RELATIVITAS BAHASA DAN RELATIVITAS BUDAYA
Abstract: Linguistic relativity and linguistic universality relate to each other as two opposite poles in the world of linguistics. They depend on each other for their respective existence, and they are both absolutely necessary for giving adequate description of a great variety of linguistic phenomena. The recent re-emergence of linguistic relativity has been a reaction against excessive formalism in Generative Linguistics, particularly in its ambitious attempts to explain the nature of Universal Grammar. The re-emergence of linguistic relativity is thus best seen as a balancing effort in the latest development of linguistic theory. In its connection with cultural relativity, linguistic relativity may well be explained, on the one hand, by referring back to the Sapir-Whorf hypothesis, which states that the way we perceive reality is in part determined by the language we speak. On the other hand, linguistic and cultural relativity may also be explained by going back to the Saussurean ideas of signifier vs. signified , and by adding to them the newly coined linguistic concepts of lexicalization , grammaticization , and verbalization . Key words: linguistic relativity, cultural relativity, lexicalization, grammaticization, verbalization. 1. PENDAHULUAN Relativitas bahasa dan relativitas budaya adalah topik tua yang tetap menarik. Dalam dua bab terakhir dari bukunya Language, Sapir (1921) membahas kaitan tak langsung antara bahasa dan budaya, serta kekhasan bentuk sastra yang tergantung pada kekhasan struktur bahasa yang menjadi wahananya. Di masa kejayaan aliran Strukturalisme Amerika, relativitas bahasa dinyatakan oleh Joos (1957: 96) sebagai berikut, Languages could differ from each other without limit and in unpredictable ways . Secara lebih ringkas, Moulton (lihat Rivers 1981: 43) menyarikannya, Languages are different . Dalam aliran Strukturalisme Amerika, perbedaan lintas-bahasa yang dinyatakan oleh Joos maupun Moulton terutama meliputi perbedaan struktur bahasa pada tingkat fonetik, fonemik, morfemik, dan sintaktik. Kuatnya keyakinan terhadap relativitas bahasa tersebut mendorong munculnya gagasan tentang analisis kontrastif dalam pengajaran bahasa asing, yang dipelopori oleh Fries (1945) dan kemudian dipopulerkan oleh Lado (1964). Artinya, relativitas bahasa, yang merupakan kesimpulan analisis linguistik murni, jadi menonjol secara amat jelas di bidang linguistik terapan: every language is structurally unique. Keterkaitan antara relativitas bahasa dan relativitas budaya nampak pada hasil kajian antropologi budaya, misalnya tentang tingkat tutur bahasa Jawa. Meskipun Uhlenbeck (1978) telah meneliti berbagai aspek bahasa Jawa sejak dasawarsa1950an, tingkat tutur bahasa Jawa dikenal oleh para pakar sosiolinguistik dan pragmatik (lihat Brown dan Levinson 1987, Levinson 1983, dan Trudgill 1983) terutama melalui karya Geertz (1960), The Religion of Java. Tingkat tutur dalam bahasa Jawa demikian pula dalam bahasa Bali, Madura, dan Sunda merupakan sebuah contoh: bagaimana nilai kesantunan budaya secara eksplisit terungkap pada kesantunan bahasa (Poedjosoedarmo et
2 al. 1979: 8). Tingkat tutur bahasa Jawa akan dibahas lebih lanjut di bawah sub-topik leksikalisasi. Pakar sosiolinguistik Hudson (1980: 80-94) menjelaskan bahwa bahasa tercakup dalam budaya. Oleh karena itu, tuturan dalam komunikasi verbal sering mencerminkan, secara langsung maupun tak langsung, nilai-nilai budaya yang dianut oleh penutur suatu bahasa. Model yang dikemukakan oleh Hudson adalah gambaran tentang langue konsep Saussurean yang terkenal itu, dilingkupi oleh ranah budaya. Berbicara tentang relativitas bahasa dan relativitas budaya di awal abad ke-21 adalah meninjau topik lama dengan cara pandang yang baru. Kini gagasan tentang relativitas bahasa muncul kembali sebagai reaksi terhadap ide universalitas bahasa yang ditonjolkan secara berlebihan melalui pendekatan formal (Gumperz and Levinson 1996). Paham tentang universalitas bahasa dipicu oleh istilah Gramatika Semesta atau Universal Grammar (UG), yang secara eksplisit dikemukakan oleh Chosmky dalam Aspects (1965). Dalam teori generatif klasik ini, UG masih ditafsirkan sebagai sejumlah prinsip kebahasaan yang bersifat umum, yang terdapat pada setiap bahasa. UG is a set of general linguistic principles available in particular grammars. Bersamaan dengan terjadinya pekembangan dan perubahan teoritis dalam aliran Linguistik Generatif, penjelasan tentang UG menjadi tujuan utama. Dalam Teori GB (Chomsky 1981) maupun Teori Minimalis (Chomsky 1995), UG adalah nama baru bagi LAD (language acquisition device). UG is the set of linguistic principles we are endowed with at birth in virtue of being human (Smith 1999: 42). Dalam paradigma Chomskyan, universalitas bahasa terutama bertumpu pada formal universals, yaitu prinsip-prinsip kebahasaan yang diklaim bersifat universal dan secara bersama-sama membentuk UG. Perlu diingat, dalam teori Chomsky, sintaksis bersifat sentral. Maka tidak mengejutkan jika formal universals sebagaian besar merupakan kaidah-kaidah sintaksis. Bagi Chomsky, language is a mirror of the mind. Linguistik Generatif adalah linguistik bebak-konteks, pendekatannya bersifat mentalistik-formal, dan tujuannya adalah mencari dan merumuskan kaidah-kaidah universal. Sebaliknya, bagi pakar linguistik yang memperhatikan pentingnya konteks dan aspek sosial dan kultural, language is a mirror of the society atau a mirror of the culture. Dalam tarik-ulur ini, menarik sekali bagaimana Lavandera (1988:1) melihat paradoks yang mendorong pertumbuhan kembali relativitas bahasa. It does not seem far-fetched to hold Chomsky indirectly responsible for the accelerated development in sociolinguistics and ethnolinguistics at the end of the 1960s and for the emphasis laid upon pragmatics and discourse analysis in the mid 1970s. Paradoxical as it may seem, his revival of the Saussurean langue-parole dichotomy (under the name competence and performance ), and even more important, his assertion of the auto-nomy of syntax, sparked renewed interest in the study of language in its sociocultural context. Karena ketegaran Chomsky dalam mempertahankan sentralitas dan otonomi sintaksis, maka muncullah pragmatik, analisis wacana, sosiolinguistik, dan etnolinguistik yang seluruhnya tertarik untuk mempelajari bahasa dalam konteks interpersonal ataupun sosiokultural. Makalah ini membicarakan relativitas bahasa dan relativitas budaya dengan dua pendekatan. Pertama, pendekatan Sapir-Whorf, yang hipotesisnya menyatakan bahwa persepsi kita terhadap realitas dipengaruhi oleh bahasa pertama yang kita miliki. Kedua, pendekatan Hudson, yang menyatakan bahwa nilai-nilai budaya yang kita anut akan tercermin dalam tingkah-laku kebahasaan kita. Kedua pendekatan ini dikaitkan dengan
3 pemikiran Saussurean tentang penanda (signifier) dan petanda (signified), dengan menambahkan konsep mutakhir berupa leksikalisasi, gramatisasi, dan verbalisasi. Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang relativitas bahasa dan relativitas budaya, akan digunakan contoh-contoh dari beberapa bahasa yang diketahui oleh penulis (yaitu, bahasa Jawa, Indonesia, Inggris, dan Arab), dan contoh-contoh tersebut akan diproyeksikan pada lanskap sosiokultural. 2. LEKSIKALISASI DAN GRAMATISASI LINTAS-BAHASA Bagi pendekatan yang melihat bahasa sebagai cermin masyarakat atau cermin budaya, definisi bahasa yang sesuai adalah paduan antara definisi Sapir (1921: 8) dan definisi Francis (1958: 13). Language is a system of arbitrary vocal or visual symbols used by people of a given culture as a means to carry on their daily affairs. (Bahasa adalah sistem verbal atau visual bersifat manasuka, yang digunakan oleh sekelompok penutur dengan budaya tertentu, sebagai alat komunikasi dalam kehidupan mereka sehari-hari.) Definisi ini menegaskan bahwa bahasa adalah entitas budaya, dan menyarankan bahwa konsep-konsep budaya mungkin sekali bersifat khusus dan muncul secara jelas lewat ekspresi bahasa. Sejak kita mengenal pemikiran de Saussure (1916 [1959]), kita setuju bahwa bahasa bukanlah name-giving. Artinya, berbahasa bukan berarti memberikan namanama pada benda-belum-bernama. Setiap kata, menurut de Saussure, adalah sebuah tanda yang arbitrer (arbitrary sign), yang terdiri atas penanda (signifier) dan petanda (signified). Dalam istilah yang lebih kita kenal, penanda berarti bentuk dan petanda berarti makna. Dalam konteks ini, istilah leksikalisasi berarti kehadiran makna dan bentuk secara serempak sebagai kata (misalnya, kata ayah, yang terdiri dari bentuk atau bunyi [ayah] dan makna orang tua laki-laki ); dan gramatisasi berarti kehadiran konsep dan bentuk gramatikal secara serempak sebagai penanda gramatik (misalnya, sufiks -s pada kata books, yang berarti lebih dari satu ). Berikut akan dibicarakan leksikalisasi dan gramatisasi, yang keduanya diproyeksikan pada wacana sosiokultural masing-masing. 2.1. Dari Leksikalisasi sampai Tingkat Tutur dan Sastra Pentas (Verbal Art) Leksikalisasi lintas-bahasa dapat dikategorikan menjadi tiga jenis: leksikalisasi sepadan, leksikalisasi tak-sepadan, dan leksikalisasi timpang. Leksikalisasi sepadan pada bahasa Indonesia dan bahasa Inggris nampak pada kata-kata berikut: bumi = earth, langit = sky, baik = good, jelek = bad, berjalan = (to) walk, berlari = (to) run. Padanan semacam ini lebih merupakan perkecualian daripada norma. Bahayanya segera nampak ketika kita temukan kalimat-kalimat aneh , yang dihasilkan oleh pembelajar bahasa asing yang mencari padan kata dengan merujuk kamus saku, seperti contoh-contoh1 pada butir (1). (1) a. ?I like concubine. b. *The book pregnant many interesting things. c. ?Sir, if you are not too heavy, ...
