BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014
1
Salam Redaksi
PENANGGUNG JAWAB: Ir. Tjuk Sasmito Hadi, MSc DEWAN REDAKSI: Dr. Acep Akbar Marinus K. Harun, MSc Adnan Ardana, S.Sos REDAKSI PELAKSANA: Winingtyas W, S.Hut, MT, MSc Fauziah, S. Hut Agus Fitrianto, S. Hut
Pembaca yang budiman, senang rasanya bisa mengantarkan pembaca sekalian edisi kedua Majalah Bekantan. Untuk edisi kedua ini Bekantan menyorot masalah kondisi hutan kita yang
DESAIN GRAFIS DAN LAYOUT:
memprihatinkan. Angka deforestasi yang mencapai 3,8 juta ha/
Purwanto Budi S
tahun pada tahun 2003, membuat negara kita menjadi sorotan dunia,
Sukma Alamsyah
untuk masalah pengrusakan hutan. Jika hutan yang merupakan
Henda Ambo Basiang
penyangga kehidupan kondisinya memprihatinkan, maka tidak bisa dipungkiri, bencanalah yang akan kita tuai. Bencana alam seperti
ALAMAT REDAKSI:
banjir, kekeringan, tanah longsor yang sekarang ini sering terjadi,
Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
juga disebabkan salah satunya oleh makin menipisnya hutan kita.
Jl. A. Yani Km 28,7 Landasan Ulin
Di tengah kritisnya kondisi hutan Indonesia, muncul pula ancaman
Banjarbaru - Kalimantan Selatan 70721 Phone. (0511) 4707872, Fax. (0511) 4707872 E-mail :
[email protected] DIPA BPK Banjarbaru 2013
kelangkaan terhadap makanan, energy, air, (food, energy, water) secara global. Dilatarbelakangi kondisi tersebut, maka kami mengangkat tema “Selamatkan Hutan Kita” sebagai fokus bahasan, yang akan dibahas dalam 4 makalah. Tema ini diangkat juga untuk memperingati bulan bhakti rimbawan yang baru saja kita lalui. Bagaimananpun juga kewajiban rimbawan untuk menyelamatkan hutan dari jurang kehancuran. Rimbawan dengan berbagai peran dalam sektor kehutanan, dituntut untuk lebih giat bekerja, bekarya untuk keselamatan hutan. Begitu juga dengan Badan Litbang Kehutanan, dituntut peranannya sebagai rel pembangunan kehutanan, khususnya dalam pengembangan KPH. Arah badan litbang kehutanan menjawab tantangan deforestasi, menjadi topik bahasan dalam fokus kali ini. Rubrik-rubrik lainnya menyajikan informasi yang tak kalah menarik dengan topic bahasan yang diangkat. Akhir kata, selamat menikmati edisi kedua Bekantan.
2
BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014
Daftar Isi
02
Salam Redaksi
04
Lansekap
Kontribusi KHDTK Riam Kiwa dalam Rehabilitasi dan Reforestasi Lahan Alang-alang di Kalimantan Heortia vitessoides moore: Musuh Petani Gaharu di Kalimantan Selatan
11
Profil
Tri Joko Mulyono: Sukses Berkat Doa Ibu
13
Fokus
Selamatkan Hutan Kita Profesionalisme Rimbawan untuk Penyelamatan Hutan Penyelamatan Plasma Nutfah Hutan Melalui Pengelolaan Kawan Konservasi Arah Litbang Kehutanan Menjawab Tantangan Deforestasi
35
Lintas Peristiwa
36
Artikel
Geliat Hutan Tanaman Rakyat di Kalimantan Selatan Aplikasi Sederhana Pembukuan Bendahara dan Kartu Kendali (ASPENDAL, 1 = 13)
43
Berita
Mahasiswa Praktikum Farmakognosi di KHDTK Rantau
BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014
3
LANSEKAP
KONTRIBUSI KHDTK RIAM KIWA DALAM
Rehabilitasi dan Reforestasi Lahan Alang-Alang di Kalimantan
Oleh : Rudy Supriadi | Tjuk Sasmito Hadi
B
alai Penelitian Kehutanan Banjarbaru merupakan
pemuliaan pohon, pembangunan tegakan benih dan
salah satu Unit Pelaksana Teknis dari Badan Penelitian
pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Selain itu, KHDTK
dan Pengembangan Kehutanan yang mempunyai
Riam Kiwa juga digunakan sebagai tempat pelatihan
tugas pokok sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan
pengelolaan hutan tanaman, penelitian mahasiswa dalam
No.P.35/Menhut-II/2011 pada tanggal 20 April 2011
menyelesaikan jenjang pendidikan S1, S2 dan S3.
yaitu melaksanakan penelitian di bidang konservasi dan rehabilitasi, peningkatan produktivitas hutan, keteknikan kehutanan dan pengolahan hasil hutan, serta perubahan iklim
dan
kebijakan
kehutanan
sesuai
peraturan
perundang-undangan. Salah satu dari empat kawasan hutan penelitan yang dikelola oleh Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru adalah Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Riam Kiwa. KHDTK Riam Kiwa tersebut dibangun sejak tahun 1986 atas kerjasama Pemerintah Republik Indonesia dan Finlandia (Proyek ATA-267 yang diperuntukkan
Sumber foto : Seksi DIK BPK Banjarbaru
dalam kegiatan penelitian tanaman di lahan kering dengan vegetasi asal alang-alang. Kegiatan penelitian
Gambar 1 : Kondisi awal KHDTK Riam Kiwa (1986)
yang telah dilakukan didalam areal Hutan Penelitan ini seperti introduksi jenis (Species trial), uji tempat asal jenis
Pada tahun 2004, areal Hutan Penelitian Riam Kiwa
(provenance trial), uji teknik silvikultur hutan tanaman
telah ditunjuk oleh Menteri Kehutanan RI sebagai Kawasan
(pengolahan lahan, pemupukan, jarak tanam), ujicoba
Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Riam Kiwa dengan
tanaman campuran, aroforestry, penanaman pilot (pilot
SK. 75/Menhut-II/2004 tanggal 10 Maret 2004 dengan luas
plantation), ujicoba pembangunan tegakan rotasi kedua,
1.455 ha.
4
BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014
Pada tahun 2010, areal ini telah ditetapkan oleh Menteri Kehutanan Republik Indonesia sebagai Kawasan
pengembangan hutan tanaman di lahan alang-alang seperti :
Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Balai Penelitian
Pada Proyek ATA-267 Kerjasama RI – Finlandia
Kehutanan Banjarbaru di Riam Kiwa. dengan SK Menteri
(1986-1995) telah diterbitkan 14 Judul laporan
Kehutanan No. 163/Menhut-II/2010 tanggal 31 Maret
penelitian yang terdiri dari : 1). Uji jenis dan
2010 luas definitif areal KHDTK Riam Kiwa ini adalah 1.450
Penyisihan jenis (56 jenis). 2). Uji tempat asal Acacia mangium (30 seedlots). 3). Uji jenis Pinus
hektar. KHDTK Riam Kiwa terletak pada 3o 21’ 40” - 3o 23’
spp (2 species). 4). Uji jenis Eucalyptus spp (5
30” Lintang Selatan dan 115o 03’ 40” - 115o 06’ 20” Bujur
species). 5). Uji tempat asal Paraserianthes
Timur, ketinggian tempat bervariasi antara 50-100 m diatas
falcataria
permukaan laut. Menurut batas administrasi kehutanan,
asal Gmelina arborea
Riam Kiwa termasuk dalam wilayah Dinas Kehutanan
tempat asal Gliricidia sepium (5 provenances).
(3
provenances.).
6).
Uji
tempat
(6 provenances). 7). Uji
Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan. Secara
8). Uji tempat asal Acacia auriculiformis (25
administratif pemerintahan, termasuk dalam wilayah
provenances).
Desa Lubang Baru, Desa Lok Tunggul, Desa maniapun,
crassicarpa (12 provenances.). 10). Tegakan benih
Kecamatan Pengaron dan Desa Sungai Jati, Kecamatan
Acacia mangium (14 collect. Provenances.), 11).
Mataraman, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan,
Uji jarak tanam Acacia mangium (4 treatments),
berjarak 50 km sebelah timur laut dari Kota Banjarbaru.
12). Uji Base Populasi Acacia mangium (PNG), 13).
9).
Uji
tempat
asal
Acacia
Tipe tanah di KHDTK Riam Kiwa didominasi
Uji tanaman campuran Anisoptera marginata dan
oleh podsolik merah, podsolik kuning tersebar secara
Shorea leprosulla dibawah tegakan P. Falcataria,
mosaik dengan luasan yang relatif kecil, podsolik merah
14). Uji tanaman campuran Acacia mangium dan
bercampur batu terdapat pada beberapa puncak bukit
Anisoptera marginata.
serta tanah aluvial terdapat pada daerah yang relatif datar sepanjang alur dan sungai. pH tanah rendah (4,85,4). Tingkat kandungan nitrogen dalam tanah tergolong rendah N tersedia 0.243 %, kandungan potasium dalam tanah 0.239 me/100 gr, tekstur fraksi debu 71,19 %, tekstur liat 21,71 %, tekstur pasir 6,99 %. Kandungan Kalium dalam tanah 0.289 me/100 gr, KTK pada tanah 36.513 me/100 gr, kandungan C organik 0.704 % dan bulk density 1.109 gr/ ml. Kelas kelerengan tanah didalam areal KHDTK Riam Kiwa berkisar antara 0-15 % dengan luas 1092.5 ha (75.09 %) dan kelas kelerengan tanah 15-40 % dengan luas 362.51 ha (24.91 %). (Apriyanto, 2006) Sumber foto : Rudy Supriadi BPK Banjarbaru
Gambar 3 : Tegakan campuran Eucalyptus spp di KHDTK Riam Kiwa (2011) Kegiatan
penelitian
yang
telah
dilakukan
oleh Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru / Kementerian Kehutanan RI (1989 -2013) telah diterbitkan 59 judul laporan penelitian yang terdiri dari : 1). Pengujian penyiapan lahan secara kimiawi (herbisida), 60 ha. 2). Pengujian norma kualitas bibit siap tanam yang dihasilkan dari beberapa Sumber foto : Rudy Supriadi BPK Banjarbaru
produksi
yang
berbeda
(kantong
plastik,
pottrays, barroot), 2 ha. 3). Ujicoba penanaman Gambar 2 : Tegakan Acacia mangium di KHDTK Riam Kiwa (2011)
15 jenis pohon lokal pada tapak lahan alang-
Di KHDTK Riam Kiwa sudah banyak kegiatan
alang, 2 ha. 4). Pembangunan tegakan campuran
penelitian yang mendukung kegiatan penelitian dan
di tapak alang-alang dengan penyiapan lahan BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014
5
herbisida, 40 ha. 5). Penanaman jenis Anisoptera
Teknologi pencegahan dan pengendalian hama,
marginata dibawah tegakan, 5 ha. 6). Pembuatan
penyakit dan gulma hutan tanaman di Kalsel.
model
tegakan campuran mangium dengan
34). Penelitian dan pengembangan pemuliaan
sungkai, mangium dengan gmelina di tapak
Pulai. 35). Uji Multilokasi A. Mangium dan
alang-alang dengan penyiapan lahan herbisida,
Eucalyptus pellita asal benih F.1. 36). Evaluasi
50 ha. 7). Tingkat kerawanan api pada tanaman
ujimultilokasi dan uji intensifikasi silvikultur. 37).
kehutanan berbahan bakar Epatorium. 8). Uji
Pembangunan populasi propagasi jenis Pulai
penanaman jenis pohon lokal dibawah tegakan
dan penerapan teknik pembiakan vegetatif
Acacia Mangium. 9). Ujicoba rotasi kedua
dan pembangunan kebun uji provenan Pulai.
jenis pohon cepat tumbuh, 8 ha. 10). Teknik
38).
pembangunan tegakan “base population” dan
kebakaran hutan. 39). Pembangunan populasi
seleksi pohon plus jenis Acacia mangium dan
propagasi dan uji teknik silvikultur jenis
status
iptek
penanggulangan
Gmelina arborea, 8 ha. 11). Teknik reduksi bahan
Pulai.
bakar pada tanaman kehutanan di lahan alang-
rehabilitasi lahan dan konservasi tanah dan
alang. 12). Ujicoba inokulasi mikoriza untuk
air dengan pendekatan sosial forestry. 41).
peningkatan produktifitas pada beberapa jenis
Pembangunan model hutan tanaman beresiko
lahan kritis di Riam Kiwa. 13). Teknik rehabilitasi
kecil kebakaran. 42). Uji standardisasi dan
padang
14).
mutu bibit Antocephalus sp, 43). Uji penyiapan
Pembangunan “base population” jenis akasia
lahan dan teknik penyiangan Eucalyptus pellita.
mangium, 10 ha. 15). Ujicoba penjarangan
44). Silvikultur hutan tanaman penghasil kayu
tegakan campuran, 10 ha. 16).
pertukangan
alang-alang
di
Riam
Kiwa.
Ujicoba
penanaman jenis pohon lokal pada tegakan
45).
Acacia
kayu
mangium.
Pengembangan
(silvikultur
Silvikultur
hutan
model-model
jenis
campuran).
tanaman
penghasil
Tingkat
kerawanan berbahan
46). Pengelolaan lingkungan hutan tanaman
bakar Epatorium. 18). Model penghutanan
(perubahan keanekaragam jenis dan lingkungan
kembali
menggunakan
akibat pembangunan hutan tanaman). 47).
tegakan campuran dan sekat bakar pada zona
Silvikultur hutan tanaman tegakan campuran.
penyangga. 19). Pengendalian penyakit karat
48). UJi silvikultur jenis Alstonia spp, 2,5 ha. 49).
daun (gaal) pada bibit Acacia mangium. 20).
Penelitian dan kajian persyaratan tumbuh jenis
Pola pembuatan hutan tanaman campuran.
alternatif penghasil kayu pertukangan (uji tapak
21). Teknik konservasi tanah dan air untuk
bagi tanaman Toona sureni dan Toona sinensis
rehabilitasi hutan bekas kebakaran. 22). Teknik
di Kalimantan). 50). Pembangunan Arboretum
pada
17).
40).
kehutanan
api
6
Kajian
tanaman Hutan
Lindung
pertukangan
(silvikultur
jenis
Pulai).
pemanfaatan biofertilizer dan control release
jenis asli Kalimantan. 51). Identifikasi jenis-jenis
fertilizer dalam rangka pengembangan hutan
hama dan penyakit pada tanaman Jelutung
kemasyarakatan. 23). Teknik pembangunan dan
rawa (Dyera polyphylla Miq. Steenis), Meranti
peningkatan produktivitas HTI rotasi kedua di
(Shorea balangeran Korth. Burck), dan Suren
Kalimantan Selatan. 24). Penerapan teknologi
(Toona spp). 52). Pembangunan data base
olah tanah konservasi di areal HTI tumpang
Grwoth & Yield Hutan tanaman penghasil
sari. 25). Teknik pengelolaan hutan lindung
kayu pertukangan. 53). Uji tapak bagi tanaman
Riam Kanan – Riam Kiwa setelah terbakar. 26).
Toona sureni dan Toona sinensis serta kajian
Uji multilokasi jenis Acacia mangium dengan
persyaratan tumbuh Suren (Toona sureni dan
benih hasil pemuliaan. 27). Teknik Rehabilitasi
Toona sinensis) di Kalimantan. 54). Pengaruh
hutan lahan basah dan lahan kering. 28).
tapak terhadap respon pertumbuhan dan
Penerapan teknologi olah tanah konservasi dan
perkembangan tanaman Nyawai di Kalimantan.
pemanfaatan biofertilizer dan control release
55). Analisis konflik dan model pengembangan
di areal Hkm. 29). Penerapan fire management
institusi untuk resolusi konflik lahan di KPH
plan di lahan kering. 30). Model hutan tanaman
model Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan.
beresiko kecil kebakaran. 31). Pembangunan
56). Pengaruh mulsa dan dosis pupuk organik
populasi propagasi jenis pulai dan penerapan
terhadap peningkatan pertumbuhan tanaman
teknik pembiakan vegetative. 32). Kajian sosio
Nyawai pada tapak alang-alang di Riam Kiwa.
antropologis penyebab kebakaran hutan. 33).
57). Model resolusi konflik lahan berbasis
BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014
system agroforestry di Kalimantan Selatan. 58).
masing adalah 196,5 cm/tahun, 166,5 cm/tahun dan 176,5
Pengaruh jarak tanam, tipe tapak dan dosis
cm/tahun. Sedangkan rataan riap diameter batang adalah
pupuk terhadap pertumbuhan tanaman Nyawai
20 – 20,50 mm atau 2,0 – 2,5 cm/tahun.
di Kalimantan. 59). Identifikasi jenis-jenis hama dan penyakit pada tanaman Nyawai (Ficus variegata). Di
KHDTK
Riam
Kiwa
saat
ini
sedang
dikembangkan jenis Nyawai (Ficus variegata Blum, fam Moraceae) yang sumber benihnya diambil dari PT. ITCIKU (International
Timber
Cooperation
Indistries
Kartika
Utama) Kalimantan Timur. Jenis ini telah mulai dicoba penanamannya untuk sekat bakar hijau ( jalur hijau) dan sekaligus memenuhi kebutuhan bahan baku industri kayu. Berdasarkan kajian, kayunya juga telah diujicoba menjadi kayu lapis bagian luarnya dengan kualitas hampir
Sumber data : Rusmana, BPK Banjarbaru
sama dengan kayu meranti, sehingga sangat menjanjikan jenis nyawai jika dikembangkan penanamannya untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri kayu. Di PT. ITCIKU Kalimantan Timur telah dilakukan percobaan pembuatan plywood dari jenis Nyawai dengan hasil hampir sama dengan meranti. Dari hasil penelitian Rusmana, et al (2013), Pertumbuhan tinggi tanaman nyawai umur 24 bulan pada perlakuan jarak tanam 2 x 2 m menunjukkan perbedaan yang nyata dengan perlakuan jarak tanam 4 x 4 m dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan jarak tanam 3 x 3 m. Sedangkan diameter batang, lebar tajuk dari setiap perlakuan jarak tanam tidak memunjukkan perbedaaan yang nyata. Riap pertumbuhan tinggi pada uji jarak tanam 2 x 2 m, 3 x 3 m dan 4 x 4 m sampai umur 2 tahun masing-
Gambar 4. Tren pertumbuhan tinggi tanaman nyawai pada masing-masing perlakuan jarak tanam mulai umur 1 bulan sampai 24 bulan di tapak lahan terbuka bervegetasi awal alang-alang di KHDTK Riam Kiwa. Pertumbuhan awal tanaman Nyawai perlu dipacu dengan pupuk organik antara 2 – 3 kg/tanaman pada saat penanaman, agar pertumbuhan awalnya cepat. Dosis minimum pemupukan awal dengan pupuk anorganik, dapat dilakukan sebanyak 50 – 100 gram/tanaman NPK (Nitrogen + Posfor + Kalium). Dengan demikian saat ini
jenis Nyawai dapat
menjadi jenis alternatif unggulan kayu pertukangan berdaur pendek yang dapat dikembangkan di lahan bervegetasi awal alang-alang (< 10 tahun sudah dapat dijadikan kayu pertukangan).
Sumber foto : Rusmana, BPK Banjarbaru
Gambar 5. Tegakan Nyawai di tapak lahan terbuka bervegetasi awal alang-alang di KHDTK Riam Kiwa umur 24 bulan. BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014
7
LANSEKAP
ULAT DAUN, Heortia Vitessoides Moore : Musuh Petani Gaharu di Kalimantan Selatan Oleh : Fajar Lestari dan Beny Rahmanto
Pendahuluan Pengembangan tanaman penghasil gaharu di Kalimantan Selatan dilakukan dengan pembentukan Wana Tani. Pengembangan tanaman gaharu tersebar di beberapa daerah yaitu Rantau, Kandangan, Barabai, Balangan dan Tanjung. Pengembangan tanaman ini dimulai sejak tahun 2004 di Kandangan Hulu Sungai Selatan dan 2005 di Barabai Kabupatan Hulu Sungai Tengah. Pada tahun 2012, penanaman gaharu telah mencapai lebih dari 125.000 batang yang tersebar di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Balangan, dan Tabalong. Permasalahan yang sering muncul dalam pengembangan suatu tanaman berkaitan adanya serangan hama maupun penyakit, yang biasa dikenal dengan istilah organisme pengganggu tanaman (OPT). Demikian pula dengan pengembangan tanaman penghasil gaharu di Kalimantan Selatan, yang dilaporkan telah di serang hama. Serangan hama tersebut cukup meresahkan para petani gaharu dan berpotensi sebagai ancaman dalam pengembangan tanaman tersebut. Berdasarkan hasil identifikasi yang telah dilakukan diketahui bahwa hama tersebut adalah ulat daun Heortia vitessoides Moore (Lepidoptera) (Gambar 1 ). Sampai saat ini, ulat jenis ini dilaporkan merupakan hama yang paling penting dan dianggap potensial (Irianto et al. 2010). Hama ini telah dilaporkan menyebabkan kerusakan yang cukup berat pada tanaman gaharu di berbagai daerah di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bali, dan Lombok pada beberapa tahun terakhir
Gambar 1. Ulat jenis H. vitessoides menyerang dengan memakan daging daun gaharu
8
BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014
(Sitepu at al. 2011). Serangan pertama hama ulat gaharu terjadi pada tahun 2008 di Carita, Banten, Jawa Barat dan kerusakan yang ditimbulkan mencapai 100%. Serangan ini menyebabkan penggundulan daun sampai dengan kematian tanaman. Keseriusan akibat serangan hama ini juga terjadi di India, yakni menyebabkan tanaman gaharu kehilangan seluruh daunnya (Beniwal, 1989). Serangan dan ciri khas hama ulat daun Ulat H. vitessoides menyerang daun tanaman penghasil gaharu pada stadia larva dengan cara memakan pucuk tanaman, daging daun terutama daun muda dan ranting muda. Pada tahun 2010, serangan paling tinggi mencapai 41% di desa Gumbil kecamatan Telaga Langsat, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Ulat jenis ini menyerang pada berbagai pola tanam yaitu gaharu dengan karet, gaharu dengan jati, dan gaharu dengan rambutan serta penanaman gaharu secara monokultur. Hama ini bertelur pada daun tanaman penghasil gaharu. Telur biasanya ditemukan pada permukaan bawah daun yang ditandai dengan adanya bercak berwarna putih kecoklatan dan kasar apabila diraba (Gambar 2). Berdasarkan informasi diketahui bahwa telur ulat
diletakkan oleh ngengat dalam jumlah ratusan selama 10 hari.
