EKUITAS Akreditasi No.395/DIKTI/Kep/2000
ISSN 1411 – 0393
PERSPEKTIF POLITIK EKONOMI OTONOMI DAERAH DIBAWAH UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1999 Soesilo*)
ABSTRAK Otonomi daerah dibawah Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 mengandung perubahan-perubahan yang mendasar antara lain otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, kurangnya campur tangan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah, adanya keleluasaan pelaksanaan otonomi daerah dan adanya perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang lebih adil dan objektif. Oleh karena masalah otonomi daerah pada dasarnya adalah masalah politik ekonomi, tinjauan perspektif politik ekonomi otonomi daerah akan dapat memperjelas esensi yang terkandung dalam otonomi daerah untuk dapat meliaht perubahan-perubahan yang mendasar dan sekaligus memberikan pemahaman bagaimana pelaksanaan otonomi daerah pada daerah-daerah otonom kabupaten maupun kota dapat terselenggara dengan sebaik-baiknya. Salah satu tantangan utama dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah faktor sumber daya manusia sebagai faktor pelaksana otonomi daerah di daerah kabupaten maupun daerah kota sehingga diperlukan upaya-upaya untuk dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia aparat birokrasi pemerintah daerah Kata-kata kunci : otonomi daerah, perspektif politik ekonomi, tantangan .
1. PENDAHULUAN Perbincangan tentang Otonomi Daerah di Indonesia selalu dikaitkan dengan yang pertama adalah Pasal 1 UUD l945 tentang bentuk negara dan yang kedua Pasal 18 UUD 1945 tentang pemerintahan daerah. Pasal 1 ayat (1) UUD l945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan berbentuk Republik. Sedangkan Pasal 18 UUD 45 tentang Pemerintahan Daerah pada intinya menetapkan pembagian daerah Indonesia atas daerah besar atau propinsi dan daerah propinsi dibagi dalam daerah–daerah yang *)
Drs. Soesilo, Msi adalah dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya 356 Ekuitas Vol.5 No.4 Desember 2001
lebih kecil. Daerah tersebut bersifat otonom dengan dibentuknya Badan Perwakilan Daerah, atau hanya berupa daerah administrasi saja. Dengan adanya daerah otonom berarti bahwa daerah itu mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, tetapi harus diletakkan pada ketentuan sebelumnya, yaitu dalam kerangka negara kesatuan. Hal ini dipertegas dengan apa yang tercamtum dalam Penjelasan Pasal 18 UUD l945 yang menyatakan bahwa, oleh karena Indonesia itu suatu “eenheidstaat”, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat “staat” (negara) juga. Daerah besar dan kecil yang diberikan kewenangan otonomi, berapapun luas kewenangan otonomi, bukan merupakan negara bagian dari suatu negara, melainkan merupakan daerah yang tidak terpisahkan dari dan dibentuk dalam kerangka Negara Kesatuan. Bagaimana mekanisme kerja daerah besar maupun kecil dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah termasuk seberapa jauh keleluasaan yang diberikan kepada daerah diatur dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah dan khusus tentang keleluasan dan kemandirian daerah mengatur rumah tangganya sendiri itulah dikenal dengan Otonomi Daerah . Ryas Rasyid (2000:78) menyatakan bahwa otonomi daerah itu menyangkut pertanyaan seberapa besar wewenang untuk menyelengarakan urusan pemerintahan yang telah diberikan sebagai wewenang rumah tangga daerah. Selanjutnya ditambahkan bahwa kewenangan otonomi daerah di dalam negara kesatuan tidak dapat diartikan adanya kebebasan penuh dari suatu daerah untuk menjalankan hak dan fungsi otonominya sekehendak daerah tanpa mempertimbangkan kepentingan nasional secara keseluruhan. Konsep otonomi ,secara etimologis dapat dijelaskan bahwa otonomi berasal dari bahasa Latin “autos“ dan “nomos“. Autos berarti sendiri dan nomos berarti aturan. Atas dasar pengertian etimologis tersebut, SLS Danuredjo (1967:10) memberikan arti otonomi sebagai “zelwetgeving“ atau pengundangan sendiri. Sedang J.Wajong (1975:5) mengemukakan bahwa otonomi adalah kebebasan untuk memelihara dan memajukan kepentingan daerah, dengan keuangan sendiri, menentukan hukum sendiri dan pemerintahan sendiri. Selanjutnya Saleh Syariff (l953:7) memberi arti otonomi sebagai mengatur atau memerintah sendiri. Pendapat lain dikemukakan oleh Logeman, sebagaimana dikutip oleh YW Sunindhia (l987:35) menyatakan bahwa otonomi berarti kebebasan atau kemandirian tetapi bukan kemerdekaan. Pembicaraan tentang otonomi daerah juga selalu dikaitkan dengan desentralisasi, karena berbicara tentang otonomi daerah dan desentralisasi dapat diibaratkan berbicara tentang 2 sisi dari satu keping mata uang, yaitu berbicara tentang 2 hal yang dapat dibedakan antara satu dengan yang lain tetapi sulit untuk dapat dipisahkan. Sehubungan dengan hal tersebut, Ryaas Rasyid (2000,78) menyatakan bahwa istilah otonomi lebih cenderung kepada “political aspect” (aspek politik-kekuasaan negara) Perspektif Politik Ekonomi Otonomi Daerah (Soesilo) 357
