Home
Add Document
Sign In
Register
SALAM REDAKSI. PENANGGUNG JAWAB: Ir. Tjuk Sasmito Hadi, MSc. DEWAN REDAKSI: Dr. Acep Akbar Junaidah, S.Hut, MSc Adnan Ardhana, S
Home
SALAM REDAKSI. PENANGGUNG JAWAB: Ir. Tjuk Sasmito Hadi, MSc. DEWAN REDAKSI: Dr. Acep Akbar Junaidah, S.Hut, MSc Adnan Ardhana, S
1 BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016 12 SALAM REDAKSI PENANGGUNG JAWAB: Ir. Tjuk Sasmito Hadi, MSc DEWAN REDAKSI: Dr. Acep Akbar Junaidah, S.Hut, MSc Adnan Ar...
Author:
Harjanti Irawan
289 downloads
233 Views
8MB Size
Report
DOWNLOAD PDF
Recommend Documents
Salam Redaksi. PENANGGUNG JAWAB: Ir. Tjuk Sasmito Hadi, MSc. DEWAN REDAKSI: Dr. Acep Akbar Marinus K. Harun, MSc Adnan Ardana, S
Kata Pengantar. PENANGGUNG JAWAB: Ir. Tjuk Sasmito Hadi, MSc. DEWAN REDAKSI: Dr. Acep Akbar Marinus K. Harun, MSc Adnan Ardana, S
Salam kebangkitan, Pembina. Penanggung Jawab. Pimpinan Redaksi. Editor. Layout & Design. Tim Redaksi. Pimpinan Redaksi
Salam Redaksi SALAM REDAKSI
Penanggung Jawab Rektor Universitas Brawijaya Ketua Lembaga Penelitian Universitas Brawijaya DEWAN REDAKSI. Ketua Prof. Dr. Ir
Dewan Redaksi. Penanggung Jawab : Dr. Ir. Sri Harijati, M.A. Ketua : Penyunting Pelaksana :
PENANGGUNG JAWAB : Ketua LPPM Universitas Bangka Belitung. KETUA DEWAN REDAKSI : Suhardi. SEKERTARIS DEWAN REDAKSI : Budi Afriansyah
Penanggung Jawab DEWAN REDAKSI. Ketua. Anggota. Penyunting Ahli. Penyunting Pelaksana
Penanggung Jawab DEWAN REDAKSI. Ketua. Anggota. Penyunting Ahli. Penyunting Pelaksana
JURNAL PERTANIAN MAPETA. Penanggung Jawab Dr. Ir. Ramdhan Hidayat, MS. Dewan Redaksi Ketua: Dr. Ir. Herry Nirwanto, MP
Penanggung Jawab DEWAN REDAKSI. Ketua. Anggota. Penyunting Ahli. Penyunting Pelaksana
Salam Redaksi. Redaksi
Redaksi. Salam redaksi
Dr. Ir. Herien Puspitawati, MSc, MSc
Salam Redaksi. Wassalam, Redaksi
Salam Redaksi. Wassalam, Redaksi
Dari Redaksi. Salam Redaksi
Dr. Ir. SUTARWI, MSc
: Dr. Ir. Sudaryanto, Msc
Penanggung Jawab Rektor Universitas Al-Muslim. Ketua Dewan Redaksi Ir. Zahrul Fuady, MP
Daftar Isi. Salam Redaksi DEWAN REDAKSI. Majalah Sekolah GITA
Tim Penyusun: Prof. Dr. lr. l ndroyono Soesilo, MSc (Penanggung Jawab) Dra. Maswita Djaja, MSc (Penanggung Jawab Teknis)
Penasehat. Rektor Universitas Brawijaya. Penanggung Jawab Prof. Dr. Ir. Siti Chuzaemi, MS. Dewan Redaksi. Ketua. Prof. Dr
Agustus Pemimpin Redaksi & Penanggung Jawab: Ahmad Supardi
9RO1R
DYfk]cYh2 Hjg^adLYfYeYf:YdYf_]jYf
Hjg^ad2
>gcmk2 J]klgjYkaDY`Yf?YeZmlHYk[YC]ZYcYjYf
>gcmk C]kYlmYf@a\jgdg_a?YeZml
9jlac]d2
C]Yf]cYjY_YeYfEacjgZ
DaflYkH]jaklaoY BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016 1
SALAM REDAKSI Pembaca setia Bekantan, jumpa lagi di Bekantan vol. 4 / No.1 /2016. Masih terekam kuat di PENANGGUNG JAWAB:
benak kita kebakaran dasyat yang
Ir. Tjuk Sasmito Hadi, MSc
melanda Kalimantan tahun 2015. Kebakaran yang menghasilkan
DEWAN REDAKSI:
asap yang menutup Kalimantan
Dr. Acep Akbar
berbulan-bulan.
Junaidah, S.Hut, MSc
Dampak
dari
kebakaran tersebut mempengaruhi berbagai sektor
Adnan Ardhana, S.Sos
kehidupan. Perekonomian menjadi terganggu, kegiatan REDAKSI PELAKSANA:
belajar mengajar sempat terhenti, jumlah penderita ISPA
Winingtyas W, S.Hut, MT, MSc
meningkat tajam. Kebakaran juga merusak lingkungan
Fauziah, S. Hut
dan
Agus Fitrianto, S. Hut
menyisakan kerusakan ekosistem yang cukup
parah. Pohon-pohon tumbang, area terbuka yang cukup luas, lahan yang tedegradasi. Lahan yang seperti ini
DESAIN GRAFIS DAN LAYOUT: Purwanto Budi S., S.Hut, MSc.
jelas saja tidak produktif dan miskin keanekaragaman
Sukma Alamsyah
hayatinya. Ini merupakan tugas sekaligus tantangan bagi
Henda Ambo Basiang
kita, sebagai seorang rimbawan bagaimana cara untuk merehabilitasinya, dan bagaimana cara supaya kebakaran
ALAMAT REDAKSI: Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru
tidak terjadi lagi. Terpanggil dengan tugas yang harus diemban, Bekantan
Jl. A. Yani Km 28,7 Landasan Ulin
kali ini mengupas masalah restorasi hutan rawa gambut.
Banjarbaru - Kalimantan Selatan 70721
Rubrik fokus Bekantan mengulas restorasi lahan gambut
Phone. (0511) 4707872,
pasca kebakaran, kesatuan hidrologi gambut dalam
Fax. (0511) 4707872
restorasi gambut, Badan Restorasi Gambut (BRG), dan
E-mail :
[email protected]
Repeat. Rubrik artikel menyajikan keanekaragaman hayati
BP2LHK Banjarbaru 2016
mikroorganisme di hutan rawa gambut, Gerunggang jenis potensial untuk merehabilitasi hutan rawa gambut.
9RO1R 9RO1R
Rubrik lansekap edisi kali ini memotret KHDTK Tumbang DYfk]cYh2 DYfk]cYh2 Hjg^adLYfYeYf:YdYf_]jYf
Hjg^ad2 Hjg^ad2
>gcmk2 >gcmk2 J]klgjYkaDY`Yf?YeZmlHYk[YC]ZYcYjYf J]klgjYkaDY`Yf?YeZmlHYk[YC]ZYcYjYf
Nusa, dan profil hutan kota belangeran Dishut Pulang Pisau. Di rubrik profil kali ini menampilkan Bapak Tamanuruddin, petani yang telah berhasil merehabilitasi lahan rawa gambut menjadi lahan yang produktif dengan agroforestri. Selain itu juga kami sajikan rubrik-rubrik lain
>gcmk >gcmk
C]kYlmYf@a\jgdg_a?YeZml
9jlac]d2 9jlac]d2 C]Yf]cYjY_YeYfEacjgZ
C]Yf]cYjY_YeYfEacjgZ
DaflYkH]jaklaoY
2
BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016
yang tak kalah menarik Selanjutkan kami persilahkan pembaca untuk menikmati Bekantan volume 4 No.1 tahun 2016.
DAFTAR ISI
SALAM REDAKSI........................ 2
LANSEKAP:
FOKUS:
PROFIL TANAMAN BALANGERAN DI KABUPATEN PULANG PISAU ...........
4
RESTORASI LAHAN GAMBUT PASCA KEBAKARAN ................................... KESATUAN HIDROLOGI GAMBUT DAN RESTORASI GAMBUT ................
14
23
KEDUDUKAN BRG DALAM RESTORASI LAHAN GAMBUT .............................
30
RE-PEAT : SERUAN BP2LHK BANJARBARU UNTUK REHABILITASI LAHAN RAWA GAMBUT KEPADA MASYARAKAT .................................
LANSEKAP: MEMOTRET KHDTK TUMBANG NUSA ...
34
7
ARTIKEL:
PROFIL: DARI NGAWI UNTUK GAMBUT LESTARI .................
11
KEANEKARAGAMAN MIKROB DI HUTAN RAWA GAMBUT ................
36
GERUNGGANG, JENIS POTENSIAL UNTUK RESTORASI LAHAN GAMBUT ...
39
LINTAS PERISTIWA ..............................
43
BEKANT BEKA BEKANTAN NTA TAN N Vol. Vo . 4/No. 44/No 4/N No. 1/2016 1
3
LANSEKAP
PROFIL TANAMAN BALANGERAN DI KABUPATEN PULANG PISAU Oleh : Nisfu Kusumarestu, S.Hut (Kepala Seksi Konservasi, Rehabilitasi Hutan dan Lahan Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kab.Pulang Pisau)
Dinas Perkebunan dan Kehutanan membuat sebuah Balangeran (Shorea balangeran/Koth/Burck.) kegiatan dengan nama Pembangunan Hutan Kota 10 atau yang lebih dikenal dengan nama Kahui (bahasa Ha yang dituangkan dalam Dokumen Pelaksanaan daerah Kalteng) merupakan kayu kelompok meranti Anggaran. Hutan kota tersebut terbagi ke dalam yang memiliki kelas awet ll dan kelas kuat ll, dan 7(tujuh) hektar untuk tanaman Balangeran 3 hektar mempunyai nilai ekonomi tinggi. Balangeran tumbuh untuk tanaman kehutanan lainnya dan MPTS (Multi subur di Kabupaten Pulang Pisau Provinsi Kalimantan Purpose Tree Species). Tengah dengan habitat rawa gambut, khususnya di Langkah pertama yang dilakukan pemerintah bagian selatan kabupaten, tepatnya di Kecamatan Kabupaten Pulang Pisau untuk melestarikan tanaman Sebangau Kuala. Balangeran adalah dengan melegalkan areal atau Tahun 2000-an populasi Balangeran di Kabupaten lokasi yang akan ditanami tanaman Balangeran Pulang Pisau mulai menurun akibat sebagian habitat dengan mengeluarkan SK penunjukan lokasi nomor balangeran terkena lokasi proyek lahan gambut 1 juta 128 Tahun 2009 tanggal 23 Maret 2009. Peta lokasi hektar yang tujuannya membuka lahan dan untuk tanaman sketsa Balangeran dapat dilihat dalam percetakan sawah seluas 1 juta hektar. Berawal dari gambar 1. kondisi tersebut pemerintah Kabupaten Pulang Pisau melalui Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Pulang Pisau mencoba melestarikannya dengan cara menanam kembali tanaman Balangeran yang bertujuan untuk tetap menjaga kelestarian. Dimulai pada tahun 2009, pemerintah Kabupaten Pulang Pisau melalui Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Pulang Pisau membuat skema pelestarian tanaman Balangeran dengan pembuatan tanaman hutan kota. Pemilihan lokasi hutan kota didasarkan pada kecocokan jenis tanah, kemudahan akses pemeliharaan dan pengamanan. Kemudian Gambar 1. Peta lokasi penanaman Shorea balangeran di Pulang Pisau. untuk menindaklanjuti rencana pemerintah daerah dimaksud,
4
BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016
Setelah surat keputusan menunjukan lokasi hutan kota terbit, Dinas Perkebunan dan Kehutanan melakukan survey/ground check habitat Balangeran di Desa Paduran Sebangau, Kecamatan Sebangau Kuala, Kabupaten Pulang Pisau untuk mencari anakan alam/benih tanaman Balangeran yang kemudian disapih di persemaian lokal Luntuk sehingga menjadi bibit yang akan ditanam di lokasi yang telah di tunjuk sebagai Hutan Kota. Kondisi anakan alam Balangeran dapat dilihat dalam gambar 2 dan 3.
Gambar 2. Pencabutan anakan
Gambar 3. Anakan alam di Kecamatan Sebangau Kuala
Setalah bibit disapih dan siap tanam selanjutnya penanaman dilakukan oleh tim pelaksana dari Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Pulang Pisau di areal Hutan Kota pada Tahun 2009. Tanaman muda dilihat dalam gambar 4.
Gambar 4. Bibit Balangeran yang telah ditanam
Profil Hutan Kota Belangeran Jenis Tanaman Letak lahan administratif Pengelola Lertak Geografis Garis Bujur Topo Grafi kedalaman Drainase Iklim Jumlah Tanaman Usia Tanaman
: Balangeran (Shorea balangeran) : Desa Bereng, Kecamatan Kahayan Hilir, Kabupaten Pulang Pisau Provinsi Kalimantan Tengah : Dinas Perkebunan dan Kehutan Kabupaten Pulang Pisau : GL 02 42 57,6-024311,9 LS : 114 18,7-114 18 21,3 BT : datar, jenis tanah organ usul, texture lemah :4-8m : Jelek, PH 3,8 :A : 11.000 batang : ±6 tahun BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016
5
Sejak Balangeran ditanam sampai sekarang yaitu tahun 2016, Pemerintah Kabupaten Pulang Pisau telah melakukan pemeliharaan secara berkala setiap tahun meliputi pemupukan, pembersihan saluran tanaman dan pemberantasan gulma. Banyak kegiatan yang telah di lakukan untuk mengembangkan hutan kota antara lain : 1. Pa d a t a h u n 2 0 1 5 D i n a s Perkebunan dan Kehutanan bekerjasama dengan Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru melakukan penelitian potensi serapan karbon (Inventarisasi Hutan Kota) dengan kesimpulan sebagai berikut : ( Qirom dan Susianto, 2015). - Tegakan S. balangeran mempunyai rata-rata diameter sebesar 10,24cm pada umur 6 tahun atau tiap diameter rata-rata tahunan mencapai 1,71 cm pertahun. - Pada umur 6 tahun, tanaman S. balangeran mempunyai rata-rata tinggi sebesar 10,29 m atau tanaman S.balangeran mempunyai tiap tinggi rata-rata mecapai 1,72 m/ tahun. - Potensi simpanan karbon terbesar S.balangeran 30,74 ton per hektar dan rata-rata potensi simpanan karbon mencapai 26,77ton/hektar. 2.
6
Pada tahun 2015 Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru juga melakukan eksplorasi Materi Genetis (Pengambilan anakan) untuk keperluan pembibitan atau penelitian S.Balangeran (Gambar 5).
BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016
3.
Pada tahun 2015 untuk menambah nilai ekonomis dan menggali PDA sektor Kehutanan, Dinas Perkebunan dan Kehutanan mengusulkan kepada Balai Pembenihan Tanaman Hutan(BPTH) Kalimantan di Banjarbaru agar areal tanaman Balangeran pada hutan kota dapat di jadikan Sumber Benih Tanaman Hutan seluas ±seluas 7 Hektar. Setelah melalui verifikasi terbitlah sertifikat Sumber Benih Tanaman Hutan nomor 243/BPTH.KAL-2/STFK/2015 tanggal 29 Oktober 2015, nomor Sumber Benih 62.10059 dengan kapasitas produksi benih 475 kilogram per hektar dan total produksi benih 3.325 Kilogram sehingga nantinya melalui Peraturan Bupati pengunduhan atau pengambilan anakan Balangeran akan di kenakan tarif.
Gambar 5. Aktifitas pengambilan anakan S.balangeran untuk keperluan pembibitan
Sebagai areal pelestarian tanaman S.balangeran, areal serapan/ penyimpanan karbon, tempat hidupnya fauna dan sebagai sumber benih, Dinas Perkebunan dan Kehutanan mengusulkan kepada Bupati Pulang Pisau agar dapat meningkatkan status menjadi penetapan Hutan Kota, dan sekarang masih dalam proses pada Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Pulang Pisau. Upaya lain pemerintah Kabupaten Pulang Pisau untuk melestarikan tanaman Balangeran sekaligus merehabilitasi hutan dan lahan pasca kebakaran adalah dengan memilih jenis tanaman S. balangeran sebagai tanaman utama untuk pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan sejak tahun 2010 sampai dengan sekarang. Tahun 2015 Pemerintah Kabupaten Pulang Pisau melalui Dinas Perkebunan dan Kehutanan telah menanam sebanyak ± 20.000 batang S.balangeran di areal blocking kanal (Instruksi Presiden Jokowi) Desa Tumbang Nusa Kecamatan Jabiren Raya dan ± 40.000 batang di dalam kawasan sebagai tanaman pengkayaan.
LANSEKAP
Oleh: Purwanto BS dan n M. Abdul Qirom Pendahuluan awasan Hutan Penelitian dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Tumbang Nusa adalah sebuah stasiun penelitian rawa gambut di Indonesia yang dikelola oleh Badan Litbang dan Inovasi. Terletak di desa Tumbang Nusa, Kecamatan Jabiren Raya Kabupaten Pulang Pisau Kalimantan Tengah (Koordinat 3027’-30359’ S - 11302’ 36” - 114044’ 00” E). Akses menuju lokasi sangat mudah ditempuh. Dengan menggunakan perjalanan darat, lokasi terletak di pinggir jalan poros Palangkaraya - Banjarmasin tepatnya di km 31. Jika menggunakan transportasi udara jarak dari bandara Tjilik Riwut ke lokasi dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda 4 dapat ditempuh dalam waktu 40 menit. Pembentukan KHDTK Tumbang Nusa sesuai dengan amanat UU No. 41 tahun 1999 yaitu KHDTK merupakan kawasan hutan yang ditetapkan untuk keperluan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan serta kepentingan religi dan budaya setempat. KHDTK Tumbang Nusa sebelum dikelola sebagai stasiun riset, merupakan areal eks areal HPH Arjuna Wiwaha. Status areal KHDTK adalah kawasan hutan produksi, kecuali di sekitar camp yang dibeli dari lahan masyarakat tahun 2002. Berdasarkan surat Menteri Kehutanan No SK. Menhut No 76/MenhutII/2005 luas areal KHDTK yang dikelola adalah 5000 ha. Sejak dibangun pada tahun1999, di lokasi ini telah banyak dilakukan kegiatan-kegiatan penelitian untuk mendukung upaya rehabilitasi lahan rawa gambut yang telah mengalami degradasi. Banyak perubahan yang telah terjadi di lokasi ini, khususnya ke arah perbaikan eksosistem walaupun ancaman kerusakan ekosistem lahan rawa gambut terus menghadang.
