sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XXXII, Nomor 3, Tahun 2007 : 9-20
ISSN 0216-1877
SUMBERDAYA HAYATI DI KAWASAN PESISIR TELUK KWANDANG, SULAWESI UTARA Oleh
Indra Aswandy1) ABSTRACT THE BIOLOGICAL RESOURCES IN THE COASTAL ZONE OF KWANDANG BAY, NORTH SULAWESI. The biological resources study in the coastal zone of Kwandang Bay, Province of North Sulawesi was conducted in October 2000. The mangrove community study consisted the value of density, important value, basal area of mangrove trees, and their environment. The commonest species with the high number of important value and the dominant species were Rhizophora mucronata and Sonneratia alba. The total density of the mangrove was estimated at 2100 trees ha1, and the value of basal area was estimated at 8.30 m2ha]. Adjoining this study was the seagrass bed and alga communities, and mollusc, crustacean and echinoderm were generally associated to those communities. The objectives of this study was to observe the living resources of this location.
PENDAHULUAN
Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dan diperkirakan mempunyai luas teritorial sekitar 7,7 juta km2 dan memiliki sekitar 17.500 pulau besar dan kecil, serta panjang pantai mencapai sekitar 81.000 km (PARRY, 1996). Lingkungan laut tropis Indonesia yang sangat luas, indah dan kaya dengan sumberdaya hayati dan mineral merupakan kondisi alamiah yang memiliki keunggulan komparatif sebagai tali kehidupan dan masa depan bagi kesejahteraan bangsa. Kelimpahan dan keanekaragaman jenis biota laut yang sangat tinggi menyebabkan Indonesia dikenal sebagai negara "mega-biodiversity".
Oseana, Volume XXXII No. 3, 2007
Salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki kondisi alam yang unik dengan keanekaragaman hayati laut yang tinggi adalah Provinsi Sulawesi Utara. Provinsi tersebut merupakan wilayah yang potensial, sangat strategis serta memiliki kawasan pantai diperkirakan kurang lebih sepanjang 1.985 km (RUYITNO, 2002). Kawasan Sulawesi Utara terdiri atas semenanjung, teluk dan pulau-pulau kecil, oleh karena itu di sepanjang daerah pesisir dan lautnya dikenal memiliki keanekaragaman hayati laut yang tinggi. Keanekaragaman biota tersebut ditopang oleh keberadaan ekosistem pesisir, antara lain adalah hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang yang di dalamnya banyak ditemukan biota hidup yang berasosiasi pada ekosistem tersebut.
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Filipina. Kawasan ini memiliki dua pulau besar, yaitu Pulau Payunga dan Pulau Otongala, serta tujuh pulau kecil, yaitu Pulau Otilade, Pulau Mohinggoto, Pulau Hulapa, Pulau Hulawa, Pulau Huha, Pulau Bogisa dan Pulau Otiola (Gambar 1). Kondisi tersebut, menjadikan kawasan Teluk Kwandang dipandang sebagai suatu perairan yang potensial untuk pengembangan berbagai kegiatan khususnya budidaya, karena daerah tersebut menempati posisi geografis yang strategis, memiliki semenanjung serta sejumlah pulau. Berdasarkan data demografi dari Kecamatan Kwandang, sebagian besar masyarakat (sekitar 90%) di daerah ini menggantungkan hidupnya dari hasil laut atau berprofesi sebagai nelayan tangkap. Selain itu, masyarakat pesisir juga melakukan usaha budidaya rumput laut, karena kondisi perairan kawasan ini cukup baik untuk usaha tersebut. Hal ini adalah suatu fenomena yang umum, karena wilayah perairannya menjanjikan berbagai macam biota laut yang dapat menyangga kehidupan keluarganya.
