©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
HUBUNGAN KONSENTRASI Hg AIR SUMUR GALI TERHADAP KADAR MERKURI DARAH PADA MASYARAKAT DI SEKITAR PENAMBANGAN EMAS TANPA IJIN DI DESA JENDI KECAMATAN SELOGIRI KABUPATEN WONOGIRI. Andik Setiyono
1
1. Staf Pengajar Bagian Kesehatan Lingkungan FKM Universitas Siliwangi ABSTRAK Teknik amalgamasi digunakan oleh para penambang emas tradisional di Desa Jendi Kecamatan Selogiri Kabupaten Wonogiri. Logam berat Hg digunakan untuk mengikat emas yang selanjutnya paduan logam (alloy) dibakar untuk memisahkan emas dengan Hg. Proses penambangan dengan teknik tersebut menghasilkan tailing dan uap Hg yang dapat terhirup oleh tenaga pembakar alloy. Tailing yang mengandung Hg dibuang di sekitar pemukiman sehingga berpotensi mencemari tanah dan air tanah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan konsentrasi Hg air sumur gali dengan kadar Hg darah pada masyarakat di sekitar penambangan emas tanpa ijin di Desa Jendi Kecamatan Selogiri Kabupaten Wonogiri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi Hg air sumur gali berkisar antara 0,0012 mg/L sampai 0,0889 mg/L dengan rata-rata konsentrasi Hg 0,0192 mg/L. Baku mutu Hg pada air bersih menurut Permenkes 416 tahun 1990 adalah 0,001 mg/L. Kadar Hg darah masyarakat berkisar 0,00 µg/L sampai 265,16 µg/L dengan rata-rata kadar Hg darah 25,56 µg/L. Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan antara konsentrasi Hg air sumur gali terhadap kadar Hg darah pada masyarakat di sekitar penambangan emas tanpa ijin di Desa Jendi Kecamatan Selogiri Kabupaten Wonogiri. Saran yang direkomendasikan agar pemerintah daerah setempat menyediakan sumber air alternatif yang bebas pencemaran Hg misalnya PDAM. Kata Kunci:Kadar Merkuri, Penambang Emas
ABSTRACT Amalgamation technique used by traditional gold miners in the Village District Jendi Selogiri Wonogiri. Hg heavy metal used to bind the next gold alloys (alloy) is burned to separate the gold with Hg. Mining process with these techniques generate tailings and mercury vapor that can be inhaled by workers alloy burner. Hg-containing tailings dumped in the vicinity of settlements that could potentially contaminate soil and groundwater. The purpose of this study was to correlate the concentration of Hg dug well water with blood Hg levels in communities surrounding gold mining without a permit in the Village District Jendi Selogiri Wonogiri. Results showed that Hg concentrations dug well water ranged from 0.0012 mg / L to 0.0889 mg / L with an average Hg concentration of 0.0192 mg / L. The quality standard of Hg in water by Permenkes 416 of 1990 is 0.001 mg / L. Blood Hg levels of society ranging from 0.00 ug / L to 265.16 ug / L with an average blood Hg levels of 25.56 ug / L. Statistical analysis showed no relationship between Hg concentration of water wells dug on blood Hg levels in communities surrounding gold mining without a permit in the Village District Jendi Selogiri Wonogiri. The recommended advice for local government to provide alternative water sources such as Hg pollution-free taps. Keywords: Mercury Levels, Gold Miners
Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011
1
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
PENDAHULUAN Berbagai produk yang mengandung Hg, diantaranya adalah bola lampu, penambal gigi, dan thermometer. Hg digunakan dalam kegiatan penambangan emas, produksi gas klor dan soda kaustik, serta dalam industri pulp, kertas dan baterai. Logam tersebut digunakan secara luas untuk mengekstrak emas (Au) dari bijihnya. Ketika Hg dicampur dengan bijih emas, Hg akan membentuk amalgama dengan emas (Au) dan perak (Ag). Amalgama tersebut harus dibakar untuk menguapkan merkuri guna menangkap dan memisahkan butir-butir emas dari butir-butir batuan 1). Salah satu penyebab pencemaran lingkungan oleh Hg adalah pembuangan tailing pengolahan emas yang diolah secara amalgamasi, dimana Hg mengalami perlakuan tertentu