1
Ketiga contoh tersebut saya peroleh dari tiga nara sumber yang berbeda: contoh (1a) dari Bapak Soeyoso, guru bahasa Inggris di kota kediri pada tahun 1970an; contoh (1b) dari Dra. Furaidah, M.A., dosen pada Jurusan Sastra Inggris FS UM, dan contoh (1c) dari Dr. Gloria Poedjosoedarmo, dalam penyajian makalahnya di Konferensi TEFLIN ke-52 di Palembang pada bulan Oktober 2004.
4 Bahkan, jika kita kembali pada padanan di atas, setiap kata akan kehilangan padanannya ketika ia mengalami proses morfologis atau menjadi bagian dari sebuah idiom: membumi = down to earth, membaik = to recover, berjalan-jalan = (to) take a walk; atau sebaliknya earthly = duniawi, (to) sky-rocket = melangit, (to) run out of = kehabisan. Leksikalisasi tak-sepadan nampak, misalnya, pada kata-kata padi, gabah, beras, nasi = rice; atau sebaliknya pada kata cara = way, manner, method, teknique, mechanism. Contoh pertama menunjukkan keakraban masyarakat Indonesia terhadap makanan pokoknya; sedangkan contoh kedua menunjukkan pesatnya perkembangan sain dan teknologi pada masyarakat berbahasa Inggris. Jika penutur bahasa Indonesia melakukan pembahasan ilmiah, kemungkinan besar dia harus meminjam kata-kata dari bahasa Inggris metode, teknik, dan mekanisme untuk dapat mempertahankan makna setiap kata secara utuh. Di antara leksikalisasi tak-sepadan, yang menarik adalah adanya kreasi leksikal dalam bahasa Inggris2, seperti tercantum pada butir (2). (2) a. belimbing = star-fruit (fruit, if cut into two halves, looks like a star) b. terong = egg-plant (plant that looks like an egg) c. kecipir = wing-plant (plant that has wings) d. kemiri = candle-nut (nut that looks like candle) e. serai = lemon-grass (grass that tastes like lemon) f. sukun = bread-fruit (fruit that looks like bread) Analisis ini tentu menarik bagi penutur bahasa Indonesia. Pertanyaannya: apakah analisis seperti ini juga pernah terlintas dalam pikiran penutur bahasa Inggris? Jangan-jangan yang terjadi adalah sebaliknya. Ketika penutur bahasa Inggris mempelajari bahasa Indonesia, mungkin dia akan melakukan analisis yang sama terhadap kata-kata seperti matahari = mata bagi hari, mata air = mata yang mengeluarkan air, mata-mata = orang yang menyelidik seperti mata. Leksikalisasi timpang berarti tanda (sign) yang ada dalam bahasa A tidak memiliki padanan dalam bahasa B. Hal ini terlihat dengan jelas, misalnya, pada kemajuan teknologi komputer, yang mengakibatkan peminjaman kosakata secara besar-besaran dalam bahasa Indonesia lisan: CPU, monitor, printer, printout, disket, file, games, di-enter, di-save, diblock, di-delete. Sebaliknya, penelitian antropologi yang memasuki ranah kepercayaan lokal akan menemukan sejumlah obyek budaya yang bersifat lokal pula. Misalnya, pada Daftar Isi dari buku Geertz (1960) yang disebutkan di atas, terdapat sejumlah kata bahasa Jawa yang disertai terjemahan Inggrisnya. (3) a. memedis = frightning spirits b. lelembuts = possessing spirits c. thuyuls = familiar spirits d. dhanyangs = guardian spirits e. petungan = the Javanese numerological system Penjelasan ini adalah penjelasan menurut perspektif emik, yakni perspektif subyek yang diteliti. Tentang thuyul, misalnya, Geertz (1960: 16-17) memberikan penjelasan lebih lanjut sebagai berikut: [T]he thuyuls are spirit children, children who are not human beings. ... They don t upset and frighten people or make them sick; quite the contrary they are very much liked by human beings, because they help them become rich. ... 2
Sewaktu belajar di Universitas Hawaai, saya biasanya berbelanja ke Asian Groceries dan China Town di Honolulu, dan sering dikejutkan oleh kreasi leksikal dalam bahasa Inggris tersebut.
5 Di antara ketiga jenis leksikalisasi di atas, jenis kedua sangat menarik jika dikaitkan dengan bahasa Jawa. Mengapa? Karena nilai kesantunan budaya Jawa masuk dan menembus ke dalam sistem leksikon bahasa Jawa, yang berakibat pada timbulnya tingkat tutur. Secara singkat, dapat dikemukakan perbandingan sebagai berikut. Pronomina kedua atau you dalam bahasa Inggris bisa diterjemahkan dengan tiga kemungkinan: kowe, sampeyan, atau panjenengan. Dalam komunikasi verbal, masingmasing dari ketiga pronomina ini akan diproyeksikan pada tingkat tutur ngoko (rendah), madya (sedang), dan krama (tinggi). Tabel 1. Perbandingan antara Pronomina ke-2 dalam bahasa Inggris dan bahasa Jawa.
