Memperkenalkan Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia (IDEI)
EKONOMI KERAKYATAN URGENSI, KONSEP, DAN APLIKASI
Sebuah mimpi dan peta jalan bagi kemandirian bangsa
Awan Santosa Featuring:
Revrisond Baswir (Pustek UGM) Henry Saragih (Serikat Petani Indonesia) Iman Sugema (InterCafe-IPB), Hendri Saparini (Econit) Dani Setiawan (Koalisi Anti Utang) Khalisah Khalid (WALHI) In-memoriam article Profesor Mubyarto
sekra Sentra Ekonomi Kerakyatan
1
DAFTAR ISI Kata Pengantar Bagian Satu: Ekonomi Kolonial 1. Prolog: Melanjutkan Jalan Ekonomi Kolonial 2. In-Memoriam: Ekonomi Indonesia Terjajah Kembali (Prof. Dr. Mubyarto) 3. Feat: Ekonom Terjajah (Drs. Revrisond Baswir, MBA) 4. Feat: Siasat Utang Rezim Neoliberal (Dani Setiawan, SAg) 5. Neokolonialisme Pertambangan (1): Studi Kasus Migas 6. Neokolonialisme Pertambangan (2): Studi Kasus Pasir Besi Kulon Progo 7. Neokolonialisme BBM (1) 8. Neokolonialisme BBM (2) 9. Feat: Amerikanisasi BBM ((Drs. Revrisond Baswir, MBA) 10. Neokolonialisme Perbankan 11. Neokolonialisme Pertanian (1): Pendekatan Makro 12. Neokolonialisme Pertanian (2): Studi Kasus Pertanian Imogiri, Bantul 13. Neokolonialisme Kehutanan 14. Feat: Orkestrasi Gerakan Hijau dan Pesta Korporatokrasi (Khalisah Khalid) 15. Neokolonialisme Perdagangan 16. Neokolonialisme Perkoperasian 17. Neokolonialisme UU Penanaman Modal 18. Neokolonialisme dan Kemiskinan 19. Neokolonialisme dan Krisis Global Bagian Dua: Ekonomi Merdeka 20. Indonesia Perlu Jalan Ekonomi Baru 21. Feat: Ekonomi Merdeka (Drs. Revrisond Baswir, MBA) 22. Feat: Indonesia Perlu Jalan Baru Ekonomi (Hendri Saparini, PHd) 23. Feat: Pengembangan Alternatif Sosio-Ekonomi dan Politik Menuju Indonesia Berdaulat (Henry Saragih) 24. Feat: Haluan Baru Pengelolaan SDA dan Energi (Dr. Iman Sugema) 25. Nasionalisasi Migas Bagian Tiga: Ekonomi Kerakyatan 26. Demokratisasi BUMN 27. Demokratisasi BUMD 28. Saham Untuk Pekerja 29. Pertanian Berkelanjutan 30. Perbankan Kerakyatan: Studi Kasus Kulon Progo, DIY 31. Model Desa Ekonomi Kerakyatan: Studi Kasus di Kutai Barat, Kaltim 32. Pesan Anti Neokolonialisme Dari Jogja 33. Ilmu Ekonomi Alternatif 34. Pendidikan Ekonomi Yang Memerdekakan 35. Epilog: Indeks Demokrasi Ekonomi Daftar Pustaka Lampiran
2
BAGIAN SATU: EKONOMI KOLONIAL
3
-1-
PROLOG: MELANJUTKAN JALAN EKONOMI KOLONIAL
Pergantian rezim pasca Pemilu tidak pernah diikuti dengan perubahan Tim Ekonomi yang sekedar penerus Mafia Berkeley yang menganut jalan ekonomi neoliberal. Di awal jalan, kebijakan yang ditempuh rezim pemerintahan SBY-JK condong pada jalan Konsensus Washington, yaitu penerapan deregulasi, liberalisasi, privatisasi, dan penghapusan subsidi. Pilihan jalan liberalisasi dilakukan pada hampir semua sektor vital ekonomi nasional. Setelah liberalisasi keuangan dan perdagangan, liberalisasi pertanian dilakukan dengan membuka kran impor beras seluas-luasnya. Akibatnya bukan saja petani lokal yang terpukul, tetapi ketergantungan pangan kepada pihak luar dan korporasi asing yang bergerak di sektor pertanian pun juga kian besar. Tidak cukup hanya itu, liberalisasi migas pun dipaksakan melalui penyerahan harga BBM pada mekanisme pasar (pengurangan subsidi), keleluasaan ekspansi korporasi migas asing, dan kenaikan harga BBM sebagai klimaksnya. Tak pelak, sektor riil mengalami kemunduran dan terparah dialami industri dan pertanian rakyat. Pesta jaringan modal internasional kiranya makin lengkap dengan dilanjutkannya skema penggadaian aset-aset strategis dan penjualan (privatisasi) perusahaan nasional (BUMN). Tak kurang dilepasnya ladang migas Cepu oleh pemerintah SBY-JK makin memerosotkan derajat kebangsaan ekonomi kita. Proses ini terus berjalan, dan diharapkan akan terus berjalan di masa yang akan datang. Oleh karenanya, jalan deregulasi-lah yang juga dilanjutkan hingga rezim SBY-JK. Keleluasaan ekspansi modal internasional untuk menguasai kekayaan Indonesia tidak cukup dilegalisasi melalui UU Sumber Daya Air dan UU Migas, tetapi juga disempurnakan dengan UU Penanaman Modal yang disahkan Maret 2007 yang lalu. Di arus jalan neoliberal ini pulalah bangsa kita tidak mampu berbuat banyak dalam membuat alternatif kebijakan utang luar negeri. SBY-JK membuat terobosan dengan membubarkan CGI, tetapi tidak cukup konsisten untuk menahan agar bangsa kita tidak lagi berutang ke luar negeri. Debt Outstanding pemerintah justru naik dari 74,66 milyar US Dollar (2002) menjadi 81,23 milyar US Dollar (triwulan III 2007). Belum lagi obligasi (SUN) yang rajin dijual setiap tahunnya ke pasar internasional. Alhasil pendarahan APBN terus berlangsung karena seperempatnya digunakan hanya untuk membayar cicilan bunga dan pokok utang luar negeri. Hal ini aneh mengingat tersedianya banyak modal domestik di Indonesia. Pada tahun 2006 total dana simpanan seluruh Bank Umum di Indonesia sebesar Rp. 1.199 trilyun. Sementara yang disalurkan sebagai kredit baru sebesar Rp. 723,72 trilyun (60,3%). Jumlah simpanan bentuk SBI bank umum. per Desember 2006 sebesar Rp 343,455 triliun, meningkat pada Februari 2007 menjadi Rp. 364,11 triliun (28,6% dari total simpanan). Jumlah simpanan BPD se-Indonesia pada tahun 2007 sebesar Rp. 129,63 trlyun, yang sebesar 34,52 trilyun disimpan dalam SBI Bank Indonesia (26,6%) (Koran Sindo, 2007). Dana murni Pemda di instrumen Bank Indonesia sendiri sekitar Rp. 43 trilyun (ibid). 4
Di tengah jalan, stabilitas ekonomi makro kiranya belum mewujud pada kemandirian dan kedaulatan ekonomi nasional. Alih-alih itu, jalan ekonomi neoliberal yang ditempuh melalui deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi selama ini kian mengarahkan kondisi (struktur) perekonomian Indonesia ke dalam proses “asingisasi”. Demikian kegelisahan bersama kita. Jalan ekonomi neoliberal yang diterapkkan hingga rezim SBY-JK saat ini telah tidak dapat dibedakan secara jelas dengan jalan ekonomi kolonial (neokolonialisme). Jalan ekonomi neoliberal yang senantiasa ditempuh pemerintah telah mengembalikan hegemoni modal internasional yang telah coba dirubuhkan oleh Bapak Pendiri Bangsa. Kuatnya arus de-nasionalisasi ekonomi selama ini telah membentuk kembali susunan ekonomi Indonesia di bawah dominasi korporasi asing (pemodal internasional) yang kini menguasai 85,4% konsesi pertambangan migas, 70% kepemilikan saham di Bursa Efek Jakarta, dan lebih dari separuh (50%) kepemilikan perbankan di Indonesia (Forum rektor Indonesia, 2007). Menyedihkan memang. 85,4 persen dari 137 konsesi pengelolaan lapangan migas di Indonesia masih dikuasai oleh korporasi asing, yang juga menduduki 10 besar produsen migas di Indonesia. Chevron Pacific (AS) berada di urutan pertama diikuti Conoco Phillips (AS), Total Indonesie (Prancis), China National Offshore Oil Corporation (Tiongkok), Petrochina (Tiongkok), Korea Development Company (Korea Selatan), dan Chevron Company (Petro Energy, 2007). Sementara itu, delapan di antara 10 besar produsen gas di tanah air pun dikuasai asing. Total E&P Indonesie menempati peringkat pertama dengan total produksi gas mencapai 2.513 juta kaki kubik per hari dan Pertamina diperingkat kedua dengan total produksi 948,9 mmscfd (Investor Daily, 2007). Di sisi lain, jalan ekonomi neoliberal SBY-JK telah kian menjauh dari perwujudan demokrasi ekonomi. Ketimpangan struktural ekonomi Indonesia justru kian melebar. Pelaku ekonomi rakyat (UMKM) Indonesia yang pada tahun 2006 berjumlah 48,9 juta (99,9%) hanya menikmati 37,6% ”kue produksi nasional”, sedangkan minoritas pelaku usaha besar (0,1%) justru menikmati 46,7%-nya pada tahun yang sama. Hasil produksi yang dinikmati usaha besar (korporasi) ini naik 3,6% dibanding tahun 2003 yang sebesar 43,1%. Data perbankan menunjukkan bahwa per Juli 2007, 1.380 Trilyun dana pihak ketiga di bank 80%-nya dikuasai 1,82% pemegang rekening (Kuncoro, 2007). Rekening bernilai di atas 100 juta dengan total nilai 85% Dana Pihak Ketiga (DPK) hanya terdiri dari sekitar 1,5% rekening. Bahkan yang bernilai di atas 1 milyar hanya terdiri dari 0,14% rekening, yang menguasai lebih dari 50% DPK (Rizki, 2007). Sementara itu, dalam konteks makro-daerah, sentralisasi fiskal tetap berlangsung di tengah pelaksanaan otonomi daerah dan masih besarnya derajat ketimpangan ekonomi antardaerah. Hal ini ditunjukkan dengan Rasio PAD terhadap APBD di Kabupaten/Kota 5 tahun setelah Otonomi Daerah (2006) yang sebesar 6,80%, justru turun dari sebesar 10,31% pada tahun 1999/2000 (Kuncoro, 2008). Ketergantungan fiskal daerah kepada pemerintah pusat terjadi bersamaan dengan sentralisasi ekonomi (perbankan, media, korporasi) di pusat bisnis dan kekuasaan (Baswir, 2007). Apakah hasil pilihan jalan tersebut membawa kesejahteraan dan kedaulatan rakyat Indonesia? Bukankah tidak maju sebuah bangsa sebelum menghapus betul sifat kolonial yang ada dalam tubuh ekonomi-politiknya?
5
Di ujung jalan, telah terjadi kemerosotan kesejahteraan rakyat, meluasnya ketimpangan, kehancuran lingkungan, dan degradasi moral (nilai sosial) yang menunjukkan kepada kita bagaimana dahsyatnya daya rusak ekonomi neoliberal yang telah menguras kekayaan SDA yang melimpah ruah di Indonesia. Jalan ekonomi neoliberal telah meningkatkan kemiskinan dari sebesar 16,7 % di tahun 2004 menjadi 17,75% pada tahun 2006. Tingkat pengangguran pun juga meningkat dari sebesar 9,86% pada tahun 2004 menjadi 10,84% pada tahun 2005. Pada saat yang sama ketimpangan pendapatan pun meningkat yang diindikasikan dengan rasio gini yang sebesar 0,28 pada tahun 2002 menjadi sebesar 0,34 pada tahun 2005. Kue nasional yang dinikmati oleh kelompok 40% penduduk termiskin turun dari 20,92 tahun 2002 menjadi 19,2 pada tahun 2006. Ironisnya, yang dinikmati oleh 20% kelompok terkaya naik dari 44,7% menjadi 45,7% pada tahun yang sama. Hingga akhir 2008, jumlah pengangguran pun masih sekitar 9 juta jiwa atau 9%, sedangkan angka kemiskinan masih bertengger sekitar 34,2 juta orang atau 15,4%, jauh dari target yang ditetapkan SBY-JK. Sebuah paradoks di negeri yang sangat kaya SDA! Sementara itu, Nilai Tukar Petani sekarang merupakan yang terendah sejak 10 tahun terakhir. Pada saat yang sama kesejahteraan buruh industri juga merosot, di mana upah riel buruh industri juga tumbuh negatif selama satu tahun terakhir. Kemerosotan sektor riil nampak pada merosotnya Indek Produksi Padat Karya, seperti tekstil sebesar 11%, pakaian jadi sebesar 13%, dan barang dari logam sebesar 10% (Forum Rektor Indonesia, 2007). Kehancuran lingkungan hidup yang memakan korban jiwa terus berlansung akibat over-eksploitasi terindikasikan dengan berbagai bencana (seperti banjir, tanah longsor, dan kebakaran hutan), pencemaran air, sungai, dan udara. Ketidakberdayaan pemerintahan SBY-JK untuk mengelola lingkungan terkait dengan liberalisasi SDA di mana banyak aset-aset SDA yang dikuasai oleh modal asing dan domestik melalui kontrak-kontrak karya. Hal ini belum termasuk kehancuran moral, akhlak, dan kohesi sosial bangsa Indonesia karena ketertundukan pada spirit materialisme dan individualisme yang diusung ekonomi neoliberal. Mal-mal dan tempat hiburan malam berkembang sebagai upaya untuk menguasai pasar (konsumen) yang harus dilucuti atribut kearifan lokal, nasionalisme, dan keber-agamaannya. Angka-angka statistik kiranya tidak akan menggambarkan kepedihan nasib rakyat miskin yang merasakan kian susahnya hidup saat ini. Visualisasi kepedihan ini berupa busung lapar, gizi buruk, kaum miskin tak bertempat tinggal, stress massal, sekolah rusak, dan seabreg masalah sosial ekonomi lain di alam Indonesia yang sudah 62 tahun merdeka. Sebuah paradoks luar biasa di negeri kaya SDA ini yang (masih) harus mengalami nasib yang menyedihkan berupa krisis minyak tanah, krisis listrik, krisis pangan, krisis modal, dan berbagai harga kebutuhan pokok (migor, susu, dan kedelai) yang makin membumbung tinggi. Biaya hidup terus meningkat dan untuk banyak rumah tangga (miskin) menjadi makin tak terjangkau lagi.
6
-2In-Memoriam Article:
EKONOMI INDONESIA TERJAJAH KEMBALI Mubyarto1
Merchants and manufacturers are an order of (people), whose interest is never exactly the same with that of the public, who generally have an interest to deceive and even to oppress the public. (Adam Smith, 1776)
Pendahuluan However impressive the economic indicators, a society that is abused and plundered by a small elite with a monopoly of violence, cannot realize its potential. The resources of the Indonesian archipelago have for centuries allowed small elites, foreign and domestic, to make themselves fabulously wealthy, a process which culminated under the New Order.2
Tanggal 22-23 April 2005 Indonesia menjamu 106 delegasi konperensi dari Asia dan Afrika, 89 di antaranya dipimpin Kepala Negara/Kepala Pemerintahan. Kita ingat Presiden Soekarno 50 tahun lalu pada konperensi Bandung (1955) merupakan pemimpin kelas dunia yang mampu menggelorakan semangat 29 negara yang baru saja memperoleh kemerdekaan atau berhasil merebutnya dari bekas penjajahnya. Indonesia baru 10 tahun merdeka, meskipun kemerdekaan itu sendiri baru diakui dunia internasional pada 27 Desember 1949. Kita bangga negara yang baru merdeka 10 tahun sudah mampu menyelenggarakan Konperensi besar Negara-negara berkembang yang baru saja merdeka. Indonesia tahun 1955 berpenduduk 85 juta, yang bagian terbesar masih hidup miskin. Kita baru memiliki 2 Universitas Negeri, termasuk yang tertua UGM, yang juga baru berumur 6 tahun karena resmi berdiri 19 Desember 1949. Pemimpin Negara-negara Asia-Afrika yang hadir dalam Konperensi Bandung mewakili 1,8 milyar penduduk dunia yang waktu itu merupakan 65% dari penduduk dunia. Kemiskinan Indonesia 1905-2005 Jika sulit membandingkan kondisi kesejahteraan rakyat Indonesia selama 50 tahun (19552005), mungkin justru lebih mudah membandingkan kondisi kemiskinan rakyat Indonesia selama 1 abad (1905-2005). Kita mengetahui dari sejarah ekonomi Indonesia bahwa tahun 1
Almarhum terakhir bertugas sebagai Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM Howard Dick, et, al, 2002, The Emergence of A National Economy: An Economic History of Indonesia 1800-2000, Honolulu, Allen & Unwin Hawaii Press, hal 245. 2
7
1901 adalah tahun dimulainya politik etik pemerintah penjajah Belanda usulan C. Th. van Deventer. Dalam politik etik atau politik “balas budi”, pemerintah penjajah “bertekad” menanggulangi kemiskinan penduduk pribumi terutama di Jawa melalui pembangunan irigasi (pengairan rakyat), pembangunan pendidikan (edukasi), dan pemindahan sebagian penduduk miskin dari Jawa ke luar Jawa (emigrasi, kemudian transmigrasi). Politik etik ini merupakan rekomendasi hasil penelitian tentang penurunan kemakmuran atau meningkatnya kemelaratan penduduk Jawa pada akhir abad 19. Politik etik menggambarkan keinginan pemerintah penjajah untuk “menebus dosa”, karena di satu pihak Belanda setelah menjajah Indonesia selama 300 tahun telah berubah dari negara kecil yang relatif miskin di Eropa menjadi negara industri yang “diperhitungkan”, yang menjadi “pusat” perdagangan Eropa Barat. Namun di pihak lain kesejahteraan rakyat Indonesia tidak meningkat, malahan bertambah melarat. Apa hasil yang dicapai politik etik? Politik etik membawa kemajuan ekonomi “luar biasa” bagi pulau Jawa. Produksi beras dan hasil-hasil perkebunan meningkat, dan tentu saja juga volume dan nilai ekspor pertanian khususnya gula, kopi, dan karet. Ini berarti pertumbuhan ekonomi tanah jajahan (Hindia-Belanda) meyakinkan. Namun, seperti halnya kemajuan ekonomi selama pemerintahan Orde Baru (1966-1996), pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak selalu berarti meningkatnya kesejahteraan rakyat secara merata. Ternyata ke-3 jalur politik etik lebih banyak memberikan keuntungan pada perusahaan-perusahaan perkebunan ketimbang kepada rakyat. Pembangunan irigasi di Jawa lebih banyak dinikmati perkebunan-perkebunan tebu ketimbang petani padi, dan pembangunan sekolah-sekolah rakyat juga sekedar menghasilkan anak-anak didik bagi perusahaanperusahaan Belanda yang banyak membutuhkan pegawai/karyawan rendahan. Menjelang depresi dunia 1929, Jawa menjadi pengekspor gula terbesar nomor 2 di dunia setelah Cuba, dengan ekspor 2 juta ton, tetapi tidak diikuti meningkatnya kesejahteraan petani tebu. Though the value of the products exported from Western-style plantations has increased by leaps and bounds, the indigenous level of welfare on Java was in fact not higher, but lower than at the outset of the liberal period.3
W.F. Wertheim, et.at, 1961, Indonesian Economics: The Concept of Dualism in Theory and Policy, The Hague, W. Van Hoeve Publishers, hal 5. 3
8
Tabel 1: Produk Domestik Bruto Per Kapita Indonesia dan Belanda (dalam dolar internasional th 1990) Tahun 1820 1870 1900 1913 1950 1973 1992
Indonesia 614 657 745 917 874 1.538 2.749
Belanda 1.561 2.640 3.533 3.950 5.850 12.763 16.898
Tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata 18200,2 1,0 1900 19000,3 1,0 1950 19502,8 2,6 1992 Sumber: Anne Booth (1998) hal. 6
Terlihat dalam perbandingan ini bahwa kalau pada tahun 1820 PDB per kapita Indonesia adalah 39% dari PDB per kapita Belanda, pada tahun 1950 menjadi hanya 15%nya, dan tahun 1992 setelah 47 tahun merdeka tetap hanya 16% PDB per kapita Belanda. Tetapi harus dicatat bahwa pertumbuhan tahunan setelah merdeka (1950-1992) menjadi lebih tinggi (2,8%) padahal pertumbuhan PDB Belanda hanya 2,6% per tahun . Sekarang satu abad setelah politik etik, 38 juta atau 16% penduduk Indonesia berpendapatan kurang dari Rp 4.000/orang/hari. Banyak orang Indonesia menjadi kaya raya dan hidup dalam kemewahan, tetapi kemiskinan yang parah sangat mudah ditemukan di sekitar mereka. Amanat Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 adalah Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Bagaimana kita dapat memberikan pembenaran (justification) bagi kenyataan makin berkembangnya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial dalam masyarakat Indonesia? Apa arti kemerdekaan yang telah direbut dengan darah, keringat, dan airmata para perintis dan pejuang kemerdekaan kita? Penderitaan dan kemelaratan rakyat Indonesia selama zaman penjajahan diuraikan panjang lebar oleh Ir. Soekarno dalam “Indonesia Menggugat” tahun 1930, ketika Ir. Soekarno diadili di Landraad Bandung, dan kemudian dihukum 4 tahun penjara karena dituduh sebagai ketua PNI (Partai Nasional Indonesia) menghasut rakyat untuk memberontak terhadap pemerintah (penjajah) Belanda “yang sah”. Bahkan 2 tahun sebelumnya di den Haag, seorang mahasiswa berusia 26 tahun, Moh. Hatta, juga diadili karena dituduh “menghasut” rakyat untuk merebut kemerdekaan Indonesia “dengan kekerasan”. Tetapi kalau Soekarno dihukum 4 tahun, Moh. Hatta dibebaskan dari segala tuntutan.
9
Ekonomi Indonesia Terjajah Kembali Banyak daerah, terutama yang kaya sumber daya alam, di masa Orde Baru (1966-98) merasa “dihisap” kekayaannya oleh pemerintah pusat, atau oleh investor asing. Nilai dan tingkat “penghisapan” ini dapat ditaksir. Salah satu cara menghitung atau menaksirnya adalah dengan membandingkan nilai PDRB (per kapita) dengan nilai pengeluaran konsumsi per kapita. Dengan asumsi tabungan (saving) masyarakat tidak cukup berarti, jika nilai PDRB per kapita jauh lebih tinggi dibanding nilai pengeluaran konsumsi per kapita penduduknya, berarti sebagian besar produksi daerah tidak dinikmati oleh penduduk setempat. Dengan perkataan lain sebagian produksi memang “dikirimkan” kembali kepada pemiliknya atau investor dari luar daerah, yang bisa beralamat di Jakarta, atau di luar negeri seperti New York, Tokyo atau London. Tabel 2 menunjukkan “derajat penghisapan” daerah propinsi tahun 1996 dan 2002. Terlihat jelas untuk tahun 1996 propinsi-propinsi yang paling kaya sumber daya alam yaitu NAD, Riau, Kalimantan Timur, dan Papua (Irian Jaya), “derajat penghisapannya” sangat tinggi, masingmasing 81%, 84%, 89%, dan 82%. Artinya dari setiap 100 nilai produksi, bagian yang dinikmati penduduk setempat hanya 19% (NAD), 16% (Riau), 11% (Kaltim), dan 18% (Papua), dan selebihnya dinikmati investor dari luar. Propinsi DKI Jakarta yang menjadi pusat peredaran uang Indonesia ternyata juga “dihisap” pemodal dari luar negeri yaitu sebesar 78%, atau hanya 22% yang dinikmati penduduk DKI Jakarta sendiri.
10
1 2 3 4 5 6
Tabel 2: Derajat "Penghisapan" Sistem Ekonomi Indonesia Per Propinsi Tahun 1996 dan 2002 PDRB per Pengeluaran Jumlah Penduduk 2002 IPM Propinsi Kapita Konsumsi per (jiwa) 2002 2002 kapita 2002 (000 Rp) (000 Rp) NAD 4.022.140 66,0 8.784 tad Sumut 11.891.742 68,8 7.379 2.312 Sumbar 4.289.647 67,5 6.772 2.702 Riau 5.285.460 69,1 12.570 3.073 Jambi 2.479.469 67,1 5.484 2.236 Sumsel 7.167.970 66,0 6.796 2.005
7 Kep. Bang-bel 8 Bengkulu 9 Lampung 10 DKI Jakarta 11 Jabar 12 Banten 13 Jateng 14 DIY 15 Jatim 16 Bali 17 Kalbar 18 Kalteng 19 Kalsel 20 Kaltim 21 Sulut 22 Gorontalo 23 Sulteng 24 Sulsel 25 Sultra 26 NTB 27 NTT 28 Maluku 29 Maluku Utara 30 Papua Sumber : BPS Indonesia, 2002 Ket: IPM : Indek Pembangunan Manusia PDRB: Produk Domestik Regional Bruto Derajat "Penghisapan" = 1
913.868 1.640.597 6.862.338 8.379.069 36.914.883 8.529.799 31.691.866 3.156.229 35.148.579 3.217.150 4.167.293 1.947.263 3.054.129 2.566.125 2.043.742 855.057 2.269.260 8.244.890 1.915.326 4.127.519 3.924.871 1.271.083 796.447 2.218.360
Konsumsi Per Kapita
65,4 66,2 65,8 75,6 65,8 66,6 66,3 70,8 64,1 67,5 62,9 69,1 64,3 70,0 71,3 64,1 64,4 65,3 64,1 57,8 60,3 66,5 65,8 60,1
7.901 3.572 4.056 30.236 5.767 6.762 4.921 5.284 6.443 6.831 5.151 7.039 6.726 34.772 5.441 2.624 4.898 4.412 4.152 3.802 2.201 2.924 2.688 9.803
2.689 1.822 1.777 5.779 2.509 3.123 2.072 2.783 2.240 3.608 2.233 2.468 2.540 3.418 2.649 1.533 2.050 2.036 1.937 1.810 1.556 tad tad tad
Derajat Penghisapan (%) 1996 2002 81 tad 68 69 59 60 84 76 54 59 67 70 tad 53 55 78 55 tad 62 58 69 66 68 73 65 89 62 tad 54 55 52 48 46 63 tad 82
x 100%
PDRB Per Kapita
Adalah menarik membandingkan derajat penghisapan nasional tahun 1996 dan tahun 2002. Ternyata, dapat diduga, krisis moneter 1997-98 yang mengakibatkan “hengkangnya” modal asing (ditaksir USD 10 milyar per tahun sejak 1997), justru berdampak positif yaitu menurunnya “derajat penghisapan” terhadap ekonomi Indonesia. Daerah/propinsi-propinsi terbagi 2, 12 propinsi derajat penghisapannya turun (total 101%), dan 11 propinsi meningkat (25%). Ini berarti bahwa menurunnya peranan modal asing yang beroperasi di Indonesia berdampak positif pada ekonomi Indonesia, karena derajat penghisapannya terhadap ekonomi daerah menurun total 76%. 11
66 49 56 81 56 54 58 47 65 47 57 65 62 90 51 42 58 54 53 52 29 tad tad tad
Propinsi-propinsi Bali, DIY, Sulut, dan NTT, kini menjadi daerah-daerah yang perekonomiannya jauh lebih mandiri, ketimpangan ekonominya relatif rendah, dan produksinya sebagian besar dinikmati masyarakat setempat. Yang tetap memprihatinkan adalah propinsi-propinsi kaya sumberdaya alam yaitu Kaltim dan Riau, yang derajat penghisapannya tetap tinggi masing-masing 90% dan 76%, bahkan DKI Jakarta derajat penghisapannya malah meningkat selama 1996-2002 dari 78% menjadi 81%. Ini berarti ekonomi daerah Jakarta menjadi makin timpang. Kesimpulan kita tentang perekonomian Indonesia selama periode Orde Baru adalah bahwa selama 32 tahun era pembangunan ekonomi, Indonesia memang tidak menyianyiakan kesempatan membangun ekonominya dengan cara mengundang modal asing secara besar-besaran (UU PMA), tetapi tak mampu “mengendalikan diri”, dan menjadi kebablasan. Akibatnya, ekonomi Indonesia memang telah tumbuh secara ajaib (miracle) seperti 7 negara Asia Timur lainnya (East Asian Miracle), tetapi tanpa disadari telah “kembali dijajah” oleh kekuatan-kekuatan ekonomi asing. Pada tahun 1988 terjadinya penjajahan kembali ini sebenarnya sudah diperingatkan, namun diabaikan. Perkembangan sejarah mengajarkan kepada kita bahwa hakekat penjajahan yaitu penghisapan satu bangsa oleh bangsa yang lain tidak berhenti, setelah masa kemerdekaan tiba. Hakekat penjajahan itu tetap berlangsung hingga kini dalam bentuk yang lebih halus, lebih sopan, tetapi lebih kuat daya hisapnya, dan lebih sulit melawannya. Bentuk yang paling umum dari penjajahan model baru ini adalah penjajahan ekonomi di antaranya melalui cengkeraman Multi National Corporation.4 Globalisasi dan Indonesia The West won the world not by the superiority of its ideas or values or religion (to which few members of other civilization were converted), but rather by its superiority in applying organized violence. Westerners often forget this fact; non-Westerners never do.5 Rektor UGM Prof. Sofian Effendi pada Pidato DIES ke 55 tanggal 20 Desember 2004, 23 kali menyebut kata Pancasila. Pidatonya sendiri diberi judul Revitalisasi Jati Diri UGM Menghadapi Perubahan Global. Begitu selesai pidato, Prof. Moh. Sadli salah seorang alumnus Fakultas Teknik, pernah 2 kali menjadi Menteri Pemerintah Orde Baru, dan pernah menjadi Ketua ISEI, menyindir, “Jadi UGM anti globalisasi?” Rektor Sofian Effendi menjawab, “UGM sangat waspada” (cautious). Kalau saya yang harus menjawab pertanyaan Prof. Sadli, saya pasti menjawab ya! UGM harus bersikap “antiglobalisasi”, karena globalisasi dalam sifatnya yang sekarang, yang serakah dan imperialistik, sangat merugikan perekonomian negaraM. Ridlo Eisy, 1990, “Perjuangan Nasional Perbaikan Nasib Rakyat”, Kebangkitan Nasional, PB PWI, op.cit., hal 21. 5 Samuel P. Huntington, 1997, The Clash of civilization and The Remaking of World Order, India, Penguin Books, hal 51. 4
12
negara berkembang seperti Indonesia. Sikap yang sama (“antiglobalisasi”) memang sudah ditunjukkan pula oleh Forum Sosial Dunia (WSF) kumpulan negara-negara miskin, yang menantang Forum Ekonomi Dunia (WEF) dari negara-negara kaya. Mengapa Prof. Joseph Stiglitz (yang memberikan ceramah tanggal 14 Desember 2004 di Jakarta), tidak dituduh bersikap antiglobalisasi ketika buku-bukunya tegas-tegas menunjukkan merajalelanya keserakahan negara-negara kaya, yang melalui globalisasi ingin menguasai negara-negara miskin, kadang-kadang dengan sikap-sikap sangat kasar dan terang-terangan? Apakah ini adil? Kita memuji keberanian Rektor Sofian Effendi untuk menyampaikan gagasan “revolusioner” tersebut sebagai pidato Dies. Di masa lalu Prof. Sardjito, Rektor UGM pertama (1949-1961) selalu menyampaikan pidato penting pada upacara Dies yang selanjutnya dijadikan pegangan semua dosen dalam kegiatan-kegiatan akademiknya, dalam pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat. Misalnya pada pidato Dies berturut-turut tahun 1954 dan 1955, Prof. Sardjito berbicara tentang dasar dan tugas sosial UGM, dalam mengajar, meneliti, dan mengabdikan ilmu pengetahuan kepada masyarakat. Setiap dosen UGM harus “ber-Pancasila”, setiap kuliah harus ber-Ketuhanan, supaya kita dapat hidup religius, ber-perikemanusiaan, berkebangsaan, demokratis, dan berkeadilan sosial. Para ahli peneliti harus mempunyai pendirian Pancasila. (Mubyarto, 2004: 130). Dalam “Pemikiran Bulaksumur (Bulaksumur School of Thought)” setiap disiplin ilmu harus dikembangkan ke arah bidang-bidang yang menyentuh kehidupan rakyat, dan tidak sekedar mengekor atau memfotokopi pikiran pakar-pakar “bule” dari negaranegara maju. Ilmu pengetahuan tidak pernah bebas nilai (value free). Justru ilmu-ilmu pengetahuan yang dikembangkan di Indonesia harus berisi nilai-nilai sosial budaya masyarakat Indonesia yaitu Pancasila. Contoh yang sangat baik diberikan oleh Prof. Sardjito, yang dokter, bagaimana setiap ilmu harus berusaha menerapkan (sistem) nilai Pancasila. Buat saya sendiri di Fakultas Kedokteran, mahasiswa baru saya beri syariatnya untuk dapat mengisi Pancasila. Kuliah-kuliah dititikberatkan pada Ketuhanan, dan bagaimana melatih diri mempertebal perasaan persaudaraan dalam keluarga UGM dan hal-hal perikemanusiaan, kebangsaan, demokrasi, dan keadilan sosial (Mubyarto, 2004: 130). Prof. Syafii Maarif yang pada Dies UGM ke-55 menerima anugerah HB IX, menyampaikan pidato “Ekonomi Moral”, mengritik tajam ajaran keserakahan sistem ekonomi kapitalis liberal yang telah merusak bangunan bangsa Indonesia Keserakahan segelintir orang sekarang harus dihentikan, dengan melakukan penegakan hukum, dan sikap tegas pemerintah. Mereka yang serakah sering berlindung di balik Pancasila semata-mata untuk menutupi syahwat kekuasaan sebagai agenda tersembunyi.
13
Sistem Ekonomi Yang Membelenggu John Perkins yang berperan sebagai ECONOMIC HIT MAN (EHM) dalam buku “Confessions of An Economic Hit Man” (Berrett-Koehler Publishers Inc, San Francisco, 2004), membuat geger dengan pengakuannya bahwa paham corporatocracy yang lahir dan berkembang di Amerika berani membayar sangat tinggi kepada seorang EHM seperti dia, dengan misi “rahasia” membuat negara-negara yang kaya minyak seperti Indonesia, agar mendapat utang sebanyak-banyaknya dari Amerika, terutama melalui Bank Dunia dan IMF, sampai benar-benar tidak mampu membayarnya kembali. Kalau kondisi yang matang ini sudah tercapai, maka negara yang bersangkutan sudah masuk perangkap “the global empire” sehingga “keamanan nasional Amerika terjamin”. Kalau kondisi demikian tidak tercapai, jalan terakhir akan ditempuh yaitu seperti halnya Panama tahun 1989, dan Irak tahun 2003, negara yang bersangkutan akan diinvasi dengan kekuatan militer penuh. Demikian Indonesia yang akan merayakan 60 tahun merdeka bulan Agustus mendatang, belum mematuhi amanat Pembukaan UUD 1945 yang 7 kali menyebut kata kemerdekaan, dan menyebut 5 kali kata keadilan. Namun rupanya Indonesia tidak sendirian. Mungkin sekali lebih dari separo negara-negara yang hadir dalam peringatan 50 tahun Konperensi AA bulan April di Bandung, tidak dapat lagi disebut sebagai negara yang sudah benar-benar merdeka. Banyak yang sejak globalisasi melanda seluruh dunia, khususnya sejak dicanangkannya Konsensus Washington (1989), secara politik negara-negara tersebut merdeka tetapi perekonomiannya sudah dikuasai corporatocracy. Putusan pemerintah Indonesia menaikkan harga BBM rata-rata 29% tanggal 1 Maret 2005, yang ditentang sebagian besar warga masyarakat karena jelas tidak adil, tetap saja dilakukan karena kepentingan modal asing menghendakinya. Indonesia kini sudah terjebak dalam perangkap “global empire”, sehingga terpaksa mengorbankan kepentingan nasionalnya. Perjuangan kemerdekaan dan pembangunan nasional untuk menyejahterakan rakyat Indonesia masih belum dapat dikatakan berhasil, kalau tidak dapat disebut gagal. The problems confronting us today are not the result of malecious institutions; rather they stem from fallacious concepts about economic development... we need a revolution in our approach to education, to empower ourselves and our children to think, to question, and to dare, to act.6 Pengakuan sangat polos Perkins dalam buku yang membuat geger ini membuka tabir mengapa pemikiran ekonomi Pancasila amat sulit berkembang dan diterima pakar-pakar ekonomi konvensional Indonesia.
How do you rise up against a system that appears to provide you with your home and car, food and clothes, electricity and health care....How do you muster the courage to step out of line and challenge concepts you and
John Perkins, 2004, Confessions of an Economic Hit Man, San Francisco, BerrettKoehler Publishers Inc, hal 222. 6
14
your neighbors have always accepted as gospel, even when you suspect that the system is ready to self-destruct?7 Penutup Presiden Soekarno tahun 1955 secara berapi-api menegaskan “kolonialisme belum mati”. Colonialism has also its modern dress in the form of economic control, intellectual control, (and) actual physical control by a small but alien community within a nation.8 Apakah kita heran betapa ungkapan Presiden Soekarno masih sangat relevan 50 tahun kemudian? Dan jika kita sadar sekarang bahwa kolonialisme belum mati, berapa banyak di antara kita yang berani mengakui mengapa kita telah membiarkan proses “rekolonisasi” bisa terjadi? Apa sebab kaum cendekiawan kita banyak yang tidak menyadari bahaya besar penjajahan intelektual ini? Presiden RI sekarang memang tidak mungkin berbicara lantang seperti Presiden RI 50 tahun lalu, karena Indonesia sudah berada dalam cengkeraman kekuasaan global (global empire) yang berbentuk “corporatocracy”, yang menjadi sumber utang-utang luar negeri kita yang amat besar. Meskipun demikian kita harus berbicara blak-blakan kepada anak-anak muda kita sekarang, yang akan menerima estafet kepemimpinan Indonesia di masa depan. Mereka harus diberi tahu bahwa masih ada cara, atau jalan keluar, menghadapi arus globalisasi yang makin menyesakkan kehidupan kita sekarang dan masa datang. Satu-satunya sikap yang harus kita kembangkan adalah meningkatkan rasa percaya diri. Kalau Francis Fukuyama menegaskan pentingnya kepercayaan (trust) bagi berkembangnya kehidupan berbangsa yang penuh dinamika, kita harus dapat percaya satu sama lain di antara bangsa kita, bukan malah lebih percaya pada mulut orang-orang atau bangsabangsa super kaya dan adikuasa yang berobsesi menguasai dunia. Mudah-mudahan para pemimpin kita menyadari hal ini. Pancasila adalah ideologi nasional yang merupakan jati diri bangsa Indonesia yang harus senantiasa diperkuat dalam menghadapi hegemoni globalisasi yang makin menekan.
7 8
John Perkins, ibid, hal 217. www.fordham.edu/halsall/mod/1955sukarno-bandong.html
15
-3-
EKONOM TERJAJAH9 Oleh : Revrisond Baswir10
Baru-baru ini saya membaca dua buku kecil yang sangat menarik mengenai pemikiran ekonomi dan perekonomian Indonesia. Buku pertama, ditulis oleh Sri-Edi Swasono, berjudul Ekspose Ekonomika: Mewaspadai Globalisme dan Pasar Bebas. Sedangkan buku kedua, ditulis oleh Mubyarto (almarhum), berjudul Ekonomi Terjajah. Buku Ekspose Ekonomika (Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM, 2005), berisi gugatan terhadap kompetensi para ekonom Indonesia. Sebagaimana dikupas secara panjang lebar dalam buku ini, setidak-tidaknya terdapat tiga alasan pokok mengapa kompetensi para ekonom Indonesia perlu digugat. Pertama, para ekonom Indonesia disinyalir telah terkungkung oleh ajaran ekonomi neoklasik. Keterkungkungan terhadap ajaran ekonomi neoklasik yang bersifat liberalkapitalistik dan individualistik itu, tentu sangat berbahaya bagi kelangsungan cita-cita proklamasi, ideologi negara, dan masa depan perekonomian Indonesia. Sesuai dengan cita-cita proklamasi, perekonomian Indonesia merdeka seharusnya dibangun sebagai koreksi terhadap struktur perekonomian kolonial. Dalam bahasa konstitusi, perekonomian Indonesia merdeka seharusnya dibangun berdasarkan demokrasi ekonomi, yaitu dengan meletakkan kemakmuran bersama di atas kemakmuran orang seorang. Tetapi para ekonom Indonesia, karena terkungkung oleh ajaran ekonomi neoklasik, kehilangan kepekaan dan kemampuan mereka untuk melakukan koreksi. Alih-alih melakukan koreksi, mereka justru cenderung menjadi kaki tangan neokolonialisme untuk melestarikan struktur ekonomi kolonial di negeri mereka sendiri. Kedua, para ekonom Indonesia diduga terlalu terpesona oleh globalisasi. Keterpesonaan yang berlebihan terhadap globalisasi itu tentu sangat berbahaya bagi masa depan perekonomian rakyat, ketahanan ekonomi nasional, dan bahkan bagi keutuhan Indonesia sebagai sebuah bangsa. Sebagai sebuah bangsa merdeka dan berdaulat, bangsa Indonesia sangat mendukung pergaulan dunia. Tetapi sesuai dengan amanat Pembukaan UUD 1945 yang menentang segala bentuk penjajahan, setiap warga negara Indonesia, termasuk para ekonom, seharusnya dengan sadar membangun sikap kritis dalam memandang globalisasi. Tetapi alih-alih bersikap kritis, kebanyakan ekonom Indonesia lebih suka menutup mata dan mata hati mereka terhadap bahaya neoimperialisme tersebut. Bahkan, ''karya Nobel Laureate seperti Stiglitz pun, yang secara khusus menguraikan mengenai globalization and its discontents secara panjang lebar, tidak menyentak para pengagum globalisasi dari kelengahan akademnis-kulturalnya ini'' (hlm 119). 9
Pernah dimuat di Harian REPUBLIKA tanggal 8 Agustus 2005 Staf Ahli Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM dan ekonom Tim Indonesia Bangkit
10
16
Ketiga, karena terkungkung oleh ajaran ekonomi neoklasik dan terpesona oleh globalisasi, para ekonom Indonesia juga diduga telah kehilangan kepekaan mereka terhadap makna kemandirian ekonomi dan kesejahteraan sosial. Ketidakmampuan para ekonom Indonesia dalam memahami makna kedua hal tersebut, tentu sangat berbahaya bagi tegaknya martabat Indonesia sebagai sebuah bangsa. Padahal, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 UUD 1945, pelaksanaan pembangunan ekonomi Indonesia mustahil dapat dipisahkan dari tujuan untuk menciptakan kemandirian ekonomi dan kesejahteraan sosial. Sebab itu, pelaksanaan pembangunan ekonomi Indonesia mustahil dilakukan tanpa pemihakan yang jelas terhadap penguatan ekonomi rakyat. Tetapi alih-alih berusaha membangun dan memperkuat ekonomi rakyat, kebanyakan ekonom Indonesia lebih suka berdebat mengenai makna kata ''rakyat''. Dengan sikap seperti itu, mudah dimengerti bila kebanyakan ekonom Indonesia juga mengalami kesulitan dalam memahami makna kata ''merdeka''. Menyimak ketiga kelemahan tersebut, dapat disaksikan betapa buku Ekspose Ekonomika telah menghunjam langsung ke jantung permasalahan yang sedang dihadapi bangsa ini. Kekurangan buku Ekspose Ekonomika, terletak pada tidak adanya penjelasan mengenai penyebab keterpurukan para ekonom Indonesia itu. Artinya, secara struktural, factor apakah yang memicu terjadinya kelengahan akademis-kultural para ekonom Indonesia tersebut? Tetapi persis pada titik itulah buku Ekonomi Terjajah (Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM, 2005), yang terbit sepekan setelah kepergian Mubyarto, muncul member jawaban. Dalam buku yang dipersiapkannya untuk menyongsong hari kelahiran Pancasila tersebut, Mubyarto secara gamblang memaparkan kelengahan pelaksanaan pembangunan ekonomi Indonesia dalam era Orde Baru. Dalam ungkapan Mubyarto, pelaksanaan pembangunan ekonomi Orde Baru, walaupun ditandai oleh tingkat pertumbuhan yang tinggi, ternyata sama sekali gagal dalam mematuhi amanat Pembukaan UUD 1945 untuk mengisi kemerdekaan dengan menegakkan keadilan. Alih-alih mematuhi amanat Pembukaan UUD 1945, pelaksanaan pembangunan ekonomi Orde Baru justru bermuara pada penjerumusan perekonomian Indonesia ke dalam perangkap neokolonialisme. Mengutip Perkins, seorang ''preman ekonomi'' Amerika yang membuat pengakuan dosa mengenai peranannya dalam menjerumuskan negara-negara sedang berkembang ke dalam perangkap utang, Mubyarto secara jelas menyatakan betapa pelaksanaan pembangunan Orde Baru dijebak oleh corporatocracy untuk lebih mengutamakan kepentingan global empire daripada mengoreksi struktur ekonomi kolonial (hlm 28). Akibatnya, setelah 60 tahun merdeka, kondisi perekonomian rakyat Indonesia tidak banyak berubah. Bahkan, jika dibandingkan dengan Belanda, secara relatif, PDB perkapita Indonesia cenderung merosot. Pada 1820, PDB per kapita Indonesia terhadap Belanda meliputi 39 persen. Pada 1950 merosot menjadi 15 persen. Pada 1992, setelah 47 merdeka, hanya meningkat sedikit menjadi 16 persen. Apa kesimpulan yang dapat kita tarik dari kedua buku kecil yang saling melengkapi tersebut? Hemat saya, janganjangan yang terjajah selama ini tidak hanya dalamnya para ekonom Indonesia? 17
-4-
SIASAT UTANG REZIM NEOLIBERAL Dani Setiawan
Terdapat pelajaran menarik dari cara pemerintah menangani dampak krisis global di negeri ini. Terutama sikap tim ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) menanggapi kehancuran industri finansial Amerika dan Eropa yang menyebabkan pengetatan likuiditas di pasar keuangan global. Kondisi tersebut menyebabkan pemerintah kesulitan memperoleh pendanaan dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) di pasar global. Ketiadaan dana serta konsekwensi imbal hasil yang tinggi dari penerbitan SBN tentu berdampak bagi target pembiayaan anggaran negara untuk menutupi defisit APBN. Sebagai solusinya, pemerintah menurunkan target penerbitan Surat Berharga Negara netto pada 2009 sebesar Rp48,8 triliun atau hampir separuh dari target kesepakatan Panitia Anggaran sebesar Rp103,5 triliun. Penerbitan SBN pada tahun 2009 turun drastis menjadi Rp54,7 triliun. Keputusan ini memang perlu dilakukan, mengingat selama ini imbal hasil (yield) dari penerbitan SBN Indonesia lebih tinggi ketimbang negara lain. Sebagaimana terjadi pada penerbitan obligasi internasional sebesar 2 miliar USD di bursa New York dengan penawaran yield sangat tinggi sebesar 6,95% dan 7,75% lebih tinggi 100 basis poin dari yang seharusnya. Lebih tinggi dibandingkan yield obligasi Philipina (6,51%), Thailand (4,8%), dan Malaysia (3,86%). Ada dua hal dalam catatan penulis yang perlu dikomentari mengani kebijakan pemerintah ini. Pertama, semakin mahal dan semakin sulitnya pembiayaan SBN akibat krisis global, membuat pemerintah menurunkan defisit anggaran 2009 dari 1,7% (Rp91.8 triliun) menjadi 1,3% (Rp71,3 triliun). Untuk menambal defisit, pemerintah akan menambah penarikan utang baru melalui mekanisme bilateral maupun multilateral sebesar Rp19,6 triliun, sehingga total utang baru dalam RAPBN 2009 direncanakan menjadi Rp71,4 triliun. Keputusan ini memberi penjelasan bahwa anggaran defisit selama ini dibuat untuk memberi pembenaran bagi pembuatan utang baru dalam anggaran negara. Kebijakan defisit anggaran memang kerap dilakukan pemerintah Indonesia dengan argumen untuk menjaga kebijakan fiskal agar sesuai tingkat pertumbuhan ekonomi yang diharapkan. Pemerintah mendesain kebijakan defisit anggaran untuk menstimulus pertumbuhan ekonomi. Tetapi, alasan tersebut sejak lama tidak didukung oleh fakta yang kuat keberpihakan pemerintah memberikan stimulus ekonomi dengan meningkatkan alokasi belanja negara untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat atau sektor-sektor ekonomi rakyat. Defisit anggaran utamanya disebabkan karena semakin meningkatnya beban pembayaran cicilan pokok dan bunga utang setiap tahunnya dalam APBN. Anggaran defisit justeru digunakan sebagai alasan untuk melaksanakan agenda-agenda ekonomi neoliberal dengan melakukan privatisasi dan pembuatan utang dalam negeri
18
maupun luar negeri. Mengingat pelaksanaan agenda ekonomi neoliberal membutuhkan legitimasi dari sisi anggaran negara. Trend penggunaan sumber pembiayaan defisit juga bergeser. Yang semula berasal dari nonutang seperti penjualan aset, privatisasi BUMN, saat ini bersumber dari utang. Kebijakan tersebut memang telah “menyelamatkan” pemerintah dari tuduhan sebagai penjual asset bangsa dengan kebijakan privatisasi sejumlah BUMN strategis. Tetapi penambahan utang baru samasekali bukan jalan keluar menuju kemandirian ekonomi nasional. Kedua, seretnya penarikan Utang Dalam Negeri melalui penerbitan SBN justeru diselesaikan dengan menambah utang luar negeri baru. Sejumlah lembaga kreditor seperti Bank Dunia, ADB, dan JBIC telah bersedia memberikan tambahan pendanaan sebesar Rp21,9 triliun untuk pinjaman program. Belum lagi tambahan komitmen Bank Dunia sebesar US$2 miliar sebagai pinjaman siaga (standby loan) untuk mengantisipasi dampak krisis ekonomi yang lebih parah di Indonesia. Semua ini mungkin saja cara yang paling mudah bagi pemerintah untuk menyelamatkan anggaran negara. Tetapi sebaliknya merupakan bencana bagi agenda kemandirian ekonomi. Menyelamatkan anggaran negara di saat krisis memang perlu dilakukan, tetapi harus mempertimbangkan keberlanjutan kehidupan rakyat di masa yang akan datang lewat keputusan-keputusan yang dibuat saat ini. Penambahan utang baru jelas akan menambah beban utang negara yang harus ditanggung rakyat. Saat ini saja, total stok utang (dalam dan luar negeri) per 31 Agustus 2008 sudah mencapai Rp1,458 triliun (DJPU, 2008). Meningkat cukup tajam dibandingkan tahun pertama kepemimpinan SBY tahun 2005 yang berjumlah Rp1,268 triliun. Meskipun klaim pemerintah tentang keberhasilan menurunkan rasio utang terhadap PDB dari 47% pada tahun 2005 menjadi 33,9% pada tahun 2008 kerap disosialisasikan. Fakta yang ditampilkan pemerintah tersebut menjadi kurang relevan jika melihat posisi stok utang pemerintah yang tidak banyak berubah hingga saat ini. Stok utang luar negeri pemerintah tahun 2005 berjumlah US$63,094 miliar dan pada bulan Agustus 2008 hanya bergeser menjadi US$61,023 miliar. Artinya penurunan rasio utang samasekali tidak mencerminkan penurunan jumlah stok utang Indonesia secara signifikan. Oleh sebab itu, penilaian mengenai kebijakan pengelolaan utang sepatutnya tidak lagi didasarkan pada ukuran-ukuran yang dapat menutupi fakta sesungguhnya. Capaian pemerintah harus dinilai sejauh mana keberhasilan menurunkan jumlah stok utang serta rasio pembayaran utang terhadap alokasi anggaran untuk pemenuhan hak konstitusi rakyat dalam APBN. Agar tidak terjadi kekeliruan baru dalam melaksanakan agenda di atas, cara yang harus ditempuh bukanlah dengan menambah porsi pembayaran utang setiap tahun sebagaimana dilakukan pemerintah selama ini. Tetapi membuka peluang-peluang negosiasi penghapusan utang luar negeri kepada pihak kreditor utama. Negara-negara seperti Jepang (40.5%), Jerman (6.0%), Amerika (4.2%) dan Inggris (2.4%) merupakan kreditor bilateral utama yang harus mendapat prioritas negosiasi. Selain tentu saja lembaga kreditor multilateral seperti Asian Development Bank (16.2%) dan Bank Dunia (13.2%). Tetapi berbagai mekanisme negosiasi utang haruslah didasarkan pada 19
prinsip keadilan untuk meminta tanggung jawab kreditor atas kesalahan praktek pembuatan utang luar negeri di masa lalu yang telah dikorupsi dan tidak tepat sasaran. Negosiasi penghapusan utang harus menghindari bentuk-bentuk kooptasi baru pihak kreditor melalui berbagai persayaratan. Dalam beberapa pengalaman, persyaratan yang diberikan untuk menerima penghapusan utang dari negara-negara kreditor kebanyakan sama seperti persyaratan pinjaman yang diberikan oleh IMF dan Bank Dunia. Persyaratan tersebut merupakan bagian dari kebijakan neoliberal yang terdapat dalam Washington Consensus diantaranya yaitu disiplin fiskal, tax reform, liberalisasi suku bunga, liberalisasi perdagangan, privatisasi, dan deregulasi. Karena itu, upaya yang tengah dilakukan lembaga-lembaga keuangan multilateral dalam menyalurkan pinjaman pada masa krisis ini perlu diantisipasi sejak awal. Inisiatif yang bergulir di tingkat internasional untuk kembali menguatkan peran lembaga-lembaga “Bretton Woods” harus dilihat sebagai cara kapitalisme untuk memulihkan dominasinya yang tengah ambruk saat ini. Jika tidak waspada, bangsa ini hanya akan menjadi sumber penghisapan bagi negara-negara maju yang sedang tekor akibat krisis.
20
-5-
NEOKOLONIALISME PERTAMBANGAN (1): STUDI KASUS MINYAK DAN GAS
Apa masalah mendasar dalam ekonomi minyak? Ekonom arus utama biasanya akan menjawab kelangkaan. Migas termasuk sumber energi yang tak terbarukan, sementara jumlah penggunanya selalu bertambah. Oleh karena itu, solusinya adalah efisiensi dan segera melakukan diversifikasi sumber energi. Kebijakan konversi minyak tanah ke gas pun berdasar logika ekonom arus utama ini. Sepintas kebijakan tersebut sangat masuk akal. Namun, menjadi aneh ketika diterapkan begitu saja dalam konteks ekonomi migas Indonesia. Mengapa? Indonesia sebenarnya mengalami kelimpahan migas, yang masalahnya justru terletak pada tata produksi dan distribusinya yang tidak demokratis. Bagaimana bisa? Dominasi Korporasi Migas Asing Sebagian besar kontrol migas Indonesia hari ini berada di tangan segelintir korporasi asing. 85,4 persen dari 137 konsesi pengelolaan lapangan migas di Indonesia dimiliki oleh korporasi asing, yang juga menduduki 10 besar produsen migas di Indonesia. Chevron Pacific (AS) berada di urutan pertama diikuti Conoco Phillips (AS), Total Indonesie (Prancis), China National Offshore Oil Corporation (Tiongkok), Petrochina (Tiongkok), Korea Development Company (Korea Selatan), dan Chevron Company (Petro Energy, 2007). Sementara itu, delapan di antara10 besar produsen gas di tanah air pun dikuasai asing. Total E&P Indonesie menempati peringkat pertama dengan total produksi gas mencapai 2.513 juta kaki kubik per hari dan Pertamina diperingkat kedua dengan total produksi 948,9 mmscfd (Investor Daily, 2007). Korporasi asing turut menguras kelimpahan minyak Indonesia yang kini berada pada level terbukti sebanyak 4,3 miliar barel dan potensial 4 miliar barel yang tersebar di 60 cekungan. Demikian halnya yang dilakukan terhadap kelimpahan gas bumi Indonesia sebesar 95,1 triliun kaki kubik cadangan terbukti dan 90,5 triliun kaki kubik cadangan potensial. Melihat kenyataan tersebut muncul dua pertanyaan mendasar khas Indonesia11; mengapa bisa terjadi kelangkaan minyak dan mengapa rakyat (bangsa) Indonesia tetap saja miskin? Sebab Struktural Kelangkaan Minyak Kelangkaan minyak yang terjadi di berbagai daerah akhir-akhir ini oleh karenanya tentu bukan sekedar kelangkaan yang bersifat alamiah. Kelangkaan tersebut lebih bersifat struktural (sistematik), yaitu akibat pasokan minyak - yang sebagian besar dikuasai korporasi asing - justru dialirkan untuk memenuhi kebutuhan pasar luar negeri. 11
Juga merupakan fenomena khas di Negara Sedang Berkembang (NSB)
21
Pada 2005 misalnya, total ekspor minyak Indonesia mencapai 157,5 juta barel, sedangkan impor minyak sebesar 126,2 juta barel. Pada tahun 2006, Indonesia memproduksi 353,33 juta barel minyak, di mana 218,02 juta barel untuk konsumsi, 111,17 juta untuk ekspor, dan impor minyak mentah Indonesia mencapai 113, 54 juta. Penerimaan negara dari kenaikan harga minyak dunia dan 85% laba operasional kiranya tidaklah sebesar yang dinikmati korporasi migas asing yang juga telah mendapat cost recovery dari pemerintah. Eksploitasi migas di Indonesia oleh karenanya tidak juga berimplikasi pada perbaikan kesejahteraan rakyat dan kemandirian ekonomi bangsa Indonesia. Kebijakan di Tengah “Keterjajahan” Kebijakan konversi minyak tanah untuk kesekian kalinya menjadi bukti ketidakberdayaan pemerintah. Melalui konversi, pemerintah hanya mampu bertindak mengantisipasi kelangkaan alamiah minyak dan tidak sanggup mengoreksi “pelangkaan sistematis” yang menjadi sebab struktural-nya. Mengapa? Komitmen pemerintah memutus ketergantungan terhadap minyak tidak dibarengi dengan upaya sungguh-sungguh untuk memutus ketergantungan terhadap korporasi migas asing. Pemerintah bahkan terkesan menggeliminasi pangkal masalah sekedar pada isu produksi dan distribusi tabung gas, serta efisiensi pemakaiannya. Manipulasi kesadaran publik ini pun justru dibiayai mahal dengan kampanye (iklan) di berbagai media massa. . Kebijakan ini erat kaitannya dengan “paksaan” efisiensi anggaran melalui pengurangan subsidi BBM. Keterpaksaan alamiah oleh sebab merosotnya penerimaan negara mungkin masuk akal. Tetapi efisiensi ini pun juga khas Indonesia, yaitu oleh sebab struktural “pendarahan” keuangan negara akibat pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri yang pada tahun 2006 saja mencapai Rp. 162 trilyun. Oleh karenanya, kebijakan ini pun belum dapat keluar sepenuhnya dari mata rantai keterjajahan (neokolonisasi) ekonomi Indonesia, sehingga solusi mendasarnya adalah perlunya de-kolonisasi (nasionalisasi) dalam konteks penguasaan migas di Indonesia. Strategi Re-nasionalisasi Migas Dominasi penguasaan migas oleh korporasi asing dan kelangkaan minyak sesungguhnya adalah penyimpangan terhadap cita-cita konstitusi (Pasal 33 UUD 1945). Oleh karenanya, re-nasionalisasi migas merupakan jalan kembali ke ekonomi konstitusi yang (seharusnya) menjadi landasan dilakukannya efisiensi dan diversifikasi sumber energi. Kembalinya kontrol migas pada negara harus diawali dengan tekad seluruh bangsa Indonesia untuk memutus ketergantungan terhadap korporasi migas asing, penghentian perpanjangan kontrak-kontrak kerja sama (KKKS) lama, dan negosiasi ulang dengan pemegang KKKS asing seperti halnya yang berhasil dilakukan oleh NSB di Amerika Latin. Pada saat yang sama juga dilakukan mobilisasi sumber daya baik modal, teknologi, dan SDM (pakar) nasional. Mampukah kita? Pertamina dalam berbagai kesempatan sudah menyatakan kesiapannya untuk meningkatkan perannya dalam eksplorasi migas melalui penambahan Participating Interest (PI). Masalahnya – seperti kasus Blok Cepu – memang bukan pada ketidakmampuan Pertamina, tetapi sekali lagi pada ketidakberdayaan pemerintah di atas kuasa modal internasional. 22
-6JALAN KOLONIAL PERTAMBANGAN (2): (STUDI KASUS PASIR BESI KULON PROGO)12
Kulon Progo go international! Demikian pernyataan seorang pejabat Kulon Progo pada sebuah diskusi bertajuk Penambangan Pasir Besi baru-baru ini. Kiranya pejabat tadi lupa bahwa go international-nya Indonesia, termasuk Kulon Progo, sudah berlangsung sejak 4 abad yang lalu. Yaitu ketika kongsi dagang VOC datang dan memonopoli perkebunan di Indonesia, menjualnya ke pasaran Eropa, sambil mengeksploitasi buruh pribumi.. Seiring kemajuan teknologi, bukan hanya lahan perkebunan yang menarik hati kongsi dagang luar negeri. Sejak 40 tahun yang lalu mereka pun sudah menikmati hasil tambang yang luar biasa melimpahnya di negeri ini. Modusnya sampai hari ini pun tetap ‘ala VOC, yaitu kuasai, keruk, dan jual ke luar negeri. Walhasil, habisnya kekayaan kita tak serta merta menghapus kemiskinan dan pengangguran yang makin membludak. Pun tak juga mengakhiri krisis minyak goreng (CPO) dan minyak tanah (BBM) yang membuat rakyat terus saja mengantri. 62 tahun pasca proklamasi negeri ini masih saja miskin eksperimen bagaimana mengelola tambang secara demokratis. Seolah kita masih hidup di alam VOC, dimana kita miskin teknologi, langka kapital, dan tidak punya ahli. Lahan tambang tetap saja menjadi ”rebutan” kongsi dagang besar luar negeri. Perspektif itulah yang dapat menelaah rencana penambangan pasir besi di Kulon Progo. Potensi pasir besi sebanyak 240 juta ton –setara 50% kebutuhan baja nasional- pada lahan pantai sepanjang 25 km jelas menjanjikan keuntungan luar biasa bagi perusahaan tambang luar negeri. Hal inilah yang kiranya menarik pemodal luar negeri masuk dengan menggandeng (digandeng?) mitra lokal-strategisnya. Amdal dan studi kelayakan pun segera dilakukan. Reaksi penolakan dari Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) hanya dianggap ”wajar di alam demokrasi” yang solusinya adalah cukup dengan mendialogkan antara masyarakat, pemodal (calon penambang), dan Pemkab Kulon Progo. Tokh dukungan juga telah muncul dari sekelompok masyarakat ”pro-investasi” yang menamakan diri ”Gladiator”. Tanggung Jawab Negara Demokrasi prosedural telah menjebak kita untuk sekedar melihat masalah pada dimensi pengambilan keputusan. Substansi ”demokrasi” tereduksi ketika kapital (investor swasta-luar negeri) dapat masuk ke wilayah publik yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak dan berperan besar dalam mengatur dan mengubah kehidupan warga. Direbutnya wilayah publik oleh swasta justru mengarahkan sistem ekonomipolitik pada bentuk-bentuk plutokrasi atau korporatokrasi.
12
Pernah dimuat di Harian BERNAS Jogja
23
Dalam hal ini bapak pendiri bangsa sebenarnya sudah membuat “warning” di Pasal 33 UUD 1945 di mana “tampuk produksi jangan sampai jatuh ke tangan orangseorang, karena rakyat yang banyak akan ditindasinya” (lihat Penjelasan UUD 1945 sebelum amandemen). Sebagian teksnya utamanya bahkan masih utuh sampai sekarang, yaitu; ”Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Dengan demikian, menyerahkan domain negara pada kontrol swasta (apalagi asing) bisa jadi merupakan bentuk pelarian tanggung jawab pemerintah atas amanat konstitusi. Bukan tidak mungkin ini menjadi pertanda ketertundukan (negara) pada ideologi pasar bebas (neoliberalisme) yang memang ditentang oleh gerakan rakyat di seantero dunia. Lebih menyedihkan jika tindakan ini justru dibawah pengaruh kekuasaan di luar amanat rakyat yang mesti dipatuhinya. Indikasinya adalah Pemkab Kulon Progo yang justru turut meminggirkan dimensi persoalan sebatas pada layak tidaknya penambangan dari sisi ekologis dan bisnis. Jika studi Amdal dan Kelayakan sudah oke, maka diasumsikan proyek harus dijalankan. Persoalan pun digeser lagi sekedar pada perlunya sosialisasi dan komunikasi intensif ke warga lahan pesisir, yang sebagian besar memang hanya berstatus sebagai pemakai lahan PA. Pemkab kiranya merasa benar jika pengabaian tanggung jawab konstitusional ini berbuah penerimaan pajak, royalti, comdev, regional development, biaya reklamasi dan kompensasi ke warga. Padahal potensi penerimaan (kesejahteraan) yang jauh lebih besar dapat diraih jika saja tanggung jawab konstitusional tersebut ditunaikan. Potensi inilah yang jika sungguh-sungguh diberdayakan lebih mungkin dapat mengurangi pengangguran dan kemiskinan penduduk Kulon Progo ketimbang danadana setoran ke APBD/APBN yang tidak sebanding dengan nilai produksi (keuntungan) yang dihasilkan. Tanpa melangkahi hasil uji Amdal dan Kelayakan yang masih berlangsung, marilah kita berasumsi hasil keduanya adalah positif. Demikian pula, tanpa menafikan aspirasi penolakan warga, coba kita bayangkan bahwa setelah melalui tahap perencanaan demokratis yang melibatkan warga secara penuh dan tidak terburu-buru, warga akhirnya setuju. Maka Pemkab Kulon Progo dapat bertindak selayaknya negara (pemerintah) yang bertanggung jawab. Eksperimen Pengelolaan Tambang Pemkab Kulon Progo dapat ber-eksperimen dalam mengelola tambang secara demokratis. Pada awalnya, Pemkab bersama-sama dengan DPRD dan elemen warga dapat menilai kebutuhan penambangan pasir besi dan pendirian pabrik bajanya Kebutuhan ini dapat berupa kebutuhan kapital (investasi), teknologi, lembaga, maupun kepakaran (tenaga ahli). Untuk itu marilah berhitung. Nilai investasi PT Indomine untuk membangun pabrik dan mengembangkan tambang besi diperkirakan (hanya) sekitar Rp. 1,8 trilyun (Investor Daily, 4 Juli 2007). Jika kapital (tabungan masyarakat) di perbankan DIY yang belum tersalur (40%) tidak dapat dipakai, marilah melihat melimpahnya kapital domestik lain yang dimiliki oleh publik (pemerintah). Nilai investasi tersebut kiranya tidak terlalu besar dibanding ”dana nganggur” milik publik (Pemda dan BPD) di SBI yang total sebesar Rp. 146 trilyun. Jika hasil 24
pasir besi (bahan baku baja) Kulon Progo jelas akan dibeli PT Krakatau Steel yang sangat kekurangan pasokan dari dalam negeri, apa yang kiranya merintangi PemdaPemda dan BPD untuk berinvestasi di tambang pasir besi Kulon Progo? Misalkan Kulon Progo belum punya BUMD yang kapabel dalam mengelola pertambangan, kiranya program ini dapat disinergikan dengan (banyak) BUMN yang berbasis tambang, atau bahkan PT Krakatau Steel itu sendiri. Perkara teknologi dan pakar tambang pasir besi kiranya tidak terlalu sulit dicari di seantero republik tambang ini. Jika masih kurang dapat saja diambil dari luar dengan catatan kontrol penuh tetap berada pada pemerintah (Pemkab Kulon Progo). Perhimpunan warga sekitar tambang pasir besi harus terlibat pula dalam investasi, teknologi, dan tenaga kerja, dengan instrumen khusus yang dapat diatur bersama dengan pemerintah daerah. Instrumen ini dapat dijadikan satu paket dengan kompensasi warga yang arahannya agar mereka terlibat penuh dalam kontrol pengelolaan tambang yang dapat berimplikasi pada distribusi kesejahteraan yang adil dan merata. Demikian, pengelolaan tambang secara demokratis ini adalah manifestasi esensi Pasal 33 UUD 1945, yang sekaligus akan menjadi bukti kapabilitas negara (Pemda) dalam menyejahterakan rakyatnya. Mari senantiasa mengenang pengelolaan tambang oleh korporasi (asing) di Papua, Riau, Kaltim, Aceh, dan daerah lainnya yang (ternyata) menyisakan problem kemiskinan (sistemik) bagi penduduk sekitar sampai sekarang. Semoga.