Perairan Sulawesi Utara adalah salah satu Kawasan Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Laut yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Kawasan ini strategis karena memiliki keanekaragaman hayati laut yang tinggi. Terkait dengan kondisi lingkungan perairan, keanekaragaman hayati laut, serta kegiatan penelitian Pusat Penelitian Qseanografi-LIPI, maka artikel ini bertujuan memberikan informasi tentang gambaran flora dan fauna yang ada di pesisir Provinsi Sulawesi Utara, khususnya di perairan Teluk Kwandang. Aspek yang dibahas antara lain adalah meliputi mangrove, padang lamun, algae, krustasea, ekhinodermata dan moluska. SUMBERDAYA LAUT DI TELUK KWANDANG
Kawasan pesisir Teluk Kwandang terletak di bagian utara dari Provinsi Sulawesi Utara dan termasuk dalam wilayah Kecamatan Kwandang, serta berbatasan dengan perairan
10
Oseana, Volume XXXII No. 3, 2007
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Pada umumnya, hutan mangrove dicirikan adanya permitakatan (zonasi) jenis tumbuhan mangrove yang cukup jelas oleh jenis yang dominan, seperti yang ditemukan di kawasan Teluk Kao (Halmahera), Teluk Kotania (Seram Barat), Kepulauan Aru dan pesisir Teluk Ambon (PRAMUDJI, 1987; 2001a; 2001b dan SUHARDJONO dkk, 1987). Namun, hutan mangrove di kawasan ini tidak menunjukkan adanya permitakatan, hal ini mungkin karena tipe substrat yang relatif homogen dan tingkat ketebalan hutan yang rendah, sehingga jenis tumbuhan mangrove yang mampu tumbuh pada substrat tersebut juga homogen. Hal yang sama juga terjadi pada hutan mangrove di kawasan pesisir Teluk Mandar, Polewali, Sulawesi Selatan (PRAMUDJI, 2003). Terkait dengan hal tersebut, WATSON (1928), KARTAWINATA & WALUYO (1977) dan STODART (1980) menyatakan bahwa permintakatan yang terjadi pada hutan mangrove berkaitan erat dengan beberapa faktor lingkungan, antara lain adalah frekuensi genangan air laut, salinitas, dominasi tumbuhan, gerakan air pasang surut dan keterbukaan lokasi, serta jarak dari garis pantai.
Secara ekologis, kawasan pesisir Teluk Kwandang merupakan suatu kesatuan ekosistem perairan yang cukup luas, unik dan sangat komplek, karena di dalamnya terdapat mangrove, padang lamun (seagrass) dan terumbu karang. Ketiga komunitas tersebut memiliki arti penting bagi kesuburan perairan setempat, serta dikenal mampu menopang kehidupan berbagai macam biota akuatik yang hidup berasosiasi di dalamnya (FONSECA, 1987; RIDD et al., 1990; ROBERTSON & DUKE, 1987; SRIVASTANA et al., 1980 dan THORHAUG & AUSTIN, 1986). Komunitas mangrove, padang lamun dan berbagai macam biota yang hidup berasosiasi di dalamnya, dibahas sebagai berikut: 1. Hutan mangrove Kondisi lingkungan di beberapa kawasan pesisir Teluk Kwandang pada umumnya kurang menguntungkan bagi perkembangan mangrove, hal ini disebabkan karena tipe pantainya yang terjal, ombak yang relatif besar dan tidak adanya sungai yang dapat menyediakan sedimen. Mangrove di kawasan pesisir Teluk Kwandang memiliki ketebalan berkisar antara 100-160 meter dari garis pantai yang tumbuh pada substrat lumpur yang agak mengeras dan sering membentuk gundukan-gundukan tanah. Jenis Rhizophora mucronata dan Sonneratia alba memiliki distribusi yang relatif merata, yakni dari garis pantai hingga ke perbatasan dengan hutan darat. Berdasarkan hasil inventarisasi yang dilakukan di kawasan pesisir Teluk Kwandang ditemukan 14 jenis tumbuhan mangrove yang termasuk dalam 10 famili (Tabel 1). Bila dikaji dari keragaman jenisnya, tumbuhan mangrove di kawasan pesisir Teluk Kwandang, Sulawesi Utara adalah lebih rendah daripada di daerah Polewali, Sulawesi Selatan (PRAMUDJI, 2003) dan Morowali, Sulawesi Tengah (BUDIMAN & DARNAEDI, 1984). NURKIN (1994), menyebutkan bahwa di seluruh kawasan pesisir Sulawesi Selatan terdiri dari 30 jenis tumbuhan mangrove.
2. Padang lamun (seagrass) Secara umum, seagrass padang lamun di kawasan perairan Teluk Kwandang keberadaannya berasosiasi dengan hutan mangrove (AZKAB, 2002). Selanjutnya disebutkan bahwa padang lamun di kawasan perairan kedua pulau tersebut terdiri dari 2 famili dan 9 jenis (Tabel 2). Vegetasi padang lamun di perairan Teluk Kwandang pada umumnya adalah termasuk tipe campuran dengan kombinasi beberapa jenis lamun yang biasa tumbuh di daerah pasang surut, yakni mulai dari pinggir pantai sampai dengan tubir. Kombinasi tersebut adalah Halodulepinifolia, Cymodocea rotundata, Syringodium isoetifolium, Enhalus acoroides, Thallasodendron hemprichii dan Halophila ovalis.