Pron-2 Bhs Inggris you
Pron-2 Bhs Jawa kowe sampeyan panjenengan
Tingkat Tutur ngoko madya krama
Pertanyaan dalam bahasa Inggris Have you got a letter? akan diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa menjadi tiga tingkat tutur yang berbeda, tergantung pada siapa orang kedua yang menjadi mitra bicara. (4) a. ngoko: Kowe wis oleh layang? b. madya: Sampeyan empun angsal serat? c. krama: Panjenengan sampun pikantuk serat? you PERF get letter Telah banyak bahasawan yang membahas tingkat tutur bahasa Jawa (lihat, misalnya, Poedjosoedarmo et al. 1979, Sudaryanto 1991, Suharno 1982). Oleh karena itu, saya lebih tertarik membicarakan tingkat tutur yang dikaitkan dengan sastra pentas atau verbal art. Di samping tiga tingkat tutur di atas yang lazim digunakan dalam pergaulan sehari-hari, kosakata bahasa Jawa juga diperkaya oleh sastra pentas atau bahasa Jawa ragam panggung (Poedjosoedarmo et al. 1986). Sebagai gambaran, contoh (4) di atas, yang merupakan bahasa sehari-hari (BS), dapat diperkaya dengan ragam panggung (RP) dalam bentuk ngoko dan krama. (5) a. BS ngoko: Kowe wis oleh layang? b. BS madya: Sampeyan empun angsal serat? c. BS krama: Panjenengan sampun pikantuk serat? d. RP ngoko: Sira wus antuk nawala? e. RP krama: Paduka sampun pikantuk nawala? you PERF get letter Bahasa Jawa ragam panggung didominasi oleh oleh varian (5d) dan (5e), dan diperkaya juga oleh Bahasa Jawa sehari-hari, yaitu varian (5a), (5b) dan (5c). Bahasa Jawa ragam panggung yang multi-level itu lazim dipakai pada pagelaran wayang kulit atau ketoprak dulu juga pada pagelaran wayang orang, tetapi kini sudah semakin jarang. Bagi penggemar wayang kulit dan ketoprak, bahasa Jawa ragam panggung memiliki rasa bahasa yang khas. Ia membawa pendengarnya pada suasana masa lampau yang klasik dan elegan. Rasa bahasa ini masih diperkaya lagi oleh kekhasan suara dan watak masingmasing tokoh wayang, serta kekhasan cara bicara mereka. Misalnya, Bima bersuara bariton dan hanya berbicara pada tingkat ngoko; Arjuna berbicara dengan nada rendah, dengan sangat halus dan santun; Kresna berbicara dengan nada agak tinggi, kaya diplomasi yang dibumbui humor. Akibatnya, ketika wayang kulit atau kethoprak dipentaskan dalam bahasa Indonesia yang mono-level, keindahan rasa bahasa itu hilang dan pertunjukan terasa
6 hambar. Secara semantik, makna leksikal dan proposisional setiap ujaran tidak berbeda, tetapi secara estetik rasa kulturalnya telah hilang. 2.2. Dari Gramatisasi dan Variasi Pronomina sampai Demokratisasi Di depan telah dikemukakan bahwa gramatisasi berarti kehadiran konsep dan bentuk gramatikal sebagai penanda gramatik. Misalnya, setiap nomina terbilang (countable nouns) dalam bahasa Inggris harus dinyatakan dalam bentuk tunggal atau jamak. Kalimat bahasa Indonesia Kuda makan rumput, yang memiliki referensi umum, dapat diungkapkan dengan dua cara dalam bahasa Inggris. (6) a. A horse eats grass b. Horses eat grass. Begitu juga setiap kalimat pernyataan dalam bahasa Inggris selalu mengandung kala (tense) yang dilekatkan pada verba, seperti ketiga contoh pada butir (7). (7) a. I am a teacher. b. I was a teacher. c. I used to be a teacher. Kalimat (7a) dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Saya guru. Tetapi kalimat (7b) dan (7c) sulit dibedakan dalam bahasa Indonesia, sehingga kedua-duanya terpaksa diterjemahkan menjadi Saya dulu guru. Kesulitan menerjemahkan kata bantu used to ke dalam bahasa Indonesia dapat dilihat melalui humor pada butir (8). (8) Wife : I don t think I look thirty five, do you? Husband : No, I don t. But you used to. Berkaitan dengan gramatisasi dan variasi pronomina, saya tertarik untuk meninjau pronomina pertama jamak kami vs. kita serta pronomina kedua Anda, dikaitkan sepintas dengan sejarah, sastra, dan perkembangan demokratisasi di Indonesia. Dalam percakapan sehari-hari, penggunaan kami dan kita, sebagai exclusive we dan inclusive we , sering saling-tukar, tanpa mengakibatkan kerancuan makna. Mari kita perhatikan percakapan via telpon berikut. (9) Guru : Kalian sekarang ada di mana? Ket. rombng. : Kita menunggu di dekat gerbang kebon binatang, Pak. Dalam jawaban ketua romboingan tersebut, kami tentu lebih benar daripada kita. Namun penggunaan kita, meskipun salah secara gramatikal, tidak mengacaukan maksud si penutur. Sebaliknya, dalam karya sastra, terutama puisi, pertukaran penggunaan kami dan kita akan mengakibatkan perbedaan makna yang amat besar. Ambillah beberapa baris dari Krawang-Bekasi , karya Chairil Anwar yang monumental itu. (10) Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi tidak bisa berteriak Merdeka dan angkat senjata lagi. Tapi siapakah yang tidak mendengar deru kami, terbayang kami maju dan berdegap hati? ... Kami sekarang mayat Berilah kami arti Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian Dalam puisi tersebut, kami tidak mungkin diganti dengan kita, karena kami adalah arwah para pejuang yang sedang berbicara dengan manusia Indonesia yang masih hidup. Tetapi terjemahan Krawang-Bekasi dalam bahasa Inggris, yang dikerjakan oleh Burton Raffel
7 (1993: 123-5), hanya dapat memberikan we (dan juga us dan our) sebagai padanan kami, karena bahasa Inggris tidak membedakan antara we exclusive dan we inclusive. Artinya, perbedaan realisasi pronomina pada kedua bahasa tersebut telah mengakibatkan pemiskinan dalam terjemahan. Gema perjuangan dari pronomina kami (dibandingkan dengan kita) juga terdengar nyaring dalam naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia. (11) Kami bangsa Indonesia, dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. ... Dengan diwakili oleh Soekarno-Hatta, kami di sini adalah bangsa Indonesia yang sedang memproklamirkan diri kepada dunia. Jika kami diganti dengan kita, maka proklamasi itu akan kehilangan maksudnya yang esensial. Pronomina kedua Anda memiliki arti istimewa dalam kaitannya dengan perkembangan demokratisasi di tanah air. Dalam pertumbuhan bahasa Indonesia, pronomina Anda muncul sebagai padanan you dalam bahasa Inggris, sebagai sarana untuk menciptakan bahasa Indonesia yang lebih demokratis (Moeliono dan Dardjowidjojo 1988: 175). Mengapa? Karena pronomina kedua yang telah ada, yaitu kamu dan engkau, terdengar kurang santun untuk digunakan terhadap mitra tutur yang dihormati. Penggunaan Anda sebagai pronomina demokratis menunjukkan tahap-tahap keberhasilan yang menarik. Pada awalnya, Anda terdengar enak dan nyaman sebagai sapaan dalam bahasa pers: surat redaksi kepada pembaca, sapaan penyiar radio terhadap pendengar, dan sapaan penyiar TV terhadap pemirsa. Di sini, pembaca, pendengar, dan pemirsa adalah orang kedua yang tak dikenal dan tak diketahui. Dalam konteks ini, penggunaan Anda terasa sangat pas. Sebelum masa reformasi, pers masih sungkan untuk ber-Anda terhadap pejabat tinggi negara. Tetapi setelah reformasi, nilai-nilai kesetaraan semakin meluas dan semakin diterima oleh masyarakat Indonesia. Pada saat ini, wawancara dengan menteri, ketua DPR atau MPR, bahkan Wakil Presiden dan Presiden, pers tidak merasa segan lagi menggunakan Anda. Dalam wawancara Tempo (no. 50, Pebruari 2005) dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla, misalnya, pertanyaan pertama adalah: (12) Bagaimana Anda menilai hasil pertemuan RI dan GAM di Helsinki, Finlandia? Penggunaan Anda dalam wawancara ini mengisyaratkan bahwa pers dan wapres memiliki equal footing atau kesetaraan sosial. Hal ini nampak lebih jelas ketika dalam deskripsi singkat tentang Jusuf Kalla, Tempo menggunakan pronomina ketiga ia, dan bukan beliau. (13) a. Ia releks dan dikenal mudah ditemui wartawan. b. Telepon seluler selalu ia pegang sendiri. c. Sebelumnya ia sibuk bertelepon kepada tim negosiator RI dengan GAM ... Dengan adanya kesetaraan sosial tersebut, pewawancara juga lebih berani untuk menanyakan isu-isu yang sensitif, tanpa membuat wapres merasa tersinggung atau tersudutkan. Simaklah pertanyaan-pertanyaan berikut: (14) a. Apakah Anda merasa menjadi pesaing Presiden? b. Berapa uang yang dihabiskan untuk proyek pemenangan Anda (sebagai Ketua Umum Golkar)? c. Kira-kira pada akhir 2009 nanti Anda akan makin kaya atau tidak? Sebagai bandingan, selama rezim Soeharto berkuasa, pers tidak memiliki keberanian untuk ber-Anda dan mengajukan pertanyaan sensitif kepada pejabat tinggi negara. Bahkan, menjelang jatuhnya dari kekuasaan, Soeharto pernah mengatakan, Lengser keprabon madeg pandhito (Mundur dari kedudukan raja, meneguhkan diri sebagai pendeta.) Apa artinya? Selama lebih dari tiga dekade, walaupun resminya seorang presiden, Soeharto lebih merasa sebagai Raja Jawa. Singkatnya, perubahan sosial-politik menuju tata
