HUBUNGAN LINGKUNGAN FISIK DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS (TB) PARU DI WILAYAH KERJA UPTD PUSKESMAS CIGEUREUNG KECAMATAN CIPEDES KOTA TASIKMALAYA TAHUN 2014 SITI RAHMA FAUZIAH 1) ANDIK SETIYONO 2) SRI MAYWATI 3) Mahasiswa Fakultas Ilmu Kesehatan Peminatan Kesehatan Lingkungan Universitas Siliwangi (
[email protected]) 1) Dosen Pembimbing Bagian Kesehatan Lingkungan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Siliwangi (
[email protected]) 2) (
[email protected]) 3)
ABSTRAK Penyakit TB paru merupakan penyakit infeksi menular kronik yang berat kaitannya dengan keadaan lingkungan dan perilaku masyarakat. Tuberkulosis disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang ditularkan melalui perantara udara, dapat menginfeksi semua golongan umur maupun status sosial. Tuberkulosis menginfeksi paru-paru, menyerang organ tubuh lain seperti tulang, otak, kulit, mata, ginjal dan usus yang mengakibatkan kondisi tubuh menjadi lebih parah. Beberapa faktor predisposisi terjadinya TB Paru diantaranya kepadatan hunian, luas ventilasi, intensitas pencahayaan, intensitas suhu, intensitas kelembaban, jenis lantai dan jenis dinding. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kepadatan hunian, luas ventilasi, intensitas pencahayaan, intensitas suhu, intensitas kelembaban, jenis lantai dan jenis dinding dengan kejadian Tuberkulosis (TB) Paru yang diukur pada dua tempat yaitu di kamar tidur dan tempat yang sering ditempati responden. Variabel pengganggu dalam penelitian ini yaitu umur, jenis kelamin, status gizi, status ekonomi dan tingkat pendidikan. Metode penelitian case-control dengan sampel 28 BTA (+) 28 non BTA dari 74 populasi. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata umur produktif 85.7% dan umur tidak produktif (14.3%), responden laki-laki 46.4% dan perempuan 54.6%, pendidikan responden paling rendah tidak tamat SD 12.5% paling tinggi tamat perguruan tinggi 7,1%, pendapatan rendah 53.6% dan tinggi 46.4%, status gizi kurus 25,0% sedang 69,9% sedangkan gemuk 5,4%. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan variabel kepadatan hunian (P value = 0,758), luas ventilasi ruang kumpul (P value= 1,000), intensitas suhu ruang kumpul (P value = 1,000), intensitas pencahayaan ruang kumpul (P value = 1,000), intensitas kelembaban ruang kumpul (P value= 0,245), jenis lantai (P value = 1,000), jenis dinding (P value = 1,000) dengan kejadian Tuberkulosis (TB) Paru. Ada hubungan variabel luas ventilasi kamar tidur (P value = 0.001), intensitas suhu kamar tidur (P value = 0.000) intensitas pencahayaan kamar tidur (P value = 0.000), intensitas kelembaban kamar tidur (P value= 0.000) dengan kejadian Tuberkulosis (TB) Paru. Disarankan perlu dilakukan upaya peningkatan penjaringan terhadap penderita Tuberkulosis paru, peningkatan perbaikan kondisi lingkungan rumah dengan lebih memperhatikan aspek sanitasi rumah sehat pada saat membangun rumah. Kepustakaan Kata Kunci
: (11) 1999-2013 : Kondisi Fisik Rumah, TB Paru
RELATIONSHIP OF THE PHYSICAL ENVIRONMENT WITH THE INCIDENCE OF PULMONARY TUBERCULOSIS (TB) IN THE REGION WORK PUSKESMAS UNIT CIGEUREUNG SUB CIPEDES, TASIKMALAYA TOWN BY 2014 SITI RAHMA FAUZIAH 1) ANDIK SETIYONO 2) SRI MAYWATI 3) Students Of The Faculty Of Health Sciences, Environmental Health Siliwangi University (
[email protected]) 1) The environmental health Supervisor Professor Faculty of Health Sciences University of Siliwangi (
[email protected]) 2) (Srimaywati @ unsil.ac.id) 3) ABSTRACT Pulmonary TB disease is a chronic infectious disease that is heavily related to the State of the environment and the behavior of the community. Tuberculosis is caused by the bacterium Mycobacterium tuberculosis, which is transmitted through the air, the intermediary can infect all the age and social status. Tuberculosis infects the lungs, invaded other organs such as the brain, bone, skin, eyes, kidneys and intestines that results in body condition becomes more severe. Some predisposing factor for the occurrence of Pulmonary TB include extensive residential density, intensity of lighting, ventilation, temperature, intensity the intensity of the humidity, the type of floor and the type of wall. This research