Kertas Posisi 2015 Kamar Masyarakat Dewan Kehutanan Nasional
Sendirian Membangun dari Pinggiran, Nawacita Masih Khayalan Pendahuluan Digabungkannya dua kementerian terkait, yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan, dan dua K/L setingkat kementerian, yaitu Badan Pengelola REDD+ (BP REDD+) dan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) membentuk peluang dan tantangan sendiri dalam konteks perlindungan masyarakat. Sementara pemerintah harus menentukan langkah-langkah transisi, yang tentu tidak mudah, masyarakat di lapangan memperoleh dampak paling besar dari ketidakpastian kelembagaan serta kebijakan lingkungan hidup dan kehutanan. Kertas posisi ini disusun oleh Kamar Masyarakat di Dewan Kehutanan Nasional sebagai bentuk peran aktif dalam merespon serta memberi masukan kepada pemerintah baru di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo terutama yang berkenaan dengan hutan dan hak-hak masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan. Kamar Masyarakat DKN mewakili masyarakat yang tersebar di tujuh regio di Indonesia, yakni Papua, Bali – Nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Jawa, dan Sumatera. Sesuai dengan mandat dari konstituen kami di ke-tujuh regio tersebut, kami berkomitmen untuk mendorong pembuatan dan implementasi kebijakan pemerintah yang memastikan terpenuhinya hak-hak masyarakat hukum adat dan komunitas local dalam menguasai dan mengelola sumber daya alamnya sesuai dengan kearifan local yang telah dipraktekkan selama lintas generasi. Kami juga berkomitmen untuk terus mengawasi Pemerintah Joko Widodo agar bekerja berdasarkan konstitusi guna menyejahterakan masyarakat adat/komunitas lokal di dalam dan sekitar kawasan hutan. Kamar Masyarakat memandang bahwa secara konseptual penggabungan kedua kementrian merupakan langkah yang patut diapresiasi seiring dengan agenda efisiensi birokrasi. Namun, apabila tidak terkonsolidasikan, perbedaan paradigm mendasar antar Kementrian Lingkungan Hidup dan Kementrian Kehutanan akan menggagalkan cita-cita luhur tersebut. Perubahan kelembagaan yang menangani kehutanan dan lingkungan hidup ini menjadi penting karena akan menentukan pelaksanaan kebijakan yang terkait keberlangsungan hidup masyarakat. Kebijakan yang dimaksud kami kerucutkan menjadi setidak-tidaknya tiga hal, yakni (1) Perhutanan Sosial, (2) Hak Tenurial dan Resolusi Konflik, serta (3) Perubahan Iklim.
1|Page
Dinamika Lapangan Sejarah pengelolaan hutan oleh Kemenhut sebelum dibubarkannya telah memojokkan posisi masyarakat dalam pengelolaan hutan dan mengakibatkan konflik sedemikian rupa dengan beragam tingkat eskalasi di daerah. Pada saat yang sama, harapan yang ditumpukan kepada Kementrian Lingkungan Hidup tidak dapat dipenuhi karena tidak memiliki wewenang eksekusi di lapangan. Ibarat kombinasi antara “gas” dan “rem” dalam sebuah kendaraan, kelancaran perjalanan menuju tujuan tetap ditentukan oleh si pengemudi. Artinya, kehendak politik yang terwujud dalam bentuk kebijakan harus dimaknai dalam aksi yang penuh keberanian oleh Pemerintah, sebagai pengemudi. Kementrian Kehutanan di masa yang lalu meninggalkan pekerjaan rumah yang besar akibat lemahnya tata kelola kehutanan di daerah. Berikut ini adalah beberapa contoh persoalan nyata yang kami hadapi di tingkat daerah. Masyarakat adat Genyem di Kabupaten Jayapura, Propinsi Papua. Genyem salah satu komunitas besar masyarakat adat yang berada di ibukota Kabupaten Jayapura. Untuk mempertahankan dan memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari, komunitas Genyem sangat bergantung pada hasil hutan. Akan tetapi, pada tahun 2008, Pemerintah Kabupaten Jayapura secara sepihak dan diam-diam mengundang investor yang