sedangkan desentralisasi lebih cenderung pada “administrative aspect” (aspek administrasi negara). Selanjutnya dinyatakan bahwa apabila dilihat dari konteks “sharing of power” atau berbagi kekuasaan, kedua istilah tersebut mempunyai keterkaitan yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan. Apabila berbicara mengenai otonomi daerah tentu akan menyangkut pertanyaan seberapa besar wewenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah yang diberikan sebagai wewenang untuk mengurus rumah tangga daerah. Dalam praktek penyelenggaraan pemerintah daerah akan sangat ditentukan oleh seberapa keleluasaan kewenangan otonominya dan sebaliknya juga seberapa besar kecilnya campur tangan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Kedua hal tersebut tercermin dalam rumusan undang-undang tentang pemerintahan daerah yang disusun oleh DPR bersama-sama dengan Pemerintah. Dengan demikian dapat dipahami bahwa suatu undang-undang tentang pemerintahan daerah yang satu dengan yang lain berbedabeda karena pada saat perumusan dan pengambilan keputusan sangat dipengaruhi oleh konfigurasi kekuatan politik yang berada di badan perwakilan, serta aspirasi yang berkembang dan hidup baik di lingkungan badan perwakilan, pemerintah dan masyarakat. Dengan dilandasi oleh Ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998 yang menyatakan bahwa : “ Mekanisme hubungan pusat dan daerah cendrung menganut sentralisasi kekuasaan dan pengambilan keputusan yang kurang sesuai dengan kondisi geogarafis dan demokratis. Keadaan ini menghambat penciptaan keadilan dan pemerataan hasil pembangunan dan pelaksanaan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab “ Rancangan undang-undang tentang pemerintah daerah baru dan undang-undang tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang diajukan pemerintah kepada DPR disetujui sebagai undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang No 25 Tahun l999 untuk mengantikan undang-undang sebelumnya yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974. Dalam undang-undang pemerintahan daerah yang baru tersebut terkandung perubahanperubahan yang mendasar, seperti adanya kewenangan mengurus rumah tangga daerah yang luas, kurangnya campur tangan pemerintah pusat serta adanya perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang lebih adil. Sehubungan dengan adanya perubahan tentang otonomi daerah, Christianto Wibisono (2001:51) menyatakan bahwa masalah otonomi daerah di Indonesia merupakan masalah politik ekonomi yang memerlukan pendekatan, kearifan dan kebijaksanaan kenegarawanan yang matang, dewasa dan mantap. Dari pendapat tersebut dapat dikemukakan bahwa otonomi di Indonesia bukanlah hanya penting ditinjau dari perspektif politik tetapi juga dari perspektif ekonomi. 358 Ekuitas Vol.5 No.4 Desember 2001
Pendapat lain yang sejalan dengan pendapat diatas dikemukakan oleh Rudini (2001:45) yang menyatakan bahwa otonomi daerah tidak hanya mengandung pelimpahan wewenang (dekonsentrasi) dan penyerahan urusan (desentralisasi) kepada daerah, demokratisasi politik dan peningkatan pembangunan nasional di daerah dengan melibatkan aspirasi dan partisipasi rakyat di daerah, tetapi juga harus lebih didasarkan kepada kemampuan fisik, yaitu suatu kemampuan membiayai dirinya sendiri untuk menyelenggarakan otonominya. Atas dasar pemikiran-pemikiran tersebut diatas, maka dalam artikel ini akan dibahas bagaimana perspektif politik dan ekonomi serta tantangan-tantangan yang harus dihadapi dan sekaligus untuk dapat mencari jalan pemecahan, dengan maksud agar tujuan akhir dari reformasi undang-undang pemerintahan daerah dapat berhasil dengan baik. 2. PERSPEKTIF POLITIK OTONOMI DAERAH Otonomi Daerah Sebagai Hak Bukan Kewajiban. Otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun l999 Pasal 1 ayat h tentang Pemerintahan Daerah dirumuskan sebagai kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.. Pernyataan bahwa otonomi daerah merupakan kewenangan daerah, sangat berbeda apabila dibandingkan dengan pengertian otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun l974. Dalam penjelasan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 dinyatakan bahwa otonomi daerah lebih merupakan kewajiban dari pada hak, yaitu kewajiban daerah untuk ikut melancarkan jalannya pembangunan sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan rakyat yang harus diterima dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Sehubungan dengan pernyataan bahwa otonomi daerah merupakan kewenangan daerah, Bagir Manan (2000:2) menyatakan bahwa : “Ketentuan itu memberikan gambaran bahwa otonomi daerah itu merupakan wewenang dari daerah. Dalam bahasa hukum, wewenang tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat dan tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechten en plichten). Dalam kaitan dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (self regelen) dan mengelola sendiri (selfbesturen). Sedangkan kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Secara vertical berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam satu tertib ikatan pemerintahan negara secara keseluruhan.”
Perspektif Politik Ekonomi Otonomi Daerah (Soesilo) 359
Dengan uraian dari Bagir Manan tersebut dapat dipakai sebagai petunjuk bahwa otonomi daerah tidak saja berarti sebagai kewenangan tetapi juga sebagai kewajiban. Hak disini mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri dan mengelola sendiri. Sedangkan kewajiban diartikan sebagai kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Menurut Hoessein (2000:3) adanya otonomi daerah yang semakin kuat seperti dituangkan dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun l999, dipandang sebagai hasil bekerjanya 2 kekuatan. Pertama: kekuatan internal dalam negeri berupa gerakan reformasi yang melanda tanah air dengan tuntutannya demokratisasi di segala bidang kehidupan. Kedua : kekuatan supra nasional berupa globalisasi dengan berbagai konsekuensi dan implikasinya yang memerlukan tanggapan dalam negeri melalui proses penyesuaian terhadap struktur dan mekanisme kepemimpinan demokratis di tingkat lokal. Mengenai pentingnya daerah otonom yang berwenang mengatur dan mngurus rumah tangganya sendiri, dkemukakan oleh Soewargono Prawirihardjo dan Soeparmi Pamudji, yaitu : 1. To realize and implement the democratic philosophy; 2. To realize national freedom and to create a sense of freedom to the regional; 3. To train the region to achieve the maturaty and be able to manage their own affairs and interest effectively as soon as possible ; 4. To provide political schooling for whole people ; 5. To provide channels for regionals aspiration and partisipation ; 6. To make the government in general optimally efficient and effective.
