POLICY PAPER BINA DESA # PEMBAHARUAN AGRARIA
PEMBAHARUAN AGRARIA DAN OTONOMI DAERAH SEBAGAI DASAR EKONOMI KERAKYATAN Konflik-konflik agraria yang selama ini tumbuh merebak di pedesaan sesungguhnya tidak hanya merupakan akibat dari perbedaan persepsi mengenai hak dalam penguasaan dan pemilikan atas sumber-sumber agraria di satu wilayah antara pemerintah dengan rakyat. Seringkali di dalam penanganan sengketa agraria, aspek hukum – bukti-bukti legal formal – selalu menjadi acuan bagi kedua belah pihak. Akibatnya, rakyat yang ditinjau dari segi yuridis lemah dalam bukti-bukti kepemilikan selalu kalah atau dikalahkan dalam setiap gugatan baik di pengadilan maupun di luar pengadilan. Salah satu akar penyebab dari seluruh konflik agraria yang terjadi sepanjang pemerintahan Orde Baru hingga Orde Reformasi adalah terletak pada pilihan paradigma dan strategi pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Paradigma ini tidak hanya menciptakan konflik agraria tapi lebih dari itu menciptakan kemiskinan dan kesenjangan sosial di pedesaan. Secara jujur dapat dikatakan bahwa krisis multidimensional (ekonomi, sosial dan politik) yang sekarang ini kita alami merupakan buah dari paradigma pertumbuhan yang sebelumnya diyakini sebagai obat mujarab untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Karena itu penting bagi kita untuk menilai kembali dan bahkan harus mengganti paradigma ini dengan paradigma alternatif sebagai landasan dalam pembangunan baik di tingkat lokal, daerah maupun nasional. Karena dari sekian banyak perubahan dalam era reformasi, ada satu hal yang tidak berubah sampai sekarang adalah tetap digunakannya paradigma pertumbuhan sebagai dasar penyelesaian krisis. Ini menunjukkan kita tidak pernah mau belajar dari kesalahan di masa lalu dan kini terus menggali lubang kubur diri kita sendiri lebih dalam. Tulisan ini di bagi ke dalam tiga sub pokok bahasan. Pertama, memaparkan kegagalan paradigma pertumbuhan yang menjadi landasan pembangunan baik di tingkat lokal maupun nasional. Kedua, menawarkan paradigma pembangunan alternatif di mana pembaharuan agraria (agrarian reform) sebagai salah satu pilar sistem sosial-ekonomi masyarakat pedesaan. Dan ketiga, bagaimana menempatkan pembaharuan agraria dalam konteks otonomi daerah yang telah berjalan selama 12 tahun.
Belajar dari Kegagalan Masa Lalu
1
Pada periode 1950 – 1960-an, hampir semua negara-negara Dunia Ketiga percaya bahwa pembangunan yang didasarkan pada pertumbuhan ekonomi merupakan jalan pintas yang paling efektif untuk mengejar ketertinggalannya dengan negara-negara maju. Sebagian besar dihinggapi pandangan bahwa pembangunan sama dengan modernisasi dan industrialisasi di mana modal memainkan peranan yang sangat besar dalam menciptakan pertumbuhan. Saat itu, teori yang dipercaya dan digunakan oleh para elit penguasa dan perencana pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga adalah teori yang dikemukakan Rostow yang terkenal dengan karya klasiknya The Stages of Economic Growth. Dalam tulisannya, Rostow menyatakan bahwa ada lima tahapan dalam pembangunan ekonomi, yaitu mulai dari tahap masyarakat tradisional dan berakhir pada tahap masyarakat dengan konsumsi massa tinggi. Di antara kedua kutub ini ada tahapan yang dianggap kritis yaitu dikenal dengan tahap tinggal landas. Istilah ini kemudian digemari oleh para elit penguasa, termasuk mantan Presiden Suharto dan para pejabat-pejabatnya di masa Orde Baru yang selalu meyakinkan masyarakat bahwa ekonomi Indonesia akan segera memasuki tahap lepas landas. Salah satu pokok pikiran Rostow yang terpenting