11
Oseana, Volume XXXII No. 3, 2007
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Tutupan padang lamun pada perairan Pulau Payungga dan Pulau Otangala rata-rata diperkirakan sekitar 60% (AZKAB, 2002). Mencermati kondisi lingkungan di perairan Teluk Kwandang serta melihat tutupan padang lamun tersebut, maka dapat dikatakan bahwa perairan kawasan tersebut masih memiliki potensi yang cukup besar dalam kaitannya dengan kontribusi terhadap kehidupan berbagai biota yang berasosiasi di dalamnya. Hal ini dapat dilihat dari tingginya keanekaragaman dan densitas biota yang hidup berasosiasi di dalamnya, antara lain ikan, moluska, ekhinodermata dan juga krustasea. Namun demikian, beberapa tahun terakhir ini kegiatan penangkapan beberapa biota yang bernilai ekonomi penting (teripang dan moluska) banyak dilakukan oleh masyarakat setempat. Tingginya aktivitas ini akan mengganggu kondisi ekosistem tersebut, sehingga dampaknya akan mempengaruhi eksistensi biota yang hidup pada padang lamun.
terumbu karang yang bersubstrat pasir, pecahan karang, batu karang dan karang mati. Secara umum, distribusi dan pertumbuhan algae sangat tergantung pada kondisi hidrologis, musim dan kompetisi diantara jenis (SOEGIARTO dkk., 1978). Pertumbuhan algae pada musim barat berbeda dengan pada musim timur, dan pertumbuhan yang baik adalah pada musim timur (musim kemarau). Kawasan perairan Teluk Kwandang (Pulau Payunga dan Pulau Otangala) merupakan daerah budidaya rumput laut yang menurut penduduk setempat luas area yang digunakan adalah sekitar 100 hektar, sedangkan jenis yang
digunakan adalah Eucheuma cotonii. Selanjutnya disebutkan oleh KADI (2002), bahwa masyarakat yang melakukan budidaya algae adalah sekitar 250 kepala keluarga. Produksi algae di kawasan ini dapat diperoleh sepanjang tahun, namun puncak musim panen adalah sekitar bulan Agustus-Oktober. Disamping itu, rumput laut yang tumbuh secara alami di daerah tersebut, antara lain adalah jenis Caulerpa racemosa, Acanthophora dendroides, Hypnea cerviconis dan Laurencia splendens juga dimanfaatkan oleh penduduk setempat sebagai sayuran.
3. Algae (rumput lout) Rumput laut atau seaweed sebagai tumbuhan laut tingkat rendah yang hidup melekat di dasar laut dikenal dengan berbagai nama, antara lain agar-agar, ganggang atau algae. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh KADI (2002), algae di kawasan perairan Teluk Kwandang terdiri dari 12 jenis dan dari sejumlah algae tersebut beberapa jenis diantaranya, yaitu marga Eucheuma dan Gracilaria adalah termasuk ekonomis penting (Tabel 3). Rendahnya keanekaragaman jenis algae di kawasan ini, kemungkinan disebabkan oleh meningkatnya gangguan lingkungan perairan sebagai akibat kegiatan budidaya rumput laut. Selain itu, kemungkinan lain adalah waktu yang digunakan untuk pengumpulan spesimen terlalu singkat dan bertepatan dengan musim barat (YULIANTO, komunikasi pribadi). Pada umumnya, algae di perairan Sulawesi Utara tumbuh pada perairan yang memiliki rataan
4. Krustasea Salah satu potensi sumberdaya pesisir dan laut tersebut adalah dari jenis-jenis krustasea, yaitu udang, kepiting, kelomang, stomatopoda dan jenis lainnya baik yang mempunyai nilai ekonomis maupun tidak. Krustasea mendiami berbagai macam habitat atau substrat pada semua ekosistem di laut. Dekapoda yang diwakili oleh berbagai jenis Anomura (kelomang), Brachyura (kepiting), Macrura (udang) dan Stomatopoda. Stomatopoda merupakan pemangsa (predator) yang bergerak aktif mencari mangsa atau menunggu mangsanya untuk diterkam (MOOSA & ASWANDY, 1994).