8 pemerintahan yang lebih demokratis dapat dilihat, antara lain, dengan meluasnya penggunaan pronomina yang demokratis , seperti Anda dan ia. Bagaimana uraian di atas terkait dengan tesis Sapir-Whorf dan tesis Hudson? Bahasa bisa memaksa penuturnya tanpa memberikan pilihan, sebagaimana nampak pada penggunaan kala (tense) dalam bahasa Inggris, atau penggunaan salah satu tingkat tutur dalam bahasa Jawa. Ini membuktikan kebenaran tesis Sapir-Whorf: cara penutur menangkap dan mengungkapkan realitas ditentukan oleh bahasa pertama yang ia miliki. Sedangkan tesis Hudson didukung, antara lain, oleh fakta sosial-politik Indonesia: tumbuhnya demokratisasi politik memungkinkan tumbuhnya demokratisasi dalam berbahasa. 3. VERBALISASI LINTAS-BUDAYA Budaya atau kebudayaan, sebagai padanan culture dalam bahasa Inggris, memiliki cakupan yang luas dan pengertian beragam, serta merupakan entitas yang cair sehingga tidak mudah didefinisikan. Duranti (1997), dalam bukunya Linguistic Anthropology, menyediakan satu bab khusus (Bab 2, Theories of Culture ) untuk membicarakan teoriteori kebudayaan. Kebudayaan dapat dilihat sebagai agregat pengetahuan, modus komunikasi, atau sistem partisipasi sosial. Meskipun ada berbagai teori yang menjelaskan makna kebudayaan, satu hal adalah jelas: budaya berbeda dengan alam, atau culture is different from nature. Dalam konteks ini, bahasa yang merupakan bagian terpenting dari kebudayaan dipandang oleh Duranti (1997: 1) sebagai alat sosial, modus berpikir, dan praktek budaya. Untuk keperluan pembahasan budaya dan bahasa, makalah ini memilih jalan pintas, dengan mengambil definisi kebudayaan yang tercantum dalam kamus Webster (1989: 314). Culture [is] the integrated pattern of human knowledge, belief, and behavior that depends upon man s capacity for learning and transmitting knowledge to succeeding generations (Budaya adalah pola terpadu dari pengetahuan, kepercayaan, dan tingkah laku manusia yang tergantung pada kemampuanya untuk mempelajari dan mewariskan pengetahuan kepada generasi berikutnya.) Berkaitan dengan definisi di atas, bahasa memiliki dua fungsi utama: pertama, memadukan sistem pengetahuan dan kepercayaan sebagai dasar tingkah-laku budaya; dan kedua, menjadi sarana transmisi dan juga transformasi budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Perlu diingat bahwa bahasa dan budaya saling terkait erat-lekat, dan hubungan keduanya bersifat dinamis dan saling mempengaruhi. Menurut tesis Sapir-Whorf, bahasa pertama menentukan pola pikir dan tingkah laku kita dalam interaksi verbal. Dengan kata lain, bahasa ikut menentukan modus budaya. Pada sisi lain, berlaku pula tesis Hudson: kepercayaan dan nilai budaya sering bersifat lokal, dan terungkap secara khas pada bahasa setempat. Atau, culture-specific values often get revealed through language-specific expressions. Misalnya, kata tujuhbelasan dalam bahasa Indonesia berarti perayaan kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus . Maka kata tersebut tidak mungkin diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa Inggris, sehingga terjemahan terdekatnya adalah the elebration of the independence day . Sebagai bandingannya, salah satu cerpen O Henry (1984) berjudul The Fourth in Salvador . Setelah saya baca cerpen itu, the fourth di sini ternyata kependekan dari the fourth of July, yaitu hari kemerdekaan Amerika Serikat. Maka terjemahan yang wajar dari judul tersebut adalah Empat Juli di San Salvador .
9 Dua contoh tersebut merupakan ilustrasi dari postulat bahasa adalah cermin budaya . Dan keterjemahan atau translatability merupakan salah satu tes untuk melihat apakah suatu ungkapan bersifat khas, dalam arti sebagai culture-specific and languagespecific expression. Untuk itu, saya memilih istilah verbalisasi , yang berarti pengungkapan konsep budaya via bahasa. Sub-judul Verbalisasi Lintas-budaya di atas mengisyaratkan dua hal. Pertama, sebuah konsep universal mungkin sekali diungkapan secara verbal dengan cara yang berbeda, karena perbedaan konvensi budaya. Kedua, sebuah konsep memang bersifat lokal, dan dengan demikian ungkapan verbalnya bersifat khas dalam budaya dan bahasa setempat. Dalam bagian ketiga dari makalah ini, saya akan membicarakan verbalisasi yang terkait, pertama, dengan waktu dan ucapan selamat, dan kedua, dengan mitos dan kearifan. 3.1. Waktu dan Ucapan Selamat Manusia, sebagai makhluk sosial, berbagi kesejahteraan dengan saling mengucapkan selamat yang dikaitkan dengan waktu. Di sini akan nampak verbalisasi yang berbeda karena perbedaan konvensi budaya. Misalnya, selamat malam dalam bahasa Indonesia bisa menjadi good evening atau good night dalam bahasa Inggris, tergantung apakah kita baru bertemu atau akan berpisah. Dalam konteks pembelajaran bahasa asing, perbedaan greetings tersebut terkadang mengakibatkan negative transfer. Seorang kawan Indonesia, yang sedang bertugas belajar di Ohio, Amerika Serikat, tiba di sebuah pesta pada pukul 7 malam. Dengan wajah ceria dia berteriak, Good night everybody! Maka salam perpisahan itu membuat semua orang terheran-heran, namun segera dipahami oleh kawan-kawan Indonesia lainnya sebagai negative transfer (dari selamat malam ) dan disambut dengan tawa lepas.3 Berkaitan dengan hari dan minggu , bahasa Inggris memiliki salam perpisahan Have a nice day dan Have a nice weekend. Salam perpisahan yang pertama tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Maka, ketika seorang mahasiswa Amerika di Malang mengirim sms dalam bahasa Indonesia dan mengakhirinya dengan Punya hari baik , penerima pesan, seorang kolega di UM4, berpikir cukup lama untuk menemukan bahwa itu adalah terjemahan dari Have a nice day. Ini memang berbeda dengan Have a nice weekend, yang dapat diterjemahkan menjadi Selamat berakhir pekan . Namun, dalam bahasa Indonesia, ucapan Selamat berakhir pekan tetap terdengar translationese, dan mungkin hanya digunakan oleh orang kota. Berkaitan dengan bulan tidak ada ucapan selamat, khususnya dalam kalender Gregorian yang kita pakai sehari-hari. Tidak ada, umpamanya, * Selamat Mei atau *Selamat Datang Mei . Begitu juga dalam kalender Saka yang digunakan orang Jawa, tidak ada bulan istimewa yang disambut, umpamanya, dengan ucapan *Sugeng Sapar (Selamat Sapar) atau *Sugeng Rejeb (Selamat Rajab).. Tetapi dalam kalender Hijriah, bulan Ramadlan merupakan bulan yang istimewa bagi umat Islam. Ucapan bahasa Arab Marhaban yaa Ramadlaan (Selamat datang, wahai Ramadlan) merupakan ucapan yang lazim beredar bukan saja di antara orang Islam penutur bahasa Arab, tetapi juga orang Islam penutur bahasa Indonesia. Setiap menjelang Ramadlan, telepon seluler saya selalu dihujani oleh puluhan sms berisi Marhaban yaa Ramadlaan . 3
Anekdot tersebut saya dapatkan dari Dra. Furaidah, M.A., yang rajin mengamati transfer yang terjadi di antara kawan-kawan Indonesia yang belajar di Universitas Ohio. 4 Yang saya maksud sebagai kolega di sini adalah Aulia Apriana, S. S., dosen muda di Jurusan Sastra Inggris FS UM dan mahasiswa Program Magister Pendidikan Bahasa Inggris PPS UM.
