SEWINDU OTONOMI DAERAH PERSPEKTIF EKONOMI
Sanksi Pelanggaran Pasal 44: Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1987 Tentang Hak Cipta Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 1. Barang siapa dengan dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
SEWINDU OTONOMI DAERAH Perspektif Ekonomi Prakata: DR. Hadi Soesastro Penulis: Prof. DR. Bambang P.S. Brodjonegoro P. Agung Pambudhi Robert Endi Jaweng Ig. Sigit Murwito Firman Bakri Anom Boedi Rezha Rina Mardiana Lexy Armanjaya Rista Amallia MG. Westri Kekalih S. Thres Sanctyeka Desy Hariyati Teguh Dartanto
Penerbit Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Jakarta 2009
SEWINDU OTONOMI DAERAH: Perspektif Ekonomi Hak Cipta © KPPOD (Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah)
Pertama kali diterbitkan oleh KPPOD (Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah) Plaza GRI Lt. 15 Jalan H.R. Rasuna Said Kav.X-2 No.1 Jakarta 19250 Telp: +62 21 5226018 Fax: +62 21 5226027 website: http://www.kppod.org, email:
[email protected]
Perancang sampul dan tata letak: Y. Wahono
Hak cipta atas buku ini dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta. Dilarang memperbanyak karya tulis ini sebagian atau seluruh isi buku dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa seizin penerbit.
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi Cetakan I Jakarta: KPPOD, 2009 ix + 185 hal.; 17 cm x 23,5 cm ISBN: 602-953-750-4
Isi di luar tanggung jawab percetakan
Daftar Isi
Prakata ............................................................................................................... vii DR. Hadi Soesastro
Perspektif Umum Indonesia dan Otonomi Daerah: Antara Kebutuhan dan Kekhawatiran ....................................................................... 1
Prof. DR. Bambang P.S. Brodjonegoro
Isu-Isu Pilihan
A. Tulisan Peneliti KPPOD Tata Kelola Ekonomi dan Iklim Investasi Daerah ..................................... 13 P. Agung Pambudhi Pemekaran Daerah di Indonesia ................................................................. 26 Robert Endi Jaweng Distribusi dan Pengelolaan Dana Desentralisasi ........................................ 39 Ig. Sigit Murwito dan Boedi Rheza Desentralisasi Fiskal dan Penguatan Kapasitas Fiskal Daerah .................... 63 Ig. Sigit Murwito dan Boedi Rheza Peraturan Daerah ........................................................................................ 77 Firman Bakri Anom
B. Tulisan Terpilih Lomba Penulisan Artikel Otda “Good Regulatory Governance”: Pengelolaan Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi ......................................... 89
Rina Mardiana Membangun Nilai Solidaritas dalam Peraturan Daerah Pajak dan Retribusi ........................................... 107 Lexy Armanjaya Industri Kreatif sebagai Strategi Pembangunan Daerah dalam Menghadapi Globalisasi ................................................................ 119 Rista Amallia Komitmen, Konsistensi, Koneksi dan Deferensiasi: Membangun Keunggulan Daerah Mencapai Sukses dalam Memasarkan Daerah .................................................................................. 130
MG. Westri Kekalih S. Merajut Kepentingan, Menebar Kesejahteraan : Upaya Peningkatan Pelayanan Dasar Melalui Kerjasama Antar Daerah ............... 141
Thres Sanctyeka “Coopetition Strategy” dalam Pengembangan Jaringan Kerjasama Kawasan Perkotaan: Sebuah Pemikiran dalam Upaya Memperkuat Integrasi Kota di Indonesia ................................................... 153
Desy Hariyati Kerjasama Antar Daerah dan Peningkatkan Layanan Masyarakat .......... 164 Teguh Dartanto
Otda & Harapan Peran KPPOD Peran BKPM di Bidang Penanaman Modal di Era Otonomi Daerah .... 175 Muhammad Lutfi, Kepala BKPM Sewindu Otonomi Daerah Kabupaten Sidoarjo ...................................... 179 Win Hendrarso, Bupati Sidoarjo Pelaksanaan Otonomi Daerah dari Perspektif Dunia Usaha .................... 183 Hariyadi B. Sukamdani, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
vi
Prakata DR. Hadi Soesastro (Ketua KPPOD)
u
O
tonomi daerah merupakan perkembangan yang sangat berarti bagi bangsa dan negara Indonesia. Kesepakatan menerapkan otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkannya UU No. 22/1999 dan UU No.25/1999, dua undangundang yang dihasilkan secara terburu-buru karena dorongan keadaan. Pelaksanaannya kurang dari dua tahun setelah diundangkan merupakan keputusan yang luar biasa. Barangkali memang, seperti halnya dengan Proklamasi Kemerdekaan, jikalau segala perangkat yang diperlukan sudah harus tersedia terlebih dahulu, kesepakatan besar itu tidak akan pernah diambil. Namun, seperti juga Proklamasi Kemerdekaan, keputusan nekat ini tepat dan baik karena menjawab keinginan masyarakat dan tuntutan jaman. Pelaksanaan otonomi daerah merupakan tantang yang sangat besar. Selain karena persiapan yang minimal itu, besarnya tantangan ini merupakan akibat langsung dari keputusan untuk mendevolusikan kekuasaan ke tingkat kabupaten/ kota dalam kenyataan tatanan geografis Indonesia yang selain luas juga terdiri dari pulau-pulau. Ketidaksiapan ini segera terasa dalam pelaksanaan otonomi daerah, baik di tingkat lokal maupun di tingkat pusat. Biarpun demikian semua pihak mengerti bahwa jarum jam tidak dapat diputar balik. Maka pelaksanaan otonomi daerah merupakan pekerjaan yang harus diterima, bahkan menjadi suatu tugas suci (mission sacrée) untuk menyukseskannya.
vii
KPPOD, Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah didirikan untuk mengambil bagian dalam tugas suci ini, dan berawal dari suatu seminar dengan tema “Menyelamatkan Otonomi Daerah”. Tema seminar itu dipilih oleh karena kekhawatiran bahwa langkah besar ini bisa terkena sandungan yang besar pula. Delapan tahun sudah berlalu dengan selamat, dan syukur bahwa pelaksanaan otonomi daerah tidak menghasilkan bencana besar dalam arti mandegnya pemerintahan di suatu daerah atau gagalnya penyediaan jasa pelayanan masyarakat yang paling minimal oleh suatu pemerintah daerah. Namun demikian tidak berarti bahwa otonomi daerah telah berjalan dengan mulus. Di sana sini otonomi daerah masih terselenggara secara tersendat-sendat dan penuh kekurangan. Penyebab keadaan ini perlu dipelajari dengan seksama. Itu pulalah tujuan pendirian KPPOD. Perkembangan yang menggembirakan adalah besarnya kegairahan di berbagai kalangan, baik universitas, lembaga penelitian, lembaga swadaya masyarakat, maupun media, untuk mencari tahu tentang faktorfaktor penyebab dari “kegagalan” pelaksanaan otonomi daerah. Semua hasil penelitian ini perlu dikumpulkan secara sistematik dan dijadikan bahan untuk memperkaya pusat-pusat pembelajaran dan pengetahuan (learning and knowledge centers) mengenai otonomi daerah yang perlu diciptakan di berbagai lokasi di tanah air. Sejumlah kajian tentang pelaksanaan otonomi daerah menunjukkan berbagai faktor penyebab “kegagalan” dalam bidang-bidang penyelenggaraan oleh pemerintah daerah. Tetapi faktor-faktor ini tidak hanya terletak di tingkat pemerintahan atau masyarakat daerah tetapi seringkali bersumber di tingkat pusat dan bahkan mungkin merupakan akibat dari rancang-bangun (arsitektur) otonomi daerah itu sendiri. Yang diartikan dengan “kegagalan otonomi daerah” adalah keadaan di mana suatu kebijakan/peraturan/tindakan/program oleh pemerintah daerah tidak membawa perbaikan bagi kehidupan masyarakat di daerah, secara ekonomi, politik, dan sosial, yang merupakan tujuan hakiki dari otonomi daerah. Penggunaan istilah ini adalah untuk menawarkan suatu kerangka analisa bagi kebijakan yang diawali dengan penetapan tipologi “kegagalan”, seperti halnya dalam analisa ekonomi mikro mengenai bentuk-bentuk dan sebab-sebab “kegagalan pasar” (market failure). Kerangka analisa ini sekaligus dapat membantu mengidentifikasi langkah kebijakan yang harus diambil untuk mengatasinya, termasuk “intervensi” oleh pemerintah pusat. Yang akan segera menjadi jelas adalah bahwa dalam hubungan dengan bentuk kegagalan tertentu intervensi oleh pemerintah pusat bukan merupakan jawaban, dan bahkan intervensi pemerintah pusat justru dapat memperparah keadaan, baik
viii
karena gejala yang dikenal sebagai “kegagalan pemerintah” (government failure) atau pun karena kebijakan pemerintah pusat sendiri yang menjadi sumber persoalan. Kesemerawutan atau carut marutnya masalah penerbitan peraturan daerah (perda) dapat bersumber dari rendahnya kapasitas di daerah atau buruknya proses keterlibatan masyarakat daerah, tetapi dapat juga disebabkan oleh lemahnya proses tinjauan birokratik dan judisial (bureaucratic and judicial review) di tingkat pusat. Demikian pula, pelaksanaan “one stop service” di daerah guna memperlancar penanaman modal dan kegiatan usaha seringkali juga terhambat oleh peraturanperaturan di tingkat pusat. Oleh karena itu penataan kembali pengaturan dan hubungan kerja antara pusat dan daerah merupakan upaya inti dari program besar konsolidasi yang kiranya perlu segera dilansir. Sewindu otonomi daerah ini bisa dilihat sebagai periode “transisi bagi otonomi daerah”, dan kini Indonesia perlu memasuki periode “konsolidasi otonomi daerah” untuk memantapkan pelaksanaan otonomi daerah. Agenda konsolidasi ini juga dapat terdiri dari upaya besar-besaran untuk meningkatkan kemampuan (sumber daya manusia dan adminsitratif ) di tingkat daerah, penyesuaian mendasar struktur kepemerintahan di tingkat pusat sejalan dengan pemantapan otonomi daerah (misalnya perampingan sejumlah departemen pemerintah pusat), dan juga moratorium pemekaran daerah. Buku ini diterbitkan sebagai upaya KPPOD merekam, menganalisa, dan merenungkan perkembangan pelaksanaan otonomi daerah selama delapan tahun terakhir, yang sekaligus merupakan ajakan untuk mempersiapkan dan menyambut periode “konsolidasi otonomi daerah” itu. ] ] ]
ix
Perspektif Umum Indonesia dan Otonomi Daerah: Antara Kebutuhan dan Kekhawatiran Prof. DR. Bambang P.S. Brodjonegoro
Indonesia dan Otonomi Daerah: Antara Kebutuhan dan Kekhawatiran Prof. DR. Bambang P.S. Brodjonegoro*
u
S
ejak 1 Januari 2001 otonomi daerah mulai diberlakukan dan mulailah era Indonesia sebagai negara yang terdesentralisasi. Sulit dibayangkan kalau mengingat bahwa selama lebih dari 32 tahun Indonesia yang terdiri dari puluhan ribu pulau, wilayah perairan dan daratan yang luas, serta banyak etnis serta bahasa, merupakan negara yang sangat tersentralisasi. Pemerintah daerah pada masa itu, tingkat propinsi maupun kabupaten tidak lebih dari sekedar “cabang” dari pemerintah pusat yang sangat kuat di Jakarta. Istilah daerah tingkat satu untuk propinsi dan tingkat dua untuk kabupaten jelas menggambarkan hirarki pemerintahan daerah yang jauh dari konsep otonomi daerah. Memang sulit disimpulkan bahwa otonomi daerah pasti lebih baik dari tidak ada otonom daerah. Banyak pihak berpendapat bahwa salah satu keberhasilan pemerintah orde baru memacu pertumbuhan ekonomi nasional serta memperbaiki kesejahteraan rakyat sebagian disumbangkan oleh sistim sentralisasi yang ditunjang dengan perencanaan pembangunan yang komprehensif dan meliputi semua tingkat pemerintahan. Sebaliknya, banyak yang mengeluh bahwa keberadaan otonomi daerah malah membuat daerah tidak terlalu peduli dengan tujuan pembangunan ekonomi dan upaya memperbaiki kesejahteraan masyarakat. Elite daerah dianggap hanya bersaing merebut kekuasaan dan tidak peduli pembangunan apalagi kesejahteraan masyarakat. * Ketua KPPOD (2005-Februari 2009), Guru Besar FE UI dan Direktur Reseach Islamic Development Bank (IDB)
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
Lepas dari baik buruknya otonomi daerah, tidak dapat dielakkan bahwa otonomi daerah lebih dari sekedar hanya dinamika politik dan ketidakpuasan daerah. Perlu ditegaskan bahwa otonomi daerah adalah kebutuhan bangsa dan Negara Indonesia dalam rangka mewujudkan Negara Indonesia yang bisa menyejahterakan masyarakatnya. Seperti disinggung di atas, Indonesia terlalu besar dan terlalu beragam untuk hanya dikendalikan satu pemerintahan pusat, betapapun kuatnya. Keragaman Indonesia yang luar biasa ditambah kondisi alamiah sebagai negara kepulauan sebenarnya adalah alasan utama mengapa Indonesia butuh otonomi daerah. Sejarah membuktikan bahwa sentralisasi yang dominan hanya akan menciptakan resistensi di tingkat daerah. Berbagai gerakan separatis yang bernuansa kedaerahan membuktikan resistensi tersebut, ditambah dengan kenyataan bahwa dalam sejarahnya Indonesia mempunyai banyak kerajaan serta pernah mengalami sistim federalism meskipun hanya sebentar. Kebutuhan akan negara yang desentralistis dengan otonomi daerah yang kuat juga didukung dengan adanya demokratisasi tahun 1998. Munculnya alam demokratis otomatis mendorong pihak daerah untuk meminta haknya mengurus daerahnya sendiri tanpa intervensi berlebihan dari pemerintah pusat. Sulit rasanya membayangkan suatu negara demokratis yang sentralistis. Lebih mungkin membayangkan negara yang tidak demokratis, bahkan diktator, tapi melakukan desentralisasi. Cina adalah contoh yang paling jelas mengenai kuatnya pemerintah daerah di bawah pengawasan ketat dan sentralisasi kekuasaan politik pemerintah pusat. Memang masih harus dibuktikan apakah otonomi daerah nantinya akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan menyejahterakan rakyat. Dengan otonomi daerah, paling tidak penanggung jawab pemerintahan diberikan kepada pihak yang lebih dekat kepada masyarakat lokal yaitu pemerintah daerah kabupaten dan kota. Bahkan pemberdayaan pemerintah desa yang sedang dilakukan akan makin mendekatkan pemerintahan dengan masyarakat. Dengan pemerintah yang lebih dekat dengan masyarakat, semua kebutuhan masyarakat setempat bisa lebih cepat diidentifikasi dan diakomodasi. Pengambilan keputusan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan lokal dapat segera dilakukan dan akhirnya, masyarakat akan menikmati layanan publik yang lebih baik terutama untuk layanan publik dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Pelayanan publik yang lebih baik akan membuat masyarakat Indonesia makin produktif dan berkontribusi lebih besar kepada percepatan perbaikan kondisi perekonomian nasional. Pelayanan publik dasar yang lebih baik juga akan efektif mengurangi
2
Indonesia Dan Otonomi Daerah: Antara Kebutuhan Dan Kekhawatiran
tingkat kemiskinan absolute dan sekaligus mengurangi dampak negative dari kesenjangan pendapatan antar kelompok masyarakat atau antar daerah. Kekhawatiran yang kemudian muncul adalah seberapa besar komitmen pemerintah daerah untuk terus memperbaiki kualitas layanan publik tersebut. Dengan skema desentralisasi fiskal yang ada saat ini, sebagian besar transfer yang diterima pemerintah daerah berbentuk “block grant” dimana pemda mempunyai diskresi penuh untuk membelanjakan transfer tersebut. Ide dasarnya adalah memberikan keleluasaan kepada pemda untuk mengalokasikan anggarannya sesuai kebutuhan prioritasnya masing-masing. Di masa sentralisasi, alokasi APBD sebagian besar sudah ditentukan pusat sehingga memunculkan beberapa kasus alokasi belanja yang tidak optimal atau tidak efisien. “Block grant” diharapkan dapat memperbaiki kekurangan tersebut sekaligus memberikan otoritas kepada pemda sesuai semangat otonomi untuk melakukan apa yang buat mereka adalah terbaik bagi daerahnya. Setelah 8 tahun otonomi daerah berjalan, harus disadari bahwa tujuan ideal belum tercapai dan masih banyak pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan, disertai tentunya dengan komitmen kuat. Masih banyak pemda yang belum sadar atau peduli akan pentingnya memperbaiki layanan dasar publik sekaligus memenuhi standar pelayanan minimum nasional. Bahkan banyak kasus dimana pemda terjebak membangun proyek “mercusuar” tanpa mengurangi kemiskinan secara signifikan. Kekurangpedulian pemda terhadap kualitas layanan dasar publik tersebut juga memancing reaksi dari departemen teknis terkait yang menganggap bahwa kualitas layanan dasar publik setelah otonomi daerah lebih buruk dibanding masa sentralisasi dimana tanggung jawab tersebut langsung ditangani mereka. Demokratisasi yang sudah berlangsung sejak 1998 dan dilanjutkan dengan penerapan pemilihan kepala daerah serta anggota DPRD secara langsung sebenarnya merupakan langkah penting untuk menyempurnakan proses desentralisasi dan otonomi daerah. Adanya kepala daerah dan anggota DPRD yang dipilih langsung dapat mendorong adanya “good governance” di daerah dalam bentuk “check and balance” dimana masyarakat lokal yang sudah menentukan hak pilihnya dapat meminta pertanggungjawaban langsung terhadap kebijakan pemda melalui anggota DPRD. Karena anggota DPRD pun dipilih langsung maka anggota DPRD yang dianggap kurang aspiratif menyuarakan aspirasi masyarakat akan mengecewakan para pemilihnya dan tipis peluangnya untuk dipilih lagi lima tahun berikutnya. Dengan pengawasan langsung dari masyarakat lokal, diharapkan pemda lebih serius untuk memprioritaskan perbaikan layanan dasar publiknya dan konsekuensinya,
3
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
pemda bersama DPRD diharapkan untuk mengalokasikan belanja yang memadai dalam APBD untuk keperluan tersebut. Politik anggaran di tingkat daerah adalah perwujudan nyata dari otonomi daerah dimana pemda bersama DPRD diuji komitmennya dalam memperbaiki kesejahteraan masyarakat melalui prioritas belanja APBD dan masyarakat lokal harus mempunyai cukup informasi mengenai alokasi belanja APBD itu sendiri. Dengan kata lain, sebagai bagian dari “good governance”, pemda dituntut untuk transparan kepada masyarakat lokal dalam berbagai kebijakan publik. Euphoria pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung memang bisa dianggap sebagai suatu pemborosan sumber daya apabila dilihat dari kenyataan bahwa saat ini di Indonesia ada 33 provinsi dan 491 kabupaten/kota. Karena kesemua daerah tersebut menyelenggarakan pemilihan langsung untuk gubernur, bupati, maupun walikota maka akan terselenggara sekitar 524 pilkada langsung. Mengingat masa jabatan pimpinan daerah tersebut adalah 5 tahun maka tiap tahun rata-rata diselenggarakan 104 pilkada langsung yang artinya setiap minggu ada 2 pilkada di seluruh Indonesia. Hura-hura politik ini tentunya mengkhawatirkan sementara pihak yang tahu persis bahwa Indonesia bukanlah negara kaya atau berlebih yang dapat menghamburkan begitu saja sumber dayanya untuk kegiatan politik yang tidak murah biayanya. Menjadi makin mahal lagi kalau melihat kenyataan bahwa politik sangat terkait dengan sejumlah uang yang tidak sedikit. Sudah menjadi rahasia umum bahwa menjadi anggota legislative daerah, dan apalagi kepala daerah sangat mahal harganya dan dengan resiko yang besar karena betapapun besarnya uang yang dikeluarkan, tidak ada jaminan bahwa mereka akan menang dalam pilkada. Hal ini mungkin dapat juga menjadi salah satu argument bahwa otonomi daerah berpotensi menimbulkan pemborosan dalam pengelolaan perekonomian nasional. Pendewasaan politik lokal yang lebih cepat karenanya menjadi salah satu agenda penting dalam jangka pendek untuk mengurangi pemborosan tersebut. Pemborosan yang terjadi selama pilkada ternyata tidak berhenti sampai di situ tetapi berlanjut selama pemenang menjalani tugasnya selama 5 tahun. Utang politik yang besar tersebut tentunya harus dibayar dan dalam beberapa kasus akhirnya menyeret pimpinan daerah dan anggota DPRD ke meja pengadilan karena kasus korupsi. Maraknya kasus korupsi di daerah yang muncul di media massa kemudian menciptakan kesimpulan baru bahwa desentralisasi yang terjadi saat ini juga mendorong terjadinya desentralisasi korupsi. Dengan kata lain, otonomi daerah mendapat tantangan berat untuk bisa menghapus citra bahwa daerah yang otonom cenderung lebih bebas melakukan korupsi karena penyalahgunaan wewenang yang
4
Indonesia Dan Otonomi Daerah: Antara Kebutuhan Dan Kekhawatiran
tidak lagi dikontrol dengan ketat oleh pusat. Untuk bisa segera menghapus virus korupsi di daerah, pilkada langsung harus digunakan sebagai sarana optimal untuk meniadakan politik uang sejak awal proses pilkada. Partai politik yang biasanya akan berkoalisi mengusung calon pimpinan daerah serta menjadi pintu masuk bagi anggotanya menjadi anggota legislative, harus segera mereformasi dirinya dengan membuang jauh-jauh pendapat bahwa berpolitik itu mahal harganya dan terbatas. Dengan biaya politik yang lebih terjangkau, akan lebih mudah merekrut calon pimpinan daerah dan anggota legislative daerah yang berkualitas dan berintegritas. Perlu diminimalkan praktik balas budi atau ganti rugi yang berkaitan dengan biaya semasa berkampanye menjadi pimpinan daerah dan anggota legislative daerah tersebut. Dibolehkannya calon independen non partai mengajukan diri menjadi pimpinan daerah sebenarnya bermakna bagus karena berusaha menjadikan politik lebih bersih dan terjangkau banyak pihak yang tertarik dan berkualitas. Pertanyaan besar yang kemudian menjadi harapan sebagian besar masyarakat Indonesia adalah berapa lama dibutuhkan waktu sampai proses pilkada langsung menghasilkan pemimpin maupun anggota legislative daerah yang aspiratif dan mengutamakan kesejahteraan masyarakat. Berapa lama juga waktu yang dibutuhkan agar partai politik sadar bahwa permainan politik yang mereka lakukan selama pilkada maupun pemilu belum tentu merupakan keinginan sebagian besar konstitutennya dan ketika permainan tersebut dirasakan melanggar tata krama maka sebagian masyarakat memilih meninggalkan parpol tersebut atau bahkan tidak peduli lagi dengan politik sama sekali. Meskipun masih terbatas, ternyata Indonesia sudah menghasilkan beberapa kepala daerah yang patut menjadi teladan koleganya di daerah-daerah lainnya. Kepala daerah seperti ini umumnya dianggap berprestasi karena berani melakukan terobosan kebijakan, inovatif, mempunyai prioritas kebijakan yang tegas, serta jujur dan bersih. Kepala daerah yang langka ini biasanya mendasarkan semua kebijakan dan tindakannya pada kebutuhan masyarakat lokal yang paling esensial. Dalam kebijakannya tersebut, upaya perbaikan layanan publik yang terkadang bahkan jauh melebihi standar pelayanan minimum nasional menjadi prioritas utama dan tentunya didukung penuh sebagian besar masyarakat lokalnya. Memudahkan akses masyarakat kepada layanan publik dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur pedesaan seharusnya merupakan strategi standar semua kepala daerah terpilih di Indonesia karena dengan bermodalkan hal tersebut maka terobosan kebijakan dan percepatan pertumbuhan akan lebih mudah tercapai. Inovasi kebijakan boleh dibilang adalah kunci keberhasilan para kepala daerah tersebut dan mereka tidak terjebak pada “business
5
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
as usual” alias sekedar mengerjakan pekerjaan rutin ataupun pada sikap tidak peduli terhadap masyarakat lokal. Dari sekilas profil para kepala daerah yang dianggap berhasil tersebut ternyata sebagian besar berlatar belakang pengusaha atau eksekutif di perusahaan swasta. Beberapa dari pendekatan kebijakan yang mereka lakukan dapat dikategorikan “out of the box”, tetapi pada dasarnya mereka dapat dikategorikan sebagai pimpinan yang visioner. Namun dalam usia otonomi daerah yang relatif muda dan memang masih terbatasnya pasokan calon pimpinan daerah yang mumpuni, kelompok yang berhasil tersebut masih tergolong kelompok minoritas dengan jumlah di bawah 10% dari total kepala daerah yang ada. Artinya, masih ada 90% daerah yang belum beruntung memiliki kepala daerah yang sudah dipilih langsung dan dianggap berkualitas. Dengan kata lain, impian otonomi daerah untuk menyejahterakan mayoritas masyarakat Indonesia masih membutuhkan perjalanan panjang dan kerja keras melahirkan calon-calon pimpinan kepala daerah yang mempunyai kemampuan membalikkan keadaan dalam sekejap sekaligus menciptakan harapan akan kemajuan daerahnya di masa depan. Politik uang yang masih marak di dalam proses pemilhan kepala daerah berpotensi menjerumuskan banyak kepala daerah terpilih dalam praktek korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) yang ujungnya tidak hanya membuat APBD menjadi tidak bergigi tetapi juga membuat kemiskinan dan pengangguran daerah tidak pernah berkurang. Masyarakat lokal yang adil dan makmur menjadi semakin jauh dari kenyataan dan yang terjadi adalah eksploitas segelintir elite politik daerah terhadap kekayaan dan potensi daerah itu sendiri. Upaya perbaikan signifikan kualitas layanan publik dasar terhadap masyarakat menjadi jauh panggang dari api. Ketika jumlah kepala daerah yang menjadi idaman masyarakat masih jauh dari cukup untuk lebih dari 400 kabupaten dan kota di Indonesia, masalah lain yang lebih pelik makin membesar dalam bentuk pemekaran daerah. Meskipun timbul tenggelam, permasalahan pemekaran daerah tetap menghantui sisi positif otonomi daerah bahkan sampai hari ini. UU 22/1999 yang kemudian diubah menjadi UU 32/2004 memang membuka peluang terjadinya pemekaran daerah dengan syarat-syarat tertentu. Dengan menyelami semangat dari kedua UU tersebut, dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat tersebut pastilah syarat yang ketat dan tidak mudah untuk dipenuhi. Selain itu kedua UU tersebut juga membuka peluang untuk penggabungan daerah yang tentunya akan mengurangi jumlah daerah otonom di Indonesia. Kenyataan selama hampir 9 tahun pelaksanaan otonomi daerah menunjukkan keadaan yang mengkhawatirkan, dan sebenarnya
6
Indonesia Dan Otonomi Daerah: Antara Kebutuhan Dan Kekhawatiran
sudah harus bisa ditebak dengan mempelajari karakter bangsa Indonesia sendiri. Jumlah kabupaten dan kota sebanyak 348 ditahun 2001 telah berkembang pesat menjadi mendekati 500 pada tahun 2009 dan belum ada indikasi bahwa jumlah tersebut tidak akan bertambah di kemudian hari. Dengan mengesampingkan periode pemilu yang melarang adanya pemekaran daerah maka perkiraan laju pertumbuhan jumlah daerah setiap tahunnya mencapai 10%. Pertumbuhan ini tentunya mencengangkan apabila dibanding semangat dasar dari pemekaran daerah dalam UU 22/99 maupun UU 32/2004. Fenomena ini tentunya bukan pertama kali di dunia karena Filipina yang sudah menjalani proses otonomi daerah sejak 1991 juga mengalami pertumbuhan jumlah propinsi yang pesat dengan banyak munculnya propinsi baru. Namun tentunya ada satu perbedaan mendasar dimana otonomi daerah di Filipina berada di tingkat propinsi sedangkan di Indonesia di tingkat kabupaten/kota dimana ada kemungkinan jumlah daerah otonomi di Indonesia semakin besar dan menjurus tidak terkendali. Akar permasalahan pemekaran daerah yang masih tidak terkendali ini ternyata mirip dengan pemilihan kepala daerah yang belum sepenuhnya menghasilkan pimpinan idaman, yaitu politik uang. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagian besar usulan pemekaran daerah berasal dari segelintir elite yang tentunya mempunyai kekuatan politik dan financial serta memanipulasi masyarakat setempat dengan berbagai isu yang “membakar” sebagai landasan suara politik mereka. Alasan klasik yang hampir selalu muncul dalam isu pemekaran daerah adalah kurangnya perhatian pemerintah kabupaten yang ada terhadap sebagian daerah dan masyarakatnya atau masih tertinggalnya sebagian wilayah kabupaten sebagai akibat kurang adilnya alokasi anggaran dari pemerintah kabupaten. Sebagian dari alasan tersebut mungkin benar adanya, namun mengusulkan pembentukan daerah baru sebagai solusi bukanlah jawaban yang tepat dari sisi perbandingan manfaat dan biaya. Bahkan kecenderungan yang terjadi adalah melahirkan daerah baru sebagai jalan pintas permasalahan daerah yang sebenarnya masih bisa dipecahkan dengan cara lain yang tidak merugikan keuangan dan ekonomi negara. DPR sebagai institusi perwakilan rakyat tertinggi di Indonesia juga tidak berpartisipasi dalam upaya mencegah pemborosan sumber daya negara bernama pemekaran daerah. Begitu dominannya undang-undang pembentukan daerah baru sebagai produk legislasi DPR menunjukkan kegagalan para anggota dewan yang dipilih langsung rakyat untuk menjaga amanat mensukseskan otonomi daerah dan tidak menjadikan otonomi daerah sebagai “high cost economy”. Sudah bukan rahasia lagi bahwa pengusulan daerah baru mempunyai “tarif ” khusus tergantung pada tingkat
7
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
kesulitan dan posisi strategis daerah. PP pemekaran daerah yang coba dibuat untuk meredam laju pemekaran daerah serta berbagai himbauan untuk moratorium pemekaran daerah seolah angin lalu ketika proses tersebut masuk langsung ke DPR dengan pengusung sekelompok elite yang mempunyai kepentingan langsung terhadap munculnya daerah baru tersebut. Di dalam sistim perekonomian yang berdasarkan mekanisme pasar, mekanisme insentif yang tepat akan bisa mengarahkan perekonomian menuju tujuan yang diinginkan. Untuk melawan tren pemekaran daerah yang seolah tidak dapat diberhentikan maka perlu ada insentif yang jelas dan menarik agar daerah tidak tertarik memekarkan diri dan bahkan sebaliknya, berkeinginan untuk bergabung dengan daerah tetangganya. Tanpa mekanisme insentif, tidak akan pernah terjadi penggabungan daerah secara sukarela dan upaya penggabungan paksa pun akan menghadapi resistensi yang sangat keras. Pengalaman Jepang yang berhasil mengurangi jumlah pemerintah daerahnya secara drastic patut dijadikan contoh karena mereka melakukannya dengan insentif fiskal yang menjanjikan tambahan transfer kepada daerah-daerah yang mau melakukan penggabungan secara sukarela. Untuk Indonesia yang berada dalam tahap awal otonomi daerah, ada dua pendekatan yang bisa dilakukan untuk mendorong penggabungan daerah dan sekaligus meredam pemekaran daerah. Insentif fiskal penggabungan daerah harus menjadi instrument utama dimana unsur emosional pemekaran daerah harus diganti dengan unsur rasional melalui insentif tersebut sehingga penggabungan daerah akan menciptakan manfaat lebih besar dibandingkan pemekaran daerah. Pendekatan lainnya adalah melalui penerapan standar pelayanan minimum nasional dimana setiap daerah dituntut untuk mampu memenuhi standar tersebut terutama yang berkait dengan layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Daerah yang tidak sanggup mencapai standar tersebut dalam jangka waktu tertentu dianggap tidak mampu memenuhi fungsinya sebagai daerah otonomi harus bergabung dengan daerah tetangganya dan otomatis statusnya sebagai daerah otonom hilang. Dengan jumlah daerah otonomi sudah mencapai 520 (kabupaten, kota, dan propinsi), secara politis sangat sulit untuk melakukan perampingan jumlah daerah maupun melakukan penggabungan baik secara sukarela maupun paksa. Tantangan bagi setiap pihak adalah bagaimana masing-masing daerah tersebut dapat memenuhi kebutuhannya sendiri dengan sumber daya terbatas di pusat maupun daerah. Dana perimbangan rata-rata per daerah dengan sendirinya makin kecil dengan makin banyaknya daerah baru meskipun pemerintah tiap tahun menaikkan
8
Indonesia Dan Otonomi Daerah: Antara Kebutuhan Dan Kekhawatiran
jumlah APBN dan juga jumlah dana perimbangan, terutama Dana Alokasi Umum (DAU). Di pihak lain, biaya penyelenggaraan pemerintahan membengkak dengan bertambahnya jumlah pegawai serta pembentukan unit pemerintahan daerah baru. Dalam kondisi yang jauh dari efisien seperti itu harus ada jalan keluar yang dapat menciptakan peluang melakukan efisiensi. Kerjasama antara daerah adalah salah satu wahana yang dapat mendorong efisiensi namun belum banyak dimanfaatkan. UU 32/2004 sudah menyebutkan tentang kerjasama antar daerah dalam salah satu pasalnya namun sifatnya tidak mengikat dan baru dalam taraf menganjurkan. Untuk mengimbangi pemekaran daerah yang begitu cepat, kerjasama daerah harus diarahkan menjadi suatu keharusan terutama untuk daerah-daerah yang bertetangga. Dengan memanfaatkan prinsip skala ekonomi, maka kerjasama tersebut dapat diarahkan untuk berbagai layanan dasar masyarakat dari pendidikan sampai penyediaan air bersih, dari sistim transportasi massal sampai pembuangan sampah. Kerjasama daerah yang ideal sebaiknya melibatkan paling tidak satu daerah perkotaan atau pemerintah kota dan lebih dari satu daerah pedesaan atau pemerintah kabupaten. Agar kerjasama antar daerah menjadi operasional dan efektif, setiap daerah yang berpartisipasi harus menyisihkan bagian dari APBDnya untuk kerjasama suatu layanan masyarakat. Idealnya, Undang-undang mengenai otonomi daerah di masa depan memungkinkan dibentuknya suatu unit pemerintahan yang khusus menangani pelayanan masyarakat tertentu seperti halnya di Amerika Serikat dimana dikenal water district, mass transit district, school district, health district. Sejauh ini pembahasan mengenai otonomi daerah bisa dikatakan tidak bisa terlepas dari prinsip ekonomi, disamping prinsip politik, dengan menekankan pada manfaat dari adanya otonomi daerah dan desentralisasi terhadap perekonomian nasional. Otonomi daerah dapat dianggap suatu kegagalan apabila keberadaannya berdampak negative terhadap perekonomian nasional dan hanya menghabiskan sumber daya yang terbatas dalam waktu yang singkat. Sebaliknya, tidak juga bisa dikatakan bahwa otonomi daerah dan desentralisasi adalah obat dari segala penyakit ekonomi nasional yang menjamin akan tercapainya perbaikan ekonomi setelah penerapannya. Otonomi daerah dan desentralisasi harus dilihat sebagai upaya memperbaiki manajemen perekonomian nasional melalui pemberdayaan manajemen perekonomian daerah yang lebih tahu tentang kebutuhan masyarakat dan potensi daerah sendiri. Manajemen perekonomian daerah itu sendiri tentunya tidak bisa dibiarkan begitu saja menjalankan kebijakan ekonomi daerahnya tanpa memperhatikan kondisi sekelilingnya terutama kebijakan ekonomi daerah lainnya.
9
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
Sinkronisasi perencanaan dan kebijakan ekonomi antar daerah adalah tugas berat pemerintah pusat di era otonomi daerah dan desentralisasi, yang tentunya tidak terjadi pada masa orde baru yang sentralistis. Tidak adanya sinkronisasi dan koordinasi antar perekonomian daerah hanya akan membawa kemunduran dan inefisiensi bagi daya saing perekonomian nasional. Keunikan setiap perekonomian daerah harus dapat diramu oleh pemerintah pusat untuk menjadi sesuatu kekuatan ekonomi nasional yang menciptakan keterkaitan dan integrasi ekonomi antar daerah. Persaingan ekonomi antar daerah harus terus dikedepankan dan difasilitasi tetapi pemerintah pusat harus mampu bertindak sebagai penengah yang menjaga iklim persaingan yang sehat sekaligus menjaga keseimbangan perekonomian nasional sendiri. Apabila melihat tren perekonomian dunia maka integrasi ekonomi perlu diperkuat di tingkat propinsi. Otonomi daerah terbesar memang dimiliki pemerintah kabupaten dan kota namun harus disadari bahwa perekonomian kabupaten/kota tergolong perekonomian berskala kecil dengan segala keterbatasan dan potensi inefisiensi. Dengan perekonomian dengan skala tersebut, sulit diharapkan bahwa perekonomian kabupaten/kota tersebut dapat berdiri sendiri apalagi menjadi perekonomian yang kompetitif. Dengan memakai analogi negaranegara Eropa seperti Belanda, Austria, Belgia dimana negara-negara tersebut mengalami stagnasi ekonomi dan tidak akan mampu bersaing dengan negara ekonomi besar seperti Amerika Serikat, maka kabupaten/kota di Indonesia berada dalam posisi tersebut dan tidak akan banyak bersuara dalam percaturan ekonomi nasional apalagi regional dan global. Keberadaan Uni Eropa telah mengubah percaturan dunia dimana kekuatan ekonominya menjadi sangat diperhitungkan raksasa ekonomi lain seperti Amerika Serikat, Cina, Russia. Setiap negara anggota Uni Eropa tetap mempertahankan kedaulatan negaranya namun secara ekonomi para anggota tersebut sepakat untuk mengintegrasikan ekonomi lokalnya kedalam ekonomi wilayah yaitu ekonomi Eropa. Dalam kasus Indonesia, integrasi ekonomi di tingkat propinsi merupakan suatu keniscayaan yang dapat membantu menjaga daya saing ekonomi nasional. Para kabupaten/kota tidak akan kehilangan status daerah otonomnya tetapi mereka secara sadar mengintegrasikan ekonomi lokalnya ke dalam sistim ekonomi propinsi yang mempunyai skala ekonomi lebih besar dan lebih menjamin efisiensi. Integrasi ekonomi di tingkat propinsi ini sekaligus memberikan peran lebih jelas kepada propinsi sebagai panglima ekonomi daerah dengan tugas mengangkat perekonomian setempat dan menunjang semaksimal mungkin perekonomian nasional.
10
Indonesia Dan Otonomi Daerah: Antara Kebutuhan Dan Kekhawatiran
Integrasi ekonomi di tingkat propinsi tersebut hanya dapat berjalan optimal apabila masing-masing kabupaten/kota telah menjalankan manajemen perekonomian lokalnya dengan baik. Dalam era otonomi daerah, setiap pemda mempunyai kebebasan penuh, sekaligus tanggung jawab, dalam menjalankan roda perekonomian lokalnya. Era orde baru yang menekankan pada sentralisasi manajemen ekonomi telah berlalu dan tidak ada lagi rencana pembangunan lima tahun daerah (repelitada) yang tidak lebih adalah turunan dari repelita pemerintah pusat. Ekonomi geografi atau ilmu ekonomi regional dan keuangan daerah mungkin merupakan mata kuliah yang sudah lama diajarkan di Indonesia tapi kurang bisa diapliksikan di masa orde baru karena hampir tidak adanya manajemen perekonomian daerah. Di era otonomi daerah, ilmu-ilmu tersebut menjadi sangat penting dan menjadi jantung dari manajemen ekonomi daerah dimana para pejabat daerah dipaksa untuk lebih bertanggung jawab terhadap perekonomian daerahnya sendiri. Formulasi kebijakan ekonomi lokal bermunculan di Indonesia, sebagian bisa dibilang unik dan merupakan terobosan, sebagian lagi tidak lebih dari pengulangan kebijakan tingkat nasional yang kurang memperhatikan keunikan daerah. Desentralisasi ekonomi memang sudah merupakan keharusan setelah hampir 9 tahun menjalanai otonomi daerah dimana proses desentralisasi politik, administrasi, dan fiskal telah berjalan sejak 1 Januari 2001. Desentralisasi ekonomi akan dapat terlihat dari kemampuan daerah menelurkan strategi dan kebijakan ekonomi yang diarahkan untuk bersaing dengan daerah lain maupun di tingkat yang lebih besar. Meskipun terkesan bebas, proses desentralisasi ekonomi tersebut harus tetap dalam rambu-rambu yang ditentukan pemerintah pusat seperti yang sudah dilakukan di desentralisasi politik, administrasi, dan fiskal. Pengelolaan perekonomian daerah era otonomi haruslah mengacu pada “market preserving decentralization” dimana pertumbuhan ekonomi daerah, penciptaan lapangan kerja, serta perbaikan pendapatan masyarakat menjadi tujuan utama pengelolaan ekonomi dengan bertumpu pada inovasi kebijakan, reformasi perekonomian lokal, serta kemampuan beradaptasi dengan dinamisme ekonomi global. Persaingan antar daerah menjadi inti dari pendekatan ini dimana setiap daerah berusaha menjadi pemenang untuk kepentingan kesejahteraan masyarakatnya sendiri. Seperti sedikit disinggung di atas, pemerintah pusat harus bertindak sebagai wasit yang baik dalam persaingan ini untuk mencegah adanya monopoli beberapa daerah serta terjadinya kesenjangan antar daerah yang luar biasa. Kebijakan dasar ekonomi daerah yang akan menentukan daya saing ekonomi daerah yang berkelanjutan adalah kemampuan menciptakan iklim usaha yang menarik bagi
11
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
calon penanam modal, dalam dan luar negeri. Otonomi daerah telah dikeluhkan sejumlah pihak sebagai faktor yang mengganggu daya saing perekonomian nasional dan apabila diteliti lebih lanjut maka faktor di daerah yang dianggap menghambat penciptaan iklim yang kondusif tersebut adalah birokrasi yang berbelit dan kurang “business friendly”, lemahnya manajemen infrastruktur, serta belum sepenuhnya tercipta kepastian hukum. Peraturan daerah (Perda) bermasalah yang menekankan berbagai pungutan tanpa kontra prestasi yang jelas sempat menjadi sasaran tembak pihak-pihak yang kurang setuju dengan pelaksanaan otonomi daerah. Yang juga masih harus dijaga kedepan adalah rebutan kewenangan kebijakan di bidang ekonomi antara pusat dan daerah, atau antar daerah sendiri. Terjadinya rebutan hanya akan menjadi iklan buruk otonomi daerah dalam kaitannya dengan perekonomian nasional, belum lagi masih adanya pertentangan antar undangundang sektoral dengan UU otda sendiri yang menjadi kerikil dalam pelaksanaan otonomi daerah yang lancar. Penataan dan perbaikan iklim investasi daerah akan berlanjut pada tertariknya investasi masuk ke suatu daerah dan setelah investasi tersebut masuk maka akan tercipta pertumbuhan ekonomi yang lebih besar, penciptaan lapangan kerja baru, dan perbaikan pendapatan masyarakat melalui proses pengganda (multiplier). Kesejahteraan masyarakat akan semakin baik karena yang tercipta adalah pertumbuhan berkualitas yang berpengaruh langsung terhadap pengurangan pengangguran dan jumlah orang miskin. Apabila setiap daerah mampu melakukan hal tersebut, maka impian bahwa perekonomian Indonesia bisa tumbuh sampai 7 atau 8% per tahun bukanlah impian kosong. ] ] ]
12
Isu-Isu Pilihan: Tulisan Peneliti KPPOD Tata Kelola Ekonomi dan Iklim Investasi Daerah P. Agung Pambudhi Pemekaran Daerah di Indonesia Robert Endi Jaweng Distribusi dan Pengelolaan Dana Desentralisasi Ig. Sigit Murwito dan Boedi Rheza Desentralisasi Fiskal dan Penguatan Kapasitas Fiskal Daerah Ig. Sigit Murwito dan Boedi Rheza Peraturan Daerah Firman Bakri Anom
Tata Kelola Ekonomi dan Iklim Investasi Daerah P. Agung Pambudhi*
u
Otonomi daerah telah berlangsung selama 8 tahun (sewindu) yang ditandai dengan dilaksanakannya UU 22/1999 tentang “Pemerintahan Daerah” dan UU 25/1999 tentang “Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah” sejak tanggal 1 Januari 2001. Dalam konteks desentralisasi ekonomi untuk meningkatkan akses warga terhadap aktivitas ekonomi, beberapa daerah menunjukkan kinerja ekonomi yang lebih baik dibandingkan daerah lainnya. Banyak faktor yang mungkin menyebabkannya, diantaranya faktor tata kelola ekonomi daerah. Dalam kerangka sistem otda yang sama, perbedaan kualitas tata kelola ekonomi daerah pada kabupaten/kota di Indonesia menunjukkan adanya perbedaan kualitas pemerintah daerah dan kontribusi para pemangku peran (stakeholder) pembangunan daerah dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengawal penciptaan iklim investasi di setiap daerah otonom. Kabupaten/ kota yang melaksanakan best practices dalam pelayanan aktivitas usaha, umumnya memiliki indeks tata kelola ekonomi daerah yang baik. ]]]
S
ecara umum dipahami 3 tujuan dasar yang hendak dicapai melalui penyelenggaraan otonomi daerah (otda) yaitu untuk peningkatan kualitas demokratisasi, pelayanan publik dasar, dan akses ekonomi warga. Otda yang telah berlangsung sejak tanggal 1 Januari 2001 berdasarkan UU 22/1999 tentang “Pemerintahan Daerah” dan UU 25/1999 tentang “Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah” diwarnai dengan ragam capaian kinerjanya, cerita sukses maupun kegagalan atas ketiga tujuan dasar tersebut.
* Direktur Eksekutif KPPOD (Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah).
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
Dalam hal desentralisasi politik, salah satu atribut otda yakni ciri lokalitas, sedikitnya telah tercermin melalui penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung yang meskipun sering dinilai baru pada tahap demokrasi prosedural, namun secara positif telah memberi ruang yang lebih luas bagi masyarakat untuk menentukan pemimpin daerahnya. Namun demikian, wujud esensial lain dari desentralisasi politik dimana masyarakat semestinya sebagai aktor utama pembangunan daerah nampaknya masih jauh dari harapan, karena pemerintah daerah (pemda) masih menjadi pelaku utama dalam melaksanakan pemerintahan daerah, dan belum mampu menempatkan perannya sebagai fasilitator bagi masyarakat untuk menjadi aktor utama pembangunan daerah. Desentralisasi fiskal di sisi lain, telah menghasilkan perubahan struktur distribusi keuangan negara secara signifikan. Alokasi anggaran untuk daerah, baik yang dikelola langsung oleh daerah (dana desentralisasi), maupun yang dikelola pemerintah (pusat) untuk daerah (dana dekonsentrasi. tugas pembantuan, dan program pemerintah lainnya di daerah), secara proporsional meningkat tajam dibandingkan anggaran untuk pemerintah. Sayangnya, desentralisasi fiskal yang lebih menekankan sisi expenditure assignment (kewenangan penggunaan) dibandingkan revenue assignment (kewenangan pungutan) tersebut menghadapi tantangan besar berupa buruknya kapasitas pemda dalam menggunakan keuangan daerah. Konsekwensinya, dalam banyak hal, pelayanan publik dasar seperti pendidikan, kesehatan, penyediaan infrastruktur dasar, dll., menjadi terabaikan. Profil sekilas kinerja desentralisasi politik dan fiskal tersebut, saling kait mengkait yang pada tingkat tertentu menentukan kinerja desentralisasi ekonomi, dan demikian pula berlaku sebaliknya. Artikel ini lebih menekankan tinjauan pelaksanaan desentralisasi dalam aspek ekonomi, dibandingkan desentralisasi politik dan fiskal. Desentralisasi ekonomi yang dimaksudkan adalah upaya pemda untuk kapitalisasi sumber daya yang dimilikinya (baik yang bersifat endowment maupun sumber daya manusia) melalui tata kelola (ekonomi) dalam ruang lingkup yang menjadi kewenangannya. Tata kelola ekonomi daerah yang dimaksud, dipahami sebagai suatu tatanan untuk mendapatkan manfaat terbesar dalam aspek ekonomi, sosial, dan ekologi, bagi warga lokal tanpa merugikan ekonomi Indonesia. Dalam pelaksanaannya, tata kelola ekonomi bertumpu pada keunggulan spesifik daerah yang pada tingkat tertentu bilamana diperlukan, dimungkinkan untuk penerapan kebijakan afirmatif untuk memenuhi kebutuhan daerah, dengan tetap menjamin kepentingan nasional.
14
Tata Kelola Ekonomi dan Iklim Investasi Daerah
Uraian dalam artikel ini akan disajikan dalam suatu alur rangkaian yang diawali dengan bagian pertama sebagai pengantar sebagaimana uraian di atas. Bagian kedua menyajikan pembahasan tentang pentingnya penciptaan iklim investasi daerah yang baik bagi aktivitas perekonomian. Selanjutnya bagian ketiga yang merupakan porsi paling dominan dalam keseluruhan tulisan, mengemukakan tata kelola ekonomi daerah sebagai faktor penting penciptaan iklim investasi yang baik. Bagian ini juga menampilkan hasil survei KPPOD terkait, serta upaya upaya yang dilakukan berbagai pemda untuk mewujudkan kualitas tata kelola ekonomi yang baik. Bagian keempat memberikan gambaran tentang agenda/peta jalan yang harus dilalui untuk mewujudkan tata kelola ekonomi daerah yang baik. Sedangkan bagian kelima sebagai penutup, memberikan beberapa catatan peran para stakeholder pembangunan.
Iklim Investasi Daerah Peran investasi swasta amat penting dalam perekonomian suatu negara. Secara agregat, investasi swasta, pemerintah dan masyarakat menggerakkan dinamika perekonomian dalam pembentukan produk domestik bruto (PDB) negara yang bersangkutan. Kontribusi setiap unsur tersebut beragam, terkait dengan kematangan perekonomian suatu negara. Dari beberapa literatur diketahui bahwa suatu negara yang relatif maju dengan aktivitas perekonomian yang tinggi, lebih digerakkan oleh kontribusi terbesar (besaran nilai investasi) dari unsur swasta, dimana nilai absolut investasi publik/pemerintah relatif tidak berarti. Sebaliknya negara dengan aktivitas perekonomian rendah, besaran nilai investasi pemerintah relatif signifikan. Dengan pola yang tidak banyak berbeda, hal tersebut juga berlaku untuk perekonomian suatu daerah – dalam pembentukan produk domestik regional bruto (PDRB). Dengan demikian, peran investasi swasta dalam menggerakkan perekoniam suatu negara/daerah amat penting. Dengan keterbatasan dana yang dimilikinya, suatu pemerintahan – baik pusat/nasional maupun daerah, dituntut untuk menginvestasikan dananya secara bijak agar mampu menggerakkan investasi swasta yang jauh lebih besar nilainya dibandingkan investasi pemerintah. Selain investasi langsung yang bersifat fisik seperti investasi infrastruktur (jalan, air bersih, dll.) yang dapat menarik kontribusi investasi swasta dalam bentuk public private partnership – dan yang amat penting dalam penyediaan fasilitas bagi aktivitas ekonomi; investasi dana publik juga amat penting digunakan untuk penciptaan iklim investasi yang baik bagi aktivitas usaha.
15
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
Iklim investasi itu sendiri dideskripsikan secara beragam oleh berbagai institusi. Namun demikian terdapat kesamaan pendekatan, yakni penempatan iklim investasi dalam konteks kompetisi antar wilayah (negara/daerah) untuk menarik aktivitas bisnis ke wilayah yang bersangkutan. Meskipun detail spesifik indikator indikator pembentuknya dijabarkan secara beragam oleh berbagai institusi, namun memiliki beberapa kesamaan substantif.1 Secara teoritis, indikator indikator yang digunakan dapat diklasifikasikan dalam kategori regulasi/kebijakan, kelembagaan, dan endowment daya dukung suatu wilayah. Beragam daerah yang tumbuh berkembang melalui berbagai pendekatan pertumbuhan ekonomi, baik berdasarkan pengembangan industri berbasis ekspor (staple theory), pengembangan berbasis kutub pertumbuhan yang mengarah pada aglomerasi ekonomi (growth pole theory), pertumbuhan berbasis pilihan spesifik industri unggulan (regional concentration theory), dll., semuanya mensyaratkan adanya dukungan iklim investasi yang baik. Daerah daerah tersebut memerlukan regulasi daerah yang by design ramah (mendukung) investasi, dan dukungan tata kelola pemerintahan yang menjalankan pemerintahan berdasarkan prinsip prinsip good governance: transparansi, partisipatif, dan akuntabilitas. Faktor lainnya yang diperlukan untuk iklim investasi yang baik adalah dukungan karunia faktor-faktor produksi yang bersifat endowment (tanah, sumber daya alam, populasi) maupun yang bersifat created endowment seperti teknologi, tenaga kerja terdidik, dukungan institusi finansial, dll. Mencermati pijakan teoritis tersebut di atas, pemda yang membuat regulasi yang baik berupa peraturan daerah (perda), peraturan Bupati/Walikota, dan regulasi sektoral terkait lainnya di tingkat daerah memiliki modal dasar untuk menarik investor. Kelengkapan yang mesti menyertainya adalah dukungan kelembagaan yang baik berupa struktur dan mekanisme kerja kelembagaan yang efektif (dan efisien), serta perilaku para aktor (pejabat/pegawai pemda) yang menjalankan prinsip prinsip good governance. Diluar daya dukung faktor endowment yang membutuhkan waktu lama untuk merubahnya, kualitas kedua faktor tersebut berada dalam kontrol pemda untuk mewujudkannya. Secara konseptual, pemda yang membuat regulasi dan melaksanakannya dengan kelembagaan yang baik, potensial untuk meningkatkan aktivitas perekonomian daerahnya, baik melalui masuknya investasi baru maupun
1
Lebih lanjut lihat dalam IMD World Competitiveness Yearbook, 2008 dan Doing Business 2009 the World Bank dan International Finance Corporation.
16
Tata Kelola Ekonomi dan Iklim Investasi Daerah
peningkatan aktivitas ekonomi dari investasi yang sudah ada di daerah tersebut. Demikian sebaliknya pemda yang menciptakan regulasi dan kelembagaan yang buruk dapat berarti menjauhkan kesempatan warga untuk mendapatkan manfaat dari peningkatan aktivitas perekonomian di daerahnya. Dalam studinya, KPPOD (Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah) memaknai kendali pemda atas pembuatan regulasi dan dukungan kelembagaannya untuk memfasilitasi aktivitas perekonomian sebagaimana dideskripsikan di atas, sebagai tata kelola ekonomi daerah (local economic governance). Tata Kelola Ekonomi Daerah Pentingnya pengukuran kinerja tata kelola ekonomi daerah yang diperlukan untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi aktivitas perekonomian menjadi lebih relevan setidaknya sejak otda dilaksanakan awal tahun 2001. Dengan tambahan kewenangan yang dimilikinya, pemda menjadi aktor penting penentu iklim investasi daerah. Meskipun tambahan kewenangan terkait aktivitas ekonomi pasca otda terbatas, namun setidaknya pemda memiliki kewenangan lebih dalam beberapa hal diantaranya mengenai: pajak & retribusi daerah, alokasi penggunaan APBD (anggaran pendapatan dan belanja daerah), perizinan investasi seperti: izin lokasi, SIUP, HO, IMB, dll., rekrutment dan penempatan pegawai negeri untuk melayani aktivitas perekonomian, dan lain lain. Dengan tambahan kewenangannya tersebut, terdapat peluang besar bagi peningkatan aktivitas ekonomi daerah apabila dikelola dengan baik oleh pemda di setiap daerah otonom. Dari berbagai studi literatur, yang terpenting adalah penelitian yang dilakukan KPPOD sejak tahun 2001 terkait iklim investasi daerah, dikenali beberapa indikator penting untuk mengukur kinerja tata kelola ekonomi pemerintahan daerah, khususnya di tingkat Kabupaten/Kota. Indikator indikator tersebut merupakan indikator yang berkaitan langsung dengan suatu aktivitas usaha. Dalam survei tata kelola ekonomi daerah di 243 Kabupaten/Kota di Indonesia yang dilakukan KPPOD di akhir 2007 – awal 2008, indikator-indikator yang digunakan dapat dikatakan memiliki karakteristik: pertama, merupakan indikator yang terkait dengan kebijakan daerah dan pelembagaan untuk implementasinya. Dalam pengertian tersebut, endowment (sumber daya alam, ketersediaan lahan, populasi, dll.) tidak termasuk dalam indikator tersebut. Karakteristik kedua adalah indikatorindikator yang merupakan kewenangan pemda Kabupaten/Kota. Selanjutnya karakteristik ketiga adalah indikator-indikator yang sifatnya operasional/praktis yang langsung berkaitan dengan aktivitas suatu usaha.
17
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
Pilihan ketiga karakteristik indikator-indikator tata kelola ekonomi daerah yang dikembangkan KPPOD tersebut tepat agar temuan penelitian dapat memberikan rekomendasi yang dapat ditindaklanjuti oleh pemda Kabupaten/Kota karena ada dalam lingkup kewenangannya; relatif mudah untuk diimplementasikan karena bersifat operasional; dan bermanfaat bagi pelaku usaha karena merupakan hal hal yang terkait langsung dengan kemudahan menjalankan aktivitas usaha. Meskipun demikian perlu diberikan sedikit catatan, bahwa sebagian dari indikator-indikator tersebut tidak dalam kendali pemda karena merupakan kewenangan instansi pemerintah yang ada di daerah; misalnya mengenai ‘sertifikasi tanah’ (kewenangan BPN – Badan Pertanahan Nasional), dan ‘penyediaan listrik’ (kewenangan PLN – Perusahaan Listrik Negara). Untuk mengenali lebih lanjut karakteristik indikator KPPOD, berikut disampaikan 9 (sembilan) indikator yang membentuk indeks tata kelola ekonomi daerah KPPOD, yaitu: 1) akses lahan dan kepastian pemanfaatannya, 2) perizinan usaha, 3) interaksi pemda dengan pelaku usaha, 4) program pemda untuk pengembangan usaha swasta, 5) kapasitas dan integritas bupati/walikota, 6) biaya transaksi, 7) pengelolaan infrastruktur fisik daerah, 8) keamanan dan penyelesaian sengketa, dan 9) peraturan daerah, sebagaimana dapat dilihat pada gambar di bawah ini.2
Gambar tersebut juga memperlihatkan bobot setiap sub-indeks yang menunjukkan tingkat besarnya pengaruh setiap indikator terhadap total indeks tata kelola ekonomi daerah, yang merupakan penilaian 12.187 responden pelaku usaha dari 243 Kabupaten/Kota di Indonesia. Bobot sub-indeks tersebut menunjukkan bahwa indikator ‘pengelolaan infrastruktur daerah’ yang paling besar 2
Lihat laporan survei “Tata Kelola Ekonomi Daerah di Indonesia – Survei Pelaku Usaha dari 243 Kabupaten/Kota di Indonesia, 2007" yang diterbitkan KPPOD dan The Asia Foundation Tahun 2008.
