STRATEGI DAN KELENTINGAN NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI DI DAERAH RAWAN BENCANA (Kasus Rumahtangga Petani di Desa Tunggilis, Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Pangandaran, Provinsi Jawa Barat)
EGI NURRIDWAN
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan skripsi yang berjudul Strategi dan Kelentingan Nafkah Rumahtangga Petani di Daerah Rawan Bencana (Kasus Rumahtangga Petani di Desa Tunggilis, Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Pangandaran, Provinsi Jawa Barat) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2016
Egi Nurridwan NIM. I34120057
ABSTRAK EGI NURRIDWAN. Strategi dan Kelentingan Nafkah Rumahtangga Petani di Daerah Rawan Bencana (Kasus Rumahtangga Petani Desa Tunggilis, Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Pangandaran, Provinsi Jawa Barat). Dibimbing oleh ARYA HADI DHARMAWAN Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis struktur, strategi, dan modal nafkah serta pengaruhnya terhadap tingkat kerentanan rumahtangga petani di dua dusun yang ada di Desa Tunggilis, Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Pangandaran, Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan pendekatan survai melalui instrumen kuesioner dan metode kualitatif melalui wawancara mendalam. Penelitian ini membandingkan antara daerah banjir dengan daerah tidak banjir. Hasil dari penelitian ini adalah struktur nafkah rumantangga petani di daerah banjir di dominasi oleh struktur nafkah non-farm. Struktur nafkah on-farm mendominasi pendapatan rumahtangga petani di daerah tidak banjir. Terdapat enam jenis strategi nafkah di wilayah banjir sementara terdapat sembilan jenis strategi nafkah di daerah tidak banjir. Rumahtangga petani di daerah banjir lebih rentan dibandingkan dengan rumahtangga petani di daerah tidak banjir. Kata kunci: kelentingan, kerentanan, rumahtangga petani, strategi nafkah
ABSTRACT EGI NURRIDWAN. Livelihood Strategy and Resilience of Farm Household in Disaster-Prone Area (Case Study of Farm Households of Tunggilis Village, Sub District of Kalipucang, Regency of Pangandaran, West Java Province. Supervised by ARYA HADI DHARMAWAN The purpose of this research is to analyze the livelihood structure, livelihood strategy, and livelihood capitals and their influences to the level of farm households vulnerability at two locations in Tunggilis Village, Kalipucang Sub District, Pangandaran Regency, West Java Province. This research used the quantitative approach using questioner instrument and qualitative approach through depth interview. This research compared between flooded area and unflooded area. The results of this research explained that the livelihood structure of farm households in flooded area dominated by non-farm sector income. Livelihood structure in unflooded area dominated by on-farm sector income. There are six of livelihood strategies in flooded area and there are nine of livelihood strategies in unflooded area. The livelihood capitals has influences to the level of farm households vulnerability. Farm households in flooded are more vulnerable than farm household in unflooded area. Keywords: resilience, vulnerability, farm household, livelihood strategy
STRATEGI DAN KELENTINGAN NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI DI DAERAH RAWAN BENCANA (Kasus Rumahtangga Petani di Desa Tunggilis, Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Pangandaran, Provinsi Jawa Barat)
EGI NURRIDWAN
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2016
PRAKATA Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi berjudul “Strategi dan Kelentingan Nafkah Rumahtangga Petani di Daerah Rawan Bencana (Kasus Desa Tunggilis, Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Pangandaran, Provinsi Jawa Barat). Skripsi ini disusun sebagai syarat kelulusan pada Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penulis sangat menyadari bahwa penulis tidak dapat menyelesaikan skripsi ini tanpa bantuan dari berbagai pihak, untuk itu penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada: 1. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan selaku dosen pembimbing yang senantiasa memberikan arahan, saran, dan masukan, kepada penulis sejak penyusunan proposal hingga penyelesaian skripsi ini. 2. Kepada Ibu Eti Rositi dan Bapak Agus Surahman selaku orangtua penulis yang senantiasa memberikan dukungan moril dan materil selama penulisan skripsi ini. Rasa hormat tak terhingga penulis sampaikan terutama kepada ibu dari penulis yang selama berjuang serta mendukung penulis dari mulai awal kuliah sampai detik ini. 3. Keluarga diperantauan Azki, Alia, Wide, Citra, Cici, Jako, Yosafat, Syukur, Wahyu, dan Dwi yang senantiasa memberikan bantuan serta menghibur dikala penulis merasa ingin menyerah dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Widya Hasian Situmeang S.KPm, Andi Muammar Qkhadafi S.KPm, Amri, Dita, dan Widi yang telah menemani dalam keadaan duka selama di Tunggilis. 5. Abednego Giovanni dan Aditya Cahya selaku sahabat satu bimbingan yang selalu bersedia menjadi teman diskusi bagi penulis, dan 6. Keluarga selamanya KPM 49 yang selalu penulis banggakan, Paguyuban Mahasiswa Galuh Ciamis yang senantiasa membuat penulis merasa berada di kampung halaman, HIMASIERA selaku himpunan profesi Departemen KPM, UKM Gentra Kaheman yang ikut mrnghiasi masa perkuliahan penulis. Bogor, Juli 2016 Egi Nurridwan
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL iiiiiiiiix DAFTAR GAMBAR iiiiiiixii DAFTAR BOX iiiiiixiii PENDAHULUAN ...................................................................................................1 Latar Belakang .....................................................................................................1 Rumusan Masalah ................................................................................................3 Tujuan Penelitian ..................................................................................................4 Kegunaan Penelitian .............................................................................................4 PENDEKATAN TEORITIS ....................................................................................7 Tinjauan Pusataka.................................................................................................7 Konsep Petani ..................................................................................................... 7 Konsep Strategi Nafkah...................................................................................... 7 Modal Nafkah ..................................................................................................... 9 Konsep Kelentingan ........................................................................................... 9 Konsep Kerentanan .......................................................................................... 10 Livelihood Vulnerability Index ........................................................................ 11 Kerangka Pemikiran ...........................................................................................12 Hipotesa Penelitian .............................................................................................14 Definisi Operasional ...........................................................................................14 PENDEKATAN LAPANG ....................................................................................21 Metode Penelitian ...............................................................................................21 Lokasi dan Waktu Penelitian ..............................................................................21 Teknik Pengumpulan Data .................................................................................22 Teknik Penentuan Informan dan Responden ......................................................22 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ................................................................23 GAMBARAN UMUM WILAYAH ......................................................................25 Kondisi Demografi .............................................................................................25 Kondisi Ekonomi ................................................................................................26 Kondisi Sosial.....................................................................................................27 Ikhtisar ................................................................................................................28 KARAKTERISTIK RESPONDEN .......................................................................31 Jenis Kelamin Responden ..................................................................................31 Status Responden dalam Rumahtangga..............................................................32 Usia Responden ..................................................................................................32 Tingkat Pendidikan Responden ..........................................................................34 Jumlah Tanggungan Responden .........................................................................35 IIkhtisar IIIIII36
STRUKTUR NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI ........................................ 37 Lapisan Ekonomi Rumahtangga Petani ............................................................. 37 Struktur Nafkah Rumahtangga Petani di Dusun Kedung Palungpung .............. 38 Struktur Nafkah Rumahtangga Petani di Dusun Sirung Watang ....................... 44 Struktur Nafkah Rumahtangga Petani di Dua Dusun ........................................ 49 Struktur Pendapatan dan Pengeluaran Rumahtangga Petani di Dua Dusun ...... 52 Posisi Rumahtangga Petani Di Dua Dusun terhadap Garis Kemiskinan ........... 54 IIkhtisar IIIIII56 BASIS MODAL NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI DI DUA DUSUN ..... 59 Pemanfaatan Modal Nafkah Rumahtangga Petani di Dusun Kedung Palungpung ........................................................................................................ 59 Pemanfaatan Modal Nafkah Rumahtangga Petani di Dusun Sirung Watang ... 62 Analisis Modal Nafkah di Dua Dusun ............................................................... 65 BASIS MODAL NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI DI DUA DUSUN ..... 59 Pemanfaatan Modal Nafkah Rumahtangga Petani di Dusun Kedung Palungpung ........................................................................................................ 59 Pemanfaatan Modal Nafkah Rumahtangga Petani di Dusun Sirung Watang ... 62 Analisis Modal Nafkah di Dua Dusun ............................................................... 65 Ikhtisar ............................................................................................................... 70 STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI DI DUA DUSUN ............ 73 Metode Perhitungan Strategi Nafkah ................................................................. 73 Strategi Nafkah Rumahtangga Petani di Dusun Kedung Palungpung ............... 73 Strategi Nafkah Rumahtangga Petani di Dusun Sirung Watang ....................... 76 Ikhtisar ............................................................................................................... 80 LIVELIHOOD VULNERABILITY INDEX (LVI) DI DUA DUSUN .................... 83 LVI dan Metode Perhitungan............................................................................. 83 Analisis Livelihood Vulnerability Index Rumahtangga Petani Dusun Kedung Palungpung ........................................................................................................ 83 Analisis Livelihood Vulnerability Index Rumahtangga Petani Dusun Sirung Watang ............................................................................................................... 85 Ikhtisar ............................................................................................................... 86 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI LIVELIHOOD VULNERABILITY INDEX ................................................................................................................... 87 Uji Regresi Pengaruh Modal Nafkah terhadap Livelihood Vulnerability Index 87 Faktor-faktor yang Memengaruhi Livelihood Vulnerability Index Dusun Kedung Palungpung ........................................................................................... 87 Faktor-faktor yang Memengaruhi Livelihood Vulnerability Index Dusun Sirung Watang ............................................................................................................... 90 Ikhtisar ............................................................................................................... 93 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 95 Kesimpulan ........................................................................................................ 95
Saran ...................................................................................................................96 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................99 LAMPIRAN .........................................................................................................101
DAFTAR TABEL 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
14.
15.
16.
17.
18. 19.
Klasifikasi faktor kerentanan 11 Metode pengumpulan data 22 Proporsi penggunaan lahan Desa Tunggilis tahun 2016 26 Data mata pencaharian masyarakat Desa Tunggilis tahun 2016 27 Proporsi penduduk di lima dusun Desa Tunggilis tahun 2016 27 Tingkat pendidikan di Desa Tunggilis tahun 2016 28 Jenis kelamin responden di dua dusun lokasi penelitian Desa Tunggilis tahun 2016 31 Status responden dalam rumahtangga di dua dusun lokasi penelitian tahun 2016 32 Usia resonden di dua dusun lokasi penelitian tahun 2016 33 Tingkat pendidikan responden di dua dusun lokasi penelitian tahun 2016 34 Jumlah tanggungan responden di dua dusun lokasi penelitian tahun 2016 35 Lapisan ekonomi rumahtangga petani di dua dusun lokasi penelitian tahun 2016 37 Jumlah dan persentase rumahtangga petani di kedua dusun studi Desa Tunggilis berdasarkan keikutsertaan dalam kelompok tahun 20152016 67 Jumlah dan persentase rumahtangga petani di kedua dusun studi Desa Tunggilis berdasarkan kepemilikan modal sosial tahun 2015-2016 68 Jumlah dan persentase rumahtangga petani di kedua dusun studi Desa Tunggilis berdasarkan kepemilikan modal alam tahun 2015-2016 68 Jumlah dan persentase rumahtangga petani di kedua dusun studi Desa Tunggilis berdasarkan kepemilikan modal finansial tahun 2015-2016 69 Jumlah dan persentase rumahtangga petani di kedua dusun studi Desa Tunggilis berdasarkan kepemilikan modal fisik tahun 2015-2016 70 Livelihood Vulnerability Index rumahtangga petani Dusun Kedung Palungpung Desa Tunggilis tahun 2015-2016 84 Livelihood Vulnerability Index rumahtangga petani Dusun Sirung Watang Desa Tunggilis tahun 2015-2016 85
20.
21.
22.
23.
24.
25.
Hasil uji regresi variabel modal nafkah terhadap kerentanan nafkah rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung Desa Tunggilis tahun 2015-2016 87 Jumlah dan pesentase rumahtangga petani berdasarkan tingkat kepemilikan lahan tanah dan tingkat kerentanan Dusun Kedung Palungpung Desa Tunggilis tahun 2015-2016 88 Jumlah dan persentase rumahtangga petani berdasarkan jumlah anggota keluarga yang bekerja dan tingkat kerentanan di Dusun Kedung Palungpung Desa Tunggilis tahun 2015-2016 89 Hasil uji regresi variabel modal nafkah terhadap kerentanan nafkah rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang Desa Tunggilis tahun 2015-2016 90 Jumlah dan pesentase rumahtangga petani berdasarkan tingkat kepemilikan lahan dan tingkat kerentanan Dusun Sirung Watang Desa Tunggilis tahun 2015-2016 91 Jumlah dan pesentase rumahtangga petani berdasarkan kepemilikan modal fisik dan tingkat kerentanan Dusun Sirung Watang Desa Tunggilis tahun 2015-2016 92
DAFTAR GAMBAR
1 2
3 4 5 6
7
8
9
10
11
12 13 14
Kerangka Pemikiran Jumlah pendapatan rumahtangga petani berdasarkan lapisan ekonomi Dusun Kedung Palungpung Desa Tunggilis tahun 20152016 Jumlah pendapatan rumahtangga petani berdasarkan lapisan ekonomi Dusun Sirung Watang Desa Tunggilis tahun 2015-2016 Persentase pendapatan rumahtangga petani Dusun Kedung Palungpung Desa Tunggilis tahun 2015-2016 Persentase pendapatan rumahtangga petani Dusun Sirung Watang Desa Tunggilis tahun 2015-2016 Jumlah pendapatan dan pengeluaran rumahtangga petani berdasarkan lapisan ekonomi Dusun Kedung palungpung Desa Tunggilis tahun 2015-2016 Jumlah pendapatan dan pengeluaran rumahtangga petani berdasarkan lapisan ekonomi Dusun Sirung Watang Desa Tunggilis tahun 2015-2016
13
39 45 50 50 53
54
Posisi rumahtangga petani Dusun Kedung Palungpung Desa Tunggilis terhadap garis kemiskinan menurut World Bank pertahun 2015-2016
55
Posisi rumahtangga petani Dusun Sirung Watang Desa Tunggilis terhadap garis kemiskinan menurut World Bank pertahun 20152016
56
Pemanfaatan modal nafkah rumahtangga petani berdasarkan lapisan ekonomi Dusun Kedung Palungpung Desa Tunggilis tahun 2015-2016
59
Pemanfaatan modal nafkah rumahtangga petani berdasarkan lapisan ekonomi Dusun Sirung Watang Desa Tunggilis tahun 2015-2016 Pemanfaatan modal nafkah rumahtangga petani di dua dusun studi Desa Tunggilis tahun 2015-2106 Jumlah rumahtangga petani berdasarkan strategi nafkah Dusun Kedung Palungpung Desa Tunggilis tahun 2015-2016 Jumlah rumahtangga petani berdasarkan startegi nafkah di Dusun Sirung Watang Desa Tunggilis tahun 2015-2016
63
66 73 77
DAFTAR BOX
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kasus rumahtangga petani lapisan bawah Dusun Kedung Palungpung Desa Tunggilis Kasus rumahtangga petani lapisan menengah Dusun Kedung Palungpung Desa Tunggilis Kasus rumahtangga petani lapisan atas Dusun Kedung Palungpung Desa Tunggilis Kasus rumahtangga petani lapisan atas Dusun Sirung Watang Desa Tunggilis
41 42 43 46
Kasus Rumahtangga petani lapisan menengah Dusun Sirung Watang Desa Tunggilis 47 Kasus Rumahtangga petani lapisan bawah Dusun Sirung Watang Desa Tunggilis 48
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang luas dengan kekayaan sumberdaya alam yang luar biasa melimpah. Memiliki luas wilayah sebesar 1.890.754 km2 dengan jumlah penduduk mencapai 237.641.326 jiwa (BPS 2010) menjadikan Indonesia sebagai negara berpenduduk terbanyak di dunia. Berada tepat dibawah garis khatulistiwa menjadikan Indonesia sebagai negara dengan kesuburan tanah yang tinggi, maka tidak heran jika Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani terutama di daerah pedesaan. Menurut Undang Undang No. 19 Tahun 2013 pasal 1 ayat 3 petani adalah warga negara Indonesia perseorangan dan/atau beserta keluarganya yang melakukan Usaha Tani dibidang tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan/atau peternakan. Hadianto et al. (2009) memaparkan bahwa penduduk Indonesia yang tercatat sebagai petani mencapai 45 juta jiwa, dan sebagian besar adalah nelayan kecil, buruh tani, dan petani miliki lahan kurang dari 0.3 ha. Namun dibalik alam yang membentang luas dan menjanjikan bagi perekonomian masyarakat, tersimpan kekuatan dahsyat yang kapan saja dapat membawa masyarakat ke jalan yang lebih sulit (Sembiring dan Dharmawan 2014). Salah satu kekuatan dahsyat tersebut adalah adanya bencana alam seperti banjir yang diakibatkan oleh perubahan iklim secara ekstrim. Menurut IDEP (2007) dalam Sembiring dan Dharmawan (2014) bencana alam adalah peristiwa yang menyebabkan gangguan serius pada masyarakat yang menyebabkan kerugian yang besar baik secara ekonomi, sosial, lingkungan dan melampaui batas kemampuan masyarakat untuk mengatasi dampak bencana alam dengan menggunakan smberdaya yang mereka miliki. Kehidupan petani sangat bergantung terhadap alam, maka dari itu kehidupan petani selalu diliputi oleh ketidakpastian yang disebabkan oleh ketidakpastian iklim yang berubah-berubah dalam waktu yang tidak diprediksi lagi. Menyiasati hal tersebut, petani yang sehari-harinya menggantungkan kehidupannya pada hasil pertanian harus mencari aktivitas ekonomi lainnya disamping bercocok tanam agar perekonomian keluarganya tetap stabil dan tidak terpuruk, kegiatan ini yang disebut dengan strategi nafkah. Menurut Dharmawan (2001) strategi nafkah dalam keluarga petani diklasifikasikan ke dalam dua jenis yaitu: 1. Strategi nafkah legal, strategi ini dalam kategori tindakan positif dengan basis kegiatan sosial-ekonomi, misalnya produksi, migrasi, strategi substitusi dan sebagainya. 2. Strategi nafkah ilegal, strategi ini masuk dalam kategori negatif, dengan tindakan-tindakan yang melangar hukum. Seperti merampok, mencuri, melacur, korupsi dan sebagainya. Berdasarkan dari pemaparan di atas dapat diketahui bahwa strategi nafkah tidak hanya dilakukan dengan cara yang baik dan halal melainkan juga dengan cara
2
yang tidak baik atau yang disebut dengan ilegal. Dharmawan (2007) memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan strategi nafkah tidak terbatas pada mata pencaharian, tetapi lebih ke strategi penghidupan. Iqbal (2004) mengelompokkan strategi nafkah dalam dua jenis stratgei nafkah yaitu strategi nafkah produksi dan strategi nafkah non-produksi. Strategi nafkah produski yaitu bagaimana dalam suatu rumahtangga bisa menghasilkan pendapatan ekonomi dengan memanfaatkan tenaga rumahtangga dan peluang pekerjaan yang tersedia, sementara strategi nafkah non-produksi adalah memanfaatkan modal sosial yang ada di masyarakat sebagai jaminan kemanan sosial, seperti memanfaatkan kelembagaan kesejahteraan lokal, jaringan, unsur norma dan nilai-nilai. Strategi nafkah dilakukan agar perekonomian rumahtangga petani selalu tercukupi dari segi ekonomi dan dapat mempertahankan hidupnya setelah adanya bencana (perubahan iklim). Bencana akan memberikan proses pembelajaran yang bermanfaat bagi individu dalam membentuk perilaku kesiapan (Jhangiani 2004) dalam (Ariviyanti dan Pradoto 2010). Perilaku kesiapan ini juga didukung oleh kemampuan individu untuk bangkit kembali dari peristiwa trauma yang pernah terjadi. Kemampuan inilah yang kemudian disebut dengan kelentingan atau resiliensi (Rinaldi 2010 dalam Ariviyanti dan Pradoto 2014). Menurut Adger (2000) resiliensi adalah kemampuan kelompok untuk mengatasi tekanan eksteral sebagai akibat dari perubahan sosial, politik, dan lingkungan. Konsep resiliensi merupakan konsep yang luas, didalamnya termasuk kapasitas dan kemampuan merespon dala situasi krisis/darurat. Resiliensi atau kelentingan diukur dari berapa lama kemampuan individu/kelompok mampu bangkit dari trauma atas bencana yang terjadi, dan dapat dipengaruhi oleh modal sosial. Berdasarkan hasil penelitian Fatimah Azzahra (2015) tentang resiliensi tangga petani di daerah banjir di Kabupaten Bekasi menunjukkan bahwa kepemilikan modal nafkah berpengaruh terhadap resiliensi petani yang mengalami bencana banjir. Modal nafkah yang dimaksud terdiri dari lima (Ellis 2000) yaitu modal manusia (memanfaatkan seluruh anggota keluarga dalam aktifitas ekonomi), modal alam (memanfaatkan sumberdaya alam yang dimliki), modal fisik (modal yang dimiliki berupa barang dll), modal finansial (modal berupa tabungan di bank dll), dan modal sosial (memanfaatkan jaringan sosial, norma, nilai, dan kepercayaan). Mengukur kelentingan atau resiliensi suatu kelompok masyarakat dapat dilakukan dengan pendekatan livelihood vulnerability index (LVI) atau tingkat kerentanan nafkah, dengan kata lain resiliensi atau kelentingan dapat dilihat dari seberapa rentan suatu masyarakat terhadap bencana yang terjadi. Kerentanan sering digambarkan sebagai lawan dari resiliensi (Subair 2013). Maka dari itu ketika tingkat kerentanan tinggi maka tingkat kelentingan atau resiliensi rendah dan begitupun sebaliknya. Menurut Fussel (2007) secara garis besar kerentanan merupakan kondisi dimana sistem tidak dapat menyesuaikan dengan dampak dari suatu perubahan. Menurut Adger (2006) kerentanan dari berbagai sistem bukan hanya masalah jumlah elemen-elemen sistem atau individu dalam suatu populasi yang rentan terkena tekanan yang berhubungan dengan perubahan lingkungan dan kapasitas adaptasi. Kerentanan ialah kecenderungan sistem kompleks adaptif
3
mengalami pengaruh buruk dari keterbukaannya terhadap tekanan eksternal dan kejutan (Turner et al. 2003 dalam Subair 2013). Kerentanan akibat adanya tekanan eksternal juga diasumsikan terjadi pada petani yang berada di Desa Tunggilis, Jawa Barat. Desa Tunggilis yang berada di Kecamatan Kalipucang Kabupaten Pangandaran Provinsi Jawa Barat merupakan daerah yang memiliki lahan persawahan yang luas dan sering mengalami bencana banjir setiap tahun, bahkan dalam satu tahun petani melakukan penanaman hingga 10 kali. Banjir yang setiap tahun melanda Desa Tunggilis berpengaruh terhadap mata pencaharian penduduknya yang mayoritas petani serta tingkat kerentanan yang terjadi di masyarakat, sehingga perlu dikaji bagaimana bentuk struktur dan strategi nafkah rumahtangga petani yang ada di Desa Tunggilis serta tingkat resiliensi rumahtangga petani akibat bencana banjir yang terjadi dilihat dari tingkat kerentanan rumatangga petani?
Rumusan Masalah Petani adalah mayoritas jenis mata pencaharian yang digeluti oleh masyarakat Desa Tunggilis, Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Pangandaran Provinsi Jawa Barat. Memanfaatkan sumberdaya alam yang telah tersedia, petani melakukan aktifitas ekonomi untuk memiliki pendapatan agar dapat memenuhi kebutuhan hidup rumahtangganya. Bermata pencaharian sebagai petani tidaklah selalu menguntungkan, karena tidak semua petani memiliki lahan sendiri akan tetapi menjadi buruh penggarap di lahan milik orang lain atau yang biasa disebut juragan tanah. Menurut Ellis (2000) terdapat tiga klasifikasi sumber nafkah yaitu pendapatan dari sektor on-farm, sektor off-farm, dan sektor non-farm. Ketiga sektor tersebut sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup rumahtangga petani. Berdasarkan pemaparan tersebut, maka timbul pertanyaan penelitian bagaimana bentuk struktur nafkah rumahtangga petani di dua lokasi penelitian yaitu Dusun Kedung Palungpung dan Dusun Sirung Watang. Kehidupan petani selalu diliputi oleh ketidakpastian. Aktifitas pertanian merupakan aktifitas yang rentan akan kerugian karena ketergantungan terhadap alam, dimana ketika alam sedang bersahabat maka lahan pertanian bisa dipanen dan menghasilkan nafkah bagi rumahtangga petani. Sebaliknya, jika alam sedang tidak bersahabat maka kerugianlah yang akan didapatkan oleh petani karena mereka tidak dapat memanen padi dari lahan sawah yang telah mereka garap. Salah satu bentuk gangguan yang menyebabkan petani gagal panen adalah bencana banjir yang setiap tahun terjadi di Desa Tunggilis. Bencana banjir ini selalu setiap tahun baik musim hujan maupun musim kemarau sehingga menenggelamkan area persawahan milik warga, akan tetapi banjir pada musim kemarau tidak seburuk pada saat musim hujan. Banjir yang datang tidak surut dalam waktu singkat melainkan luapan air sungai citanduy akan menggenangi area persawahan dalam waktu yang lama dan mematikan tumbuhan padi pada area sawah tersebut. Hal ini menyebabkan
4
rumahtangga petani tidak mendapatkan nafkah dari hasil bercocok tanam malah mengalami kerugian, akan tetapi kebutuhan keluarga harus tetap terpenuhi agar kehidupan tetap berlangsung. agar kebutuhan ekonomi rumahtangganya terpenuhi, petani melakukan aktifitas yang disebut dengan strategi nafkah. Strategi nafkah merupakan usaha petani dalam mempertahankan kehidupan rumahtangganya pada saat terjadi krisis, maka muncul pertanyaan penelitian kedua yaitu bagaimana bentuk strategi nafkah rumahtangga petani di dua lokasi penelitian. Dalam keadaan krisis, lima modal nafkah (Ellis 2000) yaitu modal alam, modal manusia, modal fisik, modal finansial, dan modal sosial akan berperan dalam kehidupan petani sebagai cara untuk kembali ke keadaan normal. Kemampuan untuk kembali ke keadaan normal setelah terjadinya krisis disebut dengan kelentingan atau resiliensi. Berdasarkan penelitian yang banyak dilakukan, kepemilikan modal nafkah sangat berpengaruh terhadap tingkat resiliensi suatu masyarakat yang diukur dari waktu yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk kembali ke keadaan normal. Tingkat kelentingan atau resiliensi dapat diukur melalui tingkat kerentanan nafkah, dimana tingkat kerentanan selalu berada terbalik dengan tingkat kelentingan. Jika tingkat kerentanan rendah, maka tingkat kelentingan atau resiliensi akan tinggi. Menurut Gallopin (2006) terdapat tiga aspek yang dapat dijadikan sebagai ukuran kerentanan yaitu keterpaparan, kepekaan, dan kemampuan adaptasi. Berdasarkan pemaparan tersebut, maka muncul pertanyaan penelitian ketiga yaitu bagaimana pengaruh kepemilikan modal nafkah terhadap livelihood vulnerability index.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab permasalahanpermasalahan yang telah disebutkan sebelumnya yaitu: 1. Mengidentifikasi struktur nafkah yang dilakukan oleh rumahtangga petani di dua lokasi penelitian. 2. Mengidentifikasi bentuk-bentuk strategi nafkah yang dilakukan oleh rumahtangga petani di dua lokasi penelitian. 3. Menganalisis pengaruh modal nafkah (livelihood asset) terhadap tingkat livelihood vulnerability index (LVI).
Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi bagaimana rumahtangga petani melakukan strategi untuk mempertahankan kelangsungan ekonomi keluarganya pada saat banjir datang sebagai bencana yang selalu mengagalkan panen. Penelitian ini dapat bermanfaat untuk pihak-pihak yang terlibat maupun yang tidak terlibat agar mampu mengambil tindakan dan keputusan guna mengatasi permasalahan yang ada khususnya dalam mengatasi banjir yang
5
tiap tahun selalu melanda dan merugikan petani. Pihak-pihak yang tersebut antara lain: 1. Kaum akademisi, penelitian ini diharapkan mampu menjadi acuan dan referensi bagi penelitian terkait yang akan dilakukan, serta akan adanya hasil penelitian terkait yang lebih baik. 2. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan mampu menjadi sarana untuk menambah wawasan khusunya dalam bidang pertanian dan kehidupan petani secara mendalam. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan mampu menjadi dasar dan acuan untuk mengaluarkan setiap kebiajakan khususnya yang terkait dengan pertanian, petani, dan kemiskinan.