10 Setiap menjelang berakhirnya bulan Desember, dan dengan demikian berakhirnya sebuah tahun, semua stasiun televisi di Indonesia menggelar acara menyambut tahun baru . Juga Unit Gawat Darurat di setiap rumah sakit harus bersiap-siap menyambut kecelakaan baru. Di antara ucapan selamat yang dikaitkan dengan waktu, Selamat Tahun Baru merupakan ucapan yang paling wah dan paling meriah. Dilihat dari gebyarnya, ini adalah season s greeting yang paling dikenal oleh manusia sejagad. Apakah dengan demikian Selamat Tahun Baru merupakan ucapan yang universal? Jawabnya adalah ya , jika dikaitkan dengan kalender Gregorian. Tetapi untuk sistem kalender lain, tahun baru disambut dengan ucapan yang berbeda, atau bahkan tanpa ucapan apa-apa. Pergantian tahun Saka tidak disambut oleh orang Jawa dengan saling mengucapkan Sugeng Warsa Enggal (Selamat Tahun Baru), tetapi disambut dengan tirakatan (berprihatin) atau melekan (berjaga sampai larut malam). Para pemilik pusaka misalnya, keris atau tombak yang dianggap bertuah lazimnya melakukan jamas pusaka atau memandi-keramaskan pusaka pada awal bulan Sura, yaitu bulan pertama tahun Saka. Ada pula yang menyambut tahun baru dengan selamatan kecil, membagi-bagikan jenang Sura. Mungkin secara historis keprihatinan Sura ini ada kaitannya dengan Asyuraa (hari kesepuluh bulan Muharram), yang diyakini sebagai hari keselamatan para Nabi dari berbagai musibah, tetapi juga hari dipenggalnya kepala Sayyidina Husein putra Sayyidina Ali dan juga cucu Nabi Muhammad s.a.w. di padang Kerbala, yang termasuk wilayah Iraq sekarang. Datangnya tahun baru Hijriah juga tidak disambut dengan ucapan Fie kulli aamin wa antum bikhair, yang secara harfiah berarti Di setiap pergantian tahun, semoga Anda selalu sejahtera , sebagai padanan Selamat Tahun Baru dalam bahasa Arab. Pergantian tahun Hijriah direnungi dengan doa yang tidak terlalu populer, Nad ullaaha an yaj alahu aama khairin wa barakatin wa izzin lil-islaam wal muslimien, yang artinya Kita bermohon kepada Allah, semoga menjadikan tahun baru ini tahun kebajikan, keberkahan, dan kemuliaan bagi agama Islam dan kaum muslimin .5 Tahun baru Cina atau Imlek juga tidak disambut dengan ucapan Xin Nian Kuai Le (Selamat Tahun Baru), tetapi dengan ucapan yang kini sangat populer di Indonesia Gong Xi Fa Cai, yang berarti Semoga rejeki selalu datang berlimpah .6 Imlek juga dirayakan dengan berbagai dekorasi dan kostum tradisional Cina dengan warna merah menyala, karena merah dalam kebudayaan Cina adalah lambang kesejahteraan dan kebahagiaan . Ini adalah makna lokal dari warna merah. Dalam konteks sosial-budaya yang berbeda, merah pada golongan merah bisa berarti komunis , pada sang merahputih berarti berani , pada lampu merah berarti berhenti , tetapi pada warung lampu merah berarti pelacuran . Dari uraian tentang ucapan selamat yang dikaitkan dengan waktu dapat disimpulkan tiga hal penting. Pertama, satuan waktu hari, minggu, bulan, tahun dapat dihayati sebagai parameter universal, tanpa menafikan adanya penafsiran lokal. Kedua, secara lintas-budaya, ucapan selamat yang dikaitkan dengan hari, minggu, dan bulan 5
Doa menjelang pergantian tahun baru Hijriah tersebut saya dapatkan dari Dr. Nurul Murtadho, dosen pada Jurusan Sastra Arab FS UM, berdasarkan penjelasan yang beliau peroleh dari penutur asli bahasa Arab, yang saat ini menjadi dosen luar biasa di Jurusan Sastra Arab FS UM. 6 Penjelasan tentang Xin Nan Kwai Le dan Gong Xi Fa Cai beserta artinya masing-masing saya dapatkan dari Nancy Perdanasari, dosen bahasa Mandarin pada Lambaga Bahasa, Universitas Merdeka Malang.
11 bersifat sangat lokal. Ketiga, ucapan selamat menjelang atau pada pergantian tahun sangat variatif, dari Selamat Tahun Baru yang paling populer bagi kalender Gregorian, diikuti oleh kemeriahan Gong Xi Fa Cai untuk Imlek, kemudian oleh doa bagi tahun Hijriah, dan akhirnya oleh diam dan tirakatan untuk tahun Saka. Kesimpulan ketiga atau terakhir ini menunjukkan kuatnya tesis Hudson: dalam konteks yang sama, muncul verbalisasi yang berbeda-beda sebagai pengejawantahan dari nilai budaya yang berbedabeda pula.
12 3.2. Mitos dan Kearifan: Endapan Budaya dalam Bahasa Bahasa sebagai langue (the abstract linguistic system existing within the collective mind of the speech community) berinteraksi secara dinamis dan terus-menerus dengan budaya yang melingkupinya. Maka melalui sejarahnya yang panjang, kepercayaan lama yang dulu merupakan bagian dari suatu sistem budaya bisa terus terbawa oleh arus bahasa; dan kini, dengan tinjauan kritis, kepercayaan lama tersebut lebih layak disebut mitos. Masih berkaitan dengan waktu, nama-nama hari di dalam bahasa Inggris ternyata penuh mitos. Seperti tercatat dalam kamus Webster (1989), mitos tersebut dapat dijelaskan secara ringkas sebagai berikut: (15) a. Sunday = the day of the Sun b. Monday = the day of the Moon c. Tuesday = the day of Tiw, the god of war d. Wednesday = the day of Odin, the supreme god and the creator e. Thurday = the day of the Thunder f. Friday = the day of Friga, the wife of Odin g. Saturday = the day of Saturn Berdasarkan nama-nama hari tersebut, dapat dikemukakan uraian berikut: tiga hari dalam seminggu (Wednesday, Friday, Tuesday) adalah milik tiga dewa: Odin, Friga, Tiw; tiga hari lainnya (Sunday, Saturday, Monday) adalah milik bintang dan dua planet: the Sun, the Saturn, the Moon; dan satu hari sisanya (Thursday) adalah milik kekuatan alam: the Thunder. Jadi, tujuh hari dalam seminggu tersebut mutlak dikuasai oleh kekuatan langit , bukan dalam pengertian astronomi melainkan dalam pengertian astrologi atau bahkan lebih primitif daripada astrologi. Sadarkah penutur bahasa Inggris bahwa nama-nama hari dalam kebudayaan mereka penuh dengan mitos yang tak masuk akal? Mungkin sekali tidak. Seperti halnya ketika orang menyebut Amerika tidak lagi mengingat Amerigo Vespucci, atau menyebut Washington, D.C. tidak langsung ingat pada George Washington dan Christopher Columbus. Setelah orang Inggris tahu dan menyadari bahwa nama-nama hari mereka penuh dengan mitos, akankah mereka berusaha menggantinya dengan nama-nama yang lebih logis? Mungkin sekali tidak. Nama-nama itu telah mendarah-daging dalam sistem budaya mereka, tidak mungkin lagi untuk dibuang dan diganti. Seandainya jawabnya adalah ya , bisa kita tawarkan nama-nama hari yang kita miliki, yang kita dapatkan dari kebudayaan Arab. Setidak-tidaknya