DAMPAK INDUSTRIALISASI PEDESAAN TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT (Kasus Desa Ciherang Pondok, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor)
THESSA AYUNINGTIAS
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2017
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Dampak Industrialisasi Pedesaan terhadap Kesejahteraan Masyarakat di Desa Ciherang Pondok, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2017
Thessa Ayuningtias NIM I34130016
ABSTRAK THESSA AYUNINGTIAS. Dampak Industrialisasi Pedesaan terhadap Kesejahteraan Masyarakat. Dibimbing oleh MURDIANTO. Industrialiasasi pedesaan merupakan suatu langkah pembangunan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Kegiatan industri ini tidak dipusatkan di perkotaan, melainkan mendorong pertumbuhan ekonomi di tingkat pedesaan dengan tujuan agar pembangunan tersebar secara merata hingga ke lapisan akar rumput. Hadirnya industri di pedesaan, jika dilihat dari aspek sosial telah menggeser kehidupan pertanian. Sedangkan dari aspek ekonomi, berdirinya suatu industri di pedesaan dapat membuka kesempatan bekerja dan kesempatan berusaha bagi warga sekitar. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan hubungan dampak industrialisasi pedesaan dengan kesejahteraan masyarakat antara kelompok dengan pola nafkah industri dan non industri. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode survei dan didukung oleh data kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hubungan dampak industrialisasi pedesaan dengan kesejahteraan masyarakat antara kelompok dengan pola nafkah industri dan non industri. Kata kunci: industrialisasi pedesaan, pembangunan, kesejahteraan masyarakat
ABSTRACT THESSA AYUNINGTIAS. The Impact of Rural Industrialization towards Community Welfare. Supervised by MURDIANTO. Rural industrialization is a development step to push the economic growth. Implementation of rural industrialization program is not centered in the city but in rural area with purpose so that the development could disperse evenly until the grassroot level. The presence of industry in rural affects in shifting from agriculture to non agriculture. Meanwhile from an economic view, the presence of industry could open an employment and business opportunity for the people around there. The aim of this research is to analyze the correlation of the impact of rural industrialization with community welfare between them who have livelihood in industrial and non industrial sectors. This research is using quantitative approach with survey method and supported by qualitative data. The result ofthis study shows that there are different correlations in the impact of rural industrialization with community welfare between them who have livelihood in industrial and non industrial sectors. Keywords: rural industrialization, development, community welfare
DAMPAK INDUSTRIALISASI PEDESAAN TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT (Kasus Desa Ciherang Pondok, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor)
THESSA AYUNINGTIAS I34130016
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2017
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Dampak Industrialisasi Pedesaan terhadap Kesejahteraan Masyarakat di Desa Ciherang Pondok, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor” ini dengan baik tanpa hambatan dan masalah yang berarti. Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik karena dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Bapak Ir. Murdianto, Msi sebagai dosen pembimbing yang telah dengan sabar membimbing dan memberi masukan serta kritik dan koreksi kepada penulis selama proses penulisan hingga penyelesaian skripsi ini. 2. Bapak Dr. Ivanovich Agusta, SP, Msi sebagai dosen penguji utama yang telah memberikan berbagai masukan dalam penyempurnaan skripsi ini. 3. Ibu Dr. Rina Mardiana, SP, Msi sebagai dosen penguji akademik yang telah memberikan masukan dalam perbaikan skripsi ini khususnya mengenai format penulisan yang baik. 4. Ayahanda A. Saepudin dan Ibunda Ernawati selaku orangtua tercinta serta seluruh keluarga yang selalu memberikan dukungan, do‟a dan kasih sayang yang sangat berharga bagi penulis. 5. Saudara Reynaldi Saputra yang telah menjadi sumber penyemangat serta telah memberikan dukungan terbaiknya mulai dari proses penjajagan lokasi penelitian hingga terselesaikannya skripsi ini. 6. Seluruh keluarga SKPM 50 yang telah menemani dalam proses perkuliahan serta memberikan dukungan berupa saran, kritik, pengalaman, canda, tawa dan do‟a selama proses penyelesaian skripsi. 7. Semua pihak yang telah memberikan kontribusi, dukungan dan doa kepada penulis selama ini khususnya pemerintah dan warga Desa Ciherang Pondok, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor. Penulis menyadari bahwa dalam karya ini masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat peneliti harapkan. Penulis berharap kajian mengenai “Dampak Industrialisasi Pedesaan terhadap Kesejahteraan Masyarakat di Desa Ciherang Pondok, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor” dapat bermanfaat bagi orang lain dan khazanah ilmu pengetahuan. Bogor, Januari 2017
Thessa Ayuningtias
DAFTAR ISI PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Masalah Penelitian
3
Tujuan Penelitian
3
Kegunaan Penelitian
4
PENDEKATAN TEORITIS
5
Tinjauan Pustaka
5
Industrialisasi
5
Industrialisasi Pedesaan
6
Dampak Industrialisasi Pedesaan
7
Kesejahteraan
8
Dampak Industrialisasi Pedesaan terhadap Kesejahteraan Masyarakat
11
Kerangka Pemikiran
13
Hipotesis Penelitian
13
METODOLOGI PENELITIAN
15
Pendekatan Penelitian
15
Lokasi dan Waktu Penelitian
16
Teknik Penentuan Informan dan Responden
16
Teknik Pengumpulan Data
17
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
17
Definisi Operasional
18
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Umum Desa Ciherang Pondok, Kabupaten Bogor
21 21
Kondisi Geografis
21
Kondisi Demografis
21
Kondisi Ekonomi
22
Kondisi Pendidikan dan Kesehatan
23
Kondisi Sarana dan Prasarana
24
Sejarah Industrialisasi Desa Ciherang Pondok, Kabupaten Bogor
25
DAMPAK INDUSTRIALISASI PEDESAAN
27
Peluang Kerja dan Usaha Non Pertanian
27
Jual Beli Lahan
29
KESEJAHTERAAN MASYARAKAT Tingkat Pendapatan
33 33
Akses Pendidikan
34
Akses Kesehatan
36
Kondisi Tempat Tinggal serta Fasilitas yang Dimiliki
39
DAMPAK INDUSTRIALISASI KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
PEDESAAN
TERHADAP 41
Hubungan Peluang Kerja atau Usaha Non Pertanian dengan Tingkat Pendapatan 41 Hubungan Peluang Kerja atau Usaha Non Pertanian dengan Akses Pendidikan 43 Hubungan Peluang Kerja atau Usaha Non Pertanian dengan Akses Kesehatan 45 Hubungan Peluang Kerja atau Usaha Non Pertanian dengan Kondisi Tempat Tinggal serta Fasilitas yang Dimiliki 47 Hubungan Jual Beli Lahan dengan Tingkat Pendapatan
48
Hubungan Jual Beli Lahan dengan Akses Pendidikan
50
Hubungan Jual Beli Lahan dengan Akses Kesehatan
51
Hubungan Jual Beli Lahan dengan Kondisi Tempat Tinggal serta Fasilitas yang Dimiliki 53 SIMPULAN DAN SARAN
55
Simpulan
55
Saran
56
DAFTAR PUSTAKA
57
LAMPIRAN
59
RIWAYAT HIDUP
73
DAFTAR TABEL Tabel 1 Tabel 2 Tabel 3 Tabel 4 Tabel 5 Tabel 6 Tabel 7 Tabel 8 Tabel 9 Tabel 10 Tabel 11 Tabel 12
Tabel 13 Tabel 14 Tabel 15 Tabel 16 Tabel 17
Tabel 18
Tabel 19
Tabel 20
Perbandingan jumlah penduduk berumur 15 tahun ke atas serta lapangan pekerjaan utama pada sektor pertanian dan industri Perbandingan perubahan kesempatan kerja sektor pertanian dan industri pengolahan (dalam persen) Komposisi lahan di Desa Ciherang Pondok, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor tahun 2015 Jumlah dan persentase penduduk menurut jenis kelamin di Desa Ciherang Pondok tahun 2015 Jumlah dan persentase penduduk menurut kelompok umur di Desa Ciherang Pondok tahun 2015 Jumlah dan persentase jenis pekerjaan penduduk Desa Ciherang Pondok tahun 2015 Jumlah dan persentase tingkat pendidikan penduduk Desa Ciherang Pondok tahun 2015 Jumlah dan persentase industri di tiap desa Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor tahun 2013 Nama, jenis, skala dan lokasi industri di Desa Ciherang Pondok tahun 2016 Jumlah dan persentase responden industri berdasarkan jenis pekerjaan dan periode waktu di Desa Ciherang Pondok tahun 2016 Jumlah dan persentase responden non industri berdasarkan jenis pekerjaan dan periode waktu di Desa Ciherang Pondok tahun 2016 Jumlah luas lahan yang dijual dan dibeli responden berdasarkan peruntukan lahan dan periode waktu di Desa Ciherang Pondok tahun 2016 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendapatan dan periode waktu di Desa Ciherang Pondok tahun 2016 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan dan periode waktu di Desa Ciherang Pondok tahun 2016 Jumlah dan persentase responden penderita penyakit dalam tiga bulan terakhir Jumlah dan persentase responden berdasarkan fasilitas kesehatan dan periode waktu di Desa Ciherang Pondok tahun 2016 Jumlah dan persentase perubahan kondisi tempat tinggal dan fasilitas yang dimiliki responden berdasarkan karakteristik indikator nasional dan periode waktu di Desa Ciherang Pondok tahun 2016 Jumlah dan persentase tingkat peluang kerja atau usaha non pertanian dan tingkat pendapatan masyarakat di Desa Ciherang Pondok tahun 2016 Jumlah dan persentase tingkat peluang kerja atau usaha non pertanian dan akses pendidikan masyarakat di Desa Ciherang Pondok tahun 2016 Jumlah dan persentase tingkat peluang kerja atau usaha non pertanian dan akses kesehatan masyarakat di Desa Ciherang Pondok tahun 2016
1 7 21 22 22 23 24 25 26 27 28
30 33 35 36 37
40
41
43
45
Tabel 21 Jumlah dan persentase tingkat peluang kerja atau usaha non pertanian dan kondisi tempat tinggal serta fasilitas yang dimiliki responden di Desa Ciherang Pondok tahun 2016 Tabel 22 Jumlah dan persentase tingkat jual beli lahan dan tingkat pendapatan masyarakat di Desa Ciherang Pondok tahun 2016 Tabel 23 Jumlah dan persentase tingkat jual beli lahan dan akses pendidikan masyarakat di Desa Ciherang Pondok tahun 2016 Tabel 24 Jumlah dan persentase tingkat jual beli lahan dan akses kesehatan masyarakat di Desa Ciherang Pondok tahun 2016 Tabel 25 Jumlah dan persentase tingkat jual beli lahan dan kondisi tempat tinggal serta fasilitas yang dimiliki responden di Desa Ciherang Pondok tahun 2016 Tabel 26 Definisi operasional dampak industrialisasi Tabel 27 Definisi operasional tingkat kesejahteraan
47 48 50 51
53 70 70
DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Kerangka pemikiran dampak industrialisasi pedesaan terhadap kesejahteraan masyarakat 13 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Sketsa Lokasi Penelitian Lampiran 2 Dokumentasi Penelitian Lampiran 3 Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2016-2017 Lampiran 4 Daftar Nama Responden Lampiran 5 Hasil Uji Korelasi Rank Spearman Lampiran 6 Definisi Operasional
60 61 62 63 64 70
PENDAHULUAN Latar Belakang Secara umum, prospek pembangunan sebuah negara mengarah kepada hal perbaikan dan perkembangan dari kondisi sebelumnya. Jika ditinjau lebih spesifik, pembangunan khususnya dalam sektor ekonomi bertujuan untuk mencapai sebuah tingkat dimana masyarakat dinilai sejahtera. Rahardjo (1984) mengatakan bahwa industrialisasi sering dianggap sebagai „pintu masuk‟ untuk membawa masyarakat ke arah kemakmuran, paling tidak sebagai „motor‟ penggerak dalam pembangunan ekonomi. Sedangkan menurut Tambunan (2001), pengalaman di hampir semua negara menunjukkan bahwa industrialisasi sangat diperlukan karena menjamin pertumbuhan ekonomi. Hanya sebagian kecil negara, dengan jumlah penduduknya yang sedikit dan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, dapat berharap mencapai tingkat pendapatan per kapita yang tinggi tanpa proses industrialisasi. Seperti yang dipaparkan oleh Gandi (2011), Indonesia yang dikenal dengan negara agraris berusaha untuk meningkatkan laju pertumbuhan di sektor industri dalam beberapa puluh tahun terakhir karena sektor ini dianggap mampu memacu perekonomian negara. Hal tersebut didukung dengan data dari BPS (2016) yang menunjukkan bahwa di Jawa Barat, jumlah masyarakat yang bekerja pada sektor industri terus meningkat setiap tahunnya sementara pada sektor pertanian terus mengalami penurunan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sektor pertanian saat ini kurang mampu menyerap tenaga kerja. Sedangkan sektor non pertanian khususnya industri dilansir mampu membuka peluang kerja yang besar bagi masyarakat. Tabel 1 Perbandingan jumlah penduduk berumur 15 tahun ke atas serta lapangan pekerjaan utama pada sektor pertanian dan industri No 1 2
Sektor Pertanian Industri
Jumlah Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas 1985 1995 2005 2015 5.053.079 4.603.776 3.954.974 3.542.464 953.402 2.538.023 2.743.978 3.982.044
Sumber: Badan Pusat Statistik (2016)
Landasan penting Undang-undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian menyatakan bahwa perindustrian diselenggarakan dengan tujuan: a) mewujudkan industri nasional sebagai pilar dan penggerak perekonomian nasional; b) mewujudkan kedalaman dan kekuatan struktur industri; c) mewujudkan industri yang mandiri, berdaya saing, dan maju, serta Industri Hijau; d) mewujudkan kepastian berusaha, persaingan yang sehat, serta mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perseorangan yang merugikan masyarakat; e) membuka kesempatan berusaha dan perluasan kesempatan kerja; f) mewujudkan pemerataan pembangunan industri ke seluruh wilayah Indonesia guna memperkuat ketahanan nasional; dan g) meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan. Berkaitan dengan kebijakan tersebut, untuk mewujudkan pemerataan pembangunan nasional maka kegiatan perindustrian dipenetrasikan ke daerah pedesaan. Pertumbuhan angkatan kerja yang relatif tinggi di pedesaan dengan
2
keterbatasan penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian tanaman pangan, menempatkan peranan industri sebagai alat pembangunan pedesaan. Industrialisasi pedesaan merupakan suatu pembangunan dimana desa didorong untuk bertransformasi menjadi penyangga perekonomian bangsa. Selain itu, konsep industrialisasi pedesaan merupakan pemikiran alternatif untuk menjawab kebutuhan pengembangan perekonomian pedesaan. Kehadiran industri menyebabkan perubahan-perubahan di dalam bidang sosial-ekonomi seperti perubahan pemilikan dan pemanfaatan lahan, perubahan profesi dan perubahan pendapatan penduduk (Wijaya 2001). Sedangkan Tambunan (1989) mengungkapkan fungsi industrialisasi pedesaan yang lebih luas dari hanya sekedar untuk pemerataan pendapatan dan perluasan kesempatan kerja, antara lain adalah untuk: 1) mendorong pertumbuhan pedesaan dengan mendiversifikasi sumber pendapatan; 2) meningkatkan dampak pertumbuhan permintaan di dalam atau di luar suatu daerah; 3) meningkatkan kesempatan kerja baru; 4) mendekatkan hubungan fungsional antara pertanian dengan sektor urban atau industri; 5) meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan industri; dan 6) mengurangi kemiskinan di pedesaan. Sayangnya, pembangunan nasional seperti yang diharapkan Indonesia terbilang belum merata. Masih adanya perbedaan tingkat kesejahteraan antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Ketidaksejahteraan khususnya yang terjadi di pedesaan dapat dilihat dari angka kemiskinan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa di Indonesia angka kemiskinan di pedesaan lebih besar dibandingkan dengan di perkotaan. Menurut data yang dikeluarkan Januari 2016, terhitung hingga September 2015 jumlah kemiskinan di perkotaan tercatat sebesar 10.61 juta jiwa sedangkan di pedesaan sebesar 17.89 juta jiwa (BPS 2016). Menurut Purwanto (2003), hal ini dikarenakan alasan sebenarnya pembangunan industri di pedesaan adalah menekan biaya produksi karena upah buruh masyarakat desa yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat perkotaan. Selain itu, sistem kontrak yang diterapkan oleh sebagian besar industri semakin memperlemah posisi tawar masyarakat desa. Hal tersebut dapat dikarenakan pola pengembangan industri besar yang padat modal dengan prinsip efisiensi diterapkan melalui penggunaan alat modern sehingga membatasi penggunaan tenaga kerja berdasarkan keahlian tertentu, yang pada gilirannya menyebabkan tersingkirnya sejumlah masyarakat dari sektor tradisional. Berdasarkan data yang diperoleh dari Kecamatan Caringin dalam Angka (BPS 2013), Desa Ciherang Pondok merupakan desa dengan jumlah industri terbanyak yaitu 7 dari total 26 industri yang berada di Kecamatan Caringin atau sebesar 26,9 persen. Industri yang berada di desa tersebut berskala sedang dan besar. Industri-industri tersebut telah hadir sejak tahun 2003 dan hampir setiap tahunnya mengalami pertambahan jumlah. Hal ini tentu membawa berbagai perubahan sosial ekonomi bagi masyarakat sekitar. Perubahan-perubahan yang terjadi antara lain alih fungsi lahan pertanian, migrasi, hingga peluang bekerja dan berusaha. Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai bagaimana dampak industrialisasi pedesaan terhadap kesejahteraan masyarakat di Desa Ciherang Pondok, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor.
