PEMANFAATAN DATA SPASIAL SOSIAL EKONOMI DALAM RANGKA MENDUKUNG OTONOMI DAERAH Oleh : 1. DR. Yuswandi A. Temenggung 2. Ir. Ahmad Kamil, Msi Bandung, 10 Mei 2001
I.
PENDAHULUAN
Dalam upaya membangun tatanan perekonomian dunia yang lebih baik, telah disepakati untuk menerapkan prinsipprinsip liberalisasi ekonomi dan pada kasus di Indonesia, program pembangunan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional secara bersamaan dihadapkan upaya untuk mengatasi krisis multidimensi dan berbagai permasalahan yang timbul dalam rangka implementasi otonomi daerah . Ditinjau dari perspektif global, liberalisasi perdagangan bukan hanya merupakan hasil dorongan pemenuhan kebutuhan pasar bagi konsumen dunia, tetapi merupakan suatu kondisi yang dapat saja tercipta karena adanya turbulensi dari be'rbagai kepentingan, termasuk urusan politik ekonomi dalam upaya memberikan altematif baru untuk menghindari stagnasi yang sangat dirasakan di banyak negara berkembang. Perdagangan yang tanpa hambatan tidak akan secara serta-merta menyentuh isu distribusi sumber-sumber daya ekonomi, karena struktur dan komponen perekonomian yang membedakannya. Diferensiasi kapasitas perekonomian ditandai dengan adanya kesenjangan ekonomi spatial yang merupakan refleksi dari keberadaan pemilikan sumber daya produktif di antara daerah-daerah. Di sisi lain, ketimpangan sosial-ekonomi juga muncul. Kelompok masyarakat dengan kepemilikan faktor produksi terbatas dan produktivitas rendah yang menghasilkan tingkat kesejahteraan rendah dihadapkan kepada kelompok pelaku ekonomi kuat. Mengikuti waktu, kesenjangan semakin melebar sehingga muncul dikotomi antara pelaku ekonomi kuat dan pelaku ekonomi lemah serta daerah maju dan daerah terbelakang. Pembangunan ekonomi pada tingkat daerah otonom dituntut untuk lebih memiliki sifat-sifat yang peka dalam dimensi profesionalisme, efisiensi, dan akuntabilitasnya. Pengelolaan fasilitas pelayanan yang cepat dan tepat menjadi suatu keharusan yang jika tidak, maka peluang investasi global akan hilang, misalnya dalam pemberian perijinan investasi. Selanjutnya, pelayanan yang efisien hanya akan tercapai jika dilakukan oleh banyak pilihan pelaku yang bersaing tanpa diskriminasi. Hal ini berarti peranserta para pelaku ekonomi apapun skalanya ikut mempengaruhi kualitas pengelolaan fasilitas pelayanan. Sejak awal, keinginan yang kuat untuk melaksanakan otonomi daerah dilandasi oleh amanat dalam UUD 1945, dengan harapan akan memberikan manfaat yang besar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bemegara dalarn bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Manfaat ini dapat diperoleh dengan menumbuhkembangkan kehidupan yang demokratis, mendorong upaya pemberdayaan masyarakat, memperkuat kemampuan Pemerintah Daerah, dan meningkatkan mutu pelayanan umum, serta meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam upaya mendukung pelaksanaan otonomi daerah yang efektif, diperlukan kelembagaan yang demokratis, efisiensi pengelolaan sumberdaya, aparatur yang berkualitas, potensi ekonomi daerah yang dapat digerakkan sebagai sumber pendapatan Daerah, dan pemberian insentif fiskal/non fiskal guna menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi para pelaku ekonomi (BUMN, BUMD, Koperasi, dan Swasta) serta pengaturan perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang adil dan proporsional. Namun, dijumpai beberapa aspek yang satu dengan lainnya saling berkaitan dalam berbagai aktifitas perekonomian, misalnya budaya masyarakat setempat, ketersediaan lahan, pengadaan bahan, sumber pembiayaan, SDM dan aspek lainnya di daerah. Dengan demikian, keberhasilan otonomi daerah sangat dipengaruhi adanya kesesuaian dan optimalisasi pemanfaatan potensi wilayah, kekayaan alam, SDM, dan kondisi sosial ekonomi, serta latar belakang budaya.
