BAGAIMANA MENAKAR PEMBANGUNAN EKONOMI LOKAL DI ERA OTONOMI DAERAH*) Oleh M. RUSMIN NURYADIN, SE.M.Si
I. PENDAHULUAN Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi sudah berjalan selama 11 tahun. Seperti kita ketahui, hembusan angin segar mengenai kebijakan tersebut diawali dengan lahirnya UU No. 22 tahun 1999 yang pelaksanaannya telah dimulai pada bulan Januari tahun 2000. Pemberlakuan UU ini ditandai dengan diterapkannya pemilihan kepala daerah dengan sistem paket dan langsung oleh DPRD, tanpa campur tangan pemerintah pusat. Selain itu, disahkan pula UU No. 25 tahun 1999 yang pelaksanaannya baru dimulai pada bulan Januari tahun 2001, serta ditandai dengan diterapkannya desentralisasi fiskal yang memberi keleluasaan kepada daerah untuk merancang dan melaksanakan penerimaan serta pengeluarannya. Otonomi daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004 pasal 1 ayat 5 adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangan. Dengan Undang-undang tersebut, secara garis besar
pemerintah
daerah
memiliki
kewenangan
untuk
mengatur
dan
melaksanakan kegiatan ekonomi serta pemerintahannya secara lokal. Apabila kita melihat perjalanan pelaksanaan otonomi daerah selama 11 tahun tersebut, tentu saja masih ada beberapa hal yang masih perlu dibenahi. Oleh karenanya, evaluasi mengenai implementasi kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi dalam bidang ekonomi merupakan hal yang cukup penting dalam rangka menuju idealitas pelaksanaan kebijakan tersebut.
Makalah disampaikan dalam Simposium Nasional Ekonomi Pentas Pers Mahasiswa Nasional 2010 di Aula Bappeda Kalsel 5-6 Nopember 2010
II. PEMBANGUNAN EKONOMI Untuk melihat bagaimana pemerintah daerah mampu membangun perekonomiannya, pemerintah daerah dapat mengevaluasi melalui Parameter Pembangunan Ekonomi, yang terdiri dari tiga indikator, yaitu; 1) Pertumbuhan Ekonomi, 2) Pemerataan Ekonomi, dan 3) Pemberdayaan Ekonomi Lokal. Masing-masing indikator memiliki beberapa isu strategis, yang menjadi ukuran penilaian setiap indikator. Tabel berikut memberikan keterangan singkat tentang indikator dan isu strategis pada parameter pembangunan ekonomi. Tabel Indikator dan Isu Strategis Parameter Pembangunan Ekonomi
1. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan
dimaksud
adalah
pertumbuhan
dalam
pendapatan,pertumbuhan investasi dan pertumbuhan kesempatan kerja.Dengan demikian
dilihat
bagaimana
strategi
pertumbuhan
yang
dilakukan
oleh
pemerintah daerah dalam meningkatkan investasi, penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat. Isu pertumbuhan pendapatan tidak hanya merujuk pada peningkatan daya beli masyarakat. Dalam kaitan otonomi perlu dicermati apakah upaya peningkatan peningkatan daerah berseiringan denganpeningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain inovasi di bidang pendapatan daerah secara bijak harus diikuti pertumbuhan PDRB dan Pendapatan Perkapita penduduk yang memadai pula, sehingga rasio pertumbuhan PDRB dan Pendapatan Perkapita
menjadi kondisi exsisting yang turut diperhitungkan dalam menilai keberhasilan pembangunan ekonomi. Isu
Pertumbuhan
investasi
erat
kaitannya
dengan
dinamisasi
perekonomian. Pertumbuhan ekonomi sering diidentikkan dengan investasi. Logikanya, semakin tinggi investasi pertumbuhan ekonomi semakin meningkat. Dengan otonomi apakah kebijakan daerah mampu mendorong investasi atau sebaliknya.
