KELENTINGAN NAFKAH MASYARAKAT DESA DI KAWASAN BANJIR (Kasus:Daerah Aliran Sungai Cibeet, Desa Karangligar, Kecamatan Telukjambe Barat, Kabupaten Karawang)
ABEDNEGO GIOVANNY
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kelentingan nafkah masyarakat desa di kawasan banjir(Kasus:Daerah Aliran Sungai Cibeet, Desa Karangligar,Kecamatan Telukjambe Barat, Kabupaten Karawang).adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2016
Abednego Giovanny NIM I34120082
ABSTRAK ABEDNEGO GIOVANNY. Kelentingan nafkah masyarakat desa di kawasan banjir (kasus:Daerah Aliran Sungai Cibeet, Desa Karangligar,Kecamatan Telukjambe Barat, Kabupaten Karawang).Dibimbing oleh ARYA HADI DHARMAWAN Bencana alam layaknya banjir tidak dapat duga datangnya, para petani yang menggatungkan hidupnya terhadap pertanian harus berjuang keras untuk bertahan dari banjir, petani tidak bisa lagi menggantungkan hidupnya dengan modal alam saja namun mulai menggunakan modal sosial, modal finansial, modal fisik dan modal manusia. Petani yang terkena banjir mengalami kerentanan nafkah akibat banjir. Pemanfaatan dari kelima buah modal akan mempengaruhi sebrapa parah kerentananan yang diakibatkan oleh banjirdiduga terdapat pengaruh antara modal nafkah dengan tingkat kerentanan rumahtangga (Livelihood Vulnerability Index). Modal nafkah yang diukur berupa modal manusia, modal sosial, modal alam, modal fisik dan modal finansial, sedangkan tingkat kerentanan diukur denganexposure, sensitivity, dan adaptice capacity. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa terdapat pengaruh antara modal alam, modal finansial, dan modalmanusia di daerah banjir sedangkan pada daerahnon banjir modal nafkah yang berpengaruh adalah modal alam, modal manusia dan modal fisik Kata kunci:Livelihood Vulnerability Index, Modal Nafkah, Struktur Nafkah, Daerah Aliran Sungai
ABSTRACT ABEDNEGO GIOVANNY. Resilience of village community in flooded area (Case:Watershed of Cibeet, Village of Karangligar, Sub-District of Telukjambe barat, District of Karawang).Supervised byARYA HADI DHARMAWAN Natural disasters like floods can not expect the arrival of farmers whose agricultural depend his life struggling to survive the flood, farmers can no longer rely on natural capital but began using sosial capital, financial capital, physical capital and human capital. Farmers affected by flooding may be vulnerable livelihoods in the floods. Utilization of the five pieces of capital will affect vulnerability severe flooding caused by Allegedly there is influence between capital income with the level of vulnerability of farming households (Livelihood Vulnerability Index). Capital income as measured in the form of human capital, sosial capital, capital natural, physical capital and financial capital, while the level of vulnerability was measured by the exposure, sensitivity, and adaptice capacity. Results from the study showed that there are significant between natural capital, financial capital, and human capital modes in flooded areas, while in non-flooded areas which affect livelihood capital is the natural capital, human capital and physical capital Keywords:Livelihood Vulnerability Index, Livelihoods Assets, Livelihoods structure, Watershed
KELENTINGAN NAFKAH MASYARAKAT DESA DI KAWASAN BANJIR (kasus:Daerah Aliran Sungai Cibeet, Desa Karangligar, Kecamatan Telukjambe Barat, Kabupaten Karawang)
ABEDNEGO GIOVANNY
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan atas kepada Tuhan Yesus Kristus sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul Kelentingan nafkah masyarakat desa di kawasan banjir. (kasus:Daerah Aliran Sungai Cibeet, Desa Karangligar,Kecamatan Telukjambe Barat, Kabupaten Karawang).Skripsi ini merupakan rangkaian proses untuk memahami dan menjelaskan pengaruh modal nafkah terhadap Livelihood Vulnerability Index. Berdasarkan hasil observasi lapang dan analisis berbagai pustaka yang ada, diharapkan akan muncul gagasan baru yang berkaitan dengan ilmu Livelihood Skripsi ini tidak mungkin terwujud tanpa bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc. Agr selaku dosen pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan selama proses penulisan hingga penyelesaian skripsi ini 2. Ibu Tri Panji Asih dan Bapak Agustinus Kombong, orang tua tercinta, serta Agstried Elisabeth Pieter sebagai kakak, yang selalu berdoa dan senantiasa melimpahkan kasih sayangnya untuk penulis 3. Dosen di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat yang telah memberikan banyak ilmu pengetahuan akademisi 4. Teman Bimbingan Saya Egi Nuridwan dan Aditya Cahyayang bersedia meluangkan waktunya untuk menjawab pertanyaan – pertanyaan yang sering penulis tanyakan 5. TerhadapAlvian Rizky, Ahmad Zikri Fadhilah, Ferdhian Irvandiaz, Yudhiansyah Eka Syahputra, Falahudin Rachman, Ridho Pangestu Risali, Tri Wicaksono, Vanny Ardianto, Iqbal Syahroni, Almira Devina, Raden Irinne, Dinda Saraswati, Sri Agustin, Rezky Eka, serta Nyayu Zahra yang senantiasa mau mendengarkan keluh kesah penulis ketika penulisan ini berlangsung 6. Anggota Ipa Gembel yang membuat saya tetap bertujuan untuk mencari “kesuksesan” dan tetap jalan di dalam track yang sama 7. Kepada 151 mahasiswa Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat angakatan 49
BogorJuli 2016
Abednego Giovanny
DAFTAR ISI DAFTAR ISI
vi
DAFTAR TABEL
i
DAFTAR GAMBAR
3
DAFTAR BOXING
3
DAFTAR LAMPIRAN
4
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Rumusan Masalah
3
Tujuan Penelitian
4
Kegunaan Penelitian
5
PENDEKATAN TEORITIS
7
Daerah Aliran Sungai dan Variabilitas Iklim
7
Rumahtangga dan Nafkah
10
Resiliensi dan Kerentanan
12
METODE PENELITIAN
17
Lokasi dan Waktu Penelitian
17
Teknik Pengumpulan Data
17
Definisi Operasional
18
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
23
GAMBARAN UMUM
25
Kondisi Fisik
25
Kondisi Sosial
26
Kondisi Ekonomi
26
STRUKTUR NAFKAH RUMAHTANGGA DUA KOMUNITAS
29
Lapisan Rumahtangga Wilayah Banjir
29
Struktur Nafkah Rumahtangga Di Wilayah Banjir
30
Lapisan Rumahtangga Wilayah Tidak Banjir
34
Strukstur Nafkah Lapisan Rumahtangga Wilayah Non Banjir
35
Tingkat Kemiskinan Rumahtangga
38
Struktur Pengeluaran Pertahun Berdasarkan Lapisan Rumahtangga Di Wilayah Banjir 39
Struktur PengeluaranPertahun Berdasarkan Lapisan Rumahtangga Di Wilayah Non Banjir 41 Struktur Pengeluaran dan Saving Capacity Rumatangga Petani di Dua Komunitas
43
Ikhtisar
48
BASIS MODAL NAFKAH RUMAHTANGGA DI DUA KOMUNITAS
50
Ketersediaan Modal Nafkah Rumahtangga Di Wilayah Banjir
50
Ketersediaan Modal Nafkah Rumahtangga di Wilayah Tidak Banjir
54
Analisis Modal Nafkah Di Kedua Wilayah
56
Ikhtisar
58
LIVELIHOOD VULNERABILITY INDEX DI WILAYAH BANJIR DAN NON BANJIR 60 Analisis Perhitungan Livelihood Vulnerability Index di Wilayah Banjir
60
Analisis Perhitungan Livelihood Vulnerability Index di Wilayah Non Banjir 65 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Livelihood Vulnerability Index di Dua Wilayah 71 Pengaruh Modal Nafkah terhadap Livelihood Vulnerability Index
73
Ikhtisar
80
PENUTUP
81
Kesimpulan
81
Saran
81
DAFTAR PUSTAKA
82
LAMPIRAN
85
Riwayat Hidup
105
DAFTAR TABEL 1 Data Rasio Qmax/Qmin pada beberapa sungai di Indonesia (Kartiwa dan Parwitan, 2010) 2 Livelihood Vulnerability Index Dusun Pangasinan, Desa Karangligar tahun 2014 – 2015 3 Livelihood Vulnerability Index lapisan atas Dusun Pangasinan, Desa Karangligar tahun 2014 - 2015 4 Livelihood Vulnerability Index lapisan menengah Dusun Pangasinan, Desa Karangligar tahun 2014 - 2015 5 Livelihood Vulnerability Index lapisan bawah Dusun Pangasinan, Desa Karangligar tahun 2014 - 2015 6 Livelihood Vulnerability Index Dusun Kampek, Desa Karangligar tahun 2014 – 2015 7 Livelihood Vulnerability Index lapisan atas Dusun kampek, Desa Karangligar tahun 2014 - 2015 8 Livelihood Vulnerability Index lapisan menengah Dusun kampek, Desa Karangligar tahun 2014 - 2015 9 Livelihood Vulnerability Index lapisan Bawah Dusun kampek, Desa Karangligar tahun 2014 - 2015 10 Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kerentanan nafkah rumahtangga di Dusun Pangasinan, Desa Karangligar tahun 2014 2015 11 Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kerentanan nafkah rumahtangga di Dusun Kampek, Desa Karangligar tahun 2014 -2015 12 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kerentanan dan modal alam rumahtangga di Dusun Pangasinan, Desa Karangligar tahun 2014 - 2015 13 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kerentanan dan modal finansialrumahtangga di Dusun Pangasinan, Desa Karangligar tahun 2014 - 2015 14 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kerentanan dan modal manusia rumahtangga di Dusun Pangasinan, Desa Karangligar tahun 2014 - 2015 15 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kerentanan dan modal alam rumahtangga di Dusun Kampek, Desa Karangligar tahun 2014 - 2015 16 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kerentanan dan modal manusia rumahtangga di Dusun Kampek, desa Karangligar tahun 2014 - 2015 17 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kerentanan dan modal fisik rumahtangga di Dusun Kampek, Desa Karangligar tahun 2014 – 2015
9 61 62 63 64 66 67 68 70
71 73
74
75
76
77
78
79
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4
5 6 7 8 9
10
11
12
13 14 15
Komponen – komponen ekosistem DAS. Kerangka Pemikiran Distribusi lapisan rumahtangga di Dusun Pangasinan, Desa Karangligar, tahun 2014-2015 Struktur nafkah pendapatan rumahtangga rata – rata per tahun menurut lapisan di Dusun Pangasinan, Desa Karangligar tahun 2014, tahun 2014 – 2015 Lapisan rumahtangga di Dusun Kampek, Desa Karangligar tahun 2014 – 2015 Lapisan struktur nafkah rumahtangga di Dusun Kampek Desa Karangligar tahun 2014 - 2015 Persentase lapisan stuktur nafkah rumahtangga di Dusun Kampek, Desa Karangligartahun 2014 – 2015 Pendapatan per kapita di wilayah banjir dan non banjir di Desa Karangligar tahun 2014 - 2015 Perbandingan pengeluaran konsumsi dan non konsumsi rata-rata rumahtangga per tahun di Dusun Pangasinan, Desa Karangligar tahun 2014 – 2015 Perbandingan pengeluaran konsumsi dan non konsumsi rata-rata rumahtangga per tahun di Dusun Kampek, Desa Karangligar tahun 2014 – 2015 Perbandingan struktur pendapatan rata-rata dan pengeluaran rata-rata rumahtangga per tahun di Dusun Pangasinan, Desa Karangligar tahun 2014 – 2015 Perbandingan struktur pendapatan rata-rata dan pengeluaran rata-rata rumahtangga per tahun di Dusun Kampek, Desa Karangligar tahun 2014 – 2015 Pemanfaatan modal nafkah berdasarkan lapisan atasrumahtangga di wilayah banjir, Dusun Pengasinan, Desa Karangligar tahun 2014-2015 Pemanfaatan modal nafkah berdasarkan lapisan rumahtangga di wilayah non banjir, Dusun Kampek, Desa Karangligar tahun 2014-2015 Basis modal nafkah rumahtangga di Desa Karangligar, tahun 2014 – 2015
8 15 30
31 34 35 36 38
39
42
44
48 51 54 57
DAFTAR BOXING 1 Pendapatan, , pengeluaran, dan saving capacity rumahtangga lapisan bawah 2 Pendapatan, Pengeluaran, dan Saving Cpacityrumahtangga lapisan menengah 3 Pendapatan, Pengeluaran, Saving capacity rumahtangga lapisan atas
45 46 47
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6
Analisis Regresi Crosstab Kuesioner Foto Profil Desa Dokumentasi Penelitian Kerangka Sampling
85 86 88 99 100 102
PENDAHULUAN Latar Belakang Daerah aliran sungai atau DAS merupakan air yang mengalir pada suatu kawasan yang dibatasi oleh titik-titik tinggi dimana air tersebut berasal dari air hujan yang jatuh dan terkumpul dalam sistem tersebut, menurut Pasaribu dan Suradisastra (2010) DAS atau Daerah Aliran Sungai merupakan suatu kesatuan ekosistem yang unsur – unsur utamanya terdiri dari atas sumber daya alam tanah, air, dan vegetasi, serta manusia sebagai pelaku yang menggunakanya serta memanfaatakan sumber daya tersebut. Sungai merupakan sumber daya air yang dari hulu hingga kehilir.UU no 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air bahwa sumber daya air merupakan karunia untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam segala bidang. Menurut Pramono (2013) Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu sistem alam yang menjadi faktor pendukung dalam penyediaan kebutuhan air. Menurut Pramono (2013) DAS juga dipandang sebagai sistem alam yang menjadi tempat berlangsungnya proses kehidupan berbagai macam hewan maupun tumbuhan, serta kegiatan sosial-ekonomi masyarakat, jadi daerah aliran sungai merupakan sumber daya air yang berguna sebagai alat ketergantungan dari masyarakat untuk bertahan hidup. Menurut Pramono (2013) DAS juga dipandang sebagai sistem alam yang menjadi tempat berlangsungnya proses kehidupan berbagai macam hewan maupun tumbuhan, serta kegiatan sosial-ekonomi masyarakat. Banyaknya kegiatan sosial-ekonomi yang berada di DAS yang berasal dari hulu menuju hilir melibatkan banyak kegiatan mata pencaharian, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mustikasari (2011) menguatkan pernyataan diatas bahwa masyarakat hulu memiliki penggunaan sumber air yang lebih sederhana dan mata pencaharian sama yaitu bermata pencaharian sebagai petani, sedangkan masyarakat yang berada di hilir dan tengah lebih kompleks dalam berketergantungannya terhadap air dan mata pencahariannya lebih bervariasi atau beragam seperti pertanian, perikanan, industri, rumahtangga, dan penggunaan air lainnya. Rumahtangga pertanian sangat bergantung kepada sumber daya air untuk keperluan irigasi, menanam, serta rumahtangga, sesuai dengan salah satu darilima modal livelihood asset yang diutarakan oleh Ellis (2000) yaitu modal alam bahwa rumahtangga pertanian akan sangat bergantung kepada alamnya dalam kasus ini adalah rumahtangga pertanian yang berada di hulu sungai akan bergantung kepada sungai, sehingga bila bencana datang maka akan terlampau sulit untuk menghadapinya. Menurut data sensus BPS (2013) jumlah petani di Indonesia sejumlah 26.135.469 Jiwa. Jumlah petani tersebut menurun karena pertanian merupakan sektor yang insecure dan penuh ketidakpastian, hali ini pun diperkuat oleh penelitian yang dilakukan Azzahra (2015). Menurut Azzahra (2015),saat kondisi normal (tanpa bencana) usaha tani adalah usaha yang rentan, sehingga dengan ditambah adanya bencana dapat memperparah keadaan. Hal ini mengakibatkan kehidupan petani jauh dari berkecukupan. Lanjut Azzahra (2015) Sektor pertanian merupakan sektor yang cukup rentan terhadap berbagai gejala alam seperti
2
perubahan musim, cuaca, dan bencana alam. Menurut UU No. 24 tahun 2007 definisi bencana adalahperistiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam atau faktor non alammaupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana alam yang sering terjadi di daerah sungai dapat berupa bencana banjir pada musim hujan dan bencana kekeringan pada musim kemarau. Proses terjadinya bencana yang tidak dapat dipastikan ini salah satunya merupakan hasil dari varibilitas iklim. Variabilitas iklim menurut Loo et.al (2014) adalah kondisi perubahan iklim yang berubah – ubah yang mempengaruhi cuaca setempat. Selain cuaca yang tidak dapat ditebak efek yang langsung dirasakan petani akibat variabilitas iklim menurut Yegbemey et al (2014) petani jadi memaju – mundurkan kalender musim menyesuaikan kedadaan serta menggunakan teknik Double sowing. Kemudian akibat dari variabilitas dan perubahan iklim yang terjadi akan mengakibatkan krisis ekologi di bagian DAS. Menurut Dharmawan (2007) krisis ekologi adalah suatu keadaan dimana sisem ekologi mengalami ketidakstabilan kesetimbangan pada fungsi – fungsi disteribusi serta akumulasi energi-materi antara satu organisme lain dan alam lingkungannya. Menurut penelitian Wulan (2014) krisis ekologi akan mengganggu keseimbangan ekologi dan akhirnya akan mengancam eksistensi manusia sebagai pelaku utama dalam ekologi. Krisis ekologi di Daerah Aliran Sungai akan menyebabkan banjir bagi pertanian sekitarnya, krisis ekologi akibat dari variabilitas dan perubahan iklim yang akan menyebabkan banjir. Menurut BNPB1banjir adalah peristiwa atau keadaan dimana terendamnya suatu daerah atau daratan karena volume air yang meningkat. Bencana banjir yang datang menyebabkan rumahtangga pertanian yang memang dasarnya rentan akan kesulitan. Menurut Azzahra (2015) berbagai gagal panen yang dialami oleh petani disebabkan oleh kondisi alam yang tidak dapat diprediksi oleh rumahtangga serta hadirnya bencana alam, dalam hal ini banjir. Saat kondisi bencana alam tiba petani tidak hanya menggunakan modal alamnya saja tetapi menggunakan kelima aset yang mereka punya, yaitu modal alam, modal manusia, modal fisik, modal finansial, dan modal sosial (Ellis, 2000). Saat kondisi kritis itu terjadi petani memiliki suatu kelentingan – kelentingan tersendiri dalam menghadapinya. Menurut Obrist et al (2010) dalam Speranza (2014) resiliensi sosial adalah kemampuan dari suatu grup atau komunitas untuk mengatasi tekanan dan gangguan dari luar sebagai hasil dari perubahan sosial, politik dan lingkungan. Menurut Holing (1973) dalam Speranza (2014) mengatakan bahwa resiliensi nafkah merupakan sebuah ukuran persisten sistem dan kemampuannya menyerap perubahan dan gangguan, serta tetap mempertahankan hubungan antar populasi dan peubah keadaan(state variable). Dalam rumahtangga resiliensi merupakan kondisi kembalinya rumahtanga petani menuju kondisi semula setelah terjadi bencana yang menimpa rumahtangga yang rentan dari bencana itu. 1
Data diakses melalui situs Badan Nasional Penanggulangan Bencana. http://www.bnpb.go.id/pengetahuan-bencana/definisi-dan-jenis-bencana. Hari Senin, tanggal 11 Januari 2015 pada Pukul 14.40 WIB
Penelitian ini akan melihat sisi kelentingan nafkah dari kerentanannya, bila kelentingan atau resilienc emerupakan sebuah konsep positif maka kerentanan merupakan konsep negatif, dimana kerentanan itu sendiri merupakan sebuah sebuah konsep utama dalam penelitian perubahan iklim sama seperti dengan peneitian komunitas yang berhadapan dengan bencana alami, manajemen bencana, ecology, kesehatan publik, kemiskinan dan perkembangan, keamanan nafkah dan kelaparan, ilmu berkelanjutan, serta perubahan lahan (Fussel 2006). Lanjut dari Adger(1999) mendefinisikan 'kerentanan' sebagai keterpaparan dari kelompok atau individu yang terkena tekanan karena lingkungan sosial maupun perubahan lingkungan yang mengganggu mata pencaharian. Lanjut Adger(1999) jugamendefinisikan 'kerentanan sosial' sebagai paparan dari individu atau kelompok stres dari risiko eksogen, terutama dari climate shock. Kemudian kerentanan tersebut akan diukur melalui 3 indikator yaitu, sensitifitas, keterpaparan, dan kapasitas adaptasi yang dibuat menjadi Livelihood Vulnerability Index. Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Banjir merupakan salah satu bencana alam yang biasa terjadi di daerah tertentu di Indonesia pada musim hujan. Desa Karangligar, Kecamatan Telukjambe Barat, Kabupaten Karawang merupakan sebuah lokasi dimana efek dari krisis ekologi yaitu berupa banjir yang diakibatkan oleh variabilitas iklim sejak tahun 2007. Rumahtangga di daerah ini mengalami kerentanan akibat adanya banjir yang menyerang sawah mereka setiap tahunnya. Studi kerentanan merupakan studi lanjut tentang penghidupan petani dibawah ketidak pastian cuaca akibat variabilitas iklim yang mengakibatkan banjir. Kerentanan dapat dilihat dari keterpaparannya, sensitifitasnya, dan kapasitas adaptasinya dari ketigabuah indikator tersebut menarik untuk melihat kelentingan nafkah petani yang dilihat dari kerentanannya oleh karena itu penulis merasa menarik untuk meneliti bagaimana struktur dan kelentingan nafkah rumahtangga pada saat banjir di kawasan daerah aliran sungai dengan pendekatan Livelihood Vulnerability Index.
Rumusan Masalah Variabilitas iklim merupakan kondisi perubahan iklim yang berubah – ubah yang mempengaruhi cuaca setempat (Loo et al. 2014). Efek dari variabilitas iklim adalah musim hujan yang lebih lama dari biasanya hingga musim kemarau yang lebih lama dari biasanya. Krisis ekologi berupa variabilitas iklim ini mengakibatkan banjir berbagai daerah dan menyebabkan kerusakan terutama dibidang pertanian. Krisis ekologi dibidang pertanian ini menyebabkan kesulitan bagi rumahtangga pertanian, bila awalnya rumahtangga pertanian memiliki strategi – strategi nafkah dalam kesehariannya namun akibat datangnya krisis ekologi ini rumahtangga yang sudah dari awalnya rentan semakin menjadi rentan ini akibat datangnya banjir, seperti halnya Desa Karangligar Kecamatan Telukjambe Barat
4
Kabupaten Karawang. Rumahtangga Desa Karangligar ini mengalami kebanjiran yang mengakibatkan memiliki kesiapan dan kesigapan yang berbeda dalam struktur nafkahnya dengan desa yang tidak mengalami banjir. Oleh karena itu penulis ingin melihat bagaimana struktur nafkah dan modal nafkahmasyarakat desa pada saat banjir. Perbedaan dalam stuktur nafkah serta pemanfaatan dalam modal – modal nafkah menyebabkan perbedaan dalam kerentanan yang dialami rumahtangga .Kerentanan yang dialamirumahtangga kemudian dikembangkan hasilnya kembali dengan menghitung atau mengetahui susunan dari kerentanan yang terjadi dan membandingkan kerentanan dari Dusun pada Desa Karangligar yang terkena banjir dengan Dusun lainnya yang tidak terkena banjir. Maka dari itu bagaimana perbedaan Livelihood Vulnerabulity Indexmasyrakat desa yang terkena banjir dan yang tidak. Rumahtangga pertani dapat dipandang satu kesatuan ekonomi, mempunyai tujuan untuk mencukupkan nafkah bagi keluarganya, ketergantungan keluarga petani dengan DAS merupakan salah stau strategi nafkah petani dalam bidang alam (Purnomo 2005). Rumahtangga merupakan sturktur kesatuan ekonomi yang sangat rentan dengan perubahan ataupun yang melibatkan dengan nafkahnya. Krisis ekologi yang berupa banjir mengakibatkan petani menjadi semakin rentan. Sawah yang merupakan sumber pertanian terendam banjir selama beberapa saat dan mempengaruhi baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Pengaruhnya terhadap rumahtangga pertanian menyebabkan petani merubah strategi nafkahnya dengan memanfaatkan lima buah model yaitu modal alam, modal fisik, modal manusia, modal finansial, dan modal fisik untuk kembali ke kondisi semula dari titik paling bawahnya dan melalui kerentanannya. Secara logika seharusnya rumahtangga tingkatan modal nafkah lebih tinggi maka akan lebih bertahan dan yang tingkatan modal nafkah lebih rendah sudah pasti mengalami mal adaptasi atau gagalnya beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Oleh karena itu untuk melihat strategi nafkah dan kerentanannya maka bagaimana pengaruh pemanfaatan Livelihood asset dalam kerentanan yang dialamimasyarakat desa saat banjir.
Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian dari hasil penelitian ini adalah: 1. Menganalisis struktur nafkahrumahtangga dan modal nafkah rumahtangga pada saat banjir. 2. Menganalisis Livelihood Vulnerability Indexmasyarakat desa yang mengalami banjir dan yang tidak mengalami banjir. 3. Menganalisis pengaruh pemanfaatan livelihood assetmasyarakat desa dalam tingkat kerentanan yang dialami petani saat banjir.
Kegunaan Penelitian Penelitian ini memiliki kegunaan sebagai berikut: 1. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan menjadi proses pembelajaran dalam memahami fenomena sosial di lapangan. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan literatur mengenai topik yang terkait. 2. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai kondisi desa, serta memaparkan berbagai livelihood assets dan pemanfaatannya dalam kerentanan oleh rumahtangga dalam bertahan hidup, sehingga menjadi referensi bagi rumahtangga lainnya untuk mengetahui seberapa besar kontribusi masing-masing modal nafkah. 3. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan menjadi suatu saran dalam memberikan informasi dan data untuk pembuatan kebijakan yang terkait dengan pertanian, bencana alam, Livelihood Vulnerability
6
PENDEKATAN TEORITIS Daerah Aliran Sungai dan Variabilitas Iklim Variabilitas dan Perubahan Iklim Perubahan iklim menurut Loo et.al (2014) tidak bisa dihindari dan tak akan terbendung di alam ini, namun pada abad 20 ini perubahan iklim terjadi karena berhubungan dengan antropologi yaitu berhubungan dengan pembakaran bahan bakar fosil, emisi gas rumah kaca yang berlebihan, serta urbanisasi. Ahmed et.al (2013) dalam Ahmed dan Diana (2015) dalam penelitiannya mengenai Coastal to inland: Expansion of prawn farming for adaptation to climate change in Bangladeshmengatakan bahwa bagian pesisir Bangladesh rusak akibat perubahan iklim, adanya peningkatan resiko kerusakan dari kombinasi variabilitas iklim, termasuk: (1) banjir pantai, (2)badai, (3) kekeringan, (4) curah hujan, (5) salinitas, (6) kenaikan permukaan laut, dan (7) suhu permukaan laut.
Pengertian DAS Daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggung – punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya kelaut melalui sungai utama (Mediansyah 2009). Lanjut Mediansyah (2009) Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu hamparan wilayah/ kawasan yang dibatasi topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsure hara serta mengalirkannya melalui anak – anak sungai dan keluar pada sungai utama ke laut atau danau. Linsey (1980) dalam Mediansyah (2009) menyebut DAS sebagai sebuah aliran sungai yang mencekung dan saling berhubungan sebagai sistem dari hulu hingga hilir. Menurut Manan (1976) DAS diartikan sebagai bentang lahan yang dibatasi oleh topografi pemisah aliran yaitu punggung bukit/gunung yang menangkap curahan hujan, menyimpan dan kemudian mengalirkannya melalui saluran – saluran pengaliran ke satu titik yang biasanya bermuara disungai tauoun danau. Menurut Prasetyo (2005) DAS merupakan suatu kesatuanunit sistem hidrologi, yaitu bahwa kuantitas dan kualitas air di outlet merupakan satu titik kajian hasil air (water yield). Lanjut Prasetyo (2005) water yield merupakan akumulasi aliran permukaan tanah (surface flow), aliran bawah tanah ( sub surface flow) dan aliran bumi (ground water flow). DAS itu sendiri berarti sebuah aliran hasil dari curahan hujan yang mengalir ke satu titik yang bisanya merupakan danau ataupun sungai.