1
II. OTONOMI DAERAH Rangkaian kegiatan pemerintahan dan pembangunan yang telah dilakukan selama ini tetap saja belum mampu mewujudkan otonomi daerah di seluruh wilayah Indonesia yang sesuai dengan harapan masyarakat. Materi pokok yang berkaitan dengan otonomi daerah sesuai dengan UU Nomor 5 Tahun 1974 selama ini cenderung lebih dititikberatkan pada efisiensi manajemen pemerintahan, sedangkan aspek yang mendorong demokratisasi masih belum dikembangkan sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini antara lain terlihat dari kedudukan DPRD sebagai unsur dari Pemerintah Daerah. Penyerahan urusan lebih diarahkan pada hal yang bersifat administratif tanpa diiringi upaya yang memadai dalam pemberian insentif yang memungkinkan Pemerintah Daerah dan masyarakat bergairah untuk melakukan upaya peningkatan ekonomi di daerahnya sehingga Pendapatan Asli Daerah (PAD) sulit ditingkatkan. Pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional serta perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah belum diatur secara rinci yang sesuai dengan prinsip demokrasi, keadilan dan pemerataan. Pada akhir dan pasca Orde Baru, impIementasi otonomi daerah sangat dipengaruhi oIeh perkembangan lingkungan strategis baik nasional maupun intemasionaI. Perkembangan lingkungan strategis ini bergerak cepat dan dinamis serta membuka peluang bagi pelaksanaan otonomi daerah. Momentum reformasi adaIah saat yang tepat bagi realisasi otonomi daerah, dan merupakan kesempatan menentukan pilihan yang tepat mengenai bentuk pemerintahan di daerah serta mengupayakan pengembangan potensi sumber daya daerah agar dapat terangkat daIam era gIobaIisasi Untuk mengatasi kegagalan ini dan sejalan dengan semangat otonomi daerah di era reformasi ini, MPR melalui ketetapan No. XV /MPR/1998 antara lain mengamanatkan bahwa perlu diwujudkan penyelenggaraan otonomi daerah dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Berdasarkan Ketetapan MPR tersebut di atas, Pemerintah bersama DPR menetapkan paket pengaturan otonomi daerah dalam bentuk UU Nomor 22 Tahun 1999 (UU 22/1999) tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 (UU 25/1999) tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah sebagai pengganti UU Nomor 32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan. Pada intinya UU 22/1999 adalah mengatur pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah ( Power Sharing ), sedangkan UU 25/1999 ada1ah mengatur pembagian keuangan (Financial Sharing) yang diakibatkan adanya pembagian kewenangan tersebut. Terjadi perubahan yang sangat mendasar ditinjau dari aspek kewenangan di mana pemberian kewenangan Daerah Otonom yang luas untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat sesuai dengan azas desentralisasi. UU 22/1999 mengatur pemberian kewenangan bidang pemerintahan yang lebih besar kepada Kabupaten/Kota, kedudukan Pemerintah Daerah selaku Badan Eksekutif yang terpisah dengan kedudukan DPRD selaku Badan Legislatif, dan semua Peraturan Daerah tidak perlu mendapat pengesahan Pusat, serta tidak ada hubungan hierarki antara Propinsi dengan Kabupaten/Kota. Sesuai dengan Pasal 11 UU 22/1999 antara lain mengatur kewenangan daerah 11 bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja. Pengaturan lebih lanjut ditetapkan dengan PP 25 Tahun 2000 tentang kewenangan Pemerintah dan Propinsi sebagai Daerah Otonom, yang membatasi kewenangan Pemerintah dan Propinsi. Kewenangan Pemerintah dibatasi