37
5. PENGELOLAAN DAN KONSERVASI SUMBER DAYA IKAN DI SEGARA MENYAN 5.1. Pendahuluan Perairan Segara Menyan sebagai daerah estuari memiliki keanekaragaman fauna ikan yang tinggi. Hal ini tergambar dari besaran jumlah spesies yang ditemukan di perairan tersebut. Ikan-ikan estuari yang datang dari laut dan ikan fase juwana mendominasi hasil tangkapan di perairan Segara Menyan, khususnya di zona segara. Zona segara memiliki kekayaan spesies dan diversitas ikan terbesar dibandingkan dengan dua zona lainnya. Kondisi ini didukung oleh fakta bahwa zona segara ditumbuhi oleh vegetasi mangrove yang memungkinkan ikan-ikan dari laut dan ikan stadia tersebut mencari makanan dan berlindung serta melangsungkan pemijahan. Meskipun demikian, terdapat permasalahan pada sumber daya ikan yaitu ukuran dan biomassa ikan mengecil akibat penangkapan intensif dan degradasi habitat. Penangkapan intensif dengan menggunakan alat tangkap tidak selektif seperti jaring arad (mini trawl) di zona pantai dan pemasangan jaring insang dan rampus di sepanjang badan air zona segara menyebabkan ikan-ikan juwana dan dewasa berukuran kecil ikut tertangkap. Kejadian ini menyebabkan sumber daya ikan tidak memiliki kesempatan untuk berkembang secara produktif. Sementara degradasi habitat berupa abrasi pantai dan kerusakan mangrove menyebabkan ikan kehilangan lumbung makanan, ruang untuk bernaung, bereproduksi, dan berlindung. Penggunaan jaring arad di wilayah perairan Mayangan dan sekitarnya oleh nelayan telah dihentikan sejak tahun 2004 dan digantikan oleh jaring rampus (dikenal dengan jenis milenium). Walaupun demikian, sampai saat ini jaring arad masih tetap dipergunakan karena nelayan-nelayan dari luar Mayangan masih menggunakan jaring tersebut untuk menangkap ikan di wilayah perairan Mayangan dan sekitarnya. Sementara abrasi pantai telah ditanggulangi dengan memasang pilar beton dan rehabilitasi mangrove. Namun, kondisi tidak menjadi lebih baik karena pilar beton hancur dan vegetasi mangrove yang ditanam gagal tumbuh. Berbagai permasalahan yang terjadi di ekosistem ini menyebabkan pengelolaan sangat dibutuhkan agar sumber daya ikan dapat berkelanjutan. Pendekatan ekosistem merupakan konsep yang dapat diterima masyarakat perikanan sampai saat ini (FAO
38
2003). Berbagai interpretasi mengenai pendekatan ekosistem, namun secara umum pendekatan ini menitikberatkan pada upaya konservasi perairan, pengelolaan perikanan, dan perlindungan sumber daya perikanan (FAO 2003; Morishita 2008). Selanjutnya Morishita (2008) menyatakan bahwa pendekatan ekosistem memiliki berbagai bentuk yang berbeda, yaitu mitigasi bycatch, pengelolaan multispesies (berkaitan dengan mangsa-pemangsa), perlindungan ekosistem yang rentan, dan pendekatan ekosistem terpadu. Salah satu bagian penting di dalam pengelolaan perikanan berbasis pada pendekatan ekosistem adalah pemahaman perihal ekologi trofik dari komunitas ikan yang mendiami suatu perairan (Link 2002). Berkaitan dengan hal tersebut, pengelolaan multispesies perlu dipahami dengan jelas. Pada pengelolaan multispesies, diasumsikan bahwa faktor biologis, lingkungan, dan hubungan mangsa-pemangsa antar spesies merupakan bagian dari ekosistem yang menentukan tingkat pemangsaan dari spesies buruan (Link 2002; Díaz-Uribe et al. 2007). Eksploitasi terhadap spesies tertentu akan memengaruhi spesies lain yang menggantungkan hidup (sumber makanan) dari spesies tersebut melalui pengurangan persediaan makanan. Oleh karena itu, pemahaman mengenai struktur trofik sangat penting dalam upaya pengelolaan sumber daya perikanan. Ketika struktur trofik telah dipahami, maka dapat dilakukan prediksi terhadap eksploitasi sumber daya ikan di perairan estuari Segara Menyan; dalam hal ini gejala penurunan tingkat trofik pada hasil tangkapan (fishing down the food web). Penurunan tingkat trofik hasil tangkapan terjadi ketika biomassa hasil tangkapan pada tingkat trofik atas yang menjadi target penangkapan mulai mengalami penurunan dan digantikan oleh peningkatan biomassa ikan tangkapan pada trofik rendah. Fenomena ini merupakan kejadian global di ekosistem perairan laut dan tawar (Pauly et al. 1998) dan merupakan dampak dari kegiatan penangkapan (Gascuel 2005; Coll et al. 2006).