3
Masalah Penelitian Industri di pedesaan merupakan salah satu kegiatan desentralisasi dalam rangka pembangunan nasional. Sektor industri ini umumnya bertujuan untuk mengatasi masalah sosial ekonomi seperti masalah pengangguran dan mewujudkan masyarakat yang sejahtera khususnya di pedesaan. Namun menurut Purwanto (2003), hadirnya industri di pedesaan memiliki alasan lain yaitu sebagai upaya perusahaan untuk menekan biaya produksi. Hal tersebut dikarenakan upah tenaga kerja di pedesaan yang relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan upah perkotaan. Terlepas dari masalah tersebut, keberadaan industri di pedesaan telah menimbulkan dampak sosial ekonomi yang nyata antara lain alih fungsi dan kepemilikan lahan pertanian serta membuka peluang kerja dan berusaha di sekitar kawasan industri. Hal ini diharapkan dapat berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat sekitar industri di Desa Ciherang Pondok. Semakin tinggi dampak keberadaan industri yang dirasakan masyarakat diharapkan dapat berakibat pada semakin tingginya tingkat kesejahteraan masyarakat. Namun dikhawatirkan, peluang bekerja dan berusaha pada industri di pedesaan kurang mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya. Oleh karena itu, pertanyaan pokok dalam penelitian ini adalah bagaimana hubungan dampak industrialisasi pedesaan dengan kesejahteraan masyarakat? Jika meninjau pada standar nasional dari BPS, terdapat beberapa indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan seseorang maupun rumah tangganya. Maka dari itu, menarik untuk meneliti bagaimana hubungan peluang kerja/usaha non pertanian maupun jual-beli lahan dengan tingkat pendapatan, akses terhadap pendidikan dan kesehatan, serta kondisi tempat tinggal dan fasilitas yang dimiliki? Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah menganalisis dampak keberadaan industri terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar di Desa Ciherang Pondok. Tujuan khusus penelitian ini, yakni: 1. Menganalisis hubungan peluang kerja/usaha dengan tingkat pendapatan. 2. Menganalisis hubungan peluang kerja/usaha dengan akses terhadap pendidikan. 3. Menganalisis hubungan peluang kerja/usaha dengan akses terhadap kesehatan. 4. Menganalisis hubungan peluang kerja/usaha dengan kondisi tempat tinggal serta fasilitas yang dimiliki. 5. Menganalisis hubungan jual-beli lahan dengan tingkat pendapatan. 6. Menganalisis hubungan jual-beli lahan dengan akses terhadap pendidikan. 7. Menganalisis hubungan jual-beli lahan dengan akses terhadap kesehatan. 8. Menganalisis hubungan jual-beli lahan dengan kondisi tempat tinggal serta fasilitas yang dimiliki.
4
Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi berbagai pihak, diantara lain: 1. Akademisi Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber informasi mengenai dampak keberadaan industri di pedesaan terhadap kesejahteraan masyarakat serta menjadi referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya. 2. Masyarakat Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan masyarakat mengenai dampak keberadaan industri dan kesejahteraan masyarakat. 3. Instansi terkait Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan kepada industri untuk pengembangan industri serta pengaruhnya terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat setempat.
PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Industrialisasi Industrialisasi pada dasarnya merupakan suatu proses kerja yang didasarkan pada pemanfaatan teknologi untuk mendapatkan hasil secara efisien. Industrialisasi dapat berbentuk pemanfaatan teknologi melalui penggantian peralatan tradisional dengan mesin-mesin modern maupun berupa penggantian manajemen usaha yang tradisional dengan manajemen modern. Sebagai salah satu strategi modernisasi, industrialisasi dapat digunakan sebagai pemicu perubahan sosial. Melalui industrialisasi peranan teknologi menjadi semakin penting untuk diterapkan dalam proses produksi. Akibatnya hubungan antar manusia (human relations) menjadi berubah, demikian juga struktur sosial masyarakat di sekitarnya. Industrialisasi yang semula sebagai sebuah sistem yang diterapkan dalam usaha-usaha produksi pabrik, kemudian memengaruhi komunitas secara keseluruhan. Pada saat teknologi dimanfaatkan untuk melakukan produksi massal, maka industrialisasi menjadi faktor penggerak utama (prime mover) terjadinya perubahan sosial (Ponsioen dalam Purwanto 2003). Industrialisasi memiliki pengertian yang sangat luas. Konsep industrialisasi menurut Tambunan (1989) menjelaskan bahwa industrialisasi merupakan suatu proses interaksi antara pengembangan teknologi, inovasi, spesialisasi, dan perdagangan antarnegara yang pada akhirnya sejalan dengan meningkatnya pendapatan masyarakat dan mendorong perubahan struktur ekonomi. Sedangkan Pangestu et al. (1996) memiliki pandangan lain, menurutnya industrialisasi merupakan proses interaksi antara pembangunan teknologi, spesialisasi dan perdagangan yang pada akhirnya mendorong perubahan struktur ekonomi. Adapun istilah industrialisasi berarti munculnya kompleks industri yang besar dimana produksi dari cara yang masih tradisional ke cara modern, dalam segi ekonomi, industrialisasi berarti munculnya kompleks industri yang besar dimana produksi barang-barang konsumsi dan barang-barang sarana produksi, diusahakan secara massal (Dharmawan seperti dikutip pada Soesilowati 1988). Menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, industri adalah seluruh bentuk kegiatan ekonomi yang mengolah bahan baku dan/atau memanfaatkan sumber daya industri sehingga menghasilkan barang yang mempunyai nilai tambah atau manfaat lebih tinggi, termasuk jasa industri. Bahan baku adalah bahan mentah, barang setengah jadi, atau barang jadi yang dapat diolah menjadi barang setengah jadi atau barang jadi yang mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi. Perindustrian diselenggarakan dengan tujuan: a) mewujudkan industri nasional sebagai pilar dan penggerak perekonomian nasional; b) mewujudkan kedalaman dan kekuatan struktur industri; c) mewujudkan industri yang mandiri, berdaya saing, dan maju, serta Industri Hijau; d) mewujudkan kepastian berusaha, persaingan yang sehat, serta mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perseorangan yang merugikan masyarakat; e) membuka kesempatan berusaha dan perluasan kesempatan kerja; f) mewujudkan pemerataan pembangunan industri ke seluruh wilayah Indonesia guna memperkuat ketahanan nasional; dan g) meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan.
6
Industri dapat dikategorikan berdasarkan jumlah tenaga kerja yang dipergunakan. Menurut Biro Pusat Statistik, berdasarkan jumlah tenaga kerja yang dipergunakannya industri dapat diklasifikasikan menjadi empat kategori, yaitu: 1) industri besar dengan jumlah pekerja 100 orang atau lebih; 2) industri sedang dengan jumlah pekerja 20-99 orang; 3) industri kecil yang mempekerjakan 5-19 orang; dan 4) industri kerajinan rumah tangga dengan jumlah pekerja kurang dari 5 orang (Purwanto 2003). Industrialisasi Pedesaan Industrialisasi saat ini tidak hanya tumbuh di daerah-daerah perkotaan, namun sudah mulai merambah ke pedesaan atau yang lebih dikenal dengan industrialisasi pedesaan. Tambunan (1989) dalam seminarnya menyampaikan bahwa industrialisasi pedesaan di Indonesia cenderung diartikan sebagai alat pembangunan pedesaan (dengan ukuran industri kecil dan rumah tangga) dan bukan bagian pembangunan industri yang berfungsi meningkatkan produktivitas ekonomi. Fungsi industrialisasi pedesaan yang lebih luas dari hanya sekedar untuk pemerataan pendapatan dan perluasan kesempatan kerja, antara lain adalah untuk: 1) mendorong pertumbuhan pedesaan dengan mendiversifikasi sumber pendapatan; 2) meningkatkan dampak pertumbuhan permintaan di dalam atau di luar suatu daerah; 3) meningkatkan kesempatan kerja baru; 4) mendekatkan hubungan fungsional antara pertanian dengan sektor urban atau industri; 5) meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan industri; dan 6) mengurangi kemiskinan di pedesaan. Menurut Tambunan dan Djaimi (2010), program industrialisasi pedesaan merupakan usaha untuk memajukan masyarakat yang masih agraris ke arah masyarakat industrial. Pengembangan program ini harus berpedoman pada arah pertumbuhan kegiatan non pertanian dalam pendapatan rumah tangga petani. Salah satu syarat penting dalam industrialisasi pedesaan berdasarkan resource based (pertanian dan nonpertanian) memerlukan produktivitas pertanian yang meningkat untuk (pembiayaan) pembangunan industri. Hubungan industri dan pertanian lebih bersifat komplementer. Sulasmono (1994) mengungkapkan bahwa pembangunan industri meliputi tujuh pokok, yaitu: (1) perijinan aras desa, (2) penentuan lokasi pabrik, (3) pembebasan tanah, (4) peluang kerja di pabrik, (5) peluang usaha, (6) migrasi, (7) polusi. Ketujuh hal tersebut melahirkan kontrak politik antara sebagian elit desa dan dengan pihak pabrik, terutama dalam hal perijinan tingkat desa dan penentuan lokasi pabrik. Industrialisasi pedesaan menerapkan teknologi untuk meningkatkan produksi sesuai perkembangan masyarakat dan lingkungan pasar. Industrialisasi pedesaan sangat terkait dengan usaha skala kecil dan menengah sebagai pemain terbesar. Menurut Tambunan dan Djaimi (2010), industrialisasi pedesaan bertujuan antara lain mendorong pertumbuhan pedesaan dengan mendiversifikasi sumber pendapatan, meningkatkan kesempatan kerja baru, meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan usaha, mendekatkan hubungan fungsional sektor pertanian dan sektor usaha, mengendalikan urbanisasi dan mengurangi kemiskinan di pedesaan. Sehingga dapat dikatakan bahwa industrialisasi pedesaan merupakan suatu usaha di pedesaan dalam meningkatkan nilai tambah suatu produk guna meningkatkan nilai jual suatu produk. Tujuan industrialisasi pedesaan adalah untuk mendorong
7
pertumbuhan pedesaan dan meningkatkan kesempatan kerja baru bagi masyarakat pedesaan yang diharapkan dapat mengurangi penggangguran dan kemiskinan yang sangat berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat di pedesaan. Dampak Industrialisasi Pedesaan Rahardjo (1984) dalam bukunya menyatakan bahwa dampak industrialisasi pedesaan merupakan perubahan-perubahan di dalam bidang sosial-ekonomi yang terjadi di pedesaan sebagai akibat hadirnya industri. Perubahan-perubahan tersebut seperti perubahan pemilikan dan pemanfaatan lahan, perubahan profesi dan perubahan pendapatan penduduk. Menurutnya, salah satu faktor yang mendorong industrialisasi adalah makin tersedianya prasarana dan sarana pengangkutan serta komunikasi. Pembangunan jaringan jalan-jalan hingga ke pelosok-pelosok pedesaan telah meningkat dengan pesat. Jumlah kendaraan untuk angkutan orang maupun barang memungkinkan mudahnya akses untuk pengembangan industri. Isu ini dinilai beliau sebagai jalan untuk membuka kesempatan kerja. Hal lain yang perlu diketahui mengenai masa lalu bangsa Indonesia adalah bahwa sektor pertanian merosot kedudukannya dalam menampung tenaga kerja. Lain halnya dengan sektor industri yang membuka kesempatan kerja lebih besar (Rahardjo 1984). Berikut disajikan perbandingan perubahan kesempatan kerja sektor pertanian dan industri pengolahan dalam Tabel 2. Tabel 2 Perbandingan perubahan kesempatan kerja sektor pertanian dan industri pengolahan (dalam persen) No 1 2
Sektor Pertanian Industri Pengolahan
Kesempatan kerja 1971 1980 64,0 6,5
55,9 9,1
Sumber: Rahardjo (1984)
Data menunjukkan bahwa peranan sektor pertanian dilihat dari segi struktur kesempatan kerja telah merosot dari 64,0 persen pada tahun 1971 menjadi 55,9 persen pada tahun 1980. Sementara sektor indsutri pengolahan meningkatkan kesempatan kerja dari 6,5 persen menjadi 9,1 persen. Sementara Purwanto (2003) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa pembangunan industri di pedesaan akan membawa dampak seperti: 1) menyempitnya lahan akibat alih fungsi lahan; 2) arus migrasi masuk; 3) kepadatan penduduk; serta 4) terbukanya peluang kerja dan berusaha di sektor non pertanian. Alih fungsi lahan adalah perubahan pemanfaatan lahan dari aktifitas yang bertujuan untuk produksi pertanian kepada aktifitas di luar sektor pertanian. Penurunan luas pemilikan tanah terjadi melalui proses jual-beli karena alih fungsi lahan pertanian untuk pembangunan industri maupun perluasan pemukiman. Migrasi adalah proses perpindahan penduduk secara geografis, spasial atau teritorial yang melibatkan perubahan tempat tinggal baik permanen maupun semi permanen. Peluang kerja/usaha adalah berbagai lapangan pekerjaan dan status pekerjaan yang tersedia dan memungkinkan seseorang untuk memperoleh pendapatan (Purwanto 2003).
