Perpustakaan Nasional RI: Data Katalog Dalam Terbitan (KDT) Prosiding seminar inovasi teknologi pertanian untuk pengembangan agribisnis industrial pedesaan di wilayah marjinal/penyunting, Muryanto [et al.]. - - Ungaran: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah, 2007. 723 hlm; ills.; 20 cm. ISBN: 1. Inovasi Teknologi Pertanian - - Seminar Nasional I. Judul II. Muryanto III. BPTP Jawa Tengah Penyunting: Muryanto Teguh Prasetyo Susanto Prawirodigdo Yulianto Agus Hermawan Ekaningtyas Kushartanti Sudi Mardiyanto Sumardi Redaksi Pelaksana: Tota Suhendrata Isnani Herianti M.D. Meniek Pawarti Herwinarni E.M. Ariarti Tyasdjaja Perancang Grafis: F. Rudi Prasetyo Hantoro Dibiayai oleh: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah Bukit Tegalepek, Sidomulyo, Kotak Pos 101 Ungaran 50501 Telp. : (024) 6924965 – 6924967 Fax. : (024) 6924966 Email :
[email protected];
[email protected]; Website : http://jateng.litbang.deptan.go.id
PROSIDING SEMINAR INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN UNTUK PENGEMBANGAN AGRIBISNIS INDUSTRIAL PEDESAAN DI WILAYAH MARJINAL 8 NOVEMBER 2007
Penyunting Muryanto Teguh Prasetyo Susanto Prawirodigdo Yulianto Agus Hermawan Ekaningtyas Kushartanti Sudi Mardiyanto Sumardi
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
BALAI BESAR PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PERTANIAN 2007
PENGANTAR Seminar Nasional dengan tema Inovasi dan Alih Teknologi Pertanian untuk Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan di Wilayah Marginal merupakan kegiatan yang dikemas untuk menyampaikan infomasi hasil penelitian di wilayah marjinal. Seminar Nasional telah dilaksanakan pada 8 November 2007 di Semarang, Jawa Tengah, dan diikuti oleh para ilmuwan lingkup Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Tengah, Perguruan Tinggi, dan LSM. Selain itu juga diikuti oleh para praktisi, penentu kebijakan, pengguna teknologi, dan mahasiswa. Tujuan seminar adalah untuk mengkomunikasikan hasil-hasil penelitian, pengkajian, dan gagasan serta menjaring umpan balik untuk akselerasi inovasi dan alih teknologi pertanian dalam rangka pengembangan agribisnis industrial pedesaan. Prosiding ini adalah kumpulan dari bahan Seminar Nasional Inavasi dan Alih Teknologi Pertanian untuk Pengembangan Agribisnis Industrial Pedesaan di Wilayah Marginal. terdiri dari 3 buku. Buku I berisi empat makalah utama yang membahas masalah kebijakan di bidang teknologi pertanian dan pengembangan agribisnis, serta 13 makalah penunjang yang berisi informasi teknologi pasca-produksi hasil kajian di lapangan pada berbagai komoditas. Buku II berisi teknologi produksi yang terdiri atas 44 makalah, dalam upaya peningkatan produksi di lahan marjinal untuk meningkatkan pendapatan petani. Teknologi yang dibahas antara lain terkait dengan budidaya dan usahatani berbagai komoditas, pakan, dan pemanfaatan sumber daya lahan. Buku III berisi alih teknologi dan sosial ekonomi pertanian yang terdiri atas 27 makalah, dalam upaya inovasi teknologi dan peningkatan kinerja usahatani. Teknologi yang dibahas meliputi kelembagaan, model diseminasi, dan pemasaran. Pada kesempatan ini disampaikan penghargaan serta ucapan terima kasih kepada scmua pihak yang telah memberikan kontribusi dan berpartisipasi dalam penyusunan prosiding ini. Semoga prosiding ini bermanfaat bagi kita semua.
Ungaran, Desember 2007 Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian
Dr. Ir. Muhrizal Sarwani, MS NIP. 080 069 528
ii
DAFTAR ISI
Halaman PENGANTAR
ii
DAFTAR ISI
iii v
HASIL PERUMUSAN MAKALAH UTAMA 1. Teknologi kelembagaan dan strategi alih teknologi pertanian untuk pengembangan agribisnis industrial pedesaan di wilayah marjinal Dr.Ir. Muhrizal Sarwani, M.Sc
1
2. Penyiapan infrastruktur bagi pengembangan agribisnis Dra. Sri Yuwanti, MA, MPd
9
3. Pengembangan agroindustri dalam mendukung agribisnis Dr. Ir. S Joni Munarso, MS
21
4. Keragaan pengembangan model peningkatan pendapatan petani melalui inovasi teknologi pertanian Dr. E. Eko Ananto
29
MAKALAH PENUNJANG BUKU I: INOVASI TEKNOLOGI PASCA PRODUKSI 1. Mutu benang sutera di KPH Pati Jawa Tengah Agus Budiyanto dan Mulyana Hadipernata
41
2. Pemberdayaan kelompok petani kecil Desa Getas Kabupaten Temanggung melalui inovasi teknologi produksi kerupuk jagung aneka rasa Dwi Nugraheni, Agus Sutanto, dan Kendriyanto
48
3. Minuman air kelapa sebagai alternatif produk olahan buah kelapa Heny Herawati dan Agus Nurawan
53
4. Kajian perbaikan kualitas produk dan peningkatan kapasitas produksi olahan lempuyang wangi di Kabupaten Blora Indrie Ambarsari, Sarjana dan Budi Hartoyo
58
5. Prospek usaha pengolahan keripik pisang di lahan kering dataran rendah Kabupaten Banjarnegara Indrie Ambarsari, A, Choliq, dan Samsul Bahri
66
6. Pemanfaatan tomat sebagai produk minuman jus tomat di sub terminal agribisnis Bayongbong Kabupaten Garut Sunarmani dan Iceu Agustinisari
74
7. Pengkajian penggunaan alat/mesin perontok padi dalam upaya mendukung alih teknologi perontokan padi kepada petani. (Studi kasus di Desa Sukoreno, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo) Nugroho Siswanto dan Rob. Mudjisihono
83
8. Pemanfaatan buah semu jambu mete menjadi sirup di Kecamatan Todanan Kabupaten Blora Dwi Nugrahaeni, Budi Hartoyo, dan Kendriyanto
91
iii
9. Pembu atan pasta tomat medium dengan blower evaporator dan analisis mutunya Ermi Sukasih, Sunarmani, dan Iceu Agustinisari
95
10. Pengaruh pengupasan dan waktu penyangraian terhadap sifat minuman bubuk kedelai Rob. Mudjisihono, Heni Purwaningsih dan Nugraho Siswanto
105
11. Kinetika perubahan mutu fisikokimia beberapa pasta tomat Sunarmani dan Ermi Sukasih
116
12. Cara penyimpanan biji jagung dengan hermetic system Agus Sutanto dan Kendriyanto
126
13. Kajian pengolahan jagung untuk bahan pangan Agus Sutanto dan Dwi Nugrahaeni
132
DAFTAR PESERTA
141
iv
RUMUSAN HASIL SEMINAR Wilayah marjinal sebagai tema seminar dialamatkan untuk mengangkat kondisi lahan dan perekonomian masyarakat marjinal menjadi fokus perhatian sebagai pokok bahasan. Sehubungan dengan itu dalam seminar ini telah dibahas berbagai topik makalah yang berkaitan dengan lahan marjinal dan/atau masyarakat tani berstatus ekonomi lemah. Rumusan dari hasil seminar ini adalah sebagai berikut. • Lahan marjinal mempunyai keterbatasan dalam hal sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Di samping itu pada umumnya topografinya juga kurang sesuai untuk berusahatani. Oleh sebab itu lahan marjinal dicirikan dengan status hara dan kapasitas menahan air sangat rendah, fungsi hidrologi rusak, bahan organik kritis sebagai akibat erosi air maupun angin, terjadi pencemaran, dan konsekuensinya keadaan perekonomian masyarakat juga lemah. Kondisi tersebut merupakan salah satu penyebab tingkat kesejahteraan petani di lahan marjinal rendah. • Beberapa cara yang perlu dilakukan untuk meningkatkan produktivitas lahan marjinal di antaranya adalah pemakaian varietas tanaman unggul berumur genjah, penerapan pola tanam sesuai dengan curahan hujan, perbaikan teknik budidaya tanaman, serta usaha konservasi lahan. Namun kenyataannya, pengembangan teknologi pertanian di lahan marjinal yang merupakan konsentrasi petani miskin, kurang mendapat prioritas dibanding di lahan irigasi. Demikian juga dengan dukungan kelembagaan dan ketersediaan sarana/prasarana, serta akses informasi masih sangat terbatas. Kondisi seperti ini menempatkan masyarakat/petani semakin terpuruk dalam perangkap kemiskinan. • Sehubungan dengan kondisi ini diperlukan suatu upaya terprogram yang dirancang untuk dapat menjawab permasalahan di wilayah marjinal. • Kesejahteraan/pendapatan petani miskin seharusnya ditingkatkan melalui inovasi pertanian mulai dari tahap produksi sampai pemasaran hasil. Untuk itu diperlukan peningkatan akses petani terhadap informasi pertanian, dukungan pengembangan inovasi pertanian, serta upaya pemberdayaan petani. • Pendekatan partisipatif dalam perencanaan dan pelaksanaan, pengembangan kelembagaan serta perbaikan sarana/prasarana yang dibutuhkan di desa, merupakan alternatif dalam pemberdayaan petani untuk meningkatkan kemampuan mengadopsi inovasi. • Dalam upaya program peningkatan produktivitas lahan dan peningkatan pendapatan petani hendaknya dilakukan melalui pendekatan kawasan, pemberdayaan masyarakat, agribisnis, dan kelembagaan yang di dukung oleh sarana prasarana memadai. Sebagai alternatif program dapat digunakan sebagai pertimbangan adalah model Primatani dan Agropolitan. • Dalam program tersebut diperlukan dukungan pengembangan penyebarluasan inovasi pertanian, yang dimaksudkan untuk melakukan reorientasi dalam melakukan penelitian dan pengkajian pengembangan inovasi pertanian yang sesuai untuk kebutuhan para petani di lahan marjinal, serta untuk mendukung pelaksanaan diseminasi guna menginformasi kan potensi inovasi kepada petani dalam rangka meningkatkan produksi pertanian. • Beberapa inovasi teknologi hasil penelitian, kelembagaan dan diseminasi yang dapat dipertimbangkan sebagai referensi untuk mendukung upaya peningkatan produktivitas lahan dan pendapatan petani di wilayah marjinal. Inovasi-inovasi tersebut di antaranya adalah: Sub-Sektor tanaman pangan dan obat - Peningkatan produktivitas jagung, padi gogo, cabai kacang tanah, ubi jalar tanaman obat dengan lebih mengefisiensikan penggunaan pupuk NPK, aplikasi komponen-komponen pengelolaan tanaman terpadu (PTT), mengobtimalkan pemanfaatan embung, dan mengunakan varietas sesuai lahan.
v
- Pengendalian serangan organisme pengganggu tanaman bawang merah dan cabai secara simultan dengan pemupukan berimbang dan penggantian varietas Sub-Sektor peternakan - Pengembangan ternak ruminansia menggunakan strategi penyediaan pakan (hijauan maupun limbah pertanian/perkebunan) dengan konsep terprogram dan teknologi terapan. - Peningkatan produktivitas/reproduksi sapi perah dengan memperbaiki manajemen laktasi dan perbaikian pakan pada periode gestasi (flushing) Panen dan pasca-panen - Peningkatan nilai tambah hasil pertanian melalui perbaikan teknik panen, penggunaan alat untuk memanen, penyimpanan hasil, deversivikasi olahan hasil panen (teknologi pasca panen) yang dilengkapi dengan sertifikasi produk halal. Kelembagaan - Inovasi yang mencakup kelembagaan input produksi, proses produksi, pasca produksi hingga kelembagaan pasar. Di samping itu juga perlu adanya dukungan kemitraan usaha dengan swasta/pihak terkait. Diseminasi dan alih teknologi - Strategi diseminasi/mempercepat alih teknologi melalui kegiatan gelar, pelatihan, dan pendampingan teknologi yang dikemas dalam bentuk yang mudah dimengerti oleh petani (contohnya media cetak komik dan VCD) - Kegiatan diseminasi yang dikaitkan dengan PRIMATANI dan P4MI • Diperlukan keterpaduan antara materi penelitian/pengkajian dengan peneliti/pengkaji yang sesuai dengan keahliannya.
vi
Prosiding Seminar Nasional
UPAYA PERCEPATAN ALIH TEKNOLOGI UNTUK PENGEMBANGAN AGRIBISNIS INDUSTRIAL PEDESAAN DI WILAYAH MARJINAL Muhrizal Sarwani Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian
PENDAHULUAN Usahatani di lahan marjinal dihadapkan pada berbagai kendala. Utamanya adalah bagaimana mengelola air yang menjadi faktor pembatas dalam berusahatani, sehingga produktivitas lahan dapat ditingkatkan. Selain itu lahan marjinal mempunyai keterbatasan seperti sifat fisik, kimia, dan biologi tanah yang tidak baik serta topografi lahan yang kurang mendukung dalam berusahatani. Berbagai keterbatasan yang dihadapi di lahan marjinal berdampak pula pada aspek sosial budaya masyarakat. Petani lahan marjinal relatif terbelakang dibandingkan petani di lahan-lahan yang subur. Implementasi program untuk pengembangan agribisnis di lahan marjinal memerlukan pendekatan khusus dengan tidak hanya memperhatikan implementasi teknologi kepada petani, akan tetapi juga perlu didukung dengan implementasi kelembagaan yang betulbetul sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Untuk meningkatkan produktivitas di lahan marjinal yang umumnya berupa lahan kering, ada beberapa cara yang dapat dilakukan antara lain pemakaian varietas tanaman unggul berumur genjah, penerapan pola tanam yang sesuai dengan curahan hujan, perbaikan teknik budidaya tanaman, serta usaha konservasi lahan sehingga kelestarian lahan dapat dijaga. Untuk menjaga keberlanjutan pengembangan agribisnis di suatu wilayah perlu sedini mungkin adanya pemahaman akan potensi, kendala dan peluang serta tantangan dalam berusahatani yang digali secara partisipatif dengan melibatkan semua pihak terkait, khususnya petani sebagai pelaku utamanya. Prima Tani merupakan salah satu upaya Badan Litbang Pertanian dalam percepatan diseminasi inovasi pertanian, termasuk untuk kegiatan pertanian di lahan marjinal. Makalah ini mencoba memotret permasalahan umum di lahan marjinal serta upaya Badan Litbang Pertanian melalui Prima Tani mengembangkan agribisnis industrial pedesaan dengan memadukan berbagai pendekatan.
PERMASALAHAN PERTANIAN DI LAHAN MARJINAL Lahan marginal dicirikan oleh tanah dengan status hara dan kapasitas menahan air sangat rendah, telah mengalami kerusakan dan kehilangan fungsi hidrologis maupun ekonomi yang diakibatkan oleh erosi air atau angin, selain itu telah mengalami penurunan status unsur hara, bahan organik serta aktifitas biologi tanah, terjadi salinitas dan pencemaran. Masalah utama pada lahan marginal adalah rendahnya kesuburan dan kemampuan tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman pada kondisi iklim dan lingkungan yang sesuai. Untuk mempertahankan produksi tetap lestari maka cara untuk memelihara atau mempertahankan kesuburan adalah dengan menciptakan penggunaan lahan dalam kondisi ekosistem alami (Barrow, 1991). Pengusahaan pertanian intensif secara monokultur yang menerapkan berbagai teknologi high-input pada areal yang lebih subur telah mengakibatkan lahan marginal semakin luas (Reijntjes, 1999). Bentuk-bentuk degradasi lahan antara lain: degradasi secara fisik (erosi tanah baik oleh air ataupun angin), kimia (kemasaman tinggi dan penurunan kandungan unsur hara), dan biologi (penurunan kandungan bahan organik tanah dan aktivitas biologi tanah), salinisasi dan pencemaran tanah (Young, 1997). Degradasi lahan adalah masalah penggunaan tanah secara inherent yang mempunyai kesuburan rendah atau mempunyai potensi relatif rendah sehingga disebut juga sebagai lahan “fragile” atau “marginal”. Oleh karena itu, lahan marginal dan terdegradasi adalah lahan yang dicirikan oleh tanah dengan status hara dan kapasitas menahan air sangat rendah dan telah mengalami kerusakan serta kehilangan fungsi hidrologi dan ekonomi (Barrow, 1991). Perubahan lingkungan daerah tropika berkaitan erat dengan pembukaan hutan, terjadinya pergeseran lahan pertanian ke daerah tengah dan hulu dengan kemiringan lahan lebih curam dan beresiko tinggi terhadap erosi.
1
Prosiding Seminar Nasional degradasi lahan dan perluasan lahan kritis. Permasalahan tersebut mendorong munculnya upaya untuk mengenali dan mengembangkan sistem agroforestri yang telah diterapkan petani sejak dulu di daerah tropika termasuk di Indonesia. Keberlanjutan sistem penggunaan lahan sangat tergantung pada fleksibilitasnya dalam keadaan lingkungan yang terus berubah. Adanya keanekaragaman sumberdaya genetik yang tinggi pada tingkat usahatani akan menunjang fleksibilitas ini (Reijntjes, 1999). Menurut FAO (1995), pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan dan konservasi sumberdaya alam yang berorientasi teknologi dan perubahan institusi untuk menjamin tercapainya kebutuhan manusia saat ini dan generasi yang akan datang. Pembangunan berkelanjutan seperti itu akan melindungi sumberdaya lahan, air, tanaman, dan sumberdaya genetik hewan dengan teknologi yang cocok, serta menguntungkan secara ekonomi dan dapat diterima secara sosial tanpa kerusakan lingkungan. Pada lingkup Badan Litbang Pertanian, terjadinya kesenjangan ketersediaan inovasi teknologi pada tingkat Balit/Puslit dan kebutuhan pengguna merupakan suatu masalah yang memerlukan perhatian kita semua.
2
Penyebab utama masalah ini adalah masih kurangnya perhatian Balit/Puslit terhadap kebutuhan inovasi teknologi pertanian di lahan marginal. Selama ini, penciptaan inovasi teknologi pertanian yang lebih diprioritaskan oleh Balit/Puslit adalah inovasi teknologi pertanian untuk lahan non-marginal atau sentra produksi yang telah mapan. Hal ini tercermin dari kecilnya persentase anggaran penelitian yang dialokasikan untuk lahan marginal di Balit/Puslit. Pada enam tahun terakhir ini, dari 9 institusi yang dapat ditelusuri alokasi anggaran penelitiannya menunjukkan bahwa 4 institusi yaitu Balit Serealia, Balitsa, BPTP Jabar dan BPTP Sulsel rata-rata pertahun mengalokasikan anggaran untuk penelitian lahan marginal kurang dari 10%, sedangkan Balitpa dan BB Mektan sekitar 12% dari total anggaran penelitiannya (Tabel 1). Akibat rendahnya alokasi anggaran penelitian untuk lahan marginal tersebut, maka yang terjadi adalah sebagai berikut: - Inovasi teknologi pertanian yang dibutuhkan pengguna di lahan marginal tidak tersedia di tingkat Balit/Puslit - Inovasi teknologi pertanian lahan marginal yang tersedia di Balit/Puslit masih kurang lengkap.
Prosiding Seminar Nasional UPAYA PERCEPATAN DISEMINASI INOVASI DI LAHAN MARJINAL Badan Litbang Pertanian sebagai lembaga yang melakukan penelitian untuk pengembangan telah banyak menghasilkan inovasi pertanian, beberapa di antaranya telah digunakan secara luas dan terbukti menjadi tenaga pendorong utama pertumbuhan dan perkembangan agribisnis berbagai komoditas pertanian. Salah satu contoh yang tergolong fenomenal ialah Revolusi Hijau pada agribisnis padi dan jagung hasil dari penemuan varietas unggul dengan berbagai komponen teknologi penunjangnya. Dukungan teknologi perbenihan unggul juga telah mampu mendorong perkembangan agribisnis dan beberapa komoditi unggulan lainnya antara lain mendorong agribisnis perkebunan kelapa sawit dengan sangat pesat. Namun demikian, evaluasi eksternal maupun internal menunjukkan bahwa kecepatan dan tingkat pemanfaatan inovasi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian cenderung melambat, bahkan menurun. Masalah (bottle neck) utamanya adalah pada segmen rantai pasok terutama pada subsistem penyampaian (delivery subsystem) dan subsistem penerima (receiving subsystem). Berkaitan dengan hal-hal tersebut di atas, diperlukan suatu “jembatan penghubung” antara Badan Litbang Pertanian sebagai pemasok teknologi (generating system) dengan pengguna, agar inovasi pertanian spesifik lokasi yang telah dihasilkan dapat segera diterapkan dengan cepat dan tepat. Untuk itu, mulai tahun 2005, Badan Litbang Pertanian telah melaksanakan Prima Tani (Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian) yang berfungsi sebagai jembatan penghubung langsung ke pengguna, antara Badan Litbang Pertanian (generating system) dengan lembaga penyampaian (delivery system) maupun pelaku agribisnis (receiving system) dan secara langsung merupakan wahana pengkajian partisipatif. Prima Tani adalah model atau konsep baru diseminasi teknologi yang dipandang dapat mempercepat penyampaian informasi dan bahan dasar inovasi baru yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian. Prima Tani dirancang melalui proses yang cukup panjang dan konsisten (konsep dirancang sejak tahun 2004), serta secara
kontinu dilakukan berbagai penyempurnaan yang disesuaikan dengan perkembangan di lapangan dan dinamika kebijakan di Departemen Pertanian. Prima Tani pertama kali diimplementasikan pada tahun 2005 di 14 propinsi meliputi 21 kabupaten, yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan. Pada tahun 2006, pelaksanaan kegiatan Prima Tani diperluas lagi di 11 propinsi baru mencakup 11 kabupaten (sehingga total ada di 25 propinsi meliputi 32 kabupaten) yaitu NAD, Riau, Jambi, Bengkulu, Banten, DI Yogyakarta, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, dan DKI Jakarta. Pada tahun 2007, dengan pertimbangan agar Prima Tani dapat dicontoh oleh lebih banyak daerah maka pelaksanaannya diperluas hingga di 33 propinsi yang mencakup 201 desa. Tujuan Prima Tani Prima Tani bertujuan untuk mempercepat waktu, meningkatkan kadar, dan memperluas prevalensi adopsi teknologi inovatif yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian serta untuk memperoleh umpan balik dari pengguna mengenai karakteristik teknologi tepat guna spesifik pengguna dan lokasi, yang merupakan informasi esensial dalam rangka mewujudkan penelitian untuk pengembangan. Keluaran Prima Tani Keluaran akhir Prima Tani adalah terbentuknya AIP (Agribisnis Industrial Pedesaan)/Sistem Usahatani Intensifikasi Diversifikasi (SUID). Keluaran Prima Tani tersebut pada prinsipnya adalah pembangunan industrial pedesaan dimana memiliki dampak yaitu perubahan tingkat usahatani, tingkat pendapatan rumah tangga dan pembangunan tingkat desa. Secara rinci keluaran program ini adalah sebagai berikut: a. Model kelembagaan sistem dan usaha agribisnis berbasis pengetahuan dan teknologi inovatif. b. Model pengadaan sistem teknologi dasar (antara lain benih dasar, prototipe, alsintan, usaha pasca panen skala komersial) secara luas dan disentralistik.
3
Prosiding Seminar Nasional c. Model penyediaan sistem informasi, konsultasi dan sekolah lapang bagi praktisi agribisnis. d. Model pembinaan kemampuan masyarakat dan pemerintah setempat untuk melanjutkan pengembangan dan pembinaan percontohan sistem dan usaha agribisnis berbasis pengetahuan dan teknologi secara mandiri. Strategi Prima Tani Dalam upaya mencapai tujuan yang telah ditarget, maka strategi pelaksanaan Prima Tani adalah sebagai berikut: (1) Menerapkan teknologi tepat guna sehingga mampu menjawab permasalahan dan kebutuhan pengguna, (2) Membangun model percontohan agribisnis progresif berbasis teknologi inovatif, (3) Mendorong proses difusi dan replikasi model percontohan teknologi inovatif, (4) Menyelaraskan dan mensinergiskan dengan program-program lingkup Deptan termasuk dengan program pemda setempat di lokasi Prima Tani, dan (5) Menggunakan pendekatan partisipatif. Pendekatan Prima Tani Paling tidak ada lima pendekatan yang dilakukan dalam implementasi Prima Tani secara partisipatif dalam suatu desa atau laboratorium agribisnis, yaitu (1) Agroekosistem: sawah, lahan kering dan lahan rawa, (2) Agribisnis, (3) Wilayah, (4) Kelembagaan, dan (5) Pemberdayaan masyarakat. Penggunaan pendekatan agroekosistem berarti Prima Tani diimplementasikan dengan memperhatikan kesesuaian dengan kondisi bio-fisik lokasi yang meliputi aspek lahan, air, wilayah komoditas, dan komoditas dominan. Pendekatan agribisnis berarti implementasi Prima Tani telah memperhatikan keterkaitan subsistem penyediaan input, usahatani, pascapanen, pemasaran, dan penunjang dalam satu sistem. Pendekatan wilayah dalam kaitannya optimasi penggunaan lahan untuk pertanian dalam satu kawasan dengan pemberian proritas pengembangan pada komoditas unggulan. Sementara pendekatan kelembagaan tidak hanya memperhatikan keberadaan dan fungsi suatu organisasi, tetapi juga melihat secara komprehensif kaitannya dengan modal, sosial, norma, dan aturan yang sudah berjalan di lokasi Prima Tani. Pendekatan pemberdayaan masyarakat menekankan perlunya penumbuhan
4
kemandirian petani dalam memanfaatkan potensi sumberdaya setempat secara arif dan bijaksana dengan mengedepankan prinsip ekonomi dan konservasi sumberdaya alam. Prima Tani Merupakan Implementasi Paradigma Baru Litbang Prima Tani pada dasarnya merupakan pelaksanaan dari paradigma baru penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh Badan Litbang Pertanian. Pada masa lalu, paradigma yang dianut dapat disebut sebagai penelitian dan pengembangan (Research and Development) dengan fokus melaksanakan penelitian dan pengembangan untuk menemukan atau menciptakan teknologi. Kegiatan diseminasi lebih dominan pada mempublikasikan karya ilmiah dan menginformasikan keberadaan inovasi teknologi. Dengan paradigma lama tersebut tugas dan tanggung jawab Badan Litbang Pertanian ditafsirkan sempit, terbatas pada menyediakan dan menginformasikan teknologi inovatif. Penyebaran teknologi inovatif yang dihasilkan tersebut dipandang sebagai di luar mandat Badan Litbang Pertanian. Dengan paradigma penelitian dan pengembangan itu pula maka sasaran Badan Litbang Pertanian berorientasi pada menghasilkan teknologi inovatif dan mempublikasikan karya ilmiah sebanyakbanyaknya. Keseuaian teknologi yang dihasilkan dengan preferensi pengguna menjadi kurang diperhatikan. Penyaluran (delivery) dan penerapan (receiving/adopsi) teknologi yang dihasilkan dipandang sebagai di luar tugas pokok Badan Litbang Pertanian. Kegiatan yang dihasilkan cenderung bersifat ”Penelitian untuk Peneltian” (Research for Research) dan ”Penelitian untuk Publikasi” (Research for Publication). Barangkali paradigma inilah salah satu penyebab utama fenomena lamban dan rendahnya tingkat penerapan teknologi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian oleh pengguna. Menyadari hal itu, Badan Litbang Pertanian menerapkan paradigma baru dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, yaitu ”Penelitian untuk Pembangunan” (Research for Development). Dengan paradigma baru ini, orientasi kerja Badan Litbang Pertanian adalah menghasilkan
Prosiding Seminar Nasional teknologi inovatif untuk diterapkan sebagai mesin penggerak (prime mover) pembangunan Pertanian. Untuk itu kegiatan penelitian dan pengembangan haruslah berorientasi pada pengguna (user oriented) sehingga teknologi inovatif yang dihasilkan lebih terjamin benarbenar tepat guna spesifik lokasi dan pemakai. Penelitian dan pengembangan haruslah dilaksanakan secara partisipatif dengan melibatkan perwakilan calon pengguna outputnya. Dalam paradigma “Penelitian untuk Pembangunan”, peran kegiatan diseminasi diposisikan sama penting dengan kegiatan penelitian dan pengembangan. Kalau pada masa lalu, diseminasi praktis hanya untuk menginformasikan dan menyediakan teknologi sumber/dasar secara terpusat di Balai Penelitian, maka kini dengan paradigma “Penelitian untuk Pembangunan”, diseminasi diperluas dengan juga melaksanakan pengembangan percontohan sistem dan usaha agribisnis berbasis teknologi inovatif dan penyediaan teknologi dasar secara terdesentralisasi sebagai inisiatif untuk merintis pemasyarakatan teknologi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian. Sasaran kegiatan diseminasi juga disesuaikan, dari tersebarnya informasi kepada masyarakat pengguna teknologi menjadi tersedianya contoh konkrit penerapan teknologi di lapangan. Prima Tani merupakan strategi dalam mengimplementasikan paradigma baru Badan Litbang Pertanian tersebut. Dipandang dari segi pelaksanaan kegiatan penelitian dan pengembangan, Prima Tani merupakan wahana untuk pelaksanaan penelitian dan pengembangan partisipatif dalam rangka mewujudkan penelitian dan pengembangan berorientasi konsumen/pengguna (Consumer Oriented Research and Development). Dilihat dari segi pelaksanaan kegiatan diseminasi, Prima Tani merupakan wahana untuk menghubungkan secara langsung Badan Litbang Pertanian sebagai penyedia teknologi sumber/dasar dengan masyarakat luas atau pengguna teknologi secara komersial maupun lembaga-lembaga penunjang pembangunan sehingga adopsi teknologi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian tidak saja tepat guna, tetapi juga langsung diterapkan dalam sistem dan usaha agribisnis, setidaknya dalam tahapan rintisan atau percontohan. Rintisan
atau percontohan diharapkan menjadi titik awal difusi massal teknologi inovatif yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian. Inovasi Pertanian dan Keterkaitan Antar Komponen Tujuan akhir dari Prima Tani adalah terwujudnya Agribisnis Industrial Pedesaan (AIP) yang mampu menyediakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat setempat. Untuk mewujudkan AIP tersebut dapat ditempuh melalui inovasi pertanian yang meliputi inovasi teknologi dan inovasi kelembagaan, serta adanya keterkaitan dan saling ketergantungan antara komponen dalam pelakasanaan Prima Tani. Inovasi Teknologi Inovasi pertanian adalah teknologi dan kelembagaan agribisnis yang unggul hasil temuan atau ciptaan Badan Litbang Pertanian, dimana Prima Tani merupakan wahana untuk mengintroduksikan teknologi dan kelembagaan tersebut. Oleh karena itu, karakteristik teknologi Prima Tani adalah teknologi unggul dan matang yang telah dihasilkan oleh Balit Komoditas maupun Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP). Dengan demikian, Prima Tani pada dasarnya ialah metode penelitian dan pengembangan yang juga salah satu modus diseminasi teknologi, keduanya termasuk dalam mandat institusional Badan Litbang Pertanian. Dengan teknologi yang prima akan tercipta sistem dan usaha agribisnis yang prima pula. Inovasi Kelembagaan Inovasi kelembagaan dibutuhkan untuk menghantarkan inovasi teknologi dalam peningkatan produksi dan pendapatan petani secara maksimal dan berkelanjutan. Dalam inovasi kelembagaan juga dibutuhkan kemampuan untuk melakukan identifikasi dan analisis aspek kelembagaan yang sedang berjalan. Oleh karena itu, penumbuhan kelembagaan Agribisnis Industrial Pedesaan (AIP) pada lokasi Prima Tani perlu mempertimbangkan tujuh prinsip yaitu, kebutuhan, efektivitas, efisiensi, fleksibilitas, manfaat, pemerataan dan keberlanjutan. Elemen kelembagaan AIP yang dikembangkan dapat berupa kelembagaan produksi, sarana produksi, penyuluhan, klinik agribisnis, pasca panen dan pemasaran hasil, jasa alsintan, pengelolaan hasil dan
5
Prosiding Seminar Nasional permodalan. Selain berfungsi, keterkaitan fungsional antar kelembagaan AIP harus ditempatkan dalam bingkai hubungan keterkaitan institusional dan harus tercermin dalam hubungan sharring system yang adil berdasarkan kesepakatan bersama. Keterkaitan Antar Komponen Prima Tani pada intinya adalah membangun model percontohan sistem dan usaha agribisnis progresif berbasis teknologi inovatif yang memasukkan sistem inovasi dan sistem agribisnis. Dalam model ini, Badan Litbang Pertanian tidak lagi hanya berfungsi sebagai produsen teknologi sumber/dasar, tetapi juga terlibat aktif dalam memfasilitasi penggandaan, penyaluran dan penerapan teknologi inovatif yang dihasilkannya. Prima Tani pada dasarnya adalah model terpadu Penelitian – Penyuluhan – Agribisnis – Pelayanan Pendukung (Research – Extension – Agribusiness – Supporting Service Linkages). Pembentukan jejaringan kerja terpadu Penelitian – Penyuluhan – Agribisnis – Pelayanan merupakan salah satu terobosan kelembagaan dalam Prima Tani yang dapat diuraikan sebagai berikut: • Prima Tani akan merajut ulang hubungan sinergis Penelitian – Penyuluhan (Research – Extension Linkages) yang cenderung semakin melemah atau bahkan terputus di beberapa wilayah sebagai akibat dari belum mantapnya pelaksanaan otonomi daerah. Kegiatan yang akan dilakukan Badan Litbang Pertanian melalui Prima Tani ialah mengintegrasikan kegiatannya dengan lembaga penyuluhan pertanian di daerah melalui penelitian, pengembangan, pengkajian partisipatif di dalam “laboratorium lapang”, membekali penyuluh dengan pengetahuan dan bahan penyuluhan mengenai teknologi inovatif yang diintroduksikan serta menyediakan teknologi sumber/dasar hasil temuan atau ciptaannya. Dengan demikian, Prima Tani dapat berfungsi untuk mensinergikan kegiatan penelitian dan kegiatan penyuluhan. Pengembangan Prima Tani dapat dipandang sebagai bagian dari inisiatif untuk revitalisasi penyuluhan yang kini terkesan mengalami kejenuhan. • Prima Tani merajut hubungan sinergis Badan Litbang Pertanian dengan petani dan
6
praktisi agribisnis secara umum (Research – Agribusiness Linkages), baik secara tidak langsung melalui perantara penyuluh lapang dan lembaga pelayanan, maupun secara langsung melalui kolaborasi dalam pembangunan dan pengembangan Prima Tani. Bidang usaha meliputi usaha pertanian (on-farm), produksi dan penyediaan sarana dan prasarana pertanian serta penanganan, pengolahan dan pemasaran pasca panen. Prima Tani tidak saja berfungsi untuk memperkuat atau merajut ulang hubungan tradisional tidak langsung yang telah ada selama ini tetapi yang lebih penting lagi adalah membangun hubungan baru secara langsung. Dengan begitu, teknologi inovatif yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian akan lebih terjamin tepat guna bagi praktisi agribisnis, penyuluh maupun lembaga pemerintah pelayan agribisnis. • Prima Tani merajut hubungan sinergis Badan Litbang Pertanian dengan lembagalembaga Pelayanan Pendukung Agribisnis, utamanya lembaga pemerintah, tidak saja melalui penyediaan informasi dan penyediaan paket rekomendasi teknologi yang sudah berjalan selama ini, tetapi juga dalam upaya percepatan penerapan dan difusi teknologi inovatif. Prima Tani merupakan wahana untuk mengadvokasikan difusi adopsi teknologi melalui program pembangunan pemerintah. Dengan demikian, Prima Tani mengandung dua unsur pembaruan, yaitu (1) Inovasi teknologi tepat guna siap terap dan manajemen usaha agribisnis (2) Inovasi kelembagaan yang memadukan sistem atau rantai pasok inovasi (innovation system) dan sistem agribisnis (agribusiness system). Peranan Pemda Sebagai Pemegang Tongkat Estafet Keberlanjutan Prima Tani Sasaran akhir Prima Tani adalah diterapkannya teknologi inovatif yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian oleh praktisi agribisnis secara cepat, tepat, dan luas (massal), yang bermuara pada terbentuknya Agribisnis Industrial Pedesaan (AIP) yang berbasis pemanfaatan sumberdaya setempat secara optimal dalam upaya meningkatkan kegiatan usaha dan kesejahteraan masyarakat setempat. Namun demikian, walaupun pada awalnya program ini diinisiasi oleh Badan
Prosiding Seminar Nasional Litbang Pertanian, maka dalam pelaksanaan tahap berikutnya peran Pemda setempat diharapkan sangat dominan. Pada dasarnya, dengan pendekatan yang benar bahwa kegiatan inovasi dan diseminasi teknologi yang dilakukan Badan Litbang Pertanian pada program Prima Tani hanyalah membuktikan bahwa teknologi yang dihasilkan Badan Litbang mampu menjawab kebutuhan dan permasalahan petani atau tepat guna dan unggul sehingga mereka yakin dan mengadopsinya. Kegiatan diseminasi yang dilakukan Badan Litbang Pertanian hanya dalam skala terbatas dan sementara waktu saja. Sehingga fasilitasi difusi dan replikasi atau perluasan Prima Tani diharapkan akan dilakukan oleh instansi pemerintah yang bertugas untuk itu, terutama dari pihak Pemda setempat. Dengan demikian, pemda setempat berkewajiban untuk menerima tongkat estafet pelaksanaan Prima Tani yang selama ini dilakukan oleh Badan Litbang Pertanian. Ke depan, paling tidak ada dua kewajiban Pemda setempat yang perlu mendapat perhatian lebih serius, yaitu (1) Menjaga keberlanjutan pelaksanaan Prima Tani di lokasi pengembangan Prima Tani selama ini sehingga tujuan akhir dari Prima Tani dalam mewujudkan Agribisnis Industrial Pedesaan (AIP) bisa tercapai dan (2) Mengingat pelaksanaan Prima Tani selama ini masih terbatas pada beberapa lokasi/desa, maka agar percepatan pembangunan pertanian secara nasional bisa tercapai, maka Pemda setempat berkewajiban untuk memassalkan Prima Tani ke lokasi lainnya. Dalam kaitan ini, Badan Litbang Pertanian bukan berarti lepas tangan. Badan Litbang Pertanian tetap berkewajiban sebagai pemasok teknologi yang dibutuhkan dalam pengembangan Prima Tani tersebut. Fokus Inovasi Teknologi ke Depan Seperti diungkap sebelumnya, bahwa peranan inovasi teknologi yang sesuai kebutuhan pengguna dan alih teknologi sangat vital bagi pembangunan pertanian ke depan. Perbaikan inovasi teknologi yang bermuara ke pengguna perlu terus diupayakan seiring dengan perubahan lingkungan strategis. Oleh kerena itu, penyempurnaan pengembangan dan aplikasi iptek dalam pembangunan pertanian dalam era globalisasi sekarang ini, agenda kebijakan ke depan perlu menyesuaikan dengan perubahan kelembagaan yang juga berkembang demikian
cepat. Apabila dahulu, fokus kebijakan lebih banyak pada pembahasan kuantitas input yang digunakan, kini fokus tersebut telah bergeser pada efisiensi penggunaan teknologi biologikimiawi seperti benih unggul, pupuk dan pestisida, perubahan aransemen kelembagaan yang menyertai pengembangan teknologi tidak dapat dilakukan secara sambilan (adhoc), tetapi harus secara holistik dan dilengkapi dengan kebijakan yang memadai. Kajian dan penelusuran lebih dalam tentang hubungan fungsional antara tingkat penggunaan input produksi pertanian dengan aspek kelembagaan serta kondisi sosial ekonomi yang melingkupi proses produksi masih harus terus menerus dilakukan. Di tingkat lapangan, hal tersebut perlu diterjemahkan melalui penelaahan yang terus menerus untuk menemukan spesifikasi produksi pertanian yang tepat, sesuai dengan kondisi agroklimat serta setting kelembagaan suatu daerah tertentu. Perbaikan kondisi sosial ekonomi serta fungsi-fungsi kelembagaan tersebut, dapat ditempuh melalui desentralisasi perumusan kebijakan teknologi di bidang pertanian. Para peneliti dan perumus kebijakan juga masih harus bekerja keras untuk menyempurnakan adaptasi teknologi biologi-kimiawi, bukan sekedar adopsi pada beberapa kondisi ekologis dan sosial ekonomi masyarakat. Dalam jangka panjang, desentralisasi seperti ini dapat mengurangi perbedaan tingkat efisiensi penggunaan faktor produksi serta produktivitas pertanian antar wilayah, seperti yang dialami oleh pulau Jawa dan luar Jawa selama ini. Keterbatasan dana yang dialokasikan untuk kegiatan litbang pertanian juga perlu dikelola secara khusus. Dengan anggaran yang terbatas tersebut, kegiatan litbang pertanian harus fokus pada sedikit komoditas (prioritas) agar dapat diselesaikan secara tuntas dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama. Salah satu dampak dari paradigma ”penelitian untuk penelitian" atau bahkan ”penelitian untuk peneliti" adalah kegiatan litbang yang tidak fokus, mencakup banyak komoditas karena mengikuti kemauan peneliti bukan berdasarkan kebutuhan pengguna. Ke depan, paling tidak tiga komoditas pangan yang tetap akan menjadi fokus perhatian, yaitu padi, jagung, kedelai, selain komoditas tebu (gula) dan daging sapi.
7
Prosiding Seminar Nasional PENUTUP Potensi lahan marjinal dalam mencukupi kebutuhan pangan penduduk ke depan sangat menjanjikan, persoalannya sekarang perhatian terhadap lahan marjinal masih belum seperti yang diharapkan, sehingga kegiatan pertanian di lahan ini belum digarap secara maksimal. Prima Tani diharapkan dapat menjadi media untuk menjadikan isu mengenai lahan marjinal semakin banyak mendapat perhatian dalam kegiatan penelitian yang dilaksanakan Badan Litbang Pertanian ke depan. Prima Tani merupakan program terobosan Departemen Pertanian dalam upaya akselerasi diseminasi inovasi teknologi ke pengguna untuk mempercepat pembangunan pertanian di daerah. Prima Tani merupakan model dan percontohan untuk pengentasan kemiskinan dan pengangguran, dan dirancang dengan mengintegrasikan berbagai pihak dan instansi terkait baik lingkup Deptan maupun luar Deptan. Inovasi pertanian yang mencakup inovasi teknologi dan inovasi kelembagaan serta adanya keterkaitan yang erat dan kuat antar komponen dalam Prima Tani akan mempercepat tujuan akhir dari program ini dalam mewujudkan Agribisnis Indsutrial Pedesaan (AIP) yang mampu menyediakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
8
Prima Tani pada dasarnya merupakan implementasi dari perubahan paradigma dari “Penelitian dan Pengembangan” (Research and Development) ke Penelitian untuk Pembangunan” (Research for Development). Dengan begitu, kegiatan Badan Litbang akan lebih terarah pada pemenuhan preferensi stakeholders. Dengan strategi baru tersebut, maka Badan Litbang Pertanian terintegrasi langsung sebagai salah satu elemen esensial dalam pelaksanaan Prima Tani. Pemerintah Daerah mempunyai kewajiban sebagai pemegang tongkat estafet keberlanjutan Prima Tani di desa yang telah dikembangkan oleh Badan Litbang Pertanian dan sekaligus berkewajiban untuk memassalkan di desa sekitarnya.
Prosiding Seminar Nasional
DUKUNGAN PRASARANA SARANA ( INFRASTRUKTUR ) Sri Yuwanti Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah Provinsi Jawa Tengah
LATAR BELAKANG • Adanya kesenjangan pembangunan yang tinggi antara wilayah perkotaan dan perdesaan (yang berbasis pertanian) • Daerah Perkotaan cenderung mengeksploitasi sumber daya perdesaan sebaliknya daerah perdesaan tidak mampu memanfaatkan perkotaan dengan baik bahkan menjadi beban kota • Daerah perkotaan harus dapat berperan sebagai penggerak pembangunan perdesaan (Habitat: Cities As Engine of Rural Development) • Kawasan Perdesaan seharusnya sebagai suatu kesatuan pengembangan dengan kawasan perkotaan (dalam konsep urbanrural linkages) dan mempunyai hubungan yang bersifat interdependensi/timbal balik yang harmonis dan dinamis. • Kawasan-kawasan perdesaan (kawasan yang menjadi sentra produksi pertanian) perlu dikembangkan menjadi kawasan pertumbuhan ekonomi daerah, dengan Pengembangan Agropolitan sebagai penggerak pembangunan (engine of development) bagi kawasan-kawasan disekitarnya. • Program Pengembangan Agropolitan adalah program yang dianggap paling pas dikembangkan saat ini, terutama dalam menghadapi ’krisis multi dimensi’ yang sampai saat ini masih berkepanjangan.
pemberi nasional
sumbangan
pendapatan
(2) secara de facto penjamin kelestarian sumberdaya - lingkungan serta pengembang kultur daerah dalam menjaga kelestarian kebudayaan. • Pertanian di Indonesia akhir-akhir ini menghadapi masa sulit dan kurang mempunyai daya saing seiring meningkatnya jumlah penduduk di Indonesia, dapat menimbulkan kerisauan akan timbulnya “kerawanan pangan” di masa yang akan datang KONSEP PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN Tiga Konsep Pengembangan Kawasan (Rondinelli, 1985): • Konsep kutub pertumbuhan (growth pole); Menekankan investasi masif pada industri-industri padat modal di pusat-pusat urban utama sebagai prime mover yang menstimulasi dan menciptakan penyebaran pertumbuhan (spread effect) dan efek penetesan (trickle effect) • Integrasi (keterpaduan) fungsionalspasial. Mengembangkan sistem pusatpusat pertumbuhan dengan berbakai ukuran (termasuk kota-kota skala kecil-menengah) dan karakteristik fungsional secara terpadu. • Pendekatan “Decentralized territorial”
PERMASALAHAN PENGEMBANGAN PERDESAAN • Daerah perdesaan dihuni oleh sebagian besar penduduk Indonesia (60%) dengan mata pencaharian utamanya adalah bertani, dengan hasil pertanian dalam bentuk primer (belum diolah) • Kawasan perdesaan berperan sebagai :
Pendekatan Pengembangan Kawasan Agropolitan • Rekomendasi Friedman dan Douglass (1975) untuk pembangunan perdesaan di Asia dan Afrika : Aktivitas pembangunan yang terkonsentrasi di wilayah perdesaan berpenduduk 50.000 - 150.000 jiwa
(1) penjamin ketersediaan pangan, bahan mentah industri, lapangan kerja &
9
Prosiding Seminar Nasional • Konsep agropolitan dipandang sebagai konsep yang menjanjikan teratasinya permasalahan ketidakseimbangan • pembangunan antara perdesaan-perkotaan selama ini • Pembangunan perdesaan dilakukan dengan meningkatkan keterkaitan – menghubungkan perdesaan dengan pembangunan wilayah perkotaan (Urban-Rural Linkages) Prasyarat : Keberhasilan Kawasan Agropolitan
Pengembangan
1. Meningkatkan pembangunan infrastruktur yang dapat mendukung peningkatan produktivitas hasil pertanian, pengolahan dan pemasaran hasil serta adanya jasa penunjang, yang diawali dengan penyusunan rencana tata ruang/master plan kawasan agropolitan serta ketersediaan peta komoditas hasil pertanian 2. Meningkatkan daya saing produk bukan hanya berbentuk primer tetapi sampai
kepada produk olahan (Intermediate Product dan Final Product) di kawasan agropolitan sehingga mendapatkan nilai tambah (value added) 3. Menciptakan sistem pemasaran produk/tata niaga yang berpihak kepada petani 4. Perkuatan dan revitalisasi lembaga penyuluhan pertanian, melalui pemberdayaan penyuluh swakarsa 5. Mengembangkan kemitraan antara pemerintah, masyarakat dan pihak swasta, yang berlandaskan ”kesetaraan” 6. Memperkuat lembaga permodalan di daerah
keuangan
7. Memperkuat keberadaan dan posisi tawar petani sebagai stakeholder utama pengembangan kawasan agropolitan 8. Terciptanya political will dari pemerintah daerah sebagai penggerak utama pengembangan kawasan agropolitan
/ Pusat kawasan Agropolitan Dusun
10
dan
Prosiding Seminar Nasional STRATEGI PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN Tujuan Pengembangan Kawasan Agropolitan
Menyeimbangkan pembangunan antara perkotaan dan pedesaan melalui pendekatan pengembangan wilayah, sehingga diharapkan akan dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, mempercepat pertumbuhan ekonomi, dengan mendorong berkembangnya sistim dan usaha agribisnis. Pengembangan kawasan agropolitan juga diposisikan sebagai bagian dari upaya untuk mengatasi masalah2 yang timbul di perdesaan, antara lain : mengurangi kemiskinan, mengurangi kesenjangan sosial, menciptakan lapangan pekerjaan, dan mengurangi arus migrasi dari desa ke kota, karena dengan mengembangkan kawasan agropolitan diharapkan akan dapat menjadikan suasana kehidupan mirip dengan di perkotaan. Kawasan Agropolitan juga akan didorong menjadi kawasan Agrowisata. Strategi Pengembangan Kawasan Agropolitan Lintas Departemen 1. Strategi pengembangan sumber daya manusia (dengan Departemen Pertanian). 2. Strategi pengembangan sistem kelembagaan (dengan Departemen Dalam Negeri) 3. Strategi pengembangan permodalan (dengan Meneg KUKM dan Perbankan) 4. Strategi pengembangan (dengan Departemen PU )
Infrastruktur
Latar belakang Pengembangan Infrastruktur dalam Kawasan Agropolitan Infrastruktur fisik sebagai modal sosial masyarakat, terkait kuat dengan kesejahteraan masyarakat Observasi menunjukkan daerah yang memiliki kelengkapan infrastruktur yang lebih baik dibandingka daerah lainnya,
memiliki kehidupan ekonomi yang lebih baik pula Lingkup infrastruktur dalam mendukung kawasan agropolitan bertujuan untuk: ¾ Meningkatkan ekonomi kawasan yang pada akhirnya mengarah pada peningkatan kesejahteraan masyarakat ¾ Meningkatkan keterkaitan desa-kota, sehingga terjadi penurunan tingkat urbanisasi dan merupakan embrio kota Agro ¾ Mendukung Agribisnis
peningkatan
usaha
Pendekatan Pembangunan Infrastruktur di Kawasan Agropolitan Pembangunan Prasarana dan Sarana dilakukan dengan pendekatan wilayah mengidentifikasi Sumberdaya Alam, Sumberdaya Buatan dan Sumberdaya Manusia. Pengembangan Infrastruktur berbasis tingkat perkembangan kawasan agropolitan Pendekatan Wilayah mensinergikan / menterpadukan antara Pusat – Propinsi – Kabupaten, antar sektor (infrastruktur jalan, irigasi, listrik, telekomunikasi) , serta antar stakeholders (pemerintah, swasta dan masyarakat) Infrastruktur dalam lingkup ke pu an meliputi: Prasarana dan Sarana Jalan, sebagai prasarana dan sarana distribusi lalu lintas barang dan manusia serta pembentuk struktur ruang wilayah. Prasarana dan Sarana Sumber Daya Air, sebagai prasarana dan sarana penyimpanan, pendistribusian dan pengendalian daya rusak air. Prasarana dan Sarana Perumahan dan Permukiman, baik di Perkotaan maupun Perdesaan, mencakup pelayanan air bersih dan air baku, sanitasi lingkungan, persampahan, drainase, limbah domestik maupun perumahan dll.
11
Prosiding Seminar Nasional termasuk peningkatan pelayanan prasarana dan sarana terutama jalan dan pasar. ¾ Meningkatkan pemasaran dan mengembangkan pasar baru ke luar Kaw. Agropolitan / Eksternal.
Strategi Kebijakan Bidang Ke PU an (infrastruktur) Dalam Pengembangan Kawasan Agropolitan 1. Produktivitas : Meningkatkan produktivitas dengan memfokuskan pada produk yang berorientasi kebutuhan pasar yang didukung faktor produksi (baik langsung seperti air, maupun tidak langsung seperti jalan) yang memadai terutama di sentra produksi
3. Lingkungan permukiman Meningkatkan pelayanan prasarana dan sarana lingkungan perumahan dan permukiman terutama untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia sebagai pelaku utama pengembangan Kawasan Agropolitan.
2. Pemasaran : ¾ Memberikan nilai tambah produk terutama di pusat Kaw. Agropolitan
.
PRIORITAS DUKUNGAN BIDANG PRASARANA DAN SARANA KIMPRASWIL DUKUNGAN PRASARANA KIMPRASWIL UNTUK No
TIPOLOGI DESA
MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS INTERNAL SENTRA PRODUKSI
12
EXTERNAL DPP/PUSAT KAWASAN
1
DESA PERTANIAN PANGAN, PETERNAKAN
1. Irigasi tertier (termasuk air baku ternak) 2. Jalan usaha tani (on farm) 3. Penjemuran 4. Kios Saprotan
1. 2. 3. 4.
2
DESA PERKEBUNAN
1. Jalan on farm 2. Gudang 3. Air baku dan air bersih
1. Air bersih 2. Air industri pengolahan hasil perkebunan 3. Pengolahan air limbah 4. Gudang 5. Jalan off farm
3
DESA NELAYAN
1. 2. 3. 4. 5.
1. 2. 3. 4. 5. 6.
4
DESA AGROWISAT A
1. Jalan lingkungan 2. Air bersih 3. Tempat pembuangan sampah 4. Sanitasi
Dermaga sandar Penjemuran Air baku tambak Jalan lingkungan Terminal desa
Kios Gudang Air untuk produksi pengolahan Jalan dari Sentra Produksi dan di DPP
AKSES KEWILAYAHAN 1. Air baku (saluran pembawa)
Cold storage Bengkel SPBU Fasilitas tempat pemb. es batu Jalan ke Sentra Produksi dan di DPP Pelabuhan kecil (Jetti)
1. Jalan lingkungan 2. Gudang 3. Pengendalian banjir
1. Akses jalan primer
Prosiding Seminar Nasional PRIORITAS DUKUNGAN BIDANG PRASARANA DAN SARANA KIMPRASWIL DUKUNGAN PRASARANA KIMPRASWIL UNTUK N o
TIPOLOGI DESA
MENINGKATKAN PEMASARAN INTERNAL SENTRA PRODUKSI
EXTERNAL
DPP/ PUSAT KAWASAN
AKSES KEWILAYAHAN
1
DESA PERTANIAN PANGAN, PETERNAKAN
1. Jalan (on farm) 2. Terminal
1.Jalan off farm 2. Terminal 3. Gudang 4. Air bersih
1. Akses jalan primer
2
DESA PERKEBUNAN
1. Jalan (on farm) 2. Air bersih .
1. 2. 3. 4. 5.
1. Akses jalan primer
3
DESA NELAYAN
1. Terminal
1.Jalan dari Sentra Produksi dan di DPP 2. TPI
1. Akses jalan primer
4
DESA AGROWISATA
1. Air bersih 2. Sanitasi 3. Tempat pembuangan sampah 4. Jalan sebagai fasilitas olahraga dan rekreasi
1. 2. 3. 4. 5.
1. Akses jalan primer 2. Fasilitas peristirahatan / gardu pandang
Jalan off farm Air bersih Gudang Pasar/kios Terminal
Pasar/kios Jalan lingkungan Air bersih/ sanitasi Drainase pengendalian banjir Terminal
PRIORITAS DUKUNGAN BIDANG PRASARANA DAN SARANA KIMPRASWIL DUKUNGAN PRASARANA KIMPRASWIL UNTUK N o
TIPOLOGI DESA
MENINGKATKAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN INTERNAL SENTRA PRODUKSI
1
EXTERNAL DPP/PUSAT KAWASAN
DESA PERTANIAN PANGAN, PETERNAKAN
1. 2. 3. 4.
Jalan lingk perumahan Air bersih/sanitasi Drainase/ pencegah banjir Perbaikan perumahan
1. Jalan lingk perumahan 2. Air bersih/sanitasi 3. Perbaikan perumahan
DESA PERKEBUNAN
1. 2. 3. 4.
Jalan lingk perumahan Air bersih/sanitasi Drainase/ pencegah banjir Perbaikan perumahan
1. Jalan lingk perumahan 2. Air bersih/sanitasi 3. Perbaikan perumahan permukiman
3
DESA NELAYAN
1. 2. 3. 4.
Jalan lingk perumahan Air bersih/sanitasi Drainase/ pencegah banjir Perbaikan perumahan
1. Jalan lingk perumahan 2. Air bersih/sanitasi 3. Perbaikan perumahan permukiman
4
DESA AGROWISATA
1. 2. 3. 4.
Jalan lingk perumahan Air bersih/sanitasi Drainase/ pencegah banjir Pemugaran perumahan
1. Jalan lingk perumahan 2. Drainase pencegah banjir
2
AKSES KEWILAYAHAN
______________
______________
______________
______________
13
Prosiding Seminar Nasional Illustrasi
Jenis Produk dan Kebutuhan Konstruksi Jalan
Karakteristik Produk No
1
2
Tipologi Desa Pertanian Pangan
Perkebunan
Jenis Produk
DayaTahan
Kebutuhan minimal
Kepekaan
Konstruksi Jalan
Sayur
Pendek
Sangat Peka
Jalan Beraspal (Lapisan lenetrasi)
Beras
Sedang
Sedang
Jalan diperkeras (Lapisan sirtu)
Buahbuahan Bunga
Pendek
Jalan Beraspal (Lapisan penetrasi)
Karet
Panjang
Kopi Biji
Panjang
Sangat Peka Sangat Peka Tidak Peka Tidak Peka Sangat Peka Tidak Peka
Jalan Beraspal (Lapisan penetrasi)
Pendek
3
Nelayan
Ikan, Udang
Pendek
4
Hasil Hutan
Kayu,bambu rotan
Panjang
5
Pariwisata
Jalan Beraspal (Lapisan penetrasi) Jalan diperkeras (Lapisan sirtu) Jalan diperkeras (Lapisan sirtu)
Jalan diperkeras (Lapisan sirtu) Jalan Beraspal (Lap. penetrasi)
KAW.AGROPOLITAN DALAM SISTEM PEMASARAN EKSTERNAL
Ibukota Propinsi Kota Jenjang I
Kawasan Agropolitan Jalan Arteri Primer Jalan Kolektor Primer
Ibukota Propinsi Kota Jenjang I
Kota Jenjang II
Kawasan Agropolitan
Kawasan Agropolitan
Ou tle t
Pe lab
uh an
Jalan Arteri Primer
14
Prosiding Seminar Nasional
PETA KEWENANGAN PEMERINTAH DALAM PENGEMBANGAN AGROPOLITAN (Kewenangan pemerintah Kabupaten, Provinsi dan Pusat) PEMERINTAH PUSAT
Menyusun pedoman Umum dan Standar Teknis (NSPM) Menfasilitasi kerjasama lintas provinsi dan internasional
Membangun PS yg bersifat strategis
Melakukan Tugas Pembinaan dan Pengawasan
PEMERINTAH PROVINSI
PEMERINTAH KABUPATEN
Koordinasi
program & kebijakan pengemb. Kaw.Agrop. Diwilayah Provinsi
Pelayanan dan fasilitasi kerjasama lintas kabupaten
Membangun
PS yang bersifat strategis
Merumuskan program, kebijakan operasional, pernc. dan pelaksanaan pengembangan
Mendorong partisipasi dan swadaya masy, pelaksanaan pengemb. Agropolitan
Menumbuhkembangkan kelembagaan PS di kawasan Agrop.
Membantu pemecahan masalah jika diminta pem. Kab.
Ilustrasi pada jalan yang menunjang kawasan agropolitan Klasifikasi dan Kewenangan Penyelenggaraan Jalan Jaringan Jalan
Klasifikasi Fungsi
Klasifikasi administrasi
Wewenang penyelenggara an (pembangunan )
Sistem Primer
Arteri
Jalan Tol
Pusat dan Daerah
K1
Jalan Nasional
Pusat
K2
Jalan Propinsi
Propinsi
Kolektor
K3
Turbin was
Pusat
Pusat
K4
Sistem Sekunder
Lokal
Jalan Kabupaten
Kabupaten
Arteri Kolektor Lokal
Jalan Kota
Kota
Pusat
Pusat
15
Prosiding Seminar Nasional Pembiayaan Infrastruktur Kawasan Agropolitan
DUKUNGAN INFRASTRUKTUR ( PRASARANA DAN SARANA )
1. Pembiayaan Infrastruktur kawasan agropolitan membutuhkan biaya yang besar. 2. Pengembangan pembiayaan Infrastruktur Kawasan Agropolitan bertumpu dana APBD, masyarakat dan swasta. 3. Dukungan Pemerintah Pusat sifatnya stimulan dan disesuaikan tingkat perkembangan kawasan : ¾ Stimulan untuk berkembang
kawasan
belum
¾ Untuk kawasan sedang dan telah berkembang sifat dukungan fasilitas dan bantuan teknik 4. Sumber pembiayaan Infrastruktur Kawasan dari APBN dapat melalui Dana Pusat berupa : DAU( Dana Alokasi Umum) dalam bentuk Block Grand ; DAK (Dana Alokasi Khusus) Untuk Propinsi dan Kabupaten sebagai penyeimbang antar daerah , misalnya DAK untuk air dan jalan
Bantuan Teknis: Bantuan Teknis: Identifikasi Lokasi, Penyiapan Master Plan, RPJM-PSK, Profil Kawasan dan DED Kawasan Agropolitan Penyelenggaraan Sosialisasi dan Sinkronisasi Program Pengembangan Agropolitan di Tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kawasan Perumusan Kebijakan Prasarana dan Sarana untuk Mendukung Pengembangan Agropolitan Sejak Tahun 2004 Kebijakan Pemerintah Pusat untuk Studi Identifikasi, Penyusunan Master Plan dan Penyusunan Rencana Jangka Menengah (RPJM), menjadi tugas Pemerintah Kabupaten, termasuk prasyarat Kabupaten untuk mendapatkan stimulan Fisik dari Pusat maupun Provinsi. Stimulans Fisik: Pembangunan Prasarana dan Sarana al.: Air Baku, irigasi Tetes dan Sprinkler, Jalan Poros Desa, Jalan Usaha Tani (Farm Road), Pasar/Kios/Los dan pelataran Pasar, Sub Terminal Agribisnis (STA), Packing House, Sarana Produksi, Holding Ground dan Halte Agribisnis.