5.2. Strategi pengelolaan dan konsevasi sumber daya ikan Berdasarkan penjelasan di atas, sumber sebab permasalahan yang mendera sumber daya ikan dapat dibedakan menjadi dua hal yaitu penyebab langsung (degradasi habitat dan laju penangkapan) dan penyebab tidak langsung (ketiadaan
39
aturan terkait alat tangkap dan menjaga kondisi perairan). Permasalahan yang dihadapi oleh sumber daya ikan di perairan Segara Menyan memerlukan suatu strategi dalam pengelolaan dan konservasi sumber daya ikan. Berpijak pada hasil penelitian ini, strategi pengelolaan dan konservasi sumber daya ikan diajukan untuk diterapkan di ekosistem estuari Segara Menyan yaitu pengembangan perikanan rekreasi, regulasi perikanan tangkap, dan pengelolaan habitat ikan di perairan Segara Menyan.
Pengembangan perikanan rekreasi Perikanan
rekreasi
adalah
segala
aktivitas
penangkapan
khususnya
pemancingan yang dilakukan untuk kesenangan. Berdasarkan tujuannya, perikanan rekreasi dibedakan menjadi pemancingan amatir, pemancingan untuk olahraga, dan pemancingan untuk wisata (Gaudin & de Young 2007; Pawson et al. 2008). Pemancingan amatir diarahkan pada sekadar penyaluran kegemaran, tidak teroganisasi, dan hasil tangkapan dapat dilepaskan kembali atau dikumpulkan untuk dikonsumsi. Olahraga memancing merupakan kegiatan kompetitif yang terorganisasi dengan memburu jenis tangkapan dan bobot tertentu; pelaksanaannya di perairan yang dengan sumber daya ikan karnivora yang berukuran besar. Wisata memancing merupakan kegiatan yang terorganisasi oleh pihak ketiga dalam menyediakan fasilitas ke suatu wilayah penangkapan tertentu. Berlandaskan batasan yang telah diuraikan di atas, pengembangan perikanan rekreasi yang dapat diterapkan di perairan estuari Segara Menyan diarahkan pada pemancingan amatir. Kegiatan pemancingan sangat mungkin dilakukan dengan pertimbangan bahwa perairan ini memiliki kekayaan spesies dan diversitas ikan yang besar dengan variasi spasio-temporal yang menentukan persebarannya. Keberadaan ikan-ikan karnivora (krustasivora dan pisivora) yang merupakan target pancingan ditemukan dalam jumlah banyak di perairan ini. Selain itu, kegiatan pemancingan di wilayah segara sudah dilakukan oleh segelintir orang yang memanfaatkan hari libur untuk menyalurkan kesenangannya. Disamping sebagai perangkat pengelolaan, pengembangan perikanan rekreasi berperan dalam perlindungan spesies tertentu yang akan melangsungkan kegiatan reproduksinya. Penggunaan pancing sebagai alat tangkap menyebabkan hasil
40
tangkapan menjadi selektif. Apabila ikan yang tertangkap telah matang gonad maka ikan tersebut dapat dilepaskan kembali. Kondisi ini berbeda ketika penangkapan menggunakan jaring (insang, rampus, atau arad), hasil tangkapan tidak selektif sehingga dapat menangkap ikan juwana dan dewasa berukuran kecil. Pengembangan perikanan rekreasi perlu memperhatikan kesesuaian dan daya dukung perairan sehingga kegiatan ini tidak menimbulkan gangguan terhadap sumber daya perairan dan masyarakat lokal. Kondisi ini menjadi perhatian Lewin et al. (2006) yang menyatakan bahwa dampak yang diakibatkan oleh kegiatan wisata pemancingan sama dengan perikanan niaga dalam hal sediaan sumber daya ikan dan dampak terhadap ekosistem, dan pada wilayah tertentu menyebabkan proporsi total tangkapan melalui kegiatan pemancingan dapat lebih besar dibandingkan perikanan niaga. Oleh karena itu, sangat diperlukan penetapan jenis ikan target, sebaran jumlah dan ukuran ikan, dan wilayah pemancingan. Sejalan dengan hal tersebut, Cowx (2002) mengutarakan bahwa pengelolaan perikanan rekreasi diwujudkan dalam tiga langkah, yaitu manipulasi sediaan, regulasi penangkapan, dan