8
Kesejahteraan Kesejahteraan sosial dapat dimaknai dengan terpenuhinya kebutuhan seseorang, kelompok, atau masyarakat dalam hal material, spiritual maupun sosial. Ini seperti tertuang dalam Undang-Undang tentang Kesejahteraan Sosial yang baru disahkan pada 18 Desember tahun 2008 sebagai pengganti UU No.6 Tahun 1974. Dalam pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa, “Kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya” (Rahayu 2014). Menurut Badan Pusat Statistik (2015) untuk melihat tingkat kesejahteraan masyarakat suatu wilayah ada beberapa indikator yang dijadikan ukuran, antara lain adalah: 1) tingkat pendapatan; 2) akses terhadap pendidikan; 3) akses terhadap kesehatan; 4) kondisi perumahan serta fasilitas yang dimiliki dalam rumah tangga; serta 5) taraf dan pola konsumsi dengan membandingkan pengeluaran untuk pangan dan non-pangan. Berikut akan dijelaskan secara lebih rinci mengenai indikator kesejahteraan yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2015. 1.
Upah/Gaji/Pendapatan Bersih Upah/gaji merupakan imbalan yang diterima oleh pekerja atas jasa yang diberikan dalam proses memproduksi barang dan jasa dalam suatu instansi/perusahaan. Upah/gaji yang diterima oleh setiap pekerja digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari baik untuk kebutuhan pribadi maupun untuk kebutuhan keluarga. Seorang pekerja dapat dikatakan hidup layak apabila upah/gaji yang diterima dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan dan sebagainya.
2.
Akses terhadap pendidikan Pemenuhan atas hak untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu merupakan ukuran keadilan dan pemerataan atas hasil pembangunan dan sekaligus merupakan investasi sumber daya manusia yang diperlukan untuk mendukung keberlangsungan pembangunan. Pemerataan, akses dan peningkatan mutu pendidikan akan membuat warga negara Indonesia memiliki kecakapan dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya. Beberapa indikator output yang dapat menunjukkan kualitas pendidikan SDM antara lain Angka Melek Huruf (AMH), Angka Partisipasi Sekolah (APS), dan Angka Partisipasi Murni (APM). Indikator input pendidikan salah satunya adalah fasilitas pendidikan. a) Angka Melek Huruf (AMH) Kegiatan membaca merupakan proses awal memasuki dunia pengetahuan yang begitu luas menuju masyarakat maju. Membaca akan mempermudah seseorang untuk memahami informasi terkait bidang kerja dan berbagai aspek yang menyangkut peningkatan kualitas hidup. Kemampuan baca-tulis dianggap penting karena melibatkan pembelajaran berkelanjutan oleh sesorang untuk dapat mencapai tujuan hidupnya. Hal ini berkaitan langsung dengan bagaimana seseorang mendapatkan pengetahuan, menggali potensinya dan berpartisipasi dalam pembangunan. Salah satu indikator mendasar yang digunakan untuk
9
melihat tingkat kemampuan membaca dan menulis adalah angka melek huruf (literacy rate). Kata “melek huruf” dapat diartikan sebagai kemampuan untuk dapat membaca dan menulis huruf latin/lainnya pada tingkat yang baik untuk berkomunikasi dengan orang lain atau dapat menyampaikan idenya dalam masyarakat yang mampu baca tulis. AMH merupakan salah satu indikator penting untuk mengukur keberhasilan implementasi kebijakan bidang pendidikan, dan kualitas sumber daya manusia suatu daerah. b) Angka Partisipasi Sekolah (APS) Salah satu tujuan dari Millenium Development Goals (MDGs) adalah menjamin bahwa sampai dengan tahun 2015 semua anak, baik laki-laki maupun perempuan dapat menyelesaikan pendidikan dasar (primary schooling). Salah satu indikator yang dapat digunakan adalah Angka Partisipasi Sekolah (APS) untuk menilai pencapaian MDGs yaitu melihat akses pendidikan pada penduduk usia sekolah. Penduduk usia sekolah tersebut kemudian digolongkan pada kelompok usia 1) 7-12 tahun; 2) 1315 tahun; dan 3) 16-18 tahun. c) Angka Partisipasi Murni (APM) Angka Partisipasi Murni (APM) merupakan persentase jumlah anak yang sedang bersekolah pada jenjang pendidikan yang sesuai dengan usianya terhadap jumlah seluruh anak pada kelompok usia sekolah yang bersangkutan. Secara sederhana APM dikelompokkan ke dalam: 1) Sekolah Dasar; 2) Sekolah Menengah Pertama; dan 3) Sekolah Menengah Atas atau Kejuruan. 3.
Akses terhadap kesehatan Tingkat kualitas kesehatan merupakan indikator penting untuk menggambarkan mutu pembangunan manusia suatu wilayah. Semakin sehat kondisi suatu masyarakat, maka akan semakin mendukung proses dan dinamika pembangunan ekonomi suatu negara/wilayah semakin baik. Berkaitan dengan pembangunan kesehatan, pemerintah sudah melakukan berbagai program kesehatan untuk memberikan kemudahan akses pelayanan publik, seperti puskesmas yang sasaran utamanya menurunkan tingkat angka kesakitan masyarakat, menurunkan Angka Kematian Ibu dan Bayi, menurunkan Prevalensi Gizi Buruk dan Gizi Kurang serta meningkatkan Angka Harapan Hidup. Merujuk pada konsep yang diterapkan oleh BPS dalam Susenas, maka Morbiditas (angka kesakitan) menunjukkan adanya gangguan/ keluhan kesehatan yang mengakibatkan terganggunya aktivitas sehari-hari baik dalam melakukan pekerjaan, bersekolah, mengurus rumah tangga maupun melakukan aktivitas lainnya. Pada umumnya keluhan kesehatan yang mengindikasikan adanya suatu penyakit yang biasa dialami oleh penduduk adalah panas, batuk, pilek, asma/napas sesak, diare, sakit kepala berulang, sakitgigi, campak, dll. Akses penduduk dalam memanfaatkan tenaga kesehatan dapat dilihat dari ketersediaan/kemudahan mencapai fasilitas/tempat dan tenaga kesehatan sebagai rujukan penduduk jika mengalami keluhan sakit hingga harus pergi
10
berobat. Dari informasi tersebut dapat teridentifikasi berbagai masalah yang dihadapi penduduk dalam mengakses dan memanfaatkan fasilitas dan pelayanan kesehatan. Beberapa faktor yang menjadi pertimbangan penduduk adalah jarak tempat tinggal dengan letak sarana pelayanan kesehatan, kualitas pelayanan, sosial-ekonomi penduduk yaitu kemampuan penduduk untuk membiayai pengobatannya serta jenis pelayanan kesehatan. Pada umumnya pemanfaatan fasilitas kesehatan oleh penduduk sangat erat terkait dengan kondisi sosial ekonomi penduduk dan kondisi wilayah tempat tinggal mereka berada. Tampak perbedaan kualitas kesehatan yang nyata antara penduduk di perdesaan dengan penduduk perkotaan ini dapat disebabkan oleh perbedaan ketersediaan dan jarak menuju ke fasilitas pelayanan kesehatan tersebut, ditambah lagi perilaku penduduk itu sendiri. Tingginya persentase penduduk di daerah perkotaan yang memanfaatkan berobat ke praktek dokter/klinik, mengingat lebih mudahnya akses dan kualitas pelayanannya jauh lebih baik dibandingkan dengan di daerah perdesaan. Sebagai dampaknya, akan terlihat berbagai keluhan dan masalah kesehatan segera tertangani lebih cepat dan lebih baik. Adapun penggolongan tenaga ahli penolong persalinan dikategorikan sebagai berikut: 1) dokter; 2) bidan dan 3) dukun tradisional. Sedangkan pilihan tempat berobat digolongkan ke dalam: 1) rumah sakit; 2) praktek dokter/klinik; 3) puskesmas; dan 4) pengobatan tradisional. 4.
Kondisi Perumahan serta Fasilitas yang Dimiliki Rumah merupakan salah satu kebutuhan primer, kebutuhan yang paling mendasar yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia sekaligus merupakan faktor penentu indikator kesejahteraan rakyat. Rumah selain sebagai tempat tinggal, juga dapat menunjukkan status sosial seseorang, yang berhubungan positif dengan kualitas/kondisi rumah. Semakin tinggi status sosial seseorang semakin besar peluang untuk memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal dengan kualitas yang lebih baik. Selain itu rumah juga merupakan sarana pengamanan dan pemberian ketentraman hidup bagi manusia dan menyatu dengan lingkungannya. Kualitas lingkungan rumah tinggal mempengaruhi status kesehatan penghuninya. a) Status Kepemilikan Rumah Tinggal Status kepemilikan rumah tinggal merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kesejahteraan dan juga peningkatan taraf hidup masyarakat. Kondisi ekonomi rumah tangga sangat berpengaruh terhadap kepemilikan rumah tinggal. Status kepemilikan rumah tinggal yang dicakup di sini adalah rumah milik sendiri, kontrak, sewa, bebas sewa, rumah dinas, rumah milik orang tua/saudara atau status rumah kepemilikan lainnya. Rumah tangga yang menempati rumah milik sendiri dapat dikatakan telah mampu memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal yang terjamin dan permanen dalam jangka panjang. b) Kualitas Rumah Tinggal Salah satu kualitas yang dapat mencerminkan kesejahteraan rumah adalah kualitas material seperti jenis atap, lantai dan dinding terluas yang digunakan, termasuk fasilitas penunjang lain yang meliputi luas lantai
11
hunian, sumber air minum, fasilitas tempat buang air besar dan sumber penerangan. Rumah tinggal dikategorikan sebagai rumah layak huni apabila sudah memenuhi beberapa kriteria kualiatas rumah tinggal tersebut. Indikator lain yang digunakan untuk melihat kualitas perumahan untuk rumah tinggal adalah penggunaan atap dan dinding terluas. Jenis atap yang diakui oleh BPS sebagai rumah layak huni dalam urutan adalah beton, genteng, sirap, seng dan asbes. Sedangkan untuk jenis dinding terluas yaitu tembok dan kayu. Sedangkan berdasarkan jenis lantai, BPS menggolongkan lantai ke dalam lantai bukan tanah dan berlantai tanah (BPS 2015). c) Fasilitas yang Dimiliki Kualitas kenyamanan rumah tinggal ditentukan oleh kelengkapan fasilitas rumah tinggal, seperti tersedianya air bersih, sanitasi yang layak, serta penerangan yang baik. Ketersediaan dalam jumlah yang cukup terutama untuk keperluan minum dan masak dapat bersumber dari air kemasan, air isi ulang maupun air dari ledeng. Sedangkan penyediaan sarana jamban merupakan bagian dari usaha sanitasi yang cukup penting peranannya. Jika ditinjau dari sudut kesehatan lingkungan, pembuangan kotoran manusia yang tidak saniter akan mencemari lingkungan terutama tanah dan sumber air. Fasilitas rumah tinggal yang berkaitan dengan hal tersebut adalah ketersediaan jamban sendiri dengan tangki septik dan jamban sendiri namun belum menggunakan tangki septik. Fasilitas perumahan lainnya yang juga penting adalah penerangan. Sumber penerangan yang ideal adalah yang berasal dari listrik (PLN dan Non PLN), karena cahaya listrik lebih terang dibanding sumber penerangan lainnya. Fasilitas lain yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan adalah dengan melihat fasilitas barang apa saja yang dimiliki. Barang-barang tersebut dapat berupa emas maupun kendaraan. Dampak Industrialisasi Pedesaan terhadap Kesejahteraan Masyarakat Hadirnya sektor industri di pedesaan pada berbagai kasus telah berdampak terhadap kesejahteraan rumah tangga masyarakat sekitar. Gandi (2011) berdasarkan hasil penelitiannya menyatakan bahwa berdirinya industri di pedesaan berdampak pada terbukanya kesempatan kerja non pertanian serta meningkatnya migrasi masuk. Untuk responden non industri, sebelum industri juga kebanyakan tidak bekerja dan setelah industri kebanyakan bekerja di bidang transportasi, pegudangan dan komunikasi. Setelah masuknya industri, tingkat pendapatan pada kelompok pertanian dan kelompok non pertanian meningkat. Hal ini telah menggambarkan salah satu variabel kesejahteraan. Penelitian lain yang dilakukan oleh Rahmawati dan Setyono (2014) menyebutkan bahwa dari aspek ekonomi, adanya industri di Desa Nguwet juga mengakibatkan adanya peningkatan pendapatan penduduk. Hal tersebut dikarenakan sumber pendapatan dalam rumah tangga juga berubah yaitu tidak hanya dari kepala rumah tangga, namun diikuti oleh peningkatan pendapatan keluarga. Di samping itu, industri juga menyebabkan perubahan pada aspek sosial yaitu tingkat pendidikan terakhir. Kehadiran industri telah membuat orangtua
12
mampu menyekolahkan anaknya dari hanya mencapai bangku sekolah dasar hingga mampu mengenyam bangku sekolah menengah. Sementara penelitian pada jurnal internasional yang dilakukan oleh Song et al. (2012) menyatakan bahwa di Cina, petani di pedesaan dihadapkan dengan berbagai pilihan. Mengikuti perkembangan ekonomi, mereka dituntut untuk memilih tetap bekerja pada sektor pertanian namun tertinggal dalam adopsi teknologi, mendirikan perusahaan non-pertanian, atau berpindah ke perkotaan yang lebih kita kenal sebagai urbanisasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peralihan tenaga kerja dari sektor pertanian ke perindustrian di pedesaan hampir selalu meningkatkan kesejahteraan petani. Jadi, industrialisasi pedesaan sangat berhubungan terhadap peningkatan kesejahteraan rumah tangga di pedesaan. Hal ini terbukti dari industrialisasi pedesaan yang bersifat padat karya dan membutuhkan modal kecil serta alat sederhana yang dapat dilakukan oleh hampir semua golongan masyarakat pedesaan sehingga dapat mengurangi pengangguran di pedesaan yang dalam hal ini sangat berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat. Adanya industrialisasi pedesaan juga menimbulkan perubahan-perubahan khususnya dalam bidang ekonomi dan sosial. Dalam bidang ekonomi, industrialisasi pedesaan sangat berperan dalam peningkatan pendapatan masyarakat juga peluang bekerja dan berusaha lebih besar sehingga masyarakat dapat memenuhi kebutuhannya seharihari yang dapat meningkatkan kesejahteraannya.