18
Tata Kelola Ekonomi dan Iklim Investasi Daerah
pengaruhnya (35,5%) terhadap pembentukan nilai indeks tata kelola ekonomi daerah. Mengenai infrastruktur, studi KPPOD tersebut sejalan dengan berbagai studi dan hal yang sering diungkapkan pelaku usaha bahwa infrastruktur – utamanya listrik dan jalan darat, merupakan hambatan terbesar bagi pelaku usaha untuk menjalankan bisnisnya. Namun demikian, dalam hal perda terdapat kontradiksi karena di berbagai kesempatan dan pemberitaan media masa, seringkali pelaku usaha mengeluh bahkan mengecam perda sebagai penghambat aktivitas ekonomi/usaha yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi; sementara hasil survei KPPOD tersebut menunjukkan bobot perda yang hanya 1%. Perlu dicatat bahwa, perda yang dikeluhkan pelaku usaha pada dasarnya hampir semuanya terkait dengan berbagai biaya pungutan (retribusi, pajak, dan jenis pungutan lainnya) yang harus dikeluarkan pelaku usaha dalam proses untuk mendapatkan izin usaha, serta biaya biaya ilegal (red-tape). Bila dikaitkan dengan survei KPPOD, hal itu mencakup indikator perijinan usaha, biaya transaksi, dan perda itu sendiri (total bobot 19,7). Maka, dapat diartikan bahwa pada dasarnya tidak ada pertentangan antara hasil survei dengan keluhan dunia usaha tentang perda. Mencermati hasil survei KPPOD tersebut, rasanya menarik untuk dikemukakan ringkasan beberapa temuan penting setiap indikator dalam tabel berikut untuk mendapatkan gambaran tentang kualitas tata kelola ekonomi daerah di Indonesia. Dalam tabel tersebut penulis mengidentifikasi tindak lanjut yang bisa dilakukan pemda dalam menyikapi temuan survei. Indeks tata kelola ekonomi daerah yang berbeda tajam antar satu daerah dengan daerah lainnya hasil survei KPPOD tersebut, menunjukkan adanya perbedaan kualitas penyelenggaraan tata kelola ekonomi daerah. Untuk mengenali kemungkinan penyebab perbedaan kualitas tata kelola ekonomi daerah tersebut, menarik untuk mencermati beberapa best practices yang dilakukan pemda untuk memberikan pelayanan terbaik bagi aktivitas usaha, atas indikator spesifik yang diukur dalam tata kelola ekonomi daerah tersebut. Dalam hal perijinan usaha misalnya, dari beberapa studi diketahui bahwa beberapa daerah menerapkan pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) atau populer disebut OSS – one stop service/shop, yang memungkinkan pelaku usaha hanya berinteraksi dengan satu institusi pemda yaitu PTSP tersebut, untuk mendapatkan berbagai jenis perijinan usaha. PTSP yang berfungsi dengan baik menjamin pelayanan paripurna yang berawal, berproses dan berakhir di PTSP tanpa perlu
19
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
berhubungan langsung dengan instansi teknis terkait. Praktek PTSP yang baik menghasilkan pelayanan perijinan yang lebih mudah, lebih cepat dan lebih murah.
Tabel Beberapa Temuan Penelitian Setiap Indikator dan Implikasi Kebijakan Indikator
Beberapa Temuan Penting
Tindak Lanjut/ Implikasi Kebijakan
Pertanahan
Pengurusan sertifikat tanah 4 – 42 minggu. Perbedaan yang mencolok antar Kabupaten/ Kota dalam satu provinsi yang sama
Peluang daerah untuk mempelajari kinerja bagus daerah lain di provinsi yang sama.
Perijinan Usaha
Hanya 54% perusahaan yang memiliki TDP (tanda daftar perusahaan) dan 59% perusahaan yang memiliki SIUP (surat ijin usaha perdagangan) meskipun kedua jenis ijin daerah tersebut harus dimiliki semua jenis usaha di daerah. Biaya mendapatkan TDP untuk usaha kecil bervariasi antar daerah dari yang tanpa biaya sampai yang berbiaya Rp.500.000 meskipun ketentuan nasional Rp.100.000,-
Diperlukan pelayanan perijinan yang sederhana, cepat, dan biaya wajar (penting untuk menerapkan pelayanan terpadu satu pintu – PTSP). Diperlukannya penegakan hukum terhadap pelaku usaha dan pemda.
Interaksi Pemda Pelaku Usaha
Secara keseluruhan, 58% pelaku usaha menyatakan bahwa pemda memberikan solusi konkrit atas pemasalahan aktivitas usaha yang disampaikan dalam forum komunikasi. Namun terdapat perbedaan tajam antar daerah, dimana ada daerah yang hanya 2% pelaku usahanya yang menyatakan hal tersebut.
Perlunya peningkatan intensitas dan kualitas interaksi antara pemda dengan pelaku usaha.
Program Pengembangan Usaha
Hanya 20% pelaku usaha yang mengetahui bahwa pemda memiliki program pengembangan usaha untuk UMKM (usaha mikro kecil menengah). Pelaku usaha besar yang lebih banyak memanfaatkan program tersebut dibandingkan UMKM.
Diperlukan sosialisi program yang intensif, dan pengawasan pelaksanaan program agar tepat sasaran.
Kapasitas & Integritas Bupati/ Walikota
Sepertiga pelaku usaha menilai bahwa Bupati/Walikota melakukan korupsi. Namun demikian, integritas & kapasitas Bupati/Walikota dinilai tidak banyak berpengaruh terhadap aktivitas usaha.
Diperlukan interaksi yang lebih intensif antara Bupati/ Walikota dengan pelaku usaha dalam suatu ‘forum komunikasi’.
20
Tata Kelola Ekonomi dan Iklim Investasi Daerah
Beberapa Temuan Penting
Tindak Lanjut/ Implikasi Kebijakan
Biaya Transaksi
Pelaku usaha kecil menanggung beban resmi biaya retribusi dan pajak daerah sebesar Rp.15.000/ tenaga kerja, sedangkan pelaku usaha besar menanggung Rp.6.000/tenaga kerja. Pungutan ilegal terbanyak dilakukan oleh oknum polisi selain juga dilakukan oleh pegawai pemda, tentara, preman, dll.
Perlunya penegakan hukum atas berlakunya pungutan ilegal. Secara khusus, diperlukan penegakan kedisiplinan pegawai pemda, dan bilamana diperlukan dilakukan tindakan hukum.
Pengelolaan Infrastruktur
Sebanyak 35% pelaku usaha menilai infrastruktur sebagai hambatan utama dalam menjalankan aktivitas usaha; dimana kualitas jalan darat yang jelek dan seringnya aliran listrik padam merupakan hambatan terbesar dalam hal infrastruktur daerah.
Perlunya menjajaki diterapkannya tarif regional listrik untuk merangsang investasi swasta. Diperlukannya standar pelayanan atas pengaduan masyarakat.
Keamanan & Penyelesaian Sengketa
Sebagian terbesar pelaku usaha menilai bahwa keamanan bukan merupakan hambatan berarti dalam menjalankan usaha. Sedangkan dalam penyelesaian konflik, pelaku usaha lebih memilih cara musyawarah-mufakat dibandingkan penyelesaian hukum melalui pengadilan.
Diperlukan peningkatan kualitas penyelenggaraan peradilan dalam penyelesaian sengketa usaha.
Peraturan Daerah
Meskipun kecil pengaruh perda atas kinerja usaha, namun berbagai perda pungutan terkait: pungutan ganda, hambatan lalu lintas perdagangan, pungutan ketenagakerjaan, dll. dirasakan sebagai beban aktivitas usaha.
Diperlukan implementasi RIA (regulatory impact assessment) yang menekankan pada keterlibatan pelaku usaha dalam pembuatan perda, dan berbasis pada analisis manfaat & biaya.
Indikator
Mengenai perda, meskipun cukup banyak daerah yang menerbitkan perda distortif terhadap aktivitas usaha, namun sejumlah terbatas daerah memberlakukan perda sebagai insentif bagi aktivitas usaha, baik berupa insentif fiskal maupun insentif non-fiskal. Contoh perda yang memberikan insentif fiskal, ditetapkan pembebasan dan atau pemotongan besaran pajak dan retribusi daerah untuk suatu periode tertentu apabila perusahaan memenuhi beberapa kriteria, diantaranya dalam hal penyerapan jumlah tenaga kerja, jenis investasi, nilai investasi, dan lokasi investasi. Insentif non-fiskal diberikan dalam bentuk perda yang memberikan kemudahan pelayanan perijinan, ketenagakerjaan, dll.
21
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
Beberapa contoh best practices lainnya dalam lingkup indikator-indikator tata kelola ekonomi daerah tersebut di atas, diantaranya: adanya forum komunikasi reguler antara Bupati/Walikota dengan pelaku usaha; komunikasi dan kerjasama yang baik antara pemda dengan BPN Kabupaten/Kota; penjaminan usaha bagi UMKM; pembebasan UMKM dari biaya perijinan usaha; mekanisme reward and punishment berdasarkan kinerja pegawai pemda, dan lain lain. Berbagai best practices tersebut diyakini memberikan kontribusi positif dalam pencapaian kinerja tata kelola pemerintahan daerah. Contoh dalam hal perijinan. Atas kinerja pelayanan PTSP yang baik, dalam beberapa studi tercatat peningkatan yang pesat pendaftaran perusahaan, baik perusahaan baru maupun perusahaan yang semula beroperasi secara informal.3 Hal tersebut terjadi karena kinerja pelayanan PTSP yang lebih baik dibandingkan pelayanan perijinan oleh instansi teknis masing masing. Namun demikian perlu dicatat bahwa penyebab peningkatan pendaftaran usaha di beberapa daerah tidak semata mata karena kinerja PTSP, namun juga dikarenakan adanya penegakan hukum terhadap perusahaan yang tidak mendaftarkan usahanya, setelah diimplementasikannya PTSP. Sampai saat ini, untuk mengukur kontribusi berbagai best practices tersebut terhadap tata kelola ekonomi daerah hanya sampai pada tataran mengukur pengaruh langsung kinerja best practices, sebagai contoh dalam hal PTSP tersebut di atas. Ukuran lain yang bisa digunakan adalah dengan penelitian mengenai IKM (indeks kepuasan masyarakat) yang membandingkan kondisi sebelum dan sesudah implementasi PTSP. Relatif belum ada bukti/studi yang meyakinkan, yang menunjukkan pengaruh tata kelola ekonomi daerah terhadap kinerja investasi, atau terhadap kinerja pembangunan ekonomi daerah (pertumbuhan ekonomi, misalnya). Studi yang ada diantaranya terbatas pada pengaruh aktor terhadap kinerja tata kelola ekonomi daerah. Misalnya Luebke (BIES, Vol.45, No.2, 2009)4 menunjukkan pengaruh signifikan peran kepala daerah terhadap kualitas perda, dan tidak adanya pengaruh pelaku/asosiasi usaha atas kualitas perda. Meskipun demikian, berbagai pihak secara kualitatif meyakini bahwa tata kelola ekonomi daerah yang baik memberikan kontribusi positif terhadap aktivitas investasi, dan terhadap kinerja pembangunan ekonomi.
3 4
The Asia Foundation, dalam “Panduan Nasional Pelayanan Terpadu Satu Pintu, 2007". Lihat dalam “The political economy of local governance findings from an indonesian field study” by Christian von Luebke in Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol.45, No.2, 2009.
22
Tata Kelola Ekonomi dan Iklim Investasi Daerah
Agenda Perbaikan Tata Kelola Ekonomi Daerah Atas beberapa bukti terbatas tentang pentingnya best practices dalam tata kelola ekonomi daerah, daerah-daerah otonom dapat menggunakannya sebagai acuan/pijakan untuk perencanaan perbaikan tata kelola ekonomi daerahnya. Suatu peta jalan/agenda kerja untuk reformasi regulasi dan birokrasi dapat dirancang dengan mengacu pada beberapa target terukur. Meskipun lingkup tata kelola ekonomi daerah barangkali bukan hanya indikator yang dikembangkan KPPOD, namun sebagai suatu survei yang paling komprehenship dan mencakup jumlah besar Kabupaten/Kota, dalam konteks Indonesia survei tersebut dapat dijadikan acuan utama untuk identifikasi agenda kerja pencapaian tata kelola ekonomi daerah yang baik. Tabel yang disajikan di atas memberikan arah tindak lanjut yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja atas indikator spesifik masing masing. Beberapa rekomendasi yang penulis kemukakan dalam tabel tersebut dapat ditindaklanjuti oleh pemda terkait. Dalam hal pelayanan perijinan usaha misalnya, agenda implementasi ‘reformasi birokrasi’ melalui PTSP bertujuan agar pelayanan perijinan menjadi lebih mudah (alur pelayanan yang jelas, dan pemangkasan prasyarat perijinan yang tidak relevan), lebih cepat (kepastian standar waktu pelayanan), dan lebih murah (meminimumkan biaya ilegal dengan mengurangi kontak dengan petugas). Beberapa rekomendasi dalam tabel tersebut setidaknya harus dilengkapi dengan: ukuran keberhasilan (yang tidak terbatas pada sekedar output namun pada batas tertentu menunjukkan outcome), pentahapan prosesnya, pihak yang akuntabel, target waktu, dukungan anggaran, dan mekanisme monitoring serta evaluasinya. Agenda tersebut dapat diarahkan menjadi lebih terfokus apabila daerah yang bersangkutan mensinergikannya dengan prioritas pembangunan daerahnya. Misalnya, suatu daerah yang memilih pendekatan pembangunan berdasarkan regional concentration theory dengan memprioritaskan sektor perkebunan sebagai tumpuan utama perekonomian daerahnya, perlu didukung dengan: perda tata ruang yang komprehenship dengan mempertimbangkan manfaat optimal secara ekonomis, sosial, maupun ekologis, yang diterbitkan berlandaskan kerangka kerja RIA; kebijakan pertanahan yang transparan; dialog intensif dengan masyarakat warga yang tidak manipulatif untuk meyakinkan manfaat usaha perkebunan; insentif fiskal dalam perda pajak dan retribusi daerah untuk usaha perkebunan dari hulu ke hilir; pelayanan perijinan usaha prima melalui PTSP; dan lain sebagainya.
23
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
Untuk daerah yang memilih prioritas pengembangan perekonomian yang berbeda, diperlukan dukungan tata kelola ekonomi daerah yang berbeda dalam beberapa hal spesifik (misalnya terkait perda tata ruang dan insentif fiskal), namun juga dapat dilakukan pendekatan yang sama untuk beberapa hal lainnya (implementasi PTSP, misalnya). Implementasi teknis PTSP, RIA, penjaminan UMKM, dll. tersebut selain dapat mengacu pada best practices dari daerah daerah yang telah menerapkannya, juga penting untuk merujuk pada beberapa referensi panduan teknis yang tersedia, baik yang dikeluarkan oleh pemerintah, maupun yang diterbitkan oleh berbagai unsur stakeholder seperti LSM (lembaga swadaya masyarakat), perguruan tinggi, lembaga donor, dunia usaha, dll. Penting dicatat bahwa untuk dapat melaksanakan beberapa hal tersebut di atas, terlebih dahulu perlu dijawab persoalan dasar yakni pengenalan atas potensi ekonomi yang dimiliki suatu daerah. Hal yang paling mendasar ini ternyata bukan merupakan sesuatu yang sederhana, karena pada kenyataannya tidak sedikit daerah yang tidak memiliki data yang dapat dipercaya tentang potensi ekonomi daerahnya. Lebih lanjut, sedikit daerah yang mampu merumuskan dengan memadai tentang prioritas pengembangan perekonomian daerahnya. Meskipun cukup banyak daerah memiliki SDM dengan kualifikasi S-2, bahkan beberapa daerah didukung dengan SDM berkualifikasi S-3 yang menguasai teori teori pembangunan daerah/ regional, namun untuk dapat mengimplementasikannya dalam menjalankan pemerintahan merupakan permasalahan yang tidak mudah. Berbagai pertimbangan/benturan kepentingan ekonomi politik baik antara pemda dengan pemangku peran pembangunan lainnya, maupun intern institusi pemda seringkali menjadi hambatan utama. Akibatnya tidak jarang daerah yang hanya memiliki sejumlah daftar keinginan, bukan prioritas pembangunan. Daerah yang memiliki kapasitas mengenali potensi ekonominya, dan telah memprioritaskan arah pembangunan ekonominya, melangkah ke tahap berikutnya untuk mempromosikan atau ‘menjual’ potensi ekonomi daerahnya. Berbagai pendekatan pemasaran daerah dari yang bersifat ‘tradisional’ sampai yang bersifat sangat spesifik berdasarkan riset yang mendalam, perlu diidentikasi kecocokannya dengan keseluruhan daya dukung yang dimiliki daerah. Ketika memasuki tahap dimana ketiga tahapan tersebut telah dilalui, dan calon investor menunjukkan minatnya untuk melakukan investasi, pada tahap inilah segala sesuatu yang disampaikan tentang tata kelola ekonomi daerah di atas berperan
24
Tata Kelola Ekonomi dan Iklim Investasi Daerah
untuk meyakinkan pelaku usaha tentang kemudahan menjalankan bisnis di daerah yang bersangkutan.
Catatan Penutup Pencapaian tata kelola ekonomi daerah yang baik sangat tergantung aktor utamanya yakni pemda. Dibawah kepemimpinan Bupati/Walikota yang memiliki kehendak kuat untuk mengelola perekonomian daerahnya dengan baik, sangat besar potensi keberhasilan pemda melaksanakan tata kelola ekonomi yang baik. Kepemimpinan kuat Bupati/Walikota juga yang mampu mengatasi berbagai konflik kepentingan internal antar institusi pemda yang selalu terjadi dalam berbagai agenda reformasi regulasi dan birokrasi. Kepemimpinan yang kuat juga yang mampu menelorkan ‘aktor-aktor pembaharu’ dari internal pemda sebagai ‘role model’ motor penggerak mesin birokrasi untuk bekerja bersama dengan berbagai unsur pemangku peran pembangunan daerah. Tanpa dukungan dunia usaha, para akademisi, politisi (partai politik dan DPRD), dan masyarakat warga (LSM, tokoh adat, tokoh religius, dll.) setempat, tidak mungkin pemda mewujudkan tata kelola ekonomi daerah yang baik. Demikian juga, dukungan pemerintah melalui berbagai kebijakan nasional ikut menentukan keberhasilan tata kelola ekonomi daerah. Dalam kerangka otonomi daerah yang menganut prinsip ‘konkuren’ dimana tidak ada satupun urusan pemerintahan yang sepenuhnya merupakan urusan/kewenangan pemda, sangat jelas bahwa keberhasilan pemda diantaranya merupakan fungsi peran pemerintah. Reformasi regulasi dan birokrasi di bidang perijinan usaha tidak optimal bilamana berbagai peraturan perundang-undangan nasional masih mensyaratkan berbagai jenis perijinan usaha yang tidak diperlukan menurut hemat pemda yang progresif. Demikian juga halnya, dalam berbagai urusan-urusan lainnya terkait tata kelola ekonomi daerah. ]]]
25
Pemekaran Daerah di Indonesia Robert Endi Jaweng*
u
K
ebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sejatinya bertujuan membuka kesempatan bagi demokrasi lokal dan menjamin efisiensi/efektivitas administrasi pemerintahan. Pada tujuan pertama kita berupaya mendorong local dynamic: partisipasi, kontrol, dan keterwakilan, sementara tujuan kedua dimaksudkan untuk meningkatkan local capacity: rentang kendali pemerintahan, kapasitas fiskal, kualitas pelayanan publik, dll. Era baru pemerintahan lokal di Indonesia semestinya tidak lagi hanya ditandai oleh mengedepannya salah satu tujuan, tetapi mengakomodasi keduanya sehingga terpenuhi prasyarat bagi suatu pemerintahan yang efektif-demokratis: structural efficiency model dan local democracy model. Mengalir dari tujuan umum desentralisasi di atas, pembentukan daerah otonom dilihat sebagai salah satu elemen penting guna menjalankan roda otonomi. Karena itu, pemekaran - sebagai instrumen kebijakan pembentukan suatu daerah otonom baru - mesti pula mengarah kepada dua tujuan ganda tersebut. Dalam konteks tujuan-tujuan utama desentralisasi itu kita lalu mengenal dua pendekatan arus utama dalam menjelaskan kebijakan pemekaran daerah: politik dan teknokratik. Pendekatan politik melihat kebijakan pemekaran sebagai jalan guna mempengaruhi alokasi nilai-nilai dan berbagai sumber daya, baik yang berada di level nasional maupun lokal. Dalam jalan yang sama sekaligus juga menjadi kesempatan bagi daerah me(re)negosiasi versi kepentingannya dan mengartikulasi * Manajer Hubungan Eksternal KPPOD (Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah)
Pemekaran Daerah di Indonesia
local power (aktor, institusi, dan kultur lokal), bahkan di sebagian tempat disertai reproduksi politik identitas. Hasil pilihan politik ini, selain ekses negatifnya, memperlihatkan beberapa kontribusi positif. Studi Taufik Tanasaldy di Kalimantan Barat, misalnya, menunjukan dampak pemekaran bagi transformasi politik etnis menjadi politik sipil: pemekaran sebagai jalan efektif dalam meredam kekerasan etnis1. Ini adalah fungsi resolusi konflik dari kebijakan pemekaran, yang tentu menyumbang tiada kira bagi demokrasi dan integrasi sosio-politik di negeri ini. Sementara itu, pendekatan teknokratik (khususnya dimensi administrasi publik) muncul bukan untuk mendepolitisasi desentralisasi, mengurangi kadar perspektif politik dalam menjelaskan pemekaran, atau melihat otonomi hanya sebagai kegiatan teknis pemerintahan. Apa yang terjadi dalam kebijakan pemekaran selama ini menunjukan bahwa jalan mulia politik di atas juga telah menyisahkan kisah suram berupa over-politisasi dan motif politik picik yang terbukti berimbas pada degradasi kapasitas teknorasi negara/daerah (keuangan, pelayanan publik, dll). Sementara pada sisi lain, pentingnya pendekatan teknokratik ini juga bertolak dari fakta bahwa sering kali berbagai aspirasi politik dan ikhtiar demokratisasi gagal terkelola secara proporsional dalam mekanisme administratif yang ada. Catatan sewindu kebijakan pemekaran daerah ini terdiri atas beberapa isian pembahasan, yakni kerangka regulasi, gambaran ringkas perkembangan, serta usulan rekomendasi yang dilandasi dasar pikir tertentu. Disebabkan keterbatasan data lantaran belum adanya evaluasi lengkap hingga hari ini, bagian gambaran perkembangan tidak selalu mencerminkan keadaan utuh selama delapan tahun dan juga bukan merupakan hasil evaluasi atas keseluruhan daerah otonom baru (DOB) yang ada. Catatan tersebut lebih mencerminkan trend perkembangan, sebagai suatu sketsa awal bagi pendalaman lebih jauh kelak.
Kerangka Regulasi Menyangkut dasar hukum pengaturan pembentukan daerah otonom di Indonesia, Pasal 18 UUD 1945 (sebelum Amandemen) menegaskan susunan daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, bahwa “Pembagian daerah Indonesia dalam daerah-daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan UU, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak asal-usul dari daerah-
1
Taufik Tanasaldy, “Politik Identitas Etnis di Kalimantan Barat”, dalam Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken, “Politik Lokal di Indonesia“, Jakarta, Penerbit Obor dan KITLV-Jakarta, 2007, hlm.461-490.
27
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
daerah yang bersifat istimewa”. Rumusan ini menegaskan suatu prinsip desentralisasi teritorial dan perintah untuk menjabarkan prinsip tersebut dalam suatu Undangundang. Di masa setelah kejatuhan Orde Baru, undang-undang yang dimaksud untuk menjabar klausul Konstitusi tersebut adalah UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Khusus mengenai proses pembentukan daerah, Pasal 5 menegaskan (1) Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial-budaya, sosial-politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah; (2) Pembentukan, nama, batas, dan ibukota ditetapkan dengan UU; (3) Perubahan batas yang tidak mengakibatkan penghapusan suatu daerah, perubahan nama daerah, serta perubahan nama dan pemindahan ibukota daerah ditetapkan dengan PP; dan (4) Syarat-syarat pembentukan daerah ditetapkan dengan PP. Dengan berdasar kepada aturan-aturan pokok di atas, pada masa ini lahir sebuah aturan organik yang menjadi acuan operasional dalam kebijakan pemekaran, pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah otonom, yakni Peraturan Pemerintah No. 129 Tahun 2000. Beberapa klausul utama yang diatur dalam PP No.129 Tahun 2000 ini antara lain menyangkut tujuan, syarat, prosedur, dan pembiyaaan pembentukan daerah. Selain itu diatur pula soal penilaian kinerja dan evaluasi kemampuan daerah baru yang bahkan bisa berujung pada penghapusannya bila terbukti gagal. Dalam perkembangannya, selagi berbagai klausul ini dijalankan, perubahan di level aturan-aturan pokok juga berlangsung. Hal itu dimulai pada level Konstitusi (UUD 1945), yang untuk kasus susunan dan pembentukan daerah mengalami perubahan mendasar baik dalam aspek struktur maupun substansi. Menyangkut struktur, Pasal 18 dalam UUD 1945 sama sekali diganti baru. Kalau sebelumnya cuma satu pasal, dalam hasil amandemen terdapat 3 pasal yakni Pasal 18, Pasal 18A dan Pasal 18B yang semuanya berada dibawah naungan Bab VI tentang Pemerintahan Daerah. Sementara menyangkut substansi, hasil amandemen itu menampakan perubahan paradigma dan arah politik pemerintahan daerah yang baru yang ditandai penegasan prinsip bagi daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya, dll.2
2
Bagir Manan, “Menyongsong Fajar Otonomi Daerah,” Pusat Studi Hukum-Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Cetakan III, 2004.
28
Pemekaran Daerah di Indonesia
Mengikuti perubahan konstitusi tersebut, menjelang akhir kepemimpinannya, Presiden Megawati mengesahkan pengundangan suatu Undang-undang baru untuk mengganti UU No.22 Tahun 1999, yakni UU No.32 Tahun 2004. Khusus mengenai pembentukan daerah, substansi perubahan lebih mempertegas syaratsyarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan (Pasal 5). Dalam hal persyaratan fisik, misalnya, pembentukan suatu daerah membutuhkan paling sedikit 5 kabupaten/kota untuk Provinsi, paling sedikit 5 kecamatan untuk kabupaten, dan 4 kecamatan untuk kota. Sebelumnya, di masa UU No.22 Tahun 1999, bagi pembentukan Propinsi hanya memerlukan 4 Kabupaten/Kota, pembentukan Kabupaten minimal 4 Kecamatan, dan pembentukan Kota minimal 3 Kecamatan. Sebagai jabaran UU No.32 Tahun 2004 dalam hal pengaturan pembentukan daerah, Pemerintah mengeluarkan PP No.78 Tahun 2007 yang sekaligus sebagai pengganti PP No.129 Tahun 2000. Hemat saya, sebagian klausul baru dalam PP No.78 Tahun 2007 tampaknya menggabungkan obsesi kuat untuk “memperjelas” syarat dan sekaligus “memperketat/membatasi” kemungkinan terbentuknya daerah baru. Selain menambah jumlah minimal daerah pendukung tadi, PP ini memperketat batasan waktu pemekaran. Kalau dalam PP No.129 Tahun 2000 tidak ada batasan waktu bagi suatu daerah yang baru dimekarkan untuk dimekarkan lagi, dalam regulasi baru (PP No.78 Tahun 2007), usia minimal untuk pemekaran lagi ditetapkan secara jelas, yakni berusia 10 tahun untuk Propinsi dan 7 tahun untuk Kabupaten/Kota. Substansi perubahan lain terkait prosedur usulan (inisiasi) pemekaran. Kalau sebelumnya elite lokal kerap mengatasnamakan aspirasi rakyat dan membentuk berbagai organisasi dukungan dadakan, dalam PP No.78 Tahun 2007 dikenalkan suatu mekanisme baru dimana usulan/aspirasi masyarakat harus dituangkan dalam suatu bentuk Keputusan Badan Permusyawatan Desa (BPD) atau Forum Komunikasi (Forkom) Kelurahan. Aspirasi lapis akar rumput ini menjadi dasar lanjutan bagi DPRD untuk membuat keputusan yang akan ditindaklanjuti Kepala Daerah. Pada batas tertentu, klausul baru ini dapat memberi kejelasan, formalisasi dan akomodasi arus bawah demokrasi.
Sketsa Perkembangan Pemekaran sebagai isu menonjol sepanjang sewindu otda. Pemekaran daerah menyerupai istilah botanis yang menandai gejala organik mekarnya bagian-bagian baru suatu tanaman-dewasa ini amat familiar dalam keseharian politik Indonesia. Seiring penerapan desentralisasi delapan tahun belakangan, silih berganti berbagai
29
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
kabar terbentuknya suatu daerah baru menjejali berita media massa dan pangung wacana publik di negeri ini. Dalam makna praktisnya, pemekaran, sebagai salah satu wujud dalam rangka pembentukan daerah, merupakan peristiwa pisahnya suatu bagian wilayah dari suatu daerah otonom yang existing untuk membentuk suatu DOB lainnya. Memanfaatkan aneka peluang (faktor eksternal). Sebagaimana diuraikan di atas, Indonesia era desentralisasi menetapkan kerangka kebijakan pemekaran melalui UU No.22 Tahun 1999 dan PP No.129 Tahun 2000 maupun revisinya dalam UU No.32 Tahun 2004 dan PP No.78 Tahun 2007. Kesempatan ini dimanfaatkan aneka pihak berkepentingan dan melahirkan 7 propinsi dan 196 kabupaten/kota baru sejak 1999-2008— sesuatu yang presedennya hanya terdapat pada dekade 1950-1960 yang tentu memiliki tujuan dan konteks politik berbeda. Dalam berbagai regulasi tersebut ditetapkan bermacam syarat (administratif, teknis, dan fisik) dan serangkaian prosedur (dari aras masyarakat hingga level kebijakan di Jakarta). Selain peluang regulasi tersebut, proses pemekaran bisa berjalan mulus juga karena “tepat” momentumnya, yakni fase awal reformasi yang ditandai melemahnya daya tawar pemerintah pusat ketika menghadapi tekanan politik masyarakat dan daerah. Pada titik ini, proses teknokratis-administratif sering terpinggirkan lantaran kuatnya proses politik atas nama aspirasi bottom-up. Sejauh ini, tampaknya mekanisme administratif gagal mengelola aspirasi politik dan mempertahankan disiplin kebijakan yang berdasarkan syarat-syarat obyektif seperti administratif, teknis, dan fisik. Peluang lain yang tidak kalah menariknya adalah insentif fiskal yang melekat dalam skema dana transfer (perimbangan) ke daerah-daerah otonom. Kita tahu, kebijakan otonomi dan desentralisasi fiskal yang ada saat ini menjadi kesempatan bagi daerah untuk mengakses dana dalam jumlah jauh lebih besar dibandingkan era sentralisasi sebelumnya. Dengan terbentuknya suatu daerah baru, meski jatah transfer ke keseluruhan daerah secara rata-rata lalu mengecil, distribusinya jadi lebih menyebar dan suatu daerah yang mengalami pemekaran mendapat akumulasi yang berlipat (untuk daerah induk dan daerah baru). Didorong alasan normatif dan motif subyektif (faktor internal) . Selain peluang eksternal tersbut, kondisi/kebutuhan internal suatu calon DOB sering diklaim sebagai alasan perlunya pemekaran: sebagai jalan perbaikan pelayanan publik dan kesejahteraan rakyat. Bahkan pula, dalam diri kelompok elite lokal dan pengambil kebijakan tersembunyi motif subyektif ekonomi-politik tertentu. Tim peneliti
30
Pemekaran Daerah di Indonesia
Bank Dunia menyebut empat dorongan pemekaran ini: efektivitas/efisiensi pemerintahan, homogenisasi sosial (etnis, agama, dll) dan ekonomi (urban-rural, tingkat pendapatan, dll), keuntungan fiskal (DAU, DBH, dll) serta perburuan rente (economic, bureaucratic and political rent-seeking) para elite3. Senada pula, Pratikno mendaftar sejumlah alasan pemekaran: kebutuhan pemerataan ekonomi, kondisi geografis yang luas, perbedaan basis dentitas, dan kegagalan pengelolaan konflik komunal4. Dalam konteks adanya peluang eksternal dan bertolak dari alasan internal di atas, maka sejak tahun 1999 hingga akhir 2008 terbentuklah 7 provinsi, 33 kota dan 163 kabupaten baru. Kelahiran ratusan DOB tersebut menambah daftar daerah sebelumnya, sehingga total daerah otonom hari ini berjumlah 33 propinsi, 92 kota dan 399 kabuaten. Laju perkembangan setiap tahun menunjukan trend yang fluktuatif, dengan beberapa tahun diantaranya pernah mencapai zero pemekaran (lihat tabel berikut):
Tabel: Perkembangan DOB sejak 1999-2008 Tahun Sebelum 1999 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005-2006 2007 2008 DOB 1999-2008 Total Daerah (2008)
Provinsi 26 1 3 1 1 1 7 33
Kabupaten 234 34 33 47 21 28 163 399
Kota 59 9 12 4 2 4 2 33 92
Kab/Kota 293 43 0 12 37 49 0 0 25 30 196 491
Dari penelusuran lebih jauh atas rekapitulasi data ini, terdapat beberapa ilustrasi yang menarik dicermarti. Sebagai misal, dari total 7 Provinsi dan 196 Kabupaten/Kota baru hasil pemekaran, sebagian besar (6 provinsi (85%) dan 185 (94%) terjadi di luar Jawa. Dalam perspektif ekonomi, daerah-daerah di Pulau 3
4
Fitria Fitriani, Bert Hofman, Kai Kaiser, “Unity in Diversity? The Creation of New Local Governments in A Decentralising Indonesia“, BIES Vol.41 No.1, 2005, pp.57-79. Pratikno, “Kerangka Pikir Kebijakan Pemekaran”, dalam Cornelis Lay dan Purwo Santoso , “Perjuangan Menuju Puncak “, Program S2 PLOD-UGM, Yogyakarta, 2006, hlm.1-24.
31
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
Jawa memang relatif maju dan tak mengalami masalah ketakadilan ekonomi akibat kebijakan pusat sehingga tidak melihat pemekaran sebagai pilihan cara membangun perekonomiannya dan menjadikan birokrasi negara sebagai sektor ekonomi. Sementara secara sosio-politik, di Jawa hampir tidak ada satuan etnik/subetnik yang belum terwujud sebagai suatu entitas administrsi modern. Pemekaran membawa implikasi positif, tapi juga sarat permasalahan. Lalu apa dampak nyata pemekaran, khususnya bagi DOB yang terbentuk? Menilai hasil pemekaran memang tidak bisa bersifat mutlak. Dampak pemekaran jarang bertampak tunggal tetapi bermata ganda: pada suatu dimensi yang sama bisa positif, tetapi sekaligus juga bersifat negatif. Belum lagi, dalam ketiadaan ukuran bersama, penilaian hasil menjadi relatif: tergantung siapa yang menilai dan pada skala nasional ataukah daerah hasil tersebut ditempatkan. Hemat saya, evaluasi dampak pemekaran setidaknya mencakup aspek proses, administratif dan substantif. Pada aspek proses hendak dilihat bagaimana berlangsungnya kebijakan pemekaran, baik tahap inisiasi di daerah maupun pembuatan keputusan di pusat. Pada aspek administratif hendak dipetakan isuisu krusial pada tahun-tahun awal (transisi) terbentuknya suatu DOB: hubungan dengan daerah induk, peralihan P3D, penataan kelembagaan, dana hibah, dst. Sementara pada aspek substantif hendak dinilai capaian atau masalah pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat. (1). Aspek proses (review administratif dan proses politik). Dalam rangka pemeriksaan keuangan negara, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaksanakan evaluasi atas aspek proses pemekaran: ihwal perencanaan (inisiasi di level daerah) dan pelaksanaan (penilaian/keputusan oleh pusat) sepanjang 1999-2007. Secara umum ditemukan kelemahan proses yang berakibat kesalahan pengambilan keputusan pembentukan DOB: obeservasi kelayakan oleh pihak tak berkompeten dan tak didukung petunjuk teknis, inisiatif DPR yang tak melalui prosedur pengujian kelayakan yang memadai, tidak lengkapnya anggota DPOD dalam rapat keputusan pembentukan DOB, dan keputusan pembentukan beberapa DOB yang tak berdasar rekomendasi DPOD. Terkadang, Tim Penilai dan anggota DPR datang ke calon DOB bukan untuk menilai layak-tidaknya suatu pemekaran tetapi untuk memberikan saran bagaimana “caranya” agar pemekaran berjalan mulus, sambil berjanji akan mengawal proses di tahapan lebih lanjut.
32
Pemekaran Daerah di Indonesia
Pada tingkatan lanjut, terkait proses politik, yang patut dicermati adalah cukup dominannya proses dan kepentingan politik dibandingkan pertimbangan teknokrasi dalam mekanisme pengambilan keputusan. Hal ini, misalnya, terkait dengan dibukanya pintu usulan melalui DPR, di mana faktanya: dari 203 DOB yang dibentuk sejak 1999-2008, sekitar 42% (86 DOB) dibentuk berdasar inisiatif DPR. Bandingkan dengan minimnya usul inisiatif RUU pada sektor lain yang selain rumit teknis penyusunannya, juga lantaran memang relatif “sulit” untuk diboncengi kepentingan politik. Dominasi motif politik ini juga ditunjukkan fakta lain bahwa meski hampir semua UU pembentukan DOB tidak tertera dalam daftar Prolegnas, toh justru paling banyak diproduksi setiap tahunnya seturut tuntutan politik elite internal/eksternal DPR. (2). Aspek transisi administratif. Dalam kaitan dengan periode transisi (setahun), selain sejumlah kasus konflik perbatasan wilayah, penentuan ibu kota, dll5, problem krusial dan paling banyak terjadi adalah jika hal itu menyangkut masalah transisi administrasi dari daerah induk ke DOB. Dalam soal pengisian jabatan birokrasi, misalnya, selalu saja menjadi pekerjaan yang sulit untuk memindahkan aparatur dari daerah induk ke DOB. Sementara, para pegawai yang bisa berpindah dari daerah induk biasanya lebih banyak untuk mengisi pos-pos jabatan tertentu. Selain itu, masalah transisi adinistrasi ini terjadi pada pengaturan dan distribusi aset yang bahkan setelah melwati satu dasawarsa pun belum sepenuhnya beres. Hasil evaluasi Puslitbang-Depdagri atas persoalan transisi administratif ini di 2 provinsi dan 65 Kabupaten/Kota menunjukan sederet fakta berikut: 87,71% daerah induk belum menyerahkan P3D (Pembiayaan, Personil, Peralatan dan Dokumen), 79% DOB belum memiliki batas wilayah yang jelas, 89,48% daerah induk belum memberikan dukugan dana kepada DOB, 84,2% pegawai sulit pindah dari daerah induk ke DOB, 22,80% DOB melakukan pengisian jabatan yang tidak berdasarkan standard kompetensi, dan 91,23& DOB belum memiliki RTRW6. Agenda-agenda yang mestinya diurus sebelum pemekaran atau setidaknya beres dalam setahun masa transisi
5
PP No.6 Tahun 2008 tentang Pedomaan Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah mendaftar 11 jenis urusan yang termasuk dalam urusan di masa transisi suatu DOB, yakni: penyusunan perangkat daerah, pengisian personil, pengisian keanggotaan DPRD, pembiayaan, pengalihan aset dan dokumen, pelaksanaan penetapan batas wilayah, penyediaan sarana dan prasarana pemerintahan, pemindahan ibukota bagi daerah yang ibukotanya dipindahkan, pemenuhan undang-undang pembentukan, pemenuhan urusan wajib, dan pemenuhan urusan pilihan (Pasal 48).
33
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
ini justru menyita banyak perhatian DOB sepanjang lima tahun pertama pembentukannya. Jangan heran, alih-alih bekerja dalam kekuatan penuh bagi perwujudan kesejahteraan rakyat, agenda utama Pemda dalam kurun waktu itu justru membereskan semua permasalahan administratif yang menunjukan lemahnya keikhlasan daerah induk dan rendahnya kesiapan DOB. (3). Aspek substantif (kemaslahatan publik). Dampak pemekaran pada dimensi pelayanan publik, sebagai misal, menampakan hal positif di satu sisi, tetapi juga resiko dan impliksi negatif serius. Pemekaran memang mempersempit rentang kendali antara pemerinahan daerah dengan unit pemerintahan di bawahnya, memperpendek jarak fisik antar warga/masyarakat dengan sentra pelayanan (sisi geografis) dan terbukanya peluang bagi pembaruan sistem pelayanan (sisi organisatoris). Bersamaan pemekaran, khususnya di ibukota pemerintahan, hadir pula berbagai jenis pelayanan baru dan fasilitas urban lainnya. Namun pada sisi seberangnya, pemekaran bisa “menunda” proses pemberian layanan publik karena tahun-tahun awal suatu DOB lebih banyak sibuk dengan urusan transisi administratif, pembangunan infrastruktur dan pembangunan pranata pemerintahan. Hal ini juga berimplikasi pada alokasi anggaran yang lebih memberat ke belanja aneka urusan tersebut ketimbang bagi belanja modal dan pelayanan dasar warga. Studi UNDP dan Bappenas menyimpulkan: kinerja pelayanan publik masih tetap rendah dan bahkan cenderung menurun karena tak efektifnya penggunaan dana, kurangnya ketersediaan tenaga layanan, terbatsanya pemanfaatan layanan7. Berikutnya, dalam hal dampak bagi kesejahteraan rakyat, sebagaimana diperlihatkan dalam kinerja pembangunan ekonomi lokal, pemekaran berpotensi membuka peluang baru bagi akselerasi perekonomian baik karena dorongan pembangunan inf rastruktur fisik maupun peluang hadirnya semangat dan ide-ide baru pengelolaan daerah. Kenyataan di sejumlah DOB memperlihatkan roda perekonomian dan inovasi tata kelola ekonomi yang
6
7
Lihat Pusat Litbang Depdagri, “Penelitian Efektifitas DOB dalam Rangka Menunjang Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dari Perspektif Kelembagaan, SDM dan SDA“, Laporan Penelitian, 2007, hlm.1dan Tri Ratnawati, “Pemekaran Daerah: Politik Lokal dan Beberapa Isu Terseleksi“, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, hlm.19. UNDP dan Bappenas, “Studi Evaluasi Dampak Pemekaran 2001-2007 “, Jakarta, Juli 2008.
34
Pemekaran Daerah di Indonesia
bergerak maju, seperti kasus di sejumlah tempat: Kota Cimahi ( Jawa Barat), Kota Tarakan (Kalimantan Timur), Kota Tomohon (Sulawesi Utara), Provinsi Gorontalo, dll. Sayangnya, hasil studi UNDP dan Bappenas menunjuk fakta negatif yang masih lebih banyak terjadi, di mana janji kesejahteraan belum secara signifikan menghampiri relung kehidupan masyarakat. Kapasitas dan komitmen Pemda bagi pembangunan lokal masih saja minim, terlihat pada lemahnya investasi publik, belum kondusifnya iklim berusaha, kurangnya kapasitas daya serap anggaran dan kecilnya alokasi anggaran pembangunan, dll. Beban penduduk miskin yang tinggi, pertumbuhan ekonomi yang cenderung fluktuatif, tidak meratanya potensi ekonomi, dst kian memperberat langkah maju dan membuat rendahnya aktivitas perekonomian di DOB.
Arah ke Depan: Sejumlah Pilihan Menimbang kompleksitas persoalan pemekaran, seperti yang sebagiannya dipotret tadi, target perbaikan ke depan memang harus berkenaan dengan banyak sisi: dari cara pandang, kerangka regulasi, manajemen kebijakan, dst. Pertama, ihwal cara pandang, antar unit pemerintahan harus memiliki persepsi yang sama lantaran sejauh ini terkesan kuatnya perbedaaan cara pandang: Pusat melihat pemekaran sebagai instrumen memandirikan dan mengembangkan daerah yang sudah maju atau potensial, daerah induk memilih pemekaran sebagai jalan melepaskan diri dari ketergantungan dan beban pengembangan kawasan tertinggal, sementara daerah baru menjadikan pemekaran sebagai upaya melepaskan diri dari pemerintah yang dirasa tidak memperhatikan mereka. Soal cara pandang ini mestinya mengacu kepada dasar pikir yang menemaptkan pemekaran sebagai politik kebijakan khusus bagi percepatan pembangunan, jaminan efektivitas pemerintahan dan demokratisasi lokal. Kedua, perbaikan mesti pula menyentuh aspek regulasi/kebijakan. Terutama di sini adalah jaminan pengaturan yang bisa menjamin terciptanya efektvitas pemerintahan dan dinamika demokrasi lokal. Dalam konteks itu, sejumlah usulan berikut kiranya patut dipertimbangkan dalam perbaikan regulasi di masa mendatang: (1) Konsep territoral dimension: kebijakan pemekaran wajib menimbang ukuran optimal wilayah (size of local government) berdasar aspek efisiensi ekonomi,
35
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
demokrasi, distribusi, kinerja pembangunan (Keating (1995)8, baik skala wilayah bagi daerah induk maupun calon daerah baru. Dalam konteks ini, pemekaran harus dilihat sebagai salah satu pilihan dalam kebijakan penataan daerah (territoral reform) dalam kerangka pembangunan lokal dan nasional terutama ekonomi, kehidupan demokrasi, dan efektfivitas pemerintahan. (2) Faktor potensi dan urgensi: pemekaran tidak hanya menghitung aneka syarat yang memungkinkan DOB dan daerah lama bisa menjalankan otonominya (potensi/ feasibility), tetapi juga mempertimbangkan keperluan-keperluan tertentu (urgensi/ viability)9 yang mencerminkan prioritas strategis nasional kekinian dan ke depan. Jelasnya, pemekaran tak hanya melihat kelayakan teknis-fisik-administratif calon DOB atau nasib daerah induk di kemudian hari, tetapi juga perlu mengkalkulasi muatan kepentingan nasional atas kebijakan pemekaran tersebut. (3) Pembedaan pendekatan atas pemekaran provinsi dan kabupaten/kota: kalau pada kabupaten/kota yang diutamakan adalah soal kewilayahan (terkait efektivitas pelayanan publik melalui upaya mendekatkan jarak birokrasi dengan masyarakat) dan potensi ekonomi (terkait dengan kemampuan pembangunan ke depan), pemekaran provinsi lebih tepatnya menekankan perhatian pada kriteria rentang kendali politik (guna mengkoordinasi kab/kota), pertimbangan geopolitik, dst. (4) Dimensi Bioregion10: dalam penetapan batas wilayah administrasi suatu daerah baru perlu mempertimbangkan batas-batas wilayah fungsional yang berbasis biroegion tertentu (geografi, ekologi, potensi ekonomi dan SDM, serta sosial-
8
9
10
Aspekefisiensi ekonomi tercermin dari skala ekonomi yang dapat memberikan pelayanan terbaik dan biaya terefisien bagi masyarakat; aspek demokrasi terkait ukuran unit pemerintahan terbaik bagi terciptanya akuntabiltas dan kontrol publik; aspek distribusi tergambar dari struktur pemerintahan yang dapat menjamin distribusi pelayanan secara merata; dan aspek kinerja pembangunan tercermin dari struktur pemerintahan yang mendorong pertumbuhan ekonomi. Lihat Agung Djojosoekarto dkk, “Grand Strategy Penataan Daerah Tahun 2025“, Kemitraan, 2008, hlm.13. Dengan mengacu kepada empat aspek tersebut, perlu pula dicari jalan keluar untuk menyepakati penetapan ukuran wilayah yang bisa menjembatani antara kebutuhan adanya wilayah yang luas bagi efisiensi ekonomi dan kinerja pembangunan dan preferensi wilayah yang sempit bagi ikhtiar demokrasi dan distribusi pelayanan/akses berbagai sumber daya kehidupan. Pendekatan potensi akan cenderung menjadikan kepentingan pihak daerah sebagai dasar pertimbangan. Ia juga terlalu mengandalkan hitungan kuantitatif untuk mengukur terpenuh-tidaknya berbagai indeks kinerja setiap indicator/syarat. Sebagai suatu kebijakan politik nasional, pemekaran mestinya pula mempertimbangkan pendekatan urgensi bagi sejumlah calon daerah tertentu, seperti daerah perbatasan atau kepulauan, mesti boleh jadi mereka tak memenuhi ukuran potensi yang dipersyaratkan. Pendekatan urgensi ini mencerminkan pertimbangan strategis (seperti sebagai basis pertahanan, dll) dalam pemenuhan kepentingan nasional ( national interest ) dan pembangunan negara-bangsa. Bioregion dapat diartikan sebagai “ a geographic space that contains one whole or several nested ecosystems. It is characterized by its land forms, vegetative cover, human culture and history, as identified by local communities, governments and scientists Kenton R. Miller, “Balancing The Scales: Guideliness for Increasing Biodiversity’s Chances Through Bioregional Management “ . World Resource Institute, 1996, hlm. 4.
36
Pemekaran Daerah di Indonesia
budaya). Dengan pendekatan ini, batas bioregion akan menentukan batas wilayah administrasi, bukan sebaliknya. Di sini pemekaran menjadi suatu isntrumen promosi ekologi dan sosial budaya untuk dalam pembangunan dan kehidupan berkelanjutan11. (5) Urusan internal manajemen pemerintahan: pemekaran dan pembentukan suatu daerah pada dasarnya merupakan instrumen manajemen dan tata kelola pembangunan, yakni terkait aspek ukuran dan bentuk daerah serta hirarki antar unit pemerintahan bagi pencapaian tujuan administrasi, politik dan ekonomi suatu negara12 Dalam konteks itu, segala tahapan teknis proses pemekaran mestinya berada dalam domain pemerintah saja (pintu usulan), sementara parlemen baru dilibatkan dalam tahapan politik (legislasi). Dalam kasus Indonesia, di sini dibutuhkan suatu konsensus politik bagi terobosan atas ketentuan peratuaran perundang-undangan maupun alur proses legislasi yang ada. Ketiga, tidak hanya bersandar pada peraturan perundang-undangan yang ada, di level praktis perlu lebih memperkuat sisi manajemen kebijakan. Terutama dalam hal ini: di hulu perlu membuat grand design penataan daerah13, baik menyangkut pemekaran dan penggabungan daerah 14, penyesuaian perbatasan daerah, pemindahan ibukota, dll; sementara di hilir lekas dilakukan evaluasi komprehensif (bukan sekedar studi kasus dan studi sektoral) untuk melahirkan rencana tindak lanjut yang obyektif. Selain itu, terdapat beberapa isu strategis terkait lainnya dalam kerangka pembenahan manajemen kebijakan ini, yakni: (1) Manajemen transisi: penetapan status DOB sebagai daerah persiapan sebelum akhirnya dalam jangka waktu tertentu dihapus (bagi yang dinilai gagal), penempatan di bawah pengelolaan pusat (bagi yang dinilai potensial), dan 11 12 13
14
Eksekutif Walhi Nasional, “Laporan Sintesa Workshop Bioregion di Jakarta, 19 -21 Juni 2001,” hlm. 1. Gabriel Ferazzi, “International Experiences in Territorial Reform: Implication for Indonesia“, DRSP, January, 2007, p.2. Pemekaran adalah bagian integral dari penataan daerah (territorial reform ) yang mengacu ke rencana besar strategi kewilayahan ( grand strategy), termasuk jumlah dan letak daerah otonom baru dan rencana pengembangannya 13.Usulan DOB dari pihak daerah maupun inisiatif pusat hanya diprioritaskan pemrosesannya jika berada dalam kerangka titik-titik target dimaksud. Grand strategy penataan daerah ini tentu tidak menafik dinamika perkembangan yang akan terjadi, yang boleh jadi bergerak di luar garis perencanaan yang telah ditetapkan. Di sini peran pemerintah pusat amat menentukan. Mesti dicatat bahwa semua kerangka regulasi yang ada berbicara tentang pembentukan daerah. Sebagai salah instrument dalam penataan daerah (territorial reform ), pembentukan daerah dilakukan baik dengan cara pemekaran maupun penghapusan/penggabungan daerah. Hingga sepuluh tahun ini, kita hanya mengenal jalan pemekaran dan bukan (belum) penghapusan/penggabungan dalam strategi penataan daerah. Hal ini bisa dipahami, antara lain, lantaran belum adanya evaluasi komprehensif sebagai dasar bagi keputusan penghapusan/penggabungan tersebut.
*
37
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
peningkatan status sebagai daerah otonom (bagi yang dinilai berhasil). Opsi ini tidak hanya berarti adanya perbedaan derajat wewenang otonomi antar daerah sesuai kebutuhan dan kemampuan yang ada (assymetrical decentralization), tetapi juga memungkinkan kecilnya biaya pemerintahan, dan beresiko politik kecil bila pada akhirnya daerah persiapan itu dihapus. (2) Kerja sama antar-daerah: kewajiban bagi DOB untuk menjalin kerja sama dengan daerah sekitarnya, baik sebagai alternatif atas opsi penggabungan (bila belum memungkinkan) maupun terutama dalam kerangka strategi pembangunan dan pelayanan publik. Dalam konteks manajemen pembangunan, suatu wilayah administrasi yang terlampau kecil cenderung berkapasitas terbatas, menjadi unit-unit daya saing yang terlalu kecil dan bisa saja kalah bersaing dengan daerah lain. Sementara dalam hal pelayanan publik, kerja sama ini meminimalisir tendensi setiap daerah yang melihat dirinya sebagai entitas otonom-individual, yang seakan terpisah dari relasi integral dengan daerah-daerah lain. (3) Alternatif non-pemekaran: jika kita konsisten dengan tujuan ideal-substantif pemekaran, sesungguhnya terdapat banyak alternatif kebijakan yang bisa menjadi pilihan. Opsi di luar jalur pemekaran amat mungkin untuk meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan publik. Guna memperpendek rentang pelayanan, misalnya, ditempuh melalui cara desentralisasi kecamatan baik sebagai basis pelayanan publik maupun pusat pertumbuhan ekonomi. Pilihan semacam ini patut dipertimbangkan di tengah tingginya biaya berpemerintahan dan belum terbuktinya efektifitas pelayanan di sebagian besar daerah hasil pemekaran. Sebagai catatan akhir, berbagai pilihan alternatif di atas, baik menyangkut perbaikan aras regulasi maupun manajemen kebijakan secara umum, akhirnya berpulang pada faktor kepemimpinan pemerintah pusat (terutama Presiden) dalam mengelola politik kebijakan pemekaran. Di sana dibutuhkan gabungan hal-ihwal berikut: visi yang terang, sikap yang konsisten, kebijakan yang disiplin, keberanian menerapkan insentif dan disinsentif dalam kebijakan pemekaran maupun rewardand-punishment pasca-pemekaran untuk DOB, dan lain sebagainya. Semua ini belum menampak kuat selama sewindu otonomi daerah. Adakah Pemerintah 20092014 bisa membuktikan dirinya dalam melaksanakan semua itu?
38
Distribusi dan Pengelolaan Dana Desentralisasi Ig. Sigit Murwito* & Boedi Rheza**
u
P
elaksanaan desentralisasi di Indonesia yang secara efektif dimulai tahun 2001 merupakan suatu proses yang bersifat dinamis, dan merupakan wujud nyata dari political will pemerintah untuk melakukan reformasi dan demokratisasi. Konsep desentralisasi muncul sebagai konsekwensi logis dari adanya wilayah suatu negara yang sangat luas. Wilayah negara yang sangat luas memerlukan adanya pembagian kegiatan (pembagian tugas dan wewenang) antar berbagai tingkatan atau lapis pemerintahan di suatu negara. Terkait dengan pelaksanaan hubungan pemerintahan antara pusat dan daerah di Indonesia, persoalalan khas yang selalu menyertainya dari masa ke masa selalu sama, adalah terkait dengan pembagian tugas dan pembagian sumber daya ekonomi keuangan yang selalu diwarnai dengan tarik-menarik kepentingan. Pelaksanaan tugas dan wenenang yang telah terbagi dalam berbagai level pemerintahan ini tentunya harus diikuti dengan sistem pendanaan dari kegiatankegiatannya. Dari sini kemudian muncul konsep desentralisasi fiskal, yang mengatur mengenai hubungan keuangan antar pemerintahan. Hubungan fiskal antar pemerintahan dapat diartikan sebagai suatu sistem yang mengatur bagaimana sejumlah dana dibagi antar berbagai tingkat pemerintahan untuk menunjang kegiatan-kegiatan sektor publik pada bermacam tingkatan pemerintahan. Sistem ini juga mengatur bagaimana cara mencari sumber-sumber pembiayaannya. Jadi
* Ig. Sigit Murwito, Manager Research and Development KPPOD (Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah). * * Boedi Rheza, Peneliti KPPOD (Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah).
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
dalam hubungan fiskal ini terdapat semacam keseluruhan anggaran sektor publik secara agregatif yang mencerminkan aksi kolektif berbagai unit pemerintahan di seluruh wilayah negara. Dalam kaitan dengan desentralisasi fiskal yang dimulai sejak tahun 2001 sampai sekarang, telah memberikan perubahan pada pengelolaan keuangan daerah, terutama yang terkait dengan penerimaan dan pembiayaan. Isu sentral yang mengakibatkan tarik menarik antara pemerintah pusat dan daerah, mencakup tiga hal pokok yakni: 1). Wewenang dan tugas daerah dalam hal pembiayaan (expenditure assignment). 2). Wewenang daerah untuk memungut pajak (tax assignment). 3). Sistem transfer antar pemerintahan (intergovernmental fiscal transfer). Hal serupa juga biasa terjadi pada negara-negara lain yang menganut sistem pemerintahan yang bertingkat (multi-level government), sebagai akibat dari hasil interaksi antara pusat dan daerah (sub nation).
Perjalanan Desentralisasi Fiskal di Indonesia Dalam rentang waktu 8 tahun ini, terjadi beberapa perubahan mendasar sehubungan dengan pelaksanaan keuangan negara dan keuangan daerah. Hal ini ditandai dengan terbitnya Undang-undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti dari UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah sebagai pengganti dari UU Nomor 25 Tahun 1999. Penggantian UU tersebut tidak bisa dilepaskan dari terbitnya UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Lahirnya UU di bidang keuangan negara, perbendaharaan, dan perimbangan keuangan dimaksud menandakan bahwa pengelolaan keuangan negara dan keuangan daerah memasuki paradigma baru, yang diantaranya ditandai dengan penerapan Unified Budget, Performance Based Budgeting, serta Medium Term Expenditure Framework.