SEBARAN KAWASAN AGROPOLITAN DI JAWA TENGAH S/D TA-2008 KAWASAN AGROPOLITAN WALIKSARIMADU TA-2003-2005 KAB PEMALANG
KAWASAN AGROPOLITAN WALISORBAN TA 2005-2007 KAB BATANG
KAWASAN AGROPOLITAN SUTHOMA DANSIH TA 2006-2008 KAB KARANGANYAR
KAWASAN AGROPOLITAN LARANGAN TA 2008-2010 KAB BREBES
KAWASAN AGROPOLITAN BUNGA KONDANG TA 2005-2007 KAB PURBALINGGA
KAWASAN AGROPOLITAN JAKABAYA TA 2008-2010 KAB BANJARNEGARA
16
KAWASAN AGROPOLITAN CANDIGARON TA 2003-2005 KAB SEMARANG
KAWASAN AGROPOLITAN ROJONOTO TA 2004-2006 KAB WONOSOBO
KAWASAN AGROPOLITAN GOASEBO TA 2008-2010 KAB BOYOLALI KAWASAN AGROPOLITAN MERAPI MERBABU TA 2005-2007 KAB MAGELANG
Prosiding Seminar Nasional PENDANAAN KAWASAN AGROPOLITAN JATENG S/D TA 2008 1. PELAKSANAAN T A. 2003 Kab. Semarang Kec Sumowono - Peningkatan jalan poros desa 4.730 m Rp.620.000.000 APBN - Peningkatan jalan usaha tani 860 m Rp.50.000.000 APBN - Peningkatan jalan usaha tani 860 m Rp. 50.000.000 APBN - Rehabilitasi jembatan 1 unit Rp.50.000.000 APBN - Pembuatan pasar desa & terminal desa 1 unit Rp. 443.904.000 APBN - Pembuatan bangunan penampungan hasil kopi & Bangunan penjemuran kopi 3 unitRp. 350.700.000 APBN Kab Pemalang (WALIKSARIMADU) - Peningkatan jalan poros desa 2.000 m Rp.400.000.000 APBN - Peningkatan jalan poros desa 1.979 m Rp.395.800.000 APBN - Peningkatan pasar desa 1 unit Rp.852.837.000 APBN Non fisik : Identifikasi kebutuhan prasarana & sarana Kimpraswil untuk mendukung Agropolitan Kabupaten Semarang dan Pemalang Rp.49.660.000 APBN Penyusunan DED Kawasan Agropolitan Kab Semarang & Pemalang Rp. 49.700.000 APBN TOTAL Rp. 3.190.601.000,2. PELAKSANAAN T A. 2004 Kab Semarang (Kec Sumowono) - Peningkatan jalan poros desa 2.345 m Rp. 469.000.000 APBN - Pembuatan jembatan antar desa 2 unit Rp. 260.000.000 APBN - Penyempurnaan PAsar 1 unit Rp. 100.000.000 APBN Kab Pemalang (WALIKSARIMADU) - Peningkatan jalan poros desa 3.375 m Rp.675.000.000 APBN - Penyempurnaan pasar 1 unit Rp. 100.000.000 APBN - Pembuatan bangunan produksi peternakan 1 unit Rp. 230.261.000 APBN
Kab Wonosobo (ROJONOTO) - Peningkatan jalan poros desa 1.700 m Rp. 340.000.000 APBN - Peningkatan jalan poros desa 1.800 m Rp. 360.000.000 APBN - Pengembangan terminal agropolitan 1 unit Rp. 300.000.000 APBN Kab Batang (SORBANWALI) - Rehab dermaga pusat pendaratan ikan 1 unit Rp.250.000.000 APBN - Penyusunan RPJM Kawasan 1 paket Rp.100.000.000 APBN Non fisik : Kabupaten Semarang, Pemalang, Wonosobo, Batang Penyusunan Profil Kawasan Agropolitan 1 paket Rp.49.500.000 APBN Penyusunan DED PSK Agro 1 paket Rp. 49.200.000 APBN TOTAL Rp. 3.282.961.000,-
3. PELAKSANAAN T A. 2005 Kab. Semarang (Kec Sumowono) - Peningkatan jalan poros desa Rp.600.000.000 APBN - Pembangunan bangunan pencucian sayur Rp. 100.000.000 APBD Kab Pemalang (WALIKSARIMADU) - Pembuatan bangunan produksi perkebunan Rp. 800.000.000 APBN - Penyempurnaan bangunan produksi peternakan Rp.136.000.000 APBN - Bangunan gudang penmpungan hasil Rp. 150.000.000 APBN - Bangunan penyulingan minyak Rp.100.000.000 APBN - Pembuatan gerbang kawasan Rp.44.000.000 APBN - Bangunan treatmen limbah RPH 150.000.000 APBD - Balai pelatihan & pertemuan hasil produkasi Rp. 168.000.000, Kab Wonosobo (ROJONOTO) - Peningkatan jalan poros desa Rp.650.000.000 APBN - Penyempurnaan pasar desa Rp.186.000.000 APBN - Pembuatan STA Rp.153.767.000 APBN - Pembuatan gerbang kawasan Rp.44.000.000 APBN
17
Prosiding Seminar Nasional - Peningkatan jaln usaha tani Rp.225.000.000 APBN Kab. Batang (SORBANWALI) - Bangunan penampungan pupuk Rp.50.000.000 APBN - Peningkatan jaln usaha tani Rp.150.000.000 APBN - Perbaikan balai pertemuan & pelatihan hasil produksi Rp.106.714.000 APBN - Pembuatan gerbang kawasan Rp.44.000.000 APBN - Pembuatan STA Rp. 300.000.000 APBN - Rehab saluran irigasi Rp. 100.000.000 APBN - Pembangunan tempat penampungan teh Rp. 50.000.000 APBN Kab Magelang (MERAPI MERBABU) - STA Rp. 750.000.000 APBN - Pembuatan sarana komposting Rp. 100.000.000 APBN Kab Purbalingga (BUNGAKONDANG) - Peningkatan jalan poros desa Rp. 400.000.000 APBN - Peningkatan jalan poros desa Rp. 260.000.000 APBD - Pembangunan pasar desa Rp. 260.000.000 APBD Non fisik : Penyusunan DED Fisisk 6 kabupaten 100.000.000 Supervisi pelaksanaann & studi pengembangan P/S Rp. 100.000.000 Studi pengembangan P/S Agro 100.000.000 DANA TAMBAHAN (REVISI) 200.000.000
Rp.
Rp.
Rp.
TOTAL Rp 6.129.701.000,-. 4. PELAKSANAAN T A. 2006 Non fisik Penyusunan DED TA.2006 Wonosobo, Batang, Magelang, Purbalingga, Karanganyar Rp.100.000.000 APBN Penyusnan RPJM Wonosobo, Batang, Magelang, Purbalingga, Karanganyar Karanganyar Rp. 50.000.000 ABPN Supervisi fisik Rp. 150.000.000 Wonosobo, Batang, Magelang, Purbalingga, Karanganyar
18
Evaluasi kinerja P2 S Agropolitan Rp.50.000.000 Wonosobo, Batang, Magelang, Purbalingga, Karanganyar Fisik : Kab. Pemalang - Pembangunan jalan poros desa Rp. 350.000.000 APBD - Pembangunan sarana komposting Rp.150.000.000 APBD - Pembangunan bangunan penyulingan minyak Rp. 194.800.000 APBD Kab. Wonosobo - Pembangunan jalan poros desa Rp. 250.000.000 APBD - Pembangunan sarana komposting Rp.150.000.000 APBD - Peningkatan jalan poros desa Rp.1.190.000.000 APBN - Peningkatan jalan usaha tani Rp. 315.000.000 APBN Kab. Batang - Pembangunan jalan poros desa Rp. 200.000.000 APBD - Bangunan pengumpul pupuk kandang Rp. 100.000.000 APBD - Bangunan penampungan pupuk Rp. 75.000.000 APBN - Pembuatan sarana komposting Rp. 300.000.000 APBN Kab. Magelang - Pembangunan jalan poros desa Rp. 250.000.000 APBD - Pemb stasiun terminal agribisnis ( STA) Ngablak Rp. 500.000.000 APBN - Peningkatan jalan usaha tani Rp. 105.000.000 APBN - Pembuatan sarana komposting Rp. 150.000.000 APBN Kab. Purbalingga - Pembangunan jalan poros desa Rp. 250.000.000 APBD - Pembangunan jalan poros desa Rp. 280.000.000 APBN Kab. Karanganyar - Pembangunan STA Tawangmangu Rp. 350.000.000 APBN - Pembuatan bangunan pengering jahe Rp. 104.000.000 APBN - Peningkatan jalan usaha tani Rp. 105.000.000
Prosiding Seminar Nasional DANA TAMBAHAN (REVISI) 1.000.000.000,- APBN
Rp.
TOTAL APBD Rp 968.400.000,APBN Rp. 7.729.701.000,5. PELAKSANAAN T A. 2007 Kab. Batang - Bangunan pemasaran hasil produksi (BTG-01) Rp. 452.924.000 APBN - Peningkatan jalan usaha tani (BTG-02) Rp. 258.000.000 APBN - Peningkatan jalan poros desa (BTG-03) Rp. 639.900.000 APBN Magelang - Penyempurnaan STA Ngablak (MGL-01) Rp. 425. 984.000 APBN - Pembuatan Gerbang Kawasan Agropolitan (MGL-02) Rp. 150.000.000 APBN - Bangunan pemasaran hasil produksi (MGL-03) Rp. 300.000.000 APBN - Peningkatan jalan usaha tani (MGL-04) Rp. 516.000.000 APBN - Bangunan pendukung agrowisata (MGL-05) Rp. 300.000.000 APBN - Peningkatan jalan usaha tani (MGL-06) Rp. 790.000.000 Kab. Karanganyar - Bangunan pendukung agrowisata (KRA-01) Rp.300.000.000 APBN - Penyempurnaan STA Tawangmangu (KRA-02) Rp. 500.000.000 APBN - Peningkatan jalan usaha tani (KRA-03) Rp. 365.844.000 APBN Kab. Purbalingga - Peningkatan jalan poros desa (PBL-01) Rp. 797.900.000 APBN - Bangunan pemasaran hasil produksi (PBL-02) Rp. 250.000.000 APBN APBD PROVINSI Kab. Pemalang - Rehab balai penyuluhan Rp.100.000.000,- STA / Halte Sayuran Rp.264.275.000, Kab. Wonosobo - Peningkatan jalan poros desa Kec Sukoharjo Rp. 150.000.000 - Peningkatan jalan poros desa Kec Kaliwiro Rp. 150.000.000
Kab. BATANG - Peningkatan jalan poros desa Kec. Tersono Rp. 150.000.000 - Peningkatan jalan poros desa Kec. Bawang Rp. 150.000.000 Kab. PURBALINGGA - Peningkatan jalan poros desa Kec.Pengadegan Rp. 150.000.000 Kab. MAGELANG - Peningkatan jalan poros desa Kec. Dukun Rp. 150.000.000 TOTAL APBD Rp 1.264.275.000,APBN Rp. 7.000.000.000,TAMBAHAN REVISI SHT (Sisa Hasil Tender) Rp. 1.294.000,TOTAL APBN Rp. 8.294.000.000,6. RENCANA TA 2008 APBN Kab. Karanganyar - Jalan Poros Desa 2,125 km Rp. 500.000.000 APBN - Jalan Usaha Tani 2,887 km Rp. 500.000.000 APBN - Perluasan STA Tawangmangu Rp. 602.500.000 APBN - Perluasan Agrowisata Rp. 600.000.000 APBN - Bangunan Pengumpul Wortel 2 UNIT Rp. 600.000.000 APBN Kab. Brebes - Jalan Poros Desa 2,345 km Rp. 500.000.000 APBN - STA Bawang Merah Rp. 600.000.000 APBN Kab. Boyolali - Jalan Poros Desa 1,562 km Rp. 400.000.000 APBN - STA Sayuran Ampel Rp. 700.000.000 APBN - MINA POLITAN KEC SAWIT Rp. 350.000.000,- APBN • Kab. Banjarnegara - Jalan Poros Desa 2,000 km Rp. 500.000.000 APBN - STA Sayuran Rp. 8000.000.000 APBN - Jalan Usaha Tani 2,000 km Rp. 300.000.000 APBN NON FISIK Rp. 647.500.000,TOTAL Rp 7.500.000.000,-
19
Prosiding Seminar Nasional - Bangunan Penampungan Hasil Produksi 1 unit Rp. 200.000.000 - Perluasan Pasar Sinduraja 1 unit Rp. 300.000.000
RENCANA TA 2008 APBD PROVINSI Kab. Pemalang - Rehab Balai Penyuluhan Pertanian 1unit Rp. 200.000.000 - Jalan Poros Desa 1pkt Rp. 350.000.000 Kab. Wonosobo - Jalan Poros Desa 1pkt Rp. 600.000.000 - Jalan Poros Desa 1pkt Rp. 300.000.000 - Pemasaran Hasil Produksi 1 unit Rp. 250.000.000 Batang - Jalan Poros Desa 1pkt Rp. 300.000.000 - Pemb Pengolahan 1 unit Rp. 250.000.000 - Penyempurnaan Balai Pelatihan 1 unit Rp. 200.000.000 Magelang - Jalan Poros Desa 1pkt Rp. 350.000.000 - Bangunan Pengepakan 1 unit Rp. 200.000.000 - Bangunan Pendukung Agrowisata 1 unit Rp. 300.000.000 Purbalingga - Jalan Poros Desa 1 km Rp. 300.000.000
Kab. Semarang - Jalan Poros Desa 1 km Rp. 300.000.000 Karanganyar - Jalan Poros Desa 1 km Rp.300.000.000 - Bang Pengumpul Sayuran 1 unit Rp. 250.000.000 Kab. Brebes - Jalan Poros Desa 1 km 1 pkt Rp.300.000.000 - Bangunan Pengumpul Hsl Tani 1 unit Rp. 200.000.000 Kab. Boyolali - Jalan Poros Desa 1 km Rp.300.000.000 - Bangunan Pengumpul 1 unit Rp. 200.000.000 TOTAL YANG DIUSULKAN Rp. 5.000.000.000,TOTAL SEMENTARA YANG DISETUJUI Rp. 2.000.000.000,-
Cost sharing NO
TAHUN
1 2003 - 2005 2 2004 - 2006 3 2005 - 2007
4 2006 - 2008 5
S/D 2008
KABUPATEN
KAWASAN
APBD II
Pemalang
Waliksarimadu
Rp.
4.202.118.000
6.780.598.000
Semarang
Candigaron
Rp.
3.093.604.000
798.718.000
Wonosobo
Rojonoto
Rp
4.331.767.000 12.071.321.000
Batang
Sorbanwali
Rp
3.126.538.000
Magelang
Merapi Merbabu Rp
4.486.984.000 23.253.729.000
Purbalingga
Bungakondang
Rp
2.647.900.000 37.073.678.000
Karanganyar
Suthomadansih
Rp
5.724.844.000
Banjarnegara
Jakabaya
Rp
2.000.000.000
Brebes Boyolali
Larangan Goasebo
Rp Rp Rp
TOTAL
20
ANGGARAN APBD I & APBN
8.758.374.000
1.130.250.000
2.000.000.000 2.000.000.000 33.623.735.000 89.866.668.000
APBD I
4.127.475.000
APBN
29.496.260.000
Prosiding Seminar Nasional PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI DALAM MENDUKUNG AGRIBISNIS DI WILAYAH MARJINAL S. Joni Munarso, Muryanto dan Agus Sutanto Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah ABSTRAK Pengembangan agroindustri dalam mendukung agribisnis di pedesaan merupakan salah satu opsi yang sangat perlu dipertimbangkan karena berpotensi dapat meningkatkan cadangan devisa serta penyediaan lapangan kerja. Pengembangan agroindustri perlu dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan dengan pengertian terjadi keterkaitan usaha sektor hulu dan hilir, dengan memanfaatkan teknologi dan sumberdaya yang melibatkan kelompok/lembaga masyarakat serta pemerintah pada semua aspek. Namun demikian pengembangan agroindustri di pedesaan masih mengalami berbagai kendala, yaitu permodalan, pasar dan teknologi. Di Jawa Tengah, agroindustri pedesaan menghadapi tantangan yaitu peningkatan mutu, nilai tambah dan daya saing. Secara internal, tantangan yang dihadapi justru berasal dari dalam sistem usaha tani yang ada saat ini. Terdapat dua permasalahan yang masih memerlukan solusi bersama yaitu : Pertama, agroindustri dijalankan oleh para pelaku secara parsial sehingga secara agregat belum terjadi sinergi antar kegiatan dan antar pelaku, akibatnya sistem agroindustri yang utuh tidak terwujud. Kedua, kegiatan off farm (penanganan dan pengolahan ) hasil pertanian masih merupakan titik lemah dalam keseluruhan rantai agribisnis. Sedangkan secara eksternal, agroindustri memerlukan dukungan perangkat lunak yang dapat memfasilitasi pengembangan produk. Berdasarkan potensi dan masalah tersebut serta dipadukan dengan referensi konsep pengembangan agribisnis dan didukung dengan penerapan konsep tersebut di lapangan, maka disusun strategi pengembangan agroindustri dalam mendukung agribisnis di pedesaan. Strategi tersebut meliputi tahapan – tahapan sebagai berikut : 1. Pemahaman produk agroindustri, tahap ini meliputi inventarisasi potensi dan masalah produk agroindustri, pemilihan produk agroindustri, analisis potensi dan masalah, analisis peluang inovasi, analisis peluang kegagalan/ keberhasilan usaha dan analisis finansial, 2. Penyusunan Rencana Pengembangan Produk Agroindustri, meliputi penyiapan input produksi, sarana prasarana, sumber daya manusia, kelembagaan, kebijakan / regulasi, prediksi keuntungan (roadmap usaha) dan strategi promosi, 3. Monitoring dan evaluasi.
PENDAHULUAN Dalam upaya meraih kembali predikat sebagai negara yang swa sembada beras belum pernah sampai, karena produktivitas padi saat ini dianggap stagnan atau dalam keadaan ‘levelling off’ setelah pada tahun 80an mengalami kenaikan produktivitas padi yang cukup signifikan. Berbagai upaya telah ditempuh baik dari segi peningkatan lahan maupun intensifikasinya. Namun upaya tersebut tetap saja masih belum mengangkat peningkatan produktivitas yang berarti. Sejarah pencapaian swa sembada beras pada masa itu memang telah menjadi kejadian yang monumental, karena pada waktu itu masyarakat pedesaan banyak mengalami perubahan yang menggembirakan dengan adanya peningkatan produksi padi. Dengan meningkatnya produksi padi dapat pula meningkatkan pendapatan rumah tangganya. Mungkin kalau kita masih berpikiran seperti demikian, bahkan akan tejerumus pada jalan yang semakin salah, karena peningkatan pendapatan petani saat itu bukan dari produksi
beras saja. Pendapatan petani dapat diperoleh dari berbagai sumber dan lingkungan yang mendukung. Pangsa pasar beras pada masa tersebut sangat baik, sehingga petani merasa tidak kesulitan untuk memperoleh natura dengan segera. Berbeda pada saat ini, bahwa pengetahuan dan pengalaman telah menempa pada orang – orang yang ingin maju. Demikian pula keinginan orang terhadap suatu ekonomi yang ingin lebih baik lagi. Yang terjadi pada saat ini adalah apabila masa panen (komoditi apapun), selalu harga barang panenan menjadi murah, dalam artian tidak dapat menutup biaya input yang sudah dikeluarkan. Yang merugi adalah masyarakat tani, karena produknya tidak mampu untuk disimpan. Oleh karena itu pembangunan pertanian tidak mungkin bertumpu pada orientasi peningkatan produksi saja, namun harus juga berorientasi pada agribisnis dan agroindustri. Dengan berubahnya visi pembangunan pertanian ke arah agribisnis, maka semakin jelas tantangan demi tantangan yang akan ditemui oleh produsen pertanian.
21
Prosiding Seminar Nasional Apalagi pengaruh ekonomi global yang semakin terbuka lebar memasuki pasaran. Beberapa tantangan yang dihadapi sektor pertanian seperti membanjirnya impor produk pertanian, produksi beras yang belum stabil, degradasi sumber daya alam dan lingkungan, melemahnya daya beli, kesenjangan produksi yang belum dapat teratasi dengan baik, dsb. Pengembangan pertanian yang berorientasi agribisnis mempunyai arti bahwa para pelaku telah siap berkompetisi dengan yang lain. Ciri utama kompetisi adalah efisiensi, produktivitas, mutu dan kontinyuitas jaminan yang terus menerus selalu ditingkatkan. Produk – produk pertanian, baik komoditi tanaman pangan (hortikultura), perikanan, perkebunan dan peternakan menghadapi pasar dunia yang dikemas dengan kualitas yang tinggi dan memiliki standar tertentu. Produk – produk yang bermutu dapat dihasilkan melalui suatu proses yang menggunakan muatan teknologi standar pula. Gambaran diatas menunjukkan bahwa sektor pertanian akan tetap penting dalam perekonomian serta tetap berperan dalam pembangunan nasional. Terlebih jika wacana pembangunan yang terintegrasi antara pertanian, industri dan perdagangan dipandang sebagai suatu sistem entity yang utuh. Kaitan yang erat antara pertanian dan industri serta perdagangan senantiasa menuntut perkembangan kebijakan pembangunan pertanian yang dinamis sejalan dengan transformasi perekonomian yang sedang terjadi.
PENDEKATAN MASALAH Perubahan orientasi atau wacana pembangunan pertanian di Indonesia telah banyak dibahas dalam berbagai kesempatan. Pada dasarnya ada keinginan untuk merubah arah pandangan pembangunan pertanian, dari memproduksi bahan pertanian dalam bentuk primer atau on farm agribisnis ke arah pandangan industrialisasi pertanian atau pertanian berwawasan agribisnis (Saragih, 1997).Pandangan tersebut banyak dipengaruhi oleh perubahan paradigma ekonomi global atau globalisme yang berciri kompetitif dalam harga, kualitas, dan kontinyuitas dengan memanfaatkan teknologi sebagai landasan utamanya.
22
Agroindustri pedesaan merupakan salah satu roda penggerak perekonomian pedesaan. Dengan berkembangnya agroindustri pedesaan terutama industri pengolahan hasil pertanian diharapkan dapat menyerap hasil – hasil pertanian di pedesaan. Dalam pembangunan pertanian yang berwawasan agroindustri, maka konsep kewilayahan menjadi kurang dominan atau tidak mendiskreditkan suatu wilayah. Pengembangan agroindustri merupakan upaya peningkatan kinerja pertanian di pedesaan untuk menghasilkan produk – produk industri usahatani baik dalam zona wilayah yang marjinal sekalipun.Dengan demikian beberapa wilayah yang semula didalam kelompok marjinal, mempunyai kesempatan yang sama dalam keterlibatan agribisnis. Pengembangan agribisnis di wilayah marjinal akhir – akhir ini menjadi isu sentral dalam peningkatan pembangunannya. Wilayah marjinal kadang – kadang mempunyai keunggulan produk – produk agribisnis, misalnya komoditi organik : padi organik, buah –buahan organik, dsb. Pengertian marjinal dapat dilihat dari dua aspek, yaitu terhadap sumberdaya alam dan sumber daya manusianya. Marjinal terhadap sumber daya alam dilihat dari aspek potensi lahan yang mempunyai keterbatasan lahan yang miskin hara dalam tanah. Keterbatasan hara ini disebabkan memang kandungan hara yang minimal dalam tanah atau karena adanya pengelolaan yang berlebihan (over produksi). Sedangkan marjinal terhadap sumber daya manusia, dilihat dari aspek suatu lahan yang mempunyai jumlah penduduk sedikit atau populasi sedikit, sehingga lahan tidak mampu berproduksi secara optimal. Lahan marjinal di Jawa Tengah masih cukup banyak, baik yang berupa kekurangan unsur hara, over eksploitasi dan populasi sumber daya manusia yang sedikit. Lahan marjinal yang mempunyai populasi penduduk tinggi menjadi tidak marjinal, karena penggarapan lahan menjadi semakin intensif. Strategi pembangunan pertanian di lahan marjinal yaitu dengan meningkatkan intensitas kegiatan usahatani dan pengolahan produk – produk hasil pertanian. Satu komoditas pertanian, dapat diupayakan menjadi beberapa produk – produk yang mempunyai nilai ekonomi melalui penerapan inovasi teknologi yang telah ada. Penanganan produk – produk
Prosiding Seminar Nasional primer diupayakan untuk diolah menjadi produk sekunder yang mempunyai nilai tambah tinggi, sedangkan limbahnya dapat diusahakan menjadi produk – produk yang ekonomis. Sehingga dengan pelaksanaan ini akan diperoleh suatu sistem pengembangan usahatani yang berorientasi agroindustri. Penanganan pertanian di wilayah marjinal dapat juga ditempuh dengan meningkatkan pengetahuan masyarakatnya. Pengetahuan dan ketrampilan menjadi kunci ke arah pengembangan agribisnis pada wilayah marjinal. Sumberdaya manusia yang terdidik dapat menurunkan klasifikasi marjinal tersebut. Untuk penanganan lahan secara bijaksana dan peningkatan sumberdaya manusia di wilayah marjinal akan sangat membantu pembangunan agroindustri di pedesaan. Sebagai industri berbasis sumber daya, agroindustri berpotensi dapat meningkatkan cadangan devisa serta penyediaan lapangan kerja. Hal ini dinilai strategis mengingat Indonesia merupakan satu dari sedikit negara di daerah tropis yang memiliki keragaman hayati (biodiversity) cukup besar. Untuk sektor perkebunan saja tidak kurang dari 145 komoditi yang tercatat sebagai komoditi binaan, sementara yang memiliki nilai ekonomis dapat diandalkan baru sekitar 10 % diantaranya kelapa sawit, karet, jambu mete (Saragih, 2002). Pengembangan agroindustri akan sangat strategis apabila dilakukan secara terpadu dan berkelanjutan. Pengertian terpadu adalah keterkaitan usaha sektor hulu dan hilir (backward and forward linkage), serta pengintegrasian kedua sektor tersebut secara sinergis dan produktif. Sedangkan dengan konsepsi berkelanjutan, diartikan sebagai pemanfaatan teknologi konservasi sumberdaya dengan melibatkan kelompok/ lembaga masyarakat serta pemerintah pada semua aspek.
permodalan, pasar, dan teknologi yang tepat. Ketiga masalah tersebut saling bersinergi saling mempengaruhi. Kondisi lapangan khususnya usaha agroindustri pedesaan dalam skala kecil/ rumah tangga, proses kegiatan pemilihan bahan, pengolahan, pengemasan sampai penyimpanan, umumnya masih dilakukan secara sederhana dengan menggunakan teknologi sederhana sehingga produk yang dihasilkan mutunya masih rendah dan kurang kompetitif. Oleh karena itu untuk mewujudkan industri pedesaan yang mampu menghasilkan produk – produk olahan yang bermutu dan memiliki daya saing, maka perlu dikembangkan cara – cara pengolahan hasil pertanian yang berorientasi Good Manufacturing Practices (GMP). Selain itu, untuk menjamin mutu produk yang dihasilkan perlu diterapkan HACCP (hazards analysis critical control point). Dengan menerapkan GMP dan HACCP pada industri pengolahan di pedesaan diharapkan dapat meningkatkan mutu, nilai tambah dan daya saing secara optimal sehingga dapat memberikan kontribusi yang signifikan pada perekonomian pedesaan (Dirjen BP2HP, 2005).
MASALAH PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI PEDESAAN
Di Jawa Tengah peningkatan mutu, nilai tambah dan daya saing produk agroindustri saat ini sedang menghadapi tantangan, baik eksternal maupun internal. Tantangan internal yang paling menentukan keberhasilan pengembangan agroindustri berasal dari dalam sistem usahatani sendiri. Terdapat dua persoalan utama yang teridentifikasi dalam sistem usahatani. Pertama, agroindustri dijalankan oleh para pelakunya secara parsial (fragmented) sesuai dengan sisi pandang masing – masing. Secara agregat, belum terjadi sinergi antar kegiatan dan antar pelaku, akibatnya sistem agroindustri yang utuh tidak terwujud. Kedua, kegiatan off farm (penanganan pasca panen dan pengolahan hasil) oleh kalangan petani masih merupakan titik lemah dalam keseluruhan rantai agribisnis (Dewan Riset Daerah Jateng, 2006).
Agroindustri pedesaan merupakan salah satu roda penggerak perekonomian pedesaan. Dengan berkembangnya agroindustri pedesaan terutama industri pengolahan hasil pertanian diharapkan dapat menyerap hasil – hasil pertanian di pedesaan. Namun demikian pengembangan agroindustri pedesaan masih mengalami berbagai kendala, yaitu :
Pembangunan agroindustri pedesaan adalah suatu proses yang harus dikondisikan agar berjalan sesuai arah yang konsisten. Setiap proses dalam perjalanan tersebut memerlukan penyesuaian – penyesuaian langkah pada setiap tahapan, efeknya pada sebagian maupun pada sebagian besar faktor – faktornya. Membangun agroindustri di
23
Prosiding Seminar Nasional wilayah marjinal perlu pemahaman yang sangat mendalam menyangkut beberapa aspek dan visinya. Kegiatan ini dapat dilakukan identifikasinya secara mendalam dengan metode PRA (participation rural appraisal). Yang perlu ditentukan dalam kegiatan tersebut adalah mengenai apa yang akan diharapkan atau dikerjakan terhadap wilayah yang spesifik tersebut. Harapan tersebut semestinya merupakan proyeksi keinginan atau cerminan keinginan masyarakatnya. Agroindustri pedesaan seharusnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat atas dasar penggalian potensi yang telah tersedia. Oleh karena itu dalam penyajian dan penyampaian informasi harus memberikan data yang lebih akurat, dapat dipercaya kebenarannya. Data yang akurat kemudian diproses dengan metode analisis yang tepat, kecermatan pemilihan analisis memerlukan suatu pengetahuan ilmiah yang terampil. Sehingga dapat diperoleh suatu perencanaan yang mempunyai alur tujuan yang terarah sesuai dengan kondisi setempat (spesifik lokal) untuk pengembangan agroindustri. Penggalian potensi dan sumber daya adalah tanggung jawab kita bersama, bukan untuk dipertentangkan namun untuk diakumulasi dan dianalisis dengan cermat. Dalam upaya untuk menumbuhkan agroindustri di pedesaan bukan saja diarahkan untuk peningkatan produksi atau produktivitas saja, namun lebih jauh dari itu adalah untuk meningkatkan nilai tambah terhadap produksi yang telah dihasilkan. Menggali dari hasil yang belum dimanfaatkan menjadi bernilai ekonomi. Pemanfaatan limbah padi, limbah ternak menjadi pupuk organik dan bernilai ekonomi tinggi adalah merupakan upaya kearah agribisnis yang lebih nyata. Lebih jauh untuk membangun keunggulan bersaing terhadap produk agroindustri diperlukan suatu roadmap pengembangan agroindustri. Roadmap yang dimaksud bergerak dari agroindustri yang dihela oleh pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia (SDM) yang belum terampil atau factor – driven, kemudian bergerak ke agroindustri yang dihela pemanfaatan modal dan SDM yang lebih terampil atau capital – driven, dan kemudian melangkah maju pada agroindustri yang dihela pemanfaatan ilmu pengetahuan –
24
teknologi dan SDM terampil atau innovation – driven (Saragih, 2007). Selanjutnya dinyatakan bahwa secara agregat agroindustri Indonesia masih berada pada fase awal, antara fase factor-driven dan capital-driven. Hal ini dicirikan antara lain oleh produktivitas dan nilai tambah yang masih relatif rendah. Agroindustri yang masih pada fase ini juga terkait dengan sektor penghasil bahan baku, yakni sektor pertanian yang sebagian besar masih pada fase factordriven. Secara keseluruhan, produksi agregat pertanian sebagian besar masih bersumber dari perluasan areal pertanian dan masih sedikit disumbang oleh produktivitas. Oleh karena itu hal mendesak yang perlu dilakukan pada agroindustri adalah pendalaman industri sehingga nilai tambah yang dinikmati menjadi lebih besar. Tahap berikutnya adalah mendorong agroindustri memasuki fase innovation-driven. Pada fase ini produk utama agroindustri akan didominasi produk-produk bernilai tambah tinggi, barang-barang modal bermuatan padat teknologi, hak paten atau royalti, produkproduk bioteknologi tinggi, dan lainnya. Untuk mendukung agroindustri pada fase ini, maka peranan lembaga penelitian sangat diharapkan. Lembaga penelitian milik pemerintah maupun perguruan tinggi banyak yang sudah memiliki SDM peneliti kelas dunia. Namun karena agroindustri kita belum banyak yang memanfaatkannya, penelitianpenelitian yang dihasilkan lembaga penelitian tersebut berhenti pada tahap invention.
STRATEGI PENGEMBANGAN AGRO INDUSTRI Strategi pengembangan agroindustri dalam mendukung agribisnis khususnya di pedesaan disusun berdasarkan atas beberapa referensi konsep pengembangan agribisnis dan agroindustri dan pengalaman dalam menerapkan konsep tersebut di lapangan khususnya di Provinsi Jawa Tengah (Badan Litbang Pertanian, 2004a, 2004b, 2005a dan 2005b, Pramono et al., 2005, Subiharta et al., 2007, Kholik et al., 2007 dan Muryanto et al., 2007). Atas dasar referensi dan pengalaman tersebut disusun tahapan pengembangan suatu produk agroinsustri dalam mendukung
Prosiding Seminar Nasional agribisnis di pedesaan. Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Pemahaman produk agroindustri Pemahaman produk agroindustri dimaksudkan untuk mengidentifikasi masalah dan peluang pengembangan suatu produk agroindustri yang akan dikembangkan. Pemahaman wilayah tersebut dilakukan secara partisipatif dengan semua calon pelaku. Beberapa langkah yang perlu dipertimbangkan diantaranya : a) Inventarisasi potensi dan masalah produk agroindustri. Inventarisasi yang dimaksud meliputi aspek teknis dan aspek kelembagaan yang meliputi bidang input produksi (bahan baku, alat dan mesin), bidang produksi (produksi eksisting dan kemungkinan pengembangannya), aspek pasca panen (ketersediaan alat/mesin), dan bidang pemasaran hasil (fluktuasi harga). Hasil dari tahap ini diperoleh informasi beberapa produk agroindustri yang akan dikembangkan. Inventarisasi potensi dan masalah disusun berdasarkan daerah tujuan produk agroindustri tersebut dipasarkan, sehingga penelusurannya dapat dimulai dari tingkat kelompok/kecamatan, kabupaten, propinsi dan seterusnya. b) Pemilihan produk agroindustri . Berdasarkan hasil inventarisasi potensi dan masalah produk-produk agroindustri yang akan dipilih selanjutnya ditentukan skala prioritas masalah yang harus diatasi. Dasar penentuan skala prioritas yang utama adalah pangsa pasar diikuti dengan budidaya (teknologi), ketersediaan sarana prasarana meliputi sarana produksi, peralatan dan mesin, ketersediaan tenaga kerja dan modal. Berdasarkan prioritas yang disusun, maka dipilih satu produk yang akan dikembangkan untuk satu desa. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa semakin banyak produk yang dipilih maka tingkat kesulitan dan keberhasilannya akan semakin tinggi. c) Analisis potensi dan masalah. Analisis ini dilakukan secara berurutan sesuai dengan skala prioritas potensi dan masalah yang telah ditetapkan. Dalam analisis
ini perlu dilakukan prinsip triangulasi yang dapat ditempuh melalui pemeriksaan silang dan konfirmasi (cross check and recheck). Sehingga pada tahap ini perlu dilakukan penelusuran terhadap alur agribisnis mulai dari hulu sampai hilir terhadap produk agroindustri yang akan diproduksi. d) Analisis peluang inovasi Pengembangan suatu produk diperlukan adanya inovasi meliputi inovasi teknologi dan kelembagaan. Peluang inovasi dapat diartikan sebagai kegiatan inovasi yang secara teknis dapat dilakukan untuk meningkatkan pendapatan para pelaku. Walaupun inovasi tersebut belum merupakan kebutuhan yang mendesak, namun perlu dianalisis peluangnya terhadap peningkatan produksi dan keuntungan yang didapat dari pengembangan suatu produk agoindustri. Sebagai contoh, penyediaan peralatan pasca panen yang lebih modern, walaupun dengan alat yang sekarang digunakan sudah mendapatkan penghasilan, namun analisis terhadap alat yang lebih modern tetap diperlukan, misalnya analisis terhadap kemampuan alat yang mampu menekan biaya produksi dan peningkatan volume produksi. Contoh lain adalah apabila produk agroindustri yang diproduksi akan dikembangkan, maka diperlukan analisis kelembagaan yang akan digunakan. Hal ini didasarkan pada pengertian bahwa semakin besar produk agroindustri, maka dibutuhkan sistem atau organisasi kelembagaan yang lebih besar. Hal sebaliknya dapat dilakukan apabila produktivitas produk agroindustri yang saat ini diproduksi kurang efisien, maka diperlukan analisis efisiensi kelembagaan. e) Analisis peluang kegagalan/keberhasilan usaha Analisis ini dibutuhkan menghindari terjadinya kegagalan dan untuk menyusun strategi pengembangan produk agroindustri yang akan dikembangkan. Cakupan dari analisis ini meliputi faktor-faktor teknis, sosial, finansial, kelembagaan, dan potensi sumber daya yang tersedia. Berdasarkan daftar faktor yang telah teridentifikasi selanjutnya disusun urutan faktor-faktor yang harus diperhatikan sebagai upaya antisipasi yang diperlukan.
25
Prosiding Seminar Nasional f) Analisis finansial Analisis finansial dilakukan untuk seluruh alur agribisnis mulai dari hulu sampai hilir dalam rangka memproduksi suatu produk agroindustri. Inovasi teknologi berupa sarana produksi, alat/mesin yang diintroduksi dianalisis kelayakannya, demikian juga dengan biaya untuk operasional kelembagaan termasuk kegiatan promosi. Analisis finansial tersebut meliputi kebutuhan dana untuk implementasi kegiatan inovasi dan dampak finansial yang ditimbulkan mulai dari tingkat industri kecil, menengah dan besar sesuai dengan sasaran produk agroindustri yang diproduksi. Sasaran produk yang dimasksud adalah sasaran kapasitas produksi mulai dari pangsa pasar kelompok/desa, kabupaten dan seterusnya. Alat analisis yang digunakan untuk semua inovasi yang diintroduksikan dilakukan dengan metode before dan after, sedang secara parsial dari masing-masing inovasi menggunakan analisis input-output, analisis investasi NPV, IRR, R/C rasio, (Amir dan Knipscheer, 1989, Kay, 1988). Untuk analisis inovasi kelembagaan dilakukan dengan analisis deskriptif. 2. Penyusunan Rencana Pengembangan Produk Agroindustri. Rencana pengembangan produk agroindustri disusun dalam kurun waktu 1 – 5 tahun. Penyusunan rencana ini mencakup keterkaitan aspek-aspek yang mempengaruhi keberlanjutan dari pengembangan suatu produk agroindustri. Oleh karena itu diperlukan informasi-informasi pendukung yang diperlukan dalam rangka mengembangkan produk agroindustri yang dipilih. Informasi-informasi tersebut meliputi 4 aspek yaitu : a) Penyiapan Input Produksi Penyiapan ini memegang peranan penting khususnya dalam mendukung usaha pengembangan agroindustri, meliputi pengadaan bahan baku, alat/mesin, sarana prasarana, dan promosi. Pada aspek ini faktor bahan baku memegang peranan penting karena sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan usaha agroindustri. Kuantitas, kualitas dan kontinyuitas ketersediaan bahan baku tersebut hendaknya dapat terjamin. Selanjutnya diperlukan informasi harga dan
26
lokasi dimana terdapat bahan baku tersebut. Antara harga dan lokasi bahan baku mempunyai keterkaitan, semakin dekat lokasi, maka kemungkinan biaya operasional dalam pengadaan bahan baku tersebut akan semakin rendah. Faktor lain yang terkait dalam aspek ini adalah permodalan, hal ini disebabkan karena dalam pengadaan input produksi membutuhkan biaya sehingga informasi permodalan dibutuhkan dalam mengembangkan suatu produk agroindustri. Selain itu, faktor penting lainnya adalah ketersediaan teknologi yang mendukung pengembangan agroindustri. Dengan teknologi yang tepat maka produk yang dihasilkan dapat ditingkatkan kualitasnya, kuantitasnya sekaligus dapat menurunkan biaya produksi. b) Penyiapan Sarana Prasarana Penyiapan sarana prasarana meliputi pengadaan sarana fisik diantaranya bangunan, tranportasi dan alat/mesin yang diperlukan untuk mendukung seluruh kegiatan proses produksi, pasca produksi sampai pemasaran. c) Penyiapan Sumberdaya Manusia Penyiapan sumberdaya manusia yang dibutuhkan adalah jumlah tenaga kerja yang diperlukan dan tingkat ketrampilan tenaga dalam memproduksi suatu produk agroindustri. Aspek ini akan semakin baik apabila dipertimbangkan mulai dari penyediaan bahan baku (budidaya), proses produksi, pasca produksi hingga pemasaran. d) Penyiapan Kelembagaan Secara keselurahan pengembangan produk agroindustri memerlukan suatu kelembagaan yang saling terkait dan merupakan alur usaha agribisnis. Pada masing-masing aspek dari alur agribisnis (input produksi, proses produksi, pasca produksi) memerlukan sub kelembagaan yang dapat melayani dan melakukan kegiatan produksi suatu produk agroindustri. e) Penyiapan kebijakan/regulasi Keberhasilan usaha pengembangan agroindustri sangat berkaitan kondisi pasar dari produk yang dihasilkan. Pelaku usaha tidak dapat sepenuhnya mengendalikan harga produk yang dihasilkan, sehingga sering
Prosiding Seminar Nasional terjadi kondisi yang kontradiktif yaitu produksi dapat ditingkatkan namun harga produknya menurun, akibatnya mengalami kerugian. Oleh karena itu, perlu diperhatikan kebijakan-kebijakan dari pemerintah yang terkait dengan pengembangan suatu produk agroindustri. Informasi kebijakan-kebijakan pemerintah yang diperlukan antara lain kebijakan keamanan produk, skala usaha, permodalan, ekspor impor dan lain-lain, sehingga diperlukan adanya sertifikasi produk yang menjamin bahwa produk yang dihasilkan aman bagi kesehatan atau bila diperlukan dibuatkan sertifikasi produk halal serta produk tersebut mempunyai orientasi Good Manufacturing Practices (GMP) dan untuk menjamin mutu produk yang dihasilkan perlu diterapkan Hazards Analysis Critical Control Point / HACCP (Dirjen Bina Pengolahan dan Pemasaran hasil Pertanian, 2005). Selain itu perlu dipelajari kebijakan pemerintah yang mengatur mengenai permodalan dan pemasaran produk, diharapkan dari informasi ini akan didapatkan kemudahan dalam memperoleh fasilitas permodalan usaha dan pemasaran produk. Pada penyiapan ini juga perlu mempertimbangkan adanya aturan kesepakatan dalam menjalankan usaha produksi produk agroindustri. Hal ini diperlukan agar usaha yang dilakukan dapat berkelanjutan. Oleh karena itu diperlukan adanya kesepakatan antar pelaku usaha mulai dari penyediaan bahan baku dan produk usaha baik kuantitas, kualitas dan kontinyuitas sampai pada pemasaran produk. f) Memprediksi target keuntungan (Roadmap usaha) Usaha agroindustri memerlukan suatu analisis untuk memprediksi target keuntungan. Keuntungan yang didapat dari waktu ke waktu diharapkan terus meningkat. Untuk itu diperlukan beberapa informasi diantaranya sasaran produksi berdasarkan pangsa pasar, ketersediaan tenaga kerja, modal dan sarana prasana. Sasaran produksi dapat dimulai dengan memenuhi pangsa pasar lokal mulai dari desa, kecamatan, kabupaten, dilanjutkan beberapa kabupaten, propinsi, beberapa propinsi, nasional dan ekspor. Sasaran produksi yang terkait dengan target keuntungan yang ingin didapatkan disusun
dalam kurun waktu tertentu sesuai dengan pangsa pasar yang ingin diraih. g) Penyiapan strategi promosi Strategi ini diperlukan khususnya dalam meraih pangsa pasar yang lebih besar. Promosi ini memerlukan biaya yang tidak terbatas, sehingga diperlukan analaisis yang mendalam dan disesuaikan dengan kemampuan, pangsa pasar dan media yang digunakan. Pada usaha agroindustri skala kecil atau rumah tangga, strategi ini sering tidak dilakukan. Hal ini disebabkan karena pada umumnya pelaku usaha skala rumah tangga mempunyai keterbatasan pengetahuan dibidang kewirausahaan. Oleh karena itu, diperlukan dukungan dari pemerintah melalui instansi terkait untuk memfasilitasi promosi produk agroindustri skala kecil. Dukungan ini dapat berupa bantuan mengikutsertakan pada kegiatan pameran-pameran (ekspose) mulai dari tingkat kecamatan, kabupaten, provinsi dan seterusnya. Dukungan pemerintah dalam mengembangkan produk agroindustri bisa diwujudkan memberikan fisilitas agar produk yang dihasilkan dijadikan produk khas lokal seperti Salak Pondoh Yogya, Getuk Trio Magelang, Strawbery Organik Magelang, Wingko Babad Semarang, Tahu Sumedang dan lain-lain. Secara keseluruhan strategi promosi merupakan suatu upaya dalam mengkomunikasikan kepada konsumen terhadap kualitas produk agroindustri yang baik karena diproses dengan sistem pengolahan yang sehat dan bermutu. Upaya ini terus-menerus dilakukan sehingga terbentuk persepsi/image bahwa produk tersebut dibutuhkan (brand image). Dengan upaya ini maka produk agroindustri mempunyai nilai jual tinggi dimata konsumen, contohnya seperti Kopi Kapal Api, minyak goreng Bimoli dan sambal ABC (Joewono, 2001). 3. Monitoring dan Evaluasi Monitoring dan evaluasi diperlukan guna mengukur kinerja dari masing-masing pelaku terhadap produk yang dihasilkan dan keuntungan yang didapat. Monitoring dan evaluasi (Monev) dilakukan secara internal dan eksternal. Hasil Monev secara internal
27
Prosiding Seminar Nasional dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan untuk memperbaiki kualitas produk, meningkatkan kapasitas produksi dan mengefisiensikan proses produksi atau meningkatkan keuntungan usaha. Sedangkan Monev secara eksternal dilakukan terhadap pelaku-pelaku usaha yang tidak terkait secara langsung dengan proses produksi, namun berpengaruh terhadap kelangsungan usaha, misalnya pangsa pasar, dampak usaha seperti adanya produk ikutan atau limbah. Hasil Monev secara eksternal dapat dijadikan sebagai pertimbangan untuk memperbesar kapasitas produksi, mengembangkan produk ikutan/limbah, mendiversifikasikan produk, contohnya menambah keberagaman warna dan rasa, memperbaiki kemasan dll.
KESIMPULAN Berdasarkan potensi dan masalah yang dihadapi pada kegiatan agroindustri di pedesaan yang dipadukan dengan referensi konsep pengembangan agribisnis dan didukung dengan penerapan konsep tersebut di lapangan, maka disusun strategi pengembangan agroindustri dalam mendukung agribisnis di pedesaan. Strategi tersebut meliputi tahapan-tahapan sebagai berikut: 1. Pemahaman produk agroindustri, tahap ini meliputi inventarisasi potensi dan masalah produk agroindustri, pemilihan produk agroindustri, analisis potensi dan masalah, analisis peluang inovasi, analisis peluang kegagalan/keberhasilan usaha dan analisis finansial, 2. Penyusunan Rencana Pengembangan Produk Agroindustri, meliputi penyiapan input produksi, sarana prasarana, sumberdaya manusia, kelembagaan, kebijakan/regulasi, prediksi keuntungan (roadmap usaha) dan strategi promosi, 3. Monitoring dan Evaluasi.
PUSTAKA Badan Litbang Pertanian, 2004a. Pedoman Umum Prima Tani. Jakarta. Badan Litbang Pertanian, 2004b. Rancangan Dasar Prima Tani. Jakarta Badan Litbang Pertanian, 2005a. Petunjuk Teknis Participatory Rural Appraisal (PRA) Prima Tani. Jakarta. Badan Litbang Pertanian, 2005b. Panduan Penyusunan Petunjuk Teknis Rancang
28
Bangun Laboratorium Agribisnis Prima Tani. Jakarta Dewan Riset Daerah Jawa Tengah. 2006. Penyusunan Hasil Penelitian”Pemetaan Jejaring Agroindustri di Jawa Tengah Alur Pasokan dan Distribusi Peran. Semarang. Dirjen Bina Pengolahan dan Pemasaran hasil Pertanian, 2005. Revitalisasi Pertanian Melalui Agroindustri Pedesaan. Jakarta. Joewono H.H. 2001. Managing Service Partner Mark Plus Education & Chapter Presiden IMA Jakarta. Pemasaran Agroindustri. CPM Asia Pacifik. http://www.kompascybermedia. com. Kholik, A., et al., 2007. Petunjuk Teknis Prima Tani Kabupaten Batang. BPTP Jawa Tengah. Muryanto et al., 2007. Petunjuk Teknis Prima Tani Kabupaten Rembang. BPTP Jawa Tengah. Pramono, J. et al., 2007. Petunjuk Teknis Prima Tani Kabupaten Magelang. BPTP Jawa Tengah. Sa’id, G., 2001. Menuju Perdagangan Bebas : Produk Agroindustri Kalah Sebelum Bertanding. http://www.kompascybermedia.com. Saragih, B. 2007 SUARA AGRIBISNIS : Agroindustri Sebagai Penggerak Utama. http://www.agrina.com. Subiharta, et al., 2007. Petunjuk Teknis Prima Tani Kabupaten Pemalang. BPTP Jawa Tengah.
Prosiding Seminar Nasional
MODEL PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI P4MI MELALUI INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN E. Eko Ananto Penanggung Jawab Program Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi – P4MI Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
ABSTRAK Upaya mengentasan kemiskinan di lahan marginal (lahan kering/tadah hujan) telah dilakukan Badan Litbang Pertanian dengan meluncurkan Program Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi (P4MI) sejak tahun 2003 yang mencakup sekitar 1000 desa di lima kabupaten, dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan petani dengan meningkatkan kemampuan petani mengembangkan inovasi pertanian. Kata kunci dari program ini adalah: (i) Petani miskin, merupakan masalah yang ingin diselesaikan, (ii) Peningkatan pendapatan, merupakan target yang harus dicapai, dan (iii) Inovasi pertanian, merupakan cara untuk mencapai target peningkatan pendapatan petani. Untuk mencapai tujuan, P4MI dirancang terdiri dari: (i) Pemberdayaan petani, (ii) Pengembangan sumber informasi, dan (iii) Pengembangan inovasi pertanian dan diseminasi. Pemberdayaan petani sebagai komponen utama P4MI dilaksanakan melalui kegiatan mobilisasi kelompok tani dan pengembangan kapasitas petani dalam perencanaan; pengembangan kelembagaan pedesaan; dan kegiatan investasi desa. Keseluruh kegiatan ini mengikutsertakan petani dan kelompok tani mulai dari identifikasi masalah, perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, hingga pemeliharaan hasil kegiatan mereka. Kegiatan investasi desa yang berupa pembangunan infrastruktur pertanian pedesaan seperti cek dam, embung, saluran irigasi, jalan usaha tani dan pasar desa. Sumbangan petani dalam kegiatan ini mencapai rata-rata 28,33% yaitu diatas target 20%. Untuk menjamin keberlanjutan pemanfaatan hasil investasi, masyarakat desa telah merumuskan mekanisme operasional pemeliharaan sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat. Proses pemberdayaan ini terbukti mampu membantu petani mengembangkan kemandirian melalui perubahan pola pikir dan wawasannya yang akhirnya menumbuhkan karsa untuk berusaha memenuhi kebutuhan dan menyiapkan masa depannya lebih baik. Disisi lain upaya pengenalan teknologi juga dilakukan secara partisipatif dengan memperhatikan ketersediaan sumberdaya lokal. Setelah P4MI berjalan selama sekitar 3 tahun, hasil sinergi pemberdayaan dan inovasi terbukti secara signifikan mendukung upaya pengentasan kemiskinan di pedesaan seperti ditunjukkan dari hasil kajian terhadap manfaat dan dampak awal investasi desa dari 42 desa, dimana NPV mempunyai nilai positif antara Rp. 21.208.899 - 1,017.464.985, Finansial IRR antara 14 sampai 102 %, B/C rationya lebih dari satu. Hasil-hasil yang dicapai tersebut merupakan keberhasilan awal yang masih rentan dan rapuh terhadap tekanan internal dan eksternal, sehingga diperlukan penguatan dan pemantapan hasil yang telah dicapai, khususnya kegiatan pasca investasi desa dengan pembekalan jiwa kewirausahaan untuk mempercepat inovasi pertanian dan peningkatan pendapatan petani. Kata kunci: pemberdayaan petani, inovasi teknologi dan peningkatan pendapatan
PENDAHULUAN Kantong-kantong kemiskinan di pedesaan sangat signifikan dijumpai pada daerah lahan tadah hujan yang marginal. Ketertinggalan pembangunan pertanian di wilayah tersebut hampir dijumpai di semua bidang, baik kesuburan lahan, infrastruktur, kelembagaan usahataninya maupun akses informasi untuk petani miskin yang kurang mendapat perhatian, disamping kondisi agroekologi wilayah yang relatif sangat rapuh (fragile). Kondisi ini menempatkan mereka semakin terpuruk dalam perangkap kemiskinan. Untuk meningkatkan pendapatan dan keluar dari perangkap kemiskinan, petani harus mampu
melakukan inovasi produksi pertanian dan pemasaran hasilnya. Produktivitas pertanian di wilayah ini umumnya masih rendah dan tidak stabil. Upaya peningkatan produktivitas pertanian belum dapat dilakukan secara optimal mengingat berbagai kendala biofisik dan sosial ekonomi budaya. Faktor internal petani juga merupakan kendala yang tidak kecil pengaruhnya, seperti misalnya keterbatasan kemampuan teknis dan modal, kekhawatiran atas resiko terhadap teknologi baru. Selama ini alih teknologi dengan masukan tinggi telah berhasil pada lahan-lahan dimana petaninya mampu membiayai masukan yang tinggi. Pola
29
Prosiding Seminar Nasional seperti ini pada kenyataannya kurang berhasil pada daerah marjinal yang menghadapi banyak kendala. Sebagian besar kegagalan tersebut juga disebabkan oleh tidak adanya keterlibatan masyarakat setempat karena masih menganggap petani terbelakang, tidak tahu dan tidak inovatif. Pengembangan teknologi partisipatif diyakini akan mampu meminimalisasi kegagalan tersebut. Teknologi yang akan dikembangkan harus lebih unggul dari pada teknologi yang ada, dan harus dapat diterapkan dan dikembangkan oleh petani. Diharapkan upaya pengentasan kemiskinan menjadi lebih efektif melalui peningkatan kemampuan inovasi petani, dari pada hanya mengandalkan bantuan fisik dan finansial yang telah dibuktikan dari berbagai proyek mengalami banyak kegagalan. Untuk menjawab masalah tersebut di atas, Badan Litbang Pertanian melalui Program Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi-P4MI berusaha untuk meningkatkan kemampuan petani miskin dalam mengembangkan inovasi produksi pertanian dan pemasaran, dengan melalui pemberdayaan petani dan meningkatkan akses petani terhadap informasi, serta menyediakan teknologi pertanian yang sesuai dengan kebutuhan di lahan marginal (lahan kering/tadah hujan).
KERANGKA PEMBANGUNAN PEDESAAN P4MI Program Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi (P4MI) merupakan salah satu program Deptan dengan dukungan ADB yang tengah dilaksanakan adalah bertujuan untuk pemberdayaan petani miskin di daerah lahan kering marjinal dalam upaya meningkatkan pendapatannya. Program ini mencakup 4 komponen yaitu: (i) pemberdayaan petani termasuk pengembangan kelembagaannya dan perbaikan infrastruktur desa guna memenuhi kebutuhan petani dalam rangka meningkatkan inovasi; (ii) pengembangan sumber informasi nasional dan lokal, dalam rangka memperbaiki akses informasi bagi petani; (iii) memperkuat dukungan pengembangan dan diseminasi inovasi pertanian; dan (iv) manajemen proyek. Pemberdayaan petani dalam kegiatan P4MI pada dasarnya dilakukan untuk membantu mengembangkan kemandirian petani melalui perubahan pola pikir dan wawasan guna
30
membuka kesadarannya tentang apa yang bisa dicapai dengan kemampuannya. Proses ini terbukti mampu mengembangkan karsa masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya dan menyiapkan masa depannya. Demikian pula halnya dengan dukungan informasi teknologi dan pengembangan teknologi yang diperlukan petani di lahan marginal telah menampakkan hasilnya dalam peningkatan produktivitas tanaman dan ternak serta manfaat lainnya dalam upaya meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Pendekatan partisipatif dan bottom-up planning yang diterapkan P4MI terbukti menunjukkan hasil yang efektif dalam menggerakkan kemauan dan kemampuan petani untuk mulai melepaskan diri dari ketidak-berdayaannya. Dengan pemberdayaan dan pengembangan kapasitas petani dalam kegiatan P4MI, pada dasarnya membantu mengembangkan kemandirian petani melalui perubahan pola pikir dan wawasan guna membuka kesadarannya tentang apa yang bisa dicapai dengan kemampuannya. Rancangan dan pelaksanaan P4MI secara keseluruhan dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Perencanaan dan pelaksanaan proses pemberdayaan dilakukan secara partisipatif dari beneficiaries (petani, masyarakat desa lainnya) dan stakeholders (aparat pemerintahan dari desa hingga kabupaten dan dinas dan institusi atau organisasi lain yang terkait), agar dapat menimbulkan rasa memiliki (ownership) . 2. Perencanaan dari bawah (bottom up planning), dimana beneficiaries menentukan sendiri jenis investasi desa yang mereka butuhkan untuk mengembangkan inovasi pertanian. Ini merupakan perubahan mendasar dibanding berbagai proyek/program sebelumnya yang berorientasi top down dimana beneficiaries hanya menerima apa yang telah direncanakan dari atas. 3. Masyarakat diberikan kepercayaan mengelola sendiri dana pembangunan tanpa campur tangan birokrat. Dana pembangunan tersebut disalurkan langsung ke rekening masyarakat/KID, tetapi kontrol penggunaan dana tetap dilakukan baik oleh petani, masyarakat maupun penanggung-jawab program di daerah.
Prosiding Seminar Nasional 4. Kegiatan pembangunan memberikan peluang kepada petani/masyarakat untuk berkontribusi dalam berbagai bentuk sesuai kemampuannya, antara lain berupa penyerahan lahan (termasuk tanaman di atasnya), material bangunan, konsumsi, tenaga kerja, dana, dan lain-lain. Kontribusi ini merupakan bentuk pengejawantahan budaya gotong royong yang akhir-akhir ini kurang nampak lagi. 5. Pelibatan tokoh masyarakat sebagai pimpinan non-formal seperti tokoh agama/adat untuk memacu partisipasi masyarakat. Dengan terlibatnya turun kebawah tokoh panutan, masyakat merasa terpanggil dan lebih antusias dalam melaksanakan kegiatan pembangunan. 6. Membangun transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana pembangunan oleh KID dengan fungsi kontrol oleh masyarakat. 7. Keberlanjutan manfaat pembangunan perlu dijaga dengan merancang operasional pemanfaatan dan pemeliharaan hasil pembangunan itu dalam bentuk peraturan/mekanisme yang disepakati bersama, sehingga seluruh masyarakat ikut bertanggungjawab dan merasa memiliki aset yang harus dipertahankan keberlanjutannya. Rancangan pemberdayaan tersebut di atas telah menciptakan keberhasilan yang pantas dibanggakan seperti akan dijelaskan dalam keragaan kegiatan P4MI. Pemberdayaan petani dilakukan melalui pengembangan atau peningkatan kapasitas/ kemampuan petani secara fisik maupun non-fisik, pengembangan kelembagaan desa, dan investasi desa untuk membangun infrastruktur desa yang dibutuhkan petani, dan selama ini menjadi kendala bagi petani dalam mengembangkan inovasi pertanian. Kegiatan investasi desa sebagian besar dananya (sekitar 90%) digunakan untuk pembangunan atau perbaikan infrastruktur desa seperti jalan usaha tani, irigasi sederhana (dam, embung, pompa air, saluran irigasi, dll.), gudang penyimpanan hasil panen, dan pasar desa. Hanya sebagian kecil dana (sekitar 10%) digunakan untuk kegiatan investasi non-infrastruktur seperti pembuatan demplot, pelatihan petani dan pengembangan informasi. Ketidak berdayaan, ketidak mampuan, maupun keputusasaan yang sebelumnya
membelenggu petani, sekarang telah berangsur berubah menjadi lebih percaya diri, antusias dan optimis dengan kemampuannya sendiri dalam menyongsong hidup masa depan yang lebih baik dan sejahtera. Sinergi antara pengembangan kapasitas petani dan pembangunan infrastruktur pertanian di desa terbukti secara efektif dapat merangsang kemampuan petani untuk berinovasi dalam kegiatan pertanian seperti ditunjukkan dari hasil kajian dampak awal. Beberapa parameter teknis, sosial dan ekonomi dalam kajian ini menunjukkan nilai positif. Dampak program yang telah dilaksanakan P4MI dalam pembangunan pedesaan yang berujung pada peningkatan kualitas hidup masyarakat pedesaan diharapkan dapat cepat terwujud.