adalah, jika satu negara hendak mencapai pertumbuhan ekonomi yang otonom dan berkelanjutan, negara tersebut harus mampu melakukan mobilisasi seluruh kemampuan modal dan sumberdaya alamnya sehingga mampu mencapai tingkat investasi produktif (10%) dari pendapatan nasionalnya. Jika tidak, pertumbuhan ekonomi yang hendak dicapai tidak akan mampu mengimbangi pertumbuhan penduduk (Suwarsono dan Alvin Y. So, 1994). Lantas, dari mana negara Dunia Ketiga memperoleh sumberdaya modal yang diperlukan untuk mencapai tingkat investasi produktif yang tinggi ? Menurutnya dari empat cara yang ditawarkan, satu cara yang paling mudah dan tidak punya resiko politik yang tinggi, yaitu dana investasi digali dari investasi langsung modal asing untuk ditanamkan pada bidang pembangunan prasarana dan eksploitasi sumberdaya alam serta sektor produktif lainnya. Dari sini lahirlah program-program bantuan asing yang berupa bantuan modal, teknologi, dan keahlian bagi negara Dunia Ketiga. Indonesia adalah salah satu negara yang secara terang-terangan memilih jalan sebagaimana dijelaskan di atas. Di awal pemerintahan Orde Baru berdiri, undang-undang yang menjadi tumpuan utamanya adalah Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA) tahun 1967 yang kemudian diikuti dengan dengan Undang-undang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) pada tahun 1968. Strategi pembangunan yang dipilih adalah strategi pembangunan yang kapitalistik dimana swasta memegang peranan yang dominan dalam sistem pasar bebas dan menggunakan modal asing untuk menopang struktur ekonomi nasional. Strategi ini dianggap dapat menjanjikan hasil-hasil yang lebih cepat tanpa memerlukan perombakan struktur sosial-ekonomi yang mahal.
2
Untuk konteks pedesaan, semua rezim yang berkuasa setelah Orde Lama memandang peningkatan pertumbuhan ekonomi jauh lebih penting dibandingkan dengan pelaksanaan landreform. Landreform yang merupakan instrumen utama dalam upaya mencapai pemerataan dan keadilan sosial-ekonomi sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945 tidak mendapatkan tempat penting dalam strategi pembangunan nasional. Alasannya, kebijakan landreform tidak dapat dilaksanakan karena realitas penguasaan tanah di Indonesia sangat kecil dan tidak relevan dengan strategi pembangunan pedesaan yang akan diarahkan untuk menunjang industrialisasi. Lagi pula, dalam pandangan pemerintah program redistribusi dapat menghambat upaya percepatan pertumbuhan ekonomi. Terlebih dahulu diutamakan pembuatan kue pembangunan, setelah itu baru dibagi. Memang sepintas lalu strategi pembangunan yang diterapkan selama periode tersebut menunjukkan adanya pertumbuhan yang ditandai dengan meningkatnya laju PDB (rata-rata 7% per tahun), GNP (850 dolar AS selama periode 1980-an), dan nilai ekspor. Di pedesaan, pemerintah telah berhasil mencapai swasembada pangan sehingga presiden Suharto ketika itu mendapat penghargaan dari FAO. Pemerintah dan perencana pembangunan semakin yakin bahwa strategi yang ditempuhnya sudah tepat dan benar. Namun di awal tahun 1990-an, jalannya pembangunan tidak lagi menunjukkan arah sebagaimana yang diharapkan. Kontradiksi-kontradiksi dan dampak negatif pertumbuhan ekonomi semakin terkuak. Beban pembayaran utang luar negeri semakin tinggi; laju pertumbuhan ekspor tidak banyak bergerak, sementara impor semakin meningkat; penyerapan tenaga kerja di sektor informal mengalami stagnasi. Belum lagi di bidang sosial yang menunjukkan tingkat kesenjangan yang tinggi. Di penghujung tahun 1990-an, ekonomi yang dibangun dengan biaya sangat tinggi ini akhirnya menuai badai krisis