Gambar 2. Telur ulat H. vitessoides menggunakan digital microscope dengan perbesaran 30x dan 182x Telur yang telah menetas menghasilkan ulat muda yang sangat banyak antara 200-400 ekor dalam satu koloni. Kelahiran ulat setelah menetas dikenal dengan ulat instar pertama yang diperkirakan berumur 1 sampai dengan 3 hari setelah menetas. Ulat – ulat muda tersebut ditemukan mengelompok dalam satu helai daun yang sedikit menggulung sangat kecil dan berwarna kuning terang dan berada pada pucuk (tajuk atas) dari tanaman. Koloni ulat muda melakukan aktifitas makan di permukaan atas maupun bawah daun muda dengan mengelompok membentuk koloni. Koloni ulat terdiri dari ratusan ekor ulat muda. Pada umur-umur tersebut aktifitas memakan yang dilakukan belum tinggi dan bagian daun yang dimakan biasanya pada ujung daun atau pangkal daun dengan memakan daging daunnya saja. Hal ini dikarenakan bagian – bagian tersebut masih sangat lunak dan kemampuan memakan ulat muda masih rendah (Gambar 3).
Gambar 4. Ulat dewasa berjajar di bawah permukaan daun dan aktifias makannya Kerusakan terberat biasanya ditimbulkan pada ulat umur 14 sampai dengan 18 hari. Pada umur ini pergerakan ulat lebih aktif menyebar pada seluruh tanaman mulai dari pucuk hingga tajuk bagian bawah. Ulat biasanya menempel pada tangkai daun dan ranting sehingga tidak terlihat apabila dilihat dari jarak yang cukup jauh. Ulat biasanya berjajar di bagian bawah permukaan daun tanaman, namun demikian ulat dapat dikenali dengan warna tubuhnya yaitu hijau sedikit kekuning-kuningan, kepala berwarna kuning kecoklatan serta adanya strip berwarna biru mengkilap sepanjang sisi kiri kanan punggung dari ujung kepala sampai ekor (Gambar 5). Ulat – ulat ini sangat sensitif dengan gerakan – gerakan seperti tanaman di goyang maka ulat akan berjatuhan dan kembali naik ke dahan dengan menggunakan sulur/sutra/benang.
Gambar 5. Morfologi ulat H. vitessoides menggunakan digital microscope dengan perbesaran 75x Gambar 3. Koloni dan aktifitas makan ulat setelah menetas Ulat instar selanjutnya menunjukkan perilaku yang berbeda dengan instar sebelumnya. Kemampuan memakan daun semakin banyak dan tingkat kerusakan daun gaharu semakin tinggi dengan bertambahnya umur ulat. Pada fase ini, ulat mulai menyebar ke seluruh bagian daun dalam satu tanaman serta membentuk lebih dari satu koloni yakni menggunakan sulur/sutra/benang (Gambar 4).
Populasi ulat jenis ini berkembang cukup cepat dengan siklus hidup yang pendek. Siklus hidupnya dimulai dari telur J larva (ulat) J pupa (kepompong) J Ngengat (imago). Fase larva (ulat) : 20 hari, fase pupa (kepompong) : 9 hari, fase ngengat (imago) : 7 hari. Pada saat fase larva (20 hari) terbagi menjadi tiga waktu yaitu 1) waktu aktif memakan daun mulai dari baru menetas (15 hari), 2) waktu puasa dalam rangka memasuki fase pupa (kepompong) (2 hari), 3) peralihan dari ulat menjadi pupa (kepompong) (3 hari).
BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014
9
Melakukan pengendalian dengan penyemprotan pestisida/insektisida nabati seperti Bachillus thuringiensis (bt), ekstrak daun dan biji mimba, ekstrak daun dan biji sirsak, ekstrak daun dan biji suren, ekstrak daun dan biji birik, ekstrak daun dan biji srikaya. Beberapa teknik pencegahan dan pengendalian yang telah dipaparkan di atas merupakan salah satu bentuk pengendalian yang ramah terhadap lingkungan. Pengendalian ramah lingkungan mulai digalakkan untuk mengurangi efek samping yang ditimbulkan akibat penggunaan pestisida kimia sintetik terhadap lingkungan. Selain merugikan bagi ekosistem di sekitarnya penggunaaan pestisida kimia sintetik juga berefek samping terhadap hama itu sendiri yaitu menjadi resisten. Gambar 6. Siklus hidup ulat H. vitessoides di Kalimantan Selatan Pengendalian dan pencegahan serangan hama ulat Pencegahan (preventive) artinya suatu tindakan yang dilakukan agar tanaman yang masih sehat terhindar dari penyakit, sedangkan pengendalian (control) artinya kita mengusahakan atau melakukan tindakan – tindakan terhadap tanaman yang sudah terserang hama /penyakit, dengan harapan agar tanaman akan sembuh dan tumbuh normal kembali (Anggraeni dan Lelana, 2011). Penggunaan pestisida harus dilakukan dengan hatihati guna meminimalisir dampak penggunaan pestisida. Penggunaan pestisida harus berdasarkan prinsip sebagai berikut : 1) Legal : penggunaan pestisida harus mengikuti peraturan atau undang-undang yang berlaku. Hal ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif pestisida. 2) Benar : penggunaan pestisida harus sesuai rekomendasi dari produsen dan sesuai dengan syarat-syarat teknis aplikasinya. Hal ini bertujuan agar penggunaan pestisida efektif. 3) Bijaksana : penggunaan pestisida sesuai dengan tujuan utamanya. Penggunaan pestida yang rasional, mengedepankan akal sehat, tidak berlebihan dan sejalan dengan konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Dalam kasus serangan hama ulat pada tanaman penghasil gaharu beberapa teknik pengendalian dilakukan dengan beberapa variasi yang sesuai dengan konsep pengendalian hama terpadu (PHT) yang dapat diterapkan antara lain : Pengaturan pola tanam, komposisi tegakan dan menggunakan tanaman pencampur yang tidak disukai hama. Melakukan monitoring, mengambil/menangkap ulat dengan cara memotong bagian ranting/daun yang menjadi inang ulat apabila ulat yang ditemukan masih muda (umur 1-3 hari), ataupun dengan menggoyang tanaman apabila ulat yang ditemukan telah dewasa. Menggunakan musuh alami (predator) seperti semut rang – rang.
10
BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014
Penutup Serangan hama ulat H. vitessoides bersifat sporadis dan fluktuatif, serta perkembangannya sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya. Monitoring secara rutin dan pengaturan pola penanaman perlu diterapkan guna meminimalisir terjadinya ledakan ulat sehingga tanaman gaharu yang sehat, lestari dan berkelanjutan dapat terwujud. Tindakan pengendalian harus dilakukan pada tanaman dengan tingkat serangan yang tinggi, namun pengendalian ini harus tetap bermuara pada konsep PHT yang ramah lingkungan. Pengendalian yang dilakukan harus tepat dan terpadu karena populasi ulat berkembang secara cepat, siklus hidup ulat pendek, dan sering berulang dalam kurun waktu tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan trubusan pasca serangan. Bahan Bacaan Anggraeni, I dan N. E. Lelana. 2011. Diagnosis Penyakit Tanaman Tanaman Hutan. Kementrian Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Litbang Produktifitas Hutan. Bogor. Beniwal, B.S. 1989. Silvical characteristics of Aquilaria agallocha Roxb. Indian Forester 79: 17-21. Irianto, R., E. Santoso, M. Turjaman, I.R. Sitepu. 2010. Hama pada tanaman penghasil gaharu. Dalam Siran, A.S. dan M. Turjaman (eds.) Pengembangan Teknologi Produksi Gaharu Berbasis Pemberdayaan Masyarakat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Bogor. Hal. 151 – 156. Sitepu, I.R., E. Santoso, S.A. Siran, and M. Turjaman. 2011. Fragrant Wood Gaharu: When the Wild Can No Longer Provide. Indonesia’s Work Programme for 2011 ITTO PD 425/06 Rev 1(I) R&D Center for Forest Conservation and Rehabilitation, Bogor, Indonesia. Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi, 2013. Rekam Jejak Gaharu Inokulasi Teknologi Badan Litbang Kehutanan. Forda Press, Bogor.
PROFIL
Sukses Berkat
Doa Ibu Terlahir dari keluarga sederhana di Ponorogo, Tri Joko
program KFF, jadi sambil saya bekerja sambil menjalankan
Mulyono meniti karir sebagai PNS di Kemenhut. Dibalik
hobby... sinergikan semuanya. Dan tidak dikotomikan.
capaian karir saat ini sebagai Sekretaris Badan Litbang Kehutanan, ada ibu yang selalu berdoa bagi anaknya tercinta.
Bagaimana budaya kerja yang bapak harapkan, apalagi setelah tunjungan kinerja telah kita terima?
berkesempatan
Saya tidak punya sesuatu yang baru karena hanya
mewawancarai beliau dalam kunjungannya ke BPK
melaksanakan, ikuti aturan yang sudah ada untuk
Banjarbaru pada tanggal 6 Maret 2014 lalu, berikut
mendorong pada budaya kerja yang baik. Yang terpenting
petikannya :
adalah :1). Komunikasi, sangat penting untuk menciptakan
Tim
redaksi
majalah
Bekantan
komunikasi yang baik antara pegawai dalam satu instansi.
Bagaimana bapak mengatur waktu antara pekerjaan, keluarga dan kesenangan pribadi
2). Kita bekerja sebagai satu kesatuan, masing-masing
Saya dididik untuk bekerja, saya bukan dari keluarga
kepercayaan. Saya akan kesulitan bekerja bila sekretaris
pejabat, segala sesuatu harus dilakukan dengan serius dan
saya nggak masuk. Saya pusing karena minum nggak
disiplin. Itulah nasehat dari ibu saya. Dalam pemikiran
ada dll. Bila kita dilibatkan dalam institusi adalah menjadi
saya disiplin dalam melaksanakan tugas adalah kewajiban
baut jadi lah baut yang kuat. Kita punya kewajiban, dan itu
dan itu tidak memerlukan biaya. Melaksanakan tugas,
adalah pilihan kita yang cuma sekali
tidak perlu merasa hebat. Orang seperti itu justru krisis
keluarga kesenangan pribadi, harus disinergikan. Kalau kehidupan keluarga tergantung pada kantor jadi jangan
Bagaimana peneliti itu seharusnya ?
menduakan kantor. Karena seriusnya di pekerjaan akan
Saya tidak menjawab secara khusus seorang peneliti
berakibat baik untuk keluarga juga, jangan sekali-kali
itu harus seperti apa. Tapi bagi saya Litbang bukan masinis,
keluarga merasakan di nomer dua kan. Untuk kesenangan
justru Litbang adalah rel yang akan menuntun kemana
pribadi, silahkan masuk dikantor saya, musik selalu saya
arah pembangunan Kehutanan. Jadi Litbang sebagai dasar
putar diruangan saya. Foto cucu menghiasi ruangan
pengambilan kebijakan Kehutanan. Karenanya Peneliti
kantor saya, fotografi adalah hoby saya jadi saya membuat
harus siap dalam perputaran roda Kehutanan. BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014
11
Harapan bapak terhadap BPK Banjarbaru ?
ratusan orang. Ayah saya meninggal sejak saya masih
tupoksinya.
kecil, jadi ibu yang membesarkan dan mendidik saya
Hayati tupoksi kita, kemudian lakukan reposisi, dan
dan saudara-saudara saya. Sungguh tanpa doa ibu saya
mengakomodir isu-isu aktual di sekitar kita. Penelitian
yang hanya berjuang sendiri membesarkan kami, yang
dasar dan teknologi tinggi harus dikuasai. BPK Banjarbaru
tanpa pamrih dan sampai saat ini terus bekerja. Jadi itulah
harus sebagai problem solving dan menjadi rujukan bagi
yang menjadi penguat saya dalam setiap kesempatan
pemecahan masalah Kehutanan di wilayah kerjanya, jadi
dimanapun dan kapan pun.
Setiap
institusi
di
bangun
ada
tidak hanya menjawab apa, tapi bagaimana. Meningkatkan penguasaan teknologi dasar, karena daya saing diperlukan dalam tingkat tanggap Iptek. Kita harus menjadi inovator, referensi, dan pusat ilmu pengetahuan.
Apa motto hidup bapak? Doa ibu adalah segalanya. Saya tidak akan jadi seperti saat ini tanpa doa ibu. Setiap ke bandara saya telepon ibu mohon doa, setiap memimpin rapat saya telpon ibu saya minta doa ibu bahwa saya memimpin rapat yang dihadiri
BIODATA
12
Nama Lengkap Tempat/Tanggal Lahir
: :
Ir. Tri Joko Mulyono, M.M Kab. Ponorogo, 13 Juli 1958
Agama Pendidikan
: :
Jabatan
:
Diklat
:
Karir
:
Islam S1, Iinstitut Pertanian Bogor, 1981 S2, Manajemen Keuangan, Universitas Satyagama Jakarta, 1997 Sekretaris Badan Pada Sekretariat Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Training Course On Audit International Training Workshop On Tropical Forest & Timber Trade Statistic, 1998 Pengenalan Iso 9000, 1993 Bahasa Inggris - 1991 Penguji Moulding, 1990 Pengawas Pengujian, 1987 Dasar-dasar Amdal, 1985 Sekretaris Badan Pada Sekretariat Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, 22-04-2013 s/d sekarang Direktur Pada Direktorat Pengukuhan, Penatagunaan dan Tenurial Kawasan Hutan, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, 28-08-2012 Direktur Pada Direktorat Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, 01-04-2011 Direktur Pada Direktorat Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, 12-10-2010 Kepala Sub Direktorat Penataaan Ruang Kawasan Hutan II Pada Direktorat Perencanaan Kawasan Hutan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, 25-02-2009 Kabid Penyusunan Rencana Umum Kehutanan Pada Pusat Rencana Dan Statistik Ke- Hutanan Baplan Kehutanan Di Bogor, 15-07-2008 Kabid Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan Pada Pusat Wilayah Pengelolaan Kawasan Hutan Badan Plano Logi Kehutanan, 13-07-2005 Kabid Penerapan Standar Dan Evaluasi Lingkungan Pada Pustandarling Setjen Dephut, 25-04-2001 Kabid Standarisasi Dan Lingkungan Kehutanan Pada Pusat Standarisasi Dan Lingkungan Hutbun, 0603-2000 Kabid Standarisasi Dan Lingkungan Kehutanan, Pusat Standarisasi Kehut. Dan Perkebunan Dephutbun, 03-06-1999 Kasi Sarana Pengujian Hasil Hutan Pd Ditjen PH, 23-03-1993 Pjs.kasi Sertifikasi Pada Bishh Iii Palembang, 16-06-1986 Staf Pada Kanwil Dephut Propinsi Sumatera Selatan, 01-03-1985
BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014
FOKUS
SELAMATKAN HUTAN KITA Oleh: Marinus Kristiadi Harun, S.Hut., M.Si
“Tatapilah Hutan dengan Mata Hati, Agar Bisa Kau Baca Kalam Illahi” PENDAHULUAN
wilayah hutan berkerapatan tinggi yang ada di Sumatera dan Kalimantan, lokasi dimana konversi akibat hutan hujan
tanaman industri dan perkebunan sawit berkembang amat
tropis terluas ketiga di dunia, setelah Brasil dan Kongo
marak selama 20 tahun terakhir. Tingginya laju deforestasi
Indonesia
merupakan
pemilik
hutan
dengan luas sekitar 109 juta ha. Oleh karena itu, hutan
hutan di Indonesia ini membuat Guiness Book of The
tropis merupakan salah satu sumberdaya alam yang
Record menganugrahi Indonesia sebagai negara yang laju
penting bagi Indonesia, dengan sumbangan yang tinggi
kerusakan hutannya tercepat di dunia. Sebuah prestasi
bagi pendapatan ekspor, lapangan kerja, serta sumber
yang tidak patut untuk dibanggakan.
penghidupan bagi masyarakat lokal. Menurut Dudley (2002)
Saat ini diperkirakan luas hutan alam yang
paling tidak empat belas juta orang menggantungkan
tersisa hanya 28%. Jika tidak segera dihentikan, maka
hidupnya secara langsung pada hutan. Hasil hutan
hutan yang tersisa akan segera musnah. Kerusakan
mencakup lebih dari 11% dari pendapatan ekspor selama
hutan di Indonesia terutama
1994 – 1999. Namun sangat disayangkan, kondisi hutan
penebangan liar (illegal logging), (b) kebakaran hutan
hujan tropis kita saat ini hampir
telah
dan lahan, (c) kegiatan penambangan, (d) peralihan
setengahnya
disebabkan
oleh: (a)
Hal ini menempatkan Indonesia sebagai
fungsi hutan (konversi) menjadi perkebunan skala besar
negara pada peringkat kelima di belakang Rusia, Brasil,
dan hutan tanaman industri, dan (e) penebangan yang
Amerika Serikat, dan Kanada dalam hal hilangnya hutan.
tidak lestari (unsustainable logging). Industri pengolahan
Sedangkan laju penanaman (reboisasi) hanya mencapai
kayu Indonesia saat ini membutuhkan sekitar 80 juta
sekitar 7 juta ha selama periode tersebut. Namun dari lima negara hutan di atas, berdasarkan persentase, maka
meter kubik kayu untuk memenuhi kebutuhan industri penggergajian, kayu lapis, kertas, dan pulp. Lebih dari
Indonesia berada di peringkat pertama dari laju kehilangan
setengahnya didapatkan dari hasil pembalakan illegal
hutan yaitu 8,4 persen. Sebagai perbandingan, Brasil
di hutan alam. Tabel 1 menjelaskan estimasi deforestasi
hanya kehilangan separuh dari proporsi tersebut. Dari 98
setiap tahun di Indonesia (ribu ha).
terdegradasi.
persen kehilangan hutan di Indonesia, deforestasi terjadi di Tabel 1 Estimasi deforestasi setiap tahun di Indonesia (ribu ha)
Sumber: Sunderlin et.al 1997. BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014
13
Tabel 2 menjelaskan perubahan pandangan
pengaruh langsung pada perilaku para pelaku. Contoh-
mengenai penyebab deforestasi di Indonesia sejalan
contoh parameter-parameter yang dimaksud adalah:
dengan waktu. Penyebab deforestasi harus diklasifikasi
harga-harga relatif; akses relatif ke sumberdaya dan pasar;
dalam tiga tingkatan penjelasan yakni: pelaku; penyebab
ketersediaan teknologi; peraturan-peraturan mengenai
langsung; dan penyebab yang mendasari perubahan
penggunaan sumberdaya; dan tradisi kebudayaan. Ketiga,
tutupan hutan (underlying cause). Pertama, Pelaku merujuk
penyebab yang mendasari perubahan tutupan hutan
pada orang-orang atau
petani
mencakup kekuatan-kekuatan nasional, regional, atau
rakyat, perusahaan HPH, perkebunan atau HTI) yang
organisasi
(misalnya
internasional yang dapat mengatur pengaruh parameter-
mempunyai peranan fisik dan/atau peranan membuat
parameter keputusan. Contoh-contoh kekuatan-kekuatan
keputusan langsung dalam perubahan tutupan hutan.
demikian adalah struktur sosial, hubungan kekuasaan, pola
Kedua, penyebab langsung perubahan tutupan hutan
akumulasi modal, ketentuan-ketentuan perdagangan, dan
adalah parameter-parameter keputusan yang mempunyai
perubahan-perubahan demografis dan teknologi.
Tabel 2 Perubahan pandangan mengenai penyebab deforestasi di Indonesia sejalan dengan waktu
Keterangan: Petak yang diberi warna gelap menunjukkan bentuk pelaku/penyebab yang memegang peran utama dalam deforestasi. Sumber: Sunderlin et.al 1997.