dalam bentuk penetapan kebijakan yang bersifat norma, standar, kriteria, dan prosedur serta pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan dan supervisi, sedangkan kewenangan Propinsi lebih dibatasi pada kewenangan lintas Kabupaten/Kota, kewenangan yang diserahkan oleh Kabupaten/Kota, dan kewenangan dekonsentrasi. Namun demikian untuk menghadapi krisis multidimensi yang menjurus ke arah disintegrasi bangsa, maka dalam rangka implementasi otonomi daerah tersebut digunakan prinsip desentralisasi yang proporsional bersamaan dengan prinsip dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Untuk itulah Pemerintah bersama dengan DPR sedang mengkajiulang dalam rangka merevisi UU 22/1999 yang sesuai dengan TAP MPR Nomor IV Tahun 2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah. 2
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom da1am kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penyelenggaraan asas desentralisasi secara utuh dan bulat dilaksanakan di Daerah Kabupaten dan Daerah Kota dengan sumber pembiayaan dari APBD masing-masing. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada Gubemur sebagai Wakil Pemerintah dan/atau perangkat Pusat di Daerah. Penyelenggaraan asas dekonsentrasi dilaksanakan oleh di Propinsi dengan sumber pembiayaan dari APBN. Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada Daerah dan Desa dan dari Daerah ke Desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada yang menugaskan. Asas Tugas Pembantuan dapat dilaksanakan oleh Propinsi, Kabupaten/Kota dan Desa dengan sumber pembiayaan dari APBN . Ditinjau dari aspek keuangan yang mendukung pelaksanaan desentralisasi kewenangan yang semakin luas tersebut, UU 25/1999 mengatur perimbangan keuangan yang lebih besar kepada Daerah untuk menge1ola sumber-sumber keuangannya masing-masing. Perubahan yang mendasar yang diatur dalam UU 25/1999 antara lain: ( 1) perubahan sistem pembiayaan daerah dari sistem subsidi dan bantuan (SDO/Inpres) yang selama ini penggunaan dananya diarahkan dari Pusat (Specific Grant) menjadi sistem alokasi umum yang penggunaannya diserabkan sepenubnya kepada Daerah (Block Grant); (2) perubahan bagi basil di mana sebagian penerimaan negara dari SDA sektor Migas diberikan kepada Daerah penghasil. (3) perubahan sistem pertanggungjawaban keuangan yang semula dari Pemerintah Daerah (Pemda) kepada Pusat menjadi dari Pemda kepada masyarakat dan DPRD; (4) penyederhanaan sistem pemeriksaan keuangan daerah. Sumber-sumber penerimaan daerah yang penting berasal dari PAD, dan Dana Perimbangan. P AD dimaksud bersumber dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Perusahaan milik Daerah, dan Lain-lain P AD yang sah, serta Dana Perimbangan dalam bentuk Bagian Daerah dari PBB, BPHTB, dan SDA, Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). DAU untuk menjaga pemerataan antar Daerah yang besarnya minimal 25% dari penerimaan Dalam Negeri dalam APBN dengan perimbangan 10% untuk Propinsi dan 90% untuk Kabupaten/Kota. Penentuan besarnya dana lokasi umum untuk masing-masing Daerah dilakukan dengan memperhatikan (1) kebutuhan daerah yang tercermin dari jumlah penduduk, luas wilayahnya, keadaan geografis, dan tingkat pendapatan masyarakat dan (2) potensi ekonomi daerah yang tercermin dari potensi penerimaan daerah seperti potensi industri, SDA, SDM, dan PDRB. DAK dialokasikan untuk membantu pembiayaan kebutuhan tertentu, yaitu yang merupakan program nasional, atau