K
Potensi flora dan fauna Kondisi awal areal KHDTK Tumbang Nusa didominasi oleh semak belukar. Areal tersebut merupakan areal bekas terbakar pada tahun 1997. Pada awal pengelolaan, vegetasi semak belukar didominasi oleh kelakai dan pakis-pakis. Sedangkan vegetasi berkayu yang ada adalah tegakan pioner seperti punak (Tetramerista glabra), gerunggang (Cratoxylum sp), Tanah-tanah (Combretucarpus rotundatus). Selain tumbuhan berkayu terdapat juga jenis-jenis kantong semar yang berada di lantai hutan. Untuk jenis HHBK (Hasil Hutan Bukan Kayu), terdapat jenis Jelutung (Dyera polyphylla) yang dapat dimanfaatkan getahnya untuk bahan pembuatan permen karet dan isolator. Tanaman jelutung dapat tumbuh baik di lahan gambut terbuka. Plot tanaman jelutung ini telah ditanam di KHDTK Tumbang Nusa sejak tahun 2000 dan saat ini diameter tanaman mencapai 20-30 cm. Selain Jelutung, terdapat juga tanaman yang berpotensi sebagai obat-obatan yaitu Gemor (Notaphoebe coriacea). Gemor dimanfaatkan kulit kayunya sebagai bahan baku hio, dupa dan obat nyamuk bakar. Potensi fauna antara lain adalah terdapat 32 jenis burung (Ariani, 2015), orang utan, dan makro fauna tanah yang membantu meningkatkan kesuburan dilahan gambut (Halwany, 2014). Berdasarkan hasil penelitian BP2LHK Banjarbaru, kulit kayu dan daun gemor mengandung zat fitokimia berpotensi sebagai obata-obatan. Dalam penelitian lebih lanjut, ditemukan bahwa fitokimia dalam tumbuhan gemor ternyata dapat digunakan sebagai suplemen antidiabetes melitus (Suhartono et al;2015) Dukungan Penelitian Dalam rangka memfasilitasi kegiatan penelitian, KHDTK Tumbang Nusa digunakan sebagai lokasi kegiatan penelitian yang mencakup beberapa aspek, antara lain : pembibitan, budidaya jenis, revegetasi, model agroforestry lahan gambut, teknologi pengendalian dan pencegahan kebakaran, lingkungan dan produktifitas tegakan hutan. Kegiatan penelitian pembibitan dalam rangka memperbanyak, membuat dan menyediakan bibit jenis-jenis rawa gambut berkualitas. Informasi yang digali dan teknik perbanyakan yang dipelajari adalah teknik perbanyakan bibit vegetative dan generative, media sapih yang digunakan dalam pembibitan, pemeliharaan di persemaian dan aplikasi
BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016
7
mikoriza lokal /indegeneus pada akar bibit untuk meningkatkan pertumbuhan dan daya hidup tanaman. Dari pengalaman perbanyakan yang telah dilakukan, diketahui bahwa jenis-jenis rawa gambut pada umumnya memerlukan waktu setidaknya ± 8 bulan di persemaian sampai siap tanam. Sedangkan untuk melakukan penanaman, di lokasi / areal yang tergenang diketahui bahwa penggunaan bibit dengan tinggi > 50 cm agar pada saat tanam bibit tidak tenggelam. Peningkatan kualitas bibit rawa gambut, aplikasi mikoriza dapat meningkatkan per tumbuhan. Hal ini dapat dilakukan dengan seperti laporan Turjaman (2000) dan Yuwati (2003) bahwa aplikasi Glomus clarum dan Gigaspora sp.dapat meningkatkan per tumbuhan jelutung (Dyera pollyphyla) dan pulai rawa (Alstonia sp.). Pada aspek revegetasi kegiatan penelitian meliputi karakteristik lahan gambut, uji jenis rawa gambut untuk rehabilitasi lahan gambut, dan teknik persiapan lahan dan pemeliharaan tanaman.Persiapan lahan pada lahan gambut yang tergenang dapat menggunakan gundukan mengurangi risiko bibit tergenang. Pertumbuhan tanaman dengan penyiapan lahan digunduk ini juga menunjukkan pertumbuhan dan daya hidup yang lebih baik. Hal ini ditunjukkan pada tanaman balangeran (Shorea balangeran), Gerunggang (Cratoxylum sp.) dan Gemor (N. coriacea. Harun, 2000, Santosa, 2012; Wahyuningtyas, 2 0 1 3 ; S a n to s a 2 0 1 5 ) . Pa d a aspek pemeliharaan tanaman di lapangan, untuk mengurangi persaingan gulma dengan tanaman di fase awal tanam dilakukan pemeliharaan tanamam dengan cara penebasan gulma. Pemeliharaan secara manual ini
8
B KA BE BEKANTAN K NTAN NTAN Vol. NT Vol o . 4/No. 4/No 4/ Noo 1/2016 No. 1//20 20166
sebaiknya dilakukan dengan interval 3-4 bulan sekali, hal ini terbukti dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman. (Santosa, 2014). Kebakaran dan Kerusakan Ekositem Tumbang Nusa Kebakaran hutan dan lahan adalah penyebab utama kerusakan eksosistem di Tumbang Nusa sejak dibangun pada tahun 1997. Kebakaran hutan hampir terjadi setiap tahun. Tercatat telah terjadi beberapa kebakaran di wilayah KHDTK Tumbang Nusa yaitu pada tahun 1997, 2003, 2006 dan tahun 2015. Kebakaran lahan dan hutan di Kalimantan Tengah tahun 2015 lalu tergolong parah. Kebakaran tersebut tidak hanya membakar vegetasi pohon dan gambut, tetapi juga menimbulkan kabut asap yang pekat. Bahkan kebakaran yang terjadi di desa Tumbang Nusa mendapat perhatian khusus dari Presiden Jokowi yang datang ke lokasi. (Kalteng Pos, 24/9/2015). Tercatat sejak bulan Agustus 2015 secara sporadik terjadi kebakaran di beberapa titik di areal KHDTK. Kondisi kering musim kemarau, seresah yang tebal di lantai hutan dan gambut yang kering mengakibatkan penjalaran api setidaknya mencapai 500 meter / hari.
Dampak dari kebakaran tahun 2015 kemarin, hampir 1/3 luas areal diperkirakan ikut terbakar. Vegetasi pohon yang mencapai 500 m3/ha (Qirom, 2014) terbakar, keanekaragaman hayati, plot-plot tanaman, serta data dan informasi penelitian ikut musnah.
Regenerasi pasca terbakar Pendataan vegetasi pasca terbakar di KHDTK Tumbang Nusa telah dilakukan oleh Tim Peneliti BP2LHK yang dipimpin oleh M. Abdul Qirom. Pendataan dilakukan dengan pembuatan petak ukur pengamatan pada areal pasca terbakar dan loc over area tahun 1983 yang tidak terbakar. Pengamatan dan pendataan vegetasi dilakukan pada areal terbakar tahun 1997, 2003 dan 2006.
Regenerasi beberapa waktu pasca terbakar dan tidak terbakar (Qirom et al, 2014)
tiang maupun semai. Proses suksesi walapun lambat dapat memulihkan vegetasi menyerupai hutan sekunder asalkan tidak terjadi kebakaran berulang . Monitoring tinggi muka air untuk mendukung revegetasi dan earli warning system (EWS) Tinggi muka air berperanan penting dalam menentukan keberhasilan kegiatan revegetasi, rehabilitasi terkait dengan kemampuan tanaman mendapatkan suplai air untuk pertumbuhan tanaman. Jika permukaan air semakin turun, maka akar tanaman tidak dapat memperoleh air yang cukup. Hal ini bisa mengakibatkan tanaman kekeringan dan kematian tanaman. Sebaliknya, jika permukaan air naik
sampai berada di atas permukaan gambut sampai merendam dan menenggelamkan tanaman, bisa mengakibatkan tanaman mati. Berkaitan dengan kebakaran lahan dan hutan rawa gambut, semakin rendah permukaan air dari permukaan gambut, kondisi lahan akan semakin berisiko kebakaran. Hal ini karena permukaan gambut semakin kering. BP2LHK Banjarbaru menggunakan alat SESAME untuk memonitor tinggi muka air di KHDTK Tumbang Nusa. Berdasarkan hasil monotiring tinggi muka air, diketahui bahwa mulai bulan Agustus 2015 tinggi muka air 0,5 meter di bawah permukaan gambut dan semakin cenderung turun sampai bulan Oktober 2015 mencapai titik terendah yaitu 1,3 meter di bawah permukaan gambut.
diyanzahro.files.wordpress.com
Qirom et al.,( 2014) melakukan pendataan vegetasi di KHDTK Tumbang Nusa berdasarkan areal yang bekas terbakar dan tidak terbakar. Pendataan vegetasi pada lokasi bekas terbakar tahun 2006 (8 tahun pasca terbakar), 2003 (11 tahun pasca terbakar), 1997 (17 tahun pasca terbakar) dan sebagai pembanding adalah lokasi hutan sekunder pasca eksploitasi tahun 1983 atau LOA (Log Over Area). Hasil penelitian bahwa secara umum, komposisi permudaan di areal bekas terbakar menunjukkan regenerasi yang relative baik. Perkembangan semai (seedlings), pancang (saplings), tiang (poles) dan pohon (tree) menunjukkan peningkatan seiring waktu pasca terjadinya kebakaran. Pada kondisi vegetasi hutan rawa gambut jika tidak terbakar selama 17 tahun akan muncul jenis-jenis tegakan pada fase tiang (diameter 10 cm ke atas). Hal ini dapat dijadikan pengalaman bahwa sebenarnya menjaga kondisi hutan rawa gambut tidak terbakar saja, regenerasi yang terjadi cukup baik. Tata (2013) juga melaporkan bahwa kebakaran hutan rawa gambut telah menurunkan ke r a g a m a n j e n i s v e g e t a s i , baik tingkat pohon pancang,
Monitoring Tinggi Muka Air di KHDTK TN menggunakan SESAME (Qirom, 2015) BBEEKA BEKANTAN K NT NTAN TAN Vol. Vol ol.. 4/No. 4/N 4/ No. 1/2016 No. No 1/20 1/ 2016 20 166
9
Pada tahun 2015 kemarin kebakaran terjadi mulai bulan JULI dan semakin parah sampai bulan Oktober 2015. Dari gambar tersebut diketahui bahwa kebakaran terjadi semakin besar karena curah hujan sangat kurang, tercatat tidak ada hujan dari Agustus sampai akhir Oktober 2015, kondisi permukaan air gambut semakin turun dan kondisi gambut semakin kering. Berdasarkan data tinggi muka air dan evaluasi kejadian kebakaran tahun 2015, dapat dilakukan strategi untuk meminimalisir kejadian kebakaran gambut. Strategi yang dilakukan dikategorikan dalam persiapan pencegahan kebakaran (patroli, pembuatan sumur bor, pengecekan alat dan mesin pompa air dll), pembasahan gambut (rewetting), penutupan kanal dll. Rewetting adalah pembasahan kembali material gambut yang mengering akibat turunnya muka air tanah gambut dengan cara meningkatkan kadar air dan tinggi muka air tanah gambut, antara lain melalui pembuatan sekat-sekat di dalam kanalkanal yang sudah terlanjur ada di lahan gambut dan dapat juga melakukan pompanisasi yaitu dengan menyedot air dari dalam sumur bor dan kemudian membasahi permukaan gambut yang kering. Pompanisasi dapat dilakukan secara bertahap pada lokasi-lokasi prioritas areal yang rawan terbakar, misalnya di tepi jalan raya dengan vegetasi semak belukar yang kering. Pompanisasi rencananya akan dilakukan dari sumursumur bor yang telah dibuat di KHDTK Tumbang Nusa. Setidaknya terdapat 20 sumur bor yang ditempatkan di beberapa titik prioritas yang rawan terbakar. Berdasarkan laporan terhadap p e n u t u pa n k a n a l d i Ta m a n
10
BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016
Nasional Sebangau, tinggi muka air 40 cm merupakan ambang kritis rawan kebakaran (Anonim 2012).Oleh karena itu, di bawah ambang batas perlu segera dilakukan pembasahan gambut. Rewetting dengan pompanisasi dilakukan jika tinggi muka air turun di bawah 50 cm. Pada titik –titik rawan api, dilakukan penyemprotan di permukaan baik vegetasi sekaligus permukaan gambut. Dengan kondisi vegetasi dan permukaan gambut yang basah, diharapkan pada lokasi tersebut risiko kebakaran akan kurang Tindakan penabatan kanalk a n a l j u g a te r b u kt i e f e kt i f mengurangi resiko kebakaran. Penutupan saluran air/penabatan adalah cara untuk menaikkan kebakaran yang dihadapi.
permukaan air bawah tanah (ground water level), sehingga pada musim kemarau kelembaban tanah tetap terjaga dan mencegahnya terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Praktek ini telah dilakukan di Taman Nasional Sebangau. Pihak taman Nasional Sebangau bersama WWF telah melakukan penabatan kanal / kanal bloking sebanyak 1.164 buah. Dari luas areal 542.121 Ha, terbakar tahun 2015 seluas 16.506 Ha, atau hanya 3% saja. Artinya penabatan kanal yang dilakukan dapat menekan kebakaran lahan gambut karena kondisi permukaan air yang meningkat. Berdasarkan indikator turunnya permukaan air gambut, disimulasikan tindakan yang harus dilakukan dan tingkat resiko
Tabel Simulasi tindakan prosedur persiapan dan pencegahan kebakaran berdasarkan tinggi muka air No
Tinggi muka air (meter)
1.
- 0,4 s/d - 0,5
1. 2. 3.
Pembuatan sumur bor Patroli Persiapan dan pengecekan alatmesin
Rendah
2.
-0,6 s/d - 0,8
1. 2.
Patroli Persiapan dan pengecekan alatmesin pompanisasi(rewetting) Penutupan kanal
Sedang
Patroli Persiapan dan pengecekan alatmesin Pompanisasi (rewetting) Penutupan kanal
Tinggi
Tindakan
3. 4. 3.
> 0,8
1. 2. 3. 4.
Bahaya api
Penutup Tantangan pengeloaan KHDTK Tumbang Nusa ke depan semakin tidak ringan. Kepentingan para pihak terhadap akses kelola lahan gambut di sekitar areal menjadi tantangan yang perlu dijawab. Keberadaan KHDTK Tumbang Nusa dalam kesatuan ekosistem dan hidrologi gambut (KHG) tidak bisa berdiri sendiri. Ekosistem gambut yang selalu basah hendaknya juga bisa mengakomodir berbagai kepentingan, termasuk bagi kepentingan untuk budidaya dan juga peran dan KHDTK sebagai areal konservasi.
PROFIL
DARI NGAWI UNTUK GAMBUT LESTARI eorang guru honorer lulusan PGA (Pendidikan guru Agama) , Akhmad Tamanuruddin bersemangat mengayuh sepedanya menuju kantor transmigrasi Kabupaten Ngawi, setelah berbulan bulan mendaftar ke ketua RT tidak kunjung diberangkatkan. Akhirnya November 1980 bersama istri dan putera pertamanya merantau ke desa Kelampangan, Kab. Pulang pisau Kalimantan Tengah lewat program transmigrasi. Harapan punya lahan sebesar 2 Ha dan diberi rumah gratis, dalam bayangan awal pasti sangat menyenangkan karena hobinya memang bertani. Namun kenyataannya jauh dari bayangan, kondisi tanah gambut yang sulit diolah, membuat sebagian transmigran saat itu putus asa, termasuk Pak Taman demikian nama panggilan beliau. Untuk bertahan di Kalimantan, berbekal ijazah PGA , beliau diangkat menjadi guru dan ditempatkan di Muarateweh. Sempat meninggalkan lahan pertaniannya beliau kembali lagi dan sampai sekarang terus tekun membangun lahan pertaniannya. Lantas bagaimana kisah lengkap perjuangan Pak Akhmad Tamanuruddin dari tanah gambut yang sulit diolah hingga saat ini memiliki lahan berbasis agroforestry yang menghasilkan dan terkelola dengan baik ? berikut petikan wawancara tim redaksi majalah bekantan dengan beliau.
S
BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016
11
Bisa Bapak ceritakan awal bapak bertani di lahan gambut ? Saya bertani di lahan gambut karena mengikuti program transmigrasi. Awalnya lahan gambut dibuka dan diolah untuk ditanami sayur-sayuran. Namun, tanaman sayur yang ditanam sulit tumbuhnya sehingga lahan pertanian tidak menghasilkan. Sebagian transmigran ada yang kembali ke Jawa, saya juga sempat berpikir demikian. Namun niat pulang diurungkan setelah mendengar info pengangkatan guru di Palangkaraya. Singkat cerita saya ditempatkan di Muawateweh, 4 tahun menjadi guru disana, saya pindah kembali ke desa Kelampangan demi lahan pertanian saya agar tetap bisa saya kelola. Kira-kira tantangan atau kesulitannya bertani di gambut apa pak ? Yang pasti kesulitan yang utama adalah kondisi tanah gambut yang sulit diolah karena tanahnya yang asam. Awalnya saya tanam sayur sayuran namun tidak mau tumbuh. Selain itu bila musim hujan lahan jadi tergenang, dan kebalikannya ketika musim kemarau lahan rawan terbakar. Ditambah lagi hama penyakit yang menyerang tanaman. Usaha apa yang bapak lakukan mengatasi kesulitan tersebut ? Saya mengamati bahwa tanaman justru tumbuh di bekas kebakaran. Akhirnya kami (saya dan transmigran yang lain) membuat abu, alang-alang kami kupas pakai cangkul, dikumpulkan dan dibakar. Nah, lahan yang mau ditanami diberi abu tersebut.
12
BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016
Sampai sekarang hal ini terus dilakukan. Tapi saya pikir bila setiap menanam seperti itu lama-lama tanah akan turun dan rusak. Saya menggunakan cara lain, karena gambut miskin hara dan asam maka untuk menambah zat-zat hara yang kurang dari tanah gambut saya membeli tanah mineral . Jadi sejak tahun 2000 - an saya tidak menggunakan abu lagi. Menurut saya dengan tanah mineral itu justru akan menyelamatkan lingkungan. Kalau masalah air yang menggenang di musim hujan, saya membuat parit-parit untuk mengalirkan air. Dan untuk ancaman kebakaran di musim kemarau, mau tidak mau harus sering patrol dan membuat sumur untuk sumber air bila api sudah terlanjur masuk.
Petani/transmigran yang lain mengikuti cara bapak ? Ada beberapa orang yang mengikuti. Namun masih banyak yang menggunakan abu karena alasan biaya. Padahal bila dihitung-hitung, hampir sama saja karena membuat abu juga memerlukan biaya untuk mengupah orang . Tapi tidak semua orang sadar dengan penyelamatan tanah dan lingkungan. Jenis yang ditanam apa saja pak ? Jenis-jenis yang ditanam untuk tanaman keras saya tanam sengon tapi kurang berhasil, kemudian jelutung, dan sedikit gaharu. Dan tanaman sayur mayur : buncis, kacang panjang, seledri, jagung, sawi, jeruk,cabe, dll. Motivasi bapak hingga sekarang masih bertani? Disamping saya ada pekerjaan tetap, yang saya pikirkan adalah generasi saya, anak-anak harus sekolah dan perlu dana besar. Kalo tadi saya tetap di Muarateweh kasihan mereka. Saya besar dari keluarga petani jadi saya ingin melestarikan budaya keluarga yang turun menurun. Selain itu juga untuk menjaga kesehatan. Jadi sejak pensiun rutinitas saya rumah, langgar, masjid dan ladang. Motto hidup bapak ? Pas pensiun semua utang selesai, ibadah bisa khusuk, bisa ke Mekkah, diberi umur dan badan yang sehat bisa melihat anak dan cucu sehat semua. Saya menanam bukan untuk saya tapi untuk anak-anak atau orang lain. Cita-cita yg blm terwujud ? Secara pribadi sudah. Saran untuk pengelolaan rawa gambut ? Olah lah gambut dengan tidak merusak lingkungan. Terus belajar. Pesan untuk pemerintah ? Bantulah petani, dengan mebuat mekanisme pasar yang bagus. Agar masyarakat petani dapat menjual hasil taninya dengan harga yang menguntungkan. Pesan untuk pembaca bekantan ? Bagi petani dan pengusaha yang bekecimpung di lahan gambut pesan saya selamatkan gambut, jangan dibakar tapi dikelola dengan benar sesuai dengan kondisi gambut itu sendiri.
BBEEKA BEKANTAN KANTA NTAN NT AN Vol. Vol ol.l. 4/No. 3/No. 44//No. Noo. 1/2016 N 1/2015 11//20 1/2 2016 16
13 13
FOKUS
1. PENDAHULUAN Kebakaran hutan dan lahan gambut yang terus berlanjut hingga tahun 2015 telah banyak mengundang perhatian berbagai pihak. Sebagian kalangan tertarik dengan aspek pelanggaran hukum, kondisi sosial ekonomi masyarakat, budaya dan pendidikan masyarakat yang menyebabkan kebakaran. Sebagian lagi tertarik dengan aspek teknologi yang berhubungan dengan kemampuan deteksi dini, respon pemadaman, dan teknologi restorasi pasca kebakaran. Kini aspek tindakan pasca kebakaran telah menjadi perhatian khusus pemerintah yang ditandai dengan adanya lembaga baru bernama Badan Restorasi Gambut (BRG) dan Balai Pengendalian Perubahan Iklim dan Kebakaran Hutan. BRG dibentuk melalui Peraturan Presiden No.1 tahun 2016 tanggal 6 Januari 2016. Organisasi tersebut berkedudukan langsung di bawah presiden yang akan menerima perintah secara langsung dari presiden. Kedua lembaga ini diharapkan akan bertanggung jawab dalam pemulihan kerusakan lahan gambut pasca kebakaran. BRG nampaknya akan lebih berkonsentrasi pada restorasi lahan gambutnya sedangkan Balai Pengendalian Perubahan Iklim dan Kebakaran hutan akan mendukung upaya pencegahan kebakaran dalam mensukseskan kegiatan restorasi lahan gambut.
