Sektor Pertanian: Perlu Upaya Akselerasi Pertumbuhan Oleh: Hidayat Amir Peneliti Madya pada Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Email:
[email protected]
Pendahuluan Pembangunan ekonomi selama setengah abad terakhir telah berhasil mengubah struktur perekonomian Indonesia dari perekonomian yang berbasis kepada sektor pertanian menjadi perekonomian yang berbasis pada sektor industri. Hal ini terlihat jelas dalam data kontribusi sektoral utama sebagaimana tergambar dalam Grafik 1. Kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian menurun tajam, dari sebesar 56,3% pada tahun 1962 menjadi hanya 14,7% pada tahun 2011, bahkan sempat turun pada level 13% pada tahun 2005 dan 2006. Pada periode yang sama, sektor industri (manufaktur dan nonmanufaktur) mengalami peningkatan yang cukup berarti, dari sebesar 11,9% menjadi 47,2% dari total PDB. Sementara kontribusi sektor jasa berfluktuatif pada level sekitar 30-40%. Kontribusi sektor industri manufaktur tumbuh dari level di bawah 10% pada 1962 menjadi 29,1% pada 2001, namun mengalami kecenderungan stagnasi pada periode selanjutnya. Sektor industri nonmanufaktur terdiri atas pertambangan (termasuk migas), konstruksi, listrik, gas dan air bersih. Migas menjadi pemeran utama dalam komponen pertumbuhan ekonomi dalam rentang tahun 1970-an dan 1980-an (Amir, 2014). Grafik 1. Transformasi Perekonomian Sektoral – Tenaga Kerja
(% tenaga kerja)
Kinerja Sektoral (value added, % PDB) 60
60
50
50
40
40
35.9 29,1
30
30
24,3
20
20
14,7
10
Pertanian Jasa-jasa
10
Industri Manufaktur
0
2009
2006
2003
2000
1997
1994
1991
1988
1985
2011
2008
2005
2002
1999
1996
1993
1990
1987
1984
1981
1978
1975
1972
1969
1966
1963
1960
0
Sumber: Amir (2014) Keterangan: Industri non-manufaktur: pertambangan (termasuk migas), kontruksi, listrik, gas, dan air Namun demikian, tatkala kontribusi output sektoralnya telah menurun tajam, bukan berarti bahwa sektor pertanian sudah tidak menjadi faktor penting dalam perekonomian Indonesia. Data tahun 2011 (World Bank, 2013) menunjukkan bahwa sektor pertanian masih menyerap tenaga kerja yang cukup tinggi yaitu sebesar 35,9% dari total 151,9 juta angkatan kerja. Sementara sektor industri hanya menyerap 20,6%. Sisanya sebesar 43,5% diserap oleh sektor jasa. Hal ini juga sekaligus menunjukkan bahwa telah terjadi permasalahan ketimpangan struktural sebagai akibat proses industrialisasi yang ditempuh selama empat dekade terakhir (mulai awal tahun 1970-an). Perubahan struktural dalam output perekonomian dari sektor agraris ke sektor industri tidak diikuti oleh perubahan struktur ketenagakerjaan. Satu lagi yang perlu dicatat ialah terlihatnya fenomena deindustrialisasi dimana sektor manufaktur mengalami penurunan kontribusi dari sebesar 29,1% di tahun 2001 menjadi hanya sebesar 24,3%. Hal ini menjadi indikator serius adanya hambatan yang besar dalam proses industrialisasi di Indonesia. Penelitian yang dilakukan Felipe (2013) mengkonfirmasi kondisi transformasi perekonomian Indonesia tersebut diatas. Felipe (2013) mengklasifikasikan negara-negara di dunia yang telah berhasil melakukan industrialisasi dan yang belum dalam dua kategori,
yaitu dilihat dari sisi output dan ketenagakerjaan. Hasil klasifikasi disusun dalam suatu matriks, Indonesia masuk kepada kategori negara low middle-income countries yang telah berhasil melakukan industrialisasi dari sisi output tetapi belum berhasil dari sisi ketenagakerjaan. Sekali lagi, peran output sektor pertanian sudah menurun drastis tetapi sektor ini masih ‘dihuni’ oleh rumah tangga atau tenaga kerja yang cukup banyak. Apabila dilihat lebih detail perbandingan tingkat pertumbuhan sektoral antartahun selama periode 2001-2012 terlihat sebagaimana dalam Tabel 1. Angka yang dicetak tebal menunjukkan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan