ISSN: 1693-7961
PUSAT PENELITIAN PENGELOLAAN PERIKANAN DAN KONSERVASI SUMBER DAYA IKAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KELAUTAN DAN PERIKANAN BTL
Vol. 11
No. 2
Hal. 41-82
Desember 2013
ISSN 1693-7961
ISSN 0853–8980
INDONESIAN FISHERIES RESEARCH JOURNAL Volume 19 Number 2 December 2013 Acreditation Number: 503/AU2/P2MI-LIPI/10/2012 (Period: October 2012-October 2015) Indonesian Fisheries Research Journal is the English version of fisheries research journal. The first edition was published in 1994 with once a year in 1994. Since 2005, this journal has been published twice a year on JUNE and DECEMBER. Head of Editor Board: Prof. Dr. Ir. Ngurah Nyoman Wiadnyana, DEA Members of Editor Board: Prof. Dr. Ir. Hari Eko Irianto Prof. Dr. Ir. Gadis Sri Haryani Dr. Ir. Subhat Nurhakim, M.S. Ir. Badrudin, M.Sc Dr. Purwito Martosubroto Refrees for this Number: Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc. (Bogor Agricultural Institute) Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc. (Bogor Agricultural Institute) Dr. Ir. Augy Syahailatua (Research Center for Oceanography-The Indonesian Institute of Sciences) Dr. Sudarto (Research Center and Development Aquaculture) Dr. Estu Nugroho (Research Center and Development Aquaculture) Language Editors: Dr. Lilis Sadiyah (Research Center for Fisheries Management and Conservation) Managing Editors: Dra. Endang Sriyati Darwanto, S.Sos Graphic Design: Kharisma Citra Partadinata, S.Sn. Published by: Agency for Marine and Fisheries Research Manuscript send to the publisher: Indonesian Fisheries Research Journal Research Center for Fisheries Management and Conservation Gedung Balitbang KP II, Jl. Pasir Putih II, Ancol Timur Jakarta 14430 Indonesia Phone: (021) 64700928, Fax: (021) 64700929 Email:
[email protected], Website: p4ksi.litbang.kkp.go.id Indonesian Fisheries Research Journal is printed by Research Center for Fisheries Management and Conservation Budgeting F.Y. 2013.
KATA PENGANTAR Buletin Teknisi Litkayasa Sumber Daya dan Penangkapan Volume 11 Nomor 2 Desember 2013 adalah terbitan pertama pada Tahun 2013. Pencetakan Buletin ini dibiayai oleh DIPA Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan (P4KSI). Buletin Teknisi Litkayasa Sumber Daya dan Penangkapan ini menampilkan delapan artikel yang bersumber dari kegiatan penelitian yang berada di lingkup Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan (P4KSI). Terdiri atas tiga artikel yang berasal dari Balai Riset Perikanan Perairan Umum-Palembang tiga artikel dari Balai Riset Perikanan Laut-Muara Baru dan dua artikel dari Balai Penelitian dan Pemulihan Konservasi Sumberdaya Ikan. Delapan artikel mengulas tentang Teknik Pengambilan dan Identifikasi Bentos Kelas Oligochaeta di Daerah Indakiat Riau Pekanbaru, Teknik Sampling dan Memperkirakan Kelimpahan Fitoplankton pada Ekositem Mangrove di Sekitar P. Parang, Kep. Karimunjawa, Teknik Pengamatan Isi Lambung Ikan Sidat (Anguilla marmorata) Hasil Tangkapan di Das Poso, Sulawesi Tengah, Komposisi Hasil Tangkapan dan Aspek Penangkapan Purse Seine Bitung yang Berbasis Ponton di Laut Maluku dan Sulawesi, Teknologi Alat Penangkapan Ikan Pancing Ulur (Handline) Tuna di Perairan Laut Sulawesi Berbasis di Kabupaten Kepulauan Sangihe, Teknik Sampling Larva di Perairan Kepulauan Sangihe, Laut Sulawesi, Tingkat Kematangan Gonad Ikan Nila (Oreochromis niloticus) di Danau Batur, Kabupaten Bangli, Bali, Kadar Salinitas di Beberapa Sungai yang Bermuara di Teluk Cempi, Kabupaten DompuProvinsi Nusa Tenggara Barat. Buletin Teknisi Litkayasa Sumber Daya dan Penangkapan ini diharapkan dapat menambah wawasan sekaligus merupakan media peningkatan kapasitas para teknisi litkayasa yang berada di UPT lingkup Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan.
Redaksi
i
ISSN 1693-7961 BULETIN TEKNIK LITKAYASA Volume 11 No. 2 Desember 2013 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ………………………………………………………………………………………........
i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………………………….......
iii
Teknik Pengambilan dan Identifikasi Bentos Kelas Oligochaeta di Daerah Indakiat Riau Pekanbaru Oleh : Mirna Dwirastina.....................................................................................................................................................
41-44
Teknik Sampling dan Memperkirakan Kelimpahan Fitoplankton pada Ekositem Mangrove di Sekitar P. Parang, Kep. Karimunjawa Oleh: Yusup Nugraha, Henra Kuslani dan Rahmat Sarbini……………………………………………………
45-49
Teknik Pengamatan Isi Lambung Ikan Sidat (Anguilla marmorata) Hasil Tangkapan di Das Poso, Sulawesi Tengah Oleh: Tri Muryanto dan Dedi Sumarno..................................................................................................
51-56
Komposisi Hasil Tangkapan dan Aspek Penangkapan Purse Seine Bitung yang Berbasis Ponton di Laut Maluku dan Sulawesi Oleh : Adi Kuswoyo dan Hari Ilhamdi………………………………………………………………………......
57-60
Teknologi Alat Penangkapan Ikan Pancing Ulur (Handline) Tuna di Perairan Laut Sulawesi Berbasis di Kabupaten Kepulauan Sangihe Oleh : Enjah Rahmat dan Agus Salim.................................................................................................
61-65
Teknik Sampling Larva di Perairan Kepulauan Sangihe, Laut Sulawesi Oleh : Mohammad Fadli Yahya dan Adi Surahman……………………………………………………………
67-70
Tingkat Kematangan Gonad Ikan Nila (Oreochromis niloticus) di Danau Batur, Kabupaten Bangli, Bali Oleh : Yanu Prasetiyo Pamungkas....................................................................................................
71-74
Kadar Salinitas di Beberapa Sungai yang Bermuara di Teluk Cempi, Kabupaten Dompu-Provinsi Nusa Tenggara Barat Oleh : Dedi Sumarno dan Aswar Rudi..................................................................................................
75-81
iii
Teknik Pengambilan dan Identifikasi Bentos………di Daerah Indakiat Riau Pekan Baru (Dwirastina, M)
TEKNIK PENGAMBILAN DAN IDENTIFIKASI BENTOS KELAS OLIGOCHAETA DI DAERAH INDAKIAT RIAU PEKANBARU Mirna Dwirastina Balai Riset Perikanan Perairan Umum, Mariana-Palembang Teregistrasi I tanggal: 15 Desember 2012; Diterima setelah perbaikan tanggal: 13 Mei 2013; Disetujui terbit tanggal: 03 September 2013
PENDAHULUAN Menurut Fahrul (2007) bahwa bentos merupakan hewan yang hidup didasar perairan atau dipermukaan dasar perairan. Berdasarkan ukuranya bentos dapat dibedakan menjadi tiga yaitu makro bentos, meso bentos dan mikrobentos. Hewan yang hidup didasar dan ukuranya 3-5 mm termasuk dalam makrobentos. Hewan yang berukuran 0,1 – 1 mm termasuk dalam mesobentos sedangkan yang berukuran dibawah 0,1 mm termasuk dalam mikrobentos. Menurut Hawkes (1979) bahwa peranan bentos diperairan sangat penting dan dalam penelitian bentos berperan dalam menentukan indikator kualitas perairan karena sifat bentos yang diam atau menetap dan tidak banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan baik arus ataupun gelombang. Kehidupan bentos dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Adapun faktor–faktor yang mempengaruhi kehidupan bentos tersebut yaitu tipe sedimen, salinitas dan kedalaman (Sahala,1985). Diantara bentos yang relatif mudah diidentifikasi dan peka terhadap perubahan lingkungan perairan adalah jenis-jenis yang termasuk dalam kelompok invertebrate, dikenal dengan makrozoobenthos (Rosenberg, 1993). Makrozoobenthos merupakan hewan yang sebagian atau seluruh siklus hidupnya berada di dasar perairan, baik yang sesil, merayap maupun menggali
lubang. Hewan ini memegang beberapa peran penting dalam perairan seperti dalam proses dekomposisi dan mineralisasi material organik yang memasuki perairan serta menduduki beberapa tingkatan trofik dalam rantai makanan. Makrozoobenthos dapat bersifat toleran maupun bersifat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Organisme yang memiliki kisaran toleransi yang luas akan memiliki penyebaran yang luas juga. Sebaliknya organisme yang kisaran toleransinya sempit (sensitif) maka penyebarannya juga sempit (Odum, 1993) Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui cara pengambilan bentos dan cara mengidentifikasi khususnya Oligochaeta yang ada di daerah sekitar Indakiat. BAHAN DAN METODE Lokasi Pengambilan Sampel Sampel bentos diambil secara langsung pada daerah-Indakiat. Daerah ini merupakan kawasan pabrik yang memungkinkan memacu banyaknya jumlah bentos. Penelitian ini merupakan bagian dari Riset Tingkat Degradasi Di Sungai Siak Bagian Hilir Riau Pekanbaru Tahun 2008. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 3 kali dalam setahun pada bulan April, Juli, Oktober. Salah satu lokasi pengambilan sampel adalah daerah Indakiat ( Gambar 1).
Gambar. 1 Tempat Pengambilan Sampel (Tanda Lingkaran Biru) 41
BTL. Vol.11 No. 2 Desember 2013 : 41-44
Alat dan Bahan Dalam pelaksanaan pengambilan bentos dilapangan diperlukan alat dan bahan sebagai berikut: 1. Eckman Grab, merupakan alat untuk mengambil bentos yang ada di dasar perairan. Eckman Grab terbuat dari baja tahan karat dengan berat 3.2 kg denga ukuran 30 cm x 30 cm; 23 cm x 23 cm ; dan 15 cm x 15 cm ( APHA, 2005). 2. Saringan bentos berbentuk kotak dengan ukuran kasa 0.5 – 1 mm berguna untuk memisahkan dari serasah atau sedimen yang ada. Sampel yang akan diamati adalah sampel makrozoobentos yang berukuran > 1 mm. 3. Plastik wadah bentos (Plastik bening ukuran 5 Kg), sebagai wadah bentos yang telah disaring sementara dilapangan. 4. Karet dan spidol atau karkir untuk label, berguna untuk memberi label atau tanda lokasi penelitian agar data tidak hilang jejak. 5. Formalin 70 %, sebagai pengawet sampel bentos yang dibawah dari lapangan. Formalin dituangkan kira-kira 100 ml. 6. Larutan Rosbengal, larutan yang berguna untuk memberikan warna agar mudah pelaksanaan sortir di labolatorium.
a. Pilih dan amati di bawah mikroskop jenis-jenis Oligochaeta. b. Organime tersebut direndam dengan alkohol 70 % selama ±15 menit. c. Kemudian rendam dengan alkohol 90 % selama ± 15 menit. d. Organisme diletakkan di atas gelas objek e. Ambil cacing jenis Oligochaeta dan diamati menggunakan mikroskop stereo dan organisme tersebut diposisikan terlentang . f. Setelah posisi cacing keadaan terlentang tetesi CMCP-10 lalu gelas objek tersebut ditutup dengan cover glass sehingga menutupi organime tersebut. g. Panaskan hotplate dengan suhu ± 60 0C dan letakkan objek gelass yang berisi organisme tersebut diatasnya selama 24 jam. h. Angkat objek gelas dan dinginkan serta diidentifikasi serta diberi label. Sampel diamati menggunakn mikroskop binokuler dan diidentifikasi menggunakan buku-buku identifikasi antara lain: Milligan (1997), Pennak (1978). Analisa Data Perhitungan Kelimpahan a. Kelimpahan Individu
Cara Kerja Rumus :
K=
Cara Pengambilan Sampel Bentos Cara kerja pengambilan bentos dilapangan adalah pertama menentukan lokasi pengambilan sampel, kemudian sediakan Eckman greb untuk mengambil bentos dengan cara memasukkan Eckman greb ke dasar perairan dan diulang sebanyak 5 titik pada lokasi yang sama dan dimasukkan dalam saringan kotak dengan ukuran kasa 1 mm. Mengayak bentos tersebut kemudian sampel bentos dimasukkan dalam plastik ukuran 5 kg. Setelah dimasukkan dalam plastik lalu tuangkan formalin pekat (70%) kira-kira 100 ml sampai bentos terendam dan teteskan larutan rosbengal untuk memudahkan menyortir di labolatorium. Setelah sampai di labolatorium maka sampel bentos dikeluarkan dalam plastik dan disaring lagi menggunakan saringan bentos size 3 mm. Setelah disaring dan dibilas dengan air lalu disortir. Proses penyortiran dilakukan menggunakan lup dan lampu dan menggunakan baki dan cawan petri. Setelah semua selesai disortir maka sampel bentos mulai di buat spesimen. Pembuatan Spesimen Proses pembuatan spesimen dengan cara sebagai berikut:
42
Keterangan : K = Jumlah Organisme mkarozoobentos (Idv/m2). a = Jumlah makrobentos yang disaring (Idv). d = Luas transek X jumlah Ulangan (cm2). b. Kelimpahan reratif Menggunkan rumus Cox (1967) dalam effendy (1993). Rumus : R =
X 100 %
dimana : R = Kelimpahan Reratif ni = Jumlah Individu Setiap Jenis N =Jumlah Seluru Individu HASIL DAN BAHASAN Hasil Pengamatan Berdasarkan pengamatan Daerah Indakiat pada bulan Juli maka ditemukan beberapa genera bentos dari kelas Oligochaeta (Tabel 1).