Upaya
peningkatan
investasi
yang
biasanya
nampak
dalamindustrialisasi seharusnya berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi regional. Terkait dengan ini, program-program peningkatan investasi dan capaian angka
pertumbuhan
investasi
akan
disandingkan
dengan
rasio
angka
pertumbuhan ekonomi daerah dan angka pertumbuhan regional. Objek dimaksud untuk melihat adanya keterkaitan antara tingkat pertumbuhan investasi dengan pertumbuhan ekonomi secara makro yang berarti kesejahteraan masyarakat semakin meluas. Isu pertumbuhan kesempatan kerja dimaksud untuk mengukur apakah kebijakan
pertumbuhanekonomi
yang
terjadi
juga
berkorelasi
dengan
meningkatnya kesempatan kerja. Logika normal seharusnya menunjukkan keterkaitan antara pertumbuhan industri dan investasi dengan penyerapan tenaga kerja dan juga pengurangan kemiskinan. Apakah juga luasnya lapangan kerja tumbuh sejajar dengan pertumbuhan angkatan kerja baru. Dengan demikian rasio angka tingkat pengangguran dan angkatan kerja menjadi bagian dari elemen keberhasilan pembangunan ekonomi. Inovasi lain dalamrangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi yakni dengan kebijakan penyediaan infrastruktur penunjang menjadi bagian yang harus diapresiasi, sejauh memenuhi aspek kreatif, strategik, produktif dan sustainable,proyek pengembangan pusat pertumbuhan baru bagi perdagangan, industri dan jasa, menjadi bagian penilaian yang tidak terlewatkan. Demikian pulapembangunan infrastruktur penunjang pembangunan ekonomi seperti pelabuhan
laut,
bandara
udara,pergudangan,
jaringan
distribusi
dll.Pembangunan infrastruktur tersebut tentunya tidak hanya sebagai proyek mercusuar tetapi betul-betul berdampakpada pertumbuhan ekonomi.
Terkait itu semua, tentunya apresiasi juga menyangkut upaya penciptaan iklim usaha kondusip yang dilakukan pemerintah daerah, beban ekonomi biaya tinggi yang sering dialami dunia usaha hendaknya menjadi bagian prioritas untuk dipangkas dan diberantas. Termasuk pula didalamnya penyederhanaan prosedur dan kemudahan berusaha. Dengan demikian, diharapkan perekonomian tumbuh seiring meningkatnya gairah usaha masyarakat yang berujung peningkatan kesejahteraan masyarakat. 2. Pemerataan Ekonomi Pemerataan merupakan indikator kehidupan ekonomi dalam kaitannya dengan upaya distribusi pendapatan, pemerataan akses modal dan sarana prasarana. Pemerataan dalam hal ini memiliki dua dimensi yaitu pemerataan spasial dan pemerataan horisontal. Pemerataan spasial yaitu pemerataan yang bersifat
kewilayahan.