14
BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014
2 km . Sebagaimana di pulau-pulau lainnya, penyebaran
KONDISI AKTUAL HUTAN KALIMANTAN yakni
penduduk di Kalimantan pun tidak merata, daerah yang
Kalimantan Barat (Kalbar), Kalimantan Tengah (Kalteng), Kalimantan Selatan (Kalsel), Kalimantan Timur (Kaltim) dan
terpadat ialah Kota Banjarmasin mencapai 8.606 jiwa per 2 km . Sekitar 17,25 persen penduduk Kalsel bermukim di
Kalimantan Utara (Kaltara) yang merupakan provinsi baru
Banjarmasin. Beberapa daerah padat lainnya ialah Kota
hasil pemekaran dari Kaltim. Secara keseluruhan meliputi 2 areal seluas 587.013 km . Pulau Kalimantan mempunyai 2 luas 743.330 km (sebagian termasuk wilayah Negara
Pontianak, Samarinda, Balikpapan, Kabupaten Kotabaru
Malaysia dan Brunei Darussalam) merupakan pulau
meningkat, terutama terhadap hutan.
terbesar ke 3 di dunia setelah Pulau Greenland dan Papua
Laju deforestasi di Kalimantan demikian cepatnya, dikarenakan banyaknya penebangan hutan secara liar
Kalimantan
meliputi
lima
provinsi
dengan luas hutan mencapai 40,8 juta hektar.
dan Tanah Laut. Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, maka tekanan terhadap lingkungan pun makin
Pada tahun 1971 jumlah penduduk di Kalimantan
dan banyaknya tambang (tambang minyak, gas dan
hanya 5,2 juta jiwa, tahun 1980 menjadi 6,7 juta jiwa,
batu bara) yang meninggalkan lubang – lubang besar.
tahun 1990 menjadi 9,1 juta jiwa, kemudian tahun 2010
Diperkirakan penebangan hutan berlangsung dengan
menjadi 13,8 juta jiwa. Laju pertumbuhan penduduk (LPP)
kecepatan sekitar 1 persen per tahun, atau sekitar 20-
antara tahun 1971-1980 mencapai 3,04 persen per tahun,
40 hektar hutan hilang tiap menit. Menurut laporan FAO
dan antara 1980-1990 menjadi 3,23 persen per tahun.
tahun 1989, laju kerusakan hutan di Kalimantan mencapai
Sedangkan laju pertumbuhan penduduk antara 1990-2010
lebih dari 600 ribu ha per tahun, dan merupakan yang
masih melampaui 2,5 persen. Angka tersebut melampaui
paling tinggi dibanding pulau-pulau lainnya di Indonesia.
rata-rata nasional. LPP yang tinggi terutama disebabkan
Menurut Save Our Borneo (SOB), sekitar 80 persen
banyaknya pendatang terutama transmigrasi. Dengan
kerusakan hutan yang terjadi di Kalimantan disebabkan
demikian angka kepadatan penduduk (densitas) pun terus 2 meningkat, jika pada tahun 1971 hanya 10 jiwa per km , 2 tahun 1980 menjadi 12 jiwa per km , tahun 1990 mencapai 2 17 jiwa per km , dan tahun 2010 melampaui 23 jiwa per
oleh perluasan areal perkebunan sawit oleh perusahaan besar dan sekitar 20 persen karena pertambangan dan area transmigrasi. Kerusakan paling luas terjadi di Provinsi Kalimantan Tengah, yaitu mencapai 256 ribu ha per tahun, atau sekitar 2,2 persen per tahun. Menurut data yang dikeluarkan
Kementerian
Kehutanan,
angka
deforestasi di Kalimantan pada Tahun 2000 sampai dengan
Tahun
2005
mencapai sekitar 1,23 juta ha. Hal ini berarti sekitar 673 ha hutan di Kalimantan mengalami setiap
deforestasi
harinya
pada
periode tersebut. Menurut data
Greenpeace
hutan
di Kalimantan hanya akan tersisa seluas 25,5 juta ha di Tahun 2010. laju hutan
Ditinjau
dari
penurunan
tutupan
alamnya,
penyusutan di
hutan
Kalimantan
proses alam sudah
terjadi sejak dekade 90an dan terus mengalami penyusutan.
Dari
luas
sekitar 38,59 juta hektar BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014
15
pada tahun 1990 (73,91 % dari luas Kalimantan),
menurun menjadi 29,48
juta hektar pada tahun 2000, pada tahun 2003 seluas 28,42 juta hektar, dan tersisa 25,48 juta hektar pada tahun 2009. Secara keseluruhan
tutupan hutan alam di
Pulau Kalimantan saat ini diperkirakan kurang lebih 47,57 % dari luas pulau, atau
terjadi penurunan rata-rata 720
ribu hektar per tahun sejak tahun 1990. Berkurangnya luasan dan kualitas hutan di Kalimantan menjadi ancaman serius bagi keanekaragaman hayati. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keragaman hayati di pulau ini tercatat paling tidak ada 222 jenis mamalia, 420 jenis aves, 136 jenis ular, 394 jenis ikan tawar dan lebih dari 3.000 jenis pepohonan. Hutan Kalimantan juga merupakan “bank genetik” (plasma nutfah)
untuk
keperluan
pemuliaan
tanaman (plant breeding), serta banyak terdapat tumbuhan
obat-obatan dan
florikultur seperti anggrek. Gambar 1 Laju deforestasi yang terjadi di Kalimantan sejak Tahun 1950 sampai dengan Tahun 2010 dan prediksi kondisi hutan pada Tahun 2020 (Sumber: Radday, 2007).
16
BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014
Gambar 2 Grafik Kehilangan Tutupan Hutan di Kalimantan
PEMBANGUNAN “EKONOMI HIJAU” SEBAGAI KONSEP PENYELAMATKAN HUTAN
Indonesia tumbuh di atas ribuan pulau yang terbentang dalam jarak “dari London, Inggris, ke Kairo, Mesir.” Kondisi ini menumbuhkan macam-ragam ekosistem dengan
Kita patut bersyukur mempunyai hutan hujan
aneka-ragam sumber alam hayati yang menempatkan
tropis, sebab di bumi hanya ada tiga kawasan hutan raksasa
Indonesia sebagai negara dengan posisi nomor satu di
yang khas sifatnya, yaitu Amazon di Brazil, Hutan Konggo
bumi untuk sumber alam kupu-kupu, nomor dua untuk
di Afrika dan Hutan Hujan Tropis di Indonesia. Hutan di
mamalia, dan nomor tiga untuk reptile. Hal tersebut masih
Brazil dan Afrika terletak di kawasan benua, sedangkan
ditambah dengan keanekaragaman hayati fauna-flora
hutan hujan tropis di Indonesia adalah satu-satunya di
serta mikro-organisme yang belum banyak diteliti. Oleh
bumi ini yang terletak di ribuan pulau, sehingga memiliki
karena itu menjaga keberadaan hutan menjadi penting
sifat unik yang tak terbandingkan. Hutan hujan tropis
dan mutlak. BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014
17
Pola pembangunan dan pertumbuhan yang
merupakan hal yang terus berulang setiap tahun dan
dicanangkan harus menghindari terjadinya kerusakan
terjadi di hampir seluruh daratan Kalimantan sehingga
lingkungan dan menurunnya keanekaragaman hayati. Para
kemiskinan meningkat
Pihak (stakeholders) selayaknya bersinergi untuk melakukan
sumber pokok masyarakat dan beberapa potensi ekonomi
perencanaan tata ruang wilayah berbasis ekosistem sesuai
lokal. Hilangnya tutupan hutan alam juga menyebabkan
dengan karakteristik dan kondisi masing-masing daerah.
terjadinya fragmentasi dan penyempitan habitat, dan
Konsep pembangunan yang dapat dikemukakan adalah
menimbulkan
“Ekonomi Hijau”.
hayati
yang
dan menyebabkan hilangnya
ancaman akan
kepunahan
menentukan
keanekaragaman keberhasilan
dan
Definisi Ekonomi hijau menurut UNEP (2010)
keberlanjutan pembangunan dan kehidupan manusia
adalah kegiatan ekonomi yang mampu meningkatkan
yang berkualitas. Untuk menjaga dan mempertahankan
kesejahteraan
keseimbangan
secara
manusia
bersamaan
dan
keadilan
mengurangi
sosial
yang
lingkungan
di
Pulau
Kalimantan,
signifikan
beberapa upaya dan inisiatif telah dilaksanakan oleh
dampak kerusakan lingkungan hidup dan kelangkaan
pihak-pihak yang berkepentingan, seperti: (a) Pemerintah
ekologis. Untuk mendorong terjadinya transisi ke
telah menetapkan beberapa kawasan-kawasan hutan
ekonomi hijau tersebut, diperlukan kondisi pemungkin
menjadi kawasan konservasi dan hutan lindung. Saat
(enabling condition) yang terdiri dari regulasi nasional
ini, di Pulau Kalimantan terdapat 18 Cagar Alam,
dan regional, intervensi subsidi dan insentif serta
2 Suaka Margasatwa, 1 Tahura, 8 Taman Nasional, 8
pengembangan kebijakan, peraturan perdagangan dan
Taman Wisata Alam dengan total luas sekitar 4,8 Juta
bantuan. Dengan demikian, diharapkan pembangunan
hektar. Sementara Hutan Lindung telah ditetapkan
ekonomi yang dilakukan sekaligus dapat menjawab isu-
seluas 6,820,539.171 hektar; (b) Pemerintah daerah yang
isu lingkungan dan kemiskinan, khususnya dalam rangka
berada pada DAS Kapuas telah membuat kesepakatan
mengimplementasikan komitmen Pemerintah RI untuk
untuk menjaga DAS Kapuas (tahun 2002); dan (c) Dalam
menurunkan emisi karbon sebesar 26% hingga tahun
rangka memasukkan pertimbangan lingkungan pada
2025, dimana 53% berasal dari konservasi lahan gambut
perencanaan pengembangan wilayah, pemerintah dan
dan 36% berasal dari sektor kehutanan.
pemerintah daerah wajib menjalankan instrument Kajian
Terkait dengan Masterplan
secara
Percepatan dan
Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) terhadap kebijakan,
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)
rencana dan program baik di tingkat pulau, propinsi, dan
maka Pemerintah telah menetapkan Koridor Ekonomi
kabupaten; (d) Untuk menjaga dan memelihara ekosistem
Kalimantan dengan tema pembangunan “Pusat Produksi
dataran tinggi dan pembangunan berkelanjutan di
dan Pengolahan Hasil Tambang dan Lumbung Energi
Kalimantan, pemerintah telah membuat strategi nasional
Nasional”. Di dalam strategi pembangunan ekonominya,
inisiatif Heart of Borneo (HoB) dan melalui PP 26 tahun
Koridor
Ekonomi
Kalimantan berfokus pada enam
2008, pemerintah telah menetapkan kawasan HoB sebagai
kegiatan
ekonomi
utama,
gas
Kawasan Strategis Nasional (KSN) Jantung Kalimantan; (e)
bumi, batubara, kelapa sawit, besi dan baja, bauksit dan
yaitu:
minyak
dan
Penetapan kawasan-kawasan konservasi yang ada saat
perkayuan yang memiliki potensi yang sangat besar untuk
ini belum cukup mengakomodasi keterwakilan tipe-tipe
menjadi mesin pertumbuhan ekonomi koridor ini.
ekosistem penting di Kalimantan, dan belum mencakup
Dalam dokumen perencanaan penerapan MP3EI
seluruh daerah jelajah dan sebaran satwa-satwa liar yang
ada indikasi pemanfaatan potensi pertambangan yang
dilindungi Undang-Undang. Untuk itu telah dibangun
mengancam keutuhan kawasan-kawasan konservasi dan
dan dikembangkan koridor ekologi di Kalimantan, yaitu
ekosistem esensial lainnya. Apabila rencana ini diterapkan
Koridor Betung kerihun-Danau Sentarum, yang telah
tanpa mempertimbangkan nilai-nilai penting dan strategis
ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Kabupaten (KSK)
dari kawasan-kawasan tersebut, maka dikhawatirkan akan
Labian-Laboyan di kabupaten Kapuas Hulu. Saat ini
menyebabkan tidak konsistennya tujuan MP3EI dengan
dikembangkan Koridor Kayan Mentarang-Betung kerihun
program nasional lainnya seperti RAN-GRK, konservasi
dan Koridor Muller-Schwanner sebagai koridor ekologi
SDA, dan Indonesia Biodiversity Strategy and Action
lainnya; (f). Pemerintah melalui unit UKP4 (Satgas REDD+)
Plan (IBSAP). Menurunnya tutupan hutan alam ini telah
telah menetapkan Provinsi Kalimantan Tengah sebagai
menyebabkan timbulnya berbagai gangguan terhadap
propinsi percontohan penerapan REDD+ yang nantinya
kehidupan manusia, tumbuhan dan satwa liar di Pulau
juga akan diterapkan di Provinsi Kalimantan Timur; (g)
Kalimantan. Hidup dan kehidupan manusia terganggu
Perairan laut Kalimantan bagian Timur termasuk ke dalam
karena seringnya terjadi bencana banjir, tanah longsor
Coral Triangle Initiative (CTI) yang disepakati oleh
dan kekeringan. Gagal panen dan kesulitan air bersih
6 kepala Negara tahun 2009 dengan tujuan untuk
18
BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014
pengelolaan terumbu karang, perikanan berkelanjutan,
membuat MoU untuk mengelola kawasan perairan laut di
dan ketahanan pangan bagi masyarakat pesisir di 6
bentang Sulu Sulawesi Marine Ecoregion (SSME) yang
negara (Indonesia, Malaysia, Filipina, Timor Leste, Papua
bertujuan untuk mengelola kawasan perlindungan laut,
Nugini dan Kepulauan Solomon). Pada pertemuan tingkat
perikanan berkelanjutan, dan perlindungan spesies laut
menteri bulan Oktober 2011 telah disepakati Indonesia
langka dan terancam punah. Wilayah perairan Kalimantan
sebagai sekretariat regional permanen CTI; (h) Pada tahun
Timur antara lain kawasan perlindungan laut Berau
2004, pemerintah Indonesia, Malaysia dan Filipina telah
termasuk ke dalam wilayah SSM. Gambar 5 menjelaskan tentang
peta
kawasan
penting
Kalimantan
ekosistem
yang
perlu
dipertahankan. Gambar 4 menggambarkan kondisi tutupan hutan di Kalimantan jika
upaya
penyelamatan
huta
tidak
dilakukan. Skenario ini merupakan implementasi
MP3EI
pendekatan
ekonomi
tanpa
hijau.
Pada
skenario ini, laju deforestasi dan degradasi yang selama ini terjadi akan terus berlanjut dan semakin meningkat sejalan dengan upaya-upaya untuk percepatan pembangunan ekonomi d
i
enam sektor prioritas dan infrastuktur pendukungnya
sebagaimana
dituangkan dalam PerPres MP3EI. Dengan menggunakan skenario ini maka laju deforestasi yang akan terjadi diprediksi sebesar 10,3 juta hektar pada tahun 2025 (berdasarkan
Gambar 3 Peta Kawasan Ekosistem Penting Kalimantan Yang Perlu Dipertahankan
pada
Sumber: Laporan MP3EI, 2011
rata-rata
investasi
tahunan
tanpa MP3EI; untuk analisis pada paragraf berikutnya perlu
regresi
deforestasi dengan besaran investasi d
i
enam sektor sebagai independen variable). Dampaknya: (1) Penurunan fungsi ekosistem dan tata air, (2) Peningkatan emisi gas rumah kaca,
( 3 )
Kepunahan keanekaragaman hayati,
( 4 )
Penurunan
nilai
natural
kapital
(ancaman
terhadap
keberlanjutan
investasi),
(5)
Peningkatan
pencemaran, (6) Penurunan kualitas hidup dan (7) terancamnya sistem sosial
budaya masyarakat yang
mengakibatkan konflik sosial. Oleh
karena
itu,
agar
pembangunan di Kalimantan dapat berjalan dengan lestari dan selaras dengan lingkungan hidup maka perlu Gambar 4 Prediksi Tutupan Hutan tahun 2020 berdasarkan “Business As Ussual Scenario”
adanya skenario yang menerapkan prinsip-prinsip Better Management
Sumber: Laporan MP3EI, 2011 BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014
19
PENUTUP
Practices (BMP) dan Responsible Cultivation Area (RCA) untuk sektor yang mengelola sumberdaya alam hayati seperti perkebunan dan kehutanan.
Sampai pada tingkat tertentu deforestasi di
Penerapan BMP dan RCA pada sektor berbasis
Indonesia pada umumnya dan di Kalimantan pada
SDA hayati diperkirakan dapat menahan laju deforestasi.
khususnya
Gambar 5 menggambarkan kondisi yang ingin dicapai
kebutuhan akan produksi pangan yang meningkat dan
dengan menerapkan BMP dan RCA.
untuk kegiatan-kegiatan lain yang berhubungan dengan
memang
diperlukan
untuk
memenuhi
perkembangan ekonomi. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia telah menetapkan hutan konversi
(kira-kira
seperempat
dari keseluruhan lahan hutan) sebagai kawasan-kawasan
yang
tepat
untuk
deforestasi. Agar dapat mengatasi masalah yang terjadi akibat hilangnya tutupan hutan yang tidak seharusnya di Indonesia, perlu diketahui laju perubahan tutupan hutan dan penyebabnya. Keraguan dan kerancuan fundamental mengenai laju dan penyebab deforestasi di Indonesia harus diselesaikan. Pemahaman situasi secara lebih baik merupakan prasyarat untuk merancang kebijakan-kebijakan baru Gambar 5 Predisksi Tutupan Hutan tahun 2020 dengan menerapkan BMP dan RCA Sumber: Laporan MP3EI, 2011
dan
menyesuaikan
kebijakan-kebijakan
yang ada dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar dan
Selain itu kita harus terus mendorong agar
di dalam hutan dan konservasi serta
pembangunan ekonomi yang dilakukan di Kalimantan
pengelolaan hutan-hutan di Indonesia.
selalu
Hijau
Selain itu, upaya menyelamatkan hutan
yang mencakup 6 kegiatan ekonomi dan infrastruktur
Kalimantan juga perlu menghilangkan
pendukungnya. Pendekatan tersebut diharapkan dapat
kecenderungan
semakin membuat kegiatan pembangunan yang dilakukan
tunggal,
di Kalimantan semakin ramah lingkungan. Hal ini seperti
deforestasi tertanam dalam kekuatan-
digambarkan pada Gambar 6.
kekuatan sosio-ekonomis yang mapan dan
menggunakan
Pendekatan
Ekonomi
karena
luas jangkauannya.
Gambar 6 Prediksi Tutupan Hutan tahun 2020 dengan menerapkan MP3EI pada 6 kegiatan ekonomi di Kalimantan. Sumber: Laporan MP3EI, 2011
20
BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014
mencari
penyebab
penyebab-penyebab
FOKUS
PROFESIONALISME RIMBAWAN UNTUK PENYELAMATAN HUTAN (Memperingati Hari Bakti Rimbawan Tahun 2014)
Marinus Kristiadi Harun dan Adnan Ardhana
”No Forest, No Future” Pendahuluan Laju kerusakan hutan di Indonesia pada umumnya dari waktu ke waktu terus mengalami peningkatan dan mencapai puncaknya pada tahun 2003 dengan laju pengurangan hutan (deforestasi) mencapai 3,8 juta hektar tiap tahun dengan kerugian negara mencapai Rp. 30 trilyun per tahunnya (Nugraha dan Murtijo, 2005). Faktor mendasar yang menyebabkan kerusakan sumberdaya hutan adalah adanya anggapan hutan sebagai sumber ekonomi yang dapat diperoleh dengan cepat, mudah dan murah. Anggapan tersebut mengakibatkan sumberdaya hutan dipandang sebagai kawasan terbuka (open property resources) yang bebas untuk dimanfaatkan. Dalam pandangan ini setiap anggota masyarakat merasa berhak atas pemanfaatan hutan tanpa mengindahkan aturan/ norma. Akibatnya, setiap orang akan mengeksploitasi hutan semaunya tanpa mempedulikan dampak negatif terhadap orang lain dan kelangkaan sumberdaya hutan diabaikan sama sekali. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Hardin (1968) sebagai “The Tragedy of the Commons” (tragedi massal).
