaruh secara nyata terhadap permtaan bibit/bakalan adalah harga kandang, harga dedak, dan harga rumput. Variabel harga bibit/bakalan dan harga limbah pertanian tidak berpengaruh secara nyata terhadap permintaan bibit/bakalan. Harga dedak dan rumput
Prosiding Seminar Nasional memiliki nilai koefesien regresi yang negatif. Artinya, penurunan atau peningkatan harga dedak dan rumput akan meningkatkan atau menurunkan permintaan bibit/bakalan. Besarnya penurunan atau peningkatan permintaan bibit/bakalan untuk setiap perubahan 1% harga input dapat dilihat dari koefesien regresinya. Hubungan negatif antara harga dedak dan harga rumput dengan permintaan bibit/bakalan sangat dimengerti, karena berhubungan dengan beban biaya yang harus ditanggung. Kenaikan harga input akan memperbesar biaya, untuk mengurangi beban biaya, peternak akan mengurangi permintaan bibit/bakalan yang dicerminkan dengan cara mengurangi pemeliharan bibit/bakalan. Pada kasus lain, jika terjadi penurunan harga input, maka peternak akan meningkatkan jumlah sapi yang dipeliharanya dengan cara meningkatkan jumlah permintaan bibit/bakalan. Pada prinsipnya, upaya yang dilakukan pada dua kasus di atas adalah untuk mempertahankan keuntungan yang optimal dengan faktor pembatas modal kerja yang dimiliki petani. Secara umum, hasil analisis hubungan antara dedak dan rumput dengan bibit/bakalan bersifat komplementer. Penurunan atau peningkatan harga dedak dan rumput akan diikuti dengan penurunan atau peningkatan permintaan bibit/bakalan. Harga bibit/bakalan memiliki koefesien regresi yang negatif. Artinya, harga bibit/bakalan berhubungan negatif dengan permintaan bibit/bakalan. Dengan kata lain, penurunan atau peningkatan harga bibit/bakalan akan diikuti dengan peningkatan atau penurunan permintannya. Melihat hubungan antara harga dengan jumlah barang yang diminta, dimana peningkatan harga akan diikuti dengan penurunan permintaan atau sebaliknya, maka dapat dikatakan bahwa bibit/bakalan pada usahaternak sapi potong termasuk ke dalam barang normal. Harga limbah pertanian memiliki koefesien regresi positif dan tidak berpengaruh nyata terhadap permintaan bibit/bakalan. Artinya, peningkatan harga limbah pertanian akan diikuti dengan peningkatan permintaan bibit/bakalan. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa hubungan antara rumput dengan bibit/bakalan bersifat suplementer, karena peningkatan harga limbah
pertanian diikuti dengan peningkatan permintaan bibit/bakalan. Limbah pertanian adalah hasil produksi usahatani walaupun hanya hasil ikutan (by product) dari produk utama usahatani tapi tetap memiliki nilai ekonomi karena sudah banyak diperjualbelikan sebagai pakan ternak, misalnya daun jagung dan jerami. Dengan mengacu kepada hal ini, maka produksi limbah pertanian dalam jumlah yang banyak adalah sesuatu yang juga ternyata diharapkan oleh petani. Harga daging berpengaruh nyata terhadap permintaan bibit/bakalan. Artinya, kenaikan harga daging akan diikuti dengan peningkatan permintaan bibit/bakalan atau sebaliknya penurunan harga daging akan diikuti dengan penurunan permintaan bibit/bakalan. Hasil ini mengindikasikan bahwa harga daging, sebagai output dari usahaternak sapi potong, sangat menentukan skala usaha (skala pemilikan) sapi potong. Harga daging yang tinggi akan direspon oleh peternak dengan memperbesar skala pemilikan (skala usaha) sapi potong, dan sebaliknya harga daging yang rendah akan direspon dengan pengurangan skala pemilikan. Penambahan dan pengurangan skala pemilikan sapi potong tercermin dari tingkat permintaan peternak terhadap bibit/bakalan.
KESIMPULAN Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap permintaan bibit/bakalan adalah harga kandang, harga dedak, harga rumput, harga daging, dan dummy manajemen dan sistem produksi. Harga bibit/bakalan dan harga limbah pertanian tidak berpengaruh terhadap permintaan bibit/bakalan. Hubungan antara dedak dan rumput dengan bibit/bakalan bersifat komplementer, sementara hubungan antara rumput dengan bibit/bakalan bersifat suplementer.
PUSTAKA Amir, P., and H. C. Knipscheer. 1989. conducting on-farm animal research : procedures and economic analysis. Winrock international institute for agricultural developmenment, USA and International Development Research Centre, Canada.
631
Prosiding Seminar Nasional Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunung Kidul. 2006. Gunung Kidul dalam angka 2005. Badan Pusat Statistik, Gunung Kidul. Henderson, J. M. and R. E. Quandt. 1980. Microeconomics Theory. Third Edition. McDraw-Hill Kogakusha, Tokyo. Nazir, M. 1988. Metode penelitian. Ghalia Indonesia, Jakarta. Santosa, K. A. 2004. Peternakan. Bahan round table discussion membangun perekonomian Indonesia berbasis pertanian "Proposal untuk pemerintahan baru” Hotel Yogyakarta Plaza, 21 Mei 2004. Kerjasama PWNU DIY dengan Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LP2NU). Unpublished. Thawaf, R. 2003. Swasembada daging sapi. Harian Umum Kompas, Senin 27 Januari 2003.
632
Wahyono, D.E. dan L. Affandi. 1996. Kajian ekonomis penggemukan sapi Madura jantan dan kontribusinya terhadap pendapatan petani di lahan kering. Prosiding: Temu ilmiah hasil-hasil penelitian peternakan. Balai Penelitian Ternak, Ciawi-Bogor. Widiati, R. 2003. Analisis linear programming usaha ternak sapi potong dalam sistem rumah tangga tani berdasarkan tipologi wilayah di Daerah Istimewa Yogyakarta. Disertasi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Unpublished. Wiguna, I. W. A. A, dan Suprapto. 1997. Pengkajian sistem usaha pertanian (sup) berbasis sapi potong di Bali. Prosiding: Seminar nasional peternakan dan veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Prosiding Seminar Nasional
PELUANG DAN KENDALA DALAM PROSES MENUJU AGRIBISNIS INDUSTRIAL PEDESAAN DI DAERAH LAHAN KERING: STUDI KASUS (Opportunity and constraint in the process to establish an agricultural village industry on dry land region: Case study) Djoko Pramono, Rusmadji, dan Forita DA Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah
ABSTRAK Sektor pertanian mempunyai peranan penting sebagai penyangga perekonomian rakyat. Selain sebagai sumber pendapatan juga berfungsi sebagai lapangan kerja dan lapangan usaha. Kehandalan sektor pertanian telah teruji pada saat terjadinya krisis ekonomi dan moneter tahun 1997/1998 silam. Saat itu sektor pertanian masih mampu memberikan kontribusi secara positif. Upaya pemerintah untuk meningkatkan keberhasilan sektor pertanian masih terus dilakukan. Melalui Badan litbang Pertanian, baru-baru ini telah diluncurkan suatu Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima Tani). Salah satu tujuan akhir dari program tersebut adalah terbentuknya Agribisnis Industrial Pedesaan (AIP) secara berkelanjutan. Di Jawa Tengah, PrimaTani telah dilaksanakan sejak tahun 2005, yaitu di Kabupaten Magelang dan Banjarnegara. Pada tahun 2007 dikembangakan menjadi 16 kabupaten, termasuk Kabupaten Purbalingga. Lokasi kegiatan di Desa Serang, Kecamatan Karangreja, Kabupaten Purbalingga, yang terletak dilereng Gunung Slamet dengan ketinggian antara 700-1300 m dpl. Usahatani meliputi sayur-sayuran, buahbuahan, perkebunan dan ternak. Sedangkan komoditas unggulan yang diperkirakan dapat sebagai titik ungkit peningkatan pendapatan adalah strawbery, wortel, dan ternak kambing. Sebagai lokasi yang akan dikembangkan menjadi wilayah agrowisata, maka tanaman hias termasuk yang dikembangan untuk dukungan dan daya tarik pengunjung. Namun demikian, berdasarkan pengamatan selama pelaksanaan PrimaTani yang masih awal ini, peluang terbentuknya AIP di lokasi masih terbuka. Adapun kendala-kendala yang dihadapi adalah kebiasaan petani yang masih menggunakan cara–cara tradisional, sehingga perlu waktu untuk merubah kebiasaan tersebut. Selain itu, peran kelembagaan yang telah terbentuk masih sangat lemah, sehingga masih perlu solusi untuk meningkatkan peran kelembagaan dalam proses pengembangan AIP. Kata kunci : Peluang, kendala, agribisnis, industrial, pedesaan
ABSTRACT Agriculture is an important basic sector for public economic. Beside it is a source of income, agriculture provides opportunity for employment. The advantage of agriculture has been examined when there was an economical and monetary crisis in 1997/1998. Extend to which agriculture sector is able to contribute income. Thus the government consistently improve agriculture sector. Recently, through Agriculture Research and Development, the government declare a program that so called Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima Tani). The purpose of the program is to establish sustainable Village Agriculture Industry (VAI). Prima Tani has been conducted in Central Java since 2005 in Magelang and Banjarnegara Districts. In addition, in 2007 it was expanded to 16 districts including District of Purbalingga. In this district the activity is located at Serang Village, Karangreja SubDistrict, on 700-1300 m SL of the Slamet mountain valley. In this village the farmers grow vegetable, fruits, tea estate, and livestock. The prime commodities that seem to be potential to grow for farmers income improvement are strawberry, carrot, and goat. Since such location is being established for agro tourism, various fancy plants are also grown to attract visitors. There is an opportunity to apply Prima Tani by implementation of VAI. An attention should be paid to the potential constraint such as the routine practice of the traditional agricultural technology. Indeed a fair time is required to encourage the farmers change their culture. Finally, the role of farmer group organization has to be improved to develop VAI. Key words: Opportunity, constraint, agribusines, industrial, village
633
Prosiding Seminar Nasional PENDAHULUAN Sampai saat ini, sektor pertanian masih menjadi penyangga perekonomian rakyat, khususnya di daerah pedesaan. Demikian pula di Jawa tengah yang sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani. Usahatani dalam arti luas (termasuk di dalamnya usaha ternak, kebun dan ikan), tidak hanya sebagai sumber pendapatan, tetapi sekaligus sebagai lapangan kerja dan lapangan usaha. Dari usahatani tersebut terbuka lapangan usaha pada sub sistem pra produksi (hulu), sub sistem produksi dan sub sistem pasca produksi (hilir). Namun demikian, sebagian besar masyarakat tani masih terfokus pada usahatani proses produksi, sedangkan usaha pada pra produksi dan pasca produksi baru dilakukan oleh kalangan terbatas. Padahal, pengolahan produk pertanian untuk menjadi bahan setengah jadi atau bahan baku industri banyak memerlukan tenaga kerja yang sebenarnya mampu meningkatkan nilai tambah tidak sedikit. Selain sebagai penyangga perekonomian rakyat, sektor pertanian telah terbukti kehandalanya dalam menghadapi goncangan ekonomi dan moneter. Pada tahun 1997/1998 saat terjadi krisis ekonomi dan moneter, sektor pertanian masih mampu bertahan dan bahkan memberikan kontribusi secara positif. Sektor pertanian kelompok non pangan saat itu masih dapat memberikan pertumbuhan sebesar 6% (Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian, 2005). Oleh karena itu, sudah sepantasnya apabila sektor pertanian mendapat perhatian untuk solusi pengembangannya. Pada dasarnya pengembangan sektor pertanian dapat ditempuh melalui solusi teknologi dan non teknologi (Lakitan, 2005). Pada tahun 2005, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian menerapkan model atau konsep baru yang dipandang mampu mempercepat penyampaian dan penyebaran inovasi teknologi, yaitu Program Rintisan dan Akselersi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima Tani). Program tersebut mempunyai tujuan akhir untuk meningkatkan produktivitas dan kemandirian petani melalui pengembangan Sistem Usaha IntensifikasiDiversifikasi (SUID) dan Agribisnis Industrial Pedesaan (AIP). Secara berkelanjutan PrimaTani diharapkan dapat berfungsi sebagai jembatan langsung dari lembaga penghasil
634
teknologi ke lembaga pengguna atau petani (Warta PrimaTani, 2007). Di Jawa Tengah, sektor pertanian masih menjadi pilihan untuk mata pencaharian oleh sebagian besar masyarakat. Namun demikian apabila dikaitkan dengan rata-rata kepemilikan lahan yang sempit (0,2-0,3 ha/keluarga), maka pendapatan yang diperoleh sangat rendah (P3HTA-BAPPEDA Jateng, 1993). Apalagi di daerah yang areal lahannya banyak lahan kering dengan produktivitas lahan rendah (marjinal), maka pendapatan yang diperoleh jauh dari nilai kecukupan (Notohadinegoro, 1993). Prima Tani telah dilaksanakan di Jawa Tengah sejak tahun 2005 di dua wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Magelang dan Banjarnegara. Selanjutnya pada tahun 2007 dikembangkan menjadi 16 kabupaten, termasuk di dalamnya adalah Kabupaten purbalingga. Berdasarkan hasil koordinasi dengan instansi daerah terkait dan pemahaman wilayah secara cepat telah ditetapkan lokasi kegiatan Prima tani, yaitu di Desa Serang, Kecamatan Karangreja. Berdasarkan hasil pengamatan pelaksanaan pada tahap awal ini, dapat dikatakan bahwa peluang pengembangannya masih terbuka. Namun demikian dalam pelaksanaannya terdapat beberapa kendala dan bahkan permasalahan. Oleh karena itu, dalam makalah ini disampaikan mengenai peluang dan permasalahan pelaksanaan Prima Tani untuk mendapatkan masukan pelaksanaan selanjutnya.