aims to analyze the vast residential density, intensity of lighting, ventilation, temperature, intensity the intensity of the humidity, the type of floor and wall types with the genesis of pulmonary tuberculosis (TB) are measured at two places, namely in the bedroom and place frequently occupied by respondents. Bully in the study variables namely age, gender, nutritional status, economic status and education level. Research method of case-control with a sample of 28 BTA (+) 28 non BTA from 74 populations. The results showed an average of 85.7% of productive age and age is not productive (14.3%), respondents male 46.4% and 54.6% women, education of respondents least did not finish elementary 12.5% the highest College finish 7.1%, 53.6% of low income and high 46.4%, nutritional status skinny 25,0% was 69,9% whereas fat 5.4%. The results showed there is no residential density variables relationship (P value = 0,758), spacious ventilation space get-together (P value = 1,000), the intensity of room temperature togethers (P value = 1,000), intensity of lighting spaces togethers (P value = 1,000), the intensity of the humidity gathering spaces (P value = 0,245), types of floor (P value = 1,000), the type of wall (P value = 1,000) with an incidence of Pulmonary tuberculosis (TB). There is ample ventilation variables relationship (P value = 0,001), the intensity of the room temperature (P value = 0000) the intensity of the lighting-bedroom (P value = 0000), the intensity of the humidity (P value = 0000) and incidence of tuberculosis (TB). It is advisable to do attempts increased pulmonary Tuberculosis sufferers to networking, home environmental conditions improvements with more attention to the healthy home sanitation aspect at the time of building houses. Library: (11) 1999-2013 Key Words: Physical Condition Of The Home, Pulmonary TB
PENDAHULUAN Salah satu upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di suatu negara adalah pemberantasan penyakit menular (P2M). Salah satu perhatian dalam kasus pemberantasan penyakit menular (P2M) ini adalah penuntasan kasus penyakit TB paru yang penularannya cukup pesat di dunia. Penyakit TB paru merupakan penyakit infeksi menular kronik dan menular yang berat kaitannya dengan keadaan lingkungan dan perilaku masyarakat. (Aditama, 2002 dalam Afriansyah, 2011). Berdasarkan data kasus TB yang berasal dari data Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya tahun 2013, jumlah penderita Tuberkulosis di Puskesmas Cigeureung menduduki peringkat ke-2 tertinggi setelah Kecamatan Kawalu dengan angka penjaringan suspek pada triwulan keempat yaitu 387/100.000 penduduk. Persentase Crude Death Rate Puskesmas Cigeureng yaitu 25%. Wilayah Kerja Puskesmas Cigeureung menempati posisi kedua tertinggi kasus TB setelah Wilayah Kerja Puskemas Kawalu. Dilihat dari kasus dari tahun ketahun wilayah Cigeureung merupakan daerah endemis TB Paru karena kasusnya selalu ada dan terjadi kenaikan yang signifikan, dengan data jumlah penderita TB Paru tahun 2011 sebanyak 41 orang dengan 31 orang penderita TB BTA (Basil Tahan Asam) positif dan 10 orang penderita TB BTA negatif. Pada tahun 2012 terjadi peningkatan kasus menjadi 51 orang dengan 46 orang penderita BTA positif dan 5 orang penderita BTA negatif. Data pada tahun 2013 hasil rekapan sampai bulan Desember menunjukkan terdapat 41 orang penderita TB dengan 38 BTA positif dan 3 orang dengan BTA negatif. Jumlah pasien yang mengalami konversi basil tahan asam (BTA) negatif (-) 92%. Jumlah pasien yang tidak mengalami konversi (BTA positif) 8%. Wilayah kerja Puskesmas Cigeureung dijadikan sasaran penelitian yang diharapkan dapat menurunkan kejadian TB yang selalu ada yang berhubungan dengan lingkungan fisik daerah Cigeureung. Wawancara awal yang dilakukan dengan salah satu petugas di Puskesmas Cigeureung menyatakan bahwa di wilayah tersebut belum pernah ada penelitian tentang faktor lingkungan fisik rumah pada penderita TB. Hasil door to door campaign TBC yang dilakukan oleh mahasiswa FIK UNSIL pada tahun 2013, secara keseluruhan menggambarkan keadaan umum yakni sekitar 75% jarak antar rumah berdempetan yang dibuktikan jarak gang yang kecil menyebabkan pencahayaan kurang masuk. Observasi peneliti terhadap 10 responden menggambarkan 70% ventilasi rumah kurang memenuhi standar yakni luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan adalah ≤10% luas lantai rumah yang dibuktikan dengan jendela yang kurang serta tertutup menyebabkan cahaya
