SAI STUDY GROUP INDONESIA
SAI LENTERA EDISI-21
SAI LENTERA Edisi-21 (8 - 14 Desember 2014)
Date: Monday, December 08, 2014 THOUGHT FOR THE DAY The Kaivalya Upanishad declares: “Not by means of works, not by means of human power, not by means of wealth, but by renunciation alone can immortality be attained.” The ‘works’ referred to are rituals like sacrifices, vows, charities, donations, pilgrimages, etc. Through such activities, one cannot achieve liberation; that is to say, one cannot get rid of the veil of ignorance. ‘Human power’ means acquisition of positions of authority, of skill and intelligence which can manipulate people and things, of fame and supremacy, of personal charm, of health and happiness, or of a large family with many children - these cannot confer liberation. The works mentioned above
[email protected]
1
SAI STUDY GROUP INDONESIA
SAI LENTERA EDISI-21
and the acquisition referred to can succeed only when one has ‘wealth’. But the Upanishad announces that spiritual wisdom is not related to riches. So liberation cannot be earned by means of wealth. Renunciation alone can confer immortality. Kaivalya Upanishad menyatakan: "Bukan dengan cara bekerja, bukan dengan cara kekuatan manusia, bukan dengan cara kekayaan, tetapi hanya dengan melepaskan kehidupan duniawi maka Keabadian dapat dicapai". Kata 'bekerja' menunjuk pada ritual seperti pengorbanan, nazar, amal, donasi, ziarah, dll. Melalui kegiatan tersebut, seseorang tidak dapat mencapai pembebasan; artinya, seseorang tidak dapat menyingkirkan selubung ketidaktahuan. 'Kekuatan Manusia' berarti pencapaian posisi otoritas, keterampilan dan kecerdasan yang dapat memanipulasi orang dan hal-hal lain, ketenaran dan supremasi, pesona pribadi, kesehatan dan kebahagiaan, atau dari keluarga besar dengan banyak anak - semuanya ini tidak bisa memberi pembebasan. Karya-karya tersebut di atas dan pencapaian sebagaimana dimaksud dapat berhasil hanya ketika seseorang memiliki 'kekayaan'. Namun Upanishad menyatakan bahwa kebijaksanaan spiritual tidak berhubungan dengan kekayaan. Jadi pembebasan tidak bisa diperoleh dengan cara kekayaan. Melepaskan kehidupan duniawi dapat memberi keabadian.
-BABA
Date: Tuesday, December 09, 2014 THOUGHT FOR THE DAY Keep the Name of the Lord always radiant on your tongue and mind. That will keep the antics of the mind under control. When the lamp is burning, darkness will not spread its fumes around you. When the word for Brahman (Supreme Universal Reality), Om, is spelt with the last breath by the one dying, they attain the Divine. To make that final utterance of Om, just as the flower blossoms on the creeper of life, you need to dwell upon Om all through the years of your current life. The Geeta advocates the process of continuous meditation in a neat little formula: mam anusmara yuddhya cha! - "Keep Me in your memory and fight!" The cue here for you is to fight the battle of life, have God in your consciousness as your Charioteer at all times. This is not merely a direction for Arjuna; it is a prescription for all humanity.
Engkau hendaknya tetap membiarkan Nama Tuhan selalu bersinar di lidah dan pikiran-mu, sehingga membuat pikiranmu tetap berada di bawah kontrol. Ketika lampu terbakar, kegelapan tidak akan menyebarkan asap di sekitarmu. Ketika kata untuk Brahman (Realitas Tertinggi), Om, diucapkan dengan nafas terakhir oleh seseorang yang sekarat, mereka dapat mencapai Ilahi. Untuk membuat agar engkau dapat mengucapkan kata terakhir Om, dapat diibaratkan seperti bunga mekar yang senantiasa menyertai hidupmu, engkau harus senantiasa menchantingkan Om selama bertahun-tahun hidupmu saat ini. Bhagawad Gita menganjurkan proses meditasi secara terus menerus dalam suatu formula: mam anusmara yuddhya cha! - "Simpanlah Nama-Ku senantiasa dalam memori-mu dan berperanglah!" Dalam hal ini Gita mengisyaratkan kepadamu
[email protected]
2
SAI STUDY GROUP INDONESIA
SAI LENTERA EDISI-21
untuk melawan pertempuran hidup, memiliki Tuhan dalam kesadaran-mu sebagai kusir-mu setiap saat. Hal ini bukan hanya ditujukan untuk Arjuna; itu adalah resep untuk seluruh umat manusia. -BABA
Date: Wednesday, December 10, 2014 THOUGHT FOR THE DAY God assumes many forms and enacts many activities. The name Bhagavatha is given to the descriptions of the experiences of those who have realised Him in those forms and of those who have been blessed by His grace and chosen as His instruments. The great epic called Bhagavatha is a panacea that cures physical, mental and spiritual illnesses. By Bhagavatha we also mean those with attachment to God, those who seek the companionship of God. Being in the midst of such Bhagavathas fosters one’s own devotion. Unless you have a taste for Godward thoughts, you will not derive joy therefrom. To create that taste, the Bhagavatha tells stories to the earnest inquirer that relate to incarnations. Then one develops the yearning to experience the thrill of God, through all the levels of consciousness. One who has this intense yearning can alone be a true Bhagavatha.