BAHAN DAN METODE Sebelum Prima Tani dilaksanakan diperlukan tahapan-tahapan yang harus dilakukan untuk mnentukan lokasi (desa), petani kooperator, teknologi dan kelembagaan yang akan diimplementasikan, yaitu: Lokasi dan Petani Kooperator Lokasi atau desa yang akan dijadikan tempat pelaksanaan Prima Tani ditentukan melalui koordinasi dan konsultasi dengan instansi terkait di daerah setempat. Selanjutnya, setelah mendapatkan alternatif desa calon lokasi dilanjutkan dengan pemahaman secara cepat yang dilakukan bersama oleh Tim BPTP dan Kabupaten. Berdasarkan hasil pemahaman dan pembahasan bersama, maka dapat ditentukan desa calon lokasi, yaitu Desa serang, Kecamatan Karangreja. Tahapan dilanjutkan
Prosiding Seminar Nasional dengan penentuan petani kooperator yang dilakukan bersama dengan petugas lapangan/penyuluh, perangkat desa dan tokoh masyarakat. Berikutnya dilanjutkan dengan pembentukan pengurus kelompok atau gabungan kelompok tani (GAPOKTAN). Paticipatory Rural Appraisal (PRA) Kegiatan ini adalah karakterisasi wilayah yang meliputi: potensi biofisik(termasuk komoditas potensial), kondisi sosial ekonomi, norma dan nialai yang berlaku, sistem pertanian, masalah dan kendala serta kebutuhan inovasi (Departemen Pertanian, 2004). Selanjutnya hasil dari karakterisasi tersebut digunakan sebagai bahan rancangan model inovasi. Pada intinya kegiatan PRA ditujukan untuk mencapai tiga sasaran akhir yaitu: 1) Identifikasi inovasi teknologi dan kelembagaan yang akan dikembangkan, 2) perancangan model agribisnis, dan 3) Penyempurnaan inovasi pada tahun selanjutnya. Baseline Survey Kegiatan ini dimasudkan untuk mengetahui atau memahami kondisi awal sebelum suatu kegiatan dilaksanakan, sehingga dapat digunakan sebagai pembanding terjadinya perubahan variabelvariabel tertentu setelah pelaksanaan kegiatan. Pelaksanaan base line survey menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner) yang berisi mengenai karakteristik rumah tangga, penguasaan aset, pendapatan rumah tangga, kegiatan agribisnis, kegiatan pasca panen, pengolahan, pemasaran hasil, aspek kelembagaan dan hal lain yang berkaitan dengan rumah tangga dan usahatani yang dilakukan. Implentasi Teknologi dan Kelembagaan Kegiatan ini merupakan rangkaian dari tahapan sebelumnya, setelah potensi, permasalahan dan kebutuhan inovasi teknologi serta kelembagaan dapat diketahui dilanjutkan dengan implentasi. Adapun inovasi teknologi yang akan diimplementasikan antara lain: 1) Budidaya strawbery, 2) Budidaya sayuran (wortel), 3) Budidaya kambing, 4) Budidaya tanaman hias, dan 5) Pengolahan hasil. Untuk inovasi kelembagaan lebih ditekankan kepada pemberdayaan kelompok atau gabungan
kelompok mulai dari penyediaan sarana sampai pemasaran. Identifikasi Peluang dan Kendala Kegiatan ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui peluang dan kendala dalam pelaksanaan agribisnis indutrisal pedesaan (AIP) yang merupakan sarana untuk mencapai salah satu tujuan akhir dari PriamaTani. Identifikasi dilakukan secara bersamaan atau setelah beberapa waktu PrimaTani berjalan, yaitu dengan melakukan pengamatan dan wawancara secara lansung dengan para pelaku kegiatan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Berdasarkan tahapan-tahapan yang telah dilakukan maka dapat ditentukan lokasi kegiatan kegiatan Prima Tani, yaitu di Desa Serang yang secara administratif berada di wilayah Kecamatan Karangreja, Kabupaten Purbalingga. Secara topografis Desa Serang terletak di lereng Gunung Slamet dengan ketinggian antara 700 – 1300m dpl, dengan kemiringan antara 8 – 45%. Jarak dari pusat kota sekitar 14 km dengan kondisi jalan cukup baik (beraspal) dan telah dilengkapi dengan penerangan listrik sampai desa lokasi. Desa Serang terdiri atas 5 dusun yang membentang dari bawah keatas, yakni Dusun Serang, Brubahan, Sidadadi, Kaliurip dan Gunung Malang. Perbedaan ketinggian dalam satu desa menunjukkan bahwa secara fisik Desa Serang termasuk topografi bergelombang dengan temperatur antara 19,5 – 24,9oC. Adapun ketinggian curah hujan berkisar 35004500 mm/tahun, dengan bulan basah 8-10 bulan dan bulan kering 2 - 4 bulan. Semua itu menunjukkan bahwa Desa Serang termasuk derah beriklim sejuk dan berpotensi sebagai areal rekreasi alam pegunungan. Hal lain yang mendukung kelengkapan potensi sebagai areal rekreasi adalah karakter aktivitas penduduk yang sebagian besar berprofesi sebagai petani, buruh tani dan beternak. Kondisi demikian sangat berpotensi mendorong daerah tersebut sebagai atraksi agrowisata, yang selanjutnya dapat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan membuka wawasan bagi masyarakat setempat (Departemen Pertanian, 2006). Dari aspek budaya, masyarakat Desa Serang memiliki kebiasaan laku ritual perawatan alam, yaitu
635
Prosiding Seminar Nasional ruwat bumi dan gugur gunung (gotong royong). Adapun kesenian lokal yang masih berjalan sampai saat ini adalah Kuda Lumping (Gebegan) dan atraksi beduk/terbangan untuk mengiringi prosesi keagamaan. Usahatani Eksisting Sesuai dengan kondisi alam termasuk topografi dan iklim yang ada, usahatani yang dominan dilakukan adalah sayuran, buahbuahan dan perkebunan. Untuk sayuran, komoditas yang diusahakan meliputi wortel, sawi, unclang, selada, kobis, cabe dan kentang. Dari jenis sayur yang ada yang paling menonjol diusahakan adalah wortel, kobis dan kentang, sedangkan jenis sayur lainnya ditanam sebagai sisipan atau tumpang sari. Varitas yang digunakan hampir semuanya berasal dari lokal setempat yang sudah sejak lama digunakan. Caranya dengan menyemaikan biji dari tanaman yang sengaja dibiarkan sampai tua untuk digunakan sebagai bibit. Oleh karena itu produksi yang dihasilkan rata-rata masih rendah dengan kualitas yang kurang baik. Selain itu, cara pernanamannya belum menggunakan pedoman yang sesuai dengan teknologi. Sebagai contoh, cara penannam wortel yang terlalu padat sehingga buah yang yang dihasilkan hampir 30 % kualitasnya di bawah standar pasar. Buah yang tidak terjual hanya dimanfaatkan untuk pakan ternak kambing atau domba. Untuk pemasaran, sebagian besar petani menjual hasil panennya kepada pedagang pengumpul desa setempat. Selanjutnya oleh pedagang pengumpul dibawa ke sub terminal agribisnis (STA) Kutabawa yang berjarak sekitar 4 km atau ada juga yang membawa dagangannya sampai ke daerah lain, antara lain Tegal, Pekalongan dan Yogyakarta. Untuk tanaman buah-buahan yang paling dominan diusahakan adalah strawbery. Tanaman tersebut merupakan tanaman introduksi dari suatu perusahaan yang bermaksud untuk membuka usaha budidaya beberapa tahun silam. Namun karena sesuatu hal perusahaan tersebut tidak melanjukan usahanya, dan oleh peteni setempat tetap dilanjutkan sampai sekarang. Pada awalnya terdapat 3 jenis varietas, yaitu Santung, Sherly dan Grendy. Dari ketiga varietas tersebut yang masih diusahakan oleh petani sampai saat ini adalah varietas grendy, dengan spesifikasi buah besar rasa manis dan lebih
636
tahan (tidak cepat rusak). Sistem pemasarannya, sebagian besar para petani menjual hasil panennya kepada pedagang pengumpul setempat dalam bentuk segar tanpa kemasan. Oleh pedagang pengumpul dilakukan seleksi/grading dan pengemasan. Untuk yang kualitas A dijual sampai luar kota (Tegal dan Pekalongan), sedangkan yang kulitas B disekitar Purbalingga. Buah yang kurang memenuhi syarat atau rusak hanya dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Oleh petani budidaya strawbery dianggap menguntungkan, karena dapat melakukan panen setiap dua hari sekali. Sebagian hasil panennya dijual kepada pedagang pengumpul dengan harga rata-rata Rp 10.000/kg. Jumlah hasil panen masing-masing petani tergantung dari luas lahan yang ditanami dan kualitas buah yang dihasilkan. Tanaman perkebunan yang dominan diusahakan adalah teh dan kayu-kayuan (sengon/albasia). Untuk tanaman teh, saat ini meskipun masih ada tetapi sudah berkurang areal yang ditanami. Hasil panen teh dijual dalam bentuk daun segar ke perusahaan perkebunan negara atau swasta yang ada di lingkungan setempat. Ada dugaan para petani cenderung mengganti dengan tanaman strawbery yang secara ekonomi dianggap lebih menguntungkan. Tanaman tahunan (kayu) banyak ditanam di lahan pekarangan atau tegalan yang kurang produktif. Berdasarkan data monografi Desa Serang, luas lahan pertanian adalah 482,68 ha dengan penggunaan sebagai berikut (Tabel 1). Tabel 1. Luas Lahan Menurut Penggunaan Penggunaan Lahan
Luas (ha)
Tegal/ladang Kolam/empang
173,84 2,39
Pekarangan
107,76
Perkebunan(negara/swasta)
196,69
Sawah
Jumlah
482,68
Sumber : Monografi Desa Serang 2006.
Usaha Ternak Bagi masyarakat di Desa Serang memelihara ternak merupakan usaha sambilan yang tidak terpisahkan dengan kegiatanya sebagai petani. Selain diharapkan sebagai tambahan penghasilan, ternak juga
Prosiding Seminar Nasional difungsikan sebagai penghasil pupuk organik yang sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan usahataninya. Seperti disampaikan di depan, bahwa tanaman yang dominan diusahakan adalah sayuran dan strawbery yang memerlukan pupuk organik cukup banyak. Adapun jenis ternak yang dominan diusahakan adalah kambing, domba dan sapi potong. Cara pemeliharaan dari ketiga komoditas ternak tersebut masih dilakukan dengan cara yang sangat sederhana. Untuk ternak kambing dan sapi umumnya petani memelihara dengan pola pembesaran, yaitu membeli bibit ternak jantan dengan umur yang masih relatif muda kemudian dibesarkan dalam jangka waktu tertentu. Untuk ternak kambing lama pemeliharaan sekitar 6 bulan, sedangkan untuk sapi potong bisa mencapai 12 bulan. Untuk ternak domba sudah banyak yang memelihara dengan pola perbibitan, yaitu memelihara induk dan pejantan dengan harapan bisa mendapatkan hasil dari pertambahan anak. Model perkandangan yang diterapkan masih sangat sederhana, yaitu dengan lantai tanah dan dinding pengaman seadanya. Namun penempatan kandang sudah banyak yang terpisah dengan rumah. Persediaan pakan tidak dilakukan secara khusus, karena pakan yang diberikan umumnya berupa rumput lapang dan limbah pertanian maupun hasil pertanian yang tidak laku dijual. Penanaman rumput unggul masih sangat terbatas, sedangkan hijauan pakan yang sudah cukup banyak tersedia adalah kaliandra yang sekaligus berfungsi sebagai pagar atau pembatas pekarangan. Cara pemberian pakan dilakukan secara berlebihan dan tanpa tempat pakan. Tujuannya, selain untuk pakan juga bermaksud untuk mendapatkan pupuk kandang yang lebih banyak, sehingga apabila dilihat secara teknis cara pemberian tersebut kurang efisien. Di sini pemberian pakan tambahan belum banyak dilakukan, karena selain sulit didapatkan juga belum dianggap perlu. Cara pembelian dan penjualan ternak umumnya melalui pedagang setempat atau pedagang luar desa yang biasa berkeliling untuk membeli dan menerima pesanan dari petani. Alasan para petani cara tersebut dianggap lebih efisien, karena tidak perlu meninggalkan kegiatan usahataninya dan tidak mengeluarkan biaya. Berdasarkan data monografi Desa Serang populasi ternak berdasarkan jenis dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Populasi ternak berdasarkan jenis Jenis Ternak
Populasi (ekor)
Sapi potong
396
Kambing
3829
Domba
589
Ayam Buras
4214
Ayam Ras Itik
186
Sumber: Monografi Desa Serang 2006
Usaha Pascapanen dan Pengolahan Hasil Pada umunya petani setempat hanya melakukan penanganan pasca panen secara sederhana, antara lain pengikatan dan penataan saat akan dijual. Untuk wortel biasanya hanya pemilihan berdasarkan ukuran yang dikehendaki oleh pasar, sedangkan yang afkir digunakan sendiri atau untuk pakan ternak. Selanjutnya ditingkat pengumpul baru dilakukan pembersihan dengan pencucian. Demikian pula untuk buah strawbery, penangan pasca panen dilakukan oleh pedagang pengumpul dengan pengemasan ukuran tertentu. Pengolahan hasil pertanian menjadi produk olahan masih sangat sedikit. Salah satu contohnya adalah pengolahan jus strawbery, itupun masih sangat terbatas yang melakukan. Peluang dan Kendala yang Dihadapi Berdasarkan tahapan-tahapan pelaksanaan dan kondisi usaha eksisting di lokasi kegiatan dapat dikatakan bahwa peluang berkembangnya agribisnis industrial pedesaan masih terbuka. Hal tersebut didasarkan dari pelaksanaan usaha yang dilakukan oleh petani setempat belum menerapkan teknologi secara optimal. Akibatnya produksi yang dihasilkan masih rendah. Sebagai contoh adalah penggunaan bibit tanaman lokal yang sudah cukup lama tanpa dikuti dengan pemurnian, sehingga secara tidak terasa produksi yang dihasilkan semakin turun. Selain itu pengenalan terhadap varietas baru masih terbatas, akibatnya para petani hanya menggunakan bibit yang ada di lokasi. Penanganan pasca panen dan pengolahan hasil juga belum banyak dilakukan oleh masyarakat setempat, sehingga pendapatan yang diproleh masih bertumpu kepada hasil panen secara langsung. Padahal, penanganan pasca panen dan pengolahan hasil dapat memberikan nilai
637
Prosiding Seminar Nasional tambah cukup besar. Demikian pula pada usaha ternak, peluang untuk meningkatkan pendapatan melalui AIP masih terbuka. Hal tersebut didasari dari sistem pemeliharaan dan pemanfaatan limbah (pupuk kandang) yang masih sangat sederhana. Selain itu kinerja kelembagaan kelompok yang ada juga belum berjalan secara optimal, sehingga masih memungkinkan ditingkatkan untuk mendukung pengembangan AIP. Namun demikian peluang-peluang tersebut tidak begitu saja dapat dimanfaatkan, karena adanya kendala-kendala yang dihadapi. Untuk mewujudkan AIP secara berkelanjutan bukanlah suatu kegiatan yang dapat dilaksanakan secara cepat. Dalam perjalannanya ternyata terdapat beberapa kendala, baik secara teknis maupun non teknis. Secara teknis para petani sudah terlalu lama menggunakan teknologi yang didapat dari pendahulunya, sehingga tidak begitu saja untuk menerima teknologi introduksi. Selain itu, sampai saat ini pelaku usahatani(petani) masih didominasi oleh generasi tua yang tingkat pemahamanya terhadap inovasi teknologi sangat lemah. Hal tersebut sangat erat hubunganya dengan tingkat pendidikan yang dimiliki, sehingga dalam melaksanakan usahatani belum menerapkan konsep agribisnis (Budianto, 2002). Hal lain yang sering muncul menjadi kendala penerapan AIP adalah pemilikan lahan yang rata-rata sempit. Akibat dari pendapatan yang rendah, maka para petani kurang mampu meningkatkan biaya produksi untuk menerapkan teknologi introduksi. Ketersendatan inovasi kelembagaan diakibatkan oleh masih lemahnya kinerja kelompok yang ada. Padahal, kelembagaan merupakan elemen penting dalam upaya peningkatan ketrampilan dan kemampuan produksi (Suradisastra, 1999). Keterlibatan anggota kelompok dalam meningkatkan kinerja juga masih kurang. Hal tersebut ditunjukkan oleh perilaku anggota dalam melaksanakan usahatani yang umumnya masih bekerja secara individu.
