SIFAT FISIK DAN ORGANOLEPTIK KERUPUK YANG DIBERI PENAMBAHAN TEPUNG DAGING SAPI SELAMA PENYIMPANAN
SKRIPSI TOFAN
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN TOFAN. D14204034. 2008. Sifat Fisik dan Organoleptik Kerupuk yang Diberi Penambahan Tepung Daging Sapi selama Penyimpanan. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Ternak. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Anggota : Zakiah Wulandari, S.TP., M.Si. Pembimbing Anggota : Tuti Suryati, S.Pt., M.Si. Pembuatan tepung daging sapi sebagai bahan untuk memperkaya (enrichment) produk pangan merupakan alternatif pengolahan daging sapi dalam upaya meningkatkan nilai guna, pengawetan, dan memudahkan distribusi. Penelitian ini dilakukan dengan mengaplikasikan penggunaan tepung daging sapi sebagai bahan tambahan kerupuk, sehingga diharapkan menjadi alternatif bagi orang yang menginginkan diversifikasi makanan ringan sumber protein dan mineral secara praktis, selain itu dapat meningkatkan daya terima kerupuk menjadi lebih baik dengan flavor daging yang nikmat. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari sifat fisik dan organoleptik kerupuk yang diberi penambahan tepung daging sapi selama penyimpanan. Penelitian ini dilakukan pada bulan Nopember 2007 sampai Maret 2008 di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan dan Laboratorium Analisis Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Perlakuan yang diberikan adalah penambahan tepung daging sapi yang berbeda pada adonan kerupuk, yaitu penambahan tepung daging sapi 0%, 10%, 20% dan 30% dari total tepung tapioka yang digunakan. Peubah yang diukur antara lain rendemen, densitas kamba, dan analisis organoleptik untuk pemilihan formulasi terbaik penambahan tepung daging sapi. Formulasi terbaik digunakan untuk analisis fisik dan organoleptik kerupuk dengan lama penyimpanan yang berbeda. Perlakuan yang diberikan untuk sifat fisik selama penyimpanan adalah penyimpanan kerupuk goreng pada 0 hari, 14 hari, 28 hari dan 42 hari. Peubah yang diukur antara lain: derajat gelatinisasi, rendemen, densitas kamba, aktivitas air, tingkat kekerasan, dan analisis organoleptik kerupuk goreng berupa uji hedonik dan mutu hedonik. Peubah rendemen, densitas kamba, dan analisis organoleptik kerupuk goreng dianalisa dengan statistika model rancangan acak lengkap untuk pemilihan formulasi terbaik dengan perlakuan penambahan tepung daging sapi. Peubah aktivitas air, tingkat kekerasan dan analisis organoleptik kerupuk goreng selama penyimpanan dianalisa dengan statistika model rancangan acak lengkap dengan perlakuan lama penyimpanan 0 hari, 14 hari, 28 hari dan 42 hari. Hasil penelitian tahap pertama menunjukkan bahwa persentase penambahan tepung daging mempengaruhi tingkat kesukaan dan mutu kerupuk goreng. Hasil analisis Kruskal-Wallis pemilihan formulasi terbaik dengan menggunakan skoring uji hedonik menunjukkan bahwa persentase penambahan tepung daging sapi sebanyak 10% dari total tepung tapioka yang digunakan, menghasilkan produk kerupuk goreng terbaik dengan tingkat kesukaan tertinggi terhadap warna (suka), rasa daging (suka), bau daging (agak suka), kekerasan (suka) dan ketengikan (agak suka). Hasil penelitian tahap kedua menunjukkan bahwa lama penyimpanan berpengaruh signifikan terhadap tingkat kekerasan, dan aktivitas air kerupuk goreng.
Hal ini berpengaruh terhadap mutu dari kerupuk goreng. Penurunan mutu dari kerupuk goreng selama penyimpanan adalah peningkatan tingkat kekerasan dan penurunan tingkat bau dan rasa daging kerupuk goreng. Lama penyimpanan tidak mempengaruhi tingkat warna kerupuk goreng sampai hari ke-42. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tahap pengukusan mempengaruhi derajat gelatinisasi kerupuk mentah. Rataan dan simpangan baku derajat gelatinisasi pada pengukusan ke-1 adalah 5,23 ± 0,08, pengukusan ka-2 adalah 8,01 ± 0,17, dan pengukusan ke-3 adalah 15,61 ± 0,75. Lama penyimpanan yang berbeda tidak berpengaruh terhadap aktivitas air dan tingkat kekerasan kerupuk goreng. Rataan dan simpangan baku aw pada penyimpanan P-0 adalah 0,41 ± 0,06, P-14 adalah 0,66 ± 0,01, P-28 adalah 0,67 ± 0,04, dan P-42 adalah 0,69 ± 0,11. Rataan dan simpangan baku tingkat kekerasan kerupuk pada penyimpanan P-0 adalah 1277,77 ± 176,05 gf, P-14 adalah 1916,66 ± 240,38 gf, P-28 adalah 2055,55 ± 45,90 gf, dan P-42 adalah 2186,11 ± 165,48 gf. Rataan dan simpangan baku randemen kerupuk mentah dari adonan adalah 42,14% ± 1,90; rendemen kerupuk goreng dari adonan adalah 73,303% ± 4,024; dan rendemen kerupuk goreng dari kerupuk mentah adalah 107,15% ± 0,48. Kata-kata kunci: Tepung daging sapi, pengembangan pati, karakteristik kerupuk, gelatinisasi
ABSTRACT Physics and Sensory Evaluation of Kerupuk with Additional of Beef Meal During Storage Tofan, Z. Wulandari, T. Suryati ABSTARCT The study of making kerupuk which made by additional of beef meal with four different formulas was conducted to evaluate the characteristic of physic and sensory from kerupuk which was made. Measured observations from fried kerupuk were physic (gel forming ability, water activity, bulk density, and degrees of hardness) and also sensory evaluation. The sensory evaluation included hedonic and mutual hedonic test. Measured observations from un-fried kerupuk were moisture, bulk density and ratio from dough and un-fried kerupuk. The data were analyzed by ANOVA. The study was divided into two phase. First was preliminary experimental to find the best formulas of beef meal addition for making kerupuk. The second was main experimental to study the effect of additional beef meal in making kerupuk and also the effect during storage. The first experimental showed that from hedonic test, 10% of beef meal addition become a best formula of making kerupuk. In main experimental showed that there is a significant effect on kerupuk during storage (p<0.05) for variable degrees of hardness, moisture and water activity. But, during storage there was no significant effect in color and the odor especially off-flavor of kerupuk (p>0.05). Key words : Beef meal, swelling, kerupuk characteristic, gelatinization
SIFAT FISIK DAN ORGANOLEPTIK KERUPUK YANG DIBERI PENAMBAHAN TEPUNG DAGING SAPI SELAMA PENYIMPANAN
TOFAN D14204034
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
SIFAT FISIK DAN ORGANOLEPTIK KERUPUK YANG DIBERI PENAMBAHAN TEPUNG DAGING SAPI SELAMA PENYIMPANAN
Oleh : TOFAN D14204034
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 25 Agustus 2008
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Zakiah Wulandari, S.TP., M.Si. NIP. 132 206 246
Tuti Suryati, S.Pt., M.Si. NIP. 132 159 706
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Luki Abdullah, MSc.Agr. NIP. 131 955 531
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 8 Nopember 1986 di Banyumas, Jawa Tengah. Penulis adalah anak keempat dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Imam Fadholie dan Ibu Sunarsih. Pendidikan dasar diselesaikan oleh penulis tahun 1998 di SDN Jatilawang II, pendidikan lanjutan menegah pertama diselesaikan pada tahun 2001 di SLTPN 1 Jatilawang dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2004 di SMAN 1 Jatilawang. Penulis diterima sebagai mahasiswa di program studi Teknologi Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2004 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama mengikuti pendidikan di IPB, penulis pernah aktif di Dewan Perwakilan Mahasiswa Tingkat Persiapan persama (DPM TPB), Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Peternakan, Aptech Creative Team (ACT) Fakultas Peternakan, D’Cafe Teknologi Hasil Ternak, Enterprenership Club Fakultas Peternakan, MAPAJI Club, asisten mata kuliah Dasar Teknologi Hasil Ternak, asisten mata kuliah Teknologi Pengolahan Susu, asisten mata kuliah Teknologi Pengolahan Daging, asisten mata kuliah Teknologi Pengolahan Telur dan Daging Unggas, dan Ikatan Mahasiswa se-Karesidenan Banyumas (IKAMAHAMAS).
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmaanirrohiim. Alhamdulillahirobbilalamin. Segala puji bagi Allah SWT, yang telah melimpahkan segala karunia serta hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis berkemampuan untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga terlimpah kepada Rasulullah Muhammad SAW, yang telah membawa dan menyampaikan risalah Islam kepada seluruh umat manusia. Skripsi berjudul “Sifat Fisik dan Organoleptik Kerupuk yang Diberi Penambahan Tepung Daging Sapi selama Penyimpanan” ini mempelajari sifat fisik kerupuk yang diberi penambahan tepung daging sapi dan sifat organoleptik kerupuk daging sapi selama penyimpanan. Penelitian ini hanyalah langkah awal yang kecil untuk membuka peluang penelitian yang lebih mendalam dan lebih matang. Meskipun penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna sebagai suatu sumber informasi yang baik, penulis tetap berharap semoga karya ini dapat bermanfaat bagi kebaikan dan dapat menjadi amal penulis kepada pendidikan, amin.
Bogor, Agustus 2008
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ..................................................................................................
ii
ABSTRACT.....................................................................................................
iv
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................
v
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................
vi
RIWAYAT HIDUP .........................................................................................
vii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... viii DAFTAR ISI....................................................................................................
ix
DAFTAR TABEL............................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiv PENDAHULUAN ...........................................................................................
1
Latar Belakang ..................................................................................... Tujuan ..................................................................................................
1 2
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................
3
Daging Sapi.......................................................................................... Kualitas Daging Sapi ............................................................... Tepung Daging Sapi ................................................................ Kerupuk ............................................................................................... Sifat kerupuk ............................................................................ Bahan Baku Kerupuk ............................................................... Tepung Tapioka ........................................................... Gula .............................................................................. Garam........................................................................... Air ................................................................................ Bawang Putih .............................................................. Bahan Pengembang...................................................... Pengolahan Kerupuk ................................................................ Pembuatan adonan ....................................................... Pengukusan .................................................................. Pendinginan dan Pengirisan ......................................... Pengeringan ................................................................. Penggorengan............................................................... Plastik Polipropilen (PP) ...................................................................... Perubahan Fisiko-Kimia selama Pengolahan dan Penyimpanan ......... Gelatinisasi............................................................................... Kerenyahan ............................................................................. Ketengikan ............................................................................... Reaksi Maillard ........................................................................ Sifat Sensori Bahan .............................................................................. Warna .......................................................................................
3 3 4 6 6 7 7 8 9 10 10 10 11 11 11 11 12 13 14 15 16 17 17 18 19 21
Flavor dan Bau ......................................................................... Tekstur ..................................................................................... Rasa ..........................................................................................
21 21 21
METODE .........................................................................................................
22
Lokasi dan Waktu ................................................................................ Materi ................................................................................................... Rancangan Percobaan .......................................................................... Prosedur ............................................................................................... Penelitian Tahap Pertama ........................................................ Penelitian Tahap Kedua ........................................................... Pengukuran Peubah.................................................................. Rendemen (AOAC, 1995) ........................................... Densitas Kamba (Lavlinesia, 1995) ............................. Aktivitas Air (AOAC, 1999) ....................................... Analisis Derajat Gelatinisasi ........................................ Pengujian Tingkat Kekerasan (Analisis Tekstur) ........ Analisis Organoleptik ..................................................
22 22 22 24 24 25 28 28 28 29 29 30 30
HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................
33
Penelitian Tahap Pertama .................................................................... Sifat Fisik Adonan ................................................................... Sifat Fisik Kerupuk Mentah ..................................................... Sifat Fisik Kerupuk Goreng ..................................................... Pengujian Organoleptik ........................................................... Tingkat Kesukaan terhadap Rasa Daging Kerupuk Goreng ......................................................................... Tingkat Kesukaan terhadap Warna Kerupuk Goreng .. Tingkat Kesukaan terhadap Bau Daging Kerupuk Goreng .............................................................................. Tingkat Kesukaan terhadap Ketengikan ...................... Tingkat Kesukaan terhadap Kekerasan Kerupuk Goreng .............................................................................. Penelitian Tahap Kedua ....................................................................... Derajat Gelatinisasi .................................................................. Densitas Kamba ....................................................................... Rendemen ................................................................................ Analisis Fisik Kerupuk Goreng selama Penyimpanan ............ Uji Organoleptik selama Penyimpanan ................................... Tingkat Kesukaan terhadap Warna selama Penyimpanan ............................................................................ Tingkat Kesukaan terhadap Rasa dan Bau Daging selama Penyimpanan ....................................................... Tingkat Kesukaan terhadap Ketengikan selama Pe nyimpanan ................................................................... Tingkat Kesukaan terhadap Kekerasan selama Penyimpanan ...........................................................................
33 33 35 37 38 40 40 42 42 43 44 45 46 48 49 51 53 54 54 55
KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................
57
UCAPAN TERIMA KASIH ...........................................................................
58
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
59
LAMPIRAN.....................................................................................................
64
DAFTAR TABEL Nomor 1.
Halaman Kandungan Nutrisi Tepung Daging Sapi per 100 g Tepung Daging Sapi ....................................................................................................
5
2.
Kandungan Nutrisi per 100 g Tepung Tapioka .................................
7
3.
Suhu dan Daya Larut Sukrosa dalam Air ..........................................
9
4.
Syarat Mutu Minyak Goreng .............................................................
13
5.
Sifat-sifat Polipropilen (PP) dibandingkan dengan HDPE (High Density Poly Ethylene) dan LDPE (Low Density Poly Ethylene) ......
15
6.
Analisis Biang Adonan, Kerupuk Mentah, dan Kerupuk Goreng .....
25
7.
Analisis Kerupuk Mentah, dan Kerupuk Goreng Formulasi Terbaik secara Hedonik selama Penyimpanan ...............................................
26
8.
Formulasi Pembuatan Kerupuk Daging per 100 g Tepung Tapioka
26
9.
Sifat Fisik Biang Adonan dengan Perbandingan Penambahan dan Tepung Tapioka yang Berbeda ..........................................................
34
Rendemen Kerupuk Mentah terhadap Adonan dengan Berbagai Formulasi Penambahan Tepung Daging Sapi .........................................
36
10. 11.
Hasil Analisis Fisik Kerupuk Goreng terhadap Berbagai Penambahan Tepung Daging Sapi .......................................................................... 36
12.
Hasil Uji Hedonik Pemilihan Formulasi Terbaik Kerupuk Goreng dengan Penambahan Tepung Daging Sapi yang Berbeda .................
38
Hasil Uji Mutu Hedonik Pemilihan Formulasi Terbaik Kerupuk Goreng dengan Penambahan Tepung Daging Sapi yang Berbeda .........
38
14. Hasil Skoring Uji Hedonik Pemilihan Formulasi Terbaik Kerupuk Goreng dengan Persentase Penambahan Tepung Daging yang Berbeda ...................................................................................................
44
15.
Hasil Analisis Fisik Derajat Gelatinisasi ...........................................
45
16.
Hasil Analisis Fisik Kerupuk Mentah dan Kerupuk Goreng .............
46
17. Hasil Analisis Fisik Kerupuk Goreng dengan Penambahan Tepung Daging Sapi Sebanyak 10% selama Penyimpanan ............................
48
18.
Hasil Uji Mutu Hedonik Kerupuk Goreng selama Penyimpanan......
52
19. Hasil Uji Hedonik Kerupuk Goreng selama Penyimpanan ...............
53
20. Hasil Perangkingan Pemilihan Kerupuk Goreng Terbaik selama Penyimpanan ..........................................................................................
56
13.
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Tepung Daging Sapi ..........................................................................
5
2.
Bentuk Granula : A. Pati jagung; B. Pati Kentang; C. Tapioka ........
8
3.
Mekanisme Gelatinisasi .....................................................................
16
4.
Kurva Hubungan Aktivitas Air dengan Tingkat Reaksi dalam Pangan ....................................................................................................
17
Proses Pembuatan Kerupuk Daging Sapi berdasarkan Metode Wiriano (1984) yang Dimodifikasi .........................................................
27
Ilustrasi Hasil Pengukuran Tingkat Kekerasan Menggunakan Alat Rheoner ..............................................................................................
30
Tingkat Warna Kerupuk Mentah dengan Berbagai Penambahan Tepung Daging ..................................................................................
36
8.
Ilustrasi Struktur Pori-pori Kerupuk Goreng Tampak Melintang ....
38
9.
Kerupuk Goreng dengan Persentase Penambahan Tepung Daging Sapi yang Berbeda ............................................................................
41
Grafik Nilai Rata-rata Rendemen Kerupuk pada Beberapa Tahap Pembuatan Kerupuk ...........................................................................
48
Grafik Hubungan Antara Peningkatan Persentase Kadar Air selama Penyimpanan Kerupuk Goreng ..........................................................
51
Grafik Hubungan Antara Peningkatan Persentase Aktivitas Air selama Penyimpanan Kerupuk Goreng .................................................
51
Warna Kerupuk Goreng dengan selama Penyimpanan ....................
53
5. 6. 7.
10. 11. 12. 13.
LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Form Uji Mutu Hedonik Kerupuk Goreng ........................................
65
2.
Form Uji Hedonik Kerupuk Goreng ..................................................
65
3.
Hasil Uji Asumsi Peubah Mutu Hedonik Pemilihan Formulasi Terbaik.....................................................................................................
66
4.
Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Bau Daging ....
66
5.
Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Warna Daging Tahap Pemilihan Formulasi Terbaik ................................................
67
Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Ketengikan Tahap Pemilihan Formulasi Terbaik ......................................................
67
Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Kekerasan Tahap Pemilihan Formulasi Terbaik ......................................................
67
Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Rasa Tahap Pemilihan Formulasi Terbaik.............................................................
68
Tabel Sidik Ragam untuk Mutu Hedonik Tingkat Rasa Daging Tahap Pemilihan Formulasi Terbaik ......................................................
68
10. Tabel Sidik Ragam untuk Mutu Hedonik Tingkat Bau Daging Tahap Pemilihan Formulasi Terbaik ......................................................
68
11. Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Warna Tahap Pemilihan Formulasi Terbaik.............................................................
68
12. Tabel Sidik Ragam untuk Mutu Hedonik Tingkat Ketengikan Ta hap Pemilihan Formulasi Terbaik ......................................................
69
13. Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Kekerasan Tahap Pemilihan Formulasi Terbaik ......................................................
69
14. Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Bau Daging selama Penyimpanan..........................................................................
69
15. Hasil Uji Asumsi Peubah Mutu Hedonik selama Penyimpanan ..
70
16. Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Kekerasan Kerupuk selama Penyimpanan ...............................................................
70
17. Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Ketengikan Kerupuk Goreng selama Penyimpanan.............................................
71
18. Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Rasa Daging Kerupuk Goreng selama Penyimpanan.............................................
71
19. Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Warna Keru – puk Goreng selama Penyimpanan.....................................................
71
20. Tabel Sidik Ragam untuk Mutu Hedonik Warna Kerupuk Goreng selama Penyimpanan yang Berbeda ..................................................
72
6. 7. 8. 9.
21. Tabel Sidik Ragam untuk Mutu Hedonik Kekerasan Kerupuk Goreng selama Penyimpanan .................................................................
72
22. Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Bau Daging Kerupuk Goreng selama Penyimpanan.............................................
72
23. Tabel Sidik Ragam untuk Mutu Hedonik Rasa Daging Kerupuk Goreng selama Penyimpanan.............................................................
72
24. Tabel Sidik Ragam untuk Kadar Air Formulasi Kerupuk Mentah yang Berbeda .....................................................................................
73
25. Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Ketengikan Kerupuk Goreng selama Penyimpanan.............................................
73
26. Tabel Sidik Ragam untuk Aktivitas Air Kerupuk Goreng selama Penyimpanan ......................................................................................
73
27. Tabel Sidik Ragam untuk Kadar Air Kerupuk Goreng selama Pe – nyimpanan ..........................................................................................
73
28. Tabel Sidik Ragam untuk Kekerasan Kerupuk Goreng selama Pe – nyimpanan ..........................................................................................
74
29. Hasil Uji Asumsi Peubah Rendemen Kerupuk Mentah dan Rendemen Kerupuk Goreng Empat Formulasi Penambahan Tepung Da ging yang Berbeda .............................................................................
74
30. Hasil Uji Asumsi Peubah Densitas Kamba Kerupuk Goreng Empat Formulasi Penambahan Tepung Daging yang Berbeda .....................
74
31.