Ekosistem DAS Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terdiri dari atas komponen – komponen yang saling beritegrasi sehingga membentuk suatu kesatuan (Mediansyah 2009). Sistem tersebut mempunyai sifat tertentu, tergantung jenis
8
komponen yang menyusunnya. Menurut Tejowulan dan Suwardji (2002) dalam Mediansyah (2009) DAS merupkan gabungan sejumlah sumber daya darat, yang saling berkaitan dalam suatu hubungan. Lanjut dari Tejowulan dan Suwardji (2002) yang dikutip oleh Medianyah (2009) Ekosistem terdiri atas komponen biotis dan abiotis yang saling berinteraksi membentuk suatu kesatuan yang teratur, komponen – komponen tersebut ialah iklim hayati, relief, geologi atau sumber daya mineral serta sumber daya alam berupa mahluk hidup disekitar DAS, dengan demikian dalam suatu ekositem DAS tidak ada suatu komponen pun yang berdiri sendiri, melainkan suatu hubungan baik itu besar atau kecil, berhubungan langsung ataupun tidak langsung. Ekosistem DAS itu sendiri berarti sebuah hubungan antar sumber daya, baik itu biotic ataupun abiotic yang saling berketerkaitan dantidak bisa berdiri secara sendiri namun dilihat secara holistik. Matahari
HUTAN
DESA
Sawah dan ladang
Tumbuhan Tanah
Manusia
Hewan Air
Sungai
Debit/Lumpur/Unsur Hara Sumber: Hidrologi dan Pengelolaan DAS (Asdak 2002) Gambar 1. Komponen – komponen ekosistem DAS. Gambar komponen – komponen ekosistem diatas menunjukan bahwa adanya hubungan timbal balik antar komponennya. Maka apabila terjadi perubahan pada salah satu komponen lingkungan maka akan mempengaruhi komponen – komponen yang lain, perubahan – perubahan pada komponen – komponen tersebut pada gilirannya dapat mempengaruhi keseluruhan sistem ekologi daerah tersebut. Degradasi DAS Berbagai permasalahan ditemukan di wilayah DAS saat ini, antara lain adalah: a) penurunan sumberdaya alamiah berupa lahan kritis di bantaran sungai serta eksploitasi dan konversi hutan di hulu untuk tata guna lahan lainnya, b) polusi dari sumber-sumber industri (sampah industri) domestik (sampah rumah
9
tangga dan sampah keras), pertanian (aliran atas bahan-bahan pestisida dan pupuk) dan sumber-sumber lain (penggalian/penambangan), c) konflik penggunaan lahan dengan tidak adanya akses ke arah sungai sebagai akibat padatnya pemukiman pada daerah tersebut, polusi yang sangat tinggi disepanjang DAS serta konservasi dan preservasi terhadap hutan versus konversi sumberdaya yang sama untuk dijadikan daerah pemukiman atau untuk tujuan-tujuan komersial lainnya, dan d) rusaknya kehidupan dan kepemilikan karena bencana banjir di kawasan hilir yang diakibatkan kerusakan di kawasan hulu (Clark 1996 dalam Suganda et al 2009 ). Menurut Mawardi (2010) DAS aliran sungai di pulau Jawa paling mengalami kerusakan paling sedikitnya ada 16 yang sudah dinyatakan kritis kerusakannya, keruskan DAS tersebut semakin diperparah akibat adanya perubahan iklim yang semakin tidak bisa di prediksi. Asdak (2002) mengemukakan erosi dan sedimentasi di DAS terjadi akibat banyaknya petani – petani yang membuka lahan pertanian tanpa memperhatikan kaidah – kaidah ekologis untuk bertahan hidup, kemudian lahan – lahan yang dibuka tersebut ketika hujan akan mengalir langsung menuju hilir dan akan meningkatkan muatan sedimen didaerah hilirnya. Menurut Kartiwa dan Parwitan (2010) sedimentasi merupakan lanjutan dari terjadinya erosi di daerah hulu sungai yang diakibatkan oleh limpasan. Lanjut Kartiwa dan Parwitan(2010) tentang sedimentasi hilangnya vegetasi hutan akibat pembukaan lahan pada suatu daerah aliran sungai selain membuat limpasan sekaligus juga meningkatkan laju erosi, erosi yang berlangsung secara terus menerus pada musim hujan dapat menyebabkan hilangnya lapisan atas tanah (top-soil), yang kemudian terbawa dan menyebabkan sedimentasi di sungai, selain itu erosi juga menyebabkan menurunnya tingkat kesuburan tanah. Erosi dan sedimentasi berarti sebuah pengikisan yang terjadi di sungai karena pembukaan lahan penyerapan air yang ada kemudian terjadinya penumpukan di hilir sungai akibat penumpukan top-soil yang terkikis oleh air. Nilai rasio debit sungai maksimum dan debit minimum menunjukan efektifitas suatu daeah aliran sungai dalam menyimpan surplus air pada musim hujan dan dialirkan pada musim kemarau (Kartiwa dan Parwitan 2010). Sedimentasi tanah yang teradi di DAS akibat penggunaan terus menerus yang menyebabkan penumpukan tanah di DAS (Astuti et al. 2008). Tabel 1. Data Rasio Qmax/Qmin pada beberapa sungai di Indonesia NO
Sungai
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
S. Citarum S. Cibuni S. Ciujung S. Solo (jateng) S. Serayu S. Lusi S. Progo S. Solo (jatim) S. Brantas S. Asahan S. Pasaman S. Bt. Hari (sumbar)
Rasio Qmax/ Qmin 57 – 1667 78 22 – 179 106 1667 345 400 -588 164 8 – 12 42 33 139
NO
Sungai
RasioQmax/Qmin
13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
S. Bt. Kuantan S. Bt. Kampar S. Bt. Rokan S. A. Dikit S. Bt. Hari (jambi) S. Musi S. Tulang Bawang S. Sekampung S. Paguyaman S. Randangan S. Cemranae S. Mapili S. L. Sampara
56 68 – 101 59 25 18 – 357 19 – 47 175 – 256 667 2500 72 60 – 2000 588 13
Sumber: (Kartiwa dan Parwitan, 2010)
10
Rumahtangga dan Nafkah Rumahtangga Ellis (2000) mengemukakan bahwa keluarga adalah unit sosial yang mempunyai hubungan kekeluargaan anatar orang, sedangkan rumah tangga adalah unit sosial yang berbagi tempat tinggal yang sama atau tungku yang sama. Menurut Madiyaningsih (2003) jika melihat dari segi ekonomi rumahtangga merupakan sebuah unit analisis dalam asumsi secara implisit bahwa yang dimaksud adalah sumber nafkah rumahtangga dimasukan, dibagikan dan keputusan dibuat oleh semua anggota yang sudah dewasa. Rumahtangga berarti kumpulan individu yang berbagi tempat tinggal yang sama serta tungku yang sama dimana dalam mengambil keputusan ekonominya dilakukan secara berembuk oleh anggota yang sudah dewasa. Fungsi rumahtangga menurut Mediansyah (2009) ) ada enam yaitu: 1. Alokasi sumberdaya yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan. 2. Menjamin tercapainya berbagai tujuan rumahtangga. 3. Memproduksi jasa dan barang. 4. Membuat keputusan dalam penggunaan pendapatan dan konsumsi. 5. Pengaturan masyarakat. 6. Fungsi reproduksi material dan sosial, dan keamanan setiap anggota.
Nafkah Dharmawan (2007) menyatakan, strategi nafkah dalam kehidupan sehari- hari dijelaskan sebagai partisipasi individu dalam usaha mendapatkan suatu jenis pekerjaan untuk bertahan hidup dan meningkatkan taraf hidupnya dalam merespon dinamika sosial-ekonomi, ekologi, dan politik. Dalam konsep lain, Dharmawan (2007) mengatakan bahwa strategi nafkah adalah taktik dan aksi yang dibangun oleh individu ataupun kelompok untuk mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap memperhatikan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial dan sistem nilai budaya yang berlaku. Selanjutnya, strategi nafkah menurut Dharmawan (2001) adalah segala aktivitas maupun keputusan untuk bertahan hidup yang dipilih atau diambil oleh anggota rumahtangga agar hidupnya lebih baik. Tujuan dari bertahan hidup ini adalah membangun beberapa strategi untuk keamanan dan keseimbangan mata pencaharian rumahtangga. Dalam rangka mempertahankan hidupnya rumahtangga tidak hanya menerapkan satu strategi nafkah melainkan menggabungkannya dari berbagai bentuk strategi nafkah. Sedikitnya ada enam bentuk strategi nafkah yang biasa dilakukan oleh rumahtangga (Masitoh 2005), antara lain: 1. Strategi waktu (pola musiman), strategi ini dilakukan dengan memanfaatkan saat-saat tertentu/peristiwa tertentu yang terjadi. 2. Strategi alokasi sumberdaya manusia (tenaga kerja), strategi ini dilakukan dengan memanfaatkan seluruh tenaga kerja yang dimilikinya untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan kemampuan masing-masing. 3. Strategi intensifikasi pertanian, strategi ini dilakukan dengan memanfaatkan lahan pertanian secara maksimal.
11
4. Strategi spasial, strategi ini dilakukan dengan berbasiskan rekayasa sumberdaya yang dilakukan dalam rangka peningkatan pendapatan keluarga guna mempertahankan kelangsungan hidup rumahtangga. 5. Strategi pola nafkah ganda, strategi ini dilakukan dengan cara menganekaragamkan nafkah; dan 6. Strategi berbasiskan modal sosial, strategi ini dilakukan dengan memanfaatkan kelembagaan kesejahteraan asli dan pola hubungan produksi. Ada tiga jenis sumber nafkah yang biasa digunakan oleh rumahtangga di pedesaan (Ellis 2000) yaitu: 1. Sektor on farm income: strategi ini menunjuk pada nafkah yang berasal dari pertanian dalam arti luas. Pendapatan dari sektor ini didapat dari lahan pertanian milik sendiri, baik yang diusahakan oleh pemilik tanah maupun diakses melalui sewa menyewa ataupun bagi hasil. 2. Sektor off farm income: pendapatan dari sektor ini didapat dari hasil di luar sektor pertanian tetapi masih dalam lingkup pertanian. Penghasilan yang didapat bisa berasal dari upah tenaga kerja, sistem bagi hasil, maupun kontrak upah tenaga kerja non-upah. 3. Sektor non farm income: sektor ini mengacu pada pendapatan yang bukan berasal dari pertanian, seperti pendapatan atau gaji pensiun, pendapatan dari usaha pribadi, dan sebagainya. Lebih lanjut Ellis (2000) mengemukakan ada lima modal dasar dalam livelihood asset, yaitu: 1. Modal Alam (Natural Capital) Modal ini bisa juga disebut sebagai lingkungan yang merupakan gabungan dari berbagai faktor biotic dan abiotic di sekeliling manusia. Modal ini dapat berupa sumberdaya yang bisa diperbaharui maupun tidak bisa diperbaharui. Contoh dari modal sumberdaya alam adalah air, pepohonan, tanah, stok kayu dari kebun atau hutan, stok ikan di perairan, maupun sumberdaya mineral seprti minyak, emas, batu bara, dan lain sebagainya. 2. Modal Fisik (Physical Capital) Modal fisik merupakan modal yang berbentuk infrastruktur dasar seperti saluran irigasi, jalan, gedung, dan lain sebagainya. 3. Modal Manusia (Human Capital) Modal ini merupakan modal utama apalagi pada masyarakat yang dikategorikan “miskin”. Modal ini berupa tenaga kerja yang tersedia dalam rumahtangga yang dipengaruhi oleh pendidikan, keterampilan, dan kesehatan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. 4. Modal Finansial (Finansial Capital and Subtitutes) Modal ini berupa uang, yang digunakan oleh suatu rumahtangga. Modal ini dapat berupa uang tunai, tabungan, ataupun akses dan pinjaman. 5. Modal Sosial (Sosial Capital) Modal ini merupakan gabungan komunitas yang dapat memberikan keuntungan bagi individu atau rumahtangga yang tergabung di dalamnya. Contoh modal sosial adalah jaringan kerja (networking) yang merupakan hubungan vertikal maupun hubungan horizontal untuk bekerja sama dan memberikan bantuan untuk memperluas akses terhadap kegiatan ekonomijumlah keluarga mempengaruhi pilihan strategi adpatasi jejaring/hubungansosial karena
12
semakinbesar suatu keluarga maka semakin besar biaya hidup untuk mencukupi kebutuhan sehari – hari. (Kuwandari dan Satria 2012) Strategi nafkah berarti merupakan suatu usaha dari rumahtangga yang dibagi menjadi on-farm, off-farm, dan non farm untuk bertahan hidup dengan menggantungkan dirinya kepada modal alam, modal fisik, modal manusia dan modal financial.
Resiliensi dan Kerentanan Konsep Resiliensi Kelentingan atau resiliensi menurut Speranza et al. (2014) adalah bagaimana rumahtangga mempertahankannafkah walaupun ketika mengalami terjadi perubahan dengan cara memperbaiki kapasitas adaptasinya. Holing (1973) dalam Speranza (2014) mengatakan bahwa resiliensi nafkah merupakan sebuah ukuran persisten sistem dan kemampuannya menyerap perubahan dan gangguan, serta tetap mempertahankan hubungan antar populasi dan peubah keadaan(state variable). Speranza (2014) mengatakan bahwa resiliensi sosial-ekologi adalah resiliensi yang spesifik terhadap gangguan atau kejadian yang melibatkan identifikasi efek ambang batas tertentu pada sebuah sistem yang tidak akan kembali ke awal. Menurut Obrist et al (2010) dalam Speranza (2014) resiliensi sosial adalah kemampuan dari suatu grup atau komunitas untuk mengatasi tekanan dan gangguan dari luar sebagai hasil dari perubahan sosial, politik dan lingkungan. Menurut Speranza (2014) resiliensi dapat diukur melaui karakteristik buffer capacity, self-organisation, dan capacity learning dimana semua saling berpengaruh. Menurut Adger (2000) kelentingan sosial atau sosial resilience adalah kemampuan masyarakat menahan guncangan dari luar infrastruktur sosialnya. Ini sangat berlawanan untuk masyarakat yang bergantung terhdap sumber daya dimana mereka tunduk pada tekanan eksternal dan guncangan, baik dalam bentuk variabilitas lingkungan (seperti hama pertanian atau dampak ekstrem iklim), serta dalam bentuk sosial, ekonomi dan politik. Lanjut Adger (2000) sosial resilience secara institusional akan menentukan, yaitu menentukan sistem sosial dan dasar dari sistem ekonomi yaitu dalam hal struktur dan distribusi aset.
Konsep Kerentanan Nafkah dan Livelihood Vulnerability Index Menurut Fussel (2006) kerentanan adalah sebuah konsep utama dalam penelitian perubahan iklim sama seperti dengan penelitian komunitas yang berhadapan dengan bencana alami, manajemen bencana, ecology, kesehatan publik, kemiskinan dan perkembangan, keamanan nafkah dan kelaparan, ilmu berkelanjutan, serta perubahan lahan. Menurut Smit dan Wandel (2006) konsep dari adaptasi, kapasitas adaptasi, resiliensi, keterpaparan dan sensitifitas berhubungan. Lanjut menurut Smit dan Wandel (2006) adaptasi merupakan sebuah konsep yang berasosiasi dengan kapasitas adaptasi dan kerentanan. Lebih lanjut lagi (Smit dan Wandel 2006) kapasitas adaptasi merupakan kemampuan
13
untuk adaptasi yang dipengaruhi oleh kememampuan managerial, akses finansial, teknologi dan informasi, infrastruktur, serta lingkungan institusional. Secara garis besar konsep kerentanan dibagi menjadi tiga, yaitu keterpaparan, sensitivitas dan kapasitas adaptasi. Sensitifitas merupakan sebuah tingkatan dimana manusia ataupun sistem alam dapat menyerap dari dampak tanpa menderita lama ataupun mengalami perubahan yang signifikan (Galopin 2006). Menurut Smit dan Wendel (2006) sensitifitas tidakbisa dipisahkan dengan keterpaparan. Sensitivitas digambarkan sebagai tingkatan atau derajat dimana suatu sistem dipengaruhi atau responsive terhadap rangsangan perubahan iklim baik yang bersifat merugikan maupun yang menguntungkan. Dalam konteks kerentanan wilayah pesisir, semakin tinggi sensitivitas suatu system maka semakin tinggi kerentanan sistem Olmos (2001) dalam Fauziah (2014).Lanjut Fauziah (2014) sebaliknya, semakin rendah sensitivitas suatu system, maka sistem mampu bertahan menghadapi dampak perubahan iklim bahkan tanpa usaha atau bentuk adaptasi apapun. Lanjut Gallopin (2006) keterpaparan adalah sebuah konsep dimana derajat, lama waktu atau tingkatan yang berhubungan langsung dengan sistem atau subjek ataupun gangguannya. Menurut Roaf (2005) dalam (Fauziah 2014), eksposure didefinisikan sebagai tingkatan sejauh mana populasi terkena urgensi perubahan iklim terkait dengan lokasi geografis dan perubahan iklim. Maksud dari pernyataan tersebut adalah bahwa terdapat daerah-daerah tertentu di dunia yang mengalami cuaca lebih ekstrim dibanding daerah lainnya. Dalam pengertian yang lebih mudah, GIZ (2012) dalam Fauziah(2014) mendefinisikan eksposure sebagai segala sesuatu yang menggambarkan dampak biofisik perubahan iklim dalam suatu sistem.Kapasitas adaptasi menurut (Smit dan Wandel 2006) kapasitas adaptasi merupakan kemampuan untuk adaptaso yang dipengaruhi oleh kememampuan managerial, akses finansial, teknologi dan informasi, infrastruktur, serta lingkungan institusional kapasitas adaptif umumnya didefinisikan sebagai kemampuan suatu sistem, wilayah, atau masyarakat untuk beradaptasi dengan dampak perubahan iklim (Smit, 2003: 894) dalam Fauziah (2014). Penguatan kapasitas adaptif memiliki peran penting dalam mengatasi dan meminimalisir kerentanan terhadap dampak perubahan iklim. Livelihood Vulnerability Index merupakan Indeks Kerentanan Nafkah, sebuah indikator untuk mengukur seberapa rentan atau tidaknya suatu wilayah. Menurut Shah et al.(2013) ada empat tahap dalam menghitung Livelihood Vulnerability Index (LVI), tahap pertama adalah mengubah data mentah menjadi persentase atau rasio, tahap ke dua adalah standarisasi dari setiap sub-component karena tiap subcomponent memiliki ukuran berbeda, tahap ke tiga adalah setelah menghitung rata-rata dari setiap komponennya kemudian diberikan hasil akhir, tahap ke empat adalah tahap terakhir yaitu kombinasikan semua tingkatan dari komponen mayor LVI untuk dihitung. Menurut Shah et al.(2013) rumus penghitungan Vulnerability Index ada dua model model pertama adalah: LVI = (ec-ac)*sr, dimana ec merupakan exposure (keterpaparan), ac merupakan adaptive capacity (kapasitas adaptasi), dan sr merupakan sensitiveness (sensitivitas) dan model ke 2𝐶𝐹𝑑
𝑛 𝑖=1 𝑊 𝑚𝑖 𝐷𝑚𝑖 𝑛 𝑊 𝑖=1 𝑚𝑖
dimana CFd merupakan faktor IPCC-didefinisikan
(exposure, sensitivitas, atau kapasitas adaptif) bagi masyarakat d, Mdi adalah utama komponen untuk d masyarakat diindeks oleh i, WMI adalah berat masing-
14
masing komponen utama, dan n adalah jumlah komponen utama di setiap faktor. Alasan kenapa menggunakan rumus ini adalah karena dalam penggunaannya selain lebih simpel, rumus IPCC ini sudah dibuktikan dengan penggunaannya dibanyak daerah sehingga penggunaan rumus IPCC ini kemungkinan dapat digunakan di Indonesia.
Kerangka Pemikiran Variabilitas iklim yang terjadi dimana masa musim hujan jadi lebih lama dan musim kemarau menjadi lebih lama menyebabkan bencana, ketika musim hujan tiba banjir akan datang dan ketika musim kemarau tiba kekeringan akan melanda. Musim hujan yang berlangsung lama dan menyebabkan banjir di kawasan daerah aliran sungai menyebabkan rumahtangga mengalami colapse. Rumah tangga petani memiliki Livelihood Asset atau modal nafkah berupa modal finansial, modal alam, modal fisik, modal sosial, dan modal manusia (Ellis 2000). Tingkat pemanfaatan dari modal nafkah yang dimiliki oleh rumahtanggaakan mempengaruhi tingkat kerentanan nafkah rumahtangga yang diukur menjadi keterpaparan, sensitifitas dan kapasitas adaptasi.
15 Livelihood Asset Tingkat Kerentanan(Yn) Modal Finansia(X1):
Tingkat Pendapatan Besar Nilai Tabungan
Tingkat keterpaparan:
Jarak sawah dengan sungai Persentase sawah yang rusak Persentase penurunan produksi sawah
Modal Alam(X2):
Luas Kepemilikan Lahan Sawah Luas Penguasaan Lahan Sawah
Modal Fisik(X3):
Kepemilikan Sarana dan Prasarana yang mendukung pertanian Kepemilikan Sarana dan Prasaran yang mendukung Non-pertanian
Modal Sosial(x4): Banyaknya organisiasi yang diikuti anggota rumahtangga Banyaknya jaringan yang dimiliki Rumahtangga Tingkat kepercayaan Rumahtangga
Tingkat sensitivitas:
Tingkat ketidakpastian terhadap bantuan Tingkat ketidakpastian terhadap jaminan Banyaknya anggota keluarga non produktif
Tingkat adaptasi kapasitas:
Tingkat keberfungsian lembaga Tingkat Pemanfaatan Teknologi pemanfaatan harta benda dibandingkan dengan sawah beresiko banjir
Modal Manusia(X5):
Tingkat Pendidikan Tingkat Keterampilan Banyaknya anggota keluarga produktif
Struktur Nafkah:
Tingkat Pendapatan On farm , Off farm , Non farm Tingkat Pengeluaran Tingkat Saving Capacity
Gambar 2. Kerangka Pemikiran
:Berpengaruh :Berkaitan dengan
16
Hipotesis Diduga terdapat pengaruh antara tingkat pemanfaatan livelihood asset sebagai strategi nafkah yang terdiri dari modal finansial, modal alam, modal fisik, modal sosial dan modal manusia yang dilakukan oleh rumahtangga terahdap tingkat kerentanan rumahtangga Yn = f (Xn) dengan rincian sebagai berikut: 1) Diduga tingkatmodal finansial rumahtangga akan mempengaruhi tingkat kerentanan 2) Diduga tingkatmodal alam rumahtangga akan mempengaruhi tingkat kerentanan 3) Diduga tingkatmodal fisik rumahtangga akan mempengaruhi tingkat kerentanan 4) Diduga tingkat modal sosial rumahtangga akan mempengaruhi tingkat kerentanan 5) Diduga tingkat modal manusia rumahtangga akan mempengaruhi tingkat kerentanan
17
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Karangligar, Kecamatan Telukjambe Barat, Kabupaten Karawang, provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian dengan pertimbangan daerah pertanian yang mengalami banjir yang terletak di sekitar kawasan daerah aliran sungai (DAS). Peneliti kemudian menuju kantor desa dan mendapatkan konfirmasi bahwa dusun pangasinan yang terletak di Desa Karangligar selalu terkena banjir dari tahun 2007 – 2014 sedangkan derah sekitarnya tidak terlalu sering, kemudian petani akan membandingkan antara dusun yang terkena banjir ataupun yang tidak agar mengetahui mana yang lebih rentan dari keduanya sehingga menghasilkan variasi data yang diperoleh Sebelum menentukan lokasi penelitian, peneliti melakukan observasi melalui penjajakan ke lokasi penelitian (kantor Kecamatan Telukjambe Barat, dan kantor Desa Karangligar) dan penelusuran literatur yang terkait dengan lokasi penelitian. Kegiatan penelitian meliputi penyusunan proposal, pengambilan data lapangan, pengolahan data dan analisis data, penulisan laporan penelitian. Lama pelaksanaan penelitian sekitar 6 bulan. Tabel 1. Waktu pelaksanaan penelitian 2016 – 2017 Kegiatan Februari Maret April Mei Penyusunan proposal penelitian Pengambilan data lapangan Pengolahan data dan analisis data Penulisan Drafr Skripsi Sidang Skripsi Perbaikan Laporan Penelitian
Juni
Juli
Teknik Pengumpulan Data Metode penelitian yang digunakan untuk menggali fakta, data, dan informasi dalam penelitian ini digunakan pendekatan kuantitatif yang didukung dengan data kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan melalui survei yaitu mengambil sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat penggumpul data (Singarimbun dan Efendi 1989). Pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan menggunakan metode wawancara mendalam terhadap
18
informan. Metode lain yang digunakan adalah melalui observasi lapang di lokasi penelitian guna melihat fenomena aktual yang terjadi dan juga mengkaji dokumen yang ada seperti data monografi desa. Populasi sasaran dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat desa,Desa Karangligar Kecamatan Telukjambe Barat, Kabupaten Karawang. Responden dalam pendekatan kuantitatif dipilih untuk menjadi target survey. Unit analisis dalam penelitian ini adalah masyarakat desa yang pernah atau sedang bekerja sebagai petani . Pemilihan responden dilakukan dengan teknik cluster random sampling dengan membagi responden di wilayah banjir dan tidak banjir. Penentuan sampel dari masing - masing populasi rumahtangga di kedua wilayah tersebut ditentukan dengan menggunakan teknik acak sederhana (simple random sampling). Teknik ini dipilih karena populasi yang menjadi sasaran bersifat homogeny karena berada dalam satu desa, terdapat daftar kerangka sampling serta keadaan populasi tidak terlalu tersebar secara geografis (Singarimbun dan Effendi 1989). Jumlah sampel yang dijadikan responden berjumlah enam puluh orang (tiga puluh di wilayah banjir dan tiga puluh di wilayah tidak banjir). Jumlah ini dirasa cukup untuk memenuhi reliabilitas dan validitas data yang dihasilkan. Kemudian dalam pelaksanaannya digunakan juga data sekunder yaitu berupa data penduduk desa yang didapatkan dari hasil potensi desa yang ada di Desa Karangligar, Kecamatan Telukjambe barat, Kabuppaten Karawang.
Definisi Operasional Variabel
Definsisi Operasional
CaraPengukuran
Satuan Ukuran
Tingkat Pengukur an Rasio
X1.1
Tingkat Pendapatan
Banyaknya Pemasukan yang dibedakan 3 On farm , Off farm , Non farm .
Dihitung berdasarkan Rupiah Pendapatan yang masuk On farm , Off farm dan Non farm dalam setahun terakhir ketika banjir tiba
Pendapatan rendah jika ≤ ½ sd Pendapatan sedang jika x – ½ sd < x < + ½ sd Pendapatan tinggi jika ≥ x + ½ sd
X1.2
BesarNilai Tabungan
banyaknya pendapatan yang disisihkan oleh rumahtangga setelah dikurangi dengan pengeluaran
Dihitung berdasarakan rupiah pendapatan dikurangi pengeluaran dalam setahun ketika terjadi banjir
Tabungan Rasio rendah jika ≤ ½ sd Tabungan sedang jika x – ½ sd < x < + ½ sd Tabungan tinggi jika ≥ x + ½ sd
19
X2.2
kebutuhan hidupnya TingkaKepemi derajat luas likan Lahan atau sempitnya lahan perhatian yang dimiliki oleh rumahtangga pertanian
X2.3
Tingkat Penguasaan Lahan
X3.1
Tingkat kepemilikan prasarana dan sarana pertanian
X3.2
derajat luas atau sempitnya lahan sawah yang dikuasai petani
merupakan banyaknya asset dalam bentuk fisik yang dipergunakan rumahtangga untuk mendukung keberlangsung an pertaniannya Tingkat merupakan kepemilikan banyaknya prasarana dan asset dalam sarana Non- bentuk fisik pertanian yang dipergunakan rumahtangga untuk mendukung keberlangsung an pertaniannya
Dihitung Kepemilikan rasio Berdasarkan m2 lahan sempit lahan yang jika 0m2- 6000 dimiliki m2 Kepemilikan lahan sedang jika 6000m210000m2 Kepemilikan lahan luas jika ≥ 1000m2 Dihitung Penguasaan Rasio Berdasarkan sempit jika m2lahan yang 2000m2- 6000 dikuasai m2 Penguasaan sedang jika 6000m210000m2 Penguasaan luas jika diatas 1000m2 Dihitung dari Rendah = 1 Ordinal banyaknya Sedang = 2 kepemilikan Tinggi = 3 jumlah sarana dan prasasrana pertanian yang dimiliki oleh rumahtangga
Dihitung dari Rendah = 1 banyaknya Sedang = 2 kepemilikan Tinggi = 3 jumlah sarana dan prasasrana nonpertanian yang dimiliki oleh rumahtangga
Ordinal
20
X4.1
X4.2
X4.3
X5.1
X5.2
yang berupa non-pertanian Banyaknya besaran banyak Organisasi atau sedikitnya yang diikuti organisasi yang diikuti oleh petani diwakilkan oleh kepala rumahtangga Banyaknya banyak atau jaringan yang sedikitnya dimiliki hubungan – Rumahtangga hubungan yang yang terjalin antara rumahtangga dengan masyarakat, dimana dapat dilihat dari jaringan rumahtangga berdasarkan tenurial ataupun diwakilkan oleh kepala rumahtanggage nealogis Tingkat Derajat tinggi Kepercayaan atau rendahnya Rumahtangga kepercayaan rumahtangga diwakilkan oleh kepala rumahtangga Tingkat derajat rendah Pendidikan tingginya rumahtangga pertanian dalam menjalin pendidikan formal yang diwakilkan oleh kepala rumahtangga Tingkat derajat banyak
Dihitung dari 7-35 jumlah orgnasisasi formal maupun non formal yang diikuti
Interval
Dihitung dari 5 - 25 banyaknya jaringan yang dimiliki rumahtangga
Interval
Dihitung dari seberapa percayanya rumahtangga dengan kehidupan sosial di sekitarnya Dihitung berdasarkan strata pendidikan terakhir
5-25
Interval
Dihitung
Tinggi
Rendah: tidak Ordinal tamat SD/Tidak Sekolah (1)Sedang: SD sampai SMP (2) Tinggi: SMA atau Perguruan tinggi (3)
Ordinal
21
Keterampilan
X5.3
Banyaknya anggota keluarga yang produktif
Y1.1
Jarak Sawah dengan Sungai
Persentase Sawah yang Rusak
Penuruan Produksi sawah
sedikitnya keterampilan kepala rumahtangga yang berpengaruh dalam nafkah diwakilkan oleh kepala rumahtangga besaran banyak sedikitnya anggota keluarga yang ikut serta menambah hasil pencaharian rumahtangga besaran jauh atau dekatnya sawah sebagai nafkah petani dengan sungai yang menyebabkan banjir Besaran jumlah total sawah yang rusak dengan total sawah yang dimiliki petani
berdasarkan Sedang kemampuan yang Rendah dimiliki selain bertani
besaran turunya produksi sawah yang diakibatkan banjir yang dibandingkan dengan dari
Dihitung berdasarkan Kg turunna produsksi sawah yang turun akibat banjir dibandingkan Kg produksi apabila tidak terkena
Dihitung dari Rendah = 1 jumlah anggota Sedang = 2 keluarga yang Tinggi = 3 membantu menambah pendapatan
Dihitug berdasarakan M jarak jauhnya sungain dengan sawah yang rawan banjir
Dihitung berdasarkan m luas sawah yang rusak akibat banjir dibandingkan dengan m luas sawah dikali 100%
Ordinal
Jarak sawah Rasio dekat jika ≤ - ½ sd Jarak sawah sedang jika x – ½ sd < x < + ½ sd Jarak Sawah jauh jika ≥ x + ½s Persentase Rasio Sawah Rusak rendah jika ≤ ½ sd Persentase sawah rusak sedang jika x – ½ sd < x < + ½ sd Persentase sawah rusak tinggi jika ≥ x + ½s Penurunan Rasio produksi sawah rendah jika ≤ ½ sd Penurunan Produksi sawahsedang jika x – ½ sd < x
22
Y1.2
Y1.3
total produksisawah yang didapatkan bila tidak ada banjir Tingkat derajat tinggri ketidakpastian rendahnya mendapat ketidakpatian bantuan petani dalam mendapatkan bantuan ketika banjir tiba Tingkat derajat tinggi ketidak rendahnya pastian ketidakpastian jaminan petani ketika banjir akibat tidak memiliki jaminan atas lahan produksinya Banyaknya besaranbanyak anggota sedikitnya keluarga non- anggota produktif keluarga yang non produktif yang dalam hal ini tidak membantu dalam menambahkan jumlah pendapatan keluarga Tingkat derajat tinggi Keberfungsian rendahnya Lembaga sebuah kelembagaan yang diikuti oleh petani dan berfungsi sebagai kelembagaan yang membantupeta ni Tingkat derajat tinggi Pemanfaatan rendahnya
banjir
< + ½ sd Penurunan produksi sawah tinggi jika ≥ x + ½s 5-15 Interval
5-15
Interval
Dihitung dari 1-5 jumlah anggota keluarga yang tidak membantu menambah pendapatan
Interval
Dihitung 5-15 berdasarkan seberapa berfungsinya sebuah lembaga yang diikuti
Interval
Dihitung berdasarkan
Interval
5-15
23
Teknologi
pemanfaatan teknologi yang dilakukan oleh petani pada saat sawahnya atau sumber nafkahnya terpapar banjir pemanfaatan Rumahtangga nilai harta yang menjual benda harta benda dibandingkan miliknya demi dengan sawah memperbaiki beresiko banjir lahannya
jumlah penggunaan teknologi ketika banjit tiba
Dihitung 1-5 berdasarkan rumahtangga menjual hartabenda untuk memperbaiki lahan yang rusak
Rumus penghitungan Vulnerability Index: LVI = (ec-ac)*sr . dimana ec merupakan exposure (keterpaparan), ac merupakan adaptive capacity (kapasitas adaptasi), dan sr merupakan sensitiveness (sensitivitas) Teknik Pengolahan dan Analisis Data Untuk menganalisis data yang telah terkumpul dilakukan reduksi data, yakni pemilihan, pemusatan perhatian, serta penyederhanaan terhadap data sehingga menjawab tujuan penelitian. Data yang diperoleh melalui kuesioner diolah dengan menggunakan microsoft excel 2010 sebelum dimasukan ke perangkat lunak SPSS for Windows versi 19 untuk mempermudah pengolahan data. Uji statistik yang digunakan yakni Analisis regresi sederhana dengan nilai alpha 30% untuk data-data interval dan rasio, yaitu hubunganan antara variabel yang diuji, dimana variabel pengaruhnya ada tingkat pemanfaatan modal finasial, alam, fisik, sosial dan manusia dan variabel terpengaruhnya adalah tingkat kerentanan dengan menggunakan rumus Y=a+bx. Data kualitatif dari wawancara mendalam dan observasi disajikan secara deskriptif untuk mendukung dan memperkuat analisis kuantitatif. Gabungan dari data kuantitatif dan kualitatif diolah dan dianalisis untuk disajikan dalam bentuk tabulasi silang, naratif, matriks, bagan dan gambar. Tahap terakhir yaitu menarik kesimpulan sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian
Interval
24
GAMBARAN UMUM Pada bab ini akan dijelaskan mengenai kondisi fisik, kondisi sosial, dan kondisi ekonomi masyarakat Desa Sukabakti secara umum. Selain itu, akan dijelaskan pula kondisi lokasi penelitian yaitu di wilayah banjir dan tidak banjir Desa Karangligar, Kecamatan Teluk Jambe Barat,Kabupaten Karawang.