PDB. Sektor Pengangkutan dan Komunikasi merupakan sektor yang memiliki tingkat pertumbuhan tertinggi dalam sepuluh tahun terakhir (2003-2012) dengan tingkat pertumbuhan di atas 10%. Selanjutnya diikuti oleh: Sektor Perdagangan, Sektor Hotel dan Restoran, Sektor Konstruksi dan Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih. Dari Sektor Industri Pengolahan, Subsektor Industri Makanan, Minuman dan Tembakau memiliki tingkat pertumbuhan yang relatif tinggi. Sektor industri ini merupakan sektor yang erat kaitannya dengan Sektor Pertanian. Dalam periode ini, sektor Pertanian secara umum memiliki tingkat pertumbuhan yang relatif rendah, yaitu hanya di kisaran 2,8% (2004) dan 4,8% (2008). Ketika dilihat lebih detail terhadap lima subsektor pertanian maka didapati bahwa subsektor Perikanan memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih baik, bahkan dalam dua tahun terakhir tingkat pertumbuhannya lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan PDB. Subsektor Tanaman Perkebunan dan Subsektor Peternakan dan Hasil-hasilnya juga memiliki potensi pertumbuhan yang relatif tinggi walaupun masih di bawah tingkat pertumbuhan PDB. Pada tahun 2001 dan 2002, kedua subsektor ini mengalami tingkat pertumbuhan yang tinggi (lebih tinggi dari pertumbuhan PDB), namun pada tahun-tahun berikutnya mengalami penurunan tingkat pertumbuhan yang signifikan. Dalam empat tahun terakhir kedua subsektor ini memiliki tendensi peningkatan tingkat pertumbuhan. Sementara itu, subsektor kehutanan memiliki tingkat pertumbuhan yang relatif rendah bahkan mendekati nol (2008) atau bahkan negatif (2005-2007). Hal ini mungkin terkait dengan kebijakan untuk konversi hutan, sehingga eksploitasi dari subsektor kehutanan menjadi melambat.
Namun yang
disayangkan ialah tingkat pertumbuhan subsektor Tanaman Bahan Makanan yang dalam tiga tahun terakhir hanya di kisaran 2%. Padahal pada tahun 2008 dan 2009 mampu tumbuh tinggi (lebih besar dari tingkat pertumbuhan PDB) yaitu masing-masing di angka 6,1% dan 5,0%. Padahal subsektor ini merupakan bagian sektor pertanian yang terpenting dalam pencapaian target ketahanan pangan nasional.
Tabel 1. Perbandingan Pertumbuhan Sektoral (%) Lapangan Usaha / Sektor 1. Pertanian
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 3,3
3,4
3,8
2,8
2,7
3,4
3,5
4,8
4,0
3,0
3,4
4,0
a. Tanaman Bahan Makanan
0,2
2,1
3,6
2,9
2,6
3,0
3,4
6,1
5,0
1,6
1,8
2,9
b. Tanaman Perkebunan
7,8
5,8
4,4
0,4
2,5
3,8
4,6
3,7
1,7
3,5
4,5
5,1
c. Peternakan & hasil2nya
9,5
6,5
4,1
3,3
2,1
3,4
2,4
3,5
3,5
4,3
4,8
4,8
d. Kehutanan
2,4
2,3
0,5
1,3 -1,5 -2,9 -0,8
0,0
1,8
2,4
0,8
0,2
e. Perikanan
4,9
3,4
5,0
5,6
5,9
6,9
5,4
5,1
4,2
6,0
7,0
6,5
2. Pertambangan
0,3
1,0 -1,4 -4,5
3,2
1,7
1,9
0,7
4,5
3,9
1,4
1,5
3. Industri Pengolahan
3,3
5,3
5,3
6,4
4,6
4,6
4,7
3,7
2,2
4,7
6,1
5,7
4. Listrik, Gas dan Air Bersih
7,9
8,9
4,9
5,3
6,3
5,8 10,3 10,9 14,3
5,3
4,8
6,4
5. Konstruksi
4,6
5,5
6,1
7,5
7,5
8,3
8,5
7,6
7,1
7,0
6,6
7,5
6. Perdagangan, Hotel dan Rest
3,9
4,3
5,4
5,7
8,3
6,4
8,9
6,9
1,3
8,7
9,2
8,1
7. Pengangkutan dan Komunikasi
8,1
8,4 12,2 13,4 12,8 14,2 14,0 16,6 15,8 13,4 10,7 10,0
8. Keu, Real Estat dan Jasa Perus
6,8
6,7
6,7
7,7
6,7
5,5
8,0
8,2
5,2
5,7
6,8
7,1
9. Jasa-jasa
3,2
3,8
4,4
5,4
5,2
6,2
6,4
6,2
6,4
6,0
6,7
5,2
PDB
3,6
4,5
4,8
5,0
5,7
5,5
6,3
6,0
4,6
6,2
6,5
6,2
PDB Tanpa Migas
4,9
5,2
5,7
6,0
6,6
6,1
6,9
6,5
5,0
6,6
7,0
6,8
Sumber: BPS. Data yang terdapat dalam Tabel 1 tersebut memang hanya menggambarkan lebih lanjut transformasi struktural yang telah terjadi dalam perekonomian Indonesia. Data ini juga hanya menyajikan secara global perubahan tingkat pertumbuhan antarsektor/subsektor. Belum mampu mendeskripsikan tentang apa yang terjadi, yang menjadi penyebab atas dinamika tingkat pertumbuhan yang ada. Hal ini tentu membutuhkan elaborasi lebih lanjut.