Anggapan tersebut bertentangan dengan tujuan utama pengelolaan sumberdaya hutan yang secara normatif bertujuan untuk memanfaatkan seoptimal mungkin fungsi hutan. Sumberdaya hutan mempunyai tiga fungsi utama yang saling terkait satu sama lain. Pertama, secara ekonomi sumberdaya hutan diharapkan dapat menjadi sumber peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kedua, secara ekologi sumberdaya hutan diharapkan dapat menjadi salah satu faktor utama terwujudnya keberlanjutan ekosistem secara lintas generasi. Ketiga, secara sosial budaya sumberdaya hutan diharapkan dapat menjadi sumber kehidupan masyarakat melalui sistem dan praktek pengelolaan hutan. Ketiga fungsi pokok sumberdaya hutan tersebut haruslah dimanfaatkan secara adil dan demokratis dengan menjunjung tinggi aspek kelestarian dan keberlanjutannya sehingga dapat dinikmati oleh generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Ketentuan normatif sistem pengelolaan hutan tersebut dalam prakteknya mengalami kendala. Dominasi peran aspek ekonomi dalam aktualisasi praktek pengelolaan hutan cenderung mengemuka. Pengelolaan sumberdaya hutan pada prakteknya hanya mengedepankan kepentingan ekonomis semata. Kerusakan hutan dianggap sebagai resiko pembangunan yang wajar. Anggapan “kewajaran” ini seringkali mengakibatkan munculnya praktek-praktek yang semakin menyebabkan kerusakan
BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014
21
hutan, seperti penebangan liar (illegal logging) dan alih fungsi hutan tanpa analisis dampak lingkungan yang benar. Penempatan sumberdaya hutan yang semata-mata hanya untuk memenuhi kepentingan ekonomi, menyebabkan semakin rusaknya ekologi hutan. Akibat langsung dari deforestasi yang banyak kita rasakan adalah terjadinya bencana alam seperti banjir dan tanah longsor di musim hujan serta kekeringan dan kebakaran di musim kemarau. Berdasarkan kondisi tersebut di atas, maka refleksi pembangunan kehutanan yang dibahas dalam tulisan ini bertujuan untuk membahas upaya memperbaiki kondisi tersebut melalui pembangunan sumberdaya manusia kehutanan (rimbawan) yang profesional (menjunjung tinggi kode etik rimbawan). Rimbawan Sebagai Suatu Profesi Rimbawan menurut Kamus Kehutanan (1989) adalah seseorang yang berkecimpung dalam profesi bidang kehutanan. Mengupas definisi rimbawan, sangatlah luas dimensi yang tercakup di dalamnya. Membicarakan rimbawan, adalah berbicara mengenai orang yang bertanggung jawab mengelola sumberdaya hutan. Rimba atau hutan adalah induk pembahasan masalah sumberdaya lahan. Bukankah lahan pertanian berasal dari hutan yang dibuka, dibersihkan lalu ditanami. Semua kegiatan pengelolaan lahan bermula dari hutan, maka pembahasan mengenai definisi, peran dan tanggung jawab rimbawan mengacu pada perspekstif pelestarian alam. Oleh karena itu, rimbawan bukan sekedar profesi dengan syarat menyandang gelar tertentu, tetapi semua pihak yang bertanggung jawab atas pengelolaan alam ini khususnya hutan. Etika rimbawan bisa dimaknai dengan prinsip, sikap dan tindakan yang menunjukkan rasa peduli dan tanggung jawab terhadap pelestarian alam. Prinsip seorang rimbawan hendaknya selalu kokoh, tegas dan berkomitmen kuat untuk menjadikan hutan lestari dan bermanfaat untuk kemakmuran semua manusia. Dengan berprinsip seperti itu, maka sikap yang muncul dari seorang rimbawan adalah peduli, jujur, loyal, berhati-hati, teliti, kritis, bersahabat, dekat dengan alam dan sederhana. Sehingga tindakan yang mucul adalah tindakan yang mulia laksana seorang manusia yang diberi “amanat agung” oleh Tuhan untuk menjadi pengelola alam ini (khalifah). Dengan memahami prinsip, sikap dan perilaku rimbawan, maka segala perilaku yang menyimpang dari perbuatan mulia maka bisa dikatakan telah melanggar etika profesi rimbawan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia rimbawan adalah sebagai ahli kehutanan dan pecinta hutan. Dalam kamus tersebut juga terdapat istilah perimba, yakni orang yang mencari nafkah di hutan. Pergeseran budaya dan kemajuan
22
BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014
mungkin bisa digunakan sebagai landasan logika berpikir bahwa mencari nafkah di rimba bukan lagi para peramu, pemburu. Namun demikian, setiap orang yang bekerja pada sektor kehutanan belum tentu rimbawan. Perimba bisa juga menjadi seorang rimbawan, jika memiliki nilai "ahli" (pada taraf tertentu) tentang hutan dan juga mencintai hutan. Jika dibalik, apakah rimbawan bisa menjadi perimba, hal ini sangat mungkin ketika keahliannya tentang hutan tadi telah dilupakan dan kecintaan terhadap hutan telah luntur. Jadi semangatnya adalah semangat "mencari" nafkah saja. Rimbawan adalah merupakan sikap mental, pikiran, perhatian, dan dedikasinya untuk perbaikan dan pembangunan hutan Indonesia (Kartiko, 2008). Nilai-nilai yang ada didalam diri itulah yang menunjukkan apakah dia rimbawan atau bukan. Para pemikir di LIPI (atau dimana saja), para penggagas nasib rakyat di DPR bisa jadi seorang rimbawan yang baik walau mungkin tidak pernah masuk ke hutan tetapi mereka mencurahkan energi bagi perbaikan dan pembangunan hutan Indonesia. Dan orang yang memiliki dasar keilmuan kehutanan belum tentu seorang rimbawan ketika nilai yang diusung dalam kesehariannya adalah rupiah. Pada Tanggal 13 April 2007 Menteri Kehutanan menerbitkan Surat Edaran Nomor: SE.01/Menhut-II/2007 tentang Sembilan Nilai Dasar Rimbawan yang merupakan penjabaran dari empat kriteria utama sumberdaya manusia aparatur kehutanan dalam menjaring pejabat-pejabat dalam lingkup Departemen kehutanan. Maksud dari sembilan nilai dasar rimbawan ini dalam rangka pembentukan SDM Kehutanan yang proporsional dalam pengelolaan hutan secara adil dan lestari yang didasari iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta sadar akan pentingnya sumber daya hutan bagi kehidupan manusia. Nilai dasar rimbawan yang merupakan komitmen spiritual rimbawan dalam melaksanakan tugas pembangunan kehutanan tersebut harus dihayati, dipahami dan dilaksanakan oleh seluruh rimbawan. Sembilan nilai dasar rimbawan tersebut adalah: (1) Jujur, adalah sikap ketulusan hati dalam melaksanakan tugas dan kemampuan untuk tidak menyalahgunakan wewenang yang diberikan kepadanya. (2) Tanggung jawab, adalah kemauan dan kemampuan seseorang untuk menyelesaikan pekerjaan yang diserahkan kepadanya dengan sebaik-baiknya dan tepat waktunya serta berani memikul resiko atas putusan yang diambil atau tindakan yang dilakukannya. (3) Ikhlas, adalah sikap rela sepenuh hati, datang dari lubuk hati, tidak mengharapkan imbalan atau balas jasa atas sesuatu perbuatan khususnya yang berdampak positif pada orang lain, dan semata-mata karena menjalankan tugas atau amanah dari Tuhan Yang Maha Esa. (4) Disiplin, adalah sikap mental yang tercermin dalam perbuatan dan perilaku pribadi atau kelompok, berupa kepatuhan dan ketaatan terhadap aturan kerja, hukum dan norma kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara yang dilakukan secara sadar. (5) Visioner, adalah mempunyai wawasan/pandangan jauh ke masa depan dan arah tujuan yang ingin diwujudkan. (6) Adil, adalah perbuatan yang dilandasi rasa tidak sewenangwenang, tidak memihak (netral) serta proporsional sesuai peraturan/hukum yang berlaku. (7)Peduli, adalah sikap memperhatikan orang lain dan lingkungan sebagaimana ia memperlakukan dirinya sendiri. (8) Kerjasama, adalah kemauan dan kemampuan untuk bekerjasama dengan semua pihak dalam menyelesaikan suatu tugas yang ditentukan sehingga mencapai hasil guna dan daya guna yang sebesar-besarnya. (9) Profesional, adalah kemampuan konseptual, analisis dan teknis dalam bekerja yang diperoleh melalui pendidikan atau pelatihan yang dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab, berorientasi penghargaan dan kepuasan bersama sehingga keputusan dan tindakannya didasari atas rasionalitas dan etika profesi. Beberapa masalah yang muncul dalam pengelolaan hutan di Indonesia pada masa sekarang, tidak terlepas dari bagaimana rimbawan Indonesia bekerja. Ada tiga hal sumber kerusakan hutan yang datangnya dari rimbawan itu sendiri. Pertama, moral dan mental. Selama ini, banyak kebijakan-kebijakan kehutanan yang tidak berpihak kepada alam dan cenderung dikeluarkan berdasarkan kebutuhan sesaat atau kebutuhan saat itu. Hal ini mencerminkan posisi para pengambil kebijakan yang tidak memiliki moral seorang rimbawan, belum lagi banyaknya rimbawan yang ketika masih berstatus mahasiswa mengepalkan tangan diatas untuk kepentingan hutan, namun ketika duduk menjadi pengambil keputusan, ia sudah melupakan apa yang pernah ia perjuangkan. Kedua, pola pikir (mind set). Selama ini, ketika berbicara tentang hutan maka yang ada di benak kita adalah bagaimana memanfaatkan hutan untuk menghasilkan keuntungan secara ekonomi. Ini adalah cerminan pola pikir yang eksploitatif dan harus ditinggalkan. Ketiga, Skill. Rimbawan dituntut untuk memiliki keahlian dalam menangani permasalahan hutan dan kehutanan. Oleh karena itu rimbawan dituntut untuk mempunyai kompetensi, integritas dan independent. Ketiga hal tersebut menuntut seorang rimbawan untuk mempunyai kemampuan meningkatkan pengetahuan dan kemampuannya di bidang kehutanan. Penemuan jati diri sebagai seorang rimbawan perlu ditanamkan sehingga terciptanya kemandirian dalam bekerja. Perbaikan Rimbawan Pertama, masalah etika. Masalah kerusakan hutan menjadi masalah etika karena manusia seringkali lupa dan kehilangan orientasi dalam memperlakukan alam. Karena lupa dan kehilangan orientasi itulah, manusia lantas memperlakukan alam secara tanpa adanya tanggungjawab.
Pendekatan etis dalam menyikapi masalah kerusakan hutan sungguh sangat diperlukan. Pendekatan tersebut pertama-tama dimaksudkan untuk menentukan sikap, tindakan serta manajemen pengelolaan hutan dan seluruh anggota ekosistem di dalamnya dengan tepat. Maka, sudah sewajarnyalah jika saat ini dikembangkan etika lingkungan hidup dengan sikap ramah terhadap lingkungan hidup. Menghadapi masalah kerusakan lingkungan hidup yang terus terjadi, rasanya pendekatan etika humancentered tidak lagi memadai untuk terus dipraktekkan. Artinya, kita perlu menentukan pendekatan etis lain yang lebih sesuai dan lebih ramah terhadap lingkungan hidup. Jenis pendekatan etika yang kiranya memungkinkan adalah pendekatan etika life-centered. Pendekatan etika ini dianggap lebih memadai sebab dalam praktisnya tidak menjadikan lingkungan hidup dan makhluk-makhluk yang terdapat di dalamnya sebagai obyek yang begitu saja dapat dieksploitasi. Sebaliknya, pendekatan etika ini justru sungguh menghargai mereka sebagai subyek yang memiliki nilai pada dirinya. Mereka memiliki nilai tersendiri sebagai anggota komunitas kehidupan di bumi. Nilai mereka tidak ditentukan dari sejauh mana mereka memiliki kegunaan bagi manusia. Mereka memiliki nilai kebaikan tersendiri seperti manusia juga memilikinya, oleh karena itu mereka juga layak diperlakukan dengan respect seperti kita melakukanya terhadap manusia. Kedua, masalah moral. Dalam kehidupan sehari-hari tindakan moral adalah tindakan yang paling menentukan kualitas baik buruknya hidup seseorang. Agar tindakan moral seseorang memenuhi kriteria moral yang baik, ia perlu mendasarkan tindakanya pada prinsip-prinsip moral secara tepat. Para rimbawan Indonesia juga harus menyadari bahwa kecenderungan kerusakan atau pengrusakan hutan di Indonesia bermuara pada ”masalah perut” atau dengan kata lain sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan hidup, namun disisi lain motif kegiatan penebangan liar merupakan hasrat akumulasi keuntungan. Disini kita sebut dua motif tersebut sebagai turunan dari needs (kebutuhan) dan greeds (keserakahan) ekonomi. Oleh karena itu, dua bentuk penanganan tersebut harus mampu berjalan secara terintegrasi agar hubungan simbiosis mutualisme ekonomi antara aktor yang bermotif needs dengan aktor yang bermotif greeds itu dapat terurai. Para aktor bermotif needs itu biasanya dari akar rumput, sementara aktor yang bermotif greeds adalah cukong atau pemodal. Bukan tidak mungkin motif needs berubah menjadi greeds karena sekedar diperalat oleh para pihak yang mengincar keuntungan berlipat. Sehingga mata rantai haram pun akan semakin sulit dikendalikan.
BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014
23
Pengelolaan Hutan Kedepan Pengelolaan hutan kedepan tidak bisa dilakukan terpisah dari kewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Hal ini berarti bahwa hutan akan lestari jika dan hanya jika masyarakat lokal sejahtera. Masyarakat lokal memandang hutan sebagai sumber kehidupan pada waktu sekarang dan masa yang akan datang. Mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dari hutan berdasarkan peraturan adat. Kearifan masyarakat lokal dalam mengelola hutan adatnya dapat dijadikan sebagai contoh bentuk pengelolaan hutan yang lestari. Dua hal yang menjadi esensi dari sikap masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya hutan adalah: pertama, adanya kesadaran untuk menempatkan hutan sebagai sesuatu yang dimiliki dan dimanfaatkan secara bersama-sama (common property resources) dan kedua, unsur kelangkaan sumberdaya hutan menjadi pertimbangan penting. Kedua prinsip tersebut menjadikan pemanfaatan hutan oleh masyarakat lokal tidak bersifat eksploitatif. Perlu disadari bahwa hubungan masyarakat lokal dengan hutan merupakan hubungan yang bersifat fungsional ekologis (Mubyarto et al., 1992). Hal ini berarti perilaku masyarakat lokal dalam pemanfaatan sumberdaya hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup merupakan bagian dari sistem budaya mereka. Bagi mereka hutan pada hakekatnya merupakan “ketahanan pangan” (food security). Berdasarkan pemaparan tersebut di atas maka paradigma pembangunan kehutanan harus dirubah. Pembangunan kehutanan tidak lagi hanya menjadi pendukung industri yang berorientasi ekspor dan pertumbuhan ekonomi nasional, tetapi harus mulai mengembangkan ekonomi masyarakat lokal. Pembangunan kehutanan harus mempertimbangkan kebutuhan dasar masyarakat lokal, distribusi pemerataan hasil-hasil hutan dan partisipasi masyarakat lokal sehingga diharapkan dapat menciptakan hal-hal berikut. Pertama, meningkatkan peran serta masyarakat lokal dalam pengelolaan tanah-tanah hutan yang rusak dan tanah kritis lainnya dalam rangka mengurangi proses deforestasi. Kedua, membangun sosial ekonomi masyarakat lokal melalui penyerapan tenaga kerja, pengembangan lembaga dan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Ketiga, masyarakat lokal mempunyai akses yang lebih baik terhadap barang dan jasa yang dihasilkan dari dalam hutan. Keempat, meningkatkan partisipasi masyarakat lokal dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan sebagai tujuan antara peningkatan kemandirian mereka. Selain faktor peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal, faktor lain yang tidak kalah penting dalam pengelolaan
24
BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014
sumberdaya hutan kedepan adalah penguatan peran kelembagaan pengelolaan hutan yang mampu mengidentifikasi permasalahan spesifik wilayah tertentu, sehingga dapat diambil keputusan yang berdasarkan informasi keterbatasan daya dukung hutan dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat. Fakta di lapangan selama ini menunjukkan bahwa penguasaan hutan yang berlebihan oleh perusahaan besar pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) telah mendatangkan dampak negatif seperti deforestasi, lahan kritis, ketimpangan sosial dan konflik sosial yang mengancam kelestarian sumberdaya hutan. Harapan pemerintah bahwa perusahaan skala besar yang dipercaya akan mampu melestarikan sumberdaya hutan tidak pernah menjadi kenyataan. Kata orang bijak “jauh panggang dari api”. Pada saat yang sama, masyarakat lokal terbukti telah mampu mengelola hutan secara lestari melalui suatu proses yang panjang. Banyak bukti yang menunjukkan hal ini, misalnya saja Sistem Lembo di Kalimantan Timur, Sistem Dukuh di Kalimantan Selatan, Repong Damar di Krui, Lampung dan Kebun Tembawang di Sanggau yang telah terbukti mampu menghijaukan lahan-lahan yang dulunya kritis menjadi produktif kembali. Sistem tembawang misalnya merupakan salah satu contoh bukti keberhasilan budidaya Dipterocarpaceae oleh masyarakat lokal. Praktek-praktek kearifan tradisional tersebut merupakan bentuk penggelolaan sumberdaya hutan yang mampu menjawab persoalan ekologi, ekonomi dan sosial budaya. Kita berharap agar pengelolaan hutan yang benar oleh Rimbawan yang profesional mampu mereduksi laju deforestasi dan menyelamatkan hutan di Kalimantan yang masih tersisa. Penutup Kita tergantung pada hutan, bukan hutan tergantung pada kita. Kalimat tersebut harus selalu tertanam dalam sanubari rimbawan agar rimbawan dapat tegak berdiri sebagai suatu “profesi” bukan hanya sekedar “pekerjaan pencari nafkah”. Dalam menghadapi proses deforesatasi yang kian menambah ”sakit” hutan kita dan prioritas ”penyembuhan” kehutanan nasional, rimbawan memiliki beberapa tantangan kedepan, yaitu: (a) tantangan tentang jiwa korsa dan konservasi, (b) penyamaan visi dan misi, (c) penentuan prioritas, (d) penguatan networking, (e) doing the best. Oleh karena itu, sangat diperlukan SDM Rimbawan yang memiliki integritas moral, kemampuan profesionalisme, kemampuan kepemimpinan, dan kemampuan untuk bekerjasama. Karenanya rimbawan harus berkomitmen (committed), konsekuen (consequent), konsisten (consistent), dan percaya diri (confident) dalam mengemban amanah untuk mengelola hutan secara lestari dan mensejahterakan masyarakat.
FOKUS
Penyelamatan Plasma Nutfah Hutan Melalui Pengelolaan Kawasan Konservasi
Wawan Halwany Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru Provinsi Kalimantan Selatan dengan luas wilayah 4.987.899 hektar (daratan dan perairan), memiliki luas hutan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. Sk. Berdasarkan UU No. 5 tahun 1990 tentang
435/Menhut-II/2009 tentang penunjukkan kawasan hutan
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya,
Provinsi
pada
terdiri atas : a. Kawasan suaka alam/konservasi b. Hutan lindung c. Hutan produksi terbatas d. Hutan produksi terbatas e. Hutan produksi yang dapat dikonversi
hakekatnya
dilakukan
melalui
kegiatan
perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Sejalan dengan hal tersebut, sebagian hutan di Kalimantan Selatan ditetapkan menjadi kawasan konservasi antara lain dalam bentuk Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Wisata dan Taman Hutan Raya. Meskipun sudah ditetapkan sebagai kawasan konservasi keberadaan kawasan tersebut tidak luput tekanan dan gangguan. sehingga fungsi kawasan konservasi tersebut tidak optimal.
Kalimantan Selatan seluas 1.779.982 ha yang : 213.285 ha : 526.425 ha : 126.660 ha : 762.188 ha : 151.424 ha
Untuk melindungi flora dan fauna yang ada di Kalimantan Selatan tersebut terfasilitasi oleh sebelas kawasan konservasi yaitu empat cagar alam, tiga suaka margasatwa, tiga taman wisata alam,dan satu tahura. Status perkembangan kawasan konservasi di Propinsi Kalimantan Selatan hingga tahun 2014 disajikan dalam Tabel 1.
BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014
25
Tabel 1. Perkembangan kawasan konservasi di Kalimantan Selatan No. 1
Nama Kawasan 2
Kabupaten 3
Luas (ha) 4
1.
Cagar Alam (CA) Gunung Kentawan
Hulu Sungai Selatan
2. 3.
CA. Teluk Kelumpang, Selat Sebuku dan Tanah Bumbu dan Selat Laut Kotabaru CA. Teluk Pamukan Kotabaru
4.
CA. Sungai Bulan dan Sungai Lulan
Kotabaru
5.
Suaka Margasatwa (SM) Pulau Kaget
Barito Kuala
6.
SM. Peleihari Tanah Laut
Tanah Laut
7.
SM. Kuala Lupak
Barito Kuala
8.
Taman Wisata Alam (TWA) Pulau Kembang Barito Kuala
9.
TWA. Pulau Bakut
Barito Kuala
10.
TWA. Peleihari Tanah Laut
Tanah Laut
11.