sedang menjajaki kemungkinan dibukanya perkebunan sawit di kawasan hutan yang didiami oleh masyarakat Genyem. Upaya ini dilengkapi dengan strategi investor yang mendanai oknum dalam masyarakat adat guna mendekati tokoh adat dan kepala suku (ondoafi). Hal ini membuahkan hasil, meskipun di dalam masyarat adat sendiri terjadi penolakan dan protes. Belakangan diketahui bahwa areal yang dimintakan investor untuk perkebunan sawit itu adalah seluas 20 ribu hektar, dan di dalamnya termasuk kawasan hutan lindung dan hutan konservasi. Pelibatan masyarakat dalam penyusunan AMDAL, hanya melibatkan sebagian warga yang setuju akan masuknya perkebunan sawit di wilayah mereka, dan dengan sengaja mengabaikan warga masyarakat yang tegas-tegas menolak. Sementara itu, kedatangan masyarakat ke Dinas Kehutanan Kabupaten Jayapura untuk mengklarifikasi tapal batas dengan kawasan hutan lindung dan hutan konservasi tidak diindahkan dengan alasan ketidakjelasan kewenangan akibat perubahan struktur kelembagaan dan munculnya regulasi baru terkait, salah satu di antaranya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Masyarakat adat Sumba, Pulau Sumba – Propinsi Nusa Tenggara Timur. Komunitas masyarakat adat yang ada di Pulau Sumba – Provinsi Nusa Tenggara Timur sedang diperhadapkan dengan kasus pengelolaan sumber daya alam. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi tambang di tiga pegunungan utama Pulau Sumba, yakni; Wanggameti, Tana Daru dan Yawilla oleh PT Pati Resource merupakan awal dari mimpi buruk masyarakat adat Sumba. Ketiga pegunungan tersebut merupakan kawasan hutan lindung dan daerah tangkapan air sekaligus merupakan kawasan hutan yang berfungsi hidrologis karena sumber air berasal dari ketiga pegunungan tersebut. Dengan adanya kegiatan-kegiatan eksplorasi dan eksplotasi tambang emas di ketiga wilayah pegunungan tersebut, maka masyarakat adat Sumba akan diperhadapkan dengan berbagai ancaman mulai dari kekeringan, kehilangan lahan pertanian dan peternakan serta merebaknya berbagai penyakit. Melihat dampak yang ditimbulkan dari eksplorasi dan eksploitasi tambang maka yang menjadi pertanyaan untuk masyarakat adat adalah mengapa Pemerintah menjual wilayah kehidupan kami untuk tambang emas? Fakta menunjukan bahwa dengan hadirnya tambang emas di Pulau Sumba, kehidupan masyarakat adat Sumba bukan semakin sejahtera, tetapi sebaliknya justru semakin terpinggirkan. 2|Page
Kondisi tersebut tidak boleh dibiarkan karena Pemerintah diberikan mandat untuk menjalankan tujuan Negara didirikan yakni untuk mensejahterakan rakyat dan bukan untuk menjual lahan masyarakat adat kepada para pemilik modal. Sebetulnya, tanpa adanya perusahaan yang masih pun, pencaplokan hutan dan lahan masyarakat adat oleh Pemerintah telah terjadi kepentingan hutan Taman Nasional Wainggameti-Lailunggi, Manupeu – Tana Daru dan Yawlilla. Melalui penetapan Taman Nasional di ketiga wilayah tersebut, lahan dan hutan adat milik masyarakat di klaim Pemerintah sebagai milik negara. Namun yang paling menyakitkan bagi masyarakat adat Sumba adalah hilangnya akses mereka atas wilayah hutan. Hilangnya akses masyarakat atas wilayah hutan telah menimbulkan kehancuran bagi tatanan sosial masyarakat. Masyarakat memiliki tradisi turun-temurun membangun rumah adat dengan jenis kayu tertentu, yakni Mayela dan Manera. Dengan dilarangnya masyarakat adat untuk mengambil kayu jenis Mayewa dan Manera, maka masyarakat adat tidak dapat melakukan ritual adat. Jikalau ritual adat terus dilakukan maka dapat dipastikan bahwa percakapan adat itu akan amburadul karena “roh” dari rumah adat itu tidak ada lagi. Peristiwa tersebut mestinya harus dieliminir dengan tetap memberi akses kepada masyarakat adat.
