EVALUASI KINERJA SISTEM PERPAJAKAN INDONESIA Oleh: Gunawan Setiyaji dan Hidayat Amir1 Abstrak Pajak merupakan sumber penerimaan negara yang utama. Semakin hari peranan penerimaan pajak bagi pembiayaan pengeluaran umum/negara semakin besar. Saat ini pemerintah sedang mempersiapkan amandemen UU Perpajakan Tahun 2005 yang menandai dilaksanakannya reformasi perpajakan keempat. Pertanyaan yang muncul adalah apakah pencapaian dari reformasi perpajakan nasional yang telah dilakukan dan permasalahan apa saja yang masih harus dibenahi dengan reformasi lanjutan yang akan diluncurkan. Tulisan ini bermaksud untuk merefleksikan berbagai hal yang telah dicapai oleh reformasi perpajakan, efektivitasnya, dan kelayakannya dipandang dari beberapa kriteria sistem perpajakan yang ideal. Tulisan dibuat dalam bentuk deskriptif eksploratory yang memaparkan/mengambarkan suatu topik dan mencoba mengurai berbagai masalah yang muncul. Dari pembahasan ini dapat disimpulkan bahwa reformasi perpajakan selama ini telah mencapai hasil yang baik, namun masih banyak kekurangan yang harus segera diperbaiki. Pencapaian ukuran keberhasilan pemungutan pajak masih relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Konsekuensinya reformasi perpajakan harus terus dilanjutkan, baik dari sisi peningkatan kesadaran masyarakat untuk membayar pajak (tax compliance), kepastian hukum bagi pembayar dan aparat pajak dan peningkatan kualitas pelayanan dan administrasi perpajakan. Atau dengan kata lain, reformasi perpajakan edisi keempat harus menyentuh aspek SDM, landasan hukum yang konsisten dan organisasi yang modern yang menjamin efisiensi dan efektifitas sistem perpajakan yang ideal. Kata kunci: perpajakan, deskriptif eksploratory, reformasi perpajakan.
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemerintah saat ini tengah menunggu pengesahan atas tiga RUU yang mengubah tiga UU Perpajakan yang saat ini berlaku. Ketiga UU yang hendak diamandemen tersebut adalah UU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), UU tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) dan UU tentang Pajak Pertambahan Nilai/Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN/PPnBM). Ketiga UU tersebut diamandemen karena di samping merupakan ketentuan perundang-undangan yang paling krusial dalam praktik penerapan hukum perpajakan, juga merupakan pranata hukum yang akan menjadi senjata utama dalam meningkatkan penerimaan pajak. Amandemen UU Perpajakan tahun 2005 ini menandai dilaksanakannya reformasi perpajakan keempat, sejak beralihnya sistem perpajakan nasional. Sebelumnya, pemerintah telah melaksanakan reformasi perpajakan pada tahun 1984, tahun 1994 dan 2000. Reformasi perpajakan kali ini menjadi cukup spesial karena memiliki arti khusus, yaitu memperkuat upaya penerimaan pajak yang semakin menjadi tulang punggung dalam pembiayaan keuangan negara. 1
Gunawan Setiyaji ialah Peneliti Departemen Keuangan RI (email:
[email protected]); Hidayat Amir ialah Economist The Indonesia Economic Intelligence dan Peneliti Depkeu RI (e-mail:
[email protected]). Tulisan ini telah diterbitkan di Jurnal Ekonomi, Universitas Indonusa Esa Unggul - Jakarta, Edisi November 2005.
1
Pertanyaan yang segera muncul adalah apakah pencapaian dari reformasi perpajakan nasional yang telah dilakukan dan permasalahan apa saja yang masih harus dibenahi dengan reformasi lanjutan yang akan diluncurkan. 1.2. Tujuan Penulisan Tulisan ini hendak merefleksikan berbagai hal yang telah dicapai oleh reformasi perpajakan, efektivitasnya, dan kelayakannya dipandang dari beberapa kriteria sistem perpajakan yang ideal. 1.3. Metode Penulisan dan Sumber Data Untuk memenuhi tujuan tersebut di atas digunakan metode penulisan deskriptif eksploratory. Metode ini hanya membahas suatu topik dengan memberikan penggambaran atas topik tersebut, implikasi permaslahan yang timbul atas topik itu dan tidak ditujukan untuk mencari atau menguji solusi terbaik atas permasalahan yang ada. Analisis yang ada biasanya hanya bersifat kualitatif yang ditujukan untuk mengeksplorasi konsekuensi permaslahan yang muncul atas kondisi yang diterangkan dalam topik. Pembahasan menggunakan studi literatur dan pengumpulan data-data sekunder yang berasal dari berbagai sumber, antara lain: Direktorat Jenderal Pajak dan Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan dan Kerjasama Internasional Departemen Keuangan. 2. LANDASAN TEORI 2.1. Pengertian Pajak Menurut Adam Smith (1898:302), pajak adalah “a contribution from the citizen to support of the state”. Sedangkan Sommerfeld (1983:1) mendefinisikan pajak sebagai “any nonpenal yet compulsory transfer of resources from the private to public sector, levied on the basis of predetermined criteria and without receipt of specific benefit of equal value, in order to accomplish some of a nation’s economic and social objectives.” Dan Bastable (1993:263) menyatakan bahwa pajak adalah “a compulsory contribution of the wealth of a person or body of persons for service of the public powers.” Dari kalangan dalam negeri, Rochmat Soemitro (1994:23) menyatakan bahwa pajak adalah “iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kekayaan dari sektor partikulir ke sektor pemerintah) berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (tegen prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum.” Sementara menurut Djajaningrat, pajak adalah“kewajiban untuk menyerahkan sebagian dari kekayaan kepada negara disebabkan oleh suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa balik dari negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan umum”.2 Dari berbagai definisi tentang pajak di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pajak memiliki beberapa aspek dasar: 1. Pembayaran pajak harus berdasarkan undang-undang; 2. Sifatnya dapat dipaksakan 3. Tidak ada kontraprestasi yang langsung dapat dirasakan oleh pembayar pajak; 4. Pemungutan pajak dilakukan oleh negara baik pemerintah pusat maupun daerah; dan
2
Munawir, Perpajakan, Liberty, Yogyakarta, 1992, hal 3.