Namun setidaknya ada beberapa hal yang dapat dicatat dari uraian tersebut di atas, yaitu: (1) sektor pertanian mengalami penurunan kontribusi bagi perekonomian Indonesia sebagai akibat proses industrialisasi selama empat dekade terakhir; (2) proses transformasi struktural tidak diikuti secara selaras oleh transformasi ketenagakerjaan, tenaga kerja di sektor pertanian masih cukup tinggi ketika kontribusi ekonominya sudah sangat rendah; (3) sektor pertanian tetap penting utamanya dalam konteks ketahanan pangan, namun proses industrialisasi sepertinya tidak mengait dengan sektor pertanian ini. Hal ini terlihat dari tingkat pertumbuhan subsektor industri makanan, minuman dan tembakau yang relatif tinggi tetapi subsektor tanaman bahan makanan memiliki tingkat pertumbuhan yang sangat rendah.
Sektor Pertanian: Peran Penting dan Problema Pembangunan Lebih lanjut, studi yang dilakukan oleh Syafa'at (2005) menerangkan bahwa sektor pertanian memberikan peranan yang penting dalam perekonomian setidaknya dalam beberapa hal sebagai berikut: 1.
Sebagai sumber pendapatan dan kesempatan kerja bagi penduduk pedesaan dimana sebagian besar penduduk pedesaan bermata-pencaharian utama sebagai petani;
2.
Sebagai penghasil pangan untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi penduduk yang jumlahnya semakin bertambah;
3.
Sebagai pemacu proses industrialisasi, utamanya bagi industrialisasi yang memiliki keterkaitan yang cukup besar dengan sektor pertanian;
4.
Sebagai penyumbang devisa negara, karena sektor pertanian menghasilkan produkproduk pertanian yang tradable dan berorientasi pada pasar ekspor; dan
5.
Sebagai pasar bagi produk dan jasa sektor nonpertanian. Peran penting dalam bidang ketahanan pangan sebagaimana diindikasikan tersebut di
atas, kini menjadi topik hangat dalam pembangunan perekonomian dunia. Kekhawatiran dunia akan terjadinya defisit pangan yang diakibatkan oleh merosotnya produktivitas di sektor pertanian pangan dan meningkatnya jumlah penduduk dunia menjadi fokus perhatian pembangunan dunia. Kekhawatiran ini dipicu oleh beberapa faktor. Pertama, peningkatan harga pangan dunia pada dekade ini. Harga riil rata-rata pada tahun 2009 tercatat 17% lebih tinggi dibanding harga pada tahun 2006. Diproyeksikan harga pangan akan tetap tinggi pada periode yang akan datang. Kedua, tingginya harga pangan akan berakibat buruk kepada penduduk miskin, mengingat proporsi terbesar penduduk miskin merupakan net-buyers untuk produk pangan bahkan lebih dari separuh pendapatan rumah tangga kelompok ini
dibelanjakan untuk pangan. Ketiga, isu perubahan iklim global juga memberikan andil kepada memburuknya kinerja sektor pertanian dunia (Asian Development Bank, 2009). Sementara itu, Khudori (2011a) mengindikasikan bahwa proses pembangunan selama ini belum berhasil memajukan sektor pertanian di Indonesia. Untuk mendukung argumentasinya, Khudori (2011) mengemukakan beberapa fakta antara lain: (1) terjadinya fenomena gerontokrasi1 tenaga kerja di sektor pertanian sebagai akibat industrialisasi yang berjalan tidak mengait langsung dengan sektor pertanian, (2) menurunnya produktivitas lahan maupun tenaga kerja sektor pertanian, dan (3) angka kemiskinan di pedesaan—di mana mayoritasnya adalah petani—cenderung lebih tinggi dibanding angka kemiskinan di perkotaan. Apabila dilihat data lebih detail tentang produktivitas sektor pertanian yang diukur dengan nilai tambah per tenaga kerja maka sebagaimana terlihat dalam Grafik 2 berikut ini. Terlihat bahwa produktivitas sektor pertanian walaupun mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan, nilai tambah per tenaga kerja sebesar US$332 pada tahun 1991, naik lebih dari dua kali lipat menjadi US$683 pada tahun 2011. Namun dari sisi nilainya masih sangat jauh di bawah sektor jasa-jasa dan sektor industri. Bahkan gap jaraknya semakin melebar. Jika dibandingkan dengan beberapa negara mitra (Chile, Republik Korea, dan Afrika Selatan) maka terlihat bahwa pertumbuhan produktivitas pertanian Indonesia masih sangat rendah dan pertumbuhannya pun tidak secepat negara-negara tersebut. Ini salah satunya mungkin disebabkan oleh cara bertani di Indonesia yang masih belum
mengalami
kemajuan.