KONSEP DAN LANGKAH PENGEMBANGAN INOVASI Konsep pengembangan inovasi pertanian pada P4MI adalah mendukung pemanfaatan secara optimal sumberdaya alam yang marginal disertai pelestarian lingkungannya untuk dapat meningkatkan pendapatan petani secara berkelanjutan dalam suatu kerangka model agribisnis. Konsep tersebut akan dapat diwujudkan apabila petani mampu menerapkan teknologi inovasi yang unggul berdasarkan kondisi wilayah dan komoditas dan berorientasi pasar. Untuk itu, petani dan kelembagaan yang ada ditingkatkan kemampuannya untuk menangkap informasi serta membaca situasi dan memanfaatkan peluang pasar. Pengembangan inovasi harus dilaksanakan secara partisipatif dengan melibatkan beneficiaries (petani miskin) dan stakeholders. Pengembangan teknologi partisipatif dalam konteks pemberdayaan petani miskin melalui pengembangan agribisnis dilakukan dengan menggunakan kombinasi pendekatan sistem demand driven dan driving demand. Kombinasi kedua sistem tersebut perlu diterapkan karena berbagai alasan, antara lain: 1. Kebutuhan petani akan teknologi dalam suatu wilayah mungkin akan beragam karena perbedaan kondisi sosial ekonomi dan faktor-faktor eksternal yang berkaitan dengan kekuatan-kekuatan intervensi dan perubahan dari luar. Prioritas teknologi yang akan dikembangkan dengan sendirinya tidak sepenuhnya bersifat demand driven
31
Prosiding Seminar Nasional karena sebagian teknologi yang dibutuhkan petani tidak terpenuhi. 2. Di lahan-lahan kritis dimana diperlukan teknologi konservasi sumberdaya alam yang akan memberikan manfaat dalam jangka menengah/panjang, merupakan prioritas penting yang bersifat driving demand. Bagi petani miskin teknologi konservasi tersebut mungkin bukan prioritas penting walau keberlanjutan usaha tani mereka terancam. 3. Pengembangan sistem usahatani berorientasi agribisnis untuk menciptakan pasar pada hakekatnya bersifat driving demand. Orientasi baru ini dengan sendirinya memerlukan upaya pengarahan, sosialisasi, dan pelatihan yang intensif agar dapat mengubah pola pikir petani. 4. Pengembangan wilayah yang didasarkan atas tata ruang dengan keterkaitan antar sektor merupakan suatu acuan setiap pembangunan. Penata-ruangan wilayah komoditas yang terkait dengan pengembangan agribisnis merupakan suatu sistem driving demand. Lahan marginal merupakan wilayah yang komplek dan sarat dengan berbagai kendala. Sebagai konsekuensinya diperlukan suatu paket teknologi yang mampu menjawab berbagai masalah yang dilakukan secara terpadu (integrated) dan menyeluruh (holistic). Pemecahan masalah secara parsial diyakini tidak akan memberikan manfaat. Oleh karena itu: 1. Pengembangan teknologi untuk wilayah ini harus dirancang dari berbagai di-siplin IPTEK dan lintas komoditas untuk mendapatkan alternatif yang optimal. 2. Kemampuan mendiagnostik permasalahan yang dihadapi petani dan menilai potensi kemampuan petani dalam inovasi teknologi secara akurat menjadi faktor penting sebagai dasar dalam merancang teknologi. 3. Program pengembangan teknologi di lahan marginal memerlukan suatu tim peneliti dari kelembagaan litbang yang bersifat lintas disiplin IPTEK dan lintas komoditas sejak identifikasi masalah, perencanaan dan pelaksanaannya maupun evaluasi hasilnya. Langkah Pengembangan Teknologi yang akan dikembangkan harus bersifat holistik dan terpadu yang
32
mencakup dimensi dan aspek vertikal (dari budidaya, pascapanen hingga ke pemasaran), horizontal (dengan pemanfaatan lebih dari satu komoditas dalam rangka optimasi lahan dan peningkatan keuntungan usahatani) dan diagonal (seperti kelestarian sumberdaya alam/lingkungan dan manajemen usahatani berorientasi agribisnis). Pengembangan teknologi harus didasari hasil kajian kondisi biofisik dan sosial ekonomi budaya, serta mengacu pada kebutuhan petani maupun Pemda sesuai dengan kerangka pengembangan wilayah, agar tepat sasaran dan efisien. Oleh karena itu masukan dari beneficiaries dan stakeholders sangat diperlukan dalam penyusunan program. Teknologi setempat/local indigeneous technologies perlu mendapat perhatian untuk dikembangkan dengan menggunakan kaidahkaidah ilmiah.
Kriteria Teknologi Kriteria teknologi disusun dalam suatu kerangka pencapaian tujuan, batasan waktu pelaksanaan dan partisipasi kelembagaan yang terlibat serta ketersediaan dana. 1. Teknologi harus menunjukkan kinerja unggul perlu diantisipasi sejak perencanaan sehingga penerapannya mampu meningkatkan pendapatan petani secara cukup signifikan. Diupayakan teknologi yang low input dan low risk. Analisa ekonomi sejak awal perlu disertakan agar keengganan petani menggunakan teknologi baru yang beresiko dapat diminimalisasi dan motivasi penerapan teknologi menjadi lebih kuat. 2. Pengembangan teknologi harus secara partisipatif dengan keterlibatan beneficiaries dan stakeholders agar dapat langsung dimanfaatkan dan terintegrasi dengan program pembangunan di daerah, sehingga kontribusinya akan lebih nyata dalam pembangunan wilayah dan pengentasan kemiskinan pada khususnya. 3. Teknologi harus mampu menjawab masalah/ endala yang dihadapi di wilayah yang sangat komplek sehingga diperlukan lintas disiplin IPTEK dan komoditas. 4. Teknologi yang akan dikembangkan harus spesifik lokasi, sesuai dengan kondisi wilayah terutama kemampuan petani,
Prosiding Seminar Nasional mampu mendukung pengembangan suatu sistem agribisnis yang berkelanjutan (termasuk potensi pasar bagi komoditas yang akan diproduksi). Teknologi yang akan dikembangkan merupakan teknologi yang dapat segera diterapkan petani miskin, sesuai dengan kondisi sumber daya lokal dan berdampak pada peningkatan pendapatan petani miskin. Pemilihan komditas diarahkan pada komoditas yang umum diusahakan atau dapat diusahakan petani.
Pendekatan secara partisipatif dan bottom up planning yang diterapkan P4MI terbukti menunjukkan hasil yang efektif dalam menggerakkan kemauan dan kemampuan petani untuk mulai melepaskan diri dari ketidak-berdayaannya. Selama kurang lebih 3 tahun pelaksanaannya, P4MI telah mampu membangun optimisme tinggi dalam meningkatkan pendapatan petani. Hasil kegiatan P4MI selama ini cukup signifikan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di pedesaan berlahan kering marjinal di 5 kabupaten.
5. Inovasi yang dikembangkan harus mempunyai bobot kegiatan diseminasi lebih besar agar dapat lebih cepat diadopsi. Oleh karena itu teknologi yang akan digunakan harus yang telah tersedia/telah teruji, sehingga tahap perintisan dapat dieliminasi dan hanya tinggal proses penyesuaian.
Komponen pemberdayaan petani merupakan fokus kegiatan P4MI, dan meliputi mobilisasi kelompok tani untuk meningkatkan kemampuan, pengembangan kelembagaan desa dan investasi desa untuk membangun infrastruktur desa. Sampai akhir Desember 2006, kegiatan ini telah dilaksanakan di 591 desa (Tabel 1). Secara keseluruhan kegiatan telah diselesaikan. Kelompok Tani telah dimobilisasi dan diberdayakan serta prioritas kebutuhan investasi desa mereka telah diidentifikasi dan disetujui.
KERAGAAN KEGIATAN P4MI: KEBERHASILAN DAN KEGAGALAN .
Tabel 1. Rekapitulasi kegiatan investasi desa dari tahun 2003 - 2007 No.
Tahun
rencana realisasi rencana 2 2004 realisasi rencana 3 2005 realisasi rencana 4 2006 realisasi Realisasi s/d 2006 5 2007 rencana Rencana dan Realisasi s/d 2007 1
2003
Tmg
Blora
10 10 33 30 57 57 35 35 132 102 234
10 0 32 40 72 72 48 48 160 135 295
Partisipasi masyarakat dalam kegiatan P4MI, baik laki maupun perempuan, dewasa atau remaja, sangat menggembirakan karena sejak perencanaan, pelaksanaan, hingga pemanfaatan dan pemeliharaan investasi desa, petani dengan penuh antusias menyumbangkan tenaga kerja, bahan lokal dan aset lahan. Cara partisipatif ini telah menumbuhkan rasa memiliki dan tanggung jawab atas hasil kegiatan investasi desa. Tingkat kontribusi petani, dalam kegiatan
Kabupaten Lotim Ende 10 0 33 10 55 55 17 17 82 30 112
10 10 37 17 30 30 30 30 87 85 172
Dongg
Total
10 0 65 10 65 65 56 55 131 110 240
50 20 200 107 279 279 186 186 591 462 1053
investasi desa rata-rata 28%, melampaui target 20% (Tabel 2), dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Untuk menjamin keberlanjutan hasil kegiatan investasi desa telah disusun mekanisme operasionalisasi pemanfaatan dan pemeliharaannya, meski masih beragam, tergantung pada kondisi sosial budaya petani setempat. Beberapa Desa telah merumuskan mekanisme tersebut secara tegas dalam bentuk peraturan desa (Perdes).
33
Prosiding Seminar Nasional Tabel 2. Jumlah kontribusi masyarakat dalam Investasi desa dibanding dana Loan
No. 1 2 3 4 5
Kabupaten Blora Temanggung Lombok Timur Ende Donggala Jumlah
Loan ADB 36,976,000,000 31,489,274,450 17,393,611,904 19,140,000,000 27,476,718,000 132,475,604,354
% 82.46 66.73 60.51 78.35 69.34 71.67
Dalam kegiatan pemberdayaan petani, pengembangan kapasitas petani pada dasarnya untuk membantu mengembangkan kemandirian petani melalui perubahan pola pikir dan wawasan. Rasa ketidakberdayaan, ketidakmampuan, maupun keputusasaan yang sebelumnya membelenggu petani, sekarang telah berangsur berubah menjadi lebih percaya diri, antusias serta optimis akan kemampuan sendiri didalam menyongsong masa depan yang lebih baik. Sinergi antara pengembangan kapasitas petani dan pembangunan infrastruktur pertanian, terbukti secara efektif telah merangsang kemampuan petani untuk berinovasi dalam kegiatan pertanian seperti ditunjukkan dari hasil kajian dampak awal, dimana investasi desa yang berkaitan dengan pengembangan pertanian telah mampu meningkatkan luas lahan garapan, produktivitas, dan produksi, serta pendapatan. Program ini telah menunjukkan beberapa keberhasilan yang dapat dibanggakan, tetapi beberapa mengalami stagnasi. Berikut beberapa contoh hasil kegiatan P4MI yang dianggap berhasil dalam memberikan manfaat dan dampak positif bagi petani: 1. Pembangunan Bendung Mini. Pembangunan infrastruktur pertanian ini merupakan suatu prestasi luar biasa dalam kegiatan investasi desa yang dilakukan secara partisipatif di Desa Jenggik Utara, Lombok Timur. Bendung seluas 0,82 hektar, kedalaman 7,50 m, dengan daya tampung air sekitar 7000 m3 ini menghabiskan total dana sebesar Rp 894.800.000 dimana kontribusi dana masyarakat mencapai 4 kali lipat (Rp. 708.500.000) dibandingkan dana yang berasal dari dana pinjaman ADB yang hanya sebesar Rp. 186.300.000,Bendung dapat mengairi sawah seluas 420 ha dan meningkatkan produksi padi dari 4 t/ha menjadi 5–6 t/ha serta indeks tanam
34
Sumber Dana Swadaya petani 7,865,380,000 15,702,518,704 11,351,851,080 5,290,294,954 12,151,603,500 52,361,648,238
% 17.54 33.27 39.49 21.65 30.66 28.33
Jumlah 44,841,380,000 47,191,793,154 28,745,462,984 24,430,294,954 39,628,321,500 184,837,252,592
dari 200% menjadi 300% (padi-padipalawija/sayuran/tembakau). Lokasi ini direncanakan untuk dikembangkan sebagai pusat penangkaran benih padi. Selain itu, air juga dimanfaatkan sebagai sumber air bersih. 2. Pembangunan saluran irigasi. Dengan perbaikan saluran irigasi sederhana yang dilakukan masyarakat secara partisipatif di Desa Limboro, Donggala, lahan sawah bero seluas 30 ha selama 3 tahun akhirnya dapat difungsikan kembali. Penanaman padi dapat dilakukan 2 kali per tahun, sehingga pendapatan petani meningkat hingga 143 %. Sedangkan di Desa Rarang, Lombok Timur dibangun saluran air secara pompanisasi dan pipanisasi dengan memanfaatkan sebagian air sungai yang mengalir sepanjang tahun ke kolam penampungan seluas 890 m3. Air dari kolam ini kemudian dinaikkan ke tangki air setinggi 12 m dengan kapasitas 18 m3 dengan pompa berkekuatan 10 HP (akan ditingkatkan menjadi 24 HP dengan dana swadaya). Dari tangki, air dialirkan melalui dua pipa (diameter 4 inci) sepanjang 518 m ke bak pembagi dengan daya tampung 400 m3. Dari bak pembagi inilah air dialirkan ke lahan/sawah seluas 100 ha. Keberhasilan ini kemudian dilanjutkan dengan pembangunan sistem penyediaan air minum dengan cara yang sama dan sepenuhnya menggunakan dana swadaya masyarakat sendiri. 3. Pengembangan agroindustri skala rumah tangga. Wanita tani di Blora, Temanggung, Lombok Timur, dan kabupaten lain telah mengembangkan industri rumah tangga berupa pengolahan hasil-hasil pertanian yang ada di desanya menjadi berbagai produk olahan seperti keripik, sirup, dodol, dsb. Hasil industri rumah tangga ini mampu menambah pendapatan keluarga. Beberapa
Prosiding Seminar Nasional produk olahan hasil kegiatan kelompok wanita tani bahkan telah memperoleh nomor registrasi dari Dinas Kesehatan, Temanggung. Dengan memiliki nomor registrasi ini akan membuka peluang produk olahan dapat menjangkau pasar dan diterima konsumen lebih luas.
300 kg/ha/tahun. Guna mengatasi kesulitan mendapatkan entris kakao unggul, telah dibangun kebun entris di dua desa (Tolongano dan Bulili). Keahlian sambung samping telah menjadi sumber pendapatan petani (Rp 5.000 per sambungan) dengan prosentase keberhasilan 50%.
4. Inovasi teknologi tanaman padi di Kabupaten Donggala. Kegiatan inovasi ini merupakan tindak lanjut pembangunan sarana irigasi dari kegiatan investasi desa. BPTP Sulawesi Tengah bekerjasama dengan instansi terkait telah melakukan gelar teknologi berupa pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi sawah di Desa Limboro, Tolongano dan beberapa desa lainnya. Hasil litkaji dan gelar teknologi memberikan manfaat dalam peningkatan produksi padi sawah sekitar 75 -105% dan penghematan benih hingga mencapai 68,75% per hektar atau terjadi penghematan biaya sebesar Rp 330.000 per musim per hektar. Sementara itu demplot jagung varitas unggul (Srikandi Kuning) dengan pemupukan berimbang telah dapat meningkatkan produksi hingga 4 t dibandingkan dengan penggunaan varitas lokal dan pemupukan urea saja yang hanya menghasilkan 2,1 t tongkol jagung.
6. Inovasi teknologi padi Kabupaten Blora. Kendala utama yang dihadapi petani Blora adalah ketersediaan dan kecukupan air di tingkat petani, sehingga ketergantungan akan air hujan untuk usahatani tanaman pangan sangat tinggi dan ketersediaan benih unggul dilahan kering juga masih kurang. Oleh karena itu program penyediaan air melalui investasi desa merupakan salah satu alternatif dalam usaha memenuhi kebutuhan air untuk lahan pertanian. Inovasi ini merupakan kelanjutan kegiatan investasi desa berupa (a) pengembangan tangkapan dan simpanan air hujan (dalam bentuk embung), (b) penggalian dan pemanfaatan air tanah, (c) revitalisasi waduk dan bendung yang ada, dan (d) reboisasi dan konservasi lahan dan air. Dengan dibangunnya sarana-sarana tersebut, suatu inovasi dalam pengembangan usaha tani hemat air telah dilakukan melalui penerapan teknologi padi gogorancah (GORA). Dengan dibangunnya embung, pengembangan padi gora di lahan tadah hujan desa Kemiri seluas 250 ha, menunjukkan kenaikan produktivitas dari 56 ton/ha dengan pola tanam padi-jagungbera, menjadi 6.53–10.662 ton/ha pola tanam menjadi padi-padi-jagung. Dari hasil wawancara, petani mengatakan bahwa dengan harga gabah yang cukup baik saat ini (Rp 2.350,- sampai dengan 2.400,-/kg GKP), usahatani padi tersebut dapat memberi penghasilan yang baik. Penghasilan bersih dari penjualan gabah dapat mencapai antara Rp 9-11 Juta /ha.
5. Inovasi teknologi budidaya kakao di Kabupaten Donggala. Kakao sebagai komoditas unggulan di Kabupaten Donggala dengan luas mencapai 42.407 ha, menghadapi beberapa masalah dalam budidayanya antara lain produktivitas rendah sekitar 300-600 kg/ha/tahun dan kualitas biji kakao juga rendah (hanya mencapai grade 3). Rendahnya kuantitas dan kualitas produksi kakao berkaitan dengan serangan hama dan penyakit antara lain penggerek buah kakao (PBK), Vascular Streak Dieback (VSD) dan busuk buah kakao. Untuk menangani permasalahan tersebut, kegiatan litkaji dan gelar teknologi dalam bentuk sekolah lapang dan demplot telah dilakukan dengan kegiatankegiatannya antara lain PsPSP (Panen sering, Pemangkasan, Sanitasi dan Pemupukan), sarungisasi, rehabilitasi tanaman kakao melalui sambung samping atau sambung pucuk, penanaman penaung kakao dan integrasi kakao-kambing. Penerapan hasil litkaji dan gelar teknologi ini telah meningkatkan produksi kakao hingga 1.382 kg/ha/tahun dari sekitar 200-
7. Inovasi padi di Lombok Timur. Padi merupakan salah satu komoditas pangan utama di Kabupaten Lombok Timur namun permasalahan yang dihadapi adalah lambannya proses penggunaan varietas unggul baru. Dalam rangka koordinasi dan sinkronisasi antar komponen dalam kegiatan P4MI di desa Jenggik Utara, Kecamatan Montong Gading Kab. Lotim, dilakukan introduksi inovasi teknologi tanaman padi di areal yang dicakup oleh
35
Prosiding Seminar Nasional kegiatan investasi desa berupa embung atau bendungan. Inovasi teknologi yang dilakukan adalah teknologi PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) Padi Sawah; meliputi: varietas unggul, tanam jajar biasa dan legowo, penggunaan pupuk
organik dan pemupukan an organik berimbang dengan BWD, Pengendalian hama terpadu (PHT). Produksi dari masingmasing varietas unggul baru padi yang diintroduksikan adalah sebagai berikut Tabel 3.
Tabel 3. Produksi dari masing-masing varietas unggul baru padi Varietas Situ Pagendit Kalimas Cigeulis Ciherang Cibogo Mekongga Cimelati Tukad Unda Cilosari Ciliwung Aek Sibundong
8. Inovasi pengembangan teknologi terpadu pisang di Lombok Timur. Kegiatan ini merupakan satu lagi contoh keberhasilan inovasi paket teknologi tanpa dukungan investasi infrastruktur pertanian terlebih dulu. Suatu paket dari rangkaian teknologi dari hulu ke hilir komoditas pisang telah diintroduksi kepada para petani. Paket teknologi mencakup budidaya (penggunaan varitas potensial, jarak tanam, tanaman sela, pemupukan, pemeliharaan tanaman, pengendalian hama dan penyakit, dan pengerudungan buah), dan pasca panen termasuk pengolahan produk (pembuatan kripik, sale dan tepung pisang). Introduksi teknologi ini mampu meningkatkan total pendapatan petani hingga Rp 18, 1 juta per ha per tahun dengan rincian sebagai berikut: penjualan pisang saja Rp 12 juta, tanaman sela Rp 2,35 juta. penjualan anakan pisang sebagai bibit Rp 3,75 juta. Hingga saat ini teknologi budidaya pisang telah diadopsi dan dikembangkan pada lahan seluas 200 ha karena komoditas ini mempunyai pasar yang potensial di Bali. Untuk pengolahan hasil difokuskan pada pengolahan keripik pisang yang setiap minggunya mampu menghasilkan 150 – 160 bungkus dengan harga Rp. 500,- per bungkus dengan keuntungan satu kali pembuatan/produksi sebanyak Rp. 50.000 - Rp. 60.000. Usaha pengolahan keripik pisang ini sudah mampu menyerap tenaga sebanyak 4-5
36
Produksi (ton/ha GKP) Teknologi PTT Teknologi Petani 8,435 8,531 8,926 8,806 9,203 9,238 8,896 9,182 9,227 8,896 8,889
7,100 7,322 7,385 7,708 7,800 7,338 7,389 7,430 7,460 6,988 8,050
orang, khususnya untuk tenaga pengemasan. 9. Pengembangan biogas untuk energi rumah tangga. Kelompok tani Pasanggani, desa Limboro, Banawa Selatan di kabupaten Donggala telah mulai mengembangkan teknologi biogas untuk mencukupi kebutuhan energi rumah tangga. Teknologi ini pertama kali diperkenalkan oleh BPTP Sulawesi Tengah kepada kelompok tani yang menjadi desa sasaran P4MI. Pengembangan teknologi ini mempunyai dampak yang luas terhadap masyarakat, seperti mengurangi biaya rumah tangga dengan menggantikan kebutuhan minyak tanah dari 20 liter menjadi hanya 5 liter, sisa kotoran sapi dapat dijadikan pupuk siap pakai, mencegah perambahan hutan untuk mencari kayu bakar, khusus di kabupaten Donggala berdampak terhadap pengandangan sapi.
DAMPAK AWAL Manfaat inovasi teknologi yang dikembangkan telah dirasakan oleh petani. Hasil awal analisis finansial terhadap pelaksanaan P4MI menunjukkan, bahwa secara umum sinergi kegiatan pemberdayaan petani dan investasi desa yang ditindak lanjuti inovasi teknologi, telah mampu memberikan manfaat dan dampak positif. Hal ini ditunjukkan oleh nilai NPV, B/C rasio dan IRR dari 42 desa yang telah melaksanakan investasi desa, dimana NPV rata-rata Rp
Prosiding Seminar Nasional 426.988, Finansial IRR antara 14 sampai 102 %, B/C ratio rata-rata 1,43 (1,04 – 2,04),
seperti ditunjukkan pada Tabel 4.
Tabel 4. Kelayakan finansial kegiatan investasi di setiap desa P4MI No. Kabupaten/Desa I BLORA 1. Getas 2. Brabowan 3. Sambong 4. Andong rejo 5. Kemiri 6. Kedungwungu 7. Gotputuk 8. Bogem 9. Nginggil 10. Sendangrejo 11. Sembongin II DONGGALA 12. Langaleso 13. Solutome 14. Panii 15. Lompio 16. Limboro 17. Tuva 18. Mbuvu 19. Jono Oge III ENDE 20. Detusoko Barat 21. Bokasape 22. Wologai 23. Watuneso 24. Hobatua 25. Kotabaru 26. Tou IV LOMBOK TIMUR 27. Lenek 28. Kelayu Jorong 29. Dasan Lekong 30. Padamara 31. Montong Betok 32. Jenggik Utara V TEMANGGUNG 33. Bumiayu 34. Langgeng 35. Wonokerso 36. Ngabeyan 37. Canggal 38. Nglondong 39. Nguwet 40. Guntur 41. Tempuran 42. Klepu
NPV (Rp)
IRR (%)
B/C
424,285,205 429,137,084 551,686,335 509,036,669 325,079,331 482,959,894 397,145,904 586,208,041 359,734,616 384,203,570 443,214,733
80.19 70.57 86.80 80.33 65.51 76.58 66.12 84.29 61.34 64.44 73.44
1.24 1.22 1.20 1.10 1.21 1.26 1.20 1.29 1.35 1.24 1.32
450,842,840 767,526,196 79,642,431 711,601,112 495,183,987 409,824,491 240,466,567 399,126,383
66.74 109.35 24.07 102.91 77.53 66.19 45.96 69.43
1.66 1.87 1.23 2.17 1.62 1.61 1.52 1.94
475,220,763 404,651,520 140,045,654 274,896,810 21,208,899 440,161,136 296,510,598
79.09 69.09 33.98 60.27 16.27 74.65 55.90
1.32 1.48 1.24 1.56 1.06 1.95 1.59
763,926,711 1,017,464,985 373,064,133 426,253,958 150,184,125 976,322,142
81.50 78.51 58.94 42.88 32.33 50.39
1.24 1.34 1.17 1.25 1.20 1.46
313,063,942 31,053,884 358,636,850 496,954,818 354,899,480 806,255,617 338,024,953 503,229,327 362,442,216 265,479,365
56.76 14.74 43.28 67.52 63.46 82.71 56.63 84.01 52.50 38.45
1.44 1.04 1.33 1.96 1.45 1.74 1.50 1.39 1.70 1.43
37
Prosiding Seminar Nasional
Selain keberhasilan, P4MI juga menghadapi berbagai hambatan, antara lain: 1. Pemberdayaan merupakan proses yang memerlukan waktu cukup panjang karena memerlukan perubahan pola pikir dan perilaku serta penumbuhan rasa percaya diri dan kemandirian petani. 2. Kegiatan P4MI dilaksanakan sesuai dengan ketentuan siklus anggaran bagi kegiatan program/proyek yang didanai pemerintah. Sementara keadaan di lapangan sering tidak dapat dikompromikan dengan aturan tersebut, dengan segala akibatnya bagi masyarakat awam yang tidak memahami birokrasi. 3. Intervensi dari proyek/program lain yang berbeda pendekatannya dengan P4MI menyebabkan motivasi masyarakat menurun. Keberadaan program tersebut yang mempunyai pendekatan top down dan non-partisipatif telah meracuni mentalitas masyarakat yang berakibat menghambat kegiatan P4MI. 4. Demikian juga bagi daerah-daerah yang terlalu sering menerima program/proyek yang di drop dari atas, mentalitas masyarakat kurang bergairah dalam melaksanakan kegiatan yang bersifat partisipatif. Kebiasaaan masyarakat yang hanya menerima berbagai bantuan tanpa upaya apapun dan juga aparat pemerintahan desa atau kecamatan yang lebih berfungsi sebagai kontraktor atau broker penyaluran bantuan sangat mengganggu kelancaran kegiatan P4MI karena mereka apatis bila harus berupaya dalam berpartisipasi untuk kegiatan-kegiatan yang sebagian harus dipikul mereka sendiri. 5. Beberapa wilayah memiliki kondisi geografi terpencil yang sukar dijangkau, tidak hanya sulit untuk mencapai lokasi, tetapi juga sulit untuk mengadakan pertemuan, dan juga sulit untuk dapat memobilisasi mereka dalam rangka pembinaan. 6. Sulit untuk mendapatkan tenaga dengan kualitas SDM yang memadai di beberapa daerah yang masih terbelakang. Sebagai konsekuensinya kegiatan-kegiatan P4MI di beberapa daerah terbelakang masih kurang optimal.
38
Beberapa hal dapat dipetik sebagai pelajaran dari keberhasilan dan kegagalan kegiatan P4MI, yaitu: 1. Petani dalam kondisi sosial ekonomi terendahpun dapat dibimbing dan ditingkatkan kemampuannya bila tujuan pemberdayaan dapat diterima dan dipahami mereka. 2. Dengan pendekatan partisipatif, petani/ masyarakat dapat dimobilisasi untuk mencapai tujuan pemberdayaan dan mereka memberikan kontribusi dalam berbagai bentuk sesuai kemampuannya dalam proses pembangunan secara signifikan. 3. Proses pemberdayaan memerlukan waktu relatif lama dan harus berlangsung secara kontinyu, hingga minimum mencapai tahap stabil dan manfaat hasil pembangunan dapat berlangsung secara berkelanjutan. 4. Kegiatan-kegiatan di lapangan sering menghadapi kendala ketentuan administratif birokrasi yang mengganggu suatu proses yang sedang berjalan. Fleksibilitas diperlukan dalam administrasi tanpa mengurangi azas akuntabilitas dan transparansi. 5. Pemangkasan kewenangan administratif keuangan dengan menyalurkan dana investasi langsung ke petani dan dapat dikelola oleh petani sendiri, telah menumbuhkan kepercayaan dan rasa tanggung jawab mereka. 6. Kegiatan investasi desa yang diusulkan dan dilaksanakan secara partisipatif oleh petani/masyarakat menumbuhkan kembali budaya dan semangat gotong royong, dan rasa memiliki serta menciptakan kreativitas mereka dalam berinovasi. 7. Program yang dilandasi prinsip partisipatif yang diterapkan di suatu daerah agar tidak dibarengi dengan program/proyek lain yang berbeda prinsip agar mencegah efek negatif bagi program/proyek yang sedang berjalan.
KESIMPULAN DAN SARAN 1. Ketertinggalan pembangunan pertanian di daerah marginal hampir dijumpai di semua bidang, baik biofisik, infrastruktur, kelembagaan usahataninya maupun akses informasi untuk petani miskin yang kurang mendapat perhatian.
Prosiding Seminar Nasional 2. Kata kunci dari kegiatan P4MI adalah: (i) Petani miskin, (ii) Peningkatan pendapatan, dan (iii) Inovasi pertanian.
ADB. 2007. Involvement of Civil Society Organizations in ADB Operations. ADB Learning Curves.
3. Pemberdayaan dan pengembangan kapasitas petani, pada dasarnya untuk membantu mengembangkan kemandirian petani melalui perubahan pola pikir dan wawasan.
ADB. 2007. Participatory Approaches to Rural Development. ADB Learning Curves.
4. Proses pemberdayaan memerlukan waktu yang relatif lama dan dilakukan secara kontinyu dan memerlukan dukungan yang kuat dari stakeholders. 5. Sinergi antara pengembangan kapasitas petani dan pembangunan infrastruktur pertanian di desa terbukti secara efektif dapat merangsang kemampuan petani untuk berinovasi dalam kegiatan pertanian 6. Pengembangan inovasi pertanian yang disinergikan dengan pemberdayaan petani ditujukan untuk mendukung pemanfaatan secara optimal sumberdaya alam yang marginal disertai pelestarian lingkungannya untuk dapat meningkatkan pendapatan petani secara berkelanjutan. 7. Pengembangan inovasi dilaksanakan secara partisipatif dengan melibatkan beneficiaries (petani miskin) dan stakeholders, melalui pendekatan demand driven dan driving demand, dan dilakukan secara terpadu dan holistik. 8. Dari kajian dampak awal, terlihat bahwa kegiatan investasi desa yang berkaitan dengan inovasi pertanian telah mampu meningkatkan luas lahan garapan, produktivitas, dan produksi, serta pendapatan, seperti ditunjukkan oleh 42 desa yang telah melaksanakan investasi desa, dimana NPV mempunyai nilai positif dengan rata-rata Rp 426.988 (Rp. 21.208.899 - 1,017.464.985), Finansial IRR antara 14 sampai 102 %, B/C rationya lebih dari satu dengan rata-rata 1,43 (1,04 – 2,04).
PUSTAKA ADB. 2006. Indonesia: Strategic Vision for Agriculture and Rural Development. ADB Publication. ADB. 2007. Pathways Out of Rural Poverty and the Effectiveness of Poverty Targeting. ADB Learning Curves.
Ananto, E. E. dan Retno S. H. M. 2005. Information and Communication Technology in Supporting Farmers to Access Agricultural Information. Proceeding Seminar On Networking of The Agricultural Technology Transfer and Training. Jakarta and BogorIndonesia, 28 November – 1 December 2005. APEC – Agricultural Technical Cooperation Working Group, Agricultural Technology Transfer and Training Anonymous. 2002. Better Livelihoods for Poor People: The Role of Agriculture. Department for International Development, Glasgow UK. Anonymous. 2004. World Development Report 2004. The World Bank. Poor Farmers’ Income Improvement through Innovation Project. 2003. Project Administration Memorandum for the Poor Farmers’ Income Improvement through Innovation. Indonesian Agency for Agricultural Research and Development (IAARD), Misnistry of Agricultural (MOA) and Asian Development Bank (ADB). PCMU-PFI3P. 2004. Assessment on Agricultural Technology Innovation. Project Coordination and Monitoring Unit (PCMU) PFI3P, Indonesian Agency of Agricultural Research and Development (IAARD), Jakarta Jakarta. PCMU-PFI3P. 2004. Identification of Technology Gaps on Marginal Lands. Project Coordination and Monitoring Unit (PCMU) PFI3P, Indonesian Agency of Agricultural Research and Development (IAARD), Jakarta. PCMU-PFI3P. 2006. An Initial Impact Assessment. Indonesian Agency of Agricultural Research and Development (IAARD), Ministry of Agriculture, 2006 PCMU-PFI3P. 2007. Technology Innovation Development Program for Marginal Dry
39
Prosiding Seminar Nasional Land. Indonesian Agency of Agricultural Research and Development (IAARD), Jakarta Jakarta. Eunkyung Kwon. 2006. Infrastructure, Growth, and Poverty Reduction in Indonesia: A Cross-Sectional Analysis. Asian Development Bank. Hyun H. Son. 2007. Pro-Poor Growth: Concepts and Measures. ERD Technical Note No. 22. ADB.
40
Prosiding Seminar Nasional
MUTU BENANG SUTERA DI KPH PATI JAWA TENGAH (Silk yarn quality at KPH Pati Central Java) Agus Budiyanto dan Mulyana Hadipernata Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian
ABSTRAK Persuteraan alam terutama produk kokon dan benang sutera merupakan kegiatan agroindustri yang menguntungkan karena cepat mendapatkan hasil dan bernilai ekonomi tinggi. Benang sutera adalah bahan baku sutera di bidang pertekstilan, benang bedah dan parasut dengan kualitas tinggi yang lebih baik dibandingkan sutera buatan. Penelitian ini terdiri atas dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui komposisi daun murbei. Penelitian utama meliputi pemeliharaan ulat, penanganan kokon dan pemintalan benang. Rancangan percobaan yang dilakukan adalah rancangan acak lengkap dengan lima perlakuan dan tiga kali ulangan. Mutu kokon dan benang sutera ditentukan oleh rendemen pemeliharaan, bobot kokon segar, persentase kulit kokon, panjang serat, bobot serat, rendemen serat, serat putus dan daya gulung serat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Morus multicaulis L. merupakan murbei terbaik sebagai makanan ulat sutera Bombyx mori L. Mutu kokon dan benang sutera yang dihasilkan dari Morus multicaulis L. meliputi bobot kokon 1845 mg, panjang serat 1259,72 m, serat putus 3,1 kali dan daya gulung 67,05%. Kata kunci: Murbei, ulat sutera, sutera alam
ABSTRACT Nature silk production, mainly cocoon product and silks yarn is a prospective agricultural industry since the silk is considered to be a high value material and the finance involve with is moving rapidly. Silk yarn is a raw material of silk for textile industry, surgical yarn and parachute having high and better quality than artificial silk. An investigation was conducted in two steps: preliminary and main experiment. Preliminary research was conducted to evaluate the nutrient composition of mulberry. While the main research consisted of silk breeding, cocoon handling and silk tangled. The main experiment used randomized complete design with five treatments and three replications. Cocoon and silk quality were measured based on the breeding yield, cocoon weight, cocoon skin percentage, silk length, silk weight, silk yield, the amount of broken silk and roll capacity. Results showed that Morus multicaulis L. was the best mulberry for Bombyx mori L. silkworm feed. The Morus multicaulis L. produced cocoon and silk which have 1845 mg weight, 1259,72 m silk length, 3.1 times broken silk, and roll capacity of 67.05%. Key words: Mulberry, silkworm, nature silk
PENDAHULUAN Persuteraan alam merupakan kegiatan agroindustri sejak pertanaman murbei, pembibitan ulat sutera, proses kokon, pemintalan dan pertenunan (Toehadi, 1995). Serat sutera adalah bahan baku sutera di bidang pertekstilan, benang bedah dan parasut dengan kualitas tinggi yang belum terkalahkan oleh serat sutera buatan (Samsijah dan Kusumaputera, 1980). Selain pemanfaatan kokon sebagai kain sutera, kokon yang dihasilkan oleh ulat sutera Bombyx mori L. mengandung flavonoid yang sangat berguna bagi obat-obatan dan kosmetika (Kurioka et.al., 1999 dalam Hirayana et al., 2006). Mutu benang sutera dapat dipengaruhi oleh jenis makanan dan ulat sutera yang
digunakan. Daun murbei merupakan makanan ulat sutera untuk menghasilkan benang sutera. Selain itu daun murbei mengandung zat antioksidan yang mampu mengurangi aterosklerosis (Katsube et al., 2006). Mutu daun murbei sebagai makanan ulat sutera merupakan faktor yang menentukan keberhasilan suatu pemeliharaan ulat sutera dan kualitas kokon yang dihasilkan. Murbei dapat tumbuh dengan cepat pada kondisi iklim tropis maupun subtropics (Srivastava et al., 2003). Mutu daun murbei dipengaruhi beberapa faktor yaitu tanah, bentuk pangkasan, pemupukan, curah hujan, pengairan, cuaca dan kerapatan daun (Khrishnaswami, 1973). Menurut Rangaswami et al., (1976), mutu daun murbei berpengaruh terhadap pertumbuhan ulat, mutu
41
Prosiding Seminar Nasional kokon dan mutu serat yang dihasilkan. Mutu daun tersebut berkaitan dengan susunan kimia dan kandungan makanan. Proyek Persuteraan Alam (PSA) Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Pati merupakan salah satu tempat budidaya murbei dan kegiatan pesuteraan alam Indonesia. Namun demikian sebagai salah satu tempat kegiatan persuteraan alam masih mencari daun murbei yang sesuai untuk makanan ulat sutera untuk meningkatkan mutu kokon dan benang sutera yang dihasilkan. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui jenis murbei yang sesuai sebagai makanan ulat sutera dalam memperoleh mutu benang sutera yang baik di KPH Pati Jawa Tengah.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Industri Pertanian, Bogor dan Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Pati Jawa Tengah. Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah empat jenis daun murbei, formalin 2%, kapur, asam sulfat pekat, katalis, NaOH, indikator, heksana, pelarut lemak dan aseton. Ulat sutera yang digunakan adalah jenis C 301 dari Candiroto. Alat yang digunakan adalah rak pemeliharaan, bagor plastik, sarang pembentukan kokon, haspel, timbangan, alat pintal, pisau, kertas parafin, termometer, cawan porselin, desikator, tanur, timbangan, oven, labu kjedahl, erlenmeyer,
soxhlet apparatus, penangas air dan kertas saring. Penelitian ini terdiri dari dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui komposisi daun murbei. Penelitian utama terdiri-dari pemeliharaan ulat, penanganan kokon dan pemintalan benang. Pengamatan meliputi rendemen pemeliharaan, bobot kokon, persentase kulit kokon, persentase kokon baik, persentase kokon tipis, persentase kokon bentuk aneh, panjang serat, daya gulung, bobot serat, rendemen serat, bentuk dan warna kokon. Rancangan percobaan yang dilakukan adalah rancangan acak lengkap dengan lima perlakuan jenis daun murbei dan dengan tiga kali ulangan. Lima perlakuan jenis daun murbei yang digunakan adalah Morus canva, Morus cathayana A, Morus multicaulis P, Morus alba L. (halus) dan Morus alba L. (kasar). Uji lanjut yang digunakan ádalah analisis sidik ragam dan uji rentang NewmanKeuls.
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan Dalam penelitian pendahuluan dilakukan analisis proksimat untuk mengetahui komposisi kimia daun murbei. Komposisi kimia daun murbei dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil analisis proksimat daun murbei Daun
Kadar air (%, wb)
Kadar abu (%, db)
Protein (%, db)
Morus canva Morus cathayana A Morus multicaulis P. Morus alba L. (halus) Morus alba L. (kasar)
72,57 68,16 73,06 66,23 69,20
3,70 5,66 4,48 4,57 5,28
9,84 10,79 12,14 10,08 6,12
Dengan menganalisis kimia daun dapat diketahui susunan kimia daun sebagai sumber makanan ulat sutera. Daun murbei mengandung air, protein, asam-asam amino, senyawa N yang bukan protein, karbohidrat, lemak, mineral dan vitamin. Menurut Omar et al., (1999), daun murbei merupakan daun yang potensial sebagai sumber protein. Protein bagi ulat sutera sangat penting dalam
42
Lemak kasar Serat kasar Karbohidrat (%, db) (%, db) (%, db) 0,59 1,52 0,64 0,86 0,86
3,83 6,55 5,28 5,47 6,97
9,47 7,32 4,40 12,79 11,57
pembentukan fibroin yang menyusun serat sutera (Katsumata, 1975). Sedangkan menurut Chapman (1971), karbohidrat sebagai komponen yang terdapat dalam daun bagi serangga pada umumnya merupakan sumber energi, sedangkan protein diperlukan dalam proses sintesa dalam tubuh ulat sutera. Kadar air merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ulat sutera.
Prosiding Seminar Nasional Kadar air yang sangat rendah dan sangat tinggi akan mengurangi nafsu makan ulat sutera. Sedangkan protein merupakan komponen kimia daun murbei untuk pembentukan fibroin sebagai penyusun serat sutera dan berguna dalam proses sintesa dalam tubuh ulat sutera. Kandungan protein terbesar (12,14%) terdapat pada dua jenis Morus multicaulis P. terhadap pembentukan fibroin untuk menyusun serat sutera. Karbohidrat sebagai komponen kimia daun murbei berguna untuk pertumbuhan ulat sutera dan sebagai sumber energi. Kandungan terbesar terdapat pada daun Morus alba L (halus) yaitu 12,79%. B. Penelitian Utama Hasil penelitian utama dapat dibandingkan dengan mutu kokon komersial (Tabel 2 dan 3).
Sumber: Nuraeni (1993)
Tabel 3. Klasifikasi mutu untuk berat kokon No 1 2 3 4
Kelas kokon A B C D
Nilai total >2 1,5 – 1,9 1 – 1,4 < 0,9
Sumber: Budisantosa (1996)
Hasil penelitian utama adalah berikut: 1.
sebagai
Rendemen pemeliharaan
Rendemen pemeliharaan adalah jumlah ulat sutera Bombyx mori L. Yang hidup dari stadia I sampai stadia V dan menghasilkan kokon dengan bermacam-macam kriteria. Hasil rendemen pemeliharaan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 2. Mutu kokon secara komersial Karakteristik mutu kokon Rendemen pemeliharaan (%) Berat kokon segar (mg) Persentase kulit kokon (%) Panjang serat (m) Daya gulung (%) Rendemen serat (%)
Nilai > 90 > 1500 >9 > 900 > 70 > 15
Tabel 4. Hasil analisis persentase kokon baik, kulit kokon, kokon tipis, kokon bentuk aneh dan rendemen pemeliharaan Perlakuan Morus canva Morus cathayana A Morus multicaulis P. Morus alba L. (halus) Morus alba L. (kasar)
Kokon baik Kulit Kokon (%)NS (%)NS 85,36 90,84 86,78 87,72 88,34
22,19 22,02 23,08 20,96 23,82
Kokon tipis (%)NS 8,25 4,59 6,46 6,56 7,45
Kokon bentuk Rendemen pemeliharaan aneh (%)NS (%) NS 6,38 4,57 6,76 5,70 4,21
85,33 80,67 84,67 89,67 79,33
Keterangan : NS = Tidak berbeda nyata. Rendemen pemeliharaan merupakan parameter yang sangat penting karena berpengaruh terhadap produksi kokon dan benang sutera yang dihasilkan. Rendemen pemeliharaan yang tertinggi adalah makanan ulat sutera daun Morus alba L (halus), hal ini sesuai dengan kandungan karbohidrat sebagai sumber energi yang tinggi.
kelembaban, jenis bibit ulat yang digunakan dan cara pemeliharaan. Berdasarkan uji sidik ragam rendemen pemeliharaan tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata pada lima jenis daun mubei sebagai makanan ulat sutera Bombyx mori L. Hal ini disebabkan pemberian makanan dalam jumlah yang sama dengan jenis ulat sutera yang sama pula.
Berdasarkan mutu secara komersial (Nuraeni, 1993), rendemen pemeliharaan belum memenuhi nilai komersial (lebih dari 90%), hal ini dapat disebabkan suhu dan
Menurut Samsijah dan Lincah (1995), bahwa kokon berkualitas baik adalah sehat, tidak rusak, kulit keras dan terbukti kokon ditekan sedikit. Persentase kokon baik yang
43
Prosiding Seminar Nasional paling besar pada jenis daun Morus cathayana A yaitu sebesar 90,84%. Sedangkan pada kulit tipis semua jenis daun murbei telah memenuhi syarat standar komersial yaitu lebih besar dari 9% (Nuraeni, 1993). Kokon tipis dan bentuk aneh sesuai analisis sidik ragam tidak berpengaruh nyata dan tidak menentukan dalam standar komersial. 2. Bobot kokon segar Bobot kokon segar adalah bobot kokon seluruhnya (kulit kokon berikut pupanya). Semakin berat bobot kokon segar menunjukkan mutu yang baik. Bobot kokon yang paling besar diperoleh dari jenis daun Morus multicaulis L. yaitu sebesar 1845 mg (Tabel 5), hal ini sesuai dengan kandungan protein daun tersebut yang tinggi. Kandungan kimia daun murbei berupa protein berfungsi membentuk kelenjar sutera sehingga banyaknya protein akan menghasilkan kelenjar sutera yang lebih banyak pula. Tabel 5. Analisis bobot kokon segar (mg) Perlakuan Bobot kokon Morus cathayana A 1627a Morus alba L. (halus) 1700ab Morus canva 1756b Morus alba L. (kasar) 1786bc Morus multicaulis P. 1845c Keterangan: Superskrip berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) Tabel 5 menunjukkan bahwa bobot kokon segar mempunyai nilai komersial yaitu lebih dari 1500 mg (Nuraeni, 1993) dan mempunyai kelas mutu B (Budisantosa, 1996). Berdasarkan uji sidik ragam diperoleh adanya perbedaan nyata antar jenis daun murbei. Hal ini dapat disebabkan karena kandungan kimia daun murbei yang berbeda-beda. Dengan demikian dilakukan uji lanjut yang dihasilkan bahwa daun Morus multicaulis L. merupakan perlakuan terbaik pada parameter bobot kokon segar. 3. Panjang serat Panjang serat adalah panjang serat yang digulung dari sebutir kokon. Panjang serat dapat dipengaruhi bobot kokon segar, bobot yang besar akan cenderung menghasilkan lebih panjang seratnya. Pada penelitian ini daun Morus multicaulis L. dapat menghasilkan bobot kokon segar dan panjang serat yang paling tinggi (Tabel 6). Hal ini juga disebabkan tingginya kandungan protein
44
daun Morus multicaulis L. yang berpengaruh terhadap pembentukan kelejar sutera. Berdasarkan hasil penelitian panjang serat yang diperoleh telah memenuhi standar nilai komersial yaitu lebih dari 900 m (Tabel 6). Tabel 6. Analisis rata-rata panjang serat (m)* Perlakuan Panjang serat (m) Morus canva 1054,65a Morus alba L. (halus) 1103,55 a Morus cathayana A 1104,64 a Morus alba L. (kasar) 1149,64ab Morus multicaulis P. 1259,72b * Superskrip berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) Berdasarkan uji sidik ragam menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antar perlakuan sehingga dilakukan uji lanjut (Tabel 6). Berdasarkan uji lanjut, Morus alba L dan Morus multicaulis L berbeda nyata, sedangkan jenis daun lain tidak berbeda nyata. Daun jenis Morus multicaulis P. menunjukkan panjang serat yang paling tinggi, sehingga merupakan perlakuan terbaik pada parameter panjang serat. 4. Bobot serat Bobot serat adalah bobot sutera yang dipintal dari sebutir kokon. Bobot serat bepengaruh terhadap mutu sutera yang dihasilkan, semakin tinggi bobot sutera menunjukkan semakin baik mutu sutera yang dihasilkan. Namun tingginya bobot serat sutera tidak sepenuhnya menentukan mutu serat yang paling baik, karena ada faktor lain seperti panjang serat, daya gulung dan bobot kokon. Berdasarkan analisis sidik ragam pada Tabel 7 menunjukkan bahwa bobot serat antar perlakuan tidak berpengaruh nyata, hal ini dapat disebabkan pemberian makanan dalam jumlah yang sama dan cara penempatan yang sama pada waktu ulat membentuk kokon. Tabel 7. Analisis rata-rata bobot serat NS Bobot serat (mg) Morus canva 286,33 Morus alba L. (halus) 300 Morus cathayana A 287,66 Morus alba L. (kasar) 320,33 Morus multicaulis P. 311,66 Keterangan : NS = Tidak berbeda nyata Perlakuan
Prosiding Seminar Nasional Tabel 7 menunjukkan bahwa bobot yang paling tinggi pada makanan jenis Morus alba L.(320,33 mg). Sedangkan daun Morus canva diperoleh bobot serat paling kecil yaitu 286,33 mg.
serat daun jenis yang
5. Rendemen serat Rendemen serat adalah perbandingan bobot serat sutera dengan bobot kokon basah. Rendemen serat merupakan faktor yang penting mempengaruhi mutu kokon dan benang sutera yang dihasilkan. Rendemen serat yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 8. Hasil rendemen serat yang diperoleh telah memenuhi standar komesial yaitu lebih dari 15 % (Nuraeni, 1993). Tabel 8. Analisis rata-rata rendemen serat Rendemen serat (%) NS Morus canva 16,73 Morus alba L. (halus) 17,80 Morus cathayana A 21,25 Morus alba L. (kasar) 18,99 Morus multicaulis P. 17,44 Keterangan : NS = Tidak berbeda nyata Perlakuan
Tabel 8 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata dari kelima jenis daun murbei sebagai makanan ulat sutera terhadap rendemen serat. Hal ini disebabkan oleh jenis bibit ulat sutera yang sama dan kondisi pemeliharaan yang sama pula. 6. Serat Putus dan Daya Gulung Daya gulung adalah menghitung banyaknya serat putus pada waktu dipintal. Daya gulung merupakan sifat baik tidaknya kokon dipintal dan ditentukan dengan menghitung persentase berapa kali putusnya serat sutera dari kokon pada waktu dipintal. Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa serat putus berbanding terbalik dengan daya gulungnya, semakin banyak serat putus maka semakin rendah daya gulungnya, hal ini terlihat pada Tabel 9 dan Tabel 10. Tabel 9. Analisis serat putus Perlakuan Morus multicaulis P. Morus alba L. (kasar) Morus alba L. (halus) Morus canva Morus cathayana A
Serat putus (kali) * 1,03a 1,07 a 1,07 a 2,6 ab 3,3b
* Superskrip berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). Tabel 10. Analisis daya gulung Perlakuan Daya gulung (%)* Morus cathayana A 9,21a Morus canva 34,69ab Morus alba L. (kasar) 58,05b Morus alba L. (halus) 66,77b Morus multicaulis P. 67,05b * Superskrip berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). Tabel 9 dan Tabel 10 menunjukkan bahwa adanya perbedaan nyata antar jenis daun mubei sebagai makanan ulat sutera terhadap serat putus dan daya gulung. Berdasarkan uji lanjut pada Tabel 9 dan Tabel 10, daun Morus multicaulis L. merupakan perlakuan terbaik, karena mempunyai serat putus yang paling sedikit dan daya gulung yang paling tinggi. Walaupun daya gulung yang dihasilkan dalam penelitian ini belum memenuhi standar komersial yaitu lebih dari 70%. Daya gulung yang tertinggi hanya sebesar 67,05 pada jenis daun Morus multicaulis P. 7. Bentuk dan warna kokon Bentuk kokon yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah lonjong dengan warna putih seperti yang ditunjukkan pada Tabel 11. Pada Tabel 11 ditunjukkan bahwa kelima jenis daun murbei sebagai makanan ulat sutera tidak mempengaruhi bentuk dan warna kokon yang dihasilkan, hal ini disebabkan jenis bibit ulat sutera yang sama. Tabel 11. Bentuk dan warna kokon Perlakuan Morus cathayana A Morus canva Morus alba L. (kasar) Morus alba L. (halus) Morus multicaulis P.
Bentuk kokon Lonjong Lonjong Lonjong Lonjong Lonjong
Warna kokon Putih Putih Putih Putih Putih
8. Penentuan mutu murbei terbaik Dalam penentuan murbei terbaik dalam menghasilkan mutu benang sutera yang baik dapat dilakukan dengan uji ranking dari delapan faktor yang telah dilakukan analisis sidik ragam dan uji lanjut (Tabel 12).
45
Prosiding Seminar Nasional Tabel 12. Penentuan mutu murbei terbaik Kriteria mutu Rendemen pemeliharaan Bobot kokon Panjang serat Persentase kulit kokon Bobot serat Serat putus Daya gulung Rendemen serat (%) Total ranking
M1 a/1 b/2 a/2 a/1 a/1 ab/12 ab/21 a/1 11
M2 a/1 a/3 a/2 a/1 a/1 b/2 a/2 a/1 13
Perlakuan M3 a/1 c/1 b/1 a/1 a/1 a/1 b/1 a/1 8
M4 a/1 ab/32 a/1 a/1 a/1 a/1 b/1 a/1 10/11
M5 a/1 bc/21 ab/21 a/1 a/1 a/1 b/1 a/1 8/10
Keterangan : M1, Morus canva; M2, Morus cathayana A; M3, Morus multicaulis L, M4, Morus alba L (halus); M5, Morus alba L. (kasar)
Berdasarkan Tabel 12 dapat ditegaskan bahwa daun Morus multicaulis L. merupakan makanan ulat sutera dengan mutu kokon dan benang sutera yang paling baik di antara lima jenis daun murbei yang lain.
KESIMPULAN DAN SARAN Mutu kokon dan benang sutera ditentukan oleh rendemen pemeliharaan, bobot kokon segar, persentase kulit kokon, panjang serat, bobot serat, rendemen serat, serat putus dan daya gulung serat. Morus multicaulis L. merupakan murbei yang terbaik sebagai makanan ulat sutera Bombyx mori L. Kandungan daun Morus multicaulis L. meliputi kadar air 73,06%, kadar abu 4,48%, kadar protein 12,14%, lemak kasar 0,64%, serat kasar 5,26% dan karbohidrat 4,4%. Mutu kokon dan benang sutera yang dihasilkan meliputi bobot kokon 1845 mg, panjang serat 1259,72 m, serat putus 3,1 kali dan daya gulung 67,05%. Untuk penelitian selanjutnya dapat dilakukan pemanfaatan limbah kokon selain sebagai pupuk. Selain itu juga perlu dilakukan pemanfaatan buah murbei sebagai produk makanan kesehatan terutama sebagai antioksidan.
PUSTAKA AOAC. 1990. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemists. Association of Official Aalytical Chemist, Washington, D.C.
46
Budisantosa, H. 1996. Kajian Standarisasi Kokon di Sulawesi Selatan. Balai Penelitian Kehutanan. Sulawesi Selatan. Chapman, R.F. 1971. The Insects. Structure and Function. The English University Press Ltd., London. Hirayana, C., Hiroshi Ono, Y. Tamura and M. Nakamura. 2006. C-polinylquercetins from the yellow cocoon shell of silkworm, Bombyx mori. Phytochemistry, 67 : 579 – 583. Katsube, T., N. Imawaka, Y. Kawano., Y. Yamazaki, K. Shiwako and Y. Yamane. 2006. Food Chemistry 97 : 26 – 31. Katsumata, F. 1975. Textbook of Tropical Sericulture. Japan Overseas Cooperation Volenteers 4 – 2 – 24 Hiroo, Sibuya-ku, Tokyo, Japan. 594 p. Krishnaswami, S.M.N. Narasimhana dan S.K. Suruyanarayan. 1973. Silkworm rearing Manual on Sericulture. Agriculture Seri. Bull. 15 : 71 – 73. Nuraei, S. 1993. Kuantitas dan Kualitas Produksi F1 Ulat Sutera (Bombyx mori L) Hasil Persilangan Antar Ras Rusia dan China. Skripsi. FAPERTA, UNHAS, Ujung Pandang. Omar, S.S., Shayo, C.M. and Uden, P. 1999. Voluntary intake and digestibility of Mulberry (Morus alba) diets by growing goats. Trop. Grass 33 : 177 – 181.
Prosiding Seminar Nasional Rangaswami, G., M.N. Narasimhana and M.S. Yolly. 1976. Mulberry Cultivation. Agriculture Seri Bulletin (14 : 51 – 54). Samsijah dan Kusumaputera. 1980. Pemeliharaan Ulat Sutera. Proyek Pembinaan Persuteraan Alam Sulawesi Selatan. Ujung Pandang. Samsijah dan Lincah A. 1995. Petunjuk Teknis Budidaya Ulat Sutera (Bombyx mori L.). Jurnal Penelitian, Volume 58.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi. Bogor. Srivastava, S., Kapoor, R., Thathola, A. and Srivastava, R.P. 2003. Mulberry (Morus alba) leaves as Human Food : a New dimension of sericulture. International of Food Science and Nutrition, 54 : 411 – 416. Toehadi. 1995. Seminar Nasional Persuteraan Alam. Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran. Bandung.
47
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PEMBERDAYAAN KELOMPOK PETANI KECIL DESA GETAS KABUPATEN TEMANGGUNG MELALUI INOVASI TEKNOLOGI PRODUKSI KERUPUK JAGUNG ANEKA RASA (An effort to activate farmers group at Getas Village of Temanggung District through technology innovation of spicy corn flakes production) Dwi Nugraheni, Agus Sutanto Dan Kendriyanto Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah
ABSTRAK kerupuk digolongkan sebagai jenis makanan kering yang terbuat dari bahan yang mengandung pati cukup tinggi. meskipun tergolong industri kecil atau industri rumah tangga, industri kerupuk dapat dikembangkan menjadi industri padat karya yang mampu meningkatkan pendapatan pengusaha tani dan membuka lapangan kerja. salah satu jenis kerupuk yang masih berpeluang untuk dikembangkan adalah kerupuk jagung. kerupuk berbahan baku tepung jagung ini dapat divariasi dengan aneka rasa menggunakan tepung bumbu siap saji. kegiatan pembuatan kerupuk jagung di kabupaten temanggung bertujuan untuk mempercepat peningkatan pendapatan masyarakat tani melalui pengermbangan agroindustri pedesaan berbasis jagung. kegiatan dilakukan pada tahun anggaran 2006, di dusun kemiri, desa getas, kecamatan kaloran, kabupaten temanggung. kesukaan panelis terhadap aroma, rasa dan warna kerupuk jagung menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05). sedangkan kesukaan panelis terhadap kerenyahan dari kelima macam kerupuk jagung tidak berbeda nyata. panelis juga lebih menyukai rasa kerupuk jagung yang beraroma alami. terhadap mutu warna, panelis paling menyukai warna kerupuk jagung aroma jagung manis (e) dengan skor 5,88 (suka). pada umumnya panelis menyukai kerenyahan dari kerupuk jagung aneka rasa, dengan skor berkisar antara 5,62 – 5,82. perubahan komposisi zat gizi yang paling menonjol antara tepung jagung dengan kerupuk jagung goreng terjadi pada kandungan air , lemak dan serat. Kata kunci: kerupuk, tepung jagung, panelis, aneka rasa
Jagung (zea mays) merupakan komoditi strategis tanaman palawija. Di Jawa Tengah jagung berpotensi besar untuk menyangga kebutuhan pangan non beras. Penggunaanya adalah untuk bahan pangan, pakan, dan bahan industri pangan. Dari 100 kg jagung dapat diperoleh 3,5 – 4 kg minyak jagung; 27 – 30 kg bungkil, pakan, gluten, serat dan sebagainya; 64 – 67 kg pati; dan sisanya 15 – 25 kg hilang atau terbuang (Winarno, 1989).
Kerupuk jagung merupakan camilan yang cara pembuatannya cukup sederhana. Kerupuk pada umumnya, dikonsumsi sebagai makanan yang mampu membangkitkan selera makan atau sebagai makanan ringan. Kerupuk digolongkan sebagai jenis makanan kering yang terbuat dari bahan yang mengandung pati cukup tinggi. Meskipun tergolong industri kecil atau industri rumah tangga, industri kerupuk dapat dikembangkan menjadi industri padat karya yang mampu meningkatkan pendapatan pengusaha tani dan membuka lapangan kerja. Banyak ragam jenis dan bentuk kerupuk dijual di pasaran, mulai kerupuk yang dibuat dari beras, tepung terigu, ataupun dari tepung tapioka. Bahanbahan tersebut dapat diramu dengan bahan tambahan sehingga menjadi kerupuk udang, kerupuk ikan maupun kerupuk-kerupuk dengan rasa yang lain.
Di indonesia kira-kira terdapat 22 industri pengolahan jagung. Industri tersebut mengolah kerupuk jagung, tepung jagung, marning jagung, brondong jagung, beras jagung, chiki jagung, keripik jagung, dan jagung goreng (hambali et al., 2005).
Salah satu jenis kerupuk yang masih berpeluang untuk dikembangkan adalah kerupuk jagung. Kerupuk berbahan baku tepung jagung ini dapat divariasi dengan aneka rasa menggunakan tepung bumbu siap saji yang telah banyak beredar di pasaran.
PENDAHULUAN Sebagai bahan pangan, nilai gizi jagung hampir sama dengan beras. Kandungan karbohidrat jagung (70%) lebih rendah dari pada beras (77,5 – 80%), dengan kandungan pati yang cukup tinggi (60 – 61,5%), serta kandungan protein dan lemak yang lebih tinggi dibandingkan dengan beras (Grubben et al., 1996).
48
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Kegiatan pembuatan kerupuk jagung di kabupaten temanggung bertujuan untuk mempercepat peningkatan pendapatan masyarakat tani melalui pengembangan agroindustri pedesaan berbasis jagung.
BAHAN DAN METODE Bahan dan alat yang perlu disiapkan adalah: tepung jagung, bumbu, alat pemasak nasi jagung, penggiling mi dan alat pengering kerupuk. Kegiatan dilakukan pada tahun anggaran 2006, di dusun kemiri, desa getas, kecamatan kaloran, kabupaten temanggung. Petani kooperator adalah kelompok petani kecil (kpk) mangga, dengan jumlah anggota kpk sebanyak 20 orang. Ada 5 macam kerupuk jagung yang dibuat, masing-masing hanya berbeda pada bumbu yang ditaburkan setelah penggorengan. Untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen, dilakukan uji hedonik atau uji kesukaan dengan panelis semi terlatih 34 orang. Tingkat-tingkat kesukaan atau skala hedonik ditransformasi menjadi skala numerik dengan angka menaik menurut tingkat kesukaan (sukarto, 1982). Hasil pengujian dianalisis dengan uji anova, dan uji lanjut duncan multiple range test dengan selang kepercayaan 95% untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan kesukaan panelis terhadap kerupuk jagung (rahayu, 1998). Selain itu, terhadap kerupuk jagung dengan bumbu standar dilakukan analisis kandungan gizinya. Diagram alir pembuatan kerupuk jagung (sutanto, 2005) dapat dilihat pada gambar 1.