14
BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016
RESTORASI LAHAN GAMBUT PASCA KEBAKARAN Dr. Acep Akbar
Sebagai dasar pertimbangan tujuan akhir restorasi lahan gambut, tulisan ini bermaksud memperjelas tentang apa ar ti restorasi dalam ekosistem hutan, tahapan apa saja yang harus dilalui dalam merestorasi suatu ekosistem, parameter apa saja yang dapat menentukan keberhasilan suatu tindakan restorasi. Berapa lama waktu yang diperlukan untuk menentukan keberhasilan restorasi. 2. ISTILAH RESTORASI DALAM EKOSISTEM HUTAN Re s t o r a s i e k o s i s t e m a d a l a h t i n d a k a n mengembalikan suatu ekosistem yang telah rusak kembali kepada fungsi aslinya (Charman, 2002). Wheeler (1995) menyatakan bahwa restorasi bisa meliputi variasi tujuan akhir yaitu dapat bertujuan kembali ke keadaan asli atau bertujuan mengembalikan ke kondisi sebelumnya. Tetapi kebanyakan kondisi asli sudah tidak jelas karena lahan gambut berubah secara alami melalui suksesi. Charman (2002) menyatakan
tujuan restorasi setidaknya sampai kepada kembalinya vegetasi yang sama. Kondisi yang asli tidak mungkin dicapai. Untuk mengetahui kondisi ekosistem aslinya diperlukan pengetahuan tentang komponenkomponen pembentuk ekosistem itu sendiri. Dalam suatu ekosistem biasanya terdiri dari unsur biotik dan abiotik. Unsur biotik terdiri dari berbagai jenis flora dan fauna beserta jasad reniknya, sedangkan unsur abiotik terdiri dari tanah dan iklim mikro yang berlaku dalam komunitas hutan yang direstorasi. Jika restorasi ditujukan untuk pemulihan ekosistem gambut maka sebagian jenis-jenis tumbuhan utama hutan rawa gambut mesti diketahui. Setelah tumbuhan khas rawa gambut tumbuh menjadi komunitas maka selanjutnya hewan-hewan utama penghuni hutan rawa gambut akan muncul. Demikian pula tanah lumpur dalam (mire) sebagai faktor abiotik ekosistem gambut yang biasanya mendominasi media tumbuh lahan gambut harus
stabil. Upaya restorasi lahan gambut tidak menarik bagi masyarakat sehingga biasanya restorasi yang berjalan selama ini adalah dengan membiarkan secara suksesi alam. Melalui perubahan-perubahan lahan secara alami maka lambat-laun vegetasi pioner akan tumbuh diikuti jenis-jenis klimaks. Mungkin hal ini terjadi akibat kesulitan pengerjaan restorasi dan kecilnya minat masyarakat dalam menghijaukan lahan gambut. Ekosistem hutan rawa gambut (peat swamp forest) memiliki sifat yang rapuh (fregile ecosystem), artinya jika komunitas tumbuhannya rusak akan sulit untuk dikembalikan ke ekosistem semula. Jenis-jenis tumbuhan pohon yang ditemukan di Kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK) Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah juga dapat dijadikan dasar penentuan jenis yang ditanam di hutan rawa gambut di Kalimantan. Jenis-jenis tersebut disajikan dalam Tabel 1.
BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016
15
Wheeler (1995) menyarankan empat pertimbangan saat memutuskan tujuan dari restorasi yaitu : a. Kemungkinan keberhasilan : Jika kita menemui lahan gambut, maka pertanyaan yang harus timbul adalah bagaimana bentuk lahan gambut dan asosiasi vegetasinya, apakah secara ilmiah dan ekonomi memungkinkan berhasil jika restorasi dilakukan. Upaya pemulihan lahan gambut mungkin tidak akan tercapai akibat adanya perubahan iklim, ketersediaan air atau akibat kondisi lansekap di sekitarnya. b. Pengetahuan karakter site sebelumnya : Sejauhmana kita telah mengenal baik seperti apa lahan gambut sebelumnya. Pada tahap yang
mana, pembangunan harus difokuskan. Apakah baru diperlukan kegiatan sipil teknis (reklamasi) ataukah sudah harus direvegetasi. c. Mencermati sesuatu yang khas: Kita harus memilih prioritas, apakah akan mengutamakan suatu habitat yang langka atau jenis yang langka. Kita tidak mungkin melakukan kedua tujuan tersebut dalam suatu tempat tumbuh (site). d. Peluang yang dapat dilakukan : Untuk sebagian lahan, mungkin kembalinya kondisi komunitas relatif mudah dicapai, tetapi untuk lokasi lain mungkin hanya sedikit yang dapat dikerjakan, sehingga tujuan yang menjadi angan-angan kecil kemungkinannya dapat menjadi kenyataan.
Tabel 1. Jenis-jenis Pohon Hutan Rawa Gambut KHDTK Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah. No
Nama Jenis Pohon
No
Nama Jenis Pohon
N0
Nama Jenis Pohon
1
Pintik (Homalium caryophyllaceum)
16
Mailas(Parastemon urophyllum)
31
Malam-malam/Kacapuri (Diospyros malam)
2
Pampaning(Litocarpus sp)
17
Medang lengkuas (Adinandra bornensis Kobuski)
32
Nangka-nangka (Neoscortechimia kinggi)
3
Kopi-kopi(Gardenia fornsteniana Miq)
18
Kaja (Lophopetalum subovatum)
33
Bintangur (Calophyllum kuntsleri King)
4
Galam tikus (Eugenia sp)
19
Pasir-pasir/Medang telur (Urandra secondiflora O.Ktze)
34
Medang telur(Stemonurus scorpiodes Becc)
5
Belangeran (Shorea belangeran)
20
Manggis hutan (Garcinia sp)
35
Asam kambasera(Ilex cymosa)
6
Lamijo (Diosphyros maingayi Bakh)
21
Punak (Tetramerista glabra)
36
Rambutan hutan (Nephelium lappaceum L.)
7
Terentang (Camnosperma auriculata Hook. F)
22
Nyatoh (Palaquium cochleria)
37
Maharuang (Diospyros sp.)
8
Papung/Kecapi hutan (Sondaricum sp)
23
Jambu-jambu (Eugenia sp)
38
Darah-darah(Horsfeldia sp.)
9
Pisang-pisang (Microcos saccifera)
24
Meranti bunga (Shorea teysmanniana)
39
Tambuluh (Calophyllum soulattri)
10
Nyatoh ambaulis (Palaquium sp)
25
Gemor (Alseodapne sp.)
40
Gerunggang (Cratoxylon arborescent)
11
Saga (Diospyros buxifolia)
26
Tumih/Merapat (Combretocarpus rotundatus)
41
Rahanjang(Xylopia fusca Hook.F)
12
Ramin (Gonystilus bancanus)
27
Pantung/Jelutung (Dyera polyphylla)
42
Jangkang (Xylopia malayana)
13
Kempas (Koompassia malaccensis)
28
Meranti batu (Shorea sp)
43
Martibu (Dactilocladus stenostachys)
14
Kapurnaga jangkar (Calophyllum macrocarpum Hk.F.)
29
Perupuk (Lopopethalum javanicum)
15
Lilin-lilin (Paratocarpus triandus JJS)
30
Meranti balau (Shorea parvifoilia)
Sumber : Akbar (2015).
16
BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016
3. TAHAPAN KEGIATAN RESTORASI LAHAN GAMBUT DAN KENDALANYA Berbagai jenis tumbuhan yang hidup bersama membentuk suatu komunitas memerlukan kriteria tempat tumbuh yang mendukung pertumbuhan secara fisik dan kimia maupun secara biologis. Kegiatan-kegiatan sipil teknis diperlukan untuk memperbaiki tempat tumbuh yang telah terdegradasi. Secara fisik, tempat tumbuh harus stabil tidak tererosi, memiliki porositas yang baik, tekstur dan struktur yang mantap, disertai kondisi air kapasitas lapang yang memadahi bagi pertumbuhan. Sifat kimia dari tempat tumbuh seyogyanya memiliki unsur hara makro dan mikro yang cukup mendukung pertumbuhan. Kondisi nutrien NPK dalam tanah akan sangat menentukan pertumbuhan tanaman baik terhadap organ generatif maupun vegetatif. Nutrisi lainnya yang dikenal sebagai unsur mikro, sering menjadi limiting factor bagi pertumbuhan tanaman. Setyadi (person com. 2013) menyatakan bahwa restorasi biasanya terdiri dari kegiatan reklamasi. Sedangkan dalam restorasi lahan gambut, kegiatan teknik sipil yang mendukung penanaman atau revegetasi adalah membuat saluran drainase, membuat sumur bor, dan membangun bendungan/ tabat pada kanal. Kestabilan muka air tanah (water table) terutama dimusim kering diharapkan masih mendukung kelembaban tanah dan air kapasitas lapang. Untuk mengatasi kekeringan media gambut, teknologi yang diterapkan adalah dengan memasang mesin pompa air untuk memindahkan air dari sungai atau muara menuju bagian kubah gambut (dome).
Pengelolaan sistem tata air gambut yang tepat, menjadi kunci pembangunan tanaman atau revegetasi di lahan gambut. Syarat utama yang diperlukan dalam upaya revegetasi adalah muka air tanah (water table) yang stabil dan tinggi sepanjang tahun dengan kualitas air hujan yang baik. Perlakuan yang spesifik untuk menstabilkan air di lahan gambut diantaranya : pengkonturan (recontouring), pembentukan tempat tumbuh (shaping), dan pembendungan parit atau kanal (Canal blocking). Kegiatan restorasi di lahan gambut dapat dilakukan pada kawasan bekas terbakar, perladangan, kebakaran, ladang atau kawasan terdegradasi. Pada dasarnya restorasi diarahkan pada suatu ekosistem yang tidak dapat menjalankan fungsinya seperti semula sehingga dengan kegiatan tersebut diharapkan struktur tegakan pulih kembali dan ekosistem dapat berfungsi kembali seperti semula apakah fungsi produksi, fungsi konservasi ataupun fungsi lindung. Terdapat beberapa tahapan yang harus dilakukan untuk m e l a k u k a n s u a t u ke g i a t a n restorasi dimana tahapan-tahapan ini harus diketahui, dipahami dan dicermati oleh para pelaku restorasi sehingga kegiatan restorasi dapat terlaksana sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai yaitu kembalinya fungsi hutan. Hal pertama dan mendasar yang perlu diketahui oleh pelaku restorasi terhadap lokasi/kawasan yang akan direstorasi adalah nama lokasi, alamatnya di mana dan peta lokasi. Hal ini diperlukan untuk kemudahan akses pelaku restorasi menuju lokasi serta pelaku restorasi mempunyai gambaran letak kawasan yang akan direstorasi terutama terkait dengan aksesibilitas.
Setelah diketahui lokasi yang akan direstorasi maka sebelum dilakukan survey ke lapangan, beberapa informasi tentang legal status kawasan harus diketahui misalnya apakah kawasan restorasi termasuk hutan produksi?, hutan konservasi? atau hutan lindung?. Jika areal dikelola perusahaan m a k a i j i n te r k a i t ba i k d a r i Kementerian Lingkungan Hidup seperti dokumen AMDAL, UKL, UPL atau Departemen Kehutanan (Permit) serta informasi yang terkait dengan site history harus dikumpulkan dan dipahami. Hal ini diperlukan untuk menentukan arah dan strategi tindakan restorasi yang akan dilakukan, dimana restorasi harus dilakukan secara spesifik sesuai dengan fungsi kawasan terutama terkait dengan pemilihan jenis. Selain itu restorasi harus dilakukan s e l a r a s d e n g a n ke te n t u a n ketentuan yang terdapat dalam ijin terkait yang telah ditetapkan semula. Meski demikian, tidak menutup kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat dalam hal ketentuan ketentuan yang ada didalamnya, misalnya spesies yang harus ditanam, dalam hal ini pelaku restorasi dapat melakukan tindakan restorasi sesuai dengan apa yang diyakininya apabila pelaku restorasi mempunyai argumen yang kuat dengan didasari percobaan-percobaan ilmiah serta tingkat kesuksesan yang tinggi. Setelah data sekunder dikumpulkan maka tahapan selanjutnya adalah melakuan survey lapangan (ground chek) untuk melihat secara langsung kondisi kawasan yang akan direstorasi serta mengumpulkan data site karakteristik. Adapun data site karakteristik yang diperlukan adalah kondisi biofisik dan sosial ekonomi kawasan. Kondisi biofisik meliputi informasi tentang topografi, klimatik, tanah,
BBEEKA BEKANTAN KANT NTAN Vol. Vol ol. 4/No. 4//No No. 1/2016 11//20 2016
177
vegetasi dan satwa. Informasi kondisi topografi diperlukan untuk menentukan tindakan konservasi lahan yang diperlukan, apakah diperlukan sistem gundukan (mounding/surjan) atau tidak?. Informasi klimatik diperlukan untuk menentukan jadwal kegiatan penanaman serta menentukan spesies yang mampu beradaptasi dengan kondisi iklim yang ada. Informasi tentang kondisi vegetasi diperlukan untuk menentukan tingkat penutupan vegetasi serta mengidentifikasi jenis jenis yang tumbuh di lokasi serta di sekitar lokasi yang akan direstorasi sehingga kemungkinan dapat menjadi sumber bibit untuk kegiatan restorasi. Kendala yang sering timbul dalam kegiatan restorasi gambut adalah adanya faktor pembatas (contstraint) seperti yang disajikan dalam Gambar 1.