Ahad, Senin, Selasa, Rabo, Kamis jelas berkaitan dengan kata-kata ahad, itsnain, tsalaats, arba , khams , yang berarti satu, dua, tiga, empat, lima . Dari tinjauan etimologis ini, orang Indonesia boleh tersenyum bangga, sambil mengangguk hormat kepada orang Arab yang telah meminjami nama-nama hari yang lebih logis. Tetapi senyum bangga itu mungkin harus ditahan dulu, karena orang Indonesia juga berbagi mitos dengan orang Inggris atau orang Barat pada umumnya. Di antara nama-nama bulan dalam kalender Gregorian, Januari berasal dari Janus, dewa bermuka dua menghadap ke depan dan ke belakang, yang tugasnya menjaga gerbang waktu. Maret berasal dari Mars, sang dewa perang; dan Mei berasal dari Maius, sang dewi kecantikan kedua dewa-dewi tersebut adalah bagian dari kepercayaan Romawi kuno. Masih ada lagi nama-nama bulan yang tidak logis. Terkait dengan bahasa Latin, kata-kata septem, octo, novem, decem berarti tujuh, delapan, sembilan, sepuluh . Tapi apa yang ada sekarang? September, Oktober, Nopember, Desember merujuk pada bulan ke-9, 10, 11, 12. Apakah orang Barat dan juga manusia moderen sedunia, termasuk kita sudah
13 sedemikian tololnya, sehingga tidak mampu menghitung sampai dengan 12? Menurut Greg Trevanovitch (kuliah umum di East-West Center, Hawaii, bulan Juli 1988), dulu hanya ada 10 bulan dalam kalender Gregorian. Syahdan, Kaisar Julius ingin selalu dikenang, lalu mencantumkan namanya, dan jadilah bulan Juli . Begitu juga Kaisar Augustus, namanya diabadikan oleh bulan Agustus . Akibatnya, bulan ke-7, 8, 9, 10 tergeser menjadi bulan ke-9, 10, 11, 12 tanpa perubahan nama. Ini bukan mitos, tetapi kebodohan yang telah mengakar dalam sistem kalender internasional. Dengan memperhatikan mitos yang mengendap dalam nama-nama hari dan bulan, tidak mengherankan jika ramalan perbintangan muncul setiap minggu di koran atau majalah non-ilmiah di Indonesia. Masyarakat pada umumnya masih suka membaca ramalan perbintangan, dengan sikap boleh percaya boleh tidak. Tidak aneh pula bila sebagian orang Jawa, yang kini hidup di zaman serba moderen, masih berpegang pada petungan, atau the Javanee numerological system (Geertz 1960: 30-37). Sewaktu Soeharto berkuasa dan Golkar menjadi partai pemerintah, orang mungkin masih ingat bahwa awal kampanye pemilu selalu dijatuhkan pada hari Sabtu Paing. Mengapa? Karena menurut primbon Jawa, misalnya Kitab Primbon Betaljemur Adammakna (cetakan ke-52, 1993: 7), masing-masing hari dan pasaran memiliki nilai atau bobot. Bobot tertinggi adalah 9, yang dimiliki oleh hari Sabtu dan pasaran Paing . Jadi Sabtu Paing bernilai paling tinggi: 18. Berkaitan dengan mitos yang ada pada sistem penanggalan, apa perbedaan antara orang Inggris dan orang Jawa? Bagi orang Inggris, mitos yang tersisa pada nama-nama hari dan bulan hanya tinggal kulit tanpa isi. Tak dikenal lagi siapa itu dewa Odin, Friga, dan Twi. Begitu pula the Sun, the Saturn, dan the Moon bukan lagi dianggap sebagai penguasa langit, tetapi sekedar nama-nama bagi heavenly bodies. Sebaliknya, untuk sebagian orang Jawa, kitab-kitab primbon, yang penuh dengan petungan waktu (penanggalan) dan ruang (arah), masih sering dianggap sebagai pedoman hidup . Dalam konteks ini, bahasa Jawa bukan sekedar berfungsi sebagai wadah, tetapi juga juga sebagai daya-hidup yang memelihara keberlangsungan kepercayaan tersebut. Dari mitos, marilah kita bergerak menuju kearifan. Yang saya maksud sebagai kearifan adalah semacam cultural maxims, yaitu aspek atau nilai budaya yang dihargai oleh masyarakat, bisa berupa kata bijak, karya sastra, atau cerita yang mengakar. Yang terakhir ini bisa mencakup kisah keagamaan, lakon wayang, dongeng atau legenda yang merakyat. Sebagaimana mitos, kearifan juga merupakan endapan budaya dalam bahasa. Bedanya, kearifan, sebagai cultural maxims, berfungsi sebagai rujukan atau prior text (Foley (1995: xi). Dalam Analisis Wacana (Thornbury 2005: 137-8), terutama dalam pembahasan dan analisis terhadap teks sastra atau semi-sastra, sering terdapat hubungan antara present text (teks kini) dan prior text (teks pendahulu), yang disebut intertextuality (intertekstualitas). Hubungan ini bisa bersifat ekspisit, dan bisa pula bersifat implisit. Sebagai ilustrasi dari hubungan yang eksplisit, Tempo (no. 46, Januari 2005) menyajikan laporan utama pasca tsunami, Aceh: Anak-anak yang Hilang . Laporan utama ini terdiri dari empat artikel. Artikel pertama berjudul Yang Terampas dan Yang Putus . Sebagai teks kini , artikel ini membicarakan penderitaan anak-anak Aceh pasca tsunami, dengan menggunakan judul yang merujuk teks pendahulu , yaitu kumpulan puisi Chairil Anwar yang berjudul Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus. Pemahaman tuntas atas sebuah teks sangat bergantung pada pengetahuan pembaca atau pendengar tentang teks pendahulu. Sejumlah judul artikel lain di majalah Tempo, sebagai teks yang terkait dengan teks pendahulu, disajikan pada Tabel 2.
14 Menyimak Tabel 2, dapat kita simpulkan dua hal penting. Pertama, penulis berita bukan hanya dituntut untuk menyajikan berita secara lengkap, cerdas, dan menarik, tetapi juga memiliki pengetahuan umum yang luas, terutama teks pendahulu yang sesuai untuk dijadikan rujukan. Kedua, penulis juga harus witty, dalam arti pintar bermain kata dan logika. Teks pertama dalam Tabel 2, Tiga Penguak Tabir , adalah hasil pelesetan fonetis dan leksikal dari teks pendahulu Tiga Menguak Takdir . Sedangkan tiga teks selanjutnya, Duduk Sama Tinggi , Badai Pasti Belum Berlalu , dan Robohnya Penjara Kami ,7 adalah hasil pelesetan logika dengan menggeser, menambah, atau mengganti kata yang ada pada teks pendahulu. Tabel 2. Keterkaitan antara Teks Kini dan Teks Pendahulu Tempo no. 44, Januari 2005
no. 47, Januari 2005 no. 48, Januari 2005
Teks Kini: Judul dan Isi Artikel Tiga Penguak Tabir (ttg. senirupawan Handiwarman Saputra, penulis A. S. Laksana, dan Arsitek Adi Purnomo) Duduk Sama Tinggi (ttg. perundingan antara RI dan IMF) Badai Pasti Belum Berlalu (ttg.. kerusakan lingkungan bawah laut di Aceh pasca tsunami) Robohnya Penjara Kami (ttg. bangunan penjara di Aceh yang roboh karena tsunami)
Teks Pendahulu
Keterangan
Tiga Menguak Takdir
Kumpulan puisi Chairil Answar, Asrul Sani, Rivai Apin
Berdiri sama tinggi duduk sama rendah
peribahasa
Badai pasti berlalu
Judul filem tahun 1970an
Robohnya Surau Kami
Judul cerpen, karya A. A. Navis.
