Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2 Juli-Desember 2015
PERBANDINGAN SISTEM PERPAJAKAN DI INDONESIA PADA MASA SEBELUM DAN SESUDAH REFORMASI PERPAJAKAN Kartika Kusuma Yanti Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Email:
[email protected] Djoko Wahyu Winarno Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract In Indonesia the term tax initially manifested in the form of tribute from the individual or group of people as a sign of respect and submission to the king or ruler. Taxation systematically and permanently, starting with the taxation of land that existed since the colonial era. During the New Order government began to look at tax sector as an alternative source of revenue that is necessary optimally. One of the government’s efforts to increase state revenue from the tax sector is to do a “tax reform”, ie the reform of the Legislation of Taxation and tax administration system. Finally, in 1983 came the National Taxation System Update hereinafter known PSPN. After the tax reform, tax collection system that relies on of tax authorities in the process of tax administration turned into a self-assessment which is a system in which society as a subject of an active role in calculating the tax, pay, and self-report the amount of the tax debt. Keywords: Tax, Tax Reform, Taxation System. Abstrak Di Indonesia istilah pajak awalnya diwujudkan dalam bentuk upeti dari perseorangan ataupun sekelompok orang sebagai tanda penghormatan dan ketundukan kepada raja atau penguasa. Pengenaan pajak secara sistematis dan permanen, dimulai dengan pengenaan pajak terhadap tanah yang ada sejak jaman kolonial. Pada masa Orde Baru pemerintah mulai melihat sektor pajak sebagai alternatif sumber penerimaan negara yang perlu diupayakan secara optimal. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak adalah dengan melakukan “tax reform”, yaitu dengan melakukan reformasi terhadap Peraturan Perundang-undangan Perpajakan serta sistem administrasi perpajakan. Akhirnya, pada tahun 1983 muncullah Pembaruan Sistem Perpajakan Nasional yang selanjutnya dikenal PSPN. Setelah dilakukan reformasi perpajakan, sistem pemungutan pajak yang lebih mengandalkan aparat pajak dalam proses administrasi pajak berubah menjadi self assessment yang merupakan sistem dimana masyarakat sebagai subjek pajak berperan aktif dalam menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya utang pajaknya. Kata Kunci: Pajak, Reformasi Perpajakan, Sistem Perpajakan.
A. Pendahuluan Pajak merupakan iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat 90
prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum yang berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan (Santoso
Kartika Kusuma Yanti. Perbandingan Sistem Perpajakan di Indonesia pada Masa Sebelum ...
Brotodihardjo, 2008:2). Dalam sejarah perpajakan, pajak ditarik tidak hanya untuk kepentingan ekonomi suatu negara, dalam arti sebagai sumber pendapatan untuk membiayai proses penyelenggaraan yang berkenaan dengan pemerintahan, namun juga meliputi tujuan lain seperti alat pengesahan kekuasaan politik (Soemarsaid Moertono, 1985:59-62), sarana pemerintah untuk meningkatkan wujud kepatuhan dan pelaksanaan hidup beragama, dan bahkan kekuatan militer (Onghokman, 1985:74). Di Indonesia istilah pajak awalnya diwujudkan dalam bentuk upeti dari perseorangan ataupun sekelompok orang sebagai tanda penghormatan dan ketundukan kepada raja atau penguasa. Dalam wilayahwilayah agraris kerajaan di Indoonesia, pajak yang berupa penyerahan langsung sebagian hasil bumi merupakan bentuk yang sering dilakukan disamping pajak tanah. Sedangkan bagi kerajaan-kerajaan maritim, diberlakukan pemajakan tak langsung terhadap barangbarang perdagangan. Bukti diberlakukannya pajak setidaknya telah dapat diketahui sejak abad XIV Masehi, dengan diketemukannya prasasti yang menyebut suatu tempat bernama Adan-Adan, yang ditetapkan sebagai perdikan atau daerah bebas pajak (Onghokman, 1985:75). Pengenaan pajak secara sistematis dan permanen, dimulai dengan pengenaan pajak terhadap tanah. Pengenaan pajak terhadap tanah atau sesuatu yang berhubungan dengan tanah sudah ada sejak jaman kolonial. Seperti “Contingenten” dan “Verplichte Leverantieen” yang lebih dikenal dengan Tanam Paksa, yang seperti diketahui menimbulkan perang Diponegoro pada tahun 1825-1830. Kemudian tanah tersebut disebut “Landrent” yang artinya “Sewa Tanah” (Rochmat Soemitro, 1990:3). Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, pajak tampak sebagai suatu eksploitasi kolonial atau setidak-tidaknya diabdikan
