ISSN: 1693-7961
PUSAT PENELITIAN PENGELOLAAN PERIKANAN DAN KONSERVASI SUMBER DAYA IKAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KELAUTAN DAN PERIKANAN BTL
Vol. 11
No. 1
Hal. 1-40
Juni 2013
ISSN 1693-7961
ISSN 1693-7961
BULETIN TEKNIK LITKAYASA SUMBER DAYA DAN PENANGKAPAN Volume 11 Nomor 1 Juni 2013
BULETIN TEKNIK LITKAYASA SUMBER DAYA DAN PENANGKAPAN adalah publikasi untuk Teknisi Litkayasa, yang berisi mengenai kegiatan teknisi litkayasa terkait dengan prospek pengembangan, analisis kegiatan lapangan, dan lain-lainnya yang berhubungan dengan sumber daya dan penangkapan dan disajikan secara praktis, jelas, dan bersifat semi ilmiah. Terbit pertama kali tahun 2003 dengan frekuensi penerbitan sekali dalam setahun. Sejak tahun 2006, publikasi ini terbit dua kali dalam setahun yaitu pada bulan: JUNI dan DESEMBER.
Ketua Redaksi: Dra. Sri Turni Hartati, M.Si. Anggota: Ir. Agustinus Anung Widodo, M.Si. Drs. Suwarso, M.Si. Dra. Adriani Sri Nastiti, M.Si. Dra. Ni’am Muflikhah Redaksi Pelaksana: Ralph Thomas Mahulette, S.Pi., M.Si. Arief Gunawan, S.Kom Desain Grafis: Kharisma Citra Partadinata, S.Sn. Alamat Redaksi/Penerbit: Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konsevasi Sumber Daya Ikan Gedung Balitbang KP II Jl. Pasir Putih II Ancol Timur Jakarta Utara 14430 Email:
[email protected] BULETIN TEKNIK LITKAYASA SUMBER DAYA DAN PENANGKAPAN diterbitkan oleh Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konsevasi Sumber Daya Ikan-Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan-Kementerian Kelautan dan Perikanan.
KATA PENGANTAR Buletin Teknisi Litkayasa Sumber Daya dan Penangkapan Volume 11 Nomor 1 Juni 2013 adalah terbitan pertama pada Tahun 2013. Pencetakan Buletin ini dibiayai oleh DIPA Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan (P4KSI). Buletin Teknisi Litkayasa Sumber Daya dan Penangkapan ini menampilkan delapan artikel yang bersumber dari kegiatan penelitian yang berada di lingkup Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan (P4KSI). Terdiri atas dua artikel yang berasal dari Balai Riset Perikanan Perairan Umum-Palembang, tiga artikel dari Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya Ikan-Jatiluhur serta tiga artikel dari Balai Riset Perikanan Laut-Muara Baru. Delapan artikel mengulas tentang Pengamatan Kelimpahan Zooplankton Daerah Marempan di Sungai Siak Riau, Pengoperasian Alat Tangkap Jaring Apong di Segara Anakan Cilacap (Jawa Tengah), Teknis Pengoperasian Gillnet Tuna dengan Alat Bantu Rumpon dan Cahaya di Perairan Samudra Hindia Selatan Jawa, Pengaruh Metoda Operasi Penangkapan Jaring Insang Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Red Devil (Amphilophus citrnellus) di Waduk Sermo, D.I. Yogyakarta, Aspek Operasional Penangkapan dan Komposisi Hasil Tangkapan Pukat Hela yang Dioperasikan Nelayan Kota Tarakan, Kalimantan Timur, Analisa Konsentrasi Sulfat Secara Spektrofotometri di Perairan Danau Beratan dan Danau Batur, Propinsi Bali, Pengamatan Aspek Operasional Pukat Cincin yang Berbasis di PPN Prigi Jawa Timur, dan Teknik Mengukur Diameter Telur Ikan Dukang (Hemipimelodus borneensis). Buletin Teknisi Litkayasa Sumber Daya dan Penangkapan ini diharapkan dapat menambah wawasan sekaligus merupakan media peningkatan kapasitas para teknisi litkayasa yang berada di UPT lingkup Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan.
Redaksi
ii
ISSN 1693-7961 BULETIN TEKNIK LITKAYASA Volume 11 No. 1 Juni 2013 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ………………………………………………………………………………………........
i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………………………….......
iii
Pengamatan Kelimpahan Zooplankton Daerah Marempan di Sungai Siak Riau Oleh : Mirna Dwirastina…………………………………………………………………………………………..
1-4
Pengoperasian Alat Tangkap Jaring Apong di Segara Anakan Cilacap (Jawa Tengah) Oleh : Sukamto dan Dyah Ika Purnamanintyas………………………………………………………………
5-8
Teknis Pengoperasian Gillnet Tuna dengan Alat Bantu Rumpon dan Cahaya di Perairan Samudra Hindia Selatan Jawa Oleh: Agus Salim dan Enjah Rahmat……………………………………………………………………………
9-13
Pengaruh Metoda Operasi Penangkapan Jaring Insang Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Red Devil (Amphilophus citrnellus) di Waduk Sermo, D.I. Yogyakarta Oleh : Soleh Romdon………………………………………………………………………………………………
15-18
Aspek Operasional Penangkapan dan Komposisi Hasil Tangkapan Pukat Hela yang Dioperasikan Nelayan Kota Tarakan, Kalimantan Timur Oleh : Adi Surahman dan Mohammad Fadli Yahya………………………………………………………………
19-24
Analisa Konsentrasi Sulfat Secara Spektrofotometri di Perairan Danau Beratan dan Danau Batur, Propinsi Bali Oleh: Dyah Ika Kusumaningtyas dan Dedi Sumarno……………………………………………………………
25-31
Pengamatan Aspek Operasional Pukat Cincin yang Berbasis di PPN Prigi Jawa Timur Oleh : Hari Ilhamdi dan Adi Kuswoyo ……………………………………………………………………………
33-36
Teknik Mengukur Diameter Telur Ikan Dukang (Hemipimelodus borneensis) Oleh: Apriyadi dan Muhtarul Abidin………………………………………………………………………………
37-39
iii
Pengamatan Kelimpahan Zooplankton Daerah Marempan di Sungai Siak Riau (Dwirastina, M)
PENGAMATAN KELIMPAHAN ZOOPLANKTON DAERAH MAREMPAN DI SUNGAI SIAK RIAU Mirna Dwirastina Balai Riset Perikanan Perairan Umum, Mariana-Palembang Teregistrasi I tanggal: 15 Desember 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 02 April 2013; Disetujui terbit tanggal: 14 Mei 2013
PENDAHULUAN Salah satu sungai terdalam di Indonesia adalah Sungai Siak. Sungai Siak mengairi area di Pekanbaru, kepulauan Riau, Berdasarkan penelitian- penelitian yang telah dilakukan menyatakan bahwa Sungai Siak terindikasi telah tercemar ( Husnah,2008).
Tujuan penulisan makalah ini untuk mengetahui kelimpahan zooplankton di daerah Marempan Sungai siak tersebut sebagai informasi data penelitian. POKOK BAHASAN Lokasi Penelitian
Plankton merupakan organisme yang melayang – layang serta mengapung dipermukaan air. Secara umum plankton dibedakan menjadi dua yaitu zooplankton dan fitoplankton, plankton yang berupa tumbuhan disebut fitoplankton sedangkan berupa hewan disebut Zooplankton (Welch,1952).
Penelitian ini dilakukan di Sungai Siak daerah Marempan tahun 2009. Riset ini merupakan bagian dari riset tingkat degradasi di Sungai Siak bagian hilir. Dalam penelitian ini salah satu parameter yang diambil adalah sampling zooplankton yang dilakukan pada bulan Februari, Mei dan Juli tahun 2009.
Peranan zooplankton menempati posisi penting dalan rantai makanan dan jaring-jaring kehidupan di perairan. Menurut (Fahrul,2007) bahwa salah satu indikator pencemaran perairan yaitu besarnya nilai kelimpahan zooplankton.
BAHAN DAN ALAT Alat dan Bahan yang digunakan dalam pengambilan dan pengamatan sampel zooplankton dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian
No 1 2 3 4 5 6 7 8
Alat dan bahan Planktonet size 20 atau 200 µm Pipet 1 ml Botol 100 ml Mikroskop inverted Sedweight rafter Kaca penutup Buku tulis Ember
9
Buku-buku identifikasi
10
Formalin 40 %
Kegunaan Menyaring plankton Untuk mengambil contoh Untuk wadah contoh Untuk identifikasi Untuk menghitung dan identifikasi Penutup SR Mencatat data Mengambil zooplankton saat dilapangan dan mengukur air yang diambil sebera banyaknya Basmi, (2000). Bellinger, (1992). Jahn, (1949). Needham, (1962). Mizuno, (1979). Pennak, (1953). Yamaji, (1973). Pengawet zooplankton
CARA KERJA Pengambilan contoh sebagai berikut: 1. Siapkan ember ukuran 10 liter dan planktonet 2. Siapkan botol untuk wadah contoh dan diberi label: ditulis nama lokasi, tanggal, jam pengambilan. 3. Ambil sampel zooplankton sebanyak 50 L dan disaring menggunakan planktonet 4. Air yang sudah disaring menggunakan planktonet dimasukkan dalam botol dengan volume ± 100 ml.
5. Sampel zooplankton diberi pengawet larutan Formalin 40 %. 6. Pengamatan contoh di amati di laboratorium. 1. Contoh diamati di bawah mikroskop inverted dan SR/Sedweight Rafter dengan pembesaran 20x20 . 2. Identifikasi Zooplankton berdasarkan bukubuku identifikasi (Basmi,J.2000. Bellinger,E.G.1992. Jahn,T.L.1949. Needham,J.G.1962. Mizuno, T.1979.
1
BTL. Vol.11 No. 1 Juni 2013 : 1-4
Pennak,1953. Yamaji, I.1973, APHA.2005) serta di analisa datanya berdasarkan rumus. 3. Dihitung jumlah kelimpahan zooplanktonya. Perhitungan kelimpahan ini menggunakan rumus adalah sebagai berikut: K = A/f x (“ Xn2)/V Dimana: K = kelimpahan (ind/L) A = Jumlah kotak yang diamati pada SR Xn1 = Jumlah total organisme i.......yang ditemukan dari seluruh cawan yang dihitung V = Volume yang tersaring pada jaring planktonet. Sumber ; Wiadnyana, N.N dan Gabriel,A.A.2004.
HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan zooplankton ditemukan genusgenus zooplanktonseperti tertera pada Tabel 2, Tabel 3 dan Tabel 4. Dalam hasil pengamatan zooplankton bulan Februari (tabel 2) ditemukan 14 genus zooplankton dengan total kelimpahan 40000idv/L. Pada Tabel 2 di ketahui bahwa pada bulan Februari kelimpahan terbesar zooplankton terdapat pada genus Difflugia 14400 idv/L. Sedangkan kelimpahan terendah terdapat pada genus Anureopsis, Argonotholca, Euglena, Euglylpha, Monostyla, Oxytricha, Philodina, Stentor dengan kelimpahan yang sama masingmasing 800idv/L.
Tabel 2. Hasil Pengamatan Zooplankton di Daerah Marempan bulan Februari tahun 2009 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Nama Genus Anureopsis Argonotholca Difflugia Euglena Euglpha Monostyla Notholca Oxytricha Phacus Philodina Pleosoma Stentor Trachelomonas Trinema Total
Kelimpahan ( Idv/L) 800 800 14400 800 800 800 5600 800 4800 800 2400 800 3200 3200 40000
Tabel 3. Hasil Pengamatan Zooplankton Daerah Marempan bulan Mei tahun 2009
No 1 2 3 4 5 6 7 8
Nama Genus Difflugia Monostyla Nauplius Phacus Philodina Tintinnidium Trachelomonas Verticella Total
Pada Tabel 3 Pengamatan bulan Mei ada 8 genus zooplankton dengan jumlah kelimpahan total 9600 idv/ L . Kelimpahan terbesar zooplankton terdapat pada genus Difflugia 2400idv/L dan kelimpahan terendah
2
Kelimpahan ( Idv/L) 2.400 800 800 800 800 800 1.600 1.600 9.600 ditemukan pada genus Monostyla, Phacus, Philodina, Nauplius dan Tintinnidium dengan kelimpahan yang sama 800 idv/L.
Pengamatan Kelimpahan Zooplankton Daerah Marempan di Sungai Siak Riau (Dwirastina, M)
Tabel 4. Hasil Pengamatan Zooplankton Daerah Marempan Bulan Juli tahun 2009
No 1 2 3 4 5 6 7 8
Nama Genus Asplanchna Difflugia Euglypha Lepadella Phacus Philodina Trichocerca Total
Kelimpahan ( Idv/L) 800 1600 800 800 800 800 800 6400
Pada Tabel 4 pengamatan bulan Juli diketahui bahwa jumlah kelimpahan total 6400 idv/L. Kelimpahan terbesar pada genus Difflugia 1600idv/L sedangkan kelimpahan terendah pada genus Asplanchna, Philodina, Euglpha, Lepadella, Phacus, Trichocerca dengan kelimpahan yang sama 800 idv/L. Dari hasil pengamatan diketahui jumlah kelimpahan berdasarkan menurut bulan februari 40000idv/L (Tabel 2), Mei 9600 idv/L ( Tabel 3) dan Juli 8000idv/L (Tabel 4). Kelimpahan terbesar pada bulan Februari.
1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0
Series1
Gambar 3. Grafik Kelimpahan Zooplankton bulan Juli Fluktuasi kelimpahan tiap genus pada bulan Februari, Mei dan Juli dapat dilihat pada Gambar 1, Gambar 2 dan gambar 3 dibawah ini . 16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0
KESIMPULAN
Trinema
Stentor
Trachelomonas
Pleosoma
Phacus
Philodina
Notholca
Oxytricha
Monostyla
Euglena
Euglpha
Difflugia
Anureopsis
Argonotholca
Series1
Dari hasil pengamatan yang dilakukan maka dapat ditarik suatu kesimpulan adalah sebagai berikut:
Gambar 1. Grafik Kelimpahan Zooplankton bulan Februari
1. Kelimpahan total zooplankton bulan Februari 40.000idv/ L, Mei 9.600idv/L, dan bulan Juli 6.400 idv/L. 2. Kelimpahan genera tertinggi terdapat pada genera Difflugia pada bulan Februari sebesar 14.400idv/L.
3000 2500 2000
3. Ada 20 genera zooplankton yang ditemukan dari bulan Februari sampai Juli.
1500 1000 500
Difflugia merupakan genus yang paling sering ditemukan serta memiliki kelimpahan tertinggi pada setiap bulan pengamatan Hal ini karena Difflugia banyak ditemukan di perairan dan dalam klasifikasi termasuk dalam kelas Mastigophora. Difflugia mempunyai alat gerak berupa pseudopodium sehingga termasuk kategori zooplankton di lingkungan perairan.
Series1
0
DAFTAR PUSTAKA APHA, AWWA & WEF 2005. Standar Methods for Examination of Water & Wastewater. 21st Edition, American Public Health Associattion 800 I Steet, NW Washington DC, page: 4.
Gambar 1. Grafik Kelimpahan Zooplankton bulan Mei
3
BTL. Vol.11 No. 1 Juni 2013 : 1-4
Basmi,J. 2000. Diatom dalam Gambar. IPB.Bogor. Bellinger,E.G. 1992. A Key I Common Algae. The Institution of Water and Environmental Management. Fachrul, M.F, 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta. Husnah, dkk.2008. Tingkat Degradasi Lingkungan Perairan Di Sungai Siak Bagian Hilir Dengan Bentic Integrated Biotic Index (B-IBI ). Laporan Tahun/Akhir. Pusat Riset Perikanan Tangkap.Jakarta. Jahn,T.L.dkk. 1949. The Protozoa. W.M.C.Brown Company Publishers. Needham,James G. 1962. A Guide to The Study Of Fresh water Biology. Holden-Day. Mizuno, T. 1979. Illustrations Of The Freshwater Plankton Of Japan. Hoikusha Publishinhco.