Pengambilan sampel tanah dilakukan pada lapisan top soil (0-30cm) dan sub soil (30-50cm) dengan titik pengambilan sampel diupayakan dapat mewakili dan tersebar pada masing masing blocking area. Selanjutnya terhadap sample tanah dilakukan uji laboratorium untuk mengetahui sifat fisik dan kimia tanah. Tidak perlu melakukan analisa semua sifat fisik dan kimia tanah melainkan sifat-sifat tertentu yang dapat menjadi pembatas vegetasi untuk dapat tumbuh. Sifat-sifat tersebut adalah tekstur, pH, KTK, Bulk Density, Hydrolic conductivity, kadungan unsur hara makro (bahan organic, N, P, K, Ca, Mg) dan mineral toksik seperti Al, Fe, Zn,S, Mn. Berdasarkan uji sample tanah pada masing-masing block dan site history kemudian dilakukan pembacaan kendala-kendala yang ada yaitu menganalisis mengenai pembatas yang mengganggu
semak KompetisidgnSemak belukar
dan Kedalaman&kematangan dan kematangan gambut gambut
Genanganair
PEMBATAS RESTORASI LAHAN GAMBUT
Ancaman Kebakaran
Ketersediaanharatanah tersedia
Ketersediaanpupuk biologis
Keasaman&toksisitas tanah
Gambar 1. Pembatas yang sering timbul saat restorasi dilakukan
pertumbuhan vegetasi. Pembatas tersebut dapat berupa kurangnya nutrisi tanah, tanah compact, pH yang rendah, KTK yang rendah (<16), HC yang rendah, Mg>Ca, tingginya kandungan logam berat seperti: Cu, Al, Zn dan Fe sehingga bersifat toxic, mis : kandungan Al > 3 me (60%). Setelah dilakukan survey lapangan maka tahapan selanjutnya dibuat daftar vegetasi yang potensial untuk ditanam
18
BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016
(spesies selection), kemudian ditentukan jenis yang terpilih b e rd a s a r k a n p e r t i m ba n g a n iklim dan adaptabilitas jenis dan kebiasaan dijumpai pada vegetasi pada lokasi restorasi. Hal terpenting yang perlu diketahui adalah akar merupakan organ tanaman yang penting dalam kehidupan tanaman karena akar merupakan organ vital yang berperan dalam penyerapan
unsur-unsur hara dan air untuk produksi makanan yang diperlukan tanaman untuk hidup. Beberapa negara telah dikembangkan teknologi peremajaan akar, yaitu akar akar lateral ujungnya dipotong sehingga diharapkan munculnnya tunas-tunas akar baru. Tindakan ini biasanya dilakukan pada saat tanaman tumbuhnya stagnan. Perlakuan lain yang berkaitan dengan akar adalah pengaktifan akar dengan mikoriza atau bioorganic sehingga akar mempunyai ke m a m p u a n d e n g a n c e p a t untuk menembus lubang tanam. Bersamaan dengan kegiatan penyiapan bibit dapat dilakukan kegiatan penyiapan lahan (site preparation) yaitu menyiapkan lahan agar cocok untuk ditanami sehingga akar tanaman dapat berkembang dengan normal. Penyiapan lahan dapat dilakukan dengan ripping (penggemburan) sehingga tanah menjadi remah, pembuatan drainage sehingga tanaman tidak tergenang, menghilangkan kompetisi dengan melakukan pembersihan gulma atau menggunakan teknik mulsa. Tahapan selanjutnya adalah melakukan perbaikan kondisi tanah (soil amandment) seperti pemberian pupuk misalnya NPK untuk mengatasi kurangnya nutrisi tanah, penggunaan kompos aktif menggunakan remedy, kapur, pemberian Humic Substance Complex (HSC) atau polimer untuk mengatasi KTK yang rendah (< 16). Hal pertama yang perlu dilakukan adalah membuat layout (design) penanaman yaitu menentukan jarak tanam dan komposisi jenis dimana dalam hal ini perlu dipertimbangkan perkembangan tajuk masingmasing spesies tanaman yang pada akhirnya diharapkan dapat terbentuk stratifikasi tajuk. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam
www.greenpeace.org
kegiatan penanaman adalah penyiapan lubang tanam dimana ukuran lubang tanam harus disesuaikan dengan kesuburan tanah serta ukuran bibit tanaman. Hardening
Transport
Planting
Tending
STOP
Watel level Wibisono et al (2005)
Moist zone in dry season
Tending
DRY SEASON
RAINY SEASON
DRY SEASON
MOUND
Gambar 2. Fluktuasi Muka Air Tanah dan Musim Tanam di Lahan Gambut (Wibisono et al, 2005)
Penentuan waktu tanam yang tepat akan sangat menentukan keberhasilan hidup tanaman. Untuk itu dibutuhkan informasi kondisi klimatik dan kondisi muka air tanah (water level/water table) di kawasan tersebut. Penanaman bulan November merupakan waktu penanaman terbaik di lahan gambut. Fluktuasi
muka air tanah dalam satu tahun dapat dilihat dalam Gambar 2. Evaluasi dilakukan pada akhir kegiatan untuk melihat hasilnya, apakah kegiatan yang telah dilakukan berhasil atau tidak. Hasil-hasil percobaan revegetasi yang telah dilakukan oleh para peneliti Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan sejak tahun 2003 hingga tahun 2015 ini diperoleh bahwa dalam teknik penyemaian jenis-jenis pohon lahan gambut menunjukkan adanya perbedaan kemudahan cara perbanyakan, sebagaimana disajikan dalam Tabel 3. Salah satu persyaratan semai siap tanam adalah akar yang kompak ditandai dengan terbentuknya sistem akar (root ball). Dalam teknik penanaman, percobaanpercobaan yang perlu dilakukan adalah analisis tipologi lahan gambut, uji jenis, uji persiapan lahan, aplikasi pupuk biologis mikoriza, dan ujicoba modelmodel agroforestry. Analisis tipologi lahan gambut diarahkan menuju pengetahuan tipe-tipe tapak, dan kesatuan hidrologi gambut (KHG). Uji jenis diarahkan untuk mengetahui jenis-jenis yang berpotensi tinggi untuk tumbuh di lahan gambut. Uji persiapan lahan dilakukan dalam rangka mencari teknik manupulasi lingkungan tanam yang bebas dari kompetisi, meningkatkan penetrasi cahaya, membuat fluktuasi temperatur dan kelembaban yang kecil. Mikoriza digunakan untuk meningkatkan laju pertumbuhan bibit dan tanaman muda di lapangan. Model-model BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016
19
agroforestry diperlukan untuk sarana pemberdayaan masyarakat dalam membangun tanaman dan mencegah terjadinya kebakaran hutan. Tanaman yang prospektif berdasarkan hasil-hasil percobaan dengan parameter daya hidup setelah berumur 5 tahun oleh Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Metode Perbanyakan Bibit Jenis Pohon Hutan Rawa Gambut dan Daya Hidup Tanaman di Lapangan 5 tahun setelah Penanaman. No. Nama Lokal
Nama ilmiah
Cara perbanyakan
Persen hidup tanaman di lapangan
1
Jelutung/ Pantung
Dyera polyphylla
Generatif biji dan vegetatif stek
50%
2
Pulai
Alstonia spatulata
Generatif biji dan vegetatif stek
kurang dari 50%
3
Punak
Tetramerista glabra Generatif biji dan vegetatif stek
50%
4
Kapurnaga
Callophylum soulatri
Generatif biji dan vegetatif stek
50%
5
Medang telur
Litsea sp
Generatif biji dan vegetatif stek
kurang dari 50%
6
Belangeran
Shorea belangeran
Generatif biji dan vegetatif stek
50%
7
Meranti bunga
Shorea teysmanniana
Generatif anakan alam
50%
8
Bintangur
Calophyllum sp
Generatif anakan alam
50%
9
Papung
Sandoricum
Generatif anakan alam
-
Sumber : Yuwati et al. 2013
Aspek perlindungan tanaman d a r i ke ba k a r a n y a n g p e r l u mendapat perhatian adalah : (1) Karakteristik bahan bakar dan api pada berbagai kondisi dan tipe hutan, (2) Potensi cadangan air di dalam lapisan gambut, (3) Ketersediaan sekat bakar, (4) Kecepatan api pada vegetasi pakuan dan bawah permukaan gambut, (5) Efektifitas pemadaman api dengan menggunakan teknologi alat pemadam dan early warning system, dan (6) Penerapan pencegahan kebakaran berbasis masyarakat. 4. PA R A M E T E R P E N T I N G DAN L AMA WAKTU KEBERHASILAN RESTORASI Pa r a m e t e r ke b e r h a s i l a n restorasi tahap pertama adalah adanya tumbuhan yang hijau
20
BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016
subur. Tumbuhan yang hijau akan memantapkan tanah lumpur tebal (mire) menjadi suatu hamparan berfungsi sebagai media tumbuh yang layak bagi habitat tumbuhan rawa. Untuk menilai fungsi lahan gambut dapat melalui penilaian siklus karbonnya. Restorasi yang dilakukan dengan metode suksesi alam, penilaiannya dengan cara mengukur parameter-parameter ekologi yang sudah baku seperti kerapatan relatif, dominasi relatif, frekuenai relatif, dan nilai penting dari jenis-jenis yang ada. Dari nilai penting inilah dapat ditentukan nilai indeks kesamaan komunitas. Dari hasil pengukuran total vegetasi hutan rawa gambut akan diketahui dua struktur yaitu struktur vertikal dan struktur horizontal. Sedangkan struktur secara horizontal dicirikan oleh
berbagai jenis tumbuhan yang hidup dalam suatu komunitas hutan rawa gambut. Faktor edafis dicirikan apabila semakin stabil tanah gambut halus mencerminkan semakin stabilnya te m pa t t u m b u h y a n g a k a n menjadi media tumbuh tanaman sebagai organisme primer. Adapun parameter parameter yang digunakan untuk evaluasi restortasi vegetatif adalah : (1) Tingkat sur vival, jika sur vival > 80% maka pembangunan tanaman dianggap berhasil, (2) pertumbuhan normal, daun tidak kekuningan, tidak stagnan, (3) Akar sudah menembus bagian luar lubang tanam, (4) Serasah sudah tercampur dengan tanah (terdekomposisi), (5) Adaptability (tanaman dapat hidup), (6) Sustainability (tanaman dapat melanjutkan hidup), (7) Terbentuknya struktur tegakan, (8) Terdapatnya satwa yang ditemukan pada lokasi restorasi, (9) Adanya kolonisasi alami atau tumbuhnya permudaan alam yang memenuhi areal restorasi. Saat ini ada bukti hasil sur vey stratigraphik bahwa untuk regenerasi alami pada lahan gambut di Eropah yang vegetasinya ditebang dan tanahnya dieksavator, ternyata dapat kembali setelah memerlukan waktu lebih dari 100 tahun. Bukti lain bahwa jika regenerasi dimulai oleh jenis sphagnum dapat mempercepat yaitu kurang dari 25 tahun (Robert et al, 1999). Contoh di Indonesia, hasil pengamatan regenerasi hutan rawa gambut di Tumbang Nusa Kalimantan Tengah pasca kebakaran tahun 1997/1998 nampak bahwa vegetasi telah mulai didominasi jenis pioner dan klimaks tingkat pancang dan tiang pada tahun 2015 (perlu waktu regenerasi 18 tahun). Jika terjadi regenerasi vegetasi alami pada kondisi site yang sama pasca kebakaran tahun 2015 lalu, maka diperlukan waktu 18 tahun untuk
melihat kembali hutan muda di lahan gambut Tumbang Nusa. 4. PENUTUP Restorasi gambut adalah tindakan mengembalikan sesuatu e ko s i s te m g a m b u t ke m ba l i kepada fungsi aslinya. Tujuan restorasi dapat bervariasi antara mengembalikan suatu kawasan menuju komunitas aslinya dan ke komunitas sebelumnya. Dua tujuan tersebut dapat ditempuh melalui suksesi alam atau perlakuan revegetasi dan sipil teknis. Restorasi ekosistem dalam arti luas adalah upaya pengembalian unsur hayati dan non hayati suatu kawasan kepada jenis aslinya berikut keseimbangan hayati dan ekosistemnya. Unsur hayati meliputi flora dan fauna dalam satu kawasan, sedangkan unsur nonhayati yang terdiri dari tanah, iklim, topografi suatu kawasan. Kondisi keanekaragaman jenis tumbuhan dan hewan disertai struktur tegakan berlapis dapat menjadi salah satu indikator
keberhasilan restorasi. Restorasi di lahan gambut dalam pelaksanaannya akan memiliki faktor pembatas seperti genangan air, keasaman dan toksisitas tanah, kompetisi dengan semak belukar, ketersediaan unsur hara tanaman, kematangan gambut, kedalaman gambut, dan ketersediaan pupuk biologis. Keberhasilan restorasi ditentukan oleh persen hidup > 80%, tanah lumpur tebal stabil ditumbuhi jenis-jenis andalan setempat dan telah terjadi kolonisasi jenis-jenis tumbuhan lokal setempat ke areal restorasi. Waktu yang diperlukan untuk mengembalikan fungsi ekosistem adalah antara 18 s/d 100 tahun. PUSTAKA Akbar, A., S.Adriani, E. Priyanto, I. Anwar, R. Ariani, dan M. Effendi. 2015. Model Pengelolaan Hutan Rawa Gambut Berisiko Kecil Kebakaran. Laporan Hasil Penelitian. BPK Banjarbaru. Charman, D. 2002. Peatlands and Environmental Change. John
Wiley & Sons, LTD.231-257. Pages 300. Daryono, H. 2000. Kondisi Hutan Setelah Penebangan dan Pemilihan Jenis Pohon yang Sesuai untuk Rehabilitasi dan Pengembangan Hutan Tanaman di Lahan Rawa Gambut. Naughton, S.J. & Larry, L.W. 1998. Ekologi Umum. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. R i e l e y, J. O. & S . E . P a g e . 1995. Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatlands. Proceedings of the International Symposium on Biodiversity, Environmental Importance and Sustainability of Tropical Peat and Peatlands, Held in Palangka Raya. Central Kalimantan. Indonesia. Samara Publishing Limited. Yuwati, T.W.; D. Rachmanadi a n d P. B . S a n to s a . 2 0 1 3 . Rehabilitation Technique of Degraded Peat Swamp Forest in Central Kalimantan. FGD. Heindseidel. 2013. BPK Banjarbaru.
republika.com
BBEEKKAANT BEKANTAN ANT NTAAN NTA N Vol. Vol ol. 4/No. 44//No No. 1/2016 11//220016 16
21 21
FOKUS
KESATUAN HIDROLOGI GAMBUT DAN RESTORASI GAMBUT. Oleh: Dian Lazuardi
I.
PENDAHULUAN Kebijakan pengelolaan ekosistem gambut Indonesia selama hampir dua dekade selalu berlandaskan pada cakupan kewenangan yang bersifat sektoral. Hal ini tercermin dari munculnya beberapa istilah dan definisi yang dikeluarkan oleh beberapa peraturan pemerintah, keputusan presiden dan keputusan menteri. Inkonsistensi definisi yang terdapat pada beberapa peraturan tersebut mengakibatkan adanya peluang yang sangat besar untuk terjadinya perusakan dan menimbulkan konflik yang akan sangat merugikan (Indrarto, 2015).
Selain itu, istilah-istilah yang telah lama dikenal masyarakat sebelum adanya peraturan-peraturan tersebut, seperti dalam konteks klasifikasi tanah, dan zonasi potensi pemanfaatan lahan menjadi semakin membingungkan. Ekosistem gambut dan kesatuan hidrologis gambut yang tercantum dalam PP No14 tahun 2014, merupakan istilah yang selaras dengan semangat ekoregion yang dimandatkan dalam UU No 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Kesatuan hidrologis gambut sebagai sebuah ekoregion (bioregion) merupakan batas wilayah kesatuan pengelolaan ekosistem gambut. Penentuan unit pengelolaan berdasarkan ekoregion tersebut merupakan pendekatan yang ideal untuk diterapkan dalam pengelolaan sumberdaya alam berbasis ekosistem, terutama kelebihannya dalam hal kejelasan batas wilayah, kemampuannya dalam menggambarkan hubungan timbal balik antara kondisi bio-fisik dengan kehidupan sosial dan budaya masyarakat di dalamnya (Slocombe. 1998). Ekoregion berdasarkan undang-undang tersebut merupakan suatu wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora, dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan hidup. Sedangkan Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) adalah ekosistem gambut yang letaknya di antara 2 (dua) sungai, di antara sungai dan laut, dan/atau pada rawa (PP No14 tahun 2014). Berdasarkan uraian
www.absoluterevo.wordpress.com
22
BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016
BEKANTAN Vol. 3/No. 1/2015
22
di atas, dapat dikatakan bahwa KHG sebagai salah satu bentuk operasional dari bioregion, konsep pengelolaan ekosistem gambut berbasis ekoregion merupakan jawaban dari permasalahan konflik sektoral yang terjadi selama ini. Pengelolaan berbasis ekoregion merupakan suatu konsep pengelolaan sumberaya alam terkini, dan dapat dipandang sebagai perbaikan dan pengembangan dari konsep pengelolaan sebelumnya (Slocombe. 1998; Schlaepfer R. 1997; Baskent and Yolasimaz, 2000.). Prinsip utama yang mendasari konsep pengelolaan ini adalah adanya hubungan saling ketergantungan diantara unitunit penggunaan lahan yang ada di dalam satu ekoregion. Oleh karena itu, fokus perhatian dari pengelolaan berbasis ekoregion tersebut, tidak terbatas pada tata-kelola dalam satu unit tipe penggunaan lahan , tetapi fokus perhatian meluas ke arah unitunit pengelolaan sektor lain yang ada di seluruh wilayah kesatuan hidrologis. Deforestasi, degradasi hutan dan kebakaran telah menjadi ancaman tahunan terhadap kelestarian ekosistem gambut, dan kejadian kebakaran pada tahun 2015 yang melanda hampir seluruh KHG di Indonesia dapat dikatakan sebagai puncak dari semua proses pengrusakan tersebut. Kejadian ini menjadi tonggak awal bagi pemerintah untuk membangun ke m ba l i f u n g s i e ko s i s t e m gambut dan menata kembali pola pemanfaatan yang sedang berjalan saat ini. Hal ini ditandai dengan dibentuknya suatu Badan Restorasi Gambut yang bertugas untuk melaksanakan program restorasi ekosistem gambut dan restrukturisasi pola peruntukan lahannya (Perpres No 1 tahun 2016). Restorasi merupakan upaya pemulihan kembali fungsi
e ko s i s t e m ke a r a h ko n d i s i ekosistem aslinya atau ke arah ko n d i s i e ko s i s te m s e b e l u m terjadi kerusakan. Oleh karena itu, identifikasi dan pemahaman tentang kondisi acuan tersebut menjadi sangat esensial keberadaanya, karena kondisi acuan merupakan tujuan restorasi itu sendiri dan sebagai alat pengukur keberhasilan ser ta sebagai alat pengukur efesiensi dan efektivitas setiap perlakuan manajemen. Paper ini bertujuan untuk membahas beberapa karakteristik biofisik dan proses ekosistem gambut yang berhubungan dengan kondisi acuan (refference condition) yang diperlukan bagi restorasi gambut di satu unit zona perlindungan (konser vaasi) dan restorasi ekosistem gambut dalam skala KHG.
II. KARAKTERISTIK BIOFISIK KESATUAN HIDROLOGI GAMBUT A. Lahan Dan Hutan Rawa Gambut . Istilah rawa merujuk pada suatu kondisi lahan tergenang secara periodik dan adanya jenis vegetasi tumbuh di atasnya, sedangkan lahan yang tergenang dalam secara permanen dan tidak ditumbuhi oleh vegetasi disebut danau. Gambut adalah akumulasi bahan organik sisa-sisa tumbuhan y a n g te rd e ko m p o s i s i t i d a k sempurna akibat adanya genangan air dan lingkungan tanpa oksigen (anoxic atau anaerobic). Kondisi tersebut mengakibatkan laju akumulasi bahan organik lebih cepat dari laju dekomposisinya. (Brady, 1997). Lahan pasang surut (tidal lands) adalah lahan rawa dengan ketebalan gambut < 50cm yang dipengaruhi oleh pasang surut air sungai dan atau air laut. Lahan-lahan ini dalam klasifikasi tanah USDA
termasuk dalam kelompok ordo tanah Entisol (Soi Survey Staff. 1996 ), atau Fluvisol dan Gleysol (FAO, 1994). Lahan rawa seperti ini sering disebut sebagai lahan atau tanah bergambut.. Lahan rawa gambut adalah lahan rawa yang memiliki lapisan gambut dengan ketebalan lebih dari 50 cm, dan tanah ini masuk dalam kelompok ordo tanah Histosol (Soi Survey Staff. 1996) atau tanah Organosol (FAO,1994). Istilah hutan rawa gambut merupakan istilah dalam perspektif ekosistem gambut, yang mencakup seluruh karaktersitik biofisik (air, tanah, vegetasi, iklim dan kehidupan biomikro) alami dan interrelasinya yang terdapat di dalam satu KHG. B. Mekanisme Pengaturan Hidrologis Ekosistem gambut menyimpan suatu fenomena yang disebut dengan paradoks “tinggi dan basah” (The paradox “high and wet’ ). Paradoks dapat dipandang sebagai suatu kebenaran yang seolah-olah bertentangan dengan pendapat umum. Realitasnya bahwa vegetasi, air dan gambut di dalam struktur kubah ekosistem gambut memiliki suatu hubungan saling ketergantungan (mutually) yang sangat erat diantara satu dengan lainnya. Hubungan tersebut dikenal sebagai mekanisme hidrologis alami ( hydrological self-regulation mechanism). Tumbuhan akan menentukan tata-air permukaan gambut dan karakteristik gambut yang terbentuk. Tinggi permukaan air menentukan jenis tumbuhan yang akan tumbuh, tingkat akumulasi dan tingkat dekomposisi gambut. Penutupan vegetasi dan struktur gambut sangat mentukan pola aliran air dan fluktuasi permukaan air. Mekanisme hidrologis tersebut merupakan faktor kunci yang mampu menopang eksistensi ekositem hutan rawa gambut BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016
23
dari fluktuasi kondisi iklim ekstrim selama berabad-abad tahun lamanya. Interelasi dari tiga komponen tersebut berimplikasi bahwa ketika salah satu komponen mengalami kerusakan maka akan mengakibatkan kerusakan pada komponen lainnya, walaupun dampaknya tidak terjadi secara langsung pada waktu yang bersamaan, tetapi akan terlihat dalam jangka waktu yang panjang (Dommain et al., 2010). 1. Air, Topografi dan Ketebalan gambut Pasokan utama air bagi seluruh KHG adalah air hujan. Selain air hujan, pada areal yang berada di bagian tepi KHG dipengaruhi juga oleh sumber air lain yaitu: air pasang laut, sungai atau air limpasan (run-off) dari daratan yang berada di atasnya, termasuk air yang berasal dari areal di bagian tengahnya. Air pasang sungai atau laut, dan air limpasan daratan memiliki kandungan oksigen dan hara lebih tinggi dari air dari air hujan, ketiga sumber air tersebut juga membawa butiran-butiran tanah mineral. Oleh karena itu, lingkungan di semua bagian tepi memiliki tingkat kandungan hara dan oksigen lebih tinggi dibandingkan bagian tengahnya, sehingga proses dekomposisi menjadi lebih sempurna dan lapisan gambut yang terbentuk lebih tipis dibandingkan dengan bagian tengahnya. Perbedaan ketebalan tersebut membentuk s u a t u p e r b e d a a n to p o g r a f i permukaan secara konsentrik dari mulai tepi ke arah bagian dalam KHG. Fenomena ini yang dikenal dengan bentuk kubah gambut (dome). Keberadaan kubah gambut sangat sulit dikenali di lapangan karena kemiringan yang terjadi umumnya < 0,1%. Ketebalan lapisan gambut pada bagian kubah mencapai 8-13m. Adanya bentukan kubah, akan
24 24
B KAN BE BEKANTAN KAANT NTTAAN AN Vol. Vol ol.. 4/No. 4//No N . 1/2016 1/20 1/ 2016 166
menyebabkan terjadinya aliran air permukaan pada saat musim hujan ke arah bagian tepi kubah. Aliran-aliran permukaan ini membentuk relief-relief mikro dan menghasilkan sejumlah areal tangkapan aliran air (micro catchment area), sehingga memungkinkan terbentuknya lebih dari satu kubah gambut dalam satu KHG (Page et al., 1999; Rieley and Pages, 2008; Rais, 2011). Perbedaan tingkat kesuburan ini tercermin dari perubahan tingkat kepadatan (luas bidang dasar) dan tinggi kanopi hutan yang terbentuk. Semakin ke arah dalam, kepadatan dan tinggi kanopi hutan akan semakin menurun. Anomali terjadi pada bagian tengah kubah, dimana terdapat asosiasi hutan berkanopi tinggi dan sangat padat dengan hutan vegetasi rendah (tumbuhan herba, semak belukar dan perdu). Tegakan hutan berkanopi tinggi merupakan tegakan yang tumbuh pada lapisan gambut yang tak pernah tergenang, sedangkan hutan vegetasi rendah merupakan tegakan yang tumbuh pada kondisi permukaan yang relatif selalu tergenang. (Page et al., 1999; Rieley and Pages, 2008; Wedeux and Coomes, 2015). Keberadaan individu-individu pohon akan menghasilkan suatu permukaan gambut yang lebih tinggi dibandingkan sekitarnya, sebagai akibat dari perkembangan ukuran dan bentuk batang ser ta perkembangan sistim perakarannya. Diantara bagian permukaan yang lebih tinggi tersebut membentuk relief-relief berupa cekungan-cekungan dalam beragam bentuk, ukuran, dan kedalaman. Kedalaman relief permukaan mencapai 40-60 cm. Keberaaan relief ini memiliki peran yang sangat besar dalam pengaturan dinamika pergerakan air, pembentukan dan pelestarian lapisan gambut. Pada periode