Teknik Pengambilan dan Identifikasi Bentos………di Daerah Indakiat Riau Pekan Baru (Dwirastina, M)
Tabel 1. Beberapa genera Oligochaeta yang ditemukan di Daerah sekitar Indakiat
No 1 2 3 4
Genera Aulodrilus Limnodrilus Brachiura swobyii Imature tubificids Total
Klasifikasi Phylum Kelas Famili Genus
Jumlah individu
Kelimpahan 2 (idv/m )
68 75 34 256 433
604.44 666.67 302.22 2275.56 3848.89
Kelimpahan Reratif(%) 15.70 17.32 7.85 59.12
: Annelida : Clitellata : Tubificidae : Aulodrilus
Gambar 2. Aulodrilus
Gambar 3. Limnodrilus
Gambar 4. Brachiura swobyii BAHASAN Berdasarkan hasil pengamatan diatas (Tabel 1) maka ada 4 genera yang ditemukan di daerah Indakiat pada bulan Juli yaitu Aulodrilus, Limnodrilus, Brachiura sworbyii, dan Imature tubuficids. Ke-4 genera ini termasuk dalam kelas Oligochaeta. Dari ke-4 genera yang ditemukan jumlah totalnya 433 individu. Dari segi jumlah maka Imature tubuficids merupakan genera terbanyak ditemukan sedangkan genera terkecil
ditemukan adalah genera Brachiura swordyii. Banyaknya individu dari Imature tubificids menandakan bahwa lingkunga sekitar sudah mulai tercemar. Kepadatan total bentos Oligochaeta sekitar 3.848 individu/m2. Kelimpahan reratif tertinggi terdapat pada Imature tubificids yaitu 59.12 %. Daerah tersebut merupakan kawasan industri dan berdasarkan penelitian bila banyak ditemukan jenis Oligochaeta dan jenis lain tidak ada maka mengindikasikan daerah tersebut mulai tercermar.
43
BTL. Vol.11 No. 2 Desember 2013 : 41-44
KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat ditarik adalah sebagai berikut: 1. Pengambilan sampel bentos menggunakan Ekman grab dengan luasan yang telah ditetapkan dalam APHA, 2005. 2. Identifikasi Oligochaeta memiliki tahapan: Sortir, Pembuatan spesimen Oligochaeta dan Identifikasi. 3. Hasil identifikasi dari kelas Oligochaeta daerah Indakiat banyak terdapat Imature tubificids. DAFTAR PUSTAKA APHA,2005. Standard Methods for the Examination of Water and Wasterwater 21 st Edition, American Public Health Association Inv, Washington. Effendy,I.J. 1993. Komposisi Jenis dan Kelimpahan Makrozobentos Pada Daerah Pasang Pantai Bervegetasi Mangrove Di Sekitar Teluk Mandar Desa Mirring Kecamatan Polewali Kabupaten Polmas. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang.
44
Fachrul, M. F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. PT Bumi Aksara. Jakarta. Hawkes, H.A.1979.Invertebrates as indicators of River Water Quality. Dalam: Biological Indicator of Water Quality. James, A and L.Evison (Eds). New York.John Wiley and Sons. Milligan,M.R.1997. Identification Manual For The Aquatic Oligochaeta Of Florida Volume 1. Center For Systematic and Taxonomy. Odum EP. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi ketiga. Gajah Mada University press: Yogyakarta. Odum,E.P. 1971. Fundamental of ecology. 3 rd. Edition.W.B.Sounders Company. Philadelphia. Pennak,R.W. 1978. Fresh Water Invertebrates Of The United States Second Edition. A Wiley Inter Science Publication. Rosenberg, D. M. and V. H. Resh. 1993. Freshwater Biomonitoring and Benthic Macroinvertebrates. Chapman and Hall: New York, London.
Teknik Sampling dan Memperkitakan ............ Sekitar P. Parang, Kep. Karimunjawa (Nugraha, Y., et al)
TEKNIK SAMPLING DAN MEMPERKIRAKAN KELIMPAHAN FITOPLANKTON PADA EKOSITEM MANGROVE DI SEKITAR P. PARANG, KEP. KARIMUNJAWA Yusup Nugraha, Henra Kuslani dan Rahmat Sarbini Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya ikan-Jatiluhur Teregistrasi I tanggal: 20 Juni 2013; Diterima setelah perbaikan tanggal: 31 Juli 2013; Disetujui terbit tanggal: 25 September 2013
PENDAHULUAN Kepulauan Karimunjawa secara geografis terletak 45 mil laut atau sekitar 83 kilometer di barat laut Kota Jepara. Dengan ketinggian 0 sampai 605 m di atas permukaan laut secara geografis teletak antara 50 40’ 39" – 50 55’ 00" LS dan 1000 05’ 57" – 1000 31’ 15" BT, luas wilayah 169.800 ha, terdiri dari daratan seluas 7.120 ha dan perairan seluas 162.680 ha. Secara administrasif termasuk Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Dati II Jepara, Jawa Tengah. Kawasan Pulau Parang merupakan kumpulan pulau-pulau kecil yang memiliki ekositem mangrove di tiap pesisir sebagai pelindung dari kikisan air laut. Ekosistem mangrove memiliki fungsi ekologis penting, antara lain sebagai penyedia nutrien, tempat pemijahan (spawning ground), tempat pembesaran (nursery ground) dan tempat mencari makan (feeding ground) bagi biota-biota laut tertentu (Soehardjono dan Soemarto, 1998 dalam Hendrayana 2011). Mangrove merupakan produsen primer yang mampu menghasilkan sejumlah besar detritus dari serasah daun dan dahan pohon mangrove sehingga dari sana akan tersedia banyak makanan bagi biota laut yang mencari makan di ekosistem mangrove (Claridge dan Burnett, 1993 dalam Hendrayana 2011).
pakan alami bagi biota laut terutama ikan karena fitoplankton mempunyai kemampuan memproduksi bahan organik dari bahan inorganik (fitoplankton sebagai produsen primer). Bahan organik yang diproduksi merupakan sumber energi untuk melaksanakan segala fungsi kehidupan; selain itu energi yang terkandung dalam fitoplankton dapat mengalir keberbagai komponen ekositem melalui rantai makanan (food chain). Makalah ini menyajikan teknik pengambilan contoh fitoplankton dan pengamatan untuk memperkirakan kelimpahan pada ekositem mangrove di kawasan P. Parang, Kep. Karimunjawa. POKOK BAHASAN Waktu dan Lokasi Penelitian dilakukan pada bulan Juni, September dan Desember 2012 di sekitar P. Parang, Kep. Karimunjawa. Pengambilan contoh dilakukan pada 5 stasiun, yaitu P. Kembar (Stasiun I) , Legon Boyo (Stasiun II), Watu Merah (Stasiun III), P. Kumbang (Stasiun IV), P. Nyamuk (Stasiun V). Peta lokasi pengambilan contoh dapat dilihat pada Gambar 1, sedang Tabel 1 adalah posisi tiap stasiun. Alat dan Bahan
Menurut Nontji (2008) fioplankton adalah tumbuhan renik (tidak dapat dilihat dengan mata telanjang) yang hidupnya mengapung atau melayang dalam laut, ukuranya sangat kecil antara 2-200 μm (1 μm = 0,001 mm). Fitoplankton memiliki fungsi penting sebagai
Alat dan bahan yang digunakan dalam pengambilan dan pengamatan fitoplankton dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 1. Posisi Geografis Stasiun Penelitian
No 1. 2. 3. 4. 5.
Stasiun P. Kembar Legon Boyo Watu Merah P. Kumbang P. Nyamuk
Posisi Geografis LS 5o 44’ 14,4” LS o 5 44’ 31,3” LS o 5 44’ 47,8” LS o 5 46’ 4,4” LS o 5 49’ 9,8” LS
BT 110o 11’ 22,7” BT o 110 13’ 59,1” BT o 110 15’ 12,3” BT o 110 13’ 34,3” BT o 110 9’ 33,51” BT
45
BTL. Vol.11 No. 2 Desember 2013 : 45-49
1
2
3
4
5
Gambar 1. Peta lokasi pengambilan contoh fitoplankton di perairan sekitar P. Parang, Kep. Karimunjawa, 2012. Table 2. Alat dan bahan penelitian yang digunakan. No. 1
Nama Alat dan Bahan Botol sampel fitoplankton (100 ml)
2 3 4
Buku datal lapangan dan ATK Global Positioning System (GPS) Fitoplankton net (80 um)
5
Formalin 40 %
6 7 8 9 10
Tali 10 m Aquades Mikroskop Binokuler Pipet Sadgwich Rafter
Teknik Pengambilan Contoh Fitoplankton Untuk mendapatkan data fitoplankton yang akurat di kawasan pulau Parang maka pengambilan contoh fitoplankton perlu memperhatikan kondisi pasangsurut air laut dan tingat kerapatan mangrove; dan dalam pelaksanaannya pengambilan contoh fitoplakton dipilih di lokasi dengan tingkat kerapatan mangrove sedang serta kondisi perairan dalam keadaan pasang untuk mempermudah pengambilan contoh. Jika kondisi kerapatan mangrove tinggi maka pengambilan contoh fitoplankton dapat dilakukan di sekitar sisi luar pantai yang dekat dengan ekosistem mangrove.
46
Kegunaan Wadah contoh fitoplankton setelah penyaringan Mencatat data lapangan Menera posisi geografis Untuk mengambil contoh fitoplankton Bahan pengawet untuk contoh fitopalnkton Untuk menarik fitoplankton net Cairan pembersih Pengamatan fitoplankton Mengambil aquades Membantu indentifikasi fitoplankton
Pengambilan contoh fitoplankton dilakukan dengan menggunakan fitoplankton net berbentuk kerucut yang mempunyai diameter bagian mulut 31 cm, panjang 100 cm dan ukuran mata jaring 0.08 mm (80 μm). Sebelum pengambilan contoh perlu dipersiapkan alat dan bahan yang dipakai, meliputi fitoplankton net , botol sampel, formalin 40 % dan tali 10 m. Fitoplankton net diikat dengan tali sepanjang 10 m. Pengambilan contoh fitoplankton dilakukan dengan menarik fitoplankton net secara horizontal seperti terlihat pada foto Gambar 2. Setelah penyaringan kemudian dibilas supaya fitoplankton yang menempel pada saringan dan net dapat terlepas dan masuk ke
Teknik Sampling dan Memperkitakan ............ Sekitar P. Parang, Kep. Karimunjawa (Nugraha, Y., et al)
dalam wadah fitoplankton. Contoh fitoplankton kemudian dipindahkan ke dalam botol sampel dan diawetkan dengan larutan formalin ±4% sebanyak 16
cc agar fitoplankton tidak rusak. Selanjutnya contoh fitoplankton dibawa ke laboratorium marine biologi untuk dilakukan pengamatan.
Gambar 2. Penarikan secara horizontal fitoplankton net di perairan sekitar P. Parang, Kep. Karimunjawa. Pengamatan Fitoplankton Pengamatan dilakukan di laboratorium Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya Ikan (BP2KSI). Pengamatan fitoplankton dilakukan dengan menggunakan mikroskop binokuler dengan perbesaran 100X dan object glass ‘Sedgwich Rafter’. Object glass ‘Sedgwich Rafter’ adalah object glass yang memiliki kotak-kotak sehingga membantu memudahkan dalam pengamatan dan identifikasi jenis fitoplankton sekaligus menghitung tiap jenis fitopalnkton yang ditemukan (Gambar 3). Langkahlangkah pengamatan sebagai berikut :
1. Membersihkan object glass Sedgwick Rafter dan cover glass-nya yang akan digunakan dengan menggunakan aquades, yaitu dengan cara membilas semua bagian Sedgwick Rafter dan kemudian dibersihkan dengan tissue, 2. Kocok terlebih dahulu botol berisi contoh fitoplankton yang akan diamati supaya merata, kemudian buka penutup botol hati-hati agar tidak tumpah, 3. Contoh fitoplankton diambil dengan menggunakan pipet dan teteskan sebanyak 1 ml pada object glass Sedgwich Rafter dengan posisi tegak lurus. Contoh akan tertutup dengan sendirinya oleh cover glass. Pastikan tidak ada gelembung udara di dalamnya.
Gambar 3. Object glass Sedgwich Rafter, object glass dengan bidang bantuan berbentuk kotak-kotak.
47
BTL. Vol.11 No. 2 Desember 2013 : 45-49
4. Letakan object glass Sedgwich Rafter di bawah mikroskop binokuler dan lakukan pengamatan dengan perbesaran mikroskop 100X. Contoh fitoplankton dihitung secara acak sebanyak 100 kali pergerakan atau lapang pandang tanpa pengulangan di tempat yang sama, 5. Identifikasi fitoplankton mengacu pada Yamaji (1979).
HASIL DAN BAHASAN Hasil pengamatan contoh fitoplankton bulan Juni, September dan Desember 2012 pada ekosistem mangrove di sekitar P. Parang ditemukan sebanyak 55 genus fitoplankton, sebagian besar (48 genera) terdiri atas Kelas Bacillariophyceae, sedang sisanya dari Kelas Dinophyceae (5 genera) dan Kelas Chlorophyceae (2 genera).
Penghitungan Kelimpahan Fitoplankton Penghitungan kelimpahan fitoplankton dilakukan dengan metode ‘Lackey drop microtransect counting’ (APHA, 2005) berdasarkan rumus sebagai berikut :
dimana : A = jumlah kotakan pada Sedgwich Rafter (1000 kotak). B = jumlah kotakan yang diamati (100 kotak). C = volume air sampel yang tersaring (ml). D = volume air sampel yang diamati (ml). E = volume air yang disaring (m3). N = kelimpahan (sel/m3). n = jumlah individu perlapang pandang. Volume air yang disaring (E) diperoleh dengan rumus Perry (2004) sebagai berikut : V = ð r2 x L dimana : V = volume air yang disaring (L). r = jari-jari fitoplankton net (½ diameter lingkaran = 0,15 m). L = jarak penarikan = 10 m.
48
Hasil perhitungan kelimpahan fitoplankton dengan metode ‘Lackey drop microtransect counting’ (APHA, 2005) di seluruh stasiun disajikan pada Tabel 3. Dari Tabel dapat dilihat dari 3 kali pengambilan contoh pada bulan Juni, September dan Desember Kelas Bacillariophyceae paling dominan. Pada bulan Juni tidak ditemukan Kelas Chlorophyceae, dan kelas ini ditemukan pada bulan September dan Desember. Kelimpahan tertinggi ditemukan pada bulan September, yaitu di stasiun I (P. Kembar) dimana Kelas Bacillariophyceae sebanyak 305.450 sel/m3 dan Kelas Chlorophyceae sebanyak 78.570 sel/m3. Kelas Bacillariophyceae diperkirakan merupakan komponen utama fitoplankton di perairan Kep. Karimunjawa dan paling umum dijumpai di laut dimana saja dari tepi pantai hingga ke tengah samudra seperti dinyatakan oleh Nontji (2008). Bulan September di Laut Jawa sudah memasuki musim peralihan antara musim timur (Juni-Agustus) ke musim barat (Desember-Februari). Berdasarkan hasil penelitian pada musim ini terjadi puncak musim ikan pelagis kecil di daerah penangkapan utama di Laut Jawa termasuk perairan Karimunjawa (Atmaja et al., 1986). Dominasi Kelas Bacillariophyceae (diatom) diduga berperan sebagai makanan utama ikan-ikan pelagis tersebut.