2
5. Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah (rutin dan pembangunan) bagi kepentingan masyarakat umum.3 Dari berbagai definisi mengenai pajak, terdapat beberapa tanggapan dari para pakar dan praktisi perpajakan. Rochmat Sumitro4 menyatakan bahwa pajak sebenarnya utang, yaitu utang anggota masyarakat kepada masyarakat. Utang ini menurut hukum adalah perikatan (verbintenis). Meskipun pajak itu letaknya di bidang hukum publik, tetapi erat sekali hubungannya dengan hukum perdata dan hukum adat. Di sisi lain, pemenuhan kewajiban pajak akan berdampak pada aspek ekonomi, dari mikroekonomi hingga makroekonomi. Sehingga apabila anggota masyarakat memenuhi kewajiban pajaknya dengan baik, mekanisme ekonomi dalam masyarakat akan berjalan dengan baik. Sementara itu, Abdul Asri Harahap (2004: 174) mengkritik pemahaman dasar tentang pajak dengan mengungkap bahwa definisi pajak dan implementasinya perlu dibenahi dengan upaya agar kesadaran moral dan aspek ketuhanan dalam membayar pajak disuntikkan pada kesadaran “sekuler” perpajakan yang lebih mengedepankan hubungan kontraktual antara pemerintah dengan rakyat.5 2.2. Fungsi Pajak Safri Nurmantu (2003: 30) menyatakan bahwa pajak memiliki dua fungsi, yaitu fungsi budgeter dan fungsi regulerend. Pajak berfungsi budgeter, yaitu untuk mengumpulkan uang pajak sebanyak-banyaknya sesuai dengan undang-undang yang berlaku yang pada waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaranpengeluaran negara, yaitu pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan, dan bila ada sisa (surplus) akan digunakan sebagai tabungan pemerintah. Sedangkan fungsi regulerend adalah suatu fungsi bahwa pajak-pajak tersebut digunakan sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Meski demikian, dalam pandangan Richard Burton dan Wirawan B. Ilyas6 terdapat pula fungsi lain dari pajak yang saat ini mengemuka, yaitu fungsi demokrasi dan fungsi redistribusi. Fungsi demokrasi menyatakan bahwa pajak merupakan salah satu penjelmaan atau wujud sistem gotong-royong, termasuk kegiatan pemerintahan dan pembangunan demi kemaslahatan manusia. Sebagai implementasinya, pajak memiliki konsekuensi untuk memberikan hak-hak timbal-balik yang meskipun tidak diterima langsung, tetapi diberikan kepada warga negara pembayar pajak. Demikian selanjutnya, hingga pajak akan berfungsi redistribusi, yaitu mengimplementasikan unsur pemerataan dan keadilan dalam masyarakat. Bila pajak diterapkan dengan baik maka dapat dipastikan terjadi beberapa dampak pajak terhadap perekonomian dan berbagai aspeknya.
3 4 5
6
Richard Burton dan Wirawan B. Ilyas, Hukum Pajak, Penerbit Salemba Empat, 2004 Rochmat Sumitro, Asas dan Dasar Perpajakan, Bandung : Eresco, 1990, hal. 2 Abdul Asri Harahap, Paradigma Baru Perpajakan Indonesia : Perspektif Ekonomi Politik, Integrita Dinamika Press, 2004 Richard Burton dan Wirawan B. Ilyas, hal 9.
3
Secara umum, struktur perekonomian (tanpa pajak) terdiri dari Pendapatan Nasional, Konsumsi dan Tabungan. Bila seluruh tabungan digunakan untuk investasi, maka tidak akan pernah terjadi inflasi maupun deflasi. Tetapi, mungkin terjadi tidak semua tabungan digunakan untuk investasi sehingga berakibat pada kelesuan ekonomi, deflasi dan pengangguran. Atau sebaliknya, jumlah tabungan lebih rendah dari jumlah investasi, yang berakibat pada kegairahan ekonomi dan inflasi. Gambar di samping Y=C+S menunjukkan hubungan antara C, I tingkat Pendapatan Nasional Deflationary (Y) dengan tingkat konsumsi gap (C) dan tingkat Investasi (I). C+I Pada tingkat pendapatan nasional sebesar 0Y (S=I), C perekonomian dalam keadaan Inflationary seimbang, tidak ada inflasi gap maupun deflasi. Pada tingkat pendapatan 0Y1 (S
I), instrumen pajak digunakan untuk mengurangi pengaruh deflasi dengan menerapkan pajak atas tabungan. 2.3. Reformasi Pajak Reformasi Pajak menjadi tema menarik pada saat ini, dengan makna yang luas dan terus berkembang. Williamson dalam Mas’oed (1994: 60) menyatakan bahwa reformasi perpajakan meliputi perluasan basis perpajakan, perbaikan administrasi perpajakan, mengurangi terjadinya penghindaran dan manipulasi pajak, serta mengatur pengenaan pada asset yang berada di luar negeri. Anggito Abimanyu (2003: 15) menyebutkan bahwa reformasi perpajakan adalah perubahan mendasar di segala aspek perpajakan yang memiliki 3 (tiga) tujuan utama, yaitu tingkat kepatuhan sukarela yang tinggi, kepercayaan terhadap administrasi perpajakan yang tinggi, dan produktivitas aparat perpajakan yang tinggi. Aviliani (2003: 27) berpendapat bahwa tujuan utama reformasi perpajakan adalah untuk menegakkan kemandirian ekonomi dalam membiayai pembangunan nasional dengan jalan lebih mengerahkan kemampuan sendiri. Secara bertahap, pajak diharapkan bisa mengurangi ketergantungan utang luar negeri. Dalam hal ini, reformasi perpajakan akan menjadikan sistem yang berlaku menjadi lebih sederhana, yang mencakup penyederhanaan jenis pajak, tarif pajak dan pembayaran pajak. Meliputi pula pembenahan aparatur perpajakan yang menyangkut prosedur, tata kerja, disiplin dan mental. Dengan reformasi perpajakan secara menyeluruh, diharapkan jumlah wajib pajak akan semakin luas serta beban pajak akan makin adil dan wajar, sehingga mendorong Wajib Pajak untuk membayar kewajibannya dan menghindarkan diri dari aparat pajak yang mengambil keuntungan untuk kepentingan pribadi.
