BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Penelitian Lahirnya kebijakan otonomi daerah di Indonesia yang ditandai dengan
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan Undang
undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, telah membuat pemerintah daerah mendapat kewenangan lebih dari pemerintah pusat untuk mengurus dan mengatur sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat yang didasarkan pada asas desentralisasi. Begitupun dengan kewenangan mengenai pengelolaan aset daerah yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Provinsi Jawa Barat dalam hal pengelolaan aset daerah berkoordinasi dengan Biro Pengelolaan Barang Daerah sebagai pembantu Kuasa Barang untuk mengkoordinasi penyelenggaraan pengelolaan barang daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah menjelaskan bahwa salah satu kegiatan yang dimaksud dalam siklus pengelolaan barang milik daerah diantaranya adalah pengadaan. Pengadaan adalah kegiatan
1
2
untuk melakukan pemenuhan kebutuhan barang daerah dan jasa. Tanggungjawab kegiatan pemenuhan kebutuhan barang daerah dan jasa ini diberikan kepada
Bagian Pengadaan dan Distribusi, yakni salah satu dari empat bagian pokok yang
berada dibawah koordinasi Biro Pengelolaan Barang Daerah bersama dengan
Bagian Perencanaan Kebutuhan, Bagian Pemanfaatan dan Pengamanan Barang Daerah, dan Bagian Penatausahaan Barang Daerah, sesuai dengan yang telah ditetapkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 20 Tahun 2008 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jawa Barat. Selanjutnya, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah menyebutkan bahwa syarat mutlak untuk menjadi panitia pengadaan harus memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa yang dikeluarkan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (LKPP). Syarat-syarat teknis pengadaan harus benarbenar dikuasai jika ingin aman dari resiko pelanggaran. Adapun sanksi bagi pelaku pelanggar prosedur diatur dalam Peraturan Kepala LKPP Nomor 7 Tahun 2011 tentang Petunjuk Teknis Operasional Daftar Hitam. Pelaku pelanggar prosedur dikenai sanksi administratif berupa pemberian sanksi denda dan/atau Daftar Hitam (black list). Penyedia yang sudah tercantum dalam Daftar Hitam yang dikeluarkan oleh LKPP tidak dapat ditunjuk sebagai Penyedia dalam kegiatan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di seluruh Indonesia sampai sanksi tersebut berakhir. Panitia kegiatan Pengadaan Barang/Jasa pun diharuskan untuk mencari tahu informasi tentang pihak penyedia barang/jasa-nya terlebih dahulu,
3
memastikan bahwa Penyedia yang akan ditunjuk tidak sedang menjalani sanksi. Dengan adanya peraturan perundang-undangan seyogianya pengadaan barang
milik daerah dapat dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip efisien, efektif,
transparan dan terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel. Namun, sejauh ini tujuan untuk menciptakan sistem pengadaan barang/jasa yang ideal masih jauh dari harapan. Dalam pelaksanaan aktivitasnya sedikit yang terjebak dalam praktik tindak pidana korupsi, kolusi dan tidak
nepotisme (KKN). Kegiatan pengadaan barang/jasa rentan dengan tindak pidana korupsi, diakibatkan dari pengadaan barang/jasa yang sarat dengan kolusi dan nepotisme, seringkali mengakibatkan terjadinya pembengkakan biaya yang signifikan bagi negara. Seperti dikutip dari laman kpk.go.id,
Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan secara terbuka fakta tentang maraknya korupsi pada proses pengadaan barang/jasa pemerintah didukung hasil Survei Integritas 2011. Survei yang dilaksanakan KPK itu menunjukkan rata-rata nilai dari Indeks Integritas Nasional adalah 6,31. Secara nasional rata-rata nilai integritas instansi pusat (7,07) dan vertikal (6,40) lebih tinggi dibanding rata-rata nilai integritas pemerintah daerah (6,00). Masih terdapat 43% yaitu sebanyak 37 instansi/pemda yang nilai integritasnya masih di bawah rata-rata nasional. Selain itu Kepala Biro Humas KPK, Johan Budi SP, selaku juru pembicara komisi pemberantasan korupsi pada Rabu (18/4) saat ditemui berita harian online nasional.vivanews.com, menyatakan hampir 80% kasus yang ditangani oleh KPK adalah korupsi dari pengadaan barang dan jasa. Senada dengan berita tersebut, Direktur Pengaduan Masyarakat KPK, Eko Marjono, pada Senin (30/4)
4
memaparkan kepada nasional.inilah.com, sekitar 6.000 kasus korupsi yang dilaporkan ke KPK terkait dengan pengadaan barang/jasa pemerintah. Dari
laporan tahunan KPK, dapat diketahui bahwa sebagian besar kasus korupsi di
negeri ini terjadi pada bidang pengadaan barang/jasa pemerintah. Penyelewengan
dalam proyek pengadaan barang dan jasa ini merupakan kasus yang paling banyak diadukan dan ditangani oleh KPK. Bentuk penyelewengan dalam pengadaan barang dan jasa antara lain adalah penggelembungan harga, penunjukan langsung,
pembuatan syarat tender yang dapat membatasi peserta lelang, pengadaan fiktif atau penentuan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang terlalu tinggi. Tindak kecurangan merupakan indikasi dari belum terwujudnya efektivitas sistem pengadaan BMD. Melihat kenyataan tersebut, diperlukan upaya yang lebih sistematis dalam mewujudkan efektivitas sistem pengadaan BMD untuk menanggulangi kecurangan tersebut. Untuk itu, pengendalian internal menjadi penting bagi kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah. Sebagai upaya untuk mencapai cita-cita organisasi yakni mewujudkan proses pengadaan yang berdasarkan pada prinsip-prinsip efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan, akuntabel, adil/tidak diskriminatif, sekaligus sebagai upaya untuk mencegah terjadinya tindak kecurangan. Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP), dimana seluruh instansi di lingkungan pemerintah baik pusat maupun daerah, kementerian, lembaga, departemen, Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), dan sebagainya diwajibkan untuk menyelenggarakan Sistem Pengendalian Internal Pemerintahan (SPIP)
5
dalam pelaksanaan kegiatan organisasinya. Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai sistem pengendalian
internal dan pengaruhnya terhadap efektivitas sistem pengadaan BMD sebagai
upaya untuk mengendalikan tindak kecurangan/korupsi pada aktivitas pengadaan
barang/jasa, sehingga aktivitas pengadaan barang/jasa dapat berlangsung sesuai dengan prinsip-prinsip pengadaan.