Tabel 3. Kelimpahan Fitoplakton KELIMPAHAN FITOPLANKTON (sel/m³) BULAN
JUNI
SEPTEMBER
DESEMBER
KELAS
STASIUN I
Bacillariophyceae 114.764
Chlorophyceae 0
Dinophyceae 0
II
128.889
0
883
III
30.898
0
1.766
IV
128.006
0
6.621
V
60.031
0
0
I
305.450
78.570
294
II
159.787
13.536
883
III
81.806
9.417
IV
289.560
0
V
235.709
53.262
I
133.598
0
II
47.671
0
0
III
54.734
9.417
1.471
IV
50.026
0
294
V
55.028
0
2.648
0 589 1.766 544
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Di perairan sekitar P. Parang (Kep. Karimunjawa) pada bulan Juni, September dan Desember (2012) ditemukan sebanyak 55 Genera fitoplankton; Kelas Bacillariophyceae paling dominan dan selalu ditemukan sebanyak 48 genera, fitoplankton lainnya terdiri dari Kelas Chlorophyceae dan Dinophyceae. 2. Kelimpahan tertinggi ditemukan pada bulan September terutama di stasiun I (P. Kembar), IV (P. Kumbang) dan V (P. Nyamuk). Kelas Bacillariophyceae merupakan komponen utama fitoplankton.
American Public Health Association (APHA). 2005. Standard Methods for The Examination of Water and Waste Water Including Bottom Sediment and Sludges. Publ. Health Association Inc, New York. Page: I-55.
PERSANTUNAN Terima kasih diucapkan kepada Penanggung Jawab penelitian ini atas ijin dan dukungannya sehingga dapat terselesaikanya tulisan ini. Penelitian merupakan bagian dari kegiatan penelitian berjudul “Pengkajian ekosistem sumber daya ikan terumbu karang di kawasan konservasi perairan Kepulauan Karimunjawa, Jawa Tengah” yang dibiayai oleh APBN Tahun Anggaran 2012.
Atmaja S.B., Suwarso and Nurhakim S. 1986. Hasil Tangkapan pukat cincin menurut musim dan daerah penangkapan di laut Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Laut 36: 57-65. Hendrayana 2011. Studi Bioekologi Ikan Kiper (Scatophagus argus) Di Wilayah Perairan Morosari Kecamatan Sayung kabupaten Demak. Skripsi jurusan Fakultas perikanan Dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro Semarang (tidak di publikasikan) 80 p. Nontji, A. 2008. Plankton Laut. LIPI Press. Jakarta. p. 11-12. Perry, R. 2011. A Guide to Marine Plankton of Southem California. UCLA Ocean GLOBE & Malibu High School. Diakses dari Http : www.msc.ucla.edu/ oceanglobe. 10 November 2011 Yamaji, I. 1979. Ilustrations of the Marine Plankton of Japan. Hoikusha Publising Co. Osaka Japan. 530 p.
49
BTL. Vol.11 No. 2 Desember 2013 :
50
Teknik Pengamatan Isi Lambung Ikan Sidat…….DAS Poso, Sulawesi Tengah (Muryanto, T & D. Sumarno)
TEKNIK PENGAMATAN ISI LAMBUNG IKAN SIDAT (Anguilla marmorata) HASIL TANGKAPAN DI DAS POSO, SULAWESI TENGAH Tri Muryanto dan Dedi Sumarno Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya Ikan-Jatiluhur Teregistrasi I tanggal: 25 April 2013; Diterima setelah perbaikan tanggal: 26 Juli 2013; Disetujui terbit tanggal: 27 Agustus 2013
PENDAHULUAN Daerah Aliran Sungai Poso merupakan salah satu daerah penangkapan ikan sidat. Sungai ini memiliki luas DAS ± 1101,87 km2 dan panjang ± 68,70 km (Ishak, 2010). Kegiatan penangkapan ikan sidat di Sungai Poso cukup intensif, hal ini terlihat pada kegiatan penangkapan yang berlangsung tidak hanya pada saat ikan yang beruaya ke laut (induk), tapi juga pada fase glas eel yang menuju ke danau. Ikan sidat di perairan Poso merupakan komoditas perikanan yang memiliki nilai ekonomis tinggi (harga 100.000/kg) dan menjadi primadona hasil tangkapan. Sidat merupakan jenis ikan yang memiliki karakteristik unik dengan melakukan ruaya (migrasi) untuk keperluan reproduksinya ke laut dalam. Setelah melakukan pemijahan,larva sidat akan ke perairan tawar melalui muara-muara sungai untuk selanjutnya tumbuh dan berkembang sampai ukuran dewasa pada habitat perairan tawar seperti sungai dan danau (Krismono, 2010). Estimasi produksi sidat induk pada tahun 1970-an minimal mencapai 22 ton per tahun, dugaan ini didasarkan pada jumlah alat tangkap yang terpasang di Sungai Poso yang mencapai 20 – 25 unit dan hasil tangkapan per alat per malam (Sarnita, 1973). Hasil penelitian Husnah, et al. (2008) menunjukkan bahwa ikan Sidat di Danau Poso tereksploitasi sejak fase elver atau glass eel, yellow eel dengan ukuran 20-60 cm untuk silver eel dengan ukuran di atas 60 cm. Penangkapan ikan sidat dilakukan oleh masyarakat daerah Tentena di outlet Danau Poso pada waktu ikan akan bermigrasi menuju laut untuk memijah di Teluk Tomini atau Laut Maluku/Laut Banda (Muchsin et al., 2005). Produksi ikan sidat dipengaruhi oleh jenis makanan dan habitat diperairan, oleh karena itu perlu diketahui kebiasaan makan ikan.
Menurut Effendi (1979) maksud mempelajari kebiasaan makan ikan ialah menentukan jenis pakan alami atau habitat ikan itu. Dengan mengatahui kebiasaan makan ikan dapat dilihat antar hubungan ekologi diantara organisme di perairan. Makanan dapat merupakan faktor yang menentukan bagi populasi, pertumbuhan dan kondisi ikan. Sedangkan jenis makanan satu species ikan biasanya bergantung pada umur, tempat dan waktu. Dasar dari studi kebiasaan makanan ikan ialah mempelajari isi dari alat pencernaan makanannya. Hasil dari studi ini dapat diketahui apakah ikan itu sebagai pemakan plankton, ikan buas, bentuk makanan pokoknya, serta makanan kesukaan lainnya. Tulisan ini menyajikan proses pengamatan isi lambung ikan dan cara makan (food habit) ikan sidat di sungai Poso. POKOK BAHASAN Bahan dan Metode Pengambilan contoh ikan sidat dari hasil tangkapan bubu di daerah aliran sungai poso dilakukan di 6 lokasi penelitian,yaitu Muara Poso, Tomasa, Tukorondo, Sungai Tiwaa, Pinadapa, Towimayora dan pada tahun 2012 (Gambar 1). Kemudian bahan dan alat yang digunakan disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2. Pengambilan contoh ikan sidat diperoleh dari hasil tangkapan nelayan dengan berbagai macam alat tangkap antara lain bubu dan pancing. Hasil tangkapan dari beberapa lokasi di tampung pada karung sebelum dilakukan pengukuran, dari hasil tangkapan ikan sidat diukur panjang, berat dan alat tangkapnya serta daerah penangkapan.
51
BTL. Vol.11 No. 2 Desember 2013 : 51-56
Gambar 1. Lokasi penelitian di daerah aliran sungai DAS) Poso Tabel 1. Bahan yang digunakan dalam penelitian Bahan Ikan sidat Formalin 5% Kertas kalkir Kantong plastik es 1/4 kg Sarung tangan kain Botol wadah sampel Lakban Kantong plastik
Kegunaan sebagai sampel yang akan diamati sebagai bahan pengawet sampel sebagai lebel didalam kantong plastik sebagai wadah sampel isi perut untuk mempermudah pegang ikan sidat yang licin sebagai wadah penyimpanan dalam box agar aman dari bau formalin untuk merapatkan tutup botol wadah sampel agar aman dalam kemasan dan tidak bau formalin untuk wadah dalam penimbangan sampel
Tabel 2. Alat yang digunakan dalam penelitian Alat Timbangan 5kg(ketelitian 50gr) Blangko pencatat sampel Spidol permanen pensil Meteran kain/pita ukur Gunting bedah Mikroskop
52
Kegunaan untuk menimbang berat ikan sidat untuk pencatatan data sampel untuk penulisan lebel di botol wadah sampel untuk menulis label untuk mengukur panjang pada ikan sidat untuk membedah atau mengambil isi perut alat untuk pengamatan isi lambung ikan sidat
Teknik Pengamatan Isi Lambung Ikan Sidat…….DAS Poso, Sulawesi Tengah (Muryanto, T & D. Sumarno)
Adapun teknik pengamatan isi lambung dapat diterangkan sebagai berikut: Pengambilan Isi Lambung Ikan Sidat 1. Sampel ikan yang akan diamati isi lambungnya dimatikan terlebih dahulu, untuk memudahkan dalam melakukuran pengukuran dan pembedahan. Pada saat melakukan penanganan sampel diwajibkan untuk mengunakan sarung tangan (Gambar 2). 2. Setelah dilakukan penimbangan dan pengukuran sampel ikan, data panjang dan berat ikan di catat pada blangko pengamatan berdasarkan alat tangkap dan lokasi penangkapan (Gambar 3). 3. Pembedahan dilakukan dengan menggunakan gunting bedah, diawali dari lubang anus sampai kepala. Gunting yang digunakan pada awal pembedahan adalah yang ujungnya tajam, selanjutnya menggunakan dengan yang ujungnya tumpul agar isi perut tidak tersobek dan rusak. (gambar 4).
4. Kemudian lambung ikan dipotong dengan terlebih memotong ujung dan pangkal isi perutnya supaya isi lambung terbawa dan tidak keluar atau tercecer isinya. Isi perut yang sudah dipotong dimasukan pada kantong plastik dan diberi larutan formalin 5% (gambar 5). 5. Kantong plastik yang berisi sampel isi perut di beri kode atau lebel yang berisi data contoh ikan yang di tulis di kertas kalkir dengan menggunakan pensil 2B. Label menggunakan kertas kalkir agar tulisan tidak hilang. Kantong plastik isi sampel harus tidak bocor, sehingga cairan formalin tidak keluar dan dapat berfungsi sebagai pengawet sampel. 6. Kantong plastik sampel di masukkan kedalam botol wadah sampel untuk menghindari menguapnya formalin yang dapat membahayakan pernafasan teknisi atau laboran. Kemudian dibawa ke laboratorium Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya Ikan untuk proses pengamatan isi lambungnya.
Gambar 2. Pengukuran dan penimbangan ikan sidat
53
BTL. Vol.11 No. 2 Desember 2013 : 51-56
Pengamatan Isi Lambung Ikan Sidat 1. Sampel lambung ikan dimasukkan kedalam petridish sesuai dengan lebel yang ada dalam kantong plastik kemudian di tiriskan dengan air kran selama 5 menit untuk menghilangkan bau formalin. 2. Setelah ditiriskan kemudian lakukan pembedahan lambung untuk mengambil isi lambungnya. 3. Sampel alat pencernaan diuraikan, kemudian digunting dari bagian ujung depan (esophagus) hingga lambung (gambar 6)
Gambar 3. Blangko formulir data hasil penangkapan Gambar 6. Pengambilan isi lambung
Gambar 4. Cara pembedahan ikan
4. Isi lambung dipisahkan dari alat pencernaannya, kemudian diencerkan menggunakan aquades secukupnya kemudian sudah bisa mulai diamati. 5. Sebelum melakukan pengamatan masukan atau mencatat kode atau label pada blangko formulir pengamatan agar mempermudah dalam input data pada komputer dan validasi hasil data. 6. Isi lambung diamati menggunakan mikroskop stereo untuk pengamatan makanan yang bersifat makro dan makanan yang bersifat mikro menggunakan mikroskop stereo (gambar 7).
Gambar 5. Cara pengambilan isi perut ikan Gambar 7. Pengamatan di mikroskop
54
Teknik Pengamatan Isi Lambung Ikan Sidat…….DAS Poso, Sulawesi Tengah (Muryanto, T & D. Sumarno)
7. Hasil pengamatan dari mikroskop di catat pada blangko pengamatan (gambar 8), dan setelah data pengamatan selesai terkumpul kemudian proses input data pada komputer menggunakan microsoft excel. Pengamatan isi lambung dilakukan dengan dua kategori untuk ikan pemakan jenis mikro dapat menggunakan mikroskop binokuler, sedangkan untuk jenis ikan pemakan makro dapat menggunakan mikroskop stereo. Analisa kebiasaan makan ikan sidat dapat dihitung menggunakan metode Index of preponderance. (Effendie, 1979). Vi Oi x x100% Ii = Vi Oi
Hasil Pengamatan Pengamatan makanan ikan sidat dilakukan pada bagian lambung karena diasumsikan organisme makanan pada bagian lambung belum tercerna sempurna sehingga organisme makanan lebih mudah diidentifikasi. Hasil pengamatan di laboratorium Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya Ikan,makanan ikan sidat dapat dikelompokan 10 jenis, yaitu gastropoda, insekta, udang, ikan, kepiting,serasah tumbuhan, cacing, serangga, zoea kepiting, krustasea, dll. (Tabel 3).
Vi Ii Oi
= Persentase volume satu macam makanan. = Indek preponderance. = preponderance frekuensi kejadian satu macam makanan. ∑ Vi Oi = jumlah Vi x Oi dari semua macam makanan. Berdasarkan kuantitas makanan yang dikonsumsi ikan maka makanan dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu: 1. Makanan utama bila suatu kelompok jenis makan dikonsumsi lebih dari 25 % (IP > 25%). 2. Makanan pelengkap bila suatu kelompok jenis makan dikonsumsi antara 5–25 % (5 d” IP d” 25%). 3. Makanan Tambahan bila suatu kelompok jenis makan dikonsumsi kurang dari 5% (IP <5%).
Gambar 8. Blangko pengamatan
Tabel 3. Jenis-jenis pakan ikan sidat berdasarkan lokasi.