Kebijakan Desentralisasi Fiskal Hingga Tahun 1999 Menurut isi dan jiwa Pasal 18 UUD 1945 dan GBHN maupun menurut UU Nomor 5 Tahun 1974, sistem pendanaan fungsi-fungsi pemerintahan diselenggarakan berdasarkan atas asas Dekonsentrasi, Desentralisasi dan Tugas Pembantuan. Akan tetapi, semua UU yang mengatur pokok-pokok perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah tidak selalu merumuskan dengan jelas pedoman pelaksanaannya. Kurang jelasnya peraturan perundangan yang
40
Distribusi dan Pengelolaan Dana Desentralisasi
mengatur perimbangan keuangan serta pembagian tugas antara pusat dan daerah menimbulkan masalah lain, terutama pada pembagian wewenang antara pemerintah pusat dan daerah. Hal itu berdampak pada ketidakpastian dalam pendanaan dan fragmentasi dalam pendanaan, yaitu suatu fungsi tertentu didanai dari berbagai sumber pembiayaan (misalnya kegiatan fisik sektor tertentu dibiayai dari DIP departemen teknis, gaji pegawai dari subsidi daerah otonom, kegiatan fisik lainnya dibiayai dari Inpres Dati I/Dati II). Sementara itu, pengawasan serta tanggung jawab dari di semua tingkat pemerintahan saling tumpang tindih. Sistem perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah hanya akan sempurna bila didasarkan atas suatu pembagian wewenang dan tugas antara pemerintah pusat dan daerah yang jelas. Ketentuan perundangan yang mengatur perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah hingga tahun 1999 adalah UU Nomor 32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan antara Negara dan Daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Dalam pelaksanaannya, penerapan UU ini mengalami kesulitan, terutama dalam menerapkan sistem bagi hasil pajak negara. Pembagian sumber keuangan kepada daerah tersebut sulit dihitung, sedangkan data yang diperlukan untuk menghitungnya juga sulit diperoleh tepat pada waktunya. Untuk mengatasi kesulitan dimaksud, sejak tahun 1956 hingga tahun anggaran 1999/2000, perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah dilandasi dengan berbagai kebijakan pemerintah yang bersifat Adhoc . Secara kuantitatif, pendekatan yang dilakukan pemerintah selama kurun waktu tersebut berhasil dengan memuaskan. Daerah menjadi jauh lebih maju khususnya dari segi ekonomi, tanpa harus bersusah payah membuang energi untuk membicarakan perlunya UU yang mengatur perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang baru. Namun demikian, hasil penelitian banyak ahli menyarankan perlunya perubahan struktur perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah ke arah yang lebih mempromosikan keuangan daerah, antara lain melalui pelimpahan sumber-sumber pajak menjadi PAD, penyederhanaan sistem perpajakan dan retribusi daerah menitikberatkan pada pajak-pajak dan pungutan lainnya yang potensial (telah di realisir dengan terbitnya UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah), dan bagi hasil pajak dan bukan pajak yang lebih mencerminkan fiscal need. Berdasarkan hal tersebut sistem bantuan/subsidi perlu dikelompokkan menjadi tiga jenis sumbangan, yaitu sumbangan umum (block
41
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
grant), sumbangan khusus (specific/categorial grant), sumbangan tambahan (supplementary grant), dengan penekanan kepada sumbangan umum.
Kebijakan Desentralisasi Fiskal Tahun 1999-2004 Kebijakan desentralisasi fiskal sesudah tahun 1999 didasarkan atas UU Nomor 25 Tahun 1999, namun secara efektif UU dimaksud baru diimplementasikan sejak 1 Januari 2001. Dari sisi keuangan negara, kebijakan desentralisasi fiskal tersebut telah membawa konsekuensi pada perubahan peta pengelolaan fiskal yang cukup mendasar. Salah satu perubahan peta pengelolaan fiskal tersebut dapat dilihat dari semakin besarnya penyerahan sumber-sumber pendanaan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, yang diimplementasikan dalam bentuk transfer belanja ke daerah dalam APBN, yang dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Dalam kaitannya dengan besaran dana yang diberikan kepada daerah, apabila dalam tahun 2000 (dengan periode 9 bulan), jumlah dana yang ditransfer ke daerah masih sebesar Rp33,1 triliun (3,4 persen terhadap PDB), pada tahun 2001 terjadi peningkatan sebesar Rp 48,0 triliun (145,0 persen), sehingga total transfer pada tahun 2001 menjadi Rp81,1 triliun (5,6 persen terhadap PDB). Dan pada tahun 2005 mencapai Rp150,5 triliun (5,5 persen terhadap PDB).
Kebijakan Desentralisasi Fiskal Tahun 2004-2005 Selama empat tahun pelaksanaan desentralisasi fiskal yang didasarkan atas UU Nomor 25 Tahun 1999, masih ada beberapa kelemahan dalam pelaksanaannya, sehingga perlu dilakukan revitalisasi kebijakan desentralisasi fiskal. Revitalisasi kebijakan desentralisasi fiskal tersebut tercermin dari disahkannya UU Nomor 33 Tahun 2004 sebagai pengganti UU Nomor 25 Tahun 1999. Meskipun demikian, pemberlakuan UU Nomor 33 Tahun 2004 dimaksud, secara efektif, baru dimulai pada tahun 2006, sehingga perubahan belum begitu terasa di tahun 2004 dan 2005. Periode tahun 2004–2005 merupakan masa peralihan pelaksanaan pola transfer dari sebelum revisi menuju implementasi hasil revisi. Peralihan dimaksud merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan agenda penyusunan rumusan teknis pelaksanaan berupa peraturan pemerintah maupun peraturan pendukung lainnya. Secara umum kebijakan perimbangan keuangan dilaksanakan mengacu kepada ketentuan UU Nomor 25 Tahun 1999, namun di dalam pelaksanaan teknisnya terutama yang berkaitan dengan mekanisme administratif telah dilakukan
42
Distribusi dan Pengelolaan Dana Desentralisasi
penyesuaian dengan peraturan perundangan di bidang pengelolaan keuangan negara.
Pengelolaan Dana Perimbangan Dalam beberapa tahun terakhir, transfer dana dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah telah memberikan sumbangan terbesar dalam pendapatan daerah. Sejalan dengan prinsip kebijakan perimbangan keuangan bahwa perimbangan keuangan merupakan subsistem dari keuangan negara dan harus memperhatikan stabilitas dan keseimbangan fiskal, serta kebijakan daerah yang harus tetap sejalan dengan prioritas kebijakan fiskal secara nasional walaupun daerah mempunyai keleluasaan penuh dalam pengelolaan belanjanya,. Dana perimbangan di Indonesia terdiri dari beberapa bagian yaitu : ã Dana Alokasi Umum ã Penetapan Alokasi DBH Sumber Daya Alam (SDA) ã Kebijakan DBH Dana Bagi Hasil (DBH) ã Penetapan Alokasi DBH Pajak ã Dana Alokasi Khusus (DAK) Peningkatan yang cukup signifikan pada transfer dana ke daerah melalui dana perimbangan telah menyebabkan keleluasaan belanja pusat dalam pengalokasian dalam APBN secara agregat berkurang. Sebaliknya proporsi pengelolaan fiskal dalam penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab daerah sepenuhnya melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) meningkat tajam. Pergeseran anggaran transfer dari pusat ke daerah tersebut ini juga sejalan dengan kenyataan bahwa daerah akan mempunyai fleksibilitas yang cukup tinggi, atau keleluasaan penuh dalam pemanfaatan sumbersumber utama pendanaan tersebut.
Dana Alokasi Umum (DAU) Setelah dialokasikannya DAU pertama kali pada tahun 2001 terdapat pandangan dari sebagian kalangan bahwa alokasi DAU tahun 2001 belum dapat menciptakan keseimbangan horizontal antar daerah. Pandangan tersebut timbul karena pada kenyataannya masih terdapat daerah-daerah dengan kapasitas fiskal relatif besar mendapatkan alokasi DAU yang relatif besar pula. Untuk menghasilkan perhitungan alokasi DAU yang lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya, Pemerintah meninjau kembali formula DAU tahun 2001. Dasar hukum peninjauan kembali formula DAU Tahun 2001 adalah: (i) ketentuan dalam Keppres Nomor
43
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
181 Tahun 2000 tentang alokasi DAU untuk Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2001 yang menyatakan bahwa penetapan DAU tahun 2001 hanya berlaku untuk tahun yang bersangkutan dan tidak terkait dengan penghitungan DAU tahun 2002 dan tahun-tahun selanjutnya; (ii) kesepakatan dalam Rapat DPOD pada tanggal 18 Desember 2000 yang menyatakan bahwa dalam formulasi DAU tahun 2001 masih banyak terdapat kelemahan sehingga perlu dilakukan perbaikan-perbaikan guna menyempurnakan formulasi DAU tahun 2002 dan tahun-tahun berikutnya; serta (iii) kesepakatan dalam Tim Kecil Dana Perimbangan Panitia Anggaran DPR-RI pada tanggal 28 Maret 2001 yang menyatakan bahwa perlu dilakukan penyempurnaan formula dan distribusi DAU tahun 2002 dengan tujuan untuk mengurangi celah fiskal (fiscal gap) antar daerah serta dapat lebih mencerminkan azas keadilan dan pemerataan.1 (Departemen Keuangan, 2004). Sebagai hasil penyempurnaan formula DAU, pada tahun 2002 terjadi penurunan dalam penerimaan alokasi DAU pada beberapa daerah, khususnya daerah yang mempunyai kapasitas fiskal relatif besar karena memiliki potensi sumber daya alam besar. Namun demikian, kondisi tersebut menimbulkan reaksi cukup keras dari daerah-daerah tersebut meskipun secara konseptual penyempurnaan formulasi ini dibenarkan. Dibandingkan dengan variabel yang digunakan dalam perumusan DAU tahun sebelumnya, variabel yang digunakan dalam perumusan DAU untuk tahun 2002 dan 2003 merupakan variabel yang paling sesuai dengan amanat UU No.25/1999. Namun demikian dalam penetapan DAU sendiri masih menyimpan sejumlah permasalahan. Jika menganut prinsip money follows function, maka tentu saja setiap kewenangan baik di propinsi maupun di kabupaten/kota akan diikuti sesuai dengan bunyi pasal 8 UU No.25/1999. Saat ini banyak daerah yang mengeluhkannya jumlah DAU yang mereka terima karena hanya cukup untuk membayar Belanja Gaji Pegawai daerah. Akibatnya DPRD daerah yang bersangkutan belum berani membahas APBD kalau belum mendapat kepastian akan adanya tambahan sumber pembiayaan. Revisi perlu dibuat untuk porsi DAU, yang menurut UU No.22/1999, hanya sebesar 25% dari penerimaan domestik, sebab patokan 25% masih dirasa kurang oleh daerah. Disamping itu pembagian antara bagian propinsi (10%) dan bagian kabupaten (90%), juga belum jelas dasar yanag digunakannya. Masalah penentuan bobot masing-masing daerah juga belum transparan. Kriteria potensi daerah dan 1
Departemen Keuangan RI, Tinjuan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 2004-2005
44
Distribusi dan Pengelolaan Dana Desentralisasi
kebutuhan daerah juga kurang representatif secara langsung untuk pembiayaan daerah. Ketidaktransparanan tampak sekali pada faktor penyeimbang yang sangat menentukan besarnya DAU yang akan diterima oleh daerah. Tampaknya faktor politis, merupakan faktor yang cukup dominan dalam penentuan DAU ini karena tampaknya belum seluruh variabel digunakan untuk menentukan besar DAU yang diterima oleh suatu daerah. Sampai dengan tahun 2005, sekitar 35 persen DAU untuk Provinsi dan 45 persen DAU untuk Kabupaten/Kota yang dialokasikan berdasarkan Alokasi Minimum(AM) yang terdiri dari Lumpsum dan Proporsional Belanja Pegawai. Hal ini berarti bahwa DAU yang dialokasikan kepada daerah belum sepenuhnya menggunakan formula berdasarkan Kesenjangan Fiskal (KF). Berdasarkan proporsi antara AM dan KF terlihat bahwa fungsi DAU sebagai horizontal imbalance masih belum dapat dilaksanakan secara optimal. Hal tersebut mengingat daerah-daerah yang mempunyai kapasitas fiskal relatif besar masih mendapatkan alokasi DAU yang didasari AM. Hal ini terjadi karena adanya kebijakan hold harmless dalam kebijakan DAU di Indonesia.2 Dengan adanya kebijakan hold harmless ini, daerah tidak mengalami penurunan dalam penerimaan DAU. Untuk pelaksanaan kebijakan hold harmless ini, disediakan dana penyesuaian yang bersumber dari APBN, yang pengalokasiannya dilakukan bersamaan dengan pengalokasian DAU.
Dana Penyesuaian (DP) – Hold Harmless dalam Penetapan DAU Adanya tuntutan bahwa DAU suatu daerah tidak boleh turun dari tahun sebelumnya, mendesak Pemerintah dan Panitia Anggaran DPR-RI sepakat untuk mengalokasikan dana penyeimbang/penyesuaian untuk menutup sebagian penurunan DAU yang dialami oleh beberapa daerah. Dalam perkembangannya, penggunaan Dana Penyesuaian atau yang sebelum TA 2004 disebut Dana Penyeimbang, selain untuk menutup sebagian penurunan DAU (Dana Penyesuaian Murni), juga digunakan sebagai bantuan kepada daerah apabila terdapat kebijakan pemerintah yang berakibat terhadap bertambahnya beban keuangan daerah (Dana Penyesuaian Adhoc ). Sebagai dana tambahan yang bersifat kebijakan sementara dalam mengantisipasi penurunan kemampuan keuangan daerah akibat fluktuasi penerimaan DAU, dana penyesuaian direncanakan semakin lama semakin mengecil. Hal ini dimaksudkan untuk lebih mengoptimalkan formula DAU, sehingga tujuan 2
Dalam perhitungan alokasi DAU di Indonesia kebijakan hold harmless mempunyai pengertian bahwa tidak ada daerah mendapatkan DAU lebih kecil daripada DAU yang diterimanya pada tahun sebelumnya.
45
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
alokasi DAU sebagai alat pemerataan kemampuan keuangan antar daerah dapat lebih maksimal. Namun karena adanya kebijakan nasional untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai negeri sipil, termasuk yang ada di daerah, pemerintah mempunyai beban politis untuk membantu keuangan daerah dengan memberikan dana tambahan diluar dana perimbangan yang diwujudkan sebagai DP Adhoc karena kebijakan tersebut juga menambah beban APBD. Dalam perkembangan selanjutnya tuntutan kepada pemerintah untuk memberikan tambahan dana tidak hanya karena adanya kebijakan yang terkait dengan beban belanja PNSD ini saja. Dalam rapat RUU APBN tahun 2005 antara Pemerintah dengan Panitia Anggaran DPR-RI berkembang tuntutan tambahan DAU yang dikaitkan juga dengan kesenjangan infrastruktur antar daerah, keadilan terhadap daerah yang berkontribusi dalam penerimaan negara, yang akhirnya muncul kesepakatan dialokasikannya DP Adhoc II. Sejalan dengan tuntutan ketentuan dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 dan PP Nomor 55 Tahun 2005, dalam tahun 2006 seluruh kebijakan yang terkait dengan gaji PNS daerah telah diperhitungkan dalam komponen Alokasi Dasar pada formula DAU, sehingga dalam tahun 2006 pemerintah hanya mengalokasikan DP Murni dan DP Adhoc yang dikaitkan dengan kesenjangan infrastruktur daerah. Sesuai dengan ketentuan dalam kedua peraturan tersebut, Dana Penyesuaian hanya dialokasikan kepada daerah provinsi yang mengalami penurunan DAU dibandingkan dengan penerimaan DAU tahun 2005, sampai dengan tahun 2007. Kesepakatan untuk melakukan penyesuaian terhadap implementasi formula DAU tahun 2002 sedemikian rupa sehingga tidak ada daerah yang mengalami penurunan penerimaan DAU pada tahun 2002 dibandingkan dengan penerimaan DAU tahun 2001. Kebijakan inilah yang disebut hold harmless. Kebijakan hold harmless timbul sebagai jawaban atas keinginan politis agar daerah-daerah tertentu, khususnya daerah yang memiliki potensi kapasitas fiskal relatif besar, tidak mengalami adanya penurunan dalam jumlah alokasi DAU setiap tahunnya. Kebijakan hold harmless tersebut sebenarnya merupakan kontra prestasi dari tujuan awal alokasi DAU yaitu untuk memperkecil ketidakseimbangan fiskal antar daerah. Dengan diberlakukannya kebijakan tersebut, daerah-daerah yang memiliki kapasitas fiskal tinggi dibandingkan dengan kebutuhan fiskalnya justru diberikan semacam ‘insentif ’ untuk menutupi penurunan DAU-nya, sedangkan daerahdaerah yang mengalami peningkatan DAU memperoleh ‘disinsentif ’ karena kenaikan DAU-nya harus dikurangi untuk menutupi penurunan DAU pada daerah-daerah lain. Namun demikian, masih besarnya intervensi politik dalam
46
Distribusi dan Pengelolaan Dana Desentralisasi
proses perhitungan DAU setiap tahun menyebabkan kebijakan tersebut tetap dilaksanakan pada tahun-tahun berikutnya. Hal tersebut menyebabkan alokasi DAU menjadi bias karena daerah-daerah yang secara kuantitatif seharusnya mengalami penurunan DAU justru menerima DAU minimal sama dengan tahun sebelumnya.
Penghapusan Kebijakan Hold Harmless Dengan diberlakukannya UU Nomor 33 Tahun 2004, dalam Penjelasan Pasal 107 ayat (2) diamanatkan bahwa alokasi DAU yang diberlakukan untuk masingmasing daerah ditetapkan tidak lebih kecil dari tahun anggaran 2005 dan berlaku sampai dengan tahun 2007. Selain itu, dalam Pasal 32 UU yang sama juga diatur beberapa kondisi pengalokasian DAU sesuai kemampuan fiskal masing-masing daerah. Dengan adanya ketentuan tersebut diharapkan tujuan pengalokasian DAU kembali pada konsep awal, dimana daerah-daerah dengan potensi kapasitas fiskal relatif besar mulai tahun 2008 dimungkinkan mengalami penurunan DAU, atau bahkan tidak menerima DAU sama sekali. Meskipun demikian, rencana penghapusan kebijakan hold harmless tersebut belum tentu dapat dengan mudah dilaksanakan. Tuntutan politis untuk mempertahankan bahkan terus meningkatkan perolehan DAU bagi seluruh daerah nampaknya masih cukup tinggi. Dalam hal ini perspektif kedaerahan terkesan masih terlihat nyata dalam perhitungan DAU setiap tahun pada saat pembahasan belanja daerah antara pemerintah dengan Panitia Anggaran DPR-RI. Dengan perkataan lain terdapat kecenderungan bahwa kepentingan daerah lebih dominan bila dibandingkan dengan kepentingan nasional. Hal ini dikhawatirkan akan menjadi kontraproduktif dalam pelaksanaan otonomi daerah. Dengan demikian, keberhasilan penerapan penghapusan kebijakan hold harmless mulai tahun 2008 sangat ditentukan oleh political will pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta DPR-RI dalam upaya mengoptimalkan alokasi DAU bagi kepentingan seluruh daerah. Dengan demikian diharapkan daerah dapat memahami bahwa perolehan DAU bagi setiap daerah dapat mengalami penurunan bahkan mungkin menjadi nol seiring dengan meningkatnya kemampuan fiskal di daerah yang bersangkutan.
Bagian Daerah dari Bagi Hasil SDA Bagi hasil dari minyak dan gas bumi (dan sumber daya alam lainnya) bisa dipertimbangkan untuk direvisi mengingat sebenarnya bukan merupakan sumbersumber penerimaan yang cocok untuk dibagi hasilkan. Alasan kenapa tidak cocok
47
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
untuk dibagihasilkan adalah: 1) Tidak terdistribusi secara merata, 2) Penerimaannya sangat fluktuatif, dan 3) Bukan merupakan sumber penerimaan jangka panjang yang buoyant, karena sifat non-renewable dari SDA ini. Usulan ini jelas bukan usulan yang populer bagi daerah dan bisa dipastikan tidak akan diterima. Sebagai kompensasi dari penghapusan bagi hasil dari SDA ini, dapat diganti dengan kemungkinan pembagian hasil sumber daya buatan yang ada di daerah. Sumber daya buatan ini lebih bersifat renewable, dan dapat mendorong daerah untuk terus mengembangkannya. Selain itu secara konseptual sebenarnya daerah bisa difokuskan sumber penerimaan lainnya yang menjadi hak daerah seperti: beberapa jenis pajak dan retribusi yang ada kaitannya dengan migas; royalti yang terkait dengan migas (SDA lainnya) yang bisa dibagi hasilkan atau bahkan diserahkan kepada daerah; bagi hasil dari cukai, dan piggy-backed dari PPh Badan.
Bagi Hasil dari Pajak Pola dan persentase pembagian yang tidak terdistribusi secara baik dalam pembagian dana bagi hasil dari penerimaan pajak, disebabkan karena dalam ketentuan perundangan tidak menyebutkan batasan minimal yang harus dipenuhi dalam melakukan penetapan bagian daerah Kabupaten/Kota oleh Gubernur. Pembagian dimaksud didasarkan pada PP Nomor 115 Tahun 2000 yang hanya mempertimbangkan jumlah penduduk, luas wilayah, dan faktor-faktor lainnya yang relevan dalam rangka pemerataan. Implikasi yang ditimbulkan dengan pola pembagian tersebut di antaranya yaitu kurang termotivasinya daerah untuk menggali potensi penerimaan PPh Perseorangan karena pembagian yang dilakukan dirasakan kurang adil dan justru merugikan daerah-daerah yang mempunyai potensi penerimaan yang tinggi. Untuk mengurangi adanya keterlambatan penetapan dan pembagian ke Provinsi dan Kabupaten/Kota yang lebih mendekati potensinya sesuai dengan prinsip by origin, maka mulai tahun 2006 alokasi penetapan DBH PPh Perseorangan dilakukan oleh Menteri Keuangan. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 dan PP Nomor 55 Tahun 2005.
Undang-Undang Sektoral dan Desentralisasi Fiskal Sejak diberlakukannya desentralisasi, pengaturan norma, standar, dan prosedur belum dapat dipenuhi. Hal ini dapat terlihat dari implementasi desentralisasi yang masih menghadapi berbagai permasalahan, yang tidak saja disebabkan oleh
48
Distribusi dan Pengelolaan Dana Desentralisasi
beberapa hal yang berasal dari ketetapan dalam UU, namun juga permasalahan di luar ketentuan perundangan. Ketentuan dalam UU yang menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaan otonomi daerah, antara lain tidak adanya penegasan hubungan (hierarchy) kewenangan administrasi dan keuangan antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota. Pengaturan teknis tentang pembagian kewenangan pemerintahan sebagaimana diatur dalam PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi, Kewenangan Daerah Otonom terdiri dari kewenangan yang dikelola oleh Pusat dan Provinsi, sedangkan kewenangan kabupaten/kota diberikan secara terbuka di luar kewenangan pusat dan provinsi. Kondisi di atas juga menyebabkan mekanisme pengelolaan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang dilaksanakan berdasarkan azas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan dalam banyak hal masih dilaksanakan secara tumpang tindih, serta berdampak juga kepada alokasi anggarannya bahkan sampai dengan sewindu pelaksanaan desentralisasi. Tumpang tindih pelaksanaan kewenangan dan alokasi dana di antara ketiga azas dimaksud menjadi salah satu pertimbangan dalam penyusunan UU Nomor 32 Tahun 2004. Di lain pihak, pengaturan untuk mempertegas alokasi anggaran pelaksanaan desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan pada dasarnya menjadi salah satu dasar dalam pengaturan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.
Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Dekonsentrasi dan Tugas Perbantuan (TP) Pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan melalui DAK, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan menunjukkan perkembangan yang terus meningkat. Perbandingan jumlah dana DAK terhadap Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan menunjukkan pembiayaan melalui DAK masih relatif kecil. Pada sisi lain Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan yang jumlahnya relatif besar namun belum disertai dengan transparansi dari sisi jumlah dan sasarannya masih sering dipertanyakan. Pada tataran implementasi, konsep dekonsentrasi lebih banyak diperbincangkan oleh berbagai kalangan, dan bahkan lebih mengemuka dibandingkan dengan TP. Apabila dicermati secara mendalam, perbincangan mengenai kedua konsep tersebut terkadang kurang didukung dengan pemahaman filosofi yang benar, termasuk implikasinya terhadap peraturan perundangan yang mengatur tentang pengelolaan dana dekonsentrasi/TP. Sebagai akibatnya, praktek
49
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
penyelenggaraan dekonsentrasi dan TP sering dipertanyakan, terutama mengenai bentuk kegiatan, eksistensi pendanaan, serta sistem pelaporan dan pertanggungjawabannya. Selain itu, kajian akademis tentang pengelolaan dana dekonsentrasi/TP selama ini jarang dilakukan. Data, informasi, dan referensinya pun sangat terbatas. Mengingat segala keterbatasan yang ada, maka wujud pelaksanaan dana dekonsentrasi dan dana TP sebagaimana yang dikehendaki oleh peraturan perundangan masih patut dipertanyakan dan bahkan perlu ditinjau kembali dari berbagai aspek, agar dikemudian hari tidak menimbulkan duplikasi dan inefisiensi dalam pengelolaan belanja pemerintah pusat di daerah. Dalam praktek penganggaran sering dijumpai adanya duplikasi dan tumpang tindih pendanaan yang diakibatkan oleh adanya pemisahan antara pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Demikian pula adanya duplikasi dan tumpang tindih pendanaan terhadap satu objek kegiatan yang sama yang didanai dari APBN dan APBD. Sebelum era desentralisasi, bagian dari anggaran K/L yang dialokasikan di daerah diindikasikan telah mendanai sebagian urusan pemerintahan yang sudah menjadi kewenangan daerah, demikian pula sebaliknya. Timbulnya duplikasi pendanaan seperti ini umumnya disebabkan karena belum jelasnya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah provinsi sebagaimana yang telah diatur dalam PP Nomor 25 Tahun 2000.
Harmonisasi Dana Desentralisasi dengan Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan yang Digunakan Untuk Mendanai Urusan Daerah Tumpang tindih pelaksanaan kewenangan dan alokasi dana di antara ketiga azas tersebut diatas menjadi salah satu pertimbangan dalam penyusunan UU Nomor 32 Tahun 2004. Selanjutnya, secara tegas aturan peralihan dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 mengamanatkan adanya pengalihan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan yang mendanai urusan daerah menjadi Dana Alokasi Khusus (DAK) yang merupakan bagian dari dana desentralisasi. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan harmonisasi dan sinkronisasi atas berbagai ketentuan perundangan yang relevan dengan kebijakan otonomi daerah, nampaknya berjalan tidak seiring dengan amanat undang-undang yang memberikan arti otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah. Pembagian bidang kewenangan wajib sejumlah 25 (dua puluh lima) jenis yang diselenggarakan oleh pusat dan kemudian dibagi kepada provinsi, merupakan pembagian yang dapat dikategorikan sebagai fungsi pemerintahan dalam memberikan standar-standar penyelenggaraan pelayanan kepada publik. Namun demikian, para penyelenggara kebijakan di
50
Distribusi dan Pengelolaan Dana Desentralisasi
departemen/lembaga nampaknya belum mempunyai pemahaman yang komprehensif atas pelaksanaan undang-undang yang mengatur otonomi daerah, khususnya yang berkaitan dengan keuangan daerah. Hal ini berdampak kepada pengaturan teknis oleh departemen/lembaga yang tidak selaras dengan pengaturan norma dan standar kewenangan teknis antara pusat dan daerah. Oleh karena itu, perlu dilaksanakan harmonisasi dan sinkronisasi terhadap kelembagaan maupun peraturan perundang-undangan berkaitan dengan desentralisasi. Dalam hal ini agenda harmonisasi kelembagaan dilakukan dalam rangka penyesuaian hubungan kewenangan pusat (departemen/lembaga) dengan kewenangan pemerintah daerah, sehingga kewenangan dan dana baik yang diserahkan, didelegasikan, maupun diperbantukan dapat dilaksanakan dengan tegas. Agenda sinkronisasi peraturan perundangan juga dilakukan guna menyelaraskan pelaksanaan kewenangan oleh departemen/lembaga. Tujuan dilakukannya upaya penyelarasan dan pengharmonisasian antara dana dekonsentrasi/ tugas pembantuan dengan dana desentralisasi adalah sebagai berikut: a. menciptakan keselarasan antara kebijakan penataan urusan pemerintahan, perencanaan, dan penganggaran; b. mengeliminasi kemungkinan terjadinya duplikasi pendanaan terhadap satu objek/jenis urusan yang sama; c. meningkatkan sinergitas penggunaan dana sejalan dengan pelaksanaan asas Dekonsentrasi, Tugas Pembantuan, dan Desentralisasi; dan d. menjamin kesinambungan pendanaan dan pelaksanaan program pusat dan daerah. Guna mengurangi kemungkinan terjadinya tumpang tindih pendanaan dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal di masa mendatang, maka keberadaan dana Dekonsentrasi, dana Tugas Pembantuan, dan dana Desentralisasi harus dikelola secara profesional oleh para pengguna anggaran/pengelola keuangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Profesionalisme dalam pengelolaan keuangan menuntut perlunya harmonisasi dan sinergitas penggunaan dana-dana dimaksud guna menjamin terselenggaranya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan agar dapat memberi dampak pada peningkatan efisiensi belanja pemerintah pusat di daerah. Penataan urusan pemerintahan dimaksudkan untuk memperjelas sekaligus memproporsionalkan kewenangan masing-masing tingkatan pemerintahan agar nantinya prinsip “structure follows functions” dan “money follows functions” dapat
51
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangan. Sejalan dengan peta pembagian urusan pemerintahan, maka pemerintah pusat memberikan pengaturan terhadap sistem pendanaan urusan berdasarkan asas Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan. Berdasarkan ketiga asas ini, pemerintah pusat dapat menentukan alokasi sumber-sumber pendanaan dengan mempertimbangkan: volume, beban, dan jenis urusan pemerintahan yang akan diserahkan kepada daerah. Dengan adanya pembagian urusan pemerintahan tersebut diharapkan dapat tercipta harmonisasi dan sinergitas pendanaan terhadap sesuatu urusan yang telah ditetapkan dalam lingkup kewenangan masing-masing tingkatan pemerintahan. Harmonisasi pendanaan ini harus dibarengi dengan perencanaan dan penganggaran yang tepat. Harmonisasi dapat dilakukan melalui berberapa cara, yakni dengan: 1) Harmonisasi Pendanaan Melalui Penataan dan Pembagian Urusan; 2) Harmonisasi Pendanaan melalui Perencanaan dan Penganggaran.
Konsepsi Pengalihan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan yang Digunakan untuk Mendanai Urusan Daerah. Pasal 108 UU Nomor 33 Tahun 2004 menyebutkan bahwa “Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan yang merupakan bagian dari anggaran kementerian negara/lembaga yang digunakan untuk melaksanakan urusan yang menurut peraturan perundangan menjadi urusan Daerah, secara bertahap dialihkan menjadi Dana Alokasi Khusus. Dalam pelaksanaannya, proses pengalihan dimaksud harus sejalan dengan ketentuan perundangan yang mengatur mengenai pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan. Dalam hal ini, PP Nomor 25 Tahun 2000 secara jelas mengatur pembagian wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Keberpihakan sektoral masih tetap ada dan semakin meluas hampir di setiap departemen teknis/LPND, dan dana dekonsentrasi serta tugas pembantuan dimanfaatkan untuk memperoleh skim dana tambahan. Disamping itu proses anggarannya tidak mengikuti prinsip money follows function, serta sarat muatan politis. Permasalahan ini tentu saja bertolak belakang dengan peraturan yang ada seperti terdapat dalam PP Nomor 25 tahun 2000 merupakan aturan pelaksanaan dari Pasal 7 ayat (2) UU Nomor22 tahun 1999, dimana jika diteliti secara seksama masih banyak kewenangan-kewenangan yang semestinya sudah dapat diserahkan atau dilimpahkan kepada daerah ternyata masih melekat pada kewenangan pemerintah pusat dan juga pada PP Nomor 39 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Dekonsentrasi, dimana pada pasal 2 ayat (3) menyatakan bahwa
52
Distribusi dan Pengelolaan Dana Desentralisasi
kewenangan yang dapat dilimpahkan kepada Gubernur meliputi sebagian kewenangan yang dikecualikan dalam pasal 7 UU Nomor 22 tahun 1999. Pelaksanaan dekonsentrasi/TP yang belum sesuai dengan peraturan perundang-undangan disebabkan antara lain oleh berbagai faktor, terutama: a. Sebagian undang-undang sektoral belum disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan di bidang otonomi daerah; b. PP Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi sebagai Daerah Otonom belum berjalan sebagaimana yang diharapkan; c. Dokumen Satuan III departemen teknis (Tahun Anggaran 2004) belum memilah anggaran sektoral dalam bentuk dana dekonsentrasi dan dana TP; d. Peraturan perundanganyang terkait dengan penyelenggaraan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan belum dapat dialokasikan secara utuh; e. Belum adanya komitmen yang kuat dari berbagai pihak terkait dalam mendukung penyelenggaraan dekonsentrasi/TP. Hal ini juga diperburuk oleh tidak adanya satu pasal pun dalam PP Nomor 52 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Tugas Pembantuan yang menjelaskan dengan tegas masalah pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah. Dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan seringkali kurang terinformasikan secara menyeluruh dalam proses perencanaan dan penganggaran, baik besaran dana maupun sasaran programnya (Astia Dendi dan Arif Roesman). Untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan anggaran dekonsentrasi/TP pada setiap K/L, pemerintah menerbitkan PP Nomor 21 Tahun 2004 tentang RKA-K/L sebagai landasan operasional dari UU Nomor 17 Tahun 2003. Berdasarkan PP tersebut, anggaran K/L mulai tahun 2005 sudah terpilahpilah secara eksplisit dalam dokumen RKA-K/L yang dirinci menurut pelaksana kegiatan yaitu kantor pusat (KP), kantor daerah (KD), dekonsentrasi, dan TP. Namun demikian mengingat tahun 2005 merupakan awal penerapan UU Nomor 17 Tahun 2003 dan PP Nomor 21 Tahun 2004, maka di dalam implementasinya masih ditemukan berbagai kelemahan. Hal ini dapat dimaklumi karena pihak K/ L masih belum terbiasa dengan penerapan konsep RKA-K/L, sehingga masih dijumpai adanya Penempatan kegiatan dekonsentrasi dan TP dalam dokumen RKA-K/L masih belum sesuai dengan yang diharapkan.
53
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
Pengalihan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang membiayai urusan daerah menjadi DAK merupakan salah satu amanat dalam UU Nomor 33 tahun 2004. Dampak positif yang diharapkan dari pengalihan tersebut mencakup antara lain, (i) penegakan disiplin fiskal, (ii) memperkuat akuntabilitas, (iii) mengurangi standar ganda di daerah, (iv) mendukung efektifitas DAK, serta (v) pemerataan fiskal. Namun demikian, dalam pelaksanaan pengalihan tersebut masih terdapat beberapa hambatan. Hambatan pertama adalah bahwa penyerahan kewenangan yang telah menjadi urusan daerah belum sepenuhnya dilaksanakan oleh Departemen/LPND. Selain itu pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah belum dapat tergambar secara baik dalam PP Nomor 25 tahun 2000 yang hingga saat ini belum selesai direvisi. Sedangkan peraturan pelaksanaan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan juga belum terbit, sehingga PP Nomor 39 Tahun 2000 dan PP Nomor 52 Tahun 2000 masih digunakan sebagai acuan. Dan permasalah lainnya adalah prosedur pengalihan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan menjadi DAK belum diatur melalui Peraturan Pemerintah sehingga amanat pengalihan yang dimaksud belum dapat dilaksanakan sepenuhnya.
Pengelolaan Anggaran dan Belanja Di Daerah Pada dasarnya, Pemerintah Daerah memiliki peranan yang penting dalam penyediaan pelayanan publik. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa permintaan terhadap pelayanan publik dapat berbeda-beda antar daerah. Sementara itu, Pemerintah Daerah juga memiliki kedudukan yang paling dekat dengan publik untuk mengetahui dan mengatasi perbedaan-perbedaan dalam permintaan dan kebutuhan pelayanan tersebut. Satu hal yang menjadi sangat penting untuk dibahas adalah bagaimana memutuskan untuk mendelegasikan tanggung jawab pelayanan publik atau fungsi belanja pada berbagai tingkat pemerintahan. Secara teoritis, terdapat dua pendekatan yang berbeda dalam pendelegasian fungsi belanja, yaitu pendekatan “pengeluaran/belanja” dan pendekatan “pendapatan/penerimaan”. Menurut pendekatan “pengeluaran”, kewenangan sebagai tanggung jawab antar tingkat pemerintahan dirancang sedemikian rupa agar tidak saling tumpang tindih. Pendelegasian ditentukan berdasarkan kriteria yang bersifat obyektif, seperti tingkat lokalitas dampak dari fungsi tertentu, pertimbangan keseragaman kebijakan dan penyelenggaraan, kemampuan teknik dan manajerial pada umumnya, pertimbangan faktor-faktor luar yang berkaitan dengan kewilayahan, efisiensi, dan skala ekonomi (economy of scale). Sementara itu menurut
54
Distribusi dan Pengelolaan Dana Desentralisasi
pendekatan “pendapatan”, sumber pendapatan publik dialokasikan antar berbagai tingkat pemerintah yang merupakan hasil dari tawar-menawar politik. Pertukaran iklim politik sangat mempengaruhi dalam pengalokasian sumber dana antar tingkat pemerintahan. Selanjutnya, meskipun pertimbangan prinsip di atas masih relevan, namun kemampuan keuangan daerah menjadi pertimbangan yang utama. Dalam kaitannya dengan APBD, belanja APBD terdiri dari belanja aparatur dan belanja publik. Keduanya digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari, seperti belanja pegawai, belanja operasional dan pemeliharaan, serta belanja perjalanan dinas. Sedangkan belanja modal digunakan untuk mendanai peningkatan kualitas pelayanan publik, berupa pembangunan prasarana dan sarana publik. Selain itu, juga terlihat bahwa peranan belanja pemerintah terhadap perekonomian regional di daerah Jawa sangat rendah apabila dibandingkan dengan daerah di luar Jawa. Hal ini berarti bahwa yang berperan dalam menggerakkan roda perekonomian di daerah Jawa adalah sektor swasta. Sementara di daerah-daerah marjinal, pemerintah daerah mempunyai peranan yang sangat dominan dalam perekonomian regional. Dengan demikian, kebijakan fiskal pemerintah masih mempunyai multiplier effect yang cukup kuat dalam menggerakkan perekonomian daerah.
Manajemen Keuangan Daerah dalam Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal ke Depan Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia saat ini masih diperlukan peran pemerintah pusat dalam melakukan pengawasan dan enforcement terhadap pelaksanaan pembagian kewenangan di daerah. Prinsip money follows function yang dilaksanakan secara konsisten dan eksplisit tertuang dalam pasal-pasal pada revisi UU Nomor 22 Tahun 1999 dan revisi UU Nomor 25 Tahun 1999. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya transfer sumber keuangan kepada daerah tanpa diikuti penyelenggaraan tugas desentralisasi yang seharusnya sudah menjadi tanggung jawab daerah dengan baik.3 Selain itu, kebijakan desentralisasi fiskal harus dilaksanakan dengan mempertimbangkan kebijakan makro ekonomi guna menunjang fiscal sustainability.
3
Roy Bahl, 2001
55
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
Kewenangan Pembelanjaan (Expenditure Assignment) Secara konseptual, kebijakan sektor publik memiliki tiga peranan penting dalam ekonomi yaitu: stabilisasi, distribusi, dan alokasi (atau penyediaan pelayanan publik). Ketiga peranan tersebut akan lebih efektif dilaksanakan apabila Pemerintah Pusat melaksanakan kewenangan dalam hal stabilisasi dan distribusi, namun kewenangan dalam hal alokasi akan lebih efektif apabila dilakukan oleh pemerintah daerah. Hal tersebut karena Pemerintah Daerah sebagai unit terkecil dari pemerintahan melaksanakan peranan yang penting dalam penyediaan pelayanan publik yang lebih dekat kepada masyarakat. Secara lebih spesifik Pemerintah Pusat seharusnya melaksanakan kewenangan untuk menyediakan pelayanan publik yang bersifat lintas daerah (nasional), pertahanan, keamanan, urusan luar negeri, kebijakan moneter, peradilan, transfer kepada perseorangan dan dunia usaha, koordinasi kebijakan fiskal, pemerataan antardaerah, redistribusi, dan menjaga kelangsungan mekanisme pasar secara internal. Pemerintah provinsi seharusnya melaksanakan kewenangan di bidang pendidikan, kesehatan, asuransi sosial, infrastruktur antarkabupaten/kota, dan isuisu yang terkait dengan perbantuan dan pengawasan keuangan kepada pemerintah kabupaten/kota. Pelayanan publik yang seharusnya menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota merupakan kewenangan residu yang didistribusikan dari pemerintah provinsi yang seharusnya lebih diperjelas peranannya. Lebih lanjut, kebijakan desentralisasi fiskal harus dilaksanakan dengan mempertimbangkan kebijakan makro ekonomi guna menunjang fiscal sustainability. Dilihat dari gambaran consolidated revenues (APBD kabupaten/kota + provinsi + Penerimaan Dalam Negeri dalam APBN) di Indonesia, porsi PAD secara ratarata nasional hanya sebesar 5,28%. Hal tersebut menunjukan bahwa kondisi fiskal di Indonesia masih tergolong sangat sentralistis dibandingkan dengan negaranegara lain. Sebagai gambaran rata–rata consolidated revenues untuk Developing Countries, Transition Countries, dan OECD Countries masing-masing sebesar 9,27%, 16,59%, dan 19,13%, sedangkan persentase consolidated expenditures sudah cukup baik yaitu rata-rata mencapai 38,73%. Untuk itu diperlukan upaya untuk meningkatkan taxing power daerah antara lain melalui penyerahan beberapa pajak pusat serta sebagian PNBP kepada daerah, dan lain-lain kebijakan Sharing Tax atau Piggy Backing System. Kebijakan ini dilaksanakan sekaligus agar daerah tidak menggali sumber-sumber PAD yang berdampak distortif terhadap perekonomian. Dalam hal ini, pemberian kewenangan pelayanan publik kepada daerah yang semakin besar tetap mempertimbangkan
56
Distribusi dan Pengelolaan Dana Desentralisasi
Expenditure Efficiency Principles, sehingga tetap diperlukan adanya national guidelines yang dibuat oleh masing-masing departemen dengan menggabungkan preferensi daerah dan national interest.
Harmonisasi Urusan Pemerintahan dan Pendanaannya. Prinsip money follows function, akan dapat berjalan secara konsisten apabila perangkat perundangan dan penyelarasan institusional ditata sesuai dengan pembagian urusan pemerintahan yang diatur dalam UU Nomor 22 tahun 1999 dan direvisi dalam UU Nomor 32 tahun 2004 serta revisi PP Nomor 25 tahun 2000. Sementara itu, berbagai kendala dalam pengaturan pembagian kewenangan antara lain, yaitu: a. tumpang tindih kewenangan/urusan provinsi dan kabupaten/ kota khususnya di sektor kehutanan, kimpraswil, pertanahan, pendidikan, dan tenaga kerja. b. masih adanya ketidakjelasan pembagian kewenangan/urusan yang pada gilirannya akan menimbulkan permasalahan dalam penetapan perda-perda. Hal tersebut disebabkan karena: ã prinsip penghilangan hierarki provinsi sebagai daerah otonom dengan kabupaten/kota yang tidak ditindaklanjuti dengan pengaturan yang cukup jelas dan konsisten; ã mekanisme untuk menyerahkan kewenangan/urusan dari kabupaten/kota ke provinsi belum dijalankan; ã daftar kewenangan/urusan wajib yang disusun oleh departemen/lembaga sampai saat ini belum sama pendekatannya; ã kewenangan/urusan daerah di kawasan otorita belum jelas atau belum diakui oleh berbagai instansi di tingkat pusat; serta ã kewenangan/urusan kelautan yang masih menjadi perdebatan dan perebutan antar daerah. c. Pemerintah pusat tetap melaksanakan sebagian kewenangan yang menjadi urusan daerah khususnya di bidang pertanahan, keluarga berencana, kehutanan, perhubungan udara, dan penanaman modal. Untuk mewujudkan prinsip-prinsip pemerintahan daerah otonom di atas, pemerintah (pusat) berkewajiban untuk memberdayakan pemerintah daerah dalam melaksanakan kewenangan/urusannya. Pembagian kewenangan urusan kepada pemerintah daerah dilaksanakan dengan beberapa kriteria sebagai berikut:
57
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
a. eksternalitas, yang merupakan salah satu kewenangan/urusan tertentu yang berpotensi mengakibatkan dampak negatif terhadap daerah lain. Kewenangan/ urusan tersebut cenderung diberikan kepada tingkat pemerintahan yang mencakup wilayah jurisdiksi yang lebih luas. b. akuntabilitas, yaitu merupakan salah satu kewenangan/urusan tertentu yang cenderung diberikan kepada tingkat pemerintahan yang mempunyai potensi mendorong partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraannya. c. efisiensi, yaitu merupakan salah satu kewenangan/urusan tertentu yang cenderung diberikan kepada tingkat pemerintahan yang paling berpotensi dilihat dari segi efisiensi administratif, kapasitas teknis, dan skala ekonomis.
Sinkronisasi Pendanaan dengan Pembagian Kewenangan/Urusan Pusat dan Daerah Tugas dekonsentrasi dilaksanakan oleh unit dekonsentrasi (instansi vertikal) yang dibentuk oleh pemerintah pusat di daerah. Unit dekonsentrasi adalah bawahan dari lembaga pusat (induk) tertentu yang mengikuti arahan/instruksi dari pimpinan lembaga tersebut. Berbeda dengan pengertian dekonsentrasi, tugas pembantuan dapat ditentukan untuk masa yang cukup lama dan berkelanjutan (stabil). Keduanya dapat digunakan juga untuk hal-hal yang sifatnya periodik. Dari sisi pendanaan, dana untuk tugas pembantuan perlu disalurkan melalui anggaran daerah, sedangkan dana untuk tugas dekonsentrasi dapat langsung dialihkan kepada unit dekonsentrasi di daerah. Dengan demikian, pendanaan untuk tugas pembantuan dan dekonsentrasi dijamin oleh pemerintah pusat. Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa setiap penugasan harus diikutsertakan dengan pendanaan yang sesuai dengan biaya pelaksanaan tugas tersebut. Jaminan yang dimaksud berarti bahwa pusat harus secara berkelanjutan mengupayakan keseimbangan antara pendapatan daerah (baik pendapatan asli maupun alokasi dari pusat) dengan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh daerah, termasuk tugas pembantuan. Hal ini juga berarti pendanaan daerah perlu dievaluasi secara berkala dan disesuaikan dengan beban urusan yang mutlak dilaksanakan oleh Daerah (kewenangan/urusan wajib dan tugas pembantuan). Instrumen hukum untuk menetapkan tugas pembantuan sebaiknya adalah UU sektoral sehingga daerah melaksanakan urusan wajib dan tugas pembantuan sebagai urusannya sendiri, walaupun tugas pembantuan sebenarnya tetap berkaitan dengan kewenangan/urusan pemerintah pusat. Ruang gerak yang diberikan kepada
58
Distribusi dan Pengelolaan Dana Desentralisasi
daerah untuk mengatur dan melaksanakan baik tugas pembantuan maupun kewenangan/urusan wajib perlu ditentukan secara eksplisit dalam masing-masing UU sektoral tersebut.
Performance Base Budgeting sebagai Reformasi Perencanaan dan Penganggaran Secara umum, pengalokasian dana APBD untuk tiap SKPD diindikasikan kurang didasarkan pada aspek efisiensi dan efektivitas pelayanan SKPD. Hal tersebut tercermin dari adanya ketimpangan alokasi dana antar sektor di daerah. Meskipun intervensi politik masih relatif tinggi terhadap pengambilan keputusan mengenai anggaran, melalui penerapan Pengeluaran Berbasis Kinerja (PBK), penyusunan dan pembahasan APBD diharapkan dapat lebih difokuskan pada kaitan antara dana yang dialokasikan pada tiap SKPD dengan pencapaian output dan outcome secara terukur. Dengan demikian, PBK dapat membantu pemerintah daerah untuk meningkatkan akuntabilitasnya di mata publik. Reformasi penganggaran di Indonesia ditandai dengan keluarnya UU Nomor 17 Tahun 2003 dan UU Nomor 1 Tahun 2004, yang kemudian dilengkapi dengan UU Nomor 15 Tahun 2004. Reformasi di bidang penganggaran tersebut pada dasarnya dapat dibedakan menjadi 3 bidang, yaitu bidang pengelolaan keuangan negara (perencanaan dan penyusunan anggaran), bidang perbendaharaan negara (pelaksanaan anggaran), dan bidang pertanggungjawaban keuangan negara. UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang menandai reformasi sistem perencanaan pembangunan nasional, lahir sebagai konsekuensi dari amandemen UUD 1945, yang telah mengamanatkan perubahan dalam pengelolaan pembangunan. Di dalam UU SPPN tercakup landasan hukum di bidang perencanaan pembangunan, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. SPPN dalam UU ini adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara pemerintahan di pusat dan daerah dengan melibatkan masyarakat. a. Reformasi di bidang perencanaan dan penyusunan anggaran. UU Nomor 17 Tahun 2003 yang menjadi titik awal reformasi di bidang perencanaan dan penyusunan anggaran, banyak mengatur hal-hal yang mendasar berbagai aspek yang terkait dengan keuangan negara seperti pengertian dan ruang lingkup keuangan negara, asas-asas umum pengelolaan keuangan negara, kedudukan Presiden sebagai
59
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara, pendelegasian kekuasaan Presiden kepada Menteri Keuangan dan Menteri/Pimpinan Lembaga serta Kepala Daerah, susunan APBN dan APBD serta ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan APBN dan APBD. Dengan pengaturan berbagai hal tersebut, diharapkan pengelolaan keuangan negara dapat berjalan dengan tertib dan transparan. Selain pengaturan berbagai aspek yang terkait dengan perencanaan dan penyusunan anggaran, UU dibidang Keuangan Negara juga memperkenalkan 3 (tiga) perspektif baru dalam penyusunan anggaran yang sudah lazim berlaku di dunia internasional, yaitu (i) penerapan pendekatan pengeluaran dengan perspektif jangka menengah (Medium Term Expenditure Framework), (ii) penerapan penganggaran terpadu (Unified Buget), serta (iii) penerapan penganggaran berbasis kinerja (Perfomance Based Budgeting). Ketiga hal tersebut merupakan hal yang baru dalam sistem penyusunan anggaran di Indonesia, karena sebelumnya kita masih memisahkan anggaran rutin dan pembangunan, menyusun anggaran dalam perspektif 1 tahun serta penerapan anggaran yang berbasiskan input (masukan). b. Reformasi di bidang pelaksanaan anggaran. Pelaksanaan desentralisasi kewenangan dan keuangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sejauh ini terkonsentrasi pada pelaku dan besarnya dana yang tersedia. Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan desentralisasi kewenangan adalah perlunya pengukuran kinerja dan penggunaan dana yang sudah didesentralisasikan tersebut. Dengan kata lain, pengalokasian dana untuk program dan kegiatan pada SKPD perlu dikaitkan dengan kinerja SKPD yang dapat diukur serta tingkat pencapaian sasaran kegiatan yang dilakukan oleh SKPD. Hal tersebut sebenarnya sudah diantisipasi dan dicantumkan dalam UU nomor 17 tahun 2003 dan UU nomor 32 tahun 2004. Kedua undang-undang tersebut memberikan dasar hukum dan amanat bagi penerapan Penganggaran Berdasarkan Kinerja/PBK (performance basedbudgeting). Penerapan PBK diperlukan untuk mendukung pencapaian tujuan utama desentralisasi, yaitu meningkatkan kualitas pelayanan pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. Permasalahannya adalah bagaimana cara pengukuran peningkatan kualitas pelayanan pemerintah daerah tersebut setelah dilaksanakannya otonomi daerah. Selain itu dari sisi penganggaran, perlu dipertimbangkan pula bagaimana mengalokasikan dana secara efisien untuk setiap SKPD agar dapat mendorong kinerja SKPD dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat secara efektif.
60
Distribusi dan Pengelolaan Dana Desentralisasi
Hal-hal baru yang diatur dalam UU Nomor 1 tahun 2004 tersebut diatas, antara lain adalah ruang lingkup dan asas umum perbendaharaan negara, kewenangan pejabat perbendaharaan negara, pelaksanaan pendapatan dan belanja negara/daerah, pengelolaan uang dan piutang negara dan daerah, pengelolaan investasi dan dan barang milik negara/daerah serta penatausahaan dan pertanggungjawaban APBN/APBD. Beberapa hal penting yang diatur dalam UU Nomor 1 tahun 2004, yang membedakannya dengan praktek-praktek pelaksanaan anggaran sebelumnya, yaitu: a. penyelenggaraan kewenangan administratif diserahkan kepada kementerian/ lembaga, sedangkan kewenangan kebendaharaan diserahkan kepada Menteri Keuangan. b. Menteri Keuangan selaku bendahara umum negara adalah pengelola keuangan dalam arti yang seutuhnya, yaitu berfungsisebagai kasir, pengawas sekaligus manajer keuangan. c. pengaturan prinsip-prinsip yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi-fungsi pengelolaan kas, perencanaan penerimaan dan pengeluaran, pengelolaan utang, piutang, investasi serta barang milik negara/daerah. Pelaksanaan desentralisasi kewenangan dan keuangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sejauh ini terkonsentrasi pada pelaku dan besarnya dana yang tersedia Penerapan PBK diperlukan untuk mendukung pencapaian tujuan utama desentralisasi, yaitu meningkatkan kualitas pelayanan pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. Melalui penerapan PBK, penyusunan dan pembahasan APBD diharapkan dapat lebih difokuskan pada kaitan antara dana yang dialokasikan pada tiap SKPD dengan pencapaian output dan outcome secara terukur. Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan desentralisasi kewenangan adalah perlunya pengukuran kinerja dan penggunaan dana yang sudah didesentralisasikan. Penganggaran dengan pendekatan PBK, terutama jika dibarengi dengan penerapan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah/ KPJM (medium-term expenditure framework), dapat pula membantu pemerintah daerah dalam menjaga disiplin anggaran. Dengan PBK dan KPJM, keberlanjutan anggaran (fiscal sustainability) dapat lebih terjamin sambil tetap menjaga keberlanjutan upaya peningkatan kualitas pelayanan pemerintah. Di negara lain, misalnya di Australia, PBK dan KPJM telah sangat membantu upaya mengurangi defisit anggaran sambil tetap meningkatkan pelayanan pemerintah kepada publik. PBK juga akan membantu dalam membandingkan tingkat efisiensi dan efektivitas kegiatan yang dilakukan SKPD sejenis di daerah yang berbeda. Dengan demikian
61
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
PBK juga dapat mendorong perlombaan antar-pemerintah daerah dalam memajukan daerahnya masing-masing. Di Indonesia, hal tersebut sudah diatur dalam UU Nomor 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawaban Keuangan Negara. Dalam hal tersebut telah diatur mengenai kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan pemeriksaan kinerja, selain pemeriksaan keuangan. Untuk masa mendatang, perlu dirinci lebih lanjut mengenai proses dan mekanisme pemeriksaan kinerja tersebut sehingga bermanfaat bagi perbaikan program dan kegiatan. Selain BPK, dapat pula dilembagakan adanya kajian yang berkala mengenai pencapaian outcome dari suatu sektor/bidang.
Penutup Masalah perimbangan keuangan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat bukan hanya sekedar persoalan ekonomi semata. Aspek politik dan pemerataan turut mewarnai dalam persoalan ini. Kemampuan ekonomi pemerintah pusat dan daerah serta kemauan politik pemerintah pusat sangat berpengaruh di dalamnya. Pengelolaan dana desentralisasi fiskal juga harus memperhatikan harmonisasi dalam pembagian dana dan sumber dana yang didesentralisasikan antar tingkat pemerintahan maupun sektoral. Sehingga pada akhirnya, akan memajukan daerah untuk mencapai pengelolaan anggaran yang lebih efisien, akuntabel dan transparan. Untuk itu dibutuhkan kebesaran hati dan perhitungan yang matang dan komprehensif dalam merumuskan kebijakan desentralisasi fiskal ini, agar tercipta perimbangan keuangan yang baik dan mencerminkan pemerataan, demokratis, dan berkeadilan bagi setiap daerah. ]]]
62
Desentralisasi Fiskal dan Penguatan Kapasitas Fiskal Daerah Ig. Sigit Murwito* & Boedi Rheza**
u
S
ejak berdirinya NKRI tahun 1945 hingga saat ini, pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah di Indonesia mengalami pasang surut. Pasang surut pelaksanaan pola hubungan antar tingkatan pemerintahan tersebut terkait erat dengan posisi politis pemerintah pusat dan daerah. Manakala pemerintahan pusat dalam keadaan kuat, otonomi daerah bergerak pada ekstrim sentralisme; sebaliknya ketika perintahan pusat dalam posisi lemah “konsesi” yang diberikan kepada daerah akan besar dengan palaksanaan desentralisasi. Pemberlakuan paket Undang-undang Otonomi Daerah (UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah) pada Januari 2001 merupakan satu frakhmen baru dalam pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah di Indonesia. Berdasarkan UU Otonomi Daerah tersebut, pelaksanaan otonomi daerah dilakukan pada tingkatan pemerintahan paling bawah yakni Kabupaten/Kota. UU No. 22 Tahun 1999 membawa angin segar bagi pelaksanaan otonomi daerah, karena memberikan kewenangan secara nyata luas dan bertanggung jawab, secara proporsional, yang diwujudkan dengan pengaturan pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Konsep desentralisasi muncul sebagai konsekwensi logis dari adanya wilayah suatu negara yang sangat luas. Wilayah negara yang sangat luas mengakibatkan
* Ig. Sigit Murwito, Manager Research and Development KPPOD (Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah). * * Boedi Rheza, Peneliti KPPOD (Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah).
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
perlu diadakan pembagian kegiatan (pembagian tugas dan wewenang) antar berbagai tingkatan atau lapis pemerintahan di suatu negara. Pelaksanaan tugas dan wenenang yang telah terbagi dalam berbagai level pemerintahan ini tentunya harus diikuti dengan system pendanaan dari kegiatan-kegiatannya. Dari sini kemudian muncul konsep desentralisasi fiskal, yang mengatur mengenai hubungan keuangan antar pemerintahan. Hubungan fiskal antar pemerintahan dapat diartikan sebagai suatu sistem yang mengatur bagaimana cara sejumlah dana dibagi antar berbagai tingkat pemerintahan untuk menunjang kegiatan-kegiatan sektor publik pada bermacam tingkatan pemerintahan. Sistem ini juga mengatur bagaimana cara mencari sumber-sumber pembiayaannya. Jadi dalam hubungan fiskal ini terdapat semacam keseluruhan anggaran sektor publik secara agregatif yang mencerminkan aksi kolektif berbagai unit pemerintahan di seluruh wilayah negara.