bagi kepentingan colonial, maka tidaklah mengherankan jika pajak masa kolonial sering diasosiasikan dengan penderitaan ekonomis maupun politis, sehingga terjadi trauma dikalangan masyarakat (Muhammad Bakhrun Efendi, 2006:3). Peraturan Perundangundangan perpajakan yang dibuat pada jaman pemerintahan penjajahan Belanda adalah (S.Munawir, 1985:67): a) Aturan Bea Materai tahun 1921 b) Ordonansi Pajak Perseroan tahun 1925 c) Ordonansi Pajak Kekayaan tahun 1932 d) Ordonansi Pajak Pendapatan tahun 1944 e) Ordonansi Pajak Rumah Tangga tahun 1908 f) Ordonansi Verponding 1923 dan 1928 g) Ordonansi Pajak Jalan 1945 Pada jaman penjajahan Jepang namanya diganti dengan “Pajak Tanah”. Setelah Indonesia merdeka beberapa perubahan, penambahan, dan penyesuaian terhadap Undang-Undang Perpajakan Kolonial telah dilakukan agar sesuai dengan keadaan rakyat. Undang-Undang yang dimaksud adalah: Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1953 yang terkenal dengan Undang-Undang Pajak Penjualan 1951 dan yang telah disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1968,Udang-Undang Nomor 10 Tahun 1970 tentang Pemungutan Pajak atas Bunga, Deviden, dan Royalty, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri (S.Munawir, 1985:68). Perubahan-perubahan dimasa lalu itu lebih bersifat parsial. Pada masa Orde Baru pemerintah mulai melihat sektor pajak sebagai alternatif sumber penerimaan negara yang perlu diupayakan secara optimal. Keinginan pemerintah untuk meningkatkan penerimaan keuangan negara dari sektor pajak, dihadapkan pada per m asal a han Unda ng-Undang Perpajakan yang kurang kondusif dan terlebih lagi merupakan seperangkat Undang-Undang 91
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2 Juli-Desember 2015
Perpajakan warisan kolonial. Peraturan pajak yang sulit dimengerti oleh wajib pajak dan banyaknya manipulasi pajak, menimbulkan pemikiran akan perlunya penyermpurnaan Undang-Undang Perpajakan dan peningkatan penerimaan negara secepat mungkin bagi penggalian sumber-sumber dana dalam negeri. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak adalah dengan melakukan “tax reform”, yaitu dengan melakukan reformasi terhadap Peraturan Perundangundangan Perpajakan serta sistem administrasi perpajakan, agar basis pajak dapat semakin diperluas, sehingga potensi penerimaan pajak yang tersedia dapat dipungut secara optimal dengan menjunjung asas keadilan sosial dan memberikan pelayanan prima kepada Wajib Pajak. Sedangkan menurut Rochmat Soemitro mengatakan bahwa tax reform adalah perombakan pajak yang sangat mendalam sampai ke akar-akarnya, mengenai prinsip, serta dasar falsafahnya (Rochmat Soemitro, 1990:1). Pada tahun 1983 muncullah Pembaruan Sistem Perpajakan Nasional yang selanjutnya dikenal PSPN. Pembaruan ini dianggap sebagai awal babak baru perkembangan sejarah perpajakan Indonesia (Muhammad Bakhrun Efendi, 2006:7). Pada dasarnya reformasi perpajakan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak pada tahun 1983, 1994, 1997 dan 2000. Selama kurun waktu tersebut pemerintah telah mengupayakan berbagai perbaikan untuk menyempurnakan sistem tersebut. Namun pada kenyataannya tidak semua upaya tersebut memberikan alternatif terbaik, tak jarang muncul komentar mengiringi lahirnya berbagai kebijakan pemerintah berkaitan dengan sektor pajak tersebut, baik yang bersifat pro maupun kontra (Muhammad Bakhrun Efendi, 2006:8). Penelitian tentang perbandingan sistem perpajakan di Indonesia pada masa sebelum 92
dan sesudah reformasi perpajakan merupakan penelitian yang asli dan dapat dipertanggungjawabkan, penulis telah membandingkan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang juga membahas tentang reformasi perpajakan di Indonesia. Adapun penelitian yang mirip dengan penelitian ini antara lain : 1) Penelitian yang berjudul “Studi Evaluasi Kepatuhan Wajib Pajak Sebelum Dan Sesudah Reformasi Perpajakan 2008 Dan Implikasinya Terhadap Penerimaan Pajak Pada KPP PRATAMA Kota Semarang Di Lingkungan Kantor Wilayah DJP Jateng I” oleh Annisa Gama Widjaya dan Drs. H. Moh. Didik Ardiyanto,M.si,Akt., Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro, dengan hasil penelitiannya adalah berdasarkan perhitungan deskriptif jumlah Wajib Pajak Efektif pada KPP Pratama di Kota Semarang dapat diketahui bahwa besarnya Wajib Pajak Efektif sesudah Reformasi Perpajakan Tahun 2008 lebih baik dibandingkan dengan kepatuhan Wajib Pajak sebelum adanya Reformasi Perpajakan 2008. 2) Penelitian yang berjudul “Analisis Pengaruh Reformasi Perpajakan Terhadap Penerimaan Pajak Di Sumatera Barat” oleh Nova Mulyati, Fakultas Ekonomi Universitas Andalas, dengan hasil penelitiannya adalah penerimaan pajak di Sumatera Barat selama periode tahun 2008 menunjukkan kecenderungan peningkatan. 3) Penelitian yang berjudul “Analisis Kinerja Perbankan Sebelum Dan Sesudah Reformasi Pajak Tahun 2008” oleh Desti Yanuwanti Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang, dengan hasil penelitiannya adalah Dengan adanya reformasi pajak tahun 2008 yaitu perubahan tarif pajak progresif menjadi tarif pajak tunggal untuk perusahaan badan khususnya perbankan yaitutidak meningkatkan kinerja perbankan.