berupa putaran, tumbukan, atau gesekan, sehingga sebagian Hg akan membentuk amalgam dengan logam-logam (Au, Ag, Pt) dan sebagian hilang dalam proses 2). Tersebarnya logam berat Hg di tanah, perairan, ataupun udara bisa melalui berbagai jalur, seperti pembuangan limbah padat maupun cair yang dibuang ke tanah, udara, dan air. Sebagian senyawa Hg yang dilepas ke lingkungan akan mengalami proses metilasi dan menjadi metil merkuri (CH3Hg) oleh mikroorganisme dalam air dan tanah. Metil-Hg memiliki kelarutan tinggi dalam tubuh hewan air sehingga Hg terakumulasi melalui proses bioakumulasi dan biomagnifikasi dalam jaringan tubuh hewan air3,4,5). Unsur merkuri yang diabsorbsi dengan cepat dioksidasi menjadi ion Hg2+, yang mempunyai afinitas terhadap gugus-gugus sulfhidril (-SH), serta berikatan dengan substrat-substrat yang kaya gugus tersebut. Merkuri ditemukan dalam ginjal (terikat pada metalotionein) dan hati. Merkuri dapat melewati sawar darah-otak dan plasenta. Metilmerkuri mempunyai afinitas yang kuat terhadap otak. Sekitar 90% merkuri darah terdapat dalam eritrosit. Metabolisme senyawa aril merkuri serupa dengan metabolisme merkuri logam atau senyawa anorganiknya. Senyawa fenil dan metoksietil merkuri dengan cepat diubah menjadi merkuri anorganik, sementara metil merkuri dimetabolisme sangat lambat 6).Sementara unsur merkuri dan senyawa anorganiknya dieliminasi lebih banyak melalui kemih daripada feses, senyawa merkuri anorganik terutama diekskresi melalui feses (sampai 90%). Waktu paruh biologis merkuri anorganik mendekati 6 minggu 6). Pengolahan bijih emas dengan metode amalgamasi merupakan cara pengolahan yang sederhana, dan murah, namun bisa mendapatkan emas (bentuk amalgam) yang dapat dijual dengan harga yang cukup tinggi. Amalgamasi digunakan untuk produksi yang kecil dan banyak dilakukan oleh penambang skala kecil (tambang rakyat). Bijih emas yang sesuai untuk diolah dengan metode amalgamasi adalah bijih yang mempunyai kadar tinggi dan ukuran butir kasar. Umumnya pengolahan bijih emas metode amalgamasi ini memperoleh emasnya yang rendah dan kehilangan air raksa yang tinggi. Perolehan emas melalui cara amalgamasi tidak optimal dan untuk tambang rakyat perolehan emas umumnya lebih rendah dari 85%7)
Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011
2
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
Pengolahan bijih emas secara langsung, yaitu dengan memasukkan secara bersama-sama bahan yang digunakan (bijih emas, media giling, kapur tohor, air dan merkuri) pada awal pengolahan sehingga merkuri yang digunakan cepat rusak menjadi butir-butir kecil. Pada proses demikian merkuri mendapat gesekan/tekanan antara media giling atau antara media giling dengan media giling atau media giling dengan dinding bagian dalam tabung amalgamasi. Merkuri yang rusak menjadi butir-butir kecil pada gilirannya akan mengurangi daya ikat terhadap emas, sehingga menghilangkan merkuri yang cukup banyak sewaktu dilakukan pemisahan amalgam dengan ampas (tailing) hasil pengolahan melalui pendulangan, selain itu perolehan emas tidak optimal8). Perolehan emas metode amalgamasi secara langsung yang rendah (<60%) ini juga akan menimbulkan masalah pencemaran air dan tanah oleh merkuri dan logam berat lainnya. Melalui mekanisme infiltrasi yaitu proses masuknya merkuri dari tailing yang dibuang maka merkuri akan mencemari air tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sungai-sungai tidak tercemar oleh merkuri sebelum ada kegiatan pengolahan bijih emas dengan metode amalgamasi langsung oleh masyarakat. Hasil yang berbeda setelah masyarakat mengolah bijih emas dengan metode amalgamasi langsung, menunjukkan bahwa air sungai dan sedimen mengandung merkuri melebihi nilai ambang atas8). Paparan terhadap uap Hg anorganik dapat merusak sistem syaraf. Metilmerkuri bersifat sangat toksik terhadap sistem syaraf, sementara senyawa-senyawa fenil dan metoksietil mempunyai toksisitas rendah. Keracunan akut