Coba
dibayangkan
cara
bertani
Indonesia,
masih
menggunakan metode yang sama dibandingkan dengan dua atau tiga dekade silam. Sektor pertanian belum cukup menggunakan teknologi dalam proses produksinya. Grafik 2. Perbandingan Produktivitas Sektor Pertanian Nilai tambah per tenaga kerja di Indonesia
Nilai tambah per tenaga kerja di pertanian
(angka konstan 2000 dalam US$)
(angka konstan 2000 dalam US$)
1
Gerontokrasi ialah kondisi dimana sektor pertanian didominasi oleh sumber daya manusia usia lanjut, yang biasanya produktivitasnya sudah mulai menurun.
Pertanian Industri Jasa-jasa
4000 3500
8.5
2061
8.0 7.5
1500
7.0
1292 683
500
6.5 6.0
2010
2007
2004
2001
1998
1995
1992
1989
1986
2011
2009
2007
2005
2003
2001
1999
1997
5.5
1995
1993
332 1991
0
9.5 9.0
2868
2000
1000
Chile Korea, Rep. Indonesia South Africa
10.0
1983
2500
10.5
1980
3000
3803
at Ln scale
4500
Sumber: Amir (2014). Selain itu, walaupun secara total sektor pertanian merupakan penyumbang devisa, tetapi kalau coba didetailkan bukan berarti tidak mengandung permasalahan. Grafik-3 berikut memberikan gambaran adanya permasalahan tersebut secara tegas dan jelas. Indonesia sebagai negara dengan basis agraris masih memiliki ketergantungan dari komoditas impor untuk produk-produk tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan. Surplus sektor pertanian secara total merupakan sumbangan sektor perkebunan. Kondisi ini mengindikasikan adanya permasalahan besar terkait ketahanan pangan nasional. Tatkala sisi permintaan meroket sejalan dengan tingkat konsumsi nasional sebagai akibat adanya perubahan demografis dan meningkatnya kelas menengah, namun dari sisi penawaran tingkat produksi domestik pertanian tanaman pangan tidak mampu memenuhinya. Wal hasil, kelebihan permintaan ini harus ditambal dengan impor. Pernyataan ini bukan untuk menunjukkan perlunya kebijakan anti-impor tetapi lebih untuk menunjukkan ironi dan missmanagement. Grafik 3. Neraca Ekspor-Impor Pertanian (Januari – Desember 2012)
23,141
PERTANIAN 14,375 -2,294
Peternakan
-1,090 33,565
Perkebunan
32,634 -1,351
Hortikultura
-1,769
Nilai (juta USD)
-6,779
Tanaman pangan
Volume (juta kg)
-15,400
Sumber: Pusdatin, Kementerian Pertanian.
