RELATIVITAS BAHASA DAN BUDAYA DALAM PENDIDIKAN M. Mugni Assapari (Dosen Bahasa Inggris Fakultas Dakwah IAIN Mataram E-mail:
[email protected]) Abstract Linguistic relativity and linguistic universality relate to each other as two opposite poles in the world of linguistics. They depend on each other for their respective existence, and they are both absolutely necessary for giving adequate description of a great variety of linguistic Phenomena. The recent re-emergence of linguistic relativity has been a reaction against excessive formalism in Generative Linguistics, particularly in its ambitious attempts to explain the nature of Universal Grammar. The reemergence of linguistic relativity is thus best seen as a Balancing effort in the latest development of linguistic theory. In its connection with cultural relativity, linguistic relativity may well be explained, on the one hand, by referring back to the Sapir-Whorf hypothesis, which states that the way we perceive reality is in part determined by the language we speak. On the other hand, linguistic and cultural relativity may also be explained by going back to the Saussurean ideas of signifier vs. signified, and by adding to them the newly Coined linguistic concepts of grammaticization, and verbalization. Key words: Linguistic Relativity, Cultural Relativity, Grammaticization.
48
Pendahuluan
Relativitas bahasa dan relativitas budaya adalah topik tua yang tetap menarik. Dalam dua bab terakhir dari bukunya Language, Sapir (1921) membahas kaitan tak langsung antara bahasa dan budaya, serta kekhasan bentuk sastra yang tergantung pada kekhasan struktur bahasa yang menjadi wahananya. Di masa kejayaan aliran Strukturalisme Amerika, relativitas bahasa dinyatakan oleh Joos (1957: 96) sebagai berikut, Languages could differ from each other without limit and in unpredictable ways . Secara lebih ringkas, Moulton (lihat Rivers 1981: 43) menyarikannya, Languages are different . Dalam aliran Strukturalisme Amerika, perbedaan lintas-bahasa yang dinyatakan oleh Joos maupun Moulton terutama meliputi perbedaan struktur bahasa pada tingkat fonetik, fonemik, morfemik, dan sintaktik. Kuatnya keyakinan terhadap relativitas bahasa tersebut mendorong munculnya gagasan tentang analisis kontrastif dalam pengajaran bahasa asing, yang dipelopori oleh Fries (1945) dan kemudian dipopulerkan oleh Lado (1964). Artinya, relativitas bahasa, yang merupakan kesimpulan analisis linguistik murni, jadi menonjol secara amat jelas di bidang linguistik terapan: every language is structurally unique. Relativitas bahasa budaya nampak pada hasil kajian antropologi budaya, misalnya tentang tingkat tutur bahasa Dalam Teori (Chomsky 1981) maupun Teori Minimalis (Chomsky 1995), adalah nama baru bagi LAD (language acquisition device). is the set of linguistic principles we are endowed with at birth in virtue of being human (Smith 1999: 42). Dalam paradigma Chomskyan, universalitas bahasa terutama bertumpu pada formal universals, yaitu prinsipprinsip kebahasaan yang diklaim bersifat universal dan secara bersama-sama membentuk UG. Perlu diingat, dalam teori Chomsky, sintaksis bersifat sentral. Maka tidak mengejutkan jika formal universals sebagaian besar merupakan kaidah-kaidah sintaksis. Bagi Chomsky, language is a mirror of the mind. Linguistik Generatif adalah linguistik konteks, pendekatannya bersifat mentalistik-formalkembali relativitas bahasa. It does not seem far-fetched to hold Chomsky indirectly responsible for the accelerated development in sociolinguistics and ethnolinguistics at the end of the 1960s and for the emphasis laid upon pragmatics and discourse analysis in the mid 1970s. Paradoxical as it may seem, his revival of the Saussurean langueparole dichotomy (under the name competence and performance ), and even more important, his assertion of the auto-nomy of syntax, sparked renewed interest in the study of language in its sociocultural context. Artikel ini membicarakan relativitas bahasa dan relativitas budaya dengan duapendekatan. Pertama, pendekatan Sapir-Whorf, yang hipotesisnya menyatakan bahwapersepsi kita terhadap realitas dipengaruhi oleh bahasa 49