Kondisi Fisik Desa Karangligar, Kecamatan Teluk Jambe Barat sebelah utara berbatasan dengan Desa Sukamakmur, di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Margamulya, di sebalah timur berbatasan dengan Desa Wadas, dan di sebelah barat berbatasan dengan Desa Karangmulya. Luas Daerah dari Desa Karangligar 2350 Ha dimana 2000 Ha digunakan sebagai daerah perkebunan, Pemukiman, Perkarangan dan Kuburan dimana sisanya 350 Ha digunakan sebagai persawahan. Penduduk laki – laki di Desa Karangligar2472 jiwa sedangkan perempuannya 2485 jiwa total jumlah penduduk di Sesa Karangligar.4957 jiwa. Kondisi geografis Desa Karangligar yaitu sebagian bentuk tanah yang cekung akibat pengeboran gas alam yang dilakukan oleh salah satu perusahaan minyak milik negara. Kondisi unik ini mengakibatkan Dusun Pangasinan yaitu, dusun yang terendam banjir akan terendam banjir ketika hujan di daerah bogor yang mengarah ke DusunKarangligar. Sedangkan Dusun Kampek, yaitu dusun yang berada di daerah tidak terkena banjir berada di atas sungai. Infrastruktur Desa Karangligar sudah berupa aspal dan mampu diakses oleh kendaraan beroda empat, karena letak desa yang dekat dengan kota kabupaten menyebabkan jalanan menuju desa sudah diaspal. Akses menuju Dusun Kampek mesti menyebrangi jembatan yang hanya muat oleh 1 buah kendaraan beroda empat. Sepanjang jalan di Dusun Pangasinan sudah tidak ada penerangan pada malam hari, penerangan hanya berasal dari lampurumah – rumah yang berada di pinggir jalan. Sarana transportasi berupa angkutan hanya sampai kantor desa saja, bila keujung desa maka harus dilanjutkan dengan berjalan kaki atau menggunakan kendaraan pribadi, oleh sebab itu banyak masyarakat yang memiliki kendaraan pribadi. Sarana pendidikan berupa sekolah dasar cukup bisa dijangkau oleh masyarakat, sama seperti sekolah menengah pertama keduanya terletak di dekat kantor desa, hampir setiap anak muda bersekolah hingga tingkat sekolah menengah pertama. Desa Karangligar juga memiliki Sekolah Teknik Mesin (STM) di dekat desa, beberapa anak muda akan melanjutkan hingga jenjang STM. Sarana kesehatan mudah dijangkau selain dekat dengan akses jalan utama, adanya bidan dan klinik secara kecil yang dijalankan oleh salah seorang masyarakat mudah di tempuh. Hampir semua rumah di Karangligar dibuat semi permanen yaitu sudah bertembok batu namun tanahnya masih ada beberapa yang belum menggunakan ubin. Akses terhadap kota untuk kedua dusun sama saja, yaitu sama – sama dengan mudah mengakses jalan utama menuju kota. Fasilitas listrik juga dapatdinikmati oleh warga Desa Karangligar.
26
Sarana pendidikan yang bisa dijangkan di kedua dusun bisa dijangkau oleh masyarakat, pendidikan sekolah dasar mudah dijangakau masyarakat dengan biaya gratis, begitu juga dengan sekolah menengah pertama yang mudah dijangkau karena biaya gratis. Banjir dialami oleh warga Dusun Pangasinan merupakan luapan dari Sungai Cibeet. Sungai Cibeet tersebut merupakan sumber pengairan lahan petani di Dusun Pangasinan untuk mengairi lahan pertanian mereka. Jika Sungai Cibeet meluap maka Dusun Pangasinan akan banjir karena lokasi yang berbentuk cekung dan berada dibawah Sungai Cibeet.
Kondisi Sosial Sebagian besar masyarakat Desa Karangligar merupakan penduduk asli walaupun terdapat pendatang. Hanya sebagian kecil dan berasal dari Jawa Tengah. Masyarakat Desa Karangligar mayoritas merupakan suku sunda. Bahasa sehari – hari yang digunakan adalah bahasa sunda dengan logat yang kental dengan logat suku sunda. Hubungan kekerabatan antar warga masih sangat melekat dalam budaya masyarakat Desa Karangligar. Masyarakat Desa Karangligar khususnya Dusun Pangasinan memiliki hubungan baik dengan kerabatnya, hal ini dibuktikan dengan perilaku saling membantu dan gotong royong dilandasi oleh hubungan kekeluargaan, senasib dan sepenangungan. Jarak antar rumah warga berdekatan sehingga interaksi antar tentangga dan kerabat masih sering terjadi. Hampir seluruh petani di Desa Karanligar adalah anggota kelompok tani. Kelompoktani tersebut berfungsi untuk memberikan pelatihan, penyuluhan, serta pengadaan sarana dan prasarana pertanian seperti bibit. Kelompok tani juga berfungsi untuk melakukan pendataan permasalahan pertanian seperti hama dan gagal panen. Selain kelompok tani tersebuttersebut, masyarakat Desa Karangligar memiliki kelembagaan seperti pengajian bapak-bapak dan ibu-ibu. Kelembagaan ini merupakan salah satu cara untuk mendekatkan diri dengan masyarakat yang ada. Hal ini disebabkan cangkupan kelompok pengajian lebih luas yaitu meliputi semua jenis kelamin dan kalangan.
Kondisi Ekonomi Sebagian besar warga di desa suka bakti berprofesi sebagai petani dan memiliki nafkah ganda, petani pada Dusun Kampek yaitu dusun yang tidak banjir hampir semuanya tidak memiliki lahan, tetapi maro dengan pemilik lahan yang berada di jakarta atau beberapa lahannya sudah dibeli oleh digunakan sebagai “Golf”. Pendpatan yang diterima petani bila bekerja sebagai buruh tani adalah Rp 100.000 per hari kerja dimana dalam satu hari itu pendapatan Rp 100.000 diluar uang makan dan rokok yang diberikan lagi bagi petani, anak – anak dari rumahtangga juga bekerja di luar bidang pertanian ada yang bekerja sebagai caddy, office boy, ataupun bekerja di PT (perusahaan swasta). Masyarakat di wilayah banjir, yaitu di Dusun Pangasinan memiliki aktivitas pola nafkah ganda. Rumahtangga tersebut melakukan aktivitas lain di
27
sektor non pertanian untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Pendapatan di luar sektor pertanian terhitung besar, layaknya rumahtangga pertanian yang tidak terkena banjir seperti bekerja sebagai buruh tani, buruh bangunan ataupun menyerahkan urusan pendapatan rumahtangga kepada anaknya yang bekerja.
28
STRUKTUR NAFKAH RUMAHTANGGA DUA KOMUNITAS Bab ini menjelaskan mengenai struktur nafkah rumahtangga di wilayah banjir dan wilayah tidak banjir. Struktur nafkah on farm , off farm , dan non farm digambarkan dalam bentuk grafik yang dibagi ke dalam tiga lapisan yaitu lapisan bawah, lapisan menengah, dan lapisan atas. Selain itu, dijelaskan pula struktur pengeluaran dan struktur pendapatan sehingga mengambarkan saving capacity rumahtangga di wilayah banjir dan wilayah tidak banjir. Menurut Ellis (2000), terdapat tiga aspek pembentuk strategi nafkah, yakni dari onfarm, off-farm, dan non farm.Onfarm merupakan sumber nafkah yang diperoleh dari hasil pertanian dalam arti luas, mencakup pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan, dan sebagainya. Off farm merupakan aktifitas nafkah yang diperoleh dalam bentuk upah tenaga kerja pertanian, sistem bagi hasil (harvest share system), dan lain-lain. Non farm adalah sumber pendapatan yang diperoleh dari luar kegiatan pertanian seperti bekerja sebagai buruh pabrik, buruh panggul, buruh bangunan dan lain-lain. Berbagai bentuk struktur nafkah tersebut diterapkan oleh rumahtangga di wilayah banjir dan wilayah tidak banjir. Bentuk strukrtur nafkah yang dijalankan oleh rumahtangga dipengaruhi oleh pola penguasaan lahan pertanian.Rumahtangga yang memiliki lahan pertanian menjalankan struktur nafkah on farm, petani yang hanya sebagai buruh tani atau menjalankan sistem maro menjalankan struktur nafkah off farm, sedangkan petani yang bekerja diluar sektor pertanian menjalankan struktur nafkah pertanian non farm. Masing-masing struktur nafkah memberikan kontribusi pendapatan yang berbeda pada masing-masing rumahtangga. Penelitian ini juga melihat bagaimana pola kontribusi dari masing-masing struktur nafkah terhadap masing-masing lapisan rumahtangga yaitu lapisan bawah, lapisan menengah, dan lapisan atas. Berikut pemaparan struktur nafkah rumahtangga pada masing-masing lapisan di dua komunitas.
Lapisan Rumahtangga Wilayah Banjir Rumahtangga di wilayah banjir, yaitu dusun pengasunan di Desa Karangligar mempunyai persamaan dalam hal kondisi ekonomi yaitu rumahtangga yang terkena banjir akan bergantung terhadap anggota rumahtangga lainnnya yang bekerja dalam bidang non farm serta kepala rumah tangga akan mencari pekerjaan lain diluar bidang pertanian yang digunakan untuk menafkahi rumahtangga selama periode tidak ada hasil tanam. Lapisan penghasilan rumahtangga memiliki 3 lapisan dimana lapisan atas rumahtangga terkena banjir adalah diatas Rp 77,65 juta, sedangkan Lapisan menengah di wilayang banjir memiliki penghasilan Rp 48,74 juta – Rp 77,65 juta, dan lapisan bawah memiliki penghasilan kurang dari dari Rp 48.74 juta. Dari hasil pengolahan data di lapangan menunjukan rumahtangga di wilayah banjir Desa Karangligar tersebar hampir merata di beberapa lapisan rumahtangga. Berikut adalah penjelasan mengenai disteribusi lapisan pendapatan rumahtangga.
30
33,33 %
26,67%
Atas Menengah Bawah
40 %
Gambar 3. Distribusi lapisan rumahtangga di Dusun Pangasinan Desa Karangligar, tahun 2014-2015. Seperti gambar 3 lapisan rumahtangga yang ada lebih banyak berada di wilayah sedang hal ini menunjukan bahwa rumahtangga di wilayah banjir lebih banyak berada di daerahmenengah sebanyak 12 dari 30 orang responden berada di wilayah sedang atau sebanyak 40 Persen, pada lapisan atas terdapat 26,67 Persen dan lapisan bawah terdapat 10 orang 33,33 Persen. Lapisan bawah lebih banyak dari pada lapisan atas karena lapisan cenderung tidak memiliki pekerjaan lain ketika musim hujan dan pada saat tidak bisa tanam setelah banjir akibat limbah ataupun puso pada lapisan atas warga memiliki pekerjaan lainnya diluar bertani, dimana lapisan atas memiliki pekerjaan di luar pertanian atapun memiliki lebih dari satu anggota rumahtangga yang ikut bekerja untuk mendapatkan tambahan uang. Pada lapisan menengahrumahtangga sebagian besar bekerja sebagai petani dan memilki penghasilan dari anggotarumahtangga serta membuka warung kecilkecilan lainnya walaupun tidak sebanyak penghasilan lapisan atas, pada lapisan bawah pekerjaan yang dimiliki lebih sedikit dalam menghasilkan pendapatan, biasanya bekerja sebagai kuli bangunan atau buruh tani pada daerah non banjir. Dilihat dari gambar diatas terlihat bahwa menengah lebih mendominasi diantara dua lainnya dan terdisteribusi secara tidak merata.
Struktur Nafkah Rumahtangga Di Wilayah Banjir Rumahtangga di wilayah banjir memiliki struktur nafkah yang berbeda dengan rumahtangga yang berada di wilayah non banjir. Bencana banjir yang terjadi dari tahun ke tahun di tiap musim hujan serta sawah yang tidak bisa di tanami padi akibat limbah yang dibawa beserta banjir menyebabkan padi menjadi puso atau membusuk, dan menyebabkan petani tidak bisa mengandalkan pertanian untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Masing– masing lapisan memiliki sebaran struktur nafkah yang berbeda. Berikut pemaparan struktur nafkah rumahtangga berdasarkan lapisannya.
Dalam Juta / Tahun
31
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
102,15
Non Farm 67,32
63,2 35,5
Atas
Menengah
Bawah Rata - Rata
Gambar 4. Struktur nafkah pendapatan rumahtangga rata – rata per tahun menurut lapisan di dusun pangasinan, Desa Karangligar tahun 2014, tahun 2014 – 2015. Berdasarkan gambar 4 diketahui besarnya pendapatan dari struktur nafkah yang dibangun oleh rumahtangga di wilayah banjir. Terlihat bahwa dalam setiap lapisan tidak ada yang memiliki penghasilan dari sawah, semuanya memiliki penghasilan dari luar sawah atau non farm karena pada saat banjir terjadi pada tahun 2014 hingga tahun 2015 sawah petani tidak bisa ditanami padi akibat limbah pabrik yang terbawa banjir sehingga menyebabkan tanah pada sawah menjadi rusak dan mengakibatkan padi menjadi puso. Aktivitas Non farm yang biasa dilakukan oleh petani adalah berdagang, menjadi buruh tani di desa non banjir, serta kuli bangunan. Non-Farm 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Non-Farm
Atas
Menengah
Rendah
Rata - Rata
Gambar 5 Komposisi pendapatan rata-rata rumahtangga menurut lapisan di Dusun Pangasinan, Desa Karangligar tahun 2014 – 2015
32
Berdasarkan Gambar 5, diketahui bahwa kontribusi struktur nafkah pada tingkatan pendapatan rumahtanggaberdasarkan dari Non farm saja. Lapisan Bawah Rumahtangga lapisan bawah memiliki penghasilan kurang dari Rp.48,74 juta setiap tahunnya selama petani tidak bisa mendapatkan penghasilan dari bercocok tanam. Rumahtangga yang bergantung pada non farm serta pendapayan anggota rumah tangga lainnya merupakan satu- satunya pendatan yang dapat diterima oleh petani ketika terjadi bencana banjir. Sebanyak 100 % bergantung pada sektor non farm dalam setahun, kemudian setiap musimnya petani akan terus mencoba menanam padi sehingga pendapatan yang sudah berkurang akibat tidak adanya pemasukan dari sawah akan semakin berkurang setiap musim tanam untuk mencoba bersawah kembali. Lahan yang dikuasai oleh sektor lapisan bawah kisaran 2000m2 sampai 6000m2. Lahan yang tidak bisa ditanami akibat banyaknya limbah yang terbawa oleh banjir dan membuat lahan pertanian menjadi tidak bisa digunakan sama sekali dan semakin sulit dalam mencukupi kebutuhan hidup rumahtangga lapisan bawah. Rumahtangga lapisan bawah bekerja pada pada sektor non farm sebagai kuli, buruh tani, serta buruh bangunan. Sebagai buruh tani, kuli ataupun buruh bangunan dibayar sebanyak Rp.100.000 perhari, bila rumahtangga bekerja sebagai buruh tani maka buruh tani tersebut akan bekerja pada rumahtangga yang tidak terkena banjir, bila bekerja sebagai buruh bangunan maka akan pergi ke kota untuk mendapatkan upah. ”kalau banjir datang, bapak bekerja sebagai buruh di daerah yang tidak terkena banjir, bapak kan cuman bisa bertani aja, bapak kerja di daerah tidak banjir dek sehari itu dibayar Rp 100.000 belum sama makan dan uang rokok dek” Bapak ANM 60 tahun. Merujuk kepada kepada Bapak ANM bahwa rumahtangga lapisan bawah memang mengandalkan pendapatan yang diterima sebagai buruh yang di bayar sebanyak Rp 100.000 sehari ketika banjir datang. Rumahtangga lapisan bawah juga menggantungkan hidupnya pada anggota rumahtangga yang lainnya untuk mendapatkan penghasilan tambahan yang dibayar sesuai upah minimum daerah Karawang. Lapisan Menenganh Rumahtangga lapisan bawah memiliki penghasilan dari Rp 48,74 ,juta sampai Rp 77,65 juta setiap tahunnya selama petani tidak bisa mendapatkan penghasilan dari bercocok tanam. Rumahtangga yang bergantung pada non farm serta pendapatan anggota rumah tangga lainnya merupakan satu – satunya pendapatan yang dapat diterima oleh petani ketika terjadi bencana banjir. Sebanyak 100 % bergantung pada sektor non farm atau sebanyak Rp 67,32 juta dalam setahun, kemudian setiap musimnya petani akan terus mencoba menanam padi sehingga pendapatan yang sudah berkurang akibat tidak adanya pemasukan dari sawah akan semakin berkurang setiap musim tanam untuk mencoba bersawah kembali. Lahan yang dikuasai oleh sektor lapisan menengah kisaran 6000m2 sampai 10.000m2. Lahan yang tidak bisa ditanami akibat banyaknya limbah yang
33
terbawa oleh banjir dan membuat lahan pertanian menjadi tidak bisa digunakan sama sekali dan pengeluaran yang dikeluarkan lebih banyak dari pada lapisan bawah, akibat semakin banyaknya lahan yang tidak bisa ditanami akibat banjir. Biasanya dengan adanya penghasilan on farm maka akan digunakan untuk modal sawah selanjutnya, namun akibat adanya bencana banjir dan limbah yang dibawa banjir membuat pertanian tidak bisa diandalkan walaupun tiap musimnya selalu menanam padi. Rumahtangga lapisan menengah bekerja pada pada sektor non farm sebagai kuli, buruh tani, serta buruh bangunan dan pedagang kecil. Sebagai buruh tani, kuli ataupun buruh bangunan serta berdagang kelas kecil dimana dalam berdagang sehari – hari bisa mendapatkan Rp 100.000 dan bila bekerja sebagai buruh tani dan buruh bangunan maka akan dibayar sebanyak Rp.100.000 perhari, bila rumahtangga bekerja sebagai buruh tani maka buruh tani tersebut akan bekerja pada rumahtangga yang tidak terkena banjir, bila bekerja sebagai buruh bangunan maka akan pergi ke kota untuk mendapatkan upah. Dalam setahun sektor non farmmenjadi pilihan utama untuk mendapatkan pendapatan rumahtanggan petani lapisan menengah di wilayah banjir. Hal ini dilakukan karena sektor on farm dan off farm tidak bisa diandalkan selama banjir akibat limbah dan menyebabkan puso.Rumahtangga lapisan menengah sama seperti lapisan bawah menggantungkan hidupnya pada anggota rumahtangga yang lainnya untuk mendapatkan penghasilan tambahan dimana pada lapisan menengah pendapatan tambahan dari anggota rumahtangga. Lapisan Atas Rumahtangga atas memiliki penghasilan diatas 77,65juta setiap tahunnya selama petani tidak bisa mendapatkan penghasilan dari bercocok tanam. Rumahtangga yang bergantung pada non farm serta pendapayan anggota rumah tangga lainnya merupakan satu – satunya pendapatan yang dapat diterima oleh petani ketika terjadi bencana banjir. Sebanyak 100 % bergantung pada sektor non farm atau sebanyak Rp 77,65juta dalam setahun, kemudian setiap musimnya petani akan terus mencoba menanam padi sehingga pendapatan yang sudah berkurang akibat tidak adanya pemasukan dari sawah akan semakin berkurang setiap musim tanam untuk mencoba bersawah kembali. Lahan yang dikuasai oleh sektor lapisan atasmemiliki lahan kisaran10.000m2. Lahan yang tidak bisa ditanami akibat banyaknya limbah yang terbawa oleh banjir dan membuat lahan pertanian menjadi tidak bisa digunakan sama sekali dan pengeluaran yang dikeluarkan lebih banyak dari pada lapisan bawah, akibat semakin banyaknya lahan yang tidak bisa ditanami akibat banjir. Biasanya dengan adanya penghasilan on farm maka akan digunakan untuk modal sawah selanjutnya, namun akibat adanya bencana banjir dan limbah yang dibawa banjir membuat pertanian tidak bisa diandalkan walaupun tiap musimnya selalu menanam padi. Rumahtanggalapisan atas bekerja pada pada sektor non farm dengan cara berjualan warung, bekerja sebagai PNS, atau bekerja sebagai buruh tani di rumahtangga tidak banjir. Rumahtangga lapisan atas juga menggantungkan hidupnya pada anggota rumahtangga yang lainnya untuk mendapatkan penghasilan tambahan.
34
“ saya mas ih punya warung mas,jadi kalo banjir atau puso masih dapet penghasilan lah sehari Rp 150.000 – Rp 200.000, anak – anak juga udah pada kerja, jadi bisa bantu lah dikit – dikit” Bapak OLH 51 tahun. Berdasarkan bapak OLH pendapatan rumahtangga lapisan atas memiiki pendapatan dari sektor non farm yaitu membuka warung, dimana dari membuka warung Bapak OLH mampu mendapatkan Rp 150.000 – Rp 200.000 perhari yang dapat digunakan untuk bertahan hidup.
Lapisan Rumahtangga Wilayah Tidak Banjir Rumahtangga di wilayah tidak banjir tergantung pada struktur nafkah off farm, dan non farm dengan pola sebaran yang berbeda. Berdasarkan data di lapang, tingkat pendapatan rumatangga petani di wilayah tidak banjir lebih tinggi daripada rumahtangga di wilayah banjir. Hal ini disebabkan rumahtangga wilayah tidak banjir memiliki lebih banyak pilihan dalam pendapatan dibandingkandari pada pendapatan wilayah banjir. Pertanian di wilayah tidak banjir cukup menghasilkan dan tidak diganggu oleh bencana banjir yang terjadi setiap musim hujan. Pendapatan rata-rata rumahtangga di wilayah tidak banjir juga dibagi berdasarkan lapisan yaitu lapisan bawah, lapisan menengah, dan lapisan atas. Berikut pemaparan struktur nafkah rumahtangga di wilayah tidak banjir berdasarkan lapisan. juga dibagi berdasarkan lapisan yaitu lapisan bawah, lapisan menengah, dan lapisan atas. Berikut pemaparan struktur nafkah rumahtangga di wilayah tidak banjir berdasarkan lapisan. Dimana lapisan atas berada diatas Rp 97,47 juta, sementara lapisan menengah Rp 56,65 juta – 97,47 juta, dan lapisan bawah berada dibawah 56,65 juta dalam setahunnya.
30 %
Atas Menengah
46,67 %
Bawah 23,3 %
Gambar 6. Lapisan rumahtangga di Dusun Kampek, Desa Karangligar tahun 2014 – 2015.
35
Seperti gambar 6 lapisan rumahtangga yang ada lebih banyak berada di wilayah rendah hal ini menunjukan bahwa rumahtangga di wilayah banjir lebih banyak berada di daerah lapisan bawah sebanyak 14 dari 30 orang responden berada di wilayah lapisan bawah atau sebanyak 46,67 persen, pada lapisan menengah terdapat tujuh orang atau23,33 persen dan lapisan atas terdapat sembilan orang atau30 persen. Lapisan bawah lebih banyak dari pada lapisan atas karena lapisan bawah tidak mengerjakan lahan seluas lapisan atas, lapisan bawah hanya menggunakan lahan sawah 2000m2 - 6000m2 sedangkan lapisan menengah mengerjakan sawah 6000m2 - 10000m2, sedangkan lapisan atas mengerjakan lahan diatas 10000m2kemudian hal ini yang membuat pendapatan lapisan bawah jauh lebih sedikit dibandingkan kedua lapisan lainnya. Berdasarkan gambar 7, diketahui besarnya pendapatan dari struktur nafkah yang dibangun oleh rumahtangga di wilayah non banjir. Setiap lapisan tidak memiliki pendapatan on farm karena dalam daerah banjir, semua sawah yang dimiliki sendiri telah dijual kepada orang-orang dari Jakarta ataupun kepada perusahaan yang mendirikan golf di Dusun Kampek, Desa Karangligar. Rumahtangga lapisanatas memiliki pendapatan diatasRp 97,47 juta, sementara lapisan menengah Rp 56,65 juta – 97,47 juta, dan lapisan bawah berada dibawah 56,65 juta dalam setahunnya.dalam setahun.
Strukstur Nafkah Lapisan Rumahtangga Wilayah Non Banjir
140
dalam jutaan / Tahun
120 100 80
80 Non Farm
60
Off Farm
67,32
40 20
33,94
43,92
0 Atas
Gambar
55,56
10,8
9,95
Menengah
Bawah
20,34 Rata - Rata
7. Lapisan struktur nafkah rumahtangga DesaKarangligar tahun 2014 – 2015 .
di
Dusun
Kampek
Berdasarkan Gambar 8, diketahui komposisi pendapatan rumahtangga menurut lapisan rumahtangga di wilayah tidak banjir. Pendapatan rumahtangga
36
lapisan bawah 22,64 persen berasal dari sektor off farm,77,36 persen berasal dari sektor non farm. Pendapatan rumahtangga lapisan menengah 13,81 persen berasal dari sektor off farm, 86,19 persen berasal dari sektor non farm. Pendapatan rumahtangga lapisan atas31,3 persen berasal dari sektor off farm, 68,7 persen berasal dari sektor non farm, kondisi rumahtangga tersebut akan dijelaskan berikut ini. 100% 90% 80% 70% 60% Non Farm
50%
Off Farm
40% 30% 20%
10% 0% Atas
Menengah
Bawah
Rata-Rata
Gambar 8. Persentase lapisan stuktur nafkah rumahtangga di Dusun Kampek, Desa Karangligar Tahun 2014 – 2015
Lapisan Bawah Rumahtangga lapisan bawah di wilayah tidak banjir memiliki pendapatan rata-rata Rp 56,65juta dalam setahun, jumlah ini sudah tentu jauh diatas pendapatan rata-rata lapisan bawah di daerah banjir. Fakta tersebut dapat dijelaskan bahwa dari pola struktur nafkah rumahtangga lapisan bawah di wilayah tidak banjir. Pendapatan petani lapisan bawah di wilayah tidak banjir memiliki pendapatan dari off farm, non farm, dan pendapatan anggota rumahtangga lainnya. Rumahtanga petani lapisan bawah yang mengandalkan sektor off farm menguasai lahan yang sempit dimana lahan yang sempit itu berukuran kurang dari 6000 m2. Pendapatan yang didapat dari sektor off farm sekitar Rp 9,95 juta jumlah yang sedikit jika dibandingkan dengan pendapatan dari kedua lapisan lainnya. Rumahtangga lapisan bawah bekerja pada pada sektor non farm sebagai kuli, buruh tani, serta buruh bangunan. Sebagai buruh tani, kuli ataupun buruh bangunan dibayar sebanyak Rp.100.000 perhari. Bila menjadi buruh bangunan maka akan pergi ke kota untuk bekerja. Rumahtangga lapisan bawah juga mendapatkan pendapatan dari anggota rumahtangga lainnya, namun tidak sebanyak lapisan bawah pada wilayah banjir. Hal ini disebabkan rumahtangga lapisan bawah pada wilayah non banjir lebih sering membantu dalam bertani, selain itu menjadi pembantu rumahtangga harian untuk mendapatkan tambahan lainnya.