musim hujan, permukaan air (water table) berada di atas permukaan gambut, secara kontinyu air tersebut mengalir sebagai air limpasan ke arah elevasi yang lebih rendah, aliran air secara perlahan akan tertahan dan membentuk genangan di bagianbagian cekungannya. Periode musim kering, air genangan akan menyusut masuk ke bawah p e r m u k a a n s e ba g i a n b e s a r melalui bagian cembungannya. Permukaan cembungan menjadi lebih oksik (aerob) dibandingkan dengan bagian cekungannya, sehingga hasil dari proses ini karakteristik lapisan gambut pada bagian cembungan menjadi lebih hemik dibandingkan sifat gambut di bagian cekungan. Kondisi fisik dan kimiawi permukaan gambut bagian cembungan lebih mendukung proses regenerasi jenis-jenis pohon kanopi utama. Sedangkan pada bagian cekungan umumnya ditumbuhi oleh jeisjenis herba, dan tumbuhan bawah (Dommain et al., 2010). Tinggi permukaan air akan ber fluktuasi selaras dengan perubahan musim, dari mulai di atas permukaan sampai pada kedalaman ter tentu dimana permukaan air menjadi stagnan. Zona mulai permukaan gambut sampai kedalaman air stagnan dinamakan zona fluktuasi atau zona aerasi. Zona yang berada di bawah permukaan air stagnan dikenal dengan zona jenuh permanen (permanent saturated zone /PSZ). Penurunan permukaan air di hutan rawa gambut alami di musim kemarau sebagian besar sampai pada kedalaman 40 cm di bawah permukaan (Rieley and Page, 1999). Kandungan air akan semakin rendah ke arah permukaan gambut d a n s e ba l i k n y a k a n d u n g a n oksigen akan lebih tinggi ke arah permukaan. Perubahan kandungan air permukaan sangat
tergatung dari fluktuasi permukaan air di bawah permukaanya, sebagai akibat dari adanya faktor daya hisap (suction) gambut, dan perbedaan suhu pemukaan. Kandungan air permukaan sangat besar peranannya dalam hal proses dekomposisi, pertumbuhan dan perkembangan vegetasi, serta kerawanan terhadap kebakaran. Kandungan air pada lapisan permukaan gambut sebesar 150% (g/g) atau sekitar 15%-30% (v/v), merupakan batas kritis dimana lapisan gambut mulai dapat terbakar (Usop et al., 2004). Kandungan air optimum untuk aktivitas mikroba dalam proses dekomposisi berada pada tingkat 50% dari kondisi air jenuhnya, aktivitas akan menurun sejalan dengan penurunan kandungan air dan berhenti pada kandungan air sekitar 15% dari kondisi air jenuhnya (Iyama et al., 2012). Titik layu (wilting point) pada lapisan gambut hemic-sapric berada pada kadar air 50%-60% dari kondisi air jenuhnya (Katimon & Melling, 2007). Hubungan antara tinggi permukaan air dan kandungan air di permukaan gambut (0-25 cm) , pada hutan rawa gambut alami, atau yang tidak banyak terganggu (pristine forest) fluktuasi permukaan air bawah permukaan yang optimum adalah 0 - 40 cm. Walaupun permukaan air turun sampai kedalaman 80 cm, kondisi alami hutan rawa gambut masih berada pada di atas ambang batas kerawanan api, stagnasi pertumbuhan vegetasi dan stagnasi aktifitas mikroba. 2. Neraca Air Walaupun hutan rawa gambut tropis tersebut semuanya berada di wilayah iklim dengan curah hujan lebih besar dari 2,500 mm/th, tetapi tidak pernah membuat seluruh lapisan gambut menjadi jenuh sepanjang tahun (Rieley and Page, 2008; Wousten et al., 2006; Dommain et al., 2010, Rais, 2011). Hasil pengamatan dan perhitungan neraca air pada hutan rawa gambut yang relatif tak terganggu di daerah Kahayan-Kapuas yang dilakukan oleh Rais (2012) selama 3 tahun mulai Desember 2004 sampai Desember 2007, menunjukan bahwa terjadi defisit simpanan air sebesar 607 mm (7.4%). Kehilangan air terbesar terbesar disebabkan oleh evapotranspirasi (58,6%) dan aliran permukaan (40,7%). Kehilangan air akibat intersepsi (7,9%) dan aliran bawah permukaan 8,1%) merupakan kehilangan air yang paling kecil. Hasil ini konsisten dengan berberapa hasil penelitian di beberapa tempat lainya, bahkan secara proporsi relatif sama dengan hutan rawa gambut daerah temperate. Evapotranspirasi menjadi faktor terbesar dalam mengeluarkan air dari lingkungn KHG. Evapotranspirasi merupakan ukuran kumulatif kehilangan air yang disebabkan oleh penguapan yang berasal dari permukaan gambut (evaporasi) ditambah dengan penguapan dari permukaan tajuk tumbuhan (transpirasi). Semakin padat tingkat penutupan vegetasi maka evaporasi permukaan gambut akan semakin menurun dan transpirasi akan semakin meningkat, tetapi secara keseluruhan evapotranspirasi akan semakin meningkat (Gambar 1). Walaupun kehadiran vegetasi akan meningkatkan jumlah air yang keluar dari lingkungan KHG melalui intersepsi air hujan dan transpirasi, tetapi keberadaan vegetasi memiliki peran penting dalam mekanisme ekosistem gambut, yaitu : (a) Meningkatkan ketersediaan hara melalui produksi serasahnya dan bahan baku gambut baru. (b) Mengurangi radiasi cahaya matahari langsung ke permukaan gambut melalui efek naungannya, dan (c) Mengurangi kecepatan angin di bawah tegakan,
Semua peran penutupan vegetasi tersebut tersebut berdampak pada kondisi iklim mikro di permukaan gambut, seperti menurunkan perbedaan (albedo) suhu udara dan suhu pemukaan gambut, kestabilan t i n g k a t ke l e m b a b a n u d a r a relatif dan kadar air permukaan yang sangat diperlukan bagi keberlangsungan aktfitias mikroba dalam proses dekomposisi, dan m e n d u k u n g p e r ke m ba n g a n regenerasi beragam jenis tumbuhan. Selain itu, pertumbuhan dan perkembangan sistem perakaran (terutama jenis pohon) sangat berperan dalam mekanisme pembentukan gambut melalui penghambatan aliran air pemukaan, mempertinggi laju infiltrasi ser ta berperan sebagai pendukung kekuatan mekanis struktur kubah melalui pembentukan ‘anyaman “ sistem perakarannya. Aliran di bawah permukaan sangat menentukan tingkat ke d a l a m a n p e r m u k a a n a i r, besaran kecepatan aliran bawah permukaan yang diukur berdasarkan daya hantar aliran air (hydraulic conductivity / Hc). Hc sangat tergantung dari tingkat kepadatan atau kematangan dan porositas lapisan gambut. Untuk lahan rawa gambut di Sebangau Kalteng, nilai Hc rata-rata pada kedalaman 0-1m (lapisan fibrikhemik) adalah sebesar 30cm/ hari, dan lapisan di bawahnya (lapisan saprik) sebesar 2,2 cm/ hari (Takahashi and Yonetani, 1997). Nilai-nilai Hc dan arah alirannya menjadi sangat berguna dalam merancang suatu sistem drainase yang mengatur tingkat penurunan kedalaman permukaan air tanah, dan sebaliknya dapat digunakan juga sebagai acuan dalam merancang perlakuan pembasahan kembali (rewetting).
BEKKAANTTAN BE BEKANTAN AN Vol. Vol o . 4/No. 4//No No.. 1/2016 1 20 1/ 2016 2016 1
2 25
Gambar 1. Perbandingan laju evaporasi, transpirasi dan evapotranspirasi dalam berbagai tingkat kepadatan vegetasi (Kettridge et al., 2013)
Permukaan air (cm) Bulk density Kadar air (% vol)
Tingkat penurunan permukaan air akibat pembangunan kanal sangat ditentukan oleh tingkat kepadatan lapisan gambut, ukuran penampang kanal (lebar dan kedalaman) dan kecapatan aliran air keluar kanal. Sebagai contoh: jika lebar kanal 2,5 m dan posisi permukaan air kanal 80 cm di bawah permukaan lahan, maka akan memberikan dampak penurunan air sejauh 25 m dari tepi kanal dengan pola seperti dalam Gambar 2.c., yang diikuti oleh menurunan kadar air permukaan yang relatif sejajar dengan pola penurunan permukaan air tanahnya. Lapisan gambut yang berada di atas zona permukaan air tanah menjadi lebih oksik, dan proses dekomposisi menjadi lebih intensif, sehingga lapisan gambut menjadi lebih padat dan permukaan gambut menjadi lebih menurun ke arah tepi kanal (mini dome). Peningkatan kepadatan lapisan gambut tersebut secara langsung akan menurunkan nilai Hc, dan meningkatkan daya ikat airnya. Fenomena ini dapat diterangkan oleh Gambar 2.a dan 2.b.
(a) kedalaman 0-30 cm
(b) kedalaman 0-30 cm
(c)
Jarak dari tepi kanal (m)
Gambar 2. Hubungan antara jarak dari tepi kanal dengan tinggi permukaan air bawah permukaan, bulk desity dan kandungan air lapisan permukaan setelah 7 tahun pembangunan kanal (Rothwell et al., 1996).
26
BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016
III. RESTORASI EKOSISTEM GAMBUT Restorasi merupakan suatu pendekatan pemulihan kembali proses dan fungsi ekosistem yang terdegradasi ke arah kondisi alaminya atau kondisi sebelum t e r j a d i ke r u s a k a n , m e l a l u i perangkaian kembali flora dan fauna asli yang pernah menempati tapak tersebut. Rehabilitasi merupakan pemulihan kembali proses dan fungsi ekosistem tanpa mensyaratkan keberadaan komponen ekosistem aslinya (Lamb, 1994; Covington et.al., 2009; Jaenicke et al., 2010; Riztema et al., 2014; ). Ruang lingkup rehabilitasi dan restorasi yang digunakan oleh Badan Restorasi Gambut Indonesia (2006) didasarkan pada perbedaan tindakan managemen sesuai dengan tingkat kerusakannya. Rehabilitasi ditujukan pada kegiatan pemulihan lahan rawa g a m b u t ke a r a h e ko s i s te m aslinya pada lahan gambut yang masih memiliki fungsi hidrologis normal, tetapi vegetasinya telah rusak atau hilang. Sedangkan restorasi merupakan kegiatan pemulihan ke arah ekosistem aslinya pada lahan rawa gambut yang telah terdegradasi baik fungsi hidrologisnya maupun vegetasinya. Selain mengemban misi rehabilitasi dan restorasi, BRG mengemban misi merestrukturisasi dan memantapkan kembali zona perlindungan (konservasi) dan zona budidaya di dalam setiap satu KHG. Tehnis operasional rehabilitasi dan restorasi difokuskan pada areal-areal yang ditetapkan sebagai kawasan konser vasi, sedangkan untuk kawasan budidaya diserahkan kepada masing-masing pengelola atau pemilik lahannya. Oleh karena itu, dalam papaer ini hanya dibahas mengenai konsep dan prinsip restorasi ekosistem untuk zona perlindungan dan konservasi yang terdegradasi.
1. K o n d i s i A c u a n u n t u k Restorasi dan Rehabilitasi Kawasan Lindung/Konservasi Kondisi sebelum terjadinya kerusakan atau kondisi yang belum terganggu (p r i s t i n e ) merupakan suatu kondisi acuan (reference condition) bagi kegiatan restorasi, sehingga selain sebagai tujuan dari restorasi itu sendiri, karakteristik yang dimiliki oleh kondisi acuan tersebut merupakan alat monitoring dan evaluasi tingkat keberhasilan program restorasi secara keseluruhan (Covington et.al., 2009; Jaenicke et al., 2010). Mengingat ekosistem tersebut sangat kompleks, sehingga sangat tidak realistis jika harus menggunakan semua karakteristik secara komprehensif. Karaktersitk ekosistem yang dijadikan kondisi acuan harus sesederhana mungkin, yang terdiri dari satu atau beberapa karaktersitk kunci dan bersifat esensial atau penentu bagi terjadinya proses di dalam ekosistem tersebut. Kesenjangan (gaps) antara kondisi acuan dengan kondisi saat ini merupakan ukuran tingkat degradasi, dan sebagai dasar pemilihan preskripsi silvikultur yang diperlukan, serta sebagai alat monitoring tingkat keberhasilan perlakuan restoratif yang diterapkan. Berdasarkan uraianuraian sebelumnya, beberapa karaktersitik ekosistem rawa gambut yang dapat dijadikan sebagai komponen kunci dalam upaya restorasi dan rehabilitasinya adalah: (a) permukaan air dan flukuasinya, (b) kelembaban dan konfigurasi permukaan gambut, dan (c) keberadaan vegetasi. S e c a r a g a r i s b e s a r, s e t i a p tehnik restorasi ekosistem rawa gambut dapat dikelompokan berdasarkan tujuannya, yaitu yang bertujuan untuk pembasahan kembali (rewetting), dan untuk pengembalian vegetasi (revegetation).
a) Pembasahan kembali (Rewetting): Tujuan utama yang diharapkan dari pembasahan kembali adalah hanya untuk meningkatkan permukaan air bawah tanah dan kelembaban permukaan gambut pada musim kering sesuai dengan kondisi acuannya. Kondisi acuan bagi kedalaman permukaan air adalah 40 cm dan kendungan air permukaan ≥ 30% (v/v). Pembasahan kembali mencakup penghambatan dan penyekatan aliran air di dalam kanal (canal blocking), penghambatan aliran permukaan areal gambut, dan penghambatan laju evaporasi permukaan gambut. Prasyarat utama sebelum pembuatan penyekat kanal (bendungan / tabat) adalah identifikasi arah aliran air di dalam kanal. Pembuatan bendungan dibuat secara bertahap. Berdasarkan arah aliran air di dalam kanal, bendungan pertama dibuat pada suatu posisi dimana air yang tertahan berada di areal yang akan direstorasi. Pembuatan bendungan berikutnya didasarkan pada hasil evaluasi dampak bendungan pertama terhadap tinggi muka air dan kandungan permukaan gambut di sekitarnya. Penghambatan aliran permukaan pada dasarnya ditujukan untuk memperbesar laju infiltrasi air ke bawah permukaan. Konfigurasi permukaan gambut yang tersusun dari cekungan-cembungan, dan batang-batang pohon merupakan kondisi yang sangat mendukung tujuan penghambatan aliran permukaan. Dalam kondisi areal terbuka, seperti pada areal revegetasi, sangat dianjurkan untuk membuat cekungan-cekungan melalui pemadatan (bukan galian) diantara larikan dan atau titik tanamnya. Cekungan-cekungan ini akan menahan aliran air, dan memperbesar aliran masuk ke bawah permukaan melalui bagian cembungannya. Pencegahan evaporasi permukaan lebih ditujukan pada arealareal gambut yang telah hilang lapisan permukaannya akibat kebakaran. Pada bagian gambut ini, kondisi permukaan gambut baik sifat fisik maupun kimiawinya serta ketergenangannya tidak mendukung berlangsungnya proses revegetasi. Penimbunan kembali dengan berbagai material oraganik (gambut, serasah, nekromasa,atau serbuk gergaji) yang terdapat di permukaan sekitarnya menjadi sangat diperlukan. b) Pemulihan vegetasi (Revegetation): Pemulihan vegetasi pada dasarnya adalah memfasilitasi, mengarahkan dan melindungi kehadiran, pertumbuhan dan perkembangan individu tumbuhan baik alami maupun tanaman. Pada lahan-lahan yang telah mengalami kehilangan vegetasi alaminnya, revegetasi melalui penanaman merupakan pilihan satu-satunya. Perhatian utama dan menjadi prasyarat adalah mempersiapkan areal sedemikian rupa sehingga menjadi media tempat bertambatnya (anchorage) sistem perakaran tanaman, sebagai penyedia air dan hara. Kondisi ini mengindikasikan bahwa permukaan gambut di setiap titik tanam harus berupa gambut hemik (tekstur halus dan relatif padat). Perlakuan pembersihan sekitar larikan atau titik tanam (site scarification) dari material kasar, pemulsaan (mulching), remediasi, dan pemupukan menjadi sangat diperlukan. Pada areal yang masih meningggalkan vegetasi alaminya, preskripsi silvikultur berupa penanaman pengkayaan (enrichment planting) dan pembebasan individu pohon dipandang sudah memadai dalam mencapai tujuan restorasi. Jika memungkinkan, pemupukan akan lebih mempercepat pertumbuhannya. BEKANTAN Vol. 4/No. 4/No 4/ N . 1/2016 No
27
2. K o n d i s i A c u a n u n t u k Rehabilitasi dan Restorasi pada Tatanan KHG Setiap unit penggunaan lahan baik yang berada di zona perlindungan (konser vasi) maupun di zona budidaya tidak selalu mensyaratkan kondisi hidrologis yang sama, dan tidak selalu menghasilkan dampak praktek pengelolaan yang saling menguntungkan satu dengan lainnya. Oleh karena itu, kondisi acuan dalam level KHG harus berupa kondisi masa depan yang diharapkan (desired future condition / DFC). DFC ini disusun dan disepakati secara bersama oleh semua fihak yang terlibat di dalam pengelolaan KHG yang bersangkutan. Prinsip kolaborasi secara horisontal diantara para pengelola unit lahan dan koodinasi secara vertikal dengan institusi yang bertanggung jawab sebagai koordinator di tatanan KHG menjadi prasyarat utama. Dalam lingkup KHG, karakteristik e ko s i s t e m y a n g s e b a i k n y a dijadikan kondisi acuan adalah karakteristik-karakteristik yang keberadaannya dibutuhkan oleh semua unit penggunaan lahan, atau yang menjadi sumber konflik dan atau yang menjadi ancaman bersama. Semua karaktersitik kunci ini akan dapat diketahui setelah terbentuk suatu jalinan komunikasi yang jelas diantara para stakeholder, seperti adanya suatu forum diskusi kelompok terfokus (focus discussion group) . IV, PENUTUP Kesatuan hidrologi gambut sebagai suatu unit pengelolaan ekosistem gambut, dari sudut pandang pengelolaan ekosistem dipandang sudah sangat tepat, karena KHG memiliki kejelasan batas, mudah dikenali keberadaanya, mampu mencakup keragaman karakterisitik biofisik dan kehidupan sosial-budaya
masyarakat di dalamnya. Selain itu, pembentukan KHG telah sejalan dengan semangat ekoregion yang dimandatkan dalam Undang undang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Mengembalikan meknisme pengaturan hidrologis alami (hydrological self-regulation) merupakan parameter kunci yang dapat dijadikan sebagai kondisi acuan (reference condition) dalam upaya restorasi dan rehabilitasi ekosistem gambut. Selain sebagai arah dari tujuan restorasi, kondisi acuan tersebut juga sebagai alat penilaian atau monitoring tingkat keberhasilan kegiatan restorasi. Kedalaman permukaan air, kadar air permukaan gambut dan keberadaan vegetasi merupakan variabel kunci dari restorasi dan habilitasi ekosistem gambut. Pada level KHG, kondisi acuan seharusnya merupakan suatu kondisi masa depan yang diharapkan oleh seluruh pihak yang berkepentingan. Kondisi ini disusun dan disepakati secara kolaboratif dan dilaksanakan secara adaptif oleh masingmasing pihak yang terlibat dalam pengelolaan KHG. Tinggi permukaan air, praktek yang bersifat merugikan (eksternalitas) bagi sekitarnya dan kebakaran lahan merupakan faktor-faktor yang harus menjadi komponen dari kondisi mas depan yang diharapkan bersama. DAFTAR PUSTAKA Anderson, J. A. R., 1961. The Ecological Types of the Peat Swamp Forests of Sarawak and Brunei in Relation to Their Silviculture, PhD thesis, University of Edinburgh, Edinburgh, UK. Baskent and Yolasimaz H.A., 2000. Exploring the Concept of a Forest Landscape Management Paradigm. Turk J Agric For 24: 443–45
Brady, M.A. (1997) Effects of vegetation changes on organic matter dynamics in three coastal peat deposits in Sumatra, Indonesia. In: Rieley, J.O. & Page, S.E. (eds.) Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatlands, Samara Publishing, Cardigan, UK, 113–134. Brinson M.M., 1993. A Hydrogeomorphic Classification for Wetlands. Wetlands Research Program. Technical Report WRP-DE-4. Washington, DC. Covington, W. W., Niering W. A., Starkey W. A., and Walker W. A.. 2009. Ecosystem restoration and management of public lands: principles and concepts. In: N. C. Johnson, A. J. Malk, W. T. Sexton, and R. Szaro. ( Editors). Ecological stewardship: a common reference for ecosystem management. Elsevier Science, Oxford, UK Hirano T., Kusin K, Limin S, Osaki M., 2015. Evapotranspiration of tropical peat swamp forest. Glob Chang Biol. 2015 May;21(5):1914-27. Indrarto G. B., 2015. Aspek legalitas dari perlindungan dan pengelolaan gambut Indonesia. IPN Toolbox Tema A subtema A3. CIFOR. Bogor, Indonesia. Iyama I., Osawa K., and Nagai T., 2012. A seasonal behavior of surface soil moisture condition in a reclaimed tropical peatland. Soil Science and Plant Nutrition (2012), 58, 543—552] Jaenicke J., Wösten H., Budiman A., & Siegert F., 2010. Planning hydrological restoration of peatlands in Indonesia to mitigate carbon dioxide emissions. Mitig. Adapt. Strateg. Glob. Change libregraphics.asia
28 28
BEKA BE BEKANTAN K NTAN NTAAN NT N Vol. Vol ol. 4/No. ol. 4 Noo. 1/2016 4/ 1//20 1/20 2 166
15: 223–239 Katimon A., & Melling L., 2007. Moisture retention curve of tropical sapric and hemic peat. Malaysian Journal of Civil Engineering 19(1) : 8490 Kettridge n., Thompson D. K., Bombonato L., Turetsky M. R., Benscoter B. W., and Addington J. M., 2013. The ecohydrology of forested peatlands: Simulating the effects of tree shading on moss evaporation and species composition. Journal Of Geophysical Research: Biogeosciences, 118: 422– 435, Page SE, Rieley JO, Shotyk W, Weiss D (1999) Interdependence of peat and vegetation in a tropical peat swamp forest. Phil Trans R Soc Lond B 354:1885–1897. Rais, D.D., 2012. Peatland hydrology and its role in tropical peatland sustainability. Proceedings National Symposium on Ecohydrology March 24, 2011. Jakarta, RieleyJ. O.and Page S.E., 2008. The Science of Tropical Peatlands and the Central Kalimantan Peatland Development Area. Master Plan for the Rehabilitation and Rehabilitation of the ExMega Rice Project Area in Central Kalimantan. Technical Note 1. Government of Indonesia-Royal Netherlands Embassy, Jakarta Schlaepfer R. 1997. EcosystemBased Management of Natural Resources: a Step Towards Sustainable Development. Occasional paper no. 6. Austria: IUFRO. Slocombe D.S., 1998. Lessons from experience with ecosystembased management. Landscape and Urban
Planning 40: 31–39. Soil Survey Staff (1996). Key to soial taxonomi. 7th USDA Washington. Takahashi H, Yonetani Y., 1997. Studies on microclimate and hydrology of peat swamp forest in Central Kalimantan, Indonesia. In: Rieley JO, Page SE (eds) Biodiversity and sustainability of tropical peatlands. Samara, Cardigan, pp 179–187 Takahashi, H., Shimada, S., Ibie. B. F., Usup, A., Yudha. & Limin, S. H. 2001. Annual change of water balance and drought index in a tropical peat swamp forest of Central Kalimantan, Indonesia. In Peatlands for people: Natural Resource and Functions and Sustainable Management. Proceeding of the International Symposium on Tropical Peatland, 2223 August 2001. Jakarta Indonesia. BPPT and Indonesia Peat Association. (Rieley, J. O. & Page, S. E. eds.) with Setiadi. B. Pp. 63-67. Usup A, Hashimoto Y., Takahashi H , And Hayasaka H., 2004. Combustion and thermal characteristics of peat fire in tropical peatland in Central Kalimantan, Indonesia. Tropics 14 (1): 1-19. Wedeux B. M. M. and Coomes D. A., 2015. Landscape-scale changes in forest canopy partially logged tropical peat swamp. Biogeosciences, 12, 6707–6719, Wösten, J. H. M., J. Van Den Berg, P. Van Eijk, G. J. M. Gevers, W. B. J. T. Giessen, Hooijer A., Idris P., Leenman H, Rais D.S., Siderius C., Silvius M. J., Suryadiputra N, and Wibisono I TC., 2006. Interrelationships between Hydrology and Ecology in Fire Degraded Tropical Peat Swamp Forests. Water Resources Development, Vol.