Otonomi Daerah Diletakkan Pada Daerah Kabupaten Dan Daerah Kota Dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, dinyatakan bahwa penyelenggaraan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas dalam arti pengakuan kewenangan pemerintahan yang secara nyata dilaksanakan oleh daerah. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas diletakkan pada kabupaten dan kota, sedangkan otonomi daerah propinsi merupakan otonomi yang terbatas yang meliputi kewenangankewenangan yang tidak atau belum dilaksanakan daerah otonom kabupaten dan kota serta kebijaksanaan strategis regional. Kewenangan daerah kabupaten dan daerah kota pada dasarnya adalah semua kewenangan pemerintah kecuali kewenangan pemerintah pusat dan kewenangan propinsi. Selain itu daerah kabupaten dan daerah kota wajib melaksanakan beberapa kewenangan yang meliputi : pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja. (Pasal 11 ayat (3 ) Undang-undang Nomor 22 Tahun l999). 360 Ekuitas Vol.5 No.4 Desember 2001
Selanjutnya ditegaskan bahwa beberapa kewenangan wajib tersebut diatas harus mutlak dilaksanakan oleh kabupaten dan kota dengan kata lain tidak dapat dialihkan ke propinsi. Kewajiban melaksanakan kewenangan tersebut antara dilatar belakangi adanya maksud untuk menghindari terjadinya kekosongan pelayanan terhadap kebutuan dasar bagi kepentingan masyarakat, dengan alasan bahwa 11 bidang pemerintahan tersebut pada umumnya ada pada seluruh kabupaten dan kota. Dengan tidak dapat dialihkannya kewenangan kabupaten dan kota, juga dimaksudkan untuk dapat mempercepat pelayanan dan memenuhi kebutuhan dasar kepentingan masyarakat, sehingga dapat mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam peklaksanaan pembangunan. Dengan mengingat strategisnya fungsi pelayanan yang melekat pada 11 bidang pemerintahan tersebut diatas, tidak ada alternatif lain terkecuali daerah kabupaten dan kota harus mampu secara nyata menggelar dan mengaktualkan kewenangan dimaksud sesuai dengan kondisi daerah. Mengenai kewenangan daerah kabupaten dan kota di wilayah laut adalah dua pertiga dari laut propinsi. Kewenangan dimaksud meliputi eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut, pengaturan kepentingan administratif, pengaturan tata ruang dan penegakkan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan oleh pemerintah pusat dan bantuan penegakkan keamanan dan kedaulatan negara. Adapun mengenai pengelolaan sumber daya nasional baik sumber daya alam, sumber daya buatan maupun sumber daya manusia yang tersedia di daerah, kewenangan pengelolaannya dilakukan oleh daerah dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan yang dimiliki daerah kabupaten dan kota juga berlaku pada kawasan badan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan pariwisata, kawasan jalan bebas hambatan dan kawasan lain yang sejenis. Penyelenggaraan berbagai kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi daerah tersebut, bupati atau walikota bertanggung jawab kepada DPRD kabupaten atau DPRD kota dan wajib memberikan laporan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri dalam rangka pembinaan dan pengawasan. Menurut Yogie S Memet (2000:2) ada beberapa pertimbangan mengapa penyelenggaraan otonomi daerah dengan titik berat pada daerah tingkat II atau kabupaten atau kota, yaitu : 1. Pemerintah daerah tingkat II atau kabupaten lebih dekat dengan masyarakat dan menjadi sokoguru pemerintahan; 2. Dari segi manajemen, penanganan pemerintahan di daerah tingkat II secara holistik lebih efisien dan efektif;
Perspektif Politik Ekonomi Otonomi Daerah (Soesilo) 361
3. Konstalasi eksekutif dan badan perwakilan lebih efektif dan berakar pada masyarakat setempat, sehingga tercipta arus demokrasi dalam mendukung jalannya penyelenggaraan pemerintahan; 4. Lebih mudah mengenal kebutuhan daerah dan mengembangkan potensi daerah; 5. Lebih mudah mengadakan evaluasi terhadap keberhasilan atau kelemahan; 6. Jalannya proses manajemen pemerintahan dan pembangunan relatif lebih cepat dan pengambilan keputusan akan lebih cepat. Desentralisasi Murni. Undang-undang Nomor 5 Tahun l974 tetang pokok-pokok Pemerintahan di daerah, dikenal otonomi yang nyata dan bertanggung jawab, dengan dominasi asas dekonsentrasi dalam penyelenggaraan kekuasaan, dari judul undang-undang yaitu Pokok-pokok Pemerintahan di daerah, jelas sifat sentralistik kekuasaan yaitu pemerintah pusat mempunyai pemerintahan di daerah, bukan pemerintahan daerah. Sebaliknya dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun l999 tentang Pemerintahan Daerah, yang memuat otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.Dalam undang-undang ini penekanan otonom diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota, disertai penegasan bahwa Bupati dan Walikota bukan lagi sebagai alat dekonsentrasi, sebagaimana diatur dalam Undangundang Nomor 5 Tahun l974. Dengan ketentuan bahwa Bupati dan Walikota bukan lagi alat dekonsentrasi dari pemerintah pusat, maka di daerah otonom berlaku desentralisasi secara murni, kecuali daerah propinsi oleh Gubernur. Asas-asas yang lain seperti asas tugas bantuan atau medebewind dari pemerintah pusat baik kepada daerah propinsi maupun daerah kabupaten dan kota dan desa, masih dimungkinkan dengan konsekuensi pembiayaan, sarana, prasarana dan sumber daya manusia dari pemerintah yang menugaskan. Pemisahan Fungsi Eksekutif Dan Fungsi Legislatif Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 (Pasal 14) menyatakan bahwa susunan Pemerintahan Daerah terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Pemerintah Daerah . Selanjutnya ditegaskan bahwa DPRD merupakan Badan Legislatif sedangkan Pemerintah Daerah merupakan Badan Eksekutif Daerah. Pemerintah Daerah terdiri atas Kepala Daerah dan perangkat daerah lainya. Kepala Daerah Propinsi disebut Gubernur, Kepala Daerah Kabupaten disebut Bupati, dan Kepala Daerah Kota disebut Walikota. Khusus untuk Gubernur sebagai Kepala Daerah Propinsi juga Kepala Daerah Administrasi sebagai Wakil Pemerintah Pusat. Dibandingkan dengan yang ditentukan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, 362 Ekuitas Vol.5 No.4 Desember 2001
