PROGRAM REFORMA AGRARIA DAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PETANI (Kasus : Desa Pamagersari, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor)
Oleh : ANDI ALFURQON I34052087
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Ringkasan ANDI ALFURQON. Program Reforma Agraria dan Kesejahteraan Petani (Kasus: Desa Pamagersari, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor), ENDRIATMO SOETARTO. Sejarah menunjukkan, berbagai permasalahan muncul terkait dengan penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria. Baik sebelum maupun sesudah masa kemerdekaan, masyarakat Indonesia dihadapkan pada berbagai persoalan yang terkait dengan ketidakadilan dalam mendapatkan hak atas penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria. Fakta ketidakadilan agraria seringkali dipicu oleh tidak tepatnya berbagai kebijakan politik pada setiap fase pemerintahan. Kebijakan politik yang tidak memberikan kelayakan akses bagi masyarakat untuk memiliki dan memanfaatkan sumber-sumber agraria. Sebagai dampak dari permasalahan tersebut, setiap tahun penguasaan tanah oleh petani semakin menurun. Jumlah petani gurem baik pemilik maupun penyewa semakin meningkat, begitu juga halnya dengan petani penyakap yang kesemuaannya dapat dikategorikan sebagai masyarakat miskin. Sementara itu, konsentrasi penguasaan sumber-sumber agraria oleh pihak tetentu begitu mencuat dan konflik agraria pun merupakan kenyataan yang sering kali terjadi di Indonesia. Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya perbaikan dalam bidang agraria. Lengsernya Orde Baru merupakan titik tolak perbaikan dan penataan ulang sistem perundang-undangan yang mengatur masalah agraria di Indonesia. Penataan kembali arah kebijakan politik agraria disadari bersama sebagai hal yang sangat penting untuk mewujudkan suatu keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat. Salah satu upaya perbaikan tersebut adalah dengan melaksanakan program reforma agraria sebagai salah satu agenda bangsa seperti yang termuat dalam UUPA 1960. Berbagai upaya perbaikan dalam bidang agraria memiliki suatu muara, yaitu tercapainya keadilan sosial demi kesejahteraan rakyat Indonesia. Saat ini program reforma agraria dan program-program penunjangnya telah/sedang diimplementasikan di beberapa wilayah di Indonesia, salah satunya adalah di Desa Pamagersari, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Program ini dilaksanakan pada pertengahan tahun 2007. Bentuk program reforma agraria yang dilaksanakan di Desa Pamagersari berupa pembagian sertifikat lahan eks-HGU PT. Perkebunan Jasinga. Sertifikat ini dibagikan kepada 864 warga Pamagersari dengan berbagai ketentuan dan proses yang telah disepakati bersama. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan jumlah responden dan informan sebanyak 23 orang, terdiri dari 21 orang termasuk dalam subjek program sertifikasi dan 2 orang tidak termasuk subjek program sertifikasi. Melalui pendekatan kualitatif peneliti berusaha menggambarkan proses pelaksanaan program reforma agraria di Indonesia, khususnya di Desa Pamagersari, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor. Selain itu, peneliti juga akan mengidentifikasi bentuk kegiatan reforma agraria yang diberikan kepada sasaran (petani), menganalisis hambatan-hambatan apa saja yang menghalangi proses peningkatan kapasitas petani melalui program reforma agraria. Berdasarkan data-data yang diperoleh melalui proses pengamatan dan wawancara mendalam, Peneliti berupaya melakukan pengkajian terhadap pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan oleh adanya program reforma agraria terhadap kehidupan subjek yang mendapatkan program. Salah satunya adalah
bagaimana subjek program dapat terdorong untuk berupaya meningkatkan kualitas hidupnya. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa setelah adanya program sertifikasi terbentuklah struktur kepemilikan lahan yang baru di Desa Pamagersari. Struktur agraria yang pada awalnya belum jelas menjadi lebih jelas dengan adanya pemberian sertifikat yang memiliki kekuatan hukum. Program ini mampu mewujudkan terbentuknya struktur kepemilikan lahan yang lebih merata dan adil. Akan tetapi, terdapat fakta yang mengindikasikan adanya ketimpangan dalam pemilikan lahan yang disebabkan karena ada pihak-pihak tertentu yang berupaya mengakumulasi kepemilikan lahan eks-HGU dengan cara membelinya, selain itu ada juga sasaran yang sengaja menjual lahannya dengan alasan kebutuhan ekonomi. Lahan eks-HGU yang diberikan kepada sasaran program di Desa Pamagersari dimanfaatkan dengan cara yang berbeda-beda. Akan tetapi sebagian besar dimanfaatkan sebagai lahan pertanian yang ditanami bermacam-macam tanaman. Program sertifikasi ini sangat membantu para petani yang menggarap lahan eks-HGU. Seluruh sasaran program merasa senang mendapatkan sertifikat, merekapun merasa leluasa menggarap lahannya dan tidak takut akan kehilangan lahannya. Berdasarkan hasil penelitian ini masih sulit dilihat adanya pengaruh yang signifikan bagi peningkatan kesejahteraan petani. Hal ini disebabkan masih singkatnya masa pelaksanaan program karena baru berlangsung selama dua tahun. Selain itu, ada faktor lain yang menyebabkan belum meningkatnya kesejahteraan petani setelah program Reforma Agaria, diantaranya adalah belum adanya pemberian access reform yang memadai untuk sasaran, kurang optimalnya pemanfaatan lahan oleh sasaran (kerena latar belang SDM yang rendah), kurang tepatnya pemilihan sasaran program, serta adanya beberapa penerima manfaat yang telah menjual lahan eks-HGU.
Abstract There are many agrarian’s problems have impeded processes of development in Indonesia. These problems are coused by unfairly agrarian structure. In this condition farmers always stood in subordinate position where they were defeated by capital power. Farmers did not get access to exploit agrarian resources easily, so they felt so hard to gain their prosperity. In other side, agrarian policy in Indonesia has been partial for private interestes only. There were two different condition, it was called as social gap. The solution to solve these problems is by supporting farmers rights to get agrarian access (ownership and utilization). Agrarian reform program is one way to supports farmer’s rights. The main aim of agrarian reform implementation is to create the social justice and people prosperity. One form of agrarian reform program is eksHGU area certification, this program is implemented by giving the land certificate to the farmers who have worked on eks-HGU area before this program. Certification program makes farmers happy, now they feel safe also to work on their land. This psychology condition is one modal to gain their prosperity in the future. Except certificate distribution, farmers need also the supporting program that called by access reform. Access reform needed to supports and helps farmers in exploting their lands. The examples of access reform are, giving production modal, technology, and training. Asset reform (certification) and access reform that gave to farmers can gain farmer’s capacity, this capacity can help them to get their prosperity. Keywords: agrarian problem, farmers, subordinate, agrarian reform, prosperity.
ROGRAM REFORMA AGRARIA DAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PETANI (Kasus : Desa Pamagersari, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor)
Oleh : ANDI ALFURQON I34052087
Skripsi Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang ditulis oleh : Nama
:
Andi Alfurqon
NRP
:
I34052087
Departemen
:
Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Judul
:
Program Reforma Agraria dan Peningkatan Kesejahteraan Petani
dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA 19521225 198603 1 002
Mengetahui, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS. NIP. 19580827 198303 1 001
Tanggal Pengesahan:
LEMBAR PERNYATAAN
DENGAN INI “PROGRAM
SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL REFORMA
AGRARIA
DAN
PENINGKATAN
KESEJAHTERAAN PETANI ” ADALAH BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI MANAPUN. SEMUA DATA DAN INFORMASI YANG DIGUNAKAN TELAH
DINYATAKAN
DENGAN
JELAS
DAN
DAPAT
DIPERIKSA
KEBENARANNYA.
Bogor, Agustus 2009
Andi Alfurqon I34052087
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Lampung pada tanggal 07 November 1984. Penulis adalah anak ke empat dari pasangan suami isteri Drs. H. Hidayat Zakaria (alm) dan Hj. Aspinah Kamsyari. Pada tingkat sekolah dasar penulis bersekolah di Kedondong
(sekarang
SDN
04),
Lampung
Selatan.
Kemudian
SDN 07 melanjutkan
pendidikannya di Madrasah Tsanawiyah Mathla’ul Anwar Kedondong, Pondok Pesantren Daar El-Qolam Tangerang, dan Madrasah Aliyah Mathla’ul Anwar Pusat Menes Pandeglang, Banten. Selanjutnya pada tahun 2005 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan menjadi mahasiswa pada Departemen
Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, IPB. Ketika diterima menjadi mahasiswa di Departemen SKPM pernah menjadi anggota Divisi Cinematografi HIMASIERA (Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat) periode 2007/2008. Selain itu penulis juga aktif mengikuti berbagai kepanitiaan selama berkuliah di IPB sejak tahun 2005 sampai tahun 2009. Penulis juga pernah mengikuti beberapa kegiatan perlombaan, seperti lomba MTQ tingkat mahasiswa IPB (juara II) dan lomba Pekan Kreativitas Mahasiswa Bidang Pengabdian Masyarakat (lolos seleksi tingkat IPB).
UCAPAN TERIMA KASIH
Bismillahirrohmaanirrohiim, Allahumma Sholli „alaa Sayyidinaa Muhammad
Segala puji hanya bagi Allah SWT, sholawat dan salam semoga tercurah bagi Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, serta umatnya yang setia. Atas segala taufik dan hidayah Allah SWT akhirnya penulis dapat menyelesaikan proses penyusunan skripsi yang berjudul “Program Reforma Agraria dan Peningkatan Kesejahteraan Petani”. Dalam skripsi ini penulis mencoba memaparkan berbagai fakta sosial terkait dengan pelaksanaan program reforma agraria, terbentuknya struktur kepemilikan lahan, serta berupaya menganalisis pengaruh pelaksanaan program bagi peningkatan kesejahteraan petani. Penghargaan serta ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, baik moral maupun materi sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Orang tua tercinta, yaitu Bapak Drs. H. Hidayat Zakaria (alm) dan Ibu Hj. Aspinah. Terimakasih atas nasehat, dukungan, dan do’a nya. Perjuangan yang Abah dan Ibu berikan sangat berarti, semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat-Nya untuk kita semua. 2. Bapak Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA. Selaku dosen pembimbing
Studi
Pustaka dan Pembimbing Skripsi yang telah memberikan dukungan, bimbingan, dan arahan dengan penuh kesabaran.
3. Kaka-kaka ku tercinta, Ka’ Mumu, Teh Iha, dan Teh Leli. Terima kasih untuk bantuan, semangat, dan do’anya. Begitu juga untuk keluarga besar di Lampung. 4. Sahabat-sahabat ku KPM 42: Oel, Avira, Reni, Aida, Rofian, Furqon, Yayan, Reza, Janu, Cuple, Tubagus, Liza, Hesti, Khoerini, dan Indah. Terimakasih dukungan, kritik, dan sarannya, semoga persahabatan kita tetap terjalin. 5. Egi Massardy, teman senasib dan seperjuangan dalam penyusunan Studi Pustaka dan skripsi, yang selalu memberikan semangat, dukungan, dan masukannya. 6. Teman-teman SKPM 42 yang tidak bisa disebutkan satu-persatu, salam kompak selalu. 7. Teman-teman kost: Akri, Wolfy, Ardy, dan Zai. Terima kasih atas bantuannya. 8. Pak H. Iwan, Pak Lurah Nur, Kang Sholeh, serta masyarakat
Desa
Pamagersari. Atas bantuan dan informasi yang diberikan ketika penelitian. Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih ditemukan banyak kekurangan dan masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis menerima segala kritik dan saran yang bersifat membangun. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Bogor, Agustus 2009
Penulis
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya bagi Allah SWT., atas berkat rahmat dan hidayah-Nya lah penulis
dapat
menyelesaikan
skripsi
ini.
Skripsi
yang
berjudul
“Program Reforma Agraria dan Kesejahteraan Petani” ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada
Departemen
Sains
Komunikasi
dan
Pengembangan
Masyarakat,
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Sekripsi ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan di Desa Pamagersari, Kecamatan jasinga, Kabupaten Bogor. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA. sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan dukungan, bimbingan, dan arahan dengan penuh kesabaran. Selain itu, penulis juga mengucapakan terimaksih kepada Bapak Martua Sihaloho, SP., MSi. selaku dosen penguji utama, kepada selaku dosen penguji wakil Pengembangan Masyarakat, dan kepada
Ibu Heru Purwandari, SP., MSi. Departeman Sains Komunikasi dan pihak-pihak yang telah memberikan
dukungan baik moril maupun materil. Akhirnya, penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat dan berguna dalam penelitian di masa yang akan datang. Semoga Allah SWT. senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya pada kita semua. Amin.
Bogor, Agustus 2009 Penulis
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ........................................................................................... i DAFTAR GAMBAR……………………………………………………..iv DAFTAR TABEL .................................................................................. v
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1 1.2 Perumusan Masalah ......................................................................... 4 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................. 5 1.4 Kegunaan Penelitian ........................................................................ 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Reforma Agraria dan Tingkat Kesejahteraan Petani ..................... 7 2.1.1 Konsep Agraria (Obyek dan Subyek Agraria Serta Hubungan Teknis dan Sosio-Agraria) ...................................................... 7 2.1.2 Struktur Agraria ..................................................................... 9 2.1.3 Reforma Agraria ................................................................... 11 2.1.4 Objek Reforma Agraria ......................................................... 13 2.1.5 Sasaran/Subjek Reforma Agraria ........................................... 14 2.1.6 Pengembangan Kapasitas Subyek Reforma Agraria ............... 15 2.2 Tingkat Kesejahteraan .................................................................. 16 2.3 Kerangka Pemikiran Konseptual .................................................. 21 2.4 Hipotesis Penelitian ........................................................................ 23 2.5 Definisi Konseptual ........................................................................ 24
BAB III PENDEKATAN LAPANG 3.1 Metode Penelitian ........................................................................... 25 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian......................................................... 26 3.3 Penentuan Subjek Penelitian ......................................................... 27 3.4 Metode Pengumpulan Data ........................................................... 29
3.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data .......................................... 30 3.6 Organisasi Penulisan ...................................................................... 31
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI 4.1 Letak Geografis Desa ..................................................................... 32 4.2 Demografi Desa .............................................................................. 34 4.2.1 Jumlah Penduduk ................................................................... 34 4.2.2 Angkatan Kerja dan Tingkat Pendidikan ................................ 34 4.3 Mata Pencaharaian penduduk....................................................... 35 4.4 Struktur Agraria Lokal ................................................................. 37 4.5 Kelembagaan .................................................................................. 38 4.6 Saran dan Prasarana ..................................................................... 39
BAB V PROSES IMPLEMENTASI PROGRAM REFORMA AGRARIA 5.1 Latar Belakang Lokasi Reforma Agraria .................................... 41 5.1.1 Sejarah Lahan Eks-HGU Jasinga ............................................ 41 5.1.2 Perjuangan Masyarakat Pamagersari ..................................... 44 5.2 Pelaksanaan Reforma Agraria di Pamagersari ............................ 48 5.2.1 Musyawarah Pembagian Lahan .............................................. 51 5.2.2 Access Reform....................................................................... 52
BAB VI PERUBAHAN STRUKTUR KEPEMILIKAN LAHAN 6.1 Struktur Kepemilikan
Lahan sebelum Program
Reforma
Agraria............................................................................................ 54 6.2 Struktur Kepemilikan Lahan Setelah Sertifikasi ........................ 56 6.2.1 Indikasi Ketimpangan dalam Kepemilkan Lahan ................... 57
BAB VII PROGRAM REFORMA AGRARIA DAN NINGKATAN KESEJAHTERAAN PETANI 7.1 Tanggapan Warga Terhadap Program Sertifikasi ....................... 62 7.2 Pemanfaatan Lahan Eks-HGU Jasinga ........................................ 64 7.2.1 Membangun Pemukiman ........................................................ 64
7.2.2 Areal Pertanian (berkebun, berladang, dan sawah) ................. 65 7.2.3 Sarana Umum ........................................................................ 69 7.3 Program Reforma Agraria dan Peningkatan Kesejahteraan Petani .............................................................................................. 69
BAB VIII PENUTUP 8.1 Kesimpulan .................................................................................... 76 8.2 Saran ............................................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 79 LAMPIRAN ......................................................................................... 82 1. Jadwal Penelitian ............................................................................. 82 Tabel 18: Jadwal Penelitian ............................................................... 82 2. Dokumentasi ..................................................................................... 83 Photo 1. Kantor Desa Pamagersari ..................................................... 83 Photo 2: Tugu Jasinga ........................................................................ 83 Photo 3: Salah Satu Warga Penerima Sertifikat .................................. 83 Photo 4: Keakraban Bersama Warga .................................................. 83 Photo 5: Lahan eks-HGU yang Dijadikan Ladang .............................. 83 Photo 6: Lahan eks-HGU yang Dijadikan Kebun Sengon................... 83 Photo 7: Pemukiman
dan
Mushola
yang
Berdiri di atas
Lahan Eks-HGU.................................................................. 84 Photo 8: Lahan Eks-HGU yang Dijadikan Sawah .............................. 84 Photo 9: Peta Desa Pamagersari ......................................................... 84 3. Panduan Wawancara ....................................................................... 85
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
Gambar 1. Lingkup Hubungan-hubungan Agraria .................................... 9 Gambar 2. Kerangka Pemikiran Konseptual ........................................... 21 Gambar 3. Bagan Pergerakan Paguyuban Kepala Desa se-Kecamatan Jasinga .................................................................................. 48 Gambar 4. Sertifikat lahan...................................................................... 50 Gambar 5. Pemukiman Citeureup ........................................................... 64 Gambar 6. Sawah CH (53 tahun) yang berbatasan dengan Blok Ancol .. 67 Gambar 7. Pohon Sengon yang ditanam di atas lahan eks-HGU yang telah disertifikasi .................................................................. 68
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
Tabel 1: Ciri atau Karakteristik Responden dan Informan ...................... 28 Tebel 2: Batas Wilayah Desa Pamagersari ............................................. 33 Tabel 3: Luas Wilayah Desa Berdasarkan Penggunaanya ....................... 33 Tabel 4: Laporan Bulanan Penduduk Desa Pamagersari ......................... 34 Tabel 5: Angkatan Kerja ........................................................................ 34 Tabel 6: Kualitas Angkatan Kerja .......................................................... 35 Tabel 7: Subsektor Pertanian Tanaman Pangan ...................................... 35 Tabel 8: Subsektor Perkebunan/Perladangan .......................................... 35 Tabel 9: Subsektor Peternakan ............................................................... 36 Tabel 10: Subsektor Perikanan/Nelayan ................................................. 36 Tabel 11: Subsektor Industri Kecil/Kerajinan ......................................... 36 Tabel 12: Sektor Jasa/Perdagangan ........................................................ 36 Tabel 13: Struktur Pemilikan Tanah ....................................................... 37 Tabel 14: Access Reform ........................................................................ 52 Tabel 15 :Ketentuan-ketentuan Penentuan Subjek Reforma Agraria yang Telah Dilakukan . …………………………………………60 Tabel 16: Pemanfaat Lahan eks-HGU .................................................... 66 Tabel 17: Pemanfaatan Lahan yang Ditanami Pohon Sengon ................. 68
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sejarah menunjukkan terdapat berbagai permasalahan muncul terkait dengan penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria. Baik sebelum maupun sesudah masa kemerdekaan, masyarakat Indonesia dihadapkan pada berbagai persoalan yang terkait dengan ketidakadilan dalam mendapatkan hak atas penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria. Fakta ketidakadilan agraria seringkali dipicu oleh berbagai kebijakan politik pada setiap fase pemerintahan. Kebijakan politik yang tidak memberikan kelayakan akses bagi masyarakat untuk memiliki dan memanfaatkan sumber-sumber agraria. Berbagai permasalahan yang terdapat dalam bidang agraria, baik bidang pertanahan, perkebunan, kehutanan, serta perairan berakar pada kurang tepatnya arah kebijakan politik agraria di Indonesia. Sebagai suatu upaya perbaikan dalam bidang agraria, pemerintahan Soekarno telah menerapkan kebijakan politik agraria yang didasarkan pada paradigma populis. Pada saat itu inti dari arah kebijakan agraria adalah tanah untuk rakyat yang melahirkan
Undang-Undang Pokok
Agraria Tahun (UUPA) 1960 yang sampai saat ini dijadikan sebagai payung hukum kebijakan agraria di Indonesia. Kebijkan agraria ini juga diikuti oleh program land reform pada kisaran tahun 1963-1965, yang memberikan harapan baru bagi rakyat kecil yang sebagian besar petani. Akan tetapi, pergolakan politik di Indonesia pada saat itu begitu hebat yang menyebabkan Soekarno turun dari kursi kepresidenan dan digantikan oleh Soeharto (Orde Baru). Seiring dengan hal tersebut, berbagai program perbaikan dalam bidang
agrariapun belum dapat terimplementasi secara nyata. Pada masa pemerintahan Soeharto kebijakan politik agraria lebih mengarah pada paradigma tanah untuk negara dan swasta, dengan alasan untuk mempercepat pembangunan nasional sebagian besar aset-aset agraria dikuasai oleh negara untuk kepentingan perusahaan swasta. Masyarakat kecil sangat sulit mendapatkan akses yang layak untuk memiliki dan memanfaatkan sumber-sumber agraria untuk memenuhi kebutuhan mereka, terutama akses kepemilikan dan pemanfaatan lahan pertanian (tanah). Setiap tahun penguasaan tanah oleh petani semakin menurun, jumlah petani gurem baik pemilik maupun penyewa semakin meningkat, begitu juga halnya dengan petani penyakap yang semuanya dapat dikategorikan sebagai masyarakat miskin. Sementara itu konsentrasi penguasaan sumber-sumber agraria oleh segelintir orang saja begitu mencuat, karena didukung oleh berbagai undang-undang sektoral baik pada bidang perkebunan, kehutanan, pertambangan, kelautan, dan sebagainya. Konflik agraria pun merupakan kenyataan yang kerapkali terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya perbaikan dalam bidang agraria. Lengsernya Orde Baru merupakan titik tolak perbaikan dan penataan ulang sistem perundang-undangan yang mengatur masalah agraria di Indonesia. Penataan kembali arah kebijakan politik agraria disadari bersama sebagai hal yang sangat penting untuk mewujudkan suatu keadilan sosial
dan mencapai kesejahteraan masyarakat.