KESIMPULAN DAN SARAN Hasil studi ini dapat disimpulkan bahwa, pada prinsipnya peluang terwujudnya AIP masih sangat terbuka. Hal tersebut didasarkan dari sistem usahatani, penerapan teknologi dan pengolahan hasil yang masih sederhana.
638
Namun peluang-peluang tersebut menghadapi beberapa kendala yang bersifat teknis dan non teknis. Kendala teknis ditunjukkan dari rendahnya adopsi terhadap teknologi yang diintroduksikan. Adapun kendala non teknis ditunjukkan dari masih lemahnya peranan kelembagaan kelompok atau gabungan kelompok untuk mewujudkan AIP. Sebagai saran untuk menuju keberhasilan AIP adalah :1) memanfaatkan peluang yang masih terbuka, dan 2) menekan kendala–kendala yang ada secara sistematis, sehingga tidak menimbulkan gejolak di antara pelaku agribisnis industrial pedesaan.
PUSTAKA Departemen Pertanian. 2006. Rancangan dasar PrimaTani. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian , Jakarta. Pemda Kabupaten Purbalingga. 2004. Penyusunan Tapak Kawasan Agrowisata Serang – Kutabawa Kecamatan Karangreja Kabupaten Purbalingga. Pemerintah Kabupaten Purbalingga. Budanto, J. 2002. Tantangan dan peluang penelitian dan oengembangan padi dalam perspektif agribisnis. Dalalm Suphihatno, dkk. (Eds). Kebijakan Perberasan dan inovasi teknologi padi. Buku I. Pusat Penelitian dan pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian, 2005. Revitalisasi Pertanian, Perikanan , dan Kehutanan Indonesia, 2005. Kementrian Bidang koordinator Perkonomian Republik Indonesia, Jakarta. Lakitan, B., 2005. Solusi Teknologi Untuk Peningkatan Produksi Pertanian. Prosiding Semionar Nasional ” Memacu Pembangunan Pertanian Di Era Pasar global. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah, Ungaran. Monografi Desa Serang, 2006. Desa Serang, Kecamatan Karangreja, Kabupaten Purbalingga. P3HTA-BAPPEDA Jateng, 1993. Strategi Pengembangan Daerah Aliran sungai Berwawasan Konservasi Dengan Tinjauan agribisnis Ternak dan Hortikultura. BAPPEDA Jateng.
Prosiding Seminar Nasional Suradisastra, K., 1999. Peran Kelembagaan Dalam Usaha Sapi Perah Rakyat. Makalah Temu Informasi Teknologi Pertanian ” Peran teknologi dan kelembagaan dalam pengembangan sapi perah rakyat di Jawa tengah”. BPTP Ungaran.
Warta Prima Tani, Volume 2 Nomor 1, 2007. Risalah Dari Jkarta. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.
639
Prosiding Seminar Nasional
UPAYA PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI METE DI LAHAN KERING KABUPATEN WONOGIRI Cahyati Setiani, Kendriyanto, dan Teguh Prasetyo Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah
ABSTRAK Studi mengenai upaya pengembangan agroindustri mete di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah dilakukan pada tahun 2005. Mete merupakan komoditas unggulan di Kabupaten Wonogiri, namun produksi dari tanaman yang ada belum dapat memenuhi permintaan pasar. Areal pertanaman mete di Kabupaten Wonogiri mencapai 20.403 ha yang dikelola oleh 92.666 KK. Hasil mete dalam bentuk glondong kering mencapai 388.499 ton atau 294 kg/ha. Upaya pengembangan agroindustri mete dilakukan melalui inovasi teknologi dan permodalan yang diimplementasikan tahun 2002 - 2004. Inovasi teknologi yang diintroduksikan adalah perbibitan, pemupukan,, dan pengolahan paska panen, sedangkan permodalan diintroduksikan menggunakan pendekatan Bantuan Pinjaman Langsung Masyarakat (BPLM). Studi dilakukan menggunakan metode survey dengan kuesioner terstruktur pada 30 responden yang tergabung dalam 3 kelompok tani. Hasil studi menunjukkan bahwa: 1). Jumlah bibit mete yang diintroduksikan mengalami kematian sebanyak 10%, sedangkan pertambahan bibit mete yang dikembangkan oleh kelompok selama kurun waktu tiga tahun mencapai sekitar 115.000 batang. 2). Inovasi teknologi budidaya mete (pemupukan) dapat meningkatkan hasil 20-30%, sedangkan pengelolaan paska panen menggunakan alat kacip dapat meningkatkan produktivitas 30-40%, 3). Permodalan sangat bermanfaat bagi kelompok tani, namun belum sesuai dengan sasaran, 4). Disarankan untuk pengembangan agroindustri Mete, BPLM yang diimplementasikan dikaitkan dengan usaha produktif lain yang mendukung pengembangan agroindustri Mete, 5). Batas waktu pengembalian BPLM perlu ditinjau kembali disesuaikan dengan arus perputaran modal dan perlu memberikan tenggang waktu, dan 6). Pembinaan maupun pelatihan perlu dilakukan tidak hanya terbatas pada aspek teknis tetapi juga aspek manajemen.
Kata kunci: Agroindustri mete, lahan kering, inovasi teknologi, permodalan
PENDAHULUAN Pembangunan adalah suatu perubahan sosial yang dilakukan secara sengaja atau berencana (Syahyuti, 2003). Salah satu model pembangunan perkebunan yang dilakukan di Jawa Tengah adalah pengembangan agroindustri mete di lahan kering Kabupaten Wonogiri. Pendekatan tersebut berorientasi pada pasar melalui peningkatan inisiatif dan partisipasi masyarakat, dimana peran pemerintah difokuskan pada penyediaan fasilitas umum, seperti prasarana dan sarana, ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), serta regulasi yang didasarkan kepada mekanisme insentif dan disinsentif. Pengembangan agroindustri mete, bertujuan untuk mengembangkan agribisnis mete yang berwawasan lingkungan guna meningkatkan nilai tambah dan daya saing hasil, mendayagunakan sumberdaya di pedesaan dan meningkatkan pendapatan petani (Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah, 2003). Inovasi teknologi yang diintroduksikan pada pengembangan agroindustri mete meliputi: teknologi
640
perbibitan, budidaya, dan paska panen. Selain itu juga diintroduksikan inovasi permodalan melalui Bantuan Pinjaman Langsung Masyarakat (BPLM). Teknologi perbibitan dan budidaya diarahkan untuk pengembangan tanaman mete yang pada saat ini cenderung mengalami penurunan produktivitas. Teknologi paska panen diarahkan untuk mendapatkan nilai tambah dan daya saing hasil. Sedangkan permodalan diarahkan untuk memperkuat posisi tawar. Dalam proses implementasi inovasi teknologi dan permodalan dilakukan pembinaan baik di bidang teknis maupun manajemen. Permasalahannya adalah bahwa proses implementasi di lapangan tidak selalu sesuai dengan perencaaan. Hal ini disebabkan perencanaan dibuat secara makro dalam kurun waktu tertentu, sedangkan masyarakat mempunyai karakteristik spesifik dan bersifat dinamis. Dalam rangka memperoleh kinerja yang optimal perlu dilakukan perbaikan terus menerus, disesuaikan dengan dinamika dan kepentingan masyarakat sasaran. Perbaikan
Prosiding Seminar Nasional hanya dapat dilakukan secara lebih terarah, bila diketahui kinerja pelaksanaan di lapang. Berdasarkan kenyataan tersebut, dilakukan pengkajian pengembangan agroindustri mete di lahan kering Kabupaten Wonogiri untuk mengetahui kinerja implementasi teknologi dan upaya perbaikannya.
Langsung Masyarakat (BPLM). Studi dilakukan menggunakan metode survey dengan kuesioner terstruktur. Pengambilan data dilakukan secara purposive random sampling pada 30 responden yang tergabung dalam 3 kelompok tani, yaitu: a). Sari Mulyo, Desa Pengkol, Kecamatan Jatiroto, b). Margo Mulyo, Desa Wonorejo, Kecamatan Wonogiri, dan c). Sedyo Mulyo, Desa Gemawang, Kecamatan Ngadirojo.
BAHAN DAN METODE Studi mengenai upaya pengembangan agroindustri mete di lakukan di Kabupaten Wonogiri pada tahun 2005. Kabupaten Wonogiri terletak pada garis lintang 7º32´8º15´ LS dan garis bujur 110º41´-111º18´BT dengan luas wilayah 182.236 ha. Batas daerah sebelah Selatan adalah Kabupaten Pacitan (Jawa Timur dan Samudra Indonesia), sedangkan sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Ponorogo (Jawa Timur), dan sebelah Barat dengan Daerah Istimewa Yogjakarta.
Data yang dikumpulkan meliputi: a). Potensi pengembangan agroindustri mete, b) kinerja inovasi teknologi perbibitan, c). kinerja inovasi teknologi pemupukan, d) kinerja inovasi teknologo paska panen, dan e). kinerja inovasi permodalan. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif
HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi Pengembangan Agroindustri Mete Potensi Biofisik Mete merupakan komoditas unggulan di Kabupaten Wonogiri. Produksi dari tanaman yang ada setiap musim panen belum dapat mencukupi permintaan pasar sehingga diperlukan adanya pengembangan tanaman jambu mete di Kabupaten Wonogiri. Lahan yang ada masih dapat menampung tanaman baru karena penanaman jambu mete tidak secara monokultur tetapi ditumpangsarikan dengan tanaman lain baik semusim maupun tanaman tahunan.
Upaya pengembangan agroindustri mete dilakukan melalui inovasi teknologi dan permodalan yang diimplementasikan tahun 2002 - 2004. Inovasi teknologi yang diintroduksikan adalah perbibitan, pemupukan, dan pengolahan paska panen. Inovasi permodalan diintroduksikan menggunakan pendekatan Bantuan Pinjaman Tabel 1. Tataguna lahan di Kabupaten Wonogiri Tataguna lahan Sawah
Luas (ha) 30,913
Persentase (%) 16,96
Tegal
57,583
31,60
Bangunan/Pekarangan
37,306
20,47
Hutan Negara
16,290
8,94
Hutan Rakyat
16,202
8,89
Lain-lain
23,942
13,14
Jumlah
182,236
100,00
Sumber: Statistik perkebunan Kabupaten Wonogiri. 2004 Luas areal penanaman pohon mete mencapai 20.403 ha atau 11,19% dari total luas Kabupaten Wonogiri. Produksi per tahun yang dapat dicapai pada tahun 2003 adalah 388.499 ton glondong kering. Rata-rata
produksi per ha mencapai 294 kg dan masih lebih rendah dari rata-rata produksi nasional (341 kg/ha (Abdullah, 2000). Jumlah petani yang mengusahakan tanaman mete sebanyak
641
Prosiding Seminar Nasional 92.666 KK atau 38,72% KK yang berdomisili di Kabupaten Wonogiri. Topografi wilayah Kabupaten Wonogiri bervariasi dari datar sampai bergelombang dan berbukit. Ketinggian tempat juga bervariasi dimulai dari 106 - 600 m dpl. Temperatur rata-rata 24ºC-32ºC dan curah hujan pada tahun 2003 sebesar 1710 mm dengan jumlah hari hujan 108. Ketinggian tempat yang sangat sesuai untuk tanaman mete adalah 1000 - 2000 m. Namun demikian persyaratan ketinggian tempat tersebut masih longgar dalam arti tidak mutlak, apalagi bila tanaman mete diusahakan untuk upaya konservasi dan tidak akan diusahakan dengan tujuan komersial (Abdullah dan Las, 1985). Suhu dan penyinaran merupakan factor iklim yang cukup penting bagi keberhasilan usahatani mete. Menurut Kirk and Othmer (1982a), suhu yang dibutuhkan untuk tanaman mete rata-rata 27ºC dengan kisaran minimum 15ºC-25ºC dan maksimum 25ºC-35ºC. Dengan demikian ditinjau dari ketinggian tempat, suhu, dan curah hujan, maka tanaman mete dapat diusahakan diseluruh wilayah Kabupaten Wonogiri. Potensi pengembangan mete adalah di lahan kritis. Di Kabupaten Wonogiri tercatat lahan kritis sebesar 26.991 ha yang tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Wonogiri. Bila diasumsikan bahwa lahan kritis tersebut baru 50% yang dibudidayakan, maka tanaman mete
yang dapat diusahakan diwilayah lahan kritis dapat mencapai 13.440.000 pohon (10x10 cm). Selain dari aspek finansial, tanaman mete di lahan kritis juga bermanfaat untuk upaya konservasi tanah, karena tanaman mete tidak memerlukan pengolahan lahan dan daun/tajuknya dapat menahan pukulan air hujan sebelum jatuh ditanah. Potensi Sumberdaya Manusia Berdasarkan hasil survey, diketahui bahwa umur anggota kelompok tani yang mengusahakan Mete berkisar antara 30-70 tahun dengan rata-rata 46 tahun. Kondisi ini mengindikasikan bahwa usaha mete sebagian besar diusahakan oleh penduduk usia produktif. Tingkat pendidikan yang dicapai rata-rata hanya lulus SD. Bila kedua indikator tersebut dikaitkan, maka dalam pengembangan usaha mete masih diperlukan pembinaan teknologi maupun manajemen, walaupun pengalaman mereka dalam usaha mete lebih dari 10 tahun. Ditinjau dari mata pencaharian, mayoritas petani mempunyai usaha sampingan. Artinya hasil usahatani (termasuk usaha mete) belum mencukupi kebutuhan rumahtangga. Berbagai usaha sampingan dilakukan petani untuk dapat memenuhi kebutuhan rumahtangga, baik sebagai tukang batu maupun dagang. Kondisi ini dapat dimengerti karena penguasaan lahan petani relatif sangat sempit (Tabel 2).
Tabel 2. Karakteristik petani yang mengusahakan mete No. 1.
2.
3.
642
Kelompok Tani
Uraian Sari Mulyo
Margo Mulyo
Sedyo Mulyo
-rata-rata
55
34
50
-kisaran
(40-70)
(30-60)
(30-63)
-rata-rata
Lulus SD
Lulus SD
Lulus SD
-kisaran
(SD-SLTA)
(SD-SLTA)
(SD-SLTA)
-rata-rata
15
10
10
-kisaran
(10-20)
(12-30)
(12-30)
Umur (tahun)
Pendidikan formal
Pengalaman UT mete (tahun)
Prosiding Seminar Nasional
No. 4.