4
Secara lebih lengkap, Jit B.S. Gill menyatakan, suatu sistem penerimaan negara yang mengurusi masalah pajak perlu direformasi dengan sedikitnya 4 (empat) alasan utama.7 Pertama, ketika hukum dan kebijakan pajak menciptakan potensi peningkatan penerimaan pajak, jumlah aktual pajak yang mengalir ke kas negara tergantung pada efisiensi dan efektivitas administrasi penerimaan negara. Kedua, kualitas dari administrasi penerimaan pajak mempengaruhi iklim investasi dan pengembangan sektor swasta. Ketiga, administrasi perpajakan secara rutin kerap muncul dalam daftar teratas organisasi dengan kasus korupsi tertinggi. Keempat, reformasi perpajakan diperlukan untuk memungkinkan sistem perpajakan mengikuti perkembangan terbaru dalam aktivitas bisnis dan pola penghindaran pajak yang semakin canggih. Hal ini telah diungkap secara sangat transparan oleh Direktur Jenderal Pajak, bahwa pemerintah memiliki rincian langkah jangka menengah untuk membangun sistem perpajakan yang lebih baik. Dalam berbagai kesempatan Dirjen Pajak telah mengemukakan bahwa sistem perpajakan membutuhkan penyempurnaan khususnya reformasi administrasi perpajakan. Secara garis besar, reformasi administrasi perpajakan ini diharapkan dapat memenuhi tiga tujuan utama: 1. Tercapainya tingkat kepatuhan sukarela yang tinggi; 2. Tercapainya tingkat kepercayaan terhadap administrasi perpajakan yang tinggi; 3. Tercapainya produktivitas aparat perpajakan yang tinggi.8 Untuk keberhasilan pencapaian tujuan di atas, DJP telah menyusun sejumlah strategi, antara lain: 1. Meningkatkan kepatuhan; 2. Menangkal ketidakpatuhan; 3. Meningkatkan citra; 4. Mengembangkan administrasi modern; 5. Meningkatkan produktivitas aparat.9 Upaya integral Direktorat Jenderal Pajak - yang oleh Menteri Keuangan disebut sebagai ujung tombak reformasi di jajaran Departemen Keuangan ini - dengan berbagai strateginya diharapkan dapat menghantarkan implementasi misi Direktorat Jenderal Pajak, yaitu menghimpun penerimaan dalam negeri dari sektor pajak yang mampu menunjang kemandirian pembiayaan pemerintah berdasarkan undang-undang perpajakan dengan tingkat efektivitas dan efisiensi yang tinggi. 3. REFORMASI PAJAK DI INDONESIA DAN HASIL-HASILNYA 3.1. Sejarah Reformasi Perpajakan Indonesia Reformasi perpajakan di Indonesia pertama kali diluncurkan pada tahun 1983, dengan perombakan sistem perpajakan paling mendasar, yaitu digantikannya sistem official assessment menjadi self assessment. Dalam sistem baru ini, wajib pajak diberikan kepercayaan untuk melaksanakan sendiri kewajiban pajaknya, mulai dari menghitung sendiri penghasilannya, menghitung sendiri pajak yang terutang, membayar sendiri pajak yang terutang, dan melaporkan sendiri pemenuhan kewajiban pajaknya. Abdul Asri Harahap (2004: 33) mengungkapkan bahwa embrio sistem ini sebenarnya sudah mulai diterapkan tahun 1967 melalui Undang-undang No. 8 Tahun 1967 jo. PP No. 11 Tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan Pajak atas Pajak Pendapatan, Pajak Perseroan dan Pajak Kekayaan, yang lebih dikenal dengan sistem Menghitung Pajak 7 8
9
Jit B.S. Gill, “The Nuts and Bolts of Revenue Administration Reform”, January 2003 Hadi Poernomo (2004), “Reformasi Administrasi Perpajakan” dalam Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep dan Implementasi, Kompas, Februari 2004. I Made Gde Erata (2004), “Modernisasi Perpajakan” Seminar Sehari Perubahan UU KUP, PPh dan PPN, Multi Utama Development Center, Juli 2004
5
Sendiri/Menghitung Pajak Orang (MPS/MPO). Akan tetapi pada saat itu, sistem ini gagal karena tidak didukung oleh kesiapan aparat perpajakan maupun masyarakat wajib pajak. Melalui Reformasi Perpajakan 1983, diluncurkanlah Undang-undang No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), UU No. 7/1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh), UU No. 8/1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM). Pada tahun 1985, diluncurkan pula UU No. 12/1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan UU No. 13/1985 tentang Bea Meterai. Pada tahun 1994, Pemerintah merilis Reformasi Perpajakan kedua untuk merespon berkembangnya perekonomian nasional dan pengaruh globalisasi dunia yang semakin kuat. Saat itu, Pemerintah dengan persetujuan DPR mengundangkan 4 (empat) UU, yaitu UU No. 9/1994 tentang Perubahan atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), UU No. 10/1994 tentang Perubahan atas UU No. 7/1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh), UU No. 11/1994 tentang Perubahan atas UU No. 8/1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM), UU No. 12/1994 tentang Perubahan atas UU No. 12/1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Reformasi Perpajakan tahun 1994 banyak mengadopsi perkembangan baru di bidang perpajakan, khususnya secara teknis perpajakan yang makin mengurangi kesenjangannya dengan praktik akuntansi. Namun, kritik banyak dikemukakan oleh para pakar, khususnya diberikannya banyak fasilitas perpajakan yang sebelumnya melalui Reformasi Perpajakan 1983 telah dihapuskan. Fuad Bawazir (2004: 192) menyatakan bahwa tujuan dan maksud diberikannya fasilitas perpajakan tersebut pada hakekatnya adalah untuk menunjang keberhasilan sektor-sektor kegiatan ekonomi yang memiliki prioritas tinggi dalam skala nasional, khususnya untuk menggalakkan ekspor. Reformasi Perpajakan tahun 1994 diikuti pula dengan pengundangan 4 (empat) UU baru di bidang perpajakan, yaitu UU No. 17/1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP), UU No. 18/1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), UU No. 19/1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP), dan UU No. 21/1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan (BPHTB). Dari sini bisa dilihat bahwa regulasi di bidang perpajakan makin meluas dan membutuhkan instrumen hukum yang lebih baik. Pada tahun 2000, kembali Pemerintah menyusun Reformasi Perpajakan, ditandai oleh 5 (lima) undang-undang baru, yaitu UU No. 16/2000 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), UU No. 17/2000 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 7/1983 tentang Pajak Penghasilan, UU No. 18/2000 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 8/1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, UU No. 19/2000 tentang Perubahan atas UU No. 19/1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP), dan UU No. 20/2000 tentang Perubahan atas UU No. 21/1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan (BPHTB). Mengiringi Reformasi Perpajakan tahun 2000, pada tahun 2002 Pemerintah juga meluncurkan UU No. 14/2002 tentang Pengadilan Pajak (PP) untuk menggantikan UU No. 17/1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP). Perubahan ini cukup kruisial karena merombak struktur badan peradilan pajak yang sebelumnya dikendalikan penuh oleh Direktorat Jenderal Pajak menjadi suatu badan peradilan independen yang tunduk pada struktur peradilan di bawah Mahkamah Agung.