sedangkan dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 ditegaskan bahwa komponen utama dalam penyelengaraan pemerintah di daerah adalah DPRD dan Kepala Daerah, sehingga kesan adanya dominasi Kepala Daerah terhadap peran dan keberadaan DPRD tidak ada lagi. Selain itu predikat sebagai Penguasa Tunggal yang melekat pada Kepala Daerah tidak dikenal lagi. Dengan adanya pemisahan tugas antara tugas Legislatif yang dilakukan DPRD dan tugas Eksekutif yang dilakukan Kepala Daerah merupakan wujud usaha untuk menegakkan prinsip kedaulatan rakyat di daerah, dimana partisipasi masyarakat lewat wakil-wakil yang duduk dalam DPRD yang dipilih secara demokratis bertugas menetapkan kebijakan Pemerintahan Daerah dan pembangunan di daerah yang bersangkutan, melalui pelaksanaan fungsi-fungsi pembuatan peraturan daerah, fungsi perwakilan maupun fungsi pengawasan. Selain dengan adanya pemisahan yang tegas antara fungsi DPRD dan Kepala Daerah, diharapan supaya tidak terjadi duplikasi dan kerancuan antara tugas eksekutif dan tugas legislatif. Dalam hal ini Kepala Daerah melakukan tugas-tugas di bidang eksekutif dan DPRD di bidang legislatif. Dapat ditambahkan bahwa dengan semakin diberdayakannya DPRD,maka DPRD dapat benar-benar diharapkan akan dapat melakukan fungsi legislatif dan fungsi pengawasan terhadap eksekutif serta sungguh-sungguh berperan sebagai penyalur aspirasi masyarakat. Kemandirian Pemerintah Daerah. Inti dari pelaksanaan otonomi daerah adalah terdapatnya keleluasaan pemerintah daerah (discretionary of power) untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri atas dasar prakarsa, kreativitas dan peran serta aktif masyarakat dalam rangka mengembangkan dan memajukan daerahnya (Ryaas Rasyid, 2000:60). Lebih jauh dinyatakan bahwa kewenangan bererti keleluasaan untuk menggunakan dana, baik yang berasal dari daerah sendiri maupun pusat, sesuai dengan keperluan daerahnya tanpa campur tangan pemerintah pusat, termasuk keleluasaan untuk menggali sumber-sumber potensi yang ada di daerahnya, keleluasaan untuk berprakarsa, memilih alternatif, menentukan prioritas dan mengambil keputusan untuk kepentingan daerahnya, keleluasaan untuk memperoleh dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang memadai, yang didasarkan atas kriteria obyektif dan adil. Secara lebih konkrit, dapat dilihat adanya beberapa indikasi yang menunjukkan bahwa Undang-undang Nomor 22 Tahun l999 memberikan kemandirian daerah otonom antara lain dengan diberdayakannya DPRD sebagai badab legislatif daerah, makin berkurangnya campur tangan pemerintah pusat terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah, maupun dalam pengisian jabatan kepala daerah dan waklil kepala daerah, serta hapusnya pengawasan preventif oleh pusat kepada daerah. Perspektif Politik Ekonomi Otonomi Daerah (Soesilo) 363
a. Pemberdayaan DPRD Pasal 19 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, menyatakan bahwa dalam kerangka untuk dapat menjalankan fungsi-fungsi tersebut diatas, DPRD diberikan hak-hak seperti meminta pertanggung jawaban kepada Kepala Daerah, hak meminta keterangan kepada pemerintah atau hak interpelasi, hak mengadakan penyelidikan atau hak angket, hak mengadakan perubahan atas rancangan peraturan daerah atau hak amandemen, hak mengajukan pernyataan pendapat, hak mengajukan rancangan peraturan daerah atau hak inisiatif, hak menetapkan Anggaran Belanja atau hak budget dan hak menetapkan peraturan tata tertib DPRD. Dalam hubungan dengan hak DPRD untuk meminta pertanggung jawaban kepada Kepala Daerah, Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD dan wajib bagi Kepala Daerah untuk menyampaikan pertanggung jawaban tersebut kepada DPRD pada setiap akhir tahun anggaran. Suatu hal yang unik yang terdapat di dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang tidak terdapat pada Undang-undang Pemerintahan Daerah sebelumnya adalah adanya ketentuan semacam “impeachment” yaitu dimungkinkannya pemberhentian Kepala Daerah sebelum masa jabatannya berakhir. Ketentuan impeachment itu dapat diberlakukan bila : 1. Pertanggung jawaban Kepala Daerah yang disampaikan kepada DPRD ditolak oleh DPRD. Proses impeachment itu dilakukan melalui usul pemberhentian Kepala Daerah oleh DPRD kepada Presiden; 2. Kepala Daerah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Kepala Daerah, melanggar sumpah / janji, mengalami krisis kepercayaan publik yang luas, akibat dari suatu kasus yang melibatkan tanggung jawab Kepala Daerah, dan keterangan atas kasus tersebut ditolak oleh DPRD; 3. Kepala Daerah melanggar Larangan bagi Kepala Daerah. Larangan-larangan itu meliputi : turut serta dalam perusahaan baik swasta maupun milik negara, atau dalam yayasan dalam bentuk apapun juga, membuat keputusan yang khusus memberikan keuntungan bagi dirinya, anggota keluarganya, kroninya, golongan tertentu, atau kelompok politiknya yang secara nyata merugikan kepentigan umum atau mendiskriminasikan warga negara dengan golongan masyarakat lain, melakukan pekerjaan lain yang memberikan keuntungan bagi dirinya baik langsung maupun tidak langsung yang berhubungan dengan daerah yang bersangkutan, menerima uang atau barang dan jasa dari pihak lain yang diduga dapat menpengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya, dan menjadi advokat atau kuasa hukum suatu perkara dimuka peradilan, kecuali mewakili daerahnya;
364 Ekuitas Vol.5 No.4 Desember 2001