pengelolaan habitat. Manipulasi sediaan dimaksudkan untuk peningkatan spesies target dan dapat dilakukan dalam empat cara yaitu pengayaan stok, peningkatan keragaman spesies, penyingkiran spesies tak diinginkan, pengontrolan predator. Langkah pertama ini biasanya diterapkan pada perairan daratan. Regulasi penangkapan dimaksudkan untuk mengatur tata laksana perikanan rekreasi; hal ini berkaitan dengan penutupan musim dan area tangkapan, pembatasan jumlah, pengaturan alat tangkap, dan ukuran ikan yang boleh ditangkap. Pengelolaan habitat dimaksudkan untuk menjamin kualitas lingkungan, merehabilitasi habitat yang rusak, dan meningkatkan produksi perikanan. Bersandar pada hasil penelitian ini, target pemancingan diarahkan pada ikan karnivora yang telah mencapai ukuran dewasa (Cox et al. 2002). Ikan karnivora yang dimaksudkan adalah krustasivora (pemakan udang-udangan) dan pisivora (juwana ikan). Jenis-jenis ikan ini sangat melimpah di wilayah Segara Menyan, seperti ikan tiga waja (J. belangerii), blama (Nibea soldado), dan kakap putih (L. calcarifer). Wilayah pemancingan harus menjadi perhatian karena berkaitan dengan proses biologis lainnya seperti reproduksi. Penentuan wilayah harus memperhatikan jenis ikan buruan yang berada pada fase juwana dan fase dewasa matang gonad. Rahardjo
41
(2006a) dan Rahardjo & Simanjuntak (2007) menyatakan bahwa ikan blama (N. soldado) dan ikan tetet (J. belangerii) berada di wilayah bermangrove pada saat matang gonad. Pada penelitian ini mereka ditemukan di wilayah segara. Fase juwana dan dewasa dominan ditemukan di zona segara karena penghuni zona ini tidak hanya ikan-ikan penetap estuari, melainkan datang dari perairan tawar dan laut. Ikan-ikan karnivora yang mendiami area ini umumnya telah berada pada fase dewasa dan mereka masuk ke segara dalam rangka mencari makanan. Kondisi demikian menyebabkan zona segara diusulkan sebagai wilayah pemancingan terbatas, dalam arti zona ini dapat ditutup pada musim-musim pemijahan (seperti blama, N. soldado; petek, L. equulus; dan tetet, J. belangerii pada musim penghujan); dapat dilakukan penangkapan pada musim pemijahan dengan syarat pemancing harus melepaskan kembali ketika memperoleh ikan tangkapan yang matang gonad. Sementara ikan di zona sungai dan pantai dapat dipancing dengan tetap memperhatikan kematangan gonad ikan. Jenis ikan yang dapat dipancing dan wilayah pemancingan disajikan pada Tabel 5-1. Bila pengembangan perikanan rekreasi ingin diterapkan dan terus berlanjut maka perlu memperhatikan tiga hal, yaitu kegiatan pemancingan, pengayaan sediaan ikan, interaksi lintas sektoral (Cowx 2002). Pengembangan perikanan rekreasi di Segara Menyan hanya perlu memperhatikan dua hal yaitu kegiatan pemancingan dan interaksi lintas sektoral. Pengayaan sediaan tidak menjadi perhatian karena estuari ini kaya fauna ikan dengan berbagai stadia dalam siklus hidupnya. Kegiatan pemancingan tidak saja memberikan pengaruh positif bagi kehidupan biota akuatik, tetapi juga memberikan pengaruh negatif pada habitat dan biota akuatik dan teresterial. Pengaruh negatif tersebut berupa gangguan pada satwa liar lain dan kerusakan terhadap habitat atau tempat bersarang beberapa spesies ikan. Gangguan dan kerusakan ini disebabkan oleh aktivitas pemancing yang secara tidak langsung merusak ketika mengakses lokasi pemancingan. Selain itu, penggunaan perahu untuk mengakses daerah pemancingan juga turut memengaruhi kualitas perairan ketika terjadi tumpahan bahan bakar perahu. Ancaman ini bisa diatasi melalui pembatasan daerah pemancingan dan musim pemancingan. Pengaruh negatif lainnya adalah keberadaan sampah dan penggunaan umpan.