yang dampaknya kita alami sampai sekarang. Kemana larinya angka pertumbuhan 7%, GNP yang katanya hampir 1200 dolar AS, devisa hasil ekspor, dan atribut lainnya yang kerap kali dijadikan indikator keberhasilan pembangunan? Kenapa semua ini bisa terjadi? Hingga sekarang belum ada yang dapat memberikan jawaban yang memuaskan. Sebagian besar elit penguasa dan para perencana pembangunan kita hanya menyalahkan pihak luar sebagai penyebab krisis, tapi tidak pernah secara kritis melihat ke dalam, bahwa sesungguhnya paradigma pembangunan yang dianut itulah sebagai penyebab utama krisis. Sebenarnya telah lama disadari bahwa paradigma pertumbuhan yang akarnya bersumber pada ekonomi neo-klasik ini tidaklah tepat untuk dijadikan sebagai basis kebijaksanaan pembangunan oleh karena apa yang terjadi dalam proses perkembangan ekonomi tidaklah seperti yang diantisipasikan terhadap paradigma ini. Strategi pertumbuhan yang dianut telah tidak mengakibatkan trickle down hasil-hasil pertumbuhan yang telah dicapai, tetapi malah mengakibatkan trickle up hasil-hasil pertumbuhan ini sehingga memperhebat apa yang disebut vicious dualism atau kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin.
3
Selama 34 tahun kita menganut dan menjalankan strategi pembangunan sebagaimana yang disebut Mahbub ul Haq yaitu pertumbuhan tanpa keadilan. Perencana pembangunan terpukau oleh laju pertumbuhan GNP yang tinggi dan mengabaikan tujuan sebenarnya dari usaha pembangunan. Hampir di setiap negara yang menjalankan strategi ini, pertumbuhan ekonomi selalu disertai jurang perbedaan pendapatan, baik antar perorangan maupun antar daerah, yang makin menganga. Rakyat makin banyak menggerutu karena pembangunan tidak menyentuh kehidupan sehari-hari mereka. Pertumbuhan ekonomi seringkali berarti sedikit sekali bagi keadilan. Pertumbuhan ekonomi selama ini selalu diikuti jumlah pengangguran yang meningkat, pelayanan sosial yang semakin buruk, serta kemiskinan absolut dan relatif yang semakin menjadi-jadi (Mahbub ul Haq, 1995). Memasuki Orde Reformasi, perekonomian Indonesia makin dibuka lebar-lebar untuk modal asing. Bila pada masa Orde Baru ekonomi dikendalikan oleh kapitalisme Negara, kini setelah berganti rezim peranan Negara dalam perekonomian makin berkurang dan sepenuhnya di serahkan ke pasar bebas. Liberalisme ekonomi di bawa Orde Reformasi ini dimulai dari revisi UU Perkebunan yang memperpanjang masa penguasaan HGU dan HGB untuk pihak asing dari 25 tahun menjadi 75 tahun dan setelah itu bisa diperpanjang lagi. Di samping itu, desakan-desakan para pengusaha property begitu kuat untuk merevisi UUPA 1960 terutama dalam soal diperbolehkannya warga Negara asing untuk memiliki property di Indonesia, dengan alasan bahwa pasar property Indonesia kurang menarik bagi investor asing sepanjang masih diberlakukannya pembatasan pemilikan asing di sector agraria. Nampaknya hingga saat ini belum ada tanda-tanda perubahan paradigma pembangunan yang pro rakyat. Dengan belajar dari kegagalan di masa lalu, sudah saatnya paradigma pertumbuhan dan indikator-indikator yang menyertainya diganti dengan paradigma pembangunan yang berorientasi kerakyatan (neo-populis) sebagaimana yang sudah diletakkan oleh Founding Fathers ketika pertama kali Republik ini didirikan, seperti Hatta bicara tentang Ekonomi Kerakyatan dan Sukarno bicara tentang Ekonomi Berdikari. Pemerintah Orde Baru telah salah langkah dalam memilih dan meletakkan strategi pembangunan sehingga menjerumuskan bangsa dan rakyat Indonesia ke dalam jurang krisis yang berkepanjangan. Apakah kita sekarang ini akan mengulanginya?