25
-7NEOKOLONIALISME BBM (1)
Kenaikan harga BBM rata-rata 130% telah memperpuruk ekonomi rakyat. Industri kecil terancam bangkrut, nelayan banyak yang tak lagi mampu melaut, belum lagi harga kebutuhan pokok yang melonjak tak terkendali. Beban hidup makin sulit. Seolah penderitaan belum akan lekas berlalu dari hari-hari rakyat kecil. Di tengah itu semua, iklan persuasif bahwa hal itu demi rakyat kecil terus saja dikampanyekan pemerintah. Begitu kontras dengan kenyataannya. Apalah daya, harapan begitu besar tergantung di pundak pemimpin mereka, namun yang tersisa hanyalah janji-janji yang tidak terbukti. Dana kompensasi pun tak banyak membantu rakyat kecil. Selain nilai tambah ekonominya yang tidak lagi signifikan (kalah dengan makin beratnya ongkos hidup), nilai tambah sosial-kulturalnya sama sekali tidak berasa. Lagi-lagi warga miskin dipaksa “mengemis-ngemis” sekedar untuk mengharap belas kasihan Pemerintah. Belum rasa saling curiga, iri hati, permusuhan yang timbul karena distribusinya yang dianggap tidak adil. Terlebih kronisme masih mewarnai pola ini di mana PNS golongan III, warga ber-HP, bermotor bagus, dan berrumah “mewah” pun mendapat bagian. Pola ini telah menghancurkan solidaritas dan kohesivitas sosial antarwarga (miskin). Pola subsidi tunai yang mengacu sistem jaminan sosial negara maju ini jelas tidak relevan dipakai di negara kita. Pemerintah negara maju relatif mudah memetakan dan mengkategorikan siapa yang bakal mendapat subsidi tunai, terutama kaum pengangguran yang pasti miskin. Di negara kita berlaku sebaliknya. Selain jumlah keluarga miskin yang terlalu banyak, “penampakan” kemiskinan yang ada pun begitu kompleks, penuh dengan kriteria yang bervariasi. Alhasil, pola yang sangat dipaksakan ini meyakinkan kepada kita bahwa pemerintah tidak sungguhsungguh membantu rakyat miskin. Pemiskinan ‘ala Liberalisasi? Kondisi itu hanyalah awal dari proses pemiskinan dalam jangka ke depannya. Naiknya harga BBM hanyalah “pintu masuk” bagi proses liberalisasi yang arusnya audah demikian kuat pasca keluarnya UU No 22/2001. Liberalisasi ditandai dengan empat alur yang tengah berlangsung, yaitu diperkecilnya peran Pemerintah dan Pertamina, berubahnya BBM dari barang publik ke barang privat, dilepasnya harga BBM ke mekanisme pasar, dan masuknya korporat swasta dalam bisnis migas hingga sektor hilir. Bagian terakhir inilah yang paling krusial. Saat ini sudah ada 179 korporat swasta asing dan domestik yang menuntaskan perijinan bisnis mereka. Dalih-dalih pembenar kenaikan harga BBM apapun ditempuh, sebesar-besar agar liberalisasi segera dijalankan. Korporat migas sudah tak sabar ingin menangguk keuntungan dari bisnis yang sangat menjanjikan ini. Tak lama lagi harga BBM akan dilepas ke pasar. Ini berarti akses akan ditentukan oleh daya beli (banyak sedikitnya modal). Kira-kira ungkapannya adalah “kalau nggak sanggup beli gas, ya ngga usah beli”. BBM tidak lagi dianggap barang publik, tetapi menjadi barang privat, padahal 26
tetap menguasai hajat hidup orang banyak. Dengan begitu subsidi terhadap barang privat, seperti halnya BBM dipersepsikan, akan selalu dianggap salah sasaran. Bukan masalah jika orang rakyat kecil tak lagi mampu beli minyak tanah, bensin, ataupun solar. Yang penting, orang-orang kaya tidak lagi menikmati “subsidi” BBM. Inilah logika yang sepintas masuk akal. Tapi, bukankah orang-orang kaya tetap menikmati “lebih” karena modal dan kekuasaan alamiah yang mereka miliki? Mereka tetap menikmati jasa pelayanan kepolisian, jalan raya, dan belanja publik dari pemerintah lainnya dengan “harga” yang sama. Apakah ini semua juga “subsidi” yang salah sasaran? Dengan logika barang publik tentu tidak dapat dianggap begitu. Yang membedakan adalah dalam besaran pajak yang harus mereka bayar. Di negara maju pun pendidikan dasar digratiskan, tanpa melihat apakah siswa itu kaya atau miskin (bahkan rata-rata warga negaranya sudah sangat kaya, bukan?). “Privatisasi” BBM memang sejalan dengan “privatisasi” di sektor (barang) publik lain di negara kita seperti air, kelistrikan, dan pendidikan yang sedang dituntaskan pemerintah. Sektor (barang) tersebut tidak lagi dianggap sebagai sumber daya (aset) strategis) nasional yang menguasai hajat hidup orang banyak, yang harus dikuasai dan diatur oleh negara. Tidak lagi terpikir bahwa sektor-sektor tersebut pun terkait erat dengan kedaulatan dan ketahanan nasional bangsa kita. Muaranya adalah beralihnya tampuk produksi dari negara ke korporat, sehingga pola produksi dan konsumsi nasional pun makin dibentuk oleh kebebasan (kekuatan) pasar internasional, dan tidak lagi menerima prioritas (pengutamaan) pada kepentingan bangsa (nasional). Liberalisasi migas tak pelak menguntungkan pemodal besar, utamanya korporat migas asing. Mereka ini lah yang mampu mengesplorasi, mengolah, dan menjual migas karena daya dukung finansial dan teknologi yang mereka kuasai. Dengan daya dukung itu pulalah mereka mampu bersaing secara bebas dan menguasai pasar domestik dan internasional, seperti halnya yang terjadi di Thailand dan Malaysia di mana korporat ini berperan besar (dominan) dalam sektor hilir migasnya. Pada tahun 2000/2001, perusahaan nasional migas di Malaysia yang kapasitas produksinya hanya seperempat kapasitas produksi Indonesia hanya menguasai 35% pasar hilir migas, sedang 64%-nya dikuasai korporat asing Pasar hilir migas Thailand pun hanya 23% yang dikuasai perusahaan nasional, sementara sebagian besar dikuasai korporat asing dan domestik. Tak ayal liberalisasi migas makin mendorong terkonsentrasinya penguasaan faktor-faktor produksi (dan pasar) ke tangan pihak asing dan lapis atas korporat domestik. Di saat yang sama, ketergantungan kita akan modal asing dan barang (termasuk BBM) impor pun makin besar. Dalam pada itu, menjadi paradoksal (nonsense) bicara memberdayakan rakyat kecil (miskin) ketika mereka makin dijauhkan dari (penguasaan) basis-basis produksi nasional. Paling banter mereka hanya akan diberi sedikit cipratan (kompensasi liberalisasi) yang tidak akan mengubah kondisi kemiskinan mereka karena dengan segera harus “dikembalikan” untuk membiayai hidup yang makin mahal. Alih-alih menjaga kedaulatan dan ketahanan ekonomi nasional, pemerintah makin tidak mampu lagi melindungi hak-hak sosial-ekonomi rakyatnya. Pemerintah makin tersandera oleh kebijakan-kebijakan neoliberal yang penuh dengan tekanan dan paksaan ini. Satu hal yang tak bisa dimengerti adalah kaitan antara liberalisasi dan konservasi energi. Bukankah pembukaan puluhan ribu SPBU baru justru makin 27
berpotensi menguras cadangan minyak nasional? Dan jelas hal itu akan memicu pola konsumsi BBM yang makin berlebihan. Lalu bagaimana dengan slogan gerakan hemat energi nasional? Bagaimana pula dengan upaya pengembangan dan penggunaan energi alternatif? Korporat migas tentu lebih suka menggarap pasar migas yang lebih menggiurkan. Kalau energi alternatif sudah digarap pemerintah, sudah besar pasarnya, barulah mereka akan ikut ambil bagian dalam perburuan labanya. Demikian tipikal agen liberalisasi migas yang digerakkan oleh ruh (semangat) yang dari dulu hingga kini masih sama, yaitu individualisme (self-interest) dan liberalisme (bersaing buas). Pada dasarnya mereka abai dengan nasib rakyat kecil. Ingatlah betapa pahitnya liberalisasi (kebablasan) modal asing, perbankan, nilai tukar, rezim devisa, dan pertanian yang tidak mengangkat harkat dan martabat bangsa. Kini justru kita masih terpuruk dalam kubangan utang dan begitu tergantung pada lembaga luar negeri. Betapa rakyat kecil kita pun belum beranjak dari jerat kemiskinan setelah 60 tahun merdeka. Liberalisasi, baik di era sentralisasi (Orba) maupun era demokrasi rupanya tetap menjadi pil pahit yang harus ditelan rakyat kecil (miskin), yang kemudian tidak beranjak taraf kehidupannya. Mereka tetap saja terpuruk dalam kemiskinan. Bukti Untuk Rakyat Kecil? Jika benar-benar berpihak pada rakyat kecil, mestinya pemerintah memikirkan (dan memperjuangkan) cara alternatif selain meliberalisasi migas. Sayangnya, selama ini pemerintah terkesan menutup mata terhadap ide alternatif semisal kemungkinan penghapusan (pengurangan) utang (dalam dan luar negeri) yang setiap tahunnya menguras APBN sebanyak Rp 125 trilyun. Padahal, ttersedia argumentasi logis untuk itu, misalnya saja, bahwa angsuran yang kita bayar sebenarnya sudah melebihi nilai utang yang kita ambil, utang dikorup (odious debt), bencana alam, dan khusus untuk utang dalam negeri, sebenarnya bankbank itu pun tidak pantas lagi disubsidi. Bukankah itu semua bisa dilakukan demi pendidikan, kesehatan, dan kepentingan rakyat banyak lainnya? Bukankah nilai tunai penhematan subsidi dari kenaikan BBM rata-rata 130% kemarin hanya Rp 12 trilyun atau sepersepuluh dari beban utang tersebut? Bukankah pula data-data pemerintah dan Bank Indonesia menunjukkan bahwa kenaikan harga minyak mentah di pasar internasional lebih banyak menguntungkan daripada merugikan Indonesia. Surplus transaksi ekspor-impor migas indonesia tahun 2004 hanya 6,5 milyar dollar AS, kemudian meningkat menjadi 9,8 milyar dollar AS pada tahun 2005. Demikian halnya, surplus penerimaan minyak terhadap subsidi BBM mencapai Rp12,8 trilyun. Sedangkan tahun 2005d (APBN-P 1 2005), mencapal Rp9,0 trilyun. Lalu mengapa subsidi BBM yang selalu dituding memperberat beban anggaran? Kemana perginya windfall profit itu? Pemerintah terkesan enggan berbicara terbuka perihal agenda liberalisasi yang akan mengubah wajah perekonomian nasional ini. Kegagalan pemerintah (government failure) dan Pertamina dalam melakukan efisiensi bisnis migas tentu tidak dapat dijadikan alasan pengalihan wewenang yang terlampau besar ke korporat swasta atau pasar. Bukankah di dalam pasar sendiri inherent adanya kegagalan pasar (market failure), misalnya dalam mengalokasikan barang secara adil, eksternalitas, bias pemodal besar, abai dengan ketimpangan, dan sebagainya? 28
-8NEOKOLONIALISME BBM (2)
Kenaikan harga BBM Sabtu, 24 Mei 2008 lalu belum akan menyurutkan gerakan penolakannya. Hal ini mengingat kenaikan harga BBM bukanlah kebijakan yang berdiri sendiri. Kebijakan yang telah memicu naiknya harga sembako, tarif angkutan umum, dan PHK tersebut lebih merupakan refleksi struktur ekonomi kolonialistik dan implikasi jalan ekonomi neoliberal pemerintah. Bagaimana bisa?
Kolonisasi BBM? Lihatlah struktur produksi minyak Indonesia. Sebagian besar kontrol migas Indonesia hari ini berada di tangan segelintir korporasi asing, yang menguasai 85,4% dari 137 konsesi pengelolaan lapangan migas di Indonesia, sekaligus menduduki 10 besar produsen minyak di Indonesia. Chevron Pacific (AS) berada di urutan pertama diikuti Conoco Phillips (AS), Total Indonesie (Prancis), China National Offshore Oil Corporation (Tiongkok), Petrochina (Tiongkok), Korea Development Company (Korea Selatan), dan Chevron Company (Petro Energy, 2007). Penguasaan minyak oleh korporasi asing ini telah melemahkan kontrol negara terhadap alokasi produksi, biaya produksi, cost recovery, dan tingkat harga minyak. Akibatnya pemenuhan kebutuhan domestik yang sekiranya dapat menstabilkan harga domestik tidak lagi menjadi utama. Indonesia memang mengimpor BBM sebesar 302,599 barel/hari pada tahun 2007. Tetapi pada saat yang sama minyak kita pun dijual ke luar negeri sebanyak 348.314 barel/hari (ESDM, 2008). Sementara itu, biaya produksi minyak di Indonesia membengkak hingga 9 dollar AS per barrel. Padahal di Malaysia hanya sekitar 3,7 dollar AS per barrel dan di North Sea yang paling sulit pun juga hanya sekitar 3 dollar AS per barrel. Di samping itu, cost recovery menjadi kian meningkat dan hampir mencapai 30% pada tahun 2007. Kontrol minyak oleh pasar (korporasi?) pada akhirnya diwujudkan melalui “pemaksaan” penentuan harga minyak internasional di New York Merchantile Exchange. Padahal hampir tidak ada minyak Indonesia yang diperdagangkan di sana, bahkan volume transaksi di pasar minyak tersebut hanya meliputi 30% transaksi minyak dunia (Kwik, 2007). Akibatnya harga minyak tidak lagi di bawah kendali akal sehat dan negara yang berdaulat. Harga diciptakan untuk memaksakan keuntungan maksimum bagi korporasi minyak, yang hingga kini keuntungannya telah mencapai US$ 123 milyar atau setara dengan Rp 1.131 Trilyun (http://www.voanews.com/, 3 April 2008). Kolonisasi ini kian dikukuhkan melalui kepatuhan (keterpaksaan?) menteri-menteri ekonom neoliberal rezim pemerintahan SBY-JK dalam menjalankan agenda-agenda Konsensus Washington. Naiknya harga BBM merupakan implikasi dilakukannya liberalisasi, privatisasi, pengahapusan subsidi, dan deregulasi migas yang menjadi pilar agenda tersebut. Jalan ekonomi neoliberal inilah yang memaksa diperkecilnya peran Pemerintah dan 29
Pertamina, berubahnya BBM dari barang publik ke barang privat, dilepasnya harga BBM ke mekanisme pasar (penghapusan subsidi), dan masuknya korporat swasta dalam bisnis migas hingga sektor hilir. Menyusul kenaikan harga BBM pada 2005 lalu, beberapa pemodal asing mulai menancapkan kukunya dalam bisnis eceran BBM di Indonesia. Sejauh ini, jaringan SPBU mereka masih terbatas dalam wilayah Jabodetabek. Tetapi dalam jangka panjang, mereka jelas ingin mengepakkan sayapnya ke seluruh penjuru Indonesia. Bagi perusahaan multinasional, harga BBM bersubsidi adalah musuh besar yang harus secepatnya disingkirkan. Sebagai perusahaan multinasional, mereka menjual BBM sesuai dengan standar harga internasional. Jika Pertamina masih tetap menjual BBM dengan harga bersubsidi, bagaimana mungkin mereka dapat memperluas jaringan SPBU-nya? (Baswir, 2008).
Kebohongan Publik? Tanpa melakukan koreksi struktur dan jalan ekonomi tersebut, maka kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah akan cenderung tidak pro-rakyat. Hal inilah yang rupanya tidak diakui oleh rezim pemerintahan SBY-JK yang dalam upayanya meyakinkan tiadanya pilihan selain menaikkan harga BBM menyampaikan alasanalasan yang tidak disertai dengan data dan fakta yang lengkap (terbuka). Mengapa? Pertama, alasan bahwa tanpa menaikkan BBM maka APBN akan “jebol” terkesan mengada-ada. Kenaikan harga minyak internasional selain menambah pengeluaran untuk pembelian impor BBM sebenarnya juga menambah penerimaan negara dari ekspor dan pajak dari minyak. Data APBN-P 2008 menunjukkan bahwa kenaikan harga minyak dunia selain menambah besaran “subsidi” BBM dari Rp. 45,8 T menjadi Rp. 126,8 T (naik Rp. 81 T) juga menambah PPH migas dari Rp. 41.6 T menjadi Rp. 53,6 T, pajak ekspor dari Rp. 4,0 T menjadi Rp. 11,1 T, dan Penerimaan Minyak Bumi dari Rp. 84,3T menjadi sebesar Rp. 149 T. Total perkiraan kenaikan penerimaan negara adalah sebesar Rp. 84 T. Ini yang tidak pernah dijelaskan pemerintah. Kedua, alasan bahwa subsidi BBM lebih banyak dinikmati orang-orang kaya sehingga perlu dihapus cenderung dicari-cari. Pelaku usaha transportasi rakyat, industri kecil, dan nelayan juga merupakan konsumen terbesar BBM. Dalam struktur ekonomi yang timpang dan kolonialistik seperti di atas memang hampir semua layanan publik sepertihalnya jalan tol, jasa kepolisian, dan belanja publik lainnya akan lebih banyak dinikmati orang-orang kaya, bahkan termasuk keberadaan pemerintah itu sendiri. Apakah pemerintah dengan begitu perlu dihapuskan? Dalam logika barang publik maka akses didapat dengan biaya sama karena yang membedakan adalah besaran pajak (progresif) yang harus dibayar orang-orang kaya dalam jumlah makin besar. Lagi pula, mengapa pemerintah tidak menghapus subsidi ke bank-bank yang jelas-jelas milik orang kaya yang dibayar sebesar Rp.40 T/tahun melalui oblikasi rekap? Ketiga, alasan bahwa harga bensin premium di Indonesia terlalu murah dibanding negara lain pun terkesan menutup-nutupi fakta. Harga bensin di Venezuela hanya Rp 460/liter, di Saudi Arabia Rp 1.104/liter, di Nigeria Rp 920/liter, di Iran Rp 828/liter, di Mesir Rp 2.300/liter, dan di Malaysia Rp 4.876/liter. Rata-rata pendapatan per kapita di negara-negara tersebut lebih tinggi dari kita. Sebagai contoh Malaysia sekitar 4 kali lipat dari negara kita. 30
Sementara itu, AS dan Cina yang importer minyak terbesar dan ketiga di dunia tetapi harga minyak di AS cuma Rp 8.464/liter sementara Cina Rp 5.888/liter.. Padahal penduduk kedua negara lebih besar dari Indonesia (Cina penduduknya 1,3 milyar). Indonesia meski premium cuma Rp 4.500 (yang akan dinaikkan jadi Rp 6.000/liter) namun harga Pertamax mencapai Rp 8.700/liter. Lebih tinggi dari harga di AS. Padahal UMR di Indonesia cuma US$ 95/bulan sementara di AS US$ 980/bulan (nizaminz, 2008). Keempat, alasan bahwa harga BBM yang terlalu murah telah memicu pemborosan konsumsi BBM di Indonesia terlalu dipaksakan. Data statistik menunjukkan untuk konsumsi minyak per kapita di Indonesia menempati urutan 116 di bawah negara Afrika seperti Namibia dan Botswana dengan 1,7 barrel per tahun (0,7 liter per hari). Untuk jumlah keseluruhan, Indonesia yang jumlah penduduknya terbesar ke 4 di dunia hanya menempati peringkat 17. (ibid). Kelima, alasan bahwa pemerintah tidak memiliki opsi lain dalam “menyelamatkan APBN” selain menaikkan harga BBM pun terlalu lemah. Tersedia berbagai opsi untuk itu sepertihalnya penghapusan utang haram rezim korup dan diktator (odious debt) yang telah menguras seperempat APBN, pencabutan pembayaran bunga obligasi rekap, penetapan pajak progresif, dan penyelamatan aset-aset (SDA) negara yang dicuri. Keenam, alasan bahwa dampak negatif kenaikan harga BBM dapat dieliminasi dan melalui penyaluran BLT sungguh terlalu naif. Belajar dari tahun 2005, BLT tidak ada kaitannya dengan pengurangan kemiskinan karena BLT sekedar diupayakan untuk meredam resistensi rakyat miskin. Selain nilai tambah ekonominya yang tidak lagi signifikan (kalah dengan makin beratnya ongkos hidup), nilai tambah sosialkulturalnya sama sekali tidak berasa. Lagi-lagi rakyat miskin dipaksa “mengemisngemis” sekedar untuk mengharap belas kasihan Pemerintah. Dekolonisasi Migas? Berpijak pada pemikiran di atas maka tidak pada tempatnya mengakhiri perlawanan kebijakan BBM ketika melihat bahwa hakekat dari kebijakan tersebut adalah kegagalan pemerintah menjalankan amanat konstitusi (Pasal 33 UUD 1945) akibat paksaan struktur, jalan, dan pemikiran ekonomi kolonialistik di Indonesia. Oleh karenanya, segenap elemen bangsa kini perlu menempuh langkah-langkah yang lebih progresif untuk mengembalikan jalan ekonomi nasional ke jalan konstitusi, di mana kontrol negara atas migas dan aset-aset strategis bangsa yang lain, akan menjadi kunci penting bagi tegaknya kembali kedaulatan ekonomi nasional dan kesejahteraan rakyat. Kembalinya kontrol migas oleh negara akan memungkinkan alokasi produksi migas untuk kebutuhan domestik ketimbang luar negeri. Di samping itu, tingkat harga migas dapat ditentukan oleh pemerintah secara wajar sebagai bagian dari Public Service Obligation (PSO), ketimbang sebagai upaya maksimisasi profit melalui pemaksaan sistem pasar bebas (free-market mechanism) migas seperti yang berlaku saat ini. Kita perlu mendesak pemerintah untuk menjalankan agenda nasionalisasi migas, yang diantaranya dapat dilakukan melalui penegasan tekad seluruh bangsa Indonesia untuk memutus ketergantungan terhadap korporasi migas asing, penghentian perpanjangan kontrak-kontrak kerja sama (KKKS) lama, dan negosiasi ulang dengan pemegang KKKS asing. 31
Pemerintah harus segera memobilisasi sumber daya baik modal, teknologi, institusi, dan SDM (pakar) nasional untuk mengelola migas Indonesia sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat. Pelibatan Pertamina dan BUMD perlu lebih diperluas untuk turut mengelola ladang-ladang migas Indonesia dan melaksanakan agenda konservasi dan diversifikasi sumber-sumber energi nasional. Saatnya mengakhiri sindrom kompradorisme dan mental inlander bangsa dengan mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk bersama-sama bangkit. Bangkit tidak lain adalah memperjuangkan tegaknya konstitusi dan mengakhiri neokolonialisme ekonomi Indonesia.
32
-9AMERIKANISASI BBM oleh : Revrisond Baswir
Indonesia tampaknya benar-benar sedang menjadi sasaran empuk campur tangan Amerika. Ibarat adonan roti, melalui beberapa lembaga keuangan dan pendanaan internasional yang secara langsung dan tidak langsung berada di bawah kekuasaannya, Indonesia kini seperti sedang diremas-remas oleh Amerika untuk dibentuk menjadi donat atau roti keju. Simak misalnya keributan di seputar kenaikan harga BBM yang terjadi belakangan. Jika ditelusuri ke belakang, boleh dikatakan hampir pada semua aspek perumusan kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga BBM ini, sarat dengan campur tangan Amerika. Memang benar, kenaikan harga BBM bukan hal baru bagi Indonesia. Tetapi bila disimak motivasinya, kenaikan harga BBM yang terjadi belakangan, motivasinya jelas sangat berbeda dari motivasi kenaikan harga BBM yang terjadi pada masa sebelumnya. Sebab itu, para pejabat pemerintah boleh saja mengemukakan 1001 alasan mengenai penyebab ‘terpaksa’ dinaikkannya harga BBM. Tetapi sesuai dengan UU Migas No. 22/2001, kenaikan harga BBM yang terjadi belakangan mustahil dapat dipisahkan dari tengah berlangsungnya apa yang disebut sebagai liberalisasi industri migas di negeri ini. Artinya, berbeda dengan kenaikan harga BBM sebelum 2001, kenaikkan harga BBM yang terjadi belakang secara tegas digerakkan oleh motivasi untuk menghapuskan subsidi BBM dan melepaskan harga BBM sesuai dengan harga pasar internasional. Pertanyaannya, mengapa industri migas harus diliberalisasikan, dan mengapa pula harga BBM harus disesuaikan dengan harga pasar internasional? Jawabannya sangat sederhana. Sebagaimana dikemukakan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro, tujuannya antara lain adalah untuk merangsang masuknya investasi asing ke sektor hilir industri migas di sini. Sebagaimana dikatakannya, “Liberalisasi sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran migas..... Namun, liberalisasi ini berdampak mendongkrak harga BBM yang disubsidi pemerintah. Sebab kalau harga BBM masih rendah karena disubsidi, pemain asing enggan masuk,” (Kompas, 14 Mei 2003).
33
Karena diniatkan untuk mengundang masuknya investor asing, tidak aneh bila hampir semua aspek perumusan kebijakan pemerintah dalam melakukan liberalisasi industri migas dan menaikkan harga BBM, sarat dengan campur tangan asing, khususnya Amerika. Simak, misalnya, pernyataan USAID (United States Agency for International Development), mengenai kegiatannya dalam reformasi sektor energi di Indonesia, “USAID has been the primary bilateral donor working on energy sector reform.…” Khusus mengenai penyusunan UU Migas, USAID secara terbuka menyatakan, “The ADB and USAID worked together on drafting a new oil and gas law in 2000,” (http://www.usaid.gov/pubs/cbj2002/ane/id/497-013.html). Berdasarkan kedua kutipan tersebut, dapat disaksikan betapa telah sangat jauhnya pihak asing, khsusunya Amerika, terlibat dalam penyusunan kebijakan industri migas di Indonesia. Selain itu, dapat disaksikan pula betapa telah sangat berkembangnya tradisi untuk menyerahkan penyusunan rancangan undang-undang (RUU) kepada pihak asing di negeri ini. Sebagaimana diketahui, keterlibatan asing dalam penyusunan RUU tidak hanya dialami oleh UU Migas. Tetapi dialami pula oleh UU Kelistrikan, UU Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan beberapa produk perundang-undangan lainnya. RUU Kelistrikan disusunkan oleh Bank Dunia, sedangkan RUU BUMN disusunkan oleh Price Waterhouse Coopers. Selanjutnya, khusus mengenai kenaikan harga BBM, simaklah pernyataan USAID mengenai keterlibatan Bank Dunia berikut, “Complementing USAID efforts, the World Bank has conducted comprehensive studies of the oil and gas sector, pricing policy, and provided assistance to the State electric company on financial and corporate restructuring.” Dengan latar belakang seperti itu, mudah dimengerti bila dalam iklan layanan masyarakat yang diterbitkan pemerintah dalam rangka sosialisasi penghapusan subsidi BBM, ditemukan sebuah grafik yang berjudul “Kelompok terkaya menikmati subsidi BBM terbesar,” yang datanya ternyata berasal dari hasil studi Bank Dunia. Bagaimana halnya dengan kajian dampak ekonomi kenaikan harga BBM? Sebagaimana terungkap dalam sebuah laporan yang berjudul “Kajian Dampak Ekonomi Kenaikan Harga BBM,” yang diterbitkan oleh Pusat Studi Energi, Departemen ESDM pada Desember 2001, kajian tersebut ternyata dibiayai oleh AUSAID (Australia Agency for International Development), melalui International Trade Strategies (ITS) Pte. Ltd., Australia. Sesuai dengan informasi yang tersaji dalam kajian tersebut, kecuali harga premium yang pada 2001 dipandang sudah sesuai dengan harga pasar, pemerintah ternyata telah mengembangkan tiga skenario mengenai pelepasan harga BBM ke pasar. Skenario pertama, semua harga BBM dilepaskan ke pasar pada 2004. Skenario kedua, harga diesel dan minyak bakar dilepas ke pasar pada 2004, sedangkan harga minyak 34
tanah dan solar pada 2007. Skenario ketiga, harga diesel dan minyak bakar dilepaskan ke pasar pada 2004, solarpada 2007, dan minyak tanah pada 2010. Jika ditanyakan mengenai siapa yang tengah harap-harap cemas menanti tuntasnya pelepasan harga BBM ke pasar itu, selain beberapa perusahaan migas domestik, sekali lagi di sini kita akan bertemu dengan beberapa perusahaan migas asing, termasuk dari Amerika. Sebagaimana dikemukakan Direktur Jenderal Migas Departemen ESDM, Iin Arifin Takhyan, saat ini terdapat 105 perusahaan yang sudah mendapat izin untuk bermain di sektor hilir migas,termasuk membuka stasiun pengisian BBM untuk umum (SPBU) (Trust, edisi 11/2004). Di antaranya adalah perusahaan migas raksasa seperti British Petrolium (Amerika-Inggris), Shell (Belanda), Petro China (RRC), Petronas (Malaysia), dan Chevron-Texaco (Amerika). Pertanyaannya, apakah para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang ada sekarang ini akan membiarkan saja berlangsungnya proses Amerikanisasi BBM tersebut? Jawabannya, wallahu a’lam.
35
-10NEOKOLONIALISME PERBANKAN13
Bank-bank nasional pasca krismon 1997/98 praktis hidup dengan subsidi. Nilainya pun sungguh fantastis, BLBI sebesar Rp 145 trilyun, program penjaminan (blanket quarantee) sebesar Rp 74 trilyun, dan yang paling spektakuler karena membebani APBN kita sampai hari ini adalah obligasi rekapitalisasi (OR) dan bunganya yang masing-masing sebesar Rp 430 trilyun dan Rp 600 trilyun! Tiap tahun pemerintah harus membayar bunga OR setidaknya Rp 60-70 trilyun. Pemerintah telah “tersandera” karena memberikan “privelege” kepada pelakupelaku ekonomi (konglomerat) perbankan yang dianggap memiliki “kartu As” hancurpulihnya ekonomi nasional. Dalam sistem ekonomi kapitalis-liberal pemodal besar (perbankan) dianggap sebagai sokoguru perekonomian nasional, sehingga dalam kondisi krisis harus diselamatkan, at any cost! Dan aktor di balik penggelontoran subsidi ini adalah IMF, yang menjadikannya syarat pencairan bantuan senilai US $ 9 milyar. Tokh kebijakan tersebut sudah telanjur dibuat. Lagi pula suara-suara kritis yang menawarkan alternatif pengelolaan OR tidak pernah digubris. Namun alangkah lucunya ketika pemerintah kemudian berupaya mencabut subsidi BBM dan pupuk (ZA dan SP36). Padahal nilai subsidi kedua komoditi ini jauh di bawah subsidi OR. Subsidi BBM turun dari Rp 41,3 trilyun pada tahun 2001 mejadi Rp 30,3 trilyun di tahun 2002 dan Rp 13,5 trilyun pada tahun 2003. Di sisi lain subsidi non BBM (mestinya plus kompensasi BBM) justru turun dari sebesar Rp 12,6 pada tahun 2002 menjadi hanya sebesar Rp 11,7 pada tahun 2003. Bahkan subsidi terhadap kedua jenis pupuk tersebut hanyalah sebesar Rp 400 milyar! Apa artinya? Jelas bahwa pemberlakukan atau pencabutan kebijakan subsidi (proteksi) tidak dibuat berdasar nalar teoritis (keilmuan), melainkan atas dasar kepentingan semata. Dalam sistem ekonomi kapitalis-liberal kepentingan pihak yang kuatlah yang akan selalu dimenangkan! Liberalisasi atau pasar bebas memang hanya omong kosong yang prakteknya tergantung kepentingan. Kini kiranya makin sulit mengganggu gugat ratusan trlyun subsidi ke perbankan. Namun yang harus terus digugat adalah “kesadaran subsidi” dari para pengelola bank-bank rekap. Bahwa ada unsur “uang rakyat” yang sangat besar (bahkan dominan) dalam operasional bisnis mereka, bahkan sangat berpengaruh dalam menentukan laba/rugi bank mereka. Patut dicatat bahwa empat tahun pasca rekapitalisasi bank-bank tersebut nilai labanya disebabkan karena bunga obligasi yang diterima dari setoran pemerintah.
13
Pernah dimuat dalam Buku “Menggugat Ketimpangan dan Ketidakadilan Sosial, Aditya Media, 2005, editor: Prof. Mubyarto
36
Total bunga OR yang diterima 10 bank rekap papan atas per 31 Desember 2002 adalah sebesar Rp 36,1 trilyun, sedangkan laba yang dicetak adalah sebesar Rp 17,8 trilyun, sehingga secara “riil” bank-bank tersebut merugi sebesar Rp 18,4 trilyun (Kwik Kian Gie, 2003). Logikanya perbankan tidak seharusnya bertumpu lagi pada agendaagenda liberalisasi keuangan/perbankan (pilar sistem ekonomi kapitalis-liberal) karena adanya ‘kontradiksi in terminis” (politik subsidi/proteksi) tersebut. Moralitas Bank Bersubsidi Bangsa ini memiliki pengalaman yang buruk perihal moral pelaku perbankan yang tidak bertanggungjawab. Jangankan memiliki “kesadaran disubsidi”, mereka sama sekali tak tahu diuntung, bahkan berusaha mengambil untung di tengah defisit keuangan pemerintah. Dana BLBI yang disimpangkan (mark-up, manipulasi, dan kolusi) jumlahnya sangat menyakitkan rakyat, yaitu diindikasikan sebesar Rp 138 trilyun atau 96% dari total bantuan (Baswir, 2004). Setelah itu pemerintah justru membebaskan mereka (Release and Discharge) dengan pengembalian dana yang tidak signifikan. Mereka benar-benar homo economicus yang motivasinya meraup untung sebanyak-banyaknya dengan mengabaikan moral dan etika. Rasionalitas keserakahan inilah yang membentuk perilaku bankir-bankir jahat di Indonesia. Subsidi yang diterima dari pemerintah (uang rakyat) bukannya digunakan sebesar-besar untuk penyaluran kredit ke ekonomi rakyat, melainkan justru diamankan dan diakumulasikan melalui instrumen Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Mereka menerapkan “aji mumpung” (moral hazard) untuk mendapatkan marjin setinggitingginya agar dapat menurunkan laba kumulatif yang negatif pasca krisis (Rochadi, 2004). Patut dicatat bahwa net interest margin (NIM) perbankan di Indonesia (sekitar 8,5%) merupakan salah satu yang tertinggi di dunia, bahkan NIM di Malaysia tidak lebih dari satu persen. Berdasar kajian Biro Riset InfoBank keuntungan perbankan nasional tahun 2004 merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara. Di lantai bursa, saham perbankan terus diburu karena mampu memberikan gain sebesar 60% per tahun (Kompas, 29-102004). Jelas bahwa subsidi ke perbankan telah dinikmati oleh investor (pemilik modal) di bank-bank tersebut tanpa perlu bekerja esktra keras. Bambang Sudibyo (2002) menyebut bahwa perekonomian berjalan karena riba, yaitu bunga obligasi senilai Rp 5 trilyun/bulan dan bunga SBI sekitar 12,6%/tahun. Kesadaran disubsidi telah dikalahkan oleh image perbankan yang identik dengan “kemewahan”. Berapa banyak uang yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan acara-acara (pesta), bantuan-bantuan, undian berhadiah milyaran, dan yang jelas menggaji top manajemen dengan nilai yang sangat tinggi. Sementara itu, pimpinanpimpinan bank bertingkah dan masih sombong seolah-olah telah mampu membukukan laba spektakuler atas jerih payah mereka sendiri (Kwik Kian Gie, 2003). Apakah memang tidak terpikirkan bahwa subsidi yang mereka terima diikuti dengan pengorbanan pada bidang-bidang lain (termasuk pertahanan nasional), sekaligus menghambat alokasi subsidi kepada penduduk miskin secara langsung dan memadai? Mereka ini harus sabar menunggu sekedar untuk memastikan diperolehnya alokasi dana 8,5 trilyun, yang itu pun belum tentu tepat sasaran kepada mereka. Sungguh tidak mencerminkan rasa keadilan. Perilaku bankir-bankir jahat tak ubahnya 37
seperti “vampir” yang terus menerus menyedot darah dan tubuh perekonomian Indonesia (Faisal Basri, 2003). Bank dan Pemerataan Pembangunan Peran bank secara konvensional adalah sebagai perantara keuangan (financial intermediatory), lalu lintas pembayaran, dan sebagai alat (instrumen) kebijakan moneter. Dalam kontek bank pasca krisis (tersubsidi) di Indonesia mestinya peranan bank lebih dari sekedar peran konvensinal tersebut. Peranan perbankan tidak cukup sekedar sebagai agen pembangunan (agent of development), melainkan harus mampu menjadi agen pemerataan pembangunan (agent of development equity) atau agen redistribusi pendapatan/kekayaan/aset (agent of income/asset/wealth redistribution). Hal ini masuk akal mengingat peluang pembangunan di bidang, wilayah, dan kelompok sasaran tertentu (rakyat miskin/ekonomi rakyat) telah terpinggirkan karena alokasi sumber daya keuangan kepada sektor perbankan, yang turut melanggengkan ketimpangan struktural terutama antara si kaya dan si miskin, antarsektor ekonomi, bahkan antardaerah di Indonesia. Sayangnya, fungsi bank sebagai perantara keuangan pun belum dijalankan secara maksimal. Meskipun tiap tahun nilai Loan to Deposit Ratio (LDR) perbankan selalu mengalami kenaikan (2000 : 33,2%, 2001 : 38,0%, 2002 : 43,2%, 2003 : 48,3%, dan 2004 : 55,3%), namun tetap saja nilanya jauh di bawah LDR bank di Singapura dan Malaysia yang masing-masing sebesar 80% dan 100%. Pulihnya kepercayaan terhadap perbankan justru terus mendorong kelebihan likuiditas (excess reserve) yang terdiri dari Sertifikat Bank Indonesia dan surat-surat berharga, dengan nilai mencapai Rp 460,9 trilyun atau sekitar 52% dari total dana pihak ketiga yang berjumlah sekitar Rp 800 trilyun (Rochadi, 2004). Turunnya suku bunga deposito tidak serta merta diikuti penurunan suku bunga kredit, sehingga bank-bank menikmati spread (marjin keuntungan) yang sangat besar. Pihak bank beralasan bahwa pada tahun 2003 saja ada beberapa debitor yang belum menarik komitmen kredit yang sudah disetujui bank sebesar Rp 102,9 trilyun. Nilai kredit yang besar mengindikasikan bahwa debitor tersebut pastilah perusahaan kelas kakap yang masih dapat menunggu dan melihat situasi perekonomian. Berbeda dengan pelaku ekonomi rakyat yang jika mengajukan kredit pastilah dalam kondisi yang benar-benar membutuhkan. Data ini makin menunjukkan pentingnya perhatian bank terhadap pelaku ekonomi rakyat (usaha mikro) ketimbang kepada pengusaha besar yang terbukti lebih berisiko. Komitmen perbankan untuk mengembangkan microcredit hendaknya tidak berhenti di tataran jargon semata. Sistem intermediasi perbankan mengandung berbagai kontradiksi. Masyarakat harus percaya sepenuhnya terhadap perbankan, sedangkan bank menerapkan yang sebaliknya, sama sekali tidak mempercayai masyarakat, khususnya pelaku ekonomi rakyat (usaha mikro penduduk miskin). Watak bisnis adalah keberanian (kemauan) menanggung resiko, yang pasti ada dalam setiap kegiatan usaha, sedangkan bank berbisnis tanpa mau mengambil resiko, sungguh ironis. Padahal, fakta menunjukkan bahwa pihak yang seringkali tidak bertanggungjawab (tidak layak dipercaya) adalah internal bank itu sendiri. Ingatlah kembali insider lending bank pra-krisis, kejahatan BLBI, L/C fiktif, pembobolan BNI, 38
BRI, Bank Asiatic, Bank Dagang Bali, Bank Global, dan terakhir Bank Persyarikatan Indonesia. Apakah itu melunturkan kepercayaan masyarakat? Ketidakpercayaan bank terhadap kemampuan ekonomi rakyat dikukuhkan secara sistematis melalui pembuatan aturan-aturan yang meyulitkan akses mereka terhadap bank (agunan, prosedural, suku bunga tinggi). Ini merupakan cerminan ketidakpercayaan diri mereka sendiri, selain juga iktikad untuk terus membohongi diri. Bank-bank paham betul bahwa kredit macet bukan bersumber dari pelaku ekonomi rakyat, yang aksesnya saja sudah disumbat. Mereka terus saja tidak mengakui bahwa tidak ada data-data valid yang menunjukkan budaya ngemplang pelaku ekonomi rakyat. Kenyataan ini adalah bukti adanya kontradiksi dan diskriminasi perbankan yang memang menjadi ciri perbankan kapitalis-liberal, yang berdasar pada mekanisme pasar. Dalam hal ini termasuk penentuan suku bunga kredit mikro yang disamakan dengan suku bunga pasar. Seperti diuraikan di awal, pasar bekerja sesuai kepentingan kekuatan ekonomi, bukannya atas dasar pertimbangan teoritik yang dapat dipertanggungjawabkan. Kekuatan inilah yang menentukan kapan dan kapada siapa mekanisme pasar diberlakukan, demikian sebaliknya. Sistem perbankan saat ini sulit diharapkan membuat bank-bank memerankan diri sebagai agen pemerataan pembangunan. Bahkan dapat berfungsi sebaliknya, bank hanyalah “sahabat bagi orang kaya” (Mubyarto, 2004), yaitu deposan-deposan dan debitur konglomerat yang memang menguasai pasar, sehingga makin mengukuhkan ketimpangan pembangunan di Indonesia. Sistem perbankan cenderung “menyedot” sumber daya keuangan daerah ke pusat-pusat ekonomi dan bisnis di Jakarta. Bank-bank di daerah pada umumnya difungsikan sebagai cabang dari bank pusat, sehingga tidak cukup tanggap terhadap kebutuhan-kebutuhan pembangunan di tingkat lokal. Pembangunan ekonomi dalam pola ini makin memperlebar jurang ketimpangan antardaerah, antar sektor ekonomi, dan antarpelaku ekonomi. Aliran uang akan diikuti oleh aliran manusia. Demikian yang terjadi pada maraknya urbanisasi ke kota-kota besar (termasuk memilih bekerja ke luar negeri) yang menimbulkan komplikasi masalah sosial-politik. Uang yang dikelola bank lokal tidaklah memadai untuk membiayai pembangunan lokal (perdesaan) karena sebagian besar telah dikirim ke ibu kota propinsi atau ke Jakarta untuk membiayai investasi pengusaha besar dan disimpan dalam bentuk SBI. Sebuah paradok ketika terjadi antrean pengajuan modal ke bank-bank lokal atau ke lembaga-lembaga keuangan non bank, sementara dana Rp 460,9 trilyun menumpuk di SBI dan surat berharga lainnya. Fungsi bank sebagai agen pemerataan pembangunan hanya dapat dioptimalkan jika pola aliran uang ke pusat-pusat bisnis ini dihentikan melalui pengembangan bank-bank lokal (bank unit, bukan cabang). Bank lokal memiliki informasi dalam tataran lokal dan lebih dapat berperan sebagai subjek yang mengarahkan tujuan-tujuan pembangunan (Stigltz, 2004). Mengapa Bank Sulit Memberdayakan Ekonomi Rakyat?(Studi Kasus Perbankan di Kutai Barat, Kalimantan Timur) Memberdayakan ekonomi rakyat di daerah terpencil Kutai Barat ternyata merupakan perjuangan berat bagi siapapun. Bahkan mereka yang percaya perbankan 39
merupakan “agent of development” yang berperan kunci dalam memberdayakan ekonomi rakyat bisa “kecele” menyaksikan kenyataan pahit sulitnya bank bermitra akrab dengan pelaku-pelaku ekonomi rakyat yang miskin, baik di wilayah Ulu Riam di Mahakam Ulu, di kampung-kampung pegunungan, maupun di dataran rendah sepanjang Sungai Mahakam. Meskipun Pemda Kabupaten Kutai Barat sudah menunjuk Bank BPD Melak menyalurkan dana UMKM kepada usaha-usaha kecil “ekonomi rakyat” sebesar Rp 7,5 milyar dari dana APBD, tokh penerima dana-dana DPM (Dinas Pemberdayaan masyarakat) ini masih belum merasakan adanya perhatian dan perlakuan khusus terhadap mereka sebagai pihak-pihak yang berhak menerima perlakuan “istimewa” karena kemiskinannya. Yulius Seran (37 th) adalah seorang penyandang cacat yang setiap hari menunggu dagangan “rupa-rupa” di pinggir jalan dekat Linggang Bigung. Ia “marah” ketika permintaan pinjaman Rp. 15 juta hanya diberi Rp. 7 juta padahal yang Rp. 8 juta sudah dijanjikan pada seorang teman yang sanggup membuatkan sepeda motor khusus agar ia dapat menggunakannya untuk berbelanja ke Melak sebulan sekali. Meskipun belakangan diketahui Yulius Seran seorang yang jujur dan patuh mengangsur kreditnya setiap bulan, tokh Bank BPD tidak tergerak meluluskan sisa kredit yang dimintanya. Rupanya meminjamkan kredit kepada seorang miskin seperti Yulius Seran belum cukup meyakinkan pejabat bank “sebagai jalan melancarkan jalan baginya masuk surga”. Bank adalah Mitra Orang Kaya Sejak 3 tahun terakhir (2001-2003) jumlah dana masyarakat yang disimpan di 2 bank di Melak (BRI dan BPD) meningkat rata-rata 12,0% pertahun, yaitu dari Rp. 214,2 milyar (2001) menjadi Rp. 256,0 milyar (2002) dan Rp. 272,4 milyar (2003). Yang menarik persentase kenaikan dana pihak ke-3 yang disimpan di bank-bank ini sama sekali tidak diikuti kenaikan yang sepadan dalam jumlah kredit yang diberikan kepada pengusaha-pengusaha di Melak. LDR (Loan Deposit Ratio) meskipun cenderung naik tetapi hanya sebesar berturut-turut 2,2% (2001), 10,8% (2002), dan 13,8% (2003) dan sampai dengan September 2004 adalah 32,1%. Rupanya kalau tidak ada kredit “UMKM” yang disalurkan dari dana APBD Pemda kabupaten, tidak ada tanda-tanda perbankan “bersemangat” menyalurkan kredit kepada pengusaha-pengusaha di Melak, lebih-lebih kepada usaha-usaha kecil ekonomi rakyat. Memang ironis. Di satu pihak usaha-usaha kecil lari ke “rentenir” dengan membayar bunga tinggi, tetapi di pihak lain orang-orang kaya menyimpan uang mereka di bank dalam bentuk deposito dengan menerima bunga “menarik”. Para pelepas uang dan deposan menikmati pendapatan bunga tinggi, dan sebaliknya orang miskin harus membayar bunga tinggi kepada orang-orang kaya. Jika ekonomi rakyat dapat diberdayakan melalui kredit lunak sehingga kesejahteraannya meningkat, mengapa Pemda tidak terdorong untuk mengambil langka-langkah demikian dalam GSM (Gerakan Sendawar Makmur) dengan menyalurkan kredit mikro sebanyak mungkin kepada usaha-usaha ekonomi rakyat yang membutuhkannya. Ternyata kunci penyebabnya terletak pada diberlakukannya sistem ekonomi kapitalis yang telah dipilih oleh pemerintah pusat. 40
Dalam sistem ekonomi kapitalis segala upaya dilakukan untuk melindungi kepentingan para pemodal/pemilik uang, yang dengan memberikan jaminan rasa aman pada para pemilik modal ini. Maka ada lembaga penjaminan kredit, dan dalam kaitan penyaluran kredit UMKM ada lembaga KKMB (Konsultan Keuangan Mitra Bank), yang dibiayai oleh sebagian bunga kredit yang dibayar penerima kredit (debitor). Mengapa tidak ada Konsultan Keuangan Mitra Ekonomi Rakyat (KKMER) meskipun jelas ekonomi rakyat inilah yang paling membutuhkan jasa konsultan, bukan justru bank yang sebenarnya tidak memerlukan konsultan keuangan itu. Kalau perangsang dan perlindungan kepada para pemilik modal dalam sistem ekonomi kapitalis ini belum dianggap cukup, Bank Indonesia sudah sejak lama mengeluarkan SBI (Sertifikat Bank Indonesia) yang menjanjikan bunga menarik kepada dunia perbankan untuk menyimpan dana-dana yang dihimpunnya dari daerahdaerah di seluruh Indonesia. Penetapan tingkat bunga yang menarik selalu dijadikan alasan mudah bagi dunia perbankan untuk tidak menyalurkan dananya sebagai kredit kepada dunia usaha. Bunga SBI ini pernah mencapai 17,5% pertahun yang tentu saja menjadi alasan sangat kuat bagi setiap bank untuk mengirimkan dana-dana pihak ke-3 yang dihimpun di bank-bank di daerah-daerah di seluruh Indonesia untuk dikirim ke Jakarta. Inilah faktor penyebab rendahnya nilai LDR (Loan Deposit Ratio) di setiap daerah, sehingga ketika banyak daerah-daerah miskin/tertinggal berteriak mengharapkan kredit yang murah dan mudah, tokh dana-dana perbankan yang terhimpun di daerah-daerah seperti itu justru dikirim ke kantor pusat bank yang bersangkutan. Bank-bank yang lebih banyak mengirim dana-dana dari daerah-daerah ke kantor pusat selalu mudah menerangkan perilaku keliru ini karena “kesulitan menemukenali” proyek-proyek ekonomi dan bisnis yang bankable yang dapat didanai, padahal yang benar bank-bank ini memang merasa lebih aman menggunakan dana-dana yang dihimpun dengan dibelikan SBI. Kesimpulan Jelas kiranya dari analisis ini bahwa perbankan di Indonesia tidak lain daripada lembaga pencari/pengejar untung, dan sama sekali bukan agent of development. Jika bank-bank kita lebih banyak merupakan perusahaan yang menomorsatukan pendapatan bunga, agar dapat membayar jasa bunga deposito yang menarik kepada deposan, bahkan termasuk tambahan hadiah-hadiah menarik seperti mobil dan rumah-rumah mewah, maka amat sulit menjadikan bank sebagai penggerak kegiatan ekonomi rakyat. Akibatnya bank juga tidak mungkin berperan sebagai lembaga yang mendukung upayaupaya besar pemberantasan kemiskinan. Kasus “kecil” perilaku perbankan di Kabupaten Kutai Barat dengan kemiskinan 42% tahun 2003-2004 menarik dijadikan contoh betapa besar hambatan yang dihadapi dalam program-program pemberantasan kemiskinan. Jika suatu daerah miskin sebagian warga masyarakatnya sudah berhasil “menjadi kaya” sehingga mampu menyimpan dana-dana yang dikumpulkannya di bank setempat, kiranya masuk akal bagi perbankan untuk memanfaatkan dana-dana tersebut bagi pemberdayaan ekonomi rakyat dan yang pada gilirannya mampu memberantas kemiskinan. Proses tolong-menolong antar pemilik modal dan ekonomi rakyat yang membutuhkan modal ini dalam era otonomi
41
daerah seharusnya berkembang dengan baik dan bergairah. Tetapi mengapa hal ini tidak terjadi? Dari analisis tersebut bisa dibuktikan bahwa alasan pokoknya adalah karena sistem ekonomi kapitalis-liberal/neoliberal sudah dijadikan pegangan pokok pemerintah pusat/ daerah yang diterapkan di mana-mana di seluruh Indonesia. Dalam sistem ekonomi kapitalis, para pemilik modal (kapitalis) merupakan pihak yang paling dipuja dan dihormati, yang kepentingannya paling dilindungi. Dari sinilah berkembang kepercayaan perlunya penciptaan iklim merangsang agar para pemodal (investor) asing bersedia datang ke Indonesia atau ke daerah-daerah tertentu untuk menanamkan modalnya. Sebenarnya segera dapat dikenali satu kontradiksi. Jika suatu daerah berusaha menarik investor, yaitu mereka yang memiliki modal, mengapa modal yang terhimpun di bank dari orang-orang kaya setempat malah dikirim keluar daerah, dan justru tidak diputarkan atau ditanamkan dalam usaha-usaha setempat. Fenomena kontradiktif ini sampai kapan pun tetap tidak akan berubah, kecuali jika kita berani mengubah sistem ekonomi kita dari sistem ekonomi kapitalis menjadi sistem ekonomi Pancasila. Dalam sistem ekonomi Pancasila kebijakan perbankan tidak diarahkan untuk melindungi para pemilik modal secara berlebihan tetapi harus diubah menjadi upaya total pemberdayaan ekonomi rakyat dengan ukuran hasil akhir makin terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat. (Ditulis bersama Prof. Mubyarto)
42
-11NEOKOLONIALISME PERTANIAN (1)
Dinamika perkembangan pertanian Indonesia menunjukkan kecenderungan yang cukup memprihatinkan. Dalam kurun waktu tahun 2001-2003 sebanyak 610.596 ha sawah (termasuk yang produktif) berganti menjadi kawasan pemukiman dan kegiatan lain. Meski lahan pertanian menyempit, jumlah petani justru meningkat dari 20,8 juta (tahun 1993) menjadi 25,4 juta (Sensus Pertanian 2003). Rata-rata kepemilikan lahan petani mengalami penurunan drastis, yaitu tinggal kurang dari 0,25 ha per jiwa (Ismawan, 2005). Kondisi makin mengkhawatirkan karena tingkat pendapatan petani yang tidak berubah secara signifikan. Pendapatan semusim (padi) hanyalah antara Rp.325.000,00Rp.543.000,00 atau hanya Rp.81.250,00 – Rp.135.000,00 per bulan. Dalam suatu studi ditemukan bahwa 80 persen pendapatan rumah tangga petani kecil berasal dari kegiatan di luar sektor pertanian (non-farm), misalnya kuli bangunan, ojek, tukang becak, membuka warung, sektor informal, dan lain-lainnya. Dalam kategori ini, sebenarnya dapat dikatakan tidak ada lagi “masyarakat petani”, yakni mereka yang bekerja di sektor pertanian dan kebutuhan hidupnya dicukupi dari kegiatan itu. Situasi diperburuk dengan terancamnya ekologis (lingkungan) yang menjadi basis produksi pertanian. Rusaknya sistem ekologis itu ditandai dengan merosotnya tingkat kesuburan tanah antara lain karena massifnya penggunaan bahan an-organik dalam pupuk dan obat pembasmi hama. Departemen Kimpraswil menyatakan bahwa 1,5 juta ha lahan irigasi yang menjadi tumpuan penyediaan air bagi tanaman pertanian telah rusak. Hal ini mengakibatkan kekeringan yang meluas di beberapa wilayah pertanian. Pada saat yang sama, hewan-hewan alami seperti burung, ikan, dan berbagai jenis binatang lain, jumlahnya makin menurun dan banyak yang mendekati kepunahan. Hal ini sebagian disebabkan kegiatan eksplorasi dan industrialisasi yang merambah di wilayah-wilayah perhutanan. Sementara, jumlah dan jenis tanaman, baik tanaman pangan, hias, maupun pelindung pun makin merosot (ibid, 2005). Sejarah Kolonialisme Pertanian Indonesia Fenomena di atas tidak terlepas dari konteks sejarah transformasi ekonomipolitik pertanian di Indonesia sejak era kolonial hingga era liberalisasi dewasa ini. Struktur pertanian yang menempatkan mayoritas petani kecil tetap miskin di lapis paling bawah disubordinasi oleh pelaku ekonomi besar merupakan warisan sistem dan struktur ekonomi kolonial14. Secara garis besar fase-fase penting perkembangan kondisi, sistem, dan struktur pertanian Indonesia adalah sebagai berikut. 1. Petani dan pertanian rakyat begitu terpuruk pasca monopoli kongsi dagang VOC yang kemudian makin dihisap lagi setelah pemerintah kolonial menerapkan sistem
14
Pola eksploitasi terhadap petani miskin Indonesia sampai hari ini digambarkan dalam bagan terlampir (Arief, 2000).
43
2.
3.
4.
5.
tanam paksa (cultuur stelsel). Petani dipaksa menanam komoditi yang dibutuhkan pasaran Eropa. Sistem kapitalis-liberal yang berlaku sesudahnya pun hanya menjadikan Indonesia sebagai ondernaming besar sekaligus sumber buruh murah bagi perusahaanperusahaan swasta Belanda. Perkebunan-perkebunan besar mereka kuasai dan lagilagi produksinya ditujukan untuk memenuhi pasar luar negeri. Pertanian rakyat tetap saja diperas dan makin kehilangan dayanya untuk memenuhi kebutuhan hidup dan memakmurkan petani. Reformasi agraria melalui UU Pokok Agraria 1960 yang mengatur redistribusi tanah dan UU Perjanjian Bagi Hasil (1964) yang mengubah pola bagi hasil untuk mengoreksi struktur pertanian kolonial justru makin kehilangan vitalitasnya, terlebih di era Orde Baru yang berorientasi mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi (dan menganut developmentalisme). Revolusi Hijau yang mengimbas ke Indonesia ditandai dengan pengunaan bibitbibit baru dan teknologi (biologis dan kimiawi) pemberantasan hama dari luar negeri Indonesia memang mampu melakukan swasembada beras pada tahun 1984. Namun, revolusi hijau ternyata lebih menguntungkan petani bertanah luas. Produksi naik, tetapi pendapatan turun akibat mahalnya input pertanian, misalnya pupuk. Term of trade petani pun turun dan distribusi pendapatan makin timpang. Liberalisasi pertanian yang disyaratkan IMF dan WTO kini ditandai oleh bebas masuknya produk-produk pertanian (pangan) seperti beras, gula, daging, ayam, jagung, dan buah-buahan yang memukul petani dalam negeri. Liberalisasi ini menguntungkan korporat besar yang menguasai input pertanian (benih, pupuk, dan obat-obatan) dan perdagangan (pasar) internasional. Kesejahteraan petani dalam negeri tidak meningkat secara signifikan.
Liberalisasi Pertanian Sebagai Imperialisme Baru Liberalisasi sektor pertanian diawali dengan masuknya Indonesia ke dalam Perjanjian Pertanian (Agriculture on Agreement/AoA) di tahun 1995 dan diterimanya Letter of Intent (loI) IMF di tahun 1997. Liberalisasi pertanian secara sederhana diwujudkan dengan menyerahkan sistem pertanian (dan nasib petani) kepada mekanisme pasar (bebas), yang kemudian berlaku liberalisme pertarungan bebas (freefight liberalism). Beberapa ketentuan yang diatur dalam AoA adalah sebagai berikut (Setiawan, 2003: 73): 1. Pengurangan dukungan domestik; pengurangan total atas subsidi domestik yang dianggap “mendistorsi perdagangan” berkisar pada 20 persen dari ukuran dukungan agregat dari acuan tahun 1986-1988. 2. Pengurangan subsidi ekspor; jumlah subsidi ekspor akan dikurangi sebesar 21 persen dari tiap produk sesuai rata-rata tahun 1986-1990, pengeluaran anggaran subsidi ekspor dikurangi 36 persen selama 6 tahun. 3. Perluasan akses pasar; seluruh hambatan impor akan dikonversikan ke tarif dan dikurangi hingga 36 persen selama 6 tahun (negara maju) dan 24 persen selama 10 tahun (negara berkembang). Liberalisasi pertanian telah merugikan pertanian Indonesia. Misalnya, liberalisasi perberasan yang dilakukan IMF telah berdampak buruk pada kebijakan perberasan, yaitu (ibid: 69): 44
1. Subsidi pupuk dicabut pada tanggal 2 Desember 1998, diikuti dengan liberalisasi pupuk yang sebelumnya dimonopoli PUSRI. Akibatnya biaya produksi melonjak, sehingga harga dasar gabah dinaikkan dari Rp. 1000/kg menjadi Rp. 1400-Rp 1500/kg tergantung wilayahnya. 2. Monopoli impor beras oleh Bulog dicabut akhir tahun 1999, sehingga kini impor terbuka bagi siapa saja dan tidak terkontrol lagi. 3. Bea masuk komoditas pangan dipatok maksimum 5 persen. Bagi beras, walaupun monopoli impor oleh Bulog dicabut, bea masuk tetap 0 persen. Akibatnya arus impor beras, gula, bahkan bawang merah yang deras makin memukul petani Indonesia. Liberalisasi pertanian merupakan ekses penerapan pasar (perdagangan) bebas. Pasar bebas pertanian sendiri sebenarnya mempunyai “cacat” baik dalam tataran filosofi-teoretis, maupun tataran empiris-aplikatifnya. Secara teoretis, pasar bebas pertanian hanya akan menguntungkan (menyejahterakan) kedua belah pihak apabila dua asumsi utamanya terpenuhi, yaitu tingkat kemajuan ekonomi dan teknologi antar kedua negara seimbang, dan modal tidak dapat bergerak lintas negara. Kenyataannya, asumsi ini tidak terpenuhi karena kekuatan ekonomi antarnegara sangatlah timpang dan modal bebas bergerak ke manapun. Sepintas mungkin terjadi perdagangan antarnegara, tetapi bisa jadi yang berdagang sebenarnya adalah korporat asing (di dalam negeri) dengan korporat di luar negeri, sehingga kesejahteraan masyarakat tidak berubah secara signifikan. Hal ini makin meyakinkan bahwa liberalisasi (pasar bebas) pertanian adalah kepentingan korporat dan negara maju. Liberalisasi pertanian digunakan untuk memperluas dan menguasai pasar komoditi pertanian di negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Liberalisasi pertanian adalah bagian dari neo-imperialisme terhadap perekonomian Indonesia. Fakta empirik membuktikan bahwa Amerika dan negara-negara Eropa (Inggris) yang paling gencar mempropagandakan perdagangan bebas justru adalah negara-negara yang protektif terhadap pertanian mereka. Setiap petani di negara maju tersebut (termasuk Jepang) mendapat subsidi dari pemerintah setempat agar produknya mampu bersaing dan menguasai pasar luar negeri. Bahkan seekor sapi di Inggris memperoleh subsidi sebesar 2 US$ per hari agar mempunyai daya saing yang tinggi karena dapat dijual dengan harga yang relatif murah. Total dukungan Uni Eropa terhadap pertanian mereka adalah senilai US$ 35,5 milyar per tahun, sedangkan dukungan AS berjumlah sekitar US$ 85 milyar per tahunnya. Proteksi yang dilakukan negara maju tidak lagi berupa tarif dan kebijakan sejenisnya, melainkan sudah mengarah pada proteksi yang terkait dengan kemajuan teknologi. Biasanya mereka mensyaratkan kriteria-kriteria tertentu bagi masuknya komoditi dari negara sedang berkembang yang sulit mereka penuhi, seperti halnya standar lingkungan, pekerja, dan standar mutu lainnya.
Mengembalikan Kedaulatan Pertanian Indonesia Perlawanan terhadap agenda neo-imperialisme pertanian Indonesia selain dilakukan dengan memperjuangkan terealisasinya reformasi agraria, penghentian liberalisasi pertanian, juga perlu ditempuh dengan mengembalikan kedaulatan pertanian (pangan) Indonesia, yang di ranah praksis setidaknya dapat dilakukan melalui: 45
1. Pewujudan swasembada beras untuk menghindari impor beras di pasar dunia. Untuk itu Indonesia harus terus-menerus memberikan perangsang pada petani produsen beras dalam negeri agar terus bergairah meningkatkan produksi, melalui berbagai subsidi sarana produksi termasuk subsidi kredit usaha tani. Subsidi pertanian seperti yang diterapkan di negara-negara maju tidak boleh dianggap merupakan kebijakan yang keliru di Indonesia. 2. Kebijakan peningkatan produksi komoditi-komoditi pertanian palawija yang selama ini relatif terlantar sangat dianjurkan sehingga Indonesia tidak “terpaksa” lagi mengimpor komoditi pertanian tersebut dalam jumlah besar, khususnya dalam mendukung perkembangan industri peternakan. 3. Pembaruan kebijakan usaha tani tebu dan industri gula yang bersifat menyeluruh dan “nasionalistik” yang tidak dapat dipisahkan dari kebijakan harga dasar padi/beras. 4. Revitalisasi kebijakan harga dasar padi sekaligus dalam kaitannya dengan hargaharga gula, jagung, kedelai, dan harga tertinggi bagi sarana produksi pupuk dan obat-obatan (pestisida dan insektisida). Tuntutan yang keliru agar pertanian Indonesia meningkatkan daya saing dengan mengikuti hukum-hukum persaingan internasional, yang “mengharamkan subsidi”, harus dilawan dengan segala kekuatan oleh pakar-pakar kita (Mubyarto, 2000).
46
-12NEOKOLONIALISME PERTANIAN (2) (Hasil Studi SIBERMAS di Kecamatan Imogiri, DIY)15
Kondisi di mana petani tidak dapat menjangkau pasar (konsumen) secara langsung merupakan fenomena umum yang dijumpai pada usaha pertanian, termasuk di Kecamatan Imogiri, Bantul. Padahal tingkat permintaan masyarakat terhadap komoditi hasil-hasil pertanian terbilang tinggi. Hal ini sesuai karakteristik produk yang merupakan kebutuhan dasar, sehingga keberadaan area pasar tidak terlalu bermasalah. Kebutuhan petani oleh karenanya adalah berupa akses pasar yang memungkinkan bagi mereka untuk keluar dari sistem pemasaran yang dikendalikan oleh tengkulak. Pada bagian selanjutnya dipaparkan struktur pemasaran pada masing-masing komoditi pertanian. a. Padi Sebagai gambaran awal adalah struktur pemasaran padi yang sebagian besar juga dikuasai oleh jaringan tengkulak. Padi yang ditanam di semua wilayah Kecamatan Imogiri hampir separuhnya (49,26%) dipasarkan ke konsumen lokal melalui tengkulak. Hanya 39% hasil panen padi yang langsung dijual kepada pembeli, sementara peranan koperasi dalam distribusi padi hanya sebesar 8,12%. Dominasi jaringan tengkulak terbesar terdapat pada struktur pemasaran padi di Desa Girirejo, yaitu sebesar 87,5%, sedangkan peranan tengkulak di Desan Kebon Agung sama sekali tidak ada karena 100% hasil padi petani sudah langsung dijual kepada pembeli. Struktur Pemasaran Padi
Tengkulak 49,26 Lgsg Pembeli 39,05 Koperasi 8,12 Gilingan 3,03 Lainnya 21,25
Sumber: diolah dari hasil Survey Sibermas 2007
Pangsa pasar padi Imogiri yang sudah tersedia dan dipasok secara berkelanjutan oleh petani Imogiri tidak menjadi jaminan bagi peningkatan kesejahteraan petani padi. Hal ini sesuai temuan empirik di atas, di mana marjin keuntungan sebagian besar justru masuk ke agen pemasaran (tengkulak) yang relatif menguasai pasar dengan lebih baik. b. Kacang Tanah
15
Survey dilakukan Tim SIBERMAS Universitas Mercu Buana Yogyakarta tahun 2007
47
Kondisi serupa juga berlangsung dalam struktur pemasaran komoditi kacang tanah yang sebagian besar dibudidayakan di Desa Girirejo. Peranan tengkulak dalam sistem pemasaran kacang tanah bahkan mencapai hingga 83,3%, jauh lebih besar di banding baru terdapatnya16,7% petani kacang tanah yang mampu menjual sendiri produknya kepada pembeli secara langsung. Kondisi ini menyiratkan potensi tambahan penerimaan yang sangat tinggi apabila ketergantungan pada jaring pemasaran tengkulak dapat dihilangkan. Struktur Pemasaran Kacang Tanah
Tengkulak 83,3
Lgsg Pembeli 16,7
Sumber: diolah dari hasil Survey Sibermas 2007
c. Bawang Merah Struktur pemasaran komoditi bawang merah bahkan menjadi arena perburuan marjin yang sangat besar bagi tengkulak yang sudah menguasai 97,25% pemasaran bawang merah yang sebagian besar dibudidayakan oleh petani Desa Girirejo dan Desa Selopamioro. Baru terdapat 2,75% petani yang mampu memasarkan hasil panennya langsung kepada pembeli di sekitar Kecamatan Imogiri. Bahkan pada konteks pemasaran bawang merah di Girirejo sepenuhnya (100%) dijalankan oleh tengkulak. Untuk mengoptimalkan potensi tambahan penerimaan dari penjualan bawang merah maka dibutuhkan upaya perombakan struktur pemasaran yang tidak berpihak pada petani bawang merah tersebut. Struktur Pemasaran Bawang Merah
Tengkulak 97,25 Lsng Pembeli 2,75
Sumber: diolah dari hasil Survey Sibermas 2007
d. Tembakau Komoditi tembakau telah dibudidayakan oleh petani di Desa Selopamioro selama bertahun-tahun. Sungguhpun begitu, struktur pemasaran yang terbangun masih serupa dengan komoditi yang lain, di mana terdapat peranan tengkulak yang cukup dominan. Baru terdapat 30,4% petani yang mampu menjual sendiri tembakaunya langsung kepada pembeli dan 4,3% petani yang menjual tembakau melalui kombinasi kedua pola penjualan tersebut. Permintaan pasar terhadap komoditi tembakau dari Selopamioro cenderung fluktuatif dan untuk tahun-tahun terakhir cenderung menurun. 48
Oleh karenanya, selain muncul kebutuhan adanya restrukturisasi pola pemasaran, perlu juga dilakukan perluasan pasar. Struktur Pemasaran Tembakau Tengkulak 63 Lgsg Pembeli 30,4 Dua-duanya 4,3
Sumber: diolah dari hasil Survey Sibermas 2007
e. Jagung Kondisi serupa juga dialami oleh petani yang membudidayakan tanaman jagung. Rata-rata komoditi jagung dijual kepada konsumen juga melalui tengkulak, yaitu sebesar 63%, sedangkan selebihnya dapat langsung menjualnya sendiri kepada konsumen (30,4%). Struktur Pemasaran Jagung Tengkulak 63 Lgsg Pembeli 30,4 Dua-duanya 4,3
Sumber: diolah dari hasil Survey Sibermas 2007
Komoditi lain yang struktur pemasarannya relatif steril dari dominasi peranan tengkulak adalah cabe rawit (Desa Selopamioro) dan mete (Desa Wukirsari). Pada kedua komoditi ini mayoritas petani dapat langsung menjuual hasil panennya ke pasar atau langsung kepada pembeli (konsumen akhir). Sungguhpun begitu, secara umum struktur pemasaran komoditi pertanian di Imogiri masih sangat bergantung pada peranan tengkulak. Secara agregat dapat ditunjukkan melalui tabel di bawah, di mana pangsa pasar terbesar tengkulak terdapat pada sistem pemasaran komoditi bawang merah, sedangkan porsi terendah terdapat pada komoditi padi. Demikian halnya, petani padi relatif lebih mampu menjangkau konsumen (pembeli) secara langsung atau melalui koperasi, gilingan, dan pola pemasaran lain (bervariasi) di banding pada komoditi lain.