kurang masuk ke dalam rumah. Kepadatan hunian dalam satu rumah tidak memenuhi standar dengan dibuktikan 50% dari yang disurvei terdapat 9 orang dengan 2 Kepala Keluarga. Kondisi lingkungan yang padat hunian, suhu ruangan yang tidak stabil, dengan jenis dinding dan lantai penderita yang tidak memenuhi syarat merupakan lingkungan yang menguntungkan bagi pertumbuhan bakteri TB. Kurangnya pencahayaan di lingkungan kumuh, tingkat kelembaban yang rendah, dan sanitasi yang kurang memadai akan mempermudah siklus penularan Bakteri TB. (Afriansyah, 2013). Keadaan inilah yang menjadi latar belakang peneliti dalam pengambilan topik tentang mengenai “Hubungan Lingkungan Fisik Dengan Kejadian TB Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Cigeureung Kota Tasikmalaya”. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan faktor lingkungan fisik rumah (kepadatan hunian, luas ventilasi, intensitas pencahayaan, intensitas kelembaban, intensitas suhu rumah, jenis lantai rumah dan jenis dinding rumah) dengan kejadian TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Cigeureung Kota Tasikmalaya. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah kasus kontrol, Penelitian jenis ini dilakukan apabila menelaah hubungan antara efek (penyakit atau kondisi kesehatan) tertentu dengan faktor-faktor risiko tertentu. Populasi dalam penelitian ini adalah semua penduduk di wilayah kerja Puskesmas Cigeureung yang terdaftar sebagai penderita Tuberkulosis paru dengan jumlah 38 kasus dari bulan Januari sampai Desember 2013. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik total sampling, kasus adalah responden yang telah terdaftar sebagai pasien TB paru di Puskesmas Cigeureung sebanyak 28 kasus, sedangkan kontrol adalah responden yang bukan penderita TB yang memiliki karakteristik yang sama dengan kelompok kasus. Jumlah sampel secara keseluruhan sebanyak 56 responden. Hasil pengumpulan data melalui wawancara dan observasi
dengan
responden
menggunakan
lembar
kuesioner.
Analisis
data
menggunakan uji Uji Chi-Square dengan tingkat kemaknaan 0,05. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Univariat Sejumlah 54 responden menurut jenis kelamin, proporsi perempuan lebih banyak yaitu 30 orang (53.6%) dibandingkan laki-laki sebanyak 26 orang (46.4%). Menurut umur proporsi umur produktif dengan rentang dari 15 tahun - 54 tahun sebanyak 48 orang (85.7%), dibandingkan dengan umur tidak produktif dengan rentang umur < 15
tahun dan >54 tahun sebanyak 8 orang (14.3%). Berdasarkan pendidikan responden yang paling rendah adalah tidak tamat SD sebanyak 7 orang (12,5%) sedangkan pendidikan responden paling tinggi adalah tamat perguruan tinggi sebanyak 4 orang (7,1%), sedangkan pendapatan responden sebanyak 30 orang (53,6%) kurang dari Upah Minimum Regional (UMR) Kota Tasikmalaya sedangkan 26 orang (46,4%) responden memiliki pendapatam lebih dari UMR Kota Tasikmalaya. Status gizi responden yang kurus berjumlah 14 orang (25,0%) yakni dengan nilai indeks masa tubuh (IMT) <18, sedang berjumlah 39 orang (69,6%) yakni dengan indeks masa tubuh (IMT) antara 1825, sedangkan yang berstatus gemuk berjumlah 3 (5,4%) orang dengan nilai IMT >25. Analisis Bivariat a. Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Tabel 4.1 Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian Tuberkulosis (TB) Paru di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Cigeureung Tahun 2014 Kategori Responden Total No Kriteria Kepadatan Penghuni Kasus Kontrol f % f % n % 1 Tidak Memenuhi Syarat 6 42,9% 8 57,1% 14 100,0 2 Memenuhi Syarat 22 52,4% 20 47,6% 42 100,0 Jumlah 28 50,0% 28 50,0% 56 100,0 ρ-value = 0,758 OR= 0,682 Cl= 0,201-2,308 Hasil penelitian yang dilakukan penulis menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian TB paru berdasarkan uji statistik Chi-Square diperoleh nilai ρ=0,758 (ρ-value > 0,05). Persyaratan kesehatan perumahan dan lingkungan pemukiman menurut keputusan
Menteri
Kesehatan
(Kepmenkes)
No.
