STRATEGI NAFKAH RUMAH TANGGA PETANI TUNAKISMA DI DESA RAJASINGA, KECAMATAN TERISI, KABUPATEN INDRAMAYU
INTAN PERMATA SARI
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Strategi Nafkah Rumah Tangga Petani Tunakisma di Desa Rajasinga, Kecamatan Terisi, Kabupaten Indramayu adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor
Bogor, Januari 2014
Intan Permata Sari NIM I34100133
ABSTRAK INTAN PERMATA SARI. Strategi nafkah rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga, Kecamatan Terisi, Kabupaten Indramayu. Dibimbing oleh SATYAWAN SUNITO Desa Rajasinga merupakan dataran rendah yang mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani. Rumah tangga petani tunakisma yang terdapat di Desa Rajasinga terdiri atas tunakisma mutlak dan tunakisma tidak mutlak (memiliki lahan garapan). Strategi nafkah yang diterapkan oleh rumah tangga petani tunakisma tidak hanya dari sektor pertanian melainkan juga dari sektor nonpertanian. Penerapan strategi nafkah yang dilakukan meliputi intensifikasi pendapatan di sektor pertanian maupun non-pertanian, pola nafkah ganda dan rekayasa spasial (migrasi). Bentuk strategi nafkah yang diterapkan dipengaruhi oleh pemanfaatan lima sumber daya penghidupan yang dimiliki rumah tangga. Sumber daya penghidupan tersebut terdiri atas struktur anggota rumah tangga, akses pada lahan pertanian, kepemilikan modal fisik, akses pada modal keuangan dan pemanfaatan hubungan sosial. sektor pertanian maupun non-pertanian memberi kontribusi yang hampir setara terhadap pembentukan struktur pendapatan rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga. Kata kunci: petani tunakisma, strategi nafkah, sumber daya penghidupan
ABSTRACT INTAN PERMATA SARI. Livelihood Strategy of Landless Peasant Household in Rajasinga Village, Terisi Sub-district. Indramayu Regency. Supervised by SATYAWAN SUNITO Rajasinga village is a lowland, majority of its villagers works as a landless Peasant household in Rajasinga consists of absolute landless and un-absolute landless (having cultivated land). Livelihood strategy of landless peasant household not only in agricultural sector but also in non-agricultural sector. Livelihood strategy of landless peasant household include income intensification in agricultural and non-agricultural sector, pattern of living double, and spatial engineering (migration). The livelihood strategy depends on five livelihood resources owned by household. Livelihood resources consists of structure household, agricultural access, owner of physical capital, finance capital access, and the utilization of social relationship. Agricultural and non-agricultural sector contributed almost equally to the formation of income structure of landless peasant household in Rajasinga village. Keywords : landless peasant, livelihood strategy, livelihood resources
STRATEGI NAFKAH RUMAH TANGGA PETANI TUNAKISMA DI DESA RAJASINGA, KECAMATAN TERISI, KABUPATEN INDRAMAYU
INTAN PERMATA SARI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk mendapat gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
Judul Skripsi Nama NIM
: Strategi Nafkah Rumah Tangga Petani Tunakisma di Desa Rajasinga, Kecamatan Terisi, Kabupaten Indramayu : Intan Permata Sari : I34100133
Disetujui oleh
Dr Satyawan Sunito Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Siti Amanah, MSc Ketua Departemen
Tanggal Pengesahan:
Judul Skripsi Nama NIM
Strategi Nafkah Rumah Tangga Petani Tunakisma di Desa Rajasinga, Kecamatan Terisi, Kabupaten Indramayu Intan Permata Sari 134100133
Disetujui oleh
Dr Satyaw an Sunito
Pembimbing
Tanggal Pengesahan:
0 3 FEB 2014
PRAKATA Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan kasih karunia dan rahmat-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Karya tulis yang dimulai sejak bulan September 2013 ini berjudul Strategi Nafkah Rumah Tangga Petani Tunakisma di Desa Rajasinga, Kecamatan Terisi, Kabupaten Indramayu. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr Satyawan Sunito selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu dan pikiran untuk memberi masukan serta saran yang berarti selama proses penelitian dan penulisan skripsi ini. Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Ayahanda DahmanSipakkar dan Ibunda Rufiyati, serta kedua abangku tercinta Rudy Sipakkar dan Antonius Sipakkar yang selalu berdoa serta melimpahkan kasih sayang dan semangat kepada penulis. Tidak lupa juga terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh teman-teman seperjuangan SKPM Angkatan 47 dan teman melewati suka dan duka selama di IPB (Nika Roslina Silaen) yang telah memberikan semangat dan menemani penulis dalam proses penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Januari 2014
Intan Permata Sari
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
xi xii xii
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Penelitian Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 3 3 4
PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian Definisi Konseptual Definisi Operasional
5 5 9 11 11 12
METODE PENELITIAN Pendekatan Lapang Jenis Data, Lokasi dan Waktu Penelitian Teknik Pengumpulan Data Teknik Pengolahan dan Analisis Data
15 15 15 16 17
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Geografis Kondisi Demografi Kondisi Sosial Infrastuktur Desa Ikhtisar
19 19 20 22 22 23
LIVEHOOD RESOURCES RUMAH TANGGA TUNAKISMA Struktur Anggota Rumah tangga Jumlah Tenaga Kerja Rumah Tangga Usia Tingkat Pendidikan Jenis Kelamin Akses pada Lahan Pertanian Karakteristik Lahan Pertanian Sistem Sewa dan Lanja Gadai Ceblokan Penguasaa Lahan Rumah Tangga Petani Tunakisma Kepemilikan modal Fisik Alat Produksi Pertanian Aset Rumah Tangga dalam Aktivitas Nafkah
PETANI
24 24 24 25 26 28 29 29 29 30 31 31 35 35 36
Akses pada Modal Keunagan Pemanfaatan Modal Sosial Ikhtisar
37 38 39
STRATEGI NAFKAH RUMAH TANGGA PETANI TUNAKISMA Pilihan-Pilihan Kesempatan Kerja Tenaga Kerja dalam Pertanian Industri Bata Merah Pedagang Buruh Bangunan TKI Pekerjaan Lain di Luar Desa Bentuk Strategi Nafkah yang Diterapkan Rumah Tangga Petani Tunakisma di Desa Rajasinga Intensifikasi Pendapatan Sektor Pertanian Pola Nafkah Ganda Intensifikasi Pendapatan Sektor Non-pertanian Rekayasa Spasial (Migrasi) KelenderKerja Rumah Tangga Petani Tunakisma Ikhtisar
41 41 41 42 43 43 44 44 45
STRUKTUR PENDAPATAN RUMAH TUNAKISMA Pendapatan dari Sektor Pertanian Pendapatan dari Sektor Non-Pertanian Pendapatan Total Rumah Tangga Ikhtisar
53
TANGGA
PETANI
45 46 48 49 50 52
54 55 58 61
PENUTUP Kesimpulan Saran
63 63 64
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
65 69 89
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Metode pengumpulan data Luas lahan menurut jenis irigasi di Desa Rajasinga Jumlah dan persentase penduduk menurut kelompok umur di Desa Rajasinga Jumlah dan persentase penduduk menurut jenis mata pencaharian di Desa Rajasinga Jumlah dan persentase penduduk menurut tingkat pendidikan di Desa Rajasinga Jumlah layanan kesehatan yang terdapat di Desa Rajasinga Jumlah sarana pendidikan yang terdapat di Desa Rajasinga Jumlah dan persentase rumah tangga petani tunakisma menurut jumlah tenaga kerja di Desa Rajasinga Jumlah dan persentase kepala rumah tangga petani tunakimsa menurut usia di Desa Rajasinga Jumlah dan persentase kepala rumah tangga petani tunakisma menurut tingkat pendidikan di Desa Rajasinga Jumlah dan persentase anggota rumah tangga petani tunakisma yang bekerja menurut tingkat pendidikan dan usia di Desa Rajasinga Pembagian kerja pertanian di Desa Rajasinga Jumlah dan persentase rumah tangga petani tunakisma menurut kategori lapisan penguasan lahan di Desa Rajasinga Jumlah dan persentase rumah tangga petani penggarap menurut sistem penguasaan lahan di Desa Rajasinga Jumlah dan persentase rumah tangga petani tunakisma menurut luas lahan garapan di Desa Rajasinga Tingkat ketunakismaan dan luas lahan garapan rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga Jumlah dan persentase rumah tangga petani tunakisma menurut kepemilikan alat produksi pertanian di Desa Rajasinga Jumlah dan persentase rumah tangga petani tunakisma menurut kepemilikan aset rumah tangga di Desa Rajasinga Jumlah lembaga keuangan di Desa Rajasinga Jumlah dan persentase rumah tangga petani tunakisma menurut Pilihan pemanfaatan hubungan sosial di Desa Rajasingga Jumlah dan persentase rumah tangga petani tunakisma menurut akses pada modal keuangan di Desa Rajasinga Jumlah rumah tangga petani tunakisma menurut jenis pekerjaan di sektor pertanian dan non-pertanian Jumah rumah tangga menurut pernah/tidak salah satu anggotanya melakukan migrasi internasional
15 19 20 21 21 22 23 25 26 27 28 29 33 34 35 35 36 37 38 38 39 47 50
24 Deskripsi pekerjaan yang dilakukan petani tunakisma menurut bulan di Desa Rajasinga 25 B/C ratio pertanian padi menurut status penguasaan lahan dan total luas lahan rumah tangga petani penggarap, Rp/Rataan luas lahan/tahun. 26 Rata-rata pendapatan pertanian rumah tangga petani tunakisma per tahun menurut tingkat ketunakismaan di Desa Rajasinga 27 Rata-rata pendapatan rumah tangga petani tunakisma per tahun menurut sumber pendapatan non-pertanian di Desa Rajasinga 28 Total pendapatan rumah tangga petani tunakis mamenurut tingkat ketunakismaan di Desa Rajasinga 29 Persentase pendapatan rumah tangga petani tunakis mamenurut tingkat ketunakismaan per tahun menurut sektor di Desa Rajasinga 30 Jumlah dan persentase total pendapatan rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga
51 53
55 57 58 59 61
DAFTAR GAMBAR 1 2
3
4 5
Kerangka analisis penelitian Grafik rata-rata pendapatan pertanian rumah tangga petani tunakisma per tahun menurut tingkat ketunakismaan di Desa Rajasinga Grafik rata-rata pendapatan rumah tangga petani tunakisma per tahun menurut sumber pendapatan non-pertanian di Desa Rajasinga Grafik persentase pendapatan rumah tangga petani tunakisma menurut sektor di Desa Rajasinga per tahun Grafik persentase pendapatan rumah tangga petani tunakisma menurut sektor di Desa Rajasinga per tahun
10 52
54
56 58
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7
Kerangka sampling penelitian di Desa Rajasinga Kuesioner penelitian Panduan wawancara mendalam Jadwal pelaksanaan penelitian Peta Lokasi Penelitian Deskripsi pekerjaan, status dan luas lahan serta pendapatan Dokumentasi penelitian
69 77 82 83 84 85 87
PENDAHULUAN Bab pendahuluan ini berisi latar belakang, masalah penelitian, tujuan penelitian dan kegunaan penelitian. Latar belakang berisi alasan mengenai pemilihan topik penelitian. Masalah penelitian berisi permasalahan yang ingin diteliti, tujuan penelitian merupakan jawaban dari masalah penelitian dan kegunaan penelitian berisi kegunaan untuk berbagai pihak yang menjadi sasaran dari hasil penelitian. Berikut uraian dari masing-masing bagian tersebut.
Latar Belakang Kemiskinan merupakan masalah yang sampai saat ini masih mengancam bangsa Indonesia. Berdasarkan data BPS September 2012 yang mencatat jumlah penduduk miskin di pedesaan dan di perkotaan mencapai 18.08 juta jiwa dan 10.51 juta jiwa. Hal ini berarti sebanyak 14.70 persen penduduk di pedesaan dan 8.60 persen penduduk di perkotaan berada di bawah garis kemiskinan.1 Sektor pertanian dari dulu hingga sekarang masih menjadi tempat mayoritas rumah tangga miskin menggantungkan hidupnya. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi masalah kemiskinan, salah satunya dengan program Bantuan Tunai Langsung (BLT). Akan tetapi, dampaknya masih kurang dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di desa. Bahri et al. (2008) menyatakan bahwa tanah bagi rumah tangga petani di desa merupakan sumber nafkah yang menjadi faktor produksi utama. Petani yang tidak memiliki lahan disebut dengan istilah petani tunakisma akan terjebak dalam kehidupan ekonomi yang serba sulit. Meskipun sumber nafkah non-pertanian saat ini berkontribusi besar dalam pembentukan struktur pendapatan, namun akses dan kontrol pada lahan pertanian di desa tetap memegang peranan penting dalam menentukan status ekonomi petani. Hasil penelitian Amar (2002) menunjukkan bahwa distribusi penguasaan lahan sangat menentukan tingkat distribusi pendapatan rumah tangga, karena luas lahan merupakan faktor produksi dalam kegiatan usahatani. Menurut UU No. 2/1960 pasal 1 tentang Perjanjian Bagi Hasil2, mendefinisikan petani adalah mereka yang mata pencaharian pokoknya mengusahakan tanah untuk pertanian. Mereka dapat mengusahakan tanah kepunyaan sendiri (pemilik-penggarap), mengusahakan tanah orang lain (penggarap) dan dapat pula mengusahakan tanah orang lain sebagai buruh tani. Petani yang tidak memiliki lahan berdasarkan status kepemilikan formal hanya dapat bekerja di sektor pertanian dengan mengusahakan tanah milik orang lain dan memperoleh pendapatan sesuai dengan kesepakatan yang telah ditentukan. Dengan demikian, meraka hanya dapat bekerja sebagai petani penggarap maupun buruh tani. 1
Diakses dari http://www.bps.go.id/brs_file/kemiskinan_02jan13.pdf pada tanggal 1 April 2013, pukul 13.04 2 Diakses dari http://www.dpr.go.id/uu/uu1960/UU_1960_2.pdf pada tanggal 9 September 2013, pukul 21.38
2
Indramayu merupakan kabupaten yang memproduksi padi sawah terbesar di Jawa Barat dan menjadi salah satu daerah pemasok produksi beras nasional. Hasil produksinya saat ini mencapai 1 351 041 ton pertahun3. Prestasi tersebut tidak serta merta berdampak pada kehidupan ekonomi rumah tangga petani karena di tengah melimpahnya hasil produksi padi sawah, cukup banyak terdapat rumah tangga petani yang tidak memiliki lahan. Data kabupaten Indramayu4 menunjukkan pada tahun 2011 terdapat sekitar 632 458 orang petani, yang terdiri dari petani pemilik 124 647 orang, petani pemilik-penggarap 147 350 orang, petani penggarap 98 449 orang dan buruh tani 252 012 orang. Desa Rajasinga adalah salah satu desa yang terdapat di Kecamatan Terisi, Kabupaten Indramayu. Keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga membatasi peluang bagi mereka untuk bekerja di sektor pertanian maupun di sektor non-pertanian. Dengan demikian, mereka akan tetap bekerja di sektor pertanian sebagai buruh tani dan petani penggarap lahan milik orang lain, sedangkan di sektor non-pertanian mereka hanya dapat memasuki pekerjaanpekerjaan yang tidak memerlukan syarat tingkat pendidikan tertentu. Pembangunan di kota-kota besar seperti Jakarta dan infrastruktur di daerah Pantai Utara Jawa yang terus-menerus dilakukan cukup membantu masyarakat desa dalam mendapatkan pekerjaan di sektor non-pertanian. Akses jalan yang telah memadai mempermudah masyarakat untuk bekerja di kota-kota besar seperti Jakarta maupun ke luar negeri sebagai TKI. Kesulitan ekonomi di desa menjadi salah satu faktor yang mendorong masyarakat bekerja ke kota. Dalam menghadapi situasi krisis, umumnya rumah tangga petani akan melakukan strategi nafkah yang berbeda-beda dan unik untuk memenuhi kebutuhan anggota rumah tangganya. Dengan memanfaatkan berbagai sumber daya yang dimiliki maka petani akan menggerakan seluruh anggota rumah tangganya untuk mencari dan memasuki pekerja yang mampu memberikan pendapatan. Mereka bersedia bekerja apa saja dengan tingkat upah berapa saja, asal dapat memenuhi kebutuhan akan makanan dan uang. Sifat akomodatif ekonomi pedesaan dan dinamikanya yang disebut dinamika “ekonomi tukang sapu jalan” merupakan contoh yang barangkali tidak ditemukan di tempat lain, terutama bila dilihat petani yang tidak memiliki lahan mungkin dapat menggarap tanah di beberapa tempat sekaligus dan memperoleh bagian hasil di sana-sini (Kroef 2008). Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan sebelumnya, menarik untuk diteliti bahwa suatu rumah tangga akan memanfaatkan beragam sumber daya yang dimiliki untuk memperoleh pekerjaan. Menurut Ellis (2000) 5 jenis livelihood resources tersebut, yakni: finansial capital, physical capital, natural capital, human capital, dan social capital. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis strategi nafkah yang dibangun oleh rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga, Kecamatan Terisi, Kabupaten Indramayu.
3
http://jabar.bps.go.id/subyek/luas-panen-produktivitas-dan-produksi-padi-sawah-gkg-di-jawabarat-1 pada tanggal 6 juni 2013 pukul 20.10 4 Diakses dari Diakses dari http://www.indramayukab.go.id/potensi/58-pertanian-danpeternakan.html pada tanggal 9 September 2013, pukul 21.45
3
Masalah Penelitian Dalam masyarakat pertanian, setiap rumah tangga petani memiliki sumber daya yang berbeda-beda yang dapat dimanfaatkan untuk mencari nafkah. Struktur pemilikan dan penguasaan lahan berimplikasi dalam menentukan pekerjaan dan status ekonomi petani. Selain itu, sumber daya manusia, modal fisik, modal finansial dan modal sosial juga turut memainkan peran dalam menentukan aktifitas nafkah. Keterbatasan livelihood resources yang dimiliki petani akan membatasi peluang untuk bekerja di sektor pertanian maupun non-pertanian. Rumah tangga akan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki semaksimal mungkin untuk mendukung kehidupan anggota rumah tangganya. Untuk itu, menarik untuk diteliti bagaimana pemanfaatan livelihood resources yang dilakukan oleh rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga dalam menentukan strategi nafkah yang dibangun rumah tangga. Peningkatan harga-harga kebutuhan rumah tangga yang tidak sejalan dengan peningkatan jumlah pendapatan semakin mempersulit keadaan ekonomi rumah tangga petani tunakisma. Pada situasi tersebut, rumah tangga petani akan mengelolah struktur nafkah sehingga mampu meminimalkan resiko, tergantung kepada sumber daya yang dimiliki (Widiyanto et al. 2010). Rumah tangga petani tunakisma melakukan beragam strategi untuk memperoleh pendapatan sehingga kebutuhan anggota rumah tangganya terpenuhi. Mengacu pada scoones (1998), terdapat tiga strategi nafkah yang dilakukan oleh penduduk pedesaan, yaitu: (1) intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, (2) diversifikasi nafkah, dan (3) migrasi (keluar). Untuk itu, menarik untuk diteliti bagaimana bentuk strategi nafkah yang dibangun oleh rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga. Setiap pekerjaan yang dilakukan oleh anggota rumah tangga, baik di sektor pertanian maupun non-pertanian akan berkontribusi terhadap pembentukan struktur pendapatan rumah tangga. Besarnya pendapatan yang diterima cukup beragam tergantung pada jenis pekerjaan yang dilakukan. Petani penggarap akan memperoleh pendapatan yang berbeda dengan mereka yang hanya bekerja sebagai buruh tani. Demikian juga halnya pekerjaan-pekerjaan dalam sektor nonpertanian. Bentuk strategi nafkah yang diterapkan memainkan berperan dalam menentukan struktur pendapatan rumah tangga. Untuk itu, menarik untuk diteliti bagaimana bentuk struktur pendapatan yang dibangun oleh rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Menganalisis pemanfaatan livelihood resources yang dilakukan oleh rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga, Kecamatan Terisi, Kabupaten Indramayu dalam menentukan strategi nafkah yang dibangun rumah tangga. 2. Menganalisis bentuk strategi nafkah yang dibangun oleh rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga, Kecamatan Terisi, Kabupaten Indramayu. 3. Menganalisis struktur pendapatan yang dibangun oleh rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga, Kecamatan Terisi, Kabupaten Indramayu.
4
Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengantar atau sebagai pengenalan lebih lanjut mengenai strategi nafkah yang dilakukan oleh rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga, Kecamatan Terisi, Kabupaten Indramayu. Melalui penelitian ini, terdapat juga beberapa hal yang ingin penulis sumbangkan pada berbagai pihak, yaitu: 1. Bagi akademisi, diharapkan tulisan ini menjadi referensi dalam melakukan penelitian-penelitian terkait strategi nafkah rumah tangga petani di pedesaan. 2. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan dan pemahaman kepada masyarakat mengenai karakteristik rumah tangga petani dan strategi nafkah yang dilakukan dalam memenuhi kebutuhan hidup. 3. Bagi Pemerintah, penelitian ini dapat memberikan masukan berupa kritik dan saran kepada pemerintah sebagai pembuat kebijakan agar lebih teliti dalam menetapkan kebijakan yang terkait perluasaan lapangan pekerjaan di sektor pertanian maupun non-pertanian, khusunya bagi rumah tangga petani yang tidak memiliki lahan di desa.
PENDEKATAN TEORITIS Bab ini berisi bagian tinjauan pustaka, kerangka pemikiran, hipotesis penelitian dan definisi operasional. Tinjauan pustaka berisi teori-teori dan konsepkonsep dasar untuk menganalisis data hasil penelitian, kerangka pemikiran berisi alur pemikiran logis yang diteliti, hipotesis adalah dugaan sementara dari hasil penelitian, definisi konseptual berisi pengertian dari konsep-konsep yang digunakan dan definisi operasional berisi variabel-variabel yang diteliti. Berikut uraian dari masing-masing bagian tersebut.
Tinjauan Pustaka Konsep Petani Tunakisma Tanah merupakan sumber daya alam yang menjadi faktor produksi utama masyarakat petani. Petani berlahan sempit ataupun yang tidak memiliki lahan sangat erat kaitannya dengan kemiskinan. Mulyanto et al. (2009) menyatakan bahwa orang miskin adalah mereka yang tidak memiliki lahan garapan sendiri serta tiadanya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok permanen. Kehidupan petani tunakisma sangat erat kaitannya dengan kemiskinan. Wiradi dan Makali (2009) mengemukakan bahwa ciri masyarakat pedesaan Jawa adalah terbaginya penduduk ke dalam lapisan-lapisan berdasarkan perbedaan hak atas tanah serta kewajiban-kewajibannya. Lapisan pertama adalah mereka yang nenek moyangnya dulu merupakan pemukim pertaman di daerah tersebut sehingga mereka memiliki tanah yasan5 dan mempunyai pekarangan serta rumah sendiri. Lapisan kedua ialah mereka yang mempunyai rumah dan pekarangan sendiri tetapi belum atau tidak mempunyai sawah. Lapisan ketiga ialah mereka yang tidak mempunyai tanah dan tidak mempunyai pekarangan, tetapi mempunyai rumah sendiri. Lapisan keempat adalah mereka yang sama sekali tidak mempunyai apa-apa kecuali tenaganya. Umumnya merka yang masuk pada lapisan ke empat adalah petani miskin yang tidak mempunyai lahan (tunakisma). Petani tunakisma identik dengan buruh tani, namun petani tunakisma selain bekerja sebagai buruh tani, juga ada yang menjadi petani penyakap, bahkan pengemis (Saragih dan Susanto 2006) Hasil penelitian Saragih dan Susanto (2006) menunjukan bahwa terdapat beberapa faktor utama petani tidak memiliki lahan atau tanah, antara lain: (1) tidak mendapat warisan lahan atau tanah dari orangtuanya sebab orangtuanya sendiri tidak mempunyai lahan atau tanah, (2) jika memiliki lahan dengan luas terbatas dijual untuk keperluan lainnya, misalnya untuk membayar hutang, keperluan pesta, dan menutupi kebutuhan sehari-hari, dan (3) berasal dari korban Putus Hubungan Kerja (PHK), tidak mempunyai keahlian lain dan tidak mempunyai modal sehingga mereka kembali ke desa untuk menjadi buruh tani.
5
Tanah Yasan, yaitu tanah yang diperoleh berkat usaha seseorang membuka hutan atau “tanah liar” untuk dijadikan tanah garapan.
6
Konsep Struktur Agraria Wiradi (2009) memberikan definisi bahwa struktur agraria merupakan tata hubungan antar manusia menyangkut pemilikan, penguasaan, dan peruntukan tanah. Dalam masyarakat agraris, masalah pemilikan dan penguasaan tanah ini merupakan faktor penentu bangunan masyarakat secara keseluruhan. Masalah ini tidak hanya menyangkut hubungan teknis antara manusia dengan tanah, namun menyangkut juga hubungan sosial manusia dengan manusia. Lebih lanjut Wiradi (2009) menyatakan bahwa struktur agraria adalah menyangkut masalah pembagian tanah, penyebaran dan distribusinya, yang pada gilirannya menyangkut hubungan kerja dan proses produksi. Dalam konsep struktur agraria tidak hanya berbicara mengenai kepemilikan lahan, melainkan bagaimana pola kebiasaan atau cara-cara yang melembaga untuk mengatur penguasaan atas sebidang tanah. Wiradi dan Makali (2009) mengemukakan bahwa bentuk-bentuk penguasaan lahan secara adat yang terdapat di Pulau Jawa secara garis besar adalah sebagai berikut: 1) Tanah Yasan, yaitu tanah yang diperoleh berkat usaha seseorang membuka hutan atau “tanah liar” untuk dijadikan tanah garapan. Dengan kata lain, hak seseorang atas tanah berasal dari fakta bahwa dia atau nenek moyangnya yang semula membuka tanah tersebut. 2) Tanah Gogolan, yaitu tanah pertanian milik masyarakat desa yang hak pemanfaatannya biasanya dibagi-bagi kepada sejumlah petani (biasanya disebut penduduk inti) secara tetap atau secaraa giliran berkala. Pemegang hak garap atas tanah ini tidak diberi hak untuk menjualnya atau memindahtangankan hak tersebut. 3) Tanah Titisara (Titisaro, Tanah Kas Desa, Tanah Bondo Deso), adalah tanah pertanian milik desa yang secara berkala bisa disakapkan atau disewakan dengan cara dilelang lebih dahulu. Hasilnya menjadi kekayaan desa yang biasanya digunakan untuk keperluan-keperluan desa. 4) Tanah Bengkok, yaitu tanah pertanian (umumnya sawah) milik desa yang diperuntukkan bagi pamong desa terutama kepala desa (lurah) sebagai “gaji”nya selama menduduki jabatan itu. Kepemilikan tanah tidak selalu mencerminkan penguasaan petani atas tanah yang dimiliki. Bisa saja petani tidak memiliki sebidang tanah secara formal, namun menguasai lahan yang cukup luas. Mulyanto et al. (2009) menyatakan bahwa meskipun tidak punya lahan atau hanya memiliki lahan terbatas, warga tetap berupaya mengambil manfaat dari lahan, meskipun harus menyewa lahan orang lain. Dengan demikian, sebagian rumah tangga yag tidak memiliki lahan atau sering disebut dengan petani tunakisma tetap dapat memperoleh tanah garapan, dan sebaliknya ada sebagian pemilik tanah yang tidak menggarap sama sekali (Wiradi 2008). Menurut Wiradi dan Makali (2009) pada kasus desa-desa di Pulau Jawa, ada beberapa kelembagaan atau kebiasaan setempat untuk mengatur pemilikan dan penguasaan atas lahan, antara lain: 1) Sistem gadai, yakni menyerahkan hak atas sebidang tanah kepada orang lain dengan pembayaran berupa uang tunai ataupun barang, dengan ketentuan pemilik tanah akan memperoleh hak kembali dengan jalan menebusnya.