4
Suarna, I W., I W. Restu dan I M.S. Wijana. 2007. Studi Biota Air Laut di Perairan Pemaron Singaraja Bali. J. Bumi Lestari, Vol.7 No.1 :24-30. Pennak,R.W. 1978. Fresh Water Invertebrates Of the United States. Awilley Interscience Publication Utomo,A.D. 2002. Suaka Perikanan Di perairan Umum Rawa Banjiran. Warta Penelitian Perikanan Indonesia. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta.Vol8 No.2: 15-18. Wiadnyana,N.N., Gabriel,A.A. 2004. Plankton, Produksivitas Dan Ekosistem Perairan. Pusat Riset Perikanan Tangkap Dana Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia . Welch. 1952. Limnology. New York: Mc. Graw Hill Book Company. Yamaji, I. 1973. Illustration of Marine Plankton. Hoikusha Publishing Co. Ltd. Osaka. Japan. 56p.
Pengoperasian Alat Tangkap …di Segara Anakan Cilacap (Jawa Tengah) (Sukamto & I. Purnamaningtyas)
PENGOPERASIAN ALAT TANGKAP JARING APONG DI SEGARA ANAKAN CILACAP (JAWA TENGAH) Sukamto dan Dyah Ika Purnamanintyas Balai Penelitian Pemulihan dan konservasi Sumberdaya Ikan-Jatiluhur Teregistrasi I tanggal: 01 Agustus 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 05 Februari 2013 Disetujui terbit tanggal: 18 Maret 2013
PENDAHULUAN Laguna Segara Anakan merupakan perairan estuari yang berada dalam wilayah administratif Kabupaten Cilacap. Secara geografis berada pada posisi 07°34’29,42" – 07°:47:32,39 LS sampai 108°46’30" – 109°03’21,02" BT dan mencakup wilayah seluas 34.018,62 ha (Perda Kab. Cilacap No. 23 tahun 2000 dalam BP2KSI, 2012). Kawasan ini berbatasan langsung dengan pulau Nusakambangan dan diujung barat berbatasan dengan Propinsi Jawa Barat. Perairan laguna adalah perairan semi tertutup yang berhubungan bebas dengan laut, sehingga air laut dengan salinitas yang tinggi dapat bercampur dengan dengan air tawar, menjadikan wilayah ini unik dengan terbentuknya air payau dengan salinitas yang berfluktusasi. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap produktivitas perairan dimana produktivitas estuari lebih tinggi (1500 g/m 2/th) di banding produktivitas ekosistem laut lepas (125 g/m2/th) dan perairan tawar yang biasanya hanya berkisar 400 g/ m2/th (Saptarini 1995 dalam Tjahjo & Riswanto 2011). Sebagai kawasan estuari yang subur, tentunya berimplikasi dengan kelimpahan potensi sumberdaya ikan dan udang, dan laguna segara anakan merupakan kawasan faforit bagi sekitar 2.122 nelayan yang bermukim di sepanjang pesisir dan menggantungkan hidupnya pada perairan laguna. Sebagian besar nelayan laguna menjalankan aktifitas penangkapan secara tradisional. Beberapa jenis alat yang sering digunakan nelayan antara lain, jaring insang, arad, wadong, jala, sero, pancing waring, surungan, dan pancing ulur. Selain alat tangkap diatas terdapat alat tangkap tradisional yang paling dominan dioperasikan nelayan yaitu jaring apong. Alat tangkap jaring apong termasuk dalam kelompok alat tangkap pasif yang pembuatanya di lakukan dan dimodifikasi oleh nelayan sendiri dan dioperasikan pada daerah yang mempunyai pengaruh pasang surut air yang sangat kuat dengan kedalamam perairan yang cukup. Adapun tujuan dari penulisan ini adalah mengetahui tentang cara pengoperasian alat tangkap jaring apong, daerah penangkapan, dan komposisis hasil tangkapan
yang dioperasikan di perairan Segara Anakan Cilacap, Jawa Tengah. POKOK DAN BAHASAN Bahan dan Metode Pengamatan ini dilakukan di Perairan Segara Anakan Cilacap pada bulan April 2012. Percobaan penangkapan dilakukan di wilayah perairan Muara dua dan Klaces, sebagai daerah penangkapan alat tangkap jaring apong yang paling banyak dijumpai (Gambar 1). Sebagai pintu keluar masuk air ke laut, ke dua wilayah perairan tersebut mempunyai arus air yang sangat kuat. Alat tangkap ini dipasang berjajar menyilang alur pada badan sungai dan menghadang arus surut diantara dasar dan permukaan air. Pada umumnya jumlah alat tangkap yang dipasang bergantung pada lebar alur sungai atau perairan yang dilewati air dengan pasang surut air yang cukup kuat (Tjahjo et al., 2011). Penangkapan dengan menggunakan jarring apong dalam 1 bulan hanya berlangsung selama 3 minggu, 1 minggu lainnya disebut dengan istilah ngember, yaitu arus air lemah sehingga tidak dilakukan penangkapan. Spesifikasi Jaring Apong Alat tangkap apong terdiri dari jaring dan patok/ pancang. Jaring berbentuk kantong dengan ukuran mata jarring 1-3,5 inchi. Bagian ujung kantong umumnya terbuat dari waring dengan ukuran mata jaring 0,2 inchi. Bentuk jaring apong mengerucut memanjang dari mulai mulut sampai ujung kantong. Panjang jaring apong 25 m, lebar 10 m, dan tinggi 3 m. Setiap jarak 4 meter berganti mata jarring, berukuran semakin mengecil dari bukaaan mulut jaring sampai ujung kantong (Gambar 2). Mata jaring apong yang dipakai nelayan dari ujung mulut pembukaan sampai ujung kantong berukuran dari 3,5 inchi sampai dengan 1 inchi dan disambung menggunakan waring di penghujung jaring. Alat tangkap jaring apong merupakan alat tangkap yang bersifat pasif dan sering digunakan nelayan untuk menangkap udang. Alat tangkap ini termasuk alat tangkap tradisional karena dapat dibuat dan dimodifikasi oleh nelayan sendiri.
5
BTL. Vol.11 No. 1 Juni 2013 : 5-8
Gambar 1 Lokasi Pengamatan pengoperasian jaring apong di perairan Segara Anakan (Arddli & Wolff, 2008)
Gambar 2. Konstruksi alat tangkap jaring apong Peralatan Lain yang Digunakan 1. Bambu dengan panjang 8-10 meter berdiameter 5-6 cm ditancapkan kedasar perairan sebagai tiang dan sebagai tumpuan jaring. 2. Tambang dengan diameter 5-6 dipasang pada untuk mengikat sisi mulut jaring sebagai alat tali temali. 3. Tambang plastik dengan diameter 10 mm digunakan sebagai bahan pengikat jaring ke pemberat dan pelampung
6
4. Batu atau pasir dikemas dalam kedalam karung sebagai alat pemberat sehingga ketika air surut jaring tidak hanyut. 5. Rantai terbuat dari besi sebagai pemberat untuk mempertahankan jaring dalam kolom air supaya tegak lurus. 6. Jerigen atau steorofom sebagai alat pelampung untuk memudahkan pencarian dan mempertahankan ketinggian jaring dalam kolom air. 7. Seser untuk mengambil hasil tangkapan
Pengoperasian Alat Tangkap …di Segara Anakan Cilacap (Jawa Tengah) (Sukamto & I. Purnamaningtyas)
8. Keranjang/box steorofom untuk tempat hasil tangkapan 9. Es batu digunakan sebagai pengawet hasil tangkap Armada Penangkapan Kapal yang digunakan nelayan Segara Anakan pada umumnya adalah motor tempel, sebagai alat transpotasi untuk memasang alat tangkap dan mengambil hasil tangkapan. Perahu tersebut dibuat dari bahan kayu jati dengan dimensi Panjang 4 m lebar 0,8 m dan tinggi 0,7 m. Mesin penggerak kapal adalah motor tempel berkekuatan 5 PK. Cara Pengoperasian Jaring Apong 1. Pengukuran kedalaman perairan untuk menempatkan tiang pancang dan jarring. 2. Tali jaring diikat pada tiang pancang, kemudian tiang pancang ditancapkan kedasar perairan. 3. Pada jaring apong dipasang pemberat dan pelampung sehingga tidak terbawa arus atau posisinya stabil. 4. Pemasangan jaring apong dilakukan pada saat air pada posisi pasang tertinggi. 5. Alat tangkap jaring apong yang berperan sebagai alat perangkap ikan yang terbawa arus bersama kolom air masuk dan terjebak dibagian kantong (Zarochman, 2003). Jaring apong berbentuk kantong, kontruksinya hampir sama dengan jaring arad, yang membedakan
adalah cara pengoperasianya. Jaring apong dipasang secara pasif sedangkan jaring arad aktif karena ditarik kapal. Jaring apong biasanya dioperasikan dilokasi dengan pengaruh pasang surut air yang sangat kuat, pada perairan yang dalam. Pemasangan alat ini berjajar menyilang alur pada badan sungai dan menghadang arus surut diantara dasar dan permukaan air (Tjahjo et al., 2011). Jumlah alat tangkap apong yang dipasang tergantung lebar alur sungai atau perairan yang dilewati air mempunyai arus yang cukup kuat. Berdasarkan wawancara dengan dengan nelayan di Segara Anakan setiap satu orang nelayan mempunyai alat tangkap apong bekisar antara 2-3 buah. Nelayan dalam mengoperasikan alat tangkap apong dalam satu hari satu malam melakukan dua kali pemasangan. Alat tangkap jaring apong dioperasikan pada siang hari dan malam hari. Dalam satu kali operasi memerlukan waktu antara 4 sampai dengan 5 jam. Kondisi jaring apong yang sedang dioperasikan disajikan pada Gambar 3. Jumlah alat tangkap pada tahun 2011 menunjukkan peningkatan jumlah di bandingkan dengan tahun 2009 dimana pada tahun 2009 berjumlah 656 unit, sedangkan pada identifikasi pada tahun 2011, 720 unit yang tersebar pada delapan lokasi penangkapan. (PEMDA Kab. Cilacap, 1999). Pada jaring ini, nantinya dapat menjadi masalah tersendiri, semakin banyak aktivitas menggunakan jaring apong di perairan Segara Anakan yang bersifat pengurasan sumber daya ikan, dikhawatirkan akan berkurangnya sumber daya ikan yang ada.
Gambar 3. Kondisi jarring apong yang sedang dioperasikan, sketsa (1), aktual (2) Hasil Tangkapan Hasil percobaan penangkapan di wilayah perairan Klaces dalam satu kali pemasangan diperoleh kurang lebih 7 kg terdiri dari udang, ikan, kepiting dan ikan campuran. Persentase komposisi hasil tangkapan disajikan pada Gambar 4. Percobaan penangkapan
di wilayah perairan Muara Dua diperoleh kurang lebih 5,5 kg terdiri udang, ikan, kepiting, dan ikan campuran. Persentase komposisi hasil tangkapan disajikan pada Gambar 5. Dari dua lokasi penangkapan menggunakan jaring apong hasil tangkapan didominasi oleh jenis udang diantaranya udang krosok, dogol, dan tepus ( Gambar 6).
7
BTL. Vol.11 No. 1 Juni 2013 : 5-8
PERSANTUNAN
Gambar 4. Kompossisi hasil tangkapaan diwilayah perairan Klaces
Tulisan ini merupakan bagian dari hasil kegiatan penelitian Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan Jatiluhur pada tahun 2012, dengan judul Kajian Pengelolaan Sumber Daya Ikan dan Perikanan dengan Pendekatan Hubungan SosioEkologi di Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah. Penulis mengucapakan terima kasih kepada Dr. Didik Wahju Hendra Tjahjo sebagai Penanggung Jawab kegiatan penelitian. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1999. Laporan Fakta dan Analisis. Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kawasan Segara Anakan Tahun 2000/2001-2009/2010. Pemerintah Daerah Kabupaten Cilacap.
Gambar 5. Komposisi hasil tangkapaan di wilayah perairan Mangga Dua
Anonim. 2012. Laporan Teknis Penelitian, Pengelolaan Sumber Daya Ikan dan Perikanan dengan Pendekatan Hubungan Sosio-Ekologi di Segara Anakan, Cilacap. Karakteristik Sosial Ekonomi dan Kelembagaan Masyarakat Pesisir Laguna Segara Anakan: 50. Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan Jatiluhur. Riswanto & D.W.H. Tjahjo, 2011. Variasi Sebaran Kualitas Air di Perairan segara Anakan, kabupaten Cilacap. Seminar Nasional Tahunan, UGM.VIII. KL08 1-6.
Gambar 6. Hasil tangkapan dominan jaring apong di Segara Anakan Cilacap KESIMPULAN 1. Alat tangkap jaring apong bersifat pasif, berbentuk seperti kantong, terdiri dari jaring yang dilengkapi dengan patok/pancang. 2. Alat tangkap jaring apong dioperasikan pada siang hari dan malam hari. Dalam satu kali operasi memerlukan waktu antara 4 sampai dengan 5 jam 3. Hasil tangkapan jarring apong di wilayah perairan Kleces relative lebih tinggi dari pada Muara Dua. Hasil tangkapan dominan adalah kelompok udang, dengan komposisi udang (36-43%), ikan (1724%), kepiting (29-31%), dan ikan campuran (911%).
Tjahjo, D.W.H. & Riswanto 2012 Inoteraksi Trofifk Juvenil Ikan dan Udang Laguna Segara Anakan, Cilacap. JPPI konservasi Sumber Daya Ikan. 8 (1): 27-33. Tjahjo, D.W.H. Riswanto, S.E. Purnamanngtyas & A.Rahman, 2011. Kajian Resiko Perubahan Lingkungan Terhadap Sumber Daya Udang di Segara Anakan, Kabupaten Cilacap. Lap. Tahunan/ Akhir. Balai Penelitian pemulihan dan Konservasi Simber Daya Ikan. Purwakarta: 51 Tjahjo, D.W.H. A.Suryandari, Riswanto & A. Nurfiarini 2012. Pengelolaan Sumber Daya Ikan dan Perikanan dengan Pendekatan Hubungan SosioEkologi di Segara Anakan, Cilacap. Lap.Tahunan/ Akhir. Balai Penelitian pemulihan dan Konservasi Simber Daya Ikan. Purwakarta: 2 Zarochman, 2003. Laju Tangkap Udang dan Masalah Jaring Apong di Plawangan Timur Laguna Segara Anakan. Tesis Progam Pasca Sarjana, Undip, Semarang.