merupakan kegiatan/program yang tidak terdapat di daerah lain. Dana ini termasuk yang berasal dari dana reboisasi sebesar 40% untuk Daerah. Program yang dibiayai dengan dana alokasi khusus harus disertai dengan dana pendamping yang bersumber dari APBD. Rincian prosentase Bagian Daerah yang berasal dari dana Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yaitu: Jenis Pendapatan A. Bagian Daerah 1. PBB 2. BPHATB 3. SDA a). Kehutanan - Iuran HPH - Provisi SDH b). Pertambangan Umum - Iuran Tetap - Iuran eksplorasi & royalty c). Perikanan d). Minyak Bumi e). Gas Alam B. DAU C. DAK
Pusat
Propinsi
Kab/Kota
10% 20%
16.2% 16.0%
64.8% 64.0%
20% 20%
16.0% 16.0%
64.0% 32.0+32.0%
20% 20% 20% 85% 70%
16.0% 16.0%
64.0% 32.0+32.0% 80.0% 6.0+6.0% 12.0+12.0% 90.0% PM
3.0% 6.0% 10.0% PM
Upah Pungut 9.0%
3
III. PERANAN PEMERINTAH DAN GOOD GOVERNANCE Dalam konteks pemerintahan, etika pemerintahan merupakan landasan moral bagi penyelenggaraan pemerintahan. Tugas pokok pemerintah itu dapat diringkas menjadi empat tlmgsi penting yaitu: pelayanan (service), pemberdayaan (empowerment), dan pembangunan (development), serta fungsi pembina jaringan bisnis (business networking). Pelayanan akan membutuhkan keadilan dalam masyarakat, pemberdayaan akan mendorong kemandirian masyarakat, dan pembangunan akan menciptakan kemakmuran dalam masyarakat, serta jaringan bisnis dimaksudkan untuk mendorong pengembangan dunia usaha. Etika pemerintahan seyogyanya dikembangkan untuk memaksimalkan pelaksanaan fungsi-fungsi itu. Artinya, setiap tindakan yang tidak sesuai dan tidak mendukung perwujudan fungsi- fungsi itu seyogyanya dipandang sebagai pelanggaran etika pemerintahan. Untuk mengoptimalkan perwujudan pelaksanaan investasi daerah, salah satu pendekatan yang dapat dikembangkan yaitu melalui pengembangan 'business networking’. Jika pendekatan jaringan kerja bisnis ini dapat dikembangkan secara efektif dan efisien, maka pengembangan investasi dapat digunakan dengan sangat rendah dan hemat. Untuk efektifnya suatu jaringan kerja bisnis dan investasi di daerah. Dalam rangka pembinaan dan pengembangan bisnis termasuk bidang investasi di daerah, paling tidak terdapat dua pihak yang terlibat secara langsung, yaitu 1) aparatur pembina bisnis, dan 2) para pelaku ekonomi/bisnis. Hubungan antara kedua pihak tersebut sering tidak sejalan terutama karena perbedaan persepsi yang berkaitan dengan wawasan bisnis, sistem pengendalian manajemen dan penerapan teknologi. Hal ini mengakibatkan pengembangan bisnis di daerah belum optimal, untuk itu perlu diupayakan peningkatan kemampuan SDM sehingga lebih profesional, mandiri dan memiliki wawasan bisnis. Di samping itu harus diciptakan hubungan yang harmonis antara aparatur pembina bisnis dan para pelaku ekonomi di daerah dengan memanfaatkan kemampuan manajemen, dan ketrampilan teknis yang dimilikinya sebagai upaya untuk mewujudkan jaringam bisnis di daerah. Deregulasi dan debirokratisasi yang pernah dicanangkan sebelumnya tidak dilaksanakan secara konsisten sehingga pelayanan birokrasi yang efisien dan efektif tidak terwujud. Hampir semua urusan yang menyangkut peluang usaha dan investasi di daerah masih harus diputuskan oleh Pemerintah Pusat, padahal seharusnya cukup diputuskan di tingkat daerah apabila desentralisasi kewenangan melalui penyelenggaraan otonomi daerah dapat segera terlaksana. Dalam upaya meningkatkan kinerja pemerintahan, perlu segera dilakukan restrukturisasi lembaga