Serasah tumbuhan Kepiting Udang Umpan (tulang ayam) Cacing gastropoda Ikan Zoeya kepiting Serangga krustasea
Poso
Tokorondo
Tiwaa
20,19 8,97 10,26 2,88 28,85 3,21 12,82 12,82 -
8,59 54,37 24,36 12,65 0,03 -
1,70 61,44 22,81 10,41 0,95 0,35 2,33
Pinedapa 100,00
Towimayora 0,71 0,71 14,60 77,56 6,41
Tomasa
100,00
55
BTL. Vol.11 No. 2 Desember 2013 : 51-56
Berdasarkan grafik diatas ikan sidat yang tertangkap di 6 lokasi penelitian diketahui bahwa makanan ikan sidat dari masing–masing lokasi berbeda-beda. Ikan sidat dewasa yang bisa diamati isi lambungnya berasal dari Muara Poso, Tukurondo, Sungai Tiwaa, Pinadapa, Towimayora dan Sulewana. Indeks preponderance makanan ikan sidat dari masing-masing lokasi yaitu: 1. Makanan dari ikan sidat di Muara Poso terdiri dari serasah tumbuhan 20.19%, kepiting 8.97%, Udang 10.26%, umpan/tulang ayam 2.88%, annelida 28.85%, gastropoda 3.21%, ikan 12.82%, insekta 12.82%, Ditemukannya gastropoda di dalam lambung ikan sidat berhubungan dengan tipe substrat di lokasi tersebut. Substrat di Muara Poso terdiri dari lumpur dan bebatuan yang menjadi habitat bagi berbagai jenis gastropoda. 2. Makanan utama dari ikan sidat di Sungai Tukurondo adalah udang dengan indeks preponderance 54,37%, Annelida 24,36%, Ikan 12,65% dan kepiting 8,62%. 3. Makanan ikan sidat di Sungai Pinadapa 100% terdiri dari kepiting. 4. 61,44 % kepiting ditemukan dalam lambung ikan sidat yang berasal dari Sungai Tiwaa 1, sedangkan sisanya Annelida (10.41%), Udang (22.81%) dan Insekta (0.35%),crustacea (2,33%),ikan (0.95%),serasah tumbuhan (1.70%). 5. Makanan Ikan sidat di Towimayora lebih didominasi oleh insekta dengan persentase 77,56%, sedangkan sisanya terdiri dari ikan (14,60%), crustacea (6,41%) dan Gastropda (0,71%),udang (0.71%). 6. Sedangkan ikan sidat di Tomasa 100% isi lambungnya terdiri dari insekta. KESIMPULAN Ikan sidat dapat digolongkan ke dalam kelompok karnivor, karena pakan alami yang ditemukan didominasikan oleh kelompok hewani (ikan, udang, kepiting, anelida, gastropoda dan insekta).
56
PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan bagian dari kegiatan penelitian “Pemacuan Ikan Sidat di Danau Poso Sulawesi Tengah” dengan penanggung jawab kegiatan Drs. Krismono, MS yang didanai oleh APBN tahun 2012. Serta mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, memberikan bimbingan, dan arahan dalam tulisan ini. DAFTAR PUSTAKA Effendie, M. I. 1979. Metode Biologi Perikanan Institut Perikanan Bogor. Yayasan Dwi Sri. Bogor. 112p. Husnah, D. W. H. Tjahjo, A. S. Nastiti, D. Oktaviani, S. H. Nasution & Sulistiono. 2008. Status keanekaragaman hayati sumberdaya perikanan perairan umum di Sulawesi. Balai Riset Perikanan Perairan Umum, Palembang. Ishak, M. G.. 2010. Konsep Penanganan Alur Di Belokan Dalam Rangka Pengelolaan Sungai Di Sulawesi Tengah. Media Litbang Sulteng III (1): 01 – 05 pp. Krismono, et. al. 2010. Pemacuan Stok Ikan Sidat Di Danau Poso. Laporan Akhir Riset Tahun 2010. BRPSI Jatiluhur Jawa Barat. 1 p. Muchsin, I., Zairion, S. Ndobe. 2005. Status ikan sidat di Danau Poso dalam status terkini keanekaragaman hayati sumberdaya perikanan perairan umum di Sulawesi. Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Pusat Riset Perikanan Tangkap, Jakarta. Sarnita, A. 1973. Laporan survey perikanan Danau Lindu dan Poso. Laporan No. 58, Lembaga Penelitian Perikanan Darat. Bogor. 18 p.
Komposisi Hasil Tangkapan dan Aspek .......... di Laut Maluku dan Sulawesi (Kuswoyo. A & H. Ilhamdi)
KOMPOSISI HASIL TANGKAPAN DAN ASPEK PENANGKAPAN PURSE SEINE BITUNG YANG BERBASIS PONTON DI LAUT MALUKU DAN SULAWESI Adi Kuswoyo dan Hari Ilhamdi Balai Penelitian Perikanan Laut- Muara Baru Jakarta Teregistrasi I tanggal: 05 Juli 2013; Diterima setelah perbaikan tanggal: 26 Juli 2013; Disetujui terbit tanggal: 04 Oktober 2013
PENDAHULUAN Purse seine atau pukat cincin digolongkan dalam jenis jaring lingkar yang cara operasinya adalah dengan melingkarkan jaring pada suatu kelompok ikan di suatu perairan, kemudian ditarik ke kapal. Alat ini merupakan jaring lingkar yang telah mengalami perkembangan setelah beach seine dan ring net. Pukat cincin ditujukan sebagai penangkapan ikan pelagis yang bergerombol di permukaan dan berada di laut lepas. Alat tangkap purse seine berbentuk empat persegi panjang yang dilengkapai dengan cincin yang diikatkan pada bagian bawah jaring (tali ris bawah). Pada saat operasional, dengan menarik tali ris bagian bawah jaring dapat dikuncupkan dan jaring akan membentuk semacam mangkuk, (DKP, 2006). Untuk menunjang keberhasilan operasi penangkapan digunakan alat bantu pengumpul ikan yaitu ponton. Ponton merupakan alat bantu untuk menarik kelompok ikan dan berkumpul disekitarnya, sehingga ikan-ikan tersebut mudah ditangkap (Genisa, 1998).
Gambar 1. Peta lokasi penelitian dan fishing groung KM. Sari Usaha 03 pada tanggal 26 Juni – 5 Juli 2012 di Bitung HASIL Armada dan Alat Tangkap
Informasi mengenai prinsip kerja purse seine pada umumnya sudah banyak diketahui, dan setiap daerah di perairan Indonesia mempunyai tehnik yang berbedabeda. Demikian juga dengan hasil tangkapannya, setiap daerah mempunyai komposisi jenis ikan yang bervariasi. Penelitian tentang komposisi hasil tangkapan dan aspek penangkapan purse seine Bitung yang berbasis ponton di laut Maluku dan Sulawesi bertujuan untuk mendapatkan data dan informasi tentang aspek operasional penangkapan dan komposisi hasil tangkapan.
Unit armada yang digunakan nelayan Bitung berbahan dasar besi untuk bagian lambung kapal, dan bagian dek terbuat dari kayu. Kapal dengan dimensi panjang (L) 19,80 meter, lebar (B) 4,05 meter dan dalam (D) 1,45 meter. Profil dari kapal pusre seine di Bitung disajikan pada Gambar2. Armada tersebut menggunakan tiga buah mesin yaitu mesin utama sebagai tenaga penggerak mitsubishi 6 silinder 185 PK, mesin bantu untuk memutar gardan sewaktu menarik jaring dongfeng 24 PK dan mesin untuk penerangan dongfeng 15 PK.
POKOK BAHASAN Bahan dan Metode
Lama operasi penangkapan ikan 4-8 hari dengan jumlah anak buah kapal (ABK) sebanyak 20-25 orang.
Kegiatan penelitian dilakukan pada 26 Juni – 5 Juli 2010 dengan mengikuti pelayaran menggunakan kapal purse seine KM. Sari Usaha 03 dengan kapasitas 23 GT. Kapal tersebut beroperasi di batang dua yaitu perbatasan Ternate dan Bitung, Laut Maluku dan Tagulandang, Makalehi, Siau, Laut Sulawesi (Gambar 1). Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara dan observasi.
Jaring purse seine terbuat dari bahan nilon dengan ukuran mess size kantong 1 inchi, bagian badan sampai keatas 1,5 inchi. Panjang jaring 400 meter dan dalam 80 meter dengan tali ris atas 400 meter dan tali ris bawah 440 meter, jumlah pelampung 1.044, jenis pemberat terbuat dari timah gendang sebanyak 300 kg, jumlah ring 110 buah dengan diameter 5 inchi yang terbuat dari kuningan (Gambar 3).
57
BTL. Vol.11 No. 2 Desember 2013 : 57-60
Gambar 2. Kapal purse seine yang berbasis di Bitung.
Gambar 4. Ponton dan rakit sebagai alat bantu purse seine di Bitung. Persiapan Penangkapan
Gambar 3. Jaring purse seine yang digunakan oleh nelayan Bitung 1. Alat Bantu Penangkapan Untuk menunjang keberhasilan penangkapan digunakan alat bantu yang disebut ponton. Ponton terbuat dari plat besi yang dibentuk bulat menyerupai peluncur atau terpedo dengan diameter ± 70-80 cm dan panjang ± 3 meter, dengan pemberat supaya tidak bergesar, dan daun kelapa sebagai tempat ikan berkumpul. Selain ponton juga ada rakit buatan yang terbuat dari busa, busa di jepit dengan bambu dan kayu sebanyak empat lapis, tebal busa ± 10 cm dan panjang busa 1,5 meter dan lebar 1 meter dan juga lampu petromak sebanyak 2 buah. Ponton dan rakit sebagai alat bantu purse seine di Bitung disajikan pada Gambar 4
58
Sebelum berangkat menuju daerah penangkapan dan melakukan operasi penangkapan setiap kapal penangkap akan mempersiapkan segala macam yang diperlukan untuk memperlancar aktifitas penangkapan. Persiapan yang di lakukan di antaranya meliputi bunker (pengisian) BBM, Oli, memuat Es balok ±150 balok yang telah dihancurkan, pengisian air tawar ± 5 ton, perbekalan makanan dan lain sebagainya. Kapal berangkat dari Pelabuhan Perikanan Samudra Bitung ke lokasi penangkapan pada malam hari menuju Batang dua (Laut Maluku) dan kira-kira ditempuh dalam waktu 9,5 jam, kapal tiba di lokasi fising ground pada pagi hari. Teknik Penangkapan Pengecekan keadaan perairan dibawah ponton dilakukan oleh ABK jaga dengan cara terjun ke laut dan melihat keadaan dibawah ponton, setelah pengamatan beberapa saat ternyata ikan cuma sedikit dan operasi penangkapan tidak dilakukan. Selanjutnya haluan kapal berubah menuju ke ponton kedua, jarak antara ponton pertama dan kedua ± 19 mil, setelah
Komposisi Hasil Tangkapan dan Aspek Penangkapan..di Laut Maluku dan Sulawesi (Kuswoyo. A & H. Ilhamdi)
tiba di ponton kedua ABK jaga melakukan pengecekan dan setelah pengamatan ikan dibawah ponton banyak, kapal tambat di ponton untuk menunggu operasi penangkapan, selama waktu menunggu operasi penangkapan para ABK melakukan persiapan alat dan perbaikan jaring yang rusak dan sebagian ABK memancing ikan tuna. Operasi penangkapan dilakukan pada dini hari, persiapan sebelum setting dilakukan pertama-tama ABK jaga sebanyak dua orang menurunkan rakit buatan yang telah dilengkapi dengan dua buah lampu petromak untuk menuju ponton. Selanjutnya daun kelapa yang ada dibawah ponton dipindahkan ke bawah rakit buatan dengan maksud supaya ikan pindah ke rakit buatan. Ponton ditarik oleh kapal penangkap menjauhi rakit buatan secara perlahan (untuk memudahkan penangkapan), setelah ikan terkumpul di bawah rakit buatan dan ABK jaga yang ada dirakit memberi kode bahwa ikan siap ditangkap, maka kapal penangkap mulai melakukan penangkapan. Proses pertama adalah pelampung utama diturunkan dan selanjutnya menyusul bagian jaring badan dan kantong jaring. Penangkapan dilakukan dengan mengelilingi rakit buatan setelah kapal melakukan putaran penuh tali kolor bagian depan dan belakang langsung dibelitkan
Penurunan jaring
di Gardan dan ditarik. Selanjutnya pelampung utama dinaikan keatas kapal dan juga ditarik secara manual, sampai pelampung terakhir di bagian belakang. Penarikan tali kolor dilakukan secepat mungkin, agar jaring secepatnya membentuk mangkuk dan ikan tidak bisa lolos. Pada saat jaring telah membentuk seperti mangkuk, rakit buatan yang ada di dalam lingkaran jaring dikeluarkan dan dinaikan diatas kapal. Apabila penarikan jaring sayap dan badan selesai dan yang tersisa hanyalah kantong maka proses penaikan ikan dilakukan dengan menyiduk ikan dengan jaring kecil yang kemudian ikan dimasukan kedalam palkah. Setelah aktifitas penaikan ikan diatas kapal selesai dan jaring telah ditata rapi, daun kelapa yang tadinya dipindahkan dirakit buatan maka diikatkan lagi di bawah ponton. Kapal pindah haluan menuju laut Sulawesi tepatnya daerah tagulandang, makalehi dan siau yang ditempuh dalam waktu ±5.5 jam di tagulandang terdapat dua ponton tetapi hanya satu ponton saja yang di setting karena tidak ada ikan. Mengingat keterbatasan dari perbekalan maka aktifitas penangkapan selesai dan kapal pulang menuju PPS Bitung. Proses kegiatan penangkapan purse seine Bitung disajikan pda gambar 5.
Jaring melingkari rakit
Penarikan tali kolor Gambar 5. Proses penarikan tali kolor menggunakan gardan
59
BTL. Vol.11 No. 2 Desember 2013 : 57-60
Komposisi Hasil Tangkapan Komposisi hasil tangkapan terdiri dari ikan pelagis kecil dan ikan pelagis besar. Pada setting pertama di Laut Maluku total hasil tangkapan sebanyak 500 kg dan didominasi oleh ikan malalugis, yang terdiri dari ikan malalugis sebanyak 92 % dan B. tuna 5 %, cakalang 2 % dan suru 0,5 % (Gambar 6).