dapat terjadi pada paparan jangka pendek dengan uap Hg logam dalam kadar beberapa mg/m3 udara menyebabkan iritasi membran mukosa bronkus, stomatitis dengan salivasi yang meningkat, dan pneumonitis yang diikuti demam dan dispnea. Penelanan tak sengaja garamgaram anorganik seperti merkuri (II) klorida (HgCl2), menyebabkan nekrosis lokal di mulut dan saluran cerna, kolaps sirkulasi, dan gagal ginjal akut dengan oligouria dan anuria. Bronkitis akut, pneumonitis interstisial dan stomatitis yang disebabkan air raksa, dipastikan dengan riwayat kerja yang relevan, bukti-bukti paparan kerja terhadap kadar tinggi air raksa dalam udara, dan kadar air raksa yang tinggi dalam kemih 6). Keracunan kronik uap air raksa adalah eretisme, tremor dan stomatitis. Gejala-gejala neurologis dan psikis adalah yang paling karakteristik. Gejala dini nonspesifik (anoreksia, penurunan berat badan, sakit kepala) diikuti gangguan-gangguan yang lebih karakteristik: iritabilitas meningkat, gangguan tidur (sering terbangun, insomnia), mudah terangsang, kecemasan, depresi, gangguan daya ingat, dan kehilangan kepercayaan diri. Masalah-masalah yang sifatnya lebih serius seperti halusinasi, kehilangan daya ingat total, dan kemunduran intelektual, tidak lagi terlihat kini. Tremor air raksa adalah tipe campuran (yaitu, tremor menetap dan intensional), pertama kali tampak sebagai tremor halus kelopak mata yang tertutup, bibir dan lidah, serta jari-jari. Tulisan tangan menjadi kacau, tidak teratur dan sering tak terbaca. Tremor tersebut berlanjut ke lengan dan akhirnya seluruh tubuh. Keracunan berat sering berakibat kelainan bicara terutama mengenai pengucapan. Tanda-tanda neurologis lain termasuk kulit bersemu merah, perspirasi meningkat dan dermatografia. Gingivitis kronik sering terjadi dan dapat menyebabkan hilangnya geligi. Walaupun tingkat akumulasi air raksa dalam ginjal tinggi, kerusakan ginjal jarang terjadi. Deposit air raksa pada kapsula anterior lensa mata menimbulkan Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011
3
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
bayangan coklat kelabu atau kuning dari lensa. Keracunan akibat kerja dengan senyawa-senyawa aril merkuri (fenil) dan metoksietil organik sangat jarang. Efek-efeknya serupa dengan efek yang ditimbulkan oleh air raksa anorganik, disebabkan transformasi cepat dalam tubuh menjadi bentuk anorganik. Disamping itu, senyawa-senyawa ini dapat menyebabkan dermatitis toksik 6). METODE PENELITIAN Metode penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross sectional serta jenis penelitian observasional yang dilakukan dengan melakukan survei di lokasi penelitian. Pendekatan cross sectional adalah rancangan studi yang mempelajari hubungan efek dan paparan (faktor penelitian) dengan cara mengamati status paparan dalam hal ini adalah konsentrasi Hg air sumur gali terhadap kadar Hg darah masyarakat secara serentak dari populasi pada suatu saat atau periode 9,10). HASIL DAN PEMBAHASAN Wilayah pertambangan emas di Kecamatan Selogiri Kabupaten Wonogiri terletah di sekitar Gunung Tumbu – Kalipuru yang ditempati oleh mikrodiorit terkersikan dan sebagian ubahan argilik dengan membawa mineralisasi emas, perak dan logam dasar. Daerah Selogiri secara administratif termasuk ke dalam Kabupaten Wonogiri, Propinsi Jawa Tengah. Secara geografis terletak antara 110o45’ o
o
o
110 56’ bujur timur dan antara 7 45’ – 7 56’ lintang selatan. Lokasi penelitian di Desa Jendi yang merupakan daerah pertambangan yang terbanyak di Kecamatan Selogiri, berjarak 4 km ke arah barat laut dari Kota Wonogiri. Pertambangan emas rakyat atau PETI ini berlangsung sejak datangnya para penambang emas dari Tasikmalaya sekitar tahun 1990 yang lalu. Proses pengolahan bijih emas mengunakan metode amalgamasi dimana proses penggilingan dan pembentukan amalgam dilaksanakan bersamaan di dalam suatu amalgamator yang disebut gelundung. Di lokasi ini, tenaga penggerak gelundung menggunakan dua