Desentralisasi Fiskal dan Kemandirian Daerah Secara umum, tujuan perlaksanaan dari dana perimbangan adalah untuk mewujudkan pelaksanaan otonomi daerah mencapai keadilan horizontal maupun vertikal, wujud lainnya adalah mencapai tata pemerintahan yang dikategorikan sebagai pemerintahan yang bersih dari penyelewengan dan korupsi atau mengarah kepada clean government, serta mewujudkan tata pemerintahan yang baik atau good governance. Dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal, dikenal 3 (tiga) jenis transfer dari pemerintah pusat ke daerah yakni melalui pelaksanaan dana perimbangan yang terdiri dari dana bagi hasil (DBH), dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK). Selain itu, sejak tahun 2002 juga dikenal mekanisme transfer yang mengatur alokasi belanja daerah yang lain, seperti dana otonomi khusus yang berlaku untuk Provinsi Papua serta dana penyeimbang/ dana penyesuaian. Tujuan lain dari pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal pemerintah daerah diharapkan memiliki kemandirian yang lebih besar. Untuk melakukan pembiayaan terhadap otonomi daerah telah dilakukan pula sumbersumber pembiayaan dalam berbagai bentuk instrumen desentralisasi fiskal terutama: a. Peningkatan transfer dana perimbangan dari pusat ke daerah berupa alokasi bagi hasil pajak maupun sumber daya alam, peningkatan transfer pusat yang bersifal block (general purpose grant) yaitu berupa dana alokasi umum (DAU), dan bersifat khusus (spesific grant) yaitu berupa dana alokasi khusus (DAK).
64
Desentralisasi Fiskal dan Penguatan Kapasitas Fiskal Daerah
b. Peningkatan kemampuan daerah dalam mekakukan penggalian terhadap sumber-sumber pendapatan asli daerah (Melakukan revisi UU No.18/1997 tentang UU tentang Pajak dan Retribusi Daerah dengan UU No.34 Tahun 2000). c. Peralihan jenis-jenis penerimaan yang semula dimiliki oleh Kanwil menjadi penerimaan dinas di daerah. d. Dimungkinkannya pinjaman daerah untuk mengatasi kebutuhan jangka pendek (cash flow) dan jangka panjang (investasi publik yang menghasilkan). Walaupun telah dilengkapi dengan instrumen fiskal, sebagai bekal dalam melaksanakan otonomi daerah, saat ini masih banyak masalah yang dihadapi pemerintah daerah terkait dengan upanya meningkatkan penerimaan daerah. Salah satu masalah yang muncul dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal adalah terjadinya kesenjangan fiskal (fiscal gap) yang semakin besar. Fiscal gap ini disebabkan karena tingginya tingkat kebutuhan daerah (fiscal need) yang tidak seimbang dengan kapasitas fiskal daerah (local fiscal capacity).
Peningkatan Kebutuhan Fiskal Daerah (Local Fiscal Need). Dengan penyerahan sebagian besar kewenangan pemerintahan kepada kabupaten/kota, kebutuhan fiskal (fiscal need) mengalami peningkatan, bahkan untuk beberapa jenis pengeluaran terkena pengaruh langsung kenaikan laju inflasi yang justru meningkat. Peningkatan fiscal need juga disebabkan oleh peningkatan kewenangan yang menjadi tanggung jawab daerah. Daerah-daerah juga dihadapkan pada persoalan lemahnya infrastruktur prasarana dan sarana umum. Untuk pembenahan dan pembangunan infrastruktur tersebut, dibutuhkan investasi yang cukup besar, yang sebagian besar menjadi tanggungjawab pemerintah daerah. Ironisnya peningkatan fiscal need ini dibarengi dengan berkurangnya dana bantuan dari pusat (DAU), bahkan dibeberapa daerah dirasakan bahwa DAU belum mampu membiayai kebutuhan rutin daerah. Penyebab dari masalah ini diantaranya adalah: a. Formulasi alokasi yang disetujui DPR ternyata bias (menguntungkan daerah yang kaya SDA dan kurang mendukung alokasi ke daerah yang miskin SDA, b. Jumlah dana alokasi umum yang disediakan dalam APBD yang sebesar 25% dari pemerimaan domestik belum sepenuhnya mencukupi, c. Terjadi pengeluaran rutin di berbagai APBD daerah yang berada di luar kewajaran.
65
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
Ketergantungan Terhadap Transfer Dana dari Pusat. Local taxing power yang cukup merupakan necessary condition bagi terwujudnya otonomi daerah yang nyata. Hal ini bukan berarti bahwa daerah harus mampu membiayai semua pengeluarannya dari pendapatannya sendiri. Yang terpenting dalam kemandirian keuangan dalam rangka otonomi daerah adalah adanya sejumlah sumber penerimaan yang cukup signifikan bagi daerah, dimana mereka punya keleluasaan untuk memanfaatkannya. Berdasarkan UU No.25 / 1999, sumber-sumber penerimaan daerah terdiri dari: 1) Pendapatan Asli Daerah; 2) Dana Perimbangan; 3) Pinjaman Daerah; dan 4) Lain-lain penerimaan yang sah. Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri atas: 1) Hasil pajak daerah; 2) Hasil retribusi daerah; 3) Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah; dan 4) Lain-lain yang sah. Krisis ekonomi telah menyebabkan tejadinya penurunan fiscal capacity, karena sumber penerimaan daerah misalnya pajak dan retribusi cenderung menurun, baik dari jenis (karena pengaruh UU No.17 Tahun 1997) maupun nominalnya. Pada sebagian besar daerah dirasakan bahwa kualitas layanan publik yang masih memprihatinkan menyebabkan produk layanan publik yang sebenarnya dijual ke masyarakat direspon negatif. Keadaaan tersebut juga menyebabkan keengganan masyarakat untuk taat membayar pajak dan retribusi daerah. Hal ini tentunya berdampak pada fiscal capacity daerah. Terkait dengan tugas dan fungsi pemerintahan daerah - yang bebannya dapat diperkirakan dari besarnya pengeluaran -, rendahnya penerimaan daerah tentunya membuat pemda sangat bergantung kepada bantuan dari pusat untuk melaksanakan tugas yang menjadi kewenangannya. Rata-rata PAD daerah propinsi hanya mampu untuk membiayai 40.36% dari APBD-nya. Angka ini jauh lebih rendah lagi jika urusan kas dan perhitungan dimasukkan ke dalam APBD, yakni hanya m e n c a p a i 25.12%. Bantuan dan sumbangan pemerintah pusat sendiri mencapai sekitar 60% dari
66
Desentralisasi Fiskal dan Penguatan Kapasitas Fiskal Daerah
toral penerimaan propinsi. Sementara separuh dari daerah kabupaten/kota di Indonesia PAD-nya hanya mampu membiayai kurang dari 11% dari pengeluarannya. Berkaitan dengan pajak dan retribusi daerah yang merupakan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD), paling tidak terdapat persoalan utama, yakni terkait dengan rendahnya tax efforts dan rendahnya kemampuan administrasi pemungutan di daerah. 1. Tax Efforts Rendah. Berdasarkan UU No.18/1997 yang telah direvisi dengan UU No.34/2000, beberapa pajak/retribusi yang ditetapkan untuk daerah memiliki basis pungutan yang relatif kecil dan untuk beberapa jenis pajak yang potensial penyebarannya tidak merata antar daerah. Sebagai contoh daerah yang diuntungkan di tingkat kabupaten/kota umumnya adalah daerah pariwisata karena banyaknya aktivitas hotel dan restoran. Di tingkat propinsi hanya daerah yang memiliki banyak kendaraan bermotor yang menikmati penerimaan PAD. Sementara untuk daerah terpencil ataupun daerah pertanian, relatif hanya sedikit PAD yang terderivasi dari aktivitas ini. Sempitnya basis pajak ini bagi sementara daerah memperkecil kemampuannya untuk melakukan manuver keuangan daerah dalam menghadapi goncangan ekonomi, seperti krisis ekonomi. Sebagai gambaran, secara rata-rata, PAD yang berhasil dipungut oleh pemerintah daerah, baik propinsi maupun kabupaten/kota, hanya dibawah satu persen dari PDRB Non Migas. Untuk daerah propinsi (diluar DKI Jakarta), rata-rata tax effort dari tahun 20012008 hanya mencapai 2.25% dari PDRB Non Migas. Untuk DKI Jakarta tax effortsnya mencapai 5.59% jauh di atas rata-rata nasional. Sementara untuk daerah kabupaten/kota lebih rendah lagi yakni 1.55%. Beberapa daerah kabupaten di Propinsi Bali tax effortnya mencapai 3.29%. Angka tax effort ini menunjukkan bahwa sumber-sumber penerimaan yang berasal dari pariwisata seperti pajak hotel dan restoran merupakan
67
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
sumber utama pemasukan daerah. Daerah-daerah perkotaan atau daerah-daerah yang memiliki tingkat urbanisasi tinggi (urban bias) ternyata lebih diuntungkan dengan struktur pajak daerah yang ada. 2. Kemampuan administrasi pungutan di daerah yang masih rendah. Kurangnya kemampuan administrasi pungutan didaerah menyebabkan biaya pungut yang semakin besar, dan menyebabkan PAD masih tergolong memiliki tingkat “buoyancy” yang rendah. Salah satu penyebabnya adalah diterapkannya sistem target dalam pungutan daerah. Akibatnya, beberapa daerah lebih condong memenuhi target tersebut, walau dari sisi pertumbuhan ekonomi sebenarnya pemasukan pajak/ retribusi dapat melampaui target yang ditetapkan. Di pihak lain target inipun tidak didasarkan kepada potensi penerimaan daerah yang betul-betul terukur. Kondisi ini diperparah dengan kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah yang mengakibatkan penerimaan daerah mengalami kebocorankebocoran yang sangat berarti bagi daerah.
Penguatan Kapasitas Fiskal Daerah Melihat beberapa permasalahan yang terkait dengan desentralisasi fiskal seperti yang telah dijabarkan diatas, maka ada beberapa alternatif untuk mendukung pelaksanaan desentralisasi fiskal yang lebih baik lagi ke depan.
Tinjau Ulang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah Beserta Peraturan Pelaksanaannya. Melihat persoalan-persoalan di atas yang berdampak pada semakin besarnya fiscal gap yang dihadapi daerah, dan berpengaruh terhadap pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Perlu kiranya dilakukan peninjauan ulang terhadap hubungan keuangan pusat dan daerah, yang selama ini diterapkan dalam desentralisasi fiskal dalam otonomi daerah yang telah memasuki tahun ke delapan ini. Dari materi yang diatur dalam UU No.25/1999 merupakan bagian dari paket UU otonomi daerah yang sebelumnya diatur dengan UU Nop.5/1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. UU lain yang merupakan satu paket adalah UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.34/1999 tentang Ibukota Negara Republik Indonesia. Meskipun judul UU ini adalah Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, namun UU ini tidak hanya mengatur desentralisasi fiskal saja seperti halnya UU No.32/1956. UU No.25/ 1999 mengatur juga tentang pengelolaan keuangan daerah, keuangan dekonsentrasi,
68
Desentralisasi Fiskal dan Penguatan Kapasitas Fiskal Daerah
dan tugas pembatuan, pinjaman daerah, serta sistem informasi keuangan daerah. Dengan melihat materi yang diatur dalam UU ini barangkali lebih tepat jika UU ini diberi judul “Sumber dan Penggunaan Keuangan Pemerintah Daerah” sebagaimana yang diusulkan oleh Dr. Soepomo Pradjoharjono.* Sementara masalah keuangan daerah yang diatur juga dalam UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka hal keuangan daerah secara umum perlu diatur dalam kesatuan pengaruran kewenangan (dalam UU tentang Otonomi Daerah). Kemudian masalah dana perimbangan yang menyangkut pengaturan transfrer keuangan diatur dalam UU tersendiri (semacam UU No.25/1999) namum hanya terbatas pada aspek perimbangan keuangan.
Penguatan Taxing Power Kepada Daerah Melalui Peningkatan Pendapatan Asli Daerah. Dilihat dari gambaran consolidated revenues (APBD kabupaten/kota + provinsi + Penerimaan Dalam Negeri dalam APBN) di Indonesia, porsi PAD secara ratarata nasional hanya sebesar 5,28%. Hal tersebut menunjukan bahwa kondisi fiskal di Indonesia masih tergolong sangat sentralistis dibandingkan dengan negaranegara lain. Sebagai gambaran rata–rata consolidated revenues untuk Developing Countries, Transition Countries, dan OECD Countries masing-masing sebesar 9,27%, 16,59%, dan 19,13%, sedangkan persentase consolidated expenditures sudah cukup baik yaitu rata-rata mencapai 38,73%. Dilihat dari struktur APBD, lebih kurang 85% belanja daerah (provinsi dan kabupaten/kota) dibiayai dari dana transfer pemerintah pusat dan hanya sekitar 15% dari PAD. Di tingkat provinsi peranan PAD (sebagian besar dari pajak dan retribusi) relatif sudah cukup siginifikan yaitu rata-rata mencapai 44%, sedangkan di tingkat kabupaten/kota peranan PAD relatif kecil yaitu antara 5% - 15% dari total pendapatan daerah. Melihat permasalahan tersebut di atas tampaknya diperlukan upaya untuk meningkatkan taxing power daerah antara lain melalui penyerahan beberapa pajak pusat serta sebagian PNBP kepada daerah, kebijakan Sharing Tax atau Piggy Backing System dan lain-lain. Kebijakan ini dilaksanakan sekaligus agar daerah tidak menggali sumber-sumber PAD yang berdampak distortif terhadap perekonomian. Dalam hal ini, pemberian kewenangan pelayanan publik kepada daerah yang semakin besar tetap mempertimbangkan Expenditure Efficiency Principles, sehingga tetap
* Ketua Komisi Teknis Bidang Peimbangan Keuangan Pusart dan Daerah APPSI
69
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
Perbandingan Total PAD dan Pengeluaran Pemerintah Daerah Terhadap Konsolidasi APBD dan APBN (Termasuk Perkiraan Pengaruh Dari Transfer PPh, PBB, dan BPHTB Untuk Menjadi Pendapatan Kabupaten/Kota) Negara Negara Berkembang tahun 1990-an Negara Transisi tahun 1990-an Negara-negara OECD tahun 1990-an Republik Indonesia TA 1989/1990 Republik Indonesia TA 1994/1995 Republik Indonesia TA 2003
% terhadap Total Pendapatan 9,27 16,59 19,13 4,69 6,11 5,28
% terhadap Total Pengeluaran 13,78 26,12 32,41 16,62 22,97 38,73
Sumber: Bank Dunia dan Nota Keuangan Pemerintah Indonesia pada berbagai tahun
diperlukan adanya national guidelines yang dibuat oleh masing-masing departemen dengan menggabungkan preferensi daerah dan national interest. Dalam konteks UU No.22/1999 dan UU No.25/1999 yang kemudian sudah direvisi dengan UU No.32/2004 dan No.33/2004, peran PAD belum didudukkan dalam proporsi yang tepat. Dari segi kebijakan desentralisasi fiskal, baik UU maupun PP pendukungnya lebih menekankan kepada dana perimbangan, khususnya DAU sebagai salah satu instrument utama desentralisasi fiskal. Walau demikian pemerintah telah melakukan revisi terhadap UU No.18/1997 yang mengatur mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dengan UU No.34/2000 tentang perubahan atas UU No.17/1997 tersebut. Persoalannya apakah UU No.34/2000 tersebut telah memadai untuk mendukung otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang berlangsung sekarang ini ? Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, perlu ditempuh kebijakan untuk meningkatkan taxing power bagi daerah yang antara lain dapat dilakukan dengan: menyelaraskan perpajakan dan retribusi daerah dengan kewenangan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Selain itu penting juga untuk memperluas basis pajak daerah dan memberikan diskresi dalam penetapan tarif. Untuk memperkecil munculnya pajak dan retribusi daerah baru yang berpotentsi menimbulkan masalah, maka penting kirannya untuk menetapkan jenis pungutan yang dapat dipungut daerah dalam rangka meningkatkan kepastian hukum. Sebelum melangkah ke arah itu tentunya perlu dipertegas dan memperkuat dasar-dasar penetapan pungutan pajak dan retribusi daerah. Implementasi kebijakan-kebijakan tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara dan pendekatan. Pertama, melakukan tinjauan terhadap
70
Desentralisasi Fiskal dan Penguatan Kapasitas Fiskal Daerah
bebagai pajak pusat, kedua menetapkan pajak baru bagi daerah, dengan maksud memperluasan jenis pajak maupun basis pajak daerah, yang dalam perhitungan ekonomi dianggap potensial. Atas dasar evaluasi terhadap berbagai pajak pusat, pemerintah dapat melakukan dua kemungkinan penetapan: Pertama, pajak pusat yang bersangkutan sepenuhnya didaerahkan. Atinya, daerah menetapkan basis pajak, tarif pajak, maupun administrasi pemungutannya. Kedua, pajak bersangkutan tetap menjadi milik pusat, tetapi basis pajaknya dapat dikenakan tambahan yang akan dapat menjadi milik daerah (baik melalui “surcharges tax” atau “piggy backing tax on income tax”).
Menjadikan Pajak Pusat Sebagai Pajak Daerah. Dengan makin meningkatnya kemampuan administrasi pajak daerah, dalam jangka menengah ke depan sebaiknya mulai difikirkan adanya bagi hasil bebagai pajak pusat dengan daerah melalui sistem yang lebih menunjukkan otoritas dari pemerintah daerah. Salah satunya adalah memanfaatkan basis pajak dari pajak pusat yang potensial (buoyant) seperti Pajak Penghasilan (PPh). Selama ini sistem bagi hasil untuk PPh perseorangan adalah 20% langsung kepada daerah yang memiliki PPh, cenderung kurang dianggap merata bagi banyak daerah, karena hanya dinikmati oleh daerah yang telah kaya (seperti DKI Jakarta). Pembagian ke daerahpun diserahkan kepada propinsi, sehingga banyak kabupaten yang tidak memperoleh seperti yang diharapkan. Dengan sistem peggy backing tax, daerah dimungkinkan untuk menetapkan rate tertentu atas potensi PPh yang ada di daerah masing-masing, sejauh total rate yang harus dibayar oleh individu tidak melampaui ketentuan perpajakan nasional yang berlaku. Dalam jangka panjang barangkali PPN dapat dibagihasilkan, namun sepertinya pengadministrasiannya agak sulit. Beberapa pajak yang selama ini menjadi kewenangan pusat perlu dipikirkan untuk didaerahkan, misalnya: a. PBB dan BPHTP dijadikan pajak daerah. Dasar pemikiran dari usulan ini adalah untuk meningkatkan PAD namun tidak membebani masyarakat adalah dengan cara menjadikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebagai pajak daerah. Pada kebanyakan negara, PBB (property tax) merupakan pajak daerah, sementara di Indonesia PBB sampai saat ini masih merupakan pajak pusat. Di kebanyakan negara property tax menyumbang lebih dari separuh PAD (Devas, 1989). Justifikasi perlunya PBB dijadikan pajak daerah, karena beberapa alasan. PBB memberikan hasil yang substansial (besar) bagi daerah dan perolehan hasil dari
71
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
PBB relatif stabil dan dapat diprediksi. Pungutan PBB juga dirasa cukup adil (equitable), dalam arti yang memiliki tanah dan bangunan yang bernilai tinggi akan dikenakan pajak yang tinggi pula. Selain itu pungutan PBB tidak berpengaruh besar terhadap harga-harga, sehingga tidak menggagnggu efisiensi ekonomi (perekonomian). Dari sisi administratif dasar pengenaan pajak cukup jelas dan mudah dipahami oleh pembayar pajak. Obyek PBB tidak berpindahpindah (immovable), sehingga objek pajak tersebut tidak dapat disembunyikan, pengadministrasiannya relatif mudah; dan jelas pemerintah daerah mana yang berhak menerima pendapatan pajak atas PBB. Jika PBB dijadikan pajak daerah, maka pemerintah daerah akan mendapatkan pendapatan pajak daerah yang besar sehingga nantinya pemerintah daerah tidak perlu lagi mengurusi pajakpajak yang kecil nilainya. Selain tiu, jika PBB dijadikan sebagai pajak daerah, maka pemerintah daerah dapat menarik investor untuk berinvestasi ke daerahnya dengan memberikan insentirf PBB misalnya berupa pemberian local tax holiday kepada investor baru. b. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor dijadikan pajak di tingkat kabupaten/ kota. Untuk menambah kemampuan kapasitas daerah dalam mengelola jalan raya di daerah kabupaten/kota, rasanya perlu diberikan tambahan dana melalui penguasaan pajak bahan bakar kendaraan bermotor kepada kabupaten/kota. Sistem bagi hasil antara propinsi dan kabupaten/kota yang diterapkan selama ini tampaknya memperoleh kritik dari pemda kabupaten/kot, karena yang teralokasi kepada mereka tidak sepadan dengan beban yang harus dipikulnya.
Penambahan Jenis Pajak Daerah Baru. Perlu diperhatikan bahwa selama ini taxing power untuk provinsi relatif lebih baik dibandingkan untuk kabupaten/kota, karena potensi pajak di kabupaten/ kota relatif kecil walaupun jenisnya lebih banyak. Untuk itu, perlu diupayakan penambahan jenis pajak baru yang potensinya cukup besar dan terdapat di sebagian besar/seluruh daerah kabupaten/kota. Dalam jangka pendek, perlu dipikirkan bagaimana langkah untuk melakukan obtimalisasi terhadap sumber-sumber pajak lokal di kabupaten/kota, baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi. Beberapa jenis pajak daerah yang dirasakan memungkinkan untuk dipungut oleh daerah, dapat dilakukan ekstensifikasi yang dinyatakan secara eksplisit dalam revisi UU No.34/2000. Beberapa jenis pajak yang sering diusulkan oleh banyak pihak adalah:
72
Desentralisasi Fiskal dan Penguatan Kapasitas Fiskal Daerah
a. Beterment levy. Pungutan ini merupakan pungutan yang dibebankan kepada pemilik tanah maupun bangunan sebagai akibat dari adanya perbaikan kualitas hidup dan atau kualitas jalan-jalan perkampungan atau perumahan oleh pemerintah darah. Pungutan sejenis ini pernah dilakukan di DKI Jakarta sejak tahun 1974 dan dihentikan tahun 1997 (karena keluarnya UU No.18/1997). Pungutan ini sangat potensial namun dalam praktiknya kurang berhasil di lapangan karena: (1). Kesulitan menentukan besarnya pajak yang harus dibayar khususnya untuk mentapkan benefit yang diperoleh pemilik tanah/rumah sebagai akibat perbaikan jalan. (2). Tidak ada koordinasi antara depetemen PU dengan Penda DKI Jakarta. Akibatnya ada daerah yang merasakan ketidakadilan karena dibebani pungutan, sementara daerah lainnya tidak. Kesulitan semacam ini akan dapat dikurangi bila diimplementasikan saat ini, karena keseluruhan proses perbaikan jalan sudah menjadi tanggung jawab daerah. b. Local business tax. Saat ini terjadi berbagai pajak di daerah yang dikaitkan dengan kegiatan bisnis di daerah. Beberapa diantaranya bahkan cenderung menghasilkan tumpang tindih antara pajak pusat dan daerah yang dibebankan kepada pengusaha. Perlu diidentifikasi secara tepat aktivitas pelayanan apa yang dapat dijadikan basis untuk pungutan di daerah (local business liense taxes), yang tidak tumpang tindih dengan pajak yang telah dikenakan oleh pusat. Saat ini banyak daerah yang melakukan pungutan atas jasa watel misalnya. Pada dasarnya pulsa telpon sudah terkena PPN tetapi keberadaan fisik wartel memang merupakan fenomena yang kemungkinan adanya di daerah. c. Green tax. Pajak ini berkaitan erat dengan perlindungan alam dan satwa, barangkali merupakan salah satu alasan untuk dipungut di daerah yang kaya akan alam dan satwa tertentu. Berdasarkan peraturan, berbagai satwa langka tidak dapat diperjual belikan. Oleh karena itu, green tax tidak dapat diimplementasikan untuk satwa langka. Tetapi di berbagai daerah terdapat potensi pajak yang berasal dari sarang burung walet. Menurut ketentuan UU No.34/2000 jenis pajak ini sudah dapat dipungut oleh daerah, dan sebaiknya dapat segera dimasukkan dalam daftar tetap sehingga memberikan keyakinan bagi daerah yang memiliki potensi ini. Pengertian green tax dapat diperluas, misalnya mencakup taman maupun gas buangan (emisi) dari kendaraan bermotor, dan perlu dilakukan kajian terhadap kemungkinan pemungutan pajak atas usaha pengolahan industri.
73
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
Rambu-Rambu dalam Penetapan Pajak Dan Retribusi Daerah. Dalam penguatan kapasitas fiskal daerah seperti diulas diatas, perlu memperhatikan berbagai kaidah dan rambu-rambu. a. Penetapan jenis pajak daerah. Jenis pajak daerah yang selama ini ditetapkan secara terbuka, perlu ditetapkan secara limitatif. Daerah hanya dapat memungut jenis pajak daerah yang telah ditetapkan. UU No.34/2000, sedikit banyak telah memberikan keleluasaan bagi daerah untuk berkreasi dalam menciptakan pajak dan retribusi baru diluar yang telah ditetapkan. Namun karena tidak menyertakan dafar pungutan yang boleh (atau tidak boleh) dipungut oleh daerah maka potensi permasalahan muncul. Memberikan hanya kriteria umum kepada Pemda tidaklah cukup, karena metode “self-evaluation” tidak bekerja di tingkat daerah. Oleh karena itu dapat diusulkan agar ke depan, diperlukan suatu daftar tentang pajak/retribusi yang diperbolehkan untuk dipungut oleh daerah secara memadai. Pembagian jenis pajak antara provinsi dengan kabupaten/ kota perlu ditinjau sesuai dengan kriteria dan karakteristik pajaknya. Selain itu pajak-pajak provinsi perlu dibagihasilkan secara lebih proporsional kepada kabupaten/kota serta perlu adanya tambahan jenis-jenis pajak baru yang cukup potensial dan obyeknya relatif merata di seluruh kabupaten/kota. Selain itu penguatan pajak kabupaten/kota juga dapat dilakukan dengan memperluas basis pajak yang selama ini sudah ada. UU No.34/2000 diragukan dapat meningkatkan PAD secara signifikan dibandingkan dengan sebelum pelaksanaan otonomi daerah, karena pungutan-pungutan baru yang bisa ditapkan oleh daerah cenderung kurang potensial, ataupun bermasalah. b. Penetapan tarif. Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal kedepan perlu dilakukan memperkuat basis pajak daerah dengan menetapkan jenis pajak daerah yang secara teori dan praktek tepat sebagai pajak daerah disertai dengan diskresi dalam penetapan tarifnya. Tingkat diskresi dalam menetapkan tarif dilakukan dengan menetapkan tarif minimal dan maksimal sehingga memperkecil ruang terjadinya persaingan tarif antar daerah dan tidak terlalu membebani masyarakat. Dengan kebijakan tersebut diharapkan memberikan peluang bagi daerah dalam meningkatkan pendapatannya. Implikasi lain dari pemberian dekresi dalam pemberian tarif adalah dapat memberikan implikasi pada daerah untuk pelayanan yang lebih baik dengan mengenakan tarif pajak sesuai dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat dan sekaligus dapat meningkatkan akuntabilitas Pemerintah Daerah.Penetapan tarif pajak provinsi seperti Pajak Kendaraan
74
Desentralisasi Fiskal dan Penguatan Kapasitas Fiskal Daerah
Bermotor sebaiknya diserahkan sepenuhnya kepada daerah, namun tetap perlu adanya batasan tarif maksimal dan minimal untuk menghindari pengenaan pajak yang berlebihan dan untuk mengurangi perang tarif antardaerah. Untuk beberapa jenis pajak kabupaten/kota perlu dilakukan peninjauan kembali tarifnya, seperti Pajak Galian Golongan C dengan tujuan untuk membatasi aktivitas penggalian bahan galian golongan C yang berdampak negatif terhadap lingkungan. c. Penetapan retribusi daerah. Sejalan dengan perkembangan otonomi daerah dan dengan adanya pengalihan beberapa fungsi pelayanan dan perizinan dari Pemerintah Pusat kepada Daerah perlu dilakukan perubahan pengaturan mengenai Retribusi Daerah, khususnya terhadap golongan Retribusi Jasa Umum dan Perizinan Tertentu. Namun demikian penetapan tarif retribusi harus dilakukan secara lebih transparan sehingga beban retribusi yang harus dibayar wajib retribusi dapat lebih jelas dan akuntabel. Dalam hal ini pemungutan retribusi daerah harus terkait dengan fungsi pelayanan dan perizinan yang menjadi urusan/kewenangan daerah. d. Pengawasan. Pelaksanaan otonomi daerah, diwarnai dengan munculnya beberapa perda yang dinilai bermasalah. Permasalahan tersebut muncul karena berbagai alasan, yang salah satunya barangkali adalah rendahnya fiscal capasity daerah, sehingga daerah cenderung menggenjot PAD dengan penerimaan pajak dan retribusi daerah tanpa mengindahkan kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip pokok yang harus mendasari sebuah kebijakan publik. Permasalahan tersebut juga muncul karena proses pengawasan oleh pemerintah pusat yang kurang obtimal, mengingat begitu banyaknya daerah otonom yang harus mereka kontrol. Untuk meningkatkan pengawasan terhadap pajak daerah dan retribusi daerah, mekanisme pengawasan Perda harus diubah dari represif menjadi preventif. Peraturan daerah yang mengatur pajak daerah dan retribusi daerah sebelum diundangkan harus dievaluasi terlebih dahulu oleh pemerintah pusat untuk propinsi, dan oleh pemerintah propinsi untuk perda kabupaten/kota. Agar pengawasan tersebut efektif kepada daerah-daerah dikenakan sanksi yang melaksanakan Perda tanpa evaluasi dari pusat atau provinsi. Beberapa permasalahan dalam pelaksanaan UU pajak daerah dan retribusi daerah, antara lain: tumpang tindih dengan pajak pusat; pengenaan retribusi yang lebih bersifat pajak atau bertentangan dengan prinsip-prinsip retribusi; menghambat arus
75
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
barang/jasa, modal, dan manusia; serta mendistorsi kegiatan ekonomi (ekonomi biaya tinggi). e. Proses perumusan. Dalam perumusan perda suatu daerah perlu dilakukan beberapa penyempurnaan, yang diantaranya: 1) Pemda bersama DPRD menetapkan Perda namun pengensahan pemberlakuannya adalah kewenangan gubernur bagi Kabupaten/Kota, dan Mendagri bagi Perda propinsi dengan batas waktu yang cukup untuk mengkajinya. 2) Dalam perumusannya perlu dipertimbangakan mengenai aspek ekonomis, administratif, dan politis dari penerapan kebijakan tersebut. 3) Perda harus berorientasi pada kepentingan umum, prinsip-prinsip pokok kemajuan ekonomi dan kehidupan masyarakat, tidak bertentangan dengan perundangan di atasnya dan mengindahkan rejim internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah pusat. 4) Proses pembuatan perda harus melibatkan masyarakat (khususnya stakeholder berdasarkan sektor yang diatur). Keterlibatan itu baik berbentuk konsultasi rancangan maupun sosialisasi setelah dilakasanakan.
Penutup Local taxing power masih menjadi permasalahan yang mewarnai dalam pelaksanaan desentralisasi di Indonesia hingga saat ini. Sudah seharusnya para pemangku kebijakan di pusat maupun di daerah meninjau kembali pelaksanaan desentralisasi fiskal secara serius. Lemahnya taxing power di daerah dan kemudian masih lemahnya administrasi pungutan didaerah, perlu mendapat perhatian lebih dari semua tingkatan pemerintahan, mulai dari pemerintah pusat sampai ke pemerintah daerah, agar bisa dihasilkan solusi yang komprehensif dan mendasar untuk pelaksanaan desentralisasi fiskal kedepan. Akan tetapi, pemecahan masalahmasalah yang terkait dengan pelaksanaan desentralisasi fiskal, juga harus memperhatikan kaidah-kaidah, rambu-rambu, serta kemampuan daerah dalam melaksanakan desentralisasi fiskal. Dimasa mendatang, dengan perbaikan-perbaikan dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, diharapkan daerah dapat menjadi mandiri dan pada akhirnya meningkatkan pelayanan publik di daerah masing-masing.
]]] 76
Peraturan Daerah Firman Bakri Anom*
u
U
bi Societes Ibi Ius, dimana ada masyarakat di situ ada hukum. Penjelasan tersebut juga dapat digunakan dalam menjelaskan mengenai fenomena peraturan daerah (peda). Dimana perda sebagai produk hukum di daerah selalu terkait dengan masyarakat. Karena itu meskipun salah satu fungsi hukum adalah untuk menjaga manusia supaya lebih teratur (social order) dan hukum merupakan sarana pengendalian sosial (social control) tetapi titik berat perda harus selalu terkait dengan kepentingan masyarakat. Dalam negara kesatuan Indonesia, masyarakat adalah masyarakat setempat (di daerah) dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Dasar Hukum Perda Jika melihat pada pasal 18 ayat (6) Undang Undang Dasar 1945 dan perubahannya (Konstitusi Indonesia) pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Jika diterjemahkan secara sederhana ayat ini memiliki makna yang sangat luas. Namun demikian, ketika melihat lagi pada pasal 18 ayat (5) UUD 1945 disebutkan bahwa “Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluasluasnya, kecuali urusan pemerintah yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat”. Apabila dilihat lebih lanjut pada pada Undang-Undang * Firman Bakri Anom, Peneliti KPPOD (Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah).
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 10 ayat (3) maka urusan pemerintah pusat adalah: urusan politik luar negeri; pertahanan; keamanan; yustisi; moneter dan fiskal nasional; serta urusan agama. Dengan demikian maka urusan yang tidak menjadi urusan pusat adalah menjadi urusannya pemda. Namun demikian membaca konstitusi negara (UUD) tentunya tidak bisa disamakan dengan membaca regulasi pada umumnya. Karena konstitusi adalah dasar negara yang menjadi dasar dari segala hukum di Indonesia. Untuk mampu menjadi dasar dari sekalian perundang-undangan tersebut, UUD harus menggunakan bahasa yang lain daripada bahasa undang-undang biasa. Ia harus menggunakan bahasa asas (principles) yang tidak lain adalah bahasa moral1. Untuk itu dalam membaca konstitusi harus dilihat pada pesan moral yang melatarbelakanginya. Dalam hal ini maka otonomi darah merupakan pilihan Konstitusi. Sehingga konsekwensi logisnya adalah adanya kebebasan atau keleluasaan dalam menyusun kebijakan di daerah. Perda sebagai bentuk kebijakan formal daerah harus menjadi domainnya pemda. Penjelasan tersebut di atas setidaknya dapat menjadi dasar bagi pemda untuk menyusun perda tanpa harus selalu menunggu perintah dari peraturan yang lebih tinggi atau pemerintah nasional. Sementara untuk pembuatan perda pemda tetap harus memperhatikan pada regulasi yang lebih tinggi, yang umumnya merupakan peraturan yang diterbitkan oleh pusat. Karena dalam sistim hukum Indonesia dikenal adanya tata urutan (hirarki) peraturan perundang-undangan. Hirarki hukum tersebut termuat dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pada undang-undang tersebut perda berada pada level yang terendah.
Penyusunan, Penulisan, Pelaksanaan dan Evaluasi Perda 1. Penyusunan perda. Dasar dari pembentukan perda pada tahap awal adalah adanya kebutuhan akan pengaturan (het noodzakelijheidsbeginse). Untuk mengidentifikasi kebutuhan masyarakat tersebut diperlukan sebuah mekanisme kajian yang melibatkan partisipasi publik dan dilakukan secara komprehensif. Untuk dapat mengidentifikasi kebutuhan akan pengaturan saat ini telah berkembang sejumlah metode atau tahapan dalam penyusunan perda. Diantaranya adalah
1
Satjipto Rahardjo Prof., Dr., SH. Guru Besar Emiritus Fakultas Hukum Universita Diponegoro, “Sisi Lain Mahkamah Konstitusi”, Harian Kompas, Senin 5 Januari 2009
78
Peraturan Daerah
ROCCIPI (rule, opportunity, capacity, communication, interest, process, and ideology) dan RIA (regulatory impact analysis). Pada metode ROCCIPI lebih mengajak para perancang untuk melakukan penelitian yang sifatnya factual. Tujuannya untuk memperoleh data langsung tentang masalah sosial yang akan diatur dalam peraturan daerah. Sedangkan tahapan RIA meliputi analisis terhadap biaya dan manfaat atas suatu kebijakan. Selama sewindu otda penggunaan tahapan RIA telah digunakan oleh sejumlah daerah dalam penyusunan perda. Dengan menggunakan tahapan RIA selain dapat diketahui biaya dan manfaat regulasi, juga semakin meningkatnya peran partisipasi publik. Karena dalam setiap tahapan RIA selalu diperlukan adanya partisipasi publik. Namun demikian jumlah daerah yang telah menggunakan tahapan RIA dan perda yang dibentuk dengan menggunakan tahapan RIA masih sangat sedikit. Jika dibandingkan dengan jumlah atau banyaknya regulasi yang dihasilkan oleh pemda pada era otda. 2. Penulisan hukum. Permasalahan yang jamak terjadi dalam penulisan hukum pada perda adalah bahwa isi perda seringkali tidak mencerminkan pada tujuan awal perda tersebut dibentuk. Misalnya disebutkan bahwa tujuan perda adalah untuk melakukan pengendalian terhadap aktifitas dunia usaha supaya tidak berdampak negatif bagi masyarakat, akan tetapi isi perda ternyata sebagian besar mengatur mengenai pungutan yang harus dibayarkan kepada pemda. Isi perda jika dilihat dari sisi manfaatnya bagi masyarakat terasa kecil, dan ternyata malah menjadi beban baru bagi kelompok dunia usaha. Selain itu permasalahan lain yang sering menggangu adalah bahwa perumusan bahasa hukum dalam perda maknanya sering mengandung multitafsir. Umumnya pasal-pasal multitafsir ini cenderung merugikan masyarakat. Misalnya pada perda Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran. Rumusan bahasa dalam perda mengandung ketentuan yang memiliki makna multi tafsir. Sehingga perda sangat berpotensi berlaku diskriminasi dan merugikan kaum perempuan2. 3. Implementasi perda. Pelaksanaan atau implementasi perda umumnya meliputi pelaksanaan oleh pemerintah daerah, pelaksanaan (kepatuhan) masyarakat kepada 2
Jika melihat pada proses pembentukannya menurut Majalah Gatra 13 April 2007, perda tersebut telah melalui proses yang panjang dan melibatkan partisipasi publik. Dalam konteks ini dapat diduga permasalahan yang muncul adalah akibat dari kelemahan penulis hukum dalam mengintepretasikan kehendak publik.
79
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
norma yang tertuang dalam perda, dan penegakannya oleh satuan polisi pamong praja (Satpol PP). Selama sewindu implementasi perda masih terjadi banyak penyimpangan, penyimpangan-penyimpangan tersebut dipengaruhi oleh: a. Lemahnya sosialisasi; sampai saat ini perda seolah-olah masih menjadi barang langka yang susah diakses oleh masyarakat. Meskipun perda telah tersimpan dalam lembaran daerah yang dapat di akses publik, tetapi karena lemahnya pengetahuan masyarakat dan mental melayani aparat yang kurang sehingga mengakibatkan perda seolah-olah menjadi sesuatu yang sangat dirahasiakan. Akibatnya karena ketidak tahuan masyarakat adalah lemahnya kepatuhan dan rasa memiliki atas ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam perda. b. Lemahnya penegakan; penegakan perda bukan hanya sekedar penerapan sanksi bagi pelanggarnya tetapi juga bagimana pemda mampu memobilisasi masyarakat untuk mematuhi ketentuan-ketentuan dalam perda. Lagi-lagi akibat dari lemahnya penegakan oleh pemda adalah lemahnya kesadaran masyarakat. Pada tahap tertentu kondisi ini justru merugikan pemda. Misalnya dalam hal perda mengatur mengenai kewajiban masyarakat yang terkait dengan pendapatan asli daerah (PAD), ketidak patuhan masyarakat dapat diartikan pada rendahnya penerimaan PAD pemda. c. Kekerasan oleh aparat; dalam sewindu otda penyimpangan implementasi perda yang dilakukan dengan kekerasan misalnya adalah melalui pemerasan terhadap perusahaan untuk membayar sejumlah uang baik kepada instansi tertentu maupun kepada aparat dan kekerasan dalam bentuk fisik seperti pemukulan. Dalam hal kekerasan yang dilakukan oleh aparat pemda terkadang ada yang sampai meninggal dunia. Misalnya adalah penganiayaan yang dilakukan oleh aparat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) kepada masyarakat dalam rangka penegakan perda (ketertiban). Pada bulan Mei 2009 yang lalu, seorang balita bernama Siti Choiriyah meninggal dunia setelah tersiram kuah bakso akibat penertiban PKL di Kota Surabaya yang berlangsung secara “brutal”. 4. Evaluasi. Selama sewindu ini mekanisme evaluasi perda telah mengalami peningkatan yang signifikan. Setidaknya jika dilihat pada institusi yang peduli dan telah melakukan evaluasi atas kualitas perda. Sampai saat ini setidaknya ada 3 (tiga) institusi pusat yang telah melakukan kajian (evaluasi) perda secara berkala yaitu: Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan, dan KPPOD (Komiet
80
Peraturan Daerah
Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah. Dalam melakukan evaluasi pintu keluar yang berupa pembatalan perda ada di Departemen Dalam Negeri. Evaluasi perda yang dilakukan oleh pemerintah pusat saat ini telah dilakukan baik secara prventif maupun secara represif. Padahal jika melihat pada cakupan wilayah kabupaten/kota yang sebegitu banyaknya dan produk-produk perda yang tentunya juga tiap tahunnya jumlahnya tidak sedikit. Pengawasan (evaluasi) perda yang dilakukan oleh pusat cenderung masih kurang efektif. Kondisi ini juga didukung dengan ego sektoral di pusat dalam melakukan pengawasan perda. Akibatnya banyak perda yang direkomendasikan untuk dibatalkan oleh departemen teknis sampai saat ini banyak yang belum dibatalkan oleh Depdagri.
Berbagai Permasalahan Perda Dalam sewindu implementasi otda, perda seolah menjadi suatu permasalahan baru dalam tata kehidupan hukum di Indonesia. Sejak tahun 2002-2008 Menteri Dalam Negeri telah membatalkan 1006 peraturan daerah bermasalah (lihat gambar di bawah). Dalam prakteknya perda sering dianggap tidak mampu menyelesaiakan permasalahan nyata di lingkungan masyarakat, tetapi malah perda sering ditemui sebagai hambatan masyarakat dalam berkatifitas baik yang berupa aktifitas sosial maupun aktifitas ekonomi.
Hirarki Hukum Dalam sistem hukum Indonesia dikenal adanya tata urutan (hirarki) peraturan perundang-undangan yang tertuang dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang mana dalam hirarki ini perda berada pada level paling rendah. Perda dalam konteks sebagai peraturan perundangundangan, adakalanya juga harus memosisikan diri lebih rendah dari peraturan menteri yang tidak dikategorikan dalam tata urutan peraturan-perundangundangan tersebut. Buktinya sampai dengan tahun 2008, menurut data KPPOD, Menteri Dalam Negeri telah membatalkan 1006 peraturan daerah yang dianggap bermasalah3. 3
Jika merujuk pada Pasal 7 ayat (4) “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan
81
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
Banyaknya jumlah pembatalan tersebut, jika dikalkulasikan secara sederhana yaitu untuk membuat sebuah produk hukum harus didahului dengan penyusunan academic paper, bisa dibayangkan seberapa lama untuk dapat mengatakan sebuah perda harus dibatalkan atau tidak. Meskipun, pada kenyataannya, masih sulit untuk memercayai bahwa pusat sudah melakukan tahapan sebagaimana layaknya menerbitkan sebuah produk hukum dalam proses pembatalan perda. Karena pembatalan perda oleh pusat dilakukan dalam bentuk penetapan. Fakta-fakta tersebut di atas, seolah menegaskan bahwa daerah benar-benar masih harus tunduk pada berbagai instruksi pusat. Jika demikian berarti bahwa daerah tidak memiliki keleluasaan untuk menyusun peraturan daerah. Dalam konteks yang lebih luas apabila perda adalah bentuk formal dari kebijakan daerah, pemda juga tidak memiliki keleluasaan dalam menyusun kebijakannya dalam rangka melaksanakan kebijakan otonomi daerah. Padahal keleluasaan untuk mengatur daerahnya sendiri (kemandirian) inilah yang menjadi pilar dalam otonomi. Sistem hukum seperti ini tentunya berbeda arah dengan konsep otonomi (desentralisasi) itu sendiri. Dalam otda didorong munculnya keberagaman karena titik tolak otda adalah mendekatkan pemerintahan dengan masyarakat concentric circle power, sehingga antara satu daerah dengan daerah lainnya bisa saja akan saling berbeda.
Harmonisasi Hukum Selama sewindu implementasi otda, permasalahan harmonisasi hukum selalu dikaitkan dengan lemahnya sinkronisasi antara regulasi daerah dan regulasi nasional. Padahal permasalahan lemahnya sinkronisasi hukum pada era otda juga terjadi pada regulasi-regulasi di tingkat nasional. Jika melihat pada kewenangan urusan pemerintahan, pada dasarnya hampir seluruh urusan pemerintahan dijalankan oleh pemerintah daerah, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pusat. Untuk itu setiap aturan di tingkat nasional secara tidak langsung juga mempengaruhi implementasi otda. Namun demikian nyatanya regulasi nasional disusun secara top down, dimana legislator mengesampingkan para stakeholder otda. Perwakilan daerah yang diwakili oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam mengawal penyusunan regulasi nasional masih belum didukung dengan kewenangan yang memadai. Jangankan untuk mengawal berbagai kebijakan nasional untuk mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi”. Lebih lanjut pada pasal 37 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah mengungkapkan bahwa “ Peraturan Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum, Peraturan Daerah dan peraturan perundang-undangan yang lebih tiaggi dapat dibatalkan dengan Peraturan Menteri“.
82
Peraturan Daerah
disinkronkan dengan kebijakan otda, untuk mengawal pembentukan regulasi yang terkait dengan otda saja juga kurang optimal. Akibatnya pada sewindu implementasi otda lemahnya peran DPD dan kurangnya kesadaran dalam pelibatan stakeholder otda mengakibatkan disharmoni antar regulasi nasional. Selain itu disharmonis antar regulasi pusat juga disebabkan kuatnya ego sektoral. Dalam berbagai kebijakan nasional masih kental diwarnai adanya ego dari masing-masing instansi sektoral. Adakalanya ego masing-masing sektor ini sering berbenturan antara satu dengan lainnya, bahkan adakalanya terjadi tarikmenarik kewenangan antar sektoral. Menyikapi permasalahan tersebut tentunya harus dikembalikan pada aspek hukum, dimana ada satu prinsip hukum yang menyatakan bahwa “hukum yang baru mengesampingkan hukum yang terdahulu (lex posterior derogat legi priori)” dengan demikian maka aturan yang terbarulah yang harus diikuti atau “hukum yang lebih khusus mengesampingkan hukum yang sifatnya lebih umum (lex specialist derogat legi generali)”. Disharmonis regulasi juga terjadi di daerah dimana perda seringkali mengesampingkan, mengartikan (intepretasikan) lebih, dan/atau mengurangi makna dari regulasi nasional. Sehingga sebuah kebijakan nasional ketika diimplementasikan di daerah menjadi melenceng dari maksud dari tujuan semula regulasi tersebut disusun. Pada puncaknya dalam sewindu implementasi otda disharmoniasi hukum mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum bagi masyarakat. Disharmonis regulasi antar sektoral mengakibatkan terjadinya kebijakan yang sering berubahubah, sehingga menyulitkan daerah. Sedangkan disharmonis regulasi daerah dengan regulasi nasional mengakibatkan tidak adanya keseragaman kebijakan antar satu daerah dengan daerah lainnya dan tidak adanya sinergi antara kebijakan nasional dan daerah.
Perda Perizinan dan Pungutan Bagi Dunia Usaha Bagi dunia usaha perda-perda yang dapat diangap terkait atau bersentuhan langsung dengan mereka adalah perda-perda yang mengatur mengenai perizinan usaha dan pungutan (pajak, retribusi dan sumbangan pihak ketiga). Perda-perda tersebut dianggap terkait dengan dunia usaha karena perda secara tegas mengatur mengenai aktifitas berusaha baik yang berbentuk perorangan maupun yang berbentuk badan hukum. Perizinan usaha di daerah adalah kewajiban bagi pelaku usaha untuk memperoleh izin (restu) dari pemda setempat untuk melakukan aktifitas usaha di
83
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
daerah. Perizinan-perizinan tersebut dapat dikelompokkan dalam empat tahapan: pertama adalah perizinan untuk memulai usaha seperti Izin Usaha Perdagangan (IUP), Izin Usaha Industri (IUI), Izin Mendirikan Bangunan (IMB), dan berbagai izin lainnya; kedua perizinan pada tahap operasional usaha, misalnya adalah perizinan untuk memperoleh bahan baku untuk produksi seperti izin usaha pemasukan komoditi, izin penggunaan mesin genset dan sebagainya; ketiga perizinan pada tahap distribusi barang dan jasa, misalnya perda yang mengatur mengenai kewajiban izin atas pengeluaran barang, surat keterangan asal sebagai syarat impor/ekspor komoditi, dan sejumlah izin yang lainnya; dan kelima adalah izin terkait dengan pengembangan usaha, umumnya kewajiban izin atas pengembangan usaha termuat dalam perizinan terkait dengan IMB, Izin HO dan sejumlah izin lainnya.. Dalam prakteknya, setiap kewajiban izin bagi dunia usaha selalu diikuti dengan pungutan retribusinya. Pada umumnya pungutan retribusi ini menjadi satu paket dalam perda perizinan, namun demikian banyak pula yang retribusinya diatur secara terpisah dengan perda perizinan. Pungutan yang diatur dalam perda selain retribusi yang merupakan biaya pengganti atas pelayanan yang disediakan oleh pemda, juga ada pungutan yang sifatnya wajib berupa pajak daerah. Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut pajak, adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan Daerah dan pembangunan Daerah4. Selama sewindu implementasi otda, sudah ada sejumlah perbaikan terkait dengan permasalahan perda. Baik itu dalam hal pengaturan (isi) perda di daerah maupun pengaturan (regulasi) pengawasannya oleh pemerintah nasional. Sejak era otda meskipun tidak banyak, terdapat sejumlah perda yang berpotensi mendorong investasi. Perda yang dapat dianggap mendorong investasi misalnya adalah perda yang mengatur mengenai pembentukan instansi pelayanan perizinan terpadu. Dari 440 Kabupaten/Kota di Indonesia pada tahun 2007 terdapat 83 daerah yang telah menarapkan pelayanan terpadu dengan dukungan perda. Pembentukan instansi pelayanan terpadu menjadi penting karena dianggap sebagai bentuk penyederhanaan proses perizinan. Selain itu bentuk lainnya dari praktik implementasi perda yang ramah investasi dapat dilihat di Kota Balikpapan. Perda Kota Balikpapan Nomor 9 Tahun 2004 4
Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
84
Peraturan Daerah
tentang insentive bagi investor mengatur mengenai pemberian insentive berupa keringanan hingga pembebasan biaya atas beban pungutan daerah seperti pajak dan retribusi daerahnya. Keringanan ini diberikan kepada jenis usaha tertentu di daerah (kawasan) tertentu. Dalam hal perubahan kebijakan peraturan di tingkat nasional telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, pengaturan mengenai pengawasan secara prefentif terdapat pada pasal 39 ayat 1, 2, 3 dan 4 dengan ketentuan sebagai berikut: (1) Rancangan Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Peraturan, Kepala Daerah tentang penjabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, pajak daerah, retribusi dan rencana tata ruang disampaikan paling lama 3 (tiga) hari setelah disetujui bersama antara Kepala Daerah dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; (2) Menteri melakukan evaluasi rancangan peraturan daerah provinsi dan rancangan peraturan Gubernur tentang anggaran pendapatan dan belanja daerah, pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah; (3) Gubernur melakukan evaluasi rancangan peraturan daerah kabupaten/kota dan rancangan peraturan. Bupati/Walikota tentang anggaran pendapatan dan belanja daerah, pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah; (4) Evaluasi rancangan peraturan daerah dan rancangan peraturan kepala daerah sebagaimana diatur pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah diterima rancangan dimaksud.
85
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
Namun demikian sejak diundangkanya peraturan tersebut, masih dijumpai berbagai perda yang masih menghambat aktifitas perekonomian di daerah. Hambatan-hambatan dalam melakukan aktifitas perekonomian tersebut dapat dilihat pada hasil kajian perda KPPOD. Sejak tahun 2001 hingga sekarang KPPOD juga telah melakukan kajian sebanyak 2024 perda terkait dengan perizinan, pungutan (pajak, retribusi dan sumbangan pihak ketiga). Dari kajian tersebut umumnya perda bermasalah pada hal kejelasan prosedur dan penetapan tarifnya (lihat gambar). a. Hambatan yang paling menggangu dunia usaha dari diterbitkannya perda perizinan adalah tidak adanya kepastian prosedur perizinannya. Ketidak pastian ini berdampak pada kepastian dunia usaha dalam memperoleh izin. Selain itu ketidak jelasan prosedur yang berakibat tidak adanya kepastian hukum selama ini menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat. Karena bisa saja izin yang diajukan tidak dikabulkan karena alasan yang tidak jelas, atau bahkan untuk usaha yang sudah berjalan pada waktu mengajukan perpanjangan izin ternyata oleh pemda tidak diberikan izin perpanjangannya; b. Menghambat lalulintas barang/orang dan/atau jasa dari satu daerah kedaerah lain. Sejumlah daerah membatasi dan/atau membebani terhadap aktifitas lalulintas barang, jasa atau orang baik dengan menerbitkan izin maupun dengan memungut retribusi atas setiap aktifitas tersebut. Meskipun menganut sistim desentralisasi namun pada dasarnya Indonesia berbentuk negara kesatuan (eenheidstaat)5. Karena itu dalam implementasi otda, prinsip-prinsip dasar “kesatuan wilayah ekonomi nasional” harus dijadikan acuan utama. Karena itu, keberadaan perda yang cenderung memberikan special treatment bagi putra daerah bertentangan dengan prinsip kesatuan wilayah ekonomi nasional; c. Adanya double pungutan pada level yang berbeda dan pungutan yang berulang dalam satu mata rantai produksi, akibatnya dalam satu jenis kegiatan dan produk dapat mengalami lebih dari satu kewajiban/beban pungutan; dan sebagainya 5
Pasal 1 ayat (1) UUD 1945
86
Peraturan Daerah
Dampak Perda Ruang lingkup pengaturan perda adalah seluruh aspek pemerintahan dalam menjalankan otonomi daerah, kecuali urusan yang menjadi urusan pemerintah pusat. Perda sendiri adalah sebuah kebijakan formal pemda yang dapat dipaksakan, bahkan dapat dilengkapi dengan ketentuan sanksi pidana. Karena itu, dampak pengaturan dan implementasi perda bagi masyarakat bisa sangat luas sekali. Bahkan dampak sebuah kebijakan (perda) bisa dialami lintas sektoral. Misalnya saja perdaperda yang mengatur mengenai aktifitas sosial masyarakat yang pada gilirannya mengakibatkan ketidak nyamanan dan ketidak amanan lingkungan masyarakat, pada akhirnya juga akan berdampak terhadap aktifitas perekonomian di daerah. Begitupula misalnya perda-perda yang mengatur menganai aktifitas perekonomian daerah. Apabila ternyata perda yang dibuat oleh pemda malah menghambat investasi masuk dan perkembangan usaha yang sudah ada, lambat laun kebijakan ini akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat setempat. Rendahnya kualitas kesejahteraan masyarakat lambat-laun juga akan berakibat pada rendahnya kualitas lingkungan sosial masyarakat setempat. Karena itu good local regulatory governance haruslah dilihat pada keseluruhan aspek pengelolaan peraturan di daerah secara baik. Selain itu tata kelola peraturan daerah yang baik juga sangat dipengaruhi oleh kualitas tata kelola peraturan di tingkat nasional yang baik. Namun demikian tantangan terbesarnya adalah bahwa dalam sewindu ini banyak regulasi yang saling tumpang tindih dan bertentangan antara satu dengan lainnya. Baik antara regulai ditingkat pusat maupun regulasi pusat dengan daerah dan antar regulasi di daerah. Jika permasalahan ini tidak dianggap secara serius, dapat mengakibatkan kegagalan hukum yang lambat-laun juga akan merambat keberbagai aspek di Indonesia.