Selain peribahasa atau judul karya sastra, cerita wayang juga sering dirujuk secara implisit sebagai teks pendahulu, terutama oleh para sastrawan atau penulis Indonesia moderen berlatar-belakang Jawa. Cerita wayang merupakan salah satu sumber inspirasi: ia bisa dikembangkan secara imajinatif, direka-ulang secara kreatif, dan bahkan dipelesetkan dengan semena-mena. Sajak Goenawan Muhamad Pariksit , misalnya, merupakan penafsiran puitis yang sangat indah dan menggetarkan terhadap rasa gamang-dan-pasrah Raja Astina itu dalam menghadapi kematian yang berupa kutukan. Sajak Abimanyu Gugur karya Rendra memberikan napas yang lebih heroik terhadap lakon kematiannya di padang kurusetra. Cerpen Bakdi Soemanto Karna adalah rekayasa ulang yang secara cerdik menjungkir-balikkan alur cerita lakon Karna Tandhing . Novel Arjuna Mencari Cinta, karya Yudhistira Ardi Noegraha yang terbit hampir tiga dekade yang lalu, adalah ledekan habis-habisan terhadap dunia wayang. Di koran Jawa Pos, beberapa tahun yang lalu ejekan terhadap dunia wayang muncul setiap hari Minggu di bawah rubrik Wayang Opo Maneh? (Wayang Apa Lagi?), yang ditulis oleh Ki Sunu. Saat ini, tradisi mempermainkan dunia wayang di Jawa Pos ditulis setiap Minggu oleh Ki Slametg, yang tak lain adalah seniman kondang Slamet Gundono, di bawah rubrik Wayang Lindur . Ada permainan fonologis di sini: Wayang Lindur sama ucapannya dengan wayang nglindur , yang berarti wayang mengigau . Rubrik ini menyarankan bahwa ki dalang tidak sedang bercerita, tetapi sedang ngelindur.
7
Dra. Yuni Pratiwi, M.Pd., dosen pada Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FS UM dan kandidat doktor pada PPS UM, membantu memberikan kelengkapan referensi untuk Robohnya Surau Kami , karya A. A. Navis, dan juga mengoreksi judul rubrik Wayang Opo Maneh di Jawa Pos, Minggu.
15 Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa tokoh atau lakon wayang bisa muncul sebagai karya sastra atau pelesetan kultural. Karya sastra serius misalnya, puisi, cerpen, dan novel di atas merupakan kekaguman kreatif terhadap dunia wayang, sedangkan pelesetan kultural tersebut bisa dilihat sebagai outlet dari kejenuhan cinta terhadap wayang. Baik kekaguman maupun kejenuhan, kedua-duanya bersumber dari kondisi psiko-sosial yang satu: dominasi wayang dalam budaya Jawa (Keeler 1992: 38-48, Magnis-Suseno 1984: 114-6). Artinya, bagi manusia Jawa, wayang merupakan teks pendahulu yang tergurat tajam dalam ingatan kolektif mereka. Sebagai teks pendahulu, wayang telah mendorong munculnya narasi pengantin Jawa sebagai seni pentas sejak tahun 1970an. Dulu orang Jawa merayakan pesta perkawinan dengan nanggap wayang; sekarang merekalah yang jadi wayang , dengan MC yang bernarasi sebagai dalangnya (Kadarisman 1999). Ditinjau dari sudut universalitas dan relativitas budaya, wayang dalam budaya Jawa adalah contoh dari entitas kultural yang khas Jawa. Maka seperti dalam pembicaraan tentang primbon, bahasa Jawa dan dunia wayang saling terkait erat-lekat seperti dua sisi dari mata uang yang sama. Yang lebih menarik, wayang mengandung mitos dan kearifan budaya, yang tidak menyusut dan mengendap dalam bahasa, melainkan menghidup-suburkan kreativitas bahasa dan sastra Jawa, dan juga sastra Indonesia yang berlatar Jawa. 4. PENUTUP: KEMBALI KE PARADIGMA SAUSSUREAN Dalam perkembangan ilmu bahasa, ada tradisi Bloomfieldian yang tak berubah dalam tradisi Chomskyan, yaitu pandangan bahwa linguistik adalah matematika bahasa. Ini nampak jelas pada pendekatan mentalistik-formal yang diperkenalkan oleh Chomsky (1957, 1965), terutama menggunakan re-write rules yang mampu menjelaskan kreativitas bahasa dengan sangat baik. Dalam sintaksis generatif, phrase structure rules yang bersifat recursive adalah penjelasan matematis yang cerdas: bagaimana frasa atau kalimat dapat diperpanjang terus menerus tanpa batas. Seperti halnya tak ada angka terbesar dalam matematika, tak ada pula frasa atau kalimat terpanjang dalam bahasa. Language is fundamentally creative. Ketika kita berbicara atau menulis, kita menciptakan kalimatkalimat baru; dan ketika kita mendengar atau membaca, kita memproses pemahaman kalimat-kalimat baru pula. Hal ini dimungkinkan oleh linguistic competence (Radford 1997: 2) atau kompetensi bahasa, yaitu a specific mental ability that enables us to create and interprete novel grammatical utterances. Sampai di sini, pendekatan formal yang mengisyaratkan linguistik adalah bagian dari sain nampak sangat logis dan menyakinkan. Tambahan lagi, pendekatan ini jadi semakin menarik ketika berusaha menemukan dan merumuskan formal universals. Seperti dikemukakan di awal tulisan ini, formal universals yang berupa principles and parameters dianggap sebagai kaidah-kaidah universal yang membentuk Universal Grammar (Chomsky 1995). Universalitas bahasa adalah istilah yang memiliki daya pikat tersendiri. Tetapi ketika universalitas bahasa itu dirumuskan melalui pendekatan deduktifteoritis dengan formalisme berlebihan, hasilnya tidak selalu memuaskan. Kaidah-kaidah dalam linguistik generatif mungkin memadai untuk menjelaskan mengapa sebuah kalimat berterima atau tak-berterima pada tataran sintaktis. Tetapi kaidah-kaidah itu tidak bisa menjelaskan, misalnya, kenapa seorang direktur tersinggung ketika ditanya sekretarisnya, Suratnya sudah Anda tanda-tangani? Dalam konteks ini, penggunaan pronomina Anda sebagai salah satu pronomina kedua dalam bahasa Indonesia kurang memenuhi kesantunan berbahasa. Sebaliknya, dalam konteks yang sama, pertanyaan Have you signed the letter? adalah pertanyaan yang santun dalam bahasa Inggris, karena orang
16 kedua selalu disapa dengan you tanpa kecuali. Ini adalah contoh kecil dari relativitas bahasa. Universalitas bahasa dapat diterima jika betul-betul terbukti secara empirik. Meminjam istilah kaum generatif, substantive universals lebih mudah dibuktikan kebenarannya daripada formal universals. Satuan bahasa seperti fonem, morfem, kategori leksikal (misalnya, N, V, A), dan kategori frasal (misalnya, NP, VP, AP) merupakan satuan bahasa yang bersifat universal. Universalitas ini dapat berfungsi sebagai poros untuk menjelaskan relativitas bahasa. Semua bahasa memiliki fonem, yang terdiri atas konsonan dan vokal. Tetapi bahasa Hawaii hanya memiliki 8 konsonan dan 5 vokal, sementara bahasa Inggris memiliki 22 konsonan dan 12 vokal. Semua bahasa memilki fonem bebas dan fonem terikat, yang lazimnya berupa afiks. Bahasa Inggris hanya memiliki prefiks dan sufiks, sedangkan bahasa Indonesia memiliki prefiks, sejumlah infiks, sufiks, dan simulfiks. Bahasa Inggris dan Indonesia adalah bahasa berpola S-V-O. Tetapi konstruksi object-focus hanya ada dalam bahasa Indonesia, dan tak ada dalam bahasa Inggris. Bergerak ke ranah budaya, kesantunan ada dalam setiap budaya, tetapi aktualisasinya mungkin berbeda secara lintas-bahasa. Dalam budaya Jawa, kesantunan menembus sistem leksikon, sehingga sebuah kata dapat terbelah menjadi bentuk ngoko, madya, dan krama. Fenomena ini tidak terdapat dalam bahasa Inggris. Dalam poros paradigmatik, pronomina kedua you dalam bahasa Inggris tegak sendirian; sebaliknya dalam bahasa Jawa ia terbelah menjadi tiga: kowe, sampeyan, panjenengan. Maka, ketika leksis diproyeksikan pada poros sintagmatik, kalimat bahasa Inggris bersifat mono-level sedangkan kalimat bahasa Jawa bersifat multi-level. Pada seni pentas, varian bahasa Inggris Shakespeare mungkin memiliki kemiripan dengan varian bahasa Jawa pedalangan. Tetapi karya Shakespeare tidak menjadi inti budaya Inggris, sedangkan wayang adalah inti budaya Jawa. Dalam bahasa Indonesia, pronomina kedua Anda yang berdiri di tengahtengah antara pronomina kamu yang [-hormat] dan pengganti-pronomina Bapak/Ibu yang [+hormat] mengisyaratkan kesetaraan dalam komunikasi verbal. Karena itu, meluasnya penggunaan Anda dalam konteks sosial-politik di Indonesia dapat dilihat sebagai indikator berkembangnya egalitarianisme dan demokratisasi. Sebaliknya, pronomina kedua you yang tegak sendirian tidak mungkin dijadikan indikator yang sama oleh masyarakat berbahasa Inggris. Waktu adalah konsep yang unversal, tetapi secara lintas-budaya ucapan selamat yang berkaitan dengan waktu sangat beragam. Begitu pula cara manusia menghargai waktu bervariasi secara kultural. Ini nampak pada peribahasa yang merupakan cultural maxims. Orang Inggris mengatakan, time is money; tapi orang Jawa bilang, alon-alon waton kelakon (perlahan-lahan asalkan sampai.) Musik rock adalah irama ombak beringas menghantam cadas yang terjal; langgam Jawa adalah lagu air sungai yang menyusuri lembah dengan sabar dan tenang. Budaya dan bahasa mengalir bersama arus waktu, meninggalkan endapan mitos dan mutiara kearifan. Manusia modern adalah manusia yang tahu bagaimana membebaskan diri dari mitos dan menghiasi diri dengan kearifan. Seluruh uraian tentang relativitas bahasa dan budaya dalam makalah ini dapat disimpulkan dalam postulat neo-Bloomfieldian: every language is unique, structurally and culturally. Sebagai alat-analisis, gramatisasi , leksikalisasi , dan verbalisasi , yang masing-masing terkait dengan bentuk dan makna bahasa, bersifat universal. Tetapi ketika ketiganya diproyeksikan secara lintas-bahasa dan lintas-budaya, muncullah berbagai perbedaan. Maka setiap bahasa, yang tak bisa lepas dari lingkup budayanya, muncul di depan kita dengan kekhasan masing-masing. Jelasnya, analisis struktural cukup memadai
17 untuk membedah relativitas bahasa, baik yang lepas dari maupun terkait dengan relativitas budaya. Analisis struktural ini dikembangkan berdasarkan paradigma Saussurean: bahasa adalah langue yang dilingkupi dan juga melingkupi ranah budaya, sehingga signifier dan signified mendapatkan pengertiannya yang lebih lengkap ketika keduanya diproyeksikan pada tingkat kata, frasa, kalimat, maupun wacana dengan mengacu pada lanskap sosialbudaya.