7
Umumnya sistem gadai dilakukan oleh petani berlahan sempit kepada petani berlahan luas karena desakan kebutuhan. 2) Sistem sewa, yakni penyerahan sementara hak penguasaan tanah kepada orang lain, sesuai dengan perjanjian yang dibuat bersama pemilik dan penyewa. 3) Bagi hasil, yakni penyerahan sementara hak atas tanah kepada oranglain untuk diusahakan, dengan perjanjian si penggarap akan menanggung beban tenaga kerja keseluruhan dan menerima sebagian dari hasil tanahnya. Besar kecilnya bagian hasil yang harus diterima oleh masing-masing pihak pada umumnya disepakat bersama oleh petani pemilik dan penggarap sebelum penggarap mulai pengusahakan tanahnya. Konsep Penghidupan di Pedesaan Konsep penghidupan rumah tangga didefinisikan sebagai upaya pengadaan cadangan dan pasokan makanan serta uang tunai untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. “Penghidupan” mengandung unsur kemampuan sumber daya alam dan sosial, saluran perolehan sumber-sumber daya tersebut, serta kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk mempertahankan hidup rumah tangga (Mulyanto et al. 2009). Desa terdiri dari rumah tangga petani dengan kegiatan produksi, konsumsi dan investasi sebagai hasil dari keputusan keluarga secara bersama. Dalam hal ini, anggota rumah tangga dipandang sebagai satu kesatuan yang membangun struktur nafkah, dalam hal pendapatan, pengeluaran, dan investasi. Dengan demikian, sebagai besar rumah tangga di pedesaan akan mengerakkan anggota rumah tangganya yang dianggap telah mampu menjadi tenaga kerja untuk mencari nafkah sebagai penambah sumber pendapatan. Mulyanto et al. (2009) menyatakan bahwa sumber daya penghidupan meliputi sumber daya alam seperti kesuburan tanah, cuaca dan iklim, vegerasi, air dan perubahan-perubahannnya, serta sumber daya sosial meliputi komposisi dan jumlah anggota rumah tangga dan politik atau kekuasaan, sedangkan lembaga-lembaga sosial hanya berberperan sebagai arena atau “aturan main” bagi kegiatan pengalihan sumber daya. Konsep Strategi Nafkah Dharmawan (2007) menyatakan bahwa bentuk-bentuk strategi nafkah yang terbangun akan sangat ditentukan bagaimana petani dan rumah tangganya “memainkan peran” kombinasi sumber daya nafkah (livelihood resources) yang tersedia bagi mereka. Menurut Ellis (2000) terdapat 5 jenis livelihood resources yang dapat dimanfaatkan untuk bertahan hidup atau sekerdar mempertahankan krisis ekonomi serta mengembangkan derajat untuk menghadapi krisis, yaitu: finansial capital, physical capital, natural capital, human capital, dan social capital. 1) Modal sumber daya manusia (human capital) meliputi jumlah (populasi manusia), tenaga kerja yang ada dalam rumahtangga, tingkat pendidikan, dan status kesehatannya.
8
2) Modal alam (natural capital) meliputi segala bentuk sumber daya alam seperti air, tanah, hewan, udara, pepohonan yang menghasilkan pangan, dan sumberdaya lainnya yang dapat dimanfaatkan manusia untuk keberlangsungan hidupnya. 3) Modal sosial (social capital) yakni berupa jaringan sosial dan lembaga sebagai pola hubungan yang mengatur seorang untuk berpartisipasi dan memperoleh dukungan kerja untuk kelangsungan hidupnya. 4) Modal finansial (financial capital and substitutes) merupakan saluran keuangan yang dapat dimanfaatkan dalam memenuhi kebutuhan hidup, yakni berupa tabungan dan kredit dalam bentuk bantuan dan persediaan uang tunai yang bisa diakses untuk keperluan produksi dan konsumsi. 5) Modal fisik (physical capital) yaitu berbagai benda yang dimiliki untuk menunjang proses produksi, meliputi mesin, alat-alat, instrumen dan berbagai benda fisik lainnya. Rumah tangga akan memanfaatkan beragam sumber daya yang dimiliki untuk memasuki saluran-saluran penghidupan. Berbagai strategi nafkah dilakukan oleh rumah tangga untuk memperoleh pendapatan, baik dari sektor pertanian maupun non-pertanian. Scoones (1998) membagi tiga klasifikasi strategi nafkah (livelihood strategy) yang mungkin dilakukan oleh rumah tangga petani, yaitu: 1) Rekayasa sumber nafkah pertanian, yang dilakukan dengan memanfaatkan sektor pertanian secara efektif dan efisien baik melalui penambahan input eksternal seperti teknologi dan tenaga kerja (intensifikasi), maupun dengan memperluas lahan garapan (ekstensifikasi). 2) Pola nafkah ganda (diversifikasi), yang dilakukan dengan menerapkan keanekaragaman pola nafkah dengan cara mencari pekerjaan lain selain pertanian untuk menambah pendapatan, atau dengan mengerahkan tenaga kerja keluarga (ayah, ibu dan anak) untuk ikut bekerja selain di sektor pertanian sehingga memperoleh pendapatan. 3) Rekayasa spasial (migrasi), merupakan usaha yang dilakukan dengan melakukan mobilitas ke daerah lain di luar desanya, baik secara permanen maupun sirkuler untuk memperoleh pendapatan. Sektor pertanian dan non-pertanaian memegang peran penting dalam menentukan struktur pendapaan. Menurut Ellis (1998) dalam Widiyanto (2009) pembentuk strategi nafkah dibedakan menjadi tiga, yaitu: 1. Berasal dari on-farm: Strategi nafkah yang didasarkan dari sumber hasil pertanian dalam arti luas (pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan, dll) 2. Berasal dari off-farm: Strategi nafkah dalam kerja pertanian berupa upah tenaga kerja pertanian, sistem bagi hasil (harvest share system), konrak upah tenaga kerja non upah dan lain-lain. 3. Berasal dari non-farm: Sumber pendapatan berasal dari luar kegiatan pertanian yang dibagi menjadi lima, yaitu: upah tenaga kerja pedesaan bukan pertanian, usaha sendiri di luar kegiatan pertanian, pendapatan dari hak milik (misalnya: sewa), kiriman dari buruh migran yang pergi ke kota, dan kiriman dari buruh migran yang pergi ke luar negeri Sumarti (2007) menyatakan bahwa ketimpangan ekonomi dan sosial berimplikasi pada perilaku petani beragam lapisan dalam upaya mengatasi mengatasi kemiskinan dan meningkatkan taraf hidupmya. Petani kaya
9
mengembangkan ragam nafkah dengan dengan menggunakan tenaga kerja dalam rangka akumulasi modal serta pengembangan partisipasi kelembagaan, sedangkan pada petani miskin cenderung survival (bertahan hidup). Berbagai cara ditempuh penduduk miskin untuk mempertahankan kehidupannya mulai dari mengembangkan strategi penganekaragaman jenis pekerjaan di sektor pertanian maupun non-pertanian. Di sektor pertanian mereka bekerja sebagai petani pemilik maupun petani penggarap, sedangkan di sektor non-pertanian mereka bekerja sebagai buruh bangunan, buruh pabrik, buruh industri dan pegawai negeri (Kutanegara 2000). Kerangka Pemikiran Rumah tangga petani tunakisma adalah rumah tangga petani yang tidak memiliki lahan secara formal, namun pada kesempatan tertentu mereka dapat menguasai lahan melalui sistem sewa maupun bagi hasil. Pada umumnya, lahan yang dikuasai oleh rumah tangga petani tunakisma seringkali tidak mampu mencukupi segala kebutuhan anggota rumah tangganya, sehingga mereka harus mencari pekerjaan lain di sektor non-pertanian. Rumah tangga petani tunakisma akan memanfaatkan beragam sumber daya yang dimiliki dalam membantu kehidupan ekonomi rumah tangganya. Sumber daya tersebut terdiri atas sumber daya manusia, modal alam berupa lahan pertanian, modal fisik, modal finansial dan modal sosial. Kelima modal tersebut akan mempengaruhi arah strategi nafkah yang dilakukan suatu rumah tangga. Anggota rumah tangga dapat memasuki beragam pekerjaan yang ditawarkan, mulai dari sektor petanian maupun nonpertanian. Di sektor pertanian, petani yang tidak memiliki lahan hanya dapat bekerja sebagai buruh tani dan petani penggarap dengan sistem sewa maupun bagi hasil, sedangkan di sektor non-pertanain anggota rumah tangga dapat kerja mulai dari usaha di bidang jasa maupun non-jasa. Setiap pendapatan yang diterima anggota rumah tangga yang bekerja akan membentuk struktur pendapatan yang terdiri atas pendapatan dari sektor pertanian dan non-pertanian.
10
Livelihood Resources Struktur Anggota Rumah Tangga 1. Jumlah tenaga kerja 2. Umur/Usia 3. Tingkat pendidikan 4. Jenis Kelamin
Akses pada Lahan Pertanian 1. Tingkat ketunakismaan 2. Status penguasaan lahan
Akses pada Modal Akses pada Modal Keuangan Keuangan 1. Modal sendiri/tabungan 1. Tabungan/investasi Pinjaman 2.2. Kredit (pinjaman)
Kepemilikan Modal Fisik 1. Kepemilikan aset produksi pertanian 2. Kepemilikan aset rumah tangga
Pemanfaatan Hubungan Sosial 1. Hubungan kekerabatan/tetangga 2. Perkenalan/jaringan luar desa 3. Kelompok tani
Pilihan Strategi Nafkah 1. Rekayasa sumber nafkah pertaniaan 2. Pola nafkah ganda 3. Rekayasa spasial (migrasi)
Pertanian - Petani penggarap - Buruh tani
Stuktur Pendapatan Rumah Tangga 1. Tingkat pendapatan pertanian 2. Tingkat pendapatan non-pertanian
Keterangan: : Berhubungan : Bagian dari pekerjaan yang bisa dilakukan Gambar 1 Kerangka analisis penelitian
-
Non-pertanian Jasa Non-jasa Kiriman
11
Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dirumuskan maka dapat disusun hipotesis penelitian sebagai berikut: 1. Diduga terdapat hubungan antara pemanfaatan livelihood resources yang terdiri atas struktur anggota rumah tangga, akses pada lahan pertanian, kepemilikan modal fisik, akses pada modal keuangan dan pemanfaatan hubungan sosial yang dilakukan rumah tangga,kio menentukan strategi nafkah yang dibangun rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga. 2. Diduga rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga akan melakukan beragam strategi nafkah untuk memperoleh pendapatan. 3. Diduga peran sektor pertanian dan non-pertanian memiliki kontribusi dalam pembentukan struktur pendapatan rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga. Definisi Konseptual 1. Rumah tangga petani tunakisma adalah rumah tangga yang salah satu anggota rumah tangganya bekerja di lahan pertanian, namun tidak memiliki lahan berdasarkan status kepemilikan formal. Mereka yang tidak memiliki lahan dapat bekerja sebagai petani penggarap di lahan milik orang lain dengan sistem sewa, bagi-hasil, tanah gadai atau hanya bekerja sebagai buruh tani upahan. 2. Struktur anggota rumah tangga adalah human capital yang menjadi modal utama rumah tangga petani tunakisma, berupa tenaga kerja yang tersedia di dalam rumah tangga pada tingkat usia, tingkat pendidikan dan jenis kelamin tertentu. 3. lahan pertanian adalah sumber daya alam yang dimanfaatkan petani tunakisma untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan pertanian. Lahan pertanian yang dimafaatkan petani tunakisma di Desa Rajasinga terdiri atas lahan pertanian di hutan dan sawah irigasi. 4. Modal fisik adalah berbagai benda yang dimiliki untuk menunjang proses produksi pertanian seperti: cangkul, mesin pembajak dan lainnya. Selain itu, modal fisik juga mencangkup peralatan lain yang dimiliki di luar pertanian dan dimanfaatkan untuk memperoreh pendapatan, seperti: sepeda motor, angkot, mesin jahit, warung kecil dan lainnya. 5. Modal finansial adalah saluran keuangan yang dapat dimanfaatkan untuk mengelola sumber daya dalam memenuhi kebutuhan hidup, yakni berupa tabungan dan kredit dalam bentuk uang tunai. 6. Modal sosial menurut berupa jaringan sosial dan lembaga sebagai pola hubungan yang mengatur seorang untuk berpartisipasi dan memperoleh dukungan kerja untuk kelangsungan hidupnya. Modal sosial juga diartikan sebagai pemanfaatan hubungan-hubungan sosial yang dibangun dan dipelihara oleh rumah tangga untuk memperoleh pekerjaan maupun bantuan-bantuan lain.
12
Definisi Operasional 1. Jenis kelamin adalah pembedaan petani secara biologis. Jenis kelamin dapat digolongkan menjadi dua kategori: a) Laki-laki (Kode 1) b) Perempuan (Kode 2) 2. Umur/usia adalah rentang kehidupan yang diukur dengan tahun. Kategori variabel umur diperoleh dari data di lapang. Umur dapat digolongkan menjadi 4 kategori: a) Umur antara 15-29 tahun (Kode 1) b) Umur antara 30-44 tahun (Kode 2) c) Umur antara 35-59 tahun (Kode 3) d) Umur ≥ 60 tahun (Kode 4) 3. Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang dijalani. Kategori tingkat pendidikan diperoleh dari data di lapang. Tingkat pendidikan dapat digolongkan menjadi 4 kategori: a) Tidak lulus SD (Kode 1) b) lulus SD (Kode 2) c) Lulus SMP/sederajat (Kode 3) d) Lulus SMA/sederajat (Kode 4) 4. Jumlah tenaga kerja adalah jumlah anggota rumah tangga yang sedang bekerja untuk memperoleh pendapatan. Kategori jumlah tenaga kerja diperoleh dari data di lapang. Jumlah tenaga kerja dapat digolongkan menjadi tiga kategori: a) ≤ 2 orang (Kode 1) b) 3-4 orang (Kode 2) c) ≥ 5 orang (Kode 3) 5. Status penguasaan lahan adalah status tanah yang digarap oleh petani tunakisma dan pada dasarnya sesuai dengan kebiasaan atau aturan yang berlaku dalam suatu masyarakat. Status penguasaan lahan digolongkan menjadi 4 kategori: a) Tanah gadai : sebidang tanah milik orang lain yang diserahkan hak penguasaanya kepada orang lain dengan pembayaran berupa uang tunai ataupun barang dan akan memperoleh hak kembali dengan jalan menebusnya. (Kode 1) b) Sistem sewa: penyerahan sementara hak penguasaan tanah kepada orang lain, bersarnya harga sewa sesuai dengan perjanjian yang menjadi kesepakatan bersama antara pemilik dan penyewa. (Kode 2) c) Sistem lanja: penyerahan hak penguasaan tanah kepada orang lain, banyaknya gabah sebagai ganti biaya sewa ditentukan atas dasar kesempatan bersama antara pemilik dan penggarap. (Kode 3) d) Bagi-hasil: petani diberi hak untuk mengusahakan lahan yang ada dan pemilik lahan memperoleh sebagian hasil dari tanahnya sesuai dengan kebiasaan yang berlaku. (Kode 4) 6. Tingkat ketunakismaan merupakan lapisan rumah tangga petani tunakisma berdasarkan ada atau tidaknya lahan garapan yang dikuasai berdasarkan status kepemilikan sementara. Tingkat ketunakismaan dibedakan menjadi dua kategori, yaitu:
13
a) Tunakisma mutlak, tidak memiliki lahan garapan berdasarkan status kepemilikan sementara. (Kode 1) b) Tunakisma tidak mutlak, memiliki lahan garapan berdasarkan status kepemilikan sementara. (Kode 2) 7. Rumah tangga petani tunakisma dapat dibedakan berdasarkan lapisan penguasaan lahan pertanian. Berdasarkan data di lapang kategori rumah tangga tersebut dibedakan menjadi: a) Penggarap (Kode 1) b) Penggarap+buruh tani (Kode 2) c) Buruh tani (Kode 3) 8. Luas lahan diukur berdasarkan luas lahan garapan yang dikuasai oleh petani tunakisma berdasarkan status kepemilikan sementara. a) 0 ha (Kode 1) b) 0,01-0,5 ha (Kode 2) c) 0,51- 1 ha (Kode 3) d) >1 ha (Kode 4) 9. Kepemilikan alat produksi rumah tangga merupakan alat-alat pertanian yang digunaka dalam bekerja di lahan pertanian. Berdasarkan data di lapang, kepemilikan modal fisik dapat di kategorikan menjadi: a) Cangkul (Kode 1) b) Arit (Kode 2) c) Gebotan (Kode 3) d) Gelaran (Kode 4) e) Pedangan (Kode 5) f) Tank semprot (Kode 6) g) Mesin diesel (Kode 7) 10. Kepemilikan aset rumah tangga merupakan benda atau barang yang dimiliki rumah tangga untuk mencari nafkah. Berdasarkan data di lapang, kepemilikan aset rumah tangga dapat dikatergorikan menjadi: a) Sepeda (Kode 1) b) Kendaraan beroda 2 (Kode 2) c) Becak (Kode 3) d) Warung (Kode 4) e) Peralatan bangunan (Kode 5) f) Alat musik suling (Kode 6) 11. Akses pada modal keuangan diukur berdasarkan sumber modal yang menjadi pilihan responden untuk membuka usaha atau sebatas memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Berdasarkan data di lapang, akses pada modal keuangan dapat di kategorikan menjadi: a) Modal sendiri/tabungan (Kode1) b) Pinjaman (kode 2) 12. Pemanfaatan modal sosial merupakan hubungan sosial yang dipilih rumah tangga petani tunakisma untuk membantu kehidupan anggota rumah tangganya. Berdasarkan data di lapang, pemanfaatan modal sosial dapat di kategorikan menjadi: a) Kerabat/tetangga (Kode 1) b) Perkenalan/jaringan luar desa (Kode 2) c) Kelompok tani (Kode 3)
14
13. Strategi nafkah adalah cara-cara yang dilalukan suatu rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan hidup. Scoones (1998) membagi tiga klasifikasi strategi nafkah (livelihood strategy) yang mungkin dilakukan oleh rumah tangga petani, yaitu: a) Rekayasa sumber nafkah pertanian, yang dilakukan dengan memanfaatkan sektor pertanian secara efektif dan efisien baik melalui penambahan input eksternal seperti teknologi dan tenaga kerja (intensifikasi), maupun dengan memperluas lahan garapan (ekstensifikasi). (Kode 1) b) Pola nafkah ganda (diversifikasi), yang dilakukan dengan menerapkan keanekaragaman pola nafkah dengan cara mencari pekerjaan lain selain pertanian untuk menambah pendapatan, atau dengan mengerahkan tenaga kerja keluarga (ayah, ibu dan anak) untuk ikut bekerja selain di sektor pertanian sehingga memperoleh pendapatan. (Kode 2) c) Rekayasa spasial (migrasi), merupakan usaha yang dilakukan dengan melakukan mobilitas ke daerah lain di luar desanya, baik secara permanen maupun sirkuler untuk memperoleh pendapatan. (Kode 3) 14. Tingkat pendapatan pertanian adalah total uang yang diterima oleh rumah tangga dari bekerja di sektor pertanian. Pekerjaan tersebut terdiri dari: petani penggarap dengan sistem sewa, bagi hasil, tanah gadai dan buruh tani 15. Tingkat pendapatan non-pertanian adalah total uang yang diterima oleh rumah tangga dari bekerja di sektor non-pertanian sebagai pengrajin, buruh pabrik, pedagang kecil-menengah, sopir angkot, ojek dan lainnya. Selain itu, pendapatan non-pertanian juga terdiri atas kiriman dari pekerja migran, yakni total uang yang diterima oleh rumah tangga dari upah yang diterima anggota rumah tangganya yang bekerja di luar desa. 16. Pendapatan total adalah gabungan jumlah uang yang diterima rumah tangga dari bekerja di sektor pertanian dan non-pertanian.
METODELOGI PENELITIAN Metode penelitian berisi informasi mengenai pendekatan penelitian, jenis data, lokasi dan waktu penelitian, teknik pengumpulan data serta teknik pengolahan dan analsis data. Berikut uraian dari masing-masing bagian berikut.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung dengan pendekatan kualitatif. Paduan kedua pendekatan diharapkan mampu menjawab masalah penelitian terkait strategi nafkah rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga, kecamatan Terisi, Kabupaten Indramayu. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan metode survey kepada kepala rumah tangga petani tunakisma yang menjadi responden. Penelitian survey adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang lengkap (Singarimbun dan Effendi 1989). Pendekatan kualitatif dilakukan melalui pendekatan lapang secara langsung. Data kualitatif diperoleh melalui wawancara mendalam dan observasi. Wawancara mendalam dilakukan kepada responden dan informan dengan panduan pertanyaan untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat. Jenis Data, Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan skunder. Data primer diperoleh melalui penelitian langsung dengan menggunakan instrumen kuesioner dan wawancara mendalam kepada responden dan informan. Sementara data skunder diperoleh dari data monografi desa, dokumen kependudukan dan hasil penelitian-penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan di Desa Rajasinga, Kecamatan Terisi, Kabupaten Indramayu. Penelitian dilakukan di Desa Rajasinga, Kecamatan Terisi, Kabupaten Indramayu. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan mempertimbangkan bahwa Desa Rajasinga merupakan desa pertanian yang mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani, baik petani yang memiliki lahan maupun petani tunakisma yang bekerja di sektor pertanian sebagai buruh tani maupun petani pengarap. Sebelum menentukan lokasi penelitian, peneliti melakukan observasi melalui penjajakan ke lokasi penelitian dan penelusuran literatur yang terkait dengan lokasi penelitian. Lama pelaksanaan penelitian mulai dari penyusunan proposal hingga selesai proses penelitian sekitar enam bulan. Kegiatan penelitian meliputi penyusunan proposal skripsi, kolokium, pengambilan data lapangan, pengolahan data dan analisis data, penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan laporan penelitian. Pengambilan data di lapang dilakukan selama 6 minggu, meliputi kegiatan pengumpulan data kuantitatif dengan instrumen kuesioner dan pengumpulan data kualitatif sebagai pendukung data kuantitatif.
16
Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data kuantitatif dilakukan dengan menggunakan instrumen kuesioner. Penggumpulan data kualitatif dilakukan dengan wawancara mendalam dan observasi. Pengumpulan data dijelaskan pada Tabel 1. Tabel 1 Metode pengumpulan data Data yang dikumpulkan
Teknik pengumpulan data Kuantitatif - Karakteristik responden (Kuesioner) - Data komposisi anggota rumah tangga - Pemanfaatan livelihood resource - Struktur pendapatan rumah tangga petani tunakisma, meliputi: pendapatan pertanian, pendapatan dan non-pertanian. Wawancara - Penyebab rumah tangga petani tidak mendalam memiliki lahan. - Kesempatan-kesempatan kerja di sektor pertanian dan non-pertanian. - Strategi nafkah yang dibangun oleh rumah tangga dan alasan yang menyertainya. - Peran sektor pertanian dan non-pertanian dalam menopang kehidupan ekonomi. Observasi - Aktivitas yang dilakukan rumah tangga petani tunakisma untuk memperoleh pendapatan. Analisis - Gambaran umum desa melalui data dokumen monografi. - Potensi desa
Sumber data
- Responden
- Responden - Petani yang memiliki lahan - Tokoh Masyarakat
- Responden - Data pemerintah desa
Populasi sasaran dalam penelitian ini adalah seluruh rumah tangga petani di Desa Rajasinga, Kecamatan Terisi, Kabupaten Indramayu yang tidak memiliki lahan. Dalam pendekatan kuantitatif responden dipilih untuk menjadi target survey. Unit analisis dalam penelitian ini adalah rumah tangga. Pemilihan responden dilakukan dengan teknik pengambilan sampel acak sederhana (Simple Random Sampling). Teknik ini dipilih karena populasi yang menjadi sasaran bersifat homogen, terdapat daftar kerangka sampling serta keadaan populasi tidak terlalu tersebar secara geografis (Singarimbun dan Effendi1989). Jumlah sampel yang akan dijadikan responden berjumlah 35 orang. Jumlah ini dirasa cukup untuk memenuhi reliabilitas dan validitas data yang dihasilkan. Sebelumnya peneliti melakukan pendataan ke 34 RT yang tersebar ke dalam 7 RW di Desa Rajasinga. Hal ini dilakukan untuk memperoleh kerangka sampling penelitian berupa daftar nama kepala rumah tangga yang merupakan rumah tangga petani tunakisma. Berdasarkan data monografi Desa Rajasinga tahun 2011 terdapat 2 071 rumah tangga dengan beragam profesi dan data primer tahun 2013 mencatat terdapat 597 rumah tangga petani tunakisma. Daftar kerangka samping dan responden dapat dilihat pada lampiran 1.
17
Pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan menggunakan metode wawancara mendalam terhadap responden maupun informan. Informan dipilih secara purposive atau sengaja. Informan dalam penelitian ini berasal dari berbagai kalangan mulai dari kepala aparat desa, tokoh masyarakat, petani pemilik lahan. Adapun panduan wawancara bisa dilihat pada Lampiran 3. Selain itu data kualitatif juga diperoleh melalui observasi lapang di lokasi penelitian guna melihat fenomena faktual yang terjadi dan juga mengkaji dokumen yang ada seperti data monografi desa dan data pertanian di Desa Rajasinga, Kecamatan Terisi, Kabupaten Indramayu. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh dalam penelitian ini baik secara kuantitatif maupun kualitatif diolah dengan cara mereduksi bagian-bagian terpenting sehingga menjawab masalah penelitian yang diajukan. Data kuantitatif yang diperoleh melalui kuesioner kemudian diolah dengan proses coding menggunakan Microsoft Excel 200, ditabulasi kemudian dianalisis secara deskriptif. Tabulasi silang digunakan untuk menggambarkan hubungan antar dua variabel atau lebih dan mempermudah dalam membaca serta memahami data. Data tersebut kemudian diinterpretasikan dan ditarik kesimpulan berdasarkan hipotesis yang sudah ada. Data kualitatif dari wawancara mendalam dan observasi disajikan secara deskriptif untuk mendukung dan memperkuat analisis kuantitatif. Gabungan dari data kuantitatif dan kualitatif diolah dan dianalisis selanjutnya disajikan dalam bentuk teks naratif, matriks, dan gambar. Tahap terakhir yaitu menarik kesimpulan sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian.