6
3.2. Hasil Reformasi Perpajakan Reformasi Perpajakan di Indonesia sejak diluncurkan tahun 1983 dan diberlakukan pada tahun 1984 telah memberikan pengaruh positif bagi perekonomian nasional Indonesia. Kinerja penerimaan pajak terus bertambah dan meningkat dari tahun ke-tahun. Gambar 1. Perkembangan Penerimaan Pajak dan Tax Ratio Periode 1969/1970 s.d. 2004 Rp milyar
persen
140.000
16
120.000
14 12
100.000
10 80.000 8 60.000 6 40.000
4
Pajak Langsung
Pajak Tak Langsung
2004
2003
2002
2001
2000
1999/2000
1998/1999
1997/1998
1996/1997
1995/1996
1994/1995
1993/1994
1992/1993
1991/1992
1990/1991
1989/1990
1988/1989
1987/1988
1986/1987
1985/1986
1984/1985
1983/1984
1982/1983
1981/1982
1980/1981
1979/1980
1978/1979
1977/1978
1976/1977
1975/1976
1974/1975
1973/1974
1972/1973
0 1971/1972
0 1970/1971
2
1969/1970
20.000
Tax Ratio
Sumber: Badan Analisa Fiskal, Departemen Keuangan, 2004 Keterangan: Tahun 2000 hanya 9 bulan (April – Desember) akibat perubahan periode fiskal April – Maret ke Januari – Desember.
Dari gambar 1 terdapat suatu kesimpulan menarik, yaitu sejak 1996/1997, dominasi penerimaan pajak dari jenis pajak tidak langsung kini telah diambil-alih oleh jenis pajak langsung. Hal ini menunjukkan suatu sisi positif dari reformasi sistem perpajakan nasional, karena pajak langsung yang dikenakan atas wajib pajak yang jelas akan lebih mencerminkan rasa keadilan. Diluar ukuran kinerja perpajakan di atas, pemerintah tampaknya perlu merespon pertanyaan mengenai pemanfaatan dana yang diperoleh dari pajak. Ternyata, pajak yang tinggi dari rakyat itu tidak dikembalikan ke rakyat dalam bentuk investasi melalui anggaran pembangunan. Kenyataannya, anggaran pembangunan terus menurun dari level 8 persen dari APBN pada 1993 menjadi hanya 3 persen pada 2003. Yang ada malah konsumsi pemerintah yang terus membesar. Pada 1999, konsumsi pemerintah mencapai 71,1 persen dari PDB dan terus meningkat sampai ke level 87 persen pada 2003. Artinya pajak yang besar yang ditarik dari masyarakat itu tidak dikembalikan lagi ke rakyat lewat anggaran pembangunan tetapi justru untuk belanja pemerintah. Di sisi lain, meskipun terdapat peningkatan yang signifikan secara nominal penerimaan pajak, namun pengukuran dalam angka nominal tidak selalu menjadi indikasi bahwa kinerja penerimaan pajak Indonesia telah optimal. Sunarsip dalam artikelnya “Mega Fakta atau Mega Ilusi” di Harian Republika 8 September 2004 menyatakan bahwa pengukuran berdasarkan angka nominal cenderung bias karena tidak mempertimbangkan aspek inflasi serta pajak nominal yang sesungguhnya dibantu oleh besarnya PDB nominal sebagai sesuatu yang given, yang setiap tahunnya memang mengalami peningkatan. Demikian pula Iman Sugema (Bisnis Indonesia, 23 Agustus 2004) mempertanyakan ukuran keberhasilan penerimaan pajak bila hanya berdasarkan
7
angka penerimaan pajak. Pasalnya, menurut dia, hal itu tak diimbangi pertumbuhan tax ratio yang relatif konstan pada kisaran 13% dari PDB. Oleh karena itu, terdapat berbagai pandangan dari para pengamat ekonomi tentang penilaian terhadap kinerja penerimaan pajak. Tax Ratio sering dijadikan sebagai salah satu ukuran mengenai kinerja penerimaan pajak di banyak negara. Dari gambar 1 tampak bahwa secara bertahap terjadi peningkatan rasio pajak terhadap PDB. Namun perkembangannya kini menjadi relatif stagnan. Di sisi lain, bila dibandingkan dengan negara tetangga di ASEAN, tax ratio Indonesia hanya lebih baik dibandingkan dengan Kamboja dan Philipina.10 Menurut data dari ADB, tax ratio Indonesia pada tahun 2002 sebesar 13,1%, sementara Malaysia, Thailand dan Vietnam11 memiliki tax ratio sebesar masing-masing 18,5%, 14,5% dan 15,3%. Sementara itu, muncul kritik terhadap pemakaian tax ratio sebagai ukuran kinerja perpajakan. Iman Sugema (Bisnis Indonesia, 23 Agustus 2004), misalnya, telah mempertanyakan ukuran keberhasilan ini bila hanya berdasarkan angka penerimaan pajak. Pasalnya, menurut dia, hal itu tak diimbangi pertumbuhan tax ratio yang relatif konstan pada kisaran 13% dari PDB. Iman Sugema (Tempo, 7 September 2004) juga mempertanyakan penerimaan pajak yang tinggi tetapi berasosiasi terhadap pertumbuhan ekonomi yang rendah. Ini ditunjukkan oleh fakta bahwa selama masa Orde Baru, tax ratio sebesar 7,4 persen namun pertumbuhan ekonomi mencapai 6,1 persen. Saat pemerintahan Abdurrahman Wahid rasio pajak mencapai 10,7 persen dari PDB dan pertumbuhan ekonomi menurun menjadi menjadi 4,8 persen. Pada saat pemerintahan Megawati, ketika rasio pajak mencapai 13,5 persen, pertumbuhan ekonomi justru terus turun mencapai 4,2 persen. Tidak validnya tax ratio sebagai ukuran kinerja penerimaan pajak kemudian memunculkan usulan untuk melihat kinerja penerimaan pajak melalui beberapa indikator lain, antara lain tax coverage ratio dan tax buoyancy ratio. Dari sudut pandang tax coverage ratio, kinerja penerimaan pajak Indonesia juga tidak terlalu bagus walaupun ada prestasi peningkatan yang baik. Hal ini bisa terlihat dari Tabel 1. Tabel 1. Perkembangan Tax Coverage Ratio Tahun 1993 / 1994 1994 / 1995 1995 / 1996 1996 / 1997 1997 / 1998 1998 / 1999 1999 / 2000 2000 2001 2002
Penerimaan 30.470,30 37.258,10 41.878,10 49.826,10 62.705,80 87.712,30 97.408,80 97.484,80 157.195,90 180.099,00
Potensi 58.426,40 69.272,70 83.357,50 98.757,50 117.684,20 173.595,20 234.155,80 145.935,30 206.564,90 235.731,90