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pusataka Konsep Petani Definisi petani tak jarang menuai perdebatan karena cakupan petani yang sangat luas namun sering diartikan sangkal. Menurut Syahyuti (2013) pengertian tentang petani di Indonesia cenderung umum dan dangkal. Petani didefinisikan sebagai orang yang bekerja di sektor pertanian dan sebagian besar penghasilannya berasal dari sektor pertanian. Dalam UU Republik Indonesia No. 19 tahun 2013 petani adalah warga negara Indonesia perseorangan dan/atau beserta keluarganya yang melakukan Usaha Tani di bidang tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan/atau peternakan. Dalam pasal 1 ayat 7, dijelaskan bahwa pelaku usaha tani adalah setiap orang yang melakukan usaha sarana produksi pertanian, pengolahan dan pemasaran hasil pertanian, serta jasa penunjang pertanian yang berkedudukan di wilayah hukum Republik Indonesia. Dalam bahasa Inggris, terdapat dua kata yang mengartikan petani yaitu peasent dan farmer. Peasent adalah gambaran dari petani yang subsisten, sedangkan farmer adalah petani modern yang berusahatani dengan menerapkan teknologi modern serta memiliki jiwa bisnis yang sesuai dengan tuntutan agribisnis (Syahyuti 2006). Syahyuti menambahakan bahwa pesasent adalah suatu kelas petani yang merupakan petani kecil (peyewa). Pada pengetahuan awal, peasent hanyalah orang-orang yang berusaha dalam pembudidayaan tanaman dan memelihara hewan yang hidup di pedesaan. Sementara itu Sjaf (2010) menyatakan bahwa sifat usaha pertanian peasant berupa pengolahan lahan/tanah dengan bantuan keluarga sendiri untuk menghasilkan bahan makanan bagi keperluan hidup sehari-hari keluarga petani tersebut (cara hidup subsistensi). Sedangkan petani farmer sebaliknya, dimana pengolahan lahan pertanian dengan bantuan tenaga buruh tani, dan mereka menjalankan produksi dalam rangka untuk mencari keuntungan yang mana hasil produksi pertanian mereka dijual ke pasar untuk memperoleh uang kontan. Konsep Strategi Nafkah Nafkah adalah mata pencaharian yang merupakan pengelolaan kombinasi aset (modal alam, modal fisik, modal manusia, modal finansial, dan modal sosial) aktivitas, dan akses yang dimediasi oleh lembaga dan hubungan sosial yang bersama-sama menentukan hidup yang diperoleh oleh individu atau rumahtangga (Ellis 2000). Strategi nafkah meliputi pilihan atas beberapa sumber nafkah yang ada di sekitar masyarakat, semakin beragam pilihan sangat memungkinkan terjadinya strategi nafkah (Widodo 2009). Modal alam adalah modal atau aset yang dimiliki oleh individu atau kelompok berupa alam yang dihitung dengan luas, seperti tanah,
8
sawah, dan tanah gambut. Modal alam bisa didapatkan dengan berbagai cara seperti membeli dan mendapatkan warisan. Modal fisik adalah modal atau aset yang dimiliki oleh individu atau kelompok yang berupa barang fisik yang mendukung individu tersebut untuk bisa melakukan aktifitas ekonomi seperti motor, perahu, traktor, mobil dan lain sebagainya. Modal manusia adalah jumlah anggota keluarga yang bisa dimanfaatkan untuk melakukan aktifitas ekonomi dalam suatu keluarga atau kelompok. Modal manusia ini biasanya berada pada usia produktif dan mampu untuk mencari nafkah guna mempertahankan perekeonomian keluarganya. Modal finansial adalah modal atau aset yang dimiliki oleh individu atau kelompok dalam bentuk uang atau tabungan, bukan barang yang memiliki nilai ekonomi dan bisa dijual. Terakhir adalah modal sosial dimana suatu individu atau kelompok memanfaatkan hubungan sosial dengan orang lain untuk bisa melakukan aktifitas ekonomi dan mendatangkan pendapatan. Berdasarkan hasil penelitian Sembiring dan Dharmawan (2014) yang dilakukan di daerah bencana rob di Kampung Laut Kabupaten Cilacap memberikan gambaran tentang modal nafkah yang dimiliki oleh masyarakat Kampung Laut, yaitu modal alam yang merupakan tingkat penguasaan lahan oleh suatu individu atau kelompok, semakin tinggi (luas) modal alam yang dimiliki maka akan semakin tinggi pula tingkat pendapatannya. Modal alam dimiliki petani dengan tiga cara yaitu warisan, trukah (pembukaan lahan) dan membeli. Modal manusia diukur berdasarkan tingkat pendidikan, alokasi tenaga kerja rumahtangga, dan penggunaan tenaga kerja. Modal sosial diukur dari tiga aspek yaitu trust (kepercayaan), jejaring, dan norma. Modal finansial diukur dari dua aspek yaitu tabungan dan pinjaman, dan modal fisik diukur berdasarkan kepemilikan aset seperti traktor, warung, dan sepeda motor. Bentuk strategi nafkah yang digunakan oleh keluarga petani dalam menghadapi masalah perekonomian yang tidak mendukung menurut Scoones (1998) 1. Intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. 2. Diversifikasi mata pencaharian, yaitu dengan melakukan pekerjaan lain selain pertanian. Selain itu, juga termasuk didalamnya optimalisasi tenaga kerja. Optimalisasi ini dapat diartikan sebagai pemanfaatan tenaga kerja keluarga untuk ikut mencari nafkah. 3. Migrasi, dapat dilakukan apabila petani sudah tidak ingin bekerja di tempat asalnya. Hal ini juga dapat dilakukan apabila petani memiliki relasi dengan orang lain yang sudah bermigrasi sebelumnya. Bentuk-bentuk strategi nafkah tersebut telah dijelaskan oleh Widodo (2009) dalam penelitiannya yaitu: 1. Melakukan berbagai pekerjaan walaupun dengan upah yang kecil. 2. Memanfaatkan ikatan kekerabatan serta pertukaran timbal balik dalam pemberian rasa aman dan perlindungan. 3. Melakukan migrasi ke daerah lain untuk mencari nafkah. Sedangkan menurut Satria (2001), strategi mata pencaharian yang biasa dilakukan oleh masyarakat nelayan yang pertama yaitu dengan mengembangkan
9
strategi nafkah ganda. Kedua, mendorong ke arah laut lepas, dan yang ketiga mengembangkan diversifikasi alat tangkap untuk mengantisipasi variasi musim. Modal Nafkah Modal nafkah adalah modal yang dimiliki oleh kelompok dan memiliki pengaruh terhadap bentuk pencarian nafkah suatu kelompok tersebut. Ellis (2000) menjelaskan modal nafkah (livelihood assets) terdiri dari lima antara lain: 1. Modal alam, yaitu modal yang berkaitan dengan sumber daya alam dan kondisi ekologi. 2. Modal manusia, yaitu kemampuan manusia dalam sistem mata pencaharian yang berkaitan dengan pendidikan, keahlian, dan kesehatan. 3. Modal fisik yaitu modal yang berkaitan dengan kepemilikan aset fisik oleh masyarakat, aset ini antara lain bangunan, irigasi kanal, peralatan, mesin, dan lainnya yang berbentuk fisik. 4. Modal sosial yaitu modal nafkah yang berkaitan dengan jaringan, kepercayaan, dan norma. 5. Modal finansial adalah aset yang berhubungan dengan keuangan yaitu ketersediaan uang yang tersimpan dalam sebuah rumahtangga. Ellis (2000) juga menjelaskan mengenai struktur nafkah. Struktur nafkah yang dijabarkan berhubungan dengan sumber pendapatan. Sumber pendapatan tersebut adalah on farm, off farm, dan non farm. Konsep Kelentingan Kelentingan atau resiliensi merupakan kebalikan dari kerentanan (vulnerability), dimana kedua konsep tersebut laksana dua sisi mata uang (Adger 2000 dalam Sembiring dan Dharmawan 2014). Menurut Cote (2012) dalam Azzahra (2015) permasalahan dalam mendefinisikan konsep resiliensi dalam sistem sosial-lingkungan adalah keterbatasan menganalisis trade-off dan keputusan manajeman aspek tata kelola dalam bingkai sempit model prioritas sosial dan lingkungan. Faktor pendukung resiliensi terbagi menjadi dua yaitu faktor eksternal dan faktor intenal. Faktor eksternal adalah faktor dari luar berupa bantuan, dan faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam. Pada penelitian yang dilakukan oleh Ariviyanti (2014) terdapat sembilan faktor yang dapat meningkatkan resiliensi masyarakat dalam menghadapi bencana rob yaitu proteksi dengan struktur keras (dam, tanggul, penahan banjir, seawall, groin, pintu air, penahan interusi air laut), proteksi dengan struktur lunak (perbaikan pantai, perbaikan dan pembuatan sand dunes, perbaikan, dan pembuatan wet land), roteksi dengan cara alami (penghutanan kembali, penanaman kelapa, waru, mangrove, dinding penahan dari kayu, dinding penahan dari batu), perbaikan kondisi fisik rumah, peninggian jalan, perbaikan sistem drainase, perbaikan fasilitas umum seperti masjid, sekolah, perencanaan emergensi, dan adanya organisasi
10
sosial peduli lingkungan dan tanggap bencana. Dari kesembilan faktor-faktor tersebut ada tiga faktor yang dianggap sangat berpengaruh dalam meningkatkan resiliensi yaitu faktor peninggian rumah, peninggian jalan, dan adanya organisasi sosial tanggap bencana. Sementara itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Azzahra (2015) diketahui bahwa modal nafkah berpengaruh terhadap resiliensi, semakin banyak modal nafkah yang dimiliki makan tingkat resiliensinya semakin tinggi. Sedangkan Adger (2000) dalam Speranza et al. (2014) menjelaskan bahwa resiliensi merujuk pada stabilitas mata pencaharian sebagai satu aspek resiliensi sosial. Tetapi pada prakteknya dan penilaian (pembebanan) pada resiliensi terdiri dari beberapa aspek mata pencaharian. Konsep Kerentanan Kerentanan adalah konsep umum dalam penelitian perubahan iklim serta dalam komunitas penelitian yang berhubungan dengan bencana alam dan penanganan bencana, ekologi, kesehatan masyarakat, kemiskinan dan pembangunan, mata pencaharian yang aman dan kelaparan, ilmu berkelanjutan, dan perubahan lahan (Fussel 2007). Menurut Turner (2003) dalam Subair (2013) kerentanan ialah kecenderungan sistem kompleks adaptif mengalami pengaruh buruk dan keterbukaannya terhadap tekanan eksternal dan kejutan. Pengertian kerentanan tergantung pada ruang lingkup penelitian, akan tetapi Fussel (2007) mengatakan secara garis besar kerentanan merupakan suatu kondisi dimana sistem tidak dapat menyesuaikan dengan dampak dari suatu perubahan. Menurut Adger (2006) kerentanan di dorong oleh tindakan manusia yang disengaja maupun tidak disengaja yang memperkuat kepentingan dan distribusi kekuasaan selain berinteraksi dengan fisik dan sistem ekologi. Pandangan lain tentang kerentanan datang dari Cutter et al. (2003) dalam Adger (2006) yang menjelaskan bahwa kerentanan datang ke kesimpulan yang berbeda pada tradisi-tradisi intelektual. Contohnya, mengklasifiksikan penelitian. Pertama, kerentanan paparan yaitu suatu kondisi yang membuat orang atau tempat rentan terhadap bahaya. Kedua, kerentanan kondisi sosial yaitu ukuran ketahanan terhadap bahaya, dan yang ketiga adalah integrasi potensi terpapar dan ketahanan sosial dengan fokus utama pada tempat atau wilayah. PBB (2004) dalam Fusel (2007) membedakan faktor kerentanan ke dalam empat kelompok pertama faktor fisik yang menjelaskan elemen rentan paparan di suatu wilayah. Kedua, faktor ekonomi yang menjelaskan sumber ekonomi individu, kelompok-kelompok populasi, dan masyarakat. Ketiga faktor sosial yang menjelaskan faktor non-ekonomi yang menentukan kesejahteraan individu, kelompok-kelompok populasi dan masyarakat, seperti tingkat pendidikan, keamanan, akses terhadap hak dasar manusia (HAM), dan pemerintahan yang baik. Keempat adalah faktor lingkungan yang menjelaskan keadaan lingkungan di suatu daerah. Faktor-faktor ini menggambarkan sifat dari sistem kerentanan atau masyarakat daripada dorongan eksternal. Banyak sekali ilmuwan yang
11
menyebutkan banyak faktor dari kerentanan, menyederhanakan faktor kerentanan menjadi: Tabel 1 Klasifikasi faktor kerentanan Sosial-ekonomi Internal Pendapatan rumahtangga, jaringan sosial, akses terhadap informasi Eksternal Kebijakan nasional, bantuan internasional, globalisasi ekonomi
untuk
itu
Fusel
(2007)
Bio-fisik Topografi, kondisi lingkungan, tutupan lahan Badai, gempa bumi, perubahan permukaan laut
Menurut Turner et al. (2003) dalam Gallopin (2006) faktor kerentanan terdiri dari lima. Pertama, gangguan, stres, bahaya, atau trauma, adalah ancaman kepada sistem, terdiri dari gangguan dan stres. Kedua, perubahan atau transformasi sebuah sistem, secara umum diartikan sebagai kerugian atau kerusakan sistem. Ketiga, kepekaan adalah sejauh mana seorang manusia atau sistem alami dapat menyerap dampak tanpa menderita kerugian jangka panjang atau perubahan penting lainnya. Keempat, kapasitas respon adalah kapasitas koping sistem atau biasa juga disebut dengan kapasitas adaptasi atau kemampuan suatu sistem dalam merespon krisis. Kelima, adalah keterpaparan yaitu secara umum diartikan sebagai tingkat, durasi, dan/atau tingkat dimana sistem berada dalam kontak dengan atau tunduk terhadap gangguan tersebut Livelihood Vulnerability Index Tingkat kerentanan nafkah dikenal dengan LVI (Livelihood Vulnerability Index) adalah pengukuran dari kerentanan yang telah dijelaskan sebelumnya. Menurut Adger (2006) pengukuran kerentanan itu harus mencerminkan proses sosial serta hasil materi dalam sistem yang tampak rumit dan dengan banyak hubungan yang sulit untuk dijabarkan. Menurut Turner (2010) dalam Dharmawan et al. (2016) sistem nafkah petani kecil berhubungan dengan isu perubahan lingkungan dan iklim melalui konsep kerentanan dan kelentingan. Pada banyak penelitian yang telah dilakukan, kerentanan diukur berdasarkan tiga aspek yaitu keterpaparan, kepekaan, dan kapasitas adaptasi. Beberapa ahli menyampaikan cara untuk mengukur tingkat kerentanan salah satunya adalah Luers et al. (1984) dalam Adger (2006) yang telah menjelaskan rumus untuk mengukur kerentanan adalah:
Kerentanan =
Kepekaan terhadap tekanan * Masalah keterpaparan oleh bahaya Status relatif terhadap ambang
Parameter dalam pengukuran di atas bias merupakan parameter fisik atau parameter sosial, bahwa mengukur kerentanan melibatkan faktor fisik dan faktor sosial.
12
Sementara itu terdapat rumus untuk mengukur tingkat kerentanan menurut IPCC dalam Shah et al. (2013) yaitu LVI – IPCCd = (Ed – Ad) *Sd dengan penjelasan LVI - IPCCd adalah tingkat kerentanan untuk sebuah komunitas/masyarakat yang digambarkan dengan menggunakan rumus dari IPCC. Kemudian Ed adalah skor/nilai kalkulasi/keseluruhan dari keterpaparan suatu komunitas/masyarakat. Ad adalah nilai/skor keseluruhan dari kapasitas adaptasi suatu wilayah dan Sd adalah skor keseluruhan dari kepekaan suatu wilayah.
Kerangka Pemikiran Cuaca yang berubah secara ekstrim berdampak pada kegiatan pertanian yang dilakukan oleh petani karena kegiatan pertanian sangat bergantung terhadap alam dengan cuaca yang baik. Banjir merupakan salah satu bentuk dari cuaca yang tidak baik, sehingga menyebabkan petani gagal panen dan kehilangan sumber nafkah yang selama digunakan keluarga petani sebagai tumpuan hidup. Untuk memenuhi kebutuhan ekonomi rumahtangganya petani melakukan aktivitas ekonomi di luar bercocok tanam yang dianggap mampu dikerjakan dan dapat menghasilkan uang. Aktivitas tersebut disebut sebagai strategi nafkah. Strategi nafkah meliputi aspek pilihan atas beberapa sumber nafkah yang ada di sekitar masyarakat, semakin beragam pilihan sangat memungkinkan terjadinya strategi nafkah (Widodo 2009). Strategi nafkah adalah cara yang dilakukan oleh kelompok atau masyarakat dalam memepertahankan ekonominya pada saat dilanda krisis tidak terkecuali rumahtangga petani. Pada saat musim panceklik dimana pekerjaan yang biasa dilakukan sudah tidak mampu lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup maka harus dilakukan startegi nafkah. Stratgei nafkah pada dasarnya terbagi terdiri dari strategi produksi (ekonomi) dan strategi non-produksi (pemanfaatan hubungan sosial), dimana strategi ekonomi meliputi pola nafkah ganda yaitu satu orang melakukan lebih dari satu pekerjaan untuk menghasilkan uang, optimalisasi tenaga kerja, dimana suatu rumahtangga memanfaatkan seluruh anggota keluarganya untuk melakukan aktifitas ekonomi agar keadaan ekonomi keluarganya tetap bertahan dan seimbang, dan yang terakhir adalah strategi dengan cara migrasi, baik mobilisasi harian maupun migrasi kontemporer dimana mereka hanya bermigrasi sementara hanya untuk bekerja saja. Sedangkan menurut Scoones (1998) terdapat tiga bentuk strategi nafkah yaitu dengan cara Intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, diversifikasi mata pencaharian, dan migrasi. Strategi nafkah baik strategi produksi maupun non-produksi berhubungan erat dengan modal (asset) yang dikemukakan oleh Ellis (2000) yaitu modal alam, manusia, sosial, finansial, dan fisik. Kelima modal tersebut sangat mempengaruhi strategi nafkah yang akan dilakukan oleh rumahtangga nelayan pada saat krisis melanda dan mempengaruhi tingkat resiliensi suatu masyarakat. Ketika masyarakat mengalami krisis, tentunya seluruh masyarakat berlomba-lomba untuk mengembalikan keadaan pada saat sebelum terjadi krisis baik secara ekonomi maupun sosial, masyarakat harus mampu bangkit dan menjadikan kondisi keluarganya kembali seperti sedia kala. Kemampuan inilah yang disebut dengan
13
resiliensi, yang merupakan kemampuan suatu masyarakat atau kelompok untuk kembali ke keadaan seperti semula setelah terjadinya krisis. Tingkat resiliensi akan disebut tinggi mana kala waktu yang dibutuhkan untuk recovery cenderung sebentar dan sebaliknya tingkat resiliensi aka disebut rendah ketika waktu recovery lebih lama. Livelihood Asset (Ellis 2000) Modal Alam (X1)
Strategi Nafkah (Scoones 1998) Intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian Diversifikasi mata pencaharian Migrasi
Tingkat kepemilikan tanah (X1.1) Akses terhadap tanah (X1.2) Modal Manusia (X2) Jumlah anggota keluarga yang bekerja (X2.1) Tingkat pendidikan (X2.2) Jumlah Ketrampilan Kepala Keluarga (X2.3)
LVI (Y) Kepekaan (Y1) Tingkat kepemilikan lahan rendah (Y1.1) Tingkat pendapatan rendah (Y1.2) perrsentase anggota keluarga non produktif (Y1.3)
Modal Fisik (X3) Tingkat kepemilikan aset pertanian (X3.1) Tingkat kepemilikan aset non pertanian (X3.2) Modal Sosial (X4)
keterpaparan (Y2) Tingkat banjir dalam satu tahun (Y2.1) Persentase lahan sawah yang terkena banjir (Y2.2) Kapasitas Adaptasi(Y3) Banyaknya pilihan sumber nafkah (Y3.1) Tingkat keberfungsian lembaga (Y3.2) Kepemilikan tabungan (Y3.3)
Banyaknya jaringan (X4.1) Tingkat kepercayaan (X4.2) Banyaknya organisasi yang diikuti (X4.3) Modal Finansial (X5)
Tingkat pendapatan on-farm (X5.1) Tingkat pendapatan off-farm (X5.2) Tingkat pendapatan non-farm (X5.3) Besarnya tabungan (X5.4) Kepemilikan ternak (X5.5)
Ketrangan: : Memiliki hubungan : Pengaruh Gambar 1 Kerangka Pemikiran
14
Hipotesa Penelitian Pada penelitian ini, diduga bahwa kepemilikan modal nafkah (livelihood asset) berpengaruh terhadap tingkat resiliensi rumahtangga petani. Yn = f(Xn) Yn = f(X1.1, X1.2, X2.1, X2.2, X2.3, X3.1, X3.2, X4.1, X4.2, X4.3, X5.1, X5.2, X5.3, iiiiiiiiX5.4, X5.5) Dengan keterangan sebagai berikut : 1) Diduga tingkat kepemilikan dan pemanfaatan modal alam berpengaruh terhadap tingkat kerentanan rumahtangga petani. Yn = f(X1.1, X1.2) 2) Diduga tingkat kepemilikan dan pemanfaatan modal manusia berpengaruh terhadap tingkat kerentanan rumahtangga petani. Yn = f(X2.1, X2.2, X2.3) 3) Diduga tingkat kepemilikan dan pemanfaatan modal fisik berpengaruh terhadap tingkat kerentanan rumahtangga petani. Yn = f(X3.1, X3.2) 4) Diduga tingkat kepemilikan dan pemanfaatan modal sosial berpengaruh terhadap tingkat kerentanan rumahtangga petani. Yn = f(X4.1, X4.2, X4.3) 5) Diduga tingkat kepemilikan dan pemanfaatan modal finansial berpengaruh terhadap tingkat kerentanan rumahtangga petani. Yn = f(X5.1, X5.2, X5.3, X5.4, X5.5)
Definisi Operasional 1) Tingkat modal alam (X1) adalah derajat kepemilikan modal alam yang dapat dimanfaatkan pada saat melakukan strategi nafkah. Tingkat modal alam akan diolah menjadi jenis ordinal. Rincian dari tingkat modal alam adalah: 1. Tingkat kepemilikan lahan tanah (X1.1) adalah jumlah lahan tanah dan sawah yang dimiliki oleh 1 rumahtangga petani. Pengukuran luas, sedang, dan sempit didapat dari hasil standar deviasi setelah dilakukannya pengisian kuesioner. Dihitung dengan skala hektar. Variabel kepemilikam tanah tersebut dikategorikan sebagai berikut : a. Dusun kedung palungpung: 1. Luas jika kepemilikan tanah lebih dari 9890,414 meter persegi 2. Sedang jika kepemilikan tanah berada di selang antara 9890,414 sampai dengan 1750,653 meter persegi 3. Sempit jika kepemilkan tanah kurang dari 1750,653 meter persegi b. Dusun Sirung Watang: 1. Luas jika kepemilikan tanah lebih dari 11538,18 meter persegi 2. Sedang jika kepemilikan tanah berada di selang antara 3661,818 dan 1158,18 meter persegi 3. Sempit jika kepemilikan tanah berada kurang dari 3661,818 meter persegi
15
2. Akses terhadap tanah (X1.2) adalah derajat mudah sulitnya petani dalam mendapatkan peluang untuk menguasai sumberdaya alam berupa sawah dan lahan perkebunan. Dihitung dengan skala sering, jarang, dan tidak pernah . Variabel akses terhadap tanah dikategorikan sebagai beriku: a. Tinggi apabila rumahtangga petani sering mengakses tanah, diberikan skor 3 b. Sedang apabila rumahtangga petani jarang mengakses tanah, diberikan skor 2 c. Rendah apabila rumahtangga petani tidak pernah mengakses sawah, diberikan skor 1 2) Tingkat modal manusia (X2) adalah derajat kepemilikan modal manusia dalam suatu rumahtangga petani yang dapat dimanfaatkan dalam melakukan kegiatan strategi nafkah. Tingkat modal manusia akan diolah menjadi jenis ordinal. Rinciannya sebagai berikut: 1. Jumlah anggota keluarga yang bekerja (X2.1) adalah jumlah anggota keluarga dalam 1 rumahtangga yang bekerja dan menghasilkan jumlah rupiah dan uang yang dihasilkan dialokasikan untuk membantu perekonomian rumahtangga petani. Pengukuran tinggi, sedang, dan rendah diapat dari hasil standar deviasi setelah dilakukannya pengisian kuesioner. Variabel alokasi tenaga kerja tersebut dikategorikan sebagai berikut: a. Banyak apabila memiliki 7 sampai 8 anggota rumahtangga yang bekerja. Diberi skor 3 b. Sedang apabila memiliki 5 sampai 6 anggota rumahtangga yang bekerja. Diberi skor 2 c. Sedikit apabila memiliki 2 sampai 4 anggota rumahtangga yang bekerja. Diberi skor 1 2. Tingkat pendidikan (X2.2) adalah Jenjang pendidikan yang ditempuh oleh anggota keluarga. Variabel tingkat pendidikan tersebut dikategorikan sebagai berikut: a. Tinggi apabila lulus SMA/sederajat. Diberi skor 3 b. Sedang apabila lulus SMP/sederajat. Diberi skor 2 c. Rendah apabila lulus SD atau tidak lulus SD/sederajat. Diberi skor 1 3. Jumlah keterampilan (X2.3) adalah banyaknya keterampilan yang dimiliki oleh kepala keluarga. Keterampilan yang dimaksud adalah keterampilan yang bisa digunakan sebagai pekerjaan sampingan di luar bertani. Varibael jumlah keterampilan dikategorikan sebagai berikut: a. Banyak apabila memiliki 5-6 keterampilan. Diberi skor 3 b. Sedang apabila memiliki 3-4 keterampilan. Diberi skor 2 c. Sedikit apabila memiliki 1-2 keterampilan. Diberi skor 1 3) Tingkat modal fisik (X3) adalah derjat kepemilikan rumahtangga petani terhadap benda berupa benda fisik yang dapat dimanfaatkan oleh rumahtangga petani dalam melakukan kegiatan nafkahnya. Tingkat modal manusia akan diolah menjadi jenis ordinal. Rinciannya sebagai berikut: 1. Tingkat kepemilikan aset pertanian (X3.1) adalah jumlah kepemilikan aset dalam bidang pertanian yang biasa digunakan dalam aktifitas pertanian
16
meliputi: mesin traktor dan mesin penggilingan padi. Variabel jumlah kepemilikan aset pertanian tersebut dikategorikan sebagai berikut: a. Tinggi apabila memiliki 6 aset pertanian. Diberi skor 3 b. Sedang apabila memiliki 4-5 aset pertanian. Diberi skor 2 c. Rendah apabila memiliki 2-3 aset pertanian. Diberi skor 1 2. Tigkat kepemilikan aset non pertanian (X3.2) adalah jumlah kepemilikan aset yang dimiliki meliputi: alat transportasi, emas, televisi, kulkas, mesin cuci, dan ternak. Variabel tingkat kepemilikan aset non pertanian tersebut dikategorikan sebagai berikut: a. Tinggi apabila memiliki 10-12 aset non pertanian. Diberikan skor 3 b. Sedang apabila memiliki 6-9 aset non pertanian. Diberikan skor 2 c. Rendah apabila memiliki 2-5 aset non pertanian. Diberikan skor 1 4) Tingkat modal sosial (X4) adalah derajat kepemilikan modal nafkah berupa modal sosial seperti hubungan kekerabatan dan luas jaringan yang bisa membantu keiatan nafkah dari rumahtangga petani. Tingkat modal sosial akan diolah menjadi jenis ordinal. Rinciannya sebagai berikut: 1. Banyaknya jaringan (X4.1) adalah jumlah jaringan yang dimiliki oleh rumahtangga petani yang dapat membantu atau dapat dimintai bantuan ketika rumahtangga mengalami krisis banjir sehingga berpengaruh terhadap perekonomian rumahtangga petani. Bantuan dapat berupa pinjaman uang maupun bantuan sosial seperti bergotong royong. Dirinci sebagai berikut: a. Luas apabila memiliki nilai modal sosial sebesar 13-14. Diberikan skor 3 b. Sedang apabila memiliki nilai modal sosial sebesar 10-12. Diberikan skor 2 c. Sedikit apabila memiliki nilai modal sosial 7-9. Derikan skor 1 2. Tingkat kepercayaan (X4.2) adalah tingkat dimana rumahtangga petani memiliki kepercayaan terhadap pihak lain untuk meminta bantuan pada saat terjadi krisis. Dirinci sebagai berikut: a. Tinggi apabila memiliki skor tingkat kepercayaan 18-25. Diberikan skor 3 b. Sedang apabila memiliki skor tingkat kepercayaan 9-17. Diberikan skor 2 c. Rendah apabila memiliki skor tingkat kepercayaan 0-8. Diberikan skor 1 3 Banyaknya organisasi yang diikuti (X4.3) adalah keikutsertaan rumahtangga petani atau anggota rumahtangga petani dalam organisasi formal dan non formal. Diduga bahwa semakin banyak organisasi yang diikuti, maka semakin banyak juga bantuan yang akan diterima oleh rumahtangga petani pada saat krisis melanda. Variabel banyaknya organisasi yang diikuti tersebut dikategorikan sebagai berikut: a. Tinggi apabila mengikuti organisasi 0-2. Diberikan skor 3 b. Sedang apabila mengikuti organisasi 3-4 . Diberikan skor 2 c. Rendah apabila mengikuti organisasi 5-6. Diberikan skor 1 5) Tingkat modal finansial (X5) adalah derajat kepemilikan modal finansial rumahtangga petani yang merupakan jumlah nominal uang yang bisa
17
dimanfaatkan untuk kegiatan nafkah. Selang dari modal finansial ini dilihat berdasarkan standar deviasi setelah dilakukannya pengisian kuesioner. Tingkat modal finansial akan diolah menjadi jenis ordinal. Rinciannya sebagai berikut: 1. Tingkat pendapatan adalah Tingkat pendapatan keseluruhan per tahun rumahtangga petani dari sektor on-farm, off-farm, dan non-farm. Variabel tingkat pendapatan on-farm tersebut dikategorikan sebagai berikut: a. Dusun Kedung Palungpung 1. Tinggi apabila memiliki pendapatan diatas Rp34,59 juta. Dibesi skor 3 2. Sedang apabila memiliki pendapatan antara Rp20,75 juta dan Rp34,59 juta. Diberi skor 2 3. Rendah apabila memiliki pendapatan dibawah Rp20,75 juta. Diberi skor 1 b. Dusun Sirung Watang 1. Tinggi apabila memiliki pendapatan diatas Rp64,52 juta. Diberi skor 3 2. Sedang apabila memiliki pendapatan antara Rp17,39 juta dan Rp64,52 juta. Diberi skor 2 3. Rendah apabila memiliki pendapatan dibawah Rp17,39 juta. Diberi skor 1 2. Tingkat kepemilikan Tabungan (X5.4) adalah jumlah nominal keseluruhan tabungan baik yang ada di bank konvensional maupun koperasi (tabungan sekolah anak tidak termasuk) dan ikut dalam arisan. Variabel tingkat kepemilikan tabungan tersebut dikategorikan sebagai berikut: a. Dusun Kedung Palungpung 1. Tinggi apabila memiliki tabungan diatas Rp2,4 juta diatas Rp34,59 juta. Dibesi skor 3 2. Sedang apabila memiliki tabungan antara 0 dan Rp2,4 juta. Diberi skor 2 3. Rendah apabila tidak memiliki tabungan atau berjumlah Rp0. Diberi skor 1 b. Dusun Sirung Watang 1. Tinggi apabila memiliki tabungan diatas Rp1,3 juta. Diberi skor 3 2. Sedang apabila memiliki pendapatan antara Rp0 dan 1,3 juta. Diberi skor 2 3. Rendah apabila tidak memiliki tabungan. Diberi skor 1 3. Tingkat kepemilikan Ternak (X5.5) adalah jumlah nominal keseluruhan ternak. Perhitungan jumlah nominal ternak berdasarkan data emik di lapangan dari hasil pengisian kuesioner. Variabel tingkat kepemilikan tabungan tersebut dikategorikan sebagai berikut: a. Dusun Kedung Palungpung 1. Tinggi apabila memiliki tabungan ternak diatas Rp39- ribu. Dibesi skor 3 2. Sedang apabila memiliki tabungan ternak antara 0 dan Rp390 ribu juta. Diberi skor 2 3. Rendah apabila tidak memiliki tabungan ternak atau berjumlah Rp0. Diberi skor 1 b. Dusun Sirung Watang
18
1. Tinggi apabila memiliki tabungan diatas Rp3,2 juta. Diberi skor 3 2. Sedang apabila memiliki pendapatan antara Rp0 dan 3,2 juta. Diberi skor 2 3. Rendah apabila tidak memiliki tabungan. Diberi skor 1 6) Strategi nafkah adalah bentuk pencarian nafkah dengan cara lain selain dengan pekerjaan utamanya yaitu bercocok tanam di sawah. Strategi nafkah dapat dikatakan sebagai strategi rumahtangga dalam melakukan aktifitas yang menghasilkan ekonomi dan dapat membantu perekonomian rumahtangga petani. Strategi nafkah diukur secara nominal dengan panduan kuesioner jenis pertanyaan terbuka. Strategi nafkah termasuk dalam jenis nominal. Indikator dari strategi nafkah adalah: 1. Intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian adalah mengembangkan potensi pertanian yang ada menjadi tetap berfungsi ketika datangnya dorongan eksternal. Sementara eksentifikasi pertanian adalah memperluas area pertanian menjadi lebih besar dan bisa menguntungkan atau bisa menghasilkan ekonomi yang lebih besar. 2. Diversifikasi mata pencaharian adalah mengganti mata pencaharian yang dilakukan oleh rumahtangga petani. Penggantian mata pencaharian dapat bervariasi sesuai dengan keterampilan dan kepemilikan modal nafkah. 3. Migrasi adalah jenis strategi nafkah dengan cara melakukan perpidahan lokasi bekerja maupun tempat tinggal sementara ke daerah yang dianggap memiliki potensi tinggi untuk melakukan pekerjaan. Migrasi dapat dilakukan ke luar kota/daerah asal rumahtangga petani, maupun ke luar negeri sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan dari rumahtangga petani tersebut. 7) Tingkat Sensitivity (Kepekaan) adalah derajat kepekaan atau sensitivitas rumahtangga petani terhadap gangguan dari luar (gangguan eksternal) yang akan mempengaruhi tingkat kerentanan dari suatu rumahtangga petani. Tingkat kepekaan termasuk dalam jenis ordinal. 1. Tingkat kepemilikan lahan rendah adalah derajat ukur rendahnya kepemilikan tanah oleh rumahtangga petani. Semakin rendah lahan tanah yang dimiliki oleh rumahtangga petani maka tingkat kepekaan atau sensitinitasnya semakin tinggi. Pengukuran tingkat kepemilikan rendah adalah persentase jumlah rumahtangga yang memiliki kepemilikan lahan rendah dari total responden pada 1 dusun. Tingkat kepemilikan lahan rendah memiliki persentase yang berbeda antara Dusun Kedung Palungpung dan Dusun Sirung Watang. 2. Tingkat pendapatan rendah adalah persentase rumahtangga yang memiliki pendapatan rendah dari total responden rumahtangga petani pada 1 dusun. 3. Persentase anggota keluarga usia non-produktif adalah persentase anggota rumahtangga petani yang tidak bekerja dan tiak mampu menghasilkan pendapatan untuk membantu perekonomian rumahtangga petani. Persentase rumahtangga petani
19
8) Tingkat keterpaparan (Exposure) adalah derajat keterpaparan atau sebarapa terpapar rumahtangga petani terhadap gangguan eksternal yang ada. Dalam hal ini adalah banjir yang setiap tahun melanda. Tingkat keterpaparan termasuk dalam jenis ordinal.Dirincikan sebagai berikut: 1. Tingkat terkena banjir dalam 1 tahun adalah jumlah seringnya sawah yang dimiliki oleh rumahtangga petani terkena banjir dalam kurun waktu 1 tahun. Semakin sedikit lahan sawah yang dimiliki pleh rumahtangga petani terkena banjir dalam 1 tahun maka tingkat tekerpaparannya tinggi begitupun sebaliknya. Rinciannya sebagai berikut: a. Tingkat keterpaparan rendah apabila terkena banjir lebih dari 0 sampai 3 kali dalam 1 tahun, diberikan skor 1 b. Tingkat keterpaparan sedang apabila terkena banjir antara 4 sampai 5 kali dalam 1 tahun, diberikan skor 2 c. Tingkat keterpaparan tinggi apabila terkena banjir lebih dari 6 kali dalam 1 tahun, diberikan skor 3 2. Persentase lahan sawah yang terkena banjir adalah jumlah lahan sawah yang terendam banjir tahunan yang dimiliki oleh rumahtangga petani. Semakin banyak lahan sawah milik rumahtangga petani yang terendam banjir maka semakin tinggi tingkat keterpaparannya. Dapat dirinci sebagai berikut: a. Tingkat keterpaparan rendah apabila sebanyak 50-74 persen lahan sawah terkena banjir. Diberi skor 1 b. Tingkat keterpaparan sedang apabila sebanyak 75-99 persen lahan sawah terkena banjir. Diberi skor 2 c. Tingkat keterpaparan tinggi apabila 100 persen lahan sawah terkena banjir. Diberi skor 3 9) Tingkat Adaptive Capacity (Kapasitas beradaptasi) adalah derajat dimana rumahtangga nelayan mampu beradaptasi dan memiliki sumberdaya untuk beradaptasi ketika banjir melanda. Tingkat kapasitas adaptasi termasuk dalam jenis ordinal. Dirinci sebagai berikut: 1. Banyaknya pilihan sumber nafkah adalah banyaknya jenis mata pencaharian yang dapat dilakukan oleh rumahtangga petani. Banyaknya jenis mata pencaharian memungkinkan rumahtangga petani tidak kehilangan pendapatan nafkah pada saat terjadi krisis. Semakin banyak pilihan sumber nafkah yang tersedia maka semakin tinggi tingkat adaptasi suatu rumahtangga petani.banyaknya pilihan sumber nafkah tersebut mengacu kepada jumlah strategi nafkah yang dilakukan oleh rumahtangga petani. 2. Tingkat keberfungsian lembaga adalah seberapa berfungsi lembaga/organisasi yang diikuti oleh rumahtangga petani pada saat krisis melanda. Keberfungsian lembaga dilihat dari respon terhadap anggotanya yang terkena krisis, memberikan atau tidak memberikan bantuan kepada rumahtangga petani selaku anggota. a. Tinggi apabila rumahtangga memiliki nilai tingkat keberfungsian lembaga sebesar 6. Diberikan skor 3
20
b. Sedang apabila rumahtangga memiliki nilai tingkat keberfungsian lembaga sebesar 4-5. Diberikan skor 2 c. Rendah apabila rumahtangga memiliki nilai tingkat keberfungsian lembaga sebesar 2-3.diberikan skor 1 3. Jumlah tabungan adalah jumlah keseluruhan tabungan yang dimiliki oleh rumahtangga petani. Jumlah tabungan meliputi tabungan di bank, tabunagn emas, serta tabungan dalam bentuk hewan ternak. Jumlah tabungan dirinci sebagai berikut: a. Dusun Kedung Palungpung 1. Tinggi apabila memiliki tabungan diatas Rp4,6 juta. Dibesi skor 3 2. Sedang apabila memiliki tabungan antara Rp445 ribu dan Rp4,6 juta juta. Diberi skor 2 3. Rendah apabila memiliki tabungan dibawah Rp445 ribu. Diberi skor 1 b. Dusun Sirung Watang 1. Tinggi apabila memiliki tabungan diatas Rp10,8 juta. Diberi skor 3 2. Sedang apabila memiliki pendapatan antara Rp576 ribu dan Rp10,8 juta juta. Diberi skor 2 3. Rendah apabila memiliki pendapatan dibawah Rp576 ribu. Diberi skor 1 10) Livelihood Vulnerability Index / LVI (Tingkat Kerentanan Nafkah) adalah ukuran kerentanan rumatangga petani yang berada di rawan bencana dengan tiga indikator pengukuran yaitu Keterpaparan (Exposure), Kepekaan (Sensitivity), dan Kapasitas Adaptasi (Adaptive Capacity). Rumus yang dipakai dalam penelitian adalah rumus perhitungan LVI yang digunakan adalah rumus perhitungan berdasarkan IPCC ( Intergovernmental Panel of Climate Change) adalah : LVI – IPCCd = ( Ed – Ad) *Sd.Dimana: a. LVI – IPCCd,adalah rumus untuk mengukur tingkat kerentanan suatu komunitas/masyarakat dengan menggunakan kerangka IPCC. b. Ed, adalah kalkuasi skor dari keterpaparan komunitas/masyarakat. c. Ad, adalah kalkulasi skor dari kapasitas adaptsai suatu komunitas/masyarakat d. Sd, adalah kalkulasi kepekaan dari suatu komunitas/masyarakat.