Kartika Kusuma Yanti. Perbandingan Sistem Perpajakan di Indonesia pada Masa Sebelum ...
Penelitian tersebut di atas berbeda penulisannya dengan penelitian ini dimana dalam penelitian ini menekankan pada perbandingan pengaturan pemungutan pajak di Indonesia yang berlaku sebelum maupun sesudah diadakannya reformasi perpajakan sehubungan dengan sistem perpajakan, tata cara perpajakan, dan efektivitas fungsi sistem perpajakan.
penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti; rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum. Ketiga, bahan hukum tertier yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya; kamus, ensiklopedia, surat kabar, dan internet (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2003:24).
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam artikel ini akan dikaji bagaimanakah pengaturan pemungutan perpajakan dan efektivitas fungsi sistem perpajakan di Indonesia pada masa sebelum dan sesudah pembaruan sistem perpajakan.
Bagi penelitian hukum normatif yang mengenal data sekunder saja, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, maka untuk pengolahan dan menganalisis bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan analisis yuridis normatif. Suatu analisis yuridis normatif pada hakikatnya menekankan pada logika deduktif sebagai pegangan utama (Amiruddin dan H.Zainal Asikin, 2004:166). Dalam penggunaanya, logika deduktif ini memerlukan alat yang disebut silogisme. Silogisme adalah sebuah argumentasi yang terdiri dari tiga buah proposisi berupa pernyataan yang membenarkan atau menolak suatu gejala. Proposisi-proposisi tersebut disebut premis mayor, premis minor, dan konklusi. Premis mayor adalah merupakan ketentuan umum, premis minor adalah faktafakta yang bersifat khusus, dan konklusi adalah upaya untuk menarik kesimpulan hubungan antara premis mayor dengan premis minor (Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, 2013:183).
B. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan didalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan (library research). (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2003:13-14). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber dari : Pertama, bahan hukum primer yaitu bahanbahan hukum yang mengikat dan terdiri dari: Norma (dasar) yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Peraturan Perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, UndangUndang Nomor 18 Tahun 2000 sebagai perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), UndangUndang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Kedua, bahan hukum sekunder yang memberikan
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Pengaturan Pemungutan Perpajakan Di Indonesia Pada Masa Sebelum dan Sesudah Pembaruan Sistem Perpajakan. Sistem perpajakan Indonesia yang dipergunakan setelah kemerdekaan, ternyata sebagian besar merupakan sistem perpajakan warisan kolonial. Usaha-usaha dalam rangka perubahan dalam sistem
93
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2 Juli-Desember 2015
perpajakan telah dilakukan, maka pada tahun 1983 disahkan Undang-Undang Pajak baru yang sering dikenal dengan PSPN. Tidak hanya itu, perubahan dalam sistem perpajakan juga dilakukan pada tahun 1994,1997,2000, dan 2002, serta 2007-2009. Perubahan-perubahan dalam sistem perpajakan di Indonesia, yaitu menyangkut tentang: a. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Ket ent uan- ket entua n yang berupa hukum pajak formal yang tadinya dimuat dalam masingmasing undang-undang pajak (pajak pendapatan dan pajak perseroan dan pajak tidak langsung lainnya) dipisahkan dari ketentuan hukum materiil dan dijadikan undang-undang yang berdiri sendiri yang diberi nama “Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan”. Salah satu dari undang-undang perpajakan yang utama yang berlaku setelah perpajakan tahun 1983 adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 hanya berisikan Hukum Pajak Formal, yang semata-mata memuat peraturan-peraturan mengenai tatacara pelaksanaan pemungutan pajak oleh negara. Perubahan atas UndangUndang Nomor 6 Tahun 1983 tidak mengubah nama Undang-Undang tersebut, yaitu Ketentuan Umum Perpajakan. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan merupakan perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983. Perubahan pertama pada 1994 (berlaku efektif tahun pajak 1995), sedangkan perubahan kedua pada
94
2000 (berlaku mulai tahun pajak 2001). Revisi pertama dan kedua, secara substansial, tidak terlalu banyak yang berubah. Fokus perubahan lebih pada upaya meningkatkan kepastian hukum dengan cara mengangkat peraturan pelaksanaan umumnya dalam bentuk keputusan menteri keuangan atau surat edaran dirjen pajak menjadi materi undang-undang. Perubahan lain menyangkut harmonisasi pasal-pasal dalam Undang-Undang Perpajakan, yaitu memindahkan pasal dari satu undangundang ke undang-undang yang lain. Ini berbeda dengan revisi UndangUndang Ketentuan Umum Perpajakan 2007, dimana perubahannya sangat substansial menyangkut sistem dan prosedur, penataan kembali hak dan kewajiban wajib pajak (WP), sanksi
Isu penting dalam UndangUndang dimaksud adalah mengenai keseimbangan hak dan kewajiban antara Wajib Pajak dan aparatur pajak. Selain itu,perbaikan dan penguatan kewenangan aparatur pajak agar tetap dapat berfungsi efektif namun tetap menjaga prinsipprinsip akuntabilitas, proporsional, dan integritas. Undang-Undang ini akan menjadi acuan bagi perubahan undang-Undang perpajakan lainnya mengenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh). Dalam Undang-Undang tersebut terdapat pokok-pokok perubahan mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, antara lain: 1) Ketentuan mengenai pengambilan, pengisian, penandatanganan dan penyampaian Surat Pem-
Kartika Kusuma Yanti. Perbandingan Sistem Perpajakan di Indonesia pada Masa Sebelum ...