18
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Bagian ini membahas lokasi penelitian yang terdiri atas gambaran umum mengenai kondisi geografis, kondisi demografis, kondisi sosial dan kondisi infrastruktur desa. Gambaran umum tersebut perlu diketahui sebagai pengantar hasil penelitian yang telah dilakukan.
Kondisi Geografis Gambaran umum mengenai kondisi geografis merupakan gambaran mengenai lokasi penelitian yang dilihat berdasarkan bentang alam. Desa Rajasinga merupakan daerah dataran rendah dengan ketinggian 13 meter di atas permukaan laut. Hal ini yang menyebabkan daerah ini mempunyai suhu rata-rata harian yang cukup tinggi. Desa Rajasinga adalah salah satu desa yang terletak di Kecamatan Terisi, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Lokasi desa merupakan pusat pemerintahan Kecamatan Terisi sehingga hampir seluruh kantor pemerintahan (kantor camat, Koramil, Polsek, Kantor Urusan Agama) berada di Desa Rajasinga. Jarak Desa Rajasinga ke kota kabupaten adalah 13 km. Desa yang memiliki luas wilayah 570 ha dengan 7 071 jiwa berbatasan dengan wilayahwilayah sebagai berikut: Sebelah utara Sebelah Timur Sebelah Selatan Sebelah Barat
: Desa Karangasem : Desa Cikedung : Desa Jatimunggul : Desa Plosokerep
Luas wilayah 570 ha dimanfaatkan untuk lahan sawah dan lahan bukan sawah, seperti: lahan pemukiman, perkantoran, pekarangan, kuburan dan lainnya. Luas lahan yang dimanfaatkan untuk persawahan sebanyak 496 ha dan yang bukan sawah sebanyak 74 ha. Hal ini menunjukkan bahwa 87 persen lahan yang terdapat di Desa Rajasinga dimanfaatkan untuk lahan sawah dan hanya 13 persen yang dimanfaatkan untuk lahan bukan sawah. Lahan persawahan seluas 496 ha memiliki jenis irigasi yang beragam. Klasifikasi lahan pertanian menurut jenis irigasi di Desa Rajasinga dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Luas lahan menurut jenis irigasi di Desa Rajasinga No Jenis Irigasi Luas Lahan (ha) 1 Teknis 236 2 ½ Teknis 260 3 Tersier 4 Tadah hujan Total 496 Sumber: Potensi Kecamatan Terisi, 2011
Tabel 2 menunjukkan bahwa lahan persawahan di Desa Rajasinga terdiri atas dua jenis irigasi, yakni teknis dan ½ teknis. Lahan tersebut sebagian besar di manfaatkan untuk penanaman padi. Dalam setahun sebagian besar lahan dapat
20
digunakan untuk dua kali panen padi. Rata-rata curah hujan tertinggi berada pada bulan Januari dan Februari, yakni sekitar 195 mm sehingga masyarakat kegiatan nandur pada awal bulan Januari untuk musim tanam pertama. Selain padi, hasil pertanian lainnya adalah sayuran, palawija dan mangga. Rata-rata produktivitas padi di Desa Rajasinga mencapai 50 kw/ha. Hasil dari kegiatan usaha tani padi merupakan sumber pendapatan utama dari rumah tangga petani yang tinggal di Desa Rajasinga. Kondisi Demografis Desa Rajasinga terdiri atas lima blok yaitu blok Rajasinga, Terisi, Embos, Karangturi dan Sukawera. Masyarakat terbagi ke dalam tujuh RW dan 37 RT. Di Blok Rajasinga terdapat tiga RW, di Blok Terisi terdapat tiga RW dan di tiga blok berikutnya masyarakat tersebar dalam satu RW. Berdasarkan data Monografi desa tahun 2011, penduduk Desa Rajasinga adalah masyarakat asli dan pendatang yang berjumlah 7 071 jiwa, dengan proporsi laki-laki 3 693 jiwa dan perempuan 3 378 jiwa. Total jiwa tersebut terbagi dalam 2 071 kepala rumah tangga. Klasifikasi jumlah dan persentase penduduk menurut kelompok umur dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Jumlah dan persentase penduduk menurut kelompok umur di Desa Rajasinga No Kelompok umur (tahun) Jumlah (jiwa) Persentase (%) 1 0-4 568 8.03 2 5-14 1 389 19.64 3 15-29 1 860 26.31 4 30-59 2 726 38.55 5 ≥60 528 7.47 Total 7 071 100.00 Sumber: monografi Desa Rajasinga, 2011
Tabel 3 menunjukkan bahwa jumlah usia produktif (usia kerja) di Desa Rajasinga lebih banyak dari pada usia non-produktif. Rusli (1995) menyatakan bahwa usia kerja yang dimaksud yakni antara usia 10 sampai 64 tahun. Sebagian besar penduduk berada pada rentang usia kerja tersebut, namun tidak semua penduduk yang termasuk dalam usia kerja tergolong dalam angkatan kerja yang aktif secara ekonomi. Penduduk Desa Rajasinga merupakan penduduk dataran rendah yang mayoritas bekerja di sektor pertanian. Selain bekerja di sektor pertanian, sebagain dari penduduk Desa Rajasinga bekerja di sektor non-pertanian. Mata pencaharian masyarakat Rajasinga sebagian besar adalah bertani dan berniaga, diikuti sebagai pegawai atau karyawan dan industri kecil. Industri kecil utama yang berkembang di Desa Rajasinga adalah batu bata (bata merah). Penjualan bata merah tidak hanya untuk lingkungan setempat, namun sudah dipasarkan sampai ke kota-kota, seperti: Cirebon, Jakarta, Subang, Karawang dan Bekasi. Jumlah dan persentase penduduk Desa Rajasinga menurut jenis mata pencaharian dapat dilihat pada Tabel 4.
21
Tabel 4 Jumlah dan persentase penduduk menurut jenis mata pencaharian di Desa Rajasinga No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jenis mata matapencaharian PNS TNI/POLRI Pensiunan Pedagang Petani Buruh Pelajar Mahasiswa Lainnya Total
Jumlah (jiwa) 73 13 67 218 1 075 2 156 1 164 66 2 239 7 071
Persentase (%) 1.03 0.18 0.95 3.08 15.21 30.49 16.46 0.93 31.67 100.00
Sumber: monografi Desa Rajasinga, 2011
Tabel 4 menunjukkan bahwa sebanyak 2 156 jiwa penduduk bekerja sebgai buruh dan diikuti oleh sebanyak 1 075 jiwa penduduk bekerja sebagai petani. Cukup sulit bagi masyarakat memperoleh pekerjaan sebagai PNS, TNI/POLRI dan pekerjaan lainnya yang membutuhkan tingkat pendidikan tertentu karena pada dasarnya penduduk Desa Rajasinga memiliki tingkat pendidikan yang tergolong rendah. Mereka hanya dapat memasuki pekerjaan yang tidak membutuhkan persyaratan tingkat pendidikan. Selain memiliki pekerjaan utama maka sebagian dari penduduk Desa Rajasinga memiliki pekerjaan sampingan untuk menambah pendapatan rumah tangga. Jenis pekerjaan yang dilakukan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Jumlah dan persentase penduduk Desa Rajasinga menurut tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Jumlah dan persentase penduduk menurut tingkat pendidikan di Desa Rajasinga No Tingkat Pendidikan Jumlah (jiwa) Persentase (%) 1 Tidak/belum sekolah 1 347 19.05 2 Tidak tamat SD 2 127 30.08 3 Tamat SD 2 552 36.09 4 Tamat SMP 648 9.16 5 Tamat SMA 258 3.66 6 Tamat Perguruan Tinggi 139 1.96 Total 7 071 100.00 Sumber: Data monografi Desa Rajasinga, 2011
Tabel 5 menunjukkan bahwa jumlah terbesar penduduk Desa Rajasinga berada pada tingkat pendidikan tamat SD sebanyak 2 552 jiwa, diikuti oleh tingkat pendidikan tidak tamat SD sebanyak 2 127 jiwa. Rendahnya tingkat pendidikan disebabkan karena keterbatasan ekonomi dan keinginan orangtua serta anak untuk melanjutkan sekolah. Sarana dan prasarana pendidikan di Desa Rajasinga sudah cukup lengkap, mulai dari tingkat TK hingga SMA sudah tersedia.
22
Kondisi Sosial Penduduk Desa Rajasinga merupakan penduduk dataran rendah yang mayoritas bekerja di sektor pertanian. Mereka tinggal dalam rumah-rumah yang lokasinya berdekatan dengan tetangga sehingga sering terjadi interaksi. Dalam satu RT biasanya dihuni oleh mereka yang masih memiliki ikatan kekerabatan sehingga derajat saling mengenal antara satu penduduk dengan penduduk yang lain relatif tinggi. Penduduk Desa Rajasinga sebagian besar beragama Islam dan 25 orang dari keseluruhan jumlah penduduk beragama kristen. Aktivitas keagaman yang terdapat di Desa Rajasinga cukup maju terlihat dari minat orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya ke pesantren maupun mengikuti berbagai macam kegiatan keagamaan di desa, seperti: pengajian, Taman Belajar Alquran serta terdapat fasilitas keagaman yang memadai. Di Desa Rajasinga terdapat empat masjid dan 20 mushola. Berdasarkan Penguasan lahan di Desa Rajasinga, petani dibagai atas: petani pemilik, penyewa, penggarap dan buruh tani. Lahan pertanian masih menjadi modal utama masyarakat mencari nafkah. Semakin luas lahan yang digarap maka semakin tinggi tingkat pendapatan dari usaha tani. Petani tunakisma yang tidak memiliki lahan garapan yang paling sedikit memperoleh manfaat dari lahan pertanian karena mereka hanya dapat bekerja sebagai buruh tani yang tidak memiliki penghasilan pasti. Infrastruktur Desa Desa Rajasinga terdiri atas lima blok, yaitu Rajasinga, Terisi, Embos, Karangturi dan Sukawera. Sarana dan prasarana di Desa rajasinga cukup memadai, namum belum tersebar merata di setiap blok. Jumlah dan persentase layanan kesehatan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Jumlah layanan kesehatan di Desa Rajasinga No Layanan kesehatan Jumlah 1 Puskesmas 1 2 Pos kades 1 3 Posyandu 9 4 Dokter 1 5 Bidan 3 6 Paramedis 2 7 Dukun bayi 4 Total 21 Sumber: Potensi Kecamatan Terisi, 2011
Blok Rajasinga merupakan pusat pemerintahan desa dan berbatasan langsung dengan Blok Terisi. Hal ini yang mengakibatkan sarana dan prasarana desa umumnya hanya tersebar di dua blok tersebut. Demikian juga gedunggedung sekolah yang hanya terdapat di Blok Rajasinga dan Terisi. Jumlah dan persentase sarana pendidikan yang terdapat di Desa Rajasinga dapat dilihat pada Tabel 7.
23
Tabel 7 Jumlah dan persentase sarana pendidikan yang terdapat di Desa Rajasinga No Sarana Pendidikan Jumlah 1 TK 1 2 SD 3 3 SMP 3 4 SMA 2 Total 9 Sumber: Potensi Kecamatan Terisi, 2011
Di blok Embos hanya terdapat satu SD yang merupakan sekolah pengembangan dari SDN 3 Rajasinga, namun hanya terdiri atas 3 ruang kelas. Muris kelas 1 dan 2 SD belajar dalam satu kelas, sedangkan murid kelas 3 dan 4 SD memiliki ruang kelas masing-masing. Saat masuk kelas 5 SD maka anak-anak harus sekolah ke SD lain yang letaknya cukup jauh dari blok Embos, meskipun masih dalam Desa Rajasinga. Selain sarana pendidikan, akses jalan menuju Embos kurang mamadai, lebarnya kurang lebih 3 meter, tidak diaspal dan penuh dengan batu serta lubang-lubang. Hal ini yang menghambat aktivitas sekolah anak-anak sehingga banyak yang berhenti di kelas 4 SD. Selain itu, akses jalan yang tidak memadai menyulitkan masyarakat dalam aktivitas ekonomi, baik menjual hasil pertanian langsung ke pasar atau sekedar membeli kebutuhan rumah tangga. Ikhtisar Desa Rajasinga merupakan dataran rendah yang moyaritas penduduknya bekerja sebagai petani. Sebagian besar lahan yang ada di Desa Rajasinga dimanfaatkan untuk lahan sawah. Hasil pertanian yang menjadi komoditas utama adalah padi dengan jenis ciherang. Petani dapat menanam padi dua kali setahun sesuai musim hujan. Selain petani, pekerjaan lain penduduk Desa Rajasinga adalah pedagang, buruh, PNS, TNI/POLRI, pensiunan dan lainnya. Tingkat pendidikan penduduk Desa Rajasinga masih tergolong rendah karena sebagian besar hanya tamat SD dan tidak tamat SD. Mayoritas penduduk Desa Rajasinga beragama Islam sehingga tempat ibadah yang terdapat di desa terdiri atas masjid dan mushola, tanpa ada tempat ibadah untuk yang beragama lain. Desa Rajasinga terdiri ada 5 blok. Blok Rajasinga merupakan pusat pemerintahan desa dan kecamatan sehingga sarana dan prasarana publik sebagian besar terdapat di Blok Rajasinga dan Blok Terisi sebagai blok yang berada di sebelah Blok Rajasinga. Blok Embos adalah blok yang paling jauh dari kantor desa dan belum dilengkapi akses jalan yang memadai, sedangkan 2 blok lainnya, yakni Blok Karangturi dan Sukawera meskipun letaknya cukup jauh dari kantor desa tetapi sudah dilengkapi jalanan beraspal.
24
LIVEHOOD RESOURCES RUMAH TANGGA PETANI TUNAKISMA
Bab ini membahas mengenai livelihood resources yang dimiliki oleh masing-masing rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga. Di tengah kondisi yang tidak mempunyai lahan, bagaimana rumah tangga memanfaatkan sumber daya yang dimiliki untuk mencari saluran-saluran penghidupan. Pembahasan terkait sumber daya tersebut, terdiri atas struktur anggota rumah tangga, akses pada lahan pertanian, kepemilikan modal fisik, akses pada modal keuangan dan pemanfaatan modal sosial.
Struktur Anggota Rumah tangga Struktur anggota rumah tangga adalah human capital yang menjadi modal utama rumah tangga petani miskin di desa, khususnya rumah tangga yang tidak memiliki lahan. Modal ini berupa tenaga kerja yang tersedia di dalam rumah tangga pada tingkat usia, tingkat pendidikan dan jenis kelamin tertentu. Perbedaan tingkat pendidikan, usia dan jenis kelamin menentukan pekerjaan-pekerjaan apa yang dapat dimasuki dan dilakukan oleh masing-masing anggota rumah tangga. Jumlah Tenaga Kerja Rumah Tangga Jumlah tenaga kerja adalah jumlah anggota rumah tangga yang sedang bekerja untuk memperoleh pendapatan. Klasifikasi responden berdasarkan jumlah tenaga kerja yang tersedia di dalam rumah tangga dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Jumlah dan persentase rumah tangga petani tunakisma menurut jumlah tenaga kerja di Desa Rajasinga No Jumlah tenaga Kerja ∑ Persentase (%) 1 ≤2 21 60 2 3-4 13 37 3 ≥5 1 3 Total 35 100 Tabel 8 menunjukkan bahwa 60 persen rumah tangga memiliki jumlah tenaga kerja kurang atau sama dengan dua orang, 37 persen rumah tangga memiliki jumlah tenaga kerja 3 sampai 4 orang dan hanya satu persen rumah tangga memiliki jumlah tenaga kerja lebih besar atau sama dengan 5 orang. Jumlah tenaga kerja yang tersedia di dalam rumah tangga mempengaruhi kemampuan rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan hidup seluruh anggota rumah tangga. Selain kepala keluarga, anggota rumah tangga yang ikut bekerja adalah istri, anak dan kerabat lain yang tinggal dalam satu atap. Anggota rumah tangga yang telah memasuki usia kerja akan ikut mencari pekerjaan untuk membantu kehidupan ekonomi rumah tangganya. Namun, data di lapang menunjukkan bahwa sebagain besar rumah tangga memiliki jumlah tenaga kerja kurang atau sama dengan dua. Umumnya, pendapatan rumah tangga petani
26
tunakisma sebagian besar ditopang dari pekerjaan kepala rumah tangga dan istrinya. Meskipun anak telah menginjak usia kerja, namun mereka masih berstatus pelajar atau ada yang telah membina keluarga baru. Suami dan istri bekerja di sektor pertanian maupun non-pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidup seluruh anggota rumah tangganya. “Bapak dan ibu saja yang bekerja di rumah ini. Kalau lagi musim nandur dan panen cari kerja ke sawah orang. Kalau musim kemarau sama-sama kerja ke pembuatan bata. Anak yang laki-laki satu kadang-kadang saja ikut kerja, kalaupun kerja upahnya hanya untuk kantongnya saja”. (SPN, 55 tahun buruh tani) Usia Usia seseorang mempengaruhi aktifitas nafkah yang dilakukan. Golongan usia muda dirasa lebih kuat dan mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berat di sektor pertanian maupun non-pertanian. dapat dikatakan bahwa usia dapat mempengaruhi produktifitas seseorang dalam bekerja. Data primer di lapangan menunjukkan bahwa usia kepala rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga beragam antara 30 hingga 70 tahun. Klasifikasi kepala rumah tangga menurut kelompok usia dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Jumlah dan persentase kepala rumah tangga petani tunakisma menurut usia di Desa Rajasinga No Kelompok usia ∑ (orang) Persentase (%) 1 30-44 16 46 2 45-59 12 34 3 ≥ 60 7 20 Total 35 100 Tabel 9 menunjukkan bahwa 46 persen kepala rumah tangga berada pada usia 33 sampai 44 tahun, 34 persen kepala rumah tangga berada pada usia 45 sampai 59 tahun dan 20 persen kepala rumah tangga berada pada usia diatas 60 tahun. Ada beberapa dari kepala rumah tangga yang sejak kecil sudah bekerja di sawah membantu orangtua dan ada juga kepala rumah tangga yang memilih bekerja di pertanian setelah menikah. Sebelum menikah mereka banyak yang bekerja di kota sebagai buruh pikul, sopir maupun pedagang. “Dulunya sebelum menikah saya bekerja di Bandung, jualan apa saja yang penting dapat uang. Setelah menikah dengan orang bandung dan mempunyai anak satu, akhirnya balik lagi ke desa. Walaupun tidak punya tanah saya berpikir pasti ada saja pekerjaan yang bisa dilakukan di desa, memburuh atau pekerjaan kasar lainnya. Lebih baik di kampung sendiri daripada di tempat orang, asal ada saja kemampuan pasti bisa makan.” (KSN, 40 tahun, buruh tani)
27
Hasil wawancara dengan beberapa kepala rumah tangga yang menjadi responden menunjukkan bahwa kembali ke desa dan bekerja di lahan pertanian sebagai petani penggarap maupun buruh tani upahan mampu menjamin kehidupan mereka sampai tua dibandingkan bekerja di luar desa yang resikonya jauh lebih tinggi. Sektor pertanian masih menjadi tumpuan rumah tangga miskin yang tinggal di Desa Rajasinga. Meskipun pendapatan dari sektor non-pertanian lebih besar dibandingkan dengan pendapatan dari sektor pertanian, namun mereka tidak serta merta meninggalkan pekerjaan-pekerjaan di lahan pertanian. Jika tiba waktunya bekerja di lahan pertanian maka mereka cenderung meninggalkan pekerjaan-pekerjaan di sektor non-pertanian. Imbalan sejumlah padi yang diperoleh dengan membantu pemilik tanah memanen padi di sawah dapat dijadikan cadangan makanan untuk beberapa bulan ke depan. Terdapat juga petani tunakisma yang sudah bekerja di lahan pertanian sejak kecil. Pada dasarnya orangtua mereka memang tidak mempunyai lahan untuk diwariskan sehingga beberapa dari mereka sudah ikut bekerja di sawah setelah pulang sekolah. Sampai saat ini mereka tetap memanfaatkan lahan pertanian untuk menopang kehidupan rumah tangga. “Kalau ditanya sudah berapa lama jadi petani, jawabannya sudah seumur hidup. Dari kecil sudah bantu-bantu orangtua bekerja di sawah dan ikut memburuh saat panen. Jadi sudah biasa bermainmain dengan tanah. Sekarang sudah jarang memburuh karena sudah tua jadi anak yang lebih sering kerja.”(KAS, 63 tahun, petani penggarap) Tingkat pendidikan Tingkat pendidikan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang dijalani. Selain usia, ternyata tingkat pendidikan masing-masing kepala rumah tangga juga beragam. Berdasarkan data dilapang maka tingkat pendidikan anggota rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga terbagi menjadi empat kategori, yaitu: SD tidak lulus, lulus SD, SMP dan SMA. Klasifikasi kepala rumah tangga berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Jumlah dan persentase kepala rumah tangga petani tunakisma menurut tingkat pendidikan di Desa Rajasinga No Tingkat Pendidkan ∑ (orang) Presentase (%) 1 SD tidak lulus 8 23 2 Lulus SD 22 63 3 SMP 4 11 4 SMA 1 3 Total 35 100 Tabel 10 menunjukkan bahwa 23 persen kepala rumah tangga tidak lulus SD, 63 persen kepala rumah tangga lulus SD, 11 persen kepala rumah tangga lulus SD dan hanya 3 persen kepala rumah tangga yang lulusan SMA. Tingkat
28
pendidikan kepala rumah tangga petani tunakisma masih tergolong rendah. Sebagian besar hanya lulus SD dan masih ada yang tidak lulus SD. Keterbatasan biaya menjadi faktor penyebab mereka tidak melanjutkan sekolah. Dengan demikian, mereka cenderung bekerja sebagai petani yang tidak memerlukan pendidikan formal atau memilih menjadi buruh dengan keterampilan yang bersifat otodidak. Saat ini, kesadaran orangtua akan pendidikan anak semakin meningkat. Hal ini terbukti dari rata-rata tingkat pendidikan anggota rumah tangga yang tergolong usia muda. Para orangtua berusaha menyekolahkan anak-anaknya dengan harapan mendapatkan kehidupan ekonomi yang lebih baik daripada kehidupanan orangtuanya. Dari 35 rumah tangga yang menjadi responden terdapat 89 orang yang aktif bekerja. 89 orang tersebut termasuk suami, istri, anak dan anggota keluarga lain yang tinggal bersama dalam satu atap. Tabel usia dan tingkat pendidikan anggota rumah tangga petani tunakisma yang bekerja di Desa Rajasinga dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Jumlah dan persentase anggota rumah tangga petani tunakisma yang bekerja menurut tingkat pendidikan dan usia di Desa Rajasinga No Tingkat Usia Pendidikan 15-29 30-44 45-59 ≥60 Total ∑ % ∑ % ∑ % ∑ % ∑ % 1 SD tidak lulus - 8 21.6 5 20.8 4 5.0 17 19.1 2 Lulus SD 8 40.0 25 67.6 18 75.0 2 25.0 53 59.6 3 SMP 7 35.0 4 10.8 1 4.2 1 12.5 13 14.6 4 SMA 5 25.0 - 1 12.5 6 6.7 Total 20 100.0 37 100.0 24 100.0 8 100.0 89 100.0 Tabel 11 menunjukkan bahwa persentase terbesar anggora rumah tangga yang berada pada kategori usia 15 sampai 29 tahun memiliki tingkat pendidikan SD, persentase terbesar anggota rumah tangga yang berada pada kategori usia 30 sampai 44 tahun memiliki tingkat pendidikan SD, persentase terbesar anggota rumah tangga yang berada pada kategori usia 45 sampai 59 tahun memiliki tingkat pendidikan SD dan persentase terbesar anggota rumah tangga yang berada pada kategori usia lebih besar atau sama dengan 60 tahun adalah tidak lulus SD. Namun, dari keseluruhan data dapat dilihat bahwa semakin banyak golongan usia muda (15-29 tahun) yang memiliki tingkat pendidikan SMP dan SMA, meskipun masih terdapat 40 persen yang hanya lulus SD. Secara keseluruhan tingkat pendidikan anggota rumah tangga masih tergolong rendah, hanya 21.3 persen anggota rumah tangga yang lulus SMP dan SMA, sedangkan untuk jenjang Perguruan Tinggi belum ada. Sarana pendidikan untuk Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) sudah tersedia di Desa Rajasinga, yang dibutuhkan hanya dukungan orangtua dan kemauan anak untuk tetap sekolah. Golongan usia muda yang memiliki pendidikan cukup tinggi (lulusan SMP dan SMA) lebih memilih bekerja di sektor non-pertanian sebagai pekerja pabrik, buruh bangunan maupun kuli bata daripada bekerja di sektor pertanian. Sebagian besar dari mereka bekerja di kota dengan alasan mencari pengalaman.
29
Jenis Kelamin Laki-laki dan perempuan di Desa Rajasinga dapat bekerja di sektor pertanian maupun non-pertanian. Pembagian kerja di sektor pertanian berdasarkan jenis kelamin masih terlihat di Desa Rajasinga. Akibat pembagian kerja itu, upah yang dibayar kepada buruh tani perempuan sedikit lebih rendah daripada upah buruh tani laki-laki. Buruh tani perempuan diupah sebesar Rp30 000 sampai Rp35 000 untuk setengah hari kerja, sedangkan laki-laki diupah sebesar Rp40 000 sampai Rp50 000 untuk setengah hari kerja. Hal ini terus dipertahankan dengan alasan bahwa jenis pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan dipandang lebih ringan dibandingkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki di lahan pertanian. Pembagian kerja di lahan pertanian dapat di lihat pada Tabel 12. Tabel 12 Pembagian kerja pertanian di Desa Rajasinga No Jenis pekerjaan Pihak yang melakukan 1 Semai Laki-laki > perempuan 2 Membajak dengan tratkor Laki-laki 3 Teplok Laki-laki 4 Garok Perempuan > laki-laki 5 Menanam (nandur) Perempuan > laki-laki 6 Mengoyos Perempuan > laki-laki 7 Semprot Laki-laki 8 Memanen (derep) Laki-laki = perempuan Tabel 12 menunjukakn bahwa laki-laki cenderung dapat melakukan semua pekerjaan yang dibutuhkan di lahan pertanian, sedangkan perempuan cenderung hanya melakukan pekerjaan garok, nanam dan mengoyos. Terdapat pekerjaan yang umumnya hanya dilakukan oleh laki-laki, yakni membajak dengan traktor, teplok dan menyemprot. Pekerjaan di sektor non-pertanian bagi lak-laki dan perempuan juga beragam. Untuk menjadi buruh di pembuatan bata siapa saja boleh yang penting memiliki kemauan dan mampu melakukan pekerjaan yang cukup berat, seperti kuli angkut bata. Namun, para ibu rumah tangga cenderung memilih pekerjaan yang dirasa cukup ringan, seperti membuka warung dan menjadi pembantu rumah tangga. Pekerjaan menjadi buruh bangunan, pabrik dan ojek sudah pasti dilakukan oleh kaum laki-laki. Pada rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga, memiliki anak laki-laki maupun perempuan sama saja karena laki-laki dan perempuan dapat bekerja membantu orangtua mencari tambahan pendapatan. Namun, yang membedakan hanyalah anak perempuan cenderung dapat menjadi TKW, sedangkan anak laki-laki cenderung bekerja di desa atau sebatas menjadi buruh migran di kota-kota sekitar desa. Meski demikian, pekerjaan yang dilakukan lakilaki maupun perempuan tetap berkontribusi dalam membentuk struktur pendapatan rumah tangga.
