Dr. Mardiyono: Kualitas Otonomi Daerah dari Perspektif Autopoiesis Dikirim oleh prasetya1 pada 05 Januari 2008 | Komentar : 0 | Dilihat : 4491
Dr. Mardiyono Salah satu paradigma pokok yang dianut oleh UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah adalah mendorong proses demokratisasi di tingkat akar rumput. Pada saat yang sama, era otonomi dewasa ini ditandai oleh lahirnya banyak unit pemerintahan baru, mulai level propinsi, kabupaten/kota, hingga kecamatan. Asumsi yang digunakan adalah bahwa pembentukan wilayah (khususnya di tingkat kabupaten/kota) memiliki korelasi positif dengan peningkatan kehidupan demokrasi masyarakat lokal. Asumsi ini sangatlah logis, sebab ketika terjadi pemekaran wilayah maka jangkauan wilayah secara otomatis menjadi semakin pendek/dekat, sementara jumlah penduduk yang harus dilayani semakin sedikit. Dengan demikian, unit pemerintahan tadi mestinya lebih mampu memberikan pelayanan secara prima. Sedangkan masyarakat memiliki akses lebih mudah/cepat terhadap proses pengambilan keputusan baik politik maupun administratif di daerahnya. Pembentukan kabupaten/kota dan peningkatan status kota administratif menjadi kota yang otonom merupakan amanat Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 125 UU No 22 Tahun 1999. Namun dalam proses pembentukan daerah otonom maupun peningkatan status kota administratif itu sendiri, kelayakannya dinilai berdasarkan pertimbangan potensi ekonomi daerah, kebutuhan lokal, sumberdaya manusia, kondisi finansial dan infrastruktur yang tersedia serta pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Revisi yang cepat terhadap UU No 22 Tahun 1999 dengan keluarnya UU No 32 Tahun 2004 menyadarkan semua pihak bahwa penilaian kelayakan penyelenggaraan otonomi daerah masih banyak mengandung kelemahan. Di samping itu, kritik yang sangat luas terhadap keberadaan birokrasi pemerintahan, yang dipandang sebagai sumber inefisiensi dan ketidakmampuan untuk merespon perkembangan kondisi serta tuntutan pelayanan yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat, merupakan salah satu pertimbangan utama yang mengharuskan dilakukannya renungan terus-menerus atas kebijakan desentralisasi, politik koordinasi, demokratisasi dan partisipasi, sekaligus pilihan lokal yang terbatas dan kendala-kendala lokal dalam rangka implementasi otonomi daerah.
Dr Mardiyono MPA, staf pengajar senior Fakultas Ilmu Administrasi, menyatakan hal ini dalam pidato ilmiah berjudul "Mempersoalkan Kualitas Otonomi Daerah: Membincangkan dari Perspektif Autopoiesis" di depan Rapat Terbuka Senat dalam rangka Dies Natalis ke-45, Sabtu (5/1), di Sasana Samanta Krida Universitas Brawijaya. Autopoiesis Kebijakan publik harus mengabdi pada kepentingan masyarakat, karena kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat. Perumusan kebijakan publik merupakan tahap awal dari keseluruhan proses, dan bukanlah proses sederhana dan mudah, karena terdapat banyak faktor atau kekuatan berpengaruh. Proses itu berawal dari beragam isu permasalahan publik yang muncul di dalam masyarakat. Kemudian dipersepsi dan didefinisikan oleh aktor pembuat kebijakan, lalu diambil langkah-langkah pemecahan masalah secara bertingkat. Di Indonesia, sistem kebijakan publik mencakup infrastruktur politik dan suprastruktur politik. Infrastruktur politik meliputi partai politik, kelompok kepentingan, media massa dan warga negara. Sedangkan suprastruktur politik terdiri dari unsur-unsur MPR, DPR, MA dan BPK. Beberapa pilihan ditawarkan dalam pengambilan keputusan yang lebih demokratis, yakni autopoiesis, konsep regime (dalam konotasi positif), dan konsep governance. Proses implementasi kebijakan tidak hanya menyangkut perilaku badan administratif yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan kepatuhan dari kelompok sasaran, melainkan pula menyangkut jaringan kekuatan politik, ekonomi dan sosial yang langsung atau tidak langsung dari semua pihak yang terlibat, dan pada akhirnya baik yang diharapkan (intended) maupun yang tidak (unintended) akan mempengaruhi perilaku/dampak yang diharapkan (spillover/negative effects). Sistem autopoietik mempunyai karaktistik antara lain: bersifat tertutup; bergerak dinamis dalam lingkungan internalnya dan menghasilkan keterbukaan (artinya, menghasilkan keterbukaan di atas dasar ketertutupan); berkembang (artinya, menghasilkan sesuatu yang serupa dengan mereka dengan mengumpulkan mereka sendiri untuk diseleksi sendiri); jaringan di dalam sistem sangat penting untuk membangun hubungan antar sistem dan melakukan stabilisasi sistem. Birokrasi dipahami sebagai masalah perwujudan dari wewenang legal dan rasional. Menurut Weber, birokrasi adalah alat dari dominasi rasional. Sementara Luhmann menantang model klasik secara empiris. Dua target pentingnya adalah skema cara dan tujuan; serta model kontrol dan perintah. Banyak kritik tentang pendekatan "cara-tujuan". Rekomendasi yang diberikan adalah kemampuan respon menjadi lebih penting dibanding dengan efisiensi, dan yang menentukan adalah suatu prestasi yang dapat dipraktekkan dengan berbagai cara. Teori Luhmann menyajikan sebuah pilihan di antara beberapa pilihan yang dapat dibuat, namun pilihan akhir adalah tetap pada pengambil keputusan. Autopoiesis, atau "mencipta diri", merupakan suatu pola jaringan yang di dalamnya fungsi setiap komponen berpartisipasi dalam produksi atau transformasi komponen-komponen lain dalam jaringan. Dengan cara ini, jaringan terus-menerus membuat dirinya sendiri. Jaringan yang diproduksi oleh komponen-komponen, pada gilirannya memproduksi komponen-komponen itu. Hasil kerja Luhmann pada administrasi publik dan teori organisasi memberikan dasar dari teorinya tentang sistem sosial. Karena pentingnya membangun sistem tidak hanya terdapat pada perintah internal yang meluas ke seluruh bagian, tetapi dalam sistem negosiasi dengan lingkungannya. Beberapa teori tentang organisasi, birokrasi, atau bahkan sistem sosial pada umumnya akan diawali dengan perbedaan antara sistem dan lingkungan.
Luhmann menyimpulkan, pada umumnya, rasionalitas yang terdapat pada tingkat aksi individu tidaklah sama dengan rasionalitas yang terdapat pada tingkat sistem sosial. Oleh karena itu, pemikiran tentang individual harus dikonseptualisasikan sebagai sistem dari mereka masing-masing. Dengan kata lain, lingkungan selalu lebih luas daripada sistem. Fungsi sistem adalah membuat kompleksitas yang dapat diperoleh dengan "mengurangi" sistem itu, secara selektif. Sistem tidak dapat memecahkan seluruh problema, dan juga tidak dapat mempertimbangkan seleksi problem secara serentak. Di pemerintahan, sistem ini tidak dapat memecahkan masalah dan permintaan. Pemerintahan ini membagi caranya menjadi dua, yaitu input dan output. Bagaimanapun juga hal itu harus terjadi karena adanya pergerakan dalam sistem, bagian yang tidak stabil mungkin memberi perintah pada bagian yang stabil. Teori regime dan governance Sedangkan teori regime berasumsi, efektivitas pemerintah lokal sangat tergantung pada kerjasama para aktor nonpemerintah dan pada penggabungan antara kapasitas negara dengan sumberdaya non-pemerintah. Inti teori ini, agar dapat efektif pemerintah harus menggabungkan kapasitas mereka dengan kapasitas berbagai aktor non-pemerintah. Stones mendefinisikan regime sebagai ?sebuah kelompok informal tetapi relatif stabil yang memiliki akses ke dalam sumberdaya institusional yang memungkinkannya memiliki peranan yang berkesinambungan dalam membuat