Tabel Sidik Ragam untuk Rendemen Kerupuk Mentah ...................
74
32.
Tabel Sidik Ragam untuk Rendemen Kerupuk Goreng ...................
75
33.
Tabel Sidik Ragam untuk Densitas Kamba Kerupuk Goreng ..........
75
PENDAHULUAN Latar Belakang Daging merupakan sumber pangan hasil ternak dengan komposisi gizi berupa mineral besi (Fe) dan protein yang tinggi dengan asam amino yang lengkap tetapi memiliki sifat yang mudah rusak (perishable) sehingga diperlukan suatu bentuk pengolahan untuk tetap dapat mempertahankan nilai gunanya. Hal ini memacu pengembangan metode pengawetan daging secara modern untuk memenuhi kebutuhan daging masyarakat secara praktis dan higienis. Tepung daging sapi merupakan salah satu produk olahan daging yang bersifat higroskopis dengan kandungan air rendah (11,24%-15,24%) (Aditya, 2008). Sifat ini akan memudahkan penggunaan dalam pembuatan produk pangan yang memanfaatkan air sebagai media pencampurannya. Hal ini akan meningkatkan pemanfaatan tepung daging sapi sebagai bahan untuk memperkaya (enrichment) produk pangan sehingga didapatkan produk pangan yang mempunyai kandungan nutrisi daging khususnya protein yang alami. Kerupuk tapioka oleh sebagian masyarakat Indonesia dikenal sebagai makanan ringan dan praktis yang tidak memerlukan metode penyimpanan khusus dalam hal distribusi. Bahan utama pembuatan kerupuk berupa tepung tapioka dan bumbu rempah-rempah dengan pencampuran bahan tambahan makanan sintetis (BTM) untuk meningkatkan flavor yang relatif murah, membuat industri kerupuk dapat berproduksi secara massal dan kontinu. Kandungan gizi yang rendah dan cita rasa khas kerupuk yang biasa menjadi suatu peluang untuk membuat kerupuk yang lebih bernilai gizi dan memiliki flavor yang lezat. Penambahan bahan alami dan bergizi sebagai bahan pengisi pada kerupuk merupakan modifikasi dan improvisasi teknologi yang berpeluang menghasilkan teknologi produksi kerupuk. Teknologi pembuatan kerupuk dengan menambahkan atau mengubah sifat fungsionalnya sedemikian rupa sehingga bentuk, sifat dan penerimaan konsumen dapat lebih baik akan meningkatkan pangsa pasar kerupuk, baik nasional, maupun internasional. Berdasarkan permasalahan tersebut, diperlukan suatu usaha diversifikasi produk tepung daging sapi sehingga peningkatan nilai guna dari tepung daging sapi dapat dioptimalkan. Penggunaan tepung daging sapi sebagai bahan untuk memperkaya produk kerupuk diharapkan menjadi alternatif bagi orang yang
menginginkan diversifikasi makanan ringan sumber protein-mineral secara praktis dan alami dangan daya terima yang lebih baik berupa flavor daging yang nikmat. Penambahan tepung daging sapi dapat mempengaruhi lama penyimpanan kerupuk yaitu dapat menghasilkan produk yang rentan terhadap ketengikan, sehingga diperlukan metode penyimpanan khusus untuk mempertahankan masa simpan produk dari ketengikan. Penelitian ini dilakukan dengan menganalisis sifat fisik dan organoleptik pada kerupuk yang diberi penambahan tepung daging sapi selama penyimpanan kerupuk goreng. Tujuan Penelitian ini bertujuan menganalisis sifat fisik kerupuk yang diberi penambahan tepung daging sapi dan sifat organoleptik kerupuk daging sapi selama penyimpanan.
TINJAUAN PUSTAKA Daging Sapi Daging didefinisikan sebagai bahan pangan yang berasal dari hasil penyembelihan hewan ternak hidup secara benar dan telah mengalami proses deboning (pemisahan tulang) dari karkas. Standardisasi proses pemotongan hewan ternak harus diperhatikan untuk menghindari kontaminasi dari bahan pencemar berupa fisik, kimia, maupun mikrobiologi (Nel et al., 2003; Fahey dan Noor, 2001). Daging sapi merupakan bagian urat daging sapi yang melekat pada kerangka kecuali urat daging dari bagian bibir, hidung, dan telinga (Dewan Standardisasi Nasional, 1995). Kualitas Daging Sapi Komposisi daging sapi segar terdiri atas 75% air, 19% protein, 3,5% substansi nonprotein larut dan 2,5 % lemak. Daging sapi mengandung berbagai asam amino baik essensial maupun non-essensial yang lengkap dan diperlukan oleh tubuh manusia. Keadaan asam amino tertentu dapat berbeda pada bagian yang berbeda dari karkas. Kadar asam amino dipengaruhi oleh spesies dan umur ternak serta proses pengolahan misalnya panas (Lawrie, 2003) dan radiasi ionisasi yang berpengaruh terhadap flavor, warna, dan masa penyimpanan (Montgomery et al., 2003). Protein sangat penting bagi pertumbuhan dan kesehatan anak-anak. Aktivitas fisik anak-anak yang tinggi dapat mempengaruhi metabolisme protein dalam tubuh sehingga diperlukan asupan nutrisi protein yang tinggi dan berkualitas (Bolster et al., 2001) Warna daging segar merupakan atribut terpenting dalam kualitas daging yang berhubungan langsung dengan daya terima konsumen. Warna daging ditentukan oleh mioglobin, pigmen kromoprotein dan haemoglobin mempunyai pengaruh yang relatif kecil terhadap warna daging. Faktor yang dapat mempengaruhi warna daging adalah pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stres (tingkat aktivitas dan tipe otot), pH, dan oksigen (Soeparno, 1994; Fahey dan Noor, 2001). Nilai pH daging sapi dapat menentukan umur simpan, warna, keempukan, dan kualitas daging. Nilai pH normal daging berkisar 5,4 sampai 5,9. Nilai pH dibawah 5,4 akan membentuk daging yang lembek (pale soft exudative) dan nilai pH diatas 5,9 akan membentuk daging yang berwarna gelap (dark firm dry). Nilai pH dipengaruhi oleh proses pemotongan (Lawrie, 2003; dan Fahey dan Noor, 2001).
Flavor daging berasal dari reaksi kimia dalam daging dari bahan-bahan prekusornya. Salah satu prekusor yang digunakan dalam penentu flavor adalah lemak, pirolisis dari peptida-peptida dan asam-asam amino, degradsi gula-gula, degradasi tiamin dan ribonukleotida dan interaksi yang melibatkan gula-gula, asam amino, lemak, H2S dan NH3 (Lawrie, 2003). Produksi volatil berasal dari asam amino dalam pirolisis melalui degradasi Strecker yang melibatkan deaminasi dan dekarboksilasi asam-asam amino ke dalam aldehid dan adanya reaksi Maillard yang diawali oleh interaksi asam-asam amino dan gugus karbonil (Murthy et al., 2003; Chun dan Ho, 1997). Zat volatil daging dapat berubah dengan adanya denaturasi protein. Hal ini berhubungan dengan suhu pengolahan daging yang menghasilkan senyawa turunan protein seperti pentanal dan heksanal yang bersifat volatil. Suhu lebih dari 70 oC dapat mendenaturasi protein daging yang meyebabkan komponen protein berubah (Grimm et al., 1997). Perubahan kualitas daging dipengaruhi oleh kandungan lemak daging yang dapat menimbulkan ransiditas (ketengikan) pada penyimpanan freezer kira-kira satu tahun. Ketengikan lemak akan terhambat apabila daging kering mengandung air hanya sampai kira-kira 1,5%, tetapi kadar air yang sangat rendah dapat mempengaruhi tekstur, flavor dan daya rehidrasi yang rendah (Soeparno, 1994). Penambahan antioksidan seperti vitamin E dapat menghambat reaksi oksidasi lemak dan mioglobin sehingga kualitas daging akan lebih baik (Wood et al., 2004). Konsentrasi asam α-linolenat (18:3) yang mendekati 3% dari lemak alami atau fosfolipida berefek terhadap kualitas daging yang rendah, menurunkan masa simpan (oksidasi lemak dan mioglobin) dan flavor. Daging ruminansia seperti sapi mengandung sumber n-3 PUFA yang relatif baik disebabkan karena adanya kandungan asam α-linolenat pada rumput yang digunakan sebagai pakan alami (Wood et al., 2004). Proses penyimpanan yang baik untuk daging sapi segar adalah pada ruangan khusus dan tertutup dengan temperatur kurang dari -15oC (frozen meat) (Fahey dan Noor, 2001). Tepung Daging Sapi Kandungan zat besi yang tinggi (72% - 87%) menentukan kualitas dari daging sapi. Pemanasan daging sapi dapat menurunkan kandungan zat besi sampai 24% menjadi non heme yang lebih stabil (Boccia et al., 2002). Tepung daging sapi
merupakan salah satu produk diversifikasi daging sapi yang memanfaatkan metode pengeringan menggunakan oven dengan suhu 60 oC selama 24 jam. Pengeringan daging segar akan menghasilkan daging kering yang dapat diolah lebih lanjut menjadi tepung daging. Pembuatan tepung daging dari daging segar dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu pencucian, penggilingan, pengeringan, penepungan, dan pengayakan (Anggoro, 2007). Kandungan nutrisi tepung daging sapi dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan Nutrisi Tepung Daging Sapi per 100 g Tepung Daging Sapi Kadar Nutrisi
Komposisi
I
II
-
11,24 – 15,44
Protein (%)
75,42 - 78,31
80,90 – 84,16
Lemak (%)
6,07 – 7,24
10,81 – 12,41
64,41 – 85,30
81,36 – 85,96
Kadar Air (%)
Fe (ppm) Sumber : I : Anggoro, 2007 II : Aditya, 2008
Pengeringan bahan pangan dapat menurunkan kadar air bahan pangan tersebut, tetapi dapat meningkatkan persentase kandungan nutrisi seperti protein, lemak, dan mineral (Winarno, 1993). Kadar air yang rendah dapat meminimalkan pertumbuhan mikroorganisme. Pengeringan daging akan menurunkan kandungan air bahan sehingga konsentrasi bahan kering meningkat (Buckle et al., 1987).
Gambar 1. Tepung Daging Sapi
Tepung daging sapi memiliki karakteristik berwarna coklat, kering, higroskopis (menyerap air), dan mempunyai aroma daging matang. Daging sapi segar dengan bobot 1 kg dapat dijadikan tepung daging sapi sebanyak 163,4 g (Anggoro, 1997). Kerupuk Kerupuk merupakan salah satu produk pangan yang berasal dari Indonesia, terbuat dari tepung tapioka, dicampur dengan bahan tambahan makanan dan dilakukan penggorengan menggunakan minyak sebelum disajikan. Kadar air kerupuk berkisar antara 10,3% sampai 11,3% (Fumiko dan Yasuko, 2000). Pati berperan dalam proses gelatinisasi dan berpengaruh terhadap volume pengembangan yang merupakan salah satu mutu kerupuk yaitu semakin besar volume pengembangan maka mutu kerupuk tersebut semakin baik (Wiriano, 1984). Sifat Kerupuk Kerupuk pada dasarnya dibagi menjadi dua jenis yaitu kerupuk halus dan kerupuk kasar. Kerupuk kasar dibuat hanya dari bahan pati yang ditambahkan bumbu, sedangkan kerupuk halus ditambah lagi dengan bahan berprotein seperti ikan sebagai bahan tambahan. Kerupuk tapioka mempunyai kandungan protein yang rendah. Hal ini dikarenakan kadar protein bahan baku yang digunakan (tepung tapioka) rendah. Penambahan ikan, tepung udang dan sumber protein lainnya pada adonan kerupuk diharapkan akan meningkatkan kandungan protein kerupuk yang dihasilkan. Pembuatan adonan merupakan tahap yang penting dalam pembuatan kerupuk mentah. Adonan dibuat dengan mencampurkan bahan-bahan utama dan bahan-bahan tambahan yang diaduk hingga diperoleh adonan yang liat dan homogen (Wijandi et al., 1975). Kerupuk dengan campuran tepung tapioka mempunyai mutu yang lebih baik daripada tanpa campuran dilihat dari warna, aroma, tekstur dan rasa (Suhardi et al., 2006). Kerupuk memiliki tekstur berongga dan renyah, hal ini merupakan salah satu mutu dari kerupuk. Sifat renyah pada produk kerupuk dan crackers berpengaruh terhadap kualitas produk pangan dan berperan dalam metode penyimpanan suatu produk pangan (Wiratakusumah et al., 1989). Sifat kerupuk mudah melempem, hal ini berkaitan dengan kelembaban udara lingkungan dan tingkat penyerapan air pada
produk kerupuk. Kelembaban udara di Indonesia yang relatif tinggi (80% - 90%) memacu teknologi pembentukan bahan pengemas yang tahan terhadap kondisi lingkungan dan sesuai dengan produk bahan yang dikemas (Setyawan, 1999). Bahan pengemas tahan uap air dan udara yang sering digunakan untuk produk kerupuk adalah plastik, kaleng, dan gelas (Syarief dan Halid, 1993). Bahan Baku Kerupuk Bahan pembuat kerupuk dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu bahan baku dan bahan tambahan. Bahan baku adalah bahan yang digunakan dalam jumlah besar dan fungsinya tidak dapat digantikan oleh bahan lain. Bahan tambahan adalah bahan yang diperlukan untuk melengkapi bahan baku dalam proses pembuatan kerupuk. Bahan tambahan dari kerupuk adalah garam, bumbu, bahan pengembang dan air. Bumbu yang digunakan dalam pembuatan kerupuk berfungsi untuk memperbaiki dan menambah cita rasa kerupuk (Djumali et al., 1982). Tepung Tapioka. Tepung tapioka merupakan hasil ekstraksi pati ubi kayu (Manihot utilisima) yang telah mengalami proses pencucian dan dilanjutkan dengan pengeringan dan penggilingan. Tepung tapioka digunakan sebagai bahan pembuatan kerupuk karena harga yang relatif murah (Suhardi et al., 2006). Tepung tapioka mempunyai karakteristik yang diinginkan bagi industri pangan. Penambahan tepung tapioka pada produk pangan dapat meningkatkan kandungan serat hingga 12%. Produk pangan tersebut dapat dimetabolisme dengan baik oleh tubuh (Niba dan Jackson, 1999). Kandungan nutrisi tepung tapioka dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kandungan Nutrisi per 100 g Tepung Tapioka Kandungan Nutrisi
Jumlah
Kadar Air (%)
12,00
Kadar Protein (%)
0,30
Kadar Lemak (%)
0,30
Kadar Abu (%)
0,50
Kadar Karbohidrat (%)
86,90
Sumber : Departemen Kesehatan RI, 1981
Penambahan tepung tapioka pada industri pangan berfungsi memperbaiki tekstur misalnya industri roti. Tepung tapioka memiliki bentuk granula yang unik, hal ini merupakan sifat khas yang membedakan tepung tapioka dengan yang lain (Winarno, 1992). Bentuk granula beberapa pati dapat dilihat pada Gambar 2. .
.
. .
. . .
.
. .
. .
A
B
C
Gambar 2. Bentuk Granula : A. Pati jagung; B. Pati kentang; C. Tapioka Sumber : Winarno, 1992
Industri pangan menggunakan tepung tapioka karena tepung tapioka berwarna jernih apabila membentuk pasta, mempertinggi mutu penampilan dari produk akhir dan memiliki suhu gelatinisasi yang rendah. Suhu gelatinisasi adalah suhu awal mulai terjadinya pembengkakan granula (swelling) yang ditandai dengan naiknya viskositas. Waktu gelatinisasi adalah waktu mulai terjadinya gelatinisasi sampai gelatinisasi maksimal yang menunjukkan kemudahan “tanak” (Desphande et al, 1983). Titik gelatinisasi tepung tapioka (awal terbentuknya gel) terjadi pada suhu 60,3oC - 69,5oC, dengan waktu 2 menit 10 detik – 5 menit 46 detik (Maarif, 1984). Gula. Gula adalah suatu istilah umum yang sering diartikan pada setiap karbohidrat yang digunakan sebagai pemanis, tetapi dalam industri pangan biasanya digunakan untuk menyatakan sukrosa, gula yang diperoleh dari bit atau tebu (Buckle et al., 1987). Penggunaan gula pada produk makanan berprotein dapat menyebabkan reaksi browning atau pencoklatan karena adanya reaksi antara gugus asam amino bebas seperti amin, asam amino, peptida dan protein dengan komponen karbonil yaitu partikel gula pereduksi pada gula (Fayle dan Gerrard, 2002; Murthy, 2003). Penggunaan gula pada bahan makanan bermanfaat terhadap peningkatan kualitas sensori terutama flavor bahan pangan (Reineccius, 1994). Penggunaan gula berpengaruh terhadap penurunan aktivitas air bahan pangan sehingga dapat berfungsi sebagai pengawet bahan pangan (Buckle et al., 1987). Penambahan gula berpengaruh terhadap kekentalan gel. Gula dapat menurunkan kekentalan gel karena gula dapat mengikat air, sehingga pembengkakan butir-butir pati terjadi lebih lambat yang
menyebabkan suhu gelatinisasi menjadi lebih tinggi. Keuntungan penggunaan gula adalah gel yang terbentuk lebih tahan terhadap kerusakan mekanik (Winarno, 1992). Daya larut yang tinggi dari sukrosa merupakan salah satu dari sifat-sifatnya yang penting. Keanekaragaman daya larut sukrosa dalam air pada suhu yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 3. Semakin tinggi suhu air yang digunakan untuk melarutkan gula, semakin tinggi daya larut sukrosa (Buckle et al., 1987). Tabel 3. Suhu dan Daya Larut Sukrosa dalam Air Suhu (oC)
Daya larut (%)
20
67,1
30
72,4
100
84,1
Sumber: Buckle et al., 1987
Sukrosa (C12H22O11) berbentuk kristal putih keras, kering dan diperoleh dari evaporasi bahan gula. Sifat khas dari gula adalah mempunyai daya larut dalam air yang tinggi. Sukrosa merupakan disakarida yang mempunyai dua unit rantai heksosa yaitu glukosa dan fruktosa. Sukrosa bukan gula pereduksi sehingga tidak reaktif terhadap proses pemanasan. Tingkat kemanisan dan karakteristik sukrosa terhadap suhu dan waktu dijadikan standar mutu produk (Reineccius, 1994). Garam. Penggunaan garam NaCl (natrium klorida) berperan terhadap pembentukan flavor, mengawetkan dan menstabilkan struktur produk akhir. Penambahan garam pada makanan dapat memberikan rasa yang spesifik karena sifat yang asin. Penggunaan secara umum pada produk pangan sebanyak 2%. Penggunaan terlalu berlebih dapat menyebabkan produk akhir sulit dicerna dalam saluran pencernaan dan menimbulkan efek mual pada orang yang mengkonsumsinya (Reineccius, 1994; Soeparno, 1994). Garam sebagai bahan tambahan makanan berperan untuk menambah cita rasa produk akhir. Garam mempengaruhi aktivitas air dari bahan dengan menyerap air sehingga aktivitas air menurun dengan menurunnya kadar air. Konsentrasi rendah (1%-3%) garam tidak bersifat membunuh mikroorganisme, tetapi hanya sebagai bumbu yang dapat memberi cita rasa gurih pada bahan pangan (Buckle et al., 1987).