Tuhan mengambil berbagai wujud dan melakukan berbagai kegiatan. Nama Bhagavatha diberikan untuk mendeskripsikan pengalaman mereka yang telah menyadari Beliau dalam berbagai wujud tersebut dan bagi mereka yang telah diberkati oleh berkat-Nya dan dipilih sebagai instrumenNya. Epik besar yang disebut dengan Bhagavatha adalah obat mujarab yang dapat menyembuhkan penyakit fisik, mental, dan spiritual. Dengan Bhagavatha berarti kita menjalin keterikatan dengan Tuhan dan mencari persahabatan dengan Tuhan. Berada di tengah-tengah Bhagavathas dapat mendorong seseorang untuk melakukan pengabdian. Kecuali jika engkau tidak mengarahkan pikiranmu kepada Tuhan, engkau tidak akan memperoleh sukacita dari-Nya. Untuk membuat rasa itu, Bhagavatha menceritakan kisah-kisah bagi para penanya yang sungguh-sungguh yang berhubungan dengan inkarnasi. Lalu seseorang mengembangkan kerinduan untuk mengalami getaran Tuhan, melalui semua tingkat kesadaran. Hanya mereka yang memiliki kerinduan yang intens yang bisa menjadi Bhagavatha sejati. -BABA
Date: Thursday, December 11, 2014 THOUGHT FOR THE DAY “Maam anusmara - With Me in memory ever,” said Lord Krishna! In your daily life, do not distinguish one task as bhajan, another as bhojan (eating), and the third as pujan (worship of God) - all acts are offering to the Divine. The food you partake is given by Him and digested by
[email protected]
3
SAI STUDY GROUP INDONESIA
SAI LENTERA EDISI-21
Him, so that it yields strength to do His work. Each moment is worthwhile, for He gives it, He uses it, He fills it, He fashions it, and He fulfils it. When He is fully suffused in your every breath, you can achieve the sovereign task of merging in Him. You have that might within you; The Divine cannot be gained by the weak. The remembrance can become permanently established only when you are free from the shackles of spite and envy. Be An-asuya - without the trace of pride or envy, malice or hate, egoism or conceit. The Lord permanently resides in the heart kept assiduously clean.
"Maam anusmara - simpanlah Aku selalu dalam memorimu, "kata Sri Krishna! Dalam kehidupan sehari-hari, janganlah engkau membedakan satu tugas sebagai bhajan, yang lain sebagai Bhojan (makan), dan yang ketiga sebagai pujan (memuja Tuhan) - semua tindakan hendaknya merupakan persembahan kepada Tuhan. Makanan yang engkau makan diberikan oleh-Nya dan dicerna olehNya, sehingga menghasilkan kekuatan untuk melakukan pekerjaan-Nya. Setiap saat adalah berharga, karena Beliau yang memberikan, Beliau yang menggunakannya, Beliau yang mengisinya, Beliau yang menciptakan, dan Beliau yang menyempurnakannya. Ketika Beliau sepenuhnya ada di setiap tarikan napasmu, engkau dapat mencapai penyatuan dengan-Nya. Engkau memiliki kekuatan dalam dirimu; Ilahi tidak dapat dicapai dengan kelemahan. Ingatan/ memori dapat menjadi permanen hanya ketika engkau bebas dari belenggu dendam dan iri hati. Jadilah An-asuya - bebas dari jejak kebanggaan atau iri, dengki atau benci, egoisme atau kesombongan. Tuhan secara permanen berada di dalam hati yang senantiasa murni dan bersih. (Divine Discourse, June 9, 1970) -BABA
Date: Friday, December 12, 2014 THOUGHT FOR THE DAY Sorrow affects you because you feel you deserved joy and did not acquire it; but there is one impartial distributor of joy and sorrow, who gives you what you need, rather than what you desire. You may need the tonic of tragedy to set you on the road to recovery. The Compassionate One, the eternal all-knowing God, He knows best. Welcome the tragedy and fight your way through, with the armour of the remembrance of the Divine. As all rivers hurry towards the sea, let all your imaginings wend their way to God. The play is His; the role is His gift; the lines are written by Him; He decides the dress and decoration, the gesture and the tone, the entrance and the exit. You have to act well your part and when the curtain falls receive His approbation. By your efficiency and enthusiasm earn the right to play higher and higher roles that is the meaning and purpose of life.