37
Lapisan Menengah Rumahtangga lapisan menengah di wilayah tidak banjir memiliki pendapatan rata-rata Rp 56,65 juta sampai Rp 95,47 juta dalam setahun, jumlah ini sudah tentu jauh diatas pendapatan rata-rata lapisan menengah di daerah banjir. Fakta tersebut dapat dijelaskan bahwa dari pola struktur nafkah rumahtangga lapisan bawah di wilayah tidak banjir. Pendapatan petani lapisan bawah diwilayah tidak banjir memiliki pendapatan dari off farm, non farm, dan pendapatan anggota rumahtangga lainnya. Aktivitas non farm serta pendapatan dari anggota rumahtangga lainnya memiliki andil besar dibandingkan sektor off farm. Rumahtanga petani lapisan menengah yang mengandalkan sektor off farm menguasai lahan yang sempit dimana lahan yang sempit itu berukuran dari 6000 m2 sampai 8000m2 Pendapatan yang didapat dari sektor off farm sekitar Rp 10,8juta dimana jumlah ini lebih sedikit di bandingkan sektor non farm. Rumahtangga lapisan menengah juga bekerja sebagai buruh tani untuk mendapatkan keuntungan lainnya dari bidang non farm. Rumahtangga lapisan menengah bekerja pada pada sektor non farm sebagai kuli, buruh tani, serta buruh bangunan, juga sebagai pedagang kecil keliling ataupun membuka warung secara kecil. Sebagai buruh tani dan buruh bangunan pendapatan yang diterima sama seperti lapisan menengah pada wilayah banjir yaitu Rp 100.000 per harinya, sedangkan rumahtangga yang bekerja sebagai membuka warung maka per harinya akan mendapatkan keuntungan sekitar Rp 50.000 seharinya.Rumahtangga lapisan menengah juga mendapatkan pendapatan dari anggota rumahtangga. Lapisan Atas Rumahtangga lapisan atas di wilayah tidak banjir memiliki pendapatan rata-rata diatas Rp 95,47juta dalam setahun, jumlah ini sudah tentu jauh diatas pendapatan rata-rata lapisan atas di daerah banjir dan jauh diatas pendapatan lapisan atas di wilayah banjir ataupun kedua lapisan lainnya di wilayah non banjir. Fakta tersebut dapat dijelaskan bahwa dari pola struktur nafkah rumahtangga lapisan bawah di wilayah tidak banjir. Pendapatan petani lapisan bawah diwilayah tidak banjir memiliki pendapatan dari off farm, non farm,dan pendapatan anggota rumahtangga lainnya. Rumahtanga petani atas yang mengandalkan sektor off farm menguasai lahan yang luas dimana lahan yang luas itu berukuran lebih dari 8000 m2. Pendapatan yang didapat dari sektor off farm sekitar Rp 43,92Juta jumlah yang besar bila dibandingkan dengan rumahtangga lapisan menengah dan lapisan bawah jumlah ini tentunya sangat banyak. Rumahtangga lapisan bawah bekerja pada pada sektor non farm sebesar 44,13 Juta rupiah dalam setahun, pendapatan rumahtangga lapisan atas ini adalah akibat rumahtangga lapisan atas yang membuka warung. Dimana dalam sehari bila membuka warung bisa menghasilkan Rp 200.000 perharinya.
38
Tingkat Kemiskinan Rumahtangga Lapisan Pendapatan rumahtangga sesungguhnya belum dapat melihat kemiskinan rumahtangga. Terdapat berbagai teknik untuk mengitung kemiskinan sebuah rumahtangga. Salah satunya dengan menggunakan standar kemiskinan yang di buat oleh world bank. Garis kemiskinan yang tentukan oleh world bank adalah $2 per kapita per hari atau sesenilai Rp 27.000 perkapita perharinya. Artinya bila rumahtangga mendapatkan pendapatan dibawah $2 per kapita perharinya atau Rp 27.000 per kapita perharinya, maka rumahtangga itu disebut sebagai rumahtangga miskin. Dari struktur pendapatan rumahtangga yang dijelaskan sebelumnya maka pendapatan rumahtangga kemudian di hitung ulang hingga menjadi pendapatan per kapita perhari. Pendapatan total rumahtangga dibagi dengan jumlah anggota rumahtangga kemudian dibagi 365 hariagar didapati pendapatan perkapita perhari. Berikut lampiran gambar pendapatan perkapita rumahtangga di wilayah banjir dan di wilayah non banjir.
100 90 Dalam hari / Kapita
80 70 60 50
Wilayah Banjir
40
Wilayah Non Banjir
30 20 10 0
Atas
Menengah
Bawah
Rata-Rata
: Garis Kemiskinan Gambar 9. Pendapatan per kapita di wilayah banjir dan non banjir di Desa Karangligar tahun 2014– 2015. Berdasarkan gambar 9 dapat dilihat bawah rata-rata pendapatan perkapita per hari di tiap lapisan sudah berada diatas kemiskinan menurut world bank. Semua lapisan sudah berada jauh diatas rata-rata kemiskinan. hal ini diakibatkan rumahtangga yang ditopang olah pendapatan anggota rumahtangga lainnya, terutama yang masuk dalam kategori atas daerah banjir yang di topang oleh pendapatan rumahtangga lainnya. pendapatan rumahtangga lapisan bawah hampir berada dibawah garis kemiskinan yang ditetapkan oleh worldbank. lapisan rumahtangga menengah memiliki pendatan lebih dari dua kali lipat dari garis kemiskinan world bank.
39
Struktur Pengeluaran Pertahun Berdasarkan Lapisan Rumahtangga Di Wilayah Banjir Pengeluaran rumahtangga adalah jumlah pengeluaran total rumahtangga dari pengeluaran konsumsi dan non-konsumsi yang dikeluarkan dalam satu tahun. Pengeluaran konsumsi adalah jumlah uang pengeluaran yang dilakukan oleh rumahtangga untuk konsumsi rumahtangga mereka seperti, beras, lauk pauk, minyak, bumbu masak, buah-buahan, cemilan, dan rokok. Sedangkan pengeluaran non-konsumsi adalah jumlah uang yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan selain konsumsi seperti, bahan bakar, pendidikan, biaya listrik, pajak, biaya kesehatan, dan modal untuk musim tanam. Berikut ini dipaparkan mengenai pengeluaran dan non-konsumsi rumahtangga berdasarkan lapisan pendapatan rumahtangga per tahun. Menurut data di lapangan menunjukanbahwa pengeluaran tiap lapisan pendapatan rumahtangga berbeda-beda baik pengeluaran konsumsi maupun pengeluaran non konsumsi. dapat diamati pada gambar 10 bahwa semakin tinggi tingkat lapisan pendapatan lapisan rumahtangganya maka semakin tinggi pula pengeluaran konsumsi dan non-konsumsinya. setiap lapisan pengeluaran untuk konsumsi dan nonsumsi berbeda-beda. Hal ini disebabkan perbedaanya kebutuhan pada rumahtangga pada setiap lapisan. Rumahtangga lapisan atas biaya konsumsi lebih tinggi pada biaya non-konsumsi berikut penjelasannya. 35
Dalam Juta / Tahun
30 25 20 Konsumsi 15
Non Konsumsi
10 5 0 Atas
Menengah
Bawah
Rata-Rata
Gambar 10. Perbandingan pengeluaran konsumsi dan non konsumsi rata-rata rumahtangga per tahun di Dusun Pangasinan, Desa Karangligar tahun 2014 – 2015. Lapisan Bawah Lapisan rumahtangga bawah mempunyai pengeluaran tiap tahun sebesar Rp 27,82juta dalam satu tahun. Pengeluaran untuk konsumsi sendiri Rp 16.44juta sedangkan pengeluaran non-konsumsi sebesar Rp 11, 38juta. Berdasarkan data
40
tersebut terlihat dengan jelas bahwa pengeluaran pengeluaran untuk konsumsi sangat dominan dibandingkan dengan pengeluaran untuk non-konsumsi. Tiap rumahtangga lebih dahulu memprioritaskan pengeluaran untuk konsumsi karena konsumsi merupakan kebutuhan utama tiap anggota rumahtangga, karena penyimpanan beras yang biasanya dilakukan ketika bersawah jadi tidak bisa dilakukan dan menyebabkan rumahtangga membeli beras bukan memakan hasil dari sawahnya. Pengeluaran non konsumsi yang dikeluarkan untuk menunjang kehidupan anggota rumahtanga mereka, pengeluaran non-konsumsi mereka melingkupi pendidikan, biaya kesehatan, baju baru ketika hari raya, biaya listrik. Untuk pengeluaran kendaraan tidak ada karena pada dasarnya rumahtangga lapisan bawah tidak memiliki kendaraan.
Lapisan Menengah Lapisan rumahtangga menengah mempunyai pengeluaran tiap tahun sebesar Rp 38,14juta dalam satu tahun. Pengeluaran untuk konsumsi sendiri Rp 20.56 juta sedangkan pengeluaran non-konsumsi sebesar Rp 17,58juta. Dari data tersebut terlihat dengan jelas bahwa pengeluaran- pengeluaran untuk konsumsi sangat dominan dibandingkan dengan pengeluaran untuk non-konsumsi sama seperti rumahtangga lapisan menengah. Tiap rumahtanga pada lapisan menengah memiliki pengeluaran yang lebih besar untuk konsumsi lebih dari rumahtangga lapisan bawah. Lapisan rumahtangga menengah menyisihkan pengeluaran untuk nonkonsumsi yang lebih besar karena pengeluaran untuk konsumsi mereka dibandingkan dengan pengeluaran konsumsi rumahtangga lapisan bawah. Pengkonsumsian lauk-pauk serta rokok yang lebih mahal dibandingkan lapisan bawah. Kemudian untuk pengeluaran non-konsumsi rumahtangga lapisan menengah lebih besar dari pada pengeluaran non-konsumsi lapisan bawah. Pengeluaran non-konsumsi seperti bensin untuk kendaraan bermotor, cicilan kendaraan, pakaian untuk hari raya, biaya pendidikan dan biaya kesehatan apabila ada anggota rumahtangga yang sakit. Serta pengeluaran berupa modal untuk bersawah kembali walaupun sawah tidak bisa ditanami lagi. Lapisan Atas Lapisan rumahtangga atas mempunyai pengeluaran tiap tahun sebesar Rp 51,99 juta dalam satu tahun. Pengeluaran untuk konsumsi sendiri Rp 22,82 juta sedangkan pengeluaran non-konsumsi sebesar Rp 29,17 juta. Berdasarkan data tersebut terlihat dengan jelas bahwa pengeluaran pengeluaran untuk non-konsumsi sangat dominan dibandingkan dengan pengeluaran untuk konsumsi. Rumahtangga lapisan atas mempunyai pendapatan rumahtangga yang besar sehingga mereka mempunyai sisa uang yang lebih banyak untuk mengalokasikan ke pengeluaran-pengeluarannya dibandingkan dengan pengeluaran lapisan lainnya. untuk pengeluaran konsumsi tidak jauh berbeda dengan pengeluaran konsumsi dari lapisan menengah karenna rumahtangga lapisan atas mampu mengeluarkan lebih banyak akibat banyaknya pendapatan yang didapatnya.
41
Pengeluaran non-konsumsi rumahtangga lapisan atas mempunyai pendapatan terbesar diantara semuanya, pengeluaran seperti bensin untuk transportasi, pakaian hari raya, biaya pendidikan, biaya kesehatan bila ada anggota yang sakit, dan pengeluaran berupa modal untuk bersawah kembali walaupun sawah tidak ditanami kembali, dan pengeluarannya lebih besar karena luas lahannya jauh lebih besar dibanding keduanya.
Struktur PengeluaranPertahun Berdasarkan Lapisan Rumahtangga Di Wilayah Non Banjir Pengeluaran rumahtangga adalah jumlah pengeluaran total rumahtangga dari pengeluaran konsumsi dan non-konsumsi yang dikeluarkan dalam satu tahun. Pengeluaran konsumsi adalah jumlah uang pengeluaran yang dilakukan oleh rumahtangga untuk konsumsi rumahtangga mereka seperti, beras, lauk pauk, minyak, bumbu masak, buah-buahan, cemilan, dan rokok. Sedangkan pengeluaran non-konsumsi adalah jumlah uang yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan selain konsumsi seperti, bahan bakar, pendidikan, biaya listrik, pajak, biaya kesehatan, dan modal untuk musim tanam. Berikut ini pemaparan mengenai pengeluaran dan non-konsumsi rumahtangga berdasarkan lapisan pendapatan rumahtangga per tahun. Menurut data di lapangan menunjukanbahwa pengeluaran tiap lapisan pendapatan rumahtangga berbeda-beda baik pengeluaran konsumsi maupun pengeluaran non konsumsi. Dapat diamati pada gambar 11 bahwa semakin tinggi tingkat lapisan pendapatan lapisan rumahtangganya maka semakin tinggi pula pengeluaran konsumsi dan non-konsumsinya. Ditinjau dari gambar 11 bahwa pengeluaran konsumsi jauh lebih banyak dari pada non-konsumsinya ini adalah penjelasannya.
42
40 35
Dalam Juta / Tahun
30 25
20
Konsumsi Non Konsumsi
15 10 5 0 Atas
Menengah
Bawah
Rata-Rata
Gambar 11. Perbandingan pengeluaran konsumsi dan non konsumsi rata-rata rumahtangga per tahun di Dusun Kampek, Desa Karangligar tahun 2014 – 2015. Lapisan Bawah Lapisan rumahtangga bawah mempunyai pengeluaran tiap tahun sebesar Rp 31,52 juta dalam satu tahun. Pengeluaran untuk konsumsi sendiri Rp 21.42 juta sedangkan pengeluaran non-konsumsi sebesar Rp 10,09 juta. Dari data tersebut terlihat dengan jelas bahwa pengeluaran untuk konsumsi sangat dominan dibandingkan dengan pengeluaran untuk non-konsumsi. Setiap rumahtangga lebih dahulu memprioritaskan pengeluaran untuk konsumsi karena konsumsi merupakan kebutuhan utama tiap anggota rumahtangga, karena urusan perut jauh lebih darurat dibandingnkan nonkonsumsi. Pengeluaran konsumsi yang dikeluarkan untuk menunjang kehidupan anggota rumahtanga mereka, pengeluaran non-konsumsi mereka melingkupi pendidikan, biaya kesehatan, baju baru ketika hari raya, biaya listrik. Untuk pengeluaran kendaraan tidak ada karena pada dasarnya rumahtangga lapisan bawah tidak memiliki kendaraan. Lapisan Menengah Lapisan rumahtangga menengah mempunyai pengeluaran tiap tahun sebesar Rp 36,63juta dalam satu tahun. Pengeluaran untuk konsumsi sendiri Rp 27.54juta sedangkan pengeluaran non-konsumsi sebesar Rp 9,10juta. Berdasarkan data tersebut terlihat dengan jelas bahwa pengeluaran- pengeluaran untuk konsumsi sangat dominan dibandingkan dengan pengeluaran untuk non-konsumsi sama seperti rumahtangga lapisan menengah. Setiap rumahtanga pada lapisan menengah memiliki pengeluaran yang lebih besar untuk konsumsi lebih dari rumahtangga lapisan bawah. Rumahtangga lapisan menengah menyisihkan pengeluaran untuk nonkonsumsi yang lebih besar karena pngeluaran untuk konsumsi mereka
43
dibandingkan dengan pengeluaran konsumsi rumahtangga lapisan bawah. Pengkonsumsian lauk-pauk serta rokok yang lebih mahal dibandingkan lapisan bawah. Pengeluaran non-konsumsi rumahtangga lapisan menengah lebih besar dari pada pengeluaran non-konsumsi lapisan bawah. Pengeluaran non-konsumsi seperti bensin untuk kendaraan bermotor, cicilan kendaraan, pakaian untuk hari raya,biaya pendidikan dan biaya kesehatan apabila ada anggota rumahtangga yang sakit. Serta pengeluaran berupa modal untuk bersawah kembali. Lapisan Atas Lapisan rumahtangga atas mempunyai pengeluaran tiap tahun sebesar Rp 58,99 juta dalam satu tahun. Pengeluaran untuk konsumsi sendiri Rp 34,30juta sedangkan pengeluaran non-konsumsi sebesar Rp 24,27juta. Berdasarkan data tersebut terlihat dengan jelas bahwa pengeluaran- pengeluaran untuk konsumsi sangat dominan daripada non-konsumsi. Rumahtangga lapisan atas mempunyai pendapatan rumahtangga yang besar sehingga mereka mempunyai sisa uang yang lebih banyak untuk mengalokasikan ke pengeluaran-pengeluarannya,dibandingkan dengan pengeluaran lapisan lainnya. untuk pengeluaran konsumsi tidak jauh berbeda dengan pengeluaran konsumsi dari lapisan menengah karenna rumahtangga lapisan atas mampu mengeluarkan lebih banyak akibat banyaknya pendapatan yang didapatnya. Pengeluaran non-konsumsi rumahtangga lapisan atas mempunyai pendapatan terbesar diantara semuanya, pengeluaran seperti bensin untuk transportasi, pakaian hari raya, biaya pendidikan, biaya kesehatan bila ada anggota yang sakit, dan pengeluaran berupa modal untuk bersawah kembali walaupun sawah tidak ditanami kembali, dan pengeluarannya lebih besar karena luas lahannya jauh lebih besar dibanding keduanya.
Struktur Pengeluaran dan Saving Capacity Rumatangga Petani di Dua Komunitas Pengeluaran rumahtangga di dua komunitas merupakan jumlah uang yang dikeluarkan untuk membeli kebutuhan pokok seperti konsumsi, sandang, papan, listrik, kesehatan, jasa, dan pendidikan anggota keluarga. Jumlah pengeluaran antara satu rumahtangga dengan rumahtangga lain tentu berbeda. Perbedaan tersebut dapat dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga, jumlah pendapatan, dan kualitas hidup rumahtangga. Saving capacity merupakan kemampuan menabung rumahtangga yang dapat dilihat dari pengeluaran yang dikurangi oleh pendapatan. Berikut pemaparan struktur pengeluaran dan pendapatan rumahtangga di dua komunitas.
44
120
Dalam Juta / Tahun
100 80 60
Pendapatan Pengeluaran
40 20
0 Atas
Menengah
Bawah
Rata-rata
Gambar 12. Perbandingan struktur pendapatan rata-rata dan pengeluaran rata-rata rumahtangga per tahun di Dusun Pangasinan, Desa Karangligar tahun 2014 – 2015 Berdasarkan gambar 12 diatas, diketahui bahwa rumahtangga di wilayah banjir memiliki tingkat pengeluaran yang berbeda-beda sesuai dengan lapisan rumahtangga. Rumahtangga lapisan bawah, lapisan menengah maupun lapisan atas pendapatannya diatas dari pengeluarannya. Rumahtangga lapisan bawah memiliki pengeluaran yang hampir mendekati dengan pendapatannya hal ini diakibatkan pendapatan dari lapisan bawah kurang banyak ataupun kurang beragam. Rumahtangga lapisan menengah memiliki jumlah pengeluaran yang lebih tinggi dari pada jumlah pengeluaran lapisan bawah, namun pendapatannya juga lebih tinggi daripada pendapatan lapisan bawah. Jumlah pendapatan rumahtangga lapisan menengah memiliki saving capacity akibat memiliki pendapatan cukup besar dari anggota rumahtangga lainnya. Rumahtangga lapisan atas memiliki jumlah pengeluaran yang lebih besar daripada rumahtangga lapisan bawah dan rumahtangga lapisan menengah. Namun, jumlah pengeluaran rumahtangga lapisan atas masih lebih kecil daripada jumlah pendapatan rumahtangga sehingga rumahtangga lapisan atas memiliki saving capacity yang tinggi. Berikut penjabarannya: Lapisan rumahtangga bawah Berdasarkan gambar 12 diketahui bahwa rumahtangga lapisan bawah di wilayah banjir memiliki saving capacity senilai Rp 7,75 juta. Rumahtangga lapisan bawah memiliki pendapatan yang lebih besar daripada pengeluarannya.Pendapatan on farm dan off farm yang tidak bisa diandalkan ketika banjir, sehingga rumahtangga mengandalkan pendapatan berasal dari non farm serta dengan dibantunya dari pendapatan anggota rumahtangga yang lain.Rumahtangga lapisan bawah menjadi buruh tani ataupun buruh bangunan untuk memenuh kebutuhan hidup rumahtangganya. Seperti cerita salah satu
45
responden dalam penelitian ini yaitu bapak AMO mengenai pendapatan, pengeluaran serta saving capacity yang dimiliki. Box 1 Pendapatan, , pengeluaran, dan saving capacity rumahtangga lapisan bawah Bapak AMO adalah salah saru rumahtangga yang termasuk kedalam kategori pendapatan rumahtangga lapisan bawah. Beliau memiliki luas lahan sebesar 15.000 meter2 yang diperoleh dari leluhur sebebelum beliau,. Dari sawah bila tidak ada banjir mampu mendapatkan 5 ton, namun semua pendapatan itu tidak ada artinya karena ketika banjir tiba pendapatan menjadi berkurang drastis. Beliau yang kini tinggal dengan isterinya wajib mencari sumber nafkah yang baru. Penghasilan lain bapak AMO menjadi buruh tani dengan bekerja di sawah rumahtangga yang tidak banjir. Beliau bekerja sebagai buruh tani di bayar upah sebesar Rp 100.000 perhari dan mendapatkan rokok serta makan. Beliau juga bekerja sebagai buruh bangunan dengan upah Rp 100.000 per hari dengan pergi ke kota. Bapak AMO memiliki pengeluaran terus menerus untuk modal sawah walaupun sawah tidak bisa di panen akibat puso namun pengeluaran berupa modal untuk bersawah kembali serta memiliki pengeluaran – pengeuluaran yang lebih banyak untuk membeli beras, karena biasanya 1/5 dari hasil menanam padi akan disimpan untuk keperluan konsumsi sehari – hari. Sehingga pengeluaran konsumsi menjadi lebih banyak akibat tidak adanya hasil menanam padi. Rumahtangga bapak AMO menerima bantuan dari desa ketika banjir datang berupa pakaian, makananan serta berupa bibit untuk modal menanam lagi yang diberika melalui kelompok tani. Bapak AMO juga memiliki tabungan berupa tabungan emas sebsar 15 gram yang di berikan kepada isteri untuk keadaan yang genting, dan juga sebagai modal menanam kembali di musim tanam berikutnya. Serta bapak Amo memiliki tabungan berupa ternak yaitu ayam yang di miliki untuk dijual ketika rumahtangga memiliki keperluan mendesak. Sehingga walaupun terjadi banjir adanya pendapatan dari sektor lain yaitu berupa sektor non farm mengakibatkan rumahtangga mampu bertahan ketika adanya banjir. Sumber: Bapak AMO, 61 tahun, Petani.
Berdasarkan cerita bapak AMO di Box 1 menjelaskan bahwa pendapatan rumahtangga lapisan bawah tidak terpangaruh dengan luas lahan yang banyak maupun sedikit karena ketika banjir tiba semua lahan akan terendam. Kemudian untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga menjadi buruh tani ataupun buruh bangunan. Lapisan rumahtangga menengah Berdasarkan gambar 12, lapisan rumahtangga menengah mempunyais aving capacity sebesar kurang lebih Rp 25,2juta per tahun. Tentu hal ini lebih besar dibandingkan dengan yang dimiliki oleh rumahtangga lapisan bawah. Lapisam rumahtangga menengah umumnya sudah mempunyai tabungan yang cukup besar sebagai sisa dari kelebihan pendapayan mereka. Rumahtanga petani lapisan menengah umumnya menguasai sawah sebesar 2 6000m hingga 10000m2 Pendapatan on farm dan off farm yang tidak bisa diandalkan ketika banjir, sehingga rumahtangga mengandalkan pendapatan berasal dari non farm serta dengan dibantunya dari pendapatan anggota
46
rumahtangga yang lain. Bentuk pendapatan non farm -nya dapat berupa berdagang secara kecil- kecilan, bekerja sebagai buruh tani, buruh bangunan, ataupun membuka warung secara kecil- kecilan. Seperti cerita dari salah satu responden dalam penelitian ini yaitu bapak EDK. Di dalam Box 2 diceritakan bagaimana kehidupan Bapak EDK mengenai pendapatan, pengeluaran dan saving capacity yang di miliki. Box 2. Pendapatan, Pengeluaran, dan Saving capacity rumahtangga lapisan menengah Bapak EDK adalah salah saru rumahtangga yang termasuk kedalam kategori pendapatan rumahtangga lapisan menengah. Beliau memiliki luas lahan sebesar 20.000 meter2 yang diperoleh dari leluhur sebebelum beliau dan digadaikan sebesar 10.000m2 oleh beliau agar mendapatkan uang tambahan.. Pendapatan dari sawah bila tidak ada banjir mampu mendapatkan 6 ton, namun semua pendapatan itu tidak ada artinya karena ketika banjir tiba pendapatan menjadi berkurang drastis. beliau tinggal dengan isteri serta anak dan menantunya. Penghasilan lain bapak EDK adalah dengan cara membuka warung. Warung yang dibuka oleh bapak EDK memiliki penghasilan sekitar Rp 100.000 dalam sehari. Anak dari bapak EDK memiliki pekerjaan sebagai perawat sebesar Rp 1.500.000 dalam sebulan dan untuk membantu perekonomian rumahtangga. Bapak EDK memiliki pengeluaran terus menerus untuk modal sawah walaupun sawah tidak bisa di panen akibat puso namun pengeluaran berupa modal untuk bersawah tetap ada serta bertambah dengan memiliki pengeluaran- pengeuluaran yang lain dan lebih banyak, karena biasanya 1/5 dari hasil menanam padi akan disimpan untuk keperluan konsumsi seharihari. Sehingga pengeluaran konsumsi menjadi lebih banyak akibat tidak adanya hasil menanam padi, namun pengeluaran konsumsi untuk beras menjadi masuk kedalam pengeluarannya. Rumahtangga bapak EDK menerima bantuan dari desa ketika banjir datang berupa pakaian, makananan serta berupa bibit untuk modal menanam lagi yang diberikan melalui kelompok tani. Bapak EDK memiliki tabungan berupa tabungan emas sebanyak Rp 2.000.000 yang dipakai bila rumahtangga dalam keadaan krisis. Bapak EDK tidak memiliki ternak karena bila memiliki ternak akan mengakibatkan kerugian pada saat banjir datang, namun karena memiliki warung sebagai investasi rumahtangga bapak EDK memiliki tabungan lainnya selain emas. Sehingga walaupun terjadi banjir adanya pendapatan dari sektor lain yaitu berupa sektor non farm yang berupa warung dan pendapatan dari anggota rumahtangga mengakibatkan rumahtangga Bapak EDK mampu bertahan ketika adanya banjir. Sumber: Bapak EDK, 50 tahun, petani
Berdasarkan cerita bapak EDK di box 2 menjelaskan bahwa pendapatan rumahtangga lapisan menengah tidak terpengaruh dengan banyak atau sedikitnya luas lahan ketika banjir tiba, karena pada dasarnya ketika banjir tiba semua lahan akan terendam banjir. Sehingga rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan konsumsi ataupun non konsumsi rumahtangga akan mencari nafkah baru yaitu membuka warung atapun mengandalkan dari anggota rumahtangga. Lapisan rumahtangga atas Berdasarkan gambar 12, lapisan rumahtangga atas mempunya saving capacity sebesar kurang lebih Rp 50,6 juta per tahun. Tentu hal ini sangat besar dibandingkan dengan yang dimiliki oleh rumahtangga lapisan bawah dan lapisan
47
rumahtangga lapisan menengah. Rumahtangga atash umumnya sudah mempunyai tabungan yang cukup besar sebagai sisa dari kelebihan pendapatan mereka. Rumahtanga petani lapisan atas umumnya menguasai sawah sebesar 10000m2ke atas. Pendapatan on farm dan off farmyang tidak bisa diandalkan ketika banjir, sehingga rumahtangga mengandalkan pendapatan berasal dari non farm serta dengan dibantunya dari pendapatan anggota rumahtangga yang lain. Bentuk pendapatan non farm -nya dapat berupa berdagang, membuka warung, ataupun bekerja sebagai guru seperti yang di lakukan bapak SKY. Box 3 Pendapatan, Pengeluaran, Saving capacity Rumahtangga lapisan atas Bapak SKYadalah salah satu rumahtangga yang termasuk kedalam kategori pendapatan rumahtangga lapisan atas. Beliau memiliki luas lahan sebesar 6000m2 yang di sewa dari pemilik lahan lain karena bapak SKY bukan penduduk asli. Sehingga bapak SKY maro lahan dengan pemilik lahan. Dari sawah bila tidak ada banjir mampu mendapatkan 2 Ton, namun semua pendapatan itu tidak ada artinya karena ketika banjir tiba pendapatan menjadi berkurang drastis. beliau tinggal dengan isteri serta dengan ketiga anaknya. bapak SKY memiliki pekerjaan selain bertani adalah sebagai tenaga pendidik di sekolah yang sudah berstatus PNS yang dalam satu bulannya mendapatkan sejumlah Rp 4.500.000. Serta bapak SKY juga dibantu isteri dan salah satu anaknya dalam membantu ekonomi rumahtangga, isteri bekerja sebagai guru dan mendapatkan besar pendapatan sejumlah Rp 3.000.000 dan sang anak bekerja berjualan di warung yang dimiliki oleh bapak SKY. Bapak SKY memiliki pengeluaran secara terus menerus selama musim tanam untuk modal sawah, namun sawah tidak bisa digunakan menanam ketika ada banjir. modal untuk bersawah tetap ada serta bertambah dengan memiliki pengeluaran lain dan lebih banyak, karena biasanya 1/5 dari hasil menanam padi akan disimpan untuk keperluan konsumsi sehari – hari. Sehingga pengeluaran konsumsi menjadi lebih banyak akibat tidak adanya hasil menanam padi, namun pengeluaran konsumsi untuk beras menjadi masuk kedalam pengeluarannya, anggota rumahtanga yang masih kecil masih berumur 12 tahun dan masih bersekolah sehingga pengeluaran berupa pendidikan serta uang transportasi ke sekolah masih masuk kedalam perhitungan. sawah tidak bisa di panen akibat puso namun pengeluaran berupa rumahtangga bapak SKY menerima bantuan dari desa ketika banjir datang berupa pakaian, makananan serta berupa bibit untuk modal menanam lagi yang diberikan melalui kelompok tani. Bapak EDK memiliki tabungan berupa tabungan emas sebanyak Rp 1.500.000 dan tabungan yang disimpang dirumah senilai Ro 10.000.000yang dipakai bila rumahtangga dalam keadaan krisis. Bapak SKY tidak memiliki ternak karena bila memiliki ternak akan mengakibatkan kerugian pada saat banjir datang, namun karena memiliki warung sebagai investasirumahtangga bapak SKY serta memiliki tabungan yang disimpan dirumah.