Coverage Ratio 52,2 53,8 50,2 50,5 53,3 50,5 41,6 66,8 76,1 76,4
Sumber : Ditjen Pajak, 2003
Tax coverage ratio yang belum optimal ini menimbulkan banyak tafsiran. Sebagian besar pengamat mengindikasikan bahwa sistem perpajakan kita belum mampu meng-cover objek pajak dan subyek pajak secara optimal, dan di sisi lain kinerja aparat perpajakan yang juga belum optimal. Praktik-praktik penyimpangan wewenang pihak fiskus juga ditunjuk sebagai penyebab utama, sehingga secara ekstrem muncul 10 11
Asian Development Bank (ADB), Key Indicators of Developing Asian and Pacific Countries. Data tahun 1999
8
pandangan bahwa seharusnya penerimaan pajak kita tidak hanya sebesar yang telah dilaporkan, melainkan sekian kali dari yang dilaporkan oleh Pemerintah. Prof. J.S. Uppal (2003: 53) menyatakan12: “It is estimated that the domestic tax revenue to GDP ratio in Indonesia would be more than triple if all taxes were fully collected according to legal provisions.” Ukuran lain yang juga dijadikan indikator penilaian kinerja penerimaan pajak kita adalah tax buoyancy, yang merupakan perbandingan persentase perubahan penerimaan pajak terhadap persentase perubahan pendapatan nasional. Dengan kata lain, buoyancy adalah elastisitas penerimaan perpajakan terhadap PDB yang menunjukkan berapa persen perubahan penerimaan pajak apabila PDB berubah 1 persen. Perbandingan antar negara menunjukkan bahwa struktur pajak Indonesia memiliki elastisitas penerimaan pajak (atau tax buoyancy yang lebih rendah) dibandingkan beberapa negara lainnya. Tabel 2. Tax Buoyancy pada Beberapa Negara, 1976 – 1999 Negara India Korea Maroko Honduras Pakistan Malaysia Indonesia Semua Jenis Pajak Pajak Non-Migas
Tax Buoyancy 2,4 2,2 2,2 2,2 2,1 1,9 1,8 1,0
Sumber: World Bank: Indonesia Policies, Pospects for Economic Growth, 1994 hal. 66 dan Raja Chelilah “Trends in Taxation in Developing Countries” dalam Richard M. Bird, Readings on Taxation in Developing Countries, John Hopkins University Press, 1975, perhitungan dari Indikator Ekonomi, berbagai sumber.
Dalam banyak hal, kinerja penerimaan pajak Indonesia memang masih belum memadai. Juga apabila ukuran kinerja operasional yang menjadi rujukannya. Direktur Jenderal Pajak menyatakan bahwa pertambahan jumlah wajib pajak dalam periode 2001 – 2003 841.573 merupakan jumlah yang lebih banyak daripada pertambahan jumlah wajib pajak dalam periode 1970 – 2000 yang hanya tercatat bertambah sebanyak 775.170. Jumlah ini masih sangat jauh dari jumlah potensi yang ada. Sesungguhnya angka pertambahan jumlah Wajib Pajak masih kurang memadai dibandingkan potensi yang tersedia. Bila jumlah karyawan baik swasta maupun pegawai negeri di seluruh Indonesia (Sakernas BPS 2003) sebanyak 23,829 Juta maka jumlah Wajib Pajak (berdasarkan data Ditjen Pajak) sebanyak 2,3 juta adalah sangat tidak memadai. Belum lagi potensi jumlah Wajib Pajak orang pribadi dari kelompok pengusaha/wiraswastawan. Ini secara jelas menunjukkan kegagalan Ditjen Pajak dalam meningkatkan jumlah Wajib Pajak orang pribadi. Tabel 3. Perkembangan Jumlah Wajib Pajak Tahun Bendaharawan 1995 84.113 12
Badan 458.732
OP 1.086.488
PPh 21 571.071
PPN 325.354
Jumlah 2.525.758
J.S. Uppal, Tax Reform in Indonesia, Gajah Mada University Press, 2003
9
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
91.475 97.939 105.689 117.194 129.756 147.131 170.519 195.556 198.430
499.361 543.433 582.018 650.691 726.655 804.959 888.949 974.004 991.641
1.163.974 1.232.457 1.274.719 1.316.259 1.381.194 1.697.180 2.028.026 2.330.802 2.380.771
622.409 675.622 724.184 806.480 899.299 1.001.298 1.114.467 1.232.626 1.251.079
351.801 374.793 391.963 416.867 451.797 489.232 526.854 559.247 563.570
2.729.020 2.924.244 3.078.573 3.307.491 3.588.701 4.139.800 4.728.815 5.292.235 5.385.491
Sumber : Direktorat Informasi Perpajakan Ditjen Pajak
Angka pertambahan yang dilaporkan Dirjen Pajak pada tahun 2001 – 2004 juga perlu dikritisi karena lebih banyak bertambah melalui peraturan keharusan memiliki NPWP bagi karyawan dengan penghasilan di atas PTKP walau hanya bekerja pada satu pemberi kerja, juga keharusan ber-NPWP bagi pemilik modal/pemegang saham, direksi, komisaris dan pengurus badan usaha tanpa kecuali. Pertambahan jumlah wajib pajak adalah salah satu agenda utama peningkatan kinerja penerimaan pajak. Salah satu program Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka meningkatkan jumlah Wajib Pajak adalah dengan menjalankan langkah-langkah ekstensifikasi. Langkah ini akan secara signifikan meningkatkan angka penerimaan pajak. Kinerja operasional lainnya yang masih sangat jauh dari ideal adalah kegagalan Ditjen Pajak dalam mengimplementasikan ketentuan hukum secara baik (law enforcement). Pemerintah lebih banyak bersikap pasif dalam menghadapi rendahnya kepatuhan pajak, sembari berharap masyarakat memberikan kepatuhan sukarela (voluntary compliance). Tabel 4. Tingkat Kepatuhan Penyampaian SPT Tahunan Tahun Pajak 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002*)
Badan 492.442 536.013 573.456 640.910 665.304 731.113 796.099
SPT Dikirim OP 1.158.280 1.226.509 1.267.841 1.308.412 1.332.365 1.539.757 1.787.861
Jumlah 1.650.722 1.762.522 1.841.297 1.949.322 1.997.669 2.270.870 2.583.960
Badan 215.014 221.528 219.543 235.752 263.508 277.053 329.186