Prosedur pembuatan kerupuk jagung • Tepung jagung dibasahi secukupnya dengan air yang telah dicampur bumbu yang terdiri dari bawang putih dan garam. • Tepung jagung yang telah dibumbui dikukus selama ± 2 jam sehingga menjadi nasi jagung • Nasi jagung ditumbuk, dilanjutkan dengan penggilingan dengan penggiling mi sampai menjadi lembaran tipis • Lembaran kerupuk dipotong-potong dengan ukuran sesuai selera • Hasil potongan dikeringkan secara tradisional ataupun dengan pengering buatan • Kerupuk jagung yang telah kering siap digoreng. • Pemberian bumbu tambahan dengan bumbu tabur siap pakai dapat dilakukan segera setelah kerupuk digoreng, dengan cara menaburkan secara merata pada kerupuk. Bumbu siap pakai atau tepung bumbu bisa dibeli di toko bahan kue dengan aneka citarasa seperti bbq, rasa jagung manis, jagung bakar, balado dan sebagainya. • Kerupuk siap dikonsumsi ataupun dikemas untuk dipasarkan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji duncan terhadap atribut mutu aroma, rasa, warna dan kerenyahan kerupuk jagung disajikan pada tabel 1.
49
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
Tepung jagung jagung + Air, bumbu PENGUKUSAN
Nasi jagung
PENGGILINGAN
PEMOTONGAN DAN PENGERINGAN
Kerupuk mentah
PENGGORENGAN
Kerupuk GORENG matang
+ TEPUNG Bumbu
PENGEMASAN
KONSUMEN Gambar 1. Diagram alir pembuatan kerupuk jagung
50
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Tabel 1. Hasil uji Duncan terhadap atribut mutu aroma, rasa, warna dan kerenyahan kerupuk jagung Sampel a b c d e
Atribut mutu Aroma a
4,59 4.47a 5,32b 5,32b 5,35b
Rasa ab
5,21 4,82b 5.71b 5,76b 5,53b
Warna a
5,15 5.47ab 4,74a 5,21ab 5,88c
Kerenyahan 5,62a 5,68a 5,82a 5,79a 5,82a
Keterangan : A, Corn Flake; B, Kerupuk Jagung Rasa BBQ; C, Kerupuk Jagung Rasa Jagung Bakar; D, Kerupuk Jagung Asin; E, Kerupuk Jagung Rasa Jagung Manis; 1, Sangat Tidak Suka; 2, Tidak Suka; 3, Agak Tidak Suka; 4, Netral; 5, Agak Suka; 6, Suka; 7, Sangat Suka.
Pada tabel 1 terlihat bahwa kesukaan panelis terhadap aroma, rasa dan warna kerupuk jagung menunjukkan perbedaan nyata. Sedangkan kesukaan panelis terhadap kerenyahan dari kelima macam kerupuk jagung tidak berbeda nyata. Panelis cenderung lebih menyukai aroma yang alami yakni kerupuk jagung asin (D) dan kerupuk jagung aroma jagung manis (E) dibandingkan kerupuk jagung dengan aroma bakar (B dan C), dan corn flake. Proses pembuatan corn flake menggunakan mesin extruder yang suhunya diatur 1900 c (Hambali et al., 2006) sehingga aromanya kurang alami, yaitu terdapat aroma jagung oven ataupun aroma bakar. Untuk atribut mutu rasa, ternyata panelis juga lebih menyukai rasa kerupuk jagung yang beraroma alami (C, D, E dan A), dan kurang menyukai kerupuk jagung BBQ. Hal ini membuktikan bahwa aroma dan rasa sangat berkaitan erat dalam penentuan kesukaan terhadap suatu produk makanan, bahkan istilah aroma dan rasa sering digabungkan dengan istilah flavor. Kesukaan panelis terhadap rasa suatu produk sering kali sangat ditentukan oleh kesukaannya terhadap aromanya. Kerupuk jagung BBQ paling kurang disukai kemungkinan karena di samping rasanya yang lebih asin (B= D ditambah tepung bumbu BBQ), juga panelis memang kurang menyukai aroma BBQ.
Dari uji Duncan, kesukaan panelis terhadap warna kerupuk jagung, menunjukkan bahwa panelis paling menyukai warna kerupuk jagung aroma jagung manis (E) dengan skor 5,88 (suka). Hal ini kemungkinan karena penampilan dari kerupuk jagung tersebut kuning bersih (warna tepung bumbu jagung manis senada dengan warna kerupuk jagung alami), sedangkan warna kerupuk jagung BBQ, dan jagung bakar terkesan ada warna merah cabe bubuk. Demikian pula untuk warna corn flake dan kerupuk jagung asin terkesan terlalu alami sehingga warnanya kurang menarik (5,15 dan 4,74). Pada umumnya panelis menyukai kerenyahan dari kerupuk jagung aneka rasa, dengan skor berkisar antara 5,62 – 5,82. Hal ini sangat dimungkinkan karena kerupuk jagung yang diuji baru mengalami penyimpanan selama 3 hari, kecuali corn flake. Dalam hal ini pemakaian tepung bumbu layak diterapkan untuk mendapatkan kerupuk jagung aneka rasa karena kerenyahan kerupuk tetap bisa dipertahankan, meskipun tepung bumbunya sendiri mudah menjadi lembab (menggumpal) jika kemasan dan kondisi penyimpanan tidak memadai. Hasil uji proksimat dari nasi jagung dan kerupuk jagung dapat dilihat pada Tabel 2.
51
PROSIDING SEMINAR NASIONAL Tabel 2. Analisis proksimat beberapa macam olahan dari jagung (% bahan kering) Jenis produk
Air
Abu
Lemak
Serat
Protein
Karbohidrat
Tepung jagung
29,324
0,305
0,114
0,490
7,021
62,746
Grits
2,680
0,412
0,158
3,957
8,463
84,310
Kerupuk jagung
3,211
2,189
20,874
6,551
6,434
60,741
PUSTAKA Hasil analisis proksimat, terlihat bahwa perubahan komposisi zat gizi yang paling menonjol antara tepung jagung dengan kerupuk jagung goreng terjadi pada kandungan air, lemak dan serat. Kadar air kerupuk jagung jauh lebih rendah dari tepung jagung. Hal ini sesuai dengan penilaian konsumen bahwa kerupuk dengan kadar air sekitar 3% cukup disukai konsumen (skor kesukaan antara 5,62-5,82).
Kesimpulan Kesukaan panelis terhadap aroma, rasa dan warna kerupuk jagung menunjukkan perbedaan nyata. Sedangkan kesukaan panelis terhadap kerenyahan dari kelima macam kerupuk jagung tidak berbeda nyata. Panelis lebih menyukai rasa kerupuk jagung yang beraroma alami. Terhadap mutu warna, panelis paling menyukai warna kerupuk jagung aroma jagung manis (e) dengan skor 5,88 (suka). Pada umumnya panelis menyukai kerenyahan dari kerupuk jagung aneka rasa, dengan skor berkisar antara 5,62 – 5,82. Perubahan komposisi zat gizi yang paling menonjol antara tepung jagung dengan kerupuk jagung goreng terjadi pada kandungan air, lemak dan serat.
52
Soekarto S T., 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Bhratara Karya Aksara. Jakarta. Rahayu WP., 1998. Penuntun Praktikum Penilaian Organoleptik. Bogor: jurusan Teknologi Pangan dan Gizi IPB. Hambali, E., S. Ani dan I., Muhammad, 2006. Membuat Aneka Olahan Jagung. Penebar Swadaya. Jakarta Grubben, G.J.H. And Soetjipto P., (Editors). 1996. Plant Resources Of South–East Asia. Cereals. Prosea, Bogor. Winarno, F.G., 1989. Teknologi Pengolahan Jagung. Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. Sutanto, A., P. Djoko, Kendriyanto, Dan K. Hendro, 2005. Kajian Pasca Panen Dan Pengolahan Produk Jagung Putih Untuk Bahan Pangan. Laporan Kegiatan. Bptp Jawa Tengah. 2005.
Prosiding Seminar Nasional MINUMAN AIR KELAPA SEBAGAI ALTERNATIF PRODUK OLAHAN BUAH KELAPA (Coconut water drink is an alternative to processed coconut product) Heny Herawati, Bram Kusbiantoro dan Yayan Rismayanti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat ABSTRAK Kelapa merupakan komoditas perkebunan yang penting baik secara ekonomi maupun sosial bagi Indonesia. Luas areal pertanaman kelapa di Indonesia mencapai 3.701.474 ha atau sepertiga areal kelapa dunia. Produksi kelapa sebanyak 15,2 milyar butir atau 28% produksi kelapa dunia. Kelapa pada umumnya dikonsumsi dalam bentuk minyak kelapa sebanyak 3,78 liter/kapita/tahun, kelapa segar 12,1 butir/kapita/tahun dan gula kelapa 0,1 kg/kapita/tahun. Berdasarkan peluang tersebut, terdapat bagian kelapa yang masih seringkali dianggap sebagai limbah dan masih kurang termanfaatkan, diantaranya yaitu air kelapa. Air kelapa memiliki potensi yang cukup besar dari aspek komposisi bahan yang terkandung didalamnya, sehingga sudah selayaknya air kelapa dimanfaatkan menjadi suatu produk olahan yang bermanfaat serta dapat digunakan untuk meningkatkan pendapatan petani diantaranya yaitu minuman air kelapa. Metodologi pendekatan yang dilakukan yaitu metode deskriptif melalui kegiatan introduksi pengolahan minuman air kelapa di lokasi pengkajian Teknologi Pengolahan Kelapa Terpadu Skala Industri Pedesaan di kelompok tani Sukadana dan Muji Lestari Desa Langensari, Kecamatan Langensari, Kota Banjar pada tahun 2005. Minuman air kelapa tanpa penambahan essence cukup diminati oleh panelis. Minuman air kelapa tanpa penambahan essence mengandung komposisi kadar air 95,04%, kadar protein 0,25%, kadar lemak 0,10%, kadar karbohidrat 3,92%, kadar serat kasar 0%, kadar vitamin C 18 mg/100 ml, kadar Ca 1,2 mg/100 ml, kadar Fe 24 mg/ l dan kalori sebesar 17,6 kal/ 100 ml. Berdasarkan preferensi panelis dan komposisi yang terkandung di dalam minuman air kelapa tersebut, minuman air kelapa layak untuk lebih dikembangkan serta di pasarkan dalam rangka untuk meningkatkan nilai tambah dan pendapatan para petani. Kata kunci: Produk olahan, minuman, air kelapa
ABSTRACT Coconut is important commodity for Indonesia economically and socially. Indonesian coconut plantation area is 3.701.474 hectare or a third of the world coconut plantation area. Coconut production reach 15,2 billion or 28% world coconut production. Generally, coconut is consumed in form of 3,78 liter/ capita/years coconut oil, 12,1 fruit/ capita/ years fresh coconut and 0,1 kg/ capita/ years coconut sugar. Currently, the potentially coconut water as part of coconut become waste and less advantages. Coconut water has great potential product to add value to increase farmer income through coconut drink. We’ll use descriptive methodology through introducing coconut drink alternative processing in coconut processing assessment in village scale in farmers group Sukadana and Muji Lestari in the Langensari village, Langensari sub district, Banjar district in 2005. Coconut drink without essence added is panelist attracting. Coconut drink without essence added has composition 95,04% water content, 0,25% protein content, 0,10% fat content, 3,92% carbohydrate content, 18 mg/100 ml vitamin C content, 1,2 mg/100 ml calcium content, 24 mg/liter Fe content and 17,6 cal/100 ml calory content. Based on panelist preferency, coconut drink content has great potential market to increase the added value and farmer income. Key words: Processing product, drink, coconut water
PENDAHULUAN Kelapa merupakan salah satu komoditas penting perkebunan yang banyak diusahakan oleh petani. Berbeda halnya dengan kelapa sawit yang banyak dibudidayakan oleh BUMN maupun pihak swasta dengan skala besar, kelapa banyak diusahakan oleh perkebunan rakyat. Kelapa merupakan komoditas perkebunan yang penting baik
secara ekonomi maupun sosial bagi Indonesia. Luas areal pertanaman kelapa di Indonesia mencapai 3.701.474 ha atau sepertiga areal kelapa dunia (Ditjenbun, 2004). Produksi kelapa sebanyak 15,2 milyar butir atau 28% produksi kelapa dunia. Kelapa pada umumnya dikonsumsi dalam bentuk minyak kelapa sebanyak 3,78 liter/kapita/tahun, kelapa segar 12,1
53
Prosiding Seminar Nasional butir/kapita/tahun dan gula kelapa 0,1 kg/ kapita/tahun. Nilai ekspor produk kelapa tahun 2002 sebesar US$ 248.481 atau kurang lebih 18,3% dari nilai ekspor produk kelapa dunia (Hengky et al., 2004). Besarnya potensi kelapa tersebut merupakan salah satu peluang yang perlu dioptimalisasikan melalui aplikasi teknologi pengolahan yang optimal di lapangan. Berdasarkan peluang tersebut, terdapat bagian kelapa yang masih seringkali dianggap sebagai limbah dan masih kurang termanfaatkan diantaranya yaitu air kelapa. Air kelapa memiliki potensi yang cukup besar dari aspek komposisi bahan yang terkandung didalamnya, sehingga sudah selayaknya air kelapa dimanfaatkan sebagai suatu produk olahan yang bermanfaat serta dapat digunakan untuk meningkatkan pendapatan petani. Nata de coco merupakan salah satu alternatif produk olahan air kelapa yang sudah banyak dikenal oleh masyarakat. Namun dalam aspek pemasaran, peluang pengembangan produk tersebut dapat dibilang sudah kelewat jenuh. Untuk mengantisipasi pengembangan produk lebih lanjut agar memiliki cakupan peluang pasar yang potensial diantaranya yaitu melalui pengolahan minuman air kelapa. Beberapa wilayah di Jawa Barat yang mempunyai potensi produksi kelapa adalah Kota Banjar, Kabupaten Ciamis, dan Tasikmalaya. Besarnya peluang tersebut mulai diintroduksikan di lokasi pengkajian yang memiliki potensi sumberdaya alam kelapa yang cukup banyak yaitu di Desa Langensari, Kecamatan Langensari, Kota Banjar melalui kelompok tani Sukadana dan Muji Lestari pada tahun 2005 sebagaimana tercantum dalam tulisan dibawah ini.
BAHAN DAN METODE Pengkajian dimulai dari bulan Januari 2005 – Desember 2005 di Desa Langensari, Kecamatan Langensari, Kota Banjar. Kelompok Tani yang terlibat dalam kegiatan adalah kelompok tani Sukadana dan Muji
54
Lestari. Metodologi pendekatan yang dilakukan yaitu metode deskriptif melalui kegiatan introduksi pengolahan minuman air kelapa di lokasi pengkajian Teknologi Pengolahan Kelapa Terpadu Skala Industri Pedesaan. Sebelum dilakukan introduksi pengolahan minuman air kelapa, terlebih dahulu dilakukan uji coba pengolahan yang dilakukan di laboratorium MTHP (Mekanisasi dan Teknologi Hasil Pertanian) BPTP Jawa Barat. Produk optimal dan hasil analisa yang diperoleh kemudian diintroduksikan di lapangan. Adapun bahan yang digunakan meliputi air kelapa, gula, essence dan bahan kimia untuk analisa. Bahan yang digunakan sebagai bahan pengkajian diperoleh dari kebun petani dan beberapa bahan tambahan diperoleh dari toko. Data yang diamati meliputi kualitas air kelapa muda dan tua, analisa sifat fisik, kimia dan organoleptik minuaman air kelapa yang dihasilkan. Hasil uji organoleptik dianalisa dan dilanjutkan dengan uji Duncan. Sedangkan untuk komposisi dari minuman dianalisa secara kimiawi.
HASIL DAN PEMBAHASAN Air Kelapa Air kelapa mengandung komposisi kimia yang berbeda-beda tergantung pada umur kelapa. Kelapa muda pada umumnya hanya mengandung air dan hampir tidak mengandung daging buah kelapa. Menurut Palungkun (2004), air kelapa dari buah tua mengandung beberapa vitamin dalam jumlah kecil. Kandungan vitamin C-nya hanya 0,73,7 mg/100mg air buah, asam nikotinat 0,64 g/ml, asam panthotenat 0,52 g/ml, biotin 0,02 g/ml, riboflavin 0,01 g/ml, dan asam folat hanya 0,003 g/ml. Jumlah air kelapa dari jenis kelapa dalam lebih banyak daripada jenis hibrida. Air dari jenis kelapa dalam rata-rata 300 cc, sedangkan jenis hibrida rata-rata 230 cc. Sedangkan berat jenis air kelapa umumnya sekitar 1,02 dengan pH sekitar 5,6. Secara keseluruhan komposisi kimia air kelapa seperti tertera pada Tabel 1.
Prosiding Seminar Nasional Tabel 1. Komposisi kimia air kelapa Sumber Air (dalam 100 g)
Air kelapa Muda (%)
Air Kelapa Tua (%)
Kalori (kal)
17
0
Protein (g)
0,2
0,14
Lemak (g)
1
1,5
Karbohidrat (g)
3,8
4,6
Kalsium (g)
15
0
Fosfor (mg)
8
0,5
0,2
0
0
0
Besi (mg) Aktivitas Vit A (IU) Asam Askorbat (mg)
1
0
Air (g)
95,5
91,5
Bagian Dapat Dimakan (g)
100
0
Sumber: Ketaren (1986)
Minuman Air Kelapa Pengolahan minuman dari air kelapa dilakukan sebagai alternatif pengolahan produk samping dari VCO. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan terhadap petani pengolah kopra yang ada di sekitar calon lokasi pembuatan produk VCO, dapat diketahui bahwasannya selama ini air kelapa tidak laku dijual dan hanya dibuang. Padahal sebelumnya air kelapa dapat dijual dengan harga Rp 150 kepada pengolah nata de coco. Karena pasar nata de coco mulai jenuh, air kelapa tidak dapat dijual lagi. Sebagai alternatifnya dilakukan pengenalan pembuatan
minuman dari air kelapa. Untuk mengetahui preferensi konsumen terhadap produk minuman air kelapa yang dihasilkan, dilakukan uji organoleptik dengan 7 skala secara berturut-turut dari angka 1 yaitu sangat tidak suka sampai angka 7 yaitu sangat suka terhadap minuman air kelapa yang telah dihasilkan. Uji organoleptik dilakukan terhadap empat sampel yang meliputi air kelapa muda, air kelapa tua, minuman air kelapa tua dengan penambahan essence, dan minuman air kelapa tua tanpa ada penambahan essence. Berdasarkan uji tersebut, diperoleh hasil sebagaimana tertera pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil uji organoleptik terhadap sampel minuman air kelapa Jenis Minuman
Warna a
Aroma 3,8
a
Rasa 3,3
Penerimaan Umum
a
3,7a
Air Kelapa Muda
5,5
Air Kelapa Tua
4,8a
4,4ab
3,6a
4,0a
Minuman Air Kelapa Essence
5,0a
4,8bc
5,0b
4,9b
Minuman Air Kelapa
5,5a
5,2c
5,4b
5,4b
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 95% berdasarkan hasil uji sidik ragam Berdasarkan hasil analisis warna terhadap keseluruhan sampel air minuman kelapa tidak ada perbedaan yang nyata. Hal ini menunujukkan bahwa menurut panelis baik ditambahkan pewarna yang dalam hal ini essence maupun tanpa pewarna tidak ada
perbedaan. Aroma dari keempat sampel terdapat perbedaan, dimana air kelapa muda memiliki nilai paling rendah yaitu sebesar 3,8 yang berarti panelis menilai secara netral. Nilai tertinggi untuk aroma ditunjukkan oleh minuman air kelapa tanpa ada penambahan
55
Prosiding Seminar Nasional essence yaitu sebesar 5,2 yang berarti panelis agak suka.
Gambar 1. Minuman air kelapa
Gambar 2. Minuman air kelapa essence
Berdasarkan hasil uji organoleptik tersebut dapat disimpulkan bahwa minuman air kelapa tanpa ada penambahan essence dari segi warna, aroma, rasa, dan penerimaan umum memiliki nilai paling tinggi dan cukup disukai oleh panelis. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa konsumen lebih menyukai minuman air kelapa tanpa ada penambahan essence dibandingkan air kelapa maupun minuman air kelapa dengan penambahan esssence.
Kualitas Minuman Air Kelapa Dari hasil uji organoleptik rasa, air kelapa muda memiliki nilai paling rendah yaitu 3,3 yang berarti agak tidak disukai oleh panelis dan nilai tertinggi pada minuman air kelapa tanpa penambahan esssence yaitu sebesar 5,4 yang berarti disukai oleh panelis. Berdasarkan hasil analisis pada uji organoleptik untuk penerimaan secara umum pada keempat sampel diperoleh hasil air kelapa muda memiliki nilai paling rendah yaitu 3,7 yang berarti netral, sedangkan nilai tertinggi minuman air kelapa tanpa ada penambahan essence yaitu 5,4 yang berarti agak disukai oleh panelis.
Hasil preferensi panelis tersebut, didukung pula dengan hasil analisis kimia terhadap produk tersebut. Hasil analisis kimia produk tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil Analisis Kimia Minuman Air Kelapa Sampel No.
56
Jenis Analisis
1.
Kadar air (%)
2.
Minuman Air Kelapa Essence
Minuman Air Kelapa Tanpa Essence
95,04
95,04
Kadar protein (%)
0,21
0,25
3.
Kadar lemak (%)
0,15
0,10
4.
Kadar karbohidrat (%)
3,90
3,92
5.
Kadar serat kasar (%)
0
0
6.
Kadar vitamin C mg/100ml)
16
18
7.
Kadar Ca (mg/100ml)
1,2
1,2
8.
Kadar Fe (mg/l)
21
24
9.
Kalori (kal/100 ml)
17,8
17,6
Prosiding Seminar Nasional Kadar air dari kedua minuman air kelapa tersebut sama. Adanya perlakuan penambahan essence, ternyata tidak mempengaruhi kadar air pada kedua minuman tersebut. Sedangkan berdasarkan hasil analisis protein dari kedua minuman tersebut terdapat sedikit perbedaan, dimana pada minuman tanpa ada penambahan essence memiliki kadar protein lebih tinggi yaitu 0,25% dan minuman yang ditambahkan essence memiliki kadar protein sebesar 0,21%. Kadar lemak dari kedua minuman sedikit berbeda, minuman yang ditambahi essence mengandung kadar lemak lebih tinggi yaitu sebesar 0,15% sedangkan minuman tanpa penambahan essence mengandung kadar lemak sebesar 0,10%. Kedua minuman mengandung kadar lemak cukup rendah. Hal ini tentunya sangat dipengaruhi oleh kadar lemak dari air kelapa sebagai bahan baku produk. Kandungan karbohidrat dari kedua minuman tidak jauh berbeda, dimana minuman dengan adanya penambahan essence mengandung karbohidrat lebih tinggi yaitu sebesar 3,92% sedangkan minuman tanpa penambahan essence mengandung kadar karbohidrat sebesar 3,90%. Kedua minuman tersebut tidak mengandung kadar serat kasar. Kadar vitamin C dari kedua minuman cukup tinggi, minuman tanpa penambahan essence mengandung kadar vitamin C lebih tinggi yaitu 18 mg/100 ml sedangkan minuman dengan penambahan essence mengandung kadar vitamin C sebesar 16 mg/100ml. Minuman air kelapa ini mengandung kadar mineral yang cukup tinggi, diantaranya yaitu kalsium dan besi. Kadar kalsium dari kedua minuman sama yaitu sebesar 1,2 mg/100 ml. Sedangkan kadar besi pada minuman tanpa penambahan essence lebih tinggi yaitu sebesar 24 mg/l, minuman dengan penambahan essence sebesar 21 mg/l. Minuman air kelapa mengandung kalori yang cukup rendah. Berdasarkan hasil analisis terhadap kedua minuman, minuman dengan penambahan essence mengandung kalori sebesar 17,8 kal/100ml dan minuman tanpa penambahan essence mengandung kalori sebesar 17,6 kal/100ml.
KESIMPULAN DAN SARAN Kelapa merupakan komoditas perkebunan yang penting baik secara ekonomi maupun sosial bagi Indonesia. Kelapa pada umumnya dikonsumsi dalam bentuk minyak kelapa sebanyak 3,78 liter/kapita/tahun, kelapa segar 12,1 butir/kapita/tahun dan gula kelapa 0,1 kg/kapita/tahun. Berdasarkan peluang tersebut, terdapat bagian kelapa yang masih seringkali dianggap sebagai limbah dan masih kurang termanfaatkan, diantaranya yaitu air kelapa. Berdasarkan hasil kajian minuman air kelapa di kelompok tani Sukadana dan Muji Lestari di Desa Langensari Kecamatan Langensari Kota Banjar, minuman air kelapa tanpa penambahan essence cukup diminati. Minuman air kelapa tanpa penambahan essence mengandung komposisi kadar air 95,04%, kadar protein 0,25%, kadar lemak 0,10%, kadar karbohidrat 3,92%, kadar serat kasar 0%, kadar vitamin C 18 mg/ 100ml, kadar Ca 1,2 mg/100 ml, kadar Fe 24 mg/ l dan kalori sebesar 17,6 kal/ 100ml. Untuk dapat lebih dikembangkan dan dipasarkan lebih lanjut, perlu dilakukan analisa mengenai teknologi pengemasan dan umur simpan produk.
PUSTAKA Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan, Perkebunan dan Kehutanan. 2004. Laporan Tahunan Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan, Perkebunan dan Kehutanan Kota Banjar Tahun 2004. Hengky, N., H. A. Rusthamrin, dan M. L. A. Hosang. 2004. Memodernisasi Perkelapaan Indonesia dengan Inovasi Teknologi. Panduan Simposium IV. Hasil Penelitian Tanaman Perkebunan. Bogor, 28-30 September 2004. Ketaren, 1986. Minyak dan Lemak Pangan. UI-Pres, Jakarta. Palungkun, R. 2004. Aneka Produk Olahan Kelapa. Penebar Swadaya, Jakarta. Potensi Desa Langensari Tahun 2004 Kecamatan Langensari Kota Banjar.
57
Prosiding Seminar Nasional KAJIAN PERBAIKAN KUALITAS PRODUK DAN PENINGKATAN KAPASITAS PRODUKSI OLAHAN LEMPUYANG WANGI DI KABUPATEN BLORA (Study on quality and quantity improvements of processed aromatic zingiber product in Blora District) Indrie Ambarsari, Sarjana dan Budi Hartoyo Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah
ABSTRAK Kajian bertujuan untuk memperbaiki kualitas dan meningkatkan produksi olahan lempuyang wangi (LW) di tingkat penambang. Lokasi kegiatan adalah sentra produksi LW, yaitu: Desa Jiken Kecamatan Jiken dan Desa Bogem Kecamatan Japah Kabupaten Blora. Hasil kajian menunjukkan bahwa pembuatan LW yang layak dikembangkan dan dapat diadopsi petani adalah: (1) Pembersihan akar dan tanah yang menempel pada rimpang menggunakan pisau dan perendaman dalam air atau perontokan dengan cara dijemur, (2) Perajangan rimpang segar menggunakan alat perajang tipe piringan, (3) Penjemuran simplisia basah menggunakan widik, dan (4) Pengemasan dan penyimpanan simplisia pada karung plastik terbuka dalam ruangan terlindung dari air. Alat perajang tipe piringan menghasilkan karakteristik rajangan yang memenuhi karakteristik simplisia yang diinginkan pengepul dan dapat meningkatkan produktivitas 40 kg/jam. Inovasi teknologi produksi simplisia LW secara nyata meningkatkan kualitas produk dan diapresiasi oleh pedagang pengepul. Pada setiap penjualan produk selalu diperoleh tingkat harga yang lebih tinggi (sekitar Rp.500 s/d Rp.1.500/kg) dibanding harga pasar. Beberapa masalah yang dihadapi adalah: (1) pengembangan kapasitas pasokan bahan baku melalui budidaya LW di lahan perhutani tidak mendapatkan perlindungan hukum, (2) pengorganisasian penambang hasil hutan untuk melakukan kerja kolektif menghadapi konflik internal dalam hal sistem distribusi nilai tambah, dan (3) Tidak dapat mencapai kapasitas produksi optimal karena pasokan rimpang dari hasil penambangan tidak kontinyu. Kajian ini dapat direkomendasikan bahwa pengembangan budidaya LW sebaiknya di lahan pekarangan milik petani. Pengembangan kerja kolektif pengolahan simplisia sebaiknya tenaga perajangan dan penjemuran dibayar dengan sistem borongan dan setiap penambang diperbolehkan melakukan perajangan dan penjemuran sendiri dengan ketentuan upah yang berlaku. Pemasokan rimpang oleh anggota keluarga dihargai sebagai kontribusi anggota terhadap pengembangan usaha pengolahan simplisia LW wangi secara kolektif. Kata kunci: Lempuyang wangi, produk olahan, Blora
ABSTRACT The aim of this study was to improve the quality and quantity of aromatic zingiber (AZ) product on the farmer’s level. The study was performed at Jiken Village, Sub District of Jiken and Bogem Village, Sub District of Japah. Results of the previous study, suggested that the technical components processing suitable for improvement of ZA production and adoptable to the farmers were (1) removing the rhizome and soil using knife and soaking with water or sun drying; (2) cutting the rhizome with a plate type cutter machine; (3) dry under the sun light with para-para (plaited bamboo); (4) package with plastic bag and at keep it in free water room. The use of cutter plate capable to produce the characterized sliced rhizome as was requested by the trader, and as well increased its productivity of about 40 kg/hour. Processing innovation significantly increases the product quality of AZ. Each sold product always received a higher price (reach from Rp.500,to Rp.1500,-) than market price. Nevertheless, there were some problems indicated i.e.: (1) Raw material capacity improvement by cultivation at forest land does not have law’s protection; (2) Farmer’s organization facing to the internal conflict of distribution system of added value; (3) The slised AZ production was low due to lack of raw material. Based on this study, cultivation zingiber aromatic at farmer’s yard was recommend. In dealing with collective work on processing product, it would be better if payment were made under contract work system. Each farmer is allowed to slise and dry by he/her selves in accordance with prevailing wage. The supplying of raw materials by the family members should appreciated as the member contribution on business improvement. Key words: Aromatic zingiber, processing product, Blora
58
Prosiding Seminar Nasional PENDAHULUAN Secara konseptual pengembangan ekonomi masyarakat dapat ditempuh melalui pengembangan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi yang telah berjalan dan penciptaan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru. Penguasaan lahan yang sempit, tipologi lahan kering dengan curah hujan rendah, penguasaan teknologi belum maju, dan ketergantungan sumber pendapatan rumah tangga terhadap produk primer tinggi merupakan kendala yang dihadapi dalam peningkatan pendapatan rumah tangga tani di Kabupaten Blora. Sebagai implikasinya peningkatan pendapatan rumah tangga tani miskin di Kabupaten Blora semestinya ditempuh tidak hanya melalui pengembangan budidaya pertanian, tetapi juga melalui pengembangan diversifikasi usaha, antara lain melalui pengembangan agroindustri komoditas spesifik yang memiliki keunggulan, baik dari segi potensi pasar maupun sumberdaya lahannya. Salah satu komoditas yang dimaksudkan adalah Lempuyang Wangi (Sarjana et al., 2005). Sentra produksi lempuyang wangi di Kabupaten Blora tersebar di daerah pedesaan sekitar hutan, antara lain di kecamatan Kedungtuban, Bogorejo, Japah, Jepon, Jiken, Randublatung, Kradenan, Ngawen dan sebagainya. Meskipun potensi lahan untuk pengembangan budidaya tanaman ini relatif cukup besar yaitu lahan sela hutan jati, namun saat ini produksi lempuyang wangi masih mengandalkan pengambilan secara langsung dari alam (hutan). Penambangan emponempon (termasuk lempuyang wangi) dari hutan merupakan sumber pendapatan bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan jati. Kegiatan ini umumnya dilakukan oleh ibu-ibu rumah tangga (Sarjana et al., 2005). Berkurangnya areal hutan dan penambangan secara tidak terkendali menyebabkan jarak tempuh penambangan semakin menjauh dari pemukiman dan produksinya cenderung terus mengalami penurunan. Umumnya penambang menjual lempuyang wangi dalam bentuk simplisia kering kepada pedagang pengumpul terdekat. Walaupun semua penampung tidak pernah kesulitan memasarkan simplisia lempuyang wangi, terdapat permasalahan yang dihadapi untuk mengembangkan agroindustri simplisia lempuyang wangi, yaitu: (1) Pemenuhan
standar mutu olahan di tingkat penambang yang masih rendah, dan (2) Keberlanjutan produksi lempuyang wangi yang menggantungkan pada penambangan tanaman liar. Oleh sebab itu dalam upaya pengembangan agroindustri lempuyang wangi perlu memberikan perhatian pada perbaikan kualitas olahan/simplisia dan peningkatan kapasitas pasokan bahan baku. Perbaikan kualitas olahan lempuyang wangi diharapkan dapat meningkatkan penerimaan unit usaha pengolahan. Kondisi itu dapat tercapai hanya apabila pengalihan resiko perbaikan kualitas dari pedagang kepada pengolah diikuti oleh transfer nilai tambah produk olahan dari pedagang kepada pengolah, melalui kenaikan harga produk. Demikian halnya peningkatan kapasitas pasokan bahan baku melalui pengembangan budidaya diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penyediaan bahan baku dan kualitas bahan baku. Usaha budidaya dapat berkembang apabila dari segi harga yang diterima petani menguntungkan. Sejalan dengan alur pikir tersebut maka kajian ini antara lain bertujuan untuk memperbaiki kualitas produk dan meningkatkan kapasitas produksi olahan lempuyang wangi di tingkat penambang. Kegiatan ini merupakan kegiatan action-research untuk menerapkan inovasi teknis pembuatan simplisia lempuyang wangi, meliputi cara pembersihan rimpang sebelum dirajang, cara perajangan, cara penjemuran dan penyimpanan sebelum dipasarkan. BAHAN DAN METODE Kegiatan ini merupakan kegiatan actionresearch untuk menerapkan inovasi teknis pembuatan simplisia lempuyang wangi yang meliputi pembersihan rimpang sebelum dirajang, metode perajangan, metode penjemuran dan penyimpanan sebelum dipasarkan. Lokasi kegiatan merupakan daerah sentra produksi empon-empon di Kabupaten Blora, yaitu: Desa Jiken Kecamatan Jiken dan Desa Bogem Kecamatan Japah. Data dan informasi yang dikumpulkan dalam kajian ini berupa data teknis, sosial dan data ekonomi, yang akan diperoleh dari pertemuan-pertemuan dengan kooperator dan penentu kebijakan, serta dari record keeping yang dilakukan selama proses demo operasional kemitraan usaha agroindustri. Metode analisis yang digunakan adalah presentasi tabel dan gambar yang diarahkan
59
Prosiding Seminar Nasional untuk menilai kelayakan teknis peningkatan kualitas produk dan pengembangan kemitraan usaha agroindustri lempuyang wangi.
dan Nalini (2005) melaporkan bahwa dalam rimpang lempuyang wangi yang berperan sebagai zat anti kanker adalah senyawa sesquiterpene zerumbon. Hal ini juga diperkuat oleh hasil penelitian Kirana et al. (2003) yang menyatakan bahwa ekstrak lempuyang wangi memiliki aktivitas sebagai zat anti kanker yang lebih kuat dibandingkan ekstrak tanaman jahe.
HASIL DAN PEMBAHASAN Lempuyang Wangi dan Pemanfaatannya Tanaman lempuyang wangi termasuk familia atau suku Zingiberaceae (Tampubolon, 1981). Bagian tumbuhan lempuyang wangi yang digunakan sebagai obat adalah rimpangnya (rhizoma). Rimpang lempuyang wangi memiliki aroma yang khas yang disebabkan oleh komponen kimia yang terkandung di dalam minyak atsiri lempuyang wangi. Senyawa kimia yang mendominasi susunan minyak atsiri pada rimpang lempuyang wangi adalah limonen, yang merupakan zat aktif yang menyebabkan lempuyang wangi mengeluarkan bau sedap yang khas. Secara tradisional rimpang lempuyang wangi digunakan untuk mengobati sakit perut, sakit kulit, influenza, anemia, malaria, batuk, dan vertigo. Zerumbon yang merupakan senyawa aktif dalam lempuyang wangi diduga mempunyai khasiat menyembuhkan berbagai penyakit. Manju
Secara makroskopik rimpang lempuyang wangi sulit dibedakan dengan jenis lempuyang lainnya, yaitu lempuyang pahit (Zingiber amaricans Bl.) dan lempuyang gajah (Zingiber zerumbet Sm.) karena mempunyai ciri-ciri yang hampir sama (Wonohadi et al., 2004). Hasil analisis spektra KG-SM menunjukkan bahwa ketiga jenis lempuyang tersebut memiliki tiga buah komponen minyak atsiri yang sama, yaitu blinalool, O-caryophyllene, dan camphor. Pada minyak atsiri rimpang Zingiber aromaticum Val. terdeteksi 26 komponen, Zingiber amaricans Bl. 21 komponen dan Zingiber zerumbet Sm. 21 komponen. Unsur b-linalool merupakan komponen utama minyak atsiri rimpang Zingiber amaricans Bl. dan Zingiber zerumbet Sm. dengan kadar masing-masing 51,15% dan 42,34%. Tabel 1. Senyawa kimia penyusun minyak atsiri lempuyang wangi Nama Komponen1 α-curcumine Bisabolene
Nama IUPAC2
Formula2
Zingiberen
1,7-bis(4-hydroxy-3-methoxy-phenyl)hepta-1,6-diene-3,5-dione C21H20O6 2-methyl-6-(4-methyl-1-cyclohex-3-enylidene)-hept-2-ene C15H24 5-(1,5-dimethylhex-4-enyl)-2-methylcyklohexa-1,3-dien C15H24O
α-kariofilen Zerumbone Limonen b-linalool Camphor Gingerol Paradol
2,6,9-humulatrien, -humulen, humulen 2,6,9,9-Tetramethylcycloundeca-2,6,10-trien-1-one 1-methyl-4-prop-1-en-2-yl-cyclohexene 3,7-dimethylocta-1,6-dien-3-ol 1,7,7-trimethylnorbornan-2-one 5-hydroxy-1-(4-hydroxy-3-methoxy-cyclohexyl)-decan-3-one 1-(4-hydroxy-3-methoxy-phenyl)decan-3-one
C15H24 C15H22O C10H16 C10H18O C10H16O C17H32O4 C17H26O3
Sumber: 1. BPPT (2005); 2. Chem. Industry (2005) Kandungan zat dalam rimpang lempuyang wangi antara lain adalah αkurkumen, bisabolen, zingiberen, kariofilen, seskuifelandren, zerumbon, limonen, kamfer, zat pedas gingerol, sogaol, zingeron, paradol, heksahidrokurkumin, dihidrogingerol (Wonohadi et al., 2004). Informasi lain menyebutkan bahwa kandungan zat dalam
60
rimpang lempuyang wangi antara lain adalah damar, tanin, resin, pati, gula (BPPT, 2005). Komposisi senyawa kimia penyusun minyak atsiri lempuyang wangi disajikan pada Tabel 1. Penelitian mengenai potensi pengembangan tanaman obat tradisional, khususnya lempuyang wangi di Indonesia
Prosiding Seminar Nasional relatif masih sangat minim, namun demikian pemanfaatan lempuyang wangi sebagai bahan baku industri obat relatif sudah sangat luas. Tanaman asli Indonesia ini bahkan telah dipatenkan di Jepang sebagai antiaging agent dan produk hair tonic. Penggunaan lempuyang wangi sebagai bahan baku obat/jamu antara lain: (1) oleh PT. Mustika Ratu sebagai komponen bahan pembuatan “tonic tea plus daun dewa dan ginseng” yang dikombinasikan dengan Panax ginseng, buah Retrofacti, daun Theae, Colae, daun Gynurae. Tonic tea plus daun dewa dan ginseng disebutkan efektif untuk menjaga kesehatan, meningkatkan stamina, vitalitas,
dan sistem kekebalan tubuh sehingga tubuh menjadi lebih segar dan energik, (2) oleh PT. Air Mancur sebagai komponen bahan pembuatan “jamu pegal linu” yang dikombinasikan dengan rimpang Zingiber purpurei, Piperis nigri, Saccharum, rimpang Languatis, bubuk Peppermint, Foeniculi, akar Glycyrrhizae, rimpang Curcumae domesticae, rimpang Curcuma, rimpang Boesenbergiae. Jamu ini disebutkan dapat mengurangi keletihan, meredakan nyeri otot, dan meningkatkan stamina tubuh (Elfahmi et al., 2005). Pemanfaatan dan pengembangan lempuyang wangi sebagai produk komersial telah dipatenkan oleh Jepang (Tabel 2).
Tabel 2. Pengembangan produk lempuyang wangi di Jepang No. Paten
Pengembangan Produk
JP10029924
ANTIAGING AGENT
JP8231352
HAIR TONIC
Nama Bahan/Tanaman Kayu manis (Glycyrhiza glabra), Kelabet (Trigonella foenumgraecum), Lempuyang wangi (Zingiber aromaticum Val.) dan Remujung (Orthosiphon aristatus) Orang-aring (Eclipta alba L.), Srigading (Nyctanthes arbortristis L), Jangkang (Sterculia foetida L), Lempuyang wangi (Zingiber aromaticum Val.), Meniran (Phyllanthuss niruri L), Merica (MelaleucaLeucadindra) ,Temu kunci (Boesenbergia pandurata)
Sumber: Subagyo (2001) Inovasi Teknis Perbaikan Kualitas Produk Pengembangan agroindustri emponempon untuk menghasilkan produk jadi maupun produk antara memiliki prospek yang baik. Pemanfaatan tumbuhan sebagai bahan baku obat diperkirakan akan terus meningkat, karena adanya kecenderungan masyarakat untuk kembali ke produk-produk obat-obatan dari bahan alami. Berdasarkan Survai Sosial Ekonomi Nasional, pada tahun 1999 pemanfaatan obat tradisional untuk pengobatan sendiri 20,5% dan pada tahun 2001 meningkat menjadi 31,7%. Pengembangan agroindustri harus didasarkan pada kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada tiga komponen dasar agroindustri yaitu pengadaan bahan baku, pengolahan, dan pemasaran. Pemasaran merupakan titik awal dalam analisis proyek
agroindustri (Siregar dan Friyatno, 2002). Memang kelangsungan agroindustri juga sangat ditentukan oleh pengadaan bahan baku, namun ketersediaan bahan baku tidak dapat menjadi isu dominan sementara pemasaran dikesampingkan. Salah satu aspek pemasaran yang perlu dipertimbangkan adalah karakteristik produk yang diinginkan pasar. Terpenuhinya karakteristik produk yang diinginkan pasar merupakan faktor penentu keberlanjutan suatu usaha agroindustri. Salah satu masalah yang dihadapi pengepul di lokasi kajian adalah pemenuhan standar mutu olahan di tingkat penambang yang masih rendah dan sangat bervariasi. Kondisi ini menyebabkan alokasi biaya tenaga kerja dan waktu untuk perbaikan kualitas produk olahan yang ditanggung pengepul cenderung tinggi dan perencanaan pasar sulit dilakukan. Sebagai akibat selanjutnya, pengepul cenderung menentukan
61
Prosiding Seminar Nasional harga beli secara spekulatif dan cenderung rendah. Dalam rangka perbaikan kualitas produk simplisia lempuyang wangi, maka dilakukan inovasi teknis produksi yang meliputi pembersihan rimpang sebelum dirajang, metode perajangan, metode penjemuran dan penyimpanan sebelum produk dipasarkan. Hasil kajian menunjukkan bahwa komponenkomponen teknis pembuatan simplisia lempuyang wangi yang diintroduksikan layak untuk dikembangkan dan dapat diadopsi oleh penambang/petani. Pembersihan akar dilakukan dengan menggunakan pisau sedangkan pembersihan tanah yang menempel menggunakan dua metode, yaitu perendaman/pencucian dengan Tabel 3. Produktivitas alat perajang tipe piringan Tanggal Perajangan
Jumlah Rimpang Segar (Kg)
Waktu Perajangan (Jam)
21 Juli 2006
3,0
0,13
24 Juli 2006
72,0
1,87
25 Juli 2006
78,5
1,58
26 Juli 2006
84,0
1,02
30 Juli 2006
108,0
1,33
1 Agst 2006
97,0
1,08
2 Agst 2006
99,5
1,17
3 Agst 2006
101,0
1,00
5 Agst 2006
128,5
2,75
5 Agst 2006
104,0
1,25
23 Agst 2006
107,0
1,58
24 Agst 2006
115,5
1,58
25 Agst 2006
112,0
1,42
26 Agst 2006
129,0
1,83
27 Agst 2006 Jumlah
101,0 1440,00
1,42 21,02
Rata-rata
96,00
1,40
Alat perajang ini dapat menghasilkan karakteristik rajangan rimpang yang memenuhi karakteristik simplisia yang diinginkan pengepul dan dapat meningkatkan produktivitas perajangan dari sekitar 10-15 kg per jam (menggunakan pisau dapur) menjadi sekitar 4 kali lipat lebih cepat. Pada Tabel 3 ditunjukkan bahwa dari total perajangan rimpang sejumlah 1.440 kg dibutuhkan waktu
62
air atau perontokan dengan cara dijemur. Perlakuan ini sebenarnya telah umum dilakukan oleh para penambang hasil hutan ataupun petani. Umumnya penambang/petani menggunakan metode pembersihan tanah yang kedua, yaitu perontokan dengan cara dijemur. Walaupun demikian substansi kegiatan ini untuk menghasilkan simplisia kualitas baik kurang diperhatikan. Pembersihan tanah umumnya tidak dilakukan secara baik sehingga mengotori rajangan rimpang dan warnanya menjadi kusam. Sebagian penambang juga ada yang melakukan kecurangan dengan mengembalikan akar lempuyang yang sudah dipisahkan dari rimpang ke dalam simplisia kering yang dipasarkan.
perajangan 21,02 jam (68,51 kg/jam). Peningkatan produktivitas perajangan ini diharapkan dapat menghasilkan kompensasi bagi penambang berupa penghasilan dari pengalihan tenaga kerja pada kegiatan lain yang produktif.
Prosiding Seminar Nasional Tabel 4. Produktivitas penjemuran simplisia basah menggunakan widik yang ditempatkan di atas para-para Tanggal Perajangan
Jumlah Rimpang Segar (Kg)
Waktu Pengeringan (Hari)
21 Juli 2006 24 Juli 2006
3,0 72,0
4
25 Juli 2006
78,5
3
26 Juli 2006
84,0
4
30 Juli 2006
108,0
4
1 Agst 2006
97,0
4
2 Agst 2006
99,5
4
3 Agst 2006
101,0
4
5 Agst 2006
128,5
4
5 Agst 2006
104,0
5
23 Agst 2006 24 Agst 2006 25 Agst 2006 26 Agst 2006 27 Agst 2006
107,0
4
115,5
4
112,0
5
129,0
5
101,0
4
Jumlah
1440,00
58,00
96,00
4,14
Rata-rata
Metode penjemuran yang diintroduksi kan adalah penjemuran dengan menggunakan widik. Widik adalah anyaman bambu berukuran 1 x 1,5 m2 sebagaimana yang umum digunakan untuk menjemur tembakau. Penggunaan metode penjemuran ini selain
praktis dalam pembalikan juga mempercepat pengeringan, menyeragamkan tingkat kekeringan, menghindari tercampur nya simplisia dengan sampah dan kotoran, sehingga kualitas simplisia lebih terjamin. Pada Tabel 4 ditunjukkan bahwa waktu pengeringan yang dibutuhkan rata-rata 4 hari, relatif lebih cepat dibanding teknik pengeringan kebiasaan penambang/petani yang mencapai sekitar 7 hari. Cara pengeringan simplisia yang umum dilakukan para penambang empon-empon adalah dihamparkan pada terpal, karung plastik atau lantai. Teknik penjemuran sebagaimana umum yang telah digunakan tersebut kurang menjamin kebersihan dan keseragaman kekeringan produk simplisia lempuyang wangi yang dihasilkan. Kondisi produk seperti itu (kualitas rendah) sering dipermasalahkan oleh para pengepul sehingga menjadikannya alasan untuk menekan harga beli. Tabel 5 menunjukkan bahwa dari 1440 kg rimpang lempuyang wangi yang dirajang diperoleh produk simplisia kering sejumlah 381 kg (26,46%) atau terjadi penyusutan proses pengolahan simplisia sebesar 73,5%. Proses perajangan dan pengeringan tersebut juga menghasilkan simplisia rucah sebesar 39,5 kg (2,74%). Berdasarkan jumlah produk simplisia yang dihasilkan kinerja teknologi yang diintroduksikan tidak terlalu berbeda dibanding kebiasaan petani. Untuk menghasilkan satu kilogram simplisia lempu yang wangi biasanya dibutuhkan sekitar empat sampai dengan lima kilogram rimpang segar.
63
Prosiding Seminar Nasional
Tabel 5. Produktivitas metode produksi simplisia lempuyang wangi yang diintroduksikan Tanggal Perajangan
Jumlah Rimpang Segar (Kg)
Jumlah Simplisia (Kg)
Jumlah Rucah (Kg)
21 Juli 2006 24 Juli 2006
3,0 72,0
19,5
2,0
25 Juli 2006
78,5
21,5
2,5
26 Juli 2006
84,0
22,5
2,5
30 Juli 2006
108,0
30,0
3,5
1 Agst 2006
97,0
26,5
3,5
2 Agst 2006
99,5
28,5
4,0
3 Agst 2006
101,0
25,0
3,0
5 Agst 2006
128,5
31,0
2,5
5 Agst 2006
104,0
25,5
2,5
23 Agst 2006
107,0
27,5
3,0
24 Agst 2006
115,5
31,0
2,5
25 Agst 2006
112,0
32,0
3,0
26 Agst 2006
129,0
34,0
2,5
27 Agst 2006
101,0
26,5
2,5
Jumlah
1440,0
381,0
39,5
96,0
27,2
2,8
Rata-rata
Respon Pedagang Pengepul Secara umum simplisia lempuyang wangi hasil introduksi teknologi sudah memenuhi kriteria pasar, baik dari segi fisik maupun kualitas. Dari segi fisik, bentuk, ketebalan dan ukuran sudah sesuai dengan yang diinginkan pengepul. Sedangkan dari segi kualitas, baik tingkat kekeringan, warna dan aroma dinilai sangat baik. Untuk tingkat kekeringan, pengepul tidak menetapkan berapa persentase kadar air simplisia yang mutlak harus dipenuhi. Warna simplisia kering bagian luar yang ideal adalah putih bersih. Namun demikian, warna lempuyang wangi sangat dipengaruhi oleh karakteristik tanah tempatnya tumbuh. Biasanya lempuyang yang tumbuh di tanah merah berwarna kekuningan (tidak bisa putih). Sebaliknya lempuyang yang tumbuh di tanah hitam akan memiliki warna yang lebih putih. Simplisia dapat dikatakan telah mencapai tingkat kekeringan yang tepat apabila saat dipatahkan simplisia tersebut berbunyi ‘klik’ seperti patahan ranting dan didalamnya
64
berwarna putih kapur, serta mengeluarkan aroma khas lempuyang wangi yang kuat. Jika warna simplisia hasil patahan tersebut berwarna kuning, artinya simplisia tersebut belum cukup kering. Selain itu, simplisia dikatakan kering apabila saat digenggam tangan terasa sakit. Berdasarkan kriteria-kriteria tersebut, simplisia hasil introduksi dapat dikatakan lebih baik daripada yang dihasilkan petani, terutama dari tingkat kebersihan dan warna. Simplisia kering yang dihasilkan petani biasanya berwarna kecoklatan dan terlihat kotor. Hal ini disebabkan karena petani kurang memperhatikan kebersihan rimpang sebelum dirajang dan dikeringkan, sehingga masih terdapat sisa-sisa tanah pada simplisia yang dihasilkan. Selain itu, setelah dirajang biasanya tidak langsung dilakukan penjemur an. Lempuyang yang mengalami penundaan penjemuran setelah dirajang akan memiliki warna yang kurang kekuningan. Waktu panen juga mempengaruhi kualitas simplisia yang dihasilkan. Bahan baku simplisia lempuyang
Prosiding Seminar Nasional wangi yang baik harus benar-benar telah memasuki masa panen. Lempuyang wangi yang dipanen muda akan menghasilkan produk dengan kualitas rendah, dimana tekstur simplisianya akan cepat rusak berlubang. Lempuyang wangi siap panen pada saat memasuki puncak musim kemarau, yaitu sekitar bulan Juni-Juli. Keunggulan ini terbukti diapresiasi oleh pedagang pengepul dengan peningkatan harga beli pedagang. Pada setiap penjualan produk yang dihasilkan selalu diperoleh tingkat harga yang lebih tinggi (sekitar Rp.500 s/d Rp.1.500 per kg) dibanding harga pasar. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Komponen-komponen teknis pembuatan simplisia lempuyang wangi yang layak dikembangkan dan dapat diadopsi oleh penambang/petani lempuyang wangi, adalah: (1) Pembersihan rimpang lempuyang wangi dari akar dan tanah sebelum dirajang. Pembersihan akar menggunakan pisau sedangkan pembersihan tanah yang menempel menggunakan dua metode, yaitu perendaman/pencucian dengan air atau perontokan dengan cara dijemur, (2) Perajangan rimpang segar menggunakan alat perajang tipe piringan. Alat perajang ini dapat menghasilkan karakteristik rajangan rimpang yang memenuhi karakteristik simplisia yang diinginkan pengepul dan dapat meningkatkan produktivitas perajangan dari sekitar 10 kg per-jam (menggunakan pisau dapur) menjadi sekitar 50 kg per-jam, (3) Penjemuran simplisia basah menggunakan widik yang ditempatkan di atas para-para. (4) Pengemasan simplisia dalam karung plastik terbuka dan penyimpanan dalam ruangan yang terlindung dari air. Inovasi teknis produksi simplisia lempuyang wangi secara nyata meningkatkan kualitas produk dan diapresiasi oleh pedagang pengepul. Pada setiap penjualan produk yang dihasilkan selalu diperoleh tingkat harga yang lebih tinggi (sekitar Rp.500 s/d Rp.1.500 perkg) dibanding harga pasar.
Saran Pengembangan budidaya lempuyang wangi dilakukan sebagai tanaman sela tanaman keras (jati) di lahan pekarangan milik petani. Tenaga perajangan dan penjemuran dibayar dengan sistem borongan Rp. 100,- per kg. Setiap petani penambang diperbolehkan melakukan perajangan dan penjemuran sendiri dengan ketentuan upah yang berlaku.
PUSTAKA BPPT., 2005. Tanaman Obat IndonesiaLempuyang Wangi. http:/ www. ipteknet. co.id ChemIndustry, 2005. Chemical Info. http:/www.chemindustry.com Elfahmi, K. Ruslan, R. Bos, O. Kayser, Herman J. Woerdenbag, dan W.J. Quax, 2005. Jamu: The Indonesian traditional http:/dissertations. herbal medicine. ub.urg.nl/ Kirana, C., G.H. Mc Intosh, I.R. Record, dan G.P. Jones, 2003. Antitumor Activity of Ectract Zingiber aromaticum and Its Bioactive Sesquiterpenoid Zerumbone. Journal Nutrition and Cancer Vol. 45 (2) p: 218-225. Sarjana, A. Hermawan, B. Hartoyo, J. Pramono, I. Ambarsari, S. Yunus, M. Asro, P. Hasapto dan Zamawi, 2005. Studi Kelembagaan Pemasaran Emponempon. Laporan Kegiatan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah. Departemen Pertanian. Siregar, M., dan Frijatno, S. 2002. Kebijakan Pemilihan Teknologi dan Jenis Agroindustri. Analisis Kebijaksanaan: Paradigma Pembangunan dan Kebijak sanaan Pengembangan Agro industri. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Hal 210-227. Wonohadi, E., Sutarjadi, Coniwati, A. 2005. Ciri-ciri Mikroskopik dan Kimiawi Minyak Atsiri Rimpang Lempuyang Wangi. Fakultas Farmasi Universitas Airlangga.
65
Prosiding Seminar Nasional PROSPEK USAHA PENGOLAHAN KERIPIK PISANG DI LAHAN KERING DATARAN RENDAH KABUPATEN BANJARNEGARA Indrie Ambarsari, Abdul Choliq dan Syamsul Bahri Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah
ABSTRAK Kendala peningkatan pendapatan rumah tangga tani di wilayah dengan tipologi lahan kering adalah penguasaan lahan yang sempit, curah hujan rendah dan ketergantungan sumber pendapatan terhadap produk primer yang tinggi. Tulisan ini memaparkan potret kondisi usahatani yang ada di lahan kering dataran rendah, dan peluang pengembangan inovasi teknologi usaha pengolahan keripik pisang dalam upaya peningkatan pendapatan rumah tangga tani. Sampel petani sebagai responden diambil secara acak (stratified random sampling) dengan jumlah responden 30 orang, di Desa Kaliwungu, Kecamatan Mandiraja. Data dianalisa secara deskriptif dengan metode tabel silang dan presentasi grafik/diagram. Pemanfaatan pisang rajalawe yang merupakan pisang khas Banjarnegara sebagai bahan baku keripik pisang, selain dapat menjadi produk unggulan daerah juga sangat potensial dalam memberikan pemasukan yang berarti bagi rumah tangga tani. Hasil analisa finansial menunjukkan bahwa penggunaan pisang rajalawe lebih menguntungkan dibandingkan jenis pisang lainnya. Titik impas usaha pengolahan keripik pisang rajalawe tercapai pada tingkat harga jual produk Rp 17.147 dengan kapasitas produksi 51 kg. Selain itu, penerimaan pasar yang baik terhadap produk keripik pisang rajalawe juga ditunjukkan dari hasil uji organoleptik. Hasil uji menunjukkan bahwa keripik pisang rajalawe unggul dalam semua parameter kesukaan konsumen, baik rasa, aroma, warna, maupun tingkat kerenyahan. Kata kunci: Pisang, keripik, lahan kering
ABSTRACT The obstacles of acceleration farmer income in dry land are authority of narrow land, low rainfall, and the high dependence of primary product as source income. This article explains about a condition of farming system in dry land, and the prospect of manufacturing banana chip as an effort on increasing household farmer income. Farmer sampling as respondent was taken by stratified random sampling with 30 respondents at Kaliwungu Village, Sub District of Mandiraja. The data was analyzed by graphical and tabular presentation method. The use of rajalawe banana as the banana chip not only represents the typical agricultural product of Banjarnegara District, but also potentially provides household farmer income. The financial results showed that utilization of rajalawe banana is more profitable than other types. Break event point reached at cost of product Rp 17.147 with production capacity 51 kg. Better market demand of rajalawe banana chip also indicated by organoleptic test. The results showed that rajalawe banana chip are preferable in all parameter, which are flavour, aroma, colour, and crispiness. Key words: Banana, chips, dry land
PENDAHULUAN Penguasaan lahan yang sempit, curah hujan rendah, dan ketergantungan sumber pendapatan rumah tangga terhadap produk primer yang tinggi merupakan kendala dalam peningkatan pendapatan rumah tangga tani di wilayah dengan tipologi lahan kering. Dalam kondisi tersebut maka percepatan peningkatan pendapatan rumah tangga tani semestinya ditempuh tidak hanya melalui pengembangan inovasi budidaya pertanian, tetapi juga melalui inovasi pengembangan diversifikasi usaha (Hicks, 1995).
66
Diversifikasi vertikal melalui pengembangan agroindustri merupakan salah satu upaya untuk mengembangkan kesempatan kerja dan usaha bagi masyarakat pada bidang-bidang agroindustri itu sendiri dan bidang-bidang usaha terkait, sehingga peluang peningkatan pendapatan rumah tangga tani menjadi lebih terbuka. Berkembangnya usaha-usaha agroindustri juga akan merangsang perkembangan usahatani untuk lebih produktif dan menghasilkan produk-produk yang lebih berkualitas.
Prosiding Seminar Nasional Pisang merupakan komoditas yang sudah sangat dikenal masyarakat luas. Budidayanya yang relatif mudah, menjadikan pisang sangat cocok untuk dikembangkan di wilayah dengan tipe lahan kering. Teknologi pengolahan pisang merupakan salah satu alternatif kegiatan pasca panen yang dilakukan untuk mengantisipasi kerusakan produk segar dan meningkatkan nilai tambah produk primer komoditas pertanian. Selain itu, penerapan teknologi pengolahan diharapkan dapat mengubah pertanian tradisional menjadi lebih maju serta dapat meningkatkan pendapatan petani dan lapangan pekerjaan di pedesaan. Olahan pisang dalam bentuk keripik (banana chips) merupakan salah satu produk yang memiliki peluang pasar cukup tinggi, tidak hanya untuk pasar domestik namun juga pasar ekspor. Di Desa Kaliwungu, Kabupaten Banjarnegara, usaha pengolahan keripik pisang memegang peranan penting sebagai sumber pendapatan bagi rumah tangga tani. Tulisan ini memaparkan potret kondisi usahatani yang ada di lahan kering dataran rendah Kabupaten Banjarnegara, dan peluang pengembangan inovasi teknologi pengolahan komoditas pisang yang diperkirakan mampu memberikan nilai tambah dan juga meningkatkan pendapatan masyarakat pedesaan.