18 Catatan: Saya sangat berterima kasih kepada Drs. Indawan Syahri, M.Pd., dosen Universitas Muhamadiyah Palembang dan kandidat doktor pada Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris PPS UM, yang telah membaca-cermat dan memberikan saran perbaikan pada draf awal makalah ini. Saya juga berterima kasih kepada para nara sumber, yang secara langsung maupun tak langsung telah membantu memberikan data dan melengkapi referensi yang sangat berharga bagi penulisan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA Brown, Penelope & Levinson, Stephen C. 1987. Politeness: Some Universals in Language Use. Cambridge: Cambridge University Press Chomsky, Noam. 1957. Syntactic Structures. The Hague: Mouton. Chomsky, Noam. 1965. Aspects of Theory of Syntax. Cambridge, Massachusetts: The MIT Press. Chomsky, Noam. 1981. Lectures on Government and Binding. Mouton: The Gruyter. Chomsky, Noam. 1995. The Minimalist Program. Cambridge, Massachusetts: The MIT Press. Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press. Eneste, Pamusuk (ed.). 1986. Chairil Anwar: Aku Ini Binatang Jalang. Jakarta: P. T. Gramedia Foley, John Miles. 1995. The Singer of Tales in Performance. Bloomington, Indianapolis: Indiana University Press. Francis, W. Nelson. 1958. The Structure of American English. Ronald Press: New York. Fries, Charles C. 1945. Teaching and Learning English as a Foreign Language. Ann Arbor: The University of Michigan Press. Geertz, Clifford. 1960. The Religion of Java. Chicago and London: The University of Chicago Press. Gumperz, John J. & Levinson, Stephen C. 1996. Rethinking Linguistic Relativity. Cambridge University Press Hudson, R. A. 1980. Sociolinguistics. Cambridge: Cambridge University Press. Jawa Pos, Minggu, 6, 13, dan 20 Maret 2005. Joos, Martin. 1957. Readings in Linguistics. New York: American Council of Learned Societies. Kadarisman, A. Effendi. 1999. Wedding Narratives as Verbal Art Performance: Explorations in Javanese Poetics. Disertasi Ph.D. (tidak dipublikasikan). University of Hawaii at Manoa, Honolulu, Hawaii, USA. Kadarisman, A. Effendi. 2004a. Keterbatasan Teori Minimalis Chomsky. Dalam Linguistik Indonesia, Tahun ke 22, No. 2, hlm. 185-207. Kadarisman, A. Effendi. 2004b. Linguistic Relativity, Cultural Relativity, and Foreign Language Teaching. Makalah disajikan pada Seminar Internasional TEFLIN di Palembang, Desember 2004. Keeler, Ward. 1992. Javanese Shadow Puppets. Singapore: Oxford University Press. Lado, Robert. 1964. Language Teaching: A Scientific Approach. New York: McGrawHill, Inc. Lavandera, Beatriz R. 1988. The Study of Language in its Sociocultural Context. Dalam Newmeyer, Frederick J. (ed.). Linguistics: The Cambridge survey, vol. IV: Language: The socio-cultural context, hlm. 1-13. Cambridge: Cambridge University Press.
19 Levinson, Stephen C. 1983. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press. Magnis-Suseno, Franz. 1984. Etika Jawa (Javanese ethics). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Moeliono, Anton M. dan Dardjowidjojo, Soenjono (ed.). 1988. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Mohamad, Goenawan. 1971. Pariksit. Jakarta: Litera. Navis, A. A. 2002. Robohnya Surau Kami (Kumpulen Cerpen). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Newmeyer, Frederick J. 1986. Linguistic Theory in America (second edition). San Diego: Academic Press, Inc. Noegroho, Yudhistira Ardi. 1977. Arjuna Mencari Cinta. Jakarta: Cypress. Poedjosoedarmo, S., Th. Kundjana, G. Soepomo, Alip, & Suharso. 1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Poedjosoedarmo, S., G. Soepomo, Leginem, & A. Suharno. 1986. Ragam Panggung dalam Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Raffel, Burton (ed.). 1984. 41 Stories by O. Henry. New York: A Signet Classic, New American Library. Raffel, Burton. 1993. The Voice of the Night: Complete Poetry and Prose of Chairil Answar. Ohio University: Monographs in Indonesian Studies, Southeast Asia Series, No. 89. Rendra, W. S. 1977. Potret Pembangunan dalam Puisi. Jakarta: Gramedia. Rivers, Wilga M. 1981. Teaching Foreign-Language Skills (Second Edition). Chicago and London: The University of Chicago Press. Sapir, Edward. 1921. Language: An Introduction to the Study of Speech. San Diego, New York, London: Harcourt Brace Jovanovich, Publishers. Saussure, Ferdinand de. 1959. Course in General Linguistics (English translation by Baskin, W.). New York, Toronto, London: McGraw-Hill Book Company. Soemanto, Bakdi. 2002. Doktor Plimin (Kumpulan Cerpen). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Soemodidjojo, R. 1993. Kitab Primbon Betaljemur Adammakna (Cetakan ke-52). Yogyakarta: Penerbit Soemodidjojo Mahadewa. Sudaryanto (ed.). 1991. Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Suharno, Ignatius. 1982. A Descriptive Study of Javanese. (Pacific linguistics, series D. no. 45.) Canberra: Australia: Department of Linguistics, Research School of Pacific Studies, The Australian National University. Smith, Neil. 1999. Chomsky: Ideas and Ideals. Cambridge: Cambridge University Press. Tempo, no. 44, 46, 47, 48 - Januari 2005; no. 50, Februari 2005. Trudgill, Peter. 1983. Sociolinguistics: An Introduction to Language and Society. (Revised edition.) Penguin Books. Uhlenbeck, E. M. 1978. Studies in Javanese Morphology. The Hague: Martinus Nijhoff. Webster's Ninth New Collegiate Dictionary. 1989. Springfield, Massachusetts: Merriam Webster Inc., Publishers. Wojowasito, S. 1982. Kamus Inggeris-Indonesia. Tanpa Kota: Penerbit C. V. Pengarang.