Penggunaan gula akan membantu mereduksi total penggunaan garam untuk setiap penambahan gula (Reineccius, 1994). Air. Air (H2O) merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, tingkat kerenyahan produk akhir serta cita rasa makanan. Reaksi pembentukan gel memerlukan air sebagai penentu tingkat keberhasilan produk yang diinginkan (Winarno, 1992). Jumlah air yang digunakan dalam adonan kerupuk dapat mempengaruhi tingkat adonan kerupuk, penyerapan minyak dan kerenyahan produk akhir (Wiriano, 1984). Air dan penggunaan suhu tinggi dapat berpengaruh terhadap kecepatan reaksi dan kecepatan pelarutan bahan (Graham, 2000). Bawang Putih. Bawang putih (Allium sativum L.) mempunyai bau yang kuat, rasa tajam, dan bereaksi secara enzimatis membentuk produk allicin (C3H5-S-S-C3-H5), yang memecah alil disulfida. Alil disulfida merupakan karakteristik bau khas bawang putih. Kandungan lain pada bawang putih yang menentukan bau adalah 20% dialil trisulfida, 6% alil propil disulfida, sejumlah kecil dietil disulfida, dialil polisulfida, alinin dan alisin. Bawang putih dapat dijadikan tepung dengan sifat higroskopis yang sangat tinggi (Farrell, 1990). Bawang putih mengandung antioksidan alami. Antioksidan secara alami dapat menetralkan radikal bebas yaitu suatu senyawa turunan asam lemak yang bersifat tidak stabil dan dapat melindungi komponen bahan pangan yang bersifat tidak jenuh (mempunyai ikatan rangkap). Antioksidan dalam dunia kesehatan dapat berfungsi sebagai pencegah sel kanker dan menyehatkan jantung (Medikasari, 2002). Bahan Pengembang (Baking Powder/NaHCO3). Jenis bahan pengembang akan mempengaruhi tingkat viskositas atau kekentalan adonan kue. Secara umum komposisi baking powder terdiri atas asam (acidic agents) dan natrium bikarbonat. Mekanisme kerja dari baking powder adalah ketika kontak dengan air dan panas, akan bereaksi membentuk gas karbondioksida (CO2) yang dapat mengontrol pengembangan volume adonan (Graham, 2000). Volume gas bersama udara dan uap air yang terperangkap dalam adonan akan mengembang sehingga diperoleh suatu bahan kue dengan struktur berpori (Winarno, 1992). Asam digunakan sebagai katalis
untuk mempercepat reaksi pembentukan CO2. Air dan penggunaan suhu tinggi akan berpengaruh terhadap kecepatan reaksi dari bahan pengembang (Graham, 2000). Pengolahan Kerupuk Pengolahan bahan pangan merupakan salah satu fungsi untuk memperbaiki mutu bahan pangan, baik dari nilai gizi maupun daya cerna, memberikan kemudahan dalam penanganan, efisiensi biaya produksi, memperbaiki cita rasa dan aroma, menganekaragamkan produk dan memperpanjang masa simpan. Tahap pengolahan kerupuk dapat dijelaskan sebagai berikut. Pembuatan Adonan. Tahap pembuatan adonan merupakan tahap awal yang sangat penting. Faktor yang perlu diperhatikan dalam pembuatan adonan adalah kehomogenan adonan. Pengadonan berpengaruh terhadap daya kembang kerupuk, yaitu berhubungan dengan udara dan gas (Lavlinesia, 1995). Proses pembuatan adonan kerupuk ada dua jenis, yaitu proses panas dan proses dingin. Pembuatan adonan proses panas yaitu pemasakan bahan tambahan kemudian dicampur dengan bahan utama. Pembuatan adonan proses dingin pada pembuatan adonan kerupuk yaitu mencampurkan semua bahan dan diaduk sampai homogen tanpa melalui pemasakan pendahuluan (Wiriano, 1984). Pengukusan. Proses pengukusan dilakukan setelah adonan mentah dicetak. Pengukusan ini bertujuan untuk menggelatinisasikan adonan sehingga dapat membentuk tekstur yang kompak. Pengukusan yang terlalu lama dapat menyebabkan air yang terperangkap oleh gel pati terlalu banyak, sehingga proses pengeringan dan penggorengan menjadi tidak sempurna. Adonan yang setengah matang menyebabkan pati tidak tergelatinisasi dengan sempurna dan akan menghambat pengembangan kerupuk (Elyawati, 1997). Menurut Djumali et al. (1982), adonan yang telah masak ditandai dengan seluruh bagian berwarna bening serta teksturnya kenyal. Lama pengukusan tergantung dari bentuk adonan yang dicetak. Elyawati (1997) menjelaskan pengukusan adonan yang baik dalam bentuk silinder dengan ukuran diameter ±5 cm adalah sekitar 25 menit dengan suhu 100-110oC. Pendinginan dan Pengirisan. Pendinginan adonan dilakukan setelah proses pengukusan. Pendinginan adonan akan menghasilkan tekstur kerupuk yang padat,
sehingga pengirisan mudah dilakukan. Pendinginan adonan dilakukan selama dua malam. Proses pendinginan dapat dipercepat dengan menggunakan bantuan referigerator (Wiriano, 1984). Pengirisan adonan dapat dilakukan dengan bantuan pisau atau alat pemotong khusus (slicer) dengan ketebalan 2-3 mm. Pengirisan adonan dengan ketebalan tersebut dapat memudahkan proses pengeringan. Proses pengirisan menggunakan slicer kerupuk dapat menghasilkan produk dengan ketebalan irisan yang sama sehingga efisiensi proses pengeringan yang seragam dapat tercapai. Hal ini berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas mutu kerupuk setelah penggorengan (Wiriano, 1984). Pengeringan. Pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan cara menguapkan sebagian besar air melalui penggunaan energi panas sehingga terjadi penurunan tingkat kadar air (Wiratakusumah et al., 1989). Pengurangan kadar air menyebabkan kandungan senyawa-senyawa bahan pangan seperti protein, karbohidrat, lemak dan mineral lebih tinggi, akan tetapi vitamin-vitamin dan zat warna pada umumnya menjadi rusak atau berkurang. Pengeringan dapat dilakukan dengan menggunakan alat pengering (artificial dryer) atau dengan penjemuran (sun drying) yaitu pengeringan dengan menggunakan sinar matahari (Winarno, 1993). Prinsip pengeringan menggunakan oven listrik adalah sistem pindah panas secara konveksi yaitu adanya perpindahan massa zat berupa udara panas yang ditiupkan melalui pemanas (heater) sebagai sumber panas. Udara panas ini akan menjadi panas konduksi pada rak oven, dinding oven dan wadah bahan pangan yang secara langsung akan mempengaruhi bahan pangan yang dioven (Fellow, 1990). Keuntungan dari sistem pengeringan adalah bahan menjadi lebih awet, volume bahan menjadi lebih ringkas sehingga memudahkan distribusi produk, menghemat ruang pengangkutan dan pengemasan, serta berat bahan menjadi lebih ringan sehingga biaya pengangkutan menjadi lebih murah. Kerugiannya adalah sifat bahan asal menjadi berubah seperti bentuk, sifat-sifat fisik dan kimiawinya serta penurunan mutu (Wiratakusumah et al., 1989).
Penggorengan. Menggoreng adalah suatu metode penyiapan produk pangan secara cepat untuk menghasilkan flavor goreng yang spesifik menggunakan lemak atau minyak pangan (Shahidi et al., 1997). Makanan yang digoreng tidak saja menjadi matang, tetapi menjadi cukup tinggi suhunya sehingga menjadi coklat dan menghasilkan komponen flavor volatil sebagai hasil reaksinya (Fayle dan Gerrard, 2002). Penggunaan metode penggorengan deep frying baik untuk produk seperti kerupuk karena memerlukan minyak yang banyak (Winarno, 1999). Alat penggorengan yang berasal dari stainless steel lebih baik digunakan dibandingkan yang terbuat dari besi karena besi dapat merangsang terjadinya oksidasi lemak dan bersifat prooksidan (Winarno, 1999). Metode deep frying menggunakan minyak berlebih dengan suhu mencapai 170-180oC (Shahidi et al., 1997) membantu proses pengembangan kerupuk yang merata pada seluruh permukaan bahan yang digoreng. Minyak dan lemak pangan sangat mempengaruhi sifat fisik dan organoleptik suatu produk pangan dengan kandungan kalori mencapai 9 kkal/g. Minyak dan lemak merupakan bahan yang membawa vitamin terlarut seperti vitamin A, D, E dan K dan dapat meningkatkan flavor dan tekstur produk pangan (Akoh, 1996). Pemilihan minyak goreng dengan tujuan penggorengan deep frying harus memiliki nilai titik asap (smoke point) yang tinggi (Winarno, 1999). Minyak goreng sangat mudah teroksidasi. Hasil dari proses penggorengan selalu menghasilkan oksidasi lemak dan dapat menghasilkan komponen hasil oksidasi yang dapat menurunkan kualitas dari minyak goreng (Fayle dan Gerrard, 2002). Syarat mutu minyak goreng dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Syarat Mutu Minyak Goreng Komponen
Maksimum
Air
0,3%
Bilangan Peroksida
1,0 mg oksigen/100 g
Asam Lemak Bebas
0,3%
Logam-logam Berbahaya
negatif
Keadaan (bau, warna, rasa)
negatif
Sumber: Departemen Perindustrian, 1985
Plastik Polipropilen (PP) Pengemasan bahan pangan didefinisikan sebagai suatu cara dalam memberikan kondisi sekeliling yang tepat bagi bahan pangan dan dengan demikian membutuhkan pemikiran dan perhatian yang lebih besar misalnya melindungi makanan dari kontaminasi, melindungi kandungan air dan lemaknya, mencegah masuknya bau dan gas, melindungi makanan dari sinar matahari, tahan terhadap tekanan atau benturan dan transparan (Buckle et al., 1987). Pewadahan produk ke dalam suatu wadah seperti bags, botol, box, tube atau plastik, disusun secara teratur merupakan salah satu contoh metode pengemasan bahan pangan. Pengemasan bertujuan untuk penyimpanan, distribusi dan menjaga produk supaya aman dari pencemaran baik secara biologis, fisik maupun kimia (Kropf, 2004). Syarat bahan pengemas adalah kuat, sifat permeabilitas yang tahan gas, transparan,
anti
kabut,
menghambat
masuknya
gas
seperti
oksigen
dan
karbondioksida, permukaan yang halus dan mempunyai harga yang relatif murah (Montgomery et al., 2003). Pengemasan fleksibel mensyaratkan bahan yang akan dikemas tidak terkontaminasi dengan bahan-bahan kemasan itu sendiri. Oleh karena itu tinta dan solvent hasil printing tidak akan mengkontaminasi bahan yang dikemas karena kemasan sudah dilapis (Departemen Perindustrian dan Perdagangan, 2003). Plastik merupakan pengemas yang penting di dalam industri pangan. Kelebihan plastik dari kemasan lain diantaranya adalah harga yang relatif rendah, dapat dibentuk, dan mengurangi biaya transportasi. Secara umum, industri pangan banyak menggunakan jenis plastik polietilen (PE) dan polipropilen (PP) (Syarief dan Halid, 1993). Produk kering (kerupuk) yang bersifat hidrofilik harus dilindungi terhadap masuknya uap air. Umumnya produk-produk ini mempunyai ERH rendah, oleh karena itu produk kering harus dikemas dalam kemasan yang mempunyai permeabilitas uap air yang rendah untuk mencegah produk menjadi tidak renyah dan teksturnya rusak. Plastik PP memiliki permeabilitas gas yang sedang (23 cc/cm/ cm2/cmHg)1011) dibandingkan LDPE (80 cc/cm/ cm2/cmHg)1011). Sifat PP yang lebih kaku dan tidak mudah sobek dibandingkan plastik PE (LDPE dan HDPE) menjadikan platik PP digunakan sebagai bahan pengemas produk makanan kering khususnya kerupuk yang mudah rusak (Syarief dan Halid, 1993).
Polipropilen (PP) termasuk jenis plastik olefin dan merupakan polimer dari propilen. Polipropilen dikembangkan dari tahun 1950 dengan berbagai nama dagang seperti : bexphane, dynafilm, luparen, escon, ole fane, dan pro fax (Syarief dan Halid, 1993). Sifat polipropilen dibandingkan dengan plastik kemasan HDPE dan LDPE dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Sifat-sifat PP (Polypropilen) Dibandingkan dengan HDPE (High Density Poly Ethylene) dan LDPE (Low Density Poly Ethylene) Deskripsi LDPE HDPE PP Densitas pada (20oC (g/cm3)
0,92-0,925
0,93-0,96
0,90
Permeabilitas gas (cc/cm/ cm2/cmHg)1011 - Nitrogen
20
3
4,4
- Oksigen
59
11
23
- Uap air
800
180
600
Tidak transparan
Tidak transparan
Transparan
Tidak kaku
Kaku
Warna
Rigiditas Tidak kaku Sumber : Syarief dan Halid, 1993
Plastik PP memiliki sifat yang ringan (densitas 0,9 g/cm3), mudah dibentuk, tembus pandang dan jernih. Plastik PP mempunyai sifat yang utama adalah tahan terhadap asam kuat, basa dan mempunyai ketahanan yang baik terhadap minyak dan lemak, stabil pada suhu tinggi, dan cukup mengkilap. Hal ini menyebabkan plastik PP digunakan pada produk pangan berlemak seperti kerupuk dibandingkan plastik HDPE dan LDPE (Syarief dan Halid, 1993). Perubahan Fisiko-Kimia selama Pengolahan dan Penyimpanan Perubahan sifat fisiko-kimia pada bahan pangan dapat terjadi pada saat pengolahan, distribusi, maupun penyimpanan. Sistem pangan yaitu produksi, pengadaan dan konsumsi, harus ditangani dengan baik. Sistem produksi, pengadaan, dan konsumsi bahan pangan banyak mengalami perubahan, baik yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan. Perubahan-perubahan tersebut sebagian besar terjadi akibat adanya reaksi kimia di dalam bahan pangan maupun akibat pengaruh lingkungan (Winarno, 1992). Beberapa perubahan sifat fisiko-kimia selama pengolahan bahan pangan dijelaskan sebagai berikut.
Gelatinisasi Pati dalam jaringan tanaman mempunyai bentuk granula yang berbeda-beda. Jenis pati dapat dibedakan dengan pengamatan menggunakan mikroskop karena bentuk, ukuran, dan letak hilum yang unik. Bila pati mentah dimasukkan ke dalam air dingin, granula patinya akan menyerap air dan membengkak. Peningkatan volume granula pati yang terjadi di dalam air pada suhu 55oC – 65oC merupakan pembengkakan yang sesungguhnya, dan setelah pembengkakan ini granula pati dapat kembali ke kondisi semula. Granula pati dapat dibuat membengkak luar biasa dan bersifat tidak dapat kembali lagi pada kondisi semula. Perubahan tersebut dinamakan gelatinisasi (Winarno, 1992). Granula pati mentah yang terdiri atas amilosa (helix) dan amilopektin (bercabang)
Penambahan air akan memecahkan kristalinitas dan merusak keteraturan bentuk amilosa. Granula mengembang.
Penambahan air panas menyebabkan granula mengembang lebih lanjut. Amilosa mulai berdifusi keluar dari granula
Struktur matriks amilosa membentuk suatu gel. Granula hanya mengandung amilopektin saja. Gambar 3. Mekanisme Gelatinisasi Sumber : Muchtadi et al., 1988
Suhu pada saat granula pati pecah disebut suhu gelatinisasi yang dapat dilakukan dengan penambahan air panas. Pati yang telah mengalami gelatinisasi dapat dikeringkan, tetapi molekul-molekul tersebut tidak dapat kembali lagi ke sifatsifat semula. Bahan yang telah kering tersebut masih mampu menyerap air dalam jumlah yang cukup besar. Sifat inilah yang digunakan agar instant rice dan instant pudding dapat menyerap air dengan mudah, yaitu dengan menggunakan pati yang telah mengalami gelatinisasi (Winarno,1992). Gelatinisasi tepung tapioka terjadi pada tahap pengukusan akibat adanya penambahan air pada adonan dan proses pemanasan. Wianecki dan Kołakowski (2007) menjelaskan bahwa molekul-molekul air berpenetrasi masuk ke dalam granula pati dan membentuk gel yang bersifat sangat elastis. Kerenyahan Kerupuk merupakan salah satu produk makanan padat sehingga perlu dilakukan uji kerenyahan yaitu digigit dan didengarkan. Tekstur dalam bahan pangan bersama flavor lebih berperan dalam penerimaan atribut sensori dan mutu dalam bahan pangan. Kecenderungan panelis lebih mementingkan penampilan, flavor, tekstur dan bentuk dalam penerimaan atribut sensori pangan (Hutchings, 1999). Tekstur bahan pangan dipengaruhi oleh aktivitas air (aw) bahan tersebut. Menurut FSA (2005) tingkat aw bahan pangan berpengaruh terhadap perubahan karakteristik tekstural seperti kerapuhan dan kerenyahan (dikenal sebagai bunyi yang dihasilkan pengunyahan sereal sarapan, yang hilang pada aktivitas air di atas 0,65). Pemotongan dalam bentuk lembaran tipis dan penggunaan metode penggorengan deep frying dapat mempengaruhi tekstur bahan pangan terutama terhadap pembentukan porositas produk hasil penggorengan (Sulaeman et al., 2004). Ketengikan Kerusakan lemak yang utama adalah timbulnya bau dan rasa tengik yang disebut proses ketengikan. Hal ini disebabkan oleh otooksidasi radikal asam lemak tidak jenuh dalam lemak. Faktor yangmempercepat ketengikan adalah cahaya, panas, peroksida lemak atau hidroperoksida, logam-logam berat seperti Cu, Fe, Co, dan Mn, logam feritin seperti hematin, hemoglobin, mioglobin, klorofil, dan enzim-enzim lipoksidase (Winarno, 1992). Uji ketengikan dilakukan dengan menggunakan uji
thiobarbiturat (TBA). Lemak yang tengik akan bereaksi dengan asam thiobarbiturat menghasilkan warna merah. Intensitas warna menunjukkan derajat ketengikan (Syarief dan Halid, 1993). Perubahan kimia atau penguraian lemak dan minyak dapat mempengaruhi bau dan rasa bahan makanan. Kerusakan lemak dan minyak menurunkan nilai gizi serta menyebabkan penyimpangan rasa dan bau. Penyimpangan bau dapat disebabkan oleh adanya senyawa aldehid dan keton hasil penguraian radikal bebas membentuk zat volatil yang bersifat tengik (Winarno, 1992). Reaksi Maillard Proses penggorengan metode deep frying menggunakan minyak jagung akan menghasilkan 29 komponen volatil yang mengandung nitrogen akibat reaksi Maillard yang berpengaruh terhadap palatabilitas produk pangan (Chun dan Ho, 1997). Reaksi Maillard merupakan reaksi antara karbohidrat, khususnya gula pereduksi dengan gugus amina primer. Hasil reaksi tersebut menghasilkan bahan berwarna coklat. Warna coklat pada pemanggangan daging dan roti adalah warna yang dikehendaki. Penggunaan suhu penggorengan berkisar 177-201 oC dianjurkan untuk menghindari reaksi pencoklatan (Winarno,1999; Shahidi et al., 1997). Menurut Ismunandar (2005), reaksi Maillard dapat terjadi pada bahan pangan yang mengandung gula pereduksi dan protein, dalam kondisi yang memungkinkan reaksi tersebut terjadi, yaitu tergantung pada suhu, pH, dan aktivitas air (a w) selama penyimpanan bahan pangan yang cukup lama. Maillard terjadi dengan cepat pada nilai aw antara (0.5-0.8) (Fayle dan Gerrard, 2002; Murthy et al., 2003; Purnomo, 1995). Reaksi Maillard dapat terjadi selama proses penyimpanan bahan pangan dan dapat mempengaruhi nilai gizi, warna dan tekstur. Aktivitas energi pada pembentukan senyawa Amadori menurun dengan meningkatnya nilai aw dan terhenti pada nilai aw kira-kira 0,50. Kecepatan reaksi sangat tergantung pada suhu dan nilai aw yang lebih besar dari 0,50. Pengaturan nilai aw merupakan salah satu teknik dalam mengendalikan reaksi Maillard (Purnomo,1995). Perubahan fisiko-kimia selama penyimpanan produk pangan sangat mempengaruhi kualitas produk pangan terutama produk pangan berlemak dan berminyak. Molekul lemak yang terdapat pada produk pangan mengalami reaksi kimia selama proses separasi bahan segar dan selama penyimpanan. Bahan kimia
hasil reaksi dari lemak yang terjadi pada proses pengolahan dapat berpengaruh menguntungkan maupun merugikan yang menyebabkan perubahan flavor bahan pangan (Shahidi et al., 1997). Kurva hubungan aktivitas air dengan tingkat reaksi dalam pangan dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Kurva Hubungan Aktivitas Air dengan Tingkat Reaksi dalam Pangan Sumber : Labuza dan Saltmarch, 1981
Sifat Sensori Bahan Cara penilaian mutu suatu bahan pangan dibagi menjadi dua cara yaitu secara objektif dan subjektif. Pengujian objektif merupakan suatu pengujian menggunakan alat atau instrumen dan faktor manusia dapat diabaikan, sehingga pengukuran menjadi lebih objektif. Penilaian terhadap warna, rasa, aroma, dan kerenyahan memegang peranan penting dalam menentukan daya terima produk kerupuk goreng. Pengujian secara subjektif (uji organoleptik) adalah pengujian dengan bantuan panca indera manusia untuk menilai karakteristik mutu, dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui sifat-sifat cita rasa makanan serta daya terima terhadap masyarakat. Pengujian secara subjektif dapat dilakukan dengan menggunakan uji hedonik (kesukaan) dan uji mutu hedonik. Jumlah panelis yang diperlukan untuk uji mutu hedonik adalah minimal 30 orang dan uji hedonik adalah minimal 80 orang (Damayanthi dan Mudjajanto, 1998).