Salah satu upaya perbaikan tersebut adalah dengan mencuatkan kembali pentingnya pelaksanaan reforma agraria sebagai salah satu agenda bangsa seperti yang termuat dalam UUPA 1960. Upaya perbaikan ini juga terlihat dengan adanya TAP MPR No. IX/2001 dan Tap MPR No. V/2003, inti dari dua ketetapan ini adalah pentingnya pelaksanaan
reforma agraria demi keadilan dan kesejahteraan sosial.
Program reforma agraria dalam agenda pemerintahan SBY-JK merupakan bagian dari program Perbaikan dan Penciptaan Kesempatan Kerja dan Revitalisasi Pertanian dan Pedesaan (Setiawan, 2009). Presiden RI
DR. H. Susilo
Bambang Yudhoyono telah menyampaikan pidato politiknya terkait dengan masalah agraria di Indonesia. Pidato politik ini disampaikan pada awal tahun 2007, salah satu penggalan pidato tersebut adalah: “Program reforma agraria…secara bertahap…akan dilaksanakan mulai tahun 2007 ini. Langkah itu dilakukan dengan mengalokasikan tanah bagi rakyat termiskin yang berasal dari hutan konversi dan tanah lain yang menurut hukum pertanahan kita boleh diperuntukkan bagi kepentingan rakyat. Inilah yang saya sebut sebagai prinsip tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat…[yang] saya anggap mutlak untuk dilakukan”.
Berbagai upaya perbaikan dalam bidang agraria memiliki suatu muara, yaitu tercapainya keadilan sosial demi kesejahteraan rakyat Indonesia. Saat ini program reforma agraria dan program
penunjangnya telah/sedang diimplementasikan di
beberapa wilayah di Indonesia, salah satunya di Desa Pamagersari Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Program ini dilaksanakan pada pertengahan tahun 2007. Secara rasional program reforma agraria dan program penunjangnya akan memberikan pengaruh bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat (petani) yang mendapatkannya. Ketika suatu masyarakat diberikan bantuan berupa aset dan akses produksi, sewajarnya bantuan tersebut mampu memberikan dorongan bagi upaya peningkatan taraf hidupnya. Akan tetapi, perlu dikaji lebih lanjut mengenai proses implementasi program reforma agraria tersebut. Begitu juga halnya dengan pelaksanaan program sertifikasi lahan eks-HGU di Desa Pamagersari, Kecamatan Jasinga. Perlu dilakukan penelitian sebagai upaya pengkajian lebih lanjut mengenai fakta-fakta sosial yang berhubungan dengan program sertifikasi lahan tersebut. Bagiamanakah sebenarnya proses implementasi program
reforma agraria tersebut di Desa Pamagersari? Selain itu,
perubahan struktur
kepemilikan lahan juga merupakan hal yang perlu dikaji lebih dalam, apakah setelah dilaksanakan program reforma agraria struktur kepemilikan lahan menjadi lebih merata dan adil, atau bahkan ada fakta-fakta lain yang dapat mengindikasikan kondisi sebaliknya? Mengingat program reforma agraria erat kaitannya dengan tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat, maka perlu dianalisis lebih lanjut apakah program serifikasi lahan eks-HGU PT. Perkebunan Jasinga dapat memberikan dorongan yang berarti terhadap upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.
1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, terdapat beberapa permasalahan utama yang akan dikaji dalam penelitian ini, antara lain sebagai berikut : 1. Bagaimanakah proses implementasi program reforma agraria di
Desa
Pamagersari setelah diperoleh informasi adanya pihak tertentu yang berupaya mengutamakan kepentingan pribadinya? 2. Bagaimanakah perubahan struktur kepemilikan lahan eks-HGU
PT.
Perkebunan Jasinga setelah diketahui adanya upaya jual-beli lahan pasca program sertifikasi? 3. Sejauhmanakah pelaksanaan reforma agraria dapat mendorong peningkatan kesejahteraan petani di Desa Pamagersari?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan-permasalahan pokok yang terdapat dalam penelitian ini, maka ada beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Menjelaskan proses implementasi program reforma agraria di Desa Pamagersari setelah diperoleh informasi adanya pihak tertentu yang berupaya mengutamakan kepentingan pribadinya. 2. Menganalisis perubahan struktur kepemilikan lahan eks-HGU
PT.
Perkebunan Jasinga setelah diketahui adanya upaya jual-beli lahan pasca program sertifikasi. 3. Mengidentifikasi tingkat kesejahteraan petani setelah dilaksanakannya program reforma agraria di Desa Pamagersari.
1.4 Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan peneliti dalam menerapkan berbagai konsep, khususnya yang berkaitan dengan reforma agraria. Selain untuk peneliti, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat berguna bagi berbagai kalangan diantaranya: 1. Akademisi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumber data, informasi, atau literatur bagi kegiatan-kegiatan penelitian maupun penulisan ilmiah selanjutnya yang terkait dengan pelaksanaan reforma agraria. 2. Masyarakat. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan pengaruh positif bagi masyarakat penerima manfaat program, salah satunya adalah motivasi untuk memanfaatkan lahan seoptimal mungkin sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
3. Pemerintah. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai rujukan untuk kegiatan evaluasi program reforma agraria yang telah atau sedang dilaksanakan oleh pemerintah di Indonesia. Sehingga dapat dilakukan upaya perbaikan terhadap kebijakan-kebijakan agraria yang dikeluarkan baik secara substansial maupun pelaksanaan di lapangan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Reforma Agraria dan Tingkat Kesejahteraan Petani Berbagai permasalahan yang muncul dalam bidang agraria merupakan hambatan serius bagi proses pembangunan bangsa. Arah kebijakan politik yang tidak memihak pada kepentingan masyarakat
luas merupakan penyebab timbulnya berbagai
permasalahan dalam bidang agraria. Upaya-upaya perbaikan yang dilakukan sepanjang sejarah pembangunan bangsa memiliki suatu muara, yaitu tercapainya keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat. Reforma agraria merupakan agenda bangsa yang diharapakan dapat memberikan titik terang bagi terwujudnya keadilan sosial dan tercapainya kesejahteraan masyarakat. Reforma agraria dengan berbagai program pelengkapnya diharapkan dapat membantu masyarakat miskin (sebagian besar petani) untuk dapat beranjak dari keterpurukan ekonomi menuju kehidupan yang layak dan mandiri. Terdapat berbagai konsep yang menjelaskan makna dari kata agraria dan
reforma agraria itu sendiri, hal ini perlu
dipahami sebagi sebuah landasan teoritis dari penelitian ini.
2.1.1 Konsep Agraria (Objek dan Subjek Agraria Serta Hubungan Teknis dan Sosio-Agraria) Istilah agraria berasal dari bahasa latin “aeger” yang artinya: a) lapangan;
b)
pedusunan (lawan dari perkotaan); c) wilayah: tanah negara (lihat Kamus Bahasa LatinIndonesia karangan Prent, dkk., 1969; juga World Book Dictionary, 1982). Saudara
kembar dari istilah itu adalah “agger”, artinya: a) tanggul penahan/pelindung; b) pematang; c) tanggul sungai; d) jalan tambak; e) reruntuhan tanah; f) bukit. 1 Berdasarkan konsep-konsep di atas, tampak bahwa yang dicakup oleh istilah agraria bukanlah sekedar tanah atau pertanian saja. Kata-kata pedusunan, bukit, dan wilayah jelas menunjukkan arti yang lebih luas karena di dalamnya tercakup segala sesuatu yang terwadahi olehnya. Wilayah pedusunan memiliki berbagai macam tumbuhan, air, sungai, mungkin juga tambang, perumahan, dan masyarakat manusia. 2 Menurut Sitorus (2002) konsep agraria juga merujuk pada berbagai hubungan antara manusia dengan sumber-sumber agraria serta hubungan antar manusia dalam rangka penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber graria. Subjek agraria merujuk pada orang, sekelompok orang, atau pihak-pihak yang memiliki kepentingan dalam mengakses dan atau memanfaatkan
sumber-
sumber agraria. Secara kategoris subjek agraria dibedakan menjadi tiga yaitu komunitas (sebagai kesatuan dari unit-unit rumah tangga), pemerintah (sebagai representasi negara), dan swasta (private sector) (Sitorus, 2002). Ketiga subjek agraria tersebut memiliki ikatan dengan sumber-sumber agraria melalui institusi penguasaan/pemilikan (tenure institution). Hubungan di antara subjek agraria
akan menimbulkan
kepentingan yang berbeda, hal ini berkaitan dengan perbedaan dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria tersebut. Bentuk dari hubungan ini adalah hubungan sosial atau hubungan sosio-agraria yang berpangkal pada akses pemilikan dan pemanfaatan sumber agraria.
1 2
Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi ( 2001) dalam Sitorus (2002). Ibid. 8
Komunitas
Sumber agraria
Pemerintah
Swasta
Gambar.1 Lingkup Hubungan-hubungan Agraria (Sumber : Sitorus 2002) Keterangan: Hubungan teknis Agraria Hubungan Sosio Agraria
Hubungan atau interaksi yang terjadi di antara subjek-subjek agraria baik pemerintah, swasta, dan masyarakat telah membentuk suatu dinamika sosial. Dampak hubungan antar subjek agraria tersebut pada kenyataannya sering kali menimbulkan permasalahan sosial, hal ini dikarenakan satu pihak mendominasi dan pihak lain terdominasi yang berujung pada munculnya ketidakadilan bagi subjek yang terdominasi. Untuk memperbaiki hubungan-hubungan sosio-agraria tersebut maka dicuatkan suatu program reforma agraria sebagi sebuah agenda bangsa untuk keadilan dan kemakmuran rakyat.
2.1.2 Struktur Agraria Struktur agraria yaitu 3 suatu fakta yang menunjuk kepada fakta kehadiran minoritas golongan atau lapisan sosial yang menguasai lahan yang luas di satu pihak
3
Dikutip dari pengantar penerbit pada buku Sosiologi Agraria oleh Sediono M.P. Tjondronegoro, penyunting M.T. Felix Sitorus & Gunawan Wiradi, AKATIGA, Bandung 1999.
dan mayoritas golongan yang menguasai hanya sedikit atau bahkan tanpa tanah sama sekali di lain pihak. Struktur agraria dapat mempengaruhi munculnya hubungan sosial agraris yang berbeda antara satu tipe struktur agraria dengan tipe struktur agraria lain. Ada tiga macam struktur agraria yaitu: 1.
Tipe
Kapitalis:
sumber-sumber
agraria
dikuasai
oleh
non-penggarap
(swasta/perusahaan) 2.
Tipe Sosialis : sumber-sumber agraria dikuasai oleh negara/kelompok pekerja
3.
Tipe Populis/Neo-Populis: sumber-sumber agraria dikuasai oleh keluarga/ rumah tangga penguna. (Wiradi 1998, dalam Sitorus 2002). Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi pembangunan. Hampir
semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan seperti sektor pertanian, kehutanan, perumahan, industri, pertambangan, dan transportasi. Semakin hari kebutuhan akan lahan semakin meningkat, sementara itu ketersediaan akan lahan tidak pernah bertambah. Hal ini mengakibatkan banyak sekali terjadi benturan kepentingan antar pihak karena setiap pihak mempunyai kepentingannya
masing-masing dalam
pemanfaatan lahan. Berbagai masalah yang ditimbulkan oleh perbedaan kepentingan tersebut diantaranya adalah (Utomo, dkk. 1992) : 1. Tumpang tindih dalam peruntukan lahan; 2. Perubahan penggunaan lahan yang tidak terkendali; 3. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan potensi atau kemampuan tanahnya;
4. Penggunaan lahan yang tidak efisien atau tidak sesuai dengan fungsinya sehingga menimbulkan berbagai dampak negatif seperti kerusakan tanah, kemerosotan produktivitas, tanah longsor, dan banjir.
2.1.3 Reforma Agraria Menurut Badan Petanahan Nasional RI (2007) makna reforma agraria adalah restrukturisasi penggunaan, pemanfaatan, penguasaan, dan pemilikan
sumber-
sumber agraria, terutama tanah yang mampu menjamin keadilan dan keberlanjutan peningkatan kesejahteraan rakyat. Apabila makna ini didekomposisikan, terdapat lima komponen mendasar di dalamnya, yaitu: 1. Restrukturisasi penguasaan aset tanah ke arah penciptaan struktur sosial-ekonomi dan politik yang lebih berkeadilan (equity); 2. Sumber peningkatan kesejahteraan yang berbasis keagrariaan (welfare); 3. Penggunaan atau pemanfaatan tanah dan faktor-faktor produksi lainnya secara optimal (efficiency); 4. Keberlanjutan (sustainability); dan 5. Penyelesaian sengketa tanah (harmony). Berdasarkan makna reforma agraria di atas, maka dapat dirumuskan tujuan reforma agraria sebagai berikut: 1. Menata kembali ketimpangan struktur penguasaan dan penggunaan tanah ke arah yang lebih adil; 2. Mengurangi kemiskinan; 3. Menciptakan lapangan kerja; 4. Memperbaiki akses rakyat kepada sumber-sumber ekonomi, terutama tanah;
5. Mengurangi sengketa dan konflik pertanahan; 6. Memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup; dan 7. Meningkatkan ketahanan pangan. Sementara itu Soetarto dan Shohibuddin (2006) mengemukakan bahwa inti dari reforma agraria adalah upaya politik sistematis untuk melakukan perubahan struktur penguasaan tanah dan perbaikan jaminan kepastian penguasaan tanah bagi rakyat yang memanfaatkan tanah dan kekayaan alam yang menyertainya, dan yang diikuti pula oleh perbaikan sistem produksi melalui penyediaan fasilitas teknis dan kredit pertanian, perbaikan metode bertani, hingga infrastruktur sosial lainnya. Pada tataran implementasi, istilah land reform sering dipandang sama dengan agrarian reform, sementara itu Mocodompis (2006) mengatakan bahwa land reform hanyalah bagian dari agrarian reform, jadi agrarian reform tidak sebatas redistribusi tanah, tetapi sesuatu yang lebih besar lagi namun tidak bisa dijalankan tanpa adanya land reform. Hal ini serupa dengan apa yang diutarakan oleh
Cohen (1987)
seperti dikutip Syahyuti (2004), bahwa reforma agraria memiliki pengertian yang lebih luas yang mencakup dua tujuan pokok, yaitu bagaimana mencapai produksi yang lebih tinggi, dan bagaimana agar lebih dicapai keadilan. Syahyuti (2004) mengutarakan bahwa dalam konteks reforma agraria, peningkatan produksi tidak akan mampu dicapai secara optimal apabila tidak didahului oleh land reform. Sementara, keadilan juga tidak mungkin dapat dicapai tanpa land reform. Jadi, land reform tetaplah menjadi langkah dasar yang menjadi basis pembangunan pertanian dan pedesaan. reforma agraria mencakup permasalahan redistribusi tanah, peningkatan produksi dan produktifitas, pengembangan kredit untuk pertanian, pajak lahan, hubungan penyakapan dan regulasi baru sistem pengupahan
buruh tani, dan konsolidasi tanah. Dengan kata lain, ada dua reforma yang harus dilakukan dalam reforma agraria, yaitu
land tenure reform (hubungan
pemilik dan penyakap) dan land operation reform (perubahan luas penguasaan, pola budidaya, hukum penguasaan, dan lain-lain). Adapun tujuan dari land reform menurut Michael Lipton dalam Mocodompis (2006) adalah: 1. Menciptakan pemerataan hak atas tanah di antara para pemilik tanah. Ini dilakukan melalui usaha yang intensif yaitu dengan redistribusi tanah, untuk mengurangi perbedaan pendapatan antara petani besar dan kecil sebagai usaha memperbaiki persamaan diantara petani secara menyeluruh. 2. Untuk meningkatkan dan memperbaiki daya guna penggunaan lahan, dengan ketersediaan lahan yang dimilikinya sendiri maka petani akan berupaya meningkatkan produktivitasnya terhadap lahan yang diperuntukkan untuk pertanian tersebut. Hal ini secara langsung akan mengurangi jumlah petani penggarap yang hanya mengandalkan sistem bagi hasil yang cenderung merugikan para petani. Apabila dicermati tujuan reforma agraria di atas bermuara pada peningkatan kesejahteraan rakyat dan penyelesaian berbagai permasalahan agraria.
2.1.4 Objek Reforma Agraria4 Tanah merupakan komponen dasar dalam reforma agraria, karenanya kegiatan penyediaan tanah merupakan langkah strategis bagi keberhasilan
reforma agraria.
Oleh karena itu tanah harus disediakan dalam luasan yang memadai dan kualitas yang baik, serta harus disesuaikan dengan sebaran masyarakat yang akan dipilih sebagai subjek program .
4
Badan Pertanahan Nasional RI (2007)
Berkenaan dengan penetapan objek reforma agraria, maka pada dasarnya tanah yang ditetapkan sebagai objek reforma agraria adalah tanah-tanah negara dari berbagai sumber yang menurut peraturan perundang-undangan dapat dijadikan sebagai objek reforma agraria. Sesuai dengan tahapan perencanaan luas tanah yang dibutuhkan untuk menunjang reforma agraria, maka luas kebutuhan tanah objek reforma agraria di Indonesia dalam kurun waktu 2007-2014 adalah seluas 9,25 juta hektar.
2.1.5 Sasaran/Subjek Reforma Agraria Sesuai dengan tujuan reforma agraria yang telah ditetapkan, maka subjek reforma agraria pada dasarnya adalah penduduk miskin di pedesaan baik petani, nelayan maupun non-petani/nelayan. Penduduk miskin dalam kategori ini dapat dimulai dari yang di dalam lokasi ataupun yang terdekat dengan lokasi, dan dibuka kemungkinan untuk melibatkan kaum miskin dari daerah lain (pedesaan dan perkotaan).5 Mekanisme penentuan subjek reforma agraria harus dilakukan dengan sebaikbaiknya, hal ini untuk memastikan bahwa subjek reforma agraria memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan. Penentuan subjek didasarkan hasil identifikasi subjek secara teliti, partisipatif, dan dapat dipertanggungjawabkan serta memenuhi kriteria yang ditetapkan.