42
Tabel 5-1. Jenis dan sebaran ikan yang dapat dipancing di perairan Segara Menyan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39
Spesies A. ciliaris A. grunniens C. aureus C. dorab C. talabon D. punctata D. russelli E. melanosoma E. tetradactylum G. achlamys G. minuta G. scaber H. nehereus I. japonica J. belangerii J. carouna L. calcarifer L. cornuta L. lactarius L. lunaris L. savala M. cordyla N. soldado O. microlepis O. ruber P. anea P. bilineata P. canius P. indicus P. microdon P. quadrilineatus S. commerson S. jello S. tumbil T. hamiltonii T. mystax T. nieuhofi T. puta Z. zebra
Ukuran 204±10 118±20 174±19 361±89 379±84 184±48 160±12 134±15 261±51 148±11 158±9 163±34 171±64 161±33 168±23 163±26 310±79 143 152±12 144±27 441±87 244±37 187±38 137±+20 178±20 150±35 169±18 593±94 273±30 171±30 161±31 220±26 159±50 269±43 129±42 98±30 189±24 171±21 154±18
Fase J, D J J, D J, D J J, D J, D D J, D J, D J, D J, D J J, D J, D J, D J, D J J, D J, D D J, D J, D D J, D J, D J, D J, D J, D J, D J J, D J J, D J, D J, D J, D J, D J, D
Jenis makanan utama Portunus Metapenaeus Sardinella Thryssa Amblygaster Ambassis Thryssa Brachyura Metapenaeus Metapenaeus Metapenaeus Portunus Metapenaeus Secutor Portunus Portunus Valamugil Metapenaeus Squilla Thryssa Secutor Sardinella Portunus Ambassis Saurida Portunus Scylla Ambassis Leiognathus Sardinella Penaeus Sardinella Ambassis Thryssa Metapenaeus Metapenaeus Squilla Metapenaeus Scylla
Sebaran (zona pemancingan) Pantai Segara Pantai Pantai Pantai, Segara Pantai, Segara Pantai, Segara Segara Pantai, Segara Pantai Pantai Pantai Pantai Pantai Pantai Pantai, Segara Pantai, Segara Pantai, Segara Pantai Pantai, Segara Pantai Pantai Pantai, Segara Segara Pantai Pantai Pantai, Segara Sungai, Segara Pantai Pantai, Segara Pantai, Segara Pantai Pantai, Segara Pantai Pantai, Segara Pantai, Segara Segara Pantai, Segara Pantai, Segara
Hal yang perlu mendapat perhatian pada pelaksanaan perikanan rekreasi adalah kesejahteraan hidup fauna ikan. Pada dasarnya tujuan perikanan rekreasi adalah untuk kesenangan. Ikan yang tertangkap dapat dilepas kembali ke perairan atau diambil untuk dikonsumsi. Ketika ikan tersebut akan dilepaskan kembali, maka perlu dipastikan mata kail tidak tersangkut dalam mulut atau tidak menyebabkan mulut ikan rusak sehingga tidak berfungsi optimal. Hal tersebut penting dilakukan karena
43
tingkat kematian ikan yang tinggi terjadi pasca penglepasan kembali ikan yang tertangkap (Bartholomew & Bohnsack 2005; Cerdá et al. 2010). Kehidupan sosial ekonomi masyarakat nelayan juga perlu mendapat perhatian karena wilayah penangkapan nelayan akan berkurang saat zona segara ditetapkan sebagai wilayah penangkapan terbatas. Hal ini tentu akan menimbulkan pengaruh buruk, walaupun juga mendatangkan keuntungan dari penyewaan perahu untuk kegiatan pemancingan rekreasi ini. Aspek ini tidak menjadi bahasan pada penelitian ini, karena penelitian ini dititikberatkan pada aspek ekologi dan biologi ikan.