PENDEKATAN LAPANG Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang didukung data kualitatif untuk memperkaya data dan informasi yang diperoleh guna memahami fenomena sosial yang terjadi di lapang. Penelitian kuantitatif diperlukan untuk pengambilan data berupa angka yang diperoleh melalui metode survai menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner yang dipilih secara acak dari seluruh populasi. Unit analisis adalah rumahtangga. Penelitian juga bersifat eksplanatori karena menjelaskan hubungan antar variabel melalui pengujian hipotesa untuk mengetahui pengaruh dari kepemilikan modal nafkah terhadap tingkat kerentanan suatu rumahtangga petani ketika terjadi krisis. Sementara itu, pendekatan penelitian kualitatif diperlukan guna mengambil data yang bersifat deskriptif yakni berupa gejala sosial yang dikategorikan maupun dalam bentuk lainnya seperti dokumen dan catatan harian pada saat dilakukan penelitian. Dilakukan dengan menggunakan metode wawancara mendalam dibantu dengan panduan pertanyaan wawancara kepada informan kunci serta pengolahan data sekunder ,dan observasi lapang. Penelitian deskriptif dilakukan guna memperkuat hasil yang didapatkan dari penelitian eksplanatori.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di Desa Tunggilis Kecamatan Kalipucang Kabupaten Pangandaran Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive karena beberapa pertimbangan, diantaranya adalah: 1. Desa tunggilis memiliki lahan persawahan yang luas dengan mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. 2. Wialayah sawah yang berada di Desa Tunggilis merupakan wilayah yang selalu terkena banjir setiap tahun akibat dari luapan Sungai Citanduy. Penelitian ini untuk membandingkan dua wilayah yaitu wilayah yang terkena banjir dan wilayah yang tidak terkena banjir. Pemilihan lokasi ini dilakukan secara sengaja karena lokasi penelitian merupakan lokasi dengan lahan persawahan yang luas dan selalu terkena banjir setiap tahunnya akibat dari meluapnya Sungai Citanduy. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan dalam jangka waktu 6 bulan (Tabel 1), terhitung mulai bulan Februari 2016 sampai dengan Juli 2016. Penelitian ini dimulai dengan penyusunan proposal penelitian, kolokium penyampaian proposal penelitian, perbaikan proposal penelitian, pengambilan data di lapangan, pengolahan dan analisis data, penulisan draft skripsi, uji petik, sidang skripsi, dan perbaikan laporan skripsi.
22
Teknik Pengumpulan Data Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer merupakan data yang didapatkan langsung di lapangan dari responden dan informan dengan menggunakan kuesioner maupun wawancara mendalam dengan panduan pertanyaan. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari data potensi desa, data monografi desa, dan berbagai literatur yang terkait dengan penelitian ini. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif didapatkan dengan menggunakan instrumen kuesioner, data kualitatif didapatkan melalui wawancara mendalam dengan informan kunci serta pengolahan data sekunder dan observasi lapang. Tabel 2 Metode pengumpulan data Teknik Pengumpulan Data Data yang Dikumpulkan Karakteristik responden Survai Kepemilikan modal nafkah Strategi nafkah rumahtangga petani Responden Sejarah banjir Strategi nafkah rumahtangga petani Kerentanan rumahtangga petani Wawancara Mendalam Informan Sejarah banjir Kegiatan umum rumahtangga petani ketika banjir Aktivitas yang dilakukan oleh Observasi Lapang rumahtangga petani Gambaran umum lokasi penelitian melalui data monografi Analisis Dokumen Kerangka sampling
Teknik Penentuan Informan dan Responden Subyek penelitian ini adalah responden dan informan. Populasi sasaran dalam penelitian ini adalah rumahtangga petani Dusun Kedung Palungpung dan Dusun Sirung Watang di Desa Tunggilis, Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Pangandaran, Provinsi Jawa Barat. Dimana Dusun Kedung Palungpung merupakan daerah banjir dan Dusun Sirung Watang merupakan daerah tidak banjir. Unit analisa dalam penelitian ini adalah rumahtangga petani. Berdasarkan populasi tersebut dibentuk kerangka sampling, kemudian ditentukan sampel penelitian sebanyak 60 responden dari kedua dusun.
23
Sampel penelitian sebanyak 60 responden terdiri dari 30 responden yang merupakan rumahtangga petani di wilayah banjir dan 30 responden yang merupakan rumahtangga petani di wilayah tidak terkena banjir. Responden akan diwawancarai sesuai dengan kuesioner yang telah dibuat karena jawabannya dianggap dapat mewakili populasi rumahtangga petani Desa Tunggilis dan responden hanya memberikan informasi terkait dengan dirinya. Alasan pemilihan unit analisa ini dikarenakan yang paling besar terkena dampak dari banjir adalah rumahtangga petani. Pemilihan responden dilakukan melalui metode pengambilan simple random sampling. Teknik simple random sampling merupakan probability sampling dimana setiap satuan elementer dari populasi memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai responden (Singarimbun dan Efendi 2006). Teknik simple random sampling dipilih karena populasi homogen dari segi pekerjaan yaitu sebagai petani yang ada di Desa Tunggilis sehingga jumlah responden yang telah ditentukan dianggap mewakili populasi. Adapun syarat menjadi responden adalah: 1. Rumahtangga petani yang terkena dampak langsung dari banjir yang melanda sebanyak 30 responden. 2. Petani yang tidak terkena dampak langsung dari terjadinya banjir sebanyak 30 responden. Sementara itu, pemilihan terhadap informan akan dilakukan secara sengaja (purposive) dan jumlahnya tidak ditentukan. Penetapan informan ini akan dilakukan dengan menggunakan teknik bola salju (snowball) yang memungkinkan perolehan data dari 1 informan ke informan lainnya. Pencarian informasi ini akan berhenti apabila tambahan informan tidak lagi menghasilkan pengetahuan baru atau sudah berada pada titik jenuh. Orang-orang yang dijadikan sebagai informan dalam penelitian ini adalah petugas kecamatan, aparatur desa, dan tokoh masyarakat setempat, yang dianggap mengetahui dengan jelas mengenai pengembangan wilayah Desa Tunggilis. Selain itu informan akan diambil juga dari golongan bawah seperti petani sehingga data kualitatif yang disajikan adalah data yang bersumber dari berbagai pihak tidak hanya dari stakeholder saja.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data Penelitian ini mempunyai dua jenis data yang akan diolah dan dianalisis, yaitu data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif diolah menggunakan aplikasi Microsoft Excell 2013 dan SPSS for windows 21. Pembuatan tabel frekuensi, grafik, diagram, serta tabel tabulasi silang untuk melihat data awal responden untuk masing-masing variabel secara tunggal menggunakan aplikasi Microsoft Excell 2013. Kemudian SPSS for windows 21 digunakan untuk membantu dalam uji statitistik yang akan menggunakan analisis tabulasi silang dan uji regresi. Tabulasi silang digunakan untuk melihat hubungan 2 variabel ordinal dengan ordinal. Variabel yang dilihat adalah kepemilikan modal nafkah dengan
24
tingkat kerentanan. Sedangkan uji regresi merupakan uji statistik yang digunakan untuk mengukur besarnya pengaruh variabel pengaruh dengan variabel terpengaruh berupa data ordinal dan ordinal. Uji regresi dalam penelitian ini digunakan untuk melihat tingkat kepemilikan modal nafkah dengan tingkat kerentanan rumahtangga petani. Data kualitatif dianalisis melalui tiga tahap yaitu reduksi data, penyajian data, dan verifikasi. Pertama ialah proses reduksi data dimulai dari proses pemilihan, penyederhanaan, abstraksi, hingga transformasi data hasil wawancara mendalam, observasi, dan studi dokumen. Tujuan dari reduksi data ini ialah untuk mempertajam, menggolongkan, mengarahkan, dan membuang data yang tidak perlu. Kedua ialah penyajian data yang berupa menyusun segala informasi dan data yang diperoleh menjadi serangkaian kata-kata yang mudah dibaca ke dalam sebuah laporan. Verifikasi adalah langkah terakhir yang merupakan penarikan kesimpulan dari hasil yang telah diolah pada tahap reduksi. Seluruh hasil penelitian pada akhirnya akan dituliskan dalam rancangan skripsi. Data kualitatif akan disajikan dalam bentuk narasi dengan cara mencari kata kunci yaitu kata yang sering diucapkan oleh informan dan menyajikannya ke dalam sebuah data kualitatif. Selain bentuk narasi, data kualitatif juga akan disajikan dalam bentuk bagan dimana bagan ini yang akan menyajikan data kualitatif strategi nafkah yang dilakukan oleh responden dan informan. Kaidah penarikan kesimpulan pada hasil uji regresi adalah variabel yang memiliki hasil siginifikan sebesar 30 persen atau 0.3 adalah variabel tingkat kepemilikan modal nafkah yang memiliki pengaruh terhadap variabel tingkat kerentanan. Apabila variabel tingkat kepemilikan modal nafkah memiliki nilai siginifikan lebih dari 30 persen atau 0.3 maka variabel tersebut tidak memiliki pengaruh terhadap tingkat kerentanan. Uji statistik regresi menggunakan alpha 30 persen yang memiliki arti bahwa dalam penelitian ini toleransi kesalahan adalah sebesar 30 persen.
GAMBARAN UMUM WILAYAH Kondisi Demografi Desa Tunggilis Kecamatan Kalipucang Kabupaten Pangandaran Provinsi Jawa Barat terletak di di wilayah timur Kabupaten Pangandaran yang secara administratif memiliki wilayah kurang lebih 967.504 hektar dan memiliki ketinggian wilayah sekitar 7 mdpl di daerah rendah dan 70 mdpl untuk daerah tinggi (perbuktian), dan Desa Tunggilis memiliki suhu rata-rata harian sekitar 350 C (Pordes 2015). Desa Tunggilis memiliki batasan wilayah sebagai berikut: 1. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Ciganjeng, Kecamatan Padaherang 2. Sebelah timur berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah 3. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Banjarharja, Kecamatan Kalipucang 4. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Bojongsari, Kecamatan Padaherang Desa Tunggilis terdiri dari lima dusun dengan jumlah RW sebanyak 11 dan jumlah RT sebanyak 41. Dusun dipimpin oleh ketua dusun, 1 dusun terdiri dari beberapa RW dan RT. Kelima dusun tersebut diuraikan sebagai berikut: 1. Dusun Cintamaju terdiri dari 3 RW dan 11 RT 2. Dusun Kedung Palungpung terdiri dari 2 RW dan 7 RT 3. Dusun Cimentek terdiri dari 2 RW dan 7 RT 4. Dusun Sirung Watang terdiri dari 2 RW dan 7 RT 5. Dusun Sukamaju terdiri dari 2 RW dan 8 RT Akses untuk keluar Desa Tunggilis dapat ditempuh menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat. Jarak tempuh dari Desa Tunggilis ke kantor Kecamatan Kalipucang kurang lebih 5 km dengan waktu tempuh sekitar 15 menit, dan jarak tempuh menuju pusat pemerintahan Kabupaten Pangandaran kurang lebih 37 km dengan jarak tempuh sekitar 90 menit. Sarana layanan transportasi umum yang melalui Desa Tunggilis telah memadai, jangkauan layanan transportasi umum menuju Desa Tunggilis dari pusat pemerintahan Kabupaten Pangandaran dijangkau melalui terminal Pangandaran menuju terminal Kalipucang yang merupakan pusat pemerintahan kecamatan, atau dapat berhenti tepat di depan kantor Desa Tunggilis dengan kondisi jalan nyaman dan aman untuk segala jenis kendaraan mengingat Desa Tunggilis dilalui jalan raya Provinsi Jawa Barat. Sementara untuk layanan transportasi umum yang dapat dijangkau oleh warga masyarakat Tunggilis perlu memperhatikan waktu-waktu tertentu dikarenakan tingkat keramaian desa tersebut belum banyak dilalui oleh kendaraan umum. Sebagian besar warga menggunakan kendaraan roda dua untuk melakukan aktifitas perhubungan lintas desa maupun dalam aktifitas kesehariannya. Desa yang memiliki jangkauan terdekat dengan Desa Tunggili adalah Desa Banjarharja, Desa Ciganjeng, dan Desa Ciparakan.
26
Kondisi Ekonomi Desa Tunggilis merupakan daerah dengan wilayah pertanian yang luas mencakup area sawah dan kebun. Lahan sawah rata-rata mampu dipanen sebanyak dua kali dalam 1 tahun. Lahan perkebunan dapat dimanfaatkan setiap hari dengan frekuensi panen hampir setiap hari, terutama untuk industri rumahtangga pembuatan gula merah. Kondisi daerah yang masih pedesaan dan belum adanya pembangunan besar-besaran menjadikan lahan perkebunan Desa Tunggilis sangat luas dibandingkan dengan lahan persawahan. Selain gula merah, lahan perkebunan di Desa Tunggilis mampu menghasilkan sawo, jagung, padi, kayu albasiah, kacang, cokelat, durian, serta jengkol. Proporsi penggunaan lahan Desa Tuggilis diuraikan sebagai berikut: Tabel 3 Proporsi penggunaan lahan Desa Tunggilis tahun 2016 Jenis Penggunaan Jumlah (Ha) Persentase Sawah Besar 227 Perkebunan 400 Pemukiman 279.94 Lainnya 60.56 Total 967.504 Sumber: Diolah dari profil Desa Tunggilis tahun 2016
23.5 41.3 28.9 6.3 100.0
Dilihat dari data profil Desa Tunggilis pada tahun 2015 (Tabel 3), area perkebunan mendominasi penggunaan lahan di Desa Tunggilis yaitu sekitar 400 hektar atau 41.34 persen. Penggunaan wilayah desa untuk persawahan terhitung sedikit yaitu sekitar 227 hektar, angka tersebut lebuh rendah daripada penggunaan wilayah desa untuk pemukiman warga yaitu sekitar 279.94 hektar, hal tersebut dikarenakan area persawahan yang terlihat sangat luas berbatasan langsung dengan area persawahan yang ada di Desa Ciganjeng sehingga terlihat luas. Penggunaan wilayah desa lainnya yaitu sekitar 60.56 hektar digunakan untuk fasilitas umum seperti pasar, mesjid, lapangan olahraga, dan pusat pemerintahan desa. Memiliki lahan pertanian yang luas, menjadikan sebagaian besar masyarakat Desa Tunggilis bermata pencaharian di bidang pertanian yang meliputi sawah dan kebun. Umunya, masyarakat Desa Tunggilis yang mengusahakan pertanian memanfaatkan lahan sendiri untuk digarap, namun tak sedikit pula yang menjadi buruh tani dengan cara menggarap atau sekedar bekerja pada lahan milik orang lain. Berikut adalah data mata pencaharian masyarakat Desa Tunggilis.
27
Tabel 4 Data mata pencaharian masyarakat Desa Tunggilis tahun 2016 Jenis Penggunaan Jumlah (Ha) Persentase Petani 1.797 74.1 PNS/TNI/POLRI 39 1.6 Perangkat Desa 18 0.7 Pedagang 257 10.6 Buruh Bangunan 219 9.0 Jasa 94 3.9 Total 2.424 100.0 Sumber: Diolah dari profil Desa Tunggilis tahun 2016 Pada Tabel 4 dapat diketahui bahwa sebanyak 1.797 orang masyarakat Desa Tunggilis bekerja sebagai petani dan petani merupakan pekerjaan yang paling banyak dilakukan oleh masyarakat Desa Tuggilis dengan persentase 74.1 persen dari total masyarakat Desa Tunggilis yang bekerja. Jumlah yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil hanya sebanyak 39 orang dari total 5.715 total penduduk Desa Tunggilis. Sementara itu jumlah terbanyak kedua adalah masyarakat yang bermata pencaharian sebagai pedagang, pedagang di sini meliputi yang berdagang di pasar maupun yang membuka warung di rumah masing-masing.
Kondisi Sosial Jumlah penduduk Desa Tunggilis pada tahun 2016 sebanyak 5.715 jiwa, yang meliputi penduduk laki-laki sebanyak 2.914 jiwa (50.9 persen) dan perempuan berjumlah 2.801 (49.1 persen). Dilihat dari jumlah dan persentase penduduk Desa Tunggilis, proporsi jumlah kali-laki dan perempuan hampir seimbang. Jumlah penduduk tersebut tersebar di lima dusun yang ada dengan rincian sebagai berikut. Tabel 5 Proporsi penduduk di lima dusun Desa Tunggilis tahun 2016 Jumlah Penduduk Jenis Kelamin Nama Dusun Jiwa KK Laki-laki Perempuan Cintamaju 1.442 510 703 657 Kedung Palungpung 1.383 444 571 585 Cimentek 959 320 566 527 Sirung Watang 823 262 403 448 Sukamaju 1.108 362 671 584 Total 5.715 1.898 2.914 2.801 Sumber: Diolah dari profil Desa Tunggilis tahun 2016 Secara administratif jumlah penduduk terbanyak masuk ke daerah Dusun Cintamaju dengan jumlah penduduk sebanyak 1.442 jiwa atau sebesar 25.5 persen dari total keseluruhan penduduk Desa Tunggilis. Sementara itu untuk dusun yang
28
paling sedikit memiliki penduduk adalah Dusun Sirung Watang yaitu sebanyak 823 jiwa atau sebesar 14.4 persen dari total keseluruhan penduduk Desa Tunggilis. Dari Tabel 5 dapat dilihat juga bahwa jumlah kepala keluarga di Desa Tunggilis sebanyak 1.898 kepala keluarga yang jika di rata-rata maka jumlah tanggungan rumahtangga di Desa Tunggilis mencapai 3 orang. Tingkat pendidikan yang terdata dalam profil Desa Tunggilis tahun 2016 dijelaskan pada Tabel 6 berikut. Tabel 6 Tingkat pendidikan di Desa Tunggilis tahun 2016 Jenis Penggunaan Jumlah (Ha) Tidak Tamat/Tidak Pernah Sekolah 1.467 Tamat SMA/Sederajat 283 Tamat Sarajana 45 Total 1.795 Sumber: Diolah dari profil Desa Tunggilis tahun 2016
Persentase 81.7 15.8 2.5 100.0
Berdasarkan data yang diperoleh, sebanyak 1.467 (25.6 persen) penduduk Desa Tunggilis tidak tamat sekolah, sementara itu yang menyelesaikan sekolah sampai tingkat sarjana hanya sebanyak 45 penduduk atau hanya sebebsar 0.7 persen dari total keseluruhan penduduk Desa Tunggilis. Penduduk yang menyelesaikan sekolah sampai tamat SMA pun tidak begitu banyak hanya 283 penduduk saja. Sementara itu, sebanyak 3.920 jiwa penduduk yang tidak terdata merupakan penduduk yang sedang bersekolah tetapi belum tamat sampai jenjang SMA atau Sarjana, kemudian penduduk yang belum bersekolah (belum memasuki usia sekolah), serta penduduk yang pernah bersekolah namun sebatas tamat SD dan SMP saja. Sarana dan pra sarana pendidikan di Desa Tunggilis dapat dikatakan lengkap mengingat sudah ada beberapa sekolah pendidikan anak usia dini (PAUD), taman kanak-kanak, dan sekolah dasar. Sementara untuk SMP dan SMA belum tersedia di Desa Tunggilis, akan tetapi jarak menuju SMP dan SMA terdekat dari Desa Tunggilis tidaklah jauh dengan akses yang nyaman. SMP terdekat ada di pusat Kecamatan Kalipucang yaitu SMP Negeri 1 Kalipucang dan SMA terdekat ada di Kecamatan Padaherang.
Ikhtisar Secara geografis Desa Tunggilis berada di wilayah Kabupaten Pangandaran dengan wilayah dataran rendah. Ketinggian Desa Tunggilis untuk dataran rendah adalah 7 meter di atas permukaan laut sementara untuk dataran tinggi berada pada 70 meter di atas permukaan laut. Akses menuju Desa Tunggilis bisa dijangkau oleh seluruh kendaraan roda dua dan roda empat dengan fasilitas jalan raya yang aman dan nyaman. Transportsi umum juga tersedia di Desa Tunggilis mulai dari bis antar kota maupun bis antar provinsi hanya saja tersedia pda waktu-waktu tertentu. Hampir dua pertiga wilayah Desa Tunggilis adalah lahan pertanian yang meliputi
29
area persawahan dan perkebunan. Sebanyak 1.797 dari total 5.715 penduduk Desa Tunggilis bermata pencaharian sebagai petani. Jumlah penduduk yang menamatkan pendidikan sampai jenjang SMA hanya 283 penduduk. Sebanyak 1.467 penduduk Desa Tunggilis tidak pernah bersekolah.
KARAKTERISTIK RESPONDEN Jenis Kelamin Responden Pada penelitian ini jenis kelamin dibagi ke dalam dua jenis yaitu laki-laki dan perempuan. Dimana informasi dari responden laki-laki dibutuhkan untuk menggali informasi tentang jenis pekerjaan sementara informasi dari responden perempuan dibutuhkan untuk menggali informasi mengenai kondisi internal dalam rumahtangga tersebut. Berikut dijelaskan mengenai distribusi jenis kelamin responden di dua lokasi penelitian. Tabel 7 Jenis kelamin responden di dua dusun lokasi penelitian Desa Tunggilis tahun 2016 Jenis Kelamin
Dusun Kedung Palungpung
Dusun Sirung Watang
Total
n
%
n
%
n
%
Laki-laki Perempuan
20 10
66.7 33.3
13 17
43.3 56.7
33 27
55.0 45.0
Total
30
100.0
30
100.0
60
100.0
Berdasarkan Tabel 7 dapat diketahui bahwa jenis kelamin responden untuk daerah banjir yaitu Dusun Kedung Palungpung adalah sebanyak 20 responden berjenis kelamin laki-laki dan 10 orang berjenis perempuan. Sebanyak 66.7 persen responden yang diwawancarai di daerah banjir adalah laki-laki dan sisanya yaitu sebanyak 33.3 persen berjenis kelamin perempuan. Berbanding terbalik dengan Dusun Kedung Palungpung dimana responden berjenis kelamin laki-laki yang mendominasi wawancara pengisian kuesioner, di daerah yang tidak terkena banjir yaitu Dusun Sirung Watang responden berjenis kelamin perempuanlah yang mendominasi wawancara pengisian kuesioner. Sebanyak 17 orang responden di Dusun Sirung Watang adalah perempuan dan sisanya sebanyak 13 orang responden berjenis kelamin laki-laki. Pada umumnya, responden berjenis kelamin laki-laki adalah kepala rumahtangga dan responden berjenis kelamin perempuan adalah ibu rumahtangga, akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa responden berjenis kelamin perempuan berstatus kepala keluarga dikarenakan 1 dan lain hal. Unit analisis dalam penelitian ini adalah rumahtangga sehingga untuk menjadi responden dalam penelitian ini tidak diharuskan yang berstatus kepala rumahtangga ataupun yang berjenis kelamin laki-laki.
32
Status Responden dalam Rumahtangga Pada penelitian ini status responden dalam rumahtangga dibagi menjadi tiga jenis status yaitu kepala rumahtangga, ibu rumahtangga, dan anggota rumahtangga. Hal ini dilakukan agar dalam menggali informasi dan data, hasil yang diperoleh adalah hasil yang sesungguhnya benar dan atau hasil yang mendekati benar. Kepala rumahtangga dan ibu rumahtangga diutamakan menjadi responden dengan dugaan bahwa kepala rumahtangga dan ibu rumahtangga mengatahui dan mampu menjawab segala sesuatu yang ditanyakan melalui wawancara pengisian kuesioner maupun wawancara mendalam. Rincian status responden dalam rumahtangga dijelaskan sebagai berikut. Tabel 8 Status responden dalam rumahtangga di dua dusun lokasi penelitian tahun 2016 Status dalam Rumahtangga
Dusun Kedung Palungpung n
%
Dusun Sirung Watang n
%
Total n
%
Kepala RT Ibu RT Anggota RT
21 8 1
70.0 26.7 3.3
16 14 0
53.3 46.7 0.0
37 22 1
61.6 36.7 1.7
Total
30
100.0
30
100.0
60
100.0
Pada Tabel 8 diketahui bahwa kedua lokasi penelitian yang terbanyak menjawab pertanyaan dari kuesioner adalah kepala rumahtangga. Pada Dusun Kedung Palungpung sebanyak 21 responden adalah kepala keluarga dengan persentase sebanyak 70 persen sebanyak 8 responden adalah ibu rumahtangga dengan persentase sebanyak 26.7 persen, dan terdapat 1 responden yang berstatus sebagai anggota rumahtangga. Sementara itu di Dusun Sirung Watang sebanyak 16 responden berstatus sebagai kepala rumahtangga dengan persentase sebanyak 53.3 persen, dan sebanyak 14 responden berstatus sebagai ibu rumahtangga dengan persentase 46.7 persen. Berbeda dengan Dusun Kedung Palungpung, di Dusun Sirung Watang tidak ada responden yang berstatus sebagai anggota rumahtangga. Data ini memberi informasi serta akan memperkuat hasil pengolahan data struktur, strategi, dan resiliensi nafkah dikarenakan lebih dari 90 persen responden merupakan orang inti didalam masing-masing rumahtangga.
Usia Responden Dalam penelitian ini usia responden dibagi ke dalam tiga tingkatan yaitu muda, sedang, dan tua. Penentuan antara responden muda, sedang, dan tua berdasarkan perhitungan dengan membuat standar deviasi dari hasil pengisian kuesioner pada masing-masing lokasi penelitian, sehingga didapatkan standar usia
33
yang berbeda dalam menentukan muda, sedang, dan tua menurut standar lokal pada kedua lokasi penelitian. Pada Dusun Kedung Palungpung yang merupakan lokasi penelitian terkena banjir, diperoleh data bahwa responden termuda berusia 24 tahun dan responden tertua berusia 72 tahun. Sehingga rentang usia untuk menentukan responden ke dalam kategori muda, sedang, dan tua adalah sebagai berikut: 1) Muda untuk responden yang berusia kurang atau sama dengan 40 tahun, 2) Sedang untuk responden yang berada pada usia antara 40 tahun dan 53 tahun, 3) Tua untuk responden yang berusia lebih dari 53 tahun. Pada Dusun Sirung Watang yang merupakan lokasi penelitian tidak terkena banjir, diperoleh data bahwa responden termuda berusia 25 tahun dan responden tertua berusia 70 tahun. Sehingga rentang usia untuk menentukan responden ke dalam kategori muda, sedang, dan tua adalah sebagai berikut: 1) Muda untuk responden yang berusia kurang atau sama dengan 38 tahun, 2) Sedang untuk responden yang berada pada usia antara 38 tahun dan 49 tahun, 3) Tua untuk responden yang berusia lebih dari 49 tahun. Rincian data usia responden adalah sebagai berikut. Tabel 9 Usia resonden di dua dusun lokasi penelitian tahun 2016 Usia Responden
Dusun Kedung Palungpung
Dusun Sirung Watang
Total
n
%
n
%
n
%
Muda Sedang Tua
13 9 8
43.3 30.0 26.7
10 11 9
33.3 36.7 30.0
23 20 17
38.4 33.3 28.3
Total
30
100.0
30
100.0
60
100.0
Dari Tabel 9 usia responden dapat dilihat bahwa mayoritas responden Dusun Kedung Palungpung mayoritas responden berada dalam kategori muda yaitu sebanyak 13 responden atau sebesar 43.3 persen. Sementara untuk responden usia sedang di Dusun Kedung Palungpung sebanyak sembilan responden atau sebesar 30.0 persen dan usia tua sebanyak 8 responden atau sebesar 26.7 persen. Sementara itu, usia responden di Dusun Sirung Watang paling banyak adalah responden yang termasuk ke dalam kategori sedang yaitu sebanyak 11 responden atau sebesar 36.7 persen. Sementara responden yang termasuk ke dalam kategori tua sebanyak sembilan responden atau sebesar 30 persen. Hasil rata-rata dari usia responden kedua dusun lokasi penelitian menunjukkan bahwa rata-rata responden rumahtangga petani masuk ke dalam kategori muda. Sementara untuk responden kategori tua baik di Dusun Kedung Palungpung maupun Dusun Sirung Watang sama-sama memiliki jumlah yang sedikit.
34
Tingkat Pendidikan Responden Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal yang pernah ditempuh oleh responden. Tingkat pendidikan dalam penelitian ini dibagi ke dalam 6 tingkatan yaitu: 1) Tidak sekolah, 2) Tamat SD atau sederajat, 3 ) Tamat SMP atau sederajat, 4) Tamat SMA atau sederajat, 5) Tamat Diploma, 6) Tamat Sarjana. Didapat data tingkat pendidikan responden di dua lokasi dusun penelitian sebagai berikut. Tabel 10 Tingkat pendidikan responden di dua dusun lokasi penelitian tahun 2016 Usia Responden
Dusun Kedung Palungpung
Dusun Sirung Watang
Total
n
%
n
%
n
%
Tidak Sekolah Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat Diploma Tamat Sarjana
3 16 6 4 1 0
10.0 53.3 20.0 13.3 3.3 0.0
5 19 5 1 0 0
16.7 63.3 16.7 3.3 0.0 0.0
8 35 11 5 1 0
13.3 58.3 18.3 8.3 1.7 0.0
Total
30
100.0
30
100.0
60
100.0
Dari Tabel 10 diketahui bahwa mayoritas responden di dua dusun hanya meyelesaikan pendidikan sampai SD saja. di Dusun Kedung Palungpung yang merupakan lokasi banjir sebanyak 16 responden atau sebanyak 53.3 persen berada pada tingkat pendidikan SD. Sementara di Dusun Sirung Watang yang merupakan lokasi tidak terkena banjir sebanyak 19 orang atau sebesar 63.3 persen tamat SD. Responden yang tidak tamat sekolah di Dusun Kedung Palungpung sebanyak tiga responden, sementara di Dusun Sirung Watang sebanyak lima responden. Responden yang berada pada tingkat pendidikan tamat SMA lebih banyak berasal dari Dusun Kedung Palungpung yaitu sebanyak empat responden atau sebanyak 13.3 persen sementara di Dusun Sirung Watang hanya berjumlah 1 responden saja yang menyelesaikan sekolah sampai pada tingkat SMA. Jika dibandingkan antara Dusun Kedung Palungpung dan Dusun Sirung Watang berdasarkan tingkat pendidikan responden, Dusun Sirung Watang memiliki tingkat pendidikan yang rendah dibandingkan dengan Dusun Kedung Palungpung. Hal ini terjadi karena budaya menikah dini di Dusun Sirung Watang, berbeda dengan keadaan di Dusun Kedung Palungpung yang tidak menjadikan menikah muda sebagai budaya. Budaya menikah muda yang terjadi di Dusun Sirung Watang terjadi karena kondisi dusun yang berada di dataran tinggi dengan sebagian luas wilayah berupa hutan, sehingga masih sulit tersentuh budaya modernisasi, selain itu akses menuju sekolah sangat jauh dengan jalan yang dalam kondisi tidak nyaman dan aman sehingga masyarakat disana lebih memilih menikah muda daripada melanjutkan sekolah dengan berbagai tantangan yang ada.
35
Di Dusun Sirung Watang ketika seorang gadis memasuki usia 12 atau dengan 13 tahun mereka sudah melakukan pertunangan dengan seorang pria. Maka dari itu ketika ditanya kelompok pemuda dan jumlah pemuda, tokoh masyarakat di Dusun Sirung Watang menjawab bahwa di Dusun Sirung Watang tidak ada pemudanya karena semua remajanya sudah menikah dan membina rumahtangga sehingga menurut tokoh masyarakat tersebut sudah tidak cocok disebut sebagai pemuda. Tingkat pendidikan di Dusun Kedung Palungpung juga tidak begitu baik, walau jika dibandingkan dengan Dusun Sirung Watang secara keseluruhan lebih baik. Meskipun mayoritas responden di Dusun Kedung Palungpung termasuk ke dalam kategori muda yang seharusnya memiliki pendidikan yang lebih tinggi tetapi fakta dilapangan tidaklah demikian. Tingkat pendidikan yang rendah di Dusun Kedung Palungpung disebabkan oleh faktor ekonomi, bagi seorang laki-laki jika ia berasal dari keluarga lapisan bawah mereka akan pergi meantau dan mayoritas bekerja sebagai buruh bangunan.
Jumlah Tanggungan Responden Jumlah tanggungan responden adalah jumlah anggota rumahtangga yang masih tinggal 1 rumah dengan responden. Artinya pengeluaran anggota rumahtangga tersebut menjadi pengeluaran rumahtangga dan pendapatan yang rumahtangga miliki juga dinikmati oleh anggota rumahtangga tersebut. Selain itu bagi anggota rumahtangga yang telah bekerja dan tinggal terpisah tidak termasuk sebagai tanggungan responden. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, di dua lokasi penelitian didapatkan hasil sebagai berikut. Tabel 11 Jumlah tanggungan responden di dua dusun lokasi penelitian tahun 2016 Jumlah Tanggungan
Dusun Kedung Palungpung n
1 2 3 4 5 6 7 8
1 7 9 4 4 4 1 0
Total
30
% 3.3 23.3 30.0 13.3 13.3 13.3 3.3 0.0 100.0
Dusun Sirung Watang
Total
n
%
n
%
1 7 9 7 3 2 0 1
3.3 23.3 30.0 23.3 10.0 6.7 0.0 3.3
2 14 18 11 7 6 1 1
3.3 23.3 30.0 18.3 11.7 10.0 1.7 1.7
30
100.0
60
100.0
36
Berdasarkan Tabel 11 mayoritas tanggungan rumahtangga di dua lokasi penelitian adalah sebanyak 3 orang. Pada masing-masing dusun terdapat sembilan responden yang memiliki tanggungan masing-masing tiga orang atau sebesar 30.0 persen. Pada masing-masing dusun juga terdapat 7 responden yang memiliki tanggungan yang sama yaitu sebanyak 2 orang atau sebesar 23.3 persen dalam rumahtangganya. Umumnya yang memiliki tanggungan diantara 2 sampai dengan 3 orang adalah responden yang sudah tua dan memiliki anak yang telah menikah sehingga tidak tinggal 1 rumah dan tidak menjadi beban tanggungan rumahtangga tersebut. Pada dusun Kedung Palungpung tanggungan terbanyak adalah sebanyak tujuh orang dalam 1 rumahtangga, sedangkan pada Dusun Sirung Watang jumlah tanggungan terbanyak adalah 8 orang. Hal ini biasanya terjadi pada responden yang dalam kategori muda sehingga memiliki banyak anak yang masih belum menikah dan berpindah tempat tinggal maupun pada responden yang dimana orang tuanya yang sudah tua ikut tinggal bersama dirumahnya.