49
Struktur Pemasaran Per Komoditi Pertanian 120 100
padi
80
kacang tanah
60
tembakau
40
bawang merah
20
jagung
ko pe ra si gi lin ga n la in ny a
be li pe m
lg sg
te ng k
ul ak
0
Sumber: diolah dari hasil Survey Sibermas 2007
Secara agregat struktur pemasaran komoditi pertanian di Kecamatan Imogiri didominasi oleh peranan tengkulak, yaitu sebesar 71%, selebihnya 23% petani sudah mampu menjual hasil panennya secara langsung ke pembeli, hanya 0,6% yang menjualnya melalui koperasi, 1,6% melalui gilingan, dan variasi pola pemasaran lainnya sebesar 5,8%. Keadaan ini mengimplikasikan kebutuhan adanya restrukturisasi pasar agar sebesar-besar mendatangkan kesejahteraan kepada petani kecil di Imogiri. Pasar potensial yang sudah tersedia perlu digarap secara mandiri oleh petani bersama dengan organisasi tani dan pemerintah lokal. Struktur Pemasaran Pertanian tengkulak 71% lgsg pembeli 23% koperasi 0,6% gilingan 1,6% lainnya 5,8%
Sumber: diolah dari hasil Survey Sibermas 2007
2. Penentuan Harga Komoditi Pertanian Dominasi peranan tengkulak ini pada akhirnya terbukti berimplikasi pada peranan mereka dalam menentukan harga komoditi pertanian. Hal ini mengingat tengkulak memiliki kemampuan untuk menjangkau kedua pihak, baik petani maupun pasar (konsumen akhir). Oleh karena itu, harga dapat ditetapkan untuk memperoleh marjin keuntungan yang maksimal dari penguasaan mereka atasa jaringan distribusi tersebut. Sebagai gambaran adalah penentuan harga padi yang dibudidayakan oleh petani di setiap kecamatan. Penentuan harga mayoritas dipersepsikan dilakukan oleh pasar, yaitu sebesar 62%. Hal ini perlu dicermati mengingat struktur pasar yang ditandai besarnya peranan agen pemasaran (tengkulak) seperti diuraikan di awal. Harga pasar pada umumnya sangat dipengaruhi oleh kekuatan terbesar di dalam pasar tersebut. 50
Terlebih terdapat 31,9% pola penentuan harga yang secara langsung dilakukan oleh tengkulak yang pada tata niaga padi. Keberdayaan petani padi di Imogiri dalam hal ini ditunjukkan dengan kemampuan menentukan harga sendiri sebesar 22,4%. Penentu Harga Padi 80 60 40 20 0 Tengkulak 31,9%
Sendiri 22,4%
Pasar 62,0%
Lainnya 9,9%
Sumber: diolah dari hasil Survey Sibermas 2007
Keadaan dimana terdapat porsi peranan tengkulak yang lebih besar dijumpai dalam penentuan harga sayuran. Penentuan harga pada komoditi sayuran ini ditentukan secara berimbang antara tengkulak (50%) dan pasar (50%). Walaupun di sini terdapat potensi bias karena tengkulak bisa jadi merupakan kekuatan terbesar dalam struktur pasar sayuran, sehingga memliki pengaruh terhadap keputusan pasar. Penentu Harga Sayuran 100% 80% 60% 40% 20% 0% Tengkulak 50%
Pasar 50%
Sumber: diolah dari hasil Survey Sibermas 2007
Kondisi lebih rentan ditemui dalam penentuan harga komoditi palawija yang juga mayoritas dipengaruhi oleh tengkulak. Petani palawija menyatakan bahwa harga komoditi mereka harganya 75% ditentukan oleh tengkulak, sedangkan selebihnya (25%) baru ditentukan oleh pasar. Penentu Harga Palawija
100 50 0 Tengkulak 75%
Pasar 25%
Sumber: diolah dari hasil Survey Sibermas 2007
51
Kondisi paling ekstrim dijumpai dalam penentuan harga komoditi bawang merah yang 100% dipersepsikan petani ditentukan hanya oleh tengkulak. Hal ini menunjukkan ketergantungan petani bawang merah yang sangat besar terhadap keputusan tengkulak. Keadaan ini pula yang potensial memerosotkan nilai keuntungan dan kesejahteraan rill petani. Penentu Harga Bawang Merah
100 Tengkulak 100%
50 0 1
Sumber: diolah dari hasil Survey Sibermas 2007
Data agregat menunjukkan besarnya peranan tengkulak dalam menentukan harga komoditi pertanian di kecamatan Imogiri. Komposisi porsi penentuan harga komoditi pertanian adalah 64,2% ditentukan oleh tengkulak, 27,2% oleh pasar, 1,2% oleh petani, dan 7% ditentukan oleh cara dan pihak lain. Kemampuan tengkulak yang sangat besar dalam menentukan harga ini mencerminkan sistem ekonomi yang tidak demokratis yang berujung pada stagnasi kesejahteraan petani kecil. Kondisi ini pula yang mendorong merosotnya daya beli masyarakat (konsumen) akibat permainan harga yang tidak mampu mereka antisipasi sepenuhnya. Penentu Harga Komoditi Pertanian
Tengkulak 64,2% Sendiri 1,25% Pasar 27,2% Lainnya 7%
Sumber: diolah dari hasil Survey Sibermas 2007
3. Orientasi Produksi Pertanian Perbedaan kedalaman ketergantungan terhadap sistem pemasaran tengkulak pada berbagai jenis komoditi pertanian dapat dijelaskan melihat perbedaan orientasi produksi tiap-tiap komoditi tersebut. Pada komoditi yang tidak semata-mata berorientasi pasar (konsumen) maka tingkat ketergantungan terhadap jaring pemasaran tengkulak relatif lebih kecil. Misalnya saja pada komoditi padi karena sebagian masih diproduksi pada level subsistensi (35,6%) dan baru dijual sebagian ke pasar (57,4%). Hanya 6,6% petani padi di Imogiri yang menjual semua hasil panennya ke pasar.
52
Orientasi Produksi Padi 60 40 20 0 Konsumsi Sendiri Dijual Sebagian 35,6% 57,4%
Dijual Semua 6,6%
Sumber: diolah dari hasil Survey Sibermas 2007
Hal ini berbeda dengan komoditi palawija dan bawang merah yang sudah berorientasi pasar, di mana semua hasil panen (100%) sudah dijual ke pasar (konsumen). Keadaan ini menumbuhkan peluang secara alamiah untuk tumbuh dan berkembangnya sistem-sistem perantaraan seperti yang dilakukan oleh tengkulak. Oleh karena itu hal ini kiranya dapat menjelaskan mengapa pada kedua komoditi Ini derajat ketergantungan pasar terhadap tengkulak menjadi besar. Kedua komoditi ini relatif lebih rentan terhadap fluktuasi harga dan perubahan pangsa pasar. Orientasi Produksi Palawija dan Bawang Merah
100 Dijual Semua 100%
50 0 1
Sumber: diolah dari hasil Survey Sibermas 2007
4. Infrastruktur Pemasaran Kelancaran distribusi hasil pertanian di Kecamatan Imogiri ditunjang dengan ketersediaan infrastuktur pemasaran yaitu pasar regional 2 buah, toko 66 buah, warung 135 buah, kakilima 33 buah, minimarket 2 buah, dan supermarket 2 buah. Hanya saja khusus untuk komoditi pertanian yang umumnya berumur pendek belum sepenuhnya dapat memanfaatkan ketersediaan infrastruktur pemasaran tersebut. Infrastruktur yang lebih dibutuhkan untuk menjangkau pasar adalah keberadaan lembaga-lembaga pemasaran yang dibentuk sendiri oleh kelompok tani, misalnya koperasi maupun bentukan pemerintah daerah.
53
Jumlah Sarana Perdagangan Pasar Regional 2 Toko 66 Warung 135 Kaki lima 33 Mini market 2 Supermarket 2 Sumber: diolah dari hasil Survey Sibermas 2007
5. Pemasaran Hasil Peternakan Selain melakukan budidaya tanaman pertanian, sebagian petani Imogiri juga mengembangkan usaha peternakan berupa ternak domba, kambing, dan sapi. Berbagai pola sudah dilakukan untuk menjual hasil ternak mereka ke pasar (konsumen). Pada umumnya peternak Imogiri menjual hasil ternak mereka langsung ke pasar hewan yang ada di sekitar wilayah mereka. Sebagian menjual ternak melalui perantara (blantik) dan ada juga yang langsung menjual ke pembeli (orang-perorang). Sebagai gambaran, hasil ternak domba di Desa Girirejo dan Desa Karangtengah secara agregat separuhnya (50%) dijual langsung ke pasar hewan setempat, 25% dijual langsung ke pembeli perorangan, dan 25% dijual melalui perantara (blantik). Secara parsial untuk penjualan domba di Girirejo 50% melalui pasar hewan, 50% langsung ke pembeli, dan tidak ada yang menjualnya melalui blantik. Sementara di Desa Karangtengah hasil ternak domba dijual ke pasar hewan 50% dan melalui blantik juga 50%. Tempat Penjualan Domba Pasar Hewan 50% Lgsg Pembeli 25% Blantik 25%
Sumber: diolah dari hasil Survey Sibermas 2007
Penjualan ternak kambing juga mengikuti pola yang serupa, di mana proporsi penjualan melalui pasar hewan sudah mencapai 72,2% dan selebihnya (27,8%) dijual melalui blantik. Khusus di Desa Girirejo penjualan kambing seluruhnya dilakukan melalui pasar hewan, sedangkan di Desa Karangtengah justru sebagian besar dijual melalui blantik (83,33%), sisanya (16,67%) dijual melalui pasar hewan. Kondisi yang bertolak belakang ini mengindikasikan keberdayaan peternak di Desa Girirejo lebih tinggi dibanding peternak di Desa Karangtengah. Seperti yang terjadi pada sistem pemasaran pertanian yang tergantung pada tengkulak, ketergantungan yang besar pada blantik akan mengurangi tingkat keuntungan potensial yang dapat diperoleh peternak. 54
Tempat Penjualan Kambing
Pasar Hewan 72,2% Blantik 27,8%
Sumber: diolah dari hasil Survey Sibermas 2007
Kondisi serupa juga dijumpai dalam sistem penjualan ternak sapi. Secara agregat proporsi penjualan sapi melalui pasar hewan sebesar 66,6% sudah melampui proporsi yang dijual melalui blantik sebesar 33,4%. Hanya saja pada tingkatan mikro, peternak sapi di Desa Girirejo kembali menunjukkan keberdayaannya di mana penjualan melalui pasar hewan di desa ini sudah mencapai 66,67%, sedangkan yang melalui blantik sebesar 33,3%. Tetapi untuk kasus penjualan sapi di Desa Karangtengah sepenuhnya (100%) dilakukan melalui perantaraan blantik. Ketidakmampuan peternak sapi di Desa Karangtengah untuk mengakses pasar secara langsung ini akan berdampak pada perkembangan budidaya sapi yang tidak optimal dan stagnasi kesejahteraan peternak. Tempat Penjualan Sapi
Pasar Hewan 66,6% Blantik 33,4%
Sumber: diolah dari hasil Survey Sibermas 2007
6. Simpulan Berdasarkan gambaran umum sistem pemasaran komoditi pertanian dan peternakan di Kecamatan Imogiri di atas, maka dapat ditemukenali beberapa kondisi dan permasalahan aktual-struktural terkait dengan kebutuhan petani/peternak untuk dapat mengakses pasar sebagai berikut: 1) Pasar bagi komoditi pertanian dan peternakan tersedia cukup besar baik dalam ruang lingkup lokal maupun di luar Imogiri karena sifat produk yang merupakan kebutuhan dasar. 2) Kebutuhan petani/peternak justru terletak pada perlunya restrukturisasi pemasaran yang lebih mendatangkan manfaat (kesejahteraan) bagi petani dengan mengikis ketergantungan kepada tengkulak atau blantik, baru setelah itu mendorong perluasan pasar. 3) Keberadaan organisasi tani baik dalam bentuk Kelompok Tani maupun Koperasi belum sepenuhnya memiliki keberdayaan dalam mempermudah akses pasar bagi petani, sehingga perlu diberdayakan lagi. 55
4)
5)
6)
Pemerintah setempat belum sepenuhnya mampu memfasilitasi petani untuk menguasai akses pasar, sehingga peranannya dalam fasilitasi pemasaran perlu dioptimalkan lagi. Organisasi petani perlu mengefektifkan forum berbagi pengalaman berharga (lesson-learned sharing) tentang keberhasilan beserta strategi satu wilayah atau satu kelompok tani/ternak untuk memutus ketergantungan pada tengkulak (blantik). Perlu dikembangkan pola-pola distribusi informasi dan pola sinergi (kemitraan) antar-multistakeholder, khususnya antara petani (produsen) dan buruh (konsumen), yang efektif sebagai media pembersatuan kekuatan ekonomi rakyat dan peningkatan jangkauan petani ke pasar secara langsung.
56
-13NEOKOLONIALISME KEHUTANAN (Review Kebijakan Atas PP No 2/2008)
Latar Belakang Sumber daya hutan Indonesia merupakan karunia Tuhan Yang Maha Kuasa sebagai penyangga kehidupan manusia melalui berbagai fungsinya. Hilangnya fungsi hutan mengakibatkan bencana seperti banjir, kekeringan, hilangnya keanekaragaman hayati, cadangan pangan, cadangan obat-obatan, hasil kayu dan nonkayu, dan lain-lain. Oleh karena itu, sumber daya hutan merupakan objek sekaligus subjek pembangunan yang sangat strategis. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang saat ini dilakukan, belum sepenuhnya memberikan penghargaan terhadap nilai manfaat hutan yang hilang. Nilai manfaat hutan ini antara lain kompensasinya adalah dalam bentuk lahan kompensasi, tetapi lahan kompensasi sulit diperoleh. Oleh karena itu, diperlukan suatu nilai pengganti terhadap lahan kompensasi. Sehubungan dengan maksud tersebut di atas dan untuk memenuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, perlu ditetapkan jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan. PP No 2/2008 dibuat dalam rangka memperoleh kompensasi atas penggunaaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan dan untukmelaksanakan ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Departemen Kehutanan. Isi Kebijakan . 1). Pengenaan Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak bagi penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang luas kawasan hutannya di atas 30% (tiga puluh persen) dari luas daerah aliran sungai dan/atau pulau. 2). Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan formula sebagai berikut : PNBP = (L1 x tarif ) + (L2 x 4 x tarif ) + (L3 x 2 x tarif ) Rp/tahun L1 adalah area terganggu karena penggunaan kawasan hutan untuk sarana prasarana penunjang yang bersifat permanen dan bukaan tambang selama jangka waktu penggunaan kawasan hutan (ha) 57
L2 adalah area terganggu karena penggunaan kawasan hutan yang bersifat temporer yang secara teknis dapat dilakukan reklamasi (ha) L3 adalah area terganggu karena penggunaan kawasan hutan yang bersifat permanen yang secara teknis tidak dapat dilakukan reklamasi (ha) 3).
4).
Terhadap penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang bersifat nonkomersial dikenakan tarif sebesar Rp0,00 (nol rupiah). Pengguna kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang telah menyelesaikan kewajiban kompensasi lahan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, tidak dikenakan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1.
Presiden menerangkan bahwa dalam PP tersebut diatur lebih lanjut mengenai bagaimana agar para pengusaha tambang yang sudah berusaha di kawasan itu selama bertahun-tahun, memberikan kontribusi untuk negara. Kontribusi ini bertujuan untuk memelihara, merehabilitasi dan menghutankan kembali kawasan-kawasan hutan lindung yang dijadikan lahan tambang. Dan hasil dari kontribusi itulah yang merupakan semangat dari PP No 2/2008. Tujuan PP 2/2008 ini yang berisi ijin bagi 13 perusahaan dari sisi kontribusi ekonomi mendatangkan keuntungan negara, kesejahteraan masyarakat sekitar, dan ikut menyelamatkan bumi. Presiden menambahkan jika 13 perusahaan itu ditutup, padahal perusahaanperusahaan tersebut telah beroperasi cukup lama maka dikhawatirkan banyak masyarakat Indonesia yang bekerja pada perusahaan itu yang tidak akan bekerja lagi atau menganggur. Dan sekali lagi Presiden menyatakan bahwa inti dari PP No 2/2008 itu bukan soal sewa menyewa. Hal itu juga didukung oleh pernyataan Menteri Kehutanan MS. Kaban bahwa selama ini banyak perusahaan di luar 13 perusahaan tersebut yang mengajukan proposal pembukaan tambang baru. Namun menurut Menteri Kehutanan, Departemen Kehutanan menolaknya, sebab lahan kawasan hutan tersebut selain digunakan oleh 13 perusahaan yang dimaksud juga digunakan untuk kepentingan selain kehutanan seperti pemasangan tower dan kegiatan Pertamina (SEKNEG RI, 23-2-2008) Menurut Lutfi (BKPM), pembentukan PP itu sebenarnya untuk pembiayaan kembali hutan yang sudah dikelola untuk tambang. ”Mineral yang ’dibuka’ itu menciptakan nilai tambah yang tinggi, uangnya dipakai Dephut mengganti hutan yang terbuka akibat tambang Kompas, 29-22008.
Review Kelayakan Kebijakan Review kebijakan terhadap PP No 2/2008 ini menggunakan kriteria standar penilaian yang disusun oleh Bardach sebagaimana dikutip oleh Patton dan Sawicki (1987: 157-167) yang meliputi kelayakan teknis, kelayakan ekonomik, kelayakan politik, dan kelayakan administratif. Data-data analisis dikumpulkan melalui studi literatur dan studi data sekunder. A. Kelayakan Teknis (Ekologis) Kelayakan teknis dalam review kebijakan ini adalah berupa teknis ekologis (lingkungan), yaitu kemungkinan dari kebijakan untuk mengatasi persoalan utama 58
(kriteria kecukupan/adequacy) dan mencapai tujuan yang diidealkan melalui pembuatan kebijakan (kriteria efektifitas/effectiveness). Dilihat dari sudut pandang ekologis, persoalan utama yang relevan dengan kebijakan PP No 2/2008 di sektor kehutanan adalah laju deforestasi yang cukup tinggi dan berdampak pada meluasnya bencana alam berupa banjir dan tanah longsor. Terkait dengan itu, tujuan PP tersebut pun disebutkan Pemerintah (Presiden) untuk memelihara, merehabilitasi dan menghutankan kembali kawasan-kawasan hutan lindung yang dijadikan lahan tambang dan untuk menyelamatkan bumi. Secara akal sehat (common sense) sulit diterima cara dan tujuan pemerintah merehabilitasi hutan lindung dan menyelamatkan bumi dengan membolehkan (melagalkan) kegiatan perusakan hutan lindung, walaupun dengan kompensasi uang dengan jumlah tertentu. Alangkah aneh mengharap “potensi (kemungkinan) pelestarian lingkungan” dengan cara yang jelas-jelas merusak lingkungan tersebut. Cara ini sama saja dengan menempatkan nilai kehidupan manusia dan makhluk hidup lain yang terkait dengan kondisi hutan lindung dengan nilai materi (uang), yang jelas tidak akan pernah sebanding (kompatibel). PP No.2/2008 akan mengakibatkan berubahnya fungsi pokok kawasan hutan lindung dimana dalam UU No.41/1999 pasal 1 angka 8 disebutkan hutan lindung adalah kawasan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistim penyangga kehidupan. Sistem itu meliputi pengaturan tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah. Fungsi pokok kawasan hutan lindung tidak bisa diganti dalam bentuk uang (sebagai mana diatur dalam PP No.2/2008). Hilangnya fungsi ini berdampak terhadap masyarakat berupa bencana banjir, erosi, kekeringan dan hancurnya infrastruktur akibat bencana alam. Disamping itu juga menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati dan biodiversity yang menjadi bagian terpenting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. (Walhi, 2008). Berbagai bencana banjir dan tanah longsor di tanah air sekarang ini sepertihalnya di sepanjang Sungai Bengawan Solo, Cimanuk, dan Rokan Hulu yang telah menyebabkan korban jiwa, mengindikasikan makin parahnya kerusakan hutan dan mahalnya (tak akan terbayarnya) biaya kerusakan tersebut. Kehancuran ekosistem dalam proses dan pasca penambangan terbuka terlihat nyata misalnya di Bangka Belitung, Papua, dan Riau. Lebih dari 1000 lubang pasca tambang dibiarkan terbuka di Bangka Belitung yang salah satunya menjadi penyebab 11,5% penyakit malaria secara nasional berada di pulau tersebut. Di Papua, kebun sagu suku Komoro di wilayah Ayuka dan Koperaporka telah mati dan ikan-ikan di sungai mereka makin sulit dicari. Suku Sakai di Riau terusir dari wilayah ulayat mereka setelah perusahaan penambangan masuk ke wilayah mereka (Arif, 2008). Contoh lain adalah dalam dua tahun terakhir terjadi perubahan ekologis yang signifikan di sejumlah kabupaten di Kalimantan Selatan. Terjadi banjir besar yang parah dan belum pernah terjadi sebelumnya. Banjir yang terjadi bersamaan di tujuh kabupaten tersebut penyebabnya adalah kegiatan pertambangan di hulu sungai (Kompas, 6-3-2008). Teknis perhitungan PNBP dalam PP ini juga menunjukkan tidak adanya dasar (semangat) konservasi yang sungguh-sunguh dari pemerintah. Tarif yang dikenakan dalam PP 2/2008 mengikuti pola sebagai berikut: PNPB = [L1 x tarif] + [L2 x 4 x tarif] + [L3 x 2 x tarif]l Perhatikan bahwa angka pengali bagi lahan yang secara teknis tidak bisa dilakukan reklamasi [L3] yakni 2, yang lebih kecil daripada angka pengali bagi lahan yang secara teknis bisa direklamasi [L2] yakni 4. Jika tujuan dari penarikan PNBP ini 59
adalah digunakan untuk kepentingan pemulihan hutan, formulasi itu berkata lain. Formulasi itu akan memberikan peluang bagi pelaku pertambangan untuk tidak menerapkan teknologi terbaik dalam melakukan pertambangan yang bisa meminimalisir dampak bukaan tambangnya sehingga bisa dimungkinkan dilakukan reklamasi. Sebabnya adalah, dengan melakukan reklamasi, ia harus membayar lebih besar daripada membiarkan bukaan tambangnya supaya tidak dapat direklamasi. Seharusnya angka pengali pada L3 itu tidak boleh lebih kecil daripada angka pengali pada L2, sehingga memicu perusahaan tambang untuk menerapkan praktekpraktek terbaik [best practices] pertambangan yang secara teknis dan kemajuan teknologi dimungkinkan. Dengan angka pengali yang lebih besar, pelaku usaha akan berhati-hati dalam mengusahakan pemanfaatan lahan usahanya (Muhajir, 2008). Selain itu – sebagai biaya pemulihan hutan – dengan biaya yang lebih besar bukaan lahan yang tidak bisa direklamasi, Dephut atau departemen terkait mempunyai biaya lebih dalam, misalnya, mengembangkan riset dan penelitian dalam teknologi reklamasi sehingga lahan yang tadinya secara teknis tidak dapat direklamasi menjadi bisa direklamasi, dst. PP ini tidaklah dibuat dalam rangka melindungi kepentingan konservasi kehutanan atau lingkungan hidup, tetapi murni untuk kepentingan menarik “rente” dari penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan non-kehutanan, salah satunya pertambangan. Bahkan dalam penjelasan umum disebutkan bahwa mekanisme PNPB ini ditempuh karena syarat untuk mencari lahan kompensasi sulit didapatkan (ibid). Pengalaman di negara maju pun menunjukkan bahwa ketentuan reklamasi pasca tambang tidak ada yang jalan dengan baik, Di Amerika, baru teridentifikasi reklamasi 500 pertambangan dari sebanyak 12.000 tambang yang ditinggalkan B. Kelayakan Politik (Legalitas) Kelayakan politik dalam review kebijakan ini meliputi sub-kriteria: legal (tidak bertentangan dengan peraturan di atasnya), equity (mempromosikan keadilan dan pemerataan (tidak diskriminatif)), appropriateness (kepantasan dan kesesuainnya dengan nilai-nilai dalam masyarakat), responsiveness (sesuai dengan kebutuhan masyarakat), dan acceptability (penerimaan atau dukungan masyarakat luas). 1). Sub-kriteria Legal PP No 2/2008 merupakan turunan dari produk-produk UU yang tidak sejalan dengan semangat (amanat) konstitusi Pasal 33 UUD 1945 ayat 1-3. UU yang sudah sejalan yaitu UU No 41/1999 tentang Kehutanan justru diganti melalui Perpu No 1/2004 oleh Presiden Megawati. Di samping itu, dalam PP tidak disebutkan secara eksplisit bahwa PP ini hanya untuk mengatur 13 perusahaan tambang. Oleh karena itu, PP ini menimbulkan multi-interprestasi seperti yang sekarang sudah terjadi perbedaan tafsir antara Dephut, Departemen Pertambangan, dan Pemerintah Daerah. Di Kalimantan Tengah, misalnya, Departemen Pertambangan kalteng menafsirkan PP 2/2008 itu berlaku umum, tidak hanya berlaku bagi ke 13 perusahaan sebagaimana dimaksud dalam UU 19/2004. Departemen Pertambangan Kalteng melihat bahwa ini adalah solusi yang baik daripada memakai aturan tentang penggantian dengan lahan pengganti yang luasnya dua kali lipat yang dianggapnya sulit diterapkan. Khalid (Walhi) dan Muhajir (2008) menilai, PP No.2/2008 yang memberi izin dilakukan penambangan terbuka di kawasan hutan lindung jelas bertentangan dengan 60
UU No.41/1999 pasal 38 ayat (2) tentang penggunaan kawasan hutan dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan. Kemudian pada ayat (4) disebutkan, di kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola tambang terbuka. Salah satu potensi kekacauan PP ini adalah tidak konsistennya pemakaian istilah. Pasal 28 UU 41/1999 menyebutkan di hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka. Sebuah istilah yang juga tidak ada penjelasannya dalam UU 41/1999. Sementara PP 2/2008 mempunyai istilah sendiri: tambang terbuka yang bergerak secara horizontal, tambang terbuka yang bergerak secara vertikal dan tambang bawah tanah. Ketiga istilah itu tidak ada definisinya. Sementara itu dalam aturan peraturan perundang-undangan yang berlaku di pertambangan, istilah yang didapat adalah kegiatan tambang permukaan dan tambang bawah tanah, yang lagi-lagi kedua istilah itu tidak ada penjelasannya. Dan sepertinya penjelasan istilah itu diserahkan ke perkembangan ilmu pengetahuan tentang pertambangan (Muhajir, 2008). PP ini makin mengukuhkan liberalisasi konstitusi yang dilakukan pemerintah untuk menggusur isi Pasal 33 UUD 1945 sepertihalnya melalui dibuatnya UU Sumber Daya Air, UU Migas, UU Ketenagalitrikan (sudah dibatalkan MK), dan UU Penanaman Modal. UU selanjutnya seringkali dibuat atas dasar ketelanjuran struktur ekonomi dan beberapa UU pun terbukti dinyatakan MK bertentangan dengan konstitusi. 2). Sub-kriteria equity PP No 2/2008 lebih mencerminkan pemenuhan kepentingan pemodal besar (transnasional) daripada kepentingan masyarakat sekitar hutan lindung. Pemodal dengan kekuasaannya dapat mendesakkan aturan hukum yang dapat memenuhi kebutuhan pelanggengan kekuasaan (kepentingan) mereka di Indonesia. Hal ini sudah berlangsung terus menerus di antaranya karena penyusun Undang-Undang tersebut adalah juga pihak-pihak luar yang dekat dengan kepentingan mereka. Contoh sejarah bagaimana “kejahatan” pemodal besar (konglomerat) dampak finansialnya ditanggung negara (rakyat banyak) adalah kasus BLBI, rekapitalisasi perbankan, release and dicharge. Kondisi ini jelas tidak sejalan dengan aspek keadilan dan pemerataan. Sementara hukum secara keras ditegakkan kepada pelaku ekonomi rakyat kecil ketika menyangkut kepentingan mereka (misalnya PKL) yang harus digusur-gusur dengan alasan melanggar tata ruang, keindahan, dan ketertiban kota. Dengan begitu PP ini lebih didominasi orientasi pertumbuhan yang dilakukan oleh pemodal besar (luar negeri), dan tidak menyentuh aspek keadilan dan pemerataan secara signifikan. Kebijakan ini mengindikasikan betapa pemerintah saat ini, sangat pro-kapitalis terutama kapitalis asing dengan memberikan fasilitas istimewa dan menegasikan aspekaspek kelestarian lingkungan hidup. Pengalihan fungsi konservasi hutan menjadi fungsi ekonomi tentu sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan ekologis dan sosiologis (Cahyadi, 2008). 3). Sub-kriteria appropriateness & responsiveness PP ini tidak sejalan dengan nilai-nilai masyarakat adat (lokal) yang cenderung konservasionis sepertihalnya suku Amungme di Papua yang menganggap bukit-bukit (gunung) sebagai “ibu” mereka yang harus selalu dijaga, demikian pula kearifan lokal yang telah menjadi pandangan hidup mayarakat adat selama ratusan tahun. PP ini juga tidak sejalan dengan nilai-nilai global yang saat ini sedang mendunia untuk 61
mengantisipasi perubahan iklim akibat pemanasan global. Hal ini juga yang sebenarnya sedang digalakkan Indonesia salah satunya dengan menjadi tuan rumah Konferensi Internasional Perubahan Iklim. Dengan demikian munculnya PP tersebut bukan berdasar kebutuhan masyarakat sekitar, tetapi lebih merupakan kebutuhan perusahaan tambang untuk tetap dapat melakukan penambangan terbuka di hutan lindung dengan kesediaan membayar dengan nilai (harga) tertentu (murah). Tidak ada usulan langsung dari masyarakat yang berada di sekitar areal pertambangan. 4). Sub kriteria acceptability PP ini mendapat penolakan (resistensi) yang luas di masyarakat, terutama dari para pegiat lingkungan, media massa, dan akademisi di berbagai tempat di Indonesia. Sangat picik kalau menganggap nilai ekonomi lebih besar daripada jasa lingkungan. Apa arti semua ini bila dikaitkan dengan Indonesia sebagai tuan rumah Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim (Sonny Keraf). Ganjar Pranowo, mengaku tidak memahami maksud dan semangat di balik PP itu. Apalagi bila tarif sewanya sangat murah. Pengajar kehutanan pada Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Agus Setyarso, menilai, penetapan kebijakan pemerintah tanpa didasari pertimbangan audit sumber daya alam dan standar praktik terbaik membahayakan masa depan lingkungan dan manusia. Materi yang tercantum dalam PP lebih menyerupai kebijakan fiskal, di mana pertimbangan ekonomi sangat kental. Padahal, Indonesia dengan basis ekonomi pada eksplorasi sumber daya alam seharusnya menitikberatkan pada pertimbangan ekologi. Mustofa Agung Sardjono, guru besar sosial ekonomi kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda, menyatakan tidak habis pikir PP itu bisa keluar dan mempertanyakan apakah didasari dengan penelitian detail dan akurat. Hutan lindung tidak disewakan pun sudah rusak. Kalau disewakan, semakin tidak terjamin hutan lindung akan tetap lestari. Ahli kehutanan Universitas Tanjungpura, Pontianak, Prof Herujono Hadisuparto, mengatakan, kerja keras menjadi tuan rumah Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim di Bali, Desember 2007, menjadi sia-sia dengan adanya PP tersebut (IWGF). Lembaga-lembaga berkompeten yang menolak PP tersebut di antaranya adalah Walhi, Greenomic, Jatam, KpSHK, Sawit Watch dan ICEL. Dari pembuat kebijakan, Presiden menerangkan bahwa dalam PP tersebut diatur lebih lanjut mengenai bagaimana agar para pengusaha tambang yang sudah berusaha di kawasan itu selama bertahun-tahun, memberikan kontribusi untuk negara. Kontribusi ini bertujuan untuk memelihara, merehabilitasi dan menghutankan kembali kawasankawasan hutan lindung yang dijadikan lahan tambang. Dan hasil dari kontribusi itulah yang merupakan semangat dari PP No 2/2008. Tujuan PP 2/2008 ini yang berisi ijin bagi 13 perusahaan dari sisi kontribusi ekonomi mendatangkan keuntungan negara, kesejahteraan masyarakat sekitar, dan ikut menyelamatkan bumi. Presiden menambahkan jika 13 perusahaan itu ditutup, padahal perusahaanperusahaan tersebut telah beroperasi cukup lama maka dikhawatirkan banyak masyarakat Indonesia yang bekerja pada perusahaan itu yang tidak akan bekerja lagi atau menganggur. Dan sekali lagi Presiden menyatakan bahwa inti dari PP No 2/2008 itu bukan soal sewa menyewa. Hal itu juga didukung oleh pernyataan Menteri Kehutanan MS. Kaban bahwa selama ini banyak perusahaan di luar 13 perusahaan tersebut yang mengajukan proposal pembukaan tambang baru. 62
Namun menurut Menteri Kehutanan, Departemen Kehutanan menolaknya, sebab lahan kawasan hutan tersebut selain digunakan oleh 13 perusahaan yang dimaksud juga digunakan untuk kepentingan selain kehutanan seperti pemasangan tower dan kegiatan Pertamina (SEKNEG RI, 23-2-2008) Menurut Lutfi (BKPM), pembentukan PP itu sebenarnya untuk pembiayaan kembali hutan yang sudah dikelola untuk tambang. ”Mineral yang ’dibuka’ itu menciptakan nilai tambah yang tinggi, uangnya dipakai Dephut mengganti hutan yang terbuka akibat tambang Kompas, 29-22008. C. Kelayakan Ekonomik Kelayakan ekonomik dalam review kebijakan ini adalah ketika penggunaan sumber daya (resources) beserta biaya yang ditimbulkannya menghasilkan manfaat optimal bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat (sekitar) dan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Jika dibandingkan antara nilai manfaat PP No 2/2008 bagi pemerintah dan perusahaan (dan tenaga kerjanya) dan biaya yang harus ditanggung pemerintah dan masyarakat sekitar areal tambang maka nilainya tidaklah sebanding. Nilai manfaat dapat diperkirakan dari nilai PNBP yang sebesar Rp. 300/m2/tahun (Rp. 1,2-3 juta/ha/tahun) dan nilai penjualan hasil tambang terbuka yang sebagian besar dinikmati pemilik perusahaan (pemodal luar negeri) dan sebagian kecil untuk upah buruh perusahaan. Dengan PP ini pemerintah dapat memperoleh potensi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 600 miliar per tahun (Kaban, 2008) dan potensi penerimaan negara dari sektor pertambangan umum sebesar Rp. 1,5 trilyun pada tahun 2008. Nilai total tersebut sangatlah kecil dibandingkan biaya yang ditimbulkan akibat kerusakan hutan lindung seluas 925 ribu ha yang diijinkan melakukan penambangan terbuka sesuai penjelasan lisan Presiden perihal 13 perusahaan sasaran PP tersebut. Nilai tersebut juga menjadi nampak kian kecil dibanding pembayaran bunga utang dalam dan luar negeri sebesar 94,15 trilyun pada tahun 2008. Bahkan, pemerintah harus membuat utang luar negeri baru pada tahun 2008 ini sebesar Rp44,2 triliun untuk menutupi sebagian defisit APBN 2008 (Greenomic, 2008). Jadi, secara fiskal yang justru lebih bermasalah di Indonesia (apalagi dikaitkan faktor ekologis di atas) adalah dari sisi pengeluaran yang begitu membebani APBN Indonesia. Biaya lain yang jarang diperhatikan adalah tergusurnya kehidupan masyarakat lokal pasca masuknya perusahaan tambang, Dan beberapa pengalaman, ternyata perusahaan pertambangan sangat merugikan rakyat sekitar. Di Kalimantan Timur, warga Dayak Paser terpaksa pindah kampong karena tergusur tambang batu bara Kideco Jaya Agung. Di Kalimantan Tengah, lahan warga Dayak Siang Murung Bakumpai dirampas oleh Aurora Gold (BekasiNews, 24-2-2008). Di Papua, kebun sagu suku Komoro di wilayah Ayuka dan Koperaporka telah mati dan ikan-ikan di sungai mereka makin sulit dicari. Suku Sakai di Riau terusir dari wilayah ulayat mereka setelah perusahaan penambangan masuk ke wilayah mereka. Kehadiran perusahaan tambang emas di Kalteng, Kaltim, Sulut, NTB, dan Propinsi lain telah menempatkan masyarakat lokal yang menambang secara tradisional sebagai “penjarah” di tanah mereka sendiri, Padahal, jauh sebelum kedatangan perusahaan tambang besar, mereka sejak lama sudah berusaha di tanah adat ini (Arif, 2008). Di Indonesia, biaya rehabilitasi lubang pasca tambang tidak dihitung dengan cermat. Lubang-lubang tambang bahkan dapat ditinggal begitu saja setelah mineral habis diekstraksi dari perut bumi. Sebagai perbandingan, di Australia biaya untuk memelihara air asam tambang mencapai Rp. 360 milyar per tahun dan biaya perawatan 63
untuk lubang-lubang tambang yang ditinggalkan sekitar Rp 600 juta/ha/tahun (ibid). Di Kanada, akhirnya pemerintah melarang penambangan terbuka di areal hutan. Hal ini memperjelas betapa murahnya harga perusakan yang dipatok pemerintah dalam PP No 2/2008, yang sebenarnya tetap sulit untuk terbayarkan mengingat kompleksitas biaya sosial-ekologis yang menyangkut hidup matinya makhluk hidup dalam sebuah ekosistem. Manfaat yang tidak optimal dari eksploitasi kekayaan SDA dengan pola liberal (dikuasakan ke swasta (asing)) di Indonesia tergambar dari kondisi masyarakat sekitar areal pertambangan yang masih terjebak dalam kemiskinan dan bahkan dalam beberapa kasus terjadi kelaparan dan gixi buruk. Misalnya saja di daerah konsesi tambang emas PT Freeport di papua angka kemiskinan mencapai 35 persen. Kehidupan sosialekonomi suku Amungme pemilik gunung-gunung emas dan tembaga dan suku Kamoro yang tanahnya menampung tailing tidak beranjak lebih baik. Demikian halnya yang dialami masyarakat adat (lokal) di Sakai, Bangka Belitung, Kaltim, NTT, NTB, dan Propinsi kaya SDA lainnya. Hampir sebulan ratusan warga Kao Malifut di Maluku Utara, memblokade tambang emas Newcrest - salah satu dari 13 perusahaan tambang yang diloloskan UU No 19 tahun 2004. Warga menuntut dan mempertanyakan mengapa mereka lebih miskin dibanding sebelum tambang masuk. Blokade yang sama terjadi 5 tahun lalu, saat Newcrest membabat hutan lindung Toguraci untuk kawasan tambang. Pelanggaran HAM terjadi. Satu orang meninggal ditembak kepalanya, ratusan lainnya ditangkap oleh Brimob, yang mengamankan perusahan kala itu (Siaran Pers JATAM, WALHI, KpSHK, Sawit Watch & ICEL 2008). Sementara data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) sejak tahun 2000 terdapat 154 izin konsesi pertambangan di kawasan hutan dengan luas total 11,4 juta hektar. Lokasi itu tersebar pada 26 provinsi dan 85 kabupaten. D. Kelayakan Administratif (Prosedural) Kelayakan admionistratif dalam review kebijakan ini meliputi penerapan prosedur akademik dan demokrasi dalam pembuatan kebijakan (PP No 2/2008). Secara prosedural akademik maka keluarnya PP ini (dan juga pertauran di atasnya) tidak didasarkan pada suatu penelitian perihal dampak yang dimungkinkan muncul karena pemberlakuan kebijakan (peratura) tersebut. Salah satu metode analisis yang biasa digunakan sebelum formulasi kebijakan adalah Regulatory Impact Assestment (RIA). Melalui penerapan RIA maka dapat diperkirakan berbagai dampak negatif dari diberlakunnya peraturan (kebijakan) pada berbagai pihak, aspek, dan sektor yang relevan. Metode ini belum menjadi arusutama metode pengambilan kebijakan pemerintah Indonesia yang cenderung terburu-terburu sepertihalnya dalam keluarnya PP No 2/2008. Di samping itu, PP ini dibuat tanpa melalui diskusi publik yang intensif sehingga menghasilkan formulasi kebijakan yang lebih tepat dan akurat. Hasilnya PP ini berisi aturan-aturan yang tidak mudah dipahami dasarnya sepertihalnya perihal besaran tarif, formulasi penentuan tarif PNBP, dan jenis pertambangan yang diperbolehkan dalam areal hutan. Kesimpulan Berdasarkan penilaian kelayakan dari berbagai aspek tersebut maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 64
1. Secara teknis (ekologis) isi PP No 2/2008 tidak tidak sejalan dengan tujuan koservasi hutan lindung dan justru berpotensi makin memperparah kerusakan lingkungan yang dapat memunculkan bencana dan menimbulkan korban lebih besar. Kebijakan dalam PP ini menempatkan nilai kehidupan manusia dan ekosistem lain (keanekaragaman hayati) yang hidup di areal hutan lindung di bawah nilai rente material (uang). Teknik perhitungan PNBP dalam PP ini juga menunjukkan tidak adanya dasar (semangat) konservasi yang sungguh-sunguh dari pemerintah. 2. Secara politik-legal PP ini menunjukkan lemahnya supremasi hukum dengan dipaksakannya peraturan untuk menghindari pertentangan dengan peraturan diatasnya. PP ini bertentangan dengan UU No.41/1999 pasal 38 ayat (2) tentang penggunaan kawasan hutan dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan. Kemudian pada ayat (4) disebutkan, di kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola tambang terbuka. PP ini menimbulkan multi-interprestasi antara Dephut, Departemen Pertambangan, dan Pemerintah Daerah karena di dalam PP tidak disebutkan secara eksplisit bahwa PP ini hanya untuk mengatur 13 perusahaan tambang seperti yang diuraikan Presiden secara lisan. 3. Secara politik-equity PP ini tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat karena lebih memenuhi kepentingan pemodal besar (transnasional) daripada kepentingan masyarakat sekitar hutan lindung dan merupakan bentuk diskriminasi hukum kepada pelaku ekonomi rakyat kecil sepertihalnya PKL yang selama ini selalu digusur-gusur pemerintah atas nama penegakan supremasi hukum. Pengalihan fungsi konservasi hutan menjadi fungsi ekonomi tentu sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan ekologis dan sosiologis. 4. Secara politik-kepantasan dan kebutuhan PP ini tidak sejalan dengan nilai-nilai masyarakat adat (lokal) yang cenderung konservasionis dan nilai-nilai global yang saat ini sedang mendunia untuk berjuang mengantisipasi perubahan iklim akibat pemanasan global. PP ini bukan berdasar kebutuhan masyarakat sekitar, tetapi lebih merupakan kebutuhan perusahaan tambang untuk tetap dapat melakukan penambangan terbuka di hutan lindung dengan kesediaan membayar dengan harga murah. 5. Secara politik-acceptability PP ini PP ini terbukti mendapat penolakan (resistensi) yang luas di masyarakat, terutama dari para pegiat lingkungan dan akademisi (pakar ekonomi lingkungan) di berbagai tempat di Indonesia. 6. Secara ekonomik potensi manfaat ekonomi (finansial) dari PP yang mematok tarif PNBP sangat murah ini tidak signifikan dibanding biaya kerusakan dan korban jiwa yang potensial ditimbulkan, beban fiskal (pengeluaran) pemerintah, tergusurnya ekonomi rakyat sekitar, biaya rehabilitasi (reklamasi) ideal, tetap miskinnya masyarakat adat sekitar pertambangan, dan tetap miskinya bangsa Indonesia dibawah sistem pertambangan liberal. 7. Secara administratif-prosedural PP ini tidak akademis dan demokratis karena tidak didasarkan pada Penilaian Dampak Kebijakan (Regulatory Impact Assesment) dan diskusi publik yang melibatkan masyarakat luas. 8. Berdasar berbagai pertimbangan di atas maka secara umum dapat disimpulkan bahwa PP No 2/2008 merupakan salah satu bentuk kebijakan pemerintah yang
65
tidak layak untuk diterapkan dan dipertahankan, karena hanya akan melanjutkan neokolonialisme kehutanan di Indonesia, sehingga harus dibatalkan.
66
-14ORKESTRASI GERAKAN HIJAU DAN PESTA KORPORATOKRASI Oleh : Khalisah Khalid “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” Aransemen Korporatokrasi Saya ingin memulai tulisan ini dengan sebuah pernyataan yang disampaikan oleh Chalid Muhammad dalam diskusi nasional “Membaca politik pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup menjelang 2009”, yang mengatakan bahwa “negeri ini telah dikuasai oleh rezim korporatokrasi dan kleptokrasi”. Sebuah pernyataan yang menggambarkan bagaimana kekuatan aktor-aktor korporatokrasi telah menghegomoni seluruh kehidupan bangsa ini. Korporatokrasi saat ini kembali menjadi wacana publik, karena tidak ada satupun yang dapat menyangkal bahwa krisis yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh semakin kuatnya rezim ini memainkan peran-perannya, baik secara ekonomi maupun politik ditandai dengan produk-produk kebijakan yang dikeluarkan. Istilah korporatokrasi sendiri diperkenalkan oleh John Perkins dalam bukunya Confression of an Economic Hit Man (2004) yang mengatakan bahwa dunia saat ini dikuasai oleh ‘imperium internasional”, dimana imperium ini menyatukan kekuatan yang dimilikinya, baik kekuatan finansial maupun kekuatan politiknya untuk menguasai berbagai sumber kehidupan di belahan bumi ini. Dalam bukunya yang berjudul Selamatkan Indonesia (2008), Amin Rais melihat korporatokrasi sebagai sebuah gambaran atas sistem kekuasaan yang dikontrol dan didominasi oleh berbagai korporasi besar, bank internasional dan pemerintah. Imperium internasional yang dimaksud, selain korporasi juga lembaga keuangan internasional dan negara yang membangun jaring kerjasamanya dan mengkonsolidasikan kekuatannya melalui kebijakan liberalisasi ekonomi, melalui perangkat-perangkat hukum yang dimiliki oleh negara. Korporasi semakin menemukan ruang kemenangannya ketika pengurus negara memberikan penguasaan penuh untuk memainkan peran-peran mereka, dengan melegalisasi melalui sejumlah undang-undang dan produk regulasi lainnya. Disinilah Bentuk transaksi antara penguasa dengan modal salah satunya adalah kebijakan, kenyataan inilah yang disebut dengan alur kolonialisasi secara ekonomi, berjalan beriringan dengan kolonialisasi secara politik. Kuasa korporasi yang sangat besar di Indonesia di awali oleh peraturan perundangan yang di keluarkan pemerintah sejak rezim Soeharto dan terus dilanjutkan dengan sangat baik oleh rezim-rezim berikutnya. Di awali UU No 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing, UU No 5/67 Tentang Kehutanan, UU No 11/67 tentang Pertambangan, Kontrak Penulis, Dewan Nasional WALHI 2008-2012; Biro Politik dan Ekonomi Sarekat Hijau Indonesia (SHI)
67
Karya Pertambangan Generasi I dan II, menghantar Indonesia memasuki fase: Jual Murah; Jual Cepat; dan Jual Habis Kekayaan Alam demi kejayaan korporasi. Beberapa perundangan yang menyokong kuasa korporasi antara lain: UU Minyak dan Gas, UU 41/99 tentang Kehutanan, Perpu No 1/2004 yang telah jadi UU N0 19.2004 tentang Pertambangan di Kawasan Lindung, UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air, UU 25/2007 tentang Penanaman Modal, UU No 26/2007 tentang Tata Ruang, UU no 27/2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau kecil, Pepres 36/2005 jo Pepres 65/2005 tentang Pengadaan Tanah untuk Infrastruktur dan lain-lain. Secara legal, setiap jengkal tanah dan setiap tetes air Indonesia telah dikuasai oleh korporasi baik melalui kontrak karya pertambangan, kontrak bagi hasil minyak dan gas, kontrak bagi hasil batu bara, kuasa pertambangan, hak penguasaan hutan, hak penguasaan perkebunan besar kelapa sawit. Data WALHI dan JATAM pada tahun 2005 menujukan, bahwa sekitar 35,1 juta hektar kawasan hutan telah dikuasai oleh perusahan pemegang HPH, 15 juta hektar untuk Hak Guna Usaha, 8,8 juta hektar untuk Hutan Tanaman Industeri, 35 % daratan Indonesia di kuasai oleh 1.194 pemegang kuasa pertambangan, 341 Kontrak Karya Pertambangan dan 257 Kontrak Pertambangan Batubara (PKP2B). Sementara rakyat yang selama ini hidup didalam dan sekitar hutan, dipaksa keluar dari tanah mereka. Negara sesungguhnya tidak pernah diuntungkan dari aktifitas mereka, kasus penunggakan pembayaran yang dilakukan oleh perusahaan batubara baru-baru ini, semakin memperjelas posisi bahwa yang diuntungkan oleh korporasi yang mengeruk sumber daya alam hanyalah segelintir elit, yang menjual kekayaan alam dan buruh murah tanpa perlindungan keselamatan kerja. Nampaknya apa yang disampaikan oleh Cecil Rhodes (1852-1902), yang menyatakan bahwa kolonialisme adalah penemuan tanah baru dimana dari tanah tersebut dapat dengan mudah mendapatkan bahan-bahan mentah (sumber daya alam) yang dapat dieksploitasi dengan menggunakan buruh murah dari penduduk pribumi. Sumber daya alam (SDA), sesungguhnya selalu menjadi alasan utama bagi kolonial baru (baca, korporasi) dimanapun untuk mendominasi dan menanamkan kekuasannya, dan entitas politik negeri ini mengamini seluruh nafsu kolonialisme tersebut, karena menguntungkan bagi mereka secara politik melalui ongkos-ongkos politik yang disediakan oleh kekuatan modal. Modal internasional tidak hanya mengeruk sumber daya alam untuk pemenuhan konsumsi bagi negara-negara maju, mereka bahkan mendikte negara untuk mengurangi tanggungjawabnya melindungi dan mensejahterakan rakyatnya sebagaimana yang dimandatkan oleh Konstitusi. Telah terjadi defisit kedaulatan negara dan bertemu dengan defisit kesejahteraan yang berujung pada kemiskinan. Mencabut subsidi terhadap BBM bagi rakyat miskin, menjadi salah satu contoh kuat bagaimana kekuatan ekonomi internasional telah mengambil-alih tanggungjawab negara dan menyerahkannya kepada pasar. Corporate Social Responsibility (CSR) menjadi salah satu contoh dari sebuah alat yang didorong oleh modal, untuk mengambilalih peran dan fungsi sosial negara, dan mengalihkan tanggungjawab negara tersebut. Kekuatan aransemen kolaboratif yang dimainkan begitu cantik oleh korporasi besar, lembaga keuangan internasional dan elit politik yang duduk di pemerintahan, telah menghasilkan sebuah cerita penghisapan ekonomi disatu sisi, dan kerusakan lingkungan hidup disisi yang lain, bahkan telah melahirkan krisis dan ancaman 68
terhadap keberlangsungan dan keberlanjutan kehidupan rakyat intra dan antar generasi. Industri tambang misalnya, industri ini memiliki karakter yang tidak terbarukan,berumur pendek, berdaya rusak tinggi dan berorientasi ekspor. Dengan watak dan cara kerjanya, kekuatan ini telah mendominasi semua yang menyangkut kehidupan nasib orang banyak, dengan memegang prinsip mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan modal yang semurah-murahnya dengan menggunakan buruh murah, dan mengabaikan lingkungan hidup yang dinilai berbiaya mahal dan tidak menguntungkan bagi kepentingan bisnis mereka. Sumber daya alam (SDA) ditempatkan tidak lebih hanya sebagai sebuah komoditas, yang bisa dikeruk habis guna memenuhi tingkat konsumsi bagi negara-negara maju, dan menghancurkan secara sistematis dan struktural produktifitas yang disebabkan oleh penguasaan akses dan kontrol atas tanah dan alat-alat produksi yang lain, dan menghancurkan pengetahuan lokal yang mengatur regulasi wilayah dan tata kehidupan masyarakat itu sendiri. Semua modal sosial yang ada dalam tatanan masyarakat, diruntuhkan oleh mesin-mesin kapitalisme yang bekerja secara baik dan didukung penuh oleh kekuatan politik. Pemilu, Absen Agenda Krisis Reformasi 1998, memang terjadi berbagai perubahan yang positif menyangkut hak-hak sipil-politik, seperti kebebasan pers, kebebasan pendirian partai-partai politik, reformasi dalam sistem pemilu, antara lain sistem pemilihan presiden langsung. Namun secara substansial, berbagai perubahan ini hanya mencerminkan pergeseran kepentingan dan sirkulasi di tingkat elit kekuasaan, dengan mengabaikan aspek akuntabilitas dan representasi kepentingan publik. Ini tercermin dari kegagagalan reformasi mewujudkan janjinya, untuk memperbaiki pemenuhan keadilan dan hak-hak dasar rakyat di bidang ekonomi dan sosial. Agenda reformasi bahkan dibajak oleh elit politik untuk kepentingan kekuasaannya, bahkan korporasi semakin memperkuat perangkatnya dengan serangkaian strategi yang lebih sistematis dengan kemasan legal reform yang melahirkan “good governance” yang membuat korupsi semakin vulgar dipertontonkan oleh wakil rakyat, economic reform yang menghasilkan liberalisasi ekonomi, khususya di sektor sumber daya alam, dan political reform yang melahirkan demokrasi namun baru sebatas demokrasi prosedural dan belum menyentuh persoalan mendasar rakyat. Semua reformasi yang ditawarkan oleh neolib, semakin melahirkan angka kemiskinan yang panjang. Kompas dalam headlinenya bahkan memprediksikan bahwa dalam 25 tahun mendatang, Indonesia akan mengalami krisis pangan. Demikian juga dengan temuan ILO menyebutkan bahwa pada bulan Februari 2008, terdapat 52,1 juta pekerja miskin. Ini belum ditambah dengan pukulan kenaikan harga sebesar 125 persen, yang disebabkan oleh kenaikan harga BBM. Elit politik yang sudah lama menghiasi reklame iklan di media massa juga absen melihat krisis rakyat dalam agenda-agenda politik yang ditawarkan. Jalan keluar yang disodorkan, bahkan tidak melihat persoalan mendasar yang dialami oleh bangsa ini. Tidak ada tawaran perubahan atas pilihan ekonomi, yang menempatkan tata kuasa, tata guna lahan, tata produksi dan tata konsumsi kedalam sebuah kebijakan yang adil dan berkelanjutan. 69
Kekuatan korporatokrasi telah mampu mempengaruhi agenda-agenda politik mulai dari tingkatan Pilkada hingga Pemilu Legislatif dan Pilpres. Caranya melalui dukungan finasial pada kandidat-kandidat yang bertarung pada pesta demokrasi, janji-janji politik yang disampaikan tidak lebih hanya untuk semakin melanggengkan dominasi agenda neoliberal. Harapan pembaruan terhadap pemilu 2009, hampir sama dengan pemilu 2004. berbagai janji juga digelontorkan oleh partai politik dan beberapa calon presiden melalui belanja iklannya di media massa yang menawarkan berbagai jalan baru, yang jika dicermati secara seksama tidak lebih hanya sebuah kamuflase. Dari diskusi panjang Demokrasi dibawah tirani modal yang beberapa waktu lalu diselenggarakan di Universitas Indonesia, semakin memperjelas posisi korporatokrasi ini terhadap ruang demokrasi yang dibangun di Indonesia. Demokrasi yang terpusat pada pemilihan umum (electoral democracy) tidak lebih hanya sebagai sebuah kemenangan dari politik prosedural, dan hanya memberi kesempatan kepada kekuatan neoliberal dan predatoris untuk bergantian menguasai lembaga-lembaga negara. Hasil dari pertarungan ini adalah kombinasi yang amat buruk: liberalisasi dibidang ekonomi dan konservatif dibidang politik. Pemilu sama sekali jauh dari krisis yang dialami oleh rakyat, bahkan hiruk pikuk pilkada dan ribuan banner dan bendera partai politik, telah menenggalamkan jeritan penderitaan yang dialami oleh perempuan yang tidak bisa memberikan asupan gizi yang cukup bagi keluarganya. Pilkada pemilihan Gubernur Jawa Timur menjadi sebuah pembelajaran yang utuh untuk menggambarkan, bagaimana kekuatan korporasi yang bernama Lapindo Brantas Inc telah mampu menutup mata seluruh kandidat Gubernur Jawa Timur untuk membicarakan derita rakyat korban lumpur Lapindo yang harus menjadi pengungsi ekologis dan tercerabut dari ruang hidupnya. Blok Politik Hijau, Meretas Jalan Perubahan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan." Gerakan lingkungan hidup sebagai bagian dari gerakan sosial menyadari bahwa begitu berat dan besarnya musuh yang dihadapi oleh rakyat, karena kekuatan mereka bahkan telah masuk ke ruang-ruang kehidupan masyarakat, yang menjelma menjadi sebuah fasisme baru yang diyakini sebagai sebuah kebenaran. Kita dapat menyaksikan, bagaimana fundamentalisme pasar telah melahirkan sebuah bentuk fundamentalisme agama yang menduplikasi cara kerja yang sama yakni tidak menghormati pluralisme dan keberagaman tak ubahnya cara pandang monukultur dalam industri perkebunan besar. Namun, ditengah berbagai ancaman hidup yang diciptakan oleh kekuatan modal dan politik, berbagai inisiatif perjuangan juga diciptakan oleh berbagai elemen rakyat. Mencoba membangun demokrasi dan ekonomi dari bawah sebagai sebuah bentuk perlawanan yang digagas oleh rakyat sebagai sebuah alternatif diluar proses electoral democracy
70
Demikian juga inisiatif yang dibangun dari gerakan lingkungan hidup, yang bercita-cita melakukan perubahan gerakan, salah satunya dengan menggunakan blok politik hijau sebagai kendaraannya untuk membangun kekuatan politik alternatif yang dibangun dari pondasi massa rakyat yang kritis. Memainkan peran-peran politiknya untuk dapat mendiseminasi gagasan hijau sebagai sebuah upaya melakukan reformasi pengelolaan lingkungan hidup dan pembangunan konsepsi ekonomi yang berbasiskan pada kedaulatan rakyat dan keadilan ekologi sebagai sebuah jalan baru yang ditawarkan. Inisiatif ini didasari atas sebuah keyakinan, bahwa gerakan lingkungan hidup berada di jantung perlawanan atas penghisapan penjajahan baru (eksploitasi sumber-sumber kehidupan), karenanya dibutuhkan kekuatan dari blok politik anti imperialisme lainnya selain blok politik hijau (buruh, nasionalis, sosialis dan lain-lain) yang menjadi kekuatan politik alternatif dengan garis ideologi yang kuat dan berbasiskan pada kekuatan massa kritis yang masif, terorganisir, terpimpin untuk mendobrak kebekuan politik yang terjadi. Pandangan ini juga didasari atas analisis bahwa rezim kekuasaan hari ini berada di dalam kebangkrutan karena menjadi sumber ancaman keselamatan rakyat dan menanamkan benih kehancuran negeri ini. Bahwa oligarki politik hari ini bercokol di hampir semua partai politik yang ada hari ini. kepentingannya tunggal yakni mempertahan kekuasaan dan share/pembagian sekaligus persaingan kalangan sendiri untuk meperebutkan rente ekonomi dari penggadaian kekayaan alam negeri ini. Kalau pun ada pertentanganan dan sikap yang seolah-olah opisisi, sesungguhnya hanya permainan politik dan sirkulasi elit atau oligarki politik-ekonomi. Habermas menyatakan bahwa bagaimana demokrasi dapat memasuki ruang-ruang kuasa, bukan hanya kepada elit, tetapi juga kepada masyarakat sipil. Blok politik hijau, kemudian yang menjadi sebuah alternatif yang ditawarkan oleh berbagai gerakan sosial, baik gerakan tani, buruh, maupun gerakan yang mengusung isu lingkungan sebagai agenda utama perubahan. Dalam survey nasional yang dilakukan oleh DEMOS yang berjudul satu dekade, maju dan mundurnya demokrasi di Indonesia menilai bahwa aktor-aktor demokrasi yang ada saat ini marjinal secara politik dan mengambang secara sosial. Karenanya Blok politik hijau diharapkan mampu berdialektika untuk menghadapi politik keteraturan yang dimainkan oleh elit oligarki dibawah bendera korporatokrasi. Blok politik hijau diharapkan dapat melakukan aktifitas politik yang teroganisir bersama dengan pihakpihak yang selama ini menjadi korban kebijakan pembangunan dan eksploitasi sumber daya alam. Riset ini juga menemukan mulai tumbuhnya agenda dan visi yang komprehensif, dalam fenomena jejaring gerakan green politic. Ditemukan bahwa kasus-kasus individual yang berkaitan dengan isu tanah, perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat, hakhak sosial ekonomi, lingkungan hidup dan kasus yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi, tampak berhubungan erat dengan isu-isu pembangunan berkelanjutan dan pembangunan partisipatoris - termasuk pengelolaan secara swadaya atas kehidupan sosial-ekonomi, pengelolaan sumberdaya kolektif/komunitas, maupun tuntutan perbaikan penyelenggaraan kepentingan umum dalam rangka melawan privatisasi; juga gagasan-gagasan mengenai participatory budgeting. 71
Semua ini bisa menjadi basis bagi agenda politik kiri-hijau yang lebih umum. Ini berseberangan dengan tidak adanya pertanda yang sama dalam agenda gerakan buruh yang lebih luas, dengan atau tanpa kepedulian kelas menengah liberal. Lepas dari sudah terbentuknya demokrasi prosedural menyangkut keberadaan lembaga-lembaga pemilu, amandeman konstitusi, legilatif, eksekutif, yudikatif namun perjalanan meraih demokrasi substansial masih jauh. Maka tidak bisa tidak, kita harus semakin gigih melawan dengan kecerdasan dan imajinasi. JAWABAN KRISIS KESELAMATAN RAKYAT, TEGAKAN KEADILAN SOSIAL Kunci untuk mewujudkan keadilan sosial adalah pemerataan alokasi dan distribusi sumber daya sosial, lingkungan hidup (alam) yang berlangsung dari tingkat lokal, nasional hingga tingkat global. Selama ini kemiskinan dan kehancuran lingkungan hidup bukan disebabkan oleh tingkat pertumbuhan penduduk di negara dunia ketiga, sebagaimana yang selalu dikampanyekan oleh negara dunia pertama. Realitas dunia yang timpang saat ini, lebih dikarenakan penguasaan akses sumber daya alam yang hanya bertumpu pada segelintir kelompok, untuk pemenuhan tingkat konsumsi mereka dengan mengabaikan sebagian besar dari penduduk bumi. Keadilan sosial ini untuk menjamin pemihakan yang kuat terhadap kelompok terlemah di dalam masyarakat dunia, jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, adanya jaminan bagi semua warga negara memiliki kebebasan dan kesempatan untuk mengembangkan kehidupan pribadi dan sosial, sekaligus tanggung jawab sosial dan ekologinya. Tercakup di dalam perwujudan keadilan sosial adalah penghargaan terhadap pluralisme budaya, keadilan gender, masyarakat adat dan keadilan antar generasi. JAWABAN KRISIS RUANG HIDUP RAKYAT, TEGAKAN KEADILAN DAN KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN HIDUP (KEADILAN EKOLOGI) Sering kali agenda lingkungan hidup juga disetir oleh kekuatan pasar, yang membelokkan wacana kepentingan lingkungan untuk kepentingan pasar. Lingkungan hidup kemudian didominasi oleh kekuatan modal yang memodernisasi pembangunan dengan tujuan untuk menyingkirkan rakyat yang tidak memiliki kekuatan secara politik dan ekonomi terhadap sumber-sumber kehidupan. Kasus penggusuran masyarakat adat dari tanah mereka untuk kepentingan konservasi, menunjukkan bahwa lingkungan hidup dijadikan sebagai alasan untuk menyingkirkan rakyat dari ruang hidupnya. Disinilah kita dapat menilai, bagaimana strategi modal dalam menjawab isu keadilan ekologi, melalui penghindaran, kambing hitam dan kooptasi. Keadilan ekologi yang dimaksud adalah bagaimana Lingkungan Hidup dipandang kesatuan ruang dengan segala benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Salah satu komponen terpenting dari lingkungan hidup dan menjadi prasyarat kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia adalah alam. Alam menjamin pemenuhan kebutuhan sekaligus menjadi ruang hidup manusia. Namun, alam memiliki keterbatasan untuk menunjang kehidupan manusia. Karenanya, alam harus dikelola secara keberlanjutan. Keberlanjutan pelayanan alam sama artinya 72
dengan memberikan akses dan kontrol terhadap sumber daya alam yang utuh yang memungkinkan manusia dapat hidup dan bertahan, termasuk tanah, tempat tinggal, pangan, air dan udara. Untuk itu kita perlu menghargai integritas ekosistim dan menjamin keanekaragamannya sebagai prasyarat untuk mendukung kelangsungan kehidupan manusia. Dengan itu sekaligus terdapat jaminan bagi generasi saat ini untuk melangsungkan perikehidupannya dengan baik, dan jaminan generasi mendatang untuk menikmati kualitas alam yang sama baiknya.
JAWABAN KRISIS PRODUKTIFITAS RAKYAT, TEGAKAN KEDAULATAN DAN KEMANDIRIAN SOSIAL-EKONOMI “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. Demokrasi politik yang sejati haruslah dibangun berdasarkan kerangka kedaulatan dan kemandirian dalam penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber kehidupan rakyat atau basis material yang menjadi fondasi tata kemasyarakatan dan negara. Penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber kehidupan rakyat (sosial dan ekonomi) haruslah berlandaskan semangat BERDIKARI dan kekuatan daya kreasi rakyat secara kolektif di tingkat lokal. Hak menguasai negara atas cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang atas bumi, air, dan kekayaan alam untuk sepenuh-penuhnya kemakmuran rakyat, memiliki legitimasi apabila didedikasikan kepada kepentingan hak asasi warganya. Bung Hatta dalam konsepsi ekonominya menyebutkan, bahwa bangsa ini akan mencapai kemandiriannya jika menggunakan mesin ekonomi yang digerakkan oleh kekuatan rakyat untuk mencapai kesejahteraan bagi rakyat. Hatta mengatakan bahwa manusia tidak mungkin bisa hidup damai dan sejahtera, jika sumber-sumber kehidupannya dikuasai oleh manusia yang lain yang berkuasa baik secara ekonomi maupun politik. Dalam pemikirannya, ekonomi menjadi penting dalam kehidupan masyarakat. Kegiatan politik, harusnya diletakkan dengan tujuan untuk menata sumbersumber kehidupan (ekonomi) yang menempatkan rakyat sebagai pelaku utamanya. Kondisi krisis keuangan di Amerika Serikat saat ini, yang mengancam ekonomi Indonesia memberikan pelajaran yang berharga, bahwa ekonomi global yang diusung oleh kekuatan korporatokrasi menciptakan kerentanan ekonomi bagi negara lain yang bergantung kepada kekuatan tersebut. Karenanya, krisis keuangan Amerika dapat menjadi momentum perbaikan ekonomi bangsa ini untuk melepaskan diri dari ketergantungan kekuatan ekonomi global, dengan meletakkan ekonomi rakyat sebagai fundamen utamanya. Kepentingan rakyat atau hak asasi rakyat, terutama dalam hal akses terhadap bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus dijadikan sarana utama dan tujuan akhir dari hak menguasai negara. Dengan demikian, maka peran modal bersifat sekunder dan komplementer, bukan substitusi pengelolaan oleh rakyat. Inilah yang 73
dinamakan mengalokasikan kekayaan alam untuk pemenuhan dalam negeri, bukan komoditas ekspor atau yang diistilahkan oleh Ichsanudin Noorsy dengan Close Sircuit Economy dalam sebuah diskusi yang mengupas tentang politik anggaran dan penyakit kronis ekonomi klasik. Reformasi Pengelolaan Lingkungan Semua agenda yang ditawarkan oleh gerakan lingkungan hidup ini akan terwujud jika gerakan lingkungan hidup mampu mempengaruhi publik luas bahwa agenda reformasi pengelolaan lingkungan hidup dikemas dalam sebuah gerakan reformasi pengelolaan lingkungan hidup, dan semua dapat diwujudkan dengan pra syarat sebagai berikut: Pertama, mengembalikan mandat negara sebagaimana yang terdapat didalam konstitusi untuk melindungi, menjamin dan memenuhi hak dasar rakyat, khususnya terkait dengan hak ekonomi,sosial dan budaya (ekosob). Kedua, menata kembali relasi antara negara, rakyat dan modal yang telah mengalami ketimpangan karena begitu kuatnya agenda korporasi yang menggunakan kekuatan hak menguasai negara, untuk kepentingan akumulasi modal mereka. Rakyat justru ditempatkan sebagai pihak pelengkap, padahal sesungguhnya kontrol terhadap pengelolaan sumber daya alam berada di tangan rakyat sebagaimana yang terdapat didalam Undang-Undang Dasar 1945. Ketiga, menyelesaikan konflik sumber daya alam dan agraria struktural yang dialami oleh rakyat menghadapi dua kekuatan yakni kekuatan di sektor bisnis dan atau negara sebagaimana yang disebutkan oleh Alexis Tocqueville. Konsorsium Pembaruan Agaria (KPA) mencatat, tidak kurang dari 1.753 kasus tanah terjadi dari tahun 19702001. Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) juga mencatat, tidak kurang 70 kasus konflik sumber daya alam di tingkat nasional yang masih belum bisa diselesaikan. Beberapa gerakan sosial juga mengusulkan nasionalisasi, sebagai jawaban atas agenda penguasaan dan dominasi korporasi. Namun gerakan politik hijau juga menekankan hendaknya sebelum kita bicara soal nasionalisasi industri, yang seharusnya dilihat lebih jauh dan dan tajam adalah prasyarat yang harus dipenuhi dan tahapan untuk mendukung sebuah jalan menuju nasionalisasi industri. Bagaimana tata kuasanya, bagaimana tata guna lahannya, bagaimana tata produksinya, bagaimana tata konsumsinya. Belum lagi syarat-syarat yang harus dijamin oleh negara seperti syarat keselamatan rakyat, syarat produktivitas rakyat, syarat kesejahteraan rakyat, syarat keberlanjutan pelayanan alam. Semua prasyarat tersebut, harus sudah mampu dijawab sebelumnya, dan menempatkan warga krisis sebagai aktor utama untuk menentukan arah sebuah pembangunan kemandirian negara, yang salah satunya melalui nasionalisasi industri sebagai salah satu alat demokrasi politik kerakyatan. Nasionalisasi seharusnya tidak hanya bicara soal penguasaan terhadap aset-aset strategis, tetapi juga memperhatikan aspek keberlanjutan lingkungan hidup. Misalnya dalam krisis energi dan kenaikan BBM, perspektif hijau melihat bahwa selama ini pengelolaan minyak dan gas dikuasi oleh industri, jawabannya adalah melakukan diversifikasi energi oleh rakyat. Selain akan lebih menjamin keberlanjutan lingkungan, karena teknologinya tidak memiliki daya rusak yang tinggi seperti industri migas skala besar, diversifikasi energi juga dapat membangun kemandirian ekonomi rakyat. Critical Mass, Belajar dari Lao Tzu 74
Semua mimpi membangun orkestrasi gerakan yang membawa perubahan oleh gerakan blok politik hijau, hanya akan menjadi cita-cita yang melangit. Cita-cita tersebut tidak akan terwujud, jika tidak diturunkan ke bumi sebagai sebuah cita-cita bersama rakyat. Masyarakat Indonesia memang masih banyak yang meragukan blok politik hijau ini, menyadari bahwa isu lingkungan hidup di Indonesia masih berupa ”kesadaran semu” bukan ”pengetahuan”. Isu lingkungan bahkan masih dianggap tidak seksi dan politis, padahal sangat jelas semua kehancuran lingkungan disebabkan oleh kebijakan ekonomi negara yang mengabaikan kepentingan lingkungan. Berbagai bencana ekologi yang datang silih berganti, penurunan kualitas lingkungan hidup yang semakin tinggi, konflik sumber daya alam dan krisis yang selalu muncul menghiasi media, sebenarnya menjadi cukup alasan bagi gerakan blok politik hijau untuk mengajak masyarakat lebih luas untuk mendukung gerakan politik alternatif ini. Massa yang kritis sebagai pra syarat utama perubahan menjadi pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan oleh gerakan blok politik hijau ini, sehingga mimpi perubahan Indonesia ini diciptakan sendiri oleh rakyat. Mengutip apa yang dikatakan oleh Lao Tzu : ”Berjalanlah bersama rakyat, tinggal bersama mereka, belajar dari mereka, cintailah mereka, mulailah dengan apa yang mereka miliki. Hanya dengan pemimpin terbaik, ketika pekerjaan sudah selesai dan tujuan tercapai, rakyat akan berkata kita telah melakukannya sendiri. Semuanya bisa dimulai dengan inisiatifinisiatif perlawanan lokal yang telah dipraktekkan oleh berbagai organisasi rakyat untuk memperjuangkan , dan terus memperluas dan memperbesar gerakan ini menuju keberlanjutan lingkungan dan kamandirian ekonomi rakyat. Blok politik hijau diharapkan mampu membangun dialektika dengan momentum politik 2009 sebagai titik awalnya, untuk membuat sebuah jalan baru yang diharapkan bisa merespon krisis yang dialami oleh rakyat dan bangsa ini. Apa yang ditawarkan oleh Blok Politik Hijau semangatnya seperti apa yang diletakkan secara mendasar oleh gerakan kemerdekaan yang diusung dimasa kolonial. Semangat yang ingin digelorakan lagi adalah bagaimana membangun optimisme, menuju Indonesia merdeka seratus persen secara ekonomi dan politik.