Proses
penentuan
subjek
reforma
agraria
ini
ketentuan-ketentuan yang berlaku sebagai berikut (BPN, 2007): a. Berazaskan keadilan
5
Ibid.13
perlu
memperhatikan
b. Tidak bersifat diskriminatif baik berdasarkan gender, suku, ras, agama, golongan, dan lain-lain. c. Penentuannya melibatkan partisipasi civil society. d. Diselenggarakan mekanisme musyawarah/kesepakatan masyarakat. e. Diidentifikasi atau diusulkan oleh unit administrasi terkecil/terdekat. f. Memperhatikan aspek ketepatan dan efektivitas sasaran, sebagai contoh adalah efektivitas faktor usia, jenis usaha, jenis pekerjaan, dan sebagainya.
2.1.6 Pengembangan Kapasitas Subjek Reforma Agraria Pengembangan kapasitas masyarakat (capacity building) merupakan suatu pendekatan pembangunan yang berbasis kepada kekuatan-kekuatan dari bawah secara nyata. Kekuatan-kekuatan itu adalah kekuatan sumber daya alam, sumber daya ekonomi dan sumber daya manusia sehingga menjadi suatu local capacity (Maskun seperti dikutip oleh Aly, 2005). Eade dalam Aly (2005) mengemukakan bahwa pengembangan kapasitas merupakan suatu pendekatan pembangunan dimana semua orang memiliki hak yang sama terhadap sumber daya dan menjadi perencana pembangunan bagi diri mereka. Program reforma agraria yang dicanangkan pemerintah merupakan suatu program yang terdiri dari kegiatan-kegiatan pengembangan kapasitas subjek reforma agraria (masyarakat miskin). Pengembangan kapasitas dapat dilakukan dalam bentuk pemberian akses terhadap sumber-sumber agraria, pembinaan kelembagaan ekonomi (produksi dan distribusi), maupun pengembangan sumber daya manusia (pelatihan dan penyuluhan). Pengembangan kapasitas petani miskin merupakan suatu proses penguatan petani agar mereka dapat mengenali masalah-masalah yang dihadapinya dan secara
mandiri dapat meneyelesaikan masalahnya sendiri. Ismawan dalam Aly (2005) menyatakan kemandirian adalah suatu sikap yang mengutamakan kemampuan diri sendiri dalam mengatasi berbagai masalah demi mencapai suatu tujuan, tanpa menutup diri terhadap berbagai kemungkinan kerja sama yang saling menguntungkan. Berdasarkan
penjelasan di atas, pengembangan kapasitas dapat diartikan
sebagai upaya meningkatkan kemampuan masyarakat untuk dapat mengatasi keterbatasan yang membatasi kesempatan hidup mereka, sehinga memperoleh hak yang sama tehadap sumber daya dan menjadi perencana pembangunan bagi diri mereka. Melalui pengembangan kapasitas, masyarakat akan lebih berdaya dan mandiri dalam meningkatkan kualitas hidupnya.
2.2 Tingkat Kesejahteraan Tingkat kesejahteraan merupakan konsep yang digunakan untuk menyatakan kualitas hidup suatu masyarakat atau individu di suatu wilayah pada kurun waktu tertentu. Konsep kesejahteraan atau rasa sejahtera yang dimiliki bersifat relatif, tergantung bagaimana penilaian masing-masing individu terhadap kesejahteraan itu sendiri. Sejahtera bagi seseorang dengan tingkat pendapatan tertentu belum dapat juga dikatakan sejahtera bagi orang lain. Suharto (2006) mengartikan kesejahteraan sebagai kondisi sejahtera
(well-
being). Pengertian ini biasanya merujuk pada istilah kesejahteraan sosial (social welfare) sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan non-material. Midgley, et al (2000: xi) seperti dikutip oleh Suharto (2006) mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagai “…a condition or state of human well-being.” Kondisi sejahtera terjadi manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi,
kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan dapat dipenuhi; serta manakala manusia memperoleh perlindungan dari resiko-resiko utama yang mengancam kehidupannya. Menurut Sadiwak seperti dikutip oleh Munir (2008) kesejahteraan merupakan sejumlah kepuasan yang diperoleh seseorang dari hasil mengkonsumsi pendapatan yang diterima, namun tingkatan kesejahteraan itu sendiri merupakan sesuatu yang bersifat relatif karena tergantung dari besarnya kepuasan yang diperoleh dari hasil mengkonsumsi pendapatan tersebut. Konsumsi itu sendiri pada hakekatnya bukan hanya sesuatu yang mengeluarkan biaya, karena dalam beberapa hal konsumsipun dapat dilakukan tanpa menimbulkan biaya bagi konsumennya. Menurut Agusniar (2006) masyarakat yang sejahtera mengandung arti bahwa setiap angota masyarakat dapat memperoleh kebahagiaan, tetapi kesejahteraan salah satu individu belum menjamin adanya kesejahteraan seluruh masyarakat. Usaha mensejahterakan masyarakat berarti usaha untuk menjadikan semua anggota masyarakat dapat hidup bahagia (Su’ud dalam Agusniar, 2006). Menurut Su’ud seperti dikutip Agusniar (2006) terdapat dua hal penting mengenai kesejahteraan, yaitu: (1) Kesejahteraan
menuntut
adanya
kekayaan
yang
meningkat
yaitu
mengukur
kesejahteraan dengan keluaran fisik dan (2) Kesejahteraan tercapai bila ada distribusi pendapatan yang dirasa adil oleh masyarakat. Menetapkan kesejahteraan keluarga serta cara pengukurannya merupakan hal yang sulit untuk dirumuskan secara tuntas. Hal ni disebabkan permasalahan keluarga sejahtera bukan hanya menyangkut permasalahan perbidang saja, tetapi menyangkut berbagai bidang kehidupan yang sangat kompleks. Untuk itu diperlukan pengetahuan di berbagai bidang disiplin ilmu di samping melakukan penelitian atau melalui
pengamatan empirik berbagai kasus untuk dapat menemukan indikator keluarga sejahtera yang berlaku secara umum dan spesifik (Badan Pusat Statistik tahun 1995 dalam Munir, 2008). Indikator
kesejahteraan
rakyat
menyajikan
gambaran
mengenai
taraf
kesejahteraan rakyat Indonesia antar waktu, perkembangannya antar waktu serta perbandingannya antar populasi dan daerah tempat tinggal (perkotaan dan pedesaan). Dimensi kesejahteraan rakyat disadari sangat luas dan kompleks, sehingga suatu taraf kesejahteraan rakyat hanya dapat terlihat jika dilihat dari suatu aspek tertentu. Berbagai aspek mengenai indikator kesejahteraan dibahas oleh BPS tahun 1995 seperti dikutip oleh Munir (2008), antara lain : 1. Kependudukan Masalah kependudukan yang meliputi jumlah, komposisi dan
distribusi
penduduk merupakan masalah yang perlu diperhatikan dalam proses pembangunan. Oleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan nasional dalam penanganan masalah kependudukan, pemerintah tidak saja mengarahkan pada upaya pengendalian jumlah penduduk, tetapi juga menitikberatkan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia. Selain itu itu, program perencanaan pembangunan sosial disegala bidang harus mendapat prioritas utama yang berguna untuk peningkatan kesejahteraan penduduk. 2. Kesehatan dan gizi Salah satu aspek penting kesejahteraan adalah kualitas fisik penduduk yang dapat dilihat dari derajat kesehatan penduduk dengan menggunakan indikator utama angka kematian bayi dan angka harapan hidup. Selain itu, aspek penting lainnya yang
turut mempengaruhi kualitas fisik penduduk adalah status kesehatan yang antara lain diukur melalui angka kesakitan dan status gizi. 3. Pendidikan Pendidikan merupakan proses pemberdayaan peserta didik sebagai subjek sekaligus objek dalam membangun kehidupan yang lebih baik. Faktor kemiskinan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan belum semua anak Indonesia dapat menikmati kesempatan pendidikan dasar. Berdasarkan hal tersebut dapat diasumsikan bahwa semakin tinggi pendidikan yang dicapai suatu masyarakat, maka dapat dikatakan masyarakat tersebut semakin sejahtera. 4. Ketenagakerjaan Ketenagakerjaan merupakan salah satu aspek penting yang tidak hanya untuk mencapai kepuasan tetapi juga untuk memenuhi perekonomian rumah tangga dan kesejahteraan seluruh masyarakat. 5. Taraf dan pola konsumsi Jumlah penduduk miskin merupakan indikator yang cukup baik untuk mengukur tingkat kesejahteraan rakyat. Aspek lain yang perlu dipantau berkenaan dengan peningkatan pendapatan penduduk tersebut adalah bagaimana pendapatan tersebut terdistribusi diantara kelompok penduduk. Indikator distribusi pendapatan, walaupun didekati dengan pengeluaran akan memberikan petunjuk aspek pemerataan yang telah tercapai. Dari data pengeluaran dapat juga diungkapakan tentang pola konsumsi rumah tangga secara umum dengan menggunakan indikator proporsi pengeluaran untuk makanan dan bukan makanan. 6. Perumahan dan lingkungan
Rumah tangga dijadikan sebagai salah satu indikator kesejahteraan bagi pemiliknya. Semakin baik fasilitas yang dimiliki, dapat diasumsikan semakin sejahtera rumah tangga yang menempati rumah tersebut. Berbagai fasilitas yang dapat mencerminkan tingkat kesejahteraan tersebut antara lain dapat dilihat dari luas lantai rumah, sumber air minum, fasilitas buang air besar rumah tangga, dan tempat penampungan kotoran akhir (jamban). 7. Sosial dan budaya Secara umum semakin banyak seseorang memanfaatkan waktu luang untuk melakukan kegiatan sosial budaya maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut memiliki tingkat kesejahteraan yang semakin meningkat. Pembahasan mengenai sosial budaya lebih difokuskan pada kegiatan sosial budaya yang mencerminkan aspek kesejahteraan, seperti melakukan perjalanan wisata dan akses pada informasi dan hiburan, yang mencakup menonton televisi, mendengarkan radio dan membaca surat kabar. BPS tahun 1995 seperti dikutip oleh Munir (2008) kemudian memberikan gambaran tentang cara yang lebih baik untuk mengukur kesejahteraan dalam sebuah rumah tangga mengingat sulitnya memperoleh data yang akurat. Cara yang dimaksud adalah dengan mengukur pola konsumsi rumah tangga. Pola konsumsi rumah tangga merupakan salah satu indikator kesejahteraan rumah tangga/keluarga. Selama ini berkembang pengertian bahwa besar kecilnya proporsi pengeluaran untuk konsumsi makanan terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga dapat memberikan gambaran kesejahteraan rumah tangga tersebut. Rumah tangga dengan proporsi pengeluaran yang lebih besar untuk konsumsi makanan mengindikasikan rumah tangga yang berpenghasilan rendah. Semakin tinggi tingkat penghasilan rumah tangga, semakin kecil proporsi pengeluaran untuk makanan
terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga. Sehingga dapat dikatakan bahwa rumah tangga/keluarga akan semakin sejahtera bila persentase pengeluaran untuk makanan jauh lebih kecil dibandingkan persentase untuk non makanan.
2.3 Kerangka Pemikiran Konseptual Implementasi Kegiatan Reforma Agraria: Sertifikasi Lahan eksHGU
Subjek yang Memenuhi Kriteria
Perubahan Struktur Kepemilikan Lahan
Hambatan: Resistensi eks pemilik HGU dan SDM yang rendah
Kapasitas Subjek Meningkat (memiliki lahan)
Kapasitas Subjek Tidak Mengalami Peningkatan yang Signifikan (penjualan lahan)
Kesejahteraan Petani Meningkat
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Konseptual
Permasalahan agraria di Indonesia merupakan hambatan yang serius bagi proses pembangunan yang sedang berlangsung. Berbagai komponen bangsa sesuai dengan status dan perannya telah berupaya melakukan perbaikan dalam bidang agraria, baik penataan konstitusi maupun upaya perbaikan dalam bentuk program nyata. Sejak tahun 2007 pemerintahan SBY-JK telah mengimplementasikan program reforma agraria di beberapa daerah di Indonesia. Program utama dari reforma agraria ini adalah dengan mendistribusikan tanah kepada rakyat termiskin untuk dikelola guna
memenuhi kebutuhan hidup. Selain pendistribusian tanah, ada juga program-program lainya yang bersifat pendukung yang disebut dengan pemberian access reform, kegiatan ini antara lain dengan pemberian kredit lunak, pelatihan kelompok tani, bantuan teknologi pertanian, pupuk, bibit tanaman, dan lain sebagainya. Program reforma agraria diharapkan dapat membentuk struktur kepemilikan lahan yang lebih merata dan adil, sehingga ketimpangan dalam kepemilikan lahan dapan teratasi. Begitu juga dengan permasalahan-permasalahan sosial penyerta lainnya, seperti konflik ataupun sengketa lahan. Program reforma agraria ini diperuntukan bagi masyarakat miskin, terutama petani dengan berbagai kriteria yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Bantuan yang diberikan melalui program reforma agraria diharapkan dapat meningkatkan kapasitas sasaran program, di antaranya berupa peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pelatihan atau penyuluhan, memiliki akses terhadap sumber agraria berupa tanah garapan, mampu memiliki modal produksi, memiliki dan memahami penggunaan teknologi pertanian, dan sebagainya. Meningkatnya kapasitas petani sebagai komponen penting dalam produksi pertanian berpengaruh terhadap pemanfaatan sumber daya alam secara optimal. Kondisi ini akan mendorong peningkatan hasil produksi. Selanjutnya, keterampilan yang diperoleh dari pelatihan maupun penyuluhan akan dimanfaatkan untuk membuat suatu produk olahan yang lebih bernilai. Jika sasaran program dapat mendistribusikan (memasarkan) hasil produksi olahan tersebut dengan baik, maka ini akan berdampak pada kondisi perekonomian rumah tangganya. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya program reforma agraria sudah pasti memiliki hambatan baik secara internal maupun eksternal. Hambatan-hambatan internal
berasal dari dalam diri individu masyarakat yang menjadi subjek program, sedangkan hambatan eksternal berasal dari luar diri individu subjek, mislanya dari pemerintah, resistensi pihak swasta, faktor alam, dan lain sebagainya. Sehingga setelah mendapatkan bantuan-bantuan dari pemerintah kondisi perekonomian petani tidak mengalami peningkatan yang signifikan.
2.4 Hipotesis Penelitian Penelitian ini memiliki beberapa hipotesis pengarah yang terdiri dari hipotesis umum dan beberapa hipotesis khusus sebagai berikut: a. Hipotesis Umum Implementasi/pelaksanaan program reforma agraria dapat mendorong peningkatan kesejahteraan subjek/sasaran (petani miskin). b. Hipotesis Khusus 1) Jika reforma agraria dapat diimplementasikan secara tepat, maka kapasitas subjek reforma agraria (petani) akan meningkat. 2) Jika kapasitas subjek reforma agraria mengalami peningkatan yang signifikan, maka mereka akan mampu meningkatkan taraf hidup/kesejahteraannya. 3) Jika reforma agraria dapat diimplementasikan secara tepat, maka akan terbentuk struktur kepemilikan lahan yang merata dan adil. 4) Jika struktur kepemilikan lahan merata dan adil, maka subjek program dapat lebih meningktakan kesejahteraan hidupnya.
2.5 Definisi Konseptual Beberapa definisi konseptual di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Implementasi kegiatan reforma agraria adalah pelakasanaan serangkaian kegiatan reforma agraria yang ditujukan kepada subjek/sasaran yang telah memenuhi kriteria guna terwujudnya keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat. b. Subjek reforma agraria adalah penduduk miskin yang berada di daerah pedesaan baik petani, nelayan maupun non-petani/nelayan. Penduduk miskin dalam kategori ini dapat dimulai dari yang di dalam lokasi ataupun yang terdekat dengan lokasi reforma agraria, dan dibuka kemungkinan untuk melibatkan kaum miskin dari daerah lain (pedesaan dan perkotaan). c. Pengembangan kapasitas subjek adalah upaya meningkatkan kemampuan subjek reforma agraria untuk dapat mengatasi keterbatasan yang membatasi kesempatan hidup mereka, sehingga memperoleh hak yang sama tehadap sumber daya dan menjadi perencana pembangunan bagi diri mereka. d. Kesejahteraan petani adalah suatu kondisi kehidupan dimana kebutuhan moril dan materil dapat terpenuhi dengan baik.
BAB III PENDEKATAN LAPANG
3.1 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, pendekatan kualitatif dipilih karena peneliti akan mengkaji fenomena sosial yang sedang berlangsung di lapangan melalui studi kasus. Pendekatan ini mampu memberikan pemahaman yang mendalam dan rinci tentang suatu peristiwa atau gejala sosial, serta mampu menggali berbagai realitas dan proses sosial maupun makna yang didasarkan pada pemahaman yang berkembang dari orang-orang yang menjadi subjek penelitian. Melalui pendekatan kualitatif, peneliti berusaha menggambarkan proses pelaksanaan program reforma agraria di Indonesia, khususnya di
Desa
Pamagersari, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor. Selain itu, peneliti juga akan mengidentifikasi bentuk kegiatan reforma agraria yang diberikan kepada sasaran (petani), menganalisis hambatan-hambatan apa saja yang menghalangi proses peningkatan kapasitas petani melalui program reforma agraria. Berdasarkan data-data yang diperoleh melalui proses pengamatan dan wawancara mendalam, Peneliti berupaya melakukan pengkajian terhadap pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan oleh program reforma agraria bagi kehidupan subjek yang mendapatkan program. Salah satunya adalah bagaimana subjek program dapat terdorong untuk berupaya meningkatkan kualitas hidupnya. Strategi penelitian kualitatif yang digunakan pada penelitian ini adalah studi kasus. Studi kasus berarti memilih suatu kejadian atau gejala untuk diteliti dengan menerapkan berbagai metode (Stake, 1994 : 236 dalam Sitorus, 1998 ). Pemilihan strategi tersebut terkait dengan tujuan penelitian ini yaitu eksplanatif, penelitian ini
bertujuan menjelaskan penyebab-penyebab gejala sosial serta keterkaitan sebab akibat dengan gejala sosial lainnya (Sitorus, 1998). Penelitian ini dilakukan guna menerangkan berbagai gejala sosial yang terjadi pada masyarakat, dalam hal ini mengenai implementasi program reforma agraria
di Desa Pamagersari, Kecamatan Jasinga,
yang meliputi identifikasi fakta pelaksanaan program, dampaknya terhadap perubahan struktur kepemilikan lahan, dan pengaruhnya bagi peningkatan kesejahteraan petani. Tipe studi kasus yang digunakan adalah tipe intrinsik. Studi kasus intrinsik adalah studi yang dilakukan karena peneliti ingin mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang suatu kasus (Stake, 1994 : 236 dalam Sitorus, 1998 ).
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di lokasi pelaksanaan program reforma agraria, yaitu di Desa Pamagersari, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Terdapat beberapa hal yang melatarbelakangi pemilihan lokasi dalam penelitian ini, diantaranya karena latar belakang sejarah lahan eks-HGU PT. Perkebunan Jasinga, adanya gerakan sosial yang memobilisasi perjuangan masyarakat agar terwujudnya pelaksananya reforma agraria, keunikan proses pembagian lahan dari penggarap awal kepada masyarakat lain, dan sebagainya. Penelitian ini berlangsung selama dua bulan, yaitu dari bulan Juni hingga bulan Juli 2009. Penelitian yang dimaksud mencakup waktu sejak peneliti intensif di daerah penelitian, pengumpulan dan pengolahan data, hingga pembuatan draft skripsi.
3.3 Penentuan Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini ditentukan secara purposive, yaitu dengan sengaja memilih masyarakat Desa Pamagersari yang dianggap mengetahui informasi mengenai pelaksanaan program reforma agraria, terutama masyarakat sasaran program dan pihak pelaksana program (Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Bogor dan aparat desa). Selain itu, peneliti juga mencari informasi kepada pihak-pihak lain yang terkait dengan pelaksanaan program
reforma agraria.