Ikhtisar Karakteristik responden dalam penelitian ini dilihat dari jenis kelamin responden, status dalam rumahtangga, usia responden, tingkat pendidikan responden, dan jumlah tanggungan yang dimiliki oleh responden. Jenis kelamin responden di Dusun Kedung Palungpung paling banyak adalah laki-laki yaitu berjumlah 20 responden atau sebesar 66.7 persen sedangkan di Dusun Sirung Watang jenis kelamin responden terbanyak adalah perempuan dengan jumlah 17 responden atau sebesar 56.7 persen. Status responden dalam rumahtangga pada kedua dusun adalah sama yaitu kepala rumahtangga dan ibu rumahtangga. Namun, pada Dusun Kedung Palungpung terdapat anggota rumahtangga yang menjadi responden dikarenakan rkepala rumahtangga dan ibu rumahtangga tidak terlalu mahir berbahasa Indonesia. Usia responden pada Dusun Kedung Palungpung mayoritas termasuk ke dalam kateori muda yaitu sebanyak 14 responden atau sebesar 43.3 persen. Sementara mayoritas usia responden di Dusun Sirung Watang berada pada usia sedang yaitu sebanyak 11 responden atau sebesar 36.7 persen. Sementara responden berusia tua di masing-masing dusun sama-sama sedikit.
STRUKTUR NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI Lapisan Ekonomi Rumahtangga Petani Ellis (2000) menjelaskan bahwa terdapat tiga sumber nafkah atau yang biasa disebut sebagai struktur nafkah yaitu farm income yang berarti pendapatan tersebut dihasilkan dari pertanian yang lahannya milik sendiri atau sewa dari orang lain, offfarm income yaitu hasil dari mengolah produk pertanian atau menjual produk pertanian, dan non-farm income yaitu pendapatan yang berasal dari luar bidang pertanian. dalam penelitian ini responden di kedua dusun masing-masing berjumlah 30 responden. Dari 30 responden masing-masing dusun kemudian digolongkan berdasarkan rata-rata tingkat pendapatan masing-masing dusun. Pendapatan yang dijadikan ukuran untuk penggolongan lapisan rumahtangga petani adalah pendapatan on-farm, pendapatan off-farm, dan pendapatan non-farm. Penggolongan lapisan ekonomi rumahtangga petani di dua dusun mengacu kepada rata-rata pendapatan total rumahtangga petani di masing-masing dusun. Di Dusun Kedung Palungpung penggolongan lapisan ekonomi rumahtangga petani berdasarkan data dari lapangan adalah sebagai berikut: 1) Rumahtangga petani lapisan atas adalah rumahtangga petani yang memiliki pendapatan diatas Rp34,59 juta, 2) Rumahtangga petani lapisan menengah adalah rumahtangga yang memiliki pendapatan diantara Rp20,75 juta sampai dengan Rp34,59 juta, dan 3) Rumahtangga petani lapisan bawah adalah rumahtangga petani yang memiliki pendapatan kurang dari Rp20,75 juta dalam kurun waktu satu tahun. Penggolongan lapisan ekonomi rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang adalah sebagai berikut: 1) Rumahtangga petani lapisan atas adalah rumahtangga petani yang memiliki penghasilan diatas Rp64,52 juta, 2) Rumahtangga petani lapisan menengah adalah rumahtangga yang memiliki pendapatan diantara Rp17,39 juta sampai dengan Rp64,52 juta, dan 3) Rumahtangga petani lapisan bawah adalah rumahtangga petani yang memiliki pendapatan kurang dari Rp17,39 juta dalam satu tahun. Lapisan ekonomi rumahtangga petani berdasarkan hasil penggolongan adalah sebagai berikut. Tabel 12 Lapisan ekonomi rumahtangga petani di dua dusun lokasi penelitian tahun 2016 Lapisan Ekonomi
Dusun Kedung Palungpung
Dusun Sirung Watang
Total
n
%
n
%
n
%
Atas Menengah Bawah
4 18 8
13.3 60.0 26.7
3 20 7
10.0 66.7 23.3
7 38 15
11.7 63.3 25.0
Total
30
100.0
30
100.0
60
100.0
38
Penggolongan rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung yang merupakan daerah banjir adalah sebanyak empat rumahtangga atau sebesar 13.3 persen rumahtangga petani berada di lapisan atas, sebanyak 18 rumahtangga atau sebesar 60 persen rumahtangga petani berada pada lapisan menengah, dan sisanya sebanyak delapan rumahtangga petani atau sebesar 26.7 persen berada pada lapisan bawah. Sementara penggolongan rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang yang merupakan daerah tidak banjir adalah sebanyak tiga rumahtangga petani atau sebesar 10 persen berada pada lapisan atas, sebanyak 20 rumahtangga petani atau sebesar 66.7 persen berada pada lapisan menengah, dan sebanyak tujuh rumahtangga petani atau sebesar 23.3 persen berada pada lapisan bawah.
Struktur Nafkah Rumahtangga Petani di Dusun Kedung Palungpung Petani di Dusun Kedung Palungpung memanfaatkan sumberdaya alam berupa sawah yang bisa dimanfaatkan untuk ditanami padi sebagai makanan pokok. Selain sawah, modal alam yang tersedia di wilayah Dusun Kedung Palungpung adalah kebun yang berada di seberang sawah dengan kondisi geografis berupa perbukitan atau kebun dengan kondisi yang tidak rata. Modal alam berupa kebun jarang dimanfaatkan oleh masyarakat Dusun Kedung Palungpung dikarenakan akses yang lumayan jauh dari tempat tinggal karena berada di wilayah dataran tinggi serta masih banyaknya babi hutan yang berkeliaran dan memakan tanaman yang ditanam di kebun terutama berupa tanaman singkong dan ubi. Banjir yang datang akibat luapan dari Sungai Citanduy menyebabkan banyak lahan sawah yang terendam banjir bahkan hampir sepanjang tahun, hal ini yang menyebabkan petani tidak bisa panen setiap tahun karena sawah mereka terendam oleh banjir. Banjir yang datang tidak hanya pada saat musim hujan akan tetapi terjadi juga pada saat musim kemarau. Jika pada musim hujan Sungai Citanduy meluap karena sudah tidak mampu menahan debit air yang masuk akibat hujan, maka pada musim kemarau Sungai Citanduy akan meluap karena tidak mampu menampung debit air yang masuk akibat dari pasang air laut. Akibat dari kejadian ini adalah sawah yang tidak bisa dipanen setiap musim dalam satu tahun sehingga hal ini adalah krisis yang lumayan besar karena untuk kebutuhan makanan pokok berupa beras harus membeli karena dalam satu tahun petani hanya bisa melakukan panen satu sampai dua kali bagi yang memiliki lahan sawah jauh dari pusat banjir atau yang paling memiliki jarak paling dekat dengan jalan raya. Struktur nafkah rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung sangat beragam. Bagi petani yang memiliki lahan sawah sendiri, maka mereka akan mendapatkan pendapatan on-farm dari hasil panen yang dilakukan, selain itu juga bisa mendapatkan pendapatan off-farm dengan cara menjadi buruh tani di kebun orang lain seperti membasmi rumput maupun menjadi buruh pemetik kelapa. Petani pemilik lahan juga mendapatkan pendapatan dari sektor non-farm seperti membuat batu bata, memiliki usaha rental mobil, dan membuka pabrik pembuatan pisang sale, dan menjadi buruh bangunan baik di daerah tempat tinggal maupun di luar
39
Jumlah pendapatan rumahtangga per tahun (dalam juta rupiah)
daerah. Bagi petani yang tidak memiliki lahan sendiri masih bisa mendapatkan pendapatan dari sektor on-farm dengan cara menggarap lahan milik orang lain yang hasilnya dibagi dua atau sesuai kesepakatan maupun ikut serta dalam panen dengan sistem bagi hasil 10:1. Sistem bagi hasil 10:1 adalah sistem bagi hasil pada saat panen dengan perhitungan setiap petani yang turut serta dalam panen pada lahan milik orang lain mendapat jatah satu rantang gabah dari sepuluh rantang gabah yang menjadi hak milik si pemilik lahan. Memiliki lahan sawah dan kebun tidak membuat petani di Dusun Kedung Palungpung dapat memanfaatkannya secara optimal dikarenakan faktor-faktor eksternal seperti adanya banjir dan gangguan dari babi hutan, sehingga rumahtangga petani tidak memiliki pendapatan yang tinggi dari sektor on-farm akan tetapi mendapatkan pendapatan dari sektor non-farm. Dari 30 rumahtangga petani yang menjadi responden, hanya sekitar 10 rumahtangga yang tidak memiliki pendapatan dari sektor non-farm atau sekitar 33.33 persen. Hal ini terjadi karena beberapa faktor diantaranya sedikitnya jumlah keterampilan kepala keluarga atau karena faktor usia yang menyebabkan rumahtangga tidak bisa melakukan pekerjaan lain selain bertani. 60 50 40 Non-Farm
30
Off-Farm
20
On-Farm 10 0 Atas
Menengah
Bawah
Rata-rata
Lapisan Ekonomi
Gambar 2 Jumlah pendapatan rumahtangga petani berdasarkan lapisan ekonomi Dusun Kedung Palungpung Desa Tunggilis tahun 2015-2016 Berdasarkan Gambar 2 diketahui bahwa pendapatan non-farm mendominasi jumlah pendapatan rumahtangga petani baik lapisan atas, lapisan menengah, maupun lapisan bawah. Angka pendapatan non-farm pada rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung sangat tinggi disebabkan oleh banyaknya rumahtangga petani yang bermigrasi ke kota untuk bekerja dikarenakan sawah yang tidak bisa digarap akibat banjir yang melanda hampir sepanjang tahun. “Mayoritas warga sini, apalagi yang masih muda semuanya pergi merantau, ada yang ke Jakarta, Serang, Tangerang, Surabaya, bahkan Kalimantan. Mereka bekerja menjadi buruh bangunan dan proyek jalan karena di sini sangat sulit pekerjaan, ditambah lagi sawah yang mereka miliki atau mereka garap terkena banjir hampir sepanjang tahun. Dalam
40
satu tahun masyarakat di sini kebanyakan bisa panen hanya satu kali itupun kalau musim kemarau panjang seperti tahun 2015 yang lalu, nah itu baru bisa panen walaupun sawah tetap tergenang, ada yang satu betis, setengah betis, ada juga yang selutut. Rata-rata banjir itu lima sampai tujuh kali dalam satu tahun, jadi warga ada yang sudah “tebar” dan tandur banjir datang, nanam lagi banjir datang. Malah kalau kemarin warga tidak kompak sama-sama membetulkan tanggul mungkin tahun ini tidak bisa panen.” Bapak SYT, 50 tahun
Pada Gambar 2 kita dapat mengetahui bahwa rumahtangga petani lapisan atas memiliki pendapatan yang tinggi dalam segala bidang baik on-farm, off-farm, maupun non-farm. Seluruh pendapatan rumahtangga petani berada di atas rata-rata pendapatan yang ada, pendapatan on-farm rumahtangga petani lapisan atas mencapai angka rata-rata Rp10,96 juta setiap tahunnya. Hal ini sangat mengejutkan mengingat banjir yang melanda sawah yang dimiliki rumahtangga petani serta jumlah panen yang hanya bisa dilakukan satu kali dalam satu tahun. Pada dasarnya hal tersebut tidaklah aneh mengingat aktivitas pertanian yang dilakukan oleh rumahtangga petani lapisan atas termasuk aktif dalam mencari peluang. Rumahtangga petani lapisan atas tidak hanya melakukan kegiatan pertanian di lahan sawah milik mereka saja, akan tetapi mereka aktif bekerja di lahan sawah milik orang lain pada saat panen dengan sistem bagi hasil berupa padi yang dipanen. Mereka mencari sawah yang jauh dari pusat banjir sehingga hasil panen yang melimpah mempengaruhi hasil dari bagi hasil yang dilakukan. Rumahtangga petani lapisan atas juga aktif melakukan pekerjaan sebagai buruh tani pada orang lain dengan diupah oleh uang atau dibayar oleh pemilik lahan sebesar Rp50 ribu per harinya, sehingga dapat dilihat pada Gambar 2 bahwa pendapatan off-farm rumatangga petani lapisan atas di Dusun Kedung Palungpung merupakan paling tinggi dan berada di atas rata-rata. Pendapatan off-farm rumahtangga petani lapisan atas di Dusun Kedung palungpung rata-rata adalah sebesar Rp8,46 juta dalam satu tahun. Sama halnya dengan pendapatan non-farm rumahtangga petani lapisan atas yang mencapai angka rata-rata Rp36,57 juta selama satu tahun yang didapatkan dari bermigrasi ke luar kota maupun usaha sendiri seperti usaha pembuatan batako dan pisang sale. Seperti yang diungkapkan Bapak HLS (51) sebagai berikut. “Tahun ini saya panen hanya satu kali itupun gara-gara kemarau kemarin, saya biasanya ikut panen di sawah orang lain yang sawahnya banyak dan luas. Ikut panen bisanya rombongan pakai mobil bak kita menginap kadangkadang satu minggu sampai satu bulan di daerah Patimuan dan Sidareja. Kalau sedang tidak musim panen saya membuat batako bersama anak saya. Satu batako di hargai dengan Rp3 ribu. Kalau sedang ulet dalam satu tahun saya mampu membuat sampai dengan 5 ribu batako.” Bapak HLS, 51 tahun
Rumahtangga petani lapisan bawah mendapatkan pendapatan on-farm paling rendah dibawah rata-rata yaitu hanya sebesar Rp3,33 juta per tahunnya. Hal ini dikarenakan rumahtangga petani lapisan bawah rata-rata tidak memiliki lahan sawah sendiri sehingga mereka melakukan migrasi untuk menjadi buruh bangunan
41
di kota seperti Jakarta, Surabaya, dan Tangerang. Pendapatan off-farm rumahtangga petani Dusun Kedung Palungpung didapatkan dari menjadi buruh tani seperti membersihkan kebun dan sawah milik orang lain atau dengan bahasa lokal disebut ngored, menjadi buruh pengambil kelapa, menjadi buruh gula, maupun menjadi buruh menanam padi di sawah. Pendapatan non-farm rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung didapatkan dari membuka usaha pembuatan batako, usaha pembuatan gula merah, serta menjadi pekerja dan buruh di kota baik kepala rumahtangga maupun anggota rumahtangga yang bekerja di kota kemudian mengirimkan uang setiap bulan atau yang biasa disebut remiten untuk memenuhi kebutuhan rumahtangganya di kampung. Hampir seluruh responden yang merupakan rumahtangga petani mendapatkan pendapatan on-farm hanya dari sawah saja yaitu hasil panen yang bisa dilakukan sekali sampai dua kali dalam satu tahun. Pendapatan on-farm lainnya yaitu dari hasil sawo dan buah kelapa yang ditaman di kebun mereka. Sebanyak 80 persen dari total 30 responden yang terkena dampak dari banjir memiliki lahan kebun dengan rata-rata 2.605 meter persegi, akan tetapi mereka tidak memanfaatkan lahan kebun untuk menanam tanaman pangan pengganti padi seperti jagung, kedelai, ubi, dan singkong dikarenakan ancaman babi hutan yang memakan tanaman pangan pengganti terutama ubi dan singkong yang mudah dijangkau oleh babi hutan. Box 1 Kasus rumahtangga petani lapisan bawah Dusun Kedung Palungpung iiDesa Tunggilis Bapak HMD, merupakan salah satu penduduk Desa Tunggilis yang berada pada rumahtangga lapisan bawah. Pendapatan terbesarnya berada pada sektor non-farm dimana beliau bekerja sebagai tukang bangunan di kota. Beliau tidak memiliki lahan sawah karena tidak mendapatkan warisan dari orang tuanya berbeda dengan sebagian besar penduduk Desa Tunggilis yang memiliki lahan sawah maupun kebun pemberian dari orang tuanya. Sadar akan kondisi keluarganya, bapak HMD menggarap sawah milik orang lain yang berada tak jauh dari rumah tempat tinggalnya, hal yang tidak lumrah dilakukan oleh penduduk asli karena hampir seluruh penduduk asli Desa Tunggilis memiliki lahan sawah maupun kebun walaupun jumlahnya tidaklah luas. Selain menggarap sawah milik orang lain beliau juga bekerja sebagai buruh tani dan pekerja bangunan. Setelah bertahun-tahun menggarap sawah milik orang lain, bapak HMD sadar bahwa pendapatannya dari sektor on-farm maupun off-farm tidaklah banyak dan tidak dapat membuat kehidupan keluarga kecilnya lebih sejahtera dikarenakan banjir yang selalu datang setiap tahun dan sawah yang digarapnyapun ikut terendam banjir. Bukan untung yang didapat seperti
yang diharapkan, melainkan rugi karena beliau harus menanam padi dari awal ketika banjir surut yang memakan banyak waktu, tenaga, dan materi. Dalam satu tahun, beliau hanya mampu memanen sawah satu kali dalam satu tahun itu penuh dengan keberuntungan maka panen bisa dilakukan sebanyak dua kali dengan hasil panen yang tidak melimpah karena sawah yang digarap beliau selalu tergenag air (melakukan panen dengan keadaan sawah terendam sebatas betis orang dewasa). Pendapatan yang diterima sedikit sementara pengeluaran rumahtangganya begitu besar mengingat harga pada naik terutama harga bahan pokok membuat Bapak HMD tidak bisa terus-terusan bergantung pada hasil panen dari sawah yang digarapnya. Akhirnya, Bapak HMD pergi ke Jakarta bersama dengan warga lainnya untuk bekerja
42
sebagai tukang bangunan. Biasanya beliau bekerja pada proyek pembangunan perumahan, apartemen, jalan, maupun gedung perkantoran. Hasil yang didapat dari menjadi buruh bangunan di Jakarta lumayan banyak dibandingkan menunggu hasil panen, Bapak HMD mengatakan bahwa upah yang diterima berbeda-beda setiap proyek tetapi tidak pernah kurang dari Rp80 ribu per harinya. Seperti kecanduan, Bapak HMD lebih memilih untuk tinggal di Jakarta dan bekerja sebagai buruh bangunan disamping upah yang besar juga memiliki banyak pengalaman, sehingga sawah yang dulu digarap dikembalikan lagi kepada sang pemilik dan Bapak HMD pulang dalam waktu tiga bulan sekali atau Bapak HMD akan pulang ketika musim panen tiba dan ikut panen di sawah orang lain dengan upah gabah. Bapak HMD merasa tidak tertarik dengan dunia pertanian mengingat banjir yang selalu merugikan. Dari pendapatan menjadi buruh bangunan di Jakarta beliau mengatakan bahwa kehidupan keluarganya lebih baik daripada dulu yang selalu meminta bantuan kepada orang tua. Memang Bapak HMD dan isterinya tidak dapat menabung atau membeli perhiasan sebagai tabungan karena memang pengeluaran keluarganya juga besar dan pendapatan yang diterima pas-pasan bahkan kadang-kadang masih kurang ketika ada urusan yang mendesak.
Sumber : Bapak HMD (50 tahun), Dusun Kedung Palungpung, Desa Tunggilis
Dari cerita Bapak HMD diatas menunjukkan bahwa rumahtangga petani lapisan bawah lebih mengandalkan pendapatan dari bidang non-farm untuk menggantungkan kehidupan rumahtangganya. Sektor on-farm tidak terlalu diandalkan dikarenakan banjir yang datang selalu merugikan rumahtangga petani lapisan bawah karena seringkali modal yang dikeluarkan untuk memulai penanaman padi lebih besar dibandingkan dengan pendapatan dari hasil panen yang didapat. Box 2 Kasus rumahtangga petani lapisan menengah Dusun Kedung Palungpung iiiiiiiiiDesa Tunggilis Bapak ATR merupakan rumahtangga petani yang berada di lapisan menengah. Beiau memiliki sawah dan kebun yang mengaku diberi oleh orangtuanya ketika beliau menikah. Masalah yang sama juga dihadapi oleh Bapak ATR yaitu sawah yang ia miliki selalu terendam banjir setiap tahun dalam waktu yang lama. Menyiasati hal tersebut, Bapak ATR memanfaatkan kebun yang beliau miliki untuk bisa menghasilkan pangan dan pendapatan untuk keluarganya. Akan tetapi gangguan babi hutan menghambat Bapak ATR dalam mengelola kebun yang ia miliki, akhirnya beliau memutuskan untuk menanami lahan kebunnya dengan pohon sawo dengan pertimbangan babi hutan tidak bisa merusak tanamannya. Masalah tidak berhenti sampai disana, pohon sawo hanya berbuah pada musim tertentu sehingga tidak setiap bulan bisa memberikan pendapatan kepada keluarganya, akhirnya Bapak ATR memutuskan untuk bekerja sebagai buruh bangunan baik di wilayah tempat tinggalnya maupun merantau ke kota besar seperti Jakarta. Bapak ATR memanfaatkan situasi yang ada, dimana ketika banjir datang dan kebetulan sawo sedang berbuah maka beliau akan mengurus dan memanen sawo, ketika kemarau datang maka beliau akan memanen sawah, dan ketika banjir datang, kemudian sawo sedang tidak berbuah, maka Bapak ATR akan pergi merantau untuk bekerja sebagai buruh bangunan tetapi memang biasanya tidak lama, paling lama hanya satu bulan berada di kota. Diakui beliau bahwa pendapatan dari hasil merantau sangatlah menjanjikan.
43
Dari hasil siasat yang dilakukan oleh Bapak ATR, beliau mampu menabung untuk keluarganya terutama untuk biaya pendidikan anak-anaknya yang masih kecil. Tabungan biasanya dalam bentuk tabungan di bank atau dibelikan sejumlah perhiasan emas yang kemudian akan dijual ketika dibutuhkan. Menurut penuturan isteri beliau, beliau tidak terlalu suka menabung dalam bentuk emas karena ketika dijual ada potongan dan itu dirasa merugikan. Dari hasil siasat yang dilakukan oleh Bapak ATR, beliau mampu menabung untuk keluarganya terutama untuk biaya pendidikan anak-anaknya yang masih kecil. Tabungan biasanya dalam bentuk tabungan di bank atau dibelikan sejumlah perhiasan emas yang kemudian akan dijual ketika dibutuhkan. Menurut penuturan isteri beliau, beliau tidak terlalu suka menabung dalam bentuk emas karena ketika dijual ada potongan dan itu dirasa merugikan.
Sumber: Bapak ATR (34 tahun), Dusun Kedung Palungpung, Desa Tunggilis
Dari cerita Bapak ATR menjelaskan bahwa rumahtangga petani lapisan menengah memanfaatkan lahan yang tersedia yaitu sawah dan kebun untuk mendapatkan pemasukan bagi rumahtangganya. Sementara itu jika memang sawah dan kebun dirasa tidak mampu memberikan pemasukan kepada rumahtangganya, maka rumahtangga petani lapisan menengah akan mencari pemasukan dari sektor non-farm, dimana sektor non-farm juga merupakan sektor yang paling banyak menyumbangkan pemasukan bagi rumahtangga petani lapisan menengah. Box 3 Kasus rumahtangga petani lapisan atas Dusun Kedung Palungpung iiiiiiiiiDesa Tunggilis Bapak HLS merupakan rumahtangga petani yang berada pada lapisan atas dengan total kepemilikan lahan sawah dan kebun lebih dari dua hektare. Pada saat banjir, seluruh sawah yang beliau miliki terendam dan mematikan tanaman padi yang beliau miliki. Lahan kebun beliau manfaatkan untuk ditanami pohon sawo yang berbuah musiman. Pendapatan dari sawah tidaklah banyak hanya sekitar tujuh kuintal dalam satu kali panen, dalam satu tahun panen dilakukan sebanyak dua kai. Pohon sawo yang ditanam, mampu memanen sebanyak tujuh ton dalam satu kali panen, dan panen sebanyak dua kali dalam satu tahun. Memanen sawo dalam jumlah banyak ternyata tidak menjadikan sektor on-farm menjadi sektor utama dalam menyumbang pendapatan bagi rumahtangganya, beliau memiliki pendapatan dari sektor non-farm. Berbeda dengan rumahtangga petani lapisan menengah dan bawah yang mendapatkan pendapatan non-farm dengan cara menjadi buruh bangunan, Bapak HLS mendapatkan pendapatan dari sektor non-farm dengan cara memiliki usaha pembuatan batu bata. Satu batu bata dijual dengan harga Rp3 ribu dan dalam satu bulan mampu membuat hingga 5 ribu buah batu bata. Prinsip yang dimiliki oleh Bapak HLS adalah menjadikan sektor non-farm sebagai tumpuan rumahtangganya sembari menunggu musim kemarau datang dan menunggu sawo siap dipanen, dengan prinsip tersebut, rumahtangga beliau bisa menabung setiap tahunnya meskipun jumlahnya tidak banyak dikarenakan pengeluaran yang memiliki angka tinggi. Pengeluaran paling banyak terdapat pada biaya konsumsi dan biaya sekolah sehingga menurut penuturan beliau jumlah uang yang ditabungkan tidaklah banyak. Beliau memiliki empat orang anak dan dua diantaranya masih sekolah, sementara dalam tahun ini beliau menikahkan anak pertamanya dengan biaya yang dikeluarkan pribadi oleh Bapak HLS adalah sekitar Rp45 juta.
Sumber: Bapak HLS (51 tahun) Dusun Kedung Palungpung DesaTunggilis
Berdasarkan penuturan Bapak HLS, rumahtangga petani lapisan atas di Dusun Kedung Palungpung juga menjadikan sektor non-farm sebagai pendapatan
44
utama dikarenakan sektor on-farm tidak sepenuhnya bisa diandalkan mengingat ancaman banjir yang datang setiap tahun dan selalu merugikan bagi petani. Dari cerita Bapak HLS juga diketahui bahwa sektor non-farm yang dilakukan oleh rumahtangga petani lapisan atas bukan menjadi buruh bangunan seperti yang dilakukan rumahtangga petani lapisan menengah dan bawah, akan tetapi memiliki atau mendirikan usaha di daerahnya sehingga rumahtangga petani lapisan atas jarang yang pergi merantau ke kota.
Struktur Nafkah Rumahtangga Petani di Dusun Sirung Watang Berbeda dengan keadaan di Dusun Kedung Palungpung, rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang lebih mendapatkan pendapatan dari sektor on-farm. Hal ini dikarenakan petani di Dusun Sirung watang memanfaatkan sumberdaya alam secara optimal berupa lahan kebun yang ditanami oleh kelapa kemudian disadap untuk bahan baku pembuatan gula merah. Harga gula merah per kilonya adalah Rp10 ribu dalam satu minggu rata-rata rumahtangga petani mampu memproduksi gula merah sebanyak 10 kilo. Rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang rata-rata mampu memproduki gula merah sampai dengan 50 kilo dalam satu minggu. Babi hutan juga mengancam tanaman di wilayah Dusun Sirung Watang bahkan lebih sering daripada di Dusun Kedung Palungpung dikarenakan wilayah geografis Dusun Sirung Watang masih berupa hutan lebat dengan jarak rumah yang saling berjauhan satu sama lain. Menyadari akan ancaman babi hutan tersebut, petani di Dusun Sirung Watang tidak menanami kebun mereka dengan tanaman pangan seperti ubi, singkong, dan jagung serta tanaman-tanaman yang memiliki ukuran pohon pendek. Tanaman kelapa mendominasi pada lahan kebun mereka disamping manggis, duku, durian, petai, jengkol, serta cengkeh, akan tetapi tanaman kelapa menjadi tanaman utama yang dindalkan oleh petani di Dusun Sirung Watang. Tidak hanya sumberdaya kebun yang dimiliki oleh petani di Dusun Sirung Watang, tetapi beberapa petani juga memiliki lahan sawah yang bisa dimanfaatkan untuk menanam padi. Lahan sawah kurang dimanfaatkan oleh rumahtangga petani karena sulit diakses. Pendapatan yang didapat oleh rumahtangga petani dari lahan sawahpun lebih sedikit dibandingkan dari lahan kebun. Rumahtangga petani Dusun Sirung Watang lebih memanfaatkan lahan kebun untuk memperoleh pendapatan. Sebaran berbagai sektor on-farm, off-farm, dan non-farm dapat dilihat pada gambar berikut.
Jumlah pendapatan rumahtangga per tahun (dalam juta rupiah)
45
180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
Non-Farm Off-Farm On-Farm
Atas
Menengah
Bawah
Rata-rata
Lapisan Ekonomi
Gambar 3 Jumlah pendapatan rumahtangga petani berdasarkan lapisan ekonomi Dusun Sirung Watang Desa Tunggilis tahun 2015-2016 Pada Gambar 3 diketahui bahwa rumahtangga petani lapisan atas mendominasi pendapatan on-farm dan non-farm, dengan rata-rata pendapatan onfarm sebanyak Rp95,6 juta dalam satu tahun, dan pendapatan non-farm sebanyak Rp71,46 juta per tahun. Pendapatan off-farm tidak dimiliki oleh rumahtangga petani lapisan atas, hal ini dikarenakan rumahtangga petani lapisan atas tidak pernah menjadi buruh tani di lahan milik orang lain akan tetapi memanfaatkan waktu dan tenaga untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam yang mereka miliki. “Warga di sini hampir semua memiliki kebun tetapi hanya sedikit yang memiliki sawah karena di sini jarang dan jauh dari rumah warga. Mayoritas mata pencaharian di sini itu nyadap kelapa dan membuat gula yang kemudian dikumpulkan di tengkulak dan dijual sampai ke Jakarta, Bandung, Cilacap, dan daerah Jawa Tengah” Bapak SPR, 40 tahun
Pendapatan dari sektor non-farm pada petani di Dusun Sirung Watang didapat dari warung, rental mobil bak, ada juga yang bekerja tambahan sebagai buruh bangunan baik di wilayah tempat tinggal maupun di luar daerah tempat tinggal seperti Jakarta dan Tangerang akan tetapi merantau atau bermigrasi jarang dilakukan oleh petani di Dusun Sirung Watang. Pada rumahtangga petani lapisan menengah dan bawah pendapatan utama didapatkan dari sektor on-farm dimana petani lapisan menengah dan bawah samasama menyadap kelapa untuk selanjutnya diolah menjadi gula merah. Pada lapisan menengah pendapatan off farm berada pada rata-rata Rp1,08 juta per tahunnya. Sementara itu rumahtangga petani lapisan bawah memiliki pendapatan dari sektor on-farm sebesar Rp7,5 juta, off-farm sebesar Rp860 ribu juta ribu dan non-farm sebesar Rp650 ribu juta. Adanya pendapatan off-farm pada rumahtangga petani lapisan menengah dan bawah dikarenakan mereka kadang-kadang bekerja di lahan milik orang lain untuk menyadap kelapa atau sekedar membersihkan kebun milik
46
orang lain disamping menjadi buruh penebang pohon jika ada pemilik kebun yang memanen pohon seperti pohon albasiah dan mahoni. Pendapatan dari sektor non-farm juga tidak banyak didapatkan oleh rumahtangga petani lapisan menengah dan bawah dikarenakan rumahtangga petani kelas menengah dan bawah lebih memilih untuk menjadi petani dan buruh petani daripada mencari pekerjaan di sektor non-farm, mereka beranggapan bahwa penghasilan dari sektor non-farm tidaklah sebanyak dari sektor on-farm dan sektor off-farm. “Biasanya warga di sini juga ada yang merantau, tetapi biasanya tidak lama karena penghasilan di kota jauh lebih kecil daripada di sini. Saya juga dulu pernah ikut di bangunan di Jakarta tetapi tidak mau lagi karena “teu kahartos”. Kalau di sini banyak yang bisa dilakukan dan hasilnyapun lebih banyak sehingga bisa untuk memenuhi kebutuhan keluarga.” Bapak Tri, 38 tahun
Rata-rata luas lahan kebun rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang adalah adalah 6889,33 meter persegi sedangkan rata-rata lahan sawah yang dimiliki oleh rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang adalah seluas 694 meter persegi. Box 4 Kasus rumahtangga petani lapisan atas Dusun Sirung Watang Desa iiiiiiiiiiiTunggilis Bapak TRY merupakan salah satu petani yang berada dalam lapisan atas. Memiliki lahan hanya seluas 600 meter persegi tidak menjadikan beliau sebagai petani lapisan bawah. Selain memanfaatkan lahan yang dimiliki untuk ditanami pohon kelapa dan kemudian disadap untuk diolah menjadi gula merah, beliau juga memanfaatkan keadaan di Dusun Sirung Watang yang hampir keseluruhan masyarakatnya menjadi petani kelapa dengan cara menjadi tengkulak gula merah atau dalam bahasa setempat adalah bandar gula. Sadar akan penghasilan dari lahan miliknya sendiri minim Bapak TRY berinisiatif menjadi tengkulak dengan untung yang lumayan besar. Pendapatan dari menjadi tengkulak sendiri sekitar Rp2 juta per bulan, untuk mendukung pekerjaannya menjadi tengkulak beliau membeli dua buah mobil bak terbuka untuk menjual gula-gula yang beliau beli dari petani menuju kota besar seperti Bandung, Semarang, hingga Surabaya. Tidak hanya menjadi petani gula merah dan tengkulak, Bapak TRY juga membuka warung. Ketidaktersediaan warung di Dusun Sirung Watang yang mendorong beliau untuk membuka warung dengan pendapatan kotor yang sangat tinggi untuk ukuran warung kecil yaitu sebesar Rp4 juta setiap bulannya. Mengingat daerah tempat tinggalnya masih berupa perkampungan yang jauh ke pusat desa serta kebutuhan masyarakat yang terus meningkat, beliau berinisitaif untuk menjual pulsa dan sampai saat ini Bapak TRY adalah satu-satunya penjual pulsa yang berada di Dusun Sirung Watang. Tidak hanya itu, beliau juga menyewakan kedua mobil bak terbuka yang dimilikinya untuk keperluan usaha maupun yang lainnya sehingga pendapatan non-farm beliau sangat tinggi berkat usaha-usaha yang dilakukannya. Total pendapatan beliau adalah sebesar Rp222 juta setiap tahunnya.
47
Pengeluaran rumahtangga Bapak TRY juga dinilai tidak terlalu besar khususnya untuk pengeluaran konsumsi. Pengeluaran konsumsi terbesar adalah pengeluaran untuk membeli beras mengingat beliau hanya memiliki sawah kecil dan itu jarang digarap karena posisi sawah yang berada di bawah lereng tebing dan menyulitkan beliau ketika hendak menggarapnya. Keperluan konsumsi lainnya seperti sayur, buah-buahan, serta daging beliau menanam dan beternak sendiri memanfaatkan lahan yang tersisa di belakang rumahnya. Menurut penuturan isteri beliau, pengeluaran sayur, buah-buahan, serta daging tidak dapat dijumlahkan dalam rupiah mengingat itu diambil seperlunya saja. sementara pengeluaran non konsumsi tertinggi ada pada biaya pendidikan dimana beliau memiliki anak yang masih duduk di Sekolah Dasar dengan uang jajan sebesar Rp50 ribu per hari. Jumlah tersebut menurut penuturan Bapak TRY tidaklah besar karena lokasi sekolah yang sangat jauh dari rumah. Total pengeluaran rumahtangga Bapak TRY adalah sebesar Rp48.8 juta setiap tahunnya. Memiliki pendapatan tinggi dan pengeluaran yang relatif rendah, memungkinkan untuk Bapak TRY memiliki saving capacity yang tinggi. Ketika ditanya dimana beliau menyimpan uangnya, beliau menjawab bahwa beliau menyimpannya di bank dan berencana untuk membeli satu buah mobil lagi untuk usaha bulan berikutnya.
