Surat Kabar Harian “KEDAULATAN RAKYAT”, terbit di Yogyakarta, Edisi: 22 November 1991 ____________________________________________________________________
SKEMA DEMOGRAFIS PENDUDUK DIY Oleh : Ki Supriyoko
Mayoritas atau sebagian besar penduduk pedesaan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mempunyai mata pencaharian di sektor pertanian dengan luas pemilikan tanah rata-rata sekitar 0,5 hektar (setiap keluarga?); padahal untuk dapat hidup 'cukup' paling sedikit harus mempunyai tanah pertanian seluas 1 (satu) hektar. Keadaan ini yang mendorong penduduk pedesaan mencari tambahan pendapatan di kota. Konklusi ini merupakan hasil pengamatan Kepala Biro Bina Kependudukan dan Lingkungan Hidup Propinsi DIY, Kismo Sukirdo, beberapa waktu yang lalu (KR: 16/11/91). Dari sumber yang sama dinyatakan bahwa pertambah-an penduduk kota madya Yogyakarta yang disebabkan karena mobilitas permanen adalah relatif sedikit; dengan demikian faktor mobilitas nonpermanen diperkirankan memegang peran kunci dalam hal kepadatan penduduk. Pada dasarnya mobilitas permanen itu sendiri bisa dibedakan menjadi mobilitas sirkuler dan mobilitas ulang alik. Dalam hal ini faktor jarak dan biaya transportasi dari daerah asal (pedesaan) ke kota sangat menentukan terjadinya mobilitas nonpermanen tersebut. Hasil amatan tersebut kiranya mengandung kebenar-an; padahal secara empirik mobilitas penduduk, permanen maupun nonpermanen, selalu berkaitan dengan problematika sosial yang muncul. Bagi daerah asal maka mobilitas pen-duduk umumnya membawa dampak positif dari sisi ekonomi, sementara itu dampak yang sama tidak selalu muncul dari sisi sosio-kultural. Bahkan, beberapa kasus menunjukkan terjadinya problematika sosio-kultural yang semakin kom-pleks; baik bagi daerah asal maupun daerah tujuan.
Kota-Desa Dari "preliminary report" Sensus Penduduk Tahun 1990 (SP-1990) yang lalu tercatat bahwa jumlah penduduk DIY mencapai 2.913.054 orang; jumlah (riil) ini ternyata lebih sedikit dari jumlah antisipasinya yang melebihi 3 juta orang. Kalau dilihat dari domisilinya maka sebanyak 1.294.463 (44,44%) orang bertempat tinggal di kota, se-dangkan yang selebihnya, yaitu 1.618.591 (55,56%) orang, bertempat tinggal di desa. Jadi, penduduk yang berdomi-sili di desa jumlahnya masih lebih
2
banyak daripada yang berdomisili di kota, meskipun terpautnya relatif tidak terlalu besar, yaitu "hanya" sekitar sepersepuluh (10%) dari jumlah penduduk secara keseluruhan. Jumlah penduduk kota di DIY yang mencapai 44,44% dari total penduduk sesungguhnya relatif tinggi daripada propinsi lain, kecuali dengan DKI Jakarta yang semua pen duduknya tinggal di kota. Sebagai kota metropolitan maka Jakarta memang tidak lagi memiliki daerah pedesaan. Apabila dilihat dalam skala Pulau Jawa misalnya; maka penduduk yang berdomisili di kota jumlahnya "hanya" mencapai 35,69% dari total penduduknya; sedangkan kalau dibandingkan dengan Propinsi Jawa barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur angkanya berturut-turut hanya 34,51%, 26,99%,dan 27,48%. Periksa Tabel 1! Propinsi-propinsi lain di luar Jawa angkanya lebih rendah lagi; artinya lebih sedikit penduduk yang bertempat tinggal di kota dibandingkan dengan total penduduknya masing-masing. Dilihat dari distribusi penduduk berdasarkan domi silinya maka sebenarnya DIY mempunyai potensi yang lebih tinggi untuk menjadi kota "metropolitan" kalau dibanding dengan daerah lain; hanya sayang dukungan faktor lainnya masih belum menggembirakan, katakanlah tentang fasilitas bisnis, sarana komunikasi, transportasi, dan sebagainya. Rendahnya persentase penduduk DIY yang berdomisi-li di pedesaan (dibanding propinsi lain), ternyata tidak menjamin terciptanya pola perkembangan yang statis. Hal ini berarti pola perkembangan penduduk DIY tetap saja dinamis dengan indikator terjadinya mobilitas yang rela-tif tinggi. Kalau setiap pagi di batas kota terlihat ber duyun-duyun para pelajar dan pekerja dari desa memasuki kota, atau sebaliknya para pekerja di kota yang memasuki desa, hal itu menandakan terjadinya mobilitas penduduk. Memang, bila dikuantifikasikan maka akan tercatat lebih banyak penduduk desa yang memasuki kota daripada penduduk kota yang "turun" ke desa. Katakanlah penduduk pedesaan di Bantul, Sleman, Gunung Kidul dan Kulon Progo yang "menyerang" kota jumlahnya relatif tinggi; baik da-lam posisinya sebagai pelajar dan mahasiswa maupun dalam posisinya sebagai karyawan atau pekerja.