4. Kepala Daerah terbukti melakukan tindak pidana yang diancam kurungan maksimum lima tahun atau diancam dengan hukuman yang lebih berat sebagai mana diatur dalam KUHP; 5. Kepala Daerah diduga melakukan makar dan perbuatan yang dapat memecah belah kesatuan RI. Khusus proses “impeachment” yang menyangkut nomer 4 dan 5 diatas pemberhentian langsung dilakukan Presiden tanpa melalui keputusan DPRD. Dalam upaya pemberdayaan DPRD agar benar-benar dapat melakukan fungsi legislasi, pengawasan dan benar-benar berperan sebagai penyalur aspirasi masyarakat, kepada DPRD selain diberikan hak-hak seperti yang telah dikemukan diatas, kepada DPRD diberikan beberapa kewajiban antara lain berkewajiban untuk membina kehidupan demokrasi dalam penyelengaraan pemerintahan daerah, memajukan tingkat dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan pengaduan masyarakat serta menfasilitasi tindak lanjut penyelesaianya. Selain itu DPRD wajib membela kepentingan daerah dan penduduknya di hadapan pemerintah dan memperjuangkanya kepada Dewan Perwakilan Rakyat. b. Berkurangnya campur tangan pusat dalam Rekrutmen Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Rekrutmen atau pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah baik untuk Propinsi, Kabupaten dan Kota dilakukan oleh DPRD melalui proses pencalonan dan pemilihan secara bersamaan (Pasal 34 ayat 1 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999). Dengan demikian proses rekrutmen Kepala Daerah maupun Wakil Kepala Daerah, baik pencalonan dan pemilihannya sepenuhnya dilakukan oleh daerah tanpa campur tangan Pemerintah Pusat, kecuali untuk calon Gubernur. Dalam hal pencalonan Gubernur setelah nama-nama calon ditetapkan DPRD, dikonsultasikan dulu kepada Presiden untuk memperoleh persetujuannya, mengingat kedudukan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat disamping kedudukannya sebagai Kepala Eksekutif Daerah Propinsi. Apabila dibandingkan dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang pencalonan, pemilihan dan pengangkatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terlihat bahwa dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun1974, Pemerintah Pusat lebih berperan, baik dalam pencalonan dan pemilihannya , sedangkan dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menunjukan sebaliknya, yaitu bahwa pencalonan dan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, DPRD-lah yang mempunyai peranan yang lebih besar. Pengaturan dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut menunjukan suatu perwujudan pengakuan prinsip kedaulatan rakyat di daerah melalui DPRD, sehingga menempatkan DPRD sebagai wakil rakyat yang memiliki posisi dan peran utama di daerah dan sekaligus menunjukkan mekanisme pencalonan dan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang lebih demokratis.
Perspektif Politik Ekonomi Otonomi Daerah (Soesilo) 365
c. Hapusnya pengawasan preventif Sistem pengawasan seperti yang diatur dalam Pasal 112 sampai dengan 114 Undangundang Nomor 22 Tahun 1999, meliputi masalah pembinaan dan pengawasan atas penyeleggaraan otonomi daerah. Pembinaan penyeleggaraan otonomi daerah tersebut lebih ditekankan pada upaya memfasilitasi dalam rangka memberdayakan otonomi daerah, sedangkan pengawasan lebih ditekankan pada pengawasan represif, dengan maksud untuk lebih memberikan kebebasan kepada daerah otonom dalam mengambil keputusan dan memberikan peran kepada DPRD dalam menjalankan fungsinya sebagai pengawas terhadap pelaksanaan otonomi daerah. Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, sistem pengawasan dilakukan dalam bentuk pengawasan umum, pengawasan preventif dan pengawasan represif. Lebih jauh dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pengawasan umum adalah pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat terhadap segala kegiatan Pemerintah Daerah. Pengawasan preventif mengandung prinsip bahwa segala peraturan daerah dan Keputusan Kepala Daerah baru akan berlaku sesudah ada pengesahan pejabat yang berwenang, yaitu Menteri Dalam Negeri bagi Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah Tingkat I dan Gubernur Kepala Daerah bagi Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah Tingkat II . Sedangkan pengawasan represif berwujud adanya penangguhan atau pembatalan Perundangan dan Keputusan Kepala Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundangan yang lebih tinggi tingkatnya (Pasal 70 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974). Apabila kita bandingkan kedua Undang-undang Pemerintahan Daerah tersebut diatas dapat dikemukakan bahwa pengawasan preventif tidak dikenal lagi dalam sistem pengawasan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 . Kenyataan ini menunjukan bahwa besarnya campur tangan Pemerintah Pusat terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah semakin berkurang, sehingga kemandirian dan keleluasaan untuk mengatur dan mengurus penyelengaraan pemerintahan daerah semakin besar. Dengan demikian maka seluruh peraturan daerah dan keputusan kepala daerah dapat berlaku efektif setelah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD dan diundangkan dalam lembaran daerah, tanpa memerlukan pengesahan terlebih dahulu dari Pemerintah Pusat. Pembebasan atau penghapusan pengawasan preventif tersebut bertujuan memberikan kebebasan kepada daerah otonom untuk mengembangkan kewenangan otonominya lebih kreatif dan leluasa. Disamping itu akan lebih memberikan peran dan fungsi pengawasan secara fungsional kepada DPRD untuk mengawasi pelaksanaan kebijakan penyelengaraan otonomi daerah yang dilakukan oleh Kepala Daerah sebagai Pimpinan Eksekutif Daerah. Dengan demikian peraturan daerah yang dibuat oleh pemerintah daerah tidak lagi harus disahkan oleh pemerintah pusat sebelum diberlakukan. Namun demikian peraturan daerah 366 Ekuitas Vol.5 No.4 Desember 2001
tersebut selambat-lambatnya 15 hari setelah ditetapkan harus disampaikan kepada Pemerintah Pusat dan apabila ternyata terdapat hal-hal yang merugikan kepentigan negara, kepentingan umum atau bertentangan dengan perundangan yang lebih tinggi maka peraturan daerah tersebut dinyatakan tidak berlaku atau dibatalkan. Dari uraian-uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dari perspektif politik, otonomi daerah dibawah Undang-undang Nomor 22 Tahun l999, memberikan kewenangan yang luas, dengan titik berat diletakkan pada daerah kabupaten dan kota, mencakup 11 bidang pemerintahan dan adanya kemandirian pemerintahan daerah yang ditandai dengan tidak dikenalnya lagi asas dekonsentrasi pemerintah pusat bagi daerah otonom serta hapusnya pengawasan preventif dari pusat.