Sumber : Bapak TRY (35 tahun) Dusun Sirung Watang Desa Tunggilis
Berdasarkan penuturan Bapak TRY sedikit menggambarkan pendapatan dan pengluaran serta saving capacity rumahtangga petani lapisan atas. Diamana rumahtangga petani lapisan atas memiliki pendapatan on-farm dari hasil usaha yang dimilikinya serta pendapatan on-farm yang juga dihasilkan oleh dirinya sendiri. Hanya sedikit masyarakat Dusun Sirung Watang yang pergi merantau, mereka lebih memanfaatkan modal yang dimilikinya di kampung daripada pergi menjadi buruh di kota. Box 5 Kasus Rumahtangga petani lapisan menengah Dusun Sirung Watang iiiiiiiiiiDesa Tunggilis Bapak TRI adalah petani yang termasuk kedalam lapisan menengah, pekerjaan menjadi petani sudah sejak lama beliau tekuni khsusunya dalam bidang petani kebun dimana beliau mengelola sawah dan kebun yang ditanami oleh pohn kelapa karena beliau diajarkan untuk bertani sejak kecil oleh orang tuanya. Selain memiliki pendapatan dari sektor on-farm Bapak TRI juga memiliki pendapatan dari sektor non-farm sementara dari sektor off-farm beliau tidak memiliki pendapatan. Dari sektor on-farm, sama halnya dengan sebagian besar masyarakat Dusun Sirung Watang beliau menyadap kelapa dan diolah menjadi gula merah. Sementara pendapatan non-farm beliau dapatkan dari hasil mengajar sekolah agama. Beliau menuturkan bahwa dari sektor non-farm tidaklah banyak, beliau lebih menggantungkan hidupnya dari sektor on-farm, hal itu dikarenakan penghasilan dari menyadap pohon kelapa sangatlah tinggi dan mampu memenuhi kebutuhan rumahtangganya. Menikah pada usia muda menyebabkan Bapak TRI tidak memiliki pendidikan tinggi itu karena budaya di Dusun Sirung Watang tentang menikah muda sangatlah kental. Beliau menjelaskan bahwa sebagian besar masyarakat Dusun Sirung Watang tidak memiliki pendidikan tinggi selain karena budaya dimana remaja usia 13 tahun sudah bertunangan juga karena akses menuju SMA sangatlah jauh maka dari itu di Dusun Sirung Watang tidak ada
48
pemuda karena remaja seusia pemuda sudah dinikahkan oleh orang tuanya. Beliau menjelaskan bahwa sangat jarang masyarakat Dusun Sirung Watang pergi merantau ke kota besar dan bekerja disana adalah karena faktor jumlah pendapatan yang diterima dianggap tidak sesuai dan lebih besar pendapatan dari menyadap kelapa. Pada musim kemarau tahun lalu, banyak masyarakat Dusun Sirung Watang yang pergi merantau ke kota melalui bantuan mandor, sehingga di Dusun Sirung Watang hanya tersisa 3 orang laki-laki saja mereka adalah laki-laki yang berusia lanjut dan memiliki penyakit berat. Akan tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama hanya sekitar satu bulan saja karena alasan tidak sesuai dan lebih baik bekerja sebagai petani di kampung. Pendapatan yang dimiliki tidaklah sebanding dengan pengeluaran rumahtangganya. Seringkali beliau meminjam uang kepada tetangga dan kerabat dikala pengeluaran sedang banyak terutama pada saat harga-harga menjulamg tinggi, sehingga dalam bulan-bulan tertentu beliau tidak memiliki saving capacity karena pendapatan yang tidak mampu menyeimbangi pengeluaran. Ditanya mengenai membuka usaha seperti warung dan sebagainya, Bapak TRI mengaku tidak memiliki modal untuk memulai usaha dan takut akan terjadinya bangkrut ketika usaha yang dibukanya tidak berhasil. Bapak TRI mengaku nyaman dengan kehidupannya saat ini dengan penghasilan yang dirasa cukup untuk biaya pangan, sandang, dan papan.
Sumber : Bapak TRI (38 tahun) Dusun Sirung Watang Desa Tunggilis
Berdasarkan cerita dari Bapak TRI sedikit menjelaskan tentang pendapatan rumahtangga petani lapisan menengah. Seringkali rumahtangga lapisan menengah tidak memiliki saving capacity terutama pada bulan-bulan tertentu yang banyak pengeluarannya seperti mengadakan pesta dan membeli kendaraan. Dari cerita tersebut juga diketahui bahwa sama halnya dengan rumahtangga petani lapisan atas, rumahtangga petani lapisan menengahpun sama-sama menggantungkan hidupnya dari menyadap kelapa untuk selanjutnya diolah menjadi gula merah. Box 6 Kasus Rumahtangga petani lapisan bawah Dusun Sirung Watang Desa iiiiiiiiiiTunggilis Ibu OOM adalah salah satu rumahtangga petani yang berada pada lapisan bawah di Dusun Sirung Watang, beliau adalah seorang janda cerai yang tinggal bersama ibunya. Beliau menggarap kebun dan sawah miliknya sendiri. Kebun milik beliau ditanami oleh pohon sawo dan jengkol, beliau tidak menanami kebun miliknya dengan pohon kelapa karena tidak bisa menyadap kelapa seorang diri sehingga beliau menanami kebunnya dengan tanaman yang bisa beliau kelola sendiri yaitu sawo dan jengkol. Pendapatan dari memanen sawo dan jengkol tidaklah sebanyak menyadap kelapa sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya beliau bekerja sebagai buruh tani dilahan orang lain dengan upah uang sebesar Rp40 ribu per hari. Sehingga selain memiliki pendapatan on-farm, beliau juga memiliki pendapatan off-farm. Sesungguhnya sebelum menjadi jandapun beliau memang seringkali bekerja dilahan orang lain. Pekerjaan yang dilakukan adalah membersihkan kebun, memotong rumput liar, serta gacong. Gacong adalah bekerja di sawah orang lain pada saat sawah tersebut ditanami padi pertama kali. Sehingga menjadi janda bukanlah alasan beliau bekerja menjadi buruh tani akan tetapi lebih kepada pendapatan yang ada tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup
49
sehari-hari. Selain itu beliau juga sering mendapatkan kiriman dari anaknya yang telah berumahtangga dan tinggal di desa yang lain, kiriman yang diterima sekitar Rp50 ribu sampai dengan Rp70ribu setiap bulannya. Segala bentuk pendapatan yang diperoleh ternyata tidak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga Ibu OOM sehingga saving capacity yang dimiliki oleh Ibu OOM adalah negatif dan angkanya mendekati negatif Rp500 ribu dalam jangka waktu satu tahun. Ibu OOM mengaku bahwa beliau tidak memiliki tabungan selain ternak berupa ayam yang sewaktu-waktu bisa dijual ketika butuh meskipun jumlah nominalnya tidaklah banyak. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan rumahtangganya tidak jarag beliau meminjam kepada saudara dan kerabat yang dirasa memiliki kehidupan yang lebih baik.
Sumber : Ibu OOM (38 tahun) Dusun Sirung Watang Desa Tunggilis
Berdasarkan cerita Ibu OOM dijelaskan bahwa rumahtangga petani lapisan bawah banyak yang bekerja sebagai buruh tani karena memiliki pendapatan rendah, kepemilikan modal nafkah berupa lahan juga menjadi salah satu penyebabnya. Rumahtangga petani lapisan bawah memiliki saving capacity negatif yang berarti bahwa pendapatan yang dimiliki tidak sebanding dengan pengeluaran rumahtangga, dan untuk menyiasati hal tersebut meminjam adalah cara utama yang dilakukan oleh rumahtangga petani lapisan bawah.
Struktur Nafkah Rumahtangga Petani di Dua Dusun Keberadaan sumberdaya alam di dua dusun yaitu Dusun Kedung Palungpung dan Dusun Sirung Watang yang berada di Desa Tunggilis Kabupaten Pangandaran sangat membantu bagi kehidupan rumahtangga petani. Rumahtangga petani dapat memanfaatkan sumberdaya yang ada seperti sawah, kebun, dan tambak yang tersedia melimpah di dua dusun tersebut. Namun, tersedianya sumberdaya alam yang melimpah tidak menyebabkan rumahtangga petani dapat menggantungkan hidup seutuhnya kepada sumberdaya alam tersebut, hal ini karena sering terjadinya krisis terhadap sumberdaya alam yang menyebabkan perekonomian rumahtangga petani terhenti dari sektor on-farm. Menyiasati hal tersebut rumahtangga petani melakukan kegiatan ekonomi dan mendapatkan sumber ekonomi dari sektor lain yaitu sektor off-farm dan sektor non-farm. Berikut adalah gambaran persentase kegiatan yang dilakukan rumahtangga nelayan di kedua desa.
50
Dusun Kedung Palungpung, Desa Tunggilis 100%
Persentase
80% 60% Non-Farm 40%
Off-Farm
20%
On-Farm
0% Atas
Menengah
Bawah
Rata-rata
Lapisan Ekonomi
Gambar 4 Persentase pendapatan rumahtangga petani Dusun Kedung Palungpung Desa Tunggilis tahun 2015-2016
Dusun Sirung Watang, Desa Tunggilis Persentase
100% 80% 60%
Non-Farm
40%
Off-Farm
20%
On-Farm
0% Atas
Menengah
Bawah
Rata-rata
Lapisan Ekonomi
Gambar 5 Persentase pendapatan rumahtangga petani Dusun Sirung Watang Desa Tunggilis tahun 2015-2016 Berdasarkan persentase pemanfaatan sumber nafkah rumahtangga petani di dua dusun, terdapat perbedaan yang sangat mencolok dilihat dari sumber nafkah yang tersedia di kedua dusun. Dusun Kedung Palungpung yang merupakan daerah yang selalu terkena banjir hampir sepanjang tahun memiliki persentase rendah dalam pemanfaatan sektor on-farm dibandingkan dengan Dusun Sirung Watang yang merupakan daerah bebas banjir. Kendati demikian, semua lapisan ekonomi rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung masing-masing mendapatkan pendapatan dari sumber on-farm walaupun tidak sebanyak rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang yang bisa memanfaatkan sumberdaaya alam secara optimal. Rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung tidak dapat memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia secara optimal sehingga menyebabkan rumahtangga petani tidak menjadikan sektor on-farm sebagai tumpuan utama untuk mendapatkan nafkah. Berbeda dengan rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang yang memanfaatkan sumberdaya alam secara optimal sehingga semua lapisan rumahtangga petani baik lapisan atas, menengah, dan bawah masing-masing memiliki pendapatan tinggi dari sektor on-farm.
51
Hal lain yang menjadi penyebab tingginya pemanfaatan sektor on-farm di Dusun Sirung Watang dibandingkan dengan Dusun Kedung Palungpung adalah adanya perbedaan produksi atau hasil dari pemanfaatan sumberdaya alam. Rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung memanfaatkan kebun yang tersedia untuk ditanami oleh pohon kelapa yang kemudian dilakukan penyadapan untuk produksi gula merah, sementara rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung memanfaatkan sumberdaya alam berupa sawah yang selalu tergenang banjir dengan produksi utama berupa padi sebanyak 2-4 kuintal dalam satu kali panen. Jika dibandingkan harga antara 1 kilogram gula merah dengan 1 kilogram gabah sangat jauh perbedaannya. Harga satu kilogram gula merah adalah Rp10 ribu, sementara harga satu kuintal gabah adalah Rp450 ribu yang jika disajikan dalam satuan kilogram berarti hanya Rp4.500 untuk satu kilogram gabah. Sehingga tidak heran jika pemanfaatan sektor on-farm sangat tinggi di Dusun Kedung Palungpung. Terdapat satu kesamaan dalam persentase pemanfaatan sumber nafkah pada kedua dusun yaitu rumahtangga petani lapisan atas sama-sama mendapatkan persentase paling kecil pada pemanfaatan sumberdaya on-farm dibandingkan dengan rumahtangga petani lapisan menengah dan bawah di kedua dusun. Hal ini disebabkan karena rumahtangga petani lapisan atas pada di kedua dusun memanfaatkan sektor non-farm berupa usaha yang didirikan sendiri seperti warung, pabrik batu bata, serta usaha rental mobil. Pemanfaatan sektor off-farm di kedua dusun terlihat berbeda, dimana pemanfaatan sektor off-farm di Dusun Kedung Palungpung lebih tinggi dibandingkan dengan Dusun Sirung Watang. Seluruh lapisan ekonomi rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung sama-sama memanfaatkan sumber nafkah sektor off-farm, akan tetapi hal itu tidak terjadi pada rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung dimana rumahtangga petani lapisan atas tidak memanfaatkan sumber nafkah sektor off-farm, hal tersebut dikarenakan rumahtangga petani lapisan atas di Dusun Sirung Watang memanfaatkan sektor onfarm dan sektor non-farm secara optimal. Lain halnya dengan rumahtangga petani lapisan atas di Dusun Kedung Palungpung yang memanfaatkan sumber nafkah offfarm karena mereka tidak mampu memafaatkan sumber nafkah on-farm dikarenakan adanya faktor eksetrnal berupa banjir. Pemanfaatan sumber nafkah off-farm dimanfaatkan oleh rumahtangga petani lapisan bawah pada kedua dusun, hal ini dapat diketahui dari gambaran persentase pemanfaatan sumber nafkah di atas dimana persentase tertinggi pada pemanfaatan sektor off-farm dimiliki oleh rumahtangga petani lapisan bawah, hal ini terjadi karena rumahtangga petani tidak memiliki lahan banyak sehingga terpaksa harus bekerja menjadi buruh tani pada orang lain. Perbedaan selanjutnya adalah jumlah persentase pemanfaatan dumber nafkah sektor off-farm di Dusun Kedung Palungpung berada pada posisi rendah dibandingkan dengan pemanfaatan sektor off-farm di Dusun Kedung Palungpung karena hampir seluruh rumahtangga petani melakukan aktivitas pertanian di lahan milik sendiri yaitu menyadap. Menyadap dilakukan pagi dan sore setiap hari, dengan penghasilan yang menjanjikan sehingga rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang tidak memiliki waktu untuk menjadi buruh tani atau sekedar menggarap lahan milik orang lain.
52
Pemanfaatan sektor non-farm didominasi oleh rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung. Seluruh rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung memanfaatkan sektor non-farm secara optimal dikarenakan sektor on-farm yang kurang menjanjikan sehingga tidak dapat dijadikan sebagai tumpuan hidup. Lain halnya dengan rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang dimana sektor nonfarm dimanfaatkan secara optimal hanya oleh rumahtangga petani lapisan atas kendati seluruh lapisan petani juga memanfaatkan sektor non-farm namun tidak secara optimal. Rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang khususnya lapisan menengah dan bawah lebih tertarik untuk memanfaatkan sektor on-farm karena dianggap lebih menanjikan dan mampu memberikan pendapatan tinggi. Lain halnya dengan rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung yang lebih tertarik memanfaatkan sektor non-farm dan beranggapan mampu memberikan jaminan hidup untuk mereka. Jika rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung bertumpu pada sektor non-farm, berbeda rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang yang menjadikan sektor on-farm sebagai tumpuan hidup. Dikeduanya, sektor off-farm menjadi sektor yang paling sedikit dimanfaatkan karena lapangan pekerjaan untuk sektor off-farm juga tidak sebanyak dan tidak se-menjanjikan sektor on-farm dan sektor non-farm.
Struktur Pendapatan dan Pengeluaran Rumahtangga Petani di Dua Dusun Pengeluaran rumahtangga petani adalah total keseluruhan yang dibelanjakan oleh rumahtangga petani dalam satu tahun. Pengeluaran dalam penelitian ini dibedakan menjadi pengeluaran konsumsi dan pengeluaran nonkonsumsi. Pengeluaran konsumsi terdiri dari total pengeluaran yang dikeluarkan oleh rumahtangga petani untuk keperluan pangan sehari-hari untuk bertahan hidup. Sedangkan pengeluaran non konsumsi adalah jumlah pengeluaran yang dikeluarkan oleh rumahtangga petani selain untuk makan. Pengeluaran non konsumsi terdiri dari biaya membayar listrik, membayar pajak, membeli pakaian, transportasi, keperluan pesta, membeli barang rumahtangga dan yang lainnya. Pengeluaran konsumsi tidak dikeluarkan setiap hari, akan tetapi dalam penelitian ini pengeluaran non konsumsi akan dihitung dalam kurun waktu satu tahun. Dari struktur pendapatan dan pengeluaran rumahtangga petani ini juga akan dilihat seberapa saving capacity yang mampu dilakukan oleh rumahtangga petani. Saving capacity adalah jumlah keseluruhan dari pendapatan yang telah dikurangi oleh keseluruhan total pengeluaran.
Jumlah pendapatan dan pengeluaran rumahtangga per tahun (dalam jutaan rupiah)
53
60 50 40 30 20 10 0
56
25,71
27,02
28
23,26 14,99
Atas
Menengah
20,37
Bawah
22,81
Rata-rata
Lapisan Ekonomi Pendapatan
Pengeluaran
Gambar 6 Jumlah pendapatan dan pengeluaran rumahtangga petani berdasarkan lapisan ekonomi Dusun Kedung palungpung Desa Tunggilis tahun 20152016 Dari Gambar 6 dapat dilihat bahwa saving capacity setiap lapisan ekonomi rumahtangga petani berbeda. Dapat dilihat bahwa semakin atas lapisan ekonomi rumahtangga petani maka semakin besar pula saving capacitynya. Pada rumahtangga petani lapisan bawah saving capacity nya adalah negatif yang berarti bahwa jumlah keseluruhan pengeluaran rumahtangga petani lapisan bawah di Dusun Kedung Palungpung melampaui jumlah pendapatan yang didapatkan. Nilai absolut dari saving capacity rumahtangga petani lapisan bawah di Dusun Kedung Palungpung adalah sebesar negatif Rp5,38 juta Menyiasati hal tersebut, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, rumahtangga petani lapisan bawah di Dusun Kedung Palungpung meminjam kepada tetangga, saudara, ngutang ke warung, dan bahkan meminta kepada orang tua. Naiknya harga bahan-bahan pokok menjadi alasan utama terjadinya saving capacity negatif pada rumahtangga lapisan bawah. Pengeluaran konsumsi terbesar ada pada rokok disamping beras. Seluruh rumahtangga petani memiliki anggota rumahtangga yang merupakan perokok aktif dan seluruh kepala keluarga merupakan perokok aktif juga. Sehingga dalam satu rumahtangga memungkinkan adanya perokok aktif lebih dari satu orang terutama jika memiliki anak laki-laki yang sudah remaja, atau terdapatnya anak atau mantu yang sudah menikah namun masih tinggal satu rumah bersama orang tuanya. Dalam satu rumahtangga minimal membeli satu bungkus rokok setiap harinya dengan harga antara Rp13 ribu sampai dengan Rp18 ribu.
Jumlah pendapatan dan pengeluaran rumahtangga per tahun (dalam jutaan rupiah)
54
200
167
150 100 50
38,16
33,44
25,66
40,96 8,4
34,94
11,84
0 Atas
Menengah
Bawah
Rata-rata
Lapisan Ekonomi Pendapatan
Pengeluaran
Gambar 7 Jumlah pendapatan dan pengeluaran rumahtangga petani berdasarkan lapisan ekonomi Dusun Sirung Watang Desa Tunggilis tahun 20152016 Berdasarkan Gambar 7 diketahui bahwa rumahtangga petani lapisan atas memiliki saving capacity paling tinggi diantara semua lapisan yaitu sebesar Rp128,84 juta sebuah nilai saving capacity yang sangat tinggi. Hal ini terjadi karena gaya hidup masyarakat Dusun Sirung Watang yang tidak terlalu mewah dan tidak mudah terbawa arus globalisasi mengingat letak dusun yang sangat jauh dari pusat desa dan sebagian besar wilayahnya berupa hutan. Rumahtangga petani lapisan atas cenderung menyimpan uangnya untuk kemudian dibelikan lahan sawah dan kebun serta modal usaha. Rumahtangga petani lapisan menengah memiliki saving capacity meskipun jumlahnya tidak sebanyak rumahtangga petani lapisan atas. Dapat dilihat bahwa saving capacity yang dimiliki oleh rumahtangga petani lapisan menengah adalah sebesar Rp7,78 juta nilai tersebut dapat dinilai cukup rendah yaitu sebesar 6 persen dari total saving capacity rumahtangga petani lapisan atas. Berdasarkan Gambar 7 juga diketahui bahwa rumahtangga petani lapisan bawah tidak memiliki saving capacity untuk memenuhi kebutuhannya mereka harus meminta bantuan dari orang lain dengan mengandalkan modal sosial yang mereka miliki. Diketahui bahwa saving capacity rumahtangga petani lapisan bawah bernilai negatif dengan nilai kongkrit sebesar negatif Rp3,34 juta dalam satu tahun terakhir.
Posisi Rumahtangga Petani Di Dua Dusun terhadap Garis Kemiskinan Posisi rumahtangga petani dilihat dari garis kemiskinan bertujuan untuk melihat status rumahtangga petani berdasarkan tingkat pendapatan. Garis kemiskinan yang digunakan berdasarkan World Bank yaitu sebesar US$2 atau jika dikonversi ke rupiah adalah sebesar Rp27 ribu per kapita per hari. Nilai tersebut bedasarkan hasil pembulatan dari angka Rp26.600 dimana US$1 bernilai Rp13.300 per tanggal 16 Mei 2016 pukul 00.31 WIB. Pendapatan total yang diperoleh oleh rumahtangga petani dibagi berdasarkan jumlah orang dalam rumahtangga petani
55
kemudian diambil rata-rata per lapisan ekonomi dan kemudian diambil rata-rata per dusun. Berikut adalah posisi rumahtangga petani di dua dusun berdasarkan World Bank.
Dusun Kedung Palungpung, Desa Tunggilis 67500 54000 40500 27000
60000
13500
27000
26000 14000
0 Atas
Menengah
Bawah
Rata-rata
Lapisan Ekonomi
Gambar 8 Posisi rumahtangga petani Dusun Kedung Palungpung Desa Tunggilis terhadap garis kemiskinan menurut World Bank pertahun 2015-2016 Berdasarkan Gambar 8 diketahui bahwa hanya rumahtangga petani lapisan atas yang berada di atas garis kemiskinan dengan penghasilan rata-rata per kapita per hari sebesar Rp60 ribu atau sekitar US$4,5 mereka memanfaatkan semua sektor baik on-farm, off-farm, maupun non-farm untuk memiliki pendapatan. Artinya rumahtangga pertani lapisan atas di Dusun Kedung Palungpung tergolong kedalam kategori kaya. Sementara itu untuk rumahtangga petani lapisan menengah dan bawah berada di bawah garis kemiskinan. Rumahtangga petani lapisan menengah berada pada posisi miskin dengan pendapatan per kapita per hari adalah sebesar Rp26 ribu atau sekitar US$1,9 sementara itu pendapatan rumahtangga petani lapisan bawah Dusun Kedung Palungpung adalah sebesar Rp14 ribu atau sekitar US$1,05 dan menjadikan mereka sebagai rumahtangga petani miskin. Artinya hanya sebanyak 4 dari 30 responden daerah banjir berada pada posisi kaya dan sebanyak 26 responden berada pada posisi miskin.
56
Dusun Sirung Watang, Desa Tunggilis 189000 175500 162000 148500 135000 121500 108000 94500 81000 67500 54000 40500 27000 13500 0
170000
27000 Atas
Menengah
37000 10000 Bawah
Rata-rata
Lapisan Ekonomi
Gambar 9 Posisi rumahtangga petani Dusun Sirung Watang Desa Tunggilis terhadap garis kemiskinan menurut World Bank pertahun 2015-2016 Berdasarkan Gambar 9 diketahui bahwa rumahtangga petani lapisan atas berada pada posisi diatas garis kemiskinan menurut World Bank dengan pendapatan per kapita per hari adalah sebesar Rp170 ribu atau sekitar US$12,8 hal tersebut dikarenakan rumahtangga petani lapisan atas mampu memanfatkan modal nafkah yang dimiliki serta memiliki pendapatan dari sektor on-farm dan sektor nonfarm yang sangat tinggi. Rumahtangga petani lapisan menengah berada tepat di garis kemiskinan dengan pendapatan Rp27 ribu per kapita per hari sekaligus menempatkan rumahtangga petani lapisan menengah berada pada posisi kaya menurut World Bank. Hal ini terjadi karena rumahtangga petani lapisan menengah di Dusun Sirung Watang mampu memanfaatkan sektor on-farm secara maksimal dibantu dengan sektor non-farm. Dilihat dari Gambar 9 bahwa rumahtangga petani lapisan bawah berada dibawah garis kemiskinan menurut World Bank dengan pendapatan per kapita per hari hanya sebesar Rp10 ribu atau kurang dari US$1 meskipun rumahtangga petani lapisan bawah memiliki pendapatan dari sektor off-farm. Hal ini terjadi karena kepemilikan lahan yang rendah serta kecilnya pendapatan yang diterima baik dari hasil panen yaitu sektor on-farm, sektor off-farm maupun sektor non-farm.
Ikhtisar Struktur nafkah yang dilihat dari pendapatan, pengeluaran, serta tabungan di kedua dusun menunjukkan perbedaan dari segi jumlah nominal baik pendapatan, pengeluaran, maupun tabungan. Rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang cenderung memiliki pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung. Berdasarkan rata-rata pendapatan diketahui bahwa rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang memiliki pendapatan dua kali
57
lipat dari pendapatan rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung. Hal ini disebabkan adanya perbedaan antara pemanfaatan modal alam, dimana rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung tidak memanfaatkan modal alam secara maksimal karena adanya gangguan alam berupa banjir yang setiap tahunnya selalu menggenang area persawahan. Kedua, rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung tidak memanfaatkan secara maksimal lahan kebun yang dimiliki dengan alsan gangguan babi hutan dan letaknya yang jauh dari tempat tinggal. Pengeluaran rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang lebih rendah dibandingkan dengan pengeluaran rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung, sehingga rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang memiliki saving capacity yang lebih besar dibandingkan dengan rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung. Alasannya adalah karena Dusun Kedung Palungpung berada dekat dengan pusat pemerintahan kecamatan sehingga dinilai lebih “kota” dibandingkan dengan Dusun Sirung Watang sehingga menyebabkan kebutuhan konsumsi semakin meningkat karena adanya pengaruh modernisasi. Sementara Dusun Sirung Watang berada jauh dari kota sehingga tidak membuat masyarakatnya menjadi konsumtif dan terpengaruh modernisasi sehingga pengeluaran akan semakin kecil dan saving capacity semakin besar. Berdasarkan garis kemiskinan menurut World Bank, sebagian besar rumahtangga petani Dusun Kedung Palungpung berada dibawah garis kemiskinan. Sementara rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang berada diatas garis kemiskinan dengan rata-rata pendapatan keseluruhan sekitar Rp37 ribu per kapita per hari.
BASIS MODAL NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI DI DUA DUSUN Pemanfaatan Modal Nafkah Rumahtangga Petani di Dusun Kedung Palungpung Pemanfaatan lima modal oleh rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung memiliki berbagai variasi. Rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung dibagi kedalam tiga lapisan yaitu lapisan atas, lapisan menengah, dan lapisan bawah. Pembagian lapisan tersebut berdasarkan jumlah pendapatan dari masing-masing rumahtangga petani. Pembagian kelas sosial petani dimaksudkan agar terlihat kecenderungan pemanfaatan modal nafkah sesuai dengan lapisan sosial rumatangga petani. Pemanfaatan modal nafkah berdasarkan lapisan ekonomi di Dusun Kedung Palungpung dapat dilihat dari gambar dibawah ini. Lapisan Atas
Lapisan Atas
Lapisan Atas
Alam
Alam
Alam
Sosial
Fiansial
Manusi a Fisik
Sosial
Fiansial
Manusi a Fisik
Sosial
Fiansial
Manusi a Fisik
Gambar 10 Pemanfaatan modal nafkah rumahtangga petani berdasarkan lapisan ekonomi Dusun Kedung Palungpung Desa Tunggilis tahun 20152016 Dari Gambar 10 dapat diketahui bahwa pada terdapat perbedaan modal nafkah yang dominan dimanfaatkan oleh rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung. Rumahtangga petani lapisan atas lebih memanfaatkan modal finansial kemudian disusul oleh modal fisik dan sosial. Hal ini tentu saja berhubungan dengan tingkat pendapatan rumahtangga petani lapisan atas yang tinggi dan memiliki daya beli yang tinggi terhadap barang-barang yang bisa dijadikan sebagai modal fisik. Pada rumahtangga petani lapisan menengah modal fisik menjadi modal yang dominan dimanfaatkan. Sementara itu tingkat pemanfaatan modal manusia dan modal alam berada pada posisi yang sama. Sementara itu modal sosial menjadi modal yang paling sedikit dimanfaatkan oleh rumahtangga petani lapisan menengah. Pemanfaatan modal nafkah oleh rumahtangga petani lapisan bawah didominasi oleh modal fisik yang artinya mereka akan menjual benda-benda fisik ketika krisis terjadi. Modal fisik menjadi modal nafkah yang sering dimanfaatkan
60
mengingat rumahtangga petani lapisan bawah tidak memiliki pendapatan serta tabungan yang tinggi sehingga pemanfaatan modal finansial tidak optimal.
Modal Alam Modal alam yang dimiliki dan dimanfaatkan oleh rumahtangga petani Dusun Kedung Palungpung adalah lahan sawah dan lahan kebun. Area persawahan terbentang luas disamping jalan raya yang sekaligus langsung berbatasan dengan Sungai Citanduy. Lahan sawah yang dimiliki oleh rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung tidak bisa dimanfaatkan secara optimal karena selalu terendam banjir baik musim hujan maupun musim kemarau. Pada musim hujan debit air Sungai Citanduy naik dan air meluap ke lahan persawahan melalui bendungan yang oleh warga sekitar disebut “apur” kemudian air akan merendam lahan persawahan selama berbulan-bulan. Musim kemarau datang tidak menjadi angin segar bagi rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung, air laut seringkali rob dan meluap ke Sungai Citanduy dan hal yang sama terjadi yaitu luapan Sungai Citanduy akan masuk melalui apur dan kemudian menggenang sawah milik rumahtangga petani. Banjir ketika rob air laut biasanya hanya sebentar menggenangi lahan persawahan, waktunya berkisar antara lima hari sampai dengan satu minggu. Modal alam lainnya yang dimiliki oleh rumahtangga petani dan bisa dimanfaatkan ialah lahan kebun. Lahan kebun yang dimiliki oleh rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung berada di daerah dataran tinggi dari Desa Tunggilis dengan akses jalan yang tidak begitu nyaman dan aman. Lahan kebun cenderung jarang dimanfaatkan oleh rumahtangga petani karena akses dan adanya gangguan babi hutan. Sehingga ketika sawah tergenang banjir, rumahtangga petani tidak bisa menanam padi di kebun atau yang biasa disebut padi huma atau menanam tanaman pokok lainnya pengganti beras karena akan dihancurkan dan dimakan oleh babi hutan. Sehingga rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung memanfaatkan lahan kebun untuk ditanami oleh pohon-pohon besar yang memiliki masa panen musiman seperti sawo, albasiah, durian, dan jengkol karena dianggap aman dari gangguan babi hutan dan tidak memerlukan perawatan lebih yang mengharuskan rumahtangga petani mengunjungi kebunnya setiap hari. Dari data pada Gambar 10 terlihat bahwa rumahtangga petani lapisan atas dan lapisan menengah sama-sama memanfaatkan modal alam secara sedang dimana rumahtangga petani lapisan atas dan menengah sama-sama memanfaatkan modal alam akan tetapi tidak bisa secara optimal. Pada rumahtangga petani lapisan bawah terlihat bahwa pemanfaatan modal alam secara rendah dikarenakan tingkat kepemilikan modal alam yang juga rendah serta akses yang tidak terlalu mudah karena adanya gangguan.
61
Modal Manusia Modal manusia diukur berdasarkan tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga usia produktif, dan jumlah anggota rumahtangga yang bekerja. Berdasarkan data pada Gambar 10 didapatkan fakta bahwa peanfaatan modal manusia oleh rumahtangga petani lapisan atas dan lapisan bawah sama-sama rendah. Hal ini dikarenakan tingkat pendidikan kepala rumahtangga yang hanya sampai sekolah dasar (SD) dan bahkan ada yang tidak lulus sekolah. Pada kedua lapisan diketahui alasan mengapa kepala rumahtangga memiliki tingkat pendidikan rendah yaitu orang tua pada zaman dahulu hanya bersekolah sampai tamat SD saja. Selain itu alasan lain diketahui dari data bahwa pada rumahtangga petani lapisan atas yang bekerja hanya kepala rumahtangga saja, hal ini dikarenakan bahwa penghasilan dari kepala rumahtangga dirasa sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan rumahtangganya. Pada rumahtangga petani lapisan menengah pemanfaatan modal manusia berada pada posisi sedang dimana terdapat kepala rumahtangga yang menyelesaikan pendidikan sampai tingkat diploma. Selain itu karena pada rumahtangga lapisan menengah banyak yang memiliki anggota rumahtangga pada usia produktif dan mampu bekerja sehingga mengurangi beban tanggungan rumahtangga.
Modal Fisik Pemanfaatan modal fisik diukur dari kepemilikan modal fisik yang berpotensi dijual ketika terjadi krisis. Modal fisik dianggap bisa membantu rumahtangga petani ketika terjadi krisis dengan cara dijual atau di gadaikan. Pemanfaatan modal fisik oleh rumahtangga petani lapisan menengah dan bawah berada pada posisi tinggi dimana kepemilikan modal fisik merupakan kepemilikan terbesar pada masing-maasing lapisan rumahtangga. Sementara itu pada rumahtangga lapisan atas, pemanfaatan modal fisik berada pada posisi sedang karena pada rumahtangga petani lapisan atas, modal fisik bukanlah modal nafkah yang tingkat kepemilikannya paling besar sehingga dianggap modal fisik hanya sebagai modal pendukung ketika modal nafkah yang paling besar telah habis untuk memenuhi kebutuhan rumahtangganya.
Modal Finansial Kepemilikan modal finansial pada rumahtangga petani lapisan menengah dan bawah berada pada posisi sedang. Modal finansial ditentukan oleh besarnya pendapatan suatu rumahtangga. Itu berarti rumahtangga petani lapisan menengah dan bawah tidak bisa memanfaatkan modal finansial pada saat terjadi krisis. Rumahtangga petani lapisan menengah dan bawah memanfaatkan modal nafkah yang paling tinggi yang dimilikinya.