Tahura Sultan Adam
Banjar dan Tanah Laut
Status Kawasan 5
257,9 Penetapan SK. Menhutbun No. 336/KptsII/1999 tanggal 24 Mei 1999 66.650 Penetapan SK. Menhut No. 329/KptsII/1987 tanggal 14 Oktober 1987 20.618 Penunjukkan SK. Menhut No. 453/KptsII/1999 tanggal 17 Juni 1999 1.857 Penunjukkan SK. Menhut No. 453/KptsII/1999 tgl 17 Juni 1999 63,6 Penetapan SK. Menhutbun No. 337/KptsII/1999 tanggal 24 Mei 1999 6.000 Penunjukkan SK. Mentan No. 695/KptsII/1991 tgl 11 Oktober 1991 2.975 Penunjukkan SK. Menhut No. 453/KptsII/1999 tgl 17 Juni 1999 60 Penunjukkan SK. Mentan No. 780/Kpts/ Um/12/1976 tanggal 27 Desember 1976 18,7 Penunjukkan SK. Menhutbun No. 140/KptsII/2003 tgl. 21 April 2003 1.500 Penunjukkan SK. Mentan No. 695/KptsII/1991 tgl 11 Oktober 1991 112.000 Penetapan Kepres RI. No. 52 Tahun 1989 tgl 18 Oktober 1989
Sumber : Statistik BKSDA Kalimantan Selatan Tahun 2012
Kawasan konservasi yang dikelola tersebut didominasi oleh tipe hutan mangrove (sekitar 90%) dan sisanya berupa hutan dataran rendah dan tinggi. Kawasan konservasi di Propinsi Kalimantan Selatan mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi. Berdasarkan hasil laporan survey tahun 1980-2008, pada kawasan konservasi tersebut telah teridentifikiasi 54 jenis mamalia (24 jenis dilindungi), 183 jenis aves (59 jenis dilindungi), 26 jenis reptilia (5 jenis dilindungi), 38 jenis amphibia, 252 jenis anggrek (1 jenis dilindungi), dan berbagai jenis tumbuhan lainnya. Potensi keanekaragaman hayati tersebut belum termasuk keragaman hayati perairan pada kawasan perairan (BKSDA, 2008). Sebagian besar kawasan konservasi di Indonesia mengalami tekanan dan gangguan. Begitu juga yang terjadi pada kawasan konservasi di Propinsi Kalimantan Selatan. Kasus pada kawasan Cagar Alam yang ada di Kabupaten Kotabaru dan Kabupaten Tanah Bumbu dimana pada kawasan konservasi mangrove telah terjadi konversi menjadi areal tambak liar, pelabuhan khusus, pemukiman dan peruntukkan lainnya. Tekanan dan gangguan pada kawasan konservasi perlu diminimalisasi sehingga kawasan konservasi dengan ciri khas tertentu dan mempunyai fungsi pokok sebagai pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya dapat terpelihara. Pemanfaatan kawasan konservasi harus dilihat dari tujuan jangka panjang yaitu jasa lingkungan yang diberikan dari kawasan konservasi bagi kehidupan manusia dan ekosistem. Kawasan konservasi yang terlanjur rusak maka untuk pemulihannya diperlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit.
26
BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014
Kawasan Konservasi Cagar alam Gunung Kentawan Kawasan ini memiliki keunikan berupa perwakilan tipe ekosistem hutan dataran tinggi. Terdapat setidaknya 28 jenis anggrek alam yang didominasi oleh anggrek lukuk (Cattleya sp.) dan anggrek paikat (Eria regida). Kawasan ini juga menjadi habitat berbagai jenis fauna yang dilindungi seperti bekantan (Nasalis larvatus), owa-owa (Hylobates muelleri), pelanduk kancil (Tragulus javanicus), landak (Hystrix brachyura), kucing hutan (Felis bengalensis), trenggiling (Manis javanica), rangkong (Buceros rhinoceros), burung raja udang (Alcedo euryzona), dan lain-lain Nilai konservasi kawasan ini selain menjaga kelestarian fungsi hidrologis/tata air dan perlindungan terhadap kerawanan erosi tanah bagi daerah sekitarnya, juga untuk menjaga kelestarian keanekaragaman jenis flora dan fauna beserta ekosistemnya. Cagar Alam Teluk Kelumpang, Selat Laut dan Selat Sebuku Perwakilan tipe ekosistem mangrove dan hutan dataran rendah yang unik memiliki berbagai jenis fauna yang dilindungi serta flora khas hutan mangrove dan hutan dataran rendah. Komposisi jenis flora pada ekosistem mangrovenya seperti bakau (Rhizophora mucronata), langadai (Bruguiera parviflora), api-api (Avicennia marina), nipah (Nypa fruticans), mirih (Xylocarpus granatum), perapat (Sonneratia caseolaris), tengar (Ceriops tagal), dan lain-lain. Jenis fauna yang dilindungi yang terdapat pada kawasan cagar alam ini adalah bekantan (Nasalis larvatus),
kijang (Muntiacus muntjak), beruang madu (Helarctos malayanus), pelanduk kancil (Tragulus javanicus), buaya muara (Crocodylus porosus), bangau tongtong (Leptoptilus javanicus), pecik ular (Anhinga melanogaster), dan lain-lain. Tipe hutan mangrove mempunyai fungsi ekologis sebagai pelindung dari abrasi dan gelombang laut, pengendali intrusi air laut, habitat fauna, tempat memijah dan berkembang biak ikan, dan mereduksi polutan dan pencemar air. Cagar Alam Teluk Pamukan Komposisi jenis berupa tipe hutan mangrove dan hutan dataran rendah. Jenis yang dapat dijumpai diantaranya api-api (Avicennia alba), perapat (Sonneratia alba), bakau (R. mucronata), langadai (Bruguiera parviflora), mirih (Xylocarpus granatum) dan nipah (Nypa fructicans). Jenis fauna yang terdapat di kawasan ini diantaranya buaya muara (Crocodillus porosus), bekantan (Nasalis larvatus), rusa (Cervus unicolor), bangau tongtong (Leptoptilus javanicus), elang bondol (Haliastur indus), elang laut perut putih (Heliastur leucogaster), burung raja udang (Pelargopsis javensis). Cagar Alam Sungai Bulan dan Sugai Lulan Kawasan ini memiliki keunikan berupa tipe ekosistem hutan mangrove. Berbagai jenis flora khas hutan mangrove yang tumbuh seperti bakau (R. mucronata), langadai (Bruguiera parviflora), api-api (Avicennia marina), nipah (Nypa fructicans), mirih (Xylocarpus granatum), perapat (Sonneratia caseolaris), tengar (Ceriops tagal), dan lain-lain. Habitat berbagai jenis fauna yang dilindungi seperti bekantan (Nasalis larvatus), rusa (Cervus unicolor), pelanduk kancil (Tragulus javanicus), burung pecuk ular (Anhinga melanogaster), kuntul (Egretta garzetta dan E. Intermedia), elang laut perut putih (Heliaetus leucogaster), dan lain-lain. Kawasan ini mempuyai fungsi sebagai perlindungan keanekaragaman hayati jenis flora dan fauna beserta ekosistem hutan mangrove. Kegiatan pertambakan dan penebangan liar banyak terjadi pada kawasan ini.
Tipe hutannya merupakan hutan mangrove dengan komposisi jenis flora seperti rambai (Sonneratia caseolaris), nipah (Nypa fructicans), bakung (Crinumm asiaticum), jeruju (Acanthus ilicifolius), dan lain-lain. Satwa yang ada pada kawasan ini diantaranya bekantan (Nasalis larvatus), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), elang laut perut putih (Haliastur leucogaster), elang bondol (Haliastur indus), raja udang biru (Halycon chloris), dan lain-lain. Dengan pengelolaan jumlah bekantan yang ada, upaya pemulihan kawasan saat ini mulai membuahkan hasil. Anakan pohon rambai yang tumbuh secara alami maupun buatan tumbuh secara baik. Diharapkan kawasan ini dapat berfungsi sebagaimana mestinya sebagai perlindungan ekosistem beserta keragaman hayatinya. Suaka Marga Satwa Pleihara Tanah Laut Tipe ekosistem kawasan ini terdiri dari hutan rawa air tawar, hutan mangrove, hutan pantai, dan hutan hujan dataran rendah. Formasi hutan mangrovenya terdapat jenis flora seperti Nypha fructicans, Sonneratia caseolaris, Bruguiera parviflora, Xylocarpus granatum, Rhizophora sp., Avicennia sp., dan lain-lain. Beberapa fauna yang dilindungi pada kawasan ini diantaranya Nasalis larvatus, rusa (Cervus unicolor), buaya muara (Crocodylus porosus), pecuk ular (Anhinga melanogaster), elang bondol (Haliastur indus), bangau tong-tong (Leptoptilus javanicus). Suaka Margasatwa Kuala Lupak Hutan mangrove dengan komposisi jenis flora seperti Sonneratia caseolaris, Ficus sp., Eugenia sp., Bruguiera sp., Gluta renghas, Nypa fructicans, Pandanus sp., Crinum asiaticum, Acanthus ilicifolius, Heretiera littoralis dan lain-lain. Jenis satwa yang terdapat pada kawasan ini diantaranya Nasalis larvatus, Heliaetus leucogaster (elang laut perut putih), elang bondol (Haliastur indus), elang hitam (Elanus caeruleus), elang (Spilornis sheela), raja udang biru (Halycon chloris), dan lain-lain.
Suaka Margasatwa Pulau Kaget
BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014
27
Taman Wisata Alam (TWA) Pulau Kembang Komposisi jenis hutan mangrovenya diantaranya Gluta renghas, Sonneratia caseolaris, Ficus retusa, Alstonia pnematophora, Nypa Fructicans, Pandanus tectorius), Acanthus iliciofolius, Acrostichum aureum, dan lain-lain. Jenis fauna yang terdapat pada kawasan ini diantaranya Nasalis larvatus, lutung (Presbytis cristata), kera abuabu (Macaca fascicularis), Haliastur indus, Heliaetus leucogaster, raja udang (Pelargopsis capensis), raja udang (Alcedo meninting). Pada kawasan ini terdapat seluas 6 ha yang dikelola pihak swasta yaitu CV. Sinar kencana. Pihak swasta memperoleh ijin hak pengusahaan pariwisata alam. Taman Wisata Alam Pulau Bakut Kawasan hutan ini berada di bawah jembatan Barito yang merupakan jembatan terpanjang di Kalimantan (1.082 m). Komposisi jenis mangrove pada kawasan ini diantaranya jenis Gluta renghas, Sonneratia caseolaris, Ficus retusa, Xylocarpus granatum, kelampan (Cerbera manghas), Hibiscus tiliaceus, dan lain-lain. Kawasan ini merupakan habitat dari satwa Nasalis larvatus, dari jenis burung : Haliastur indus, Heliaetus leucogaster, dan trinil pantai (Tringa hypoleucos). Taman Wisata Alam Pleihari Tanah Laut Keunikan kawasan ini berupa gabungan hutan rawa air tawar, hutan mangrove, hutan pantai, dan hutan hujan dataran rendah memiliki berbagai jenis flora dan fauna serta pantai landau dengan hamparan pasir putih (kwarsa) sepanjang 12 m. Formasi hutannya terdiri dari cemara laut (Casuarina equisetifolia), Terminalia catappa, Baringtonia racemosa, Waru laut (Hibiscus tiliaceus), dadap laut (Erythrina variegate), Callophylum inophyllum , dan lain-lain. Jenis satwa yang dapat ditemui diantaranya bekantan, monyet ekor panjang, burung elang laut perut putih, elang bondol, raja udang biru dan lain-lain. Lokasi taman wisata ini di Kecamatan Panyipatan Kabupaten Tanah Laut. Kawasan ini merupakan areal SM. Pleihari yang diubah fungsi menjadi Taman Wsata Alam sebagai perlindungan keanekaragaman hayati jenis flora dan fauna dan pemanfaatan sebagai obyek wisata alam,
28
BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014
Tahura Sultan Adam Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 107/Kpts-II/2003 tanggal 24 Maret 2003 dan Peraturan Gubernur No. 8 Tahun 2008 Tahura Sultan Adam dikelola oleh Propinsi Kalimantan Selatan melalui Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Taman Hutan Raya Sultan Adam yang bertanggung jawab kepada Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Selatan. UPTD Tahura mempunyai tugas melaksanakan perlindungan, perbaikan dan pemanfaatan sumber daya alam hutan lindung serta hutan wisata. Kawasan hutan bertipe hujan tropika memiliki nilai konservasi yaitu perlindungan terhadap satwa liar, sebagai daerah tangkapan air (cathment area) daerah aliran sungai riam kanan, sebagai penjaga iklim mikro, serta pemanfaatan wisata alam, pendidikan dan penelitian. Hutan hujan tropikanya memiliki sedikitnya 107 jenis flora di antaranya Shorea spp., Eusideroxy zwageri, Kahingai (Santiria tomentosa), Dipterocarpus spp., pampahi (Ilexsimosa spp.,) Kuminjah laki (Memecylon leavigatum), keruing (Dipterocarpus grandiflorus), Mawai (Cethocarpus grandiflorus), Jambukan (Mesia sp.) Kasai (Arthocarpus kemando), dan lain-lain. Jenis satwa yang terdapat pada tahura diantaranya bekantan, owa-owa (Hylobates muelleri), lutung merah (Presbytis rubicunda), beruang madu (Helarctos malayanus), rusa (Cervus unicolor), Kijang merah (Muntiacus muntjak), Kijang Mas (Muntiacus atherodes), Pelanduk (Tragulus javanicus), landak (Hystrix brachyura), musang air (Cynogale benetti), macan dahan (Neofelis nebulosa), dan lain-lain. Jenis aves yang ada di tahura diantaranya Kuau/Harui (Argusianus argus), rangkong badak (Buceros rhinoceros), Enggang (Berenicornis comatus), Elang hitam (Ictinaetus malayensis), Elang bondol (Haliastur indus), raja udang sungai (Alcedo athtis), raja udang hutan (Halycon chloris). Jenis reptile diantaranya biawak (Varanus salvator), ular air (Homolopsus buccata), kadal (Mabouja multifascia), Bunglon (Calotus jubatus), labi-labi (Amyda cartilagenia), ular sawa (Phyton reticulatus), dan lain-lain. Potensi wisata kawasan yang ada dalam Tahura Sultan Adam diantaranya adalah danau/waduk PLTA, pulau pinus, pulau bukit batas, air terjun surian, air
terjun bagugur, bumi perkemahan awang bangkal, pusat pengelola/informasi mandiangin.
Kendala dan Peluang Pengelolaaan Kawasan Konservasi Sebagian besar kawasan konservasi yang ada di Kalimantan Selatan adalah lahan basah atau kawasan hutan mangrove(90%). Hutan mangrove mempunyai fungsi dan manfaat yang besar bagi kehidupan masyarakat sekitar dan global. Selain itu mangrove merupakan salah satu hutan terkaya karbon di kawasan tropis, yang mengandung sekitar 1023 Mg karbon perhektar. Tanah dengan kandungan organik tinggi memiliki kedalaman antara 0,5 m sampai lebih dari 3 m dan merupakan 4998% simpanan karbon dalam ekosistem ini. (Donato,D.C., et al., 2012). Tekanan terhadap kawasan konservasi di Indonesia banyak terjadi karena kepentingan jangka pendek. Begitu juga yang terjadi pada kawasan cagar alam di Kalimantan Selatan mengalami kerusakan dan tekanan dari berbagai pihak. Sebagai contoh pada kawasan Cagar alam Teluk Kelumpang, Selat Laut dan Selat Sebuku areal mangrove yang dijadikan tambak, pemukiman dan pelabuhan. Padahal berdasarkan hasil penelitian deforestasi mangrove menyebabkan emisi sebesar 0,02-0,12 Pg karbon per tahun, yang setara dengan sekitar 10% emisi dari deforestasi secara global, walaupun luasnya hanya 0,7% dari seluruh kawasan hutan tropis (Donato,D.C., et al., 2012). Berdasarkan studi lapangan yang pernah penulis lakukan pada lahan-lahan tambak di kawasan cagar alam yang ditinggalkan, pada sekitar tambak-tambak tersebut terdapat anakan-anakan alam yang cukup banyak, Potensi semai pada tegakan mangrove tidak terganggu sangat tinggi yaitu sebanyak 5.625 batang/ha untuk Bruguiera sexangula. Kondisi anakan alam jenis tumbuuhan mangrove pada kawasan cagar alam sangat besar. Salah satu faktor penghambat distribusi benih alam adalah adanya tanggultanggul pada tambak. Menurut Mangrove Action Project (2006), beberapa tahapan yang perlu diperhatikan dalam kegiatan restorasi dan rehabilitasi mangrove: 1. Memahami autekologi, yakni sifat-sifat ekologi tiaptiap jenis mangrove di lokasi, khususnya reproduksi, distribusi benih, dan keberhasilan pertumbuhannya, serta ekologi hutan bakau keseluruahan. 2. Memahami pola hidrologi normal yang mengatur distribusi dan pertumbuhan jenis-jenis mangrove. 3. Meneliti perubahan yang telah terjadi pada ekosistem mangrove yang menghambat regenerasi alami 4. Kerjasama masyarakat lokal, LSM, pemerintah dan para akademisi untuk memilih lokasi yang layak secara teknis. 5. Membuat disain program restorasi hidrologi untuk memungkinkan pertumbuhan mangrove secara alami
6. Melakukan pembibitan dan penanaman hanya jika kelima langkah telah dilakukan namun tidak memberikan hasil yang diharapkan. 7. Pelibatan dan sosialisasi terhadap masyarakat sekitar perlu ditingkatkan akan fungsi dan manfaat mangrove bagi kehidupan. Bukan hanya kepentingan jangka pendek saja namun kepentingan jangka panjang juga perlu diperhatikan
Penutup Kawasan konservasi yang ada di Kalimantan Selatan merupakan sumber daya alam yang perlu dipertahankan dan di jaga kelestariannya. Oleh karena itu perlu ada kemauan semua pihak terkait baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat dan pihak lain yang terkait, Kawasan konservasi tersebut bukan hanya untuk kepentingan masyarakat sekitar tetapi keberadaan kawasan konservasi juga untuk menjaga kepentingan global dan kehidupan masyarakat luas dalam hal pengembangan pendidikan dan penelitian.
Daftar Pustaka BKSDA Kalimantan Selatan. 2008. Kawasan Konservasi Kalimantan Selatan. BKSDA Kalimantan Selatan. 2012. Statistik Balai KSDA Kalimantan Selatan. Donato, C. D., J. B. Kauffman, D. Murdiyarso., S. Kurnianto, M. Stidham, dan M. Kanninen. 2012. Mangrove adalah salah satu hutan terkaya karbon di kawasan tropis. Brief. Cifor. Mangrove Action Project. 2006. Five Steps to Successful Ecological Restoration of Mangroves. Yayasan Akar Rumput Laut. Yogyakarta. Undang-undang Repuplik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya alam Hayati dan Ekosistemnya.
BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014
29
FOKUS
ARAH LITBANG KEHUTANAN MENJAWAB TANTANGAN DEFORESTASI Oleh : Dr.Acep Akbar, MP.
PENDAHULUAN Sesungguhnya hutan memiliki kemampuan untuk memenuhi tuntutan-tuntutan untuk kepentingan kehidupan manusia mengingat kelangkaan makanan, energi, dan air (Food Energy Water Scarcity) dan adanya perubahan iklim (Climate change) yang telah menjadi isu global saat ini. Yang menjadi persoalan adalah seberapa besar keberadaan kelompok manusia yang memiliki kesadaran dan pengetahuan tentang fungsi hutan dalam menyediakan bahan makanan, energi, dan air, mengikat gas karbon dioksida (CO2), dan menyediakan gas oksigen (O2) untuk kepentingan bernapas manusia. Terdapat kecenderungan bahwa dalam jangka pendek keberadaan hutan semakin tidak dirasakan oleh sebagian manusia. Bagi masyarakat perkotaan, hutan tidak berhubungan secara langsung dengan mereka sehingga lambat laun pengetahuan mereka tentang hutan dengan segala fungsinya akan semakin miskin. Kerusakan hutan tidak menjadi perhatian bagi masyarakat kota. Kalangan pengusaha pertambangan baik pertambangan batubara, nikel, bijih besi, tembaga, emas, dan intan lebih mengutamakan menghilangkan vegetasi hutan apabila didalam tanah hutan mengandung barang tambang. Di sisi lain, para pengusaha perkebunan lebih bersemangat mengganti vegetasi hutan dengan komoditi perkebunan seperti karet, kelapa sawit, kopi, coklat, dan jenis hortikultura lainnya daripada mempertahankan jenisjenis pohon hutan sebagai sisa degradasi hutan sekunder. Untuk membangkitkan kembali kesadaran manusia tentang pentingnya hutan diperlukan adanya interpensi pengetahuan hutan yang intensif kepada masyarakat tentang manfaat hutan bagi kehidupan manusia. Di sisi lain, produk hasil hutan harus mampu menyentuh kebutuhan primer manusia. Mengembangkan pengetahuan tentang hutan hubungannya dengan permasalahan global saat ini hanya dapat ditempuh dengan cara melakukan berbagai penelitian ilmiah secara terus-menerus. Semua permasalahan kehutanan kedepan akan dapat diperoleh solusinya manakala penelitian diarahkan untuk mencari jawaban kebutuhan manusia tersebut. Ketersediaan hasilhasil penelitian akan menjadi bahan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat sehingga melalui penyuluhan, seminar, diskusi, dan ekspose,tranfer knowledge manfaat hutan kepada berbagai pihak akan berjalan.