jenis, yakni dengan dinamo yang menggunakan energi listrik dan dengan tenaga generator diesel. Proses amalgamasi yang menggunakan tenaga penggerak listrik umumnya hanya menggunakan satu gelundung dan tercatat yang paling banyak lima gelundung. Sedangkan proses amalgamasi yang menggunakan tenaga penggerak diesel rata-rata mampu menggerakkan delapan gelundung dengan waktu pengolahan yang relatif sama yaitu 6-7 jam sekali proses, sehingga dalam sehari rata-rata penambang hanya melakukan 2 kali proses pengolahan. Proses selanjutnya adalah pencucian yaitu dengan menyemprotkan air pada campuran amalgam kemudian diperas dengan kain parasut. Tahap akhir adalah penggarangan yaitu memisahkan campuran logam melalui pemijaran sampai didapat logam paduan emas dan perak (bullion). Tailing yang merupakan hasil samping proses amalgamasi dibuang di sekitar tempat pengolahan bijih emas yang terletak di sekitar rumah masyarakat. Tailing dibuang tanpa dilakukan pengolahan terlebih
Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011
4
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
dahulu, hanya disalurkan ke selokan atau sungai di sekitar rumah masyarakat. Padahal di dalam tailing masih tersimpan sejumlah merkuri yang tidak mampu mengikat emas dan logam lainnya. Pada proses pengolahan bijih emas pun masyarakat terbiasa tanpa alat pelindung diri seperti sarung tangan karet, masker, pakaian lengan panjang. Sehingga Hg berpotensi memapar masyarakat lewat udara, air, dan kulit. Sumber air bersih yang menjadi andalan masyarakat adalah sumur gali yang berada di sekitar tempat tinggalnya. Padahal lahan di sekitar tempat tinggalnya telah dijadikan sebagai tempat pembuangan tailing hasil samping proses amalgamasi. Secara fisik air sumur gali kelihatan jernih dengan pH berkisar antara 3,70 sampai 7,30, rata-rata 6,5. Ditinjau dari nilai pH ada beberapa sumur gali yang air bersihnya sudah tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan no 416 tahun 1990, yaitu antara 6,5 – 9,011). Jenis tanah di lokasi penelitian sebagian besar berjenis tanah merah (45,5%), diikuti jenis tanah padas 37,2% dan jenis lempung 17,3%. Jenis tanah ini berpengaruh terhadap infiltrasi Hg dari permukaan tanah menuju ke air tanah. Jenis tanah merah dan lempung lebih mudah menyerapkan pencemar dibanding tanah padas12). Sehingga kondisi tanah yang demikian akan memperparah pencemaran air tanah selain didukung pembuangan tailing yang sembarangan tanpa diolah lebih dulu. Hasil pemeriksaan kadar Hg pada contoh tailing dari lokasi pengolahan bijih emas berkisar 0,299 ppm – 460 ppm. Ambang batas limbah padat dalam Peraturan Pemerintah no 85 tahun 1999 tentang Bahan Berbahaya dan Beracun, untuk unsur Hg sebesar 0,01 ppm13) Sehingga dapat dikatakan tailing yang dibuang di lahan sekitar tempat tinggal sangat berpotensi mencemari air sumur gali masyarakat. Jarak sumur gali dengan tempat pembuangan tailing berkisar 0,5 – 4000 meter. Jarak aman untuk pembuangan bahan kimia adalah 45 meter, dengan syarat telah dilakukan pengolahan terlebih dahulu terhadap tailing yang akan dibuang12). Misalnya ditampung sementara di kolam pengendapan, jika telah penuh baru dipindahkan tailing tersebut di tempat yang aman14). Konsentrasi Hg hasil pemeriksaan pada air sumur gali dari sampel menunjukkan konsentrasi berkisar 0,0012 mg/liter – 0,0889 mg/liter. Kadar tersebut sudah melampaui ambang batas unsur Hg pada air bersih menurut Peraturan Menteri Kesehatan no 416 tahun 1990 yaitu sebesar 0,001 mg/liter11). Air bersih dengan kandungan Hg sebesar itu jika dikonsumsi terus menerus oleh masyarakat maka berpotensi terakumulasi di dalam tubuh manusia. Risiko kesehatan yang dihadapi masyarakat tergantung dari jumlah kadar Hg di dalam tubuhnya. Semakin besar kadar Hg di dalam tubuh maka risiko kesehatan yang dihadapi semakin berbahaya. Kadar Hg darah pada masyarakat menunjukkan kadar berkisar 0,00 µg/L sampai 265,16 µg/L dengan rata-rata kadar Hg darah 25,56 µg/L. Ambang batas menurut WHO dikategorikan jika kadar Hg darah < 10 µg/L maka dalam status normal, sedang kadar Hg darah ≥ 10 µg/L dalam kondisi keracunan. Dari Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011