829/Menkes/SK/VII/1999
mengenai standar minimal kepadatan hunian rumah minimal memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antar penghuni, semakin padat penghuni rumah akan semakin cepat pula udara di dalam rumah tersebut mengalami pencemaran. Jumlah penghuni yang semakin banyak akan berpengaruh terhadap kadar oksigen dalam ruangan tersebut, begitu juga kadar uap air dan suhu udaranya. Meningkatnya kadar CO2 di udara dalam rumah, maka akan memberi kesempatan tumbuh dan berkembang biak lebih bagi Mycobacterium tuberculosis, dengan demikian akan semakin banyak kuman yang terhisap oleh penghuni rumah melalui saluran pernafasan. (Afriansyah, 2010). Hasil penelitian selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Rikha Nurul Pertiwi (2010) dimana kepadatan penghuni rumah tidak
ada hubungan dengan kejadian tuberkulosis paru, hasil uji statistik menunjukkan nilai ρ-value > 0,05 (ρ = 0,781). b. Hubungan Luas Ventilasi Ruang Kumpul dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Tabel 4.2 Hubungan Luas Ventilasi Ruang Kumpul dengan Kejadian Tuberkulosis (TB) Paru di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Cigeureung Tahun 2014 Kategori Total No Kategori Luas Ventilasi Kasus Kontrol f % f % n % 1 Tidak Memenuhi Syarat 0 0 1 100,0 1 100,0 2 Memenuhi Syarat 28 50,9 27 49.1 55 100,0 Jumlah 28 50,0 28 50,0 56 100,0 ρ-value = 1,000 Berdasarkan uji statistik Chi-Square diperoleh nilai p=1,000 (ρ-value lebih dari 0,05), maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara luas ventilasi ruang kumpul dengan kejadian TB paru. Hasil analisis yang dilakukan penulis tidak membuktikan luas ventilasi ruang kumpul merupakan faktor resiko penyebab TB Paru. Hasil observasi peneliti menunjukkan antara perbandingan luas ruang kumpul dengan jumlah ventilasi yang ada rata-rata responden memiliki ruang kumpul dan jumlah ventilasi yang cukup. Hal ini memudahkan banyaknya sinar matahari yang masuk sehingga kuman TB tidak dapat bertahan lama di dalam ruangan tersebut, kuman TB dapat mati oleh sinar matahari (ultraviolet) langsung 5-10 menit (Widyanto, 2013). c. Hubungan Luas Ventilasi Ruangan Kamar Tidur dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Tabel 4.3 Hubungan Luas Ventilasi Kamar Tidur dengan Kejadian Tuberkulosis (TB) Paru di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Cigeureung Tahun 2014 Kategori Total No Kategori Luas Ventilasi Kasus Kontrol f % f % n % 1 Tidak Memenuhi Syarat 24 92,3 2 7,7% 26 100,0 2 Memenuhi Syarat 4 13,3% 26 86,7% 30 100,0 Jumlah 28 51,0 27 49,0 56 100,0 ρ-value = 0,000 OR= 78,000 Cl= 13,078-465,196 Hasil penelitian yang dilakukan penulis menunjukkan bahwa ada hubungan antara luas ventilasi kamar tidur dengan kejadian TB paru berdasarkan uji statistik Chi-Square diperoleh nilai p=0,000 (ρ-value ≤ 0,05). Nilai Odds ratio (OR)
menunjukkan bahwa responden yang luas ventilasi kamar tidur tidak memenuhi syarat menurut Permenkes RI No. 1077/MENKES/PER/V/2012 luas ventilasi luas penghawaan/ventilasi yang permanen minimal adalah 10% dari luas lantai cenderung 78,000 kali untuk menjadi penderita TB paru (95% CI 13,078-465,196). Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya kadar oksigen, bertambahnya kelembaban udara di dalam ruangan, bertambahnya kadar gas CO2, adanya bau pengap, suhu udara ruangan naik. Hal tersebut bisa menjadi faktor risiko terjadinya TB karena bakteri tuberkulosis dapat bertahan hidup dalam waktu lama di tempat yang gelap dan lembab (Rosiana, 2012). d. Hubungan Intensitas Suhu Ruang Kumpul dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Tabel 4.4 Hubungan Intensitas Suhu Ruang Kumpul dengan Kejadian Tuberkulosis (TB) Paru di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Cigeureung Tahun 2014 Kategori Kasus Kontrol f % f % 1 Tidak Memenuhi Syarat 4 50,0 4 50,0 2 Memenuhi Syarat 24 50,0 24 50,0 Jumlah 28 50,0 28 50,0 ρ-value = 1,000 Hasil penelitian yang dilakukan penulis menunjukkan bahwa
No
Total
Kategori Intensitas Suhu
n 8 48 56
% 100,0 100,0 100,0
tidak ada
hubungan antara intensitas suhu ruang kumpul dengan kejadian TB paru berdasarkan uji statistik Chi-Square diperoleh nilai p=1,000 (ρ-value > 0,05). Hasil analisis yang dilakukan penulis tidak membuktikan intensitas suhu ruang kumpul merupakan faktor resiko penyebab TB Paru. Hasil observasi peneliti terhadap lingkungan fisik responden menunjukkan keberadaan jumlah ventilasi dengan perbandingan luas lantai ruang kumpul rata-rata cukup, hal itu memudahkan sinar matahari yang masuk cukup sehingga meningkatkan derajat suhu menurunkan tingkat kelembaban dan mematikan kuman TB secepatnya. Dilihat dari kebiasaan membuka jendela dan perilaku hidup bersih dan sehatnya rendah memudahkan dalam penyebaran kuman TB yang berasal dari paparan lama dari kontak TB serumah ataupun lingkungan sekitarnya.
