Surat Kabar Harian “KEDAULATAN RAKYAT”, terbit di Yogyakarta, Edisi 7 Februari 1996 _____________________________________________ Tanggapan Balik Debat Opini Persoalan Potensi Anak Genius:
MERANGKUM TIGA PROBLEMATIKA PERSOALAN KEGENIUSAN KITA Oleh : Ki Supriyoko
Debat opini persoalan potensi anak genius yang telah digelar oleh KR edisi 25 s/d 31 Januari 1996 ternyata mendapat tanggapan serius dari masyarakat, khususnya masyarakat pendidikan. Di samping telah dimuat tanggapan "formal" dari temanteman ilmuwan sejawat di KR secara berturut-turut, saya sendiri sempat menerima beberapa respon per telpon dari berbagai pihak yang berkepentingan; dari temanteman praktisi pendidikan di sekolah, pemerhati dan pakar pendidikan, sam-pai dengan pejabat Depdikbud dan wakil rakyat. Tentu saja saya perlu menyampaikan terima kasih kepada teman-teman ilmuwan sejawat yang telah meluangkan waktu untuk memberi tanggapan "formal" atas tulisan saya; mereka itu adalah Suyanto (FPS IKIP Yogyakarta), Djamaludin Ancok (Fak. Psikologi UGM), Sartini Nuryoto (Fak. Psikologi UGM), Noeng Muhadjir (Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta), beserta Sri Hastuti PH (FPBS IKIP Yogyakarta). Meskipun sebagian besar tanggapan yang diberikan itu lebih bersifat text book approach, bukan experience approach, akan tetapi tetap menarik serta melengkapi dan memperdalam tulisan saya yang tentu saja dapat memperluas wawasan pembaca. Berbagai teori yang dikutip dari para pakar (Renzulli, Silvernail, Sisk, Terman, Merritt, Barbara Clark, Terrassier, Joan Freeman, Wechsler, Binet,Thorndike, Simon, Spearman, Thurstone, Witty, Paul, dsb) dan disajikan dalam tulisan-nya dapat memperluas wawasan pembaca. Dari tanggapan teman-teman ilmuwan sejawat tersebut setidak-tidaknya ada tiga problematika yang masih harus diklarifikasi; adapun ketiga problematika yang dimaksud ialah menyangkut (1) terminologi anak genius itu sendiri,(2) penentuan atau metode seleksi anak genius, serta (3) Model pendidikan anak genius. Terminologi Anak Genius Banyak terminologi yang dikembangkan untuk menyebut anak yang memiliki "kemampuan" luar biasa; ada yang menyebut sebagai anak berbakat, anak berkemampuan tinggi, anak sangat pandai, gifted children, talented student,
2
superior, very superior, highly gifted, supernormal,dan sebagainya. Undang-undang pendidikan kita menye-butnya dengan istilah anak berkemampuan dan berkecerdasan luar biasa (periksa Pasal 8, ayat 2). Kalau kita memakai referensi teoretik maka penggunaan masing-masing istilah tersebut memiliki kekurangan; misal secara psikologis antara bakat (aptitude) dengan kemampuan (ability) memiliki garis pembatas yang sangat jelas. Kemampuan merupakan bakat yang sudah dikembangkan; dengan demikian pengertian anak berbakat sangat jauh berbeda dengan anak yang berkemampuan tinggi. Pada sisi yang lain antara bakat, kemampuan dan kecerdasan juga memiliki dimensi psikologis yang tidak sama; dengan demikian pengertian anak berbakat, anak berkemampuan tinggi dan anak berkecerdasan tinggi masing-masing memiliki nuansa yang berbeda pula. Penggunaan terminologi anak berbakat sebenarnya juga memiliki kekurangan dan ketidak-sinkronan kalau dilihat dari sistem pengukurannya. Bila dalam tulisan saya yang dimaksud anak genius ialah anak yang memiliki IQ sangat tinggi, diatas 139, yang jumlahnya diprediksi sekitar satu persen dari total kelompoknya (mengacu deskripsi Gauss) maka secara teoretik pengertian ini tidak dapat tergantikan dengan istilah anak berbakat. Kenapa? Karena untuk mengukur keberbakatan seseorang seharusnya dilakukan dengan Tes Bakat (Aptitude Test), bukan dengan Tes IQ (Intelligence Quotient).Anak-anak yang ber-IQ sangat tinggi tidak secara otomatis memiliki bakat yang tinggi untuk hal-hal tertentu; demikian pula sebaliknya. Pemakaian istilah genius dalam konteks ini sebenarnya di samping terminologinya telah populer di masyarakat (awam),juga dimaksudkan sebagai