75
-15NEOKOLONIALISME PERDAGANGAN16
“Colonialism has also its modern dress in the form of economic control, intelectual control, (and) actual physical control by a small but alien community within a nation” (Sukarno,1955). “eine Nation Von Kuli und unter den Nationen -...(bangsa Indonesia) adalah bangsa koeli dan koelinya bangsa-bangsa lain..”- (Dr Helfferich)
Penjahahan baru (neokolonialisme) terhadap ekonomi Indonesia, yang sudah disinyalir Bung Karno pada pidatonya di Konperensi Asia Afrika (KAA) tahun 1955, merupakan proses yang masih (terus) berlangsung hingga hari ini. Fakta-fakta dan analisis pendukung tesis ini dapat kita temukan dengan melacak perjalanan historis perekonomian Indonesia pasca naiknya rezim Orde Baru pada tahun 1966. Pelacakan ini akan berguna untuk menjelaskan hakekat (latar belakang) berbagai fenomena ekonomi aktual, termasuk kaitannya dengan tumbuh-suburnya mal di kota-kota besar di Indonesia. Penetrasi modal internasional, yang menandai fase baru penjajahan ekonomi Indonesia dimulai sejak liberalisasi ekonomi tahun 1967. Kita dapat merujuk tulisan John Pilger, jurnalis Australia yang tinggal di Inggris, yang dalam bukunya The New Rulers of The World (Verso, 2002) mengulas fakta dibalik peristiwa ekonomi-politik tersebut. Pilger yang merujuk analisis dokumen historis Jeffrey Winters dan Brad Sampson mengungkap latar belakang diadakannya Konperensi Jenewa (Swiss) pada tahun 1967 yang disponsori oleh Time-Life Corporation. Konperensi yang disebutnya sebagai “pertemuan merancang pengambilalihan Indonesia” itu diikuti oleh korporat raksasa Barat dan ekonom-ekonom top Indonesia yang dikenal sebagai “Berkeley Mafia”. Konperensi 3 hari itu kemudian berbuah “kaplingisasi” kekayaan alam di Indonesia oleh jaringan modal internasional. Freeport mendapat bagian gunung tembaga di Papua Barat, Konsorsium Eropa menguasai nikel di Papua Barat, Alcoa menerima bagian terbesar bouksit di Indonesia, dan kelompok perusahaan Amerika, Jepang, dan Perancis mendapat hutan-hutan tropis di Sumatera, Papua Barat, dan Kalimantan. Penetrasi melalui penguasaan faktor-faktor produksi strategis nasional itu, kemudian dikukuhkan melalui penetrasi finansial dalam bentuk utang luar negeri yang dimulai tahun 70-an. Dalam hal ini, kita perlu merujuk John Perkins yang dalam bukunya Confessions of an Economic Hit Man (Berret-Koehler, 2004), menulis “pengakuan dosa” sebagai mantan “agen” ekonomi Pemerintah (AS). Dalam kurun waktu 1971-1980, tim Perkins telah “menjerumuskan” beberapa negara Asia dan Amerika Selatan seperti Panama, Equador, Colombia, Iran, termasuk Indonesia (sebagai “korban pertamanya”), dalam kubangan (jebakan) utang luar negeri dan ketergantungan politik-ekonomi kepada korporat dan pemerintah AS. 16
Pernah dimuat di Harian INVESTOR BAILY
76
Perkins yang berpredikat sebagai “perusak ekonomi” atau “Economic Hit Man” (EHM), mengemban dua misi, yaitu memastikan bahwa utang luar negeri yang diberi akan digunakan untuk membiayai proyek-proyek konstruksi raksasa milik perusahaan konsultan Perkins dan korporat-korporat AS, dan kemudian “membangkrutkan” ekonomi Indonesia agar selamanya tunduk pada kreditor. Proyek-proyek raksasa yang menjebak Indonesia dalam perangkap utang ini didisain untuk memenuhi kepentingankepentingan ekonomi-politik mereka, seperti tersedianya pangkalan militer, suara di PBB, akses atas minyak, dan akses terhadap sumber daya alam lainnya. Penjajahan ekonomi bermode dominasi modal asing dan jeratan utang luar negeri telah menampakkan wajah penderitaan rakyat akibat ketidakadilan ekonomi dan eksploitasi yang luar biasa. Sritua Arief (2000) mengungkap bahwa pada setiap US $ 1 invstasi asing, net tranfer revenue yang disedot ke luar negeri adalah sepuluh kali lipatnya (US 10$). Mubyarto (2005) pun mensinyalir bahwa rasio konsumsi per kapita dengan PDRB per kapita menunjukkan fakta adanya “derajat penghisapan” ekonomi Indonesia sebesar 57%. Artinya, hanya 43% nilai PDRB yang dinikmati rakyat di daerah, selebihnya “dihisap” ke kota-kota besar termasuk dibawa ke luar negeri. Di saat yang sama, pembayaran utang luar negeri sebesar RP 140 trilyun per tahun telah menguras sepertiga anggaran belanja negara. Ekonomi Indonesia pun tetap menyisakan utang luar negeri sebesar US$ 80 milyar, yang juga harus dibayar dengan ketertundukan untuk melaksanakan agenda-agenda ekonomi-poltiitk negara-negara (lembaga) asing seperti CGI, IMF, dan Bank Dunia Penetrasi dan kontrol oleh modal internasional mudah dilakukan melalui meluasnya penerapan liberalisasi ekonomi di berbagai bidang. Mengaca pada sejarah kepentingan modal internasional di atas, kiranya dapat dipahami bahwa liberalisasi ekonomi yang sudah, sedang atau akan terjadi (seperti dalam aspek nilai tukar, rezim devisa, perdagangan, pertanian, dan sebentar lagi pendidikan) adalah bagian dari strategi untuk mengokohkan hegemoni kekuasaaan (kepentingan) mereka. Dan menjadi jelas bahwa amandemen pasal 33 UUD’45, privatisasi BUMN (Indosat, Semen Gresik, dan Telkomsel), privatisasi pengelolaan sumber daya air, dan liberalisasi migas (kenaikan harga BBM dan beroperasinya korporat migas di sektor hilir) tidak lain adalah cerita lanjutan dari episode yang tema besarnya tetap sama, ialah : penjajahan ekonomi Indonesia. Nah, kiranya jelas kemudian diskursus pro-kontra pendirian mal tidak dapat dilepaskan dari analisis relasi kuasa nasional-global tersebut. Negara yang secara struktural ekonominya terjajah tidak akan pernah optimal dalam berpihak untuk memberdayakan ekonomi rakyatnya. Tanpa mal sekalipun, keberadaan ekonomi rakyat termasuk pedagang kecil yang beroperasi di pasar tradisional (pasar tradisional), akan makin terpinggirkan oleh sistem dan struktur ekonomi yang timpang dan bias pemodal besar. Menjamurnya mal hanyalah cerita lanjutan dari terjadinya proses penguasaan (pembentukan) mode ekonomi nasional yang pro-modal internasional. Pertanyaannya adalah, apa kepentingan ekonomi-politik modal internasional (kapitalisme global) dibalik tumbuh-suburnya mal di Indonesia?. Mal dan Ekspansi Kapitalisme Global Samir Amin (2003) mengurai tiga karakteristik yang inheren dan eksis dalam diri kapitalisme, yaitu akumulasi kapital, eksploitasi, dan ekspansi pasar. Naluri intrinsik kapitalisme global adalah menguasai faktor-faktor produksi (aset-aset 77
strategis) dan memupuk rente ekonomi, yang dilakukan melalui ekploitasi faktor-faktor produksi (SDA dan tenaga kerja). Setelah itu, ia pun harus mampu menguasai pasar yang terkait dengan sistem alokasi dan permintaan barang dan jasa yang diproduksi. Hanya dengan itu maka mereka bisa survive dan bereproduksi. Dengan demikian, agenda utama kapitalisme global adalah memastikan mode produksi (mode of production), mode alokasi (mode of allocation), dan mode konsumsi (mode of consumption) di setiap negara di dunia tercipta untuk melayani kepentingan dan melanggengkan kekuasaan mereka. Proses (gejala) itulah yang terjadi dalam perekonomian Indonesia pasca kolonialisme. Setelah berhasil menguasai dan mengeksploitasi tambang, hutan, perkebunan, dan faktor-faktor produksi strategis nasional lainnya untuk memenuhi kebutuhan pasar internasional (negara asal), maka kini mereka makin agresif untuk menguasai pasar barang dan jasa domestik melalui disain kebijakan ekonomi global yang memudahkan ekspansi pasar mereka.2 Dalam kontek inilah maka mereka memerlukan “outlet pemasaran” yang berfungsi sebagai media penetrasi pasar dan mesin pencipta (budaya) konsumsi yang mewujud dalam bentuk-bentuk mal atau hypermarket. Untuk memuluskan langkah mereka, kolaborasi dengan modal domestik dan penguasa lokal pun dilakukan. Manipulasi kesadaran (hegemoni) dilakukan dengan menyebarluaskan impian indah untuk terus mempertinggi pertumbuhan ekonomi daerah. Masyarakat diyakinkan hanya dengan cara inilah penduduk dapat bekerja, peluang bisnis (pemasaran produk) makin terbuka, dan kebutuhan mereka dapat terpenuhi. Dan teori usang trickle downeffect-pun dibangkitkan kembali. Dengan mode-mode seperti ini rakyat dianggap hanya berhak sekedar untuk menikmati efek rembesan ke bawah pembangunan (aktivitas bisnis besar), itupun kalau ada. Cita-cita demokrasi ekonomi pun makin menjauh dari kenyataan. Lapangan kerja yang tercipta melalui investasi skala besar (asing) tidaklah sebanding dengan return (net transfer) yang mereka dapatkan dan ekses dektruktif yang ditimbulkan. BKPM melaporkan dari 70% modal asing/lokal hanya mampu menyerap 10-16% angkatan kerja yang ada (Ningsih, 2005). ILO pun memaparkan bahwa 65% penduduk Indonesia bergiat di sektor informal, sedangkan 35% saja yang bekerja di sektor formal. Hal ini diperkuat temuan Sri-Edi Swasono yang menyebutkan kontribusi (share) kegiatan ekonomi rakyat terhadap penciptaan lapangan kerja adalah sebesar 99,4%. Demikian, tepat kiranya pembangunan mal-mal akan meningkatkan pengangguran karena matinya pasar tradisional (Baswir, 2005). Alih-alih menciptakan kesempatan kerja secara signifikan, mal-mal ini justru makin memarginalisasi peranan rakyat sekedar sebagai “kelas pekerja ” alias melakukan “neokulinasi”. Demikian, logika utama (main-idea) yang mendasari pembangunan mal adalah perlunya ekspansi pasar untuk mendukung ekspansi kapital yang telah dilakukan melalui instrumen pasar modal dan pasar uang (valas). Kekuasaan modal internasional (plus domestik) akan langgeng manakala mereka berhasil menguasai (mengontrol) setiap sendi-sendi perekonomian nasional. Mulai dari sektor hulu hingga sektor hilit, dari faktor-faktor produksi, distribusi, hingga konsumsi masyarakat, dan akhirnya mereka mampu menciptakan mode of production dan mode of consumption dalam kerangka sistem ekonomi kapitalis-liberal. Dalam kerangka inilah pemberdayaan ekonomi rakyat (pasar tradisional) makin kehilangan urgensi dan relevansinya. 78
Pelibatan pelaku ekonomi rakyat (produsen dan pedagang kecil) dalam aktivitas bisnis mal diperlukan sekedar untuk melegitimasi (mengukuhkan) mode ekonomi yang ada dan mengeliminasi resistensi mereka. Ekonomi rakyat tetap hanya ditempatkan sebagai sub-sistem dari sistem besar kapitalisme-global dengan daya tawar dan term of trade yang makin melemah. Pada titik inilah maka demokrasi ekonomi telah berubah menjadi korporatokrasi. Tampuk produksi beralih kontrolnya dari negara ke korporat, sama sekali bukan ke rakyat banyak (masyarakat), yang mengakibatkan pola produksi dan konsumsi nasional makin dibentuk oleh kekuatan modal internasional, sehingga tidak lagi menerima prioritas (pengutamaan) kepentingan nasional. Mal lebih melayani kelompot bermodal (orang kaya), sehingga makin memupus terbangunnya sociocoherence dan sociosolidarity. Tumbuhnya mal di bawah hegemoni kapitalisme global inilah yang menggiring bangsa kita untuk sekedar menjadi bangsa konsumen (menikmati produk murah-sesaat) atau paling banter menjadi “bangsa makelar” (menjual produk asing-impor). Kita pun alpa untuk membangun industri nasional dan kewirausahaan berbasis ekonomi rakyat dan sumber daya lokal. Bangsa ini hanya diposisikan sebagai faktor produksi (buruh) dan pasar bagi produk mereka. Makin menyedihkan ketika ungkapan Dr Helfferich bahwa bangsa Indonesia hanya akan menjadi bangsa kuli dan kulinya bangsa-bangsa lain kembali terbukti. Dalam perspektif inilah maka hegemoni kapitalisme-global, di mana ekspansi mal merupakan unsur intrinsiknya, melakukan penjajahan ekonomi, yang di berwujud neokulinisasi. Pasar Tradisional dan Demokrasi Ekonomi Berpijak pada kerangka pemikiran di atas, menjadi jelas bahwa diskursus tentang mal bukan sekedar terkait persaingan antara pasar tradisional dengan pasar modern. Diskursus mal merefleksikan dialektik (pola hubungan) antaraktor-aktor ekonomi (modal internasional-negara-modal domestik-ekonomi rakyat) dalam relasi kuasa dan struktur ekonomi-politik yang timpang. Yang kuat dan kaya-lah yang selau (lebih) diuntungkan. Oleh karena itu, gugatan terhadap ekspansi pasar supermall mestinya tidak berhenti pada tataran dampak buruk yang tidak sebanding dengan manfaat yang dirasakan masyarakat daerah, baik berupa polusi, kemacetan, budaya konsumerisme, hedonisme, penggusuran, dan sebagainya. Gugatan juga harus dilakukan terhadap struktur ekonomi-potitik global yang melahirkan pola-pola neokolonialisme melalui berbagai media yang lebih kasat mata dan canggih (sophisticated). Tanpa itu, gugatan yang ada tidak akan mampu mengubah keadaan. Oleh karena itu, keluar dari telikungan kapitalisme-global dan mode penjahahan ekonomi Indonesia mestinya menjadi agenda ekonomi-politik yang menjadi prioritas nasional. Artinya, bagaimana memerdekakan ekonomi nasional dari jerat jaringan modal internasional (jerat utang luar negeri dan dominasi modal asing) itulah yang perlu diprioritaskan. Dalam kontek inilah maka agenda demokrasi ekonomi, mewujudkan kedaulatan dan keberdayaan rakyat secara ekonomi, menjadi sebuah keniscayaan. Dalam lingkup spesifik pola distribusi, hal itu dapat dilakukan dengan memberdayakan pasar tradisional. Pasar tradisional perlu diberdayakan sebagai upaya strategis untuk membangun mode distribusi yang berpijak pada kekuatan kolektif entrepeneurship berbasis ekonomi rakyat. Pasar tradisional perlu direvitalisasi untuk memperkokoh kontrol pelaku ekonomi rakyat terhadap distribusi barang dan jasa yang mereka hasilkan dan mereformasi struktur distribusi yang dikuasai modal besar selama ini. Keberadaan 79
pasar tradisional tidak saja harus dilindungi, tetapi juga harus dibangun dan dikembangkan dengan mempertimbangkan faktor lokasi, pangsa pasar, disain fisik, tata letak (setting), ragam dan kualitas produk yang dijual, fasilitas, dan keberadaan infrastruktur penunjang aktivitas ekonomi rakyat lainnya. Peranan pemerintah (pusat dan daerah) adalah dengan menciptakan regulasi yang berorientasi untuk melindungi aktivitas pasar tradisional, bukannya yang berorientasi liberalisasi (korporatokrasi). Di Jepang toko-toko kecil bisa berkembang karena dilindungi pemerintah. Di San Fransisco, mal besar (Wall-Mart dan K-Mart) tidak boleh di pusat-pusat kota. Di sana ada forum perkotaaan yang mendesak peemrintah kota untuk tidak membangun mal di pusat kota (Sugiana, 2005). Minimal dengan upaya-upaya ini (paradigma dan kebijakan) ekonomi pemerintah dapat terbebas dari hegemoni modal internasional. Pada akhirnya, keberadaan pasar tradisional yang representatif dapat memicu gairah produksi pelaku ekonomi rakyat dan gairah masyarakat untuk berkunjung dan membelanjakan uangnya di situ. Melalui cara-cara produksi dan distribusi dari bawah (bottom-up) inilah maka kesesejahteraan dan martabat (harga diri) rakyat dapat terangkat, dan memungkinkan bangsa kita terbebas dari cengkeraman penjahahan ekonomi dan neokulinisasi oleh jaringan modal internasional.
80
-16NEOKOLONIALISME PERKOPERASIAN
Koperasi Indonesia hari ini selayaknya kebanyakan mushola di hotel berbintang, yang selalu terpojok di sudut-sudut ruang jauh dari pandangan. Selain terlalu minimnya kisah sukses bertaraf nasional, mungkin juga karena yang ada justru rapot merah dan selusin masalah yang selalu mencuat ke permukaan. Lihatlah misalnya betapa malang nasib ratusan KUD di Propinsi DIY yang “gulung tikar” karena ditinggal “bantuan pemerintah”. Pun, 25% dari .1.900 koperasi yang ada di Propinsi ini tinggallah “papan nama”-nya saja. Statistik nasional kiranya belum bercerita indah tentang koperasi. UMKM Indonesia pada tahun 2006 berjumlah 48,9 juta (99,9%), yang jika satu UMKM menghidupi 4 orang maka 198,8 juta orang Indonesia hidup dari UMKM! Hal ini kontras dengan jumlah anggota koperasi yang saat ini baru mencapai 29 juta orang. Ironis lagi melihat usaha kecil tersebut yang hanya menyumbang (menikmati) 37,6% ”kue produksi nasional” dibanding minoritas usaha besar (0,1%) yang menikmati 46,7%-nya pada tahun yang sama (naik 3,6% dibanding tahun 2003). Dapat diperkirakan yang disumbang (dinikmati) anggota koperasi Indonesia jauh lebih kecil lagi. SHU nasional koperasi pun baru sekitar Rp. 2,1 trilyun yang misalnya saja dibagi rata sebanyak jumlah anggota maka masing-masing hanya akan mendapat Rp 80.157,- per tahun!. Omzet koperasi nasional pada tahun yang sama juga baru sebesar Rp. 37,6 trilyun atau sebesar Rp. 1,4 juta per anggota per tahun. Lalu, atas sebab alamiahkah masih jauhnya keadaan koperasi dari cita-cita konstitusi; tersebut? Kiranya bukan, karena ekonomi Indonesia memang tidak berkembang secara alamiah, bahkan sampai hari ini. Bagaimana bisa? Lahan Gersang Bagi Koperasi Koperasi diperjuangkan para Pendiri Bangsa untuk mengoreksi ketimpangan struktural warisan sistem ekonomi kolonial di masa lalu. Pada waktu itu ekonomi rakyat (pribumi) berada di bawah hisapan kaum perantara (Timur Asing) dan Bangsa Eropa. Oleh karenanya, mereka yakin bahwa tegaknya sistem ekonomi nasional (sesuai Pasal 33 UUD 1945) adalah prasyarat tumbuh-kembangnya gerakan koperasi Indonesia. Kini kita menyaksikan betapa masih kukuhnya ketimpangan struktur ekonomi Indonesia hari ini. Lebih menyedihkan lagi karena lapisan atas ekonomi kita masih dikuasai ”penguasa lama”. Kenapa? Sekedar tahu saja, 70% kapitalisasi di Pasar Modal (BEJ) dikuasai oleh pemodal asing. Bukan hanya itu, korporasi asing pun sudah menguasai 85% pengelolaan migas Indonesia. Neokolonialisme ini seolah disempurnakan dengan dikuasainya lebih dari separuh perbankan di Indonesia (FRI, 2007). Keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak kian ditentukan oleh orang-perorang (asing lagi). Tidak cukup tersedia lagi kebebasan untuk merancang 81
masa depan sendiri. Kekuatan persamaan, kebersamaan, dan persaudaran manusia pun justru kian dikebiri. Dan ini adalah pukulan telak bagi gerakan koperasi! . Koperasi tidak mungkin tumbuh subur di atas lahan gersang akibat neokolonialisme. Lihatlah koperasi yang maju pesat di negara lain; seperti di Belanda, Italia, Norwegia, Swedia, Denmark, Spanyol, Inggris, dan masih banyak lagi di negara berbasis koperasi. Adakah ekonomi mereka tergantung pada bangsa lain? Adakah SDA mereka masih banyak dikuasai pemodal asing? Adakah mereka menelan mentahmentah paham globalisme ekonomi (pasar bebas)? Jawabannya jelas: tidak! Kini siapa yang dapat diharapkan memikul kembali panji-panji demokrasi ekonomi yang diamanatkan konstitusi? Pemerintah dan DPR, alih-alih mengoreksi ketimpangan struktural ini, mereka justru telah menyediakan stempel bagi tegaknya hegemoni korporatokrasi (asing). Tahun lalu mereka mengesahkan Undang-Undang No 25/2007 tentang Penanaman Modal yang makin memberi keleluasaan bagi pemodal asing untuk mengeruk kekayaan Indonesia. Rasanya ini adalah puncak prestasi (kemenangan) paham individualisme yang sampai kapanpun akan menjadi lawan koperasi.. Hingga kini pun pemerintah terus setia mengerjakan proyek privatisasi BUMN dan aset strategis nasional (air, migas, dan hutan) dan liberalisasi (perdagangan, pertanian, dan pendidikan). Bukankah itu semua hal yang sangat tidak boleh terjadi dalam alam pemikiran demokrasi ekonomi? Bagaimana dengan pegiat koperasi? Rasanya tidak perlu banyak komentar, kecuali atas kenyataan bahwa kebanyakan mereka ”mendiamkan” proses denasionalisasi dan korporatokrasi ini terjadi. Hipokrisi Dalam Berkoperasi Di bawah struktur ekonomi dan pemikiran warisan kolonial tersebut koperasi tidak dapat berkembang sewajarnya. Koperasi pun belum sepenuhnya mampu sekedar menandingi kapitalis kecil sekelas tengkulak, pengijon, dan rentenir yang masih menghantui rakyat kecil di banyak pelosok negeri. Kenapa? Lihatlah kebersatuan yang masih lemah di antara koperasi Indonesia. Koperasi terjebak pada fungsionalisme, di mana yang justru dikembangkan adalah koperasi karyawan, koperasi pegawai negeri, koperasi tentara, ataupun koperasi mahasiswa. Kelas-kelas ekonomi ini membangun sekat-sekat di antara mereka. Koperasi seperti ini jelas tidak akan pernah besar dan mampu menandingi kekuasaan (modal) korporasi. Terlalu banyak pemodal besar yang berpura-pura berkoperasi. Mereka membuat koperasi angkutan, koperasi taksi, dan koperasi lainnya yang lebih cocok disebut sebagai ”persekutuan majikan”. Koperasi Indonesia tidak akan berkembang di atas penyimpangan prinsip dan kepuran-puraan ini. Koperasi harus didasarkan pada basis yang jelas; entah itu secara sektoral maupun spasial. Lihatlah koperasi di negara-negara tadi. Bukankah di sana semua pelaku ekonomi yang terkait dalam mata rantai produksi, distribusi, dan konsumsi suatu komoditi terhimpun dalam koperasi? Bukankah di negara tersebut koperasi yang maju adalah koperasi susu, koperasi karet, koperasi listrik, koperasi kopi, koperasi kayu lapis, koperasi bunga, dan koperasi berbasis komoditi lainnya?. Misalnya juga lihatlah majunya koperasi berbasis wilayah (cooperativeregional) seperti wilayah berbasis koperasi dan industri manufaktu kecil di Emilia Rogmana, Italia atau koperasi wilayah yang berhasil mengintegrasikan sektor industri, pertanian, dan keuangan di Mondragon, Spanyol. 82
Koperasi di Bologna, Emilia Rogmana mampu menguasai 85% distribusi jasa sosial di pusat kota, menguasai 45% PDRB, dan menghasilkan PDRB perkapita tertinggi di Italia. Di wilayah tersebut duapertiga penduduknya menjadi anggota koperasi, keputusan kredit dibuat di daerah, dan didukung University of Bologna yang berspesialisasi dalam Civil Economy and Cooperatives. Memang butuh kemauan besar dari pegiat koperasi, utamanya dari kalangan intelektual, untuk tidak terjebak pada eksklusifisme kelas (elitisme). Mereka, dan melalui gerakan koperasi, dapat mulai merajut kembali jaringan kebersamaan dan kebersatuan ekonomi. Model Daerah Koperasi Upaya memperluas peran koperasi di masa depan perlu dibangun dari dua arah (atas dan bawah) secara simultan. Dari bawah dapat dilakukan dengan mengembangkan model daerah koperasi (cooperative-region). Daerah koperasi dibangun berdasarkan model kerjasama antarkoperasi dalam satu siklus ekonomi yang saling berkaitan di daerah tertentu (Kabupaten/Propinsi). Dalam hal ini misalnya dapat diambil koperasi tani (koperasi produksi) dan koperasi buruh (koperasi konsumsi) sebagai basis dan model awal, Di antara kedua koperasi tersebut dihubungkan dengan sebuah MoU, misalnya yang mengatur tentang pembelian beras, sayuran, dan buah-buahan. Berpijak dari pola-pola relasi demokratis antarkoperasi ini maka dapat dipetakan pola hubungan lain yang mungkin dalam satu daerah (wilayah), termasuk misalnya mengintegrasikannya dengan koperasi simpan pinjam ataupun lembaga keuangan yang lain. Peningkatan daya kerjasama (cooperativeness) ini diharapkan mampu meningkatkan peran koperasi dalam penguasaan produksi, distribusi, dan kepemilikan faktor-faktor produksi di daerah tersebut. Supaya terbangun kesamaan persepsi dan tujuan maka agenda ini kiranya dapat dirumuskan dengan indikator kinerja yang lebih terukur ke dalam suatu visi tertentu, misalnya: ”Indonesia In-Cooperative 2030”. Sebagai langkah lanjutan dapat dibangun juga kerjasama antardaerah koperasi atau antara daerah koperasi tertentu dengan daerah koperasi di luar negeri (Sister Cooperative City) seperti dengan Propinsi Emilia Romagna atau Mondragon. Hal ini tentu perlu didukung upaya-upaya sistematis untuk melawan neokolonialisme dan menegakkan sistem ekonomi yang nasionalistik, demokratis, dan berkeadilan sosial di tingkatan makro (nasional). Masa koperasi berjuang kiranya masih akan panjang. Mulailah dari impian seperti apa keberdayaan koperasi Indonesia pada tahun 2030 dan mari wujudkan dalam perjuangan nyata.
83
-17NEOKOLONIALISME UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL17
Tanpa sempat terbendung lagi pemerintah dan DPR akhirnya mengesahkan UU Penanaman Modal (UU PM). Peristiwa historis ini nyaris tidak mendapat ekspose yang memadai. Bahkan makin tenggelam di tengah mencuatnya isu laptop DPR/DPRD, interpelasi resolusi Iran, kasus helikopter Bukaka, dan penangkapan teroris. Norena Heertz pun benar dalam bukunya ”The Silent Takeover (London, 2001)”. bahwa pemodal internasional diam-diam makin berkuasa bahkan hingga tanpa disadari telah mendominasi ranah publik yang menjadi domain negara (rakyat). ”Perusahaan multinasional, yang didukung oleh kapitalisme global pasar bebas, sekarang ini sama besarnya dengan banyak negara. Bahkan, tiga ratus perusahaan multinasional menguasai 25% aset dunia”. John Pilger dalam bukunya The New Ruler of The World (Verso, 2002) pun sudah menguak bagaimana ekonomi Indonesia telah ”diambil-alih” secara diam-diam oleh korporasi global sejak Konperensi Jenewa tahun 1967. Konperensi 3 hari yang diikuti korporat raksasa Barat dan ekonom Indonesia (Mafia Berkeley) itu berbuah “kaplingisasi” Indonesia oleh Freeport, Konsorsium Eropa, Alcoa, dan kelompok perusahaan Amerika, Jepang, dan Perancis.. Konferensi itupun melahirkan UU Penanaman Modal Asing (PMA), yang menelikung cita-cita historis Pasal 33 UUD 1945 untuk merombak struktur dan sistem ekonomi timpang warisan sejarah kolonial. Ditegaskan bahwa usaha bersama (koperasi) dan penguasaan negara dalam ekonomi-lah yang membawa kita ke arah itu, bukan korporasi (apalagi asing). Kiranya jelas bahwa UU PM yang baru saja disahkan DPR adalah pengulangan sejarah untuk mengingkari keterpurukan ekonomi rakyat Indonesia di bawah cengkeraman modal asing. Mengabaikan Dominasi Rasanya sulit menemukan nalar teoritis para komprador ekonomi yang begitu abai dengan dominasi, bahkan begitu memuja modal asing. Rasio tabungan dan investasi kita tahun 2005 masih surplus 22,6 trilyun. Belum lagi rasio kredit-tabungan (LDR) perbankan yang baru 60% dan dana mengendap di SBI Bank Indonesia yang sebesar Rp. 250-300 trilyun. Bukankah itu pertanda tersedianya modal domestik? Ironisnya mereka tahu betul bahwa setiap 1% pertumbuhan ekonomi –karena kenaikan investasi (asing)- hanya mampu menyerap 200.000-300.000 tenaga kerja baru. Hasil-hasil studi empiris yang menunjukkan hubungan negatif antara arus bersih modal asing dan tabungan domestik. Studi Sritua Arief & Adi Sasono (1987) jauh-jauh hari sudah mengisyaratkan berlangsungnya “penjajahan baru” lewat dominasi modal asing. Arus bersih modal asing ke Indonesia sejak era liberalisasi (1970-1986) secara kumulatif menunjukkan posisi negatif (modal keluar > modal masuk). Negatif net 17
Pernah dimuat di KOMPAS Jogja
84
transfer ini bukti bahwa Indonesia bukan lagi importir modal, melainkan eksportir modal. Besarnya nilai repatriasi keuntungan dan cicilan pokok + bunga utang ke luar negeri pun bukti bahwa Indonesia menggunakan modal asing untuk membiayai pihak asing dalam meraih keuntungan dan penerimaan dari Indonesia. Fakta aktual pun menunjukkan dominasi modal asing dalam perekonomian Indonesia. Akibat privatisasi BUMN dan aset-aset strategis (mineral tambang-migas, air, dan hutan) nasional penguasaan tampuk produksi dari negara (rakyat) beralih ke korporasi asing. Padahal kedua tampuk produksi tersebut terkait erat dengan hajat hidup orang banyak, prospektif (profitable), dan telah dikelola dengan banyak menyedot anggaran negara (subsidi). Dominasi penguasaan modal asing pada berbagai jenis tambang dan migas (± 80%), bank (± 50%), industri, jasa, dan 70% saham di pasar modal telah berakibat besarnya aliran uang ke luar (net tranfer). Hak sosial ekonomi pekerja, hasil eksploitasi SDA di daerah, dan keuntungan BUMN dan perusahaan di Indonesia pun mengalir ke pemegang saham (shareholder) asing. Belum lagi dengan cicilan bunga dan pokok utang luar negeri yang dibayar per tahun dengan seperempat APBN. Di sisi lain, ekonomi rakyat (UMKM) yang berjumlah 40,1 juta atau 99,8% dari total pelaku ekonomi dan menyerap 96% angkatan kerja, hanya menikmati 39,8% dari produksi) nasional (PDB) dibanding korporasi besar yang sebesar 60,2%. Ekonomi rakyat hanya menikmati 20% pangsa pasar yang 80%-nya sudah dikuasai korporasi tersebut. Segelintir korporasi besar tersebut merupakan “mesin” pertumbuhan yang menguasai 83,6 persen laju perekonomian Indonesia. Kini alih-alih mengoreksi struktur ekonomi timpang yang pro-modal asing tersebut, rezim Pemerintah-DPR justru diam-diam turut melegitimasinya. Ketelanjuran penguasaan korporasi (asing) terhadap cabang produksi dan aset-aset strategis bangsa yang jelas melawan konstitusi justru dilegalisasi. Kiranya jelas kemudian bagaimana UU PM telah dijadikan alat stempel dominasi modal asing (penjajahan baru) terhadap ekonomi Indonesia. Dominasi korporasi (asing) kini telah membawa korban terpuruknya nasib rakyat kecil. Tingkat kemiskinan meningkat dari sebesar 16,7 % di tahun 2004 menjadi 17,75 pada tahun 2006. Tingkat pengangguran pun bertambah dari sebesar 9,86% pada tahun 2004 menjadi 10,84% pada tahun 2005. Pada saat yang sama ketimpangan pendapatan pun melebar yang diindikasikan dengan rasio gini yang sebesar 0,28 pada tahun 2002 menjadi sebesar 0,34 pada tahun 2005. Visualisasinya berupa busung lapar, gizi buruk, kaum miskin tak bertempat tinggal, stress massal, sekolah rusak, dan seabreg masalah sosialekonomi lain di alam Indonesia yang sudah 61 tahun merdeka. Melawan Konstitusi Substansi (isi) UU PM yang tunduk pada ”kebebasan kapital” nampak dengan berbagai dukungan kemudahan dan perlakuan istimewa pada kapital global. UU PM yang semestinya mengatur (regulasi) modal justru membebaskannya untuk setara dan bebas menelikung modal domestik (ekonomi rakyat), mengalihkan aset, dan merepatriasi keuntungan ke negara asal. Alih-alih mengoreksi ketelanjuran dominasi modal asing, UU PM justru memberi segudang insentif bagi mereka untuk makin mengeruk kekayaan bangsa melalui insentif fiskal, hak guna/pakai bangunan/tanah yang lama, dan kemudahan imigrasi dan ijin impor. Korporasi asing juga dijamin tidak dinasionalisasi, bahkan diberi keleluasaan untuk ekspansi ke sektor-sektor ekonomi strategis (vital) karena 85
dilunakkannya Daftar Negatif Investasi (DNI). Ungkapan kepentingan nasional dengan begitu tak lebih ”pemanis” belaka. Negara yang perannya makin marginal (dikebiri) dan elit pemerintah-DPR yang masih silai dengan modal aing tidak memungkinkan hal itu dipertahankan. UU PM yang mendorong korporatokrasi (asingisasi) memperjelas pengkhianata (perlawanannya) terhadap konstitusi, yaitu Pasal 33 UUD 1945, yang menegaskan arahan usaha bersama (kolektif) berasaskan kekeluargaan (kooperasi) sebagai basis perekonomian nasional. Pasal 33 UUD 1945 ayat (2) dan (3) pun jelas-jelas mengatur bahwa ” cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Undang-Undang perekonomian yang perlu disusun Pemerintah justru harus mengatur demokratisasi modal untuk memperluas distribusi modal (capital-sharing & collective ownership) kepada rakyat banyak, bukannya ke korporasi (asing). UU ini juga perlu mengatur mobilisasi modal domestik dan diputuskannya koperasi, ekonomi rakyat (UMKM), dan BUMN/BUMD Indonesia sebagai pilar kekuatan usaha (industri) ekonomi nasional. Hanya dengan itu bangsa kita dapat melepaskan diri dari keterjajahan (dominasi) modal asing. Semoga.
86
-18NEOKOLONIALISME DAN KEMISKINAN
Sungguh mengagumkan membaca argumentasi pakar-pakar ekonomi pendukung kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM yang dimuat di Kompas (1516-18/3/2005). Mereka begitu yakin bahwa kebijakan yang telah diputuskan pemerintah memang bersifat pro-rakyat dan membela penduduk miskin. Keyakinan ini diperkuat bukti empirik yang dianggap sahih untuk menggambarkan dampak positif kenaikan harga BBM, yang diikuti pemberian dana kompensasi, bagi pengurangan kemiskinan. Hasil simulasi kuantitatif LPEM-UI yang dilakukan Ikhsan-Dartanto-Usman menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan yang sebesar 16,2%, mula-mula akan naik sedikit menjadi 16,5% dengan kenaikan harga BBM, namun kemudian turun menjadi 13,7% setelah penyaluran dana kompensasi. Bukti-bukti empirik data ex post dijadikan rasionalisasi karena memiliki trend yang sejalan dengan keyakinan akademik mereka, yaitu tingkat inflasi yang relatif rendah dan jumlah penduduk miskin yang selalu berkurang pada tahun-tahun setelah pengurangan subsidi BBM (2002-2004). Akhirnya, hasil kajian akademik ini menjadi dasar bagi kesimpulan mereka bahwa isu yang seharusnya diangkat adalah pengawasan penyaluran dana kompensasi, bukan isu-isu lain seperti yang sering dikemukakan para pengkritik (yang menolak) kebijakan kenaikan harga BBM. Nalar akademik mereka sepintas sangat meyakinkan, apalagi didukung dalih mengurangi defisit APBN, subsidi BBM yang tidak tepat sasaran, dan efisiensi dalam penggunaan energi. Namun, dibalik semua pembenaran tersebut, ada masalah atau kontradiksi yang “disembunyikan” oleh (pakar-pakar ekonomi) pemerintah. Tulisan ini akan mencoba mengurai permasalahan tersebut agar pakar-pakar pemerintah dan masyarakat (terutama warga miskin) lebih memahami duduk perkara pencabutan subsidi BBM, sebagai bagian dari aneka permasalahan ekonomi bangsa yang komplek dan saling bertautan. Adalah tidak etis jika pemerintah terus menerus melakukan “lokalisasi” masalah dan mengarahkan opini publik tanpa menanggapi peluang-peluang dan pemikiran alternatif yang menjadi tuntutan masyarakat. Penjelasan yang sering disampaikan pakar-pakar pemerintah, antara lain Anggito, Chatib Basri, dan Ikhsan, cenderung tidak menjawab atau menghindar dari kritik-kritik mendasar yang berulangkali saya kemukakan bersama Staf Ahli PustepUGM yang lain. Satu hal cukup mendasar, bahwa kebijakan pencabutan subsidi BBM memiliki kaitan yang erat dengan proses liberalisasi ekonomi ala Konsensus Washington yang sedang berjalan di seluruh penjuru dunia termasuk di Indonesia. Deretan fakta yang merefleksikan pertarungan ideologi kerakyatan/nasionalisme vs ekonomi neo-liberal di antaranya adalah munculnya hasil amandemen pasal 33 UUD ’45, UU Sumber Daya Air, RUU Ketenagalistrikan, dan RUU Migas, yang mendukung agenda privatisasi, yang diikuti pemindahan kepemilikan aset-aset strategis nasional kepada pihak swasta atau BUMN asing. 87
Fakta-fakta ini benar-benar riil, yang dapat mengarahkan analisis ekonomipolitik pada kepentingan pebisnis minyak (asing) dalam tarik-ulur pencabutan subsidi BBM. Jika pakar-pakar ekonomi pemerintah mengaca pada sejarah ekonomi bangsa, tidak sulit untuk memahami pengaruh kekuatan neo-liberal dalam penentuan kebijakan nasional. Dus, kita tidak perlu mengada-ada tentang adanya “teori konspirasi”. Masuk akal bila perusahaan-perusahaan minyak (asing) berhasrat besar menjalankan dan memperluas bisnis mereka di sektor hilir karena keuntungan “luar biasa” jika BBM dijual di Indonesia sesuai harga pasar internasional (tanpa subsidi). Di sisi lain, keraguan akan digunakannya nalar teoritik yang utuh dan konsisten dalam pencabutan subsidi BBM sangat besar, karena pada saat yang sama subsidi kepada perbankan, yaitu bunga obligasi rekap Rp 40-50 trilyun per tahun yang dinikmati orang-orang super-kaya, tidak ada tanda-tanda untuk dicabut juga. Pakarpakar pendukung pengurangan subdisi BBM beralasan bahwa pemberian subsidi BBM yang begitu besar mengurangi kemampuan negara untuk membantu mereka yang lemah. Jadi, mengapa alasan ini tidak juga diberlakukan dalam pemberian subsidi perbankan yang nilainya 4 kali lebih besar? Seharusnya pemerintah tidak menutup kemungkinan ini, karena di saat yang sama pemerintah berani mengambil keputusan “pahit” menaikkan harga BBM tanpa dukungan penuh DPR, ditentang mahasiswa dan masyarakat, dan jelas menambah beban hidup masyarakat. Dalam hal ini pemerintah telah menggiring opini publik bahwa “tidak ada alternatif lain” untuk menekan defisit APBN selain pencabutan atau pengurangan subsidi BBM. Masih dalam kaitan dengan defisit APBN, perhitungan (bukan penelitian) pakar-pakar pendukung kenaikan harga BBM bahwa pada harga minyak dunia sekarang, subsidi BBM akan mencapai Rp 70 trilyun per tahun atau Rp 200 milyar per hari sungguh mendirikan bulu roma. Di sini dipakai asumsi bahwa Indonesia adalah 100% pengimpor minyak, padahal kenyataannya sekitar 50% produksi minyak Indonesia yang 1,1 juta barel per hari (seharga US$ 19,6 milyar) di ekspor. Artinya, pernyataan pakar-pakar ekonomi neoliberal tentang subsidi Rp 70 trilyun bukan fakta tetapi perhitungan di atas kertas “seandainya” Indonesia bukan produsen minyak. Mengapa pakar-pakar tersebut menggunakan cara berpikir yang semata-mata “ekonomi-rasional” tetapi sekaligus “membohongi” masyarakat awam? Jika harga ekspor minyak kita di pasar dunia naik sampai 2 kali lipat, mengapa kita abaikan kenaikan penerimaan devisa kita? Di saat yang sama, tentu pemerintah juga menikmati rejeki nomplok (windfall profit) dari kenaikan harga minyak di pasar internasional seperti yang pernah terjadi pada periode “bonanza minyak” 1974-1981. Pemerintah terus saja “menghibur” rakyat dengan mengatakan bahwa dalam jangka pendek kebijakan ini memang menyakitkan, tetapi jangka panjang akan lebih baik bagi anggaran negara, kebijakan energi nasional, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Jargon yang sering dipakai adalah rakyat harus rela “bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”. Pernyataan ini mengingatkan saya pada masa kolonial di mana pemerintah Hindia Belanda mengatasnamakan kesejahteraan bersama di masa datang untuk melegitimasi penderitaan rakyat Indonesia. Rakyat miskin kita sejak dulu sampai sekarang tetap saja “sakit”, dan tidak pernah tahu kapan tiba waktunya merasa “senang”, sedangkan orang-orang super-kaya Indonesia tidak perlu “dipaksa sakit” dan terus-menerus menikmati fasilitas-fasilitas (subsidi) yang menguras APBN. Pakar-pakar ekonomi pemerintah rupanya tidak mampu (dan tidak merasa perlu) untuk melepas mindset ekonomi neoklasik-liberal yang parsialistik dan 88
mekanistik dalam menganalis permasalahan ekonomi. Mereka merasa cukup puas (dan cukup yakin) jika sudah mampu melakukan perhitungan-perhitungan (modelling) kuantitatif, yang kemudian mereka anggap sebagai bukti empirik. Padahal, di saat yang sama terpampang fakta-fakta empirik lain dari kajian (pendekatan) yang berbeda, yang hasilnya bertolakbelakang. Jika memang berniat baik, pemerintah mestinya belajar dari masa lalu tentang pengambilan kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak yaitu harus dilakukan secara terbuka, melalui kajian-kajian dan diskusi publik yang luas, sehingga dinamika ekonomi-politik (dibalik) kebijakan tersebut terpampang dengan jelas dapat dipahami. Kenaikan harga BBM telah menyulitkan akses orang miskin terhadap minyak tanah, bensin, transportasi, dan sekolah, yaitu terutama dialami oleh masyarakat di kampung-kampung terpencil. Demikian pula dengan nasib nelayan miskin, industri rakyat, dan ekonomi rakyat, yang produksinya terancam (mandeg) karena harga BBM yang makin mahal. Betapa menyedihkan mendengar cerita Amelia, Nudin, dan Amaro, warga Desa Raknamo, Kupang Timur, sebuah desa terpencil, miskin, gelap gulita bila malam hari. Harga minyak tanah mencapai Rp 2.500,- per liter, yang memaksa mereka mengurangi pemakaian pelita. Kenaikan harga bensin juga ditanggapi dengan menganggurkan motor, dan ada yang menghentikan sekolah anak kecilnya, karena biaya transpor yang makin mahal (Kompas, 17/3/2005). Bahkan warga miskin di pedalaman Sulawesi harus rela mengganti konsumsi minyak tanah mereka dengan sabut kelapa atau kayu bakar. Sungguh memprihatinkan! Ikhsan dan Chatib Basri rupanya memahami kemiskinan sekedar dalam hitungan angka-angka, yang tidak menggambarkan kondisi kemiskinan riil yang akan dibantu dana kompensasi. Analisis naik-turunnya kemiskinan memerlukan kajian utuh (komprehensif) terkait dengan sebab-sebab terjadinya dan sebab-sebab hapusnya kemiskinan. Hal ini sedikit disinggung Chatib Basri bahwa penurunan kemiskinan dalam kurun tahun 2002-2003 mungkin disebabkan oleh hal-hal lain di luar dana kompensasi, misalnya pertumbuhan ekonomi atau peningkatan upah riil. Kajian pengurangan kemiskinan mestinya mulai dari upaya menghilangkan sebab-sebab kemiskinan, bukan semata dilihat dari pemenuhan kebutuhan dasar penduduk miskin. Kebijakan penyaluran dana kompensasi BBM lebih nampak sebagai belas kasihan (charity) dan “iming-iming” pemerintah, daripada upaya yang sungguhsungguh untuk menghapus kemiskinan sampai ke akar-akarnya. Pola-pola kompensasi cenderung tidak memberdayakan pelaku ekonomi rakyat karena sekedar menempatkan penduduk miskin sebagai objek penerima bantuan. Tanpa adanya pola kompensasi pun pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar warganya yang miskin (Pasal 34 UUD 1945). Dalam hal ini, pemerintah seharusnya menitikberatkan pada upaya-upaya memecahkan masalah-masalah struktural yang menyebabkan kemiskinan, seperti belum adanya demokratisasi modal, anggaran yang tidak peka terhadap kondisi kemiskinan penduduk, kebijakan pemerintah yang lebih berpihak pada ekonomi konglomerat, serta penyebab-penyebab kemiskinan struktural lainnya. Di sisi lain, model ekonomi, seperti pendapat Imam Sugema, memang bersifat sangat mekanis, padahal masyarakat (penduduk miskin) yang menjadi subjek kajian bersifat dinamis. Apalagi model ekonomi Neoklasik yang digunakan memiliki banyak asumsi “ceteris paribus”, yang bisa sangat keliru. Dalam kenyataannya, asumsi-asumsi tersebut sejak awal sudah diketahui tidak terjadi, oleh karena itu tidak dikemukakan 89
dalam laporan LPEM UI, seperti halnya asumsi ketepatan penyaluran dana kompensasi, termasuk asumsi-asumsi khusus yang lazimnya dikemukakan untuk menyederhanakan. Model ini mengabaikan perbedaan dampak (sebaran) kenaikan harga BBM bagi rakyat miskin di daerah dan usaha yang berbeda-beda yang tidak dapat dilihat dari perspektif ekonomi makro semata. Sebagai bahan pengajaran (teks) memang kajian tersebut cukup memadai, tetapi sebagai alat pengambilan kebijakan rasanya masih terlalu terburu-buru.Textbook economics may be fine for teaching students, but not for advising government (Stiglitz dalam Mubyarto, Neoliberalisme : 12). Saya menghargai semangat Anggito, sebagai “pakar pemerintah”, yang menyatakan bahwa keinginan pemerintah jelas agar Indonesia bisa mandiri dan tidak tergantung pada orang lain. Mudah-mudahan ini bukan sekedar lips service, yang jauh panggang dari apinya. Mengajak mandiri tetapi pada saat yang sama membiarkan, bahkan mendorong, liberalisasi ekonomi di segala sektor (penghapusan subsidi) berarti sedang menyiapkan perangkap bagi diri dan rakyat untuk tunduk kepada kemauan bangsa asing, sehingga kita akan kembali menjadi “kuli di negeri sendiri”. Kontradiksi seperti inilah yang mudah meluluh-lantakkan upaya pemberdayaan ekonomi rakyat sebagai tulang punggung ekonomi nasional. Pemerintah harus jujur dan mau mengajak bicara rakyatnya secara terbuka dalam mencari alternatif-alternatif bagi pemecahan masalah struktural ekonomi-politik bangsa secara utuh (komprehensif), termasuk masalah liberalisasi ekonomi dan pencabutan subsidi BBM ini. Sebelum itu dilakukan, pemerintah seharusnya tidak perlu merasa malu untuk mencabut kebijakan tersebut karena tetap akan mendapat resistensi dari masyarakat meskipun mungkin akan “dipahami DPR”. Mudah-mudahan bangsa kita benar-benar makin cerdas, tidak lagi mudah dibodohi (dibohongi), dan makin mampu membedakan antara jalan lurus menuju penghapusan atau pelanggengan kemiskinan.
(Ditulis Bersama Profesor Mubyarto)
90
-19NEOKOLONIALISME DAN KRISIS GLOBAL18
Dibalik Krisis Yang Berulang “Siapa yang mengendalikan volume uang di sebuah negara adalah tuan sebenarnya dari industri dan perdagangan”. Demikian kata Garfield –Presiden ASyang ditembak mati setelah melawan kekuasaan bankir pengatur uang di AS. Jauh di tahun 48 SM pun Julius Caesar dibunuh setelah mengambil kembali hak membuat koin emas dari tangan pedagang uang. Lincoln mati ditembak setelah menerbitkan mata uang “greenbacks” yang tanpa bunga dan utang dari bankir internasional. Jackson, yang berusaha melawan Second Bank of the United States coba dibunuh, namun gagal. Terakhir, Kennedy dibunuh juga setelah mengeluarkan EO No 11110 yang mengembalikan kekuasaan mencetak uang kepada pemerintah, tanpa melalui Federal Reserve. Demikian, pengembalian kontrol negara atas uang di AS memang seringkali dibayar mahal karena bankir internasional tidak pernah tinggal diam. Mereka menghalangi setiap upaya membongkar sistem bunga utang, yang terpaksa dibayar dengan menaikkan pajak penghasilan rakyat AS. Memang, elit pengatur uang ini telah berpengalaman dalam melipatgandakan kekayaan dan kekuasaannya. Mereka ahli dalam mengatur saat yang tepat membuat uang over-supply, memaksa likuiditas kering, dan memanen aset perusahaan yang gagal bayar (bangkrut) akibat bunga utang dan tiadanya likuiditas disaat diperlukan. Upaya mereka melipatgandakan kekayaan –apalagi jika dilawan- biasanya beriringan dengan terjadinya krisis finansial, kelumpuhan sektor riil (depresi), keterjebakan negara pada utang, bahkan perang. Krisis semacam ini telah berulang sejak tahun 1553 dan 1815 di Inggris, dan berturut-turut pada tahun 1833, 1866, 1877, 1891, 1907, dan 1929 di AS. Ujung-Pangkal Krisis Finansial 2008 Krisis finansial tahun 2008 oleh karenanya bukanlah barang baru. Apalagi menilik konstelasi kekuasaan, modus, dan implikasinya bagi perekonomian AS dan dunia. Konstelasi kekuasaan saat ini ditengarai Chomsky sebagai USA neoimperialism, di mana AS berkuasa atas ekonomi, militer. media, dan pendidikan di dunia. Di balik itu. Petras melihatnya sebagai ‘the power of Israel in USA”. Kontrol uang di AS hari ini masih dipegang Federal Reserve, yang disahkan 22 Desember 1913 saat sebagian anggota Senat liburan Natal. The Fed “dimiliki secara privat” oleh elit bankir swasta di London, New York, Berlin, Hamburg, Amsterdam, Paris, dan Italy, yang dikuasai Zionis Internasional. Di samping itu, krisis berlangsung dengan “modus klasik”. Bermula dari lembaga keuangan AS yang menggelontorkan begitu banyak uang (kredit) di sektor properti melalui berbagai instrumen derivatif. Meski beberapa pihak sudah mendesakkan perlunya regulasi, namun Bush dan The Fed tak bergeming. Akhirnya, 18
Pernah dimuat di Harian KONTAN
91
seperti yang diperingatkan Buffett dan Krugman, pada saat jatuh tempo dan uang tidak di tangan maka ‘gagal bayar” pun tak terelakkan. Proses selanjutnya adalah munculnya krisis likuiditas yang berujung kolaps-nya lembaga keuangan Wall Street sepertihalnya Lehman Brothers, Bear Streans, Fannie Mac dan Freddie Mac, serta AIG yang memang saling “terintegrasi” satu sama lain. Implikasi krisis pun seperti biasa. Pemerintah AS harus menalangi likuiditas (bail-out) 700 milyar US. Setelah itu, satu persatu aset perusahaan bangkrut terpaksa dijual, yang berarti beralihnya kepemilikan ke elit pengatur uang. Pun. Pemerintah AS terpaksa membuat surat utang baru, dus makin terjerat imperium finansial. Konsolidasi dan pelipatgandaan kekuasaan dan kekayaan seperti biasa disertai paksaan penarikan likuiditas di emerging market. Krisis memukul pasar uang dan pasar modal negara lain, yang diikuti dengan beralihnya penguasaan aset “perusahaan korban”. Perusahaan eksportir di ambang kebangkrutan. Ancaman PHK massal berlanjut “penyesuaian paksa” upah buruh, yang dalam konteks Indonesia diawali dengan keluarnya SKB 4 Menteri.. Imperium Belum Akan Tumbang? Boleh saja menafsirkan krisis ini adalah akhir dari imperium AS, kapitalisme, dan neoliberalisme. Tetapi rasanya hal itu baru sebatas harapan normatif. Seperti pengalaman krisis-krisis sebelumnya, transformasi “isme” –kalaupun ada- tidak bertujuan membongkar struktur kekuasaan ekonomi politik yang ada. Pun setelah Obama menjadi Presiden AS, tidak akan ada perubahan radikal selama tidak ada reposisi negara-The Fed dan reforma tata ekonomi AS. Krisis finansial bukan berarti goyahnya posisi bankir internasional, yang bahkan masih mencengkeram perekonomian AS dengan utang senilai 11,7 trilyun US. Tidak ada yang berubah dari para pemilik The Fed yang makin kaya raya setelah menguasai lebih banyak lagi aset perusahaan bangkrut secara “cuma-cuma”. Sementara kontrol ekonomi, politik, militer, media, dan pendidikan di AS dan sekutunya pun tetap di tangan mereka. Agen-agen mereka tetap mendominasi berbagai sektor vital negara berkembang –termasuk Indonesia. IMF dan Bank Dunia masih leluasa memperdaya pemerintah dengan utangnya. Media massa tidak banyak bersuara lantang tentang sepak terjang mereka. Pun, institusi pendidikan ekonomi tetap banyak yang berkiblat pada kurikulum, ajaran, dan program mereka. Sementara itu tidak ada agenda neolib yang dibatalkan. Tidak ada pembatalan privatisasi BUMN dan UU/UU yang melegitimasi privatisasi SDA Tidak ada penghapusan utang lama dan pembatalan utang baru. Pun, tidak ada yang berubah dari rezim kurs, rezim devisa, dan rezim pasar modal, yang tetap di bawah kontrol ideologi pasar bebas (neolib) buatan mereka. Pondasi moneter dan fiskal negara-negara di dunia pun tetap mengukuhkan kekuasaan mereka, yaitu bunga utang dan pajak. Kedua pilar ini tetap menjerat perusahaan (kecil), buruh, dan anggaran negara. Pendarahan APBN akibat cicilan pokok dan bunga utang dalam dan luar negeri tahun 2009 pun tetap akan dibayar dengan mengoptimalkan penerimaan pajak. Melihat kenyataan tersebut jelas kiranya imperium finansial belum (akan) tumbang. Implikasinya berupa pemiskinan rakyat di negara kaya SDA, pengangguran massal, ketimpangan pendapatan, degradasi lingkungan, dan kerusakan moral yang menimpa negara berkembang pun kiranya belum akan berakhir dengan segera. 92
Keluar Dari Jerat Imperium Finansial Demikian, kerusakan yang menimpa manusia seringkali bermula dari upaya subversi finansial. Ambisi bankir internasional untuk menguasai dan mengatur dunia mendorong mereka untuk mengambilalih kekuasaan negara –setelah kekuasaan Tuhan-, tidak peduli dengan “isme” apa negara tersebut kemudian dijalankan. Tetapi bagaimanapun subversi harus dihentikan. Semua negara berdaulat harus bersatu padu keluar dari subversif imperium finansial. Salah satu caranya adalah dengan mengembangkan tatanan ekonomi yang bebas riba. Kegiatan spekulasi (judi) di pasar uang dan pasar modal harus dihentikan melalui regulasi negara yang tegas dan memuliakan Tuhan. Dalam konteks Indonesia perlu dilakukan penghapusan utang haram (odious debt) dan penghentian utang-utang baru. Selanjutnya perlu penegakan kedaulatan pangan, energi, reforma agraria, serta nasionalisasi aset strategis bangsa yang hingga saat ini masih didominasi pemodal internasional. UU/UU ekonomi sepertihalnya UU Migas, UU SDA, UU BUMN, UU Pelayaran, dan UU PM, yang cenderung berwatak “subversif” pun mendesak untuk ditinjau ulang. Pada saat bersamaan, pendidikan ekonomi perlu dibebaskan dari hegemoni pemikiran neoliberal yang menjadikan intelektualnya sebagai “agen” modal internasional. Pendidikan harus dikembalikan jatidiri Ketuhanan dan KeIndonesiannya. Pun, hal ini perlu dibarengi dengan penghapusan dominasi “Mafia Berkeley” dalam kabinet ekonomi Indonesia. Begitulah, kapan tumbangnya imperium finansial akan bergantung juga dari kuatnya keyakinan, keberanian, kebersatuan, dan usaha keras kita semua untuk mengubah nasib dan keadaan. Tetapi tentu saja semakin cepat semakin baik. Wallahu’alam.
93
BAGIAN DUA: MENUJU EKONOMI MERDEKA
94
-20INDONESIA PERLU JALAN EKONOMI BARU
Belum lama ini Rizal Ramli, mantan Menko Ekuin di era Gus Dur, mendeklarasikan ormas baru bernama Komite Bangkit Indonesia (KBI). Dalam deklarasi yang dihadiri beberapa elit politik dan tokoh nasional tersebut, Rizal Ramli mengajak bangsa Indonesia untuk menempuh ”jalan baru”, karena jalan yang selama ini digunakan menurutnya justru memicu kemerosotan dan kemiskinan struktural, serta memperkokoh neokolonialisme. Deklarasi di saat suhu politik mulai memanas menjelang Pemilu 2009 menimbulkan bermacam spekulasi publik. Benarkah deklarasi dan dukungan elit parpol terhadap KBI merupakan tekad kuat elit nasional untuk bersatu melawan neokolonialisme? Atau jangan-jangan forum itu tak lebih seperti forum yang sudahsudah, sekedar bersatu untuk menghadapi pemimpin lama? Di balik harapan akan keseriusan KBI kiranya masih muncul skeptisme. Hal ini wajar karena jalan baru yang disuarakan KBI belumlah disertai arahan agenda ekonomi-politik yang jelas. Jalan baru masih sebatas posisi pikir (state of mind) yang dapat dikumandangkan siapa saja, sesuai kepentingan dan selera publik. Tanpa kejelasan isi (agenda) yang mempertegas posisi berdiri (standing position) KBI, bukan tidak mungkin jalan baru tersebut akan dinilai tak lebih sekedar ”jualan baru”. Jalan Baru Pendiri Bangsa Jalan baru KBI baru sekedar ”proklamasi” anti-kolonialisme, seperti yang dilakukan para pendiri bangsa 62 tahun yang lalu. Pada waktu itu, pendiri bangsa bertekad mengeluarkan Indonesia dari jalan lama 3,5 abad di bawah cengkeraman kolonialisme. Jalan baru segera disusun dan secara jelas dituangkan ke dalam UUD 1945 yang disahkan sehari setelah proklamasi. Agenda jalan baru tersebut adalah menghapus dominasi kolonialis (asing) dalam struktur ekonomi Indonesia. Dominasi asing ditunjukkan dengan segelintir elit bangsa Belanda (Eropa) yang menguasai banyak sumber daya Indonesia, bangsa Timur Asing yang menguasai jalur distribusi, dan mayoritas massa pribumi (ekonomi rakyat) Indonesia di lapisan terendah (terlemah). Jalan baru pendiri bangsa ditumpukan pada tiga pilar utama, yaitu demokratisasi perekonomian melalui koperasi, penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, dan penguasaan negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di Indonesia. Ketiga pilar ini kemudian diamanatkan dalam Pasal 33 ayat 1-3 UUD 1945. Jalan baru inilah yang dengan perjuangan keras telah membuahkan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, yang 6 tahun pasca proklamasi masih berkuasa atas perusahaan listrik, kereta api, telekomunikasi, perkebunan, dan tambang minyak di Indonesia. Jalan ini pulalah yang membawa bangsa Indonesia mampu duduk sejajar bangsa adidaya dan bahkan mampu menjadi pelopor perjuangan anti-kolonialisme bagi negara- negara baru merdeka di Asia-Afrika. 95
Jalan Baru Kolonialisme Perubahan ekonomi-politik pasca reformasi tak serta merta membawa bangsa Indonesia ke sebuah jalan dan tatanan baru. Bahkan dua pilar jalan lama Orde Baru yaitu dominasi modal asing dan keterjebakan pada utang luar negeri masih terus saja menjadi arus utama kebijakan ekonomi pemerintah. Alih-alih membangkitkan kedaulatan ekonomi nasional, justru yang terjadi adalah kembalinya de-nasionalisasi yang memuluskan jalan neokolonialisme ekonomi Indonesia. Salah satu tonggak sejarahnya adalah pengesahan UU Penanaman Modal pada bulan Maret 2007. Neokolonialisme kini berwujud penguasaan modal asing pada berbagai jenis tambang dan migas (± 80%), perbankan (± 50%), industri, jasa, dan 70% saham di pasar modal. Akibatnya aliran uang ke luar negeri (net tranfer) pun makin besar. Hak sosial ekonomi pekerja, hasil eksploitasi SDA di daerah, dan keuntungan BUMN/perusahaan di Indonesia banyak pula yang mengalir ke pemegang saham (shareholder) asing. Pada saat yang sama, blooding fiskal terjadi karena cicilan bunga dan pokok utang dalam dan luar negeri yang harus dibayar dengan seperempat APBN setiap tahunnya. Tekanan inilah yang turut mendorong penjualan aset-aset strategis bangsa melalui privatisasi yang dalam banyak kasus (Indosat, Telkomsel, dan Semen Gresik) telah memuluskan jalan menuju asing-isasi. Walhasil, ekonomi rakyat (UMKM) yang berjumlah 40,1 juta atau 99,8% dari total pelaku ekonomi dan menyerap 96% angkatan kerja, kini hanya menikmati 39,8% dari produksi) nasional (PDB) dibanding korporasi besar (asing) yang sebesar 60,2%. Ekonomi rakyat hanya menikmati 20% pangsa pasar yang 80%-nya sudah dikuasai korporasi, yang merupakan “mesin” pertumbuhan karena menguasai 83,6 persen laju perekonomian Indonesia (FRI, 2007). Kemana Arah Jalan Baru KBI? Berangkat dari realitas kontekstual tersebut kiranya KBI perlu memperjelas jalan baru yang hendak ditempuhnya. Berdasar pengalaman historis maka tanpa perlu ragu lagi KBI dapat menjadi konsolidator nasional pembuka jalan untuk “kembali ke jalan pendiri bangsa”, yaitu jalan nasionalisme dan demokrasi ekonomi. Kedua pilar jalan inilah yang diharapkan dapat menjadi senjata ampuh melawan semua bentuk neokolonialisme. Jalan baru ini ditempuh melalui banting stir paradigma dan kebijakan ekonomi nasional yang telanjur bercorak neoliberal. Berbagai agenda strategis manifes nasionalisme dan demokrasi ekonomi yang saat ini perlu diseriusi KBI di antaranya adalah penghapusan utang luar negeri, nasionalisasi perusahaan migas asing, penghentian privatisasi dan liberalisasi ekonomi, revitalisasi koperasi sejati, demokratisasi keuangan, demokratisasi perusahaan, dan reformasi agraria. Konsepsi beragam agenda tersebut sudah tersedia dan sebagian telah diperjuangkan oleh berbagai elemen masyarakat sipil pada berbagai level. Hanya saja sebagian besar masih berada pada taraf pinggiran dan membutuhkan konsolidasi dan mobilisasi gerakan yang lebih intensif. Pada posisi inilah KBI dapat berdiri kukuh sebagai konsolidator dan penyemai realisasi agenda-agenda yang terbingkai dalam jalan baru anti-neokolonialisme kepada khalayak yang lebih luas. Pertanyaan berikutnya, pada locus mana gerakan jalan baru yang diinisiasi KBI ini akan ditempatkan? Apakah jalan baru KBI tetap hanya bertumpu pada kekuatan 96
pikir intelektual dan kontribusi besar elit politik yang terorganisasi di dalamnya? Mungkinkah jalan baru ditempuh menggunakan kendaraan lama, yaitu elemen status quo yang kiranya juga akan terlibat sebagai inisiator KBI? Basis Gerakan Jalan Ekonomi Baru Sejarah di dalam dan luar negeri memberi pelajaran bahwa neokolonialisme hanya akan dilumpukan secara efektif oleh korban-korban utamanya. Kita dapat belajar dari perlawanan rakyat korban neokolonialisme (neoliberalisme) yang telah berhasil mengubah relasi kekuasaan politik-ekonomi nasional, yang misalnya dilakukan oleh kaum adat Meksiko (Zapatista), buruh dan pengangguran Argentina (GPP), dan petani tanpa tanah Brasil (MZT). Tekanan gerakan rakyat korban neokolonialisme yang solid dan dukungan kaum intelektual inilah yang kiranya terbukti membawa perubahan struktural, bukannya karena manuver segelintir elit dan kalangan intelektual yang tidak membumi. Oleh karena itu, agenda-agenda perjuangan mewujudkan jalan baru anti-kolonialisme di Indonesia harus didasarkan pada partisipasi luas basis gerakan rakyat tersebut. Sepanjang sejarah perjalanan bangsa, kiranya massa petani dan buruh adalah mayoritas pelaku ekonomi rakyat yang paling merasakan pahitnya (neo)kolonialisme. Tak heran dari kedua basis akar rumput ini telah lama muncul gerakan-gerakan antikolonialisme (anti-neoliberalisme) baik dalam lingkup lokal, nasional, bahkan hingga internasional. Konsolidasi kedua basis gerakan yang didukung kaum intelektualprogresif inilah yang kiranya menentukan efektifitas realisasi jalan baru yang diinisiasi KBI. Demikian, suksesi nasional tahun 2009 adalah momentum untuk mendesakkan agenda-agenda jalan baru kepada calon-calon presiden yang akan bersaing. Sudah saatnya rakyat (hanya) memilih calon pemimpin yang memiliki agenda jelas antineokolonialisme sesuai agenda-agenda jalan baru. Oleh karenanya, segenap elemen gerakan rakyat perlu mengawal agenda KBI ini sehingga tidak sekedar menjadi jualan baru, melainkan sungguh-sungguh menjadi “jalan lurus” menuju kemerdekaan ekonomi, kesejahteraan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Semoga.
97
-21EKONOMI MERDEKA Revrisond Baswir
Perbedaan antara terjajah dan dan merdeka tampaknya tidak memiliki makna apa-apa bagi sebagian besar ekonom. Dalam pandangan para ekonom yang saya sebut sebagai ekonom arus utama ini, identitas sebuah negara tidak memiliki makna lain selain untuk kepentingan statistik belaka. Akibatnya, ketika berbicara mengenai perekonomian sebuah negara, yang penting bagi mereka tidak lebih dari sekedar data-data statistik seperti luas wilayah, jumlah penduduk, Produk Domestik Bruto (PDB), pendapatan perkapita, jumlah uang beredar, volume anggaran negara, cadangan devisa, nilai kurs, dan seterusnya. Demikian halnya ketika berbicara mengenai perkembangan ekonomi, yang menjadi pusat perhatian mereka tidak lebih dari sekedar data-data statistik seperti pertumbuhan ekonomi, peran investasi, peran konsumsi, tingkat inflasi, tingkat suku bunga, dan paling jauh mengenai tingkat pengangguran dan kemiskinan. Cara pandang seperti itu jelas sangat bertolak belakang dengan cara pandang para Bapak Pendiri Bangsa. Bung Karno, misalnya, ketika berbicara mengenai politik perekonomian Indonesia, secara jelas membedakan antara ekonomi kolonial dengan ekonomi nasional. Menurut Bung Karno, ekonomi Indonesia yang berwatak kolonial setidak-tidaknya memiliki tiga ciri sebagai berikut. Pertama, diposisikannya perekonomian Indonesia sebagai pemasok bahan mentah bagi negara-negara industri maju. Kedua, dijadikannya perekonomian Indonesia sebagai pasar produk negara-negara industri maju. Ketiga, dijadikannya perekonomian Indonesia sebagai tempat untuk memutar kelebihan kapital yang terdapat dinegara-negara industri maju. Dengan latar belakang seperti itu, ekonomi Indonesia merdeka, yang oleh Bung Karno disebut sebagai ekonomi nasional, haruslah merupakan koreksi total terhadap ciri-ciri ekonomi kolonial tersebut. Sejalan dengan Bung Karno, Bung Hatta lebih memusatkan perhatiannya terhadap struktur sosial ekonomi yang diwarisi Indonesia dari pemerintah Hindia Belanda. Menurut Bung Hatta, struktur sosial-ekonomi Hindia Belanda ditandai oleh terbaginya masyarakat Indonesia atas tiga strata sebagai berikut. Pertama, kelas atas yang makmur diisi oleh bangsa Eropa. Kedua, lapis tengah yang menguasai perdagangan diisi oleh warga timur asing. Ketiga, kelas bawah yang miskin diisi kaum pribumi. Sebab itu, menurut Bung Hatta, sebagai koreksi terhadap ekonomi kolonial, ekonomi Indonesia merdeka harus ditandai oleh bangkitnya kaum pribumi sebagai tuan di negeri mereka sendri. 98
Untuk mewujudkan cita-cita ekonomi merdeka tersebut, baik Bung Karno, Bung Hatta, maupun para Bapak Pendiri Bangsa yang lain, sepakat untuk menjadikan demokrasi ekonomi sebagai dasar penyelenggaraan perekonomian Indonesia. Dalam rangka itu, sebagaimana terungkap secara terinci dalam Pasal 33 UUD 1945, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak (harus) dikuasai oleh negara. Bumi, air, dan segala kekayan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Perjuangan para Bapak Pendiri Bangsa untuk mewujudkan ekonomi Indonesia merdeka itu jelas sangat bertentangan dengan kepentingan kaum kolonial. Sebab itu, tidak heran, bila mereka hampir terus menerus berusaha menjegal rencana tersebut. Hal itu antara lain mereka lakukan dengan melakukan agresi pertama dan kedua segera setelah proklamasi. Selanjutnya, melalui Konferensi Muja Bundar (KMB), mereka berusaha memaksa Indonesia untuk membayar pampasan perang dan menanggung warisan utang luar negeri pemerintah Hindia Belanda, masing-masing sebesar US$2,5 milyar dan US$4 milyar. Dengan latar belakang seperti itu, jika disimak perjalanan ekonomi Indonesia selama 60 tahun belakangan ini, hanya dalam era pemerintahan Soekarno rencana untuk mewujudkan ekonomi merdeka melalui proses demokratisasi ekonomi itu benar-benar pernah dilaksanakan, yaitu melalui pengembangan koperasi dan dilakukannya nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing dalam periode 1956 – 1964. Setelah itu, terutama setelah masuknya Mafia Berkeley sebagai bagian dari kekuasaan pada awal pemerintahan Soeharto, kaum kolonial secara sistematis berhasil menghentikan proses tersebut. Bahkan, terhitung sejak diterbitkannya UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA), mereka berhasil melakukan koreksi ulang sesuai dengan selera dan kepentingan mereka. Lebih-lebih setelah ekonomi Indonesia mengalami krisis moeneter pada 1997/1998 yang lalu. Melalui penyelenggaraan sejumlah agenda ekonomi neoliberal yang dikomandoi oleh Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia, upaya untuk mewujudkan ekonomi merdeka tidak hanya terhenti secara praksis. Tetapi mengalami koreksi secara sempurna hingga ke tingkat konstitusi. Belakangan, melalui penyusunan UU Penamaman Modal, kaum kolonial tampaknya sedang berusaha keras untuk menuntaskan rencana jahat tersebut. Demikianlah, jika disimak secara keseluruhan, rasanya tidak terlalu berlebihan bila perjalanan ekonomi Indonesia sejak proklamasi layak dipahami sebagai sebuah perjalanan dari kolonialisme menuju neokolonialisme. Quo vadis ekonom arus utama?