30
BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014
RISET PERANAN HUTAN SEBAGAI SUMBER PANGAN Hutan sebagai sumber makanan secara langsung bagi manusia telah dikenal sejak jaman timbulnya peradaban manusia di bumi ini. Makanan jenis buahbuahan dan sayur-sayuran berawal dari adanya tubuhan liar di hutan. Jenis padi dan jagung berawal dari tumbuhan gulma yang tumbuh secara liar di sekitar hutan. Demikian pula talas-talasan pada mulanya tumbuh liar di hutan. Setelah padi dibuktikan menjadi tanaman penghasil beras bergiji yang enak dimakan, maka padi telah mengalami domestikasi ditanam di sawah-sawah areal pemukiman dan ladang di sekitar pemukiman. Demikian juga talas dan jagung akhirnya menjadi makanan berkarbohidrat tinggi selain mengandung nilai gizi lainnya. Selama ini jenis-jenis pohon hutan yang telah mengalami domestikasi dan telah dinikmati oleh manusia diantaranya pohon sukun (Arthocarpus heterophyllus), campedak (Arthocarpus chimpeden), pisang (Musa spp.), mangga (Mangifera spp.), rambutan (Nephelium lappaceum), kecapi (Sandoricum koetjapi), aren (Arenga pinnata), sagu (Metroxylon sago), durian (Durio zibethinus), petai (Parkia spiceosa), kedondong (Spondias pinnata), jengkol (Pithecelobium jiringa), kemiri (Aleurites molucaena), alpokat (Persea americana), kopi (Coffea arabica), teh (Camellia sinensis), cokelat (Theobroma cacao), melinjo (Gnetum gnemon), sirsak (Annona muricata), nangka (Artocarpus heterophyllus), jeruk (Citrus spp.), salak (Salacca edulis), jambu air (Syzygium aqueum), jambu biji (Psidium guajava), dan jambu mede (Anacardium occidentale). Sebagian jenis masih merupakan peralihan antara tanaman budidaya dengan tanaman liar di hutan yaitu sagu (Metroxylon sago) dan aren (Arenga pinnata). Kelapa (Cocos nucifera), kepala sawit (Elaeis guinencis), kopi, dan kakau/coklat telah menjadi komoditi perkebunan dalam skala luas. Sesungguhnya masih banyak jenis-jenis pohon hutan penghasil bahan makanan yang telah dikonsumsi masyarakat sekitar hutan tetapi belum tergeneralisasi dan teruji kandungan gijinya secara kimia.Hasil pengalaman penulis di Hutan tropis basah Kintap Kalimantan Selatan telah mendata ada sekitar 50 jenis pohon hutan yang secara kearifan lokal telah berfungsi langsung sebagai makanan masyarakat. Jenis-jenis pohon hutan yang menghasilkan makanan berupa buah di Hutan Kintap disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Jenis-Jenis Pohon Hutan Penghasil Buah sebagai Bahan Pangan Berdasarkan Kearifan Lokal Masyarakat Kintap Kalimantan Selatan No Nama pohon
Fungsi
1 2
Buah dimakan Buah dimakan
Manis seperti rambutan Manis rambutan daging buah kuning 3 Raring Buah dimakan Manis rambutan warna hitam 4 Buluan Buah dimakan Manis mirip rambutan 5 Rambutan Buah dimakan Manis 6 Kalaingan Buah dimakan Manis seperti rambutan 7 Patiti Dahan Buah dimakan Manis seperti rambutan 8 Jari-jari Buah dimakan Manis seperti matoa 9 Marlapang Buah dimakan Manis seperti matoa 10 Lengking Buah dimakan Manis seperti lengkeng 11 Marlangsat Buah dimakan Asam manis mirip langsat 12 Langsat batu Buah dimakan Asam mirip langsat 13 Manggis Besar Buah dimakan Manis 14 Manggis kucung Buah dimakan Manis 15 Jumit Buah dimakan Manis seperti kersen 16 Lahong Buah dimakan Manis sama dgn durian 17 Karantungan Buah dimakan Manis sama dgn durian 18 Pampakin Buah dimakan Manis sama dgn durian 19 Mardaunan Buah dimakan Manis sama dgn durian 20 Durian habang Buah dimakan Manis sama dgn durian 21 Kasturi Buah dimakan Manis sama mangga kecil 22 Binjai Binglo Buah dimakan Manis sama dgn mangga 23 Samarusa Buah dimakan Manis sama dgn mangga 24 Pelipisan Buah dimakan Manis sama dgn mangga 25 Rawa-rawa Buah dimakan Asam manis mangga 26 Sambusur Buah dimakan Manis mirip Mangga Golek 27 Tanduy padi Buah dimakan Manis mirip mangga 28 Tanduy batu Buah dimakan Asam mirip mangga 29 Alamirang Buah dimakan Manis mirip Mangga kecil 30 Ambawang Buah dimakan Manis miri mangga 31 Mundar Buah dimakan Asam manis mirip pala 32 Bintang Liti Buah dimakan Mirip ramania 33 Suyuk-suyuk Buah dimakan Mirip ramania 34 Petai hutan Buah dimakan Sepet sama dgn petai 35 Kupan Buah dimakan Sepet sama dgn petai 36 Gitaan Buah dimakan Lejat mirip mentega 37 Kacapuri Buah dimakan Lejat mirip rasa keju 38 Tampirik Buah dimakan Manis 39 Jaring Buah dimakan Tawar sbg lalapan makan 40 Bangan pipit Buah dimakan Rasa lejat 41 Pantalin Buah dimakan Rasa tawar 42 Kumpat Buah dimakan Lezat untuk lalapan makan 43 Tatau Buah dimakan Lezat untuk lalapan makan 44 Baitis tengkawang Buah dimakan Manis seperti Sawo 45 Baitis sawo Buah dimakan Manis sawo 46 Meranja Buah dimakan Manis seperti sawo 47 Buah upas Buah dpt dimakan Menyengat untuk memabukkan 48 Selingsingan Buah dpt dimakan Menyengat untuk memabukkan 49 Tigaron Buah dpt dimakan Menyengat untuk memabukkan 50 Grunggang Buah dpt dimakan Menyengat untuk memabukkan Sumber: Hasil wawancara Penulis dengan Masyarakat Kintap, 2014
Maritam Maritam Kaca
Keterangan rasa
Riset yang diperlukan untuk menjadikan makanan berasal dari hutan menjadi lebih layak dimakan diantaranya : Riset kandungan giji jenis-jenis buah dari pohon hutan (Tabel 1), riset paska panen dan pengolahan makanan, riset perbanyakan vegetatif, riset teknik silvikultur persemaian dan penanaman di kebun-kebun masyarakat. Selama ini, cara masyarakat memanen buahbuah hutan tersebut dilakukan dengan cara memotong dahan bahkan ada sebagian dengan cara menebang batang pohonnya. Hal tersebut dilakukan akibat pohon yang tinggi (> 15 m) dan pertimbangan kepraktisan. Cara demikian akan sangat mengancam kelestarian pohon buah hutan tersebut. Pembangunan kebun cangkok sebagai stok plasma nutfah diperlukan, dilanjutkan dengan penanaman cangkok di kebun-kebun masyarakat. Di sisi lain, kebun cangkok dapat menjadi gudang bahan stek untuk perbanyakan pohon secara vegetatif dan pemuliaan pohon. Eksperimen-eksperimen untuk keperluan tersebut di atas sangat diperlukan. RISET PERANAN SEBAGAI SUMBER ENERGI Saat ini mulai digalakkan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) non-fosil yang berarti bahan bakar minyak nabati (BBN). Bahan bakar minyak nabati diharapkan dapat menggantikan BBM fosil yang tidak diperbaharui (unrenewable resources) dengan BBM dapat diperbaharui (renewable resources) berupa tumbuhan penghasil senyawa minyak solar. Jenis-jenis tumbuhan hutan yang selama ini telah diketahui mengandung banyak senyawa biodiesel/solar/biosolar adalah jenis jarak pagar (Jatropha curcas),kelapa sawit (Elaeis guinensis), dan nyamplung (Calophyllum inophyllum).Tidak menutup kemungkinan dari 4000 jenis kayu hutan yang diduga berada didalam hutan tropika basah indonesia,banyak jenis-jenis potensial mengandung biosolar. Untuk menguji potensi jenisjenis pohon hutan tropis indonesia dalam mengandung senyawa biosolar diperlukan aspek-aspek peneitian kandungan kimia hasil hutan setiap jenis pohon hutan. Apabila telah diketahui persentasi kandungan senyawa dimaksud cukup tinggi (>30%) maka riset berikutnya adalah eksperimen-eksperimen teknik pengolahan bahan baku menjadi barang jadi yang paling efisien. Penelitian budidaya jenis-jenis terpilih akan diperlukan setelah suatu jenis pohon benar-benar prospektif dapat menghasilkan senyawa minyak solar atau diesel. Teknik budidaya jenisjenis berpotensi penghasil biosolar diperlukan untuk membangun hutan tanaman dalam sekala luas atau berskala perusahaan. Penelitian budidaya yang diperlukan meliputi teknik silvikultur persemaian, pembangunan tanaman,perlindungan tanaman, dan pemulyaan tanaman. Riset silvukultur persemaian utamanya meliuti perbenihan, nutrisi tanaman, dan standar kualitas bibit siap tanam. Riset pembangunan tanaman meliputi penelitian kesesuaian jenis dengan tempat tumbuh, pola tanaman, lobang tanam, dan pemupukan. Teknik pemanenan produk hasil BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014
31
hutan untuk bahan biosolar menjadi tantangan riset hasil hutan.Riset lainnya adalah menuju penggunaan bahan baku energi dari limbah kayuseperti wood pellet, arang briket, dan pengembangan biogas. Pemanfaatan sungaisungai kecil permanen di kampung-kampung sekitar hutan untuk penerangan listrik dengan sistem mikrohidrojuga memiliki prospek baik ke depan sehingga menjadi bahan riret berkelanjutan. RISET PERANAN HUTAN SEBAGAI PENGATUR SIKLUS HIDROLOGI Kelangkaan air pada dasarnya diakibatkan oleh terlalu cepatnya curahan air hujan mengalir menjadi air permukaan diteruskan menuju sungai. Hanya sebagian kecil air hujan yang masuk ke pori-pori tanah sebagai air perkolasi dan air gravitasi. Adanya komunitas pohon hutan yang rapat telah mengakibatkan air hujan yang jatuh dihambat alirannya oleh tajuk, daun, batang, dan akar sehingga sebagian air akan tersimpan didalam lingkungan akar (rhyzosfer) dan dilepaskan sedikit demi sedikit melalui sistem leher botol (botle neck) menjadi air gravitasi. Dengan demikian pada musim kemarau sebagian air tanah akan tetap tersedia dan secara perlahan dialirkan menuju hulu sungai sampai musim hujan datang kembali. Air kapasitas lapang yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman akan selalu tesedia apabila tanah tidak mengalami kekeringan. Penelitian peran hutan dalam mengatur tata air tidak terlepas dari penelitian yang mengarah kepada upaya-upaya konservasi tanah dan air melalui pengelolaan daerah aliran sungai (DAS). Didalam sistem DAS, faktor utama yang menghubungkan bagian hulu berupa pegunungan dan perbukitan dengan bagian hilir berupa wilayah pantai adalah siklus hidrologi. Oleh karena itu, perubahan penggunaan lahan di daerah hulu akan berdampak kepada daerah hilir dalam bentuk fluktuasi debit air, kualitas air, dan transport sedimen serta bahan-bahan terlarut didalamnya. Perlakuanperlakuan terhadap lahan untuk meningkatkan fungsi DAS biasanya dilakukan dengan cara penanaman pohon dan tumbuhan lainnya serta bangunan sivil teknis (terasering dan bendungan). Untuk memberikan perlakuan-perlakuan konservasi pada suatu lahan diperlukan pemilahan arealareal lahan dalam hubungannya dengan kesinambungan air dalam tanah. Identifikasi sifat-sifat daerah aliran sangat diperlukan manakala kesinambungan air didalam tanah perlu dipertahankan. Demikian pula dalam teknik pengelolaan DAS selalu diperlukan pemisahan antara daerah rawa gambut, wilayah pantai, dan wilayah darat. Di sisi lain, erosi tanah mesti diupayakan tidak melebihi ambang batas yang di bolehkan. Upaya meminimalkan erosi dengan berbagai perlakuan merupakan tantangan penelitian konservasi tanah dan air. Penelitian yang lain diperlukan untuk menjawab bagaimana karakteristik berbagai jenis pohon hutan dalam menahan curahan air hujan agar aliran permukaan (run off) dapat diminimalisir.
32
BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014
Penelitian pencarian variasi teknologi pembangunan sipil teknis untuk meminimalisir aliran permukaan juga diperlukan dalam rangka kestabilan siklus hidrologi. Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan suatu kesatuan wilayah daratan dengan anak sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografi dan batas laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Setiap DAS memiliki komponen tanah, vegetasi, dan air/sungai berperan sebagai prosesor dari setiap input yang masuk kedalam DAS sehingga output berupa air, erosi, banjir, dan tanah longsor sangat tergantung kepada kondisi vegetasi dan biofisik lahannya. DAS di Indonesia sebagian besar dalam kondisi kritis dengan indikator sering terjadinya bencana banjir dan kekeringan, serta tanah longsor dan meluasnya lahan kritis.Kini ada sekitar 108 DAS dalam kondisi kritis yang memerlukan prioritas penanganan. Penelitian yang mengarah kepada sistem pengelolaan DAS yang selaras dengan sistem pemerintahan otonomi daerah dan sesuai dengan kriteria sistem pengelolaan daerah tangkapan air masih sangat diperlukan.Penelitian selayaknya memiliki ruang lingkup POAC pengelolaan DAS, optimalisasi luas hutan terhadap tata air pada berbagai kondisi, dan sistem implementasi DAS skala mikro.Riset pengelolaan lahan dan air masih perlu diarahkan pada ruang lingkup kegiatan menjaga fungsi daya dukung lahan dan air bagi kehidupan flora, fauna, dan manusia. Untuk menjawab pertanyaan bagaimana agar penggunaan lahan dan air selalu sesuai dan tidak melebihi daya dukungnya maka penelitian rehabilitasi dengan menguji berbagai jenis pohon dan tanaman lain dikombinasi dengan sistem terasering dan drainase yang tepat sangat diperlukan. Dalam penelitian teknik rehabilitasi DAS seyogyanya selalu dikaitkan dengan kondisi biofisik, sosial, dan ekonomi masyarakat sekitar DAS. RISET PERAN HUTAN DALAM MENSTABILKAN IKLIM Saat ini sebagian masyarakat dunia telah menyadari bahwa terjadinya fenomena alam seperti musim kemarau semakin panjang, musim hujan yang relatif pendek dengan intensitas hujan yang tinggi adalah indikator nyata telah terjadi perubahan iklim. Hal ini berdampak pada berbagai kehidupan manusia seperti kekeringan yang berkepanjangan, gagal panen, krisis pangan, air bersih, pemanasan permukaan laut serta banjir dan tanah longsor. Walaupun dampak dari perubahan iklim lebih dirasakan oleh negara-negara berkembang akibat tidak mampu membangun inprastruktur untuk beradaptasi, namun negara-negara majupun cukup merasakan perubahan iklim tersebut bahkan mungkin lebih menyadari perlu adanya penanganan serius. Perubahan iklim yang terjadi ternyata lebih diakibatkan
oleh adanya pemanasan secara global pada muka bumi termasuk zona biosfer (tempat kehidupan makhluk hidup). Pemanasan global terjadi akibat meningkatnya gasgas rumah kaca di atmosfer. Bagian terbesar gas rumah kaca adalah gas karbon dioksida (CO2) diikuti gas Metan (CH4), Nitrogen oksida (N2O), Hidrofluorokarbon (HFC), Perfluorokarbon (PFC), dan Sulfurheksaflorida (SF6). Satusatunya komponen ekosistem yang mampu menurunkan gas rumah kaca CO2adalah tumbuhan hijau melalui proses fotosintesis. Hutan yang merupakan sekutuan hidup tumbuhan menjadi sangat penting dalam memitigasi gas rumah kaca. Oleh karena itu negara-negara maju berani membayar hutan milik negara berkembang agar tidak menebang hutannya. Hutan akan dibayar berdasarkan jumlah kandungan karbonnya. Indonesia telah dikenal memiliki hutan tropis terluas ketiga setelah Brazil dan Republik demokratik Kongo. Luasan tersebut mencerminkan betapa besar peranan hutan indonesia didalam menstabilkan iklim dunia. Akibat peran besar hutan indonesia inilah sehingga negara-negara maju yang tergabung dalam negara-negara Annex I menyanggupi adanya kerjasama dalam bentuk proyek Clean development mecanism (CDM) dan Reducing Emission from Deforestation and Degradations (REDD) untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Kesepakan negara-negara maju dalam mengantisipasi terjadinya perubahan iklim tersebut telah dimulai sejak adanya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi (Earth summit) di Rio De Janeiro Brazil tahun 1992. Pada KTT yang dikenal dengan nama United Nation Conference on Environment and Development (UNCED) tersebut, lebih dari 180 negara telah sepakat untuk mengadopsi Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Perubahan Iklim(Unit Nations Frameworks Convention on Climate Change, UNFCCC). Indonesia berpeluang besar untuk memanfaatkan dana konpensasi mempertahankan dan membuat hutan tersebut. Untuk memanfaatkan dana pengelolaan hutan tersebut, Indonesia harus dapat menghitung jumlah karbon hutan pada berbagai tipe termasuk hutan rawa gambut. Di sisi lain, jika kebijakan pemerintah tidak hati-hati dalam mengkonversi hutan menjadi tempat kegiatan usaha non-kehutanan, maka akan sangat menentukan adanya deforestasi dan degradasi. Proteksi hutan dari kerusakan lain seperti perambahan, perdagangan dan penebangan kayu hutan illegal dan kebakaran hutan harus tetap menjadi fokus penelitian ke depan. Untuk mendukung era perdagangan karbon dan dana konvensasi mengurangi kerusakan hutan, penelitian yang perlu terus dikembangkan adalah teknik perhitungan karbon hutan, potensi jenis-jenis pohon hutan yang paling efektif memfiksasi CO2, riset pembangunan hutan kota dan kebun raya, pengembangan riset GIS (Geograpical Information system) dan citera satelite, peneitian daya adaptasi manusia, hewan dan tumbuhan dalam perubahan iklim, observasi indikator-indikator meningkatnya peristiwa perubahan iklim, kajian kebijakan-kebijakan yang
mendukung dan tidak mendukung mitigasi perubahan iklim, dan riset yang mengarah ke potensi ekonomi dan sosial ketika perdagangan karbon hutan telah diterapkan dan memasyarakat. Teknik-teknik efektif berkolaborasi dengan masyarakat sekitar hutan dalam memelihara dan merehabilitasi hutan perlu ditemukan melalui penelitian. Penelitian yang mengarah ke perbaikan hutan seperti rehabilitasi hutan rawa gambut, rehabilitasi lahan kritis, revegetasi dan reklamasi areal lahan bekas tambang batubara, dan rehabilitasi hutan mangrove masih tetap memegang peranan penting sebagai kegiatan penelitian hutan ke depan. Mengapa manusia sekarang mulai menurun kesadarannya tentang pentingnya hutan. Salah satu penyebabnya adalah akibat promosi tentang hutan sebagai sumberdaya alam yang memiliki berbagai jenis tumbuhan dan hewan kurang tergalakkan. Intervensi pengetahuan jenis-jenis pohon hutan disertai fungsi dalam bentuk komunitas nampaknya perlu dilakukan hingga pendidikan tingkat sekolah dasar. Terdapat kecenderungan bahwa pengenalan hutan di masyarakat perkotaan akan semakin hilang. Keberadaan hutan tidak lagi menjadi perhatian bagi masyarakat perkotaan yang umumnya cukup menikmati berbagai teknologi yang tidak berbasis komponen hutan. Manusia saat ini telah mulai tidak memerlukan buku berbahan kertas, tetapi lebih membutuhkan aipad/tablet yang dapat menyimpan memory cukup besar karena selain dapat dijadikan alat pencatat, aipad juga dapat berisi berbagai mainan (game) dan informasi dunia yang menggairahkan. Dari usia anak-anak hingga dewasa dan tua kini menyenangi aipad. Kayu kaso dalam pelapon rumah, secara berangsur-angsur telah tergantikan oleh almunium yang berbahan dasar logam. Kondisi demikian telah menurunkan posisi kegunaan hutan di masyarakat. Fungsi hutan yang tak tergantikan adalah hutan sebagai paru-paru dunia yang memberi oksigen kepada makhuk hidup konsumen dan dapat memfiksasi CO2 dari udara. REFLEKSI ATAS KEJADIAN KEBAKARAN BERULANG DI RIAU Penelitian kebakaran hutan dan penebangan kayu ilegal (ilegal logging) kini telah dihentikan dengan alasan bahwa masalah kebakaran dan penebangan kayu ilegal bukan lagi berada dalam domain riset tetapi menjadi masalah penegakan hukum. Perlu keseragaman pemahaman dalam kalangan pengambil kebijakan bahwa penelitian dalam segala aspek kehutanan sesungguhnya tidak akan pernah berakhir. Masalah-masalah yang berhubungan dengan kerusakan hutan oleh kebakaran dan penebangan kayu ilegal sebenarnya selalu ada, sehingga jawaban ilmiah harus selalu tersedia. Oleh karena itu riset dari kedua aspek ini masih tetap diperlukan di masa datang. Kebakaran di Provinsi Riau hingga tahun 2013 lalu telah memberi pelajaran untuk ke sekian kali dalam BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014
33
mencari solusi masalah kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Kebakaran tahun 2013 di Riau telah membakar lahan dan hutan 111.000 hektar. Asap kebakaran telah menjadi masalah lintas batas negara yang sering menuai protes negara yang terkena dampaknya. Kebakaran terparah terjadi di Kabupaten Bengkalis. Jika kebakaran besar telah terjadi, sangat sulit untuk menentukan siapa yang membakar awal. Perusahaan Perkebunan P.T Sinar Mas telah membantah dituduh melakukan persiapan lahan dengan membakar berdasarkan data hotspot yang diidentifikasi sebanyak 300 titik panas didalam arealnya. Salah satu perusahaan yang dituntut ganti rugi sebesar Rp. 366 Milyar atas kerusakan lingkungan akibat kebakaran di arealnya adalah P.T. Kalita Alam. Memang Riau merupakan tempat buruan pengusaha Sawit dan HTI. Kini di Provinsi Riau terdapat 1,7 Juta ha perkebunan kelapa sawit dan 1,6 Juta ha Hutan Tanaman Industri (HTI). Pada tahun 2013 terdapat 58 Ijin usaha Hutan Tanaman Industri di Provinsi Riau. Untuk merespon kejadian kebakaran rutin di Riau, beberapa kegiatan penelitian perlu dilakukan yaitu : Kajian sosioantropologis penyebab kebakaran, kearifan lokal pengelolaan api di masyarakat, kajian yang mengarah ke teknologi dan kelembagaan pengendalian kebakaran dalam skala perusahaan, kajian peluang kolaborasi dengan masyarakat dalam penanggulangan kebakaran hutan melalui penanggulangan kebakaran berbasis masyarakat sekitar hutan, dan kajian pengembangan pemanfaat limbah hutan dan perladangan agar menjadi pupuk dan energi yang bernilai ekonomi sehingga tidak perlu dibakar. Penelitian dampak dari kebakaran terhadap lingkungan dan masyarakat hendaknya cukup menjadi prioritas kedua kecuali dalam rangka penegakan hukum. Sebaliknya penelitian yang mengarah ke pencegahan dan pemadaman dini kebakaran penting menjadi prioritas utama. KESIMPULAN Hutan sesungguhnya telah terbukti dapat menghasilkan dan menyediakan bahan makanan, energi, dan air bagi manusia baik secara kearifan lokal (local wisdom) maupun secara ilmu pengetahuan modern. Untuk itu penelitian di bidang kehutanan seyogyanya mampu terus-menerus membuka tabir secara ilmiah seluk beluk hutan hubungannya dengan kebutuhan primer manusia. Penelitian dasar yang berhubungan dengan potensi setiap jenis pohon hutan dalam hubungannya
34
BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014
dengan kebutuhan makanan, energi, dan airyang dibutuhkan manusia serta pemilihan jenis-jenis pohon hutan yang paling efektif menyerap karbondioksida (CO2) hendaknya menjadi pokus riset ke masa depan Penelitian yang berhubungan dengan peranan hutan dalam menstabilkan iklim serta upaya memanfaatkan dana konvensasi REDD dan mekanisme pembangunan bersih (A/R CDM) perlu menjadi focus kegiatan pasca 2014. DAFTAR BACAAN Baumert,K.A., T.Herzog and J.Pershing, 2005. Navigating the Numbers : Greenhouse Gas Data and International Climate Policy. World Resource Institute. Brooks, K.N., H.M.Gregersen, A.I.Lundgren, R.M.Quinn, 1990. Manual on Watershed Management Project Planning, monitoring and evaluation. ASEAN_US watershed Project. College. Laguna Philippines. IPCC. 2006. IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories. IPCC National Greenhouse Gas Inventories Programme. IGES. Japan. Martawijaya,A., I.Kartasujana, Y.I.Mandang, S.A.Prawira, dan K. Kadir. 1989. Atlas Kayu Indonesia. Badan Litbang Kehutanan. Bogor. Notohadiprawiro, T. 1981. Pengelolaan DAS dan Program Penghijauan. Jurusan Ilmu Tanah. Faperta. Universitas Gajah Mada. 35 p. Paimin, Sukresno, dan Purwanto, 2006. Sidik Cepat Degradasi Sub Daerah Aliran Sungai (Sub DAS). Puslitbang Hutan dan konservasi Alam. Bogor. Peraturan Pemerintah (PP) No.38 tahun 2007 tentang pembagian Urusan Penerintah Antara Pemerintsh, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Sudradjat, 2006. Memproduksi Biodiesel Jarak Pagar. Solusi Hasilkan Biodiesel Berkualitas Tinggi. Penebar Swadaya. Depok.Bogor. UU No.7 Tahun 2004. Tentang Sumber Daya Air.