Hal
ini
untuk
mengatasi
problem
ketimpangan
perekonomian antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Yang dalam banyak kasus
nampak
dalam
ketimpangan
daerah
perkotaan
dengan
wilayah
pinggiran/pedalaman. Sementara pemerataan horisontal yaitu pemerataan yang berdimensi kelas sosial ekonomi masyarakat. Dalam dimensi ini, pemerataan dimaksudkan untuk mengatasi kesenjangan perekonomian antara kalangan masyarakat borjuis dengan kelompok masyarakat marjinal kebanyakan. Isu
distribusi
pendapatan
merujuk
pada
persoalan
seberapa
jauh
pendapatan terdistribusikana secara merata diantara kelompok-kelompok masyarakat. Hal ini menyangkut didalamnya kebijakan penataan penciptaan kesempatan yang sama bagi usaha sektor formal maupun sektor non-formal. Dalam kacamata ini, usaha non-formal selayaknya tidak dipandang sebagai sumber problem, justru sebaliknya menjadi sektor riil yang memiliki kontribusi besar bagi perekonomian lokal. Isu pemerataan akses modal menyangkut seberapa jauh masyarakat dari kelas sosial yang berbeda mendapatkan kemudahan akses bagi permodalan. Penguatan akses modal ini berangkat dari persoalan mekanisme dan persyaratan akses modal konvensional seperti bank pada umumnya yang tidak
bisa dirasakan seluruh pelaku usaha terutama masyarakat kelas bawah yang tidak memiliki jaminan. Dengan demikian kebijakan penguatan akses modal diarahkan pada proteksi usaha menengah kecil dan mikro (UMKM) melalui pinjaman lunak maupun kemitraan. Disebut pinjaman lunak karena bunga pinjaman jauh dibawah bunga bank (sekitar 7-10%), masa pengembalian (grace period) cukup panjang antara satu hingga 3 tahun dan tanpa agunan. Pinjaman / kredit lunak sendiri pada pendistribusiannya bisa melalui jalur perbankan maupun jalur alternatif lainnya. Sumber pembiayaan bagi penciptaan pemerataan akses modal bisa diupayakan pemerintah daerah berasal dari dana APBD maupun dana yang terhimpun dari pihak lain atas jaminan dan perlindungan pemerintah daerah. Tentu saja pemerataan distribusi akses modal disertai strategi program pendampingan optimalisasi pemanfaatan bantuan modal tersebut. Isu pemerataan sarana dan prasarana penunjang perekonomian merujuk pada persoalan seberapa jauh upaya pemerintah kabupaten/kota mengatasi kesenjangan kemampuan usaha masyarakat akibat perbedaan ketersediaan sarana prasarana penunjang perekonomian. Di banyak tempat, problem kesenjangan ini lebih bersifat spasial, akibat hambatan georgrafis dan faktor alam lainnya. Disamping perhitungan ekonomis yang dipakai oleh penyedia jasa fasilitasi sarana prasarana penunjang tersebut. Sarana Prasarana penunjang ini setidaknya meliputi ketersediaan energi, listrik, komunikasi, transportasi, dan air bersih. Tanpa dorongan kuat dari pemerintah daerah, bila secara ekonomis tidak menguntungkan, penyedia jasa-jasa tersebut enggan berinvestasi terutama bagi daerah pedalaman. Terkait dengan penilaian pemerataan ekonomi sebagaimana di atas, rasio prosentase penduduk miskin ataupun angka tingkat kemiskinan menjadi existing condition atas program pemerataan ekonomi yang dilakukan pemerintah secara keseluruhan. Disamping itu rasio besaran anggaran yang disalurkan langsung untuk menunjang program-program pemerataan di atas diapresiasi sebagai bukti komitmen anggaran dari pemerintah kabupaten/kota.
Masih terkait lingkup pemerataan ekonomi, juga diapresiasi model penganggaran pembangunan yang sejak awal dikonsep sebagai upaya pemerataan. Di banyak tempat model penganggaran bersifat block grand yang tersalur ke seluruh wilayah menjadi contoh model ini. Model penganggaran block grand pada pemanfaatannya, biasanya memberikan kebebasan bagi partisipasi warga untuk mengalokasikan pendanaan apakah diperuntukan bagi ekonomi produktif atau pembangunan fisik atau kebutuhan lain sesuai aspirasi lokal di wilayah tempat tinggal. Prinsip utama model penganggaran pembangunan ini mengutamakan pemerataan spasial selanjutnya baru diikuti pemerataan sektoral. 3. Pemberdayaan Ekonomi Lokal Pemberdayaan Ekonomi Lokal dimaksudkan sebagai parameter yang mencoba mengevaluasi kebijakan pemerintah kabupaten/ kota dalam merespon dua faktor kondisi ekonomi lokal yaitu tantangan (problem) dan peluang (potensi). Pertama, respon kabupaten/kota atas kondisi tantangan (problem) perekonomian lokal yaitu upaya untuk mengatasi berbagai kendala maupun persoalan lokal yang menghambat perekonomian masyarakat pada bagian wilayah tertentu atau beberapa bagian wilayah kabupaten/ kota. Baik itu kendala geografis, sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sosial budaya, maupun teknologi. Demikian pula dengan persoalan yang meliputi faktor-faktor produksi dari mode produksi (mode of production) yang berjalan pada sistem perekonomian setempat. Kedua, respon kabupaten/kota atas kondisi peluang (potensi) perekonomian lokal yaitu upaya untuk mengoptimalkan eksplorasi maupun eksploitasi berbagai potensi yang dimiliki daerah untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat lokal pada bagian wilayah tertentu maupun beberapa bagian wilayah kabupaten/kota. Respon ini biasanya diaktualisasikan banyak daerah dalam bentuk pengembangan produk unggulan daerah atau pencitraan daerah secara umum sebagai sentra icon ekonomi tertentu.