Sumber: Bapak SKY. 50 tahun. Seperti cerita dari salah satu responden dalam penelitian ini yaitu bapak SKY. Di dalam Box 3 diceritakan bagaimana kehidupan Bapak SKY mengenai pendapatan, pengeluaran dan saving capacity yang di miliki.
48
140
Dalam Juta / Tahun
120 100 80 Pendapatan
60
Pengeluaran
40 20 0 Atas
Menengah
Bawah
Rata-Rata
Gambar 13. Perbandingan struktur pendapatan rata-rata dan pengeluaran rata-rata rumahtangga per tahun di Dusun Kampek, Desa Karangligar tahun 2014 – 2015. Berdasarkan Gambar 13, diketahui bahwa rumahtangga di wilayah tida banjir memiliki tingkat pengeluaran berbeda-beda sesuai dengan lapisan rumahtangga. Rumahtanga petani lapisan bawah di wilayah tidak banjir memiliki jumlah penndapatan lebih tinggi dari pada rumahtangga lapisan bawah wilayah banjir. Hal terebut karena pendapatan di wilayah non banjir berasal dari sektor off farm dan non farmserta anggota rumahtangga lainnya berbeda dengan wilayah banjir yang hanya mengandalkan dari non farm serta anggota rumahtangga lainnya dengan saving capacity senilai 12,38 juta. Rumahtangga lapisan menengah di wilayah tidak banjir memiliki pendapatan yang lebih besar daripada jumlah pengeluaran rumahtangga. Hal tersebut menunjukkan bahwa rumahtangga lapisan menengah di wilayah banjir memiliki saving capacity sedang. Tabungan dapat dimanfaatkan apabila rumahtangga sedang menghadapi krisis, dengan nilai saving capacity 41,54 juta. Rumahtangga lapisan atas memiliki pendapatan dan pengeluaran yang lebih tinggi dibandingkan dengan rumahtangga lapisan bawah dan menegah. Jumlah pengeluaran rumahtangga lapisan atas lebih kecil daripada jumlah pendapatan rumahtangga, sehingga rumahtangga lapisan atas memiliki saving capacity yang tinggi dengan nilai Rp 81,75 juta dalam satu tahunnya. Ikhtisar Struktur nafkah rumahtangga di wilayah banjir dan tidak banjir cukup berbeda. Rumahtanggalapisan bawah di wilayah banjir memiliki struktur nafkah yang didominasi oleh kegiatan non farmdan anggotarumahtangga lainya. Kontribusi paling besar pada pendapatan rumahtangga lapisan bawah di wilayah banjir adalah sektor non farm. Hal tersebut dilakukan karena sektor on farmdan off farm sudah tidak dapat memberikan penghasilan akibat sawah tidak bisa ditanami.
49
Rumahtangga lapisan menengah di wilayah banjir sudah mulai didominasi oleh sektor non farm, tidak ada rumahtangga yang masih bergantung pada sektor on farm dan off farm. Berdasarkan data di lapang, pendapatan dari sektor non farm lebih sedikit daripada pendapatan anggota rumahtangga lainnya. Hal ini anggota rumahtangga sudah memiliki pekerjaan tetap dibandingkan rumahtangga lapisan bawah. Rumahtangga lapisan atas didominasi oleh struktur nafkah non farm dan pendapatan dari anggota rumahtangga lainnya. Pendapatan rumahtangga lapisan bawah di wilayah tidak banjir hanya berasal dari dua sektor yaitu sektor off farm,non farm, serta pendapatan anggota rumahtangga lainnya. Rumahtangga lapisan bawah yang mengandalkan sektor off farmmemiliki lahan yang sempit. Rumahtangga lapisan menengah di wilayah tidak banjir sudah melakukan aktivitas nafkah pada sectoroff farm,non farm dan pendapatan anggota rumahtangga lainnya. Aktivitas nafkah pada sektor off farm tersebut memiliki kontribusi pendapatan yang cukup besar dibandingkan sektor non farm dan anggota rumahtangga lainnya. Rumahtangga lapisan atas didominasi oleh sektor off farm, non farmdan berasal dari pendapatan anggota rumahtangga lainnyaaktivitas nafkah pada sektor tersebut memberikan kontribusi pendapatan yang besar pada rumahtangga lapisan atas. Saving capacity rumahtangga di wilayah banjir dan tidak banjir sama-sama memiliki pendapatan dan pengeluaran yang tidak minus atau semua memiliki saving capacity.
BASIS MODAL NAFKAH RUMAHTANGGA DI DUA KOMUNITAS Bab ini menjelaskan mengenai basis modal nafkah rumahtangga di wilayah banjir dan wilayah tidak banjir. Modal nafkah yaitu modal alam, modal manusia, modal fisik, modal finansial, dan modal sosial. Basis nafkah rumahtangga dilihat dari pentagonal modal nafkah. Basis nafkah rumahtangga juga dilihat dari lapisan rumahtangga berdasarkan tingkat pendapatan yaitu lapisan bawah, lapisan menengah, dan lapisan atas. Modal nafkah dimanfaatkan oleh rumahtangga dalam melakukan aktivitas nafkahnya. Modal nafkah terdiri dari lima modal yaitu modal manusia, modal sosial, modal fisik, modal finansial, dan modal alam. Rumahtangga memiliki pemanfaatan modal nafkah yang berbeda pada situasi dan kondisi berbeda. Modal manusia dalam penelitian ini mencakup tingkat pendidikan, tingkatalokasi tenaga kerja rumahtangga, tingkat penggunaan tenaga kerja, dan tingkat keterampilan kepala keluarga. Modal sosial yang dimaksud dalam penelitian ini adalah seluruh sumber daya sosial di dalam masyarajat yang menjadi tiga yaitu banyaknya organisasi yang diikuti, banyaknya jaringan yang dimiliki rumahtangga, dan tingkat kepercayaan rumahtangga. Modal fisik dalam penelitian ini adalah aset rumahtangga. Modal fisik dalam penelitian ini adalah aset rumahtangga yang dimaksud segala benda atau barang yang dimiliki oleh rumahtangga sewaktu-waktu dapat dijual atau digadaikan ketika rumahtangga sedang dalam kondisi krisi. Berbagai aset tersebut diantaranya barang elektronik, kendaraan, perhiasan, dan ternak. Modal alam mencakup pola penguasaan lahan dan pola kepemilikan lahan. Modal finansial mencakup tabungan, pinjaman, hutang dan cicilan. Komunitas petani di wilayah banjir merupakan petani yang sawah dan rumah mereka selalu tergenang banjir setiap musim hujan. Banjir terjadi karena akibat luapan sungai yang tidak mampu menahan volume air sehingga menggenangi sawah dan rumah warga. Banjir mengakibatkan petani gagal panen akibat lahan yang penuh limbah dan hasil panen menjadi puso.
Ketersediaan Modal Nafkah Rumahtangga Di Wilayah Banjir Rumahtangga di wilayah banjir dibagi menjadi tiga lapisan yaitu lapisan bawah, lapisan menengah dan lapisan atas. Pembagian lapisan tersebut berdasarkan tingkat pendapatan dari masing-masing rumahtangga. Setiap lapisan petani memiliki kecenderungan terhadap pemanfaatan terhadap pemanfaatan modal nafkah yang berbeda. Pembagian lapisan tersebut bertujuan untuk mengetahun sejauh mana pemanfaatan modal nafkah yang dilakukan rumahtangga lapisan ruamhtangga atas, menengah dan bawah. Kecenderungan pemanfaatan modal tertentu akan berdampak pada tumpuan utama rumahtangga dalam melakukan aktivitas nafkahnya. Jika modal yang menjadi tumpuan tersebut terganggu maka rumahtangga akan semakin rentan ketika berada dalam kondisi krisis. Pemanfaatan modal nafkah oleh masing-masing lapisan rumahtangga dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
51
Modal Nafkah Lapisan Menengah
Modal Nafkah Lapisan Bawah
Modal Alam Modal Sosial
Modal Finansi al
Modal Alam Modal Manusi a Modal Fisik
Modal Sosial Modal Finansi al
Modal Manus ia Modal Fisik
Gambar 14 Pemanfaatan modal nafkah berdasarkan lapisan atasrumahtangga di wilayah banjir, Dusun Pangasinan, Desa Karangligar tahun 2014-2015 Berdasarkan gambar 14 dapat diketahui basis modal nafkah yang digunakan masing-masing lapisan rumahtangga di wilayah banjir. Rumahtanagga petani lapisan bawah merupakan rumahtangga yang menguasai lahan dibawah 6000m2. Rumahtangga lapisan bawah memiliki pendapatan yang rendah, tingkat pendapatan yang dimiliki rumahtangga lapisan bawah kurang dari Rp48,74 juta dalam setahun. Pendapatan tersebut merupakan hasil dari non pertanian, karena pendapatan berdasarkan sektor pertanian tidak dapat diraih akibat puso pasca banjir. Petani lapisan bawah di wilayah banjir berjumlah 10 rumahtangga. Rumahtangga lapisan menengah di wilayah banjir merupakan petani yang memiliki pendapatan Rp 48,74 juta sampai Rp 77,65 juta dalam setahun. Lapisan menengah rumahtangga, layaknya pendapatan lapisan bawah, pendapatan pada rumahtangga lapisan menengah memiliki pendapatan berasal dari non farm akibat tidak ada hasil dari bidang pertanian. Rumahtangga lapisan menengah berjumlah 12 orang. Rumahtangga lapisan atas wilayah banjir merupakan petani yang memiliki pendapatan terbesar yaitu memiliki pendapatan lebih dari Rp 77,65 juta dalam setahun. Lapisan atas rumahtangga di wilayah banjir sama dengan kedua lapisan sebelumnya untuk struktur nafkahnya, dimana pendapatan hanya berasal dari non farm akibat tidak ada hasil dari bidang pertanian. Rumahtanga lapisan atas terdapat delapan rumahtangga. Modal Manusia Lapisan bawah rumahtangga memiliki modal manusia yang tinggi nilainya. Salah satu komponen modal manusia yaitu tingkat penggunaan tenaga kerja rumahtangga. Petani lapisan bawah yang mayoritas adalah buruh tani membutuhkan lebih dari satu anggota keluarga untuk membantu pekerjaan untuk menopang hidupnya ketika banjir tiba akibat tidak ada penghasilan dari sawah.
52
Modal Manusia dalam rumahtangga lapisan menengah juga bernilai tinggi. Salah satu komponen modal manusia lapisan menengah yaitu tingkat keterampilan yang dimiliki kepala keluarga. Rumahtangga lapisan menengah kebanyakan melakukan pola nafkah ganda, sehingga keterampilan mereka tidak hanya sebatas pertanian. Ketika sawah dan perumahan mereka sering dilanda banjir, petani lapisan menengah melakukan aktivitas nafkah lain seperti berdagang, menjadi buruh bangunan, menjadi buruh bangunan. Modal manusia petani lapisan atas bernilai tinggi yaitu jumlah anggota keluarga yang bekerja, tingkat penggunaan tenaga kerja, dan tingkat keterampilan kepala keluarga. Anggota keluarga petani lapisan atas seperti isteri dan anak juga bekerja sehingga menambah penghasilan keluarga. Isteri petani lapisan atas biasanya membuka warung di depan rumah mereka, sedangkan anak petani bekerja sebagai karyawan. Modal Alam Modal alam bagi rumahtangga lapisan bawah bernilai sedang. Rumahtangga lapisan bawah di wilayah banjir hanya memiliki akses pada sumberdaya alam sawah. Hal ini disebabkan banjir yang selalu datang setiap tahun dan merendam lahan pertanian mereka sehingga sulit jika hanya bergantung pada sektor pertanian. Sehingga sektor pertanian sudah buka pilihan dalam menangani kemapanan sumber hidupnya. Modal alam yang dimiliki oleh petani lapisan menengah bernilai sedang. Struktur nafkah petani lapisan menengah lebih banyak. Artinya, petani lapisan menengah hanya buruh tani. Hal ini sesuai dengan modal manusia petani lapisan menengah yang hanya mengandalkan sektor non farm. Petani lapisan menengah juga memiliki pendapatan yang lebih tinggi daripada petani lapisan bawah. Bencana banjir mengakibatkan akses petani terhadap sumberdaya sawah semakin rendah karena akses terhadap lahan semakin berkurang. Modal alam rumahtangga lapisan atas bernilai tinggi. Hal ini dikarenakan petani lapisan atas memiliki lahan yang cukup luas. Sehingga ketika luas lahan yang dimiliki dan luas lahan yang dikuasai menjadi faktor penentu modal alam maka rumahtangga lapisan atas memiliki lapisan yang tinggi. Modal Sosial Modal sosial rumahtangga lapisan bawah termasuk dalam kategori sedang. Pada komponen banyaknya jaringan yang diikuti, beberapa petani masih aktif dalam berbagai kegiatan kelompok tani yang diadakan oleh pemerintah desa. Para petani juga sangat antusias apabila terdapat bantuan berupa bibit gratis dan traktor. Ketika petani mengalami gagal panen akibat banjir, pengurus kelompok tani akan mendata besar kerugian yang dialami oleh masing-masing petani yang akan diajukan ke pemerintah desa. Namun, sebagian petani lainnya lebih fokus terhadap aktivitas nafkah non pertanian sehingga sudah jarang menghadiri pertemuan kelompok tani. Banyaknya organisasi yang diikuti, setiap organisasi yang diikuti akan sulit untuk membantu bila banjir datang akibat organisasinya juga harus menghadapi banjir.Demikian pula pada komponen tingkat kepercayaan, ketika sedang dalam kondisi krisis rumahtangga memiliki kepercayaan yang tinggi untuk meminta bantuan terhadap saudara dan kerabat, sebagian kecil juga percaya terhadap pemerintah Desa Karangligar.
53
Modal sosial merupakan modal nafkah yang memiliki nilai tinggi yang dimiliki oleh rumahtangga lapisan menengah. Komponen yang paling membedakan antara rumahtangga lapisan menengah dengan rumahtangga lapisan bawah yaitu tingkat kekuatan jejaring. Sebagian besar petani di lapisan menengah selain aktif sebagai anggota kelompok tani, mereka juga memiliki organisasi lain di luar. Modal sosial rumahtangga lapisan atas tidak jauh berbeda dengan petani lapisan menengah yaitu bernilai tinggi. Tingkat kekuatan jejaring dalam rumahtangga lapisan atas bernilai tinggi karena petani memiliki dua atau lebih organiasasi selain kelompok tani. Organisasi tersebut seperti kelompok supir atau kelompok arisan di pabrik. Pada komponen tingkat kepatuhan pada norma, petani lapisan atas memiliki keterbukaan kepada komponen tingkat kepercayaan, rumahtangga lapisan atas memiliki kepercayaan terhadap kerabat, tetangga, dan pemerintah desa ketika terjadi bencana banjir. Modal Fisik Modal fisik yang dimiliki petani lapisan bawah termasuk kategori tinggi. Wilayah yang selalu terendam banjir setiap musim hujan membuat rumahtangga memiliki aset rumahtangga yang berharga seperti elektronik. Rumah mereka dibangun secara sederhana hanya tembok belum dilantai. Selain itu, para petani mengaku banyak ternak mereka seperti kambing yang mati ketika banjir karena kekurangan makanan sehingga mereka kehilangan banyak ternak. Modal fisik rumahtangga lapisan menengah bernilai tinggi layaknya rumahtangga lapisan bawah. Rumahtangga juga tidak memiliki ternak karena banjir yang menyebabkan kehilangan banyak ternak karena kekurangan makanan. Banjir juga merusak barang-barang milik rumahtangga. Rumahtangga lapisan menengah memiliki barang elektronik dan kendaraan beroda dua. Modal fisik rumahtangga lapisan atas bernilai tinggi seperti lapisan bawah dan atas. Pendapatan rumahtangga lapisan atas tinggi, sebanding dengan apa yang mereka punya seperti kendaraan beroda dua yang berjumlah lebih dari satu ataupun kendaraan beroda empat. Modal Finansial Modal finansial merupakan modal paling rendah yang dimanfaatkan oleh rumahtangga lapisan bawah wilayah banjir. Seluruh petani lapisan bawah memiliki tabungan berupa uang yang sedikit di rumah dan tidak memiliki tabungan di bank. Mereka mengaku bahwa tanggungan yang banyak untuk makan dan kebutuhan sehari-hari sehingga membuat menabung bukan menjadi prioritas utama mereka, akan tetapi pendapatan yang lebih dari pada pengeluaran di lakukan untuk memberi modal bagi sawahnya kembali. Modal finansial yang dimiliki rumahtangga lapisan menengah bernilai rendah, lebih rendah dibandingkan rumahtangga lapisan bawah. Hal ini dikarenakan rumahtangga mempunyai tabungan berupa uang yang bersifat sedikit. Namun, mereka lebih memilih untuk membeli emas yang dapat dijual sewaktuwaktu. Selain itu, setiap rumahtangga lapisan menengah pasti memiliki cicilan yang belum lunas untuk mencicil kendaraan beroda dua. Modal finansial petani lapisan atas lebih tinggi satu tingkat dibandingkan petani lapisan bawah dan petani lapisan menengah. Modal finansial petani lapisan
54
atas bernilai sedang. Hal ini disebabkan beberapa petani lapisan atas memiliki tabungan berupa emas serta anak mereka yang telah bekerja memiliki pendapatan tambahan untuk menghidupi rumahtangga, namun layaknya lapisan rumahtangga menengah lapisan rumahtangga atas juga memiliki cicilan untuk membayar kredit kendararaan berdoa dua ataupun beroda empat. Ketersediaan Modal Nafkah Rumahtanggadi Wilayah Tidak Banjir Rumahtagga petani di wilayah tidak banjir memiliki karakteristik yang berbeda dengan rumahtangga di wilayah banjir. Karakteristik tersebut dapat dilihat dari jumlah strategi nafkah dan jumlah rumahtangga yang melakukan pola nafkah ganda. Aktivitas nafkah yang dilakukan oleh rumahtangga dipengaruhi oleh keadaan alam yang memang tidak tergenang banjir pada saat musim hujan. Aktivitas nafkah tersebut juga akan mempengaruhi basis modal nafkah yang dimanfaatkan oleh rumahtangga.Rumahtangga di wilayah tidak banjir dibagi ke dalam tiga lapisan berdasarkan tingkat pendapatan rumahtangga yaitu lapisan bawah, lapisan menengah, dan lapisan atas. Pembagian tingkat pendapatan tersebut berdasarkan data emik yang ada dalam masyarakat. Masing-masing lapisan rumahtangga di wilayah tidak banjir memiliki basis modal nafkah yang berbeda. Modal Nafkah Lapisan Menengah
Modal Nafkah Lapisan Bawah
Modal Alam Modal Sosial Modal Finan…
Modal Alam Modal Man… Modal Fisik
Modal Sosial Modal Finansi al
Modal Manus ia Modal Fisik
Gambar 15. Pemanfaatan modal nafkah berdasarkan lapisan rumahtangga di wilayah non banjir, Dusun Kampek, Desa Karangligar tahun 20142015 Berdasarkan gambar 15, dapat diketahui basis modal nafkah yang digunakan masing-masing lapisan rumahtangga di wilayah tidak banjir. Rumahtanagga petani lapisan bawah merupakan rumahtangga yang menguasai lahan dibawah 6000m2. Rumahtangga lapisan bawah memiliki pendapatan yang rendah, tingkat pendapatan yang dimiliki rumahtangga lapisan bawah kurang dari Rp56,65juta dalam setahun. Pendapatan tersebut merupakan hasil dari non farm serta off farm. Petani lapisan bawah di wilayah banjir berjumlah 14 rumahtangga.
55
Rumahtangga lapisan menengah di wilayah non banjir merupakan petani yang memiliki pendapatan Rp 56,65juta sampai Rp 97,47juta dalam setahun. Lapisan menengah rumahtangga, layaknya pendapatan lapisan bawah, pendapatan pada rumahtangga lapisan menengah memiliki pendapatan berasal dari non farm dan off farm. Rumahtangga lapisan menengah berjumlah 7 orang. Rumahtangga lapisan atas wilayah banjir non merupakan petani yang memiliki pendapatan terbesar yaitu memiliki pendapatan lebih dari Rp 97,47 juta dalam setahun. Lapisan atas rumahtangga di wilayah non banjir sama dengan kedua lapisan sebelumnya untuk struktur nafkahnya, dimana pendapatan hanya berasal dari non farm dan off farm. Rumahtanga lapisan atas terdapat sembilan rumahtangga. Modal Manusia Modal manusia rumahtangga lapisan bawah terhitung rendah karena pada keterampilan kerja dan tingkat pendidikan tergolong rendah dimana pendidikan yang dimiliki oleh rumahtangga lapisan bawah hanya tingkat SD ataupun kebawah yang berarti tidak bersekolah dan keterampilan yang didapat hanya bisa bertani dan menjadi buruh tani Modal manusia rumahtangga lapisan menengah di wilayah tidak banjir juga bernilai rendah. Hal ini disebabkan pendidikan petani rendah, rata-rata petani hanya berpendidikan SD atau tidak tamat SD. Selain itu, dalam rumahtangga lapisan menengah di wilayah tidak banjir kebanyakan hanya kepala keluarga yang bekerja serta penggunaan tenaga kerja yang rendah karena petani hanya sebagai buruh tani. Walaupun pendapatan rumahtangga tinggi, namun tanggungan yang dimiliki petani juga lebih banyak. Modal manusia rumahtangga di wilayah yang tidak banjir lapisan atas terhitung tinggi. Hal ini disebabkan bukan dari pendidikan yang tinggi namun keterampilan dan jumlah anggota yang bekerja untuk mendapatkan tambahan jauh lebih banyak. Modal Alam Modal alam pada lapisan rumahtangga bawah terhitung rendah karena pada dalam modal alam petani sudah hampir tidak memiliki tanah lagi dan hasilnya adala maro dengan petani lain ataupun maro dengan dari luar wilayah, akibat pembelian tanah untuk golf di daerah ini. Modal alam di lapisan menengah juga memiliki kasus yang sama karena pada modal alam petani sudah hampir tidak memiliki tanah, namun masih memiliki pendapatan yang cukup besar dan mampu menopang, dan untuk bertani harus maro dengan petani yang memiliki tanah lebih luas. Modal alam yang dimiliki lapisan rumahtangga atas lebih banyak karena pendapatan yang dimiliki lebih besar hasil darimaro dengan lahan yang lebih luas. Modal sosial Modal sosial rumahtangga lapisan bawah di wilayah banjir juga bernilai sedang. Penyababnya tidak jauh berbeda dengan rumahtangga di wilayah banjir. Para petani aktif dalam berbagai kegiatan kelompok tani. Selain itu, hubungan kekerabatan dan tingkat kepercayaan masih tinggi namun tidak dengankeikutsertaan dalam organisasi organisasi.
56
Modal sosial rumahtangga lapisan menengah di wilayah banjir bernilai rendah. Penyebabnya rumahtangga lapisan menengah sudah jarang mengikuti organisasi namun masih memiliki kepercayaan yang tinggi untuk kerabat ataupun tetangga. Modal sosial petani lapisan atas tidak jauh berbeda dengan rumahtangga lapisan atas wilayah banjir karena jaringan yang dimiliki oleh rumahtangga yaitu jaringan pada kelompok tani serta rumahtangga lapisan atas memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap kerabat dan teman, serta aktif daam berorganisasi Modal Fisik Modal fisik yang dimiliki petani lapisan bawah termasuk kategori tinggi. Wilayah yang tidak terendam setiap musim hujan membuat rumahtangga memiliki aset rumahtangga yang berharga seperti elektronik. Rumahtangga lapisan bawah mereka memiliki beberapa ternak. Sedangkan infrastruktur jalan menuju lokasi wilayah non banjir tersebut tidak seperti wilayah banjir. Modal fisik rumahtangga lapisan menengah bernilai sedang layaknya rumahtangga lapisan bawah. Rumahtangga juga memiliki beberapa ternak. Rumahtangga lapisan menengah memiliki barang elektronik dan kendaraan beroda dua. Modal fisik rumahtangga lapisan atas bernilai tinggi seperti lapisan bawah dan menengah. Pendapatan rumahtangga lapisan atas tinggi, sebanding dengan apa yang mereka punya seperti kendaraan beroda dua yang berjumlah lebih dari satu ataupun kendaraan beroda empat serta beberapa ternak. .. Modal Finansial Modal finansial rumahtangga lapisan bawah di wilayah tidak banjir bernilai rendah. Hal ini disebabkan masyarakat masih tidak memprioritaskan menabung berupa uang. Selain itu, sama seperti rumahtangga di wilayah banjir, rumahtangga lapisan bawah di wilayah tidak banjir. Rumahtanggalapisan bawah juga memiliki jumlah pengeluaran yang besar daripada jumlahtabungan namun memiliki pendapatan cukup tinggi. Modal finansial rumahtangga lapisan menengah di wilayah tidak banjir bernilai rendah. Hal ini disebabkan masyarakat masih tidak memprioritaskan menabung berupa uang. Selain itu, sama seperti rumahtangga di wilayah banjir, rumahtangga lapisan menengah di wilayah tidak banjir serta memiliki banyak cicilan dibandingkan rumahtangga lapisan bawah. Modal finansial rumahtangga lapisan atas di wilayah tidak banjir bernilai rendah. rumahtangga tidak memiliki tabungan berupa yang disimpan di rumah maupun di bank swasta. Rumahtangga juga memiliki cicilan yang banyak sehingga mengakibatkan modal finansialnya menjadi rendah.
Analisis Modal Nafkah Di Kedua Wilayah Basis nafkah rumahtangga menunjukan modal paling dibutuhkan dan dimanfaatkan rumahtangga dalam melakukan aktivitas nafkah. Rumahtangga di wilayah banjir dan non banjir memiliki modal nafkah yang berbeda. Perbedaan ini akan mempengaruhi ketahanan rumahtangga ketika terjadi krisis. Krisis tersebut dapat dilihat ketika banjir tiba dan mengakibatkan gagal panen akibat limbah yang
57
dihasilkan. Modal nafkah rumahtangga di dua dusun di Desa Karangligar pada tahun 2014 – 2015 dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Modal Alam
Modal Sosial
Modal Manusia
Modal Nafkah DI Wilayah Non Banjir Modal Nafkah Di Wilayah Banjir
Modal Finansial
Modal Fisik
Gambar 16. Basis modal nafkah rumahtangga di Desa Karangligar, tahun 2014 – 2015 Rumahtangga di wilayah banjir dan non banjir memiliki lima buah modal nafkah yang berbeda beda ketergantungannya antar modal. Modal sosial meiliputi tingkat kepercayaan, banyaknya jaringan yang dimiliki rumahtangga, dan banyaknya organisasi yang diikuti. Modal alam meliputi luas kepemilikan sawah dan luas penguasaan sawah. Modal manusia dalam penelitian ini mencakup tingkat keterampilan, tingkat pendidikan, dan banyaknya anggota keluarga yang produktif. Modal fisik dalam penelitian ini mencakup sarana dan prasarana yang mendukung non-pertanian serta sarana dan prasarana yang mendukung pertanian. Terakhir, modal finansial mencakup tingkat pendapatan serta banyaknya tabungan yang dimiliki rumahtangga. Masing- masing ketergantungan pada modal tersebut akan mempengaruhi basis dari modal nafkah tiap rumahtangga. Berikut penjabaran dari masing-masing modal nafkah rumahtangga di dua komunitas yaitu banjir dan non-banjir. Rumahtangga di wilayah banjir memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap modal fisik sama dengan modal fisik yang dimiliki oleh wilayah non banjir. Hal ini disebabkan bahwa kepemilikan sarana dan prasarana dari kedua belah pihak terhitung tinggi. Sarana seperti kendaraan dan beberapa barang eletronik memang dimiliki sedikit dibandingkan kedua lapisan oleh rumahtangga lapisan bawah, namun seperti ternak, alat-alat pertanian yang tradisional, rumahtangga pertanian memilikinya sebagai modal, namun untuk lapisan menengah dan atas kepelimikan kendaraan untuk menopang serta kepemilikan ternak yang berjumlah lebih banyak juga dimiliki oleh rumahtangga lapisan menengah dan lapisan atas. Basis modal fisik wilayah banjir juga sama seperti basis modal fisik di non- banjir. Dimana lapisan bawah lebih cenderung memiliki kepemilikan sarana dan prasaran pertanian jauh lebih sedikit, seperti kendaraan untuk pertanian dan ternak tidak banyak dimiliki oleh rumahtangga lapisan
58
bawah. Rumahtangga lapisan menengah dan atas memiliki modal fisik yang tinggi dimana ternak yang siap dijual serta memiliki tabungan berupa emas. Rumahtangga di wilayah banjir memiliki ketergantungan yang rendah terhadap modal finansial sama dengan modal finansial yang dimiliki oleh wilayah non banjir. Hal ini disebabkan bahwa kepemilikan tabungan berupa cashyang rendah yang dimilliki oleh lapisan bawah maupun menengah, serta dalam lapisan menengah dan keatas memiliki cicilan untuk kendaraan bermotor. Pada lapisan atas memiliki jumlah cicilan yang lebih banyak akibat lebih banyak memiliki kendaraan bermotor. Seperti lapisan bawah juga seperti di wilayah banjir, lapisan bawah di wilayah non- banjir juga memiliki basis modal finansial yang memiliki kepemilikan tabungan cash rendah. Untuk lapisan menengah dan atas sama seperti dengan wilayah banjir. Rumahtangga di Desa Karangligar memiliki tingkat ketergantungan modal alam yang berbeda antara wilayah banjir dan non- banjir. Dimana pada wilayah banjir kepemilikan lahan sawah serta penguasaannya jauh lebih tinggi di banding wilayah non banjir. Ketergantungan yang tinggi dari wilayah banjir akibat lahan di wilayah non banjir masih dimiliki oleh rumahtangga berbeda dengan lahan yang berada di daerah non bajir merupakan lahan yang tidak dimiliki oleh rumahtangga namun dikuasai dalam bentukmaro dengan pihak lainnya yaitu para pembeli lahan yang tinggal di kota Jakarta. Untuk penguasaan lahan di wilayah banjir sangat besar karena lahan yang dikuasai biasanya merupakan sebuah lahan yang memang dimiliki oleh petani lapisan banjir. Modal sosial dalam rumahtangga dilayah banjir lebih besar dibandingkan non banjir di pihak wilayah banjir modal sosial bernilai tinggi karena rumahtangga di wilayah banjir menggangungkan hidupnya terhadap kerabat serta tetangga apabila terkena banjir, berbeda dengan modal sosial di wilayah non banjir kedekatan antar kerabat tidak sekuat dari non banjir. Ketergantungan basis modal nafkah terakhir adalah ketergantungan modal manusia, modal manusia di wilayah banjir memiliki jumlah anggota keluarga yang bekerja dan bernilai tinggi, sedangkan di basis modal nafkah di wilyah nonbanjir memiliki basis modal nafkah dalam memiliki anggota keluarga yang bekerja lebih sedikit, sehingga menyebabkan modal manusia di wilayah non banjir lebih rendah dibandingkan daerah banjir. Ikhtisar Pemanfaatan modal nafkah yang dilakukan rumahtangga di wilayah banjir dan tidak banjir cukup berbeda. Rumahtangga di wilayah banjir memiliki tiga buah lapisan yang di bagi menjadi lapisan atas, lapisan menengah, serta lapisan bawah. Rumahtangga lapisan bawah memiliki basis modal nafkah yang kuat dalam bidang modal fisik dan keempat modal lainnya tersebar secara merata. Rumahtangga lapisan menengah memiliki basis nafkah yaitu modal fisik, modal manusia, serta modal sosial. Rumahtangga lapisan atas merata dalam kepemilikan modal nafkah kecuali modal finansial. Rumahtangga di wilayah non banjir memiliki tiga buah lapisan yang di bagi menjadi lapisan atas, lapisan menengah, serta lapisan bawah. Rumahtangga lapisan bawah memiliki basis modal nafkah yang kuat dalam bidang modal fisik.