Warna. Faktor warna sangat menentukan penilaian bahan pangan sebelum faktorfaktor lain dipertimbangkan secara visual. Penerimaan warna suatu bahan berbedabeda tergantung dari faktor alam, geografis, dan aspek sosial masyarakat penerima. Warna juga dapat digunakan sebagai indikator kesegaran atau kematangan (Winarno, 1992). Baik atau tidaknya cara pencampuran atau cara pengolahan dapat ditandai dengan adanya warna yang seragam dan merata. Hal ini juga dipengaruhi indera penglihatan dari panelis dan adanya pencahayaan yang sesuai pada saat penyajian (Hutchings, 1999). Warna pada bahan pangan dapat berasal dari pigmen alami bahan pangan itu sendiri, reaksi karamelisasi, reaksi Maillard, reaksi senyawa organik dengan udara, dan penambahan zat warna, baik alami maupun sintetik (Winarno, 1992). Flavor dan Bau. Penyerapan minyak dalam struktur bahan yang memerlukan proses penggorengan serta adanya bumbu-bumbu seperti bawang putih, garam dan gula yang ditambahkan ke dalam formulasi dapat mempengaruhi aroma dan flavor bahan pangan (Winarno, 1992). Flavor bahan pangan berpengaruh sangat penting dibandingkan warna produk setelah panelis merasakan bahan pangan tersebut. Aroma dan flavor berperan dalam penerimaan konsuman setelah bahan pangan dikonsumsi, apakah bahan pangan tersebut diterima atau tidak (Hutchings, 1999). Rasa suatu bahan pangan sesungguhnya terdiri atas tiga komponen yaitu bau, rasa dan rangsangan mulut. Bau baru dapat dikenali apabila berbentuk uap, dan molekul-molekul bau tersebut harus menyentuh silia sel olfaktori, dan diteruskan ke otak dalam bentuk impuls listrik oleh ujung-ujung syaraf olfaktori. Bau dapat dideteksi karena adanya depolarisasi elektris sel olfaktori apabila molekul senyawa bau mengenai sel, sehingga isyarat akan diteruskan ke otak. Penerimaan indera pembau akan berkurang oleh adanya senyawa tertentu misalnya formaldehida (Winarno, 1992). Proses penyimpanan dapat menyebabkan reaksi oksidasi bahan pangan yang berlemak. Oksidasi akan menghasilkan senyawa peroksida yang dapat menimbulkan ketengikan. Proses pengemasan akan mengurangi reaksi oksidasi, sehingga bahan pangan tetap awet dan layak untuk dikonsumsi (Winarno, 1994). Rasa. Tekstur dan konsistensi suatu bahan akan mempengaruhi cita rasa yang ditimbulkan oleh bahan tersebut. Perubahan tekstur dan konsistensi bahan dapat
mengubah rasa dan bau yang timbul karena dapat mempengaruhi kecepatan timbulnya rangsangan terhadap sel olfaktori dan kelenjar air liur. Gerakan lidah akan mempercepat timbulnya respon terhadap rasa. Rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan interaksi dengan komponen rasa lain (Winarno, 1992).
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pengolahan Pangan Hasil Ternak dan Laboratorium Organoleptik, Bagian Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Analisis Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor dan Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Penelitian ini dilaksanakan selama empat bulan, yaitu dari bulan Nopember 2007 sampai Maret 2008. Materi Bahan yang digunakan dalam pembuatan kerupuk adalah tepung tapioka, garam, gula, bawang putih, baking powder, minyak goreng, air mineral dan tepung daging sapi. Bahan yang digunakan sebagai pembungkus kerupuk goreng adalah plastik polyprophylen (PP) ukuran ½ kg dan plastik PP ukuran 5 kg. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah panci, nampan, baskom, alat penggorengan, sendok, pisau, alat penusuk kayu, kompor gas, gelas plastik, piring kertas, jam weker, termometer, timbangan analitik digital, jangka sorong digital, Rh meter, alat tulis, sealer, oven listrik dan slicer kerupuk. Bahan yang digunakan untuk analisis derajat gelatinisasi adalah larutan iodium, aquades, HCl 0,5 M, dan NaOH 10 M. Peralatan yang digunakan untuk analisis produk adalah Waring blender, tabung reaksi, sentrifuse dan spektrofotometer. Bahan yang digunakan untuk analisis aktivitas air adalah larutan NaCl. Peralatan yang digunakan untuk uji aktivitas air adalah aw meter, kertas saring dan cawan Petri. Peralatan yang digunakan untuk analisis tingkat kekerasan adalah rheoner tipe RE 305. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan untuk analisis organoleptik pemilihan formulasi terbaik menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan perlakuan penambahan tepung daging sapi pada taraf 0%, 10%, 20%, dan 30% dari total tepung tapioka yang digunakan. Model matematis yang digunakan adalah sebagai berikut (Steel dan Torrie, 1991): Yij = μ + τi + εij
Keterangan : Yij
= Hasil pengukuran
μ
= Rata-rata umum
τi
= Pengaruh perlakuan formulasi ke-i (formulasi 0%, 10%, 20%, dan 30%)
εij
= Galat percobaan Rancangan percobaan untuk analisis fisik berupa aktivitas air, tingkat
kekerasan, dan derajat gelatinisasi menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan perlakuan lama penyimpanan yang berbeda. Lama penyimpanan yang digunakan adalah 0 hari, 14 hari, 28 hari, dan 42 hari dengan tiga kali ulangan. Model matematis yang digunakan adalah sebagai berikut (Steel dan Torrie, 1991): Yij = μ + τi + εij Keterangan : Yij
= Hasil pengukuran
μ
= Rata-rata umum
τi
= Pengaruh perlakuan metode lama penyimpanan ke-i (penyimpanan hari ke-0, 14, 28, dan 42)
εij
= Galat percobaan Data pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diamati diuji dengan analisis
ragam (ANOVA). Jika perlakuan menunjukkan pengaruh yang nyata maka akan dilanjutkan dengan uji Tukey (Steel dan Torrie, 1991). Hasil penilaian uji organoleptik untuk uji mutu hedonik diuji dengan analisis ragam (ANOVA). Data uji hedonik dan mutu hedonik yang tidak memenuhi uji asumsi untuk analisis ragam (keaditifan model, kehomogenan ragam, kebebasan galat, dan kenormalan galat) diuji menggunakan metode non-parametrik KruskallWallis (Steel dan Torrie, 1991). Jika diantara perlakuan terdapat perbedaan nyata, maka dilakukan uji banding rataan ranking (Gibbons, 1975). | Ri – Rj | < Z [ K(N+1) / 6 ]0,5
Keterangan : Ri = Nilai rataan rangking ke-i Rj = Nilai rataan rangking ke-j K
= Jumlah level dalam perlakuan
N
= Jumlah total data
Jika | Ri – Rj | lebih dari Z [ K(N+1) / 6 ]0,5 maka perbedaan Ri dan Rj adalah nyata pada taraf Z, dengan taraf α = 0,05. Prosedur Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah pemilihan formulasi kerupuk goreng terbaik melalui uji hedonik dengan formulasi penambahan tepung daging sapi 0%, 10%, 20% dan 30% dengan lima atribut sensori yaitu kekerasan, bau, rasa, warna dan tingkat ketengikan. Tahap kedua adalah analisis penerimaan konsumen terbaik lama penyimpanan yang berbeda. Analisis yang dilakukan adalah analisis sifat fisik dan organoleptik kerupuk formulasi terbaik dengan lama penyimpanan ke-0, 14, 28 dan 42 hari pada suhu ruang (27-28oC). Penelitian Tahap Pertama Penelitian tahap pertama dilakukan untuk mencari formulasi terbaik kerupuk goreng dengan empat taraf penambahan tepung daging sapi yaitu 0%, 10%, 20%, dan 30% dari 100% tapioka. Hasil pemilihan formulasi kerupuk goreng terbaik adalah formulasi dengan sifat sensori berupa warna, rasa daging, bau daging, tingkat kekerasan, dan tingkat ketengikan yang disukai oleh panelis. Pemilihan formulasi terbaik dilakukan dengan pemberian skor hasil uji hedonik (kesukaan) terhadap empat formulasi kerupuk goreng. Pembuatan kerupuk dilakukan dalam dua tahap utama pembuatan adonan. Tahap pertama pembuatan adonan kerupuk adalah pembuatan biang adonan yaitu seperempat bagian tepung tapioka beserta bumbu berupa bawang putih, gula, garam dan baking powder yang telah dihomogenkan menggunakan air dimasak menggunakan api kecil. Biang adonan berfungsi sebagai pengikat bahan-bahan lain sehingga dapat membentuk adonan yang kompak. Total penambahan air sebanyak 72% dari total bahan yang digunakan.
Tahap kedua pembuatan kerupuk adalah penambahan tepung daging dan sisa tepung tapioka (3/4 bagian) pada adonan biang sudah jadi kemudian dihomogenkan. Adonan yang telah jadi dimasukkan ke dalam cetakan ukuran 7x18x7 cm kemudian dilakukan pengukusan selama 2 jam. Pengukusan ini dilakukan untuk menggelatinisasikan tepung tapioka dan memudahkan pemotongan adonan kerupuk karena hasil dari proses pengukusan dapat membentuk adonan yang kompak dan solid. Adonan hasil pengukusan didinginkan di suhu ruang. Setelah adonan dingin, adonan disimpan pada suhu 4oC selama 18 jam. Tahap selanjutnya adalah pengirisan adonan hasil proses pengukusan menggunakan slicer kerupuk dengan ketebalan maksimal 3 mm dan dikeringkan menggunakan oven listrik pada suhu 50ºC selama 18 jam membentuk kerupuk mentah. Penggorengan kerupuk mentah dilakukan dengan metode penggorengan deep frying pada suhu 180 - 200oC. Kerupuk matang ditandai dengan pengapungan kerupuk pada permukaan atas minyak goreng. Biang adonan kerupuk yang sudah jadi dianalisis sensori secara deskriptif terhadap tingkat warna dan tekstur biang adonan. Analisis biang adonan, kerupuk mentah, dan kerupuk goreng dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Analisis Biang Adonan, Kerupuk Mentah, dan Kerupuk Goreng Bahan Analisis Biang Adonan
Kerupuk Mentah
Kerupuk Goreng
Peubah yang Diukur
Metode
Warna
Deskriptif
Tekstur
Deskriptif
Tingkat Rendeman
Pengukuran Manual
Warna
Deskriptif
Tekstur
Deskriptif
Tingkat Rendemen
Pengukuran Manual
Densitas Kamba
Pengukuran Manual
Organoleptik
Uji Hedonik
Penelitian Tahap Kedua Hasil yang didapatkan pada penelitian tahap kedua selanjutnya dianalisis fisik dan organoleptik dengan lama penyimpanan yang berbeda yaitu 0 hari, 14 hari, 28 hari, dan 42 hari. Hari ke-2 setelah pengeringan menggunakan oven listrik dilakukan analisis fisik berupa rendemen dan derajat gelatinisasi dan proses penggorengan
kerupuk mentah. Analisis yang dilakukan terhadap kerupuk mentah, dan kerupuk goreng formulasi terbaik secara hedonik dengan berbagai persentase penambahan tepung daging sapi dapat dilihat pada Tabel 7. Formulasi bahan pembuatan kerupuk dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 7. Analisis Kerupuk Mentah, dan Kerupuk Goreng Formulasi Terbaik secara Hedonik selama Penyimpanan Bahan Analisis Peubah yang Diukur Metode Kerupuk Mentah
Derajat Gelatinisasi*
Kerupuk Goreng
**
Tingkat Rendemen Densitas Kamba
Analisis Derajat Gelatinisasi Pengukuran Manual
**
Pengukuran Manual
Tingkat Kekerasan ***
Pengukuran menggunakan rheoner
Aktivitas Air ***
Pengukuran menggunakan aw meter
Organoleptik ***
Uji Hedonik dan Mutu Hedonik
Keterangan :
* = analisis yang dilakukan pada H-2 setelah keluar dari oven listrik ** = analisis yang dilakukan pada H-0 *** = analisis yang dilakukan pada H-0, H-14, H-28, dan H-42
Tabel 8. Formulasi Pembuatan Kerupuk Daging per 100 g Tepung Tapioka Bahan
Formulasi 0% g
10% %
20%
30%
g
%
g
%
g
%
0
10
8,62
20
15,87
30
22,06
Tepung daging
0
Tepung tapioka
100
94,34
100
86,20
100
79,37
100
73,53
1
0,94
1
0,86
1
0,79
1
0,74
1,5
1,42
1,5
1,29
1,5
1,19
1,5
1,10
3
2,83
3
2,59
3
2,38
3
2,21
Baking powder
0,5
0,47
0,5
0,44
0,5
0,40
0,5
0,36
Total
106
100
116
100
126
100
136
100
Bawang putih Gula Garam
Keterangan: Total penambahan air (80-90oC) pada setiap formulasi sebesar 72% dari total bahan sampai adonan menjadi kalis dan tidak lengket.
Pengukuran tingkat rendemen hanya dilakukan pada hari ke-0 pengamatan, karena pengukuran rendemen hanya membutuhkan data (berat) awal dan akhir produk dari proses pembuatan kerupuk. Pengukuran densitas kamba hanya dilakukan pada hari ke-0 pengamatan, karena hanya untuk mengetahui daya kembang produk kerupuk
setelah dilakukan proses penggorengan. Kerupuk goreng kemudian dikemas menggunakan plastik polipropilen (PP), dirapatkan dan disimpan pada suhu ruang (26-27oC) dengan lama penyimpanan 0, 14, 28, dan 42 hari. Diagram alir proses pembuatan kerupuk dapat dilihat pada Gambar 5. Air 40%, Gula 2%, Garam 3%, Bawang Putih 1%, 0,5% Soda Kue, 25% Tepung Tapioka
Tepung daging sapi 0%,10%, 20%, dan 30%
Air 60% (80-90oC)
Dipanaskan Dihomogenkan
Pembuatan adonan dengan penambahan sisa tapioka(75%) dan air panas sampai terbentuk adonan yang kalis
Pencetakan Pengukusan 120 menit Pendinginan dalam Referigerator (4oC) selama 18 jam Pengirisan dengan ketebalan 3 mm Pengeringan menggunakan oven listrik 50 oC, 18 jam Didiamkan 48 jam Penggorengan deep frying (180-200 oC)
Kerupuk goreng Gambar 5. Proses Pembuatan Kerupuk Daging Sapi berdasarkan Metode Wiriano (1984) yang Dimodifikasi Sumber: Wiriano, 1984
Pengukuran Peubah Peubah yang diamati adalah rendemen, densitas kamba, aktivitas air, derajat gelatinisasi, pengujian tingkat kekerasan dan analisis organoleptik. Pengukuran peubah yang dilakukan pada penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Rendemen (AOAC, 1995). Nilai rendemen kerupuk dianalisis untuk mengetahui efisiensi proses pembuatan kerupuk. Rendemen merupakan persentase perbandingan bobot antara produk akhir dengan produk sebelumnya. Pengukuran rendemen yang dilakukan terdiri atas tiga jenis yaitu rendemen kerupuk mentah dari adonan, rendemen kerupuk goreng dari adonan, dan rendemen kerupuk goreng dari kerupuk mentah. Pengukuran rendemen produk kerupuk dilakukan dengan menimbang bobot kerupuk yang dihasilkan, kemudian dibandingkan dengan bobot produk sebelumnya. Pengukuran rendemen dapat dilakukan dengan menggunakan persaman sebagai berikut: Bobot produk akhir Rendemen kerupuk =
X 100% Bobot produk sebelum proses
Densitas Kamba (Lavlinesia, 1995). Pengukuran densitas kamba (derajat pengembangan produk) pada kerupuk dilakukan dengan menggunakan 5 sampel kerupuk untuk setiap kali pengukuran. Sampel dimasukkan dalam posisi vertikal dalam wadah gelas yang seperempat bagiannya sudah diisi manik-manik, kemudian wadah diisi kembali dengan manik-manik sampai penuh dengan membentuk permukaan yang rata. Volume manik-manik yang digunakan, baik tanpa, maupun dengan contoh diukur menggunakan gelas ukur. Volume jenis kerupuk mentah dan kerupuk goreng ditentukan dengan rumus: V2 –V1 Volume jenis kerupuk (Vn) = Gram sampel Keterangan : V1 = volume manik-manik dalam wadah gelas tanpa berisi contoh V2 = volume manik-manik dalam wadah gelas berisi contoh Selisih volume jenis kerupuk goreng dengan volume jenis kerupuk mentah merupakan volume mengembang (densitas kamba) kerupuk yang dapat dihitung dengan rumus:
Vn1 – Vn2 Densitas Kamba (%) =
x 100% Vn2
Keterangan : Vn1 = volume jenis kerupuk goreng Vn2 = volume jenis kerupuk mentah Aktivitas Air (AOAC, 1999) Aktivitas air adalah rasio dari tekanan uap air produk dengan tekanan uap air murni pada suhu yang sama. Aktivitas air diukur dengan menggunakan aw meter. Sebelum digunakan alat dikalibrasi terlebih dahulu dengan menggunakan larutan NaCl jenuh pada kertas saring yang diletakkan pada cawan, kemudian nilai aw diatur sampai dengan 0,7509. Sampel diletakkan dalam cawan pengukur, setelah ditutup dan dikunci, alat dijalankan sampai menunjukkan tanda “completed”, nilai aw yang terbaca dicatat. Analisis Derajat Gelatinisasi Derajat gelatinisasi merupakan rasio antar pati tergelatinisasi dengan total pati dari produk yang dihitung. Pengukuran dilakukan menggunakan spektrofotometer yang mengukur kompleks pati iodin yang terbentuk dari suspensi contoh se belum dan sesudah dilarutkan dalam alkali (Wooton et al.,1971). Analisis derajat gelatinisasi dilakukan dengan menghaluskan sampel produk sampai 60 mesh, kemudian ditimbang sebanyak 1 gram dan didispersikan dalam 100 ml air dalam Waring blender selama 1 menit. Hasil suspensi kemudian disentrifuse pada suhu ruang selama 15 menit dengan kecepatan 3500 rpm. Supernatan diambil 0,5 ml secara duplo, lalu masing-masing ditambah 0,5 ml HCl 0,5 M dan dijadikan 10 ml dengan akuades. Salah satu tabung duplo tersebut ditambah 0,1 ml larutan iodium. Contoh kemudian diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 600 nm. Suspensi lain disiapkan dengan cara mendispersikan 1 gram produk yang sudah dihaluskan pada 95 ml air dan ditambah 5 ml NaOH 10 M. Suspensi dikocok selama 5 menit lalu disentrifuse (suhu ruang, 15 menit) kecepatan 3500 rpm. Supernatan diambil 0,5 ml secara duplo, lalu masing-masing ditambah 0,5 ml HCl dan dijadikan 10 ml dengan aquades. Salah satu tabung duplo tersebut ditambah
dengan 0,1 ml larutan iodium. Contoh diukur dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 600 nm. Pengamatan dilakukan sebagai berikut : 1. Larutan yang ditambah HCl, sebagai blanko larutan pati tergelatinisasi. 2. Larutan bahan ditambah NaOH ditambah HCl sebagai total pati 3. Larutan ditambah NaOH ditambah HCl dan iodium sebagai total pati derajat gelatinisasi dihitung dengan Nilai absorbansi pati tergelatinisasi % (Derajat gelatinisasi) =
x 100% Nilai total absorbansi pati
Pengujian Tingkat Kekerasan (Analisis Tekstur) Pengujian tingkat kekerasan dilakukan menggunakan alat rheoner. Probe yang digunakan merupakan probe yang dapat menekan kerupuk sampai dengan kerupuk pecah. Beban yang digunakan adalah 1 volt, test speed 1 mm/s dan chart speed 40 mm/menit. Diameter silinder probe 3 mm. Contoh diletakkan pada probe outputnya berupa kurva yang menunjukkan hubungan antara kekuatan (g) dan waktu (s). Nilai kekuatan kerupuk ditunjukkan pada puncak kurva dengan satuan gram force (gf). Ilustrasi hasil pengukuran tingkat kekerasan menggunakan alat rheoner dapat dilihat pada Gambar 7.