e. Hubungan Intensitas Suhu Kamar Tidur dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Tabel 4.5 Hubungan Intensitas Suhu Kamar Tidur dengan Kejadian Tuberkulosis (TB) Paru di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Cigeureung Tahun 2014 Kategori Total Kasus Kontrol f % f % n % 1 Tidak Memenuhi Syarat 25 92,6 2 7,4 27 100,0 2 Memenuhi Syarat 3 10,3 26 89,7 29 100,0 Jumlah 28 50,0 28 50,0 56 100,0 ρ-value = 0,000 OR= 108,333 Cl= 16,671-703,975 Hasil penelitian yang dilakukan penulis menunjukkan bahwa ada hubungan
No
Kategori Intensitas Suhu
antara intensitas suhu kamar tidur dengan kejadian TB paru berdasarkan uji statistik Chi-Square diperoleh nilai p=0,000 (ρ-value < 0,05). Hasil perhitungan Odds ratio (OR) menunjukkan bahwa responden yang intensitas suhu kamar tidur tidak memenuhi syarat cenderung 108,333 kali untuk menjadi penderita TB paru (95% CI 16,671-703,975). Menurut Permenkes RI No. 1077/MENKES/PER/V/2012 intensitas suhu yang dianjurkan yakni 18oC-30oC. Menurut Goul & Brooker (2003), bakteri Mycobacterium tuberculosis memiliki rentang suhu yang disukai, tetapi di dalam rentang ini terdapat suatu suhu optimum saat mereka tumbuh pesat. Mycobacterium tuberculosa merupakan bakteri mesofilik yang tumbuh subur dalam rentang 25-40o C, akan tetapi akan tumbuh secara optimal pada suhu 31-37oC (Depkes RI, 1989; Gould & Brooker, 2003; Girsang, 1999; Salvato dalam Ikeu 2007). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Suyatno di Pontianak Propinsi Kalimantan Barat menunjukkan bahwa intensitas suhu merupakan faktor terjadinya kejadian TB Paru dengan P value 0.009 dan nilai OR=0.287.