59
Rumahtangga lapisan menengah memiliki basis nafkah modal finansial. Rumahtangga lapisan atas memiliki modal fisik dan modal sosial. Secara keseluruhan basis nafkah yang dibangun oleh rumahtangga di wilayah banjir adalah modal modal fisik, modal sosial, modal manusia, dan modal alam. Modal alam ditentukan oleh kepemilikian lahan dan penguasaan lahan, modal fisik ditentukan oleh kepemilikian sarana dan prasarana pertanian yang nantinya akan bisa dijual, modal manusia anggota keluarga yang bekerja cukup banyak, serta modal sosialnya adalah tingginya tingkat kepercayaan. Secara keseluruhan basis nafkah yang dibangun oleh rumahtangga di wilayah non banjir adalah modal modal fisik dan modal sosial. Modal fisik tinggi dimiliki oleh wilayah non banjir karena banyaknya kepemilikan benda yang tidak terkena banjir. Serta modal sosial yang tinggi akibat masih mayoritasnya penduduk asli setempat sehingga mudah dalam membangun tingkat kepercayaan.
LIVELIHOOD VULNERABILITY INDEX DI WILAYAH BANJIR DAN NON BANJIR Menurut Fussel (2006) kerentanan adalah sebuah konsep utama dalam penelitian perubahan iklim sama seperti dengan peneitian komunitas yang berhadapan dengan bencana alami, manajemen bencana, ecology, kesehatan publik, kemiskinan dan perkembangan, keamanan nafkah dan kelaparan, ilmu berkelanjutan, serta perubahan lahan. Menurut Smit dan Wandel (2006) konsep dari adaptasi, kapasitas adaptasi, resiliensi, keterpaparan dan sensitifitas berhubungan. Lanjut menurut Smit dan Wandel (2006) adaptasi merupakan sebuah konsep yang berasosiasi dengan kapasitas adaptasi dan kerentanan. Lebih lanjut lagi (Smit dan Wandel 2006) kapasitas adaptasi merupakan kemampuan untuk adaptasi yang dipengaruhi oleh memampuan managerial, akses ke finansial, teknologi dan informasi, infrastruktur, serta lingkungan institusional. Secara garis besar konsep kerentanan dibagi menjadi 3, yaitu keterpaparan, sensitivitas dan kapasitas adaptasi. Desa Karangligar memiliki dua wilayah yang di teliti dalam penelitian ini yaitu dusun pangasinan serta dusun kampek dimana kedua wilayah tersebut merupakan wilayah banjir dan non banjir. Oleh karena itu bab ini akan menjelaskan bagaimana kerentanan di kedua wilayah tersebut. Analisis Perhitungan Livelihood Vulnerability Index di Wilayah Banjir Kerentanan nafkah merupakan merupakan kondisi ketika suatu individu atau rumatangga mengalami tekanan dan guncangan sumber-sumber nafkah yang dimilikinya, sehingga keberlanjutan penghidupan dan kehidupan terancam (Hahn et al., 2009 dalam Amalia 2016). Nilai Komponen pada Livelihood Vulnerability Index (LVI) yaitu -1 sampai dengan 1. Nilai -1 berarti semakin mendekati nilai -1 maka akan semakin rendah nilai kerentanannta, sebaliknya semakin tinggi nilainya hingga mencapai 1 maka semakin rentan daerah tersebut. Kerentanan di dusun pangasinan di Desa Karangligar diukur melalui keterpararan yaitu banjir. sensitivitasnya yaitu diukur dengan ketidak pastian terhadap bantuan, ketidak pastian terhadap jaminan, dan banyaknya anggota keluarga non produktif. Kapasitas adaptasinya diukur dengan tabungan cash,tabungan emas, tabungan ternak, persentase penjualan harta benda untuk perbaikan lahan, serta tingkat pemanfaatan teknologi. Penjelasan LVI akan di jelaskan di tabel berikut. Dari perhitungan dari tabel 2 dari tiap – tiap komponen yang menyusun LVI di dapatkan nilai LVI bagi rumahtangga di wilayah banjir di Dusun Pangasinan, Desa Karangligar yaitu sebesar 0,26 dan nilai ini berarti bernilai tinggi. Nilai tersebut diambil dari exposure (0,70) bernilai tinggi, sensitivity (0,69) bernilai tingi dan adaptice capacity(0,44) dan tergolong rendah. Nilai kerentananan pada komponen-komponen yang terdapat di banjir merupakan tinggi. Persentase sawah yang rusak bernilai 1. Nilai ini tergolong sangat tinggi, hal ini berarti seluruh tumahtangga terkena paparan banjir dan menyebabkan sawahnya rusak. Persentase produksi sawah yang rusak bernilai sangat tinggi juga sama seperti persentase sawah yang rusak, persentase turunnya produksi sawah bernilai 1. Hal ini berarti seluruh rumahtangga yang terkena banjir
61
pasti produksi sawahnya menurun akibat banjir yang membawa limbah dan menyebabkan puso. Jarak lahan dengan sungai bernilai 0,096 hal ini berarti lahan yang dimiliki tidak berada dekat dengan dengan sungai yang menyebabkan banjir. Nilai kerentanaan pada komponen-komponen jaringan sosial terdapat persentase ketidak pastian terhadap jaminan, yang bernilai 0,97 hal ini bernilai sangat tinggi dan berarti bahwa rumahtangga tidak menjaminkan lahannya ketika banjir tiba tetapi hanya membiarkan lahnnya seperti itu saja. Tingkatketidak pastian terhadap bantuan bernilai rendah (0,28). Nilai ini berarti bantuan sering didapatkan oleh rumahtangga ketika banjir tiba, entah dari desa, ataupun dari sumber lainnya. Nilai anggota keluarga yang tidak bekerja sebesar 0,83. Nilai ini berarti bahwa anggota yang tidak produktif berjumlah banyak atau yang tidak bekerja berjumlah banyak. Tingkat Keberfungsian lembaga bernilai 0,50. Hal ini berartu lembaha yang terjadi di daerah banjir dianggap oleh rumahtangga tidak bekerja 100% dan bernilai sedang saja. Tabungan cash bernilai 0,17. Nilai ini berarti rumahtangga hanya sedikit yang memiliki tabungan berupa uang cash dalam wilayah banjir dan nilai ini berupa rendah. Tabungan ternak bernilai 0,22 tabungan emas bernilai 0,33. Hal ini berarti bahwa petani lebih sering menabung emas dibandingkan menabung dengan cash ataupun ternak untuk menghadapi krisis. persentase penjualan harta benda untuk perbaikan lahan bernilai 0,44 nilai ini bersifat rendah karena petani cenderung mendiamkan lahannya ketika banjir dan menyebabkan puso. tingkat pemanfaatan teknologi bernilai 0,98 yang berarti rumahtangga mengandalkan teknologi untuk mengetahui terkait banjir dan mengantisipasi banjir yang akan datang. Tabel 2. Livelihood Vulnerability Index Dusun Pangasinan, Desa Karangligar tahun 2014 – 2015 Variabel Exposure
Sensitivy
Adaptive Capacity
Sub Komponen Jarak lahan Dengan Sungai
Nilai Sub Komponen 0,096
Presntase Sawah Yang rusak
1
Persentase turunnya produksi sawah persentase ketidakpastian terhadap jaminan Tingkat Ketidakpastian terhadap bantuan anggota keluarga yang tidak bekerja Tingkat Keberfungsian Lembaga Tabungan Cash
1
Tabungan Ternak
0,22
Tabungan emas
0,33
Persentase Penjualan harta benda untuk perbaikan lahan Tingkat Pemanfaatan Teknologi
0,44
Nilai LVI
0,97
Komponen utama Banjir
nilai komponen Utama 0,70
Jaringan Sosial
0,57
Lembaga Tabungan
0,44
0,28 0,46 0,5 0,17
0,98
Pola Penggunaan Lahan Penggunaan Teknologi 0,15
62
Tabel 3. Livelihood Vulnerability Index lapisan atas Dusun Pangasinan, Desa Karangligar tahun 2014 – 2015. Variabel Exposure
Sensitivy
Adaptive Capacity
Sub Komponen Jarak lahan Dengan Sungai
Nilai Sub Komponen 0,13
Presntase Sawah Yang rusak
1
Persentase turunnya produksi sawah persentase ketidakpastian terhadap jaminan Tingkat Ketidakpastian terhadap bantuan anggota keluarga yang tidak bekerja Tingkat Keberfungsian Lembaga Tabungan Cash
1
Tabungan Ternak
0,31
Tabungan emas
0,19
Persentase Penjualan harta benda untuk perbaikan lahan Tingkat Pemanfaatan Teknologi
0,6
Nilai LVI
0.92
Komponen utama
nilai komponen Utama
Banjir
0,71
Jaringan Sosial
0,49
Lembaga Tabungan
0,49
0,22 0,34 0,50 0,33
1
Pola Penggunaan Lahan Penggunaan Teknologi 0,11
Rumahtangga di wilayah banjir (tabel 3) memiliki nilai Livelihood Vulnerability Index (LVI) yang berbeda – beda akibat banjir. Kerentanan tersebut dapat dilihat dari perhitungan LVI dari masing – masing rumahtangga (Tabel 3, Tabel 4 dan Tabel 5). Nilai Livelihood Vulnerability Index lapisan atas adalah 0,11. Nilai ini mennunjukan lapisan atas memiliki arti kerentanan yang rendah akibat adanya banjir. Nilai kerentanan lapisan atas di wilayah banjir desa Karangligar memiliki nilai yang rendah karena nilai adaptive capacity yang dimiliki oleh oleh lapisan atas tergolong sedang (0,49) sehingga dapat menekan exposure (0,71) akibat banjir. Ketiga nilai komponen LVI pada rumahtangga lapisan atas yaitu. Keterpaparan, sensitifitas dan kapasitas adaptasi mempunyai nilai kerentanan yang berbeda – beda. Dalam keterpaparan nilai kerentanan yang ada tergolong tinggi (0,71) hal ini akibat persentase sawah yang rusak dan persentase turunnya produksi sawah bernilai mutlak (1) yang menghantam rumahtangga lapisan atas terkena banjir layaknya rumahtangga lapisan bawah dan rumahtangga lapisan menengah. Sensitifitas yang berupa persentase terhadap ketidakpastian terhadap jaminan, tingkat ketidak pastian terhadap bantuan, serta anggota rumahtangga yang tidak bekerja. Tingkat ketidak pastian terhadap jaminan yang tinggi akibat rumahtangga hanya menjaminkan lahannya kepada “gadai” untuk mendapatkan uang. Tingkat ketidak pastian terhadap bantuan bersifat rendah karena rumahtangga lapisan atas selain mendapat bantuan dari desa dan kerabat berupa bibit, makanan, atapun pakaian, rumahtangga lapisan atas juga mendapatkan bantuan berasal dari perusahaan dimana anggota rumahtangganya bekerja. Jumlah anggota keluarga yang bekerja bernilai tidak terlalu tinggi, ini berarti banyak anggota keluarga yang bekerja dibandingkan yang tidak bekerja. Nilai dari
63
adaptive capacity dari LVI lapisan atas terbilang sedang dengan poin sebanyak (0,49). Dengan nilai tertingggi dari kapasitas adaptasi merupakan dari pemanfaatan teknologi yang berarti rumahtangga untuk menanggulangi banjir atau menangani banjir memanfaatkan teknologi yang mereka punya. Tabel 4. Livelihood Vulnerability Index lapisan menengah Dusun Pangasinan, Desa Karangligar tahun 2014 – 2015. Variabel Exposure
Sensitivy
Adaptive Capacity
Sub Komponen Jarak lahan Dengan Sungai
Nilai Sub Komponen 0,15
Presntase Sawah Yang rusak
1
Persentase turunnya produksi sawah persentase ketidakpastian terhadap jaminan Tingkat Ketidakpastian terhadap bantuan anggota keluarga yang tidak bekerja Tingkat Keberfungsian Lembaga Tabungan Cash
1
Tabungan Ternak
0,2
Tabungan emas
0,2
Persentase Penjualan harta benda untuk perbaikan lahan Tingkat Pemanfaatan Teknologi
0,36
Nilai LVI
0,97
Komponen utama Banjir
Nilai komponen utama 0,72
Jaringan Sosial
0,56
Lembaga Tabungan
0,41
0,28 0,44 0,55 0,2
0,94
Pola Penggunaan Lahan Penggunaan Teknologi 0,31
Rumahtangga lapisan menengah memiliki kerentanan akibat banjir yang berbeda dengan kerentanan rumahtangga lapisan atas dan lapisan bawah. Nilai Livelihood Vulnerability Index dari lapisan menengah bernilai 0,31. Dimana nilai dari exposure bernilai 0,72, sensitivity bernilai 0,56, dan Adaptice capacity bernilai 0,41. Ketiga nilai komponen LVI pada rumahtangga lapisan atas yaitu. Keterpaparan, sensitifitas dan kapasitas adaptasi mempunyai nilai kerentanan yang berbeda – beda. Dalam keterpaparan nilai kerentanan yang ada tergolong tinggi (0,72) hal ini akibat persentase sawah yang rusak dan persentase turunnya produksi sawah bernilai mutlak (1) yang menghantam rumahtangga lapisanmenengah sama seperti lapisan atas dan lapisan bawah. Sensitifitas yang berupa persentase terhadap ketidakpastian terhadap jaminan, tingkat ketidak pastian terhadap bantuan, serta anggota keluarga yang tidak bekerja. Tingkat ketidak pastian terhadap jaminan yang tinggi akibat rumahtangga hanya menjaminkan lahannya kepada “gadai” untuk mendapatkan uang seperti dengan tindakan rumahtangga lapisan atas. Tingkat ketidak pastian terhadap bantuan bersifat rendah karena rumahtangga menengah selain mendapat bantuan dari desa dan kerabat berupa bibit, makanan, atapun pakaian, rumahtangga lapisan atas juga mendapatkan bantuan berasal dari perusahaan dimana anggota rumahtangganya bekerja. Jumlah anggota keluarga yang bekerja bernilai tidak terlalu tinggi, ini
64
berarti banyak anggota keluarga yang bekerja dibandingkan yang tidak bekerja. Nilai dari adaptive capability dari LVI menengah terbilang sedang dengan poin sebanyak (0,41). Dengan nilai tertingggi dari kapasitas adaptasi merupakan dari pemanfaatan teknologi yang berarti rumahtangga untuk menanggulangi banjir atau menangani banjir memanfaatkan teknologi yang mereka punya. Nilai LVI dari rumahtangga lapisan menengah lebih besar daripada lapisan atas, hal ini diakibatkan kapasitas adaptasi dari lapisan rumahtangga menengah lebih kecil dari pada lapisan atas. Lapisan atas memiliki sensitifitas yang lebih kecil juga dari pada lapisan menengah, dimana sensitifitas pada lapisan memengah memiliki persentase anggota keluarga yang tidak bekerja lebih banyak dibandingkan dengan persentase dari rumahtangga lapisan atas. Nilai kapasitas adaptasi pada rumahtangga lapisan menengah juga lebih rendah daripada rumahtangga lapisan atas, pada bagian tingkat pemanfaatan teknologi dimana rumahtangga lapisan atas pada setiap rumahtangga mampu memiliki teknologi yang memberitahukan akan adanya bencanya yang datang dan rumahtangga mampu bersiap – siap namun pada rumahtangga lapisan menengah hal tersebut tidak ada. Tabel 5.Livelihood Vulnerability Index lapisan bawah Dusun Pangasinan, Desa Karangligar tahun 2014 – 2015. Variabel Exposure
Sensitivy
Adaptive Capacity
Sub Komponen
Nilai Sub Komponen
Jarak lahan Dengan Sungai
0,03
Presntase Sawah Yang rusak
1
Persentase turunnya produksi sawah persentase ketidakpastian terhadap jaminan Tingkat Ketidakpastian terhadap bantuan anggota keluarga yang tidak bekerja Tingkat Keberfungsian Lembaga Tabungan Cash
nilai komponen Utama 0,68
Banjir
1 0,62 1,00 0,32 0,55 0,46
Jaringan Sosial
Lembaga
0,43
0,04
Tabungan Ternak
0,19
Tabungan emas
0,38
Persentase Penjualan harta benda untuk perbaikan lahan
0,52
Tingkat Pemanfaatan Teknologi Nilai LVI
Komponen utama
1
Tabungan Pola Penggunaan Lahan Penggunaan Teknologi 0,16
Rumahtangga lapisan bawah memiliki nilai Livelihood Vulnerability Index akibat banjir memiliki nilai yang berbeda dengan rumahtangga lapisan atas dan rumahtangga lapisan menengah. Nilai kerentanan di lapisan rumahtangga lapisan bawah terbilang rentan yaitu bernilai 0,16. Nilai Livelihood Vulnerability Index lapisan bawah adalah 0,16. Nilai ini mennunjukan lapisan bawah memiliki arti kerentanan yang rendah akibat adanya banjir. Nilai kerentanan lapisan atas di wilayah banjir Desa Karangligar memiliki
65
nilai yang rendah karena nilai adaptice capacity yang dimiliki oleh oleh lapisan atas tergolong sedang (0,43) sehingga dapat menekan exposure (0,68) akibat banjir. Keterpaparan dari lapisan bawah lebih rendah dari pada kedua lapisan diatas akibat jarak lahan dengan sungai bernilai rendah yaitu 0,03. Nilai dari sensivity bernilai 0,62 dan besar pada ketidakpastian terhadap jaminan, dimana jaminannya bernilai (1) yang berarti rumahtangga lapisan bawah tidak pernah menjaminkan lahannya. Rumahtangga lapisan bawah pada adaptive capacity memiliki nilai yang tinggi pada pemanfaatan teknologi yaitu bernilai mutlak (1). Nilai Livelihood Vulnerability Index dari lapisan bawah lebih rendah dibandingkan lapisan menengah, hal ini disebabkan lapisan bawah mendapatkan lebih banyak bantuan dibandingkan lapisan menengah, hal ini yang menyebabkan lapisan bawah lebih mampu survive ketika terjadi banjir. Analisis Perhitungan Livelihood Vulnerability Index di Wilayah Non Banjir Kerentanan nafkah merupakan merupakan kondisi ketika suatu individu atau rumatangga mengalami tekanan dan guncangan sumber-sumber nafkah yang dimilikinya, sehingga keberlanjutan penghidupan dan kehidupan terancam (Hahn et al., 2009 dalam Amalia 2016). Nilai Komponen pada Livelihood Vulnerability Index (LVI) yaitu -1 sampai dengan 1. Nilai -1 berarti semakin mendekati nilai -1 maka akan semakin rendah nilai kerentanannta, sebaliknya semakin tinggi nilainya hingga mencapai 1 maka semakin rentan daerah tersebut. Kerentanan di dusun kampek di desa Karangligar diukur melalui keterpararan yaitu banjir. sensitivitasnya yaitu diukur dengan ketidak pastian terhadap bantuan, ketidak pastian terhadap jaminan, dan banyaknya anggota keluarga non produktif. Kapasitas adaptasinya diukur dengan tabungan cash,tabungan emas, tabungan ternak, persentase penjualan harta benda untuk perbaikan lahan, serta tingkat pemanfaatan teknologi. Penjelasan LVI akan di jelaskan di tabel berikut.
66
Tabel 6. .Livelihood Vulnerability Index Dusun Kampek, Desa Karangligar tahun 2014 – 2015. Variabel Exposure
Sensitivy
Adaptive Capacity
Nilai LVI
Sub Komponen
Nilai Sub Komponen
Jarak lahan Dengan Sungai
0,25
Presntase Sawah Yang rusak
0
Persentase turunnya produksi sawah persentase ketidakpastian terhadap jaminan Tingkat Ketidakpastian terhadap bantuan
0
anggota keluarga yang tidak bekerja
0,51
Tingkat Keberfungsian Lembaga
0,56
Tabungan Cash
0,08
Tabungan Ternak
0,38
Tabungan emas Persentase Penjualan harta benda untuk perbaikan lahan
0,38
Tingkat Pemanfaatan Teknologi
1
Komponen utama
nilai Utama 0,08
komponen
Banjir 0,60
1 0,46
0,23
Jaringan Sosial
Lembaga
0,44
Tabungan Pola Penggunaan Lahan Penggunaan Teknologi -0,23
Dari perhitungan dari tiap – tiap komponen yang menyusun LVI di dapatkan nilai LVI bagi rumahtangga di wilayah banjir di Dusun Kampek, Desa Karangligar yaitu sebesar – 0,23 dan nilai ini berarti resiliensi rumahtangga di wilayah non banjir di dusun kampek terhitung rendah atau nilai vulnerability yang dimiliki sangat rendah. Nilai tersebut diambil dari exposure (0,08) bernilai rendah, sensitivity (0,60) bernilai tingi dan adaptice capacity(0,44) dan tergolong rendah. Nilai kerentananan pada komponen-komponen yang terdapat di banjir merupakan tinggi. Persentase sawah yang rusak bernilai 0. Nilai ini tergolong sangat rendah, hal ini terjadi karena rumahtangga wilayah non banjir tidak terkena banjir. Persentase produksi sawah yang rusak bernilai sangat rendah juga sama seperti persentase sawah yang rusak, persentase turunnya produksi sawah bernilai 0.nilai rendah ini berarti rumahtangga di wilayah non banjir tidak mengalami penurunan produksi karena tidak terkena banjir. Jarak lahan dengan sungai bernilai 0,25 hal ini berarti lahan yang dimiliki tidak berada dekat dengan dengan sungai yang menyebabkan banjir. Nilai kerentanaan pada komponen-komponen jaringan sosial terdapat persentase ketidak pastian terhadap jaminan, yang bernilai 1 hal ini bernilai sangat tinggi dan berarti bahwa rumahtangga tidak menjaminkan lahannya ketika banjir tiba tetapi hanya membiarkan lahnnya seperti itu saja. Tingkat ketidak pastian terhadap bantuan bernilai sedang 0,46. Nilai ini berarti bantuan jarang di dapatkan antar ruahtanggga petani. Nilai anggota keluarga yang tidak bekerja sebesar 0,51. Nilai ini berarti bahwa anggota yang tidak produktif berjumlah sedang. Tingkat Keberfungsian lembaga bernilai 0,56. Hal ini berarti lembaga yang terjadi di daerah banjir dianggap oleh rumahtangga tidak bekerja 100% dan bernilai sedang saja. Tabungan cash bernilai 0,08. Nilai ini berarti rumahtangga hanya sedikit yang memiliki tabungan berupa uang cash dalam wilayah banjir dan
67
nilai ini berupa rendah. Tabungan ternak bernilai 0,38. Nilai ini berarti rumahtangga memiliki ternah untuk dijual kembali ketika terjadi musibah. Tabungan emas bernilai 0,38. Hal ini berarti bahwa petani lebih sering menabung emas dibandingkan menabung dengan cash krisis. persentase penjualan harta benda untuk perbaikan lahan bernilai 0,23 nilai ini bersifat rendah karena petani cenderung mendiamkan lahannya ketikaterjadi krisis. Tingkat pemanfaatan teknologi bernilai 1 yang berarti rumahtangga mengandalkan teknologi untuk mengetahui terkait banjir dan mengantisipasi banjir yang akan datang. Tabel 7.Livelihood Vulnerability Index lapisan atas Dusun Kampek, Desa Karangligar tahun 2014 – 2015. Variabel
Sub Komponen
Exposure
Jarak lahan Dengan Sungai
Nilai Sub Komponen 0,11
Presntase Sawah Yang rusak
0
Sensitivy
Adaptive Capacity
Persentase turunnya produksi sawah persentase ketidakpastian terhadap jaminan Tingkat Ketidakpastian terhadap bantuan anggota keluarga yang tidak bekerja Tingkat Keberfungsian Lembaga Tabungan Cash
Nilai LVI
Banjir
Nilai komponen utama 0,04
Jaringan Sosial
0,72
Lembaga Tabungan
0,46
0 1,00 0,7 0,47 0,56 0,08
Tabungan Ternak
0,26
Tabungan emas
0,65
Persentase Penjualan harta benda untuk perbaikan lahan Tingkat Pemanfaatan Teknologi
Komponen utama
0,2 1
Pola Penggunaan Lahan Penggunaan Teknologi -0,30
Dari perhitungan dari tiap – tiap komponen yang menyusun LVI di dapatkan nilai LVI bagi rumahtangga di wilayah non banjir di Dusun Kampek, Desa Karangligar yaitu sebesar -0,30 dan nilai ini berarti bernilai rendah. Nilai tersebut diambil dari exposure (0,04) bernilai rendah, sensitivity (0,72) bernilai tingi dan adaptice capacity(0,46) dan tergolong rendah. Nilai kerentananan pada komponen-komponen yang terdapat dalam komponen tinggi. Persentase sawah yang rusak bernilai 0. Nilai ini tergolong rendah, hal ini berarti seluruh tumahtangga tidak terkena paparan banjir Persentase produksi sawah yang rusak 0 karena sama sekali tidak ada sawah yang rusak akibat banjir, dikarenakan bencana banjir tidak mengenai Dusun Kampek. Nilai kerentanaan pada komponen-komponen jaringan sosial terdapat persentase ketidak pastian terhadap jaminan, yang bernilai 1 hal ini bernilai sangat tinggi dan berarti bahwa rumahtangga tidak menjaminkan lahannya dan tidak mempersiapkan lahannya bila ada kemungkinan terburuk. Tingkat ketidak pastian terhadap bantuan bernilai rendah (0,7). Nilai ini berarti bantuan jarang di dapatkan oleh rumahtangga yang tidak terkena banjir akibat petani jarang meminta bantuan
68
terhadap desa, kerabat atau pihak lain terkait krisis akibat banjir. Nilai anggota keluarga yang tidak bekerja sebesar 0,47. Nilai ini berarti bahwa anggota yang tidak produktif berjumlah lebih sedikit daripada rumahtangga yang terkena banjir. Tingkat Keberfungsian lembaga bernilai 0,56. Hal ini berarti lembaga di daerah banjir bekerja seperti biasa. Tabungan cash bernilai 0,08. Nilai ini berarti rumahtangga hanya sedikit yang memiliki tabungan berupa uang cash dalam wilayah non banjir dan nilai ini berupa rendah. Tabungan ternak bernilai 0,26 tabungan emas bernilai 0,65. Hal ini berarti bahwa rumahtangga lebih sering menabung emas dibandingkan menabung dengan cash ataupun ternak untuk menghadapi krisis. persentase penjualan harta benda untuk perbaikan lahan bernilai 0,2 hal ini berarti rumahtangga di wilayah non banjir tidak bersiap – siap untuk memperbaiki lahan ketika bencana banjir tiba. tingkat pemanfaatan teknologi bernilai 1 yang berarti rumahtangga mengandalkan teknologi untuk mengetahui terkait banjir dan mengantisipasi banjir yang akan datang. Tabel 8. Livelihood Vulnerability Index lapisan menengah Dusun Kampek, Desa Karangligar tahun 2014 – 2015. Variabel
Sub Komponen
Exposure
Jarak lahan Dengan Sungai
Nilai Sub Komponen 0,16
Presntase Sawah Yang rusak
0
Persentase turunnya produksi sawah persentase ketidakpastian terhadap jaminan Tingkat Ketidakpastian terhadap bantuan anggota keluarga yang tidak bekerja Tingkat Keberfungsian Lembaga Tabungan Cash
0
Tabungan Ternak
0,58
Tabungan emas
0,16
Persentase Penjualan harta benda untuk perbaikan lahan Tingkat Pemanfaatan Teknologi
0,2
Sensitivy
Adaptive Capacity
Nilai LVI
1,00
Komponen utama
nilai komponen Utama
Banjir
0,05
Jaringan Sosial
0,77
Lembaga Tabungan
0,44
0,8 0,51 0,58 0,13
1
Pola Penggunaan Lahan PenggunaanTeknologi
-0,30
Dari perhitungan dari tiap – tiap komponen yang menyusun LVI di dapatkan nilai LVI bagi rumahtangga di wilayah non banjir di Dusun Kampek, Desa Karangligar yaitu sebesar -0,30 dan nilai ini berarti bernilai rendah. Nilai tersebut diambil dari exposure (0,05) bernilai rendah, sensitivity (0,77) bernilai tingi dan adaptice capacity(0,44) dan tergolong rendah. Nilai kerentananan pada komponen-komponen yang terdapat dalam komponen tinggi. Persentase sawah yang rusak bernilai 0. Nilai ini tergolong rendah, hal ini berarti seluruh tumahtangga tidak terkena paparan banjir Persentase produksi sawah yang rusak 0 karena sama sekali tidak ada sawah yang rusak akibat banjir, dikarenakan bencana banjir tidak mengenai dusun kampek.