Pemerintah dan Daerah yang merupakan konsekuensi logis dari adanya pelimpahan kewenangan. kepada Daerah. Hal ini dapat dilakukan melalui perampingan birokrasi Pemerintah dan Propinsi, serta pengembangan perangkat Daerah Kabupaten/Kota. Penyelenggaraan otonomi daerah dengan memberi kewenangan kepada Daerah dalam bidang pemerintahan akan membuat Daerah lebih leluasa mencari mitra untuk mengembangkan potensi ekonomi dan menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi. Namun demikian masih rendahnya daya saing karena faktor ekonomi biaya tinggi (highcost economy) ataupun faktor kualitas pelayanan publik yang tidak mendukung, bukan disebabkan faktor kesalahan manusia yang bekerja di pemerintahan akan tetapi permasalahan tersebut timbul karena tidak tepatnya sistem pemerintahan yang digunakan. Dengan demikian dalam upaya mewujudkan good public governance dan good corporate governance yang inovatif perlu dikembangkan suatu sistem pelayanan publik yang transparan. terbuka. cepat. tanggap. fleksibel dan terdesentralisasi tapi terkoordinasi. Apabila izin usaha memerlukan waktu berbulan-bulan dan dengan pengurusan yang berbelit-belit tentunya para pengusaha akan menghadapi berbagai kesulitan. Faktor kecepatan waktu secara langsung akan mempengaruhi daya saing dan waktu adalah satu-satunya sumberdaya yang tidak pemah bisa digantikan. Untuk pelayanan publik dimaksud dibutuhkan aparat pemerintah daerah yang berkualitas dan mampu memahami tantangan dan meraih peluang yang inovatif dalam implementasi otonomi daerah sesuai dengan bidang tugas dan fungsinya sehingga tercipta masyarakat madani yang sejahtera. Aparat tersebut tentunya akan mampu mengantisipasi
4
4
tuntutan masyarakat terhadap pelayanan prima. Tuntutan ini sebagai konsekwensi logis munculnya paradigma baru dalam manajemen pelayanan publik yang transparan, terbuka, akuntabel, partisipatij; fleksibel dan responsif terhadap keinginan masyarakat. Dari perspektif pelayanan sebuah lembaga pemerintah dinilai baik bila dilihat dari segi kelembagaan dan proses mestinya bisa melayani semua stakeholder . Ditinjau aspek alokasi dan penggunaan sumberdaya (alam, manusia, dan buatan) ada empat karakteristik yang penting dan selalu harus diperhatikan yaitu equity, efektifitas dan efisiensi, ramah lingkungan, dan resources prudence. Karakteristik equity dimaksud yang berkaitan dengan kesamaan peluang bagi semua anggota masyarakat untuk mempertahankan dan memperbaiki kesejahteraannya. Ramah lingkungan merujuk kepada kondisi bahwa seiring dengan pemanfaatan potensi sumberdaya, senantiasa ada upaya untuk melestarikan l'ingkungan. Efektifitas dan efiesiensi menghendaki supaya berbagai keputusan publik didasarkan pada penggunaan sumberdaya terbaik. Karateristik resources prudence mensyaratkan bahwa sumberdaya yang dimanfaatkan secara optimal bagi kesejahteraan masyarakat tanpa harus menggadaikan masa depan. Pemimpin dan masyarakat harus mempunyai empat karateristik tersebut yang disertai visi strategis yang jelas dan kemampuan menyelesaikan perbedaan kebijakan melalui konsensus untuk mewujudkan goodgovernance dan goodsociety. Sesuai dengan arnanat konstitusi melalui TAP MPR Nomor IV Tahun 2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalarn penyelenggaraan Otonomi Daerah antara lain mengatur bagi Daerah yang terbatas sumber daya alamnya, perimbangan keuangan dilakukan dengan memperhatikan kemungkinan untuk mendapatkan keuntungan BUMN yang ada di Daerah