99
-22-
INDONESIA PERLU JALAN BARU EKONOMI19 Oleh: Hendri Saparini, PhD20
Menjelang pemilu legislatif dan pemilihan Presiden di tahun depan, hampir semua partai, politisi dan capres mengusung tema-tema kemandirian, kedaulatan, keadilan, kemakmuran, dll. Seolah tidak afdol bila tidak mengangkat slogan dan jargon-jargon tersebut saat ingin merebut suara rakyat. Meskipun, kita yakin tidak semua benar-benar paham yang dimaksud dengan kemandirian dan kedaulatan ekonomi. Kalaupun paham, masih disangsikan apakah bersungguh-sungguh ingin dan akan mewujudkannya. Terlalu banyak contoh, usai pemilu usai pula semangat para wakil rakyat memperjuangkan kemandirian dan kedaulatan ekonomi karena memilih berbalik arah untuk merangkul para pemilik modal dan pemegang kekuasaan. Krisis global yang diawali oleh krisis finansial di Amerika Serikat akan berdampak luas bagi ekonomi dunia. Dampak krisis global terhadap suatu negara akan sangat tergantung pada struktur ekonomi dan respon kebijakan ekonomi yang dipilih. Semakin rapuh struktur ekonomi suatu negara, semakin luas dan dalam dampak yang akan dirasakan. Disamping itu kesalahan dalam memilih kebijakan juga akan menentukan upaya dalam memperbaiki struktur ekonomi. Kesalahan Indonesia dalam menangani krisis tahun 1997/98 semestinya menjadi pelajaran berharga. Pilihan kebijakan ekonomi neoliberal dengan program Letter of Intent IMF justru mengakibatkan ekonomi semakin rapuh dan tidak adil. Pilihan kebijakan ekonomi saat menghadapi krisis 1997/98 telah semakin mengarahkan kebijakan ekonomi Indonesia menjauh dari amanah UUD 1945. Selain kebijakan moneter dan fiskal yang super ketat, liberalisasi ekonomi di hampir semua sektor bahkan semakin kuat karena telah didukung dengan berbagai undang-undang selama sepuluh tahun terakhir. Paradigma pembangunan ekonomi yang salah ini telah melahirkan kebijakan ekonomi eksploitatif dan melahirkan kesenjangan yang semakin lebar. Padahal paling tidak ada lima pasal dalam konstitusi yakni Pasal 23, 27, 31, 33, 34 yang telah memberikan guidence yang tegas untuk menuju Indonesia yang maju, mandiri dan sejahtera. Namun, kebijakan ekonomi yang semakin mengarah pada neoliberalisme elah mengabaikan berbagai kewajiban pemerintah dibidang sosial ekonomi tersebut. Akibatnya, meskipun dana pembangunan meningkat, paradigma ekonomi yang salah mengakibatkan manfaat pembagunan hanya dinilkati sebagian kecil masyarakat. Sebagai ilustrasi, anggaran pemerintah pusat (APBN) mengalami peningkatan pesat dari Rp 380 triliun (2004) menjadi sekitar Rp 1037 triliun (2009). Namun, hasil pembangunan yang diperoleh selama periode tersebut tidak sebanding. Anggaran 19
Disampaikan pada Seminar Nasional “Indonesia Perlu Jalan Ekonomi Baru”, tanggal 2 Maret 2009 di University Club UGM Yogyakarta kerjasama Tim Indonesia Bangkit, Pustek UGM, dan Equilibrium. 20 Hendri Saparini, PhD adalah Managing Director ECONIT dan ekonom Tim Indonesia Bangkit
100
kemiskinan meningkat tajam dari Rp 18 triliun (2004) menjadi sekitar Rp 70 triliun (2008), tetapi jumlah orang miskin tidak berkurang signifikan. Jumlah orang miskin dan menganggur masih tinggi. Belum lagi peningkatan anggaran pemerintah ternyata meningkatkan ketergantungan pada pembiayaan asing dan terkurasnya berbagai kekayaan alam. Krisis global semestinya menjadi momen untuk meninggalkan kebijakan ekonomi kapitalis menjadi kebijakan ekonomi untuk meraih kemandirian dan kedaulatan ekonomi serta kesejahteraan yang lebih merata. Untuk mewujudkannya tidak ada cara lain kecuali harus melepaskan ekonomi Indonesia dari jeratan dan ketergantungan asing, baik oleh negara maupun korporasi. Kemandirian ekonomi hanya dapat diwujudkan lewat kedaulatan keuangan negara, pangan, keuangan maupun energi. Sayangnya, pembelokan sering dilakukan sehingga kedaulatan pangan tidak dengan mudah diplesetkan menjadi ketahanan pangan yang didalamnya tidak memasukkan kemandirian tetapi tetap mendasarkan pada kebijakan liberalisasi. Ketergantungan berbagai sektor Pertanyaan penting yang harus dijawab untuk meyakinkan kita sebelum memilih langkah perubahan adalah; apakah ketergantungan dan kerapuhan ekonomi Indonesia terjadi hanya karena kelemahan dalam implementasi kebijakan? Atau kesalahan dalam memilih kebijakan semata? Atau terjadi karena paradigma pembangunan yang salah? Bila kelemahan hanya terjadi pada kebijakan dan implementasinya, maka langkah perubahan yang harus dilakukan lebih mudah. Akan tetapi bila ternyata kesalahan terjadi pada pilihan paradigma, maka perubahan yang diperlukan adalah perubahan fundamental dengan berpindah jalur (track) kebijakan ekonomi Indonesia. Untuk dapat menyimpulkannya, mari kita diskusikan berbagai masalah yang menghambat terwujudnya kedaulatan dan kemandirian ekonomi Indonesia. Di bidang fiskal dan keuangan negara, dalam beberapa tahun terakhir terjadi kecenderungan pembiayaan defisit dengan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Dengan dalih, pembiayaan dalam negeri baik SUN maupun obligasi akan lebih murah dan ’tidak beresiko’ dibanding utang multilateral maupun bilateral. Tidak heran bila tim ekonomi SBY-JK terus menggenjot penerbitan SBN. Namun, argumen bahwa pembiayaan defisit seperti SBN lebih ’tidak beresiko’ terbukti tidak sepenuhnya benar karena kepemilikan asing pada SUN misalnya, terus meningkat. Bila pada tahun 2006 hanya sebesar Rp 54,9 triliun maka pada September 2008 telah mencapai Rp 105 triliun. Peningkatan yang luar biasa terjadi karena liberalisasi sektor keuangan yang dimulai tahun 1988 terus dibiarkan sehingga mendorong sektor keuangan terus menggelembung akibat masuknya hot money yang spekulatif. Terbukti, saat industri keuangan raksasa Amerika Serikat kolaps, terjadi pelarian ke luar dana-dana jangka pendek dengan cepat sehingga kepemilikan SUN asing menjadi sekitar Rp 90,7 triliun hanya dalam waktu dua minggu. Tentu saja capital outflow ini berdampak negatif pada cadangan devisa dan nilai tukar rupiah sehingga menimbulkan gejolak finansial di dalam negeri. Dengan paradigma liberalisasi sektor moneter yang dianut, pemerintah SBY-JK menjaga pelarian modal dengan menaikkan suku bunga karena langkah inilah yang disarankan IMF dua bulan sebelum terjadi krisis finansial. Pemerintah SBY-JK kemudian melanjutkan dengan langkah buy back saham untuk mendorong kembalinya 101
sektor ini. Pilihan kebijakan ini memang akan menyelamatkan kepentingan para pemilik modal tetapi memberatkan ekonomi masyarakat luas dan sangat merugikan karena dana masyarakat digunakan untuk kepentingan sekelompok kecil masyarakat pemilik kapital. Bila dirunut, langkah-langkah ini merupakan pengulangan pilihan kebijakan pemerintah pada krisis finansial tahun 1998. Saran IMF untuk menaikkan suku bunga pada tahun 1998 akhirnya mengakibatkan keterpurukan ekonomi yang semakin dalam. Bila dengan terjadinya krisis ekonomi pemerintah berani melakukan perubahan paradigma kebijakan ekonomi baik di sektor fiskal maupun moneter, maka akan ada langkah lain yang lebih menyelamatkan ekonomi masyarakat luas. Salah satu pilihan yang dapat dilakukan adalah melakukan koreksi atas sistem devisa bebas dan sistem free floating rate pada nilai tukar adalah alternatif yang dapat dilakukan. Di sisi fiskal, pemerintah akan menggunakan dana cadangan yang dimiliki tidak untuk melakukan buy back saham tetapi untuk menyelamatkan sektor riil yang menyangkut kepentingan ekonomi masyarakat luas. Juga memanfaatkan kebijakan stimulus fiskal dengan orientasi keberpihakan kepada kepentingan nasional yang tegas seperti dilakukan China maupun Taiwan, maupun AS yang mewajibkan stimulus fiskal digunakan untuk membeli produk AS. Pemerintah seharusnya melakukan pemangkasan defisit anggaran untuk menutup peluang masuknya pinjaman IMF/Bank Dunia sebagaimana terjadi pada tahun 1998. Namun sebaliknya, pemerintah SBY-JK dengan tim ekonomi yang menganut paradigma konservatif ala IMF/Bank justru berusaha menaikkan defisit hingga 3 persen dari APBN sesuai batas maksimal. Penerbitan SBN yang tidak akan tercapai karena pasar finansial semakin ketat akan diganti dengan penambahan utang luar negeri sejalan dengan Konsensus Washington. Di bidang pangan, Indonesia bahkan telah masuk pada food trap (perangkap pangan) negara maju dan kapitalisme global. Tujuh komoditas pangan utama nonberas yang dikonsumsi masyarakat sangat bergantung pada impor. Empat dari tujuh komoditas pangan utama nonberas, yakni, gandum, kedelai, daging ayam ras, dan telur ayam ras, sudah masuk kategori kritis. Meningkatnya ketergantungan pangan dapat dilihat dari naiknya volume impor pangan dalam bentuk komoditas maupun benih atau bibit. Impor kedelai dalam lima tahun terakhir (2003-2007) rata-rata 1.091 juta ton atau mencapai 60,5 persen dari total kebutuhan. Untuk daging ayam ras, meskipun sebagian besar ayam usia sehari (day old chicken/DOC) diproduksi di dalam negeri, tetapi super induk ayam dan induk ayam diimpor dari negara maju. Ketergantungan pada impor juga terjadi pada susu, sehingga setiap tahun 70 persen kebutuhan diimpor dalam bentuk skim. Ketergantungan pangan yang parah sebenarnya merupakan buah dari berbagai persyaratan kebijakan liberalisasi dari IMF yang dituangkan dalam Letter of Intent (LoI) di bidang pertanian sejak tahun 1998-2005. Akibatnya, peran pemerintah Indonesia untuk menciptakan kedaulatan pangan menjadi sangat kecil. Ini sangat berkebalikan dengan negara-negara maju dimana peran negara di sektor pertanian sangat besar sehingga produksi dan perdagangan pangan dunia memang semakin terkonsentrasi ke negara-negara maju. Untuk menguasai pasar produk pertanian negara berkembang, termasuk Indonesia, pemerintah di negara-negara maju melakukan politik dumping. AS dan Uni Eropa, misalnya, memberikan subsidi pertanian agar komoditas yang dihasilkan para petani mereka dapat memenangi persaingan di pasar dunia. Itulah 102
sebabnya perusahaan multinasional (MNCs) pun bertambah kuat dengan penguasaan industri hulu (sarana produksi pertanian) seperti benih atau bibit, pupuk, dan pestisida, maupun industri hilir (pertanian) seperti dalam industri pengolahan pangan. Sayangnya dengan paradigma neoliberal dan pasar bebas yang diadopsi, hingga hari ini tidak ada kebijakan pemerintah SBY-JK yang secara tegas menghentikan ketergantungan Indonesia di bidang pangan. Di bidang industri manufaktur tetap memiliki ketergantungan terhadap bahan impor yang tinggi dan menghadapi pasar dalam negeri yang semakin sempit. Sebagai contoh, bila pada tahun 2005 total konsumsi garmen nasional baru sebesar 846 ribu ton (2005), maka pada tahun 2007 telah mencapai 1220 ribu ton. Namun, dari jumlah tersebut 77% dikuasai oleh produk impor dan hanya 7% yang merupakan impor legal sedangkan selebihnya (70%) merupakan impor ilegal. Hal yang sama terjadi pada indusri sepatu yang menurut Aprisindo saat ini 60-70% pasar domestik sepatu berkualitas rendah dengan teknologi sederhana dikuasai produk Cina. Contoh lain adalah produk furnitur dari rotan dimana saat ini Indonesia telah beralih menjadi importir furniture rotan dari Cina. Ironisnya bahan baku furniture rotan Cina sepenuhnya diimpor dari Indonesia akibat pembebasan ekspor rotan mentah. Kondisi tersebut terjadi karena Indonesia terlalu agresif untuk bergabung dengan berbagai perjanjian perdagangan bebas. Sebagai akibatnya, penurunan hambatan tarif dan non tarif pada berbagai produk dilakukan dengan mudah tanpa perencanaan dan pertimbangan kepentingan nasional yang matang. Bila Indonesia menginginkan untuk menjadi negara mandiri dan berdaya saing, keunggulan produksi rotan yang melimpah di Kalimantan tidak disikapi dengan mengeluarkan kebijakan pembebasan ekspor hanya karena volume kebutuhan sentra furniture di Jawa sedikit. Semestinya, pemerintah melakukan campur tangan aktif untuk memunculkan sentra-sentra UKM mebel rotan baru di Kalimantan sehingga nilai tambah yang diterima Indonesia semakin besar dan akan memunculkan satelit-satelit ekonomi baru di luar Jawa untuk mengurangi kesenjangan. Semakin jelas bahwa ketergantungan, ketidakmandirian dan rendahnya daya saing sektor industri lebih diakibatkan oleh pilihan paradigma neoliberal di bidang perdagangan luar negeri yang sangat ugal-ugalan, bukan sekadar kesalahan implementasi. Langkah hands-off policy (kebijakan lepas tangan) dalam penciptaan lapangan kerja mengakibatkan para penganggur yang sebagian besar (56%) pendidikan tertinggi setingkat SD, tidak dapat bersaing bebas di pasar tenaga kerja. Aamanah konstitusi pasal 27 ayat 2 yang memberikan tanggung jawab pada negara untuk menjamin setiap warga negara memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak sudah jauh ditinggalkan. Bila pemerintah meninggalkan prinsip mekanisme pasar dalam menyelesaikan pengangguran, maka akan banyak langkah nyata yang dapat dilakukan untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat kelompok bawah. Dengan dana APBN yang saat ini cukup besar, pemerintah dapat secara aktif menciptakan lapangan kerja lewat program kemandirian pangan yang dilakukan dengan strategi import substitution. Program ini menghilangkan ketergantungan pangan impor sekaligus dapat menciptakan lapangan kerja dan membangun masyarakat di wilayah pedesaan.
103
Ketergantungan di sektor energi merupakan kasus lain yang akan menunjukkan betapa paradigma ekonomi telah mengakibatkan pengelolaan sumber daya alam (SDA) merugikan rakyat Indonesia. Pengabaikan terhadap pasal 33, mengakibatkan penguasaan SDA, antara lain migas sebesar 85,4% oleh asing sehingga rakyat tidak dapat memperoleh manfaat besar dari kekayaan migas. Penguasaan oleh asing mengakibatkan negara tidak lagi memiliki tangan untuk menjamin harga dan pasokan energi bagi rakyat. Kondisi ini juga mengakibatkan negara kehilangan kesempatan untuk memperoleh pembiayaan pembangunan dari penerimaan dari SDA serta mengakibatkan hilangnya kesempatan Indonesia menjadi negara industri yang berdaya saing tinggi dengan dukungan SDA. Realitas tersebut tentu terjadi bukan sekadar kesalahan dalam implementasi kebijakan sehingga mengakibatkan inefisiensi atau korupsi tetapi lebih diakibatkan oleh pilihan kebijakan ekonomi neoliberal. Paradigma yang salah ini pula lah yang kemudian mendorong munculnya berbagai undang-undang SDA baik UU Migas, UU Air, UU Penanaman Modal, untuk mendorong liberalisasi SDA. Mewujudkan kemandirian ekonomi Masih banyak ketergantungan dan keterbelakangan ekonomi akibat kebijakan yang salah. Semakin jelas bahwa kedaulatan dan kemajuan ekonomi tidak mungkin diraih tanpa merubah paradigma. Namun, langkah menuju kemandirian energi, mengharuskan pemerintah melakukan renegosiasi kontrak-kontrak pertambangan dan mengembalikan penguasaan SDA kepada negara. Tentu saja diperlukan political will dan keberanian untuk membatalkan berbagai UU di bidang SDA. Padahal kita tahu bahwa revisi atau pembatalan berbagai UU yang sarat kepentingan negara dan korporasi asing, tentu akan menhadapi penolakan yang luar biasa baik dari negara dan korporasi yang berkepentingan. Tantangan besar lainnya akan muncul dari para komprador yang menjadikan tatanan global sebagai referensi kebijakan ekonomi Indonesia. Bukan kepentingan nasional bahkan bukan konstitusi. Ternyata jalam baru ekonomi memang harus ditempuh. Namun, kesadaran masyarakat tidak akan berarti banyak bila tidak ada pemimpin yang memiliki semangat sama. Padahal untuk melakukan perubahan tersebut tidak akan sulit asal Indonesia memiliki pemimpin yang bersungguh-sungguh akan melakukan perubahan, berani mengambil resiko untuk mewujudkannya dan paham langkah-langkah strategis yang seharusnya dilakukan. Akankah Indonesia menemukannya di tahun 2009?
104
-23-
PENGEMBANGAN ALTERNATIF SOSIO-EKONOMI DAN POLITIK MENUJU INDONESIA BERDAULAT Oleh : Henry Saragih21 Pendahuluan Sepanjang tahun 2008 dunia dipenuhi oleh munculnya berbagai macam krisis, seperti krisis pangan, krisis iklim, krisis energi dan akhirnya memuncak menjadi krisis finansial global. Tidak salah bila dunia tengah mengalami sebuah krisis multi dimensi, terlebih apalagi kita masukan di dalamnya adanya krisis yang diakibatkan oleh perang. Munculnya krisis multi dimensi tersebut tidak ayal memunculkan sebuah pertanyaan kritis, mengapa justru krisis yang muncul karena selama ini yang dijanjikan adalah pertumbuhan ekonomi dan perbaikan tingkat kehidupan khususnya buat rakyat kecil. Sejumlah pertemuan tingkat tinggi di dunia sudah menyatakan mengenai target untuk penurunan kemiskinan dan kelaparan. Bahkan juga telah ada kesepakatan untuk mengurangi emisi agar perubahan iklim yang berpotensi pada kerusakan lingkungan yang masih tidak terjadi. Namun nyatanya krisis lingkungan terjadi dimana-mana. Akhirnya krisis keuangan global justru menghantam paling awal negara-negara maju yang menjadi simbol kapitalisme di dunia, Amerika Serikat dan Uni-Eropah. Padahal kiblat dari kapitalisme di dunia ada di sana. Bukti empiris berupa krisis telah mengakibatkan kapitalisme kehilangan legitimasi, moralitas yang ditutupi terkoyak. Namun bukan berarti kapitalisme yang jahat berakhir, langkah penyelamatan kini justru tengah ditempuh. Sejumlah solusi palsu ditawarkan. Pertemuan antar negara-negara maju dan pendukung kapitalisme digelar. Indonesia pun dianggap sebagai partner setia. Sangat aneh namun nyata, karena rakyat dicekoki oleh pujian-pujian palsu yang diberikan oleh negara maju kepada pemerintah. Nyatanya bangsa Indonesia terlampau banyak memiliki kaum pandai dan pemimpin palsu yang cuma bisa memimpikan Indonesia menjadi seperti negara maju, tanpa mengerti arti kemajuan yang sesungguhnya. Mereka tahunya jika Indonesia mengikuti nasehat negara-negara maju, utamanya melalui lembaga-lembaga internasional yang dikendalikannya, Indonesia juga akan bakal maju. Padahal kemajuan negara-negara di utara sebagian besar dari kegiatan mengeksploitasi atas bangsa lain. Tiada aneh jika Indonesia tiada pernah mencapai kemajuan yang diimpikan tanpa menyadari adanya eksploitasi tersebut. Sekali lagi aneh tapi nyata. Kita telah diwarisi sebuah cita-cita sebagai bangsa yang radikal dan revolusioner seperti tertuang dalam pembukaan konstitusi UUD 1945. Tetapi justru mentalitas pemimpin dan kaum pandai tidak lebih dari mentalitas jongos. Dipuji akan menuju kemajuan, sambil ditipu supaya kekayaan alam diserahkan. Rakyat 21 Henry Saragih adalah Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) dan Koordinator Umum Gerakan Petani Internasional La Via Campesina.
105
dibiarkan hanya sebagai bangsa pembeli yang konsumtif, agar investor bisa tumbuh dan lolos dari krisis. Pemimpin kita gila rayuan bahwa Indonesia akan bisa modern seperti Eropah dan Amerika Serikat, lalu kebudayaan yang luhur digantikan dengan kebudayaan eksplotatif yang merusak lingkungan. Kita yang telah memiliki kesadaran bahwa bangsa Indonesia tengah digiring ke kerangkeng penghisapan bangsa-bangsa maju di dunia tidak bisa cuma diam berpangku tangan menyerah pada keadaan. Gajah adalah binatang yang kuat, tetapi ribuan dan jutaan semut yang memiliki kesadaran untuk menghentikan penghisapan dan kesewenang-wenangan bisa mengalahkan. Kita yang tersadarkan harus membangun gerakan. Kita bukan hendak meminta jabatan, tetapi kita tengah mengorbankan semua yang kita punya untuk perjuangan. Jangan kita larut dengan kegegap-gempitaan reformasi yang telah berjalan sepuluh tahun terakhir, sesaat setelah bangsa mengakhiri rejim totalitarian. Reformasi tidak mengantar kita pada munculnya gerakan pengorbanan, tetapi munculnya gerakan untuk mencari jabatan. Akibatnya bangsa Indonesia yang terkenal oleh jiwa pengorbanan justru kini berubah menjadi bangsa bangsa maling, begal, pencuri yang mencari kesempatan dalam kelengahan dan mengambil hak rakyat jelata untuk kepentingan pribadi. Hari ini di Indonesia para pemimpin telah melupakan bahwa belum pernah ada peradaban dan kebudayaan besar dan luhur di dunia yang dapat mencapai kemajuan dengan mencuri dan korupsi. Dalam sejarah kebudayaan yang tinggi dan perjuangan untuk mendapatkan kedaulatan rakyat yang selalu ada adalah adanya pengorbanan jiwa dan raga. Kita harus mengorbankan jiwa raga kita untuk mencapai kemajuan bangsa. Petani dan rakyat kebanyakan telah lama mengorbankan jiwa raganya, tinggal kita yang harus ikut mendorong semakin banyak jiwa-jiwa yang mengorbankan dirinya.
Krisis Multi Dimensi Pertama, krisis pangan muncul di awal tahun 2008 dengan melonjaknya harga pangan di banyak negara di dunia, termasuk di Indonesia. Bahkan di beberapa negara berlanjut dengan munculnya food riot, yaitu berupa munculnya kerusuhan, demonstrasi karena rakyat tidak lagi mampu untuk membeli pangan dan pangan hilang dari pasar. Dalam waktu cukup singkat harga pangan meningkat dengan sangat tajamnya. Sebuah kejadian yang belum pernah terjadi dalam sejarah pangan di dunia dalam 20-30 tahun terakhir. Bahkan dalam 20-30 tahun terakhir ini dunia mengalami penurnan harga pangan dan pertanian. Penyebab utama dari krisis pangan di dunia ini ternyata adalah menurunnya kedaulatan pangan dari negara-negara di dunia, khususnya di tingkat petani dan pemerintah. Petani tidak lagi mengontrol produksi ataupun stok dari pangan. Pun demikian dengan pemerintah. Pangan menjadi sangat tergantung dari pasokan di pasar internasional, dimana hanya segelintir perusahaan agribisnis pangan yang menguasainya. Melemahnya kedaulatan pangan ini tidak hanya terjadi di negara yang tidak memiliki kesuburan tanah pertanian, tetapi justru juga terjadi di negara yang memiliki kekayaan alam, bahkan juga kejayaan pertanian. Mexico sebagai sebuah negara tempat asal dari 106
jagung di dunia awal tahun 2008 justru mengalami krisis pangan yang sangat parah. Bahkan negeri penghasil jagung tersebut mengalami apa yang disebut sebagai crisis tortilla. Penyebab utamanya adalah pelaksanaan North America Free Trade Areas (NAFTA) telah mengakibatkan pangan-pangan bersubsidi ekspor dari Amerika Serikat menyerbu ke Mexico, mengakibatkan banyak petani mengalami kerugian. Dalam rentang waktu lebi dari 10 tahun akhirnya Mexico pun tergantung dari pasokan pasar internasional yang dikuasai oleh perusahaan besar. Hal ini sangat mirip dengan apa yang terjadi di Indonesia sebagai salah satu negara penghasil kelapa sawit tersebar di dunia yang juga mengalami krisis minyak goreng. Masalah utamanya adalah karena perusahaan-perusahaan besar pengolahan sawit menjual produknya di pasar internasional dari pada ke pasar nasional. Meningkatnya kontrol perusahaan agribisnis swasta termasuk trans-nasional pada beberapa pangan strategis seperti daging ayam, susu, daging sapi, gandum adalah merupakan pertanda bahwa Indonesia masih potensial untuk masuk dalam krisis pangan yang lebih besar. Terlebih bila melihat dari meningkatnya konversi lahan-lahan pertanian subur menjadi areal perumahan dan zona industri, termasuk dikonversi menjadi lahan-lahan terlantar untuk tujuan spekulasi. Tiadanya visi pemerintah untuk membangun pertanian rakyat, dan membiarkan perusahaan besar termasuk perusahaan asing menguasai sektor pangan adalah pertanda bahwa krisis pangan bisa segera datang lagi. Kedua, Dunia tidak hanya dihantui oleh krisis iklim, tetapi sudah mulai merasakan dampak langsung dari krisis iklim. Menurut catatan Karim (2009) beberapa bentuk krisis iklim yang berdampak di sektor perikanan dan kelautan ditunjukan dalam beberapa fenomena seperti: Pertama, Kenaikan suhu air laut, mempengaruhi ekosistem terumbu karang yang menjadi fishing ground dan nursery ground ikan yang hidup di wilayah itu. Ikan – ikan yang hidup di daerah karang akan mengalami penurunan populasi. Hasil penelitian Ove Hoegh-Guldberg yang dipublikasikan di jurnal Science edisi Desember 2007 meramalkan bahwa akibat pemanasan global pada tahun 2050 akan mendegradasi 98 % terumbu karang dan 50 % biota laut. Bahkan, memprediksikan apabila suhu air laut naik 1,5 0C setiap tahunnya sampai 2050 akan memusnakan 98 % terumbu karang di Great Barrier Reef, Australia. Kedua, terputusnya rantai makanan. Gretchen Hofmann (2008), Professor Biologi, dari University of California, Santa Barbara menjustifikasi bahwa akibat pemanasan global (peningkatan suhu dan keasaman) akan berdampak pada hilangnya rantai makanan yang berperan sebagai katastropik yakni organisme pteropoda. Naiknya permukaan laut juga akan menggenangi wilayah pesisir sehingga akan menghancurkan tambak-tambak ikan dan udang di Jawa, Aceh, Kalimantan dan Sulawesi. (UNDP,2007). Ketiga, perubahan iklim global juga menyebabkan cuaca yang tidak menentu dan gelombang laut yang tinggi disertai badai/angin topan. Di 107
Maluku, misalnya, nelayan amat sulit memperkirakan waktu dan lokasi yang sesuai untuk menangkap ikan karena pola iklim yang berubah. Sementara di sektor pertanian perubahan iklim mengakibatkan berubahnya sistem kalender tanam tradisional yang selama ini menjadi pegangan petani, karena pergeseran musim tanam akibat perubahan iklim makro dan mikro. Beberapa tanaman tidak lagi mampu untuk mentolerir peningkatan suhu, sementara beberapa jenis hama justru meningkat karena suhu mengalami peningkatan. Akibatnya beberapa tanaman akan mengalami penurunan jumlah produksi bahkan menjurus pada gagal panen lalu berpotensi pada munculnya kelaparan besar. Sementara akibat dari munculnya pergeseran musim hujan dan kemarau mengakibatkan banjir, kemarau dan tanah longsor. Dengan kondisi infrastruktur pedesaan yang belum mengalami perbaikan selama ini, akibat dari meningkatnya potensi bencana alam oleh perubahan iklim, maka infrastruktur akan semakin rusak. Dan petani akan makin sulit dalam bertani. Kegagalan Pasar, Solusi Pasar Munculnya berbagai krisis multidimensi di dunia dan di Indonesia adalah akibat secara langsung dari fundamentalis-fundamentalis kebijakan neoliberal yang memberikan jalan pada perusahaan trans-nasional, perusahaan besar dan negara-negara maju di dunia menguasai dari perekonomian baik dalam bentuk sumberdaya alam ataupun pasar. Ketika kini sudah terbukti bahwa kapitalisme hanya mengakibatkan krisis multi dimensi, fakta yang lebih menyedihkan adalah upaya untuk melewati keluar dari krisis justru makin meningkatkan perdagangan bebas dan mekanisme pasar. Dalam persoalan krisis pangan sejumlah negara-negara maju di dunia bahkan mendorong adanya investasi perusahaan-perusahaan swasta untuk menanamkan modal di negara-negara selatan. Termasuk dengan menyukseskan putaran Doha dalam WTO.22 Sementara itu negara maju juga mengajjukan untuk melakukan program revolusi hijau di Afrika, tanpa melihat bahwa di Asia revolusi hijau telah gagal mengentaskan kemiskinan bahkan merusak lingkungan. Cukup menyedihkan bahwa posisi Indonesia pun mendorong adanya revolusi hijau. Bahkan pemerintah Indonesia pun mendorong masuknya investor asing dalam menggarap sektor pertanian. Di Papua dan Sulawesi Tenggara lahan pertanian seluas 500.000 hektar dikonsensikan kepada perusahaan dari Timur Tengah, padahal jumlah petani gurem dan petani tak bertanah meningkat jumlahnya. Meningkatnya jumlah kemiskinan di akibat dari ekpansi perusahaan-perusahaan ditanggapi dengan melakukan program pengembangan masyarakat (community development) yang dikerjakan melalui CSR (corporate social responsibility). Program semacam CSR adalah program karikatif untuk tidak meredam konflik sosial, ketika hak-hak rakyat sudah direbut.
22 hasil deklarasi konferensi FAO mengenai krisis pangan dan bioenergi di Roma, Italy pertengahan 2008.
108
Krisis iklim ditanggapi oleh negara-negara maju, termasuk juga dengan menggunakan Indonesia sebagai aliansinya untuk melancarkan agenda penyelesaian iklim yang palsu. Program perdagangan karbon adalah bentuk dari pelarian tanggungjawab perusahaan dan negara-negara yang memproduksi emisi karbon untuk terus mengemisi. Mereka tidak mau menghentikan aktivitas ekonomi mereka, bahkan sebagai gantinya mengusir petani dan masyarakat adat untuk meninggalkan hutan karena dipergunakan sebagai penyerap karbon. Bahkan perusahaan-perusahaan benih juga telah mempersiapkan beberapa jenis benih trans-genik sebagai benih yang berdaptasi dengan perubahan iklim. Tanpa menghentikan kegiatan ekonomi yang sangat mencemari lingkungan, negara-negara maju bahkan memaksa negara selatan untuk menyelesaikan persoalan lingkungan.23 Solusi Alternatif dalam Mengatasi Krisis Untuk menyelamatkan planet dan rakyat dari bencana yang lebih besar memerlukan solusi-solusi cepat yang kongkret dan radikal (mendasar). Solusi-solusi palsu yang dikembangkan bukan hanya tidak menjawab dari krisis multi dimensi tetapi juga mempercepat meledaknya krisis yang lebih dalam dan masif. Beberapa langkah cepat yang harus dilakukan misalnya adalah:
1. Memberikan Jaminan Pemenuhan Hak-Hak Dasar Dampak krisis multi dimensi (pangan, iklim, finansial, energi, dll) secara langsung dialami oleh rakyat kebanyakan dalam bentuk paling senderhana adalah kelaparan, munculnya penyakit dan kecelakaan dan tiadanya pelayanan pendidikan. Atas dampak krisis langsung ini pemerintah memiliki kewajiban untuk memenuhinya secara langsung, karena pelayanan atas hak-hak dasar tersebut adalah kewajiban dari pemerintah. Dan pemerintah tidak bisa mengalih fungsikan kewajiban yang dimilikinya ke pihak manapun termasuk swasta karena pelayan itu merupakan hak rakyat. Logika pemenuhan kebutuhan hak-hak dasar oleh rakyat tidak boleh digeser menjadi kedermawanan dari perusahaan-perusahaan kepada rakyat. Karena akibat dari merajelelanya perusahaan-perusahaan besar dalam mengambil-alih sektor-sektor ekonomi rakyatlah yang mengakibatkan rakyat kehilangan kemampuan untuk memenuhi hak-hak dasarnya. 2. Orientasi dan Visi Pembangunan Berkerakyatan dan Menegakan tercapainya Demokrasi ekonomi. Pembangunan selalu berbicara tentang kemajuan, tetapi tanpa mau memberikan kedaulatan pada rakyat untuk menguasai kekayaan alam. Tugas kita saat ini adalah membangun kesadaran disetiap kalangan bahwa pembangunan kita harus sebesar-besarnya dilakukan dan dinikmati oleh rakyat. Kita diwarisi tanah pertanian subur, laut yang melimpah dan juga hutan yang kaya raya. Atas kekayaan alam tersebut pemerintah telah melakukan pembangunan pada sektor pertanian, kelautan, kehutanan dan juga industri. Persoalannya adalah 23 Mekanisme ini adalah bagian dari negosiasi di UNFCCC, dimana posisi Indonesia di depan dalam menyukseskan REDD.
109
pembangunan pertanian, kelautan, kehutanan, dan juga industri bukan untuk dilakukan dan dinikmati manfaatnya oleh rakyat tetapi untuk kepentingan perusahaan besar dan investor asing. Tiada mengherankan bahwa dalam proses pembangunan justru rakyat mengalami kemiskinan, kelaparan, dan juga tindakan kekerasan. Visi pembangunan Indonesia sama sekali bukan untuk tercapainya sebuah kemajuan dengan berbasiskan perusahaan-perusahaan besar, tetapi justru berbasiskan pada kapasitas dari buruh tani, nelayan kecil, masyarakat adat yang mendiami hutan, dan juga buruh-buruh. Demokratisasi di Indonesia dan juga di dunia bukan untuk meminggirkan hakhak ekonomi rakyat, tetapi justru untuk memperkuatnya. Demokrasi ekonomi inilah yang tidak pernah mau dipenuhi oleh demokrasi yang sudah berumur sepuluh tahun lebih di Indonesia saat ini. Kelompok pandai yang progressif bersama dengan elemen gerakan sosial, dan kelompok buruh, petani, perempuan harus menyadari bahwa agenda demokratisasi kita adalah demokrasi ekonomi dan kerakyatan. Demokrasi ekonomi tidak bisa diraih dengan cara menjalankan demokrasi liberal, tetapi demokrasi ekonomi dapat dicapai dengan cara membangun gerakan sosial yang kokoh. Gerakan sosial memaknai demokrasi sebagai proses mendaulatkan rakyat bukan untuk memarjinalkan rakyat melalui pendaulatan kekuatan modal. 3. Menjalankan Reforma Agraria Negara memiliki kewajiban agar kekayaan alam yang ada diwilayahnya dapat didistribusikan dan dikuasai/ dikontrol oleh sebagian besar rakyat. Tanpa penguasaan kekayaan alam dan ekonomi oleh rakyat secara adil maka tiada kedaulatan yang hakiki yang seharusnya dipunyai oleh negara. Pemerintah dari sebuah negara yang tidak menjalankan reforma agraria akan tinggal menjadi boneka yang dipermainakan sekehendak hati negara-negara maju. Perjuangan reforma agraria adalah upaya untuk membongkar ketidakadilan struktur yang membuat kaum tani, nelayan, peternak, buruh tanpa memiliki faktor produksi. reforma agraria adalah dasar atau fundamental yang harus dilaksanakan untuk menjamin tiadanya penghisapan atau eksploitasi selama pembangunan dijalankan. Ketidakadilan penguasaan tanah akan membuat eksploitasi buruh tani merajelela. Demikian juga tanpa adanya reforma agraria di perairan, maka selamanya pesisir dan lautan Indonesia akan dikuasai oleh kapal-kapal asing dan nelayan-nelayan asing. Gerakan kaum tani di banyak negara, termasuk di Indonesia, sebagaimana ditunjukan oleh organisasi gerakan perjuangan petani kecil La Via Campesina telah secara konsisten melakukan perjuangan untuk mendistribusikan lahan bagi kaum tani. Langkah tersebut harus diperluas atau dimasifkan termasuk pada sektor-sektor lainnya seperti kelautan dan kehutanan.
110
Pemerintah negara-negara yang progresif senantiasa memprioritaskan pelaksanaan reforma agraria, karena memandang reforma agraria adalah bentuk pemberian kedaulatan kepada setiap rakyat. Kesadaran bahwa hakekat paling dasar dari pembangunan adalah untuk memberikan harkat dan martabat serta pada setiap keluarga dan individu membawa pemerintah progresif untuk memenuhinya. Pelaksanaan reforma agraria tidak hanya pada distribusi pada kekayaan alam, tetapi juga melalui langkah nasionalisasi atas sektor-sektor publik yang dikuasai oleh swasta baik asing ataupun nasional. Langkah nasionalisasi ini untuk diperlukan agar kehidupan ekonomi dan sosial di dalam negeri tidak didasarkan pada kekuatan modal tetapi justru jaminan pemerintah pada pelayanan kebutuhan-kebutuhan dasar. Pelayanan air bersih (minum dan irigasi), sumbersumber energi (listrik, minyak tanah, gas, BBM), pelayanan transportasi umum, adalah beberapa contoh sektor-sektor yang apabila telah diprivatisasi harus segera di nasionalisasi sebagai bentuk pelaksanaan dari reforma agraria. Pelaksanaan reforma agraria dalam bentuk nasionalisasi ini juga untuk memberikan jaminan pemenuhan hak-hak buruh yang lebih baik.
111
-24-
HALUAN BARU PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN ENERGI Oleh: Iman Sugema24
Haluan Baru Pengelolaan Sumber daya Alam Jelas bahwa Indonesia adalah satu dari sedikit negara yang dianugerahi kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Selain berperan besar dalam pencapaian kinerja pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, ketersediaan sumber daya alam dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan seluruh lapisan masyarakat dan meningkatkan kesejahteraannya. Soalnya adalah betapa lemahnya kita dalam mengelola sumber daya alam yang kita miliki. Potensi yang ada menjadi seolah-olah tak berdaya karena lemahnya pengelolaan di bidang ini. Kesalahan mendasar dalam pengelolaan sumber daya alam antara lain, pertama, paradigma dan orientasi ekonomi yang mendominasi pengelolaan sumber daya alam, menjadikan pengelolaannya mengabaikan aspek sosial dan kelestarian lingkungan. Ekspor berbagai komoditas sumber daya alam dilakukan dengan mengabaikan pasokan untuk suplai dalam negeri dan kegiatan eksploitasi yang mengabaikan praktek-praktek yang ramah lingkungan. Kebijakan dan perilaku ekspor seperti ini tidak ada bedanya dengan sikap dasar VOC yang mengeksploitasi dan mengekspor sumberdaya alam Indonesia. Kedua, lemahnya pengawasan dan penegakan hukum yang mengakibatkan terjadinya perampokan sumber daya alam semakin marak. Kejahatan ini dilakukan tidak saja oleh bangsa Indonesia sendiri tetapi juga oleh pihak asing. Selain menimbulkan dampak kerusakan lingkungan, negara juga mengalami kerugian secara finansial yang tidak sedikit. Ketiga, pengelolaan sumber daya alam yang tidak bertujuan untuk kemakmuran seluruh masyarakat, tetapi mengabdi pada kepentingan tertentu, terutama kepentingan asing. Kontrak-kontrak kerja pengelolaan sumber daya alam yang terjadi selama ini lebih menguntungkan kontraktor asing yang notabene menguasai sebagian besar sumber daya alam Indonesia, khususnya bahan tambang dan mineral. Pemerintah tidak memiliki kekuatan yang dapat memaksa asing untuk berpihak pada kepentingan domestik. Keempat, kurangnya insentif untuk mendukung penciptaan nilai tambah komoditas primer sumber daya alam. Ekspor yang selama ini dilakukan lebih banyak pada komoditas-komoditas primer yang memiliki nilai ekonomi yang kecil. Kelima, pengelolaan sumber daya alam tidak terlepas dari kondisi sosial politik di tanah air termasuk, soal konflik kepentingan di antara berbagai pihak. Desentralisasi pemerintahan menimbulkan potensi konflik kepentingan antara daerah dan pusat.
24
Direktur InterCAFE-IPB dan ekonom Tim Indonesia Bangkit
112
Belum lagi konflik antar departemen teknis terkait, konflik antar masyarakat serta antara masyarakat dan pemerintah. Dari uraian itu kita perlu membenahi kesalahan pengelolaan sumbardaya alam : 1. Perubahan paradigma pengelolaan sumber daya alam sehingga konsisten dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3, sumber daya alam seharusnya “dikuasai” oleh negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal ini perlu kita cermati bersama, kata “dikuasai” memiliki arti yang berbeda dengan “dimiliki”. Dikuasai berarti pemerintah diberikan mandat terhadap suatu komoditi yang dimiliki oleh masyarakat. Oleh karena itu, segala keputusan yang terkait dengan sumber daya alam haruslah menggunakan azas “manfaat dan dampak untuk kemakmuran rakyat” sebagai pertimbangan utama. Kata “dikuasi” dengan rujukan mandat rakyat mempunyai muatan bahwa Pemerintah memiliki kewenangan meregulasi, mengatur pelaksanaan, mengurus, dan mendayagunakan. Empat hal ini diukur dengan makin meningkatnya kesejahteraan masyarakat dan makin bermartabatnya bangsa dalam pergaulan dunia. Jika meregulasinya tapi isinya malah menjungkir balikkan makna konstitusi yang sesungguhnya, maka yang terjadi adalah kemelaratan dan sirnanya martabat bangsa. Sumber daya alam dan sumber daya manusia sepantasnya menjadi amanat penyelenggaraan pemerintahan agar penjajahan dengan segala bentuknya hapus dari muka bumi Indonesia. 2. Perubahan orientasi pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi. Daya dukung sumber daya alam yang terbatas menjadikan kualitas pertumbuhan ekonomi yang juga semakin buruk. Pengelolaan sumber daya alam harus memperhatikan keseimbangan antara kepentingan ekonomi, sosial dan kelestarian lingkungan. 3. Peningkatan pengawasan dan penegakan hukum bagi pelaku-pelaku perampokan sumber daya alam Indonesia. Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum diantaranya disebabkan ketersediaan sumber daya yang terbatas. Luasnya perairan Indonesia membutuhkan armada laut yang memadai dari sisi jumlah dan kualitasnya. Belum lagi aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi kekuatan malah berperan sebagai “pelindung’ aktivitas perampokan. 4. Adanya penyesuaian jika perjanjian kerjasama yang disetujui ternyata menimbulkan dampak yang merugikan masyarakat diantaranya dengan melakukan “re-negoisasi”. Perjanjian haruslah menguntungkan kedua belah pihak, dan yang seharusnya mendapatkan untung paling besar adalah yang memiliki sumber daya alam tersebut, yakni rakyat Indonesia. 5. Mendorong penciptaan nilai tambah komoditas sumber daya alam. Hal ini bisa dilakukan melalui insentif dan aturan yang mewajibkan industri pengelolaan sumber daya alam untuk melakukan proses pengolahan lanjutan di dalam negeri sebelum melakukan ekspor. 6. Membangun pohon industri (Industrial Tree) sehingga BUMN-BUMN yang sesungguhnya bertalian tidak bergerak sendiri-sendiri tanpa cetak biru industry di Indonesia. Selain membutuhkan sosok yang memiliki integritas dan kredibilitas, bukan penikmat apalagi penjilat, direksi dan komisaris BUMN layak dipandang dalam mata rantai struktural kebijakan ekonomi nasional. 113
Tekanan asing yang tidak menghendaki Indonesia berdaulat secara ekonomi, harus dihadapi dengan diplomasi dan kerjasama ekonomi politik. 7. Mengurangi konflik kepentingan antar berbagai pihak dengan membuat mekanisme dan aturan yang jelas mengenai status kepemilikan dan pemanfaatan sumber daya alam. Dengan begitu kita membuka ruang dilaksanakannya ekonomi konstitusi secara benar, proporsional, dan profesional. Sebaliknya, kita mencegah kebijakan yang memanipulasi atau malah menyimpangkan konstitusi untuk atas nama prinsip-prinsip ekonomi yang bertentangan dengan modal sosial dan modal kultural bangsa. Haluan Baru Pengelolaan Energi Indonesia merupakan salah satu dari sedikit negara yang dikaruniai dengan sumber daya energi yang sangat melimpah. Cadangan energi fosil, terutama batubara masih sangat melimpah. Jenis energi abadi terutama air dan panas bumi baru sekitar 5 persen saja yang termanfaatkan. Energi angin, matahari dan gelombang laut sama sekali belum dimanfaatkan. Kesalahan terletak pada cara kita, mengelola, memanfaatkan dan mengkonsumsi energi. Sebelum kita membahas pembenahan di sektor energi, ada baiknya kita mengambil saripati dari berbagai permasalahan yang dihadapi. Dari pembahasan di atas, setidaknya ada tujuh kesalahan mendasar dalam pengelolaan energi. Pertama, Indonesia terlalu banyak menggunakan energi yang mahal harganya yakni BBM baik untuk rumah tangga, industri maupun pembangkitan listrik. Rakyat dipaksa terbiasa menggunakan minyak tanah, solar dan bensin sehingga beban subsidi menjadi membengkak. PLN terlalu banyak menggunakan BBM padahal unit cost pembangkit listrik tenaga diesel adalah dua setengah kali lipat dari harga listrik di tingkat konsumen. Otomatis PLN harus disubsidi. Kedua, kita juga terlalu banyak menggunakan minyak bumi yang produksinya di dalam negeri tidak lagi mencukupi permintaan domestik. Akibatnya, kita harus menggantungkan diri jenis energi yang ketersediaannya sangat ditentukan oleh pihak luar. Harga minyak bumi yang harus ditanggung oleh negara dan pelaku usaha juga harus mengikuti harga internasional yang sangat berfluktuasi secara tajam. Harga energi sangat menentukan daya saing sebuah negara dan ketika harga energi harus mengikuti harga internasional maka kita tidak lagi bisa memanfaatkan perbedaan harga sebagai alat untuk menciptakan daya saing. Ketiga, kita juga terlalu banyak mengekspor jenis energi yang harganya murah yakni gas dan batubara. Ini menimbulkan dua implikasi penting yakni: (1) kita membiayai impor yang harganya mahal dengan cara mengekspor lebih banyak energi yang harganya murah, dan (2) kita membuat negara lain mampu memanfaatkan energi murah yang pada gilirannya mereka memiliki daya saing industri yang lebih baik karena unit cost energinya lebih rendah dibanding kita. Keempat, kita terlalu banyak menggunakan jenis energi yang kesinambungan dan ketersediaannya paling tipis sementara energi yang pasokannya lebih melimpah justru lebih sedikit dimanfaatkan. Cadangan minyak bumi semakin menipis dan akan habis dalam 20 tahun mendatang. Kalau ini keadaan ini terus dibiarkan berlangsung, maka impor minyak bumi akan semakin membengkak dan akibatnya kita akan semakin tergantung pada pasokan energi dari luar negeri. Hal ini tentunya tidak menjamin stabilitas dan kesinambungan pasokan energi domestik. 114
Kelima, Indonesia terlalu menggunakan sumber energi yang tak terbarukan padahal jenis energi terbarukan belum sepenuhnya dimanfaatkan. Potensi terbesar pemanfaatan energi terbarukan yaitu panas bumi, tenaga hidro, tenaga matahari, tenaga ombak dan angin belum dimanfaatkan sepenuhnya untuk tenaga listrik. Jenis energi ini memang tidak bisa langsung digunakan untuk menggerakan mesin kendaraan bermotor maupun pabrik. Tetapi permintaan listrik dimasa yang akan datang tampaknya akan berkembang jauh lebih pesat dengan semakin umumnya penggunaan kendaraan bertenaga listrik dan alat-alat rumah tangga yang memerlukan energi listrik. Karena itu, penyediaan energi listrik harus diupayakan dalam jumlah yang lebih berlimpah dan dengan biaya yang relatif murah. Pada umumnya, energi terbarukan merupakan jenis energi yang relatif murah walaupun biaya investasinya relatif tinggi. Keenam, ternyata pemerintah tidak pandai dalam mengatur dan mengendalikan perusahaan kontraktor di sektor energi sehingga terjadi penggelembungan biaya investasi dan operasional. Di sektor migas, para kontraktor menggelembungkan cost recovery. Bahkan biaya untuk menyewa DVD sekalipun dibebankan kepada negara. PLN juga harus menanggung dosa-dosa masa lalu akibat penggelembungan biaya investasi pembangkit tenaga listrik. Ketujuh, hampir tidak ada visi untuk membesarkan pelaku domestik di bidang energi yang bisa bersaing dengan pelaku asing dan memiliki governance yang unggul. Padahal industri energi merupakan industri yang padat modal sehingga akumulasi modal secara domestik merupakan bagian penting dari pembentukan daya saing. Ketujuh kesalahan tersebut merupakan the seven original sin yang harus dikoreksi mulai dari sekarang. Karena itu, pengelolaan di sektor energi harus dibenahi secara lebih mendasar untuk mencapai tiga tujuan utama kedaulatan energi nasional yakni kecukupan pasokan, harga yang terjangkau dan kesinambungan. Untuk mengamankan pasokan dalam negeri maka penggunaan energi harus di ubah. Beberapa langkah terobosan harus dilakukan yakni sebagai berikut: 1. Yang paling pertama harus dilakukan adalah mengubah paradigma pengelolaan sektor energi sehingga sesuai dan konsisten dengan amanat yang terkandung dalam UUD 45 pasal 33. Ini tentunya membutuhkan perubahan mind set di lingkungan para pengambil keputusan. Kebijakan harus dilihat sebagai sebuah mekanisme untuk menjalankan amanat tersebut secara seutuhnya, tidak terpenggal-penggal. Amanat tersebut jelas memiliki dua kata kunci yakni penguasaan negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dalam konteks paradigma kebijakan yang dianut sekarang ini, keduanya jelasjelas tidak tercapai. Pokok permasalahannya ada dalam liberalisasi yang tidak terukur dimana mekanisme pasar tidak diarahkan untuk menjamin bahwa sumber daya energi digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dengan struktur industri energi yang didominasi oleh para pelaku besar dan yang dekat dengan kekuasaan maka yang tercipta adalah mekanisme pasar yang menguntungkan perusahaan besar dan sebaliknya merugikan rakyat. Kekuatan raksasa energi dunia yang berkolaborasi dengan kekuatan politik telah mengakibatkan subordinasi terhadap rakyat yang mencekik. Karena itu, mekanisme pasar harus diletakan dalam posisi yang benar yaitu yang bisa menjamin bahwa negara tetap bisa menguasai sumber daya energi dan rakyat dapat menikmati kemakmuran dari pengelolaan energi. Dalam hal ini, kebijakan tidak hanya cukup bila tujuannya adalah menciptakan situasi yang 115
market friendly. Tetapi lebih jauh lagi kebijakan harus ditujukan untuk menciptakan people friendly market atau pasar yang bersahabat dengan rakyat. Dalam konteks ini, mekanisme pasar hanya merupakan sebuah “jalan” agar rakyat dapat menikmati kesejahteraan yang tercipta dari pengelolaan sumber daya energi. Untuk itu, kita harus mengerti betul dengan apa yang dimaksud dengan penguasaan oleh negara. Negara sebagai pemegang kuasa yang diamanatkan oleh konstitusi harus mengutamakan kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Kalau perlu ada subsidi, maka subsidi tidak boleh dipendang sebagai barang haram. Kalau keamanan pasokan domestik terganggu, maka negara harus mendahulukan kepentingan domestik. Tak ada lagi alasan bahwa kontrak ekspor lebih penting dibanding ketersediaan gas dan batubara untuk memenuhi kebutuhan domestik. Berikut ini adalah beberapa langkah untuk mengejawantahkan amanat dari UUD 45. 2. Masalah pertama yang harus dipecahkan adalah mengubah energy mix atau bauran energi. Masyarakat dan dunia usaha terpaksa mengkonsumsi jenis energi yang mahal, harus diimpor, ketersediaannya relatif terbatas, kurang berkesinambungan dan tidak ramah lingkungan. Penggunaan energi di tahun 2015 nanti harus diarahkan kepada jenis energi yang murah, tersedia secara domestik dalam jumlah yang cukup, cadangan yang tersedia masih lama masa habisnya, dan lebih ramah lingkungan. Skenario yang paling mungkin adalah mengurangi konsumsi BBM sampai sama dengan produksi domestik yakni 950 ribu barrel per hari. Penggunaan BBM harus secara drastis dikurangi dan mengalihkan penggunaanya ke gas, batubara, dan energi abadi. Konsumsi rumah tangga dan transportasi bisa dialihkan sebagian ke gas dan energi listrik. Konsumsi energi industri bisa dialihkan ke gas, batu bara dan listrik. Energy mix untuk pembangkit listrik bisa dialihkan sepenuhnya ke panas bumi, air, batubara dan gas. Strategi ini akan memecahkan beberapa masalah secara sekaligus yakni: (1) mengurangi tekanan subsidi terhadap anggaran, (2) menghemat devisa karena tidak harus mengimpor energi yang harganya mahal, (3) mengurangi ketergantungan terhadap pasokan internasional, dan (4) lebih dapat menjamin pasokan energi secara domestik dalam jangka panjang. 3. Operating strategy yang paling mungkin dilaksanakan adalah mengalihkan penggunaan BBM ke gas, batubara, air dan panas bumi. Logikanya sederhana saja. PLN adalah BUMN yang kebijakan penggunaan energinya dapat diarahkan sepenuhnya oleh pemerintah. Pada tahun 2015 nanti, seharusnya tidak ada lagi penggunaan BBM untuk pembangkit listrik. Waktu tujuh tahun adalah cukup untuk secara bertahap membangun pembangkit listrik baru sehingga energy mix di sektor kelistrikan akan terdiri dari panas bumi (20%), air (20%), gas (30%) dan batubara (30%). Pada tahun 2015 nanti dibutuhkan sekitar 50 GW yang membutuhkan gas sebanyak 880 miliar kaki kubik dan batubara sebanyak 44 juta ton setiap tahun. Investasi yang dibutuhkan selama tujuh tahun mendatang adalah sekitar USD 53 milyar yang terdiri dari USD 33 milyar untuk instalasi pembangkit, USD 10,7 milyar untuk jaringan transmisi dan USD 9,3 milyar untuk distribusi. Dengan kata lain setiap tahunnya harus ada dana Rp 88 triliun yang disiapkan untuk investasi sektor kelistrikan. Hal ini bisa sepenuhnya ditopang oleh sumber keuangan domestik karena hanya mencakup 1,6 persen dari PDB yang tentunya jauh lebih kecil dibandingkan dengan gross domestic saving yang biasanya mencapai di atas 30 persen dari 116
PDB. Pendanaan proyek kelistrikan ini bisa dilakukan sepenuhnya melalui mekanisme komersial dengan dibentuknya Bank Infrastruktur. Strategi ini menyelesaikan beberapa masalah sekaligus yakni: (a) menghilangkan penggunaan BBM untuk listrik sehingga tidak bersaing dengan penggunaan BBM untuk keperluan lainnya dan (b) menekan ongkos produksi listrik. Dengan harga sekarang biaya energi per KWh untuk PLTD adalah USD 10,5 cent sedangkan tarif listrik hanya USD 4,5 cent. Bandingkan dengan PLTU dan PLTP yang biaya energinya hanya 2,52 cent dan 2,25 cent per KWh. Dengan mengubah bauran energi maka kelak PLN tidak lagi harus disubsidi. 4. Strategi berikutnya adalah mengubah bauran energi di tingkat rumah tangga dan industri kearah energi yang lebih murah dan lebih banyak ketersediaannya secara domestik yaitu gas dan batubara. Penggunaan BBM memang tidak bisa dihilangkan dan justru kemungkinan akan meningkat sesuai dengan peningkatan pendapatan. Dari yang tadinya berjalan kaki sekarang punya motor, dari yang tadinya menggunakan transportasi umum sekarang lebih suka naik mobil pribadi. Penggunaan energi oleh masyarakat dan industri tidak bisa sepenuhnya diatur oleh negara dan keputusannya dibuat oleh masing-masing individu. Oleh karena itu yang bisa dilakukan adalah menciptakan sistem insentif dan disinsentif agar konsumsi energi mengarah ke yang lebih murah dan ketersediaanya lebih berkesinambungan. Beberapa sistem insentif/disinsentif yang mungkin dilakukan adalah: (a) pajak kendaraan bermotor yang jauh lebih tinggi secara progresif bagi yang ber-cc lebih besar; (b) pajak yang lebih tinggi bagi kendaraan bermotor yang menggunakan bensin dan solar, dan sebaliknya pajak yang lebih rendah bagi kendaraan bermotor yang menggunakan gas, (c) energy rating untuk peralatan rumah tangga yang menggunakan listrik yaitu semakin tinggi rating-nya semakin hemat penggunaan energi dan semakin rendah pajaknya, (d) penalti pajak bagi mesin pabrik yang menggunakan BBM dan sebaliknya keringanan pajak bagi mesin yang menggunakan listrik, gas dan batubara. Dengan cara laju penggunaan BBM dapat dikurangi secara drastis. 5. Kontrak bagi hasil migas juga merupakan sumber inefisiensi dimana cost recovery ladang migas Indonesia jauh lebih mahal dibanding di negara-negara tetangga. Diperlukan sanksi yang berat bagi setiap praktek penggelembungan biaya. Setiap kontraktor yang terbukti melakukan penggelembungan harus dicabut kontraknya. 6. Tentunya, pengubahan energy mix di atas sangat membutuhkan pembangunan infrastruktur energi terutama penyaluran gas ke industri dan rumah tangga. Untuk wilayah perkotaan yang padat penduduk, adalah lebih efisien menyalurkan LNG melalui pipa dibandingkan elpiji tabung. Elpiji sebaiknya hanya diarahkan ke daerah pedesaan yang pembangunan jaringan pipa gas menjadi mahal. Pembangunan jaringan pipa gas sampai rumah tangga di kota besar dan kota madya diperkirakan membutuhkan dana investasi sekitar Rp 110 triliun. Sebuah nilai investasi yang tidak terlalu besar. 7. Tentu saja pada akhirnya berbagai hal di atas membutuhkan penyediaan dana investasi yang relatif murah. Hal ini bisa dimungkinkan dengan membentuk sebuah bank khusus yaitu bank infrastruktur yang memobilisasi modal jangka panjang melalui pasar surat berharga. Hal ini bisa juga dilengkapi dengan 117
mempraktekan green banking yang memberikan skema-skema perkreditan khusus bagi penyediaan infrastruktur energi terbarukan. Untuk pendanaan semacam ini bisa jadi diperlukan sebuah insentif pajak dan penjaminan terbatas yang memungkinkan pendanaannya bersumber dari dana murah. Pada akhirnya, berbagai langkah tersebut di atas membutuhkan reformasi kelembagaan pengelolaan sumber daya energi. Sektor energi adalah termasuk salah satu yang paling sarat dengan perburuan rente dan konflik kepentingan. Undang-undang dan berbagai kebijakan di sektor ini telah secara sistematis dirancang untuk melemahkan posisi negara Indonesia dan memperkuat kepentingan kelompok dan pihak asing. Undangundang Migas dan Minerba harus dirombak total untuk menjaga kepentingan nasional.
118
-25NASIONALISASI MIGAS25
Nasionalisasi migas sampai hari ini masih menjadi wacana perdebatan nasional. Diilhami tindakan pemerintah Amerika Latin, khususnya Venezuela dan Bolivia, para pakar, pengusaha migas, dan politisi kita angkat bicara perihal kemungkinan penerapannya di Indonesia. Namun nampaknya di era SBY-JK saat ini nasionalisasi kemungkinan tetap saja tak lebih sekedar mimpi di siang bolong. Mengapa? Tengoklah prasyarat utama nasionalisasi, baik dari kilasan sejarah maupun yang terjadi di kedua negara contoh tersebut. Paling tidak terdapat dua prasyarat mendasar nasionalisasi, yaitu kemauan politik pimpinan nasional (presiden/DPR) dan kemauan politik massa-rakyat secara nasional. Adanya dua prasyarat ini akan menjadi modal utama nasionalisasi, walau tetap belum akan menjamin tindakan itu berhasil dilakukan. Bapak pendiri bangsa sudah mencanangkan nasionalisasi sejak disahkannya UUD 1945. Pasal 33 UUD 1945 ayat 2 dan 3 yang masih berlaku sampai saat ini menegaskan bahwa “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” dan “bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Nasionalisasi dengan begitu diposisikan pendiri bangsa sebagai bagian dari upaya penyelenggaraan demokrasi ekonomi untuk mengoreksi struktur ekonomi warisan kolonial. Hanya saja belum genap berumur 5 tahun, ide nasionalisasi telah ”ditelikung” melalui kesepakatan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949. Di situ, disebutkan Indonesia boleh saja merdeka, asal tidak ”mengusik dan mengancam” keberadaan perusahaan asing. Tak menyerah, Soekarno mengumumkan program nasionalisasi mulai medio ’50-an. Apa yang terjadi? Seperti yang (kelak) juga menimpa Allende –Presiden Chile(1973), justru Soekarno yang jatuh. Orde Baru muncul membawa mimpi baru denasionalisasi yang akhirnya menggelar karpet merah kembalinya dominasi modal asing di Indonesia. Nasionalisasi di Venezuela dan Bolivia tak lepas dari peran Presiden Chaves dan Morales beserta kabinet ekonominya. Bagaimana dengan kemungkinan peran pimpinan nasional (SBY-JK) dan kabinet ekonomi kita? Alih-alih itu, kiranya mereka justru tengah bermimpi dengan keberhasilan agenda de-nasionalisasi, melalui privatisasi aset strategis dan BUMN, untuk mensejahterakan rakyat. Alih-alih mengoreksi struktur dominasi perusahaan asing terhadap 85,4% pengelolaan migas, 50% kepemilikan saham perbankan, dan 70% kepemilikan saham di pasar modal, pimpinan nasional kita justru melegitimasi dan melegalisasi itu semua. Pimpinan nasional kita bahkan baru saja ”sukses besar” mengesahkan UU Penanaman Modal, yang salah satu klausulnya berisi komitmen untuk tidak melakukan nasionalisasi. Pernyataan Wapres yang buru-buru menampik nasionalisasi dengan berbagai alasan menunjukkan posisi pimpinan nasional kita. 25
Pernah dimuat di Harian KONTAN
119
Lalu bagaimana halnya dengan kemauan politik massa-rakyat kita? Perkara ini masing-masing kita yang tahu, walaupun sepertinya masih jauh panggang daripada api. Isu nasionalisasi masih menjadi barang mewah yang seakan tak terjangkau rakyat kecil. Kenyataan lain adalah isu penggadaian kedaulatan ekonomi nasional melalui privatisasi belum mendapat respon yang memadai dari masyarakat luas. Rakyat kecil masih berkutat dengan pendapatan pas-pasan, sulit mencari pekerjaan, dan ongkos hidup yang makin mahal. Mereka tak sempat (di)sadar(kan) bahwa hal itu bertalian erat dengan struktur ekonomi timpang berupa dominasi kapital asing yang merupakan warisan sistem ekonomi kolonial. Lebih banyak sumber daya yang dihisap keluar (net transfer) dan alat produksi yang tidak lagi kita kuasai adalah penyebab riil kemiskinan dan pengangguran. Beruntung kita punya segelintir pakar dan politisi yang masih percaya kemungkinan nasionalisasi. Secara yuridis-formal dan ekonomi-keuangan kiranya nasionalisasi memang masuk akal. UU Penanaman Modal masih patut dipertanyakan kesesuaiannya dengan isi Pasal 33 UUD 1945 ayat 1-3. Ingat, Pemerintah dan DPR dinyatakan melanggar konstitusi oleh MK ketika mengesahkan UU Ketenagalistrikan, sebagian isi UU Migas, kenaikan harga BBM (2005), dan terakhir anggaran pendidikan dalam APBN 2007. Proporsi hasil migas yang dinikmati rakyat (negara) pun akan tidak memadai karena produksi yang dibawah kendali perusahaan asing menyebabkan kontrol biaya dan output produksi sulit dilakukan. Padahal patokan yang dipakai dalam kontrak bagi hasil adalah laba operasi, bukannya total penerimaan. Sehingga meski pemerintah mendapat bagian 85% namun nilainya akan menjadi kecil karena besarnya biaya operasional yang menjadi hak perusahaan asing. Kontrol teknologi dan kapital finansial oleh perusahaan migas membuat negara ini tidak pernah siap (disiapkan) untuk mengambil alih penguasaannya. Sungguh ironis negara 210 juta jiwa yang telah 62 tahun merdeka ini masih saja ”kalah bersaing” dengan segelintir orang pemilik modal domestik dan internasional. Tiba saatnya kita menguasai teknologi dan kapital pun, namun pada saat itu kita baru sadar bahwa tambang migas kita sudah terkuras dan hanya tinggal sisa. Begitulah, sejarah nasionalisasi adalah sejarah pertarungan kekuasaan dan kepentingan, ekonomi-politik. Mengubah relasi kekuasaan tidaklah semudah memahamkan perlunya nasionalisasi. Nasionalisasi adalah prasyarat kembalinya kedaulatan bangsa dalam mengatur perekonomian. Negara akan leluasa mengelola produksi dan distribusi migas –yang dapat juga dikelola oleh perusahaan asing- untuk kepentingan nasional (rakyat banyak). Penerimaan negara dan partisipasi produksi (kesejahteraan) rakyat dengan begitu niscaya meningkat. Mengingat dominasi asing mengoyak martabat dan kedaulatan bangsa, maka ”banting stir” haluan ekonomi harus dilakukan. Dan dalam keadaan pimpinan nasional belum berkemauan politik, maka perubahan mestilah dilakukan dari bawah. Massarakyat yang kesadaran dan kemauannya sudah muncul itulah yang akan mendorong pemerintah dan DPR untuk berkemauan seperti mereka. Jelas disini, bukan heroisme, melainkan demokratisasi (kedaulatan rakyat) –lah yang diperjuangkan. Massa rakyat dapat mendesak pemerintah dan DPR untuk membuat undangundang nasionalisasi migas. Undang-undang ini akan menjadi alat re-negosiasi perihal kontrak-kontrak karya dengan perusahaan tersebut. Intinya adalah bagaimana peruntukan migas Indonesia sebesar-besar untuk kedaulatan negara dan kemakmuran rakyat Indonesia, yang masih diamanatkan dalam Pasal 33 UUD 1945. 120
Tak ada yang tahu mampu bertahankah nasionalisasi ’ala Chavez dan Moralez di tengah berbagai skenario yang berupaya meruntuhkan pengaruh mereka. Pun jika nasionalisasi dirancang di Indonesia, jelas upaya menghalanginya tidak akan kalah gencarnya. Bagaimana rakyat kian sadar akan segala resiko dan bersiap menghadapi dan memperjuangkannya akan menentukan nasibnya ke depan. Masih sekedar mimpi atau akan benar-benar menjadi kenyataan? Wallahu’alam.