3. PERSPEKTIF EKONOMI OTONOMI DAERAH Pasal 78 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 ayat 1 dan 2 menyatakan bahwa : 1. Penyelenggaraan tugas Pemerintah Daerah dan DPRD dibiayai dari dan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. 2. Penyelengaraan pemerintah di daerah dibiayai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Selanjutnya dalam Pasal 79 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dinyatakan bahwa sumber pendapatan daerah terdiri atas : a. Pendapatan asli daerah; b. Dana perimbangan; c. Pinjaman daerah; d. Lain-lain pendapatan daerah yang sah. Lebih jauh dinyatakan bahwa Pendapatan Asli Daerah berasal dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Sedangkan Dana Perimbangan terdiri atas bagian daerah dari penerimaan dari Pajak Bumi dan Bangunan, biaya perolehan atas tanah dan bangunan, penerimaan dari sumber daya alam, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. Selanjutnya dalam Pasal 81 disebutkan bahwa pemerintah daerah dapat melakukan peminjaman dari sumber dalam negeri dan atau dari sumber luar negeri untuk membiayai kegiatan pemerintah dengan persetujuan DPRD. Dalam hubungan ini pinjaman dari dalam negeri harus diberitahukan kepada pemerintah pusat dan dilaksanakan sesuai pedoman yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Sedangkan pinjaman yang berasal dari luar negeri harus mendapatkan persetujuan pemerintah pusat sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan. Apabila kita bandingkan dengan Sumber Pendapatan Daerah yang diatur dalam Undang-undang Perspektif Politik Ekonomi Otonomi Daerah (Soesilo) 367
Nomor 5 Tahun 1974 dapat dilihat adanya perbedaan yaitu Pinjaman Daerah sebagai salah satu sumber penerimaan daerah yang baru dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 . Mengenai dana perimbangan seperti yang diatur di dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, daerah akan memperoleh pembagian yang lebih adil dan lebih besar seperti dapat dililhat pada tabel berikut :
No.
1. 2. 3. 4.
5.
Tabel Persentase Bagian Untuk Pusat dan Daerah Jenis Penerimaan Negara Bagian Bagian Keterangan Pusat Daerah (%) (%) Pajak Bumi Dan Bangunan 90 10 Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan 80 20 Bangunan Penerimaan Kehutanan, 20 80 Pertambangan Umum, Perikanan Penerimaan Pertambangan Minyak 85 15 Setelah Bumi dipotong pajak Penerimaan Gas Alam 70 30 Sebelumya untukdaerah 0% Sumber : Diolah dari Pasal-pasal Undang-undang Nomor 22 Dan 25 Tahun 1999
Mengenai Dana Alokasi Umum atau administrasi umum ditetapkan sekurang-kurangnya 25 % dari penerimaan dalam negeri Anggaran Belanja Dan Pembangunan Negara diserahkan kepada daerah. Selanjutnya mengenai Dana Alokasi Khusus yaitu dana yang berasal dari dana reboisasi dengan pembagian 60 % untuk pusat dan 40 % untuk daerah. Ditingkat daerah dengan berlakunya Undang-undang Nomer 25 Tahun 1999 secara efektif penerimaan keuangan daerah akan naik meliputi kenaikan bagian daerah dalam penerimaan PBB, biaya perolehan atas tanah dan bagunan, dari sumber alam, tambang miyak, eksprotasi hutan dan perikanan. Dalam hal penerimaan minyak pemerintah daerah akan memperoleh 15 %, penerimaan gas yang sebelumnya 0 % sekarang akan menerima 30 % dan dalam kehutanaan dan perikanaan sekarang 80 %. Dengan demikian maka propinsi-propinsi kaya sumber daya alamnya seperti Daerah Istimewa Aceh, Riau, Kalimatan Timur dan Irian Jaya, tidak saja menjadi propinsi terkaya di Indonesia tetapi juga akan menguasai dana pembagunan daerah yang lebih besar dari sebelumnya, dan yang lebih penting akan memiliki wewenang yang lebih besar dalam merencanakan dan mengefektifkan pemanfaatanya. 368 Ekuitas Vol.5 No.4 Desember 2001
Namun sebaliknya ada beberapa daerah propinsi seperti Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulewesi Tenggara, Maluku, Kalimatan Selatan, Selewesi Selatan, merupakan daerah-daerah yang miskin akan sumber daya alamnya, sehingga basis pajaknya sangat sempit sehingga berimplikasi terjadinya defisit anggaran keuangan daerah.
4. TANTANGAN DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH Dikaitkan dengan perspektif politik maupun perspektif ekonomi seperti yang telah dikemukakn di bagian depan, maka tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan otonomi daerah baru adalah bagaimana kualitas para pejabat birokrasi atau sumber daya manusia yang ada pada daerah otonom kabupaten maupun kota, baik pada jajaran birokrasi pemerintah daerah maupun pada badan pewakilan daerah atau DPRD. Indikasi kurangnya kemampuan, profesionalisme, rendahnya tingkat pendidikan maupun masalah moral yang kurang mendukung kelancaran jalannya otonomi daerah telah menjadi rahasia umum. Secara lebih konkrit kenyataan lemahnya sumber daya manusia di lingkungan birokrasi pemerintah daerah kabupaten dan kota, antara lain dikemukakan oleh T.B. Silalahi, mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara maupun oleh pengamat sosial Chistianto Wibisono. T.B. Silalahi (2001:10) menyatakan bahwa : “Kenyataannya, realisasi otonomi daerah seperti yang diamanatkan oleh Undang-undangNomor 5 Tahun 1974 berjalan tersendatsendat, salah satu kendala utama adalah rendahnya kemampuan profesional dan etos kerja sumber daya manusia aparatur di daerah, sehingga kreativitas untuk mengupayakan pertumbuhan daerah termasuk peningkatan pendapatan asli daerah sulit dilaksanakan.” Selanjutnya Christianto Wibisono (2001:56) manyatakan bahwa salah satu kelemahan aparatur birokrasi kita memang suka menambah aturan demi komersialisasi jabatan pada setiap eselon yang menambah hich cost economy. Hal ini diakuinya sebagai isu klasik negara berkembang yang menimpa segala sektor birokrasi. Mengenai pentingnya sumber daya manusia yang berkualitas dalam pelaksanaan otonomi daerah, tidak saja dikemukakan oleh para praktisi birokrasi pemerintah tetapi juga diakui oleh para pakar ataupun para akademisi. Dua mantan Meneeri Dalam Negeri, Yogie S.Memet dan Rudini menyatakan bahwa apabila otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dan mendorong kemandirian daerah otonom, tetapi tidak tersedia sumber daya manusia yang bermutu, sudah barang tentu tidak mendukung pelaksanaan otonomi daerah, sehingga pemberian otonom kapada daerah tingkat II akan memberatkan dan menambah beban daerah yang bersangkutan. (Yogie S.M. 2001 :4) . Perspektif Politik Ekonomi Otonomi Daerah (Soesilo) 369