Regulasi perikanan tangkap Pengaturan penangkapan tidak saja difokuskan pada kegiatan pemancingan rekreasi sebagaimana dipaparkan di atas. Namun menjadi hal penting untuk diperhatikan adalah kegiatan perikanan tangkap. Sejauh ini kegiatan perikanan yang berlangsung di Segara Menyan adalah kegiatan perikanan artisanal. Nelayan melakukan penangkapan sehari (one day fishing) dengan alat tangkap berupa jaring insang, jaring rampus, jaring arad, dogol, dan pukat pantai. Kegiatan penangkapan ikan tidak saja dilakukan oleh masyarakat setempat, melainkan dilakukan juga oleh nelayan lain yang datang dari berbagai wilayah. Tumpang tindih kegiatan yang besar antara perikanan rekreasi dan perikanan tangkap terkait wilayah penangkapan dikhawatirkan menimbulkan konflik antar-masyarakat terhadap pemanfaatan sumber daya ikan. Oleh sebab itu, kegiatan perikanan tangkap perlu dilakukan pengaturan. Pengaturan perikanan tangkap yang dimaksud adalah penggunaan alat tangkap, musim dan wilayah penangkapan, serta ukuran ikan tangkapan. Pada dasarnya pengaturan ini sama dengan pengaturan pada perikanan rekreasi terkait musim, wilayah, ukuran ikan target penangkapan; sedikit yang membedakan adalah pada wilayah penangkapan dan penggunaan alat tangkap. Pada bagian ini, alat tangkap yang dimaksud adalah jaring (insang, rampus, arad, dogol, dan pukat pantai). Penggunaan jaring tidak diperkenankan untuk digunakan di zona segara sepanjang tahun, karena zona ini diproyeksikan sebagai wilayah pemulihan sumber daya ikan. Penangkapan dengan jaring hanya boleh dilakukan pada zona pantai dan sungai dengan tetap memperhatikan musim pemijahan, seperti ikan blama (N. soldado), ikan tetet (J. belangerii), ikan baji-baji (G. scaber, I. japonica), ikan petek (L. equulus)
44
yang memijah pada musim penghujan (Novitriana et al. 2004; Yuniarti et al. 2005; Rahardjo 2006a ; Rahardjo & Simanjuntak 2007). Ukuran ikan yang boleh ditangkap adalah ukuran ikan yang telah mencapai dewasa, setidaknya telah melangsungkan pemijahan satu kali. Namun, penggunaan jaring yang merupakan alat tangkap non selektif, tidak dapat memisahkan ukuranukuran tersebut. Oleh karena itu, pengaturan musim dan wilayah penangkapan adalah langkah efektif di wilayah perairan Segara Menyan.