BAHAN DAN METODE Kajian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2005, di Desa Kaliwungu, Kecamatan Mandiraja, Kabupaten Banjarnegara. Jenis data yang dikumpulkan mencakup data primer dan data sekunder. Data sekunder bersumber dari instansi terkait seperti Dinas Pertanian, Dinas Perindustrian dan Perdagang an, serta monografi desa. Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode PRA (Participatory Rural Appraisal) melalui observasi lapangan dan wawancara langsung dengan petani dan informan kunci (perangkat desa, tokoh masyarakat, serta pedagang). Lokasi wawancara dilakukan di rumah petani, dengan maksud agar dapat dilakukan penilaian terhadap informasi yang diberikan petani responden dalam wawancara apakah sesuai atau mendekati realitas. Sampel petani
sebagai responden diambil secara acak (stratified random sampling) dengan jumlah responden 30 orang. Data dianalisa secara deskriptif dengan menggunakan metode tabel silang dan presentasi grafik/diagram. Selain itu juga dilakukan uji organoleptik untuk membandingkan produk keripik pisang yang berasal dari industri yang sama, namun dengan bahan baku pisang dari varietas yang berbeda. Sampel produk yang diuji terdiri dari tiga varietas pisang, yaitu pisang rajalawe, pisang kepok, dan pisang raja nangka. Uji organoleptik dilakukan pada 25 orang panelis untuk mengukur tingkat penerimaan konsumen terhadap produk berdasarkan tingkat kesukaan. Adapun penilaiannya dilakukan pada 7 tingkat kesukaan (1 = sangat tidak suka; 7 = sangat suka). Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Duncan Multiple Test (Rahayu, 2001).
HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Wanita Tani dalam Kegiatan Pengolahan Hasil Pertanian Di desa kajian, wanita tani memiliki peranan besar dalam keluarga, tidak hanya dalam kegiatan rumah tangga namun juga kegiatan ekonomi (mencari nafkah). Alokasi waktu wanita tani dalam kegiatan on farm maupun off farm ditunjukkan pada Tabel 1. Aktifitas on farm (kegiatan pada lahan usaha tani) hanya dilakukan pada musim-musim tertentu yang banyak membutuhkan tenaga kerja, biasanya pada saat tanam dan panen. Sedangkan kegian off farm umumnya dilakukan setiap hari untuk memberikan pemasukan tambahan bagi rumah tangga. Keterbatasan modal dan tenaga kerja untuk sebagian besar keluarga tani lahan kering menyebabkan kebutuhan tenaga kerja usaha tani utamanya diperoleh dari anggota keluarga baik pria maupun wanita. Hasil penelitian International Rice Research Institute (1987) dalam Bachrein et al. (2000), menunjukkan bahwa di berbagai negara Asia termasuk Indonesia, wanita memberikan kontribusi setengah atau lebih dari total tenaga kerja untuk usahatani.
67
Prosiding Seminar Nasional Tabel 1. Kalender kegiatan petani Desa Kaliwungu Bulan
Uraian 10
11
12
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kegiatan pada lahan usahatani: − Suami − Istri − Anak − Saudara/lainnya
xx x x xx
x xx
x xx
xx xx x xx
xx
x xx x
x xx
xx xx x xx
x
x
xx x
x
Kegiatan produktif lain − Suami − Istri
x x
x x
x x
x x
x x
x x
x x
x x
x x
xx x x
x x
x x
Sumber: Bahri et al., (2005)
Partisipasi aktif wanita tani dalam kegiatan ekonomi juga ditunjukkan pada Tabel 2, di mana persentase jumlah pria dan wanita yang bekerja dapat dikatakan seimbang yaitu masing-masing 31,5 dan 30,7 persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa terdapat garis distribusi pekerjaan yang jelas antara pria dan
wanita. Tenaga kerja produktif berada pada kisaran usia 15 - 55 tahun, dengan total serapan tenaga kerja sebanyak 55,2 persen. Selain kegiatan pada lahan usahatani, kegiatan produktif lain yang dapat memberikan masukan bagi pendapatan rumah tangga juga banyak dilakukan oleh wanita tani setempat.
Tabel 2. Keragaan anggota rumah tangga petani Desa Kaliwungu
Laki-laki
< 15 th B TB 0,8 10,2
15-55 th B TB 27,6 6,3
B 3,1
TB 0
Perempuan
0,8
15,8
27,6
5,5
2,4
0
30,7
21,3
TOTAL
1,6
26,0
55,2
11,8
5,5
0
62,2
37,8
Persentase (%)
> 55 th
Jumlah B TB 31,5 16,5
Keterangan : B, Bekerja; TB, Tidak bekerja Partisipasi aktif wanita dalam kegiatan usaha tani sangat dipengaruhi oleh status pendapatan, kondisi sosial budaya, serta status perkawinan dan umur (Jiggins, 1996 dalam Bachrein, 2000). Pada status pendapatan, umumnya semakin miskin keluarga tani maka semakin besar keterlibatan wanita dalam proses produksi, kegiatan pasca panen, dan kegiatan berburuh baik buruh tani maupun buruh lainnya. Kegiatan pengolahan keripik pisang merupakan salah satu aktifitas wanita tani yang umum ditemui di lokasi kajian. Pada Gambar 1 terlihat bahwa usaha rumah tangga (termasuk usaha pengolahan keripik pisang) memberikan kontribusi yang relatif nyata terhadap struktur rumah tangga tani. Dengan pendapatan rata-rata per tahun sebesar Rp. 6.788.000 per kepala keluarga, usaha rumah tangga memiliki pangsa sebesar 32,2 persen. Selain usaha pengolahan keripik
68
pisang, usaha pengolahan gula kelapa dan pembuatan keranjang bambu (wadah ikan pindang) merupakan kegiatan usaha rumah tangga lainnya yang umum dilakukan di lokasi kajian. Struktur Pendapatan Rumah Tangga 11.4%
25.1%
2.5%
32.2% 16.9% 7.8% Kegiatan Berburuh Pendapatan lainnya Usaha tan.semusim
4.1%
Pekerjaan Tetap Usaha Ternak
Usaha RT Usaha tan.tahunan
Gambar 1. Struktur pendapatan rumah tangga tani Desa Kaliwungu
Prosiding Seminar Nasional Ketersediaan pisang sebagai bahan baku industri Hasil studi Participatory Rural Appraisal (PRA) menunjukkan bahwa permasalahan utama yang dihadapi oleh pengrajin keripik
pisang adalah ketersediaan bahan baku di lokasi dan varietas pisang yang cocok sebagai bahan baku olahan keripik. Kebutuhan bahan baku keripik pisang di Desa Kaliwungu tidak dapat dilakukan dengan hanya mengandalkan ketersediaan pisang di desa lokasi.
Tabel 3. Potensi pertanaman pisang di Kabupaten Banjarnegara 2000-2005 Tahun
Lokasi 2000
2001
2002
% perkembangan 2003
2004
2005
04-05
Rata-rata
Luas Panen (pohon) Banjarnegara Purbalingga
518.728
237.461
777.154
568.280
44.257
26.706
(0,40)
2,86
421.344
222.646
285.469
563.955
533.848
314.559
(0,41)
6,44
Banyumas
1.053.074
935.185
1.035.476
391.401
1.105.600
1.179.332
0,07
25,29
Cilacap
1.654.921
2.520.438
2.870.996
6.010.970
4.018.544
3.356
(1,00)
8,50
970.268
909.838
1.118.330
1.324.603
358.984
66.855
(0,81)
(23,83)
Kebumen Semarang
369.765
349.444
467.079
109.766
86.613
28.260
(0,67)
(27,36)
Lainnya
18.163.196
19.303.886
18.044.136
20.621.505
24.379.398
36.945.202
0,52
16,76
Jawa Tengah
23.151.296
24.478.898
24.598.640
29.590.480
30.527.244
38.564.270
0,26
11,20
22,89
Produktivitas (Kg/pohon) Banjarnegara
12,86
13,48
19,37
11,36
18,68
26,68
0,43
Purbalingga
18,21
15,78
10,80
14,77
12,48
18,25
0,46
4,52
Banyumas
17,82
17,49
23,20
13,93
17,12
13,84
(0,19)
(1,08)
Cilacap
14,52
20,45
23,96
19,19
15,12
24,40
0,61
15,65 85,18
Kebumen
8,80
9,36
21,80
12,50
8,33
38,54
3,63
Semarang
15,59
16,03
11,99
11,73
16,84
18,08
0,07
5,28
Lainnya
15,37
16,36
15,57
14,39
12,38
17,08
0,38
3,59
Jawa Tengah
15,15
16,52
17,15
15,38
12,89
17,03
0,32
3,69
Banjarnegara
66.724
32.009
150.567
64.540
8.267
7.126
(0,14)
32,05
Purbalingga
76.715
35.127
30.842
83.306
66.614
57.441
(0,14)
13,98
Banyumas
187.652
163.605
240.191
54.524
189.318
163.164
(0,14)
38,02
Cilacap
14,66
Produksi (Kw)
240.327
515.470
687.973
1.201.593
607.603
819
(1,00)
Kebumen
85.396
85.162
243.852
165.549
29.897
25.767
(0,14)
11,64
Semarang
57.647
56.022
56.023
12.876
14.585
5.108
(0,65)
(26,31)
Lainnya
2.792.110
3.157.560
2.809.082
2.967.916
3.018.903
6.308.927
1,09
23,68
Jawa Tengah
3.506.571
4.044.955
4.218.530
4.550.304
3.935.187
6.568.352
0,67
16,18
Sumber: Dinas Pertanian Jawa Tengah (2006).
69
Prosiding Seminar Nasional Umumnya pengrajin keripik pisang di Desa Kaliwungu memenuhi kebutuhan bahan baku keripik dari wilayah lain di sekitar Banjarnegara. Keragaan bahan baku pisang di Kabupaten Banjarnegara dan wilayah sekitar nya disajikan pada Tabel 3. Ketersediaan bahan baku merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi kelangsungan hidup industri keripik pisang. Dari tabel ter lihat bahwa produksi pisang di Banjarnegara selama dua tahun terakhir (2004 - 2005) cenderung mengalami penurun an. Kondisi ini terutama disebabkan oleh penurunan luas panen pisang di daerah tersebut. Meskipun demikian, kebutuhan pisang sebagai bahan baku keripik masih dapat dipenuhi dari daerah di sekitar Banjarnegara terutama Purbalingga dan Banyumas. Hasil survai yang dilakukan pada tahun 2006, Banyumas dan Purbalingga bahkan telah mempunyai pasar khusus untuk komoditas pisang (Bahri et al., 2006). Pasar pisang yang paling besar berada di Banyumas yaitu pasar Ajibarang. Volume perdagangan pisang mentah di pasar Ajibarang rata-rata mencapai 10 ton per hari.
Usaha Pengolahan Keripik Pisang di Desa Kaliwungu Kapasitas produksi keripik pisang di desa lokasi minimal 60 kilogram per hari per pengrajin, bahkan pada musim-musim tertentu seperti hari raya dapat mencapai 100 kilogram per hari per pengrajin. Kebutuhan bahan baku per hari sangat dipengaruhi oleh jenis pisang yang digunakan. Jenis pisang yang umum digunakan sebagai bahan baku keripik di desa lokasi adalah pisang kepok, raja nangka, dan rajalawe. Untuk menghasilkan 60 kilogram keripik pisang, maka kebutuhan bahan baku untuk setiap jenis pisang masing-masing adalah 40 tandan untuk pisang kepok atau 30 tandan untuk pisang raja nangka atau 20 tandan untuk pisang rajalawe. Kebutuhan bahan baku keripik pisang rajalawe yang relatif lebih rendah dibandingkan kedua jenis pisang lainnya, dipengaruhi oleh penampilan fisik (performance) pisang rajalawe itu sendiri yang jauh lebih besar dibandingkan pisangpisang lainnya (Gambar 2). Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila harga pisangr relatif lebih tinggi, yaitu berkisar antara Rp 30.000 sampai dengan Rp 35.000 per tandan. Perhitungan kelayakan usaha pengolahan keripik pisang disajikan pada Tabel 4.
Gambar 2. Pisang rajalawe
70
Prosiding Seminar Nasional Tabel 4. Analisa usaha pengolahan keripik pisang Uraian INVESTASI (alat dan mesin) - Timbangan - Pengiris keripik - Sealer plastik - Kompor - Peralatan lain (pisau, penggorengan, dll) TOTAL BIAYA - Penyusutan alat dan mesin - Tenaga Kerja Tenaga pengupas Tenaga penggoreng Tenaga pengemas - Biaya Produksi Pisang - Volume (tandan) - Harga (Rp/tandan) Garam & bumbu-bumbu Minyak goreng Minyak tanah Kemasan plastik 100 g Listrik dan air - Biaya lain-lain (10%) Produksi Keripik Pisang (kg/hari) Harga keripik (Rp/kg) PENDAPATAN (produksi x harga) Keuntungan (Return) BEP harga (produksi tetap) Rp BEP produksi (harga tetap) kg Output/input (R/C) Jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam usaha pengolahan keripik pisang sebanyak lima orang, yang terdiri dari dua orang tenaga pengupas, dua orang tenaga pengiris sekaligus penggoreng, dan satu orang tenaga pengemas. Upah tenaga kerja ditetapkan berdasarkan jumlah jam kerja. Pada proses pengolahan keripik pisang rajalawe, upah tenaga pengupas lebih rendah dibandingkan pada proses pengolahan keripik pisang kepok dan raja nangka. Hal ini dikarenakan jam kerja mereka yang lebih pendek mengingat dengan kapasitas produksi yang sama, jumlah tandan pisang yang harus dikupas jauh lebih sedikit. Harga jual produk keripik pisang berbeda untuk ketiga jenis pisang. Secara umum, penetapan harga produk dilakukan setelah mempertimbangkan keuntungan yang akan diperoleh dan juga daya beli konsumen.
Kepok 2.000.000 300.000 100.000 500.000 600.000 500.000 1.134.800 5.000 44.000 16.000 20.000 8.000 965.800 800.000 40 20.000 1.800 100.000 14.000 45.000 5.000 120.000 60 20.000 1.200.000 65.200 18.913 57 1,06
Rajanangka 2.000.000 300.000 100.000 500.000 600.000 500.000 916.800 5.000 44.000 16.000 20.000 8.000 765.800 600.000 30 20.000 1.800 100.000 14.000 45.000 5.000 102.000 60 17.000 1.020.000 103.200 15.280 54 1,11
Rajalawe 2.000.000 300.000 100.000 500.000 600.000 500.000 1.028.800 5,000 38.000 10.000 20.000 8.000 865,800 700.000 20 35.000 1,800 100.000 14.000 45.000 5,000 120,000 60 20.000 1.200.000 171.200 17.147 51 1,17
Penyusutan modal investasi dihitung dengan Metode Garis Lurus (MGL) dengan nilai sisa (salvage value) dianggap nol. Hasil analisa finansial menunjukkan bahwa usaha pengolahan keripik pisang di lokasi kajian untuk semua jenis bahan baku pisang yang ada layak dikembangkan. Menurut Nitisemito dan Burhan (1995), salah satu indikator kelayakan pengembangan usaha adalah nilai R/C yang lebih besar dari satu. Namun apabila mempertimbang-kan jumlah keuntungan yang diperoleh, maka dapat dikatakan usaha pembuatan keripik pisang rajalawe lebih menguntungkan dibandingkan keripik pisang kepok dan raja nangka. Pada usaha keripik pisang rajalawe, tingkat keuntungan mencapai Rp 171.200 sedangkan pada usaha keripik pisang kepok dan rajanangka masing-masing sebesar Rp 65.200
71
Prosiding Seminar Nasional dan Rp 103.200. Titik impas usaha pengolahan keripik pisang rajalawe tercapai pada tingkat harga jual produk Rp 17.147 dengan kapasitas produksi 51 kilogram. Pisang rajalawe merupakan jenis pisang khas Banjarnegara, yang sangat sesuai dijadikan bahan baku keripik pisang. Hasil uji
organoleptik menunjukkan bahwa keripik pisang yang menggunakan varietas rajalawe lebih disukai oleh konsumen dibandingkan keripik pisang yang menggunakan varietas pisang lainnya (Tabel 5). Keripik pisang rajalawe unggul dalam semua parameter kesukaan konsumen, baik rasa, aroma, warna, maupun tingkat kerenyahan.
Tabel 5. Hasil uji organoleptik keripik pisang Bahan Baku Pisang
Rasa
Aroma
Warna
Kerenyahan
Rajalawe
5,52a
4,68a
5,20a
5,84a
Kepok
4,28b
3,92b
3,60b
4,16b
Raja nangka
4,44b
4,16b
4,40c
4,44b
Keterangan: Superskrip berbeda pada kolom sama menunjukkan berbeda nyata (p < 0,05 )
Keunggulan keripik pisang rajalawe dari sisi tingkat kesukaan konsumen, dapat memberikan nilai tambah bagi produk keripik pisang sehingga akan meningkatkan nilai jualnya. Namun, pengetahuan mengenai keunggulan pisang rajalawe ini belum dikenal luas oleh pasar sehingga seringkali masih dianggap sama dengan produk keripik pisang lainnya. Hal ini merupakan salah satu tantangan bagi produsen dalam memasarkan produk keripik pisang rajalawe. Dalam hal ini diperlukan peran serta pemerintah daerah (pemda) dalam membantu mempromosikan produk keripik pisang rajalawe. Mengingat pisang rajalawe merupakan pisang khas Banjarnegara, maka produk yang dihasilkan dapat dijadikan produk khas (oleh-oleh khas) dari daerah setempat. Permasalahan pada Usaha Pengolahan Keripik Pisang Permasalahan utama yang dihadapi pengrajin keripik pisang di lokasi kajian dalam pengembangan keripik pisang rajalawe adalah kontinuitas bahan baku. Pisang rajalawe untuk saat ini hanya terdapat di wilayah Kabupaten Banjarnegara, dan dalam skala produksi yang relatif masih kecil. Keterbatasan bahan baku pisang rajalawe menyebabkan pengrajin seringkali melakukan pencampuran dengan jenis pisang lainnya. Dari segi kualitas, selain terdapat pencampuran jenis bahan baku pisang juga dari segi penggunaan bumbu. Takaran bumbu yang digunakan hanya berdasarkan perkiraan, sehingga produk yang dihasilkan terkadang
72
memiliki sedikit perbedaan rasa. Selain belum adanya standarisasi kualitas, standarisasi kuantitas juga kurang diperhatikan. Standarisasi kuantitas berkaitan dengan berat bersih produk yang dikemas. Umumnya pengrajin keripik pisang tidak melakukan penimbangan saat pengemasan produk. Mereka hanya melakukan pengisian semaksimal mungkin sesuai kapasitas kemasan (plastik). Kondisi ini sebenarnya seringkali justru merugikan bagi pengrajin, karena isi produk seringkali lebih banyak daripada seharusnya. Sebagai contoh untuk satu kemasan berisi dua kilogram, produk dijual seharga Rp 40.000 namun setelah dilakukan penimbangan terdapat kelebihan berat bersih produk sekitar 100 - 200 gram. Apabila kejadian tersebut berlaku untuk 50 kemasan saja, mereka sudah mengalami kerugian sebesar Rp 100.000. Hal-hal kecil tersebut belum banyak diperhatikan oleh para pengrajin. Selain masalah kontinuitas bahan baku dan standarisasi produk, masalah labelling (pelabelan) produk juga belum diperhatikan secara khusus oleh para pengrajin keripik pisang. Belum ada label khusus yang membedakan jenis pisang yang digunakan. Hal ini sangat berpengaruh terhadap pasar, karena label produk seharusnya menjadi identitas dan sarana promosi dimana keunggulan produk ditonjolkan. Tidak adanya label khusus menyebabkan produk keripik pisang rajalawe dianggap sama dengan produk keripik pisang lainnya.
Prosiding Seminar Nasional Potensi Pasar Keripik Pisang Wilayah pemasaran produk keripik pisang yang dihasilkan oleh desa lokasi umumnya masih berkisar di daerah Kabupaten Banjarnegara dan sekitarnya. Sistem pemasaran yang diterapkan oleh pengrajin keripik pisang di desa lokasi adalah sistem pemasaran tidak langsung. Produsen keripik pisang umumnya memasarkan produk ke konsumen melalui pedagang perantara (pengepul). Umumnya, pedagang pengepul langsung datang ke lokasi untuk mengambil produk. Pedagang yang datang ke lokasi berasal dari Kabupaten Banjarnegara, Purbalingga, Purwokerto, dan Banyumas. Sistem pembayaran yang digunakan adalah sistem pembayaran langsung, dimana petani pengrajin akan langsung menerima uang pembayaran saat produk dijual. Dengan sistem ini, petani pengrajin dapat memanfaatkan uang yang diterima untuk keberlanjutan proses produksi. Pada kenyataannya produk keripik pisang memiliki nilai komersial dan potensi pasar yang besar, tidak hanya untuk memenuhi permintaan di dalam negeri saja namun juga sebagai komoditas ekspor. Negara tujuan ekspor utama untuk produk keripik pisang adalah: Hongkong, USA, United Kingdom, Jerman, Jepang, Taiwan, Singapura, Netherland, Korea Selatan, dan Perancis (Calderon dan Rola, 2003). Sementara itu, produsen keripik pisang di dunia saat ini masih didominasi oleh negaranegara Asia Tenggara seperti Indonesia, Philipina, Thailand, dan Malaysia. Dari keempat negara produsen tersebut, saat ini Philipina merupakan produsen terbesar di dunia, baik untuk buah pisang segar maupun produk keripik pisang.
KESIMPULAN Penerimaan konsumen yang sangat baik terhadap keripik pisang rajalawe merupakan peluang untuk menjadikan keripik pisang rajalawe sebagai produk khas (unggulan) daerah. Selain dapat mempopulerkan komodi tas unggulan daerah, pemanfaatan pisang rajalawe sebagai bahan baku keripik merupakan salah satu peluang usaha untuk meningkatkan pendapatan masyarakat pedesa an. Rasa pisang yang khas dan tingkat
kerenyahannya yang tinggi mampu meningkatkan nilai jual keripik pisang Raja lawe. Dari sisi finansial, kriteria kelayakan usaha pengolahan keripik pisang rajalawe ditunjukkan dengan nilai R/C sebesar 1,17 dan tingkat keuntungan sebesarRp 171.200 per proses produksi. Titik impas usaha tercapai pada tingkat harga jual produk Rp 17.147 dengan kapasitas produksi 51 kg.
PUSTAKA Bachrein, S., I. Ishaq, dan V.W. Rufaidah. 2000. Peranan Wanita dalam Pengembangan Sistem Usaha Tani Lahan Kering di Jawa Barat (Studi Kasus: Kecamatan Cikelet, Garut). Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 3(1): 6-18. Bahri, S., J. Pramono, S. Prawirodigdo, T.J. Paryono, A. Choliq, Samijan, dan Indrie Ambarsari. 2006. Laporan Kajian Prima Tani Lahan Kering Dataran Rendah Beriklim Basah di Kabupaten Banjarnegara. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah, Badan Litbang Pertanian. Calderon, R.P. dan A.C. Rola. 2003. Assessing Benefits and Costs of Commercial Banana Production in Philippines. Institute of Strategic Planning and Policy Studies, University of the Philippines, Laguna, Philippines. Dinas Pertanian. 2006. Laporan Pelayanan Informasi Pasar Hasil Tanaman Pangan dan Hortikultura Propinsi Jawa Tengah. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Daerah Tingkat I, Jawa Tengah. Hicks, P.A. 1995. An Overview of Issues and Strategies in The Development of Food Processing Industries in Asia and The Pascific. APO Symposium, 28 September-5 October 1993. Tokyo. Nitisemito, A.S. dan U. Burhan. 1995. Wawasan Studi Kelayakan dan Evaluasi Proyek. Bumi Aksara, Jakarta.
73
Prosiding Seminar Nasional
PEMANFAATAN TOMAT SEBAGAI PRODUK MINUMAN JUS TOMAT DI SUB TERMINAL AGRIBISNIS BAYONGBONG KABUPATEN GARUT (The usage of tomato as tomato juice drinking product at Sub Terminal Agribussiness Bayongbong Garut) Sunarmani dan Iceu Agustinisari Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian
ABSTRAK Garut merupakan salah satu sentra produksi tomat di Pulau Jawa. Pada tahun 2005, produksi tomat mencapai 85.289 ton dengan luas tanam 234,12 Ha. Pemerintah Kabupaten Garut menyediakan fasilitas berupa tempat pengumpulan dan sortasi tomat dari petani sebelum dikirim ke daerah lain, berupa Sub Terminal Agribisnis (STA), salah satunya adalah STA Bayongbong. Untuk mengatasi permasalahan berupa tomat sisa sortasi yang tidak dapat dikirim ke Batam ataupun produksi yang berlimpah pada saat panen raya, diupayakan pemanfaatan tomat dalam bentuk produk olahan jus tomat. Jus tomat diolah dengan skala pilot plant menggunakan peralatan blansing, pulper, separator (penyaring), tangki evaporator dan cup sealer semi otomatis. Jus tomat yang dihasilkan memiliki karakteristik warna (chromameter) dengan nilai L, a dan b yang masing-masing adalah 31,70 ; +3,68 dan +7,97 sedangkan kekentalannya adalah 20 cps. Nutrisi yang terkandung dalam jus tomat tersebut adalah kadar air 81,1%, protein 1,28%, karbohidrat 14,2%, serat makanan 4,03%, energi 61,20 Kkal/100g, fosfor 161 mg/100 ml, niasin (B6) 0,66mg/100ml, dan vitamin C 49,90 mg/100 g. Rata-rata nilai yang diperoleh dari hasil uji organoleptik untuk penampakan (appereance) jus tomat adalah 4,8. Dari pengujian ini, dapat dikatakan bahwa panelis menyukai jus tomat ini. Masa simpan jus tomat kemasan cup plastik pada kisaran suhu refrigerator (7-15oC) antara 12,02- 6,48 minggu, sedangkan di kisaran suhu ruang masa simpannya antara 3,13- 2,22 minggu. Kata kunci: Jus tomat, Garut, nutrisi, masa simpan
ABSTRACT Garut is known as one of tomato production centre region in Java Island. At 2005, tomato production was 85,289 ton and plant area was 234.12 Ha. District Government of Garut provides a place for collecting and sorting fresh tomato from farmers before it’s exported to others region. The place is named Sub Terminal Agribussiness (STA) Bayongbong. There was any problems in STA, such as overproduction when harvest and so many tomatoes which could’t be exported, because of their low quality. Making processed tomato product such as tomato juice can be a choice to solve the problems. Tomato juice was processed in pilot scale using some equipments which consist of blancher for blanching, pulper, separator, evaporator tank and semi otomatic cup sealer. Color characteristic of the tomato juice was interpretated with L value 31.70; a value +3.68 and b value +7.97. The viscosity was 20 cps. Tomato juice nutrition consist of moisture content 81.1%, protein 1.28%, carbohydrate 14.2%, dietary fiber 4.03%, energy 61.20 Kcal/100g, phosphor 161 mg/100 ml, niasin (B6) 0.66 mg/100ml, dan ascorbic acid 49.90 mg/100 g. The result of organoleptic test gave value 4.8 for appereance of tomato juice. It means that panelists quite like tomato juice. The shelf life time of tomato juices in plastic cup packaging which were storaged at range of refrigerator temperature (7-15oC) is 12.02- 6.48 weeks, whereas shelf time for tomato juice at range of ambient temperature is 3.132.22 weeks. Keywords: Tomato juice, Garut, nutrition, shelf life time
PENDAHULUAN Garut merupakan sentra produksi tomat terpilih di Pulau Jawa berdasarkan hasil penelitian (Muhadjir et a., 2002). Kabupaten Garut mempunyai luas tanam dan poduksi yang tertinggi di seluruh Indonesia. Daerah sentra produksi di Kabupaten Garut meliputi
74
Cikajang,Bayongbong, Cisurupan, Sukaresmi, Samarang, Pasirwangi, Tarogong dan Wanaraja (http://www.garut.co.id). Tomat jenis gondol varietas Arthaloka TW dan Arthaloka TM merupakan jenis tomat pilihan yang banyak ditanam di daerah tersebut.
Prosiding Seminar Nasional Selain untuk memenuhi pasar di Garut, tomat tersebut dipasarkan ke Bandung, Jakarta, Yogyakarta, bahkan ke Batam. Pemerintah Daerah Garut menyediakan fasilitas berupa tempat pengumpulan dan sortasi tomat dari petani sebelum dikirim ke Batam, salah satunya adalah Sub Terminal Agribisnis Bayongbong. Permasalahan yang dihadapi oleh Sub Terminal Agribisnis (STA) Bayongbong, Kabupaten Garut adalah adanya tomat sisa sortasi dalam pengiriman ke Batam yang jumlahnya dapat mencapai 400 kg per hari pada saat panen raya. Oleh karena itu diperlukan teknologi pengolahan tomat yang dapat memanfaatkan kelebihan tomat di STA maupun pada saat panen raya. Berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya, serta menimbang peralatan yang tersedia, sumber daya manusia dan dukungan pemerintah setempat, maka teknologi pengolahan yang dapat diupayakan di STA Bayongbong adalah berupa pengolahan sari buah atau jus tomat. Produk olahan berbahan baku tomat memiliki banyak kelebihan. Dalam bentuk olahan, tomat dan nutrisi yang terkandung di dalamnya dapat dikonsumsi kapan saja. Sebagaimana yang telah umum diketahui, tomat merupakan buah yang kaya manfaat baik kandungan nutrisinya (Tabel 1) maupun senyawa non nutrisi yang juga berkhasiat bagi kesehatan. Dalam tomat ditemukan senyawa fungsional likopen yang terbukti melalui berbagai penelitian ternyata bermanfaat untuk kesehatan. Analisis terhadap tomat dan berbagai produk olahan tomat menunjukkan bahwa tomat dan produk-produk olahannya kaya akan komponen likopen. Likopen adalah salah satu zat pigmen kuning tua sampai merah tua, termasuk dalam kelompok karotenoid. Senyawa ini berfungsi sebagai antioksidan yang aktivitasnya sangat tinggi, khususnya terhadap spesies oksigen yang reaktif. Dengan sifat dan kemampuannya itu, likopen mampu memberikan perlindungan dari risiko berbagai kanker, atherosklerosis dan penyakit jantung koroner.
Tabel 1. Komposisi zat gizi tomat segar Komposisi Air (%) Protein (gram) Lemak (gram) Karbohidrat (gram) Total Serat Mineral (mgram) Kalsium Fosfor Besi Natrium Kalium Vitamin A (SI) B1 (mgram) B2 (mgram) Niasin (mgram) C (mg) Abu (gram) Energi (kal)
Tomat Segar 93.5 1.10 0.20 4.70 0.50 13.00 27.00 0.50 3.00 244.00 900.00 0.06 0.04 0.70 23.00 0.50 22.00
Sumber: Gould (1974) Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa likopen lebih mudah diserap oleh tubuh, jika tomat tersebut diproses menjadi produkproduk olahan tomat, terutama jika dalam formulasinya dilakukan penambahan sejumlah kecil minyak. Likopen yang berasal dari pasta tomat ternyata 2,5 kali lebih mudah diserap oleh tubuh dari pada likopen tomat segar. Likopen dalam jus tomat tiga kali lebih banyak daripada yang terkandung dalam tomat segarnya (Tabel 2). Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa paling tidak dibutuhkan sekitar 40 mg likopen per harinya untuk menurunkan resiko terkena atherosklerosis dan penyakit jantung. Tabel 2. Kandungan likopen pada tomat dan produk olahannya Produk Likopen (mg/100g) Jus tomat 9.5 Saus tomat 15.9 Saus spaghetti 21.9 Pasta tomat 42.2 Sup tomat (kental) 7.2 Saus cabai 19.5 Tomat segar 3.0 Sumber: Hariyadi (2002)
75
Prosiding Seminar Nasional Usaha untuk mengolah tomat dalam bentuk jus tomat harus disertai dengan informasi mengenai nilai nutrisi yang dikandungnya. Hal ini untuk mengantisipasi respon konsumen yang semakin kritis terhadap produk-produk pangan. Informasi lain yang juga dibutuhkan oleh konsumen adalah masa kadaluarsa produk tersebut untuk menjamin keamanan pangannya. Untuk itu, dalam makalah ini diuraikan proses pengolahan jus tomat dalam skala pilot, analisis nutrisinya dan analisis pendugaan masa simpan jus tomat dengan menggunakan metode akselerasi.
BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan jus tomat adalah tomat segar, gula, carboxymethylcellulose (CMC), asam sitrat, kalium sorbat dan vitamin C. Peralatan yang digunakan dalam pembuatan jus tomat skala pilot di Sub Terminal Agribisnis Bayongbong, Garut adalah sebagai berikut : pulper, separator, tangki evaporator, cup sealer semi otomatis, kemasan cup. Sedangkan peralatan yang digunakan untuk selama penyimpanan maupun untuk analisis adalah termometer ruang, chromameter (Minolta), rheometer (Brookfield, Programmable DV-III), inkubator, refrigerator, peralatan titrasi dan alat-alat gelas.
76
Metode Pembuatan Jus Tomat Tomat segar yang digunakan dalam proses pengolahan ini sebaiknya memiliki tingkat kematangan yang optimal. Secara visual tomat yang dimaksud telah berwarna oranye atau merah merata tetapi tekstur daging buahnya masih cukup keras. Warna tomat segar sangat berpengaruh untuk mendapatkan produk jus dengan warna merah yang menarik. Untuk mendapatkan warna merah/oranye yang merata pada keseluruhan tomat yang akan diolah, sebaiknya dilakukan proses pemeraman selama 2-5 hari tergantung tingkat kematangan tomat. Tomat segar diblansing dengan tujuan untuk inaktivasi enzim selain itu juga untuk memperlunak jaringan daging buah sehingga mempermudah proses penghancuran dan pemisahan kulit dari daging buahnya. Penghancuran daging buah tomat dilakukan dengan menggunakan pulper. Bubur tomat yang masih bercampur dengan kulit dan biji ini selanjutnya dilewatkan ke separator untuk memisahkan kulit dan bijinya, sehingga diperoleh bubur tomat halus. Bubur tomat ini dimasukkan ke dalam tangki evaporator yang dilengkapi dengan pengatur suhu dan pengaduk untuk kemudian dicampur dengan larutan cmc yang telah disiapkan sebelumnya dan bahan tambahan lainnya. Secara keseluruhan pembuatan jus tomat dilakukan dalam tiga tahap, yaitu pembuatan larutan cmc, pembuatan bubur tomat dan pencampuran (mixing). Diagram alir masingmasing tahapan disajikan pada Gambar 1, 2 dan 3.
Prosiding Seminar Nasional
cmc (1 gram)
Penambahan air (100 ml )
Blender sampai halus
Penambahan air matang (900 ml)
Disimpan selama 2 hari
(
d
)
Larutan cmc siap pakai
Gambar 1. Pembuatan larutan cmc
Pembuatan bubur tomat disajikan pada Gambar 2 berikut.
Tomat
Blansing
Pulper/Blender
Separator/Penyaringan
Ampas : kulit dan biji
Bubur tomat siap olah
Gambar 2. Pembuatan bubur tomat
77
Prosiding Seminar Nasional Tahap pencampuran dan pembuatan jus tomat secara keseluruhan disajikan pada Gambar 3 berikut.
Larutan cmc
Pemanasan sampai mendidih dalam tangki
Penambahan gula pasir hingga larut
Dididihkan kembali
Penambahan asam sitrat
Penambahan bubur tomat
(1 1) Dididihkan kembali
Suhu diturunkan hingga 80oC dan dipertahankan selama ±10 menit
Pemanasan dihentikan (api dimatikan)
Penambahan vitamin C
Penambahan kalium sorbat (500 ppm)
Jus Tomat
Gambar 3. Diagram alir proses pembuatan jus tomat
78
Prosiding Seminar Nasional Metode Analisis Nutrisi dan Organoleptik Kadar air, kadar abu dan serat kasar ditentukan dengan metode gravimetri, protein dengan metode Kjeldahl, lemak dengan metode soxlet, karbohidrat dengan metode spektrofotometer, serat makanan dengan metode enzimatis dan energi diukur dengan bomb kalori. Mineral yang dianalisis adalah fosfor yang dianalisis dengan metode AAS. Vitamin C dan total asam diukur dengan metode titrasi. Sementara itu, jenis vitamin lain yang dianalisis adalah niasin yang diukur dengan menggunakan HPLC.
misalnya produk pangan disimpan pada kondisi suhu yang ekstrim. Metoda ini menerapkan studi kinetika reaksi dengan menggunakan bantuan persamaan Arhenius. Langkah-langkah pendugaan umur simpan dengan kinetika reaksi (Koswara dan Kusnandar, 2004) adalah sebagai berikut : 1.
Menentukan batas awal mutu dan batas mutu minimum yang diharapkan. 2.
Uji organoleptik yang dipilih adalah uji kesukaan (hedonic test) yang bertujuan untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen terhadap produk jus tomat yang dihasilkan. Uji ini melibatkan 21 orang panelis. Kepada tiap panelis disajikan jus tomat. Panelis diminta memberikan penilaian dan nilai (skor) terhadap rasa, aroma, warna, kekentalan dan penampilan keseluruhan (performance) jus tomat tersebut. Nilai yang diberikan antara 15, yaitu 1 = sangat tidak suka, 2 = tidak suka, 3 = agak suka, 4 = suka dan 5 = sangat suka. Data yang diperoleh dari panelis kemudian dihitung rata-ratanya, sehingga diperoleh nilai rata-rata untuk setiap aspek yang dinilai.
Umur simpan dapat diduga dengan menggunakan metode Accelerated Storage Studies (ASS). Institute of Food Technology, (1974) dalam Koswara dan Kusnandar (2004) mendefinisikan umur simpan produk pangan sebagai selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi dimana produk berada dalam kondisi memuaskan pada sifat-sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur dan nilai gizi. Dalam metode ini diterapkan kondisi lingkungan penyimpanan dibuat sedemikian rupa sehingga dapat mempercepat terjadinya reaksi penurunan mutu suatu produk pangan,
Dari studi penyimpanan, dilakukan prediksi terhadap tingkah laku penurunan mutu dengan memplot grafik kinetika reaksi untuk ordo 0 dan ordo 1. Penurunan mutu ordo 0 adalah merupakan penurunan mutu yang konstan yang dinyatakan sebagai persamaan sebagai berikut. At – Ao = -kt ................................. (1) dimana: At = Jumlah A pada waktu t Ao = Jumlah awal A k = Laju perubahan mutu t = waktu simpan Sedangkan penurunan mutu ordo 1 dinyatakan sebagai persamaan sebagai berikut.
Metode Analisis Pendugaan Masa Simpan Jus tomat yang telah dibuat dikemas dalam kemasan cup plastik. Kemudian disimpan di tiga suhu yang berbeda, yaitu suhu ruang (28-30oC), suhu refrigerator (±10oC) dan suhu inkubator (40oC). Pengamatan fisik dan analisis kimia serta organoleptik dilakukan pada awal penyimpanan, minggu ke 1, 2, 4, 6 dan 8. Aspek mutu yang diamati adalah perubahan warna yang diukur dengan menggunakan chromameter.
Mengidentifikasi faktor-faktor kritis yang menentukan umur simpan produk.
ln At – ln Ao = -kt …………… (2) 3.
Menentukan nilai k untuk setiap suhu penyimpanan terhadap semua faktor kritis yang dipilih. Nilai k menyatakan hubungan antara nilai mutu dengan lama penyimpanan pada masing-masing suhu penyimpanan terhadap kedua parameter kritis yang dipilih, selanjutnya nilai ln k pada masing-masing suhu penyimpanan tersebut diplot dengan 1/T sehingga dapat diperoleh persamaan Arhenius sebagai berikut: In k = ln ko –Ea/R . 1/T …... (3) dimana : k = Konstanta kecepatan reaksi ko = Konstanta pre-eksponensial Ea = Energi aktivasi (KJ/mol) R = Konstanta gas 1.987 (kal/mol) T = Suhu Mutlak (K)
4.
Menghitung penyimpanan
nilai k pada atau distribusi
suhu yang
79
Prosiding Seminar Nasional dikehendaki. Nilai k dari persamaan ini merupakan laju penurunan mutunya per hari. 5.
Menduga umur simpan produk. Selisih skor awal produk dan skor pada saat produk tidak disukai dibagi dengan laju penurunan mutu (k) pada suhu distribusi merupakan umur simpan produk. Persaman berikut:
yang
digunakan
sebagai
ts = [ln(No-Nt)]/KT untuk laju reaksi ordo satu ............................... (4) ts = (No-Nt)/KT. untuk laju reaksi ordo nol ......................................... (5) dimana : ts = Waktu penyimpanan No = Nilai parameter mutu pada to (awal penyimpanan) Nt = Nilai parameter mutu setelah waktu penyimpanan t (batas kritis) KT = Nilai K pada suhu penyimpanan T
6.
Menetapkan suhu yang ingin diketahui umur simpan produknya.
HASIL DAN PEMBAHASAN Nutrisi Jus Tomat Dan Hasil Uji Organoleptik Karakteristik fisik jus tomat yang diukur berupa warna dan viskositas (kekentalan). Warna jus tomat yang dihasilkan diinterpretasikan dalam nilai L, a dan b yang masing-masing adalah 31,70 ; +3,68 dan +7,97. Nilai a dan b positif menunjukkan bahwa produk jus tomat tersebut memiliki warna antara merah dan kuning. Kekentalan jus tomat adalah 20 cps yang merupakan hasil pengukuran dengan rheometer pada kecepatan putaran 100 rpm dan menggunakan spindel no 6. Sementara itu, jus tomat yang dihasilkan dari proses pengolahan di atas memiliki kualitas nutrisi sebagaimana ditampilkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil analisis proksimat jus tomat Jenis analisis Hasil Kadar air 84,1 Kadar abu 0,23 Protein 1,28 Lemak Tidak terdeteksi Karbohidrat 14,2 Serat Kasar 0,22 Serat makanan 4,03 Energi 61,20 Fosfor (P) 161 Niacin (B6) 0,66 Total asam 1,92 pH 6,19 Vitamin C 49,90 Sumber: Laboratorium BB Litbang Pascapanen Pertanian (2007) Dari Tabel 3 di atas, tampak bahwa energi yang terkandung dalam jus tomat jauh lebih besar daripada yang terkandung dalam tomat segarnya. Hal ini dapat dipahami karena dalam pembuatannya ditambahkan bahan-bahan lain seperti cmc dan gula (sukrosa) yang mengandung sejumlah energi tertentu. Demikian pula halnya dengan kandungan vitamin C-nya yang mencapai 49,90 mg/100 g. Sebenarnya, kadar vitamin C dalam tomat segar cukup tinggi yaitu 23 mg/100 g. Tetapi
80
Satuan
Persen (%)
Kkal/100g mg/100 ml mg/100 ml ml NaOH/g mg/100 g
dalam proses pengolahan yang menggunakan panas suatu vitamin ini sangat mudah mengalami kerusakan. Vitamin C tergolong vitamin larut air yang sangat mudah teroksidasi menjadi bentuk yang secara kimiawi sangat labil dan dapat mengalami perubahan lebih lanjut hingga tidak memiliki keaktifan sebagai vitamin C (Winarno, 1992). Untuk mencegah hal tersebut serta memberikan nilai tambah bagi suatu produk minuman maka dilakukan fortikasi vitamin C sebagaimana yang dilakukan dalam pembuatan jus tomat ini.
Prosiding Seminar Nasional Untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen terhadap jus tomat yang dihasilkan maka dilakukan uji organoleptik berupa uji kesukaan (hedonic test). Dari uji tersebut diketahui bahwa skor yang diperoleh untuk aroma adalah 4,4, artinya panelis menyatakan agak suka sampai suka. Hal ini kemungkinan karena sebagian orang tidak menyukai aroma langu tomat yang masih muncul pada jus tomat. Sementara itu, skor untuk rasa adalah 4,9, hampir mendekati nilai 5 yang menyatakan suka. Hal ini ditunjukkan oleh data hasil pengujian (data tidak ditampilkan) dimana sebagian besar panelis menyatakan suka dan beberapa panelis bahkan sangat menyukai rasa jus tomat yang disajikan, walaupun ada beberapa panelis menyatakan agak tidak suka. Skor yang diberikan untuk warna sama dengan rasa yaitu 4,9. Sementara untuk penilaian terhadap kekentalan jus tomat, skor rata-rata nilai adalah 5,2. Nilai ini menunjukkan bahwa kekentalan jus tomat yang dihasilkan disukai dan dapat diterima oleh panelis. Hal ini juga mengindikasikan bahwa formula yang digunakan dalam pengolahan jus tomat ini cukup baik untuk menghasilkan jus tomat dengan kekentalan yang sesuai.Untuk penampilan keseluruhan, panelis memberikan nilai antara 4 sampai 6, hingga rata-rata skor yang diperoleh adalah 4,8. Dari pengujian ini, dapat dikatakan bahwa panelis cenderung menyukai jus tomat ini.
Pendugaan Masa Simpan Jus Tomat dengan Metode Akselerasi Tabel 4.
Suhu (oC)
Salah satu hal yang perlu dilakukan dalam pendugaan umur simpan ini adalah mengidentifikasi faktor-faktor kritis yang menentukan umur simpan produk. Pendugaan umur simpan jus jeruk terpasteurisasi dapat didekati oleh tiga faktor yakni kandungan mikroba, vitamin C dan sensori dimana dapat dipilih salah satu dari ketiga faktor tersebut (Leizerson and Shimoni, 2005). Dalam penelitian pendugaan masa simpan jus tomat ditetapkan beberapa faktor kritis seperti vitamin C, total padatan terlarut, total asam, kekentalan, warna, mikrobiologi dan penerimaan konsumen. Namun demikian, dalam makalah ini hanya faktor kritis warna jus tomat yang disajikan. Warna merupakan salah satu aspek penting yang mempengaruhi penampakan produk pangan, karena perubahan warna dapat dengan mudah diamati secara visual. Langkah berikutnya adalah menentukan batas mutu awal dan batas mutu minimum yang diharapkan. Batas mutu minimum adalah nilai mutu dimana produk mulai ditolak oleh konsumen (Hough et al., 2005). Untuk warna, batas minimum yang ditetapkan nilai L jus tomat pada minggu ke 4. Hal ini dikaitkan dengan hasil uji organoleptik pada minggu ke 4 yang menunjukkan bahwa penerimaan konsumen terhadap warna jus tomat mulai berkurang (data tidak ditampilkan). Selanjutnya dilakukan beberapa perhitungan yang menyangkut prediksi penurunan mutu dengan grafik kinetika reaksi untuk ordo 0 dan ordo 1, nilai k (laju penurunan mutu per harinya), hubungan antara 1/T dan ln k, serta perhitungan masa simpan jus tomat berdasarkan faktor kritis warna. Hasil perhitungan dapat ditelaah pada Tabel 4.
Pendugaan umur simpan jus tomat pada reaksi ordo 0 dan ordo 1 dengan batas kritis nilai L pada pengukuran warna dengan chromameter k (laju penurunan mut/hari)
Ordo 0 Umur simpan (hari)
Umur simpan (minggu)
K (laju penurunan mut/hari)
Ordo 1 Umur simpan (hari)
Umur simpan (minggu)
7
0,021157
84,13
12,02
0,00069532
2559,98
365,71
15
0,039264
45,33
6,48
0,00128750
1382,52
197,50
25
0,082271
21,93
3,13
0,00265462
670,53
95,79
30
0,114629
15,53
2,22
0,00374413
475,41
67,92
81
Prosiding Seminar Nasional Dalam penelitiannya, suhu yang digunakan adalah suhu refri (±10oC), suhu kamar (±30oC) dan suhu inkubator (40oC), dalam perhitungan pendugaan masa simpan jus tomat ini suhu diinterpolasi ke suhu-suhu yang biasa digunakan pada penyimpanan produk jus buah. Dari data pada Tabel 4 di atas, terlihat perbedaan masa simpan antara perhitungan ordo 0 dan ordo 1. Keputusan untuk menggunakan data yang direkomendasikan untuk penyimpanan sangat tergantung pada kebijakan perusahaan atau instansi, tetapi untuk pertimbangan dari keamanan produk tersebut maka biasanya digunakan data umur simpan yang pendek (Koswara dan Kusnandar, 2004). Dengan perhitungan tersebut, diketahui bahwa jus tomat yang dikemas dalam kemasan cup plastik dan diolah dengan proses pengolahan dan formula yang ditentukan dari hasil penelitian ini masih layak dikonsumsi sampai dengan 2 minggu setelah pembuatannya bila disimpan di suhu ruang dan sampai dengan 3 minggu bila disimpan di ruang berpendingin.
KESIMPULAN 1.
2.
82
(appearance) jus tomat adalah 4,8. Dari pengujian ini, dapat dikatakan bahwa panelis menyukai jus tomat ini. 3.
Masa simpan jus tomat kemasan cup plastik pada kisaran suhu refrigerator (76,48 minggu, 15oC) antara 12,02sedangkan di kisaran suhu ruang masa simpannya antara 3,13- 2,22 minggu.
PUSTAKA Gould, W. A. 1974. Tomato production, processing and quality evaluation. The AVI Publishing. Co. Inc. Westport. Conn. Hariyadi, P. 2002. Tomat, Padat Antioksidan dan Bermanfaat. Bulletin Food and Beverage Industry, hal 16-18, Jakarta. Hough, G.., Garitta, L., and G. Gomez. 2006. Sensory shelf life predictions by survival analysis accelerated storage models. Food Quality and Preference 17(6):468-473. http://www.garut.co.id (diakses tanggal 5 Oktober 2007). Koswara, S dan Kusnandar, F. 2004. Studi Kasus Pendugaan Umur Simpan produk pangan. Pelatihan Pendugaan Waktu Kadaluarsa Bahan dan Produk Pangan. Bogor, 1-2 Desember 2004.
Karakteristik fisik jus tomat yang diukur berupa warna dan viskositas (kekentalan). Warna jus tomat yang dihasilkan diinterpretasikan dalam nilai L, a dan b yang masing-masing adalah 31,70 ; +3,68 dan +7,97 sedangkan kekentalannya adalah 20 cps. Nutrisi yang terkandung dalam jus tomat tersebut adalah kadar air 81,1%, protein 1,28%, karbohidrat 14,2%, serat makanan 4,03%, energi 61,20 Kkal/100g, fosfor 161 mg/100 ml, niasin (B6) 0,66mg/100ml, dan vitamin C 49,90 mg/100 g.
Muhadjir et al. 2002. Laporan Hasil Penelitian Teknologi Pengolahan Pasta Cabai dan Tomat. Balai Penelitian Pascapanen Pertanian. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.
Rata-rata nilai yang diperoleh dari hasil uji organoleptik untuk penampakan
Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia, Jakarta.
Leizerson, S and E. Shimoni. 2005. Stability and sensory shelf life of orange juice pasteurized by continuous ohmic heating. J.Agric.Food Chem 53:4012-4018.
Prosiding Seminar Nasional
PENGKAJIAN PENGGUNAAN ALAT/MESIN PERONTOK PADI DALAM UPAYA MENDUKUNG ALIH TEKNOLOGI PERONTOKAN PADI KEPADA PETANI (Study of use machine and appliance thresher in the effort supporting displace technology to farmer) Nugroho Siswanto dan Rob. Mudjisihono Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta ABSTRAK Kehilangan hasil padi perlu dikurangi dengan perbaikan cara perontokan padi dengan memakai pedal thresher atau power thresher. Pengkajian dilakukan dengan membuat kelompok pemanen yang beranggotakan 30 orang untuk luasan satu hektar dilaksanakan di lahan petani di Desa Sukoreno, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo. Kelompok pemanen A memotong padi dengan cara potong tengah kemudian dirontokkan dengan mesin perontok. Kelompok pemanen B memotong padi dengan cara potong bawah kemudian dirontok dengan menggunakan perontok pedal dan kelompok pemanen C memotong padi dengan cara potong bawah dan perontokan dengan cara gebot. Pengkajian menggunakan rancangan percobaan acak lengkap dengan tiga ulangan percobaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan kelompok A dari pemotongan padi sampai perontokan sekitar 171,5 jam/ha/orang, kelompok B 194,2 jam/ha/orang dan kelompok C sekitar 237,8 jam/ha/orang dan dari uji DMRT taraf 0,05 ada beda nyata. Pemanen padi dengan sistem kelompok dan perontokannya dengan mesin perontok menyebabkan kehilangan hasil 5,10%, penggunaan perontok pedal 6,77% dan dengan cara gebot sebesar 13,37%. Gabah yang dihasilkan dari mesin perontok mengandung kotoran/gabah hampa terendah yaitu 3,59%, penggunaan perontok pedal menghasilkan gabah dengan kadar kotoran/gabah hampa 4,82 % dan perontokan dengan cara dibanting sebesar 8,92%.
Kata kunci: Perontok padi, pemanen, alih teknologi ABSTRACT Lose yield of paddy require to be lessened with used pedal thresher or power thresher. Study done madely group of harvester which have member 30 people for one hectare, located at Sukoreno, Sentolo, Kulon Progo. Group A cut paddy by cutting middle is later; then moulted with power thresher. Group B cut paddy by cutting under is later; then moulted by using pedal thresher and group C cut paddy by cutting under then moulted by using manual thresher. Study use device of random attempt complete with three replication. The result indicate that harvesting ability of group A 171,5 hour/ha/people, group of B 194,2 hour/ha/people and group C 237,8 hour/ha/people and from test of DMRT at level 0,05 there real difference. Harvesting with power thresher cause loss of yield 5,10%, use pedal thresher 6,77% and by manual thresher equal to 13,37%. Shell of rice yielded from power thresher contain dirt and vacuous shell of rice 3,59%, use pedal thresher 4,82 % and by manual thresher equal to 8,92%. Key words: Thresher, harvester, displace technology
PENDAHULUAN Sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk, mendorong pula meningkatnya tingkat konsumsi beras atau permintaan beras. Sebaliknya usaha peningkatan produksi beras cenderung makin sulit dicapai hanya melalui rekayasa genetika. Usaha pemerintah untuk meningkatkan produksi beras terus dilakukan, baik melalui perbaikan/rekayasa genetik, perbaikan budidaya, pengendalian hama/penyakit maupun perbaikan pasca panen (Balitpa, 2002).
Kehilangan hasil panen di tingkat petani pada pemanen (pemotongan) padi sampai perontokan berkisar antara 15,1% – 18,9%. Kehilangan hasil padi pada pemanen dan perontokan dapat ditekan melalui perbaikan sistem pemanen padi dari sistem individual menjadi sistem kelompok dengan anggota pemanen 30 orang per hektar dan perontokannya menggunakan mesin perontok, menyebabkan kehilangan hasil panen rendah, berkisar antara 4,4% – 4,9% (Setyono et al., 2001)
83
Prosiding Seminar Nasional Penggunaan mesin perontok padi, selain dapat meningkatkan kapasitas kerja atau mempercepat proses perontokan juga dapat menekan kehilangan hasil panen dan meningkatkan mutu gabah dan beras. Gabah tidak terontok yang masih menempel pada tangkainya setelah perontokan dengan mesin perontok kurang dari satu persen (Rachmat et al., 1993; Setyono et al., 1998). Agar pemanfaatan mesin perontok dan alat perontok padi dapat berkembang dengan baik dapat dapat bekerja optimal, maka sistem pemanen padi secara individual harus diubah menjadi sistem kelompok dan perlu diciptakan pula manajemen sederhana dan praktis dalam pemanfaatan kelompok jasa perontok padi (Ditjen Tanaman, 1992). Oleh karena itu untuk mendapatkan efisiensi kerja yang optimal sesuai dengan kondisi lokal maka perlu dicoba beberapa jenis perontok, yaitu alat perontok jenis pedal dan jenis mesin perontok serta cara dibanting (gebot). Untuk mendapatkan hasil panen yang optimal juga harus dipertimbangkan umur panen padi yang ideal. Umur panen padi yang ideal yaitu (1) kadar air gabah antara 22% – 26% (Damardjati, 1981), (2) pada 34 hari setelah berbunga rata – 38 hari setelah berbunga rata (Rumiati dan Soemardi, 1982), (3) berdasarkan umur tanaman sesuai dengan deskripsi varietas, dan (4) berdasarkan kenampakan malai padi, yaitu antara 90% – 95% malai tampak kuning. Padi yang dipanen pada umur panen yang ideal akan diperoleh (1) hasil panen optimal, (2) gabah bernas yang diperoleh optimal, (3) rendemen beras giling yang diperoleh tinggi dan (4) mutu beras yang dihasilkan tinggi. Ujicoba empat kelompok pemanen yang masing-masing dilengkapi satu unit mesin perontok menunjukkan bahwa kehilangan hasil rendah berkisar antara 4,3% – 4,9%, jauh lebih rendah jika dibandingkan panen dengan sistem keroyokan dengan kehilangan hasil 15,2% – 16,3%. Pemanen dengan sistem kelompok juga menghasilkan gabah lebih bersih dengan gabah bernas berkisar antara 91,1% – 95,5% (Setyono et al., 1998). Hasil evaluasi pemanen padi sistem kelompok di Yogyakarta menunjukkan bahwa kehilangan hasil panen relatif lebih rendah 5,6% – 5,9% dibandingkan kehilangan hasil panen pada sistem keroyokan 12,2% – 14,9%. Hasil pengkajian pemanen padi dengan sistem
84
kelompok dan perontokannya mengunakan mesin perontok dan pedal thresher menunjukkan bahwa masing-masing menyebabkan kehilangan hasil 5,1% dan 5,3% lebih rendah dibandingkan dengan cara dibanting, yaitu 9,4% ((Mudjisihono et al., 1998). Pengkajian ini bertujuan untuk (1) mengintroduksikan pemanen padi dengan sistem kelompok di Desa Sukoreno, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo, (2) menekan kehilangan hasil panen, (3) meningkatkan mutu gabah dan beras, (4) meningkatkan pendapatan petani dan pemanen, dan (5) mengembangkan alat perontok pedal thresher dan mesin perontok.
BAHAN DAN METODE Materi Pengkajian Pengkajian dilaksanakan di Desa Sukoreno, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo pada bulan Juli 2005 dan analisis mutu gabah dilaksanakan pada bulan Agustus sampai September 2005. Bahan yang digunakan dalam pengkajian adalah tanaman padi di lahan petani varietas IR-64 yang siap dipanen. Tanaman padi yang dipilih adalah tanaman padi dengan kondisi pertumbuhan baik, tanpa serangan hama penyakit, dan matang serempak. Kelompok pemanen adalah kumpulan tenaga pemanen padi yang dihimpun dalam satu tim kerja dengan sistem kerja beregu, dipimpin atau dikoordinir oleh seorang ketua. Satu kelompok pemanen beranggotakan 30 orang untuk memanen satu hektar sawah dengan pembagian tugas 25 orang memanen (memotong) padi dan 5 orang mengumpulkan potongan padi pada suatu tempat untuk dirontok. Alat panen yang digunakan pemanen adalah sabit biasa. Cara panen dilakukan dengan cara potong tengah, untuk perontokan dengan mesin perontok dan cara potong bawah untuk perontokan dengan menggunakan pedal thresher dan cara banting. Alat perontok yang digunakan atau dikaji ada tiga jenis yaitu (a) power thresher tipe TH-6-Mobil, sistem pengumpan throw-in, buatan bengkel Samidi, Ceper, Klaten, (b) pedal thresher, buatan Pati, Jawa Tengah dan
Prosiding Seminar Nasional (c) alat gebot atau landasan banting terbuat dari bambu atau kayu. Metode Pengkajian Pengkajian cara penggunaan alat/mesin perontok menggunakan tiga kelompok pemanen. Dalam perontokan padi kelompok A menggunakan power thresher, kelompok B menggunakan pedal thresher dan kelompok C dengan cara banting (gebot). Luas area panen antara 0,15 ha – 0,25 ha dan disesuaikan dengan luas petak kepemilikan petani. Langkah-langkah yang dilakukan dalam pengujian alat/mesin perontok padi adalah : a. Memilih lahan petani dengan pertanaman padi yang kondisinya baik dan siap panen. b. Mengukur luas lahan sawah terpilih dan menetapkan petak ubinan dengan ukuran (2,5 x 2,5) m sebanyak 5 petak pada posisi diagonik. c. Masing-masing petak ubinan dipanen secara hati-hati agar tidak ada gabah yang tercecer dan tidak ada malai padi yang tertinggal. Padi hasil panen kemudian dirontok dengan cara iles. Gabah yang diperoleh ditimbang, diukur kadar airnya dan dianalisis mutunya. d. Menyiapkan kelompok pemanen sesuai dengan luasan area panen, yaitu 30 orang/ha dan 1 unit mesin perontok. e. Pemanen padi menggunakan sabit biasa dengan cara potong tengah. Potongan padi diangkut dengan karung kemudian dirontok dengan mesin perontok. Gabah hasil panen ditimbang, diukur kadar airnya dan dianalisis mutunya di laboratorium dengan metode Bulog (1987). f. Sebagai perbandingan diteliti pula pemanen padi sistem individual atau keroyokan. Setelah lahan diukur luasnya dan diambil 5 petak ubinan padi dipanen dengan menggunakan sabit dengan cara potong bawah. Setelah diinapkan selama satu malam, padi dirontok dengan cara banting atau gebot. Gabah hasil perontokan dengan cara dibanting, diukur kadar airnya dan mutu gabah dianalisis di laboratorium dengan metode Bulog (1987). g. Data yang dikumpulkan meliputi : (1) luas area panen, (2) jumlah pemanen, (3) kebutuhan waktu untuk pemanen dan pengumpulan hasil panen, (4) kebutuhan
waktu untuk perontokan, kapasitas mesin perontok dan kapasitas penggebot, (5) berat gabah dari panen ubinan dan kadar airnya, (6) berat gabah hasil panen dan kadar airnya, (7) mutu gabah dari panen ubinan dan pemanen, (8) kemampuan kelompok jasa pemanen dan selanjutnya dihitung persentase kehilangan hasil panen yang merupakan selisih antara berat gabah/ha dari panen ubinan dan hasil panen pada kadar air yang sama. h. Data yang didapat dari beberapa ulangan kemudian dihitung rata-ratanya dan koefisien variansinya (CV). Selanjutnya untuk melihat perbedaan pemakaian gebot, pedal thresher dan power thresher dianalisis dengan DMRT pada taraf 5%, yang meliputi kemampuan kerja pemanen, kapasitas dan kemampuan kerja alat/mesin perontok, mutu gabah dan kehilangan hasil.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kelompok Pemanen Dalam pemanen sistem individual (keroyokan) untuk mendapatkan hasil bawon (upah panen) yang maksimal, umumnya para pemanen harus memotong padi sebanyakbanyaknya. Oleh karena itu, para pemanen berusaha memotong padi secepatnya. Bahkan sebelum mulai pemotongan padi, para pemanen sudah memilih-milih tempat yang tanamannya subur. Pemotongan padi dengan cepat dan berebutan menyebabkan tingkat kerontokan gabah tinggi (Setyono et al., 2001). Apalagi jika panen agak terlambat, kadar air gabah relatif rendah (21%), sehingga gabah sangat mudah rontok. Untuk menghindari hal tersebut pemanenan padi harus dilakukan dengan sistem kelompok. Sehubungan dengan hal tersebut diatas dalam pengkajian ini diuji 3 kelompok pemanen yang masing-masing cara perontokannya berbeda. Kelompok A, perontokan padi menggunakan mesin perontok (power thresher), kelompok B menggunakan pedal thresher dan kelompok C dengan cara banting (gebot). Kemampuan kerja pemotongan padi berkisar antara 94,5 jam/ha/orang - 105,4 jam/ha/orang, yang tercepat adalah kelompok C, menyusul kelompok B dan kelompok A (Tabel 1). Kegiatan selanjutnya adalah pengumpulan potongan padi dengan kemampuan berkisar antara 55,8 jam/ha/orang
85
Prosiding Seminar Nasional - 71,1 jam/ha/orang, yang tercepat adalah kelompok A, menyusul kelompok B dan kelompok C. Kemampuan kerja kelompok pemanen dari pemotongan padi sampai pengumpulan potongan padi ketiga kelompok pemanen tidak jauh berbeda, yaitu berkisar antara 158,8 jam/ha/orang 165,6 jam/ha/orang (Tabel 1). Kemampuan kerja kelompok cukup tinggi jika dilihat dari pengalaman kerja dalam tim kelompok yang baru sekali ini dialami. Diharapkan kemampuan kerja kelompok pemanen tersebut akan terus meningkat sejalan dengan pengalaman kerja tim dalam kelompok, walaupun tenaga kerja yang tersedia sudah tua-tua, pada umumnya sudah berumur lebih dari 55 tahun. Perontokan Padi Penggunaan suatu alat dimaksudkan untuk dapat meningkatkan kapasitas kerja, meningkatkan mutu hasil, mengurangi risiko kerja, mengurangi besarnya kehilangan hasil. Pengkajian ini adalah untuk mengkaji alat dan cara perontokan padi yang mudah diterima petani. Kapasitas kerja alat/cara perontokan padi yang digunakan oleh masing-masing kelompok pemanen sangat berbeda. Kapasitas kerja cara banting (gebot) 94,2 kg/jam/orang, pedal thresher 173,0 kg/jam/unit dan mesin perontok 717,2 kg/jam/unit (Tabel 1).