8
Teknis Pengoperasian Gillnet Tuna………di Perairan Samudera Hundia Selatan Jawa (Salim A & E. Rahmat)
TEKNIS PENGOPERASIAN GILLNET TUNA DENGAN ALAT BANTU RUMPON DAN CAHAYA DI PERAIRAN SAMUDRA HINDIA SELATAN JAWA Agus Salim dan Enjah Rahmat Balai Penelitian Perikanan Laut Teregistrasi I tanggal: 07 Januari 2013; Diterima setelah perbaikan tanggal: 23 Maret 2013; Disetujui terbit tanggal: 20 Mei 2013
PENDAHULUAN Sumber daya perikanan merupakan kekeyaan alam yang menjadi sumber mata pencaharian utama bagi nelayan, dan juga sebagai sumber penghasilan bagi mereka yang terlibat dalam kegiatan sebelum, selama dan sesudah penangkapan. Potensi ikan pelagis besar yang terdapat di perairan toritorial maupun ZEE Indonesia yaitu sebesar 178.368 ton per tahun dan cakalang 294.975 ton per tahun (Purwito Martosubroto et al, 1991). Rumpon sebagai alat bantu penangkapan berfungsi untuk mengumpulkan ikan sehingga lebih memudahkan penangkapannya. Penggunaan teknologi rumpon yang tepat dapat meningkatkan hasil tangkapan, menghemat bahan bakar, dan menghemat umpan. Menurut Atapattu (1991), tujuan utama penggunaan rumpon adalah untuk meningkatkan laju tangkap dan pengurangan biaya produksi, mengurangi waktu untuk mencari gerombolan ikan sehingga mengurangi biaya operasi kapal serta meningkatkan efisiensi penangkapan karena bertambahnya waktu yang tersedia untuk operasi penangkapan. Menurut Naamin dan Chai Chong (1987) mengungkapkan bahwa pada awal penggunaan rumpon laut dalam di Sorong (1986/1987) dapat meningkatkan hasil tangkapan total 105%, hasil tangkapan per stuan upaya 142%, meningkatkan pendapatan pemilik rumpon sebesar 367%, dan mengurangi pemakaian bahan bakar minyak 50%. Menurut Ayodhyoa(1981), peristiwa berkumpulnya ikan dibawah sumber cahaya disebabkan ikan mempunyai sifat fototaksis positif atau ikan tidak secara langsung tertarik dengan cahaya melainkan ada makanan yang dapat dimangsa. Akhir-akhir ini di perairan Samudra Hindia telah berkembang penggunaan rumpon laut dalam yang dipadu dengan cahaya untuk penangkapan ikan tuna, cakalang dan tongkol yang berbasis Pelabuan Ratu, Gunung Kidul Yogyakarta, Prigi, Malang, dan daerahdaerah lain. Pada tahun 2005 di Pelabuhan Perikanan Pantai Sadeng mulai berkembang penangkapan tuna
berbasis rumpon dan cahaya. Saat ini setidaknya terdapat 36 buah kapal dan 6 buah rumpon sebagai sarana penangkapan tuna yang beroperasi di selatan Gunung Kidul Yogyakarta. Kapal yang digunakan berkapasitas antara 10-15 GT dengan tenaga penggerak mesin 30 PK. Alat tangkap yang digunakan umumnya terdiri dari beberapa jenis pancing tangan atau pancing ulur dan jaring gillnet. Total Produksi ikan di PPP Sadeng pada tahun 2009 mencapai 958.991 kg, produksi ikan tuna dan cakalang sebesar 816.064 kg. Kapal motor penangkap ikan tuna dan cakalang selama satu tahun tercatat sebanyak 767 kali pelayaran (trip) atau rata-rata sebesar 1.063 kg/trip. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengetahui effisiensi teknis pengoperasian alat tangkap, laju tangkap serta panjang cagak hasil tangkapangillnet denagan alat bantu rompon yang dipadu dengan cahaya. POKOK BAHASAN Bahan dan Metode Penelitian dilakukan dengan cara mengidentifikasi armada penangkapan dan alat tangkapa gillnet tuna di Pelabuhan Perikanan Pantai Sadeng, melalui pengukuran panjang, lebar, dan dalam kapal, ukuran panjang dan mata jaring alat tangkap. Informasi tentang kisaran jumlah ABK dan mesin penggerak kapal diperoleh melalui wawancara dengan nahkoda dan pengurus kapal. Data dan informasi lainnya, seperti alat bantu, daerah penangkapan, cara penangkapan, dan hasil tangkapan diperoleh melalui observasi dengan mengikuti kegiatan nelayan. Kegiatan penelitian dilakukan pada bulan Juli 2010. Hasil dan Bahasan 1. Karakteristik Kapal Armada penangkap ikan di PPP Sadeng sebagian besar didominasi oleh kapal-kapal bantuan dari pemerintah. Kapal yang digunakan adalah kapal kayu dengan panjang antara 14m-20m, lebar 2,5m-3,5m, dan dalam antara 1,2m-1,70m, dengan mesin
9
BTL. Vol.11 No. 1 Juni 2013 : 9-13
penggerak inboard 2 unit merk Yanmar/Jiangdong 30 PK. ABK berjumlah 4-6 orang. Profil armada kapal gillnet dengan basis di PPP Sadeng disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Kapal gillnet penangkap ikan tuna di PPP Sadeng
3. Alat Bantu Penangkapan Rumpon Rumpon yang dioperasikan di perairan selatan Deaerah Istimewa Yogyakarta tergolong rumpon modern karena bahan-bahan yang digunakan terbuat dari hasil indstri seperti serat sitetis dan ban bekas kendaraan bermotor untuk material tali jangkar, besi beton cor semen untuk jangkar, dan ponton untuk pengapung. Atraktan sebagian ada yang menggunaakan bahan plstik, namun umumnya masih menggunakan bahan dari daun kelapa. Rumpon ini tergolong rumpon laut dalam karena dipasang pada jarak antara 30-60 mil dari pantai pada kedalaman perairan 500-1300 m.(Gambar 3). Rumpon laut dalam dipasang pada perairan dengan kedalaman lebih dari 200 meter tetapi umumnya dipasang pada kedalaman lebih dari 1000 meter.(Nasution, et al, 1986).
2. Karakteristik Alat Tangkap Alat tangkap yang dipergunakan adalah gillnet dengan lebar mata 4"- 5", benang d/12-d/21. Panjang terpasang 150 m.(3 pis) dan tinggi 35-60 m.(400-6000 mata). Pelampung menggunakan jeligen 30 L. sejumlah 3 buah pada setiap pisnya dan dipasang menggantung dengan tali sepanjang 3 m agar ketika dioperasikan jaring tidak terkena baling-baling kapal. Pemberat dengan saran, ditambah dengan pemberat batu 1 kg, sejumlah 3 buah pada disetiap pisnya.(Gambar. 2). Kapal gillnet juga membawa alat tangkap lain yaitu pancing ulur. Pancing ulur digunakan pada siang hari atau pada malam hari apabila gillnet kurang menguntungkan.
Gambar 3. Rumpon yang dioperasikan di Samudra Hindia Gambar 2. Gillnet yang dioperasikan di Samudra Hindia Selatan Jawa
10
Cahaya Mesin untuk menggerakkan dinamo berkekuatan 16 PK, sedangkan dinamo berkekuatan 5 KW dan menghasilkan intensitas cahaya sekitar 4000 watt. Lampu yang dipergunakan adalah jenis lampu mercuri 4-7 buah dengan intensitas cahaya 500-1000 watt.
Teknis Pengoperasian Gillnet Tuna………di Perairan Samudera Hundia Selatan Jawa (Salim A & E. Rahmat)
4. Daerah Penangkapan Daerah penangkapan kapal tuna yang berbasis di PPP Sadeng dan beroperasi di perairan Samudera
Hindia, sejauh 30-60 mil dari pantai Sadeng disajikan pada Gambar 4. Posisi, tanggal, waktu, dan hasil tangkatan Gillnet disajikan pada tabel 1.
Gambar 4. Daerah penangkapan(Fissing Ground) kapal tuna yang berbasis di PPP Sadeng Tabel 1. Operasional Kapal Gillnet Tuna Sampel pada Bulan Juli 2010 di Perairan Samudra Hindia Selatan Jawa DAERAH PENANGKAPAN KM. AKSELERASI 02 ALAT NO TANGGAL POSISI TANGKAP MULAI 1
2-Jul-10
S 08.41.358
TOTAL WAKTU
JAM SELESAI
gillnet
19.2
22.25
TANGKAP 2 jam 5 menit
JUMLAH TANGKAPAN (EKOR) 43
E 110.25.719
2 3
4-Jul-10
S 08.41.358 E 110.25.719
gillnet gillnet
19.15 21.3
20.3 22
1 jam 15 menit 30 menit
131 13
4
5-Jul-10
S 08.47.104 E 110.16.811
gillnet
19.3
20.15
45 menit
12
6 7
6-Jul-10
S 08.47.104 E 110.16.811
gillnet gillnet
19 21.22
20 21.46
18 82
gillnet
21.22
22.16
1 jam 24 menit 1 jam 6 menit
S 08.47.104
gillnet
19
20
6
E 110.16.811
gillnet
3.3 Total Hasil Tangkapan
4.37
1 jam 1 jam 7 menit
8 9 10
7-Jul-10
57
44 406
11
BTL. Vol.11 No. 1 Juni 2013 : 9-13
Berikut ini adalah posisi-posisi rumpon milik pemerintah, pemerintahdan swadaya masyarakat dan milik BPPI yang tersebar di perairan selatan DIY yang diambil dari rekaman GPS milik nelayan di PPP Sadeng-Gunung Kidul: S.08o 35' 128" E.110o 23' 243"; S.08o 32' 543" E.110o 31' 125"; S.08o 38' 147" E.110o 18' 689" S.08o 55' 279" E.110o 25' 576"; S.08o 27' 317" E.110o 19' 110"; S.08o 42' 119" E.110o 26' 314" 5. Penawuran Jaring Sebelum penawuran jaring, posisi kapal sudah diikatkan pada pronton. Setelah matahari tenggelam atau malam hari dan lampu-lampu obor dinyalakan seperti pada kapal pukat incin. Lampu yang digunakan berjumlah 4-7 buah dengan intensitas cahaya 4000-5000 watt. Setelah tampak gerombolan ikan dibawah cahaya lampu, kapal kemudian bergerak menjauh dari rumpon. Setelah terlihat gerombolan ikan mengikuti pergerakan kapal dan cahaya lampu, menjauh dari rumpon, kemudian dilakukan persiapan penawuran jaring. Posisi kapal saat setting jaring adalah memotong arus dengan arah angin yang searah. Pelampung tanda pertama dengan lampu di atasnya diturunkan terlebih dulu kemudian mengikuti berturut-turut pemberat dan pelampung pada jaring. Yang terakhir pelampung tanda kedua dengan lampu diatasnya juga diturunkan kelaut.
Dari posisi terakhir setting jaring, kapal bergerak menjauhi jaring. Kapal terus bergerak dengan kecepatan antara 2-3 knot kearah jaring memotong tengah-tengah antara dua buah pelampung tada. Pada saat akan posisi kapal mendekati jaring, kecepatan kapal ditambah sampai 4 knot. Kalau masih banyak terdapat ikan yang mengikuti kapal atau cahaya lampu, kapal kemudian diarahkan kembali kea rah jaring. Ini dalakukan hingga 3-4 kali tergantung kondisi gerombolan ikannya, baru kemudian jaring diangkat (haulling) untuk dimbil hasil tangkapannya. Dalam pengoperasian jaring ini justru bila jumlah gerombolan ikan terlalu banyak, maka jurumudi akan mengarahkan ikan bukan memotong/menabrak tengah-tengah antara dua buah pelampung tanda tetapi kapal hanya melawati di bagian pinggir jaring.(Gambar 5.). Hal ini bertujuan bila jumlah ikan yang tertangkap lebih banyak dari kekuatan pelampung menahannya maka jaring akan hanyut atau hilang. Pada saat hauling kapal sambil jalan 1 knot tetapi kadang-kadang posisi mesin netral juga. Setelah kapal mendekat di pelampung penanda pertama, tiangnya diangkat ke kapal. Setelah itu ABK bersama-sama menarik jaring dan langsung disusun lagi seperti semula. Ikan yang terkena jaring sambil dilepas dan untuk sementara ditampung di tempat penampung ikan sementara di dalam geladak belakang.
Gambar 4. Pengoperasian jaring gillnet 6. Hasil Tangkapan Balai Riset Perikanan Laut pada Tahun Anggaran 2010-2011 mengadakan penelitian di perairan Samudra Hindia dengan judul RPTP “Karakteristis Perikanan Tuna Usaha Skala Kecil Berbasis Rumpon
12
Di Perairan Samudera Hindia Selatan Jawa”. Pada bulan Jini-Juli 2010 telah melakukan observasi dengan mengikuti operasional kapal nelayan gillnet yang dilengkapi dengan alat tangkap pancing ulur di perairan selatan Gunung Kidul Yogyakarta yang berbasis di Pantai Sadeng. Dari hasil pelayaran
Teknis Pengoperasian Gillnet Tuna………di Perairan Samudera Hundia Selatan Jawa (Salim A & E. Rahmat)
selama 1 trip selama 7 hari(5 hari operasi) diperoleh total hasil tangkapan sebanyak 406 ekor dengan bobot total 243 kg yang terdiri dari ikan cakalang 47,09 %, madidihang 37,48%), tongkol 9,00% dan lain-lain 6,43%. Hasil tangkapan ini tergolong rendah (hanya 16,44%) bila dibandingkan dengan hasil tangkapan pancing ulur selama pelayaran yaitu sebanyak 1.253 kg. Hal ini disebabkan karena gerombolan ikan yang ada disekitar rumpon, hanya sebagian kecil yang tertarik untuk mengikuti cahaya lampu yang ada di kapal dan disamping faktor cuaca seperti angin, arus dan gelombang yang sangat mempengaruhi tampilan jaring didalam air sehingga sangat mempengaruhi hasil tangkapan. KESIMPULAN
Samudera Hindia Selatan Jawa. Kegiatan ini dibiayai dengan dana APBN tahun anggaran 2010. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ir. Mahisworo Msi. sebagai penanggung jawab kegiatan yang telah melibatkan penulis dalam kegiatan ini. Dan ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada para Peneliti dan Teknisi yang telah membantu dalam penulisan ini. DAFTAR PUSTAKA Atapattu, AR., 1991. The Experience of Fish Aggaregating Devices (FADs) for Fisheries Martosubroto, P., Nurzali Naamin dan Ben B. Abdul Malik. 1991. Potensi Dan Penyebaran Sumber Daya Ikan Laut Di Perairan Indonesia. Ditjenkan, Puslitbangkan Oseanologi.
1. Pengoperasian gillnet tuna dengan menggunakan dua alat bantu cukup efektif dan effisien karena waktu yang digunakan untuk sekali tawur hanya memerlukan rata-rata 1 jam, dan dari segi alat tangkap hanya memerlukan panjang jaring 150 m. 2. Penggunaan dua alat bantu penangkapan pada gillnet tuna merupakan terobosan bagi nelayan untuk meningkatkan hasil tangkapan. 3. Hasil tangkapan per trip(5 hari operasi) sebanyak 406 ekor atau rata-rata 81 ekor per hari. 4. Komposisi hasil tangkapan didomonasi oleh jenis ikan tuna(47,09%), tuna(37,48%) dan tongkol(9,00%). 5. Panjang cagak rata-rata ikan cakalang 33,00 cm, tuna 35,15 cm dan tongkol 26,58 cm
Naamin, N. dan Chai Chong Kee, 1987. Technological and Economic Aspects of FAD – Based.
PERSANTUNAN
Skipjack and Tuna Fishing in Indonesia. Paper Presented at the fourth International conference on artifical habitat for Fisheries, November 2-6, 1987. Miami, Frorida, USA.
Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan penelitian yang berjudul Karakteristik Perikanan Tuna Usaha Skala Kecil Berbasis Rumpon Di Perairan
Nasution, Ch., Merta dan R. Arifudin Penelitian Rompong dan Asapek-aspeknya di Peraairan Mamuju dalam Rangka Pengembangan Perikanan Tuna di Sulawesi-Selatan. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 37 tahun 1986. Resources Enchancement and Management in Srilangka. Presented at the Symposium on Artifical Reefs and Fish Aggregating Devices as Tool fir the Management and Enchancement of Marine Fisheries Resources, Colombo, Srilangka 14-17 May. IPFC p. 16-40.
13
BTL. Vol.11 No. 1 Juni 2013 :
14
Pengaruh Metoda Operasi Penangkapan Jaring …………di Waduk Sermo, D.I. Yogyakarta (Romdon,S)
PENGARUH METODA OPERASI PENANGKAPAN JARING INSANG TERHADAP HASIL TANGKAPAN IKAN RED DEVIL (Amphilophus citrnellus) DI WADUK SERMO, D.I. YOGYAKARTA Soleh Romdon Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya Ikan-Jatiluhur Teregistrasi I tanggal: 05 Juli 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 12 September 2012; Disetujui terbit tanggal: 27 Desember 2012
PENDAHULUAN Waduk Sermo terletak di dusun Sermo, Desa Hargowilis Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo kurang lebih 5 km di sebelah Barat Kota Wates, D.I Yogyakarta. Waduk ini di resmikan pada tanggal 20 Nopember 1996 yang berfungsi sebagai irigasi pertanian dan objek wisata serta perikanan. Waduk Sermo memiliki luas genangan ± 157 ha dengan kedalaman 56 m yang dapat menampung air 25 juta m3 (Laporan Dinas Kelautan dan Perikanan, 1996). Aktivitas perikanan di Waduk Sermo saat ini cenderung mengalami kemunduran. Hal ini diakibatkan menurunnya hasil tangkapan dimana keberadaan ikan ekonomis yang menjadi target tangkapan digantikan oleh jenis lain yang bernilai ekonomis rendah. Keberadaan jenis ikan ekonomis
penting, seperti nila (Oreochromis niloticus), mas/ karper (Cyprinus carpio), tombro (Tor sp.), dan tawes (Barbonymus gonionotus) (Anonimus, 2009) digantikan oleh ikan red devil (Amphilophus Citrinellus). Masuknya ikan red devil di waduk Sermo terjadi secara tidak sengaja. Pada sekitar tahun 1995 ketika PEMDA setempat melakukan penebaran benih ikanikan ekonomis tinggi, diduga benih ikan red devil tercampur dengan benih ikan ekonomis dan ikut ditebar. Populasi ikan red devil di waduk ini tidak terkendali selama 5 tahun terakhir karena sifatnya yang agresif dan mendesak populasi ikan asli terutama yang benilai ekonomis (Hedianto & Purnamaningtyas, 2011). Gambar 1 menyajikan jenis ikan red devil.