22, No. 1, 157–174, Ritzema H., Limin S., Kusin K., Jauhiainen J., and Wöstena H., 2014. Canal blocking strategies for hydrological restoration of degraded tropical peatlands in Central Kalimantan, Indonesia . Catena 114 (2014) 11–20 Rothwel R.L. l., Silins U., and Hillman R.L.. 1996. . The effect of drainage on substrate water content at several forested peatlands. Can. J.For. 26: 53-62.
BBEEKA BEKANTAN EKKAANT NTAAN N Vol. Vooll. 4/No. 4/No 4/ No. 1/2016 No. 1//20 1/20 20116 16
299
FOKUS
KEDUDUKAN BRG DALAM RESTORASI LAHAN GAMBUT
www.jurnalasia.com
Oleh: MUHAMMAD ABDUL QIROM
D
alam beberapa dekade terakhir, kebakaran hutan dan lahan telah menjadi bencana tahunan yang belum bisa dicegah dan dikendalikan. Kebakaran tersebut terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan data BNPB tahun 2015, kejadian ini menyebabkan kerugian finansial mencapai lebih dari 200 Triliun. Perhitungan tersebut belum termasuk kerugian pada sektor kesehatan, pendidikan, plasma nutfah, emisi karbon dan lainnya. Dari data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan disebutkan bahwa pada tahun 2015 telah terjadi kebakaran hutan dan lahan seluas 2,6 Juta Hektar di seluruh wilayah Indonesia. Kebakaran hutan dan lahan tersebut terjadi pada kawasan Hutan Negara, Areal Konsesi, dan Areal Penggunaan Lain (APL).
30
BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016
700.000 600.000 Luas kebakaran (ha)
Pada tahun 2015, kebakaran terjadi pada seluruh tipe hutan dan lahan termasuk lahan rawa gambut. Kebakaran hutan rawa gambut mencapai lebih dari 700 ribu hektar. Hutan rawa gambut yang terbakar tersebar pada 7 provinsi yakni Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Riau, Kalimantan Selatan, Jambi, dan Kalimantan Barat (Gambar 1). Pada beberapa provinsi, kebakaran lahan gambut mencapai lebih dari 50% dari total areal yang terbakar. Kebakaran lahan gambut menyebabkan kabut asap akibat pembakaran yang tidak sempurna. Kebakaran ini menghasilkan emisi karbon lebih dari 1,1 giga ton CO2 (equaivalen) dan melumpuhkan seluruh aktivitas kehidupan. Menurut Tukirin Partomihardjo Peneliti Biologi LIPI, kebakaran berat pada lahan gambut telah menyebabkan kematian pohon lebih dari 80%. Hal ini akan menimbulkan dampak negatif terhadap kehilangan keragaman hayati pada lahan gambut. Berdasarkan fakta dari kebakarankebakaran yang telah terjadi di lahan gambut, kebakaran tersebut tidak dapat dipadamkan kecuali menunggu datangnya hujan yang sangat lebat dan waktu yang lama. Upaya-upaya pemadaman yang telah dilakukan tidak efektif karena kondisi gambut yang sangat kering dan pemadaman yang dilakukan hanya di permukaan tanah sehingga pada gambutgambut yang dalam tidak sampai menyentuh sumber api. Peneliti CIFOR Herr y Purnomo mengungkapkan bahwa Pemerintah mulai akhir tahun 2015 telah mengupayakan upaya pencegahan kebakaran secara optimal. Upaya pencegahan kebakaran tersebut melibatkan pemerintah, swasta, masyarakat, dan aparat penegak hukum. Selain upaya pencegahan kebakaran tersebut, pemerintah berkomitmen untuk mengembalikan fungsifungsi hutan gambut. Keseriusan
500.000 400.000 300.000 200.000 100.000 Sumsel
Kalteng
Papua
Riau
Kalsel
Jambi
Kalbar
Provinsi Luas Kebakaran
Gambut terbakar
Gambar 1. Luas areal kebakaran lahan dan areal gambut di beberapa provinsi
p e m e r i n t a h te r s e b u t d a pa t dilihat dengan pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG). BRG dibentuk dengan Peraturan Presiden No 1 Tahun 2016. Berdasarkan Perpres tersebut, tujuan utama pembentukan BRG yakni “percepatan pemulihan kawasan dan pengembalian fungsi hidrologis gambut akibat kebakaran hutan dan lahan secara khusus, sistematis, terarah, terpadu dan menyeluruh dalam rangka melaksanakan kegiatan restorasi lahan gambut”. Kondisi ini menunjukkan bahwa pengembalian fungsi lahan gambut bukan hanya tanggung jawab sektor lingkungan hidup dan kehutanan semata melainkan tanggung jawab multi sektoral di bawah koordinasi Badan Restorasi Gambut (BRG). BRG mempunyai fungsi yang cukup luas yakni koordinasi, penguatan kebijakan, penelitian, edukasi, dan fungsi-fungsi yang lain. Hal ini sesuai dengan Pasal 3 dari Peraturan Presiden No 1 Tahun 2016. Pada pasal 3 tersebut disebutkan 9 fungsi BRG antara lain: “a. pelaksanaan koordinasi dan penguatan kebijakan pelaksanaan restorasi gambut; b. perencanaan, pengendalian dan kerja sama penyelenggaraan restorasi gambut; c. pemetaan
kesatuan hidrologis gambut; d. penetapan zonasi fungsi lindung dan fungsi budidaya; e. pelaksanaan konstruksi infrastruktur pembasahan (rewetting) gambut dan segala kelengkapannya; f. penataan ulang pengelolaan areal gambut terbakar; g. pelaksanaan sosialisasi dan edukasi restorasi gambut; h. pelaksanaan supervisi dalam konstruksi, operasi dan pemeliharaan infrastruktur di lahan konsesi; dan i. pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Presiden”. Dalam menjalankan fungsi-fungsi tersebut, BRG bertanggung jawab langsung kepada Presiden dengan masa kerja selama 5 tahun. Pada masa kerja tersebut, BRG harus dapat menyusun rencana dan melaksanan restorasi ekosistem gambut seluas 2 juta hektar yang tersebar di 7 provinsi. Provinsiprovinsi tersebut merupakan provinsi dengan luasan gambut terbakar yang paling luas (Gambar 1). Pada tahap awal pelaksanaan restorasi, lokasilokasi yang menjadi prioritas yakni Kabupaten Pulang Pisau Provinsi Kalimantan Tengah, Kabupaten Musi Banyuasin, Kabupaten Ogan Komering Ilir Provinsi Sumatera Selatan serta Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau.
BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016
31
Peraturan Presiden tersebut memandang bahwa ekosistem gambut sangat penting. Hal ini harus dilakukan karena Indonesia mempunyai lahan gambut sangat luas. Berdasarkan data Wetland Indonesia, luas lahan gambut mencapai 20,6 juta Ha (50% dari luas hutan gambut dunia) atau 10,8% dari luas daratan Indonesia. Namun demikian, penutupan lahan gambut yang tersisa hanya 51% dari luas hutan gambut tersebut (Forest Watch Indonesia (FWI), 2011) . Menurut Data FWI (2011) deforestasi lahan gambut seluas 2 juta Ha pada periode tahun 2000 – 2009. Deforestasi terbesar terjadi di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua (Gambar 2). 7 6 Luas (Juta Ha)
5 4 3 2 1 0
Sumatera
Kalimantan
Papua
Deforestasi 2000 - 2009
0,99
0,88
0,13
Tutupan hutan 2009
1,83
2,79
6,16
Gambar 2. Luas tutupan hutan dan deforestasi lahan gambut periode tahun 2000 – 2009 Sumber: FWI, 2011
Kondisi ini menyebabkan lahan gambut tidak lagi berfungsi secara optimal. Menurut Nazir Foead (Kepala BRG) dari 51% gambut yang tidak berhutan tersebut, sekitar 2,7 juta ha gambut dalam kondisi rusak parah dan mengalami kebakaran setiap tahun. Lahan-lahan gambut ini menjadi prioritas untuk dilakukan restorasi secepatnya. Langkah awal dalam
32
BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016
penentuan prioritas restorasi ini, BRG mengklasifikasikan lahan gambut menjadi 4 yakni prioritas restorasi, usulan moratorium, gambut yang perlu direhabilitasi, dan gambut yang terkelola dengan baik. Klasifikasi tersebut berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Kriteria-kriteria tersebut antara lain: 1) klasifikasi prioritas restorasi: gambut tidak berhutan tahun 2012, terbakar ≥ 3 kali dari 2000 – 2011, dengan dan tanpa indikasi kanal gambut tidak berhutan tahun 2012, terbakar ≥ 3 kali dari 2000 – 2011, terbakar ≥ 1 kali pada 2012 – 2015, indikasi kanal gambut berhutan tahun 2012, terbakar 2012 – 2015, dengan dan tanpa indikasi kanal 2) klasifikasi usulan moratorium: gambut berhutan tahun 2012, tidak terbakar pada 2012 – 2015
3) klasifikasi gambut yang perlu direhabilitasi gambut tidak berhutan tahun 2012, terbakar ≥ 3 kali dari 2000 – 2011, terbakar ≥ 1 kali dari 2012 – 2015, tanpa indikasi kanal 4) klasifikasi gambut yang terkelola dengan baik: gambut tidak berhutan tahun 2012, terbakar < 3 kali pada 2012 -2015, dengan dan tanpa indikasi kanal Berdasarkan klasifikasi dan kriteria-kriteria tersebut, BRG telah menentukan lahan gambut seluas 2,67 juta Ha sebagai target restorasi yang tersebar di 7 provinsi target (Tabel 1). Restorasi ini merupakan pekerjaan yang sangat berat dan multi sektoral. Menurut BRG, restorasi tidak sama dengan rehabilitasi. Perbedaan utama yakni restorasi
dapat “mengubah fungsi kawasan atau status perizinan jika upaya pemulihannya menunjukkan adanya keharusan perubahan status lahan”, sedangkan rehabiltasi yakni upaya pemulihan vegetasi tanpa perlu perbaikan hidrologis. Kondisi ini mengharuskan BRG berkolaborasi dengan berbagai pihak mulai lembaga-lembaga pemerintah, lembaga pendidikan, lembaga swadaya masyarakat, mitra luar negeri, perusahaan swasta (dunia usaha), dan masyarakat lokal. Hal ini karena “Restorasi gambut merupakan restorasi fisik, ekosistem, hidrologi, revegetasi, ditambah dengan restorasi sosial” ujar Dr. Myrna A. Savitri (Deputi Edukasi, sosialisasi, partisipasi, dan kemitraan, BRG). BRG berpandangan bahwa masyarakat tidak boleh ditinggal/dianaktirikan dalam pelaksanaan program kerjanya. Masyarakat setempat dan Pemerintah Daerah harus menjadi aktor dalam kegiatan restorasi lahan gambut. Program kerja BRG harus diintegrasikan dengan keterlibatan masyarakat agar kesalahan pembangunan di masa lalu tidak terulang. Keberhasilan restorasi ini bukan hanya untuk perbaikan ekosistem gambut semata namun restorasi ini dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat sekitar. Kondisi ini selaras dengan yang telah dilakukan BRG. BRG mencoba melakukan peningkatan kapasitas masyarakat lokal melalui kegiatankegiatan pelatihan, penguatan kelembagaan masyarakat lokal, dan upaya penerapan Best practice dalam pengelolaan lahan gambut. Namun demikian, kegiatan-kegiatan tersebut tidak meninggalkan aspek teknis seperti pembasahan gambut ataupun teknis sipil yang lain. Dalam pelaksanaan program tersebut, BRG telah bekerjasama dengan lembaga pendidikan atau litbang untuk meningkatkan kapasitas dalam kegiatan restorasi gambut. Badan Restorasi Gambut (BRG) menjadi harapan baru dalam upaya restorasi gambut. Badan ini harus mendapatkan dukungan dari semua pihak agar BRG ini berhasil mewujudkan cita-citanya. BRG harus mampu merestorasi gambut secara cepat namun prinsip kehati-hatian dan penghormatan pada hak masyarakat harus menjadi pegangan dalam setiap programnya sehingga restorasi gambut mampu meningkatkan kualitas hidup masyarakat sekitar ekosistem gambut.
Tabel 1. Klasifikasi ekosistem gambut Klasifikasi Gambut
Riau
Sumsel
Jambi
Papua
Kalbar
Kalsel
Kalteng
1.680.851
434.746
252.747
327.383
396.417
32.032
529.065
Rehabilitasi
194.165
140.728
28.027
41.496
79.993
35.806
423.624
Moratorium
1.069.183
52.661
168.248
3.073.267
424.627
3.993
870.874
938.619
445.749
136.541
82.296
324.285
68.734
683.024
Terkelola baik
Prioritas restorasi Sumber: BRG, 2016
id.wikipedia.org
BBEEKAAN BEKANTAN NTTAN AN Vol. Vooll. 4/No. 4/No 4/ /No No. 1/2016 1//20 20166
33 33
FOKUS
Re-Peat : Seruan BP2LHK Banjarbaru untuk Rehabilitasi Lahan Rawa Gambut kepada Masyarakat awasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Tumbang Nusa yang terletak di Pulang Pisau Kalimantan Tengah merupakan satu-satunya hutan penelitian rawa gambut yang ada di Indonesia. Dengan luas 5000 Ha, KHDTK ini merupakan habitat bagi berbagai jenis tanaman khas rawa gambut dan juga satwa liar. Sebagai hutan penelitian, KHDTK ini memberikan sumbangsih yang besar terhadap ilmu pengetahuan kehutanan terutama pengelolaan hutan rawa gambut. Hingga saat ini kurang lebih 30 jenis tanaman rawa gambut telah diteliti secara intensif di sini. Peristiwa kebakaran tahun 2015 di KHDTK Tumbang Nusa menghanguskan sekitar separo wilayah KHDTK Tumbang Nusa dan beberapa plot penelitian penting juga ikut terbakar.
K 34
BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016
Secara alami, lahan rawa gambut yang sudah terbakar dapat pulih kembali melalui suksesi alami yang ditandai dengan tumbuhnya jenis-jenis pioneer di lahan rawa gambut antara lain munculnya jenis pakis atau dikenal dengan nama lokal Kelakai. Meskipun demikian, munculnya jenis pohon di lokasi bekas terbakar ternyata memerlukan waktu yang lama. Sehingga, rehabilitasi lahan rawa gambut dengan bantuan manusia sangat diperlukan untuk menghijaukan kembali KHDTK Tumbang Nusa melalui kegiatan replanting. Meskipun demikian, kegiatan rehabilitasi di lahan gambut tidaklah semudah seperti halnya di lahan kering karena adanya faktor akses lahan yang sulit , kondisi lahan yang tergenang, nutrisi di lahan rawa gambut yang miskin hara , dan harus ada ketepatan pemilihan jenis dalam kegiatan rehabilitasi. Berkaca dari kegiatan rehabilitasi yang telah dilakukan, ternyata belum sepenuhnya menumbuhkan kepedulian banyak orang tentang
pentingnya menjaga hutan rawa gambut dari kebakaran, hal inilah yang menyebabkan kebakaran selalu berulang. Melihat fenomena tersebut, Balai Penelitian dan Pe n g e m b a n g a n K e h u t a n a n (BP2LHK) Banjarbaru berinisiatif mengajak serta masyarakat untuk ikut terlibat dalam kegiatan rehabilitasi dengan membuat suatu gerakan yang bernama RePeat. Apa itu Re-Peat? Re-Peat adalah singkatan dari Rehabilitation of Peat Land yang merupakan gerakan rehabilitasi di lahan rawa gambut bekas terbakar secara sukarela, dimana kegiatan ini mengajak semua kalangan masyarakat untuk bersamasama menyelamatkan hutan rawa gambut. Ide Re-peat ini berasal dari ke g i a t a n p e n a m a a n s e c a r a sukarela oleh masyarakat pada lahan rawa gambut di Raja Musa Malaysia. Kegiatan rehabilitasi yang dimulai dari menggali lubang tanam, membawa bibit dan juga menanam. Ternyata ini memberikan pengalaman sendiri bagi masyarakat, sehingga menjadi tergerak untuk melestarikan hutan rawa gambut.