Terdapat dua subjek penelitian yang dapat dijadikan sumber informasi, yaitu responden dan informan. Responden adalah masyarakat yang dapat memberikan informasi mengenai hidup atau gejala sosial yang terjadi pada dirinya, sedangkan informan merupakan masyarakat yang bisa memberikan informasi mengenai gejala sosial yang terjadi pada orang lain. Subjek dalam penelitian ini tidak menutup kemungkinan dapat diposisikan sebagai responden sekaligus sebagai informan. Subjek yang terdapat dalam proses penelitian ini sebanyak 23 orang, yang terdiri dari 21 orang penerima manfaat program reforma agraria dan dua orang bukan penerima manfaat. Dari 21 subjek penelitian ini dapat diidentifikasi ciri atau karakteristik masing-masing subjek seperti pada tabel di bawah ini:
Tabel 1: Ciri atau Karakteristik Responden dan Informan. No
1
Nama
Abah Dira
Pekerjaan
Petani
Status kependudukan Asli Jasinga
Lamanya menggarap lahan ± 20 thn
Luas lahan (m2) dan pemanfaatan 5000 (Rumah, ladang, dan kebun)
2
Aki Momo
Petani
Asli Jasinga
> 5 thn
3
Bapak Sukatmo
Petani
Asli Jasinga
> 5 thn
4
Ibu Ciah
Petani
Asli Jasinga
> 5 thn
5
Ibu Upik
Pedagang
Asli Jasinga
< 5 thn
6
Bapak Cepi
Satpam
Asli Jasinga
< 5 thn
7
Bapak Budi
Wiraswasta
Asli Jasinga
< 5 thn
8
Bapak Soleh
Staf Desa
Asli Jasinga
< 5 thn
9
Bapak Suhedi
Wiraswasta
Asli Jasinga
< 5 thn
10
Wiraswasta
Asli Jasinga
< 5 thn
11
Bapak Agus Kosasih Bapak Afif
Petani
Asli Jasinga
> 5 thn
12
Bapak Sarhan
Wiraswasta
Pendatang
< 5 thn
13
Ibu Oom
Pedagang
Asli Jasinga
< 5 thn
14
Bapak Oscar
Wiraswasta
Asli Jasinga
< 5 thn
15
Bapak Suhanda
Wiraswasta
Asli Jasinga
< 5 thn
17
Bapak Jaya
Asli Jasinga
> 5 thn
18
Bapak Sodik
Pensiunan PNS Serabutan
Asli Jasinga
< 5 thn
19
Bapak Jajat
PNS
Asli Jasinga
> 5 thn
20
Bapak Ujang
Asli Jasinga
< 5 thn
21
Bapak Ajir
Pembantu Kantor Pos Petani
Asli Jasinga
< 5 thn
22 23
Bapak Zaenal Bapak Nur
BPN Bogor Kepala Desa
Bogor Asli Jasinga
Bukan sasaran Bukan sasaran
45000 Ladang dan kebun 15000 Ladang dan kebun 115 Rumah dan sawah 200 202 (dijual) 250 (dijual) 210 250 1024 83500 Ladang dan kebun 300 150 220 130 (dijual) 15000 Kebun 200 Kebun 11700 Ladang dan Kebun 210 1344 Kebun
3.4 Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder, Pengumpulan data ini dilakukan dengan metode triangulasi data (kombinasi dari berbagai sumber
data). Data primer diperoleh dari hasil wawancara mendalam dan observasi lapang, sedangkan data sekunder diperoleh melalui analisis dokumen-dokumen. Teknik pengambilan data dengan wawancara mendalam dilakukan melalui interaksi dua arah dengan prinsip kesetaraan antara peneliti dengan subjek dalam suasana yang akrab dan informal. Wawancara mendalam dilakukan untuk memahami pandangan tineliti mengenai hidupnya, pengalamannya, ataupun situasi sosial yang dihadapinya yang diungkapkan menggunakan bahasanya sendiri (Taylor dan Bogdan dalam Sitorus ,1998). Sementara itu observasi dilakukan untuk mengamati langsung aktivitas subjek penelitian pada situasi dan kondisi yang relevan. Data primer yang diperoleh dari subjek penelitian akan dianggap cukup jika informasi yang diberikan sudah jenuh, dalam arti banyak responden dan informan yang memberikan informasi sama. Peneliti menyusun panduan pertanyaan yang berguna untuk membantu dalam proses pengumpulan data di lapangan. Panduan pertanyaan ini berkaitan dengan informasi mengenai profil dan sejarah lokasi, latar belakang penentuan lokasi reforma agraria, persepsi masyarakat terhadap program, pengaruh yang mereka rasakan baik secara moral maupun materil, ataupun hambatan dan kendala yang mereka rasakan dalam mengikuti program reforma agraria. Data sekunder diperoleh melalui analisis dokumen-dokumen atau yang disebut dengan studi dokumentasi, yaitu mempelajari dan menelaah dokumen, catatan tertulis, maupun arsip yang relevan dengan masalah yang dikaji. Analisis dokumen-dokumen terkait dengan konsep reforma agraria, prosedur dan ketentuan pelaksanaan, gambaran umum lokasi pelaksanaan program reforma agraria, serta tentang masyarakat di sekitar kawasan tersebut, terutama petani peserta program reforma agraria.
Data sekunder yang dikumpulkan meliputi jumlah penduduk, data kepemilikan lahan pertanian, mata pencaharian penduduk, potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia, data angkatan kerja dan tingkat pendidikan, batas-batas wilayah desa, serta sarana dan prasarana yang terdapat di Desa Pamagesari. Sumber data sekunder didapat dari laporan dinas sektoral yang relevan, dokumen-dokumen hasil penelitian dan pengkajian yang ada sebelumnya tentang program sejenis, dokumen pemerintah desa atau dokumen lainnya.
3.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data Teknik analisis data kualitatif dilakukan melalui proses reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan (Miles dan Huberman dalam Sitorus 1998). Dalam penelitian ini data-data yang diperoleh akan diringkas, dibuat kode, dibuat gugus-gugus, dalam rangka memilah, memilih dan mengarahkan data yang diperlukan. Proses ini berlangsung secara terus-menerus selama penelitian berlangsung. Setelah proses reduksi, data-data tersebut selanjutnya disusun dan disajikan dalam bentuk matriks, grafik maupun bagan, sehingga tersusun, terpadu, dan mudah disimpulkan. Penyimpulan dilakukan secara terus-menerus selama proses analisis dengan mempertimbangkan data yang diperoleh selama proses penelitian.
3.6 Organisasi Penulisan Penelitian ini membahas gambaran umum wilayah yang mencakup karakteristik wilayah, mata pencaharian penduduk, jumlah penduduk, potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia, sebaran kepemilkan lahan pertanian, serta sarana dan prasarana . selain itu, pada pokok bahasan selanjutnya akan dikaji mengenai fakta-fakta mengenai
pelaksanaan program reforma agraria, perubahan struktur kepemilkan lahan yang terjadi, dan pengaruh pelaksanaan program reforma agraria terhadap tingkat kesejahteraan petani. Pada bagian akhir peneliti akan memaparkan simpulan dari hasil penelitiannya berdasarkan hubungan-hubungan antara konsep-konsep agraria dan faktafakta sosial yang didapat di lokasi penelitian, serta beberapa pemaparan saran untuk pihak-pihak yang terkait.
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI
4.1 Letak Geografis Desa Desa Pamagersari merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Jasinga, yaitu berada di sebelah barat Kabupaten Bogor. Desa Pamagersari merupakan desa hasil pemekaran, sebelumnya Pamagersari termasuk dalam wilayah Desa Jasinga, pada tahun 1984 dilakukan pemekaran Desa Jasinga, sehingga menjadi dua desa, Desa Jasinga dan Desa Pamagersari. Letak Desa Pamagersari tepat di tengah Kecamatan Jasinga, jarak tempuh ke ibu kota kecamatan hanya 0,1 kilo meter, sementara jarak antara Desa dan ibu kota Kabupaten Bogor
sejauh 64 kilo meter, dan jarak desa
terhadap ibu kota Provinsi Jawa Barat sejauh 160 kilo meter. Secara geografis Desa Pamagersari terletak pada ketinggian 120 meter
di
bawah permukaan laut, dengan curah hujan rata-rata 25,75 mm/tahun. Kondisi topografi atau bentang lahan Desa Pamagersari terdiri dari dataran dan perbukitan/pegunungan. Luas dataran yang terdapat di Desa Pamagersari adalah 301, 668 hektar, sedangkan luas perbukitannya adalah 13,102 hektar. Desa Pamagersari memiliki kondisi tanah yang baik, dengan luas tanah yang termasuk dalam kategori tanah sangat subur adalah seluas 80,679 hektar dan tanah subur seluas 234,090 hektar (Profil Desa Pamagersari tahun 2003).
Adapun batas wilayah Desa Pamagersari adalah sebagai berikut:
Tebel 2: Batas Wilayah Desa Pamagersari Letak Batas Utara Selatan Barat Timur Sumber: Profil Desa Pamagersari tahun 2003
Desa Setu Jugalajaya Jasinga Sipak
Sementara itu, berdasarkan data dasar Profil Desa Pamagersari tahun 2003 tercatat bahwa luas wilayah Desa Pamagersari menurut penggunaannya adalah sebagai berikut: Tabel 3: Luas Wilayah Desa Berdasarkan Penggunaanya No
Penggunaan
1
Pemukiman a. Pemukiman Pejabat Pemerintah b. Pemukiman umum Bangunan a. Perkantoran b. Sekolah c. Pertokoan d. Pasar e. Terminal f. Masjid g. Makam h. Jalan Pertanian Sawah a. Sawah irigasi b. Sawah tadah hujan Perkebunan swasta Padang rumput/ stepa/ ladang/ gembala/ pangonan Lapangan sepak bola Perikanan darat/ air tawar (kolam)
2
3
5 6 7 8
Sumber: Profil Desa Pamagersari Tahun 2003
4.2 Demografi Desa 4.2.1 Jumlah Penduduk
Luas (hektar) 17 30, 732 5 8 0,5 0,5 0,6 0,8 0,5 1 80,79 5 100,240 78,618 1 0,5
Rata-rata masyarakat Desa Pamagersari merupakan penduduk asli Jasinga, sedangkan masyarakat pendatang yang berada di Desa Pamagersari sebagian besar berasal dari Kabupaten Lebak dan Pandeglang. Jumlah penduduk desa Pamager Sari dapat di lihat pada Tabel 4: Laporan Bulanan Penduduk Desa Pamagersari pada Bulan Mei 2009.
Tabel 4: Laporan Bulanan Penduduk Desa Pamagersari No Perincian Laki-laki 1 Penduduk bulan lalu 2. 625 2 Kelahiran bulan ini 4 3 Kematian bulan ini 3 4 Pendatang bulan ini 5 Pindah bulan ini 8 6 Penduduk akhir bulan ini 2. 618 Sumber: Profil Desa Pamagersari Tahun 2003
Perempuan 2. 903 7 2 6 2. 903
Jumlah 5. 528 11 5 14 5. 521
4.2.2 Angkatan Kerja dan Tingkat Pendidikan 1. Angkatan Kerja Sebaran angkatan kerja di Deasa Pamagersari adalah sebagai berikut: Tabel 5: Angkatan Kerja No 1 2 3
Angkatan Kerja Penduduk Usia Kerja Penduduk Usia Kerja yang Bekerja Penduduk Usia Kerja yang Belum Bekerja Jumlah Sumber: Profil Desa Pamagersari Tahun 2003
Jumlah (orang) 2700 2110 590 2727
2. Kualitas angkatan kerja dirinci menurut pendidikan yang ditamatkan
Tabel 6: Kualitas Angkatan Kerja No 1 2 3 4 5 6 7
Pendidikan Buta aksara dan Angka Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat Akademi (D1-D3) Sarjana S1 S2 S3 Jumlah Sumber: Profil Desa Pamagersari tahun 2003
Jumlah (orang) 3 539 595 342 75 17 1 1572
4.3 Mata Pencaharian Penduduk Sebagian besar mata pencaharian penduduk Desa Pamagersari adalah bertani, hal ini disebabkan karena sebagian besar potensi sumber daya alam yang terdapat di Desa Pamagersari berupa lahan pertanian yang didukung oleh tingkat kesuburan yang sangat baik untuk bercocok tanam. Struktur mata pencaharian penduduk dapat dirinci dari tabel-tabel di bawah ini: Tabel 7: Subsektor Pertanian Tanaman Pangan No 1 2
Status Pemilik tanah sawah Buruh tani Jumlah Sumber: Profil Desa Pamagersari tahun 2003
Jumlah (orang) 117 223 340
Tabel 8: Subsektor Perkebunan/Perladangan No 1
Status Buruh perkebunan Jumlah
Jumlah (orang) 13 13
Sumber: Profil Desa Pamagersari tahun 2003
Tabel 9: Subsektor Peternakan No 1 2 3 4 5
Status Jumlah pemilik ternak kambing Jumlah pemilik ternak ayam Jumlah pemilik ternak kerbau Jumlah pemilik ternak itik Jumlah pemilik ternak domba Jumlah Sumber: Profil Desa Pamagersari tahun 2003
Jumlah (orang) 42 500 1 30 12 592
Tabel 10: Subsektor Perikanan/Nelayan No 1 2
Status Pemilik kolam Pemilik keramba/sejenisnya Jumlah Sumber: Profil Desa Pamagersari tahun 2003
Jumlah (orang) 45 37 87
Tabel 11. Subsektor Industri Kecil/Kerajinan No 1 2 3 4
Status Jumlah pemilik usaha kerajinan Pemilik usaha industri rumah tangga Pemilik usaha industrui kecil Jumlah buruh industri kecil/kerajinan/tumah tangga Jumlah Sumber: Profil Desa Pamagersari tahun 2003
Jumlah (orang) 15 6 2 3 26
Tabel 12: Sektor Jasa/Perdagangan No 1
Status/Jenis Jasa/Perdagangan Jasa pemerintahan/nonpemerintahan a. Pegawai Negeri Sipil
Jumlah (orang) 247
b. Pensiunan ABRI/sipil c. Pegawai Swasta d. Pegawai BUMN/BUMD e. Pensiunan Swasta 2 Jasa lembaga keuangan (perkreditan rakyat) 3 Jasa Perdagangan (kios) 4 Jasa komunikasi dan angkutan 5 Jasa keterampilan 6 Jasa lainnya Jumlah Sumber: Profil Desa Pamagersari tahun 2003
86 80 18 3 1 1 127 34 38 635
4.4 Struktur Agraria Lokal Struktur agraria lokal di Desa Pamagersari dapat diketahui melalui sebaran kepemilikan tanah berdasarkan luasnya. Struktur kepemilikan tanah di Desa Pamagersari adalah sebagai berikut:
Tabel 13: Struktur Pemilikan Tanah No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Luas Pemilikan Tanah (Ha) Kurang dari 0,1 0,1 – 0,5 0,6 – 1,0 1,1 – 1,5 1,6 – 2,0 3–5 6–8 9 – 10 Lebih dari 10 Jumlah Sumber: Profil Desa Pamagersari Tahun 2003
Jumlah (orang) 440 262 300 250 200 12 10 2 3 1479
Struktur agraria lokal juga dapat diketahui melalui indentifikasi pola hubungan yang terjadi diantara berbagai subjek agraria yang ada di Desa Pamagersari. Pola hubungan ini terjadi dalam hal pemanfaatan sumber agraria yang erat kaitannya dengan mata pencaharian penduduk setempat. Berdasarkan Data Profil Desa Tahun 2003 terdapat 223 buruh tani yang menggarap lahan pertanian di Desa Pamagersari.
Sistem pemanfaatan lahan ini dilakukan dengan sistem bagi hasil berupa sistem maro, dimana pembagian hasil panen ditentukan sesuai dengan kesepakatan antara pemilik lahan dan penggarap dengan mempertimbangkan besarnya biaya produksi yang dikeluarkan oleh masing-masing pihak (pemilik dan penggarap). Akan tetapi, sistem bagi hasil di Desa Pamagersari lebih dipengaruhi oleh sistem kekerabatan diantara warganya sehingga sistem bagi hasil lebih sering dilakukan secara sukarela. Selain buruh tani, ada juga warga yang berkerja sebagai buruh perkebunan. Ketika Hak Guna Usaha PT. Perkebuan Jasinga masih berlaku terdapat 13 orang yang bekerja sebagai buruh perkebunan, yaitu sebagai penyadap karet. Para buruh perkebunan ini dibayar oleh PT. Perkebunan Jasinga sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh manajemen perkebunan.
4.5 Kelembagaan Kelembagaan yang terdapat di Desa Pamagersari dibagi menjadi dua yaitu: 1. Kelembagaan pemerintah Kelembagaan pemerintah yang terdapat di Desa Pamagersari antara lain: a. pemerintah desa yang terdiri dari tujuh orang pejabat desa; b. Rukun Warga (RW) yang berjumlah lima; c. Rukun Tetangga (RT) yang berjumlah 23; d. Badan Pertimbangan Desa (BPD) yang beranggotakan 15 orang; PKK dengan kader sebanyak 16 orang; dan e. Lembaga Keamanan Masyarakat Desa (LKMD) yang beranggotakan 16 orang. 2. Kelembagaan Agama Kelembagaan agama yang terdapat di Desa Pamagersari terdiri dari Majlis Ta’lim untuk ibu-ibu maupun bapak-bapak. 3. Kelembagaan Ekonomi
Sedangkan untuk kelembagaan perekonomian terdiri dari warung sebanyak 13 buah dan lainnya sebanyak 15 buah.
4.6 Sarana dan Prasarana Letak Desa Pamagersari yang tepat berada di ibu kota Kecamatan Jasinga sangat menguntungkan masyarakat, karena ini mempengaruhi tersedianya sarana dan prasarana yang memadai. Di Desa Pamagersari terdapat berbagai macam sarana dan prasarana. Diantaranya adalah sarana transportasi, pendidikan, peribadatan, dan lainya. Kelancaran mobilisasi warga di Desa Pamagersari sangat tergantung pada ketersediaan jasa transportasi yang terdiri dari jasa angkutan pedesaan dan angkutan perkotaan yang selalu tersedia selama 24 jam. Jasa angkutan ini melayani rute dari Jasinga-Cipanas, Jasinga-Bogor, dan Jasinga-Leuwiliang. Selain itu ada juga angkutan berupa bus yang memiliki rute Pandeglang-Rangkas-Bogor. Untuk mobilisasi warga menuju wilyah pedalaman desa, terdapat jasa angkutan ojek. Sementara untuk sarana pendidikan, di Desa Pamagersari terdapat dua gedung Taman Kanak-kanak , empat buah gedung SD, satu gedung SMP, satu gedung SMEA, dan saran pendidikan lainnya sebanyak dua buah (Profil Desa Pamagersari Tahun 2003). Sebagian besar penduduk Desa Pamagersari beragama Islam, oleh karena tu sarana peribadatan yang terdapat di desa ini terdiri dari Masjid dan Mushola sebanyak sembilan buah. Selain itu, untuk menunjang pelayanan kesehatan warga, di Desa Pamagersari terdapat Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang dibantu oleh tiga orang dokter dan dua orang bidan. Selain itu ada juga warga yang berprofesi sebagai dukun sebanyak dua orang.
Selain sarana transportasi, pendidikan, dan peribadatan,
di
Desa Pamagersari juga terdapat sarana lainya untuk menunjang dan memperlancar aktivitas warga, misalnya kantor pos, bank, pasar dan pertokoan, apotik, terminal, dan lain sebagainya.
BAB V PROSES IMPLEMENTASI PROGRAM REFORMA AGRARIA
5.1 Latar Belakang Lokasi Reforma Agraria 5.1.1 Sejarah Lahan Eks-HGU Jasinga Indonesia merupakan negara agraris, karena memiliki sumber daya alam agraria yang potensial sehingga sebagian besar masyarakat Indonesia memiliki mata pencaharian pada sektor agraria. Perkebunan merupakan salah satu sektor andalan agraria Indonesia, yang memberikan kontribusi besar bagi pertambahan devisa negara. Terdapat berbagai macam komoditas perkebunan di Indonesia,
diantaranya
perkebuanan karet Perkebunan karet terdapat di berbagai pulau besar di Indonesia, mulai dari Sumatera hingga Irian dengan sebaran luas perkebunan yang berbeda-beda. Salah satu perkebuan karet tersebut berada di Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Perkebunan karet tersebut bernama PT. Perkebunan Jasinga. Sejak
masa kekuasaan Orde Baru sebagian besar pekebunan di Indonesia
dikelola oleh swasta melalui mekanisme kepemilikan dan pemanfaatan yang disebut dengan Hak Guna Usaha (HGU). Pihak swasta mendapatkan hak pengelolaan melalui kesepakatan pembayaran sewa perkebunan untuk jangka waktu tertentu. Berdasarkan keterangan warga yang berhasil ditemui, sekitar awal tahun 1970-an masa HGU PT. Perkebunan Jasinga telah habis. Oleh karena itu berakhirlah hak pemanfaatan lahan yang dimiliki oleh PT. Perkebuanan Jasinga. Selain habisnya masa HGU tersebut, kondisi perkebunan juga sudah kurang produktif. Pada saat itu pemerintah (Perhutani) melakukan penebangan pohon karet yang sudah habis HGU-nya dan sudah kurang
produktif lagi. Akan tetapi, lahan bekas perkebunan karet yang telah ditebangi tersebut dibiarkan begitu saja oleh pemerintah. Kondisi ini berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama. Kondisi ini menarik perhatian warga yang berada di sekitar lahan eks-HGU dan mereka berinisiatif untuk memanfaatkan lahan tersebut. Hal ini seperti diutarakan oleh ADR (77 tahun), salah seorang sesepuh Jasinga yang mengaku telah menggarap lahan eks-HGU sejak pertengahan tahun 70-an. “Pada zaman dulu ketika perkebunan karet disini sudah tidak produktif lagi, pemerintah melakukan penebangan, akan tetapi setelah pohon karet ditebang lahan yang kosong dibiarkan begitu saja. Abah berpikir alangkah mubazirnya lahan ini jika dibiarkan begitu saja, akhirnya Abah menggarap lahan eks-HGU ini. Akan tetapi, sebelum abah menggarap lahan ini Abah bilang dulu ke Bapak ASP yang dulu menjadi pejabat pertanahan di Jasinga”.