Dari kedua lokasi setting hasil tangkapan didominasi oleh ikan pelagis kecil yaitu malalugis/ layang, hal ini sama seperti yang dinyatakan (Atmaja el al., 1986), bahwa di setiap daerah penangkapan hasil tangkapan per hari ikan layang merupakan hasil tangkapan terbesar dari keseluruhan hasil tangkapan purse seine. KESIMPULAN
Gambar 6. Komposisi hasil tangkapan KM. Sari Usaha 03 di laut Maluku Setting kedua dilakukan di Laut Sulawesi dengan total hasil tangkapan sebanyak 100 kg dan juga didominasi oleh ikan malalugis yang terdiri dari ikan malalugis sebanyak 77 %, B. tuna 17 %, deho 3 %, selar 2 % dan cakalang 1 % (Gambar 7)
1. KM. Sari Usaha 03 terbuat dari besi dengan ukuran panjang (L) 19,80 meter, lebar (B) 4,05 meter dan dalam (D) 1,45 meter, yang mengoperasikan alat purse seine dengan panjang 400 meter dan dalam 80 meter dan menggunakan media bantu pengumpul ikan yaitu ponton, rakit tiruan dan lampu petromak. 2. Pengoperasian alat dilakukan pada pagi hari dengan cara melingkari gerombolan ikan yang ada dibawah rakit tiruan dan menarik jaring ke atas kapal. 3. Komposisi hasil tangkapan terdiri dari ikan malalugis, selar, suru, cakalang, deho dan B. tuna, yang disetiap lokasi penangkapan didominasi oleh ikan malalugis/layang 92 % dan 77 %. DAFTAR PUSTAKA Atmaja, S. B., Suwarso dan Subhat, N. 1986. Hasil Tangkapan Pukat Cincin menurut musim dan daerah penangkapan di Laut Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. No 36: P 57-65. Balai Penelitiaan Perikanan laut. Badan Penelitian Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. DKP. 2006. Panduan Jenis-Jenis Penangkapan Ikan Ramah Lingkungan. Kerjasama Program Rehabilitasi dan Pemulihan Cadangan Sumber Daya Alam. Satker Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (COREMAP II). Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan. PT. Bina Marina Nusantara (Konsultan Kelautan dan Perikanan). Jakarta.
Gambar 7. Komposisi hasil tangkapan KM. Sari Usaha 03 di Laut Sulawesi
60
Genisa, A. S. 1998. Beberapa Catatan Tentang Alat Tangkap Ikan Pelagis Kecil. Balitbang Biologi Laut. Puslitbang Oseanologi-LIPI. Jakarta.
Teknologi Alat Penangkapan Ikan .... Berbasis di Kabupaten Kepulauan Sangihe (Rahmat, E & A. Salim)
TEKNOLOGI ALAT PENANGKAPAN IKAN PANCING ULUR (HANDLINE) TUNA DI PERAIRAN LAUT SULAWESI BERBASIS DI KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE Enjah Rahmat dan Agus Salim Balai Riset Perikanan Laut, Jakarta Teregistrasi I tanggal: 05 Maret 2013; Diterima setelah perbaikan tanggal: 31 Juli 2013; Disetujui terbit tanggal: 30 Agustus 2013
PENDAHULUAN Laut Sulawesi merupakan bagian barat Samudera Pasifik, sehingga menjadi alur lintas masa air Samudera Pasifik. Di Laut Sulawesi banyak di temui beranekaragam komoditas sumberdaya ikan pelagis besar. Ikan pelagis besar yang mempunyai nilai ekonomis tinggi adalah; tuna, cakalang, tongkol, cucut, tenggiri, dan setuhuk. Dalam pengusahaannya sumberdaya ikan pelagis besar banyak ditangkap menggunakan alat tangkap pancing ulur (handline), huhate (pole and line), pancing tonda (troll line) dan jaring lingkar/pajeko (purse seine). Pelabuhan penting yang terdapat di Propinsi Sulawesi Utara untuk pendaratan ikan hasil tangkapan nelayan di Laut Sulawesi antara lain di Pelabuhan Perikanan Tumumpa di Kota Manado, Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung, dan di Tempat Pendaratan Ikan Towo’e di Kabupaten Kepulauan Sangihe. Kabupaten Kepulauan Sangihe memiliki luas mencapai 11.863,58 km2 terdiri dari lautan 11.126,61 km2 dan daratan 736,97 km2. Ibu kota berkedudukan di Tahuna secara keseluruhan jumlah keKabupaten Kepulauanan yang ada di Kabupaten Kepulauan ini berjumlah 105 keKabupaten Kepulauanan dengan rincian; 79 keKabupaten Kepulauanan yang tidak berpenghuni dan 26 Kabupaten Kepulauan berpenghuni.Secara geografis wilayah Kabupaten Kepulauan Sangihe terletak antara 2° 4’ 13" – 4° 44’ 22" LU dan 125° 9' 28" - 125° 56' 57" BT dan posisinya terletak di antara Kabupaten Kepulauan Sitaro dengan Kabupaten Kepulauanan Mindanao (Pilippina). Di perairan sekitar Kabupaten Kepulauan Sangihe banyak nelayan beroperasi dengan menggunakan berbagai alat tangkap terutama pancing ulur dan pajeko. Nelayan pancing ulur biasa beroperasi untuk menangkap ikan tuna ukuran ekspor yaitu yang berukuran > 20 kg. Daerah penangkapan sumberdaya tuna dengan alat penangkapan ikan pancing ulur terutama adalah di perairan sebelah selatan Kabupaten Kepulauan Sangihe, sedangkan di perairan sebelah utara banyak terdapat sumberdaya ikan cucut. Makalah ini membahas penggunaan pancing ulur untuk menangkap ikan pelagis besar di perairan Laut
Sulawesi oleh nelayan di KeKabupaten Kepulauanan Sangihe pada tahun 2012 untuk mengetahui teknik pengoperasian, daerah penangkapan dan komposisi jenis hasil tangkapannya. POKOK BAHASAN Bahan dan Metoda Bahan-bahan dan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas alat ukur yaitu meteran dan timbangan, kamera, buku identifikasi ikan, dan formulir penelitian. Data dan informasi mengenai aspek-aspek perikanan seperti karekteristik armada (dimensi kapal, mesin, alat tangkap, komposisi hasil tangkapan, dan lain-lain), daerah penangkapan, dan teknik pengoperasian alat tangkap menggunakan formulir perikanan pancing ulur dengan cara observasi dan wawancara langsung dengan nelayan dan pemilik kapal pancing ulur. Komposisi jenis ikan hasil tangkapan pancing ulur didapatkan dari hasil observasi yang dibantu oleh tenaga observer. Identifikasi jenisjenis ikan hasil tangkapan mengacu pada Carpenter dan Niem (1998) dan Anonim (2000) serta Itano (2004). Teknologi Pancing Ulur Tuna a. Armada Jenis armada pancing ulur tuna nelayan di Kabupaten Kepulauan Sangihe menggunakan beberapa tipe kapal/perahu. Jumlah anak buah kapal bervariasi mulai 2 orang hingga belasan orang tergantung tipe perahu yang digunakan. Nelayan pancing ulur yang beroperasi di perairan sekitar Kabupaten Kepulauan Sangihe didominasi oleh nelayan pendatang (andon) dari Philippines. Jumlah hari operasi penangkapan bervariasi mulai dari 1 hari (one day fishing) sampai dengan 2 minggu. Armada pancing ulur nelayan di Kabupaten Kepulauan Sangihe terdiri dari armada pamo dan pamboat (Gambar 1). Pamo terbuat dari bahan kayu adapun pamboat umumnya terbuat dari bahan kayu lapis. Pamo Pamo merupakan jenis kapal pancing ulur tuna dengan bentuk seperti kapal pada umumnya tetapi
61
BTL. Vol.11 No. 2 Desember 2013 : 61-65
dioperasikan untuk penangkapan ikan tuna dengan pancing ulur. Terdapat dua jenis ukuran pamo di Kabupaten Kepulauan Sangihe yaitu pamo kecil dan pamo besar. Pamo kecil umumnya berukuran panjang x lebar x dalam 8,0 x 2,0 x 0,6 meter atau 3-4 GT menggunakan mesin dompeng 24 PK (1 cylinder) sebagai mesin utama. Pamo dilengkapi dengan 1 buah palkah untuk menampung hasil tangkapan dengan kapasitas 500 kg Anak buah kapal (ABK) berjumlah 2-3 orang. Jumlah hari penangkapan pamo umumnya adalah 3 hari per trip. Pamo besar umumnya berukuran e” 10 GT dengan ukuran panjang x lebar x dalam 16,0 x 3,6 x 1,2 meter, palka tersedia 4 lobang dengan kapasitas 10-15 ton. Jumlah ABK pamo ukuran besar adalah 8 orang. Jumlah hari penangkapan bisa mencapai 2 minggu per trip. Hasil tangkapan diawetkan dengan es, pamo ukuran kecil membawa es dari Tahuna atau Manganitu, sedangkan pamo ukuran besar membawa es dari Bitung. Pamboat Pamboat merupakan perahu yang dilengkapi dengan katir (semah) sebagai penstabil saat berlayar. Terdapat tiga jenis pamboat yang dioperasikan nelayan di Kabupaten Kepulauan Sangihe, yaitu
ukuran kecil, besar dan fuso. Pamboat ukuran kecil mempunyai dimensi panjang x lebar x dalam adalah 7,0 x 0,7 x 0,6 meter dengan jumlah ABK 1-2 orang. Mesin penggerak merek Ryu atau Honda 13-16 PK. Jumlah hari penangkapan hanya 1 hari (one day fishing) dengan waktu pemancingan mulai pagi hingga sore hari. Pamboat ukuran besar berukuran panjang x lebar x dalam 12 x 1,6 x 1,0 meter, mesin penggerak 16-22 PK dan jumlah ABK 4-5 orang per pamboat. Trip penangkapan 4–7 hari atau sampai persediaan es habis terpakai. Fuso merupakan istilah lokal untuk memyebut pamboat besar bermesin fuso. Kapal ini berfungsi sebagai kapal penampung hasil tangkapan dengan kapasitas muat sampai 10 ton (100-150 ekor per trip) ikan tuna. Fuso berukuran 22,0 x 5,0 x 2,0 meter dan membawa 10-11 pakura. Pakura adalah perahu kecil seperti kano bermesin 5-10 HP yang merupakan kelengkapan dari pamboat (fuso) untuk dioperasikan didaerah penangkapan. Ukuran pakura 2,5 x 0,7 x 0,2 dan diawaki oleh 1-2 orang pemancing, jadi jumlah ABK pamboat fuso biasanya sama dengan jumlah pamo yang dibawa oleh pamboat fuso. meter. Pakura bisa diawki oleh 1-2 orang nelayan pemancing ikan tuna. Jumlah hari operasi bisa mencapai 30 hari pertrip.
Gambar 1. Armada pancing ulur tuna berbasis di Sangihe. b. Alat Penangkapan Ikan Pancing ulur tuna terdiri dari beberapa komponen utama, yaitu: (1) gulungan tali, (2) tali pancing, (3) mata pancing, dan (4) pemberat (Subani, 1989). Nelayan Kabupaten Kepulauan Sangihe mengoperasikan pancing ulur di perairan sekitar Kabupaten Kepulauan Sangihe. Alat bantu
62
penangkapan yang digunakan adalah rumpon. Selain rumpon alat bantu penangkapan pancing ulur ikan tuna adalah ‘sabu-sabu’ yaitu sejenis cairan berwarna hitam dan yang menggunakan batu kali pada saat penurunan unit alat tangkap pancing ulur. Target utama pancing ulur tuna adalah madidihang (Thunnus albacares) dan tuna matabesar (T. obesus).
Teknologi Alat Penangkapan Ikan .... Berbasis di Kabupaten Kepulauan Sangihe (Rahmat, E & A. Salim)
Proses pengoperasian pancing ulur tuna yang dipraktekkan oleh nelayan di Kabupaten Kepulauan Sangihe adalah sebgai berikut: setelah armada mencapai rumpon di daerah penangkapan, maka nelayan terlebih dahulu akan memancing ikan umpan dengan menggunakan pancing ulur dengan ukuran mata pancing kecil. Pancing ulur untuk menangkap ikan umpan biasa disebut sebagai pancing bira-bira. Jenis mata pancing yang digunakan adalah jenis mata pancing berkait balik nomor 12. Spesifikasi pancing bira-bira disajikan pada Gambar 2. Ada beberapa jenis ikan umpan yang biasa digunakan yaitu ikan layang, juwana cakalang, juwana tuna dan jenis ikan tongkol. Setelah mendapatkan ikan umpan penangkapan ikan tuna dilakukan dengan menggunakan pancing ulur khusus untuk tuna dengan ukuran tali dan mata pancing besar. Spesifikasi pancing ulur tuna seperti pada Gambar 3. Pancing ulur tuna dioperasikan pada siang hari yaitu mulai pagi hingga sore hari.
gulungan tali
senar PA no. 80
c. Alat Bantu Penangkapan Ikan Alat bantu penangkapan ikan tuna yang digunakan nelayan di Kabupaten Kepulauan Sangihe terdiri dari: 1. Rumpon laut dalam atau biasa juga disebut sebagai payaos (Philipina) yang berfungsi sebagai pengumpul ikan. Pada umumnya, nelayan pancing ulur tuna Kabupaten Kepulauan Sangihe mengoperasikan pancingnya di sekitar rumpon mililk nelayan kapal pajeko (pukat cincin mini) Tahuna. Selain itu, Dinas Perikanan dan Kelautan setempat juga memberikan bantuan rumpon bagi nelayan pancing ulur. Jarak rumpon terdekat dari basis pendaratan di Pelabuhan Perikanan Tahuna sekitar 10 mil (2 jam) dari Tahuna, 122 mil ke arah selatan (P. Siau) 7 jam. 2. Sabu-sabu yaitu cairan yang berwarna hitam yang menyerupai zat tinta pada cumi-cumi, yang berfungsi untuk penarik/pemikat ikan tuna. 3. Batu kali berbentuk oval seperti buah mangga dengan ukuran sebesar kepalan orang dewasa atau berat sekitar ½ kg, berfungsi untuk mempercepat proses tenggelamnya umpan pancing ulur hingga kedalaman tertentu.