30
Akses pada Lahan Pertanian Karakteristik Lahan Pertanian Rumah tangga petani tunakisma adalah rumah tangga yang salah satu anggota rumah tangganya ada yang bekerja di lahan pertanian, namun tidak memiliki lahan berdasarkan status kepemilikan formal. Sebagian besar dari mereka menjadi petani tunakisma karena pada dasarnya orangtua tidak memiliki lahan untuk diwariskan. Rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga dapat menggarap dua macam tanah pertanian, yaitu (1) tanah pertanian kering di hutan yang di garap dengan menetap, tetapi tanpa irigasi dan (2) tanah pertanian basah dengan irigasi. Penggunaan tanah pekarangan untuk ditanami buah, sayur-sayuran maupun obat-obatan tidak ditemui karena umunya rumah tangga petani tunakisma hanya memiliki sepetak tanah sebagai tempat tinggal tanpa pekarangan. Bahkan ada diantara mereka yang masih mendirikan rumah di atas tanah milik negara. Di tanah pertanian kering, yang biasa disebut ladang maupun di tanah pertanian basah atau sawah, petani menanam padi varitas ciherang. Perbedaan kedua lahan tersebut terletak pada periode panen. Keterbatasan air di hutan menyebabkan petani hanya bisa menanam padi satu kali setahun, sedangkan di lahan sawah yang irigasi dapat dilakukan dua kali penanaman (musim rendeng dan musim sadhon). Lahan garapan yang mereka miliki di hutan merupakan hasil warisan dari orangtuanya. Pihak Perhutani tidak melarang maupun memungut biaya atas lahan yang digarap, asalkan tidak merugikan pihak Perhutani dengan menambah luas garapannya dari yang ada sebelumnya dan menebang pohonpohon milik Perhutani. Di lahan pertanian basah, hanya mereka yang memiliki uang yang dapat menyewa lahan dengan pembayaran tunai sebelum lahan digarap. Selain dengan sistem sewa tunai, rumah tangga petani tunakisma juga dapat menggarap lahan dengan sistem lanja, membayar harga sewa dengan sejumlah padi pada musim panen pertama. Dibutuhkan hubungan kekerabatan untuk dapat menggarap lahan dengan sisitem lanja. Sebagian besar petani tunakisma takut untuk mengambil resiko dengan sistem sewa maupun lanja. Mereka takut hasil panen tidak mampu menutupi total biaya yang dikeluarkan sehingga sebagian besar dari mereka milih untuk menjadi buruh tani yang hanya memerlukan modal tenaga kerja. Tidak ada resiko gagal panen bagi buruh tani dan upah yang diterima dengan menjual tenaga dapat langsung diterima dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. “Lebih baik jadi buruh tani saja tidak pusing mencari modal untuk menanam padi. Kalau lagi ada pekerjaan di sawah ikut saja memburuh, upahnya lumayan memenuhi keperluan dapur”. (ASM, 39 tahun, buruh tani) Sistem Sewa dan Lanja Di Desa Rajasinga istilah sewa menyewa lebih dikenal dengan sebutan lanja. Sebagian masyarakat mengatakan bahwa sistem sewa dan lanja adalah dua sistem yang berbeda, namun ada juga yang mengatakan keduanya adalah sama. Umumnya sistem sewa dilakukan oleh petani tunakisma yang memiliki cukup
31
uang sehingga mereka mampu membayar harga sewa dengan uang tunai di muka sebelum lahan digarap. Berbeda dengan sistem lanja, pembayaran harga sewa bukan dengan uang tunai, melainkan sejumlah gabah yang merupakan hasil pada musim panen pertama. Banyaknya gabah yang harus dibayar kepada pemilik tanah merupakan kesepakatan bersama antara petani pemilik tanah dengan petani penggarap yang menyewa dengan sistem lanja. Tidak semua rumah tangga petani tunakisma dapat memiliki lahan garapan. Selain harus memiliki modal uang, hubungan sosial juga memainkan peran dalam memperoleh lahan garapan. Petani tunakisma cenderung dengan mudah dapat menggarap lahan milik kerabat dekatnya yang memiliki lahan luas. Sistem sewa lebih banyak dilakukan antara petani yang memiliki hubungan kekerabatan yang cukup jauh, sedangkan sistem lanja lebih banyak dilakukan diantara petani yang mempunyai hubungan kekerabatan yang lebih dekat. Rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga cenderung menggarap lahan dengan sistem lanja. Apabila penggarap merupakan kerabat dekat maka banyaknya padi yang harus diberi kepada pemilik tanah lebih sedik dibandingkan kepada oranglain yang tidak memiliki hubungan kekerabatan. Sistem lanja ini sudah berlansung sejak lama dan lebih banyak dilakukan oleh petani-petani tunakisma dibandingkan dengan sistem sewa dengan membayar uang tunai di muka. Dengan sistem lanja, petani tunakisma yang ingin menggarapan lahan sendiri dapat menggarap tidak harus memiliki modal uang untuk membayar sewa terlebih dahulu. Selain faktor hubungan kekerabatan, harga sewa lahan dengan uang tunai maupun dengan sejumlah padi di Desa Rajasinga juga tergantung pada kesuburan lahan dan lokasi lahan terhadap pengairan. Semakin dekat dengan aliran irigasi desa makan harga sewa cenderung semakin mahal. Umumnya sistem lanja ini menguntungkan petani tunakisma yang tidak memiliki modal finansial untuk menyewa lahan, namun kadang-kadang dapat merugikan petani apabila hasil lahannya tidak memuaskan. Pembayaran dengan gabah kepada pemiliki lahan dilakukan pada musim panen pertama (hasil panen masih bagus) sehingga hasil dari panen pertama akan habis untuk membayar harga sewa kepada pemilik dan biaya produksi untuk musim tanam kedua. Apabila terjadi gagal panen pada musim taman kedua maka petani tidak memperoleh hasil apa-apa dari kerja kerasnya selama ini di lahan garapan. Gadai Berdasarkan hasil penelitian Wiradi dan Makali (2009) yang dilakukan di 6 desa yang ada di Jawa barat, sistem gadai dilakukan oleh petani berlahan sempit kepada petani berlahan luas atau orang kaya dan dapat juga dilakukan oleh petani berlahan luas dengan petani berlahan luas atau orang kaya. Petani berlahan sempit menggadai tanah karena kebutuhan hidup yang mendesak, sedangkan petani berlahan luas menggadai tanah untuk menutupi kekurangannya guna membeli sawah (akumulasi modal). Di Desa Rajasinga, sistem gadai umumnya dilakukan oleh petani yang memiliki lahan sempit kepada orang kaya, namun sedikit berbeda dengan kasus suatu rumah tangga yang menjadi responden dalam penelitian ini. Seorang petani tunakisma menggarap lahan gadai, meskipun dari segi luas memang cukup sempit. Hal ini terjadi karena hubungan kekerabatan yang masih dekat diantara
32
masyarakatnya. ketika membutuhkan uang maka mereka lebih memilih menggadaikan lahan kepada kerabat sendiri daripada orang lain. Besarnya uang yang harus ditukar dengan lahan garapan disesuaikan dengan luas lahan dan kebutuhan uang dari pihak penggadai. Selama pihak penggadai belum bisa mengambalikan uang yang dipinjam maka selama itu juga lahan dapat dimanfaatkan oleh pihak yang memiliki uang. “Saya menggarap lahan gadaian milik saudara yang luasnya hanya 50 bata. Sudah 3 tahun di gadai dan sampai sekarang belum ditebus juga. Dulu digadai seharga Rp3 000 000 karena mereka memang lagi butuh uang. Daripada digadai ke orang lain lebih baik ke saudara sendiri”. (SMD, 60 tahun, penggarap) Ceblokan Sistem ceblokan hanya dilakukan pada musim tanah kedua, dimana buruh tani yang ikut memanen adalah mereka yang ikut dalam kerja nandur. Adanya sistem ceblokan ini disebabkan karena sulitnya untuk mencari tenaga buruh tani untuk dimintai bantuan di lahan pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa saat ini jumlah petani yang tidak memiliki lahan memang jumlahnya cukup banyak, namun kesempatan kerja di sektor non-pertanian yang semakin banyak, khususnya yang ada di desa mengurangi niat para buruh tani untuk bekerja di pertanian. Buruh tani cenderung memilih bekerja di lahan pertanian pada musim panen saja. Pemanen (penderep) menerima upah memanen seperenam bagian dari hasil yang dipanen. Jika dihitung dalam sehari bekerja memanen padi milik tuan tanah maka rumah tangga buruh tani dapat memperoleh upah sekitar satu kandek padi (80 kg), sedangkan untuk pekerjaan nandur para butuh tani hanya memperoleh upah sekitar Rp25 000. Hal ini yang menyebabkan dilakukannya sistem ceblokan untuk menutupi kekurangan tenaga kerja pertanian di musim tanam. Untuk menjamin adanya buruh yang bersedia menanam di musim tanam kedua maka dilakukanlah asisten ceblokan. Penyeblok6 melakukan pekerjaan nandur di sawah tanpa dibayar oleh pemilik lahan. Penyeblok hanya bertanggung jawab menanam saja dan setelah itu mereka mendapat jaminan pekerjaan memanen sesuai luas lahan yang mereka tanam, sedangkan untuk pekerjaan perawatan menjadi tanggung jawab pemilik lahan. Wiradi (2009) menyatakan bagi warga desa yang tidak memiliki tanah, sistem ceblokan adalah jaminan akan adanya pekerjan pada waktu panen, dan bagi pemilik tanah berlahan luas, sistem ceblokan menjamin kebutuhannya akan tenaga kerja pada waktu mengolah tanah tanpa mengeluarkan biaya tunai. Mereka yang diminta untuk bekerja berdasarkan sistem ceblokan adalah buruh tani yang masih memiliki hubungan kekerabatan dan tetangga dekat dari petani pemilik lahan. Di satu sisi sistem ini memang menguntungkan buruh tani sebagai penyeblok, namun disisi lain membatasi kerja para buruh tani lainnya. Tidak semua pemilik lahan menerapkan sistem ceblokan pada musim tanam kedua karena alasan sosial.
6
Buruh tani yang bekerja dengan sistem ceblokan
33
“Tidak enak kalau ada sistem ceblokan, lebih baik di seperti pada musim tanam pertama. Di lahan saya tidak pernah ada penyeblok, siapa saja yang butuh pekerjaan dapat menanam dan memanen nantinya”. (YSF, 50 tahun, petani pemilik) Penguasaan Lahan Rumah Tangga Petani Tunakisma Lahan-lahan di Desa Rajasinga dimiliki secara perorangan, baik oleh penduduk desa maupun orang luar desa. Rumah tangga perani tunakisma tidak memiliki lahan garapan berdasarkan status kepemilikan formal. Namun, berdasarkan penguasaan lahan pertanian rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori, yaitu: 1. Petani penggarap. Petani pada lapisan ini dapat menguasai lahan sawah irigasi maupun ladang di hutan dengan sistem kepemilikan sementara (dengan menguasai lahan milik oranglain melalui sewa, lanja maupun tanah gadai). Di tinjau dari sisi kepemilikan, mereka termasuk petani tunakisma tidak mutlak karena di tinjau dari sisi penggarapan lahan mereka termasuk penguasa lahan. 2. Petani penggarap+buruh tani. Petani pada lapisan ini dapat menguasai lahan sawah irigasi maupun ladang di hutan dengan sistem kepemilikan sementara (dengan menguasai lahan milik oranglain melalui sewa, lanja maupun tanah gadai). Selain itu, untuk menambah penghasilan rumah tangga mereka menjual tenaganya dengan memburuh di lahan garapan oranglain. Sama halnya dengan petani penggarap, petani lapisan ini termasuk petani tunakisma tidak mutlak. 3. Buruh tani. Petani pada lapisan ini tidak memiliki lahan garapan sama sekali berdasarkan kepemilikan sementara, sehingga dikategorikan sebagai petani tunakisma mutlak. Namun, mereka masih dapat memperoleh memanfaatkan dari lahan pertanian dengan menjual tenaga sebagai buruh tani. Sebagian besar petani tunakisma di Desa Rajasinga merupakan petani tunakisma mutlak. Dari 35 rumah tangga petani tunakisma yang menjadi responden hanya terdapat 13 rumah tangga yang memiliki lahan garapan berdasarkan status kepemilikan sementara, baik yang ada di hutan maupun sawah irigasi di desa. Klasifikasi rumah tangga petani menurut lapisan penguasan lahan dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Jumlah dan persentase rumah tangga petani tunakisma menurut kategori lapisan penguasan lahan di Desa Rajasinga No Kategori ∑ Persentase (%) 1 Petani penggarap 8 23 2 Petani penggarap+buruh tani 5 14 3 Buruh tani 22 63 Total 35 100 Tabel 13 menunjukan bahwa 23 persen rumah tangga responden tergolong sebagai rumah tangga petani penggarap, 14 persen rumah tangga responden tergolong sebagai rumah tangga petani penggarap+buruh tani dan 63 persen
34
rumah tangga responden tergolong sebagai rumah tangga buruh tani. Persentase terbesar rumah tangga petani tunakisma berada pada kategori buruh tani. Sangat sulit bagi rumah tangga petani tunakisma untuk memiliki lahan garapan karena keterbatasan modal finansial. Selain itu, banyaknya buruh tani disebabkan karena kurangnya keberanian petani dalam mengambil resiko untuk menggarap lahan. Mereka takut mengalami gagal panen sehingga tidak mampu menutupi total biaya yang telah dikeluarkan. Mereka cenderung menghindari resiko dengan memilih sebagai buruh tani upahan. “Kalau hasil panen lagi bagus memang untung yang didapat lumayan banyak, tetapi kalau gagal ruginya juga besar sekali. Hutang ke orang lain bisa-bisa tidak terbayar”. (RAN, 32 tahun, buruh tani) Apabila dibandingkan dengan seluruh rumah tangga yang menjadi responden, terdapat 63 persen rumah tangga petani tunakisma multak yang hanya bekerja sebagai buruh tani dan hanya 37 persen rumah tangga yang memiliki lahan garapan. Hal ini berarti jumlah rumah tangga petani yang tidak memiliki lahan garapan (tunakisma mutlak) jauh lebih banyak dibandingkan jumlah rumah tangga petani yang memiliki lahan garapan (tunakisma tidak mutlak). Dari 13 rumah tangga petani tunakisma, mereka menggarap lahan dengan sistem penguasaan lahan yang berbeda-beda. Klasifikasi rumah tangga petani penggarap di Desa Rajasinga menurut sistem penguasaan lahan dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Jumlah dan persentase rumah tangga petani penggarap menurut sistem penguasaan lahan di Desa Rajasinga No 1 2 3 4
Sistem penguasaan lahan Lahan hutan Sewa tunai Lanja Gadai Total
∑ 3 3 6 1 13
Persentase (%) 23 23 46 8 100
Tabel 14 menunjukkan bahwa 23 persen rumah tangga petani tunakisma menggarap lahan di hutan, 23 persen rumah tangga petani tunakisma menggarap lahan dengan sistem sewa tunai, 46 persen rumah tangga petani tunakisma menggarap lahan dengan sistem lanja dan 8 persen rumah tangga menggarap lahan hasil gadai. Persentase terbesar rumah tangga petani penggarap menguasai lahan sawah irigasi dengan sistem lanja. Hal ini disebabkan karena menggarap lahan dengan sistem lanja menjadi pilihan petani yang tidak memiliki sejumlah uang namun ingin memiliki lahan garapan karena mereka dapat membayar harga sewa dengan sejumlah padi yang diperoleh dari hasil panen pertama. Berbeda dengan lahan hutan, tidak semua petani dapat menggarap lahan hutan karena umumnya lahan tersebut merupakan warisan dari orangtuanya. Saat ini, cukup sulit bagi petani tunakisma untuk membuka lahan baru di hutan karena batas izin lahan garapan yang ditetapkan pihak Perhutani sudah habis digarap masyarakat. Luas lahan garapan yang dikuasi berdasarkan status kepemilikan sementara oleh rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga beragam. Hal
35
ini dipengaruhi oleh sumber daya yang dimiliki petani, baik finansial, sosial maupun sumber daya manusia. Klasifikasi rumah tangga petani penggarap menurut luas lahan garapan dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Jumlah dan persentase rumah tangga petani tunakisma menurut luas lahan garapan di Desa Rajasinga No Luas Garapan ∑ Persentase (%) 1 0 ha 22 63 2 0.01-0.5 ha 10 29 3 0.51-1 ha 3 8 4 >1 ha 5 Total 13 100 Tabel 15 menunjukkan bahwa persentase terbesar adalah rumah tangga petani yang tidak memiliki lahan garapan, sedangkan persentase terbesar khusus rumah tangga petani penggarap hanya menguasai lahan 0.01-0.5 ha, yaitu sebesar 29 persen, sedangkan untuk luas garapan 0.51-1 ha hanya sebesar 8 persen. Tidak terdapat rumah tangga yang memiliki lahan garapan lebih besar atau sama dengan 1 ha. Hal ini membuktikan bahwa luas lahan garapan yang dikuasai oleh petani tunakisma masih sangat rendah. Apabila dilihat secara keseluruhan dari luas lahan yang digarap petani tunakisma maka rata-rata lahan yang dikuasi sebesar 0.47 ha. Setiap kategori rumah tangga petani tunakisma memiliki luas lahan yang beragam. Tabel tingkat ketunakismaan dan luas lahan garapan rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Tingkat ketunakismaan dan luas lahan garapan rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga Luas Tunakisma tidak mutlak Tunakisma Total Garapan mulak Penggarap Penggarap + Buru tani ∑ % ∑ % ∑ % ∑ % 0 ha 0.01-0.5 ha 0.51- 1 ha >1 ha
5 3 -
63 37 -
5 -
100 -
22 -
100 -
22 10 3 -
63 29 8 -
Total
8
100
5
100
22
63
35
100
Tabel 16 menunjukkan bahwa mayoritas rumah tangga petani penggarap hanya menguasi lahan 0.01-0,5 ha, yakni 63 persen. Untuk kategori rumah tangga petani penggarap+buruh tani, 100 persen rumah tangga menguasi lahan 0.01-0.5 ha. Cukup sulit bagi seorang petani tunakisma untuk menguasai lahan berdasarkan pemilikan sementara karena harga sewa yang mahal dan kurangnya kepercayaan pemilik lahan akan kemampuan petani tunakisma untuk membayar sewa. Petani tunakisma yang memiliki lahan garapan adalah orang-orang yang memiliki sedikit uang lebih untuk menyewa dan umumnya tanah yang disewa milik kerabat dekat yang memiliki cukup luas lahan.
36
Kepemilikan Modal Fisik Alat Produksi Pertanian Peralatan pertanian yang digunakan oleh petani yang ada di Desa rajasinga adalah cangkul, parang/pedangan, gebotan, gelaran, arit, tank semprot dan mesin diesel. Cangkul digunakan untuk mengolah lahan sebelum pekerjaan nandur sedangkan gebotan, gelatan dan arit digunakan pada musim panen. Parang atau pedangan digunakan untuk membersihkan rumput di pematang sawah, tank semprot untuk penyemprotan pestisida dan mesin diesel digunakan pada musim kamarau untuk memenuhi kebutuhan air di lahan. Pekerjaan membajak lahan dilakukan dengan menggunakan traktor. Tabel kepemilikan alat produksi pertanian dapat dilihat pada Tabel 17. “Waktu saya kecil masih menggunkan cangkul, sekitar tahun 1982an masuk traktor tetapi masih sangat jarang. Tahun 1990-an mulai berkembang dan banyak digunakan oleh petani di sini”. (YSF, 50 tahun, petani pemilik) Tabel 17 Jumlah dan persentase rumah tangga petani tunakisma menurut kepemilikan alat produksi pertanian di Desa Rajasinga No Kepemilikan alat produksi pertanian ∑ Persentase (%) 1 Cangkul 35 100 2 Arit 35 100 3 Gebotan 35 100 4 Gelaran 35 100 5 Pedangan 35 100 6 Tank semprot 16 45 7 Mesin Diesel (Penyedot air) 4 11 Tabel 17 menunjukkan bahwa baik petani penggarap, penggarap+buruh tani maupun buruh tani di Desa Rajasinga pasti memiliki kelima alat pertanian tersebut karena sudah menjadi modal utama untuk mereka bekerja di sawah maupun di lahan hutan. Berbeda dengan kepemilihan pada tank semprot dan mesin diesel, hanya mereka yang memiliki uang yang dapat membelinya. “Kalau arit, gebotan dan gelaran sudah pasti harus punya. Kalau tidak punya berarti kami tidak bisa mencari makan. Kalau musim panen sudah pasti ketiga alat itu sangat dibutuhkan. Tidak pernah ada yang pinjam-meminjam. Kalau tank semprot dan mesin diesel harganya mahal, mereka punya garapan saja yang biasanya membeli.” (KDR, 36 tahun, buruh tani) Setiap Rumah tangga yang memiliki lahan garapan memiliki tank semprot, namun hanya sebagian yang memiliki mesin diesel. Mesin diesel hanya diperlukan bagi mereka yang menggarap lahan yang letaknya jauh dari irigasi sehingga diperlukan mesin penyedot air saat musim kemarau tiba. Ada beberapa buruh tani yang mengaku menabung untuk membeli tank semprot sehingga
37
mempermudah mereka apabila disuruh bekerja menyemprot tanaman padi. Buruh tani yang tidak memiliki tank semprot akan mencari pinjaman ke pihak lain. Aset Rumah Tangga dalam Aktivitas Nafkah Aset rumah tangga yang dimaksud dalam penelitian ini adalah segala benda atau barang yang dimiliki oleh rumah tangga yang dimanfaatkan untuk mencari nafkah, seperti: motor, becak, warung, angkot atau lainnya. Kepemilikan aset rumah tangga dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Jumlah dan persentase rumah tangga petani tunakisma menurut kepemilikan aset rumah tangga di Desa Rajasinga No Kepemilikan aset rumah tangga ∑ Persentase (%) 1 Sepeda 2 6 2 Kendaraan beroda 2 8 24 3 Becak 1 3 4 Warung kecil 3 9 5 Peralatan bangunan 8 24 6 Peralatan musik suling 1 3 Hasil penelitian menunjukkan bahwa tiga rumah tangga petani tunakisma memiliki warung kecil yang menyatu dengan rumahnya, meskipun ada juga yang berada jauh dengan rumahnya. Istri dari seorang responden berjualan di lahan milik saudaranya karena letaknya lebih dekat dengan jalan raya dibandingkan dengan rumahnya. Membuka warung adalah salah satu cara yang dapat dilakukan mereka untuk tetap memperoleh uang saat tidak ada pekerjaan di sawah. Selain itu, terdapat dua rumah tangga yang memiliki sepeda, satu rumah tangga memiliki becak dan delapan rumah tangga memiliki sepeda motor. Sebagain besar dari responden tidak menggunakan sepeda motor tersebut untuk ojek, melainkan sebagai transportasi pribadi bagi anggota rumah tangganya yang akan bekerja ke sawah, bata atau lahan garapan hutan. “Saya punya sepeda motor juga tidak pernah digunakan untuk ojek, paling buat transportasi ke sawah saja atau ke lokasi bata. Ojek sudah tidak laku lagi karena sudah banyak yang punya motor dengan kreditan”. (TRS, 60 tahun, petani penggarap) Aset lain yang digunakan adalah peralatan bangunan dan alat musik. Terdapat delapan rumah tangga yang memiliki alat bangunan. Alat ini digunakan apabila ada tawaran proyek pembangunan di kota maupun di desa. Untuk kepemilikan alat musik suling hanya dimiliki oleh satu rumah tangga. Panggilan untuk manggung di acara-acara hajatan akan meningkat setelah musim panen.
38
Akses Pada Modal Keuangan Akses petani terhadap modal finansial sangat beragam tergantung kepada jenis kebutuhannya. Untuk kebutuhan sehari-hari petani lebih memanfaatkan pinjaman kepada saudara dan tetangga, sedangkan untuk kebutuhan modal usaha tani atau modal usaha lainnya lebih banyak memanfaatkan jaringan perkenalan dan kerjasama serta bank. Di Desa Rajasinga sudah terdapat bank yang dapat dijadikan tempat untuk menabung dan meminjam modal. Namun, sebagian besar dari mereka memilih untuk meminjang kepada kerabat maupun tetangga apabila ada kebutuhan mendesak untuk makan sehari-hari maupun biaya sekolah anak. Prosedur pengurusan di bank dirasa cukup lama dan harus di survey ke lokasi tempat tinggal. Keberadaan kelembagaan keuangan formal dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Jumlah lembaga keuangan di Desa Rajasinga No Jenis Lembaga Keuangan Jumlah 1 Bank Umun 1 2 BPR 1 3 Pegadaian 4 KUD Total 2 Petani juga memanfaatkan hubungan perkenalan dan jaringan kerja untuk melakukan peminjaman modal baik berupa uang maupun bantuan pupuk. Kepercayaan menjadi modal utama yang harus dimiliki sehingga petani diberi kesempatan untuk meminjam pupuk yang nantinya dibayar setelah panen. Bagi para pembuat bata, biasanya mereka meminjam modal dari bos pembeli bata untuk keperluan pembuatan bata atau sebatas hanya untuk makan sehari-hari sampai bata dibakar dan dijual. Klasifikasi rumah tangga menurut akses pada modal keuangan padat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Jumlah dan persentase rumah tangga petani tunakisma menurut akses pada modal keuangan di Desa Rajasinga No Akses pada modal keuangan 1 Modal sendiri/tabungan 2 Pinjaman Total
∑ 4 31 35
Persentase (%) 11 89 100
Tabel 20 menunjukkan sebagian besar rumah tangga petani tunakisma melakukan pemijaman uang yang dihitung dalam satu tahun terakhir, baik untuk modal usaha maupun hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup. 89 persen rumah tangga petani menggunakan modal pinjaman dari pihak lain dan hanya 11 persen rumah tangga yang menggunakan modal sendiri atau tabungan.