f. Hubungan Intensitas Pencahayaan Ruangan Kumpul dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Tabel 4.6 Hubungan Intensitas Pencahayaan Ruangan Kumpul dengan Kejadian Tuberkulosis (TB) Paru di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Cigeureung Tahun 2014 Kategori Kasus Kontrol f % f % 1 Tidak Memenuhi Syarat 15 51,7 14 48,3 2 Memenuhi Syarat 13 48,1 14 51,9 Jumlah 28 50,0 28 50,0 ρ-value = 1,000 Hasil penelitian yang dilakukan penulis menunjukkan bahwa
No
Total
Kategori Intensitas Pencahayaan
n 29 27 56
% 100,0 100,0 100,0
tidak ada
hubungan antara intensitas pencahayaan ruang kumpul dengan kejadian TB paru berdasarkan uji statistik Chi-Square diperoleh nilai p=1,000 (ρ-value> 0,05). Hasil analisis yang dilakukan penulis tidak membuktikan intensitas ruang kumpul merupakan faktor resiko penyebab TB Paru. Hasil observasi peneliti terhadap lingkungan fisik responden menunjukkan keberadaan jumlah ventilasi dengan perbandingan luas lantai ruang kumpul rata-rata cukup, hal itu memudahkan sinar matahari yang masuk cukup dan mematikan kuman TB secepatnya. Dilihat dari kebiasaan membuka jendela dan perilaku hidup bersih dan sehatnya rendah memudahkan dalam penyebaran kuman TB yang berasal dari paparan lama dari kontak TB serumah ataupun lingkungan sekitarnya. g. Hubungan Intensitas Pencahayaan Kamar Tidur dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Tabel 4.7 Hubungan Intensitas Pencahayaan Kamar Tidur dengan Kejadian Tuberkulosis (TB) Paru di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Cigeureung Tahun 2014
No 1
Kategori Intensitas Pencahayaan
Kategori Kasus Kontrol f % f %
Total n
Tidak Memenuhi 22 88,0 3 12,0 25 Syarat 2 Memenuhi Syarat 6 19,4 25 80,6 31 Jumlah 28 50,0 28 50,0 56 ρ-value = 0,000 OR= 30,556 Cl= 6,820-136,895 Hasil penelitian yang dilakukan penulis menunjukkan bahwa
% 100,0 100,0 100,0 ada hubungan
antara intensitas pencahayaan kamar tidur dengan kejadian TB paru berdasarkan uji statistik Chi-Square diperoleh nilai p=0,000 (p value< 0,05). Hasil perhitungan Odds ratio (OR) menunjukkan bahwa responden yang intensitas pencahayaan kamar tidur
tidak memenuhi syarat cenderung 30,556 kali untuk menjadi penderita TB paru (95% CI 6,820-136,895). Menurut Permenkes RI No. 1077/MENKES/PER/V/2012 pencahayaan yang dianjurkan yaitu minimal 60 lux. Menurut Notoatmodjo (2003), cahaya matahari mempunyai sifat membunuh bakteri, terutama kuman Mycobacterium tuberculosis. Kuman tuberkulosa hanya dapat mati oleh sinar matahari langsung. Rumah dengan standar pencahayaan yang buruk sangat berpengaruh terhadap kejadian Tuberkulosis. Hasil penelitian ini selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Niko Riandra Putra di Solok tahun 2011 bahwa intensitas pencahayaan ruang tidur merupakan faktor terjadinya TB Paru dengan ρ-value = 0,015 nilai OR 5,95 h. Hubungan Intensitas Kelembaban Ruangan Kumpul dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Tabel 4.8 Hubungan Intensitas Kelembaban Ruangan Kumpul dengan Kejadian Tuberkulosis (TB) Paru di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Cigeureung Tahun 2014
No 1 2
Kategori Intensitas Kelembaban Tidak Memenuhi Syarat Memenuhi Syarat Jumlah
Kategori Kasus Kontrol f % f % 22
56,4
17
43,6
Total n
%
39
100,0
6 35,3 11 64,7 17 100,0 28 50,0 28 50,0 56 100,0 ρ-value = 0,245 Hasil penelitian yang dilakukan penulis menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan antara intensitas kelembaban ruang kumpul dengan kejadian TB paru berdasarkan uji statistik Chi-Square diperoleh nilai p=0,245 (ρ-value > 0,05). Hasil analisis yang dilakukan penulis tidak membuktikan intensitas kelembaban ruang kumpul merupakan faktor resiko penyebab TB Paru, hal ini mungkin dikarenakan penderita mendapat paparan lama dari kontak TB serumah ataupun lingkungan sekitarnya. Perilaku hidup bersih dan sehat yang buruk juga pada responden berpengaruh langsung terhadap tingkat penyebaran TB Paru.
i. Hubungan Intensitas Kelembaban Kamar Tidur dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Tabel 4.9 Hubungan Intensitas Kelembaban Kamar Tidur dengan Kejadian Tuberkulosis (TB) Paru di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Cigeureung Tahun 2014
No
Kategori Intensitas Kelembaban
Kategori Kasus Kontrol f % f %
Total
n % Tidak Memenuhi 22 71,0 9 29,0 31 100,0 Syarat 2 Memenuhi Syarat 6 24,0 19 76,0 25 100,0 Jumlah 28 51,0 28 49,0 56 100,0 ρ-value = 0,001 OR = 7,741 Cl= 2,328 – 25, 742 Hasil penelitian yang dilakukan penulis menunjukkan bahwa ada hubungan 1
antara intensitas kelembaban kamar tidur dengan kejadian TB paru berdasarkan uji statistik Chi-Square diperoleh nilai p=0,001 (ρ-value < 0,05). Hasil perhitungan Odds ratio
(OR) menunjukkan bahwa responden yang intensitas kelembaban
ruangan kamar tidak memenuhi syarat cenderung 7,741 kali untuk menjadi penderita TB paru (95% CI 2,328-25,742). Menurut Permenkes RI No. 1077/MENKES/PER/V/2012 mengenai intensitas kelembaban yang dianjurkan yaitu 40%-60%. Rumah yang tidak memiliki kelembaban yang memenuhi syarat kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Rumah yang lembab merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme, antara lain bakteri, spiroket, ricketsia dan virus. Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rustono, dkk di BP4 Pati tahun 2010 mengenai faktor lingkungan fisik rumah dengan kejadian TB Paru, hasil analisis statistik menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara kelembaban udara dikamar tidur dengan ke.ladian TB paru dengan nilai p = 0,004 didapatkan nilai OR sebesar 6,3.