5
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
sejumlah sampel menunjukkan ada 72 responden di dalam darahnya terkandung Hg ≥ 10 µg/L, sedang 40 responden di dalam darahnya mengandung Hg < 10 µg/L. Hasil uji statistik menunjukkan p value=0,00 sehingga disimpulkan ada hubungan antara konsentrasi Hg air sumur gali terhadap kadar Hg darah pada masyarakat di sekitar penambangan emas tanpa ijin di Desa Jendi Kecamatan Selogiri Kabupaten Wonogiri. Proses bioakumulasi secara umum merupakan selisih antara laju pengambilan (uptake) dari lingkungan ke dalam tubuh biota dan laju pelepasan (depuration) kontaminan dari tubuh ke lingkungan15). Proses bioakumulasi logam berat secara kimiawi merupakan reaksi pembentukan senyawaan kompleks antara logam berat dengan sel-sel organisme yang berfungsi sebagai ligan. Proses ini diterangkan melalui teori Ligan Biotic Model (model ligan biotik). Model ligan biotik untuk ion logam bebas atau derivatnya dirancang untuk memprediksi bagaimana logam-logam terlarut berinteraksi dengan organism akuatik16). Model ini pertama kali digunakan untuk menerangkan fenomena bioakumulasi pada sel algae, perkembangan berikutnya dapat digunakan untuk sel-sel ukariotik atau pada tingkatan yang lebih tinggi. Untuk terakumulasi dalam sel dan memberikan efek biologis,suatu logam pertama-tama harus berinteraksi dengan membrane biologi. Dalam sistem larutan logam berada dalam bentuk ion bebas atau dalam bentuk kompleks ligan. Mendekati permukaan sel, logam dalam berbagai bentuk ini harus melewati dinding sel. Makromolekul dalam dinding sel bersifat porus dan mengandung gugus fungsional sederhana yang didominasi oleh grup oksigen sebagai donor elektron (-COH; -COOH; -P(O)(OH)2). Pada pH netral kebanyakan gugus fungsional tersebut mengalami ionisasi menghasilkan matriks hidrofilik bermuatan negatif sehingga ion logam dan bentuk kompleksnya dapat melewati membran plasma. Interaksi logam dengan sel mengikuti beberapa langkah yaitu: difusi logam dari larutan ke permukaan biologis, sorpsi/kompleksasi logam pada sisi ikatan pasif dalam lapisan pelindung atau sisi pengikat spesifik pada permukaan luar membran plasma dan pengambilan atau internalisasi logam yang diangkut sepanjang membran plasma16). Biomagnifikasi adalah akumulasi bahan pencemar yang bersifat nonbiodegradable pada tingkat tropik tertinggi pada rantai makanan. Kasus biomagnifikasi kebanyakan terjadi diawali dari pencemaran air oleh bahan pencemar yang bersifat nonbiodegradable (tidak dapat diuraikan oleh reaksi kimia dalam tubuh mahkluk hidup). Selanjutnya bahan pencemar itu akan berpindah melalui peristiwa makan dan dimakan dan akan terakumulasi pada tingkatan tropik tertinggi dan akan mempengaruhi fisiologi kehidupan mahkluk hidup17). Organisme perairan dapat mengakumulasi Hg dari air, sedimen, dan makanan yang dikonsumsi. Pengambilan melalui makanan merupakan sumber penting keberadaan logam berat Hg yang terdapat dalam tubuh organisme. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada ikan Pseudopleuronectes platessa dapat terjadi akumulasi dan distribusi Hg dalam jaringannya19). Biomagnifikasi Hg ditunjukkan pada hasil penelitian bahwa fitoplankton (Nannochloropsis oculata) mengandung Hg sebesar 115 ppb, ikan
Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011
6
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
herbivora (Lebistes/Poecilia reticulatus) yang memakan fitoplankton tersebut dengan kandungan Hg pada ikan sebesar 206-254 ppb, dimana dipengaruhi oleh waktu paparan. Proses biomagnifikasi selanjutnya terjadi pada ikan karnivora (Tiger Fish/Symphysodon sp) yang memakan ikan herbivora L. reticulatus dengan kandungan Hg pada ikan karnivora antara 205-261ppb 19).