Komunitas adat Jerusu dan Hila, Pulau Roma, Kabupaten Maluku Barat Daya, Propinsi Maluku. PT Robust Recources, yang memiliki anak perusahaan yang bernama PT Gemala Borneo Utama (GBU), yang memiliki Kantor Cabang di Kupang, mulai beroperasi di pulau Romang tahun 2006. Namun, sejak PT. GBU beroperasi di Pulau Romang, masyarakat sama sekali tidak dilibatkan. Bahkan masyarakat tidak diberikan informasi atas beroperasinya PT GBU. Akibat dari hal tersebut, konflik antara masyarakat dengan perusahaan mulai bermunculan. Sayangnya, belum ada peran Pemerintah untuk menyelesaikan konflik tersebut, bahkan Pemerintah yang harusnya bertanggungjawab dalam penyelesaian konflik cenderung berkolusi dengan pihak perusahaan tanpa memperdulikan kepentingan masyarakat Negeri Jerusu dan Negeri Hila. Beroperasinya PT GBU di dalam wilayah petuanan adat Negeri Jerusu dan Hila telah berdampak pada pelanggaran hak-hak adat yang mereka miliki. Pelanggaran tersebut meliputi terciptanya perpecahan di dalam kehidupan masyarakat Desa Jerusu dan Hila; rusak dan hilangnya situssitus adat; bahkan berujung kepada pembunuhan terhadap masyarakat Maluku Barat Daya yang melakukan advokasi penolakan tambang di Pulau Roman. Selain itu, masuknya PT GBU juga merusak sumber air yang selama ini menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat Negeri Hila. Hingga saat ini, konflik di Pulau Roman masih terjadi dan belum ada tanda-tanda upaya penyelesaian dari Pemerintah. Komunitas di Mareje – Bonga, Kabupaten Lombok Tengah, Propinsi Nusa Tenggara Barat. Sejak tahun 1998 hingga saat ini, ada sekitar 6.000 kepala keluarga masyarakat di sekitar kawasan hutan produksi Mareje – Bonga Kabupaten Lombok Tengah telah menguasai dan menggarap areal hutan produksi seluas 3.300 ha. Lahan hutan produksi yang dikelola oleh masyarakat merupakan salah satu sumber penghidupan, di mana masyarakat menggantungkan hidup mereka dengan memanfaatkan lahan hutan. Namun, pada tahun 2011, pemerintah melalui Kementrian Kehutanan Republik Indonesia berdasarkan SK.Menhut No.256/Menhut/II/2011 memberikan ijin pengelolaan hutan berupa Hutan Tanaman Industri (HTI) kepada PT Sadhana Arif Nusa seluas 683,35 Ha. Areal hutan yang sebelumnya penuh dengan tanaman kayu-kayuan habis dibabat oleh perusahaan. Hal ini kemudian memicu terjadinya konflik antara masyarakat dengan perusahaan. Masyarakat yang merasa sudah lama mengelola lahan hutan tersebut menentang dan menolak perusahaan menguasai lahan kelola mereka. Dalam praktek 3|Page
penguasaan lahan oleh PT Sadhana Arif Nusa, kerap kali dilakukan praktek-praktek intimidasi dengan memanfaatkan aparat kepolisian dan memanfaatkan warga lokal untuk diadu dengan masyarakat pengelola hutan. Masyarakat Kontu di Kabupaten Muna, Propinsi Sulawesi Tenggara. Semenjak Tahun 2003 – 2007, masyarakat Kontu, Kabupaten Muna- Propinsi Sulawesi Tenggara berada dalam suasana yang mencekam ketika Dinas Kehutanan setempat melakukan penggusuran terhadap masyarakat. Pemerintah daerah yang sejatinya merupakan pelindung masyarakat justru bertindak anarkis. Pemerintah daerah – melalui preman, polisi pamong praja, aparat kepolisian, dan TNI – datang membabat wilayah kehidupan masyarakat dengan alat berat. Peristiwa tersebut sungguh mencekam, karena warga ditembaki, ditangkap, tanaman dan rumah mereka dihancurkan, bahkan sejumlah warga dipenjarakan. “Kami benar-benar ditinggalkan, tidak ada satupun lembaga pemerintah yang membantu kami. Perjuangan kami