Kesedihan mempengaruhimu karena engkau merasa layak untuk mendapatkan kebahagiaan dan tidak memperolehnya; tetapi ada yang tidak memihak, distributor kebahagiaan dan kesedihan, yang memberimu apa yang engkau butuhkan, bukan apa yang engkau inginkan. Engkau mungkin perlu tonik tragedi untuk membuatmu menuju jalan pemulihan. Tuhan Yang Maha Pengasih, yang
[email protected]
4
SAI STUDY GROUP INDONESIA
SAI LENTERA EDISI-21
kekal, Beliau mengetahui yang terbaik. Sambutlah tragedi dan berjuanglah dengan menggunakan baju baja dari mengingat Tuhan. Seperti semua sungai menuju laut, biarlah semua imajinasimu menuju Tuhan. Drama adalah milik-Nya; peran adalah karunia-Nya; garis ditulis oleh-Nya; Dia memutuskan hiasan dan dekorasi, gerakan dan nada, pintu masuk dan pintu keluar. Engkau harus melakukan dengan baik bagianmu dan ketika tirainya jatuh terimalah persetujuan-Nya. Dengan efisiensi dan antusiasme engkau mendapatkan hakmu untuk memainkan peran yang lebih tinggi dan lebih tinggi - yang adalah merupakan makna dan tujuan hidup. -BABA
Date: Saturday, December 13, 2014 THOUGHT FOR THE DAY People have forgotten their real nature and believe that they are the body, the senses, etc. When these (instruments) crave for objective pleasures, people ignorantly convince themselves that this pleasure is wanted by them! Under this mistaken notion, they seek to fulfill the cravings. They delude themselves that they can secure bliss (ananda) by catering to the body and senses. However they are rewarded with disillusionment, defeat and disaster, and reap pleasure and pain. Though the objective world appears real, one must be aware that it is deluding us. As a result, one has to give up the yearning for deriving pleasure from the objects that appear and attract, both here and hereafter. The false knowledge (a-jnana) can be destroyed only when one knows the Atma (the Divine Self) principle. When the false knowledge disappears, the sorrow produced by one’s involvement in the ups and downs of the world of change (samsara) also gets destroyed. (Sutra Vahini, “Stream of Aphorisms of Brahman”)
Orang-orang telah melupakan sifat sejati mereka dan percaya bahwa mereka adalah badan, indra, dll. Bila instrumen ini mendambakan kesenangan obyektif, mereka dengan ketidaktahuannya meyakinkan diri bahwa kesenangan ini dicari oleh mereka! Berdasarkan gagasan keliru ini, mereka berusaha untuk memenuhi keinginannya. Mereka menipu diri sendiri bahwa mereka dapat mendapatkan kebahagiaan (ananda) dengan memenuhi kebutuhan untuk badan dan indera. Namun mereka mendapatkan kekecewaan, kekalahan dan malapetaka, dan mendapatkan kebahagiaan dan penderitaan. Meskipun dunia objektif nampak sebagai dunia nyata, seseorang harus menyadari bahwa itu menipu kita. Sebagai konsekuensinya, kita harus meninggalkan keinginan untuk mendapatkan kesenangan dari benda-benda yang muncul dan menarik, baik di saat ini dan nanti. Pengetahuan palsu (a-jnana) dapat dihancurkan hanya ketika seseorang mengetahui prinsip Atma. Ketika pengetahuan palsu menghilang, penderitaan yang dihasilkan oleh keterlibatan seseorang dalam naik turunnya perubahan dunia (samsara) juga akan hancur. -BABA
[email protected]
5
SAI STUDY GROUP INDONESIA
SAI LENTERA EDISI-21
Date: Sunday, December 14, 2014 THOUGHT FOR THE DAY Do not get too much attached to the world, and too involved in its tangles. Keep your emotions always within check. The waves agitate only the upper layers of the sea; down below it is calm. So too, when you sink into your depths, you must be free from the agitation of the waves. Know that most things are of no lasting value and can therefore be brushed aside; hold fast to the solid substance alone. Use your discrimination to discover and distinguish lumber from treasure. The Pranava japa (recitation of Om and contemplation of its significance) will help to calm the roaring waves. Gita affirms that when the word ‘Om’ (Supreme Universal Reality) is spelt by the dying with their last breath, they attain the Divine. To be able to spell it then, dwell upon its sweetness and significance throughout your life, from today. Then the final Om that emerges from your lips will be an offering that merges in Him!
Janganlah terlalu banyak terikat pada dunia, dan terlalu terlibat dalam kekusutannya. Jagalah selalu emosimu dengan tepat. Gelombang mengagitasi/menggoncang hanya lapisan atas laut; di bawahnya tetap tenang. Demikian juga, ketika engkau tenggelam dalam kedalaman hatimu, engkau harus bebas dari agitasi gelombang. Ketahuilah bahwa tidak ada sesuatu yang abadi dan karena itu kita dapat menepisnya; berpeganglah dengan teguh hanya pada substansi yang kuat. Gunakan kemampuan diskriminasimu untuk menemukan dan membedakan kayu dari harta berharga. Pranawa japa (mengucapkan Om dan merenungkan maknanya) akan membantu menenangkan gelombang yang menderu. Gita menegaskan bahwa ketika kata 'Om' diucapkan oleh mereka yang sedang sekarat pada napas terakhir mereka, mereka mencapai Ilahi. Untuk dapat mengucapkan hal tersebut, engkau hendaknya hening dan memaknai kehidupanmu, dari saat ini. Maka kata Om terakhir yang muncul dari bibirmu akan menjadi persembahan sehingga menyatu dengan-Nya. -BABA
[email protected]
6