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
beritahuan (SPT) dapat dilakukan melalui media elektronik; Batas akhir penyampaian SPT Tahunan PPh yang sebelumnya paling lambat tiga bulan diubah menjadi paling lambat empat bulan setelah akhir tahun pajak; Sanksi administrasi berupa denda bagi Wajib Pajak yang dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya setelah dilakukan pemeriksaan tetapi belum dilakukan tindak penyidikan, diturunkan dari 200% menjadi 150%; Daluwarsa penetapan pajak dan daluwarsa penagihan dipersingkat dari sepuluh tahun menjadi lima tahun sejak berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak; Batas akhir penyampaian SPT Tahunan PPh yang sebelumnya paling lambat tiga bulan diubah menjadi paling lambat empat bulan setelah akhir tahun pajak; Batas akhir penyampaian SPT Tahunan PPh yang sebelumnya paling lambat tiga bulan diubah menjadi paling lambat empat bulan setelah akhir tahun pajak; Sanksi administrasi berupa denda bagi Wajib Pajak yang dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya setelah dilakukan pemeriksaan tetapi belum dilakukan tindak penyidikan, diturunkan dari 200% menjadi 150%; Daluwarsa penetapan pajak dan daluwarsa penagihan dipersingkat dari sepuluh tahun menjadi lima tahun sejak berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak;
9) Dal a m ra ngka m endo ron g Wajib Pajak mengungkapkan penghasilan yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh sebelum tahun 2007, Wajib Pajak diberi kesempatan untuk menyampaikan pembetulan dengan diberikan pengurangan a t a u p e n gh a p us a n s a n k s i administrasi, dengan syarat pembetulan tersebut dilakukan pada tahun pertama berlakunya Undang-Undang ini; dan 10) Paling lama satu tahun setelah berla kunya UU ini, W P Orang Pribadi yang sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP diberikan penghapusan sanksi administrasi atas pajak, kecuali terdapat data atau keterangan yang menyatakan bahwa SPT WP tidak benar atau lebih bayar. b. Sistem Pemungutan Pajak Pemerintah dalam melakukan pemungutan pajak, pada mulanya meminta wajib pajak untuk menyetor besarnya pajak sesuai dengan Peraturan Perundangan yang berlaku dan kewenangan aparat perpajakan sangat besar, cara ini dikenal dengan istilah sistem Official Assessment Sys t em di m ana d al am s i st em pemungutan pajak ini memberi wewenang kepada Pemungut Pajak pajak yang harus dibayar (pajak yang terutang) oleh seseorang. Sistem ini membuat Wajib Pajak bersifat pasif dan menunggu dikeluarkannya suatu ketetapan pajak oleh fiskus. Besarnya utang pajak seseorang pun baru diketahui setelah adanya surat ketetapan pajak.