Kelompok Tani
Uraian Mata pencaharian
Sari Mulyo Tani
Margo Mulyo Tani
Sedyo Mulyo Tani
-utama
Tukang batu
Dagang
Tukang batu
Anggota keluarga (orang)
4 (3-7)
4 (3-5)
3 (2-5)
-jumlah
2 (2-3)
2 (2-3)
3(2-5)
Penguasaan lahan (Ha)
0,1 (0,05-1)
0,3 (0,1-0,5)
0,1 (0,1-0,5)
-tegalan
0,1 (0,1-1)
0.25 (0,1-0,5)
0,4 (0,1-0,5)
-sawah
0,07 (0,02-0,5)
0,15 (0,07-0,5)
0,02 (0,01-0,5)
-sapi
1 (1-2)
1 (1-2)
1 (1-2)
-kambing
3 (2-7)
3 (2-5)
3 (2-5)
15 (5-30)
14 (5-20)
15 (5-20)
-sambilan 5.
-aktif dalam usahatani mete 6.
-pekarangan 7.
Pemilikan ternak (ekor)
-ayam
Jumlah penduduk Kabupaten Wonogiri sebesar 1.106.418 jiwa dengan perincian 551.937 laki-laki dan 544.431 perempuan. Tercatat jumlah penduduk boro sebanyak 110.404 orang diantaranya 57.050 laki-laki dan 53.354 perempuan. Berdasarkan kondisi sumberdaya yang ada, pengembangan usaha mete sangat strategis bila dikaitkan dengan banyaknya jumlah penduduk yang boro. Hal ini disebabkan karena kebutuhan tenaga kerja usaha mete tidak terlalu banyak, sehingga dapat membantu memenuhi kebutuhan pendapatan rumahtangga. Kinerja Inovasi Teknologi Perbibitan Pendekatan yang diterapkan oleh Dinas Perkebunan Propinsi Jawa Tengah adalah model kawasan yang mengikutsertakan berbagai kelompok. Usaha berkelompok merupakan salah satu pemenuhan skala ekonomi yang dapat memperkuat posisi tawar. Kenyataan ini sesuai dengan pendapat Raharjo (1994), bahwa salah satu upaya untuk memperkuat posisi petani/pekebun adalah melakukan usaha secara berkelompok. Dikatakan oleh Fagi dan Karyasa (2004), pola hidup gotong royong masyarakat pedesaan yang umumnya didominasi oleh petani
semestinya dapat menjadi landasan kuat untuk melakukan usaha secara berkelompok . Program yang diterapkan mempersyaratkan kelompok tani melakukan perbibitan mete yang dipersiapkan untuk ditanam di lahan sendiri. Hal ini disebabkan karena pada umumnya petani hanya mengusahakan mete di lahan pekarangan/ tegalan tidak secara monokultur (tumpangsari dengan tanaman pangan yang bersifat semusim). Masingmasing kelompok mengembangkan bibit mete sebanyak 10-20 kg (setiap kg dapat menghasilkan bibit sebanyak 150-200 batang). Berdasarkan survey di lapangan jumlah bibit mete yang mengalami kematian sebanyak 10%, sedangkan pertambahan bibit mete yang dikembangkan oleh kelompok mencapai sekitar 115.000 batang. Pendekatan yang dilakukan telah dapat mencapai sasaran. Kebutuhan bibit di Kabupaten Wonogiri menurut petugas dinas masih sekitar 40.000 pohon dengan asumsi berdasarkan luas wilayah dan lahan kritis yang belum dikelola. Tanaman mete diarahkan untuk upaya konservasi lahan dan mengurangi laju sedimentasi waduk Gajah mungkur. Saat ini, terdapat dua kelompok penangkar di Kabupaten Wonogiri yaitu kelompok ”Tani
643
Prosiding Seminar Nasional Makmur” dan kelompok ”Lulus Tani” masing-masing beranggotakan 20 orang. Dalam kaitannya dengan pengembangan usaha mete, kelompok penangkar perlu dilibatkan dalam usaha ekonomi produktif atau program-program lain dari dinas yang berkaitan dengan pembinaan maupun bantuan modal. Bantuan modal yang dibutuhkan oleh kelompok penangkar adalah pembuatan sumur dalam sejumlah 2 unit yang diperkirakan memerlukan biaya Rp 20.000.000/unit. Selain itu, juga diperlukan pembinaan teknis maupun manajemen dari dinas terkait. Pembinaan teknis utamanya dalam perbaikan pengadaan bahan tanaman mete, sedangkan pembinaan manajemen utamanya dalam perencanaan usaha. Kinerja Inovasi Teknologi Pemupukan Teknologi pemupukan yang diintroduksikan dibedakan antara tanaman awal (0 tahun); tanaman muda (umur 2-8 tahun); dan tanaman dewasa (> 8 tahun). Pupuk yang digunakan pada awal tanaman adalah pupuk organik, (2kg/pohon), sedangkan dosis pupuk pada per pohon muda adalah Urea 550 g; SP36 225 g; KCL 150 g; dan Pupuk Kandang 25 kg. Dosis pupuk per pohon dewasa adalah Urea 900 g; SP36 450 g; KCL 400 g; dan Pupuk Kandang 25 kg. Pemupukan dilakukan dua kali yaitu pada awal musim hujan (MH) dan akhir MH. Pemupukan awal MH pohon muda dengan dosis Urea 300 g; SP36 100 gr; dan KCL 75 g dan sisanya dilakukan pada akhir MH. Pemupukan awal pohon dewasa adalah 450 g; SP36 250 g; KCL 200 g dan sisanya digunakan untuk pemupukan akhir MH. Menurut petani teknologi tersebut pada tanaman > 10 tahun setelah satu tahun pemupukan dapat meningkatkan hasil dari 20 kg/pohon menjadi 25-30 kg/pohon. Namun demikian, sebagian besar petani beranggapan bahwa pemupukan yang dilakukan cukup pada tanaman semusim, sedangkan tanaman mete secara otomatis ikut memanfaatkan pupuk yang diberikan pada tanaman semusim. Peningkatan hasil ini perlu lebih disosialisasikan, agar petani dapat lebih dapat menikmati hasil tanaman mete.
644
Kinerja Inovasi Teknologi Paska Panen Teknologi yang diintroduksikan adalah alat pengepres mete, kacip, dan lantai jemur. Selama ini, kulit biji mete hanya dibuang saja dan belum banyak dimanfaatkan. Padahal kulit biji mete mempunyai kandungan minyak yang cukup tinggi yang dikenal sebagai minyak laka atau cairan Cashew Nut Shell Liquid (CNSL). Minyak biji mete (CNSL) dapat dihasilkan dengan cara pengepresan (presing) atau ekstraksi dengan pelarut dan mempunyai kadar asam lemak tidak jenuh yang cukup tinggi, sehingga berbentuk cairan dalam suhu kamar (Retno et al., 2003). Kandungan terbesar CNSL adalah kardanol yang dapat bereaksi dengan aldehid (seperti formaldehid dan furfural) untuk menghasilkan resin yang serupa dengan resin dari fenol formaldehid meskipun terdapat sdikit perbedaan dalam hal sifat yang berhubungan dengan kelenturan produk, daya larut serta ketahanannya terhadap basa. Kecepatannya reaksinya lebih rendah daripada resin yang berasal dari fenol (Kirk RE and Othmer DF (1982b). Usaha pengepresan kulit mete membutuhkan ketrampilan khusus dan modal yang relatif besar, sehingga pemanfaatan dan pengelolaan alat tersebut diserahkan pada ketua kelompok, yang merupakan pengusaha/pedagang besar mete. Modal yang dibutuhkan untuk beli kulit mete sekitar Rp. 8000,-/zak dan satu hari dapat menghasilkan 1 ton minyak CNSL. Aktivitas pengepresan kulit mete hanya berjalan sekitar 1 tahun, karena ketua kelompok mengalami kerugian dalam perdagangan mete, yang berakibat pailit. Kondisi ini berdampak pada berhentinya usaha pengepresan kulit mete, dan semenjak 15 Desember 2004 alat pengepres diserahkan kembali kepada Dinas Pertanian Kabupaten Wonogiri. Sampai dengan survei ini dilakukan (Agustus 2005) belum ada petani lain yang berminat menggunakan alat pengepres tersebut. Kacip untuk pengupasan kulit mete yang diintroduksikan adalah kacip manual buatan lokal (Kabupaten Wonogiri). Kacip tersebut menunjukkan kinerja yang baik dengan hasil yang lebih mengkilap dan menurut petani kacang metenya lebih gurih. Sudah banyak (sekitar 50 buah) yang memesan kacip lokal tersebut. Dalam satu hari alat tersebut dapat
Prosiding Seminar Nasional mengkacip 30 kg gelondong/orang/kacip. Proses pengupasan diawali dengan penjemuran glondong mete selama + 1 hari tergantung pada cuaca. Selanjutnya dianginanginkan selama 1 jam dan diberi kapur agar kulit arinya mudah dikupas. Langkah berikutnya, kupasan mete dipanaskan di atas
kompor sambil dilakukan pembuangan kulit ari. Dalam 1 hari petani mampu mengacip 20-25 kg glondong mete, atau menghasilkan 5-6 kg kupasan mete. Teknologi pengacipan ini menurut petani dapat meningkatkan produktivitas sebesar 30 – 40%.
Glondong mete
Dijemur + 1 hari
Pengupasan kulit luar Dianginkan + 1-2 jam
Pengupasan kulit ari Gambar 1. Proses pengupasan glondong mete Berkembang tidaknya agroindustri mete menggunakan alat kacip sangat tergantung sampai seberapa jauh usaha tersebut menghasilkan insentif bagi petani. Adapun analisis finansial usaha agroindustri mete disajikan pada Tabel 3. Dalam analisis diasumsikan bahwa a). jumlah modal yang diputar dalam usaha paskapanen dan pemasaran mete sesuai dengan jumlah pinjaman untuk masing-masing petani, yakni Rp 1.000.000, b). diperhitungkan biaya bunga
modal, yakni 2%/bulan. Bunga modal tersebut lebih besar ketentuan dalam pengembangan BPLM sebesar 2%/tahun. Hal ini dikarenakan, untuk pemupukan modal kelompok, kelompok tani mengenakan bunga 2%/bulan; dan c). harga input dan output produksi berdasarkan harga pasar pada Agustus 2005. Penguatan modal bagi usaha agroindustri mete mampu menghasilkan keuntungan Rp 253.000/bulan/petani dengan R/C 1.25.
645
Prosiding Seminar Nasional Tabel 3. Analisa finansial usaha agroindustri mete (skala modal Rp 1.000.000/petani) Uraian Input : - Gelondong mete - Tenaga kerja - Minyak tanah - Penyusutan peralatan (kompor, kacip) - Biaya pemasaran - Bunga modal Total input Output - Mete - Kulit Total output Keuntungan R/C ratio
Kuantitas 125 5 3
kg HOK liter
Harga/satuan (Rp.) 7.000 15.000 1.500
Jumlah 875.000 75.000 4.500 5.000 25.000 20.000 1.004.500
31,25 1
Lantai jemur ukuran 6 x 12 m yang diintroduksikan mempunyai tingkat pemanfaatan sangat optimal dalam arti digunakan sesuai tujuan pembuatannya. Sebelum ada lantai jemur petani menggunakan alas jemur dengan “kepang” yang membutuhkan waktu jemur sekitar 2 hari, sedangkan lantai jemur yang diintroduksikan membutuhkan waktu jemur sekitar 1 hari, karena tidak ada penguapan dari bawah lantai jemur. Secara keseluruhan, pembinaan yang dilakukan oleh Dinas Perkebunan hanya dilakukan pada tahun pertama. Waktu pembinaan dirasakan oleh petani masih sangat kurang karena yang dibutuhkan petani tidak hanya sekedar pembinaan teknis tetapi juga pembinaan yang bersifat manajerial. Selain itu, motivasi yang diberikan para pembina masih sangat dibutuhkan petani. Kondisi ini dapat dimengerti karena transformasi kegiatan yang semula bersifat individual menuju kearah kelompok membutuhkan proses agar dapat sesuai dengan tujuan pengembangan agroindustri mete. Kinerja Inovasi Permodalan Penguatan modal kelompok merupakan salah satu pendekatan yang diarahkan untuk mendorong dan mempercepat pengembangan agroindustri mete. Penguatan modal tersebut merupakan Bantuan Pinjaman Langsung Masyarakat (BPLM) untuk permodalan usaha agroindustri mete. Pada tahun 2002 penguatan modal yang disalurkan sebesar Rp 8.000.000/
646
Satuan
kg sak
40.000 8.000
1.250.000 8.000 1.258.000 253.000 1,25
kelompok dan pada 2003 sebesar Rp 20.000.000/kelompok.Kelompok penerima BPLM wajib mengembalikan bantuan modal, perluasan/pengembangannya menggunakan sistem perguliran. Jangka waktu pengembalian pinjaman modal pada BPLM 2002 selama 4 tahun dengan bunga 2%/tahun dari pinjaman pokok, atau Rp. 160.000/tahun, sedangkan pola pengembaliannya tidak diatur. Pada BPLM 2003 jangka waktu pelunasannya 3 tahun dengan bunga 2% dari sisa pinjaman pokok, dengan pola pengembalian: tahun pertama kelompok diwajibkan mengembalikan Rp 5.400.000, tahun kedua Rp 5.300.000, dan tahun ketiga Rp 10.200.000. Dana BPLM dirasakan sangat membantu dalam permodalan usaha agroindustri mete, karena tingkat bunga rendah dan prosedurnya mudah. Meskipun demikian, jumlah BPLM yang diberikan dirasakan masih kurang, karena hanya mencukupi untuk aktivitas usaha paska panen dan perdagangan selama 3 bulan. Jumlah dana BPLM 2002 yang dikembangkan pada kelompok tani selama 3 tahun (2002 2004) berkembang sebesar 75%, sedangkan BPLM 2003 selama 2 tahun (2003 - 2004) perkembangannya bervariasi antar kelompok, berkisar 14,5% - 56,5%. Peningkatan jumlah modal yang dimiliki kelompok telah memperluas jumlah anggota, yakni berkisar 25% - 85%/kelompok.
Prosiding Seminar Nasional KESIMPULAN DAN SARAN 1.
2.
3.
4.
5.
Ditinjau dari potensi biofisik dan sumberdaya manusia, wilayah Kabupaten Wonogiri sangat potensial bagi pengembangan usaha agroindustri mete. Potensi akan mencapai optimal bila ada pembinaan dalam bentuk inovasi teknologi maupun permodalan dari Pemerintah Jumlah bibit mete yang mengalami kematian sebanyak 10%, sedangkan pertambahan bibit Mete yang dikembangkan oleh kelompok selama kurun waktu tiga tahun mencapai ± 115.000 batang. Pengembangan tanaman mete diarahkan pada lahan kritis yang di Kabupaten Wonogiri mencapai 26.991 ha Inovasi teknologi budidaya mete (pemupukan) dapat meningkatkan hasil antara 20-30%, sedangkan pengelolaan paska panen dapat meningkatkan produktivitas 30-40%, Dana BPLM bagi penguatan modal kelompok mampu meningkatkan pendapatan Rp. 251.000/bulan/petani. Jumlah dana BPLM 2002 yang dikembangkan pada kelompok tani selama 3 tahun (2002-2004) berkembang sebesar 75%, sedangkan BPLM 2003 selama 2 tahun (2003 - 2004) perkembangannya bervariasi antar kelompok (14,5% - 56,5%). Disarankan untuk pengembangan agroindustri mete, BPLM yang diimplementasikan dikaitkan dengan usaha produktif lain yang mendukung pengembangan agroindustri mete. Pembinaan maupun pelatihan perlu dilakukan tidak hanya terbatas pada aspek teknis tetapi juga aspek manajemen. Batas waktu pengembalian BPLM perlu ditinjau kembali disesuaikan dengan arus perputaran modal dan perlu memberikan tenggang waktu.