Berangkat dari respon pemerintah daerah atas dua kondisi tersebut mengapresiasi setidaknya inovasi-inovasi pemberdayaan sebagai berikut; a) Pemberdayaan ekonomi lemah yaitu kebijakan mengatasi problem yang dialami pelaku ekonomi lokal yang memiliki keterbatasan penguasaan faktorfaktor produksi (kapital, skill, input & output, dll), yang dipastikan merupakan usaha menengah, kecil dan mikro (UMKM). Hal ini menyangktu pembekalan teknis keahlian, keterampilan, managerial, akses pasar, modal dan kemitraan usaha. b) Pemberdayaan
Lembaga
Ekonomi
Lokal
yaitu
pendirian
dan
atau
pemberdayaan terhadap lembaga ekonomi seperti Lembaga Keuangan, Koperasi, Lumbung Desa, Badan Usaha Milik Desa, maupun institusi kolektif ekonomi
lokal
lainnya
yang
bertujuan
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat banyak. Kearifan lokal menjadi titik awal dalam merumuskan kebijakan pemberdayaan lembaga ekonomi lokal. Dengan otonomi, tak saja kearifan lokal yang ditumbuhkan tetapi juga lembaga-lembaga ekonomi lokal yang sebenarnya telah ada. Hanya saja, perannya kurang mendapat tempat dalam struktur ekonomi formal. Ia muncul dan tumbuh dalam komunitaskomunitas kecil sehingga peranannya tidak menonjol. c) Peningkatan Kapasitas Ekonomi Rakyat yaitu peningkatan kemampuan produksi ekonomi rakyat lokal secara umum, atas mata pencaharian yang digelutinya, dengan berbagai fasilitasi penunjang ekonomi lokal. Sasaran inovasi bidang ini terutama masyarakat berpenghasilan rendah atau lebih sering disebut masyarakat miskin. Secara khusus penanganan kemiskinan ini meliputi; Pertama, orientasi jangka pendek yang diarahkan pada upaya pemenuhan kebutuhan pokok mendesak warga miskin. Kedua, orientasi jangka panjang yang diarahkan pada pengentasan kemiskinan secara struktural dan sosio kultural. Program ini terutama mengarah pada upaya membangun budaya usaha (entrepreneurship) dari masyarakat miskin. Disamping fasilitasi sarana dan prasarana penunjang ekonomi produktif yang bisa dirasakan sebagian besar masyarakat.
Penilaian juga dilakukan terhadap komitmen anggaran ekonomi daerah yaitu rasio anggaran yang dialokasikan langsung terkait usaha ekonomi produktif atau inovasi pemberdayaan sebagaimana di atas, berbanding total anggaran pembangunan daerah (belanja publik). Dengan demikian bisa terukur seberapa jauh lembaga, ikhtiar dan kearifan lokal bidang ekonomi, tidak saja terlindungi, tetapi lebih diupayakan berkembang dan memainkan peran signifikan, dalam dinamika ekonomi daerah secara keseluruhan.
TERIMAKASIH