Pengelolaan habitat fauna ikan Estuari dengan segala variasi habitat yang terbentuk di dalamnya merupakan area yang nyaman bagi kehidupan ikan, yang tidak hanya spesies penetap estuari melainkan spesies peruaya atau spesies yang hanya sekadar singgah untuk keperluan hidupnya termasuk persembunyian. Wilayah estuari bervegetasi mangrove seperti di Segara Menyan merupakan satu habitat penting bagi ikan. Namun, kondisi vegetasi mangrove di perairan ini telah mengalami kerusakan akibat perambahan untuk lahan tambak dan abrasi pantai. Dua hal ini tentunya berdampak pada kehidupan ikan karena mereka kehilangan habitat sebagai tempat hidup. Oleh sebab itu, perlu upaya pengelolaan habitat, setidaknya kerusakan ekosistem mangrove tidak semakin parah dan masih memiliki kemampuan dalam penyediaan habitat bagi ikan. Vegetasi mangrove yang tumbuh di estuari memegang peranan penting dalam penyediaan
nutrisi
bagi
biota
yang
menempati
ekosistem
ini.
Sumber
materi/makanan di ekosistem estuari berasal dari dalam ekosistem (otoktonus) dan dari luar ekosistem (aloktonus). Materi otoktonus diperoleh dari bahan organik yang bersumber dari mangrove, mikrofitobentos, lamun, fitoplankton, dan makroalga; sedangkan materi aloktonus didapatkan dari masukan bahan organik dari sungai ataupun yang berasal dari laut (Elliot et al. 2002). Persediaan nutrien yang cukup mendukung kehidupan fitoplankton, yang diikuti oleh kehadiran zooplankton (sebagai peramban tingkat I) hingga biota pada level trofik di atasnya (ikan dan avertebrata air). Kondisi yang terjadi di Segara Menyan, ikan-ikan zooplanktivora banyak ditemukan. Kelimpahan zooplanktivora tentunya didukung oleh kelimpahan zooplankton. Pada beberapa kasus menyebutkan bahwa zooplankton merupakan
45
komponen penting dalam rantai makanan di perairan dan menjadi penyokong bagi tingkat trofik di atasnya (Hajisamae & Ibrahim 2008; Etilé et al. 2009). Selain peran mangrove sebagai penyedia nutrisi, melalui sistem perakarannya yang rumit dapat melindungi berbagai spesies terutama ikan-ikan berukuran kecil dari pemangsa dan menjadi padang penggembalaan bagi larva dan juwana ikan (Laegdsgaard & Johnson, 2001; Valiela et al. 2001; FAO 2007). Berangkat dari fakta yang menunjukkan peran penting vegetasi mangrove, maka langkah yang perlu diambil dalam rangka pengelolaan habitat fauna ikan adalah melakukan rehabilitasi dengan penanaman vegetasi mangrove bila dimungkinkan sampai pada tingkat restorasi ekosistem mangrove. Cara ini sangat efektif dalam meningkatan jumlah spesies, densitas, dan biomassa sumber daya ikan sebagaimana dilaporkan oleh Rönnbäck et al. (1999) dan Crona & Rönnbäck (2007). Densitas dan biomassa ikan di lokasi pemulihan mangrove di Filipina terutama dipengaruhi oleh tinggi pasang surut dan jenis mangrove (Rönnbäck et al. 1999). Sementara di Kenya, pemulihan mangrove Sonneratia alba berdampak pada peningkatan stok ikan, khususnya pada spesies ekonomis (Crona & Rönnbäck 2007). Dalam hal kegiatan pengelolaan dan konservasi sumber daya ikan, zona segara dapat diusulkan sebagai kawasan lindung daerah atau kawasan konservasi perairan. Hal ini dinilai sesuai karena wilayah ini memiliki tekanan degradasi yang cukup kuat, padahal wilayah ini memiliki fauna ikan yang melimpah dengan ragam yang tinggi. Disamping itu, ekosistem mangrove mampu mendukung kehidupan fauna ikan dengan peran fungsional yang ditampilkan.
5.3. Penutup Pengelolaan dan konservasi sumber daya ikan diperlukan untuk mengatasi permasalahan yang terjadi di estuari Segara Menyan. Kedua tindakan ini perlu memegang prinsip kehati-hatian dalam penerapannya, karena boleh jadi strategi yang ingin diterapkan mendapat pertentangan dari masyarakat lokal, yang pada disertasi ini aspek sosial ekonimi tidak menjadi bahasan. Strategi pengelolaan dan konservasi yang ditawarkan lahir dari kajian ilmiah dan menjadi tugas pembuat kebijakan untuk menerapkan strategi tersebut.