62
Pemanfaatan modal fiansial pada rumahtangga petani lapisan atas menunjukkan pada posisi tinggi. Dimana rumahtangga petani lapisan atas bisa memanfaatkan modal finansial pada saat terjadi krisis dan itu berarti pula bahwa pendapatan rumahtangga petani lapisan atas lebih tinggi dibandingkan dengan lapisan menengah dan lapisan bawah. Seperti diketahui rumahtangga petani lapisan atas selain memiliki pendapatan dari sektor on-farm seperti kedua lapisan lainnya juga memiliki pendapatan dari sektor on-farm yang lumayan tinggi.
Modal Sosial Kepemilikan modal sosial diukur berdasarkan jumlah jaringan, kepercayaan serta keikutsertaan anggota rumahtangga dalam organisasi yang ada di desa. Modal sosial bisa dimanfaatkan oleh rumahtangga petani untuk meminta bantuan pada saat terjadi krisis maupun pasca krisis sehingga rumahtangga petani bisa kembali kepada keadaan seperti semula setelah terjadinya banjir. Pada lapisan menengah dan bawah, pemanfaatan modal sosial berada pada posisi rendah. Alasannya adalah rumahtangga petani lapisan menengah dan bawah tidak memiliki jaringan yang luas terhadap tokoh-tokoh dalam pemerintahan, mereka hanya mengenal baik ustadz dan tokoh agama sebagai representatif tokoh masyarakat serta ketua RT saja. Mengenai tingkat kepercayaan, rumahtangga lapisan menengah dan bawah cenderung kurang mempercayai tokoh dalam pemerintahan bahkan itu masih dalam tingkat desa. Tidak kenal secara pribadi dan dekat menjadi alasan mereka untuk tidak memberikan kepercayaan yang tinggi kepada tokoh-tokoh pemerintahan. Begitupun dengan organisasi, rumahtangga lapisan menengah dan bawah mengaku tidak mengetahui organisasi apa saja yang ada di desa dan tidak memiliki keinginan untuk mencari tahu. Ketika ditanya mengenai ketidakikutsertaannya dalam organisasi, rumahtangga lapisan menengah dan bawah mengungkapkan bahwa hanya orang-orang tertentu saja yang ikut organisasi dan mendapatkan bantuan. Pemanfaatan modal sosial oleh rumahtangga petani lapisan atas berada pada posisi sedang dimana terdapatnya jumlah jaringan, memiliki tingkat kepercayaan serta keikutsertaannya dalam organisasi. Rumahtangga petani lapisan atas memiliki jaringan yang lebih luas dibandingkan dengan lapisan menengah dan bawah. Akan tetapi tidak semua ikut serta menjadi anggota organisasi karena menurut keterangan rumahtangga petani lapisan atas di Desa Tunggilis tidak ada organisasi.
Pemanfaatan Modal Nafkah Rumahtangga Petani di Dusun Sirung Watang Rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang memiliki karakteristik yang berbeda dengan rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi alam yang tidak terkena banjir sehingga membuat rumahtangga petani dapat memanfatkan lahan secara maksimal serta dapat melakukan berbagai macam jenis kegiatan nafkah. Rumahtangga petani di Dusun
63
Sirung Watang dibagi kedalam tiga lapisan berdasarkan jumlah pendapatan yang diterima oleh rumahtangga petani dalam satu tahun. Terdapat perbedaan jumlah pendapatan tiap lapisan antara Dusun Sirung Watang dan Dusun Kedung Palungpung sehingga standar deviasi yang berlaku berdasarkan standar deviasi lokal atau tergantung dusun masing-masing. Berikut adalah pemanfaatan lima modal nafkah rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang yang merupakan daerah tidak terkena banjir.
Lapisan Atas
Lapisan Atas
Lapisan Atas
Alam
Alam
Alam
Sosial
Fiansial
Manusi a Fisik
Manusi a
Sosial
Fiansial
Fisik
Sosial
Fiansial
Manusi a Fisik
Gambar 11 Pemanfaatan modal nafkah rumahtangga petani berdasarkan lapisan ekonomi Dusun Sirung Watang Desa Tunggilis tahun 2015-2016 Berdasarkan Gambar 11 dapat dilihat bahwa sama halnya dengan Dusun Kedung Palungpung, terdapat perbedaan dominasi pemanfaatan modal nafkah antar lapisan ekonomi rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang. Rumahtangga petani lapisan atas dominan memanfaatkan modal finansial untuk membantu rumahtangganya pada saat terjadi krisis. Sementara itu terdapat persamaan pemanfaatan modal nafkah pada rumahtangga petani lapisan atas ini yaitu pemanfaatan modal sosial, modal alam, modal fisik, dan modal manusa berada pada posisi sedang. Rumahtangga petani lapisan menengah dominan memanfaatkan modal alam dan modal finansial dalam kehidupan rumahtangganya sementara itu terdapat tiga persamaan pemanfaatan modal nafkah yaitu modal sosial, modal manusia, dan modal fisik berada pada posisi sedang. Pemanfaatan modal nafkah yang dominan dimanfaatkan oleh rumahtangga petani lapisan bawah adalah pemanfaatan modal alam dan modal fisik. Dimana rumahtangga petani lapisan bawah bisa memanfaatkan kedua modal ini ketika terjadi krisis. Sementara itu modal sosial dan modal finansial pada rumahtangga petani lapisan bawah berada pada posisi rendah.
Modal Alam Modal alam yang dimanfaatkan oleh rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang adalah lahan sawah, lahan kebun, dan lahan tambak. Akan tetapi yang paling dominan dimanfaatkan adalah lahan kebun. Lahan kebun lebih dominan dimanfaatkan karena memiliki penghasilan yang tinggi ketika ditanami pohon
64
kelapa dan di sadap untuk kemudian diolah menjadi gula merah. Harga per kilo gula merah adalah Rp10 ribu dimana dalam satu minggu paling tidak satu rumahtangga petani mampu menghasilkan 60 kilo gula yang siap dijual. Pemanfaatan modal sawah tidak terlalu dominan karena jumlah rumahtangga yang memiliki sawah tidak banyak serta posisi sawah yang berada di bawah tebing bukit menyulitkan rumahtangga petani untuk menggarapnya. Alasan kecilnya pendapatan dari hasil panen sawah juga menjadi alasan rumahtangga petani lebih memilih menyadap pohon kelapa daripada menggarap sawah. Pada rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang, pemanfaatan dominan modal alam dilakukan oleh rumahtangga petani lapisan menengah dan lapisan bawah. Dominasi ini dilihat dari nilai tertinggi antar lapisan rumahtangga. Pemanfaatan ini dilakukan karena rumahtangga petani lapisan menengah dan bawah cenderung tidak memiliki usaha di bidang non-farm seperti membuka warung, menjual pulsa dan lain sebagainya sehingga pemanfaatan modal alam sangatlah tinggi. Rumahtangga petani lapisan menengah dan bawah secara optimal menggantungkan hidupnya kepada hasil dari modal alam.
Modal Manusia Pemanfaatan modal manusia oleh seluruh lapisan rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang sama yaitu berada pada posisi sedang hal itu terjadi karena tingkat pendidikan rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung hampir sama yaitu lulus SD dan SMP. Selain itu faktor jumlah anggota rumahtangga yang bekerja juga mempengaruhi pemanfaatan modal manusia dan pada rumahtangga petani Dusun Sirung Watang seluruh isteri bekerja melebihi setengah dari total responden. Akan tetapi modal manusia tidak dapat sepenuhnya dimanfaatkan oleh rumahtangga petani ketika terjadi krisis karena terdapat modal nafkah lain yang paling dominan pemanfaatannya pada masing-masing kelas ekonomi rumahtangga petani. Sehingga modal manusia hanya sebagai modal pendorong aja.
Modal Fisik Sama halnya dengan kriteria modal fisik dengan Dusun Kedung Palungpung, modal fisik dihitung berdasarkan jumlah kepemilikan benda fisik yang mendukung rumahtangga petani ketika terjadi krisis. Mendukung dalam artian bahwa ketika rumahtangga mengalami krisis maka benda fisik tersebut dapat dijual atau digadaikan. Pemanfaatan benda fisik dipengaruhi oleh kepemilikan modal fisik. Pemanfaatan modal fisik oleh rumahtangga petani secara dominan dilakukan oleh rumahtangga petani lapisan bawah dimana pada rumahtangga petani lapisan bawah modal fisik dimanfaatkan secara optimal pada saat terjadi krisis.
65
Modal Finansial Pemanfatan modal finansial dipengaruhi oleh tingkat pendapatan serta besar tabungan yang dimiliki baik tabungan tunai maupun tabungan dalam bentuk emas dan ternak. Pada rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang, pemanfaatan modal finansial secara dominan dilakukan oleh rumahtangga lapisan atas dan menengah dimana kedua lapisan tersebut yang memiliki pendapatan lebih besar dibandingkan dengan rumahtangga petani lapisan bawah. Jumlah modal finansial antara rumahtangga petani lapisan atas dan menengah tidaklah sama. Dimana rumahtangga petani lapisan atas memiliki modal finansial yang sangat tinggi. Bagi kedua lapisan rumahtangga petani tersebut, modal finansial dapat dimanfaatkan ketika terjadi krisis melanda dan mampu menolong rumahtangga petani untuk kembali kepada keadaan semula sebelum terjadinya krisis.
Modal Sosial Pemanfaatan modal sosial diukur berdasarkan jumlah jaringan, tingkat kepercayaan, serta keikutsertan dalam organisasi yang ada. Rumahtangga lapisan atas dan menengah adalah lapisan rumahtangga yang memanfaatkan modal sosial secara dominan. Dimana rumahtangga petani lapisan atas dan menengah memiliki banyak jaringan dari mulai tokoh lokal sampai dengan tokoh pemerintahan. Kemudian rumahtangga petani lapisan atas dan menengah juga memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap masyarakat sekitar, tokoh masyarakat sampai tokoh pemerintahan, hanya saja ketiadaan organisasi menyebabkan kedua lapisan rumahtangga tersebut tidak tergabung dalam organisasi. Rumahtangga petani memanfaatkan modal sosial dengan tidak optimal hal ini terbukti dengan pemanfaatan modal sosial oleh rumahtangga petani lapisan bawah berada pada posisi rendah. Rumahtangga petani lapisan bawah hanya memiliki sedikit jaringan, oleh karena itu tingkat kepercayaan yang dimilikipun rendah karena alasan tidak kenal.
Analisis Modal Nafkah di Dua Dusun Pemanfaatan modal nafkah oleh rumahtangga petani di kedua dusun sangat menentukan keberlangsungan hidup rumahtangga petani tersebut. Pemanfaatan modal nafkah ini akan membantu rumahtangga petani di kedua dusun pada saat mengalami masa sulit. Secara umum, masa sulit yang dihadapi oleh rumahtangga petani adalah krisis karena akibat adanya gangguan dari luar. Rumahtangga petani di kedua dusun memiliki perbedaan dalam memanfaatkan modal nafkah tersebut. Uraian perbedaan penggunaan modal nafkah oleh rumahtangga petani adalah sebagai berikut.
66
Pemanfaatan Modal Nafkah Rumahtangga Petani Dusun Kedung Palungpung
Pemanfaatan Modal Nafkah Rumahtangga Petani Dusun Sirung Watang
Alam
Alam
Sosial
Fiansial
Manusia
Fisik
Sosial
Fiansial
Manusia
Fisik
Gambar 12 Pemanfaatan modal nafkah rumahtangga petani di dua dusun studi Desa Tunggilis tahun 2015-2106 Berdasarkan Gambar 12 diketahui bahwa di masing-masing dusun terdapat dua modal nafkah yang dominan dimanfaatkan oleh rumahtangga petani. Di Dusun Kedung Palungpung dua modal yang dominan dimanfaatkan oleh rumahtangga petani adalah modal finansial dan fisik. Modal finansial adalah jumlah pendapatan yang dimiliki oleh rumahtangga petani dijumlahkan dengan tabungan baik tabungan tunai, tabungan dalam bentuk emas serta tabungan ternak. Sementara itu modal fisik yang juga dimanfaatkan secara dominan oleh rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung merupakan kepemilikan atas benda fisik yang jika rumahtangga petani dalam keadaan krisis maka benda fisik tersebut dapat dimanfaatkan dengan cara dijual maupun di gadaikan. Pemanfaatan modal nafkah yang dominan di Dusun Sirung Watang adalah pemanfaatan modal alam dan modal finansial. Modal alam dimanfaatkan oleh rumahtangga petani Dusun Sirung Watang dengan cara ditanami pohon kelapa dan kemudian disadap untuk diolah menjadi gula merah. Sejauh ini rumahtangga petani Dusun Sirung Watang menggantungkan hidupnya dari menyadap pohon kelapa. Selain modal alam, modal finansial juga dimanfaatkan secara optimal oleh rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang. Hal ini karena tingkat pendapatan rumahtangga petani Dusun Sirung Watang memiliki rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan Dusun Kedung Palungpung. Selain pendapatan, kepemilikan tabungan juga mempengaruhi pemanfaatan modal finansial bagi rumahtangga petani Dusun Sirung Watang. Ada persamaan pemanfaatan modal dominan di kedua dusun yaitu sama-sama memanfaatkan modal finansial secara dominan. Berikut saya sajikan tabel yang menggambarkan indikator pemanfaatan modal nafkah di kedua dusun.
67
Tabel 13 Jumlah dan persentase rumahtangga petani di kedua dusun studi Desa Tunggilis berdasarkan keikutsertaan dalam kelompok tahun 2015-2016 Banyaknya kelompok
Dusun Kedung Palungpung n %
Dusun Sirung Watang n %
Total n
%
0 1 2 3 ≥4
14 9 4 2 1
46.7 30.0 13.3 6.7 3.3
5 5 19 1 0
16.7 16.7 63.3 3.3 0.0
19 14 23 3 1
31.7 23.3 38.3 5.0 1.7
Total
30
100.0
30
100.0
60
100.0
Berdasarkan Tabel 13 diketahui bahwa jumlah terbanyak rumahtangga petani di Dusun Kedung tidak mengikuti kelompok apa-apa. Alasannya adalah bahwa di Desa Tunggilis tidak ada kelompok atau organisasi yang disosialisasikan kepada masyarakat sehingga mereka tidak tergabung kedalamnya. Rumahtangga petani yang tidak tergabung kedalam kelompok adalah sebagian besar adalah rumahtangga petani lapisan bawah dimana jaringan yang dimilikinya tidaklah banyak sehingga menyebabkan ketidak tahuan terhadap kelompok yang ada pada tingkat dusun maupun tingkat desa. Selain itu, rumahtangga petani selalu menganggap bahwa kelompok atau organisasi yang ada hanya diperuntukkan untuk lapisan menengah ke atas. Dari hal tersebut diketahui bahwa rumahtangga petani tidak memiliki rasa cukup percaya diri untuk tergabung kedalam kelompok. Jumlah terbanyak kedua adalah rumahtangga petani yang mengkuti satu kelompok. Kelompok yang dimaksud adalah kelompok pengajian baik tingkat dusun maupun tingkat desa. Tercatat sembilan rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung yang mengikuti kelompok pengajian yang diadakan di tingkat dusun maupun tingkat desa. Kelompok pengajian tersebut adalah kelompok yang ada di masyarakat yang ada dari mulai tingkat RT dan terbuka bagi siapa saja yang ingin bergabung kedalam kelompok pengajian baik untuk menjadi anggota pengajian maupun untuk menjadi pengurus. Terdapat satu rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung yang mengikuti lebih dari empat kelompok. Biasanya rumahtangga seperti ini adalah rumahtangga petani yang memiliki kepala rumahtangga yang aktif dan memiliki jaringan luas seperti kepala rumahtangga petani yang juga seorang perangkat desa. Selain itu rumahtangga seperti ini adalah rumahtangga yang memiliki anak usia remaja dan tergabung kedalam kelompok pemuda di Desa Tunggilis. Keikutsertaan rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang memiliki perbedaan dengan rumahtangga di Dusun Kedung Palungpung. Jumlah kelompok yang paling banyak diikuti oleh rumahtangga petani adalah sebanyak dua kelompok. Dimana biasanya kelompok tersebut adalah kelompok pengajian serta kelompok petani gula merah. Dusun Sirung Watang memiliki kelompok petani gula merah yang didirikan secara inisiatif oleh kepala dusun dan bersifat kekeluargaan.
68
Tujuan diadakannya kelompok ini adalah untuk memudahkan bagi petani gula merah untuk mengatasi masalah yang mereka hadapi khususnya masalah yang berkaitan dengan gula merah. Tabel 14 Jumlah dan persentase rumahtangga petani di kedua dusun studi Desa Tunggilis berdasarkan kepemilikan modal sosial tahun 2015-2016 Kepemilikan Modal Sosial
Dusun Kedung Palungpung n %
Dusun Sirung Watang n %
Total n
%
Rendah Sedang Tinggi
0 4 26
0.0 13.3 86.7
0 4 26
0.0 33.3 86.7
0 8 52
0.0 13.3 86.7
Total
30
100.0
30
100.0
60
100.0
Berdasarkan Tabel 14 diketahui bahwa tingkat modal sosial yang dimiliki oleh rumahtangga petani di kedua dusun sama yaitu sebanyak 26 rumahtangga petani di masing-masing dusun memiliki tingkat modal sosial yang tinggi. Sementara itu sebanyak empat rumahtangga petani di masing-masing dusun memiliki tingkat modal sosial sedang, serta tidak ada tumahtangga petani di kedua dusun yang memiliki tingkat modal sosial rendah. Modal sosial ini sering dimanfaatkan oleh rumahtangga petani ketika terjadi krisis seperti untuk meminjam uang atau meminta bantuan yang lainnya. Meminta bantuan pada saat krisis biasanya paling banyak adalah kepada tetangga terdekat dengan rumah, warung terdekat rumah, kerabat dekat, dan kepada orang tua dari rumahtangga petani tersebut. Tabel 15 Jumlah dan persentase rumahtangga petani di kedua dusun studi Desa Tunggilis berdasarkan kepemilikan modal alam tahun 2015-2016 Kepemilikan Modal Alam Sempit Sedang Luas Total
Dusun Kedung Palungpung
Dusun Sirung Watang
Total
n
%
n
%
N
%
10 16 4
33.3 53.3 13.3
10 14 6
33.3 46.7 20.0
20 30 10
33,3 50,0 16.7
30.0
100.0
30
100.0
60
100.0
Dari Tabel 15 diketahui bahwa kepemilikan modal alam rumahtangga petani di kedua dusun penelitian memiliki jumlah yang sama untuk kepemilikan tingkat modal alam sempit yaitu sebanyak 10 rumahtangga petani. Sebanyak 16 rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung memiliki tingkat modal alam sedang sementara itu sebanyak 14 rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang
69
yang memiliki tingkat modal alam sedang. Perbedaan jumlah rumahtangga petani lainnya terlihat dari jumlah rumahtangga petani yang memiliki tingkat modal alam tinggi, yaitu sebanyak empat rumahtangga petani Dusun Kedung Palungpung yang memiliki modal alam luas. Sementara itu, jumlah rumahtangga petani Dusun Sirung Watang yang memiliki modal alam luas lebih banyak yaitu sebanyak enam rumahtangga. Perbedaan selanjutnya adalah perbedaan dari segi pemanfaatan modal alam. Jika pada rumahtangga petani Dusun Sirung Watang memanfaatkan modal alam secara optimal karena tidak adanya gangguan, maka rumahtangga petani Dusun Kedung Palungpung tidak bisa memanfaatkan modal alam secara optimal karena adanya gangguan berupa banjir sehingga terhambat untuk memanfaatkan modal alam yang dimiliki secara optimal. Pemanfaatan lahan kebun juga terhambat oleh jarak, akses, serta gangguan babi hutan. Tabel 16 Jumlah dan persentase rumahtangga petani di kedua dusun studi Desa Tunggilis berdasarkan kepemilikan modal finansial tahun 2015-2016 Kepemilikan Modal Finansial Rendah Sedang Tinggi Total
Dusun Kedung Palungpung n %
Dusun Sirung Watang n %
Total n
%
22 5 3
73.3 16.7 10.0
9 18 3
30.0 60.0 10.0
31 23 6
51.7 38.3 10.0
30.0
100.0
30
100.0
60
100.0
Tingkat modal finansial yang dimiliki oleh rumahtangga petani di kedua dusun berbeda. Pada nilai kongkri nominalnya, tingkat modal finansial semua lapisan rumahtangga petani Dusun Sirung Watang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan nilai kongkrit nominal tingkat modal finansial semua lapisan rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung. Dilihat dari Tabel 16, sebanyak 22 rumahtangga petani Dusun Kedung Palungpung memiliki tingkat modal finansial rendah, sementara itu hanya sebanyak sembilan rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang yang memiliki tingkat modal finansial rendah. Tercatat sebanyak 18 rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang memiliki tingkat modal finansial sedang, sementara jauh dibawah jumlah rumahtangga petani Dusun Sirung Watang, hanya sebanyak lima rumahtangga petani Dusun Kedung Palungpung yang memiliki tingkat modal finansial sedang. Rumahtangga petani di kedua dusun yang memiliki tingkat modal finansial tinggi sama-sama sebanyak tiga rumahtangga.
70
Tabel 17 Jumlah dan persentase rumahtangga petani di kedua dusun studi Desa Tunggilis berdasarkan kepemilikan modal fisik tahun 2015-2016 Kepemilikan Modal Fisik
Dusun Kedung Palungpung n %
Dusun Sirung Watang n %
Total n
%
Rendah Sedang Tinggi
1 27 2
3.3 90.0 6.7
10 20 0
33.3 66.7 0.0
11 47 2
18.3 78.4 3.3
Total
30
100.0
30
100.0
60
100.0
Kepemilikan modal fisik rumahtangga petani di kedua dusun sama-sama disominasi oleh tingkat sedang. Sebanyak 27 rumahtangga petani Dusun Kedung Palungpung memiliki tingkat modal fisik sedang, sementara itu sebanyak 20 rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang memiliki tingkat modal fisik yang sedang. Dari Tabel 17 dapat diketahui bahwa hanya sebanyak satu rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung yang memiliki tingkat modal fisik rendah, sedangkan di Dusun Sirung Watang terdapat 10 rumahtangga yang memiliki tingkat modal fisik rendah. Jika dibandingkan untuk kepemilikan modal fisik, rumahtangga petani Dusun Kedung Palungpung lebih tinggi dibandingkan dengan rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang yang memiliki tingkat modal fisik tinggi, sementara terdapat dua rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung yang memiliki tingkat modal fisik tinggi.
Ikhtisar Pemanfaatan lima modal nafkah di kedua dusun memiliki berbagai variasi. Variasi tersebut dipengaruhi oleh lapisan ekonomi rumahtangga petani di kedua dusun. Di Dusun Kedung Palungpung, pemanfaatan modal fisik lebih dominan hal ini dapat dilihat bahwa modal fisik dimanfaatkan secara dominan oleh rumahtangga lapisan menengah dan rumahtangga lapisan bawah. Sementara itu rumahtangga lapisan atas lebih dominan memanfaatkan modal finansial. Pemanfaatan modal nafkah di Dusun Sirung Watang didominasi oleh pemanfaatan modal finansial, modal alam, serta modal fisik. Dimana modal finansia dimanfaatkan secara dominan oleh rumahtangga petani lapisan atas. Sementara itu rumahtangga petani lapisan menengah memanfaatkan secara dominan modal finansial dan modal alam. Rumahtangga petani lapisan bawah memanfaatkan secara dominan modal fisik dan juga modal alam. Rata- rata pemanfaatan modal nafkah di kedua dusun adalah kedua dusun tersebut sama-sama memiliki dua modal nafkah yang dominan dimanfaatkan. Dusun Kedung Palungpung dominan memanfaatkan modal finansial dan modal fisik.
71
Sementara itu Rumahtangga petani Dusun Sirung Watang lebih dominan memanfaatkan modal finansial dan modal alam.
STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI DI DUA DUSUN Metode Perhitungan Strategi Nafkah Strategi nafkah merupakan kegiatan yang dilakukan rumahtangga petani untuk dapat bertahan hidup dalam keadaan normal maupun saat terjadi krisis. Strategi nafkah yang disajikan adalah strategi nafkah selain menggarap sawah. Terdapat beberapa jenis strategi nafkah yang dilakukan rumahtangga petani di kedua dusun. Strategi tersebut memiliki kecenderungan yang berbeda dari setiap individu. Metode penghitungan strategi nafkah dilihat berdasarkan jumlah individu yang melakukannya. Sehingga hasilnya memungkinkan dalam satu rumahtangga terdiri dari beberapa individu yang melakukan jenis strategi yang sama. Metode selanjutnya adalah mengurutkan jenis strategi nafkah mulai dari yang paling banyak dilakukan hingga paling sedikit dilakukan.
Strategi Nafkah Rumahtangga Petani di Dusun Kedung Palungpung Terdapat beberapa jenis strategi nafkah rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung. Strategi nafkah tersebut dilakukan dalam keadaan normal maupun dalam keadaan krisis. Berikut adalah jenis-jenis strategi nafkah yang dilakukan oleh rumahtangga petani Dusun Kedung Palungpung.
Jumlah Rumahtangga
Jumlah Rumahtangga Pengguna Strategi Nafkah Dusun Kedung Palungpung, Desa Tunggilis 30 25 20 15 10 5 0 Meminjam
Buruh Bangunan
Migrasi
Berkebun
Beternak
Membuat Batu Bata
Strategi Nafkah
Gambar 13 Jumlah rumahtangga petani berdasarkan strategi nafkah Dusun Kedung Palungpung Desa Tunggilis tahun 2015-2016 Berdasarkan Gambar 13 diketahui bahwa di Dusun Kedung Palungpung terdapat enam strategi nafkah yang dilakukan oleh rumahtangga petani. Strategi meminjam adalah strategi yang sering dilakukan oleh rumahtangga petani sementara itu membuat batu bata adalah strategi yang paling sedikit dilakukan. Meminjam paling sering dilakukan karena dianggap paling mudah karena hanya
74
meminjam dengan skala kecil sehingga bisa dilakukan kepada tetangga maupun kerabat terdekat.
Meminjam Memanfaatkan modal sosial untuk meminjam pada saat terjadi krisis adalah strategi yang paling sering dilakukan oleh rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung. Tercatat sebanyak 27 dari 30 responden rumahtangga petani melakukan strategi meminjam. Rumahtangga petani tidak meminjam dalam skala besar sehingga tidak perlu pergi ke bank untuk melakukan peminjaman. Meminjam hanya dilakukan pada saat terjadi krisis sementara kelangsungan hidup harus dipertahankan. Meminjam biasa dilakukan kepada kerabat atau orang tua untuk jumah yang lebih besar, sementara untuk peminjaman dalam skala kecil untuk kebutuhan pokok sehari-hari biasanya dilakukan kepada tetangga dan warung terdekat. Peminjaman kepada warung disebut juga dengan berhutang. Berhutang kepada warung terdekat mudah dilakukan dengan memanfaatkan modal sosial karena memiliki hubungan dekat dan telah tinggal dalam satu lingkup daerah sama untuk waktu yang tidak sebentar. Rumahtangga petani segan untuk meminjam uang ke bank karena proses yang dinilai rumit dan memakan waktu serta biaya, serta diharuskan adanya jaminan sebagai syarat utama membuat rumahtangga petani berpikir panjang untuk meminjam ke bank. Takut tidak terbayar yang kemudian berlanjut dengan penyitaan jaminan menjadi ketakutan terbesar rumahtangga petani terutama lapisan bawah untuk melakukan peminjaman ke bank.
Buruh Bangunan Tercatat sebanyak 17 rumahtangga melakukan pekerjaan menjadi buruh bangunan disamping menggarap sawah. Menjadi buruh bangunan tidak hanya dilakukan di kota-kota besar aja tetapi juga dilakukan di sekitar tempat tinggal seperti menjadi buruh bangunan dalam pembangunan hotel-hotel di daerah wisata Pantai Pangandaran maupun menjadi buruh bangunan dalam pembangunan rumah di daerah sekitar. Strategi dengan menjadi buruh bangunan merupakan strategi kedua yang sering dilakukan karena rata-rata kemampuan rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung selain menggarap sawah adalah menjadi buruh bangunan. Bagi rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung menjadi buruh tani adalah pekerjaan yang menjanjikan karena bayaran yang tinggi serta tidak perlu memiliki dana besar untuk modal dibandingkan dengan menggarap sawah yang memiliki peluang besar untuk rugi. Terdapat perbedaan upah antara menjadi buruh bangunan di sekitar tempat tinggal dengan di kota besar sehingga sebagian besar rumahtangga petani memilih untuk menjadi buruh bangunan di kota besar.
75
Migrasi Migrasi adalah strategi ketiga yang banyak dilakukan oleh rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung. Sebanyak 15 rumahtangga petani dari total 30 responden memilih untuk melakukan migrasi ketika terjadi krisis. Migrasi dilakukan ke luar kota diantaranya Jakarta, Bandung, Tangerang, Jogjakarta, serta Semarang. Jenis pekerjaan yang dilakukan ditempat migrasi bermacam-macam seperti menjdi buruh bangunan, bekerja di konveksi, menjdi kondektur bis kota, bekerja di bengkel, dan lain sebagainya. Akan tetapi jenis pekerjaan yang paling sering dilakukan adalah menjadi buruh bangunan. Rumahtangga petani memilih untuk bermigrasi dan bekerja di kota lain adalah karena upah yang tinggi mengingat Upah Minimum Regional (UMR) yang juga lebih tinggi di kota. Lama waktu yang migrasi bagi rumahtangga petani berbeda-beda tergantung jenis pekerjaan yang dilakukan. Untuk buruh bangunan, waktu migrasi adalah sekitar tiga bulan. Dalam setiap tiga bulan mereka akan pulang ke rumah dan tinggal selama beberapa hari untuk kemudian kembali lagi ke kota. Upah menjadi buruh bangunan dihitung berdasarkan jumlah kehadiran bekerja sehingga tidak ada batasan untuk berapa hari bekerja dan berapa hari tidak masuk kerja. Berbeda dengan pekerjaan lain yang memiliki ketentuan jumlah jam dan hari kerja.
Berkebun Berkebun umumnya dilakukan oleh rumahtangga petani yang memiliki kebun selain menggarap sawah. Akan tetapi tidak banyak rumahtangga petani yang melakukan strategi ini dikarenakan beberapa gangguan serta pendapatan yang dinilai tidak begitu tinggi bila dibandingkan menggeluti pekerjaan pada sektor nonfarm. Hanya terdapat 10 rumahtangga yang melakukan kegiatan berkebun, biasanya dari mereka adalah yang menanami kebun mereka dengan pohon berukuran besar serta yang dapat dipanen secara musiman. Beberapa rumahtangga petani Dusun Kedung Palungpung memiliki kebun di luar daerah luar tempat tinggal seperti di daerah Patimuan, Provinsi Jawa Tengah. Memiliki kebun di daerah tersebut tidak memiliki gangguan yang serius hanya saja jarak dari rumah menuju lokasi kebun yang harus ditempuh sedikit lebih lama. Biasanya yang memiliki kebun tersebar adalah rumahtangga petani lapisan atas dimana mereka mendapatkan warisan dari orang tua atau memiliki modal yang cukup untuk membeli sendiri.
Beternak Beternak juga umum dilakukan oleh rumahtangga petani Dusun Kedung Palungpung. Ternak dijadikan sebagai tabungan yang sewaktu-waktu bisa dijual
76
ketika krisis terjadi. Jenis hewan ternak bermacam-macam, akan tetapi jenis hewan yang diternak oleh rumahtangga petani Dusun Kedung Palungpung adalah kambing, domba, serta ayam. Tidak semua jenis hewan ternak memiliki harga yang sama. Harga kambing dan domba ditentukan oleh jenis, ukuran, serta bobot dari hewan tersebut. Harga domba dan kambing di Dusun Kedung Palungpung berkisar antara Rp1 juta sampai dengan Rp3 juta untuk setiap ekornya. Begitupun dengan harga ayam, ayam jantan akan lebih mahal dibandingkan dengan harga ayam betina. Ukuran serta usia juga menentukan harga ayam karena untuk ayam berusia tua akan alot ketika dimakan sehingga memiliki nilai jual yang rendah. Harga ayam di Dusun Kedung Palungpung berkisar antara Rp25 ribu sampai dengan Rp100 ribu untuk setiap ekornya.
Membuat batu bata Membuat batu bata adalah strategi yang paling sedikit dilakukan oleh rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung. Hanya dua rumahtangga yang melakukan strategi membuat batu bata, karena modal untuk membuat batu bata cukup banyak sehingga dilakukan oleh rumatangga petani lapisan atas. Membuat batu dilakukan oleh rumahtangga petani itu sendiri, mereka tidak memiliki pegawai karena akan menambah biaya pembuatan batu bata. Satu buah batu bata dijual dengan harga Rp3 ribu dan dalam satu bulan ratarata rumahtangga petani mampu membuat batu bata 500 sampai seribu buah. Penjualan batu bata itu sendiri dilakukan hanya di sekitar tempat tinggal dan lingkup Kabupaten Pangandaran, rumahtangga petani belum bisa untuk menjual sampai ke luar daerah karena dirasa usahanya masih terhitung kecil.
Strategi Nafkah Rumahtangga Petani di Dusun Sirung Watang Sama halnya dengan Dusun Kedung Palungpung, rumahtangga petani di Dusun Sirung Watangpun melakukan berbagai strategi nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Strategi dilakukan baik pada saat keadaan normal maupun pada saat keadaan krisis. Berikut adalah bentuk strategi nafkah yang dilakukan oleh rumahtangga petani Dusun Sirung Watang.
77
Jumlah Rumahtangga
Jumlah Rumahtangga Pengguna Strategi Nafkah Dusun Sirung Watang, Desa Tunggilis 35 30 25 20 15 10 5 0
Strategi Nafkah
Gambar 14 Jumlah rumahtangga petani berdasarkan startegi nafkah di Dusun Sirung Watang Desa Tunggilis tahun 2015-2016 Dari Gambar 14 diketahui bahwa terdapat sembilan strategi nafkah yang dilakukan rumahtangga petani lebih banyak dibandingkan dengan jumlah strategi nafkah yang dilakukan oleh rumahtangga petani Dusun Kedung Palungpung. Strategi berkebun adalah strategi yang paling sering dilakukan dan menjual pulsa serta usaha penyewaan mobil adalah startegi yang paling sedikit dilakukan.