39
Pemanfaatan Modal Sosial Menurut Koentjaraningrat (1984), salah satu cara untuk mengerahkan tenaga tambahan untuk pekerjaan bercocok tanam di pedesaan adalah sistem bantu-membantu atau disebut dengan istilah gotong-royong. Kenyataan yang ada saat ini, jarang kita temui sistem tersebut di desa, khususnya desa-desa di pinggiran kota. Di Desa Rajasinga, sistem gotong royong dalam lapangan bercocok tanam sudah tidak diterapkan, diganti dengan sistem memburuh. Buruh tani yang bekerja di lahan pertanian diupah dengan menggunakan uang atau sejumlah gabah di musim panen. Namun, sistem bantu-membantu masih terlihat dalam hal mambantu keluarga dan tetangga yang mengalami kemalangan, hajatan maupun mengerjakan pekerjaan untuk pentingan umum, seperti memperbaiki jalan, bersih-bersih musolah, kerja bakti dan lainnya. Di kalangan rumah tangga petani tunakisma, umumnya mereka menggunakan hubungan kekerabatan atau tetangga dibandingkan dengan jaringan di luar desa, meskipun sebagain ada yang memiliki jaringan di luar desa, yakni mereka yang bekerja di luar sektor pertanian seperti, buruh bangunan dan pembuatan bata. Pilihan pemanfaatan hubungan sosial oleh rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasingga dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21 Jumlah dan persentase rumah tangga petani tunakisma menurut pilihan pemanfaatan hubungan sosial di Desa Rajasingga No Pemanfaatan modal sosial ∑ Persentase (%) 1 Kerabat/tetangga 35 100 2 Perkenalan/jaringan di luar desa 14 40 3 Kelompok tani 10 29 Tabel 21 menunjukkan bahwa 100 persen rumah tangga petani tunakisma memanfaatkan hubungan kekerabatan atau tetangga. Ketika ada kebutuhan mendesak mereka lebih memiliki meminta bantuan terlebih dahulu kepada kerabat atau tetangga. Terdapat 40 persen rumah tangga yang memiliki kenalan atau jaringan diluar desa yang membantu penghidupannya. Dari 40 persen rumah tangga tersebut terdiri atas pemiliki industri bata, buruh bangunan dan pekerjaan pabrik. Kemudian, hanya 29 persen rumah tangga yang bergabung dalam kelompok tani. Mereka yang ikut bergabung adalah petani tunakisma yang memiliki lahan garapan. Dengan ikut kelompok tani maka mereka memperoleh manfaat terkait jenis pupuk dan pestisida yang dibutuhkan dan terkadang ada bantuan berupa pemberian bibit-bibitan untuk anggota kelompok tani. Mereka yang hanya bekerja sebagai buruh tani memilih tidak masuk dalam kelompok tani. Buruh tani yang terdapat di Desa Rajasinga adalah buruh tani yang menjual tenaganya tidak pada satu keluarga tani saja, mereka dapat disewa secara borongan maupun harian dan dipakai oleh siapa saja yang menawarkan pekerjaan. Pekerjaan nandur di lahan pertanian dilakukan dengan rombongan. Biasanya lahan seluas 500 bata dikerjakan secara rombongan oleh 25 sampai 30 orang buruh tani. Seorang buruh tani yang menjadi kepercayaan pemilik lahan akan memanggil dan mengumpulkan buruh tani lainnya yang dia kenal untuk ikut bersama-sama menggarap lahan. Dalam hal ini hubungan kekerabatan memainkan peran dalam menentukan pekerjaan. Salah satu rumah tangga yang menjadi
40
responden merasa kesulitan untuk bekerja di lahan pertanian karena bukan penduduk asli desa setempat. “Saya tidak pernah ikut rombongan desa ini untuk kerja-kerja di pertanian. Ketika musim tanam dan panen tiba maka saya bekerja di lahan pertanian desa sebelah milik bibi di Desa Cikedung karena saya berasal dari sana”. (SUM, 42 tahun, buruh tani) Di musim panen pekerjaan di lahan pertanian dilakukan secara individu. Mereka membantu memanen dan boleh membawa pulang sebagian dari jumlah padi yang mereka potong. Petani tunakisma akan membantu kerabatnya terlebih dulu. Setelah itu, membantu tetangga dekat dan memanen di lahan milik siapa aja apabila ada kesempatan. Pergeseran sistem gotong-royong menjadi sistem sewa buruh tani disebabkan karena semakin meningkatnya jumlah petani yang tidak memiliki lahan maupun petani berlahan sempit. Saat ini, para pemilik lahan cenderung menggunakan tenaga buruh tani yang harganya cukup murah daripada menggarap lahannya dengan sistem gotong-royong. Di sisi lain, kebutuhan hidup yang semakin meningkat mendorong para buruh tani menjadi lebih komersial. Mereka bekerja untuk memperoleh uang sehingga dapat memenuhi harga-harga kebutuhan hidup yang semakin meningkat. Ikhtisar Jumlah tenaga kerja yang tersedia di dalam rumah tangga umumnya terdiri dari kepala suami, istri, anak dan kerabat lain yang tinggal serumah. Tingkat pendidikan kepala rumah tangga masih tergolong rendah. Mayoritas dari mereka hanya lulus SD dan cukup banyak yang tidak lulus SD. Usia kepala rumah tangga antara 30 sampai 70 tahun. Bagi rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga, memiliki anak laki-laki maupun perempuan dianggap sama saja karena mereka dapat bekerja di sektor pertanian dan non-pertanian. Terdapat dua macam tanah pertanian, yaitu tanah pertanian kering di hutan yang di garap dengan menetap, tetapi tanpa irigasi dan tanah pertanian basah dengan irigasi. Berdasarkan status penguasaan lahan, rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga terdiri atas: rumah tangga petani penggarap, rumah tangga petani penggarap+buruh tani dan rumah tangga buruh tani. Terdapat 63 persen rumah tangga petani tunakisma multak yang hanya bekerja sebagai buruh tani dan hanya 37 persen rumah tangga yang memiliki lahan garapan. Kelembagaan pertanian yang ada di Desa Rajasinga, terdiri atas: sistem sewa tunai, lanja, tanah gadai dan ceblokan. Umumnya petani menggunakan peralatan pertanian yang cukup sederhana dalam melakukan kerja di lahan pertanian, kecuali pada kerja membajak sawah dengan menggunakan traktor. Aset rumah tangga juga memainkan peran dalam aktivitas nafkah. Umumnya mereka memiliki motor maupun sepeda sebagai sarana tranportasi. Sebagian memiliki warung kecil sebagai tempat berjualan. Para petani lebih menggunakan hubungan kekerabatan dan tetangga dekat untuk membantu kehidupan ekonomi rumah tangganya. Bantuan tersebut dapat berupa permintaan pekerjaan dan peminjaman uang tunai saat ada kebutuhan mendesak.
STRATEGI NAFKAH RUMAH TANGGA PETANI TUNAKISMA
Livelihood resources yang dimiliki oleh rumah tangga petani tunakisma mengambil peran dalam menentukan pilihan saluran-saluran penghidupan apa yang dapat dilakukan oleh rumah tangga. Berbagai jenis pekerjaan dapat dilakukan oleh anggota rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan hidup seharihari. Umumnya penghasilan yang diterima dengan menjual tenaganya hanya dapat memenuhi kebutuhan satu hari sehingga diperlukan cara-cara unik setiap harinya yang tidak hanya bergantung pada satu jenis pekerjaan tetap. Bab ini akan membahas mengenai strategi nakfah yang dilakukan oleh rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga dengan terlebih dahulu mendeskripsikan setiap kesempatan kerja di sektor pertanian maupun non-pertanian yang tersedia, baik yang terdapat di dalam maupun di luar Desa Rajasinga.
Pilihan-Pilihan Kesempatan Kerja Kesempatan kerja yang tersedia bagi rumah tangga petani tunakisma terdiri dari kesempatan kerja di sektor pertanian dan sektor non-pertanian. Petani dapat menggarap lahan pertanian dengan sistem sewa, gadai maupun hanya sebatas menjadi buruh tani upahan. Di sektor non-pertanian anggota rumah tangga dapat memasuki pekerjaan yang tersedia, baik yang terdapat di dalam maupun di luar desa. Berdasarkan data di lapang, pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh anggota rumah tangga petani tunakisma terdiri atas petani penggarap, buruh tani, indistri bata, pedagang, buruh bangunan, buruh di industri bata, ojek, tukang pijit, TKI dan lainnya. Berikut lebih jelasnya akan dijabarkan setiap pekerjaan yang tersedia. Tenaga kerja dalam Pertanian Rumah tangga petani tunakisma yang memiliki lahan garapan, baik dengan sistem sewa tunai, lanja, tanah gadai maupun lahan kering di hutan akan menggerakkan seluruh anggota rumah tangganya yang telah mampu bekerja untuk membantu di lahan pertanian. Dengan demikian, tidak dibutuhan lagi bantuan dari buruh tani upahan, kecuali pembajakan dengan traktor dan kegiatan memanen. Hal ini berbeda dengan petani-petani kaya yang memiliki lahan luas dan modal yang cukup, mereka akan menggerakkan tenaga buruh tani untuk membantu seluruh pekerjaan-pekerjaan di lahan pertaniannya. Pada musim panen maka buruh tani dapat membantu derep dengan imbalan sebagian padi hasil panenannya. Pekerjaan derep tidak hanya dilakukan oleh petani tunakisma mutlak tetapi petani yang memiliki garapan juga ikut memburuh. Bagi sebagian rumah tangga petani penggarap, hasil lahan yang mereka garap dirasa kurang mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup seluruh anggota rumah tangganya sehingga setelah selesai bekerja di lahan garapan sendiri mereka ikut menjadi buruh tani di lahan garapan orang lain. Umumnya mereka hanya ikut memburuh pada saat panen pertama. Hal ini disebabkan karena
42
pada musim tanam pertama belum ada sistem ceblokan, siapa saja dapat menjadi buruh untuk ikut memanen. Biasanya para buruh tani akan memanen di lahan yang cenderung sama setiap tahunnya dan terlebih dahulu memilih memanen di lahan milik kerabat dan tetangga dekat. Apabila hasil dari memburuh di lahan kerabat maupun tetangga dekat dirasa kurang maka mereka akan mencari lahan orang lain yang siap untuk di panen. Pada kegiatan memanen maka setiap buruh akan berlomba-lomba memperoleh hasil panenan padi terbanyak dengan memanfaatkan anggota rumah tangga yang sudah dewasa untuk ikut bekerjasama. Kerjasama tersebut terlihat dari pembagian kerja, yakni ada yang bertugas memotong padi dan ada yang bertugas merontokkan padi dengan menggunakan gebotan. Upah yang diterima oleh buruh tani selain dari pekerjaan derep juga cukup besar. Untuk pekerjaan nandur buruh tani dapat menerima rata-rata upah harian sebesar Rp30 000. Lahan seluas 500 bata dikerjakan oleh rombongan buruh tani untuk nandur seharga Rp600 000. Namun, tawaran untuk menjadi buruh tani tidak setiap hari karena ada waktu-waktu tertentu kapan pekerjaan di lahan pertanian dilakukan. Permintaan akan buruh tani meningkat pada saat musim tanam dan panen, sedangnya untuk pekerjaan perawatan umumnya hanya dilakukan oleh sebagian kecil orang. Pekerjaan di lahan pertanian dimulai dari musim tanam pertama pada awal bulan Januari hingga musim panen kedua pada bulan Juli. Ketika tidak ada tawaran kerja di lahan pertanian karena memang tidak musimnya maka anggota rumah tangga petani tunakisma akan berpencar mencari saluran nafkah di luar sektor pertanian. Industri Bata Merah Di Desa Rajasinga, tidak semua lahan bisa diolah menjadi usaha tani. Beberapa hamparan lahan yang berbukit dapat dimanfaatkan sebagai tempat pembuatan bata. Posisi lahan yang dapat dimanfaatkan untuk membuat bata umumnya lebih tinggi dari lahan sawah. Sebagian dari petani tunakisma menyewa lahan dengan posisi yang sedemikian untuk dijadikan pabrik bata karena pekerjaan membuat bata dirasa lebih menguntungkan dibandingkan mengolah lahan pertanian untuk ditanami padi. Industri bata merah sudah ada sejak lama dan sangat membantu masyarakat dalam mencari pekerjaan. Jumlah industri bata merah paling banyak terdapat di Desa Rajasinga, sedangkan desa-desa tetangga hanya sedikit dan ada yang tidak terdapat sama sekali. Pembuatan bata dilakukan dengan menggali lahan yang posisinya lebih tinggi sehingga tidak jarang setelah permukaan lahan sudah menurun maka dapat dimanfaatkan kembali untuk usaha tani. Peralatan yang digunakan cukup sederhana, yakni dengan menggunakan cangkul dan pencetak bata manual (kecuali bata press). Setelah hasil cetakan mengering maka siap untuk dibakar. Bata yang dicetak secara manual disebut bata kucur. Industri bata merah di Desa Rajasinga memproduksi dua jenis bata, yaitu bata kucur dan bata press. Mereka yang memiliki modal akan membeli mesin pembuatan bata press sehingga hasil yang diperoleh dua kali lipat dibandingkan dengan produksi bata kucur. Rumah tangga petani tunakisma yang memiliki industri kecil pembuatan bata merah memcetak bata secara manual. Keterbatasan modal menghalangi mereka untuk memproduksi bata press. Mereka tidak mampu
43
membeli mesin pencetak karena harganya sangat mahal. Penyewaan lahan untuk pembuatan bata merah diatur berdasarkan kesepakatan antara pemilik lahan dengan pembuat bata. Berbeda dengan sistem sewa untuk usaha tani, harga lahan yang disewa untuk pembuatan bata dihitung berdasarkan luas lahan per bata, yakni Rp30 000 per satu bata lahan. Mereka yang memiliki cadangan uang yang lebih akan menyewa lahan yang lebih luas sehingga hasil yang diperoleh menjadi banyak. “Hasil bata Press bisa dua kali lipat banyaknya dibandingkan bata kucur. Orang-orang sudah menggunakan mesin tetapi saya masih manual saja karena tidak punya uang buat membeli mesin cetak bata press”. (AKS, 40 tahun,petani penggarap) Selain menjadi pemilik pabrik bata dengan menyewa lahan, para petani tunakisma dapat bekerja sebagai buruh pencetak bata maupun sebagai kuli angkut. Meskipun harus mengeluarkan tenaga yang lebih dibanding berkerja sebagai buruh tani, banyak masyarakat khususnya pemuda yang memilih bekerja di bata. Upah yang diterima tergantung pada banyaknya pekerjaan yang dilakukan setiap hari. Mereka dapat menerima upah sebesar Rp40 000 sampai Rp50 000 untuk satu hari kerja. Biasanya pekerjaan menjadi kuli angkut bata dimulai dari jam 6 pagi hingga jam 6 sore, sedangkan untuk menjadi buruh dalam proses produksi pada di upah sebesar Rp75 000 per hari tanpa dikasih makan dan rokok. Pedagang Pedagang yang dimaksud dalam penelitin ini adalah mereka yang berjualan dengan membuka warung menetap di satu tempat maupun yang berkeliling desa untuk menjual barang dagangannya. Warung-warung di Desa Rajasinga berada di pinggir jalan raya. Mereka yang memiliki modal besar yang mampu menyewa atau membangun warung di pinggir jalan. Hal tersebut berbeda dengan kehidupan rumah tangga petani tunakisma, dengan modal yang terbatas mereka berjualan makanan buatan sendiri atau jajanan kecil anak-anak yang dibeli dari grosiran. Biasanya pekerjaan ini dilakukan oleh istri. Dengan modal yang terbatas mereka membuka warung kecil-kecilan yang isinya jajanan anak-anak. Ada juga yang berjualan gorengan dan keripik singkong dengan berkeliling desa. Hasil yang diterima oleh istri dengan berjualan diharapkan dapat membantu ekonomi rumah tangga. Buruh Bangunan Kesempatan kerja menjadi buruh bangunan sangat terbuka lebar bagi mereka yang memiliki kemampuan di bidang bangunan. Sebagian besar mereka yang menjadi buruh bangunan awalnya hanya ikut-ikutan saudara atau teman yang bekerja dalam sebuah proyek dan akhirnya dengan sendirinya mereka memiliki kemampuan yang cukup di bidang bangunan. Kota-kota yang sering
44
menjadi lokasi tujuan buruh bangunan yang ada di Desa Rajasinga adalah Jakarta, Bandung, Indramayu, Subang dan Sukabumi. Umumnya kerja-kerja bangunan yang ada di kota diorganisir secara borongan. Biasanya mereka yang ikut dalam kerja tersebut adalah laki-laki yang usianya cukup muda sehingga masih kuat bekerja. Buruh bangunan memperoleh upah bukan berdasarkan upah harian, melainkan sejumlah uang yang dibayar setelah proyek pembanguan selesai. Proyek bangunan tersebut ada yang berada di desa maupun di luar desa. Untuk proyek pembangunan jalan atau perumahan di kota maka buruh bangunan akan tinggal menetap untuk sementara di lokasi pembangunan sampai proyek tersebut selesai, biasanya memakan waktu 2 sampai 3 bulan lamanya. TKI Tren menjadi TKI sudah ada sejak lama di Desa Rajasinga, bahkan sudah berlangsung dari generasi ke generasi. Tidak ada data yang valid terkait jumlah penduduk Desa Rajasinga yang pernah dan sedang menjadi TKI/W. Mayoritas yang bekerja di luar negeri adalah perempuan yang usianya masih muda. Tidak ada syarat pendidikan bagi perempuan yang ingin menjadi TKW, sedangkan bagi laki-laki harus lulus SMA/SMK agar dapat bekerja di pabrik. Untuk menjadi TKW tidak dibutuhkan modal uang karena semua diatur dan diurus oleh lembaga penyalur yang tersedia. Negara bagian timur menjadi wilayah yang paling banyak menjadi tujuan para TKW adalah Arabsaudi, Abudabi, Qatar dan negara lainnya seperti Taiwan, Malaysia. Syarat umum menjadi seorang TKW adalah harus memiliki kemampuan baca-tulis dan memiliki rentang usia sekitar 20 sampai 35 tahun. Dengan syarat tersebut, para TKW dianggap mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga. Para TKI/W disalurkan oleh agen penyalur (sponsor) yang membantu masyarakat dalam memperoleh informasi, proses dan tata cara menjadi TKI/W. Kecenderungan masyarakat ikut-ikutan melihat saudara maupun tetangganya yang baru pulang sebagai TKI/W sehingga mereka tertarik dan ingin mengikuti jejak tersebut. Pekerja Lain di Luar Desa Sarana dan prasaranan transportasi yang telah memadai mempermudah masyarakat untuk pergi ke kota-kota besar mencari pekerjaaan. Umumnya, golongan usia muda lebih tertarik bekerja di kota dibandingkan bekerja di desa sendiri. Pekerjaan yang di lakukan di kota juga cukup beragam, ada yag menjadi sopir angkot, pedagang, maupun bekerja di pabrik. Peluang kerja di pabrik hanya terbuka bagi mereka yang berpendidikan minimal SMA/sederajat sehingga mereka yang memenuhi syaratlah yang mampu masuk dan bekerja di pabrik. Baik pedagang, sopir angkot maupun pekerja pabrik biasanya menjadi buruh migran yang sifatnya sirkuler. Dalam waktu 1 atau 2 bulan sekali mereka kembali ke desa untuk menyetor hasil kerjanya. Pekerjaan seperti ini dilakukan dengan alasan mencari pengalaman sambil menbantu menambah pendapatan rumah tangga.
45
Bentuk Strategi Nafkah yang Diterapkan Rumah Tangga Petani Tunakisma di Desa Rajasinga Bentuk strategi nafkah yang diterapkan masing-masing rumah tangga berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh sumber daya yang dimiliki oleh rumah tangga tersebut. Scoones (1998) membagi tiga klasifikasi strategi nafkah (livelihood strategy) yang mungkin dilakukan oleh rumah tangga petani, yaitu: rekayasa sumber nafkah pertanian melalui kegiatan ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian, pola nafkah ganda (diversifikasi) dan rekayasa sparsial (migrasi). Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak ada satupun rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga yang menggandalkan pendapatan dari satu jenis pekerjaan atau hanya mengandalkan pendapatan dari kepala rumah tangga saja. Untuk lebih jelas maka berikut diuraikan beberapa penerapan straregi nafkah yang dilakukan rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga. Intensifikasi Pendapatan Sektor Pertanian Lahan pertanian merupakan sektor utama mata pencaharian masyarakat di Desa Rajasinga. Tanaman yang menjadi komoditas utama adalah padi dengan jenis ciherang. Masyarakat menanam padi di lahan sawah irigasi maupun di lahan hutan. Agar pemanfaatan lahan pertanian menjadi lebih efektif dan efisien maka perlu dilakukan strategi rekayasa sumber nafkah pertanian. Menurut scoones (1998), rekayasa sumber nafkah pertanian dilakukan dengan memanfaatkan sektor pertanian secara efektif dan efisien baik melalui penambahan input eksternal seperti teknologi dan tenaga kerja (intensifikasi), maupun dengan memperluas lahan garapan (ekstensifikasi). Intensifikasi pendapatan di sektor pertanian tidak hanya dilakukan oleh rumah tangga petani tunakisma yang memiliki lahan garapan berdasarkan status kepemilikan sementara, tetapi juga rumah tangga petani tunakisma mutlak. Bagi rumah tangga petani penggarap, satu petak sawah yang cukup sempit biasanya ditanami berbagai jenis tanaman. Selain menanam padi maka petani juga memanfaatkan pematang sawah dan lahan kosong yang tidak ditanami padi untuk tanaman palawija dan buah-buahan (pisang, pepaya) Upaya intensifikasi di sektor pertanian juga dilakukan oleh rumah tangga petani penggarap, yakni mengganti cangkul dengan traktor. Masuknya teknologi traktor telah mempercepat proses mengolah tanah sehingga petani dapat dengan cepat melakukan penanaman padi. Hal ini dilakukan karena petani harus mengejar musim rendeng dan sadhon. Tanpa traktor maka pekerjaan di lahan pertanian menjadi terlambat. Selain kegiatan yang dilakukan dengan traktor, pekerjaanpekerjaan lain yang ada di lahan pertanian dilakukan dengan menggunakan tenaga kerja rumah tangga. Hal ini dilakukan untuk mengurangi biaya pengeluaran membayar buruh tani sehingga hasil yang diterima rumah tangga dari sektor pertanian menjadi maksimal. “Selain pekerjaan yang dilakukan dengan mesin traktor, pekerjaan lain saya lakukan sendiri bersama istri dan anak. Kalau harus upah buruh lagi maka sia-sia garap lahan karena uang yang diterima.” (AKS, 40 tahun, Penggarap+buruh tani)
46
Berbeda dengan kegiatan yang dilakukan oleh rumah tangga petani penggarap, buruh tani hanya dapat memanfaatkan tenaga kerja rumah tangga untuk bekerja dari sektor pertanian. Apabila memasuki musim tanam maka suami dan istri akan ikut membantu di lahan pertanian. Mereka bekerja sampai habis masa tanam, yaitu sekitar 2 minggu. Pada musim panen maka rumah tangga buruh tani akan menggerakkan seluruh anggota rumah tangga yang sudah dianggap dewasa untuk melakukan kerja derep di lahan orang lain. Pekerjaan derep tidak dibatasi oleh waktu sehingga hasil yang diperoleh tergantung pada kemampuan masing-masing rumah tangga buruh tani dalam memperoleh padi. Ada beberapa kasus rumah tangga yang menggoptimalkan tenaga dengan memaksimalkan jumlah jam kerja saat musim panen tiba. Pagi sampai sore hari seluruh anggota rumah tangga yang memburuh melakukan kerja memotong padi dan setelah itu secara bersama-sama merontokkan padi dengan gebotan sampai malam hari. Tidak jarang ditemui dalam satu rumah tangga memiliki jumlah gelaran dan gebotan sekitar 2 sampai 3 buah untuk digunakan buruh tani saat musim panen tiba. Pekerjaan memburuh tidak hanya dilakukan oleh petani tunakisma mutlak, tetapi juga oleh rumah tangga petani penggarap untuk menambah pendapatan. “Kalau musim panen semua ikut memburuh. Bapak, ibu sama anak-anak sudah tidak sekolah juga diajak. Kadang ibu sama anak yang ngarit dan bapak yang gebot. Pernah juga biar dapat banyak hasilnya jadi kami sama-sama ngarit dan setelah itu baru di gebot sorenya. makanya di rumah udah disediain 3 gebotan buat alat untuk kerja memanen.” (KDR, 36 tahun, buruh tani) Usaha ekstensifikasi di bidang pertanian sangat sulit dilakukan oleh rumah tangga petani tunakisma. Keterbatasan modal keuangan menjadi salah satu penyebab mereka tidak memperluas lahan garapannya. Selain itu, lahan garapan untuk pertanian di Desa Rajasinga tidak ada yang kosong karena sudah digarap oleh petani pemilik maupun penyewa lainnya, kecuali mereka mau membuka lahan baru. Biasanya lahan baru tersebut letaknya lebih tinggi dari permukaan sawah yang ada sehingga harus digali dan dimanfaatkan untuk pembuatan bata merah terlebih dahulu, setelah itu baru bisa digarap. Bagi petani yang menggarap di lahan hutan, usaha untuk memperluas lahan garapan sudah tidak mungkin dilakukan karena batas lahan yang diizinkan Perhutani sudah habis digarap. Pola Nafkah Ganda Umumnya petani tunakisma di Desa Rajasinga akan memanfaatkan strategi serabutan atau lebih dikenal dengan istilah nafkah ganda. Mereka lebih banyak memainkan human capital baik sebagai buruh tani, buruh bangunan, kuli bata, ojek, tukang pijit, pedagang dan lainnya. Penghasilan suami tidak mampu menopang seluruh kebutuhan anggota rumah tangganya sehingga mengharuskan istri dan anak untuk ikut bekerja baik di sektor pertanian maupun di sektor nonpertanian. Petani biasanya bekerja pada sektor non-pertanian dalam upaya memperoleh sumber pendapatan lain karena pekerjaan di lahan pertanian bersifat musiman. Setelah musim panen petani tunakisma akan memasuki pekerjaan-
47
pekerjaan non-pertanian yang memberikan penghasilan. Menjadi kuli bata merupakan pekerjaan yang paling sering dilakukan. Mereka mencari pekerjaan yang dapat menghasilkan uang setiap harinya karena kebutuhan hidup sifatnya harus dipenuhi setiap hari. Klasifikasi rumah tangga petani tunakisma menurut pekerjaan yang dilakukan dapat dilihat di dalam Tabel 22. Tabel 22 Jumlah rumah tangga petani tunakisma menurut jenis pekerjaan di sektor pertanian dan non-pertanian No Non-pertanian Pertanian Penggarap Penggarap Buruh Total + buruh tani tani 1 Jala ikan 1 1 2 Buruh bangunan 2 4 6 3 Buruh bangunan dan 1 1 2 pedagang 4 Industri bata 3 1 4 5 Buruh di pembuatan bata 2 1 10 13 6 Buruh di pembuatan bata 1 1 dan becak 7 Buruh di pembuatan bata 3 3 dan warung 8 Buruh di pembuatan bata 1 1 dan tukang pijit 9 Pedagang keliling dan 1 1 ojek 10 Pegawai 1 1 11 Kesenian 1 1 12 Serabutan 1 1 Total
8
5
22
35
Tabel 22 menunjukkan bahwa setiap rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga melakukan pola nafkah ganda, tidak ada rumah tangga yang hanya mengandalkan pendapatan rumah tangga dari satu sektor saja. Pekerjaan non-pertanian yang paling banyak dilakukan oleh rumah tangga petani pengggarap adalah membuat bata merah. Biasanya lahan yang mereka sewa adalah lahan yang berbukit sehingga dapat dimanfaatkan untuk membuat bata dan setelah itu lahan yang sudah digali dapat digarap dan ditanami padi. Rumah tangga petani penggarap+buruh tani lebih banyak memadukan pekerjaan non-pertanian dengan menjadi buruh bangunan, sedangkan untuk rumah tangga buruh tani lebih banyak bekerja sebagai sebagai buruh di pembuatan bata. Untuk menjadi buruh bangunan dibutuhkan ketersediaan waktu untuk tingga selama 2 sampai 3 bulan di kota. Buruh tani banyak yang bekerja sebagai kuli di pembuatan bata. Hal ini disebabkan karena pekerjaan tersebut tersedia setiap hari dan hasil yang diterima juga cukup besar, dalam satu hari kerja mencapai Rp40 000 sampi Rp50 000.