hanya didukung oleh sebuah lembaga swadaya masyarakat bernama Swami. Melalui Swami, penderitaan kami dikampanyekan baik di level daerah hingga aras nasional. Tindakan semena-mena aparat pemerintah terus berlanjut. Walau sebagian saudara kami masih dalam tahanan karena memperjuangkan haknya, pemerintah kembali datang untuk melakukan penggusuran pada tanggal 5 Desember. Peristiwa tersebut juga mengakibatkan banyaknya korban yang luka-luka baik di kalangan masyarakat maupun aktivis LSM,” tegas Ibu Aisah. Walau dalam tekanan, masyarakat terus melakukan perjuangan di mana pada tahun 2006 masyarakat adat bersama organisasi masyarakat sipil melakukan pemetaan kawasan hutan. Peta yang dihasilkan masyarakat digunakan sebagai alat perjuangan untuk menegaskan bahwa Kontu bukan bagian dari kawasan hutan lindung tapi kontu adalah kawasan hutan adat. Walau demikian, Pemda tetap tidak mau mengakui keberadaan Kontu sebagai hutan adat. Berangkat dari sikap pemerintah daerah yang demikian, masyarakat adat melakukan roadshow ke Jakarta untuk mencari keadilan. Perjuangan mereka direspon positif oleh Kamar Masyarakat - Dewan Kehutanan Nasional dengan memfasilitasi kami untuk membuat Draf Tata Kelola Kawasan Hutan Adat dan akhirnya draf tersebut diterima Pemda Muna sehingga status Kawasan Hutan Kontu diturunkan dari hutan lindung menjadi Area Penggunaan Lain (APL). Masyarakat Adat Kiyu, Hinas Kiri, Atiran, Tandilang, dan Natih di Meratus, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Propinsi Kalimantan Selatan. Konflik kepentingan lahan antara masyarakat adat Kiyu, Hinas Kiri, Atiran, Tandilang dan Natih di Meratus, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Propinsi Kalimantan Selatan dengan negara dan pemodal semakin memperpanjang deretan ceritera pilu di negeri ini. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2012 Tentang Tata Ruang Kalimantan disebutkan dalam pasal 50 ayat 4, Kabupaten Hulu Sungai Tengah merupakan kawasan yang diperuntukan untuk pertanian beririgasi, rawa pasang surut dan sawah non irigasi. Akan tetapi, Pemerintah Daerah berencana untuk membuka perkebunan sawit skala besar serta pertambangan batu bara. Padahal selama empat tahun terakhir, upaya untuk membuka perkebunan sawit di wilayah Meratus telah menyebabkan 24 konflik agraria yang belum terpecahkan karena masyarakat menolak terjadinya perampasan atas ruang hidup mereka. Masyarakat Adat Samin dan Komunitas Desa Larangan, Karangawen, Tambakromo, dan Desa Berapi, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah. Rencana Pembangunan Pabrik Semen di wilayah ini telah membangkitkan solidaritas masyarakat untuk mempertahankan wilayah mereka dari ambang 4|Page
kehancuran. Perjuangan demi perjuangan dilakukan masyarakat mulai dari pertemuan kampung hingga karnaval keliling menyambut tahun baru 2012. Ketika masyarakat mulai bergerak, tiba-tiba datang preman bayaran yang menghadang masyarakat. Bahkan jalan umum ditutup oleh preman tersebut. Peristiwa penghadangan oleh preman bayaran kembali terjadi pada tanggal 30 Januari 2012 saat masyarakat hendak datang untuk mendengarkan penjelasan kerangka acuan AMDAL. Tindakan intimidatif dari pihak perusahan melalui preman, polisi, TNI terus terjadi hingga saat ini. Masyarakat sungguh-sungguh berada dalam situasi yang tertekan sehingga sangat tidak nyaman. Penderitaan yang terus membelenggu rakyat akhirnya dipahami sebagai bentuk bahwa mereka sesungguhnya sedang terjajah oleh Negara.