69
Nilai kerentanaan pada komponen-komponen jaringan sosial terdapat persentase ketidak pastian terhadap jaminan, yang bernilai 1 hal ini bernilai sangat tinggi dan berarti bahwa rumahtangga tidak menjaminkan lahannya dan tidak mempersiapkan lahannya bila ada kemungkinan terburuk. Tingkat ketidak pastian terhadap bantuan bernilai tinggi (0,8). Nilai ini berarti hampir tidak pernah di dapatkan oleh rumahtangga yang tidak terkena banjir akibat rumahtangga jarang meminta bantuan terhadap desa, kerabat atau pihak lain terkait krisis akibat banjir. Nilai anggota keluarga yang tidak bekerja sebesar 0,51. Nilai ini berarti bahwa anggota yang tidak produktif berjumlah lebih banyak daripada lapisan atas rumahtangga di wilayah non banjir. Tingkat Keberfungsian lembaga bernilai 0,58. Hal ini berarti lembaga di daerah banjir bekerja seperti biasa. Tabungan cash bernilai 0,13. Nilai ini berarti rumahtangga hanya sedikit yang memiliki tabungan berupa uang cash dalam wilayah non banjir dan nilai ini berupa rendah. Tabungan ternak bernilai 0,58 tabungan emas bernilai 0,16.Hal ini berarti rumahtangga lapisan menengah lebih memilih untuk memelahara ternak sebagai tabungan bila kritis melanda dibandingkan tabungan emas serta cash. Persentase penjualan harta benda untuk perbaikan lahan bernilai 0,2 hal ini berarti rumahtangga di wilayah non banjir tidak bersiap – siap untuk memperbaiki lahan ketika bencana banjir tiba. tingkat pemanfaatan teknologi bernilai 1 yang berarti rumahtangga mengandalkan teknologi untuk mengetahui terkait banjir dan mengantisipasi banjir yang akan datang.
70
Tabel 9.Livelihood Vulnerability Index lapisan bawah Dusun Kampek, Desa Karangligar tahun 2014 – 2015. Variabel
Sub Komponen
Exposure
Jarak lahan Dengan Sungai
Sensitivy
Adaptive Capacity
NnilaiSub Komponen
0 0,39 Presntase Sawah Yang rusak 0 Persentase turunnya produksi0 sawah persentase ketidakpastian1 terhadap jaminan Tingkat Ketidakpastian terhadap0 bantuan anggota keluarga yang tidak0 bekerja Tingkat Keberfungsian Lembaga 0 Tabungan Cash 0
Nilai komponen utama
Banjir
0,13
Jaringan Sosial
0,75
Lembaga Tabungan
0,43
0,73 0,51
0,54 0,16 Tabungan Ternak 0 0,33 Tabungan emas 0 0,34 Persentase Penjualan harta benda0 0,23 untuk perbaikan lahan Tingkat Pemanfaatan Teknologi 1
Nilai LVI
0,00
Komponen utama
Pola Penggunaan Lahan PenggunaanTeknologi
-0,23
Dari perhitungan dari tiap – tiap komponen yang menyusun LVI di dapatkan nilai LVI bagi rumahtangga di wilayah non banjir di Dusun Kampek, Desa Karangligar yaitu sebesar -0,23 dan nilai ini berarti bernilai rendah. Nilai tersebut diambil dari exposure (0,13) bernilai rendah, sensitivity (0,75) bernilai tingi dan adaptice capacity(0,43) dan tergolong rendah. Nilai kerentananan pada komponen-komponen yang terdapat dalam komponen tinggi. Persentase sawah yang rusak bernilai 0. Nilai ini tergolong rendah, hal ini berarti seluruh tumahtangga tidak terkena paparan banjir Persentase produksi sawah yang rusak 0 karena sama sekali tidak ada sawah yang rusak akibat banjir, dikarenakan bencana banjir tidak mengenai Dusun Kampek. Nilai kerentanaan pada komponen-komponen jaringan sosial terdapat persentase ketidak pastian terhadap jaminan, yang bernilai 1 hal ini bernilai sangat tinggi dan berarti bahwa rumahtangga tidak menjaminkan lahannya dan tidak mempersiapkan lahannya bila ada kemungkinan terburuk. Tingkat ketidak pastian terhadap bantuan bernilai rendah (0,73). Nilai ini berarti bantuan jarang di dapatkan oleh rumahtangga yang tidak terkena banjir akibat petani jarang meminta bantuan terhadap desa, kerabat atau pihak lain terkait krisis akibat banjir. Nilai anggota keluarga yang tidak bekerja sebesar 0,51. Nilai ini berarti bahwa anggota yang tidak produktif berjumlah sedikit lebih berarti lebih dari setengah memiliki anggota keluarga yang non produktif. Tingkat Keberfungsian lembaga bernilai 0,54. Hal ini berarti lembaga di daerah banjir bekerja seperti biasa. Tabungan cash bernilai 0,16. Nilai ini berarti rumahtangga hanya sedikit yang memiliki tabungan berupa uang cash dalam wilayah non banjir dan nilai ini berupa rendah. Tabungan ternak bernilai 0,33 tabungan emas bernilai 0,34. Hal ini berarti bahwa rumahtangga lebih sering
71
menabung emas dan ternak untuk menghadapi krisis dibandingkan tabungan cash. Persentase penjualan harta benda untuk perbaikan lahan bernilai 0,23 hal ini berarti rumahtangga di wilayah non banjir tidak bersiap – siap untuk memperbaiki lahan ketika bencana banjir tiba. tingkat pemanfaatan teknologi bernilai 1 yang berarti rumahtangga mengandalkan teknologi untuk mengetahui terkait banjir dan mengantisipasi banjir yang akan datang. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Livelihood Vulnerability Index di Dua Wilayah Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat resiliensi diuji dengan analisis regresi linier, alpha ditentukan sebesar 30 persen atau 0,3 artinya toleransi kesalahan pada uji regresi tersebut adalah 30 persen dan kebenarannya adalah 70 persen. Berdasarkan uji tersebut, modal nafkah yang mempengaruhi tingkat kerentanan rumahtangga di wilayah banjir adalah modal manusia, modal modal alam, modal fiansial. Berikut pemaparan hasil analisis regresi. Tabel 10. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kerentanan nafkah rumahtangga di Dusun Pangasinan, Desa Karangligar tahun 2014 -2015
Unstandardized Coefficients Model B Std. Error (Constant) ,265 ,109 Modal sosial ,016 ,073 Modal finansial -,088 ,079 Modal fisik -,113 ,145 Modal manusia ,098 ,063 Modal alam -,096 ,062
Standardized Coefficients Beta ,046 -,228 -,151 ,357 -,378
t 2,418 ,220 -1,107 -,778 1,560 -1,562
Sig. ,024 ,828 ,279 ,444 ,132 ,131
(*) Signifikan dibawah 0,3
Berdasarkan tabel 10 diketahui tingkat signifikan variabel yang mempengaruhi Livelihood Vulnerability Index rumahtangga daerah banjir. Modal alam merupakan komponen dari modal nafkah, modal alam dimana modal alam dari daerah banjir berpengaruh dalam menentukan nilai LVI karena lahan yang dimiliki rumahtangga mengalami kerusakan, makan kerentanan yang dialami rumahtangga juga mengalami kerentanan akibat tidak adanya sumber dari sawah. Modal Manusia yang ditentukan oleh tingkat pendidikan, banyaknya anggota rumahtangga yang produktif serta tingkat keterampilan dari kepala rumahtangga menentukan modal manusia. Banyaknya anggota rumahtangga yang produktif di wilaya banjir banyak yang bekerja di sektor non farm. Oleh karena itu anggota rumahtangga membantu rumahtangga untu bertahan menhadapi krisis beserta dengan kepala rumahtangga. Modal finansial yang berupa tingkat pendapatan rumahtangga merupakan akumulasi dari pendapatan non farm rumahtangga di wilayah banjir dalam waktu satu tahun. tingkat pendapatan signifikan dengan kerentanan rumahtangga di wilayah banjir karena jumlah pendapatan yang lebih besar dari jumlah pengeluaran akan membentuk saving capacity. Saving capacity tersebut akan
72
mempengaruhi kerentananrumahtangga di wilayah banjir.Besartabungan merupakan banyak sedikitnya jumlah uang cash, ternak ataupun emas yang sewaktu – waktu dapat diuangkan ketika krisis terjadi. Kepemilikan aset tabungan di wilayah banjir siegnifikan dengan tingkat kerentanan karena ketika banjir menerpa rumahtangga. Selain faktor – faktor yang mempengaruhi tingkat kerentanan tersebut, teradapat faktor – faktor yang tidak mempengaruhi tingkat kerentanan rumahtangga di wilayah banjir. Faktor – faktor tersebut adalah modal sosial dan modal fisik yang dimiliki rumahtangga di wilayah banjir. Modal fisik tidak signifikan terhadap tingkat kerentanan rumahtangga di wilayah banjir karena, kepemilikan sarana dan prasarana pertanian dan non pertanian yang dimiliki tidak akan berpengaruh banyak akibat banjir yang datang karena kepemilikannya tidak langsung bisa di uangkan ketika banjir tiba, kemudian kepemilikan ternak juga tidak ada ketika terkena banjir. Modal sosial tidak signifikan terhadap rumahtangga di wilayah banjir karena, banyaknya organisasi tidak pasti akan membantu ketika adanya banjir karena setiap organisasi yang di ikuti oleh rumahtangga seperti keagamaan dan kelompok tani mengalami musibah banjir juga dan mendahulukan menolong diri sendiri. Berdasarkan uji analisis regresi di wilayah tidak banjir dengan alpha 30 persen, modal mafkah yang mempengaruhi tingkat kerentanan rumahtangga di wilayah tidak banjir adalah modal alam, modal fisik, dan modal manusia serta yang tidak mempengaruhi adalah modal finansial dan modal alam. Berikut pemaparan faktor – faktor yang mempengaruhi rumahtangga di wilayah tidak banjir Berdasarkan tabel 11, diketahui tingkat signifikan variabel yang mempengaruhi tingkat kerentanan rumahtangga di wilayah tidak banjir. Modal alam di wilayah non banjir signifikan terhadap tinkat kerentanan di rumahtangga di wilayah non banjir. Karena semakin tinggi modal alamnya makan semakin rendah kerentanannya. Karena semakin banyaknya hasil dari pertanian yang di dapat oleh rumahtangga. Modal fisik pada wilayah non banjir signifikan dengan tingkat kerentanan rumahtangga wilayah non banjir. Banyaknya tabungan berupa ternak serta emas memang dimiliki oleh rumahtangga. Karena tabungan berupa ternak memang banyak di rumahtangga non banjir, karena tidak terkena banjir sehingga ternak dapat hidup. Modal manusia pada wilayah non banjir signifikan dengan tingkat kerentanan rumahtangga wilayah non banjir. Banyaknya anggota rumahtangga yang produktif yaitu membantu dalam memberikan pendapatan untuk rumahtangga serta rumahtangga di wlayah non banjir. Selain faktor – faktor yang mempengaruhi tingkat kerentanan tersebut, teradapat faktor – faktor yang tidak mempengaruhi tingkat kerentanan rumahtangga di wilayah banjir. Faktor – faktor tersebut adalah banyaknya Modal finansial dan Modal Sosial yang dimiliki rumahtangga di wilayah non banjir. Modal finansial tidak memiliki signifikan dengan tingkat kerentanan rumahtangga non banjir karena sebagian besar rumahtangga memiliki tabungan bukan dengan uang melainkan dengan emas dan ternak. Oleh karena itu tabungan berupa uang tidak mempengaruhi kerentanan. Besarnya hutang serta piutang juga tidak
73
signifikan karena rumahtangga dapat menjaga kestabilannya dengan hutang mereka lewat aset fisik, yaitu ternak dan emas. Modal sosial di wilayah non banjir tidak signifikan dengan tingkat kerentanan di wilayah non banjir. Jarangya hubungan antara rumahtangga di wilayah non banjir, menyebabkan tidak ada hubungan modal sosial di wilayah non banjir. Tabel 11. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kerentanan nafkah rumahtangga di Dusun Kampek, Desa Karangligar tahun 2014 -2015
Model (Constant) Modalalam Modalfisik Modalmanusia Modalfinansial Modalsosial
-,233 -,101 -,128 ,178 -,048 ,082
Unstandardized Coefficients B Std. Error ,126 ,081 ,070 ,141 ,128 ,124
Standardized Coefficients Beta -,228 -,332 ,243 -,070 ,120
t
Sig. -1,851 ,077 -1,251 ,223(*) -1,842 ,078(*) 1,265 ,218(*) -,373 ,713 ,663 ,514
(*)signifikan dibawah 0,3
Pengaruh Modal Nafkah Terhadap Livelihood Vulnerability Index Livelihood Vulnerability IndexRumahtangga di Wilayah Banjir Rumahtangga di wilayah banjir memiliki 30 rumahtangga yang terbagi menjadi tinggi, sedang dan rendah.. Berdasarkan data di lapang, semua rumahtangga dari berbagai lapisan di wilayah banjir merasakan dampak dari bencana banjir tersebut. Walaupun krisis yang dihadapi berbeda-beda. Berikut pemaparan hubungan tingkat krentanan rumahtangga dengan tingkat pendapatan, modal alam, modal manusia, banyak jaringan, tingkat kepercayaan dan besar tabunganrumahtangga di wilayah banjir. Pengaruh Modal Alam terhadap Livelihood Vulnerability Index Rumahtangga di wilayah banjir Rumahtangga di wilayah banjir menunjukan adanya pengaruh dengan tingkat kerentanan rumahtangga. Dimana tingkat kerentanan diukur dengan luas lahan yang rusak serta turunnya produksi sawah. Berikut penjelasan dari pengaruh modal alam terhadap LVI rumahtangga di wilayah banjir. Modal alam di proxy melalui variabel penguasaan dan kepemilikan luas lahan, semakin luas lahan yang terkena banjir, maka akan semakin besar ganti rugi yang dilakukan rumahtangga
74
Tabel 12. Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kerentanan dan modal alam rumahtangga di Dusun Pangasinan, Desa Karangligar tahun 2014 – 2015. Pola Penguasaan Lahan(di proxyterhadap modal alam) Total Sempit
Rendah LVI
Sedang Tinggi
Total
Sedang
Luas
Jumlah Persen (%)
1
7
2
10
16,7
36,8
40,0
33,3
Jumlah Persen (%) Jumlah Persen (%) Jumlah
3 50,0 2 33,3
8 42,1 4 21,1
2 40,0 1 20,0
13 43,3 7 23,4
6
19
5
30
Persen (%)
100,0
100,0
100,0
100,0
Berdasarkan tabel 12 diketahui hubungan antara tingkat kerentanan dengan modal alam rumahtangga di wilayah banjir. Diketahui hubungan antara modal alam dengan tingkat kerentanan rumahtangga diwilayah banjir. Tingkat kerentanan rumahtangga ada 7 yang bernilai tinggi atau sebesar 23,4 persen. Sebanyak 13 rumahtangga atau 43,3 persen memiliki tingkat kerentanan rumahtangga yang sedang, dan sebanyak 10 rumahtangga atau 33,3 persen memiliki tingkat kerentanan yang rendah. Rumahtangga lapisan bawah, sedang dan tinggi memiliki modal alam yang sedang, hal ini berarti modal alam tidak berpengaruh karena pada saat banjir penggunaan lahan tidak dapat digunakan akibat banjir. Sehingga setiap tingkat kerentanan memiliki data yang sama yaitu modal alam berupa sedang. “selama periode banjir lahan tidak bisa ditanam apa – apa, pas setelah banjir malah jadi puso semua yang ditanem, jadinya yah susah buat dapet hasil dari sawah. Baru tahun ini (2016) mulai panen lagi, sebelumnya mah susah”Bapak OSD, 51 Tahun. Seperti yang dijelaskan oleh bapak OSD terkait modal alam bahwa, modal alam tidak berhubungan dengan Livelihood Vulnerability Index karena seluas apapun lahan yang dimiliki namun bila terkena banjir maka akan kebanjiran dan akan menyebabkan puso bagi daerah. Pengaruh modal finansial terhadap LVI Rumahtangga di wilayah Banjir Pendapatan rumahtangga di wilayah banjir tidak mengandalkan dari hasil sawahnya akibat banjir yang datang dan membawa limbah, sehingga menyebabkan puso untuk beberapa kali masa tanam. Pendapatan rumahtangga di wilayah banjir akhirnya bergantung kepada non farm yaitu berdagang atau sebagai buruh. Komponen dalam Livelihood Vulnerability Index dari wilayah banjir yang berhubungan dengan pendapatan adalah anggota rumahtangga yang
75
bekerja sebagai karyawan di perusahaan di kota, namun masih tinggal dengan keluarganya. Modal finansial di proxy melalui tingkat pendapatan rumahtangga berdasarkan off farm maupun non farm. Tabel 13. Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kerentanan dan modal finansialrumahtangga di Dusun Pangasinan, Desa Karangligar tahun 2014 – 2015. Tingkat Pendapatan (di proxy terhadap modal finansial) Total Rendah
Rendah LVI
Sedang Tinggi
Total
Sedang
Tinggi
Jumlah
2
2
6
10
Persen (%) Jumlah Persen (%)
13,3 9 60,0
50,0 0 0,0
54,5 4 36,4
33,3 13 43,3
Jumlah
4
2
1
7
Persen (%)
26,7
50,0
9,1
23,4
Jumlah Persen (%)
15 100,0
4 100,0
11 100,0
30 100,0
Berdasarkan tabel 13 diketahui hubungan antara tingkat kerentanan dengan Modal finansialrumahtangga di wilayah banjir. Diketahui hubungan antara modal finansial dengan tingkat kerentanan rumahtangga diwilayah banjir. Tingkat kerentanan rumahtangga ada 7 yang bernilai tinggi atau sebesar 23,4 persen. Sebanyak 13 rumahtangga atau 43,3 persen memiliki tingkat kerentanan rumahtangga yang sedang, dan sebanyak 10 rumahtangga atau 33,3 persen memiliki tingkat kerentanan yang rendah. Ketika dihubungkan dengan modal finansialsebanyak 60 persen rumahtangga lapisan rendah memiliki LVI yang bernilai sedang. Kemudian, sebanyak 50 persen rumahtangga yang memiliki tingkat pendapatan sedang memiliki nilai Livelihood Vulnerability Index yang tinggi. Sedangkan, sebanyak 54,5 persen rumahtangga yang memiliki modal finansial tinggi memiliki Livelihood Vulnerability Index yang rendah. “pas musim tanam walaupun sehabis banjir ya mesti menanam, kan emang bisanya cuman bertani aja saya, walaupun nanti hasilnya puso sekalipun, jadi pendapatannya ga tentu tapi pengeluarannya tetap banyak” Bapak USA, 47 Tahun. Menurut pengakuan dari Bapak USA terkait pendapatannya maka memang benar bahwa pendapatan tidak berhubungan dengan LVI karena dalam nilai exposure yaitu banjir selalu tetap ada dan lahanya selalu terendam, namun pendapatan selalu berubah – ubah belum lagi pengeluaran yang selalu banyak.
76
Pengaruh Modal Manusia terhadap Livelihood Vulnerability IndexRumahtangga di wilayah banjir Rumahtangga di wilayah banjir menunjukan adanya pengaruh modal manusia dengan tingkat kerentanan rumahtangga. Dimanamodal manusia diukur dengan anggota rumahtangg yang produktif, tingkat pendidikan dan tingkat keterampilan, namun anggota rumahtangga yang produktif lebih dominan dibanding tingkat keterampilan dan tingkat pendidikan. Modal manusia di proxy melalui variabel anggota rumahtangga yang produktif. Berikut penjelasan dari pengaruh modal manusia terhadap LVI rumahtangga di wilayah banjir Tabel 14. Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kerentanan dan modal manusia rumahtangga di Dusun Pangasinan, Desa Karangligar tahun 2014 – 2015. Jumlah Anggota rumahtangga yang produktif (di Proxy terhadap modal manusia)
Rendah LVI
Sedang Tinggi Total
Total
Rendah
Sedang
Tinggi
1 16,7
6 40,0
3 33,3
10 33,3
5 83,3
5 33,3
3 33,3
13 43,3
Jumlah
0 0,0 6
4 26,7 15
3 33,3 9
7 23,4 30
Persen (%)
100,0
100,0
100,0
100,0
Jumlah Persen (%) Jumlah Persen (%) Jumlah Persen (%)
Berdasarkan tabel 14 diketahui hubungan antara tingkat kerentanan dengan modal manusia rumahtangga di wilayah banjir. Diketahui hubungan antara banyak jaringan dengan tingkat kerentanan rumahtangga di wilayah banjir. Tingkat kerentanan rumahtangga ada 7 yang bernilai tinggi atau sebesar 23,4 persen. Sebanyak 13 rumahtangga atau 43,3 persen memiliki tingkat kerentanan rumahtangga yang sedang, dan sebanyak 10 rumahtangga atau 33,3 persen memiliki tingkat kerentanan yang rendah. Ketika dihubungkan dengan modal manusiasebanyak 83,3 persen rumahtangga lapisan rendah memiliki LVI yang bernilai sedang, kemudian, sebanyak 40 persen rumahtangga yang memiliki modal manusia yang sedang memiliki nilai Livelihood Vulnerability Index yang sedang. Sedangkan, sebanyak 33,3 persen rumahtangga yang memiliki modal manusia memiliki Livelihood Vulnerability Index yang rendah, sedang dan tinggi. Hal ini berarti modal manusia tidak berhubungan dengan Livelihood Vulnerability Index.
77
“saya sekolah terakhir itu sampe SD,ibu (isteri) malah ga tamat Sd-nya, makanya anak-anak yang di suruh sekolah sampe sebisanya bapak, sekarang kan anak-anak udah pada kerja di PT (Perusahaan swasta) jadi karyawan” Bapak EMN, 62 Tahun. Berdasarkan Bapak EMN maka dapat kita ketahui bahwa pendidikan yang dimiliki oleh rumahtangga adalah sekitaran SD atau tidak tamat, dimana pendidikan tidak berhubungan dengan rumahtangga yang terkena banjir, karena banjir yang datang sudah pasti mengenai rumahtangga dan meskipun memiliki anggota keluarga yang produktif. Livelihood Vulnerability IndexRumahtangga di Wilayah Non Banjir Rumahtangga di wilayah banjir memiliki 30 rumahtangga yang terbagi menjadi tinggi, sedang dan rendah.Berdasarkan data di lapang, semua rumahtangga dari berbagai lapisan di wilayah non banjir memiliki tingkat kerentanan yang berbeda. Walaupun krisis yang dihadapi berbeda-beda. Berikut pemaparan hubungan tingkat krentanan rumahtangga dengan modal alam, modal manusia, dan modal fisikirumahtangga di wilayah non banjir. Pengaruh Modal Alam terhadapLivelihood Vulnerability IndexRumahtangga di wilayah non banjir Rumahtangga di wilayah non banjir menunjukan adanya pengaruh dengan tingkat kerentanan rumahtangga. Dimana tingkat kerentanan diukur dengan luas lahan yang rusak serta turunnya produksi sawah. Berikut penjelasan dari pengaruh modal alam terhadap LVI rumahtangga di wilayah non banjir. Modal alam di proxy melalui variabel penguasaan dan kepemilikan luas lahan, semakin luas lahan yang terkena banjir, maka akan semakin besar ganti rugi yang dilakukan rumahtangga. Tabel 15Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kerentanan dan modal alam rumahtangga di Dusun Kampek, desa Karangligar tahun 2014 2015 Pola Penguasaan Lahan(di proxy terhadap modal alam) Total Sempit Sedang Luas Rendah LVI
Sedang Tinggi
Total
Jumlah Persen (%) Jumlah
4 44,4
5 33,3
3 50,0
12 40,0
2
4
3
9
Persen (%)
22,2 3
26,7 6
50,0 0
30,0 9
33,3 9
40,0 15
0,0 6
30,0 30
100,0
100,0
100,0
100,0
Jumlah Persen (%) Jumlah Persen (%)
78
Berdasarkan tabel 15 diketahui hubungan antara tingkat kerentanan dengan modal alam rumahtangga di wilayah non banjir. Diketahui hubungan antara modal alam dengan tingkat kerentanan rumahtangga diwilayah banjir. Tingkat kerentanan rumahtangga ada 9 yang bernilai tinggi atau sebesar 30 persen. Sebanyak 9rumahtangga atau 30 persen memiliki tingkat kerentanan rumahtangga yang sedang, dan sebanyak 12persen rumahtangga atau 40 persen memiliki tingkat kerentanan yang rendah. Modal alam rumahtangga lapisan bawah memiliki tingkat kerentanan yang rendah yaitu senilai 44,44 persen. Kemudian, sebanyak 40 persen modal alam rumahtangga yang bernilai sedang memiliki tingkat kerentanan yang tinggi, dan modal alam tinggi memiliki tingkat kerentanan yang rendah dan sedang, yang senilai 50 persen. Hal ini membuktikan bahwa modal alam tidak berhubungan dengan Livelihood Vulnerability Index. Pengaruh Modal Manusia terhadap Livelihood Vulnerability IndexRumahtangga di wilayah non banjir Rumahtangga di wilayah non banjir menunjukan adanya pengaruh modal manusia dengan tingkat kerentanan rumahtangga. Dimanavmodal manusia diukur dengan anggota rumahtangga yang produktif, tingkat pendidikan dan tingkat keterampilan, namun anggota rumahtangga yang produktif lebih dominan dibanding tingkat keterampilan dan tingkat pendidikan. Berikut penjelasan dari pengaruh modal alam terhadap LVI rumahtangga di wilayah non banjir. Wilayah non banjir memiliki anggota rumahtangga yang tidak produktif mencapai 50 persen, hali ini sudah dibahas sebelumnya pada perhitungan Livelihood Vulnerability Index. Modal manusia di proxy melalui variabel anggota rumahtangga yang produktif. Tabel 16. Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kerentanan dan modal manusia rumahtangga di Dusun Kampek, Desa Karangligar tahun 2014 – 2015. Jumlah anggota rumahtangga yang prdouktif (di proxi Total terhadap modal manusia) Rendah Sedang Tinggi Rendah LVI
Sedang Tinggi Total
Jumlah Persen (%) Jumlah Persen (%) Jumlah Persen (%) Jumlah Persen (%)
5 41,7 4 33,3
2 40,0 1 20,0
5 38,5 4 30,8
12 40,0 9 30,0
3 25,0 12 100,0
2 40,0 5 100,0
4 30,8 13 100,0
9 30,0 30 100,0
79
Berdasarkan tabel 16 diketahui hubungan antara tingkat kerentanan dengan modal manusia rumahtangga di wilayah banjir. Diketahui hubungan antara modal manusia dengan tingkat kerentanan rumahtangga di wilayah non banjir. Tingkat kerentanan rumahtangga ada 9 yang bernilai tinggi atau sebesar 30 persen. Sebanyak 9rumahtangga atau 30 persen memiliki tingkat kerentanan rumahtangga yang sedang, dan sebanyak 12 rumahtangga atau 40 persen memiliki tingkat kerentanan yang rendah. Ketika dihubungkan dengan modal manusiasebanyak 41,7 persen rumahtangga lapisan rendah memiliki LVI yang bernilai rendah, kemudian, sebanyak 40 persen rumahtangga yang memiliki modal manusia yang sedang memiliki nilai Livelihood Vulnerability Index yang rendah Sedangkan, sebanyak 40 persen rumahtangga yang memiliki modal manusia tinggi memiliki Livelihood Vulnerability Index yang sedang dan rendah. Hal ini berarti modal manusia tidak berhubungan dengan Livelihood Vulnerability Index. Pengaruh Modal Fisik terhadap Livelihood Vulnerability IndexRumahtangga di wilayah non banjir Modal fisik rumahtangga di wilayah non banjir berpengaruh terhadap tingkat kerentanan rumahtangga di wilayah non banjir. Modal fisik yang berisikan sarana dan prasarana di bidang pertanian maupun non pertani yang dimiliki oleh rumahtanggga petani di wilayah non bandi dan dan menolong petani ketika terjadi musibah ataupun krisis dengan cara menjual alat – alat tersebut. Modal fisik di proxy melalui tingkat kepemilikan sarana dan prasana pertanian dan non pertanian. Berikut penjabarannya Tabel 17. Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kerentanan dan modal fisik rumahtangga di dusun Kampek, desa Karangligar tahun 2014 – 2015 Tingkat Kepemilikan Sarana dan Prasarana Pertanian dan Non Pertanian (di proxy Total terhadap modal fisik) Rendah Sedang Tinggi Rendah LVI
Sedang Tinggi
Total
Jumlah Persen (%) Jumlah Persen (%) Jumlah Persen (%) Jumlah Persen (%)
3 27,3 5 45,5
4 33,3 4 33,3
5 71,4 0 0,0
12 40,0 9 30,0
3 27,3 11 100,0
4 33,3 12 100,0
2 28,6 7 100,0
9 30,0 30 100,0
80