Berkebun Berkebun adalah strategi andalan yang dilakukan oleh rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang, dimana strategi ini adalah strategi yang paling sering dilakukan. Sebanyak 29 rumahtangga petani melakukan kegiatan berkebun, mayoritas kegiatan berkebun adalah menanam pohon kelapa dan kemudian menyadapnya untuk diolah menjadi gula merah. Rumahtangga petani Dusun Sirung Watang mengoptimalkan lahan kebun untuk memenuhi kebutuhan hidupnya karena pendapatan dari hasil mengelola kebun sangat tinggi. Tidak hanya menanam pohon kelapa, rumahtangga petani Dusun Sirung Watang juga memanfaatkan lahan kebunnya untuk ditanami tanaman-tanaman rempah-rempah, buah-buahan, serta sayur. Akan tetapi untuk menanam tanaman rempah-rempah, buah, serta sayur, rumahtangga petani hanya memanfaatkan lahan yang dekat dengan rumah seperti pekarangan dan lahan belakang rumah. Mereka tidak berani menanam di lahan yang sedikit jauh karena ancaman babi hutan yang selalu merusak tanaman mereka. Meminjam Meminjam adalah jenis strategi kedua yang paling sering dilakukan oleh rumahtangga petani Dusun Sirung Watang. Seperti rumahtangga petani di Dusun
78
Kedung Palungpung meminjampun dilakukan kepada tetangga, kerabat, serta orang tua. Meminjam dalam skala kecil dan hanya untuk kebutuhan pokok rumahtangganya pada saat krisis. Selain meminjam kepada tetangga, kerabat serta orang tua, rumahtangga petani Dusun Sirung Watang memanfaatkan modal sosial yang dimiliki yaitu keikutsertaannya dalam sebuah kelompok terutama kelompok pengajian. Dalam kelompok pengajian diadakan kencleng atau infaq pada setiap pertemuan. Dana yang terkumpul digunakan untuk kepentingan bersama seperti untuk dana sumbangan kemalangan, serta dana kegiatan bersama seperti memperingati maulid nabi serta kegiatan Isra Mi’raj. Selain itu, dana yang terkumpul juga bisa dipinjam oleh anggota kelompok jika membutuhkan dna dikembalikan tanpa bunga. Hal ini memberi keringaan tersendiri bagi rumahtangga petani yang memerlukan dana mendesak.
Beternak Beternak merupakan strategi yang dilakukan oleh sebanyak 24 rumahtangga petani di Dusun Sirug Watang. Jenis hewan yang diternak adalah sapi, kambing, domba, serta ayam, akan tetapi ayam jarang diternak dalam jumlah banyak karena sering dimakan oleh babi hutan terutama pada malam hari. Kandang domba, kambing, dan sapi pun dibuat dekat dengan rumah dan dengan bangunan yang kokoh agar terhindar dari ancaman babi hutan. Rumahtangga petani melakukan kegiatan beternak karena hewan ternak sewaktu-waktu bisa dijual pada saat terjadi krisis. Harga hewan ternak di Dusun Sirung Watang adalah Rp5 juta sampai dengan Rp11 juta untuk harga satu ekor sapi, Rp800 ribu sampai dengan Rp2 juta untuk satu ekor kambing dan domba, serta Rp15 ribu sampai dengan Rp50 ribu untuk harga satu ekor ayam. harga hewan ternak di Dusun Sirung Watang lebih murah bila dibandingkan harga hewan ternak di Dusun Kedung Palungpung.
Buruh Bangunan Strategi menjadi buruh bangunan dilakukan oleh sembilan rumahtangga petani Dusun Sirung Watang. Jumlah tersebut tidak sebanyak rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung mengingat rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang lebih mengandalkan pemanfaatan lahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Menjadi buruh bangunan dilakukan hanya pada saat-saat tertentu saja yaitu pada saat adanya pembangunan rumah disekitar dusun maupun wilayah desa. Minat rumahtangga petani terhadap buruh bangunan kurang karena menilai bahwa pendapatan menjadi buruh bangunan lebih sedikit dibandingkan dengan kegiatan bertani. Menjadi buruh bangunan bagi rumahtangga petani Dusun Sirung Watang hanya sebagai selingan ketika memang ada peluang.
79
Migrasi Memiliki pendapatan tinggi dari hasil bertani tidak serta merta membuat rumahtangga petani Dusun Sirung Watang tidak melakukan migrasi. Strategi migrasi dilakukan oleh tujuh rumahtangga petani Dusun Sirung Watang pada saat musim kemarau tiba. Migrasi dilakukan melalui bantuan dari seseorang yang dipanggil mandor. Pekerjaan yang dilakukan di tempat migrasi adalah menjadi buruh bangunan, karena hanya keterampilan tersebut yang mereka miliki. Migrasi dilakukan oleh rumahtangga petani yang memiliki sedikit lahan sehingga pada saat musim kemarau tiba, jumlah hasil menyadap sedikit dan gula yang dihasilkanpun sedikit. Migrasi yang dilakukan tidak selama rumahtangga petani Dusun Kedung Palungpung, rumahtangga petani Dusun Sirung Watang bermigrasi sekitar satu sampai dengan dua bulan saja. Rumahtangga petani mengaku pendapatan dari hasil migrasi tidak seimbang dengan pekerjaan yang dilakukan sehingga migrasi tidak rutin dilakukan.
Membuka Warung Membuka warung merupakan strategi yang menguntungkan bagi rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang karena jumlah warung yang tersedia sedikit sehingga setiap hari selalu ada pelanggan yang datang untuk membeli berbagai kebutuhan. Masyarakat Dusun Sirung Watang enggan untuk pergi ke pasar yang berada dekat dengan kantor Desa Tunggilis dikarenakan jarak yang jauh serta akses yang tidak nyaman untuk dilalui. Tercatat sebanyak tiga rumahtangga petani yang memiliki usaha warung. Warung yang dimiliki menyatu dengan bangunan rumah, mereka menyediakan satu ruangan rumahnya untuk dijadikan warung. Barang yang dijual terbilang cukup lengkap untuk ukuran warung kecil dari mulai bumbu dapur sampai dengan sendal serta mainan anak-anak. Pendapatan kotor rata-rata dari membuka warung adalah sebesar Rp300 ribu sampai dengan Rp400 ribu setiap harinya.
Membuat Sapu Lidi Strategi yang dilakukan selanjutnya oleh rumahtangga petani Dusun Sirung Watang adalah membuat sapu lidi. Sapu lidi dijual dengan harga Rp300 untuk satu buah sapu lidi, dan dalam satu minggu mereka mampu membuat 20 hingga 25 buah sapu lidi. Rumahtangga petani yang melakukan strategi ini adalah rumahtangga yang memiliki anggota rumahtangga yang sudah lansia atau yang memiliki penyakit berat sehingga tidak mampu melakukan pekerjaan yang berat. Sapu lidi yang dibuat nantinya akan diambil oleh seorang tengkulak sapu lidi setiap sekali dalam satu bulan. Sapu yang dikumpulkan oleh tengkulak nantinya akan dijual ke kota untuk bahan baku pembuatan tripleks atau kayu tipis. Membuat
80
sapu lidi tidak dijadikan sebagai strategi utama karena pendapatan yang sangat rendah bila dibandingkan dengan strategi nafkah yang lainnya.
Menjual Pulsa Menjual pulsa merupakan startegi yang dilakukan oleh satu rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang. Menjual pulsa merupakan usaha tambahan untuk menambah penghasilan bagi rumahtangganya. Di Dusun Sirung Watang permintaan akan pulsa tinggi akan tetapi ketersediannya sangat rendah. Menjual pulsa dilakukan untuk memudahkan masyarakat ketika hendak membeli pulsa tanpa harus pergi jauh untuk membeli pulsa sampai ke wilayah jalan raya Desa Tunggilis. Menjual pulsa memberikan keuntungan dikarenakan masih belum adanya saingan penjual pulsa yang lain. Agen pulsa yang diajak untuk bekerjasama adalah counter pulsa yang berada dekat pasar Desa Tunggilis. Rumahtangga petani yang menjual pulsa akan pergi setiap bulan untuk mengisi saldo serta setor uang hasil penjualan pulsa.
Sewa Mobil Usaha sewa mobil dilakukan oleh satu rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang. Mobil tersebut disewakan kepada siapa saja msyarakat Dusun Sirung Watang. Jenis mobil yang disewakan adalah mobil bak terbuka sehingga cocok digunakan untuk mengangkut barang dalam jumlah banyak. Pendapatan dari menyewakan mobil adalah Rp300 ribu untuk 24 jam. Hasil tersebut dapat membantu untuk memenuhi kebutuhan rumahtangganya. Usaha penyewaan mobil tersebut terbilang cukup menguntungkan karena di Dusun Sirung Watang masih sedikit yang memiliki mobil dan hanya rumahtangga tersebut yang menyewakan mobilnya kepada orang lain. Pelanggannya sangat variatif dimana dari mulai masyarakat biasa yang hendak bepergian sampai dengan tengkulak-tengkulak yang ingin menjual barang yang telah dibeli dari petani Sirung Watang.
Ikhtisar Stretagi nafkah adalah jenis pekerjaan yang dilakukan oleh rumahtangga petani selain menggarap sawah. Di Dusun Kedung Palungpung terdapat enam jenis startegi nafkah yang dilakukan oleh rumahtangga petani yaitu meminjam, buruh bangunan, migrasi, berkebun, beternak, dan membuat batu bata. Meminjam adalah strategi yang paling banyak dilakukan oleh rumahtangga petani. Sebanyak 27
81
rumahtangga melakukan peminjaman pada saat krisis. Membuat batu bata adalah strategi yang paling sedikit dilakukan oleh rumahtangga petani karena membutuhkan modal yang cukup banyak, di Dusun Kedung PalungpungMembuat batu dilakukan oleh rumahtangga petani lapisan atas saja. Berbeda dengan Dusun Kedung Palungpung, di Dusun Sirung Watang terdapat sembilan jenis strategi nafkah yang dilakukan oleh rumahtangga petani yaitu berkebun, meminjam, beternak, buruh bangunan, migrasi, membuka warung, membuat sapu lidi, menjual pulsa, dan penyewaan mobil. Strategi berkebun lebih banyak dilakukan oleh rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang oleh karena itu rumahtangga petani di dusun tersebut memanfaatkan lahan kebun secara optimal. Sementara itu, strategi yang paling sedikit dilakukan adalah menjual pulsa dan penyewaan mobil. Ragam startegi nafkah berbeda setiap dusun, di Dusun Kedung Palungpung yang merupakan daerah banjir, jenis strategi nafkah lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan Dusun Sirung Watang yang merupakan daerah bebas banjir. Di Dusun Kedung Palungpung rumahtangga petani lebih mengandalkan pendapatan dari sektor non-farm sementara rumahtangga petani Dusun Sirung Watang mengandalkan sektor on-farm. Rumahtangga petani di kedua dusun melakukan strategi nafkah ganda yaitu melakukan lebih dari satu pekerjaan. Strategi nafkah rumahtangga petani di Duusn Kedung Palungpung saat ini tidak akan berkelanjutan dikarenakan rumahtangga petani merasa jenuh dengan bencana yang terjadi sehingga untuk selanjutnya strategi migrasi yang akan dilakukan oleh rumahtangga petani Dusun Kedung Palungpung. Hal ini dibuktikan dengan sebagain besar penduduk berusia muda pergi merantau ke kota dan mencari pekerjaan di kota dibandingkan harus melakukan pekerjaan di desanya. Sebaliknya, strategi nafkah yang terjadi di Dusun Sirung Watang akan berkelanjutan karena tidak adanya gangguan dari alam, serta dibuktikan masih banyak penduduk berusia muda yang tetap tinggal di Dusun Sirung Watang dan melakukan kegiatan pertanian.
LIVELIHOOD VULNERABILITY INDEX (LVI) DI DUA DUSUN
LVI dan Metode Perhitungan Livelihood Vulnerability Index (LVI) adalah tingkat kerentanan nafkah suatu kelompok, masyarakat, serta komunitas. LVI digunakan untuk melihat kelentingan suatu masyarakat dari sudut pandang kerentanan. LVI memiliki hubungan erat dengan modal nafkah yang dimiliki. Untuk mengatasi kerugian akibat dari kerentanan, petani kecil mengembangkan kelentingan nafkah dengan menggunakan sosial, ekonomi, dan mekanisme adaptasi ekologi berdasarkan tempat tinggal mereka (Dharmawan et al. 2016). Pada penelitian ini, LVI digunakan untuk melihat perbandingan kelentingan dari rumahtangga petani di dua dusun yang memiliki kondisi berbeda. Dusun pertama adalah Dusun Kedung Palungpung adalah dusun yang selalu terkena banjir, dan dusun kedua adalah Dusun Sirung Watang yang merupakan dusun bebas banjir. Konsep kerentanan digunakan sebagai cara lain untuk mengukur kelentingan atau yang biasa disebut sebagai konsep resiliensi. Kerentanan adalah kebalikan dari kelentingan. Semakin tinggi nilai kerentanan suatu kelompok maka semakin rendah nilai kelentingannya. Artinya kelompok tersebut memiliki resiliensi yang buruk. Dalam penelitian ini, kerentanan dilihat dari tiga aspek yaitu tingkat keterpaparan, tingkat kesensitifan, dan tingkat adaptasi. Rentang nilai yang akan didapatkan adalah negatif satu (-1) sampai dengan positif satu (1) dan akan menghasilkan tiga penggolongan kerentanan yaitu tinggi, sedang, dan rendah.
Analisis Livelihood Vulnerability Index Rumahtangga Petani Dusun Kedung Palungpung Kerentanan yang terjadi di Dusun Kedung Palungpung dipengaruhi oleh kepemilikan modal nafkah. Modal nafkah dimanfaatkan oleh rumahtangga petani Dusun Kedung Palungpung untuk bisa mendapatkan pendapatan bagi rumahtangganya. Dalam penelitian ini LVI diukur berdasarkan persentase kepemilikan modal nafkah oleh rumahtangga petani kemudian akan didapatkan rentang angka dari negatif satu (-1) sampai dengan positif satu (1). Dimana negatif satu (-1) menunjukkan tidak rentan dan nilai positif satu (1) menunjukkan sangat rentan.
84
Tabel 18 Livelihood Vulnerability Index rumahtangga petani Dusun Kedung Palungpung Desa Tunggilis tahun 2015-2016 Variabel
Sensitivity
Exposure Adaptive Capacity
Sub Komponen
kepemilikan lahan sawah rendah kepemilikan lahan kebun rendah pendapatan on-farm rendah pendapatan off-farm rendah pendapatan non-farm rendah jumlah art non produktif frekuensi terkena banjir persentase sawah yang terkena banjir banyaknya pilihan sumber nafkah kepemilikan tabungan cash kepemilikan tabungan ternak kepemilikan tabungan emas tingkat keberfungsian lembaga Nilai LVI
Nilai Sub Komponen
0.23 0.30 0.30 0.60 0.47 0.40 0.27 0.87 0.07 0.10 0.10 0.23 0.03
Nilai Komponen Utama 0.38
0.57 0.11
0.18
Berdasarkan Tabel 18 diketahui bahwa tingkat kerentanan rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung adalah 0.18 dimana nilai tersebut mengartikan bahwa rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung termasuk kedalam kategori rentan akibat dari banjir yang melanda setiap tahun. Rumahtangga petani rentan akibat banjir yang melanda karena secara otomatis rumahtangga kehilangan mata pencaharian dan pendapatan dari sektor on-farm dimana di Dusun Kedung Palungpung lahan sawah lebih optimal dimanfaatkan daripada lahan kebun. Nilai kerentanan tersebut dapat dibandingkan dengan tingkat pendapatan rumahtangga petani dari sektor on-farm dimana pendapatan on-farm sangatlah sedikit dibandingkan dengan sektor non-farm. Sebagian besar rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung lebih mengandalkan pendapatan dari non-farm karena banjir yang melanda sudah sejak lama terjadi dan mereka tidak bisa mengandalkan pendapatan dari sektor on-farm. Dapat dilihat juga bahwa nilai keterpaparan rumahtangga petani adalah 0.57 yang menunjukkan nilai sangat terpapar. Dimana komponen dari keterpaparan adalah jumlah terkna banjir dalam satu tahun serta persentase lahan sawah yang terkena banjir. Nilai kapasitas adaptasinya adalah 0.11 dimana nilai tersebut mengartikan bahwa kapasitas adapatasi rumahtangga petani Dusun Kedung Palungpung sangat rendah. Kapasitas adaptasi yang dimaksud adalah kepemilikan aset finansial berupa tabungan, modal sosial, serta banyaknya pilihan sumber nafkah. Hal tersebut menunjukkan bahwa rumahtangga petani Dusun Kedung Palungpung tidak dapat menabungkan pendapatannya karena pengeluaran yang tinggi. Selanjutnya
85
disajikan hasil uji statistik antara pengaruh kepemilikan modal nafkah terhadap tingkat resiliensi di Dusun Kedung Palungpung.
Analisis Livelihood Vulnerability Index Rumahtangga Petani Dusun Sirung Watang Sama halnya dengan Dusun Kedung Palungpung, kerentanan yang terjadi di Dusun Sirung Watang diengaruhi oleh kepemilikan modal nafkah. Metode perhitungan kerentanan juga sama yaitu dihitung persentase per individu. Berikut adalah rincian dari LVI Dusun Sirung Watang. Tabel 19 Livelihood Vulnerability Index rumahtangga petani Dusun Sirung Watang Desa Tunggilis tahun 2015-2016 Variabel
Sensitivity
Exposure Adaptive Capacity
Sub Komponen
kepemilikan lahan sawah rendah kepemilikan lahan kebun rendah pendapatan on-farm rendah pendapatan off-farm rendah pendapatan non-farm rendah jumlah art non produktif frekuensi terkena banjir persentase sawah yang terkena banjir banyaknya pilihan sumber nafkah kepemilikan tabungan cash kepemilikan tabungan ternak kepemilikan tabungan emas tingkat keberfungsian lembaga Nilai LVI
Nilai Sub Komponen
0.63 0.37 0.37 0.00 0.00 0.33 0.00 0.00 0.03 0.13 0.07 0.10 0.17
Nilai Komponen Utama 0.28
0.00 0.10
-0.03
Dari Tabel 19 diketahui bahwa nilai tingkat kerentanan rumahtangga petani Dusun Sirung Watang adalah -0.03 dimana angka ini menunjukkan tidak rentan akan tetapi cenderung sedang. Dusun Sirung Watang adalah dusun yang tidak terpengaruh oleh banjir. Nilai tersebut menunjukkan bahwa rumahtangga petani dusun Sirung Watang berada pada posisi lebih baik daripada posisi rumahtangga petani Dusun Kedung Palungpung. Jika dilihat dari nilai kesensitifan dan nilai keterpaparan rumahtangga petani yang rendah, terdapat kemungkinan bahwa rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang dalam kondisi sangat lenting atau memiliki resiliensi yang tinggi. Akan tetapi, hasil akhir menunjukkan bahwa kondisi rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang lenting cenderung sedang. Hal ini dikarenakan rumahtangga petani Dusun Sirung Watang tidak memiliki kapasitas adaptasi yang tinggi. Angka
86
nilai kapasitas adaptasi rumahtangga petani Sirung Watang berada dibawah nilai kapasitas adaptasi rumahtangga petani Dusun Kedung Palungpung. Hal tersebut yang menyebabkan nilai tingkat kerentanan rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang adalah -0,03.
Ikhtisar Rumahtangga petani Dusun Kedung Palungpung yang merupakan daerah yang terkena banjir memiliki tingkat kerentanan yang tinggi akan bencana banjir yang selalu datang setiap tahun. Sementara itu rumahtangga petani Dusun Sirung Watang yang merupakan daerah tidak terkena banjir memiliki tingkat kelentingan yang sedang tanpa adanya bencana banjir. Nilai Livelihood vulnerbaility Index (LVI) Dusun Kedung Palungpung adalah sebesar 0.18 dimana angka tersebut menunjukkan rentan yang berarti rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung memiliki tingkat kelentingan yang rendah. Sementara itu rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang memiliki nilai LVI sebesar -0.03 dimana angka tersebut menunjukkan tidak rentan yang berarti rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang memiliki tingkat kelentingan yang cukup.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI LIVELIHOOD VULNERABILITY INDEX Uji Regresi Pengaruh Modal Nafkah terhadap Livelihood Vulnerability Index Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kerentanan rumahtangga petani diuji dengan uji regresi linier. Adapun alpha yang ditentukan dalam uji tersebut sebesar 30 persen atau 0.3. Artinya toleransi kesalahan pada uji tersebut adalah sebesar 30 persen. Variabel-variabel yang akan diuji dalam uji regresi dalam penelitian ini adalah modal nafkah yang terdiri dari lima modal yaitu modal alam, modal manusia, modal fisik, modal finansial, dan modal sosial.
Faktor-faktor yang Memengaruhi Livelihood Vulnerability Index Dusun Kedung Palungpung Berdasarka hasil uji statistik, faktor-faktor yang mempengaruhi kerentanan nafkah rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung adalah modal alam dan modal manusia. Hasil uji regresi dengan alpha sebesar 30 persen diuraikan sebagai berikut. Tabel 20 Hasil uji regresi variabel modal nafkah terhadap kerentanan nafkah rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung Desa Tunggilis tahun 2015-2016 Coefficientsa Model
(Constant)
1
Unstandardized Coefficients B Std. Error 1,387
1,308
Tingkat Modal Alam
,414
,224
Tingkat Modal Finansial
,035
Tingkat Modal Sosial Tingkat Modal Manusia Tingkat Modal Fisik
Standardized Coefficients Beta
T
Sig.
1,060
,300
,368
1,846
,077
,260
,026
,135
,894
-,081
,249
-,064
-,326
,747
-,418
,280
-,300
-1,492
,149
,275
,470
,112
,585
,564
a. Dependent Variable: Livelihood Vulnerability Index
Modal Alam Modal alam diproxy melalui variabel kepemilikan modal berupa lahan sawah dan lahan kebun. Modal alam dapat dimanfaatkan memiliki pendapatan bagi
88
rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung. Modal alam berupa sawah dan kebun memiliki pengaruh cukup tinggi mengingat rumahtangga petani bergantung terhadap kepemilikan serta penguasaan lahan. Tabel 21 Jumlah dan pesentase rumahtangga petani berdasarkan tingkat kepemilikan lahan tanah dan tingkat kerentanan Dusun Kedung Palungpung Desa Tunggilis tahun 2015-2016 Tingkat Kepemilikan Lahan (Proxy terhadap Modal Alam)
Tingkat Kerentanan
Sempit
Sedang
N
%
n
Rendah
5
1
Sedang Tinggi
4 1
50.0 40.0 10.0
10
100.0
Total
Luas %
n
%
6.6
2
7 7
46.7 46.7
1 2
40.0 10.0
15
100.0
5
40.0 100.0
Berdasarkan Tabel 21 terlihat bahwa rumahtangga dengan kepemilikan lahan yang sempit memiliki tingkat kerentanan yang rendah. Hal ini karena rumahtangga petani yang memiliki lahan rendah tidak memiliki nilai keterpaparan dan nilai kesenitifan yang tinggi. Bagi rumahtangga petani yang memiliki lahan rendah tidak akan memiliki perbedaan yang sangat jauh terkait dengan pendapatan yang diterima pada saat banjir maupun tidak banjir. Maka dari itu rumahtangga petani yang memiliki lahan rendah memiliki tingkat kerentanan yang rendah pula karena memiliki resiko kerugian produksi yang kecil. Rumahtangga dengan kepemilikan lahan sedang memiliki tingkat kerentanan yang sedang dan tinggi, hal ini karena semakin luas lahan yang terendam maka akan semakin merugikan bagi rumahtangga petani. Mereka akan kehilangan pendapatan yang besar serta kerugian yang besar juga akibat biaya produksi yang tidak menghasilkan. “saya tidak punya sawah sendiri A, jadi ya saya mah suka gacong1 ke orang lain kalau lagi panen dan dibayar oleh gabah dengan perhitungan 10 berbanding 1. Kalau sedang banjir dan tidak panen ya saya tidak ikut gacong karena padi yang sudah ditanam tidak bisa dipanen hancur semuanya mati A.” Ibu MYT, 34 tahun
Rumahtangga yang memiliki lahan luas memiliki tingkat kerentanan yang tinggi dan rendah. Tingkat kerentanan akan menjadi tinggi ketika seluruh luas lahan yang dimiliki terendam banjir, jika ini terjadi maka pendapatan on-farm akan berkurang sangat drastis dan rumahtangga petani akan merugi. Tingkat kerentanan 1
Ikut memanen padi di sawah milik orang lain biasanya dibayar dengan gabah dengan perhitungan 10:1 dimana ketika 10 rantang gabah sudah dimasukkan kedalam karung pemilik sawah maka 1 rantang dimasukkan kedalam karung yang ikut gacong tersebut
89
akan menjadi rendah ketika hanya sebagian kecil dari lahan yang terendam banjir dan sebagian lahannya masih bisa untuk dilakukan kegiatan bertani.
Modal Manusia Modal manusia diproxy melalui variabel jumlah anggota rumahtangga yang mampu untuk menghasilkan pendapatan baik on-farm, off-farm, dan non-farm. Semakin banyak anggota rumahtangga yang bekerja, maka akan semakin besar kemungkinan rumahtangga tersebut memiliki pendapatan tinggi. Tabel 22 Jumlah dan persentase rumahtangga petani berdasarkan jumlah anggota keluarga yang bekerja dan tingkat kerentanan di Dusun Kedung Palungpung Desa Tunggilis tahun 2015-2016 Anggota Rumahtangga Bekerja (Proxy terhadap Modal Manusia)
Tingkat Kerentanan Rendah Sedang Tinggi Total
Sedikit
Sedang
Banyak
n
%
n
%
n
%
4 8 7
21.0
30.0
42.1 36.9
3 4 3
40.0 30.0
1 0 0
100.0 0.0 0.0
19
100.0
10
100.0
1
100.0
Dari Tabel 22 diketahui bahwa rumahtangga petani yang memiliki anggota beekrja banyak maka tingkat kerentanannya rendah. Hal ini karena rumahtangga yang memiliki anggota rumahtangga yang bekerja banyak akan memiliki pendapatan yang mencukupi untuk seluruh anggota rumahtangga jika seluruhnya bekerja. Sehingga pada saat terjadi krisis banyak anggota keluarga yang membantu rumahtangga keluar dari kondisi krisis dan kembali kepada keadaan seperti biasanya. “Anak saya kerja di Tangerang di bengkel, tukang bubut peleg mobil. Suka kirim uang katanya buat saya sama suami kadang Rp 2,5 juta, kadang-kadang Rp 3 juta setiap bulan. Tapi yang namanya uang dari anak saya mah jarang pakai kasihan, kalau mendesak baru dipakai” Ibu MMH, 50 tahun Modal manusia yang tinggi juga memungkinkan rumahtangga memiliki jaringan sosial yang luas serta mendapatkan bantuan yang lebih banyak pada saat terjadi krisis. Rumahtangga petani yang memiliki modal manusia rendah dan sedang sama-sama memiliki tingkat kerentanan yang sedang juga. Hal ini karena pada rumahtangga yang memiliki jumlah anggota yang bekerja sedikit terjadi
90
nafkah ganda dimana kepala rumahtangga ataupun dengan pasangan akan melakukan pekerjaan lebih dari satu sehingga rumahtangganya tidak memiliki tingkat kerentanan yang rendah. Pada rumahtangga yang memiliki jumlah anggota yang bekerja sedang dan memiliki tingkat kerentanan yang sedang juga dikarenakan pada rumahtangga yang memiliki modal manusia sedang cenderung mengikuti keadaan, tidak seperti rumahtangga yang memiliki modal manusia rendah mereka akan berusaha untuk mengubah keadaan rumahtangganya.
Faktor-faktor yang Memengaruhi Livelihood Vulnerability Index Dusun Sirung Watang Berdasarkan hasil uji statistik, faktor-faktor yang mempengaruhi kerentanan nafkah rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang adalah modal alam dan modal fisik. Modal alam adalah kepemilikan lahan oleh suatu rumahtangga petani, sedangkan modal fisik adalah kepemilikan benda-benda fisik yang dapat dimanfaatkan ketika terjadi krisis. Hasil uji statistik dengan alpha 30 persen diuraikan sebagai berikut. Tabel 23 Hasil uji regresi variabel modal nafkah terhadap kerentanan nafkah rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang Desa Tunggilis tahun 2015-2016 Coefficientsa Model
Unstandardized Coefficients B
(Constant) Tingkat Modal Alam Tingkat Modal Finansial 1 Tingkat Modal Manusia Tingkat Modal Fisik Tingkat Modal Sosial
Standardized Coefficients
Std. Error 2,444 -,512 -,108
1,468 ,197 ,208
,185 ,328 -,052
T
Sig.
Beta -,517 -,097
1,664 -2,603 -,516
,109 ,016 ,611
,218
,165
,845
,406
,291 ,445
,225 -,024
1,129 -,116
,270 ,908
a. Dependent Variable: Livelihood Vulnerability Index
Berdasarkan hasil uji statistik faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kerentanan rumahtangga petani Dusun Sirung Watang adalah modal alam dan modal fisik. Uraian mengenai modal alam dan modal fisik yang mempengaruhi tingkat kerentanan rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang disajikan sebagai berikut.
91
Modal Alam Modal alam diproxy melalui variabel kepemilikan modal berupa lahan sawah dan lahan kebun oleh rumahtangga petani. Modal alam dapat dimanfaatkan untuk memiliki pendapatan bagi rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung. Modal alam berupa sawah dan kebun memiliki pengaruh cukup tinggi mengingat rumahtangga petani bergantung terhadap kepemilikan serta penguasaan lahan. Tabel 24 Jumlah dan pesentase rumahtangga petani berdasarkan tingkat kepemilikan lahan dan tingkat kerentanan Dusun Sirung Watang Desa Tunggilis tahun 2015-2016 Tingkat Kepemilikan Lahan (Proxy terhadap Modal Alam)
Tingkat Kerentanan Rendah Sedang Tinggi Total
Sempit
Sedang
Luas
n
%
n
%
n
%
2 4 5
18.0 36.6
30.8
45.4
4 7 2
53.8 15.4
3 3 0
50.0 50.0 0.0
11
100.0
13
100.0
6
100.0
Berdasarkan Tabel 24 terlihat bahwa pada rumahtangga petani Dusun Sirung Watang tingkat kepemilikan lahan memiliki hubungan dengan tingkat kerentanan. Bagi rumahtangga petani yang memiliki lahan sempit, maka akan memiliki tingkat kerentanan yang tinggi. Hal ini terbukti adanya, karena di Dusun Sirung Watang tidak ada gangguan seperti banjir yang mengancam Dusun Kedung Palungpung sehingga tingkat kerugian akan rendah. Jika pada daerah banjir rumahtangga yang memiliki lahan sempit juga memiliki tingkat kerentanan yang rendah karena terhindar dari ancaman kerugian akibat biaya produksi. Di Dusun Sirung Watang bagi rumahtangga yang memiliki lahan sempit maka tingkat kerentannya akan tinggi karena rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang sangat bergantung kepada alam, dimana luas lahan adalah modal utama bagi rumahtangga petani untuk memiliki pendapatan. “Semua warga disini mah nyadap semua, garap sawah sekali-kali doang dan tidak dijadikan harapan. Soalnya uangnya lebih besar dari nyadap kelapa dibandingkan ke sawah, saya saja menggarap sawah setahun hanya sekali dan setiap hari saya nyadap kelapa, kalau ada tawaran untuk menebang pohon saya juga ikut menebang pohon” Bapak ASM, 31 tahun
92
Bagi rumahtangga petani yang memiliki modal alam sedang maka juga memiliki tingkat kerentanan yang sedang. Hal ini wajar terjadi karena berarti pendapatan yang masuk kedalam rumahtangga berada pada nilai sedang. Sementara itu bagi rumahtangga petani yang memiliki modal alam tinggi maka nilai kerentannya ada pada tingkat rendah dan sedang. Hal ini karena rumahtangga yang memiliki modal alam yang tinggi memungkinkan akan memiliki pendapatan yang tinggi mengingat modal alam adalah modal yang paling diandalkan oleh rumahtangga petani Dusun Sirung Watang.
Modal Fisik Modal fisik diproxy melalui variabel kepemilikan modal dalam bentuk fisik seperti mobil, motor, dan emas oleh rumahtangga petani. Modal fisik terdiri dari barang-barang yang bisa dimanfaatkan oleh rumahtangga petani ketika terjadi krisis. Aset tersebut bersifat aset non pertanian. Bentuk pemanfaatannya adalah dalam bentuk dijual atau digadaikan sehingga hasilnya bisa mengangkt rumahtangga petani dari masa krisis dan kembali ke keadaan seperti semula. Hasil uji statistik disajikan sebagai berikut. Tabel 25 Jumlah dan pesentase rumahtangga petani berdasarkan kepemilikan modal fisik dan tingkat kerentanan Dusun Sirung Watang Desa Tunggilis tahun 2015-2016 Kepemilikan Aset Non Pertanian (Proxy terhadap Modal Fisik)
Tingkat Kerentanan Rendah Sedang Tinggi Total
Rendah
Sedang
Tinggi
n
%
n
%
n
%
2 4 5
18.0 36.6
30.8
45.4
4 7 2
53.8 15.4
3 3 0
50,0 50.0 0.0
11
100.0
13
100.0
6
100.0
Dari Tabel 25 diketahui bahwa kepemilikan aset non pertanian sangat berpengaruh terhadap tingkat kerentanan rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang. Rumahtangga petani yang memiliki aset non pertanian rendah maka memiliki tingkat kerentanan tinggi. Hal ini dikarenakan aset non pertanian adalah aset yang bisa membantu pada saat krisis. Aset non pertanian bisa dijual atau digadaikan ketika rumahtangga mengalami krisis sehingga bagi rumahtangga yang sedang dilanda krisis, kemudian daya milik aset rendah akan sulit untuk keluar dari krisis dan tinggi akan tingkat kerentanan. Rumahtangga yang memiliki aset non pertanian sedang memiliki juga tingkat kerentanan sedang. Ketika rumahtangga petani terkena krisis, kemudian
93
memanfaatkan tingkat kepemilikan aset sedang, maka tidak akan bisa membantu rumahtangga untuk menjadi lenting karena daya jual dan pendapatan dari hasil memanfaatkan aset tidaklah terlalu tinggi. “kalau nabung mah saya lebih suka membeli emas, soalnya kalau lagi butuh uang bisa dijual lagi. Kemarin saja saya baru beli emas lagi 10 gram lumayan hehe. Kemarin nambahin beli motor anak saya gejual emas, soalnya motor juga penting untuk mengantar saya ke dokter kalau lagi sakit dan bisa langsung iyang2 gula merah ke Tunggilis gak perlu ngojek jadi lebih irit” Ibu NRY, 52 tahun Bagi rumahtangga yang memiliki aset non pertanian tinggi maka akan memiliki tingkat kerentanan sedang dan tinggi. Bagi rumahtangga yang memiliki aset fisik sedang seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya alurnya akan terjadi seperti itu. Bagi rumahtangga dengan kepemilikan aset fisik tinggi maka akan memiliki tingkat kerentanan yang rendah karena hasil dari pemanfaatan aset fisik akan mampu membantu rumahtangga lenting dari masa krisis. Ikhtisar Terdapat dua modal nafkah yang memengaruhi tingkat kerentanan nafkah di Dusun Kedung Palungpung dan Dusun Sirung Watang. Modal nafkah yang memengaruhi tingkat kerentanan rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung adalah modal alam yang terdiri dari tingkat kepemilikan lahan kebun dan sawah, serta modal manusia yang terdiri dari banyaknya anggota rumahtangga yang bekerja. Pada rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung, semakin luas kepemilikan tanah maka akan semakin rentan, hal tersebut dikarenakan jika lahan yang dimiliki luas, akan memakan biaya produksi yang tinggi sehingga pada saat banjir melanda, rumahtangga petani akan mengalami kerugian. Faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kerentanan nafkah rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang adalah modal alam dan modal fisik. Modal alam terdiri dari kepemilikan lahan oleh rumahtangga petani, sedangkan modal fisik terdiri dari kepemilikan aset non pertanian. Pada rumahtangga petani Dusun Sirung Watang, semakin luas lahan yang dimiliki maka tingkat kerentanan akan semakin rendah. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya gangguan eksternal pada lahan di Dusun Sirung Watang, sehingga tidak ada biaya produksi yang terbuang.