j. Hubungan Jenis Lantai Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Tabel 4.10 Hubungan Jenis Lantai dengan Kejadian Tuberkulosis (TB) Paru di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Cigeureung Tahun 2014 Kategori No 1 2
Kategori Jenis Lantai Tidak Memenuhi Syarat Memenuhi Syarat Jumlah
Total Kasus f %
Kontrol f %
n
%
1
1
2
100,0
50,0
50,0
27 50,0 27 50,0 54 100,0 28 50,0 28 50,0 56 100,0 ρ-value = 1,000 Hasil penelitian yang dilakukan penulis menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan antara jenis lantai dengan kejadian TB paru berdasarkan uji statistik ChiSquare diperoleh nilai p=1,000 (ρ-value > 0,05). Lantai tanah memiliki peran terhadap proses kejadian TB Paru melalui kelembaban ruangan, karena lantai tanah cenderung menimbulkan kelembaban. Lantai dari tanah stabilisasi atau batu bata biasanya langsung diletakkan di atas tanah asli sehinga menjadi lembab. Rumah dengan lantai tanah akan menyebabkan kondisi lembab, pengab, yang akan memperpanjang masa viabilitas atau daya tahan hidup kuman TB Paru dalam lingkungan. Pada akhirnya akan meyebabkan potensi penularan TB Paru menjadi lebih besar. (Fahmi, 2005 dalam Siti Fatimah ,2008) Hasil analisis yang dilakukan penulis tidak membuktikan jenis lantai merupakan faktor resiko penyebab TB Paru, hal ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Susani Wulandari di Puskesmas Bandarharjo dari tahun 2009 sampai 2010 bahwasannya jenis lantai bukan faktor resiko terjadinya TB Paru dengan P value 0.37. Keadaan ini dikarenakan penderita mendapat paparan dari kontak TB serumah ataupun lingkungan sekitarnya. Perilaku hidup bersih dan sehat yang buruk pada responden berpengaruh langsung terhadap tingkat penyebaran TB Paru.
k. Hubungan Jenis Dinding dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Tabel 4.11 Hubungan Jenis Dinding dengan Kejadian Tuberkulosis (TB) Paru di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Cigeureung Tahun 2014
No 1 2
Kategori Jenis Dinding Tidak Memenuhi Syarat Memenuhi Syarat Jumlah
Kategori Kasus Kontrol f % f %
n
%
6
11
100,0
54.5
5
45.5
Total
22 48.9 23 51.1 45 100,0 28 50,0 28 50,0 56 100,0 ρ-value = 1,000 Hasil penelitian yang dilakukan penulis menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan antara jenis dinding dengan kejadian TB paru berdasarkan uji statistik ChiSquare diperoleh nilai p=1,000 (p value> 0,05). Hasil analisis yang dilakukan penulis tidak membuktikan jenis dinding merupakan faktor resiko penyebab TB Paru, hasil yang diperoleh ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Khadijah Azhar, dkk bahwa jenis dinding tidak ada hubungan bermakna dengan kejadian TB Paru. PENUTUP Simpulan 1. Tidak ada hubungan variabel kepadatan hunian (P value = 0,758 dan OR = 0,682), luas ventilasi ruang kumpul (P value = 1,000), intensitas suhu ruang kumpul (P value = 1,000 dan OR = 1,000), intensitas pencahayaan ruang kumpul (P value = 1,000 dan OR = 1,154), intensitas kelembapan ruang kumpul (P value= 0,245 dan OR= 2,373), jenis lantai (P value = 1,000 dan OR= 1,000), jenis dinding (P value = 1,000 dan OR= 1,000) dengan kejadian Tuberkulosis (TB) Paru. 2. Ada hubungan variabel luas ventilasi kamar tidur (P value = 0,001 dan OR = 78,000), intensitas suhu kamar tidur (P value = 0,000 dan OR = 108,333), intensitas pencahayaan kamar tidur (P value = 0,000 dan OR = 30,556), intensitas kelembapan kamar tidur (P value= 0,000 dan OR= 7,741) dengan kejadian Tuberkulosis (TB) Paru. Saran 1. Bagi Pemerintah atau Dinas Terkait Bagi pemerintah atau Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya, perlu sekali diadakannya kebijakan khusus mengenai program berupa bedah rumah yang dioptimalkan kepada penderita TB Paru yang kondisi fisik rumahnya tidak memenuhi syarat agar penyebaran kuman TB bisa berkurang. 2. Bagi Puskesmas Cigeureung