pertama yang kita miliki. Kedua,pendekatan Hudson, yang menyatakan bahwa nilai-nilai budaya yang kita anut akan tercermin dalam tingkah-laku kebahasaan kita. Kedua pendekatan ini dikaitkan dengan pemikiran para expert. Pemikiran Saussurean tentang penanda (signifier) dan petanda (signified), denganmenambahkan konsep mutakhir berupa leksikalisasi, gramatisasi, dan verbalisasi. Untukmemperoleh gambaran yang lebih jelas tentang relativitas bahasa dan relativitas budaya,akan digunakan contoh-contoh dari beberapa bahasa yang diketahui oleh penulis (yaitu, bahasa Jawa, Indonesia, Inggris, dan Arab), dan contoh-contoh tersebut akan diproyeksikan pada lanskap sosiokultural. Leksikalisasi dan Gramatisasi Lintas Bahasa Bagi pendekatan yang melihat bahasa sebagai cermin masyarakat atau cermin budaya, definisi bahasa yang sesuai adalah paduan antara definisi Sapir (1921: 8) dan definisi Francis (1958: 13) Language is a system of arbitrary vocal or visual symbols used by people of a given culture as a means to carry on their daily affairs. Bahasa adalah sistem verbal atau visual bersifat manasuka, yang digunakan oleh sekelompok penutur dengan budaya tertentu, sebagai alat komunikasi dalam kehidupan mereka sehari-hari.) Definisi ini menegaskan bahwa bahasa adalah entitas budaya, dan menyarankan bahwa konsep-konsep budaya mungkin sekali bersifat khusus dan muncul secara jelas lewat ekspresi bahasa. Sejak kita mengenal pemikiran de Saussure (1916 -1959), kita setuju bahwa bahasa bukanlah name-giving. Artinya, berbahasa bukan berarti memberikan namanama pada benda-belum-bernama. Setiap kata, menurut de Saussure, adalah sebuah tanda yang arbitrer (arbitrary sign), yang terdiri atas penanda (signifier) dan petanda (signified). Dalam istilah yang lebih kita kenal, penanda berarti bentuk dan petanda berarti makna. Dalam konteks ini, istilah leksikalisasi berarti kehadiran makna dan bentuk secara serempak sebagai kata (misalnya, kata ayah, yang terdiri dari bentuk atau bunyi [ayah] dan makna orang tua lakilaki ); dan gramatisasi berarti kehadiran konsep dan bentuk gramatikal secara serempak sebagai penanda gramatik (misalnya, sufiks -s pada kata books, yang berarti lebih dari satu ). Berikut akan dibicarakan leksikalisasi dan gramatisasi, yang keduanya diproyeksikan pada wacana sosiokultural masing-masing. Hubungan Antara Bahasa dan Budaya Sosiolinguistik Telah di sinyalir oleh para ahli bahasa bahwa bahasa sebagai alat komunikasi secara genetis hanya ada pada manusia. Implementasinya manusia mampu membentuk lambang atau memberi nama guna menandai setiap kenyataan, sedangkan binatang tidak mampu melakukan itu semua. Bahasa 50
hidup di dalam masyarakat dan dipakai oleh warganya untuk berkomunikasi. Kelangsungan hidup sebuah bahasa sangat dipengaruhi oleh dinamika yang terjadi dalam dan dialami penuturnya. Dengan kata lain, budaya yang ada di sekeliling bahasa tersebut akan ikut menentukan wajah dari bahasa itu. Istilah bahasa dalam bahasa Indonesia, sama dengan language, dalam bahasa Inggris, taal dalam bahasa Belanda, sprache dalam bahasa Jerman, lughatun dalam bahasa Arab dan bhasa dalam bahasa Sansekerta. Istilah-istilah tersebut, masing-masing mempunyai aspek tersendiri, sesuai dengan pemakainya, untuk