12
Oseana, Volume XXXII No. 3, 2007
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
kawasan perairan pesisir Teluk Kwandang, ditemukan sebanyak 18 jenis yang termasuk dalam 3 famili (Tabel 5). Sejumlah teripang yang ditemukan di perairan Teluk Kwandang, beberapa diantaranya adalah jenis yang laku dijual dan harganya mahal. Jenis tersebut antara lain adalah Actinopyga echinites, A. lecanora, Holothuria scabra, H. nobilis dan Thelenota ananas. Harga teripang tersebut pada saat dilakukan penelitian sangat bervariasi sesuai dengan jenis dan kualitasnya, yakni berkisar antara Rp 10.000 - Rp 125.000 per kg (kering). Teripang yang harganya mahal adalah teripang putih (Holothuria scabra dan H. nobilis), sedangkan yang bernilai sedang adalah teripang nanas (Thelenota ananas) dan yang paling rendah nilainya adalah teripang hitam (Holothuria atra). Kegiatan penangkapan teripang di wilayah perairan Teluk Kwandang hingga saat ini masih berlangsung, meskipun hasilnya sudah menurun dari waktu ke waktu (DARSONO, 2002). Terkait dengan semakin langka dan rendahnya stok teripang di alam tersebut, maka kondisi tersebut merupakan sinyal terjadinya kepunahan sumberdaya teripang di daerah tersebut. Oleh karena itu, perlu mengantisipasi pembatasan atau bahkan pelarangan kegiatan eksploitasi tersebut, yaitu dengan cara melakukan upaya pelarangan penangkapan teripang. Alternatif lain yang bisa ditempuh pemerintah adalah dengan melakukan budidaya teripang, yakni dengan cara melibatkan masyarakat.
Keanekaragaman jenis di lokasi penelitian relatif cukup tinggi. Krustasea yang diperoleh dari perairan pesisir Teluk Kwandang adalah 71 jenis krustasea yang terdiri dari 47 marga 15 suku dan mewakili empat kelompok taksa yaitu: Anomura, Brachyura, Macrura dan Stomatopoda. Jenis yang paling banyak ditemukan adalah kelompok taksa Brachyura dari suku Xanthidae sebanyak 26 jenis (Tabel 4). Walaupun dalam jumlah sedikit, beberapa jenis krustasea yang mempunyai nilai ekonomis telah ditemukan adalah Portunus pelagicus (Portunidae), Penaeus semisulcatus, Metapenaeus qffinis, Metapenaeus ensis dan Metapenaeus sp. (Penaeidae). Minimnya jenis suku Portunidae yang ditemukan di perairan tersebut, mungkin disebabkan kondisi paparan pantai lokasi penelitian sempit dan habitatnya kurang cocok bagi kehidupannya (ASWANDY, 2002). Menurut MOOSA & JUWANA (1996), Portunidae merupakan salah satu suku dari kepiting yang mempunyai nilai ekonomi. 5. Ekhinodermata (Teripang) Sumberdaya perikanan, khususnya teripang oleh masyarakat pesisir setempat digunakan sebagai kegiatan tradisional yang sudah lama berlangsung, bahkan merupakan pekerjaan yang turun-temurun. Hasil dari pencaharian dan pengumpulan teripang tersebut, umumnya diekspor ke luar negeri, antara lain Singapura, Hong Kong dan Taiwan (CONAND & BYRNE dalam DARSONO, 2002). Adanya kecenderungan permintaan teripang dari luar negeri yang tinggi, menyebabkan kegiatan eksploitasi sumberdaya tersebut terus berlanjut hingga saat ini dan bahkan cenderung semakin meningkat. Dampak dari kegiatan tersebut, akhirnya saat ini sudah terjadi penurunan stok populasi teripang secara alami di berbagai perairan di Indonesia (DARSONO dkk., 1998). Hasil penelitian sumberdaya teripang yang dilakukan oleh DARSONO (2002) di
6. Moluska (Kekerangan) Pada umumnya, moluska di kawasan perairan ini hidup berasosiasi dengan padang lamun, terutama dari jenis Thalassia hempricii dan Enhalus acoroides. Namun demikian ada pula jenis moluska yang ditemukan di sekitar perairan terumbu karang dan di dekat mangrove. Hasil identifikasi yang diperoleh di Pulau Payunga dan Pulau Otangala, masing-masing ditemukan sebanyak 27 jenis dan 18 jenis.