Swivel/kili-kili
d. Pengoperasian Alat Tangkap
pemberat (timah) 0,5 kg
Nelayan di Kabupaten Kepulauan Sangihe mengoperasikan pancing ulur dengan target penangkapan ikan tuna ukuran ekspor yaitu ukuran e” 20 kg. Sebelum menangkap ikan target yaitu jenis ikan tuna yang berukuran besar dilakukan penangkapan ikan umpan yaitu jenis ikan layang, juwana tuna, tongkol dan juwana cakalang pancing bira-bira. Setelah hasil tangkapan ikan umpan dianggap sudah cukup, maka nelayan mulai memancing tuna menggunakan pancing ulur tuna. Ikan untuk umpan yang berukuran relatif besar dipotong-potong hingga berukutan 100-15 gram/ potong. Selain ikan umpan, pada mata pancing ulur tuna dikaitkan satu plastik kecil ukuran 20-30 mili liter beriasi sabu-sabu (cairan tinta cumi-cumi). Setelah itu pancing yang telah dipasang ikan umpan dan sabu-sabu, pada unjung tali pancing dekat mata pancing dikaitkan batu yang diikat dengan teknik khusus sehingga mudah lepas dengan kejutan tarik (disentak) saat mata pancing yang berumpan telah mencapai kedalaman tertentu (biasanya antara 100180 meter). Pada saat tarikan kejut tersebut, plastik sabu-sabu juga pecah dan cairan sabu-sabu akan tumpah dan membuat air di sekitar umpan menjadi hitam.
kawat stainlis 4 mm
Swivel/kili-kili
10 m
mata pancing no 12 dan umpan palsu
Gambar 1. Disain pancing ulur ikan umpan (bira-bira)
gulungan tali
senar PA no. 130-150
Swivel/kili-kili
pemberat (timah) 0,8 – 1,0 kg
60 cm
senar PA no. 90-100 Swivel/kili-kili
15 m
5 cm mata pancing no 5 dan ikan umpan
3 cm
Gambar 2. Disain pancing ulur ikan tuna
63
BTL. Vol.11 No. 2 Desember 2013 : 61-65
Cairan sabu-sabu atau cairan tinta yang tumpah tersebut menarik perhatian ikan tuna untuk mendekat karena menganggap ada cumi-cumi yang sedang berada disekitar umpan yang telah terkait pada mata pancing ulur. Cumi-cumi merupakan jenis ikan yang sangat digemari tuna sebagai mangsa. Dengan mendekatnya tuna ke sekitar pancing, maka mempecepat proses pemangsaan umpan pancing. e. Daerah Penangkapan Daerah penangkapan pancing ulur tuna terutama di perairan sebelah selatan dan barat daya, daerah penangkapan perairan sebelah utara Kabupaten Kepulauan Sangihe didominasi ikan cucut (Gambar 4). Di perairan sebelah Utara KeKabupaten Kepulauanan Lipang dan KeKabupaten Kepulauan Talaud jenis ikan tuna yang tertangkap mempunyai kisaran bobot 30-40 kg per ekor, sedangkan di sebelah selatan dan barat daya KeKabupaten Kepulauanan Sangihe, banyak ikan tuna yang tertangkap dengan kisaran bobot 70-100 kg per ekor.
Sedangkan apabila operasi penangkapan berlangsung lebih dari 1 hari maka isi perut dan insang ikan tuna hasil tangkapan dikeluarkan sebelum ikan tuna tersebut disimpan di dalam palkah. Ikan hasil tangkapan biasanya di bawa ke Pelabuhan Tahuna atau langsung di bawa ke Philipina untuk dipasarkan. Ikan tuna hasil tangkapan yang di bawa ke Philipina biasanya dalam keadaan utuh. Perjalanan pergi dan pulang dari perairan sekitar Kabupaten Kepulauan Sangihe ke Philipina adalah selama 2-3 hari. Sedangkan ikan tuna yang dipasarkan ke Kota Bitung, biasanya isi perut dan insangnya dikeluarkan terlebih dahulu. g. Komposisi Jenis Ikan Hasil Tangkapan Hasil tangkapan pancing ulur tuna terdiri dari tuna madidihang, cakalang tenggiri lemadang dan barakuda. Namun demikian perahu pancing ulur tuna juga mendaratkan ikan-ikan jenis layang malalugis dan tongkol hasil tangkapan pancing bira-bira. Secara keseluruhan hasil tangkapan ikan yang didaratkan oleh perahu pancing ulur tuna terdiri dari madidihang, cakalang, tenggiri, barakuda, malalugis dan tongkol dengan komposisi sebagaimana disajikan pada Gambar 5. KESIMPULAN
Gambar 4. Posisi rumpon sebagai daerah penangkapan ikan pelagis besar di perairan sekitar Kabupaten Kepulauan Sangihe. f. Penanganan Ikan Hasil Tangkapan Ikan hasil tangkapan disimpan di dalam palkah dengan bahan pengawet es balok yang telah dipotongpotong menjadi bagian kecil. Apabila operasi penangkapan hanya berlangsung selama 1 hari (one day fishing) maka ikan tuna yang berhasil tertangkap disimpan dalam palkah dalam bentuk gelondongan tanpa dikeluatkan isi perut dan insangnya.
64
1. Armada pancing ulur tuna yang berbasis di Kabupaten Kepulauan Sangihe terdiri dari 3 jenis yaitu pamo, pamboat dan fuso. 2. Pancing ulur yang digunakan pada perikanan tuna ada dua jenis yaitu pancing bira-bira untuk menangkap ikan umpan dan pancing ulur tuna yang berukuran tali dan mata pancing besar. 3. Daerah penangkapan pancing tuna adalah perairan sebelah selatan dan barat daya Kabupaten Kepulauan Sangihe. 4. Pancing ulur tuna dioperasikan dengan alat bantu penangkapan rumpon dalam yang dikombinasikan dengan cairan sejenis tinta yang disebut sabusabu. 5. Jenis tuna yang tertangkap terutama adalah madidihang. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan bagian dari hasil kegiatan Penelitian Distribusi dan Kelimpahan Sumberdaya Ikan Pelagis Besar di WPP-716 Laut Sulawesi dan WPP-712 Laut Jawa Tahun Anggaran (TA) 2012 Balai Penelitian Perikanan Laut Jakarta.
Teknologi Alat Penangkapan Ikan .... Berbasis di Kabupaten Kepulauan Sangihe (Rahmat, E & A. Salim)
FEB 51,3
MAR
APR
35,3
51,3
29,6 280
252 375,7
585,3 585,3
375,7 477
MEI 107
JUN
253
210
69,5
311,6
111 69,5 115,3 165
150
464,6
Gambar 5. Komposisi hasil tangkapan yang didaratkan armada pancing ulur tuna di Pelabuhan Perikanan Tahuna periode bulan Februari-Juni 2012. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2000. The Living Marine Resources of The Western Central Fasific. Volume 6. Bony fishes part 4 (Labridae to Latimeriidae), estuarine crocodiles, sea turtles, sea snakes and marine mammals). FAO Species Identification Guide For Fishery Purposes. ISSN 1020-6868: 3721-3764 p. Carpenter, K.E. & V.H. Niem. 1998. FAO Species identification guide for fishing purposes. The living marine resources of the Western Central Pacific. Vol. 2. Cephalopods, crustaseans, holoturians and sharks. FAO, Rome: 1194-1366.
Itano, David G. 2004. Buku Panduan untuk Identifikasi Ikan Madidihang dan Tuna Matabesar dalam Keadaan Segar. Pelagic Fisheries Research Program. University of Hawai. JIMAR. Honolulul, Hawaii USA. p. 28. (Unpublish). Subani, W. & H.R. Barus, 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut di Indonesia (Fishing Gears for Marine Fish and Shrimp in Indonesia). Jurnal Penelitian Perikanan Laut (Edisi Khusus) No. 50. 248 p.
65
BTL. Vol.11 No. 2 Desember 2013 :
66
Teknik Sampling Larva di Perairan Kepulauan Sangihe, Laut Sulawesi (Fadli, M & A. Surahman)
TEKNIK SAMPLING LARVA DI PERAIRAN KEPULAUAN SANGIHE, LAUT SULAWESI Mohammad Fadli Yahya dan Adi Surahman Balai Penelitian Perikanan laut Teregistrasi I tanggal: 05 Juli 2013; Diterima setelah perbaikan tanggal: 14 Agustus 2013; Disetujui terbit tanggal: 03 September 2013
PENDAHULUAN Perairan Kepulauan Sangihe berada dalam kawasan laut Sulawesi Utara, merupakan daerah penangkapan perikanan pelagis skala kecil maupun skala besar. Untuk mengetahui dugaan kelimpahan stok ikan di perairan tersebut, telah dilakukan penelitian dengan berbagai metode pengumpulan data dan teknik sampling. Hasil penelitian akan menjadi akurat, melalui pengumpulan data dan metode sampling yang benar.
panjang 20 cm. Bonggo net tersebut dioperasikan dengan cara ditarik (towing) oleh kapal dengan kecepatan kurang lebih 2-3 knot selama 10 menit Perhitungan kelimpahan larva adalah sebagai berikut :
Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah sampling larva. Larva adalah biota perairan yang bersifat planktonik, dan dapat digunakan sebagai indikator kesuburan suatu perairan. Nontji (2008) menyatakan bahwa informasi mengenai larva berguna untuk mengetahui daerah asuhan (nursery ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) di suatu kawasan perairan.
Keterangan:
Data dan informasi tentang kelimpahan dan keanekaragaman jenis larva ikan sebagai dasar dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan di perairan Kepulauan Sangihe masih belum tersedia. Untuk itu diperlukan teknik sampling larva yang benar agar diperoleh data dan informasi yang akurat.
Hasil dan Bahasan
Tulisan ini menyajikan cara-cara pengambilan sampel larva di lapangan dan perhitungan dugaan nilai kelimpahannya di perairan Sangihe, Laut Sulawesi. POKOK BAHASAN Bahan dan Metode Pengambilan sampel dilakukan pada 18 stasiun pengamatan, yaitu di sekitar perairan Kepulauan Sangihe, Laut Sulawesi (Gambar. 1). Alat yang digunakan adalah jarring larva (bongo net), dengan spesifikasi diameter mulut jarring 45 cm, panjang jarring 180 cm dan mesh size 0,5 mm. Pada ujung dari jarring bonggo dilengkapi tempat penampung sampel dari pipa PVC dengan diameter 10 cm dan
N N Vtsr L T V
: Kelimpahan larva ikan (ind/m3) : Jumlah larva ikan (ind) : Volume air tersaring (Vtsr = l x t x v) : Volume larva net (m2) : Lama waktu penarikan saringan (menit) : Kecepatan tarikan kapal (m/menit)
1. Pengambilan sampel larva Alat sampling larva atau biasa disebut bonggo net (Gambar. 2) terdiri dari beberapa komponen yaitu: 1. kili-kili dan tali, 2. diameter jaring, 3. Pelampung, 4. Pemberat, 5. flow meter, 6. penampung sample, dan 7. badan jaring. Pengambilan sampel larva dengan menggunakan bongo net, dilakukan dengan cara ditarik secara Horizontal. Pada saat penarikan posisi bongo net berada di bawah permukaan perairan. Bonggo net ditarik dengan kapal pada kecepatan yang konstan, dengan jarak dan waktu tertentu, sesuai dengan hasil yang di inginkan. Pada setiap stasiun sampling dilakukan pencatatan waktu dan posisi mulai menurunkan jaring sampai mengangkat jaring. Pada waktu yang bersamaan juga dilakukan pengamatan kondisi oseanografi, diantaranya kecepatan dan arah arus dan parameter fisik lainnya.
67
BTL. Vol.11 No. 2 Desember 2013 : 67-70
Gambar 1. Posisi stasiun sampling larva di Kepulauan Sangihe, Laut Sulawesi.
Gambar 2 . Komponen jaring larva (bonggo net) 2. Pengawetan sampel larva Setelah hasil tangkapan dari jaring larva dinaikkan keatas kapal, kemudian dikeluarkan dari tabung penampung (bucket) dan dimasukkan dalam botol sampel, segera diawetkan dengan formalin pada konsentrasi 4 % (Gambar 3). Formalin yang akan digunakan harus tersimpan dalam botol gelas atau
68
plastik. Hindari penggunakaan formalin yang tersimpan dalam botol kaleng karena mengandung besi yang akan mengotori sampel Setelah proses pengawetan botol sample diberi label, dengan keterangan waktu sampling dan stasiun pengawetan, kemudian botol dikumpulkan dalam keranjang sampel.
Teknik Sampling Larva di Perairan Kepulauan Sangihe, Laut Sulawesi (Fadli, M & A. Surahman)
Gambar 3. Penanganan sample dan pengawetan diatas kapal Pensortiran Larva Sampel dibawa ke laboratorium untuk dilakukan pensortiran, dengan tahapan sebagai berikut : 1. Mencuci sample : sampel dicuci dengan air bersih dengan cara disaring dan ditiriskan agar pada saat dilakukan penyortiran, kandungan formalin pada sampel berkurang, sehingga tidak membahayakan laborannya. 2. Pensortiran sampel : sampel diletakkan pada gelas ukur, diambil kurang lebih 10 ml dan diletakkan pada petridish untuk dilakukan pensortiran dengan menggunakan mikroskop stereo. Setelah disortir,
larva dimasukkan ke dalam botol yang telah di isi alkohol, selanjutnya di identifikasi berdasarkan family. 3. Kelimpahan Larva (ind/m3) Hasil perhitungan jumlah total larva pada saat dilakukan sampling pada 18 stasiun adalah sebanyak 991 individu. Stasiun pengamatan dengan kehadiran larva tertinggi adalah, stasiun 17 sebanyak (19.75%), stasiun 3 (15.1%), stasiun 12 (10.54%), dan stasiun 1 (9.32%). Kelimpahan larva dari 18 posisi stasiun pengambilan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kelimpahan Larva (ind/m3) Antar Stasiun Pengamatan
KESIMPULAN 1. Pengambilan sampel larva menggunakan bongo net dilakukan dengan cara ditarik secara horizontal, dibawah permukaan perairan dengan menggunakan kapal pada kecepatan konstan, waktu dan jarak tertentu sesuai dengan hasil yang diinginkan.
2. Sampel larva diawetkan menggunakan formalin 4 % , kemudian setelah dicuci dilakukan penyortiran, identifikasi, dan perhitungan kelimpahan. 3. Hasil sampling larva di perairan Sangihe, Laut Sulawesi, menunjukkan bahwa ada 4 stasiun pengamatan yang kehadiran larva relatif tinggi,
69
BTL. Vol.11 No. 2 Desember 2013 : 67-70
yaitu stasiun 17 sebanyak (19.75%), stasiun 3 (15.1%), stasiun 12 (10.54%), dan stasiun 1 (9.32%).