Gambar 1. Ikan red devil (Amphilophus citrinellus ). Alat penangkap ikan utama yang digunakan untuk mengekploitasi sumberdaya ikan diwaduk Sermo adalah jaring insang (gillnet). Ikan red devil tertangkap jaring insang sebagai jenis ikan yang tidak dikehendaki karena. Namun karena jumlah tangkapan ikan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi semakin menurun, maka tangkapan ikan red devil menjadi alternatif target tangkapan jaring insang.
Nelayan negoperasikan jaring insang dengan cara ditawur di dasar perairan, dengan posisi jaring tegak lurus ataupun sejajar garis pantai (daratan) waduk. Namun prinsip dasar pengoperasian jaring insang adalah ditawur tegak lurus (memotong) arah arus air (van Brandt, 1984). Hal ini dikarenakan pada umumnya ikan beranang melawan ataupun sejajar arah arus air. Dengan cara mengoperasikan jaring insang memotong arah arus, maka ikan yang sedang berenang melawan ataupun searah arus air akan tersangkut jaring insang.
15
BTL. Vol.11 No. 1 Juni 2013 : 15-18
Guna mengetahui efektivitas jaring insang yang dioperasikan sejajar maupun tegak lurus garis pantai waduk terhadap ikan red devil, maka telah dilakukan suatu penelitian tahun 2012 dengan lokasi di Satsun Peneltian Tegiri, Waduk Sermo. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di Stasiun Pengamatan di Tegiri, Waduk Sermo (Gambar 2) bulan September 2012 melalui ujicoba penangkapan (fishing experimental) alat penangkapan ikan (API) jaring
insang (gill net). Jaring insang yang digunakan pada ujicoba penangkapan mempunyai deskripsi teknis sebagai beriku: panjang satu pis adalah 35 m dan lebar 2,5 m yang terbuat dari benang nylon monofilamen dengan diameter benang 0,15 mm. Satu unit jaring insang terdiri dari 7 pis jaring, masingmasing pis jaring mempunyai ukuran mata jaring yang yang berbeda yaitu 1,0; 1,5; 2,0; 2,5; 3,0; 3,5 dan 4,0 inci. Masing-masing pis jaring disambung secara seri dengan urutan pis sesui ukuran mata jaring di atas.
Gambar 2. Lokasi pemasangan gillnet percobaan Dua unit jaring insang dioperasikan secara bersamaan di perairan pinggiran (perairan litoral) maupun perairan tengah (limnetik) waduk. Satu unit jaring jaring insang ditawur sejajar dengan garis pantai dan satu unit jaring insang lainnya ditawur tegak lurus
garis pantai (Gambar 3). Masing-masing unit jaring ditawur (setting up) pada sore hari dan diangkat (hauling up) pada pagi hari dengan jumlah waktu rendam (soaking time) rata-rata sekitar 8 jam.
Gambar 3. Foto dua cara tawur jaring insang yaitu sejajar (A) dan tegak lurus (memotong) (B) garis pantai waduk pada ujicoba penangkapan di Waduk Sermo.
16
Pengaruh Metoda Operasi Penangkapan Jaring …………di Waduk Sermo, D.I. Yogyakarta (Romdon,S)
35 30 Jumlah ikan (ekor)
Ikan yang diperoleh kemudian dipisahkan berdasarkan jenis dan ukuran mata jaring dimana ikan tersebut tertangkap. Selanjutnya diambil sample ikan untuk dilakukan pengukuran panjang total (TL)-nya. Data dan informasi dikompilasi, dianalisis secara deskriptif dan hasilnya disajikan dalam bentuk tabel, gambar dan garfik.
25 20 15 10 5
HASIL DAN BAHASAN
0
Sejajar
Tegak lurus
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
Mesh size (inci)
Gambar 5. Jumlah ikan red devil yang tertangkap jaring insang dengan berbagai ukuran mata yang diopersikan sejajar garis pantai. 35 30 Jumlah ikan (ekor)
Ikan red devil menyukai perairan danau dangkal dengan subtrat berbatu, namun ikan red devil dapat ditemukan di daerah lain dengan subtrat berbeda bahkan kondisi perairan yang tercemar (Oldfield et al., 2006). Komposisi hasil tangkapan ikan red devil pada setiap ukuran mata jaring insang pada ujicoba penangkapan di Waduk Sermo disajikan pada Gambar 4. Secara umum jumlah ikan red devil yang tertangkap jaring insang selama ujicoba menunjukkan bahwa jaring insang yang dioperasikan (ditawur) sejajar garis pantai waduk memdapat hasil tangkapan yang lebih banyak dibanding jaring ikan yang ditawur tegak lurus garis pantai waduk dengan perbandingan 58,45% : 41,55% sebagaimana disajikan pada Gambar 4.
25 20 15 10 5 0 1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
Mesh size (inci)
41.55% 58.45%
Gambar 6. Jumlah ikan red devil yang tertangkap jaring insang dengan berbagai ukuran mata yang diopersikan tegak lurus garis pantai. Sermo adalah adalah yang berukuran mata jaring 1½ inci.
Gambar 4. Persentase jumlah hasil tangkapan berdasarkan posisi pemasangan jaring insang semua ukuran mata jaring. Rician hasil tangkapan ikan red devil berdasarkan ukuran mata jaring disajikan pada Ganbar 5 dan 6. Kenyataan yang sama dari kedua cara tawur adalah bahwa jaring ukuran mata 1½ inci memperoleh hasil tangkapan yang paling banyak. Dari kedua fakta tersebut maka dapat diduga bahwa ikan red devil bergerak menuju pantai ataupun meninggalkan pantai. Adapun jaring insang yang paling efektif untuk menangkap ikan red devil di Waduk
Ikan red devil yang tertangkap dengan pemasangan sejajar garis pantai waduk mempunyai ukuran yang lebih beragam dibandingkan dengan hasil tangkapan yang memotong garis pantai. Kelimpahan ikan red devil yang tertangkap pada pemasangan gillnet sejajar garis pantai lebih besar jika dibandingkan dengan memotong garis pantai (Gambar 7). Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Purnomo et al. (1983) di Waduk Ir. H. Djuanda. Hasil tangkapan jaring insang lebih tinggi pada posisi memototong garis pantai dibandingkan dengan posisi sejajar garis pantai (Gambar 7).
17
BTL. Vol.11 No. 1 Juni 2013 : 15-18
mata 1½ inci mempunyai hasil tangkapan ikan red devil paling banyak dibanding jaring insang dengan ukuran lain.
14
Jumlah ikan (ekor)
12 10 8
PERSANTUNAN
6 4 2
19.5
18.5
17.5
16.5
15.5
14.5
13.5
12.5
11.5
9.5
10.5
8.5
7.5
6.5
5.5
4.5
0
Panjang total (cm)
A. Sejajar garis pantai 14
Jumlah ikan (ekor)
12
Tulisan ini merupakan bagian dari Penelitian Biologi Populasi Ikan Spesies Asing Invasif Dan Alternatif Teknologi Pengendaliannya Di Waduk Ir. H Djuanda (Jawa Barat), Waduk Sermo (D. I. Yogyakarta), Serta Waduk Kedung Ombo Dan Sempor (Jawa Tengah) Tahun Anggaran 2012. Penulis mengucapkan terimakasih kepada peneliti yang terlibat pada penelitian ini atas dukungan data dan informasi sehingga tulisan ilmiah ini dapat tersusun.
10
DAFTAR PUSTAKA
8 6 4 2
19.5
18.5
17.5
16.5
15.5
14.5
13.5
12.5
11.5
10.5
9.5
8.5
7.5
6.5
5.5
4.5
0
Anonimus. 2009. Ikan “setan merah” merajalela di Waduk Sermo. http: http:// ikanmania.wordpress.com/2010/12/17/ikan-setanmerah-merajalela-di-waduk-sermo/. Diakses pada tanggal 1 November 2012.
Panjang total (cm)
B. Memotong gasis pantai Gambar 7. Distibusi ukuran panjang total ikan red devil yang tertangkap jaring insang yang ditawur sejajar garis pantai waduk (A) dan tegak lurus garis pantai waduk (B). Jenis ikan lainnya yang tertangkap jaring insang di waduk Sermo selama penelitian adalah wader (Puntius binotatus) dan nila (Oreochromis niloticus) yang masing-masing tertangkap pada ukuran mata jaring 1 dan 4 inci. KESIMPULAN Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa metoda operasi (cara tawur) jaring insang yaitu sejajar dan tegak lurus garis pantai waduk Sermo mempunyai pengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan ikan red devil. Metoda operasi penangkapan jaring insang sejajar garis pantai waduk memperoleh hasil tangkapan ikan red devil lebih banyak dibanding metoda penangkapan jaring tegak lurus garis pantai. Hasil ujicoba menunjukkan bahwa jaring insang ukuran
18
Laporan Tahunan Dinas Peternakan Perikanan Tahun 1996. Dinas Peternakan Perikanan Kabupaten Kulon Progo DIY. Hedianto & Purnamaningtyas, 2011. Penerapan kurva ABC (Rasio kelimpahan dan biomassa) untik mengevaluasi dampak introduksi terhadap komunitas ikan di Waduk Ir. H. Djuanda. Kartamihardja, E. S., M. F Rahardjo & K. Purnomo: Eds. Forum nasional pemacuan Sumberdaya Ikan III. Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya Ikan: 1-11p Oldfield RG, Mc Crarry J & Mc Kaye K 2006. Habitat Use Social behavior and female and male Size distrbution of Juvenile midhas cichlid,Amphilophus Citrinellus,In Lake Apoyo,Nicaragua. Caribbean Journal of Science 42 ( 2 ):197-207. Purnomo, K & E. S Kartamihardja. 1983. Elefansi Alat Tangkap Gill Net Di Waduk Jatiluhur, Jawa Barat. Bull.Pen. PD 4 (1). 41-48p Van Brandt, A. 1984. Fish Catching Methods of the World Fishing News Books, Ltd. Surrey, U.K.
Aspek Operasional Penangkapan ....... Kota Tarakan, Kalimantan Timur (Surahman A, & M.F. Yahya)
ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN DAN KOMPOSISI HASIL TANGKAPAN PUKAT HELA YANG DIOPERASIKAN NELAYAN KOTA TARAKAN, KALIMANTAN TIMUR. Adi Surahman dan Mohammad Fadli Yahya Balai Penelitian Perikanan Laut Teregistrasi I tanggal: 07 Januari 2013; Diterima setelah perbaikan tanggal: 25 Februari 2013; Disetujui terbit tanggal: 15 April 2013
ABSTRAK Pukat hela adalah alat penangkap ikan (API) berbentuk kantong yang dilengkapi dengan sepasang papan pembuka mulut jaring (otter board). Pukat hela dioperasikan menggunakan wahana kapal motor. Nelayan di Kota Tarakan, Kalimantan Timur banyak mempraktekkan pukat hela dengan sasaran utama adalah udang dan ikan demersal. Dalam rangka mendapatkan informasi tentang aspek operasional dan komposisi hasil tangkapan pukat hela, maka telah dilakukan penelitian melalui observasi di atas kapal milik nelayan di Tarakan. Observasi diatas kapal pukat hela KM. ANUGRAH (20 GT) selama 8 hari di perairan Laut Sulawesi (WPP NRI 716). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pukat hela KM. ANUGRAH memiliki spesifikasi pajnang tali ris atas (head rope) 11,5 m, diopesikan di perairan sekitar Kota Tarakan dengan kedalaman sekitar 15-40 meter. Jumlah tawur pukat hela rata-rata 3 kali per hari dengan lama hela (towing time) antara 2-3 jam. Operai penangkapan umumnya dilakukan siang hari. Komposisi hasil tangkapan didominasi oleh kelompok sumberdaya ikan demersal yaitu sekitar 52%. Jenis ikan tiga waja (suku Scianidae) mendominasi kelompok sumberdaya ikan demersal yang tertangkap yaitu mencapai 34%. Kata kunci : aspek operasional penangkapan, komposisi jenis hasil tangkapan, pukat hela kota tarakan.
PENDAHULUAN Pukat hela merupakan salah satu alat penangkap ikan (API) yang dominan dipraktekkan nelayan di Kota Tarakan. API jenis lain yang juga banyak dipraktekkan nelayan di Kota Tarakan adalah tuguk dan Kelong. Pukat adalah alat tangkap ikan jenis jaring penangkap berbentuk kantong yang dilengkapi dengan sepasang (2 buah) papan pembuka mulut jaring (otter board). Andreev, N. N. (1962), Nedelec (1982) dan van Brandt (1984) menggolongkan pukat hela sebagai API jenis pukat dasar. Sasaran (target) utama pukat hela yang dioperasikan nelayan Kota Tarakan adalah udang penaid dan ikan dasar (demersal). Pukat hela dioperasikan dengan cara dihela menyapu dasar perairan. Wahana untuk mengoperasikan pukat hela adalah satu buah kapal motor.
Mukhtar (2008) menyampaikan bahwa Dasar hukum pengoperasian Pukat Hela adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor. PER.06/ MEN/2008 Tentang Penggunaan Alat Penangkap Ikan Pukat Hela Di Perairan Kalimantan Timur Bagian Utara. Kebijakan penggunaan pukat hela ini yaitu : (1) Dalam rangka optimalisasi pemanfaatan sumber daya ikan secara lestari, meningkatkan kesejahteraan nelayan, dan memperkuat keberadaan masyarakat nelayan di perairan Kalimantan Timur bagian utara, diperlukan penggunaan alat penangkap ikan yang sesuai dengan karakteristik dan/atau kondisi geografis wilayah perairan Kalimantan Timur bagian utara; (2) Bahwa alat penangkap ikan Pukat Hela merupakan alat penangkap ikan yang sesuai dengan karakteristik dan/atau kondisi geografis wilayah perairan Kalimantan Timur bagian utara; Menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor. PER.06/MEN/2008 Tentang Penggunaan Alat Penangkap Ikan Pukat Hela Di Perairan Kalimantan Timur Bagian Utara Pukat Hela adalah semua jenis alat penangkap ikan berbentuk jaring berkantong, berbadan dan bersayap yang dilengkapi dengan pembuka jaring yang dioperasikan dengan cara ditarik/dihela menggunakan satu kapal yang bergerak sedangkan Kapal Pukat Hela adalah kapal penangkap ikan yang menggunakan alat penangkap ikan pukat hela. Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI 01-7233-2006) definisi pukat hela adalah alat penangkap ikan berbentuk kantong yang terbuat dari jaring dan terdiri dari 2 (dua) bagian sayap pukat, bagian square dan bagian badan serta bagian kantong pukat. Dalam rangka (1) mengetahui aspek penangkapan dengan alat tangkap pukat hela yang dioperasikan nelayan Kabupaten Tarakan dan (2) mengetahui komposisi jenis ikan demersal dengan alat tangkap pukat hela yang dioperasikan nelayan Kabupaten Tarakan maka telah dilakukan suatu penelitian melalui kegiatan observasi pada kapal pukat hela yang dioperasikan nelayan Kota Tarakan pada bulan Mei 2012. Tulisan ini membahas mengenai hasil penelitian tersebut, khususnya mengenai aspek operasi dan komposisi hasil tangkapan.