95
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2 Juli-Desember 2015
Kewenangan ini kemudian mulai dikurangi dengan keluarnya UndangUndang Nomor 8 Tahun 1967 dan Peraturan Pemerintah No.11 Tahun 1967 yang memperkenalkan cara pemungutan Menghitung Pajak Sendiri (MPS) dan Menghitung Pajak menetapkan berapa sebenarnya pajak yang seharusnya dibayar oleh wajib pajak dengan mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP). Cara ini dikenal dengan Semi Self Assessment System. Penetapan besarnya pajak masih merupakan kewenangan pejabat pajak sehingga wajib pajak sebagai rakyat merdeka masih belum memperoleh kepercayaan dari pemerintah untuk bersama-sama membangun Negara Indonesia yang telah merdeka sejak tahun 1945, artinya cara-cara kolonial Belanda masih tetap dipakai. Selain Semi Self Assessment System dikenal pula With Holding. Penerapan With Holding System. Penggabungan sistem Semi Self Assessment dan With Holding System pada masa itu, sedikit lebih baik dengan sistem System, namun dalam prakteknya masih adanya penyelewengan oleh petugas pajak. Namun setelah tahun 1983, berdasarkan Undang-Undang Perpajakan Tahun 1983 dan berlaku di Indonesia sejak tahun 1984 samapai sekarang diterapkan Full Self Assessment System, dimana Wajib Pajak diberi wewenang penuh untuk menghitung, memperhitungkan, menyetorkan, dan melaporkan sendiri besarnya utang pajak. Sistem ini membuat Wajib Pajak aktif, dalam penentuan besarnya pajak yang 96
terutang seseorang, kecuali Wajib Pajak melanggar ketentuan yang berlaku. c. Tarif Pajak Pajak Penghasilan (PPh) Pengenaan tarif dalam Ordonansi Pajak Pendapatan dan Ordonansi Perseroan, tarif pajak untuk perorangan maupun untuk perseroan/badan disamakan. Tarif pajak dalam Ordonansi Pendapatan ada sejumlah 58 tarif berkisar yang kemudian disederhanakan menjadi 3 tarif saja dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 yaitu tarif 15%, 25%, dan 35%. Tarif 15% berlaku bagi penghasilan sampai dengan Rp 10.000.000,-. Tarif 25% berlaku bagi penghasilan kena pajak diatas Rp 10.000.000,- sampai dengan Rp 50.000.000,-. Tarif 35% berlaku bagi penghasilan kena pajak diatas Rp 50.000.000,- sampai dengan tak terbatas (Pasal 17). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, tarif pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan kena pajak baik untuk Wajib Pajak Perseorangan (WP OP) maupun Wajib Pajak Badan telah terjadi perubahan. Bagi Wajib Pajak orang pribadi, tarif PPh tertinggi diturunkan dari 35% menjadi 30% dan menyederhanakan lapisan tarif dari 5 lapisan menjadi 4 lapisan, namun memperluas masingmasing lapisan penghasilan kena pajak, yaitu lapisan tertinggi dari sebesar Rp 200 juta menjadi Rp 500 juta ( Pasal 17 ayat (1) UU PPh No.36 Tahun 2008).
Kartika Kusuma Yanti. Perbandingan Sistem Perpajakan di Indonesia pada Masa Sebelum ...
Bagi Wajib Pajak badan, tarif PPh yang semula terdiri dari 3 lapisan, yaitu 10%, 15% dan 30%menjadi tarif tunggal 28% di tahun 2009 dan 25% tahun 2010. Selain itu, bagi Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka diberikan pengurangan tarif 5% dari tarif normal dengan kriteria paling sedikit 40% saham dimiliki oleh masyarakat ( Pasal 17 ayat (2b) Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008). Peningkatan nilai Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk diri WP orang pribadi sebesar 20% dari Rp 13,2 juta menjadi Rp 15,84 juta, sedangkan untuk tanggungan istri dan keluarga ditingkatkan sebesar 10% dari Rp 1,2 juta menjadi Rp 1,32 juta dengan paling banyak 3 tanggungan setiap keluarga (Pasal 7 UndangUndang Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008). Pengenaan tarif 20% lebih tinggi dari tarif normal untuk Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang menerima penghasilan (Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008). Pengenaan tarif 100% lebih tinggi dari tarif normal untuk Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP bagi Wajib Pajak dalam negri yang menerima penghasilan (Pasal 22 Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008). Terhadap penghasilan yang diatur dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a UU PPh, berupa deviden, bunga, royalti, dan hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenis, dipotong pajak oleh pihak