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah : 1. Tailing yang masih mengandung Hg dibuang di sekitar pemukiman yang berpotensi mencemari air sumur gali masyarakat 2. Konsentrasi Hg air sumur gali berkisar antara 0,0012 mg/liter – 0,0889 mg/liter dengan konsentrasi rata-rata 0,0192 mg/L melebihi baku mutu Permenkes 416/1990 sebesar 0,001 mg/L. 3. Kadar Hg darah masyarakat berkisar 0,00 µg/L sampai 265,16 µg/L dengan rata-rata kadar Hg darah 25,56 µg/L melebihi ambang batas WHO sebesar < 10 µg/L. 4. Ada hubungan antara konsentrasi Hg air sumur gali terhadap kadar Hg darah pada masyarakat di sekitar penambangan emas tanpa ijin di Desa Jendi Kecamatan Selogiri Kabupaten Wonogiri.
Saran yang direkomendasikan: 1. Pembuangan tailing hendaknya diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke badan air atau ke selokan dengan ditampung sementara di kolam pengendapan, jika telah penuh baru dipindahkan tailing tersebut di tempat yang aman. 2. Pemerintah daerah hendaknya menyediakan akses air bersih alternatif misal PDAM untuk mencukupi kebutuhan air bersih masyarakat. DAFTAR PUSTAKA 1. Widowati, W. Efek Toksik Logam, Penerbit ANDI, Yogyakarta,2008 2. Herman, D.Z ,Tinjauan terhadap Tailing Mengandung Unsur Pencemar As, Hg, Pb, dan Cd, Jurnal Geologi Indonesia, Vol 1 no 1 Maret 2006:31-36 3. Depkes, Merkurium dan Pencemaran di Buyat. http://www.go.id/index.php?option=articles&task=viewarticle&artid=138%Itemid=3, 15 Juli 2006 4. Budiono.A., Pengaruh Pencemaran Merkuri Terhadap Biota Air, Makalah Pengantar Filsafat Sains, Program Pasca Sarjana/S3, Institut Pertanian Bogor, 2002 5. Sunardi, Cara Alternatif Untuk Mengolah Limbah Padat/Tailing yang Mengandung Mercury dan Arsen, Departemen Kimia, Universitas Indonesia, Jakarta. http://www.menlh.go.id/terbaru/artikel.php?article_id=1083, 2004 6. WHO,Deteksi Dini Penyakit Akibat Kerja, EGC, Jakarta, 1995 Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011
7
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
7. NOAA, Mercury in Aquatic Habitats, National Oceanic and Atmospheric Administration, 2000 8. Sevruykov,N., Kuzmin,B, dan Chelishchev,Y., General Metallurgy, Peace Publisher, Moscow, hal 545, 1960 9. Murti, B, Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1997 10. Sastroasmoro S, Sofyan Ismael, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis, Binarupa Aksara, Jakarta, 1995 11. Peraturan Menteri Kesehatan no 416 tahun 1990 tentang Syarat-syarat Air Bersih 12. Widhiyatna, Denni, Pendataan Penyeberan Merkuri Akibat Usaha Pertambangan Emas Di Daerah Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat http://psdg.bgl.esdm.go.id/Konservasi.tasikmalaya.pdf diakses 20 Mei 2010 13. Peraturan Pemerintah no 85 tahun 1999 tentang Bahan Berbahaya Beracun (B3) 14. Anonimus. Pencemaran Merkuri dari Darat ke Laut. Kompas. Kamis,02 Desember 2004. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0412/02/2 November 2006 15. Bryson D. Peter, 1989; Comprehensive Review in Toxicology. Second edition, an Aspen Publication, Maryland, page 501 — 508 16. Suseno H, Sahat M. Panggabean, Merkuri : Spesiasi dan Bioakumulasi pada Biota Laut, Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology) ISSN 1410-9565, Volume 10 Nomor 1 Juli 2007, Pusat Teknologi Limbah Radioaktif 17. Campbell,P, Predicting Metal Bioavailability-Applicability of the Biotic Ligan Model; CIESM Workshop Monographs Metal and Radionuclides Bioaccumulation in Marine Organisms; Monaco 2002 18. Hendargo,I , Tinggi Kandungan Merkuri dalam Air Laut di Enam Pelabuhan, 2003. 19. Pentreath,R.J, The Accumulation of Mercury from Food by the plaice, Pleuronectus platessa (L), J. Exp.Mar.Biol. Ecol.24, 51-65,1976
Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011
8