keputusan-keputusan pemerintah?. Oleh karena itu regime memiliki ciri-ciri khas: anggotanya mempunyai landasan institusional; bersifat informal; tidak memiliki struktur komando; bekerja tidak berdasarkan hirarki formal; tidak memiliki fokus tunggal pada arah maupun kontrol; politik regime tidak dikendalikan oleh ciriciri hubungan pasar yang dinamis, bersaing dan terus-menerus dalam bentuknya yang murni. Network menjadi perhatian utama para analis regime. Sammy Finer mendefinisikan government sebagai aktivitas atau proses memerintah atau governance; suatu kondisi dari aturan yang dijalankan; orang-orang yang diberi tugas memerintah atau pemerintah; dan cara, metode atau sistem di mana masyarakat tertentu diperintah. Sementara itu, governance mengalami perubahan makna dari kata government, yaitu mengacu pada proses pemerintahan; atau kondisi yang berubah dari pelaksanaan aturan; atau metode baru untuk memerintah masyarakat. Pendekatan networking, sama seperti analisis regime, memandang tindakan yang efektif mengalir dari upaya-upaya kerjasama dari organisasi dan kepentingan yang berbeda. Kerjasama diperoleh dan dijaga melalui pembentukan hubungan-hubungan yang dijanjikan seperti solidaritas, loyalitas, kepercayaan dan dukungan bersama katimbang melalui hirarki atau disiplin pasar. Sesuai dengan model network, organisasi-organisasi belajar bekerjasama dengan mengakui saling ketergantungan mereka. Rhodes menggunakan istilah jaringan untuk menggambarkan beberapa pihak yang terkait dalam rangka pemberian pelayanan. Jaringan jaringan ini dibuat oleh organisasi organisasi tersebut dengan saling mempertukarkan sumberdaya (misalnya, uang, informasi, keahlian) untuk mencapai tujuannya, untuk memaksimalkan pengaruh mereka terhadap hasil, dan untuk menghindari ketergantungan pada pihak lain dalam menjalankan peranannya. Penyakit kronis otonomi daerah Kepercayaan pemerintah memberikan otonomi kepada daerah berupa pendelegasian sejumlah urusan besar kepada pemerintah daerah ditanggapi secara beragam oleh daerah, menurut kondisi setempat menyangkut kesiapannya di berbagai sektor. Bagi daerah yang memiliki sumberdaya ekonomi yang melimpah seperti daerah penghasil tambang dan mineral dan masyarakatnya dalam kondisi stabil, pemerintah lokal memiliki pilihan lebih kondusif
baik dalam merumuskan kebijakan lokal maupun pelaksanaan dalam konteks organisasional. Sebaliknya bagi daerah-daerah yang menghadapi keterbatasan sumberdaya ekonomi, ketidakstabilan politik, dan gejolak keamanan, pemerintah lokal menghadapi kendala serius dalam rangka aktivitas yang sama. Local revenue sources (pendapatan asli daerah, PAD) dapat dipandang elemen sangat penting dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan daerah. Kualitas PAD tersebut dan kontribusi riilnya bagi pemenuhan kemaslahatan publik daerah akan tergantung pada potensi sosial dan ekonomi, iklim politik yang kondusif bagi investasi serta ragam sumber-sumber yang tersedia yang setiap saat dapat digunakan sebagai tulang punggung bagi sumber keuangan atau pendapatan daerah. Di sinilah sebenarnya salah satu kunci persoalan otonomi daerah dan implementasi kebijakan desentralisasi di Indonesia, tetapi disini pula letak salah satu sumber penyakit kronis otonomi daerah di Indonesia. Kendala-kendala yang dihadapi oleh pemerintah daerah memang beragam. Namun sejauh ini, kendala-kendala yang dirasakan saat ini, berakar pada kekeliruan pikiran dan nilai dasar (mindset) mengenai hakikat otonomi. Akibatnya, tidak sedikit daerah yang seolah-olah berlomba menciptakan regulasi, yang substansinya menimbulkan beban biaya ganda bagi dunia usaha, dan pada akhirnya berakibat terjadinya ekonomi biaya tinggi. "Hal ini tidak dapat kita biarkan