70
DAFTAR PUSTAKA Nontji, A. 2008. Tiada kehidupan di bumi tanpa keberadaan plankton. Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu pengetahuan Indonesia. Jakarta. 248p.
Tingkat Kematangan Gonad Ikan Nila…….di Danau Batur, Kabupaten Bangli, Bali (Prasetiyo Y Pamungkas)
TINGKAT KEMATANGAN GONAD IKAN NILA (Oreochromis niloticus) DI DANAU BATUR, KABUPATEN BANGLI, BALI Yanu Prasetiyo Pamungkas Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum-Palembang Teregistrasi I tanggal:05 Juli 2013; Diterima setelah perbaikan tanggal: 19 September 2013; Disetujui terbit tanggal: 11 November 2013
PENDAHULUAN
Metode Pengamatan
Ikan nila merupakan ikan introduksi dari Afrika pada tahun 1969 dan kini telah menyebar luas di wilayah Indonesia (Wikipedia.org). Ikan nila mempunyai nama latin Oreochromis niloticus, kelas Osteichtyes dan family Cichlidae (fishbase.com). Ikan nila mempunyai ciri-ciri adanya garis warna tegak pada sirip ekor, hampir seluruhnya tubuh berwarna hitam, mulut mengarah ke atas dan mempunyai rumus sirip D. XVI-XVII, 11-15 dan A. III, 8-11 (Kottelat et. al., 1993).
Cara pengamatan tingkat kematangan gonad adalah sebagai berikut :
Danau Batur merupakan danau kaldera yang terbentuk akibat letusan dari gunung Batur. Terletak di Kabupaten Bangli, Propinsi Bali. Letaknya diantara Gunung Batur di sebelah kanan dan di sebelah kirinya Bukit Abang atau oleh masyarakat setempat biasa juga disebut dengan Gunung Abang. Berada di ketinggian 1.080 m dpl dan memiliki luas sekitar 16 km2 (limnologi.lipi.go.id) merupakan danau yang tidak mempunyai outlet atau keluaran air. Aktifitas perikanan di danau Batur meliputi perikanan budidaya perikanan tangkap. Perkembangan gonad yang semakin matang merupakan bagian dari reproduksi ikan sebelum terjadi pemijahan. Dalam Effendie (1997) diterangkan pada ikan di daerah tropik faktor suhu secara relatif perubahannya tidak besar dan umumnya gonad dapat masak lebih cepat, dan pengamatan gonad dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara histologi dan morfologi. Dalam makalah ini akan disajikan hasil pengamatan tingkat kematangan gonad yang dilakukan dengan cara histologi. Tujuan penulisan makalah adalah untuk memberikan informasi mengenai tingkat kematangan gonad sumberdaya ikan nila non budidaya yang hidup di perairan Danau Batur, Bali. BAHAN DAN METODE Alat dan Bahan
1. Bedah ikan nila pada bagian perut menggunakan gunting dengan ujung yang runcing mulai dari anus secara horizontal sampai dengan pangkal kepala. 2. Buka perut ikan, dan sisihkan saluran pencernaan ikan karena posisi gonad ikan biasanya berada di belakang saluran pencernaan. 3. Lihat dan amati jenis kelamin serta tingkat kematangan gonad ikan. 4. Catat hasil pengamatan dalam blangko yang telah disiapkan. 5. Ulangi cara kerja sampai ikan sampel selesai diamati. HASIL DAN BAHASAN Pada bulan Februari 2011 dari 100 ikan yang menjadi sampel pengamatan diperoleh komposisi jenis kelamin 60 jantan dan 40 betina. Ikan nila dengan tingkat kematangan gonad (TKG) I sebanyak 40 ekor jantan dan 8 ekor betina. Pada TKG II sebanyak 15 ekor jantan dan 16 ekor betina. TKG III sebanyak 5 ekor jantan dan 9 ekor betina. Sedangkan pada TKG IV tidak ditemukan ikan jantan pada tahap ini dan 7 ekor ikan betina pada tahap ini. Sebanyak 64 ekor ikan nila yang menjadi sampel pada bulan Mei 2011 dengan komposisi 27 ekor jantan dan 37 ekor betina. Pada TKG I sebanyak 16 ekor jantan dan 9 ekor betina, TKG II sebanyak 8 ekor jantan dan 16 ekor betina. Sebanyak 1 ekor jantan dan 5 ekor betina pada tahap TKG III dan 2 ekor jantan dan 7 ekor betina pada tahap TKG IV. Bulan September 2011 sampel ikan yang digunakan sebanyak 100 ekor dengan komposisi 56 ekor jantan dan 44 ekor betina. 42 ekor jantan dan 17 ekor betina pada tahap TKG I dan sebanyak 14 ekor jantan dan 20 ekor betina pada tahap TKG II. Pada tahap TKG III sebanyak 6 ekor betina dan pada TKG
Peralatan yang digunakan untuk pengamatan tingkat kematangan gonad adalah disetting set, blangko (form) pengamatan dan alat tulis. Sedangkan untuk bahan adalah ikan nila yang diperoleh dari hasil tangkapan nelayan di Danau Batur.
71
BTL. Vol.11 No. 2 Desember 2013 : 71-74
IV 1 ekor betina. Sedangkan pada ikan jantan tidak ditemukan pada tahap TKG III dan TKG IV.
pengamatan gonad ikan nila di danau Batur bulan Februari, Mei, September dan November. Gambar tingkat kematangan gonad (TKG) ikan nila di danau Batur disajikan pada Lampiran 1.
Pada bulan November 2011 sebanyak 100 ekor ikan nila yang menjadi sampel pengamatan dengan komposisi 44 ekor jantan dan 56 ekor betina. Dari jumlah tersebut yang memiliki TKG I sebanyak 20 ekor jantan dan 23 ekor betina dan pada TKG II sebanyak 9 ekor jantan dan 21 ekor betina. Sedangkan pada tahap TKG III sebanyak 9 ekor jantan dan 4 ekor betina. Pada TKG IV sebanyak 6 ekor jantan dan 8 ekor betina. Tabel 1. Menyajikan hasil
Dari keempat bulan pengamatan gonad ikan nila yang menjadi sampel banyak yang memiliki TKG I dan TKG II. Pada bulan pengamatan Februari dan September 2011 tidak ditemukan ikan jantan dengan TKG IV. Ikan nila betina cukup merata jumlahnya pada tahap TKG III dan TKG IV. Mengindikasikan jika ikan nila dapat memijah sepanjang musim.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Tingkat Kematangan Gonad Ikan Nila di Danau Batur, Bangli, Bali. Bulan Pengamatan No.
TKG
Februari
Mei
September
November
Jantan
Betina
Jantan
Betina
Jantan
Betina
Jantan
Betina
1
I
40
8
16
9
42
17
20
23
2
II
15
16
8
16
14
20
9
21
3
III
5
9
1
5
0
6
9
4
4
IV
0
7
2
7
0
1
6
8
Jumlah
60
40
27
37
56
44
44
56
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Dari hasil pengamatan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa :
Effendie, M. I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. 163 p.
1. Dari keempat bulan pengamatan gonad ikan nila yang menjadi sampel banyak yang memiliki TKG I dan TKG II 2. Pada bulan pengamatan Februari dan September 2011 tidak ditemukan ikan jantan dengan TKG IV. 3. Ikan nila betina cukup merata jumlahnya pada tahap TKG III dan TKG IV. 4. Mengindikasikan jika ikan nila dapat memijah sepanjang musim.
Kottelat, M., A. J. Whitten, S. N Kartikasari, S. Wirjoatmodjo. 1993. Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi (Ikan Air Tawar Indonesia Bagian Barat dan Sulawesi). Periplus EditionsProyek EMDI. Jakarta. 377 p.
PERSANTUNAN
http://www.wikipedia.org
Ucapan terima kasih disampaikan untuk seluruh Peneliti dan Teknisi Tim Penelitian Danau Batur dalam pengambilan sampel, data dan penyelesaian makalah ini.
72
http://www.fishbase.com http://www.limnologi.lipi.go.id
Tingkat Kematangan Gonad Ikan Nila…….di Danau Batur, Kabupaten Bangli, Bali (Prasetiyo Y Pamungkas)
Lampiran 1. Gambar 1. Ikan NIla (Oreochromis niloticus).
Gambar 2. Gonad Ikan Nila (Oreochromis niloticus) pada tahap TKG IV.
Gambar 3. Gonad Ikan Nila (Oreochromis niloticus) pada tahap TKG III.
73
BTL. Vol.11 No. 2 Desember 2013 : 71-74
Gambar 4. Gonad Ikan Nila (Oreochromis niloticus) pada tahap TKG II.
Gambar 5. Gonad Ikan Nila (Oreochromis niloticus) pada tahap TKG I.
74
Kadar Salinitas di Beberapa Sungai …..... Dompu-Provinsi Nusa Tenggara Barat (Sumarno, D & Aswar R.)
KADAR SALINITAS DI BEBERAPA SUNGAI YANG BERMUARA DI TELUK CEMPI, KABUPATEN DOMPU-PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT Dedi Sumarno dan Aswar Rudi Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan-Jatiluhur Teregistrasi I tanggal: 07 Januari 2013; Diterima setelah perbaikan tanggal: 09 Oktober 2013; Disetujui terbit tanggal: 30 Oktober 2013
PENDAHULUAN Teluk cempi secara geografis terletak di Kabupaten Dompu Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang merupakan salah satu perairan penghasil udang yang cukup potensial di Indonesia. Teluk Cempi memiliki beberapa sungai, yaitu: sungai Soroadu, sungai Jambu, sungai Mbawi, sungai Noa, sungai Woja, dan sungai Lara. Lingkungan sekitar Teluk Cempi berupa daerah kawasan mangrove, perumahan, pelabuhan, tambak, budidaya rumput laut, dan tempat wisata. Daerah kawasan mangrove membentang dari wilayah Soroadu, Jambu, Mbawi, Noa, Woja, dan Lara. Menurut Nastiti, et al (2012), Stasiun Noa dan Mbawi memiliki kawasan mangrove yang lebih luas dibandingkan stasiun lainnya.
dan evaporasi (Nybakken, 2000). Daerah dengan fluktuasi salinitas yang sangat tinggi terdapat di daerah estuari. Kondisi daerah yang seperti ini menyebabkan jumlah dan keragaman organisme yang hidup tidak tinggi (Widodo & Suadi, 2004). Menurut Handayani (2004), pada saat pasang tinggi maka air laut akan masuk ke sungai dengan jarak yang cukup jauh. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui kondisi salinitas di sungai Jambu, sungai Mbawi, sungai Noa, sungai Woja, dan sungai Lara di Teluk Cempi. POKOK BAHASAN Lokasi dan Waktu Penelitian
Seiring dengan perkembangannya, daerah sekitar kawasan Teluk Cempi banyak mengalami degradasi lingkungan, seperti pembukaan lahan tambak di sekitar sungai-sungai yang banyak memotong pohonpohon mangrove. Sehingga pada akhirnya dapat mempengaruhi ekosistem dan kualitas perairan sekitar Teluk Cempi.
Kegiatan penelitian dilakukan di 5 sungai di Teluk Cempi, yaitu: sungai Jambu, sungai Mbawi, sungai Noa, sungai Woja, dan sungai Lara pada bulan Juni 2012 (Gambar 1 dan Tabel 1).
Salinitas merupakan salah satu parameter fisika yang dapat mempengaruhi kualitas suatu perairan. Salinitas adalah konsentrasi total ion yang terdapat di perairan (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003). Salinitas menggambarkan padatan total di dalam air, setelah semua karbonat dikonversi menjadi oksida, semua bromide dan iodide digantikan oleh klorida, dan semua bahan organik telah dioksidasi. Salinitas dinyatakan dalam satuan g/kg atau promil (0/00). Salinitas di perairan Indonesia pada umumnya berkisar antara 30-35 0/00, namun lebih rendah dari salinitas laut terbuka yang salinitasnya berkisar antara 33-37 0/00 dengan rerata 35 0/00 (Romimohtarto & Thayib, 1982 dalam Edward, 2000). Menurut Hutabarat dan Evans (2001), salinitas penting artinya bagi kelangsungan hidup organisme, hampir semua organisme laut hanya dapat hidup pada daerah yang mempunyai perubahan salinitas yang kecil. Nilai salinitas sangat dipengaruhi oleh suplai air tawar ke air laut, curah hujan, musim, topografi, pasang surut,
3 2 1 4
5
Sumber : BP2KSI, 2012 Gambar 1. Peta Lokasi Pengukuran Salinitas di Sungai di Teluk Cempi Bulan Juni 2012.
75
BTL. Vol.11 No. 2 Desember 2013 : 75-81
Tabel 1. Posisi Geografis Stasiun Penelitian pada Bulan Juni Tahun 2012
No
Stasiun
1
Sungai Jambu
2 3 4 5
Sungai Mbawi Sungai Noa Sungai Woja Sungai Lara
Posisi Geografis 1
2
3
08 39.002 S
08 38.854 S
08 38.618 S
o
o
118 25.310 E o
08 37.146 S o
118 24.367 E o
08 37.119 S o
118 23.327 E o
08 37.606 S o
118 22.847 E o
08 39.195 S o
118 23.295 E
o
o
118 25.308 E o
08 36.789 S o
118 24.649 E o
08 36.362 S o
118 24.049 E o
08 37.926 S o
118 22.576 E o
08 39.444 S o
118 23.115 E
Penelitian ini dilakukan dengan metode pengukuran secara insitu yang dimulai dari hilir (mulut muara sungai) hingga hulu. Pengukuran salinitas dilakukan dengan menggunakan alat hand refractometer pada kedalaman ± 20 cm. Setiap kali pengukuran dilakukan pengecekan antara dengan aquades. Rentang jarak pengukuran salinitas antara titik satu dengan titik yang lainnya berkisar antara 0.5-0.6 km dengan menggunakan bantuan alat GPS
5
o
o
118 25.331 E o
08 36.599 S o
118 25.012 E o
08 35.595 S o
118 23.853 E o
08 38.101 S o
118 22.300 E o
08 39.760 S o
118 22.841 E
o
08 36.078 S o
118 25.163 E o
08 35.120 S o
118 23.784 E o
08 37.04.3 S
o
08 34.489 S o
118 23.591 E o
08 37.577 S
o
118 21.954 E
o
08 39.425 S
118 22.16.3 E 08 39.580 S o
118 22.841 E
o
o
o
118 22.713 E
(global position system) dan depthmeter. Berikut ini dapat dilihat kondisi stasiun penelitian (Gambar 2-6). Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan pada pengukuran salinitas di beberapa sungai di teluk Cempi adalah sebagai berikut (Tabel 2 dan Gambar 7-12) :
Gambar 2. Sungai Jambu
Gambar 3. Sungai Mbawi
76
4
Kadar Salinitas di Beberapa Sungai …..... Dompu-Provinsi Nusa Tenggara Barat (Sumarno, D & Aswar R.)