Kapasitas kerja mesin perontok (power thresher) dipengaruhi (1) intensitas perputaran linier silinder perontok, (2) diameter perontok, mesin penggerak dan performance (Rachmat et al, 1993), (3) cara panen, (4) varietas padi (5) mekanisme kerja kelompok dan (6) operator. Penggunaan mesin perontok menyebabkan persentase gabah yang tidak terontok (masih menempel pada malainya dan ikut terbuang bersama jerami ) rendah, kurang dari 1% (Setyono et al., 1998). Panen dengan cara potong tengah atau potong atas untuk mesin perontok membuat mesin perontok bekerja lebih ringan sehingga kapasitas mesin perontok menjadi lebih optimal. Cara panen padi harus menyesuaikan dengan cara perontokannya. Oleh karena itu jika cara perontokannya dengan cara gebot dan pedal thresher, dengan cara memegang batang padi maka cara panen yang sesuai adalah dengan cara potong bawah. Varietas padi yang mudah rontok akan cepat terontok jika masuk ke mesin perontok. Sebaliknya untuk varietas yang tahan rontok ternyata masih ada butir-butir gabah yang tetap menempel pada malainya dan tidak terontok, sehingga perontokannya perlu diulangi lagi, menyebabkan kenaikan biaya operasional. Varietas padi yang mudah rontok, dalam proses perontokan memerlukan energi yang relatif rendah.
Tabel 1. Kapasitas dan kemampuan kerja alat/mesin perontokan padi dengan power thresher, pedal thresher, dan gebot Jenis kegiatan
Pemanen a. Pemotongan padi (jam/ha/orang) b. Pengumpulan potongan padi (jam/ha/orang) c. Potong padi – pengumpulan (jam/ha/orang) 2. Perontokan padi a. Kapasitas kerja (kg/jam/unit) atau (kg/jam/orang) b. Kemampuan kerja alat (jam/ha/unit) 3. Kemampuan kerja * Kemampuan kerja potong – pengumpulan – perontokan (jam/ha/orang)
A (power thresher )
Alat/mesin perontok padi B C (pedal (cara gebot) thresher)
CV (%)
1.
105,4a
170,1b
94,5c
16,0
55,8c
58,7b
71,1a
12,8
161,2b
158,8c
165,6a
13,8
717,2a
173,0b
94,2c
27,8
c
b
a
10,3
35,4
72,2
171,5c
194,2b
237,8a
6,9
10,8
Keterangan : Angka diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT
86
Prosiding Seminar Nasional
Mekanisme kerja kelompok pemanen harus terkoordinasi dengan baik, dipimpin oleh seorang ketua yang membagi tugasnya dengan jelas. Anggota pemanen harus bekerja dengan baik, sehingga proses pengumpulan potongan padi tidak terlambat dan proses perontokan padi tidak tersendat-sendat. Kapasitas kerja alat dan cara perontokan akan mempengaruhi kemampuan kerja untuk menyelesaikan perontokan. Makin tinggi kapasitas kerja alat perontok, makin cepat alat tersebut menyelesaikan pekerjaannya, sehingga kemampuan kerjanya makin tinggi. Ketiga alat/cara perontokan padi tersebut di atas, mesin perontok memiliki kemampuan kerja tertinggi (10,3 jam/ha/unit), menyusul pedal thresher (35 jam/ha/unit) dan cara banting (gebot) (72,2 jam/ha/orang) (Tabel 1). Operator juga menentukan efisiensi kerja mesin perontok. Operator yang kurang berpengalaman seringkali memasukkan potongan padi dengan cara dijejal-jejalkan yang menyebabkan mesin perontok tidak kuat dan macet. Sebaliknya jika pengumpanan terlalu sedikit maka kerja mesin kurang optimal, kapasitas kerja mesin perontok menurun. Kemampuan kerja potong – pengumpulan – perontokan (jam/ha/orang) masing-masing kelompok pemanen saat diuji dengan DMRT taraf 0,05 terdapat beda nyata, dimana untuk kelompok A 171,5c, kelompok B 194,2b, dan kelompok C 237,8a. Pada kelompok A waktunya paling cepat karena pemotongan padinya potong atas sehingga efisien dalam pengumpulan padi (pakai karung) dan proses perontokannya cepat karena pakai mesin. Secara keseluruhan, kemampuan kerja kelompok pemanen dari pemotongan padi sampai proses perontokan selesai, ternyata penggunaan mesin perontok adalah lebih efisien dibandingkan dengan penggunaan pedal thresher dan cara banting (Tabel 1). Tetapi bila ditinjau dari harga alat, kesederhanaan teknologi dan kemampuan
petani untuk membuat sendiri secara kelompok, alat pedal thresher memiliki potensi untuk dikembangkan di daerah Kulon Progo dan Bantul. Hasil Produksi dan Kehilangan Hasil Hasil produksi padi dapat diperkirakan sebelum panen secara keseluruhan, yaitu dengan cara melakukan panen ubinan yang diambil sebanyak 5 petak ubinan berukuran (2,5 x 2,5) m secara diagonik. Berat gabah hasil panen ubinan dapat dikonversikan ke hektar. Oleh karena lahan sawah milik petani berbeda dan dipanen oleh masing-masing kelompok pemanen yang berbeda pula, maka hasil panen ubinan dan hasil panen riil juga akan berbeda. Hasil panen ubinan per hektar lebih tinggi dari hasil panen riil per hektar. Selisih berat gabah hasil panen ubinan dengan hasil panen riil dianggap hilang karena tidak ada dan tidak ikut ditimbang. Kehilangan gabah tersebut dapat terjadi antara lain (1) gabah rontok saat pemotongan padi, (2) malai padi tercecer saat pemotongan padi, (3) gabah rontok saat pengangkutan potongan padi, (4) gabah tercecer saat perontokan padi, (5) gabah tidak semuanya rontok saat dibanting dan bahkan dengan sengaja pemanen merontok padi kurang bersih. Total kehilangan hasil panen dapat dihitung berdasarkan selisih hasil panen ubinan dan hasil riil, yaitu dihitung berdasarkan berat gabah bersih dan pada kadar air yang sama (Setyono et al., 1998; Setyono et al., 2001). Hasil produksi gabah di tingkat petani dengan teknologi budidaya melalui pendekatan PTT cukup tinggi. Berdasarkan hasil ubinan produksinya berkisar antara 6.550,0 kg/ha – 7.802,7 kg/ha gabah kering panen (GKP) (Tabel 2). Adapun hasil produksi lahan petani diluar program pengkajian PTT, lebih rendah, yaitu berkisar antara 4.500 kg/ha – 5.500 kg/ha gabah kering panen (GKP). Hasil panen riil lahan petani kooperator pengkajian budidaya padi melalui pendekatan PTT berkisar antara 6.108,4 kg/ha – 7.096,0 kg/ha GKP.
87
Prosiding Seminar Nasional Tabel 2. Data pengamatan hasil panen ubinan, produksi dan kadar air gabah saat panen dari beberapa cara perontokan
Jenis pengamatan 1. a. Berat gabah hasil penen ubinan (kg/ha) b. Kadar air gabah (%) 2. a. Berat gabah hasil panen riil (kg/ha) b. Kadar air gabah (%) 3. Kehilangan hasil panen (%) 4. Kadar kotoran/gabah hampa (%)
Alat/mesin perontokkan padi B C (pedal (cara thresher) gebot/banting)
A (power thresher )
CV (%)
7.477,2
6.550,0
7.802,7
-
25,42
24,46
25,45
-
7.096,0
6.108,4
6.761,3
-
25,42 5,10c 3,59c
24,46 6,77b 4,82b
25,45 13,37a 8,92a
3,0 5,1
Keterangan:- Rata-rata dari tiga ulangan percobaan -Angka diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT Kehilangan hasil padi dari tiga kelompok pemanen yang dikaji bervariasi. Kehilangan hasil panen padi dari pemotongan padi sampai proses perontokan berkisar antara 5,10% - 13,37% dan tertinggi terjadi pada pemanen dengan proses perontokannya dengan cara dibanting atau gebot (Tabel 2). Walaupun pemanen padi sudah dilaksanakan dengan sistem kelompok namun karena perontokan padi dilakukan dengan cara berbeda, yaitu dengan mesin perontok, pedal thresher dan cara gebot (dibanting) sehingga besarnya kehilangan hasil juga berbeda. Kehilangan hasil pada kelompok pemanen yang menggunakan mesin perontok dan pedal thresher relatif rendah masing - masing 5,10% dan 6,77% (Tabel 2). Perontokan padi dengan cara banting/gebot menyebabkan kehilangan hasil tinggi sekitar 13,37% (Tabel 2). Hal ini disebabkan oleh masih banyaknya gabah yang tidak rontok, terutama pada pangkal malai, akibat hanya dibanting tiga sampai empat kali. Kehilangan hasil tersebut sangat dipengaruhi oleh subyektivitas pemanen. Pemanen yang tergesa - gesa dan hanya membanting padi tiga sampai empat kali tanpa dibolak - balik ternyata masih banyak gabah yang tidak terontok mencapai 5% – 8%. Apalagi para pemanen ada indikasi jeraminya akan dibawa pulang untuk pakan sapi sehingga perontokannya kurang bersih agar gabah yang masih menempel pada jerami dapat dimanfaatkan untuk ternak. Untuk menghindarkan subyektivitas pemanen tersebut dan mengurangi kehilangan hasil maka penggunaan pedal thresher merupakan
88
alternatif pilihan pertama, hal ini dengan mempertimbangkan beberapa alasan, antara lain (1) pedal thresher murah harganya, dibuat dari bahan yang banyak terdapat di desa, (2) mudah dibuat oleh tukang kayu di desa, (3) lebih ringan, mudah dibawa sehingga lebih mobil, (4) menghemat tenaga atau kalori. Mutu Gabah Hasil Panen Kadar air gabah saat dipanen berkisar antara 24,46% - 25,45% (Tabel 2), merupakan kadar air gabah ideal untuk dipanen (Damardjati et al., 1981). Panen padi pada kadar air tersebut akan menghasilkan (1) persentase gabah bernas tinggi, (2) hasil produksi padi yang diperoleh optimal, (3) beras yang dihasilkan bermutu baik. Telah dibahas di muka bahwa hasil panen ubinan berkisar antara 6.550,0 kg/ha – 7.802,7 kg/ha dan hasil panen riil yang diperoleh petani berkisar antara 6.108,4 kg/ha – 7.096,0 kg/ha (Tabel 2). Hasil panen tersebut lebih rendah dari hasil panen ubinan karena adanya gabah yang tercecer, rontok atau gabah tidak rontok sempurna yang ikut terbuang bersama jerami yang kesemuanya diperhitungkan sebagai hasil panen yang hilang. Penggunaan mesin perontok menghasilkan gabah lebih bersih dibandingkan dengan penggunaan pedal thresher ataupun cara banting, karena mesin perontok dilengkapi dengan kipas untuk menghembus kotoran dan gabah hampa. Gabah hasil perontokan dengan mesin perontok mengandung gabah hampa dan kotoran 3,59%, penggunaan pedal thresher
Prosiding Seminar Nasional menghasilkan gabah dengan kadar kotoran/gabah hampa 4,82% dan cara banting sekitar 8,92% (Tabel 2). Untuk mendapatkan gabah yang lebih bersih penggunaan pedal thresher perlu dilengkapi pula dengan alat penghembus. Kehilangan hasil panen masing-masing kelompok pemanen saat diuji dengan DMRT taraf 0,05 terdapat beda nyata, dimana untuk kelompok A 5,10c, kelompok B 6,77b, dan kelompok C 13,37a. Kadar kotoran gabah masing-masing kelompok pemanen saat diuji dengan DMRT taraf 0,05 juga terdapat beda nyata, dimana untuk kelompok A 3,59c, kelompok B 4,82b, dan kelompok C 8,92a. Pada kelompok A persentase kehilangan hasil dan kadar kotoran paling rendah karena pemotongan padinya potong atas dan langsung dimasukkan dalam karung sehingga padi yang hilang/rontok saat pengumpulan kecil, serta alat perontoknya dilengkapi kipas sehingga hasil perontokan lebih bersih. Pengembangan Kelompok Pemanen dan Alat Perontok Salah satu cara menekan kehilangan hasil panen padi adalah melalui pengembangan pemanenan padi dengan sistem kelompok (beregu) dan perontokannya menggunakan mesin perontok. Pada pemanen padi dengan sistem kelompok dengan jumlah pemanen antara 20 orang – 30 orang untuk luasan satu hektar, harus dikoordinir oleh seorang ketua kelompok. Ketua kelompok pemanen selain sebagai pemanen juga berkewajiban membagi tugas kepada anggotanya. Cara kerja dan upah kerja terikat dalam satu kelompok. Dalam proses perontokan, kelompok pemanen dapat menggunakan alat perontok berupa mesin perontok atau pedal thresher milik sendiri, sistem sewa atau dikerjakan oleh pihak lain, yaitu kelompok jasa perontok atau Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA). Untuk menunjang kegiatan kelompok jasa pemanen, maka perlu dikembangkan pula kelompok jasa perontok yang bertugas merontok padi atau menyewakan alat perontok atau mesin perontok kepada kelompok jasa pemanen. Dengan demikian, kelompok jasa pemanen hanya bertugas memotong padi dan mengumpulkan potongan padi pada satu tempat. Untuk selanjutnya proses perontokan padi dikerjakan oleh kelompok jasa perontok (UPJA). Untuk menjaga keberlajutan produksi tinggi, pihak BPTP Yogyakarta akan
membina petani kooperator bekas pengkajian agar teknologi perontokan padi dapat berkembang dan berkelanjutan. Usaha pengembangan kelompok jasa pemanen dan jasa perontok harus didukung juga oleh Pemerintah Daerah setempat, dengan menghilangkan faktor-faktor yang menghambatnya.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil pengkajian ini dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain : 1. Kapasitas dan kemampuan kerja power thresher, pedal thresher lebih baik dibanding cara banting/gebot sehingga akan menguntungkan petani jika diintroduksi. 2. Tingkat kehilangan hasil panen dari ketiga alat/mesin berturut - turut sebesar 5,10% (power thresher), 6,77% (pedal thresher), dan yang tertinggi 13,37% (gebot). 3. Gabah yang dihasilkan dari power thresher bermutu paling baik kemudian pedal thresher dan terakhir cara gebot. 4. Power thresher atau pedal thresher jika dipakai oleh petani akan bisa menambah pendapatan jika dibanding pakai gebot.
PUSTAKA Balai Penelitian Tanaman Padi. 2002. Rencana Strategis Penelitian Tanaman Padi Tahun 1997 – 2005. Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi. 91 hal. Damardjati, D. S, Hari Suseno dan Soesansono Wiyadi. 1981. Penentuan Umur Optimum Padi Sawah (Oryza sativa, L). Penelitian Pertanian 1: 19 -26. Direktorat Jendral Tanaman Pangan. 1992. Petunjuk Penanganan Pasca Panen (Pedoman Pengembangan Usaha Jasa Pelayanan Pasca Panen). Jakarta. 39 p. Mudjisihono, Rob, Sutrisno, dan Agus Setyono. 1998. Evaluasi Sistem Pemanen Padi Cara Tabela Dalam Menunjang SUTPA di Daerah Istimewa Yogyakarta, Prosiding Ilmiah dan Lokakarya Teknologi Spesifik Lokasi Dalam Pengembangan Pertanian dengan Orientasi Agribisnis, BPTP Ungaran. P 42-55.
89
Prosiding Seminar Nasional Rachmat, R., A. Setyono, dan R. Thahir, 1993. Evaluasi Sistem Pemanen Beregu Menggunakan Beberapa Model Mesin Perontok. Agrimek Vol. 4 dan 5. No. 1, 1992-1993.P 1-7. Rumiati dan Soemardi, 1982. Evaluasi Hasil Penelitian Peningkatan Mutu Padi dan Palawija. Dalam Risalah Lokakarya Pasca Panen Tanaman Pangan. Bogor, April 1982. Setyono, Sutrisno dan S. Nugraha. 1998. Uji Coba Regu Pemanen dan Mesin Perontok Padi dalam Pemanen Padi Sistem Beregu. Prosiding Seminar Ilmiah dan Lokakarya Teknologi Spesifik Lokasi dalam Pengembangan Pertanian dengan Orientasi Agribisnis. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Ungaran. Yogyakarta, 26 Maret 1998. p 56-69.
90
Setyono, Sutrisno dan S. Nugraha. 2001. Pemanen Padi Sistem Kelompok dengan Memanfaatkan Kelompok Jasa Pemanen dan Jasa Perontok. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. Vol. 20. No. 2: 51-57.
Prosiding Seminar Nasional
PEMANFAATAN BUAH SEMU JAMBU METE MENJADI SIRUP DI KECAMATAN TODANAN KABUPATEN BLORA Dwi Nugraheni, Budi Hartoyo dan Kendriyanto Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah ABSTRAK Jambu mete (Anacardium occidentale L) tergolong tanaman yang mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi. Hampir semua bagian tanaman dapat dimanfaatkan, mulai dari buah sejati, buah semu, kulit biji dan kulit ari, akar, batang serta daun. Dari buah semu jambu mete dapat dibuat produk olahan yang mempunyai nilai ekonomis antara lain minuman anggur, selai, manisan, cuka, abon, dan sirup. Kegiatan dilakukan pada bulan Juni – Desember 2006 di Kecamatan Todanan Kabupaten Blora. Identifikasi mutu yang dilakukan terhadap produk sirup jambu mete adalah mutu kimiawi (kadar gula, pengawet dan total mikrobia) dan mutu organoleptik.(aroma, rasa, warna dan kekentalan). Berdasarkan kadar gula, pengawet serta total bakterinya sirup jambu mete memenuhi persyaratan mutu sebagai produk minuman. Kesukaan panelis terhadap aroma dan warna sirup jambu mete tidak menunjukkan perbedaan nyata. Terhadap aroma, rasa, warna dan kekentalan sirup jambu mete kesukaan panelis berkisar antara netral sampai agak suka. Panelis lebih menyukai rasa dan kekentalan sirup B dan C dibanding sirup A. Kata kunci: Jambu mete, sirup, mutu, panelis
PENDAHULUAN Jambu mete ( Anacardium occidentale L) tergolong tanaman yang mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi. Selain itu, menurut Indriati et al., (2002) jambu mete termasuk salah satu buah yang berpotensi tinggi menghasilkan antioksidan. Hampir semua bagian tanaman dapat dimanfaatkan, mulai dari buah sejati, buah semu, kulit biji dan kulit ari, akar, batang serta daun. Kabupaten Blora merupakan sentra produksi komoditas-komoditas pertanian yang potensial sebagai bahan baku agroindustri, antara lain adalah jambu mete. Tanaman jambu mete (Anacardium occidentale) tahan terhadap kekeringan dan dapat tumbuh baik pada kondisi tanah dan iklim tropis (Sastrahidajat dan Sumarno, 1991). Jambu mete dibudidayakan di 12 kecamatan di Kabupaten Blora, dengan populasi terbesar di kecamatan Todanan. Pada tahun 2003 populasi tanaman jambu mete di Kabupaten Blora mencapai 28.731 pohon, dimana 25.160 pohon telah berproduksi (BPS Kabupaten Blora, 2003). Sampai saat ini produk usaha budidaya jambu mete yang dipasarkan oleh petani hanya biji mete, baik dalam bentuk gelondong maupun kacang mente, sementara buah semu masih belum dimanfaatkan. Dari buah semu
jambu mete dapat dibuat produk olahan yang mempunyai nilai ekonomis antara lain minuman anggur, selai, manisan, cuka, abon, dan sirup. Ditinjau dari segi komposisi dan nilai gizinya, buah semu jambu mete mempunyai kandungan vitamin dan mineral yang cukup tinggi, kadar vitamin C-nya antara 147-372 mg/100 gram, mengandung vitamin B1, B2 niasin, serta asam amino dan kandungan P yang cukup (Suhartono, 1993). Buah semu jambu mete juga mempunyai kandungan tanin yang cukup tinggi yaitu antara 0,06 sampai dengan 0,22 g/100g (Ohler, 1979). Selain itu jambu mete juga mengandung asam-asam organik seperti asam malat, sitrat dan lainnya yang berfungsi sebagai zat antioksidan (Madhavi et al., 1996). Kubo et al. (1993) telah meneliti bahwa pada jus buah semu jambu mete juga mengandung zat anti tumor. Sirup adalah sejenis minuman ringan berupa larutan kental dengan citarasa beraneka ragam. Berbeda dengan sari buah, sirup penggunaannnya tidak langsung diminum tetapi harus diencerkan terlebih dahulu. Pengenceran diperlukan karena kandungan gulanya tinggi, yakni sekitar 65%. Pada dasarnya sirup terbuat dari larutan gula yang kental. Untuk menambah rasa dan aroma, sering disertai penambah rasa, pewarna, asam sitrat, asam tartrat, atau asam
91
Prosiding Seminar Nasional laktat (Satuhu, 2004). Pembuatan sirup buah jambu mete tidak memerlukan proses dan peralatan yang rumit. oleh karena itu, usaha pembuatan sirup ini cocok dijadikan kegiatan rumah tangga ataupun dikembangkan sebagai industri kecil menengah di pedesaan yang berwawasan komersial. Berdasarkan latar belakang masalah dan potensi sumberdayanya, di Kabupaten Blora dilakukan kegiatan yang bertujuan untuk percepatan peningkatan pendapatan rumah tangga tani melalui pengembangan agroindustri berbasis jambu mete.
BAHAN DAN METODE Kegiatan dilakukan pada bulan Juni – Desember 2006, di Kecamatan Todanan Kabupaten Blora. Bahan baku utama berupa buah semu jambu mete diperoleh dari petani, sedangkan bahan pembantu serta bahan tambahan dibeli dari toko bahan kue terdekat. Alat yang digunakan berupa alat untuk membuat sirup berupa dan alat analisa. Analisa mutu fisiko-kimia dan mikrobiologi sirup jambu mete dilakukan di laboratorium THP UGM, sedangkan analisa mutu organoleptik dilakukan di BPTP Jateng, dengan panelis sebanyak 34 orang. Uji hedonik juga disebut uji kesukaan. Dalam uji hedonik, selain mengemukakan tanggapan senang, suka atau kebalikannya, panelis juga mengemukakan tingkat kesukaannya. Tingkat-tingkat kesukaan ini disebut skala hedonik. dalam penganalisaan, skala hedonik ditransformasi menjadi skala numerik dengan angka menaik menurut tingkat kesukaan (Sukarto 1982). Hasil pengujian dianalisis dengan uji Anova, dan uji lanjut Duncan dengan selang kepercayaan 95%. untuk mengetahui ada tidaknya
perbedaan kesukaan panelis terhadap sirup jambu mente (Rahayu, 1998). Pembuatan sirup buah jambu mete dilakukan dengan variasi pada banyaknya sari buah sebagai bahan baku utama, berdasarkan prosedur dari Balitro yang dimodifikasi sebagai berikut: 1. 2. 3. 4.
Buah jambu mete masak sebanyak 1 kg Pencucian dan pengirisan Ekstraksi air buah Sari buah hasil ekstraksi sebanyak 650 ml dilakukan penyaringan dan penambahan air (1:2); 1:1 dan 2:1 5. Pengendapan selama 24 jam dan ambil beningannya 6. Didihkan sari buah bening selama 5 menit, buang busa-busa yang terapung 7. Tambahkan gula pasir (1:1) dan glukosa/fruktosa sebanyak 0,25 kg tiap 1 liter campuran sari buah dan air 8. Angkat, diamkan selama 10 menit, tambahkan asam sitrat sebanyak 0,50 gr dan 0,25 gr Natrium benzoat per liter campuran sari buah dan air, dan pewarna sebanyak 10 ml per liter 9. Pembotolan dalam botol steril 10. Pasteurisasi selama 30 menit
HASIL DAN PEMBAHASAN Persyaratan mutu khususnya yang menyangkut mutu organoleptik seperti aroma, rasa, warna dan kekentalan haruslah menjadi perhatian utama, disamping produk itu harus aman sebagai makanan yang siap dikonsumsi. Sehubungan dengan belum tersedianya SNI sirup jamu mete pada saat ini, maka sirup jambu mete dibandingkan dengan SNI sirup. Hasil Analisis Fisiko-Kimia dan Mikrobiologis sirup jambu mete disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Hasil analisis fisiko-kimia dan mikrobiologis sirup jambu mete Jenis sirup
Kadar gula total (%)
Pengawet (Na Benzoat) ppm
Angka lempeng total (cfu/ml)
A B C
49,57 53,88 54,21
287,88 281,30 227,73
6,5x100 1,25x101 1,2x101
Persyaratan atribut mutu sirup jambu mete yang dibandingkan adalah, aroma, rasa, warna, kadar gula, pengawet dan total mikrobia. Sedangkan cemaran logam berat,
92
dan cemaran mikroba yang lain dianalisa. Untuk pemanis buatan juga dianalisa karena dalam pembuatan sirup ditambahkan pemanis buatan. Pemanis
tidak tidak tidak yang
Prosiding Seminar Nasional digunakan dalam pembuatan sirup jambu mete adalah gula pasir (sukrosa) dan glukosa yang juga berfungsi sebagai pengental. Kadar gula sirup berkisar antara 49-54% dihitung sebagai gula total, cukup memenuhi syarat jika dibandingkan dengan definisi sirup yang dinyatakan oleh Satuhu (2004), bahwa kandungan gula sirup sekitar 65%. Penambahan bahan pengawet sebanyak 2,5 gram per liter sirup cukup memenuhi syarat kesehatan. Saparinto dan Hidayati (2006)
menyebutkan bahwa penggunaan Na benzoat pada minuman ringan maksimal sebesar 600 mg/kg. Berdasarkan ciri-ciri bau, rasa, warna (uji hedonik), dan hasil pengujian terhadap kadar gula, pengawet serta total bakteri, dapat disimpulkan bahwa sirup jambu mete memenuhi persyaratan mutu sebagai produk minuman. SNI sirup dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. SNI sirup Kriteria uji Keadaan Aroma Rasa Warna Gula (dihitung sebagai sakarosa) Pemanis buatan Pewarna Pengawet Pb Cu Zn As Angka lempeng total Kapang Khamir Sumber: SNI (1996)
Satuan
Persyaratan
% (b/b)
mg/kg
Koloni/ml
Ada tiga macam sirup jambu mete yang diuji, yakni A (sari buah: air=1:2), B (sari buah: air=1:1), dan C (sari buah: air=2:1). Hasil pengujian dianalisis dengan uji ANOVA, dan uji lanjut Duncan dengan selang kepercayaan 95%, untuk mengetahui ada
Normal Normal Normal Min 6,5 Tidak boleh ada Sesuai SNI 01-0222-1987 Sesuai SNI 01-0222-1987 Maks 1 10 25 0,5 Maks 5x102 50 50
tidaknya perbedaan kesukaan panelis terhadap sirup jambu mete (Rahayu, 1998). Hasil uji Duncan terhadap Atribut mutu aroma, rasa, warna dan kekentalan sirup jambu mete disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil uji Duncan terhadap Atribut mutu aroma, rasa, warna dan kekentalan sirup jambu mete Sampel
Atribut mutu Aroma 4.87
a
B
5,11
a
C
5.03a
A
Rasa 4,58 5.21
a
b
5.18b
Warna
Kekentalan
5.32
a
5,06a
5.47
a
5.21ab
5.39a
5.32b
Keterangan: A= sirup dengan sari buah : air = 1 : 2 B= sirup dengan sari buah : air = 1 : 1 C= sirup dengan sari buah : air = 2 : 1 1= sangat suka, 2= tidak suka, 3= agak tidak suka, 4= netral, 5= agak suka, 6= suka Dari tabel 2 terlihat bahwa kesukaan panelis terhadap aroma dan warna sirup jambu mete tidak menunjukkan perbedaan
nyata. Kesukaan panelis terhadap aroma, rasa, warna dan kekentalan sirup jambu mete berkisar antara netral sampai agak suka. Ada
93
Prosiding Seminar Nasional kecenderungan bahwa panelis lebih menyukai sirup dengan konsentrasi sari buah jambu mete yang lebih tinggi (B dan C). Dengan konsentrasi sari buah jambu mete yang lebih tinggi akan diperoleh sirup dengan aroma jambu mete yang lebih khas, lain halnya untuk sirup A yang aromanya kurang khas jambu mete. Selain itu secara umum aroma alami sirup buah-buahan cenderung kurang tajam aromanya. Hal ini dikarenakan senyawa penyusun aroma buah banyak yang hilang selama proses pembuatan sirup. Pada sirup jambu mete ini tidak ditambahkan essence karena essence jambu mete belum ditemukan di pasaran. Kesukaan panelis terhadap warna sirup jambu mete berada pada kisaran agak sukasuka. Pewarna orange ditambahkan pada pembuatan sirup jambu mete, karena warna sirup tanpa pewarna hanya seperti warna air teh hijau yang kurang mencirikan warna dari buah semu jambu mete. Hasil uji Duncan terhadap atribut mutu rasa dan kekentalan menunjukkan bahwa terdapat beda nyata. Panelis lebih menyukai rasa sirup B dan C dibanding sirup A. Hal ini dimungkinkan karena rasa sirup B dan C lebih terasa khas jambu mete. Sirup A dengan konsentrasi air buah jambu mete lebih rendah (1:2) lebih terasa sebagai air gula. Panelis juga lebih menyukai kekentalan sirup B dan C, kemungkinan disebabkan karena sirup tersebut terkesan lebih kental atau lebih gelap oleh warna sari buah jambu mete yang tidak jernih.
KESIMPULAN 1.
94
Dari hasil pengujian terhadap kadar gula, pengawet serta total bakteri, sirup jambu mete memenuhi persyaratan mutu sebagai produk minuman
2. Kesukaan panelis terhadap aroma dan warna sirup jambu mete tidak menunjukkan perbedaan nyata. Terhadap aroma, rasa, warna dan kekentalan sirup jambu mete kesukaan panelis berkisar antara netral sampai agak suka. Panelis lebih menyukai rasa dan kekentalan sirup B dan C dibanding sirup A.
PUSTAKA Suhartono, 1993. Memanfaatkan Buah Mete sinar tani Ohler, J.G. 1979. Chashew. Departement of agricultural research amsterdam. Kubo Isaq, Ochi Masamitsu, Vilira Paula, & Komatsu Sakai (1993) Antioxidant Agents From the Cashew (Anacordium occidentale) Apple Juice. J. Agric.Food. Chem. Vol 41 (6) Madhavi, D.L, Deshpande, S.S. & Salunkhe, D.K. Food Antioxidants Technological, Toxicological and Health Perspectives. Marcel Dekker Inc. New York. Indriati A, Simon B W dan Sugeng R. 2002. Analisis Aktifitas Antioksidan pada buah Jambu Mete (Annacardium Occidentale L). Biosain Vol 2. No. 1 Saparinto C dan Diana H. 2006 Bahan Tambahan Pangan. Kanisius. Yogyakarta. Satuhu S. 2004. Penanganan dan Pengolahan Buah. Penebar Swadaya. Jakarta. Soekarto S T. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Bhratara Karya Aksara. Jakarta. Rahayu WP. 1998. Penuntun Praktikum Penilaian Organoleptik. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi IPB. Bogor.
Prosiding Seminar Nasional
PEMBUATAN PASTA TOMAT MEDIUM DENGAN BLOWER EVAPORATOR DAN ANALISIS MUTUNYA (Processing of medium tomato paste with blower evaporator and their quality analysis) Ermi Sukasih, Sunarmani dan Iceu Agustinisari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dalam rangka mendukung kegiatan pengembangan teknologi pengolahan tomat menjadi pasta di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian di Garut, Jawa Barat. Penelitian bertujuan untuk mempelajari proses pembuatan pasta tomat menggunakan evaporator dengan sistem pemanas blower dan melakukan analisis mutu pasta tomat yang dihasilkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses evaporasi pasta tomat medium dengan TSS 14oBrix memerlukan waktu selama 9 jam dengan suhu evaporator adalah 58 s/d 71oBrix. Laju evaporasi terbesar terjadi pada jam ke-3 sebesar 6,95 L/jam. Rendemen pasta tomat yang dihasilkan adalah 18,5%. Pasta tomat ini mempunyai mutu yang berbeda dengan pasta tomat impor seperti Heinz dan Delmonte karena perbedaan total padatan terlarut. Selama penyimpanan satu bulan dalam kemasan jerigen dan kantong plastik polipropilen beberapa parameter mutu pasta tomat mengalami penurunan seperti vitamin C dan kecerahan warna, sementara total mikroba dan total asam mengalami peningkatan. Kata kunci: Pasta, tomat, evaporator, blower
ABSRACT The research was done in order to support tomato processing technology to develop program which is conducted by Indonesian Centre for Agriculture Postharvest Research and Development at Garut West Java. The research was conduct to study tomato paste processed using blower evaporator and analized quality of their product. The research showed that evaporation process of tomato paste with TSS 14oBrix needs time at least 9 hours at evaporator temperature 58 to 71oC. Rate of the highest evaporation was reached at third hours of 6,95 L/hour. The yield of tomato paste was 18,5%, was different in total solid and this will differ with product from Heinz and Delmonte. For one month storage, parameters of quality tomato paste will be decline in vitamin C and color lightness, but acid total and microbe total will be increase. Key words: Paste, tomato, evaporator, blower
PENDAHULUAN Dalam mendukung program pengembangan teknologi pengolahan tomat BB Pascapanen bekerja dengan Dinas Pertanian Kabupaten Garut mengadakan kerjasama dalam proses pengolahan tomat lomenjadi beberapa produkolahan yang salah satunya hádala pasta tomat. Pasta tomat adalah tomat lumat yang ditingkatkan konsentrasinya dengan evaporasi, dengan atau tanpa tambahan garam, dengan atau tanpa tambahan daun basil, dengan atau tanpa tambahan sodium karbonat murni untuk menetralisir bagian asam, dan mengandung tidak kurang dari 22% padatan tomat yang dideteksi dengan pengeringan vakum pada suhu 70oC. Apabila konsentrasi padatan tomat mencapai 33%, dinamakan konsentrat pasta tomat (Cruess, 1958 dalam Bella, 2000).
Pasta merupakan produk setengah jadi yang berguna sebagai bahan campuran produk pangan yang memerlukan flavor buah tomat khususnya untuk pembuatan saos. Industri pengolahan saos di Indonesia pada umumnya menggunakan pasta tomat impor sebagai bahan baku pembuatan saus tomat. Industri kecil dan menengah mensiasati kelangkaan pasta tomat dengan menggunakan bahan lain, diantaranya labu, pepaya, dan tepung tapioka. Penelitian mengenai teknologi pengolahan pasta tomat telah dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Sayuran pada tahun 1993. Dari penelitian tersebut diperoleh hasil varietas tomat (TW-375), teknologi pengolahan pasta tomat skala laboratorium dan formulasi terbaik pasta tomat dengan mutu yang baik adalah dengan menggunakan tepung maizena 1% (Marpaung, 1993). Penelitian lanjutan dilakukan untuk mendapatkan pasta tomat dengan mutu setara
95
Prosiding Seminar Nasional pasta impor tanpa penambahan bahan pengisi. Hasil penelitian Ameriana et al., (2002) mengungkapkan bahwa telah diperoleh teknologi pembuatan pasta tomat skala laboratorium yang mutunya setara dengan pasta tomat impor (standar imdustri pengolahan saus), kecuali dalam hal warna. Penelitian pasta tomat lainnya menunjukkan hasil yang sama. Pasta tomat yang dihasilkan dari tomat jenis Arthaloka, Martha dan Idola berwarna merah kecoklatan (Sunarmani et al., 2003), sementara industri saus tomat menghendaki pasta dengan warna merah cerah supaya saus tomat yang dihasilkan berwarna merah. Bermacam-macam proses pembuatan pasta tomat yang telah dilakukan di Balai Besar Pascapanen adalah dengan sistem pemanasan dalam tangki evaporator berjaket dan dengan sistim pemanasan biasa. Kedua cara tersebut mempunyai kelemahan karena suhu sulit untuk di kontrol dan cenderung berfluktuasi sehingga pasta yang dihasilkan berwarna coklat. Disisi lain pembuatan pasta tomat dengan evaporator vakum memerlukan biaya yang tinggi. Salah satu cara untuk menguapkan bubur tomat adalah dengan pemanasan tidak langsung yaitu dengan blower evaporator. Evaporasi adalah merupakan proses yang melibatkan pindah panas masa secara simultan. Pada proses ini sebagian air atau pelarut diuapkan sehingga akan diperoleh statu produk yang simultan. Pada proses ini sebagian air atau pelarut akan diuapkan sehingga akan diperoleh suatu produk yang kental (konsentrat). Penguapan terjadi karena cairan akan mendidih dan berlangsungnya perubahan fase dari cair menjadi uap (Wirakartakusumah, 1988). Proses evaporasi dilakukan dengan cara mendidihkan bubur tomat dalam bejana sampai sejumlah air diuapkan secukupnya dan dihasilkan produk
96
dengan konsistensi yang diinginkan (Mac Carthy, 1986). Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari proses pembuatan pasta tomat menggunakan evaporator dengan sistem pemanas blower dan melakukan analisis mutu pasta tomat yang dihasilkan.
BAHAN DAN METODE Proses Pembuatan Pasta Tomat Medium dengan Blower Evaporator Buah tomat yang digunakan adalah varietas Martha kelas mutu II yang diperoleh STA (Sub Terminal Agribisnis) Bayongbong, Garut. Untuk mendapatkan warna merah yang seragam setelah pemeraman, pada saat sortasi awal, dipilih tomat dengan tingkat ketuaan kuning semburat merah. Pengentalan pasta tomat dilakukan dengan menggunakan blower evaporator berkapasitas 100 liter. Sebanyak 80 kg buah tomat yang telah disortasi dicuci bersih dan ditiriskan. Selanjutnya, tomat dikukus (blanching) selama 10 menit setelah air mendidih. Tomat dihancurkan dengan menggunakan pulper selama 5-10 menit. Pulper dilengkapi dengan saringan, sehingga bubur tomat yang keluar dari pulper sudah halus dan siap untuk dievaporasi. Sebanyak 56,8 l bubur tomat dimasukkan ke dalam evaporator dan dilakukan proses evaporasi pada suhu sekitar 60-70oC. Pada akhir pemasakan ditambahkan zat pengawet kalium sorbat sebesar 400 ppm dan vitamin C sebesar 1000 ppm. Proses evaporasi dihentikan pada saat total padatan terlarut (TSS) mencapai sekitar 14oBrix. Setelah itu dilakukan proses pengemasan dalam botol jerigen yang terlebih dahulu di sterilisasi dengan uap dan kantong plastik PP secara hot filling dan disimpan. Diagram alir proses pembuatan pasta tomat medium disajikan pada Gambar 1.
Prosiding Seminar Nasional Tomat Segar
Sortasi
Pencucian
Blanching dengan uap panas, 10 menit
Tomat: tekstur lunak berair, kulit pecah
Penghancuran dg Pulper (5-10 menit)
Evaporasi T:60-70oC
Sterilisasi kemasan
Pasta tomat TSS 14oBrix
Pengawet dan Vitamin C
Analisa awal
Pengemasan
Penyimpanan
Analisa pada penyimpanan 1 bulan
Gambar 1. Diagram alir proses pembuatan pasta tomat medium dengan blower evaporator Pengamatan dan Analisa Selama proses evaporasi selang waktu satu jam dilakukan pengamatan terhadap suhu, tinggi permukaan bahan, volume pasta yang tertinggal (liter), volume pasta tomat terevaporasi (liter), kecepatan evaporasi (liter/jam) dan total padatan terlarut (TSS) serta perubahan warna. Sedangkan pada pasta tomat yang dihasilkan dilakukan analisa mutu terhadap beberapa parameter fisikokimiawi seperti: total asam (titrasi), warna (chromameter) , vitamin C (titrasi), pH, total mikroba (TPC) dan TSS (refraktometer).
Pengamatan dilakukan pada awal penyimpanan dan setelah satu bulan penyimpanan terhadap dua pasta tomat yang dikemas dalam jerigen dan kantong plastik polipropilen (PP).
HASIL DAN PEMBAHASAN Proses Pembuatan Pasta Tomat Medium dengan Blower Evaporator Proses pembuatan pasta tomat medium meliputi tahap-tahap sortasi, pencucian, pengukusan (blanching), pembuburan,
97
Prosiding Seminar Nasional penyaringan, pengentalan (evaporasi) dan pengemasan. Sortasi bertujuan untuk memisahkan buah tomat berdasarkan warna agar diperoleh tingkat kematangan yang seragam yang berpengaruh terhadap warna pasta tomat yang dihasilkan. Pencucian bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang menempel pada buah tomat untuk mengurangi kontaminan mikroba dan pestisida. Pengukusan (blanching) bertujuan untuk melunakkan jaringan kulit buah tomat sehingga mempermudah pelepasan kulit pada saat penghancuran. Blanching selama beberapa menit pada suhu 93oC selama beberapa menit akan menginaktifkan enzim pektinesterase (Colloth et al., 1952 dalam Bella, 2000). Selanjutnya Kertati (1991) menyatakan bahwa tomat yang diblanching selama 2,5 menit tidak mengalami perubahan warna dan mudah dikuliti. Proses pembuburan buah tomat dilakukan dengan menggunakan mesin pulper. Mesin ini terdiri dari bagian bak penampung (hopper) buah tomat dan silinder penghancur yang dilengkapi dengan pisau yang diputar oleh ulir yang mampu menghancurkan buah tomat serta mendorong ampas keluar melalui pintu pengeluaran. Mesin yang digunakan mempunyai kapasitas yang besar yaitu sekitar 750 s/d 900 kg/jam dengan rendemen bubur tomat yang dihasilkan adalah 65 s/d 85% (Sunarmani et al., 2006). Namun demikian ada sedikit kelemahan dari pulper ini dimana sebagian dari biji tomat masih terikut
sehingga perlu proses penyaringan. Bubur tomat disaring dengan getaran dan gaya sentrifugal sehingga cairan akan terpisah dari ampasnya. Tahapan proses yang paling penting dalam pembuatan pasta tomat ini adalah proses pengentalan atau evaporasi. Pengentalan bertujuan untuk memekatkan bubur tomat hingga bubur tomat mencapai total padatan terlarut (TSS) sebesar 14oBrix dari TSS awal 4oBrix. Evaporator yang digunakan terdiri dari bagian ruang pemanas yang dipanaskan oleh kompor gas LPG dan tangki evaporasi yang dilengkapi dengan elemen berlubang yang berfungsi untuk mengeluarkan udara panas dari sumber pemanas yang ditiup oleh blower. Elemen pemanas berlubang ini selama proses evaporasi harus tercelup bubur tomat. Udara panas yang keluar dari elemen akan menekan bubur tomat sehingga menimbulkan gesekan antar partikel bubur tomat sehingga mengakibatkan air lebih cepat menguap. Pada proses pembuatan pasta tomat suhu yang digunakan tidak boleh terlalu tinggi karena akan berpengaruh terhadap warna pasta tomat yang dihasilkan. Suhu yang digunakan sebaiknya tidak lebih dari 70oC. Hasil pengamatan terhadap evaporasi bubur tomat yang meliputi suhu, tinggi permukaan bahan, volume bahan tersisa, volume bahan terevaporasi, kecepatan evaporasi dan total padatan terlarut dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil pengamatan pembuatan pasta tomat medium dengan blower evaporator Waktu Pengamatan (Jam ke) 0
98
Suhu (oC) 68
Tinggi Permukaan Bahan (cm) 29,50
Volume Volume Bahan Bahan Terevaporasi (liter) (L) 56,80 0,00
Kecepatan Evaporasi (l/jam) 0
TPT (Brix) 4,0
1
58
28,00
50,00
6,80
6,80
4,0
2
70
30,50
47,20
6,80
6,80
4,5
3
71
33,00
40,25
6,95
6,95
5,0
4
66
34,50
36,08
4,17
4,17
5,4
5
61
37,00
29,14
6,95
6,95
6,2
6
58
37,80
26,91
2,22
2,22
8,0
7
65
39,00
23,58
3,26
3,26
8,4
8
71
41,00
18,02
3,16
3,16
11,0
9
66
41,00
14,80
3,05
3,05
14,6
Prosiding Seminar Nasional
Laju evaporasi bubur tomat (l/jam)
Berdasarkan hasil pengamatan (Tabel 1) dapat dilihat bahwa untuk mengentalkan bubur tomat dari TSS 4oBrix menjadi 14,6oBrix diperlukan waktu evaporasi selama 9 jam dengan rendemen 18,5%. Dari suhu evaporator yang awalnya di set sebesar 70oC tampaknya belum dapat stabil dan masih mengalami fluktuatif dimana suhu terendah adalah 58oC dan suhu tertinggi pada waktu evaporasi adalah 71oC. Fluktuasi suhu ini dipengaruhi oleh kelembaban (RH) ruang evaporasi yang cenderung tinggi pada saat proses evaporasi.
Tinggi permukaan bubur tomat dalam tangki evaporator bertambah antara 0,8 – 2 cm setiap jamnya. Sementara itu volume bubur tomat yang terevaporasi tidak konstan setiap jamnya. Pada satu jam pertama sampai lima jam volume bubur tomat yang terevaporasi mencapai 6,95 liter/jam, kemudian pada evaporasi jam ke 6 sampai jam ke 9 turun menjadi sekitar 3 l/jam. Hubungan antara lama evaporasi dan laju penguapan bubur tomat dapat dilihat pada Gambar 2.
8
6
4
2
0 0
2
4
6
8
10
Lama evaporasi (jam)
Gambar 2. Hubungan antara lama evaporasi dan laju penguapan bubur tomat pada proses evaporasi. Gambar di atas menunjukkan adanya kecenderungan bahwa laju evaporasi pada jam ke 1 s/d jam ke 5 adalah relatif konstan meskipun pada jam ke 4 sempat terjadi sedikit penurunan laju evaporasi dengan kisaran antara 4,17 s/d 6,95 l/jam. Bertambahnya waktu evaporasi juga mengakibatkan terjadinya peningkatan TSS hingga 6,2oBrix pada jam ke 5 evaporasi. Selanjutnya pada evaporasi jam ke 6 sampai jam ke 9 cenderung terjadi sedikit peningkatan laju evaporasi dan kemudian terjadi penurunan sampai akhir waktu evaporasi yang mencapai 3,05 l/jam. Hal ini juga diiringi dengan meningkatnya TSS sampai 14,6oBrix pada akhir proses evaporasi.
evaporasi air bebas pada bubur tomat lebih mudah mengalami penguapan, sementara itu pada jam ke 6 bubur tomat sudah mulai pekat,dimana air bebas mungkin sudah habis teruapkan dan tinggal air terikat sehingga lebih sulit untuk diuapkan. Selama evaporasi terjadi peningkatan kekentalan diikuti oleh perubahan sifat fisikokimia bubur tomat. Salah satu faktor yang menyebabkan peningkatan kekentalan adalah adanya senyawa pektin dari buah tomat yang membentuk gel jika dipanaskan. Semakin lama waktu pemanasan, gel yang terbentuk akan semakin banyak sehingga konsistensi bubur buah semakin pekat (Wirakartakusumah, 1988).
Fenomena menunjukkan bahwa pada awal proses evaporasi jam ke 1 s/d jam ke 5 laju evaporasi lebih besar daripada jam ke 6 s/d jam ke 9. Hal ini karena pada awal
99
Prosiding Seminar Nasional penelitian ini dilakukan pengamatan terhadap perubahannya pada setiap waktu pengamatan (Tabel 2). Tabel di atas menunjukkan bahwa semakin bertambahnya waktu evaporasi nilai L cenderung mengalami peningkatan seiring bertambahnya tingkat kekentalan pasta tomat yang mengakibatkan pigmen likopen lebih terkonsentrasi.
Analisis Beberapa Sifat Fisikokimia Pasta Tomat Peningkatan kekentalan bubur tomat diikuti oleh perubahan warna bubur tomat diinterpretasikan berupa peningkatan nilai L (kecerahan), a (merah) dan b (kuning). Warna merupakan parameter yang paling penting dalam pasta tomat, oleh karena itu pada Tabel 2. No.
Hasil pengukuran warna pasta tomat dengan chromameter setiap selang satu jam evaporasi Waktu Pengamatan (Jam ke-)
Warna L
a
b
1
0
11,87
15,57
23,86
2
1
11,01
16,75
26,69
3
2
10,92
16,09
27,68
4
3
11,44
17,88
34,25
5
4
12,23
20,81
38,71
6
5
14,86
26,71
44,76
7
6
15,42
27,05
44,97
8
7
20,28
37,41
49,14
9
8
17,77
23,94
54,09
10
9
25,4
33,43
54,50
Sedangkan hasil analisa beberapa sifat fisikokimia pasta tomat hasil proses evaporasi
dan setelah pasta tomat disimpan selama satu bulan disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Analisa fisikokimia pasta tomat pada awal dan setelah satu bulan penyimpanan. Kemasan Jerigen Parameter
Kemasan plastik PP
Penyimpanan satu bulan
Awal
Penyimpanan satu bulan
Awal
Warna L
27,55
26,78
27,51
25,29
A
9,87
10,83
11,01
9,05
B
15,38
18,41
17,37
15,61
1,36
1,22
1,06
1,22
442,57
193,51
456,80
235,20
4,22
4,29
4,27
4,3
6
7
6
1,8x107
Total asam(%) Vitamin C (mg/100 g) pH Total mikroba (CFU)
1,3x10
Warna pasta tomat hasil evaporasi belum memenuhi standar warna yang disyaratkan oleh CBR (Community Bureau of Reference) yaitu L = 24,5; a = 32; dan b = 14 (Kent,
100
1,2x10
2,5x10
1990). Hal ini karena perbedaan total padatan terlarut, TSS pasta tomat hasil penelitian adalah 14oBrix sedangkan TSS pasta tomat yang dimaksud adalah 28-40oBrix.
Prosiding Seminar Nasional Sementara itu total asam hampir mendekati total asam pasta tomat impor merk Heinz dan Delmonte (Tabel 4), tetapi untuk vitamin C pasta tomat hasil evaporasi lebih tinggi, hal ini karena adanya fortifikasi vitamin C sebesar 1000 mg/L. Untuk pH, pasta tomat hasil evaporasi lebih rendah dibandingkan dengan pasta impor,sementara TPC lebih tinggi hal ini diduga terjadi kontaminasi silang pada waktu proses pengemasan. Tabel 4. Analisa mutu pasta tomat impor merk Heinz dan Delmonte Parameter
Heinz
Vitamin C (mg/100g) 134,44 Total asam (g/100g) o
TSS ( Brix) pH
Delmonte 94,61
Rendemen pasta tomat yang dihasilkan adalah 18,5%. Walaupun mutu pasta tomat yang dihasilkan dengan proses evaporasi ini mempunyai mutu yang berbeda dengan pasta tomat impor seperti Heinz dan Delmonte, namun pasta tomat yang dihasilkan masih lebih bagus dibandingkan dengan pasta tomat yang dibuat dengan pemanasan biasa. Perbedaan mutu pasta tomat dengan pasta impor adalah karena ada perbedaan total padatan terlarut sehingga berpengaruh terhadap kandungan mutu yang lain. Selama penyimpanan satu bulan beberapa parameter mutu pasta tomat mengalami penurunan seperti vitamin C dan kecerahan warna, sementara total mikroba dan total asam mengalami peningkatan.
1,58
1,92
23,67
27,13
PUSTAKA
4,88
4,75
Ameriana, M., Hartuti. N. dan Sofiari, E. 2002. Kelayakan teknis dan fifansial pasta tomat hasil penelitian Balai Penelitian Tanaman Sayuran. J.Hort. 12(3) : 198206.
Sumber : Fibriani (2000) Setelah disimpan selama satu bulan beberapa komponen mutu pasta tomat mengalami penurunan. Menurunnya kecerahan warna (L) mengakibatkan pudarnya warna pasta tomat karena terjadi degradasi pigmen likopen selama penyimpanan (Henri et al., 1998). Total asam pada kemasan plastik mengalami peningkatan setelah disimpan. Peningkatan total asam mengindikasikan gejala kerusakan oleh karena asam-asam yang dihasilkan oleh mikroba seperti asam asetat (Villari et al., 1994 Dalam Fibriani (2000). Vitamin C mengalami penurunan yang cukup drastis selama penyimpanan hampir menurun setengahnya. Vitamin C bersifat sangat mudah teroksidasi selama penyimpanan. Menurut Lee dan Nagi (1996), vitamin C sangat sensitif terhadap panas, alkali, oksigen dan cahaya. Vitamin C atau asam askorbat akan mengalami penurunan sebesar 40% selama penyimpanan dua bulan. Sementara itu pH cenderung stabil selama penyimpanan dan TPC bertambah 1 log.
KESIMPULAN DAN SARAN Evaporator dengan blower dapat digunakan untuk pembuatan pasta tomat untuk skala industri. Proses evaporasi pasta tomat medium dengan TSS 14oBrix memerlukan waktu selama 9 jam dengan suhu evaporator adalah 58 s/d 71oBrix. Laju evaporasi terbesar terjadi pada jam ke 3 sebesar 6,95 L/jam.
Bella, D. S. 2002. Pengaruh Varietas dan Waktu Evaporasi Terhadap Mutu Pasta Tomat. (Skripsi) Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Fibriany, F.W. 2000. Studi Masa Simpan Pasta Tomat Dalam Kemasan Gelas dan Jerigen Dengan Metode Akselerasi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Henry, LK., Catignani, GL and SJ. Schwartz. 1998. Oxidative Degradation Kinetics of Lycopene, Lutein and 9-Cis and AllTrans Β Carotene. J.Am.Oil Chem. Soc 75:823-829. Lee, H S dan S. Nagi. 1996. Chemical Degradative Indicators to Monitor The Quality of Processed nnd Storage Citrus Products. Di dalam. Chemichal Markers for Processed and Stored Foods. American Chemichal Society, Washington, DC. Marpaung, L. 1993. Pengaruh Kultivar Tomat dan Jenis Bahan Pengisi Terhadap Mutu Saus Tomat. Bul Penel. Hort. 25(2) : 47-53. Sunarmani. 2003. Laporan Hasil Penelitian Teknologi Pengolahan Pasta Tomat. BB Litbang Pascapanen Pertanian, Bogor.
101
Prosiding Seminar Nasional Sunarmani. 2006. Laporan Hasil Penelitian Teknologi Pengolahan Pasta Tomat. BB Litbang Pascapanen Pertanian, Bogor.
102
Wirakartakusumah, M. A. 1988. PrinsipPrinsip Teknik Pangan. PAU Pangan dan Gizi IPB, Bogor.
Prosiding Seminar Nasional
PENGARUH PENGUPASAN DAN WAKTU PENYANGRAIAN TERHADAP SIFAT MINUMAN BUBUK KEDELAI (An experiment to evaluate the effects of soybean flour mixture and roasting time in beverage of soy flour) Rob. Mudjisihono, Heni Purwaningsih dan Nugroho Siswanto Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta
ABSTRAK Penelitian tentang Pengaruh Pengupasan dan Waktu Penyangraian terhadap Sifat Minuman Bubuk Kedelai telah dilakukan di BPTP Yogyakarta. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kedelai varietas Lokon hasil percobaan lapang. Perlakuan yang diterapkan meliputi perbandingan pencampuran antara biji kedelai utuh dan biji kedelai kupas dan perlakuan terhadap waktu penyangraian. Pencampuran biji kedelai utuh dan biji kedelai kupas adalah (100 : 0)%; (50 : 50)% dan (0 : 100)%, sedangkan waktu penyangraian adalah : 10 menit; 15 menit dan 20 menit. Adapun rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang disusun secara faktorial dengan ulangan tiga kali. Variabel yang diamati meliputi kadar air, warna, aroma, rasa, rendemen, kadar ekstrak kering kadar protein, kadar lemak dan kesukaan secara keseluruhan dari bubuk kedelai yang dihasilkan. Hasil percobaan menunjukkan bahwa adanya pengupasan akan menurunkan rendemen, kadar air pada minuman bubuk kedelai sangrai. Kadar ekstrak kering dari minuman bubuk kedelai tidak dipengaruhi oleh lama penyangraian maupun pengupasan. Waktu penyangraian yang semakin lama menyebabkan penurunan kadar air, kadar protein pada minuman bubuk kedelai . Jumlah total kadar lemak tidak berubah dengan adanya pengupasan maupun penyangraian. Perlakuan pengupasan dengan lama penyangraian 20 menit merupakan produk minuman bubuk kedelai yang paling disukai baik warna bubuk, aroma bubuk, rasa seduhan maupun aroma seduhannya. Kata kunci : Pengupasan, penyiangan, minuman, kedelai
ABSTRACT An experiment to evaluate the effects of soybean flour mixture and roasting time in beverage of soy flour was conducted at AIT Yogyakarta. Lokon variety of soybean were used in this experiment, treatment of the experiment included ratio of soybean flour mixture (100% whole grain; 50% whole grain + 50% pearled grain; and 100% pearled grain) and three roasting time i.e. 10 minute; 15 minute and 20 minute. Experiment was done in factorial completely randomized design with three replicant. Laboratory analysis included moisture content, yield recovery of extract flour, protein content, fat content and organoleptic test. The result indicated that soy flour beverage made from soy flour mixture with 15 minute roasting time give goodness of color, aroma, and taste. The addition of soybean flour mixture with three roasting time were not influenced to extract rate protein and lipid content.
PENDAHULUAN Usaha pemerintah untuk mengatasi masalah kekurangan gizi antara lain dengan memperbaiki cara-cara pengolahan sumber protein yang ada (Adil Basuki Ahza dan Suhadi Hardjo, 1979) seperti kedelai dan membuat produk olahan tersebut menjadi bubuk kedelai sebagai minuman yang murah dan bergizi tinggi yang dapat diterima konsumen. Dengan adanya usaha-usaha untuk peningkatan produksi kedelai, maka untuk selanjutnya perlu diperkenalkan dan disebarluaskannya pemanfaatan kedelai sebagai produk olahan minuman. Pemanfataan kedelai yang telah dikenal masyarakat adalah
susu kedelai. Sedangkan pemanfaatan kedelai sebagai minuman yang berasal dari penyangraian belum begitu dikenal. Namun menurut Tranggono et al. (1981) di negara lain seperti Amerika sudah lama dikenal kedelai sangrai ini tetapi digunakan dalam pembuatan makanan kecil. Untukmemperluas pemanfaatan kedelai kuni ng maka perlu dibuat suatu produk yang cara pembuatannya sederhana dan mudah diterapkan pada tingkat industri rumah tangga. Diharapkan dengan adanya produk minuman dari bubuk kedelai kuning sangrai ini dapat dijadikan alternatif petani dalam memanfaatkan kedelai kuning.
103
Prosiding Seminar Nasional Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perbandingan pencampuran antara kedelai kuning berkulit/utuh dengan kedelai kuning kupas terhadap sifat minuman bubuk kedelai kuning sangrai yang dihasilkan dan untuk mengetahui pengaruh waktu penyangraian terhadap sifat minuman bubuk kedelai kuning sangrai yang dihasilkan.
BAHAN DAN METODE Bahan, Alat dan Tempat Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah kedelai kuning varietas Lokon yang diperoleh dari IPPTP Yogyakarta. Alat-alat yang dipergunakan untuk pembuatan bubuk kedelai kuning sangrai adalah roaster (penyangrai kopi), blender merk National, ayakan Tyler 35 mesh, sendok, kuas, panci plastik dan kantong plastik. Peralatan yang digunakan untuk analisa kimia yang meliputi oven, desikator, labu takar, labu Kjehldahl, erlenmeyer, labu ekstraksi Soxhlet, kurs porselin, buret, water bath, destilator, dan muffle oven. Peralatan yang digunakan untuk uji organoleptik adalah gelas sloki, sendok, nampan, cawan dan borang. Untuk preparasi sampel dilaksanakan di Laboratorium Tanaman Pangan IPPTP Yogyakarta dan Laboratorium Jurusan Teknologi Hasil Pertanian FTP UGM. Kegiatannya meliputi analisis fisik dan analisis kimia serta uji organoleptik.