Penutup Jika melihat dari berbagai uraian di atas, pada dasarnya permasalahan perda sangat kompleks. Kualitas perda tidak semata dipengaruhi dari faktor internal penyusunnya (pemda) tetapi juga faktor dari luar misalnya pemerintah pusat. Untuk itu memang tidak mudah untuk melakukan pembangunan hukum khususnya pembangunan perda di daerah. Pilihan yang harus diambil oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah kedepan adalah dengan melakukan deregulasi atas seluruh peraturan yang berpotensi menghambat otda. Namun demikian proses ini tentunya memakan
87
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
waktu dan effort yang sangat luar biasa. Untuk itu, dalam waktu singkat ini baik pemerintah pusat mapun pemda harus melihat pada kepentingan masyarakat. Yaitu dengan melakukan pembebasan diri dari sekat-sekat hukum yang kaku. Selain itu dalam waktu yang singkat ini yang dapat dilakukan yaitu dengan penguatan atas prosedur baik dalam hal penyusunan perda, pelibatan partisipasi masyarakat dalam penyusunan perda, maupun pada proses evaluasinya. Penguatan prosedur penyusunan perda misalnya dengan menetapkan tahapan-tahapan dalam penyusunan perda yang pro partisipasi publik, yang diikuti dengan sanksi atas pelanggaran prosedur Terakhir adalah penguatan kelembagaan, penguatan kelembagaan perlu dilakukan baik ditingkat kabupaten/kota, provinsi, maupun di tingkat pusat. Terutama terkait dengan proses pengawasan yang dilakukan secara berjenjang. Sedangkan di tingkat pusat dapat dibentuk desk perda yang terdiri dari perwakilan stakeholder otda di pusat. Desk perda dapat memiliki peran sebagai pusat informasi, kajian, monitoring dan evaluasi perda. ]]]
88
Isu-Isu Pilihan: Tulisan Terpilih Lomba Penulisan Artikel Otda “Good Regulatory Governance”: Pengelolaan Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi
Rina Mardiana Membangun Nilai Solidaritas dalam Peraturan Daerah Pajak dan Retribusi Lexy Armanjaya Industri Kreatif sebagai Strategi Pembangunan Daerah dalam Menghadapi Globalisasi Rista Amallia Komitmen, Konsistensi, Koneksi dan Deferensiasi: Membangun Keunggulan Daerah Mencapai Sukses dalam Memasarkan Daerah
MG. Westri Kekalih S. Merajut Kepentingan, Menebar Kesejahteraan: Upaya Peningkatan Pelayanan Dasar Melalui Kerjasama Antar Daerah
Thres Sanctyeka “Coopetition Strategy” dalam Pengembangan Jaringan Kerjasama Kawasan Perkotaan: Sebuah Pemikiran dalam Upaya Memperkuat Integrasi Kota di Indonesia
Desy Hariyati Kerjasama Antar Daerah dan Peningkatkan Layanan Masyarakat Teguh Dartanto
Good Regulatory Governance Pengelolaan Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi* Rina Mardiana**
u
S
ebagai suatu ekosistem Pulau Jawa dapat dikatakan kini kondisinya tengah sekarat (dying). Hasil kajian Menko Ekuin (2006) dengan menggunakan pendekatan sumberdaya air/watershed evaluation; jejak ekologi/ecological footprints; PDRB Hijau/Green GDP; dan analisis kebijakan, menunjukkan penurunan daya dukung Pulau Jawa secara dramatis. Daya dukung Pulau Jawa untuk sumberdaya lahan sudah dilampaui dan untuk sumberdaya air sudah sangat kritis. Tingginya intensitas bencana banjir, kekeringan, dan longsor dalam dekade terakhir merupakan bentuk nyata krisis ekologi. Selama tahun 2003-2005 saja telah terjadi 158 kali kejadian bencana banjir dan 38 kali kejadian longsor, yang berdampak luas pada infrastruktur, produksi pertanian, industri, kesehatan bahkan hingga kematian penduduk. Ketika kemerosoton daya dukung lingkungan Pulau Jawa mulai disadari oleh berbagai pihak perlu diatasi secara serius, ketika itu pula Indonesia memasuki era otonomi daerah. Di era otonomi daerah, Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota mempunyai kewenangan lebih besar dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya alam di wilayahnya. Secara teoritik, semakin dekat sumberdaya alam yang dikelola dengan pihak yang mengelola sumberdaya tersebut, maka akan
*
Pemenang lomba penulisan artikel Sewindu KPPOD Tahun 2009 Kategori Umum untuk tema Peraturan Daerah dan Good Regulatory Governance di Daerah * * Staf di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
semakin terjamin keberlanjutannya karena keputusan yang diambil bersifat lokalspesifik, sesuai kebutuhan masyarakat setempat dan mampu dikontrol oleh pemerintah daerah setempat. Namun pada kenyataannya desentralisasi tidak mampu mengerem laju kerusakan sumberdaya alam ini. Orientasi meningkatkan Pendapatan Asli Daerah dan keterbatasan sumberdaya manusia menempatkan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota justru menjadi pemicu percepatan laju krisis ekologi Pulau Jawa. Sebagian besar (180 atau 63 persen) Peraturan Daerah (Perda) yang dikeluarka pemerintah provinsi dan kabupaten/kota mengenai pemanfaatan sumberdaya alam yang terbit pasca 1999, berorientasi pada retribusi ijin usaha/pajak (lihat Tabel 1).
Tabel 1. Motif Peraturan Daerah tentang Pemanfaatan Sumberdaya Alam Retribusi ijin Wilayah Perda usaha (pajak) atau pemberian ijin untuk eksploitasi SDA
Motif Perda Tindakan Hak kolaboratif masyarakat pengelolaan untuk akses, dan pemanfaatan pemanfaatan dan kontrol SDA atas SDA
Total (%)
Provinsi
39
38
5
82 (29%)
Kabupaten
99
38
8
145 (50%)
Kota
42
15
4
61 (21%)
180 (63%)
91 (31%)
17 (6%)
288 (100%)
Total (%)
Sumber : Data primer penelitian 2007
Pada Tabel 2 terlihat bahwa Perda pemanfaatan sumberdaya alam yang diterbitkan tersebut tidak mempertimbangkan daya dukung lingkungan (44%) dan atau jika mempertimbangkan lingkungan cakupannya hanya sebatas wilayah administratif yang bersangkutan (47%). Keadaan semakin genting manakala sebagian besar penerbitan Perda tidak membangun jaring kerja lintas sektor dan wilayah untuk pengendalian dampak lingkungan (57%). Krisis ekologi di Indonesia tidak dapat dipandang semata-mata sebagai akibat dari rendahnya pengetahuan, pendidikan, kesadaran lingkungan dan pendapatan masyarakat, serta masalah demografi. Pembelajaran dari kasus pengelolaan hutan negara di Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah, justru menunjukkan bahwa krisis ekologi lebih banyak disebabkan oleh masalah-masalah struktural, kebijakan negara dalam memandang, memanfaatkan dan mengelola sumberdaya alam yang
90
Good Regulatory Governance Pengelolaan Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi
sangat kental diwarnai oleh berbagai kepentingan ekonomi, politik dan militer negara yang bertumpang tindih sejak masa Hindia-Belanda hingga era desentralisasi yang berlangsung saat ini.
Tabel 2. Muatan Perda dalam Pertimbangan Lingkungan dan Managemen Pengelolaan Sumberdaya Alam Muatan Perencanaan, Koordinasi, Pelaksanaan & Kontrol terhadap dampak lingkungan pemanfaatan SDA Muatan Pertimbangan Lingkungan dalam Perda
Membangun Tidak membangun jaring kerja lintas sektor/ jaring kerja stakeholders di koordinasi, internal prov./ perencanaan, kab./kota pelaksanaan & kontrol
Membangun jaring kerja lintas sektor/ stakeholders internal prov./ kab./kota dan lintas wilayah prov./kab./kota
Total (%)
Tidak mempertimbangkan daya dukung lingkungan setempat.
113
12
1
126 (44%)
Mempertimbangkan daya dukung lingkungan dari wilayah administratif bersangkutan.
46
80
9
135 (47%)
Mempertimbangkan daya dukung lingkungan dari ekosistem DAS/ wilayah cekungan air tanah/kesatuan pemangku hutan bersangkutan.
5
10
12
27 (9%)
102 (35%)
22 (8%)
288 (100%)
Total (%)
164 (57%)
Sumber : Data primer penelitian 2007
Melalui kasus pengelolaan hutan di Wonosobo hendak ditunjukkan seberapa jauh kemampuan Perda dan Good Regulatory Governance (GRG) dalam menata
91
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
dan memperbaiki pengelolaan sumberdaya alam di daerahnya sehingga kemerosotan daya dukung lingkungan Jawa dapat dicegah, dikendalikan dan bahkan diperbaiki. Selain itu juga diperoleh pembelajaran bagaimana mewujudkan good governance melalui proses demokratisasi, kolaborasi multipihak, transformasi pengelolaan hutan oleh masyarakat, potensi munculnya mekanisme sosial, kearifan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam yang spesifik lokal, serta tantangan yang dihadapi dalam merundingkan kesepakatan untuk pengelolaan hutan yang lebih adil dan berwawasan ekologis diantara berbagai pihak berkepentingan terhadap sumberdaya hutan.
Pertarungan Akses dan Kontrol atas Sumberdaya Hutan Kehadiran UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan ruang kepada setiap Pemerintah Daerah untuk bertanggung jawab terhadap pengelolaan sumberdaya alam di wilayahnya. Hal ini membuka ruang bagi Pemerintah Kabupaten Wonosobo untuk mengambil langkah proaktif menangani masalah pengelolaan hutan, terlebih dengan dimasukinya ranah ini potensi Pendapatan Asli Daerah Wonosobo dari hasil hutan dan industri hasil hutan berpeluang besar meningkat. Arus kekuatan yang mendukung pengelolaan hutan negara oleh pemerintah kabupaten Wonosobo menguat berkat adanya dukungan dari dua aktor penting di luar Wonosobo. Pertama, kalangan akademisi. Beberapa akademisi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) memberikan masukan penting dalam menyikapi masalah penjarahan hutan, sengketa, dan pengembangan kebijakan perhutanan. Kalangan akademisi ini menyalurkan pandangan dan kekuasaannya (power) melalui Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM). Kedua, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mendukung desentralisasi penguasaan hutan produksi di Jawa, diantaranya adalah Aliansi Relawan untuk Penyelamatan Alam (ARuPA), Konservasi Lingkungan (Koling), Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), Jaringan Kerja Pemetaan Masyarakat ( JKPM), Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Pusat Kajian Hutan Rakyat (PKHR), dan Forest Watch Indonesia (FWI). Para pendukung desentralisasi pengelolaan hutan produksi di Jawa ini menyalurkan pandangan dan sikap politiknya melalui media massa, pertemuanpertemuan dan diskusi, serta lobi. Di tingkat lokal pandangan dan sikap politik ini disalurkan antara lain melalui radio lokal di Wonosobo yang acaranya berisi dialog interaktif mengenai pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Di tingkat yang
92
Good Regulatory Governance Pengelolaan Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi
lebih luas media cetak bertiras nasional dan internet digunakan sebagai medium penyebarluasan gagasan dan sikap politik pro desentralisasi pengelolaan sumberdaya alam. Gagasan untuk merancang Perda yang mengatur pengelolaan sumberdaya hutan dimulai pada awal tahun 2000. Proses konseptualisasi ide dilakukan dengan menggalang dialog dengan para pihak berkepentingan (stakeholders), yakni Ornop/ LSM, Organisasi Rakyat(OR)/kelompok tani, dan DPRD. Kristalisasi konsep mulai terwujud pada Agustus 2000, yang ditandai oleh munculnya kesepemahaman di kalangan Ornop/LSM, OR/kelompok tani, DPRD, ditambah dengan wakil Pemda dan pihak Perhutani untuk melakukan inisiasi kebijakan kabupaten dalam menyelesaikan permasalahan hutan, seperti penebangan liar, peminggiran masyarakat dan pendudukan lahan. Hasil rembuk para pihak ini menyepakati sebuah skema yang mirip dengan Hutan Kemasyarakatan (HKM) yang akhirnya draft kebijakan tersebut diberi nama Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis Masyarakat (PSDHBM). Rangkaian kegiatan para pihak tersebut difasilitasi oleh LSM (ARuPA & Koling) dan DPRD. Proses ini selanjutnya diresmikan Bupati pada bulan Februari 2001 melalui SK Bupati Wonosobo No. 522/200/2001, yang bertujuan pembentukan sebuah forum untuk menangani masalah penjarahan hutan dan konflik tata guna lahan. Sebagai rentetan proses ini, pada Maret 2001 terbentuk Forum Koordinasi Penanganan Penjarahan dan Penataan Hutan (FKPPPH), yang anggotanya terdiri dari perwakilan dari Pemerintah Daerah, DPRD, Perum Perhutani, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Wonosobo, Kejaksaan, Kepolisian, kelompok pengguna lahan, tokoh masyarakat, LSM, dan kalangan media. Dalam perjalanannya, para pihak di tubuh FKPPPH mulai unjuk tarik menarik kepentingan. Konflik kepentingan ini mengerucut pada ketidaksetujuan pihak Perhutani atas rekomendasi yang diusulkan FKPPPH. Adapun rekomendasi tersebut berupa: (1) pemberlakuan jeda lingkungan atau penghentian semua kegiatan eksploitasi hutan di 40 desa dalam 6 kecamatan di Wonosobo selama enam bulan, terhitung mulai Maret hingga September 2001; dan (2) pengembangan program resolusi sengketa. Tidak dicapainya kata sepakat, maka puncak tarik menarik kepentingan para pihak ini akhirnya mendorong Perhutani untuk keluar dari FKPPPH, sehingga forum FKPPPH berubah nama menjadi Tim Multipihak Wonosobo. Dalam kurun waktu berlakunya masa jeda lingkungan, Tim Multipihak Wonosobo melakukan kunjungan ke 30 desa dan evaluasi pemantapan naskah
93
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
kebijakan PSDHBM hingga berbentuk Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten. Sementara itu sebelum Rancangan Perda PSDHBM disyahkan, pihak Perhutani pada tanggal 29 Maret 2001 telah mendahului membuat keputusan tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) melalui Keputusan Dewan Pengawas Perum Perhutani No. 136/KPTS/DIR/2001. Disisi lain, secara beruntun (April-Mei 2001) pasca penawaran sistem PHBM Perhutani, kubu penggagas Perda PSDHBM tak kalah gencar melakukan berbagai macam konsolidasi di tingkat akar rumput (petani) dengan topik perbincangan seputar pengelolaan hutan oleh rakyat. Pada tanggal 10 Mei 2001 hasil diskusi ini membuahkan kesepakatan di tingkat petani yang isinya menyatakan bahwa: (1) Pelaku/aktor utama dalam pengelolaan sumberdaya hutan adalah rakyat; (2) Jenis tanaman tegakan disesuaikan dengan keinginan rakyat; (3) Teknik penanaman disesuaikan dengan kondisi pengetahuan lokal; (4) Teknologi yang digunakan adaptif; (5) Jarak tanam tanaman tegak berkisar 4-5 m2; (6) Tanaman sela sesuai dengan kebutuhan rakyat; (7) Lembaga Pengembangan Sumberdaya Hutan dilaksanakan dan dikontrol oleh rakyat, dengan tahapan diserahkan kepada Pemerintah Daerah dan kemudian diserahkan kepada Pemerintahan Desa sebagai wilayah yang berinteraksi langsung dengan hutan; (8) Status pengelolaan dilindungi hukum; (9) Skala produksi dibatasi oleh prinsip kelestarian hutan dan memperhatikan keanekaragaman hayati; serta (10) Sistem ekonomi untuk kesejahteraan rakyat. Sebagai kelanjutan atas kesepakatan petani tersebut, maka pada hari berikutnya (tanggal 11 Mei 2001) sekitar 2.000 petani melakukan unjuk rasa di gedung DPRD Wonosobo dengan tuntutan antara lain pembubaran Perhutani dan penolakan terhadap tanaman pinus yang merusak ekosistem dan mempersempit sumber kehidupan petani sekitar hutan (Suara Merdeka, 11 Mei 2001). Dukungan masyarakat petani, kalangan akademisi, pemerintah dan LSM pada akhirnya mendorong sistem PSDHBM untuk disyahkan. Sehingga pada tanggal 20 Oktober 2001 terbit Perda No. 22 Tahun 2001 tentang Pengelolaaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat (PSDHBM). Perda PSDHBM ini jauh lebih maju dan jelas keberpihakannya kepada rakyat daripada PHBM Perhutani yang pada dasarnya juga membuka ruang partisipasi bagi masyarakat.
94
Good Regulatory Governance Pengelolaan Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi
Namun dalam skim PHBM ini masyarakat tidak diberi kewenangan dan akses yang luas sebagaimana PSDHBM. Dalam Perda PSDHBM, baik Desa maupun BPD (Badan Perwakilan Desa) mempunyai kewenangan mengatur pengelolaan hutan. Pertarungan akses dan kontrol atas sumberdaya alam ini mulai terasa ketika berkaitan dengan pihak siapa yang berkuasa atas pengambilan keputusan tentang pengelolaan hutan di wilayah administratif Kabupaten Wonosobo (lihat Tabel 3) sehingga Perhutani menentang keras terbitnya Perda PSDHBM. Seiring langkah
Tabel 3. Pasal-pasal dalam Perda PSDHBM yang Dianggap Mengancam Kekuasaan dan Akses Perum Perhutani atas Hutan Produksi Negara No.
Pasal
Substansi
Keterangan Pengertian tersebut dianggap menafikan keberadaan Perhutani sebagai pengelola hutan negara
1.
Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis Masyarakat adalah sistem pengelolaan sumberdaya Pasal 1 butir f hutan yang dilakukan oleh masyarakat setempat di kawasan hutan negara berdasarkan fungsi dan peruntukkannya yang selanjutnya disingkat dengan PSDHBM
2.
Pasal 6 ayat 2
3.
Perhutani tidak Kelompok masyarakat hasil penyiapan dilibatkan dalam proses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 perijinan mengajukan permohonan ijin PSDHBM kepada Pasal 15 ayat 1 Bupati melalui Dinas Kehutanan dan Perkebunan, dengan sepengetahuan Kepala Desa dan Badan Perwakilan Desa
4.
Dalam melaksanakan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, pemegang ijin dapat meminta fasilitasi kepada Pemerintah Daerah Pasal 20 ayat 1 atau LSM pendamping dalam rangka pengembangan kelembagaan, permodalan, sumberdaya manusia, jaringan mitra kerja, dan atau pengembangan pemasaran dan usaha
5.
Pasal 24
Penetapan lokasi disyahkan melalui Keputusan Bupati
Rencana pengelolaan disusun oleh pemegang ijin secara partisipatif dengan melibatkan seluruh anggota kelompok dan difasilitasi oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan atau LSM pendamping.
Pasal ini dianggap menggeser peran dan kekuasaan Perhutani
Perhutani tidak dilibatkan dalam proses pengelolaan
Perhutani tidak dilibatkan dalam penyusunan Rencana Pengelolaan
Sumber : Data primer penelitian 2008
95
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
penolakan Perhutani ini, mulai bersemi pula benih penolakan Pemerintah Pusat terhadap iniasitif Perda PSDHBM. Beberapa ketentuan di atas membuat khawatir pihak Perhutani, karena dari proses perijinan hingga pengelolaan, tidak pernah disebut-sebut nama atau bahkan peran Perum Perhutani. Padahal, hingga sekarang, kewenangan pengelolaan tanah negara tersebut menurut mereka masih merupakan otoritas Perhutani. Sebagai penguat posisi Perum Perhutani diterbitkan surat Gubernur Jawa Tengah No. 180/158 tertanggal 8 Februari 2002, yang menyebutkan bahwa berdasarkan Pasal 2 PP Nomor 14 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Hutan Negara, kewenangan pengelolaan hutan dimaksud berada pada Perum Perhutani. Untuk itu, setiap pengelolaan hutan oleh masyarakat harus dengan persetujuan/ijin Perum Perhutani atau bekerjasama dengan Perum Perhutani. Sementara itu, setelah Perda PSDHBM diluncurkan sebagai dokumen kebijakan, tim drafting yang dimotori Lembaga ARuPA mengadakan serangkaian diskusi untuk memformulasikan Petunjuk Pelaksanaan Perda PSDHBM. Kegiatan konsolidasi secara maraton dilakukan sejak 10 Desember 2001 hingga 24 Januari 2002, baik di Wonosobo maupun di Yokyakarta. Diskusi-diskusi tersebut menghasilkan: (1) rancangan Forum Hutan Wonosobo (FHW) yang secara hirarkis tersusun dari tingkat kabupaten sampai desa; dan (2) draft Petunjuk Pelaksanaan ( Juklak) PSDHBM. Keanggotaan FHW merupakan cerminan dari pihak-pihak yang terkait dengan pengelolaan hutan, antara lain: unsur-unsur pemerintah (Bappeda, Assisten II, BPN, Dinas Hutbun, dan Dinas Pariwisata), wakil-wakil masyarakat, wakil perguruan tinggi, dan LSM. Juklak PSDHBM tersebut direncanakan diterbitkan oleh Bupati sekaligus mengawali dimulainya PSDHBM di 19 desa yang berbatasan dengan hutan. Infiltrasi gerakan PSDHBM di Kabupaten Wonosobo ini menghadapi tantangan hebat. Tak mau kalah cepat, pihak perhutani pun secara intensif melakukan lobi kepada Departemen Kehutanan (Dephut) untuk meminta Departemen Dalam Negeri (Depdagri) agar mencabut Perda PSDHBM Wonosobo. Selain berjuang membatalkan Perda PSDHBM, secara bersamaan di lapangan Perhutani memantapkan kerangka kerja PHBM.
Kontestasi Kekuasaan Para Pihak Kontestasi kekuasaan antara kubu pengusung PHBM dan PSDHBM terus mengemuka dengan berbagai bentuk. Tak mau kalah dengan kubu PHBM, maka kubu PSDHBM juga melakukan diskusi dan lobi-lobi politik di Wonosobo dan
96
Good Regulatory Governance Pengelolaan Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi
Jakarta, yang dilanjutkan dengan gerakan penanaman tanah kehutanan oleh masyarakat dan aksi demonstrasi menuntut segera diimplementasikannya Perda PSDHBM. Yang menarik dari proses penanaman di tanah hutan negara oleh petani setempat adalah bahwa implementasi program PSDHBM berangkat dari kerja bersama-sama dengan Pemerintah Daerah, DPRD, LSM dan sesama petani sendiri. Misalnya saja untuk pertemuan-pertemuan proses multipihak dilakukan pembagian kontribusi, seperti tempat pertemuan dan konsumsi didanai Pemda, narasumber dan transportasi diusahakan LSM, sedang petani mengorbankan waktu bekerja di ladangnya. Jadi proses diskusi multipihak tidak saja di bidang dialog ide, melainkan juga kontribusi materi. Perjuangan yang dilakukan kelompok akar rumput (grass root) ini pada dasarnya untuk memperkuat barisan menghalau konsep PHBM. Untuk memperluas pengaruh, para pihak pengusung PSDHBM menggunakan mass media seperti radio dan koran lokal serta pembuatan film dalam dua bahasa, yaitu Indonesia dan Inggris. Mobilisasi massa juga dimanfaatkan oleh barisan PSDHBM. Mobilisasi massa yang paling besar dalam bentuk demonstrasi digelar oleh Aliansi Petani Wonosobo (APW) dan Komite Aksi untuk Kedaulatan Petani (KAKP). Sekitar 7.000-an petani dikerahkan menuju gedung DPRD Wonosobo pada tanggal 26 September 2002. Aksi demonstrasi petani ini mendapat dukungan kuat dari kalangan LSM. Sementara itu, advokasi kepentingan Perum Perhutani bersifat struktural-formal melalui jalur hukum formal dengan Dephut dan Depdagri di Pusat dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Pertarungan antara kubu PSDHBM dan PHBM ini membingungkan masyarakat Wonosobo. Di satu sisi, PSDHBM membuka sebuah proses dialog dengan banyak pihak sehingga memberikan peluang lebih besar bagi masyarakat untuk menyuarakan rencana mereka atas kawasan hutan serta mendapatkan porsi yang lebih besar dalam bagi hasil hutan kayu dan akses terhadap sumberdaya hutan. Sementara di sisi lain, meski bagi hasil yang diterapkan PHBM lebih kecil dibandingkan PSDHBM, kepastian akan dilaksanakan PHBM Perhutani membuat sebagian masyarakat menganggap PSDHBM masih di awang-awang (Adi et al 2005). Dalam pertarungan kekuasaan para pihak tersebut, kerap terjadi konflik fisik, seperti pembabatan hutan yang ditanam masyarakat di hutan negara dan pemukulan terhadap pendukung PSDHBM oleh kelompok massa yang dibawa Perhutani. Harian Kompas (27 Oktober 2004) memberitakan bahwa, masyarakat petani hutan
97
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
Desa Bogoran adalah salah satu desa yang dipaksa membabat tanaman albasia yang mereka tanam di lahan Perhutani di Kedu Selatan sejak tahun 1999. Tindakan tersebut di bawah ancaman sekelompok massa yang disuruh petugas Perhutani Kedu Selatan.
Pembatalan Perda PSDHBM No. 22/2001 Tarik menarik kebijakan yang ditawarkan Perhutani dan Pemda Wonosobo yang keduanya berporos pada nasib rakyat pada akhirnya tidak saja berujung pada ketidakjelasan dan kebingungan di kalangan masyarakat, namun juga menjadikan terombang-ambingnya upaya implementasi kedua jenis sistem kebijakan pengelolaan hutan yang ditawarkan. Perda PSDHBM tidak dapat berjalan efektif dikarenakan tidak mengantungi izin dari Pemerintah Pusat dan Provinsi. Sedangkan PHBM juga tidak dapat berjalan efektif dikarenakan rendahnya dukungan masyarakat dan Pemda. Menyadari bahwa kemandekan implementasi kebijakan menghantam kedua kubu –PSDHBM dan PHBM, maka kedua belah pihak mencoba mencapai titik temu dengan melakukan diskusi dan negoisasi. Proses negosiasi yang berlangsung di Yogyakarta pada tanggal 22 Agustus 2002 menghasilkan kesepakatan bahwa PSDHBM akan dilaksanakan di 30 desa dan PHBM akan dilaksanakan di desadesa lainnya. Kesepakatan ini direncanakan akan dikukuhkan melalui penandatangan oleh Bupati Wonosobo dan Dirut Perum Perhutani dengan disaksikan Menteri Kehutanan. Bersamaan dengan tercetusnya kesepakan ini, pihak Perhutani juga menjalankan proses negoisasi lain di tataran Pemerintah Pusat. Alih-alih Menteri Kehutanan mengukuhkan nota kesepemahaman antara Perhutani dan Pemda Wonosobo, justru yang muncul adalah sepucuk surat yang dilayangkan kepada Menteri Dalam Negeri yang meminta pembatalan Perda PSDHBM Wonosobo pada tanggal 11 September 2002 (Surat Menteri Kehutanan No. 1665/MenhutII/2002). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa berbagai tindakan mediasi tersebut telah mengalami kegagalan, seperti mediasi yang dilakukan oleh Dephut dan atau mediasi yang dibangun oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah terhenti di tengah jalan pada saat Bupati Wonosobo menerima surat dari Sekretaris Jenderal (Sekjen) Depdagri. Keluarnya surat dari Sekjen Depdagri tersebut merupakan hasil dari tindakan yang dilakukan oleh Perhutani melalui jalur hukum, dengan cara melobi Depdagri. Perhutani bersama-sama Dephut mendesak Depdagri untuk membatalkan Perda
98
Good Regulatory Governance Pengelolaan Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi
PSDHBM. Hal ini tertuang dalam Surat Menteri Kehutanan Nomor 1665/ Menhut-II/2003 tertanggal 14 September 2002. Adapun kutipan penting dari isi surat Menteri Kehutanan tersebut, yaitu bahwa ketentuan dalam Pasal 5 Perda Kabupaten Wonosobo Nomor 22 Tahun 2001 yang mengatur penetapan hutan negara sebagai lokasi pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat adalah bertentangan dengan ketentuan Pasal 5 ayat [3] UU No. 41 Tahun 1999 dan Pasal 2 ayat [3] angka 4 huruf c PP No. 25 Tahun 2000, karena yang berwenang menetapkan kawasan hutan negara (termasuk hutan hak dan hutan adat) berikut dengan status dan fungsinya adalah pemerintah. Depdagri membalas jawaban surat Menteri Kehutanan tersebut melalui Sekjen Depdagri dengan surat bernomor 188.342/2434/SJ tanggal 24 Oktober 2002 yang ditujukan kepada Bupati Wonosobo untuk menghentikan pelaksanaan Perda PSDHBM dan selanjutnya mengusulkan proses pencabutan kepada DPRD Wonosobo. Pelaksanaan penghentian dan proses pencabutan Perda PSDHBM tersebut dilaporkan kepada Menteri Dalam Negeri selambat-lambatnya 15 hari sejak diterimanya surat tersebut. Meskipun Sekjen Depdagri sudah memberikan surat teguran, Perda PSDHBM belum kunjung dicabut oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Wonosobo. Sehingga atas desakan Perhutani, pada tanggal 23 Desember 2004 Gubernur Jawa Tengah melayangkan surat kepada Menteri Dalam Negeri yang pada intinya meminta Menteri Dalam Negeri menerbitkan surat keputusan pembatalan Perda PSDHBM. Akhirnya, pada tanggal 3 Maret 2005 dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2005 tentang Pembatalan Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 22 Tahun 2001 tentang PSDHBM Kabupaten Wonosobo. Dalam surat tersebut, Bupati Wonosobo diminta menghentikan pelaksanaan Perda PSDHBM paling lambat tujuh hari sejak ditetapkan Surat Keputusan ini. Sehingga dapat dikatakan akhir dari pertarungan ini dimenangkan oleh Perhutani. Berdasarkan uraian di atas, proses pencabutan Perda PSDHBM merupakan pergulatan politik dari tingkat lokal hingga nasional. Terbitnya SK Mendagri Nomor 9/2005 dapat dikatakan merupakan hasil desakan dari Departemen Kehutanan dan Gubernur Jawa Tengah, yang telah dilobi secara intensif oleh Perum Perhutani (khususnya Kepala Perhutani Unit I Jawa Tengah). Hal ini ditunjukkan oleh surat Kepala Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah No. 2945/ 044.3/Lind-SDH/I, 30 November 2004, yang ditujukan kepada Gubernur Jawa
99
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
Tengah, yang isinya menolak rencana pengelolaan oleh segelintir masyarakat Wonosobo dan meminta untuk memberikan instruksi kepada Bupati Wonosobo agar mencabut Perda PSDHBM. Menghadapi kondisi ini, kubu PSDHBM Wonosobo tidak menerima begitu saja. Merasa yakin PSDHBM masih memiliki dukungan besar dari berbagai pihak, seperti Pemda, DPRD, LSM dan masyarakat di desa-desa sekitar hutan, maka secara sepihak sistem PSDHBM dijalankan di desa-desa yang sejak awal telah direncanakan sebagai pilot project skim PSDHBM. Di pihak lain, tanpa tedeng aling-aling, model PHBM juga mulai dioperasikan secara massif oleh Perhutani. Kekuatan kubu PSDHBM yang bergerak di komunitas akar rumput dan penggalangan opini dan wacana di media massa (media nasional dan internasional) telah menghasilkan reaksi dari berbagai kalangan. Pembatalan Perda PSDHBM Wonosobo dipandang telah mengesankan sikap ambiguitas pemerintah yang setengah hati dalam memberikan otonomi pengelolaan sumberdaya alam kepada daerah. Bahkan secara ekstrim, pembatalan ini dinilai telah memundurkan proses reformasi di sektor kehutanan yang diharapkan akan mampu membawa perubahan yang mendasar pada sistem tata-kelola dan manajemen kawasan hutan. Kemandekan kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan di Wonosobo ini mulai mencair seiring terjadinya perubahan iklim politik dan pemerintahan di Kabupaten Wonosobo-. Suksesi kepemimpinan melalui Pemilu, Pilkada, dan Pilkades menawarkan babak baru untuk memperbaiki kondisi hutan di kabupaten Wonosobo. Berbagai dialogpun kemudian dibuka kembali dengan melibatkan pihak Perhutani didalamnya. Puncak dari berbagai rangkaian dialog pasca dibatalkannya Perda PSDHBM oleh Depdagri adalah penandatangan Keputusan Bersama antara Kepala Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah dan Bupati Wonosobo tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Lestari (PSDHL) di Kabupaten Wonosobo. Penandatangan Keputusan Bersama No. 2871/044.3/Hukamas/I dan No. 661/13/2006 itu dilakukan pada tanggal 13 Oktober 2006. Dalam Pasal 1 SKB disebutkan bahwa maksud PSDHL adalah dalam rangka pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan dengan melibatkan peran aktif masyarakat sekitar hutan dan dinas serta pihak terkait (stakeholders) yang sinergis dengan pembangunan wilayah, dengan tujuan sebagai upaya rehabilitasi dan konservasi serta peningkatan mutu hutan, potensi masyarakat dengan berbagai aktifitas di desa sekitar hutan yang ada di wilayah Kabupaten Wonosobo, sehingga
100
Good Regulatory Governance Pengelolaan Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi
dapat memberikan manfaat ekologi, sosial dan ekonomi yang optimal guna terwujudnya kelestarian hutan, peningkatan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat desa sekitar hutan. Dimata LSM AruPa, kelahiran PSDHL sesungguhnya masih tetap mencerminkan kekalahan model PSDHBM, meski fakta menunjukkan Perda PSDHBM hingga kini belum di cabut oleh Pemda Wonosobo. Sedangkan dari sisi Perhutani model PSDHL searah dengan prinsip-prinsip PHBM. Meski ketidakpuasan tetap ada di kubu PSDHBM namun model PSDHL tetap diterima sebagai bentuk negoisasi politik sekaligus mengindikasikan mulai melunak dan terbukanya pihak Perhutani untuk duduk bersama memastikan nasib kesejahteraan rakyat petani sekitar hutan.
Antropologi Kebijakan Pada umumnya kajian-kajian kebijakan mengenai motif dan kepentingan penerbitan Perda di Indonesia baru sebatas menganalisis isi kebijakan. Kajian semacam ini berusaha menjelaskan bagaimana kebijakan mengatur penguasaan dan pemanfaatan serta pelaksanaan sumberdaya alam bagi negara dan masyarakat. Namun demikian, kajian-kajian tersebut tidak mengungkapkan secara komprehensif permasalahan aspek sosial dan budaya yang dikenai kebijakan tersebut, yakni keterkaitan antara kebijakan dengan pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) serta situasi sosial dan budaya (social and cultural setting) yang ada pada saat kebijakan dibuat dan dampak yang ditimbulkan atas implementasi kebijakan tersebut. Kebijakan adalah serangkaian keputusan yang saling berhubungan yang dibuat oleh suatu kelompok politik atau birokrasi pemerintah, berkenaan dengan pemilihan tujuan dan cara untuk mencapai tujuan dalam suatu situasi khusus, yakni situasi dimana keputusan-keputusan itu dibuat dalam kelompok politik dan birokrasi pemerintah tersebut. Keputusan itu dapat berbentuk peraturan perundang-undangan, karena prinsip dan strategi dalam kebijakan itu perlu diterjemahkan ke dalam hukum tertulis yang dibuat oleh negara (state law), sehingga menjadi norma hukum yang harus ditaati oleh masyarakat, dilaksanakan pemerintah dan ditegakkan oleh aparat penegak hukum secara keseluruhan. Hal ini menunjukkan pembuatan kebijakan dan hukum cenderung diwarnai dan dipengaruhi oleh persepsi birokrat dan legislator, dan persepsi itu cenderung disesuaikan dengan kepentingan sosial, ekonomi dan politik pemerintah di tingkat lokal, nasional, dan juga internasional.
101
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
Gegap gempita otonomi daerah disambut antusias oleh daerah dengan maraknya penerbitan Perda. Melalui Perda diharapkan dapat tercapai Good Regulatory Governance (GRG) di daerah yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat melalui akses dan kontrol masyarakat atas sumberdaya di daerah secara adil dan berkelanjutan. Kontestasi kekuasaan yang dilancarkan oleh pihak pendukung PSDHBM maupun PHBM pada dasarnya merupakan pertarungan masing-masing pihak untuk akses dan kontrol atas sumberdaya hutan di Wonosobo. Pertarungan ini menunjukkan persoalan yang kompleks mencakup persoalan demografi (tingginya populasi penduduk); ketidakjelasan tata batas tenurial; marginalisasi mayarakat; dan tumpang tindih kebijakan pemerintah pusat dan daerah atas kewenangan pengelolaan sumberdaya hutan. Berdasarkan pendekatan antropologi kebijakan, maka persoalan pengelolaan sumberdaya hutan di Wonosobo bersumber dari kebijakan di sektor kehutanan sebagai instrumen tata kelola (governance) pemerintahan, yang sekaligus bekerja sebagai diskursus, agen kebudayaan, dan menjadi ideologi pelaku-pelaku yang menjalankan kebijakan di sektor kehutanan untuk melapangkan jalannya suatu kepentingan, dan atau sebagai upaya pengorganisasian masyarakat oleh pemerintah. Sehingga pada akhirnya kebijakan hasil konsensus PSDHBM dan PHBM yang diberi nama PSDHL dapat dipandang sebagai produk kontestasi kepentingan ekonomi-politik dan kekuasaan para aktor untuk akses dan kontrol atas sumberdaya alam. Fenomena perda PSDHBM Wonosobo menunjukkan belum ada strategi yang bersifat holistik dalam mewujudkan GRG di Indonesia, mulai dari tingkat pusat hingga daerah/lokal. Kepedulian pemerintah bagi terwujudnya GRG masih kental diwarnai ego sektoral dan kepentingan ekonomi-politk dari elit departemen tertentu. Sehingga dapat dikatakan upaya mewujudkan nilai-nilai good governance di Indonesia masih jauh panggang dari api manakala acapkali pemerintah meluncurkan kebijakan senantiasa dipandang sejauh tidak mengganggu kepentingan mereka. Setiap warga negara tidak akan pernah bisa menghindar dari kebijakan pemerintah. Karenanya budaya pemerintah dalam melancarkan kebijakan bagi warga negaranya adalah melalui penerbitan peraturan perundang-undangan. Pada saat yang sama, birokrasi pemerintah adalah satu-satunya organisasi yang memiliki legitimasi untuk memaksakan berbagai peraturan dan kebijakan menyangkut masyarakat dan setiap warga negara. Itulah sebabnya sejatinya setiap kebijakan
102
Good Regulatory Governance Pengelolaan Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi
yang dikeluarkan negara menuntut tanggungjawab moral yang tinggi. Namun sayangnya tanggungjawab moral dan tanggungjawab profesional ini menjadi salah satu titik lemah yang krusial mengingat elit birokrasi pemerintah akan terus silih berganti dalam waktu yang begitu singkat, dibandingkan sifat kebijakan itu sendiri yang bisa hidup dalam waktu yang lama. Kepentingan di balik elit yang menyetujui dilancarkannya sebuah kebijakan bisa berbeda dengan elit yang menempati kursi birokrasi selanjutnya. Transfer pengetahuan akan sebuah kebijakan yang sedang berjalan tanpa dibarengi transfer nilai-nilai dari lahirnya kebijakan itulah yang akan menjadi distorsi kepentingan dan memicu beragam interpretasi dari para aktor berikutnya. Apalagi bila kebijakan yang lahir tersebut sangat kental diwarnai oleh penyakit-penyakit birokrasi seperti suap dan korupsi.
Good Regulatory Governance Pengelolaan Sumberdaya Alam Gerakan pembaharuan senantiasa berada dalam suatu lingkungan dan jurisdiksi tertentu yang sangat kompleks, yang didalamnya terdapat banyak regulasi, aktor, institusi, dan beragam kepentingan yang saling bertumpang tindih. Pelaksanaan Good Regulatory Governance (GRG) di daerah harus memperhitungkan lingkungan politik dan sebanyak mungkin melibatkan para pihak yang berkepentingan terhadap akses dan kontrol atas sumberdaya tersebut, seperti DPRD, elit birokrasi, asosiasi pengusaha, dan kelompok-kelompok masyarakat sipil. GRG harus bisa mengakomodasi semua kepentingan secara adil. Pada dasarnya governance menunjukkan pada pengertian bahwa kekuasaan tidak lagi semata-mata dimiliki atau menjadi urusan pemerintah. Governance menekankan pada pelaksanaan fungsi governing secara bersama-sama oleh pemerintah dan institusi-institusi lain, yaitu LSM, perusahaan swasta maupun warga negara. Bahkan instutusi non pemerintah ini dapat saja memegang peran dominan dalam governance tersebut, atau bahkan lebih dari itu pemerintah tidak mengambil peran apapun. GRG mensyaratkan suatu proses terbitnya kebijakan/Perda melalui akuntabilitas yang tinggi dan bebas KKN, terutama menjamin tidak adanya korupsi dalam birokrasi penerbitan Perda tersebut. Korupsi itu sendiri sudah menjadi bagian dari sejarah perjalanan bangsa Indonesia, bahkan sejak sebelum merdeka. Budaya feodalisme yang sangat kuat dan mengejawantah dalam struktur birokrasi telah menjadi salah satu penyebab semakin meluasnya praktik korupsi dan suap dalam proses formulasi Perda. Penegakan hukum dalam kasus korupsi seringkali mengalami kesulitan karena instrumen hukum selalu ketinggalan dan tidak mampu
103
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
mengikuti inovasi yang dikembangkan oleh para koruptor dalam mempermainkan hukum dan peraturan perundangan. Rezim kebijakan selama ini, selalu menempatkan masyarakat sebagai objek yang dikenai kebijakan. Harus ada perubahan paradigma, bahwa pelibatan partisipasi masyarakat adalah hal yang mutlak. Masyarakat adalah subjek kebijakan yang berhak menentukan dan merumuskan bentuk dan cara pengelolaan yang efektif dan efisien di wilayah lingkungannya. Hal ini menyangkut bagaimana masyarakat akan mengelola dan memanfaatkan sumberdaya tersebut dalam rangka kesejahteraan dan keberlanjutan hidup masyarakat itu sendiri. Perda PSDHBM Wonosobo menunjukkan bahwa kemandekan mewujudkan GRG lebih dikarenakan masalah–masalah institusional, seperti kapasitas dan kapabilitas organisasi penyelenggara kehutanan, produk peraturan-perundangan, serta konflik kepentingan antara para pihak kehutanan. Menilik kondisi ini, maka strategi yang diperlukan untuk memecahkan masalah tidaklah tepat bila diarahkan pada pembahasan pemecahan masalah-masalah teknis kehutanan, sebab dalam kondisi ini yang diperlukan justru upaya-upaya kolaboratif multipihak yang berfungsi sebagai landasan komunikasi dan peningkatan kapasitas para pihak dalam memecahkan masalah-masalah di lapangan, melalui kesepakatan dan tindakan di tingkat pilihan operasional, kolektif, ataupun konstitusional. Kolaboratif multipihak kehutanan ditujukan untuk melembagakan pengelolaan hutan agar lebih adil, terutama berkaitan dengan upaya menata dan memperbaiki pengelolaan sumberdaya alam sehingga kemerosotan daya dukung lingkungan dapat dicegah, dikendalikan dan bahkan diperbaiki. Dengan demikian proses ini mengamanatkan: (1) Resolusi konflik dalam pengelolaan hutan oleh multipihak kehutanan; (2) Menemukan dan pengembangan pola pengelolaan hutan secara sinergis dan multipihak; (3) Penguatan institusi lokal, khususnya peningkatan kapasitas untuk terlibat dalam proses pembuatan dan implementasi kebijakan; dan (4) Penentuan akses dan kontrol multipihak atas sumberdaya hutan dan lahan. Dengan demikian dapat dirumuskan strategi dan langkah untuk menciptakan GRG di daerah, antara lain: 1. Menciptakan hubungan sinergis, harmonis, dan kolaboratif multipihak, mulai dari kebijakan di tingkat pusat, daerah hingga lokal. 2. Adanya kepastian hukum dalam hal akses dan kontrol atas sumberdaya. Kasus Wonosobo menunjukkan akibat tiadanya kepastian hukum dalam pengaturan akses masyarakat di lahan hutan negara menyebabkan okupasi dan konservasi lahan terjadi sangat cepat.
104
Good Regulatory Governance Pengelolaan Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi
3. Menumpas tuntas budaya paternalisme. Selama ini budaya paternalisme yang dianut masyarakat telah menyulitkan proses dialektik antara pemerintah (pusat) dan masyarakat, karena sulitnya elit pemerintah menerima kritik dari masyarakat yang dianggap inferior. 4. Membangun sikap optimis dan kepercayaan masyarakat dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan. Selama ini sistem feodalistik dan sentralistik telah mengakibatkan masyarakat kehilangan kepercayaan dikarenakan pandangan masyarakat yang selalu hanya sekedar objek pembangunan pemerintah. Sehingga harus ada komitmen politik yang kuat dari para pengambil keputusan untuk bersungguh-sungguh merumuskan kebijakan dengan melibatkan masyarakat sebagai objek pembangunan. 5. Memberantas patologi birokrasi dalam proses formulasi kebijakan, dengan membangun sistem yang transparan dan akuntabel, yang artinya sekaligus menumpas budaya birokrasi pemerintah yang selalu berorientasi pada kekuasaan. 6. Meningkatkan kemampuan lembaga legislatif untuk mengetahui dan mengartikulasi kepentingan masyarakat. ]]]
105
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
Daftar Pustaka Adi, N Juni, et al (2005) Hutan Wonosobo: Keberpihakan yang Tersendat. AruPA. Yogyakarta. Bryant, L. Raymon, and Sinead Bailey (1997) Third World Political Ecology. Routledge. London and New York. Dwiyanto, Agus (editor). 2006. Mewujudkan Good Governance Melalui Peayanan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Kartodihardjo, Hariadi et al (2003) Minus Malum: Analisis Proses Perhutanan Multi Pihak di Indonesia. Yogyakarta. Keputusan Bersama Kepala Perhutani Unit I Jawa Tengah dan Bupati Wonosobo Nomor 2871/044.3/Hukamas/I; Nomor. 661/13/2006 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Lestari di Kabupaten Wonosobo. Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia (2005) Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2005 tentang Pembatalan Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 22 tahun 2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis Masyarakat Kabupaten Wonosobo. Jakarta. Pemerintah Kabupaten Wonosobo (2001) Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo Nomor 22 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis Masyarakat Kabupaten Wonosobo. Wonosobo. Perum Perhutani (2001) Keputusan Ketua Dewan Pengawas Perum Perhutani Nomor 136/KPTS/DIR/2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat. Jakarta. Shore, Cris dan Susan Wright (1997) Anthropology of Policy, Critical Perspective on Governance and Power. Routledge. London and New York.
106
Membangun Nilai Solidaritas Dalam Peraturan Daerah Pajak dan Retribusi* Lexy Armanjaya**
u
S
ecara umum ada dua (2) jenis peraturan daerah (perda) yang mengatur aktivitas usaha di daerah. Pertama, perda yang terkait langsung dengan aktivitas usaha. Kedua, perda yang tidak terkait secara langsung dengan aktivitas usaha. Jenis pertama terdiri atas perda pajak dan retribusi (retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha dan retribusi perijinan) serta pungutan lain yang diterbitkan melalui Surat Keputusan Kepala Daerah (SKKDH). Sedangkan jenis kedua terdiri dari (a) perda perencanaan daerah (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah-RPJMD dan Rencana Tata Ruang dan Wilayah-RTRW), (b) Perda Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah-APBD, dan (c) perda struktur organisasi daerah. Untuk mempersempit pembahasan, penulis mengambil kategori pertama yakni peraturan daerah pajak dan retribusi. Pajak dan Retribusi Daerah ini diatur dalam UU No.43 tahun 2000 jo. PP No. 65 tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan PP No. 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah. Pajak serentak retribusi daerah ini merupakan basis pendapatan keuangan daerah. Keduanya menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Namun jumlahnya relatif kecil dan terbatas. Untuk mengisi keterbatasan PAD dalam APBD, pertama, Pemerintah daerah akan mendapatkan Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH)-dana
*
Artikel pilihan peserta lomba penulisan artikel Sewindu KPPOD Tahun 2009 kategori umum untuk tema Peraturan Daerah dan Good Regulatory Governance di Daerah * * Alumnus Magister Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI), Jakarta.
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
perimbangan atau dana block grant dari Pemerintah Pusat untuk kebutuhan belanja pegawai (belanja langsung) maupun belanja pembangunan (belanja tidak langsung). Kedua, Pemerintah daerah akan berusaha meningkatkan PAD dengan membuat perda pajak dan retribusi sebagai legal baseline dalam melakukan berbagai pungutan. Pembuatan perda pajak/retribusi dalam jumlah massif mendatangkan persoalan baru bagi pemerintah daerah dalam menyelenggarakan kebijakan otonomi daerah. Persoalan tersebut misalnya (a) tumpang-tindihnya (overlapping) pengaturan atau kewenangan antara propinsi dan kabupaten/kota, (b) timbulnya pertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (c) timbulnya pertentangan dengan kepentingan umum, (d) perbedaan penafsiran mengenai istilah “ciri khas/kondisi khusus daerah, (e) ketidaksesuaian dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat, dan seterusnya. Berbagai persoalan itu berimbas pada minimnya jenis dan jumlah investasi di daerah karena iklim yang tidak kondusif bagi kegiatan perekonomian, serta tidak tercapainya mimpi meningkatkan kesejahteraan rakyat. Akhirnya, perdaperda tersebut pun dibatalkan. Data resmi mengenai pembatalan Peraturan Daerah oleh Departemen Dalam Negeri dalam kurun waktu 2002 sampai dengan 2008, menunjukkan angka sebagai berikut: Bukan tidak mungkin, jumlah perda bermasalah ini merupakan fenomena gunung es. Artinya masih banyak No Tahun Perda yang dibatal perda yang belum dilaporkan kepada 1 2002 20 perda Departemen Keuangan. Hal ini terjadi 2 2003 106 perda karena 1 , Pertama, ketidaktahuan 3 2004 237 perda pemerintah daerah, bahwa ada 4 2005 127 perda kewajiban mereka untuk menyerahkan perda ke Pemerintah Pusat meskipun 5 2006 114 perda dalam ketentuan Pasal 145 ayat (1) 6 2007 173 perda UU No. 32 Tahun 2004 tentang 7 2008 229 perda Pemerintahan Daerah mengharuskan perda disampaikan kepada Pemerintah Pusat paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan. Kedua, adanya keengganan pemerintah daerah untuk menyerahkan Perda ke Pemerintah Pusat karena tidak adanya sanksi bagi daerah yang tidak menyerahkan perda ke Pemerintah Pusat. Ketiga, untuk menghindari sanksi berupa 1
Tim Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI bekerja sama dengan United Nations Development Programme (UNDP) melalui Proyek Enhancing Communication and Advocacy and Public Participation in Legal Reform (CAPPLER Project), Panduan Praktis Memahami Perancangan Peraturan Daerah, CAPPLER Project, Jakarta, November 2007, hal 6. Lihat juga Kompas, 1.366 Perda Tidak Dilaporkan, DPR Mengusulkan Daerah yang Nakal Diberi Sanksi Lebih Keras, 22 Mei 2007.
108
Membangun Nilai Solidaritas Dalam Peraturan Daerah Pajak dan Retribusi
pembatalan dari Pemerintah Pusat atas perda tersebut karena berdasarkan Pasal 145 ayat (2) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah Pusat. Banyak analisis dan jawaban yang telah diberikan para pakar/pengamat ihwal perda-perda bermasalah itu. Karena itu, penulis hanya mengajukan gagasan dasar bagi pemerintahan daerah dalam membuat peraturan daerah pajak/retribusi. Kemudian mempertanyakan bagaimana kesiapan lembaga politik lokal dalam merancang, membahas, menetapkan, dan mengundangkan berbagai regulasi terkait sebagai dasar pengambilan setiap kebijakan yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak? Bagaimana nuansa demokratis mewarnai setiap material hukum yang tengah dirancang dan seperti apa kepentingan rakyat diakomodasi oleh legislative dan eksekutif dalam setiap kali pembahasan peraturan daerah, khususnya terkait pajak dan retribusi? Seperti apa kebiasaan atau tradisi pemerintahan kita selama ini dan apa yang bisa ditawarkan dalam merubah sebuah kebiasaan yang berurat akar (embedded).
Perda sebagai Kesepakatan Solidaritas Masyarakat selalu ditempatkan sebagai obyek sebuah kebijakan. Sebagai obyek, maka yang lebih diperhatikan dalam pembuatan perda pajak/retribusi adalah bagaimana target pajak/retribusi bisa tercapai setiap tahun anggaran, sementara kemampuan dan kesediaan masyarakat untuk membayar diabaikan. Alhasil, materi yang terkandung di dalamnya sangat bias kepentingan. Kondisi seperti itu, tentu mengingkari prinsip kesetaraan dan partisipasi yang seharusnya menjadi asas/prinsip utama dalam Negara demokrasi modern. Itu adalah realitas yang hadir kontradiktoris dengan keinginan masyarakat yang seharusnya menjadi subyek utama peruntukan hukum. Padahal, publik merupakan pihak yang harus dilayani, dan dilindungi hak dan kepentingannya termasuk dalam hal pajak/retribusi serta kemampuan masyarakat untuk memberikan kontribusi terhadap negara sangat bergantung kepada willingness to pay. Kesediaan membayar ini sesungguhnya harus termaktub secara jelas di dalam perda yang dibuat pemerintah daerah dan DPRD sebagai pembentuk perda (locale wetgever) setelah membuka ruang partisipasi secara luas. Artinya, perda merupakan hasil kesepakatan bersama, rakyat dan negara. Dengan itu, maka perda tidak hanya sebagai instrument kebijakan (beleids instrument) tetapi juga sebagai bentuk
109
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
institusionalisasi aspirasi masyarakat daerah serentak instrument yang rasional untuk mengharmoniskan berbagai kepentingan. Leon Duguit mengatakan bahwa hubungan antara parlemen (baca: DPRD) dengan rakyat dasarnya adalah solidaritas.2 Wakil-wakil rakyat dapat melaksanakan dan menjalankan tugas kenegaraanya hanya atas nama rakyat. Sebaliknya, rakyat tidak akan dapat melaksanakan tugas kenegaraannya tanpa memberikan dukungan kepada wakil-wakilnya dalam menentukan wewenang pemerintah. Dengan demikian ada pembagian kerja antara rakyat dan parlemen. Keinginan untuk berkelompok yang disebut solidaritas adalah merupakan dasar dari pada hukum obyektif yang timbul. Hukum obyektif yang dilandasi pada solidaritas sosial yang mengikatnya inilah yang membentuk lembaga perwakilan yang menjadi satu bangunan hukum dan bukan hak-hak yang diberikan kepada mandataris yang membentuk lembaga perwakilan tersebut. Namun kelemahan umum dalam perwakilan politik ini adalah bahwa orang yang terpilih kebanyakan berdasarkan popularitas karena reputasi politiknya, akan tetapi belum tentu mempunyai kemampuan serta menguasai masalah-masalah teknis pemerintahan, perekonomian, perpajakan dan sebagainya. Sedang para ahli sukar terpilih melalui perwakilan politik ini. Kondisi seperti ini pada akhirnya sangat mempengaruhi kualitas kebijakan yang dihasilkan oleh parlemen termasuk material hukum sebuah perda, dalam hal ini adalah perda pajak/retribusi. Oleh karena itu sangat penting untuk diingatkan kembali kepada eksekutif dan legislatif di tingkat lokal bahwa teori solidaritas yang dikembangkan Leon Duguit mengandaikan nilai atau jumlah dan besar kecilnya serta jenis pajak/retribusi dalam perda harus berdasarkan keinginan rakyat dan kemampuan rakyat sebagai basis sosiologisnya. Keinginan rakyat itu termuat dalam substansi perda yang dihasilkan dari sebuah kebersamaan sosial. Keinginan rakyat mengandaikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam menambah kuantitas keuangan negara. Dengan demikian keinginan dan aspirasi rakyat benar-benar melembaga dan negara pada akhirnya mendapatkan kewenangan yang sah untuk mendapatkannya. Dengan teorinya, Leon Duguit telah berusaha untuk menjauhkan paradigma pemaksaan negara, sebagaimana terjadi selama ini, yang mengharuskan rakyat atau para wajib pajak/retribusi membayar kepada negara. Bentuk pemaksaan negara terhadap rakyat dalam mendapatkan akumulasi keuangan Negara/daerah melalui pajak dan retribusi merupakan pengingkaran 2
Max Boboy, SH, DPR RI Dalam Perspektif Sejarah dan Nata Negara, Pustaka Sinar Harapan, 1994 hal. 19-24.
110
Membangun Nilai Solidaritas Dalam Peraturan Daerah Pajak dan Retribusi
terhadap solidaritas -kesamaan posisi antara rakyat dan negara - dan praktek kekerasan negara yang mendapat restu di level regulasi, sementara proses demokratik dalam menghasilkan substansi regulasi diabaikan. Memang harus diakui bahwa paradigma Kelsenian dalam praktek pemerintahan kita telah memberikan warna yang cukup kuat. Namun persoalannya adalah bagaimana DPRD merumuskan secara demokratis material hukum sebuah perda. Kalau prosesnya tidak demokratis bisa dipastikan pelaksanaannya juga tidak demokratis. Dan yang terjadi selanjutnya adalah praktek kekerasan negara terhadap rakyatnya sendiri. Praktek kekerasan negara hanya memunculkan ketakutan publik akan pemberlakuan hukum dan bukan kesadaran untuk mengakuinya atau karena hukum itu dianggap baik. Benar bahwa otoritas negara memiliki kewenangan untuk menciptakan hukum dan menjamin penegakan pelaksanaannya. Tetapi rakyat memiliki hak untuk menolak seorang pangeran yang menyusun hukum yang bertentangan dengan hukum wahyu, dan rakyat bukan hanya punya hak namun memang wajib melakukan pemberontakan3. Pemberontakan/perlawanan merupakan konsekuensi logis dari otoritas yang koersif dan tiran serta ekspresi ketidaksetujuan rakyat atas praktek kekerasan negara terhadap rakyat. Karena asal muasal negara dalam gagasan Thomas Hobbes, filsuf Inggris, adalah mencegah praktek kekerasan yang disebutnya “hukum rimba” (homo homini lupus). Dia berpikir, hukum rimba merupakan cermin kondisi yang tidak sehat dan tidak bisa dipertahankan, karena sama sekali tidak adil. Yang kuat dan punya kuasa bisa menentukan segalanya, yang lemah atau rakyat kebanyakan tak berdaya untuk melawan. Karena itu, Thomas Hobbes dalam pemahamannya, negara tidak mewakili yang kuat, tetapi mewakili kepentingan dan kebutuhan orang banyak. Pemikiran Hobbes ini dilengkapi Jean-Jacques Rouseau, pemikir Preancis. Rouseau menyadari kesewenang-wenangan yang dimiliki oleh negara yang akan menakhodai kepentingan umum. Oleh karena itu, Rouseau mensyaratkan adanya kontrak sosial4 dengan negara. Baginya, negara sebagai kehendak umum, hanya dapat menghendaki apa yang dikehendaki oleh semua orang. Masyarakat memberikan mandat kepada negara berdasarkan proses dan substansi kontrak sosial.
3 4
Hans Fink, Social Philosophy, 1981, hal.30 Kontrak sosial yang dimaksudkan di sini adalah materi perda yang didapat melalui proses yang demokratis yakni dengan membicarakannya/membahas bersama rakyat atau keinginan rakyat di dengar dan dihargai. Selanjutnya uraian yang lengkap dan komprehensif mengenai kontrak sosial atau pemikiran J.J.Rouseau dan Thomas Hobbes dapat dibaca dalam Franz Magnis Suseno, Etika Politik, Gramedia, Jakarta, 1999 hal 200-205 dan hal 236-256
111
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
Dengan demikian menurut Rouseau, peran pemerintah adalah pada pelaksanaan keputusan-keputusan rakyat yang terungkap di dalam kontrak sosial. Wewenang yang dimiliki adalah persis seluas keluasan hak-hak yang diserahkan kepadanya oleh para warga negara. Arah kebijaksanaan politik ditentukan menurut kehendak bersama yang disepakati dan itu menjadi salah satu prinsip dasar “pemecahan konflik” dalam negara demokratis modern atau penguasa memberikan pertanggungjawaban kepada masyarakat dan hak masyarakat untuk menuntutnya merupakan salah satu prinsip dasar etika politik modern. Inilah yang membuat Rouseau mendapat gelar sebagai pendukung demokrasi langsung, kendati pemikirannya merupakan hasil dialektika atas gagasan Hobbes. Dalam kontrak sosial, posisi antara negara-penguasa dengan rakyat itu seimbang-setara. Negara diberi kekuasaan, rakyat mendapatkan tugas penilaian (pengontrolan). Ini merupakan implikasi penempatan rakyat sebagai subyek dalam negara. Dan kalau menggunakan pandangan Duguit bahwa solidaritas merupakan istilah modern yang secara hakiki termuat dalam segala tatanan yang pantas disebut hukum, yaitu bahwa kita semua bertanggungjawab atas kita semua, bahwa tak boleh ada di antara kita yang dibiarkan saja menderita, apalagi yang dikurbankan demi kepentingan yang lain-lain5. Oleh karena itu, suatu peraturan perundangan haruslah merupakan institusionalisasi kebersamaan atau kesosialan manusia. Di sini, perda dipandang sebagai kesepakatan bersama, antara negara dan rakyat. Peristiwa politik ini sekaligus menegaskan bahwa masyarakat menjadi arah penentu dan akan menjadi subyek politik yang sangat menentukan kemajuan dan atau kemunduran negara-bangsa dan atau daerah. Tetapi bagaimana mewujudkannya dalam realitas politik?