yang wajib membayarkan sebesar 15% dari jumlah bruto. Tarif pajak yang berlaku untuk penghasilan adalah tarif progresif sebagaimana pada Pasal 17 ayat (1) UU PPh, sedangkan tarif pajak sebagaimana pada Pasal 21,22,23 UU PPh adalah tarif tetap. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn.BM) Pada permulaannya pajak pertambahan nilai ini dipungut secara sukarela atas rumah makan, penginapan, penyerahan jasa di rumah-rumah makan secara resmi pada tahun 1947 yang dikenal dengan Pajak Pembangunan 1. Selanjutnya pada tahun 1950 pajak ini berganti nama menjadi Pajak Peredaran, yang dikenakan atas penyerahan barang dan jasa yang dilakukan di Indonesia. Pemungutannya dilakukan secara bertingkat pada setiap mata rantai jalur produksi dan jalur distribusi, hanya dikenal satu tarif pajak yaitu 2,5%. Kemudian pada tahun 1983 terjadi pembaruan sistem perpajakan nasional, dimana pajak tersebut dikenal dengan Pajak Pertambahan Nilai. Berdasarkan ketentuan UndangUndang Nomor 18 Tahun 2000 sebagai perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM, menyebutkan perubahan tarif PPN cukup dilakukan dengan penerbitan Peraturan Menteri sedangkan untuk ketentuan yang baru, dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 menyebutkan tarif PPN yang ditetapkan 10% dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi
97
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2 Juli-Desember 2015
15%. Sedangkan Pasal 8 ayat (1) UU No. 42 Tahun 2009 menyebutkan, penetapan kelompok barang kena pajak yang tergolong mewah dengan tarif PPnBM paling rendah 10% dan maksimal 200%, wajib melalui Peraturan Pemerintah. Tarif pajak pertambahan nilai sebagaimana diatur pada Pasal 7 UU PPN dan tarif pajak penjualan atas barang mewah sebagaimana diatur pada Pasal 8 tersebut tergolong sebagai tarif proporsional. Pajak Bumi dan Bangunan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5% (Pasal 5 UU No.12 Tahun 1994). Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang perubahan atas UndangUndang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), Pajak Bumi dan Bangunan merupakan salah satu jenis pajak daerah kabupaten/kota. Tarif pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan berdasarkan Pasal 80 ayat (1) UU PDRD ditetapkan paling tinggi sebesar 0,3%. d. Administrasi Perpajakan Pada zaman raja-raja Romawi dengan kantong raja, kemudian kata fiskus diartikan dan diidentifikasi dengan kas negara sebab tidak ada perbedaan pengertian antara kas raja dengan kas negara, di mana persoalan keuangan sepenuhnya ada di tangan raja. pada pengertian dewasa ini, seluruh aparatur perpajakan 98
sebagai wakil negara yang disebut kata fiskus tertuju pada pejabat pajak yang memiliki wewenang, kewajiban, dan larangan dalam rangka pelaksanaan peraturan perundangundangan perpajakan. Pejabat yang ditunjuk oleh pejabat pajak untuk melaksanakan peraturan perundangundangan perpajakan adalah Kepala Kantor Pelayanan Pajak. Struktur organisasi pada fungsi pelayanan di KPP Pra Modern berdasarkan jenis pajak. Pada struktur ini fungsi pelayanan dilakukan oleh KPP namun pemeriksaan juga dilaksanakan oleh KPP selain Karikpa, sehingga terjadi fungsi ganda, selain itu juga dengan pelayanan yang tidak satu atap mendorong dibentuknya KPP Modern. Penerapan sistem administrasi modern memberikan perbedaan yan g cukup si gni f i ka n yakni struktur organisasi berdasarkan fungsi, dengan pemisahan fungsi yang jelas antara Kanwil dan KPP, dimana KPP bertanggungjawab melaksanakan fungsi pelayanan, p en ga w as a n , pe na g i h an , da n pemeriksaan, sedangkan Kanwil bertanggungjawab melaksanakan fungsi pengawasan pelaksanaan operasional KPP, keberatan dan banding, serta penyidikan. Pelayanan pajakpun sudah satu atap karena semua jenis pelayanan dilakukan oleh KPP Pratama sedangkan KPP WP Besar dan KPP Madya hanya untuk jenis PPh dan PPN, sehingga adanya peleburan terhadap KP PBB menjadi KPP Pratama. Untuk mensukseskan pelayanan, DJP telah menyiapkan pelayanan ekstra pada setiap KPP Modern :
Kartika Kusuma Yanti. Perbandingan Sistem Perpajakan di Indonesia pada Masa Sebelum ...
1) Perbaikan pelayanan melalui pembentukan account representative yang khusus melayani dan mengawasi pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak secara langsung. 2) Pemeriksaan pajak hanya dilakukan oleh tenaga fungsional pem er iks a dengan al okas i tenaga fungsional pemeriksa disesuaikan dengan tingkat resiko pemeriksaan dan dilakukan pelatihan teknis yang mendukung profesionalisme tenaga pemeriksa berdasarkan kelompok usaha Wajib Pajak. 3) Menyelesaikan dan menyempurnakan implementasi Sistem Informasi Perpajakan (SIP) menjadi Sistem Administrasi Perpajakan Terpadu (SAPT). 4) Menetapkan standar kinerja dan pelayanan perpajakan, menerapkan Kode Etik Pegawai bagi Pegawai Pajak. 5) Penyederhanaan prosedur administrasi dan meningkatkan standar waktu dan kualitas pelayanan dan pemeriksaan pajak. 6) Penggunaan teknologi informasi dalam menjalankan administrasi perpajakan dan meningkatkan pelayanan, seperti tata cara pembayaran pajak secara elektronik pada tempat pembayaran secara on-line, fasilitas Surat Pemberitahuan (SPT) dengan menggunakan media komputer (e-SPT). 7) Penyempurnaan Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) antara lain dengan menerapkan sistem pengukuran kinerja administrasi perpajakan, pembentukan unit pengukuran kinerja.