Keterangan : a, b, dan c : puncak kurva dengan dengan satuan gram force
Gambar 7. Ilustrasi hasil pengukuran tingkat kekerasan menggunakan alat rheoner Analisis Sifat Organoleptik Uji organoleptik yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri atas dua tahap. Tahap pertama adalah uji organoleptik pemilihan formulasi terbaik kerupuk goreng yang dilakukan penambahan tepung daging sapi yang berbeda (0%, 10%, 20%, dan 30%) dengan menggunakan uji hedonik. Pemilihan formulasi terbaik dilakukan dengan merangking tingkat kesukaan hasil uji hedonik. Tahap kedua adalah uji organoleptik kerupuk goreng dengan perlakuan empat periode penyimpanan yang berbeda yaitu 0, 14, 28, dan 42 hari dengan menggunakan
uji hedonik dan mutu hedonik. Kriteria penilaiannya meliputi warna, rasa daging, bau daging, kekerasan, dan ketengikan pada kerupuk goreng. Metode pengujian organoleptik dibantu menggunakan air tawar matang dan hangat untuk menetralkan sensori pengecap setelah melakukan penilaian terhadap satu contoh makanan dan beralih ke sampel yang lain (Damayanthi dan Mudjajanto, 1995). Panelis diminta mengungkapkan tanggapan terhadap kerupuk goreng pada empat formulasi penambahan tepung daging yang berbeda dan kerupuk goreng dengan tiga periode penyimpanan yang berbeda. Uji hedonik dilakukan dengan menggunakan panelis tidak terlatih sebanyak 80 orang. Metode uji yang dilakukan menggunakan uji hedonik yang meliputi warna, rasa daging, bau daging, kekerasan, dan ketengikan dengan lima tingkat kesukaan yaitu skor nilai 1: sangat tidak suka; 2: tidak suka; 3: agak suka; 4: suka; dan 5: sangat suka. Uji mutu hedonik dilakukan dengan menggunakan panelis semi terlatih sebanyak 30 orang. Metode uji yang dilakukan adalah menggunakan uji skalar dengan lima atribut mutu yang meliputi : intensitas warna, tingkat rasa daging, tingkat bau daging, tingkat kekerasan, dan tingkat ketengikan. Keterangan nilai pada uji skalar dapat dilihat sebagai berikut : Warna
: 1
=
sangat putih
10
=
coklat tua (pembanding yang digunakan adalah tepung gula aren)
Rasa daging
: 1
=
sangat rasa daging matang (pembanding
yang
digunakan adalah daging yang dioven pada suhu 85 o
C selama 20 menit)
Bau daging
10
=
sangat tidak bau daging matang
: 1
=
sangat tidak bau daging
10
=
sangat bau daging matang (pembanding
yang
digunakan adalah daging yang dioven pada suhu 85 o
C selama 20 menit)
Tingkat kekerasan
: 1
=
Sangat keras
10
=
sangat tidak keras (pembanding yang digunakan adalah dua kerupuk standar (kerupuk merah dan kerupuk kuning) yang
sudah diukur secara objektif menggunakan rheoner). Tingkat ketengikan : 1
=
sangat bau tengik (pembanding yang digunakan adalah tepung tulang rawan yang sudah tengik)
10
=
sangat tidak bau tengik
Tahap pemilihan formulasi terbaik dilakukan dengan metode skoring hasil data uji hedonik penelitian tahap pertama. Kriteria penilaian berdasarkan besarnya rata-rata data yang diperoleh dengan nilai skor 0, 1, 2, 3, dan 4. Nilai tertinggi menunjukkan data dengan rata-rata penilaian terbesar dan berbeda secara statistik. Data yang sama secara statistik diberi nilai 0. Data yang telah diberi skor kemudian dijumlahkan sesuai atribut mutu yang dinilai. Hasil skoring ditampilkan dalam bentuk tabel hasil skoring uji hedonik pemilihan formulasi terbaik kerupuk goreng. Pembuatan kerupuk dilakukan setiap 14 hari sekali, kemudian disimpan. Setelah penyimpanan kerupuk goreng mencapai 42 hari, sampel kerupuk goreng hari ke-0, 14, 28, dan 42 dilakukan pengujian organoleptik secara bersama-sama dalam satu hari pengujian (hari ke 42). Data hasil pengujian dianalisis secara statistik (ANOVA). Analisis statistik hanya dilakukan pada penyimpanan hari ke-14, 28, dan 42.
HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap Pertama Penelitian tahap pertama merupakan tahap pemilihan formulasi terbaik dari berbagai penambahan tepung daging sapi. Pemilihan formulasi bahan proses pembuatan kerupuk merupakan formulasi yang dapat menghasilkan adonan dengan sifat homogen dan dapat diterima masyarakat secara sensori. Penampilan fisik, citarasa, flavor, kekerasan, dan rasa sangat berpengaruh terhadap penerimaan masyarakat terhadap suatu produk pangan. Penerimaan konsumen terhadap kerupuk dilakukan dengan analisis uji hedonik atau kesukaan dan mutu hedonik. Sifat Fisik Adonan Sifat fisik adonan kerupuk merupakan tahap awal pembentukan karakteristik dari kerupuk. Karakteristik ini dapat berpengaruh terhadap sifat fisik pada tahap pembuatan kerupuk selanjutnya. Karakteristik yang diamati adalah tingkat kehomogenan adonan, warna adonan kerupuk setelah proses pengukusan, dan tekstur kerupuk, baik kerupuk mentah maupun kerupuk goreng. Kehomogenan adonan berpengaruh terhadap tingkat warna dan tekstur adonan. Kehomogenan adonan dipengaruhi oleh proses pengadukan yang merata dan penggunaan air untuk melarutkan adonan. Proses pembuatan adonan kerupuk ada dua tahap yaitu tahap pembuatan biang adonan dan tahap pembuatan adonan kerupuk. Penambahan air pada proses pembuatan biang adonan adalah sebanyak 40% dari total air yang digunakan dalam pembuatan kerupuk. Hal ini menyebabkan perbedaan terhadap perbandingan jumlah air yang digunakan dalam pembuatan biang adonan (Tabel 9). Biang adonan formulasi 30% penambahan tepung daging sapi memiliki tingkat kekenyalan yang lebih tinggi dibandingkan formulasi 0%, 10%, dan 20%. Hal ini disebabkan total penambahan air pada pembuatan biang adonan lebih besar yaitu 39,17%. Menurut Winarno (1992), kadar air yang terserap oleh pati hanya mencapai 30%. Kadar air diatas 30% menyebabkan tekstur menjadi lembek. Warna biang adonan formulasi 0% tepung daging adalah putih keruh (Tabel 9). Warna bening pada adonan biang terbentuk pada formulasi 10%, 20%, dan 30%
penambahan tepung daging. Hal ini merupakan fenomena pembengkakan pati dalam air panas. Menurut Winarno (1992), indeks refraksi butir-butir pati yang membengkak pada suspensi pati di air panas dapat mendekati indeks refraksi air sehingga berwarna bening. Proses pembuatan biang adonan dapat menggelatinisasi sebagian molekul pati yang digunakan. Proses gelatinisasi pati pada biang adonan formulasi 30% penambahan tepung daging lebih cepat terbentuk karena konsentrasi pati lebih kecil dibandingkan formulasi 0%, 10%, dan 20%. Semakin tinggi konsentrasi pati pada biang adonan kerupuk, semakin lama gelatinisasi pati terbentuk. Hal ini sesuai dengan Winarno (1992) yang menyatakan bahwa suhu gelatinisasi pati yang tercapai dipengaruhi oleh konsentrasi pati yang digunakan. Adanya gelatinisasi ini berpengaruh terhadap daya kembang kerupuk pada saat proses penggorengan. Sifat fisik biang adonan pada empat formulasi bahan dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Sifat Fisik Biang Adonan dengan Perbandingan Persentase Penambahan Air dan Tepung Tapioka yang Berbeda Formulasi Biang Adonan 0%
Warna
Tekstur
Putih keruh
Kenyal dan agak keras
10%
Agak bening dan putih keruh
Kenyal
20%
Bening dan putih
Sangat kenyal
30%
Bening dan putih
Sangat kenyal
Keterangan : tapioka : air = 25% tapioka : 40% air dari total air yang digunakan
Tahap pembuatan adonan kerupuk adalah proses homogenisasi biang adonan dengan tepung daging dan sisa tepung tapioka. Pengadukan yang terlalu lama pada saat pencampuran biang adonan, tepung daging sapi, dan tepung tapioka dapat menurunkan suhu adonan dan membentuk adonan yang lewat kalis sehingga lengket kembali. Titik kritis keberhasilan pembuatan adonan tersebut adalah waktu pengadonan yang tidak terlalu lama, penggunaan air panas dengan suhu 80-90oC, dan kehomogenan adonan. Penggunaan air dengan suhu 80-90°C dapat membantu menghomogenkan adonan biang, melarutkan tepung tapioka, dan membantu pengembangan tapioka pada saat pengadukan. Penambahan tepung daging dapat mengurangi sifat kenyal dari adonan. Tepung daging dengan kandungan protein yang
tinggi dapat terikat oleh adonan biang, sehingga semakin tinggi penambahan tepung daging akan berkorelasi terhadap penurunan tingkat kekenyalan adonan. Hal ini berpengaruh terhadap waktu pengadonan, semakin tinggi penambahan tepung daging, maka semakin pendek waktu yang dibutuhkan untuk membentuk adonan yang kalis. Penambahan tepung daging sapi dapat mempengaruhi warna dari adonan kerupuk. Semakin tinggi penambahan tepung daging sapi, warna adonan menjadi lebih coklat. Warna ini disebabkan oleh metmioglobin dari tepung daging sapi. Semakin tinggi persentase penambahan tepung daging sapi maka kadar metmioglobin semakin meningkat, sehingga warna adonan menjadi coklat. Pengukusan adonan yang sudah jadi pada suhu pengukusan 105-110oC dilakukan untuk menggelatinisasikan tepung tapioka. Proses pengukusan dapat berpengaruh terhadap pengikatan yang lebih kuat antara bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan kerupuk. Menurut Winarno (1992), ikatan yang kuat ini dipengaruhi oleh adanya ikatan air dengan pati, baik pati dari tepung tapioka maupun dari tepung daging (glikogen). Pengukusan akan membentuk adonan kerupuk yang matang, kompak, solid, dan memudahkan dalam proses pengirisan kerupuk. Sifat Fisik Kerupuk Mentah Sifat fisik kerupuk mentah terdiri atas warna, tekstur kerupuk dan rendemen. Warna kerupuk semakin coklat dengan bertambahnya persentase tepung daging sapi (Gambar 7). Hal ini dipengaruhi oleh reaksi Maillard, yaitu reaksi antara gugus amino protein dari tepung daging sapi dengan gugus karbonil dari gula (sukrosa). Peningkatan protein tersebut dapat memacu reaksi Maillard pada adonan. Hal ini dipercepat dengan peningkatan suhu pada saat proses pengukusan adonan dan proses pengeringan kerupuk menggunakan oven listrik. Warna coklat kerupuk mentah juga dipengaruhi oleh pigmen coklat dari tepung daging. Menurut Boccia et al. (2002), proses pemanasan daging dapat memutuskan ikatan besi-heme membentuk struktur non-heme (senyawa yang mengandung Fe) yang bersifat lebih stabil. Winarno dan Laksmi (1973) menambahkan bahwa, senyawa tersebut dapat bereaksi dengan mioglobin membentuk senyawa metmioglobin yang berwarna coklat tua. Warna tersebut dapat mempengaruhi warna adonan kerupuk. Persentase penambahan tepung daging sapi
yang semakin tinggi dapat meningkatkan kadar metmioglobin sehingga intensitas warna coklat adonan kerupuk semakin tinggi. Warna kerupuk mentah dengan berbagai formulasi penambahan tepung daging sapi dapat dilihat pada Gambar 7.
0% 10% 20% 30% Gambar 7. Tingkat Warna Kerupuk Mentah dengan Berbagai Taraf Penambahan Tepung Daging Tekstur yang lebih remah pada kerupuk mentah terdapat pada formulasi 30%, sedangkan tekstur yang kompak terdapat pada formulasi 0%, 10%, dan 20%. Tekstur yang kompak dapat mempengaruhi proses pemotongan kerupuk. Tekstur yang kompak dapat meminimalkan tingkat kerusakan pada saat proses pemotongan kerupuk. Tekstur yang kurang kompak (remah) pada fomulasi 30% berpengaruh terhadap banyaknya bahan yang rusak pada saat proses pemotongan kerupuk mentah. Formulasi penambahan tepung daging sapi yang berbeda tidak berpengaruh signifikan (Tabel 10) terhadap tingkat rendemen kerupuk mentah dari adonan. Rendemen kerupuk mentah dipengaruhi oleh perbandingan berat kerupuk mentah setelah proses pengeringan dengan berat adonan. Penambahan tepung daging sapi yang berbeda dapat meningkatkan persentase berat adonan maupun berat kerupuk mentah. Peningkatan persentase berat yang sama antara adonan dan kerupuk mentah pada formulasi penambahan tepung daging yang berbeda, menghasilkan nilai rendemen yang sama. Rendemen kerupuk mentah terhadap adonan dengan berbagai formulasi penambahan tepung daging sapi dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Rendemen Kerupuk Mentah terhadap Adonan dengan Berbagai Formulasi Penambahan Tepung Daging Sapi Formulasi Kerupuk Peubah Rataan 0% 10% 20% 30% Rendemen (%)
57,54±4,85
73,03±1,94 69,48±4,97 67,87±5,64 62,69±2,70
Sifat Fisik Kerupuk Goreng Sifat fisik kerupuk goreng merupakan kriteria mutu dari kerupuk yang terdiri atas rendemen dan densitas kamba. Penambahan tepung daging sapi yang berbeda tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat rendemen kerupuk goreng (Tabel 11). Peningkatan persentase berat yang sama antara adonan, kerupuk mentah, dan kerupuk goreng pada setiap formulasi penambahan tepung daging yang berbeda, menghasilkan nilai rendemen yang sama. Hasil analisis fisik kerupuk goreng terhadap berbagai persentase penambahan tepung daging sapi dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Hasil Analisis Fisik Kerupuk Goreng terhadap Berbagai Penambahan Tepung Daging Sapi Formulasi Kerupuk
Peubah 0%
10%
20%
Rataan 30%
a. Densitas 674,77±33,39a 641,33±33,89ab 563,49±34,17b 451,70±6,83c kamba (%) b. Rendemen dari keru110,9±0,06 107,84±0,51 106,89±0,24 110,4±0,55 109,01±1,95 puk mentah (%) c. Rendemen dari adon82,42±6,20 71,02±3,90 74,45±6,80 71,71±6,09 74,9±5,23 an (%) Keterangan : - superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
Kualitas kerupuk yang baik sesuai dengan permintaan pasar masyarakat Indonesia adalah renyah, tidak lengket di mulut, dan memiliki daya kembang yang baik pada saat proses penggorengan (Fumiko dan Yasuko, 2000). Penambahan tepung daging sapi berpengaruh signifikan (P<0,05) terhadap penurunan densitas kamba (daya kembang) kerupuk goreng (Tabel 11). Nilai densitas kamba kerupuk dapat dipengaruhi oleh proses penggorengan. Rata-rata daya kembang kerupuk adalah 4-6 kali (451,70% - 674,77%) dari kerupuk mentah. Densitas kamba terbesar adalah kerupuk yang tidak mengalami penambahan tepung daging (0%) dan kerupuk dengan penambahan tepung daging sapi sampai formulasi 10%. Densitas kamba yang tinggi menyatakan bahwa daya kembang kerupuk pada saat penggorengan besar, sehingga densitas kamba merupakan suatu nilai keberhasilan dalam pembuatan kerupuk.
Peningkatan persentase penambahan tepung daging yang lebih tinggi dari 10% dapat menurunkan tingkat densitas kamba kerupuk pada saat proses penggorengan. Hal ini dipengaruhi oleh banyaknya tepung daging sapi yang ditambahkan ke dalam adonan. Peningkatan protein dari tepung daging sapi yang bersifat mengikat air berpengaruh terhadap penurunan tekanan uap saat penggorengan, sehingga hasil kerupuk goreng mempunyai tekstur yang kurang mengembang (daya kembang kecil), padat, dan memiliki rongga udara yang relatif lebih sedikit dan kecil. Menurut Lavlinesia (1995), bahan tambahan makanan (bahan berprotein) yang ditambahkan ke dalam adonan dapat mengisi pori-pori kerupuk mentah, sehingga menyebabkan penurunan daya kembang kerupuk pada saat proses penggorengan. Ilustrasi tekstur kerupuk goreng dapat dilihat pada Gambar 8.
0%
10% 20% ( % tepung daging sapi)
30%
Gambar 8. Ilustrasi Struktur Pori-pori Kerupuk Goreng dengan Berbagai Formulasi Penambahan Tepung Daging Sapi Tampak Melintang Pengujian Organoleptik Pengujian organoleptik untuk menentukan formulasi terbaik kerupuk goreng dengan berbagai formulasi penambahan tepung daging sapi dilakukan dengan cara perangkingan hasil uji hedonik (kesukaan) oleh panelis. Hasil uji hedonik tahap pemilihan formulasi terbaik kerupuk goreng dengan berbagai formulasi penambahan tepung daging sapi dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Hasil Uji Hedonik Pemilihan Formulasi Terbaik Kerupuk Goreng dengan Penambahan Tepung Daging Sapi yang Berbeda Formulasi Kerupuk Hedonik Rataan 0% 10% 20% 30% Warna
3,83±0,90A
3,52±0,90B
2,84±0,91C
2,26±0,99D
-
Rasa daging
3,15±1,09
3,70±0,82
3,40±1,01
3,29±1,01
3,39±0,23
Bau daging
2,77±0,86a
3,07±0,86b
3,16±0,85b
3,14±0,92b
-
Kekerasan
3,70±0,97A
3,90±0,89B
3,82±0,87C
3,10±1,06D
-
Ketengikan
3,00±0,09
3,14±0,98
3,07±0,87
3,01±0,94
3,06±0,07
Keterangan : - superskrip huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) - superskrip huruf besar yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)
Penambahan tepung daging sapi dengan persentase
yang berbeda
berpengaruh sangat signifikan (P<0,01) terhadap tingkat kesukaan warna, dan tingkat kekerasan kerupuk goreng. Penambahan tepung daging sapi dengan persentase yang berbeda berpengaruh signifikan (P<0,05) terhadap tingkat kesukaan bau daging kerupuk goreng. Penambahan tepung daging sapi dengan persentase yang berbeda tidak mempengaruhi tingkat kesukaan rasa dan tingkat ketengikan kerupuk goreng. Hasil uji mutu hedonik tahap pemilihan formulasi terbaik kerupuk goreng dengan berbagai formulasi penambahan tepung daging sapi dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Hasil Uji Mutu Hedonik Pemilihan Formulasi Terbaik Kerupuk Goreng dengan Penambahan Tepung Daging Sapi yang Berbeda Formulasi Kerupuk Hedonik
Rataan
0%
10%
20%
30%
Warna
2,27±1,10A
4,62±1,40B
6,78±0,95C
8,24±0,56D
-
Rasa daging
7,65±1,24A
4,79±1,63B
3,79±1,58B
2,09±1,32C
-
Bau daging
7,27±1,62a
5,44±1,51b
4,28±1,41cd
3,32±1,54d
-
Kekerasan
5,85±1,50A
4,99±1,24A
3,59±1,68B
2,73±1,32C
-
Ketengikan
5,93±2,09
6,57±1,95
5,40±2,39
5,42±2,65
5,83±0,55
Keterangan : - superskrip huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) - superskrip huruf besar yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)
Tingkat Kesukaan terhadap Rasa Daging Kerupuk Goreng. Hasil analisis nonparametrik Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa persentase penambahan tepung daging yang berbeda tidak berpengaruh terhadap tingkat kesukaan rasa daging kerupuk goreng (Tabel 12). Peningkatan rasa daging secara mutu hedonik pada formulasi penambahan tepung daging yang berbeda tidak mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap rasa daging kerupuk goreng. Hasil analisis statistik uji mutu hedonik menunjukkan bahwa penambahan tepung daging sapi yang berbeda berpengaruh sangat signifikan (P<0,01) terhadap rasa daging kerupuk goreng (Tabel 13). Persentase penambahan tepung daging yang semakin tinggi, dapat berpengaruh terhadap peningkatan rasa daging pada kerupuk goreng. Tingkat rasa daging pada formulasi penambahan 30% tepung daging sapi dari total penggunaan tepung tapioka memiliki rata-rata tingkat rasa daging tertinggi pada hasil pengujian mutu hedonik yaitu sangat rasa daging (2,09±1,32) dari total nilai 10 (sangat tidak rasa daging). Tingkat Kesukaan terhadap Warna Kerupuk Goreng.
Hasil analisis non-
parametrik Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa persentase penambahan tepung daging yang berbeda berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap tingkat kesukaan warna kerupuk goreng (Tabel 12). Panelis lebih menyukai warna kerupuk dengan penambahan tepung daging sapi sebanyak 0% dari total tepung tapioka yang digunakan, diikuti oleh sampel kerupuk dengan persentase penambahan tepung daging sebanyak 10%. Tingkat warna kerupuk goreng dengan berbagai taraf penambahan tepung daging sapi dapat dilihat pada Gambar 9. Hasil uji mutu hedonik menunjukkan bahwa kerupuk formulasi 0% memiliki nilai mutu sebesar
2,27±1,10 (sangat putih) dari total nilai 10 (sangat coklat).