SPT Masuk % SPT OP Jumlah Masuk 522.883 737.897 44,70 510.322 731.850 41,52 475.473 695.016 37,75 454.260 690.012 35,40 437.888 701.396 35,11 538.932 815.985 35,93 739.280 1.068.466 41,35
Sumber : Direktorat Jenderal Pajak; Keterangan: *) prediksi
Tabel 4. menunjukkan bahwa kinerja operasional Ditjen Pajak dalam mendorong kepatuhan wajib pajak masih sangat rendah, kemungkinan adalah pengabaian terhadap konsekuensi sistem self-assessment yang harus dibarengi oleh fungsi edukatif penyuluhan dari pihak fiskus. Perlu kita simak dari Loekman Soetrisno berikut: “...rakyat akan membayar pajak kalau mutu dan pelayanan pemerintah itu baik. Kalau tidak, mereka akan menolak membayar pajak. Pelayanan di sini kami artikan
10
sebagai pelayanan dari pemerintah pada umumnya.”13 Atau juga perkataan Jamalunddin Ancok: “...kepatuhan masyarakat untuk membayar pajak dapat ditingkatkan apabila seluruh aparat pemerintah meningkatkan dan memperbaiki mutu pelayanan…..penting pula diketahui keinginan para wajib pajak mengenai penggunaan uang pajak yang mereka bayarkan. Secara teoritis semakin sesuai antara keinginan pembayar pajak dengan pemanfaatan uang pajak, maka akan semakin senang rakyat membayar pajak.”14 Dari sudut pandang penegakan hukum, masih banyak para pelanggar hukum di bidang perpajakan yang tidak mendapatkan sanksi yang memadai sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Kondisi ini mendorong meluasnya kolusi di bidang perpajakan, yang di satu sisi mengurangi penerimaan pajak, dan di sisi lain menciptakan kondisi bahwa wajib pajak memiliki posisi tawar-menawar yang lebih tinggi daripada aparat perpajakan. Tabel 5. menunjukkan masih banyaknya tunggakan pajak yang belum dilunasi oleh para wajib pajak. Sementara tindakan hukum yang dilaksanakan masih sangat kurang.
Tabel 5. Data Tunggakan Pajak No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
13
14
Kanwil Kanwil I Kanwil II Kanwil III Kanwil IV Kanwil V Kanwil VI Kanwil VII Kanwil VIII Kanwil IX Kanwil X Kanwil XI Kanwil XII Kanwil XIII Kanwil XIV Kanwil XV Kanwil XVI Kanwil XVII Kanwil XVIII Kanwil XIX JUMLAH
Tunggakan Akhir Tahun (Dalam Ribuan Rp.) 2002 2003 539.249.354 607.314.448 253.433.500 470.104.154 253.743.350 525.843.900 2.037.788.749 2.163.509.201 1.462.949.171 2.251.303.190 1.136.370.170 1.347.970.965 6.283.068.918 11.603.592.124 533.707.489 682.194.975 198.406.865 450.898.522 434.922.299 460.928.046 539.772.870 617.459.716 228.901.824 290.934.688 131.685.967 138.141.522 224.901.824 338.511.733 156.495.883 238.760.086 109.361.611 155.791.627 152.559.966 172.632.750 68.421.273 73.709.456 3.836.672.606 4.000.205.128 18.582.413.689 26.589.806.231
Loekman Soetrisno, “Dari Mau Membayar Pajak ke Benar-Benar Membayar Pajak.” Makalah pembahasan dalam Seminar Perpajakan di Jakarta, 9 Oktober 1987. Jamaluddin Ancok, “Mengapa Orang Kurang Antusias Membayar Pajak”, makalah dalam Seminar Perpajakan di Padang, 8 Februari 1988
11
Sumber: Direktorat Pemeriksaan, Penyidikan dan Penagihan Pajak Ditjen Pajak
3.3. Masalah Pengampunan Pajak Salah satu hal yang mengemuka dalam masalah perpajakan kita saat ini adalah tentang rencana Pemerintah memberlakukan Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak. Hal ini tercermin dari berbagai pernyataan Pemerintah melalui para pejabatnya, baik di tingkat menteri hingga eselon I Departemen. Pemerintah bahkan telah mengirimkan sebuah tim beranggotakan tujuh ahli untuk mempelajari masalah pengampunan pajak di Afrika Selatan.15 Sayangnya, pada saat ini gaung tentang masalah pengampunan pajak ini tidak lagi keras terdengar. Jika mau belajar dari Afrika Selatan, sesungguhnya terdapat pelajaran penting yang juga layak untuk diketengahkan. Afrika Selatan tidak hanya sukses dalam melaksanakan pengampunan pajak, tetapi juga piawai dalam mendorong sistem perpajakan yang lebih baik dengan penciptaan kondisi perpajakan yang ideal. Pemerintah Afrika Selatan menggunakan strategi yang cukup cerdas dalam menyukseskan program tax amnesty, yaitu strategi "Pull and Push". Pull, dengan menarik atau memberikan insentif agar wajib pajak tertarik ikut serta dalam program ini. Misalnya dengan cara penghapusan denda dan bunga pajak terutang atau pembayaran tebusan dengan tarif yang rendah. Push, dengan memberikan tekanan atau rasa tidak nyaman seandainya wajib pajak tidak mau berpartisipasi. Misalnya dengan meningkatkan kuantitas dan kualitas pemeriksaan pajak, strategi pemilihan target penyidikan yang tepat dan transparansi hasil penyidikan serta sanksi pidana pajak sementara sebelum program amnesti diumumkan. Direktorat Jenderal Pajak nampaknya ingin meniru strategi otoritas perpajakan Afrika Selatan ini, dengan meluncurkan program SIN (Single Identification Number). DJP berpandangan bahwa Program Nomor Identitas Tunggal ini dapat menjadi solusi utama untuk menjaring potensi penerimaan pajak yang lebih baik. SIN adalah salah satu aspek krusial dalam pengembangan teknologi informasi di bidang perpajakan. Ketiadaan SIN yang diperparah oleh aturan diskriminatif dalam berbagai aturan berupa tidak adanya akses pajak ke data deposito, akses ke data lalu lintas devisa, akses ke data kredit macet dan akses ke data kartu kredit, disebut oleh Dirjen Pajak menyebabkan kerugian kehilangan pajak mencapai Rp 676,5 triliun. Banyak negara telah memetik manfaat besar dengan pemberlakuan SIN. Rusia yang telah membagikan