Sedangkan Rudini menyatakan bahwa : ” Sangat diperlukan sumber daya yang memadai, termasuk sumber daya manusia aparatur pemerintah yang profesional yang mampu mengembangkan fungsi-fungsinya, terutama dalam menggali sumber-sumber ekonomi untuk kepentingan daerahnya, baik yang berasal dari daerahnya sendiri (internal) termasuk pajak-pajak dan retribusi, maupun yang berasal dari luar (eksternal) termasuk investasi modal dan pariwisata.” Mengenai hubungan antara pendidikan dengan kegiatan pemerintahan, Almond dan Verba (l974 :317-318) menyatakan bahwa : 1. The more educated are more aware of the impact of government on the individual; 2. The more educated are more likely to follow politics in mass madia and to consume communications about election compaign; 3. The moreveducated have the greater store of political situation; 4. The more educated have the political opinion on a greater range of subjects; 5. The more educated are more likely to take part in discussions on political subject; 6. The educated person feel free to discussion more political subject with a wider range of individual than the less education; 7. The more educated are more likely to consider themselves capable of influencing the government; 8. The more educated are more likely to be members of organizations; 9. The more educated are more likely to express a sense of personal competence and of truetfulness of others. Pentingnya kualitas sumber daya manusia tidak saja dituntut bagi jajaran birokrasi pemerintah daerah, tetapi juga bagi para anggota badan perwakilan daerah maupun bagi pejabat peradilan. Dalam hubungan ini David B Truman (l960:333) menyatakan bahwa : “Any politician, wether legislator, administrator or judge, wether elected or appointed is obliged to make decisions that are guided in part by the relevant knowledge that is available to him”. Untuk dapat melaksanakan fungsi-fungsi DPRD dengan baik, sangat ditentukan oleh mutu atau kualitas anggauta DPRD. Penyusunan kebijakan daerah yang tepat tergantung pada kecakapan anggota DPRD untuk memecahkan masalah yang dihadapi rakyat . Pengetahuan dan kecapakapan itu diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman.(Jusuf Riwu Kaho 2001:71-72). Lebih jauh dikemukakan bahwa pendidikan itu sangat penting sebab : 1. Dapat memberikan pengatahuan yang luas dan mendalam tentang bidang yang dipilih atau yang dipelajari seseorang;
370 Ekuitas Vol.5 No.4 Desember 2001
2. Melatih manusia untuk berfikir secara rasional dan menggunakan kecerdasan kearah yang tepat, melatih manusia menggunakan akalnya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam berfikir, menyatakan pendapat maupun bertindak; 3. Memberikan kemampuan dan ketrampilan kepada manusia untuk merumuskan pikiran, pendapat yang hendak disampaikan kepada orang lain secara logis dan sistematis sehingga mudah dimengerti. Pendapat Josef Riwu Kaho tersebut diperkuat oleh Herry Lee Waterfield (l955:7) menyatakan bahwa : “A Through knowledge of the he rules is one of the greatest assets a legislator can have and one of the most difficult to acquire.A member who has a good working knowledge of parluamentary practice can paeticipate effectively in legislative proceedings”. Dari berbagai pendapat tersebut dapat dipahami bahwa faktor sumber daya manusia merupakan faktor utama dan sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah. Dengan demikian maka walaupun beberapa daerah otonomi memiliki sumber daya alam yang sangat besar tidak dapat menjamin keberhasilan otonomi daerah apabila sumber daya manusia yang ada didaerah tidak memiliki kualitas yang memadai. Sejarah banyak negara di dunia, membuktikan bahwa kemajuan suatu negara lebih ditentukan oleh kualitas sumber daya manusianya bukan oleh kekayaan alam atau sumber daya alam. Singapura dan bahkan juga Jepang tidak memiliki sumber daya alam yang melimpah tetapi memiliki sumber daya manusia yang handal. Brunei Darulsalam dengan penduduk kurang dari 400.000 jiwa, yang berpendapatan per kapitanya sama atau lebih tinggi dari Singapura tidak serta merta melesat pembangunannya karena sumber daya manusianya belum mampu mengelola sumber daya alam yang melimpah. (Mubyarto,2000:54). Dari uraian diatas dapat dikemukakan bahwa daerah-daerah otonom yang memiliki potensi sumber daya alam yang baik sehingga prospek ekonominnya baik, bukan merupakan jaminan berhasilnya otonomi daerah, apabila sumber daya manusianya kurang baik. Upaya-Upaya Pemecahan Masalah Satu-satu upaya pemecahan masalah atau kendala sumber daya manusia parat birokrasi pemerintah daerah adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri melalui peningkatan pendidikannya. Arnold Anderson (tanpa tahun:17) menyatakan bahwa : “Pendidikan disamping memberikan keahlian dan keterampilan yang dapat dipergunakan untuk mencari nafkahnya, juga memelihara sistem-sistem intelektual, kesusastraan, seni, Perspektif Politik Ekonomi Otonomi Daerah (Soesilo) 371
hukum dan ilmu pengetahuan. Selanjutnya pendidikan juga membantu masyarakat untukmemilih orang-orang tertentu yang akan menjadi bagian dari elitnya dan melatih mereka dalam beberapa keterampilan khusus yang mereka perlukan untuk memainkan peranan sebagai pemimpin. Pendidikan membantu memilih dan melatih tokoh-tokoh kebudayaan, orang yang kreatif dan para pengusaha.” Mengenai klasifikasi pendidikan ST. Vembrianto (1977:3) mengolongkan pendidikan kedalam 3 macam pendidikan pendidikan, yaitu : “Klasifikasi yang lazim dianut membagi pendidikan menjadi pendidikan informal, formal, dan non formal. Pendidkan informal ialah pendidikan yang diperoleh seseorang dari pengalaman sehari-hari dengan sadar atau tidak sadar sejak seseorang lahir sampai mati, di dalam keluarga, di dalam pekerjaan atau pergaulan sehari-hari. Pendidikan formal yang kita kenal dengan pendidikan sekolah yang teratur bertingkat-tingkat dan mengikuti syarat-syarat yang jelas adan ketat. Pendidikan non formal ialah pendidikan yang teratur dengan sadar dilakukan tetapi tidak mengikuti peraturan yang tetap dan ketat.” Secara lebih konkrit, Yogie S Memet (2001:4) menyatakan perlunya dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia secara bertahap dan berkelanjutan. Langkah-langkah nyata dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia antara lain : a. Memberikan kesempatan kepada pegawai negeri yang berprestasi untuk mengikuti pendidikan yang lebih tinggi melalui program tugas belajar; b. Memberikan peluang kepada pemerintah kabupaten dan kota untuk menyelengarakan pendidikan penjenjangan; c. Menyediakan dana pendidikan pegawai dalam APBD setiap tahun anggaran; d. Memantapkan sistem pembinaan karier untuk mendorong pegawai meningkatkan prestasinya e. Peningkatan eselon bagi pejabat dinas daerah yang lebih tinggi f. Menghilangkan atau menghapus tembok psikologis yang membedakan jenis pegawai negeri sipil (PNS) pusat dengan PNS daerah.