Data Nasional Terkait Beberapa cerita dari daerah di atas merupakan suara yang sering terabaikan dalam pengambilan keputusan di tingkat pusat. Pun ketika diakomodir, implementasinya tidak serius. Terkait perhutanan sosial, Rencana Pembangungan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2010 – 2014 mentargetkan 7,9 juta hektar hutan dikelola dan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kesejahteraannya. Akan tetapi, data yang dimiliki Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) menunjukkan bahwa upaya pencaian target yang ditempuh melalui skema Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm) serta Hutan Tanaman Rakyat (HTR) baru tercapai sekira 17,5%.Kemudian menyangkut resolusi konflik, HuMa mencatat bahwa hingga tahun 2014 terdapat 301 konflik agrarian, yang 94 di antaranya berkenaan dengan sektor kehutanan. Keseluruhan konflik tersebut tidak kunjung terlesaikan hingga saat ini dan berpotensi menjadi bom waktu yang dapat meledak kapan saja. Kamar Masyarakat juga menggarisbawahi persoalan perubahan iklim di Indonesia. Ada kecenderungan Pemerintah saat ini untuk mengabaikan pentingnya penanganan perubahan iklim. Hal ini salah satunya dapat terbaca dari besaran nominal anggaran yang dialokasikan untuk Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim yang persentasinya hanya mencapai 2,3% dari total anggaran sehingga dapat disimpulkan bahwa penangan perubahan iklim belum menjadi prioritas dalam pelaksanaan tugas pemerintah, khususnya KLHK. Hal ini sangat disayangkan, mengingat perubahan iklim sudah berdampak pada kehidupan masyarakat di Indonesia, tidak hanya di kawasan pesisir, melainkan juga pada wilayah daratan di mana tanaman tertentu tidak dapat lagi tumbuh sesuai dengan siklusnya di masa lampau. Menurut data yang dilansir oleh Maplecroft, sebuah firma konsultan strategis dan resiko global berdasarkan hasil kajian tahun keenamnya memprediksi bahwa pada tahun 2025, kota-kota di Indonesia akan mengalami ancaman kerugian akibat bencana iklim yang taksiran kerugiannya mencapai USD 44 trilliun per tahun. Total alokasi anggaran saat ini yang hanya berjumlah nominal Rp 153 milliar tentu jauh dari mencukupi.
Prinsip-prinsip Kamar Masyarakat DKN Oleh karena itu, kami hendak menagih pemenuhan janji pemerintahan Joko Widodo untuk memenuhi Komitmen Nawacita yang berupaya menghadirkan negara dalam sendi-sendi kehidupan warganya. Kehadiran negara dalam persoalan masyarakat yang berkaitan dengan pengelolaan hutan dan sumber daya alamnya harusnya memenuhi beberapa prinsip berikut: 1. Demi menjaga kelestarian sumber daya alam, negara sebagai regulator harus memperhatikan dan menempatkan ekologi lingkungan sebagai pertimbangan utama dalam pemberian ijin.