19
BTL. Vol.11 No. 1 Juni 2013 : 19-24
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan selama 8 (delapan) hari yaitu tanggal 20-28 Mei 2012. Kapal Penelitian adalah melalui obsevasi dengan studi kasus KM. ANUGERAH (20 GT) milik nelayan yang dioperasikan di perairan sekitar Kota Tarakan. Perairan ini termasuk ke dalam Laut Sulawesi (Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia atau WPP NRI 716.
jumlah hasil tangkapan dan (2) jenis hasil tangkapan. Jenis ikan diidentifikasi berdasarkan referensi Tarp & Kailola (1982). Data dikompilasi, lalu dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk nasasi, tabel, gambar dan grafik. HASIL PEMBAHASAN 1. Operasional Penangkapan
Data aspek operasional yang dicatat selama penelitian adalah : (1) nama dan spesifikasi kapal, (2) desain dan konstruksi pukat hela, (3) posisi operasi penangkapan dan (4) metode penangkapan. Data komposisi hasil tangkapan yangt dicatat meliputi (1)
Nama Kapal Bahan Utama Ukuran (Loa x B x D) Gross Tonnage Mesin Induk Mesin Bantu (Generator) Jumlah ABK
: : : : : : :
a. Spesifikasi Kapal Kapal pukat hela yang digunakan pada penelitian adalah milik nelayan dengan spesifikasi sebagai berikut:
KM. ANUGRAH Kayu 20,0 x 2,0 x 1,5 (m) 20 GT. Mitsubishi D.14 (Diesel), 160 HP. Dong Feng Engine (Diesel) 16 HP. 4 orang
Gambar 1. Profil KM. ANUGRAH (20 GT) yang digunakan selama penelitian. b. Spesifikasi Pukat Hela Spesifikasi pukat hela (Gambar 2) yang dioperasikan nelayan Kota Tarakan terdiri dari bagianbagian sebagai berikut :
20
1. 2. 3. 4.
Sayap atas (upper wing) ukuran panjang 11,5 m. Badan (body) ukuran panjang 9,0 m. Kantong (codend) ukuran panjang total 5,0 m. Tali ris atas (head rope) ukuran panjang 11,5 m dan ris bawah (ground rope) ukuran panjang 12,5 m.
Aspek Operasional Penangkapan ....... Kota Tarakan, Kalimantan Timur (Surahman A, & M.F. Yahya) 1.2 m 90 #
1.2 m 90 #
Nylon
Nylon
# d-9 1 ½”
#d-9 1 ½”
5.5 m
6.5 m
11.5 m
6m 6m 3m 300 # 3m 270 # Nylon
Nylon
d-9
d-9
9.0 m
3.5 m
1.5 m
75 # 54 #
75 # 54 #
Nylon
Nylon
# 1 ¼”
# 1 ¼”
54 # 54 # Nylon
54 # 54 #
# 1 ¼” 54 #
Nylon # 1 ¼” 54 #
Gambar 2. Speisfikasi (desain dan konstruksi) pukat hela yang digunakan dalam penelitian. c. Operasi Penangkapan Daerah penangkapan pukat hela di perairan WPP NRI 716 ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor. PER.06/MEN/2008 sebagai berikut: Daerah penangkapan atau pengoperasian Kapal Pukat Hela hanya di perairan yang membentang dari perairan Kalimantan Timur bagian utara adalah perairan yang membentang dari perairan Kabupaten Tarakan dengan koordinat 3º 10’ L.U. sampai dengan perairan terluar pulau Sebatik. Jalur-jalur penangkapan yaitu Jalur I, meliputi perairan di atas 1 (satu) mil sampai dengan 4 (empat) mil yang diukur dari permukaan air pada surut terendah yang hanya diperbolehkan bagi pengoperasian kapal pukat hela dengan ukuran sampai dengan 5 (lima) gross
tonnage (GT). Dan Jalur II, meliputi perairan di atas 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil yang diukur dari permukaan air pada surut terendah yang hanya diperbolehkan bagi pengoperasian kapal pukat hela dengan ukuran sampai dengan 30 (tiga puluh) GT. Setiap Kapal Pukat Hela yang wilayah operasinya di jalur I dapat beroperasi di jalur II dan/atau di atas 12 (dua belas) mil, dan kapal pukat hela yang wilayah operasinya di jalur II dapat beroperasi di atas 12 (dua belas) mil. Dan sebaliknya Setiap kapal pukat hela yang wilayah operasinya di jalur II dilarang beroperasi di jalur I. Selama penelitian bulan Mei 2012 posisi daerah adalah sebagaimana disajikan pada Gambar 3.
21
BTL. Vol.11 No. 1 Juni 2013 : 19-24
3.6
3
4 21 5
20
2 17
1
18
6
Lintang utara
7
3.4
KALIMANTAN TIMUR
19
16
15 12 11 9 8
3.2
10 13
14
3 117
117.2
117.4
117.6
117.8
118
Bujur timur
Gambar 3. Posisi penangkapan pukat hela KM. ANUGRAH pada Mei 2012 (titik warna merah). Sebanyak 24 kali tawur (setting-hauling) dicapai selama kegiatan penelitian dengan rincian rata-rata 3 kali tawur setiap hari, kegiatan tawur dilakukan pada siang hari. Kecepatan kapal pada saat menghela jaring adalah antara 2-3 knot. Lama hela (towing time) antara 2-3 jam. Kedalaman perairan berkisar 15-40 meter.
2. Komposisi Hasil Tangkapan Hasil tangkapan diperoleh tujuh kelompok sumberdaya ikan, terdiri dari ikan demersal, ikan pelagis, udang, kepiting, cumi/sotong, ubur-ubur dan moluska. Gambar 4 menyajikan komposisi jenis berdasarkan kelompok sumberadaya.
KOMPOSISI (BOBOT) KELOMPOK SUMBER DAYA IKAN UDANG UBUR7% UBUR 28% PELAGIS 12% DEMERSAL KEPITING 52% 1%
KOMPOSISI (JMLH INDIVIDU) KELOMPOK SUMBER DAYA IKAN Kepiting 3%
Pelagis 14%
Udang 30% Cumi, soto ng 1%
Demersal 52%
Gambar 4. Kompsisi hasil tangkapan berdasarkan kelompok sumberdaya dari pukat hela KM. ANUGRAH selama penelitian.
22
Aspek Operasional Penangkapan ....... Kota Tarakan, Kalimantan Timur (Surahman A, & M.F. Yahya)
Dari Gambar 4 dapat diinformasikan bahwa berdasarkan bobot kelompok sumberdaya ikan yang tertangkap pukat hela KM. Anugrah maka kelompok sumberdaya ikan demersal mendominasi yaitu mencapai 52%. Hal ini dapat dipahami karena target utama dari pukat hela yang dioperasikan nelayan Kota Tarakan adalah memang kelompok sumberdaya ikan demersal. Kelompok sumberdaya yang ikan yang juga cukup mendominasi adalah jenis ikan pelagis yaitu mencapai 12%. Tertangkapnya ikan pelagis oleh pukat hela terutama dikarenakan pada perairan dangkal ikanikan pelagis umumnya juga banyak yang berada di dekat dasar perairan untuk mencari makan. Dari segi jumlah (individu) jenis ikan demersal juga mendominasi tangkapan pukat hela yaitu mencapai 52%. Jenis lain yang juga cukup mendominasi adalah jenis udang. Kelompok sumber daya ikan demersal yang tertangkap terdiri sekitar 68 taksa spesies, tergolong
dalam 34 suku (famili). Suku Scianidae (ikan tiga waja) tertangkap dengan total bobot terberat, dan menduduki urutan teratas dari sepuluh besar suku lainnya, berikutnya berturut-turut diduduki oleh suku Harpadontidae (bloso dan nomei), Dasyiatidae (pari), Leiognathidae (petek), Ariidae (manyung), Serranidae (kerapu), Polynemiidae (kuro/senangin), Cynoglosidae (ikan sebelah), Gerreidae (ikan geres) dan Tetraodontidae (ikan buntel). Dari beberapa suku tersebut, sepuluh spesies yang mendominasi bobot hasil tangkapan tertinggi, berturut-turut adalah ikan tiga waja spesies Atrobuca nibea sp, nomei (Harpadon nehereus), pari (Dayiatis kuhli), petek (Leiognathus daura), tigawaja (Johnius sp), manyung (Arius maculates dan A.thalassianus), bloso (Saurida micropectoralis), tigawaja (Otolites sp) dan senangin (Polydactylus sextarius). Gambar 5 menyajikan komposisi jenis ikan demersal yang tertangkap pukat hela.
Gambar 5. Variasi bobot hasil tangkapan beberapa kelompok suku ikan demersal yang tertangkap pukat hela KM. ANUGRAH bulan Mei 2012. KESIMPULAN Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa aspek operasi penangkapan dan komposisi hasil tangkapan pukat hela yang dioperasikan nelayan Kota Tarakan dengan mengambil contoh KM. ANUGRAH (20 GT dan 160 HP) adalah sebagai berikut: 1. Ukuran tali ris atas pukat hela 11,5 meter, operasional penangkapan dilakukan pada perairan kedalaman 15-40 meter dan rata-rata jumlah tawur 3 kali/hari yang dilakukan pada siang hari. 2. Kelompok sumberdaya ikan demersal mendominasi hasil tangkapan pukat hela yaitu
mencapai 52%. Dari jenis ikan demersal tersebut, ikan tiga waja (Suku Scianidae) mendominasi dengan jumlah mencapai 34% atau 151,51 kg dari total sekitar 450 kg. PERSANTUNAN Penulis ucapkan terima kasih kepada bapak Muhammad Taufik S.Pi M.Si yang senantiasa membimbing dan mendukung sehingga terwujudnya tulisan ini. Diucapkan terima kasih juga kepada seluruh peneliti yang terlibat pada kegiatan penelitian ini atas dukungan data.
23
BTL. Vol.11 No. 1 Juni 2013 : 19-24
DAFTAR PUSTAKA Andreev, N. N. (1962). Handbook of Fishing Gear and it& Rigging. Israel Program for Scientific Translations, Jerusalem, Israel. Anon. (2008). Permen Kelautan dan Perikanan Nomor. PER.06/MEN/2008, Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Mukhtar (2008). Mengenal Pukat Hela. http://mukhtarapi.blogspot.com/2008/09/mengenal-pukathela.html
24
Nedelec, C. 1982. Definition and Clarification of Fishing Gear Categories. FAO Fisheries Technical Paper 222, Rome, Italy. Tarp, T.G. and P.J. Kailola, (1982). Trawled Fishes of Shoutern Indonesia and North-Western Australia. ADAB, GDF and GTZ. Singapore. 406p. van Brandt, A. 1984. Fish Catching Methods of the World Fishing News Books, Ltd. Surrey, U.K.
Analisa Konsentrasi Sulfat ...... Danau Batur, Propinsi Bali (Kusumaningtyas, D.I & D. Sumarno)
ANALISA KONSENTRASI SULFAT SECARA SPEKTROFOTOMETRI DI PERAIRAN DANAU BERATAN DAN DANAU BATUR, PROPINSI BALI Dyah Ika Kusumaningtyas dan Dedi Sumarno Teknisi pada Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan-Jatiluhur Teregistrasi I tanggal: 04 Desember 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 28 Maret 2013; Disetujui terbit tanggal: 26 April 2013
PENDAHULUAN Danau Beratan terletak di kawasan Bedugul, Desa Candikuning, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan, Bali. Danau Beratan memiliki luas genangan 3,85 km2, panjang danau sekitar 7,5 km, lebar 2,0 km, kedalaman maksimum sekitar 20 m serta berada di ketinggian 1.231m di atas permukaan laut. Danau Batur merupakan danau terbesar di Propinsi Bali dengan luas 16,05 km2 dan volume tampung air sebesar 815,58 juta m3 (Suryono et al., 2008). Danau Beratan dan Batur terbentuk akibat letusan gunung api atau disebut juga danau kaldera. Letusan gunung api mengandung berbagai persenyawaan sulfur diantaranya sulfur okdida yang merupakan salah satu bentuk senyawa sulfur yang mudah larut di perairan. Sulfur oksida yang berasal dari letusan gunung api diduga menjadi salah satu sumber masukan sulfat di perairan Danau Beratan dan Batur. Danau Beratan dan Batur merupakan perairan tertutup (enclosed lake) dimana kedua danau tersebut hanya memiliki aliran air sungai yang masuk ke danau tetapi tidak memiliki sungai yang mengalirkan air keluar ke laut (tidak ada outlet) (Hehanussa, 2009). Pemanfaatan kedua danau oleh masyarakat untuk berbagai kepentingan juga dimungkinkan menjadi sumber sulfat yang dapat berpengaruh terhadap kualitas perairannya. Sulfat adalah salah satu ion dari sekian banyak anion utama yang terdapat di perairan. Menurut Effendi (2003), ion sulfat (SO42-) merupakan salah satu bentuk sulfur anorganik di perairan. Ion sulfat merupakan salah satu ion utama dalam perairan dan penting bagi makhluk hidup karena merupakan elemen penting dalam protoplasma. Ion sulfat merupakan sejenis ion poliatom dengan rumus empiris SO42- dengan massa molekul 96,06 g/mol. Kebanyakan sulfat bersifat larut dalam air kecuali kalsium sulfat, stronsium sulfat dan barium sulfat. Konsentrasi sulfat pada perairan tawar alami berkisar 2-80 mg/L. Menurut Ulifa (2010), air laut terdiri dari kurang lebih 2.965 mg/L ion sulfat. Konsentrasi sulfat perairan yang melewati batuan gypsum bisa mencapai 1.000 mg/L (Rum dan Krist dalam Effendy, 2003).
Konsentrasi sulfat dapat mencapai 1.000 mg/L pada perairan yang menjadi tempat pembuangan limbah industri (UNESCO/WHO/UNEP dalam Effendi, 2003). Sumber sulfat di perairan dapat berasal dari limbah industri, serta limbah rumah tangga termasuk penggunaan deterjen. Surfaktan sulfat adalah linear alkil benzene sulfonat, etoksisulfat, alkil sulfat, etoksilat, senyawa amonium kuarterner, imidazolin dan betain yang biasa digunakan dalam deterjen. Hal ini menjadi sangat penting dalam analisa konsentrasi sulfat, karena menurut Anonim (2011), apabila kandungan sulfat (dalam bentuk senyawaan magnesium atau natrium) di perairan konsentrasinya tinggi dapat menyebabkan iritasi pada saluran pencernaan (gastro intesninal) biota perairan maupun manusia yang mengkonsumsi air tersebut. Menurut Effendi (2003), pada kondisi anaerob maka ion sulfat akan direduksi menjadi ion sulfit yang membentuk kesetimbangan dengan ion hidrogen membentuk hidrogen sulfit (H2S). Hidrogen sulfit bersifat mudah larut, toksik bagi biota perairan dan menimbulkan bau seperti telur busuk. Makalah ini menyajikan cara analisa konsentrasi sulfat dengan metode spektrofotometri di perairan Danau Beratan dan Danau Batur, Propinsi Bali Tengah. POKOK BAHASAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Mei, Juli dan Oktober tahun 2011. Lokasi penelitian adalah di Danau Beratan dan Batur. Stasiun penelitian di Danau Beratan adalah Stasiun I (Selatan), Stasiun II (Timur), Stasiun III (Tengah), Stasiun IV (Utara) dan Stasiun V (Barat). Stasiun penelitian di Danau Batur adalah Stasiun I (Kedisan), Stasiun II (Songan), Stasiun III (Tengah) dan Stasiun IV (Abang). Pengambilan sampel air dilakukan dengan alat kemmerer water sampler volume 4,2 L pada kolom permukaan, 2 meter, 5 meter, dan dasar perairan (tergantung kedalaman maksimal/ tinggi muka air saat penelitian). Sampel air yang akan dianalisa kemudian dituangkan ke dalam botol sampel yang terbuat dari plastik atau gelas dengan suhu penyimpanan kurang lebih 5 oC. Batas penyimpanan maksimum yang diperbolehkan menurut EPA adalah 28 hari (SNI 6989.57: 2008).