Pembaharuan Agraria suatu Keharusan Wacana tentang Pembaharuan Agraria (Agrarian Reform) atau Reforma Agraria sudah seringkali dibicarakan oleh berbagai kalangan baik di tingkat nasional maupun internasional. Wacana inipun telah ditetapkan menjadi jalan menuju Tata Ekonomi Internasional Baru. Penetapan jalan baru ini merupakan hasil refleksi yang panjang atas kegagalan paradigma dan strategi pembangunan ekonomi dunia yang cenderung menciptakan kesenjangan dan ketidakadilan,
4
serta tetap meninggalkan masalah kemiskinan dan kelaparan pada sepertiga penduduk dunia. Maka pada bulan Juli 1979, 145 negara menyetujui Deklarasi Prinsip dan Program Aksi yang dihasilkan Konferensi Dunia tentang Pembaharuan Agraria dan Pembangunan Pedesaan, yang diselenggarakan oleh FAO di Roma. Bagian penting dari isi deklarasi tersebut adalah sebagai berikut :
Menyadari bahwa upaya-upaya program pembangunan pada masa yang lampau banyak mengalami kegagalan dalam menggapai dan memberi keuntungan bagi wilayah-wilayah pedesaan secara memadai, dalam banyak hal menciptakan ketidakseimbangan pembangunan kota-desa, mengabaikan adanya dinamika dan keragaman nilai-nilai budaya asli penduduk desa bahkan telah mengakibatkan terciptanya ketidakseimbangan di dalam sektor pedesaan …….. Meyakini bahwa pembaharuan agraria merupakan komponen kritis yang terdapat dalam pembangunan pedesaan, dan bahwa perbaikan daerah pedesaan yang terus menerus, yakni dalam konteks menegakkan rasa percaya diri dan terciptanya Tata Ekonomi Internasional Baru pada dasarnya memerlukan adanya tanah, air dan sumberdaya alam lainnya secara lebih lengkap dan lebih berkeadilan lagi; perlunya pembagian kekuasaan ekonomi dan politik yang lebih merata; meningkatkan serta lebih memproduktifkan lapangan kerja; lebih mendayagunakan keterampilan serta sumberdaya manusia; menyertakan dan mengintegrasikan masyarakat desa ke dalam sistem produksi dan distribusi; meningkatnya produksi, produktivitas serta tersedianya makanan bagi semua kelompok masyarakat; serta mobilisasi sumberdaya yang ada dalam diri tiap orang atau bangsa( FAO, 1981). Inti dari deklarasi tersebut menyatakan bahwa untuk membangun Tata Ekonomi Baru yang bertumpu pada pemerataan dan keadilan maka setiap pemerintah hendaknya melaksanakan perombakan dan penataan kembali struktur pemilikan dan penguasaan sumber-sumber agraria (tanah, air dan udara) untuk kepentingan rakyat banyak dan demi terciptanya pembangunan yang berkelanjutan. Karena salah satu akar kemiskinan dan keterbelakangan negara-negara Dunia Ketiga adalah masih besarnya ketimpangan struktur penguasaan agraria sebagai warisan dari sistem feodalisme dan kolonial di masa lalu. Pembaharuan agraria merupakan landasan bagi pembangunan sosial-ekonomi di pedesaan, dan pembangunan sosial-ekonomi di pedesaan yang bertumpu pemerataan dan keadilan adalah syarat untuk membangun struktur ekonomi nasional yang kuat, mandiri dan berkelanjutan. Sebagian besar negara-negara yang telah berhasil membangun industrialisasinya seperti di Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan Cina, semuanya menempuh jalan pembaharuan agraria. Jadi, kalau