13
Oseana, Volume XXXII No. 3, 2007
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Sejumlah fauna gastropoda yang ditemukan, beberapa diantaranya memiliki jumlah individu yang relatif tinggi, antara lain adalah Columbella scripta, Euchelus atratus, Morula margariticola dan Strombus. Jika dibandingkan dengan penelitian di beberapa perairan lainnya, maka nampak bahwa Teluk Kwandang memiliki keanekaragaman yang relatif lebih tinggi. Misalnya di perairan Sumatera Selatan tercatat 21 jenis (D JAMALI, 2000) dan di Riau ditemukan sebanyak 22 jenis (ASWANDY & KASTORO, 1984). Sejumlah jenis gastropoda yang ditemukan di perairan Teluk Kwandang tersebut, 5 diantaranya memiliki nilai ekonomis. Jenis tersebut adalah Columbella scripta (famili Collumbelidae), Cypraea Isabella (famili Cypraeidae), Lambis lambis dan Strombus labiatus (famili Strombidae), dan Turbo chrysostomus (famili Turbiidae).
Holothuria nobilis dan Thelenota ananas. Dari kelompok Gastropoda yaitu: Cypraea Isabella, Cypraea moneta, Lambis lambis, Strombus labiatus dan Turbo chrysostomus. DAFTAR PUSTAKA ASWANDY, I. 2002. Komposisi dan sebaran fauna krustasea di perairan Sulawesi Utara. Dalam : Perairan Sulawesi dan Sekitarnya. Biologi, Lingkungan dan Oseanografi. (RUYITNO, A. AZIZ dan PRAMUDJI, eds.). Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Jakarta: 55-64. ASWANDY, I. dan W. KASTORO 1984. Komunitas benthos yang tertangkap dengan dredge dari perairan sekitar Kabil, Pulau Batam. Dalam : Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Jakarta: 3-11.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Perairan Teluk Kwandang, Provinsi Sulawesi Utara, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: • Kondisi sumberdaya hayati di Teluk Kwandang masih baik, namun perkembangan komunitas mangrove sangat lambat akibat morfologi pantai yang terjal dan tidak adanya muara sungai. •
•
AZKAB, M.H. 2002. Kajian sumberdaya lamun di perairan Sulawesi Utara. Dalam: Perairan Sulawesi dan Sekitarnya. Biologi, Lingkungan dan Oseanografi. (RUYITNO,A. AZIZ dan PRAMUDJI, eds.). Pusat Penelitian OseanografiLIPI, Jakarta: 171 -178. BUDIMAN, A. dan D. DARNAEDI 1984. Struktur komunitas moluska di hutan mangrove Morowali, Sulawesi Tengah.
Potensi ekologis padang lamun terhadap biota yang hidup berasosiasi cukup besar dan perairannya bisa dijadikan tempat budidaya algae yang mempunyai nilai ekonomis.
Prosid. Seminar II Ekosistem Mangrove. Baturaden, 3-5 Agustus 1982:175-182. CAPPENBERG, H.A.W. 2002. Keanekaragaman jenis gastropoda di padang lamun perairan Sulawesi Utara. Dalam: Perairan Sulawesi dan Sekitarnya. Biologi, Lingkungan dan Oseanografi. (RUYITNO, A. AZIZ dan PRAMUDJI, eds.). Pusat Penelitian OseanografiLIPI, Jakarta: 83-92.
Jenis-jenis lain yang mempunyai nilai ekonomis dari krusatasea adalah adalah : Portunus pelagicus, Penaeus semisulcatus, Metapenaeus affinis, Metapenaeus ensis dan Metapenaeus sp. Dari teripang yaitu: Actinopyga echinites, Actinopyga lecanora, Holothuria scabra,
14
Oseana, Volume XXXII No. 3, 2007
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
COX, G.W. 1967. Laboratorium manual of general ecology. M.W.M. Brown Company Minniapolis: 167 pp.
MOOSA, M.K. dan I. ASWANDY 1994. Krustasea dari padang lamun di perairan Lombok Selatan. Dalam : Struktur komunitas Biologi padang lamun di pantai selatan Lombok dan kondisi lingkungannya (W. KISWARA, M.K. MOOSA dan M. HUTOMO, eds.) LIPI, Jakarta: 42-51.