menyebutkan suatu unsur kebudayaan yang mempunyai aspek yang sangat luas, sehingga merupakan konsep yang tidak mudah didefinisikan. Seperti yang diungkapkan oleh para ahli: Menurut Sturtevent berpendapat bahwa bahasa adalah sistem lambang sewenang-wenang, berupa bunyi yang digunakan oleh anggota-anggota suatu kelompok sosisal untuk kerjasama dan saling berhubungan. Menurut Chomsky language is a set of sentences, each finite length and contructed out of a finite set of elements. Menurut Keraf, bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat, berupa lambang bunyi suara yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Pengertian Bahasa Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi III (2005:88) disebutkan bahwa: bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota satu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri; bahasa merupakan percapakan (perkataan) yang baik. Pendapat lainnya dikemukakan oleh Brown dan Yule (1983: 1) yang menyatakan bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi. Lebih dari itu, kedua pakar linguistik ini menyebutkan dalam penggunaannya bahasa (language in use) merupakan bagian dari pesan dalam komunikasi. Dalam bahasa Brown dan Yule, hal ini disebut dengan istilah ‘transaksional’ dan ‘interpersonal’. Artinya, ada kebiasaan dan kebudayaan dalam menggunakan bahasa sebagai media/alat berkomunikasi. Budaya adalah pikiran, akal budi, yang di dalamnya juga termasuk adat istiadat (KBBI, 2005:169). Dengan demikian, budaya dapat diartikan sebagai sesuatu yang dihasilkan dari pikiran atau pemikiran. Maka tatkala ada ahli menyebutkan bahwa bahasa dan pikiran memiliki hubungan timbal-balik dapat
51
dipahami bahwa pikiran di sini dimaksudkan sebagai sebuah perwujudan kebudayaan. Pengertian Budaya Kebudayaan menurut Clifford Geertz sebagaimana disebutkan oleh Fedyani Syaifuddin dalam bukunya Antropologi Kontemporer yaitu sistem symbol yang terdiri dari simbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki bersama, yang dapat diindentifikasi, dan bersifat publik. Adapun Menurut Canadian Commision for UNESCO seperti yang dikutip oleh Nur Syam mengatakan kebudayaan adalah sebuah sistem nilai yang dinamik dari elemen-elemen pembelajaran yang berisi asumsi, kesepakatan, keyakinan dan atauran-atauran yang memperbolehkan anggota kelompok untuk berhubungan dengan yang lain serta mengadakan komunikasi dan membangun potensi kreatifitas. Menurut pemaparan di atas sehingga Para ahli membanginya menjadi 6 bagian yaitu: Definisi deskriptif yakni definisi yang menerangkan pada unsur-unsur kebudayaan. Definisi historis yakni definisi yang menekankan bahwa kebudayaan itu diwarisi secara kemasyarakatan. Definisi normatif yakni definisi yang menekankan hakekat kebuadayaan sebagai aturan hidup dan tingkah laku. Definisi psikologis yakni definisi yang menekankan pada kegunaan kebudayaan dalam menyesuaikan diri kepada lingkungan, pemecahan persoalan dan belajar hidup. Definisi sturktural definisi yang menekankan sifat kebudayaan sebagai suatu sistem yang berpola teratur. Peran Bahasa Dalam Pendidikan Bahasa adalah budaya. Ini yang selama ini menjadi sorotan masyarakat, bahasa merupakan ciri dari budaya suatu daerah atau personal yang ada dalam diri seseorang. Berbahasa dengan baik, baik pula kepribadian dan pendidikan sesorang. Lalu bagaimana jika budaya salah satu masyarakat menjadi uatu hal yang sulit diterima masyarakat, bisa jadi karena salah satu faktor yaitu bahasa yang kurang epat, dan itu bisa saja terjadi pada anak didik kita, jika tidak ditanamkan dari awal pentingnya ketepatan bahasa maka akan besar pengaruhnya terhadap budaya mereka dan pendidikannya kedepan. Pendidikan sebagai tumpuhan pembentukan mental anak, haruslah dirancang sesuai kebutuhan kejiwaannya. Penanaman nilai dalam suatu pendidikan harus diterapakan, Pentingnya pendidikan karakter yang memasukkan unsur nilai penting seperti budi pekerti, pengetahuan, tindakan, dan kesemua itu dilakukan 52