104
Rancangan Percobaan Perlakuan yang diterapkan meliputi perbandingan pencampuran antara biji kedelai utuh dengan biji kedelai kupas dan perlakuan terhadap waktu penyangraian. Perbandingan pencampuran antara biji kedelai utuh dan biji kedelai kupas yaitu: A0 (biji kedelai utuh); A1 (biji kedelai utuh 50% dan biji kedelai kupas 50%) dan; A2 (biji kedelai kupas 100%). Adapun waktu penyangraian adalah T1 (10 menit); T2 (15 menit) dan; T3 (20 menit). Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (Randomized Completely Block Design) (RAL/RCBD) yang disusun secara faktorial dengan tiga kali ulangan. Apabila antar perlakuan terdapat perbedaan nyata maka dilanjutkan dengan Uji Duncan's Multiple Range Test (DMRT) pada taraf nyata 5%. Evaluasi Produk Bubuk kedelai sangrai yang telah dibuat kemudian dilakukan analisis terhadap produk tersebut, yang meliputi pengujian terhadap sifat fisik (kadar ekstrak kering dan rendemen); pengujian terhadap sifat kimia (kadar lemak, kadar protein dan kadar air), dan pengujian Organoleptik (warna dan aroma bubuk, rasa dan aroma seduhan dan kesukaan secara keseluruhan). Adapun penilaian dalam pengujian ini berdasarkan skala nilai (Amerine, et.al., 1965) sebagai berikut: (1) amat sangat tidak suka; (2) sangat tidak suka; (3) tidak suka; (4) netral; (5) suka; (6) sangat suka, dan; (7) amat sangat suka.
Prosiding Seminar Nasional
Kedelai berkulit Sortasi Kedelai bersih Perendaman 12 Pengupasan kulit Penjemuran kadar air 9%) Kedelai Penyangraian (160C, 50 - 60 rpm) Penyangraian: (10 menit 175oC, 15 menit 175oC, 20 menit Rasio kedelai berkulit: kedelai kupas (100:0, 50:50, 0:100)
180oC)
Kedelai Penggilingan Kedelai sangrai Pengayakan 35 Bubuk kedelai
Sifat Kimia * kadar air * lemak
Sifat Fisika * rendemen * ekstrak kering
Uji organoleptis * warna bubuk * aroma
bubuk * protein
* rasa seduhan * aroma seduhan * kesukaan
keseluruhan
Gambar 1. Diagram alir pembuatan bubuk kedelai
105
Prosiding Seminar Nasional HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Bahan Dasar Kedelai kuning varietas Lokon merupakan bahan dasar pembuatan bubuk kedelai kuning sangrai. Dalam penelitian analisa ini meliputi analisa kadar air, kadar lemak, kadar protein, karbohidrat (by difference) dan kadar abu. Hasil analisa kimia bahan dasar dapat dilihat dalam Tabel 1. Tabel 1. Analisis proksimat kedelai kuning Komposisi kimia
Jumlah (%)
Kadar air
9,24 ± 0,06
Protein
34,22 ± 0,09
Lemak
15,21 ± 0,15
Kadar abu Karbohidrat
4,86 ± 0,14 36,47 ± 0,44
Anonimus (1982) untuk varietas Lokon adalah 35,3%. Sebagai pembanding misalnya adalah kandungan protein daging ayam 23,4%, ikan 18,3%, susu segar 3,6% dan telur 12,9% (De Mann, 1976). Sehingga kandungan protein biji kedelai cukup tinggi. Kandungan lemak biji kedelai adalah 15,21%, sedangkan kadar lemak menurut Anonimus (1982) untuk varietas Lokon adalah 15,8%. Karena kandungan lemak yang cukup tinggi ini maka produk olahan biji kedelai rawan terhadap proses ketengikan. Peristiwa ketengikan tersebut dimulai dengan terbentuknya asam lemak bebas dan asam lemak tidak jenuh, kemudian dengan adanya oksigen terbentuklah hidro peroksida yang selanjutnya mengalami perubahan lebih lanjut sampai terbentuk aldehid volatil yang menyebabkan bau tidak enak (Winarno, 1986). Analisa Sifat Fisik Bubuk Kedelai Kuning
Keterangan: Hasil rata-rata dari tiga ulangan Tabel 1 menunjukkan bahwa kandungan protein biji kedelai adalah 34,22%, sedangkan kadar protein menurut
Yang dimaksudkan dengan sifat fisik pada bubuk kedelai kuning sangrai ini adalah rendemen dan kadar ekstrak kering seperti tercantum pada Tabel 2 berikut :
Tabel 2. Hasil analisis rendemen dan kadar ekstrak kering pada produk minuman bubuk kedelai kuning Kedelai berkulit :
Waktu penyangraian
Kedelai kupas (%)
(menit)
Rendemen
Ekstrak kering
10
72,58 a
23,45 f
15
72,22 a
23,60 f
20
72,04 a
23,68 ef
10
64,51 b
24,67 c
15
64,56 b
24,21 d
20
64,55 b
23,89 e
10
61,27 c
25,68 a
15
62,61 c
25,35 b
20
61,98 c
24,90 c
100 : 0
50 : 50
0 : 100
Rata-rata (%)
Keterangan : Huruf yang sama pada kolom yang sama adalah menunjukkan tidak beda nyata pada tingkat signifikasi 5%, CV rendemen 1,582%; kadar ekstrak kering 0,660%
106
Prosiding Seminar Nasional 1. Rendemen Besarnya rendemen bubuk kedelai kuning sangrai dihitung dari perbandingan antara berat bubuk kedelai kuning sangrai yang diperoleh (gram) dengan berat bahan dasar mula-mula (gram) dikalikan 100 persen. Pengukuran rendemen ini bertujuan untuk mengetahui besarnya kehilangan berat kedelai kuning akibat pengaruh perlakuan lama penyangraian dan pengaruh pengupasan. Hasil analisis rendemen bubuk kedelai kuning sangrai disajikan dalam Tabel 2. Hasil analisis terhadap rendemen bubuk kedelai kuning sangrai tersebut tampak bahwa rendemen berkisar antara 61,27% 72,58%. Selain itu dari hasil analisis ini dapat diketahui bahwa pengaruh waktu penyangraian terhadap rendemen bubuk kedelai kuning sangrai memberikan hasil yang tidak berbeda nyata. Semakin lama waktu penyangraian maka rendemen bubuk kedelai kuning sangrai dalam kisaran yang sempit dan dari perhitungan anava diperoleh hasil yang tidak beda nyata. Menurut Hendrowidyatmoko (1991), bahan padat yang dapat dimakan hilang 3% pada penggorengan ringan hingga 14% pada penggorengan berat. Pengaruh lama penyangraian yang memberikan hasil tidak beda nyata ini kemungkinan karena penyangraian ini masuk dalam kategori penggorengan ringan sehingga kehilangan bahan padat hanya sedikit dan tidak memberikan pengaruh lama penyangraian terhadap bubuk kedelai sangrai yang dihasilkan. Perlakuan pengupasan memberikan pengaruh yang nyata terhadap rendemen bubuk kedelai kuning sangrai. Pada bubuk kedelai kuning sangrai yang berasal dari kedelai berkulit mempunyai rendemen yang paling tinggi sedangkan pada bubuk kedelai kuning sangrai yang berasal dari kedelai kupas mempunyai rendemen yang terendah. Dari hasil uji Duncan menunjukkan terjadinya perbedaan yang nyata karena pengaruh pengupasan ini. Hal ini disebabkan berat kulit pada biji kedelai sebanyak 8%, pengupasan kulit pada biji kedelai dan pengurangan kadar air dapat menurunkan berat biji 9 - 11%. Sehingga dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa berat kulit kedelai sebesar 8% berpengaruh terhadap
rendemen yang dihasilkan, disamping terjadinya penguapan air dan komponenkomponen yang mudah menguap lebih besar terjadi pada kedelai yang telah mengalami pengupasan. 2. Kadar ekstrak kering Kadar ekstrak kering bubuk kedelai kuning sangrai dihitung dengan metode Winton. Hasil analisis persentase ekstrak kering bubuk kedelai kuning sangrai disajikan di dalam Tabel 2. Hasil analisis terhadap persentase kadar ekstrak kering bubuk kedelai kuning sangrai tersebut tampak bahwa kadar ekstrak kering berkisar antara 23,45% - 25,68%. Menurut Sivetz (1963), kadar ekstrak kering kopi hasilnya harus lebih dari 20%, karena bila kurang dari 20% maka berarti kopi tersebut tercampur zat yang tidak memberikan suatu ekstrak pada perebusan dengan air. Dari hasil analisis dapat diketahui bahwa pengaruh waktu penyangraian maupun pengupasan bubuk kedelai kuning sangrai memberikan hasil yang beda nyata. Perbedaan kadar ekstrak kering dari bubuk kedelai kuning sangrai pada berbagai perlakuan memberikan hasil yang relatif kecil. Namun cukup berarti karena dari hasil ini dapat diketahui bahwa waktu penyangraian dan rasio pengupasan diperoleh kadar ekstrak kering seperti yang diharapkan pada pembuatan kopi bubuk (sama-sama produk minuman) yaitu lebih dari 20%. Menurut Sivetz (1963), penentuan kadar ekstrak kering dari kopi tergantung pada suhu penyangraian, hasil penggilingan dan suhu penyeduhan. Semakin tinggi suhu penyangraian maupun suhu penyeduhan dan semakin halus penggilingan maka kadar ekstrak kering semakin tinggi. Penggilingan dalam pembuatan minuman bubuk kedelai kuning sangrai ini menggunakan blender yang sama untuk berbagai perlakuan dan kemudian pada tahap pengayakan juga digunakan ayakan Tyler 35 mesh untuk semua perlakuan sehingga dalam hal ini penggilingan dianggap tidak memberikan pengaruh terhadap kadar ekstrak kering. Demikian juga untuk pengaruh suhu penyeduhan karena dalam prosedur analisa kadar ekstrak kering ini digunakan air yang mendidih untuk semua perlakuan sehingga dianggap suhu penyeduhan tidak memberikan pengaruh terhadap kadar ekstrak kering yang dihasilkan. Adanya pengaruh yang nyata
107
Prosiding Seminar Nasional terhadap kadar ekstrak kering minuman bubuk kedelai kuning yang dihasilkan karena suhu penyangraian berkisar antara 1600C, sehingga suhu penyangraian inilah yang menyebabkan terjadinya perbedaan yang nyata akibat adanya perlakuan pengupasan dan variasi waktu penyangraian.
Analisa Kandungan Kimia Bubuk Kedelai Kuning Kandungan kimia yang dianalisa pada bubuk kedelai kuning sangrai ini adalah kadar air, kadar protein dan kadar lemak. Hasil analisis terhadap kandungan kimia bubuk kedelai kuning tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil analisis kadar air, protein dan lemak produk olahan minuman bubuk kedelai kuning Kedelai berkulit : Kedelai kupas(%)
100 : 0
50 : 50
0 : 100
Waktu Penyangraian (menit)
Rata-rata (%) kadar air
protein
lemak
10
8,56 a
34,22 a
14,86 a
15
4,37 b
33,51 b
13,97 a
20
2,16 c
30,52 c
14,89 a
10
1,57 d
37,87 d
14,42 a
15
1,15 e
35,73 e
14,22 a
20
0,86 f
31,14 f
13,97 a
10
1,52 d
40,23 g
14,45 a
15
1,03 e
38,53 h
13,90 a
20
0,64 g
36,81 i
14,21 a
Keterangan : Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak beda nyata pada tingkat signifikasi 5%. CV kadar protein 0,75%, kadar protein 3,07% dan kadar lemak 3,08% 1. Kadar air Pengukuran kadar air dilakukan dengan metode thermogravimetri (pemanasan secara langsung), ini dimaksudkan untuk mengetahui kandungan air yang ada dalam bubuk kedelai kuning sangrai akibat pengaruh perlakuan lama penyangraian pada suhu tinggi dan pengaruh pengupasan. Hasil perhitungan persentase kadar air bubuk kedelai kuning sangrai disajikan pada Tabel 3. Menurut Matz (1956), dalam proses pengeringan air dalam bahan dapat keluar melalui sobekan atau perlukaan mekanis sehingga lapisan pelindung hilang, dengan suhu yang tinggi dan waktu yang lama air akan diubah ke dalam fase uap dan rusaknya lapisan pelindung akan mempermudah hilangnya fase uap tersebut. Hasil analisis terhadap persentase kadar air bubuk kedelai kuning sangrai tersebut tampak bahwa kadar air berkisar antara 0,64% - 8,56% (Tabel 3).
108
Dari hasil analisis dapat diketahui bahwa pengaruh waktu penyangraian terhadap kadar air bubuk kedelai kuning sangrai adalah sangat signifikan. Semakin lama waktu penyangraian maka kadar air bubuk kedelai kuning sangrai semakin berkurang. Dari pernyataan Matz (1956) sebelumnya bahwa suhu yang tinggi dan lama pengeringan akan dapat mempermudah penguapan air. Perlakuan pengupasan juga berpengaruh nyata terhadap kadar air bubuk kedelai kuning sangrai. Pada bubuk kedelai kuning sangrai yang berasal dari kedelai berkulit mempunyai kadar air yang paling tinggi dan pada bubuk kedelai kuning sangrai yang berasal dari kedelai kupas mempunyai kadar air yang terendah. Hasil uji Duncan menunjukkan terjadinya perbedaan yang nyata karena pengaruh pengupasan ini. Hal ini disebabkan pada kedelai berkulit penguapan air terhalang
Prosiding Seminar Nasional oleh lapisan pelindung dari kulit kedelai tersebut. Selain itu transpor molekul air ke permukaan bahan menjadi sulit karena panas harus melalui lapisan pelindung untuk sampai ke keping biji paling dalam. Sedangkan pada kedelai yang telah dikupas, pemanasan langsung dapat mengenai keping biji sehingga transpor molekul air ke permukaan bahan dan terjadinya penyebaran air menjadi suatu lapisan di permukaan bahan menjadi lebih mudah dan akhirnya terjadilah penguapan. Interaksi perlakuan pengolahan yaitu pengupasan dan waktu penyangraian memberikan hasil yang berbeda nyata pada uji Duncan, hal ini berarti bahwa kadar air bubuk kedelai kuning sangrai sangat dipengaruhi oleh kedua perlakuan tersebut. 2. Kadar protein Kadar protein bubuk kedelai kuning sangrai diukur dengan metoda MikroKjehldahl, merupakan kadar protein kasar. Pengukuran kadar protein ini dimaksudkan untuk mengetahui kadar protein kasar dalam bubuk kedelai kuning sangrai yang telah mengalami penyangraian pada suhu tinggi dan pengaruh pengupasan. Menurut Zuheid-Noor (1987), akibat perlakuan panas terhadap kacang-kacangan, maka nilai gizi protein dapat mengalami perubahan. Tingkat perubahannya antara lain dipengaruhi oleh lama pemanasan, suhu pemanasan dan ada tidaknya cairan selama proses pemanasan tersebut. Hasil perhitungan persentase kadar protein bubuk kedelai kuning sangrai disajikan dalam Tabel 3. Hasil analisis terhadap persentase kadar protein bubuk kedelai kuning sangrai tersebut tampak bahwa kadar protein berkisar antara 30,52% - 40,23%. Kadar protein ini berada dibawah dan diatas kadar protein mula-mula yaitu 34,22% (Tabel 1). Sehingga pengaruh lama penyangraian maupun pengupasan dapat mempengaruhi kadar protein kedelai. Kadar protein tertinggi pada perlakuan kedelai kupas dengan lama penyangraian 10 menit, sedangkan kadar protein terendah terdapat pada perlakuan kedelai tanpa pengupasan dengan lama penyangraian 20 menit. Dari hasil analisis dapat diketahui bahwa pengaruh waktu penyangraian terhadap kadar protein bubuk kedelai kuning sangrai adalah
sangat signifikan. Semakin lama waktu penyangraian maka kadar protein bubuk kedelai kuning sangrai semakin berkurang. Menurut Tranggono et al. (1988), proses sangrai dapat menyebabkan denaturasi pada kedelai diikuti dengan kerusakan lisin, sistin dan triptophan. Sedangkan menurut Badenhop dan Hackler (1971), penyangraian selama 4 menit pada suhu 1800C menyebabkan penurunan kehilangan asam amino triptophan 35%, lisin 17%, sistin 75% dan metionin 6%. Aplikasi panas pada kedelai mentah menyebabkan penurunan ketersediaan beberapa molekul protein. Hal ini ditandai dengan penurunan nilai biologi protein lebih besar sebab panas menyebabkan sistin tidak tersedia pada hewan percobaan (Markley, 1950). Perlakuan pengupasan juga berpengaruh nyata terhadap kadar protein bubuk kedelai kuning sangrai. Pada bubuk kedelai kuning sangrai yang berasal dari kedelai berkulit mempunyai kadar protein yang paling rendah dan pada bubuk kedelai kuning sangrai yang berasal dari kedelai kupas mempunyai kadar protein yang tertinggi. Hasil uji Duncan menunjukkan terjadinya perbedaan yang nyata karena pengaruh pengupasan ini. Akibat penghilangan kulit biji maka total kandungan protein dalam kedelai akan naik dibanding kedelai utuh (Tranggono et al.,. 1981). Sedangkan menurut Snyder dan Kwon (1987) pada pembuatan tepung kedelai perlu pengupasan agar diperoleh kadar protein yang lebih tinggi yaitu 49%. Kulit kedelai terdiri 8% dari total komposisinya sedangkan kadar proteinnya adalah 9%. Interaksi perlakuan pengolahan yaitu pengupasan dan waktu penyangraian memberikan hasil yang berbeda nyata, hal ini berarti bahwa kadar air bubuk kedelai kuning sangrai sangat dipengaruhi oleh kedua perlakuan tersebut. Adanya pengupasan dan waktu penyangraian yang lebih pendek (10 menit) akan menghasilkan kadar protein yang lebih tinggi dibandingkan pada kedelai berkulit dengan waktu penyangraian yang lebih lama (20 menit). 3. Kadar lemak Kadar lemak
bubuk
kedelai
kuning
109
Prosiding Seminar Nasional sangrai diukur dengan metode ekstraksi menggunakan alat Soxhlet. Kadar lemak yang didapat merupakan kadar lemak kasar, hasil perhitungan persentase kadar lemak bubuk kedelai kuning sangrai (Tabel 3). Dari hasil analisis terhadap persentase kadar lemak bubuk kedelai kuning sangrai tersebut tampak bahwa kadar lemak berkisar antara 13,90% 14,89%. Kadar lemak ini hanya mengalami penurunan yang tidak banyak bila dibandingkan dengan kadar lemak mula-mula. Dari hasil analisis dapat diketahui bahwa tidak terdapat pengaruh lama penyangraian terhadap kadar lemak bubuk kedelai kuning sangrai sehingga berdasarkan analisis varian didapat pengaruh yang tidak beda nyata. Pemanasan tidak memberikan pengaruh terhadap total lemak kasar tetapi pemanasan pada bahan berlemak ini akan dapat menyebabkan perubahan kimia. Perlakuan pengupasan juga tidak berpengaruh nyata terhadap kadar lemak bubuk kedelai kuning sangrai. Pada bubuk kedelai kuning sangrai yang berasal dari kedelai berkulit mempunyai kadar lemak yang tidak berbeda jauh dengan bubuk kedelai kuning sangrai yang berasal dari kedelai kupas. Hasil uji Duncan menunjukkan terjadinya perbedaan yang tidak nyata karena pengaruh pengupasan ini.
Menurut Siegel dan Brian (1976), penggunaan panas untuk penyangraian bisa menjadikan sebagian kulit biji lepas, selain itu kulit biji kedelai hanya terdiri atas 1% dari 8% total komposisi kedelai. Interaksi perlakuan pengolahan yaitu pengupasan dan waktu penyangraian memberikan hasil yang tidak berbeda nyata pada uji Duncan, hal ini berarti bahwa kadar lemak bubuk kedelai kuning sangrai tidak dipengaruhi oleh kedua perlakuan tersebut. 4. Uji organoleptik Uji organoleptis bertujuan untuk mengetahui kesukaan konsumen terhadap 9 variasi perlakuan bubuk kedelai kuning sangrai maupun seduhannya. Dari pengujian tersebut dapat diketahui pada waktu penyangraian dan perbandingan pengupasan berapa, produk ini masih disukai oleh konsumen yang diwakili oleh 15 orang panelis. Metode yang digunakan dalam pengujian organoleptis ini adalah Hedonic Test (Amerine et al., 1965) dengan menggunakan 15 orang panelis terlatih. Pengujian ini dilakukan terhadap warna dan aroma bubuk, rasa dan aroma seduhannya serta kesukaan terhadap keseluruhan (Tabel 4).
Tabel 4. Hasil pengujian organoleptis warna bubuk dan aroma bubuk Kedelai berkulit: Kedelai kupas (%)
100 : 0
50 : 50
0 : 100
Rata-rata
Waktu Penyangraian (menit)
Warna bubuk
10
3,000 de
2,933
e
15
2,467
e
2,677
e
20
3,933
c
3,067
e
10
3,867
c
2,933
e
15
4,067
c
3,867 cd
20
3,733 cd
3,800 d
10
4,267 bc
4,733 ab
15
4,933 ab
4,533 bc
Aroma bubuk
20 5,267 a 5,333 a Keterangan: Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak beda nyata pada tingkat signifikasi 5%. CV warna bubuk 25,651%; aroma bubuk 24,556%
110
Prosiding Seminar Nasional a. Warna bubuk kedelai kuning Warna pada bahan makanan mempunyai pengaruh terhadap penerimaan konsumen, bahan makanan yang bergizi, enak dan teksturnya baik tidak akan dimakan bila memiliki warna yang tidak sedap dipandang (Winarno, 1986). Warna tersebut timbul karena adanya rangsangan dari seberkas sinar energi radiasi yang jatuh ke indera mata (Bambang Kartika et al., 1988). Perbandingan kasukaan terhadap warna bubuk kedelai kuning dari hasil penilaian panelis dapat dilihat pada Tabel 4. Nilai rata-rata uji kesukaan terhadap warna bubuk kedelai kuning berkisar antara 2,4 - 5,3. Nilai terendah yaitu 2,4 (tidak disuka) ada pada kedelai campuran dengan lama penyangraian 15 menit. Sedangkan nilai 5,3 (agak disukai) terdapat pada kedelai kupas dengan lama penyangraian 20 menit. Warna kedelai sangrai yang berasal dari kedelai kupas lebih disukai dibanding warna kedelai sangrai yang berasal dari kedelai campuran maupun kedelai berkulit. Penilaian kesukaan penelis terhadap warna kedelai sangrai yang berasal dari kedelai kupas masuk dalam kategori netral sampai dengan agak disukai. Sedangkan warna kedelai sangrai dengan lama pemanasan 20 menit cenderung lebih disukai dibandingkan dengan penyangraian selama 10 menit dan 15 menit. Warna bubuk kedelai kuning dari hasil penyangraian ini dipengaruhi oleh derajat penyangraian. Menurut Hendrowidyatmoko (1991), derajat penyangraian atau tingkat penyangraian akan berpengaruh terhadap warna biji, warna tersebut bisa agak coklat sampai dengan coklat gelap atau hitam. Pada proses pembuatan minuman dari bubuk kedelai kuning ini, variasi waktu penyangraian dimaksudkan untuk mendapatkan biji kedelai yang agak gosong sampai dengan lewat gosong. Warna yang dihasilkan adalah dari agak coklat sampai dengan coklat gelap. Penyebab terjadinya warna ini adalah adanya reaksi pencoklatan Maillard antara asam amino dengan gula reduksi
karena pemanasan dengan energi panas yang tinggi. Berdasarkan hasil diatas dapat diketahui bahwa warna bubuk kedelai kuning sangrai yang lewat gosong lebih disukai dibandingkan warna bubuk yang agak gosong dan gosong. Hal ini kemungkinan disebabkan panelis menyamakan produk ini dengan warna bubuk kopi, karena kenampakannya yang menyerupai. b. Aroma bubuk kedelai kuning Aroma merupakan bagian dari flavor dan didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dapat diamati dengan indera pembau. Untuk dapat menghasilkan zat-zat bau tersebut harus dapat menguap, sedikit larut dalam lemak (Bambang Kartika et al., 1988). Perbandingan kasukaan terhadap aroma bubuk kedelai kuning dari hasil penilaian panelis dapat dilihat di Tabel 4. Menurut Morries (1951), selama penyangraian terjadi pembebasan dan pengembangan aroma dari bahan yang disangrai sedangkan zatzat terlarut air dan substansi flavor yang mudah menguap akan muncul terekstraksi setelah penggilingan menjadi partikel-partikel bubuk yang lebih halus. Berdasarkan hasil perhitungan statistik diperoleh bahwa aroma kedelai sangrai yang berasal dari kedelai kupas lebih disukai dibanding aroma kedelai sangrai yang berasal dari kedelai campuran maupun kedelai berkulit. Sedangkan aroma kedelai sangrai dengan lama pemanasan 20 menit cenderung lebih disukai dibandingkan dengan penyangraian selama 10 menit dan 15 menit meskipun perbedaan ini relatif kecil. Menurut Wolf dan Cowan (1977), perlakuan panas terhadap biji kedelai yang telah dikupas akan memberikan inaktivasi lipoksigenase yang dapat menaikkan skor flavor. Sedangkan bau langu dari enzim lipoksigenase akan hilang karena perlakuan pemanasan pada suhu tinggi. 5. Pengujian organoleptik seduhan bubuk kedelai kuning Pengujian ini meliputi rasa dan aroma seduhan. Adapun hasil pengujian ini dapat dilihat dalam Tabel 5.
111
Prosiding Seminar Nasional Tabel 5. Hasil pengujian organoleptik rasa seduhan dan aroma seduhan Kedelai berkulit: Kedelai kupas (%)
100 : 0
50 : 50
0 : 100
Waktu Penyangraian (menit)
Rata-rata Rasa seduhan
Aroma seduhan
10
2,867
f
2,267 d
15
3,933 cd
3,667 c
20
4,867 abc
4,000 b
10
4,133 bcd
3,267 c
15
3,533
ef
3,867 c
20
5,133
a
4,733 a
10
4,600
ef
4,667ab
15
4,467 bcd
5,400 a
20 5,467 a 5,400 a Keterangan : Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak beda nyata pada tingkat signifikasi 5%. CV rasa seduhan 24,487%; aroma seduhan 23,180% a. Aroma seduhan bubuk kedelai kuning
dengan lama penyangraian 10 dan 15 menit.
Menurut Morries (1951), zat-zat terlarut air dan substansi flavor yang mudah menguap akan muncul terekstraksi setelah penggilingan menjadi partikel-partikel bubuk yang lebih halus. Perbandingan kesukaan terhadap warna bubuk kedelai kuning dari hasil penilaian panelis dapat dilihat pada Tabel 5.
b. Rasa seduhan bubuk kedelai kuning
Nilai rata-rata uji kesukaan terhadap aroma seduhan bubuk kedelai kuning berkisar antara 2,2 - 5,4. Nilai terendah yaitu 2,2 (tidak disuka) ada pada kedelai campuran dengan lama penyangraian 15 menit. Sedangkan nilai 5,4 (agak disukai) terdapat pada kedelai kupas dengan lama penyangraian 20 menit. Aroma seduhan kedelai sangrai yang berasal dari kedelai kupas lebih disukai dibanding aroma kedelai sangrai yang berasal dari kedelai campuran maupun kedelai berkulit. Sedangkan aroma seduhan kedelai sangrai dengan lama pemanasan 20 menit cenderung lebih disukai dibandingkan dengan penyangraian selama 10 menit dan 15 menit. Dari hal di atas dapat diketahui bahwa aroma pada seduhan bubuk kedelai sangrai yang ditimbulkan oleh kedelai kupas yang lewat gosong cenderung lebih disukai dibanding kedelai sangrai yang berasal dari kedelai yang berkulit maupun campuran
112
Rasa berbeda dengan bau dan lebih banyak melibatkan panca indera lidah (Winarno, 1986). Sedangkan menurut Bambang Kartika et al. (1988), rasa merupakan gabungan bermacam rasa secara terpadu yang menimbulkan rasa yang utuh. Bila salah satu komponen penyusun produk mempunyai konsentrasi yang lebih tinggi dari komponen yang lain maka akan dominan. Perbandingan kesukaan terhadap rasa seduhan dari bubuk kedelai kuning dari hasil penilaian panelis dapat dilihat pada Tabel 5. Nilai rata-rata uji kesukaan terhadap rasa seduhan dari bubuk kedelai kuning berkisar antara 2,8 5,4. Nilai terendah yaitu 2,8 (tidak disuka) ada pada kedelai campuran dengan lama penyangraian 15 menit. Sedangkan nilai 5,4 (agak disukai) terdapat pada kedelai kupas dengan lama penyangraian 20 menit. Dari perhitungan statistik yang dilakukan diperoleh hasil yang beda nyata untuk setiap perlakuan. Rasa seduhan kedelai sangrai yang berasal dari kedelai kupas lebih disukai dibanding rasa seduhan kedelai sangrai yang berasal dari kedelai campuran maupun kedelai berkulit. Sedangkan rasa seduhan dari kedelai sangrai dengan lama pemanasan 20 menit cenderung
Prosiding Seminar Nasional lebih disukai dibandingkan dengan penyangraian selama 10 menit dan 15 menit.
produk minuman bubuk kedelai kuning yang berasal dari kedelai kupas dengam lama penyangraian 20 menit ini yang mempunyai kemiripan rasa dengan seduhan dari bubuk kopi yang merupakan minuman yang telah lama dikenal dan banyak dikonsumsi.
Dari hal diatas dapat diketahui bahwa rasa pada seduhan bubuk kedelai sangrai yang ditimbulkan oleh kedelai kupas yang lewat gosong cenderung lebih disukai dibanding kedelai sangrai yang berasal dari kedelai yang berkulit maupun campuran dengan lama penyangraian 10 dan 15 menit. Menurut Hendrowidyatmoko (1991), kadar ekstrak kering yang terlarut dalam air pada waktu penyeduhan merupakan bagian yang paling berpengaruh terhadap citarasanya, dikatakan bahwa semakin tinggi kadar ekstrak kering maka citarasanya akan semakin enak.
6. Kesukaan keseluruhan minuman bubuk kedelai kuning Tingkat kesukaan konsumen terhadap suatu produk tidak hanya ditentukan oleh satu sifat saja. Tingkat kesukaan konsumen ditentukan oleh beberapa sifat sensoris yang secara bersama-sama menentukan kualitas produk. Setelah penilaian terhadap warna dan aroma bubuk serta aroma dan rasa seduhan minuman bubuk kedelai kuning maka kemudian dilakukan penilaian kesukaan secara keseluruhan terhadap produk ini. Hasil penilaian kesukaan keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 6.
Dari hasil analisis (Tabel 5) dapat diketahui bahwa kadar ekstrak kering pada kedelai kupas lebih tinggi dibanding kedelai berkulit maupun campuran keduanya. Selain itu hal ini kemungkinan disebabkan persepsi panelis yang menyamakan antara rasa
Tabel 6. Hasil pengujian organoleptik kesukaan secara keseluruhan Kedelai berkulit : Kedelai kupas (%)
Waktu Penyangraian (menit)
100 : 0
50 : 50
0 : 100
Rata-rata kesukaan
10
2,467 e
15
2,800 e
20
3,067 de
10
3,533 cd
15
3,600 cd
20
4,330 bc
10
4,400 b
15
4,667 b
20
5,267 a
Keterangan: Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada tingkat signifikasi 5%. CV kesukaan 20,886%, Nilai 1 = amat sangat tidak suka, 2 = sangat tidak suka, 3 = tidak suka, 4 = netral, 5 = suka, 6 = sangat suka, 7 = amat sangat suka Hasil perhitungan statistik yang dilakukan, dapat diketahui bahwa perlakuan pengupasan dan lama penyangraian tidak secara nyata mempengaruhi tingkat kesukaan panelis. Nilai rata-rata uji kesukaan secara keseluruhan terhadap minuman dari bubuk kedelai kuning berkisar antara 2,4 -
5,2. Nilai terendah yaitu 2,4 (tidak disukai) ada pada kedelai campuran dengan lama penyangraian 10 menit. Sedangkan nilai 5,2 (agak disukai) terdapat pada kedelai kupas dengan lama penyangraian 20 menit.
113
Prosiding Seminar Nasional Secara keseluruhan minuman bubuk kedelai sangrai yang berasal dari kedelai kupas lebih disukai dibanding warna kedelai sangrai yang berasal dari kedelai campuran maupun kedelai berkulit. Selain itu minuman bubuk kedelai sangrai dengan lama pemanasan 20 menit cenderung lebih disukai dibandingkan dengan lama penyangraian 10 dan 15 menit. Dari hal diatas, maka kesukaan keseluruhan panelis terhadap minuman dari bubuk kedelai kuning adalah pada produk yang berasal dari kedelai yang telah dikupas dengan lama penyangraian 20 menit.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Adanya pengupasan akan menurunkan rendemen, kadar air pada minuman bubuk kedelai kuning sangrai. 2. Kadar ekstrak kering dari minuman bubuk kedelai kuning tidak dipengaruhi oleh penyangraian maupun pengupasan. 3. Waktu penyangraian yang semakin lama menyebabkan penurunan kadar air, kadar protein pada minuman bubuk kedelai kuning. 4. Jumlah total kadar lemak tidak berubah dengan adanya pengupasan maupun penyangraian. 5. Perlakuan pengupasan dengan lama penyangraian 20 menit merupakan produk minuman bubuk kedelai kuning yang paling disukai baik warna bubuk, aroma bubuk, rasa seduhan maupun aroma seduhannya. Saran 1. Untuk modifikasi proses, perlu dilakukan penelitian lain dengan variasi suhu proses dan variasi waktu penyangraian serta perlakuan lain misalnya penambahan bahan campuran selain kedelai namun dengan nilai gizi yang tetap tinggi. 2. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan disarankan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui sejauh mana kerusakan komposisi kimia lemak akibat perlakuan pengupasan dan penyangraian misalnya dengan menghitung angka peroksida.
114
PUSTAKA Anonimus, 1982. Deskripsi Varietas Unggul Kacang-kacangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman, Departemen Pertanian, Bogor. Hal: 13 Adil Basuki Ahza dan Suhadi Hardjo, 1979. Minuman Bergizi dari Campuran Tepung Susu, Kedelai dan Jagung. Proceedings Seminar Teknologi Pangan IV. Balai Penelitian Kimia, Bogor. Hal: 65-69 Amerine, M.A., R.M. Pangborn, and E.B. Roessler, 1965. Principle of Sensory Evaluation of Food. Academic Press, New York. Hal: 366-373 Badenhop, A.F. and L. R. Hackler, 1971. Protein Quality of Dry Roasted Soybeans: Amino Acid Composition and Protein Efficiency Ratio. Journal of Food Science, 36: 1-4. Bambang Kartika, Pudji Hastuti dan Wahyu Hartono, 1988. Pedoman Pengujian Inderawi. PAU Pangan dan Gizi, UGM, Yogyakarta. Hal: 8-19 De Mann, 1976. Principle of Food Chemistry. The Avi Publishing Co. Inc., Westport, Connecticut. Hal: 88 Hendrowidyatmoko, 1991. Pengolahan Komoditas Perkebunan (Bahan Minuman Penyegar). PAU Pangan dan Gizi UGM, Yogyakarta. Hal: 123-126 Markley, K.S., 1950. Soybean and Soybean Product. Vol. I. Interscience Publisher Inc., New York. Hal: 112-117 Matz, S.A., 1965. Water in Foods. The Avi Publishing Co., Westport, Connecticut. Hal: 208 Morries, B. J., 1951. The Chemistry and Technology of Food and Food Products. Interscience Publisher, Inc., New York. Hal: 628-633 Siegel, A., and F. Brian, 1976. Food Legume and Utilization International Development Research Centre, Ottawa. Hal: 14-18 Sivetz, M., 1963. Coffea Processing Technology. The Avi Publishing Co. Connecticut. Hal: 203-213 Snyder, H.E., and T.W. Kwon,
1977.
Prosiding Seminar Nasional Soybean Utilization Avi Publishing, New York. Hal: 130 Tranggono, Zuheid-Noor dan Djoko Wibowo, 1981. Evaluasi Gizi Pengolahan Pangan. PAU Pangan dan Gizi, UGM. Hal: 232242.
Wolf, W.J., and C.J. Cowan, 1977. Soybean as Food Source, CRC Press The Chemical Rubber, Co, Ohio. Hal: 37 Zuheid-Noor, 1987. Teknologi Pengolahan Kacang-kacangan. PAU Pangan dan Gizi, UGM. Hal: 61
Winarno, 1986. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia, Jakarta. Hal 21-23
115
Prosiding Seminar Nasional KINETIKA PERUBAHAN MUTU FISIKOKIMIA BEBERAPA PRODUK PASTA TOMAT SELAMA PENYIMPANAN (Kinetic
of several tomato paste physicochemical quality degradation during storage) Sunarmani dan Ermi Sukasih Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian
ABSTRAK Penelitian dilakukan dalam mendukung agroindustri pengolahan tomat khususnya dalam penetapan masa simpan pasta tomat di Garut Jawa Barat. Penelitian bertujuan untuk mengetahui kinetika perubahan mutu beberapa parameter fisikokimia produk pasta tomat. Pasta tomat disimpan pada suhu 20oC, 28oC dan 40oC selama 10 minggu. Hasil penelitian menunjukkan kinetika perubahan mutu beberapa parameter fisikokimiawi beberapa produk pasta tomat mengikuti reaksi ordo satu. Vitamin C, kecerahan warna dan total padatan terlarut mengalami penurunan mutu selama penyimpanan, sedangkan total asam dan total padatan terlarut mengalami peningkatan. Semakin tinggi suhu penyimpanan mengakibatkan laju perubahan mutu meningkat yang dinyatakan oleh bertambahnya nilai slope pada model persamaan linier. Energi aktivasi (Ea) menunjukkan sensitivitas mutu pasta tomat terhadap perubahan suhu, makin besar nilai Ea maka makin besar pula sensitifitasnya terhadap perubahan mutu. Kata kunci: Kinetika, mutu, pasta, tomat
ABSRACT The research was done in ordor to support tomato processing technology at Garut West Java. The research was conduct to study kinetic degradation of physicochemical tomato paste during storage. Tomato paste was kept at temperatures 20oC, 28oC and 40oC for ten weeks. The research showed that kinetic of degradation paste tomato quality followed at first ordor reaction. Ascorbic acid, color lightness and total soluble solid was decreased in quality during storage, but acid total soluble solid was increased. The higher storage temperature affecting in rate of quality degradation so slope value will be increase too. The activation energy showed sensitivity of tomate paste concerning quality alteration during storage, the higher value means that tomato paste was more sensitive. Key words: Kinetic, quality, paste, tomato
PENDAHULUAN Produk pangan khususnya pasta tomat akan mengalami perubahan mutu selama proses penanganan, pengolahan, penyimpanan dan distribusi karena adanya interaksi dengan berbagai faktor, baik faktor lingkungan eksternal maupun internal. Interaksi tersebut sebaiknya diketahui karena penting dalam usaha-usaha minimalisasi kerusakan (Hariyadi, 2004). Teori kinetika merupakan dasar untuk menjelaskan kecepatan berbagai proses dan perubahan yang terjadi selama pengolahan dan penyimpanan makanan (Heldman dan Singh 1987). Penggunaan kinetika dalam bidang pangan pada dasarnya merupakan penerapan prinsip kinetika yang digunakan dalam reaksi kimia. Kinetika kimia ialah suatu telaah mengenai laju reaksi kimia dan perubahannya pada berbagai kondisi (Labuza
116
1983). Kinetika kimia berkaitan juga dengan perubahan suatu sifat kimia dalam suatu waktu (Steinfeld et al. 1989), misalnya kecepatan reaksi kinetika yang dapat diartikan sebagai kecepatan kerusakan komponen pangan karena proses pemanasan (sterilisasi) misalnya pada pengalengan (Wirakartakusumah et al. 1988). Perubahan mutu produk pangan selama pengolahan dan penyimpanan dapat didekati dengan dua cara pendekatan yaitu, pertama pendekatan mekaniktik dan kedua adalah pendekatan semi empiris. Pendekatan mekanistik adalah pendekatan yang ditekankan pada mekanisme reaksi. Sedangkan pendekatan semi empiris, mekanisme reaksi yang sesungguhnya maupun tahap-tahapnya tidak menjadi fokus perhatian, namun yang ingin diketahui adalah laju reaksi yang berlangsung.
Prosiding Seminar Nasional Nilai konstanta laju reaksi sangat dipengaruhi oleh suhu dimana reaksi tersebut berlangsung. Salah satu pendekatan untuk melihat bagaimana nilai konstanta berubah terhadap perubahan suhu adalah dengan persamaan Arhenius. Persamaan Arhenius banyak dipakai untuk mempelajari perubahanperubahan mutu pada produk pangan selama pengolahan maupun penyimpanan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinetika perubahan mutu beberapa parameter fisikokimia produk pasta tomat pada berbagai suhu penyimpanan selama jangka waktu tertentu. Penelitian dilakukan dalam rangka mendukung kegiatan teknologi pengolahan tomat di Garut. Kinetika perubahan mutu sangat diperlukan dalam perhitungan umur simpan pasta tomat yang dihasilkan.
BAHAN DAN METODE Pasta Tomat Pasta tomat dibuat di bangsal pengolahan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Bogor pada bulan April sampai September 2006. Pembuatan pasta tomat dilakukan secara manual, buah tomat yang diperoleh dari Stasiun Terminal Agribisnis (STA) Garut, diperam selama 2 hari agar kulit buahnya berwarna merah. Buah tomat berwarna merah dan tidak cacat dicuci dengan air mengalir dan ditiriskan. Sebanyak 3 kg tomat diblansir selama 5 menit dan dihancurkan dengan blender kemudian disaring untuk memisahkan antara biji dan bubur buah. Bubur buah dipanaskan sampai suhu mendidih (lebih dari 100oC) dalam panci stainless steal sambil diaduk-aduk. Pengawet (kalium sorbat), pewarna (ponceau red) dan gula masing-masing dengan konsentrasi 400 ppm, pewarna 500 ppm dan 5% ditambahkan pada saat pasta mencapai TSS 20oBrix. Pemanasan dilanjutkan sampai pasta memiliki TSS 28oBrix. Proses pemanasan berlangsung selama 3 jam.
tomat kontrol (tanpa tambahan). Pasta disimpan pada suhu 20oC di ruang ber-AC, suhu 28oC/ kamar dan suhu inkubator 40oC. Pengamatan selama penyimpanan dilakukan pada penyimpanan awal (minggu 0), minggu ke 2, minggu ke 4, minggu ke 6, dan minggu ke 8. Analisa Analisa yang dilakukan terdiri dari dua yaitu analisa kimia dan analisa kinetika. Analisa pengamatan dilakukan terhadap beberapa parameter mutu fisikokimia yang meliputi vitamin C, total asam, total padatan terlarut (TSS) dan kecerahan warna,. Vitamin C dan total asam dianalisa dengan menggunakan titrasi, total padatan terlarut diukur dengan refraktometer dan kecerahan warna diukur dengan chromameter. Analisis kinetika diawali dengan memprediksi tingkah laku penurunan mutu dengan melakukan plot grafik kinetika reaksi untuk ordo 0 dan ordo 1. Kecenderungan untuk dapat melihat suatu reaksi mengikuti ordo berapa adalah dengan melihat nilai korelasi (R2 ) yang lebih besar pada persamaan liniernya. Penurunan mutu ordo 0 adalah merupakan penurunan mutu yang konstan yang dinyatakan sebagai persamaan sebagai berikut. At – Ao = -kt ………….… (1) dimana : At = jumlah A pada waktu t Ao = jumlah awal A k = laju perubahan mutu t = waktu simpan Plot hubungan antara penurunan mutu dengan waktu penyimpanan pada reaksi ordo 0 dapat dilihat pada Gambar 1.
Penyimpanan Pasta Tomat Pasta dalam keadaan panas dikemas (hot filling) dalam botol plastik PP berukuran 100 gram. Ada empat macam pasta tomat yang dianalisis peerubahan mutunya, yaitu pasta yang ditambah pengawet (P), pasta dengan pengawet dan pewarna (PP), pasta dengan pengawet, pewarna dan gula (PPG) dan pasta
117
At
Prosiding Seminar Nasional
Waktu (Time)
Gambar 1. Hubungan antara mutu dan waktu penyimpanan pada reaksi ordo 0 Plot hubungan antara penurunan mutu dengan waktu penyimpanan pada reaksi ordo 1 dapat dilihat pada Gambar 2.
Ln At
Sedangkan penurunan mutu ordo 1 dinyatakan sebagai persamaan sebagai berikut. ln At – ln Ao = -kt ………................ (2)
Waktu
Gambar 2. Hubungan antara mutu dan waktu pada reaksi ordo 1 Setelah ordo reaksi ditetapkan, langkah selanjutnya adalah menetapkan nilai konstanta (k) yang menyatakan hubungan antara nilai mutu dengan lama penyimpanan pada masingmasing suhu penyimpanan terhadap masingmasing parameter mutu. Nilai ln k pada masing-masing suhu penyimpanan tersebut diplot dengan 1/T seperti yang terlihat pada Gambar 3 sehingga dapat diperoleh persamaan Arhenius sebagai berikut:
118
In k = ln ko –Ea/R . 1/T
........… (3)
dimana : k = konstanta kecepatan reaksi ko = konstanta pre-eksponensial Ea = energi aktivasi (KJ/mol) R = konstanta gas 1.987 (kal/mol) T = suhu mutlak (K)
ln k
Prosiding Seminar Nasional
1 /T (K )
Gambar 3. Hubungan antara ln k dengan 1/T pada persamaan Arhenius
HASIL DAN PEMBAHASAN Kinetika Perubahan Mutu Fisikokimia Pasta Tomat Selama Penyimpanan Vitamin C Hasil perhitungan kinetika menunjukkan bahwa pola perubahan mutu vitamin C beberapa produk pasta tomat mengikuti ordo satu karena nilai korelasi ordo reaksi satu cenderung lebih besar dari pada reaksi ordo 0. Penurunan mutu vitamin C selama penyimpanan menunjukkan korelasi yang tinggi dengan nilai R2 berkisar antara 0,61 s/d 0,97 pada reaksi ordo 1 (Tabel 1). Selama penyimpanan vitamin C mengalami penurunan pada semua produk pasta tomat.
Kecepatan penurunan mutu vitamin C sangat dipengaruhi oleh laju reaksi yang dinyatakan oleh k (slope). Besarnya nilai k berkisar antara 0,032 s/d 0,057, makin tinggi nilai k makin cepat terjadinya penurunan vitamin C. Tabel 1 menunjukkan bahwa makin tinggi suhu penyimpanan makin cepat terjadinya penurunan mutu. Penurunan vitamin C paling cepat terjadi pada produk pasta tomat PP yang disimpan pada suhu 40oC dengan persamaan linier Y = 0,057x + 4,73 yang berarti bahwa dengan penambahan waktu penyimpanan akan menyebabkan terjadinya penurunan kadar vitamin C pasta tomat PP sebesar 0,057 mg/100 g pasta tomat.
Tabel 1. Nilai slope, intersep dan korelasi pada reaksi ordo 0 dan ordo 1 vitamin C selama penyimpanan Produk
Ordo 0
Suhu (oC) [Slope (k)]
K
P
PP
PPG
40 28 20 40 28 20 40 28 20 40 28 20
Intersep
4,26 3,80 3,79 4,45 4,10 3,37 5,33 5,33 4,47 4,21 3,60 3,28
Keterangan: K = Kontrol PP = Penambahan pengawet dan pewarna
112,90 108,54 112,23 118,45 119,37 115,67 112,62 114,20 110,51 94,44 98,97 94,42
Ordo 1 Korelasi (R2) 0,97 0,93 0,92 0,96 0,73 0,94 0,94 0,90 0,64 0,78 0,91 0,78
[Slope (k)] Intersep 0,044 0,039 0,040 0,044 0,039 0,032 0,057 0,056 0,046 0,053 0,044 0,040
4,73 4,69 4,73 4,78 4,78 4,75 4,73 4,74 4,70 4,55 4,61 4,55
Korelasi (R2) 0,97 0,93 0,95 0,96 0,71 0,96 0,95 0,92 0,61 0,78 0,90 0,77
P = Penambahan pengawet PPG = Penambahan pengawet, pewarna dan gula
119
Prosiding Seminar Nasional
Beberapa faktor yang mempengaruhi mekanisme degradasi asam askorbat secara alami meliputi: suhu, konsentrasi gula, dan garam, pH, oksigen, enzim, katalis logam, konsentrasi awal asam askorbat, serta perbandingan asam askorbat dan asam dehidroaskorbat (Muchtadi et al., 1993). Ewaidah (1992), melaporkan hasil percobaannya selama penyimpanan jus apel dan jus nenas yang dikalengkan. Selama proses penyimpanan kandungan vitamin C produk yang disimpan pada suhu 5, 24, 33 dan 42 ºC berangsur-angsur mengalami penurunan dan dengan semakin tingginya suhu penyimpanan, kehilangan vitamin C produk juga semakin meningkat. Untuk mengetahui besarnya energi aktivasi (Ea) vitamin C dilakukan pendekatan 0 0.0031
dengan menggunakan persamaan Arhenius. Grafik hubungan antara ln k terhadap 1/T dari persamaan arhenius disajikan pada Gambar 4. Energi aktivasi (Ea) adalah tingkat energi minimum yang diperlukan untuk memulai suatu reaksi perubahan atau bagaimana suatu laju reaksi dipengaruhi oleh suhu (Koswara dan Kusnandar, 2004). Pasta tomat K mempunyai Ea paling rendah yaitu 4,91 KJ/mol, disusul oleh pasta tomat P sebesar 8,22 KJ/mol, PPG sebesar 10,84 KJ/mol dan yang terakhir adalah pasta tomat PP sebesar 11,37 KJ/mol. Nilai Ea yang tinggi menunjukkan tingkat sensitivitas yang tinggi terhadap perubahan vitamin C pasta tomat oleh suhu penyimpanan (Ahmed et al., 2004).
K 0.0032
0.0033
0.0034
0.0035
P PP PPG
-1 LnkvitaminC
Linear y K= -590.82x - 1.226 R2 = 0.93; Ea = 4.91 KJ/mol yP = -989.19x + 0.3411 R2 = 0.74; Ea = 8.22 KJ/mol yPP = -1367.6x + 1.2699 R2 = 0.94;Ea = 11.37 KJ/mol
-2
yPPG = -1303.7x + 1.2249 R2 = 0.99; Ea = 10.84 KJ/mol
-3
-4 1/T (K)
Gambar 4. Grafik hubungan antara ln k dan 1/T dari persamaan Arhenius vitamin C
Total Asam Analisis kinetika terhadap total asam beberapa produk pasta tomat menunjukkan bahwa pola penurunannya mengikuti reaksi ordo satu karena nilai korelasi ordo reaksi satu cenderung lebih besar dari pada reaksi ordo 0. Penurunan mutu total asam selama penyimpanan menunjukkan korelasi yang tinggi dengan nilai R2 berkisar antara 0,55 s/d 0,98 pada reaksi ordo 1 (Tabel 2).
120
Selama penyimpanan total asam mengalami peningkatan pada semua produk pasta tomat. Peningkatan total asam mengindikasikan telah terjadi kerusakan pada pasta tomat oleh aktivitas bakteri asam laktat dan khamir yang dapat mengkonversi gula menjadi asam laktat dan asam asetat. Laju peningkatan total asam tertinggi terjadi pada pasta tomat PPG yang disimpan pada suhu 40oC karena menunjukkan nilai slope paling tinggi yaitu sebesar 0,05 unit/hari. Pasta tomat ini dibuat dengan penambahan gula sebesar
Prosiding Seminar Nasional 5%. Gula dalam konsentrasi yang relatif rendah ini digunakan oleh mikroba sebagai sumber karbon sehingga dihasilkan asam dan mengakibatkan peningkatan total asam. Pasta tomat tersebut mempunyai model persamaan
linier Y = 0,41x + 0,83 yang berarti bahwa dengan penambahan waktu penyimpanan akan menyebabkan terjadinya peningkatan total asam pasta tomat PPG sebesar 0,41%.
Tabel 2. Nilai slope, intersep dan korelasi pada reaksi ordo 0 dan ordo 1 total asam selama penyimpanan Ordo 0 Suhu (oC)
Produk
40 28 20 40 28 20 40 28 20 40 28 20
K
P
PP
PPG
[Slope (k)]
Intersep
0,05 0,04 0,02 0,10 0,06 0,06 0,04 0,03 0,02 0,09 0,08 0,04
2,13 2,09 2,00 2,02 2,08 1,99 2,04 2,01 2,06 1,47 1,58 1,60
Sementara dari grafik Arhenius (Gambar 5) dapat diketahui bahwa pasta tomat P memiliki Ea paling rendah yaitu 18,81 KJ/mol, disusul oleh pasta tomat PP sebesar 23,88 KJ/mol, PPG sebesar 25,84 KJ/mol dan yang
Ordo 1 Korelasi (R2) 0,69 0,66 0,77 0,98 0,80 0,98 0,89 0,54 0,90 0,79 0,86 0,69
[Slope (k)]
Intersep
0,02 0,02 0,01 0,04 0,03 0,03 0,02 0,01 0,01 0,05 0,04 0,02
0,75 0,74 0,69 0,71 0,73 0,69 0,71 0,70 0,72 0,41 0,46 0,47
Korelasi (R2) 0,69 0,66 0,77 0,98 0,80 0,98 0,90 0,55 0,91 0,83 0,88 0,70
terakhir adalah pasta tomat K sebesar 33,48 KJ/mol. Dengan demikian pasta tomat K mempunyai tingkat sensitivitas yang paling tinggi terhadap perubahan total asam selama penyimpanan.
0 0.0032 0.0032 0.0033 0.0033 0.0034 0.0034 0.0035
K P PP
-1
PPG
Lnktotal asam
Linear -2 yK = -4027.7x + 9.1382 R2 = 0.9326; Ea = 33.48 KJ/mol -3
yP = -2263.4x + 3.998 R2 = 0.8759; Ea = 18.81 KJ/mol y PP= -2872.8x + 5.0934 R2 = 0.9983; Ea = 23.88 KJ/mol
-4
yPPG = -3108.3x + 6.9651 R2 = 0.8377; Ea = 25.84 KJ/mol -5 1/T (K)
Gambar 5. Grafik hubungan antara ln k dan 1/T dari persamaan Arhenius total asam
121
Prosiding Seminar Nasional Total Padatan Terlarut (TSS) Nilai korelasi total padatan terlarut beberapa produk pasta tomat ordo satu cenderung lebih besar daripada reaksi ordo 0. Hal ini berarti perubahan mutunya mengikuti reaksi ordo 1. Nilai korelasi yang dihasilkan cukup tinggi dengan nilai R2 berkisar antara 0,52 s/d 0,97 pada ordo reaksi satu (Tabel 3). Selama penyimpanan terjadi peningkatan dan penurunan total padatan terlarut beberapa produk pasta tomat. Penurunan ditandai dengan tanda negatif pada slope. Peningkatan TSS nampak terjadi pada produk pasta tomat yang disimpan pada suhu tinggi yakni suhu 40oC dan suhu kamar 28oC,
sedangkan penurunan TSS terjadi pada pasta tomat yang disimpan pada suhu rendah (20oC). Peningkatan TSS terjadi karena penguapan air pada pasta tomat akibat pengaruh suhu penyimpanan, sedangkan penurunan TSS terjadi akibat penyerapan air pasta tomat dari lingkungan sekitar. Laju peningkatan TSS pasta tomat terbesar terjadi pada pasta tomat K yang disimpan pada suhu 28oC, dengan model persamaan Y = 0,008x + 3,32 yang berarti bahwa dengan penambahan waktu penyimpanan akan menyebabkan terjadinya peningkatan TSS pasta tomat K sebesar 0,008oBrix.
Tabel 3. Nilai slope, intersep dan korelasi pada reaksi ordo 0 dan ordo 1 total padatan terlarut (TSS) selama penyimpanan Ordo 0 Produk
K
P
PP
PPG
Suhu (oC) 40 28 20 40 28 20 40 28 20 40 28 20
[Slope (k)]
Intersep
0,12 0,22 -0,18 0,13 0,23 -0,22 0,11 0,15 -0,07 0,06 0,09 -0,11
27,70 27,60 27,96 30,98 30,20 30,40 29,42 29,24 29,36 29,12 28,88 28,90
Sementara dari grafik Arhenius (Gambar 6) dapat diketahui bahwa pasta tomat PP memiliki Ea paling rendah yaitu 14,96 KJ/mol, disusul oleh pasta tomat K sebesar 15,20 KJ/mol, P sebesar 21,94 KJ/mol dan yang
122
Ordo 1 Korelasi (R2) 0,95 0,72 0,93 0,95 0,52 0,68 0,88 0,56 0,73 0,53 0,87 0,91
[Slope (k)]
Intersep
0,004 0,008 -0,006 0,004 0,008 -0,007 0,004 0,005 -0,002 0,002 0,003 -0,004
3,32 3,32 3,33 3,43 3,41 3,41 3,38 3,38 3,38 3,37 3,36 3,36
Korelasi (R2) 0,96 0,72 0,97 0,95 0,52 0,68 0,88 0,59 0,73 0,53 0,87 0,93
terakhir adalah pasta tomat PPG sebesar 24,37 KJ/mol. Dengan demikian pasta tomat PPG mempunyai tingkat sensitivitas yang paling tinggi terhadap perubahan total padatan terlarut selama penyimpanan.
Prosiding Seminar Nasional
0 0.0032 0.0032 0.0033 0.0033 0.0034 0.0034 0.0035
K P
-1
PP PPG
LnkTotal solublesolid
-2
Linear yK = 1829.2x - 11.172 R2 = 0.4888; Ea = 15.20 KJ/mol
-3
yP = 2640x - 13.817 R2 = 0.7721; Ea = 21.94 KJ/mol
-4
yPP = -1799.8x + 0.3369 R2 = 0.2557; Ea = 14.96 KJ/mol -5
yPPG = 2920.2x - 15.51 R2 = 0.9963; Ea = 24.27 KJ/mol
-6
-7 1/T (K)
Gambar 6. Grafik hubungan antara ln k dan 1/T dari persamaan Arhenius total padatan terlarut Kecerahan Warna (Lightness) Analisis kinetika terhadap kecerahan pasta tomat menunjukkan bahwa penurunan kecerahan warna mengikuti reaksi ordo 1 dengan nilai korelasi yang cukup tinggi berkisar antara 0,51 s/d 0,79. Peningkatan suhu penyimpanan ternyata mengakibatkan terjadinya penurunan kecerahan warna yang ditandai dengan peningkatan nilai slope. Penurunan mutu warna pasta tomat selama penyimpanan diduga karena terjadi penurunan kadar likopen yang merupakan senyawa yang bertanggung jawab dalam warna merah tomat. Selama penyimpanan terjadi perubahan kecerahan warna pasta
tomat dari merah cerah menjadi merah gelap, hal ini diduga karena adanya proses oksidasi dan suhu penyimpanan. Studi kinetik likopen murni dalam minyak saf flavor menunjukkan bahwa likopen sangat rentan terhadap reaksi oksidatif dan suhu dimana kecepatan rata-rata degradasinya dua kali lebih cepat daripada karotenoid lain (Henry et al., 1998). Penurunan kecerahan warna tertinggi terjadi pada pasta tomat P yang disimpan pada suhu 40oC dengan model persamaan Y = -0,056x + 3,7 yang berarti bahwa dengan penambahan waktu penyimpanan akan menyebabkan terjadinya peurunan kecerahan warna pasta tomat K sebesar 0,056 unit.
123
Prosiding Seminar Nasional Tabel 4. Nilai slope, intersep dan korelasi pada reaksi ordo 0 dan ordo 1 kecerahan warna selama penyimpanan Suhu (oC)
Produk
40 28 20 40 28 20 40 28 20 40 28 20
K
P
PP
PPG
Ordo 0 [Slope (k)]
Intercept
1,24 1,19 1,09 2,00 -1,96 -1,48 -1,83 -1,71 -1,71 -1,79 -1,67 -1,70
39,31 37,78 38,41 41,07 41,09 41,22 40,83 40,36 41,78 41,07 40,44 41,59
Sementara dari grafik Arhenius (Gambar 7) dapat diketahui bahwa pasta tomat PPG memiliki Ea paling rendah yaitu 2,66 KJ/mol, disusul oleh pasta tomat PP sebesar 3,59 KJ/mol, K sebesar 5,32 KJ/mol dan yang
Ordo 1 Korelasi (R2) 0,71 0,51 0,53 0,67 0,66 0,54 0,71 0,63 0,76 0,65 0,56 0,68
[Slope (k)]
Intersep
-0,034 -0,033 -0,030 -0,056 -0,054 -0,038 -0,051 -0,047 -0,047 -0,048 -0,045 -0,045
3,67 3,62 3,64 3,70 3,70 3,70 3,70 3,69 3,73 3,70 3,68 3,72
Korelasi (R2) 0,74 0,51 0,54 0,71 0,70 0,55 0,75 0,66 0,79 0,68 0,57 0,71
terakhir adalah pasta tomat P sebesar 13,78 KJ/mol. Dengan demikian pasta tomat P mempunyai tingkat sensitivitas yang paling tinggi terhadap penurunan kecerahan warna selama penyimpanan.
0 0.0032 0.0032 0.0033 0.0033 0.0034 0.0034 0.0035
K P PP PPG
-1 Ln k kecerahan warna
Linear yK = -640.66x - 1.3138 R2 = 0.883; Ea = 5.32 KJ/mol yP = -1657.9x + 2.4625 R2 = 0.7281; Ea = 13.78 KJ/mol
-2
yPP = -432.85x - 1.6009 R2 = 0.9065; Ea = 3.59 KJ/mol yPPG = -321.02x - 2.0129 R2 = 0.7172; Ea = 2.66 KJ/mol
-3
-4 1/T (K)
Gambar 7. Grafik hubungan antara ln k dan 1/T dari persamaan Arhenius kecerahan warna
124
Prosiding Seminar Nasional KESIMPULAN DAN SARAN Reaksi kinetika perubahan mutu beberapa parameter fisikokimiawi beberapa produk pasta tomat mengikuti reaksi ordo 1. Parameter yang mengalami penurunan mutu adalah vitamin C, tingkat kecerahan warna dan total padatan terlarut. Sedangkan parameter mutu yang mengalami peningkatan selama penyimpanan adalah total asam dan total padatan terlarut. Semakin tinggi suhu penyimpanan mengakibatkan laju perubahan mutu akan meningkat yang dinyatakan oleh bertambahnya nilai slope pada model persamaan linier. Energi aktivasi (Ea) menunjukkan sensitivitas mutu pasta tomat terhadap perubahan, makin besar nilai Ea maka makin besar pula sensitifitasnya terhadap perubahan mutu. Kinetika perubahan mutu pasta tomat sangat penting diketahui dalam penentuan masa simpan pasta tomat.