DARSONO, P.; A. AZIZ dan A. DJAMALI 1998. Kepadatan stok teripang pada beberapa lokasi di Indonesia. Prosid. Semi. Nas. Kelautan KTI II, Ujung Pandang 24-27 Juni 1998, TORANI, edisikhusus: 264-272.
MOOSA, M.K. dan S. JUWANA 1996. Kepiting Suku Portunidae dari Perairan Indonesia (Decapoda, Brachyura). Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI, Jakarta: 118 hal.
DARSONO, P. 2002. Sumberdaya dan perikanan teripang dari daerah Sulawesi Utara. Dalam : Perairan Sulawesi dan Sekitarnya. Biologi, Lingkungan dan Oseanografi. (RUYITNO, A. AZIZ dan PRAMUDJI, eds.). Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Jakarta: 47-54.
NURKIN, B. 1994. Degradation of mangrove forests in South Sulawesi, Indonesia. Hydrobiologia 285 (1-3): 271-270.
DJAMALI, A. 2000. Sebaran dan komposisi fauna bentik. Dalam : Penelitian ekosistem perairan Sungai Sembilang. Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI: 49-54.
OOSTING, H.J. 1956. The study of plant communities. W.H. Freeman and Co San Fransisco: 356 pp. PARRY, D.E. 1996. National strategy for mangrove project management in Indonesia. Lokakarya Strategi Nasional Pengelolaan Hutan Mangrove di Indonesia. DEN Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. DEPHUT, Jakarta: 61 pp.
ENGLISH, S.; C. WILKINSON and V. BAKER 1994. Survey manual for tropical marine resources. ASEAN Australia Marine Science Project: Living Coastal Resources: 119-194. FONSECA, M.S. 1987. The management of seagrass system. Tropical Coastal Area Management. ICLARM. Newsletter 2 (2): 5-7.
PRAMUDJI 1987. Studi pendahuluan pada hutan mangrove di beberapa Pulau Kepulauan Aru, Maluku Tenggara. Dalam : Prosiding Seminar Ekosistem Hutan Mangrove III: 74-79.
KADI, A. 2002. Rumput laut nilai ekonomis di Sulawesi Utara. Dalam: Perairan Sulawesi dan Sekitarnya. Biologi, Lingkungan dan Oseanografi. (RUYITNO,A. AZIZ dan PRAMUDJI, eds.). Pusat Penelitian OseanografiLIPI, Jakarta: 163-170.
PRAMUDJI 2001a. Komunitas biota di wilayah pesisir Teluk Ambon Bagian Dalam, Propinsi Maluku. Dalam: Pesisir dan Pantai Indonesia. (W.S. ATMADJA, RUYITNO, B.S. SUDIBYO, I. SUPANGAT, H.P HUTAGALUNG, A.S. GENISA dan SUNARTO, eds.). Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI, Jakarta. Vol 6 (1): 41-48.
KARTAWINATA, K.S. and E.B. WALUYO 1977. A preliminary study of the mangrove forest on Pulau Rambut, Jakarta Bay. Marine Research in Indonesia 18 : 119-129. 15
Oseana, Volume XXXII No. 3, 2007
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
PRAMUDJI 2001b. Sumberdaya hayati di kawasan pesisir Teluk Kotania, Seram Barat, Propinsi Maluka Dalam: Pesisir dan Pantai Indonesia. (W.S. ATMADJA, RUYITNO, B.S. SUDIBYO, I. SUPANGAT, H.P HUTAGALUNG, A.S. GENISA dan SUNARTO, eds). Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI, Jakarta. Vol 6(1): 141-152.
Biologi, Lingkungan dan Oseanografi. (RUYITNO, A. AZIZ dan PRAMUDJI, eds.), Pusat Penelitian OseanografiLIPI, Jakarta: 179-186. SOEGIARTO, A.; SULISTIJO; W.S. ATMADJA dan H. MUBARAK 1978. Rumput laut (algae). Manfaat, Potensi dan usaha budidaya. Lembaga Oseanologi Nasional-LIPI, Jakarta. SDE 45 : 61 hal.
PRAMUDJI 2003. Keanekaragaman flora di hutan mangrove Teluk Mandar, Polewali, Sulawesi Selatan : Kajian Pendahuluan. BIOTA Vol. VIE (3): 135142.