dengan tingkat kesadaran yang tinggi. Pada anak usia dini dianggap sebagai suatu hal penting. Penanaman sejak dini memberikan dampak besar bagi anak kedepannya, dengan harapan mental dan sikap anak cukup baik dalam menghadapai tantangan hidup. Bahasa Bahasa menunjukkan cerminan pribadi seseorang. Karakter, watak, atau pribadi seseorang dapat diidentifikasi dari perkataan yang ia ucapkan. Penggunaan bahasa yang lemah lembut, sopan, santun, sistematis, teratur, jelas, dan lugas mencerminkan pribadi penuturnya berbudi. Sebaliknya, melalui penggunaan bahasa yang sarkasme, menghujat, memaki, memfitnah, mendiskreditkan memprovokasi, mengejek, atau melecehkan, akan mencitrakan pribadi yang tak berbudi. Tepatlah bunyi peribahasa, "bahasa menunjukkan bangsa". Bagaimanakah sebenarnya tingkat peradaban dan jati diri bangsa tersebut? Apakah ia termasuk bangsa yang ramah, bersahabat, santun, damai, dan menyenangkan? Ataukah sebaliknya, ia termasuk bangsa yang senang menebar bibit-bibit kebencian, menebar permusuhan, suka menyakiti, bersikap arogan, dan suka menang sendiri. Bahasa memang memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional. Begitu pentingnya bahasa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu suatu kebijakan yang berimplikasi pada pembinaan dan pembelajaran di lembaga pendidikan. Salah satu bentuk pembinaan yang dianggap paling strategis adalah pembelajaran bahasa Indonesia, bahasa Sunda, bahasa Jawa, dan bahasa lainnya di sekolah. Sehingga ada lima selogan yang harus kita jadikan patokan dalam bahasa dalam konsep pendidikan karakter Bahasa adalah Lisan, bukan tulisan Bahasa adalah seperangkat kebiasaan Yang diajarkan adalah bahasa, bukan tentang bahasa Bahasa adalah yang diajarkan oleh si penutur asli Bahasa adalah berbeda-beda Peran Budaya dalam Pendidikan Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau
53
bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia. Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Menurut Edward B. Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Sedangkan menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan yang mana akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan, aktivitas, dan artefak. Gagasan (Wujud ideal) Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut. Aktivitas (tindakan)
54
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan. Artefak (karya) Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan. Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia. Secara historis-religius bahwa pendidikan terjadi lebih dahulu dari kebudayan. Dari sisi lain kemudian disebutkan bahwa pendidikan merupakan bagian dari kebudayaan, dan pendidikan tidak dapat dari kebudayaan. Keduanya merupakan gejala dan faktor pelengkap dan penting dalam kehidupan manusia.Sebab manusia sebagai makhluk alam, juga berfungsi sebagai makhluk kebudayaan atau makhluk berfikir (human rational). Pendidikan merupakan kegiatan yang universal dalam kehidupan manusia. Bagaimanapun sederhananya peradaban suatu masyarakat, di dalamnya terjadi atau berlangsung suatu proses pendidikan. Pendidikan telah ada sepanjang peradaban manusia. Pendidikan pada hakekatnya merupakan usaha manusia melestarikan hidupnya. Tiada kehidupan masyarakat tanapa adanya kegiatan pendidikan. Conclusion Sementara itu, Piaget, seorang sarjana Perancis, menyebutkan bahwa budaya (pikiran) akan membentuk bahasa seseorang. Dari sinilah lahir teori pertumbuhan kognisi oleh Piaget. Sedikit berbeda dengan itu, Vigotsky, sarjana Rusia, berbendapat bahwa perkembangan bahasa lebih awal satu tahap sebelum berkembangnya pemikiran (budaya) yang kemudian keduanya bertemu sehingga melahirkan pikiran berbasa dan bahasa berpikir. Noam Chomsky juga sepakat bahwa kajian bahasa memiliki erat kaitan dengan budaya. Demikian halnya dengan Eric Lenneberg yang memiliki kesamaan pandangan dengan teori kebahasaan yang dikemukakan oleh Chomsky dan Piaget (Chaer, 2003:52-58). 55