Abdullah, A. 2000. Posisi Jambu Mete dan Prospek Pengembangannya di Indonesia. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor Dinas Perkebunan Propinsi Jawa Tengah. 2003. Laporan Tahunan. Dinas Perkebunan Propinsi Jawa Tengah. Ungaran Fagi dan Karyasa. 2004. Ulasan Makalah Sistem dan Kelembagaan Usahatani Tanaman - Ternak. Badan Litbang Pertanian. Departemen pertanian. Jakarta. Kirk, R. E and Othmer D. F. 1982a. Encyclopedia Chemical Engineering. Vol 10. The Interscience Encyclopedia. Inc., New York. Kirk, R. E and Othmer D. F. 1982b. Encyclopedia Chemical Engineering. Vol 11. The Interscience Encyclopedia. Inc., New York. Rahardjo, 1994. Sumberdaya Manusia dalam Pengembangan agribisnis. UGMYogjakarta. Retno, A. S. L., Darwati dan Mega. K. 2003. Pemanfaatan Limbah Kulit Biji Jambu Mete Sebagai Bahan Perekat Kayu. Prosiding Workshop dan Seminar Hasil Penelitian. Badan Penelitian dan Pengembangan Propinsi Jawa Tengah. Statistik Perkebunan Kabupaten Wonogiri, 2004. Perkebunan Dalam Angka. Dinas Perkebunan Kabupaten Wonogiri, Wonogiri. Syahyuti. 2003. Bedah Konsep Kelembagaan. Pusat Penelitian dan Pengembangan sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
PUSTAKA Abdullah dan Las. 1985. Peta Kesesuaian Iklim dan Lahan untuk Pengembangan Jambu Mete di Indonesia.
647
Prosiding Seminar Nasional
DUKUNGAN TEKNOLOGI PENGENDALIAN HAMA TERPADU PADA PENGEMBANGAN USAHATANI JERUK DI DI LAHAN PESISIR PANTAI SELATAN KULON PROGO Tri Martini dan Prajitno al KS Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta
ABSTRAK Usahatani jeruk di lahan pasir pesisir pantai selatan Kulon Progo berkembang pesat dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Berkembangnya usaha penanaman jeruk tersebut merupakan gejala yang sangat positif dalam pembangunan pertanian di Kulon Progo. karena akan dapat memperluas lapangan kerja bagi masyarakat, khususnya generasi muda. Wilayah pengembangan yang paling luas terdapat di Kecamatan Panjatan, di mana pada tahun 2006 mendapatkan bantuan benih dari berbagai instansi pemerintah, di antaranya Pemerintah Kabupaten Kulon Progo, Balai Pengkajian Teknologi (BPTP) Yogyakarta, dan Bank Pembangunan Daerah (BPD) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Peningkatan luas areal tanam belum diikuti dengan peningkatan produktivitas dan mutu buah. Permasalahan yang banyak dijumpai di lapangan di antaranya harga produksi yang berfluktuatif, mutu buah yang tidak kompetitif, serta kualitas buah yang rendah karena meningkatnya serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Oleh karena itu perlu didukung dengan inovasi teknologi yang spesifik lokasi. Tujuan pengkajian ini adalah melakukan inventarisasi OPT serta menyediakan dukungan inovasi teknologi, khususnya pengendalian hama terpadu (PHT) untuk menunjang usahatani jeruk. Untuk menggali masalah telah dilakukan pendekatan Participatory rural appraisal (PRA) dan selanjutnya dirancang penelitian dan pengkajian lapang. Dari hasil penelitian diperoleh informasi permasalahan pada tingkat petani di antaranya, rekomendasi pemupukan spesifik lokasi belum tersedia, produktivitas dan mutu buah masih rendah, gangguan hama penyakit cukup tinggi, dan belum tersedianya informasi teknologi budidaya, terutama pengendalian hama dan penyakit penting. Hasil inventarisasi OPT diketahui bahwa serangan hama kutu thrips dominan pada pertanaman jeruk dengan intensitas kerusakan mencapai 30%. Selain itu ditemukan pula serangan penyakit CVPD pada beberapa pertanaman jeruk dengan persentase serangan mencapai 0,05 hektar. Kata Kunci: Jeruk, pengendalian hama terpadu, usahatani lahan pasir, inventarisasi, organisme pengganggu tanaman
PENDAHULUAN Tantangan utama yang harus dihadapi dalam budidaya jeruk di lahan pasir pesisir pantai selatan Kulon Progo adalah kemampuan untuk menghasilkan buah jeruk dengan kualitas yang baik. Untuk itu kondisi jeruk yang ada sekarang harus segera diperbaiki, terutama kualitas buah dan efisiensi biaya produksi. Untuk itu pendekatan yang perlu dipertimbangkan adalah keselarasan lingkungan fisik (iklim, intensitas cahaya, curah hujan dan suhu), budidaya (teknologi on farm meliputi bibit, jarak tanam, pemangkasan, penjarangan buah, pengairan, pemupukan, pengendalian OPT, sanitasi kebun dan ZPT) dan manajemen pasca panen (sortasi, pencucian, greening, pelilinan, packing dan branding). Permasalahan agribisnis jeruk nasional cenderung semakin kompleks. Permasalahan yang banyak dijumpai di lapangan di antaranya harga produksi yang berfluktuatif, mutu buah yang tidak kompetitif,
648
meningkatnya organisme pengganggu tanaman (OPT), penggunaan bahan kimia yang berlebihan, industri benih yang lemah, rendahnya tingkat adopsi teknologi anjuran, lemahnya kelembagaan petani serta pengembangan jeruk di beberapa wilayah masih bersifat parsial belum sepenuhnya berorientasi agribisnis. Masalah lain yang menyebabkan rendahnya produktivitas jeruk di Indonesia adalah belum terbebasnya sentra produksi jeruk dari penyakit CVPD karena petani belum menerapkan teknologi anjuran (Supriyanto, 2002). Kondisi jeruk di beberapa daerah sentra produksi pada umumnya belum mencerminkan skala agribisnis, karena banyak kantong-kantong kecil dan terpencar di daerah kawasan pengembangan sentra produksi yang membentuk satu hamparan. Hal ini mengakibatkan teknologi anjuran sulit diterapkan secara benar dan utuh, karena konsolidasi pengelolaan kebun kelompok tani sulit dilakukan sesuai yang direkomendasi
Prosiding Seminar Nasional kan. Untuk itu perlu terobosan inovasi teknologi yang memungkinkan komponen teknologi yang telah dihasilkan oleh Balai/Loka Penelitian yang telah dirakit dan dimodifikasi oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) sebagai teknologi anjuran spesifik lokasi dapat segera sampai dan diterapkan oleh petani dan pelaku agribisnis jeruk lainnya (Suryana, 2004). Dalam perdagangan buah jeruk Siem Madu, standar mutu yang diakui secara nasional belum tersedia, sehingga acuan dalam proses pengadaan komoditas tersebut mulai dari lapangan hingga ke pemasarannya masih belum seragam. Perbaikan mutu dan adanya standardisasi mutu jeruk Siem Madu dengan spesifikasi teknik merupakan pedoman bagi produsen dalam menghasilkan komoditas tersebut. Jeruk Siem Madu yang memenuhi ketentuan standar akan memberikan kepercayaan bagi pembeli dan memberikan rasa aman bagi konsumen serta mempermudah pemasaran dan memperkuat daya saing di pasaran. Gejala kerusakan buah karena serangan hama antara lain (1) bentuk buah tidak normal, (2) buah membusuk, dan (3) buah gugur dini (sebelum waktu panen). Serangan lalat buah dilaporkan dapat menurunkan produksi sebesar 90%. Serangan hama khususnya lalat buah terhadap komoditas hortikultura, seperti cabai merah, tomat, jambu biji, jambu air, mangga, belimbing, melon, apel, jeruk dan lainnya menyebabkan buah busuk dan berbelatung. Keberhasilan dalam penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) memerlukan pemahaman tentang biologi, ekologi dan cara-cara pengendalian dari hama dan penyakit sasaran. Selain itu diperlukan pula pemahaman tentang cara petani menelaah hama dan penyakit tersebut, sikap dan keyakinannya serta tindakan pengendalian yang dilakukannya. Informasi semacam itu merupakan salah satu komponen penting yang perlu digali dalam rangka pengembangan PHT, karena dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang pola pengambilan keputusan yang dilakukan oleh petani.
BAHAN DAN METODE Penelitian observasi intensitas serangan OPT dilakukan di Ponjong, Kabupaten Kulon
Progo, pada lahan pesisir pantai selatan Kulon Progo seluas + 2 hektar pada MK 2006. Pengamatan observasi serangan OPT dilakukan dengan metode survey melalui pendekatan participatory rural appraisal (PRA) di lokasi yang dipilih menurut metode sengaja (purposive). Variabel yang diamati adalah keberadaan OPT yang menyerang dan berat serangan OPT, dengan menggunakan metode selektif. Klasifikasi tingkat serangan sesuai dengan kategori dari pedoman yang dianjurkan Direktorat Perlindungan Tanaman (2002) sebagai berikut (Tabel 1). Tabel 1. Kategori serangan Kategori Serangan
Tanaman Terserang (x)
Ringan
x < 11%
Sedang
11% > x < 25%
Berat
25% > x < 75%
Puso
75% > x < 100%
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil PRA menunjukkan bahwa salah satu permasalahan yang dihadapi petani dalam mengelola usahatani jeruk adalah belum adanya rekomendasi paket teknologi pemupukan yang bersifat spesifik lokasi. Direktorat Tanaman Buah sebenarnya sudah menerbitkan beberapa buku atau petunjuk teknik pemupukan tanaman jeruk, tetapi informasi yang disampaikan masih bersifat umum dan untuk beragam varietas serta agroekosistem yang sangat bervariasi. Pemupukan merupakan tindakan budidaya yang penting pada tanaman jeruk, di mana dalam perencanaan harus memperhatikan kaidah efektivitas dan efisiensi pemupukan, mengingat biaya yang digunakan cukup tinggi, yaitu 30 - 45% dari biaya produksi. Banyak faktor yang berpengaruh terhadap efektivitas dan efisiensi pemupukan, di antaranya kondisi tanah dan iklim, jenis dan umur tanaman, produktivitas tanaman, dan sifat pupuk itu sendiri. Pengelolaan pupuk yang tepat perlu disesuaikan dengan karakteristik tanah dan kebutuhan hara tanaman. Pemupukan di lapangan akan berhasil mencapai sasarannya jika dalam pelaksanaannya mempertimbangkan: (1) Jumlah unsur hara yang diberikan
649
Prosiding Seminar Nasional kepada tanaman cukup dan berimbang sesuai dengan tingkat kesuburan tanah dan keperluan tanaman untuk suatu target produksi tertentu, (2) Setiap jenis pupuk harus memiliki kualitas baik dan ramah lingkungan, (3) Pemberiannya menurut kaidah lima tepat, yaitu tepat jenis pupuk, kombinasi hara, dosis, waktu dan cara aplikasinya.
dilapangan karena satu jenis pupuk majemuk mengandung keseluruhan atau sebagian besar hara yang dibutuhkan. Di pihak lain, beberapa perusahaan yang bergerak dibidang distibutar pupuk juga telah mengeluarkan anjuran berupa paket pemupukan yang menurut mereka terbaik untuk tanaman jeruk. Oleh karena itu masih perlu dilakukan pengkajian untuk menentukan paket teknologi pemupukan spesifik lokasi.
Pendekatan pemupukan berdasarkan tingkat kesuburan tanah, umur tanaman, dan kebutuhkan tanaman untuk menyusun rekomendasi pemupukan adalah yang paling akurat, tetapi mengingat lahan petani yang terpencar dan relatif sempit, serta membutuhkan biaya penelitian yang cukup besar belum dapat dilakukan oleh pekebun jeruk.Penggunaan pupuk majemuk dikalangan petani hortikultura sudah biasa dilakukan, mengingat pupuk majemuk dapat menutupi kekurangan pupuk tunggal. Pupuk majemuk memiliki keunggulan dibanding dengan pupuk tunggal, yaitu lebih praktis dalam pemesanan, transportasi, penyimpanan dan aplikasinya
Prosedur kegiatan penanaman pohon jeruk yang akan dilakukan berdasarkan rekomendasi umum dari Loka Penelitian Tanaman Jeruk dan Hortikultura Sub Tropik, Tlekung, Kota Batu, Jawa Timur. Hingga kini belum tersedia dosis pupuk anjuran yang berlaku umum untuk seluruh pertanaman jeruk di Indonesia karena sangat dipengaruhi oleh jenis tanah dan agroklimat setempat. Dosis pemupukan tanaman jeruk berdasarkan hasil rekomendasi umum Lolit Jeruk (Tabel 2) untuk tanaman jeruk belum berproduksi atau hingga umur 4 tahun adalah sebagai berikut :
Tabel 2. Paket teknologi pemupukan pohon jeruk belum produksi Umur
Jenis Pupuk
(tahun)
Urea (g/pohon)
ZA (g/pohon)
TSP (g/pohon)
ZK (g/pohon)
Dolomit (g/pohon)
Pukan (kg/pohon)
0–1 1–2 2–3 3–4
100 200 300 400
200 400 600 800
25 50 75 100
100 200 300 400
200 400 600 800
20 40 60 80
Sumber : Lolit Jeruk (2003)
Teknik aplikasi pemupukannya adalah sebagai berikut :
KI
: diberikan bersama pemupukan N I, ½ dosis
•
K II
: diberikan bersama pemupukan N II, ½ dosis
Pemberian unsur N (Urea dan ZA) : NI N II
: setelah pemberian kandang ½ dosis
pupuk
: 1,5 – 2 bulan setelah pemberian N I sebanyak ¼ dosis
N III : 1,5 – 2 bulan setelah pemberian N II sebanyak ¼ dosis •
Pemberian P (TSP) diberikan seluruhnya bersamaan dengan pemupukan N I. Catatan : 1 gram TSP = 1,39 gram SP-36
•
Pemberian K (ZK) :
650
•
Pemberian pupuk kandang dan dolomit diberikan bersamaan menjelang musim hujan.