13
Kerangka Pemikiran Industrialisasi di pedesaan tentunya sangat diharapkan pertumbuhannya oleh sebagian masyarakat pedesaan. Menurut Tambunan dan Djaimi (2010), program industrialisasi pedesaan merupakan usaha untuk memajukan masyarakat yang masih agraris ke arah masyarakat industrial. Pengembangan program ini harus berpedoman pada arah pertumbuhan kegiatan non pertanian dalam pendapatan rumah tangga petani. Keberadaan industri di pedesaan tentu menimbulkan dampak bagi masyarakat sekitar. Purwanto (2003) menyebutkan pembangunan industri di pedesaan akan membawa dampak seperti: 1) menyempitnya lahan akibat alih fungsi lahan; 2) arus migrasi masuk; 3) kepadatan penduduk; serta 4) terbukanya peluang kerja dan berusaha di sektor non pertanian. Selanjutnya menurut BPS (2015) untuk melihat tingkat kesejahteraan masyarakat suatu wilayah ada beberapa indikator yang dijadikan ukuran, antara lain: 1) Tingkat pendapatan, 2) Akses terhadap pendidikan, 3) Akses terhadap kesehatan, 4) Kondisi tempat tinggal serta fasilitas yang dimiliki, serta 5) Komposisi pengeluaran rumah tangga dengan membandingkan pengeluaran untuk pangan dan non-pangan. Maka dari itu, indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan yang digunakan peneliti adalah tingkat pendapatan, akses terhadap pendidikan, akses terhadap kesehatan, kondisi tempat tinggal serta fasilitas yang dimiliki. Kesejahteraan Masyarakat Dampak Industrialisasi Pedesaan 1. Peluang kerja/usaha pertanian 2. Jual-beli lahan
non-
1. 2. 3. 4.
Tingkat Pendapatan Akses terhadap Pendidikan Akses terhadap Kesehatan Kondisi Tempat Tinggal serta Fasilitas yang Dimiliki
Keterangan: : menjelaskan hubungan : data kuantitatif didukung dengan data kualitatif Gambar 1 Kerangka pemikiran dampak industrialisasi pedesaan terhadap kesejahteraan masyarakat Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka dapat dirumuskan dugaan sebagai berikut: 1. 2.
Diduga terdapat hubungan antara peluang kerja/usaha non pertanian dengan tingkat pendapatan. Diduga terdapat hubungan antara peluang kerja/usaha non pertanian dengan akses terhadap pendidikan.
14
3. 4. 5. 6. 7. 8.
Diduga terdapat hubungan antara peluang kerja/usaha non pertanian dengan akses terhadap kesehatan. Diduga terdapat hubungan antara peluang kerja/usaha non pertanian dengan kondisi tempat tinggal serta fasilitas yang dimiliki. Diduga terdapat hubungan antara jual-beli lahan dengan tingkat pendapatan. Diduga terdapat hubungan antara jual-beli lahan dengan akses terhadap pendidikan. Diduga terdapat hubungan antara jual-beli lahan dengan akses terhadap kesehatan. Diduga terdapat hubungan antara jual-beli lahan dengan kondisi tempat tinggal serta fasilitas yang dimiliki.
METODOLOGI PENELITIAN Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan didukung data kualitatif. Penelitian kuantitatif dilakukan dengan metode survei melalui instrumen kuesioner yang diberikan kepada responden. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk menjawab pertanyaan mengenai perubahan yang dialami responden terkait dampak industrialisasi pedesaan dan kesejahteraan masyarakat. Perubahan tersebut diukur dengan melihat kondisi faktual sebelum adanya industri di lokasi penelitian dan setelah adanya industri yaitu tahun 2003. Penelitian ini bersifat ekplanatori karena menjelaskan hubungan antar variabel melalui pengujian hipotesa (Singarimbun dan Effendi 1989). Sementara data kualitatif diperoleh melalui wawancara mendalam kepada informan maupun catatan harian lapang yang dilakukan oleh peneliti di lokasi penelitian. Informasi yang diperoleh melalui pendekatan kualitatif ini digunakan untuk mendukung dan menginterpretasikan data yang didapatkan dari pendekatan kuantitatif mengenai dampak industrialisasi pedesaan, kesejahteraan masyarakat industri dan non-industri, serta hubungan dampak industrialisasi pedesaan dengan kesejahteraan masyarakat pelaku industri dan non-industri. Sebelum pengambilan data, terlebih dahulu dilakukan uji validitas dan reabilitas. Uji validitas dilakukan untuk menunjukan sejauh mana alat pengukur yang dilakukan sesuai dengan mengukur apa yang ingin di ukur, sedangkan uji reliabilitas digunakan untuk menunjukan sejauh mana suatu alat ukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan apabila digunakan lebih dari satu kali untuk mengukur gejala yang sama dan hasil pengukuran yang diperoleh relatif konsisten (Singarimbun dan Effendi 1989). Uji validitas dan reabilitas dilakukan dengan cara menguji kuesioner kepada 10 orang yaitu 5 orang yang bekerja pada sektor industri dan 5 orang yang berusaha pada sektor non industri. Pemilihan tempat uji kuesioner dilakukan di lokasi yang sama dengan lokasi penelitian yaitu Desa Ciherang Pondok, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor. Penentuan lokasi tersebut dikarenakan populasi yang cukup besar. Sebanyak 10 orang yang dipilih untuk melakukan uji kuesioner tersebut tidak ditetapkan sebagai sampel penelitian. Data pengujian tersebut diperoleh alpha sebagai berikut. Reliability Statistics Cronbach's Alpha
N of Items ,781
32
Aturan dalam penentuan nilai alpha yaitu jika nilai alpha > 0.90 maka reliabilitas sempurna, jika nilai 0.70 > alpha > 0.90 maka reliabilitas tinggi, jika nilai 0.50 > alpha > 0.70 maka reliabilitas moderat, dan jika nilai alpha < 0.50 maka reliabilitas rendah. Tabel hasil uji reliabilitas pada kuesioner penelitian ini menunjukkan angka 0.781 artinya kuesioner memiliki reliabilitas tinggi.
16
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di RW 01 Desa Ciherang Pondok, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive (sengaja) karena berdasarkan hasil penjajagan yakni: 1. Menurut data literatur Kecamatan Caringin dalam Angka 2013, Desa Ciherang Pondok merupakan desa dengan jumlah industri skala besar terbanyak di Kecamatan Caringin sehingga merupakan desa dengan industrialisme mendalam. 2. Menurut penuturan Sekretaris Desa, kehadiran industri-industri berskala besar dimulai dari tahun 2003 dan berdiri pada lahan yang awalnya merupakan lahan pertanian. 3. Jumlah industri besar di Desa Ciherang Pondok hampir selalu bertambah setiap tahun sehingga lahan pertanian semakin menyempit. 4. RW 01 merupakan daerah yang paling padat penduduknya dan didukung oleh banyaknya usaha-usaha yang dimiliki oleh warganya. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan dalam jangka waktu tujuh bulan, terhitung mulai bulan Juni 2016 sampai dengan Januari 2017. Penelitian ini dimulai dengan penyusunan proposal penelitian, kolokium penyampaian proposal penelitian, perbaikan proposal penelitian, pengambilan data di lapangan, pengolahan dan analisis data, penulisan draft skripsi, uji kelayakan, sidang skripsi, dan perbaikan laporan skripsi (Lampiran 3). Teknik Penentuan Informan dan Responden Sumber data dalam penelitian ini adalah responden dan informan. Unit analisis dalam penelitian ini adalah rumah tangga dengan sasaran pengamatan yaitu pelaku industri maupun non-industri. Responden akan diwawancarai sesuai dengan kuesioner yang telah dibuat karena jawabannya dianggap dapat mewakili kondisinya sebagai masyarakat sekitar industri. Alasan pemilihan unit analisis ini dikarenakan indikator kesejahteraan sangat berkaitan erat dengan rumah tangga. Populasi dalam penelitian ini adalah penduduk yang berada di RW 01 Desa Ciherang Pondok, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor. Peneliti sebelumnya membagi populasi ke dalam subpopulasi berdasarkan sumber mata pencahariannya yaitu pekerja industri dan non-industri sehingga masing-masing subpopulasi menjadi homogen dan setiap anggota populasi memiliki probabilitas yang sama. Informasi penduduk yang selanjutnya disebut kerangka sampel peneliti dapatkan dari berkas yang diperoleh di kantor desa yaitu jumlah rumah tangga yang tercatat di RW 01 sebanyak 247 KK. Kemudian dari populasi tersebut, pemilihan responden dilakukan secara acak terstratifikasi (stratified random sampling). Responden dibagi dalam 30 responden yang bekerja di industri dan 30 responden yang berusaha di bidang non-industri. Selanjutnya individu yang mampu untuk memberikan keterangan mengenai dirinya sendiri, keluarga, pihak lain atau lingkungannya disebut dengan informan. Keberadaan informan ini menjadi penting karena keterangan yang ia miliki tersebut. Informan dalam penelitian ini adalah Kepala Desa dan Sekretaris Desa Ciherang Pondok, Ketua RW 01, dan sebagian warga RW 01. Informan-informan tersebut dipilih secara purposive karena dianggap mengetahui dengan jelas mengenai keberadaan industri dan dampaknya terhadap desa tersebut.
17
Teknik Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan langsung di lapangan dengan cara survei, observasi dan wawancara mendalam dengan menggunakan instrumen kuesioner kepada responden maupun panduan pertanyaan wawancara kepada informan. Sementara itu, data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen tertulis di kantor desa. Data sekunder juga diperoleh melalui berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas pada penelitian ini, yaitu buku, artikel, jurnal, dan sebagainya. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Penelitian ini mempunyai dua jenis data yang akan diolah dan dianalisis, yaitu data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif diolah menggunakan aplikasi Microsoft Excell 2007 dan SPSS version 23 for windows yang digunakan untuk uji statitistik. Pengujian akan dilakukan dengan menggunakan Rank Spearman Correlation untuk menganalisis ada atau tidaknya hubungan antara dua variabel yang berskala ordinal. Uji Rank Spearman Correlation dalam penelitian ini digunakan untuk menganalisis hubungan antara variabel dampak industrialisasi pedesaan dan tingkat kesejahteraan masyarakat Desa Ciherang Pondok yang memiliki formulasi sebagai berikut:
Keterangan: rs = koefisien korelasi Rank Spearman di = selisih rank antara rank variabel X dengan rank variabel Y n = jumlah sampel Taraf nyata yang digunakan dalam pengolahan data kuantitatif adalah 95 persen atau nilai α sebesar 5 persen. Kemudian untuk melakukan interpretasi mengenai kekuatan hubungan antar dua variabel, digunakan pendapat dari Sarwono (2009) dengan menggunakan kriteria sebagai berikut: 0 : Tidak ada korelasi antara dua variabel > 0 – 0.25 : Korelasi sangat lemah > 0.25 – 0.5 : Korelasi cukup kuat > 0.5 – 0.75 : Korelasi kuat > 0.75 – 0.99 : Korelasi sangat kuat 1 : Korelasi sempurna Data kualitatif dianalisis melalui tiga tahap yaitu reduksi data, penyajian data, dan verifikasi. Pertama ialah proses reduksi data dimulai dari proses pemilihan, penyederhanaan, abstraksi, hingga transformasi data hasil wawancara mendalam, observasi, dan studi dokumen. Tujuan dari reduksi data ini ialah untuk mempertajam, menggolongkan, mengarahkan, dan membuang data yang tidak perlu. Kedua ialah penyajian data yang berupa menyusun segala informasi dan data yang diperoleh menjadi serangkaian kata-kata yang mudah dibaca ke dalam sebuah laporan. Verifikasi adalah langkah terakhir yang merupakan penarikan kesimpulan dari hasil yang telah diolah pada tahap reduksi (Singarimbun dan Efendi 1989).
18
Definisi Operasional A. Dampak industri adalah suatu kondisi/akibat/perubahan positif yang disebabkan oleh keberadaan industri di Desa Ciherang Pondok. Variabel ini diukur melalui indikator peluang kerja/usaha non-pertanian dan jual-beli lahan. 1. Peluang kerja/usaha adalah berbagai lapangan pekerjaan dan status pekerjaan di bidang pertanian dan non-pertanian (perikanan; pertambangan dan penggalian; industri pengolahan; listrik, gas dan air; konstruksi; perdagangan besar dan eceran; penyediaan akomodasi dan penyediaan makan minum; transportasi dan komunikasi; administrasi pemerintahan; usaha persewaan; jasa pendidikan; jasa kesehatan; serta jasa kemasyarakatan) yang tersedia dan memungkinkan seseorang untuk memperoleh pendapatan. Data diukur menggunakan indeks sebagai berikut: Tidak = Skor 1 Ya = Skor 2 Kemudian dari beberapa pertanyaan dilihat perubahan kondisi saat sebelum industri dengan sesudah industri, dinyatakan dalam: Perubahan menurun = Skor 1 Tidak berubah = Skor 2 Perubahan meningkat = Skor 3 Jenis data yang diukur adalah data ordinal. Total skor dihitung dengan rumus sebagai berikut : Rendah = 4-6 Sedang = 7-9 Tinggi = 10-12 2.
Jual / beli lahan adalah lahan yang pernah dijual atau dibeli oleh rumah tangga sebelum dan setelah adanya industri, diukur dengan skor: Tidak = Skor 1 Ya = Skor 2 Perubahan kondisi saat sebelum industri dengan sesudah industri, dinyatakan dalam: Perubahan menurun = Skor 1 Tidak berubah = Skor 2 Perubahan meningkat = Skor 3 Jenis data yang diukur adalah data ordinal. Total skor dihitung dengan rumus sebagai berikut : Rendah = 6-9 Sedang = 10-13 Tinggi = 14-18
B. Tingkat kesejahteraan adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar dari aspek-aspek kesejahteraan yang dirasakan responden dinilai berdasarkan tingkat pendapatan, akses terhadap pendidikan, akses terhadap kesehatan, kondisi tempat tinggal dan fasilitas yang dimiliki.