yang bersangkutan dan bagian dari pajak penghasilan perusahaan yang beroperasi. Dalam hal ini BUMN perlu mempersiapkan diri untuk bisa mengakomodasikan harapan dari Pemerintah Daerah sebagai salah satu Pelaku Ekonomi Daerah yang dituntut berperan dalam peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan pembangunan Daerahnya. Kebijakan pemberian bagian laba BUMN di atas adalah sebagai upaya untuk menciptakan sense of govnership Daerah terhadap keberadaan BUMN termasuk BUMN pengelola sumberdaya alam. IV. PEMANFAATAN DATA SPASIAL SOSIAL EKONOMI Di tingkat regional dan nasional juga semakin disadari bahwa penyediaan dan pemanfaatan informasi spasial sebagai hasil kegiatan survei dan pemetaan merupakan kebutuhan utama dan pertama untuk pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup secara rasional dan terencana dengan baik. Demikian pula dalam GBHN 1999-2004 dan Program Pembangunan Nasional (Propenas) menekankan perlunya Program Pengembangan dan Peningkatan Akses Informasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup. Dengan adanya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah maka hampir seluruh bidang pemerintahan yang selama ini ditangani Pemerintah telah diserahkan ke Daerah Kabupaten/Kota dan dikaitkan del1gan pengelolaan sumberdaya alam, Daerah berwenang mengelola sumberdaya alam yang tersedia di wilayahnya kecuali yang strategis seperti Migas dan bertanggungjawab memelihara kelestarian lingkungan. Implikasi dari penyerahan berbagai bidangbidang pemerintahan tersebut temasuk di dalamnya kegiatan survei dan pemetaan. Demikian pula otonomi daerah, perubahan arah kebijaksanaan survei dan pemetaan (surta) nasional terletak pada pengaturan kewenangan surta antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Penentuan Prioritas pembangunan infrastruktur data spasial, pemanfaatan kemajuan teknologi surta dan infonnasi penyesuaian standar produk surta dengan standar internasional, kemudahan akses infonnasi spasial dan peningkatan jaringan kerja stakeholder surta. Lebih lanjut PP Nomor 25 Tahun 2000 mengatur dan membatasi kewenangan Pemerintah dan Propinsi sebagai Daerah Otonom, yang porsinya lebih besar pada penetapan kebijakan yang bersifat nonna, standar, kriteria dan prosedur. Sebagaimana kita ketahui, data sosial ekonomi wilayah dan sumber daya manusia dapat diperoleh dari berbagai sumber pengumpulan data. Pada umumnya informasi yang dikumpulkan melalui sensus bersifat umum, sedangkan yang dikumpulkan melalui survai lebih spesifik untuk aspek tertentu. Data yang diperoleh dari sistem registrasi, menggambar jenis dan jumlah data yang sangat banyak sehingga kualitas data menjadi kendala yang signifikan. Data sosial ekonomi yang dikumpulkan oleh suatu instansi, pada umumnya lebih menitikberatkan pada kepentingan instansi yang bersangkutan. Data yang dapat dimanfaatkan yang dilihat dari sistem pengumpulan dan banyak digunakan di Indonesia beberapa sumber data, antara lain Potensi Desa, Sensus Penduduk, Susenas, Sakernas, dan data instansional. Data 5