Nomor Identitas Pembayar Pajak bagi 93 juta Wajib Pajak individual dan badan, kini memperoleh kontrol besar terhadap pemantauan kewajiban pajak sehubungan dengan berbagai transaksi keuangan dengan pihak ketiga yang dapat dikenai pajak. Meskipun tarif pajak diturunkan secara signifikan kurang dari sepertiga dari tarif pajak lama, penerimaan pajak Rusia justru meningkat 79,7%. APBN Rusia semakin sehat. Dalam praktiknya, tidak mudah bagi Direktorat Jenderal Pajak untuk mengupayakan direalisasikannya SIN. Namun demikian, diharapkan Direktorat Jenderal Pajak dapat fokus dengan upaya ini. Hal ini perlu ditegaskan karena saat ini Direktorat Jenderal Pajak telah mulai berbelok arah dengan membuat kemungkinan melakukan shortcut yang justru bisa membuat iklim perpajakan kita mengalami gejolak. Dirjen Pajak berulangkali mengetengahkan keinginan untuk melakukan pemajakan atas lalulintas devisa dan transaksi valuta asing (Tempo, 28 Juni 2005) dengan menyebutkan potensi pajak yang luar biasa dengan menerapkan tarif pajak berlaku. Hal ini merupakan langkah mundur yang berbahaya karena substansi pemajakan beralih dari penghasilan menjadi transaksi secara keseluruhan. 15
Investor Daily Indonesia, 27 December 2004
12
3.4. Masa Depan Reformasi Perpajakan Indonesia Pada dasarnya, Reformasi Perpajakan Indonesia memiliki nilai istimewa dibandingkan negara lain. Sebelum memuji “As already mentioned, Indonesian experience shows that a comprehensive reform can indeed be implemented quickly and quite successfully in a developing country.” Richard M. Bird16 menyatakan reformasi perpajakan Indonesia sebagai langkah sistematis yang disusun melalui perencanaan yang baik. Meski demikian, dari berbagai evaluasi terhadap kinerja pajak, baik secara nominal penerimaan, perbandingannya terhadap PDB, dan juga aspek operasionalnya, ternyata masih banyak indikasi yang menyatakan bahwa reformasi perpajakan Indonesia masih harus dilanjutkan melalui pendekatan mondial. Jit B.S. Gill17 menyebutkan beberapa indikator bahwa suatu sistem penerimaan pajak harus direformasi. Evaluasi yang dibahas dalam bagian terdahulu menjadi beberapa poin yang juga menunjukkan bahwa sistem perpajakan nasional kita harus direformasi terusmenerus. Beberapa kecenderungan yang berkembang saat ini dari Direktorat Jenderal Pajak adalah penerapan sistem modern, peningkatan peranan sistem informasi, dan pembenahan sumber daya manusia. Meski demikian, salah satu aspek mendasar yang perlu untuk diperhatikan adalah perlunya langkah-langkah strategis dan taktis untuk mendorong kepatuhan wajib pajak secara sistemik, yaitu menciptakan kondisi yang baik agar wajib pajak mematuhi ketentuan perpajakan, perluasan fungsi edukasi kepada masyarakat, dan keseriusan pemerintah dalam mengurangi ongkos kepatuhan (compliance costs) dari para wajib pajak. Secara umum, kepatuhan wajib pajak memang akan makin meningkat apabila ketentuan perpajakan lebih transparan, memberikan kepastian hukum, dan adanya prosedur perpajakan yang kian sederhana dan dipermudah.18 Implementasi dari kriteria-kriteria ini akan sangat tergantung pada kemauan baik (political will) dari para pengambil keputusan di bidang perpajakan dan ekonomi di negeri ini. Keberadaan Direktorat Jenderal Pajak sebagai suatu otoritas perpajakan juga tidak perlu diperdebatkan aspek kelembagaannya. Pernah muncul rumor tentang proposal agar lembaga pajak menjadi satu kementerian/badan langsung di bawah Presiden. Pemerintah tentu perlu bijak menyikapi hal ini. Penempatan lembaga pajak jelas memiliki implikasi penting bagi kemampuannya mengerahkan dukungan politis untuk mendorong perubahan legislatif yang dibutuhkan, mengamankan reformasi perpajakan dan mengambil tindakan penegakan hukum yang diperlukan dalam menghadapi sejumlah kendala kepentingan tertentu. Jit B.S. Gill menyatakan juga bahwa hal ini juga akan mempengaruhi otonomi penggunaan sumberdaya keuangan, sumberdaya manusia dan manajemen operasional lembaga tersebut. Tentang ketepatan lembaga pajak, apakah di bawah Departemen Keuangan atau mandiri sebagai badan/departemen terpisah yang langsung di bawah Presiden, sesungguhnya tidak ada referensi yang baku. Berbagai negara juga memiliki pengalaman berbeda. Rusia, Armenia dan Kazakhstan memiliki suatu kementerian yang bertanggung jawab dalam administrasi perpajakan, memiliki status sebagai 16
Richard M. Bird, “Managing the Reform Process”, Draft paper for World Bank course on Practical Issues of Tax Policy in Developing Countries, April 28-May 1, 2003 17 Jit B. S. Gill, “The Nuts and Bolts of Revenue Administration Reform”, January 2003 18 Arindam Das-Gupta, “What Do We Know About the Compliance Costs of The Tax System” Draft paper for World Bank course on Practical Issues of Tax Policy in Developing Countries, April 28-May 1, 2003
13