LINTAS PERISTIWA
”M
etode penelitian perlu dipertajam dan diperbaiki lagi,” ujar Prof. Yudi Firmatul Arifin, dosen Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) selaku pembahas dalam pembahasan Rencana Penelitian Tim Peneliti (RPTP), 27-30 Januari 2014 di Hotel Rodita Banjarbaru. Pembahasan RPTP lingkup peneliti BPK Banjarbaru dimaksudkan untuk mendapatkan koreksi, masukan untuk mempertajam rencana kegiatan penelitian. Turut membahas dan memberikan masukan adalah Hamdani, S. Hut, MSc (Dosen Unlam), Prof(Ris). Nina Mindawati, Dr. Darwo, Dr. Tien Wahyuni yang masing-masing selaku Koordinator Rencana Penelitian Integratif (RPI) di Badan Litbang Kehutanan. RPTP tahun 2014 ini merupakan tahun ke 5 dari RPI tahun 2010-2014. Oleh sebab itu pada tahun ini juga disusun sintesa penelitian dari masing-masing judul.
B
elajar di lingkungan alam sangat menyenangkan bagi anak-anak. Nampak keceriaan dan kegembiraan anak-anak belajar dan bermain di lingkungan kantor BPK Banjarbaru (Selasa, 25 Maret 2014). Pada kesempatan tersebut, Fauziah S.Hut, staf Data Informasi Kerjasama (DIK) dan Junaidah, S. Hut, MSc, peneliti bidang Silvikultur BPK Banjarbaru mengajak anak-anak belajar tentang hutan. Sebanyak 40 anak PAUD Shabwa Amanah Banjarbaru mendengarkan cerita tentang pohon, menyapih bibit, dan mengenal macam-macam pohon. “Kami menyambut terbuka dan senang, anak-anak bisa belajar tentang hutan di lingkungan kantor kami,” kata Winingtyas Wardhani, S. Hut, MSc, MT., Kepala Seksi DIK dalam sambutannya kepada anak-anak PAUD.
J
alinan jiwa korsa rimbawan harus senantiasa terjaga. Hal merupakan salah satu tujuan acara Hari Bakti Rimbawan di lingkup Unit Pelaksana Teknis (UPT) dan Dinas Kehutanan Propinsi dan Kabupaten di lingkup Propinsi Kalsel, yang diselenggarakan sepanjang bulan Maret 2014. Pada acara tersebut, terdapat beberapa agenda kegiatan yang dilaksanakan, diantaranya adalah pertandingan olahraga yaitu bola volley, futsal, bulutangkis, dan tenis lapangan. Tahun ini, tim bola volley putri BPK Banjarbaru untuk kali pertamanya mendapatkan kemenangan dengan menduduki peringkat 2 dan mempersembahkan piala sebagai tim paling favorit.
K
inerja pegawai perlu senantiasa disegarkan, agar tidak terjadi kejenuhan dan kinerja terus meningkat. Kerjasama antar pegawai juga harus terpelihara dalam mewujudkan kerja tim yang baik, baik pejabat struktural, fungsional dan staf di lingkungan Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Banjarbaru. Hal ini dikemukakan Kepala Balai BPK Banjarbaru, Ir. Tjuk Sasmito Hadi, MSc, pada acara sambutan pembinaan peningkatan kinerja pegawai di Pelaihari, 5-6 Maret 2014. Pembinaan pegawai yang dikemas dalam outbond di Agrowisata Tambang Ulang, Pelaihari itu diikuti oleh seluruh karyawan BPK Banjarbaru. Turut berkenan hadir dan memberi arahan adalah Ir. Tri Joko Mulyono, MM, Sekretaris Badan Litbang Kehutanan dan Ir. Riharto, MM, Kepala Bagian Hukum Organisasi dan Tata Laksana (ORTALA) Badan Litbang Kehutanan. Pada kesempatan tersebut, Sekbadan Litbang memberikan motivasi dan arahan pentingnya disipilin pegawai serta berbagi pengalaman beliau dalam bekerja yang bisa menjadi teladan bagi pegawai BPK Banjarbaru.
D
ukungan manajemen diperlukan dalam rangka meningkatkan dan memfasilitasi pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Hal ini dikemukakan Heri Budi Santoso, MSi, Dekan Fakultas MIPA Unlam di Banjarbaru, (Jumat, 25/04/ 2014) dalam acara penandatangan kerjasama MOU antara BPK Banjarbaru dan Fakultas MIPA Unlam. Pada kesempatan tersebut, Ir. Tjuk Sasmito Hadi, MSc juga menyambut baik adanya kerjasama dengan Fakultas MIPA Unlam. “Tidak hanya mahasiswa saja yang bisa menggunakan tempat untuk praktikum di KHDTK kami, namun ke depan dapat kita lakukan penelitian bersama,” kata pak Tjuk. Untuk diketahui, mahasiswa jurusan farmasi Unlam memang telah rutin mengadakan praktek eksplorasi dan pengenalan tumbuhan berkhasiat obat di KHDTK Rantau. Pendampingan pada setiap kegiatan perkuliahan lapangan dan praktek dilakukan oleh pengelola KHDTK Rantau dan tim peneliti BPK Banjarbaru.
U
ntuk melindungi hutan dari hama penyakit dan kebakaran hutan membutuhkan praktek langsung di lapangan. Sebanyak 50 mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM) Kalsel mengikuti praktek mata kuliah pelindungan hutan di BPK Banjarbaru, (Selasa, 6/05/ 2014). Sebelum hama dan penyakit meledak dan merugikan tanaman dalam skala ekonomi perlu di deteksi sejak awal. “Deteksi dini terhadap hama dan penyakit di persemaian sangat diperlukan,“ ujar Beny Rahmanto, S. Hut, peneliti hama penyakit di BPK Banjarbaru. Pada skala tertentu hama penyakit dapat dikendalikan. “Untuk mengendalikan hama tanaman hutan, bisa juga digunakan pestisida nabati yang ramah lingkungan,” kata Fajar Lestari, S. Hut dalam penjelasannya di depan mahasiwa. Sementara itu, dalam acara praktek mahasiwa tersebut juga dikenalkan dan dilakukan demo penggunaan alat-alat pengendalian kebakaran hutan dan lahan hasil rekayasa BPK Banjarbaru.
BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014
35
ARTIKEL
GELIAT
Hutan Tanaman Rakyat DI KALIMANTAN SELATAN Oleh: Busran, S.Hut. dan Nunung Khusnul Faizah, S.Hut.1 Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) di Balai Pemantauan dan Pemanfaatan Hutan Produksi Wilayah XI Banjarbaru
I. PENDAHULUAN Masyarakat di sekitar hutan sudah selayaknya dapat menikmati pembangunan kehutanan secara langsung maupun tidak langsung. Namun realitas saat ini menunjukkan bahwa mereka termarjinalkan akibat sebagian pola pembangunan hutan cenderung tidak mendorong peran serta masyarakat. Tatanan sistem pemerintahan yang semula sentralistis telah berubah menjadi desentralisasi yang memberikan penekanan otonomi urusan di bidang kehutanan belum sepenuhnya diikuti dengan peraturan dan ketentuan di daerah. Revitalisasi sektor kehutanan perlu dipercepat untuk meningkatkan kontribusi kehutanan terhadap pertumbuhan ekonomi, mengurangi pengangguran dan pengentasan kemiskinan. Salah satu upaya dalam mendukung percepatan revitalisasi sektor kehutanan tersebut dilaksanakan melalui program pemantapan pemanfaatan potensi sumberdaya hutan. Kegiatan yang termasuk dalam program ini diantaranya adalah pengelolaan hutan produksi yang tidak dibebani hak/ijin pemanfaatan, pengembangan pengelolaan pemanfataan hutan alam, pengembangan hutan tanaman dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 jo. Nomor 3 Tahun 2008 dan selanjutnya ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2011, telah ditetapkan pemberian ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman rakyat, guna memberikan akses hukum, akses kelembagaan keuangan dan akses pasar yang lebih luas kepada masyarakat dalam pemanfaatan hutan produksi. Program pembangunan hutan tanaman melalui skema 1
HTR merupakan kebijakan Kementerian Kehutanan yang strategis, karena sangat relevan dengan prinsip pembangunan pro-poor, pro-growth, pro-job dan proenvironment. Program HTR bertujuan untuk meningkatkan produktivitas hutan melalui kegiatan pembangunan hutan tanaman, dengan memberikan akses legal kepada masyarakat untuk mengelola kawasan hutan produksi. Pembangunan HTR akan melibatkan tugas dan fungsi seluruh instansi kehutanan, baik pusat maupun daerah, badan usaha milik negara, swasta, koperasi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan masyarakat sehingga untuk kelancaran dan efektifitas pelaksanaan di lapangan diperlukan data pendahuluan tentang kondisi penutupan lahan serta data tentang penguasaan lahan oleh warga sekitar lokasi rencana pembangunan Hutan Tanaman Rakyat demi keberhasilan rencana penyelenggaraan pembangunan hutan tanaman rakyat. Tujuan pembangunan HTR diantaranya adalah : 1). Untuk meningkatkan potensi dan kualitas Hutan Produksi dengan menerapkan sistem silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan. 2). Meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. 3). Mendukung Program Kabinet Indonesia Bersatu II (propoor, pro-growth, pro-job, pro-environment). Dalam pelaksanaannya, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHKHTR) dapat diberikan kepada perorangan atau Koperasi pada lokasi yang dicadangkan sebagai areal pembangunan HTR, yakni : 1). Pada Hutan Produksi yang tidak produktif; 2).Tidak dibebani izin/hak lain; 3). Tidak terdapat tanaman reboisasi dan rehabilitasi; 4).Adanya masyarakat yang memiliki ketergantungan terhadap hutan dan hasil hutan namun belum mendapat legalitas/izin.
Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) di Balai Pemantauan dan Pemanfaatan Hutan Produksi Wilayah XI Banjarbaru
36
BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014
Pembangunan HTR merupakan proses penguatan kelembagaan kehutanan baru bagi para rimbawan dan masyarakat yang dimulai dari luasan kecil (satu-dua hektar) dengan kegiatan pokoknya menanam tanaman hutan dengan berdasarkan pada pengalaman menanam masyarakat. HTR menuntut kemauan dan kemampuan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Penanaman kembali kawasan hutan produksi oleh masyarakat merupakan budaya baru dalam manajemen hutan yang melibatkan masyarakat secara langsung.
II. AREAL PENCADANGAN HTR Provinsi Kalimantan Selatan dengan Keputusan Menteri Kehutanan telah memiliki areal pencadangan hutan untuk pembangunan Hutan Tanaman Rakyat seluas 29.758 Hektar yang tersebar pada 6 kabupaten. Masingmasing luasan dapat dilihat dalam Tabel 1.
Tabel 1. Perkembangan Pencadangan Areal HTR di Provinsi Kalimantan Selatan No.
Kabupaten
1. Hulu Sungai Selatan 2. Tanah Laut 3. Banjar 4. Tabalong 5. Kotabaru 6. Tanah Bumbu JUMLAH
SK Pencadangan HTR oleh Menhut Nomor Tanggal Luas (Ha) SK.101/Menhut-II/2008 08-04-2008 818 SK.706/Menhut-II/2008 19-10-2008 5.355 SK.393/Menhut-II/2008 10-11-2008 3.160 SK.395/Menhut-II/2008 10-11-2008 7.490 SK.44/Menhut-II/2010 15-01-2010 3.900 SK.50/Menhut-II/2010 15-01-2010 9.035 29.758
Ket.
Sumber: BP2HP Wilayah XI Banjarbaru (2013)
Kabupaten Balangan telah mengusulkan pencadangan HTR seluas 15.065 ha, yang saat ini prosesnya masih terhenti di Kementerian Kehutanan. Proses pencadangan terhambat karena Surat usulan pencadangan areal HTR hanya ditandatangani oleh Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Balangan, bukan oleh Bupati. Dalam hal ini belum ada jawaban tertulis dari Kementerian Kehutanan yang menjelaskan terkait hal tersebut kepada Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Balangan. Adapun perkembangan pembangunan HTR di masing-masing kabupaten yang telah mendapatkan SK Pencadangan dapat dijelaskan seperti uraian berikut. 1. Kabupaten Hulu Sungai Selatan Laporan Hasil Identifikasi Lokasi Pencadangan Areal Hutan Tanaman Rakyat yang dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Hulu Sungai Selatan menyatakan bahwa pencadangan areal untuk pembangunan HTR sesuai Kepmenhut Nomor: SK.101/ Menhut-II/2008 terbagi dalam 2 wilayah kabupaten. Pertama, berada di wilayah Kabupaten Hulu Sungai Selatan seluas 755,48 Hektar, yang terletak di 3 kecamatan yaitu: (a) Desa Malinau, Kecamatan Loksado seluas 111,32 Hektar, (b) Desa Madang, Kecamatan Padang Batung seluas 122,02 Hektar, (c) Desa Batu Laki, Kecamatan Padang Batung seluas 477,15 Hektar dan tumpang tindih dengan areal kerja IUPHHK-HTI PT. Dwima Intiga dan (d) Desa Hamak Timur, Kecamatan Telaga Langsat seluas 44,99 Hektar. Kedua, berada di wilayah Kabupaten Tapin seluas 67,71 Hektar. SK Pencadangan areal untuk pembangunan
HTR sesuai Kepmenhut Nomor: SK.101/Menhut-II/2008 tanggal 8 April 2008 telah berumur lebih dari 3 tahun, berdasarkan Permenhut Nomor P.55/Menhut-II/2011 Pasal 29 ayat (3) bahwa terhadap Keputusan Pencadangan HTR yang telah berumur lebih dari atau sama dengan 3 (tiga) tahun, diberikan kesempatan 1 (satu) tahun sejak 13 Juli 2011 untuk menerbitkan Ijin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu-HTR (IUPHHK-HTR). Hal ini dipertegas dengan lampiran Surat Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor : S.337/VI-BUHT/2012 tanggal 10 Mei 2012 perihal Percepatan Penerbitan IUPHHK-HTR bahwa Kabupaten Hulu Sungai Selatan diberikan Kesempatan untuk menerbitkan IUPHHK-HTR pada Juli 2012. Berdasarkan Surat Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Hulu Sungai Selatan Nomor: 522/590/Pml.1-Dishutbun/2012 tanggal 25 Oktober 2012 perihal Laporan Kemajuan Pembangunan HTR dalam rangka menjawab Surat Kepala BP2HP Wilayah XI Nomor: S.640/VI/BP2HP-XI/3/2012 tanggal 22 Oktober 2012 perihal yang sama dijelaskan bahwa areal yang dicadangkan dan telah dilakukan identifikasi sebagaimana telah disebutkan di atas, kurang layak untuk dijadikan sasaran pembangunan HTR. 2. Kabupaten Banjar Berdasarkan analisis GIS terhadap areal pencadangan HTR di Kabupaten Banjar yang dilakukan oleh BP2HP Wilayah XI Banjarbaru pada tahun 2012 diperoleh hasil sebagai berikut: (a) terdapat Pemukiman (Desa Alimukim) overlap dengan areal penggunaan lain (APL) seluas + 26 Hektar, (b) terdapat tanaman hasil BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014
37
kegiatan pembangunan Hutan Rakyat dan Gerhan tahun 2004 (DAK-DR) seluas + 40 Ha, (c) areal yang overlap dengan areal tanaman hasil kegiatan pembangunan Hutan Rakyat dan Gerhan tahun 2006 (DAK-DR) seluas + 55 Ha, (d) areal yang overlap dengan areal IUPHHK-HT seluas + 209 Ha dan (e) areal yang overlap dengan Tahura Sultan Adam seluas + 57 Ha. 3. Kabupaten Tanah Laut Kondisi areal pencadangan HTR terutama pada Blok Asam-Asam umumnya didominasi oleh tanaman jenis Acacia Mangium yang umurnya sudah masak tebang dan diklaim oleh PT. Hutan Rindang Banua sebagai tanaman percobaan PT. Menara Hutan Buana, sedangkan pada blok Pemalongan sebagian tumpang tindih dengan Hutan Lindung dan areal Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan PD. Baratala Tuntung Pandang. 4. Kabupaten Tabalong Kondisi tapak areal pencadangan HTR umumnya telah ditanami dengan tanaman Karet yang pengelolaannya dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan yang telah lebih dahulu memanfaatkan lahan tersebut, dimana masing-masing orang yang menguasai lahan tersebut tersebar dalam 1 atau 2 bahkan lebih lokasi yang terpisah. Berdasarkan hasil verifikasi permohonan IUPHHK-HTR atas nama Gapoktan Cahaya Tani sebagian areal pencadangan HTR tumpang tindih dengan Hutan
Lindung sesuai dengan Peta Hasil Verifikasi HTR yang dibuat oleh BPKH Wilayah V. 5. Kabupaten Tanah Bumbu Areal pencadangan umumnya merupakan areal bekas tebangan (logged over area), dimana areal tersebut masih terdapat tegakan hutan alam dan telah ditumbuhi oleh jenis-jenis pionir seperti Mahang, dan lain-lain yang telah memiliki diameter diatas 20 cm. Di dalam areal pencadangan HTR di Kabupaten Tanah Bumbu sesuai Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.50/ Menhut-II/2010 tanggal 15 Januari 2010, diterbitkan pula Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan atas nama PT. Borneo Indobara sesuai Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.288/Menhut-II/2010 tanggal 27 April 2010. 6. Kabupaten Kotabaru Areal pencadangan umumnya merupakan areal terbuka dan pemukiman serta areal bekas tebangan (logged over area), dimana pada beberapa titik masih terdapat tegakan hutan alam jenis Ulin dengan potensi yang cukup baik. III. PENETAPAN IJIN USAHA PENGELOLAAN HASIL HUTAN KAYU-HTR Berdasarkan data BPPHP Wilayah XI sampai dengan tahun 2013, perkembangan penerbitan IUPHHKHTR dapat dilihat dalam Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Perkembangan Penerbitan IUPHHK-HTR No.