penyederhanaan dari berbagai istilah yang berkembang di ladang teoritis maupun di kawasan praktis tersebut di atas; sudah ba-rang tentu dengan berbagai catatan disanasini. Memang dalam berbagai hal ada perbedaan konotatif antara anak berbakat, anak berkemampuan sangat tinggi, anak cerdas luar biasa, dsb; tetapi semuanya mempunyai kesamaan dalam hal kegeniusannya (keluar-biasaan positifnya).Dengan demikian pemakaian istilah genius, dengan segala kekurangannya, kiranya dapat diterima untuk merepresentasi anak-anak yang mempunyai keluar-biasaan (positif) dalam hal keberbakatan, kemampuan, maupun kecerdasannya. Metode Seleksi Untuk bisa memberikan perlakuan kepada anak genius maka kita terlebih dulu harus bisa menentukan atau menseleksi anak-anak genius itu sendiri. Problematika yang muncul adalah bagaimana cara menseleksi anak-anak genius tersebut. Secara teoretik metode menseleksi anak genius sudah disediakan alat dan caranya; misalnya untuk menseleksi anak-anak berkecerdasan (berintelegensi) tinggi dapat digunakan dengan menggunakan Tes IQ. Sebenarnya pelaksanaan tes ini tidaklah sulit, akan tetapi ada konvensi bahwa untuk sahnya maka pelaksanaan tes
3
harus dilakukan oleh pakar (psikologi/pendidikan) yang sudah mendapatkan lisensi dan legalitas. Pada akhirnya tes ini tidak praktis dan boleh dikatakan hampir tidak mungkin dilakukan di sekolah-sekolah kita oleh para praktisi sekolah. Bagaimana untuk mengetes anak berbakat? Pengukuran keberbakatan seseorang lebih kompleks daripada pengukuran kecerdasan oleh karena keberbakatan dalam bidang tertentu harus diketahui terlebih dahulu. Misalnya untuk mengetes keberbakatan anak di bidang musik berbeda dengan mengetes keberbakatan di bidang kejuruan. Berbagai materi tes bakat sebenarnya sudah tersedia; antara lain adalah Tests of Special Aptitudes (TSA), The Minnesota Clerical Test (MCT),Test of Mechanical Comprehension (TMC),The Meier Aesthetic Perception Test (MAPT), The Seashore Measures of Musical Talents (SMMT), Multiple Aptitudes Batteries (MAB),The General Aptitudes Test Battery (GATB), The Differential Aptitude Tests (DAT), dan masih banyak yang lainnya. Masing-masing dari tes bakat ini memiliki tingkat kepercayaan sendiri-sendiri. Tests of Special Aptitudes (TSA) diaplikasi untuk mengukur bakat tulis-menulis, stenografi, mekanik, musik dan perangkaan. MCT yang dibakukan tahun 1933 digunakan untuk mengukur bakat tulis-menulis. TMC dikreasi oleh Bennet untuk mengukur bakat fisik anak dengan elemen permesinan. MAPT didisain untuk mengukur sensitivitas dan persepsi estetika. SMMT yang dipublikasi tahun 1919 didisain untuk mengukur bakat yang berkaitan dengan tingkatan nada (pitch), kenyaringan (loudness), irama (rhythm), timing (time), warna suara (tim-bre), dan nada (tonal). DAT dipakai untuk mengukur bakat kejuruan seseorang. Kompleksitas tes bakat tersebut makin lengkap oleh karena setiap materi tes biasanya terdiri dari berbagai komponen sekaligus;misalnya saja The Multi Aptitude Test (TMAT) yang dikembangkan Cureton, dkk (1955) terdiri dari sepuluh komponen; yaitu vocabulary, general information, arithmetic, number series, figure classification,word recognition, mechanical comprehension, letters, checking, serta paper form board. Sementara itu Differential Aptitude Tests (DAT) yang dikembangkan oleh Bennet, Seashore, and Wesman mengandung delapan komponen; yaitu verbal reasoning, numerical ability, abs-tract reasoning, clerical speed and accuracy, mechanical reasoning, space relations, spelling dan language usage. Berbagai jenis tes tersebut memang sudah teruji dan telah terakui oleh masyarakat pendidikan pada umumnya; namun demikian persoal-annya ialah tak memiliki kepraktisan yang tinggi. Implikasinya hampir tidak mungkin pelaksanaan tes bakat tersebut dilaksanakan di sekolah oleh praktisi sekolah itu sendiri. Untuk mengatasi problematik kepraktisan tersebut banyak usulan agar sekolah menggunakan Nilai Ebtanas Murni (NEM) guna mengukur kemampuan (baca: kegeniusan) anak didik; akan tetapi usulan ini akhirnya "dimentahkan" oleh para pakar pendidikan dengan adanya keraguan terhadap validitas NEM itu sendiri. Sulitnya mencari metoda yang praktis (tetapi akurat) untuk menseleksi anak-anak genius inilah yang menyebabkan pemberian perlakuan khusus secara proporsional