19
1. Tingkat pendapatan adalah rata-rata jumlah pengeluaran rumah tangga perbulan yang diukur dalam UMR Kabupaten Bogor tahun 2016. Di bawah UMR = Skor 1 Di atas UMR = Skor 2 Perubahan kondisi saat sebelum industri dengan sesudah industri, dinyatakan dalam: Perubahan menurun = Skor 1 Tidak berubah = Skor 2 Perubahan meningkat = Skor 3 Jenis data yang diukur adalah data ordinal. Total skor dihitung dengan rumus sebagai berikut : Rendah = 4-6 Sedang = 7-9 Tinggi = 10-12 2. Akses terhadap pendidikan adalah kemampuan responden maupun anggota keluarga mengakses sarana pendidikan melalui jenjang pendidikan formal terakhir yang pernah dilaksanakan, terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Perubahan kondisi saat sebelum industri dengan sesudah industri, dinyatakan dalam: Perubahan menurun = Skor 1 Tidak berubah = Skor 2 Perubahan meningkat = Skor 3 Jenis data yang diukur adalah data ordinal. Total skor dihitung dengan rumus sebagai berikut : Rendah = 5-7 Sedang = 8-11 Tinggi = 12-15 3. Akses terhadap kesehatan adalah riwayat kesehatan dan kemampuan responden mendapatkan layanan atau menggunakan fasilitas kesehatan. Perubahan kondisi saat sebelum industri dengan sesudah industri, dinyatakan dalam: Perubahan menurun = Skor 1 Tidak berubah = Skor 2 Perubahan meningkat = Skor 3 Jenis data yang diukur adalah data ordinal. Total skor dihitung dengan rumus sebagai berikut : Rendah = 5-7 Sedang = 8-11 Tinggi = 12-15 4. Kondisi tempat tinggal serta fasilitas yang dimiliki terdiri dari: a) Status kepemilikan rumah yaitu kepemilikan bangunan tempat tinggal rumah tangga. b) Jenis atap rumah yaitu jenis atap yang menjadi tempat tinggal rumah tangga.
20
c) Jenis dinding rumah yaitu jenis dinding bangunan terluas yang menjadi tempat tinggal rumah tangga. d) Jenis lantai rumah yaitu jenis lantai bangunan terluas yang menjadi tempat tinggal rumah tangga. e) Status Kepemilikan MCK yaitu jenis fasilitas yang dimiliki rumah tangga responden yang digunakan untuk aktivitas mandi, mencuci dan buang air besar. f) Jenis sumber penerangan sumber penerangan yang digunakan oleh rumah tangga responden dalam bangunan tempat tinggalnya. g) Jenis sumber air bersih yaitu perolehan sumber air untuk memenuhi kebutuhan fisiologis. h) Fasilitas barang apa saja yang dimiliki. Barang-barang tersebut dapat berupa emas maupun kendaraan. Perubahan kondisi saat sebelum industri dengan sesudah industri, dinyatakan dalam: Perubahan menurun = Skor 1 Tidak berubah = Skor 2 Perubahan meningkat = Skor 3 Jenis data yang diukur adalah data ordinal. Total skor dihitung dengan rumus sebagai berikut : Rendah = 8-12 Sedang = 13-18 Tinggi = 19-24 Keseluruhan definisi operasional perihal indikator dan jenis data terlampir pada Lampiran 6.
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Umum Desa Ciherang Pondok, Kabupaten Bogor Kondisi Geografis Desa Ciherang Pondok merupakan salah satu wilayah desa yang berada di Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Luas wialyah Desa Ciheraang Pondok adalah 427 Ha yang terdiri dari 213 Ha lahan sawah, 77 Ha lahan kering, 10 Ha lahan peternakan, dan sebagian lainnya adalah bangunan, termasuk lahan yang digunakan sebagai industri (Tabel 3). Seluruh area Desa Ciherang Pondok merupakan daratan dengan ketinggian 500 m di atas permukaan laut. Desa ini terbagi dalam 3 Dusun, 5 Rukun Warga (RW) dan 30 Rukun Tetangga (RT). Secara administratif, Desa Ciherang Pondok dibatasi oleh beberapa wilayah, yaitu: 1. Sebelah utara : Desa Bitung Sari, Kecamatan Ciawi 2. Sebelah selatan : Desa Cimande Hilir, Kecamatan Caringin 3. Sebelah barat : Desa Cibalung, Kecamatan Cijeruk : Desa Ciderum 4. Sebelah timur Pusat wilayah kecamatan berada di Desa Caringin, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor dengan adanya kantor kecamatan, puskesmas dan pasar di desa tersebut. Jarak dari Desa Ciherang Pondok ke pusat kecamatan adalah sejauh 1,5 Km. Terdapat sebuah jembatan besi yang menghubungkan antara Desa Ciherang Pondok dan Desa Cimande Hilir. Di sebelah kanan dan kiri jalan raya khususnya di wilayah Desa Ciherang Pondok RW 01, banyak ditemui industri berskala besar. Bahkan terdapat sebuah pabrik yang berhimpitan dengan lahan sawah. Selain itu, RW 01 adalah daerah yang paling padat penduduk dengan didukung oleh banyaknya usaha atau sektor non formal yang dimiliki oleh warganya. Sektor non formal tersebut antara lain bisnis perumahan atau kontrakan, warung sembako, warung nasi hingga pedagang kaki lima. Tabel 3 Komposisi lahan di Desa Ciherang Pondok, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor tahun 2015 No 1 2 3 4
Komposisi Lahan Sawah Lahan kering Lahan peternakan Lahan bangunan (termasuk industri) Jumlah
Luas (Ha)
% 213 77 10 127 427
49,88 18,03 2,34 29,75 100,00
Sumber: Data Profil Desa Ciherang Pondok 2015
Kondisi Demografis Menurut data profil Desa Ciherang Pondok tahun 2015, terdapat 2.911 KK yang berada di wilayah ini dengan total jumlah penduduk sebanyak 11.932 jiwa. Kepadatan penduduk setelah dihitung yaitu sebesar 2.794 jiwa/km2, yang artinya wilayah ini terbilang sangat padat. Sebagian besar penduduk yang tinggal dan menetap di Desa Ciherang Pondok merupakan masyarakat lokal yang dari dulu sudah tinggal di wilayah tersebut. Namun tidak sedikit pula masyarakat yang merupakan pendatang dari luar desa dan tinggal di wilayah tersebut karena alasan
22
pekerjaan. Dari total jumlah penduduk yang ada, perbandingan proposisi antara laki-laki dan perempuan di Desa Ciherang Pondok disajikan pada Tabel 4 berikut. Tabel 4 Jumlah dan persentase penduduk menurut jenis kelamin di Desa Ciherang Pondok tahun 2015 No 1 2
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah
Jumlah (jiwa) 6.078 5.854 11.932
% 50,9 49,1 100,0
Sumber: Data Profil Desa Ciherang Pondok 2015
Pada Tabel 4 menunjukkan bahwa jumlah penduduk laki-laki sebesar 50,9 persen atau sebanyak 6.078 jiwa sedangkan untuk jumlah penduduk perempuan sebesar 49,1 persen atau sebanyak 5.854 jiwa. Hal ini terlihat bahwa diantara kedua proposisi tersebut tidak mengalami perbedaan yang signifikan, yaitu hanya mempunyai selisih 1,8 persen. Data di atas juga menunjukkan bahwa jumlah penduduk laki-laki lebih banyak daripada perempuan dari total penduduk secara keseluruhan sebanyak 11.932 jiwa. Tabel 5 Jumlah dan persentase penduduk menurut kelompok umur di Desa Ciherang Pondok tahun 2015 N
No 1 2 3
Kelompok Umur 0-17 18-56 ≥ 56 Jumlah
Jumlah (jiwa) 5.161 5.460 1.311 11.932
% 43,25 45,76 10,99 100,00
Sumber: Data Profil Desa Ciherang Pondok 2015
Pada Tabel 5 menunjukkan bahwa jumlah penduduk antara kelompok umur 0-17 tahun dengan 18-56 tahun tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Penduduk yang berusia pada rentang 0-17 tahun sebesar 43,25 persen atau sebanyak 5.161 jiwa. Besarnya angka ini dikarenakan tingginya angka kelahiran di Desa Ciherang Pondok. Berbeda selisih 2,52 persen, angka yang tinggi juga ditunjukkan pada penduduk kelompok umur 18-56 tahun sebesar 45,76 persen dari total penduduk 11.932 jiwa. Artinya terdapat 5.460 jiwa penduduk usia produktif di Desa Ciherang Pondok. Sedangkan jumlah penduduk yang paling sedikit terdapat pada kelompok umur di atas 56 tahun. Hal ini disebabkan pada umur tersebut sudah banyak penduduk yang meninggal dunia karena semakin tua umur dari seseorang. Kondisi Ekonomi Pekerjaan yang dilakukan oleh warga Desa Ciherang Pondok untuk mendapatkan penghasilan dapat dibilang sangat beragam. Berdasarkan data profil desa, tercatat sebanyak 1.839 jiwa yang bekerja dan tersebar pada berbagai bidang. Pekerjaan-pekerjaan tersebut yaitu Pegawai Negeri Sipil, TNI/POLRI, karyawan swasta, wiraswasta/pedagang, petani, buruh tani, peternak, jasa, pengrajin, pekerja seni, serta pensiunan. Jumlah dan persentase jenis pekerjaan penduduk Desa Ciherang Pondok diringkas dalam Tabel 6 berikut.
23
Tabel 6 Jumlah dan persentase jenis pekerjaan penduduk Desa Ciherang Pondok tahun 2015 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Jenis Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil TNI/POLRI Karyawan swasta Wiraswasta/pedagang Petani Buruh tani Peternak Jasa Pengrajin Pekerja Seni Pensiunan Lainnya Tidak bekerja/pengangguran Jumlah
Jumlah (jiwa) 47 10 283 387 90 209 150 145 128 1 156 203 30 1.839
% 2,59 0,56 15,40 21,07 4,91 11,39 8,18 7,90 6,98 0,07 8,51 11,06 1,65 100,00
Sumber: Data Profil Desa Ciherang Pondok 2015
Pada Tabel 6 dijelaskan bahwa penduduk Desa Ciherang Pondok mayoritas bekerja sebagai wiraswasta/pedagang yaitu sebesar 21,07 persen atau 387 jiwa dari total penduduk keseluruhan 1.839 jiwa. Pedagang atau sektor nonformal ini banyak ditemui seperti pedagang besar dan eceran, warung nasi, warnet/warung internet, pedagang makanan kaki lima, pedagang alas tulis, hingga bengkel kendaraan bermotor. Kemudian jumlah karyawan swasta menempati urutan kedua dengan jumlah sebesar 15,40 persen atau 283 jiwa. Dominasi yang ditunjukkan oleh kedua sektor ini menjadikan alasan kuat bagi peneliti untuk melakukan penelitian di wilayah tersebut. Sementara jumlah petani yang ada hanya sebesar 4,91 persen atau sebanyak 90 jiwa untuk mengolah lahan pertanian seluas 213 Ha. Hal tersebut menunjukkan bahwa sangat sedikit warga yang berminat untuk meneruskan kegiatan bertani dan lebih banyak memilih untuk bekerja pada sektor lain seperti menjadi karyawan swasta di perusahaan maupun berdagang. Kondisi Pendidikan dan Kesehatan Berdasarkan data profil desa yang diperoleh, tingkat pendidikan formal warga Desa Ciherang Pondok pada tahun 2015 masih belum merata. Kondisi yang terdapat di lapang menunjukkan bahwa lulusan Sekolah Dasar (SD) mendominasi jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan. Kemudian disusul dengan lulusan SMA/sederajat, SMP/sederajat, Akademi D1-D3, Sarjana S1, Sarjana S2 dan terakhir Sarjana S3 secara berurutan dari yang paling banyak hingga paling sedikit. Di Desa Ciherang Pondok sendiri terdapat tujuh bangunan sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), dua bangunan Taman Kanak-kanak (TK), sembilan bangunan SD/sederajat, empat bangunan SMP/sederajat, dan empat bangunan SMA/sederajat. Hal yang memprihatinkan adalah dengan banyaknya fasilitas bangunan sekolah yang ada, masih terdapat warga yang tidak tamat Sekolah Dasar yaitu sebanyak 315 jiwa. Rincian jumlah dan persentase tingkat pendidikan penduduk Desa Ciherang Pondok dijelaskan dalam Tabel 7.
24
Tabel 7 Jumlah dan persentase tingkat pendidikan penduduk Desa Ciherang Pondok tahun 2015 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Lulusan Pendidikan Formal Tidak Bersekolah Tidak Tamat Sekolah Dasar Sekolah Dasar/sederajat SMP/sederajat SMA/sederajat Akademi D1-D3 Sarjana S1 Sarjana S2 Sarjana S3 Jumlah
Jumlah (jiwa) 152 315 1.275 200 667 55 30 10 9 2.713
% 5,60 11,62 47,00 7,36 24,58 2,03 1,11 0,37 0,33 100,00
Sumber: Data Profil Desa Ciherang Pondok 2015
Di bidang kesehatan, akses penduduk terhadap fasilitas kesehatan dapat dibilang masih minim. Hal tersebut ditunjukkan dengan jumlah dokter umum hanya satu orang, bidan serta dukun bayi terlatih berjumlah lima orang, perawat sebanyak satu orang dan tenaga kesehatan lainnya seperti mantri berjumlah dua orang. Kondisi jumlah tenaga kesehatan tersebut jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Desa Ciherang Pondok yang mencapai 11.932 jiwa dapat dikatakan masih belum proporsional, yaitu satu dokter umum untuk menangani 11.932 penduduk, satu bidan/dukun bayi terlatih untuk 2.386 penduduk, satu perawat untuk 11.932 penduduk dan dua orang mantri untuk menangani 5.966 penduduk. Kondisi Sarana dan Prasarana Sarana penerangan listrik yang dikelola oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) sejak tahun 1980-an telah menjangkau seluruh wilayah Desa Ciherang Pondok hingga saat ini. Selain itu, jaringan telepon rumah maupun telepon seluler (ponsel) juga telah tersedia. Sinyal dari berbagai operator selulerpun hampir semua dapat dijangkau oleh wilayah ini. Sarana akomodasi atau tempat tinggal yang ada di wilayah Desa Ciherang Pondok terdiri dari pemukiman warga, komplek perumahan, hingga kontrakan. Sementara itu, desa ini memiliki sebuah Kantor Desa yang letaknya sangat strategis yaitu berada di pinggir jalan raya yang menghubungkan Kabupaten Bogor dengan Kabupaten Sukabumi. Sedangkan untuk menghubungkan Desa Ciherang Pondok dengan wilayah lainnya, prasarana transportasi darat yang dapat digunakan warga yaitu jalan desa, jalan kabupaten, jalan provinsi, serta sebuah jembatan besi yang langsung menghubungkan Desa Ciherang Pondok dengan Desa Cimande Hilir sekaligus dilalui oleh kendaraan yang hilir-mudik menuju Kabupaten Sukabumi dan sebaliknya. Sarana bangunan sekolah di Desa Ciherang Pondok tersedia dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). Jumlah PAUD sebanyak tujuh unit, Taman Kanak-kanak (TK) sebanyak dua unit, Sekolah Dasar/sederajat sebanyak sembilan unit, Sekolah Menengah Pertama/sederajat sebanyak empat unit dan Sekolah Menengah Atas/sederajat sebanyak empat unit. Desa Ciherang Pondok juga memiliki sebuah perpustakaan desa yang letaknya di kantor desa. Sedangkan sarana kesehatan yang tersedia adalah praktek dokter
25
umum, praktek bidan, apotek, serta posyandu sebanyak 11 unit yang letaknya tersebar di seluruh Desa Ciherang Pondok. Sejarah Industrialisasi Desa Ciherang Pondok, Kabupaten Bogor Pada tahun 2003 PT Kreasi Mas Indah yang bergerak di bidang industri pengolahan minuman berdiri di Desa Ciherang Pondok. Setelah kemunculan perusahaan tersebut, mulai banyak bermunculan pabrik-pabrik di desa ini. Data yang tercatat pada BPS Kabupaten Bogor menunjukkan bahwa hingga tahun 2013, Desa Ciherang Pondok merupakan desa dengan jumlah industri terbanyak jika dibandingkan dengan desa lainnya se-Kecamatan Caringin. Artinya, Ciherang Pondok saat ini merupakan desa dengan industrialisme mendalam. Sementara data yang tercatat pada profil desa menyebutkan bahwa sampai dengan tahun 2016, terdapat sembilan industri berskala besar dan sedang yang bergerak di berbagai jenis usaha. Hal tersebut dapat dilihat lebih jelas di Tabel 8 dan Tabel 9. Tabel 8 Jumlah dan persentase industri di tiap desa Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor tahun 2013 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Desa Pasir Buncir Cinagara Tangkil Pasir Muncang Muara Jaya Caringin Lemah Duhur Cimande Pancawati Ciderum Ciherang Pondok Cimande Hilir Jumlah
Jumlah Industri 1 1 0 4 3 4 0 1 2 0 7 3 26
% 3,85 3,85 0,00 15,38 11,54 15,38 0,00 3,85 7,69 0,00 26,92 11,54 100,00
Sumber: BPS Kabupaten Bogor (Kecamatan Caringin dalam Angka 2013)
Data menunjukkan bahwa Desa Ciherang Pondok memiliki jumlah industri terbanyak jika dibandingkan dengan desa lainnya di Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor yaitu sebesar 26,92 persen dari total 26 industri yang tersebar di 12 desa. Hal ini juga yang menjadi landasan peneliti memilih Desa Ciherang Pondok sebagai lokasi penelitian karena desa ini merupakan desa dengan industrialisme mendalam. Namun menurut data yang diperoleh dari Desa Ciherang Pondok, hingga tahun 2016 tercatat ada sebanyak sembilan industri berskala besar dan sedang. Industri-industri tersebut hampir seluruhnya merupakan industri pengolahan. Terdapat industri pengolahan alat permbersih rumah tangga, industri impor-ekspor, industri konveksi atau pakaian jadi dan yang mendominasi yaitu industri pengolahan minuman. Berbagai industri tersebut dijelaskan secara lebih rinci pada Tabel 9.