5
dikatakan bahwa pembaharuan agraria tidak ada sangkut pautnya dengan industrialisasi dan modernisasi ekonomi atau bahkan akan menggagalkannya, pendapat tersebut salah besar. Bahkan sebaliknya, industrialisasi dan modernisasi ekonomi tanpa pembaharuan agraria merupakan pembangunan yang semu atau rapuh. Bila pembangunan hanya diartikan sebagai gerak modal maka gerak modal yang terjadi adalah gerak modal khayal, artinya memang banyak pihak menginvestasikan modalnya tapi modal tersebut hanya diparkir sementara. Hal ini tidak akan terjadi bila pondasi ekonomi baik lokal maupun nasional kuat, dan untuk memperkuatnya di perlukan pembaharuan agraria. Setidaknya ada dua alasan mendasar kenapa pembaharuan agraria mutlak di lakukan, apalagi bila corak dan sistem masyarakatnya masih agraris. Pertama, alasan keadilan dan penghapusan segala bentuk penghisapan. Pembangunan bagaimanapun juga harus dilandasi rasa keadilan dan pemerataan, sebuah pandangan yang sudah lama dikemukakan teori-teori sosial-ekonomi. Pembaharuan agraria yang salah satu aspeknya adalah landreform merupakan upaya untuk menciptakan pemerataan sosial-ekonomi di berbagai lapisan masyarakat di pedesaan. Sebagaimana pernah diungkapkan oleh Menteri Agraria Sardjowo dalam mengantarkan rancangan UUPA di muka sidang pleno DPRGR pada tanggal 12 September 1960, ia menyatakan bahwa tujuan landreform di Indonesia antara lain adalah :
Untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani berupa tanah, dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil juga; Untuk melaksanakan prinsip tanah untuk petani, supaya tanah tidak menjadi alat pemerasan; Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga negara Indonesia. Suatu pengakuan dan perlindungan terhadap hak milik; Untuk mengakhir sistim tuan tanah dan menghapus pemilikan dan penguasaan tanah secara besar-besaran dengan cara menyelenggarakan batas maksimum dan batas minimum untuk tiap keluarga.
Kedua, alasan ekonomi. Alasan ini banyak digunakan oleh pemerintah dan para perencana pembangunan di negara-negara berkembang sebagai strategi transformasi pembangunan ekonomi dari sistem perekonomian tradisional ke sistem perekonomian moderen. Baik pemerintahan yang menganut sistem sosialis maupun sistem kapitalis, keduanya menempuh pembaharuan agraria sebagai dasar untuk pembangunan ekonomi nasional. Dengan dikuasainya alat produksi oleh petani, maka akan menciptakan lapangan pekerjaan secara merata di pedesaan dan sekaligus juga menciptakan pendapatan rumah tangga pedesaan secara pasti. Dengan demikian akan terjadi peningkatan daya beli masyarakat pedesaan sebagai
6
sumber pembentukan pasar domestik yang kuat. Pasar domestik yang kuat ini merupakan landasan untuk pengembangan industrialisasi yang berorientasi ke dalam. Di sini sangat jelas bahwa pembaharuan agraria merupakan jembatan menuju industrialisasi.