2
Istilah lokal, yaitu menjual hasil pertanian dalam skala besar dan diantarkan langsung oleh petani tersebut ke lokasi penjualan atau langsung ke markas para tengkulak.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Struktur nafkah rumahtangga petani terdiri dari pendapatan on-farm, offfarm, dan juga non-farm. Dasar pelapisan adalah jumlah pendapatan yang diterima oleh rumahtangga petani. Standar deviasi yang digunakan adalah dengan menggunakan data lapang hasil pengisian kuesioner. Rumahtangga petani yang berada pada lapisan atas adalah rumahtangga petani yang memiliki pendapatan onfarm dan non-farm tinggi baik itu di Dusun Kedung Palungpung maupun di Dusun Sirung Watang. Rumahtangga petani lapisan tidak selalu mereka yang memiliki modal alam rendah. Jumlah pendapatan keseluruhan yang diterima oleh rumahtangga petani Dusun Sirung Watang lebih besar dibandingkan jumlah pendapatan yang diterima oleh rumahtangga petani Dusun Kedung Palungpung. Saving capacity dikedua dusun sama yaitu pada rumahtangga petani lapisan atas memiliki saving capacity yang tinggi dan pada rumahtangga petani lapisan bawah tidak memiliki saving capacity dan bahkan negatif. Menyiasati hal tersebut rumahtangga petani lapisan bawah biasanya melakukan peminjaman uang. Terdapat perbedaan strategi nafkah rumahtangga petani di kedua dusun. Terdapat enam strategi nafkah yang dilakukan oleh rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung, dan startegi meminjam adalah strategi yang paling banyak dilakukan oleh rumahtangga petani. Strategi nafkah yang paling sedikit dilakukan adalah membuat batu bata. Membuat batu hanya dilakukan oleh rumatangga petani lapisan atas karena modal yang harus dikeluarkan besar. Terdapat sembilan strategi nafkah yang dilakukan oleh rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang. Strategi berkebun adalah strategi yang paling banyak dilakukan oleh rumahtangga petani. Strategi menjual pulsa dan menyewakan mobil menjadi strategi yang paling sedikit dilakukan oleh rumahtangga petani. Strategi nafkah yang berkelanjutan adalah stratgei nafkah yang dilakukan oleh rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang. Mengacu kepada data yang diperoleh di lapangan, rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang merasa cukup dengan pendapatan yang diperoleh saat ini, sehingga besar kemungkinan bahwa rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang akan tetap tinggal di daerahnya dan melakukan pekerjaan yang saat ini dilakukan. Sebaliknya, strategi rumahtangga petani tidak akan berkelanjutan di Dusun Kedung Palungpung. Mengacu kepada data hasil di lapangan, bahwa penduduk usia muda di Dusun Kedung Palungpung melakukan migrasi ke luar kota dan bekerja disana. Hal ini diakibatkan dari banjir yang terus menerus menggenang lahan sawah sehingga lapangan pekerjaan semakin sempit dan minat penduduk usia muda terhadap pertanian tidaklah tinggi. Nilai Livelihood Vulnerability Index (LVI) di Dusun Kedung Palungpung lebih tinggi dibandingkan Dusun Sirung Watang. Nilai LVI Dusun Kedung Palungpung adalah sebesar 0,18 sementara itu nilai LVI Dusun Sirung Watang sebesar -0,03. Nilai tersebut menunjukkan bahwa rumahtangga Dusun Sirung
96
Watang yang merupakan daerah tidak banjir memiliki tingkat kelentingan yang lebih tinggi dibandingkan Rumahtangga Dusun Kedung Palungpung. Hal tersebut dipengaruhi oleh bencana banjir yang menggenang area persawahan Dusun Kedung Palungpung. Berdasarkan data di lapangan nilai keterpaparan rumahtangga petani Dusun Kedung Palungpung sangatlah tinggi yaitu sebesar 0,57 sementara itu nilai keterpaparan rumahtangga petani Dusun Sirung Watang memiliki nilai keterpaparan sebesar 0,00. Pengaruh modal nafkah terhadap Livelihood Vulnerability Index (LVI) diuji statistik jenis regresi. Dua tingkat modal nafkah diketahui memiliki pengaruh yang besar terhadap tingkat kerentanan rumahtangga petani di kedua dusun. Modal alam dan modal manusia memiliki pengaruh terhadap tingkat kerentanan rumahtangga petani di Dusun Kedung Palungpung. Sementara itu, modal alam dan modal fisik adalah modal alam yang memiliki pengaruh terhadap tingkat kerentanan rumahtangga petani di Dusun Sirung Watang. Kekurangan dalam penelitian ini adalah dalam penentuan responden tidak menggunakan metode startified random sampling sehingga terjadi ketimpangan jumlah responden berdasarkan lapisan ekonomi. Rumahtangga tangga petani lapisan menengah di kedua dusun sangat mendominasi yaitu sebanyak 18 responden di Dusun Kedung Palungpung dan sebanyak 20 responden di Dusun Sirung Watang.
Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan, terdapat beberapa masukan dan saran. Berikut adalah masukan dan saran yang telah dirumuskan dalam penelitian ini, antara lain: 1. Mengingat bencana banjir adalah permasalahan utama yang terjadi di Desa Tunggilis, disarankan kepada pemerintah Dinas Pertanian bekerja sama dengan kementrian riset, teknologi, dan pendidikan tinggi untuk bisa memberikan bantuan dan solusi untuk mengatasi luapan Sungai Citanduy. Kemudian perlu adanya pengembangan teknologi untuk melakukan penanaman padi menyesuaikan dengan keadaan local dengan memanfaatkan sumberdaya lokal yang ada. Pada tahun 2013 pernah digalakan penananaman padi terapung dengan menggunakan bambu di area persawahan tersebut, akan tetapi hal tersebut gagal dikarenakan bambu membusuk karena terkena air terus menerus dan tanaman padi gagal dipanen. 2. Perlu adanya lapangan pekerjaan yang mampu menyerap banyak tenaga kerja di Desa Tunggilis untuk mengurangi angka migrasi penduduk ke kotakota besar di Indonesia, serta perlu adanya pengembangan usaha yang dilakukan oleh rumahtangga petani dengan memanfaatkan sumberdaya yang terdapat di wilayah Desa Tunggilis. 3. Disarankan kepada pihak pemerintahan desa untuk kembali mengaktifkan kelompok tani dan memberikan informasi mengenai bantuan bibit, obat dan lain sebagainya kepada seluruh masyarakat Desa Tunggilis. Kelompok tani
97
bertujuan untuk membantu memberikan solusi bagi petani dengan cara mencari akar permasalahan serta cara penyelesaian yang menguntungkan semua pihak terkait dengan masalah yang dihadapi saat ini. Selain itu disarankan kepada pihak pemerintahan desa untuk menjamah dan mengajak masyarakat Dusun Sirung Watang dalam kegiatan organisasi seperti PKK, Kelompok Pemuda, dan kelompok pengajian untuk menambah dan memperluas jaringan dengan organisasi dan kelompok di desa lainnya .
DAFTAR PUSTAKA [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Data sensus kependudukan. [Internet]. [Diunduh tanggal 27 Januari 2016]. Tersedia pada: http://bps.go.id/index. php/publikasi/downloadFile/883 Adger WN. 2000. Social and ecological resilience: are they relatted?. Progress in human geography. [Jurnal]. 23(3): 347-364 Adger WN. 2006. Vulnerability. Global and environmental change. [Jurnal]. 16: 268-281 Ariviyanti N, Pradoto W. 2014. Faktor-faktor yang meningkatkan resiliensi masyarakat dalam menghadapi bencana rob di kelurahan tanjung emas semarang. jurnal teknik PWK. 03 (4); 991-1000. [Internet]. Diunduh pada 30 September 2015 pukul 21.08 WIB. Dapat diunduh di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/article/view/6803 Azzahra F. 2015. Pengaruh livelihood assets terhadap resiliensi nafkah rumahtangga petani pada saat banjir di desa sukabakti kecamatan tambelang kabupaten bekasi. [Skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor Dharmawan AH, Putri EIK, Mardiyaningsih DI. 2016. Smallholder farmer’s resilience in rural-ecological crises. The international journal of sustainability in economic, social, and cultural context. [Jurnal]. 12 (03); 17-33 Dharmawan AH. 2007. Sistem penghidupan dan nafkah pedesaan pandangan sosiologi nafkah (livelihood sociology) mazhab barat dan mazhab bogor. sodality jurnal transdisiplin sosiologi, komunikasi dan ekologi manusia. [Jurnal]. 01 (02); 169-192 Dharmawan AH. 2001. Farm household livelihood strategies and socio-economic change in rural Indonesia. [Desertasi]. German: Gottingen University Ellis F. 2000. Rural livelihood and diversity in development countries. New York (US): Oxford University Press Fusel HM. 2007. Vulnerability: a generally applicable conceptual framework for climate change research. Global environmental change. [Jurnal]. 17: 155167 Gallopin GC. 2006. Linkages between vulnerability, resilience, and adaptive capacity. Global environmental change. [Jurnal]. 16: 293-303 Hadianto A, Murdiyanto, Sumarno H, Sunarti E. 2009. Indikator kerentanan keluarga petani dan nelayan untuk mengurangi risiko bencana di sektor pertanian. Bogor(ID): LPPM IPB
100
Iqbal M. 2004. Strategi nafkah rumah tangga nelayan (studi kasus di dua desa nelayan tangkap kabupaten lamongan jawa timur). [Tesis]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor Naskah Undang-undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Pertanian Scoones I. 1998. Sustainable Rural Livelihood A Framework for Analysis. IDS Working Paper:72. [internet] [diunduh 16 September 2014]. Dapat diunduh dari: graduateinstitute.ch/files/livesites/iheid/files/sites/developpement/shar ed/developpement/mdev/soutienauxcours0809/Gironde%20Pauvrete/Sustain able%20Rural%20Livelihhods%20-%20Scoones.pdf Sembiring ST, Dharmawan AH. 2014. Resiliensi nafkah rumah tangga petani di kawasan rawan bencana rob kecamatan kampung laut, kabupaten cilacap. jurnal sodality sosiologi pedesaan. 02 (1); 30-42. [Internet]. Diunduh pada 30 September 2015 pukul 18.56 WIB. Dapat diunduh di http://journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/view/9410/7374 Singarimbun M, Effendi S. 2006. Metode penelitian survai. Jakarta (ID): LP3ES Sjaf S. 2010. Batasan definisi pertani (Peasent). Artikel. [internet]. diunduh tanggal 13 April 2015]. Dapat diunduh dari: http://sofyansjaf.staff.ipb.ac.id/ 2010/06/13 /batasan-definisi-petani-peasent/ Speranza CI, Wiesmann U, Rist S. 2014. An indicator framework for assessing livelihood resilience in the context of social-ecological dynamics. Global Environment Change. [Jurnal]. 28: 109-119 Subair. 2013. Adaptasi perubahan iklim dan resiliensi komunitas desa nelayan: studi kasus di kawasan pesisir utara pulau ambon, maluku. [Disertasi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor Syahyuti. 2006. Konsep penting dalam pembangunan pedesaan dan pemerintah. Jakarta(ID): Bina Rena Priwara Widodo S. 2009. Strategi nafkah rumah tangga miskin di daerah pesisir (kasus dua desa di kabupaten tuban dan kabupaten bangkalan, propinsi jawa timur). [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
LAMPIRAN
102
Lampiran 1 Peta lokasi
DESA TUNGGILIS KECAMATAN KALIPUCANG KABUPATEN PANGANDARAN PROVINSI JAWA BARAT
103
Lampiran 2 Jadwal pelaksanaan penelitian tahun 2016 Kegiatan Penyusunan proposal skkripsi Uji petik dan revisi Kolokium Revisi proposal Pengambilan data lapang Pengolahan dan analisis data Penulisan draft skripsi Sidang skripsi Perbaikan laporan skripsi
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
104
Lampiran 3 Hasil uji regresi linier Dusun Kedung Palungpung
Model Summary Model
R
R Square
,422a
1
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
,178
,007
,782
a. Predictors: (Constant), Tingkat Modal Fisik, Tingkat Modal Alam, Tingkat Modal Finansial, Tingkat Modal Sosial, Tingkat Modal Manusia ANOVAa Model
Sum of Squares Regression
1
df
Mean Square
3,177
5
,635
Residual
14,690
24
,612
Total
17,867
29
F
Sig. ,418b
1,038
a. Dependent Variable: Livelihood Vulnerability Index b. Predictors: (Constant), Tingkat Modal Fisik, Tingkat Modal Alam, Tingkat Modal Finansial, Tingkat Modal Sosial, Tingkat Modal Manusia
Coefficientsa Model
Unstandardized
Standardized
Coefficients
Coefficients
B
Std.
T
Sig.
1,060
,300
Beta
Error (Constant)
1,387
1,308
Tingkat Modal Alam
,414
,224
,368
1,846
,077
Tingkat Modal Finansial
,035
,260
,026
,135
,894
Tingkat Modal Sosial
-,081
,249
-,064
-,326
,747
Tingkat Modal Manusia
-,418
,280
-,300
-1,492
,149
,275
,470
,112
,585
,564
1
Tingkat Modal Fisik
a. Dependent Variable: Livelihood Vulnerability Index
105
Lampiran 4 Hasil uji regresi Dusun Sirung Watang
Model Summary Model
R
R Square
,486a
1
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
,236
,077
,711
a. Predictors: (Constant), Tingkat Modal Sosial, Tingkat Modal Alam, Tingkat Modal Finansial, Tingkat Modal Manusia, Tingkat Modal Fisik
ANOVAa Model
Sum of Squares Regression
1
df
Mean Square
3,741
5
,748
Residual
12,125
24
,505
Total
15,867
29
F
Sig.
1,481
,233b
a. Dependent Variable: Livelihood Vulnerability Index b. Predictors: (Constant), Tingkat Modal Sosial, Tingkat Modal Alam, Tingkat Modal Finansial, Tingkat Modal Manusia, Tingkat Modal Fisik
Coefficientsa Model
Unstandardized
Standardized
Coefficients
Coefficients
B
Std.
T
Sig.
Beta
Error (Constant)
2,444
1,468
1,664
,109
Tingkat Modal Alam
-,512
,197
-,517
-2,603
,016
Tingkat Modal Finansial
-,108
,208
-,097
-,516
,611
Tingkat Modal Manusia
,185
,218
,165
,845
,406
Tingkat Modal Fisik
,328
,291
,225
1,129
,270
-,052
,445
-,024
-,116
,908
1
Tingkat Modal Sosial
a. Dependent Variable: Livelihood Vulnerability Index
106
Lampiran 5 Daftar responden Dusun Kedung Palungpung No
Nama
Alamat
Usia (Tahun)
1
Marliah MRH
RT 04/ RW 04
56
2
Kusmayadi KYD
RT 01/ RW 04
34
3
Oyo aka siti OYO
RT 04/ RW 04
37
4
Darsum efendi aka mamah DEI
RT 04/ RW 04
55
5
Iwan Royadi IWR
RT 01/ RW 04
27
6
Atris Triswana ATR
RT 01/ RW 04
34
7
Usman USM
RT 04/ RW 04
55
8
Maman Hardiman MMH
RT 01/ RW 04
57
9
Isoh ISH
RT 04/ RW 04
42
10
Dasto DST
RT 05/ RW 04
40
11
Muhidin MHD
RT 04/ RW 04
47
12
Usep Rahayu USR
RT 04/ RW 04
32
13
Wahyu WHY
RT 01/ RW 04
57
14
Ruswin RSW
RT 01/ RW 04
41
15
Udin UDN
RT 04/ RW 05
63
16
Muslihudin MSH
RT 01/ RW 04
49
17
Warisah WRH
RT 04/ RW 04
48
18
Narto NRT
RT 04/ RW 04
32
19
Hamdan aka maryati HMD
RT 04/ RW 04
33
20
Mis'ad MSD
RT 01/ RW 04
68
21
Kasta Umara KSU
RT 04/ RW 04
40
22
Herna HRN
RT 01/ RW 04
65
23
Enjum ENJ
RT 01/ RW 04
43
24
Satimah STM
RT 04/ RW 04
33
25
Didi DDI
RT 04/ RW 04
50
107
26
Engkus ENG
RT 01/ RW 04
33
27
Rohman RHM
RT 01/ RW 04
38
28
Wagirun WGR
RT 04/ RW 04
66
29
H. Siti Julaeha SJL
RT 01/ RW 04
71
30
Enceng ENC
RT 01/ RW 04
53
31
Sutaryo STY
RT 01/ RW 04
31
32
Pahrudin PHR
RT 04/ RW 04
70
33
Nedi NDI
RT 04/ RW 04
59
34
Sutarwan aka ani STW
RT 04/ RW 04
49
35
Sariman SRM
RT 01/ RW 04
66
36
Holis Marwan HLS
RT 01/ RW 04
51
37
Kamas Suta aka herlina KMS
RT 01/ RW 04
44
38
Waris WRS
RT 04/ RW 04
40
39
Marni MRN
RT 04/ RW 04
64
40
Iman IMN
RT 04/ RW 04
62
41
Ace ACE
RT 04/ RW 04
51
42
Kosim KSI
RT 04/ RW 04
64
43
Tunya TNY
RT 04/ RW 04
42
44
Totong Rohman TRH
RT 01/ RW 04
51
45
Duri DRI
RT 01/ RW 04
55
46
Ena Supena ENS
RT 04/ RW 04
72
47
Toyo Hermawan TYO
RT 01/ RW 04
42
48
Hasanudin HSN
RT 01/ RW 04
44
49
Maniso MNO
RT 04/ RW 04
41
50
Jirin Mustafa aka dasliah JRM
RT 01/ RW 04
28
51
Kamad KMD
RT 04/ RW 04
64
108
Dusun Sirung Watang No
Nama
Alamat
Usia (Tahun)
Warno WRN
RT 03 / RW 08
68
Warti WRT
RT 02 / RW 08
70
Atang ATG
RT 03 / RW 08
56
Amir AMR
RT 02 / RW 08
46
Maryono aka masiah MRY
RT 02 / RW 08
41
Ruswan RSW
RT 03 / RW 08
63
Wasmad WSD
RT 02/ RW 08
45
Yaya aka aas YYA
RT 02 / RW 08
42
DayaT DYT
RT 02 / RW 08
54
Salpan SLP
RT 03 / RW 08
72
Tarjo TRJ
RT 02 / RW 08
60
Maryamah MRY
RT 02 / RW 08
50
Yanto aka satini YNT
RT 02 / RW 08
29
Darmin DRM
RT 03 / RW 08
35
Karyono KRY
RT 02/ RW 08
63
Kirman KRM
RT 08 / RW 09
42
Juhanah JHN
RT 02/ RW 08
38
Oom OOM
RT 03 / RW 08
38
Wasman WSN
RT 02 / RW 08
44
Kasman KSM
RT 03 / RW 08
49
Sartini SRT
RT 03 / RW 08
35
Taryono TRY
RT 03 / RW 08
35
Asep Mulyana ASM
RT 03 / RW 08
31
Tukiman TKM
RT 02 / RW 08
32
Warsidi WSI
RT 03 / RW 08
50
Tukijo aka oom TJK
RT 03 / RW 08
50
109
Asep aka hariyani ASP
RT 02 / RW 08
32
Darsono aka kusini DRO
RT 02 / RW 08
37
Taryo TRO
RT 02/ RW 08
46
Supena SPN
RT 03 / RW 08
35
110
Lampiran 6 Dokumentasi penelitian
Sungai Citanduy
Sawah yang tergenang banjir
111
Lampiran 7 Kuesioner
Nomor Responden Hari, Tanggal Survei Tanggal Entri Data KUESIONER STRATEGI DAN KELENTINGN NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI DI DAERAH RAWAN BENCANA: PEDEKATAN LIVELIHOOD VULNERABILITY INDEX (Kasus Rumahtangga Petani di Desa Tunggilis Kecamatan Kalipucang Kabupaten Pangandaran)
I.
No
KARAKTERISTIK RESPONDEN
1.
Nama Bapak/Ibu
2.
Umur
............ tahun
3.
Alamat
RT:
4.
Jenis Kelamin
1. Laki-laki
5.
Status
1. Kepala RT
6.
Pendidikan
1. Tidak sekolah/tidak tamat SD
RW: 2. Perempuan 2. Ibu RT 3. Anggota RT
2. Tamat SD/sederajat 3. Tamat SMP/sederajat 4. Tamat SMA/sederajat 5. Tamat Diploma 6. Tamat Sarjana 7. Tamat S2/S3
7.
Status tempat tinggal
1.
Milik sendiri
2.
Kontrak
3.
Menumpang
4.
Lainnya:........................
KODE
112
8.
Pekerjaan Sampingan dan Penghasilan per bulan
II.
1. Membuka warung
Rp.
2. Menjual pulsa
Rp.
3. Buruh bangunan
Rp.
4. Membuat batu bata
Rp.
5. Ojek
Rp.
6. Buruh angkut/pasar
Rp.
7. Lainnya...
Rp.
8. Lainnya...
Rp.
9. Lainnya...
Rp.
KOMPOSISI ANGGOTA RUMAHTANGGA
10.
11.
JK
Status
9. No Nama
1. Lakilaki 2. Perem puan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Istri/suami Anak Kakak/adik Orangtua Menantu Mertua Lainnya, sebutkan
13. Tingkat Pendidikan 1. Tidak sekolah/tidak 12. tamat SD 2. Tamat Umur SD/sederajat 3. Tamat (th) SMP/sederajat 4. Tamat SMA/sederajat 5. Tamat Diploma 6. Tamat Sarjana 7. Tamat S2/S3
113
NO 14.
TRANSAKSI Konsumsi
III.
TARAF HIDUP RUMAHTANGGA
1.
Beras
2.
Ikan
3.
Daging
4.
Telur dan susu
5.
Sayur-sayuran
6.
Buah-buahan
7.
Minyak dan lemak
8.
Bumbu-bumbuan
9.
Tembakau dan sirih
10. Makanan dan minuman jadi 11. Rokok 12. Kopi, teh, gula 13. Konsumsi lainnya...
TOTAL 15.
Non Konsumsi
1.
Perumahan dan fasilitas rumahtangga
2.
Listrik
3.
Pendidikan
4.
Biaya kesehatan
5.
Pakaian, alas kaki, tutup kepala
6.
Barang tahan lama
7.
Pajak/asuransi
8.
Keperluan pesta upacara atau kegiatan social Transportasi
9.
10. Membeli pupuk 11. Membayar pekerja pertanian 12. Menyewa traktor
RP.
114
TOTAL
IV.
NO
MODAL ALAM (X1)
(X1.1) TINGKAT KEPEMILIKAN TANAH (1. Tidak; 2. Ya) (Jika YA sebutkan)
16.
Apakah anda memiliki lahan sawah?
...............m2
17.
Apakah anda memiliki lahan kebun?
...............m2
(X1.2) TINGKAT KEPEMILIKAN TAMBAK(1. Tidak; 2. Ya) (Jika YA sebutkan) 18.
Apakah anda memiliki lahan tambak?
...............m2
19.
Apakah anda memiliki lahan rawa?
...............m2
(X1.3) AKSES TERHADAP TANAH (1. Tidak; 2. Ya) (Jika YA, diberikan skor 1-3, dimana nilai 1 menunjukkan KADANG-KADANG, nilai 2 menunjukkan SERING, dan nilai 3 menunjukkan SANGAT SERING) 20.
Apakah anda dapat melakukan kegiatan bertani dan berkebun?
21.
Apakah anda melakukan kegiatan bertani/berkebun di lahan milik sendiri?
22.
Apakah anda melakukan kegaiatan bertani/berkebun di lahan milik orang lain?
23.
Apakah anda bisa bekerja menjadi buruh tani dilahan milik orang lain?
24.
Apakah anda mengelola sawah/kebun milik orang lain?
(X1.4) AKSES TERHADAP TAMBAK (1. Tidak; 2. Ya) (Jika YA, diberikan skor 1-3, dimana nilai 1 menunjukkan KADANG-KADANG, nilai 2 menunjukkan SERING, dan nilai 3 menunjukkan SANGAT SERING) 25.
Apakah anda menglola tambak milik sendiri?
26.
Apakah anda mengelola tambak milik orang lain?
27.
Apakah anda menjadi buruh di tambak pada saat panen?
NO
V.
MODAL MANUSIA (X2)
(X2.1) JUMLAH ANGGOTA KELUARGA YANG BEKERJA
KODE
115
28.
1. 2. 3. 4.
Selain anda, adakah anggota keluarga lainnya yang bekerja?
Hanya sendiri Pasangan Anak...... orang Anggota keluarga lain ............. orang
(X2.4) BANYAKNYA KETERAMPILAN ANGGOTA KELUARGA 1 29.
2
3
4
5
6
Bapak Ibu Anak 1 Anak 2 Anak 3 Anggota lainnya 1 Anggota lainnya 2
Keterangan: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Pertukangan Perbengkelan Membuat bantu bata Menangkap ikan Masak memsak Menjahit Lainyya................................................ (sebutkan)
VI.
NO
MODAL FISIK (X3)
(X3.1) KEPEMILIKAN ASET PERTANIAN (1. Tidak; 2. Ya) (Jika YA, sebutkan jumlahnya)
30.
Apakah anda memiliki sendiri cangkul?
31.
Apakah anda meminjam cangkul?
32.
Apakah anda menyewa cangkul?
33.
Apakah anda memiliki mesin traktor?
34.
Apakah anda meminjam mesin traktor?
35.
Apakah anda menyewa mesin traktor?
36.
Apakah anda memiliki mesin penggilingan padi?
37.
Apakah anda meminjam mesin penggilingan padi?
38.
Apakah anda memywea mesin penggilingan padi?
KODE
116
(X3.2) KEPEMILIKAN ASET NON PERTANIAN (1. Tidak; 2. Ya) (Jika YA, sebutkan jumlahnya) 39.
Apakah anda memiliki mobil?
40.
Apakah anda memiliki motor?
41.
Apakah anda lemari es?
42.
Apakah anda memiliki mesin cuci?
43.
Apakah anda memiliki televisi berwarna?
44.
Apakah anda memiliki kipas angin listrik?
45.
Apakah anda memiliki perhiasan emas?
46.
Apakah anda memiliki AC?
NO
(X4.1) BANYAKNYA JARINGAN (1. Tidak; 2. Ya) (Jika YA, beri nilai 0-5, dimana nilai 5 menunjukkan sangat mengenal)
47.
Apakah anda mengenal ketua RT?
48.
Apakah anda mengenal ketua RW?
49.
Apakah anda mengenal kepala Desa?
50.
Apakah anda mengenal aparat Kecamatan?
51.
Apakah anda mengenal aparat kabupaten?
52.
Apakah anda mengenal tokoh masyarakat?
53.
(X4.2) TINGKAT KEPERCAYAAN (1. Tidak; 2. Ya) (Jika YA, beri nilai 05, dimana nilai 5 menunjukkan sangat percaya)
54.
Apakah anda percaya kepada warga sekitar?
55.
Apakah anda percaya kepada ketua RT?
56.
Apakah anda percaya kepada ketua RW?
57.
Apakah anda percaya kepada kepala desa?
58.
Apakah anda percaya kepada aparat kecamatan?
59.
Apakah anda percaya kepada tokoh masyarakat?
VII.
60. 61.
MODAL SOSIAL (X4)
(X4.3) JUMLAH ORGANISASI YANG DIIKUTI Bagaimana keikutsertaan RT dalam
1.
Anda Sendiri
organisasi?
2.
Pasangan
KODE
117
3.
Anak 1
4.
Anak 2
5. 6.
Anak 3
7.
Anggota lainnya
BENTUK ORGANISASI 1.
Kelompok Nelayan
10.
Kelompok komersil
2.
Koperasi
11.
Kelompok budaya
3.
Kelompok Keagamaan
12.
Partai politik
4.
Kelompok Profesi
13.
Kelompok pemuda
5.
Sindikat
14.
Kelompok pengolah hasil laut
6.
Kelompok Kredit
15.
Kelompok belajar
7.
Kelompok masyarakat
16.
Kelompok kesehatan
8.
Kelompok warga
17.
Kelompok olahraga
9.
LSM
18.
Lainnya……..
VIII.
NO 62.
MODAL FINANSIAL (X5)
(X5.1) PENDAPATAN ON-FARM PER BULAN (1. Tidak; 2. Ya) (Jika YA, Sebutkan besarannya dalam rupiah) Apakah rumahtangga mendapatkan pemasukan dari bidang on farm?
Rp.
(X5.2) PENDAPATAN OFF-FARM PER BULAN (1. Tidak; 2. Ya) (Jika YA, Sebutkan besarannya dalam rupiah) 63.
Apakah rumahtangga mendapatkan pemasukan dari bidang off-farm?
Rp.
(X5.3) PENDAPATAN NON-FARM PER BULAN (1. Tidak; 2. Ya) (Jika YA, Sebutkan besarannya dalam rupiah) 64.
Apakah rumahtangga mendapatkan pemasukan dari bidang non-farm?
Rp.
KODE
118
(X5.4) BESARNYA TABUNGAN (1. Tidak; 2. Ya) (Jika YA, Sebutkan besarannya dalam rupiah) 65.
Apakah rumahtangga memiliki tabungan di Bank Convensional?
Rp
66.
Apakah rumahtangga memiliki tabungan di Bank Desa/Koperasi?
Rp
67.
Apakah rumahtangga ikut dalam arisan?
Rp
68.
Apakah rumahtangga mendapatkan remiten?
Rp
(X5.5) KEPEMILIKAN TERNAK (1. Tidak; 2. Ya) (Jika YA, Sebutkan besarannya dalam rupiah) 69.
Apakah rumahtangga memiliki ternak sapi?
Rp
70.
Apakah rumahtangga memiliki ternak kambing/domba?
Rp
71.
Apakah rumahtangga memiliki ternak ayam?
Rp
NO
IX.
STRATEGI NAFKAH
INTENSIFIKASI DAN EKSTENSIFIKASI PERTANIAN (1. Ttidak, 2. Ya) (Jika YA, sebutkan) 72.
Apakah anda melakukan penanaman selain di sawah? Jika YA, sebutkan dimana?
73.
Apakah pada saat terjadi krisis, anda berpindah dari menanam padi menjadi menanam jagung, ubi, dsb?
74.
Apakah ada teknik khusus yang dimiliki ketika krisis terjadi?
75.
Apakah anda meminjam saat terjadi krisis DIVERSIFIKASI MATA PENCAHARIAN
76.
Apakah rumahtangga melakukan pekerjaan lain selain bertani pada saat terjadi krisis? Jika YA, sebutkan jenis pekerjaan yang dilakukan.
77.
Lebih besar atau lebih kecilkah pendapatan dari pekerjaan lain pada saat terjadi krisis?
78.
Apakah seluruh anggota keluarga terlibat bekerja pada saat terjadi krisis? MIGRASI
KODE
119
79.
Apakah rumahtangga bekerja di luar daerah/luar negeri? Jika YA, sebutkan jenis pekerjaan yang dilakukan.
80.
Apa alasan rumahtangga bekerja di luar kota/ luar negeri?
81.
Apakah rumahtangga bekerja di luar daerah / luar negeri musiman atau dalam jangka waktu yang panjang?
NO 82.
X.
KETERPAPARAN (EXPOSURE) (Y2)
(Y2.1) JARAK SAWAH TERHADAP SUNGAI Berapakah jarak lahan sawah yang anda miliki terhadap sungai yang menjadi sumber banjir?
..............m
(Y2.2) TERKENA BANJIR DALAM SATU TAHUN 83.
Berapakali sawah yang anda miliki terkena banjir dalam satu tahun
..............m
(Y2.3) PERSENTASE LAHAN SAWAH YANG TERKENA BANJIR 84.
NO
Berapa luas lahan sawah anda yang terkena banjir setiap tahun?
XI.
..............m2
KAPASITAS ADAPTASI (Y3)
(Y3.1) JUMLAH PILIHAN SUMBER NAFKAH
85.
Ada berapa jenis pekerjaan yang tersedia di wilayah tempat tinggal anda?
86.
Apa jenis pekerjaan yang bisa dilakukan oleh anggota rumahtangga?
1. Anda
2. pasangan
3. Anak 1
4. Anak 2
5. Anak 3
6. Anggota lainnya
1. 2. 3. 1. 2. 3. 1. 2. 3. 1. 2. 3. 1. 2. 3. 1. 2.
............................ (sebutkan) ............................ (sebutkan) ............................ (sebutkan) ............................ (sebutkan) ............................ (sebutkan) ............................ (sebutkan) ............................ (sebutkan) ............................ (sebutkan) ............................ (sebutkan) ............................ (sebutkan) ............................ (sebutkan) ............................ (sebutkan) ............................ (sebutkan) ............................ (sebutkan) ............................ (sebutkan) ............................ (sebutkan) ............................ (sebutkan)
120
3. ............................ (sebutkan) (Y3.2) TINGKAT KEBERFUNGSIAN LEMBAGA (Beri nilai 1-3, dimana angka 1 menunjukkan tidak pernah, angka 2 menunjukkan kadang-kadang, dan angka 3 menunjukkan sering)
87.
Apakah organisasi membantu rumahtangga ketika krisis?
88.
Apakah organisasi memberikan bantuan dalam bentuk uang?
Jenis pekerjaan : 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Menjadi buruh bangunan bMenjadi buruh tambang Membuat kerajinan tambang Menjadi buruh di pasar Menjadi tukang ojek Menjadi sopir angkot
7. 8. 9. 10. 11.
Menjadi montir menjadi buruh cuci Lainnya Lainnya Lainnya