5. KESIMPULAN Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, merupaka salah satu reformasi dalam kehidupan ketatanegaraan kita, khususnya dalam pemerintahan daerah. Dalam undang-undang tersebut terkandung perubahan-perubahan yang mendasar, baik dilihat dari perspektif politik maupun ekonomi. Dalam perspektif politik terjadi perubahan-perubahan yang mendasar antara lain otonomi daerah sebagai hak dan kewenangan untuk mengurus kepentingan daerah, peletakan 372 Ekuitas Vol.5 No.4 Desember 2001
otonomi daerah pada daerah-daerah kabupaten dan kota, penerapan desentralisasi murni, adanya kemandirian pelaksanaan otonomi daerah dan adanya keseimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Sedangkan dilihat dari perspektif ekonomi, pelaksanaan otonomi daerah didukung dengan adanya keseimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang lebih adil dan objektif. Salah satu kendala utama yang merupakan tantangan dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah kualitas sumber daya manusia para pejabat atau aparat birokrasi aparat pemerintahan daerah yang kurang memadai. Oleh karena itu diperlukan upaya-upaya yang serius guna meningkatkan kualitas sumber daya manusia aparat birokrasi pemerintah daerah.
6. DAFTAR RUJUKAN Almond dan Verba 1974. “Comparative Politics, A Develomental Approach”, Litle Brown, New York. Anderson, Arnold. Tanpa Tahun. “Modernisasi Pendidikan” dalam Modernisasi Dinamika Pertumbuhan,VOA Forum Lectures.. Danuredjo, SLS. 1967. “Otonomi Di Indonesia Ditinjau Dalam Rangka Kedaulatan”, Laras, Jakarta. Truman, David.B. 1960. “The Governmental Process,Political Interest and Public Opinion”, Alfred A. Knoff, New York. Kaho, Josef Riwu. 2001. “Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia” PT. Raya Grafindo Persada, Jakarta. Manan, Bagir. 2000. “Wewenang Propinsi, Kabupaten Dan Kota Dalam Rangka Otonomi Daerah”, Seminar Nasional Pengembangan Wilayah Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Di Kawasan Pesisir Dalam Rangka Pemerataan Ruang Daerah Yang Berkelanjutan, Fakultas Hukum, Universitas Pajajaran, Bandung. Mubyarto. 2000. ”Otonomi Daerah dan Ekonomi Kerakyatan” dalam Otonomi dan Federalisme Dampaknya terhadap Perekonomian, Pustaka Sinar Harapan, Harian Suara Pembaharuan, Jakarta. Rasyid, Ryaas. 2000. “Perspektif Otonomi Luas”, dalam Otonomi Dan Federalime, Dampaknya Terhadap Perekonomian ,Pustaka Sinar Harapan, Harian Suara Perbaharuan, Jakarta Rudini. 2000. “Otonomi Daerah sebagai Otonomi Nyata Dalam Perspektif Ekonomi dan Politik”, dalam Otonomi Daerah Peluang dan Tantangan, Pustaka Sinar Harapan, Suara Pembaharuan, Jakarta. Salim, Emil. 2000. “Otonomi Daerah Dan Masalahnya”, dalam Otonomi Dan Federalime, Dampaknya Terhadap Perekonomian , Pustaka Sinar Harapan, Harian Suara Perbaharuan, Jakarta
Perspektif Politik Ekonomi Otonomi Daerah (Soesilo) 373
Sunidhia, YW. 1987. “Praktek Penyelenggaraan Pemerintah Di Daerah”, PT. Bina Aksara, Jakarta. Soewargono Prawirohardjo dan Soeparmi Pamoedji.1976. “The Local Government System in Indonesia”, kertas kerja dalam Seminar on Financing Local Development, Kuala Lumpur, Malaysia. Syariff, Saleh. 1953. “Otonomi Dan Daerah Otonomi”, Penerbit Endang, Jakarta. Vembriarto 1977. “Pendidikan Sosial”, Jilid I, Paramitha, Yogyakarta. Waterfield, Harry Lee. l955. “The Legislative Process in Kentucky”, Frankfort, Kentucky. Hoessein, Bhenyamin, 2000. “Otonomi Dearah Dalam Negara Kesatuan Sebagai Tangapan Aspirasi Kemajemukan Masyarakat dan Tantangan Globalisasi”, Usahawan, Nomor 4, tahun XXIX. Wajong, J. 1975. “Asas Dan Tujuan Pemerintah Daerah”, Jakarta. Wibisono, Christianto. 2000. “Otonomi : Politik atau Ekonomi” ,dalam Otonomi Daerah, peluang dan Tantangan, Pustaka Sinar Harapan, Suara Pembaharuan, Jakarta. Yogie S, Memet. 2001. “Perwujuan Otonomi Daerah”, dalam Otonomi Daerah, Peluang dan Tantangan, Pustaka Sinar Harapan, Suara Pembaharuan, Jakarta. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 ________, Ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998
374 Ekuitas Vol.5 No.4 Desember 2001