26
Tabel 9 Nama, jenis, skala dan lokasi industri di Desa Ciherang Pondok tahun 2016 No
Skala Industri Besar Besar Besar
RT 02 RW 01 RT 02 RW 01 RT 03 RW 01
Besar
RT 03 RW 01
Sedang Besar Besar
RT 05 RW 01 RT 04 RW 01 RT 03 RW 01
Minuman
Besar
RT 04 RW 02
Minuman
Besar
RT 04 RW 02
Nama Industri
Jenis Industri
1 2 3
PT Kreasi Mas Indah PT Tirta Investama (AQUA) PT Kalbe Milko
4
PT Dragon I & II
5 6 7
PT Malvel Indo Abadi PT Liliana PT Tri Cahaya Mitratama PT Tirta Fresindo Jaya (Mayora) PT Milko Beverage Industry
Minuman Minuman Minuman Alat pembersih rumah tangga Boneka Pakaian jadi Impor-Ekspor
8 9
Sumber: Data Profil Desa Ciherang Pondok 2015
Lokasi
DAMPAK INDUSTRIALISASI PEDESAAN Seperti sudah dijelaskan dalam bab sebelumnya bahwa pembangunan industri di Desa Ciherang Pondok mulai terjadi sejak tahun 2003. Semenjak kehadirannya, industri-industri tersebut telah merubah kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar. Bagian ini memaparkan dampak industrialisasi yang terjadi dilihat dari aspek peluang kerja maupun usaha non-pertanian serta kegiatan jualbeli lahan. Peluang Kerja dan Usaha Non Pertanian Adanya industri di Desa Ciherang Pondok secara nyata telah membuka peluang kerja dan usaha di bidang non pertanian, dalam hal ini khususnya bekerja di industri. Industri berskala sedang dan besar yang membutuhkan begitu banyak tenaga kerja membuat terserapnya masyarakat yang sebelumnya tidak memiliki pekerjaan untuk bekerja di pabrik. Bahkan banyak juga masyarakat yang sebelumnya bekerja di bidang non idustri, tertarik untuk berpindah pada bidang ini. Tabel 10 Jumlah dan persentase responden industri berdasarkan jenis pekerjaan dan periode waktu di Desa Ciherang Pondok tahun 2016 No
Pekerjaan
1
Industri pengolahan Transportasi dan komunikasi Pertanian Konstruksi Tidak Bekerja Total
2
3 4 5
Sebelum Industri Jumlah %
Setelah Industri Jumlah %
Perubahan (Setelah-sebelum) Jumlah %
0
0,0
30
100,0
30
100,0
7
23,3
0
0,0
-7
-23,3
2 2 19 30
6,7 6,7 63,3 100,0
0 0 0 30
0,0 0,0 0,0 100,0
-2 -2 -19 0
-6,7 -6,7 -63,3 0,0
Kelompok responden industri saat sebelum adanya industri sebagian besar respondennya yaitu sebesar 63,3 persen tidak memiliki pekerjaan. Jenis pekerjaan yang dimiliki responden lainnya yaitu transportasi dan komunikasi 23,3 persen, pertanian serta konstruksi masing-masing 6,7 persen. Banyaknya responden yang tidak bekerja sebelum adanya industri dikarenakan responden industri tersebut memiliki rentang usia dari 19-35 tahun. “Saat sebelum adanya industri saya belum bekerja karena masih sekolah.” (SIN, 25 tahun) “Dulu saya hanya lulusan SMP, jadi susah jika ingin bekerja. Akhirnya menganggur sampai adanya pabrik-pabrik di sini.” (ABR, 28 tahun)
28
Tabel 11 Jumlah dan persentase responden non industri berdasarkan jenis pekerjaan dan periode waktu di Desa Ciherang Pondok tahun 2016 No
Pekerjaan
1
Penyediaan akomodasi Penyediaan makanan dan minuman Perdagangan besar / eceran Transportasi dan komunikasi Pertanian Tidak Bekerja Total
2
3 4
5 6
Sebelum Industri Jumlah %
Setelah Industri Jumlah %
Perubahan (Setelah-sebelum) Jumlah %
0
0,0
4
13,3
4
13,3
3
10,0
9
30,0
6
20,0
5
16,7
9
30,0
4
13,3
7
23,3
8
26,7
1
3,3
4 11 30
13,3 36,7 100,0
0 0 30
0,0 0,0 100,0
-4 -11 0
-13,3 -36,7 0,0
Sebelum munculnya industri, pada kelompok non industri persentase tertinggi yaitu sebesar 36,7 persen juga ditunjukkan oleh responden yang tidak memiliki pekerjaan. Namun jumlah tersebut tidak mendominasi penuh dikarenakan pada responden non industri rata-rata usianya adalah pada rentang 32-55 tahun sehingga saat sebelum munculnya industri di Desa Ciherang Pondok 13 tahun lalu, sebagian dari mereka telah memiliki pekerjaan. Sedangkan untuk kondisi setelah adanya industri, persentase terbesar ada pada jenis pekerjaan penyediaan makanan dan minuman serta perdagangan besar/eceran yang masingmasing besarnya 30 persen, diikuti oleh pekerjaan di bidang transportasi dan komunikasi sebesar 26,7 persen, kemudian pekerjaan di bidang penyediaan akomodasi sebesar 13,3 persen. Sementara pada bidang pertanian, empat responden yang awalnya bekerja pada bidang ini memutuskan untuk beralih ke pekerjaan non pertanian sehingga terjadi perubahan yang menurun sebesar 13,3 persen pada bidang pertanian. Setelah munculnya industri, sebanyak 11 responden yang awalnya tidak bekerja sudah tidak ditemukan lagi. Mereka tersebar pada berbagai pekerjaan di bidang non pertanian. “Dahulu saya hanya mengurus keluarga saja seperti ibu rumah tangga pada umumnya. Setelah bermunculan industri, saya dapat berkontribusi menambah penghasilan suami dengan berjualan makanan.” (WIN, 39 tahun) “Jauh sebelum adanya industri, saya usaha di bidang pertanian. Menanam cabai, kacang, bunga kol, wortel dan lain-lain kemudian saya menjualnya. Tapi setelah munculnya industri, lahan saya banyak yang dialokasikan untuk pembangunan pabrik. Jadi beralih ke bisnis kontrakan karena penduduknya juga semakin padat, sehingga terbuka peluang untuk bisnis tersebut.” (HAB, 55 tahun)
29
Setelah munculnya industri, sebaran pekerjaan responden sesuai dengan data pada Tabel 10 dan Tabel 11 menunjukkan kecenderungan pada bidang non pertanian. Hal ini menjelaskan bahwa peluang kerja di bidang non-pertanian tinggi. Saat ini, industri di Desa Ciherang Pondok merupakan penyedia lapangan kerja terbesar karena kemampuannya menampung banyaknya tenaga kerja. Di samping itu, kehadiran industri juga memicu semakin tinggi aktivitas ekonomi di bidang lainnya seperti penyediaan akomodasi, penyediaan makanan dan minuman, transportasi dan komunikasi, hingga terdorongnya perdagangan besar maupun eceran. Pabrik-pabrik yang telah beroperasi memberikan peluang untuk bekerja dan berusaha yang lebih luas kepada masyarakat. Para pemuda yang belum pernah bekerja di bidang pertanian semakin tertarik untuk memasuki peluang kerja di sektor industri tersebut. Apalagi di Desa Ciherang Pondok terdapat kelembagaan Karang Taruna yang aktif berperan menyalurkan pemuda yang belum memiliki pekerjaan agar dapat bekerja di pabrik-pabrik. Selain itu, aparat pemerintahan desa juga berperan mendukung serta melindungi warganya agar dapat bekerja di pabrik melalui kesepakatan yang telah dibuat bersama perusahaan. Tujuannya agar tidak ada lagi warga Desa Ciherang Pondok yang menganggur. Namun demikian, aparat desa mengatakan bahwa memang tidak dapat dengan mudah saja memasukkan warga ke pabrik-pabrik. Tetap warga tersebut harus memenuhi persyaratan yang dimiliki perusahaan seperti syarat minimal pendidikan yang ditempuh dan sebagainya. Jika masih ada warga yang menganggur berarti memang tidak ada kemauan dari warga tersebut. “Memang pekerja yang mendapat prioritas untuk bekerja di pabrik-pabrik adalah warga sekitar. Tujuannya adalah agar tidak ada lagi warga yang menganggur. Namun kembali lagi ke warga yang bersangkutan, mereka harus tetap memenuhi persyaratan untuk dapat bekerja di pabrik yang dimaksud.” (ENH, 45 tahun) Jual Beli Lahan Kebutuhan akan lahan terutama untuk pembangunan lokasi pabrik dan untuk memenuhi kebutuhan akan perumahan sebagai penunjang sangat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari komposisi lahan Desa Ciherang Pondok yang telah dibahas pada bab sebelumnnya yaitu terdiri dari sawah seluas 213 Ha, lahan kering 77 Ha, lahan peternakan 10 Ha dan lahan bangunan mencapai 127 Ha (Data profil Desa Ciherang Pondok 2016). Konsekuensi dari masuknya industri yaitu berdampak pada perubahan pemilikan lahan. Pada akhirnya kegiatan jual-beli lahanpun tidak dapat dihindarkan.
30
Tabel 12 Jumlah luas lahan yang dijual dan dibeli responden berdasarkan peruntukan lahan dan periode waktu di Desa Ciherang Pondok tahun 2016 Respon den
Peruntukan Lahan
Pertanian Industri Industri Perumahan Total Pertanian Industri Non Industri Perumahan Total
Sebelum Industri (m2) Dijual 0 0 0 0 1200 0 0 1200
Dibeli 0 0 0 0 500 0 0 500
Setelah Industri (m2) Dijual 0 1920 0 1920 0 10450 0 10450
Dibeli 0 0 0 0 0 0 3100 3100
Perubahan (setelahsebelum) (m2) Dijual 0 1920 0 1920 -1200 10450 0 9250
Dibeli 0 0 0 0 -500 0 3100 2600
Aktivitas jual-beli lahan yang terjadi pada kelompok responden industri hanya ditemukan sebagai peruntukan pembangunan industri. Sebelum munculnya industri tidak ditemukan kegiatan jual-beli lahan yang dilakukan oleh kelompok ini. Namun setelah hadirnya industri, terdapat 13,3 persen dari total 30 responden yang melakukan penjualan lahan seluas 1920 m2 dan diperuntukan sebagai lahan industri. Menurut salah satu responden, pendirian sebuah industri biasanya membutuhkan jangka waktu yang relatif lama dari perencanaan. Lahan-lahan sawah yang ada di Desa Ciherang Pondok pada umumnya terbagi kepemilikannya. Sawah seluas 1 Ha saja dapat terdiri dari empat hingga lima pemilik. Hal ini menyebabkan relatif mudahnya sebuah perusahaan untuk membeli lahan warga yang bersangkutan. “Awalnya kami ingin mempertahankannya karena itu (sawah) merupakan aset dan warisan. Tapi karena yang punya sawah (luas) nya kecil-kecil, biasanya petak demi petak sawah terambil, mulai dari pinggirannya dulu yang dibeli. Kemudian lamalama kami yang punya lahan di tengah tidak dapat berbuat apaapa. Akhirnya sawah tersebut dijual. Harga yang ditawarkan cukup tinggi sehingga terdapat kemungkinan warga tergiur demi mencukupi kebutuhan ekonomi.” (ASP, 31 tahun) Sedangkan pada kelompok responden non industri aktivitas jual-beli lahan ditemukan baik sebelum maupun setelah hadirnya industri. Sebelum hadirnya industri, kegiatan jual maupun beli lahan hanya diperuntukan sebagai lahan pertanian yang hanya melibatkan 6,7 persen dari total responden 30 orang. Sementara saat setelah hadirnya industri, kegiatan jual-beli lahan ditemukan pada responden yang menjual lahannya untuk pembangunan industri dan membeli lahan untuk perumahan yang berbentuk kontrakan. Perubahan peruntukan lahan yang mendominasi yaitu pembangunan industri yang mengambil lahan seluas 10.450 m2, kemudian di posisi kedua ditempati oleh peruntukan lahan sebagai
31
perumahan dengan luas lahan 3.100 m2. Hal yang berlawanan ditemukan pada perubahan menurun dari peruntukan lahan pertanian sebesar 1.700 m2. “Dahulu saya punya lahan untuk kegiatan pertanian. Saya menanam sayuran seperti cabai, kacang, bunga kol, dan sayuran lainnya di lahan yang saya miliki. Namun setelah adanya industri, lahan tersebut saya jual ke perusahaan untuk pembangunan pabrik. Kemudian saya membeli lahan di tempat yang berbeda untuk mulai menjalankan bisnis kontrakan hingga saat ini.” (HAB, 55 tahun) Kebutuhan akan tempat tinggal seperti kontrakan dinilai meningkat setelah adanya industri karena banyak warga yang datang dari luar desa dan menetap untuk jangka waktu tertentu. Sehingga terdapat 13,3 persen responden non industri yang beralih pekerjaan dari bidang pertanian ke penyediaan akomodasi seperti kontrakan.