Kandungan protein tepung tapioka yang sangat rendah (0,3%) memperkecil terjadinya reaksi Maillard, sehingga produk dengan warna coklat tidak dihasilkan dalam metode penggorengan cepat. Reaksi pencoklatan dimulai pada tahap pembuatan adonan sampai tahap penggorengan kerupuk. Faktor warna sangat menentukan penilaian bahan pangan sebelum faktor-faktor lain dipertimbangkan secara visual. Hasil penilaian mutu sensori terhadap warna kerupuk 0%, 10%, 20%, dan 30% berturut-turut adalah 2,27 (sangat putih); 4,62 (putih); 6,78 (coklat); dan
8,24 (sangat coklat). Semakin tinggi penambahan tepung daging, semakin coklat warna kerupuk goreng yang dihasilkan.
Gambar 9. Kerupuk Goreng dengan Persentase Penambahan Tepung Daging yang Berbeda Panelis tidak menyukai warna kerupuk dengan penambahan tepung daging 20% dan 30%. Panelis lebih menyukai kerupuk dengan warna putih cerah yaitu formulasi 0% (3,83±0,90) dan 10% (3,52±0,90) dengan kriteria penilaian suka. Penambahan tepung daging dengan persentase yang berbeda berpengaruh terhadap penurunan tingkat kesukaan panelis terhadap kerupuk. Warna yang lebih gelap atau coklat tua tidak disukai oleh panelis. Hal ini disebabkan karena pandangan panelis terhadap produk kerupuk yang secara umum berwarna lebih cerah, sedangkan warna coklat pada produk pangan yang digoreng menandai produk tersebut terlalu masak (gosong). Warna yang terlalu coklat dipengaruhi oleh pigmen coklat dari tepung daging yaitu senyawa metmioglobin yang berwarna coklat tua. Persentase penambahan tepung daging sapi yang semakin tinggi dapat meningkatkan kadar metmioglobin sehingga intensitas warna coklat kerupuk semakin tinggi. Warna coklat dari kerupuk goreng juga dipengaruhi oleh reaksi Maillard yaitu reaksi antara protein dari tepung daging sapi dengan gula (sukrosa) pada saat proses penggorengan. Persentase penambahan tepung daging yang semakin tinggi dapat meningkatkan kadar protein kerupuk, sehingga terjadi peningkatan reaksi Maillard.
Tingkat Kesukaan terhadap Bau Daging Kerupuk Goreng.
Bau merupakan
suatu sensasi rangsangan dari sel olfaktori di dalam hidung terhadap zat volatil. Hasil analisis non-parametrik Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa persentase penambahan tepung daging yang berbeda berpengaruh signifikan (P<0,05) terhadap tingkat kesukaan bau daging kerupuk goreng (Tabel 12). Panelis memberikan respon tingkat kesukan yang sama terhadap kerupuk dengan penambahan tepung daging sebanyak 10%, 20%, dan 30% yaitu dengan kriteria agak suka. Bau kerupuk dengan formulasi penambahan tepung daging sapi 0 % tidak disukai (2,77±0,86) oleh panelis. Penambahan tepung daging sapi pada kerupuk dapat meningkatkan tingkat kesukaan panelis terhadap bau daging kerupuk goreng. Tingkat bau daging kerupuk goreng dengan penambahan tepung daging yang berbeda memberikan respon tingkat bau daging yang berbeda pada uji mutu hedonik. Hal ini tidak mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap bau daging (10%, 20%, 30%). Hasil analisis statistik uji mutu hedonik menunjukkan bahwa persentase penambahan tepung daging yang berbeda berpengaruh signifikan (P<0,05) terhadap bau daging kerupuk goreng (Tabel 13). Semakin tinggi persentase penambahan tepung daging, maka tingkat bau daging pada kerupuk goreng semakin meningkat. Hasil uji mutu hedonik menunjukkan bahwa konsentrasi penambahan tepung daging sapi sebanyak 30 % menghasilkan produk kerupuk dengan bau daging yang kuat dengan nilai mutu 3,32±1,54 dari total nilai 10 (sangat tidak bau daging) dan semakin menurun pada persentase tepung daging 20% (4,28±1,41) dan 10% (3,32±1,54). Grimm et al. (1997) menjelaskan bahwa, bau khas daging matang berasal dari adanya denaturasi protein daging sehingga menghasilkan senyawa turunan protein yang menyebabkan bau khas daging. Flavor khas daging matang pada kerupuk goreng dipengaruhi juga oleh hasil reaksi Maillard yang diawali oleh interaksi asamasam amino dan gugus karbonil. Penambahan bumbu seperti bawang putih yang memiliki zat volatil tajam dapat menurunkan tingkat bau daging sapi. Kerupuk dengan persentase penambahan tepung daging 0% memiliki tingkat bau bawang putih yang tajam. Tingkat Kesukaan terhadap Ketengikan Kerupuk Goreng. Hasil analisis nonparametrik Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa peningkatan persentase penambahan
tepung daging sapi yang berbeda tidak mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap tingkat ketengikan kerupuk goreng (Tabel 12). Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap kerupuk goreng formulasi 0%, 10%, 20%, dan 30% berturut-turut adalah 3,00±0,09; 3,14±0,98; 3,07±0,87; dan 3,01±0,94 dengan kriteria tingkat kesukaan yang sama (agak suka). Ketengikan dipengaruhi oleh oksidasi lemak atau minyak dalam bahan pangan berlemak yang akan menghasilkan senyawa tertentu yang bersifat volatil dan dapat menurunkan kualitas mutu dari produk pangan (Winarno, 1992). Tingkat kesukaan panelis yang sama secara mutu hedonik (Tabel 13) terhadap keempat formulasi menunjukkan belum adanya ketengikan yang mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap kerupuk goreng. Tingkat Kesukaan terhadap Kekerasan Kerupuk Goreng. Hasil analisis nonparametrik Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa penambahan tepung daging sapi dengan konsentrasi yang berbeda berpengaruh sangat signifikan (P<0,01) terhadap kesukaan kekerasan kerupuk goreng (Tabel 12). Penilaian panelis terhadap fomulasi 0%, 10%, dan 20% adalah suka dan agak suka pada formulasi 30%. Panelis lebih menyukai kerupuk dengan penambahan tepung daging sebanyak 10% dari total tapioka yang digunakan. Hasil uji hedonik kerupuk dengan formulasi 10% menghasilkan nilai 3,90±0,89 (suka). Tingkat kekerasan yang paling disukai panelis secara mutu hedonik adalah kerupuk dengan formulasi 10% dengan nilai mutu 4,84±1,55 (kekerasan sedang) setara dengan 137,37 gf pada pengukuran secara objektif menggunakan alat rheoner. Tingkat kekerasan yang rendah menyatakan bahwa kerupuk memiliki tingkat kerenyahan yang tinggi. Peningkatan persentase penambahan tepung daging dapat meningkatkan tingkat kekerasan secara mutu hedonik. Penilaian panelis terhadap formulasi 30% adalah agak suka, hal ini disebabkan formulasi 30% memiliki tingkat kekerasan yang tinggi secara mutu hedonik dengan nilai mutu 2,73±1,32 (keras) dari total nilai 10 (sangat tidak keras). Hasil skoring uji hedonik dengan berbagai kriteria mutu (Tabel 14) menunjukkan bahwa sebagian besar panelis menyukai kerupuk dengan formulasi penambahan tepung daging sapi sebanyak 10% dari total tepung tapioka yang digunakan. Pemilihan formulasi terbaik tersebut berdasarkan pengurutan data tingkat
kesukaan panelis terhadap produk kerupuk dengan berbagai formulasi penambahan tepung daging sapi. Tabel 14. Hasil Skoring Uji Hedonik Pemilihan Formulasi Terbaik Kerupuk Goreng dengan Persentase Penambahan Tepung Daging yang Berbeda Formulasi Peubah 0%
10%
20%
30%
Warna
4
3
2
1
Rasa daging
0
0
0
0
Bau daging
1
3
4
2
Kekerasan
2
4
3
1
Ketengikan
0
0
0
0
Jumlah Penilaian
7
10
9
4
Keterangan : - kriteria penilaian (1,2,3, dan 4) berdasarkan besarnya rata-rata hasil uji hedonik
Skor tertinggi untuk tingkat kesukaan terbaik adalah sampel kerupuk dengan penambahan tepung daging sapi sebanyak 10% yaitu dengan jumlah nilai 10, diikuti oleh sampel dengan penambahan tepung daging sapi sebanyak 20% (nilai 9), 0% (nilai 7), dan 30% (nilai 4). Kerupuk yang mendapat skor nilai 10 merupakan kerupuk yang memiliki sifat hedonik yang disukai menurut penilaian panelis. Formulasi penambahan tepung daging terbaik selanjutnya digunakan untuk penelitian tahap kedua yaitu sifat fisik dan organoleptik selama penyimpanan. Penelitian Tahap Kedua Tahap penelitian kedua adalah analisis sifat fisik kerupuk mentah, analisis kerupuk goreng dan analisis organoleptik selama penyimpanan yang berbeda. Sifat fisik kerupuk mentah berpengaruh terhadap sifat fisik kerupuk goreng. Pengaruh tersebut dapat dilihat pada pengembangan produk kerupuk, rendemen, dan densitas kamba kerupuk saat dilakukan proses penggorengan. Faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan produk kerupuk adalah sifat fisik dari kerupuk mentah, yaitu derajat gelatinisasi dan kadar air kerupuk mentah. Analisis fisik dan organoleptik yang dilakukan pada kerupuk goreng dengan persentase penambahan tepung daging sapi sebanyak 10% dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kadar air,
oksidasi, kelembaban relatif (Rh) lingkungan, temperatur ruangan, dan kemasan dari kerupuk goreng. Derajat Gelatinisasi Derajat gelatinisasi merupakan rasio antara pati yang pecah terhadap pati yang masih utuh. Hasil analisis derajat gelatinisasi secara deskriptif (Tabel 15) menunjukkan bahwa proses pengukusan mempengaruhi derajat gelatinisasi. Faktor yang mempengaruhi nilai derajat gelatinisasi adalah suhu pada saat proses pengukusan, dan air yang digunakan dalam adonan kerupuk. Suhu yang tinggi dan konstan yaitu pada pengukusan ke-3 dapat menghasilkan nilai derajat gelatinisasi sebesar 15,61%. Adanya jeda waktu pemasukan adonan pada saat pengukusan ke-2 dan ke-3 dapat menurunkan suhu dan tekanan uap di dalam panci, sehingga berpengaruh terhadap penurunan suhu. Penurunan suhu mempengaruhi proses pemecahan pati pada adonan kerupuk tahap pengukusan 1 dan 2. Hasil analisis derajat gelatinisasi kerupuk formulasi 0% penambahan tepung daging sapi dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Hasil Analisis Fisik Derajat Gelatinisasi Tahap Pengukusan
Derajat Gelatinisasi (%)
1
5,23±0,08
2
8,01±0,17
3
15,61±0,75
Jeda waktu pemasukan adonan ke-2 dan ke-3 juga dapat menyebabkan penurunan suhu akibat adanya resistensi panas dari adonan (penghambat panas) sehingga menurunkan suhu pengukusan dan menghambat proses pemanasan. Kondisi pemanasan yang konstan diperlukan, sehingga kecepatan penurunan suhu konstan (tidak drastis), walaupun resistensi meningkat (Wiratakusumah, 1989). Faktor lain yang menentukan gelatinisasi tepung tapioka adalah penambahan air pada proses pembuatan adonan. Wianecki dan Kołakowski (2007) menjelaskan bahwa molekul-molekul air berpenetrasi masuk ke dalam granula pati dan membentuk gel yang bersifat sangat elastis. Pengembangan (swelling) kerupuk terjadi pada proses penggorengan pati yang telah tergelatinisasi.
Parameter gelatinisasi dipengaruhi oleh temperatur pengukusan, air dan kandungan bahan pada tepung tapioka terutama amilopektin yang dapat mempengaruhi
viskositas
dan
gelatinisasi.
Kehomogenan
adonan
dapat
mempengaruhi tingkat gelatinisasi tepung tapioka. Hal ini sesuai dengan Wianecki dan Kołakowski (2007) yang menyatakan bahwa, temperatur tinggi dan kontinu (96oC) pada saat pengadonan, kehomogenan adonan, dan proses pengukusan dapat meningkatkan derajat gelatinisasi tepung tapioka. Densitas Kamba Proses penggorengan meningkatkan densitas kamba (Tabel 16). Densitas kamba kerupuk berhubungan dengan sifat penempatan ruang (bulky) suatu produk pada saat dilakukan pengemasan. Densitas kamba kerupuk goreng dipengaruhi oleh besarnya
derajat
pengembangan
kerupuk
setelah
proses
penggorengan.
Pengembangan kerupuk goreng meningkatkan volume kerupuk akibat adanya porositas kerupuk goreng dan peningkatan massa karena adanya molekul minyak goreng yang mengisi porositas kerupuk goreng. Peningkatan volume yang relatif besar meningkatkan densitas kamba kerupuk. Hasil analisis fisik kerupuk mentah dan kerupuk goreng dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Hasil Analisis Fisik Kerupuk Mentah dan Kerupuk Goreng Peubah Kerupuk Formulasi 10% +
++
+++
Goreng
a. Volume jenis (mm3/g)
-
-
0,77±0,03(Vn2)
5,52±0,09(Vn1)
b. Densitas Kamba (Vn1-Vn2)/Vn2) x 100% (%)
-
-
c. Rendemen dari adonan (%)
-
-
42,14±1,90
73,30±4,02
d. Rendemen dari kerupuk mentah (%)
-
-
-
107,15±0,48
3,10±0,10
4,52±0,42
8,67±0,94
-
e. Kadar Air (%) Keterangan :
638,07±33,58
+ : kadar air kerupuk mentah sesaat keluar dari oven ++ : kadar air kerupuk mentah 24 jam setelah keluar dari oven +++ : kadar air kerupuk mentah 48 jam setelah keluar dari oven
Kerupuk dengan densitas kamba yang besar meningkatkan volume bahan pengemas. Kerupuk goreng formulasi 10% menghasilkan densitas kamba sebesar 638,07%±33,58. Hal ini menunjukkan bahwa diperlukan bahan pengemas 6,3807 kali lebih besar dari kerupuk mentah untuk mengemas kerupuk goreng. Sifat bulky ini sangat berperan terhadap kualitas kerupuk, karena kerupuk yang semakin besar daya kembangnya memiliki kualitas yang baik dibandingkan kerupuk yang memiliki nilai densitas yang kecil (pengembangan yang tidak sempurna). Struktur berpori pada kerupuk menyebabkan volume kerupuk menjadi lebih besar tetapi memiliki berat yang lebih ringan. Hal ini berpengaruh terhadap penghitungan volume jenis kerupuk goreng Densitas kamba kerupuk goreng dipengaruhi oleh kadar air kerupuk mentah untuk menghasilkan tekanan uap pada proses penggorengan (Wiriano, 1984). Tekanan uap mendesak gel pati sehingga terjadi pengembangan dan terbentuk rongga udara pada kerupuk yang telah digoreng. Besarnya persentase kadar air hasil analisis kerupuk mentah dengan penambahan 10% tepung daging sapi rata-rata yang dapat menghasilkan daya kembang kerupuk yang baik adalah 8,67%±0,94 (Tabel 16). Kadar air tersebut tercapai pada penyimpanan kerupuk mentah sampai hari ke-2 (48 jam) setelah keluar dari oven. Densitas kamba kerupuk juga dipengaruhi oleh metode penggorengan. Metode deep frying menggunakan minyak berlebih dengan suhu mencapai 170-180 o
C (Shahidi et al., 1997) dapat membantu daya kembang kerupuk merata pada
seluruh permukaan bahan yang digoreng. Penggunaan metode dengan minyak berlebih, bermanfaat terhadap pemerataan panas pada seluruh bagian kerupuk pada saat proses penggorengan. Suhu yang lebih rendah dari suhu tersebut (sekitar 150160 oC) menghasilkan daya kembang kerupuk yang kurang maksimal. Hal ini disebabkan perlu adanya suhu yang sesuai untuk melunakkan matriks kerupuk mentah sehingga tekanan uap yang terbentuk dapat menekan sempurna matriks tersebut. Baking powder membantu meningkatkan pengembangan adonan pada saat proses pengukusan. Mekanisme kerja dari baking powder adalah ketika kontak dengan air dan panas, dapat bereaksi membentuk gas karbondioksida (CO2) yang akan mengontrol pengembangan volume adonan (Graham, 2000). Volume gas
bersama udara dan uap air yang terperangkap dalam adonan akan mengembangkan matriks kerupuk, sehingga diperoleh struktur berpori. Struktur berpori ini bermanfaat terhadap daya kembang kerupuk pada saat proses penggorengan. Charles et al. (1972) menambahkan bahwa penggunaan sukrosa dan baking powder dapat mempertahankan kestabilan produk pangan yang memerlukan proses penggorengan dengan metode deep frying. Rendemen Nilai rendemen kerupuk dianalisis untuk mengetahui efisiensi proses pembuatan kerupuk (Tabel 16). Nilai rendemen pada tahap pembuatan kerupuk terdiri atas tiga tahap. Hal ini berkaitan dengan tiga tahap proses pembuatan kerupuk yaitu pengadonan, pengeringan, dan penggorengan. Hasil pengukuran ketiga tahap berbeda, sehingga diperoleh tiga jenis rendemen dari proses pembuatan kerupuk yaitu rendemen kerupuk mentah dari adonan, rendemen kerupuk goreng dari adonan, dan rendemen kerupuk goreng dari kerupuk mentah. Penambahan tepung daging sebanyak 10% dari total tepung tapioka yang digunakan menghasilkan nilai rendemen kerupuk goreng sebesar 75,63±0,21 (+++) dari kerupuk mentah. Hal ini dipengaruhi oleh berat kerupuk goreng yang semakin meningkat akibat proses penggorengan. Berat kerupuk goreng disebabkan oleh peningkatan massa kerupuk akibat penambahan minyak goreng yang berpenetrasi ke dalam pori-pori kerupuk goreng dan adanya udara yang mengisi pori-pori kerupuk (Gambar 10).
a
b
c
Rendemen kerupuk mentah dari adonan Rendemen kerupuk goreng dari adonan Rendemen kerupuk goreng dari kerupuk mentah
Tahap Gambar 10. Grafik Nilai Rata-rata Rendemen Kerupuk pada Beberapa Tahap Pembuatan Kerupuk
Analisis Fisik Kerupuk Goreng selama Penyimpanan Hasil analisis statistik kerupuk goreng menunjukkan bahwa perlakuan penyimpanan berpengaruh nyata terhadap kadar air, tingkat kekerasan, dan aktivitas air kerupuk goreng (Tabel 17). Faktor utama yang mempengaruhi mutu kerupuk goreng selama penyimpanan adalah kelembaban udara (Rh) lingkungan, bahan pengemas, dan oksidasi lemak. Tingkat Kekerasan Kerupuk Goreng selama Penyimpanan. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa lama penyimpanan berpengaruh sangat signifikan (P<0,01) terhadap tingkat kekerasan kerupuk goreng (Tabel 17). Hal ini dipengaruhi oleh peningkatan kadar air dan aktivitas air (aw) dari kerupuk goreng setelah penyimpanan. Hasil analisis fisik kerupuk goreng dengan penambahan tepung daging sebanyak 10 % selama penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Hasil Analisis Fisik Kerupuk Goreng dengan Penambahan Tepung Daging Sebanyak 10 % selama Penyimpanan Hasil analisis Analisis fisik
0 hari
14 hari
28 hari
42 hari
a. Kadar Air (%)
1,67±0,80a
5,74±1,93b
7,45±0,58b
7,05±0,62b
b. Tingkat kekerasan (gf)
1277,77±176,05a
1916,66±240,38b
2055,55±45,90b
2186,11±165,48b
c. Aktivitas Air
0,41±0,06a
0,66±0,01b
0,67±0,04b
0,69±0,11b
Keterangan: superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
Hasil analisis kekerasan menggunakan rheoner menghasilkan tingkat kekerasan yang tinggi pada lama penyimpanan ke-14 hari (Tabel 17). Prinsip dari analisis kekerasan adalah penusukan probe (jarum) pada lima titik yang kira-kira memiliki ketebalan yang sama. Apabila struktur matriks bahan yang ditusuk lembek, maka diperlukan gaya yang lebih besar untuk memecahkan matriks kerupuk. Peningkatan kekerasan kerupuk goreng dipengaruhi oleh peningkatan kadar air kerupuk goreng. Air yang terserap oleh kerupuk dapat membuat matriks kerupuk menjadi lembek.