5|Page
2. Implementasi kebijakan kehutanan harus mempertimbangkan konteks local yang beragam sehingga perlu menyesuaikan dengan kondisi geografis dan kearifan local setempat. Kearifan local merupakan kekayaan bangsa yang tidak boleh disamaratakan dari sabang sampai merauke. 3. Jaminan penyediaan ruang kehidupan bagi masyarakat oleh negara dan keleluasaan menjalankan sistem hidup yang tertata dengan kearifan lokalnya merupakan prasyarat pengelolaan hutan dan perlindungan lingkungan hidup yang lestari. 4. Pengelolaan kawasan hutan adat dengan basis kearifan lokal dan pengelolaan hutan negara dengan kebijakan pembangunan berkelanjutan merupakan ikhwal penting dalam negara demokrasi. Keterpaduan langkah antara negara dan masyarakat adat dalam pengelolaan hutan adalah kebutuhan nyata masyarakat Indonesia. 5. Persoalan pengelolaan sumber daya alam merupakan dampak dari kebijakan pembangunan nasional yang keliru. Salah satu kekeliruannya, adalah pelaksanaan pembangunan yang tidak terintegrasi antarsektor. 6. Hutan adat dan Hutan Hak merupakan instrumen hukum yang paling kuat dalam melindungi hak tenurial masyarakat hukum adat/komunitas local. 7. Pengembalian penguasaan tanah hutan kepada rakyat tidak akan menyebabkan kerusakan sepanjang KLHK dan BPN, serta pemerintah daerah menjalankan mandatnya masing-masing untuk menjamin terjaganya daya dukung lingkungan dan fungsi-fungsi hutan.
Rekomendasi Dari paparan di atas, KM DKN merekomendasikan beberapa langkah konkrit yang kami anggap penting untuk dilakukan oleh KLHK demi menjaga komitmen keberpihakannya kepada rakyat, utamanya rakyat kecil yang menyandarkan kehidupannya pada kekayaan hutan. 1. Terkait Struktur Kelembagaan Kementrian Memperhatikan struktur kelembgan dalam KLHK maka kamar masyarakat DKN merekomendasikan agar dilakukan langkah-langkah: a) mempercepat proses pembentukan struktur kelembagaan KLHK sampai ke tingkat operasional – baik di level Pusat maupun Daerah; b) mempercepat instrumen regulasi di Kementerian LHK terkait progam dan kegiatan Perhutanan Sosial, Hak Tenurial dan Resolusi Konflik, serta Perubahan Iklim yang berbasis masyarakat adat dan komunitas lokal; c) mengarusutamakan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 32 Tahun 2009 sebagai acuan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan; d) melakukan reformasi birokrasi yang memperhatikan pemilihan Pejabat kementerian yang memiliki integritas; e) membentuk mekanisme penghargaan (reward) and sanksi (punishment) terhadap pencapaian target kerja yang tidak hanya berbasis penyerapan anggaran. 2. Terkait Perhutanan Sosial KM DKN mencatat pentingnya hal-hal berikut, yaitu:
6|Page
a) mempercepat proses perizinan pengusahaan hutan dan lahan berbasis masyarakat adat dan komunitas lokal untuk mencapai target; b) memperbesar alokasi penganggaran untuk percepatan target program pengelolaan hutan dan lahan berbasis masyarakat adat dan komunitas lokal; c) mengklarifikasi Surat Edaran Menteri Kehutanan No. SE.1/Menhut-II/2013 tentang Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 agar mengakui peraturan daerah yang mengakui keberadaan masyarakat hukum adat dan wilayahnya yang telah dikeluarkan sebelum ada Putusan MK 35/PUU-X/2012; d) program perhutanan sosial harus memberikan porsi yang seimbang kepada masing-masing skema perhutanan sosial, termasuk di dalamnya hutan adat; e) mengamandemen UU No. 41 tahun 2009 tentang Kehutanan