Sedangkan rekomendasi pemupukan untuk tanaman berproduksi, perlu mempertimbangkan jenis tanah, agroklimat, dan perkembangan tanaman, sesuai Tabel 3. Teknik aplikasi pemupukannya sama dengan cara di atas. Selain pupuk di atas, perlu pula dilakukan penyemprotan dengan Pupuk Pelengkap Cair yang pemberiannya melalui daun setiap 2
Prosiding Seminar Nasional minggu dengan dosis sesuai anjuran disesuaikan dengan kebutuhan dan stadia pertumbuhan tanaman, terutama dalam mencukupi kebutuhan unsur mikronya. Penyiraman dilakukan secara periodik, tidak berlebihan, dan diusahakan jangan sampai terjadi kekeringan.
Sementara itu kendala lain yang sering dihadapi petani jeruk adalah tingginya serangan OPT. Oleh karena itu untuk mengendalikan serangan, dilakukan diaplikasikan paket teknologi PHT sesuai Tabel 4.
Tabel 3. Paket teknologi pemupukan pohon jeruk sudah produksi Umur (tahun)
Jenis Pupuk Urea (g/pohon)
ZA (g/pohon)
TSP (g/pohon)
ZK (g/pohon)
Dolomit (g/pohon)
Pukan (kg/pohon)
4–5 5–6 6–7 7–8
500 600 700 800
1000 1200 1400 1600
125 150 175 200
500 600 700 800
1000 1200 1400 1600
100 120 140 160
>8
1000
2000
200
800
2000
200
Sumber : LOLIT JERUK (2003)
Tabel 4. Paket teknologi pengendalian hama terpadu Organisme Pengganggu Tanaman (OPT)
PHT 1 (Paket Dasar)
1.
Blendok (B. theobromae)
1. Perawatan kebersihan kebun 2. Pemangkasan ranting terserang dan membakarnya 3. Penyaputan batang dan cabang dengan Bubur Bordo (Pabrik) pada awal dan akhir musim hujan
2.
Vektor Huang Lung Bin / CVPD (Diaphorina citri)
1. Penyemprotan insektisida bahan aktif Dimethoate dan atau Endosulfan pada pagi hari sebelum pukul 07.00 2. Pemeliharaan kelestarian musuh alami (Tamarixia radiata dan Diaphorencyrtus aligarhensis)
3.
Lalat buah (Bactrocera sp.)
1. Pembungkusan buah mulai umur 1,5 bulan dengan kantong plastik 2. Pemusnahan buah jeruk terserang dengan cara membakarnya 3. Penggunaan atraktan/perangkap lalat buah dengan senyawa Methyl Eugenol (ME) yang dikombinasi dengan insektisida kontak (bahan aktif fenpropatrin), 15 – 25 perangkap per hektar
Di desa di Ponjong, Kabupaten Kulon Progo, terdapat hamparan pertanaman jeruk yang luasnya sekitar 2 ha (Gambar 1). Pada lahan tersebut ditanam jeruk keprok. Serangan hama kutu thrips dominan pada pertanaman jeruk dengan intensitas kerusakan mencapai 30%.
Hasil evaluasi tanaman jeruk di di Ponjong, Kabupaten Kulon Progo ternyata ditemukan serangan penyakit CVPD pada beberapa tanaman jeruk dengan persentase serangan mencapai 0,05 hektar. Sedangkan serangan penyakit bledok (Botryodiplodia sp) mencapai 20%. Tingkat serangan penyakit
651
Prosiding Seminar Nasional blendok (Botryodiplodia theobromae) dapat dipakai sebagai tolok ukur terhadap tingkat pemeliharaan yang sudah dilakukan, makin intensif pemeliharaan dapat menurunkan
tingkat serangan penyakit. Gejala yang ditimbulkan atas patogen ini adalah keluarnya blendok (gum) dari batang atau cabang yang terinfeksi (Gambar 1).
Gambar 1. Searah jarum jam: Hamparan jeruk di lahan pesisir pantai selatan Kulon Progo; blendok pada batang tanaman jeruk; Gejala serangan kutu pada bagian bawah Serangan daun jeruk; Kerusakan tanaman jeruk akibat serangan CVPD Dari hasil pengkajian dan sosialisasi teknologi Pengendalian Hama Terpadu (PHT) di tingkat petani jeruk di lahan pasir pesisir pantai selatan Kulon Progo, dapat disimpulkan bahwa petani masih harus mendapatkan pendampingan rutin dalam pelaksanaan program PHT jeruk. Praktek PHT yang dianjurkan, berdasarkan hasil pengkajian adalah: -
Pengendalian hama, penyakit dan gulma yang menyerang pertanaman jeruk harus rutin dilakukan dengan penyemprotan insektisida, fungisida, dan herbisida, serta tetap mempertimbangkan keberadaan dan pemanfaatan musuh alami.
-
Pengendalian hama dan penyakit pada pertanaman akan lebih efektif jika dilakukan secara terpadu di suatu kawasan sentra produksi. Dalam
652
kaitannya dengan penerapan Teknologi Pengelolaan Terpadu Kebun Jeruk, pengendalian hama penyakit tersebut di atas harus dilakukan secara menyeluruh oleh seluruh anggota Kelompok Tani di suatu kawasan kebun produksi tanaman jeruk secara utuh dan serentak. Kunci utama PHT adalah monitoring secara rutin populasi hama dan intensitas serangan penyakit sebagai dasar keputusan perlu/tidaknya penggunaan pestisida sebagai alternatif terakhir langkah pengendalian organisme pengganggu tanaman. Berdasarkan monitoring rutin organisme pengganggu tanaman, dapat diketahui bahwa penggabungan praktek-praktek PHT dan budidaya tanaman sehat secara kompatibel dan terpadu mampu menekan terjadinya serangan berat organisme pengganggu tanaman.
Prosiding Seminar Nasional KESIMPULAN Serangan hama kutu thrips dominan pada pertanaman jeruk dengan intensitas kerusakan mencapai 30%. Ditemukan serangan penyakit CVPD pada beberapa tanaman jeruk dengan persentase serangan mencapai 0,05 hektar. Serangan penyakit bledok (Botryodiplodia sp) mencapai 20%. Petani jeruk lahan pasir Kulon Progo belum menerapkan PHT secara benar, karena kunci utama PHT monitoring secara rutin hama dan penyakit sebagai dasar keputusan perlu/tidaknya penyemprotan pestisida belum dilakukan.
PUSTAKA Direktorat Jendral Tanaman Pangan dan Hortikultura. 2002. Rekomendasi Pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan Hortikultura. Direktorat Bina Perlindungan Tanaman. Jakarta.
Lolit Jeruk 2003. Pengelolaan Terpadu Kebun Jeruk Sehat, Strategi Pengendalian Penyakit CVPD. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Supriyanto, A. 2002. Kajian Teknologi dan Manajemen untuk Membangun Indutri Benih Jeruk yang Tangguh. Makalah disampaikan pada Semiloka Nasional Pengembangan Jeruk dan Pameran Buah Jeruk Unggulan di Bogor, 10-11 Juli 2002. Suryana, A. 2004. Kebijakan Penelitian dan Pengembangan Mendukung Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis Jeruk. Prosiding Seminar Jeruk Siam Nasional di Surabaya, 15-16 Juni 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Badan Litbang Pertanian. Hal. 378 – 395.
653
Prosiding Seminar Nasional
KELEMBAGAAN KEMITRAAN USAHA AGROINDUSTRI LEMPUYANG WANGI Cahyati Setiani dan Sarjana Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah
ABSTRAK Kajian kelembagaan kemitraan kgroindustri lempuyang wangi dilakukan pada tahun 2006 di daerah sentra produksi simplisia lempuyang wangi Desa Kalitengah, Kecamatan Jiken dan Desa Bogem, Kecamatan Japah, Kabupaten Blora. Inovasi kelembagaan kemitraan difokuskan pada penyusunan kesepakatan tentang pembagian kerja antara penambang, kelompok tani dan pedagang pengepul. Hasil kajian menunjukkan bahwa (a) Hasil penambangan lempuyang wangi selama kurun waktu 10 tahun mengalami penurunan dari 100 kg menjadi 5 – 10 kg/orang/hari, (b) Sumbangan pendapatan dari hasil penambangan lempuyang wangi terhadap pendapatan rumahtangga mencapai 13,56%, (c) Struktur organisasi tekstual yang dibentuk kurang efektif dan yang berjalan adalah struktur faktual, (d) Peran organisasi masih dalam taraf hubungan kontrakstual dan disorganisatif, (e) Kondisi lingkungan eksternal yang mendorong agroindustri lempuyang wangi adalah terjaminnya pasar, dan (f) Kinerja kemitraan belum optimal dan memerlukan penataan organisasi yang dapat mendorong kontinyuitas pasokan bahan baku lempuyang wangi. Kata Kunci: Lempuyang wangi, agroindustri, kelembagaan, kemitraan
PENDAHULUAN Tanaman Lempuyang Wangi (LW) termasuk familia Zingiberaceae (Jamaran, 1996). Pemanfaatan LW) sebagai bahan baku industri obat, prospektif untuk dikembangkan (Badan Litbang Pertanian, 2005). Salah satu sentra produksi LW di Jawa Tengah adalah di Kabupaten Blora, utamanya di Kecamatan Jiken dan Japah. Walaupun potensi lahan untuk pengembangan budidaya tanaman ini relatif cukup luas, namun produksi LW masih mengandalkan pengambilan secara langsung dari alam (hutan) yang pada umumnya dijual dalam bentuk rimpang. Untuk meningkatkan pendapatan petani, pengelolaan LW perlu diarahkan pada usaha agroindustri. Pengembangan agroindustri membuka peluang kesempatan kerja dan usaha bagi masyarakat pada bidang-bidang agroindustri itu sendiri maupun bidang-bidang usaha terkait ke depan maupun ke belakang. Berkembangnya usaha-usaha agroindustri juga akan merangsang perkembangan usahatani untuk lebih produktif dan menghasilkan produk yang lebih berkualitas. Dengan demikian berkembangnya usahausaha agroindustri akan memperluas peluang peningkatan pendapatan rumah tangga tani (Sarjana et al., 2005). Karakteristik agroindustri yang menunjukkan keberhasilan adalah adanya ketergantungan antar elemen agroindustri. 654
Austin (1992) dalam Siregar dan Friyatno (2002), menyatakan bahwa pemahaman keterkaitan antara elemen-elemen yang terdiri dari tiga kegiatan inti (pengadaan bahan baku, pengolahan, dan pemasaran) sangat diperlukan untuk mencapai keberhasilan dalam merancang dan mengoperasikan agroindustri. Oleh sebab itu pengembangan agroindustri harus didasarkan pada kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada tiga komponen dasar agroindustri tersebut. Pemasaran biasanya merupakan titik awal dalam analisis proyek agroindustri (Siregar dan Friyatno, 2002). Mengingat ketergantungan antar elemen agroindustri merupakan hal yang sangat krusial, maka dalam mengembangkan agroindustri LW diperlukan adanya kemitraan usaha antara petani sebagai penyedia bahan baku dan pengolah serta pedagang sebagai pembeli dan penyalur produk simplisia kering kepada unit-unit usaha lanjutan (pabrik jamu dan industri jamu tradisional) sebagai konsumen. Berkaitan dengan hal tersebut, telah dilakukan pengkajian mengenai kelembagaan kemitraan usaha agroindustri lempuyang wangi.
BAHAN DAN METODE Kajian kelembagaan agroindustri LW dilakukan Kalitengah, Kecamatan Jiken
kemitraan di Desa dan Desa
Prosiding Seminar Nasional Bogem, Kecamatan Japah, Kabupaten Blora, Jawa Tengah pada tahun 2006. Daerah Kabupaten Blora diapit oleh jajaran Pegunungan Kendeng Utara dan Pegunungan Kendeng Selatan terletak pada ketinggian antara 30 - 280 m dpl. (BPS Blora, 2006). Pemilihan lokasi didasarkan pemikiran bahwa basis utama pengembangan agroindustri LW adalah kesiapan dan ketersediaan bahan baku (Austin, 1992, dalam Siregar dan Friyatno, 2002). Sentra produksi LW di Kabupaten Blora tersebar di daerah pedesaan sekitar hutan, antara lain di Kecamatan Jiken dan Japah (Sarjana et al., 2005). Inovasi kelembagaan kemitraan difokuskan di kelompok tani (KT) Makmur I (Desa Bogem) dan Kelompok Wanita Tani (KWT) Cempaka Sari (Desa Kalitengah), utamanya pada aspek keorganisasian, institusi, dan penyusunan kesepakatan tentang pembagian kerja maupun nilai tambah agroindustri antar pelaku, yaitu penambang dengan pedagang pengepul. Data dan informasi yang dikumpulkan meliputi karakteristik penambang dan pengepul lempuyang wangi, aspek keorganisasian (struktur, tujuan, peran, kepemimpinan, konflik, dan tingkat kelanggengan), aspek institusi (lingkungan eksternal, motivasi kelembagaan, kapasitas kelembagaan, dan kinerja kelembagaan), dan kinerja kemitraan. Data diperoleh melalui pertemuan-pertemuan dengan kooperator dan stakeholders, serta dari record keeping yang dilakukan selama kegiatan pengkajian berlangsung. Data dan informasi yang dikumpulkan dianalisis secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Penambang Lempuyang Wangi Kegiatan mencari LW di hutan sekitar desa, dilakukan oleh wanita tani pada awal Mei sampai pertengahan September. Pada awal musim kemarau dan awal musim hujan pencarian lebih mudah karena tanda-tanda keberadaan tanaman kelihatan. Pada saat tersebut walaupun daun sudah mengering tetapi masih menempel pada rimpang, sedangkan pada awal musim hujan rimpang sudah mulai keluar tunas kembali. Namun
demikian, kualitas produk pada tersebut relatif rendah. Kualitas adalah hasil dari penambangan pada musim kemarau (sekitar Juli) sampai menjelang hujan turun.
musim terbaik puncak dengan
Berkurangnya areal hutan dan penambangan secara tidak terkendali (bongkar habis) menyebabkan rumpun LW semakin sulit dicari dan jarak tempuh serta waktu pencarian semakin menjauh dari pemukiman. Jarak tempuh dari sentra-sentra pemukiman pencari hasil hutan saat ini mencapai 10-15 km. Mobilitas pencari hasil hutan semakin tinggi, yaitu tidak hanya terbatas di hutan sekitar pemukiman tetapi sudah lintas desa dan kecamatan. Alokasi waktu untuk kegiatan penambangan bervariasi tergantung jarak tempuh lokasi pencarian. Untuk desa-desa yang memiliki kawasan hutan yang relatif masih terpelihara membutuhkan waktu sekitar 3-5 jam (berangkat sekitar jam 8.00 dan pulang sekitar jam 13.00). Sedangkan untuk mencari ke desa atau kecamatan lain alokasi waktu yang dibutuhkan dapat mencapai sekitar 9-11 jam (berangkat sekitar jam 7.00 dan pulang sekitar jam 17.00). Kapasitas produksi sangat bervariasi tergantung kemampuan fisik dalam menggali maupun membawa pulang rimpang segar dan jumlah rumpun tanaman yang ditemukan di hutan. Secara umum produksi mencapai sekitar 2050 kg segar atau 5 – 10 kg simplisia kering/orang/hari. Sumbangan pendapatan dari hasil penambangan terhadap pendapatan rumahtangga mencapai 13,56% (Gambar 1). Belum ada pendataan jumlah penambang hasil hutan dari setiap desa, tetapi berdasarkan wawancara dengan para penambang diperkirakan terdapat sekitar 20 orang pada setiap desa di sekitar hutan. Operasional penambangan hasil hutan belum terorganisir, walaupun untuk menjangkau lokasi penambangan dilakukan secara berkelompok.