Nama Pemegang IUPHHK-HTR
I. TAHUN 2011 1. Kop. Akar Perjuangan 2. Kop. Rimba Raya 3. Kop. Budi Sejahtera 4. Kop. Maju Terus Jaya 5. Kop. Berkat Jaya Abadi 6. Kop. Bukit Barisan Jaya 7. Kop. Bersama Kita Membangun 8. Kop. Tani Gemah Ripah JUMLAH I II. TAHUN 2012 9. Kop. Hutan Masyarakat Sejahtera 10. Gapoktan Cahaya Tani 11. KUD Mahkota Banua Bersujud 12. KPM Kuntum Melati 13. Kop. Suka Maju 14. KSU Jasa Mandiri JUMLAH II III. TAHUN 2013 JUMLAH III JUMLAH TOTAL Sumber : BP2HP Wilayah XI Banjarbaru (2013)
38
BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014
Nomor
SK IUPHHK-HTR Tanggal
157 Tahun 2011 83 Tahun 2011 84 Tahun 2011 85 Tahun 2011 86 Tahun 2011 87 Tahun 2011 88 Tahun 2011 188-45/759-KUM/2011
03-01-2011 24-02-2011 24-02-2011 24-02-2011 24-02-2011 24-02-2011 24-02-2011 25-07-2011
210 Tahun 2012 188.45/373/2012 76 Tahun 2012 188-45/695-KUM/2012 188-45/696-KUM/2012 188-45/697-KUM/2012
06-03-2012 20-06-2012 01-03-2012 26-12-2012 26-12-2012 26-12-2012
Luas (Ha)
Ket.
500 343 376 330 344 333 329 500 3.055 699,73 26,90 16 KK 696 485 614 593 3.114,63 NIHIL 6.169,63
IV. KENDALA PEMBANGUNAN HTR DI KALIMANTAN SELATAN
Hutan Tanaman Rakyat di Kabupaten Tanah Bumbu. b.
Sosialisasi bersama dengan stakeholder terkait terutama dalam hal pemanfaatan hasil hutan
Hambatan dan kendala yang dihadapi oleh
melalui program HTR serta penguatan kelembagaan
pengelola HTR di lapangan diantaranya adalah :
diantaranya melalui studi banding ke Yogyakarta bagi
a.
Proses pencadangan areal HTR dimana areal yang
pemegang IUPHHK-HTR dan tenaga pendamping
dicadangkan belum sepenuhnya clear dan clean,
serta pelatihan peyiapan areal dan pengukuran areal
baik disebabkan karena perambahan, okupasi,
kerja HTR dan teknik silvikultur HTR serta workshop
perladangan, tumpang tindih peruntukan, illegal logging/illegal minning serta penguasaan lahan oleh b.
c.
Telah dilakukan fasilitasi pertemuan dengan Dinas
masyarakat.
Kehutanan dan Perkebunan Kab. Tanah Bumbu,
Pemahaman beragam dari para pihak terhadap
Pemegang IUPHHK-HTR dan calon developer PT.
program Hutan Tanaman Rakyat menyebabkan
Nusantara Batulicin serta Bank Rakyat Indonesia Unit
proses perizinan yang masih sangat lama, kekuatiran
Batulicin dalam rangka mengkaji proses kerjasama
bahwa areal yang dibangun menjadi HTR akan
dan pembiayaan pembangunan HTR. Dalam hal ini
diambil oleh Pemerintah.
yang diharapkan oleh BRI adalah lebih kepada skema
Penguatan
kelembagaan
yang
belum
mantap
menyebabkan administrasi HTR seperti RKU dan RKT d.
pengembangan pembangunan HTR. c.
kemitraan, bukan developer. d.
Mendorong dan mendampingi pemegang HTR untuk
masih kurang lancar.
melakukan kegiatan lapangan seperti penataan
Dari sisi kajian ekonomi, HTR masih dianggap belum
batas, penanaman dan kegiatan lainnya
menguntungkan, belum adanya jaminan pasar dan
optimalisasi tenaga pendamping/fasilitator HTR.
dengan
harga kayu HTR. e.
Hubungan antar stakeholder yang belum bersinergi dengan baik. Keberhasilan HTR sangat memerlukan
VI. PERCEPATAN PEMBANGUNAN HTR DI KALIMANTAN SELATAN
sinergi dari berbagai pihak mulai dari instansi Kehutanan tingkat pusat, daerah, kelompok tani maupun tenaga pendamping / fasilitator. f.
Kekurangan biaya untuk pendanaan pembangunan HTR termasuk kegiatan penanaman, penataan batas, dll.
g.
Khusus pada Kabupaten Tanah Bumbu areal yang dicadangkan untuk pembangunan HTR umumnya masih merupakan belukar dan hutan sekunder sehingga relatif belum siap untuk ditanam. Kondisi ini mengakibatkan inventasi penyiapan lahan lebih besar bila dibandingkan dengan standar BLU sehingga berakibat
pada
terhambatnya
operasionalisasi
pembangunan HTR di Kabupaten Tanah Bumbu.
Program
HTR
telah
ditetapkan
dalam
PP
No. 6 Tahun 2007. Program ini sangat erat kaitannya dengan urusan kawasan hutan dalam hal ini hutan produksi. Terdapat tiga fungsi yang harus dijalankan oleh Kementerian Kehutanan dalam bentuk proses transformasi pembangunan kehutanan melalui program HTR adalah : (1) transfer of knowledge and authority tentang fungsi kawasan hutan sebagai penyangga kehidupan sebagaimana Pola Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) kepada para pihak terkait, (2) transfer of science and technology di bidang pengelolaan tanaman hutan kepada para pihak dan (3) peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dalam arti yang luas. Pembangunan HTR sebagai sebuah program pemberdayaan masyarakat sudah seharusnya dilaksanakan
V. UPAYA PERCEPATAN PEMBANGUNAN HTR
secara terpadu dan terencana dengan melibatkan instansi
Beberapa upaya telah ditempuh oleh para stakeholder
terkait
pembangunan
HTR
di
Provinsi
Kalimantan Selatan, beberapa upaya tindak lanjut yang telah
dilakukan dalam rangka percepatan progres
pembangunan Hutan Tanaman Rakyat di diantaranya: a.
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tanah Bumbu telah melakukan kerjasama dengan Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat dalam rangka penyusunan Rancangan Teknis Pembangunan
pemerintah terkait baik pusat maupun daerah, swasta dan masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam seluruh proses pengelolaan hutan secara teknis dan sosial-ekonomis merupakan proses belajar bersama. Oleh karena itu upaya tindak lanjut yang masih perlu dilakukan dalam rangka percepatan progres pembangunan Hutan Tanaman Rakyat di wilayah Provinsi Kalimantan Selatan diantaranya: a.
Melakukan
identifikasi
dan
evaluasi
areal
pencadangan HTR sehingga areal yang tidak mungkin BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014
39
dimanfaatkan untuk HTR agar diusulkan untuk
di lapangan sehingga diperoleh kepastian kawasan
dilakukan revisi baik dalam bentuk pengurangan,
untuk mengantisipasi perambahan dan okupasi oleh
pembatalan atau dicarikan areal pengganti. Dalam proses pengajuan areal pencadangan HTR agar
pihak lain. i.
memperhatikan kriteria areal yang dipersyaratkan
Fasilitasi penyusunan RKU dan RKT serta permohonan pinjaman dana bergulir ke BLU Pusat P2H.
meliputi : 1) Pencadangan diberikan pada areal Hutan Produksi yang tidak produktif; 2) Belum dibebani izin/hak; 3) Tidak terdapat tanaman reboisasi dan rehabilitasi; dan 4) Aksesibilitasnya mudah/tidak sulit. b.
Sosialisasi program HTR harus secara terus menerus dilakukan terutama di tingkat tapak dan petani selaku pelaksana HTR dalam rangka mengatasi persoalan kurangnya pemahaman masyarakat.
c.
Perubahan
peraturan
mengenai
Standar
Biaya
Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat dengan memperhatikan komponen biaya yang diperlukan sesuai
dengan
kondisi
tapak
masing-masing
mengingat standar biaya saat ini yang dibiayai oleh Badan Layanan Umum (BLU) Pusat Pembiayaan Pembangunan
Hutan(P2H)
sangat
rendah
bila
dibandingkan dengan komponen biaya riil serta perubahan peraturan perundangan terkait dengan komposisi tanaman budidaya tahunan dengan tanaman kehutanan. d.
Penguatan HTR
kapasitas
termasuk
pendamping/fasilitator
penyuluh
pendampingan
dapat
mensukseskan
dengan
kehutanan
bersinergi program
sehingga
dan
saling
VII. PENUTUP Meskipun program HTR telah dilengkapi dengan kebijakan mengenai akses lahan, akses pasar, dan akses permodalan, namun banyak pihak yang meragukan pelaksanaan program ini (Noordwijk et al. 2007). Dalam Is HTR a new paradigm in community based tree planting in Indonesia? Noordwijk et al. (2007) menyatakan bahwa kebijakan HTR pada dasarnya mirip dengan program HTIplasma dan program HKM (Hutan Kemasyarakatan) yang belum menunjukkan hasil memuaskan. Permasalahan utama yang harus menjadi perhatian dalam pelaksanaan program HTR adalah masalah akuntabilitasdan tingginya potensi konflik lahan. Program Kementerian Kehutanan pada tahun 2014 dengan target Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat di Provinsi yaitu penambahan 1 juta hektar lahan HTR sudah selayaknya didukung dengan strategi komunikasi yang tepat untuk mempercepat pemahaman masyarakat, kualitas sumberdaya pendamping yang mumpuni serta partisipasi total dari masyarakat pelaksana, sehingga
HTR
mengingat keberhasilan pembangunan HTR oleh
1)
kelembagaan hingga operasionalisasi kegiatan di lapangan.
Hutan. 2)
Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
terlibat dalam program HTR termasuk dengan pihak
Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat dalam
ke-3 (developer) maupun lembaga pembiayaan simultan
dan
saling
menguatkan. g.
Hutan Tanaman. 3)
Kabupaten Bulungan, Kalimantan Timur. eJournal
atau forum komunikasi HTR sebagai wadah untuk
Administrative Reform, 2013, 1 (2):525 -537. ar.mian.
mengkomunikasikan dan mengkoordinasikan segala operasionalisasi pembangunan HTR, baik antar pemegang IUPHHK-HTR, fasilitator dan stakeholders lainnya h.
Penegasan
pengaturan
mengenai
pedoman
pelaksanaan penataan batas areal kerja IUPHHK-HTR
40
BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014
Iskandar, D.B. Paranoan dan Djumlani, A. 2013. Implementasi Kebijakan Hutan Tanaman Rakyat Di
Perlu dilakukan fasilitasi pembentukan asosiasi
permasalahan dan solusi yang diperlukan dalam
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/MenhutII/2011 jo. Nomor P.31/Menhut-II/2013 tentang Tata
Sinergitas peran dan koordinasi para pihak yang
berjalan
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 jo. Nomor Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan
keberhasilan pendampingan mulai dari pembentukan
dapat
pengentas
3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan
Koperasi atau kelompok tani sangat tergantung pada
sehingga
program
SUMBER BACAAN
Penguatan kelembagaan HTR dengan difasilitasi tenaga pendamping atau stakeholders terkait lainnya
f.
menjadi
pemberdayaan
masyarakat lainnya. e.
dapat
kemiskinan yang membumi.
fisip-unmul.ac.id 4)
Laporan Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2013. BP2HP Wilayah XI Banjarbaru.
Aplikasi Sederhana Pembukuan Bendahara dan Kartu Kendali (ASPENDAL, 1 = 13)
ARTIKEL
Oleh: Supriyadi Teknisi Litkayasa Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
Pekerjaan keuangan dalam administrasi DIPA merupakan pekerjaan yang membutuhkan ketelitian tinggi. Hal ini terkait dengan banyaknya dokumen yang dibutuhkan seperti GU, TU, SPJ, Kartu Kendali, SP2D, dan BKU. Dokumen-dokumen tersebut saling terkait antara dokumen satu dengan dokumen yang lain. Kondisi ini menyebabkan kesalahan satu dokumen akan menyebabkan kesalahan dokumen keuangan yang lain. Pada dasarnya dokumen-dokumen tersebut memerlukan input data yang sama namun setiap dokumen mempunyai bentuk/tampilan yang berbeda. Pekerjaan yang sering dilakukan dan sering mengalami kesalahan yakni input data yang sering berulang untuk setiap dokumen yang dibutuhkan. Oleh sebab itu dalam pekerjaan administrasi keuangan diperlukan alat bantu yang dapat mempercepat pekerjaan dan mempunyai ketelitian yang tinggi sehingga dokumen-dokumen keuangan terhindar dari kesalahan. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru mengembangakan alat bantu berupa aplikasi ASPENDAL (Aplikasi Sederhana Pembukuan Bendahara dan Kartu Kendali). ASPENDAL merupakan aplikasi sederhana yang dibuat dengan Microsoft Excel. Penggunaan Microsoft Excel didasari oleh pertimbangan bahwa program tersebut sudah biasa digunakan oleh hampir semua staf/karyawan, namun penggunaan program ini belum maksimal dan optimal. Penggunaan Microsoft excel hanya terbatas pada pembuatan tabel, grafik, dan perhitungan sejumlah angka, meskipun Microsoft excel mempunyai kelebihan dalam membaca dan manajemen data. ASPENDAL dapat digunakan untuk mempersingkat pekerjaan pengolahan data keuangan secara cepat, tepat, akurat, dan meperkecil kemungkinan kesalahan terhadap dokumen keuangan yang dibutuhkan. ASPENDAL mempunyai motto 1 = 13 artinya 1 kali input (entry) data dapat menyelesaikan 13 dokumen keuangan yang dikerjakan berhari-hari apabila pekerjaan itu dilakukan secara manual. ASPENDAL dapat menghemat waktu dan tenaga karena input data hanya 1 kali dengan waktu maksimal 1 jam dapat menampilkan 13 dokumen keuangan secara langsung. Input data pada ASPENDAL ini sangat mudah karena penggunaan Microsoft excel sebagai basis dari aplikasi ini. Proses input data dilakukan dengan menu copy dan paste untuk menghasilkan dokumen yang lain. Disamping itu, ASPENDAL telah dilengkapi
kontrol terhadap penulisan Mata Anggaran Keuangan (MAK) sehingga kesalahan penulisan MAK dapat dihindari. Keunggulan lain aplikasi ini yakni kartu kendali hasil dari ASPENDAl tidak mungkin minus, “salah kamar’ ataupun terjadi selisih terhadap realisasi keuangan aktual selain itu, penyerapan anggaran (realisasi) dapat diketahui secara cepat tanpa harus menghitung kembali secara manual. ASPENDAL ini akan membantu administrasi keuangan secara cepat dan akurat. Kecepatan administrasi keuangan dan pertanggungjawaban anggaran berpengaruh terhadap penyiapan dana (revolving), sehingga dana akan selalu tersedia. Penggunaan ASPENDAL harus memperhatikan proses input data. Proses ini harus dilakukan secara teliti dan tepat karena kesalahan dalam input data menyebabkan kesalahan dokumen keuangan yang dihasilkan. ASPENDAL dirancang dan disesuaikan dengan PMK Nomor 162/ PMK.05/2013 tentang Kedudukan dan Tanggung jawab bendahara pada satuan kerja pengelola APBN dan PER-3/ PB/2014 tentang petunjuk Teknis Pembukuan Bendahara dan Penyusunan LPJ Bendahara. Namun demikian, keunggulan dan kelebihan ASPENDAL sangat tergantung pada pengguna (user) sehingga pengguna sebagai faktor penentu untuk menghasilkan dokumen yang tepat dan akurat. Aplikasi ini telah dipakai Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru sejak tahun 2013. Sejak saat itu, BPK Banjarbaru tidak pernah mengalami kesulitan dalam menyediakan uang dan kesalahan beberapa dokumen keuangan. Keberhasilan penggunaan ASPENDAL telah menarik perhatian dan keinginan beberapa instansi lingkup Litbang Kehutanan untuk belajar dan menggunakan ASPENDAL pada tahun 2014.
Cover BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014
41
42
LPJ
BKU
BA n Rekonsiliasi
B Pembantu
Kendali
Saldo
Panel
Data Satker
Halaman Muka
Data Pegawai
Daftar Rekening
Input Data
BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014
Mahasiswa Praktikum Farmakognosi
BERITA
di KHDTK Rantau Bitahan Baru, 15 Pebruari 2014. KHDTK Rantau menjadi tempat praktikum Farmakognosi II yang diselenggarakan oleh Fakultas MIPA Program Studi Farmasi Universitas Lambung Mangkurat. Kegiatan ini diikuti oleh 82 orang praktikan (mahasiswa Farmasi), 5 orang Dosen pembimbing, 5 orang Asisten dosen dan 5 orang pemandu dari warga desa Bitahan Baru. Selain itu kegiatan ini dihadiri oleh Bapak Camat Lokpaikat Riduan Syahrani, S.Sos dan diliput oleh stasiun televisi lokal Tapin TV. Praktikum Farmakognosi II ini kali kedua diselenggarakan di KHDTK Rantau yang sebelumnya (tahun 2013) telah dilaksanakan di desa Baramban kecamatan Piani. Koordinator praktikum Ibu Fadilaturrahmah, S.Farm., M.Sc., Apt. Dalam sambutannya menyebutkan bahwa tujuan dari praktikum ini adalah untuk melakukan uji pendahuluan terhadap beberapa tanaman yang berpotensi obat di areal KHDTK Rantau. Selain itu beliau juga mengucapkan terimakasih kepada Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru yang telah memfasilitasi sehingga kegiatan ini bisa berjalan dengan baik, beliau juga berharap agar kerjasama ini dapat terus berlangsung dan ditingkatkan. Pengelola KHDTK Rantau sdr. Edi Suryanto beserta Syaifuddin, S.Hut., peneliti Perlindungan Hutan dan Pelestarian Lingkungan (PHPL) menyambut baik kegiatan ini dan secara langsung ikut memandu mahasiswa dalam hal mengeksplorasi jenis-jenis tanaman yang berpotensi obat di KHDTK Rantau. Kegiatan yang dilakukan pada praktikum ini adalah identifikasi dan deskripsi tumbuhan berpotensi obat, pengambilan specimen untuk kegiatan lanjutan di laboratorium, pembuatan herbarium, uji pendahuluan kandungan kimia dan pengabdian masyarakat di balai desa Bitahan Baru. KHDTK Rantau memiliki keanekaragaman hayati cukup tinggi baik fauna maupun flora yang diantaranya memiliki potensi sebagai obat. Berdasarkan hasil survei pendahuluan hingga Pebruari 2014 di areal ini terdapat 55 jenis tanaman obat. Potensi ini akan terus bertambah karena masih dilakukan survei lanjutan. KHDTK Rantau juga sangat strategis karena aksesibilitas menuju areal ini sangat baik yaitu melalui jalan darat hanya berjarak sekitar 92 Km dari Banjarbaru dan 9 km dari kota Rantau. Lokasi ini berada tepat ditepi jalan raya yang menghubungkan kota Rantau dan Kecamatan Piani. Semakin maraknya pertambangan dan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan selatan maka semakin sedikit areal Hutan alam yang mudah dijangkau dan dekat dengan perkotaan. Dengan potensi yang dimiliki dan aksesibilitas yang mudah maka KHDTK Rantau dapat dikembangkan menjadi lokasi wisata alam dan edukasi hal ini selaras dengan harapan Camat Lok Paikat Bapak Riduan Syahrani, S.Sos. dalam sambutannya pada kegiatan pengabdian masyarakat praktikum lapangan farmakognosi II.
Foto Bersama
Pemberian Kenang-kenangan dari Koordinator praktikum ke KHDTK Rantau
Sambutan Camat Lok Paikat
Pengambilan sampel di dalam hutan
Uji Pendahuluan Kandungan kimia pada tumbuhan berpotensi obat BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014
43
44
BEKANTAN Vol. 2/No. 1/2014