Selain ADR (77 tahun) ada juga warga lain yang mengaku sudah menggarap lahan eks-HGU sejak tahun 80-an, akan tetapi latar belakang penggarapan lahannya sedikit berbeda dari apa yang diutarakan oleh
ADR (77 tahun). Salah satunya
adalah AMM (75 tahun). Beliau adalah seorang pensiunan polisi tahun 1975, setelah pensiun dari tugas kepolisian AMM memiliki aktivitas sebagai petani. “Alhamdulillah Aki juga punya lahan garapan, lahan ini diberikan oleh orang tua Aki. Menurut cerita yang Aki ketahui, pada masa pengusaan Jepang yaitu sekitar awal tahun 1940-an masyarakat diberikan lahan garapan yang dulunya dikuasai oleh perkebunan Belanda, pada saat itu disebut sebagai tanah Ondernemeng, tapi tanah Ondernemeng yang diberikan kepada Aki adalah tanah yang tidak digarap (tidak dijadikan perkebunan) yang berupa hutan belantara karena pada masa Belanda setiap ada perkebunan di sekitarnya harus ada lahan yang dibiarkan, biasanya digunakan sebagai lahan gembala, yaitu berupa semak belukar yang sengaja dibiarkan sebagai daerah resapan air”.
Penjelasan yang diutarakan oleh AMM (75 tahun) sama seperti apa yang diceritakan oleh SKM (62 tahun) mengenai sejarah Perkebunan Jasinga. SKM merupakan salah satu mantan pegawai Perkebunan Jasinga yang juga memiliki lahan eks-HGU.
Perkebunan yang berada di wilayah Jasinga merupakan HGU milik perusahaan Perkebunan London Sumatera yang sebagian lahannya berada di Medan dan wilayah Sumatera lainnya. Pada masa revolusi lahan-lahan HGU dikuasai oleh Dwikora dan diinstruksikan untuk dibagikan kepada rakyat. Setelah HGU di Jasinga milik perusahaan London Sumatera habis masa hak kelolanya, maka hak kelola dibeli oleh HCP seorang pengusaha asal Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, namun semakin lama perkebunan semakin tidak terurus dan akhirnya mengalami kebangkrutan. Bangkrutnya perkebunan tersebut menyebabkan banyak perkebunan dibiarkan begitu saja (tidak dimanfaatkan) sehingga masyarakat berinisiatif untuk menggarapnya. “Bapak memiliki lahan eks-HGU yang luasnya skitar 1,5 hektara. Lahan tersebut Bapak dapatkan dari orang tua bapak yang dulu pernah bekerja di perkebunan pada masa Belanda. Sekitar awal tahun 80-an orang tua bapak dipersilahkan mengelola lahan HGU oleh Lurah Jasinga pada saat itu. Lahan yang diberikan kepada orang tua Bapak adalah lahan HGU diluar area perkebunan.” (SKM, 62 tahun) “Pada masa Belanda lahan perkebunan itu terbagi dua, yaitu lahan yang benar-benar ditanami komoditas perkebunan (karet) dan lahan yang dibiarkan berupa hutan belantara. Diantara perkebunan karet dan hutan belantara tersebut terdapat parit besar yang lebarnya mencapai dua meter yang sengaja dibuat untuk resapan air”. (SKM, 62 tahun)
Berdasarkan pemaparan beberapa warga di atas dapat disimpulkan bahwa lahan eks-HGU yang sekarang digarap oleh masyarakat terbagi dua dilihat dari sejarah pemanfaatannya oleh pemerintah Belanda, yaitu lahan eks-HGU yang dulunya ditanami komoditas perkebunan (karet) dan lahan eks-HGU yang dulunya berupa lahan kosong atau hutan belantara. Kedua jenis lahan tersebut dibatasi oleh parit yang berfungsi sebagai resapan air.
5.1.2 Perjuangan Masyarakat Pamagersari
Kebijakan-kebijakan agraria di Indonesia sangat erat kaitannya dengan ideologi pembangunan ekonomi yang dimiliki oleh pemerintah yang berkuasa pada masanya, ideologi ini sangat mempengaruhi arah kebijakan politik pembangunan Indonesia. Dinamika kebijakan politik agraria dari masa ke masa sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia yang sebagian besar bekerja pada sektor pertanian. Upaya perbaikan kebijakan dan implementasi dari kebijakan politik agraria merupakan usaha perjuangan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia, baik pada masa kolonial Belanda, pendudukan Jepang, awal kemerdekaan Orde Baru, hingga masa Reformasi. Pergerakan-pergerakan sosial baik secara terorganisir maupun yang berjuang melalui gerakan bawah tanah terdiri dari lapisan masyarakat yang berbeda-beda, mulai dari kaum intelektual dan akademisi, serikat tani, paguyuban pamong desa, serikat buruh, dan sebagainya. Begitu pun halnya dengan latar belakang terlaksananya program sertifikasi lahan di Desa Pamagersari. Program reforma agraria di Desa Pamagersari tidak
serta-merta
terimplementasi
begitu
saja
tanpa
adanya
upaya
untuk
memperjuangkan hak-hak petani. Pergerakan masyarakat Pamagersari untuk mendapatkan hak kepemilikan lahan eks-HGU dimobilisasi oleh Paguyuban Kepala Desa Kecamatan Jasinga. Salah satu tokoh sentral yang sangat berpengaruh dalam pergerakan tersebut adalah AFF (55 tahun). AFF (55 tahun) atau yang lebih akrab dipanggil dengan sebutan lurah (mantan kepala desa Pamegersari sejak tahun 1999 hingga 2007) merupakan tokoh yang menginisiasi terbentuknya Paguyuban Kepala Desa Kecamatan Jasinga. Lurah AFF (55 tahun) mengutarakan,salah satu yang melatarbelakangi terbentuknya Paguyuban Kepala Desa Kecamatan Jasinga adalah adanya keinginan, motivasi, dan ambisi untuk menulis suatu sejarah. Anggota Paguyuban Kepala Desa
Jasinga memiliki cita-cita bersama yang didasarkan pada upaya-upaya memperjuangkan hak masyarakat Jasinga dalam mendapatkan hak kepemilikan lahan eks-HGU PT. Perkebuan Jasinga. Cita-cita mendapatkan hak kepemilikan lahan eks-HGU ini dilatarbelakangi oleh habisnya masa sewa perkebunan yang dikaitkan dengan upaya dan keinginan warga untuk menggarap lahan perkebunan tersebut dengan rasa tenang. Paguyuban tersebut mamapu mewadahai semua partisipasi dan inisiatif warga serta anggotanya, sehingga tersatukan membentuk sebuah modal dan kekuatan sosial. Setiap waktu aktivitas di paguyuban terus dilakukan, baik berupa koordinasi internal dengan sesama pengurus, maupun koordinasi eksternal dengan pemerintah dan komponen masyarakat lainya. Sayogyo dalam Wiradi (2000) mengemukakan bahwa gerakan yang diperlukan dalam mengarahkan refoma agraria jelas memerlukan perencanaan bersama. Tak ada cara lain dari kerja sama dalam jaringan (networking) di antara berbagai golongan yang mau bersatu dalam menjadikan reforma agraria itu suatu yang dapat terwujud dalam kenyataan. Begitu pun dengan adanya paguyuban ini, koordinasi internal dan eksternal dilakukan untuk membentuk jaringan agar pergerakan paguyuban mendapatkan dukungan baik secara politik maupun sosial sehingga memiliki kekuatan dan bargaining position (posisi tawar) yang memadai untuk memperjuangkan hak masyarakat. Terdapat berbagai hambatan dalam memperjuangkan hak kepemilikan lahan ini (melalui proram sertifikasi), bahkan sebelum memulai pun banyak warga yang mengatakan bahwa hal tersebut tidak akan mungkin terwujud. Akan tetapi, Lurah AFF (55 tahun) tetap bersemangat memperjuangkan bersama
rekan-rekan kepala desa yang
lain. “Banyak masyarakat kita yang beranggapan bahwa hal tersebut akan mustahil terwujud, akan tetapi hati ini tetap keukueh, tetap semangat. Bapak terus mencari informasi mengenai reforma agraria, membeli buku-buku tentang undang-undang agraria, dan
terus berdiskusi dengan rekan-rekan di paguyuban. Selain itu kami dalam tim Paguyuban Kepala Desa selalau menjalin koordinasi dan membentuk jaringan secara eksternal, karena kami sadar untuk mewujudkan cita-cita ini butuh kekuatan dan dukungan dari berbagai pihak”
Mocodompis (2006) mengutarakan bahwa sebagai suatu sistem yang diharapkan dapat menjadi jalan keluar dari permasalahan kemiskinan rakyat maka reforma agraria adalah langkah multidimensional dan harus melibatkan komitmen bersama dari pihakpihak yang terkait di dalamnya. Hal inilah yang disadari oleh Lurah AFF (55 tahun) beserta rekan-rekanya dalam paguyuban, bahwa untuk mewujudkan cita-citanya dalam bentuk pelaksanaan reforma agraria memerlukan suatu modal sosial, berupa kekuatan diplomasi politik yang dapat mempengaruhi berbagai komponen masyarakat agar mau ikut berkomitmen untuk memperjuangkan hak masyarakat. “Dahulu pada saat memperjuangkan hak kepemilikan lahan eks-HGU untuk masyarakat Jasinga beberapa rekan Bapak pernah mengalami pasang-surutnya semangat. Namun, rutinitas kami berupa diskusi, saling bertukar pikiran, curhat, dan sebagainya mampu memberikan dorongan yang akhirnya berhasil membuat semangat itu kembali muncul dan pada akhirnya kami dapat memegang komitmen hingga program sertifikasi dapat terlaksana.”
Upaya-upaya pendekatan dan kerja sama terus dilakukan oleh tim di paguyuban, yaitu pendekatan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor, Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Bogor, dan Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Barat. Pendekatan ini dilakukan melalui upaya diplomasi baik secara politik maupun sosial. Terdapat berbagai hambatan yang dihadapi oleh tim dari paguyuban kepala desa dalam proses memperjuangkan terlaksananya reforma agraria di
Kecamatan
Jasinga. Hambatan terbesar datang dari pihak yang dahulu memiliki HGU, mereka masih berkeinginan untuk mendapatkan perpanjangan HGU di kawasan perkebunan Jasinga. Berbagai upaya dilakukan oleh mantan pemegang HGU tersebut, diantaranya adalah upaya-upaya yang bertentangan dengan etika dan ketentuan hukum yang berlaku. “Pada proses memperjuangkan reforma agraria di Jasinga, terdapat hambatan besar yang menghalangi perjuangan kami. Hambatan itu muncul dari eks-pemilik HGU perkebunan
Jasinga, mereka juga ternyata masih keukeuh untuk mendapatkan perpanjangan hak kelola perkebunan. Upaya-upaya kotorpun mereka lakukan, diantaranya adalah dengan meminta bantuan kepada jawara leter A (sebutan untuk jawara/pendekar Banten). Beberapa rekan Bapak sempat diintimidasi untuk berhenti memperjuangkan Reforma Agaria ini.” (AFF, 55 tahun) “Namun, Bapak melihat ada kelemahan dari pihak mereka yang bisa dimanfaatkan sebagai bumerang. Kelemahan itu adalah masalah pembayaran pajak perkebunan yang sudah tertunda beberapa tahun lamanya sehingga memberatkan pihak lawan untuk mendapatkan perpenjangan HGU. Selain itu mereka juga bersalah telah membiarkan lahan perkebunan begitu saja setelah penebangan karet, hal ini telah berlangsung selama berpuluh-puluh tahun. Sehingga akhirnya dimanfaatkan oleh masyarakat Jasinga. Dengan menghindari bentrokan fisik, akhirnya berbagai upaya yang kami lakukan dapat memukul mundur lawan” (AFF, 55 tahun)
Pihak eks-pemilik HGU Jasinga mendapatkan tekanan dari berbagai pihak, baik masyarakat maupun pemerintah. Akhirnya, berbagai usaha tersebut membuahkan hasil sehingga Kecamatan Jasinga dipilih sebagai lokasi percontohan program reforma agraria di Indonesia.
Pergerakan Paguyuban Kepala Desa se-Kecamatan Jasinga dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Momentum RA: Habisnya HGU Lahan eks-HGU diterlantarkan Masyarakat telah menggarap selama puluhan tahun Animo masyarakat untuk mendapatkan hak milik lahan Inisiatif tokoh sentral paguyuban (Lurah AFF)
Dukungan berbagai pihak: PEMDA BPN Kabupaten BPN Provinsi Pihak lain
Paguyuban Kepala Desa
Upaya memperjuangkan RA Implementasi RA (program sertifikasi)
Keterangan:
Kelemahan eks-pemilik HGU
: Faktor yang mempengaruhi terbentuknya paguyuban. : Alur koordinasi : Alur upaya memperjuang kan RA. : Resistensi ekspemilik HGU
Resistensi eks-pemilik HGU
Gambar 3: Bagan Pergerakan Paguyuban Kepala Desa se-Kecamatan Jasinga
5.2 Pelaksanaan Reforma Agraria di Pamagersari Pelaksanaan reforma agraria di Desa Pamagersari dimulai pada bulan Juni 2007. Jauh sebelum hari pelaksanaannya (pembagian sertifikat), berita mengenai program sertifikasi gratis telah diketahui oleh hampir seluruh warga Jasinga, mereka pun menyambut kabar tersebut dengan antusias, terutama warga yang memang sudah menggarap lahan eks-HGU sejak dahulu. Kabar
akan
dibagikannya
sertifikat
lahan
secara
gratis
benar-benar
menggembirakan para petani yang menggarap lahan eks-HGU. Mereka mengakui bahwa dengan adanya sertifikat maka mereka lebih tenang dan leluasa menggarap lahan, tidak takut jika suatu saat lahan dan tanaman yang ada di dalamnya akan diambil alih oleh pihak yang dulu pernah memiliki HGU. Sementara sebelum memilik sertifikat banyak petani yang merasa khawatir akan kehilangan lahan garapannya. Pada saat sertifikat dibagikan ada hal yang bertolak belakang dengan prosedur yang ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional. BPN telah menjelaskan bahwa program sertifikasi yang diperuntukkan bagi petani miskin tidak dipungut biaya apapun
(gratis), akan tetapi pada pelaksanaannya warga yang akan mengambil sertifikat diharuskan membayar sejumlah uang. Jumlah uang yang harus dibayar berbeda-beda nominalnya, semakin luas lahan yang dimiliki maka semakin besar uang yang harus dibayar kepada pemerintah desa. Pemerintah desa mengakui hal tersebut dan menjelaskan bahwa walaupun pelaksanaan program reforma agraria diklaim oleh BPN sebagai program gratis, namun pada kenyataannya pelaksanaan program ini membutuhkan biaya, misalnya untuk transportasi, konsumsi petugas, biaya pengukuran lahan, dan sebagainya. Pemerintah desa pun menganggap biaya tersebut sebagi suatu hal yang wajar. Sebagian besar warga yang berhasil ditemui menganggap biaya tersebut merupakan suatu yang wajar. Salah satu pernyataan ini diungkapkan
oleh CH
(53 tahun), salah seorang penggarap lahan eks-HGU Blok Citeureup yang mendapatkan sertifikat. “Menurut Ibu biaya itu wajar-wajar saja lah.., kitakan udah dibantu mendapatkan sertifikat, itung-itung sebagai ucapan terimaksih kepada aparat desa. Pada saat itu Ibu menebus sertifikat lahan yang luasnya 115 m2 dengan harga Rp. 100.000,-.”
Gambar 4: Sertifikat Lahan
Selain itu, terdapat warga yang merasa keberatan untuk menebus sertifikatnya karena dia masih tetap beranggapan bahwa program sertifikasi ini merupakan program gratis dari pemerintah sehingga warga tidak seharusnya dipungut biaya apapun. Secara teknis program sertifikasi ini berjalan dengan lancar, tanpa ada hambatan yang berarti. Sertifikat lahan eks-HGU berhasil dibagikan kepada 864 warga pamagersari yang telah ditentukan (Suryo, 2008).
5.2.1 Musyawarah Pembagian Lahan Sebelum program sertifikasi lahan dilakukan, pemerintah desa mengadakan musyawarah dengan para penggarap lahan eks-HGU, musyawarah ini dilakukan untuk membicarakan mengenai usulan pemerintah desa untuk membagi lahan yang sedang digarap untuk dibagikan kepada warga lain yang tidak mampu dan tidak memiliki pekerjaan, hal ini dilakukan agar program sertifikasi ini lebih merata dan adil. Sejumlah lahan yang digarap akan diambil beberapa bagian yang kemudian akan diatasnamakan warga yang dianggap pantas mendapatkannya. Sebagian besar warga (penggarap asal) menyepakati usulan ini dan bersedia membagi lahannya dengan warga lain yang kurang mampu atau belum memiliki pekerjaan. Rata-rata luas lahan hasil pembagian ini adalah 100 m2 sampai dengan 200 m2. Namun, ada juga warga yang menolak usulan itu dan tidak mau membagi lahannya
bahkan dia tidak ingin lahan eks-HGU yang sudah digarapnya bertahun-tahun masuk dalam program sertifikasi. Salah satunya adalah AMM (75), beliau merasa rugi jika lahan yang sudah digarapnya selama puluhan tahun harus dibagi dengan orang lain. “Aki juga mengetahui program sertifikasi dari BPN akan dilaksanakan di Desa Pamagersari, namun Aki dengar lahan Aki nantinya akan diukur tapi untuk dibagibagikan lagi. Menurut Aki ini tidak pantas, masa lahan yang sudah susah payah kita garap harus diberikan kepada orang lain begitu saja.”
Usulan pemerintah desa mengenai pembagian lahan ini memang mambantu warga yang belum memiliki lahan dan pekerjaan, dengan harapan setelah memiliki lahan mereka dapat menggarap dan memiliki penghasilan dari lahan tersebut. Namun, di sisi lain hal ini ditentang warga yang sudah lama menggarap lahannya, karena mereka merasa rugi jika lahan tersebut harus dibagi dengan orang lain mengingat tanaman yang ada di dalam lahannya sudah tumbuh besar.