121
BAGIAN TIGA: EKONOMI KERAKYATAN
122
-26DEMOKRATISASI BUMN
Dalam pemahaman pemerintah selama ini, seperti yang tertuang dalam UU BUMN, privatisasi berarti menjual BUMN, utamanya melalui penawaran perdana (IPO) di pasar modal maupun stategic sales (SS) kepada investor swasta. Pemerintah berargumen bahwa privatisasi perlu dilakukan untuk menutup defisit anggaran. Beragam teori ekonomi lain kemudian dijadikan pelengkap rasionalisasi. Privatisasi dipercaya sebagai jalan menghilangkan intervensi politik (birokrasi negara) terhadap BUMN. Privatisasi juga dianggap cara yang paling ampuh untuk menyehatkan dan meningkatkan kinerja (efisiensi) BUMN. Kisah privatisasi di negara lain pun sering dijadikan rujukan. Benarkah demikian? Privatisasi atau Piratisasi? Dua fakta dapat memperjelas ujung-pangkal privatisasi. Pertama, privatisasi BUMN Indonesia –dan di negara lain- berpangkal pada agenda Konsensus Washington yang dimotori IMF dan Bank Dunia. Persis misalnya privatisasi di Bangladesh, Ghana, Gambia, dan Jamaica yang disponsori oleh USAID (Patriadi, 2003). Kedua, privatisasi BUMN Indonesia berujung pada asingisasi. PT Indosat dan PT Telkomsel sebagian (besar) sahamnya dikuasai STTC dan Singtel, keduanya adalah BUMN milik Pemerintah Singapura. Privatisasi pararel dengan liberalisasi ekonomi yang berujung pada dominasi modal asing terhadap 80% pengelolaan migas, 50% penguasaan perbankan, dan 70% kepemilikan saham di pasar modal Indonesia. Berdasar ujung-pangkal di atas kiranya lebih mudah memahami privatisasi sebagai upaya sistematis untuk mengambil-alih ekonomi Indonesia. Privatisasi BUMN (juga aset strategis nasional seperti air dan migas) hakekatnya adalah rampokisasi (Baswir, 2006). Dalam spektrum yang lebih luas, privatisasi adalah salah satu bentuk imperialisme baru (Petras & Veltmeyer, 2001), yang lebih mengabdi pada maksimalisasi nilai saham untuk kepentingan pemilik asing (Stiglitz, 2002). Privatisasi terhadap BUMN yang sehat, prospektif, dan bisnisnya terkait dengan hajat orang banyak (layanan publik) di Indonesia selama ini telah memuluskan penyedotan surplus ekonomi (net-transfer) kepada pihak luar Oleh karenanya, kegagalan pemerintah dalam pengelolaan ekonomi (BUMN) seperti yang ditudingkan selama ini semestinya dimaknai tiga hal: Pertama, kegagalan karena warisan struktur ekonomi kolonial-sentralistik yang mendorong inefisiensi dan eksploitasi BUMN. Kedua, kegagalan karena marjinalisasi peran negara pasca liberalisasi yang bertolakbelakang dengan amanat Pasal 33 UUD 1945. Dan ketiga, kegagalan karena pengabaian terhadap solusi-solusi alternatif-kerakyatan dalam membangun BUMN berbasis daya dukung domestik yang tersedia. Alternatif Selain Privatisasi Solusi terhadap persoalan BUMN dengan begitu tidak mungkin bersifat parsial. Terlebih menyerahkan kuasa BUMN pada korporasi (asing) tentu bukanlah pilihan 123
bijak Logika dasar yang menggerakkan korporasi adalah akumulasi (konsentrasi) kapital, bukannya tanggung jawab sosial. Hukum positif pun sudah mengatur demikian. Program sosial dilakukan demi tujuan dasar tersebut, sehingga proporsinya jauh lebih kecil dan tidak signifikan dibanding nilai faktor produksi yang dieksploitasi dan surplus ekonomi yang telah dibawa keluar. Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah menimbang dilakukannya demokratisasi BUMN, bukannya privatisasi, sebagai solusi berbagai persoalan yang dihadapi BUMN dan perekonomian nasional. Demokratisasi BUMN yang sejalan amanat demokrasi ekonomi Pasal 33 UUD 1945 diwujudkan melalui perluasan (transformasi) kepemilikan dan kontrol BUMN –yang tidak secara langsung terkait dengan hajat hidup rakyat banyak- oleh rakyat Indonesia. Transformasi ini dilakukan melalui sistem perencanaan demokratis yang melibatkan pemerintah dan stakeholder BUMN domestik dan bukan mengabdi pada mekanisme pasar (bebas) lewat listing di pasar modal. Demokratisasi BUMN dapat dilakukan melalui pola redistribusi saham terencana kepada serikat pekerja, konsumen, Pemerintah Daerah, BUMD, koperasi, dan pelaku ekonomi rakyat Indonesia lainnya. Pola ini, walau terbatas pemberian (pembelian) saham pada pekerja, telah diterapkan misalnya di Georgia, Lithuania, Maldova, dan Rusia, dengan perbaikan kinerja BUMN yang signifikan. Di Georgia misalnya, kepemilikan saham pemerintah dipertahankan sebesar 65% pada 900 BUMN. Para pekerja diberikan saham sebesar 5% secara gratis; 3% ditawarkan dengan potongan 20% dan sekitar 28% dipasarkan kepada manajer dan pekerja melalui lelang (Patriadi, 2003). Arti Strategis Demokratisasi BUMN Pola tersebut setidaknya memiliki tiga arti strategis. Pertama, pola ini akan mengintegrasikan sektor moneter dan sektor riil melalui mobilisasi sumber keuangan domestik yang tersedia. Perbankan dapat menyediakan kapital bagi pembelian saham terencana oleh pekerja dan stakeholder BUMN domestik lainnya. Saat ini LDR perbankan nasional baru sebesar 60% dan sekitar Rp. 250-300 trilyun dana bank pun hanya diendapkan di SBI. Oleh karenanya, tiga hal akan tercapai sekaligus: optimalisasi potensi keuangan domestik, peningkatan modal perusahaan, dan penghindaran dari ketergantungan modal asing. Kedua, pola ini selain akan memacu kinerja pekerja BUMN, sekaligus dapat memastikan bahwa perbaikan kinerja BUMN tersebut adalah cerminan langsung peningkatan kontrol (partisipasi) publik dan kesejahteraan pekerja, konsumen, serta masyarakat luas sebagai pemilik dan pengendali BUMN. Hal ini berbeda pada BUMN pasca privatisasi (asingisasi) yang hanya akan menunjukkan ”kinerja semu” karena penikmat sejatinya terbesarnya adalah para akumulator (pemilik) modal di luar negeri. Ketiga, pola ini dengan sendirinya membatasi ruang gerak intervensi politik dalam pengelolaan BUMN. Tidak akan ada lagi istilah BUMN sebagai ”sapi perah” kelompok politik tertentu. BUMN akan dikelola tidak saja secara transparan dan akuntabel, tetapi juga secara demokratis. Serikat pekerja dan multistakeholder BUMN domestik pun akan memiliki posisi tawar yang lebih kuat dalam menghalangi setiap bentuk eksploitasi yang secara langsung akan merugikan mereka. Kini bagaimana prospek demokratisasi BUMN di Indonesia? Alih-alih memikirkan alternatif tersebut, pemerintah dan DPR justru gencar menyediakan produk hukum yang memuluskan jalan privatisasi BUMN dan aset strategis nasional. Hal itu tercermin dalam UU Sumber Daya Air, UU Migas, UU 124
BUMN, UU Penanaman Modal, dan UU Perkeretaapian yang baru saja disahkan. Prospek demokratisasi BUMN nampaknya masih suram karena sampai saat ini yang lebih mungkin justru pelepasan satu per satu aset publik terkonsentrasi ke tangan segelintir pemodal besar (asing). Memang tak mudah meyakinkan pemerintah dan DPR perlunya demokratisasi, dan bukan privatisasi BUMN. Terlebih isu privatisasi yang menilik hakekatnya di awal bukan lagi domain teoritik dan akademis, melainkan domain kekuasaan dan politik ekonomi. Setiap upaya merombak struktur kekuasaan, terlebih yang melibatkan relasi domestik-internasional, pastilah berhadapan dengan reaksi pemangkunya. Tetapi bagaimanapun kita harus berani dan optimis, karena disitulah kemerdekaan dan kedaulatan kita sebagai bangsa dinilai. Wallahu’alam.
125
-27DEMOKRATISASI BUMD
RUU BUMD masih dibahas pemerintah dan DPR. Walau begitu, revisi UU No 5 Tahun 1962 tersebut kiranya akan pararel dengan semangat liberalisasi dan privatisasi yang diusung Undang-Undang sebelumnya. Perluasan peran korporasi swasta (asing) seperti yang nampak dalam UU Sumber Daya Air, UU BUMN, UU Penanaman Modal, dan UU Perkeretaapian kemungkinan menjadi solusi revitalisasi peran BUMD bagi kemajuan ekonomi daerah. Privatisasi BUMD, seperti yang sudah dilakukan terhadap BUMN, bukan sekedar kekhawatiran semu belaka, Paling tidak kita dapat belajar dari kasus privatisasi PDAM DKI Jaya, yang kini mayoritas sahamnya dikuasai oleh korporasi asing (RWE Thames dan Ondeo Suez). Kondisi obyektif yang dapat saja menjadi rasionalisasi privatisasi adalah rendahnya kinerja BUMD akibat intervensi birokrasi (Pemda) yang berlebihan dan kelangkaan pembiayaan (terjebak utang). Ilustrasi yang paling mudah masih seputar PDAM. Dari 293 PDAM di Indonesia, hanya 29 yang berada dalam kondisi sehat. Sisanya dalam keadaan menanggung utang sebesar Rp.4 triliun kepada pemerintah. Jumlah itu semakin melonjak pada 2004, utang seluruh PDAM mencapai Rp.5,3 triliun (KAI, 2007). Berbagai masalah tersebut dinilai akan menghambat kinerja PDAM yang pada akhirnya akan memperpuruk layanan publik. Belum lagi bicara harga dan kualitas layanan PDAM yang sering dikeluhkan masyarakat, tentu akan menjadi amunisi bagi perlunya pelibatan luas korporasi di sektor publik. Namun. ceritanya akan lain jika pemerintah dan DPR belajar dari kenaikan tarif air sebagai dampak nyata privatisasi PDAM Jaya. Water charge, yaitu imbalan yang diminta swasta, selalu lebih tinggi dari tarif air yang dibayar warga. Selisih yang terus terjadi tiap bulan dihitung sebagai utang yang hanya akan terbayar dengan menaikkan tarif. JIka PAM Jaya/Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengakhiri kontrak, mereka harus membayar kepada swasta seluruh investasi yang (diklaim) telah ditanam di Indonesia dan keuntungan (prospektif) dari separuh sisa masa kontrak yang nilainya sering disebut-sebut Rp 450 miliar (Ardhianie, 2005). Pola Demokratisasi BUMD Kiranya makin jelas relevansi amanat Pasal 33 UUD 1945. Tampuk produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak tidak seharusnya dikuasai orang-perorang (swasta). Contoh di atas, dan banyak contoh lain, menyiratkan bahwa dibalik tuntutan peran korporasi bersemayam naluri instrinsik untuk sebesar-besar mengeruk keuntungan dan mengakumulasi kapital. Terlebih, jika itu adalah korporasi asing, maka naluri intrinsiknya adalah menguasai faktor produksi nasional dan menyedot surplus perusahaan untuk di bawa keluar. Lantas, bagaimana alternatif pengelolaan BUMD, di tengah berbagai persoalan yang melilit BUMD, selain bertumpu pada peran besar korporasi swasta? Jawabannya kembali dapat kita temukan dalam Pasal 33 UUD 1945. Semestinya ”perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas 126
kekeluargaan”. Pengelolaan BUMD oleh karenanya mestilah berpegang pada prinsip ”produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan dan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Oleh karenanya, alih-alih melakukan privatisasi, yang patut dilakukan pemerintah sesuai amanat konstitusi dan nalar teoritik (pengalaman empirik) tersebut adalah demokratisasi BUMD. Demokratisasi BUMD dilakukan melalui perluasan kepemilikan, kontrol, dan pengambilan keputusan BUMD oleh rakyat banyak. Salah satu pola yang mungkin ditempuh adalah perluasan kepemilikan saham BUMD (yang berbentuk perseroan), yang selama ini dipegang sepenuhnya oleh Pemda, kepada serikat pekerja, konsumen, koperasi, dan pelaku ekonomi lokal lain yang usahanya terkait dengan BUMD. Pemerintah daerah dan DPRD berperan dalam proses perencanaan dan pengawalan transformasi kepemilikan dan kontrol ini dengan melibatkan stakeholder BUMD domestik tersebut.
Arti Strategis Demokratisasi BUMD Pola tersebut akan memiliki setidaknya tiga arti strategis. Pertama, pola ini mengintegrasikan sektor perbankan dengan pembiayaan sektor riil (BUMD) di daerah. Perbankan daerah dapat menyediakan kapital tambahan bagi pembelian saham terencana oleh pekerja dan stakeholder BUMD domestik lainnya. Rasio kredittabungan (LDR) bank-bank di daearah yang baru sebesar 60%, bahkan di daerahdaerah tertentu masih di bawah 30%, menunjukkan belum optimalnya peranan perbankan bagi pembangunan daerah. Oleh karenanya, tiga hal akan tercapai sekaligus: optimalisasi potensi modal domestik, modal tidak tersedot keluar daerah, dan terhindar dari ketergantungan pada modal asing. Kedua, pola ini akan memperbaiki kinerja BUMD sekaligus memastikannya menjadi cerminan langsung peningkatan kontrol (partisipasi) publik dan kesejahteraan pekerja, konsumen, serta masyarakat daerah sebagai pemilik dan pengendali BUMD. Kinerja BUMD akan meningkat seiring dengan peningkatan partisipasi (kontrol) publik. Hal ini berbeda pada BUMD yang dikuasai korporasi (asing) yang hanya akan menunjukkan ”kinerja semu” karena penikmat sejatinya terbesarnya adalah para akumulator (pemilik) modal di dalam dan luar negeri. Ketiga, pola ini dengan sendirinya membatasi ruang gerak intervensi politik dalam pengelolaan BUMD. BUMD akan dikelola tidak saja secara transparan dan akuntabel, tetapi juga secara demokratis (partisipatif). Serikat pekerja dan multistakeholder BUMD lokal pun akan memiliki posisi tawar yang lebih kuat dalam menghalangi setiap bentuk eksploitasi yang secara langsung akan merugikan mereka. Kini bagaimana peluang penyelenggaraan demokratisasi BUMD di Indonesia? Prasyarat Demokratisasi BUMD Realisasi demokratisasi BUMD tergantung pada terpenuhinya beberapa prasyarat objektif dan subjektifnya. Pertama, revisi UU BUMD dan UU Perseroan Terbatas (PT) yang tengah berlangsung menyediakan payung hukum bagi demokratisasi BUMD. Kedua, manajemen dan serikat pekerja BUMD yang berbentuk PT memiliki komitmen untuk memperjuangkannya. Ketiga, perubahan status badan hukum dari Perusda (PD) ke PT yang difasilitasi Pemda dan DPRD dilakukan untuk mendorong demokratisasi, bukannya privatisasi BUMD. Keempat, masyarakat dan organisasi sosial-ekonomi daerah sadar bahaya privatisasi 127
dan manfaat demokratisasi, sehingga berpartisipasi baik secara politik maupun finansial. Kelima, tersedia dukungan (skema) pendanaan dari perbankan daerah. Sudah saatnya pemerintah dan masyarakat daerah menentukan pilihan. Tetap melanggengkan relasi timpang antara daerah dan Jakarta, antara ekonomi lokal dan investor asing, dan antara pekerja dan pemilik kapital, ataukah merombaknya secara mendasar. Relasi produksi dan alokasi yang etis, humanis, demokratis, nasionalistik, dan berkeadilan sosial itulah yang menjadi impian demokratisasi ekonomi, yang salah satunya dilakukan melalui demokratisasi BUMD. Wallahu’alam.
128
-28SAHAM UNTUK PEKERJA
Sungguh luar biasa perjuangan Muhammad Yunus melalui Grameen Bank. Tidak hanya menjadikan kaum perempuan miskin sebagai nasabah, pada saat yang sama mereka sekaligus dijadikan sebagai pemilik bank tersebut. 93% saham Grameen Bank dikuasai perempuan miskin yang merupakan nasabah terbesarnya. Kepemilikan saham inilah yang telah menempatkan beberapa perempuan miskin yang buta huruf sebagai komisaris di Grameen Bank. Bukan itu saja. Grameen Bank memiliki GrameenPhone, sebuah perusahaan patungan antara Telenor dari Norwegia dan Grameen Telecom. Saat ini Telenor memiliki 62% saham perusahaan, sedangkan Grameen Telecom memiliki 38%-nya. Dalam pidato penerimaan Nobel-nya di Oslo, Yunus menyampaikan visi untuk pada akhirnya menjadikan mayoritas kepemilikan GrameenPhone kepada kaum perempuan miskin anggota Grameen Bank. Grameen Bank dengan begitu tidak sekedar mengusung revolusi kredit mikro melainkan revolusi mode produksi. Mode produksi perusahaan umumnya berwujud relasi dikotomik antara buruh (konsumen) dengan pemilik modal. Keadaan perusahaan di negeri kita pun tidak jauh dari sifat demikian. Koperasi, dengan relasi produksi demokratisnya, masih menjadi perusahaan marjinal yang peranannya kian dikerdilkan. Perusahaan yang mempraktekkan relasi produksi serupa melalui pola kepemilikan saham oleh pekerja (employee share ownership program/ESOP) atau konsumen, seperti pada pola Grameen Bank di atas, pun seolah masih seperti buih di lautan, tidak signifikan. Contoh minimalis misalnya dijumpai pada sebagian ESOP BRI, Bank Mandiri, Telkom, dan Adhi Karya. Padahal tersedia berbagai faktor objektif yang semestinya mendukung praktik produksi yang demokratis tersebut. Faktor Obyektif Realisasi ESOP Faktor obyektif tersebut di antaranya adalah: Pertama, kita memiliki Pasal 33 UUD 1945 ayat 1 yang mengamanatkan ”perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan”. Pasal ini jelas bervisi menolak dikotomi pekerja dan pemilik modal dalam relasi produksi di tempat kerja. Usaha bersama bermakna pelibatan pekerja dalam pengambilan keputusan dan kontrol secara kolektif di perusahaan. Hal ini terwujud jika pekerja mempunyai kesempatan untuk ikut memiliki perusahaan. UU No 21/2000 tentang Serikat Pekerja pun telah mengamanatkan bahwa salah satu fungsi Serikat Pekerja adalah sebagai wakil pekerja dalam memperjuangkan kepemilikan saham dalam perusahaan. Kedua, relasi dikotomis tersebut telah menghasilkan struktur alokasi yang timpang. Bagian yang diterima pekerja (upah dan tunjangan lain) dari nilai output industri di Indonesia relatif kecil dan dari tahun 1986 ke 2004 makin menurun. Misalnya saja bagian pekerja di industri bahan makanan turun dari 8% menjadi hanya 1%, industri kayu dari 14% menjadi 2%, dan di industri kertas dari 20% menjadi 4%. Bagian tertinggi diterima pekerja industri galian. Itu pun hanya 17% (Hudiyanto, 129
2007). Kondisi ini menjadi salah satu sebab kemiskinan pekerja Indonesia yang diperparah dengan merosotnya nilai upah riil pada tahun-tahun terakhir. Ketiga, terjadinya perluasan dominasi asing terhadap kepemilikan perusahaan di Indonesia. Sebanyak 70% saham di Pasar Modal, termasuk di dalamnya 50% lebih saham perbankan, telah dikuasai pemodal asing. Kondisi ini akan berimplikasi pada penyedotan surplus perusahaan keluar negeri (net transfer), melemahnya posisi tawar pekerja, dan ketergantungan terhadap modal asing. Pada saat yang sama relasi produksi makin timpang dan tidak demokratis. Pengambilan keputusan dan kontrol perusahaan makin di luar jangkauan partisipasi pekerja karena dilakukan oleh pemilik modal yang berada jauh di luar negeri. Keempat, rendahnya produktivitas pekerja Indonesia saat ini dituding sebagai sebab menurunnya kinerja perusahaan dan perekonomian secara keseluruhan. Tak banyak yang mengaitkannya dengan terjadinya marjinalisasi pekerja dalam relasi produksi dan alokasi seperti tercermin di atas. Peningkatan motivasi produksi dan efisiensi perusahaan selama ini cenderung dilakukan melalui cara-cara represif (ahumanis) seperti sistem kerja kontrak, outsourcing, dan (wacana) sistem upah fleksibel, yang berpotensi mengingkari hak-hak sosial-ekonomi pekerja. Kelima, arus baru demokratisasi perusahaan telah lama bergulir. Makin banyak perusahaan di dunia yang sadar perlunya revolusi mode produksi. Perubahan relasi produksi sama sekali bukanlah hal yang utopis. Kepemilikan saham oleh pekerja sudah lama diatur khusus dalam Undang-Undang dan lazim dipraktikkan oleh perusahaan di negara-negara maju seperti AS, Eropa Barat dan Eropa Timur. Bahkan di negaranegara tersebut sudah banyak perusahaan yang 50%-100% sahamnya dikuasai oleh pekerja. Kinerja perusahaan tersebut membaik dengan signifikan, yang otomatis mencerminkan peningkatan kesejahteraan pekerja selaku pemilik perusahaan. Faktor Subjektif Realisasi ESOP Menilik tersedianya berbagai faktor obyektif yang mendukung, tetapi mengapa konsep saham untuk pekerja (ESOP) –apalagi untuk kaum miskin- seolah masih menjadi barang mewah di negeri kita? Mengapa beberapa faktor objektif yang seharusnya dapat menjadi faktor pendukung justru menghambat demokratisasi di tempat kerja? Jawabannya sedikit banyak dapat ditemukan melalui telaah faktor subjektif yang ada. Alih-alih mendukung, faktor subjektif yang ada lebih banyak mengarah pada skeptisme dan pengabaian arti pentingnya demokratisasi perusahaan melalui ESOP di Indonesia.. Pemerintah dan DPR belum menampakkan keberpihakan (komitmen) nyata. Justru produk hukum dan kebijakan yang kurang sejalan dengan agenda tersebutlah yang dibuat. Misalnya saja, liberalisasi ekonomi dan privatisasi (kontra-demokratisasi) yang diminta Bank Dunia, IMF, dan korporasi transnasional telah dipenuhi melalui pembuatan UU Sumber Daya Air, UU Migas, UU BUMN, UU Penanaman Modal, dan UU Perkeretaapian. UU yang relevan semisal UU Perseroan Terbatas dan UU Pasar Modal pun kiranya tidak mengarah pada ESOP dan demokratisasi perusahaan. Kemudian pemerintah makin gencar melakukan privatisasi BUMN dan aset strategis nasional yang praktiknya selama ini menyebabkan konsentrasi kepemilikan perusahaan pada pemodal besar (asing). Komitmen pemegang saham umumnya baru sebatas pemberian saham kepada beberapa lapis atas manajemen perusahaan. Pada sisi pekerja pun kiranya masih 130
muncul kegamangan terhadap perjuangan ESOP. Saham untuk pekerja seolah masih berupa mimpi karena tuntutan mereka akan upah yang layak pun masih jauh panggang dari api. Banyak pekerja yang berpikir ”masih untung dapat pekerjaan di saat jutaan orang masih menganggur”. Terlebih tekanan pemilik perusahaan makin mengancam kelangsungan pekerjaan mereka melalui pemberlakuan sistem kontrak, outsourcing, dan rencana sistem upah fleksibel. Kepemilikan saham seolah masih dianggap barang mewah, tak terjangkau oleh pekerja Indonesia. Misi, Aksi, dan Potensi ESOP Berangkat dari faktor objektif dan masalah subjektif di atas, kiranya yang dibutuhkan saat ini adalah kerja keras untuk menyadarkan perlunya perluasan kepemilkan saham oleh pekerja (ESOP). Kesadaran kolektif perlu dibangun untuk meyakinkan publik bahwa kepemilikan saham oleh pekerja mengandung setidaknya lima peran (misi) strategis. Pertama, realisasi amanat konstitusi utamanya Pasal 33 UUD 1945. Kedua, cara untuk merombak ketimpangan relasi (struktur) produksi dan alokasi dalam perusahaan. Ketiga, upaya untuk mempertahankan perusahaan dari pengambil-alihan oleh korporasi (investor) luar negeri. Keempat, cara optimalisasi sumber keuangan (permodalan) domestik. Kelima, sebagai solusi bagi peningkatan motivasi, tanggungjawab, dan produktivitas pekerja dan perusahaan secara keseluruhan. Stakeholder perusahaan perlu diyakinkan bahwa terdapat berbagai pola transformasi kepemilikan saham oleh pekerja yang sangat mungkin diterapkan. Di samping itu, juga tersedia cukup potensi (sumber finansial) untuk merealisasikannya. Alternatif pelepasan saham kepada pekerja di antaranya adalah berupa pemberian gratis, pembelian langsung, hak opsi saham, dan pola khas lainnya. Khusus dalam bentuk (pola) pembelian saham, mekanisme pembayarannya dapat saja melalui lembaga yang ditunjuk pekerja (Trustee), potong gaji langsung, intermediasi perbankan, atau mekanisme lain yang disepakati bersama. Sumber dana potensial dalam negeri misalnya berasal dari dana Jamsostek (49 trilyun/deposito), dana pensiun (74 trilyun), dan dana pihak ketiga (tabungan) perbankan yang baru tersalur baru 60%-nya. Total dana bank yang belum tersalur kepada masyarakat sekitar Rp 400 trilyun, yang Rp. 250 trilyun-nya ”diendapkan” dalam SBI. Jika sebagian saja sumber dana ini diatur untuk membiayai perluasan kepemilikan saham oleh pekerja maka hasilnya akan luar biasa. Bukan sekedar kesejahteraan pekerja yang akan meningkat, namun juga harkat dan martabat sebagai manusia dan bangsa yang akan terangkat. Degan begitu, mimpi untuk menjadikan bangsa Indonesia bukan sekedar sebagai bangsa kuli dan kulinya bangsa-bangsa pun akan menjadi nyata. Semoga.
131
-29-
PERTANIAN BERKELANJUTAN26
Pertanian (agriculture) bukan hanya merupakan aktivitas ekonomi untuk menghasilkan pendapatan bagi petani saja. Lebih dari itu, pertanian/agrikultur adalah sebuah cara hidup (way of life atau livehood) bagi sebagian besar petani di Indonesia. Oleh karena itu pembahasan mengenai sektor dan sistem pertanian harus menempatkan subjek petani, sebagai pelaku sektor pertanian secara utuh, tidak saja petani sebagai homo economicus, melainkan juga sebagai homo socius dan homo religius. Konsekuensi pandangan ini adalah dikaitkannya unsur-unsur nilai sosial-budaya lokal, yang memuat aturan dan pola hubungan sosial, politik, ekonomi, dan budaya ke dalam kerangka paradigma pembangunan sistem pertanian. Tulisan ini sekaligus menanggapi tulisan Saudara Pantjar Simatupang (Jakarta Post, April 14 and 15, 2003) tentang Pendekatan Sistem Agribisnis dalam Pembangunan Pertanian, yang juga didasarkan pada kerangka konsep pembangunan pertanian Departemen Pertanian tahun 2001. Secara ringkas tulisan tersebut menguraikan tentang perlu dikembangkannya paradigma baru pembangunan pertanian yang didasarkan pada pendekatan sistem agribisnis. Pantjar mengacu dengan jelas pada paradigma agribisnis yang dikembangkan oleh Davies dan Goldberg, yang berdasar pada lima premis dasar agribisnis. Pertama, adalah suatu kebenaran umum bahwa semua usaha pertanian berorientasi laba (profit oriented), termasuk di Indonesia. Kedua, pertanian adalah komponen rantai dalam sistem komoditi, sehingga kinerjanya ditentukan oleh kinerja sistem komoditi secara keseluruhan. Ketiga, pendekatan sistem agribisnis adalah formulasi kebijakan sektor pertanian yang logis, dan harus dianggap sebagai alasan ilmiah yang positif, bukan ideologis dan normatif. Keempat, Sistem agribisnis secara intrinsik netral terhadap semua skala usaha, dan kelima, pendekatan sistem agribisnis khususnya ditujukan untuk negara sedang berkembang. Rumusan inilah yang nampaknya digunakan sebagai konsep pembangunan pertanian dari Departemen Pertanian, yang dituangkan dalam visi terwujudnya perekonomian nasional yang sehat melalui pembangunan sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan, dan terdesentralisasi.
Ideologi Agribisnis Mula-mula ilmu ekonomi (Neoklasik) dikritik pedas karena telah berubah menjadi ideologi (Burk. dalam Lewis dan Warneryd, 1994: 312-334), bahkan semacam agama (Nelson: 2001). Kemudian pertanian dijadikan bisnis, sehingga utuk mengikuti perkembangan zaman konsep agriculture (budaya bertani) dianggap perlu diubah menjadi agribusiness (bisnis pertanian). Maka di IPB dan UGM tidak dikembangkan 26
Pernah dimuat di Jurnal Ekonomi Rakyat
132
program S2 Pertanian, tetapi lebih dikembangkan program Magister atau MM Agribisnis, yang jika diteliti substansi kuliah-kuliahnya hampir semua berorientasi pada buku-buku teks Amerika 2 dekade terakhir yang mengajarkan ideologi atau bahkan mendekati “agama” baru bahwa “farming is business”. Mengapa agribisnis? Ya, agribisnis memang diangggap lebih modern dan lebih efisien karena lebih berorientasi pada pasar, bukan hanya pada “komoditi yang dapat dihasilkan petani”. Perubahan dari agriculture menjadi agribisnis berarti segala usaha produksi pertanian ditujukan untuk mencari keuntungan, bukan untuk sekedar memenuhi kebutuhan sendiri termasuk pertanian gurem atau subsisten sekalipun. Penggunaan sarana produksi apapun adalah untuk menghasilkan “produksi”, termasuk penggunaan tenaga kerja keluarga, dan semua harus dihitung dan dikombinasikan dengan teliti untuk mencapai efisiensi tertinggi Sepintas paradigma agribisnis memang menjanjikan perubahan kesejahteraan yang signifikan bagi para petani. Namun jika kita kaji lebih mendalam, maka perlu ada beberapa koreksi mendasar terhadap paradigma yang menjadi arah kebijakan Deptan tersebut. Sebuah paradigma semestinya lahir dari akumulasi pemikiran yang berkembang di suatu wilayah dan kelompok tertentu. Jadi sudah sewajarnya jika kita mempertanyakan, apakah pengembangan paradigma agribisnis adalah hasil dari konsepsi dan persepsi para petani kita?. Lebih lanjut dapat kita kaji kembali apakah sudah ada riset/penelitian mendalam, yang melibatkan partisipasi petani, berkaitan dengan pola/sistem pertanian di wilayah mereka?. Hal ini sangat penting karena jangan-jangan paradigma agrisbisnis hanyalah dikembangkan secara topdown dari pusat, yang tidak sesuai dengan visi desentralisasi sistem lokal, atau lebih berbahaya lagi hanya mengadopsi paradigma dari luar (barat). Lebih tepat apabila pemerintah berupaya untuk membantu menemukenali segala permasalahan yang dihadapi petani dan bersama-sama mereka mengusahakan jalan keluarnya, dengan memposisikan diri sebagai kekuatan pelindung petani. Selama ini masalah yang muncul adalah anjloknya harga komoditi, kenaikan harga pupuk, dan persaingan tidak sehat, yang lebih disebabkan oleh kekeliruan atau tidak bekerjanya kebijakan atau peraturan (hukum) yang dibuat oleh pemerintah.
Paradigma Agribisnis Yang Keliru Asumsi utama paradigma agribisnis bahwa semua tujuan aktivitas pertanian kita adalah profit oriented sangat menyesatkan. Masih sangat banyak petani kita yang hidup secara subsisten, dengan mengkonsumsi komoditi pertanian hasil produksi mereka sendiri. Mereka adalah petani-petani yang luas tanah dan sawahnya sangat kecil, atau buruh tani yang mendapat upah berupa pangan, seperti padi, jagung, ataupun ketela. Mencari keuntungan adalah wajar dalam usaha pertanian, namun hal itu tidak dapat dijadikan orientasi dalam setiap kegiatan usaha para petani. Petani kita pada umumnya lebih mengedepankan orientasi sosialkemasyarakatan, yang diwujudkan dengan tradisi gotong royong (sambatan/kerigan) dalam kegiatan mereka. Seperti di awal tulisan, bertani bukan saja aktivitas ekonomi, melainkan sudah menjadi budaya hidup yang sarat dengan nilai-nilai sosial-budaya masyarakat lokal. Sehingga perencanaan terhadap perubahan kegiatan pertanian harus pula mempertimbangkan konsep dan dampak perubahan sosial-budaya yang akan terjadi. Seperti halnya industrialisasi yang tanpa didasari transformasi sosial terencana, telah menghasilkan dekadensi nilai moral, degradasi lingkungan, berkembangnya paham 133
kapitalisme dan individualisme, ketimpangan ekonomi, dan marjinalisasi kaum petani dan buruh. Hal ini yang nampaknya tidak terlalu dikedepankan dalam pengembangan paradigma pendekatan sistem agribisnis..Tidak semua kegiatan pertanian dalam skala petani kecil dapat dibisniskan, seperti yang dilakukan oleh petani-petani (perusahaan) besar di luar negeri, yang memiliki tanah luas dan sistem nilai/budaya berbeda yang lain sekali dengan petani kita Agriculture bisa berubah menjadi agribisnis seperti halnya PT QSAR, jika usaha dan kegiatannya “menjanjikan keuntungan sangat besar”, misalnya 50% dalam waktu kurang dari satu tahun, padahal tingkat bunga bank rata-rata hanya sekitar 10%. Semangat mengejar untung besar dalam waktu pendek inilah semangat dan sifat agribisnis yang dalam agriculture (pertanian) suatu hal yang dianggap mustahil. Demikian tanpa disadari pakar-pakar ekonomi pertanian terutama lulusan Amerika telah memasukkan budaya Amerika ke (pertanian) Indonesia dengan janji atau teori bahwa agribisnis lebih modern, lebih efisien, dan lebih menguntungkan ketimbang agriculture. Itulah yang terjadi dengan PT QSAR yang mampu mengecoh banyak bapakbapak dan ibu-ibu “investor” untuk menanamkan modal ratusan juta rupiah, meskipun akhirnya terbukti agribisnis PT QSAR merupakan ladang penipuan baru untuk menjerat investor-investor “homo-ekonomikus” (manusia serakah) yang berfikir “adalah bodoh menerima keuntungan rendah jika memang ada peluang memperoleh keuntungan jauh lebih besar”. Di Indonesia homo-ekonomikus ini makin banyak ditemukan sehingga seorang ketua ISEI pernah tanpa ragu menyatakan “orang Indonesia dan orang Amerika sama saja”, mereka sama-sama “makhluk ekonomi”. Konsep dan paradigma sistem agribisnis tidak akan menjadi suatu kebenaran umum, karena akan selalu terkait dengan paradigma dan nilai budaya petani lokal, yang memiliki kebenaran umum tersendiri. Oleh karena itu pemikiran sistem agribisnis yang berdasarkan prinsip positivisme sudah saatnya kita pertanyakan kembali. Paradigma agribisnis tentu saja sarat dengan sistem nilai, budaya, dan ideologi dari tempat asalnya yang patut kita kaji kesesuaiannya untuk diterapkan di negara kita. Masyarakat petani kita memiliki seperangkat sistem nilai, falsafah, dan pandangan terhadap kehidupan (ideologi) mereka sendiri, yang perlu digali dan dianggap sebagai potensi besar di sektor pertanian. Sementara itu perubahan orientasi dari peningkatan produksi ke oreientasi peningkatan pendapatan petani belum cukup jika tanpa dilandasi pada orientasi kesejahteraan petani. Peningkatan pendapatan tanpa diikuti dengan kebijakan struktural pemerintah di dalam pembuatan aturan/hukum, persaingan, distribusi, produksi dan konsumsi yang melindungi petani tidak akan mampu mengangkat kesejahteraan petani ke tingkat yang lebih baik. Kisah suramnya nasib petani kita lebih banyak terjadi daripada sekedar contoh keberhasilan perusahaan McDonald dalam memberi “order’ kelompok petani di Jawa Barat. Industri gula dan usaha tani tebu serta usaha tani padi kini “sangat sakit” dengan jumlah dan nilai impor yang makin meningkat. Kondisi swasembada beras yang pernah tercapai tahun 1984 kini berbalik. Dan pemerintah mulai sangat gusar karena tanahtanah sawah yang subur makin cepat beralih fungsi menjadi permukiman, lokasi pabrik, gedung-gedung sekolah, bahkan lapangan golf. Jika kesejahteraan petani menjadi sasaran pembaruan kebijakan pembangunan pertanian, mengapa kata pertanian kini tidak banyak disebut-sebut? Mengapa Departemen Pertanian rupanya kini lebih banyak mengurus agribusiness dan tidak lagi 134
mengurus agriculture. Padahal seperti juga di Amerika departemennya masih tetap bernama Department of Agriculture bukan Department of Agribusiness? Doktor-doktor Ekonomi Pertanian lulusan Amerika tanpa ragu-ragu sering mengatakan bahwa farming is business. Benarkah farming (bertani) adalah bisnis? Jawab atas pertanyaan ini dapat ya (di Amerika) tetapi di Indonesia bisa tidak. Di Indonesia farming ada yang sudah menjadi bisnis seperti usaha PT QSAR di Sukabumi yang kemudian bangkrut, tetapi bisa tetap merupakan kehidupan (livelihood) atau mata pencaharian yang di Indonesia menghidupi puluhan juta petani tanpa menjadi bisnis.
Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Kini tidak mudah lagi menyepakati apa yang dimaksud dengan pembangunan Pertanian Berkelanjutan, karena berbagai peringatan dan “potensi penyimpangan” di masa lalu kurang mendapat perhatian. Pembangunan pertanian yang di atas kertas mendapat prioritas sejak Repelita I tokh kebijakan dan strateginya dengan mudah dilanggar, dan program-program “industrialisasi” lebih didahulukan. Sumber utama kekeliruan adalah lebih populernya model-model pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan yang lebih cepat meningkatkan produksi dan pendapatan (GDP dan GNP), meskipun tanpa disertai pemerataan dan keadilan sosial. Seharusnya kita tidak lupa peristiwa Malari Januari 1974 yang memprotes terjadinya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial padahal Repelita I pada saat itu baru berjalan 4,5 tahun, dan pertanian telah tumbuh rata-rata 5% per tahun. Pemerintah Indonesia yang waktu itu bertekad memulai dan meningkatkan programprogram pemerataan “termanjakan” oleh bonanza minyak yang dengan sangat mudah membelokkan dana-dana yang melimpah untuk “membantu” pengusaha-pengusaha swasta yang leluasa membangun segala macam industri subsistitusi impor dan kemudian industri promosi ekspor, kebanyakan dengan bekerjasama dengan investor asing, khususnya dari Jepang. Demikian sekali lagi telah terjadi ketidakseimbangan pembangunan antara industri dan pertanian, yang anehnya dianggap wajar, karena “model pembangunan yang dianggap benar adalah yang mampu meningkatkan sumbangan sektor industri dan “menurunkan” sumbangan sektor pertanian. Inilah suasana awal kelahiran dan mulai populernya ajaran “agribusiness” (agribisnis) yang menggantikan agriculture (pertanian). Jika kita ingin mengadakan pembaruan menuju Pertanian Berkelanjutan justru harus ada kesediaan meninjau kembali konsep dan pengertian sistem dan usaha agribisnis. Saya tidak sependapat agribisnis dimengerti sebagai “pertanian dalam arti luas” atau bahkan istilah pertanian sudah tidak lagi dianggap relevan dan perlu diganti agribisnis. Jika konsekuen Departemen Pertanian juga perlu diubah menjadi Departemen Agribisnis atau Institut Pertanian (INSTIPER) diganti menjadi Insitut Agribisnis. Kami menolak kecenderungan yang demikian yang di kalangan Fakultasfakultas Ekonomi kita juga sudah muncul keinginan mengganti nama Fakultas Ekonomi menjadi Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Memang di Amerika sudah banyak School of Business, dan Department of Economics hanya merupakan satu departement saja dalam School of Business. Kami berpendapat ini sudah kebablasan. Seharusnya kita di Indonesia tidak menjiplak begitu saja apa yang terjadi di Amerika jika kita tahu dan patut menduga hal itu tidak cocok bagi tatanan nilai dan budaya petani dan pertanian kita. 135
Kesimpulan Sistem ekonomi yang mengacu pada Pancasila yaitu Sistem Ekonomi Pancasila adalah sistem ekonomi pasar yang memihak pada upaya-upaya pewujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Meskipun pertanian berkelanjutan sudah dapat mencakup upaya-upaya mewujudkan keadilan namun pedoman-pedoman moralistik, manusiawi, nasionalisme, dan demokrasi/ ’kerakyatan’ secara utuh tidak mudah memadukannya dalam pengertian berkelanjutan. Asas Pancasila yang utuh memadukan ke-5 sila Pancasila lebih tegas mengarahkan kebijakan yang memihak pada pengembangan pertanian rakyat, perkebunan rakyat, peternakan rakyat, atau perikanan rakyat. Pertanian yang mengacu atau berperspektif Pancasila pasti memihak pada kebijakan yang mengarah secara kongkrit pada program-program pengurangan kemiskinan di pertanian dan peningkatan kesejahteraan petani. Misalnya dalam kasus distribusi raskin (beras untuk penduduk miskin), orientasi ekonomi Pancasila pasti tidak mengijinkan pengiriman raskin ke daerahdaerah sentra produksi padi karena pasti menekan harga jual gabah/padi petani. Demikian pula dalam kebijakan pengembangan Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) yang kini sudah dicabut, orientasi ekonomi Pancasila tidak akan membiarkan terjadinya persaingan sengit di antara petani tebu dalam menjual tebunya ke pabrik, dan sebaliknya pemerintah seharusnya tidak membiarkan pabrik-pabrik gula bertindak sebagai monopsonis (pembeli tunggal) yang menekan petani tebu dalam menampung tebu yang dijual oleh petani tebu rakyat Tinjauan aspek sosial-ekonomi pembangunan pertanian dan pengelolaan sumber daya alam yang kami sampaikan di sini berbeda atau mungkin berseberangan dengan kerangka pikir yang mengarahkan semua topik pada pengembangan sistem dan usaha agribisnis. Kami berpendapat istilah pertanian tetap relevan dan pembangunan pertanian tetap merupakan bagian dari pembangunan perdesaan (rural development) yang menekankan pada upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan penduduk desa, termasuk di antaranya petani. Fokus yang berlebihan pada agribisnis akan berakibat berkurangnya perhatian kita pada petani-petani kecil, petani gurem, dan buruh-buruh tani yang miskin, penyakap, petani penggarap, dan lain-lain yang kegiatannya tidak merupakan bisnis. Apakah mereka ini semua sudah tidak ada lagi di pertanian dan perdesaan kita? Masih banyak sekali, dan merekalah penduduk miskin di perdesaan kita yang membutuhkan perhatian dan pemihakan para pakar terutama pakar-pakar pertanian dan ekonomi pertanian. Pakar-pakar agribisnis rupanya lebih memikirkan bisnis pertanian, yaitu segala sesuatu yang harus dihitung untung-ruginya, efisiensinya, dan sama sekali tidak memikirkan keadilannya dan moralnya. Pembangunan pertanian Indonesia harus berarti pembaruan penataan pertanian yang menyumbang pada upaya mengatasi kemiskinan atau meningkatkan kesejahteraan mereka yang paling kurang beruntung di perdesaan.
(Ditulis bersama Profesor Mubyarto –alm-) 136
-30PERBANKAN KERAKYATAN (Studi Kasus Kabupaten Kulon Progo)27
Krisis moneter 1997/1998 telah membuka kesadaran masyarakat Indonesia akan rapuhnya tatanan/sistem keuangan yang setelah liberalisasi keuangan (Pakto 1988) didominasi oleh banyak bank dalam skala besar. Terjadinya krisis juga membuat masyarakat paham bahwa perbankan nasional lebih banyak melayani pengusaha skala besar (konglomerat), yang sayangnya tidak bertanggung jawab dan berlindung di balik fasilitas (kemudahan) dari pemerintah. Bermula dari kegagalan sistem keuangan konvensional (yang liberal) tersebut saat ini mulai banyak dikembangkan pemikiran dan praktek lembaga keuangan mikro (LKM). LKM sudah memiliki akar sejarah yang cukup panjang di Indonesia. Beragam model perkumpulan arisan (simpan pinjam) yang dikembangkan di banyak daerah perdesaan merupakan contoh bahwa masyarakat kita sudah lekat dengan tradisi keuangan mikro. Di sektor formal, keberadaan kredit skala kecil (kredit usaha perdesaan) yang dikembangkan BRI juga merupakan salah satu bentuk keuangan mikro yang melayani nasabah pengusaha kecil (miskin). Keuangan mikro juga telah lama dikembangkan melalui pengguliran dana dalam skema program penanggulangan kemiskinan, seperti IDT yang dilaksanakan mulai 1993/1994 selama tiga tahun. Program Takesra/Kukesra dilaksanakan pada tahun berikutnya di desa-desa non-IDT. Sampai saat ini pun program penanggulangan kemiskinan seperti PPK, P2KP, P4K, PDMDKE, dan program lainnya tetap dikembangkan melalui pendekatan keuangan mikro yang telah mengakar dalam tradisi sosial-ekonomi masyarakat. Kebijakan pemerintah yang lebih bias kepada usaha besar telah meminggirkan keuangan mikro, sehingga titik balik reformasi 1998 merupakan berkah bagi kebangkitan keuangan mikro di Indonesia. Keuangan mikro memang selalu diidentikkan dengan upaya mengembangkan usaha mikro yang sekaligus juga merupakan cara menanggulangai kemiskinan penduduk. Namun begitu, pada saat ini tidak mudah untuk mengenali keterkaitan langsung antara keuangan mikro dengan upaya-upaya menanggulangi kemiskinan melalui program-program yang dikembangkan. Salah satu masalah mendasar adalah sering tidak tepatnya alokasi dana kepada sasaran orang miskin yang telah ditentukan. Alasan kehati-hatian, mengurangi resiko, dan efisiensi dana sering dijadikan dalih untuk menggeser orientasi alokasi dana ke orang yang dinilai lebih layak (mampu mengembalikan), lebih membutuhkan, dan lebih dapat dipercaya, walaupun dapat ditunjukkan sebenarnya bahwa penduduk miskin tidak memiliki “tradisi ngemplang”,
27
Pernah dimuat di buku Keuangan Mikro Kulon Progo (editor Prof. Mubyarto)
137
seperti halnya tradisi yang justru ditumbuh-suburkan oleh pengusaha besar (konglomerat) di Indonesia. Kriteria miskin (yang memang beragam) tidak lagi dipegang sebagai dasar penentuan skala prioritas penyaluran sumber daya keuangan dan pemberdayaan penduduk miskin. Kendala moral memang dihadapi tidak saja oleh pengelola keuangan yang berkecimpung dalam aktivitas sosial-ekonomi masyarakat yang memegang prinsip “sithik eding” atau “dum-dil” (dibagi rata), namun juga oleh banyaknya “orang mampu” di perdesaan yang tidak cukup peka terhadap masalah kemiskinan. Di sisi lain, dalam aspek legal-formal, batasan mengenai skala usaha juga turut “mengkondisikan” terciptanya ruang-ruang pergeseran makna keuangan mikro dari tujuan/upaya penanggulangan kemiskinan. Walaupun “pengakuan” terhadap usaha mikro (ekonomi rakyat) telah mulai muncul namun pemberlakuan kriteria nilai omzet atau modal usaha mikro masih juga bias kepada “pengusaha besar” sehingga berpotensi menumbuhkan “predator-predator” yang siap berebut “kue pinjaman” berbunga murah, prosedur mudah, dan persyaratan ringan. Dalam PP No 5/1995 dan UU No 9/1995 misalnya, usaha kecil didefinisikan sebagai usaha dengan kategori omset maksimal 1 milyar, yang berarti usaha yang beromset Rp. 999 juta pun (nilai yang sangat besar dalam pandangan petani di perdesaan) dapat menikmati fasilitas kredit untuk usaha kecil dengan jumlah yang cukup besar (maksimum Rp 400 juta). Terlebih lagi kriteria BPPN yang mengkategorikan usaha kecil dengan maksimum kredit Rp 10 milyar. Departemen Koperasi dan PKM sendiri mematok kredit untuk usaha kecil maksimal Rp 5 milyar, sedangkan Bank Mandiri menggunakan nilai omset sebesar Rp 360 milyar sebagai patokan . Dalam berbagai tulisan di media juga disebutkan bahwa pengusaha kerajinan dengan pendapatan antara satu hingga dua juta rupiah per bulan diklasifikasi juga sebagai pengusaha mikro. Lalu bagaimana dengan banyaknya penduduk perdesaan (khususnya di Kulonprogo) yang memiliki pendapatan maksimal Rp 500.000 per bulan, atau bahkan 25,1 persen penduduk Kulon Progo yang pendapatannya di bawah garis kemiskinan kabupaten senilai Rp 105.404,-? Tidakkah usaha 112.246 orang (penduduk miskin di Kulon Progo) kemudian dapat disebut sebagai usaha “super-mikro”? Bagaimana upaya penanggulangan kemiskinan dapat dikatakan berhasil apabila mereka yang diperhatikan dan diberdayakan bukanlah termasuk penduduk yang benarbenar miskin. Sejauh ini belum ada data-data akurat dari berbagai pengelola program sejauh mana penduduk miskin telah berkurang, kesejahteraannya telah membaik, atau pendapatan mereka telah meningkat setelah dikembangkannya program-program bermodel keuangan mikro di wilayah perdesaan atau perkotaan. Masalah lain yang dihadapi penduduk miskin adalah ketidakpercayaan akan kemampuan mereka sendiri untuk memanfaatkan sumber-sumber keuangan mikro yang telah disediakan. Di samping kearifan untuk tidak berkeinginan tergantung pada “utang” dari pihak luar, kenyataan ini sebetulnya juga menggambarkan betapa sistem keuangan mikro melalui program penanggulangan kemiskinan menjadi kurang relevan, kurang akrab, atau pendekatan yang mengiringi program tersebut kurang sesuai dengan ciri-ciri penduduk miskin. Pada kenyataannya mereka tetap memerlukan sumber pembiayaan, yang dipenuhi dengan meminjam saudara/tetangga, rumah-rumah gadai, atau perkumpulan arisan. 138
Selain itu mereka pun tetap merasa “kekurangan dana”, berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar baik sehari-hari maupun insidental, misalnya untuk membayar sekolah anak, berobat, “sumbangan”, dan lain-lainnya. Secara tegas dinyatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang berhak untuk memanfaatkan sumber daya keuangan. Keadaan ini memberi pelajaran bahwa keuangan mikro tidak cukup hanya dikembangkan dengan pendekatan profesional (apalagi berorientasi pada pemupukan aset/omset), melainkan dengan pendekatan sosio-antropologis berbasis pada pemihakan dan perhatian tulus kepada penduduk miskin. Keuangan Mikro : Banking for the Poor ‘ala Kulon Progo Komitmen pemerintah kabupaten Kulon Progo untuk mengembangkan lembaga keuangan mikro merupakan wujud dari “pengakuan” terhadap kekuatan, peran, dan potensi ekonomi rakyat di kabupaten yang berpenduduk 446.843 jiwa itu. Kebijakan untuk mengalokasikan dana cadangan APBD sebesar Rp 22 milyar, yang populer disebut Dana Cadangan Pemberdayaan Desa (DCPD), merupakan langkah awal pemihakan terhadap pelaku ekonomi mayoritas penduduk di wilayah perdesaan tersebut. Dalam kontek ekonomi-politik, pengembangan keuangan mikro dapat dimaknai sebagai salah satu metode “redistribusi pendapatan” dan model investasi ekonomi rakyat. Sudah sepantasnya bila anggaran daerah dialokasikan utamanya kepada upaya peningkatan kesejahteraan penduduk miskin, melalui pengalokasian dana ke seluruh desa di Kabupaten Kulon Progo. Politik anggaran ini diperlukan untuk mengimbangi tatanan/sistem keuangan yang masih belum sepenuhnya memihak pada penduduk miskin. Sebagai ilustrasi, data Bank Pasar Wates tahun 2002 menunjukkan bahwa dari total simpanan masyarakat di bank tersebut sebesar Rp 24,94 milyar, hanya sebesar Rp 8,40 milyar (atau senilai 33,7%) yang disalurkan kembali dalam bentuk kredit kepada masyarakat. Walaupun ada kenaikan besar dibanding alokasi kredit tahun 2001 yang hanya Rp 1,98 milyar, namun belum dapat dipastikan berapa persen yang dinikmati oleh pengusaha mikro karena pembagian kredit adalah sebesar Rp 1,25 milyar untuk pedagang, dan Rp 7,1 milyar untuk lainnya . Sementara data BRI menunjukkan bahwa nilai tabungan masyarakat di BRI Wates sebesar Rp 107 milyar hanya sebesar Rp 32,68 milyar (atau senilai 30,3%) yang disalurkan dalam bentuk Kredit Usaha Perdesaan (Kupedes). Nilai ini masih jauh lebih kecil dibanding rasio Kupedes dan total simpanan di BRI Gunungkidul (Wonosari) sebesar 61,3%. Sedangkan perbandingan nilai Kupedes dengan nilai Simpedes di BRI Kulon Progo hanya sebesar 36,37%, dengan nilai Simpedes dan Kupedes masingmasing adalah sebesar Rp 89,84 milyar dan Rp 32,68 milyar. Keadaan ini mungkin menjadi salah satu pendorong dikembangkannya lembaga keuangan mikro di Kabupaten Kulon Progo, seperti halnya Kredit Makarya yang baru saja digulirkan BPD Kulon Progo. Di sisi lain pengembangan lembaga keuangan mikro dapat dijadikan media bagi pengembangan model investasi ekonomi rakyat kabupaten Kulon Progo. Penduduk Kabupaten Kulon Progo sebagian besar tinggal di wilayah perdesaan dengan mata pencaharian pokok bertani. Sampai tahun 2002 PDRB Kulon Progo masih didominasi oleh sektor pertanian dengan nilai sumbangannya sebesar 38,42% dari total PDRB 139
sebesar Rp 1.113,42 milyar (harga berlaku, 2002) . Investasi ekonomi rakyat di sektor pertanian perlu dikembangkan melalui penguatan modal dari berbagai sumber-sumber keuangan mikro karena sektor ini menjadi tumpuan ekonomi daerah yang menghidupi mayoritas penduduk dan lebih dapat dipercaya memajukan perekonomian yang dapat mewujudkan pemerataan dan keadilan sosial. Pengembangan keuangan mikro diperlukan untuk membangun kekuatan ekonomi daerah Kulon Progo yang berbasis sumber daya lokal, kemandirian, dan keberlanjutan. Untuk itu dapat dipelajari kemungkinan pengembangan tiga model lembaga keuangan mikro yang lazim diterapkan di negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Model pertama adalah banking of the poor, yang mengupayakan pendanaan keuangan mikro dari anggota dan disalurkan ke anggota kelompok itu sendiri. Model ini telah dikembangkan dengan baik di beberapa desa di Kulon Progo melalui kelompok-kelompok arisan simpan pinjam, IDT, dan Bandus, walaupun masa programnya sudah berakhir namun program-program tersebut masih dikembangkan masyarakat secara swadaya sampai sekarang. Model kedua adalah banking with the poor, dimana bank berusaha menyesuaikan kriteria perbankan dengan kelompok jika perlu disertai perantara seperti Lembaga Pendamping Usaha Mikro (LPUM). Model ini telah lama dikembangkan oleh banyak LSM seperti Bina Swadaya di beberapa wilayah di Indonesia. Sedangkan model ketiga adalah banking for the poor, yang melakukan penghimpunan dana dari pihak ketiga baik pemerintah, lembaga donor, yayasan, dan lain-lain untuk disalurkan kepada penduduk miskin (pelaku usaha mikro) . Pada awalnya program-program penanggulangsn kemiskinan seperti IDT, Takesra/Kukesra, dan PPK menggunakan model ini dengan menyalurkan dana dari APBN atau dari lembaga lain. Model ini yang pada awalnya juga akan dikembangkan oleh pemerintah Kabupaten Kulon Progo melalui alokasi dana APBD yang dipopulerkan dengan istilah “dana abadi: untuk pemberdayaan penduduk Kulon Progo. Masalah yang timbul adalah bagaimana menempatkan lembaga keuangan mikro yang baru di tengah maraknya model keuangan mikro utamanya dari program penanggulangan kemiskinan seperti PPK, IDT, atau program lain. Walaupun berbagai program tersebut memiliki lingkup berbeda dan keterbatasan yang dihadapi, namun memang perlu ada spesifikasi yang dapat dijadikan “positioning” bagi lembaga keuangan mikro yang akan dibentuk. Jangan sampai keberadaan LKM baru justru menjadi sumber masalah baru di masyarakat perdesaan, termasuk kekhawatiran akan tumbuhnya budaya “gali lobang tutup lobang” dalam berhutang karena banyaknya sumber keuangan yang dapat dijangkau. Selain itu tidak diperhatikannya pola-pola tradisional masyarakat dalam pengelolaan keuangan justru dapat menjauhkan keuangan mikro dari tujuan melayani penduduk miskin di perdesaan. Di Kulon Progo sendiri terdapat berbagai pola/sistem perguliran dana yang berbeda satu sama lain, baik menyangkut pola angsuran (bulanan/ musiman), maupun dalam hal penentuan alokasi (pemanfaatan) jasa/bunga pinjaman. Kemiskinan, Ekonomi Kerakyatan, dan Keuangan Mikro Penerapan ekonomi kerakyatan (demokrasi ekonomi) sebagai suatu sistem ekonomi yang memihak ekonomi rakyat dipercaya dapat dijadikan metode untuk menanggulangi kemiskinan. Dalam demokrasi ekonomi penduduk miskin diberi 140
kesempatan untuk ikut berperan dalam setiap kegiatan atau program ekonomi, baik dalam proses perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi. Masalah yang biasanya muncul adalah timbulnya “gejala ketidakpercayaan” terhadap kemampuan penduduk miskin yang akhirnya menghambat upaya pemberdayaan terhadap mereka. Keadaan ini sebenarnya merupakan akibat dari tarik ulur kepentingan yang disebabkan juga oleh ketidakpercayaan di setiap level birokrasi pemerintahan. “gejala ketidakpercayaan” ini merupakan sisa-sisa warisan sistem politik-ekonomi sentralismeotoriter Orde Baru yang dikembangkan atas dasar paradigma top-down. Pemerintah pusat tidak “sepenuh hati” percaya kepada kapasitas pemerintah kabupaten, yang juga menjadi “tidak percaya sepenuh hati” kepada level pemerintahan dibawahnya, baik tingkat kecamatan maupun desa dan dusun. Ujung-ujungnya adalah ketidakpercayaan setiap level pemerintahan tersebut terhadap kemampuan penduduk miskin di perdesaan untuk mengelola sumber daya baik sumberdaya alam maupun keuangan. Kenyataan ini mempengaruhi pertimbangan dalam penentuan lingkup pengelolaan lembaga keuangan mikro yang akan didirikan di Kabupaten Kulon Progo. Jika demokrasi ekonomi dipercaya dapat menjadi pilar pengembangan ekonomi rakyat maka berkaitan dengan lingkup pengelolaan keuangan mikro perlu diperhatikan beberapa acuan/kriteria dasar yang menjadi ciri penerapan demokrasi ekonomi. Pertama : kepercayaan kepada penduduk miskin, bahwa mereka mampu untuk tidak saja memanfaatkan sumber keuangan mikro namun juga sanggup untuk mengelolanya. Fakta-fakta menunjukkan bahwa penduduk miskin di beberapa perdesaan Kulon Progo sampai saat ini masih aktif mengelola dana IDT, Bandus, dan arisan simpan pinjam dengan nilai modal mencapi lima hingga tujuh juta rupiah, tanpa ada persoalanpersoalan (kemacetan) yang berarti. Berbagai masalah berkaitan dengan pengembalian pinjaman lebih disebabkan karena kinerja dan moralitas pengurus yang buruk, serta tidak sungguh-sungguhnya pengelola program dalam memberdayakan penduduk miskin. Kedua : akses yang luas kepada penduduk miskin untuk memanfaatkan sumber keuangan mikro yang tersedia. Masalah yang dihadapi penduduk miskin (termasuk di Kulon Progo) adalah relatif panjangnya prosedur dan jauhnya pusat layanan keuangan mikro sehingga sebagian mereka tidak dapat menjangkau manfaat dana tersebut. Mobilitas penduduk perdesaan yang mayoritas bekerja sebagai petani tradisional (semisubsisten) relatif rendah sehingga pendekatan yang mungkin diterapkan adalah “pola jemput bola”, sebuah pendekatan yang sudah lazim dikembangkan oleh masyarakat perdesaan sendiri. Beragam sumber keuangan mikro ternyata bukan jaminan mudahnya akses bagi usaha mikro atau usaha “super-mikro” jika sistem atau polanya tidak didasarkan pada prinsip kedekatan layanan, prioritas penduduk miskin, dan penyesuaian terhadap tradisi sosial-ekonomi masyarakat perdesaan. Ketiga : kesempatan bagi penduduk perdesaan untuk melakukan pengawasan (kontrol) terhadap pengelolaan dan pencapaian tujuan lembaga keuangan mikro. Paradigma lama menitikberatkan pengawasan secara top-down, yaitu pengawasan dari level pemerintahan teratas hingga ke level yang paling bawah. Hal ini mendasari adanya pandangan bahwa lingkup pengelolaan keuangan mikro sebaiknya pada level yang memudahkan pengawasan oleh pemerintah kabupaten sehingga kinerja keuangan mikro dapat terus dipantau dan dievaluasi. Namun hal itu mengakibatkan minimnya 141
kesempatan masyarakat perdesaan untuk ikut mengawasi pengelolaan keuangan mikro karena daya jangkau mereka yang menjadi terbatas. Pengalaman menunjukkan bahwa lemahnya kontrol masyarakat menjadi sebab utama terjadinya berbagai penyimpangan dalam penyaluran dan pengelolaan kredit mikro di perdesaan. Keempat : pengelolaan keuangan mikro dijiwai oleh semangat pemberdayaan untuk mencapai tujuan pemerataan, keadilan, dan efisiensi. Pemberdayaan penduduk miskin di perdesaan perlu dilakukan sehingga mereka dapat mengaktualisasikan peran dan potensi mereka dalam mengelola lembaga keuangan mikro. Penduduk miskin di perdesaan dapat diberdayakan melalui pelatihan dan pendampingan dengan tujuan agar mereka tidak saja dapat memanfaatkan namun juga mampu mengelola keuangan mikro. Tujuan pemerataan dan keadilan hanya dapat tercapai apabila ada kemauan (dan pemihakan) yang kuat untuk menjadikan penduduk miskin di perdesaan sebagai pelaku utama dan prioritas dalam pengambilan kebijakan. Beberapa nilai dasar demokrasi ekonomi tersebut merupakan pertimbangan utama dalam penentuan lingkup pengelolaan dan pola operasional lembaga keuangan mikro di Kulon Progo. Selama ini masih banyak anggapan dan pemahaman umum yang keliru tentang hakikat kemiskinan di seluruh dunia yaitu bahwa mereka menjadi miskin karena hambatan-hambatan budaya, kurang berusaha, agama yang tidak mendukung, tak bersemangat, atau hidup bermalas-malas. Anggapan-anggapan ini semuanya keliru. Yang benar, mereka yang dianggap dan nampak miskin itu sebenarnya adalah pekerja keras yang mampu menggunakan segala cara untuk bertahan hidup. Itulah cara-cara berekonomi dari rakyat, itulah ekonomi rakyat. Ekonomi rakyat adalah cara-cara rakyat memecahkan masalah ekonominya (solution), dan keliru sekali jika justru fakta dan cara-cara kerja mereka itu dianggap sebagai “masalah” dan “beban” ekonomi bangsa. Jika keuangan mikro dikembangkan untuk memberdayakan penduduk miskin maka pemerintah kabupaten perlu belajar dari mereka, dalam mengelola modal sosial yang mereka miliki. Pelaku ekonomi rakyat (usaha mikro penduduk miskin) di Kabupaten Kulon Progo memiliki modal sosial yang mendukung pengembangan keuangan mikro, yaitu berupa rasa tanggung jawab yang tinggi, solidaritas dan kegotongroyongan yang kental, serta tradisi sejarah yang panjang dalam mengembangkan sumber keuangan di perdesaan. Usaha mikro yang masih bertahan dan bahkan berkembang saat ini menunjukkan bahwa penduduk miskin memiliki pengalaman dan strategi sendiri dalam menghadapi setiap masalah hidup (survival strategy). Di samping itu, tingkat kesadaran yang tinggi akan pentingnya pendidikan bagi anak-anak mendorong masyarakat perdesaan di Kulon Progo untuk senantiasa mengupayakan cara guna memenuhi kebutuhan akan masa depan anak-anak mereka. Keuangan mikro harus dikembangkan dengan rasa empati terhadap keadaan dan semangat hidup penduduk miskin di Kulon Progo, dengan keyakinan bahwa keuangan mikro merupakan salah satu jalan bagi upaya menanggulangi kemiskinan mereka. Tidak berlebihan jika Prof. Muhammad Yunus (pendiri Grammen Bank di Banglades) menggelorakan idealisme melalui ungkapannya : “suatu hari nanti anak cucu kita akan pergi ke musium dan belajar tentang kemiskinan dari sana”.
142
-31MODEL DESA EKONOMI KERAKYATAN (Studi Kasus di Kutai Barat)28
Mensejahterakan rakyat tidak perlu ‘dalam waktu yang sesingkat singkatnya’, karena pengorbanannya akan terlalu besar A,W, Abidin (Petinggi Kampung Jerang Melayu, Kutai Barat)
Paham globalisme (kapitalisme global) yang melandasi proses globalisasi telah memaksa banyak pemerintah negara sedang berkembang termasuk Indonesia untuk menerima segala ketentuan politik-ekonomi global, termasuk yang merugikan pelaku ekonomi rakyat kita. Gagasan pemberdayaan ekonomi rakyat hanya merupakan bagian kecil dari gagasan yang dianggap “besar dan benar” seperti privatisasi dan liberalisasi perdagangan melalui kebebasan impor, penghilangan hambatan tarif, dan peniadaan segala bentuk proteksi yang selama ini dianggap hanya dilakukan negara-negara sedang berkembang. Secara jelas kebijakan ekonomi pemerintah untuk memihak ekonomi rakyat telah dibelokkan dengan nasihat-nasihat yang “menjerumuskan” untuk menghapuskan subsidi dengan dalih efisiensi dan mengganggu mekanisme pasar. Padahal kebijakan yang juga berdasar nasihat lembaga asing berupa rekapitalisasi dan restrukturisasi perbankan telah “menyandera” pemerintah untuk mengeluarkan dana APBN yang sangat besar (Rp 650 trilyun) untuk membiayai program-program tersebut. Apakah dana yang disuntikkan kepada pelaku ekonomi besar tidak bisa disebut sebagai subsidi? Kebijakan-kebijakan yang kontradiktif inilah yang turut melanggengkan tatanan ekonomi-politik yang bersifat kapitalistik yang pada akhirnya memunculkan kondisi kemiskinan pelaku ekonomi rakyat, yang disebut kemiskinan struktural. Sampai saat ini pemerintah dan kebanyakan ekonom masih berkeyakinan bahwa masuknya kembali investasi (asing) dan integrasi ke dalam tatanan globalisme merupakan jalan yang paling masuk akal guna memulihkan kembali ekonomi Indonesia. Berbagai paket kebijakan dikeluarkan dengan tujuan memberikan “kemudahan” bagi pemilik modal (besar) untuk menanamkan uang mereka yang diharapkan dapat memacu pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesempatan kerja. Sejarah kacaunya perekonomian nasional, terutama di sektor moneter-perbankan, yang merupakan ekses liberalisasi keuangan dan investasi seolah terlupakan dari ingatan kita. Kita tidak lagi menyadari betapa kita tidak dapat “menggantungkan harapan” kemajuan sosial-ekonomi masyarakat di pundak investor-investor global yang selalu bermotif mengejar keuntungan maksimum bagi diri dan perusahaan meraka.
28
Pernah dimuat di Buku Kutai Barat Mengembangkan Ekonomi Kerakyatan (editor Prof. Mubyarto)
143
Selama ini pun ekonomi rakyat, yang merupakan pelaku ekonomi terbesar di Indonesia dengan modal kemandirian, pergulatan panjang melawan kemiskinan, dan teknologi sederhana, seolah-olah hanya menjadi “pelengkap penderita” dalam hirukpikuknya perilaku “ekonomisme” dalam tatanan politik-ekonomi kapitalisme global. Banyak orang tidak mau mengakui bahwa ekonomi rakyat adalah tulang punggung ekonomi bangsa, yang memiliki “kearifan lokal” mereka sendiri dalam berinvestasi, berproduksi, bahkan dalam menikmati apa yang sudah mereka hasilkan. Nun jauh di Kampung Jerang Melayu, Kabupaten Kutai Barat kita dapat belajar (untuk mengakui) bahwa yang perlu dikembangkan, dan perlu mendapat “pemihakan” pemerintah adalah investasi oleh ekonomi rakyat, bukannya mengekor pada gagasan pasar bebas (globalisme).
Sebagai bagian kecil dari wilayah NKRI, kampung Jerang Melayu juga turut merasakan pahitnya sentralisasi kekuasaan politik-ekonomi yang berakibat terkurasnya sumber daya alam yang ada. Kemiskinan yang ada sekarang pun tidak terlepas dari sejarah panjang “pembodohan” dan “penipuan” elit negara dan kaum kapitalis terhadap rakyat perdesaan, tak terkecuali Kampung Jerang Melayu. Sejak 58 tahun kemerdekaan RI, sebagian besar penduduk Jerang Melayu masih belum dapat merasakan nikmatnya menggunakan listrik, terlebih lagi air bersih (PAM). Baru 15 kk yang memiliki generator dengan swadaya sendiri, sedangkan untuk keperluan MCK sungai Kedang Pahu masih menjadi andalan penduduk kampung. Masih mujur terdapat sebuah sekolah dasar negeri yang dapat menampung 42 anak kampung dengan 3 orang guru (PNS), dan 2 guru honorer (PTT), walaupun untuk dapat memanfaatkan sarana kesehatan masyarakat diperlukan perjalanan 2 jam ke puskesmas terdekat di Kecamatan Muara Pahu. Masyarakat Jerang Melayu bukanlah tipe masyarakat yang malas dan enggan mengubah nasib dan kondisi kemiskinan mereka. Berbagai macam usaha telah mereka tempuh mulai dari mencari ikan, menanam rotan, buah-buahan, memelihara ternak, mengolah sawah, hingga mencoba mengubah nasib ke luar kampung. Bekerja dari pagi hingga sore hari, bergelut dengan alam, namun seolah kesejahteraan belum berpihak kepada mereka. Seperti halnya Indonesia, negeri yang kaya sumber daya alam dan manusia, harus terpuruk dalam ketergantungan politik-ekonomi kepada negara lain, Kampung Jerang Melayu (dan Kalimantan Timur pada umumnya) harus merasakan kemiskinan di tengah pengurasan hasil hutan, batu bara, emas, dan kekayaan lain yang berlebihan di ‘tanah’ mereka. Kondisi ini menimbulkan dugaan bahwa masyarakat memang "termiskinkan", baik oleh struktur, maupun oleh sistem (aturan main) ekonomi-politik yang ada. Berbeda dengan ekonomi Indonesia yang "terpaksa" menumpukan harapan pada "dukungan" lembaga internasional (IMF, Bank Dunia) dan investor (pemilik modal asing), kampung Jerang Melayu memilih untuk berjuang secara mandiri, mengikis ketergantungan terhadap alam dan menolak intervensi perusahaan. Pengalaman mengamati interaksi penduduk kampung dengan perusahaan swasta yang lebih banyak merugikan, membawa Pak A.W. Abidin (49th) kepala kampung Jerang Melayu berkesimpulan bahwa “ekonomi rakyat Jerang Melayu lebih baik dikembangkan tanpa masuknya perusahaan”. Cerita-cerita yang pernah didengar bahwa perusahaan dapat menampung tenaga kerja lokal, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan membantu 144
mengurangi kemiskinan penduduk telah terkubur oleh kenyataan yang dilihatnya di lapangan. Beroperasinya perusahaan swasta (eksplorasi batu bara) di sekitar sungai Kedang Pahu telah mengakibatkan berkurangnya sumber penghidupan masyarakat berupa ikan dan hasil hutan. Selain itu tidak diperhatikannya dampak lingkungan telah menyebabkan timbulnya pencemaran dan pendangkalan sungai yang berujung pada menyebarnya berbagai penyakit. Terlebih lagi perilaku sejumlah perusahaan swasta yang tidak bertanggung jawab dan lebih mengejar keuntungan pribadi menambah panjang daftar "ketidakpercayaan" masyarakat terhadap investasi dari luar.