655
Prosiding Seminar Nasional
13.43 5.26
38.05
21.78 7.64
0.28
13.56
Usahatani
Menambang hasil hutan
Usaha jasa pertanian
Usaha non pertanian
Transfer (hibah & pinjaman)
Buruh pertanian
Buruh non pertanian
Gambar 1. Kontribusi penambangan hasil hutan terhadap pendapatan rumah tangga petani di sekitar hutan Dalam penambangan hasil hutan tidak ada pewilayahan kerja, masyarakat di suatu desa dapat melakukan penambangan di sekitar hutan desa lain, bahkan di wilayah kecamatan lain. Model pemanfaatan sumber daya alam yang demikian menyebabkan para penambang
kurang peduli terhadap kelestarian sumber daya. Semakin menipisnya populasi LW di hutan mendorong para penambang melakukan penggalian habis setiap rumpun yang ditemukannya.
Tabel 1. Karakteristik penambang lempuyang wangi di Kabupaten Blora Karakteristik
Keragaan
Pelaku
•
Wanita
Waktu Penambangan
•
Awal Mei – Pertengahan september
Kualitas Produk
•
Musim Hujan :Relatif rendah
•
Musim Kemarau : Relatif Baik
Jarak Tempuh
•
10 – 15 Km
Waktu Tempuh
•
3-11 Jam
Hasil
•
20 – 50 Kg rimpang segar/ hari (5-10 Kg simplisia kering)
Karakteristik Pengepul Lempuyang Wangi Berdasarkan skala dan wilayah usahanya, pengepul dikategorikan sebagai pengepul tingkat desa, kecamatan dan tingkat kabupaten. Pengepul tingkat desa hanya menampung hasil penambang secara langsung di desa tempat tinggalnya. Umumnya di setiap sentra penambang terdapat dua orang pengepul tingkat desa. Skala usaha penampung ini sekitar setengah kwintal simplisia kering setiap hari atau sekitar 3 ton setiap musim. Pengepul tingkat desa tidak spesifik melakukan jual beli LW, tetapi juga melakukan jual-beli produk pertanian lain. 656
Pengepul tingkat kecamatan dapat menampung hasil penambang secara langsung maupun melalui pengepul lain dari desa tempat tinggal atau desa lain (lintas desa) dalam satu kecamatan. Kapasitas penampung ini sekitar 20 ton setiap musim. Pengepul tingkat kecamatan juga tidak spesifik melakukan jual beli LW, tetapi juga melakukan jual-beli produk pertanian lain, baik hasil budidaya maupun hasil penambangan tanaman dan satwa liar. Pengepul tingkat kabupaten menampung hasil penambang secara langsung maupun melalui penampung lain dari kecamatan
Prosiding Seminar Nasional setempat atau kecamatan lain (lintas desa antar kecamatan) di Kabupaten Blora. Kapasitas penampung mencapai sekitar 50 ton simplisia kering per-musim. Penampung tingkat kabupaten memasarkan simplisia kering ke sub-sub agen/agen pemasok bahan baku pabrik jamu, yang antara lain berlokasi di Solo, Sragen, dan Semarang. Domisili pengepul tingkat kabupaten tersebar di 3 kecamatan, yaitu Randublatung, Jepon, dan Japah. Pembagian wilayah terjadi secara alamiah sejalan dengan perkembangan skala usaha masing-masing. Pengepul lempuyang wangi tingkat desa, kecamatan maupun kabupaten melakukan proses lanjutan, meliputi pembersihan kotoran, pengeringan kembali untuk mendapatkan tingkat kekeringan yang ideal, dan sortir berdasarkan ukuran dan kualitas. Semua pegepul yang diwawancarai belum pernah kesulitan memasarkan lempuyang wangi. Permasalahan yang ada meliputi
pemenuhan standar mutu olahan di tingkat penambang yang masih rendah dan keberlanjutan produksi LW yang menggantungkan pada penambangan tanaman liar. Upaya pengembangan agroindustri LW perlu memberikan perhatian pada perbaikan kualitas olahan/simplisia dan peningkatan kapasitas pasokan bahan baku. Perbaikan kualitas olahan lempuyang wangi diharapkan dapat meningkatkan penerimaan unit usaha pengolahan. Kondisi itu dapat tercapai hanya apabila pengalihan resiko perbaikan kualitas dari pedagang kepada pengolah diikuti oleh transfer nilai tambah produk olahan dari pedagang kepada pengolah, melalui kenaikan harga produk. Peningkatan kapasitas pasokan bahan baku dapat dilakukan melalui pengembangan budidaya. Usaha budidaya dapat berkembang apabila dari segi harga yang diterima petani menguntungkan.
Tabel 2. Karakteristik pengepul lempuyang wangi di Kabupaten Blora Karakteristik Pelaku Katagori
Pengepul Tingkat Desa Pengepul Tingkat Kecamatan Pengepul Tingkat Kabupaten
Keragaan • • • • • • • • • • • •
Pria Pembagian wilayah berdasarkan skala usaha Tingkat Desa Tingkat Kecamatan Tingkat Kabupaten Menampung hasil dari penambang Skala usaha : 50 kg - 3 ton/musim Menampung hasil dari penambang, pengepul lain dalam satu kecamatan Skala usaha: 20 ton/musim Menampung hasil dari penambang, pengepul lain dalam satu kabupaten Skala usaha: 50 ton/musim Pemasaran ke agen pemasok bahan baku perusahaan jamu (Solo, Sragen, Semarang)
Aspek Keorganisasian Agroindustri Lempuyang Wangi Kelompok tani (KT) Makmur I dan KWT Cempaka Sari terbentuk secara top down berdasarkan program pemerintah yaitu progran Kredit Usahatani (KUT) dan Kredit Investasi Kecil (KIK). Seiring dengan berakhirnya program kelompok tersebut menjadi tidak mempunyai kegiatan. Aktivitas kelompok ditumbuhkan kembali melalui
kegiatan pengkajian kelembagaan kemitraan usaha agroindustri lempuyang wangi. Reorganisasi dilakukan dengan struktur seperti pada Gambar 2. Fungsi dan tugas dari masing-masing devisi juga telah dideskripsikan. Reorganisasi dilakukan utamanya untuk meningkatkan kinerja kelompok dalam mencapai tujuan, yaitu (a) Meningkatkan kualitas produk olahan, (b) Menjalin kemitraan, dan (c) Meningkatkan pendapatan.
657
Prosiding Seminar Nasional
KETUA
MANAJEMEN UNIT USAHA PENGOLAHAN SIMPLISIA
DIVISI AGROINPUT DAN BAHAN BAKU
DIVISI PRODUKSI
DEWAN PEMBINA
DIVISI PEMASARAN
MITRA PEMASARAN Gambar 2. Struktur organisasi KT Makmur I dan KWT Cempaka Sari Ketua kelompok dipilih berdasarkan kemampuan dan ketokohan dalam masyarakat setempat. Sebenarnya pemilihan kepemimpinan berdasarkan kemampuan cenderung lebih baik dibandingkan berdasarkan azas senioritas dan atau paternalistik. Hanya saja, walaupun ketua kelompok tani dinilai mempunyai kemampuan terbaik di antara masyarakat yang ada, namun kemampuan yang dimiliki belum dapat mengorganisir dan mengarahkan aktivitas kelompok yang dibentuk untuk mencapai tujuan. Ketua kelompok sangat berperan dalam pemasaran sekaligus mengkoordinir bahan pasokan serta proses olahannya. Pengambilan keputusan mutlak ada di tangan ketua kelompok dan musyawarah yang dilakukan hanya sebatas sosialisasi kegiatan/ pekerjaan yang harus dilakukan oleh anggota. Jadi anggota secara tidak langsung sebetulnya hanya berperan sebagai tenaga kerja upahan (kegiatan menanam, panen, dan mengolah produk dilakukan oleh anggota dan diupah). Walaupun tidak mencuat secara vulgar, timbul konflik di dalam KT Makmur I dan KWT Cempaka Sari. Konflik yang terjadi bersifat interpersonal yang disebabkan oleh kurang transparannya ketua kelompok dalam mengelola keuangan. Namun, pengaruh budaya Jawa yang mengganggap urusan
658
materi adalah tabu untuk dipersoalkan, menjadikan sebagian besar anggota tidak mempermasalahkan, tetapi mengambil sikap lain yaitu tidak mengikuti kegiatan/aturan kelompok yang telah disepakati. Berdasarkan kenyataan yang ada, organisasi KT Makmur I dan KWT Cempaka Sari cenderung tidak akan berlanjut dan atau berkembang apabila tidak ada perubahan/perbaikan dalam faktor-faktor kritis yang telah disebutkan. Upaya penyadaran pentingnya kerja kolektif dari unsur penyedia bahan baku, pengolah dan pengepul untuk dapat melestarikan dan mengembangkan sumber penghasilan dari agroindustri lempuyang wangi harus dilakukan secara lebih intensif. Upaya tersebut juga perlu didukung dengan adanya pembinaan manajemen kelompok untuk membangun kerja kolektif. Permasalahan tersebut di atas, menunjukkan bahwa walaupun sudah dibentuk struktur organisasi beserta fungsi dan tugasnya (job description) tetapi struktur organisasi tekstual yang dibentuk kurang efektif, dan yang berjalan adalah struktur faktual. Hal ini antara lain disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut: (1) dalam kondisi normal (di mana pasokan bahan baku dari hutan lancar) organisasi usaha produk olahan LW (skala desa) hanya membutuhkan
Prosiding Seminar Nasional pemasok sejumlah orang yang tidak harus terikat sebagai anggota dan seorang atau pengepul yang bekerja secara individual pula, dan (2) hubungan yang terjadi dalam keanggotaan kelompok tani bersifat kontrakstual dan disorganisatif.
tentang bagian-bagian pekerjaan dalam aktifitas kelembagaan, bagaimana kaitan antar fungsi-fungsi yang berbeda, penjenjangan antar bagian, konfigurasi otoritas, kesalinghubungan antar otoritas, serta hubungan dengan lingkungan sekitar.
Padahal, struktur dalam organisasi sangat penting karena menyediakan kejelasan Tabel 2. Analisis keorganisasian agroindustri lempuyang wangi Aspek keorganisasian Struktur
Tujuan
Peran Kepemimpinan konflik
Tingkat kelanggengan
Keragaan • • • • • • • • • • • • • • • •
Anggota berdasarkan hunian Cakupan wilayah kerja satu dusun Belum ada pembagian kerja secara terstruktur Tingkat efektifitas kurang Meningkatkan kualitas produk olahan Menjalin kemitraan Meningkatkan pendapatan Hubungan kontrakstual Disorganisatif Dipilih berdasarkan kemampuan (experts power) Pengarahan Interpesonal Transparansi manajemen keuangan Cenderung dipandang tabu sehingga anggota diam Tanggungjawab tidak didiskripsikan dengan jelas Lemah
Struktur tidak hanya menjadi pedoman seluruh anggota untuk bertindak (fungsi internal), namun juga menjelaskan siapa atau bagian mana yang harus bertanggung jawab untuk berhadapan dengan pihak luar (fungsi eksternal) (Syahyuti, 2003). Secara keseluruhan analisis keorganisasian KT Makmur I dan KWT Cempaka Sari, disajikan pada Tabel 2.
Aspek institusi Menurut Taneko (2003) ada empat dimensi yang perlu dilakukan untuk mengevaluasi aspek institusi, yaitu (1) kondisi lingkungan ekternal (the external environment), (2) motivasi kelembagaan (institutional motivation), (3) kapasitas kelembagaan (institutional capacity), dan (4) kinerja kelembagaan (institutional performance) (Tabel 3).
Tabel 3. Analisis institusi agroindustri lempuyang wangi Aspek institusi Kondisi lingkungan eksternal • Factor pendorong • Factor penghambat Motivasi • sejarah kelembagaan • misi yang diemban • kultur yang menjadi pegangan dalam bersikap/berperilaku • pola penghargaan yang dianut
Keragaan • Terjaminnya pasar • kebijakan pengelolaan sumberdaya alam (LMDH) • Pembentukan / top down • Peningkatan pendapatan dan kelestarian lingkungan • Paternalistik • Materi
659
Prosiding Seminar Nasional Aspek institusi Kapasitas kelembagaan • strategi kepemimpinan yang dipakai • perencanaan program • manajemen dan pelaksanaan • alokasi sumberdaya yang dimiliki • hubungan dengan pihak luar Kinerja kelembagaan • Tingkat efektifitas mencapai tujuan • Efisiensi penggunaan sumberdaya • Keberlanjutan kelembagaan
Kondisi lingkungan eksternal merupakan faktor yang dapat menjadi pendorong dan sekaligus pembatas bagi berkembangnya organisasi kelompok tani Makmur I dan KWT Cempaka Sari. Faktor lingkungan eksternal yang dapat menjadi pendorong adalah pasar dan nilai tambah terhadap peningkatan kualitas olahan. Sedangkan yang menjadi faktor penghambat adalah adanya kebijakan pengelolaan sumberdaya alam (hutan) yang menjadi media produksi LW. Kebijakan tersebut memberi dampak positif terhadap lingkungan alam (tidak terjadi penjarahan/hutan lestari) dan secara ekonomi bagi perhutani (mengurangi biaya pengelolaan hutan). Namun demikian, menghilangkan salah satu sumber pendapatan petani karena keberadaan tanaman LW yang tumbuh secara liar menjadi sangat berkurang. Ditinjau dari aspek motivasi, seperti telah diungkapkan di atas, pembentukan KT Makmur I dan KWT Cempaka Sari bersifat top down untuk melaksanakan kegiatan yang diprogramkan pemerintah. Berdasarkan sejarah terbentuknya kelembagaan kelompok tani Mamur I dan KWT Cempaka Sari akarnya tidak kuat dan akan cenderung melemah bahkan pada akhirnya dimungkinkan sekali sulit untuk berkembang. Berkaitan dengan masalah tersebut, misi yang diemban untuk meningkatkan kualitas produk serta meningkatkan pendapatan tampaknya hanya akan bertahan sesaat selama masih dalam pembinaan petugas lapang, apalagi kultur yang menjadi pegangan dalam bersikap maupun berperilaku anggota kelompok cenderung paternalistik. Kondisi ini diperkuat dengan pola penghargaan yang berkembang dalam kelompok adalah materi. Reward atas hasil kerja dihargai dengan sejumlah materi. 660
Keragaan • sentralistik • kurang terencana/top down sesuai program berjalan • kurang terorganisir • mesin perajang, 42 anggota • belum terkoordinanasi • Belum tercapai • Belum efisien • Kecenderungan tidak berlanjut tanpa program dan sumberdaya yang terencana Kapasitas kelembagaan untuk mencapai tujuan ditinjau dari aspek kepemimpinan (strategic leadership), perencanaan program (program planning), manajemen dan pelaksanaannya (management and execution), alokasi sumberdaya yang dimiliki (resource allocation), serta hubungan dengan pihak luar, mengindikasikan bahwa KT makmur I maupun KWT Cempaka Sari belum mempunyai kapasitas institusi yang memadai untuk melakukan kemitraan dengan pihak luar. Secara keseluruhan analisis institusi kelompok tani Makmur I dan KWT Cempaka Sari telah disajikan pada Tabel 3. Kinerja Kelembagaan Kemitraan Inovasi kelembagaan kemitraan difokuskan pada penyusunan kesepakatan tentang pembagian kerja dan nilai tambah agroindustri antar pelaku, yaitu penambang dengan pedagang pengepul. Produk yang dihasilkan berupa simplisia kering lempuyang wangi, dengan karakteristik fisik sebagai berikut: (1) Ketebalan relatif seragam, sekitar 2-3 mm, (2) Tingkat kekeringan maksimal yang dicirikan oleh mudah dipatahkan, warna patahan putih kapur dan aroma kas lempuyang wangi tajam, (3) Simplisia bersih dari tanah dan sampah. Secara keseluruhan pembagian kerja disajikan pada Tabel 4. Pembagian kerja dalam kemitraan agroindustri LW belum dapat berjalan optimal. Penambang tidak dapat menyediakan bahan baku secara kontinyu, apalagi produksi LW di hutan cenderung menurun. Hasil penambangan LW di hutan mengalami penurunan yaitu dari sekitar 1 kwintal/LW basah/hari menjadi sekitar 5 – 10 kg/hari.