terus-menerus mewarnai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah", kata Mardiyono. Perlu ditelaah Mardiyono menyatakan, dua jenis pembangunan yang baru dalam teori administrasi publik perlu ditelaah. Yang satu jauh dari semangat Luhmann, dan yang lain cukup dekat. Fenomena pertama adalah kepercayaan rasionalisasi ekonomi dan pembentukan optimal manajerialisme, dan apa yang dikatakan sebagai ekonomisasi kebijakan. Banyak agenda manajemen publik mewakili kembalinya pembagian klasik antara politik dan administrasi di mana manajemen publik ditawarkan sebagai teknologi netral dan transparan untuk meningkatkan sektor publik tanpa menyalahkan nilai-nilai tradisional dan administrasi penyedia pelayanan dan aktivitas ditentukan ke dalam lingkaran politik. Dikatakan pula, peranan autopoietik yang kuat terhadap kebijakan publik terletak pada pendekatan polisentrik dalam proses perumusan kebijakan penataan kelembagaan, di mana keputusan dibuat oleh para pelaku dan organisasi yang beragam, bukan oleh sebuah kekuatan yang mengendalikan kontrol tunggal secara sentral. Di samping itu, penataan kelembagaan daerah perlu dilakukan dengan memperhatikan perkembangan dan tuntutan zaman. Struktur organisasi yang dibentuk tidak cukup hanya mendasarkan pada ketentuan normatif saja, tetapi mendasarkan pada variabel kebutuhan, potensi dan tuntutan masyarakat, sehingga akan tercipta penataan kelembagaan yang tidak saja mempunyai validitas teoritis, tetapi juga mempunyai relevansi pragmatis serta sejalan dengan ketentuan normatif. Struktur organisasi yang dibuat menitikberatkan pada kepentingan publik, pelayanan publik, akuntabilitas, responsibilitas, transparansi dan partisipasi (good governance), di samping efektivitas dan efisiensi, menurut Mardiyono, menjadikan penataan kelembagaan ini dapat memenuhi karakteristik autopoiesis secara memadai. Dalam penyusunan kelembagaan daerah harus mempertimbangkan faktor-faktor yang dimiliki daerah seperti karateristik, potensi dan kebutuhan daerah; kemampuan keuangan daerah; ketersediaan sumber daya aparatur; dan pengembangan pola kemitraan antar daerah serta dengan pihak ketiga, tercipta kelembagaan yang aspiratif dan solutif.
Disarankan, penataan kembali kelembagaan daerah seyogyanya didasarkan atas sebuah konsep akademis yang jelas dan mapan, yaitu lewat kajian ilmiah atau hasil penelitian yang handal sesuai dengan kewenangan, karakteristik, potensi dan kebutuhan daerah. Pemda perlu membentuk tim khusus untuk melaksanakan tugas ini yang akan mengkaji secara cermat (misalnya job analysis) terhadap kebutuhan perangkat daerah yang memang benar-benar diperlukan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki (asas desentralisasi). Tujuan perampingan (downsizing) kelembagaan daerah yang memang diperlukan untuk meningkatkan kinerja pemerintah daerah supaya lebih efektif dan efisien perlu diikuti dengan pelaksanaan prinsip rightsizing (penyelarasan, penyerasian dan penyeimbangan) kelembagaan daerah supaya pemda benar-benar bisa mencapai kinerjanya sebagaimana tesis autopoiesis. Setiap upaya melakukan reformasi administrasi, terutama reformasi birokrasi pemerintah, menurut Mardiyono, setidak-tidaknya ada tiga elemen dan sasaran yang harus dicapai, yaitu: lembaga birokrasi yang secara struktural ramping (downsizing) dan tepat dan serasi (rightsizing), dan secara kultural demokrastis, responsif dan akuntabel menuju ke sistem birokrasi yang tidak hanya bekerja atas dasar command and control mechanism tetapi juga merit system; dan terbentuknya aparatur yang profesional, mempunyai visi yang jelas, keahlian yang tinggi dan moral/etika yang luhur. Hal-hal ini harus menjadi dasar bagi penataan ulang kelembagaan daerah di Indonesia. [Far]