terutama yang berkenaan dengan keberadaan hutan adat. 3. Terkait Hak Tenurial dan Resolusi Konflik KM DKN merekomendasikan langkah-langkah yakni: a) memanfaatkan kawasan hutan negara dan hutan adat yang sesuai fungsi dan saling menghormati antara pemerintah dengan masyarakat adat; b) mengimplementasikan Peraturan Bersama 4 Menteri No. 79 tahun 2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada di Dalam Kawasan Hutan dengan memperkuat koordinasi dengan institusinya di daerah maupuan dengan Pemerintah Daerah; c) memperpanjang Moratorium Izin di dalam Kawasan Hutan dan Memperbaiki Tata Kelola Kehutanan serta melakukan review terhadap izin-izin di dalam kawasan hutan; d) segera melakukan koordinasi dengan aparat penegak hukum terkait diberlakukannya UU No. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H0 agar menjamin bahwa UU tersebut tidak disalahgunakan untuk menjerat masyarakat petani hutan, melainkan korporasi besar yang terindikasi melanggar dan melakukan perusakan hutan; e) mendorong KLHK untuk mengutamakan metode penyelesaian konflik non-litigasi atas kasuskasus yang melibatkan masyarakat, perusahan, dan pemerintah; f)
segera merekonstruksi ulang penatabatasan kawasan hutan secara partisipatif dan transparan dengan melibatkan masyarakat secara langsung dan genuine, bukan sekedar konsultasi;
g) segera melakukan revisi terhadap Permenhut No. P.25/Menhut-II/2014 tentang Panitia Tata Batas Kawasan Hutan dengan memasukkan Kepala desa/nama lain sebagai anggota panitia penetapan batas. 4. Terkait Perubahan Iklim KM DKN mengusulkan dilakukannya langkah-langkah: a) memaksimalkan komitmen Pemerintah daerah agar secara serius menangani perubahan iklim dengan memasukan isu perubahan iklim di dalam RPJMD, sehingga mengikat SKPD untuk melaksanakannya secara sinergis; 7|Page
b) mempersiapkan masyarakat untuk menghadapi akibat-akibat perubahan iklim dengan kebijakan pembangunan yang pro kepada komunitas yang rentan terhadap dampak perubahan iklim; c) mendorong adanya komposisi alokasi anggaran yang berimbang antara agenda adaptasi dan mitigasi; d) memastikan bahwa penerima manfaat utama dari program-program perubahan iklim adalah masyarakat yang mengelola hutannya secara lestari; e) tetap konsisten dengan agenda penanganan perubahan iklim di tengah gempuran agenda pembangunan nasional (MP3EI); f)
mencabut dan tidak mengeluarkan izin baru untuk kegiatan yang sifatnya eksploitatif di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Penutup Nawacita memberikan harapan baru bagi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan yang selama ini terpinggirkan. Misi membangun dari pinggiran serta memastikan negara hadir dalam pemenuhanhak-hak rakyat mendapat sambutan meriah di seluruh pelosok Indonesia. Seyogyanya, perubahan kelembagaan yang terjadi di tubuh Pemerintah merupakan bagian dari upaya itu. Kekhawatiran yang barangkali senada dengan bunyi sebuah pepatah “gajah berkelahi, kancil pelanduk mati terhimpit” harus dihindari. KM DKN berkeyakinan bahwa kesuksesan pelaksanaan agenda perhutanan sosial, resolusi konflik tenurial, dan perubahan iklim merupakan upaya yang harus dilaksanakan secara terintegrasi serta melibatkan semua sektor dan berbagai lini pemerintahan, tidak hanya KLHK. Tanpa adanya upaya pemerintah yang terintegrasi, seperti yang sudah-sudah, masyarakat akan tetap sendirian membangun dari pinggiran, dan Nawacita hanya tinggal khayalan.
8|Page