Persentase kadar air meningkat signifikan (P<0,05) pada penyimpanan kerupuk goreng hari ke-14 (Tabel 17). Peningkatan kadar air bahan terjadi karena sifat produk kerupuk yang dapat menyerap air dari lingkungan (higroskopis). Peningkatan kadar air dari hari ke-0 sampai hari ke-14 dapat dipengaruhi oleh kelembaban relatif (Rh) lingkungan sekitar. Kelembaban udara lingkungan tempat penyimpanan kerupuk (laboratorium pengolahan hasil ternak) adalah 80%-90% sehingga udara kaya akan molekul air (H2O). Adanya udara dan uap air yang masuk pada saat proses pengemasan dan lama penyimpanan dapat mempengaruhi peningkatan kadar air kerupuk goreng. Peningkatan kadar air pada penyimpanan hari ke-14, 28, dan 42 tidak berbeda (konstan). Penggunaan bahan pengemas PP dapat mempertahankan kelembaban relatif (Rh) dalam kemasan dari penyimpanan hari ke14 sampai 42. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa lama penyimpanan kerupuk goreng berpengaruh sangat signifikan (P<0,01) terhadap nilai aktivitas air (Tabel 17). Lama penyimpanan kerupuk goreng dapat meningkatkan nilai aktivitas air. Purnomo (1993) menjelaskan bahwa aktivitas air (aw) berhubungan dengan kadar air dari bahan dan lingkungan. Nilai aw kerupuk goreng meningkat dengan bertambahnya kadar air selama penyimpanan sampai hari ke-14. Penyimpanan lebih lanjut dari hari ke-14 sampai 42 tidak mempengaruhi peningkatan nilai aw. Nilai aw kerupuk goreng pada penyimpanan hari ke-14, hari ke-28, dan hari ke-42 memiliki tingkat aw yang konstan dengan rata-rata nilai aw berturut-turut sebesar 0,66±0,01; 0,67±0,04; 0,69±0,11. Sauvageot dan Blond (1991) menjelaskan bahwa peningkatan kadar air dan kelembaban terhadap produk yang mengalami proses penggorengan berkorelasi dengan peningkatan nilai aw. Peningkatan nilai aw sampai taraf 0,5 dan kadar air 7% dapat menurunkan sifat kerenyahan (crispness) produk dan berpengaruh terhadap tekstur produk (lembek). Kerupuk goreng mengalami penurunan tingkat kerenyahan pada penyimpanan ke-14 hari. Bahan pangan dengan aw rendah cenderung untuk mengikat air sedangkan bahan-bahan pangan yang mempunyai aw lebih tinggi cenderung melepaskan air. Perubahan-perubahan aktivitas air dapat menyebabkan perpindahan air antar bahan-
bahan penyusun makanan. Peningkatan nilai aw kerupuk goreng selama penyimpanan
Kadar Air
dapat dilihat pada Gambar 12.
0 hari
14 hari
28 hari Lama penyimpanan
42 hari
Aktivitas Air
Gambar 11. Grafik Hubungan Antara Peningkatan Persentase Kadar Air selama Penyimpanan Kerupuk Goreng
0 hari
14 hari 28 hari Lama penyimpanan
42 hari
Gambar 12. Grafik Hubungan antara Peningkatan Aktivitas Air selama Penyimpanan Kerupuk Goreng Uji Organoleptik Kerupuk selama Penyimpanan Hasil analisis menunjukkan bahwa lama penyimpanan tidak berpengaruh terhadap tingkat kesukaan warna kerupuk goreng. Lama penyimpanan berpengaruh sangat signifikan (P<0,01) terhadap tingkat kesukaan bau daging, rasa daging, ketengikan dan kekerasan kerupuk goreng. Hasil uji hedonik kerupuk goreng
formulasi 10% penambahan tepung daging sapi pada penyimpanan yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 18. Pengujian organoleptik kerupuk goreng pada penyimpanan ke-0 tidak diuji secara statistik. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan tingkat warna yang sangat signifikan pada penyimpanan ke-0 hari dengan penyimpanan ke-14, 28, dan 42 hari. Perbedaan warna secara mutu hedonik tersebut diduga karena penggunaan tepung daging yang tidak sama pada pembuatan adonan untuk penyimpanan ke-0 hari. Tepung daging yang digunakan diduga mengalami reaksi Maillard berlebih karena proses pengeringan menggunakan oven listrik yang terlalu lama. Proses pengeringan daging sapi untuk pembuatan tepung daging sapi pada lama penyimpanan 14, 28, dan 42 menggunakan suhu 60oC selama 24 jam (Anggoro, 2008), sedangkan pembuatan tepung daging untuk penyimpanan ke-0 hari menggunakan suhu 60oC selama ±11 jam dan suhu 27oC selama ±17 jam. Penggunaan suhu 27oC tersebut disebabkan karena situasi dan kondisi lingkungan yaitu listrik sebagai sumber energi untuk menyalakan oven listrik padam dan kondisi tersebut tidak diketahui oleh peneliti. Hal ini berpengaruh terhadap warna kerupuk goreng yang lebih gelap. Tabel 18. Hasil Uji Hedonik Kerupuk Goreng selama Penyimpanan Penyimpanan Hedonik Rataan H-0 H-14 H-28 H-42 3,64±1,02*
Warna
*
3,47±0,91 3,22±0,67
A
3,36±0,92 2,64±0,89
B
3,19±0,95 2,56±0,91
3,34±0,14
B
-
Bau daging
3,61±0,82
Rasa daging
3,93±0,98*
3,35±0,88A
2,49±1,76B
2,43±0,83B
-
Ketengikan
4,16±0,83*
3,52±0,97A
1,91±0,85B
1,66±0,82B
-
Kekerasan
3,67±0,99*
3,16±0,97A
2,49±0,93B
2,26±0,97B
-
Keterangan: - superskrip huruf besar yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) * : tidak diuji secara statistik
Hasil analisis menunjukkan bahwa lama penyimpanan tidak berpengaruh terhadap perubahan warna dan ketengikan kerupuk goreng. Lama penyimpanan berpengaruh sangat signifikan (P<0,01) terhadap bau daging, rasa daging, dan tingkat kekerasan kerupuk goreng. Hasil uji mutu hedonik kerupuk goreng pada selama penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19. Hasil Uji Mutu Hedonik Kerupuk Goreng selama Penyimpanan Penyimpanan Mutu Rataan H-0 H-14 H-28 H-42 Hedonik 4,15±0,18 Warna 6,42±1,95* 4,07±1,45 4,03±1,41 4,36±1,44 Bau daging
4,61±1,76*
4,47±1,29A
5,42±1,61B
5,70±1,85B
-
Rasa daging
4,60±1,73*
4,76±1,69A
6,12±1,31B
5,56±1,67B
-
Ketengikan
6,50±1,23*
5,14±1,63
4,70±1,90
4,52±1,72
4,79±0,32
Kekerasan
5,81±1,75*
4,41±1,36A
3,44±1,90AB
2,89±1,78B
-
Keterangan: - superskrip huruf besar yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) * : tidak diuji secara statistik
Tingkat Kesukaan terhadap Warna selama Penyimpanan. Warna merupakan faktor utama bahan pangan yang berhubungan dengan penampakan produk. Faktor pertama bahan pangan yang dipilih konsumen adalah melihat kriteria warna. Hasil analisis Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa lama penyimpanan tidak berpengaruh terhadap tingkat kesukaan warna kerupuk goreng pada penyimpanan hari ke-14, 28, dan 42 (Tabel 18). Hal ini disebabkan karena warna kerupuk tidak mengalami perubahan secara mutu hedonik dengan nilai mutu 4,15±0,18 (putih) dari total nilai 10 (sangat coklat) sampai penyimpanan hari ke-42. Warna yang sama secara mutu hedonik menjadi pertimbangan tingkat kesukaan panelis terhadap warna. Panelis memberikan penilaian terhadap warna kerupuk goreng dengan tingkat kesukaan agak suka. Warna kerupuk goreng selama penyimpanan yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 13.
Hari ke-14
Hari ke-28
Hari ke-42
Gambar 13. Warna Kerupuk Goreng dengan Lama Penyimpanan yang Berbeda
Tingkat Kesukaan terhadap Rasa dan Bau Daging selama Penyimpanan. Hasil analisis Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa lama penyimpanan berpengaruh sangat signifikan (P<0,01) terhadap tingkat kesukaan bau dan rasa daging kerupuk goreng (Tabel 18). Hal ini berkaitan dengan flavor daging sapi pada kerupuk goreng yang dapat bertahan hingga penyimpanan kurang dari 28 hari. Penurunan tingkat bau daging akibat hilangnya zat volatil daging dari kerupuk goreng selama penyimpanan mempengaruhi tingkat kesukaan kerupuk goreng pada penyimpanan hari ke-28. Penilaian tingkat kesukaan panelis terhadap rasa dan bau kerupuk pada H-14 adalah agak suka. Panelis tidak menyukai rasa dan bau daging pada kerupuk goreng pada penyimpanan kerupuk goreng hari ke-28 dan ke-42. Flavor daging sapi yang menurun akibat hilangnya zat volatil daging matang mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap bau daging. Menurut Shahidi et al. (1997), selama proses penggorengan terjadi reaksi hidrolisis, oksidasi dan pyrolitic yang mempengaruhi formasi zat volatil seperti asam lemak dari bahan sehingga diperoleh flavor yang khas bahan pangan. Hidrolisis dan oksidasi asam lemak dapat menimbulkan ketengikan. Timbulnya ketengikan pada penyimpanan ke-14 dengan rata-rata nilai mutu 4,79±0,32 (agak tengik) dari total nilai 10 (sangat tidak tengik) dapat menutup tingkat bau daging. Tingkat Kesukaan terhadap Ketengikan selama Penyimpanan. Hasil analisis Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa lama penyimpanan berpengaruh sangat signifikan (P<0,01) terhadap tingkat kesukaan ketengikan kerupuk goreng (Tabel 18). Panelis tidak menyukai kerupuk goreng pada penyimpanan hari ke-28 dan ke42. Hasil uji statistik tingkat ketengikan secara mutu hedonik (Tabel 29) menunjukkan hasil yang tidak signifikan. Ketengikan bahan pangan berlemak seperti kerupuk dapat disebabkan oleh oksidasi lemak pada saat penyimpanan. Timbulnya ketengikan pada penyimpanan ke-14 dengan rata-rata nilai mutu 4,79±0,32 (agak tengik) dari total nilai 10 (sangat tidak tengik) dapat menutup tingkat bau daging. Flavor khas daging yang rendah secara mutu hedonik (Tabel 29) pada penyimpanan hari ke-28 sebesar 5,42±1,61 (agak bau daging) dari total nilai 10 (sangat tidak bau daging) menurunkan tingkat kesukaan panelis terhadap kerupuk goreng. Flavor khas
daging yang hilang pada penyimpanan kurang dari 28 hari menimbulkan persepsi tidak suka terhadap bau kerupuk. Tingkat Kesukaan terhadap Kekerasan selama Penyimpanan.
Kekerasan
merupakan faktor kualitas yang sangat berpengaruh terhadap produk kerupuk goreng. Peningkatan kekerasan kerupuk goreng dapat mempengaruhi tingkat kesukaan masyarakat. Hasil analisis Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa lama penyimpanan berpengaruh sangat siginifikan (P<0,01) terhadap tingkat kesukaan kekerasan kerupuk goreng (Tabel 18). Peningkatan kekerasan pada hari ke-28 menurunkan tingkat kesukaan panelis terhadap kerupuk goreng. Hal ini disebabkan peningkatan kadar air yang mempengaruhi formasi matriks kerupuk menjadi lembek. Peningkatan kekerasan kerupuk goreng selama penyimpanan secara mutu hedonik yaitu sangat keras pada penyimpanan hari ke-28 tidak disukai panelis. Tingkat kekerasan kerupuk goreng menurut panelis pada penyimpanan hari ke-14 adalah keras dengan nilai sebesar 4,41±1,36 dari total nilai 10 (sangat tidak keras). Tingkat kekerasan tersebut bertahan sampai hari ke-28 (3,44±1,90), dan semakin bertambah keras pada penyimpanan hari ke-42 (2,89±1,78). Semakin tinggi tingkat kekerasan menandakan bahwa kerupuk memiliki tingkat kerenyahan yang rendah. Hasil uji hedonik dengan berbagai kriteria mutu menunjukkan bahwa sebagian besar panelis lebih menyukai kerupuk goreng dengan lama penyimpanan 14 hari dengan menggunakan plastik PP sebagai bahan pengemas. Pemilihan tingkat kesukaan ini berdasarkan pengurutan rangking data tingkat kesukaan panelis terhadap produk kerupuk dengan berbagai penyimpanan kerupuk goreng. Hasil skoring data uji hedonik menunjukkan bahwa kerupuk dengan lama penyimpanan 14 hari memiliki tingkat kesukaan tertinggi (nilai skor 8) dibandingkan kerupuk dengan lama penyimpanan 28 dan 42 hari. Penilaian tersebut berdasarkan pada nilai rata-rata tertinggi tingkat kesukaan (Tabel 19) kerupuk terhadap rasa daging, bau daging, kekerasan kerupuk, dan ketengikan kerupuk. Kerupuk dengan lama penyimpanan 14 hari memiliki tingkat rasa daging dan bau daging yang masih tinggi, tingkat kekerasan yang rendah (renyah), dan belum mengalami bau tengik secara mutu hedonik. Hal ini mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap kerupuk goreng. Hasil skoring pemilihan kerupuk goreng selama penyimpanan yang dapat dilihat pada Tabel 20.
Tabel
20. Hasil Skoring Pemilihan Kerupuk Goreng Terbaik selama Penyimpanan Penyimpanan
Peubah H-14
H-28
H-42
Warna
0
0
0
Rasa daging
2
1
1
Bau daging
2
1
1
Kekerasan
2
1
1
Ketengikan
2
1
1
Jumlah Penilaian
8
4
4
Keterangan : - kriteria penilaian (0, 1, dan 2) berdasarkan besarnya rata-rata hasil uji hedonik
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Pembuatan kerupuk dengan menggunakan empat formulasi yang berbeda yaitu penambahan tepung daging sapi sebanyak 0%, 10%, 20%, dan 30% sangat berpengaruh signifikan terhadap warna, bau daging, dan rasa daging kerupuk goreng. Hasil formulasi terbaik dari empat formulasi tersebut adalah penambahan tepung daging sapi sebanyak 10% dari total tepung tapioka yang digunakan. Densitas kamba kerupuk dipengaruhi oleh konsentrasi tepung daging sapi yang digunakan dan kadar air kerupuk mentah. Proses penyimpanan berpengaruh terhadap mutu kerupuk goreng yaitu peningkatan tingkat kekerasan, penurunan tingkat rasa dan bau daging. Faktor yang mempengaruhi penurunan mutu kerupuk goreng setelah penyimpanan adalah kadar air, aktivitas air, dan oksidasi lemak pada kerupuk goreng. Mutu kerupuk goreng tetap baik sampai penyimpanan hari ke-14. Saran Diperlukan bahan pengemas yang lebih baik dari plastik polipropilen (PP) dalam mempertahankan mutu kerupuk dari peningkatan kadar air bahan dan oksidasi selama penyimpanan.
UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat, ilmu dan hidayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Semoga amal penulis dapat diridhoi dan bernilai ibadah di hadapan-Nya. Amin. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Zakiah Wulandari, S.TP., M.Si., dan Tuti Suryati, S.Pt., M.Si., sebagai dosen pembimbing atas segala masukan, arahan, dan nasihatnya selama penelitian hingga selesainya penulisan skripsi. Ucapan terima kasih kepada Ir. B.N. Polii SU., dan Ir. Lilis Khotijah, SU., sebagai penguji ujian lisan. Semoga Allah SWT memberi balasan atas segala kebaikannya. Penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua yang telah memberikan cinta, kasih sayang, doa, dan semangat serta pendidikan kepada penulis untuk dapat menjadi orang yang lebih dewasa dan lebih baik dalam kehidupan. Hanya Allah SWT yang mampu membalas kebaikan yang agung itu. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kakak tercinta drh. Imam Sulistiana H. dan keluarga, atas saran-sarannya dan mampu menjadi contoh bagi penulis, juga kepada adik tersayang Titi S. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Harfan T.A., Wieke F., Ari Nurhayati, Tria N.A., dan Anindhita K., S.Pt., yang banyak membantu dalam menyelesaikan studi. Semoga Allah SWT memberi balasan atas segala kebaikannya. Terima kasih pula untuk keluarga Ode atas pengertian dan doanya, Salahudin A.A, Budiman, S.Pt., Risma P., S.Pt., Trias S., Delvia C.L., S.Pt., Hadan M.M., Omin S., Juliansyah S., Auma I., Tomi H. dan semua teman-teman Wisma Bidjie dan THT 41, semoga Allah tetap melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada mereka. Penulis mengucapkan terima kasih kepada staf Laboratorium Teknologi Hasil Ternak, staf Laboratorium Ruminansia Besar, staf Laboratorium Kimia Pangan Ilmu Teknologi Pangan, serta staf pegawai DIPTP, dan Program Hibah Kompetisi A2.
Bogor, Agustus 2008 Penulis
DAFTAR PUSTAKA Aditya, H.T. 2008. Sifat kimia tepung daging sapi yang dibuat dengan metode pengeringan berbeda serta pengaruhnya terhadap sifat mikrobiologi selama penyimpanan. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Akoh, C.C. 1996. New development in low calorie fats and oil substitutes. J. of Food Lipid 3: 223-232. Anggoro, D. C. 2007. Pembuatan tepung daging sapi sebagai produk antara dengan menggunakan metode pengeringan yang berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. AOAC. 1999. Official Methods of Analysis. 16th ed. Vol II. AOAC International, Gaithersburg, Maryland. Boccia, G.L., B.M. Dominguez, dan A. Aguzi. 2002. Total heme and non-heme iron in raw and cooked meats. J. of Food Sci 5: 1738-1741. Bolster, D.R., M.A. Pikosky, L.M. McCarty, dan N.R. Rodriguez. 2001. Exercise effect protein utilization in healthy children. American Society for Nutr. Sci. 131: 2659-2663. Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet dan M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan. Dalam: H. Purnomo dan Adiono. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Charles, D.J., William S., dan Anthony C. 1972. Snack food produck and process. Copyright 2004-2008 FreePatentsOnline.com Chun, H.K. dan C.T. Ho. 1997. Volatile nitrogen-containing compounds generated from Maillard reactions under simulated deep-fat frying conditions. J. of Food Lipid 4: 239-244. Damayanthi, E. dan E.S. Mudjajanto. 1995. Teknologi Makanan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Departemen Perindustrian. 1985. Standar Industri Indonesia: Mutu Minyak Goreng. Departemen Perindustrian Republik Indonesia, Jakarta. Departemen Kesehatan RI. 1981. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bharata Karya Aksara, Jakarta. Desphande, S.S. 1983. Functional properties of wheat bean composite flour. J. Food Sci. 48: 1659. Dewan Standardisasi Nasional. 1995. Daging Sapi. SNI-01-3947 Standardisasi Nasional Indonesia, Jakarta.