Diluncurkan pada Februari 2016 melalui layanan jejaring sosial facebook, Re-Peat mendapat respon positif dari berbagai pihak. Pelaksanaan Repeat tahap I yang dilakukan pada tanggal 25 Februari 2015 melibatkan 52 peserta yang terdiri dari Organisasi pemuda, Dosen, Mahasiswa, dan TNI yang melakukan penanaman kurang lebih 2800 jenis tanaman rawa gambut antara lain Balangeran (Shorea balangeran), Pulai rawa (Alstonia pneumatophora), dan Jelutung (Dyera polyphylla). Mengulang kesuksesan Repeat I, Re-Peat ke II dan ke III dilaksanakan lagi pada bulan Maret dan April 2016. Kali ini, peserta Re-Peat bukan hanya dari komunitas mahasiswa dan akademisi tetapi juga dari Seksi Pelayanan Pemuda dan Remaja (SPR) GKE Banjarbaru. Selanjutnya, Re-Peat ke IV dilaksanakan pada tanggal 17 Agustus 2016 oleh peserta pelatihan pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Total, kurang lebih 6300 bibit ditanam dalam empat kali pelaksanaan Re-Peat. Kesan yang sangat beragam dari peser ta terkait kondisi medan penanaman yang cukup sulit dijangkau. Peserta yang sebelumnya tidak mengenal
kondisi lahan gambut, menyadari bahwa kegiatan penanaman di lahan rawa gambut ternyata tidak mudah sehingga merehabilitasi lahan rawa gambut yang terbakar dan rusak perlu usaha yang luar biasa. Re s p o n p o s i t i f i n i j u g a ditunjukkan oleh media lokal yang mengangkat tentang kegiatan Re-peat ini pada tanggal 15 Mei 2016 yakni Kalteng Pos . Publikasi melalui media massa sangatlah penting sebagai sarana kampanye untuk menggugah kepedulian p u b l i k te n t a n g p e n t i n g n y a pencegahan kebakaran di hutan rawa gambut dan pentingnya kelestarian hutan rawa gambut. Akhirnya, kegiatan Re-Peat ini bukanlah solusi utama dari masalah akibat terbakarnya hutan di KHDTK Tumbang Nusa. Namun, inilah usaha yang dilakukan untuk merangkul masyarakat dan menyebarkan suatu pemikiran bahwa memelihara kelestarian hutan rawa gambut bukanlah beban pihak tertentu saja, tapi juga menjadi tanggung jawab banyak pihak. Kedepannya, Repeat diharapkan bisa lebih sering dilakukan dan melibatkan banyak pihak untuk terlibat sehingga semakin banyak yang menyadari pentingnya memelihara kelestarian hutan rawa gambut.
BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016
35
ARTIKEL
KEANEKARAGAMAN MIKROB DI HUTAN RAWA RAW A GAMBUT Oleh: Tri Wira Yuwati
L
Pendahuluan ebih dari 50 % atau sekitar 27 juta hektar hutan rawa gambut tropis dunia berada di Indonesia (Page et al., 2011; Barchia, 2006). Hutan rawa gambut tropis merupakan sumber simpanan karbon yang besar. Selain itu, hutan rawa gambut merupakan sumber keanekaragaman hayati, tidak hanya flora dan fauna tetapi juga mikrob. Mikrob tanah memiliki peranan yang menguntungkan bagi tanaman, yaitu berperan dalam menghancurkan limbah organik, recycling hara tanaman, fiksasi biologis nitrogen, pelarut fosfat, merangsang pertumbuhan, pengendalian hayati (bio-control) pathogen dan membantu penyerapan unsur hara. Beberapa mikrob yang menguntungkan bagi tanaman yang ditemukan di hutan rawa gambut dan memiliki potensi untuk dikembangkan adalah: mikoriza, fungi endofit, bakteri pelarut fosfat, mikrob perombak bahan organik dan bakteri pengikat Nitrogen (N-fixer).
36
BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016
Mikoriza Mikoriza adalah bentuk asosiasi antara jamur dan akar tanaman. Jamur mendapatkan suplai makanan dari tanaman sedangkan tanaman mendapatkan pasokan hara Posfor (P) dari jamur. Selain berfungsi untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman di persemaian maupun lapangan dan meningkatkan resistensi tanaman terhadap penyakit dan stress air, mikoriza juga melindungi tanaman dari pengaruh lingkungan yang kurang kondusif. Menurut Smith dan Read (2006) terdapat tujuh tipe fungi mikoriza yang berasosiasi dengan tanaman yang saat ini telah diketahui yakni Mikoriza Arbuskula, Ektomikoriza, Ektendomikoriza, Arbutroid mikoriza, Monotropoid mikoriza, Ericoid mikoriza, dan Orchid Mikoriza. Mikoriza yang telah dipastikan keberadaannya di hutan rawa gambut ada dua jenis yaitu Mikoriza Arbuskula dan Ektomikoriza. Mikoriza arbuskula memiliki bentuk asosiasi di dalam akar tanaman sedangkan ektomikoriza membentuk asosiasi di luar akar tanaman.
Mikoriza Arbuskula Ta w a r a y a e t a l . ( 2 0 0 3 ) menemukan 22 jenis tanaman rawa gambut di hutan rawa gambut Kalimantan Tengah yang berasosiasi dengan mikoriza arbuskula, termasuk diantaranya adalah Shorea teysmanniana, S h o r e a b a l a n g e ra n , S h o r e a uliginosa (Dipterocarpaceae), Calophyllum sclerophyllum, Calophyllum soulattri (Guttiferae), Cratoxylum arborescens ( G u t t i f e r a e ) , Te t r a m e r i s t a g l a b r a ( Te t r a m e r i s t a c e a e ) , Palaquium gutta (Sapotaceae), Melastoma melabathricum (Melastomataceae), Gonystylus bancanus (Thymelaeaceae), Hevea brasiliensis (Euphorbiaceae), dan Campnosperma auriculatum (Anacardiaceae). C. soulattri, C. arborescens, G. bancanus, Acacia mangium, M. melabathricum, dan H. brasiliensis menunjukkan p e r s e n ko l o n i s a s i m i ko r i z a diatas 50%. Yuwati et al. (2015) mengemukakan variasi jumlah spora mikoriza arbuskula pada vegetasi pioneer di hutan rawa gambut KHDTK Tumbang Nusa Kalteng yang didominasi Geronggang (Cratoxylon glaucum) dan Merapat (Combretocarpus rotundatus) adalah 1212 spora per 100 gram dan pada vegetasi klimaks yang didominasi oleh Ramin (Gonystylus bancanus), Punak (Tetramerista glabra) dan Kapur Naga (Callophylum sp.) adalah 3394 spora per 100 gram tanah. Sedangkan di bawah vegetasi pioneer di hutan gambut Ta m a n N a s i o n a l S e b a n g a u Kalteng adalah 153 spora per 100 gram tanah dan pada vegetasi klimaks adalah 338 spora per 100 gram tanah. Lebih lanjut, Yuwati et al. (2015) menambahkan bahwa jenis spora mikoriza arbuskula yang diisolasi didominasi oleh jenis Glomus sp, dan Gigaspora sp. Hermawan et al. (2015) juga melaporkan variasi jumlah spora mikoriza arbuskula di tegakan a.
Ekaliptus hutan gambut Kalbar adalah 398-433 spora per 100 gram tanah yang di dominasi jenis spora Glomus sp. Genus Glomus dan Gigaspora merupakan genus mikoriza arbukula yang mampu ber tahan pada kondisi yang ekstrim. Penggunaan mikoriza arbuskula yang diisolasi dari hutan rawa gambut untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman telah banyak didemonstrasikan pada tingkat persemaian (Yuwati et al., 2007; Yuwati, 2008; Turjaman et al., 2005; 2006; 2008 dan 2011). Ektomikoriza Beberapa jenis family pohon yang berasosiasi dengan j a m u r e kto m i ko r i z a a d a l a h Dipterocarpaceae, Fagaceae, Pinaceae dan Myrtaceae (Alexander dan Lee, 2005). Semua spesies Dipterocarpaceae berasosiasi dengan ektomikoriza dan family jamur ektomikoriza yang melimpah di hutan Dipterokarpa adalah yang termasuk family Sclerodermataceae, Russulaceae, Boletaceae dan Amanitaceae (Sims et al., 1997; Smits, 1994).
b.
Fungi Endofit Fungi endofit adalah fungi yang mengkoloni jaringan internal inang dan tidak menyebabkan gejala apapun yang jumlahnya sangat berlimpah (Schulz, 2006). Fungi endofit memiliki hubungan simbiosis mutualisme dengan tanaman inang. Manfaat fungi endofit adalah: (1) meningkatkan kandungan nutrisi pada tanaman i n a n g . H a s i l - h a s i l p ro d u k s i senyawa metabolit yang dihasilkan oleh fungi endofit memungkinkan untuk fungi endofit memberikan nutrisi bagi tanaman inang, mengatasi kondisi stress lingkungan, dan meningkatkan ketahanan sistematik dan mekanis (Schulz, 2006); (2). Menekan pertumbuhan hama dan penyakit tanaman. Senyawa metabolit yang dihasilkan oleh fungi endofit dapat
menekan pertumbuhan hama, salah satunya adalah senyawa regulosin. Miller et al. (2002) menyatakan bahwa regulosin merupakan senyawa yang cukup efektif dalam menekan pertumbuhan hama ulat pucuk pada jenis-jenis pinus di skala laboratorium. Untuk pencegahan penyakit tanaman, fungi endofit juga terbukti menekan pertumbuhan jamur patogen dumping off Fusarium sp. secara in vitro (Hakim, 2014); (3). Toleransi terhadap Cekaman.Redman et al., (2002) dalam Schulz (2006) menyebutkan bahwa fungi endofit Curvularia sp. dapat membantu tanaman dalam menghadapi b e r b a g a i ko n d i s i c e k a m a n diantaranya terhadap panas. Hakim et al. (2016) menemukan 57 morphospesies fungi endofit dari 222 jumlah isolate yang diamati yang dikoleksi dari hutan rawa gambut Kalimantan Tengah. Mikrob pelarut fosfat Mikroorganisme pelarut fosfat adalah mikroorganisme yang dapat melarutkan P yang sukar larut menjadi larut sehingga dapat diserap oleh tanaman. Berbagai spesies mikrob pelarut P, antara lain : Pseudomonas, Microccus, Bacillus, Flavobacterium, Penicillium, Sclerotium, Fusarium, dan Aspergillus berpotensi tinggi dalam melarutkan P terikat menjadi P tersedia dalam tanah (Alexander 1977, Illmer and Schinner 1992, Goenadi et al. 1993, Goenadi dan Saraswati 1993). Rohyani et al. (2014) menemukan 74 isolat bakteri pelarut fosfat dari hutan gambut Zamrud dan Taman Nasional Tesso Nilo di Sumatera. Penggunaan mikrob pelarut P merupakan salah satu pemecahan masalah untuk meningkatan efisiensi pemupukan P yang aman lingkungan dan dapat menghemat penggunaan pupuk P.
BEKA BEKA BE BEKANTAN KANT N AN NT A Vol. Vol ol.. 4/No. 4/No 4/ No. 1/2016 1 20 1/ 2016 166
37
Mikrob perombak bahan organik Mikrob perombak bahan organik adalah mikroorganisme yang memiliki peran penting di dalam ekosistem karena mikrob ini dapat mengurai sisa organik yang telah mati menjadi unsurunsur tanah dalam bentuk hara mineral N, P, K, Ca, Mg, dan atau dalam bentuk gas yang dilepas ke atmosfer berupa CH 4 atau CO2. Dengan adanya mikrob ini, siklus hara proses kehidupan di muka bumi dapat berlangsung secara berkelanjutan. Mikrob yang termasuk ke dalam kategori perombak bahan organik adalah bakteri genus Trichoderma yaitu Trichoderma reesei, T. harzianum, T. ko n i n g i i , P h a n e r o c h a e t a cr ysosporium, Cellulomonas, Pseudomonas, Thermospora, Aspergillus niger, A. terreus, Penicillium dan Streptomyces. Mikrob perombak bahan organik akhir-akhir ini mulai banyak digunakan untuk mempercepat proses dekomposisi sisasisa tanaman yang banyak mengandung lignin dan selulosa
untuk meningkatkan kandungan bahan organik dalam tanah. Mikrob ini merupakan alternatif untuk mempercepat dekomposisi bahan organik. Inokulan perombak bahan organik telah tersedia secara komersial dengan berbagai nama, seperti EM-4, Starbio, M-Dec, Stardek, dan Orgadek. Bakteri Pengikat Nitrogen (N-fixer) Bakteri Pengikat Nitrogen adalah bakteri yang mampu mengikat nitrogen (terutama N2) bebas di udara dan mereduksinya menjadi senyawa amonia (NH4) d a n i o n n i t r a t ( N O 3- ) o l e h bantuan enzim nitrogenase. Bakteri pengikat Nitrogen ini ada dua jenis yaitu simbiosis (rootnodulating bacteria) maupun non simbiosis (free-living nitrogenfixing rhizobacteria). Contoh bakteri pengikat nitrogen yang bersimbiosis adalah Rhizobium sedangkan bakteri pengikat nitrogen yang hidup bebas adalah Azotobacter, Clostridium dan Rhodospirillum. Rohyani et
Spora Mikoriza Arbuskula
38 38
BEKA BE BEKANTAN K NT KA NTAN AN Vol. Vol ol.. 4/No. 4/No 4/ N . 1/2016 No 1//20 2016 166
al. (2014) melakukan eksplorasi bakteri pengikat Nitrogen di tanah gambut hutan Zamrud dan Taman Nasional Tesso Nilo di Riau dan memperoleh 77 isolat bakteri pengikat nitrogen simbiotik, 47 isolat bakteri non simbiotik yang berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai agen biofertilizer. Elviana (2014) juga melaporkan 37 isolat bakteri penambat Nitrogen yang diisolasi dari tanah gambut Semenanjung Kampar, Riau. Penutup Hutan rawa gambut ternyata memiliki keanekaragaman mikrob tanah yang melimpah. Mikrob tersebut memiliki peran yang sangat penting terutama dalam membantu penyerapan hara oleh tanaman sehingga sering disebut sebagai agen biofertilizer. Potensi dari mikrob asli rawa gambut sebagai agen biofertilizer ini perlu digali lebih lanjut agar dapat dioptimalkan pemanfatannya terutama dalam membantu merehabilitasi dan merestorasi hutan rawa gambut yang terdegradasi di Indonesia.
Isolat fungi endofit
ARTIKEL
Gerunggang, Jenis Potensial untuk Restorasi Lahan Gambut Oleh: Reni Setyo Wahyuningtyas
R
Pendahuluan usaknya ekosistem g a m b u t te l a h mengakibatkan hilangnya beragam jenis pohon asli rawa gambut. Agar ekosistem gambut dapat kembali seperti semula, maka upaya pemulihan dan penataan kembali fungsi hidrologi lahan gambut mulai dilakukan (Anonim, 2015). Hal ini bertujuan untuk menjaga lahan gambut agar tetap basah dan sulit terbakar, serta mendukung terjadinya suksesi alami. Gerunggang (Cratoxylum arborescens (Vahl.) Blume.) merupakan salah satu jenis asli rawa gambut yang memiliki potensi sebagai tanaman rehabilitasi. Sebagai jenis asli, daya adaptasi gerunggang akan lebih baik dibandingkan jenis introduksi. Jenis ini dapat tumbuh pada kondisi rawa gambut tergenang sampai cenderung kering dan berpasir kuarsa. Kemampuan gerunggang yang mampu tumbuh pada lingkungan tergenang sangat menguntungkan, karena untuk merehabilitasi lahan gambut tergenang tidak membutuhkan upaya silvikultur terlalu banyak. Mengenal Gerunggang Gerunggang termasuk dalam famili Guttiferae, namun beberapa literatur menyebut termasuk famili Clusiaceae. Merupakan jenis asli rawa gambut dengan penyebaran meliputi Malaysia, Brunei dan Indonesia. Jenis ini dapat tumbuh mulai dari daerah bergambut sangat tipis sampai ketebalan gambut kurang lebih 40 cm (Daryono, 2000), juga pada zone peralihan antara rawa dan tanah BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016
39
kering sampai ketinggian 60 m dpl (Martawijaya et al., 1981). Menurut masyarakat Kalimantan Tengah, ada 2 sebutan gerunggang yaitu gerunggang dan mitah. Jenis yang disebut gerunggang cenderung lebih lambat pertumbuhannya, memiliki diameter batang ratarata hanya 30 cm, sebaliknya mitah dapat tumbuh lebih besar dan berbatang lurus sehingga cocok untuk kayu pertukangan. Karena eksploitasinya yang berlebihan, mitah saat ini sudah sangat jarang ditemukan. Sebaliknya populasi gerunggang masih cukup banyak. Gerunggang tergolong jenis pioner, selalu menghijau sepanjang tahun dan memiliki kemampuan tumbuh baik pada areal terbuka. Menurut Saito et al. (2005) semai gerunggang termasuk toleran dengan kondisi penyinaran matahari penuh,
tanah yang kering dan suhu tanah yang tinggi selama masa perkecambahan. Pertumbuhannya cepat, dengan per tambahan tinggi 118-289 cm/tahun, dan pertambahan diameter tanaman muda 1,3 cm/tahun. Diameter dan tinggi pohon dapat mencapai 658 cm dan 50 m (Soerinegara dan Lemmens, 2001). Pada kondisi terbuka, gerunggang berbuah hampir sepanjang tahun. Tetapi pada kondisi ter tutup, musim berbuahnya tidak teratur. Oleh karena itu, regenerasi alami gerunggang di tempat tertutup cukup jarang (Anonim, 1994), dan melimpah pada kondisi bukaan atau gaps di hutan. Biji gerunggang berukuran kecil dan ringan. Panjang biji 6-7 mm, tebal 0,3-0,5 mm, berat 1000 butir biji gerunggang sekitar 20,9-
A
B
C
D
22,3 gram. Bijinya terbungkus di dalam buah gerunggang yang berbentuk cawan ber warna merah tua atau merah kecoklatan ketika tua. Buah akan pecah ketika buah masak dan tersebar dengan bantuan angin. Karena cadangan makanan untuk embrio dalam biji sangat sedikit, maka biji gerunggang akan menurun viabilitasnya setelah 3 bulan. Biji gerunggang diduga termasuk golongan biji intermediate yang memiliki karakter antara biji ortodoks dan rekalsitran. Biji gerunggang termasuk memiliki perkecambahan epigeal yaitu keping lembaganya terangkat ke atas tanah. Berikut ini adalah gambar pohon gerunggang, buah gerunggang, buah gerunggang sebelum diekstraksi dan biji gerunggang yang ber tunas (Gambar 1).
2 mm
Gambar 1. A. Pohon gerunggang. B. Buah gerunggang yang masih muda. C. Buah gerunggang tua dan belum diekstraksi D. Biji gerunggang yang bertunas.