48
“Bapak setiap harinya jadi kuli angkut bata kalau lagi tidak ada pekerja di sawah. Terkadang istri juga ikut membantu jadi kuli. Hasilnya lumayan besar, apalagi kalau banyak bata yang harus diangkut ke kota. Satu truk yang isinya 5000 bata dikasih upah angkutnya Rp250 000. Semakin sedikit oarng yang ikut jadi semakin besar upah yang diterima. Sekitar jam 5 subuh warga sini sudah menunggu truk dari kota dipinggir jalan. Kami ikut ke pembuatan bata, di situ kami kerja mengankut bata ke truk dan ikut ke kota dengan truk. Di kota bata-bata itu kami lagi yang turunin.”(KMB, 50 tahun, buruh tani) Intensifikasi Pendapatan Sektor Non-Pertanian Intensifikasi di sektor non-pertanain dilakukan rumah tangga petani tunakisma di musim kemarau. Setelah tidak ada pekerjaan di lahan pertanian maka mereka memanfaatkan sektor non-pertanian dengan lebih efektif dan efisien. Kegiataan non-pertanian yang diterapkan rumah tangga cukup beragam. Pekerjaan yang paling banyak dilakukan adalah dengan menjadi buruh di industri pembuatan bata. Mereka bekerja lakukan selama 12 jam, mulai dari jam 6 pagi sampai jam 6 sore. Sebagai buruh angkut bata, semakin banyak bata yang diangkut maka semakin banyah upah yang diterima. Sektor non-pertanian kedua yang banyak dilakukan adalah buruh bangunan. Tidak jarang mereka harus bekerja ke luar kota sampai proyek pembangunan yang menjadi tugasnya selesai. Dalam waktu 2 sampau 3 bulan mereka mendapat menghasilan bersih yang bisa dibawah pulang untuk anak dan istri sekitar Rp6 000 000. namun, pekerjaan sebagai buruh bangunan seperti ini tidak selalu ada. Berdasarkan hasil wawancara, buruh tani yang juga bekerja sebagai buruh bangunan cenderung memilih bekerja di bangunan apabila ada tawaran proyek dan meninggalkan desa, sedangkan pekerjaan memburuh tani masih tetap dilakukan oleh istri dan anaknya. “Kalau dihitung-hitung jadi buruh bangunan kerja 2 bulan bisa bawah penghasilan bersih Rp1 500 000 per bulan. Tapi tidak selalu ada proyek seperti ini jadi begitu ada tawaran proyek saya pasti langsung terima.” (DMR, 40 tahun, petani penggarap) Kegiatan lain yang dilakukan adalah dengan berdagang. Ada beberapa kasus rumah tangga yang melakukan kegiatan non-pertanian lebih dari satu macam. Seorang suami akan bekerja sebagai kuli angkut bata dan istrinya membuka warung kecil. Keuntungan yang diterima dari warung cukup bermanfaat, walaupun hanya sekedar mencukupi uang jajan anak-anak. “Semua pekerjaan dilakukan yang penting halal. Biasanya bapak sama ibu jadi kuli di pembuatan bata. Warung ini baru 2 bulan. Hasil dari jualan sih tidak seberapa, paling juga habis untuk jajan anak-anak di sekolah. Penghasilan bapak sebagai buruh di pembuatan bata sudah habis untuk belanja makanan sehari-hari.” (ASM, 39 tahun, buruh tani)
49
Rekayasa Spasial (Migrasi) Menurut scoones (1998) bahwa rekayasa spasial (migrasi) adalah usaha yang dilakukan dengan melakukan mobilitas ke daerah lain di luar desanya, baik secara permanen maupun sirkuler untuk memperoleh pendapatan. Buruh migran yang ada di Desa Rajasinga terdiri atas buruh migran nasional dan internasional. Buruh migran nasional terdiri atas pekerja bangunan, pabrik maupun pedagang. Migrasi yang mereka dilakukan dengan menggunakan jaringan kekerabatan dan pertemanan. Berbeda dengan buruh migran internasional, mereka terlebih dahulu mendaftar pada lembaga penyalur (sponsor). Laki-laki cenderung bekerja sebagai buruh bangunan di kota. Umumnya migrasi ini dilakukan apabila ada poyek pekerjaan membangun rumah sehingga hanya membutuhkan waktu 1 sampai 3 bulan untuk mereka kembali lagi ke desa. Bagi perempuan, sebagain besar mereka menjadi TKW di negara-negara bagian timur seperti Oman, Arab Saudi, Qatar dan Abudabi. Mereka melakukan migrasi dengan alasan mencari pengalaman dan ingin menambah pendapatan rumah tangga karena menurut mereka upah yang diterima sebagai pekerja migran lebih besar dibandingkan bekerja di desa. Hasil penelitian Mulyanto et al (2009) menyatakan bahwa masuknya teknologi pertanian baru diawal tahun 1980-an meningkatkan produktifitas pertanian yang cenderung menguntungkan petani pemilik lahan saja. Hal ini mengakibatkan terjadi kesenjangan antara petani kaya dan miskin dalam hal memperoleh manfaat sehingga meningkatnya migrasi ke luar desa karena alasan ekonomi. Semakin menyempitnya kesempanan kerja di sektor pertanian karena penyusutan jumlah total tenaga kerja menyebabkan mereka mencari sumber penghidupan lain di laur desa untuk memenuhi kebutuhan hidup. Di Desa Rajasinga, tren menjadi TKW cukup tinggi. Tidak diketahui dengan pasti kapan awal tren tersebut mulai berkembang di Desa Rajasinga. Menurut masyarakat, banyaknya warga yang menjadi TKW sudah berlangsung sejak lama sehingga anak-anak perempuan yang menjadi TKW sekarang dulunya juga berasal dari keluarga yang Ibunya juga seorang TKW. Sebagian besar dari mereka yang menjadi TKW berharap sepulangnya dari sana bisa membangun rumah. Tidak jarang ditemui rumah-rumah kosong di Desa Rajasinga sebagai hasil kerja keras istri maupun anak perempuan yang bekerja di luar negeri. “Kerja di desa sini cukup untuk makan sehari-hari saya, tidak lebih dan tidak kurang. Makanya setelah menikah istri pergi ke Arab untuk bekerja sebagai pembantu. Sudah 2 kali Ibu jadi TKW. Upah yang diterima istri sengaja disimpan untuk membangun rumah. Kalau tidak bekerja di luar negeri sudah pasti bapak tidak bisa bangun rumah ini. Sekarang sih sudah tidak ada niat jadi TKW lagi karena sudah capek dan punya anak juga”. (WSK, 55 tahun, buruh tani) Sebagian dari rumah tangga petani tunakisma yang menjadi responden memiliki anggota rumah tangga yang pernah dan sedang bekerja di luar negeri sebagai TKW. Kategori rumah tangga berdasarkan pernah atau tidak salah satu anggota rumah tangga bekerja sebagai TKW dapat dilihat pada Tabel 23.
50
Tabel 23 Jumah rumah tangga menurut pernah/tidak salah satu anggotanta melakukan migrasi internasional No Migrasi internasional Kategori rumah tangga (TKI/W) Penggarap Penggarap+ Buruh tani buruh tani 1 Pernah 2 1 10 2 Tidak pernah 6 4 12 Total 8 5 22 Tabel 23 menunjukkan bahwa ketiga kategori rumah tangga, yakni pengggarap, penggarap+buruh tani dan buruh tani pernah melakukan migrasi internasional. Istri ataupun anak perempuan yang sudah dewasa bekerja sebagai pembantu di negara-negara bagian timur. Jika dilihat berdasarkan presentase maka persentase terbesar rumah tangga yang salah satu anggotannya pernah melakukan migrasi internasional yakni rumah tangga buruh tani sebesar 45 persen, sedangkan untuk rumah tangga penggarap dan penggarap+buruh tani hanya 25 persen. Kelender Kerja Rumah Tangga Petani Tunakisma Bagi masyarakat Indramayu, musim hujan merupakan anugrah Tuhan yang sangat berharga karena mereka akan memulai aktivitas di lahan pertanian (nyawah). Ketika musim nyawah tiba, para penduduk yang mencari mata pencaharian selama usum katiga (musim paceuklik atau kemarau) akan pulang ke kampung halamannya. Musim hujan berkisar selama enam bulan atau setengah tahun sehingga musim nyawah dari jangka waktu itu terjadi dua kali karena jangka waktu satu kali panen adalah tiga bulan. Pembagian musim nyawah di Indramayu disebut dengan istilah panen rendeng (nanam pertama) dan panen sadon (nanam kedua). Petani yang memiliki lahan garapan akan bekerja selama musim hujan sampai pada panen yang kedua kali. Bagi buruh tani pekerjaan yang dilakukan di pertanian hanya sebatas memanam, memelihara dan memanen. Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa ketika musim kemarau tiba maka rumah tangga petani tunakisma akan mencari dan memasuki pekerjaan lain di sekotor non-pertanian. Deskripsi pekerjaan yang dilakukan petani tunakisma menurut bulan dapat dilihat pada Tabel 24.
51
Tabel 24 Deskripsi pekerjaan yang dilakukan petani tunakisma menurut bulan di Desa Rajasinga Bulan Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni Juli
Agustus
September Oktober November Desember Oktober November
Desember
Deskripsi Pekerjaan yang Dilakukan Memasuki musim penghujan waktunya musim tanam pertama. Bagi petani tunakisma yang memiliki lahan garapan mereka akan mulai menggarap lahan. Bulan ini yang menjadi berkat bagi buruh tani karena permintaan akan tenaga kerja pertanian cukup meningkat. Buruh tani akan bekerja secara berombongan untuk menggarap lahan hingga proses nandur. Pekerjaan di musim tanam dapat diselesaikan sekitar 10 sampai 14 hari. Setelah padi di taman maka waktunya bagi petani penggarap untuk mengurus padi. Saat seperti ini permintaan akan tenaga buruh tani semakin berkurang. Pemilik lahan hanya membutuhkan sedikit tenaga kerja untuk merumput maupun memompa. Sekitar akhir bulan maret hingga awal bulan April adalah musim panen pertama. Buruh tani bersama dengan anggota rumah tangganya akan ikut membantu memanen padi di sawah milik kerabat, tetangga maupun orang lain. Musim panen akan berlangsung sekitar 2 minggu, jadi selama 2 minggu buruh tani akan mencari lahan pertanian yang siap untuk dipanen. Mereka berusaha memanen padi sebanyakbanyakan karena upah yang diterima berupa padi dengan perbandingan 1:5. Pada musim panen seperti ini maka pekerjaan di sektor non-pertanian ditinggalkan. Memasuki musim tanam kedua. Bagi petani tunakisma yang memiliki lahan garapan mereka akan mulai menggarap lahan dan buruh tani akan menjual tenaganya di lahan pertanian. Pekerjaan di lahan pertanian tidak banyak sehingga petani penggap maupun buruh tani mencari pekerjaan lain sebagai tambagan sumber pendapatan, seperti buruh di pembuatan bata, menjala ikan, ojek dan menjadi pedagang keliling desa. Sekitar akhir bulan Juni hingga awal bulan Juni adalah musim panen kedua. Para buruh migran yang bekerja di kota akan kembali ke desa untuk bekerja sebagai penderep. Setalah musim panen kedua maka pekerjaan di sektor pertanian bagi petani tunakisma mutlak akan berakhir. Meskipun ada sebagian kecil yang bekerja di sawah membantu petani kaya menanam semangka. Dari awal bulan Agustus petani tunakisma akan melakukan intensifikasi di sektor nonpertanian. Tidak ada lagi pekerjaan yang dapat dilakukan oleh petani tunakisma di lahan pertanian. Mereka yang memilihi lahan untuk membuat bata akan memaksimalkan produksi batanya karena musim kemarau adalah anugrah bagi pembuat bata. Hasil bakaran bata jauh lebih tinggi dibandingkan musim penghujan. Bulan Agustus adalah bulan dimana masyarakat Desa Rajasinga banyak yang melakukan hajatan. Kesempatan bagi mereka yang bekerja di bidang kesenian (orkes) untuk memperoleh uang sebanyak-banyaknya dari hasil manggung di tiap tawaran. Begitu juga bagi mereka yang berdagang, semakin sering berkeliling desa menjual gorengan atau keripik. Pada bulan-bulan ini banyak masyarakat yang pergi keluar desa untuk proyek pembangunan. Mereka bekerja 2 sampai 3 bulan. Mereka yang tidak bekerja di proyek pembangunan masih tetap bekerja sebagai buruh di pembuatan bata. Sebagian ibu-ibu yang sudah tua akan memiliki tinggal di rumah. Musim kemarau seperti ini memaksa anggota rumah tangga untuk mencari pekerjaan di sektor non-pertanian untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Biasanya dengan bekerja sehari mereka hanya mampu memiliki cadangan uang untuk makan satu samapi dua hari. Bagi sebagian rumah tangga petani tunakisma, apabila mereka tidak bekerja selama dua hari maka mereka terpaksa meminjam bantuan uang pada kerabat maupun tetangga dekat sekedar untuk membeli makanan. Bulan desember sudah mulai musim penghujan. Ini berarti akan tiba musim tanam pertama di Desa Rajasinga. Selama bulan desember para petani tunakisma umumnya masih bekerja di sektor non-pertanian. Namun, kegiatan penyemaian padi sudah dilakukan karena membutuhkan waktu 25 hari untuk siap ditanam.
Sumber: Analisis dara primer, 2013
52
Ikhtisar Kesempatan kerja yang tersedia bagi rumah tangga petani tunakisma terdiri dari kesempatan kerja di sektor pertanian dan sektor non-pertanian. Pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh anggota rumah tangga petani tunakisma terdiri atas: petani penggarap, buruh tani, industri bata, pedagang, buruh bangunan, buruh di industri bata, ojek, tukang pijit, TKI dan lainnya. Pemanfaat livelihood resaources mengambil peran dalam menentukan saluran-saluran penghidupan yang dapat dilakukan rumah tangga. Mereka yang memiliki modal keuangan dan hubungan sosial dapat menggarap lahan milik kerabat, tetangga atau oranglain, sedangkan yang lainnya hanya sebatas buruh tani upahan. Demikian halnya di sektor non-pertanian, hanya mereka yang memiliki modal uang yang dapat menyewa lahan untuk membangun indutri bata dan hanya mereka yang memiliki kenalan dan jaringan kerja yang mendapatkan tawaran bekerja sebagai buruh bangunan di kota-kota. Kepemilikan aset Penerapan strategi nafkah rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga cukup beragam. Pada musim nyawah, mereka akan memaksimalkan pendapatan di sektor pertanian yakni sekitar bulan januari hingga Juni. Setelah itu, mereka mencari pekerjaan non-pertanian yang mampu memberikan pendapatan untuk makan sehari-hari. Di saat musim kemarau rumah tangga mengoptimalkan pendapatan di sektor non-pertanian dengan mencari dan memasuki pekerjaan dengan pertimbangan pendapatan yang diterima. Seluruh dari rumah tangga petani tunakisma yang menjadi responden dalam penelitian ini menerapkan pola nafkah ganda. Hal ini dilakukan karena pekerjaan di non-pertanian bersifat musiman sehingga untuk makan sehari-hari di musim kemarau maka mereka harus mencari pekerjaan lain. Strategi migrasi dilakukan dengan alasan mencari pengalaman baru dan ingin mendapatkan penghasilan lebih. Laki-laki maupun perempuan akan melakukan migrasi. Biasanya laki-laki bekerja di kota sebagai buruh bangunan, sedangkan perempuan menjadi TKW di negara-negara bagian timur.
STRUKTUR PENDAPATAN RUMAH TANGGA PETANI TUNAKISMA
Bab ini membahas mengenai hasil analisis tingkat pendapatan rumah tangga, baik dari sektor pertanian maupun non-pertanian serta total pendapatan dari rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga. Berikut uraian dari masing-masing bagian tersebut.
Pendapatan dari Sektor Pertanian Lahan pertanian merupakan modal utama bagi rumah tangga petani dalam melakukan kegiatan usaha tani. Pada bab sebelum sudah dibahas mengenai livelihood resources rumah tangga petani tunakisma, tidak semua rumah tangga memiliki lahan garapan untuk dikerjakan. Mereka yang tidak memiliki lahan garapan hanya dapat bekerja sebagai buruh tani. Mayoritas rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga hanya bekerja sebagai buruh tani. Hanya 37 persen dari rumah tangga petani tunakisma yang menjadi responden yang memiliki lahan garapan. Tingkat pendapatan pertanian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah total uang yang diterima oleh rumah tangga petani penggarap yang melakukan usaha tani sendiri di lahan garapan berdasarkan status kepemilikan sementara dan total uang yang diterima anggota rumah tangga yang bekerja sebagai buruh tani dengan menjual tenaga menjadi buruh upah harian, mingguan, musiman maupun kerja rombongan lahan pertanian. Pendapatan yang diterima oleh rumah tangga petani penggarap berbedabeda. Hal ini dipengaruhi oleh luas lahan garapan dan status penguasaaan lahan. Mereka yang menggarap di lahan hutan tidak memerlukan biaya sewa lahan, berbeda dengan petani penyewa lahan irigasi di desa yang harus mengeluarkan sejumlah uang atau padi sebagai biaya sewa lahan. Petani penyewa membayar sewa tanah setiap tahunnya sebagai syarat izin untuk menggarap. Untuk petani yang menggarap lahan gadai, setelah menukar tanah dengan sejumlah uang maka petani tersebut dapat memperoleh manfaat dengan menggarap lahan sampai batas waktu yang ditentukan. Data mengenai pendapatan usaha tani dari 13 rumah tangga petani penggarap yang menjadi responden menurut status penguasaan lahan yang dihitung dalam satu tahun dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25 B/C ratio pertanian padi menurut status penguasaan lahan dan total luas lahan rumah tangga petani penggarap, Rp/rataan luas lahan/tahun. No Status Rata-rata Biaya sewa Biaya Pendapatan R/C peguasaan luas (Rp) produksi bersih Ratio lahan (Rp) (Rp) 1 Lahan hutan 0,62 ha 3 387 098 14 623 656 4.32 2 Sewa/lanja 0,44 ha 12 450 000 10 650 000 43 950 000 1.90 3 Tanah gadai 0.07 ha 450 000 1 600 000 3.56 Sumber: Analisis data primer, 2013
54
Tabel 25 menunjukkan bahwa pendapatan rata-rata rumah tangga petani yang menggarap lahan di hutan adalah Rp14 623 656 per tahun, sedangkan pendapatan rata-rata rumah tangga petani yang menggarap lahan sawah irigasi dengan sistem sewa atau lanja adalah Rp43 950 000 dan menggarap tanah gadai adalah Rp1 600 000. Apabila dilihat berdasarkan rata-rata luas lahan maka petani yang menggarap lahan di hutan memiliki rata-rata luas lahan garapan lebih besar daripada petani yang menggarap lahan irigasi dengan sistem sewa. Akan tetapi, pendapatan raat-rata yang diterima oleh petani yang menggarap lahan hutan lebih kecil dibandingkan dengan petani yang menggarap lahan irigasi dengan sistem sewa. Hasil analisis data di lapang tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Turasi (2011) pada rumah tangga petani kentang di dataran tinggi Dieng, dimana pendapatan rumah tangga yang memiliki rata-rata luas lahan tinggi lebih besar daripada pendapatan rumah tangga yang memiliki rata-rata luas lahan kecil. Perbedaan tersebut disebabkan karena adanya perbedaan dalam sistem pertanian yang dilakukan. Di lahan hutan petani hanya dapat menanam padi sekali setahun karena keterbatasan air, sedangkan di sawah irigasi petani dapat menanam padi dua kali setahun. Dengan demikian, pendapatan petani yang menggarap lahan sawah irigasi lebih besar dibanding dengan petani yang menggarap lahan di hutan. Berdasarkan data B/C ratio, petani yang menggarap lahan hutan memiliki B/C ratio paling besar yaitu 4.32. Semakin besar nilai B/C ratio berarti pendapatan yang diterima rumah tangga petani lebih besar dari keseluruhan biaya yang dikeluarkan oleh rumah tangga petani untuk melakukan usahataninya. Besarnya nilai B/C ratio yang menggarap lahan di hutan disebabkan karena rumah tangga petani yang menggarap lahan hutan tidak perlu mengeluarkan biaya lain selain biaya total produksi. Nilai B/C ratio pada lahan sawah irigasi dengan sistem sewa memiliki nilai paling kecil, yakni 1.90. Hal ini disebabkan karena rumah tangga petani harus membayar biaya sewa yang harganya cukup mahal. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa resiko yang harus ditanggung petani yang menggarap lahan sawah irigasi dengan sistem sewa maupun lanja lebih besar dari pada mereka yang menggarap lahan hutan karena besarnya pengeluaran hampir sama dengan jumlah pendapatan yang diterima. “Di hutan saya cuma bisa nanam padi sekali setahun, beda sama petani yang menggarap sawah irigasi di desa. Kalau dihitung-hitung jumlah padi hasil panen juga lebih banyak dari sawah irigasi. Tapi untungnya kalau di lahan hutan tidak harus bayar uang sewa lahan. Sudah 5 tahun saya menggarap lahan hutan dan hasilnya lumayan untuk persediaan beras selama setahun dan sebagian dijual. Uang hasil penjualan disimpan untuk modal menanam padi tahun berikutnya.” (KDS, 60 tahun, Petani penggarap) Pendapatan dari sektor pertanian tidak hanya diperoleh rumah tangga petani penggarap saja, melainkan rumah tangga buruh tani juga dapat memperoleh pendapatan dengan menjual tenaganya. Rata-rata pendapatan yang diterima oleh rumah tangga petani penggarap, petani penggarap+buruh tani dan buruh tani dapat di lihat pada Tabel 26.
55
Tabel 26 Rata-rata pendapatan pertanian rumah tangga petani tunakisma per tahun menurut tingkat ketunakismaan di Desa Rajasinga No Kegiatan Petanian Rata-rata pendapatan rumah tangga/tahun (Rp) Tunaksma tidak mutlak Tunakisma mutlak Penggarap Penggarap + buruh tani 1 Menggarap lahan 15 250 000 15 920 000 2 Memburuh 995 000 2 201 591 Total
15 250 000
16 915 000
2 201 591
Rata-rata Pendapatan Rumah Tangga Petani Tunakisma Dari Sektor Pertanian/Tahun 18.000.000 16.000.000 14.000.000 12.000.000 10.000.000 8.000.000 6.000.000 4.000.000 2.000.000 0
15 250 000
15 920 000
Menggarap lahan sendiri Memburuh 2 201 591 995 000
Penggarap Penggarap+ Buruh tani buruh tani Gambar 2
Grafik rata-rata pendapatan pertanian rumah tangga petani tunakisma/tahun menurut tingkat ketunakismaan di Desa Rajasinga
Tabel 26 menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan dari pertanian terbesar ada pada rumah tangga petani penggarap+buruh tani sebesar Rp16 915 000 per tahun dan setelah itu rumah tangga petani penggarap dan rumah tangga buruh tani berturut-turut sebesar Rp15 250 000 dan Rp2 201 591. Rumah tangga petani penggarap+buruh tani akan memperoleh hasil dari usaha taninya dan upah lain dari menjual tenaga sebagai buruh tani. Terlepas dari berapa rata-rata luas lahan garapan, pada Tabel 26 dapat dilihat bahwa rumah tangga yang melakukan pekerjaan dengan menggarap lahan berdasarkan status kepemilikan sementara dan bekerja sebagai buruh tani akan memiliki pendatapan yang lebih besar. Petani yang bekerja sebagai penggarap+buruh tani memiliki rata-rata pendapatan lebih besar dari rumah tangga yang hanya menjadi petani penggarap. Secara keseluruhan dari tiga kategori rumah tangga petani berdasarkan tingkat ketunakismaan maka terlihat jelas bahwa buruh tani adalah golongan penerima manfaat terkecil dari sektor pertanian. Jika dibandingkan dengan pendapatan petani penggarap, besarnya pendapatan buruh tani sepertujuh dari pendapatan rumah tangga petani penggarap.