8) Penyiapan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan profesional, antara lain melalui secara ketat, penempatan pegawai yang disesuaikan dengan kapasitas dan kapabilitasnya, pelatihan dan pogram pengembangan self capacity, reward and punishmen, reformasi moral dan etika. 2. Efektivitas Fungsi Sistem Perpajakan Di Indonesia Pada Masa Sebelum dan Sesudah Pembaruan Sistem Perpajakan. Fasilitas perpajakan sebagai perwujudan dari fungsi pajak regulerend (mengatur) terdapat pada UU No.1 Tahun 1967 pemerintah telah membuka kesempatan kepada negara luar untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Untuk itu pemerintah memberikan pembebasan pajak untuk masa tertentu bagi para investor tersebut. Fungsi mengatur dalam undangundang pajak tahun 1983 dihapuskan. Hal ini mempunyai akibat bahwa semua insentif yang diberikan kepada wajib pajak hilang karenanya. Semula kebijaksanaan pemerintah insentif berupa pembebasan pajak diterapkan untuk mendorong para wajib pajak, supaya ikut secara aktif dalam usaha mencapai masyarakat yang adil dan makmur. Fungsi mengatur dewasa ini sangat penting peranannya sebagai alat kebijaksanaan pemerintah dalam menyelenggarakan politiknya dalam segala bidang. Bahkan dalam negara modern fungsi mengatur justru menjadi tujuan politik dari pajak. Dalam fungsi mengatur inilah terletak suatu lapangan yang luas bagi perpajakan, baik dalam bidang ekonomi maupun dalam bidang sosial budaya.
99
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2 Juli-Desember 2015
Fungsi mengatur dalam undangundang tahun 2000 diatur dalam Pasal 31A Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, yaitu “Kepada wajib pajak yang melakukan penanaman modal dibidangbidang usaha tertentu atau daerah tertentu dapat diberikan fasilitas perpajakan dalam bentuk pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30%, pengenaan pajak penghasilan atas deviden sebagaimana dalam Pasal 26 sebesar 10%,kecuali apabila tarif menurut perjanjian perpajakan yang berlaku menetapkan lebih rendah. Fungsi utama pajak adalah fungsi budge t ai r (pe ner i m aan ). Di se but fungsi utama karena fungsi inilah yang secara historis pertama kali timbul. Pajak merupakan sumber penerimaan terbesar dalam keuangan negara. Pajak memegang peranan dalam keuangan negara lewat tabungan pemerintah untuk disalurkan ke sektor pembangunan. Selain fungsi penerimaan dan fungsi mengatur terdapat pula fungsi demokrasi dan fungsi redistribusi. Fungsi demokrasi pada masa sekarang ini sering dikaitkan dengan hak seseorang apabila akan memperoleh pelayanan dari pemerintah. Apabila seseorang telah melakukan kewajibannya membayar pajak kepada negara sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka ia mempunyai hak pula untuk mendapatkan pelayanan yang baik dari pemerintah. Fungsi redistribusi dapat terlihat misalnya dengan adanya tarif progresif yang mengenakan pajak yang lebih besar kepada masyarakat yang mempunyai penghasilan besar dan pajak yang lebih kecil kepada masyarakat yang mempunyai penghasilan lebih kecil. F ungsi dem okra si da n f ungsi redistribusi bukan merupakan tujuan utama dalam pemungutan pajak, akan tetapi dengan perkembangan masyarakat
100
modern fungsi tersebut menjadi fungsi yang juga sangat penting, tidak dapat dipisahkan dalam rangka keseimbangan dalam mewujudkan hak dan kewajiban masyarakat.
D. Kesimpulan Sebagaimana dalam pembahasan yang telah diuraikan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pengaturan Pemungutan Perpajakan di Indonesia Pada Masa Sebelum dan Sesudah Pembaruan Sistem Perpajakan Di Indonesia pengaturan pemungutan perpajakan pada masa sebelum reformasi perpajakan berbeda dengan pengaturan pem ungut a n per paj a kan s es uda h pembaruan sistem perpajakan. Perbedaan tersebut dapat dilihat sebagai berikut: a. Sebelum terjadinya pembaruan sistem perpajakan ketentuan-ketentuan yang berupa hukum pajak formal dimuat dalam masing-masing undangundang pajak (pajak pendapatan dan pajak perseroan dan pajak tidak langsung lainnya). Setelah terjadinya pembaruan sistem perpajakan, ketentuan-ketentuan hukum pajak formal dipisahkan dari ketentuan hukum materiil dan dijadikan undangundang yang berdiri sendiri yang diberi nama “Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan”. b. Sistem pemungutan pajak di Indonesia sebelum terjadi pembaruan sistem perpajakan adalah sistem pemungutan pajak yang lebih mengandalkan aparat pajak dalam proses administrasi pajak, sedangkan sesudah pembaruan sistem perpajakan berubah menjadi self assessment yang merupakan sistem dimana masyarakat
Kartika Kusuma Yanti. Perbandingan Sistem Perpajakan di Indonesia pada Masa Sebelum ...