Djumali, Z., I. Nasution, Sailah dan M.S. Ma´arif. 1982. Teknologi Kerupuk. Buku Pegangan Petugas Lapang Penyebarluasan Teknologi Sistem Padat Karya. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Elyawati. 1997. Teknologi pengolahan kerupuk di P. K. Sumber Jaya. Laporan Praktek Lapang. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor. Fahey, G. dan Y.G. Noor. 2001. Hand Book of Halal Indonesian Beef. Meat and Livestock, Australia. Farrell, K.T. 1990. Spices, Condiment, and Seasonings. Van Nastrand Reinhold Publisher, New York. Fayle, S.E. dan J.A. Gerrad. 2002. The Maillard Reaction. Royal Society of Chemistry, Norwick, UK. Fellow, P.J. 1990. Food Processing Technology Principle and Practice. Ellis Horwood, New York. Food Science Australia. 2005. Water Activity. Julius Avenue Riverside Corporate Park Delhi, Australia. Fumiko, O. dan K. Yasuko. 2000. A study of kerupuk in Indonesia. Kagoshima Prefectural Jr. College, Natural Science. 47: 17 (Abstr.). Gibbons, J.D. 1975. Non Parametric Method for Quantitive Analysis. Alabama. Graham, K. 2000. Thick Weffles. Baker’s Journal, Guelp Food Technology Center. http : //www.gftc.ca [Desember 2000]. Grimm, C.C., S. W. Lloyd, J.A. Miller, dan A.M. Spainer. 1997. The analysis of food volatiles using direct thermal desorption. Dalam: R. Marsili (Editor). Techniques for Analyzing Food Aroma. Marcel Dekker, Inc. New York, USA. Hutchings, J.B. 1999. Food Color and Apperance 2nd. Aspen Publishers, Inc., Gaithersburg, Maryland. Ismunandar. 2005. Pembentukan Karsinogen dalam Makanan. www.maillardchive .com\
[email protected] [22 des 2005]. Labuza, T.P. dan M. Saltmarch. 1981. The Non-enzymatic Browning Reactions as Effect by Water in Foods. Dalam: Purnomo, H. Aktivitas Air dan Peranannya dalam Pengawetan Pangan. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Lavlenesia. 1995. Kajian beberapa pengembangan volumetrik dan kerenyahan kerupuk ikan. Tesis. Pogram Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Lawrie, R.A. 2003. Meat Science. Woodhead Publishing Limited. 6th ed. Cambridge, England. Kropf, D.H. 2004. Technology and Films. Encyclopedia of Meat Science Volume 3. Elsevier Academic Press, USA. Maarif, M.S. 1984. Studi Pengembangan Proses Pembuatan Tepung Tapioka dari Singkong Press. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor. Montgomery, J.L., F.C. Parrish, D.G. Olson, J.S. Dickson, dan S. Niebuhr. 2003. Storage and packaging effect on sensory and color characteristics of ground beef. J. Meat Sci. 64: 357-363. Medikasari. 2002. Bahan tambahan makanan : Fungsi dan penggunaannya dalam makanan. Makalah Falsafah Sains Institut Pertanian Bogor, Bogor. Muchtadi, T.R., Purwitno dan A. Basuki. 1988. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Murthy, U.M.N., Prakash P. Kumar dan W.Q. Sun. 2003. Mechanisms of seed ageing under different storage conditions for Vigna radiata (L.) Wilczek: lipid peroxidation, sugar hydrolysis, Maillard reactions and their relationship to glass state transition. J. of Experimental Botany 54 (384) : 1057-1067. Negishi, H., M. Nishida, Y. Endo dan K. Fujimoto. 2003. Effect of a modified deepfat fryer on chemical and physical characteristics of frying oil. J. AOCS 80: 162-166. Nel, S., J.F.R. Lues, E.M. Buys, P. Venter. 2003. The personal and general hygiene practices in the deboning room of a high throughput red meat abattoir. J. Food Control 15: 571-578. Niba, L.L., dan F.L.C. Jackson. 1999. Tapioca and tapioca flour: Consumption and potential. Seminar Cultural and Historical Aspects of Foods. Oregon State University, Corvallis. Ningsih, S.K. 2007. Karbohidrat dalam Bahan Makanan. http://www.google.com /search?q=cache:ACCbPWmVN3sJ:srikumalaningsih.files.wordpress.com/20 /11/i-karbohidrat.ppt+gelatinisasi+pati&hl=en&ct=clnk&cd=10&lr= lang_id. Purnomo, H. 1995. Aktivitas Air dan Peranannya dalam Pengawetan Pangan. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Reineccius, G. 1994. Source Book of Flavors. Chapman dan Hall, New York. Sauvageot, F.O. dan G.V. Blond. 1991. Effect of water activity on crispness of breakfast cereals. J. of Textures Studies. 4: 423-442.
Setyawan, W. 1999. Fisik: Indonesia Forum For Physis and Physis Management. http://www.eGroups.com/list/fisika_indonesia. Shahidi, F., P.K.J.P.D. Wanasundara dan U.N. Wanasundara. 1997. Changes in edible fat and oils during processing. J. of Food Lipid 4: 199-231. Suhardi, Suhardjo, Yuniarti, F. Kasijadi, W. Istuti, A. Budijono, Jumadi dan Bonimin. 2006. Pengkajian Inovasi Teknologi Pengolahan. http//www.jatim. litbang.deptan.go.id. Sulaeman, A., D.W. Giaud, L. Keeler, S.L. Taylor, dan J.A. Driskell. 2004. Effect of moisture content of carrot slices on the fat content, carotenoid content, and sensory characteristics of deep fried carrot chips. J. of Food Sci. 69: 450-455. Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan: B. Sumantri. PT Gramedia Pustaka, Jakarta. Syarief, R. dan H. Halid. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Arcan, Jakarta. Wianecki, M. dan W. Kołakowski 2007. Gelatinization parameters of starch and some cereal product, as determined thermomecanically from torque measurement. Food Sci. and Tech. 10 : issue 4. Wijandi, S., B. Djatmiko, Y. Haryadi, D. Muchtadi, Setijahartini, H. Syarif dan Kusupiyanti. 1975. Pengolahan kerupuk di Sidoharjo. Kerjasama Aneka Industri dan Kerajinan dengan Departemen Teknologi Hasil Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Winarno, F.G. 1993. Pangan: Gizi, Teknologi dan Konsumsi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Winarno, F.G. 1999. Minyak Goreng dalam Menu Masyarakat. Balai Pustaka, Jakarta. Winarno, F.G. dan S. Laksmi. 1973. Pigment dalam Pengolahan Pangan. Departemen Teknologi Hasil Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Wiratakusumah, M.A., D. Hermanianto, dan N. Andarwulan. 1989. Prinsip Teknik Pangan. Departeman Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor, Bogor. Wiriano, H. 1984. Mekanisme Teknologi Pembuatan Kerupuk. Balai Pengembangan Makanan Phytokimia, Badan Penelitian dan Pengembangan Indusrti Departemen Perindustrian, Jakarta.
Wood, J.D., R.I. Richardson, G.R. Nute, A.V. Fisher, M.M. Campo, E. Kasapidou, P.R. Sheard dan M. Enser. 2004. Effects of fatty acids on meat quality. J. Meat Sci. 66: 21 (Abstr). Wooton, M., D. Weeden and N. Munk. 1971. A rapid method for the estimation of starch gelatinization in processed food. J. Food Tech. 612-615.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Form Uji Mutu Hedonik Kerupuk Goreng
Kerupuk merah
Lampiran 2. Form Uji Hedonik Kerupuk Goreng
Kerupuk kuning
Sangat tidak keras
Lampiran 3. Hasil Uji Asumsi Peubah Mutu Hedonik Kekerasan Pemilihan Formulasi Terbaik Bau Tingkat Tingkat Uji Asumsi Rasa Warna Daging Ketengikan Kekerasan Kehomogenan √ X √ √ √ Kenormalan √ X √ √ √ Kebebasan Galat Keaditifan data
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Keterangan: Tanda (√) menunjukkan bahwa data tersebut memenuhi uji asumsi dan tanda (X) menunjukkan data tidak memenuhi uji asumsi
Lampiran 4. Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Bau Daging Pemilihan Formulasi Terbaik Perlakuan N Median Rataan Rangking Penyimpanan 0 hari
73
3,000
147,9
Penyimpanan 14 hari
73
3,000
157,4
Penyimpanan 28 hari
73
3,000
158,9
Penyimpanan 42 hari
73
3,000
121,9
Rataan Median
3,000
H = 9,02; Db = 3; P = 0,029tn Keterangan: tn = tidak nyata, Perlakuan tidak memberikan pengaruh terhadap respon (p > 0,05)
Lampiran 5. Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Ketengikan Pemilihan Formulasi Terbaik Perlakuan N Median Rataan Rangking Penyimpanan 0 hari
73
4,000
176,5
Penyimpanan 14 hari
73
2,000
85,1
Penyimpanan 28 hari
73
3,000
124,9
Penyimpanan 42 hari
73
4,000
199,5
Rataan Median
3,000
H = 88,10 ; Db = 3; P = 0,000** Keterangan: ** = sangat nyata, Perlakuan memberikan pengaruh terhadap respon (p < 0,01)
Lampiran 6. Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Ketengikan Pemilihan Formulasi Terbaik Perlakuan N Median Rataan Rangking Penyimpanan 0 hari
73
3,000
154,2
Penyimpanan 14 hari
73
3,000
144,3
Penyimpanan 28 hari
73
3,000
147,9
Penyimpanan 42 hari
73
3,000
139,6
Rataan Median
3,000
H = 1,17; Db = 3; P = 0,763tn Keterangan: tn = tidak nyata, Perlakuan tidak memberikan pengaruh terhadap respon (p > 0,05)
Lampiran 7. Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Kekerasan Pemilihan Formulasi Terbaik Perlakuan N Median Rataan Rangking Penyimpanan 0 hari
73
4,000
168,1
Penyimpanan 14 hari
73
3,000
105,3
Penyimpanan 28 hari
73
4,000
160,4
Penyimpanan 42 hari
73
4,000
152,3
Rataan Median
3.75
H = 24,47; Db = 3; P = 0,000** Keterangan: ** = sangat nyata, Perlakuan memberikan pengaruh terhadap respon (p < 0,01)
Lampiran 8. Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Rasa Pemilihan Formulasi Terbaik Perlakuan N Median Rataan Rangking Penyimpanan 0 hari
73
4,000
162,8
Penyimpanan 14 hari
73
4,000
142,3
Penyimpanan 28 hari
73
4,000
149,7
Penyimpanan 42 hari
73
3,000
131,2
Rataan Median
3,75
H = 5,43; Db = 3; P = 0,143tn Keterangan: tn = tidak nyata, Perlakuan tidak memberikan pengaruh terhadap respon (p > 0,05)
Lampiran 9. Tabel Sidik Ragam untuk Mutu Hedonik Tingkat Rasa Daging Pemilihan Formulasi Terbaik Sumber db JK KT F Hitung P Keragaman Penyimpanan 3 310,36 103,45 25,76 0,000** Error
116
465,81
Total
119
776,18
4,02
Keterangan: ** = Sangat nyata, Perlakuan memberikan pengaruh terhadap respon (p < 0,01)
Lampiran 10. Tabel Sidik Ragam untuk Mutu Hedonik Tingkat Bau Daging Pemilihan Formulasi Terbaik Sumber db JK KT F Hitung P Keragaman Penyimpanan 3 253,614 84,538 24,08 0,000** Error
116
407,324
Total
119
660,939
3,511
Keterangan: ** = Sangat nyata, Perlakuan memberikan pengaruh terhadap respon (p < 0,01)
Lampiran 11. Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Mutu Hedonik Warna Pemilihan Formulasi Terbaik Perlakuan N Median Rataan Rangking Penyimpanan 0 hari
30
4,795
47,5
Penyimpanan 14 hari
30
8,350
100,6
Penyimpanan 28 hari
30
6,975
72,7
Penyimpanan 42 hari
30
2,250
21,1
Rataan Median
5,5925
H = 89,31; Db = 3; P = 0,000** Keterangan: ** = sangat nyata, Perlakuan memberikan pengaruh terhadap respon (p < 0,01)
Lampiran 12. Tabel Sidik Ragam untuk Mutu Hedonik Tingkat Ketengikan Pemilihan Formulasi Terbaik Sumber db JK KT F Hitung P Keragaman Penyimpanan 3 35,576 11,859 1,91 0,132tn Error
116
719,700
Total
119
755,276
6,204
Keterangan: tn = tidak nyata, Perlakuan tidak memberikan pengaruh terhadap respon (p > 0,05)
Lampiran 13. Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Mutu Hedonik Kekerasan Pemilihan Formulasi Terbaik Perlakuan N Median Rataan Rangking Penyimpanan 0 hari
30
5,780
79,5
Penyimpanan 14 hari
30
4,950
67,3
Penyimpanan 28 hari
30
3,560
42,9
Penyimpanan 42 hari
30
2.200
28,3
Rataan Median
4,123
H = 44,42; Db = 3; P = 0,000** Keterangan: ** = sangat nyata, Perlakuan memberikan pengaruh terhadap respon (p < 0,01)
Lampiran 14. Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Bau Daging Kerupuk Goreng Selama Penyimpanan Perlakuan N Median Rata-rata Rangking Penyimpanan 0 hari*
70
4,000
-
Penyimpanan 14 hari
70
3,000
132,6
Penyimpanan 28 hari
70
2,000
94,3
Penyimpanan 42 hari
70
2,000
89,6
Rataan Median
2,333
H = 21,07 Keterangan:
DF = 2
P = 0,000**
* = tidak diuji secara statistik ** = Perlakuan memberikan pengaruh yang sangat nyata (P < 0,01)
Lampiran 15. Hasil Uji Asumsi Peubah Mutu Hedonik Kerupuk Goreng Selama Penyimpanan Bau Tingkat Tingkat Uji Asumsi Rasa Warna Daging Ketengikan Kekerasan Kehomogenan √ √ √ √ √ Kenormalan
√
X
√
X
√
Kebebasan Galat Keaditifan data
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
Keterangan: Tanda (√) menunjukkan bahwa data tersebut memenuhi uji asumsi dan tanda (X) menunjukkan data tidak memenuhi uji asumsi
Lampiran 16. Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Kekerasan Kerupuk Selama Penyimpanan Perlakuan N Median Rata-rata Rangking Penyimpanan 0 hari*
70
4,000
-
Penyimpanan 14 hari
70
4,000
159,9
Penyimpanan 28 hari
70
2,000
86,1
Penyimpanan 42 hari
70
1,000
70,5
Rataan Median
2.333
H = 86,51 Keterangan:
DF = 2
P = 0,000**
* = tidak diuji secara statistik ** = Perlakuan memberikan pengaruh yang sangat nyata (P < 0,01)
Lampiran
17.
Perlakuan
Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Ketengikan Kerupuk Goreng Selama Penyimpanan N Median Rata-rata Rangking
Penyimpanan 0 hari*
70
4,000
-
Penyimpanan 14 hari
70
3,000
134,4
Penyimpanan 28 hari
70
2,000
97,5
Penyimpanan 42 hari
70
2,000
85,0
Rataan Median
2,333
H = 25,07 Keterangan:
DF = 2
P = 0,000**
* = tidak diuji secara statistik ** = Perlakuan memberikan pengaruh yang sangat nyata (P < 0,01)
Lampiran 18. Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Rasa Daging Kerupuk Goreng Selama Penyimpanan Perlakuan N Median Rata-rata Rangking Penyimpanan 0 hari*
70
4,000
-
Penyimpanan 14 hari
70
3,000
141,9
Penyimpanan 28 hari
70
2,000
88,7
Penyimpanan 42 hari
70
2,000
85,9
Rataan Median
2.333
H = 37,79 Keterangan:
DF = 2
P = 0,000**
* = tidak diuji secara statistik ** = Perlakuan memberikan pengaruh yang sangat nyata (P < 0,01)
Lampiran 19. Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Warna Kerupuk Goreng Selama Penyimpanan Perlakuan N Median Rata-rata Rangking Penyimpanan 0 hari*
70
4,000
-
Penyimpanan 14 hari
70
4,000
115,3
Penyimpanan 28 hari
70
3,5000
106,2
Penyimpanan 42 hari
70
3,000
95,0
Rataan Median
3,500
H = 3,95
P = 0,139tn
DF = 2
Keterangan: tn = tidak nyata, Perlakuan tidak memberikan pengaruh terhadap respon (p > 0,05) * = tidak diuji secara statistik
Lampiran 20. Tabel Sidik Ragam untuk Mutu Hedonik Kekerasan Kerupuk Goreng Selama Penyimpanan Sumber db JK KT F Hitung P Keragaman Penyimpanan 2 35,645 17,822 5,79 0,004** Error
87
267,592
Total
89
303,236
3,076
Keterangan: ** = Sangat nyata, Perlakuan memberikan pengaruh terhadap respon (p < 0,01)
Lampiran 21. Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Bau Daging Kerupuk Goreng Selama Penyimpanan Perlakuan N Median Rata-rata Rangking Penyimpanan 0 hari*
30
4,000
-
Penyimpanan 14 hari
30
4,490
33,9
Penyimpanan 28 hari
30
6,075
49,7
Penyimpanan 42 hari
30
6,127
53,0
Rataan Median
5,564
H = 9,18 Keterangan:
DF = 2
P = 0,010**
* = tidak diuji secara statistik ** = Perlakuan memberikan pengaruh yang sangat nyata
Lampiran 22. Tabel Sidik Ragam untuk Mutu Hedonik Warna Kerupuk Goreng Selama Penyimpanan Sumber db JK KT F Hitung P Keragaman Penyimpanan 2 2,253 1,126 0,54 0,582tn Error
94
194,372
Total
96
196,625
2,068
Keterangan: tn = tidak nyata, Perlakuan tidak memberikan pengaruh terhadap respon (p > 0,05)
Tabel 23. Tabel Sidik Ragam untuk Mutu Hedonik Rasa Daging Kerupuk Goreng Selama Penyimpanan Sumber db JK KT F Hitung P Keragaman Penyimpanan 2 28,043 17,822 5,72 0,005** Error
87
213,093
Total
89
241,136
3,076
Keterangan: ** = Sangat nyata, Perlakuan memberikan pengaruh terhadap respon (p < 0,01)
Lampiran 24. Tabel Sidik Ragam untuk Kadar Air kerupuk mentah Formulasi yang Berbeda Sumber db JK KT F Hitung P Keragaman Penyimpanan 3 3,6861 1,2287 29,16 0,000** Error
8
0,3371
Total
11
4,0232
0,0421
Keterangan: ** = Sangat nyata, Perlakuan memberikan pengaruh terhadap respon (p < 0,01)
Lampiran
25.
Perlakuan
Uji Non-parametik (Kruskal-Wallis) untuk Hedonik Ketengikan Kerupuk Goreng Selama Penyimpanan N Median Rata-rata Rangking
Penyimpanan 0 hari*
30
4,000
-
Penyimpanan 14 hari
30
5,591
50,0
Penyimpanan 28 hari
30
5,223
44,0
Penyimpanan 42 hari
30
4,290
421
Rataan Median
5,564
H = 1,7
DF = 2
P = 0,428**
Keterangan: tn = tidak nyata, Perlakuan memberikan pengaruh terhadap respon (p > 0,05) * = tidak diuji secara statistik
Lampiran 26. Tabel Sidik Ragam untuk Aktivitas Air Kerupuk Goreng Selama Penyimpanan Sumber db JK KT F Hitung P Keragaman Penyimpanan 3 0,158329 0,052776 12,10 0,002** Error
8
0,034887
Total
11
0,193216
0,004361
Keterangan: ** = Sangat nyata, Perlakuan memberikan pengaruh terhadap respon (p < 0,01)
Lampiran 27. Tabel Sidik Ragam untuk Kadar Air Kerupuk Goreng Selama Penyimpanan Sumber db JK KT F Hitung P Keragaman Penyimpanan 3 62,791 62,791 16,03 0,001** Error
8
10,449
Total
11
73,240
1,306
Keterangan: ** = Sangat nyata, Perlakuan memberikan pengaruh terhadap respon (p < 0,01)
Lampiran 28. Tabel Sidik Ragam untuk Kekerasan Kerupuk Goreng Selama Penyimpanan Sumber db JK KT F Hitung P Keragaman Penyimpanan 3 1460356 486785 16,46 0,001** Error
8
236532
Total
11
1696888
29566
Keterangan: ** = Sangat nyata, Perlakuan memberikan pengaruh terhadap respon (p < 0,01 )
Lampiran 29. Hasil Uji Asumsi Peubah Rendemen Kerupuk Mentah dan Rendemen Kerupuk Goreng Empat Formulasi Penambahan Tepung Daging yang Berbeda Rendemen Kerupuk Rendemen Kerupuk Uji Asumsi Metah Goreng Kehomogenan
√
√
Kenormalan
√
√
Kebebasan Galat
√
√
Keaditifan Data
√
√
Keterangan: Tanda (√) menunjukkan bahwa data tersebut memenuhi uji asumsi
Lampiran 30. Hasil Uji Asumsi Peubah Densitas Kamba Kerupuk Goreng Empat Formulasi Penambahan Tepung Daging yang Berbeda Densitas Kamba Kerupuk Uji Asumsi Goreng Kehomogenan
√
Kenormalan
√
Kebebasan Galat
√
Keaditifan Data
√
Keterangan: Tanda (√) menunjukkan bahwa data tersebut memenuhi uji asumsi
Lampiran 31. Tabel Sidik Ragam untuk Rendemen Kerupuk Metah Sumber db JK KT F Hitung P Keragaman Penyimpanan 3 0,00 0,00 0,00 1,00 Error
8
167,43
Total
11
167,43
29566
Keterangan: tn = tidak nyata, Perlakuan tidak memberikan pengaruh terhadap respon (p > 0,05)
Lampiran 32. Tabel Sidik Ragam untuk Rendemen Kerupuk Goreng Sumber db JK KT F Hitung P Keragaman Penyimpanan 3 0,024570 0,008190 2,39 0,144 Error
8
0,027376
Total
11
0,051946
0,003422
Keterangan: tn = tidak nyata, Perlakuan tidak memberikan pengaruh terhadap respon (p > 0,05)
Lampiran 33. Tabel Sidik Ragam untuk Densitas Kamba Kerupuk Goreng Sumber db JK KT F Hitung P Keragaman Penyimpanan 3 8,7209 2,9070 22,40 0,00** Error
8
1,0384
Total
11
9,7593
0,1298
Keterangan: ** = Sangat nyata, Perlakuan memberikan pengaruh terhadap respon (p < 0,01 )