Memberikan penyuluhan dan pemahaman yang berkesinambungan mengenai persyaratan rumah yang sehat karena di berikan informasi yang sebatas bersifat kuratif (pengobatan). Sebaiknya petugas TB Paru yang lebih tahu kondisi pasiennya, lebih meningkatkan pelayanan yang bersifat promotif dan preventif. Petugas hendaknya lebih aktif dalam penjaringan suspek TB karena masih banyak masyarakat yang menderita TB tapi enggan untuk memeriksakan dirinya. 3. Bagi Masyarakat a. Menyesuaikan besarnya rumah dengan banyaknya penghuni rumah dengan luas rumah 9m2, kepadatan kamar tidur dengan luas ≥ 3m 2 serta satu kamar tidur ditempati > 2 orang, pembuatan ventilasi ruang kamar dengan syarat luas ≥ 10% luas lantai, pembuatan dinding dengan tembok, pembuatan lantai dengan ubin, kayu dan semen atau yang kedap air. b. Meningkatkan kebiasaan perilaku membuka jendela khususnya didalam kamar tidur, supaya tidak ada perkembangbiakan dan perkembangan kuman TB. c. Bagi masyarakat yang bukan penderita, bisa di tingkatkan rasa solidaritasnya dan kepedulian sesama bisa berupa bantuan materi ataupun moril, sehingga penderita merasa ada motivasi dan tidak terdiskriminasi di masyarakat. 4. Bagi Peneliti Lain Bagi peneliti selanjutnya diharapkan melakukan penelitian dengan cara meneliti variabel lain seperti jenis langit-langit, pengukuran di lingkungan kerja dan kontak dengan penderita TB lain, yang merupakan salah satu faktor risiko penting terjadinya TB Paru. DAFTAR PUSTAKA Afriansyah, Deri. 2011. Hubungan Karakteristik Dan Faktor Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian Tb Paru Di Wilayah Kerja Upt Kota Bumi Kecamatan Pasar Kemis Ii Kabupaten Tangerang (Skripsi). Provinsi Banten: UHAMKA Azhar, Khadijah, Dkk. 2013. Kondisi Fisik Rumah Dan Perilaku Dengan Prevalensi Tb Paru Di Propinsi Dki Jakarta, Banten Dan Sulawesi Utara. Media Litbangkes Vol 23 No. 4, Des 2013, 172-181. Bachtiar, Imam. 2007. Hubungan Perilaku Dan Kondisi Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian TB Paru Di Kota Bima Provinsi NTB, Jurnal Kesehatan. Fatimah, Siti. Faktor Kesehatan Lingkungan Rumah Yang Berhubungan Dengan Kejadian Tb Paru Di Kabupaten Cilacap (Kecamtan :Sidareja, Cipari, Kedung Reja, Patimuan, Gandrungmangu (Skripsi). 2008
Nurhidayah, Ikeu Dkk. Hubungan Antara Karakteristik Lingkungan Rumah Dengan Kejadian Tuberkulosis (Tb) Pada Anak Di Kecamatan Paseh Kabupaten Sumedang (Skripsi). 2008 Riandra Putra, Niko. Hubungan Perilaku Dan Kondisi Sanitasi Rumah Dengan Kejadian Tb Paru Di Kota Solok (Skripsi). 2011. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Tahun 2013 Rosiana, Anggie Maretha. Hubungan Antara Kondisi Fisik Rumah Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru. Jurnal Kesehatan Masyarakat Unnes Journal Of Public Health Tahun 2012. Rusnoto, Dkk. Pengaruh faktor Lingkungan Fisik, Sosial Ekonomi, Budaya Dan Biologi Terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru Di BP4 Pati. Program Studi Keperawatan STIKES Muhammadiyah Kudus. 2008 Soemirat, J. 2011. Epidemiologi Lingkungan .Yogyakarta : Gajah Mada Universitas Press. Widyanto, Faisalado Chandra Dan Tribowo, Cecep. 2013. Trend Disease Penyakit Saat Ini. Cv. Trans Info Media: Jakarta.