Menjawab Pertanyaan Substansial-Etis Pemberontakan atas pemberlakuan perda yang dilakukan melalui demonstrasi, gugatan hukum, judicial review ke Mahkamah Agung atau tidak mematuhinya sama sekali merupakan lonceng kematian hukum. Disebut demikian karena perda hadir untuk dirinya sendiri. Kesendiriannya berkelindan dengan penggunaan otoritas yang tidak menghargai otonomi individu dan hanya memikirkan pertanyaan-pertanyaan artifisial seperti haram-halal atau legal-ilegal, serta mengabaikan pertanyaan-pertanyaan substansial-etis seperti benar-salah, atau baikburuk dalam proses pembuatan hukum6. Semua bentuk perlawanan terhadap 5 6
Ibid , hal. 118-119 Alexander Berkman, Anarkisme dan Revolusi Sosial, Cet. I, Teplok Press, Jakarta, 2001
112
Membangun Nilai Solidaritas Dalam Peraturan Daerah Pajak dan Retribusi
hukum merupakan respon balik terhadap setiap otoritas untuk memadukan antara yang artifisial-legal dengan substansial-etis dalam sebuah material hukum maupun dalam praksis hukum. Karena itu, Anthony Giddens mengatakan bahwa motto yang paling tepat yang bisa ditawarkan kepada publik atau politik baru7 (yang demokratis) adalah (a) tak ada hak tanpa tanggungjawab dan (b) tak ada otoritas tanpa demokrasi. Kedua prinsip ini tidak hanya berlaku bagi rakyat/masyarakat tetapi bagi siapapun termasuk juga bagi negara. Dalam masyarakat dimana ada pengakuan akan eksistensi negara dan adat atau tradisi kehilangan pegangan, satu-satunya rute ke arah pembentukan otoritas adalah melalui demokrasi. Individualisme baru tidak serta merta mengikis otoritas, tetapi menuntut agar otoritas ditetapkan secara aktif atau partisipatif. 8 Tuntutan partisipasi dalam ruang publik menjadi kesadaran baru di level pemerintahan (eksekutif dan legislatif ) karena arus gerakan sosial masif pasca reformasi tahun 1998. Hampir setiap peraturan perundangan menyebutkan kata partisipasi dalam batang tubuhnya. Namun tetap saja menimbulkan polemik tersendiri kalau partisipasi menjadi sangat formalistik atau hanya berada di level peraturan perundang-undangan dan tidak pernah dipraktekan secara elegan dalam kehidupan bernegara. Oleh karena itu, hal yang patut untuk terus didengungkan dalam mendapatkan otoritas, kesamaan posisi (solidaritas) dan pengakuan di antara kedua pihak - negara dan rakyat – adalah mendialogkan secara terbuka dan masif berbagai bentuk kebijakan termasuk perda pajak dan retribusi. Dengan demikian, ada beberapa titik krusial yang kiranya mendapatkan perhatian parlemen dalam merumuskan kebijakan terkait pajak dan retribusi. (1) Di tingkat proses dan prosedur. Proses yang menghargai kebersamaan (partisipasi) dan prosedur legislasi yang benar dan tepat merupakan ungkapan paling telanjang dari gagasan besar demokrasi. Dalam konteks ini salah satu prinsip good regulatory governance, yakni asas keterbukaan mendapatkan tempat untuk dipraktikan. Yang dimaksud dengan asas keterbukaan, adalah bahwa dalam proses dan atau prosedur pembentukan perda mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan perda. 7 8
Anthony Giddens, The Third Way, Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial, (terj.), cetakan keempat, Gramedia, Jakarta, hal. 75 Ibid
113
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
Dalam proses pembentukan perda, masyarakat yang diajak untuk berkonsultasi (individu, kelompok, asosiasi, lembaga) harus jelas dan mereka berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan suatu rancangan perda, antara lain dalam: (a) penyiapan rancangan perda baik yang dilakukan oleh DPRD maupun oleh eksekutif melalui mekanisme penjaringan aspirasi/jaring asmara, uji publik/sosialisasi dan konsultasi publik-akademisi, praktisi, anggota masyarakat; (b) pembahasan rancangan perda di DPRD melalui mekanisme rapat dengar pendapat/public hearing. Konsultasi dengan stakeholder seperti ini digunakan untuk melihat sejauh mana persepsi warga terhadap permasalahan yang ingin dipecahkan, apa yang mereka kehendaki dan apa kemungkinan yang akan terjadi seandainya regulasi diberlakukan, dan sebagainya. Demikian pentingnya keterlibatan masyarakat ini di tingkat proses, maka DPRD dan pemda kiranya tidak terjebak dalam perangkap formalitas belaka. Diakui atau tidak, perangkap formalitas seperti ini telah menjadi sumber masalah kualitas perda dan menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat yang menjadi subyek-wajib pajak/retribusi selama ini. Karenanya, dalam pembuatan peraturan perundangan agar memperhatikan asas/prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan jo. Pasal 137 UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hal itu meliputi: (a) kejelasan tujuan, (b) kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, (c) kesesuaian antar jenis dan materi muatan, (d) dapat dilaksanakan, (e) kedayagunaan dan kehasilgunaan, (f ) kejelasan rumusan dan (g) keterbukaan. (2) Di tingkat substansi. Materi muatan/material hukum perda pajak/retribusi perlu ditentukan secara jelas. Kejelasan penyebutan atau pendeskripsian objeksubjek dan besar nilai/prosentase, jenis pungutan serta tata cara perhitungan dapat menghindari multiinterpretatif dan problematik. Klausul seperti “dan lain-lain/dan sebagainya” adalah frase dalam peraturan perundangan pajak/
114
Membangun Nilai Solidaritas Dalam Peraturan Daerah Pajak dan Retribusi
retribusi yang menempatkan objek-subjek pajak/retribusi pada wilayah abuabu (grey area). Ketidakjelasan objek-subjek pajak/retribusi dapat menjadi celah/ruang bagi instansi/lembaga/kantor yang diserahi tugas oleh negara untuk memungut pajak/retribusi melakukan korupsi. Kita tahu korupsi selalu merugikan masyarakat yang harus difasilitasi untuk mengecap kue pembangunan. Selain itu juga membuat investor melirik tempat investasi baru dan merugikan pendapatan daerah/negara. Selain itu, kejelasan prosedur dan birokrasi di dalam peraturan perundangan adalah keniscayaan. Yang termasuk dalam variable kejelasan prosedur dan birokrasi yang menyangkut standar pelayanan adalah waktu pelayanan, persyaratan, biaya (struktur tarif ), dan sanksi. Ketika semuanya jelas, pertama, subjek dan wajib pajak/retribusi tidak pernah merasa dipaksakan untuk membayar pajak/retribusi. Mereka akan melakukan kewajibannya sebagai warga negara secara sukarela karena tanggungjawabnya terhadap negara berasal dari kesepakatan antara dirinya dengan negara. Di sini, lagi-lagi, substansi perda adalah sebagai bentuk kehendak bersama. Kedua, negara dapat merancang pengalokasian anggaran dengan lebih pasti dan terencana pada setiap tahun anggaran karena kesetiaan para subyek pajak/retribusi dapat diproyeksi. Kepentingan umum juga merupakan aspek yang patut mendapat perhatian di tingkat substansi ini. Bahwa yang dimaksud dengan kepentingan umum, tidak hanya kepentingan daerah yang bersangkutan, tetapi juga daerah lain dan kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Ukuran yang dapat digunakan untuk menentukan kepentingan umum adalah:9 (a) dibutuhkan banyak orang, (b) setiap orang dapat menikmati dan memperoleh manfaat tanpa ada pembatasan karena kondisi individual seseorang dan (c) harus dalam rangka kesejahteraan umum baik dalam arti materil maupun spiritual. Dengan demikian, perda bukan sekedar melihat batas kompetensi formal atau kepentingan daerah dalam melaksanakan otonomi tetapi juga dampaknya bagi daerah lain atau kepentingan nasional harus diperhatikan. Untuk itu, materi muatan perda harus sesuai dengan asas-asas materi muatan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
9
Modul Lokalatih Kaukus Parlemen Bersih: Legal Drafting, Jogjakarta, 2006, hal. 13
115
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
Perundang-undangan jo. Pasal 138 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang meliputi: (a) pengayoman, (b) kemanusiaan, (c) kebangsaan, (d) kekeluargaan, (e) kenusantaraan, (f ) bhineka tunggal ika, (g) keadilan, (h) kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, (i) ketertiban dan kepastian hukum (j) keseimbangan, keserasian dan keselarasan. Berbagai asas di tingkat proses atau substansi peraturan perundang-undangan di atas bukanlah sekedar kata pengisi pasal dari UU No. 10 Tahun 2004 jo UU No.32 Tahun 2004. Asas-asas tersebut perlu dipraktekan dalam wilayah proses pembuatan hukum (baca: perda) untuk menghasilkan substansi hukum yang relative dapat diterima semua pihak khususnya yang sangat berkepentingan. Kemampuan dan kemauan eksekutif/legislative di tingkat lokal untuk menerapkan asas-asas tersebut sangat mempengaruhi pemda di tingkat praktek/penerapan hukum. Bahwa perda bisa ditegakkan atau dilaksanakan karena berasal dari proses dialogis dan sosialiasi perda bukan sebagai moment untuk mendapatkan legitimasi hukum tetapi ruang untuk menerima input, dan pengetahuan serta kesempatan untuk mereformulasi substansi hukum. Itu berarti bahwa pertanyaan-pertanyaan substansial-etis, mengapa sebuah perda itu lahir dan apa-apa saja yang diatur di dalamnya relatif bisa diterima semua pihak dalam setiap praksis hukum yang akan diberlakukan negara. Bahwa negara sah untuk melakukan pemaksaan terhadap subyek/wajib pajak retribusi bukan karena kekuasaannya tetapi hanya karena subyek/wajib pajak/retribusi melakukan ingkar janji (wanprestasi) atas kesekapakatan bersama yang termuat di dalam perda. Di sini, apa yang diungkapkan Anthony Giddens di atas serta Leon Duguit sebelumnya mendapatkan tempat untuk dimuliakan. Akhirnya, perda tidak hanya untuk perda itu sendiri sekaligus pembuatnya tetapi benar-benar untuk para pihak kemana perda itu berjalan dan untuk siapa/apa perda itu dibuat.
116
Membangun Nilai Solidaritas Dalam Peraturan Daerah Pajak dan Retribusi
Rekomendasi. Hukum obyektif yang merupakan kesepakatan antara dua (2) subyek, negara dan masyarakat, selama ini tidak dapat diwujudkan dengan baik. Negara terperangkap dalam jebakan-jebakan formalitas. Secara formal, keterlibatan masyarakat itu ada, tetapi tidak substansial. Selalu terjadi, pemerintah merasa sudah melibatkan, tetapi masyarakat merasa belum dilibatkan. Untuk mengantisipasi berbagai hal yang tidak diinginkan dan lebih menjamin kepastian substansi/materi hukum sebuah peraturan perundangan (baca: perda pajak/retribusi) maka, Pertama, Pemda perlu membuka akses kepada semua komponen masyarakat untuk memberikan pendapat dalam proses penyusunan perda. Dengan kata lain, penyusunan perda dijadikan sebagai sebuah proses yang sangat terbuka. Minimnya keterlibatan aktif masyarakat merupakan persoalan laten kualitas perda. Karenanya, akurasi data pemerintah daerah terkait masyarakat/ kelompok civil society atau yang berkepentingan langsung dengan perda yang bersangkutan menjadi sangat signifikan. Partisipasi masyarakat lebih banyak membawa keuntungan bagi perancangan/pelaksanaan sebuah peraturan perundangan. Keuntungan tersebut misalnya, (a) sisi pandang/perspektif yang lebih kaya, (b) kualitas substansi lebih mumpuni, dan (c) pada akhirnya masyarakat/ kelompok yang terkait langsung dengannya tidak banyak mengeluh. Kedua, pemerintah daerah perlu mengubah paradigma partisipasi dengan sosialisasi pasca-pengundangan sebuah peraturan perundangan. Sosialiasi pemerintah daerah atas sebuah peraturan perundangan hanya berkaitan dengan hukum normatif yang akan berlaku tetapi bukan hukum obyektif. Hukum obyektif adalah hukum yang berasal dari keinginan dan kebutuhan rakyat dan rakyat menyepakatinya dengan negara. Karena itu, yang dibutuhkan adalah keterlibatan aktif subyek/wajib pajak/retribusi sejak proses perancangan sampai pada detail pembahasan serta memastikan substansi pengaturannya. Hanya dengan itu, pemberlakuan sebuah peraturan perundangan terkait pajak/retribusi akan efektif dan dapat meminimalisir ruang resistensi yang mungkin datang dari masyarakat mengiringi peraturan baru yang lahir. Bukan mustahil, pemberlakuan sebuah peraturan perundangan yang menghargai obyektifikasi partisipasi akan memberikan ruang kesadaran baru bagi masyarakat/warga negara dalam memberikan sumbangan pajak/retribusi yang pada
10
Edi Priyono, Menangani Perda Bermasalah: Seriuskah Pemerintah? , Seminar Nasional Refleksi 3 Tahun otonomi Daerah di Indonesia (makalah), diselenggarakan TAF di Hotel Nikko, Jakarta 27 januari 2004, hal. 6
117
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
akhirnya dapat menstabilkan keuangan negara dan pelaksanaan pembangunan dapat terencana dan terlaksana dengan baik. Ketiga, Tidak ada celah yang tak retak. Karena itu, proses yang kurang partisipatif dan substansi yang tetap bermasalah perlu diberi ruang uantuk melakukan perlawanan, (a) kepada masyarakat yang merupakan wajib pajak/retribusi perlu melakukan gugatan judicial review ke Mahkamah Agung. Judicial review terkait dua hal yakni judicial review atas proses (apakah sudah sesuai dengan proses yang harus dilewati sebagaimana termuat dalam tata tertib DPRD?) dan judicial review atas substansi pasal; (b) kepada pemda diharapkan untuk memberitahukan semua perda pajak/retribusi kepada pemerintah pusat, c.q Departemen Keuangan atau public untuk mendapatkan penilaian, dan (c) Pemerintah pusat tetap melakukan tindakan represif dengan pembatalan atas perda dan memberikan sanksi kepada pemda yang tetap memberlakukan perda-perda yang dikategori bermasalah. ]]]
118
Industri Kreatif sebagai Strategi Pembangunan Daerah dalam Menghadapi Globalisasi* Rista Amallia**
u
G
lobalisasi adalah proses yang telah mengubah wajah dunia menjadi entitas yang semakin menyusut. Awalnya globalisasi identik dengan politik internasional dimana Barat sebagai satu-satunya hegemon. Kini globalisasi mencakup berbagai aspek baik teknologi, sosial dan ekonomi. Layaknya dua sisi mata uang yang berbeda, terdapat dua sudut pandang yang bertolak belakang atas globalisasi. Di satu sisi globalisasi dipandang secara positif karena telah membawa manusia kepada level kesejahteraan yang lebih tinggi. Kemajuan teknologi telah mempercepat arus transportasi dan komunikasi. Hal ini telah memungkinkan interaksi tidak hanya terjadi antarnegara. Dengan internet, daerah bahkan induvidu lintas negara menjadi semakin terhubung. Ohmae (2005) telah menyatakan bahwa pemain utama dalam globalisasi adalah daerah atau region. Hal ini seharusnya merupakan berita baik bagi Indonesia. Sebagai negara yang melaksanakan desentralisasi, daerah memegang peran penting dalam pemerintahan maupun pembangunan. Dari sudut pandang lain, globalisasi dinilai memberi dampak negatif dengan memperlebar ketimpangan di dunia. Karena globalisasi hanyalah zero-sum gamedimana ada pihak yang menang dari pihak yang kalah. Sayangnya, globalisasi hampir selalu dimenangkan oleh negara-negara kaya. Akibatnya, globalisasi dapat menjadi
* **
Pemenang lomba penulisan artikel Sewindu KPPOD Tahun 2009 Kriteria mahasiswa untuk tema Membangun Daerah sebagai Basis Persaingan Ekonomi Mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
boomerang bagi pembangunan dalam era desentralisasi. Mengingat globalisasi merupakan proses yang terus berlangsung, maka globalisasi harus dihadapi dan dimenangkan. Seperti permainan lain, globalisasi akan dimenangkan oleh pihak yang kuat. Dalam ekonomi, pihak yang kuat dapat diartikan sebagai pihak yang mampu menciptakan inovasi. Karena inovasi akan menciptakan keunikan sebagai salah satu ciri dari keunggulan. Dibandingkan sektor industri lain, inovasi merupakan modal utama industri kreatif. Selain itu, industri kreatif adalah industri yang sarat dengan nilai budaya. Mengembangkan industri kreatif adalah salah satu cara melestarikan budaya lokal. Maka industri kreatif adalah industri strategis dalam menjadikan daerah sebagai basis pembangunan yang dapat menangkap nilai positif sekaligus menangkal pengaruh negatif globalisasi.
Paradoks Globalisasi Kemajuan teknologi telah mempercepat perpindahan barang dan jasa secepat perpindahan informasi. Kemudahan yang diberikan oleh globalisasi pada gilirannya berdampak pada aspek sosial, politik dan ekonomi. Sehingga globalisasi merupakan konsep yang multidimensi. Dalam kehidupan sosial, globalisasi telah mengubah gaya hidup hampir seluruh penduduk muka bumi. Perubahan gaya hidup ini seiring dengan perubahan pola pikir dan ideologi. Globalisasi yang sering disebut sebagai produk Barat identik dengan demokrasi. Terutama sejak tembok Berlin runtuh pada tahun 1989, demokrasi dianggap sebagai sistem pemerintahan yang paling ideal. Partisipasi merupakan kunci dari demokrasi. Sejak reformasi pada tahun 1998, demokrasi di Indonesia berkembang pesat. Puncaknya, sistem pemerintahan sentralistik pada masa orde baru diubah menjadi desentralisasi. Percepatan perpindahan barang, jasa, dan informasi disertai pergeseran gaya hidup dan pola pikir selanjutnya telah mengubah komposisi permintaan barang dan jasa. Kini, permintaan barang dan jasa tidak hanya terbatas pada kualitas dan kuantitas. Kreatifitas dan inovasi merupakan bagian dari permintaan atas barang dan jasa. Berbagai inovasi dalam globalisasi dinilai positif karena telah meningkatkan taraf hidup manusia. Sehingga globaisasi dianggap sebagai win-win solution yang menguntungkan semua pihak. Di sisi lain, globalisasi dinilai lebih banyak menghasilkan dampak negatif daripada positif. Mengingat globalisasi mencakup berbagai aspek kehidupan, maka dampak negatif globalisasi telah menimbulkan metaproblems. Kemudahan akses terhadap informasi berubah menjadi malapetaka ketika diterima oleh orang yang
120
Industri Kreatif sebagai Strategi Pembangunan Daerah dalam Menghadapi Globalisasi
salah. Pergesaran gaya hidup dan pola pikir telah mendistorsi jati diri bangsa. Sehingga globalisasi dianggap sebagai denasionalisasi. Globalisasi dinilai bukan sebagai win-win solution melainkan hanyalah zero-sum game yang memunculkan pihak yang menang dan yang kalah. Kompetisi dalam globalisasi tidak simetris dimana setiap peserta tidak memiliki kesempatan yang sama. Globalisasi seringkali dimenangkan oleh pihak yang kuat seperti negara maju. Sementara negara-negara berkembang lebih banyak dirugikan. Sehingga ketimpangan dunia semakin melebar ketika negara kaya semakin maju sementara negara berkembang semakin tertinggal.
Pemeran Utama dalam Era Desentralisasi Laksana untaian jamrud khatulistiwa, Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya terutama sumber daya alam. Akan tetapi, kekayaan alam ini bervariasi baik jumlah dan jenisnya di setiap provinsi. Tidak hanya sumber daya alam yang bervariasi, budaya, agama dan kepercayaan yang dianut rakyat Indonesia juga beragam. Sehingga agenda pembangunan tidak hanya meningkatkan pendapatan nasional tetapi juga pendapatan setiap daerah. Dengan latarbelakang tersebut pemerintah Indonesia menyadari arti penting desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Desentralisasi berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan undang-undang yang sama, pemerintah pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia. Sedangkan pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Sistem pemerintahan desentralisasi Indonesia sejalan dengan cara pandang Kenichi Ohmae terhadap globalisasi. Dalam memasuki dunia tanpa batas, Ohmae (2005) telah menyatakan bahwa pemain utama pemerintahan dan perekonomian adalah daerah. Sesungguhnya desentralisasi bukanlah isu hangat yang baru timbul paska krisis ekonomi tahun 1997 di Indonessia. Melainkan kesadaran ini telah muncul sejak orde baru yang cenderung otoriter. Pokok-pokok mengenai pengelolaan pemerintah daerah telah diatur dengan UU No. 5 tahun 1975. Kebijakan desentralisasi tersebut kemudian dikokohkan dengan UU No. 22 tahun 1999 yang disempurnakan menjadi UU No. 32 tahun 2004. Desentralisasi sendiri memiliki tujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat yang lebih merata. Selama ini, indikator ekonomi untuk mengukur kesejahteraan
121
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
yang digunakan adalah PDB (Produk Domestik Bruto). Besaran PDB dibagi jumlah penduduk menghasilkan angka PDB perkapita. Angka inilah yang kemudian menjadi acuan kesejahteraan tiap individu di suatu negara. Namun, kritik seringkali dilontarkan terhadap PDB dan PDB per kapita yang tidak dapat menangkap ketidakmerataan antar daerah maupun antar individu. PDB suatu negara merupakan akumulasi dari PRDB (Pendapatan Regional Domestik Bruto) setiap daerah di negara tersebut. Akan tetapi PDB tidak dapat merepresentasikan kesejahteraan setiap daerah suatu negara. Kenyataan ini mendukung pernyataan Ohmae bahwa negara semakin lama semakin tidak relevan sebagai unit pelaksana pemerintahan dan perekonomian. Pada tingkat internasional, ketidakmerataan dapat pula terjadi antar negara. Maka perbedaan kesejahteraan antara daerah maju di negara maju dengan daerah tertinggal di negara berkembang lebih merepresentasikan ketimpangan sesungguhnya di dunia ini.
Studi Empiris Pembangunan Daerah Sebelum dan Sesudah Era Desentralisasi Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia dapat dikatakan mulai efektif sejak tanggal 1 Januari 2001. Maka untuk mengevaluasi pembangunan daerah sebelum dan sesudah desentralisasi, kita dapat membandingkan PRDB 33 provinsi di Indonesia tahun 2000 dan tahun 2005. Dengan menggunakan data BPS berdasarkan harga tahun 2000 yang diolah sendiri, pertumbuhan PRDB 33 provinsi di Indonesia dari tahun 2000 (pra desentralisasi) ke tahun 2005 (paska desentralisasi) pada umumnya positif (mengalami peningkatan). Dari 33 Provinsi hanya 4 provinsi yang dari tahun 2000 ke 2005 mengalami pertumbuhan PRDB perkapita negatif. Pertumbuhan positif di sebagian besar provinsi tersebut hampir merata di setiap sektor. Mulai dari pertanian, jasa dan keuangan mengalami peningkatan pendapatan. Hal ini membuktikan adanya upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam meningkatkan pendapatan daerahnya. Keempat provinsi yang mengalami pertumbuhan PRDB perkapita negatif adalah Nangroe Aceh Darussalam, Riau, Kepulauan Riau dan Kalimantan Timur. Pertumbuhan negatif NAD dapat dimaklumi mengingat provinsi tersebut mengalami kerusakan total akibat musibah tsunami pada tahun 2004. Sementara pertumbuhan negatif provinsi Riau dan Kepulauan Riau disebabkan oleh menurunnya pendapatan dari sektor penggalian dan pertambangan. Pendapatan minyak dan gas bumi provinsi Riau menurun dari 44,578,901.59 (juta rupiah) pada tahun 2000 menjadi 43,504,120.23 (juta rupiah) pada tahun 2005 (BPS).
122
Industri Kreatif sebagai Strategi Pembangunan Daerah dalam Menghadapi Globalisasi
Hal senada terjadi pada provinsi Kepulauan Riau. Hal tersebut terkait dengan semakin menipisnya persediaan minyak bumi. Penurunan cadangan minyak Indonesia tercatat sebesar 62% sejak tahun 1980-2006 (WALHI, 2008). Masih terkait dengan minyak, pertumbuhan negatif Kalimantan Timur disebabkan oleh menurunnya pendapatan dari industri migas sebesar 30,457,364 (juta rupiah) pada tahun 2000 menjadi 29,533,553.11 (juta rupiah) pada tahun 2005 (BPS). Dengan demikian, setelah desentralisasi kesejahteraan rakyat Indonesia secara umum dapat dikatakan meningkat.
Relasi Pembangunan Daerah, Budaya dan Industri Kreatif Pembangunan adalah proses perubahan menuju keadaan yang lebih baik. Pembangunan adalah memberdayakan rakyat, meningkatkan produktivitas rakyat dan menghentikan peminggiran/pelumpuhan rakyat, mengubah secara struktural posisi rakyat miskin yang dipersepsikan sebagai beban pembangunan menjadi aset pembangunan1. Sehingga pembangunan yang ideal tidak hanya meningkatkan pendapatan masyarakat tetapi juga memberdayakan masyarakat. Hal ini sesuai dengan konsep desentralisasi yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan bagi daerah dalam mengelola sumber daya yang dimiliki. Secara material, pembangunan dapat diartikan sebagai peningkatan pendapatan. Dari sisi ini, desentralisasi telah mengakselerasi pembangunan dengan meningkatkan PRDB per kapita. Namun, pembangunan daerah yang selama ini dilaksanakan seringkali disebut sebagai pembangunan di daerah. Alasannya, pembangunan dilakukan tanpa melibatkan unsur-unsur yang terdapat di daerah. Berbagai faktor produksi diimpor dari luar daerah atau luar negeri. Setelah proses produksi selesai, output diekspor kembali ke luar dari daerah tersebut. Sehingga, masyarakat daerah tidak dapat menikmati hasil pembangunan di daerahnya. Pembangunan kemudian dipertanyakan jika peningkatan pendapatan diiringi dengan penggusuran nilai-nilai budaya lokal. Contohnya, rumah adat semakin jarang dijumpai pada kota-kota besar. Sebaliknya, perayaan-perayaan adat hanya bisa dijumpai pada daerah-daerah tertinggal. Selama ini, kebudayaan dan pembangunan seringkali dianggap memiliki hubungan terbalik. Konservasi budaya dinilai memperlambat pembangunan. Sebaliknya, pembangunan seringkali menggilas kebudayaan lokal. Proses ini dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, contohnya pembangunan supermarket telah menggeser 1
Swasono, Sri Edi, Kebersamaan dan Asas Kekeluargaan: Mutualisme dan Brotherhood, Jakarta, Penerbit Universitas Negeri Jakarta, 2004
123
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
keberadaan pasar tradisional. Secara tidak langsung, pembangunan infrastruktur mempermudah pengangkutan barang dan jasa. Akibatnya berbagai barang dan jasa dari luar daerah bisa lebih diminati daripada produk tradisional. Selanjutnya globalisasi memperlebar pintu antar daerah maupun negara. Akibatnya jati diri bangsa melalui budaya-budaya lokal semakin sulit dipertahankan. Meskipun banyak daerah dan negara yang meninggalkan kebudayaannya selama proses pembangunan. Masih banyak juga kota di dunia yang terkenal dan memiliki pendapatan yang tinggi dengan tetap mempertahankan aset budaya yang dimiliki. Contohnya Bali, provinsi yang disebut pulau dewata ini merupakan salah satu tujuan wisata. Justru kebudayaan dan kemampuan mempertahankan budaya menjadi daya tarik tersendiri di mata para pelancong dunia. Maka korelasi negatif antara konservasi budaya dan pembangunan daerah dapat menjadi positif jika budaya dinilai sebagai keunikan dan keunggulan. Bahkan budaya dapat dijadikan sebagai modal dan basis pembangunan. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat2. Sementara, berdasarkan Creative Industries Task Force (1998) industri kreatif adalah berbagai kegiatan yang original dari kreatifitas individu, keahlian dan talenta yang juga memiliki potensi untuk meningkatkan kesejahteraan dan menciptakan kesempatan kerja bagi generasi dan eksploitasi dari asset intelektual3. Maka industri kreatif terdiri dari periklanan, arsitektur, seni dan barang antik, kerajinan tangan, disain, perancang mode, film, interactive leisure software, musik dan pagelaran musik, penerbitan, software, televisi dan radio. Berdasarkan pengertian dan klasifikasi tersebut, jelas bahwa industri kreatif merupakan industri yang menjadikan budaya sebagai aset pembangunan. Bahkan, budaya seringkali disebut sebagai modal dari industri kreatif. Maka memajukan industri kreatif identik dengan melestarikan dan memajukan nilai-nilai budaya. Selain itu, pengembangan industri kreatif juga merupakan pembangunan daerah yang ideal. Industri kreatif berasal dari kreatifitas dan talenta masyarakat. Maka industri kreatif lebih bersifat partisipatif. Partisipatori merupakan syarat ideal pembangunan daerah. Karena pembangunan yang melibatkan partisipasi masyarakat dinilai lebih memberdayakan masyarakat. Sehingga pembangunan tidak 2 3
Diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya pada tanggal 30 Maret 2009 pukul 12.41 WIB Dikutip dari Roodhouse, Simon, “Defining the Creative Industries“, Creative Industry Journal. Vol 1 (2009) diakses dari http://www.simonroodhouse.com/ docs/iq_mag.pdf pada tanggal 30 Maret 2009 pukul 12.32 WIB
124
Industri Kreatif sebagai Strategi Pembangunan Daerah dalam Menghadapi Globalisasi
lagi hanya terjadi di daerah tetapi juga milik daerah. Desentralisasi menuntut pemerintah daerah untuk melaksanakan pembangunan daerah yang seutuhnya. Terlebih dalam menghadapi globalisasi, pemberdayaan masyarakat menjadi semakin penting dalam kompetisi internasional.
Potret Industri Kreatif Malthus telah meramalkan bahwa semakin lama alam tidak akan mampu mengimbangi pertumbuhan populasi dunia. Semakin menyusutnya sumber daya alam dan semakin tingginya produktivitas akibat teknologi telah mendorong manusia untuk mengeksplorasi sumber daya lain. Berdasarkan ensiklopedia Webster, pengertian sumber daya selain meliputi bahan mentah, persediaan kekayaan juga dapat diartikan sebagai keahlian dalam melakukan sesuatu. Seiring dengan globalisasi, sumber daya tidak terbatas pada konsep kualitas dan kuantitas. Sumber daya intelektual yang sering disebut kekayaan intelektual menjadi semakin penting akibat globalisasi. Seperti yang terjadi pada provinsi Riau, Kepulauan Riau dan Kalimantan Timur. Ketiga provinsi ini identik dan bergantung pada industri minyak. Kenyataan bahwa cadangan minyak semakin lama semakin menipis telah menyebabkan menurunnya pendapatan daerah tersebut. Kondisi ini tentu tidak bisa dibiarkan dan harus diatasi dengan transformasi ke sektor lain termasuk industri kreatif. Selain itu, Thomas L. Friedman dalam bukunya yang berjudul “The World is Flat” telah menceritakan berbagai penemuannya mengenai globalisasi. Dalam perjalanannya ke beberapa negara, Friedman hampir tidak dapat membedakan wajah kota yang ia kunjungi dengan kota-kota di negara asalnya Amerika. Gedung, papan reklame dan berbagai media bertuliskan berbagai nama perusahaan raksasa asal negaranya. Selain itu, wujud globalisasi juga dapat disaksikan melalui fenomena di negara berkembang. Ketika para wanita menggunakan tas Dior. Para pelajar yang menggunakan sepatu Nike. Serta perayaan ulang tahun balita di MCDonalds. Produk-produk yang telah disebutkan tersebut tidak hanya menjual barang atau jasa. Para konsumen rela membayar lebih untuk sekedar mendapatkan label produkproduk tersebut. Dari sini tampak bahwa kreatifitas sudah menjadi komoditas yang memiliki nilai ekonomis. Fenomena yang lebih memperjelas wajah industri kreatif adalah dunia hiburan. Kini, generasi muda berbondong-bondong mengikuti audisi Indonesian Idol. Bahkan anak-anak menjadi histeris ketika lolos seleksi Idola Cilik.
125
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
Meskipun industri kreatif bukanlah pemain baru dalam perekonomian internasional, kesadaran mengenai potensinya lebih dahulu dimiliki oleh negara maju. Contohnya Amerika, negara adidaya ini terkenal dengan showbiz raksasa yang disebut Hollywood. Sejak beberapa dekade, generasi muda Amerika telah berlomba-lomba memasuki dunia Hollywood. Di saat yang bersamaan, para orang tua di negara berkembang masih sibuk melarang keinginan anak-anak mereka yang ingin terjun ke dunia seni hiburan. Seperti yang telah disampaikan John Howkins (2001) bahwa pertumbuhan tahunan ekonomi kreatif di negara-negara OECD adalah dua kali lipat dari industri jasa dan empat kali lipat dari manufakturnya. Dalam perekonomian nasional, industri kreatif menangkap 14 kelompok industri yaitu periklanan, arsitektur, pasar barang seni, kerajinan, desain, mode, video film, dan fotografi, permainan interaktif, musik, seni pertunjukan, penerbitan dan percetakan, layanan komputer dan piranti lunak, televisi dan radio, serta riset dan pengembangannya. Dalam acara ‘Trade Expo Indonesia’ tahun 2007 Menteri Perdagangan menjelaskan bahwa sumbangan industri kreatif sekitar 4,75% terhadap PDB 2006. Selain itu industri ini juga menyerap 4,7% dari total tenaga kerja dan 7% dari total ekspor pada 2006. Pertumbuhan industri kreatif pada tahun yang sama sebesar 7,3% lebih tinggi dari pertumbuhan total output nasional sebesar 5,6%. Sementara pada tahun 2007, Menteri Perdagangan juga telah menyatakan bahwa target pertumbuhan industri kreatif dalam 5-8 tahun mendatang adalah sebesar 10%. Hingga tahun 2008, sumbangan produk industri kreatif terhadap total output Indonesia adalah sebesar 6,3%4. Dari data tersebut dapat kita simpulkan bahwa industri kreatif nasional berkembang semakin pesat.
Industri Kreatif dan Pembangunan Daerah Industri kreatif dan pembangunan daerah memiliki hubungan bolak balik. Di satu sisi, desentralisasi merupakan peluang bagi pengembangan industri kreatif. Pemerintah daerah sebagai entitas yang lebih kecil daripada pemerintah pusat, dinilai memiliki posisi strategis dalam pembangunan daerah. Hal ini juga berlaku dalam pembangunan industri kreatif. Pemerintah daerah dinilai lebih dekat dengan rakyat. Sehingga pemerintah daerah seharunya lebih mengenal potensi daerah dan rakyat daerahnya masing-masing. Di tangan pemerintah daerah diharapkan target pertumbuhan industri kreatif lebih mudah dicapai. 4
Diakses dari http://industrikreatif-depdag.blogspot.com/2008/04/studi-industri-kreatif-indonesia-versi.html pada tanggal 30 Maret 2009 pukul 2.02 WIB
126
Industri Kreatif sebagai Strategi Pembangunan Daerah dalam Menghadapi Globalisasi
Sebaliknya, industri kreatif merupakan industri strategis dalam menggali potensi daerah. Industri kreatif yang bersumber dari kreatifitas dan inovasi memiliki potensi dalam pembangunan daerah. Khususnya bagi Indonesia sebagai negara yang heterogen. Setiap daerah di sepanjang nusantara memiliki budaya yang berbeda-beda. Simbiosis antara budaya lokal dan kreatifitas akan menciptakan keunggulan. Dengan keunggulan ini setiap daerah dapat bersaing dalam memperebutkan kue globalisasi. Perpaduan antara budaya lokal dan kreatifitas juga merupakan strategi praktis dalam memperkuat jati diri dalam menghadapi serangan globalisasi.
Rekomendasi Kebijakan dan Penutup Dalam mengahadapi globalisasi pemerintah daerah dituntut untuk dapat menggali potensi dan keunikan daerahnya masing-masing. Dalam menghadapi globalisasi, di satu sisi pemerintah daerah memiliki kesempatan untuk menikmati manfaat globalisasi. Di sisi lain pemerintah daerah ditantang untuk mampu mempertahankan jati diri bangsa melalui konservasi nilai-nilai buday lokal. Untuk itu, pemerintah daerah membutuhkan strategi pembangunan yang tidak hanya mampu meningkatkan kesejahteraan tetapi juga memberdayakan masyarakat. Maka, setiap pemerintah daerah harus melibatkan masyarakat lokal dalam strategi pembangunannya. Industri kreatif merupakan industri yang mengandung unsurunsur budaya lokal. Sehingga pengembangan industri kreatif akan menjadi optimal jika melibatkan partisispasi masyarakat. Globalisasi telah menggeser konsep sumber daya tidak hanya terbatas pada sumber daya alam dan tenaga manusia.. Di saat yang bersamaan, globalisasi telah mengubah komposisi permintaan barang dan jasa dunia. Permintaan tidak hanya terbatas pada kualitas dan kuantitas melainkan juga kreatifitas yang terkandung di dalam produk Perubahan konsep sumber daya dan struktur permintaan ini telah meningkatkan kesadaran manusia mengenai potensi industri kreatif dalam pembangunan. Konsep normatif peran industri kreatif sebagai basis pembangunan daerah dalam menghadapi globalisasi memerlukan berbagai aspek dan kebijakan yang mendukung. Beberapa aspek yang dibutuhkan industri kreatif dalam mengambil bagian perdagangan internasional adalah: 1. Kemampuan membaca pasar. Industri kreatif harus mampu menetapkan target pasar. Selain itu industri kreatif harus mampu menangkap selera pasar internasional.
127
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
Sehingga para pelaku industri kreatif yang dikembangkan oleh pemerintah daerah harus dibekali kemampuan manajerial dan administrasi yang memadai. 2. Teknologi. Pengembangan teknologi yang mendukung termasuk transportasi dan komunikasi merupakan modal pengembangan industri kreatif. Sehingga pembangunan infrastruktur yang terkait merupakan agenda penting pembangunan daerah. 3. Permodalan. Akses terhadap modal merupakan salah satu hambatan perkembangan berbagai kegiatan perekonomian rakyat. Meskipun industri kreatif menggunakan kreatifitas manusia sebagai modal utama. Penyediaan modal merupakan agenda pemerintah sebagai insentif tumbuh dan berkembangnya industry kreatif sebagai basis pembangunan daerah. Selain itu dibutuhkan kebijakan yang mendukung pengembangan industri kreatif seperti: 1. Sosialisasi prospek industri kreatif dalam perekonomian global. Sosialisasi mengenali prospek industri kreatif diperlukan untuk mengubah paradigma mengenai peran industri kreatif dalam menggerakan roda ekonomi. Sehingga ketertarikan kaum muda terutama kaum muda terdidik terhadap industri ini akan semakin meningkat. 2. Pendekatan budaya dalam perencanaan pengembangan industri kreatif daerah. Mengingat industri kreatif merupakan industri yang sarat akan nilai budaya. Maka dalam menentukan prioritas pembangunan industri kreatif, dibutuhkan pengetahuan mengenai budaya yang melekat pada masyarakat sekitar. Sehingga industri kreatif lebih mudah mengakar dalam masyarakat 3. Insentif bagi pengembangan industri kreatif yang memajukan budaya lokal. Meskipun industri kreatif adalah industri yang banyak dipengaruhi oleh budaya lokal. Globalisasi memungkinkan berbagai budaya untuk menarik perhatian para pelaku industri. Maka insentif dibutuhkan untuk memotivasi para pelaku industri kreatif dalam mengeksplorasi budaya lokal. ]]]
128
Industri Kreatif sebagai Strategi Pembangunan Daerah dalam Menghadapi Globalisasi
Daftar Pustaka Friedman, Thomas L., The World is Flat: A Brief History of the Twenty-first Century, New York, Farrar, Straus, and Giroux, 2005 Howkins, John , The Creative Economy: How people make money from ideas, London, Allen Lane, 2001 Ohmae, Kenichi, The Next Global Stage: The Challenges and Opportunities in Our Borderless World, Wharton School Publishing, 2005 Swasono, Sri Edi, Kebersamaan dan Asas Kekeluargaan: Mutualisme dan Brotherhood, Jakarta, Penerbit Universitas Negeri Jakarta, 2004 http://els.bappenas.go.id/upload/kliping/implementasi.pdf. http://eprints.qut.edu.au/588/1/cunningham_from.pdf. http://www.culturalpolicy.org/pdf/Tepper.pdf. h t t p : / / w w w. l i b r a r y. a u c k l a n d . a c . n z / s u b j e c t s / b u s / E x e c Pr o g / d o c s / creative_industries.pdf. http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya http://www.simonroodhouse.com/docs/iq_mag.pdf http://industrikreatif-depdag.blogspot.com/2008/04/studi-industri-kreatifindonesia-versi.html http://www.datastatistik-indonesia.com http://www.bps.go.id http://www.walhi.org
129
Komitmen, Konsistensi, Koneksi dan Deferensiasi: Membangun Keunggulan daerah mencapai Sukses dalam Memasarkan Daerah *
MG. Westri Kekalih S.**
u
B
esarnya harapan atas peran pemerintah daerah dalam peningkatan kehidupan masyarakat, baik pada aspek politik, ekonomi maupun sosial budaya mengandung arti tersendiri bagi suatu daerah otonom. Pada satu sisi, perubahan tersebut memberikan kelelusaan yang lebih besar bagi daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya. Sementara pada sisi yang lain memberikan tanggung jawab yang lebih besar kepada daerah, terutama dalam hal kemandirian, termasuk kemandirian keuangan daerah. Selain dua konsekwensi pokok tersebut, terdapat pula beberapa kosekwensi turunan. Sebagai contoh, seperti telah diungkapkan dalam berbagai telaah, otonomi dareha yang semakin besar memunculkan indikasi akan adanya masalah (konflik kepentingan) antara pemerintah daerah (kabupaten/kota) dengan pemerintah pusat, diantaranya adalah persoalan kewenangan dan urusan terhadap suatu bidang pekerjaan. Dalam kasus ini, anekdot “kepala diserahkan ekornya tetap dipegang” menjadi cukup populer. Terlepas dari berbagai perosalan tersebut, otonomi daerah telah digulirkan. Dalam kondisi demikian, daerah, terutama Kabupaten/Kota mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, harus menerima, harus menyesuaikan diri karena pengembangan daya saing perekonomian bertumpu di daerah. Masalahnya sekarang adalah, kapasitas fiskal pemerintah (pusat maupun daerah) relatif terbatas sebagai *
Artikel pilihan peserta lomba penulisan artikel Sewindu KPPOD Tahun 2009 kategori umum untuk tema Membangun Daerah sebagai Basis Persaingan Ekonomi * * Dosen Fakultas Ekonomi Unika Soegijapranata, Semarang.
Komitmen, Konsistensi, Koneksi dan Deferensiasi: Membangun Keunggulan daerah mencapai Sukses dalam Memasarkan Daerah
stimulan. Oleh karena itu, peran swasta semakin diperlukan. Kehadiran investasi swasta semakin dirasakan penting, baik sebagai titik ungkit pertumbuhan ekonomi maupun alat untuk peningkatan kesempatan kerja serta menghilangkan kemiskinan. Menyadari begitu pentingnya kehadiran investor swasta, pada dasarnya telah banyak daerah yang mempunyai perencanaan yang baik, baik penrencanaan yang menyangkut tata ruang wilayah maupun kelembagaan pelayanan perijinan investasi. Selain itu, banyak daerah telah membuat skema pemberian berbagai insentif untuk menarik investor. Banyak daerah mulai serius untuk menggarap sumber penggerak ekonomi dari faktor investasi. Berbagai regulasi dan institusi pendukung coba dibenahi untuk memperbaiki iklim investasi. Sebagai contoh, beberapa upaya yang di lakukan oleh pemerintah Propinsi Jawa Tengah dalam memfasilitasi Kabupaten/Kota dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif antara lain: 1. Sejak tahun 2004, Badan Penanaman Modal Daerah (BPMD) Propinsi Jawa Tengah mendorong Kabupaten/Kota untuk menjadi Kabupaten Kota yang pro investasi dengan kegiatan pemberian penghargaan kepada Kabupaten kota yang pro terhadap investasi. Dalam kegiatan ini utamanya bukan memotret bagaimana kondisi iklim investasi di suatu kabupaten/Kota, namun lebih menekankan pada upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif. Dengan demikian, secra tidak langsung dalam kegiatan ini akan tampak kemauan potitil pemerintah daerah dalam menarik investor. 2. Pemerintah propinsi telah mendorong penerapan pelayanan perijinan satu pintu (PPTSP)/one stop services (OSS) untuk penanaman modal. Hal tersebut telah terealisasi dan telah dicanangkan pada bulan September tahun 2007, dimana seluruh kabupaten/kota di Jawa tengah telah menerapkan PPTSP untuk penanaman modal. 3. Mendorong kerjasama antar daerah dalam bentuk Regional Management atau Regional Marketing seperti terbentuknya Kedungsapur, Barlingmascakeb, Subosukowonosraten, dan Sapta Mitra Pantura (Sampan) serta kerjasama antara Provinsi Jawa Tengah dengan beberapa propinsi yang lain. 4. Pada tahun 2006 Central Java Infrastructure Business Forum (CJIBF) mencatat minat investor di berbagai bidang penanaman modal dengan hasil Kesepakatan Bisnis (letter of Intens/LoI) senilai Rp. 6,643 trilyun di 28 bidang proyek meliputi Water Supply 6 proyek, Train 5 proyek, Agribusiness 1 proyek, Market 7 proyek, pertambangan (mining) 1 proyek, sarana dan prasarana (Infrastructure)
131
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
1 proyek, pabrikan (manufacture) 1 proyek, dan perumahan (property) 8 proyek. Proyek-proyek tersebut akan terus diupayakan realisasinya. 5. Pembentukan task force dalam pelayanan investasi oleh Badan Penanaman Modal Daerah Propinsi Jawa Tengah dan beberapa upaya yang lain. Namun demikian, upaya tersebut balum membawa dampak yang signifikan terhadap perkembangan investasi. Artinya, berbagai upaya yang dilakukan masih kurang mampu mendorong minat investasi swasta di daerah. Sebagai contoh, Data PMDN dan PMA di Jawa Tengah dalam 4 tahun terakhir ini menunjukkan peningkatan yang relatif kurang menggembirakan dan sangat fluktuatif. Nilai PMDN mengalami peningkatan yang mencolok pada tahun 2004 namun mengalami penurunan pada Tabel 1. Gambaran Investasi Jawa Tengah tahun 2005, demikian juga Tahun 2002-2007 dengan nilai penanaman modal PMA. Sementara itu, realisasi PMDN PMA Tahun Nilai (juta Rp) Nilai (Ribu USD) investasi PMA selama akhir tahun 2007 tercatat hanya 2002 1.541.259,60 91.765,00 sebesar 66,8 juta dolar AS, 2003 3.607.653,59 80.018,37 padahal persetujuan investasi 2004 5.608.617,36 3.086.867,97 mencapai 317,1 juta dolar AS 2005 1.912.677,07 610.431,54 dan realisasi PMDN hanya 2006 3.821.468,58 142.388,82 Rp348,9 miliar lebih rendah 2007 1.200.000,00 317.100,00 dibandingkan dengan Sumber: BPS Jawa Tengah (2007) persetujuan investasi yang mencapai Rp1,2 triliun. Tabel 2. Gambaran Realisasi Investasi Jawa Tengah Perkembangan penanaman Tahun 2002-2007 modal yang demikian cukup PMDN PMA menimbulkan tanda tanya, Tahun Nilai (juta Rp) Nilai (Ribu USD) karena pada dasarnya ekonomi Indonesia telah dinyatakan 2002 777.116,97 73.435,00 pulih dan pemburukan ekonomi 2003 1.062.158.55 60.680,29 dunia (terutama Amerika 2004 1.900.000,00 504.603,00 Serikat) baru mulai pada akhir 2005 6.415.055,33 550.512,44 tahun 2007. 2006 4.906.790,98 318.382,66 2007
348.900,00
Sumber: BPS Jawa Tengah (2007)
132
668.000,00
Komitmen, Konsistensi, Koneksi dan Deferensiasi: Membangun Keunggulan daerah mencapai Sukses dalam Memasarkan Daerah
Masalah Keputusan Investasi Pada dasarnya investasi merupakan keputusan rasional bagi investor, artinya investasi akan dilaksanakan jika investasi tersebut dirasa akan menguntungkan. Demikian juga dalam hal pemilihan daerah tujuan serta sektor dimana investor akan berinvestasi. Investor punya pilihan dan tidak dapat dipaksa. Sejumlah faktor yang dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan investasi serta daerah tujuab investasinya dapat dikelompokan dalam faktor-faktor eksternal dan faktor-faktor internal. Faktor-faktor internal meliputi semua aspek manajerial investor atau perusahaan. Dengan membuat kajian berbagai aspek manajerial tersebut akan diketahui kekuatan dan kelemahan perusahaan. Berbagai aspek manajerial antara lain: kualitas manajemen, kemampuan marketing, posisi keuangan dan akunting, sistem informasi dan komputer, kemampuan produksi dan keunggulan dalam bidang penelitian dan pengembangan. Sementara itu, berbagai faktor eksternal yang harus diperhitungkan oleh calon investor meliputi keadaan ekonomi, sosial budaya, demografi dan lingkungan, situasi politik, hukum dan yang dewasa ini semakin menantang ialah kemajuan teknologi dan kondisi persaingan global. Berbagai faktor eksternal tersebut membentuk iklim investasi. Calon investor harus mengaudit faktor--faktor eksternal tersebut guna memperoleh gambaran nyata tentang peluang dan tantangan yang akan dihadapi. Kondisi ini merupakan suatu gambaran nyata tentang proses keputusan investasi apalagi untuk investasi skala besar dan berisiko tinggi. Dengan mempertimbangkan berbagai hal tersebut di atas, seorang investor akan memutuskan untuk berinvestasi atau tidak.
Pentingnya Pemasaran Daerah Mengupayakan perbaikan iklim investasi saja tidak cukup untuk menarik investor masuk ke suatu daerah. Daerah, melalui pemasar- pemasarnya harus mampu mengkomunikasikan berbagai potensi yang akan dijual. Dengan demikian, daerah/ pemasar daerah perlu menerapkan prisip-prinsip pemasaran. Adapun, pengertian pemasaran adalah “the process by which a product or service originates and is then priced, promoted, and distributed to consumers” (MSN Encarta, an online dictionary).. Sementara itu, menurut The American Marketing Association (AMA) pemasaran adalah “an organizational function and a set of processes for creating, communicating, and delivering value to customers and for managing customer relationships in ways that benefit the organization and its stakeholders”
133
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
Sementara itu, pengertian pemasaran daerah mengacu pada pengertian place marketing. Adapun pengertian place marketing adalah “...designing a place to satisfy the needs of its target markets. It succeeds when citizen and business are pleased with their community, and the expectations of visitors and investors are met” (Kotler et al.2002) Masih menurut Kotler dalam buku yang sama, yang dimaksud dengan target markets adalah “.....place customer, which are producers of goods and services, corporate headquaters and regional offices, outside invesment and export market, tourism and hospitality, and new resident. Place marketing terdiri tiga unsur yakni pasar yang menjadi sasaran (target markets) yang berarti segmen dan mereka yang diinginkan untuk memilih tempat/lokasi, faktor-faktor pemasaran (marketing factor) yang meliputi daya tarik dan infratsuktur yang tersedia, sumberdaya manusia, persepsi dan kualitas hidup, serta pengambil keputusan (planning group) adalah mereka yang bertanggung jawa terhadap perencanaan dan pengendalian proses place marketing yaitu pengusaha, masyarakat dan pemerintah. Dengan demikian, pemasaran daerah dapat diartikan sebagai suatu proses untuk menciptakan kondisi daerah sedemikian rupa sehingga para produser, perusahaan, investasi asing, eksportir, wisatawan bahkan penduduk merasa nyaman di dalamnya. Dengan kata lain, pemasaran daerah dapat diartikan sebagai upaya menarik investasi swasta, pedagang maupun turis dalam mewujudkan rencana daerah dengan penerapan konsep-konsep pemasaran. Terdapat tiga hal penting yang harus diperhatikan oleh pemerintah sebagai pihak pemasar. Ketiga hal tersebut yaitu (Mai The Cuong. 2005): 1.Investor adalah konsumen/pelanggan. Dalam hal memasarkan daerah, khususnya menaris investor, investor adalah pelanggan. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya sungguh-sungguh menempatkan investor sebagai pelanggan. Jika demikian, maka pemahaman terhadap bagaimana perilaku serta apa yang diinginkan oleh investor merupakan hal yang sangat penting. Dalam konsep sassar teori ekonomi, tujuan utama dari sebuah perusahaan adalah memaksimumkan profit. Atas dasar asumsi ini, meskipun memiliki perilaku yang berbeda, namun ada satu titik persamaan dari para investor, yakni diperolehnya manfaat atau keuntungan dari investasi yang dilakukan. Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan yang diambil oleh perentitah hendaknya mendukung pemenuhan keinginan tersebut. Terkait hal ini, dalam banyak kasus sring terdapat diskonfirmasi antara pemerintah sebagai pemasar dan investor sebagai pelanggan. Pada sisi yang satu pemerintah mengatakan telah menyediakan apa yang diinginkan oleh investor, namun pada sisi yang lain
134
Komitmen, Konsistensi, Koneksi dan Deferensiasi: Membangun Keunggulan daerah mencapai Sukses dalam Memasarkan Daerah
investor selalu memiliki keluhan atau komplain. Atas dasar pemikiran tersebut, sebaiknya pemerintah mendengarkan serta melibatkan investor dalam penyusunan kebijakan terkait dengan aktivitas dunia usaha. 2. Pemahaman kebutuhan investor adalah kunci untuk memuaskan mereka. Investor dapat dipandang sebagai konsumen. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk mengetahui bagaimana perilaku dari investor. Artinya, pemerintah seharusnya mengetahui apa yang menjadi preferensi dari investor dan hal-hal apa yang dikwatirkan untuk menemukan akar permasalahan yang menyebabkan rendahnya minat investasi. Dengan demikian, pemerintah daerah akan dapat menyusun kebijakan serta mengambil langkah yang tepat yaitu menciptakan atau mengkondisikan variabel-variabel pemasaran daerah sedemikian untuk menarik investor serta mengkomunikasikannya. Pemahaman terhadap apa yang dibutuhkan merupakan kunci untuk memberikan kepuasan kepada mereka, mempertahankan serta menarik investor lebih banyak pada masa yang akan datang. Pemerintah harus mengetahui mengapa investor berinvestasi didaerahnya, serta faktor-faktor apa yang mendorongnya. Sebab, masing-masing investor memiliki karakter, interest maupun pertimbangan yang mungkin berbeda antara yang satu dengan yang lain. Sebagai contoh, Mortimore (2003) menyajikan beberapa kepentingan investor terkait dengan daerah tujuan investasi, (i) Jaminan ketersediaan bahan mentah; (ii) akses pasar (nasional maupun regional); (iii) efisiensi; and (iv) unsur strategis. 3. Variabel-variabel pemasaran daerah. Professor Philips Sidel (2002) at the MBA program di International University of Japan menggunakan lima variabel strategik untuk menganalisis perencanaan pemasaran. Kelima variabel tersebut yaitu: product, positioning, target audience, scope of distribution and scope of communications. Dalam kasus menarik investor, kelima vriabel tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: a. Produk. Produk adalah sesuatu yang memberikan kepuasan atau pemenuhan kebutuhan bagi konsumen . Dalam teori marketing modern, seseorang membeli produk bukan karena produk tersebut dikatakan baik oleh produsen, tetapi karena produk tersebut dianggap akan dapat memberikan manfaat. Dalam hal investasi, produk yang maksud adalah apa yang dihasilkan dari kebijakankebijakan investasi seperti iklim investasi yang kondusif, kemudahan perijinan, kondisi sosial politik yang stabil, infrastruktur yang memadai dan lain lain.
135
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
b.
c.
d.
e.
Mengacu pada hal tersebut dapat dikatakan bahwa investor datang dan melakukan investasi bukan karena lingkungan investasi seperti yang digambarkan oleh pemerintah tetapi pada manfaat sesungghuhnya yang dapat diambil dari lingkungan invetasi tersebut. Oleh karena itu pemerintah harus memahami kebutuhan perusahaan dan sasarannya sehingga kebutuhan mereka dapat dipuaskan. Dalam hal ini implementasi kebijakan menjadi sangat penting sebab investor lebih melihat pada kondisi sesungguhnya dan bukan pada apa yang dijanjikan oleh pemerintah. Positioning. Positioning adalah apa yang disampaikan kepada konsumen. Positioning adalah upaya membentuk citra produk dibenak konsumen. Untuk itu, penting bagi pemerintah untuk mengetahui bagaimana persepsi investor terhadap iklim investasi. Target Audience. Karena investor yang satu berbeda dengan investor yang lain, atau perilaku dan preferansi investor berbeda-beda, maka perlu kiranya untuk mengelompokkan investor menurut segmen masing-masing, misalnya menurut skala usaha, sektor, asal daerah, orientasi dan lain-lain. Scope of Distribution. Dalam konsep pemasaran, yang disebut dengan wilayah distribusi mencakup proses dan lokasi dimana konsumer dapat melakukan pembelian. Terkait dengan investasi, hal tersebut dapat dikatakan sebagai suatu tempat dan proses dimana investor dapat mengurus dan menjalankan rencana investasinya. Scope of Communications. Wilayah komunikasi adalah bagaimana dan dimana persepsi yang akan dibentuk dibenak konsumen disampaikan kepada sasaran. Wells and Wint (1991) mendeskripsikan tiga jenis teknik promosi yang digunakan dalam menarik investor. Tiga jenis teknik tersebut yakni: (i) primary image building techniques; (ii) primary investment generating techniques; dan (iii) investment service techniques. Beberapa negara yang telah menerapkan teknikeknik tersebut antara lain Malaysia (Malaysian Industrial Development Authority /MIDA), Thailand (Thailand’s Board of Investment /BOI) and Singapore (Singapore’s Economic Development Board /EDB). Menurut pengalaman negara-negara tersebut, mereka tidak membutuhkan waktu lama untuk membangun image sebagai daerah tujuan investasi. Tabel 3. berikut ini menyajikan secara lebih detail program-program pada masing masing teknik.