32
KESEJAHTERAAN MASYARAKAT Bagian ini akan menjelaskan mengenai perubahan tingkat kesejahteraan masyarakat pada kondisi sebelum dan setelah hadirnya industri di Desa Ciherang Pondok, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor. Variabel yang dijabarkan yaitu tingkat pendapatan, akses pendidikan, akses kesehatan dan kondisi tempat tinggal serta fasilitas yang dimiliki oleh responden. Tingkat Pendapatan Tingkat pendapatan diukur dengan melihat pengeluaran masyarakat dalam satu bulan terakhir. Data yang diperoleh dari lapangan menunjukkan bahwa pendapatan rata-rata responden kelompok industri sebelum hadirnya industri adalah sebesar Rp 648.000,- per bulan. Sedangkan setelah masuknya industri pendapatan rata-ratanya mengalami perubahan menjadi Rp 2.930.000,- per bulan. Sementara pada masyarakat kelompok non industri memiliki pendapatan rata-rata per bulan yaitu sebesar Rp 739.400,- saat sebelum industri. Setelah hadirnya industri, pendapatan rata-rata kelompok responden ini mengalami pengingkatan yaitu menjadi sebesar Rp 3.120.000 per bulan. Kemudian responden dikelompokkan ke dalam kategori berpendapatan rendah dan tinggi dengan mengacu kepada UMR Kabupaten Bogor tahun 2016. Tabel 13 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendapatan dan periode waktu di Desa Ciherang Pondok tahun 2016
Responden
Industri Non Industri
Kategori Rendah Tinggi Total Rendah Tinggi Total
Sebelum Industri Jumlah 24 6 30 23 7 30
% 80,0 20,0 100,0 76,7 23,3 100,0
Setelah Industri Jumlah 1 29 30 3 27 30
% 3,3 96,7 100,0 10,0 90,0 100,0
Perubahan (setelahsebelum) Jumlah % -23 -76,7 23 76,7 0 0,0 -20 -66,7 20 66,7 0 0,0
Berdasarkan data yang terdapat pada Tabel 13 menunjukkan bahwa sebelum hadirnya industri, baik kelompok responden industri maupun non industri masih didominasi oleh pendapatan rendah dengan masing-masing jumlah 63,3 persen dan 66,7 persen. Namun pada kondisi saat ini yaitu setelah hadirnya industri, pendapatan kedua kelompok responden tersebut meningkat. Pada kelompok responden industri, pendapatan di atas UMR nampak meningkat 40 persen menjadi 76,7 persen. “Perubahan setelah adanya industri dalam hal pendapatan sangat terasa. Dahulu saya yang belum bekerja tidak memiliki pendapatan, sekarang sudah di atas UMR.” (ILH, 27 tahun)
34
Masih adanya pendapatan di bawah UMR sebesar 23,3 persen disebabkan karena adanya perbedaan job desc atau pembagian tugas dalam industri. Responden yang pekerjaannya membersihkan taman tentu akan berbeda penghasilannya dengan responden yang bekerja pada bagian kantor perusahaan. “Sebelumnya saya bekerja sebagai sopir angkutan umum dan pendapatannya tidak tetap. Setelah bekerja di pabrik, alhamdulillah pendapatan saya tetap walaupun masih di bawah UMR.” (ASP, 35 tahun) Sementara pada kelompok responden non industri, pendapatan di atas UMR meningkat sebesar 66,7 persen. Sedangkan masih terdapat 10 persen responden yang memiliki pendapatan di bawah UMR setelah adanya industri. Hal ini dikarenakan usaha yang dimiliki berskala kecil. “Dahulu saya hanya ibu rumah tangga yang tidak memiliki penghasilan. Setelah punya usaha warung walaupun kecil, jelas saya mengalami peningkatan (pendapatan). Namun jika ditanyakan apakah di atas UMR, jawabannya adalah belum.” (KOM, 43 tahun) Perbedaan perubahan pendapatan tidak begitu terlihat antara kelompok industri dan non industri. Hal tersebut dapat dikarenakan sebelum adanya industri pada kedua kelompok sebagian respondennya telah memiliki pekerjaan yang berarti telah memiliki pendapatan. Keadaan demikian menunjukkan bahwa mereka pada saat ini telah memiliki pendapatan yang lebih baik, walaupun terdapat beberapa orang yang mengalami perubahan mata pencaharian dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Akses Pendidikan Akses terhadap pendidikan merupakan salahsatu indikator kesejahteraan yang diteliti dalam penelitian ini. Variabel ini diukur untuk mengetahui apakah terdapat perubahan akses terhadap pendidikan sebelum dan setelah adanya industri bagi masyarakat. Berdasarkan data yang diperoleh dari profil desa, Ciherang Pondok saat ini memiliki sarana pendidikan berupa Sekolah Dasar/sederajat sebanyak sembilan unit, Sekolah Menengah Pertama/sederajat sebanyak empat unit dan Sekolah Menengah Atas/sederajat sebanyak empat unit. Perubahan akses terhadap pendidikan bagi responden industri maupun non industri dijelaskan pada Tabel 14.
35
Tabel 14 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan dan periode waktu di Desa Ciherang Pondok tahun 2016
Responden
Tingkat Pendidikan
Sebelum Industri Jumlah
Industri
Non Industri
SD/ Sederajat SMP/ Sederajat SMA/ Sederajat Perguruan Tinggi Total SD/ Sederajat SMP/ Sederajat SMA/ Sederajat Perguruan Tinggi Total
Setelah Industri
%
Jumlah
%
Perubahan (setelahsebelum) Jumlah %
0
0,0
0
0,0
0
0,0
17
56,7
7
23,3
-10
-33,3
11
36,7
21
70
10
33,3
2
6,7
2
6,7
0
0,0
30
100,0
30
100,0
0
0,0
5
16,7
5
16,7
0
0,0
19
63,3
19
63,3
0
0,0
6
20,0
6
20,0
0
0,0
0
0,0
0
0,0
0
0,0
30
100,0
30
100,0
0
0,0
Pada kondisi sebelum hadirnya industri, tingkat pendidikan SMP menjadi dominan pada kedua kelompok responden baik industri maupun non industri yaitu sebesar 56,7 persen dan 63,3 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa warga Desa Ciherang Pondok sebagian besar telah memiliki kesadaran akan pentingnya pendidikan khususnya wajib belajar sembilan tahun sesuai program pendidikan yang dicanangkan pemerintah pada masa jabatan presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Selain tingkat pendidikan SMP, sebagian warga juga telah menamatkan bangku SMA. Dapat dilihat pada Tabel 14 bahwa terdapat 36,7 persen responden industri yang memiliki tingkat pendidikan SMA, sedangkan pada responden non industri terdapat 20 persen responden dengan tingkat pendidikan yang sama. Perbedaan yang terdapat pada responden industri dan non industri adalah sudah terdapat responden yang memiliki tingkat pendidikan perguruan tinggi sebesar 6,7 persen pada responden industri, sedangkan pada responden non industri masih terdapat tingkat pendidikan Sekolah Dasar sebesar 16,7 persen. Perubahan tingkat pendidikan terjadi setelah adanya industri pada kelompok responden industri. Perubahan tersebut adalah dari tingkat pendidikan SMP ke tingkat pendidikan SMA sebesar 33,3 persen. Hal ini dikarenakan pekerjaanpekerjaan formal sudah menerapkan standar pendidikan untuk merekrut pekerjanya termasuk sektor industri di desa. Sebagian besar pihak perusahaan merekrut pekerja dengan kualifikasi tingkat pendidikan SMA/sederajat. Oleh karena itu, banyak warga yang mengikuti pendidikan Paket C atau setara dengan SMA agar dapat bekerja di perusahaan tertentu.
36
“Sejak munculnya pabrik-pabrik, saya mengikuti pendidikan paket C supaya bisa kerja di sana karena rata-rata syaratnya harus mempunyai ijazah SMA/sederajat.”(JUD, 25 tahun) Walaupun masih dijumpai beberapa perusahaan yang menerima pekerja dengan tingkat pendidikan SMP, pekerja tersebut biasanya mendapatkan posisi yang lebih rendah seperti bagian kebersihan atau cleaning service. Sementara pada kelompok responden non industri tidak mengalami perubahan tingkat pendidikan. Hal tersebut dikarenakan pada sektor non formal tidak memerlukan kualifikasi pendidikan tertentu sehingga pekerjanya tidak memprioritaskan tingkat pendidikan tinggi. “Saya rasa jika sudah berusia segini dengan pekerjaan seperti ini (penyediaan makanan/warung nasi) tidak perlu lagi sekolah lebih tinggi.” (TUT, 37 tahun) Akses Kesehatan Kondisi kesehatan dan akses terhadap fasilitas kesehatan menjadi hal yang penting untuk diteliti dalam menganalisis tingkat kesejahteraan masyarakat. Berkaitan dengan munculnya industri-industri, hal tersebut tentu berhubungan dengan kesehatan warga Desa Ciherang Pondok. Keberadaan aktivitas pabrikpabrik berdampak pada keadaan lingkungan sekitar. Dampak lingkungan yang paling signifikan akibat dibangunnya industri adalah berkurangnya lahan terbuka hijau dan daerah resapan air karena alih fungsi lahan. Hal yang dirasakan warga adalah polusi udara berupa limbah asap pabrik. Selain itu, khususnya bagi warga yang bertempat tinggal sangat dekat dengan pabrik merasakan sulitnya mendapat air bersih setelah pabrik tersebut berdiri. Hal ini menyebabkan penyakit kulit seperti gatal-gatal yang dialami oleh warga tersebut. Keadaan seperti ini membuat kondisi kesehatan masyarakat terganggu. Tabel 15 Jumlah dan persentase responden penderita penyakit dalam tiga bulan terakhir Responden
Industri
Non Industri
Penyakit Flu Diare Gatal-gatal Tidak terkena penyakit Total Flu Diare Gatal-gatal Tidak terkena penyakit Total
Penderita Jumlah
% 23 0 3 4 30 13 2 4 11 30
76,7 0,0 10,0 13,3 100,0 43,3 6,7 13,3 36,7 100,0
Penyakit yang paling banyak ditemukan pada responden industri maupun non industri adalah flu dengan nilai masing-masing sebesar 76,7 persen dan 43,3 persen. Flu dinilai paling banyak diderita karena kondisi kekebalan tubuh
37
responden yang relatif rendah khususnya pada responden industri yang memiliki jam kerja shifting atau pergantian dari malam hingga pagi hari. Hal tersebut menyebabkan waktu istirahat yang tidak teratur sehingga menyebebkan penyakit seperti flu. “Saat awal bekerja di pabrik saya sempat beberapa kali mengalami flu dan demam. Mungkin karena jam kerja shifting (pergantian) malam hingga pagi hari yang membuat jam istirahat terganggu.” (WUL, 22 tahun) Sedangkan penyakit diare dan gatal-gatal disebabkan oleh sulitnya mendapatkan air bersih bagi responden yang tinggal sangat berdekatan dengan industri. Kesulitan dalam memperoleh air bersih tersebut terjadi pada warga yang menggantungkan kebutuhan air bersih pada air tanah/sumur. Penyakit diare dan gatal-gatal mendapatkan posisi 10 persen pada responden industri dan 20 persen pada responden non industri. “Pada awal pendirian salah satu pabrik yang sangat besar, sumur yang saya miliki airnya menjadi berkurang dan agak keruh. Hal ini menyebabkan anak saya yang masih berusia 7 tahun mengalami gatal-gatal pada tubuhnya.” (WIN, 39 tahun) Terdapat perbedaan kondisi kesehatan antara responden industri dan non industri dari data yang terkumpul. Responden industri lebih rentan atau mudah terkena penyakit berdasarkan data yang dilihat pada Tabel 15. Hal tersebut disinyalir karena aktivitas kerja yang tinggi serta polusi yang dihasilkan oleh industri berhubungan langsung dengan responden hampir setiap harinya. Adapun akses terhadap fasilitas kesehatan yang dipilih oleh responden baik kelompok responden industri maupun non industri mengalami perubahan seperti yang dijelaskan pada Tabel 16. Tabel 16 Jumlah dan persentase responden berdasarkan fasilitas kesehatan dan periode waktu di Desa Ciherang Pondok tahun 2016
Responden
Industri
Non Industri
Fasilitas kesehatan Mantri Dokter Rumah sakit Total Mantri Dokter Rumah sakit Total
Sebelum Industri
Setelah Industri
Perubahan (setelahsebelum) Jumlah % -15 -50,0 -7 -23,3
Jumlah 15 13
% 50,0 43,3
Jumlah 0 6
% 0,0 20,0
2
6,7
24
80,0
22
73,3
30 18 12
100,0 60,0 40,0
30 4 22
100,0 13,3 73,4
0 -14 10
0,0 -46,6 33,3
0
0,0
4
13,3
4
13,3
30
100,0
30
100,0
0
0,0
38
Pada responden industri, terjadi perubahan akses terhadap fasilitas kesehatan dari mantri dan dokter praktek menjadi rumah sakit yaitu sebesar 73,3 persen. Hal ini dikarenakan industri-industri yang ada sebagian besar memberikan jaminan kesehatan bagi karyawannya di rumah sakit tertentu. Namun masih terdapat responden yang memilih dokter praktek sebesar 20 persen sebagai fasilitas kesehatan untuk dikunjungi saat sedang sakit. Lokasi rumah sakit rujukan perusahaan yang berada di luar Desa Ciherang Pondok bahkan luar kecamatan menjadi alasan masih dipilihnya praktek dokter yang berlokasi lebih dekat dengan tempat tinggal responden. “Sekarang jika sedang sakit saya dapat pergi berobat ke rumah sakit karena ada jaminan dari perusahaan tempat saya bekerja. Kalau istri saya melahirkan juga ditanggung oleh jaminan tersebut.” (HUD, 32 tahun) “Terkadang saya malas untuk menggunakan jaminan dari perusahaan dan pergi ke rumah sakit karena jaraknya jauh sehingga tetap harus mengeluarkan biaya untuk ongkos. Jadi lebih baik tetap di praktek dokter saja yang dekat dari rumah.” (RID, 25 tahun) Sedangkan pada responden non industri, perubahan sebesar 33,3 persen terjadi dari pemilihan mantri sebagai tenaga kesehatan menjadi dokter praktek. Selain itu perubahan juga terjadi sebesar 13,3 persen dari pemilihan dokter praktek menjadi rumah sakit sebagai fasilitas kesehatan. Pemilihan dokter praktek dikarenakan setelah adanya industri, terdapat satu dokter umum yang berlokasi di wilayah industri Desa Ciherang Pondok sehingga responden lebih mudah mengaksesnya jika dibandingkan saat sebelum industri yang harus ke luar desa untuk mengunjungi praktek dokter. Sedangkan alasan pemilihan rumah sakit bagi sebagian responden adalah karena mereka menilai taraf hidupnya sudah lebih baik sehingga mampu berobat ke rumah sakit. “Dahulu untuk berobat rata-rata warga di sini pergi ke mantri. Namun setelah adanya industri, terdapat praktek dokter di Desa Ciherang Pondok sehingga banyak warga yang beralih untuk berobat ke dokter.” (CIH, 48 tahun)
39
Kondisi Tempat Tinggal serta Fasilitas yang Dimiliki Kondisi tempat tinggal serta fasilitas yang dimiliki masyarakat merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kesejahteraan yang merujuk pada indikator nasional Kesejahteraan Rakyat BPS 2015. Kondisi tempat tinggal dan kepemilikan fasilitas yang diteliti dalam penelitian ini adalah perubahan kondisi fisik dan fasilitas bangunan sebelum dan setelah hadirnya industri, yang terdiri dari status kepemilikan tempat tinggal, jenis atap, jenis dinding, jenis lantai, fasilitas tempat MCK, sumber penerangan, sumber air minum dan kepemilikan aset/harta bergerak maupun tidak bergerak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada responden industri maupun non industri, perubahan tertinggi adalah perubahan pada kepemilikan aset/harta bergerak maupun tidak bergerak yaitu masing-masing sebesar 63,3 persen dan 43,3 persen. Kemudian pada kelompok responden industri, perubahan tertinggi kedua ditempati oleh perubahan sumber air minum ke air minum dalam kemasan sebesar 40 persen. Perubahan lainnya yaitu perubahan lantai keramik sebesar 26,7 persen. Adapun pada responden non industri, perubahan tertinggi kedua ada pada perubahan fasilitas untuk MCK yaitu milik sendiri dengan tangki septik sebesar 33,3 persen, diikuti dengan perubahan air minum dalam kemasan sebesar 26,7 persen. “Setelah bekerja di pabrik saya bisa membeli motor sendiri walaupun masih mencicil dengan sistem kredit.” (IRP, 26 tahun) “Sekarang sudah dapat membeli emas dalam bentuk perhiasan karena hasil dari berjualan makanan.” (ERN, 42 tahun) “Dahulu kebutuhan air minum masih bersumber dari air sumur. Namun setelah adanya industri banyak yang membeli air minum dalam kemasan. Hal ini dikarenakan sumber air dari sumur tidak lagi sejernih saat sebelum adanya industri.” (LIL, 37 tahun) Perubahan yang dinilai dalam penelitian ini adalah ketercapaian karakteristik indikator nasional tentang kesejahteraan oleh setiap responden setelah adanya industri dibandingkan dengan sebelum adanya industri. Perubahan tertinggi pada kedua kelompok responden yaitu perubahan kepemilikan aset/harta bergerak maupun tidak bergerak. Hal ini dikarenakan sebagian besar responden lebih memilih untuk membeli barang untuk dijadikan aset dari pada memperbaiki kondisi tempat tinggal karena sifatnya yang praktis dan cepat. Sedangkan untuk beberapa karateristik lainnya perubahannya cenderung rendah bahkan ada yang tidak mengalamai perubahan sama sekali. Hal ini disebabkan kondisi tempat tinggal dan fasilitas yang dimiliki responden sudah ada yang sesuai indikator nasional sebelum hadirnya industri. Penjelasan lebih terperinci disajikan dalam Tabel 17 mengenai perubahan kondisi tempat tinggal dan fasilitas yang dimiliki responden sebelum dan setelah adanya industri.