25
BTL. Vol.11 No. 1 Juni 2013 : 25-31
Peta pengambilan sampel dan deskripsi tentang stasiun penelitian dapat dilihat pada Gambar 1 dan
Tabel 1 (Danau Beratan) serta Gambar 2 dan Tabel 2 (Danau Batur).
Gambar 1. Lokasi stasiun penelitian di Danau Beratan (modifikasi Google Map, 2011) Tabel 1. Karakteristik lokasi stasiun penelitian di Danau Beratan Stasiun Penelitian Stasiun I (Barat)
S : 08° 16,370’ E : 115° 10,095’
Stasiun II (Selatan) Stasiun III (Timur) Stasiun IV (Utara)
S : 08° E : 115° S : 08° E : 115° S : 08° E : 115°
Stasiun V (Tengah )
S : 08° 16,289’ E : 115° 10,594’
26
Letak Geografis
16,981’ 10,440’ 16,491’ 10,951’ 15,838’ 10,430’
Karakteristik Tepi danau berupa dataran landai, tumbuhan air di tepian danau cukup lebat, dekat dengan lokasi wisata Pura Ulun Danu Beratan, penginapan serta pemukiman penduduk. Tepi danau landai hingga terjal ke arah Barat, terdapat spill way (pintu limpasan air), dekat dengan obyek wisata Bedugul. Tepi danau terjal, banyak ditumbuhi tumbuhan air, terdapat jaring tancap. Tepi danau berupa dataran landai yang merupakan daerah pertanian, sepanjang tepian banyak tumbuhan air, terdapat dermaga dan KJA Merupakan bagian tengah danau yang paling dalam (kurang lebih 25 m)
Analisa Konsentrasi Sulfat ...... Danau Batur, Propinsi Bali (Kusumaningtyas, D.I & D. Sumarno)
Gambar 2. Lokasi stasiun penelitian di Danau Batur (modifikasi Google Map, 2011) Tabel 2. Karakteristik lokasi stasiun penelitian di Danau Batur Stasiun Penelitian Stasiun I (Kedisan)
S : 08⁰ 16,520’ E : 115⁰ 22,816’
Stasiun II (Abang)
S : 08° 16,415’ E : 115° 24,528’
Stasiun III (Songan) Stasiun IV (Tengah )
S : 08° E : 115° S : 08⁰ E : 115⁰
Letak Geografis
13,624’ 24,910’ 15,098’ 24,924’
Karakteristik Tepi danau berupa dataran landai yang merupakan daerah pertanian dan pemukiman penduduk, terdapat dermaga wisata, keramba jaring apung (KJA), dan sepanjang tepian banyak tumbuhan air. Tepi danau berupa dataran landai yang merupakan daerah pertanian dan pemukiman penduduk, sepanjang tepian banyak terdapat tumbuhan air Tepi danau berupa dataran landai yang merupakan daerah pertanian, sepanjang tepian banyak tumbuhan air Merupakan bagian tengah danau yang paling dalam (kurang lebih 70 m).
Metode Analisa Analisa konsentrasi sulfat di dalam sampel dilakukan dengan metode spektrofotometri (APHA, 2005). Prinsip analisanya adalah pengendapan ion sulfat dalam medium asam hidroklorida yang akan bereaksi dengan barium klorida membentuk endapan barium sulfat yang tidak larut. Endapan barium sulfat yang terbentuk berupa suspensi kristal barium sulfat dengan ukuran yang seragam. Suspensi yang terbentuk kemudian diukur secara spektrofotometri dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 420 nm (Hariyadi, 1991).
Penentuan konsentrasi sulfat dilakukan dengan menggunakan kurva standar sulfat. Intensitas cahaya yang diteruskan oleh larutan akan berbanding terbalik dengan konsentrasi sulfat di dalam sampel, dengan kata lain semakin banyak suspensi dalam larutan akan semakin kecil intensitas cahaya yang diteruskan dan menunjukkan semakin tinggi kandungan ion sulfat. Prosedur Analisa Prosedur analisa sulfat dibagi menjadi 3 bagian yaitu pembuatan reagen, pembuatan kurva standar sulfat, dan penentuan konsentrasi sulfat dalam sampel, secara terinci sebagai berikut:
27
BTL. Vol.11 No. 1 Juni 2013 : 25-31
• Pembuatan Reagen Reagen yang perlu dipersiapkan adalah pereaksi kondisi dengan langkah sebagai berikut: 1. Melarutkan 75 gram NaCl ke dalam 300 mL akuades, jika tidak larut perlu dilakukan pemanasan (kurang lebih 50 oC) 2. Menambahkan 30 mL HCl pekat ke dalam larutan NaCl kemudian diaduk 3. Menambahkan 100 mL 95% etanol ke dalam larutan yang sudah tercampur (langkah 1 dan 2) kemudian diaduk dengan stirer hingga homogen (kurang lebih 10 menit) • Pembuatan Kurva Standar Sulfat Beberapa larutan yang perlu dipersiapkan untuk pembuatan kurva standar sulfat adalah sebagai berikut: 1. Larutan blanko Larutan blanko dibuat dengan mencampurkan akuades 10 mL dan 0,5 mL pereaksi kondisi, selanjutnya ditambahkan 0,06 gram barium klorida dan diaduk dengan batang pengaduk hingga 1 menit.
2. Larutan sulfat 100 mg/L Pembuatan larutan sulfat 100 mg/L dilakukan dengan menimbang sebanyak 0,1479 gram sodium sulfat anhidrat yang dilarutkan dengan akuades ke dalam labu ukur 1000 mL. Berdasarkan larutan sulfat 100 mg/L dibuat konsentrasi larutan yang diinginkan (Tabel 3). Selanjutnya mengambil dari masing-masing larutan standar sebanyak 10 mL (Tabel 3), kemudian ditambah 0,5 mL pereaksi kondisi dan 0,06 gram barium sulfat, lalu larutan diaduk dengan batang pengaduk hingga 1 menit. Langkah selanjutnya larutan tersebut didiamkan selama 10 menit. Larutan siap diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 420 nm dengan larutan blanko sebagai faktor koreksi. Spektrofotometer yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 3. Langkah berikutnya sederetan larutan standar sulfat dengan berbagai konsentrasi yang telah diukur absorbansinya dapat dilihat pada Gambar 4. Semakin tinggi konsentrasi sulfat maka akan semakin pekat suspensi kristal barium sulfat yang dihasilkan (terlihat larutan berwarna putih susu).
Tabel 3. Pembuatan larutan standar sulfat 5; 10; 15; 20; 30; 40; 50 dan 60 mg/L No
Konsentrasi yang diinginkan
1
5 mg/L
2
10 mg/L
3
15 mg/L
4
20 mg/L
5
30 mg/L
6
40 mg/L
7
50 mg/L
8
60 mg/L
28
Prosedur Larutan sulfat 100 mg/L dipipet sebanyak 2,5 mL, dituangkan ke dalam labu ukur 50 mL, diencerkan dengan akuades sampai tanda batas Larutan sulfat 100 mg/L dipipet sebanyak 5 mL, dituangkan ke dalam labu ukur 50 mL, diencerkan dengan akuades sampai tanda batas Larutan sulfat 100 mg/L dipipet sebanyak 7,5 mL, dituangkan ke dalam labu ukur 50 mL, diencerkan dengan akuades sampai tanda batas Larutan sulfat 100 mg/L dipipet sebanyak 10 mL, dituangkan ke dalam labu ukur 50 mL, diencerkan dengan akuades sampai tanda batas Larutan sulfat 100 mg/L dipipet sebanyak 15 mL, dituangkan ke dalam labu ukur 50 mL, diencerkan dengan akuades sampai tanda batas Larutan sulfat 100 mg/L dipipet sebanyak 20 mL, dituangkan ke dalam labu ukur 50 mL, diencerkan dengan akuades sampai tanda batas Larutan sulfat 100 mg/L dipipet sebanyak 25 mL, dituangkan ke dalam labu ukur 50 mL, diencerkan dengan akuades sampai tanda batas Larutan sulfat 100 mg/L dipipet sebanyak 30 mL, dituangkan ke dalam labu ukur 50 mL, diencerkan dengan akuades sampai tanda batas
Analisa Konsentrasi Sulfat ...... Danau Batur, Propinsi Bali (Kusumaningtyas, D.I & D. Sumarno)
Hasil Pengamatan
Gambar 3. Spektrofotometer yang digunakan untuk pengukuran absorbansi larutan Keterangan: 7
6
5
4
2
1
1. Larutan standar sulfat 5 mg/L 2. Larutan standar sulfat 10 mg/L 3. Larutan standar sulfat 20 mg/L 4. Larutan standar sulfat 30 mg/L 5. Larutan standar sulfat 40 mg/L 6. Larutan standar sulfat 50 mg/L 7. Larutan standar sulfat 60 mg/L
Gambar 4. Sederetan larutan standar sulfat Berdasarkan nilai absornansi masing-masing larutan, dibuat kurva standar sulfat, konsentrasi sulfat sebagai sumbu x dan absorbansi sebagai sumbu y. Kurva standar sulfat dapat dilihat pada Gambar 5. 0,398
Standard deviasi = 7,53 e-3 Corr coeff = 9,98 e-1
Absorbansi
Slope = 0,00709 0,007
Intercept = 0,00897 Sulfat (mg/L) 0
Analisa konsentrasi sulfat di Danau Beratan dan Danau Batur menunjukkan perbedaan yang cukup berarti dalam hal pembentukan intensitas warna yang dihasilkan. Warna putih susu yang dihasilkan dari endapan barium sulfat pada sampel air di Danau Batur menunjukkan warna yang cukup pekat, dimana intensitas warna putih yang terlihat mendekati sampel air payau. Endapan barium sulfat yang dihasilkan dalam sampel air dari Danau Batur jauh lebih pekat dibandingkan dengan sampel air dari Danau Beratan. Semakin pekat warna putih mengindikasikan semakin tinggi konsentrasi sulfat di dalam sampel tersebut. Hal tersebut didukung dengan data penelitian yang ditunjukkan pada Tabel 3. Konsentrasi sulfat di perairan Danau Beratan masih berada dalam kisaran konsentrasi normal untuk air tawar (2-80 mg/L). Konsentrasi sulfat di Danau Batur jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Danau Beratan. Tingginya konsentrasi sulfat di Danau Batur diduga disebabkan oleh limbah pertanian, pencemaran minyak dari kapal motor, limbah hotel, restoran dan rumah tangga. Selain itu aktivitas perikanan di Danau Batur relatif lebih banyak dibandingkan dengan Danau Beratan karena Danau Beratan peruntukannya untuk kegiatan pariwisata. Konsentrasi sulfat di Danau Beratan dan Danau Batur pada bulan Mei dan Juli pada kedalaman 5 meter hampir di semua stasiun penelitian menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan kolom permukaan, 2 meter dan dasar perairan. Hal ini diduga karena ion sulfat bersifat sebagai surfaktan sehingga apabila dalam perairan yang tergenang akan cenderung melayang di kolom perairan.
54,5
Gambar 5. Kurva standar sulfat • Analisa Konsentrasi Sulfat Dari Sampel Air Analisa konsentrasi sulfat dilakukan dengan menyaring sampel air yang diambil dari lokasi penelitian dengan kertas saring whatman no.42. Kemudian sampel yang telah disaring diambil dengan pipet sebanyak 10 mL, kemudian ditambahkan 0,5 mL pereaksi kondisi dan 0,06 gram barium klorida lalu diaduk dengan batang pengaduk selama 1 menit dan didiamkan selama 10 menit. Larutan tersebut kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang 420 nm dengan blanko sebagai faktor koreksi. Konsentrasi sulfat dalam sampel ditentukan dengan memplotkan absorbansi sampel pada kurva standar.
Konsentrasi sulfat di Danau Beratan berkisar 4,0741,11 mg/L dengan rerata 14,81 mg/L. Konsentrasi sulfat pada bulan Juli lebih tinggi kurang lebih 10 mg/ L dibandingkan bulan Mei dan Oktober. Rerata konsentrasi sulfat pada bulan Mei dan Oktober menunjukkan nilai yang hampir sama dengan beda konsentrasi kurang lebih 1 mg/L. Konsentrasi sulfat bulan Mei pada seluruh kolom air tidak menunjukkan konsentrasi yang cukup berarti perbedaannya namun pada bulan Juli dan Oktober menunjukkan konsentrasi sulfat tinggi. Konsentrasi sulfat tinggi ditunjukkan pada pengamatan bulan Juli di Stasiun II (Selatan) kedalaman 5 meter, Stasiun III (Timur) kedalaman 2 meter dan Stasiun V (Tengah) pada kedalaman 5 meter, demikian juga pada bulan Oktober di Stasiun III (Timur) pada permukaan perairan.
29
BTL. Vol.11 No. 1 Juni 2013 : 25-31
Tabel 3. Profil konsentasi sulfat di Danau Beratan dan Batur pada penelitian bulan Mei, Juli dan Oktober 2011 Data penelitian konsentrasi sulfat (mg/L) di perairan Danau Beratan dan Batur periode 2011 Kedalaman (m)
Danau Beratan I (Barat)
II (Selatan)
III (Timur)
Danau Batur
IV (Tengah)
IV (Utara)
I (Kedisan)
II (Abang)
Mei 2011 9.633
III (Songan)
IV (Tengah)
Mei 2011
0
8.005
10.85
2
14.79
10.04
16.28
9.498
109.5
65.4
58.34
50.75
10.85
10.31
79.24
78.29
64.72
75.3
5
11.26
10.04
19.4
19
10.45
95.25
76.8
97.83
59.56
dsr
5.02
10.58
15.87
12.08
94.16
101.4
93.62
90.64
0
16.55
16.82
23.88
14.52
16.15
67.71
105.80
150.50
108.40
2
16.82
16.28
35.28
15.2
18.86
72.86
117.60
91.72
89.01
5
17.77
25.92
17.10
41.11
21.44
104.10
122.50
96.73
97.01
dsr
-
16.42
17.64
16.15
-
128.20
117.00
119.00
107.50
Juli 2011
Juli 2011
Oktober 2011
Oktober 2011
0
9.498
11.53
38.31
5.292
16.82
267.00
203.4
193.8
204.7
2
4.07
18.05
15.6
7.87
6.92
199.00
215.6
203.1
217.5
5
4.478
5.02
9.226
4.342
8.005
196.10
228.4
217.1
222.5
dsr
10.85
7.463
7.327
7.734
-
211.40
-
208.3
206.6
Konsentrasi sulfat di Danau Batur berkisar 50,75267,0 mg/L dengan rerata 134,31 mg/L. Peningkatan yang signifikan terjadi pada bulan Oktober (konsentrasi sulfat berkisar 193,8-267,0 mg/L). Konsentrasi sulfat di perairan Danau Batur menunjukkan nilai tinggi dan hampir mendekati nilai sulfat di perairan payau.
ditunjukkan dengan endapan putih susu dari barium sulfat yang cukup pekat. 2. Konsentrasi sulfat di perairan Danau Beratan berkisar 4,07-41,11 mg/L. 3. Konsentrasi sulfat di perairan Danau Batur berkisar 50,75-267,0 mg/L. PERSANTUNAN
Standar baku mutu kandungan ion sulfat di dalam air sungai menurut SNI 06-6989.20-2004 adalah sebesar 400 mg/L. Konsentrasi sulfat yang diperbolehkan dalam air minum tidak melebihi 250 mg/L. Ion sulfat dapat menyebabkan laxative apabila senyawaannya berupa magnesium dan sodium. Senyawa sulfat bersifat iritasi pada saluran pencernan (saluran gastro intesninal) apabila dalam bentuk magnesium atau natrium pada konsentrasi yang tinggi (Anonim, 2011). Secara umum, kandungan ion sulfat di perairan Danau Beratan dan Batur masih berada di bawah ambang batas yang diperbolehkan, namun perlu waspada bahwa pada bulan Oktober, konsentrasi ion sulfat di Stasiun I (Kedisan) Danau Batur pada permukaan perairan melebihi nilai ambang batas yang diperbolehkan untuk air minum (267,00 mg/L). KESIMPULAN 1. Konsentrasi sulfat tinggi di Danau Batur sudah mendekati konsentrasi sulfat di perairan payau,
30
Penelitian ini merupakan bagian dari kegiatan penelitian: “Kajian Resiko Introduksi Ikan di Danau Batur dan Danau Beratan, Provinsi Bali tahun 2011” dibiayai APBN tahun anggaran 2011. Penulis mengucapkan terima kasih kepada penanggung jawab kegiatan yaitu Danu Wijaya, S.Pi. yang telah memberikan kesempatan kepada penulis, untuk memakai data kegiatan serta Dra. Adriani Sri Nastiti, MS. yang telah memberikan masukan dan bimbingan dalam penulisan makalah ini. DAFTAR PUSTAKA American Public Health Association (APHA). 2005. Standard Methods for The Examination of Water and Waste Water Including Bottom Sediment and Sludges. Publ. Health Association Inc, New York. Hal: 1296.