Gambar 4. Sungai Noa
Gambar 5. Sungai Woja
Gambar 6. Sungai Lara Tabel 2. Alat dan Bahan Yang Digunakan Pada Saat Pengukuran Salinitas di Sungai di Teluk Cempi No. 1
Alat dan Bahan Hand refractometer
2
GPS (global position system)
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Depthmeter Perahu nelayan Jangkar Aquades Pipet tetes plastik Botol Sampel Volume 100 mL Blanko pengamatan Pensil Tissue Life jacket
Fungsi / Kegunaan Mengukur salinitas Menandai titik lokasi pengukuran salinitas dan sebagai penunjuk arah Alat untuk mengukur kedalaman sungai Alat transportasi Alat untuk menstabilkan perahu Membersihkan mengkalibrasi hand refractometer Meneteskan sampel air atau aquades Menampung sampel air yang akan diukur salinitasnya Mencatat hasil pengukuran salinitas Alat tulis Membersihkan bagian optik hand refractometer Alat keselamatan diri
77
BTL. Vol.11 No. 2 Desember 2013 : 75-81
Gambar 10. Blanko Pengamatan
Gambar 7. Hand Refractometer
Gambar 11. Perahu Nelayan Prosedur Pengambilan Sampel Air Sebagai Berikut : Gambar 8. GPS (Global Position System)
Gambar 9. Depthmeter
78
1. Dipastikan posisi perahu nelayan berada di tengah-tengah sungai. 2. Mengecek kedalaman sungai dengan menggunakan depthmeter untuk menghindari perahu karam. 3. Melempar jangkar untuk menstabilkan posisi perahu nelayan. 4. Disiapkan botol sampel dan masukkan ke dalam air pada kedalaman 20 cm dari permukaan. 5. Dibilas sebanyak 2 kali dengan sampel air yang akan diuji. 6. Dicatat koordinat/titik pengambilan sampel yang ditunjukkan oleh GPS dalam blanko pengamatan.
Kadar Salinitas di Beberapa Sungai …..... Dompu-Provinsi Nusa Tenggara Barat (Sumarno, D & Aswar R.)
Prosedur Cek Antara Hand Refractometer Sebagai Berikut : 1. Membuka penutup bagian optic. 2. Dipastikan bagian optik bersih dan bebas air garam dibilas dengan aquades sebanyak 2 kali dan dikeringkan dengan tissue. 3. Untuk cek antara, aquades diteteskan dengan menggunakan pipet tetes plastik ke bagian optik (dipastikan tidak terbentuk gelembung udara di bagian optik). 4. Bagian optik ditutup dengan segera. 5. Jika terjadi gelembung udara, lakukan penetesan ulang aquades. 6. Bagian optik diarahkan ke sinar matahari dan diamati dengan salah satu mata di bagian monitor. 7. Diatur warna biru berhimpitan dengan angka nol pada layar monitor dengan cara memutar tuas pengatur. Prosedur Pengukuran Salinitas Dengan Menggunakan Hand Refractometer (Gambar 13) Sebagai Berikut :
2. Bagian optik dibilas dengan menggunakan sampel air sebanyak 2 kali pengulangan untuk memastikan bahwa yang terukur oleh hand refractometer benar-benar sampel air yang akan diuji. 3. Untuk pengukuran salinitas, sampel air diteteskan dengan menggunakan pipet tetes plastik hingga memenuhi semua bagian optik (pastikan tidak terjadi gembung udara). 4. Bagian optik ditutup dengan segera. 5. Jika terjadi gelembung udara, lakukan penetesan ulang sampel air. 6. Bagian optik diarahkan ke sinar matahari dan diamati dengan salah satu mata di bagian monitor. 7. Hasil pengukuran salinitas dicatat ke dalam blanko pengamatan. HASIL DAN BAHASAN Dari hasil pengukuran salinitas di 5 sungai di teluk Cempi pada bulan Juni 2012, diperoleh data sebagai berikut (Tabel 3):
1. Membuka penutup bagian optic.
Gambar 12. Kegiatan Pengukuran Salinitas Di Sungai Di Teluk Cempi Bulan Juni 2012
79
BTL. Vol.11 No. 2 Desember 2013 : 75-81
Tabel 3. Hasil Pengukuran Salinitas di 5 Sungai di Teluk Cempi Bulan Juni 2012 No
Stasiun
Salinitas 0 ( /00)
1
Sungai Jambu 1
33
2
Sungai Jambu 2
33
3
Sungai Jambu 3
33
4
Sungai Mbawi 1
34
5
Sungai Mbawi 2
31
6
Sungai Mbawi 3
30
7
Sungai Mbawi 4
30
8
Sungai Noa 1
35
9
Sungai Noa 2
34
10
Sungai Noa 3
31
11
Sungai Noa 4
29
12
Sungai Noa 5
27
13
Sungai Woja 1
35
14
Sungai Woja 2
35
15
Sungai Woja 3
34
16
Sungai Woja 4
33
17
Sungai Woja 5
33
18
Sungai Lara 1
35
19
Sungai Lara 2
34
20
Sungai Lara 3
34
21
Sungai Lara 4
35
22
Sungai Lara 5
35
Kisaran 0 ( /00) 33
30-34
titik Noa 5 sebesar 29 0/00 dan 27 0/00. Menurut Effendi (2003), nilai salinitas perairan tawar biasanya kurang dari 0.5 0/00, perairan payau antara 0.5-30 0/00, dan perairan laut 30-40 0/00. Salah satu faktor lain yang dapat menentukan salinitas adalah cuaca, pada saat pengukuran salinitas di 5 sungai, cuaca cerah hingga cerah berawan dengan kisaran suhu udara antara 26.5-31.5 0C dan suhu air antara 27-29.10C. Menurut Nontji (1987) dalam Armita (2011), bahwa sebaran salinitas dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran sungai.
27-35
Secara teknis hal-hal yang harus diperhatikan untuk mendapatkan keakuratan data salinitas tersebut adalah pengecekan antara hand refractometer. Selain itu juga harus memperhitungkan waktu terjadinya pasang surut di Teluk Cempi, agar tidak mengganggu aktifitas pengukuran salinitas di sungai-sungai. Di Teluk Cempi air surut terjadi pada malam hari pukul 17:00-19:00 WITA dan pagi hari pukul 10:00-12:00 WITA.
33-35
KESIMPULAN
34-35
1. Salinitas di 5 (lima) sungai yang bermuara ke Teluk Cempi pada bulan Juni 2012 berkisar antara 3035 0/00 yang termasuk dalam kategori salinitas air laut. 2. Untuk mendapatkan data salinitas yang akurat di Teluk Cempi perlu memperhatikan teknis pengukuran, diantaranya adalah kalibrasi alat dan kondisi pasang surut air. PERSANTUNAN
Berdasarkan Tabel 3. nilai salinitas di sungai Jambu, sungai Mbawi, sungai di teluk Cempi berkisar antara 27-35 0/00. Secara umum, salinitas di sungaisungai yang bermuara ke Teluk Cempi mengindikasikan bahwa salinitasnya termasuk dalam kategori air laut. Hal ini dapat diduga karena rendahnya asupan air tawar atau relative sedikitnya asupan air tawar ke beberapa sungai. Disamping itu pula, adanya peristiwa pasang air laut yang terjadi setiap hari di teluk Cempi dapat menyebabkan air laut masuk ke dalam sungai. Salinitas di sungai Jambu, sungai Mbawi, sungai Woja, dan sungai Lara dari mulut muara sungai hingga titik akhir pengukuran berkisar antara 30-35 0/00, hal ini mengindikasikan bahwa sungai-sungai tersebut dipengaruhi oleh air laut, sedangkan salinitas di sungai Noa masih dipengaruhi oleh asupan air tawar yang ditunjukkan oleh nilai salinitas pada titik Noa 4 dan
80
Tulisan ini merupakan bagian dari kegiatan penelitian “Pengkajian Kesesuaian Perairan Teluk Cempi, Nusa Tenggara Barat Sebagai Kawasan Konservasi Sumberdaya Ikan” dengan penanggung jawab kegiatan Dra. Adriani Sri Nastiti, MS yang didanai oleh APBN tahun 2012. DAFTAR PUSTAKA Armita, D. 2011. Analisis Perbandingan Kualitas Air Di Daerah Budidaya Rumput Laut Dengan Daerah Tidak Ada Budidaya Rumput Laut, Di Dusun Malelaya, Desa Punaga, Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Jurusan Perikanan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Kadar Salinitas di Beberapa Sungai …..... Dompu-Provinsi Nusa Tenggara Barat (Sumarno, D & Aswar R.)
Edward. 2000. Beberapa Informasi Tambahan Tentang Kualitas Perairan Taberfane Dobo Maluku Tenggara (Studi Kasus Kematian Kerang Mutiara). Kelompok Penelitian Kimia Laut Balitbang Sumberdaya Laut Ambon. Puslitbang Oseanologi LIPI. Effendi, H..2003. Telaah Kualitas Air. Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. Handayani, R. 2004. Pemanfaatan Data Landsat TM dan Landat 7/ETM Untuk Melihat Perubahan Garis Pantai Tahun 1995-2000 Di Teluk Cempi, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat. Program Studi Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Nastiti, et al. 2012. Laporan Trip II, Juni 2012. Pengkajian Kesesuaian Perairan Teluk Cempi, Nusa Tenggara Barat Sebagai Kawasan Konservasi Sumberdaya Ikan. Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya Ikan. Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Nybakken, J. W.. 2000. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologi. PT. Gramedia. Jakarta. Widodo, J. dan Suadi. 2004. Seri Perikanan. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Hutabarat dan Evans. 2001. Pengantar Oseanografi. Universitas Indonesia. Jakarta.
81
BTL. Vol.11 No. 2 Desember 2013 :
82
BULETIN TEKNIK LITKAYASA SUMBER DAYA DAN PENANGKAPAN Pedoman Bagi Penulis 1. Ruang Lingkup: Buletin ini memuat karya tulis para Teknisi Litkayasa lingkup Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan dan institusi lain di bawah Departemen Kelautan dan Perikanan yang berisikan mengenai kegiatan teknisi litkayasa terkait dengan prospek pengembangan, analisis kegiatan lapangan, dan lain-lainnya yang berhubungan dengan sumber daya dan penangkapan yang disajikan secara praktis, jelas, dan bersifat semi ilmiah. 2. Bahasa: Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, tidak diperkenankan menggunakan singkatan yang tidak umum dan bersifat semi ilmiah. Pemakaian istilah yang baru supaya mengikuti pedoman Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. 3. Penulisan Naskah: Susunan naskah terdiri atas judul, pendahuluan (latar belakang), pokok bahasan dan uraiannya, kesimpulan, serta daftar pustaka. Panjang naskah 5-20 halaman. Naskah diketik 2 spasi di kertas putih ukuran A4 menggunakan program MS-Word dalam 2 spasi , margin 4 cm (kiri)-3 cm (atas)-3 cm (bawah) dan 3 cm (kanan), kertas A4, font 12-times new roman, jumlah naskah maksimal 15 halaman dan dikirim rangkap 3 beserta soft copynya. a. Judul: Terdiri atas suatu ungkapan yang mencerminkan isi tulisan. Judul diikuti dengan nama penulis dan instansinya. b. Pendahuluan: Secara ringkas menguraikan pokok permasalahan akan kegiatan teknis yang mendukung atau terkait dengan litkayasa. c. Pokok Bahasan: Diuraikan secara jelas dan ringkas mengenai bahan dan tata cara kegiatan atau teknis yang mendukung atau terkait dengan penelitian. d. Kesimpulan/Penutup: Disajikan secara ringkas dengan mempertimbangkan judul naskah, maksud, tujuan, dan hasil kegiatan. e. Daftar Pustaka: Nama pengarang (dengan cara penulisan yang baku), tahun penerbitan, judul artikel, judul buku atau nama dan nomor jurnal, penerbit dan kotanya, serta jumlah atau nomor halaman. Sebagai contoh: Sunarno, M. T. D., A. Wibowo, & Subagja. 2007. Identifikasi tiga kelompok ikan belida (Chitala lopis) di Sungai Tulang Bawang, Kampar, dan Kapuas dengan pendekatan biometrik. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 13 (3): 1-14. Sadhotomo, B. 2006. Review of environmental features of the Java Sea. Indonesia Fisheries Resources Journal. 12 (2): 129-157. Defeo, O., T. R. Mc Clanahan, & J. C. Castilla. 2007. A brief history of fisheries management with emphasis on societal participatory roles. In McClanahan T. & J. C. Castilla (eds). Fisheries Management: Progress toward Sustainability. Blackwell Publishing. Singapore. p. 3-24. Utomo, A. D., M. T. D. Sunarno, & S. Adjie. 2005. Teknik peningkatan produksi perikanan perairan umum di rawa banjiran melalui penyediaan suaka perikanan. In Wiadnyana, N. N., E. S. Kartamihardja, D. I. Hartoto, A. Sarnita, & M. T. D. Sunarno (eds). Prosiding Forum Perairan Umum Indonesia Ke-1. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. p. 185-192. Publikasi yang tak diterbitkan tidak dapat digunakan, kecuali tesis, seperti contoh sebagai berikut: Simpson, B. K. 1984. Isolation, characterization, and some applications of trypsin from greenland cod (Gadus morhua). PhD Thesis. Memorial University of New Foundland. St. John’s. New Foundland. Canada. 179 pp. f. g. h.
Tabel: Hendaknya diberi judul yang singkat, jelas, diberi nomor urut, dan diketik menggunakan MS-Excel. Gambar/Grafik: Gambar atau grafik dibuat dengan garis cukup tebal, disertai dengan data digital menggunakan program MS-Excel. Gambar atau grafik diberi judul dan nomor urut. Foto: Dipilih warna kontras atau foto warna, diberi judul, dan nomor urut.
4. Penyampaian Naskah: Naskah dikirim rangkap 3 disertai disketnya, dialamatkan pada Redaksi Pelaksana Buletin Teknik Litkayasa Sumber Daya dan Penangkapan. Jl. Pasir Putih I, Jakarta 14430. Telp. (021) 64711940 (Hunting), Faks.: (021) 6402640, E-mail:
[email protected]