5.2.2 Access Reform Kepastian keberlanjutan manfaat yang diterima oleh subjek
reforma
agraria memerlukan pengelolaan access reform secara tepat. Access reform dilaksanakan untuk mengoptimalkan pengusahaan obyek reforma agraria oleh penerima manfaat. Access reform ini merupakan rangkaian aktivitas yang saling terkait dan berkesinambungan yang meliputi antara lain: (a) penyediaan infrastruktur dan sarana produksi, (b) pembinaan dan bimbingan teknis kepada penerima manfaat, (c) dukungan permodalan, dan (d) dukungan distribusi pemasaran dan dukungan lainnya (BPN RI, 2007). Berdasarakan informasi yang didapatkan, dapat diidentifikasi bahwa program access reform di Desa Pamagersari belum terlaksana secara penuh. Hal ini dapat ditunjukkan melalui tabel di bawah ini:
Tabel 14: Access Reform No
Access Reform
1 2 3
Infrastruktur dan sarana produksi Pembinaan dan bimbingan teknis Dukungan permodalan
4
Dukungan distribusi pemasaran dan dukungan lainnya
Pelaksanaan (sudah/belum) Belum Belum Sudah
Keterangan
Belum optimal, hanya berupa bantuan bibit buahbuahan sebanyak 200 batang.
belum
Tabel 14 memperlihatkan kenyataan bahawa program reforma agraria di Desa Pamagersari belum didukung oleh program penunjang atau yang disebut access reform yang sebenarnya perlu dilaksanakan, karena dengan program penunjang ini memungkinkan subjek program dapat memafaatkan lahannya dengan lebih baik. Setelah program sertifikasi dilaksanakan pemerintah memberikan bantuan bibit tanaman, akan tetapi jumlahnya masih jauh dari mencukupi, yaitu sebanyak 200 batang bibit buah-buahan. Bibit ini pun dibagikan dengan cuma-cuma kepada warga, ada yang diberi dua batang, lima batang, tiga batang, dan lain sebagainya, namun banyak warga yang tidak mendapatkannya. Oleh karena itu, lebih tepat jika peneliti menyimpulkan bahwa program access reform di Desa Pamagersari belum dilaksanakan. Bantuan dalam bentuk permodalan (misalnya kredi dan teknologi) atau dalam bentuk pelatihan belum pernah diberikan kepada warga yang menerima program sertifikasi. Berdasarkan hasil wawancara, warga yang menjadi subjek sertifikasi mengutarakan bahwa mereka sangat mengharapkan adanya bantuan tambahan yang mendukung kelangsungan usaha mereka. Hal ini seperti diutarakan oleh OM (50 tahun) salah satu penggarap lahan eks-HGU.
“Ibu oge hoyong atuh upami dipasihan modal ku pamerintah mah.., atawa dipasihan siga palatihan kitu... Kapungkur ibu nguping aya bantosan bibit buah-buahan di desa, tapi eta ngan saeutik cuenamah, ja Ibu oge teu kabagian”. “Ibu juga mau jika ada bantuan modal dari pemerintah, atau diberikan semacam pelatihan. Dulu Ibu pernah mendengar ada bantuan bibit di desa, tapi katanya hanya sedikit, dan ibu juga tidak mendapatkan”.
BAB VI PERUBAHAN STRUKTUR KEPEMILIKAN LAHAN
6.1 Struktur Kepemilikan Lahan sebelum Program Reforma Agraria Menurut penjelasan beberapa tokoh Desa Pamagersari, dahulu lahan
eks-HGU
merupakan perkebunan karet milik pemerintah Kolonial Belanda. Perkebunan ini bernama PT. Perkebunan Jasinga. Menurut SKM (62 tahun), perkebunan Jasinga merupakan bagian dari Perkebunan London Sumatera, yang terletak di Sumatera Utara. Seperti halnya perkebunan lain, para pekerja perkebunan merupakan masyarakat pribumi, dalam hal ini masyarakat Jasinga. Ketika Jepang berkuasa pada awal tahun 1940, perkebunan-perkebunan diambil alih oleh Jepang. Menurut keterangan AMM (75 tahun), bagian perkebunan yang tidak ditanami karet diberikan kepada masyarakat Jasinga untuk digarap. Bagian itu dibatasi oleh parit yang digunakan sebagai daerah resapan air. “Menurut cerita yang Aki ketahui, pada masa penguasaan Jepang yaitu pada awal tahun 1940-an masyarakat diberikan lahan garapan yang dulunya dikuasai oleh perkebunan Belanda, pada saat itu disebut sebagai tanah Ondernemeng, tapi tanah Ondernemeng yang diberikan kepada aki adalah tanah yang tidak digarap (tidak dijadikan perkebunan) yang berupa hutan belantara. Pada masa Belanda setiap ada perkebunan di sekitarnya harus ada lahan yang dibiarkan, biasanya digunakan sebagai lahan gembala, yaitu berupa semak belukar yang sengaja dibiarkan sebagai daerah resapa air”. (AMM, 75 tahun)
Setelah Indonesia merdeka perkebunan dikuasai oleh Dwikora (TNI) dan selanjutnya diinstruksikan untuk dibagi-bagikan kepada masyarakat. Sejak saat itu banyak warga yang menggarap lahan perkebunan dan menentukan batas-batas garapannya sendiri. Sejak masa HGU PT. Perkebunan Jasinga habis, pemerintah melakukan penebangan pohon karet yang sudah tidak produktif. Setelah penebangan lahan dibiarkan kosong begitu saja, sehingga menjadi “lahan tidur”. Melihat kondisi ini
masyarakat berinisiatif untuk menggarap lahan tersebut. Salah satu warga yang mengawali penggarapan lahan tersebut adalah ADR (77 tahun). Sebelum menggarap lahan ADR (77 tahun) meminta izin terlebih dahulu kepada pihak yang menjabat sebagai petugas pertanahan di Kecamatan Jasinga. Setelah mendapat izin, ADR (77 tahun) mulai menggarap lahan. Ketika panen
ADR (77 tahun) membagi hasil
panennya kepada petugas yang memberinya izin, hal ini dilakukan sebagai tanda terima kasih. Selain itu, ADR (77 tahun) juga memilki buku catatan yang berisi daftar wargawarga yang menggarap lahan eks-HGU terutama yang berada di Blok Citeureup. “Setiap tanah yang digarap oleh warga ada dalam buku catatan Abah, ada sekitar 97 orang yang tercatat menggarap lahan eks-HGU yang ada di Desa Pamagersari ini, sehingga Abah kenal dengan orang-orang yang menggarap lahan tersebut. Sebelum masyaraat menggarap lahan mereka meminta izin dulu kepada saya dan kemudian saya catat agar diketahui oleh ASP (pejabat pertanahan pada saat itu yang telah memberikan wewenang kepada ADR). Misalanya seseorang ingin meminta lahan garapan, maka saya katakan silahkan menggarap lahan ini dengan batas dari sini hingga daerah itu (ditentukan sekehendak ADR). Jadi yang ingin berkebun daftar dulu kepada saya. Di dalam buku catatan saya ada yang menggarap lahan dengan luas 500 m2, 300 m2, 250 m2, dan 100 m2.”
Selain itu, ada juga warga yang mendapatkan lahan eks-HGU sebagai warisan dari orang tuanya. Salah satunya adalah SKM (62 tahun), beliau mendapatkan lahan dari orang tuanya yang dulu bekerja sebagai pegawai perkebunan Jasinga. “Bapak memiliki lahan eks-HGU yang luasnya skitar 1,5 hektar. lahan tersebut Bapak dapatkan dari orang tua bapak yang dulu pernah bekerja di perkebunan pada masa Belanda. Sekitar awal tahun 80-an orang tua bapak dipersilahkan mengelola lahan HGU oleh lurah Jasinga pada saat itu (sebelum pemekaran desa). Lahan yang diberikan kepada oarang tua bapak adalah lahan HGU diluar area perkebunan. Pada masa Belanda lahan perkebunan itu terbagi dua, yaitu lahan yang benar-benar ditanami komoditas perkebunan (karet) dan lahan yang dibiarkan berupa hutan belantara. Perkebuan karet dan hutan belantara itu dibatasi oleh parit besar yang lebarnya mencapai 2 meter yang sengaja dibuat untuk resapan air”.
Berdasarkan keterangan di atas, dapat diketahui gambaran struktur pemilikan lahan eks-HGU sebelum adanya program reforma agraria. Jika dikaji lebih dalam, proses pemilikan hak garap lahan eks-HGU sebelum adanya program reforma agraria cukup sederhana. Ketika masyarakat merasa tertarik untuk menggarap, masyarakat
cukup menentukan lahan garapan sesuai keinginannya. Selain itu, terdapat mekanisme perizinan dalam memeperoleh hak garapan lahan eks-HGU, mekanisme ini juga sangat sederhana. Warga yang ingin menggarap lahan eks-HGU cukup meminta izin kepada pejabat pertanahan di Kecamatan Jasinga atau kepada lurah (kepala desa) yang menjabat, sebagai balasannya pada saat panen
si penggarap memberi bagian hasil
panennya kepada pihak yang memberinya izin. Walaupun proses perizinan mendapatkan hak garapan lahan eks-HGU cukup mudah, namun warga yang menggarap tetap merasa tidak tenang. Hal ini dikarenakan mereka menyadari bahwa secara hukum legal formal lahan tersebut memang bukan milik mereka sehingga mereka merasa khawatir jika suatu saat pihak yang lebih berhak akan mengambil lahan garapannya.
6.2 Struktur Kepemilikan Lahan Setelah Sertifikasi Program reforma agraria dilaksanakan untuk menata ulang struktur kepemilikan lahan yang timpang dan merugikan rakyat miskin sehingga terbentuk struktur kepemilikan lahan yang lebih adil dan merata. Sasaran program adalah penduduk termiskin yang tidak memiliki lahan dan diutamakan yang belum memiliki pekerjaan. Pelaksanaan program sertifikasi di Desa Pamagersari juga didasarkan atas azas keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat. Sesuai dengan tujuan yang telah direncanakan pemerintah, pembagian sertifikat pun berhasil dilaksanakan di Desa Pamagersari. Agar pembagian sertifikat lebih merata, maka panggarap asal bersepakat untuk memberikan sebagian lahannya kepada warga yang belum memilki lahan garapan. Hal ini merupakan hasil musyawarah antara pemerintah desa dengan para penggarap asal. Melalui mekanisme sertifikasi lahan yang diberikan oleh pemerintah, hak kepemilikan lahan eks-HGU menjadi jelas karena telah memiliki kekuatan hukum berupa sertifikat tanah. Akan tetapi setelah melakukan peninjauan lebih jauh mengenai pembagian sertifikat lahan ini, terdapat beberapa hal yang mengindikasikan adanya
ketidaktepatan dalam penentuan sasaran penerima sertifikat. Hal ini dijelaskan pada sub bab berikutnya yang membahas adanya indikasi ketimpangan dalam pemilikan lahan.
6.2.1 Indikasi Ketimpangan dalam Kepemilikan Lahan Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara mendalam dengan beberapa responden dan informan, peneliti menduga adanya ketimpangan dalam distribusi kepemilikan lahan eks-HGU. Hal ini dapat dilihat dari tiga pokok permasalahan yang bisa dijadikan indikator adanya ketimpangan itu, antara lain: 1. Akumulasi kepemilikan lahan oleh pihak tertentu. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan beberapa petani, didapatkan informasi yang
menunjukkan adanya upaya pihak-pihak tertentu untuk
mengakumulasi kepemilikan lahan dalam jumlah besar dengan cara membelinya. Hal ini seperti diutarakan oleh SKM (62 tahun). “Ada hal lain yang terjadi dalam masalah sertifikasi ini, menurut bapak sekarang cukup banyak warga (yang mendapatkan lahan) yang telah menjual lahannya karena membutuhkan uang, ironisnya yang sering membeli lahan itu adalah mantan lurah (AFF, 55 tahun) yang sebenarnya juga sudah mendapat jatah lahan dari program setifikasi tersebut.”
Hal ini juga diakui oleh Ibu CH (53 tahun), salah seorang penggarap yang pernah menjual sebagian lahannya kepada AFF (55 tahun). “sebagian lahan ibu telah dijual kepada Lurah AFF tapi masih digarap oleh Saya. Sebenarnya sih ibu juga sayang, tapi bagaimana lagi…”
Mengenai fakta jual-beli lahan eks-HGU ini juga diakui sendiri oleh AFF(55tahun) sebagai pihak yang pernah membeli beberapa lahan eks-HGU setelah program sertifikasi. “Bapak juga pernah membeli lahan eks-HGU, tapi itu bapak lakukan justru untuk menyelamatkan lahan tersebut. Sebelumnya bapak mendengar kabar bahwa ada orang Jakarta yang ingin membeli lahan-lahan eks-HGU tersebut. Bapak sempat marah kepada warga yang akan menjual lahannya.”
“Ngeunah wae sia rek ngajual kana urang laen, aing mah hese-hese ngajuangkeunana. Dieu jual ka Aing wae.” “Enak saja kamu mau menjualnya kepada orang lain, saya sudah susah-susah memperjuangkannya. Sini jual kepada saya!!”
Selain keterangan dari beberapa subjek program sertifikasi, ada juga keterangan yang diutarakan oleh pihak yang tidak termasuk dalam subjek program. adalah NR ( 40 tahun) yang sekarang menjabat sebagai
Salah satunya
Kepala Desa Pamagersari.
“Saya juga pernah mendengar kabar ada warga yang menjual lahan eks-HGU yang diberikan kepadanya. Tapi saya tidak tahu persis siapa orangnya dan berapa banyak lahan yang sudah dijual, karena tidak ada bukti atau laporan tertulis yang masuk ke kantor desa. Biasanya jika ada transaksi jual-beli tanah tercatat di kantor desa, kerana yang bersangkutan memang seharusnya melapor. “
Seorang pegawai BPN Kabupaten Bogor juga memberi keterangan yang serupa, walaupun ZN bukan pegawai yang berwenang dalam pembagian sertifikat lahan di Desa Pamagersari namun beliau pernah mendengar kabar mengenai jual-beli lahan eks-HGU setelah program sertifikasi dilaksanakan. “…..sekarang memang segala sesuatu digembor-gemborkan atas nama rakyat, tapi ujungnya untuk kepentingan golongan atau kelompok tertentu. Program reforma agraria di Kecamatan Jasinga merupakan pilot project, tapi saya dengar-dengar sekarang banyak warga yang sudah ngejual lahannya. Itulah mereka, dikasih bantuan tapi dijual. Akhirnya pemerintah juga nanti yang ditempuhin…”
2. Musyawarah membagi lahan untuk warga yang tidak memilik lahan dan belum bekerja. Seperti yang telah dijelaskan di atas, sebelum pelaksanaan sertifikasi pemerintah desa melakukan musyawarah dengan
para penggarap asal untuk membagi lahan
garapan mereka. Hal ini merupakan langkah yang positif sebagai upaya pemerataan hak agar lebih adil. Namun, dalam pelaksanaannya tidak jelas siapa yang dimaksud dengan “warga yang tidak memiliki lahan dan belum bekerja”, karena pihak yang bukan
penggarap asal namun mendapatkan sertifikat lahan sebagian besar adalah aparat desa (yang menjabat sejak masa lurah AFF) dan ketua RT/RW di Desa Pamagersari. Ratarata mereka mendapat lahan garapan seluas 100 m2 sampai dengan 200 m2. Musyawarah ini bukan sesuatu yang pantas dipermasalahkan seandainya pembagian lahan ini sesuai dengan keinginan dan kesungguhan mereka untuk memanfaatkan lahan secara optimal. Namun, kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya. Beberapa ketua RT yang ditemui, tiga orang di antaranya telah menjual lahan eks-HGU tanpa pernah menggarapnya. 3. Kurang tepatnya sasaran/subjek program Pemerintah dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional telah menetapkan mekanisme penentuan subjek reforma agraria. Untuk memastikan bahwa subjek reforma agraria memenuhi ketentuan, diperlukan mekanisme penentuan subjek reforma agraria. Penentuan subjek didasarkan hasil identifikasi subjek secara teliti, partisipatif, dan dapat dipertanggungjawabkan serta memenuhi kriteria yang ditetapkan. Proses penentuan subjek reforma agraria ini perlu memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku sebagai berikut (BPN, 2007): g. Berasaskan keadilan h. Tidak bersifat diskriminatif baik berdasarkan gender, suku, ras, agama, golongan, dan lain-lain. i. Penentuannya melibatkan partisipasi civil society j. Diselenggarakan mekanisme musyawarah/kesepakatan masyarakat. k. Diidentifikasi atau diusulkan oleh unit administrasi terkecil/terdekat l. Memperhatikan aspek ketepatan dan efektivitas sasaran, sebagai contoh adalah efektivitas faktor usia, jenis usaha, jenis pekerjaan, dan sebagainya.
Jika ditampilkan dalam bentuk matriks, maka dapat diketahui ketentuanketentuan penentuan subjek reforma agraria yang telah dilakukan di Desa Pamagersari, antara lain sebagai berikut: Tabel 15: Ketentuan-ketentuan Penentuan Subjek Reforma Agraria yang Telah Dilakukan. No 1
Ketentuan yang berlaku Berasaskan keadilan
2 3
Tidak bersifat diskriminatif Penentuannya melibatkan partisipasi civil society
4
Diselenggarakan mekanisme musyawarah/kesepakatan masyarakat Diidentifikasi atau diusulkan oleh unit administrasi terkecil/terdekat
5
6
Memperhatikan aspek ketepatan dan efektivitas sasaran, sebagai contoh adalah efektivitas faktor usia, jenis usaha, jenis pekerjaan, dan sebagainya.
Keterangan
(melalui paguyuban kepala desa dan pemerintah desa) (belum)
Menurut peneliti penentuan subjek reforma agraria di Desa Pamagersari kurang memperhatikan faktor ketepatan dan efektivitas subjek sasaran. Hal ini dapat dilihat dari beberapa pernyataan subjek yang terkesan kurang menganggap penting lahan yang didapatkannya. Hal ini seperti pernyataan CP (43 tahun). “….sebelumnya saya gak tau apa-apa, saya dikasih tau sama tetangga. Katanya saya dapet jatah buat RT. Yah saya sih syukur aja kalo dikasih mah, kalo nggak dikasih juga saya ga maksa. Tapi saya ngga ada waktu buat ke kebon, abis saya sibuk di pasar. Saya juga ngga ahli sih kalo disuruh bertani mah….” “….akhirnya ada tetangga saya yang ingin menggarapnya, saya sih silahkan saja. Eh…beberapa bulan kemudian dia bilang kalo tanah saya udah dijual ke orang. Yah…tadinya itu ya, saya mah ngga mau ambil pusing. Yaudah lah kalo sudah dijual mah, mau gimana lagi... Saya dikasih uang 300 rebu, yang 100 rebu saya kasihin ke yang ngejual.”
Rendahnya rasa memiliki ini dipengaruhi oleh jenis usaha atau kemampuan dasar (SDM) yang dimiliki oleh subjek. Selain CP (43 tahun), penjualan lahan eks-HGU juga dilakukan oleh BD (45 tahun) dan SHD (46 tahun), keduanya adalah ketua RT di
Desa Pamagersari. Selain ketiga warga tersebut ada juga AGK (40 tahun) yang mengaku belum sempat mengarap lahan karena beliau sudah memiliki pekerjaan, namun AGK tidak menjual lahannya. Rencananya jika nanti memiliki waktu luang dan cukup modal, lahan yang dimilikinya akan ditanami Jengjeng (Sengon). Reandahnya rasa memiliki diduga sebagai salah satu penyebab dijualnya lahan eks-HGU yang telah diberikan pemerintah. Hal ini bisa dimanfaatkan oleh pihak yang memang ingin membeli lahan eks-HGU tersebut dan tentu saja hal ini tidak sesuai dengan tujuan program reforma agraria di Indonesia.
BAB VII PROGRAM REFORMA AGRARIA DAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PETANI
7.1 Tanggapan Warga Terhadap Program Sertifikasi Berdasarkan keterangan beberapa responden dan informan yang telah ditemui baik mereka yang menjadi sasaran program sertifikasi maupun yang bukan menjadi sasaran, menyatakan bahwa pemberian sertifikat lahan eks-HGU ini benar-benar menggembirakan dan dapat membantu kehidupan warga. Sebelum mendapatkan sertifikat para penggarap lahan eks-HGU mengaku kurang leluasa menggarap lahannya. Hal ini disebabkan ada kekhawatiran bahwa nanti lahan yang sudah digarapnya bertahun-tahun akan diambil lagi oleh pihak yang sebelumnya memiliki HGU. Hal ini serupa dengan apa yang diutarakan oleh CH (53 tahun), dia merasa gembira dan lebih bersemangat menggarap lahan yang kini sudah menjadi hak miliknya. “ Ibu senang sekali mendapatkan sertfikat, Ibu merasa terbantu. Memang Ibu sudah lama menggarap lahan ini, dari sejak masih muda Ibu ikut ADR berkebun di lahan eks-HGU, tapi sebelum mendapatkan sertifikat ibu kadang-kadang merasa was-was. Ibu khawatir lahan yang Ibu garap diambil oleh pihak yang dulu memiliki HGU di sini. Padahal tanaman Ibu sudah banyak, apalagi tanaman Sengon yang sudah lumayan besar. Sekarang sih sudah tenang karena sudah punya sertifikat.”