SRIVASTANA, P.B.L.; A. SANI and D. KAMIS 1980. Status and dispersal of natural regeneration in Matang mangrove reserve on Peninsular, Malaysia. Tropical Ecology and Development: 113-120.
PRATIWI, R. 2002. Fauna krustasea dari perairan Sulawesi Utara. Dalam : Perairan Sulawesi dan sekitarnya. Biologi, Lingkungan dan Oseanografi. (RUYITNO, A. AZIZ dan PRAMUDJI, eds.). Pusat Penelitian OseanografiLIPI, Jakarta: 65-74.
STODDART, D.R. 1980. Mangrove as succession stages inner of the Nothern Great Barrier Reef. Journal Biogeography: 269-284. SUHARDJONO; PRAMUDJI; D. SAPULETE dan A. BUDIMAN 1987. Ekologi hutan mangrove di Kao, Teluk Kao, Halmahera. Pros. Sem. Ekos. Hutan Mangrove III: 86-91.
RIDD,P.T.;E. WOLANSKI and Y. MAZDA 1990. Longitudinal diffusion in mangrove fringed tidal creeks. Estuarine, Coastal and Shelf Science. 31: 541544.
TOMLINSON, P.B. 1986. The botany of mangrove. Cambridge University Press. Cambridge-Sydney.
ROBERTSON, A.I. and N.C. DUKE 1987. Mangrove as nursery sites : Comparisons of the abundance and species compositions of fish and crustaceans in mangrove and other nearshore habitats in tropical Australia. Marine Biology 96: 193-205.
THORHAUG, A. and C.B. AUSTIN 1986. Restoration of seagrass with economic analysis. Environ. Conserv. 3 (4): 259267. WATSON, J.G 1928. Mangrove forest of the Malay Peninsula. Malaysia Forest Research 6:22-33.
RUYITNO 2002. Sumbangan karbon bakteri dalam perairan Laut Sulawesi. Dalam : Perairan Sulawesi dan Sekitarnya.
16
Oseana, Volume XXXII No. 3, 2007
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Tabel 1. Jenis tumbuhan mangrove yang ditemukan di kawasan perairan Teluk Kwandang, Provinsi Sulawesi Utara. Famili
No. 1 2 3 4
Acanthaceae Pteridaceae Verbenaceae Rhizophoraceae
5 6 7
Sonneratiaceae Arecaceae Malvaceae
8 9 10
Aizoaceae Convovulaceae Pandanaceae
Jenis tumbuhan mangrove 1 2 3 4 5 6 1 8 9 10 11 12 13 14
Acanthus ilicifolius Acrostichum aureum Avicennia officinalis Bruguiera gymnorrhiza Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata Rhizophora stylosa Sonneratia alba Nypa fruticans Hibiscus tiliaceus Thespesia populnea Sesuvium portulacastrum Ipomea pes-caprae Pandanus tectorius
Tabel 2. Jenis tumbuhan lamun (seagrass) yang ditemukan di kawasan Teluk Kwandang, Provinsi Sulawesi Utara (AZKAB, 2002). Famili
No. 1
Potamogetonaceae
2
Hydrocharitaceae
Jenis lamun 1 2 3 4 5 6 1 8 9
Halodule pinifolia Halodule uninervis Cymodocea rotundata Cymodocea serrulata Syringodium isoetifolium Thalassodendron ciliatum Enhalus acoroides Thalassia hemprichii Halophila ovalis
Tabel 3. Jenis algae (seaweed) yang ditemukan di kawasan perairan Teluk Kwandang, Provinsi Sulawesi Utara (KADI, 2002). Famili
No. 1 2
Rodomelaceae Codiaceae
3
Solieriaceae
4
Glacilariaceae
5 6 7
Gelidiaceae Hypneaceae Sargassaceae
Jenis algae 1 2 3 4 5 6 1 8 9 10 11 12
Acanthophora dendroides Laurencia splendens Caulerpa racemosa Eucheuma spinosum Eucheuma cottonii Gracilaria eucheumioides Gracilaria salicornia Gracilaria confervoides Gracilaria verrucosa Gelidiella acerosa Hypnea cervicornis Sargassum polycystum
17
Oseana, Volume XXXII No. 3, 2007
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
18
Oseana, Volume XXXII No. 3, 2007
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
19
Oseana, Volume XXXII No. 3, 2007
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
20
Oseana, Volume XXXII No. 3, 2007