Prosiding Seminar Nasional Tabel 4. Pembagian kerja pelaku agroindustri lempuyang wangi Kelompok Pelaku Usaha Penambang KT Makmur I dan KWT Cempaka sari
Pedagang pengepul
Hal ini disebabkan dalam kurun waktu satu dasawarsa telah terjadi penjarahan tanaman kayu di hutan yang menghilangkan habitat alami tanaman LW. Kelompok tani Makmur I maupun KWT Cempaka Sari walaupun sudah dapat memproses simplisia kering sesuai permintaan pasar, namun pengadaan bahan baku seringkali mengalami hambatan. Sedangkan pedagang pengepul telah berfungsi sesuai dengan pembagian kerja. Pedagang pengepul juga tidak pernah melakukan tunda jual berapapun harga pasar yang berlaku. Ada hubungan yang saling menguntungkan antara kelompok tani Makmur I dan KWT Cempaka Sari dengan pedagang pengepul. Berkaitan dengan masalah tersebut di atas, kinerja kemitraan pada dasarnya terhambat pada penyediaan bahan baku pasokan. Untuk itu kelompok tani Makmur I, sepakat bahwa untuk menjaga keberlanjutan pasokan dan memenuhi permintaan pasar, budidaya dan pengendalian penambangan perlu dilakukan. Lempuyang wangi disarankan dikembangkan di lahan sela hutan jati milik perhutani, sesuai dengan kaidah-kaidah pengelolaan hutan bersama masyarakat. Pengendalian penambangan utamanya diarahkan agar masyarakat tidak melakukan penambangan habis pada setiap area pertanaman liar. Bagi penambang yang mempunyai lahan pekarangan, LW disarankan untuk diusahakan di sela pohon jati yang berda di lahan pekarangan. Bibit LW akan diadakan secara terbatas (sejumlah kas kelompok sebesar Rp 1.294.000) oleh kelompok tani Makmur I.
Pembagian Kerja Menyediakan bahan baku (hasil hutan & budidaya) Mengolah rimpang menjadi simplisia kering Mengolah simplisia basah menjadi simplisia kering Pengadaan bahan baku dari sumber non anggota Memasarkan simplisia kering kepada mitra Menampung/membeli simplisia Membina mutu produk bersama-sama dengan manajemen koperasi
Setelah panen, bibit dikembalikan dengan jumlah yang sama untuk dikembangkan oleh anggota yang lain. Pengembangan budidaya LW dilakukan secara individu (anggota kelompok tani), sedangkan pengolahan hasil dan pemasaran dilakukan secara kolektif. Pada KWT Cempaka Sari, belum ada kemauan untuk membudidayakan LW wangi. Modal kelompok dialokasikan untuk usaha saprotan, pada saat tidak terjadi aktivitas penambangan LW. Dari hasil kesepakatan bersama, ditetapkan bahwa besarnya bunga pinjaman adalah 10 persen dan dikembalikan setelah panen (± 4 bulan). Sistem peminjamannya adalah bunga pinjaman dibayarkan pada saat melakukan pinjaman (besarnya pinjaman yang diberikan dipotong bunga).
KESIMPULAN DAN SARAN Sumbangan pendapatan dari hasil penambangan lempuyang wangi terhadap pendapatan rumahtangga mencapai 13,56%. Oleh karena itu perlu dilakukan budidaya lempuyang wangi di lahan pekarangan sebagai tanaman sela mengingat hasil penambangannya selama kurun waktu 10 tahun mengalami penurunan dari 100 kg menjadi 5 – 10 kg/orang/hari. Struktur organisasi tekstual yang dibentuk kurang efektif, dan yang berjalan adalah struktur faktual. Di samping itu peran organisasi masih dalam taraf hubungan kontrakstual dan disorganisatif. Lebih lanjut, kondisi lingkungan eksternal yang mendorong agroindustri lempuyang wangi adalah terjaminnya pasar. Sementara
661
Prosiding Seminar Nasional kinerja kemitraan belum optimal dan memerlukan penataan organisasi yang dapat mendorong kontinyuitas pasokan bahan baku lempuyang wangi.
PUSTAKA Austin. 1992. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat. http://www.litbang.deptan.go.id Badan Litbang Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat. Departemen Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. http://www.litbang.deptan.go.id BPS Kabupaten Blora. 2006. Profil Pertanian Kabupaten Blora. BPS Kabupaten Blora. Jamaran, I. 1996. Peranan Iptek dalam Pengembangan Agroindustri Tanaman Obat. Dalam Sitepu, dkk. (Eds). Prosiding Forum Konsultasi Strategi dan Koordinasi Pengembangan Agroindustri Tanaman Obat. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor. Sarjana, A. Hermawan, B. Hartoyo, J. Pramono, I. Ambarsari, S. Yunus, M. Asro, P. Hasapto dan Zamawi. 2005. Studi Kelembagaan Pemasaran Emponempon. Laporan Kegiatan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah. Departemen Pertanian.
662
Siregar, M., dan Frijatno, S. 2002. Kebijakan Pemilihan Teknologi dan Jenis Agroindustri. Analisis Kebijaksanaan: Paradigma Pembangunan dan Kebijaksanaan Pengembangan Agroindustri. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Hal 210-227. Syahyuti. 2003. Bedah Konsep Kelembagaan. Strategi Pengembangan dan Penerapannya dalam Penelitian Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Taneko. 2003. Peningkatan Daya Saing Usahatani Padi: Aspek Kelembagaan. Analisis Kebijakan Pertanian Volume 1 No. 3, September 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Hal 255-27
Prosiding Seminar Nasional
DAFTAR PESERTA SEMINAR NASIONAL 2007 BPTP JAWA TENGAH No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44.
Nama Peserta Andarias Makka Murni Arfi Irawati Nila Wardani Rr. Ernawati Heny Herawati Dwi Lestari Ningrum Laila Kusuma Fitri Fitri Dian P. Umi Barokah Sri Marwanti Simon Ginting Bambang Winarto Santiananda Arta A. Isbandi Seno Basuki Dwi Amiarsi Didiek Setiobudi Supandargono Nandang S. Farida Siswadi Peni Wahyu P Anny Hartati Endang Sriningsih Triharjoso Budi Sustriawan Khavid Fauzi Sumanto Rahman Djamal Sunarmani Ermi Sukasih. Agus Budianto Tri Martini Angely Yuwana Khairuddin Rosita Galib Sumardi Nugroho Siswanto Rob. Mudjisihono Saryadi Christina Tatun R. Anggi Sahru Romdon F. Rudy P. Hantoro
Alamat BPTP Lampung BPTP Lampung BPTP Lampung BPTP Lampung BPTP Jawa Barat UNDIP Semarang UNDIP Semarang UNDIP Semarang UNS Surakarta UNS Surakarta Loka Penelitian Kambing Potong PSE-KP Bogor Balitnak Bogor Balitnak-P4MI Jakarta BPTP Jawa Tengah BB Pascapanen BB Tanaman Padi Dinas Pertanian Kab. Blora BPTP Jawa Barat BPTP Jawa Barat Sumberahayu, Kendal Loka Penelitian Sapi Potong Grati UNSOED UNSOED UNSOED UNSOED UNSOED Balitnak Ciawi Balitbang Prov. Jawa Tengah BB Pascapanen Pertanian, Bogor BB Pascapanen Pertanian, Bogor BB Pascapanen Pertanian, Bogor BPTP Yogyakarta LPT Ananda Semarang BPTP Kalimantan Selatan BPTP Kalimantan Selatan UNIKA Soegiyopranoto Semarang BPTP Yogyakarta BPTP Yogyakarta BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah 663
Prosiding Seminar Nasional No. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 63. 64. 65. 66. 67. 68. 69. 70. 71. 72. 73. 74. 75. 76. 77. 78. 79. 80. 81. 82. 83. 84. 85. 86. 87. 88. 89. 90. 91. 664
Nama Peserta Reni Elviani Yuni Wulandari Suwono Indra Muntoha Anang Supriyanto Tikto P. Ris Agus Supardi Ariarti Tyasdjaja Dadang Suhendar Sarjono Ari Sugiarto Herwinarni E.M. S. Prawirodigdo S. Joni Munarso Isnani Herianti MD. Meniek Pawarti Sugiyati Bambang Supriyanto Bomin Sartono Widarto Herumurti TS Murtoyo Parti K. Nurhalim Hartoyo Martono Kuswantono Nurciptono Ita Warsita Kuscahyo Suryo Pratomo Suryoto Santi Siti Robingah Budi Utomo Waspodo Isom H. Budiman Amrih Prasetyo Heni P. Heni H. Ida Ayu K. Kuntadi Mahfud H.D. Samanhudi
Alamat BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP Yogyakarta BPTP Yogyakarta Balitnak, Bogor UNS Surakarta UNDIP Semarang UNS Surakarta
Prosiding Seminar Nasional No. 92. 93. 94. 95. 96. 97. 98. 99. 100. 101. 102. 103. 104. 105. 106. 107. 108. 109. 110. 111. 112. 113. 114. 115. 116. 117. 118. 119. 120. 121. 122. 123. 124. 125. 126. 127. 128. 129. 130. 131. 132. 133. 134. 135. 136. 137. 138.
Nama Peserta Sumardi Trisna S. Arlina Budi Budi Lestari MH Mubarok I. Mangisah Siti Jamroh Tm. Karsidi Agus Wicaksono Sri Mulyani Dandung Nugroho Joko Nyoto P. Her Supadmo Samijan Joko Pramono Sri Yuwanti, MA Sri Hartini F.X. Pardiman Karman Achmad Jarkoni Ika Farida Andang Imam Sudigdo Ruslan Syukur Ismi Musawati Sugiyono Mudjijono Prawoto Puji Lestari Kusmaningsih Dharma Gunadi Sunendar Soemarsono, SR Dr. T. Winarni A. Dwi Ratna Y., SP Bimo Santoso E.Eko Ananto Respati Eny Rony Nurhastuti Endang Yuni H. Budi Prayitno Indra Prabawa Kusumo W.
Alamat UNS Surakarta BPTP Jawa Barat BPTP Yogyakarta BPTP Yogyakarta UNDIP Semarang UNDIP Semarang KTNA Jawa Tengah KTNA Jawa Tengah KTNA Jawa Tengah LSM PIU P4MI Kab. Blora Dinas P ertanian Kab. Blora PIU P4MI Kab. Temanggung BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah Kimtaru Jawa Tengah Kimtaru Jawa Tengah Biro Perekonomian Pemda Jateng Lab. Diseminasi Semarang PPL Kab. Temanggung Kompas Dinas Pertanian Kab. Temanggung BPTP DI Yogyakarta Dipertan Kab. Grobogan PPL Kab. Blora PPL Japah Kab. Blora Lab. Klepu Jawa Tengah Lab. Klepu Jawa Tengah Lab. Klepu Jawa Tengah Lab. Klepu Jawa Tengah Lab. Klepu Jawa Tengah Disnak Prov. Jawa Tengah Diskimtaru Prov. Jawa Tengah IPNI ORI Jawa Tengah Lemlit-UNDIP Disbun Prov. Jawa Tengah Dispertan Prov. Jawa Tengah PCMU P4MI Jakarta Bappeda Prov. Jawa Tengah Bappeda Prov. Jawa Tengah Distan Kab. Temanggung BBMKP WAWASAN WAWASAN Puslitbangbun 665
Prosiding Seminar Nasional No. 139. 140. 141. 142. 143. 144. 145. 146. 147. 148. 149. 150. 151. 152. 153. 154. 155. 156. 157. 158. 159. 160. 161. 162. 163. 164. 165. 167. 168. 169. 170. 171. 172. 173. 174. 175. 176. 177. 178. 179.. 180. 181. 182. 183. 184. 185. 186. 666
Nama Peserta A. Suryana Muhrizal Antony L Eky Sarjana ITri Reni Prastuti Dwi Nugraheni Sri Catur Budi S. Sodiq Jauhari Kendriyanto Ernawati Bambang Budiharto Meinarti Norma S Jon Purmiyanto Suharno Sutoyo Indrie Ambarsari Qanitah Meitha Lussia Trie Joko P. Syamsul Bahri Setyo Budiyanto Yulianto Joko Susilo Agus Sutanto Abadi Priyanto Slamet Pujo Hasapto Ngadimin Sri Karyaningsih Rusmaji Yayuk Aneka Beti Subiharta A. Choliq Sherly Sisca P. Cahyati S. Endang Iriani Tota Suhendrata Ekaningtyas K. Munir Eti Wulanjari Budi Utomo Teguh Prasetyo Wahyudi H. Hairil Anwar Miranti Dian Pertiwi Gunawan Sejati
Alamat Badan Litbang Pertanian BBP2TP Kompas Kompas BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah
Prosiding Seminar Nasional No. 187. 188. 189. 190. 191. 192. 193. 194. 195. 196. 197. 198. 199. 200.
Nama Peserta Djoko Prayitno Eko Budi P. Suprapto Djoko Pramono Ulin Nuschati Dian M. Yuwono Parluhutan Sirait Muryanto Joko Pramono Warsana Sunoto Joko Handoyo Khairuddin Sukarna
Alamat BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah
667
Prosiding Seminar Nasional
668