Kebanyakan penelitian tentang pengendalian internal mengacu kepada
teori COSO (Committee Of Sponsoring Of Treadway Commission). Namun, kali ini peneliti akan mencoba mengukur sejauh mana pengendalian internal dapat berpengaruh terhadap efektivitas sistem pengadaan BMD, salah satunya pengendalian terhadap tindak kecurangan, berdasarkan teori pengendalian internal Gelinas (2005), yang mengkategorikan rencana pengendalian internalnya ke dalam 4(empat) aspek, yakni rencana pengendalian kepegawaian, rencana pengendalian organisasi, rencana pengendalian pengamanan sumber-sumber daya, dan rencana pengendalian dokumentasi. Teori yang dimaksud adalah Rencana Pengendalian Pervasif (Gelinas, 2005:248). Berangkat
dari
keingintahuan
untuk
mencoba
mengkaji
sistem
pengendalian internal dari sudut pandang yang berbeda, maka dilakukan penelitian sebagai
tugas
akhir dengan judul
PENGARUH SISTEM
PENGENDALIAN INTERNAL PERVASIF TERHADAP EFEKTIVITAS SISTEM PENGADAAN BARANG MILIK DAERAH (Studi Kasus pada Pemerintah Provinsi Jawa Barat).
6
1.2
Perumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka
peneliti akan membahas pada masalah sistem pengendalian internal pervasif
terhadap efektivitas sistem pengadaan barang milik daerah (BMD), maka
beberapa masalah pokok yang akan dibahas dalam penelitian adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana Sistem Pengendalian Internal yang selama ini diterapkan yang
meliputi
keempat
aspek
Pengendalian
Pervasif
yakni,
Rencana
Pengendalian Kepegawaian, Rencana Pengendalian Organisasi, Rencana Pengendalian
Pengamanan
Sumber-sumber
Daya,
dan
Rencana
Pengendalian Dokumentasi pada Bagian Pengadaan dan Distribusi Biro Pengelolaan Barang Daerah Pemerintah Provinsi Jawa Barat? 2. Seberapa besar pengaruh keempat aspek secara parsial terhadap efektivitas sistem pengadaan BMD? 3. Seberapa besar pengaruh keempat aspek secara simultan terhadap efektivitas sistem pengadaan BMD?
1.3
Batasan Masalah Penelitian Karena keterbatasan waktu, dana, tenaga dan teori-teori, maka peneliti
membatasi beberapa hal agar penelitian menjadi lebih akurat dan terarah. Batasanbatasan tersebut adalah: 1.
Penelitian dilakukan pada instansi Pemerintah yaitu kantor Pemerintah Provinsi Jawa Barat, di Bagian Pengadaan dan Distribusi pada Biro
7
Pengelolaan Barang Daerah, pokja ULP (Unit Layanan Pengadaan)
2.
pengadaan barang. Penelitian ini dibatasi pada Pengaruh Sistem Pengendalian Internal
Pervasif saja yang merupakan salah satu dari elemen Pengendalian
Internal yang dikemukakan oleh Gelinas.
1.4
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah :
1.
Untuk mengetahui Sistem Pengendalian Internal yang diterapkan meliputi keempat aspek Pengendalian Pervasif yakni, Rencana Pengendalian Kepegawaian, Rencana Pengendalian Organisasi, Rencana Pengendalian Pengamanan
Sumber-sumber
Daya,
dan
Rencana
Pengendalian
Dokumentasi berjalan pada Bagian Pengadaan dan Distribusi Biro Pengelolaan Barang Daerah Pemerintah Provinsi Jawa Barat? 2.
Untuk mengetahui pengaruh keempat aspek Pengendalian Pervasif secara simultan terhadap efektivitas sistem pengadaan BMD?
3.
Untuk mengetahui pengaruh keempat aspek Pengendalian Pervasif secara parsial terhadap efektivitas sistem pengadaan BMD?
8
1.5
Manfaat Penelitian
Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai
berikut:
1.
Bagi Peneliti Menambah ilmu pengetahuan, wawasan serta pemahaman peneliti
mengenai sistem pengendalian internal pervasif dan pengaruhnya terhadap
efektivitas sistem pengadaan BMD.
2.
Bagi Biro Pengelolaan Barang Daerah Pemerintah Provinsi Jawa Barat
Dapat dijadikan masukan dan rekomendasi untuk mengembangkan dan menyempurnakan sistem pengendalian internal secara pervasif sehingga dapat meningkatkan efektivitas sistem pengadaan BMD, diantaranya mencegah terjadinya tindak kecurangan. 3.
Bagi Pembaca Dapat dijadikan sebagai bahan referensi dan sumber informasi untuk kajian selanjutnya, khususnya untuk mengkaji topik-topik yang berkaitan dengan masalah dalam penelitian ini.