Menurut hemat peneliti, dapat ditarik kesimpulan bahwa budaya dan bahasa sangat terikat dan ga biasa di pisahkan begitu-pun bahasa dan budaya tidak biasa di abaikan dan sangat koheren dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Manusia merupakan makhluk sosial. Makhluk yang tidak dapat hidup sendiri atau individu, manusia sangat membutuhkan manusia lain dalam menjalankan aktivitas, salah satu contoh penggunaan bahasa yaitu komunikasi dengan orang lain. Bahasa adalah, suatu sistem yang sifatnya berbunyi dan kita ucapkan melalui mulut kita sebagai alat berkomunikasi dengan masyarakat satu dan yang lainnya, fungsi dari bahasa sendiripun salah satunya adalah, sebagai alat untuk menjelaskan sesuatu dengan menggunakan kata – kata kepada orang yang sedang kita ajak bicara. Ada juga fungsi bahasa itu sebagai alat untuk saling bekerjasama dengan sesama dan sebagai alat indentifikasi diri. Oleh sebab itu, unsur umur, pendidikan, agama, status sosial, lingkungan sosial, dan sudut pandang khalayak sasaran kita tidak boleh kita abaikan. Cara kita berbahasa kepada anak kecil dengan cara kita berbahasa kepada orang dewasa tentu berbeda. Penggunaan bahasa untuk lingkungan yang berpendidikan tinggi dan berpendidikan rendah tentu tidak dapat disamakan. Kita tidak dapat menyampaikan pengertian mengenai jembatan, misalnya, dengan bahasa yang sama kepada seorang anak SD dan kepada orang dewasa. Selain umur yang berbeda, daya serap seorang anak dengan orang dewasa tentu jauh berbeda. Lebih lanjut lagi, karena berkaitan dengan aspek komunikasi, maka unsur-unsur komunikasi menjadi penting, yakni pengirim pesan, isi pesan, media penyampaian pesan, dan penerima pesan. Mengirim pesan adalah orang yang akan menyampaikan suatu gagasan kepada penerima pesan, yaitu pendengar atau pembacanya, bergantung pada media yang digunakannya. Jika pengirim pesan menggunakan telepon, media yang digunakan adalah media lisan. Jika ia menggunakan surat, media yang digunakan adalah media tulis. Isi pesan adalah gagasan yang ingin disampaikannya kepada penerima pesan. Daftar Pustaka Khoyin, Muhammad. 2013. philoshophy of language.pustaka setia. Bandung. Chomsky, Noam. 1965. Aspects of Theory of Syntax. Cambridge, Massachusetts: The MIT Press. Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press. Fries, Charles C. 1945. Teaching and Learning English as a Foreign Language. Arbor: The University of Michigan Press. Kadarisman, A. Effendi. 2004a. Keterbatasan Teori Minimalis Chomsky. Dalam Linguistik Indonesia, Tahun ke 22, No. 2, hlm. 185-207. 56
Kadarisman, A. Effendi. 2004b. Linguistic Relativity, Cultural Relativity, and Foreign _________Language Teaching. Makalah disajikan pada Seminar International TEFLIN di Palembang, Desember 2004. Lado, Robert. 1964. Language Teaching: A Scientific Approach. New York: McGraw-Hill, Inc. Lavandera, Beatriz R. 1988. The Study of Language in its Sociocultural Context. Dalam Newmeyer, Frederick J. (ed.). Linguistics: The Cambridge survey, vol. IV: Language: The socio-cultural context, hlm. 1-13. Cambridge: Cambridge University Press. http://www.asmakmalaikat.com/go/artikel/pendidikan/umum1.htm
57