Berdasarkan tabel 17 diketahui hubungan antara tingkat kerentanan dengan modal fisik rumahtangga di wilayah non banjir. Diketahui hubungan antara modal manusia dengan tingkat kerentanan rumahtangga di wilayah non banjir. Tingkat kerentanan rumahtangga ada 9 yang bernilai tinggi atau sebesar 30 persen. Sebanyak 9rumahtangga atau 30 persen memiliki tingkat kerentanan rumahtangga yang sedang, dan sebanyak 12rumahtangga atau 40 persen memiliki tingkat kerentanan yang rendah. Ketika dihubungkan dengan modal fisiksebanyak 45,5 persen rumahtangga lapisan rendah memiliki LVI yang bernilai sedang, kemudian, sebanyak 33,3 persen rumahtangga yang memiliki modal manusia yang sedang memiliki nilai Livelihood Vulnerability Index yang rendah, sedang, dan tinggi. Sedangkan, sebanyak 71,4 persen rumahtangga yang memiliki modal fisiki tinggi memiliki Livelihood Vulnerability Index yang rendah. Hal ini berarti modal fisik berhubungan dengan Livelihood Vulnerability Index. Ikhtisar Livelihood Vulnerability Index(LVI) pada wilayah banjir menunjukan bahwa kerentanan terjadi di wilayah tersebut, dan yang menunjukan adanya kerentenanan adanya indikator – indikator komponen utama, seperti tabungan, kelembagaan, pola penggunaan lahan, pengusaan teknologi yang menunjukan kapasitas adaptasi. Sensivity ditunjukan dengan adanya jaringan sosial yang berupa persentase ketidak pastian terhadap jaminan, tingkat ketidak pastian terhadap bantuan, dan anggota keluarga yang tidak bekerja. Keterpaparan ditunjukan dengan komponen utamanya berupa banjir yaitu, jarak sawah dengan lahan, persentase rusak sawah yang rusak, dan persentase produksi sawah yang rusak. Nilai dari LVI di daerah banjir 0,15 hal ini menunjukan bahwa di wilayah banjir kerentanan terjadi akibat banjir, kerentanan yang terjadi adalah akibat tingginya nilai – nilai yang terdapat dalam exposure yang disebabkan banjir sehingga banjir menyebabkan kerentanan tersebut. Nilai LVI di wilayah non banjir menunjukan angka -0,30 dimana ini berarti di daerah wilayah non banjir tidak terjadi kerentanan akibat rendahnya keterpaparan (exposure) yang terjadi ke daerah non banjir dan kapasitas adaptasi yang hampir sama dengan rumahtangga wilayah banjir, sehingga menyebabkan daerah ini ber resilient terhadap sebuah bencana dan tidak rentan. Modal – Modal yang berpengaruh terhadap tingkat kerentanan di wilayah banjir adalah modal finansial, modal alam, dan modal manusia. Sedangkan modal – modal yang berpengaruh pada rumahtangga di wilayah non banjir adalah modal alam, modal manusia dan modal fisik
81
PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan data yang sudah dikumpulkan dan diolah kemudian di susun menjadi deskripsi gambaran umum, struktur nafkah rumahtangga di wilayah banjir dan non banjir, modal nafkah di wilayah banjir dan di wilayah non banjir, dan pengaruh modal nafkah terhadap Livelihood Vulnerability Index rumahtangga maka dirumuskan kesimpulan sebagai berikut ini: 1. Struktur nafkah rumatangga di wilayah banjir terdiri dari pendapatan non farm yang dibagi menjadi tiga lapisan, yaitu rumahtangga lapisan atas, rumahtanga lapisan menengah, dan rumahtangga lapisan bawah. lapisan atas rumahtangga terkena banjir berasal dari non farm sedangkan daerah tidak banjir berasal dari non farm dan off farm 2. Secara keseluruhan basis nafkah yang dibangun oleh rumahtangga di wilayah banjir adalah modal modal fisik, modal sosial, modal manusia, dan modal alam. Modal alam ditentukan oleh kepemilikian lahan dan penguasaan lahan, modal fisik ditentukan oleh kepemilikian sarana dan prasarana pertanian yang nantinya akan bisa dijual, modal manusia anggota keluarga yang bekerja cukup banyak, serta modal sosialnya adalah tingginya tingkat kepercayaan serta banyaknya jarinyan. Secara keseluruhan basis nafkah yang dibangun oleh rumahtangga di wilayah non banjir adalah modal modal fisik dan modal sosial. Modal fisik tinggi dimiliki oleh wilayah non banjir karena banyaknya kepemilikan benda yang tidak terkena banjir. Serta modal sosial yang tinggi akibat masih mayoritasnya penduduk asli setempat sehingga mudah dalam membangun tingkat kepercayaan 3. Nilai dari LVI di daerah banjir bernilai tinggi akibat besarnya exposure yang dimiliki oleh rumahtangga di daerah banjir, nilai LVI daerah tidak banjir bernilai rendah akibat rendahnya nilai exposure yang dimiliki rumahtangga di daerah tidak banjir Saran Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dijelaskan maka terdapat beberapa hal yang dapat menjadi masukan dan saran. Berikut ini adalah saran yang dusung dalam penelitian ini antara lain: 1. Kerentanan – kerentanan yang terjadi akibat perubahan iklim yang mengakibatkan banjir menyebabkan rumahtangga mengalami keterpaparan yang tinggi, sehingga sebaiknya mesti adanya pengelolaan tata air yang baik, sehingga air sungai tidak meluap dan mengakibatkan banjir di wilayah banjir 2. Pembuatan waduk untuk mencegah banjir ke arah Desa Karangligar yang secara kontur wilayah membentuk cekungan di Desa Karangligar
82
DAFTAR PUSTAKA [BPS]. Badan Pusat Statistik. 2013. Laporan Hasil Sensus Pertanian 2013(Pencacahan Lengkap). Bandung Ahmed N, Diana JS. 2015. Coastal to inland: Expansion of prawn farming for adaptation toclimate change in Banglades. Aquaculture Reports 2: 67 – 76. Dapat diunduh dari www.sciencedirect.com Asdak C. 2002 Hidrologi Lingkungan. Jogjakarta. UGM Press. Astuti AY, Dharmwan AH, Eka IKP dan Indrawan A. 2008. Struktur Nafkah Rumahtangga Dan Pengaruhnya Terhadap Kondisi Ekosistem Sub Das Citanduy Hulu. Bogor: Sodality vol 02, No. 01 Azzahra F. 2015. Pengaruh Livelihood Assets Terhadap Resiliensi Nafkah Rumahtangga Pada Saat Banjir Di Desa Sukabakti Kecamatan Tambelang Kabupaten Bekasi(Skripsi). Bogor Dharmawan AH. 2001. Farm household livelihood strategies and socioeconomic changes in rural indonesia. Kiel: Wissenschaftsverlag Vauk Kiel KG. DharmawanAH. 2007. Sistem penghidupan dan nafkah pedesaan: pandangan sosiologi nafkah (livellihood sociology) mazhab Barat dan mazhab Bogor. (internet). (diunduh 11 Maret 2012). Bogor: Institut Pertanian Bogor. ISSN: 1987-4333, vol. 01, no. 2. Dapat diunduh dari: http://jurnalsodality.ipb.ac.id/jurnalpdf/edisi-1.pdf Ellis F. 2000. Rural livehoods and diversity in developing countries. New York (US): Oxford University Press. Fauziah NA. 2014. Kajian Kerentanan Iklim: Sebuah Penilaian Kembali di Wilayah Pesisir Kota Semarang. Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota 10: Dapat diunduh dari 316-329. http://ejournal.undip.ac.id/index.php/pwk/article/view/7788 Fussel HM. 2006. Vulnerability: A Gennerally Applicable Conceptual Framewordk For Climate Change Research. Global enviromental change. Volume 17 (155 – 167). Dapat diunduh dari www.sciencedirect.com Galopin GC. 2006. Linkages between vulnerability, resilience, and adaptive capacity. Global Enviromental Change 16: 293 – 303. Dapat diunduh dari www.sciecedirect.com Kartiwa B, Hidayat P. Degradasi Sumber – Sumber Air: Faktor Penyebab dan Langkah – Langkah yang Diperlukan. Bogor: IPB Press Kuwandari SA, Satria A. 2012. Mobilitas Sosial Nelayan Pasca Sedimentasi Daerah Aliran Sungai (Das) (Studi Kasus: Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah). Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi dan ekologi manusiaI(internet). Volume 6 No 3 (1-18). Dapat diunduh dari http://journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/view/8022/0 Loo YY, Billa L, Singh A. 2015. Effect of climate change on seasonal monsoon in Asia and its impact on the variability of monsoon rainfall in Southeast Asia. Geoscience Frontiers 6: 817-823. Dapat diundur dari www.sciencedirect.com Mardiyaningsih DI. 2003. Industri pariwisata dan dampaknya terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat lokal (kasus: Dua Desa di Kecamatan
83
Borobodur, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah). (skripsi). Bogor : Institut Pertanian Bogor Manan S. 1976. Pengaruh Hutan dan Pengelolaan DAS, Proyek Peningkatan perguruan Tinggi. Bogor: Fakultas Kehutanan – IPB. Masitoh AD. 2005. Analisis Strategi Rumahtangga Perkebunan Rakyat (Suatu Kajian Perbandingan: Komunitas Teh Ciguha Jawa Barat dan Komunitas Petani Perkebunan Tebu Puri Jawa Timur). (skripsi). Bogor: Institut Pertanian Bogor. Mawardi I. 2010. Kerusakan Daerah Aliran Sungan dan Penurunan Daya Dukung Sumberdaya Air di Pulau Jawa Serta Upaya Penangannya. Jurnal Hidrosfer Indonesia [Internet]. Volume 5 No 2 (1-11). Dapat diunduh dari: http://ejurnal.bppt.go.id/index.php/JHI/article/view/128 Mediasnsyah SR. 2009. Analisis Sosial-Ekonomi Dampak Pencemaran Lingkungan di Das Cikijing (Studi Kasus Rumahtangga Desa Bojongloa, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat) [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor Pasaribu SM, Suradistra K. 2010. Harmonisasi Kelembagaan Pengelolaan DAS. Di dalam: Suradistra K, Pasaribu SM, Sayaka B, Dariah A, Las I,Haryono, Pasandaran E, editor. Membalik Kecenderungan Degradasi Sumber Daya Lahan dan Air. Bogor: hlm 314-329. Pramono H. 2013. Dampak Pembayaran Jasa Lingkungan Daerah Aliran Sungai Cidanau Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Citaman, Serang [Thesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor Prasetyo LB. 2005. Pembaharuan Tata-Pemerintahan Lingkungan: menciptakan ruang kemitraan Negara-Masyarakat Sipil-Swasta. Bogor Purnomo M. 2005. Perubahan Struktur Ekonomi Lokal: Studi Dinamika Moda Produksi di Desa Pegunungan Jawa [Thesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor Shah KU, Dulal HB, Johnson C, Baptiste A. 2013. Understanding livelihood vulnerability to climate change: Applying the livelihood vulnerability index in Trinidad and Tobago. Geoforum 47. 125-137. Dapat diunduh dari www.elsevier.com/locate/geoforum Singarimbun M, Effendi S. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta Smit B, Wandel J. 2006. Adaptation, Adaptice Capacity, and Vulnerability. Global Enviromental Change 16: 282-292. Dapat diundur dari www.sciencedirect.com Speranza CI, Wiesmann W, Rist S. 2014. An Indicator Framework For Assessing Livelihood Resilience Inthe Context Of Sosial-Ecological Dynamics. Global Enviromental Change. Vol 28 109-119. Dapat diunduh dari www.elsevier.com/locate/gloenvcha Suganda E, Yatmo YA, Atmodiwirjo P. Pengelolaan Lingkungan dan Kondisi Masyarakat pada wilayah Hilir Sungai. Makara, Sosial Humaniora(internet). Vol 13(02); 143 – 153. Dapat diunduh dari http://journal.ui.ac.id/humanities/article/viewFile/255/251 Sumarti T. 2007. Kemiskinan Petani dan Strategi Nafkah Ganda Rumahtangga Perdesaan. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia. 01 (02): 217-232.
84
Wulan KM. 2014. Dampak Krisis Ekologi Terhadap Strategi Nafkah Rumahtangga Di Desa Ciganjeng, Kecamatan Padaherang, Kabupaten Konsumsidaran [Skripsi]. Bogor[ID]: Institut Pertanian Bogor Yegbemey RN, Kabir H, Awoye OHR, Yabi JA, Paraiso AA. 2014. Managing the Agricultural Calendar as Coping Mechanism to Climate Variability: A Case Study of Maize Farming in Northern Benin, West Africa. Climate Risk Management 3: 13-23. Dapat diunduh di www.sciencedirect.com.
LAMPIRAN Lampiran 1Analisis Regresi
Model 1
R ,454a
Model Summary Adjusted R R Square Square ,206 ,041
Std. Error of the Estimate ,051834347
a. Predictors: (Constant), Modal_alam2, Modal_fisik, Modal_finansial, Modal_sosial, modal_manusia ANOVAa
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig. 1 Regression ,017 5 ,003 1,247 ,319b Residual ,064 24 ,003 Total ,081 29 a. Dependent Variable: LVI b. Predictors: (Constant), Modal_alam2, Modal_fisik, Modal_finansial, Modal_sosial, modal_manusia Coefficientsa Unstandardized Coefficients B Std. Error ,265 ,109 ,016 ,073 -,088 ,079 -,113 ,145 ,098 ,063 -,096 ,062
Model 1 (Constant) Modal_sosial Modal_finansial Modal_fisik modal_manusia Modal_alam2
Standardized Coefficients Beta ,046 -,228 -,151 ,357 -,378
t 2,418 ,220 -1,107 -,778 1,560 -1,562
Sig. ,024 ,828 ,279 ,444 ,132 ,131
a. Dependent Variable: LVI
N LVI_Koding Modal_finansial_kod LVI_Koding Modal_manusia_koding LVI_Koding Modal_alam_Koding
* * *
Valid Percent
Cases Missing N Percent
Total N
Percent
30
100,0%
0
0,0%
30
100,0%
30
100,0%
0
0,0%
30
100,0%
30
100,0%
0
0,0%
30
100,0%
86
Lampiran 2 Crosstab LVI_Koding * Modal_finansial_kod Crosstabulation
LVI_Koding
Rendah
Sedang
Tinggi
Total
LVI_Koding
Rendah
Sedang
Tinggi
Total
Count % Modal_finansial_kod % of Total Count % Modal_finansial_kod % of Total Count % Modal_finansial_kod % of Total Count % Modal_finansial_kod % of Total
Modal_finansial_kod Rendah Sedang Tinggi 2 2 6 within
within
within
within
Total 10
13,3%
50,0%
54,5%
33,3%
6,7% 9
6,7% 0
20,0% 4
33,3% 13
60,0%
0,0%
36,4%
43,3%
30,0% 4
0,0% 2
13,3% 1
43,3% 7
26,7%
50,0%
9,1%
23,3%
13,3% 15
6,7% 4
3,3% 11
23,3% 30
100,0%
100,0%
100,0%
100,0%
50,0%
13,3%
36,7%
100,0%
LVI_Koding * Modal_manusia_koding Crosstabulation Modal_manusia_koding Rendah Sedang Tinggi Count 1 6 3 % within 16,7% 40,0% 33,3% Modal_manusia_koding % of Total 3,3% 20,0% 10,0% Count 5 5 3 % within 83,3% 33,3% 33,3% Modal_manusia_koding % of Total 16,7% 16,7% 10,0% Count 0 4 3 % within 0,0% 26,7% 33,3% Modal_manusia_koding % of Total 0,0% 13,3% 10,0% Count 6 15 9 % within 100,0% 100,0% 100,0% Modal_manusia_koding % of Total 20,0% 50,0% 30,0%
Total 10 33,3% 33,3% 13 43,3% 43,3% 7 23,3% 23,3% 30 100,0% 100,0%
87
LVI_Koding
Rendah
Sedang
Tinggi
Total
LVI_Koding * Modal_alam_Koding Crosstabulation Modal_alam_Koding Rendah Sedang Count 1 7 %within 16,7% 36,8% Modal_alam_Koding % of Total 3,3% 23,3% Count 3 8 % within 50,0% 42,1% Modal_alam_Koding % of Total 10,0% 26,7% Count 2 4 % within 33,3% 21,1% Modal_alam_Koding % of Total 6,7% 13,3% Count 6 19 % within 100,0% 100,0% Modal_alam_Koding % of Total 20,0% 63,3%
Tinggi 2
Total 10
40,0%
33,3%
6,7% 2
33,3% 13
40,0%
43,3%
6,7% 1
43,3% 7
20,0%
23,3%
3,3% 5
23,3% 30
100,0%
100,0%
16,7%
100,0%
88
Lampiran 3Kuesioner
No responden Tanggal survei Tanggal entri data
KUESIONER KELENTINGAN NAFKAH RUMAHTANGGA PADA SAAT BANJIR DI KAWASAN DAERAH ALIRAN SUNGAI: PENDEKATAN LIVELIHOOD VULNERABILITY INDEX (kasus Desa Karangligar, Kecamatan Telukjambe barat, Kabupaten Karawang) Karakteristik Individu 1Nama Bapak/ Ibu 2Umur bapak / ibu 3Jenis Kelamin 4Alamat RT: 5Status tempat tinggal
6Pekerjaan Sampingan dan Penghasilan per Bulan
RW: 1. Kontrak 2. Bangunan sendiri 3. Menumpang 4. Lainnya 1. Membuka warung 2. Menjual pulsa 3. Membuat kerajinan tangan 4. Buruh bangunan 5. Buruh tami 6. Ojek 7. Burung angkut 8. Lainya 9. Lainya 10. Lainnya
Rp... Rp... Rp... Rp... Rp... Rp... Rp... Rp... Rp... Rp...
89
Komposisi Anggota Rumahtangga NNama o
JK
Hubungan dengan umur kepala rumahtangga
Tingkat pendidikan
Pekerjaan
Sampingan
Pendapatan per bulan
utama
Sampingan
Utama
90
Kepemilikan Aset Produksi Pola penguasaan
Luas Lahan
Sawah (a)
Milik sendiri
Sewa Pinjam pakai
Gadai Lainnya 1 2
Kolam / Rumah (e) tambak (m) (d) Ladang (b)
Kebun campuran (c)
Total lahan (a+b+c+d+e)
Ternak
ayam
unggas
sapi
91
No
NAnggota Rumahtangga Padi
TOTAL
Pendapatan Perbulan On farm Palawija Hortikultura Perkembunan Kolam Tambak Ternak
Off Lainnya farm
Non farm
Total
92
NO
Anggota Rumahtangga
Total
Rumah
Tabungan Perbulan Bank Piutang
Lainnya(investasi/Usaha) Total
93
Taraf hidup rumahtangga 5.1
5.2
Konsumsi Pengeluaran Konsumsi / bulan Pengeluaran/bulan Beras Ikan Daging Telur dan susu Sayur – sayuran Buah – buahan Minyak Bumbu Makanan dan minuman jadi Konsumsi laiinya Non Konsumsi Pengeluaran/tahun Perumahan dan fasilitas rumahtangga Listerik Pendidikan Kesehatan Pakaian Pajak /asuransi Keperluan pesta acara Transportasi Laiinya
Diisi oleh responden Rp
Rp
Kepemilikan sumber nafkah Modal Manusia Siapa saja yang bekerja di rumahtangga bapak/ibu
Pendidikan terakhir yang bapak/ibu tempuh Bapak ibu memanfaatkan orang lain dalam menjalankan usaha? Keterampilan apa yang dimiliki bapak ibu selain bertani
1. 2. 3. 4. 1. 2. 3. 1. 2. 3. 1. 2. 3. 4. 5.
Hanya sendiri Pasangan Anak...orang Anggota keluarga laiinya Tidak/tamat SD Tamat SMP Tamat SMA / perguruan tinggi Memperkerjakan diri sendiri Memperkerjakan 1 orang Memperkerjakan 2 orang atau lebih Berdagang Buruh panggul Jasa Buruh bangunan Montir
94
Modal sosial Banyaknya Jaringan yang diikuti no Pertanyaan 1 Apakah rumah tangga mengikuti organisasi/perkumpulan sesama peta ni di desa 2
Apakah saat ini rumahtangga mengikuti organisasi* di Desa? (jika ya, lanjut ke pertanyaan no. 3)
3
Apakah organisasi tersebut membantu rumahtangga ketika menghadapi krisis?
4
Apakah saat ini rumahtangga mengkuti organisasi* di luar desa? (jika ya, lanjut ke pertayaan no. 5
5
Apakah organisasi tersebut memban tu rumahtangga ketika menghadapi krisis? Tingkat Kepercayaan 1 Apakah rumah tangga percaya terhadap tetangga untuk membantu dalam kodisi krisis? 2 Apakah rumah tangga percaya terhadap kerabat untuk membantu dalam kodisi krisis? 3 Apakah rumah tangga percaya terhadap pemerintah desa untuk membantu dalam kodisi krisis? 4 Apakah rumah tangga percaya terhadap perusahaan disekitar untuk membantu dalam kodisi krisis? 5 Apakah rumah tangga percaya terhadap LSM untuk membantu dalam kodisi krisis? Banyaknya organisasi yang dikuti 1 Apakah rumah tangga mengikuti sebuah organisasi? 2 Apakah kepala rumahtangga megikuti organiasi? 3 Apakah pasangan mengikuti organisasi? 4 Apakah anak – anak anda mengikuti organisasi? 5 Apakah organisasi yang dikuti sama
SS
S
R
TS
SS
95
6 7
dengan anggota lainya? Apakah organisasi yang diikuti berfungsi dan aktif? Apakah organisasi yang diikuti mendukung rumahtangga?
Bentuk Organiasi 1 = kelompok tani 2 = koperasi 3 = kelompok keagamaan 4 = kelompok profesi 5 = sindikat 6 = kelompok masyarakat 7 = kelompok kredit 8 = kelompok warga 9 = LSM
10 = kelompok komersial 11 = kelompok budaya 12 = partai politik 13 = kelompok pemuda 14 = kelompok perempuan 15 = kelompok belajar 16 = kelompok kesehatan 17 = kelompok olahraga 18 = lainya......
Modal Fisik Tingkat kepemilikan Sarana Prasarana Pertanian No Pertanyaan Ya 1 apakah rumah tangga memiliki cangkul untuk bertani? 2 apakah rumah tangga memiliki kendaraan untuk menjual hasil pertanian? 3 apakah rumah tangga memiliki ternak untuk dijual ketika krisis?? 4 Apakah Rumahtangga memiliki Traktor? 5 apakah rumah tangga memiliki mesin penggiling padi? 6 apakah rumah tangga memiliki arit? Tingkat kepemilikan Sarana Prasarana Non-Pertanian 1 apakah rumah tangga memiliki Kipas angin listerik? 2 apakah rumah tangga memiliki mesin cuci? 3 apakah rumah tangga memiliki Televisi? 4 apakah rumah tangga memiliki Mesin jahit 5 Apakah rumahtangga memiliki emas? 6 apakah rumah tangga memiliki Radio? 7 Apakah Rumahtangga memiliki kulkas?
Tidak
Keterangan (Harga)
96
Modal finansial No Pertanyaan SS 1 Apakah rumah tangga memiliki tabungan yang disimpan di bank? 2 Apakah saat ini rumah tangga memiliki tabungan yang di simpan di rumah? 3 Apakah rumahtangga saat ini tidak memiliki pinjaman kepada pihak lain (utang)? 4 Apakah rumahtangga memiliki memiliki uang yang dipinjamkan kepada pihak lain(piutang)? 5 Apakah rumahtangga memiliki cicilan yang belum dilunasi?
Modal Alam Luas lahan
S
R
TS
STS
....m2
Berapa luas lahan yang ....m2 bapak miliki dan di kerjakan sendiri? Berapa luas lahan yang ....m2 bapak miliki tapi dikerjakan orang lain Berapa luas lahan orang ....m2 lain yang bapak kerjakan
TINGKAT KERENTANAN Tingkat Keterpaparan Seberapa jauh lahan anda dengan sungai Berapa persen lahan yang terendam banjir Berapa persen lahan yang rusak akibat banjir Berapa produksi sawah bila tidak ada banjir Berapa produksi sawah ketika ada banjir
M ..... M tidak terkena ..........M terkena .........% ..... M tidak terkena ..........M terkena .........% ..... ......................... kg ........................... kg
97
Tingkat Sensitivitas SS
S
R
TS
STS
SS
S
R
TS
STS
Apakah bapak/ibu mendapatkan makanan pada saat banjir dari desa Apakah bapak/ibu mendapatkan pengobatan pada saat banjir dari desa Apakah bapak/ibu mendapatkan pakaian ketika banjir dari desa Apakah bapak/ibu mendaftarkan lahannya kepada asuransi sebagai bentuk jaminan bila terkena banjir Apakah bapak/ibu menjaminkan lahannya ketika banjir tiba Apakah bapak/ibu bekerjasama dengan tetangga untuk menjaminkan lahnnya bersama? Apakah ada anggota keluarga bapak / ibu yang tidak bekerja? Tingkat Kapasitas Adaptasi Pertanyaan Apakah bapak/ibu mempunyai kolega yang membantu saat banjir Apakah oraganisasi yang bapak ikuti memberikan bantuan berupa makanan ketika banjir datang? Apakah ketika banjir datang organisasi yang bapak ikuti memberikan bantuan bibit ketika banjir datang? Apakah bapak/ibu memiliki kesiapan dalam bentuk teknologi ketika banjir datang? Apakah bapak/ibu mendapatkan peringatan banjir lewat teknologi? Apakah bapak/ibu mendapatkan bantuan dengan cara mengunakan teknologi? Apakah bapak/ibu menjual harta benda untuk memperbaiki lahan yang rusak terkena banjir?
98
PENDOMAN WAWANCARA MENDALAM
ANALISIS STRATEGI DAN KELENTINGAN NAFKAH RUMAHTANGGA PADA SAAT BANJIR DI KAWASAN DAERAH ALIRAN SUNGAI: PENDEKATAN LIVELIHOOD VULNERABILITY INDEX (kasus Desa Karangligar, Kecamatan Telukjambe barat, Kabupaten Karawang) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Sejak kapan Anda bekerja sebagai petani? Mengapa Anda memilih bekerja sebagai petani? Apakah bekerja di sektor ini menguntungkan? Mengapa? Apakah penghasilan sebagai petani mencukupi kebutuhan Anda dan keluarga? Jika tidak, mengapa? Apakah ada mata pencaharian lain yang dilakukan untuk meningkatkan penghasilan keluarga? Mengapa memilih mata pencaharian itu? Bagaimana Anda memanfaatkan hubungan-hubungan sosial di masyarakat untuk membantu anda menperoleh pekerjaan? Kepada siapa Anda sering meminta bantuan pinjaman dana, memperoleh pekerjaan maupun bantuan lain? Mengapa? Siapa saja orang-orang yang sering meminta bantuan kepada anda? Bagaimana kondisi pengalaman bapak pada saat banjir? Bagaimana dampak banjir bagi lahan bapak? Apakah banjir yang terjadi mengakibatkan bapak tidak bisa bertani kembali? Bagaimana cara bapak kembali bertani? Apakah dengan usaha sendiri atau meminta bantuan yang lain? Apakah akibat banjir membuat bapak tidak mau bertani kembali? Bagaimana cara – cara yang bapak lakukan dalam menafkahi keluarga selama banjir
99
Lampiran 4Foto Profil Desa
Sebelah utara Desa Karangligar Kecamtan Telukjambe Barat Kabupaten Karawang berbatasan dengan Desa Suka makmur Sebelah selatan desa Karangligar kecamtan telukjambe barat kabupaten Karawang berbatasan dengan Desa Margamulya Sebelah barat desa Karangligar kecamtan telukjambe barat kabupaten Karawang berbatasan dengan Desa Karangmulya Sebelah timur desa Karangligar kecamtan telukjambe barat kabupaten Karawang berbatasan dengan Desa Wadas
100
Lampiran 5 Dokumentasi Penelitian
101
102
Lampiran 6 Kerangka Sampling 1.
kerangka samplingrumahtangga Desa Karangligar
kerangka samplingrumahtanggaDusun Pangasinan No Nama Kepala Rumah tangga Alamat 1 Olih Sadikin RW 1 2 Ayub RW 1 3 Salim RW 1 4 Aripin RW 1 5 Iking RW 1 6 Muin RW 1 7 Emin RW 1 8 Hilin RW 1 9 Upun RW 1 10 Udung RW 1 11 Endang RW 1 12 Uci RW 1 13 Janim RW 1 14 Somad RW 1 15 Amo RW 1 16 Agus RW 1 17 Obon RW 1 18 Ecek RW 1 19 Asep RW 1 20 Saun RW 1 21 Aning RW 1 22 Antul RW 1 23 Itu RW 1 24 Namar RW 1 25 Usa RW 1 26 Sobag RW 1 27 Kalim RW 1 28 Udin RW 1 29 Jajang RW 1 30 Ating RW 1 31 Asli RW 1 32 Alm RW 1 33 Neman RW 1 34 Salam RW 1 35 Yasa RW 1 36 Kalman RW 1 37 Akin RW 1 38 Ujang RW 1 39 Janim RW 1 40 Samin RW 1 41 Ento RW 1
Usia 43 27 50 60 53 44 51 48 55 46 50 65 55 34 65 50 60 43 45 68 45 53 34 65 60 35 45 55 50 53 43 27 50 60 53 44 51 48 55 46 50
103
42 43 44 45 46 47 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72
Andu Karima Ersin Boan Desol Sanam Rina Agus Asep Acep Sukiyar Guan Ano Iyan Iyun Otong E,o Angking Jambari Iyang Sukiyat
65 55 51 55 50 50 33 36 60 43 60 42 47 51 38 50 44 47 54 62 55
RW 1 RW 1 RW 1 RW 1 RW 1 RW 1 RW 1 RW 1 RW 1 RW 1 RW 1 RW 1 RW 1 RW 1 RW 1 RW 1 RW 1 RW 1 RW 1 RW 1 RW 1
kerangka samplingrumahtanggaDusun Kampek No Nama Kepala Rumah tangga 1 Jebag Ulunng 2 3 Masnen 4 rohim Utin Wijaya 5 6 ajan Tara 7 8 Usup Jadim 9 10 Odang 11 wawan Nakim 12 13 Hatim Atsim 14 15 Soleh Nata 16 Sarya 17 18 entim Sardi 19 20 Agus atam 21 22 kaja
Alamat RW 5 RW 5 RW 5 RW 5 RW 5 RW 5 RW 5 RW 5 RW 5 RW 5 RW 5 RW 5 RW 5 RW 5 RW 5 RW 5 RW 5 RW 5 RW 5 RW 5 RW 5 RW 5
Usia 43 27 50 60 53 44 51 48 55 46 50 65 55 34 65 50 60 43 45 68 45 53
104
23 24 25 26 27 28 29 30
utin enok Dharmawan Suryadinata Jubaeri Kharmin Endi Kharim
RW 5 RW 5 RW 5 RW 5 RW 5 RW 5 RW 5 RW 5
34 65 60 35 45 55 50 53
Riwayat Hidup Abednego Giovanny dilahirkan di jakarta pada tanggal 25junu 1994 merupakan anak kedua dari dua bersaudara yang lahir dari pasangan Agustinus Kombong dan Tri Panji Asih. Pendidikan formal yang dilalui adalah TK Pa Van Der Steur 1999 2000, SDKPa Van Der Steur pada tahun 2000 - 2006, SMP KatolikSanto Markus 2 pada tahun 2006 - 2009, SMA Negeri 113 Jakarta Timurpada tahun 2009 - 2012. Selanjutnya, pada tahun 2012, penulis diterima sebagai salah satu mahasiswa di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan. Selain aktif di bidang akademik, penulis juga aktif mengikuti kegiatan non akaedmik baik di dalam kampus. Penulis mwnjabat sebagai anggota Public RelationHimpunan Mahasiswa Peminat Ilmu – Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (Himasiera) 2013/2014. Penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan kepanitiaan dalam beberapa event di IPB antara lain dalam Ketua Logistik dan Transportasi CONNECTION 2014 dan 2015