Kemiskinan dan Investasi Ekonomi Rakyat Jika pemerintah dan para ekonom banyak yang meragukan (dan tidak mau mengakui) kekuatan ekonomi rakyat, maka pelajaran dari Kampung Jerang Melayu dapat dijadikan bahan kajian. Sejak kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada tahun 1997 yang menghanguskan sebagian besar hasil tanaman siap panen, hingga kini ekonomi rakyat Jerang Melayu masih tetap bertahan. Walaupun dalam taraf kemiskinan yang dihadapi, hal itu tidak membuat mereka "mengemis" dana-dana bantuan, modal usaha, ataupun faslitas lainnya. Hal ini berbeda dengan para konglomerat (pengusaha besar) yang "merengek" untuk meminta subsidi, dana BLBI, pengampunan utang (R & D), yang harus dibayar mahal (ratusan trilyun) dengan obligasi pemerintah (uang rakyat). Kenyataan yang ironis ini sering diartikan bahwa karena ekonomi rakyat sudah tahan banting maka tidak perlu mendapat alokasi anggaran dan kebijakan. Kesimpulan yang seharusnya diambil adalah bahwa ekonomi rakyat lebih efisien, dan adil apabila pemerintah mendorong dikembangkannya "investasi oleh dan untuk ekonomi rakyat". Tidakkah investasi pemodal besar (asing) terbukti lebih beresiko dan selalu self-profit oriented?. Saat ini masyarakat Kampung Jerang Melayu sedang mencoba membuka kembali lahan persawahan yang sudah ditinggalkan sejak 3 tahun yang lalu. Memang banyak kendala yang dihadapi dalam upaya pengembangan pertanian rakyat tersebut. Masalah yang dihadapi adalah masih besarnya ketergantungan usaha pertanian mereka terhadap alam. Keadaan yang lazim dialami petani di daerah lain adalah banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Selain itu masalah lain yang dihadapi adalah terbatasnya teknologi pertanian, minimnya modal untuk pengadaan bibit dan pupuk, serta serangan hama tikus, belalang, dan rumput liar yang dapat mematikan tanaman mereka. Berkaitan dengan usaha perkebunan karet dan rotan masyarakat mengalami kendala jatuhnya harga saat panen karena “eksploitasi” tengkulak yang datang ke kampung. Masyarakat tidak dapat menentukan harga karena posisi tawarnya yang lemah dan belum adanya alternatif pemasaran (pengumpul) di wilyah lain. Khusus untuk usaha perikanan, pak A.W. Abidin (49th) mengungkapkan bahwa lahan yang dapat digunakan penduduk untuk menangkap ikan sangat terbatas, sehingga hasilnya hanya untuk konsumsi sehari-hari. Minimnya sarana transportasi (tidak ada jalan tembus), komunikasi (hanya ada 1 orang yang punya HT), dan informasi juga menyebabkan sulitnya pemasaran dan akses masyarakat ke pasar. 145
Sebenarnya masyarakat kampung sudah mempunyai skenario untuk mengembangkan investasi ekonomi rakyat dan memecahkan berbagai kendala yang mereka hadapi. Untuk mengatasi pengaruh musim misalnya, masyarakat berprakarsa untuk membuat bendungan kecil (DAM) di sungai Jerang sehingga dapat dijadikan alternatif pengairan bagi lahan persawahan mereka, sekaligus tempat pembudidayaan ikan. Sementara untuk mengembangkan potensi perikanan masyarakat mempunyai gagasan untuk membuat terusan (kanal) di sungai Kedang Pahu yang dapat dijadikan lahan bagi pengembangan usaha keramba dan wilayah kelola perikanan rakyat. Usulan-usulan investasi ini sudah disampaikan kepada pemerintah daerah namun sampai saat ini hasilnya belum ada. Pemecahan yang direncanakan pun masih mempunyai keterbatasan untuk direalisasikan, terutama berkaitan dengan minimnya daya dukung keuangan msyarakat. Kelompok usaha tani yang beranggotakan 61 orang masih belum sanggup mengerjakan rencana investasi bersama mereka. Masyarakat kampung Jerang Melayu melalui petinggi-petinggi mereka tidak tinggal diam dan putus harapan untuk mencari jalan mewujudkan harapan mereka. Mungkinkah diperoleh “dana perimbangan” kampung dari APBD Kutai Barat?
Pembangunan Alternatif berbasis Modal Sosial Potensi besar dibalik kemiskinan penduduk Jerang Melayu adalah tingkat ketimpangan sosial-ekonomi masyarakat yang relatif lunak. Untuk tetap mempertahankan kondisi kemerataan ini masyarakat Jerang Melayu percaya bahwa usaha yang harus mereka kembangkan adalah usaha bersama yang bersifat mandiri dan berciri kekeluargaan, kegotongrotongan, dan rasa persamaan nasib. Manusia dilahirkan untuk hidup bersama dan membawa sifat dasar sebagai makhluk sosial (homo socius), makhluk beretika (homo ethicus), dan makhluk ekonomi (homo economicus). Keputusan untuk mengembangkan ekonomi rakyat dan bukannya mati-matian merangsang masuknya investor dari luar menunjukkan keinginan masyarakat Jerang Melayu untuk memprioritaskan pemerataan bukannya pertumbuhan ekonomi. Hal ini sesuai dengan ungkapan Pak Abidin (kepala kampung) bahwa jika pemerintah ingin mensejahterakan rakyat maka tidak perlu dicapai “dalam waktu sesingkat-singkatnya” karena pengorbanannya akan sangat besar. Pembangunan yang dipercepat pastilah membawa ekses yang justru menjauhkan dari tujuan mensejahterakan rakyat. Seperti halnya pembangunan ekonomi Indonesia yang bersifat top down dan mendasarkan pada keyakinan berlakunya trickle down effect justru berakibat pada peminggiran hak, eksploitasi SDA secara berlebihan, penggusuran, dan akhirnya menimbulkan kemiskinan struktural yang sulit disembuhkan. Masuknya perusahaan swasta (Multi National Coorporation/MNCs) untuk mengelola (mengeksploitasi) lahan dan kekayaan alam kampung dalam jangka pendek memang menggiurkan masyarakat. Iming-iming ganti rugi, direkrut sebagai tenaga kerja, dan bujukan lain merupakan jalan beralihnya kontrol dan akses penduduk ke sumber penghidupan mereka yaitu tanah, lahan, dan hutan. Pengurus kampung sadar bahwa lebih banyak konflik yang telah diciptakan dari pengelolaan SDA oleh investor 146
dan lebih mungkin terkikisnya pola hubungan sosial dan persaudaraan diganti dengan paham ekonomisme, uangisasi, kapitalisme, sebagai akibat berubahnya pola pemilikan dan sistem produksi di masyarakat kampung. Kemungkinan terwujudnya demokrasi ekonomi (ekonomi kerakyatan) dimana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, dibawah pimpinan atau penilikan anggota masyarakat menjadi lebih sulit. Kesempatan masyarakat Jerang Melayu untuk mengelola lahan sesuai dengan keinginan dan kearifan lokal mereka pun akan menjadi lebih terbatas atau bahkan hilang. Pola produksi berganti menjadi buruh-majikan, dengan menggantungkan harapan kesejahteraan masyarakat pada "belas kasihan" para elit perusahaan. Kepala kampung Jerang Melayu menegaskan bahwa dia tidak anti perusahaan swasta, namun sekali lagi dia dan masyarakatnya saat ini memilih untuk membangun ekonomi masyarakat berdasar potensi dan modal sosial (social capital) yang dimikiki. Kemauan sosial (social will) masyarakat Kampung Jerang Melayu untuk mengembangkan ekonomi usaha bersama dalam suasana egalitarian. kekerabatan, keterbukaan (semangat berinteraksi dengan “dunia luar), dan kerja sama (bukannya kompetisi) merupakan modal dasar bagi pembangunan sosial-ekonomi kampung tersebut. Kepercayaan bahwa aktivitas ekonomi harus dipadukan dalam kerangka aktivitas sosial masih sangat mewarnai kehidupan sehari-hari penduduk. Pengejaran pada kemajuan ekonomi (materiil) semata hanya akan menumbuhsuburkan paham individualisme, materialisme, dan berujung pada terciptanya sistem kapitalisme di masyarakat. Konsep ekonomi (economics) yang berarti mengatur rumah tangga, ternyata telah “mengajari” orang bersikap individualistis yaitu mengajarkan bagaimana mengatur atau mengelola kekayaan pribadi agar semakin besar (tanpa batas) dengan mengabaikan dampak sosial atau akibat yang bisa merugikan orang lain. (Mubyarto. 1999)
Mirco Bunc dalam bukunya Global Economy In The Age of Science-Base Knowledge menggagas sebuah istilah atau ilmu baru yang dikenal dengan sosionomi, yaitu ilmu yang mengatur dan mengelola kehidupan manusia yang hidup bersama (the science of organizing and managing people living together): Socionomy is both a theory and the science of a new search of wealth based on the knowledge of new socio-environtmental, socio-economic, and capital structure, changes and developments . Jauh di kampung Jerang Melayu masyarakatnya sudah melakukan praktek-praktek sosionomi berpijak pada kearifan lokal dalam berinteraksi dengan Tuhan, alam, dan sesama manusia, Globalisme, Kemiskinan, Kekuatan Ekonomi Rakyat Jika kemiskinan dianggap sebagai masalah struktural, akibat ketimpangan politikekonomi global, kebijakan dan aturan yang lebih menguntungkan pihak yang kuat, maka pemecahannya seharusnya juga bersifat fundamental (mendasar). Dalam hal ini pemerintah, sebagai elit pemimpin yang melaksanakan kedaulatan rakyat, seharusnya aktif berperan dalam mengatasi berbagai masalah pengembangan ekonomi rakyatnya. Untuk itu diperlukan “pemihakan” sepenuhnya oleh pemerintah terhadap pelaku 147
ekonomi rakyat dalam bentuk perlindungan dari dampak negatif liberalisme dan kapitalisme pada tingkat lokal dan global. Sampai saat ini perhatian pemerintah nampaknya masih sebatas kemauan politik yang belum direalisasikan di lapangan. Di kampung Jerang Melayu sendiri pun belum banyak upaya yang dilakukan untuk membantu berkembangnya ekonomi rakyat. Program penanggulangan kemiskinan belum sampai ke masyarakat kampung, kecuali sebatas raskin yang juga hanya dikonsumsi sebagian kecil penduduk yang memiliki uang saja. Sebagai daerah yang masih muda (3 tahun) masih cukup peluang untuk meletakkan pondasi bagi pengembangan ekonomi kerakyatan berbasis pada pemberdayaan ekonomi rakyat di kampung-kampung. Secara umum kebijakan yang dijiwai gagasan pasar bebas global terbukti berperanan besar dalam memerosokkan kesejahteraan pelaku ekonomi rakyat terutama yang bergerak di sektor pertanian. Penurunan bea masuk komoditi pertanian yang berujung pada meluasnya impor komoditi gula, beras, dan daging, telah memaksa petani kita untuk menjual produk mereka dengan harga murah sehingga kesejahteraan mereka tetap rendah. Kondisi inilah yang diinginkan oleh negara-negara maju penganjur globalisasi supaya produk mereka dapat menguasai pasar negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Kita perlu waspada jangan sampai bangsa kita digiring hanya sekedar menjadi “bangsa konsumen” yang selalu “diiming-imingi” manfaat harga murah sesaat dari sistem pasar bebas atau “bangsa makelar” yang hanya bisa menjual produk negara lain tanpa peduli dengan pemberdayaan pelaku ekonomi rakyat sebagai produsen potensial penyangga masa depan bangsa. Oleh karena itu upaya pemberdayaan ekonomi rakyat dan penanggulangan kemiskinan tidak akan berhasil tanpa adanya kesadaran untuk mengoreksi tatanan ekonomi-politik yang cenderung timpang baik dalam skala global maupun nasional. Diperlukan dua langkah dari segenap komponen bangsa kita, terutama pemerintah selaku pengambil kebijakan dan para ekonom-politisi yang selama ini turut memberikan nasihat teoritis dan kebijakan di negara kita. Langkah pertama adalah membendung pengaruh negatif berkembangnya paham globalisme pasar bebas sebagai bagian dari skenario kapitalisme global dengan tidak begitu saja menerima segala teori, kebijakan, dan agenda-agenda global tanpa adanya signifikansi dengan perjuangan untuk memberdayakan pelaku ekonomi rakyat, penanggulangan kemiskinan, dan pembebasan negara kita dari ketergantungan politik-ekonomi dari negara atau lembaga apapun. Dalam hal ini pemerintah dan para ekonom seharusnya menjadi penganjur utama untuk memperjuangkan kemandirian bangsa bukannya tunduk pada positivisme ilmu yang belum tentu benar dan sesuai untuk memperbaiki nasib rakyat Indonesia. Langkah kedua, sudah saatnya kita mengembangkan sistem ekonomi alternatif yang lebih sesuai dengan ciri khas kehidupan sosial-ekonomi riil (real-life economy) rakyat Indonesia. Sistem ekonomi yang perlu dikembangkan bersumber dari nilai-nilai Pancasila yang merupakan ideologi pemersatu bangsa Indonesia yang sekaligus merupakan sistem ekonomi untuk mengoreksi tatanan ekonomi yang cenderung liberal-kapitalistik. Sistem ekonomi yang disebut sebagai Sistem Ekonomi Pancasila ini merupakan 148
manifestasi perjuangan untuk menegakkan demokrasi ekonomi dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang berbasiskan pada nilai-nilai moral (Ketuhanan), kemanusiaan, dan kebangsaan (nasionalisme ekonomi). Dalam demokrasi ekonomi yang mengacu pasal 33 UUD 1945 pemerintah daerah perlu membangun perannya untuk bersama-sama dengan rakyat mengelola segala kekayaan alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak di Kutai Barat, seperti air, tambang, hewan, hutan, dan lainnya. Liberalisasi pengelolaan SDA oleh investor swasta tidak dapat diharapkan mensejahterakan penduduk kampung. Hasil kajian di Kampung Jerang Melayu dapat dijadikan model bagi pengembangan ekonomi kerakyatan, yaitu aturan main berekonomi yang memihak ekonomi rakyat, berpijak pada upaya pemerataan, dan berupaya mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat. Pengembangan sistem ekonomi kerakyatan diharapkan dapat menjadi modal “melawan” globalisme yang berakibat pada ketergantungan total ekonomi rakyat terhadap perusahaan dan lembaga global. Ekonomi rakyat yang terbukti memiliki daya tahan tinggi dalam menghadapi krisis seharusnya memberi pelajaran kepada pemerintah dan ekonom-ekonom kita untuk lebih serius lagi menjadikan penguatan peran ekonomi rakyat sebagai agenda besar pembangunan ekonomi bangsa. Ketidakpercayaan terhadap ekonomi rakyat, yang sebenarnya adalah wujud ketidakpercayaan diri (inferiority complex), merupakan kendala bangsa kita untuk benar-benar dapat lepas dari ketergantungan ekonomi terhadap negara/lembaga luar negeri seperti IMF. Hal ini pula yang mendorong lebih dominannya kebijakan yang berorientasi pada merangsang masuknya investasi asing dengan melupakan investasi yang telah dilakukan pelaku ekonomi rakyat dalam skala kecil namun yang nilai totalnya sangat besar.
149
-32PESAN ANTI-NEOKOLONIALISME DARI YOGYAKARTA
“Entahlah, mengapa kita menggadaikan negeri ini kembali ke kaum penjajah, yang sepanjang sejarah sudah kita lawan bersama”. Demikian salah satu butir perenungan Sri Sultan HB X dalam orasi budayanya pada Malam Bakti Ibu Pertiwi di Pagelaran Kraton, 7 April 2007 yang lalu. Sultan pun nampaknya ingin menggugah nasionalisme kita dengan menukil lagu kebangsaan: “bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya...”, di awal dan akhir orasinya. Sayang keprihatinan Sultan itu tidak mendapat respon yang memadai. Masyarakat dan tokoh Jogja lebih tertarik berpolemik menanggapi peryatakan Sultan yang tidak bersedia lagi menjabat sebagai Gubernur/Kepala Daerah Propinsi DIY pada purna jabatan tahun 2003-2008 nanti. Polemik mengarah pada RUU Keistimewaaan DIY yang terkait dengan model kepemimpinan lokal. Terlepas dari perlunya apresiasi terhadap sikap spiritual-kultural Sultan dan kaitannya dengan RUU Keistimewaan DIY, saya justru merasa bahwa pesan kesejarahan Sultan di awal tulisan i ini justru perlu segera kita maknai bersama. Terlebih di tengah ahistorisme luar biasa bangsa kita terhadap sejarah keterjajahan dan kealpaan akan hakekat kemerdekaannya, maka “pesan kemerdekaan dari Jogja” tersebut menjadi kian relevan. Apakah harga diri kita sebagai bangsa sudah terjual, seperti dinyatakan Sultan? Tanpa kedalaman rasa dan kepekaan idologis kiranya sulit menjawabnya. Yang jelas, rasa kebangsaan menjadi tanda tanya besar tatkala kita membiarkan bangsa asing menguras kekayaan sembari menjejali pikiran-pikiran kita dengan nilai-nilai kebendaan (materialisme), kenikmatan (hedonisme), dan akumulasi kapital (kapitalisme) mereka. Beberapa fakta berikut kiranya dapat menjadi pertanda. 80 persen tambang/migas kita sudah dikuasai dan dikelola pihak asing. Demikian halnya dengan separuh (50%) saham perbankan kita, termasuk 60% saham di pasar modal (bursa efek) kita. Belum lagi ekspansifnya gerai-gerai pemasar produk asing (retail, fast-food, dan mall) yang sudah menjadi bagian dari keseharian kita. Pemerintah bahkan telah menjuali murah aset strategis dan BUMN kita melalui program privatisasi. Berkaca pada sejarah Indosat, Telkomsel, Semen Gresik, dan Bank-bank pemerintah, yang terjadi privatisasi tersebut tak lebih eufeisme dari asingisasi. Demikian halnya dengan privatisasi air – misal terhadap PT PAM Jaya (Jakarta)- dan aset strategis nasional lain seperti hutan dan mungkin sebentar lagi sekolah kita. Setiap transaksi 150
ekonomi pun makin banyak yang berujung pada lebih besarnya aliran uang keluar (net transfer) kepada pihak asing tersebut. Setiap tahun negara kita pun mempunyai kewajiban membayar cicilan pokok dan bunga utang dalam dan luar negeri yang kurang lebih menguras seperempat APBN atau senilai Rp. 120 trilyun. Dengan demikian, utang-utang baru yang kita buat kita gunakan untuk membayar utang-utang lama kita, termasuk kepada pihak asing. Judulnya masih tetap sama sejak dulu: “gali lobang tutup lobang”. Pada saat yang sama, pikiran kita pun dibuat steril dari semangat revolusi (perubahan mendasar). Kuliah masih tak lebih dari transfer ajaran (materi) yang alih-alih mengusik kondisi (struktur) tersebut, tapi justru mengukuhkannya tanpa kita sadari. Sehingga, bukan rasa keterjajahan yang membangunkan jiwa dan raga kita, melainkan materi (harta) dan kepentingan politik (kekuasaan). Kita tetap bermental inlander yang tunduk dan mudah dibodohi pihak asing. Bahkan pemerintah dan DPR pun rela melawan konstitusi kita sendiri demi selamatnya kepentingan pihak asing. UU Sumber Daya Air, RUU Ketenagalistrikan, UU Migas, dan terakhir UU Penanaman Modal menjadi sekedar legalisasi kekuasaan asing di bumi pertiwi. Banyak elit kita yang lebih suka memilih menjadi komprador asing dan menjual harga diri bangsa. Inilah yang kiranya digelisahkan Sultan. Mereka alpa bahwa 40,1 juta pelaku ekonomi rakyat atau 99,8% dari total pelaku ekonomi dan menyerap 96% angkatan kerja, hanya menikmati 39,8% dari produksi nasional dibanding korporasi besar (+ asing) yang sebesar 60,2%. Ekonomi rakyat kita pun hanya menikmati 20% pangsa pasar yang 80%-nya sudah dikuasai korporasi. Akibatnya kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan kini makin meluas. Anehnya, elit kita masih beranggapan bahwa melayani kepentingan pihak asing adalah solusi kesejahteraan rakyat. Di mana makna 61 tahun kemerdekaan kita? Negeri ini masih dipenuhi jiwa-jiwa kerdil yang justru menguasai tampuk ekonomi dan politik. Bumi pertiwi dikuasai jiwa-jiwa yang silau dengan kemewahan dan gemerlapnya dunia yang ditawarkan bangsa asing. Pengurasan dan dominasi berlangsung dan kita asyik menikmati candu teori dan ajaran yang mereka sebarkan. Kita pun menjadi merasa tidak perlu melawannya, bahkan bilamana perlu menjadi pemeluk dan pengikutnya yang paling setia. Kini apa istimewanya DIY jika kita sebagai warganya pun alpa dengan sejarah keterjajahan bangsa yang melahirkan revolusi di kota ini. Sultan kini mengisyaratkan kembali bahwa sejarah berulang: “Indonesia dihancurkan oleh kepentingan-kepentingan yang menjual harga diri bangsa.” Sampai kapan kita mengabaikan kenyataan? Kiranya sudah cukup banyak alasan bahwa keistimewaan DIY –dalam semangat pesan kemerdekaan Sultan- musti kita tunjukkan juga dengan merevitalisasi ruh Yogyakarta sebagai Kota Revolusi.
151
Terlepas dari pentingnya perspektif yuridis-formal terkait dengan sistem pemerintahan di DIY, kiranya perlu kita tegaskan perlunya rekonstruksi komitmen kebangsaan dan kerakyatan warga Yogya. Yogyakarta perlu kita kembalikan ruhnya sebagai barometer perlawanan terhadap setiap bentuk dominasi dan penjajahan gaya baru, baik dalam bentuk kontrol fisik, ekonomi, politik, maupun pikiran (intelektual) kita oleh pihak asing. Predikat Yogyakarta sebagai kota Pendidikan pun akan lebih bermakna jika pendidikan di Jogja berorientasi pada upaya mengikis inferiority complex bangsa, yaitu budaya hidup tidak cerdas, penuh rasa minder, ketertundukan dan kekaguman kepada yang serba Barat dan asing. Pendidikan di Yogyakarta harus mampu membangun jiwa-jiwa yang merdeka dan menjadi penyalur “suara-suara dari jiwa-jiwa yang ingin merdeka..”. Kini saatnya memaknai pesan kemerdekaan Sultan untuk berbakti bagi ibu pertiwi dengan bertekad: “dari Yogyakarta kita bangun jiwa bangsa dan dari Yogyakarta kita merdekakan kembali (ekonomi) Indonesia”.
152
-33ILMU EKONOMI ALTERNATIF
Dalam tiga tahun terakhir, terbit dua buku yang sama-sama mengejutkan. Buku pertama yang terbit tahun 2002 ditulis oleh John Pilger, jurnalis Australia yang tinggal di Inggris, dengan judul The New Rulers of The World (Verso, 2002). Buku yang dikutip Kwik Kian Gie dalam Kongres Indonesia Raya tahun 2004 ini di antaranya mengulas fakta dibalik dimulainya liberalisasi ekonomi Indonesia sejak tahun 1967. Pilger yang merujuk analisis dokumen historis Jeffrey Winters dan Brad Sampson mengungkap latar belakang diadakannya Konperensi Jenewa 1967 (awal Orde Baru) yang disponsori oleh Time-Life Corporation. Konperensi yang disebutnya sebagai “pertemuan merancang pengambilalihan Indonesia” itu diikuti oleh korporat raksasa Barat dan ekonom-ekonom top Indonesia yang kemudian dikenal sebagai “Berkeley Mafia”. Konperensi 3 hari itu berbuah “kaplingisasi” kekayaan alam di Indonesia. Freeport mendapat gunung tembaga di Papua Barat, Konsorsium Eropa menguasai nikel di Papua Barat, Alcoa mendapat bagian terbesar bouksit di Indonesia, dan kelompok perusahaan Amerika, Jepang, dan Perancis mendapat hutanhutan tropis di Sumatera, Papua Barat, dan Kalimantan. Buku kedua, yang terbit dua tahun sesudahnya, ditulis oleh John Perkins dengan judul Confessions of an Economic Hit Man (Berret-Koehler, 2004), tidak kalah menghebohkan. Perkins menulis “pengakuan dosanya” sebagai mantan “agen” ekonomi Pemerintah (AS) yang dalam kurun waktu 1971-1980 ikut “menjerumuskan” beberapa negara Asia dan Amerika Selatan seperti Panama, Equador, Colombia, Iran, termasuk Indonesia (sebagai “korban pertamanya”), dalam kubangan (jebakan) utang luar negeri dan ketergantungan politik-ekonomi kepada korporat dan pemerintah AS. Perkins yang berpredikat sebagai “pemukul ekonomi” atau “Economic Hit Man” (EHM), megemban dua misi, yaitu memastikan bahwa utang LN yang diberikan akan digunakan untuk membiayai proyek-proyek konstruksi raksasa milik perusahaan konsultan Perkins dan korporat-korporat AS, dan kemudian “membangkrutkan” negara pengutang agar selamanya tunduk pada kreditor. Proyek-proyek raksasa ini didisain untuk memenuhi kepentingan-kepentingan ekonomi-politik mereka seperti tersedianya pangkalan militer, suara di PBB, akses atas minyak, dan akses terhadap sumber daya alam lainnya. Perkins memaparkan bahwa korporatokrasi yang dikembangkan melalui misi-misi EHM lebih berbahaya dari sekedar suatu konspirasi. Sistem ini tidak dikendalikan oleh segelintir kecil orang, melainkan oleh konsep yang sudah diterima layaknya kitab suci, bahwa setiap pertumbuhan ekonomi pasti bermanfaat bagi setiap manusia. Makin tinggi pertumbuhan ekonomi, makin besar pula manfaat yang diperoleh. Korporat, bank, dan 153
pemerintah, sebagai agen korporatokrasi, menggunakan kekuasaan dan modal mereka untuk memastikan bahwa sekolah, bisnis, dan media, selalu mendukung konsep yang salah ini. Mereka menggiring kita untuk percaya bahwa kebudayaan global AS adalah mesin dahsyat yang membutuhkan peningkatan konsumsi (bahan bakar dan pemeliharaan), termasuk meningkatnya biaya hidup yang harus dipenuhi berapapun besarnya. Dalam kasus Indonesia, EHM menjalankan kepentingan korporat dan pemerintah AS dengan dalih menjaga Indonesia dari pengaruh komunis yang masih eksis di Vietnam, Laos, dan Kamboja (1971-1975). EHM meyakinkan bahwa pembangunan sistem perlistrikan terpadu di Jawa merupakan kunci mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia. Perkins, sebagai “ekonom”, bertugas untuk memperkirakan kenaikan pertumbuhan ekonomi dengan perkiraan kuantitaif-matematis, yang kemudian menjadi legitimasi bagi Indonesia untuk memperoleh utang luar negeri. Utang diberikan dengan syarat proyek dikerjakan oleh konsultan dan korporat yang diajukan oleh tim EHM, setelah nilai utang digelembungkan (mark-up) dari nilai riil proyeknya. Dengan cara ini, industri minyak dan perusahaan-perusahaan kaitannya (pelabuhan, pipa, dan konstruksi) makin tergantung pada sistem perlistrikan yang disediakan oleh tim EHM. Fakta selanjutnya kita tahu bahwa Indonesia disebut sebagai salah satu keajaiban pertumbuhan ekonomi Asia (East Asian economic miracle), yang ironisnya makin terjebak utang (debt-trap), berpredikat negara terkorup, sehingga kebijakan ekonomi-politiknya banyak tergantung pada negara-negara (lembaga) asing seperti CGI, IMF, dan Bank Dunia.
Bukan Sekedar Konspirasi Kedua buku itu telah menginspirasi dua hal. Pertama, sangat tepat untuk menjawab skeptisisme ekonom neoklasik perihal neoliberalisme, setidaknya yang diwakili oleh ekonom LPEM UI, Chatib Basri dan M. Ikhsan (Gatra, April 2005), dan kedua, menjawab pertanyaan mengapa kita perlu mengembangkan dan menyebarluaskan ideologi, sistem, dan ilmu ekonomi Pancasila. Perlu diketahui bahwa Ekonomi Pancasila dikembangkan Prof. Mubyarto dkk sebagai alternatif terhadap ilmu ekonomi konvensional (neoklasik-Barat) yang menjadi mainstream dalam pendidikan ekonomi kita. Di samping itu ekonomi Pancasila juga diposisikan untuk membendung berkembangnya ideologi dan sistem ekonomi kapitalis-neoliberal di Indonesia. Lalu, apa hubungan buku Pilger dan Perkins dengan Chatib Basri dan M. Ikhsan? Kaitannya akan nampak jika kita membaca pernyataan kedua ekonom ini dalam majalah Gatra edisi no 23 tahun XI (hal. 136). Mereka sama-sama mengelak disebut sebagai penganut paham neoliberalisme. Chatib Basri menyatakan bahwa ia “tidak mempunyai ideologi”, karena ia bertumpu pada kebijakan yang masuk akal tanpa basis ideologi, termasuk kepercayaannya pada peran negara dalam mensubsidi sektor pendidikan dan kesehatan. Sementara Ikhsan menyatakan bahwa neoliberalisme “hanya ada dalam 154
angan-angan”, karena masyarakat Indonesia masih gandrung pada teori konspirasi. Pikiran adanya intervensi asing, termasuk oleh IMF dan lembaga donor, dianggapnya sebagai pengaruh teori konspirasi. Dalam acara Diskusi Kenaikan BBM (SCTV) kedua ekonom ini memang mengungkapkan hal yang sama untuk menanggapi kritik-kritik Revrisond Baswir dari PUSTEP-UGM perihal kepentingan asing (agen neolib) dalam liberalisasi pasar migas di Indonesia. Sebagai ekonom yang sarannya sangat didengar pemerintah, saya harap mereka sudah membaca kedua buku tersebut. Jika memang iya, dan mereka masih tidak mau mengakui adanya intervensi asing di Indonesia dengan menuduh pikiran yang berbeda sebagai akibat teori konspirasi, salahkah jika banyak orang menilai mereka sebagai penganut neoliberalisme? Sejarah ekonomi bangsa yang sarat dengan eksploitasi dan sub-ordinasi asing sejak zaman VOC, tanam paksa, perkebunan-perkebunan kapitalis-liberal, kapitalis negara Orde Baru, Krismon 97, hingga datangnya IMF dengan LoI dan Program Penyesuaian Struktural, seharusnya mudah menjadi pelajaran “pahit” bahwa yang terjadi bukan sekedar konspirasi, melainkan hegemoni dan (neo) imperialisme. Perspektif sejarah mengajarkan bahwa evolusi peradaban manusia, yang ditandai dengan kemajuan ekonomi, tidak serta merta diikuti evolusi kesadaran moral, politik, dan sosialbudaya, bahkan seringkali berlaku sebaliknya. Ekonom neolib yang juga seorang fundamentalis pasar cenderung mengabaikan (menyisihkan) analisis moral, politik, sosial, dan budaya (kelembagaan) dalam analisis ekonomi mereka yang makin positivistik, teknis, dan kuantitatif. Pengingkaran terhadap dianutnya ideologi tertentu adalah wujud dari ideologi itu sendiri. Itulah ideologinya market fundamentalis yang bertolakbelakang dengan ideologi Ekonomi Pancasila. Ekonom memerlukan ideologi agar ia tidak ahistoris dan gagap dalam merancang masa depan bangsanya. Hal ini karena ideologi merupakan refleksi atau respon terhadap kondisi kesejarahan yang kemudian menjadi gagasan tentang masa depan. Sebagai contoh, nasionalisme lahir melawan penjajahan, demokrasi lahir dari dominasi dan otoritarianisme, dan sosialisme lahir dari penghisapan dan penindasan (Dawam Rahardjo, 2005). Keengganan ekonom neolib untuk mengaitkan ekonomi dengan ideologi bangsa (Pancasila) dalam perspektif ini dapat dipahami sebagai penolakan mereka untuk belajar dari sejarah bangsa sendiri, dan tidak ingin merancang masa depan bangsa secara mandiri. Mereka makin terpukau pada globalisme ajaran pasar bebas, sehingga tidak mewaspadai globalisasi ekonomi yang dikendalikan oleh korporat dan pemerintah negara maju.
Revolusi Mindset Pelajaran lain dari buku Pilger dan Perkins, dan tentu saja menilik cara berpikir ekonomi kedua ekonom UI tersebut adalah, bahwa kita harus melakukan “revolusi mindset” melalui pengembangan ilmu ekonomi Ekonomi Pancasila. Mayoritas ekonom dan teknokrat sementara ini masih skeptis terhadap keberadaan (eksistensi) dan urgensi 155
Ekonomi Pancasila sebagai alternatif ekonomi konvensional. Padahal, gugatan terhadap ilmu tersebut sudah dilakukan melalui tulisan-tulisan (buku-buku) pemikir utama Ekonomi Pancasila yaitu Prof. Mubyarto, Prof. Sri-Edi Swasono, dan Prof. Dawam Rahardjo sejak tahun 80-an. Gugatan senada telah dilontarkan pakar-pakar ekonomi dunia seperti Paul Ormerod (The Death of Economics), Steve Keen (Debunking Economics), Stiglitz (The Roaring Nineties), Paul Ekins (Real-Life Economics), Nelson (Economics as Religion), dan dapat pula dirujuk pada pemikiran Gunnar Myrdal, Heilbroner, Amartya Sen, T.M. Lunati, A. Etzioni, Umer Capra, Ted Trainer, dan L.C. Thurow, dan ilmuwan atau aktivis dunia lainnya. Buku Pilger dan Perkins menunjukkan betapa pentingnya pendekatan multidisiplin yang merupakan pendekatan yang secara konsisten diterapkan ajaran Ekonomi Pancasila. Ekonomi Pancasila menganalisis fenomena dan masalah ekonomi tidak sekedar dari kajian ekonomi an sich, melainkan mengaitkannya dengan analisis sejarah, politik, filsafat moral/etika, sosiologi, dan antropologi, yang terang-terangan diabaikan dalam pendekatan ekonomi neoklasik-Barat. Masalah-masalah struktural ekonomi berupa ketimpangan, eksploitasi, dan sub-ordinasi terhadap pelaku ekonomi rakyat (kaum miskin) hanya bisa dilihat apabila pendekatan (kacamata) yang digunakan adalah kacamata ekonomi-historis, ekonomi politik, ekonomi sosiologi, dan ekonomi antropologi. Sayangnya pendekatan ekonomi kelembagaan yang multidipliner ini telah diabaikan dalam pendidikan ekonomi kita. Pendekatan multidisiplin dan transdisiplin dimungkinkan jika ilmu ekonomi tidak sekedar mengasumsikan manusia sebagai homo economicus, melainkan juga sebagai homo socius dan homo ethicus. Dengan begitu, analisis ekonomi tidak seharusnya dipusatkan kepada individu yang selalu mengejar kepentingan pribadi (self-interest), berorientasi keuntungan pribadi (profit orientation), dan selalu bersaing bebas (freecompetition). Sebagai homo ethicus dan homo socius, manusia memiliki pertimbangan moral/etika (agama) dan sosial yang mendorongnya untuk tidak mau dikendalikan pasar yang materialistis, melainkan mengutamakan kepentingan bersama dalam suatu tatanan masyarakat yang berasas kekeluargaan (brotherhood) dan kebersamaan (mutualism). Kesejahteraan sosial tidak dapat dianggap sebagai manifestasi kesejahteraan individu yang masing-masing mengejar kepentingan mereka sendiri (Swasono, 2005). Itulah asumsi dasar yang dibangun dalam ilmu ekonomi Pancasila. Pendekatan dan asumsi di atas dibangun atas keyakinan bahwa ilmu ekonomi tidaklah bebas nilai (value-free), melainkan justru sarat nilai (value-ladden-istilah Gunnar Myrdal). Sistem dan ilmu ekonomi sangat terkait dengan ideologi, sejarah, sistem nilai, dan sistem sosial-budaya (kelembagaan) masyarakat di mana sistem dan ilmu itu dikembangkan. Oleh karena itu dominasi paradigma positivistik yang menganggap
156
kebenaran, relevansi, dan manfaat ilmu ekonomi konvensional (neoklasik-Barat) bersifat universal harus ditolak. Positivisme hanya mengarahkan pendidikan ekonomi kita untuk semata-mata berorientasi Barat (Amerika), yang memiliki sejarah, ideologi, sistem nilai, dan sistem sosial-budaya, yang jelas berbeda dengan Indonesia. Oleh karena itu, sistem dan Ilmu ekonomi Indonesia harus digali dan dikembangkan berpijak pada realitas ekonomi (real-life economy) masyarakat Indonesia sendiri pula. Berdasar itulah ekonomi Pancasila dikembangkan melalui penelitian-penelitian lapangan tentang ekonomi rakyat Indonesia. Untuk itu, pola pendidikan yang mendukung pengembangan ilmu ekonomi Pancasila adalah pendidikan yang menghadapkan peserta didik pada masalah-masalah ekonomi riil yang dihadapi rakyat Indonesia. Pola pendidikan seperti ini dikenal sebagai pendidikan hadap masalah (problem-posing education), yang merupakan alternatif bagi pola pendidikan yang hanya mendorong peserta didik untuk menghapal sebanyak mungkin materi untuk diujikan di akhir semester, yang disebut sebagai pendidikan gaya bank (banking education). Problem-posing education dilakukan dengan mengajak peserta didik untuk melakukan kajian (kunjungan) lapangan ke pelaku ekonomi rakyat seintensif mungkin. Mereka dapat juga diajak berdiskusi dan mengkritisi isu-isu ekonomi aktual (lokal dan nasional), terutama masalah-masalah yang dihadapi pelaku ekonomi rakyat, untuk bersama-sama mencari cara-cara pemecahannya. Terakhir, buku Pilger dan Perkins, serta mindset dua ekonom UI di atas, makin menunjukkan kegunaan (nilai manfaat) pengembangan Ekonomi Pancasila. Pendidikan ekonomi berbasis ilmu ekonomi konvensional (Barat) mendorong tumbuh-kembangnya mindset kapitalis-neoliberal, yang sejalan dengan cita-cita sistem kapitalis-neoliberal yaitu terbentuknya masyarakat berkelimpahan barang dan jasa (affluent society). Pendidikan ekonomi konvensional tidak mampu mendobrak ketimpangan (ketidakdilan) struktural, kemiskinan struktural, kerusakan alam (lingkungan), meluasnya degradasi moral, dan merenggangnya kohesivitas sosial. Pendidikan seperti ini tidak mampu melihat faktor-faktor di luar ekonomi (politik, sosial, budaya) dan fakta-fakta politikideologis yang mengabaikan nalar teoritik-keilmuan, yang sangat berpengaruh dalam kebijakan ekonomi. Akibat lebih pahit berbentuk pikiran kita yang makin terjajah (terhegemoni) dan ekonomi kita yang tereksploitasi (rekolonialisasi) oleh kekuatan korporatokrasi imperium global (Mubyarto, 2005). Ekonomi Pancasila dikembangkan untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang terwujud dalam tatanan masyarakat adil dan makmur. Tujuan ini tidak akan sekedar menjadi utopia manakala landasan sistem dan ilmu Ekonomi Pancasila yaitu ekonomika etik (bukan materialistik), humanistik (anti eksploitasi dan subordinasi), nasionalistik (bukan pasar bebas), dan kerakyatan (demokrasi ekonomi) digunakan dalam pengembangan sistem dan pendidikan ekonomi di Indonesia. Ini membutuhkan revolusi mindset bangsa yang sejauh ini makin kagum pada kemajuan fisik-material ekonomi Barat, yang ditopang oleh nilai-nilai hedonisme dan individualisme. 157
Pendidikan Ekonomi Pancasila berupaya membangun mindset pendidik dan peserta didik yang peka terhadap isu-isu (masalah) ketuhanan (agama, moral, dan etika), kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan. Kepekaan ini membuat kita memiliki gagasangagasan sendiri tentang masa depan ekonomi bangsa. Larut dan takluk pada imperium global hanya membuat bangsa Indonesia kehilangan jatidiri dan tak ubahnya seperti “kuli di negeri sendiri”. Inilah perjuangan panjang yang berpegang tidak saja pada semangat dunia yang lain adalah mungkin (another world is possible), melainkan juga ilmu ekonomi yang lain adalah mungkin (another economics is possible). Dalam bahasa lain, pendidikan ekonomi alternatif adalah tak terelakkan. Itulah pendidikan Ekonomi Pancasila.
158
-34PENDIDIKAN YANG MEMERDEKAKAN29
PTS di Yogyakarta tengah berjuang keluar dari krisis penerimaan mahasiswa baru. Sebentar lagi, krisis baru yang lebih dahsyat mungkin akan segera menerpa. Selain kontroversi BHP, pasca pengesahan UU Penanaman Modal pemerintah mengeluarkan Perpres No 77/2007 yang intinya memasukkan pendidikan ke dalam salah satu sektor yang dapat diusahakan (sampai 49%) oleh investor (korporat) pendidikan asing. Pendidikan akan diperlakukan tak ubahnya sektor bisnis lain yang diusahakan demi tujuan komersial. Pendidikan yang merupakan tanggung jawab negara akan digeser secara resmi menjadi lahan usaha bagi korporasi (global) bermodal besar. Pemodal pendidikan ini kiranya lebih memilih berkolaborasi dengan perguruan tinggi yang sudah mapan dan dalam waktu pandek dapat menjadi tambang keuntungan. Mungkin pendidikan kita akan bernasib sama dengan sektor perkebunan dan pertambangan yang sejak lama menjadi lahan jarahan korporasi global. Padahal, apakah dengan berkuasanya korporasi global di kedua sektor itu masyarakat kian makmur? Alihalih demikian, kini saja masyarakat justru menjadi korban dengan mahalnya harga minyak goreng dan kian langkanya pasokan minyak tanah, Korporasi global hanya berupaya mengeruk bahan mentah, seperti halnya minyak sawit dan minyak bumi, untuk kemudian mereka jual di pasaran internasional. Kebutuhan domestik (masyarakat lokal) sudah tentu dinomorduakan. Sesuai logika pasar bebas (kapitalisme global), maka mereka yang berdaya beli tinggi atau yang mampu mendatangkan keuntungan terbesarlah yang akan dilayani. Demikian, dengan itu logika pendidikan kita akan dibangun (diliberalisasikan). Liberalisasi adalah satu isi paket Konsensus Washington (1989), di samping privatisasi, deregulasi, dan penghapusan subsidi, yang tujuan intinya adalah memperlemah peran negara. Paket yang menjadi arus global ini merupakan model baru bagi kendali korporasi global (negara maju) atas perekonomian negara dunia ketiga (berkembang) sepertihalnya Indonesia, Dus, arus besar ini kiranya kelanjutan dari proses 3,5 abad neokolonialisme Indonesia. Menilik latar belakang itu, relevankan kita bertanya; mampukah kita bertahan? Mampukah kita bertahan di tengah proses penjarahan dan pengambil-alihan diam-diam (silent take-over) aset nasional, salah satunya adalah aset pendidikan nasional kita? Tentu kita tidak dapat sekedar diam dan bertahan, melainkan perlu melawan dan bersiap menghadapi liberalisasi pendidikan, yang merupakan bagian dari skenario kapitalisme global. Melawan Dengan Kewirausahaan Sosial Salah satu kealpaan perguruan tinggi akibat terbius pasar bebas (kapitalisme global) saat ini adalah terlantarnya lulusan di pasar kerja. Pendidikan selama ini didisain
159
untuk memenuhi kebutuhan pasar (market-oriented). Sayangnya pasar disini lebih sering diidentikkan dengan perusahaan besar (asing), yang justru kebutuhan tenaga kerjanya sangat terbatas. Akibatnya lulusan perguruan tinggi berjejalan masuk ke bursa pasar kerja, dan sudah pasti mayoritas akan terdepak ke luar. Yang berhasil masuk pun tidak akan mampu berbuat banyak di tengah sistem kerja dan upah yang merugikan mereka. Beberapa PTS sudah mendidik mahasiswanya berwirausaha untuk menciptakan lapangan kerja sendiri. Sayangnya, di tengah hisapan korporasi (global) atas perekonomian nasional (lokal) seperti cerita di awal, mereka tetap berada di deretan pelaku ekonomi marjinal. Etos bisnis yang mereka miliki tidak mampu membentur kekuasaan modal dan akses yang telanjur timpang. Bisnis pun identik dengan dagang, tanpa pandang itu produk siapa, dari mana, dan siapa yang lebih diuntungkan dari keagenan-mereka. Keterpurukan telah dialami oleh lulusan pendidikan produk kapitalisme global. Kini, mengapa justru tidak kita rancang suatu pendidikan yang berbasis pada kebutuhan dan solusi bagi permasalahan rakyat (masyarakat) banyak? Mengapa tidak kita tumpukan pendidikan kita pada optimalisasi basis potensi (produksi) yang melimpah di sekitar kita sendiri? Jawaban pertanyaan ini, sekaligus bentuk perlawanan riil terhadap liberalisasi pendidikan, dan merupakan gagasan bagi universitas-universitas di Jogja yang kiranya perlu didisain menjadi ”Universitas Wirausahawan Sosial” (Social-Entrepreneur UniversitySEU) Wirausahawan sosial adalah mereka yang mampu memadukan ide-ide progresif dalam memberdayakan masyarakat dengan prinsip kemandirian bagi keberlanjutan hidupnya. Mereka adalah orang-orang yang mampu menciptakan bisnis sosial (socialbusiness); yaitu bisnis yang tidak berorientasi pada pengejaran keuntungan pribadi, melainkan kesejahteraan bersama. Wirausahawan sosial adalah mereka yang tidak menganggap bisnis sekedar sebagai usaha dagang, melainkan sebuah bentuk pengabdian, perjuangan, dan bahkan perlawanan. Kisah sukses wirausahawan sosial misalnya adalah sosok Muhammad Yunus, pemenang nobel perdamaian, yang dengan gigih melawan kemiskinan di Bangladesh melalui kredit mikro untuk perempuan. Sosok-sosok mereka di Indonesia misalnya saja aktivis perempuan yang mengembangkan teknologi mikro-hidro di desa-desa terpencil, programmer mesin pencari (search-engine) lokal yang digratiskan, pendamping pertanian organik, dan penyelenggara sekolah berbasis komunitas lokal (adat). Meski begitu, keberadaan mereka belum cukup mampu mengubah struktur sosial yang masih terbangun di tengah kuasa modal domestik dan internasional. Terlampau banyak masyarakat perdesaan yang harus diberdayakan dan masalah ekonomi rakyat yang patut dipecahkan. Pun banyak kebutuhan (hak) sosial-ekonomi dasar yang yang belum juga dipenuhi dan potensi sumber daya lokal yang menunggu didayagunakan. Sebuah ironi ketika berbagai komoditi vitas pertanian seperti beras, jagung, kedelai, garam, ketela, daging, dan susu, harus diimpor, sementara 10 juta orang Indonesia tetap saja menjadi penganggur terbuka. Di sinilah posisi univeritas, yang dapat menjadikan SEU sebagai benchmark-nya, akan mulai berperan. Lalu bagaimana mencapai positioning universitas seperti itu? Menuju Social-Entrepreneur University
160
Pencitraan dan aktualisasi universitas sebagai SEU membutuhkan kajian mendalam dan persiapan matang. Hal ini mempertimbangkan kondisi internal kampus beserta segenap potensi dan persoalan yang ada. Konsep SEU tentu harus berpijak pada disiplin (basis) keilmuan yang telah berkembang di universitas, meski tidak menutup peluang inovasi disiplin baru. Dikotomi disiplin eksak-non eksak (sosial) perlu diagregasikan karena tokh keduanya perlu mendidik mahasiswa progresif-inovatif yang ilmu dan kecakapannya akan diabdikan pada kepentingan dan kebutuhan rakyat banyak. Tanpa menafikan perlunya solusi jangka pendek dalam menyelamatkan universitas, terealisasinya SEU akan tercermin pada berlakunya beberapa prasyarat (kondisi) subjektif dan objektif yang dapat dipenuhinya. Prasyarat subjektif menyangkut keberadaan segenap elemen civitas akademika beserta berbagai cara pikir (perspektif)nya dan prasyarat objektif terkait dengan sistem pendidikan yang berlangsung di universitas saat ini, yang keduanya akan menjadi pilar aktualisasi konsep SEU. Kondisi subjektif aktualisasi SEU adalah ketika terdapat pemahaman bersama (common sense) bahwa di balik krisis yang melanda PTS di negeri ini tersirat kegagalan pasar bebas (liberalisasi pendidikan), yang (sayangnya) justru akan digiatkan kembali oleh pemerintah melalui Perpres Penanaman Modal Tahun 2007. Jika dulu mindset dan muatan (materi/kurikulum) pendidikan kita yang dikuasai, sebentar lagi pengelolaan pendidikan kita juga akan (dapat) dikuasi kekuatan pasar (korporat global). Banggakah kita jika (kembali) bekerja untuk kepentingan pihak asing? Kesadaran ini akan membawa civitas akademika, utamanya staf pendidik universitas, untuk melakukan revolusi paradigmatik; kembali melakukan kerja-kerja pikir dan praksis keilmuan untuk kepentingan rakyat banyak (nasional). Dosen perlu mengkreasi karakter (nature) baru yang bukan sekedar sebagai sosok pengajar, melainkan sosok peneliti, progammer, pejuang, trainer, dan pelaku bisnis sosial, yang aktivitasnya bersentuhan langsung dengan nasib rakyat banyak. Kesadaran inilah yang dapat disemaikan pada setiap peserta didiknya, sehingga dapat terbangun pola relasi guru-kader bervisi intelektual-progresif yang mampu membaca kebutuhan dan memecahkan persoalan-persoalan riil yang dihadapi masyarakat luas di bidang masing-masing. Konsep SEU ini akan lebih sesuai dengan latar belakang (input) sebagian mahasiswa yang kurang menonjol(kan) dari sisi akademis, tetapi memiliki bakat kecakapan sosial (social-skill) yang compatible. Pada saat yang sama, kondisi obyektif aktualisasi SEU adalah ketika perubahan mindset tadi diimplementasikan ke dalam kurikulum, muatan ajar, sistem perkuliahan, buku acuan, dan metode penilaian masing-masing dosen. Konsep SEU berlaku ketika kurikulum didasarkan pada pencapaian output mahasiswa sebagai calon wirausahawan sosial. Tentu saja struktur kurikulum termasuk materi (muatan) ajarnya perlu lebih disesuaikan pada dinamika persoalan dan kebutuhan aktual yang berkembang di kalangan rakyat kebanyakan. Muatan ajar dapat berupa kombinasi antara transformasi nilai (ideologis) kebangsaan dan kerakyatan dan pelatihan kecakapan praktis kewirausahaan sosial (bisnis sosial). Sistem perkuliahan tidak dapat lagi mengadopsi gaya bank, di mana yang terjadi hanyalah transfer (deposit) materi kepada mahasiswa. Selain klasikal, kuliah dapat didisain dengan penekanan pada kuliah lapangan. Mahasiswa, bersama dosen, melakukan eksporasi kebutuhan dan masalah sosial-kerakyatan sesuai bidang (basis) keilmuan yang 161
ada. Di sela-sela itu, dosen dapat mendatangkan narasumber yang telah bergiat dalam aktivitas kewirausahaan sosial di bidangnya. Buku yang dijadikan acuan utama pun sebaiknya buku-buku teori dan praksis yang bercerita pengalaman aktual di tingkat lokal, khususnya yang berdimensi pemberdayaan masyarakat. Di samping itu, kondisi obyektif yang perlu dipenuhi adalah dukungan dari segenap elemen organisasi (unit kerja) PTS, termasuk difungsikannya berbagai unit-unit strategis seperti Lembaga Penelitian (P3M), Direktorat Marketing, dan Press Kampus sebagai unit penggerak kerja sama kemitraan, riset, promosi, dan sosialisasi terkait dengan transformasi universitas menuju predikatnya sebagai Social-Entrepreneur University. Penutup Banyak pihak yang dapat dijadikan mitra strategis dalam perencanaan, inisiasi, dan aktualisasi positioning ini. Misalnya saja keberadaan banyak pakar kewirausahaan sosial di Indonesia, atau juga keberadaan kelompok masyarakat (desa) binaan dan unsur pemerintah daerah yang selama ini sudah berinteraksi dengan civitas akademika universitas secara intensif. Beberapa ide dan aksi (parsial) yang telah dilakukan sebagian unit kerja (fakultas dan program studi) dalam program pemberdayaan ekonomi rakyat selama ini pun dapat dijadikan modal sosial (social-capital) bagi terealisasinya konsep SEU secara utuh dan menyeluruh. Setelah dapat teridentifikasi dan tersusunnya gambaran riil kebutuhan, potensi, serta indikator kompetensi wirausaha sosial sesuai bidang masing-masing, maka tahap selanjutnya adalah menginisasi program-program khusus dalam rangka pengembangnnya di kalangan internal kampus. Misalnya saja, program Pelatihan Kewirausahaan Sosial atau Pelatihan Bisnis Sosial, baik yang ditujukan untuk staf pengajar, karyawan, mahasiswa, maupun pihak-pihak lain peduli.. Inisiasi menuju Social-Entrepreneur University akan seperti bola salju yang terus menggelinding kian membesar yang akan mendorong masuk berbondong-bondongnya calon mahasiswa baru. Pada akhirnya ia akan mampu menjadi tiang penyangga keberlanjutan finansial universitas ke depan dan dapat menjadi sistem yang ampuh untuk melawan setiap bentuk kapitalisme pendidikan. Semoga.
162
-35EPILOG: INDEKS DEMOKRASI EKONOMI30
Latar Belakang Konsep demokrasi ekonomi atau ekonomi kerakyatan sudah lama dipikirkan dan dikembangkan secara khusus oleh pakar ekonomi di dalam maupun di luar negeri dengan berbagai varian pengertian dan ciri-cirinya (Douglas (1920), Carnoy (1980), Dahl (1985), Poole (1987), dan Smith (2000)). Konsep ini bahkan sudah dipikirkan ekonom Indonesia, khususnya M. Hatta, sejak tahun 1930 yang kemudian dirumuskan ke dalam konstitusi (Pasal 33 UUD 1945). Konsep ini terus dikembangkan oleh ekonom-ekonom Indonesia dengan berbagai ragam terminologi (Mubyarto (1980), Swasono (1987), Arief (2000), dan Baswir (2002). Demokrasi ekonomi di Indonesia dipandang para pendiri bangsa sebagai cara untuk memerdekakan ekonomi bangsa. Demokrasi ekonomi merupakan bagian dari agenda reformasi sosial, yaitu mengganti sistem ekonomi kolonial dengan sistem ekonomi nasional, guna menghapus pola hubungan ekonomi yang timpang, eksploitatif dan sub-ordinatif terhadap ekonomi rakyat Indonesia dan mengubah struktur sosialekonomi warisan kolonial yang jauh dari nilai-nilai keadilan sosial tersebut. Sistem ekonomi kolonial mewariskan struktur ekonomi yang sangat timpang di mana kelompok atas meskipun jumlahnya sedikit namun menguasai dan menikmati banyak surplus perekonomian nasional. Hal yang berkebalikan menimpa kelompok ekonomi bawah yang jumlahnya mayoritas namun menguasai dan menikmati hasil produksi dalam taraf yang sangat minimal. Gambaran riil perihal struktur ekonomi dapat diilustrasikan melalui hasil observasi Hatta yang memetakan struktur ekonomi Indonesia pada masa kolonial Belanda ke dalam tiga golongan besar: 1)
2)
Golongan Atas, yang terdiri dari bangsa Eropa (khususnya Belanda) yang menguasai dan menikmati hasil penjualan komoditi pertanian dan perkebunan di negeri jajahan mereka. Golongan menengah, yang 90% terdiri dari kaum perantara perdagangan, khususnya dari etnis Tionghoa (China), yang mendistrubsikan hasil-hasil produksi masyarakat jajahan ke perusahaan besar dan ekonomi luaran. Dalam kelompok ini terdapat 10% bangsa Indonesia yang mampu menguasai dan menikmati hasil perekonomian karena mempunyai kekuasaan (jabatan) tertentu (elit), itu pun berada di posisi paling bawah pada lapisan ini.
30
Tulisan ini secara khusus disarikan dari hasil penelitian (thesis) penulis di Magister Sains Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM dengan judul “Formulasi Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia”.
163
3)
Golongan bawah, yang terdiri dari massa rakyat pribumi yang bergerak pada perekonomian rakyat, yang tidak mampu menguasai dan menikmati hasil-hasil produksi mereka karena berada dalam sistem ekonomi kolonialis.
Hatta memandang bahwa perbaikan kondisi ekonomi rakyat tidak mungkin hanya disandarkan pada proklamasi kemerdekaan. Perjuangan untuk memperbaiki kondisi ekonomi rakyat harus terus dilanjutkan dengan mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional. Sebagaimana dikemukakan oleh Bung Karno, yang dimaksud dengan struktur ekonomi nasional adalah sebuah struktur perekonomian yang ditandai oleh meningkatnya peran serta rakyat Indonesia dalam penguasaan modal atau faktor-faktor produksi di tanah air. “Demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada. Sebab itu citacita demokrasi Indonesa ialah demokrasi sosial, melingkupi seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia” (Hatta, 1960). Reformasi sosial hanya dimungkinkan melalui demokratisasi ekonomi, di mana kolektivitas (kekeluargaan dan kebersamaan) menjadi dasar pola produksi dan distribusi (mode ekonomi). Sebagaimana ditulis Hatta, “Di atas sendi yang ketiga (cita-cita tolongmenolong—pen.) dapat didirikan tonggak demokrasi ekonomi. Tidak lagi orang seorang atau satu golongan kecil yang mesti menguasai penghidupan orang banyak seperti sekarang, melainkan keperluan dan kemauan rakyat yang banyak harus menjadi pedoman perusahaan dan penghasilan. Sebab itu, segala tangkai penghasilan besar yang mengenai penghidupan rakyat harus berdasar pada milik bersama dan terletak di bawah penjagaan rakyat dengan perantaraan Badan-badan perwakilannya” (Hatta, 1932). Demokrasi ekonomi dirumuskan para pendiri bangsa, terutama Hatta, sebagai cita-cita konstitusional yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dalam demokrasi ekonomi, semua aktivitas ekonomi idealnya disatukan dalam organisasi koperasi sebagai bangun usaha yang sesuai dengan asas kekeluargaan. Hanya dalam asas kekeluargaan dapat diwujudkan prinsip demokrasi ekonomi, yaitu produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, sedangkan pengelolaannya dipimpin dan diawasi oleh anggota masyarakat sendiri. Konsep demokrasi ekonomi kemudian dituangkan dalam UUD 1945 sebagai dasar sistem perekonomian nasional. Pasca krisis moneter 1997/1998 konsep demokrasi ekonomi dijadikan sebagai alternatif solusi melalui pembuatan TAP MPR No. VI/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Pada saat ini pun, seiring pelaksanaan otonomi daerah (Otda) banyak daerah secara eksplisit menyatakan demokrasi ekonomi sebagai bagian dalam visi, misi, dan strategi pembangunannya. Kenyataan ini menunjukkan makin pentingnya orientasi pembangunan pada kemakmuran masyarakat dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang menjadi tujuan demokrasi ekonomi (Mubyarto, 1997). 164
Namun perkembangan pemikiran ke arah demokrasi ekonomi ini tidak diikuti perkembangan bangunan konsep, teori, dan operasionalisasi demokrasi ekonomi. Sampai saat ini belum ada suatu indikator yang menjadi ukuran penyelenggaraan demokrasi ekonomi baik di dalam maupun luar negeri. Demokrasi ekonomi masih sebatas konsep yang besifat filosofis, normatif, dan politis. Belum tersedianya model dan alat ukur ini menjadikan agenda-agenda pembangunan daerah yang berbasis demokrasi ekonomi terlalu abstrak dan tidak memiliki arah yang jelas. Kondisi ini tidak terlepas dari bias konseptual di mana pemahaman publik terhadap demokrasi terdistorsi hanya sebatas demokrasi pada dimensi politik (demokrasi politik). Kondisi yang merupakan fenomena global ini mendorong ketimpangan perkembangan konsepsi demokrasi di dunia, terutama di negara-negara bekas jajahan seperti halnya Indonesia. Saat ini terdapat setidaknya delapan Indeks Demokrasi Politik yang mengukur kebebasan politik, pemilu, partisipasi rakyat, dan fungsi lembaga negara (Ericcson & Lane, 2002). Baru tataran demokrasi politik inilah yang dikorelasikan dengan indikator sosial-ekonomi seperti pertumbuhan dan pembangunan manusia. Korelasi tersebut dapat ditemukan pada berbagai model yang dikembangkan berdasar studi empiris di negara-negara tertentu. Model “Virtuous Triangle” melihat bahwa pembangunan manusia akan menjadi jalan bagi terciptanya pertumbuhan ekonomi dan demokrasi yang selanjutnya akan berkorelasi positif satu sama lain (UNSFIR dalam Kuncoro, 2004). Selain itu terdapat model “Cruel Choice plus Trickle Down” yang meletakkan pertumbuhan ekonomi sebagai prasyarat munculnya demokrasi dan pembangunan manusia. Adapun model pertumbuhan endogen dan demokrasi versi Balla melihat posisi pembangunan manusia sebagai variabel paling penting dalam menunjang terjadinya pertumbuhan ekonomi yang akan menjadi prasyarat bagi berkembangnya demokrasi. Model yang agak berbeda dikembangkan oleh Balla, di mana demokrasi justru menjadi pilar kunci bagi terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya akan menghasilkan perbaikan kualitas pembangunan manusia di suatu negara. Sementara itu, indikator spesifik yang sudah ada justru tersedia untuk mengukur liberalisasi ekonomi dunia, yaitu Index of Economic Freedom (The Heritage Foundation, 1980). Indeks ini mengukur derajat kebebasan ekonomi yang berorientasi pada kemakmuran individual melalui kebebasan dalam bisnis, fiskal, moneter, perdagangan, investasi, keuangan, pemerintahan, korupsi, HAKI, dan kebebasan buruh. Indeks ini sudah menjadi variabel bebas yang dikorelasikan dengan GDP perkapita, pengangguran, dan inflasi. Ketiadaan model dan ukuran operasional demokrasi ekonomi menjadi masalah di tengah munculnya fenomena ketimpangan dan ketidakadilan sosial-ekonomi di Indonesia saat ini. Rasio gini Indonesia meningkat dari 0,29 pada tahun 2002 menjadi 0,35 pada tahun 2006. Kue nasional yang dinikmati oleh kelompok 40% penduduk termiskin justru turun dari 20,92 tahun 2002 menjadi 19,2 pada tahun 2006. Ironisnya, yang dinikmati oleh 20% kelompok terkaya naik dari 44,7% menjadi 45,7% pada tahun yang sama (Kuncoro, 2007). Pada saat yang sama nilai High Net Worth Individual (HNWI) Indonesia adalah sebesar 16%, padahal di Asia-Pasifik 8,6% dan rata-rata 8,3%. Sementara per Juli 2007, 1.380 Trilyun dana pihak ketiga di bank 80%-nya dikuasai 1,82% pemegang rekening (Kuncoro, 2007). Per 2006, UMKM yang sebesar 99,9% dari total pelaku usaha di 165
Indonesia hanya menikmati 37,6% ”kue nasional”, sedangkan usaha besar yang hanya 0,1%-nya justru menikmati 46,7%-nya pada tahun yang sama. Nilai ini naik sebesar 3,6% dibanding tahun 2003 (KNKUKM, 2007).
Studi Landasan Legal-Formal Literatur dokumen legal utama yang menjadi landasan penyelenggaraan demokrasi ekonomi di Indonesia adalah Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, yang sebelum perubahan keempat pada tahun 2002 berisi 3 ayat sebagai berikut: 1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. 2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. 3) Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penjelasan pasal ini menyebutkan bahwa dalam Pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, di mana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran perorang. Oleh sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Bangun usaha yang sesuai dengan prinsip tersebut adalah koperasi. Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi; kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi akan jatuh ke orang-seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasinya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak, boleh ada di tangan orang-seorang. Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Berdasar kutipan penjelasan tersebut maka isi (substansi) demokrasi ekonomi dapat dipetakan menjadi tiga bagian, yaitu “produksi oleh semua”, “produksi untuk semua”, dan “produksi di bawah pimpinan dan atau penilikan anggota-anggota masyarakat”. Perwujudan substansi demokrasi ekonomi tersebut dapat ditemukan pada bagian lain dalam UUD 1945. Konsep “produksi oleh semua” dirumuskan dalam Pasal 27 ayat (2) yang berbunyi “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Ayat ini mengindikasikan penekanan demokrasi ekonomi pada masalah pengangguran dan peningkatan kesejahteraan sosial tenaga kerja (buruh). Konsep “produksi untuk semua” dipertegas dalam pasal 34 yang berbunyi “fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Pasal ini mengindikasikan bahwa penyelenggaraan demokrasi ekonomi juga menekankan perhatian pada pola alokasi dan konsumsi, utamanya yang terkait dengan peningkatan kesejahteraan penduduk miskin. Politik alokasi dilakukan oleh negara melalui instrument belanja publik yang harus mampu memberikan jaminan sosial bagi penduduk miskin dan kelompok rentan (vulnerable) lain seperti halnya anak-anak terlantar di Indonesia. Konsep “produksi di bawah pimpinan dan atau penilikan anggota-anggota masyarakat” dapat diwujudkan melalui keberdayaan rakyat banyak yang terhimpun 166
dalam serikat-serikat ekonomi. Pasal 28 yang berbunyi “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang” member arahan bagi kebersatuan ekonomi rakyat tersebut. Pasal ini mengindikasikan perlunya keberdayaan wadah-wadah perjuangan ekonomi rakyat sepertihalnya koperasi dan serikat pekerja dalam penyelenggaraan demokrasi ekonomi di Indonesia. Peranan anggota-anggota masyarakat dalam penguasaan dan kontrol perekonomian hanya dimungkinkan melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat didorong melalui pendidikan. Pasal 31 yang berbunyi “setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan” mengindikasikan pentingnya akses pendidikan, yang juga perlu didukung akses terhadap kesehatan, yang wajib disediakan oleh negara dalam rangka penyelenggaraan demokrasi ekonomi. Angota-anggota masyarakat yang terdidik dan sehat akan mampu berpengaruh besar dalam perekonomian nasional. Penguasaan dan kontrol anggota-anggota masyarakat terhadap faktor produksi diformulasikan melalui peranan negara yang vital dalam perekonomian, yang tercantum dalam ayat 2 dan 3 pasal 33 UUD 1945. Dalam rangka demokrasi ekonomi maka negara yang merupakan perwujudan anggota-anggota masyarakat menguasai dan memegang kontrol pengelolaan atas cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Literatur legal lain yang berisi muatan spesifik perihal demokrasi ekonomi adalah Ketetapan MPR No XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Dalam TAP MPR ini disebutkan bahwa demokrasi ekonomi diselenggarakan melalui dukungan pengembangan (keberpihakan) yang jelas dan tegas pemerintah kepada pelaku ekonomi rakyat (usaha kecil, menengah, dan koperasi) tanpa mengabaikan peranan usaha besar dan BUMN. Wujud dukungan (keberpihakan) tersebut adalah peningkatan akses mereka terhadap SDA, tanah (lahan), dan sumber dana (modal). Di samping itu, demokrasi ekonomi bagi pekerja diselenggarakan melalui kesempatan pekerja untuk memiliki saham perusahaan.