tersebut mempunyai referensi waktu dan cakupan wilayah yang berbeda-beda serta pemanfaatannya untuk mengetahui profile keadaan dan potensi sumberdaya sosial ekonomi setiap tahunnya untuk lingkup kabupaten/kota. Daerah Otonom Propinsi dan Kabupaten/Kota dibentuk berdasarkan atas pertimbangan kemanpuan ekonomi, potensi daerah, latar belakang budaya, kondisi sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah dan pertimbangan lainnya yang memungkinkan terselenggaraannya pemerintahan daerah di masing-masing daerah otonom dengan sasaran utama unhlk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Pemerintah Daerah dan para pelaku ekonomi dapat memanfaatkan secara optimal data sosial ekonomi yang didukung oleh data yang akurat berdasarkan hasil sensus dan survai di lapangan, yang saat ini dirasa kurang dimanfaatkan karena lebih tertarik untuk mengumpulkan data sendiri tanpa disadari bahwa data telah tersedia. V. PENUTUP Keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh efektifitas pemanfaatan potensi sumber daya wilayah, sumber daya manusia serta potensi sosial ekonomi yang ada di daerahnya untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk. Informasi yang berkaitan dengan potensi sosial ekonomi dapat disusun dari berbagai sumber data. Cakupan data sosial ekonomi cukup penting dalam hubungannya pelaksanaan otonomi daerah antara lain data yang terhimpun dalam Potensi Desa dan Sensus Penduduk. Kedua himpunan data tersebut dapat digunakan secara bersama, atau dapat diintegrasikan dan disajikan dalam bentuk informasi spasial. Informasi spasial dalam bentuk peta sosia1 ekonomi wilayah yang disajikan secara bersama- sama dengan potensi sosial ekonomi penduduk sangat diperlukan untuk melihat distribusi kemampuan wilayah. Peta yang menyajikan infonnasi spasia1 tersebut dapat disajikan da1am batas administrasi mulai dari desa/kelurahan yakni unit yang paling kecil. Infonnasi ini dapat digunakan da1am upaya optimalisasi pemanfaatan sumberdaya wilayah dan berbagai upaya untuk meredam konflik wilayah antar daerah kabupaten/kota sebagai akibat ketidakjelasan lokasi sumber daya a1am yang sering terjadi akhir-akhir ini. Penyajian informasi spasial keadaan sosial ekonomi dapat dilaksanakan oleh Daerah secara cepat dengan melibatkan berbagai lembaga antara lain Badan Pusat Statistik sebagai penyedia data, Bakosurtanal sebagai penyedia peta dasar dan Perguruan Tinggi sebagai analisis data. Sebagai langkah awal, informasi spasial sosial ekonomi dapat dicoba dengan menggunakan data yang relatif baru guna mendukung pelaksanaan otonomi daerah yang baru saja dimulai. Pemanfaatan data spasial sosial ekonomi tidak akan banyak gunanya apabila tidak didukung data fisik daerah. Pemanfaatan data spasial dapat dilakukan dalam upaya pendayagunaan SDA untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal, dan penataan ruang. Penerapan indikator-indikator yang memungkinkan pengelolaan SDA yang dapat diperbarui untuk mencegah kerusakan yang tidak dapat balik. Dikaitkan dengan arah kebijakan pembangunan ekonomi, Daerah Otonom dapat menciptakan peluang usaha bagi para pelaku ekonomi daerah yaitu BUMN, BUMD, Koperasi dan Swasta, dengan memanfaatkan data spasial sosial ekonomi dalam upaya peningkatan pembangunan ekonomi daerah, serta penataan ruang baik fisik maupun sosial ekonomi sehingga terjadi pemerataan pertumbuhan ekonomi daerah. Sejalan dengan upaya menyajikan infrastruktur data spasial yang akurat dan dapat digunakan oleh Pemerintah, Daerah, dan para pelaku ekonomi, diharapkan melalui berbagai pertemuan dan kegiatan lainnya, akan dapat diwujudkan kesepakatan guna peningkatan mutu informasi. Untuk itu perlu ditingkatkan kemampuan dalam menata informasi data spasial melalui pemanfaatan teknologi, dan peningkatan manajemen serta penyediaan sumberdaya manusia yang berkualitas.
Bandung, 10 Mei 2001
6