4
terhadap anak-anak genius kita menjadi belum dapat dilaksanakan di sekolah-sekolah kita pada umumnya. Saya sendiri sekarang tengah mengembangkan Tes Genius yang kelak diharapkan dapat dilaksanakan secara praktis di sekolah-sekolah kita. Sekarang ini masih dalam rangka uji coba; dan dalam rencana uji cobanya di samping dilaksanakan pada anak-anak sekolah di dalam negeri juga akan dilaksanakan pada anak-anak sekolah di luar negeri (New Zealand, Australia, Malaysia, Philipina, dan Jepang). Sayang perjalanan pengembangan Tes Genius ini agak tersendat-sendat karena ada sedikit persoalan dengan sponsor. Model Pendidikan Terhadap tiga model pendidikan anak genius yang saya tawarkan melalui tulisan yang terdahulu,yaitu model percepatan (acceleration), model pengelompokan (grouping), serta model pengayaan (enrichment) ternyata tidak satu pun "penanggap" yang keberatan. Secara eksplisit maupun implisit teman-teman ilmuwan sejawat menyatakan ketersetujuannya. Terkecuali Pak Noeng hampir semuanya memberikan "ketersetujuan teoretik". Sebenarnya saya mengharapkan adanya modelmodel lain yang bisa menambah wawasan,atau setidak-tidaknya "ketersetujuan empirik"; yaitu ketersetujuan yang didasarkan pada pengalaman dalam mengembangkan model pendidikan anak genius. Secara teoretik ketiga model tersebut memang layak dikembangkan; tetapi secara empirik ternyata pengembangannya tidak semudah meniup lilin. Secara empirik saat ini saya (bersama teman-teman ahli dan praktisi pendidikan di Tamansiswa) sedang mengembangkan model pendidikan anak genius di Perguruan Tamansiswa LNG Arun, Aceh yang merupakan salah satu sekolah terbaik di negara kita. Bagaimana metode yang dipakai? Dalam hal pengembangan anak genius kami laksanakan dengan motode pengelompokan (grouping) atau ada yang menyebutnya sebagai "segregation pattern". Adapun caranya adalah anak-anak yang memiliki kemampuan dan kecerdasan jauh di atas rata-rata dikelompokkan di dalam kelas tersendiri untuk diberi perlakuan khusus (sesuai saran Pak Wardiman selaku Mendikbud). Kami sudah membayangkan bahwa cara ini akan menghadapi kendala yang justru berasal dari orang tua siswa; oleh karenanya cara ini masih dilakukan secara "diam-diam" (tepatnya: hati-hati). Ternyata apa yang kami bayangkan memang benar; yaitu banyak orangtua yang menghubungi sekolah, bertanya atau complain, tentang mengapa anaknya tidak dimasukkan di dalam "kelas khusus" tersebut. Anehnya: ada orangtua yang anaknya bukan termasuk genius meminta dengan sangat agar anaknya dimasukkan dalam "kelas khusus". Dari sisi edukatif permintaan ini cukup aneh karena bila bukan anak genius dimasukkan dalam "kelas khusus" yang genius maka si anak tersebut justru dapat merasa tersiksa karena akan ditinggal "lari" oleh teman-teman sekelasnya. Pengertian dan kesadaran seperti inilah yang belum dimiliki oleh semua orang tua
5
siswa; dan ini merupakan kendala dari sistem aplikasi model pendidikan anak genius itu sendiri. Dalam realitasnya setiap model pendidikan anak genius memang memiliki kendala yang spesifik; meskipun demikian bukan berarti kita lantas harus menyerah. Kita harus terus bereksperimentasi dan beraksi nyata untuk mengembangkan potensi anak-anak genius kita. Kalau AS bisa, kalau China bisa, kita pun harus bisa !!!***** -------------------------------BIODATA SINGKAT; *: DR. Ki Supriyoko, M.Pd *: Ketua Pendidikan dan Kebudayaan Majelis Luhur Tamansiswa; Direktur Lembaga Studi Pembangunan Indonesia (LSPI); serta Ketua Bidang Pukom Yogyakarta Academy of Sciences (YAS) *: Pengamat dan peneliti masalah-masalah pendidikan