40
BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016
Kegunaan Secara umum kayu gerunggang telah dikenal sebagai kayu pertukangan. Akan tetapi informasi nilai ekonomi kayu g e r u n g g a n g b e l u m ba n y a k tersedia. Menurut Wong, Choon, & Meeting (2009) keawetan kayu gerunggang termasuk kelas awet 4 (kategori tidak awet) karena keawetannya kurang dari 2 tahun. Gerunggang merupakan jenis alternatif untuk kayu pulp. Rendemen pulp pada kayu gerunggang cukup tinggi, sedangkan untuk kualitas serat kayu termasuk kelas II (Junaedi dan Aprianis, 2010). Untuk obat tradisional, gerunggang dapat digunakan untuk mengobati penyakit demam, batuk, diare, gatal, bisul dan sakit lambung (Sidahmed et al., 2013). Sedangkan menurut beberapa hasil penelitian, bagian kulit batang, ranting, daun dan akar gerunggang memiliki kandungan metabolit sekunder yang memiliki potensi yang baik sebagai bahan baku obat. Beberapa kandungan metabolit sekunder dari hasil uji fitokimia pada ranting dan daun gerunggang seperti Xanthone, Tannin, Saponin, flavonoid dan quinon (Cassels & Asencio 2011, dan Yusro, 2011) Silvikultur Upaya pengembangan gerunggang perlu didukung oleh teknik budidayanya, mulai dari teknik produksi bibit, penanaman, pemeliharaan, pemanenan serta upaya pemuliaan. Gerunggang mudah dikembangbiakkan dari biji dan stek batang. Biji gerunggang mudah berkecambah pada media pasir, gambut dan top soil. Pada media tersebut, umumnya biji akan berkecambah pada hari ke13 sampai hari ke-49. Penggunaan media yang terlalu remah dan kurang mengikat air tidak
disarankan karena biji gerunggang lambat berkecambah dengan ketersediaan air dalam media yang kurang mencukupi. Gerunggang juga mudah dikembangbiakkan dengan stek batang. Bahan stek dari anakan alam lebih mudah berakar dibanding jika berasal dari pohon dewasa. Bahan stek dipilih dari batang yang sudah berkayu, diameter batang 2 mm dan juvenil (muda). Hasil percobaan menunjukkan stek gerunggang pada media pasir sungai, campuran gambut+sekam padi (3:1), campuran top soil+sekam padi (3:1), campuran sabut kelapa+sekam (2:1) memberikan persen berakar stek hampir seragam dengan persen hidup stek 56,25-80%. Stek gerunggang yang diberi hormon perangsang akar (Rootone F) mulai berakar inggu. Bibit dapat setelah 4 minggu. gan media top disapih dengan soil+sekam (3:1) atau kam (3:1). gambut + sekam n tinggi Pertumbuhan bibit dengan kedua ebut media tersebut berkisar 1 cm/ minggu dan per tambahan 2 d a u n lembar perr 3 minggu. Bibit bit gerunggang umumnya siap tanam setelah umurr 6 bulan di persemaian. P a d a k o n d i s i yang umum gerunggang t i d a k
memerlukan persiapan lahan khusus. Akan tetapi pada kondisi lahan tergenang air seperti pada cekungan-cekungan gambut sisa kebakaran, perlu dibuat gundukan. Fungsi gundukan adalah memberikan posisi yang lebih tinggi dari genangan sehingga tanaman tidak tenggelam pada musim banjir. Oleh karena itu tinggi gundukan juga harus memperhatikan fluktuasi air tanah di lokasi (Wibisono et al., 2005). Ukuran yang umum digunakan adalah 30x30x30 cm atau 30x30x50 cm(panjang x lebar x tinggi). Gundukan dibuat pada musim kemarau atau 2-3 bulan sebelum penanaman dengan maksud agar gundukan lebih kuat dan kompak. Waktu 3 bulan juga memberikan kesempatan gambut dalam gundukan terurai lebih lanjut sehingga menjadi lebih subur. Gambar 2 berikut ini menunjukkan pengaruh gundukan t e r h a d a p pertumbuhan t a n a m a n gerunggang di lahan rawa gambut.
BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016
41
A
B
C
D
E
F
Gambar 2. A. Pertambahan tinggi gerunggang dengan gundukan dan tanpa gundukan B. Pertambahan diameter gerunggang dengan gundukan dan tanpa gundukan C. Pertambahan jumlah daun gerunggang dengan gundukan dan tanpa gundukan D. Daya hidup tanaman gerunggang dengan gundukan dan tanpa gundukan E. Tanaman gerunggang yang ditanam dengan gundukan F. Tanaman gerunggang yang ditanam tanpa gundukan
Penutup Secara umum gerunggang memiliki kemampuan yang baik sebagai tanaman rehabilitasi lahan gambut. Ketersediaan sumber benih unggul melalui pemuliaan dan seleksi berdasarkan karakter tertentu perlu dilakukan untuk mendukung peningkatan produktifitas dan keberhasilan penanaman di lapangan. Selain itu, penelitian dan kajian terkait pemanfaatan kayu dan nilai kayu serta sosialisasi informasi hasilhasil penelitian jenis gerunggang, diharapkan mampu meningkatkan minat masyarakat untuk menanam gerunggang dan mendukung p ro g r a m re h a b i l i t a s i l a h a n gambut.
42 42
BEEKA BEKANTAN KAN NTAN Vol. NT Vol. 4/No. 1/2016 1/20 /2016 16
REFERENSI Anonim (2015). Pedoman pemilihan ekosistem gambut. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Cassels, B.K. & Marcelo Asencio, M. (2011). Anti-HIV activity of natural triterpenoids and hemisynthetic derivatives 2004–2009. Phytochem Rev (2011) 10:545–564. DOI 10.1007/s11101-010-9172-2 Daryono, H. (2000). Kondisi hutan setelah penebangan dan pemilihan jenis pohon yang sesuai untuk rehabilitasi dan pengembangan hutan tanaman di lahan rawa gambut. In: Daryono et al. (Eds.). Seminar Pengelolaan Hutan Rawa Gambut dan Ekspose Hasil Penelitian
di Hutan Lahan Basah, Banjarmasin, 9 Maret 2000. pp 21-28. Junaedi A. & Aprianis Y. (2010). Sifat kayu Gerunggang sebagai jenis pulpable alternatif pada lahan gambut. Buletin Hasil Hutan Vol. 16 (1) : 25-32. Puslit Teknologi Hasil Hutan, Bogor. Martawijaya, A., I. Kartasujana, K. Kadir, S.A. Prawira. (1981). Atlas Kayu Indonesia. Jilid I. Puslitbang Kehutanan, Bogor. Saito, H., Shibuya, M., Tuah, S. J., Turjaman, M., Takahashi, K., Jamal, Y., … Limin, S. H. (2005). Initial Screening of Fast-Growing Tree Species Being Tolerant of Dry Tropical Peatlands in Central Kalimantan, Indonesia. Journal of Forestry Research, 2(2), 1–10. Soerinegara, I. dan R.H.M.J. Lemmens. (2001). Plant Resources of South-East Asia. Timber Trees, Major commercial timbers 5 (1): 102 - 108. Prosea. Bogor. Wibisono, I.T.C, L. Siboro dan I.N. Suryadiputra. 2005. Panduan Rehabilitasi dan Teknik Silvikultur di lahan gambut. Wetland InternationalIndonesia Programme. Bogor, Indonesia. Wong, A. H. H., Choon, L. W., & Meeting, A. (2009). Natural Durability Variations of Malaysian Timbers from Sarawak after 26 Years Exposure by Stake Test Natural Durability Variations of Malaysian Timbers from Sarawak after 26 Years Exposure by Stake Test. Science And Technology. Yusro, F. (2011). Rendeman ekstrak etanol dan uji fitokima tiga jenis tumbuhan obat Kalimantan Barat. Jurnal Tengkawang Vol 1 No 1:2936. Universitas Tanjungpura. http://jurnal.untan.ac.id/
LINTAS PERISTIWA
D
engan maksud untuk belajar pengenalan jenis pohon dan cara membuat tanaman, sebanyak 21 siswa dan 3 guru Duta Lingkungan SDIT Robbani Banjarbaru, pada hari senin 21 Maret 2016 mengunjungi Kantor BP2LHK Banjarbaru. Sebagai instruktur dalam kunjungan duta wisata ini adalah Rudy Supriyadi, S. Hut, Arif Susianto dan Budi Hermawan. Instruktur mengajak anakanak berkeliling arboretum untuk pengenalan jenis pohon. Selanjutnya anak-anak diperagakan cara pembuatan bibit. Acara ditutup dengan permaianan kuis dan pemberian cinderamata.
S
MK Farmasi Banjarbaru, pada bulan April 2016, mengadakan perkemahan Sabtu-Minggu (Persami) di KHDTK Riam Kiwa. Sebanyak 21 siswa dan guru SMK tersebut mengikuti kegiatan ini. Persami diisi dengan berbagai kegiatan, diantaranya pengenalan lingkungan sekitar yang dikemas dalam kegiatan tracking. Para siswa juga dilibatkan dalam kegiatan penanaman di areal KHDTK Riam Kiwa. Acara yang berlangsung selama 2hari ini memberikan pengalaman yang mengesankan bagi para peserta.
P
encegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, identik dengan BP2LHK Banjarbaru. Hal ini yang mendorong Sekretariat Bakorluh mengadakan bimbingan teknis tentang hal tersebut dengan melibattkan BP2LHK sebagai nara sumbernya. Bimbingan teknis yang berlangsung selama 2 hari ini diikuti oleh penyuluh kehutanan se Kalsel. Sebagai nara sumber dari BP2LHK yaitu Dr. Acep Akbar dan tim kebakaran.
D
alam rangka memperingati hari lingkungan sedunia, BP2LHK Banjarbaru menyelenggarakan turnamen bola volly. Turnamen bolla volly yang diikuti oleh 6 instansi, memperebutkan trophy B2LHK Banjarbaru dan uang pembinaan. Di puncak acara trunamen volly pada tanggal 3 Juni, diselenggarakan senam bersama, donor darah dan penanaman di kantor BP2LHK Banjarbaru. Keluar sebagai pemenang trunamen volly adalah BPKH wil 5 Banjarbaru, yang berhak mendapatkan trophy dan uang pembinaan sebesar satu juta rupiah.
BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016
43
K9@9:9L:=C9FL9FAF
URJUDP 6DKDEDW %HNDQWDQ ,QGRQHVLD PHUXSDNDQ SURJUDP \DQJ GLEXDW ROHK 3XVDW 6WXGL .RQVHUYDVL .HDQHNDUDJDPDQ +D\DWL ,QGRQHVLD %LRGLYHU VLWDV ,QGRQHVLD 8QLYHU VLWDV /DPEXQJ 0DQJNXUDW %DQMDUPDVLQ EHNHUMDVDPD GHQJDQ %DODL .RQVHUYDVL 6XPEHU ' D \ D $ O D P % . 6 '$ . D O L P D Q W D Q 6 H O D W D Q G D O D P U D Q J N D X SD \ D SHQ\HODPDWDQ%HNDQWDQ1DVDOLVODUYDWXV GHQJDQPLVLXWDPDQ\D6DYH 2XU 0DVFRW 6HEDJDLPDQD GLNHWDKXL EHNDQWDQ PHUXSDNDQ VDWZD HQGHPLN NDOLPDQWDQ \DQJ NHEHUDGDDQQ\D WHUDQFDP SXQDK GDQ LD MXJD PHUXSDNDQPDVNRW3URYLQVL.DOLPDQWDQ6HODWDQEHUGDVDUNDQ6.*XEHUQXU .DOVHO1R7DKXQ %HNDQWDQ 1DVDOLV ODUYDWXV DGDODK VDODK VDWX PRQ\HW HQGHPLN .DOLPDQWDQ \DQJ NKDV GDQ ODQJND VHUWD WHODK GLWHWDSNDQ VHEDJDL VDWZD \DQJGLOLQGXQJL 6DDWLQLSRSXODVLQ\DGLDODPVHPDNLQPHQ\XVXWVDQJDW GUDVWLVGLNDUHQDNDQKDELWDWQ\D\DQJWHUXVLN0HPDQJVDDWLQLKDELWDWGDQ SRSXODVLEHNDQWDQEDQ\DNPHQJDODPLNHUXVDNDQGDQSHQXUXQDQNXDOLWDV /XDVKXWDQ\DQJPHQMDGLKDELWDWEHNDQWDQGL.DOLPDQWDQSDGDDZDOQ\D GLSHUNLUDNDQNPGDULOXDVWHUVHEXWSHUVHQGLDQWDUDQ\DVXGDK EHUXEDKIXQJVLGDQKDQ\DSHUVHQ\DQJWHUVLVDGLNDZDVDQNRQVHUYDVL NDWD$PDOLD5H]HNLNHWXD6%,\DQJMXJDGLNHQDOVHEDJDLGRVHQSURJUDP 6WXGL 3HQGLGLNDQ %LRORJL 8QLYHUVLWDV /DPEXQJ 0DQJNXUDW .RQGLVL LQL GLLNXWL GHQJDQ SHQXUXQDQ SRSXODVL EHNDQWDQ WDKXQ SRSXODVL EHNDQWDQ GLSHUNLUDNDQ OHELK GDUL HNRU GDQ HNRU GL DQWDUDQ\D EHUDGD GLNDZDVDQ NRQVHUYDVL WDKXQ WHUMDGL SHQXUXQDQ SRSXODVL EHNDQWDQ \DQJ VDQJDW GUDVWLV PHQMDGL KDQ\D VHNLWDU HNRU'L.DOLPDQWDQ6HODWDQWHUVLVDVHNLWDUHNRUVDMDNDWDQ\D )DNWRU ²IDNWRU ODLQ \DQJ PHQ\HEDENDQ SHQXUXQDQ SRSXODVL EHNDQWDQ DGDODKNHEDNDUDQKXWDQGDQSHUEXUXDQEHNDQWDQ 'HQJDQDGDQ\DNRQGLVLWHUVHEXWGLSHUOXNDQXSD\D\DQJWHUDUDKGDQ NRPSUHKHQVLIXQWXNPHOHVWDULNDQEHNDQWDQEDLNROHKSHPHULQWDKVZDVWD PDXSXQ PDV\DUDNDW SDGD XPXPQ\D 'DODP UDQJND WXUXW PHPEDQWX XSD\DSHOHVWDULDQEHNDQWDQSDGDWDQJJDO0DUHWVHFDUDUHVPL6%, PHQDQGDWDQJDL 0R8 GHQJDQ %.6'$ .DOVHO GDQ NHPXGLDQ GLODQMXWNDQ 3HQDQGDWDQJDQ .RQWUDN .HUMDVDPD 3URJUDP 3HQ\HODPDWDQ %HNDQWDQ GL .DOLPDQWDQ 6HODWDQ GHQJDQ SXVDW NHJLDWDQ GL 3XODX %DNXW .DEXSDWHQ %DULWR .XDOD .DOLPDQWDQ 6HODWDQ .HJLDWDQ 6%, GDUL WDKXQ VDPSDL VHNDUDQJ WHODK EHUKDVLO PHQ\HODPDWNDQ VHNLWDU HNRU EHNDQWDQ GDUL EHUEDJDL XPXU EDLN ED\L PDXSXQ GHZDVD %HNDQWDQ \DQJ GLVHODPDWNDQ PHUXSDNDQ EHNDQWDQ \DQJ WHUOXND SHOLKDUDDQ ZDUJD PDXSXQ EHNDQWDQ \DQJKDQ\XWWHUVHUHWDUXV6XQJDLEDULWR $GDSXQ YLVL GDQ PLVL GDUL 3XVDW 3HQ\HODPDWDQ %HNDQWDQ GL 3XODX %DNXWDGDODK 0HQMDGLWHPSDWSHUOLQGXQJDQGDQSHOHVWDULDQEHNDQWDQGDQVDWZDOLDU ODLQQ\D \DQJ GLOLQGXQJL GL .DOLPDQWDQ 6HODWDQ \DQJ WHUEDLN GHQJDQ PHQMXQMXQJWLQJJLVHJLNHVHMDKWHUDDQVDWZD 0 H P ED Q W X S H P H U L Q W D K G D O D P U D Q J N D P H Q \ H O D P D W N D Q G D Q PHOHVWDULNDQ EHNDQWDQ GDQ VDWZD OLDU \DQJ GLOLQGXQJL VHFDUD SURIHVLRQDOGDQEHUPDQIDDWEDJLPDV\DUDNDW 0HQJHPEDQJNDQ 7:$ 3XODX %DNXW VHEDJDL SXVDW NHJLDWDQ \DQJ EHUNDLWDQGHQJDQEHNDQWDQGDQVDWZDOLDUODLQQ\D%DLNVHEDJDLVDUDQD UHNUHDWLI GHQJDQ NRQVHS HNRZLVDWD EHNDQWDQ PDXSXQ HGXNDWLI VHEDJDLSXVDWVWXGLGDQSHQHOLWLDQ $GDSXQ SURJUDP NHUMDQ\D VHEDJDL EHULNXW 3HQJXDWDQ NHOHPEDJDDQ 3HUOLQGXQJDQ NDZDVDQ 3HQJDZHWDQ ÁRUD GDQ IDXQD GDQSHPEDQJXQDQVDUDQDSUDVDUDQDSHQGXNXQJNHJLDWDQSHPEDQJXQDQ SXVDW SHQ\HODPDWDQ EHNDQWDQ SHQJHPEDQJDQ HNRZLVDWD NRQVHUYDVL EHNDQWDQ6DDWLQLXQWXNWDKDSSHUWDPD6%,WHODKPHPEDQJXQVDUDQDGDQ SUDVDUDQD VHSHUWL GHUPDJD NHFLO GDUL ND\X GDQ WLWLDQ PHQXMX SXVDW SHQ\HODPDWDQ NDQGDQJ KDELWXDVL NDQGDQJ NDUDQWLQD GDQ UXPDK MDJD +DUDSDQNDPLNHGHSDQELVDGLOHQJNDSLGHQJDQJXGDQJNOLQLNNHVHKDWDQ VDWZD'LVDPSLQJLWX6%,MXJDWHODKPHPEDQJXQWHPSDWWUDQVLWVDWZDGL NRWD %DQMDUPDVLQ XQWXN PHQJDPELO WLQGDNDQ SHUWDPD WHUKDGDS VDWZD \DQJ EDUX GLHYDNXDVL 0HQJLQJDW EHNDQWDQ DGDODK MHQLV SULPDWD \DQJ PXGDK VWUHV DSDODJL SDVFD SHQDQJDQDQ HYDNXDVL .DPL VDQJDW PHQJDSUHVLDVL DWDV NHLQJLQDQ SHPHULQWDK GDODP KDO LQL NHPHQWULDQ /LQJNXQJDQ+LGXSGDQ.HKXWDQDQ\DQJDNDQPHPEDQJXQ6DQFWXDU\GL 3XODX%DNXWLQLEHUDUWLSHVDQ\DQJNDPLVDPSDLNDQPDVXNGDQGLUHVSRQ GHQJDQ EDLN ROHK SHPHULQWDK SXVDW XQWXN VHJHUD PHQ\HODPDWNDQ EHNDQWDQ\DQJNRQGLVLQ\DVHPDNLQWHUDQFDPNHSXQDKDQWXWXU$PDOLD 5H]HNL 6$9(2850$6&27 :HEVLWHZZZEHNDQWDQRUJ IE6DKDEDW%HNDQWDQ (PDLOVDKDEDWBEHNDQWDQ#\DKRRFRP
44
BEKANTAN Vol. 4/No. 1/2016
×
Report "SALAM REDAKSI. PENANGGUNG JAWAB: Ir. Tjuk Sasmito Hadi, MSc. DEWAN REDAKSI: Dr. Acep Akbar Junaidah, S.Hut, MSc Adnan Ardhana, S"
Your name
Email
Reason
-Select Reason-
Pornographic
Defamatory
Illegal/Unlawful
Spam
Other Terms Of Service Violation
File a copyright complaint
Description
×
Sign In
Email
Password
Remember me
Forgot password?
Sign In
Our partners will collect data and use cookies for ad personalization and measurement.
Learn how we and our ad partner Google, collect and use data
.
Agree & close