Anonim. 2011. Ion Sulfat. http:www.kppladjurdas. wordpress.com/ 2012/04/19. Hal: 1. Diakses tanggal 03 Maret 2013. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. Hal: 278. Hariyadi, S., Suryadiputra dan Bambang W., 1991, Limnologi: Metoda Analisa Kualitas Air. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Hal: 124. Hehanussa, P.E. dan G.S. Haryani. 2009. Klasifikasi Morfogenesis Danau di Indonesia untuk Mitigasi Dampak Perubahan Iklim. Konferensi Nasional Danau Indonesia I. Sanur-Denpasar-Bali. 13-15 Agustus 2009. Hal: 1. http:// menyelamatkandanaulimboto.wordpress.com. Diakses 7 Februari 2011.
Standar Nasional Indonesia (SNI 6989.57:2008). 2008. Air dan Air Limbah, Bagian 57: Metoda Pengambilan Contoh Air Permukaan. Hal: 28. http: www.bsn.go.id Suryono, T. F. Sulawesty. S. Sunanisari. Cynthia H. Triyanto. G.S. Haryani. G.S. Aji. R.L. Toruan. T. Tarigan. G.P. Yoga. I. Ridwansyah. S. Nomosatryo. Y. Mardiati. E. Maulana & Rosidah. 2008. Kajian Pengembangan Karakteristik Limnologis Perairan Darat di Indonesia. Laporan Teknis 2008. Program Penguatan Kelembagaan Iptek. Pusat Penelitian Limnologi LIPI. Cibinong. Hal: 233. Ulifa. 2010. Laut Kaya Magnesium. http:www.ulifa2008.wordpress.com/ 2010/04/05/ laut-kaya-magnesium. Hal:1. Diakses tanggal 10 Juli 2013.
31
BTL. Vol.11 No. 1 Juni 2013 :
32
Pengamatan Aspek Operasional Pukat .......... di PPN Prigi Jawa Timur (Ilhamdi, H & A. Kuswoyo)
PENGAMATAN ASPEK OPERASIONAL PUKAT CINCIN YANG BERBASIS DI PPN PRIGI JAWA TIMUR Hari Ilhamdi dan Adi Kuswoyo Teknisi pada Balai Penelitian Perikan Laut Muara Baru Jakarta Teregistrasi I tanggal: 05 Juli 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 14 Januari 2013; Disetujui terbit tanggal: 08 Mei 2013
ABSTRAK Dalam rangka mengetahui aspek operasional penangkapan API pukat cincin yang berbasis di PPN Prigi-Trenggalek-Jawa Timur, maka telah dilakukan onboard observation tanggal 1-7 Mei 2013. Onboard observation dilakukan di KM. Sagita yaitu kapal dengan API pukat cincin yang berbasis di PPN Prigi. Hasil onboard observation menunjukkan bahwa API pukat cincin dioperasikan dengan dua kapal. Sistem trip penangkapan adalah trip harian dengan daerah penangkapan sekitar 20-30 mil sebelah selatan Kabupaten Trenggalek. Satu kali trip melakukan tawur jaring antara 1-2 kali.Pengoperasian API pukat cincin yang berbasis di PPN Trenggalek tidak menggunakan alat bantu penangkapan berupa rumpon. Kegiatan operasi penangkapan dilakukan pada pagi hingga tengah hari. Hasil tangkapan rata-rata 442,5 kg/tawur jaring. Kata kunci : Aspek operasional, pukat cincin, ppn prigi. PENDAHULUAN Pukat cincin atau biasa sisebut dengan “purse seine” adalah alat penangkapan ikan (API) yang dipergunakan untuk menangkap ikan pelagis yang bergerombol seperti : kembung, lemuru, layang, tonkol, cakalang, dan lain sebagainya (Mudztahid, A., 2011) menyampaikan. Pukat cincin dibuat dengan bahan utama berupa beberapa lembar jaring yang berbentuk segi empat. Karakter penting dari API pukat cincin adalah adanya tali kerut (purse line) di bagian bawah jaring. Jika tali kerut ditarik saat pukat cincin dioperasikan, maka unit API pukat cincin akan membentuk bangunan seperti karamba jaring besar sehingga ikan yang terkurung tidak dapat lolos. Nasution (1987) menyampaikan bahwa pukat cincin berbeda dengan jaring lingkar (seine net) lainnya, seperti pukat pantai (beach seine), payang (boat seine), pukat dasar (Danish seine), dan pukat hela (trawl) yang jelas mempunyai bagian sayap (wing)
dan kantong (codend) maka pukat cincin dimaksud empat persegi panjang (rectangular). Secara spesifik pukat cincin tidak mempunyai bagian sayap dan kantong sebagaimana jaring lingkar dan pukat hela tersebut di atas. Sayap pukat cincin biasanya untuk menyebut bagian sisi kiri dan kanan pukat, adapun istilah kantong biasanya untuk menyebut bagian tengah pukat. Fridman (1973) dan Andreev (1966) menyampaikan bahwa ukuran mata jaring dari bagian sayap pukat cincin umumnya 30-40 % lebih besar dibanding ukuran mata bagian kantong. Dilihat dari target tangkapan, maka dikenal adanya pukat cincin ikan pelagis besar dan pukat cincin ikan pelagis kecil (termasuk pukat cincin teri. Nasution (1987) menyampaikan bahwa hingga tahun 1986 banyak dioperasikan pukat cincin teri di perairan Selat Malaka. Konstruksi pukat cincin teri umumnya mempunyai ukuran mata baik sayap maupun kantongnya adalah 5 mm dan panjang pukat cincin antara 500-600 meter. Tahun 1987 pukat cincin teri banyak beroperasi banyak dioperasikan pukat cinci teri di perairan pindah ke Teluk Jakarta dan Laut China Selatan, selanjutnya pukat cincin teri tidak ditemui lagi beropersi. Potier, M & B.Sadhotomo (1994) menyampaikan bahwa konstruksi umum pukat cincin pelagis kecil yang banyak beropeasi di perairan Laut Jawa dan sekitarnya mempunyai ukuran mata 18,75 mm pada bagian kantong dan 2,54 mm pada bagian sayap dengan panjang jaring umumnya 500-600 m. API pukat cincin pelagis kecil di Laut Jawa pertamakali dikembangkan tahun 1970an. Dalam perkembangannya, alat penangkapan ikan (API) ini semakin tersebar di hampir seluruh wilayah di Indonesia termasuk di Prigi-Jawa Timur. Armada pukat cincin di Prigi umumnya berbasis di Pelabuhan Pesikanan Nusantara (PPN) Prigi. Tahun 2000-2010 rata-rata jumlah armada pukat cincin yang berbasis di PPN Prigi mencapai 14 % atau 159 unit dari total armada penangkapan ikan 159 unit dari total 1149 unit (Tabel 1).
33
BTL. Vol.11 No. 1 Juni 2013 : 33-36
Tabel 1. Jenis dan jumlah armada API yang berbasis di PPN Prigi tahun 2000-2010.
Dalam rangka mengetahui aspek operasional API pukat cincin yang bebasis di PPN Prigi, maka telah dilakukan suatu observasi yang merupakan bagian dari kegiatan penelitian tentang sumberdaya perikanan pelagis kecil di Samudera Hindia tahun 2013 oleh Balai Penelitian Perikanan Laut. Tulisan ini membahas aspek operasional penangkapan API pukat cincin tanpa menggunakan ABPI rumpon di perairan Samudera Hindia area Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP NRI) 573. BAHAN DAN METODE
API pukat cincin yang berbasis di PPN Prigi dioperasikan dengan menggunakan dua kapal yaitu kapal jaring dan kapal slerek, kapal jaring berukuran lebih besar dari kapal slerek. Kapal jaring berfunsi untuk membawa API pukat cincin dan anak buah kapal (ABK), adapun kapal slerek berfungsi untuk membantu menarik tali kolor (purse line) dan mengatur jaring pada saat operasi penangkapan, kapal slerek juga digunakan untuk memuat ikan hasil tangkapan. Pengoperasiannnya API pukat cincin yang berbasis di PPN Prigi adalah tidak menggunakan alat bantu penangkapan ikan (ABPI) rumpon maupun lampu untuk mengumpulkan ikan agar mudalah ditangkap. API pukat cincin yang berbasis di PPN Prigi dioperasikan untuk menangkap kelompok ikan yang bebas di luar pengaruh ABPI (free schooling). API pukat cincin dioperasikan dengan cara mengejar dan melingkari gerombolan (schooling) ikan. Metode penangkapan dengan API pukat cincin tanpa ABPI rumpon adalah yang sangat direkomendasikan saat ini, karena tidak merusak lingkungan.
Data primer dikumpulkan dari kegiatan observasi di atas kapal (onboard observation) pada kapal komersial (KM. Sagita). KM. Sagita merupakana kapal dengan API pukat cincin milik nelayan Prigi, Trenggalek, Jawa Timur dengan basis pendaratan di PPN Prigi. Kegiatan onboard observation dilaksanakan selama 8 hari yaitu tanggal 1-7 Mei 2013. Data yang dikumpulkan meliputi spesifikasi kapal, spesifikasi API, perbekalan, daerah penangkapan, teknik operasional penangkapan dan ikan hasil tangkapan. Data sekundair berasal dari statisik perikanan PPN Prigi tahun 2010. Data dan informasi dianalisis secara deskriptif dan hasilnya disajikan dalam bentuk tabel dan gambar. HASIL DAN BAHASAN 1. Alat Penangkapan Ikan (API) Konstruksi API pukat cincin secara garis besar terdiri dari jaring (webbing), tali temali, pelampung, pemberat dan cincin (ring). Jaring terdiri sayap, badan dan kantong, serta jaring serampat (selvedge). Tali temali terdiri dari tali pemapung (float line), tali ris atas (cork line), tali pemberat (sinker line), tali ris bawah , tali kolor atau tali kerut (purse line).
Gambar 1. Disain dan konstruksi umum API pukat cincin yang dioperasikan nelayan Prigi yang berbasis di PPN Prigi.
34
Pengamatan Aspek Operasional Pukat .......... di PPN Prigi Jawa Timur (Ilhamdi, H & A. Kuswoyo)
Konstruksi API pukat cincin yang berbasis di PPN Prigi mempunyai spesifikasi sebagaimana disajikan pada gambar 1. Purse seine dibagi menjadi dua, yaitu purse seine dengan kontong (bunt) di tenggah dan kantong di pinggir. Pada purse seine kantong di tenggah biasanya penarikan jaring dilakukan dari ke dua ujungnya, purse seine ini biasanya ditarik dengan tenaga manusia. Sedangkan yang kantongnya di pinggir biasanya ditarik dengan mesin penarik (power block) yang digerakkan dengan hidrolik. Pengoperasian purse seine dapat dilakukan dengan satu buah dan dua buah kapal, hal ini tergantung dari ukuran kapal, ukuran jaring, dan jenis hasil tangkapan. API pukat cincin yang berbasis di PPN Prigi umumnya mempunayai posisi bunt di bagian pinggir dan tali kerut ditarik dengan sebuah perahu selerek. 2. Kapal Kapal yang sigunakan untuk mengoperasikan API pukat cincin yang berbasis di PPN Prigi terbuat dari bahan utama kayu (wooden boat). API pukat cinci yang berbasis di PPN Prigi dioperasikan dengan 2 (dua) kapal yaitu kapal jaring dan kapal selerek. Kapal jaring mempunyai ukuran relatif besar yaitu sekitar 30 GT, adapun kapal selerek berukuran lebih kecil dibanding kapal jaring yaitu sekitar 20 GT. Kapal jaring berfungsi untuk memuat API pukat cincin dan ABK, kapal selerek berfungsi untuk menarik tali kolor dan mengatur letak maupun posisi jaring saat operasi penangkapan, ikan hasil tangkapan juga dimuat pada kapal selerek. 3.
Daerah Penangkapan (Fishing Ground)
Daerah penangkapan atau lazim disebut “ fishing ground” adalah suatu daerah dimana ikan dapat ditangkap dengan hasil tangkapan ikan yang mengguntungkan. Wudianto (2001) mengemukakan bahwa daerah penangkapan ikan yang baik adalah (a) merupakan perairan yang banyak ikannya, (b) dapat dilakukan operasi penangkapan dan (c) menguntungkan secara ekonomis. (Mudztahid, A., 2011) menyampaikan bahwa daerah penangkapan yang ideal bagi API pukat cincin adalah merupakan perairan (a) bukan daerah yang dilarang menangkap ikan, (b) terdapat ikan pelagis yang bergerombol (c) perairannya relatif lebih dalam dibandingkan dengan dalamnya jaring. Guna meningkatkan efektivitan dan efisien operasi penangkapan API pukat cincin, maka umumnya para nelayan memasang rumpon atau fish
aggregating devices (FADs) sebagai alat bantu penangkapan ikan. API pukat cincin yang berbasis di PPN Prigi dioperasikan tidak menggunakan alat bantu penangkapan rumpon. API pukat cincin diopersikan untuk menangkap ikan-ikan yang bergerobol bebas (free schooling). 4. Operasi Penangkapan Daerah penangkapan adalah API pukat cincin yang berbasis di PPN Prigi adalah di perairan sekitar 2030- mil sebelah selatan Kabupaten Trenggalek. .Kapal API pukat cincin yang berbasis di PPN Prigi umumnya melakukan operasi penangkapan sistem trip harian (one day fishing trip). Kapal berangkat sore hari, melakukan pelayaran ke daerah penangkapan sekitar 4-5 jam. Setelah mencapai daerah penangkapan yang potensial, maka kapal akan berhenti lalu melakukan operasi penangkapan pada pagi hari esoknya. Dalam pelayaran mencari gerombolan ikan, fishing master berdiri di tempat yang paling tinggi di kapal untuk melihat gerombolan ikan, sementara kapal terus berjalan. Apabila terlihat gerombolan ikan, maka fishing master member kode ke nahkoda untuk bersiap melakukan tawur jaring. Setelah kapal telah betul-betul dekat dengan gerombolan ikan, maka nahkoda memimpin kegiatan tawur. Jaring yang telah siap diturukan ke laut sehingga gerombolan ikan terkurung atau terlingkari oleh jaring. Kapal kedua (selerek) bertugas menarik tali kolor dengan cepat segera setelah jaring telah terlingkar dengan sempurna. Kapal selerek bergerak dengan cepat sagar bagian bawah jaring mengerucut dan menutup dengan sempurna dan ikan tidak dapat meloloskan diri. setelah itu barulah ABK menarik jaring ke atas kapal sampai ikan terkumpul di bagian kantong.ikan di muat di kapal kedua. Apabila hasil tangkapan belum banyak kapal kembali berjalan mencari gerombolan ikan. Pada umumnya armada pukat cincin yang berbasis di PPN Prigi beroperasi secara trip harian (one day trip). Selama melakukan observasi selama 5 hari operasi penangkapan ikan di atas KM dimana 1 hari rata-rata 2 kali tawur jaring di KM. Sagita (Tabel 1) maka berhasil dicatat posisi penangkapan yaitu antara 8, 27oLS - 112,24oBT dan 8,34 oLS - 111,51 o BT. Posisi penangkapan diperoleh dari alat GPS yang dibawa selama observasi. Hasil tangkapan KM. Sagita berkisar antara 110 – 1540 kg (rata-rata 442,5 kg) per tawur. Ikan yang telah diperoleh dibawa ke PPN Prigi untuk dilelang pada sekitar tengah atau sore hari.