PUSTAKA Ahmed, J., Shivare, US and P. Singh. 2004. Kinetics of rheology of coriander leaf puree and storage characteristic of the paste. J.Food Chem 84 (2004) 605-611. Ewaidah, EH. 1992. Studies on commercially canned juices produced locally in Saudi Arabia: part 3 Physicochemical, organoleptic and microbiological
assessment. J.Food Chemistry 4444: 103111. Hariyadi, P. 2004. Prinsip penetapan dan pendugaan masa kadaluarsa dan upayaupaya memperpanjang masa simpan. Modul II. Pelatihan Pendugaan Waktu Kadaluarsa Bahan dan Produk Pangan. Bogor, 1-2 Desember 2004. Henry, LK., Catignani, GL and SJ. Schwartz. 1998. Oxidative degradation kinetics of lycopene, lutein and 9-cis and all-trans β carotene. J.Am.Oil Chem. Soc 75:823-829. Koswara, S dan F. Kusnandar. 2004. Studi Kasus Pendugaan Umur Simpan Produk Pangan. Pelatihan Pendugaan Waktu Kadaluarsa Bahan dan Produk Pangan. Bogor, 1-2 Desember 2004. Labuza TP. 1983. Shelf life dating of food. USA: Food and Nutrition Press.Inc. Muchtadi D, Palupi NS dan M. Astawan. 1993. Metabolisme Zat Gizi. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta Steinfeld JI, Fransisco JS and WL. Hase. 1989. Chemical Kinetics and Dynamics. Pretince –Hall Inc. New Jersey USA. Wirakartakusumah, M. A. 1988. PrinsipPrinsip Teknik Pangan. PAU Pangan dan Gizi IPB, Bogor.
125
Prosiding Seminar Nasional
CARA PENYIMPANAN BIJI JAGUNG DENGAN HERMETIC SYSTEM (The use of hermetic system for storing corn grain) Agus Sutanto dan Kendriyanto Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah ABSTRAK Pengadaan bahan pangan bagi masyarakat merupakan permasalahan utama dalam rangka menjamin kestabilan, keamanan pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Komoditi jagung merupakan salah satu bahan pangan utama yang dapat mensubstitusi beras, karena jagung merupakan bahan sumber karbohidrat. Oleh karena itu penanganan pasca panen jagung perlu lebih ditingkatkan dalam rangka menjaga kecukupan persediaan pangan yang berkualitas tinggi. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja alat penyimpan biji jagung dengan menggunakan plastik hermetic. Kajian dilakukan secara partisipatip dengan sistem on farm research melibatkan peran-serta kelompok tani di dusun porot, desa getas, kecamatan kaloran, kabupaten temanggung. Analisis data difokuskan pada aspek teknis, ekonomi dan sosial dari penerapan teknologi yang diintroduksikan. Analisis aspek teknis diarahkan pada kehandalan kapasitas alat, sedangkan aspek ekonomis pada biaya pokok dalam penerapan alat, dan aspek sosial dianalisis secara deskriptis terhadap penerapannya di tingkat pedesaan. Hasil kajian menunjukkan bahwa penggunaan plastik hermetic system dapat meningkatkan daya simpan biji jagung, dan daya tumbuh jagung 78.4%. Sementara penyimpanan biji jagung tanpa plastik hermetic menghasilkan daya tumbuh 71.4%. Kata kunci: jagung, penyimpanan, hermetic system, kajian.
ABSTRACT Food stocking is the main problem for ensuring agricultural and national development security. Corn is one of the main acceptable staple foods to substitute rice, since it is rich in carbohydrate. Therefore, it is necessary to pay attention to post-harvest handling, in order to fullfill high quality food stock requirement. The present study was addressed to evaluate the validity of hermetic plastic system to store corn grain. The study was conducted under the participatory (on farm research) management, involved a farmers group at porot village-cluster, getas village, kaloran sub district, district of temanggung. Data analyzes were performed for technology aspect, economic social, and innovated technology. Technology aspect analysis was focused on the performance of the equipment, whereas, economic aspect was justified through the main capital for equipment application, and the social economic aspect was examined using descriptive analysis at village level. Results showed that the use of hermetic system plastic improved storing duration of corn grain. Moreover, germination of the corn stored using hermetic system (78.4%) was higher than that stored in non-hermetic system (71.4%). Key words: corn, storing, hermetic system, confirmat
PENDAHULUAN Komoditas jagung di jawa tengah mempunyai potensi besar untuk menyangga kebutuhan pangan non beras, karena biji jagung merupakan sumber karbohidrat. Komoditas jagung sebagai bahan pangan pokok di pedesaan sudah lama dikenal banyak orang. Namun kedudukan bahan pangan jagung di masyarakat masih melekat dengan sifat kedesaannya, sehingga dianggap sebagai bahan pangan inferior di mata umum. Anggapan ini sangat menyesatkan masyarakat dalam menerima perkembangan pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat. Jagung memiliki potensi untuk bahan baku berbagai industri pangan, minuman, kimia dan farmasi serta industri lainnya (grubben dan soetjipto, 1996). Winarno
126
(1989) menyebutkan bahwa dari 100 kg jagung dapat diperoleh 3.5 – 4 kg minyak jagung, 27 – 30 kg bungkil, pakan, gluten, serat dan sebagainya, 64 – 67 kg pati; dan sisanya 15 – 25 kg hilang atau terbuang. Informasi ini memberi peluang besar untuk memanfaatkan potensi jagung sebagai bahan pangan maupun bahan industri. Tanaman jagung di jawa tengah mempunyai potensi yang sangat besar dan terdapat pada hampir semua daerah kabupaten. Permasalahan klasik sesuai dengan azas ekonomi yang masih berlaku adalah bahwa pada saat panen raya terjadi produksi melimpah dan berlebihan, sehingga harga jagung mengalami penurunan. Bila penurunan harga terlalu fluktuatif, maka akan
Prosiding Seminar Nasional Menyebabkan kerugian di tingkat petani produsen. Jaminan harga pada saat panen raya masih belum bisa dikendalikan oleh petani, karena posisi tawar petani rendah (low bargaining position). Sedangkan kebijakan pemerintah belum bisa membantu lebih banyak tentang penentuan harga dasar jagung tersebut (makarim dan partohardjono, 2002). Salah satu upaya mengatasi kelimpahan produk saat panen raya adalah dengan penanganan pasca panen dan pengolahan hasil yang baik. Penanganan pasca panen dimaksudkan untuk mengusahakan agar hasil produknya tidak mengalami susut mutu dalam penyimpanannya, sehingga pada saat yang tepat komoditas ini memperoleh harga yang layak. Sedangkan pengolahan hasil adalah upaya merubah bentuk dari aslinya menjadi komoditas atau produk baru, sehingga mempunyai nilai tambah yang lebih besar.
isolasi penyimpanan, karena jagung yang tersimpan di atas para – para masih dalam keadaan terbuka. Dengan terbukanya tempat penyimpanan ini memudahkan berbagai macam hama atau penyakit menyerang jagung yang disimpan. Kontaminasi terhadap hama dan penyakit lebih mudah dalam keadaan terbuka, sedangkan jenis hama tikus dan hama bubuk sangat mudah menyerang jagung di atas para – para. Cara penyimpanan dengan menggunakan plastik hermetic system dikembangkan oleh IRRI pada beberapa negara di Asia. Penyimpanan ini terutama untuk hasil dari jenis biji – bijian, antara lain : gabah, beras, jagung, kedele, kacang tanah, dan kopi. Selain mudah penggunaannya dan praktis, alat ini dapat digunakan berulang – ulang dan memerlukan relatif sedikit ruangan dibandingkan dengan cara tradisional di atas.
Berbagai cara penyimpanan telah diupayakan, baik secara tradisional maupun dengan teknologi tinggi yang lebih maju. Namun cara penyimpanan jagung yang lebih praktis dan mudah diterapkan di pedesaan belum memenuhi standar yang layak (saenong et al., 2002) untuk beberapa daerah, cara penyimpanan jagung yang biasa dilakukan adalah menyimpan dalam bentuk tongkol berklobot yang digantungkan di atas para – para berdekatan dengan dapur. Namun cara penyimpanan ini memerlukan tempat yang lebih banyak, karena bentuk tongkol perlu tempat yang lebih luas. Sedangkan cara penyimpanan dalam bentuk jagung pipilan memerlukan tempat lebih sedikit.
Penggunaan plastik hermetic system dengan benar seharusnya dapat mempertahankan daya simpan lebih lama, karena karung penyimpan jagung telah dilapisi dengan plastik yang kedap udara (hermetic system). Bahan untuk penyimpanan ini terbuat dari plastik dengan desain khusus oleh suatu pabrik untuk menyimpan hasil pertanian. Walaupun demikian inovasi teknologi ini belum banyak diintroduksikan pada para petani di Jawa Tengah.
Pada umumnya para petani mengalami kesulitan dalam teknologi penyimpanan jagung, terutama biji untuk benih. Biasanya petani melakukan penyimpanan benih maupun yang untuk konsumsi dengan menaruh jagung berklobot di para–para di atas dapur tempat memasak. Tetapi penerapan teknologi tradisional ini memerlukan ruang penyimpanan luas. Kelebihan teknologi ini adalah tersedianya pemanasan langsung dari asap dapur setiap hari, sehingga waktu yang biasanya digunakan untuk penjemuran jagung dengan sinar matahari dapat ditiadakan.
BAHAN DAN METODE
Teknologi penyimpanan dengan para – para di atas dapur lebih sederhana dan relatif murah dan mudah dilaksanakan. Namun dari segi teknis hal ini belum memenuhi kaidah
Sejalan dengan itu, makalah ini mendiskusikan hasil konfirmasi keunggulan teknologi penyimpanan jagung menggunakan plastik hermetic
Bahan dan Alat Pengkajian dilakukan on farm di Dusun Porot, Desa Getas, Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung. Kelompok tani yang berperan aktif dalam kajian ini adalah Kelompok Tani Maju I. Waktu pelaksanaan pengkajian adalah pada Tahun anggaran 2005, mulai bulan Juni sampai dengan November 2005. Bahan – bahan dan alat yang digunakan dalam kajian ini terdiri dari jagung pipilan, plastik hermetic system (Gambar 1), karung bagor, pengukur kadar air, cawan petri, kertas tisu, dan timbangan.
127
Prosiding Seminar Nasional 1. Kapasitas simpan Ks = B. Jg/L dimana : Ks = kapasitas simpan B.jg = bobot jagung kering yang disimpan (kg) L = luas bidang simpan 2. Daya tumbuh D.t = ( ∑ bj.t / 100 ) % dimana:
D.t = daya tumbuh biji jagung Bj.t = biji jagung sample yang tumbuh
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambar 1. Plastik hermetic Metode Perlakuan yang diterapkan dalam kajian ini dua macam teknik penyimpanan jagung pipilan menggunaan plastik hermetic dan tanpa plastik sebelum dimasukkan dalam bagor. Sebenarnya ukuran plastik hermetic system untuk menyimpan produk pertanian ada beberapa macam, diantaranya adalah 10 ton, 5 ton, 1 ton, 50 kg, dan 5 kg. Walaupun demikian kajian ini menggunakan plastik hermetic system dengan kapasitas tampung 50 kg. Pemilihan ukuran ini dengan pertimbangan bahwa jumlah biji yang disimpan petani kurang dari 1 ton. Prosedurnya adalah: jagung pipilan dijemur sampai kering (kadar airnya tinggal 12 – 14%) kemudian dimasukkan dalam karung – karung bagor (berplastik dan non plastik). Lama penyimpanan jagung + 5 bulan pada suhu kamar. Pengamatan dilakukan terhadap daya tumbuh, kapasitas simpan, kelayakaan ekonomis, dan penampilan biji jagung simpan secara visual (Sarjono, 2000). Di samping itu sebagai kontrol juga dilakukan evaluasi terhadap hasil penyimpanan tradisional yang biasa dilakukan oleh petani pada umumnya yaitu penyimpanan dengan menaruh jagung berklobot pada para-para di atas dapur. Pada saat akan ditanam, jagung diuji daya tumbuhnya pada kedua perlakuan tersebut dan kontrolnya. Perhitungan analisis yang digunakan adalah sebagai berikut :
128
Penggunaan plastik hermetic system Hasil kajian berupa penampilan dari penyimpanan selama 4 bulan secara visual menunjukkan bahwa, pada biji jagung yang disimpan dengan karung bagor tanpa plastik hermetic terdapat beberapa jenis hama gudang dan ngengat. Terlihat bahwa biji jagung ini menjadi hampa karena digerogoti oleh hama dan ngengat. Di lain pihak, pada biji jagung yang disimpan pada karung bagor dengan pelindung plastik hermetic tidak terlihat adanya serangan hama gudang maupun ngengat. Lebih lanjut, pada biji jagung yang disimpan di atas para – para terdapat intensitas serangan yang sangat kecil. Walaupun demikian, penyimpanan pada para – para di atas dapur juga masih mempunyai resiko lain yaitu kemungkinan terjadinya serangan tikus. Hal ini terjadi bila populasi tikus meningkat pada periode simpan tersebut. Dari segi keamanan terhadap hama, penggunaan plastik hermetic lebih aman dibanding bila tidak menggunakan plastik maupun cara tradisional setempat. Dengan penyimpanan dalam karung bagor yang dilapisi plastik memungkinkan bahan simpan tidak mengundang hama untuk mendekat, karena rangsangan yang kuat, sedangkan pada cara tradisional, hama mudah menembus lapisan penyimpan sehingga mudah terserang hama, demikian pula untuk karung bagor yang tidak dilapisi plastik pengaman. Plastik hermetic dirancang khusus untuk meminimalkan hama yang ada dalam biji selama dalam penyhimpanan. Dari pabrik pembuatnya dirancang agar plastik tersebut juga dapat mengendalikan insek/organisme
Prosiding Seminar Nasional dalam biji yang disimpan dengan tenaga panas yang terdapat dalam biji tersebut. Sehingga dalam jangka waktu penyimpanan, hama yang ada dalam biji dapat dikendalikan oleh penyimpanan itu sendiri. Daya Tumbuh Jagung Dalam kajian ini telah dicobakan perlakuan penyimpanan jagung menggunakan plastik hermetic system, karung tanpa plastik hermetic system dan sebagai pembanding adalah cara kebiasaan petani setempat (dengan para – para diatas tungku dapur). Lama penyimpanan jagung dilakukan selama 4 bulan diletakkan di ruangan penyimpanan jagung. Dari hasil pengamatan daya tumbuh jagung tersebut diperoleh bahwa penyimpanan dengan plastik hermetic system lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa plastik hermetic system (lihat Tabel 1). Penyimpanan sistem hermetic menggunakan plastik bersifat kedap udara, sehingga dapat mempertahankan ketahanan/ keutuhan biji-bijian. Pada keadaan tersimpan, oksigen di dalam sistem hermetic akan turun hingga mencapai 3% (Gummert, 2005) dan gas karbon dioksida meningkat hingga tidak memungkinkan lagi terjadinya pernapasan aerob di dalamnya. Tabel 1. Daya tumbuh jagung terhadap cara penyimpanannya Uraian
Daya tumbuh jagung (%)
Sebelum disimpan
88,0
Disimpan dengan hermetic system
78,4
Disimpan tanpa hermetic system
71,4
Disimpan di atas para – para Sumber: Sutanto et al. (2005)
78,3
Pada kondisi ini serangga dan jamur menjadi tidak bisa hidup atau berkembang biak. Sebaliknya pada penyimpanan jagung hanya menggunakan karung bagor tanpa dilapisi sistem hermetic masih terjadi respirasi yang leluasa dari biji – bijian sendiri maupun serangga dan jamur yang ada pada jagung tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh penampilan daya tumbuh jagung hasil penyimpanan selama 4 bulan (Tabel 1).
Setelah penyimpanan jagung selama 3 bulan secara visual terlihat adanya hama bubuk lebih banyak pada karung bagor tanpa sistem hermetic. Selain itu juga terlihat adanya kerusakan pada lembaga jagung, yaitu terjadi perubahan warna menjadi hitam atau membusuk. Hal ini karena unsur lembaga merupakan tumpukan minyak lebih besar dibandingkan pada biji utamanya. Lembaga yang berubah warna menjadi hitam menyebabkan penurunan daya tumbuh jagung. Untuk itu dalam penyimpanan yang lebih lama, yang perlu diperhatikan adalah pengeringan jagung sampai pada titik minimal persyaratan penyimpanan terpenuhi. Biasanya biji jagung disimpan pada kadar air di bawah 12%, apabila lebih besar dari kadar air tersebut kemungkinan kerusakan biji jagung semakin besar. Nilai daya tumbuh jagung tersebut di atas menunjukkan bahwa kualitas simpan yang menggunakan plastik hermetic system lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa plastik hermetic. Kualitas yang sama ditunjukkan juga pada penyimpanan di atas para – para yang mencapai daya tumbuh biji 78,3%. Dapat ditambahkan bahwa jagung yang disimpan adalah jagung tidak terseleksi, hal ini karena kebiasaan petani menyimpan jagung klobot tanpa diseleksi kualitasnya. Pada umumnya jagung yang mereka simpan dimanfaatkan untuk konsumsi maupun benih. Oleh karena itu baik jagung untuk konsumsi maupun benih dapat diambilkan dari penyimpanan di atas para – para yang sama. Kapasitas Simpan dan Nilai Ekonomi Hasil pengamatan terhadap kapasitas penyimpanan jagung dari penggunaan karung dan cara tradisional sangat berbeda jauh. Penyimpanan dalam bentuk biji dapat meringkas pewadahan, sedangkan dalam bentuk jagung berklobot memboroskan tempat wadah. Hal ini karena penyimpanan dalam bentuk jagung berklobot sulit diatur susunan klobotnya, sedangkan dalam bentuk biji jagung lebih mudah penyusunannya. Dari hasil perhitungan didapatkan bahwa penyimpanan dalam bentuk jagung berklobot di atas para – para, rata – rata petani bisa menyimpan jagung maksimal 400 kg setiap luasan 4 m2. Sedangkan penyimpanan jagung bentuk biji dalam karung pada luasan 4 m2 dapat mencapai 36 karung. Dalam hal ini masing – masing karung dapat memuat 50 kg
129
Prosiding Seminar Nasional pipilan jagung kering atau 1.800 kg, setiap luasan 4 m2. Kapasitas penyimpanan dengan karung bagor tersebut dilakukan pada satu tumpukan saja, telah mencapai 450 kg/m2. Kapasitas simpan ini dapat ditingkatkan 2 – 3 kali lipat, bila cara penyimpanan dilakukan penumpukan karung sampai 2 – 3 tumpukan karung. Tabel 2. Kapasitas simpan berdasarkan cara penyimpanan jagung Perlakuan
Kapasitas Bobot simpan per simpan kg/m2 4 m2
Dengan plastik hermetic
1.800 kg
Tanpa plastik hermetic
1.800 kg
Di atas para – para 400 kg Sumber: Sutanto et al. (2005)
450 450 100
Dengan demikian bila dilakukan penumpukan dalam penyimpanannya 2 tumpuk, berarti mempunyai kapasitas 2 x 450 kg = 900 kg/m2. Bila biji jagung disimpan dalam bentuk kering simpan, maka kerusakan fisik terhadap penyimpanan dapat diminimalkan. Artinya bahwa meskipun
kapasitas penyimpanan lebih banyak, namun jumlah kerusakan fisik maupun kimiawi dapat diminimalkan. Hal ini bisa dilihat dari hasil uji daya tumbuh jagung sebagaimana yang tercantum pada Tabel 1 di atas, yang menunjukkan bahwa pada penyimpanan jagung dengan plastik hermetik system hampir sama dengan penyimpanan di atas para – para. Sedangkan bila dihitung dari segi ekonominya, maka untuk penyimpanan dengan menggunakan plastik hermetic system hanya memerlukan karung bagor dan plastik hermetic setiap karungnya. Perhitungan secara sederhana untuk keperluan penyimpanan biji jagung adalah sebagai berikut: Jumlah biaya investasi untuk penyimpanan jagung yang relatif kecil memungkinkan petani bisa menentukan pilihan pada penggunaan cara penyimpanan jagung dengan plastik hermetic system. Meskipun plastik hermetic system masih dalam taraf uji coba dan belum tersedia di pasaran, namun plastik yang ada di pasaran dapat diuji cobakan.
Tabel 3. Perhitungan keperluan biaya penyimpanan jagung (Rp) per 4 m2 Uraian
Dengan plastik
Tanpa plastik
Para – para
Karung bagor
27.000
27.000
0
Plastik hermetic
36.000
0
0
Alas kayu/ papan
50.000
50.000
65.000
113.000
77.000
65.000
Jumlah Sumber: Sutanto et al. (2005)
Plastik tersebut di pasaran lebih murah harganya, namun secara teknis belum diuji – cobakan. Bila dilihat dari manfaat plastik, yang sudah dimanfaatkan pada berbagai keperluan penyimpanan, maka dimungkinkan untuk penggunaan plastik yang ada di pasaran untuk dimanfaatkan dalam penyimpanan bijian jagung tersebut. Penyimpanan bahan – bahan dengan menggunakan bahan plastik telah dimanfaatkan pada berbagai komoditi, di antaranya : pada penyimpanan pupuk, pakan
130
ternak, bahan pangan, dan lain-lain. Penggunaan plastik dapat digunakan menyimpan langsung maupun sebagai pelapis dalam pada penggunaan karung bagor.
KESIMPULAN DAN SARAN Penyimpanan jagung pipilan kering pada karung bagor dengan lapisan plastik hermetic system dapat mempertahankan mutu daya tumbuh jagung lebih baik dibandingkan tanpa plastik tersebut. Daya tumbuh jagung pipilan pada penyimpanan dengan plastik hermetic
Prosiding Seminar Nasional mirip dengan jagung berklobot yang disimpan menggunakan teknologi tradisional di parapara di atas dapur. Karena plastik tersebut belum diproduksi secara massal, maka penggunaan plastik yang sudah umum di pasaran perlu diujicoba lebih lanjut. Penggunaan plastik dapat menjadi alternatif dalam penyimpanan jagung oleh petani, karena hanya memerlukan investasi relatif kecil yang terjangkau oleh kemampuan petani. Oleh karena itu perlu pembinaan agar cara penyimpanan ini dapat diadopsi oleh petani lebih banyak lagi.
PUSTAKA Grubben, G.J.H. and Soetjipto P. (Editors). 1996. Plant resources of South – East Asia. Cereals. Prosea, Bogor. Gummert. 2005. Sealed storage system for rice grain and seed in Indonesia. IRRI Agricultural Engineering. Philippine
Saenong, S., Firdaus K., Wasmo K., Imam U.F. dan Akil. 2002. Inovasi teknologi jagung. Menjawab tantangan ketahanan pangan nasional. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor. Sarjono. 2000. Analisa ekonomi penggunaan alat dan mesin pertanian. Balai Besar Pengembangan Alat dan Mesin Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Deptan. Serpong. 2000. Sutanto, A., P. Djoko, Kendriyanto, dan K. Hendro. 2005. Kajian pasca panen dan pengolahan produk jagung putih untuk bahan pangan. Laporan Kegiatan. BPTP Jawa Tengah. 2005. Winarno, F.G. 1989. Teknologi Pengolahan Jagung. Risalah seminar hasil penelitian tanaman pangan. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
Makarim, A.K. dan S. Partohardjono. 2002. Analisis sistem sebagai alat bantu penyusunan strategi peningkatan produksi, pendapatan petani dan pengembangan usahatani palawija. Prosiding seminar nasional inovasi Teknologi Palawija. Buku – 2 hasil penelitian dan pengkajian. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
131
Prosiding Seminar Nasional
KAJIAN PENGOLAHAN JAGUNG UNTUK BAHAN PANGAN (Study of corn grain processing for food) Agus Sutanto dan Dwi Nugraheni Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah ABSTRAK Jagung merupakan salah satu komoditi serealia yang memiliki potensi sebagai substitusi beras. Nilai nutrisi jagung hampir seimbang dengan beras, sehingga jagung merupakan bahan pangan pokok kedua setelah padi. Dalam perkembangan penggunaannya, tanaman jagung semakin diperlukan terutama untuk bahan pangan, bahan industri dan pakan ternak. Sehingga tanaman jagung telah berubah dari tanaman sampingan menjadi tanaman strategis dalam ekonomi nasional. Untuk menggali potensi jagung sebagai bahan pangan perlu dilakukan pengkajian untuk meningkatkan nilai tambah jagung sebagai bahan pangan. Jagung dapat diolah menjadi aneka olahan seperti nasi jagung instan, kerupuk jagung dan sebagainya. Pengkajian diversifikasi olahan jagung dilakukan di dusun Kemiri, Desa Getas, Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung. Pelaksanaan kajian dilakukan pada tahun anggaran 2006. Metode yang digunakan adalah secara partisipati dengan sistem on farm research. Dari hasil kajian diperoleh data bahwa nasi jagung instan dapat ditingkatkan menjadi komoditi komersial yang dapat meningkatkan pendapatan petani di pedesaan, demikian pula dengan pengolahan menjadi kerupuk jagung. Kedua komoditi ini apabila ditangani secara profesional dapat meningkatkan pendapatan usaha tani di pedesaan. Kata kunci: Jagung, pengolahan jagung, nasi jagung instan, kerupuk jagung.
ABSTRACT Corn is a cereal grain potentials to substitute for rice. Since nutrients content of corn is almost equal to those in rice, such grain has been claimed to be the second staple food in Indonesia. Recently, the request for corn grain is getting larger particularly for the main material for food and feed industries. Thus, corn plant is not just used for secondary plant, but its role has been changed for strategic plant in the national economic. Therefore, it is important to deeply investigate the potency of corn for human food to improve its status. The seed can be processed for instant corn grain, crispy corn flake, and other meals. A study on cooked grain diversification was conducted at Kemiri Village-Cluster, Getas Village, Kaloran Sub-District of District Temanggung. The study was performed in 2006. The present study used the on farm client oriented research. Results suggested that the instant corn grain could be modified to be attractive food as well as crispy corn flake that able to improve farmers income. It seems that implementation of professional management to both products of instant corn grain and corn flake would increase farmers income. Key words: Corn, process, instant, grain, crispy corn flake.
PENDAHULUAN Bertanam jagung mempunyai resiko kerugian yang lebih kecil dibandingkan dengan bertanam padi atau palawija lainnya. Tanaman jagung ini hampir semua bagian tanaman dapat dimanfaatkan. Batang tanaman yang masih muda dapat langsung dipanen meskipun belum berbunga atau berbuah. Batang jagung yang masih muda ini sangat baik untuk makanan ternak. Kebiasaan petani memanen tanaman jagung muda karena datangnya musim kemarau yang lebih cepat. Para petani lebih memilih menjual dalam bentuk batang muda, daripada jagung yang belum tentu berbuah. Batang jagung yang sudah tua pun dapat dimanfaatkan oleh petani.
132
Jagung yang telah dipanen, batangnya ditebas habis setelah beberapa hari. Batang kering ini biasa dimanfaatkan untuk bahan pakan ternak sapi maupun sebagai kayu bakar. Sedangkan jagung pipilan, banyak dimanfaatkan untuk makanan ternak unggas, bahan pangan dan bahan baku industri (Saenong et al., 2002) Sebagai bahan pangan, jagung dapat dipetik muda maupun tua. Jagung muda banyak disukai sebagai jagung rebus atau jagung bakar, dibuat sayur dan lauk – pauk. Jagung yang dipetik muda mempunyai kelemahan dalam penyimpanannya yang tidak tahan lama. Sedangkan jagung dipetik tua dapat dibuat berbagai aneka olahan melalui proses pengolahan, misalnya: nasi jagung,
Prosiding Seminar Nasional marning, tepung maizena, kue, dan bahan makanan ternak (Suarni, 2002). Selain itu jagung yang dipetik tua akan lebih tahan lama disimpan baik dalam bentuk tongkol maupun pipilan. Komoditas jagung di Jawa Tengah mempunyai potensi besar untuk menyangga kebutuhan pangan non beras, merupakan sumber karbohidrat dari pangan selain beras dan tapioka. Komoditi jagung sebagai bahan pangan pokok di pedesaan sudah lama dikenal banyak orang. Namun kedudukan bahan pangan jagung di masyarakat masih melekat dengan sifat ke’desa’annya, sehingga dianggap sebagai bahan pangan inferior di mata umum. Anggapan ini sangat menyesatkan terhadap perkembangan pengetahuan dan teknologi yang semakin berkembang pesat. Agro industri dengan bahan baku jagung saat ini sudah banyak beredar secara luas, seperti minyak jagung, sirup jagung, dan gula jagung. Namun semua produk tersebut masih berbau luar negeri, sehingga harganyapun menyesuaikan pada orang yang lebih mempunyai kelebihan penghasilan (Makarim dan Partohardjono, 2002). Dengan demikian semakin jelas bahwa makanan dari bahan jagung bukan lagi menjadi bahan pangan yang ’inferior’ lagi saat ini. Bahkan dengan slogan yang semakin menjanjikan bahwa bahan makanan dari jagung tersebut dapat menurunkan kadar gula darah dan non kolesterol, maka produk tersebut semakin banyak dicari dan dikonsumsi banyak orang. Dalam pengkajian ini dilakukan pengkajian dan pembinaan kepada petani kooperator sampai mampu berproduksi dengan baik. Untuk mengetahui tingkat perubahan dan kemajuan pengkajian perlu dilakukan pengukuran – pengukuran indikator tehnis, sosial dan ekonomis. Pengukuran ini dilakukan pada setiap pembinaan, sehingga setiap ada perubahan introduksi tehnologi dapat diperbaiki dengan segera. Kegiatan ini juga diharapkan mampu untuk memotivasi petani dalam meningkatkan pendapatan usahatani melalui kegiatan home industri. Kajian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan petani dalam melakukan diversifikasi pengolahan aneka produk dari bahan jagung dan mengetahui nilai tambah produk jagung di tingkat petani melalui
pengolahan aneka makanan dari bahan jagung dan peningkatan pendapatan petani
BAHAN DAN METODE Pengkajian ini dilakukan di Dusun Kemiri pada Kelompok Petani Kecil (KPK) Mangga, Desa Getas, Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung. Jumlah anggota kelompok tani KPK Mangga sebanyak 20 orang, merupakan koperator yang menjadi obyek pengamatan dari segi teknis, sosial dan ekonominya dalam rangka penerapan teknologi pasca panen dan pengolahan. Sedangkan untuk responden pada pengamatan sosial juga melibatkan anggota diluar KPK Mangga. Waktu pelaksanaan kajian dilakukan pada bulan Juni – Desember 2006. Bahan - bahan yang diperlukan terdiri dari jagung pipilan serta bahan – bahan dapur untuk pengolahan pangan. Sedangkan alat yang digunakan adalah alsin pertanian untuk pemipilan jagung, alsin untuk pemberasan jagung, alsin untuk penepungan jagung, serta alat – alat dapur untuk pengolahan bahan makanan. Alat – alat dapur untuk pengolahan bahan makanan ini misalnya: kompor, panci, ember, wajan, penggiling mie, dan palstik kemasan. Pengkajian ini melibatkan peran aktif kelompok tani dalam merancang, melaksanakan kajian dan pengamatan datanya. Pengamatan data dilakukan sejak jagung telah dipipil kering. Proses pasca panen dan pengolahan jagung pipil sampai dengan produk olahan dicatat untuk analisis ekonomi. Hal ini untuk mengetahui rendemen dan input biaya produksinya. Proses penanganan jagung pipilan menjadi bahan makanan adalah sebagai berikut : Pembuatan Kerupuk Jagung Pembuatan kerupuk jagung dilakukan dalam bentuk bahan (kerupuk jagung mentah) maupun siap saji (kerupuk jagung matang). Urutan proses pembuatan kerupuk jagung adalah: jagung pipilan kering digiling menjadi beras jagung dengan polysher. Beras jagung ini kemudian dimasukkan dalam air (direndam) selama 24 jam, lalu digiling halus dengan alsin penepung sehingga diperoleh tepung jagung. Selanjutnya, tepung jagung diolah menjadi nasi jagung dengan cara dikukus. Pengukusan nasi jagung dilakukan sekali dan pada waktu pengukusan juga dimasukkan bumbu – bumbu (contohnya
133
Prosiding Seminar Nasional garam dan bawang putih). Kemudian nasi jagung ditumbuk dalam lumpang sebentar, tidak sampai lembut. Dari tumbukan ini kemudian dicetak tipis – tipis, dengan alat penggiling mie. Potongan kerupak jagung dengan ukuran 2 x 3cm, dijemur sampai kering menggunakan panas matahari. Seperti telah disampaikan di depan, dari kerupuk jagung mentah tersebut bisa langsung dikemas dan dijual dipasar. Ataupun dari bahan kerupuk jagung mentah ini lalu digoreng dan dikemas sebagai produk siap saji. Analisis Data yang dikumpulkan pada kajian ini terdiri dari aspek teknis, ekonomi dan sosial. Pada aspek ekonomi data yang perlu dikumpulkan terdiri dari data – data unsur kelayakan ekonomi usaha produk olahan jagung sebagai bahan pangan. Data aspek sosial yang perlu dikumpulkan pada unsur – unsur respon petani terhadap usaha home industri, dan respon konsumen. Metode analisis statistika yang digunakan adalah analisis deskriptif (persentase, distribusi frekuensi, kisaran/range, mean, dan simpanan baku/standar deviasi dan koefisien keragaman).
HASIL DAN PEMBAHASAN Alsin Pemberas Jagung Alat dan mesin pemberas jagung atau polysher merupakan alat yang sangat penting untuk pengolahan produk jagung. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa penerapan alat mesin pemberas jagung pada kelompok tani di Desa Getas dapat meningkatkan kinerja dan gairah produktivitas jagung secara menyeluruh, karena dapat mempercepat dan memperpendek alur pengolahan jagung menjadi bahan pangan. Dalam kajian ini para anggota kelompok tani menyaksikan bahwa dari jagung pipilan kering yang langsung dimasukkan pada alat pemberas jagung, dapat diperoleh beras jagung yang telah bersih dari kulit ari dan lembaga jagung. Perkembangan pengetahuan setelah dilaksanakan kajian pengolahan jagung dicantumkan pada Tabel 1. Lebih lanjut, para petani mengharapkan agar demonstrasi penggunaan alsin pertanian ditingkatkan; baik yang untuk pra panen maupun pasca panen. Alsin pra panen dimaksud di antaranya adalah: alat pengolah tanah, alat penyemprot hama, pompa air, dan alsin irigasi tetes. Sedangkan alsin pasca panen, di antaranya adalah: alat perontok/pemipil jagung, pemberas jagung, penepung jagung, pengolah aneka kue, dan pengering jagung.
Tabel 1. Tingkat perkembangan pengetahuan petani di Desa Getas setelah introduksi alsin pemberas jagung Uraian
Proporsi (%)
Jumlah petani yang mengenal alsin pemberas jagung Jumlah petani yang bisa mengoperasikan alsin pemberas jagung Jumlah petani yang bisa memperbaiki alsin pemberas jagung Jumlah petani yang membuat beras jagung tanpa alsin pemberas jagung
87
Jumlah petani yang mengetahui tempat pembuatan atau penjualan alsin pemberas jagung Jumlah petani yang mengetahui tempat memperbaiki alsin yang rusak Keterangan: Jumlah responden 30 orang petani
134
37
10
Keterangan - sering mengupahkan pembuatan beras jagung - sering melihat dan membantu pengoperasian alat
10
- kerusakan ringan, tanpa memerlukan peralatan yang komplek (misal : las, dsb) - Bila yang diolah sedikit - menggunakan alu, ditumbuk (digecrok) - tempat pengolahan jauh dari rumah - mengetahui tempat penjualannya saja
70
- bengkel umum, tukang las listrik/karbit
23
Prosiding Seminar Nasional Kajian ini memberikan gambaran bahwa para petani ternyata baru mengenal alsin pertanian yang terbatas pada alat – alat yang sudah lama digunakan pada suatu wilayah. Untuk petani di desa Getas biasanya hanya mengenal alat perontok/pemipil jagung tradisional, alsin pemberas jagung dan alsin penepung jagung. Hal ini karena latar belakang budidaya pertanian yang umum dilaksanakan di Desa Getas adalah usahatani tanaman jagung. Dari hasil jagung ini mereka menggantungkan penghasilan untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Lebih lanjut, jumlah alsin pemberas jagung di Desa Getas ada 4 buah dan alat ini digunakan untuk mengolah beras jagung secara intensif. Kepemilikan alsin bersifat individual dan dimanfaatkan sebagai alat penjual jasa pengolahan jagung menjadi beras jagung. Alsin pemberas jagung bahkan digunakan sebagai alat yang multi purpose yaitu tidak hanya digunakan untuk memproses jagung menjadi beras jagung, tetapi juga untuk memproses biji kopi menjadi beras kopi, menggiling gabah menjadi beras, dan untuk penggilingan biji – bijian yang lain. Dengan demikia dapat dinyatakan bahwa ketersediaan alsin pemberas jagung di suatu desa sangat berperan dalam mempercepat proses pengolahan hasil pertanian. Alsin pemberas jagung sangat membantu dalam prosesing jagung pipilan menjadi beras jagung. Tenaga penggerak alsin pemberas dari mesin diesel solar yang menghasilkan tenaga 12 PK. Secara teknis dan sosial alat ini sesuai dengan kebutuhan desa. Alat ini mudah dioperasionalkan, bahan bakar mudah didapat, kapasitasnya memadai, dan kerusakan tenaga penggeraknya mudah diperbaiki. Sebelumnya, dalam membuat beras jagung masyarakat menggunakan alat tumbuk tradisional (lumpang dan alu). Proses pemberasan jagung menggunakan alat tradisional ini di desa disebut sebagai gecrok. Pelaksanaan gecrok tersebut memerlukan waktu yang lama dan tenaga yang melelahkan. Sedangkan menggunakan alsin pemberas,
yang fungsinya sebagai pengganti gecrok sangat efektif dan efisien. Dari uji coba proses pemberasan pada beberapa varietas jagung dapat diperoleh hasil sebagai berikut (Tabel 2). Tabel 2. Rerata keragaan unjuk kerja alsin pemberas jagung Varietas Jagung
Kapasitas (kg/jam)
Rendemen (%)
MS 2
400
72
Bisi 2
350
82
P 11
375
71
Srikandi Putih
380
73
Lokal
450
52
Rata - rata
391
70
Dari tabel di atas dapat diperoleh informasi bahwa kapasitas alsin dalam memproses menjadi beras jagung rata – rata 391 kg/jam. Kapasitas terbesar diperoleh pada jagung lokal sebesar 450 kg/jam, sedangkan kapasitas lebih kecil pada jagung varietas P 11. Hal ini menunjukkan bahwa varietas lokal lebih mudah diproses menjadi beras jagung (digecrok) dari pada varietas hibrida (Bisi 2 dan P11). Namun demikian rendemen yang diperoleh dari hasil gecrok berbanding terbalik. Rendemen hasil beras jagung tertinggi diperoleh pada jagung varietas Bisi 2 sebesar 82 %, yang artinya bahwa dari jagung pipilan sebanyak 100 kg, akan diperoleh sebanyak 82 kg beras jagung. Sedangkan rata – rata rendemen untuk beberapa varietas jagung adalah 70 % beras jagung. Dapat ditambahkan bahwa, dibandingkan dengan alsin yang bertenaga penggerak dari dinamo, maka tenaga penggerak mesin diesel lebih cocok diterapkan di pedesaan. Tenaga dinamo memang tidak bising dalam operasionalnya, namun memerlukan daya listrik yang sangat besar. Sedangkan pemasangan daya listrik yang besar (mencapai 2.200 watt) di pedesaan sangatlah sulit.
135
Prosiding Seminar Nasional Tabel 3. Perhitungan kelayakan ekonomi alsin pemberas jagung No 1
2
Uraian Biaya Tetap Harga alat pemberas (Rp) Nilai akhir alat (Rp) Perkiraan umur alat Biaya penyusutan (Rp) Bunga modal 12 % (Rp) Jumlah biaya tetap (FC) / thn (Rp) Biaya tidak tetap per jam Bahan bakar (Rp) Pelumas (Rp) Biaya perawatan dan perbaikan (2%/thn) (Rp) Upah operator (2 orang, @ Rp. 20.000/hr) (Rp) Jumlah biaya tidak tetap (Rp)
3
Biaya pokok alat per ton (Rp)
4
Break event point (ton/thn)
Kapasitas hasil dari alat pemberas tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan cara tradisional (gecrok). Penumbukan jagung secara tradisional, selain hasil beras jagung yang mudah tercecer, juga menyebabkan butiran jagung tidak seragam dan memerlukan tenaga yang lebih besar. Bagi petani yang tidak mampu untuk mengupahkan pembuatan jagung beras, kegiatan gecrok jagung masih banyak dilakukan. Dalam kapasitas skala rumah tangga, biasanya gecrok jagung dilakukan hanya pada waktu diperlukan dengan jumlah sekali gecrok 5 – 10 kg untuk kebutuhan 1 minggu. Apabila dilihat dari sisi tenaga kerjanya, maka kegiatan gecrok jagung sebagian besar dilakukan oleh kaum wanita. Hal ini tampaknya karena kaum wanita mempunyai keunggulan terutama dalam kerapihan, kesabaran dan kesempatan mengerjakannya. Pemberasan jagung mempunyai tujuan untuk menghilangkan lembaga dan sekaligus mengupas kulit arinya. Lembaga jagung mempunyai kandungan lemak lebih tinggi (Winarno, 1989), sehingga apabila dicampurkan dalam penepungan selain sulit dibuat tepung juga menyebabkan kandungan lemaknya dapat mengakibatkan bahan makanan mudah mengalami pembusukan. Sedangkan kulit ari jagung sangat sulit dibuat tepung karena strukturnya terdiri dari bahan/unsur yang sulit dipecahkan. Bahan
136
Jumlah 8.500.000 850.000 4 1.912.500 1.020.000 2.932.500 12.000 1.920 2.448 5.715 22.083 76.027 38.5
yang terbuang ini disebut sebagai dedak jagung yang dimanfaatkan untuk pakan ternak. Proporsi limbah berupa dedak jagung ini adalah + 30% dari proses pemberasan jagung. Alsin pemberas jagung memerlukan operator antara 1 – 2 orang, dalam perhitungan ini menggunakan operator 2n(dua) orang sehingga dapat ditangani dengan lancar. Kapasitas alsin pemberas jagung adalah 391 kg/jam atau 2.557 jam/ton beras jagung. Bila umur mesin diasumsikan mencapai empat tahun (Sarjono, 2000), maka perhitungan kelayakan ekonomi sebagai berikut: biaya tetap Rp 2.932.500/tahun dan biaya tidak tetap Rp 2.083/jam. Sehingga biaya pokok operasional alat tiap ton adalah Rp 76.027. Bila pemberasan ini taripnya Rp 200/kg, maka break event point (BEP) yang dapat diperoleh adalah 38.5 ton/tahun. Alsin Penepung Jagung Alat dan mesin penepung jagung telah digunakan oleh kelompok petani kecil (KPK) Mangga setahun sebelum kajian. Alatnya lebih sederhana dan ukuran lebih kecil dibanding dengan alsin pemberas jagung. Disamping itu tenaga penggeraknya juga lebih kecil dan menggunakan mesin diesel 7 PK. Bahan bakar yang digunakan adalah solar. Adanya alsin penepung jagung di KPK Mangga, telah membantu meringankan pekerjaan petani di wilayah sekitarnya. Hal
Prosiding Seminar Nasional ini logis karena sebagian besar masyarakat Desa Getas masih menggunakan jagung sebagai pangan pokoknya. Sedangkan beras sebagai bahan pangan utama yang lain, hanya digunakan bila keadaan keluarga memang mempunyai persediaan beras. Ketersediaan beras pada masing-masing keluarga tani tidak bisa dipastikan setiap hari, namun untuk jagung tentu selalu tersedia. Pengoperasian alsin penepung jagung termasuk menghidupkan mesin, menggiling jagung, mengontrol mesin, dan proses penepungan (Gambar 1) telah diadopsi (dilakukan sendiri) oleh kaum wanita tani di Desa Getas, Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung. Perawatan mesin yang mudah juga sudah dapat diatasi sendiri, namun bila ada kerusakan yang berat, maka peranan bengkel lebih banyak. Pada saat ini alsin penepung jagung dikelola dengan baik oleh KPK Mangga, maka operasional menjalankan
alsin juga dikelola oleh KPK tersebut. Pengelolaannya menggunakan manajemen UPJA (usaha pelayanan jasa alsintan), artinya setiap anggota atau diluar anggota KPK Mangga dapat menggunakan jasa penepungan jagung dengan membayar upah jasa. Biaya yang diterapkan oleh KPK Mangga adalah Rp.300,-/kg, dengan perincian bahwa ap penghasilan yang diperoleh 2 bagian diberikan kepada operator dan 1 bagian untuk mengisi kas kelompok. Sistem bagi hasil UPJA, bagian operator dan bagian kas kelompok adalah 2 : 1, dengan pertimbangan bahwa keperluan bahan bakar dan pelumas menjadi tanggung jawab operator, sedangkan biaya repair and maintenance (RAM) menjadi tanggung jawab kelompok sendiri. Meskipun demikian, bagi operator mempunyai tanggung jawab untuk memelihara dan merawat alsin dengan baik demi kelancaran pekerjaan.
Rendemen Beras jagung 100 %
120 %
Direndam, 24 jam
120 %
Digiling
100 % Tepung jagung Gambar 1. Diagram alir proses penggilingan jagung dan rendemennya (Sutanto et al., 2005) Pembuatan tepung jagung dilakukan dengan cara basah sebagimana yang biasa dilakukan petani, yaitu sebelum digiling perlu perendaman beras jagung selama minimal sehari semalam atau 24 jam. Maksud perendaman adalah agar struktur jagung menjadi empuk dan mudah dalam penggilingannya (Munarso et al., 1992). Jagung hasil perendaman dikering – anginkan selama kurang lebih 1 jam, agar dalam penggilingan tidak terlalu banyak mengandung air.
Mulyoharjo (1987), penyerapan air ke dalam biji jagung diawali dari bagian ujung biji (tip cap), selanjutnya masuk ke dalam rongga – rongga sel endosperm dengan daya kapiler. Jumlah air yang diserap biji jagung tergantung beberapa faktor, antara lain suhu dan waktu perendaman. Dari hasil uji coba diketahui bahwa perendaman biji jagung pada suhu kamar selama 4 jam, air yang terserap mencapai 28% (Wariyah, 2000), sedangkan perendaman pada suhu 49 0 C selama 12 jam, kadar air mencapai 45.31% (Wariyah, 2001).
Perendaman mengakibatkan terjadinya penyerapan air ke dalam biji jagung. Menurut
137
Prosiding Seminar Nasional Analisis Finansial Analisis usaha yang dibuat diarahkan pada alokasi biaya memproduksi kerupuk jagung. Analisis usaha ini didasarkan atas harga yang berlaku di desa pengkajian pada saat kegiatan berlangsung. Pertimbangan analisis ini adalah bahwa pembuatan kerupuk jagung merupakan salah satu usaha yang menguntungkan karena pembuatannya relatif mudah, bahan bakunya dapat diperoleh sendiri di pedesaan, dan prospek pemasaranya sebagai makanan ringan alternatif sangat bagus. Selain itu, kerupuk jagung juga dapat dibuat dengan aneka rasa dan aroma, sehingga konsumen bisa memilih sendiri cita rasa sesuai dengan keinginannya.
Kerupuk jagung dapat dibuat secara usaha skala industri kecil (industri rumah tangga, home industry) ataupun industri menengah, kebutuhan investasinya tidak terlalu besar, dan limbah yang ditimbulkan tidak terlalu banyak. Di samping itu, harga jual kerupuk jagung cukup terjangkau bagi masyarakat pedesaan dan perkotaan, dan penambahan kemasan yang lebih menarik seharusnya dapat meningkatkan dayasaingnya terhadap produk pabrik besar. Biaya yang dikeluarkan untuk proses produksi pembuatan kerupuk jagung terdiri dari biaya penyusutan alat, bahan produksi, dan pengeluaran lain – lain. Untuk biaya penyusutan alat dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Biaya penyusutan alat pembuatan kerupuk jagung Nama Barang Jumlah Harga(Rp) Penggiling mie 2 bh 250.000 Kompor 2 bh 400.000 Wajan 2 bh 80.000 Panci 4 bh 160.000 Nyiru 5 bh 75.000 Para - para 2 bh 400.000 Terpal plastik 2 bh 220.000 Sealer plastik 1 bh 500.000 Jumlah biaya penyusutan alat pembuatan kerupuk / thn Jumlah biaya penyusutan alat pembuatan kerupuk / hari Sumber: Sutanto et al., 2005 Untuk proses produksi pembuatan kerupuk jagung, dengan asumsi produksi 5 kg kerupuk mentah/hari, maka kebutuhannya adalah 8,3 kg jagung pipilan. Dari volume jagung tersebut dapat diperoleh rendemen tepung 70%. Di lain pihak, kerupuk jagung yang siap dipasarkan/digoreng kadar airnya 14%, sehingga rendemen total dari pipilan jagung menjadi kerupuk mentah adalah 60%. Biaya lain – lain adalah biaya untuk keperluan bahan-bahan selama proses pembuatan kerupuk jagung, antara lain: minyak tanah, minyak goreng, dan bumbu. Dalam kajian ini biaya tenaga kerja belum diperhitungkan, karena usaha yang dilakukan masih bersifat pengisi waktu luang bagi ibu rumah tangga. Sementara, perhitungan perolehan keuntungan adalah upah yang diterima dari hasil selisih perolehan yang diterima dari penjualan kerupuk jagung. Perincian biaya bahan dan biaya lain – lain
138
Lama pakai 1 thn 2 thn 2 thn 2 thn 2 thn 1 thn 1 thn 2 thn
Biaya penyusutan 20.800 16.600 3.300 6.600 3.125 33.300 18.300 20.800 122.825 335
untuk pembuatan kerupuk jagung adalah sebagai berikut (Tabel 5). Tabel 5. Kebutuhan biaya bahan dan biaya lainnya pada pembuatan kerupuk jagung (untuk skala produksi 5 kg/hari) Jenis bahan Jumlah Harga Bahan Jagung pipilan 8.3 kg 16.600 Upah menggiling 8.3 kg 2.490 Bahan lain – lain Minyak goreng 1.000 Minyak tanah 2 ltr 6.500 Bumbu 1.000 Plastik bungkus 2.000 Jumlah biaya 28.590 Total biaya produksi 28.925 Sumber: Sutanto et al., 2005 Harga jual kerupuk jagung mentah yang dipatok oleh produsen (KPK Mangga) adalah Rp.12.000/kg kerupuk mentah. Dari produksi
Prosiding Seminar Nasional kerupuk jagung sebanyak 5 kg/hari, dengan asumsi bahwa produksi tersebut dapat habis terserap konsumen setiap hari, maka akan diperoleh pendapatan dari penjualan kerupuk jagung sebesar = 5 x Rp 12.000 = Rp 60.000. Dengan demikian akan diperoleh keuntungan sebesar Rp 31.075/hari. Untuk mempermudah produsen dalam mengkalkulasi biaya tambahan berupa biaya transportasi usaha, biaya promosi dan jangkauan pemasaran yang harus dicapai adalah dengan cara melihat dari keuntungan yang diperoleh. Apabila keuntungan masih memungkinkan untuk pembiayaan tambahan, maka jangkauan pemasaran akan dapat dilayani secara lebih luas dan menyebar. Dalam hal ini, dengan asumsi produksi 5 kg/hari atau 150 kg/bulan telah diperkirakan memperoleh hasil yang lumayan. Keuntungan tersebut dapat dialokasikan atau dikurangi untuk biaya transportasi pengiriman barang ke konsumen. Produsen dapat menghitung bila biaya pengiriman barang dilakukan sekali seminggu atau dua kali seminggu. Dengan demikian mengurangi keuntungan, namun diperkirakan dapat menaikkan volume penjualannya.
KESIMPULAN Kajian ini dapat disimpulkan bahwa introduksi alat dan mesin pertanian dapat meningkatkan kemampuan petani dalam melakukan deversifikasi pengolahan aneka produk dari bahan jagung. Di samping itu diversivikasi olahan jagung juga sangat prospektif dalam memberikan nilai tambah produk jagung di pedesaan, sehingga potensial untuk meningkatkan pendapatan petani.
PUSTAKA Makarim, A.K. dan S. Partohardjono. 2002. Analisis sistem sebagai alat bantu penyusunan strategi peningkatan produksi, pendapatan petani dan pengembangan usahatani palawija. Prosiding seminar nasional inovasi teknologi palawija.
Buku – 2 Hasil penelitian dan pengkajian. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. Munarso, S.J., BAS Santosa, dan S.D Djoko. 1992. Struktur, komposisi dan nilai gizi jagung. Dalam buku Paket Informasi Jagung. Pusat Perpustakaan Pertanian dan Komunikasi Penelitian. Depatan, Jakarta. 1992. Saenong, S., K., Firdaus, K. Wasmo, U.F. Imam, dan Akil. 2002. Inovasi teknologi jagung. Menjawab tantangan ketahanan pangan nasional. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor. Sarjono. 2000. Analisa ekonomi penggunaan alat dan mesin pertanian. Balai Besar Pengembangan Alat dan Mesin Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Deptan. Serpong. 2000. Suarni. 2002. Teknologi pengolahan jagung sebagai bahan pangan. Prosiding seminar nasional inovasi Teknologi Palawija. Buku – 2 hasil penelitian dan pengkajian. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. Sutanto, A., P. Djoko, Kendriyanto, dan K. Hendro. 2005. Kajian pasca panen dan pengolahan produk jagung putih untuk bahan pangan. Laporan Kegiatan. BPTP Jawa Tengah. Wariyah, C. 2000. Optimasi waktu perendaman dan pemasakan dalam otoklaf pada pengolahan jagung goreng. Laporan Penelitian. Unwama, Yogyakarta. Wariyah, C. 2001. Optimasi kadar air biji jagung selama perendaman dan pengolahan jagung goreng. Laporan Penelitian. Unwama, Yogyakarta. Wariyah, C. 2005. Kinetika penyerapan air selama perendaman biji jagung. Dalam Agromedia, vol. 23, No. 2, hal. 81 – 93. STIP Farming, Semarang. Winarno, F.G. 1989. Teknologi Pengolahan Jagung. Risalah seminar hasil penelitian tanaman pangan. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
139
Prosiding Seminar Nasional
140
Prosiding Seminar Nasional
DAFTAR PESERTA SEMINAR NASIONAL 2007 BPTP JAWA TENGAH No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44.
Nama Peserta Andarias Makka Murni Arfi Irawati Nila Wardani Rr. Ernawati Heny Herawati Dwi Lestari Ningrum Laila Kusuma Fitri Fitri Dian P. Umi Barokah Sri Marwanti Simon Ginting Bambang Winarto Santiananda Arta A. Isbandi Seno Basuki Dwi Amiarsi Didiek Setiobudi Supandargono Nandang S. Farida Siswadi Peni Wahyu P Anny Hartati Endang Sriningsih Triharjoso Budi Sustriawan Khavid Fauzi Sumanto Rahman Djamal Sunarmani Ermi Sukasih. Agus Budianto Tri Martini Angely Yuwana Khairuddin Rosita Galib Sumardi Nugroho Siswanto Rob. Mudjisihono Saryadi Christina Tatun R. Anggi Sahru Romdon F. Rudy P. Hantoro
Alamat BPTP Lampung BPTP Lampung BPTP Lampung BPTP Lampung BPTP Jawa Barat UNDIP Semarang UNDIP Semarang UNDIP Semarang UNS Surakarta UNS Surakarta Loka Penelitian Kambing Potong PSE-KP Bogor Balitnak Bogor Balitnak-P4MI Jakarta BPTP Jawa Tengah BB Pascapanen BB Tanaman Padi Dinas Pertanian Kab. Blora BPTP Jawa Barat BPTP Jawa Barat Sumberahayu, Kendal Loka Penelitian Sapi Potong Grati UNSOED UNSOED UNSOED UNSOED UNSOED Balitnak Ciawi Balitbang Prov. Jawa Tengah BB Pascapanen Pertanian, Bogor BB Pascapanen Pertanian, Bogor BB Pascapanen Pertanian, Bogor BPTP Yogyakarta LPT Ananda Semarang BPTP Kalimantan Selatan BPTP Kalimantan Selatan UNIKA Soegiyopranoto Semarang BPTP Yogyakarta BPTP Yogyakarta BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah 141
Prosiding Seminar Nasional No. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 63. 64. 65. 66. 67. 68. 69. 70. 71. 72. 73. 74. 75. 76. 77. 78. 79. 80. 81. 82. 83. 84. 85. 86. 87. 88. 89. 90. 91. 142
Nama Peserta Reni Elviani Yuni Wulandari Suwono Indra Muntoha Anang Supriyanto Tikto P. Ris Agus Supardi Ariarti Tyasdjaja Dadang Suhendar Sarjono Ari Sugiarto Herwinarni E.M. S. Prawirodigdo S. Joni Munarso Isnani Herianti MD. Meniek Pawarti Sugiyati Bambang Supriyanto Bomin Sartono Widarto Herumurti TS Murtoyo Parti K. Nurhalim Hartoyo Martono Kuswantono Nurciptono Ita Warsita Kuscahyo Suryo Pratomo Suryoto Santi Siti Robingah Budi Utomo Waspodo Isom H. Budiman Amrih Prasetyo Heni P. Heni H. Ida Ayu K. Kuntadi Mahfud H.D. Samanhudi
Alamat BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP. Jawa Tengah BPTP Yogyakarta BPTP Yogyakarta Balitnak, Bogor UNS Surakarta UNDIP Semarang UNS Surakarta
Prosiding Seminar Nasional No. 92. 93. 94. 95. 96. 97. 98. 99. 100. 101. 102. 103. 104. 105. 106. 107. 108. 109. 110. 111. 112. 113. 114. 115. 116. 117. 118. 119. 120. 121. 122. 123. 124. 125. 126. 127. 128. 129. 130. 131. 132. 133. 134. 135. 136. 137. 138.
Nama Peserta Sumardi Trisna S. Arlina Budi Budi Lestari MH Mubarok I. Mangisah Siti Jamroh Tm. Karsidi Agus Wicaksono Sri Mulyani Dandung Nugroho Joko Nyoto P. Her Supadmo Samijan Joko Pramono Sri Yuwanti, MA Sri Hartini F.X. Pardiman Karman Achmad Jarkoni Ika Farida Andang Imam Sudigdo Ruslan Syukur Ismi Musawati Sugiyono Mudjijono Prawoto Puji Lestari Kusmaningsih Dharma Gunadi Sunendar Soemarsono, SR Dr. T. Winarni A. Dwi Ratna Y., SP Bimo Santoso E.Eko Ananto Respati Eny Rony Nurhastuti Endang Yuni H. Budi Prayitno Indra Prabawa Kusumo W.
Alamat UNS Surakarta BPTP Jawa Barat BPTP Yogyakarta BPTP Yogyakarta UNDIP Semarang UNDIP Semarang KTNA Jawa Tengah KTNA Jawa Tengah KTNA Jawa Tengah LSM PIU P4MI Kab. Blora Dinas P ertanian Kab. Blora PIU P4MI Kab. Temanggung BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah Kimtaru Jawa Tengah Kimtaru Jawa Tengah Biro Perekonomian Pemda Jateng Lab. Diseminasi Semarang PPL Kab. Temanggung Kompas Dinas Pertanian Kab. Temanggung BPTP DI Yogyakarta Dipertan Kab. Grobogan PPL Kab. Blora PPL Japah Kab. Blora Lab. Klepu Jawa Tengah Lab. Klepu Jawa Tengah Lab. Klepu Jawa Tengah Lab. Klepu Jawa Tengah Lab. Klepu Jawa Tengah Disnak Prov. Jawa Tengah Diskimtaru Prov. Jawa Tengah IPNI ORI Jawa Tengah Lemlit-UNDIP Disbun Prov. Jawa Tengah Dispertan Prov. Jawa Tengah PCMU P4MI Jakarta Bappeda Prov. Jawa Tengah Bappeda Prov. Jawa Tengah Distan Kab. Temanggung BBMKP WAWASAN WAWASAN Puslitbangbun 143
Prosiding Seminar Nasional No. 139. 140. 141. 142. 143. 144. 145. 146. 147. 148. 149. 150. 151. 152. 153. 154. 155. 156. 157. 158. 159. 160. 161. 162. 163. 164. 165. 167. 168. 169. 170. 171. 172. 173. 174. 175. 176. 177. 178. 179.. 180. 181. 182. 183. 184. 185. 186. 144
Nama Peserta A. Suryana Muhrizal Antony L Eky Sarjana ITri Reni Prastuti Dwi Nugraheni Sri Catur Budi S. Sodiq Jauhari Kendriyanto Ernawati Bambang Budiharto Meinarti Norma S Jon Purmiyanto Suharno Sutoyo Indrie Ambarsari Qanitah Meitha Lussia Trie Joko P. Syamsul Bahri Setyo Budiyanto Yulianto Joko Susilo Agus Sutanto Abadi Priyanto Slamet Pujo Hasapto Ngadimin Sri Karyaningsih Rusmaji Yayuk Aneka Beti Subiharta A. Choliq Sherly Sisca P. Cahyati S. Endang Iriani Tota Suhendrata Ekaningtyas K. Munir Eti Wulanjari Budi Utomo Teguh Prasetyo Wahyudi H. Hairil Anwar Miranti Dian Pertiwi Gunawan Sejati
Alamat Badan Litbang Pertanian BBP2TP Kompas Kompas BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah
Prosiding Seminar Nasional No. 187. 188. 189. 190. 191. 192. 193. 194. 195. 196. 197. 198. 199. 200.
Nama Peserta Djoko Prayitno Eko Budi P. Suprapto Djoko Pramono Ulin Nuschati Dian M. Yuwono Parluhutan Sirait Muryanto Joko Pramono Warsana Sunoto Joko Handoyo Khairuddin Sukarna
Alamat BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah BPTP Jawa Tengah
145