56
Pendapatan dari Sektor Non-Pertanian Mencari pekerjaan di luar pertanian adalah cara yang dilakukan rumah tangga petani tunakisma di saat musim kemarau. Ketika tidak ada perkerjaan yang dapat dilakukan di lahan pertanian maka anggota rumah akan mencari dan memasuki pekerjaan-pekerjaan di sektor non-pertanian. Berbagai pekerjaan dilakukan oleh anggota rumah tangga, antara lain: buruh bangunan, buruh di pembuatan bata, becak, ojek, berdagang hingga menjadi buruh migran ke kotakota sekitar desa. Tingkat pendapatan non-pertanian adalah total uang yang diterima oleh rumah tangga dari bekerja di non sektor pertanian sebagai pengrajin, buruh pabrik, pedagang kecil-menengah, sopir angkot, ojek dan lainnya. Sebagian besar anggota rumah tangga memilih bekerja di pembuatan bata. Jenis pekerjaan yang dapat dilakukan oleh buruh bata adalah mencetak dan menjadi kuli angkut bata. Golongan usia muda lebih memilih bekerja sebagai buruh di pembuatan bata karena upah yang diterima cukup besar. Setiap harinya mereka yang bekerja sebagai kuli angkut bata mampu membawa penghasilan kotor Rp40 000-Rp50 000 setiap hari. Besarnya upah yang diterima buruh sesuai dengan banyaknya pekerjaan yang dilakukan. Begitu juga halnya dengan pendapatan yang diterima dengan bekerja sebagi buruh bangunan, tukang ojek, becak dan lainnya, ditentukan oleh waktu kerja yang diluangkan. Data di lapang menunjukkan bahwa setiap pekerjaan non-pertanian memberi kontribusi yang berbeda-beda dalam membentuk struktur pendapatan rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga. Ketika dihadapkan pada banyaknya tawaran pekerjaan maka petani cenderung bersifat rasional. Mereka akan memilih pekerjaan yang memberikan pendapatan yang lebih besar daripada pilihan pekerjaan lainnya. “Kalau musim kemarau tidak ada pekerjaan di sawah jadi seharihari saya membantu istri mencari singkong untuk dibuat keripik. Keripik singkong yang jadi dititip sekali tiga hari di warungwarung. Kalau ada tawaran proyek pembangunan di kota sudah pasti saya ambil. Walaupun harus meninggalkan anak dan istri di rumah karena harus tinggal selama dua bulan di lokasi pembangunan, sepulangnya dari sana saya bisa bawa uang sebesar Rp4 000 000 sampai Rp6 000 000. Istri saja yang mengurus jualan keripiknya.” (DMR, 40 tahun, petani penggarap) Berdasarkan data di lapang maka dapat diperoleh besarnya rata-rata pendapatan rumah tangga per tahun dari setiap pekerjaan non-pertanian yang dilakukan oleh anggota rumah tangga. Sumber pendapatan non-pertanian tersebut terdiri atas: pemilik industri bata, buruh bata, warung, buruh bangunan, tukang ojek, tukang pijit, menjala ikan pegawai dan kesenian. Rata-rata pendapatan rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga per tahun menurut sumber pendapatan non-pertanian dapat dilihat pada Tabel 27.
57
Tabel 27 Rata-rata pendapatan rumah tangga petani tunakisma per tahun menurut sumber pendapatan non-pertanian di Desa Rajasinga No Sumber pendapatan Rata-rata pendapatan rumah tangga/tahun (Rp) Penggarap Penggarap + Buruh tani buruh tani 1 Manjala ikan 1 920 000 2 Pegawai 12 000 000 3 Industri bata 22 800 000 8 640 000 4 Buruh bata 3 120 000 4 800 000 7 874 667 5 Warung 3 600 000 3 124 000 6 Buruh bangunan 5 333 333 6 600 000 7 Tukang ojek 2 880 000 8 Becak 4 320 000 9 Tukang pijit 3 600 000 10 Kesenian 20 000 000
Rata-rata pendapatan rumah tangga petani tunakisma Dari Sektor Non-Pertanian/Tahun Manjala ikan
25.000.000
Pegawai
20.000.000
Industri bata
15.000.000
Buruh bata Warung
10.000.000 Buruh bangunan
5.000.000
Tukang ojek Becak
0 penggarap
Penggarap+ buruh tani
Buruh tani
Tukang pijit Kesenian
Gambar 3
Grafik rata-rata pendapatan rumah tangga petani tunakisma per tahun menurut sumber pendapatan non-pertanian di Desa Rajasinga
Tabel 27 menunjukkan bahwa sumber pendapatan non-pertanian rumah tangga petani pengggarap dan rumah tangga petani pengggarap+buruh tani terbesar berasal dari pemilik industri bata, sedangkan sumber pendapatan nonpertanian rumah tangga buruh tani terbesar berasal dari pekerjaan di kesenian dan sebagai buruh di tempat pembuatan bata. Adanya industri bata di Desa Rajasinga telah membantu masyarakat dalam memenuhi kebututuhan hidup sehari-hari, namun tetap saja manfaat yang diterima masing-masing golongan berbeda-beda.
58
Rumah tangga petani tunakisma umumnya tergolong dalam pemilik industi bata berskala kecil. Mereka memanfaatkan lahan dengan luas rata-rata 42.5 bata atau 0.06 ha. Lahan seluas 40 bata pada musim kemarau mampu menghasilkan 5 000 bata merah bakar yang siap dijual. Hanya mereka yang memiliki modal untuk menyewa lahan yang bisa membangun gubuk kecil sebagai tempat pembuatan bata, sedangkan yang lainnya hanya bekerja sebagai buruh. Sumber non-pertanian yang memberikan pendapatan cukup besar lainnya adalah menjadi pegawai (tukang bersih-bersih di bank BRI) dan buruh bangunan. Pendapatan Total Rumah Tangga Pendapatan total rumah tangga adalah gabungan jumlah uang yang diterima rumah tangga dari bekerja di sektor pertanian dan non-pertanian. Bagi rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga aktivitas nafkah dari sektor pertanian maupun non-pertanian memegang peran penting dalam memenuhi kebutuhan seluruh anggota rumah tangganya. Meskipun ada beberapa rumah tangga responden yang mengatakan bahwa bekerja di sektor non-pertanian sebagai pembuat bata maupun buruh bata pendapatannya lebih besar dibandingkan bekerja di lahan pertanian. Namun, ketika memasuki musim nyawah dan panen mereka kembali menjadi petani penggarap maupun buruh tani. Total pendapatan rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga per tahun dapat dilihat pada Tabel 28. Tabel 28 Total pendapatan rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga No Sektor Rata-rata pendapatan rumah tangga/tahun (Rp) Tunaksma tidak mutlak Tunakisma mutlak Penggarap Penggarap+ buruh tani 1 Pertanian 15 250 000 16 915 000 2 201 591 2 Non-pertanian 11 445 000 6 608 000 8 979 090 Total
26 695 000
23 523 000
11 180 681
Tabel 28 menunjukkan bahwa dari ketiga kategori tumah tangga petani tunakima terdapat rumah tangga petani penggarap+buruh tani memiliki rata-rata pendapatan terbesar dari sektor petanian dan rumah tangga penggarap memiliki rata-rata pendapatan terbesar dari sektor non-pertanian. Rumah tangga tunakisma mutlak (buruh tani) berada pada rata-rata pendapatan terkecil dari sektor pertanian maupun non-pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa dalam golongan petani tunakisma telah terjadi stratifikasi berdasarkan pendapatan karena perbedaan akses pada lahan pertanian. Petani penggarap yang menyewa lahan akan melakukan usaha tani sendiri, selain itu ada juga yang memanfaatkan sebagian lahan yang disewa untuk membangun industri bata merah.
59
Tabel 29 Persentase pendapatan rumah tangga petani tunakisma menurut tingkat ketunakismaan per tahun menurut sektor di Desa Rajasinga No Sektor Persentase pendapatan rumah tangga/tahun (%) Tunaksma tidak mutlak Tunakisma mutlak Penggarap Penggarap+ buruh tani 1 Pertanian 57 72 20 2 Non-pertanian 43 28 80 3
Total
100
100
100
Tabel 29 menunjukkan bahwa Persentase terbesar pendapatan rumah tangga per tahun dari rumah tangga petani penggarap dan penggarap+buruh tani berada pada sektor pertanian, sedangkan persentase terbesar pendapatan rumah tangga per tahun dari rumah tangga buruh tani berada pada sektor non-pertanian. Meskipun sektor non-pertanian berkontribusi terhadap struktur pendapatan rumah tangga, namun sektor pertanian masih tetap memegang peran penting dalam menentukan struktur pendapatan masyarakat desa.
Persentase Pendapatan Rumah Tangga Petani Tunakisma menurut Sektor/Tahun 100% 80%
28
43
60%
80
40% 20%
72
57
20
0% penggarap
penggarap+ buruh tani Pertanian
Gambar 4
buruh tani
Non-pertanian
Grafik persentase pendapatan rumah tangga petani tunakisma menurut sektor di Desa Rajasinga per tahun
Gambar 4 menunjukkan perbandingan pendapatan pertanian dan nonpertanian dari masing-masing kategori rumah tangga berdasarkan status penguasaan lahan. Petani tunakisma yang memiliki lahan garapan cenderung melakukan intensifikasi sektor pertanian dengan memperkecil biaya saprotan untuk meningkatkan pendapatan. Petani tunakisma yang hanya bekerja sebagai buruh tani cenderung melakukan intensifikasi di sektor non-pertanian dengan meningkatkan jumlah hari dan jam kerja yang dilakukan untuk mencari nafkah. Setelah habis masa nyawah dan panen maka mereka memaksimalkan tenaga untuk bekerja sebagai buruh di pembuatan bata, buruh bangunanan, ojek, becak dan lainnya.
60
Secara keseluruhan persentase pendapatan total rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga dpat dilihat pada Tabel 30. Tabel 30 Jumlah dan persentase total pendapatan rumah tangga petani tunakisma di Desaa Rajasinga No Sektor Rata-rata pendapatan rumah tangga/tahun ∑ (Rp) Persentase (%) 1 Pertanian 7 286 000 44 2 Non-pertanian 9 295 420 56 3 Total 16 581 420 100
Persentase Pendapatan Rumah Tangga Petani Tunakisma menurut Sektor/Tahun 100% 80%
56 60% 40%
44
20% 0%
Pertanian
1Non-Pertanian
Persentase Pendapatan Rumah Tangga Petani Tunakisma menurut Sektor/Tahun 100% 80%
56 60% 40%
44
20% 0%
Pertanian
Non-Pertanian
61
Gambar 5
Grafik persentase pendapatan rumah tangga petani tunakisma menurut sektor di Desa Rajasinga per tahun
Tabel 30 menunjukkan bahwa struktur pendapatan rumah tangga petani tunakisma yang terdapat di Desa Rajasinga terdiri dari pendapatan dari sektor pertanian dan non-pertanian. pendapatan dari sektor non-pertanian lebih besar dibandingkan pendapatan dari sektor pertanian. Meskipun demikian, perbandingan jumlah dan persentase antara pendapatan sektor pertanian dan nonpertanian hampir sama. Dapat dikatakan bahwa baik sektor pertanian maupun non-pertanian memberi kontribusi yang hampir setara terhadap pembentukan struktur pendapatan rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga.
62
Ikhtisar Status penguasaan lahan mempengaruhi besarnya pendapatan. Mereka yang menggarap lahan irigasi dengan sistem sewa memiliki rata-rata pendapatan non-pertanian lebih besar dari pada mereka yang menggarap lahan hutan. Namun, berdasarkan nilai B/C ratio petani yang menggarap lahan hutan memiliki nilai B/C ratio lebih besar daripada petani yang menggarap dengan sistem sewa dan tanah gadai. Hal ini disebabkan karena rumah tangga petani yang menggarap lahan hutan tidak perlu mengeluarkan biaya lain selain biaya total produksi. Dari ketiga kategori rumah tangga maka rumah tangga buruh tani yang memiliki rata-rata pendapatan non-pertanian paling kecil. Selain itu, peran sektor non-pertanian juga berperan dalam menentukan struktur pendaptan rumah tangga. Pendapatan dari sektor non-pertanian terdiri atas pekerjaan jasa, non-jasa dan kegiatan migrasi. Jenis pekerjaan yang umumnya dilakukan, antara lain: membuat bata merah, buruh di indutri bata, buruh bangunan, becak, dagang, tukang pijit, menjala ikan dan lainnya. Strategi nafkah yang dibangun rumah tangga mempengaruhi struktur pendapatan rumah tangga. Pada musim nyawa rumah tangga memaksimalkan pendapatan di sektor petanian, sedangkan pada musim kemarau rumah tangga memaksimalkan pendapatan di sektor non-pertanian. Kontribusi pendapatan dari sektor pertanian dan non-pertanian terhadap rata-rata pendapatan rumah tangga per tahun dari ketiga kategori rumah tangga berdasarkan tingkat ketunakismaan berbeda-beda. Rumah tangga petani penggarap dan rumah tangga petani penggarap+buruh tani memiliki rata-rata pendapatan dari sektor pertanian lebih besar dari pada rata-rata pendapatan dari sektor non-pertanian. Berbeda dengan rumah tangga buruh tani, rata-rata pendapatan dari sektor non-pertanian lebih besar daripada rata-rata pendapatan dari sektor pertanian. Namun, hasil analisis secara keseluruhan menunjukkan bahwa sektor pertanian maupun non-pertanian memberi kontribusi yang hampir setara terhadap pembentukan struktur pendapatan rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga.
63
PENUTUP Simpulan Strategi nafkah yang dilakukan rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga dipengaruhi oleh kelima livelihood resources yang dimiliki rumah tangga. Rumah tangga akan menggerakkan seluruh anggota rumah tangganya yang sudah dewasa untuk membantu bekerja di sektor pertanian maupun nonpertanian. Meskipun tidak memiliki uang, namun mereka cenderung memanfaatkan hubungan-hubungan sosial untuk memperoleh lahan garapan dan bantuan lainnya. Alat produksi pertanian dan aset rumah tangga yang dimiliki juga membantu dalam bekerja di sektor pertanian dan non-pertanian. Penerapan strategi nafkah yang dilakukan oleh rumah tangga petani tunakisma sangat beragam dengan memanfaatkan sektor pertanian dan nonpertanian. strategi nafkah yang dilakukan oleh rumah tangga berdasarkan tingkat ketunakismaan, yakni: 1. Bagi rumah tangga yang memiliki modal uang dan didukung dengan modal sosial dapat dengan mudah memperoleh lahan garapan. Mereka menguasai lahan dengan sistem kepemilikan sementara dan disebut dengan rumah tangga petani tunakisma tidak mutlak. Petani penggarap cenderung melakukan upaya intensifikasi pendapatan di sektor pertanian dengan memanfaatkan teknologi traktor untuk mempercepat proses pembajakan dan memanfaatkan tenaga kerja rumah tangga untuk mengurangi biaya pengolahan lahan. Strategi pola nafkah ganda juga dipilih untuk memaksimalkan total pendapatan rumah tangga. 2. Bagi rumah tangga petani tunakisma yang tidak memiliki lahan garapan mereka hanya dapat bekerja sebagai buruh tani, baik buruh tani harian, musiman maupun secara borongan. Strategi nafkah yang dilakukan oleh petani tunakisma mutlak adalah dengan melakukan upaya intensifikasi di sektor pertanian dan non-petanian. Mereka menggerakkan anggota rumah tangga yang sudah dewasa bekerja di lahan pertanian saat musim panen dan akan mencari pekerjaan lain yang menghasilkan uang saat musim kemarau tiba. Tidak hanya pada satu jenis pekerjaan saja, tetapi mereka memanfaatkan waktu luang yang dimiliki untuk berbagai pekerjaan. Strategi pola nafkah ganda juga dipilih untuk memaksimalkan total pendapatan rumah tangga. Selain itu, strategi migrasi dilakukan dengan alasan mencari pengalaman dan memperoleh penghasilan yang lebih dibandingkan hanya bekerja di desa. Sumbangan sektor pertanian dan sektor non-pertanian terhadap total pendapatan rumah tangga petani tunakisma per tahun dari setiap kategori rumah tangga sangat beragam. Rumah tangga petani penggarap memperoleh total pendapatan dari sektor pertanian sebesar 57 persen dan dari sektor non-pertanian sebesar 43 persen. Rumah tangga petani penggarap+buruh tani memperoleh total pendapatan dari sektor pertanian sebesar 72 persen dan dari sektor non-pertanian sebesar 28 persen dan yang terakhir rumah tangga buruh tani memperoleh total pendapatan dari sektor pertanian sebesar 20 persen dan dari sektor non-pertanian sebesar 80 persen.
64
Saran Rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga hidup dalam keadaan yang serba sulit. Tidak semua dari mereka memiliki modal untuk memperoleh lahan garapan sehingga sebagian besar petani tunakisma hanya bekerja sebagai buruh tani yang terkadang upah yang diterima tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhan anggota rumah tangganya. Saran yang dapat diberikan oleh peneliti adalah perlunya bantuan dari pemerintah dalam hal bantuan modal usaha dan pelatihan keterampilan sehingga petani tunakisma dapat mengembangkan usaha mandiri untuk mendukung kehidupan ekonominya di musim kemarau. Selain itu, menyadarkan masyarakat akan pentingnya pendidikan sebagai aset mereka dalam memperoleh pekerjaan yang lebih baik dan membantu mereka yang kurang mampu untuk menikmati bangku pendidikan. Tidak mungkin dilakukan pembagian tanah secara merata bagi petani-petani di Desa Rajasinga karena tidak ada lagi lahan yang belum dibuka, akan tetapi pihak pemerintah desa dapat membantu petani-petani tunakisma dalam hal memberi kesempatan bagi mereka yang ingin menggarap lahan milik desa yang tidak dimanfaatkan.
DAFTAR PUSTAKA Amar S. 2002. Kajian Ekonomi tentang Kemiskinan di Perdesaan Provinsi Sumatra Barat. Jurnal Ekonomi Pembangunan. 07(02):103-111. [Internet]. [dikutip 22 Maret 2013].dapat diunduh dari: http://journal.uii.ac.id/index.php/JEP/article/viewFile/644/572 Bahrin, Sugihen BG, Susanto D, Asngari PS. 2008. Luas Lahan dan pemenuhan Kebutuhan Dasar (Kasus Rumahtangga Petani Miskin di Daerah Dataran Tinggi Kabupaten Kepahiang). Jurnal penyuluhan. 04(02):116-125. [internet]. [dikutip 15 April 2013]. Dapat diunduh dari: http://journal.ipb.ac.id/index.php/jupe/article/view/2177/1206 Dharmawan AH. 2007. Sistem Penghidupan dan Nafkah Pedesaan Pandangan Sosiologi Nafkah (LivelihoodSociology) Mazhab Barat dan Mazhab Bogor. Sodality. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia. 01(02):169-192. [Internet]. [dikutip 15 Mei 2013]. Dapat diunduh dari: http://jurnalsodality.ipb.ac.id/jurnalpdf/edisi2-1.pdf Ellis F. 2000. Rural Livelihoods and Diversity in Developing Countries. New York [US]: Oxford University Press. Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta (ID): Balai Pustaka. Kroef JM. 2008. Penguasaan Tanah dan Struktur Sosial di Pedesaan Jawa. Dalam SoedionoM.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (Penyunting). 2008. Dua Abad Peguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakarta (ID): Gramedia. Kutanegara PM. 2000. Akses terhadap Sumberdaya dan Kemiskinan di Pedesaan Jawa: kasus Desa Sriharjo, Yogyakarta. Jurnal Humaniora. [Internet]. [dikutip 20 Maret 2013]. 11(03):313-323. Dapat diunduh dari: http://journal.ugm.ac.id/index.php/jurnalhumaniora/article/download/704/550 Mulyanto D, Mukbar D, Endag M, Saputro PA, Samandawai S. 2009. Kapitalisme dalam Penghidupan Pedesaan. Bandung [ID]. Yayasan AKATIGA. 402 hal. Saragih B, Susanto D. 2006. Petani Tuna Kisma. Jurnal Penyuluhan. 02(02):133140. [Internet]. [dikutip 30 April 2013]. Dapat diunduh dari: http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/42865/Ibrahim%20S aragih.pdf?sequence=1 Scoones I. 1998. Sustainable Rural Livelihoods a Framework for Analysis. IDS Working Paper 72. [Internet]. [dikutip 15 Mei 2013]. Dapat diunduh dari: http://graduateinstitute.ch/webdav/site/developpement/shared/developpemen t/mdev/soutienauxcours0809/Gironde%20Pauvrete/Sustainable%20Rural% 20Livelihhods%20-%20Scoones.pdf Singarimbun M, Effendi S. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta (ID): LP3ES. Sumarti T. 2007. Kemiskinan Petani dan Strategi Nafkah Ganda Rumahtangga Pedesaan. Sodality. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia. [Internet]. [dikutip 20 Maret 2013]. 01(02):217-232. Dapat diunduh dari: http://jurnalsodality.ipb.ac.id/jurnalpdf/edisi2-3.pdf
66
Turasih. 2011. Sistem Nafkah Rumahtangga Petani Kentang di Dataran Tinggi Dieng (Kasus Desa Karangtengah, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah) [skripsi]. Bogor [ID): Institut Pertanian Bogor. Widiyanto. 2009. Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Tembakau di Lereng Gunung Sumbing (Studi Kasus di Desa Wonotirto dan Campursari Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Widiyanto, Suwarto, Setyowati R. 2010. Dinamika Nafkah Rumahtangga Pedesaan dengan Pendekatan sustainableLivelihodApproach (SLA) (Kasus Petani Tembakau di Lereng Gunung Merapi-Merbabu, Propinsi Jawa Tengah). Jurnal agritext. (28):80-88. [Internet]. [dikutip 17 April 2013]. Dapat diunduhdari: http://fp.uns.ac.id/jurnal/2.2%20Widiyanto,%20SP,%20MSi.pd Wiradi G. 2008. Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria. Dalam SoedionoM.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (Penyunting). 2008. Dua Abad Peguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakarta (ID): Gramedia. Wiradi G. 2009. Metode Studi Agraria: Karya terpilih GunanwanWiradi. Bogor (ID): SAINS-SKPMIPB. 348 hal. Wiradi G, Makali. 2009. Penguasaan Tanah dan Kelembagaan. Dalam: Moh. Sholibuddin, editor. Ranah Studi Agraria: Penguasaan Tanah dan Hubungan Agraria. Yogyakarta [ID]. Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional. 102-173 hal.