35
BTL. Vol.11 No. 1 Juni 2013 : 33-36
Tabel 1. Posisi penangkapan KM. Sagita selama operasi penangkapan tanggal 2, 3, 4, 5 dan 6 Mei 2013. No. Tawur 1 2 3
Posisi Tawur Jaring LS
BT
8, 27
o
8,27
o
8,29
o o
Hasil Tangkapan (KG)
112,24
o
245
112,25
o
110
112,28
o
690
o
112,26 112,23 o
300 320
4 5
8, 28 8,28 o
6
8,30
o
112,09
o
155
7
8,32
o
112,14
o
370
8
8,29
o
112,11
o
135
8,28
o
111,49
o
560
8,34
o
111,51
o
1540
9 10 Rerata
442,5
5. Perbekalan Operasi Penangkapan Hasil wawancara dengan nahkoda KM. Sagita diperoleh informasi bahwa total eksploitasi (pengeluaran) setiap trip operasi penangkapan adalah sekitar Rp. 1.590.000,-. Tabel 2 menyampaikan rincian biaya eksploitasi per trip panangkapan KM. Sagita. Biaya eksploitasi kapal-kapa pukat cincin yang berbasis di PPN Prigi diduga tidak berbeda jauh dengan yang dikeluarkan oleh KM. Sagita karena ukuran kapalnya sama.
selatan Kabupaten Trenggalek. Satu kali trip melakukan tawur jaring antara 1-2 kali. 3. Pengoperasian API pukat cincin yang berbasis di PPN Trenggalek tidak menggunakan alat bantu penangkapan berupa rumpon. 4. Kegiatan operasi penangkapan dilakukan pada pagi hingga tengah hari. 5. Hasil tangkapan rata-rata 442,5 kg/tawur jaring. PERSANTUNAN Penulis mengucapkan terima kasih kepada fishing master, nahkoda dan seluruh ABK KM. Sagita yang telah memberikan bantuan selama onboard observation. Diucapkan terima kasih juga kepada Bp. Anung Widodo yang telah membantu membimbing penulisan paper ini serta membatu menggambar kembali disain dan konstruksi API pukat cincin KM. Sagita. DAFTAR PUSTAKA Adreev, N.N., 1966. Handbook for fishing gear and its rigging. Translated from Russian by M. Ben Yami. Israel Program for Scientific Translation Ltd. 1966. p. 454. Fridman, A.L., 1973. Theory and design of commercial Fishing Gear. Translated from Russian by R. Kondor. Yami. Israel Program for Scientific Translation Ltd. 1973. p. 489.
KESIMPULAN
Nasution, Chairul, 1987. Pengkajian pukat cincin berukuran mata kecil di perairan Teluk Jakarta. Jurnal Penelitian Perikanan Laut, No. 40 tahun 1987, Jakarta, halaman 27-36.
1. API pukat cincin yang berbasis di PPN Prigi dioperasikan dengan dua kapal. 2. Sistem trip penangkapan adalah trip harian dengan daerah penangkapan sekitar 20-30 mil sebelah
Potier, M. and B. Sadhotomo. 1994. Seiners Fisheries in Indonesia. Biology, Dynamics, Exploitation of The Small Pelagic Fishes in Jawa Sea. Biodinex. Jakarta.
36
Teknik Mengukur Diameter Telur Dukang (Hemipimelodus borneensis) (Apriyadi & M. Abidin)
TEKNIK MENGUKUR DIAMETER TELUR IKAN DUKANG (Hemipimelodus borneensis) Apriyadi dan Muhtarul Abidin Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum, Palembang Teregistrasi I tanggal: 05 September 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 21 Januari 2013; Disetujui terbit tanggal: 23 April 2013
PENDAHULUAN
Metoda
Ikan adalah sumber daya perairan yang bereproduksi dengan cara bertelur (vivipar), dengan ukuran butiran telur yang berbeda pada setiap stadia kematangan telurnya. Untuk itu pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat yang disesuaikan dengan ukuran butiran telur. Demikian juga dengan ikan dukang (Hemipimelodus borneensis) yang hidup di diperairan estuari. Pengukuran telur yang besar dapat dilakukan dengan menggunakan caliper (jangka sorong) sedangkan ukuran yang kecil menggunakan mikroskop. Salah satu tujuan dari kegiatan pengukuran telur adalah untuk mengetahui tipe pemijahan, yaitu tipe parsial atau total.
Pengukuran diameter telur dilakukan secara manual dengan menggunakan jangka sorong untuk telur yang berukuran besar dan menggunakan mikroskop untuk telur yang berukuran kecil. Adapun cara pengukurannya adalah sebagai berikut:
POKOK BAHASAN Waktu dan Tempat Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Mei dan Juli 2013, yang berlokasi di bagian hilir sungai Musi, Sumatera Selatan. Bahan dan Alat
1. Telur ikan dikeluarkan dari perut dengan cara menggunting dari anus hingga perut ikan. 2. Telur (Gambar 2) dimasukkan kedalam botol plastik dan diawetkan dengan menggunakan gilson. 3. Sampel yang telah diawetkan diberi label dengan menggunakan kertas kalkir yang berisikan informasi berupa; nama ikan, tanggal pengambilan, alat tangkap, dan lokasi penangkapan. 4. Sampel dibawa ke laboratorium untuk dilakukan pengukuran diameter 5. Sebelum diukur, telur ikan dicuci untuk menghilangkan bau dari gilson. 6. Telur yang berukuran besar di ukur satu persatu dengan meletakkan telur pada kedua rahang jangka sorong (Gambar 3) dan telur yang berukuran kecil diukur dengan menggunakan mikroskof stereo yang telah pasang wifle pada lensa objektif (Gambar 4). 7. Hasil pengukuran dicatat pada buku.
Bahan dan alat yang digunakan: Cara membaca skala jangka sorong 1. Ikan Dukang (Arius caelatus), dari hasil tangkapan di bagian hilir sungai Musi (Gambar 1) 2. Jangka sorong, berfungsi untuk mengukur diameter telur ikan 3. Gilson, berfungsi untuk mengawetkan ikan 4. Kertas kalkir, sebagai bahan untuk membuat label 5. Botol plastik, sebagai wadah untuk menyimpan telur. 6. Mikroskop stereo, berfungsi memperbesar ukuran telur ikan 7. Wifle, berfungsi untuk mengukur diameter telur ikan yang di pasang pada lensa objektif mikroskof.
Berdasarkan Anonim (2009), untuk membaca hasil pengukuran menggunakan jangka sorong dapat dilakukan dengan langkah sebagai berikut. 1. Baca skala utama yang berimpit atau skala terdekat tepat didepan titik nol skala nonis. 2. Baca skala nonius yang tepat berimpit dengan skala utama. 3. Hasil pengukuran dinyatakan dengan persamaan: Hasil = Skala Utama + (skala nonius yang berimpit x skala terkecil jangka sorong) = Skala Utama + (skala nonius yang berimpit x 0,1 mm)
37
BTL. Vol.11 No. 1 Juni 2013 : 33-36
Contoh pengukuran diameter luar benda dengan menggunakan jangka sorong disajikan pada Gambar 5 .
dan menghitung garis kecil 4 langkah sebelum angka 0 pada skala nonius. 3. Skala nonius yang berimpit dengan skala utama, dari hasil pengamatan diperoleh angka 7 pada skala nonius yang berimpit dengan skala utama. 4. Angka 7 tersebut di kalikan dengan tingkat ketelitian 0,1 mm sehingga diperoleh 0,7 mm. 5. Hasil pengukuran diperoleh dari menjumlahkan hasil pengamatan pada skala utama dengan skala nonius yaitu 24 mm + 0,7 mm = 24,7 mm atau 2,47 cm. HASIL PENGUKURAN
Gambar 5. Cara membaca skala pada jangka sorong 1. Skala nonius yang ditunjukkan tanda panah berwarna merah. Skala nonius dihitung mulai dari angka 0 sampai pada garis skala nonius yang berimpit dengan skala utama. 2. Dari hasil pengamatan tersebut, pada skala utama menunjukkan angka 2,4 cm atau 24 mm dihitung dari angka 2 yang ditunjukkan oleh skala utama
38
Dari pengukuran telur sampel ikan dukang yang berukuran panjang 17,5 cm – 20,2 cm dan berat 50,25 gram – 76,57 gram diperoleh hasil yang tersaji pada Gambar 1. Dari hasil pengukuran telur ikan Dukang (Hemipimelodus borneensis) yang disajikan pada Gambar 6. , dapat terlihat bahwa ukurannya beragam, yaitu ukuran kecil 0,1 – 0,39 sedang 0,42 – 0,67 dan besar 0,75 – 0.93. Beragamnya ukuran butiran telur ikan dukang menunjukkan bahwa pola pemijahannya bersifat parsial
Teknik Mengukur Diameter Telur Dukang (Hemipimelodus borneensis) (Apriyadi & M. Abidin)
Tabel 1. Hasil pengukuran telur diameter telur dukang No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Diameter telur (cm) 0.1 0.13 0.14 0.15 0.17 0.2 0.21 0.22 0.23 0.24 0.25 0.26 0.27 0.28 0.29 0.3 0.31 0.32 0.33 0.34 0.35 0.36 0.37 0.38 0.39 0.4 0.41 0.42 0.43 0.46 0.47
Frekuensi 1 2 1 1 3 2 3 2 4 4 1 3 1 2 2 8 3 3 7 2 10 5 9 3 6 4 1 1 1 1 1
12
32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62
Diameter telur (cm) 0.57 0.59 0.61 0.62 0.63 0.64 0.65 0.66 0.67 0.7 0.71 0.75 0.76 0.77 0.78 0.79 0.8 0.81 0.82 0.83 0.84 0.85 0.86 0.87 0.88 0.89 0.9 0.91 0.92 0.93 0.98
Frekuensi 2 1 3 4 3 4 2 2 1 1 2 2 2 4 2 2 1 4 5 3 1 2 3 3 5 2 1 4 2 1 1
2. Ikan Dukang (Hemipimelodus borneensis) termasuk kedalam tipe pememijah parsial
10 F re k u e n s i
No
8
PERSANTUNAN
6 4 2
15 0. 21 0. 24 0. 27 0. 3 0. 33 0. 36 0. 39 0. 42 0. 47 0. 61 0. 64 0. 67 0. 75 0. 78 0. 81 0. 84 0. 87 0. 9 0. 93
0.
0.
1
0
Diameter telur (mm)
Gambar 4. Sebaran ukuran telur ikan Dukang
Tulisan ini merupakan bagian dari kegiatan Penelitian T.A 2013 dengan judul “ Kajian Stok dan Keanekaragaman Sumber Daya Ikan di Perairan Estuari Kabupaten Banyuasi, Provinsi Sumatera Selatan. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Rupawan, S.E, Herlan, S.P dan semua yang telah membantu dalam penyelesaian tulisan ini. DAFTAR PUSTAKA
KESIMPULAN 1. Telur ikan Dukang (Hemipimelodus borneensis) memiliki ukuran beraneka ragam.
Anonim. 2009. SOP Jangka Sorong. http:// belajarsainsfisika.blogspot.com/2011/01/sopjangka-sorong.html. Diakses tanggal 2 April 2013
39
BTL. Vol.11 No. 1 Juni 2013 :
14
BULETIN TEKNIK LITKAYASA SUMBER DAYA DAN PENANGKAPAN Pedoman Bagi Penulis 1. Ruang Lingkup: Buletin ini memuat karya tulis para Teknisi Litkayasa lingkup Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan dan institusi lain di bawah Departemen Kelautan dan Perikanan yang berisikan mengenai kegiatan teknisi litkayasa terkait dengan prospek pengembangan, analisis kegiatan lapangan, dan lain-lainnya yang berhubungan dengan sumber daya dan penangkapan yang disajikan secara praktis, jelas, dan bersifat semi ilmiah. 2. Bahasa: Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, tidak diperkenankan menggunakan singkatan yang tidak umum dan bersifat semi ilmiah. Pemakaian istilah yang baru supaya mengikuti pedoman Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. 3. Penulisan Naskah: Susunan naskah terdiri atas judul, pendahuluan (latar belakang), pokok bahasan dan uraiannya, kesimpulan, serta daftar pustaka. Panjang naskah 5-20 halaman. Naskah diketik 2 spasi di kertas putih ukuran A4 menggunakan program MS-Word dalam 2 spasi , margin 4 cm (kiri)-3 cm (atas)-3 cm (bawah) dan 3 cm (kanan), kertas A4, font 12-times new roman, jumlah naskah maksimal 15 halaman dan dikirim rangkap 3 beserta soft copynya. a. Judul: Terdiri atas suatu ungkapan yang mencerminkan isi tulisan. Judul diikuti dengan nama penulis dan instansinya. b. Pendahuluan: Secara ringkas menguraikan pokok permasalahan akan kegiatan teknis yang mendukung atau terkait dengan litkayasa. c. Pokok Bahasan: Diuraikan secara jelas dan ringkas mengenai bahan dan tata cara kegiatan atau teknis yang mendukung atau terkait dengan penelitian. d. Kesimpulan/Penutup: Disajikan secara ringkas dengan mempertimbangkan judul naskah, maksud, tujuan, dan hasil kegiatan. e. Daftar Pustaka: Nama pengarang (dengan cara penulisan yang baku), tahun penerbitan, judul artikel, judul buku atau nama dan nomor jurnal, penerbit dan kotanya, serta jumlah atau nomor halaman. Sebagai contoh: Sunarno, M. T. D., A. Wibowo, & Subagja. 2007. Identifikasi tiga kelompok ikan belida (Chitala lopis) di Sungai Tulang Bawang, Kampar, dan Kapuas dengan pendekatan biometrik. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 13 (3): 1-14. Sadhotomo, B. 2006. Review of environmental features of the Java Sea. Indonesia Fisheries Resources Journal. 12 (2): 129-157. Defeo, O., T. R. Mc Clanahan, & J. C. Castilla. 2007. A brief history of fisheries management with emphasis on societal participatory roles. In McClanahan T. & J. C. Castilla (eds). Fisheries Management: Progress toward Sustainability. Blackwell Publishing. Singapore. p. 3-24. Utomo, A. D., M. T. D. Sunarno, & S. Adjie. 2005. Teknik peningkatan produksi perikanan perairan umum di rawa banjiran melalui penyediaan suaka perikanan. In Wiadnyana, N. N., E. S. Kartamihardja, D. I. Hartoto, A. Sarnita, & M. T. D. Sunarno (eds). Prosiding Forum Perairan Umum Indonesia Ke-1. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. p. 185-192. Publikasi yang tak diterbitkan tidak dapat digunakan, kecuali tesis, seperti contoh sebagai berikut: Simpson, B. K. 1984. Isolation, characterization, and some applications of trypsin from greenland cod (Gadus morhua). PhD Thesis. Memorial University of New Foundland. St. John’s. New Foundland. Canada. 179 pp. f. g. h.
Tabel: Hendaknya diberi judul yang singkat, jelas, diberi nomor urut, dan diketik menggunakan MS-Excel. Gambar/Grafik: Gambar atau grafik dibuat dengan garis cukup tebal, disertai dengan data digital menggunakan program MS-Excel. Gambar atau grafik diberi judul dan nomor urut. Foto: Dipilih warna kontras atau foto warna, diberi judul, dan nomor urut.
4. Penyampaian Naskah: Naskah dikirim rangkap 3 disertai disketnya, dialamatkan pada Redaksi Pelaksana Buletin Teknik Litkayasa Sumber Daya dan Penangkapan. Gedung Balitbang KP II Jl. Pasir Putih II Ancol Timur, Jakarta Utara 14430. E-mail:
[email protected]