anggota kabinet dan otonomi sebagaimana layaknya kementerian lainnya. Hungaria, Bulgaria, Jamaika dan Latvia masih menempatkan lembaga pajak di bawah Menteri Keuangan. Sedangkan Peru, Guatemala dan Guyana menciptakan suatu badan perpajakan independen, dengan status lebih rendah dari kementerian suatu kabinet. Badan perpajakan independen atau kementerian pajak memang sangat ideal karena memiliki kemandirian dalam bidang keuangan, sumberdaya manusia, manajemen operasi dan akuntabilitasnya dapat dipertanggungjawabkan secara jelas. Persoalan utamanya sebenarnya bukanlah dimana letak lembaga pajak tersebut, namun seberapa jauh dan baiknya kinerja lembaga pajak tersebut. Data tax ratio GFS (1991 – 1997) dari IMF menunjukkan Rusia yang memiliki kementerian perpajakan hanya ada di peringkat 39 dengan tax ratio sebesar 10,1%, tidak lebih baik daripada Indonesia yang berada di peringkat 24 dengan tax ratio sebesar 15,5%. Sedangkan Guatemala yang memiliki badan perpajakan independen justru terpuruk di peringkat 45 dengan tax ratio sebesar 7,8%. Dengan demikian, pemerintah perlu mengkaji secara mendalam bila berkeinginan membentuk kementerian perpajakan atau badan perpajakan independen yang langsung bertanggungjawab kepada Presiden. Sebenarnya, hal terpenting bagi pemerintah adalah meneruskan dan menyempurnakan reformasi perpajakan, memperbaiki sistem dan prosedur kerja, dan mengurangi secara progresif bocornya penerimaan pajak dari sektor perpajakan. 4. KESIMPULAN DAN SARAN Sebagaimana layaknya negara berkembang, nampaknya problematika pembiayaan negara dan pembangunan di Indonesia juga senantiasa dihadapkan pada keterbatasan sumber dana yang ada. Indonesia yang disebut sebagai salah satu negara yang sukses melakukan reformasi perpajakan, juga dihadapkan pada persoalan pengembangan potensi perpajakan yang menunjukkan menurunnya tingkat pertumbuhan penerimaan pajak. Untuk itu, terdapat kebutuhan besar bagi Indonesia untuk melakukan reformasi pajak lanjutan. Kinerja penerimaan pajak Indonesia yang dari ukuran angka cukup memuaskan, ternyata tidak didukung oleh pembangunan sistem mondial yang kuat. Oleh karena itu, reformasi perpajakan selanjutnya diharapkan dapat dilengkapi dengan perombakan sistem yang memiliki pijakan hukum yang lebih konsisten. Pembenahan aspek sumber daya manusia harus menempati urutan teratas dalam pembenahan internal Direktorat Jenderal Pajak, terutama dalam masalah kualitas dan moralitas. Persoalan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) juga harus diperhatikan dalam pembenahan Direktorat Jenderal Pajak. Sudah menjadi rahasia umum bahwa DJP adalah unit organisasi yang berada dalam rangking atas unit organisasi pemerintahan yang rentan akan korupsi. Mengutip indikasi yang disampaikan oleh Jit B.S. Gill, sebenarnya kondisi ini juga terjadi di berbagai negara. Meski demikian, tetap saja fakta tersebut tidak boleh menjadi pembenaran, mengingat rangking Indonesia di bidang korupsi sangat memprihatinkan. Untuk menjalankan agenda pemberantasan KKN di Direktorat Jenderal Pajak, pemerintah harus bekerja ekstra keras dan tidak hanya berlindung pada angka penegakan disiplin yang mungkin menyesatkan. Angka penegakan disiplin yang ditunjukkan Direktorat Jenderal Pajak belum cukup memadai dibandingkan keluhan masyarakat yang terus mengalir mengenai pelayanan kurang memuaskan dan biaya klaim hak pajak masyarakat Wajib Pajak yang masih tinggi. Juga mengenai indikasi
14
korupsi yang dilakukan oknum Direktorat Jenderal Pajak sehingga kewajiban pajak oknum wajib pajak dapat direkayasa dengan jalan tertentu. Untuk itu, dibutuhkan suatu upaya luar biasa. Namun kunci dari seluruh persoalan ini adalah pembenahan aspek sumber daya manusia secara integral, dimulai dari penciptaan aparat dan lembaga pajak yang bersih dan berwibawa dan didukung oleh kesadaran masyarakat wajib pajak yang semakin baik. Berkembangnya kesadaran membayar pajak dan pengelolaan penerimaan pajak pada sektor yang mendukung pembangunan akan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat yang pada akhirnya dapat mendorong iklim investasi yang lebih baik. Dengan demikian, pada akhirnya sistem perpajakan dapat memiliki daya dorong bagi pembangunan. DAFTAR PUSTAKA ________, BPS, berbagai terbitan ________, Harian Bisnis Indonesia, 23 Agustus 2004. ________, Harian Tempo, 7 September 2004. Ancok, Jamaluddin., “Mengapa Orang Kurang Antusias Membayar Pajak”, Makalah Seminar Perpajakan di Padang, 8 Februari 1988. Bird, Richard M., “Managing the Reform Process”, Draft paper for World Bank course on Practical Issues of Tax Policy in Developing Countries, April 28-May 1, 2003. Burton, Richard., Wirawan B. Ilyas, ”Hukum Pajak”, Penerbit Salemba Empat, 2004. Das-Gupta, Arindam., “What Do We Know About the Compliance Costs of The Tax System” Draft paper for World Bank course on Practical Issues of Tax Policy in Developing Countries, April 28-May 1, 2003. Erata, I Made Gde., “Modernisasi Perpajakan” Makalah Seminar Sehari Perubahan UU KUP, PPh dan PPN, Multi Utama Development Center, Juli 2004. Gill, Jit B.S., “The Nuts and Bolts of Revenue Administration Reform”, January 2003. Harahap, Abdul Asri., “Paradigma Baru Perpajakan Indonesia: Perspektif Ekonomi Politik”, Integrita Dinamika Press, 2004. Munawir, ”Perpajakan”, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1992. Poernomo, Hadi., “Reformasi Administrasi Perpajakan” dalam Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep dan Implementasi, Penerbit Kompas, Februari 2004. Soetrisno, Loekman., “Dari Mau Membayar Pajak ke Benar-Benar Membayar Pajak.” Makalah Seminar Perpajakan di Jakarta, 9 Oktober 1987. Sumitro, Rochmat., “Asas dan Dasar Perpajakan”, Bandung: Eresco, 1990. Sunarsip, “Mega Fakta atau Mega Ilusi”, Harian Republika, 8 September 2004. Uppal, J.S., “Tax Reform in Indonesia”, Gajah Mada University Press, 2003.
15