67
LAMPIRAN
68
Lampiran 1 Kerangka sampling penelitian di Desa Rajasinga No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39
Nama WDL IDN RYD WRD HND GND SDL KNP CRM KSD RHM IRS SDK SMS AKS WRM AND CRL MUF AMD KRS WDR RWI DMR RTP YTI WSL RKY WSN MRS WRT SDR TRM HRN SLH TRY WJD MSK KSM
Blok Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga
RW/RT 01/01 01/01 01/01 01/01 01/01 01/01 01/01 01/01 01/01 01/01 01/01 01/01 01/01 01/01 01/01 01/01 01/01 01/01 01/01 01/02 01/02 01/02 01/02 01/02 01/02 01/02 01/02 01/02 01/02 01/02 01/02 01/02 01/02 01/02 01/03 01/03 01/03 01/03 01/04
40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79
RIS AML TBI SKR MEM MUS AGS ADY MHL HSM KSN MSR TBR CRH MNR RSK MWW KHO STP TOP JAM MKD NSR HMZ MPD JML TRS MSL ARY SHN TSM HLD WRN ASM STR WSD TRS RAN ABD SAI
Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga
01/04 01/04 01/04 01/04 01/04 01/04 01/04 01/04 01/04 01/04 01/04 01/04 01/04 01/04 01/04 01/04 01/04 01/05 01/05 01/05 01/05 01/05 01/05 01/05 01/05 01/05 01/05 01/05 01/05 01/05 01/05 01/05 01/05 01/05 01/05 01/05 01/06 01/06 01/06 01/06
70
80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121
SLM TNO KAR OLP DRI THP NAT SBH KMT SRM IDR AMN SMD SNJ KHD SPR NWW RHM SDN SMD UNN NNT RDN SRF DRN KST ABK END JND RHM PSM KRY JNI YNS AGS NRY BND REN TRM DRS JUN HLN
Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga
01/06 01/06 01/06 01/06 01/06 01/06 01/06 01/06 01/06 01/06 01/06 01/06 01/06 01/06 01/07 01/07 01/07 01/07 01/07 01/07 01/07 01/07 01/07 01/07 01/07 01/07 02/01 02/01 02/01 02/01 02/01 02/01 02/01 02/01 02/01 02/01 02/01 02/01 02/02 02/02 02/02 02/02
122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163
SDM YNT USM JML MUI AHM RKM MAD SMD JMR MYN MUK MAH SUM RPN WHY SLA AKM SYD KHP ASM DRS SJM SPR ABD SAM KRS UDN KOD KAS SMR HSM RPN MRP YDT TNR RHM AGS WST UJH WSN ASM
Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga
02/02 02/02 02/02 02/02 02/02 02/02 02/02 02/02 02/02 02/02 02/02 02/02 02/02 02/02 02/02 02/02 02/02 02/02 02/02 02/03 02/03 02/03 02/03 02/03 02/03 02/03 02/03 02/03 02/03 02/03 02/03 02/03 03/01 03/01 03/01 03/01 03/01 03/01 03/01 03/01 03/01 03/02
71
164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198 199 200 201 202 203 204 205
RSD EWK OJN WJN SLM YHD MKD KNH MJK SRN KSM KSW KSL ING SNN DSK KRW DRT SHM MSY MKT RSD JJT SLH THA BSR KAS SKN CRD SKR AWI PUD SHD HRD IRV STB STR MSD JKI MUY SDR NAT
Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga
03/02 03/02 03/02 03/02 03/02 03/02 03/02 03/02 03/02 03/02 03/02 03/02 03/02 03/02 03/02 03/02 03/02 03/02 03/02 03/02 03/02 03/02 03/03 03/03 03/03 03/03 03/03 03/03 03/03 03/03 03/03 03/03 03/03 03/03 03/03 03/03 03/03 03/03 03/03 03/03 03/03 03/03
206 207 208 209 210 211 212 213 214 215 216 217 218 219 220 221 222 223 224 225 226 227 228 229 230 231 232 233 234 235 236 237 238 239 240 241 242 243 244 245 246 247
AMN KSA SLM WST HLD KRN MIS WRM MHF THY MYN HM WRS SAM WRM TSM SMD MMD ASN ERM MKH SLH TBS NRD TUB WRT WLY HLD RST CSM DLM DNH WSM RSD RSM LBR HSN MLT SYN SHD KDS MSD
Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga
03/03 03/04 03/04 03/04 03/04 03/04 03/04 03/04 03/04 03/05 03/05 03/05 03/05 03/05 03/05 03/05 03/05 03/05 03/05 03/05 03/05 03/05 03/05 03/05 03/05 03/06 03/06 03/06 03/06 03/06 03/06 03/06 03/06 03/06 03/06 03/06 03/06 03/06 03/06 03/06 03/06 03/06
72
248 249 250 251 252 253 254 255 256 257 258 259 260 261 262 263 264 265 266 267 268 269 270 271 272 273 274 275 276 277 278 279 280 281 282 283 284 285 286 287 288 289
TRM SRY ADR PRY RKN AKM KRN WRS MKR SLM TRJ ASM SBN WID MJD BNH TRL TSM TRM KRM MSJ SHD SHR KRN DMN WHY ANT PTN SAM SLH HRM SPT SMN DRM TRK RKH DNR MSL KSN RSW NRJ MHN
Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Rajasinga Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi
03/06 03/06 03/06 03/06 03/06 03/06 03/06 03/06 03/06 03/06 04/01 04/01 04/01 04/01 04/01 04/01 04/01 04/01 04/01 04/01 04/01 04/01 04/02 04/02 04/02 04/02 04/02 04/02 04/02 04/02 04/02 04/02 04/02 04/03 04/03 04/03 04/03 04/03 04/03 04/03 04/03 04/03
290 291 292 293 294 295 296 297 298 299 300 301 302 303 304 305 306 307 308 309 310 311 312 313 314 315 316 317 318 319 320 321 322 323 324 325 326 327 328 329 330 331
TMN CWD TWD ASM CKL WWN SPN SRP KMB MLY NWW CSK KSM AGN SRD DRS ASM STR DLT ERS KSN MAD SPN SLM TMI GBN SRP AKN KRY MUI WSM HSN SMR LTP WRM SRP WRK SYD RSM DMN NSM YNS
Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi
04/03 04/03 04/03 04/03 04/03 04/03 04/04 04/04 04/04 04/04 04/04 04/04 04/04 04/04 04/04 04/04 04/05 04/05 04/05 04/05 04/05 04/05 04/05 04/05 04/05 04/05 04/05 04/05 04/05 04/05 04/05 04/05 04/05 04/05 04/05 04/05 04/05 04/05 04/05 04/05 04/05 04/05
73
332 333 334 335 336 337 338 339 340 341 342 343 344 345 346 347 348 349 350 351 352 353 354 355 356 357 358 359 360 361 362 363 364 365 366 367 368 369 370 371 372 373
DRG IKS ABD ASM RHM MSN SLH SKM SRM TMJ UDN SUR KMR IMB TMM KSN CAT MKJ NNG MKT SHD KHL BNY DWD JML HNN MKR CKM TRG NSK SMB SNG JJL WRD KRN SRN TRK ECI SHR KDR SAD DLM
Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi
04/05 04/05 05/01 05/01 05/01 05/01 05/01 05/01 05/01 05/01 05/02 05/02 05/02 05/02 05/02 05/02 05/02 05/02 05/02 05/02 05/02 05/02 05/02 05/02 05/02 05/03 05/04 05/04 05/04 06/01 06/01 06/02 06/02 06/02 06/02 06/02 06/02 06/02 06/03 06/03 06/03 06/03
374 375 376 377 378 379 380 381 382 383 384 385 386 387 388 389 390 391 392 393 394 395 396 397 398 399 400 401 402 403 404 405 406 407 408 409 410 411 412 413 414 415
MSS STR ASM MLY MHP KRD MUH BKR SHN DDK Murtaba TTS Nuridin DRS ERY ABD RKM SNG SKR SRJ STY SJN KDL BRI DMN SRP SRD MSN CST SHR DAM TRW JDN NRK CRM TTO MKM HRR YOPP MSK JNI DHK
Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Terisi Sukawera Sukawera Karangturi Karangturi Embos Embos Embos Embos Embos
06/03 06/03 06/03 06/03 06/04 06/04 06/04 06/04 06/04 06/04 06/04 06/04 06/04 06/04 06/04 06/04 06/04 06/04 06/04 06/04 06/04 06/05 06/05 06/05 06/05 06/05 06/05 06/05 06/05 06/05 06/05 06/05 06/05 07/01 07/01 07/02 07/02 07/03 07/03 07/03 07/03 07/03
74
416 417 418 419 420 421 422 423 424 425 426 427 428 429 430 431 432 433 434 435 436 437 438 439 440 441 442 443 444 445 446 447 448 449 450 451 452 453 454 455 456 457
WRK YSN SBR MLY ARP DDR WRS YNS NRD STR SLM SPR LYR ADB SRY SNR TRY BSR SHR LNT IDR MLK RST ASP DDS ADK SLM KSD HSN KMR SMN DND TMD SKR SND WRM ROH RSY KMU YYO HSN BNC
Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos
07/03 07/03 07/03 07/03 07/03 07/03 07/03 07/03 07/03 07/03 07/03 07/03 07/03 07/03 07/03 07/03 07/03 07/03 07/03 07/03 07/03 07/03 07/03 07/03 07/03 07/03 07/03 07/04 07/04 07/04 07/04 07/04 07/04 07/04 07/04 07/04 07/04 07/04 07/04 07/04 07/04 07/04
458 459 460 461 462 463 464 465 466 467 468 469 470 471 472 473 474 475 476 477 478 479 480 481 482 483 484 485 486 487 488 489 490 491 492 493 494 495 496 497 498 499
KSI KSN SNY SND MLT MRK AAN STR KSN CRD WRY CSW WRM DRS SLM SDK SPR WRN SJD ASM RAS PND WSK MRY HEM ENT AGU EMR USN WLY SRT TRS MRT RST OBH TRJ TTO JMD TRN DUL DRJ IKS
Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos
07/04 07/04 07/04 07/04 07/04 07/04 07/04 07/04 07/04 07/04 07/04 07/04 07/04 07/04 07/04 07/04 07/04 07/05 07/05 07/05 07/05 07/05 07/05 07/05 07/05 07/05 07/05 07/05 07/05 07/05 07/05 07/05 07/05 07/05 07/05 07/05 07/05 07/05 07/05 07/05 07/05 07/05
75
500 501 502 503 504 505 506 507 508 509 510 511 512 513 514 515 516 517 518 519 520 521 522 523 524 525 526 527 528 529 530 531 532 533 534 535 536 537 538 539 540 541
HRN DLR SDR ASL DRT KRD JLU CRM AHM WSM KMS SMR DRH IDN KSM FTR SLH KSW HRI WRM TRM MSR SKN KDR QSM ASM CHY MSR MIN RMN TRJ SKM SBN MHM ASM TLM SLM SLK KMR TRY SMR WWI
Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos
07/05 07/05 07/05 07/05 07/05 07/05 07/05 07/05 07/05 07/05 07/05 07/05 07/05 07/05 07/05 07/05 07/05 07/05 07/05 07/05 07/05 07/05 07/06 07/06 07/06 07/06 07/06 07/06 07/06 07/06 07/06 07/06 07/06 07/06 07/06 07/06 07/06 07/06 07/06 07/06 07/06 07/06
542 543 544 545 546 547 548 549 550 551 552 553 554 555 556 557 558 559 560 561 562 563 564 565 566 567 568 569 570 571 572 573 574 575 576 577 578 579 580 581 582 583
SNT DKL MRD WSK KRS SMN DLO SRY PRJ MRK DMR ZRW BSR WST SRN MSN KRY JYD KLL DKI CRM SRI DRK KSN SKR SKR KMN JLN SKN WHY TRJ SMN SMN CSM YYP RDY MRY KLI DMN SRM KRD NMN
Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos
07/06 07/06 07/06 07/06 07/06 07/06 07/06 07/06 07/06 07/06 07/06 07/06 07/06 07/06 07/06 07/06 07/06 07/06 07/06 07/06 07/06 07/06 07/06 07/06 07/06 07/06 07/06 07/06 07/06 07/06 07/06 07/06 07/06 07/07 07/07 07/07 07/07 07/07 07/07 07/07 07/07 07/07
76
584 585 586 587 588 589 590 591 592 593 594 595 596 597
CRM TYO MSK UMR SND WRJ RSM KRY CRM KDR KSW TNO CSM AMN
Keterangan
Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos Embos :
07/07 07/07 07/07 07/07 07/07 07/07 07/07 07/07 07/07 07/07 07/07 07/07 07/07 07/07 responden yang terpilih
77
Lampiran 2 Kuesioner penelitian Hari, Tanggal:
No. Kode Sampel: *No. Kode sampel diisi oleh mahasiswa
KUESIONER PENELITIAN Strategi Nafkah Rumah Tangga Petani Tunakisma di Desa Rajasinga, Kecamatan Terisi, Kabupaten Indramayu Salam sejahtera bagi kita semua. Nama saya Intan Permata Sari (I34100133), mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat – Fakultas Ekologi Manusia IPB. Saat ini sedang melakukan penelitian untuk menyelesaikan skripsi sebagai syarat kelulusan. Untuk itu saya mohon Bapak/Ibu dan saudara dapat bekerja sama dalam menjawab pertanyaan yang terlampir pada kuesioner ini. Data yang saudara berikan terjamin kerahasiaannya dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian. Terima kasih.
A. Karakteristik Responden 1. 2.
Nama Alamat
: :
3. 4.
Jenis Kelamin Status perkawinan
5. 6.
Umur Pendidikan
7.
Pekerjaan
: [ ] Laki-laki : [ ] Kawin [ ] Duda/Janda (Mati) : ........... Tahun : [ ] Tidak sekolah [ ] SMP [ ] Perguruan Tinggi :
[ ] Perempuan [ ] Tidak kawin [ ] Cerai [ ] SD [ ] SMA
Keterangan:
Struktur Anggota Rumah Tangga Petani No
Nama
Jenis Hubungan Umur Tingkat Status Pekerjaan Kelamin dengan kepala (tahun) Pendidikan (D) Utama Sampingan (A) rumah tangga (C) (B)
1 2 3 4 5 6 7 8 A : laki-laki, perempuan B : istri, anak, ibu, bapak, saudara dan tidak mempunyai hubungan darah (orang asing) C : tidak tamat SD, SD, SMP, SMA, Perguruan Tinggi D : Pelajar/mahasiswa, bekerja, tidak bekerja
78
B. Akses Pada Lahan Pertanian 1. Luas lahan yang di garap 2. Status penguasaan lahan
:
........... ha [ ] Sewa [ ] Bagi hasil [ ] Tanah gadai
Pemilik: Ceritakan lahan yang anda garap
C. Kepemilikan Modal fisik 1. Apakah rumah tangga memiliki peralatan pertanian yang digunakan untuk bekerja sehari-hari? [ ] ya, lanjut ke pertanyaan no. 2 [ ] tidak, lanjut ke pertanyaan no.3 2. Peralatan apa saja yang miliki? [ ] Cangkul [ ] Mesin pemompa [ ] lainnya, sebutkan... 3. Selain alat-alat pertanian, apakah rumah tangga memiliki aset lain yang dimanfaat untuk memperoleh pendapatan? [ ]ya, lanjut ke pertanyaan no 4 [ ] tidak 4. Aset apa saja yang miliki? [ ] Warung [ ] Kendaaraan beroda 4/beroda 2 [ ] Mesin jahit [ ] lainnya, sebutkan... 5. Dalam 5 tahun terakhir, apakah anggota rumah tangga melakukan penambahan aset produksi pertanian maupun aset rumah tangga? [ ] ya, sebutkan... Digunakan untuk apa? [ ] tidak, mengapa? D. Modal Finansial 1. Apakah rumah tangga memiliki tabungan yang disimpan di bank? [ ] ya, berapa besar jumlah tabungan yang anda miliki? [ ] Tidak 2. Apakah saat ini rumah tangga memiliki tabungan yang disimpan di rumah? [ ] ya, berapa besar jumlah tabungan yang anda miliki? [ ] Tidak 3. Selain tabungan yang miliki, apakah anggota rumah tangga pernah melakukan peminjaman sejumlah uang untuk membuka usaha maupun memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari? [ ] ya, lanjut ke pertanyaan no. 4 [ ] Tidak,
79
4. Darimana anda memperoleh pinjaman tersebut? [ ] kerabat/tetangga [ ] rentenir [ ] bank swasta/negeri [ ] lainnya, sebutkan.... 5. Mengapa anda memilih meminjam pada jawaban no. 4? Dan seberapa besar manfaat dari pinjaman tersebut? E. Modal Sosial 1. Apakah anggota rumah tangga pernah meminta bantuan kepada kerabat ataupun tetangga? [ ] Ya, dalam bentuk apa? [ ] Tidak 2. Apakah rumah tangga mengikuti organisasi/perkumpulan sesama petani di desa? [ ] ya, sebutkan namanya.... Jika ya, lanjut ke pertanyaa no. 3 [ ] Tidak, lanjut ke pertanyaa no. 4 3. Apakah lembaga tersebut cukup membantu kehidupan rumah tangga? [ ] Ya, sebutkan manfaat apa saja yang diterima? [ ] tidak 4. Apakah rumah tangga memiliki jaringan di luar desa untuk membantu kehidupan rumah tangga? [ ] ya, sebutkan namanya.... Jika ya, lanjut ke pertanyaan no.5 [ ] tidak 5. Sebutkan manfaat jaringan tersebut bagi kehidupan rumah tangga? [ ] pinjaman modal [ ] memperoleh pekerjaan [ ] lainnya, sebutkan... F. Struktur Pendapatan Rumah Tangga 1. Apakah responden memiliki lahan garapan dengan sistem sewa? [ ] Ya, lanjut mengisi Tabel 1 pendapatan di sektor pertanian sebagai penyewa [ ] Tidak, lanjut ke pertanyaan betikutnya Tabel 1 pendapatan di sektor pertanian sebagai petani penyewa Menggarap dengan sistem sewa Sumber Periode Panen Harga Penerimaan Pendapatan Per Tahun Satuan (Periode x (kg/kw/ton) (Kg/kw/ton) harga) (Rp) (Rp) I II III Padi Palawija Buah-buahan Pertenakan Perikanan Kayu-kayuan Lainnya
Biaya Pengeluaran
Harga Biaya sewa produksi
Total
Pendapatan bersih (Rp)
80
2.
Apakah responden menggarap lahan pertanian dengan sistem bagi-hasil? [ ] Ya, lanjut mengisi Tabel 2 pendapatan di sektor pertanian sebagai petani penggarap dengan sistem bagi-hasil [ ] Tidak, lanjut ke pertanyaan berikutnya Tabel 2 Pendapatan di sektor pertanian dengan sistem bagi-hasil Menggarap dengan sistem bagi hasil
Pemilik: kerabat/tetangga/oranglain Jenis tamanan: Luas lahan yang digarap
Periode Panen Per tahun (kg/kw/ton) I II III
Bagi Hasil yang diterima (%pemilik/ %penggarap)
Total pendapatan (Rp)
Upah lain yang diterima selain uang Padi (kg)
Barang lain
0,01-1,5 ha 0,51-1 ha >1,00 ha
3. Apakah ada anggota rumah tangga yang bekerja sebagai butuh tani? [ ] Ya, lanjut mengisi Tabel 3 pendapatan di sektor pertanian sebagai buruh tani [ ] Tidak, lanjut ke pertanyaan berikutnya Tabel 3 pendapatan di sektor pertanian sebagai buruh tani Buruh tani Sistem upah
Jumlah anggota keluarga yang menjadi buruh tani (Orang)
Upah yang diterima (RP)
Biaya yang dikeluarkan
Pendapatan bersih (Rp)
Harian Mingguan Per panen 4.
Selain bekerja di sektor pertanian, apakah ada anggota rumah tangga yang lain ikut bekrja di sektor non-pertanian untuk membantu menambah pendapatan? [ ] Ya, lanjut mengisi Tabel 4 pendapatan di sektor non-pertanian [ ] Tidak, lanjut ke pertanyaan berikutnya Tabel 4 Pendapatan di sektor non-pertanian Tingkat pendapatan sektor non-pertanian
Jenis pekerjaan
Industri bata Buka warung Buruh bangunan Buruh pabrik Sopir angkot/ojek lainnya
Volume kerja hari/minggu
Volume kerja bulan/tahun
Volume kerja hari /tahun (A)
Pendapatan bersih/hari (B)
Total pendapatan/ tahun (A x B)
81
5.
6.
7.
8. 9.
Apakah anggota rumah tangga menggarap dengan tanah gadaian? [ ] Ya, ceritakan bagaimana sistem dan hasil produksi lahannya [ ] Tidak Apakah ada anggota rumah tangga yang bekerja sebagai buruh migran ke luar desa? [ ] Ya, sebutkan wilayah tujuan migrasi.... [ ] Tidak, Apa saja Pekerjaan yang mereka lakukan sebagai buruh migran? [ ] Buruh pabrik [ ] Buruh bangunan [ ] Pembantu rumah tangga [ ] pekerjaan lain, sebutkan... Berapa besar jumlah kiriman yang diterima dari anggota rumah tangga yang sebagai buruh migran tersebut? Rp.
10.
Bagaimana pola/bentuk migrasi yang dilakukan? [ ] sirkuler (pulang-pergi) Jika sirkuler lanjut ke pertanyaan no. 10 [ ] Permanen (menetap) Apa waktu-waktu kapan saja mereka pergi dan mereka pulang?
11.
Apa yang menjadi alasan anggota rumah tangga melakukan migrasi?
12..
Apakah anda memiliki ternak/ikan milik sendiri yang dibudidaya? [ ] Ya, lanjut ke pertanyaan no.13 [ ]Tidak Ternak/ikan apa yang anda budidayakan? [ ] Ayam/bebek [ ] Kambing [ ] Ikan lele [ ] lainnya, sebutkan.... Apakah terdapat pekerjaan lain selain dari pekerjaan pada pertanyaan sebelumnya? [ ] Ya, sebutkan... [ ] Tidak
13.
14..
Kelender kerja rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga Pekerjaan
Bulan 1
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11
12
82
Lampiran 3 Panduan wawancara mendalam Sumber Responden
Petani pemilik lahan
Pertanyaan 1. Sejak kapan anda bekerja sebagai petani? 2. Apa yang menyebabkan anda tidak memiliki lahan? 3. Mengapa anda tetap bekerja sebagai petani? 4. Kesempatan kerja apa yang ada di sektor pertanian dan nonpertanian? 5. Apa yang menjadi alasan anda bekerja sebagai buruh tani/ petani penyewa/petani dengan sistem bagi-hasil? 6. Bagaimana anda memperoleh lahan garapan? 7. Bagaimana anda mengolah lahan yang digarap melalui sistem sewa/bagi hasil? Apakah anda mengoptimalkan usaha untuk meningkatkan hasil pertanian? 8. Apakah anda berniat untuk memperluas lahan garapan dengan menyewa lahan lain atau dengan sistem bagi hasil dengan petani pemilik? 9. Siapa saja dari anggota rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian? Mengapa? 10. Apakah anda hanya mengandalkan pendapatan rumah tangga hanya dari sektor pertanian? Jika ya/tidak, mengapa? 11. Dalam rentang waktu menunggu hasil panen, apakah ada pekerjaan lain yang anda lakukan? 12. Mengapa anda memilih pekerjaan tersebut? 13. Menurut anda, apakah pekerjaan tersebut membantu untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga? 14. Apakah pendapatan dari sektor non-pertanian cukup berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan ruamh tangga? Jika ya/tidak, mengapa? 15. Apakah istri dan anggota rumah tangga yang lain ikut bekerja mencari nafkah? Jika ya/tidak, mengapa? 16. Bagaimana anda memanfaatkan hubungan-hubungan sosial di masyarakat untuk membantu anda menperoleh pekerjaan? 17. Kepada siapa anda sering meminta bantuan pinjaman dana, memperoleh pekerjaan maupun bantuan lain? Mengapa? 1. Berapa luas lahan yang anda miliki? 2. Berapa luas lahan yang digarap oleh orang lain? 3. Siapa yang menggarap lahan tersebut? Bagaimana sistemnya? (sewa, lanja atau gadai) 4. Berapa harga sewa setiap 1 ha lahan? Bagaimana kesepakatan terbentuknya harga tersebut? 5. Apakah anda memiliki lahan yang digarap oleh orang lain melalui sistem bagi-hasil? 6. Bagaimana aturan yang di terapkan dalam sistem bagi-hasil? Siapa yang menerapkannya? 7. Apakah anda menggunakan buruh tani untuk bekerja di lahan garapan yang anda miliki? 8. Seberapa sering anda menggunakan buruh tani? Apakah pada waktu-waktu tertentu? Jika ya/tidak, kapan? 9. Siapa saya yang umumnya ikut memburuh di lahan tersebut? 10. Bagaimana aturan yang digunakan terkait waktu bekerja dan upah yang diterima buruh tani?
83
1. Apakah anda mengetahui bagaimana sistem pertanian yang Tokoh diterapkan di daerah ini? Masyarakat 2. Bagaimana kondisi pertanian saat ini? Apakah ada perubahan luas lahan yang dimanfaatkan untuk pertanian dibanding 10 tahun yang lalu? Mengapa? 3. Apakah terjadi perubahan pada sistem kelembagaan pertanian yang digunakan di daerah ini? Mengapa? 4. Menurut anda apakah terjadi perubahan aktifitas nafkah yang dilakukan oleh rumah tangga petani? Mengapa? 5. Bagaimana pemanfaatan sistem kekerabatan yang dilakukan oleh rumah tangga petani tidak berlahan yang terdapat di desa ini?
Lampiran 4 Jadwal pelaksanaan penelitian Kegiatan
2013 2014 Juni Sep Okt Nov Des Jan 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3
Menyusun proposal skripsi Kolokium Perbaikan proposal Pengambilan data Lapang Pengolahan dan analisis data Penyusunan draft skripsi Sidang skripsi Perbaikan laporan penelitian
84
Lampiran 5 Peta lokasi penelitian
Desa penelitian
85
Lampiran 6 Deskripsi pekerjaan, status dan luas lahan serta pendapatan Nama
Pekerjaan
KSN
Penggarap Menjala ikan Buruh tani Buruh bata Becak Buruh tani Buruh bata Tukang pijit Buruh tani, buruh bangunan Pedagang keliling Penggarap Buruh tani Buruh bata Pengarap Buruh tani Buruh bangunan Buruh tani, pedagang Ngojek Penggarap Industri bata Penggarap Serabutan Penggarap Buruh bata Penggarap Industri bata Buruh tani Buruh bata Pedagang kecil Buruh tani Buruh bata Buruh tani Buruh bata Buruh tani Buruh bata Penggarap Buruh bata Buruh tani Buruh bat
WST
NAT KAS
KDS
TUB
RAN
TRS SMD WSL AKS SUM
RHM RPN BND SBN KMB
7
Status dan luas lahan
Lahan hutan 700 bata7 -
Pendapatan rumah tangga (Rp/tahun) Garap Buruh Nonlahan tani pertanian 14 400 000 1 920 000 -
1 225 000
7 920 000
-
-
1 625 000
6 000 000
-
-
2 200 000
5 880 000
4 800 000
700 000
4 800 000
28 800 000
875 000
5 000 000
-
4 020 000
7 680 000
12 000 000
-
19 200 000
1 600 000
-
3 000 000
28 800 000
-
2 400 000
28 800 000
-
38 400 000
-
3 325 000
7 400 000
-
-
1 890 000
6 400 000
-
-
3 640 000
9 600 000
-
-
2 065 000
8 960 000
12 800 000
-
3 840 000
Lahan hutan 350 bata Lanja 350 bata -
Lanja 200 bata Lahan gadai 50 bata Lanja 500 bata Sewa 500 bata -
Lanja 200 bata -
Perhitungannya 700 bata = 1 ha; 500 bata = 1 bahu
-
3 850 000 11 200 000
86
DWD DNR SPN ASM
KRY ASM MSN BSR
STR CSW TTO TRJ
TNO WSK ROH
DMR
KDR MIN
Penggarap Pegawai Buruh tani Kesenian Buruh tani Buruh bata Buruh tani Buruh bata Warung kecil Buruh tani Buruh bata Buruh tani Buruh bangunan Buruh tani Buruh bangunan Buruh tani Buruh bata Pedagang kecil Buruh tani Buruh bangunan Buruh tani Buruh bata Buruh tani Buruh bangunan Penggarap Buruh tani Industri bata Penggarap Industri bata Buruh tani Buruh bata Penggarap Buruh tani Buruh bangunan Penggarap Buruh tani Buruh bangunan Pedagang keliling Buruh tani Buruh bata Buruh tani Buruh bata
Lahan hutan 250 bata -
8 000 000
-
12 000 000
-
1 670 000 20 000 000
-
-
700 000 11 200 000
-
-
875 000 15 700 000
-
-
875 000
8 000 000
-
-
1 525 000
6 000 000
-
-
700 000
9 000 000
-
-
1 600 000
9 440 000
-
-
2 275 000
9 000 000
-
-
2 975 000
8 960 000
-
-
2 125 000
6 000 000
700 000
8 640 000
Lanja 250 bata
16 000 000
Sewa 350 bata -
15 600 000
-
10 800 000
-
1 950 000
8 000 000
Lanja 100 bata
6 000 000 1 500 000
5 000 000
Lanja 500 bata
24 000 000 1 200 000
9 600 000
-
-
5 050 000 14 400 000
-
-
2 275 000
4 000 000
87
Lampiran 7 Dokumentasi penelitian
Gambar 1 Kantor Desa Rajasinga, Kecamatan Terisi, Kabupaten Indramayu
Gambar 2 Wilayah pemukiman warga
Gambar 3 Kondisi irigasi di lahan pertanian Desa Rajasinga
Gambar 4 Lahan pertanian yang baru selesai dibajak oleh traktor
Gambar 5 Penjemuran padi dan langsung dijual kepada tengkulak yang datang ke desa
Gambar 6 Lahan pertanian padi sawah yang siap untuk dipanen
88
Gambar 7 Buruh tani yang menggerakkan anggota RT untuk ikut memanen
Gambar 8 Buruh tani yang merontokkan padi dengan gebotan dan beralasakan gelaran
Gambar 9 Lubang galian tanah yang digunakan untuk membuat bata
Gambar 10 Proses pembuatan bata kucur dengan pencetakan bata secara manual
Gambar 11 Proses penjemuran bata kucur yang sudah dicetak dengan memanfaatkan matahari
Gambar 12 Kendaraan roda 2 sebagai sarana transportasi ke lahan pertanian maupun ke lokasi bata
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 14 September 1992. Penulis merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara, pasangan Dahman Sipakkar dan Rufiyati yang kini bermukim di rumah sederhana di Desa Tongging, Kecamatan Merek, Kabupaten Karo, Sumatra Utara. Pendidikan formal yang penulis pernah jalani diantaranya Sekolah Dasar di SD Negeri Tongging (1998-2004), dilanjutkan dengan SMP Swasta Karya Tongging (2004-2007) dan SMK Telkom Sandhy Putra Medan (2007-2010). Pada tahun 2010 penulis melanjutkan pendidikannya di Institut Pertanian Bogor, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Kuliah di bidang sosial yang jauh berbeda dengan latar belakang jurusan yang diambil penulis sewaktu SMK mengharuskannya untuk belajar mulai dari dasar dengan gigih agar tidak tertinggal dengan temanteman lainnya Selama di Institut Pertanian Bogor, penulis tidak hanya aktif dalam kegiatan perkuliahan, tetapi juga aktif dalam beberapa organisasi dan kegiatan kepanitiaan. Penulis tercatat dalam bidang kepanitiaan, antara lain sebagai staff divisi konsumsi Kebaktian Awal Tahun Ajaran PMK IPB tahun 2011, staff divisi dana dan usaha Retreat Angkatan 48 PMK IPB tahun 2012 dan juga panitia Masa Perkenalan Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat tahun 2012. Selain itu, penulis juga tercacat sebagai asisten Mata Kuliah Agama Kristen (2011) dan pengurus dari Komisi Pelayanan Anak PMK IPB sebagai penanggung jawab bidang pemerhati (2012-2013).