136
Komitmen, Konsistensi, Koneksi dan Deferensiasi: Membangun Keunggulan daerah mencapai Sukses dalam Memasarkan Daerah
Tabel 3. Investment Promotion Techniques Primary Image Building Techniques 1. Advertising in general Media.
Primary Investment Generating Techniques
Investment Service Techniques
6. Engaging in direct mail or 10. Providing investment elemarketing campaign counseling services
2. Participating in investment 7. Conducting industry or 11. Expediting the processing exhibitions sector specific investment of applications and permits missions from source 3. Advertising in industry-or 12. Providing post investment country to host country or sector-specific media services vice versa 4. Conducting general 8. Conducting industry or investment missions from sector specific information source country to host or seminars from host country to source country 9. Engaging in firm specific research followed by sales 5. Conducting general presentations information seminars on investment opportunities Source: Compiled from Wells and Wint (1991).
Terdapat lima langkah dalam perencanaan pemasaran daerah, yaitu (Mai The Cuong, 2005): 1. Analisis situasi. Tahap ini mengandung arti bahwa kegiatan pemasaran daerah harus dimulai dengan adanya deskripsi mengenai kondisi lingkungan baik dalam lingkup regional, nasional maupun internasional. Dari deskripsi ini akan dapat diidentifikasi keukatan dan kelemahan yang dimiliki serta peluang dan ancaman yang dihadapi. 2. Positioning. Posisioning dapat dikatakan sebagai “the game of mind”. Dalam hal ini, “apa” yang akan ditanamkan dalam benak investor sebagai konsumen harus jelas. Seperti diketahui, daya tarik suatu daerah terhadap investasi bermacam-macam. Ada suatu daerah yang menarik sebagai daerah tujuan investasi karena kualitas sumberdaya manusianya, ada yang menarik karena murahnya upah, ada yang menarik karena potensi pasar domestiknya yang besar, ada yang menarik karena keamanannya dan lain sebagainya. Dari beberapa contoh hal yang menjadi daya tarik tersebut, perlu dipilih hal mana yang akan ditanamkan untuk diasosiakan oleh investor.
137
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
3. Alternatif strategi. Dalam tahap ini disusun beberapa alternatif strategi dan selanjutnya dipilih alternatif strategi terbaik untuk dilaksanakan. 4. Pelaksanaan Program. Pelaksanaan program adalah implementasi strategi terpilih dalam tindakan yang nyata. Oleh karena itu, dalam tindakan program tersebut harus meliputi langkah-langkah, kebijakan dan agenda implementasi. Langkah-langkah, kebijakan dan agenda implementasi harus dirumuskan secara jelas, konkret, terukur dan operasional. 5. Pengukuran dan penyesuaian. Dalam tahap ini dilakukan pengukuran serta evaluasi tingkat keberhasilan dari strategi yang telah diimplemtasikan dalam berbagai program. Atas dasar hasil pengukuran dan evaluasi ini, makan suatu program dapat diteruskan, diteruskan dengan penyesuaian atau dihentikan dan digantikan dengan strategi serta program yang lain.
How to Market? Dalam beberapa waktu terdahulu, kesadaran akan pentingnya melakukan pemasaran daerah masih relatif rendah. Stimulus fiskal dari pemerintah pusat masih dianggap mencukupi untuk menggerakkan perekonomian. Namun, sejak diluncurkannya otonomi daerah yang didasarkan pada Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah daerah yang memberi keleluasaan Derah untuk mengatur/mengelola rumah tangganya sendiri, daerah mulai fokus pada bagaimana menggerakan perekonomian yang bersumber pada sumber daya daerah serta secara tidak langsung mendorong peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Dengan kondisi stimulus fiskal yang relatif terbatas, hal tersebut mengakibatkan terjadi persaingan yang semakin tinggi dari daerah-daerah untuk dapat menarik investasi. Pemasaran daerah telah menjadi sesuatu yang menyatu dalam perencanaan pembangunan daerah secara keseluruhan. Untuk itu, para pemasar menerapkan berbagai strategi untuk menarik investor atau untuk memasarkan daerahnya. Bagaimana caranya?. Banyak jawaban yang akan muncul atas pertanyaan tersebut, misalnya tingkatkan pelayanan, sederhanakan prosedur perijinan investasi, perbaiki atau tingkat infrastruktur dan lain sebagainya. Benar. Dari banyak jawaban tersebut pada dasarnya memiliki makna yang sama, yakni “penuhi kebutuhan investor”. Perlu diingat kembali, investor datang dan melakukan investasi bukan karena daya tarik daerah seperti dikatakan oleh pemerintah sebagai pemasar tetapi pada
138
Komitmen, Konsistensi, Koneksi dan Deferensiasi: Membangun Keunggulan daerah mencapai Sukses dalam Memasarkan Daerah
manfaat sesungguhnya yang dapat diambil dari lingkungan invetasi tersebut atau daya traik yang sesungguhnya. Oleh karena itu, idealnya apa yang dikomunikasikan oleh pemerintah sama dengan kondisi sesungguhnya. Terkait dengan hal tersebut, terdapat empat tahapan pemasaran yang harus ditempuh. Keempat langkah tersebut yaitu (Seppo K Rainisto, 2003): (1) Pelayanan-pelayanan pokok harus tersedia dengan infrastruktur yang memadai untuk kepuasan masyarakat, pengusaha dan pendatang. (2) Mengembangan daya tarik secara terus menerus ( menciptakan daya tarik baru) untuk mempertahankan aktifitas usaha (investor) yang ada serta menarik investasi baru. (3) Mengkomunikasikan keistimewaan/keunggulan daerah dengan berbagai manafaat yang dapat diperoleh melalui program-program pormosi yang gencar. Dan (4) Menggalang dukungan warga masyarakat, para pemegang wewenang (leaders), serta kelembagaan.
Penutup Kesadaran akan pentingnya pemasaran daerah telah muncul. Bagaimana memasarkan daerahpun pada dasarnya telah banyak diketahui dan bahkan dilakukan. Maka, yang lebih penting adalah bagaimana mewujudkannya. Menurut hemat penulis, terdapat empat hal yang harus ada dalam memasarkan daerah. Ketiga hal tersebut yaitu political will dari pemerintah terutama pucuk pimpinan, konsistensi dan deferensiasi. Bukan hal yang mudah untuk mewujudkan ketiga hal tersebut. Pertama, komitmen. Perubahan perilaku dari pemerintah pada semua tingkatan dalam mendukung keberhasilan pemasaran daerah adalah hal yang sangat mendasar. Political will dari pemerintah yang akan terbaca oleh pasar sasaran (target markets) ini diharapkan mampu membentuk citra atau image suatu daerah adalah “tepat” sebagai daerah tujuan investasi. Adapun komitmen tersebut secara konkret dapat diwujudkan dalam bentuk antara lain alokasi anggaran yang mendukung program pemasaran daerah, kebesaran hati dari dinas-dinas atau instansi tertentu untuk dikurangi atau ditarik kewenangannya, tersedianya jenis-jenis layanan-layanan pokok serta infrastruktur maupun sistem pengaduan keluhan maupun infrastruktur yang memadai. Untuk mewujudkannya dibutuhkan sinergi dari semua stakeholder. Seringkali, penyalahgunaan wewenang/jabatan dalam hal ini justru terbentuk oleh kebiasaan-kebiasaan dari dunia usaha sendiri dalam upaya memperlancar pengurusan segala sesuatu berkaitan dengan aktivitas usahanya. Kedua, konsistensi. Terciptanya image yang bagik sebagai daerah tujuian investasi adalah modal awal dalam memasarkan daerah. Jika dikatakan image ini
139
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
sebagai kesan pertama yang hendak ditanamkan dalam benak investor, maka langkah penting berikutnya adalah menjaga image tersebut. Untuk itu, apa yang dipromosikan, apa yang dikatakan tentamng kondisi daerah harus sama dengan kondisi nyata. Artinya terdapat konsistensi antara yang dipromosikan dengan apa yang akan ditemui atau didapatkan oleh investor. Pengalaman yang baik oleh investor ini diharapkan dapat menciptakan word of mouth ( WOM) yang positif. Kecenderungannya, WOM ini dapat menjadi salah satu bentuk promosi yang efektif namun tidak berbiaya. Ketiga, koneksi. Seperti halnya dalam memasarkan barang manufaktur ataupun jasa, adanya relasi ataupun koneksi yang terwujud dalam suatu jejaring ketrjasama merupakan salah satu kunci keberhasilan. Oleh karena agar berhasil dalam memasarkan daerah, perlu dukungan koneksinyang kuat antara pemerintahpublik-prifat, kerjasama antar SKPD/departemen bahkan kerjasama antara daerah. Keempat, deferensiasi. Selain komitmen dan konsistensi, harus segera dipikirkan untuk menjadi berbeda dengan daerah lain atau negara lain, sehingga investor tertarik untuk masuk. Menggali keunggulan daerah yang sungguh-sungguh dapat ditawarkan kepada investor mutlak harus dilakukan. Setiap negara, setiap daerah harus mempunyai diferensiasi ataupun keunggulan. Dengan demikian, diharapkan investor sungguh-sungguh masuk ke daerah. ]]]
140
Merajut Kepentingan, Menebar Kesejahteraan : Upaya Peningkatan Pelayanan Dasar Melalui Kerjasama Antar Daerah* Thres Sanctyeka**
u
S
aya teringat terhadap anekdot seorang fasilitator, motivator dan penggiat pengorganisasian yang pernah dia ucapkan dalam sebuah forum yang sedang di fasilitasi oleh nya – dia sempat membuat lelucon “Dua hal yang membuat masyarakat negri ini berkumpul, untuk bersatu dan bekerjasama adalah acara kematian dan kejadian bencana” sontak peserta tertawa mengiyakan pada saat itu, tentu yang ia katakan tidaklah dimaksud bersungguh-sungguh, pada konteks pelatihan saat itu. Hanya sebagai pembuka materi kerjasama tim yang akan dia fasilitasi. Tapi menarik juga ketika mencoba memadankan dengan realitas yang ada saat ini - terkesan ada benarnya juga. Bahwa masyarakat negri ini lebih mudah bekerjasama ketika terjadi “bencana” dibandingkan bekerjasama untuk “kaya” bersama. Mencoba bercermin dengan menarik dalam skala yang lebih luas - bukan sekedar kerjasama individu tapi juga sebuah kerjasama lintas daerah atau yang disebut dengan kerjasama antar daerah - terminologi yang digunakan oleh perundangan-undangan (UU 32 tahun 2004 pasal 195 dan pasal 196) yang ada serta derivasi peraturan dibawahnya (PP no 50 tahun 2007), menjadi suatu yang penuh tantangan untuk direalisasikan dan efektif pengimplementasiannya - atas nama sebuah kerjasama antar daerah. Semenjak ditetapkannya kebijakan desentralisasi tahun 1999, pemerintah daerah mendapatkan angin segar didalam mengelola secara “leluasa” daerahnya * Pemenang lomba penulisan artikel Sewindu KPPOD Tahun 2009 kategori umum untuk tema Otonomi Daerah dan Penguatan Kerja Sama Antar Daerah * * Assistant Provincial Coordinator GTZ GLG
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
masing-masing dalam bidang kepemerintahan kecuali politik luar negri, moneter dan fiskal, hankam, peradilan, agama serta bidang lain. Sangat berbeda sekali dibandingkan masa sebelumnya, dimana daerah selalu “termarjinalkan” terhadap konteks pengelolaan daerahnya sendiri. Namun semenjak kebijakan desentralisasi ditetapkan maka perubahan signifikan begitu dirasakan oleh daerah di dalam mengelola daerahnya secara otonom, bagaimana tidak – dua pilar kebijakan desentralisasi berupa desentralisasi fungsi dan desentralisasi fiskal yang menjadi kekuatan otonomi daerah telah diatur dalam UU no 22/1999 dan UU no 25/ 1999. Namun juga perlu diakui rangkaian proses pengimplementasian kebijakan desentralisasi sempat menimbulkan pencitraan negatif seperti yang kerap dilontarkan dalam setiap forum seminar, surat kabar, hasil penelitian lembagalembaga nasional non pemerintah maupun lembaga internasional pada masa itu, hingga pada akhirnya muncul wacana untuk merevisi UU tersebut. Kondisi tarik menarik antara pro desentralisasi dan perlunya pembatasan kewenangan tersebut merupakan suatu yang alami tentunya sebagai sebuah proses untuk menemukan titik keseimbangan dan sebagai proses pendewasaan berpolitik. Namun diluar dari proses penyempurnaan sebuah tatanan pengelolaan daerah, ditemukan sisi lain yang ternyata dihadapi oleh daerah sebagai suatu wilayah yang otonom, yaitu pertama, ketika daerah dibenturkan dengan isu kewenangan wajib yang mereka miliki namun bersifat lintas wilayah administrasi kepemerintahannya; kedua, ketika daerah memiliki keinginan untuk mengembangan perekonomian wilayahnya yang bersifat lintas batas (regional); ketiga, ketika daerah berkeinginan untuk meningkatkan kualitas sistem pelayanan publik di wilayah perbatasan; dan keempat, ketika daerah berupaya meminimalisir dan menyelesaikan konflik horizontal di wilayah perbatasan yang memiliki potensi tersebut. Kondisi lain yang juga sempat teridentifikasi - Prof. Dr. Bambang P. S. Brojonegoro (2007) dalam tulisannya menguraikan fakta, tidak semua sumber daya yang dibutuhkan daerah didalam membangun atau menyelenggarkan pelayanan publik dimiliki oleh daerah, oleh karena itu daerah memerlukan daerah lain untuk menghasilkan sesuatu yang diinginkannya, adanya keterbatasan anggaran belanja publik dalam suatu daerah sehingga apabila daerah satu dengan daerah yang lain memiliki tujuan yang sama maka kerjasama merupakan jawaban untuk efisiensi terhadap penggunaan anggaran daerah. Hal-hal tersebut menjadikan daerah –daerah yang bersangkutan merasa perlu untuk melakukan koordinasi dan kerjasama dalam pelaksanaan dan upaya pencapaian beberapa keinginan daerah yang muncul tersebut.
142
Merajut Kepentingan, Menebar Kesejahteraan: Upaya Peningkatan Pelayanan Dasar Melalui Kerjasama Antar Daerah
Potret Kerjasama Antar Daerah Secara genial, kerjasama antar daerah telah banyak dilakukan oleh pemerintah daerah di Indonesia baik level antar provinsi maupun kabupaten/kota, sebut saja kerjasama antar daerah level provinsi Badan Kerjasama Pembangunan (BKSP) JABODETABEKJUR yang telah dirintis semenjak tahun 1975, atau Forum Kerjasama Mitra Praja Utama (MPU) diwilayah DKI, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur dan yang lainnya adalah Badan Kerjasama Pembangunan Regional Sulawesi (BKPRS), sedangkan pada level kab/kota kita bisa melihat Sekretariat Bersama KARTAMANTUL – merupakan kerjasama Kab Sleman, Kota Yogyakarta dan Kab Bantul, di daerah Solo raya kita mengenal Badan Kerjasama Antar Daerah (BKAD) SUBOSUKA WONOSERATEN, badan kerjasama yang terdiri dari Kota Surakarta, Kab Boyolali, Kab Sukoharjo, Kab Karanganyar, Kab Wonogiri, Kab Sragen dan Kab Klaten, dan wilayah lain yang merupakan kerjasama level kabupaten namun lintas provinsi kita mengenal BKAD PAWONSARI, badan kerjasama yang terdiri dari Kab Pacitan, provinsi Jawa Timur, Kab Wonogiri provinsi Jawa Tengah dan Wonosari, Kab Gunungkidul provinsi DIY serta Java Promo sebuah kerjasama antar daerah disektor pariwisata yang melibatkan 13 kab/ kota yang berasal dari provinsi DIY dan Jawa Tengah. Untuk di provinsi Jawa tengah - Bentuk kerjasama lain yang dapat kita lihat adalah Regional Managemen BARLINGMASCAKEB sebuah kerjasama kab/kota di wilayah Jawa Tengah yang terdiri dari Kab Banjarnegara, Kab Purbalingga, Kab Banyumas, Kab Cilacap dan Kab Kebumen, Regional Managemen Sapta Mitra Pantura atau yang sering disebut dengan RM SAMPAN, sebuah kerjasama yang terdiri dari tujuh kab/kota di wilayah pantura yang terdiri dari Kota Tegal, Kab Tegal, Kab Pekalongan, Kota Pekalongan, Kab Batang, Kab Pemalang dan Kab Brebes. Dan saat ini di wilayah Jawa Tengah juga sedang diinisiai kerjasama Antar daerah di wilayah ex karesidenan KEDU yang terdiri dari Kab Purworejo, Kota Magelang, Kab Magelang, Kab Temanggung, Kab Wonosobo dan Kab Purbalingga. Dalam skala yang lebih besar, dimana melibatkan seluruh kab/kota se Indonesia kita mengenal Asosiasi Pemerintahan Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) yang sekarang telah berubah menjadi Badan Kerjasama Kabupaten Seluruh Indonesia (BKKSI). Dan masih ada beberapa lagi kerjasama antar daerah yang sedang berjalan maupun yang sedang di inisiasi baik oleh lembaga non pemerintah maupun oleh lembaga pemerintah. Dengan melihat bentuk kerjasama antar daerah yang sedang dilakukan sebenarnya kita menjadi optimis terhadap langkah-langkah pemerintah
143
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
daerah didalam meningkatkan kualitas pelayanannya kepada masyarakat maupun pola pengelolaan kepemerintahannya untuk menjadi lebih efisien dan efektif. Namun muncul pertanyaan kembali, apakah kerjasama antar daerah yang sudah dilakukan dapat berjalan efisien dan efektif? Apakah kerjasama antar daerah sudah dapat berkontribusi positif terhadap kesejahteraan masyarakat? Adakah hambatan yang dialami didalam implementasinya sehingga kerjasama antar daerah kurang berhasil? Dan bentuk keberhasilan apa yang sudah dihasilkan dengan pola kerjasama antar daerah? Dalam sebuah kajian dampak kerjasama antar daerah yang pernah dilakukan oleh Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Kerjasama Antardaerah (LEKAD) yang bekerjasma dengan GTZ GLG (Good Local Governance) provinsi Jawa Tengah di beberapa institusi kerjasama antar daerah di wilayah Jawa Tengah pada tahun 2008, didapatkan kesimpulan hasil analisa sebagai berikut : pertama, terjadinya peningkatan regional cohesiveness melalui upaya minimasi konflik daerah; kedua, peningkatan pelayanan kesehatan di wilayah perbatasan – pada kasus pemberantasan penyakit menular di wilayah perbatasan; ketiga, terjadinya peningkatan sarana prasarana antar desa – pada kasus peningkatan jalan dan jembatan di perbatasan serta pemanfaatan sumber air; keempat, peningkatan kemudahan akses pelayanan kesehatan bagi penduduk wilayah perbatasan; kelima, adanya koordinasi penataan ruang dan pembangunan antar wilayah - dengan terselenggarannya secara rutin musyawarah rencana pembangunan regional (musrenbangreg). Namun dalam penelitian ini juga menemukan bahwa kerjasama antar daerah (KAD) yang dilakukan masih sedikit program-programnya menyentuh pada peningkatan pelayanan umum (terutama wanita dan penduduk miskin). Dampak pada sektor ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat atau pihak swasta (pengusaha) pada pengkajian ini adalah pertama, kemudahan informasi dan investasi; kedua, terjadinya peningkatan citra wilayah; ketiga, kemudahan informasi dan proses perizinan; keempat, peningkatan omzet dan pendapatan; kelima, Kemudahan akses pasar dan jejaring konsumen; keenam, Peningkatan margin pendapatan petani; serta ketujuh, peningkatan teknologi produksi. Dampak positif disektor ekonomi yang teridentifikasi diatas banyak dipengaruhi oleh praktek-praktek pemerintah daerah yang didorong oleh provinsi di dalam bekerjasama maupun secara sendiri di kab/kota nya masing-masing didalam menerapkan kebijakan yang pro investasi, baik melalui pelaksanaan pelayanan perizinan terpadu dan perbaikan regulasi dengan menggunakan pisau analisa Regulatory Impact Assasment (RIA). Di wilayah lain seperti DIY. yang juga
144
Merajut Kepentingan, Menebar Kesejahteraan: Upaya Peningkatan Pelayanan Dasar Melalui Kerjasama Antar Daerah
memiliki kerjasama antara daerah antar kab/kota (Kertamantul), dampak positif yang dihasilkan setali tiga uang dengan KAD. Sebagai contoh, pengolahan air limbah di wilayah Sewon Bantul, berdampak berkurangnya pencemaran air yang dikarenakan limbah domestik pada wilayah setempat karena sistem sanitasi dengan cubluk atau septic tank yang umum dipakai masyarakat dapat diminimalisir (Sutrisno et.al, 2006), begitu juga jembatan Blambangan yang dibangun antara Kab Sleman dan Kota Yogyakarta, sebagai pembuka akses transportasi yang berdampak pada penghematan biaya sosial dan ekonomi. Dari beberapa potret kerjasama antar daerah yang dilakukan serta dampak yang ditimbulkannya, sebenarnya peluang terhadap percepatan pembangunan kualitas masyarakat di daerah bisa dipercepat. Tapi kondisi tersebut tidak serta merta dapat terwujud, karena beberapa kendala juga yang kerap ditemukan dilapangan ketika berupaya membangun sebuah kerjasama antar daerah.
Sebuah Tantangan Terhadap Kapasitas Dari pengalaman langsung yang pernah dilakukan serta pengalaman orang lain didalam meng-inisiasi serta mengimplementasikan sebuah kerjasama antar daerah dapat dikelompokan tantangan berdasarkan analisa terhadap kapasitas terhadap tiga aspek, pertama, kapasitas sistem/kebijakan berkaitan dengan kerjasama antar daerah; kedua, kapasitas organisasi/kelembagaan yang dimiliki kerjasama antar daerah dan yang ketiga, kapasitas individual yang mengimplementasikan kerjasama antar daerah. Berkaitan dengan kapasitas kebijakan atau sistem - isu kerjasama antar daerah, telah diatur di dalam UU no 32/2004 serta PP 50/2007. Kondisi yang demikian bagi sebagian daerah, bisa dijadikan pegangan didalam menjalin kerjasama antar daerah. Namun tidak, bagi banyak daerah lainnya. Belum lahirnya peraturan menteri yang diamanatkan oleh PP 50/2007 sebagai tata cara pembinaan dan pengawasan umum atas kerjasama antar daerah provinsi atau antar kabupaten/kota dari lain provinsi menjadi “kehati-hatian” (baca : ketakutan) bagi pemerintah daerah didalam membangun suatu kerjasama antar daerah. Apalagi masalah regulasi pengelolaan keuangan daerah yang mengatur secara spesifik kerjasama antar daerah belum ada. Regulasi mengenai pangaturan keuangan daerah yang ada saat ini seperti PP 58/2005, Permendagri 13/2006, Permendagri 59/2007, Permendagri 32/2007, dan SE Mendagri 900/2677/SJ tahun 2007 yang mengatur tentang hibah, belum secara spesifik mengatur pengelolaan keuangan daerah dalam kerjasama antar daerah (KAD), hal ini menjadikan sebagian pemerintah daerah semakin khawatir terjebak
145
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
didalam permasalahan pelaporan keuangan ketika terjadi pemeriksaan oleh badan pemeriksa yang berwenang. Sejauh ini daerah-daerah yang telah melaksanakan kerjasama antar daerah menggunakan anggaran melalui pos di Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) yang bersangkutan dalam sebuah kerjasama atau pos hibah sebagai salah satu sumber pembiayaan kerjasama antar daerah. Berkaitan dengan hibah, hibah dalam SE Mendagri disebutkan sebagai salah satu bentuk instrumen bantuan bagi pemerintah daerah, baik berbentuk uang, barang dan jasa yang dapat diberikan pemerintah, pemerintah daerah lainnya, masyarakat daerah, masyarakat dan organisasi kemasyarakatan. Oleh karena itu pemberian hibah harus dilakukan secara selektif sesuai dengan urgensi dan kepentingan daerah serta kemampuan keuangan daerah sehingga tidak mengganggu penyelenggaraan urusan wajib dan tugas-tugas pemerintahan daerah lainnya dalam meningkatkan kesejahteraan daerah lainnya dalam meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan umum kepada masyarakat (SE Mendagri 900/2677/SJ tahun 2007). Berdasarkan analisa kapasitas organisasi atau kelembagaan, diketahui beberapa kondisi berdasarkan jenisnya. Bagi organisasi kelembagaan yang bersifat struktural seperti BKAD SUBOSUKO WONOSRATEN, dimana struktur organisasi di isi oleh staf pemerintah daerah hanya dari satu Kab/kota, maka mekanisme komunikasi jejaring menjadi sangat tidak efektif, pun dengan tingkat partisipasi serta kepemilikan dari wilayah-wilayah lain. Kondisi kapasitas struktur organisasi yang demikian justru melemahkan potensi kekuatan berkerjasama antar daerah. Salah satu potret dengan model kelembagaan tersebut mengingatkan pada pola Weberian type bureaucarcy yang di kenalkan pertama kali oleh Martin Albrow (2004) – dimana hirarkhial menjadi ciri yang mengemuka pada pola hubungan yang ada. Sedangkan struktur lembaga/organisasi yang lebih desentralistik dan menggunakan semangat jejaring sebagai kekuatannya, dimana kab/kota semua terlibat didalam struktur dan memiliki posisi yang sama dalam pengurus harian (pada kasus Forum Merapi – kerjasama antar daerah pada isu bencana), walaupun hanya memiliki fungsi koordinatif antar kab/kota serta tidak memiliki akses koordinasi ke pusat dan tidak memiliki law enforcement seperti yang terjadi pada Badan Kerjasama Pembangunan JABODETABEKJUR (BKSP) – dapat berjalan lebih efektif. Potret organisasi yang mengedepankan konsep jaringan yang fleksibel dengan menggantikan model birokrasi klasik, menjadikan organisasi tersebut lebih dinamis seperti yang dilansir oleh Waugh&Streib (2006). Serta organisasi yang demikian lebih mengandalkan fungsi atau upaya melakukan adaptasi dalam menghadapi perubahan (jenkins, 2006)
146
Merajut Kepentingan, Menebar Kesejahteraan: Upaya Peningkatan Pelayanan Dasar Melalui Kerjasama Antar Daerah
Pada analisa kapasitas individu, ditemukan bahwa belum terbangunnya kesadaran terhadap pentingnya kerjasama antar daerah didalam meningkatkan kualitas pembangunan daerah. Hal tersebut juga teridentifikasi oleh Benjamin (2008) bahwa “adanya keterbatasan kesadaran para aktor pembangunan & penentu kebijakan untuk memanfaatkan KAD sebagai instrumen strategis dalam peningkatan pelayanan publik”. Kondisi rendahnya kapasitas individu baik pada level pimpinan daerah maupun level implementator terhadap pemahaman dan kesadaran tersebut juga berdampak pada hal lain seperti terjadinya tumpang tindih program, tidak harmonisnya antara program kerjasama dengan perencanaan jangka panjang atau menengah daerah yang disebabkan cara pandang sempit - “ego sector”. Hal lain yang juga teridentifikasi adalah kapasitas jumlah sumber daya manusia yang ada didalam mengelola satu lembaga kerjasama tidak sebanding dengan wilayah cakupan kerja, hal ini berdampak kepada tidak maksimalnya capaian hasil program yang telah direncanakan bersama.
Faktor-faktor Yang Menentukan Keberhasilan : Sebuah Pengalaman Aksi Kondisi kapasitas yang telah teridentifikasi, baik pada kapasitas kebijakan/ sistem, kapasitas organisasi/kelembagaan maupun kapasitas individu. Menjadi pijakan didalam menentukan strategi inisiasi maupun implementasi sebuah Kerjasama Antar Daerah. Rajutan dari berbagai pengalaman yang ada, menekankan beberapa faktor yang mendukung keberhasilan (baca: berjalan efektif ) sebuah Kerjasama Antar Daerah. Pertama, komitmen pimpinan daerah. Hal ini menjadi faktor utama di dalam terselenggaranya kerjasama antar daerah agar menjadi lebih efisien-efektif dan berkelanjutan. Untuk itu diperlukan sebuah pemahaman bersama terhadap keuntungan yang didapat bagi masing-masing daerah ketika menjalankan sebuah kerjasama antar daerah, berdasarkan pengalaman, bahwasannya besar dan kuatnya komitmen pimpinan daerah (eksekutif dan legislatif ), seringkali menghasilkan keberanian dalam mengambil langkah inovasi walaupun dari segi regulasi terkadang masih “lemah”. Kedua adalah identifikasi kebutuhan. Yaitu pengidentifikasian kebutuhan daerah terhadap objek yang akan dikerjasamakan. Untuk itu diperlukan sebuah penjajakan terhadap kebutuhan tersebut. Beberapa medote yang di gunakan didalam melakukan pengidentifikasian kebutuhan antara lain Capacity Building Need Assasment (CBNA). Sebuah teknik yang mencoba menganalisa kapasitas terhadap tiga aspek yaitu aspek sistem/kebijakan, aspek kelembagaan/organisasi maupun aspek individu. Metode lain yang juga pernah digunakan didalam melakukan kajian kerjasama antar daerah adalah metode SKAD
147
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
(Skenario Kerjasama Antar Daerah), metode ini mencoba mengidentifikasi kegiatan KAD yang layak dan mendesak untuk dilakukan dalam konteks KAD (lekad, 2008). Pentingnya mengidentifikasi kebutuhan adalah untuk efektifitas serta sinergisnya program yang dikerjasamakan dengan perencanaan pemerintah daerah yang telah dibuat. Faktor yang ketiga adalah Pengintegrasian dan harmonisasi, yaitu mengintegrasikan serta mengharmonisasikan kebutuhan isu atau sektor yang akan dikerjasamakan kedalam sistem perencanaan daerah yang telah ada atau yang akan dibuat (RPJP, RPJMD, atau RKPD). Dalam proses pengidentifikasian, kerap kali kita temui banyak isu maupun sektor yang dapat dikerjasamakan, sehingga analisis prioritas terhadap isu / sektor tersebut perlu dilakukan, dan yang terpenting adalah mencoba mengintegrasikannya kedalam sistem perencanaan dan penganggaran daerah yang ada, ini bermaksud agar program kerjasama nantinya lebih berkelanjutan. Dalam kasus kerjasama antar daerah pada sektor pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan atau sektor-sektor yang merupakan urusan wajib pemerintah seperti yang telah diatur dalam PP 38/2007, perlu juga dilakukan perumusan pengintegrasian strategi regional didalam pencapaian Standar Pelayanan Minimal yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat terhadap perencanaan pembangunan daerah. Sebagai contoh, Departemen Kesehatan telah mengeluarkan Permenkes 828/2008 tentang SPM Kesehatan, maka wilayah yang sedang melakukan kerjasama antar daerah pada sektor kesehatan, dapat merumuskan secara bersama strategi regional didalam mencapai standar pelayanan minimal tersebut. Faktor yang keempat adalah partisipatif, yaitu keterlibatan multi stakeholder untuk berpartisipasi di dalam setiap proses, baik pada tahap perencanaan, pengambilan keputusan, pelaksanaan program serta pengawasan dan evaluasi terhadap program kerjasama tersebut. Ini dimaksudkan agar sebuah kerjasama antar daerah adalah milik bersama, bukan hanya milik pemerintah daerah saja, milik lembaga donor saja atau pemerintah provinsi/pusat. Faktor yang kelima adalah analisa kelembagaan atau model kelembagaan. Ini dimaksudkan untuk mendapatkan model atau format kelembagaan yang efektif terhadap kondisi wilayah kerjasama serta kapasitas dari daerah yang bekerjasama (SDA, Keuangan dan SDM). Tidak selalu lembaga yang memiliki fungsi yang kuat dan otonom menjadi sebuah model lembaga yang ideal. Pada kasus RM BARLINGMASCAKEB di wilayah Jawa Tengah, pada saat ini dengan kapasitas yang ada, peran-peran koordinatif menjadi lebih tepat, dibandingkan ketika lembaga terebut diberikan kewenangan dan fungsi kelembagaan yang lebih tinggi, tapi berbeda bagi BKSP Jabodetabekjur kebutuhan
148
Merajut Kepentingan, Menebar Kesejahteraan: Upaya Peningkatan Pelayanan Dasar Melalui Kerjasama Antar Daerah
peningkatan kewenangan lembaga hingga law enforcement menjadi sebuah keniscahyaan pada kapasitas nya saat ini. Untuk memperkuat proses analisa, ada baiknya menjadikan beberapa pengalaman kelembagaan kerjasama antar daerah di negara lain sebagai referensi. Sebagai contoh, bentuk kerjasama Cooperation Board atau Working Group (dewan kerjasama) di wilayah Frankfurt Jerman, dimana dewan hanya merupakan kesepakatan kerjasama tanpa perlimpahan tanggung jawab ataupun wewenang, bentuk lain juga bisa kita lihat Special Purpose Association yang diterapkan di wilayah Cologne Jerman, dimana pada bentuk kelembagaan seperti ini pemerintah daerah melimpahkan tanggung jawab dan wewenang khusus kepada asosiasi, dan begitu juga dengan bentuk kelembagaan kerjasama di SALGA Afrika Selatan, Sound Transit di Washington, LAA di Korsel serta LCP di Filipina. Semuanya memiliki pola berdasarkan kapasitas daerah serta kebutuhan yang akan dikerjasamakannya. Faktor keenam yang juga sangat menentukan keberhasilan adalah adanya Champion, yaitu satu aktor yang berfungsi sebagai penggerak, memotivasi, mendorong tahap awal atau pada saat sudah berjalan proses Kerjasama Antar Daerah. Pentingnya aktor yang berperan tersebut sangat dibutuhkan didalam memulai dan mengawal berjalannya proses kerjasama. Aktor / champion tersebut akan mempengaruhi dan mendorong pimpinan daerah lainnya untuk terlibat aktif didalam mengawal kerjasama antar daerah – dengan selalu memonitoring perkembangan kepada SKPD atau tim yang terlibat di dalam operasional kerjasama yang sedang dilaksanakan
Berbagi Peran dalam Penguatan KAD Kerjasama Antar Daerah merupakan sebuah proyek bersama, yang melibatkan lebih dari satu pihak, Baik itu antar pemerintah daerah maupun dengan pihak ketiga sebagai pelaksana dari program yang menamakan sebuah kerjasama antar daerah. Dalam proses yang pernah dilakukan - beberapa elemen yang dianggap sebagai aktor kunci adalah Pemerintah daerah kab/kota, pemerintah provinsi, Pemerintah pusat serta pihak ketiga yang memiliki komitmen serta kompetensi terhadap isu yang akan dikerjasamakan – baik itu masyarakat setempat, masyarakat usaha maupun lembaga-lembaga non pemerintah. Gambaran peran-peran apa saja yang diperlukan oleh masing-masing elemen tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
149
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
Peran pemerintah daerah kab/kota adalah keberpihakan atau komitmen kepala daerah (eksekutif dan legislatif ) terhadap isu kerjasama antar daerah. Hal lain yang juga merupakan bagian peran dari pemerintah daerah yang dapat mendukung kerjasama antar daerah adalah pengalokasian sumber daya daerah yang dimiliki serta kejelasan terhadap kebutuhan daerah atas kerjasama (Warsono, 2009). Sedangkan menurut Pratikno dan Masudi (2007) pemerintah kab/kota perlu juga mempersiapkan format kelembagaan yang sesuai dengan tujuan atau misi pembentukan dengan melibatkan stakeholder. Pada kasus perlunya sebuah aturan pengelolaan keuangan daerah yang spesifik mengenai kerjasama antar daerah, maka perlunya peran kab/kota di dalam mendorong kementrian terkait dan Badan Pengawasan yang berkompeten untuk dapat segera memberikan kejelasan kepada daerah-daerah mengenai pengelolaan keuangan terhadap kerjasama antar daerah. Peran Pemeritah Provinsi adalah memberikan insentif program pembangunan bagi kerjasama antar daerah, Penguatan kapasitas perencanaan dan pelaksanaan program bagi implementator (Dewan Eksekutif, Regional Manager, Koordinator forum, dsb), bagi wilayah yang memiliki bakorlin/bakorwil - lembaga tersebut perlu dikuatkan sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah provinsi, memfasilitasi PP 50/2007 kepada kab/kota diwilayahnya mengenai tata cara pelaksanaan kerjasama antar daerah, Mendukung sinkronisasi musrenbangreg (bagi wilayah yang memiliki mekanisme musrenbangreg) dengan program kab/kota dan provinsi. Selain itu, menurut Pratikno dan Masudi (2007) terkait dengan aspek legal, provinsi bisa melakukan supervisi untuk memastikan bahwa kerjasama antar daerah otonom berada dalam koridor perundangan yang ada. Peran Pemerintah Nasional adalah Berdasarkan kendala yang ditemui dalam proses pengembangan Kerjasama Antar Daerah, tentunya peran pemerintah lebih mengarah pada mempersiapkan peraturan-peraturan terkait seperti yang telah diamanatkan dalam kebijakan terdahulunya, baik yang berupa tata cara pembinaan dan pengawasan umum maupun mengenai pengelolaan keuangan daerah yang secara spesifik mengatur kerjasama antar daerah. Peran Masyarakat dan lembaga non pemerintah adalah memastikan bahwa isu-isu yang dipilih untuk dikerjasamakan adalah benar-benar berangkat dari sebuah kebutuhan dan memiliki tujuan memperbaiki kualitas kesejahteraan masyarakat, memastikan konsistensi antara perencanaan yang dibangun sejalan dengan perencanaan pembangunan daerah yang ada dan atau memastikan terintegrasinya isu yang akan dikerjasamakan kedalam sistem perencanaan daerah (RPJMD, RKPD), memastikan konsistensi antara perencanaan dan penganggaran
150
Merajut Kepentingan, Menebar Kesejahteraan: Upaya Peningkatan Pelayanan Dasar Melalui Kerjasama Antar Daerah
terhadap program yang dikerjasamakan. Peran lain yang kerapkali di lakukan oleh lembaga pendana adalah melakukan asistensi terhadap daerah didalam membangun kelembagaan yang sesuai dengan kapasitas daerah dengan mengedepankan asas good governance, melakukan peningkatan kapasitas bagi sumberdaya manusianya, dan memberikan dukungan dana operasional pada tahap awal lembaga kerjasama antar daerah itu berdiri.
Pentahapan Proses Menuju Perbaikan Kualitas Pelayanan Dasar : dalam Bingkai Kerjasama Proses yang hingga kini dilakukan merupakan hasil pembelajaran dari waktu ke waktu – dari wilayah ke wilayah lain atas bingkai sebuah kerjasama antar daerah. Isu kerjasama pada sektor ekonomi selalu lebih seksi dibandingkan mengeksplorasi sebuah kerjasama antar daerah dalam sektor pelayanan dasar, seperti kesehatan, pendidikan, tenaga kerja dan lainnya. Tapi secara garis besar, mekanisme dan proses inisiasi kerjasama antar daerah serta tantangan yang dihadapi pengelolaan kerjasama antar daerah hampir memiliki kesamaan. Dari praktek-praktek kerjasama antar daerah yang telah ada, maka upaya peningkatan kualitas pelayanan dasar dalam bingkai kerjasama menjadi lebih mudah. Karena tinggal mengikuti tahapan-tahapan yang pernah dilakukan sebelum – tentunya dengan pembelajaran strategi didalam menghadapi kendala. Secara singkat proses kerjasama antar daerah pada sektor pelayanan dasar dimulai dari tahap pertama, membangun komitmen pimpinan-pimpinan daerah yang kemudian diikat dalam dokumen kesepahaman antar daerah; tahap kedua, perlu sebuah identifikasi berdasarkan kajian dengan menggunakan metode yang ada baik itu CBNA maupun SKAD untuk mendapatkan kebutuhan / objek yang akan dikerjasamakan dan tentunya perlu diprioritaskan dan disinergiskan berdasarkan perencanaan pembangunan daerah. Khususnya terkait dengan pelayanan dasar yang telah memiliki Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat, maka proses pengintegrasian strategi pencapaian SPM regional perlu dilakukan kedalam perencanaan pembangunan daerah (RPJMD atau RKPD); tahap ketiga, Upaya ini kemudian dilanjutkan dengan proses penganalisisan bentuk lembaga yang sesuai dengan kapasitas daerah. Bisa berbentuk Regional Manajemen, Sekretariat Bersama, Forum dsb. Dan semuanya itu dilakukan dengan menjadikan prinsip good governance sebagai rujukan dalam penerapannya. Tahap keempat, adalah adanya rumusan visi, misi, strategi serta kegiatan bersama dengan membangun kerangka kerja, rencana kerja, pembagian peran dan tanggung
151
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
jawab serta mekanisme pengawasan dan pelaporan. Dan tahap kelima adalah proses pengawasan serta evaluasi terhadap proses yang dilakukan berdasarkan perencanaan yang telah disepakai bersama – proses pengawasan ini tentunya melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan terhadap isu yang dikerjasamakan. Namun kembali kita katakan bahwasanya sebuah aksi terhadap kata-kata yang tersepakati dan catatan pengalaman tertulis ini tentu lebih menarik dan penuh kompleksitas – selamat mencoba. ]]]
152
Coopetition Strategy dalam Pengembangan Jaringan Kerjasama Kawasan Perkotaan: Sebuah Pemikiran dalam Upaya Memperkuat Integrasi Kota di Indonesia* Desy Hariyati**
u “I believe we have to stop thinking in terms of hierarchical layers and start thinking, instead, of a networking arrangement, with all levels of governance shaping, proposing, implementing and monitoring policy together.” (President of the European Commission)
M
***
enghadapi perkembangan dan kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks seperti saat ini memang tidak dapat dipenuhi jika masingmasing daerah masih mengandalkan ego mereka sendiri. Sudah saatnya kita mulai berpikir untuk berbagi dan bekerjasama dalam menyelesaikan permasalahan dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Lantas bagaimana dengan yang terjadi di Indonesia? Apa dampak dari diterapkannya otonomi? Dan langkah apa yang harus kita lakukan untuk mengatasi dampak yang ada? Tulisan ini setidaknya akan mengulas permasalahan tersebut
Otonomi Daerah dan Pemekaran Wilayah Arus perubahan yang terjadi dewasa ini mendorong munculnya tuntutan akan adanya demokratisasi dari seluruh masyarakat di dunia. Masyarakat semakin menyadari perlunya keterlibatan mereka dalam kancah pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan. Maka tidak mengherankan jika saat ini sebagian besar negara di dunia mulai berbenah diri dengan melakukan reformasi politik dan pelaksanaan demokrasi yang berujung pada pemberdayaan pemerintah lokal. Begitu *
Pemenang lomba penulisan artikel Sewindu KPPOD Tahun 2009 kategori mahasiswa untuk tema Otonomi Daerah dan Penguatan Kerja Sama Antar Daerah * * Mahasiswi Program Studi Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
pula yang terjadi di Indonesia, setelah lebih dari 30 tahun berada dalam sistem yang sentralistis, reformasi telah membawa perubahan bagi kehidupan demokrasi dan penyelenggaraan pemerintahan. Diberlakukannya undang-undang tentang pemerintahan daerah yaitu UU No.22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU No.32 Tahun 2004 membawa perubahan yang sangat penting dan fundamental bagi penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Kedua undang-undang tersebut turut mengubah tata hubungan pusat-daerah yang sebelumnya diatur dalam Undang-undang No.5 Tahun 1974 sangat bernuansa sentralistik, kemudian muncul adanya shifting of power dari pusat ke daerah. Sebagai konsekuensi logis adalah diterapkannya kebijakan desentralisasi disertai dengan pemberian otonomi kepada daerah. Pelaksanaan desentralisasi sebagai azas dalam penyelenggaraan pemerintahan didasari oleh fakta bahwa tidak semua urusan pemerintahan dapat diselenggarakan secara sentralistis, mengingat perkembangan yang kompleks di berbagai bidang serta adanya tuntutan demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Selain itu, fakta bahwa daerah lebih mengetahui kebutuhan dan potensinya masingmasing turut memperkuat urgensi pelaksanaan otonomi daerah. Mengutip pendapat Salam (2004:11), secara konsepsi pemberian otonomi kepada daerah harus memberikan motivasi, memberdayakan, dan membangkitkan prakarsa serta mendorong partisipasi masyarakat dalam upaya pembangunan, sehingga otonomi akan menumbuhkan kemandirian dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Namun, terkait dengan kewenangan tersebut tiap daerah harus tetap tunduk terhadap koridor kebijakan pemerintah pusat. Terlebih dalam negara kesatuan, otonomi yang dimiliki daerah bukanlah suatu yang original, melainkan pelimpahan dari pemerintah pusat. Di sisi lain, fenomena perubahan paradigma yang fundamental dan kurang diimbangi dengan “persiapan” dan “kesiapan” yang cukup dari berbagai daerah telah menimbulkan problematik yang kompleks dalam implementasi otonomi daerah. Ego daerah yang memandang otonomi sebagai “kebebasan seluas-luasnya”, menyebabkan daerah cenderung menutup diri, tidak mau berbagi, dan merasa mampu mengurus segala kebutuhan tanpa pihak lain. Meskipun pelaksanaan otonomi daerah disisi lain telah membawa suasana berkembangnya dinamika demokratisasi ditandai dengan antusiasme tokoh-tokoh elit lokal, namun harus diakui pula, kadang-kadang antusiasme itu mengarah kepada berkembangnya euphoria, yakni memberikan makna otonomi daerah secara sepihak untuk kepentingan yang subyektif. Tidak sedikit elit lokal yang memanfaatkan peluang
154
Coopetition Strategy Dalam Pengembangan Jaringan Kerjasama Kawasan Perkotaan: Sebuah Pemikiran Dalam Upaya Memperkuat Integrasi Kota Di Indonesia
otonomi untuk memperkaya diri. Sehingga tidak mengherankan jika banyak pihak berpendapat bahwa otonomi daerah hanya memindahkan lokus korupsi dari pusat ke daerah. Isu lain yang kemudian muncul adalah permintaan akan adanya pemekaran yang justru menjadi bumerang bagi masyarakat di daerah. Terkait dengan maraknya korupsi di tingkat lokal, pemekaran dinilai sebagai cara legal mengakses uang negara. Maraknya tuntutan pemekaran daerah dan kegagalan otonomi daerah, terutama berkaitan dengan pemenuhan hak-hak dasar rakyat, menjadi topik utama dalam kaitannya dengan hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Tuntutan pemekaran daerah menjadi salah satu isu hangat yang muncul di tengah maraknya pelaksanaan otonomi daerah. Kenyataan bahwa otonomi daerah juga melibatkan distribusi dana dalam jumlah yang cukup besar juga telah membuat tuntutan ini semakin menarik bagi para elit lokal. Fenomena yang terjadi saat ini, semakin “jauh” perjalanan otonomi, semakin banyak pula daerah otonom yang berdiri. Meskipun dengan alasan pemenuhan demokrasi di tingkat lokal, namun dampak negatif yang tidak dapat kita pungkiri adalah semakin lemahnya basis masing-masing daerah. Kenyataan ini diperkuat oleh hasil studi yang dilakukan United Nations Development Program (UNDP) dan Bappenas yang dilakukan di enam provinsi dan 72 kabupaten/kota menyimpulkan bahwa kondisi daerah-daerah pemekaran di Indonesia lebih buruk dibandingkan dengan daerah induk. Pelayanan publik justru tidak membaik, kesejahteraan rakyat semakin menurun, dan ekonomi daerah pemekaran tidaklah seperti yang diharapkan, justru menciptakan ketergantungan yang tinggi terhadap pusat melalui Dana Anggaran Umum (DAU) dan Dana Anggaran Khusus (DAK). Ironisnya, hal ini sangat kontraproduktif dengan harapan otonomi daerah dan esensi dari pemekaran itu sendiri. Dinamika perkembangan hubungan pusat-daerah yang melahirkan pemerintahan daerah tidak hanya terjadi di negara kesatuan, tetapi juga pada negara-negara dengan struktur federal (Prasojo, dkk, 2006:80). Namun terdapat perbedaan yang cukup bertolak belakang dalam perkembangan pemerintahan daerah di negara federal dengan di Indonesia. Kecenderungan yang terjadi di negara-negara federal seperti Uni Eropa, justru mengarah pada upaya integrasi beberapa negara, bukan pada pemekaran wilayah seperti yang terjadi di Indonesia yang justru dalam jangka panjang dikhawatirkan mengarah pada disintegrasi bangsa.
155
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
Munculnya kekhawatiran akan terjadinya disintegrasi bangsa karena melemahnya hubungan dan ketergantungan antar daerah harus disikapi dengan bijak. Sudah seharusnya masing-masing daerah menghilangkan ego kedaerahan dan memikirkan cara tepat untuk menyelaraskan hubungan yang ada dengan berorientasi pada kebutuhan masyarakat. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menjalin kerjasama berbagai daerah dalam melakukan pembangunan dan pelayanan publik. Kerjasama antar pemerintah daerah dalam era otonomi daerah merupakan isu penting yang perlu diperhatikan pemerintah saat ini mengingat perannya dalam menentukan ketahanan negara, dan melihat begitu banyak masalah dan kebutuhan masyarakat di daerah yang harus dipenuhi dengan melewati batas-batas wilayah administratif. Kerjasama antar daerah atau oleh Paterson disebut dengan intergovernmental cooperation, didefinisikan sebagai “an arrangement between two or more governments for accomplishing common goals, providing a service or solving a mutual problem (David A. Paterson:1998).” Pengertian tersebut mengisyaratkan bahwa kerjasama antar daerah dilakukan untuk mencapai tujuan bersama dan mencari solusi bersama mengenai permasalahan yang terjadi di masyarakat. Kerjasama antar daerah pada dasarnya telah diatur dalam Pasal 145 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, Pemerintah Daerah dapat mengadakan kerjasama dengan daerah-daerah lainnya, dengan efektifitas pelayanan publik, sinergi dan saling menguntungkan. Untuk mensukseskan kerjasama ini diperlukan identifikasi isu-isu strategis, bentuk atau model kerjasama yang tepat, dan prinsip-prinsip yang menuntun keberhasilan kerjasama tersebut. Sedangkan mengenai tata caranya, beberapa substansi penting telah diatur dalam PP 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah, antara lain: Kerjasama daerah dilakukan dengan prinsip efesiensi, efektivitas, sinergi, saling menguntungkan, kesepakatan bersama, itikad baik, mengutamakan kepentingan nasional dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kesamaan kedudukan, transparansi, keadilan dan kepastian hukum (pasal 2), Obyek kerjasama daerah adalah seluruh urusan pemerintahan yang telah menjadi kewenangan daerah otonomi dan dapat berupa penyediaan pelayanan publik (pasal 4), serta kerjasama daerah dituangkan dalam bentuk perjanjian kerjasama (pasal 5). Dengan demikian, secara legal kerjasama antar daerah telah memiliki aturannya, tinggal mencari bagaimana bentuk/model yang tepat untuk dikembangkan.
156
Coopetition Strategy Dalam Pengembangan Jaringan Kerjasama Kawasan Perkotaan: Sebuah Pemikiran Dalam Upaya Memperkuat Integrasi Kota Di Indonesia
Urgensi Kerjasama Kawasan Perkotaan Kota sebagai sebuah daerah otonom perlu mendapat perhatian istimewa mengingat laju urbanisasi yang tak terbendung dewasa ini. Kota menjadi tujuan masyarakat urban karena pertumbuhan dan perkembangannya yang sangat menarik. Kota juga cenderung mampu menyediakan kebutuhan masyarakat akan adanya fasilitas publik yang memadai. Sehingga kota seakan-akan menjadi magnet yang menarik penduduk untuk mendekatinya. Alhasil, kini lebih dari separuh penduduk dunia tinggal di perkotaan, dan diperkirakan jumlah mereka akan terus membengkak hingga mencapai dua pertiga total penduduk dunia menjelang tahun 2025. Tingginya tingkat pertambahan penduduk di perkotaan, berdampak pada semakin besarnya beban kota dalam menyelenggarakan pelayanan. Pesatnya arus urbanisasi ini menimbulkan tekanan yang sangat hebat terhadap kota-kota di dunia, sementara pada saat yang sama menyodorkan peluang untuk meningkatkan layanan kesehatan, pendidikan, dan manajemen lingkungan. Bukti nyata yang saat ini dapat kita lihat adalah perkembangan Kota Jakarta yang semakin tidak terkendali. Ada korelasi antara tingginya tingkat kepadatan penduduk kota dengan tingginya tingkat tantangan dan masalah-masalah sosial Kota Jakarta dan kotakota di sekitarnya. Masalah itu mulai dari masalah penggunaan lahan, perencanaan dan penyediaan sarana prasarana transportasi, penyediaan air bersih, penanggulangan banjir, penanganan sampah, kerawanan sosial, sampai penanganan sumber daya alam dan lingkungan hidup, yang menjadi tatanan kehidupan warga sekarang dan yang akan datang. Fenomena seperti itu sebenarnya sudah tergambar dengan tingginya tingkat kerusakan, pencemaran, dan degradasi lingkungan hidup. Dengan kondisi seperti itu maka sudah dipastikan daya dukung dan daya tampung wilayah Jakarta untuk menopang pembangunan sudah tidak mampu lagi. Beban kota yang semakin berat dalam menampung pesatnya pertumbuhan penduduk disisi lain berdampak pula ke daerah-daerah di sekitarnya. Dampak ini sangat sulit untuk dicegah sebagai konsekuensi kebijakan dan tindakan pembangunan sosial-ekonomi dan pembangunan fisik yang telah dan sedang berjalan selama ini. Maka dari itu, tindakan yang mungkin dilakukan adalah perencanaan, penyelarasan pembangunan, dan penanganan masalah fisik maupun sosial dan ekonomi dari kota-kota yang saling terkait. Upaya tersebut tidak mungkin dilakukan secara parsial oleh pemerintah kota secara sendiri-sendiri. Dalam hal ini memang sangat diperlukan kehadiran suatu kelembagaan beserta mekanisme integrasi yang sesuai bagi pengelolaan pengembangan jaringan kerjasama kawasan
157
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
perkotaan tersebut. Maka dari itu, salah satu bentuk kerjasama antar daerah yang harus segera diwujudkan adalah kerjasama kawasan perkotaan. Kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman perkotaan, pemusatan, dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi (Prasojo, dkk, 2006). Kawasan perkotaan dalam hal ini bukan dilihat sebagai kawasan kota secara individual tetapi juga sebagai bagian dari sistem pengembangan wilayah. Oleh karena itu, pengelolaan kawasan perkotaan perlu dilakukan secara terencana dengan memperhatikan keserasian dan keterpaduan pembangunan antar kota yang terlibat. Konsep pengembangan jaringan kerjasama kawasan perkotaan oleh sebagian orang dikenal dengan istilah megalopolitan. Istilah ini pertama kali dikemukakan oleh Jean Gottmann pada tahun 1961 melalui bukunya yang berjudul “Megalopolis: The Urbanized Northeastern Seaboard of The United States.” Jean Gottmann menggambarkan perkembangan wilayah urban yang sangat pesat pada bentangan (koridor) perkotaan di pantai timur Amerika Serikat sepanjang 600 mil, meliputi Washington DC, Baltimore, Philadelphia, New York, dan Boston, dengan jumlah penduduk perkotaan yang telah mencapai lebih dari 35 juta jiwa pada saat itu. Di Indonesia, ide pengembangan kerjasama kawasan perkotaan sebenarnya bukan merupakan hal baru lagi mengingat ide tersebut pernah dipopulerkan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso. Sutiyoso dengan konsep megapolitannya berkeinginan untuk melakukan penataan ruang wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur ( Jabodetabekjur). Terlepas dari pro-kontra yang ada, konsep tersebut sedang dirancang untuk diimplementasikan. Jabodetabekjur sebagai salah satu jaringan kawasan perkotaan sudah lama direncanakan secara formal melalui keppres sebagai kawasan yang harus dibangun secara terencana dan terpadu. Akan tetapi, dalam kenyataannya, kawasan ini telah tumbuh menjadi kawasan yang disharmoni, baik dari aspek pembangunan wilayahnya maupun penataan ruang. Tidak terjalin adanya keserasian dalam pembangunannya. Dalam merencanakan sebuah kawasan terpadu Jabodetabekjur sudah sepatutnya semua wilayah yang disatukan tersebut mendapat imbas positif bagi masyarakatnya bukan hanya untuk kepentingan satu wilayah. DKI Jakarta beserta kawasan penyangganya, secara fungsional harus dilihat sebagai suatu kesatuan, karena terjadinya interaksi harian yang sangat intensif antara Kota Jakarta dengan kawasan penyangganya. Hal ini secara jelas dicerminkan dari laju pergerakan penduduk sehari-hari. Jabodetabekjur merupakan konsentrasi
158
Coopetition Strategy Dalam Pengembangan Jaringan Kerjasama Kawasan Perkotaan: Sebuah Pemikiran Dalam Upaya Memperkuat Integrasi Kota Di Indonesia
utama kawasan perkotaan di Indonesia dengan berbagai permasalahannya, dimana pada saat ini sekitar 20 juta penduduk perkotaan (kira-kira merupakan 20 persen dari jumlah penduduk perkotaan di Indonesia) berada di kawasan ini. Untuk itu, diperlukan kebijakan penyatuan dan perencanaan tata ruang kawasan penyangga berupa kawasan terpadu dalam satu kesatuan rencana induk (master plan) yang terintegrasi. Keterlibatan wilayah-wilayah tersebut tetap harus memperhatikan segala aspek dan faktor dalam satu rangkaian yang komprehensif. Melihat perkembangan yang ada, konsep pengembangan kerjasama kawasan perkotaan di Indonesia sampai saat ini masih sebatas wacana. Namun, jika kita lihat di negara lain terutama di negara-negara maju dimana pertumbuhan kota tak dapat dipungkiri, maka konsep kerjasama antar kota pun menjadi suatu kebutuhan. Konsep ini antara lain telah berkembang kuat di kawasan Eropa dan salah satu negara yang telah menerapkannya adalah Jerman. Pada tahun 2001, Jerman telah mulai mengembangkan model kerjasama antar kota metropolitan yang disebut dengan “Network of German Metropolitan Regions.” Pada tahun 2001, wilayah metropolitan yang terdiri dari Berlin-Brandenburg, Frankfurt/ Rhine-Main, Hamburg, Hanover, Munich, Rhine-Ruhr, Stuttgart dan Halle/ Leipzig-Sachsendreick (Saxon triangle) memulai kerjasamanya dibawah “Initiativkreis Metropolregionen in Deutschland” (Network of German Metropolitan Regions). Pembentukan “Network of German Metropolitan Regions” antara lain bertujuan untuk merumuskan self-perception wilayah metropolitan di Jerman, meningkatkan kemampuan untuk berkompetisi di tingkat Eropa, memperbaiki konsep kekuatan sistem daerah metropolitan di Jerman dan mengaplikasikannya dalam praktek, serta memperkenalkan bentuk kerjasama tersebut dengan mentranformasikannya ke dalam sebuah jaringan yang permanen. Konsep ini secara umum merupakan upaya koordinasi kebijakan berbagai negara yang terlibat seperti dalam bidang kesejahteraan sosial, imigrasi, pendidikan, dan penelitian. Dalam implementasi “Network of German Metropolitan Regions”, terdapat empat model kerjasama yang dikembangkan. Model pertama disebut dengan cooperation in task related associations, cocok diterapkan untuk mengatasi suatu masalah yang spesifik. Kedua, regional associations, merupakan model yang paling sering dikembangkan bagi kawasan perkotaan. Anggotanya adalah seluruh wilayah yang terintegrasi dan asosiasi yang terbentuk berperan sebagai “payung” yang melingkup wilayah-wilayah di bawahnya. Model ketiga adalah regional authorities, dimana masing-masing daerah secara hukum bersifat independen sedangkan kewenangan
159
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
daerah dikombinasikan. Model ini mencakup adanya pembatasan secara politis dan geografis. Model terakhir adalah cross border regions, yang mencakup lebih dari satu teritorial sehingga mencakup level pemerintahan yang lebih tinggi. Belajar dari pengalaman upaya integrasi di Uni Eropa tidak ada salahnya jika Indonesia melakukan hal yang sama. Tentunya substansi maupun metodenya perlu disesuaikan dengan kondisi daerah di Indonesia. Penulis dalam hal ini tidak akan menggunakan istilah megalopolitan maupun megapolitan dalam membahas mengenai integrasi kawasan perkotaan. Jika dilihat dari secara teoritis, kawasankawasan perkotaan di Indonesia yang mulai terbentuk pada saat ini belum merupakan suatu megalopolitan dalam arti sesungguhnya, namun yang jelas wilayah ini telah menjadi suatu konsentrasi perkotaan yang sangat luas dengan segala kompleksitas permasalahannya.