Ke Luar DIY Bahwa penduduk pedesaan di DIY memiliki mobilitas yang relatif dinamis kiranya memang tidak disangsikan; namun demikian perlu dicatat bahwa mobilitas tersebut ti dak semata-mata ditandai oleh perginya penduduk pedesaan ke kota di DIY sebagai 'migran ulang-alik', yaitu setiap hari pulang ke rumahnya masingmasing. Kalau ditelusuri lebih lanjut banyak pula penduduk pedesaan yang "beboro" ke luar DIY, baik sebagai 'migran sirkuler' yang setiap satu atau beberapa minggu pulang kampung, maupun sebagai 'migran permanen' yang pergi ke luar daerah serta tidak pulang lagi dalam kurun waktu tertentu.
3
Terjadinya perpindahan penduduk (desa) DIY ke luar daerah tersebut menambah dinamisnya penduduk itu sendiri; dengan kata lain menjadikan penduduk DIY lebih mobil la-gi. Kalau diidentifikasi secara kuantitatif penduduk DIY yang pindah ke luar daerah jumlahnya pun tidak sedikit. Ada beberapa faktor yang menyebabkan mobilnya pen duduk desa; di antaranya menyangkut faktor-faktor ekono-mik, transportatif dan kultural. Secara ekonomik pendapatan masyarakat pedesaan di DIY (juga luar DIY) relatif rendah. Sirkulasi ekonomi di daerah pedesaan relatif longgar dan tak sebanding dengan mayoritas penduduknya (55,56%). Oleh karenanya penduduk desa terdorong ke luar desanya untuk "memburu" uang demi berlangsungnya kehidupannya. Bagi penduduk desa yang se-tiap hari dapat pulang ke rumahnya ('migran ulang-alik') akan membawa sendiri hasil perjuangannya di kota kepada keluarganya di desa; sementara bagi yang kepulangannya memerlukan waktu relatif lama maka akan mengirimkan se-bagian hasil "perburuan"-nya di kota kepada keluarganya di desa sebagai 'remitan' (remittance). Dari dimensi transportasi maka mudahnya hubungan antara berbagai daerah di DIY dengan kota-kota besar di luarnya telah mendorong sementara penduduk DIY untuk be-kerja di luar daerahnya. Penduduk Gunung Kidul dan Kulon Progo yang akan ke Jakarta, umpamanya, maka begitu ke lu ar rumah sudah ada kendaraan yang siap menghantarkannya ke tempat tujuan. Faktor lain yang memobilkan penduduk desa di DIY menyangkut masalah kultural. Dalam era pembangunan saat ini pepatah "mangan ora mangan yen kumpul" yang semula dijadikan referensi baku bagi kebanyakan masyarakat desa pelan tetapi pasti mulai tergeser dengan referensi baru, "kumpul ora kumpul yen mangan". Referensi baru ini telah membawa semangat baru pula untuk merealisasi "objective" yang terkandung dalam referensi tersebut, yaitu "mangan", secara lebih rasional. Implikasinya sbb: semangat mening galkan daerah menjadi bersemi pada sementara penduduk desa manakala di desanya ditemukan berbagai keterbatasan untuk merealisasikan "objective"-nya tersebut. Barangkali keadaan tersebut tidak bisa dilepaskan dari rata-rata jumlah anggota rumah tangga pada keluarga di desa yang lebih besar daripada keluarga di kota. Menurut hasil SP-1990 rata-rata anggota rumah tangga kelu-arga di kota "hanya" 3,9 (data SP-1980 masih 4,8) sedang keluarga di desa sebesar 4,1 (SP-1980 "hanya" 4,6). Se-cara teoretik banyaknya anggota rumah tangga berkorelasi positif dengan beban ekonomik yang dipikulnya; semakin banyak anggota rumah tangga semakin berat beban ekonomik yang dipikul, demikian pula yang sebaliknya.