Perlindungan dan Pemberdayaan: Upaya Akselerasi Pertumbuhan Sektor Pertanian Wajah pertanian Indonesia ialah ironi. Indonesia negeri yang kaya dengan sumbersumber alam pertaniannya, salah satu negara dengan biodiversitas terkaya di dunia, dengan iklim yang sangat bersahabat untuk pertanian tetapi seakan potensi itu tidak nyata kontribusinya. Ini menjadi semacam paradoks. Khudori (2011b) menyebut ada tiga paradoks. Pertama, paradoks kemiskinan dan rawan pangan. Para petani sebagai penghasil hasil pangan justru merupakan kelompok masyarakat yang banyak dalam posisi miskin atau rentan miskin dan paling rawan pangan. Kedua, paradoks pertumbuhan. Walaupun sektor pertanian
mengalami
pertumbuhan
namun
subsektor
pangan
justru
mengalami
pertumbuhan minus. Ketiga, paradoks ekspor-impor. Dengan lahan yang luas, iklim yang cocok, dan plasma nutfah berlimpah, Indonesia berpotensi menjadi pemberi makan dunia (feed the world) tetapi justru neraca perdagangan subsektor tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan mengalami negatif. Dalam atmosfer yang seperti inilah, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani dipersiapkan. UU ini diharapkan mampu menjadi landasan legal kepastian aspek hukum bagi pendekatan pembangunan pertanian yang lebih komprehensif dan sistematis. Perlindungan karena memang nyata adanya para petani yang berusaha dengan skala kecil atau bahkan para buruh tani yang sangat rentan dan lemah. Mereka semua perlu mendapat perlindungan pemerintah. Tidak cukup itu mereka juga perlu diberdayakan agar mampu tumbuh, mandiri, dan berdaulat. Perlindungan petani dilakukan melalui berbagai strategi, yaitu: (1) pembangunan sarana dan prasarana produksi, (2) kepastian usaha, (3) harga komoditas, (4) penghapusan
praktek ekonomi biaya tinggi, (5) ganti rugi gagal panen akibat kejadian luar biasa, (6) sistem peringatan dini dan penanganan dampak perubahan iklim, dan (7) asuransi pertanian. Sementara itu, pemberdayaan petani dilakukan melalui strategi: (1) pendidikan dan pelatihan, (2) penyuluhan dan pendampingan, (3) pengembangan sistem dan sarana pemasaran, (4) konsolidasi dan jaminan luasan lahan, (5) penyediaan fasilitas pendanaan dan permodalan, (6) kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi, dan (7) penguatan kelembagaan petani. Dengan tujuh strategi perlindungan dan tujuh strategi pemberdayaan maka diharapkan kualitas hidup petani dapat ditingkatkan, produktivitasnya dapat dinaikkan untuk mendorong akselerasi pertumbuhan sektor pertanian, terutama subsektor pangan dan peternakan. Namun perlu diingat bahwa UU ini hanya memberikan jaminan di atas kertas. Perlu kerja keras
mengejawantahkan
untuk
menjadi
kenyataan.
Hasil
penelitian
Tim
PPRF
menunjukkan bahwa dukungan kepada para petani tidak cukup hanya dukungan aspek pembiayaan namun pula memerlukan dukungan manajemen dan pendampingan agar tercipta rantai nilai dengan aktivitas usaha lainnya. Para petani perlu didorong agar mampu berkoloni untuk meningkatkan skala usahanya menjadi skala ekonomi yang layak untuk dukungan pendanaan, permodalan yang cukup, penggunaan teknologi yang tepat guna dan sentuhan manajemen modern.
Referensi Amir, H. (2014). Pertanian dalam Transformasi Struktural Perekonomian Indonesia. In F. Saragih, H. Amir, & Insyafiah (Eds.), Program Pembiayaan Sektor Pertanian. Jakarta: Nagamedia Pustaka. Asian Development Bank. (2009). Operational plan for sustainable food security in Asia and the Pacific. Mandaluyong City, Philippines: Asian Development Bank. Felipe (2013). Asia’s economic transformation: where to, how, and how fast? Presentasi pada Badan Kebijakan Fiskal, 3 September 2013 Khudori. (2011a). Kado Manis pada Hari Tani. Koran Tempo, diakses 26 September 2011, dari http://epaper.korantempo.com/PUBLICATIONS/KT/KT/2011/09/26/index.shtml Khudori. (2011b). Paradoks Pertanian Indonesia. Koran Tempo, 23 Maret 2011. Retrieved from http://www.tempo.co/read/kolom/2011/03/23/345/Paradoks-Pertanian-Indonesia Syafa'at, N., et al. (2005). Pertanian Menjawab Tantangan Ekonomi Nasional: Argumentasi Teoritis, Faktual dan Strategi Kebijakan. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama.
World Bank. (2013). World Development Indicators (Publication. Retrieved 27 May 2013: http://data.worldbank.org/data-catalog/world-development-indicators