Studi Literatur Pendukung Hatta dalam bukunya Bebarapa Fasal Ekonomi (1950) menguraikan penerapan demokrasi ekonomi yang terkandung dalam Pasal 33 UUD 1945 ke dalam beberapa aspek berdasarkan analisisnya pada situasi ekonomi-politik Indonesia pada masa itu. Menurut Hatta dasar perekonomian yang sesuai dengan cita-cita tolong menolong adalah koperasi, yang hendaknya dimulai susunannya di desa karena masyarakat Indonesia pusatnya di desa. Terkait dengan kondisi agrarisnya maka menurut Hatta faktor produksi terutama adalah tanah yang hendaknya dimiliki dan dikelola secara kolektif oleh masyarakat desa. Persoalan yang juga dinilai penting dalam memajukan demokrasi ekonomi menurut Hatta adalah bagaimana memperbarui tenaga produktif rakyat yang akan menjadi tulang punggung produksi nasional. Pembaruan ini dilakukan melalui pemusatan perhatian pembangunan ekonomi kepada peningkatan akses rakyat terhadap makanan berkualitas melalui kebijakan upah yang dapat mempertinggi daya beli rakyat. Di samping itu, perhatian terhadap tempat kediaman dan kesehatan tenaga produktif rakyat juga menjadi indikasi penyelenggaraan demokrasi ekonomi. Hatta juga memandang arti 167
pentingnya keberadaan Bank Industri Rumah yang menyediakan kapital bagi ekonomi rakyat dan penyediaan pendidikan yang dapat meningkatkan kecakapan tenaga produktif rakyat. Sukarno dalam artikelnya di harian Fikiran Ra’Jat (1932) berjudul Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi memaparkan demokrasi ekonomi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari demokrasi politik. Sosio-demokrasi yang dipikirkan Sukarno bukan sekedar menempatkan kedaulatan rakyat secara politik yang dimanifestasikan dalam pemilihan umum, melainkan juga kedaulatan rakyat secara ekonomi, yang dimanifestasikan dengan kecilnya ketimpangan sosial-ekonomi, tidak terjadinya eksploitasi ekonomi, dan tidak adanya segelintir elit ekonomi (borjuasi) yang menguasai begitu banyak sumber daya ekonomi. Swasono sebagai editor buku Sistem Ekonomi dan Demokrasi Ekonomi (1985) menyimpulkan bahwa penyelenggaraan demokrasi ekonomi di Indonesia dilakukan melalui pengembangan organisasi koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional dan penerapan bangun usaha (jiwa) koperasi oleh seluruh bentuk pengelolaan perusahaan yang ada. Dalam demokrasi ekonomi koperasi dapat pula melakukan penyertaan dalam perusahaan, sehingga dapat turut serta dalam pengambilan kebijakan di dalam perusahaan. Dalam artikel lepas yang terhimpun dalam buku tersebut pengasosiasian demokrasi ekonomi dengan bangun usaha koperasi (kooperasi) masih dominan. Hal ini terlihat dalam pemikiran Hatta, Damanik, Sudjanadi, Emil Salim, Wahju Sukotjo, Swasono, Mubyarto, dan Dawam Rahardjo yang memusatkan perhatian pada pemberdayaan koperasi dalam pelaksanaan demokrasi ekonomi di Indonesia. Dalam bukunya berjudul Kerakyatan, Demokrasi Ekonomi, dan Kesejahteraan Sosial (2008), Swasono memandang bahwa demokrasi ekonomi Indonesia sudah ditegaskan dalam Pasal 33 UUD 1945 ayat 1-3 beserta Penjelasannya. Demokrasi ekonomi menurut Swasono bercita-cita mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan menyandang pemihakan terhadap yang lemah, miskin, dan terbelakang untuk mendapatkan perhatian dan perlakuan khusus kearah pemberdayaan. Dalam kaitan dengan butir-butir yang dicakup oleh pengertian demokrasi ekonomi dalam Penjelasan Pasal 33 UUD 1945, Swasono menekankan pentingnya keberadaan usaha bersama ekonomi yang diberi wujud dalam pemilikan bersama dan tanggung jawab bersama. Swasono mengajukan prinsip dasar kebersamaan Triple-Co, yaitu Co-ownership (ikut dalam memiliki saham), Co-determination (ikut menilik dan menentukan kebijakan usaha), dan Co-responsibility (ikut bertanggungjawab dalam menyelamatkan usaha bersama). Ketiga prinsip ini sudah inheren di dalam badan usaha koperasi dan yang menurut Swasono dapat diterapkan dalam badan usaha non-koperasi melalui pola kepemilikan saham perusahaan oleh pekerja, masyarakat, dan koperasi. Mubyarto dalam bukunya Ekonomi Kerakyatan dan Ekonomi Rakyat, Program IDT, dan Demokrasi Ekonomi (1997) menempatkan demokrasi ekonomi sebagai cara perwujudan ekonomi kekeluargaan atau cara perwujudan ekonomi Pancasila. Demokrasi ekonomi yang terkandung dalam pasal 33 UUD 1945 merupakan perwujudan dari Sila Kerakyatanan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan. Mubyarto berpandangan bahwa demokrasi ekonomi merupakan cara untuk meningkatkan pemerataan atau mengurangi ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial melalui pemanfaatan seluruh tenaga kerja secara optimal (berkurangnya pengangguran). 168
Dalam pada itu menurut Mubyarto demokrasi ekonomi terwujud melalui desentralisasi ekonomi dan otonomi daerah, di mana pengambilan putusan-putusan ekonomi dapat lebih banyak dilakukan di daerah. Pajak-pajak seyogyanya makin banyak yang dilimpahkan penarikan dan penggunaannya ke daerah-daerah. Hal ini sejalan dengan konsepsi demokrasi ekonomi yang juga diartikan Mubyarto sebagai cara-cara pengambilan putusan-putusan ekonomi yang melibatkan seluruh pihak yang terkait dan putusan tersebut adalah untuk kemanfaatan seluruh pihak yang bersangkutan. Dalam hal ini sejalan dengan pandangannya tentang koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional yang menjadi salah satu ciri penerapan demokrasi ekonomi di Indonesia. Sritua Arief dalam bukunya berjudul Ekonomi Kerakyatan Indonesia Mengenang Bung Hatta (2002) mengulas demokrasi ekonomi Indonesia dengan penekanan pada keadilan dalam aspek produksi dan alokasi hasil produksi (penerimaan). Sritua menilai demokrasi ekonomi baru terwujud melalui keadilan dalam pemberian kompensasi terhadap buruh, petani, pengusaha kecil, dan konsumen (masyarakat), yang dimungkinkan jika tidak terjadi eksploitasi ekonomi yang dilakukan oleh para pemburu rente. Demokrasi ekonomi juga dimaknai Sritua sebagai penyertaan rakyat banyak dalam proses pembangunan, yang dalam konteks perdesaan maka prasyarat yang harus dipenuhi adalah penataan kepemilikan tanah dan bagi hasil yang adil. Di daerah perkotaan, demokrasi ekonomi dilakukan melalui kebijakan perizinan, kebijakan kredit, dan pemberian kesempatan. Dalam pada itu, koperasi juga tetap dipandang Sritua sebagai organisasi ekonomi rakyat yang jika berdaya maka akan mampu mendorong kearah perwujudan demokrasi ekonomi Indonesia. Arief Budiman dalam artikelnya di buku Sosok Demokrasi Ekonomi Indonesia (1993) mengartikan demokrasi ekonomi sebagai sebuah sistem di mana rakyat berperan serta secara substansial dalam menentukan proses produksi dan distribusi. Menurut Arief kalau sebuah masyarakat melaksanakan demokrasi ekonomi, maka diperkirakan masyarakat tersebut akan menjadi measyarakat egalitarian, di mana semua warga berperan aktif dalam proses produksi (ikut menentukan apa yang akan diproduksi dan seberapa banyak), dan memperoleh hasil-hasil produksi tersebut secara relatif merata. Sebaliknya bila di dalam masyarakat tidak terdapat demokrasi ekonomi, maka proses produksi hanya ditentukan oleh sekelompok elit, dan hasil-hasil produksi tersebut tidak didistribuskan secara merata. Para elit yang menguasai proses produksi dan distribusi akan memperoleh penghasilan yang jauh lebih besar ketimbang rakyat banyak yang tidak ikut campur (atau hanya terlibat pasif saja, misalnya menjadi bagian dari alat produksi) dalam kedua proses tersebut. Keadaan ekonomi yang dapat menjadi indikasi penerapan demokrasi ekonomi menurut Arief adalah tingkat pengangguran, proporsi pendapatan penduduk miskin, proporsi upah buruh di perusahaan, Didik J. Rachbini dalam bukunya Politik Ekonomi Baru Menuju Demokrasi Ekonomi (2001) menyarikan empat substansi demokrasi ekonomi yang bertumpu pada semangat dan pemikiran para pendiri bangsa. Pertama, perlakuan yang adil dan dukungan pengembangan kepada pengusaha ekonomi lemah, terutama dalam hal akses ke seumber daya alam dan sumber dana. Kedua, keadilan dalam pengelolaan pertanahan dan sumber daya alam, khususnya dalam mendukung pengembangan usaha kecil dan koperasi. Ketiga, demokratisasi untuk kesejahteraan pekerja melalui dukungan untuk berserikat dan memperoleh hak kepemilikan saham di perusahaan. Keempat, akses 169
seluasnya usaha kecil dan koperasi terhadap sumber daya keuangan dengan mereformasi perbankan agar tidak sekedar menjadi kasir konglomerat dan pengusaha besar. Revrisond Baswir dalam artikelnya berjudul Ekonomi Kerakyatan (2005) berpandangan bahwa demokrasi ekonomi berdasarkan pada penjelasan Pasal 33 UUD 1945 dalam garis besarnya mencakup tiga hal sebagai berikut. Pertama, partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses pembentukan produksi nasional. Kedua, partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam turut menikmati hasil produksi nasional. Dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, negara wajib menyelenggarakan sistem jaminan sosial bagi fakir miskin dan anak-anak terlantar di Indonesia. Ketiga, kegiatan pembentukan produksi dan pembagian hasil produksi nasional itu harus berlangsung di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Sebagai konsekuensi logisnya, negara wajib untuk secara terus menerus mengupayakan terjadinya peningkatkan kepemilikan ketiga jenis modal tersebut secara relatif merata di tengah-tengah masyarakat. Sehubungan dengan modal material, misalnya, negara tidak hanya wajib mengakui dan melindungi hak kepemilikan setiap anggota masyarakat. Negara juga wajib memastikan bahwa semua anggota masyarakat turut memiliki modal material. Jika ada di antara anggota masyarakat yang sama sekali tidak memiliki modal material, dalam arti terlanjur terperosok menjadi fakir miskin atau anakanak terlantar, maka negara wajib memelihara mereka. Sehubungan dengan modal intelektual, negara wajib menyelenggarakan pendidikan nasional secara cuma-cuma. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, penyelenggaraan pendidikan berkaitan secara langsung dengan tujuan pendirian negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan tidak boleh dikomersialkan. Negara memang tidak perlu melarang jika ada pihak swasta yang menyelenggarakan pendidikan, tetapi hal itu sama sekali tidak menghilangkan kewajiban negara untuk menanggung biaya pokok penyelenggaraan pendidikan bagi seluruh anggota masyarakat yang membutuhkannya. Sementara itu, sehubungan dengan modal institusional, negara wajib melindungi kemerdekaan setiap anggota masyarakat untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat. Thoby Mutis dalam bukunya berjudul Cakrawala Demokrasi Ekonomi (2002) memaparkan beberapa parameter makro yang dapat digunakan untuk menilai perwujudan demokrasi ekonomi sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945. Parameter tersebut adalah kontribusi koperasi terhadap PDRB, pangsa pasar produk koperasi, volume permodalan (omset) koperasi, kekuatan struktur jaringan koperasi, dan demokartisasi akses informasi. Secara umum Mutis berpandangan bahwa parameter demokrasi ekonomi hendaknya dijabarkan dari konsepsi yang ada di dalam Pasal 33 UUD 1945 sebagai normative economy yang menjadi visi bagi pengelolaan ekonomi Indonesia. Robert Dahl dalam bukunya berjudul A Preface to Economic Democracy yang sudah diterjemahkan Setiawan Abadi dengan judul Demokrasi Ekonomi: Sebuah Pengantar (1992) menguraikan tiga substansi demokrasi ekonomi. Pertama, Dahl menekankan penyelenggaraan demokrasi ekonomi di perusahaan (tempat kerja) melalui pengelolaan perusahaan yang dimiliki secara kolektif secara demokratis oleh semua orang yang bekerja di dalamnya. Setiap orang yang dipekerjakan dalam perusahaan berhak atas satu dan hanya satu suara. Perusahaan seperti ini disebut Dahl sebagai Perusahaan Swapraja (Self-Governing Enterprises).
170
Kedua, penerapan kebijakan alokasi yang partisipatoris (participatory allocation policy). Dalam hal ini kompensasi yang diterima oleh seluruh anggota (pemilik) perusahaan ditentukan dengan cara melibatkan semua orang (pekerja) dalam pengambilan keputusan. Ketiga, menyangkut sistem kepemilikan dalam perusahaan swapraja, yang dapat merupakan variasi dari beberapa alternatif, yaitu kepemilikan individual, kepemilikan kooperatif, kepemilikan negara, dan kepemilikan sosial. Martin Carnoy dalam bukunya berjudul Economic Democracy: The Challenge of The 1980s (1980) menganalisis lima aspek dalam penyelenggaraan demokrasi ekonomi. Pertama, perlunya kepemilikan bersama (public ownership) atas cabang-cabang produksi dan sumber daya yang dikategorikan sebagai kepemilikan umum, yang dalam hal ini pengelolaannya dikuasakan kepada negara (melalui Badan Usaha Milik Negara). Kedua, perlunya kontrol demokratis terhadap investasi, sehingga tidak terjadi spekulasi dan konsentrasi modal yang dapat mendistrosi perekonomian nasional secara keseluruhan. Ketiga, demokratisasi di tempat kerja, yaitu dengan melibatkan pekerja dalam pemilikan, pengawasan, dan pengambilan keputusan dalam perusahaan, yang umumnya diterapkan melalui pola kepemilikan saham oleh pekerja (employee share ownership plan=ESOP) dan pembentukan koperasi produsen. Keempat, pengembangan teknologi yang demokratis, yaitu dengan melibatkan peranserta masyarakat luas dan teknologi yang dikembangkan adalah teknologi yang dibutuhkan juga oleh masyarakat luas (teknologi tepat guna). Kelima, kontrol terhadap perusahaan agar tidak menjadi monopolis dan memunculkan konsentrasi kekayaan (aset) yang dapat memperlebar ketimpangan ekonomi dan sosial. Carnoy memandang bahwa dalam demokrasi ekonomi peraturan-peraturan permainan pasar akan berubah; di mana akan lebih banyak pemain (koperasi, perusahaanperusahaan milik karyawan, perusahaan-perusahaan milik masyarakat, dan perusahaanperusahaan negara). Hubungan antarpemain tersebut akan lebih seimbang di mana tangan tersembunyi hanya bekerja apabila produsen dan konsumen relatif setara dalam pengetahuan dan kekuasaan. Michael Poole dalam bukunya berjudul The Origin of Economic Democracy (1986: 1) mengartikan demokrasi ekonomi sebagai partisipasi pekerja dalam kepemilikan sebuah perusahaan dan pembagian dari penghargaan (reward). Sedangkan demokrasi industrial merupakan bentuk partisipasi pekerja dalam pengambilan keputusan dan keterlibatan pekerja dalam proses pengawasan jalannya perusahaan. David Schweickart dalam artikelnya yang berjudul Economic Democracy: Worthy Socialism That Would Really Work (1992) mengidentikkan demokrasi ekonomi sebagai bentuk sosialisme pasar dengan tiga pilar institusinya, yaitu : a. Manajemen perusahaan oleh pekerja (worker self-management) b. Pembagian barang dan jasa melalui sistem pasar c. Kontrol sosial terhadap investasi modal Tujuan mendasar dari ketiga core institusi ini adalah untuk melakukan demokratisasi di tempat kerja melalui pembagian modal (capital) dan bagi hasil (profit) kepada pekerja.
Hasil Studi Aplikasi Metode Delphi
171
Sesuai rencana aplikasi Metode Delphi dalam penelitian ini maka distribusi instrumen penelitian kepada para-ahli dilakukan sebanyak dua kali (dua putaran). 10 ahli yang menjadi responden Delphi dalam penelitian ini selengkapnya adalah: 1. Prof. Dr. San Afri Awang, MSc (Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (PUSTEK) UGM) 2. Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, MEc (ekonom, Rektor UII, dan Staf Ahli PUSTEK UGM) 3. Drs. Revrisond Baswir, MBA (ekonom dan mantan Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM) 4. Dr. Noer Sutrisno, MEc (ekonom IPB, dan Sekretaris Menteri Perumahan Rakyat Republik Indonesia) 5. Dr. Fahmi Radhi, MBA (ekonom, Direktur Program Diploma Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, dan Staf Ahli PUSTEK UGM). 6. Ichsanudin Noorsy, SH, MSc (ekonom, Tim Indonesia Bangkit (TIB), dan Staf Ahli PUSTEK UGM) 7. Dr. Muhammad Fadhil Hasan, MEc (ekonom, dosen IPB, dan Staf Ahli INDEF) 8. Henry Saragih (Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) dan Sekjen La Via Campesina) 9. Dr. Ahmad Erani Yustika, MEc (ekonom, dosen Universitas Brawijaya, dan Peneliti INDEF) 10. Drs. Hudiyanto (ekonom, dosen UMY, dan Peneliti PUSTEK UGM) Selengkapnya hasil penilaian ahli terhadap instrumen penelitian yang berupa rancangan (hipotetik) Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia diuraikan di bawah ini: a. Temuan Aplikasi Metode Delphi Putaran I Pada distribusi instrumen penelitian putaran I dapat diketahui penilaian para-ahli terhadap 22 variabel penyusun Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia. Secara keseluruhan para-ahli menerima susunan umum Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia yang terdiri dari Dimensi Demokrasi Produksi, Dimensi Demokrasi Alokasi dan Konsumsi, dan Dimensi Demokrasi Penguasaan Faktor Produksi beserta kriteria pada setiap dimensi tersebut. Selengkapnya penilaian para-ahli terhadap masing-masing variabel dalam dimensi dan kriteria tersebut dapat dilihat di bawah Ini: 1). Variabel Dimensi Demokrasi Produksi (DP) = X Pada dimensi demokrasi produksi variabel Tingkat Pengangguran Terbuka (X1) terdapat 4 (40%) ahli (Delphi) yang menilai pada range 7 (maksimum), 2 Delphi (20%) menilai pada range 6, 3 Delphi (30%) menilai pada range 5, dan 1 Delphi (10%) yang menilai pada range 1 (minimum). Nilai Skor Variabel Tingkat Pengangguran Terbuka Rata-Rata adalah sebesar 0,812, di atas Batas Minimum Persetujuan sebesar 0,712. Pada variabel Tingkat Pengangguran Terselubung (X2) terdapat 5 Delphi (50%) yang menilai dalam range 7, 2 Delphi (20%) menilai pada range 6, 1 Delphi (10%) menilai pada range 5, 1 Delphi (10%) menilai pada range 4, dan 1 Delphi (10%) menilai pada range 1. Nilai Skor Variabel Tingkat Pengangguran Terselubung Rata-Rata adalah sebesar 0,771, masih sedikit di atas batas minimum persetujuan. 172
Pada variabel Rasio Upah Buruh Terhadap Omset Perusahaan (X3) terdapat 6 Delphi (60%) yang menilai pada range 7, 1 Delphi (10%) menilai pada range 5, 1 Delphi (10%) pada range 4, dan 1 Delphi (10%) menilai pada range 3. Nilai Skor Variabel Rasio Upah Buruh Terhadap Omset Perusahaan adalah sebesar 0,800, di atas batas minimum persetujuan. Tabel 1. Penilaian Ahli Terhadap Variabel Dimensi Demokrasi Produksi (DP)
2). Variabel Dimensi Demokrasi Alokasi dan Konsumsi (DAK) = Y Pada dimensi Demokrasi Alokasi dan Konsumsi Variabel Proporsi Belanja Jaminan Sosial Bagi Penduduk Miskin Terhadap Total Belanja (Y1) terdapat 8 Delphi (80%) yang menilai pada range 7, 1 Delphi (10%) menilai pada range 6, dan 1 Delphi (10%) pada range 1. Nilai Skor Variabel Proporsi Belanja Jaminan Sosial Bagi Penduduk Miskin Terhadap Total Belanja Daerah Rata-Rata adalah sebesar 0,900, di atas batas minimum persetujuan. Pada dimensi Variabel Proporsi Pendapatan 40% Kelompok Terbawah Terhadap Total Pendapatan (Y2) terdapat 8 Delphi (80%) yang menilai pada range 7 dan 2 Delphi (2%) menilai pada range 6. Nilai Skor Variabel Proporsi Pendapatan 40% Kelompok Terbawah Terhadap Total Pendapatan adalah sebesar 0,971, jauh di atas batas minimum persetujuan. Tabel 2. Penilaian Ahli Terhadap Variabel Dimensi Demokrasi Alokasi dan Konsumsi (DAK)
173
3). Variabel Dimensi Demokrasi Penguasaan Faktor Produksi (DPFP)= Z Dimensi Demokrasi Penguasaan Faktor Produksi diklasifikasikan ke dalam tiga bentuk faktor produksi, yaitu faktor produksi material, intelektual, dan institusional. Selengkapnya pembahasan terhadap masing-masing bentuk faktor produksi tersebut adalah sebagai berikut: a. Variabel Sub-Dimensi Demokrasi Penguasaan Faktor Produksi Material Pada Sub-Dimensi Demokrasi Penguasaan Faktor Produksi Material Variabel Proporsi APBD terhadap PDRB (Z1) terdapat 3 Delphi (30%) yang menilai pada range 7, 2 Delphi (20%) menilai pada range 6, 4 Delphi (40%) pada range 5, dan 1 Delphi (10%) menilai pada range 4. Nilai Skor Variabel Proporsi APBD terhadap PDRB Rata-Rata adalah sebesar 0,814, di atas batas minimum persetujuan. Pada Variabel Proporsi PAD terhadap APBD (Z2) terdapat 4 Delphi (40%) yang menilai pada range 7, 1 Delphi (10%) menilai pada range 6, 4 Delphi (40%) pada range 5, dan 1 Delphi (10%) menilai pada range 1. Nilai Skor Variabel Proporsi PAD terhadap APBD Rata-Rata adalah sebesar 0,785, di atas batas minimum persetujuan. Pada Variabel Proporsi Pembiayaan Domestik terhadap APBD (Z3) terdapat 6 Delphi (60%) yang menilai pada range 7, 1 Delphi (10%) menilai pada range 6, dan 2 Delphi (20%). Nilai Skor Variabel Proporsi Proporsi Pembiayaan Domestik terhadap APBD Rata-Rata adalah sebesar 0,828, di atas batas minimum persetujuan. Pada Variabel Proporsi APBD terhadap Total Omzet Hasil Eksploitasi SDA di Daerah (Z4) terdapat 4 Delphi (40%) yang menilai pada range 7, 3 Delphi (30%) menilai pada range 6, dan 2 Delphi (20%) pada range 5, dan 1 Delphi (10%) menilai pada range 1. Nilai Skor Variabel Proporsi APBD terhadap Total Omzet Hasil Eksploitasi SDA di Daerah Rata-Rata adalah sebesar 0,814, di atas batas minimum persetujuan. Pada Variabel Proporsi Konsumsi Perkapita terhadap Kredit Konsumsi Perkapita (Z5) terdapat 2 Delphi (20%) yang menilai pada range 7, 3 Delphi (30%) menilai pada range 6, dan 2 Delphi (20%) pada range 5, dan 2 Delphi (20%) menilai pada range 1. Nilai Skor Variabel Proporsi Proporsi Konsumsi Perkapita terhadap Kredit Konsumsi Perkapita Rata-Rata adalah sebesar 0,700, atau di bawah batas minimum persetujuan. Pada Variabel Proporsi Investasi Domestik Terhadap Total Investasi (Z6) di Daerah terdapat 5 Delphi (50%) yang menilai pada range 7, 1 Delphi (10%) menilai pada range 6, dan 3 Delphi (30%) pada range 5, dan 1 Delphi (10%) menilai pada range 4. Nilai Skor Variabel Proporsi Investasi Domestik Terhadap Total Investasi di Daerah Rata-Rata adalah sebesar 0,857, di atas batas minimum persetujuan. Pada Variabel Proporsi Investasi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) terhadap PDRB (Z7) terdapat 7 Delphi (70%) yang menilai pada range 7, 1 Delphi (10%) menilai pada range 6, dan 1 Delphi (10%) pada range 5, dan 1 Delphi (10%) menilai pada range 1. Nilai Skor Variabel Proporsi Investasi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) terhadap PDRB Rata-Rata adalah sebesar 0,871, di atas batas minimum persetujuan. Pada Variabel Proporsi Kredit terhadap Tabungan (Z8) terdapat 4 Delphi (40%) yang menilai pada range 7 dan 6 Delphi (30%) menilai pada range 5. Nilai Skor Variabel
174
Proporsi Kredit terhadap Tabungan Rata-Rata adalah sebesar 0,828, di atas batas minimum persetujuan. Pada Variabel Rata-Rata Luas Kepemilikan Lahan (Tanah) (Z9) terdapat 4 Delphi (40%) yang menilai pada range 7, 1 Delphi (10%) menilai pada range 6, dan 4 Delphi (40%) pada range 5, dan 1 Delphi (10%) menilai pada range 4. Nilai Skor Variabel RataRata Luas Kepemilikan Lahan (Tanah) Rata-Rata adalah sebesar 0,828, di atas batas minimum persetujuan. Tabel 3. Penilaian Ahli Terhadap Variabel Demokrasi Penguasaan Faktor Produksi Material
a.
Variabel Sub-Dimensi Demokrasi Penguasaan Faktor Produksi Intelektual Pada Sub-Dimensi Demokrasi Penguasaan Faktor Produksi Intelektual Variabel Proporsi Belanja Pendidikan dalam APBD (Z10) terdapat 6 Delphi (60%) yang menilai pada range 7 dan 4 Delphi (40%) menilai pada range 6. Nilai Skor Variabel Proporsi Belanja Pendidikan dalam APBD Rata-Rata adalah sebesar 0,967, jauh di atas batas minimum persetujuan. Pada Variabel Proporsi Belanja Kesehatan dalam APBD (Z11) terdapat 6 Delphi (60%) yang menilai pada range 7 dan 4 Delphi (40%) menilai pada range 6. Nilai Skor Variabel Proporsi Belanja Kesehatan dalam APBD Rata-Rata adalah sebesar 0,943, jauh di atas batas minimum persetujuan. Pada Variabel Proporsi (Tingkat) Partisipasi Sekolah (Z12) terdapat 8 Delphi (80%) yang menilai pada range 7, 1 Delphi (10%) menilai pada range 6, dan 1 Delphi (10%) pada range 5. Nilai Skor Variabel Proporsi (Tingkat) Partisipasi Sekolah Rata-Rata adalah sebesar 0,943, jauh di atas batas minimum persetujuan.
175
Tabel 4 Penilaian Ahli Terhadap Variabel Demokrasi Penguasaan Faktor Produksi Intelektual
b.
Variabel Sub-Dimensi Demokrasi Penguasaan Faktor Produksi Institusional Pada Sub-Dimensi Demokrasi Penguasaan Faktor Produksi Institusional Variabel Proporsi Anggota Koperasi dari Total Jumlah Penduduk (Z13) terdapat 4 Delphi (40%) yang menilai pada range 7, 1 Delphi (10%) menilai pada range 6, 4 Delphi (40%) pada range 5, dan 1 Delphi (10%) menilai pada range 4. Nilai Skor Variabel Proporsi Anggota Koperasi dari Total Jumlah Penduduk Rata-Rata adalah sebesar 0,828, di atas batas minimum persetujuan. Pada Variabel Proporsi Volume Usaha Koperasi terhadap PDRB (Z14) terdapat 3 Delphi (30%) yang menilai pada range 7, 2 Delphi (20%) menilai pada range 6, dan 4 Delphi (40%) pada range 5, dan 1 Delphi (10%) menilai pada range 4. Nilai Skor Variabel Proporsi Volume Usaha Koperasi terhadap PDRB Rata-Rata adalah sebesar 0,814, di atas batas minimum persetujuan. Pada Variabel Proporsi Perusahaan Yang Memiliki Serikat Pekerja (Z15) terdapat 7 Delphi (70%) yang menilai pada range 7, 1 Delphi (10%) menilai pada range 6, dan 2 Delphi (20%) pada range 5. Nilai Skor Variabel Proporsi Perusahaan Yang Memiliki Serikat Pekerja Rata-Rata adalah sebesar 0,828, di atas batas minimum persetujuan. Pada Variabel Proporsi Anggota Serikat Pekerja terhadap Jumlah Pekerja Total (Z16) terdapat 6 Delphi (60%) yang menilai pada range 7, 2 Delphi (20%) menilai pada range 6, 1 Delphi (10%) pada range 5, dan 1 Delphi (10%) menilai pada range 4. Nilai Skor Variabel Proporsi Anggota Serikat Pekerja terhadap Jumlah Pekerja Total Rata-Rata adalah sebesar 0,900, di atas batas minimum persetujuan. Pada Variabel Proporsi Perusahaan Yang Menerapkan Pola Kepemilikan Saham oleh Pekerja (Z17) terdapat 7 Delphi (70%) yang menilai pada range 7, 1 Delphi (10%) menilai pada range 6, dan 2 Delphi (20%) pada range 5. Nilai Skor Variabel Proporsi Perusahaan Yang Menerapkan Pola Kepemilikan Saham oleh Pekerja Rata-Rata adalah sebesar 0,928, jauh di atas batas minimum persetujuan. 176
Tabel 5. Penilaian Ahli Terhadap Variabel Demokrasi Penguasaan Faktor Produksi Institusional
Secara keseluruhan aplikasi Metode Delphi Putaran I menghasilkan 21 variabel yang nilai skor rata-ratanya di atas batas minimum persetujuan. Hanya terdapat 1 variabel dalam Dimensi Demokrasi Penguasaan Faktor Produksi Material, yaitu Variabel Proporsi Konsumsi Perkapita terhadap Konsumsi Perkapita yang dinilai para-ahli (Nilai Skor Variabel Rata-Rata) di bawah batas minimum persetujuan. Nilai Skor Dimensi Rata-Rata untuk Dimensi Demokrasi Produksi adalah sebesar 0,794, Dimensi Demokrasi Alokasi dan Konsums sebesar 0,953, dan Dimensi Demokrasi Penguasaan Faktor Produksi sebesar 0,861.
177
Tabel 6. Nilai Skor Variabel Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia Batas No Dimensi/Variabel Minimum Nilai Skor Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia Persetujuan* Variabel Rata(IDEI) Rata** 0,714 X Demokrasi Produksi (DP) 0,794 1 Tk. Pengangguran Terbuka 0,714 0,812 2 Tk. Pengangguran Terselubung 0,714 0,771 3 Rasio Upah Buruh/Omzet Perusahaan 0,714 0,800 Y
Demokrasi Alokasi (DA) 1 Porsi Belanja bg Penduduk Miskin 2 Rasio Pendapatan Kelompok 40% Terbawah/Total Pendapatan
0,714 0,714 0,714
0,935 0,900 0,971
0,714 Demokrasi Penguasaan Faktor 0,861 Produksi (DPFP) Z-a Faktor Produksi Material 1 Rasio APBD/PDRB 0,714 0,814 2 Rasio PAD/APBD 0,714 0,785 3 Rasio Pembiayaan Domestik/APBD 0,714 0,828 4 Rasio APBD/Total Omzet SDA 0,714 0,814 5 Rasio Konsumsi/Kredit Konsumsi 0,714 0,700 Rasio Investasi Domestik/Total 6 Investasi 0,714 0,857 7 Rasio Investasi UMKM/PDRB 0,714 0,871 8 Rasio Kredit/Tabungan 0,714 0,828 9 Rata2 Luas Kepemilikan Lahan 0,714 0,828 Z-b Faktor Produksi Intelektual 10 Rasio Belanja Pendidikan/APBD 0,714 0,967 11 Rasio Belanja Kesehatan/APBD 0,714 0,943 12 Rasio Partisipasi Sekolah 0,714 0,943 Z-c Faktor Produksi Institusional Rasio Anggota Koperasi/Jumlah 13 Penduduk 0,714 0,828 14 Rasio Volume Usaha Koperasi/PDRB 0,714 0,814 15 Rasio Perusahaan Memiliki SP 0,714 0,828 16 Rasio Anggota SP/Jumlah Pekerja 0,714 0,900 17 Rasio Perusahaan Memiliki ESOP 0,714 0,928 * : Batas Minimum Persetujuan = Range Persetujuan Minimum (50) / Range Persetujuan Maksimum (70) Z
178
** : Nilai Skor Variabel / Nilai Skor Maksimum (70) Secara keseluruhan aplikasi Metode Delphi pada putaran I telah menghasilkan hipotetik susunan Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia sesuai dengan hipotetik susunannya dalam instrumen penelitian. Susunan Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia tersebut adalah sebagai berikut: Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia (IDEI) = Demokrasi Produksi (DP) + Demokrasi Alokasi dan Konsumsi (DAK) + Demokrasi Penguasaan Faktor Produksi (DPFP) atau, IDEI = DP + DAK + DPFP di mana, DP = X1 + X2 + X3 DAP = Y1 + Y2 DPFP = Z1 + ,…Z17
Hipotetik bobot masing-masing dimensi dapat didasarkan pada penilaian para-ahli yang menghasilkan Nilai Skor Dimensi Rata-Rata, yaitu Dimensi Demokrasi Produksi sebesar 0,794, Dimensi Demokrasi Alokasi dan Konsumsi sebesar 0,935, dan Dimensi Penguasaan Faktor Produksi sebesar 0,861. Formula hipotetik putaran I Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia dengan adalah sebagai berikut: IDEI = (0,79)DP + (0,93)DAK + (0,86)DPFP
2). Temuan Aplikasi Delphi Putaran 2 Sesuai dengan karakteristik Metode Delphi, yaitu iterasi dan umpan balik yang terkelola, maka responden Delphi diberi kesempatan untuk mengubah atau memperbaiki jawabannya. Hal ini dilakukan setelah responden Delphi memperoleh informasi perihal hasil analisis data sementara yang menunjukkan penilaian umum para-ahli responden Delphi. Hasil analisis data putaran I tersebut selanjutnya digunakan sebagai instrumen penelitian pada aplikasi Metode Delphi putaran II. Distribusi instrumen putaran II menghasilkan temuan yang secara umum memperkuat temuan putaran sebelumnya, di mana hanya 1 responden Delphi yang mengubah jawabannya secara positif pada 1 buah variabel. Perubahan ini dilakukan pada variabel Proporsi Upah Buruh terhadap Total Omzet Perusahaan, dari yang semula dinilai pada range 4 kemudian diubah menjadi dinilai pada range 7 (maksimum). Sementara itu jawaban semua responden Delphi pada seluruh variabel yang lain pada putaran I tidak mengalami perubahan.
179
Sementara itu penilaian para-ahli terhadap Bobot Dimensi yang dihasilkan dari Nilai Skor Dimensi Rata-Rata menunjukkan kecenderungan penerimaan para-ahli responden Delphi terhadap nilai bobot yang diajukan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai (tingkat) persetujuan terhadap semua Bobot Dimensi yang sebesar 80%, sedangkan nilai (tingkat) ketidaksetujuan hanya sebesar 6,66%. Tingkat ketidaksetujuan pada Dimensi Demokrasi Produksi dan Dimensi Demokrasi Alokasi dan Konsumsi adalah sama-sama sebesar 3,33%. Tidak terdapat ketidaksetujuan dari para-ahli responden Delphi pada Dimensi Demokrasi Penguasaan Faktor Produksi. Dalam pada itu nilai (tingkat) abstain (keraguan) adalah sebesar 13,34%.
Tabel 7. Nilai Skor Aplikasi Metode Delphi Putaran II No
Dimensi/Variabel Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia (IDEI)
Penilaian Tentang Perubahan Jawaban* (%) YA
TIDAK
X
Demokrasi Produksi (DP)
1
Tk. Pengangguran Terbuka
0
100
2
0
100
3
Tk. Pengangguran Terselubung Rasio Upah Buruh/Omzet Perusahaan
10
90
Y
Demokrasi Alokasi (DA)
1
Porsi Belanja bg Penduduk Miskin
0
100
2
Rasio Pendapatan Kelompok 40%
0
100
Bobot Dimensi** (%) TIDAK SETUJU SETUJU 80
10
80
10
80
0
Terbawah/Total Pendapatan Z
Demokrasi Penguasaan Faktor Produksi (DPFP)
Za
Faktor Produksi Material
1
Rasio APBD/PDRB
0
100
2
Rasio PAD/APBD
0
100
3
Rasio Pembiayaan Domestik/APBD
0
100
4
Rasio APBD/Total Omzet SDA
0
100
5
0
100
6
Rasio Konsumsi/Kredit Konsumsi Rasio Investasi Domestik/Total Investasi
0
100
7
Rasio Investasi UMKM/PDRB
0
100
8
Rasio Kredit/Tabungan
0
100
9 Zb
Rata2 Luas Kepemilikan Lahan
0
100
10
Rasio Belanja Pendidikan/APBD
0
100
11
Rasio Belanja Kesehatan/APBD
0
100
12 Zc
Rasio Partisipasi Sekolah
0
100
Faktor Produksi Intelektual
Faktor Produksi Institusional
180
14
Rasio Anggota Koperasi/Jumlah Penduduk Rasio Volume Usaha Koperasi/PDRB
0
100
15
Rasio Perusahaan Memiliki SP
0
100
16
Rasio Anggota SP/Jumlah Pekerja
0
100
17
Rasio Perusahaan Memiliki ESOP
0
100
5,88
94,12
13
Nilai Rata-Rata
0
100
80,00
6,66
* : Jawaban TIDAK merupakan persetujuan final terhadap kesesuaian variabel sebagai elemen Indeks ** : Bobot dimensi sesuai rerata nilai elemen variabel penyusun dimensi, yaitu Demokrasi Produksi = 0,79, Demokrasi Alokasi = 0,93 dan Demokrasi Penguasaan Faktor Produksi = 0,86
Satu-satunya perubahan jawaban yang dilakukan oleh responden Delphi selanjutnya mengubah Nilai Skor Variabel Proporsi Upah Buruh terhadap Total Omzet Perusahaan. Pada variabel Rasio Upah Buruh Terhadap Omset Perusahaan (X3) aplikasi Metode Delphi Putaran I terdapat 6 Delphi (60%) yang menilai pada range 7, 1 Delphi (10%) menilai pada range 5, 1 Delphi (10%) pada range 4, dan 1 Delphi (10%) menilai pada range 3. Nilai Skor Variabel Rasio Upah Buruh Terhadap Omset Perusahaan pada Putaran I adalah sebesar 0,800, di atas batas minimum persetujuan.
Tabel 8. Penilaian Ahli Terhadap Variabel Dimensi Demokrasi Produksi Pada Putaran I (Sebelum Revisi)
Pada variabel Rasio Upah Buruh Terhadap Omset Perusahaan (X3) aplikasi Metode Delphi Putaran II terdapat 7 Delphi (70%) yang menilai pada range 7, 1 Delphi (10%) menilai pada range 5, dan 1 Delphi (10%) menilai pada range 3. Nilai Skor Variabel Rasio Upah Buruh Terhadap Omset Perusahaan pada aplikasi Metode Delphi Putaran II (revisi jawaban) naik menjadi sebesar 0,814 dan tetap di atas batas minimum persetujuan. 181
Tabel 9. Penilaian Ahli Terhadap Variabel Dimensi Demokrasi Produksi Pada Putaran 2 (Sesudah Revisi)
Perubahan jawaban 1 Delphi terhadap 1 variabel (Proporsi Upah Buruh terhadap Total Omzet Perusahaan) pada putaran II juga mengubah Nilai Skor Dimensi Demokrasi Produksi dari sebelumnya sebesar 0,794 menjadi sebesar 0,799. Sementara itu, Nilai Skor Dimensi Rata-Rata dan Nilai Skor Variabel Rata-Rata lainnya tidak mengalami perubahan. Nilai perubahan yang tidak mengubah nilai desimal pertama ini kurang signifikan, sehingga penentuan Bobot Dimensi Demokrasi Produksi tetap signifikan untuk menggunakan penilaian para-ahli pada putaran II yang untuk dimensi tersebut tingkat persetujuannya sudah mencapai 80% dan tingkat ketidaksetujuannya hanya 3,3%.
182
Tabel 10. Nilai Skor Variabel Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia -Putaran II (Revisi) No
Dimensi/Variabel
Batas Minimum
Nilai Skor
Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia
Persetujuan
Variabel
(IDEI)
Rata-Rata
Demokrasi Produksi (DP)
0,714
0,799*
1
Tk. Pengangguran Terbuka
0,714
0,812
2
Tk. Pengangguran Terselubung
0,714
0,771
3
Rasio Upah Buruh/Omzet Perusahaan
0,714
0,814**
Demokrasi Alokasi (DA)
0,714
0,935
1
Porsi Belanja bg Penduduk Miskin
0,714
0,900
2
Rasio Pendapatan Kelompok 40%
0,714
0,971
0,714
0,861
X
Y
Terbawah/Total Pendapatan Z
Demokrasi Penguasaan Faktor Produksi (DPFP)
Z-a
Faktor Produksi Material 1
Rasio APBD/PDRB
0,714
0,814
2
Rasio PAD/APBD
0,714
0,785
3
Rasio Pembiayaan Domestik/APBD
0,714
0,828
4
Rasio APBD/Total Omzet SDA
0,714
0,814
5
Rasio Konsumsi/Kredit Konsumsi
0,714
0,700
6
Rasio Investasi Domestik/Total Investasi
0,714
0,857
7
Rasio Investasi UMKM/PDRB
0,714
0,871
8
Rasio Kredit/Tabungan
0,714
0,828
9
Rata2 Luas Kepemilikan Lahan
0,714
0,828
Z-b
Faktor Produksi Intelektual
10
Rasio Belanja Pendidikan/APBD
0,714
0,967
11
Rasio Belanja Kesehatan/APBD
0,714
0,943
12
Rasio Partisipasi Sekolah
0,714
0,943
Z-c
Faktor Produksi Institusional
13
Rasio Anggota Koperasi/Jumlah Penduduk
0,714
0,828
14
Rasio Volume Usaha Koperasi/PDRB
0,714
0,814
15
Rasio Perusahaan Memiliki SP
0,714
0,828
16
Rasio Anggota SP/Jumlah Pekerja
0,714
0,900
0,714
0,928
17 Rasio Perusahaan Memiliki ESOP * : Nilai Skor Revisi dari sebelumnya sebesar 0,794 **: Nilai Skor Revisi dari sebelumnya sebesar 0,800
183
Secara keseluruhan hasil distribusi instrumen penelitian aplikasi Metode Delphi Putaran II memperkuat temuan Dimensi, Kriteria, dan Indikator (Variabel) Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia pada aplikasi Metode Delphi Putaran I. Perubahan jawaban pada 1 Variabel oleh 1 Delphi tidak signifikan dan juga meningkatkan nilai skor variabel diubah yang memperkuat temuan sebelumnya. Oleh karena itu hasil temuan aplikasi Metode Delphi pada Putaran I dapat digunakan sebagai dasar penetapan Variabel dan Susunan Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia yang sudah diformulasikan secara hipotetik pada analisis hasil temuan aplikasi Metode Delphi pada putaran I.
Simpulan dan Rekomendasi Berdasarkan hasil temuan dan analisis penilaian ahli dalam aplikasi Metode Delphi Putaran I dan II maka dapat dirumuskan kesimpulan dan rekomendasi sebagai berikut: Simpulan 1). Variabel yang dinilai sesuai oleh para-ahli dan mencapai nilai skor di atas batas minimum persetujuan, sehingga dapat dijadikan sebagai unsur penyusun Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia (IDEI) adalah sebanyak 21 variabel yang terbagi dalam 3 Dimensi, yaitu: A. Dimensi Demokrasi Produksi (DP) = X 1. Tingkat Pengangguran Terbuka (X1) 2. Tingkat Pengangguran Terselubung (X2) 3. Rasio Upah Buruh Terhadap Total Omzet Perusahaan (X3) B. Dimensi Demokrasi Alokasi dan Konsumsi (DAK) = Y 1. Proporsi Belanja Jaminan Sosial Bagi Penduduk Miskin Terhadap APBD (Y1) 2. Rasio Pendapatan Kelompok 40% Terbawah Terhadap Total Pendapatan (Y2) C. Dimensi Demokrasi Penguasaan Faktor Produksi (DPFP) = Z 1. Rasio APBD Terhadap PDRB (Z1) 2. Rasio PAD Terhadap APBD (Z2) 3. Rasio Pembiayaan Domestik Terhadap APBD (Z3) 4. Rasio APBD Terhadap Total Omzet Hasil Eksplotasi SDA (Z4) 5. Rasio Investasi Domestik Terhadap Total Investasi (Z5) 6. Rasio Investasi UMKM Terhadap PDRB (Z6) 7. Rasio Kredit Terhadap Tabungan (Z7) 8. Rata-Rata Luas Kepemilikan Lahan (Z8) 9. Rasio Belanja Pendidikan Terhadap APBD (Z9) 10. Rasio Belanja Kesehatan Terhadap APBD (Z10) 11. Tingkat Partisipasi Sekolah (Z11) 12. Rasio Anggota Koperasi Terhadap Total Jumlah Penduduk (Z12) 184
13. Rasio Volume Usaha Koperasi Terhadap PDRB (Z13) 14. Rasio Perusahaan Memiliki Serikat Pekerja (Z14) 15. Rasio Anggota Serikat Pekerja Terhadap Total Jumlah Pekerja (Z15) 16. Rasio Perusahaan Yang Memiliki Pola Kepemilikan Saham Oleh Pekerja (Z16) 2). Susunan (formula) umum Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia (IDEI) yang disetujui oleh para-ahli adalah: DP = X1 + X2 + X3 …………………(i) DAP = Y1 + Y2 ………………… (ii) DPFP = Z1 + ,…Z16 ………………… (iii) IDEI = DP + DAK + DPFP ………… (iv) 3). Susunan (formula) Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia yang mempertimbangkan pembobotan nilai skor yang disetujui oleh para-ahli adalah: IDEI = (0,79)DP + (0,93)DAK + (0,86)DPFP ………. (v)
Rekomendasi 1) Pemerintah dalam hal ini BPS, Bappenas, Bank Indonesia, atau Universitas Gadjah Mada (Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan) perlu menjadikan IDEI sebagai alternatif alat ukur tingkat penerapan demokrasi ekonomi di Indonesia, yang kemudian dapat memperbandingkan penerapannya antardaerah di seluruh Indonesia dan dievaluasi perkembangannya dari tahun ke tahun atau minimal 3 tahun sekali. 2) Pemerintah dan DPR RI hasil Pemilihan Umum 2009 perlu menjadikan hasil pengukuran IDEI sebagai sarana untuk mendorong pengarusutamaan aspek pemerataan dan keadilan dalam pembangunan ekonomi Indonesia selain aspek pertumbuhan dan efisiensi. 3) Ekonom yang berkomitmen terhadap ide demokrasi ekonomi perlu menjadikan IDEI sebagai variabel baru yang setelah diukur dalam konteks perekonomian daerah dapat dikorelasikan dengan berbagai fenomena ekonomi daerah (nasional) seperti halnya kemiskinan, ketimpangan, pengangguran, inflasi, pendapatan riil (perkapita), pertumbuhan, dan variabel makro-ekonomi lain di Indonesia dengan memanfaatkan alat-alat analisis ekonometrik yang sudah tersedia. 4) Peneliti ekonomi perlu menjadikan IDEI sebagai rintisan awal (starting-point) bagi berkembangnya inovasi (penemuan) baru terhadap alat ukur, model, dan teori demokrasi ekonomi Indonesia yang lebih baik (canggih) di masa-masa yang akan datang.
185
DAFTAR PUSTAKA
Archer, Robin, Economic Democracy: The Politics of Feasible Socialism, Clarendon Press Arief, Sritua, 2006, Negeri Terjajah, Yogyakarta, Resist Book Aly, Bachtiar, Indradi Kusuma, Prasetyadji, 2002, Menuju Indonesia yang Demokratis, Adil & Pluralis, Forum Kesatuan Komunikasi Bangsa, Jakarta Booth, Anne, 1998, The Indonesian Economy in the Nineteenth and Twentieth Centuries: A History of Missed Opportunities, London, Macmillan. Bruyn, Severyn T., 2000, A Civil Economy: Transforming the Market in the 21st Century, Michigan, University of Michigan Press. Brookings, Robert S, 1929, Economic Democracy: America's Answer to Socialism and Communism; a Collection of Articles, Addresses and Papers, The Macmillan company Carnoy, Martin and Derek S., 1980, Economic Democracy: The Challenge of 1980s, New York, M.E. Sharpe. Chartier, Cary, 2001, Civil Right and Economic Democracy Cumbers, Andre, 2007, Economic Democracy and Public Ownership, Glasgow, University of Glasgow Dahl, Robert A, 1985, Demokrasi Ekonomi: Sebuah Pengantar, diterjemahkan oleh Akhmad Setiawan, Jakarta, Yayasan Obor. Devune, Pat, 1995, Demokrasi dan Perencanaan Ekonomi, Yogyakarta, Tiara Wacana Dick, Howard, et, al, 2002, The Emergence of A National Economy: An Economic History of Indonesia 1800-2000, Honolulu, Allen & Unwin Hawaii Press. Eisy, M. Ridlo, 1990, “Perjuangan Nasional Perbaikan Nasib Rakyat”, Kebangkitan Nasional, PB PWI. Fukuyama, Francis, 1995, Trust, New York, Simon & Schuster Inc., Free Press Paperbacks. Forum Rektor Indonesia, 2007, Sistem Ekonomi yang Berkeadilan Sosial, (naskah akademik), Makassar, FRI. Fotopoulos, Takis, Ch. 14: Economic Democracy, dalam The Multidimentional Crisis and Inclusive Democracy, di akses di internet pada tanggal 12/9/2007 jam 07.46 WIB. Fowler Jr., F. (1993). Survey research methods. Thousand Oaks, USA: Sage Publications. Grossman, Gregory, 2004, Sistem-Sistem Ekonomi, Jakarta, Bumi Aksara Heilborner, & Milberg, 1998, The Making of Economic Society, London, Prentice Hall Hines, Collins, 2005, Mengganti Globalisasi Ekonomi Menjadi Lokalisasi Demokrasi, Insist Press, Yogyakarta Huntington, Samuel P., 1997, The Clash of civilization and The Remaking of World Order, India, Penguin Books. Koesnadi Hardjosoemantri dkk, 2004, Program Aksi Meluruskan Reformasi, UGM, Yogyakarta Kuncoro, Mudrajad, 2004, Otonomi dan Pembangunan Daerah, Erlangga, Jakarta
186
Kekic, Laza, 2007, The Economist Intelegence Unit’s Index of Democracy, EIU Report 2007 Kriegman, Orion, 1998, The Potential for Economic Democracy n America Mubyarto and Daniel W. Bromley, 2002, A Development Alternative for Indonesia, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press. Mubyarto, 2004, Teknokrat dan Ekonomi Pancasila, PUSTEP-UGM, Yogyakarta _________, 2004, Revolusi Menuju Sistem Ekonomi Pancasila, PUSTEP-UGM, Yogyakarta _________ (ed), 2004, Pancasila, UGM, dan Jati Diri Bangsa, PUSTEP-UGM, Yogyakarta (akan terbit) _________, 2004, Neoliberalisme dan Krisis Ilmu Ekonomi, Yogyakarta, PUSTEP & Aditya Media. _________, 2004, Ekonomi Pancasila: Evaluasi Dua Tahun PUSTEP-UGM, Aditya Media, Yogyakarta _______, 2004, Ekonomi Pasar Populis, Aditya Media, Yogyakarta _______, 2004, Menggugat Sistem Pendidikan Nasional: Refleksi Pendidikan Akhir Tahun 2004, Aditya Media, Yogyakarta _______, 2005, Satu Abad Sumpah Pemuda: Visi Indonesia 2028, Aditya Media, Yogyakarta _______, 2005, Pusat Studi Non-Disipliner: Reformasi Pengajaran Ilmu-ilmu SosialHumaniora di Universitas Gadjah Mada, Aditya Media, Yogyakarta Mubyarto, 1997, Ekonomi Rakyat, Program IDT, dan Demokrasi Ekonomi Indonesia, Aditya Media, Yogyakarta Mubyarto, Capres/Cawapres dan Ekonomi Rakyat, dalam Jurnal Ekonomi Rakyat, Bogor, Yayasan Agro Ekonomika (YAE). Mutis, Thoby, 2002, Cakrawala Demokrasi Ekonomi, Tiara Wacana, Yogyakarta Nyerere, Julius K., 1990, The Challenge to The South: The Report of The South Commission, Oxford, Oxford University Press. Perkins, John, 2004, Confessions of an Economic Hit Man, San Francisco, BerrettKoehler Publishers Inc. Retnonowati Abdulgani-Knapp, 2003, A Fading Dream: The Story of Roeslan Abdulgani and Indonesia, Utopia Press Pte Ltd, Singapura Poole, Michael, 1987, The Origin of Economic Democracy, Routledge, London Pusat Pendidikan dan Studi Kebansentralan, 2002, Daya Saing Daerah: Konsep dan Pengukurannya di Indonesia, BI, Jakarta Rachbini, Didik J, 2001, Politik Ekonomi Baru Menuju Demokrasi Ekonomi, Grasindo, Jakarta Smith, J.W., 2000, Economic Democracy: Political Struggle in Twenty-first Centuries, New York, M.E. Sharpe. Sarbini Sumawinata, 2004, Politik Ekonomi Kerakyatan, Gramedia, Jakarta Selo Soemardjan, 1962, Social Changes in Yogyakarta, Ithaca, Cornell University Press. Sofian Effendi, 2004, Revitalisasi Jati Diri UGM menghadapi Perubahan Global, Pidato Dies Natalis ke-55, 20 Desember 2004, UGM, Yogyakarta Svante, Erricson & Jan-Eric Lane, 2002, Demokratisasi Pertumbuhan, RajaGarfindo, Jakarta 187
Swasono, Sri Edi, 1987, Sistem Ekonomi dan Demokrasi Ekonomi, UI Press, Jakarta Situmorang, Johny W dkk, Prototipe Model Pemeringkatan Koperasi Berdasarkan MDP, dalam Infokop No 28 Tahun XXII, 2006 The Heritage Foundation, Index of Econmic Freedom 2007 Wikipedia, 2007, Economic Democracy, diakses di internet tanggal 12/8/2007 Williams, 2002, Bologna and Emilia Romagna: A Model of Economic Democracy, diakses di internet tanggal 12/8/07 jam 09.49 WIB. Wertheim, W.F., 1961, Indonesian Economics: The Concept of Dualism in Theory and Policy, The Hague, W. Van Hoeve Publishers. Wibowo, I., Francis Wahono, 2003, Neoliberalisme, Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta. Tempo Interaktif, Rabu, 02 Desember 2009 | 13:12 WIB
188
CURICULUM VITAE
Nama Tempat/tgl lahir NIP Pangkat/Gol Jab. Fungsional Alamat rumah Telepon E-mail Website
: AWAN SANTOSA, S.E, M.Sc : Yogyakarta, 15 April 1979 : 132311136 : Penata Muda/IIIa : Asisten Ahli : Sapen GK I/535 Yogyakarta : 0816-169-1650 :
[email protected] : www.awansantosa.blogspot.com
RIWAYAT PENDIDIKAN 1. SD Demangan I Yogyakarta (1986-1991) 2. SMP Condong Catur I Sleman Yogyakarta (1991-1994) 3. SMU 9 Yogyakarta (1994-1997) 4. S-1 Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (1997-2002) 5. S-2 Fakultas Ekonomi dan Bisnis Magister Sains UGM Yogyakarta (2007-2009) RIWAYAT ORGANISASI 1. Ketua Umum Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ekonomi UGM tahun 1999/2000 2. Ketua Umum Ikatan Pemuda Sapen (IPSA) Yogyakarta tahun 1998/2000 3. Pegiat Lingkar Studi Alternatif (LSA) Yogyakarta tahun 1999/2000 4. Wakil Ketua Remaja Masjid Safinaturahmah Sapen Yogyakarta tahun 2000/2001 5. Koordinator Sekolah Ekonomi Rakyat (SER) Yogyakarta tahun 2004-2005 6. Koordinator Presidium Sekolah Ekonomi Rakyat (SER) Yogyakarta tahun 2007/2008 7. Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM Tahun 2005-sekarang RIWAYAT PEKERJAAN 1. Staf Pengajar Bulaksumur Association (BSA) Yogyakarta tahun 2000/2001 2. Staf Pengajar Cupido : English for Kids tahun 2001/2002 3. Tentor privat 4. Asisten penelitian Prof Mubyarto tahun 2002/2003 5. Peneliti pada Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) UGM tahun 2003-2005 6. Dosen Negeri DPK di Universitas Mercu Buana Yogyakarta, tahun 2005 - sekarang RIWAYAT PENELITIAN 1. Distribusi Pendapatan dan Tingkat Kemiskinan Kabupaten Gunungkidul : Analisis hasil Susenas tahun 1996-2000 2. Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pacitan, tahun 2002 189
3. Evaluasi Dampak Program Penanggulangan Kemiskinan Bersasaran (IDT, PPK, P2KP dan Program Padat Karya) : Studi Kasus 5 Kabupaten di DIY, tahun 2002-2003 4. Studi Potensi dan Kajian Pendirian Lembaga Keuangan Mikro di Kabupaten Kulon Progo, tahun 2003 5. Pembuatan Masterplan Ekonomi Kerakyatan Kabupaten Kutai Barat, tahun 2003 6. Penyusunan Profil Kabupaten Kutai Barat, tahun 2003 7. Monitoring dan Evaluasi Gerakan Sendawar Makmur (GSM) Kabupaten Kutai Barat, tahun 2004 8. Mid-Term Review Propeda-Renstra Kabupaten Kutai Barat, tahun 2004 9. Relevansi Pendidikan Ekonomi di Perguruan Tinggi Indonesia (Studi Kasus di Fakultas Ekonomi UGM), tahun 2004 10. Studi Potensi Pendirian Lembaga Keuangan Mikro di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, tahun 2005 11. Studi Penerapan Pola Profit Sharing dan Employee-Share Ownership (ESOP) pada Perusahaan di Sektor Pariwisata di Kota Yogyakarta, Tahun 2006 12. Analisis Tingkat Kemiskinan dan Distribusi Pendapatan di Kabupaten Gunungkidul Tahun 1996-2004, Tahun 2006 13. Evaluasi Kinerja Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Tahun 2006 14. Studi Penerapan Pola Profit Sharing dan Employee-Share Ownership (ESOP) pada Perusahaan di Propinsi DIY, Tahun 2007 15. Penilaian Kinerja dan Kebutuhan Program CSR PT Bakrie Sumatera Plantation: Studi Kasus Unit Kisaran (Sumut) dan Unit Jambi, Tahun 2007 16. Studi Peningkatan Pendapatan Daerah Kabupaten Kota Baru, Propinsi Kalimantan Selatan, Tahun 2007 17. Studi Penyusunan Standar Pelayanan Minimal Angkutan Penyeberangan Pada Kawasan Pariwisata, Departemen Perhubungan, 2008 18. Studi Pengembangan Lembaga Keuangan Formal Mitra Binaan CEF-Javelc, 2009 19. Studi Pekebun Mandiri Dalam Industri Sawit Indonesia, 2009 20. Studi Pengembangan Inkubator Ekonomi Kerakyatan di Desa-Desa Miskin Sekitar Hutan Kabupaten Gunungkidul, 2009 21. Studi Potensi Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kaltim, 2009 22. Studi Penyusunan Rencana Strategis Penyelenggaraan Ekonomi Kerakyatan di Kabupaten Penajam paser Utara, Kaltim, 2009 RIWAYAT PUBLIKASI 1. Evaluasi Program Penanggulangan Kemiskinan Bersasaran (IDT, PPK, dan P2KP) di Propinsi DIY (bersama Drs. Puthut Indroyono dan Dadit G. Hidayat, ST), Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia dan Jurnal Ekonomi Rakyat (www.ekonomirakyat.org), 2003 2. Pendidikan Ekonomi Alternatif di Sekolah Lanjutan (Bersama Prof. Dr. Mubyarto), Aditya Media, 2004 3. LKM Berpola Mobile Banking, dalam Keuangan Mikro Kulon Progo, Aditya Media, 2004 4. Kemiskinan Struktural dan Ekonomi Kerakyatan, dalam Kutai Barat Mengembangkan Ekonomi Kerakyatan, Aditya Media, 2004 190
5. Reformasi Total Pendidikan, dalam Pemberantasan Kemiskinan Melalui Gerakan Sendawar Makmur, Aditya Media, 2004 6. Pengembangan Keuangan Mikro, dalam Pemberantasan Kemiskinan Melalui Gerakan Sendawar Makmur, Aditya Media, 2004 7. Pemulihan Ekonomi Dihadang Globalisasi, dalam Majalah Ekonomisi, Edisi 3/Tahun III/2001 8. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan : Kritik Terhadap Paradigma Agribisnis (Bersama Prof. Dr. Mubyarto), Jurnal Ekonomi Rakyat, 2003 9. Relevansi Platform Ekonomi Pancasila dalam Penguatan Ekonomi Rakyat, Jurnal Ekonomi Rakyat, 2004 10. Koperasi Sebagai Sokoguru Perekonomian, dalam Ekonomi Rakyat Nganjuk, Aditya Media, 2004 11. Kutai Barat Membangun Manusia Seutuhnya (Bersama Prof. Mubyarto), dalam Pembangunan Daerah Kutai Barat : Mid-Term Review Propeda Kutai Barat, Aditya Media, 2005 12. Menggugat Sistem Perbankan Kapitalis (bersama Prof. Mubyarto), dalam Menggugat Ketimpangan dan Ketidakadilan Ekonomi Nasional, Aditya Media, 2005 13. Ekonomi Rakyat Tidak Tunduk Pada Globalisme, dalam Majalah PROSPEK-UNY Edisi 1, 2005 14. Pendidikan Ekonomi Alternatif di Sekolah Lanjutan (Bersama Prof. Dr. Mubyarto), dalam Jurnal Ilmu Sosial “Socia”, Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Negeri Yogyakarta, 2005 15. Mal dan Neokulinisasi, dalam Majalah Cakrawala UNWAMA 2006 16. Ekonomi Pancasila Menggugat Neoliberalisme, dalam Jurnal Expose-UNEJ, April 2006 17. Mal dan Neokolonialisme, Harian Investor Daily Edisi 29 Maret 2006 18. Legalisasi Penjarahan, Kompas Jogja, edisi 7 April 2007 19. Mimpi, Nasionalisasi, Harian KONTAN, edisi 3 Agustus 2007 20. Pola Profit Sharing dan Employee-Share Ownership (ESOP) pada Perusahaan di Sektor Pariwisata di Kota Yogyakarta, Jurnal AKPRAM edisi 2007 21. Penambangan Pasir Besi Harus Ditolak, Bernas, edisi Desember 2007 22. Kolonisasi Migas, Majalah EKSPRESI UNY edisi I/2008 23. Subversi Finansial Global, Harian KONTAN, Nopember 2008 23. Artikel lain di homepage pribadi : www.awansantosa.blogspot.com
RIWAYAT SEBAGAI PEMBICARA/NARASUMBER 1. Lokakarya Pengembangan Keuangan Mikro di Kulon Progo, 2004 2. Training Pemandu “Simfoni” dengan materi “FE UGM Sebagai Kampus Ekonomi Rakyat”, Juli 2004 3. Diskusi Serial Sekolah Ekonomi Rakyat, 2004-2005 4. Seminar Koperasi dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, Koperasi Mahasiswa Universitas Islam Negeri, Mei 2005 5. Seminar Bulanan Pustep-UGM dengan topik “Ekonomi Terjajah dan Pendidikan Ekonomi Pancasila”, Mei 2005 6. Kuliah Ekstrakurikuler Ekonomi Pancasila (KEEP) dengan materi Nasionalisme 191
Ekonomi, FE UGM, 21 Mei 2005 7. Diskusi Publik Forum LSM DIY dalam rangka Hari Kebangkitan Nasional, Mei 2005 8. Diskusi Majalah Balairung tentang “Ekonomi Pancasila”, Mei 2005 9. Ceramah Neoliberalisme Mencengkeram Ekonomi Indonesia, dalam program Sekolah Anti Neoliberalisme HMI Yogyakarta, Agustus 2005 10. Studium General “Krisis Energi” dalam rangka OSPEK Mahasiswa Baru FE-UAD, Agustus 2005 11. Diskusi “Kenaikan Harga BBM” di KAMMI Komisariat UGM, September 2005 12. Diskusi “ Jatuhnya Rupiah” di BEM KM UGM, September 2005 13. Diskusi “Kapitalisme, Sejarah dan Perkembangannya” di Pusat Kajian Ekonomi FESanata Dharma, September 2005 14. Diskusi “Makro-Ekonomi Rakyat” di Diskusi SER-ial Sekolah Ekonomi Rakyat, September 2005 15. Seminar “Ekonomi Pancasila”, Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (HIMIESPA) UGM, Desember 2005 16. Diskusi Paket Ideologisasi “Sistem Ekonomi Indonesia”, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Desember 2005 17. Diskusi “Prospek Ekonomi Indonesia Pasca Reshuffle”, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komfak Ekonomi, Desember 2005 18. Intermediate Training HMI Cab. Sleman, “Membongkar Kemiskinan Sistemik Global, Februari 2006 19. Latihan Kepemimpinan BEM FE-Unwama, “Sejarah Pergerakan Mahasiswa, Maret 2006 20. Diskusi Ideologis Koperasi “Kopma UGM”, “Pengembangan Ekonomi Kerakyatan”. April 2006 21. Pendidikan Menengah Koperasi (Dikmenkop) Kopma UIN Yogyakarta, “Peran Ekonomi Rakyat dalam Perekonomian Global”. Mei 2006 22. Diskusi Rutin Shariah Economic Forum (SEF) FE-UGM, “Kemandirian Ekonomi Indonesia”, Agustus 2006 23. Sarasehan KKN Tematik UGM di Ponggalan Umbulharjo, “Pemberdayaan UMKM Emping Mlinjo”, Agustus 2006 24. Pendidikan dan Pelatihan Organisasi Keluarga Mahasiswa Muslim Pertanian (KMMP) UGM, Pertanian Indonesia di Era Liberalisasi”, Nopember 2006 25 Pendidikan Menengah Koperasi (Dikmenkop) Kopma UIN Yogyakarta, “Koperasi di Tengah Era Liberalisme”, Nopember 2006 26 Diskusi dan Launching Majalah Arena UIN Yogyakarta, Peran Pasar Tradisional di tengah Globalisme Ekonomi, Nopember 2006 27. Diskusi Publik “Otonomi dan Pembangunan Daerah Kab Rokan Hulu, Ikatan Pelajar Riau, Desember 2006 28. Pelatihan Manajemen Anggaran Peka Bencana, DPRD Kota Yogyakarta, Maret 2007 29. Diskusi RUU Penanaman Modal, BEM-KM UGM, Maret 2007 30. Latihan Kader II KAMMI Surakarta, ”Ekonomi Politik Indonesia Kontemporer”, Maret 2007 31. Diskusi ”Dominasi Asing melalui UU Penanaman Modal, BEM KM-UGM dan BEM FE-UGM, Maret 2007 32. Latihan Kader Nasional II HMI Bulaksumur, ”Ekonomi Kerakyatan”, April 2007 192
33. Training Riset dan Penguatan Kapasitas Intelektual Muda KM UGM, ”Ekonomi Terjajah dan Ekonomi Kerakyatan”, April 2007 34. Workshop ”Neoliberalisme Pertanian, DEM Fakultas Pertanian UGM, April 2007 35. Seminar Regional ”Peran Pertanian di Pasar Internasional”, HMJ Hama dan Penyakit Tanaman Fak. Pertanian UGM, Mei 2007 36. Studium General ”Simfoni”, Realita dan Masalah Ekonomi Indonesia, D3 FE-UGM, Agustus 2007 37. Seminar Forum Rektor Indonesia (FRI) ”Presentasi Manifesto Ekonomi Kerakyatan Indonesia”, Makassar, September 2007 38. Sekolah Demkrasi Ekonomi (SDE), Demokratisasi BUMN, Pustek UGM-SER, September 2007 39. Sekolah Pemimpin Bangsa, ”Ekonomi Kerakyatan Solusi Keterpurukan Perekonomian Nasional”, KM-UGM, September 2007 40. Workshop Nasional Ekonomi Peradaban Misca-Pustek UGM ”Sistem Ekonomi Kerakyatan Indonesia”, KPTU Teknik UGM, Nopember 2008 41. Seminar Nasional Koperasi Kopma UGM ”Koperasi di Bawah Neokolonialisme”, Januari, 2008 42. Latihan Kader II HMI Cabang Sleman “Kemiskinan, Neoliberalisme, dan Ekonomi Kerakyatan”, Januari, 2008 43. Diskusi Publik HMI Cabang D.I. Yogyakarta ”Ekonomi Kerakyatan di Tengah Arus Neoliberalisme Ekonomi”, Bernas, Februari 2008 44. Diskusi Publik SP Kinasih-PUSTEK UGM ”Mengapa Utang Pemkot Jogja Harus Ditolak?”, Maret 2008 45. Seminar Himpunan Mahasiswa MEP FEB UGM ”Resesi Global: Mampukah Nusantara Bertahan?”, April 2008 46. Presentasi ”Model Desa Inkubator Ekonomi Kerakyatan” di Kota Pare-Pare, Sulawesi Selatan, April 2008 47. Diskusi Publik KM UGM-BEM FE UGM tentang “Pengelolaan Aset Strategis Bangsa” di Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, April 2008 48. Seminar Peran Pemuda dalam Kebangkitan Bangsa, Panel Bersama Bupati Bantul DIY, UST Mei 2008 49. Short-Course HMI FE-UII tentang Neoliberalisme di Indonesia, Mei 2008 50. Lokakarya Pemkab Kulon Progo, Panel Bersama Bupati Kulon Progo tentang “Revolusi Perkoperasian Untuk Memberdayakan Ekonomi Rakyat”. Juli 2008 51. Talkshow TVRI Yogyakarta tentang Dampak Kenaikan Harga BBM Terhadap Perekonomian Rakyat, Juli 2008 52. Diskusi Publik HMI Cabang Yogyakarta tentang “Ekonomi Kerakyatan vs Neokolonialisme” di Bernas Jogja, Juli 2008 52. Diskusi BEM KM UGM tentang ‘Privatisasi BUMN tahun 2008” di Pustek UGM, September 2008 53. Studium General STIES tentang Ekonomi Islam vs Ekonomi Konvensional, September 2008 54. Diskusi Publik HMI-SEF FE UGM tentang “Krisis Finansial Global dalam Perspektif Ekonomi Kerakyatan”, di FEB UGM, Oktober 2008 55. Seminar Road-show KAGAMA tentang “Ekonomi Kerakyatan” di Kota Lhokseumawe, NAD, Oktober 2008. 193
56. Seminar HMPS Ilmu Ekonomi Univ. Atma Jaya tentang “Kepemimpinan Politik Kaum Muda Indonesia”, Oktober 2008 57. Seminar HMI Cabang Sleman tentang “Mengugat Kebijakan Energi SBY-JK, Nopember 2008 58. Diskusi Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) tentang “Krisis Finansial Global dan SKB 4 Menteri”, Nopember 2008 59. Bimbingan Teknis Peningkatan PAD Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, Nopember 2008 60. Seminar Kantata Research Indonesia di Kagama-UGM tentang Strategi Pesantren dalam Membangun Kemandirian Bangsa, Nopember 2008 61. Latihan Kader Tingkat Lanjut HMI Cabang Semarang dengan Topik Ekonomi Kerakyatan, Desember 2008 62. Seminar Kelompok Organisasi Internasional HI UPN tentang Ekonomi Kerakyatan di Tengah Resesi Global, Desember 2008 63. Seminar INFID “Pembangunan Sebagai gerakan Ekonomi Kerakyatan, Maret 2009 di Makasar 64. Lathan Kader II HMI Cabang Yogyakarta “Kritik Terhadap Sistem Ekonomi Global”, Maret 2009 65. Latihan Kader II HMI Cabang Sleman “Kemiskinan Struktural di Indonesia”, Maret 2009 66. Workshop “Pekebun Mandiri Dalam Industri Sawit di Indonesia, Bogor, Mei 2009 67. Seminar INFID “Pembangunan Sebagai Gerakan Ekonomi Kerakyatan”, Juni 2009 di Kupang, NTT 68. Seminar FE UII “Perbankan Syariah Membangun Ekonomi Kerakyatan”, Juli 2009 69. Talkshow Radio Anda FM di Majelis Kontemplasi Kebangsaan Pemuda Muhamadiyah, “Ekonomi Kerakyatan”, Juli 2009 di Klaten-Jawa Tengah 70. Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di DPR RI Jakarta tentang RUU Demokrasi Ekonomi, 2009 71. Talkshow Radio Eltira FM tentang “Neoliberalisme dan Ekonomi Kerakyatan”, 2009 72. Seminar Nasional “Perbankan Syariah Mengembangkan Ekonomi Kerakyatan, FE UII, Juli 2009 73. Talkshow Mahasiswa Baru UII tentang “Kemandirian Bangsa”, UII Agustus 2009 74. Pelatihan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) tentang “Ekonomi Kerakyatan”, Agustus 2009 di Bogor 75. Seminar ISEI di Bukittinggi, Sumbar tentang “Rekontruksi Sistem Perekonomian Nasional Pasca Krisis Global, Agustus 2009 76. Pelatihan Sosial Demokrasi (Sosdem) tentang “Taksonomi Ekonomi Indonesia”, Oktober 2009 di Hotel Yogya Plasa, Yk 77. Seminar BEM FE Undip tentang “Ekonomi Kerakyatan Pasca Pemerintahan Baru”, Oktober 2009 di Semarang 78. Sekolah Sosial Demokrasi “Ekonomi Indonesia” di Solo, Oktober 2009
194