Penerapan Coopetition Strategy dalam Jaringan Kerjasama Kawasan Perkotaan Salah satu bentuk kerjasama yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan kompetensi daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pelayanan publik sekaligus mendorong kemampuan daerah untuk berkompetisi khususnya di tingkat nasional adalah dengan mengembangkan suatu model yang disebut dengan coopetition strategy. Konsep ini mulanya dikembangkan di dunia bisnis untuk meningkatkan persaingan dengan cara kerjasama antar perusahaan. Namun melihat core model yang dikembangkan, maka coopetition strategy-pun dapat diterapkan di dunia pemerintahan untuk menjalin kerjasama antar daerah sekaligus menciptakan persaingan yang sehat dengan tetap mengutamakan integrasi bangsa. Penerapan bentuk kerjasama ini disisi lain juga bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik mengingat semakin kompleksnya tuntutan dan kebutuhan masyarakat terhadap layanan pemerintah. Coopetition strategy berawal dari sebuah lingkungan kompetisi lengkap dengan seperangkat strategi bersaing yang berpijak pada keunggulan kompetitif masingmasing perusahaan dan kerjasama akan muncul pada saat para pemain di dalam kompetisi tersebut berusaha menguasai pasar (Dagnino dan Giovanna 2002, dalam Nugroho, dkk, 2008). Secara sederhana dapatlah dikatakan bahwa coopetition strategy merupakan suatu hubungan kerjasama antar dua organisasi atau lebih di dalam lingkungan yang saling mempengaruhi melalui keunggulan kompetitif masing-masing organisasi dalam suatu peta persaingan. Karena itulah “coopetition” muncul, sebagai kombinasi sinergis antara strategi bersaing (competitive) dan bekerja
160
Coopetition Strategy Dalam Pengembangan Jaringan Kerjasama Kawasan Perkotaan: Sebuah Pemikiran Dalam Upaya Memperkuat Integrasi Kota Di Indonesia
sama (cooperation). Maka dari itu, faktor pendorong atau yang bisa dikatakan juga sebagai motivasi untuk melakukan kerjasama dengan pesaing, pada kenyataannya berpijak diatas dua paradigma yang bertolak belakang yaitu paradigma persaingan dan paradigma kerjasama. Dalam konteks penyelenggaraan kerjasama kawasan perkotaan, maka strategi tersebut dapat diterapkan dengan perjanjian kerjasama antar beberapa kota yang terintegrasi. Karena mengandung makna bersaing, maka kota-kota yang bekerjasama pun tentunya kota dengan karakteristik yang mirip dan kondisi serta potensi yang mirip pula. Maka dari itu, dalam pengembangan kerjasama kawasan perkotaan, sangat dimungkinkan untuk mengadopsi penerapan coopetition strategy mengingat kondisi dan karakteristik wilayah perkotaan yang hampir seragam. Bradenburger dan Nalebuff (1997) dalam Nugroho, dkk (2008) memilah coopetition strategy ke dalam lima tahapan, yaitu: mengetahui pemain, mengidentifikasi added value, differentation through loyalty, rencana apabila tidak mempunyai added value, dan membuat check list untuk suatu perubahan. Penulis selanjutnya akan memaparkan penerapan pengembangan jaringan kerjasama kawasan perkotaan ke dalam masing-masing tahapan tersebut. Tahap pertama dalam merencanakan pengembangan kerjasama kawasan perkotaan adalah mengetaui pemain. Pemain dalam hal ini merupakan seluruh pihak yang terlibat dalam pengembangan jaringan kerjasama yang akan dilakukan, baik dari pihak pemerintah maupun diluar pemerintah. Pihak yang terlibat diantaranya adalah instansi pemerintah di masing-masing daerah, DPRD setempat, penyusun desain tata ruang, para pelaku bisnis serta seluruh masyarakat yang ada di dalamnya. Selain itu, untuk mengkoordinir pelaksanaan kerjasama maka diperlukan adanya suatu lembaga/badan kerjasama yang bertugas menghubungkan antar pihak yang ada. Sebagai contoh, badan kerjasama yang telah terbentuk adalah Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP) Jabodetabekjur. Pada prinsipnya, BKSP merupakan satu-satunya badan yang bertanggungjawab atas koordinasi interregional dan inter-sektoral baik antara pemerintah pusat dan instansi-instansi lain yang terlibat dalam pembangunan Jabodetabekjur. Masing-masing pihak harus mampu melaksanakan tugas yang menjadi bagiannya dengan tetap berpegang pada sistem kooperatif yang telah dibangun. Selanjutnya adalah mengidentifikasi added value. Setelah para pihak yang terlibat dapat diketahui dengan jelas, maka tahap selanjutnya adalah mengidentifikasi added value. Yang dimaksud dengan added value dalam kerjasama ini adalah keunggulan yang dimiliki masing-masing kota. Keunggulan disini juga
161
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
dapat berarti kemampuan daerah dalam melakukan inovasi. Keunggulan bersaing harus ditonjolkan agar kota dapat berkompetisi secara sehat dalam menyelenggarakan pemerintahan dan memenguhi kebutuhan masyarakatnya. Keunggulan dapat berbentuk kemampuan kota dalam menyediakan pelayanan seperti transportasi yang berkualitas, pengelolaan sampah, pengolahan limbah, penyediaan taman kota, pusat budaya dan rekreasi, penyediaan pemukiman yang layak, dan lain-lain. Keunggulan kota sudah seharusnya diarahkan pada upaya meningkatkan daya tarik daerahnya sehingga meskipun dalam suasana kerjasama tetap mampu berkompetisi. Dalam konteks kerjasama, keunggulan suatu kota dalam bidang tertentu dapat menjadi modal dalam menyediakan layanan tersebut bagi seluruh wilayah yang terintegrasi. Dengan demikian, akan terbentuk suatu “spesifikasi wilayah.” Tahap ketiga adalah differentation through loyalty. Dalam dunia bisnis, konsep ini mengacu pada loyalitas perusahaan kepada pelanggan. Maka dalam konteks integrasi kota, masing-masing wilayah harus mampu menyediakan pelayanan terbaik bagi stakeholders-nya. Begitu pula pada saat perjanjian kerjasama telah terealisasi, bentuk baru yang ada harus mampu mengakomodir kebutuhan masyarakat yang berada di dalam jaringan kerjasama tersebut. Selain itu, juga ada beberapa hal yang harus dilakukan seperti: merestrukturisasi organisasi, menciptakan aturan-aturan baru antara kedua belah pihak, membuat inovasi baru, maupun menyusun ulang kontrak kerjasama untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Tahap selanjutnya adalah rencana apabila tidak mempunyai added value. Apabila terdapat suatu wilayah yang tidak memiliki keunggulan bersaing, maka cara lain yang dapat dilakukan adalah skenario cost and benefit dan negosiasi. Dalam keadaan seperti ini, suatu kota sebaiknya menyediakan pelayanan yang memang mampu diberikan, disesuaikan dengan biaya yang dikeluarkan untuk menyediakan layanan tersebut. Selebihnya, kota lain dalam jaringan kerjasama yang akan menyediakan layanannya. Sebagai contoh, layanan transportasi. Dalam konteks integrasi, tidak seluruh kota harus menyediakan secara terpisah melainkan harus dibangun suatu sistem transportasi terpadu antar wilayah. Membuat check list untuk suatu perubahan. Tahap terakhir yang perlu dilakukan adalah perubahan di berbagai bidang yang terkait dengan kerjasama. Perubahan ini antara lain terkait dengan penyusunan kebijakan baru yang mencakup seluruh wilayah yang terintegrasi. Perubahan juga mencakup bentuk layanan baru dimana
162
Coopetition Strategy Dalam Pengembangan Jaringan Kerjasama Kawasan Perkotaan: Sebuah Pemikiran Dalam Upaya Memperkuat Integrasi Kota Di Indonesia
setelah seluruh kota terintegrasi, sebagian layanan publik juga harus terintegrasi sesuai dengan perjanjian yang telah ditentukan. Setelah tahap-tahap diatas dapat dilewati dengan jelas, maka tinggal mencari tipe coopetition yang tepat untuk diimplementasikan. Untuk mengembangkan kerjasama kawasan perkotaan, dapat mencontoh salah satu model yang diterapkan dalam “Network of German Metropolitan Regions” yaitu regional associations. Untuk mewujudkannya, maka dibutuhkan adanya suatu badan kerjasama yang terintegrasi yang terdiri dari perwakilan-perwakilan yang dipilih secara langsung atau ditugaskan oleh pemerintah daerah yang bergabung di dalamnya. Badan ini selanjutnya bertanggungjawab bagi penyediaan pelayanan yang terintegrasi serta fungsi perencanaan dan pembangunan wilayah-wilayah di dalamnya. Badan kerjasama ini harus mampu memayungi pelayanan dan pembangunan yang diintegrasikan. Sehingga kawasan terpadu pun dapat terwujud, baik bagi kawasan perkotaan yang saat ini mulai terbentuk maupun kawasan perkotaan di masa mendatang. Terakhir, apabila seluruh daerah di Indonesia mau dan mampu berintegrasi dalam melakukan pelayanan dan pembangunannya, kekhawatiran terhadap disintegrasi bangsa pun dapat diredam. Masyarakat pun akan merasakan manfaatnya, karena pelayanan publik menjadi lebih efektif dan efisien. Bagi wilayah yang terintegrasi, kompetensi masing-masing juga dapat terus ditingkatkan karena berada dalam lingkungan yang kompetitif. Semoga seluruh pemerintah daerah di Indonesia mau melakukan perubahan menuju Indonesia bersatu. ]]] Daftar Pustaka: Malarangeng, Andi, dkk. (2001). Otonomi Daerah Perspektif Teoritis dan Praktis. Yogyakarta: BIGRAF Publishing. Nugroho, dkk. (2008). Coopetition Strategy: Sebuah Permulaan. The 2nd National Conference UKWMS. Surabaya, 6 September 2008 Prasojo, Eko, Irfan Ridwan Maksum, dan Teguh Kurniawan. (2006). Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah: Antara Demokrasi Lokal dan Efisiensi Struktural. Depok: DIA FISIP UI. Technical University of Berlin. (2003). Model project “Regions of the Future” Initiativkreis Europäischer Metropolregionen in Deutschland (Network of German Metropolitan Regions). Faculty VII–Architecture, Environment, Society. Syafrudin, Ateng. (2006). Kapita Selekta Hakikat Otonomi dan Desentralisasi Dalam Pembangunan Daerah. Yogyakarta: Citra Media.
163
Kerjasama Antar Daerah dan Peningkatkan Layanan Masyarakat* Teguh Dartanto**
u
B
erlakunya UU nomor 22 Tahun 1999 mengenai Pemerintah Daerah dan UU nomor 25 Tahun 1999 mengenai Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, menandai berakhirnya era sentralisme dalam sistem pemerintahan Indonesia. Salah satu dampak otonomi daerah yang dirasakan masyarakat adalah maraknya pemekaran wilayah/pembentukan provinsi, kabupaten, dan kota. Tercatat hingga Desember 2008, telah terbentuk 203 daerah otonom baru yang terdiri dari 7 provinsi, 163 kabupaten, dan 33 kota. Total pemerintah daerah di Indonesia adalah 524 yang terdiri 33 provinsi, 399 kabupaten, dan 92 kota. Beradasarkan survei UNDP dan Bappenas (2008) menunjukkan bahwa kinerja daerah-daerah pemekaran belum memuaskan bahkan sebagian daerah kinerjanya berada dibawah daerah asal. Pemekaran wilayah di Indonesia sebagian besar didasari oleh alasan etnografi, bukan berdasarkan kawasan dan skala ekonomi, sehingga yang dihasilkan adalah pengelompokkan manusia berdasarkan suku, agama, bahasa, bukan pengelompokkan potensi dan aktifitas ekonomi. Tren pemekaran pembentukan daerah otonom baru ini berlawanan dengan kecenderungan di negara-negara lain dimana sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan pelayanan publik, efisiensi, dan peningkatan skala ekonomi, banyak negara gencar mempromosikan kerjasama dan penggabungan wilayah. Banyak pelayanan masyarakat seperti penyediaan air bersih, pengolahan sampah, penelitian
*
Artikel pilihan peserta lomba penulisan artikel Sewindu KPPOD Tahun 2009 kategori umum untuk tema Otonomi Daerah dan Penguatan Kerja Sama Antar Daerah * * Mahasiswa Graduate School of International Development, Nagoya University, Japan
Kerjasama Antar Daerah dan Peningkatkan Layanan Masyarakat
dan pengembangan akan lebih efektif dan efisien jika memiliki skala ekonomi yang luas sehingga akan mengurangi biaya per-unit. Di sisi lain, kerjasama antar daerah dalam pelayanan masyarakat di Indonesia belum membudaya karena adanya ego antar daerah dan belum adanya payung hukum dari pemerintah pusat mengenai kerjasama antar daerah. Karena keterbatasan sumber daya keuangan dan sumber daya manusia, maka penyediaan jasa layanan masyarakat disediakan pada level yang sangat minimal karena setiap daerah berusaha menyediakan semua layanannya secara mandiri. Hal ini akan berbeda jika terjadi kerjasama antar daerah dimana akan terkumpul sumber daya dan dana yang cukup untuk menyediakan layanan masyarakat yang lebih baik. Tulisan ini akan mengulas mengenai kerjasama antar daerah yang meliputi landasan pemikiran, pengalaman negara lain, area dan tantangan kerjasama antar daerah di Indonesia. Tulisan ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih bagi perkembangan otonomi daerah di Indonesia.
Landasan Pemikiran Kerjasama Antar Daerah Pemerintah Daerah secara konstitusi memiliki kewajiban dan kewenangan untuk menyediakan layanan terhadap masyarakat. Dalam penyediaan layanan masyarakat ini terdapat berbagai cara yang bisa dilakukan antara lain menyediakan semua jasa layanan secara sendiri, menyerahkan ke swasta, kerjasama antara swasta dan pemerintah (public private partnership), dan bekerjasama antar daerah. Cara pertama, kedua, dan ketiga sudah lazim dilakukan di Indonesia, tetapi penyedian layanan masyarakat dengan cara kerjasama antar daerah belum umum dilakukan. Terdapat empat faktor utama yang mendorong adanya kerjasama antar daerah yaitu (Intergovernmental Cooperation Handbook (2006) and Gerber and Gibson (2005)): 1. Keterkaitan dan ketergantungan antar daerah yang dipengaruhi oleh faktor ekonomi, faktor fisik dan geografi, faktor sosial dan budaya. Kesatuan ekonomi di suatu wilayah kadangkala bersifat lintas wilayah administrasi. Masyarakat adalah agen ekonomi yang rasional sehingga aktifitas ekonomi digerakkan oleh adanya keinginan untuk memaksimalkan keuntungan dan kemakmuran tanpa memikirkan batas-batas wilayah administrasi. Di sisi lain, batas wilayah administrasi suatu daerah terkadang berbeda dengan batas wilayah budaya/ sosial, sehingga hubungan antar masyarakat akan lebih kuat didalam satu wilayah budaya/sosial dibandingkan wilayah administrasi politik.
165
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
2. Skala ekonomi; semakin besar jumlah yang diproduksi semakin murah biaya per-unit barang. Ada beberapa layanan masyarakat seperti penyediaan air bersih akan lebih efisien jika mencakup wilayah yang luas. 3. Meningkatkan eksternalitas positif; aktifitas produksi oleh suatu perusahaan akan memberikan dampak positif bagi perusahaan lainnya. Dalam kerangka otonomi daerah, jasa layanan seperti pendidikan, penelitian dan pengembangan akan memberikan eksternalitas positif bagi daerah sekitarnya. 4. Mengurangi eksternalitas negatif; aktifitas produksi oleh suatu perusahaan akan memberikan dampak negatif bagi perusahaan lainnya. Dalam kerangka otonomi daerah, kerjasama antar daerah dalam perencanaan pembangunan akan mengurangi dampak ketidaksejalanan dan ketidakterpaduan dalam pembangunan daerah, sehingga eksternalitas negatif dapat dikurangi. Kerjasama antar daerah yang berjalan dengan baik akan meningkatkan efisiensi melalui skala ekonomi dari penyediaan jasa layanan masyarakat, memperluas akses masyarakat terhadap jasa layanan yang ada di daerah lain, mengurangi duplikasi penyediaan jasa layanan dan penghematan biaya penyediaan.
Kerjasama Antar Daerah Pengalaman Berbagai Negara Seiring dengan perkembangan ekonomi dan demografi (aging society) di negara-negara maju untuk meningkatkan pelayanan masyarakat dan mencapai skala ekonomi, banyak daerah melakukan penggabungan (merger) maupun kerja sama antar daerah sehingga jumlah daerah otonom semakin lama semakin berkurang. Daerah otonom di Inggris berkurang dari 1.730 (tahun 1945) menjadi 440 (tahun 2001) dan di Swedia berkurang dari 2.500 (tahun 1945) menjadi 284 (tahun 2001) (Keating, 2001). Sedangkan di Jepang daerah otonom berkurang dari 71.314 di Era Meiji menjadi 1.821 di tahun 2006 ( Yokomichi, 2007). Dengan keterbatasan sumber daya, dana, dan adanya keinginan untuk meningkatkan pelayanan masyarakat, banyak negara mengadopsi sistem kerjasama antar daerah (Intermunicipal Cooperation). Steiner (2003) menyatakan bahwa sekitar 60 persen daerah otonom di Swiss melakukan kerjasama dengan daerah otonom lainnya di bidang-bidang sebagai berikut: penyediaan layanan pendidikan/sekolah, layanan kesehatan, pengelolaan air limbah rumah tangga, pengelolaan sampah, dan keamanan lingkungan. Berdasarkan laporan Negara Bagian New York, Amerika Serikat sampai dengan tahun 2001 terdapat 3.332 kerjasama antar daerah dan total pendapatan yang
166
Kerjasama Antar Daerah dan Peningkatkan Layanan Masyarakat
diperoleh dari kerjasama antar daerah adalah 575 juta US dolar. Kerjasama yang memberikan kontribusi pendapatan terbesar antara lain kerjasama asuransi, pembersihan salju di jalan, kerjasama fasilitas kesehatan, pengolahan air limbah, dan pengelolaan sampah. Di Indonesia, bentuk kerjasama antar daerah yang bertujuan untuk menyeleraskan pembangunan DKI Jakarta dan daerah sekitarnya adalah Badan Kerja Sama Pembangunan Jakarta Bogor Depok Tangerang Bekasi Cianjur (BKSP JABODETABEKJUR). Kerjasama yang terbangun adalah kerjasama yang bersifat top-down, tidak ada program kerja nyata dan mengikat masing-masing pihak yang tergabung dalam badan ini, sehingga kerjasama ini tidak banyak memberikan manfaat langsung bagi masyarakat di masing-masing wilayah.
Langkah-langkah Mensukseskan Kerjasama Antar Daerah Kerjasama antar daerah dapat terlaksana dengan baik jika setiap daerah yang berpartisipasi dalam kerjasama memiliki tujuan yang sama dan keuntungan yang diperoleh dapat dinikmati secara adil dan optimal bagi setiap daerah. Terdapat beberapa langkah yang harus dilakukan agar tercipta sebuah kerjasama antar daerah yang saling menguntungkan (Local Government Center, 2001): 1. Identifikasi; artinya setiap daerah perlu melakukan identifikasi bidang apa saja yang berpeluang dikerjasamakan dan dengan daerah mana kerjasama tersebut perlu dibangun. 2. Sosialisasi; bidang-bidang yang telah disepakati untuk dikerjasamakan, disosialisasikan dengan para pemangku kepentingan seperti masyarakat, anggota dewan, dan dinas yang berwenang menangani bidang-bidang tersebut. 3. Legal; perlu adanya pengecekan permasalahan hukum, apakah bidang-bidang yang akan dikerjasamakan tidak menyalahi berbagai peraturan seperti UndangUndang, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, dan peraturan-peraturan yang berada dibawahnya. 4. Uji kelayakan; uji dilakukan untuk mengetahui apakah bidang-bidang yang akan dikerjasamakan layak secara ekonomi dan sosial untuk dilakukan. Pembangunan universitas layak dilakukan secara sosial tetapi tidak layak secara ekonomi jika dibangun dengan menggunakan APBD Kabupaten atau Kota. 5. Negosiasi; negosiasi dilakukan dengan daerah lain yang memiliki tujuan dan kepentingan yang sama. Negosiasi meliputi bagaimana biaya dan pendapatan dialokasikan, dimana wilayah mana proyek dibangun, bagaimana pengoperasian dan pengontrolan kegiatan, dll.
167
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
6. Pengesahan Kerjasama dalam bentuk Legal-Formal; kerjasama harus disahkan dalam bentuk legal-formal yang didalamnya terdapat aturan-aturan kerjasama dan sanksi-sanksi bagi pihak-pihak yang tidak mematuhi kesepakatan. 7. Pelaksanaan dan Pengoperasian; setelah terjadi kesepakatan formal maka kedua belah pihak melaksanakan apa yang telah disepakati dan mengoperasikan kerjasama tersebut. 8. Evaluasi Kerjasama; evaluasi mutlak dilakukan untuk mengetahui apakah semua kesepakatan telah berjalan, apakah kerjasama menguntungkan pihak-pihak yang bekerja sama, hal-hal apa yang perlu ditingkatkan, dan yang terakhir apakah kerjasama perlu dilanjutkan. Dalam penyusunan kerjasama antar daerah terdapat 4 hal utama yang harus diperhatikan yaitu: siapa yang bertanggung jawab, siapa melakukan apa, kapan dilakukan, dan bagaimana pembagian biaya. Keempat pertanyaan diatas harus diatur dalam penjanjian antara pihak-pihak yang berpartisipasi dalam kerjasama tersebut.
Potensi Kerjasama Antar Daerah di Indonesia Sampai saat ini, sebagian besar pemerintah daerah berusaha menenuhi kebutuhan pelayanan masyarakat dengan mengandalkan sumber daya dan dana dari daerah tersebut sendiri. Dengan adanya keterbatasan dana dan sumber daya, banyak jasa layanan masyarakat tidak mampu disediakan atau disediakan dalam kualitas dan kuantitas yang minimal oleh pemerintah daerah. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka banyak area kerjasama antar daerah yang bisa dilakukan untuk meningkatkan pelayanan masyarakat. Bidang-bidang tersebut antara lain: 1. Kerjasama kesehatan. Kerjasama bidang kesehatan merupakan area yang paling menjanjikan untuk dijalin kerjasamanya antar daerah. Banyak sekali rumah sakitsakit Pemerintah Daerah yang memiliki kualitas lebih rendah dibandingkan dengan rumah sakit swasta, sehingga untuk kasus-kasus tertentu pasien dirujuk ke rumah sakit swasta untuk mendapatkan pelayanan medis yang lebih baik. Hal ini terkadang memberatkan pasien khususnya golongan menengah kebawah karena mahalnya biaya rumah sakit swasta. Selain itu, pasien di rumah sakit swasta memiliki kesulitan untuk memanfaatkan Askeskin untuk pembiayaan di rumah sakit swasta.
168
Kerjasama Antar Daerah dan Peningkatkan Layanan Masyarakat
Untuk meningkatkan layanan kesehatan ini, ada baiknya antar pemerintah daerah melakukan kerjasama pembangunan rumah sakit rujukan bersama dengan pembiayaan dari APBD Kabupaten, APBD Provinsi, dan APBN. Dengan metode pembagian pembiayaan (cost-sharing), selain meringankan beban pemerintah daerah juga mampu membangun rumah sakit yang secara kualitas dan kuantitas memadai sebagai rumah sakit rujukan. Kerjasama antar daerah dalam pembangunan rumah sakit ini sangat lazim sekali dilakukan di Jepang. Salah satu jalan untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan bagi masyarakat tanpa harus mengeluarkan banyak biaya adalah dengan jalan nota kesepahaman (MOU) dimana masing-masing rumah sakit di suatu kabupaten fokus pada spesialisasi tertentu dan antara satu rumah sakit dengan yang lainnya saling merujuk. Sebagai contoh rumah sakit di Kab.A mengalokasikan sumber dayanya untuk menyediakan peralatan medis yang canggih dan teknologi tinggi untuk Bidang Bedah sedangkan di Kab. B fokus di Bidang Penyakit Dalam dan antar rumah sakit/pemerintah daerah melakukan kesepakatan bersama (joint agreement). Sehingga pasien di Kab.A yang membutuhkan perawatan medis di Bidang Penyakit Dalam dapat dengan mudah dirujuk ke rumah sakit di Kab.B. Hal ini bisa lebih murah dan efisien jika dibandingkan dengan setiap rumah sakit menyediakan semua peralatannya sendiri, sedangkan kebutuhan untuk peralatan medis dengan teknologi tinggi tidak banyak. Memang di setiap Ibukota Provinsi tersedia rumah sakit rujukan, tetapi tidak semua kabupaten/kota memiliki akses yang cepat ke pusat kota provinsi, dengan mekanisme diatas maka mengatasi masalah ini. 2. Kerjasama pendidikan. Penyediaan jasa layanan pendidikan dari SD, SMP, dan SMU disediakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Banyak sekali daerahdaerah yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus karena adanya karakteriktik yang berbeda-beda masing wilayah seperti kebutuhan SMK Pertanian (khusus Karet, Kelapa Sawit, KKO), SMK Perikanan/Kelautan, SMK Kerajinan, SMK Tekstil/Batik, SMK Pertambangan, dan sekolah kejuruan lain. Tetapi karena keterbatasan anggaran pemerintah dan keterbatasan jumlah siswa di suatu daerah maka sebaiknya pendirian sekolah-sekolah ini dilakukan melalui kerjasama antar daerah sehingga akan terjadi pembagian pembiayaan dan tercapai skala ekonomi karena wilayah jangkaun sekolah yang luas. Secara teoritis, pendirian sekolah ini dilakukan oleh pemerintah provinsi atau pemerintah pusat, tetapi dibutuhkan waktu dan proses yang lama. Sehingga tidak ada salahnya, daerah yang memiliki
169
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
kedekatan secara geografis dan memiliki pantai dapat bersama-sama mendirikan SMK Perikanan/Kelautan. Selain itu, kerjasama antar daerah juga bisa dilakukan di dalam pelatihan aparatur pemerintahan. Pendidikan dan pelatihan aparatur pemerintahan dapat dilakukan bersama-sama antar pemerintah daerah, sebagai contohnya pelatihan Sistem Informasi Keuangan Daerah, Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan (LAKIP), Akuntansi Publik, Kursus Perencanaan Pembangunan, dll. Hal ini dapat dilakukan bersama-sama karena biaya pelatihan per-orang untuk 30 orang akan lebih murah dibandingkan dengan biaya pelatihan per-orang hanya untuk 5 orang. 3. Kerjasama pengembangan daerah perbatasan. Daerah perbatasan sering kali luput dari perhatian dari para pengambil kebijakan sehingga pembangunan dan kesejahteraan masyarakatnya tertinggal dibandingkan dengan wilayah lainnya yang dekat dengan kekuasaan. Untuk meningkatkan pembanguanan dan kesejahteraan masyarakat, maka pemerintah kabupaten/kota dapat melakukan kerjasama dengan daerah-daerah yang berbatasan seperti pembangunan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang melayani rawat inap di daerah perbatasan yang mudah dijangkau oleh kedua penduduk di masing-masing kabupaten. Selain kerjasama dalam bidang kesehatan, kerjasama pengembangan pasar untuk mendorong aktifitas perekonomian di daerah perbatasan layak dilakukan untuk mendorong kesejahteraan ekonomi masyarakat di wilayah perbatasan. 4. Kerjasama perencanaan pembangunan. Tugas untuk menyelaraskan pembangunan antar kabupaten/kota berada di tangan pemerintah provinsi. Tetapi kegiatan ini tidak bisa berjalan dengan baik karena ada ego di masing-masing daerah, sehingga yang terjadi adalah ketidakselarasan dan ketidakterpaduan pembangunan antar daerah. Pada akhirnya terjadi eksternalitas negatif dimana pembangunan di satu daerah memberikan dampak buruk terhadap daerah lainnya. Seharusnya antar Pemerintah Kabupaten/Kota saling menginformasikan rencana pembangunan di wilayahnya masing-masing, sehingga tidak terjadi duplikasi kegiatan atau pembangunan yang pada akhirnya memunculkan kompetisi yang saling mematikan. Misalnya: pemerintah Kab. A membangun pasar di dekat lokasi pasar yang dibangun oleh Kab.B sehingga yang terjadi kedua pasar tersebut tidak dapat berkembang dengan baik. Jika terjadi kerjasama dalam perencanaan pembangunan, misalnya Kab.A membangun pasar, maka Kab.B akan membangun
170
Kerjasama Antar Daerah dan Peningkatkan Layanan Masyarakat
jalan di wilayahnya yang memudahkan transportasi barang dan jasa menuju pasar yang dibangun oleh Kab. A sehingga pembangunan yang dilakukan oleh kedua kabupaten akan meningkatkan eksternalitas positif. 5. Kerjasama penyedian air bersih. Perusahaan air minum merupakan perusahaan yang bersifat padat modal. Agar tercapai harga yang murah diperlukan skala ekonomi yang besar yang terkadang melebihi wilayah administrasi antar kabupaten/ kota. Sampai saat ini, Perusahaan Air Minum Daerah (PDAM) masih bergerak dalam satu wilayah administrasi kabupaten/kota sehingga perlu adanya upaya untuk membesarkan PDAM dengan melakukan kerjasama operasi atau penggabungan PDAM antar kabupaten/kota untuk mencapai skala ekonomi dan memudahkan penyediaan dan pengelolaan sumber mata air. Walaupun secara teknis PDAM dapat dikembangkan lintas kabupaten tetapi karena adanya pembatasan wilayah kerja PDAM, kegiatan ekspansi ini tidak dapat dilaksanakan. Di sisi lain, ada satu wilayah yang secara teknis dan ekonomi lebih murah dilayani oleh PDAM dari kabupaten lain tetapi karena adanya permasalahan area layanan maka wilayah ini tidak dapat menikmati jasa layanan air minum.
Tantangan Kerjasama Antar Daerah Tantangan utama pelaksanaan kerjasama antar daerah di Indonesia terbagi menjadi 2 hal utama: tantangan pra-kerjasama dan tantangan dalam pelaksanaan kerjasama. Tatantangan pra-kerjasama meliputi permasalahan payung hukum dan ego kedaerahan (inward looking). Berbeda dengan pemekaran dan penggabungan daerah, payung hukum seperti peraturan presiden/menteri untuk kerjasama antar daerah belum ada sehingga menghambat daerah-daerah otonom untuk melakukan berbagai kerjasama dalam peningkatan layanan masyarakat. Tanpa dasar hukum yang jelas, maka daerah-daerah enggan untuk melakukan kerjasama karena adanya ketakutan dan ketidakjelasan hukum mengenai pola kerjasama, hak dan kewajiban, serta penyelesaian konflik jika salah satu pihak melakukan wanprestasi. Ego kedaerahan (inward looking) dimana setiap daerah berupaya untuk menyediakan semua jasa layanan bagi masyarakat, tetapi karena terbatasnya sumber daya maka jasa layanan yang diberikan sangat minimal dari segi kualitas maupun kuantitas. Keinginan ingin menunjukkan superioritas suatu daerah dibandingkan dengan daerah lain kadang tidak memberikan manfaat bagi masyarakat dan bahkan menciptakan iklim kompetisi yang saling mematikan (predatory competition).
171
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
Disisi lain, terdapat 4 tantangan utama untuk menjaga kerjasama antar daerah dapat berjalan dengan baik yaitu: lokasi, kepemimpinan dan struktur organisasi, sinergi, dan pembiayaan. Lokasi, ketika terjadi kerjasama dua daerah atau lebih untuk melakukan suatu proyek jasa layanan tertentu seperti pendidikan atau kesehatan maka masalah akan muncul di wilayah dimana jasa layanan tersebut ditempatkan. Solusinya adalah jasa layanan tersebut diletakkan di tempat dimana semua penduduk di kedua belah pihak memiliki akses yang mudah. Kepemimpinan dan struktur organisasi, siapa yang berhak memimpin jasa layanan tersebut? Kepemimpinan yang lemah akan mengakibatkan kerjasama tidak memberikan hasil yang optimal. Sebaiknya dipilih orang yang kompeten dan pemimpin bisa dipindah (rotation) berdasarkan waktu sehingga setiap pihak yang ikut serta memiliki kesempatan yang sama. Selain itu, bagaimana bentuk organisasi juga menjadi masalah, bagaimana pengisian struktur pegawai, dll. Sinergi, bagaimana sumber daya yang ada dari pihak-pihak yang bekerja sama memberikan jasa layanan yang baik. Karena perbedaan budaya dan karakter masing-masing daerah, dapat mengakibatkan tidak terjadi sinergi sehingga kerjasama tidak berjalan dengan baik. Pembiayaan, bagaimana pembiayaan dibagi? Diperlukan standar baku mengenai cara jasa layanan tersebut dibiayai dan bagaimana juga pola pembagian pendapatan.
Kesimpulan Dengan mempertimbangkan adanya keterkaitan antar daerah, pencapaian skala ekonomi, meningkatkan eksternalitas positif, serta mengurangi eksternalitas negatif, maka kerjasama sama antar daerah merupakan salah satu cara yang menjanjikan untuk meningkatkan pelayanan masyarakat. Lima hal utama yang perlu diperhatikan untuk mencapai sebuah kerjasama yang saling menguntungkan kedua belah pihak: identifikasi bidang, studi kelayakan, legal-formal, pelaksanaan, dan evaluasi. Dalam kasus Indonesia, area-area yang menjanjikan untuk dikerjasamakan antara lain sektor kesehatan, sektor pendidikan, pengembangan daerah perbatasan, perencanaan pembangunan, dan kerjasama penyediaan air bersih. Sedangkan tantangan utama kerjasama antar daerah di Indonesia yang paling utama adalah tidak adanya payung hukum dan adanya ego kedaerahan. ]]]
172
Kerjasama Antar Daerah dan Peningkatkan Layanan Masyarakat
Daftar Pustaka Gerber, Elizabeth R. and Gibson, Clark C. (2005), Cooperative Municipal Service Provision: A Political-Economy Framework for Understanding Intergovernmental Cooperation, Working Group on Interlocal Service Cooperation, Wayne State University. Keating, M (2001), Decentralist Trends in European Democracies, Conference on Governance and Globalisation, Advanced Institute for Law and Politics, Hokkaido, Japan, 7-8 December 2001 http://www.global-g.jp/paper/4-11.pdf Lankinen, L (mimeo), New forms of Inter-Municipal cooperation in Helsinki Region, http://www.ietcat.org/htmls04/cat/jornades/empowering/ponencias/ CaseStudy_Helsinki.pdf Local Government Center (2001), Alternatives for the Delivery of Government ServicesIncluding Intergovernmental Cooperation and Privatization, University of Winconsin. http://lgc.uwex.edu//program/pdf/igcoop5.pdf Majalah Tempo (2008), Laporan Utama, 44/XXXVII 22 Desember 2008. State of New York Comptroller, Division of Local Government and School Accountability, Intermunicipal Cooperation and Consolidation, http://www.osc.state.ny.us/localgov/pubs/research/cooperation1.pdf Steiner, Reto (2003), The causes, spread and effects of intermunicipal cooperation and municipal mergers in Switzerland, Public Management Review http://dx.doi.org/10.1080/1471903032000178581 Yokomichi, K (2007), The Development of Municipal Merger in Japan, National Graduate Institute for Policy Studies (GRIPS), Japan http://www.clair.or.jp/j/forum/honyaku/hikaku/pdf/up-to-date_en1.pdf http://bkspjabodetabekjur.jakarta.go.id/content/index.php?id=1
173
Otda dan Harapan Peran KPPOD Peran BKPM di Bidang Penanaman Modal di Era Otonomi Daerah Muhammad Lutfi, Kepala BKPM Sewindu Otonomi Daerah Kabupaten Sidoarjo Win Hendrarso, Bupati Sidoarjo Pelaksanaan Otonomi Daerah dari Perspektif Dunia Usaha Hariyadi B. Sukamdani, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
Peran BKPM Di Bidang Penanaman Modal Di Era Otonomi Daerah Muhammad Lutfi (Kepala BKPM)
u
P
ertama-tama saya menyampaikan ucapan selamat dan penghargaan yang tinggi kepada segenap pendiri, pengurus, pengawas dan pembina Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) yang telah berkarya selama delapan tahun (sewindu) membangun lembaga ini dan melaksanakan pemantauan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di negeri ini. Sekaligus pada kesempatan ini saya mendukung rencana penerbitan buku dengan tema “Refleksi Sewindu Perjalanan Otda”. Otonomi daerah memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Otonomi daerah berjalan 10 tahun dan telah banyak mengalami perbaikan dan penyempurnaan baik dari sisi regulasi maupun implementasi. Diawali dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008. Dalam era desentralisasi/otonomi daerah saat ini cukup banyak daerah-daerah yang telah berhasil di dalam membangun dan mengembangkan daerahnya masingmasing melalui kegiatan investasi. Hal ini dapat terjadi karena dukungan dari pemerintah daerahnya di dalam mendorong untuk tumbuh dan berkembangnya investasi melalui penciptaan iklim investasi di daerah yang kondusif seperti misalnya penyederhanaan prosedur dan pelayanan perizinan penanaman modal daerah,
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
penggalian dan promosi peluang investasi daerah kepada investor. Namun di sisi lain masih ada juga pemerintah daerah yang belum memahami dan belum mampu membangun dan mengembangkan pembangunan di daerahnya sesuai dengan arah dan tujuan pembentukan desentralisasi/otda tersebut, sehingga kegiatan investasi tidak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, misalnya dengan menambah panjang jalur pelayanan perizinan dan membuat perda-perda retribusi/iuran yang justru membebani kegiatan penanaman modal. Sebagaimana diketahui, investasi menjadi motor penggerak utama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sehingga diharapkan akan dapat menyediakan lapangan kerja, meningkatkan ekspor, menambah devisa, dan untuk itu penciptaan iklim investasi yang kondusif menjadi prasyarat utama. Pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Salah satu amanat UU Penanaman Modal tersebut adalah pembentukan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di bidang penanaman modal dengan tujuan untuk membantu penanam modal untuk memperoleh kemudahan pelayanan, fasilitas fiskal, dan informasi mengenai penanaman modal dengan cara menyederhanakan pelayanan agar dapat mempercepat waktu pengurusan, dan meringankan atau bahkan menghilangkan biaya pengurusan perizinan dan nonperizinan di bidang penanaman modal. Dalam upaya meningkatkan iklim investasi di daerah, BKPM melakukan upaya-upaya kerjasama dengan pemerintah daerah dalam berbagai kegiatan, antara lain: 1. 2. 3.
4.
5.
176
Melaksanakan pemetaan potensi penanaman modal di daerah-daerah agar dapat dipromosikan kepada investor. Melakukan promosi potensi penanaman modal bersama-sama dengan Pemerintah Daerah kepada para investor di dalam dan luar negeri. Mempertemukan usaha skala kecil dan menengah dalam negeri yang potensial dengan calon mitra di luar negeri melalui kegiatan temu usaha (matchmaking event). Membangun dan mengembangkan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (National Single Window for Investment, NSWI) untuk mendukung pelaksanaan Pelayanan Perizinan dan Nonperizinan di PTSP Provinsi dan PTSP Kabupaten/Kota. Melaksanakan kegiatan pelatihan pelayanan perizinan penanaman modal kepada para aparatur perangkat daerah provinsi di bidang penanaman modal
Peran BKPM Di Bidang Penanaman Modal Di Era Otonomi Daerah
(PDPPM) dan para aparatur perangkat daerah kabupaten/kota di bidang penanaman modal (PDKPM). 6. Melaksanakan sosialisasi berbagai peraturan terkait penanaman modal kepada para pemangku kepentingan (stakehoders) di daerah. 7. Melaksanakan pelatihan dalam pengendalian pelaksanaan kegiatan penanaman modal di daerah kepada aparatur perangkat daerah provinsi di bidang penanaman modal (PDPPM) dan para aparatur perangkat daerah kabupaten/ kota di bidang penanaman modal (PDKPM). 8. Mendorong pemberian fasilitas pajak penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu. 9. Mendorong pemerintah daerah untuk dapat memberikan paket insentif/ kemudahan untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi dunia usaha. Pemberian insentif dapat berbentuk: Pengurangan, keringanan, atau pembebasan pajak daerah; Pengurangan, keringanan, atau pembebasan retribusi daerah; Pemberian dana stimulan; dan/atau Pemberian bantuan modal. 10. Melakukan konsolidasi perencanaan pelaksanaan penanaman modal regioal (KP3MR) yang bertujuan untuk mengkonsolidasikan perencanaan dan pelaksanaan penanaman modal di daerah agar selaras dan sejalan dengan rencana pembangunan pemerintah pusat. Apresiasi yang tinggi patut diberikan kepada KPPOD atas berbagai kegiatan yang telah dilaksanakan dalam mengawal jalannya pelaksanaan otda di berbagai daerah di Indonesia. Hasil kajian KPPOD, sebagai cakupan kegiatan yang terdiri dari regulasi daerah (perda), pengembangan ekonomi/investasi daerah, dan kerjasama antar daerah, menjadi masukan yang sangat berarti bagi pemerintah dan pemerintah daerah untuk bersama-sama terus melakukan perbaikan regulasi sehingga regulasi baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah dapat selaras dan konsisten dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan. Sewindu merupakan waktu yang tidak sebentar bagi KPPOD mendedikasikan visi, misi dan eksistensinya dalam membantu mewujudkan pembangunan ekonomi bagi kesejahteraan rakyat dengan mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif di seluruh Nusantara. Kedepan, peran dan kontribusi KPPOD diharapkan dapat terus dijaga, ditingkatkan dan dikembangkan. KPPOD dapat terus meningkatkan perannya dalam membantu menjembatani perkembangan berbagai kebijakan yang
177
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
ada di pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antara pemerintah dengan masyarakat. Akhir kata, saya mengharapkan agar KPPOD kedepan dapat lebih berkarya semakin baik bersama-sama dengan Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk membangun Indonesia menjadi lebih maju. ]]]
178
Sewindu Otonomi Daerah Kabupaten Sidoarjo Win Hendrarso (Bupati Sidoarjo)
u
M
encermati dan mendeskripsikan perjalanan otonomi daerah dalam kurun waktu sewindu (delapan tahun) sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tahun 2001 tentu sangat menarik. Oleh karena itu kesempatan yang diberikan KPPOD kepada Kabupaten Sidoarjo untuk berkontribusi dalam penulisan buku dengan tema “Refleksi Sewindu Perjalanan Otda” merupakan suatu kehormatan bagi kami. Semoga kontribusi kami dapat bermanfaat bagi terciptanya otonomi daerah yang lebih baik sesuai harapan kita bersama. Kabupaten Sidoarjo memulai pembelajaran melaksanakan otonomi daerah lebih awal dari sebagian besar daerah lain di Indonesia, karena pada tahun 1995 Kabupaten Sidoarjo menjadi salah satu daerah percontohan otonomi daerah. Namun pelaksanaan otonomi daerah pada kurun waktu tersebut masih diwarnai oleh sistem pemerintahan lama. Otonomi daerah sesuai dengan tuntutan retormasi baru dilaksanakan pada tahun 2001 bersamaan dengan pelaksanaan otda secara nasional sebagai tindak lanjut dari Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Perjalanan otda yang diharapkan dapat berjalan sesuai harapan, pada kenyataanya masih perlu perbaikan diberbagai aspek. Otonomi daerah yang tengah berlangsung ternyata masih berupa proses mencari format ideal, sehingga banyak terjadi trial and error. Perubahan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah membuktikan hal tersebut.
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
Kabupaten Sidoarjo sebagai bagian dan NKRT juga mengalami dinamika tersebut, berbagai isu dalam pelaksanaan tata kelola pemerintahan muncul dalam proses. Isu-isu tentang otda di Kabupaten Sidoarjo dapat dibagi dalam dua kurun waktu yaitu kurun waktu tahun 2001 s/d 2004 dan kurun waktu tahun 2005 sampai dengan tahun 2009.
Kurun waktu tahun 2001 s/d 2004 : Tahun 2001 s/d 2004 adalah fase dimana pelaksanaan otda masih berlandaskan pada Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, fase ini merupakan fase awal dari pelaksanaan sistem pemerintahan yang baru sesuai tuntutan reformasi. Isu-isu yang menonjol pada fase tersebut antara lain : 1. Sistem pemerintahan yang terlalu legislative heavy. Sistem pemerintahan yang terlalu legislative heavy berakibat pada pengelolaan pemerintahan yang lebih berorientasi pada proses kebijakan bukan pada substansi kebijakan. Kondisi tersebut terus berjalan sampai Undang-undang Nomor 22 lahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah diganti dengan undang-undang yang baru. 2. Bagi hasil pemerintah pusat kepada daerah. Tuntutan untuk meningkatkan kemandirian daerah menyebabkan daerah-daerah berfikir tentang keadilan dalam bagi hasil antara pusat dan daerah maupun antar sesama daerah. Kabupaten Sidoarjo yang mempunyai potensi lebih dalam berbagai sektor penghasilan negara merasa pembagian belum adil. Namun demikian keinginan tersebut masih belum dapat terwujud karena terhambat berbagai regulasi yang berlaku (misalnya ketentuan tentang PPH dan PPN) 3. Pelayanan publik. Sebagai tujuan utama diberlakukannya otonomi daerah, pelayanan publik menjadi isu yang sangat populer seiring dengan meningkatnya tuntutan masyarakat Sidoarjo akan perubahan pelayanan pemerintah. Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dengan dukungan regulasi pemerintah telah berhasil meningkatkan pelayanan. Beberapa penghargaan yang telah diterima dari berbagai lembaga yang berkompeten membuktikan hal tersebut.
180
Sewindu Otonomi Daerah Kabupaten Sidoarjo
Kurun Waktu Tahun 2004 s/d 2009 Pada fase ini Undang-undang Nomor 32 Tahun 1004 sebagai pengganti dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 mulai dilaksanakan secara efektif Pada fase ini isu yang menonjol antara Iain: 1. Gejala resentralisasi kekuasaan. Isu Resentralisasi kekuasaan muncul pada saat munculnya berbagai kebijakan dalam tata pengelolaan pemerintahan yang substansinya secara implisit dan eksplisit mengarah pada penyeragaman, dan menguatnya kontrol pemerintah pusat melalui Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang mana pertanggungjawaban bupati kepada DPRD bergeser kepada pemerintah pusat. Berbagai regulasi yang mengatur tentang skema bantuan keuangan pemerintah pusat kepada daerah yang tidak memberi ruang kepada daerah untuk ikut menentukan arah dalam pelaksanaannya menjadi salah satu bukti. Kedepan agar isu sentralisasi kekuasaan tidak lagi bergulir yang dapat menimbulkan kontra produktif dalam proses otonomi daerah, harus ada komitmen kembali dari pemerintah pusat agar ruang-ruang partisipatif daerah terus dikedepankan. 2. Pemerintahan yang bersih dari KKN. Gerakan pemerintahan untuk mewujudkan negara yang bersih dari KKN telah menelan korban dari berbagai pihak khususnya di kalangan birokrat daerah. Penegakan hukum pada tindak pidana korupsi bagai air bah yang siap menerjang aparat mana saja yang melakukan korupsi. Sampai saat ini memberikan efek yang positif, namun ke depan dalam rangka peningkatan citra aparatur negara perlu dilakukan pembinaan internal yang lebih intesif dalam pemahaman dan penyatuan langkah pelaksanaan tugas pemerintahan. Namun demikian yang perlu dicatat dalam penanganan korupsi di daerah oleh KPK dan instansi lainnya masih dirasa kurang fair, karena di daerah belum ada kesiapan sama sekali berkaitan dengan upaya renumerasi pegawai. Lain halnya dengan di Pusat, yang telah menerapkan renumerasi jauh lebih tinggi dari daerah, misalnya di Departemen Keuangan yang telah menerapkan renumerasi hingga 4 kali gaji pokok. 3. Peningkatan pelayanan dasar. Setelah otnnomi daerah berjalan, kesejahteraan rakyat belum juga beranjak lebih baik. Oleh sebab itu isu kesejahteraan rakyat khususnya pada pelayanan dasar (pendidikan dan kesehatan) menjadi isu yang menonjol di Kabupaten Sidoarjo selama kurun waktu tersebut. Dalam rangka mengantisipasi kondisi tersebut Kabupaten Sidoarjo sejak tahun 2006 sampai
181
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
tahun 2009 telah menjadikan pelayanan dasar sebagai prioritas utama dalam pembangunan daerah. Pada kenyataannya dalam pelaksanaannya belum ada sinkronisasi antara program/kegiatan pusat dan daerah, sehingga sering terjadi overlapping dalam program dan pelaksanaannya. Untuk itu ke depan perlu dilakukan sinkronisasi program dan kegiatan antara pusat daerah dengan lebih banyak memberikan ruang kepada daerah untuk membuat perencanaan pada program/kegiatannya. 4. Penurunan porsi anggaran perimbangan. Isu tentang pemekaran daerah yang tidak lagi proporsional dengan kebutuhan daerah serta lebih banyak dipengaruhi oleh kepentingan para elit lokal/nasional semata telah menyebabkan menurunnya porsi anggaran perimbangan DAU/ DAK yang seharusnya bisa diterima daerah secara lebih optimal. Merefleksi berbagai persoalan otonomi daerah di atas, maka ke depan peran lembaga-lembaga semacam KPPOD sangat dibutuhkan. KPPOD sebagai lembaga non pemerintah pertama di Indonesia yang concern pada keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dituntut untuk selalu inovatif, kreatif dan tanpa kenal lelah mendorong upaya-upaya perbaikan dalam pelaksanaan otonomi daerah menuju peningkatan kesejahteraan rakyat sesuai cita-cita reformasi. Peran yang selama ini telah diambil sebagai lembaga kontrol sekaligus mitra dan pemerintah dalam mewujudkan otonomi daerah yang benar telah ikut menancapkan eksistensi KPPOD sebagai salah satu lembaga rujukan penting dalam persoalan otonomi daerah. Dan kami sebagai bagian dan proses tersebut berharap KPPOD tetap eksis di tengah-tengah lembaga-lembaga serupa yang saat ini mulai bermunculan. ]]]
182
Pelaksanaan Otonomi Daerah Dari Perspektif Dunia Usaha Hariyadi B. Sukamdani (Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia)
u
M
elihat perkembangan pelaksanaan otonomi daerah sejak awal implementasinya tahun 2001 berdasarkan UU 22/1999 dan UU 25/ 1999 di saat awal era reformasi, maka pada intinya akan terlihat beberapa sisi positif dan negatifnya. Sisi positifnya, bagi daerah yang memiliki elit politik dan pimpinan daerah yang baik maka akan tercipta tata kelola pemerintah yang baik, efisien, menjadi daya tarik investasi (menjadikan persaingan positif antar daerah untuk menciptakan iklim yang kondusif untuk investasi), dan pada akhirnya akan mensejahterakan masyarakat setempat. Sedangkan dari isi negatifnya, terdapat beberapa hal yaitu: otonomi daerah menimbulkan hasrat elit politik daerah untuk senantiasa menciptakan sumbersumber baru lahan korupsi dan kewenangan / kekuasaan. Hal ini antara lain terlihat dari semakin banyaknya keinginan pemekaran wilayah, yang lebih banyak dilatarbelakangi kepentingan elite politik setempat. Bila kita melihat kenyataan yang terjadi maka mayoritas tidak berdampak pada kesejahteraan masyarakat dan justru mengakibatkan pemborosan APBN serta timbulnya lahan korupsi yang subur. Sisi negatif berikutnya adalah mengenai pembagian keuangan pemerintah pusat dan daerah yang diwarnai egoismenya masing-masing. Pemerintah pusat
Sewindu Otonomi Daerah: Perspektif Ekonomi
enggan memberikan porsi yang lebih besar alokasi dana untuk pemerintah daerah; sebaliknya pemerintah daerah terus menuntut porsi dana yang lebih besar kepada pemerintah pusat. Akibat egoisme kedua belah pihak tersebut, jalan keluar dipilih oleh kedua belah pihat tersebut adalah penekanan serta pemerasan secara sistematis dan terlegalisir kepada para pelaku usaha dan masyarakat setempat, yang berarti penambahan beban ekonomi bagi masyarakat. Lebih lanjut, terdapat sisi negatif dalam pelaksanaan demokratisasi yang tidak jujur dan transparan di daerah yang mengakibatkan ketidakstabilan politik, gejolak sosial dan mengancam ketentraman serta keamanan wilayah setempat, hal ini tentu akan mengganggu aktivitas ekonomi masyarakat.
Usulan Perbaikan Otonomi Daerah Memperhatikan beberapa permasalahan tersebut di atas, masyarakat melalui organisasi seperti Kadin, asosiasi pelaku usaha, ormas, LSM dan lain-lain harus lebih aktif melakukan pemantauan dan melibatkan diri dalam penyusunan, pelaksanaan serta pengawasan peraturan pemerintah baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Demikian juga, masyarakat pada kondisi politik saat ini, semestinya melakukan pengawasan dan tidak dapat begitu saja mempercayai proses legislasi di parlemen (DPR dan DPRD) karena berdasarkan pengamatan atas hasil legislasi tersebut justru lebih banyak undang-undang atau peraturan yang menyulitkan masyarakat. Untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, pemberantasan korupsi harus benar-benar dilakukan secara konsisten dan masyarakat harus selalu pro aktif melaporkan bila terjadi kasus korupsi dan pro aktif mengawasi proses hukumnya, karena tanpa tata kelola pemerintahan yang bersih maka otonomi daerah justru akan memarginalkan masyarakat. Mengenai peran pemerintah pusat, perlu sikap yang lebih netral dan obyektif dalam melaksanakan kebijakan yang terkait dengan otonomi daerah. Apabila terdapat pemerintah daerah yang menerbitkan perda yang tidak kondusif bagi masyarakat, maka perlu segera dibatalkan. Di sisi lain, apabila terdapat permintaan / tuntutan pemda atas pembagian alokasi dana untuk daerah maka pemerintah pusat harus mengkaji dengan seksama dan menanggalkan egoismenya demi kepentingan pemerintah pusat saja dengan mencari jalan keluar melalui pembuatan peraturan yang menambah beban masyarakat.
184
Pelaksanaan Otonomi Daerah Dari Perspektif Dunia Usaha
Hal sangat penting lainnya adalam mengenai permintaan pemekaran wilayah yang seharusnya segera dihentikan, lebih baik seluruh energy bangsa difokuskan untuk mengembangkan daerah pada komposisi wilayah yang ada saat ini. Apabila seluruh pemerintah daerah baik tingkat propinsi maupun kabupaten / kota yang ada saat ini sudah berjalan baik, maka proses permintaan pemekaran wilayah dapat dipertimbangkan kembali.
Harapan Atas Kontribusi KPPOD Peran KPPOD selama 8 tahun dalam pemantauan pelaksanaan otonomi daerah sangat baik khususnya dalam hal memantau dan mengevaluasi peraturan daerah. Demikian juga, survei yang dilakukan KPPOD untuk mengetahui persepsi pelaku usaha di daerah terkait dengan iklim investasi daerah, sangat membantu investor dalam menentukan daerah pilihan investasi, dan dapat menjadi pedoman bagi pemerintah daerah sebagai tolok ukur untuk memperbaiki kinerjanya serta merangsang persaingan yang positif antar daerah untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif guna menarik investasi sebesar-besarnya ke daerah masing-masing. Untuk masa mendatang, beberapa hal berikut ini perlu dilakukan untuk meningkatkan peran KPPOD: pertama, memperluas cakupan wilayah daerah tingkat II untuk survei persepsi pelaku usaha di daerah terkait dengan iklim investasi, serta survei-survei lainnya seperti survei Pemeringkatan Kepala Daerah Terbaik, mengingat saat ini terdapat lebih dari 400 kabupaten dan kota. Apabila memungkinkan survei tersebut dapat dilakukan setiap tahun. Kedua, perlu dipertimbangkan suatu kajian KPPOD tentang pemetaan potensi ekonomi (sumber daya alam dan sumber daya manusia) daerah sehingga diharapkan masyarakat dapat menggali dan mengembangkan potensi ekonomi masing-masing daerah sehingga terdapat sinergi dan saling melengkapi potensi ekonomi seluruh daerah. Ketiga, KPPOD perlu pro aktif dalam melakukan evaluasi peraturan daerah yang merugikan masyarakat dan mengajukan rekomendasi kepada pemerintah pusat untuk pembatalannya, untuk pemerintah daerah yang tetap menjalankan perda yang telah dibatalkan maka KPPOD perlu pro aktif untuk menyampaikan hal tersebut kepada publik untuk dapat diambil langkah koreksi dari pemerintah pusat dalam bentuk pembekuan alokasi anggaran untuk daerah tersebut.
185