Pemerintah Desa Pamagersari juga mengutarakan hal serupa seperti, SLH (36 tahun) yang bertugas sebagai staf Kantor Desa Pamagersari mengatakan bahwa program sertifikasi ini benar-benar bermanfaat, warga merasa sangat terbantu. SLH (36 tahun) juga termasuk warga yang menerima bantuan sertifikat, beliau mendapatkan lahan seluas 200 m2.
Selain itu hal serupa juga diutarakan oleh Kepala Desa Pamagersari yang sekarang masih menjabat. “seperti yang saya ketahui melalui cerita warga, program ini benar-benar membantu warga yang menerimanya. Selain mendapatkan hak milik atas lahan garapan eks-HGU, menurut saya yang terpenting adalah rasa aman dan tenang yang mereka rasakan dalam menggarap lahan, mereka tidak merasa takut untuk menggarap lahan kapan pun. Pengaruh lain yang saya perhatikan dari pemberian sertifikat ini adalah meningkatnya semangat kerja para petani dalam mengelola lahan yang sudah menjadi hak miliknya.” (NR, 40 tahun)
Selain pernyataan warga yang sebagian besar mengutarakan kegembiraannya terhadap program sertifikasi ini, ada juga beberapa informan yang ditemui dan mengutarakan pandangan yang berbeda, diantaranya adalah AMM (75 tahun). “Aki juga mengetahui program sertifikasi dari BPN akan dilaksanakan di Desa Pamagersari, namun Aki dengar lahan Aki akan diukur tapi untuk dibagi-bagikan lagi. Menurut Aki ini tidak pantas, masa lahan yang sudah susah payah kita garap harus diberikan kepada orang lain begitu saja.”
Ungkapan ini menunjukkan adanya penolakan AMM (75 tahun) terhadap program sertifikasi, penolakan ini dikarenakan AMM (75 tahun) tidak ingin lahannya dibagi dengan orang lain karena beliau merasa sudah memiliki dan mengolahnya selama berpuluh-puluh tahun dan merasa rugi jika harus dibagi dengan orang lain. Hal berbeda diutarakan oleh salah seorang tokoh masyarakat Desa Pamagersari. JY (58 tahun) melihat adanya ketidakjelasan prosedural yang terjadi dalam proses pembagian lahan eks-HGU ini. Hal ini terlihat dari adanya sejumlah biaya yang harus dikeluarkan oleh warga untuk menebus sertifikatnya, sementara diketahui bahwa program sertifkasi ini pada walanya merupakan program yang tidak dipungut biaya apapun.
7.2 Pemanfaatan Lahan Eks-HGU Jasinga 7.2.1 Membangun Pemukiman
Seperti yang dijelaskan di atas, setelah menerima sertifikat lahan sebagian besar petani di Desa Pamagersari merasa senang dan lebih bersemangat dalam menggarap lahannya. Hal ini terlihat dari rutinitas warga menggarap lahan yang meningkat.
semakin
Semangat kerja yang meningkat juga dapat dilihat dengan adanya
perkampungan baru di Blok Citeureup, yaitu salah satu blok perkebunan eks-HGU. Warga yang membangun perkampuangan baru tersebut berjumlah
14 kepala
keluarga. Beberapa warga dari mereka mengutarakan bahwa alasan mereka membuat pemukiman di Blok Citeureup agar mereka lebih dekat ke ladang sehingga mempermudah penggarapan dan menghemat biaya. Sebenarnya rumah asli mereka masih di Desa Pamagersari namun jaraknya cukup jauh dari lahan eks-HGU yang mereka miliki. Ketika peneliti berkunjung ke lokasi, masyarakat di kampung Citeureup sedang bergotong royong membangun mushola.
Gambar 5. Pemukiman Citereup Mengenai pemanfaatan lahan yang digunakan untuk areal pemukiman, OM (50 tahun) mengutarakan bahwa lahan eks-HGU yang dimilikinya memang digunakan untuk membangun rumah. “Masyarakat di Kampung Citeureup (Blok Citeureup) ini ada yang menggunakan lahannya untuk rumah ada juga yang digunakan untuk berkebun atau ladang. Saya mendapat lahan dari progam sertifikasi hanya digunakan untuk tempat tinggal (didirikan rumah) dengan luas 320 m2 sedangkan untuk lahan lain tidak mendapatkan (yang melalui program sertifikasi). Selain lahan yang digunakan untuk rumah saya juga ada lahan yang
digunakan untuk berkebun tapi itu belum menjadi hak milik (belum ada suratnya) hanya mendapatkan izin menggarap saja dari Pemda Bogor, lokasinya pun bukan di Pamagersari tapi masuk wilayah Desa Jasinga.”
Rumah yang didirikan di Kampung Citeureup (Blok Citeureup) masih berupa rumah yang sangat sederhana, hal ini terlihat dari dinding rumah yang masih terbuat dari bilik bambu, sebagian besar beratap daun kelapa atau daun ilalang, sebagian besar lantai masih berupa tanah.
7.2.2 Areal Pertanian (berkebun, berladang, dan sawah) Selain untuk pemukiman ada juga warung kecil, namun sebagian besar lahan dimanfaatkan untuk bertani. Sebenarnya pemanfaatan lahan eks-HGU sebagai lahan pertanian sudah dilakukan jauh sebelum adanya program
reforma agraria. Pada
umumnya warga memanfaatkan lahan untuk berladang atau berkebun.
Tabel 16 memperlihatkan pemanfaatan lahan eks-HGU berdasarkan jenis pemanfaatan dan lamanya waktu pemanfaatan lahan. Tabel 16: Pemanfaat Lahan Eks-HGU No
Nama
Lamanya menggarap > 5 thn
1
Abah Dira
2 3 4
Aki Momo Bapak Sukatmo Ibu Ciah
> 5 thn > 5 thn) > 5 thn
5 6
Ibu Upik Bapak Cepi
< 5 thn < 5 thn
Bentuk Pemanfatan Rumah, ladang, dan kebun Ladang dan kebun Ladang dan kebun Rumah, ladang dan kebun Belum digarap Tidak digarap (dijual)
Komoditas utama Sengon Sengon Sengon Sengon -
8 9 10 11 12 13 14
Bapak Budi Bapak Soleh Bapak Suhedi Bapak Agus Kosasih Bapak Afif Bapak Sarhan Ibu Oom
< 5 thn < 5 thn < 5 thn < 5 thn > 5 thn < 5 thn < 5 thn
15 16 17 18 19 20
Bapak Oscar Bapak Suhanda Bapak Jaya Bapak Sodik Bapak Ajir Bapak Jajat
< 5 thn < 5 thn > 5 thn < 5 thn < 5 thn > 5 thn
Tidak digarap (dijual) Belum digarap Belum digarap Belum digarap Ladang dan kebun Ladang dan kebun Rumah, warung, dan ladang. Belum digarap Tidak digarap (dijual) Ladang dan kebun Kebun Ladang dan kebun Ladang dan kebun
21
Bapak Ujang
> 5 thn
Ladang dan kebun
Sengon Sengon Sengon Sengon Sengon Sengon Sengon dan Afrika Sengon
Terdapat bermacam-macam tanaman yang ada di atas lahan eks-HGU ini. Pada umumnya warga menanam tanaman ladang yang tergolong memiliki usia pendek seperti singkong, ubi, jagung, dan pisang. Beberapa warga juga menanam buah-buahan yang umurnya lebih panjang seperti durian, manggis, rambutan, nangka, dan cempedak. Selain itu, terdapat warga yang menggunakan lahanya untuk areal persawahan dan padi gogo (huma). Salah satu warga yang memiliki sawah di lahan eks-HGU ini adalah CH (53 tahun), beliau memiliki beberapa petak sawah di belakang rumahnya, sawah ini terletak di Blok Citeureup yang berbatasan dengan Blok Ancol. “Di belakang juga ada sawah Ibu, tapi tidak banyak cuma ada beberapa petak saja. Lumayan untuk kebutuhan sendiri, jika ada sisa terkadang Ibu gunakan untuk sedekah jika ada tetangga atau saudara yang hajatan6.” (CH 53 tahun)
6
Hajatan adalah sebuah acara yang diadakan oleh sebuah keluarga, semacam kenduri atau acara syukuran. Biasanya hajatan dilakukan jika ada warga yang menikah atau khitanan, terkadang juga sebagai acara pemberian nama pada bayi. Kebiasaan warga di Desa Pamagersari jika ada kerabat (saudar atau tetangga) yang hajatan mereka membantunya dengan memberi sedekah berupa beras atau bahan makanan pokok lainnya.
Gambar 6: Sawah CH (53 tahun) yang berbatasan dengan Blok Ancol
Akan tetapi, sebagain besar warga menanami lahannya dengan pohon Sengon (Ambon, Jengjeng, Albasia). Semua responden dan informan yang ditemui mengutarakan bahwa lahan mereka ditanami pohon Sengon. Menurut mereka perawatan pohon Sengon cukup mudah, umur 4-5 tahun sudah dapat dipanen. umumnya banyak pemborong yang mencari pohon Sengon untuk dibeli, para pemborong rata-rata membeli sengon yang talah berumur 4-5 tahun dengan harga Rp. 150.000/batang hingga Rp. 300.000/batang. Hal ini tergantung pada kualitas pohonnya. Untuk bibit Sengon itu sendiri harganya cukup murah, harga bibit sengon dengan ukuran 1 meter berkisar Rp. 1.500/poliybag hingga Rp. 2.500/polybag.
Tabel 17: Pemanfaatan Lahan yang Ditanami Pohon Sengon. Harga bibit/polybag
Rata-rata
dengan panjang 1 m
lamanya masa
penggarap yang
perawatan
menanam Sengon
Rp. 1.500 – Rp. 2.500
4 – 5 tahun
Harga jual/batang
Rp. 150.000 –
Rp. 300.000
Persentase
75 %
Gambar 7: Pohon Sengon yang ditanam di atas lahan eks-HGU yang telah disertifikasi
Selain itu, terdapat warga yang tidak/belum menggarap lahan yang diterimanya. Bahkan diantara mereka ada yang sudah mejualnya kepada orang lain. Warga yang belum menggarap mengutarakan bahwa mereka belum memiliki waktu untuk menggarap lahannya karena mereka sudah memiliki pekerjaan lain. contohnya AGK (40 tahun), beliau merupakan mitra Yamaha Motor dan memilki sebuah dealer di depan rumahnya. “ Saya juga punya lahan, dulu sebelum sertifikasi Saya membeli lahan itu dengan harga Rp. 1500.000 dengan luas 1024 m2, tapi belinya hanya beli garapan. Ketika ada program sertifikasi alhamdulillah saya juga mendapatkan sertifikat. Tapi sampai sekarang lahan itu belum sempat saya garap, rencananya jika ada waktu nanti saya akan tanami Jengjeng (Sengon).”
Selain itu, terdapat responden yang mengutarakan bahwa mereka sedang mengumpulkan modal untuk berkebun. Hal ini seperti diutarakan oleh
SLH (36
tahun) salah seorang staf di kantor Desa Pamagersari yang mendapatkan sertifikat lahan eks-HGU. “Rencananya saya akan menanam Jati Mas, karena tanah di Pamgersari ini sudah diteliti cocok untuk berkebun Jati Mas. Tapi saya akan mengumpulakan modal terlebih dahulu, harga bibit Jati Mas ckup mahal yaitu Rp. 25.000/polybag.”
Pemaparan mengenai pemanfaatan lahan eks-HGU di atas sejalan dengan apa yang diharapkan oleh pemerintah. Akan tetapi, selain itu ada juga beberapa warga yang telah menjual lahannya setelah mereka mendapatkan sertifikat.
7.2.3 Sarana Umum Terdapat beberapa bidang lahan eks-HGU yang digunakan untuk kepentingan umum, diantaranya adalah mushola yang terletak di Perkampungan Citeureup. Mushola ini juga memiliki sertifikat sendiri. Ketika penelitian ini masih berlangsung, warga di Perkampungan Citeureup sedang bergotong royong membangun mushola. Selain itu, ada juga lahan yang digunakan untuk lokasi lapangan sepak bola yang terletak di Kampung Bojong Reundeu.
7.3 Program Reforma Agraria dan Peningkatan Kesejahteraan Petani Reforma agraria merupakan salah satu solusi utama untuk menyelesaikan permasalahan agraria yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Program
reforma
agraria sangat diharapkan dapat mewujudkan pemerataan hak pemilikan lahan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas.
Program land reform yang pernah
direncanakan pada masa pemerintahan Soekarno tidak dapat direalisasikan. Hal ini disebabkan berubahnya kebijakan politik agraria dari populis (Soekarno) menjadi kapitalis (Soeharto/ Orde Baru). Hampir satu dekade pemikiran mengenai pentingnya reforma agraria kembali dicuatkan dan diupayakan agar terwujud. Muaranya adalah pada masa pemerintahan SBY-JK program reforma agraria dapat direalisasikan. Tujuan utama dari program reforma agraria adalah penataan kembali struktur agraria nasional sehingga menjadi lebih adil dan merata. Struktur kepemilikan aset-aset agraria yang adil dan merata disertai dengan pemberian program penunjang berupa kemudahan akses dalam mendapatkan moda produksi (lahan, teknologi, modal finansial, bibit tanaman, dan lain-
lain) serta peningkatan kapasitas sasarana, diharapkan dapat memberikan dorongan bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera. Hal ini pernah disinggung oleh Presiden RI Bapak DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato politiknya7. “Program reforma agraria…secara bertahap…akan dilaksanakan mulai tahun 2007 ini. Langkah itu dilakukan dengan mengalokasikan tanah bagi rakyat termiskin yang berasal dari hutan konversi dan tanah lain yang menurut hukum pertanahan kita boleh diperuntukkan bagi kepentingan rakyat. Inilah yang saya sebut sebagai prinsip tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat…[yang] saya anggap mutlak untuk dilakukan”.
Pada bulan Juni 2007 program reforma agraria dilaksanakan di Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor. Program ini berupa pemberian sertifikat kepada petani yang menggarap lahan eks-HGU Perkebunan Jasinga, salah satunya diperuntukkan bagi petani di Desa Pamagersari. Secara rasional adanya bantuan berupa pemberian lahan ini akan memberi pengaruh terhadap tingkat kesejahteraan sasaran yang mendapatkannya, dalam hal ini terfokus pada kehidupan petani di Desa Pamagersari.
Berdasarkan
informasi
yang
diperoleh,
terdapat
beberapa
hal
yang
mengindikasikan bahwa program reforma agraria di Desa Pamagersari belum dapat memberikan dorongan yang signifikan dalam upaya peningkatan kesejahteraan sasaran program (sebagian besar petani). Beberapa hal yang menyebabkan program reforma agraria
di Desa
Pamagersari belum dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kesejahteraan sasarannya (petani), antar lain: a. Waktu pelaksanaan reforma agraria Program reforma agraria dalam bentuk sertifikasi lahan eks-HGU baru dilaksanakan pada tahun 2007. Jangka waktu ini masih terlalu singkat untuk melihat 7
Penggalan pidato dalam Reforma Agraria (Mandat Politik, Konstitusi. dan Hukum dalam Rangka Mewujudkan “Tanah Untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat”). BPN RI, 2007.
pengaruh yang ditimbulkan, yaitu berupa tingkat kesejahteraan sasaran progarm. Jika setelah mendapatkan sertifikat para petani langsung menggarap lahannya, maka sampai saat ini waktu optimal penggarapan lahan baru berlangsung sekitar 1 sampai 1,5 tahun. Jangka waktu ini hanya cukup untuk menghasilkan tanaman jangka pendek seperti padi, singkong, pisang, ubi, dan jagung. Beberapa responden mengaku pernah menjual beberapa hasil panen tanamannya, namun hasil penjualan itu tidak begitu besar. Hal ini seperti diutarakan oleh CH (53 tahun). “Hasil panen antara lain pisang dan singkong, tadi juga baru saja menjual singkong yang ada di depan seharga Rp. 260.000 dengan cara diborongkan, sekarang hasilnya sedang tidak bagus karena terkena hama, biasanya jika tidak ada kuuk (semacam hama di dalam tanah) hasil penjualan singkong saja bisa mencapai Rp. 1500.000. Untuk pisang perminggu bisa menghasilkan hingga Rp. 80.000 s.d. Rp. 100.000. Sebelum dijual saya terlebih dahulu menyisihkan untuk keperluan keluarga (dikonsumsi sendiri). Selain itu ada juga hasil sawah, setahunnya bisa menghasilkan sekitar Rp. 1500.000 (dua kali panen). Namun sekarang hasil sawah jarang dijual, hanya untuk kebutuhan keluarga saja.”
Jika dilakukan penghitungan matematis dari hasil panen yang didapatkan oleh CH (53 tahun), maka rincian uang yang didapatkan dari hasil panen 1. Panen Padi
: Rp. 1500.000,- (dua kali penen)
2. Panen Singkong
: Rp. 1000.000,-
3. Panen pisang
: Rp. 4500.000,- +
Jumlah
per tahun:
: Rp. 7000.000,-
Jika Rp. 7000.000,- dibagi 12 bulan maka CH (53 tahun) setiap bulannya hanya bisa mendapatkan ± Rp. 580.000,-. Jumlah ini adalah hasil perhitungan kasar, dimana kondisi panen diasumsikan dalam keadaan baik (tidak ada gangguan hama). Jika ada gangguan hama dan ditambah dengan biaya produksi lainnya, tentu saja hasil yang
didapatkan jauh lebih kecil. Tentu saja hasil panen ini belum bisa membuat CH merasa sejahtera secara ekonomi, mengingat harga kebutuhan pokok pada saat ini sangat tinggi. “….tapi pak jika lagi paceklik (kondisi sulit) mah, kadang-kadang ibu juga meminjam uang ke saudara atau tetangga.”
Selain pemaparan di atas, ada juga informan yang mengemukakan hal yang serupa mengenai masih singkatnya masa pemberian sertifikat sehingga sulit melihat dampaknya bagi kesejahteraan sasaran. Hal ini seperti disampaikan oleh SKM (62 tahun). “Sejauh yang bapak amati, warga yang mendapatkan sertifikat belum dapat dikatakan sejahtera sebab program tersebut baru saja dimulai tahun 2007 yang lalu, belum lagi ada warga yang sudah menjual lahnnya.”
Sementara untuk tanaman keras yang memiliki nilai jual cukup tinggi seperti Sengon membutuhkan waktu minimal 3 tahun untuk bisa dipanen.
Rata-rata Sengon
yang ada saat ini baru berumur 6 bulan hingga 1 tahun, dan ini belum layak untuk dijual sehingga belum bisa memberikan hasil bagi petani. b. Belum ada pemberian access reform yang memadai. Access reform merupakan bantuan pelengkap program reforma agraria. Access reform diberikan untuk mengoptimalkan pengusahaan obyek
reforma agraria oleh
penerima manfaat. Access reform ini merupakan rangkaian aktivitas yang saling terkait dan berkesinambungan yang meliputi antara lain:
(a) penyediaan
infrastruktur dan sarana produksi, (b) pembinaan dan bimbingan teknis kepada penerima manfaat, (c) dukungan permodalan, dan (d) dukungan distribusi pemasaran dan dukungan lainnya (BPN RI, 2007). Bentuk access reform yang pernah diberikan adalah bantuan bibit
buah-
buahan sebanyak 200 batang untuk Desa Pamagersari. Jumlah ini jauh dari mencukupi,
selain itu bibit buah-buahan yang diberikan rata-rata memiliki masa panen 4 samapai 5 tahun. c. Kurang optimalnya pemanfaatan lahan oleh sasaran program Kurang optimalnya pemanfaatan lahan oleh sasaran program merupakan
salah
satu sebab kurang signifikannya pengaruh reforma agraria bagi tingkat kesejahteraan petani. Beberapa warga yang termasuk dalam sasaran program mengutarakan bahwa mereka belum sempat menggarap lahan eks-HGU. Hal ini dikarenakan mereka telah memiliki kesibukan dan pekerjaan yang lebih menjanjikan hasilnya daripada menggarap lahan. Salah satunya seperti diutarakan oleh UP (62 tahun). “Ibu bersyukur bisa dapet sertifikat, tapi sampe sekarang ibu belum sempet ngegarap. Abis gimana, ibu sibuk jualan. Jangankan ngegarap de…ngeliat lahannya aja belum..hehehe…abis lokasinya jauh….di Blok Ciledug sana..”
d. Penjualan lahan yang telah disertifikasi Beberapa sasaran program yang berhasil ditemui mengaku telah menjual lahan eks-HGU yang diberikan kepadanya. Bahkan lahan itu belum pernah digarap olehnya. Salah satunya adalah CP (43 tahun), beliau mengatakan: “ …lahan tersebut akhirnya digarap oleh tetangga saya (SHN, 41 tahun). Tanpa sepengetahuan saya lahan tersebut sudah dijual oleh SHN, dan saya diberi uang Rp. 300.000,- tapi ya sudahlah...saya ngga mau ngeributin”
Beda halnya dengan CP (43 tahun) yang membiarkan lahannya dijual oleh SHN (41 tahun). Terdapat warga yang menjual lahan dengan alasan tidak memiliki biaya untuk melanjutkan sekolah anaknya, diantaranya adalah
Ibu CH (53 tahun).