sebagai subjek pajak berperan aktif dalam menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri sendiri besarnya utang pajaknya. c. Sebelum terjadi pembaruan sistem perpajakan ketentuan mengenai tarif pajak banyak jenisnya, dan persentase besarnya tarif yang dikenakan dianggap terlalu tinggi, serta pengaturan pengenaan besarnya tarif ditentukan oleh pemerintah pusat. Sedangkan setelah terjadi pembaruan sistem perpajakan, adanya penyederhanaan jenis tarif, persentasi besarnya tarif, serta pengaturan pengenaan tarif dapat ditentukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah tergantung jenis pajaknya. d. Sistem perpajakan lama memberikan fasilitas kepada sektor tertentu, selanjutnya dalam sistem perpajakan yang baru fasilitas diberikan secara menyeluruh dan merata melalui penurunan tarif, penyederhanaan prosedur serta peningkatan kepastian hukum dan pelayanan. di Indonesia Pada Masa Sebelum dan Sesudah Pembaruan Sistem Perpajakan Sistem perpajakan Indonesia yang dipergunakan setelah kemerdekaan, ternyata sebagian besar merupakan sistem perpajakan warisan kolonial. Dimana selama periode kolonial rakyat Indonesia benar-benar menjadi lahan bagi eksloitasi kolonial melalui diberlakukannya bermacam-macam pajak, yang jenis dan tata cara pemungutannya dilakukan di luar rasa keadilan dan pertimbangan kepada hak asasi rakyat sehingga semakin menambah penderitaan. Sejak awal Pemerintahan Orde Baru sampai 1982, pendapatan negara terbesar dari hasil migas. Pada tahun 1980-an
terjadi ketidakstabilan harga minyak bumi dan gas alam, kenyataan itu mengubah pemikiran dikalangan Pemerintah RI untuk mengalihkan perhatian untuk menggali sektor penerimaan negara dari pajak. Karena penerimaan pajak akan jauh lebih cerah dan relatif stabil untuk masa selanjutnya, dibandingkan dengan penerimaan minyak bumi dan gas alam. Sedangkan dikalangan masyarakat telah membutuhkan sistem perpajakan yang mampu mengubah citra buruk sistem perpajakan kolonial, maka pada tahun 1983 disahkan Undang-Undang Pajak baru yang sering dikenal dengan PSPN tahap 1. Pengesahan Undang-Undang Pajak baru yang sering dikenal dengan Pembaruan Sistem Perpajakan Nasional (PSPN) mempunyai pengaruh yang berarti dalam penerimaan negara, sehingga pajak dapat dijadikan sumber penerimaan terbesar dalam keuangan negara, sumber penerimaan pajak menunjukan volume yang sangat besar atau dapat dikatakan hampir mencapai separuh dari volume penerimaan APBN. Sehingga fungsi utama pajak adalah fungsi budgetair (penerimaan).
E. Saran 1. Prinsip Self Assessment System dapat lebih memberikan keepercayaan kepada Wajib Pajak untuk dapat menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak temtangnya, sehingga diharapkan dapat lebih rapi, terkendali, sederhana dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat Wajib Pajak dan Petugas pajakpun senantiasa rnemberi penjelasan dengan senang hati kepada anggota masyarakat Wajib Pajak yang belum jelas cara menghitung pajaknya. 2. Perlu dilakukannya pengkajian lebih lanjut mengenai dampak perubahan undang101
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol III No. 2 Juli-Desember 2015
undang terhadap fungsi pajak yang lain seperti fungsi regulerend, demokrasi, dan restribusi pendapatan. Sehingga akan lebih terlihat bahwa perubahan undangundang benar-benar telah memberikan kontribusi yang berarti bagi penguatan fungsi pajak dan peningkatan kinerja pajak negara. 3. Ap ar a t p aj a k se ba gai pe l ak s ana modernisasi perpajakan harus selalu meningkatkan kinerja mereka dalam memberikan pelayanan prima kepada wajib pajak, sehingga diharapkan apabila kinerja aparat perpajakan semakin meningkat, maka penerimaan pajak juga bisa meningkat juga.
Daftar Pustaka Amiruddin dan H.Zainal Asikin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Ani Sri Rahayu. 2010. Pengantar Kebijakan Fiskal. Jakarta: Bumi Aksara. B. Illias Wirawan & Richard Burton. 2001. Hukum Pajak. Jakarta: Salemba Empat. Eko Lasmana. 1992. Sistem Perpajakan Indonesia. Jakarta: Prima Campus M. Djafar Saidi. 2011. Pembaruan Hukum Pajak. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad. 2013. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Muhammad Bakhrun Efendi. 2006. Kebijakan Perpajakan di Inonesia. Yogyakarta: Alinea Pustaka. Onghokman. 1985. Pajak dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: LP3ES. 102
Rochmat Soemitro. 1990. Pajak Bumi dan Bangunan. Bandung: PT Eresco. ________________. 1992. Pengantar Singkat Hukum Pajak. Bandung: PT. Eresco. Santoso Brotodihardjo. 2008. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung: PT. Refika Aditama. S.Munawir. 1985. Perpajakan. Yogyakarta: Liberty. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2003. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: PT. Raja Soesilo Zauhar. 2002. Reformasi Administrasi: Konsep, Dimensi dan Strategi. Jakarta: Penerbit Bumi Askara. http://www.perspektif.net/articles, 2003. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 sebagai perubahan ketiga atas UndangUndang Nomor 11 Tahun 1994 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.