Pembaharuan Agraria dan Otonomi Daerah Pengalaman kegagalan pembangunan di tingkat nasional merupakan pelajaran terbaik bagi pemerintahan dan masyarakat di daerah agar tidak mengulanginya kembali. Dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan direvisi kembali dengan UU No. 32 Tahun 2004, pemerintah maupun masyarakat di tiap-tiap kabupaten/Kotamadya mempunyai peluang yang besar dalam menentukan jalannya arah pembangunan yang lebih adil dan merata. Walaupun disadari bahwa untuk melaksanakan pembangunan secara mandiri masih menghadapi kelangkaan sumberdaya, karena sebagian besar sumberdaya pembangunan selama pemerintahan Orde Baru dan Orde Reformasi terserap ke pusat. Namun, hal yang terpenting dari semua itu adalah adanya kemauan politik yang kuat dari Pemda, DPRD, institusi-institusi sosial-politik dan masyarakat untuk menciptakan dan menjalankan pembangunan yang berorientasi kerakyatan. Sekarang ini ada kecenderungan kuat bahwa strategi pembangunan daerah yang dijalankan dalam kerangka otonomi daerah tidak berbeda dengan strategi pembangunan nasional yang telah gagal. Beberapa kabupaten/kotamadya dikabarkan terancam bangkrut karena mengalami deficit APBD nya lantaran banyak anggaran yang dialokasikan ke biaya rutin seperti gaji pegawai dan membiayai mega proyek yang sumber pendanaannya dari hutang pihak ketiga. Persoalan ini terjadi karena paradigma pembangunan daerah yang dipakai selama menjalani otonomi daerah tidak berbeda jauh dengan Pusat, akibatnya daerah terjebak dengan pola pembangunannya sendiri. Untuk tidak mengulangi kegagalan tersebut, maka pembangunan di wilayah harus menerapkan prinsip dan langkah-langkah yang di antaranya adalah :
Merubah paradigma pembangunan dari pertumbuhan dan pemerataan menjadi pertumbuhan melalui pemerataan; Pertumbuhan GNP tidak bisa lagi dijadikan sebagai satu-satunya tolok ukur keberhasilan pembangunan, tetapi sebagaiamana yang dikemukakan oleh Seers (1979), tolok ukur pembangunan didasarkan atas tiga kriteria, yaitu : Berkurangnya kemiskinan absolut, menurunnya ketimpangan distribusi pendapatan, dan mengecilnya tingkat pengangguran. Atau sebagaimana yang dirumuskan oleh tiga pemikir pembangunan yaitu Amartya Seen, Sukhamoy Chakravarty dan Gunner Myrdal tentang tolok ukur perkembangan ekonomi. Seen (1983) merumuskan perkembangan ekonomi sebagai situasi dimana telah terjadi
7
expansion of people’s capabilities, yang antara lain dibuktikan dengan meluasnya
pemilikan harta oleh rakyat. Sementara itu, Chakravarty mengemukakan pendapat bahwa suatu ekonomi baru dapat dikatakan berkembang apabila telah terjadi pertumbuhan, pemerataan dan peningkatan kreativitas rakyat. Sedangkan Myrdal merumuskan perkembangan ekonomi sebagai suatu situasi dimana terjadi peningkatan keseluruhan sistem sosial; Siasat pembangunan harus berpijak pada tujuan memuaskan kebutuhan pokok manusia dan bukan pada permintaan pasar; Gaya pembangunan harus dirubah sehingga bukan manusia yang dikerahkan di sekitar pembangunan tapi pembangunan yang dikerahkan di sekitar manusia; Kebijaksanaan mengenai pembagian dan lapangan kerja harus dijadikan bagian tidak terpisahkan setiap rencana produksi. Tidak mungkin memproduksi dahulu dan membagi kemudian. Tapi yang jelas memproduksi dan membagi harus dilakukan secara simultan; Hubungan kekuasaan politik dan ekonomi umumnya harus dirombak dan disusun kembali agar pembangunan dapat tersebar luas di kalangan rakyat banyak.
Untuk menjalankan prinsip-prinsip pembangunan di atas, strategi yang tepat dan benar dalam konteks otonomi daerah adalah melaksanakan pembaharuan agraria secara menyeluruh dan konsisten.[]
COPYRIGTH@BINA DESA, 2012. EDITOR BY; SABIQ CAREBESTH & SYAIFUL BAHARI
8