“Saya hanya mendapatkan sedikit lahan, sebagian telah dijual kepada AFF tapi masih digarap oleh saya. Sebagian lahan sudah dijual kepada AFF (55 tahun), namun lahan yang masih ada sawahnya saya pertahankan karena dekat kampung dan hanya itu yang benar-benar milik saya.”
Beberapa faktor di atas nampaknya perlu menjadi perhatian berbagai pihak, diantaranya pemerintah (BPN) sebagai pengampu kebijakan agraria dan warga yang mendapatkan sertifikat. Jika permasalahan-permasalahan di atas tidak dapat terselesaikan, tidak menutup kemungkinan tujuan utama reforma agraria di Indonesia tidak akan pernah tercapai. Walaupun program tersebut sudah berjalan bertahun-tahun lamanaya. Jika kepemilikan materi ekonomi merupakan salah satu patokan untuk melihat tingkat kesejahteraan sasaran program, maka dari informasi dan perhitungan sederhana di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar sasaran program belum dapat dikatakan sejahtera. Akan tetapi, program Reforma Araria di Desa Pamagersari saat ini dapat memberikan pangaruh psikologis (non-material) yang positif. Seluruh subjek program merasa senang dan leluasa menggarap lahannya, dengan memiliki sertifikat para penggarap tidak lagi merasa takut kehilangan lahan garapannya. Midgley, et al (2000: xi) seperti dikutip oleh Suharto (2006) mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagai “…a condition or state of human well-being.” Kondisi sejahtera terjadi manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan dapat dipenuhi; serta manakala manusia memperoleh perlindungan dari resiko-resiko utama yang mengancam kehidupannya. Pembagian sertifikat lahan eks-HGU merupakan langkah pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak penggarap di Desa Pamagersari sehingga masyarakat merasa senang dan lebih leluasa menggarap lahannya kapan pun. Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam kurun waktu dua tahun terlaksananya program Reforam Agraria di Desa Pamagersari, pengaruh yang
dapat terlihat baru sebatas pengaruh secara psikologis. Dimana sasaran merasa senang, leluasa, dan tidak takut kehilangan lahan garapannya. Kesejahteraan psikologis (nonmaterial) ini merupakan modal dasar untuk mewujudkan kesejahteraan ekonomi yang lebih baik pada masa yang akan datang.
BAB VIII PENUTUP 8.1 Kesimpulan Program reforma agraria yang dilaksanakan di Kecamatan Jasinga, khususnya di desa Pamagersari merupakan langkah yang tepat dari pemerintah sebagai upaya mewujudkan keadilan sosial dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Program reforma agraria ini berbentuk pembagian sertifikat lahan eks-HGU kepada para petani yang sudah sejak lama menggarapnya. Selain petani ada juga masyarakat lain yang mendapatkan sertifikat ini, hal ini sesuai dengan musyawarah antara pemerintah desa dan petani penggarap asal. Tujuannya adalah agar pembagian sertifikat lebih merata dan adil. Setelah adanya program sertifikasi, terbentuklah struktur kepemilikan lahan yang baru di Desa Pamagersari. Struktur agraria yang pada awalnya belum jelas menjadi lebih jelas dengan adanya pemberian sertifikat yang memiliki kekuatan hukum. Program ini mampu mewujudkan terbentuknya struktur kepemilikan lahan yang lebih merata dan adil, namun di sisi lain terdapat fakta yang mengindikasikan adanya ketimpangan dalam pemilikan lahan. Hal ini disebabkan karena ada
pihak-pihak tertentu yang berupaya
mengakumulasi kepemilikan lahan eks-HGU dengan cara membelinya, selain itu ada juga sasaran yang sengaja menjual lahannya dengan alasan kebutuhan ekonomi. Program sertifikasi masih sulit dilihat pengaruhnya bagi peningkatan kesejahteraan petani, hal ini dikarenakan program baru berjalan selama dua tahun. Selain itu, terdapat faktor lain yang menyebabkan belum meningkatnya kesejahteraan petani setelah program Reforma Agaria, diantaranya belum adanya pemberian access reform yang memadai untuk sasaran, kurang optimalnya pemanfaatan lahan oleh
sasaran (karena latar belakang SDM yang masih rendah), kurang tepatnya pemilihan sasaran program, serta adanya beberapa penerima manfaat yang telah menjual lahannya. Program sertifikasi di Desa Pamagersari juga memberikan dampak psikologis bagi warga yang menjadi subjek program, di antaranya warga merasa senang mendapatkan sertifikat dan mereka merasa tenang dalam menggarap lahannya.
8.2 Saran Mengingat terdapat beberapa permasalahan yang ditemukan dalam pelaksanaan program reforma agraria di Desa Pamagersari, Kecamatan Jasinga, maka beberapa saran yang dapat direkomendasikan oleh peneliti adalah: 1. Terdapat beberapa indikasi yang dapat menghambat tercapainya tujuan
reforma
agraria, oleh karena itu pemerintah perlu melakukan upaya pengawasan (controlling and monitoring) baik sebelum, saat, maupun setelah program dilaksanakan. 2. Langkah-langkah penentuan subjek program reforma agraria diharapkan dapat benarbenar mengacu pada ketentuan yang telah ditetapkan oleh BPN RI.
Hal yang
perlu mendapat perhatian khusus adalah kesesuaian subjek yang dipilih dengan jenis usaha dan sumber daya manusia yang dimilikinya. Pemberian lahan sebaiknya disesuaikan dengan kemampuan sasaran (SDM) dan kesungguhannya untuk memanfaatkan lahan secara optimal. 3. Kejelasan dan ketegasan prosedural dari pemerintah perlu lebih diperhatikan, terutama mengenai program sertifikasi yang tidak dipungut biaya apapun. Hal ini dilakukan untuk menghindari tanggapan negatif dari masyarakat.
4. Bagi sasaran yang mendapatkan sertifikat diharapkan dapat meningkatkan
rasa
memiliki yang tinggi terhadap lahan yang diberikan sehingga dapat tumbuh keinginan untuk benar-benar memanfaatkan lahan seoptimal mungkin. 5. Upaya-upaya mengakumulasi lahan secara luas perlu dihindari dan dicegah, sehingga azas pemerataan dan keadilan benar-benar dapat terwujud. 6. Mengingat cukup banyaknya petani (sasaran program) yang menanam singkong, ubi, dan pisang, pemberian acces reform berupa pelatihan dan bimbingan teknis pengolahan hasil produksi pertanian akan sangat membantu sasaran. Sehingga hasil panen tersebut tidak hanya untuk dikonsumsi sendiri tetapi dapat diolah menjadi hasil produksi yang memiliki nilai jual.
DAFTAR PUSTAKA
Agusniar, Ami. 2006. Analisis Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap Perekonomian Wilayah dan Kesejahteraan Masyarakat
(Kasus Kabupaten Aceh
Singkil, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam). Tesis. Bogor: Program Pasca Sarjana IPB. Aly, Rahmad Iqbal Nurkhalis B. 2005. Pengembangan Kapasitas Petani Miskin Melalui Program Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Komunitas
(Kasus Proyek
Peningkatan Pendapatan Petani Miskin Melalui Inovasi Kecamatan Donggala, Kabupaten Donggala,
di Desa Langaleso,
Sulawesi Tengah). Tesis. Bogor:
Program Pasca Sarjana IPB. Badan Pertanahan Nasional. 2007. Reforma Agraria: Mandat Politik, Konstitusi, dan Hukum dalam Rangka Mewujudkan “Tanah untuk Keadilan
dan
Kesejahteraan Rakyat”. Jakarta: Badan Pertanahan Nasional RI. Mocodompis, Harison. 2006. Reforma Agraria Dan Upaya Mengatasi Kemiskinan di Indonesia.
http://www.mailarchive.com/proletar@yahoogroups.
com/msg28252.html. (diakses pada tanggal 22 Desember 2007). Munir, Misbahul. 2008. Pengaruh Konversi Lahan Terhadap Tingkat Kesejahteraan Rumah Tangga Petani (Kasus: Desa Candimulyo,
Kecamatan Keretek,
Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah). Skripsi: Bogor. IPB. Profil Desa Pamagersari. 2003. Bogor: Pemerintah Kabupaten Bogor.
Setiawan,
Usep.
2009.
Lahan
Abadi
Pertanian
dan
Reforma
Agraria.
http://www.kpa.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=237&Ite mid=1. (diakses pada tanggal 3 April 2009). Sitorus, MT Felix. 2002. Lingkup Agraria dalam Endang Suhendar et al (ed.). Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi. Bandung: Akatiga. Sitorus, M. T. Felix. 1998. Penelitian Kualitatif suatu Perkenalan. Bogor: Kelompok Dokumentasi Ilmu Sosial. Soetarto, Endriatmo dan Shohibuddin. 2006. Tantangan Pelaksanaan Agraria
dan
Peran
Lembaga
Pendidikan
Kedinasan
Reforma Keagrariaan.
http://nasih.staff.ugm.ac.id/a/tan/20060927%20tan.htm. (diakses pada tanggal 22 Desember 2007). Suryo, Tejo. 2008. Analisis Persepsi Masyarakat Terhadap Program Reforma Agraria Nasional. Tesis. Program Pasca Sarjan IPB. Suharto, Edi. 2006. Peta Dinamika Welfare Satate di Beberapa Negara: Pelajaran Apa yang
Bisa
Dipetik
Untuk
Membangun
Indonesia?.
http://www.policy.hu/suharto/Naskah%20PDF/UGMWelfareState.pdfv.
(diakses
pada tanggal 3 April 2009). Syahyuti. 2004. Perbaikan Sistem Bagi Hasil Sebagai Startegi Prospektif Reforma Agraria. http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/ART02-2b.pdf. (diakses pada tanggal 3 April 2009). Tjondronegoro, M. P. 1999. Sosiologi Agraria. M.T. Felix Sitorus dan Gunawan Wiradi (ed.). Bandung: Akatiga. Utomo, Muhajir, Eddy Rifai, Abdumuthalib Thahar. 1992. Pembangunan dan Pengendalian Alih Fungsi Lahan. Universitas Lampung. Badar Lampung.
Wiradi, Gunawan. 2000. Reforma Agraria: Perjalanan Yang Belum Berakhir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
LAMPIRAN
1. Jadwal Penelitian
Tabel 18: Jadwal Penelitian
No. I.
II.
III.
IV.
ntasi
Kegiatan Proposal dan Kolokium 1. Penyusunan Draft dan Revisi 2. Konsultasi Proposal 3. Kolokium Studi Lapangan 1. Pengumpulan Data 2. Analisis Data Penulisan Laporan 1. Analisis Lanjutan 2. Penyusunan Draft dan Revisi 3. Konsultasi Laporan Ujian Skripsi 1. Ujian 2. Perbaikan Skripsi
1
April 2 3
4
1
Juni 2 3
4
1
Juli 2 3
4
1
Agustus 2 3 4
2. D oku me
Photo 1: Kantor Desa Pamagersari
Photo 3: Salah Satu Warga Penerima Sertifikat
Photo 2: Tugu Jasinga
Photo 4: Keakraban Bersama Warga
Photo 5: Lahan eks-HGU yang Dijadikan Photo 6: Lahan eks-HGU yang Dijadikan Ladang Kebun Sengon
Photo 7: Pemukiman dan Mushola yang Berdiri di atas Lahan Eks-HGU
Photo 8: Lahan Eks-HGU yang Dijadikan Sawah
3. Panduan Wawancara
PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM A. Petunjuk Wawancara mendalam (ideph interview) dilakukan oleh peneliti untuk menggali secara langsung gambaran secara komprehensif berkaitan dengan aspek-aspek kajian. Informasi yang diperoleh disimpan dengan menggunakan alat perekam suara, dan kemudian ditulis dengan menggunakan komputer. B. Wawancara Mendalam Hari, tanggal
:
Lokasi Wawancara
:
Nama & Umur
:
Pekerjaan
:
C. Panduan Pertanyaan (Petugas Pelaksana Program RA) a. Struktur Agraria 1. Menurut anda, bagaimanakah gambaran umum struktur agraria yang terbentuk sebelum adanya RA? 2. Siapakah pihak-pihak yang lebih dominan menguasai lahan yang sekarang dijadikan obyek RA? 3. Bagaimankah pihak-pihak tersebut memanfaatkan lahannya? 4. Bagaimanakah masyarakat memanfaatkan lahan obyek RA sebelum RA? 5. Menurut anda, bagaimanakah gambaran umum struktur agraria yang terbentuk setelah adanya RA? 6. Masih adakah pihak-pihak yang lebih dominan menguasai lahan yang sekarang dijadikan obyek RA? 7. Bagaimankah pihak-pihak tersebut memanfaatkan lahannya? 8. Bagaimanakah masyarakat memanfaatkan lahan obyek RA setelah RA? b. Latar belakang penentuan lokasi RA 1. Mengapa memilih desa ini sebagi lokasi pelaksanaan program RA? 2. Apakah ada tuntutan dari warga atau komponen masyarakat lainnya (LSM), mengapa mereka melakukan tuntutan?
3. Bagaimana hubungannya dengan lahan PT. PJ? 4. Apa tujuan dilaksanakannnya RA? c. Sistem pelaksanaan kegiatan RA 1. Apa saja tugas yang anda lakukan dalam kegiatan program RA di desa ini? 2. Sejak kapan anda menjadi petugas? 3. Bagaimanakah prosedur pelaksanaan RA? 4. Apa saja syarat yang harus dimiliki petani agar mereka bisa mendapatkan bantuan? 5. Bagaimanakah teknis pembagian lahan? 6. Bagaimanakah teknis sertifikasi lahan yang diberikan kepada petani? 7. Lahan yang diberikan bersifat pinjaman atau menjadi hak milik? d. Bentuk kegiatan RA
Apa saja kegiatan RA selain pemberian lahan? e. Komponen masyarakat yang terlibat dalam kegiatan RA
Siapa saja yang dilibatkan dalam pelaksanaan program RA? f. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan RA Bagaimana tanggapan warga terhadap program RA dan terhadap petugas? g. Jenis/bentuk bantuan Apa saja bantuan yang diberikan kepada sasaran/subyek RA? h. Pengaruh yang dirasakan Apakah anda sudah melihat adanya pengaruh dari RA yang dirasakan oleh sasaran/subyek baik secara moril maupun materil? Apa saja pengaruh tersebut? i. Permasalahan yang dihadapi 1. Apa saja kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan program RA? 2. Apakah pernah terjadi konflik, baik ntar warga, antara warga dan pemerintah, atau antara warga dan pihak swasta? 3. Mengapa terjadi konflik? 4. Bagaimakah menyelesaikan konflik tersebut? 5. Kegiatan apa sajakah yang sering mendapatkan hambatan? 6. Bagaimana cara mengatasi hambatan/kendala dalam pelaksanaan RA?
D. Panduan Pertanyaan (Petani yang Menjadi Subyek Program RA) a. Struktur Agraria
1. Menurut anda, bagaimanakah gambaran umum struktur agraria yang terbentuk sebelum adanya RA? 2. Siapakah pihak-pihak yang lebih dominan menguasai lahan yang sekarang dijadikan obyek RA? 3. Bagaimankah pihak-pihak tersebut memanfaatkan lahannya? 4. Bagaimanakah masyarakat memanfaatkan lahan obyek RA sebelum RA? 5. Menurut anda, bagaimanakah gambaran umum struktur agraria yang terbentuk setelah adanya RA? 6. Masih adakah pihak-pihak yang lebih dominan menguasai lahan yang sekarang dijadikan obyek RA setelah program RA dilaksanakan? 7. Bagaimankah pihak-pihak tersebut memanfaatkan lahannya? 8. Bagaimanakah masyarakat memanfaatkan lahan obyek RA setelah RA? b. Profil dan sejarah lokasi 1. Darimana asal nama desa ini? 2. Apakah ada ceria khusus dari desa ini? 3. Apakah desa ini terbetuk sejak awal, atau dari pemekaran desa lain? 4. Apakah mata pencaharaian sebagian besar penduduk desa ini? 5. Tradisi apa saja yang masih berlaku di desa ini?
c. Identitas diri 1. Siapakah nama anda? 2. Sejak kapan anda tingal di desa ini? 3. Apakah anda penduduk asli? 4. Jika tidak, darimanakah asal anda? 5. Apakah kesibukan anda sehari-hari? 6. Sejak kapan anda bekerja? 7. Mengapa anda melakukan pekerjaan itu? 8. Berapa lama alokasi waktu yang anda habiskan untuk melakukan kesibukan utama anda (kapan memulai dan kapan selesai)? 9. Apakah pekerjaan sampingan anda? 10. Mengapa anda mempunyai pekerjaan sampingan? 11. Dalam bekerja apakah ada yang mebantu anda? Siapa?
12. Adakah kesepakatan alokasi hasil usaha antara anda dan orang yang membantu anda bekerja? 13. Jika anda bertani, apa yang anda usahakan dari lahan anda (lahan dimanfaatkan untuk ditanam apa)? 14. Darimanakah anda mendapatakan bibit, pupuk, pestisida, dan peralatan untuk memanfaatkan lahan anda? 15. Berapa kisaran modal produksi untuk lahan anda dalam satu kali musim tanam? 16. Berapa banyak hasil produksi lahan anda? 17. Dikonsumsi sendiri atau dijual? 18. Apakah hasil panen musim ini mencukupi untuk konsumsi hingga panen musim depan? 19. Jika tidak, bagaimana anda mensiasatinya? 20. Apakah karena panen musim ini anda masih dapat melakukan produksi untuk musim depan? 21. Jika tidak, bagaimana anda mensiasatinya? d. Latar belakang penentuan lokasi RA Apakah anda mengetahui mengapa desa ini dijadikan lokasi pelaksanaan RA? e. Persepsi/tanggapan masyarakat terhadapa RA 1. Bagaiman tanggapan anda dengan adanya RA di desa ini? 2. Bagaimanakah perasaan anda menjadi sasaran/subyek RA di desa ini? 3. Bagaimana tanggapan anda tehadap petugas?
f. Partisipasi dalam kegiatan RA 1. Kegiatan RA apasajakah yang pernah anda ikuti? 2. Apakah sekarang anda masih aktif mengikutinya? 3. Jika tidak, mengapa? g. Pengetahuan mengenai RA 1. Apakah yang dimaksud dengan RA? 2. Darimana anda mengetahuinya? h. Bantuan yang diterima Selain pemberian lahan, bantuan apa saja yang pernah diberikan kepada anda? i. Pengaruh yang dirasakan
1. Apakah anda merasakan manfaat dari lahan yang diberikan kepada anda? – tolong ceritkan! 2. Ceritakan apa perubahan yang terjadi pada kehidupan anda dan keluarga dengan adanya bantuan program RA ini! 3. Apakah anda meraskan manfaat dari kegiatan-kegiatan penunjang program RA yang anda ikuti? Tolong ceritakan! j. Hambatan yang dihadapi dalam mengikuti program RA? 1. Apakah kendala yang anda alami dalam mengikuti program RA? 2. Bagaimanakah anda mengatasinya? 3. Adakah yang membantu anda dalam mengatasi kendala tersebut? k. Kepemilikan lahan 1. Berapkah luas lahan yang anda miliki dari RA? 2. Berapakah luas lahan yang anda miliki selain dari RA? 3. Menurut anda apakah lahan yang anda miliki sudah mencukupi untuk menopang kehidupan anda? Jika belum, mengapa? l. Pertanyaan lain 1. Jika anda memiliki anak, berapakah jumlah anak yang anda miliki? 2. Apakah anak anda ada yang bersekolah? 3. Jika ada, berapa yang bersekolah dan pada jenjang apa? 4. Jika tidak, mengapa tidak bersekolah? 5. apakah hasil panen cukup membiayai sekolah anak anda? 6. Jika tidak, bagaimana anda mensiasatinya? 7. Apakah ada bantuan dari pemeritah aatu pihak lain?