Dampak Demografis Relatif mobilnya penduduk pedesaan di DIY ternya-ta membawa dampak demografis yang sangat perlu mendapat perhatian. Banyaknya penduduk desa yang
4
meninggalkan daerahnya ternyata telah "mengganggu" angka Laju Pertumbuh-an Penduduk (LPP). LPP yang kecil memang kita upayakan, akan tetapi LPP negatif bukanlah tujuan. Pada hal, hasil SP-1990 menunjukkan LPP negatif untuk daerah pedesaan di DIY, -2,77%, sedangkan untuk daerah perkotaan angkanya sebesar 7,86%. Barangkali angka tersebut tidaklah terlalu membu-at cemas oleh karena hal tersebut dapat terjadi adanya ekspansi daerah perkotaan dengan kriteria baru yang ditentukan; namun demikian kalau hal tersebut terjadi pada skala lokal memang perlu dicemasi. Dari SP-1990 juga di-jumpai angka LPP di Gunung Kidul dan Kulon Progo menjadi negatif; masing-masing dengan angka -0,13% dan -0,22%. Dari sisi Rasio Jenis Kelamin (RJK), yaitu perban dingan antara jumlah penduduk laki-laki terhadap wanita, juga terjadi angka yang kurang balance. RJK pada daerah pedesaan menunjukkan angka 0,954; sedangkan daerah per-kotaan sedikit lebih seimbang, yaitu 0,988. Artinya dari setiap 1.000 wanita pedesaan hanya terdapat 954 pria. Secara global hasil SP-1990 memang sangat membang gakan masyarakat DIY yang telah berhasil menekan laju pertumbuhan penduduknya; namun demikian secara cermat harus kita perhatikan "warning" yang ada di dalamnya. LPP yang negatif dan RJK yang kurang seimbang secara empirik dapat menimbulkan berbagai problematika sosial yang kompleks; misalnya menyangkut kejahatan, pelanggaran norma sosial, dan sebagainya. Hal inilah yang harus senantiasa kita waspadai bersama. Semoga .......!!!***** ________________________________________________________ BIODATA SINGKAT; *: DR. Drs. Ki Supriyoko, SDU, M.Pd. *: Direktur Lembaga Studi Pembangunan Indonesia (LSPI) *: Peneliti masalah-masalah pendidikan dan kependudukan Tabel 1: JUMLAH PENDUDUK MASING-MASING PROPINSI DI PULAU JAWA BERDASARKAN DOMISILINYA (KOTA ATAU DESA) +++++ | Propinsi | Kota | Desa | Jumlah | +++++ | DKI Jakarta | 8.254.035 | 0 | 8.254.035 | | | 100,00% | 0,00% | 100,00% | | Jawa Barat | 12.210.465 | 23.170.688 | 35.381.153 | | | 34,51% | 65,49% | 100,00% | | Jawa Tengah | 7.698.927 | 20.822.765 | 28.521.692 |
5
| | 26,99% | 73,01% | 100,00% | | DI Yogyakarta | 1.294.463 | 1.618.591 | 2.913.054 | | | 44,44% | 55,56% | 100,00% | | Jawa Timur | 8.931.697 | 23.572.118 | 32.503.815 | | | 27,48% | 72,52% | 100,00% | +++++ | Pulau Jawa | 38.389.587 | 69.184.162 |107.573.749 | | | 35,69% | 64,31% | 100,00% | +++++ Sumber: BPS, "Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 1990", Paper, Jakarta 1991