40
Tabel 17 Jumlah dan persentase perubahan kondisi tempat tinggal dan fasilitas yang dimiliki responden berdasarkan karakteristik indikator nasional dan periode waktu di Desa Ciherang Pondok tahun 2016
No 1
2 3 4 5
6 7 8
Kondisi Tempat Tinggal serta Fasilitas Status kepemilikan tempat tinggal Jenis atap tempat tinggal Jenis dinding tempat tinggal Jenis lantai tempat tinggal Fasilitas tempat MCK
Karakteristik Milik pribadi
Industri Perubahan (setelah-sebelum) Jumlah % 1 3,3
Non Industri Perubahan (setelah-sebelum) Jumlah % 0 0,0
Beton
6
20,0
6
20,0
Tembok
2
6,7
0
0,0
Keramik
8
26,7
7
23,3
Milik sendiri dengan tangki septik Listrik PLN
3
10,0
10
33,3
0
0,0
0
0,0
12
40,0
8
26,7
19
63,3
13
43,3
Sumber penerangan Sumber air Air dalam minum kemasan Kepemilikan Memiliki emas, aset/harta ponsel, kendaraan pribadi.
DAMPAK INDUSTRIALISASI PEDESAAN TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT Pada bab ini akan dilakukan uji statistik untuk mengkaji hubungan antara variabel dampak industrialisasi pedesaan dengan variabel tingkat kesejahteraan dengan menggunakan uji korelasi rank spearman. Adapun akan dilakukan analisis secara kualitatif berdasarkan hasil wawancara mendalam dan hasil uji korelasi rank spearman untuk menjawab hipotesis penelitian. Tujuan spesifik dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara dampak industrialisasi pedesaan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Hubungan Peluang Kerja atau Usaha Non Pertanian dengan Tingkat Pendapatan Peluang kerja atau usaha non pertanian diukur dengan melihat keragaman lapangan pekerjaan di bidang non pertanian saat sebelum dan setelah adanya industri. Selain itu, peluang kerja atau usaha non pertanian juga diukur dengan melihat adakah perubahan pekerjaan responden dari sektor pertanian ke non pertanian. Hal lainnya yang diukur adalah peran pekerjaan dalam mencukupi kebutuhan hidup sebelum dan setelah adanya industri, serta kemudahan dalam bekerja maupun menciptakan usaha saat sebelum dan setelah hadirnya industri. Sementara tingkat pendapatan responden sebelum dan setelah industri diukur dengan melihat perubahan pendapataan yang riil terjadi pada masingmasing responden, apakah terjadi perubahan menurun, tetap atau perubahan meningkat. Selain itu, indikator lainnya yang dipilih adalah dengan mengacu pada UMR Kabupaten Bogor, apakah responden memiliki pendapatan di bawah, setara ataupun di atas UMR. Penelitian ini salah satunya bertujuan untuk menjawab hipotesis uji. Pada sub-bab ini menguji satu hipotesis, yaitu diduga terdapat hubungan antara peluang kerja atau usaha dengan tingkat pendapatan masyarakat. Uji korelasi antara dua variabel tersebut akan dilakukan melalui tabulasi silang dan diuji menggunakan uji korelasi rank spearman untuk mengetahui seberapa kuat hubungan antara kedua variabel. Tabel 18 Jumlah dan persentase tingkat peluang kerja atau usaha non pertanian dan tingkat pendapatan masyarakat di Desa Ciherang Pondok tahun 2016
Responden
Industri Non Industri
Peluang Kerja/ Usaha Tetap Meningkat Total Tetap Meningkat Total
Tingkat Pendapatan Tetap Meningkat Jumlah % Jumlah % 6 20,0 0 0,0 1 3,3 23 76,7 7 23,3 23 76,7 3 10,0 0 0 7 23,3 20 66,7 10 33,3 20 66,7
Total Jumlah 6 24 30 3 27 30
Koefisien korelasi industri = 0.906. Nilai signifikansi = 0.000 Koefisien korelasi non industri = 0.205. Nilai signifikansi = 0.277
% 20,0 80,0 100,0 10,0 90,0 100,0
42
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan perubahan peluang kerja maupun usaha pada kelompok responden industri dan non industri serta hubungannya dengan tingkat pendapatan mereka. Pada kelompok responden industri, terdapat 20 persen responden yang menyatakan tidak terdapat perubahan peluang kerja maupun perubahan pada pendapatan. Hal ini dikarenakan pada kelompok tersebut, sebelum adanya industri mereka sudah memiliki pekerjaan dengan pendapatan yang sama dengan saat ini. “Sebelum ramainya industri di sini, saya memang sudah memiliki pekerjaan pada bidang konstruksi dan pendapatan di sana sudah berada di atas UMR. Namun alasan saya untuk pindah bekerja di sini adalah karena dekat dengan rumah dan keluarga.” (JAY, 30 tahun) Sedangkan 76,7 persen responden menyatakan bahwa peluang kerja semakin meningkat setelah adanya industri yang berdampak pada meningkatnya pendapatan. Sementara 3,3 persen reponden lain menyatakan bahwa peluang kerja meningkat namun pendapatannya tidak berubah. Hal tersebut dikarenakan setelah adanya industri, responden yang tadinya menganggur saat ini mampu memiliki pekerjaan walaupun pendapatannya masih di bawah UMR. “Perubahan setelah adanya industri dalam hal pendapatan sangat terasa. Dahulu saya yang belum bekerja tidak memiliki pendapatan, sekarang sudah di atas UMR.” (ILH, 27 tahun) “Sebelumnya saya tidak memiliki pekerjaan sehingga hadirnya industri membuka peluang bagi saya untuk bekerja dan memiliki pendapatan yang tetap walaupun masih di bawah UMR.”(RIJ, 33 tahun) Berdasarkan uji korelasi menggunakan rank spearman diperoleh nilai koefisien korelasi sebesar 0.906 dan nilai signifikasi 0.000. Menurut Sarwono (2009) jika nilai koefisien korelasi berada diantara > 0.75-0.99 maka terdapat hubungan yang sangat kuat. Sedangkan jika nilai signifikasi lebih kecil dari taraf α (0.05) yaitu 0.000 < 0.05 maka dapat disimpulkan terdapat korelasi yang signifikan antara peluang kerja dan tingkat pendapatan pada kelompok responden industri. Pada kelompok responden non industri, sebesar 66,7 persen responden menyatakan bahwa hadirnya industri di pedesaan mampu meningkatkan peluang usaha yang berdampak pada meningkatnya pendapatan. Sementara sebesar 23,3 persen responden menyatakan kehadiran industri dianggap meningkatkan peluang usaha bagi yang awalnya tidak memiliki pekerjaan, namun setelah adanya industri pendapatan kelompok responden tersebut masih berada di bawah UMR. Adapun pada responden non industri terdapat sebesar 10 persen responden yang menyatakan kehadiran industri tidak menyebabkan perubahan baik pada peluang usaha maupun pendapatan. Hal ini dikarenakan responden tersebut telah memiliki usaha sebelum adanya industri dan pendapatannya masih berada di bawah UMR sebelum dan setelah industri.
43
“Dahulu saya hanya ibu rumah tangga yang tidak memiliki pekerjaan selain mengurus rumah dan anak. Hadirnya pabrikpabrik telah memberikan peluang bagi saya mempunyai usaha warung sembako untuk membantu suami. Walaupun kecil-kecilan, saya memiliki pendapatan. Namun jika ditanyakan apakah di atas UMR, jawabannya adalah belum.” (KOM, 43 tahun) Berdasarkan uji korelasi menggunakan rank spearman diperoleh nilai koefisien korelasi sebesar 0.205 dan nilai signifikasi 0.277. Menurut Sarwono (2009) jika nilai koefisien korelasi berada diantara 0-0.25 maka terdapat hubungan yang sangat lemah. Sedangkan jika nilai signifikasi lebih besar dari taraf α (0.05) yaitu 0.277 > 0.05 maka dapat disimpulkan tidak terdapat korelasi yang signifikan antara peluang usaha dan tingkat pendapatan pada kelompok responden non industri. Hubungan Peluang Kerja atau Usaha Non Pertanian dengan Akses Pendidikan Sub-bab ini akan memaparkan hasil penelitian mengenai hubungan peluang kerja atau usaha non pertanian dengan akses pendidikan sebagai salah satu indikator kesejahteraan masyarakat. Akses terhadap pendidikan dilihat dari sampai pada tingkat apa responden maupun anggota keluarga mampu menyelesaikan pendidikannya saat sebelum dan setelah hadirnya industri. Penelitian bertujuan untuk mengetahui apakah terjadi perubahan kondisi atau tidak. Tingkat pendidikan dalam penelitian ini adalah Sekolah Dasar (SD) atau sederajat, Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau sederajat, Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat dan Perguruan Tinggi. Tabel 19 Jumlah dan persentase tingkat peluang kerja atau usaha non pertanian dan akses pendidikan masyarakat di Desa Ciherang Pondok tahun 2016 Responden
Industri Non Industri
Peluang Kerja/ Usaha Tetap Meningkat Total Tetap Meningkat Total
Akses Pendidikan Tetap Meningkat Jumlah % Jumlah % 6 20,0 0 0,0 11 36,7 13 43,3 17 56,7 13 43,3 3 10,0 0 0,0 26 86,7 1 3,3 29 96,7 1 3,3
Total Jumlah 6 24 30 3 27 30
% 20,0 80,0 100,0 10,0 90,0 100,0
Koefisien korelasi industri = 0.709. Nilai signifikansi = 0.000 Koefisien korelasi non industri = 0.062. Nilai signifikansi = 0.745 Pada kelompok responden industri, terdapat 43,3 persen yang menyatakan bahwa kehadiran industri mampu meningkatkan peluang kerja di bidang non pertanian. Kemudian pabrik-pabrik yang bermunculan memiliki standar atau kualifikasi tertentu untuk merekrut tenaga kerja, salah satunya yaitu tingkat pendidikan akhir yang diselesaikan hingga SMA (Sekolah Menengah Atas) atau sederajat. Hal tersebut direspon oleh responden yang sebelumnya hanya memiliki
44
ijazah SMP/sederajat dengan mengikuti program ujian paket C agar dapat mendaftarkan diri dan bekerja di pabrik-pabrik yang ada. “Walaupun hadirnya industri memang diprioritaskan untuk mempekerjakan karyawan dari daerah sekitar, namun tidak semua bisa masuk begitu saja. Tetap calon karyawan itu harus memenuhi syarat dari perusahaan. Biasanya perusahaan merekrut lulusan SMA. Tapi bagi mereka yang tidak memiliki ijazah SMA bisa mengikuti ujian paket C sebagai alternatif.” (ENH, 45 tahun) Sementara sebesar 36,7 persen responden industri menyatakan kehadiran industri mampu meningkatkan peluang kerja non pertanian namun responden ini tidak mengalami perubahan tingkat pendidikan. Mereka yang sebelumnya tidak memiliki pekerjaan dan hanya mampu menyelesaikan hingga tingkat SMP (Sekolah Menengah Pertama) atau sederajat tidak mengejar pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi dan memilih untuk bekerja di pabrik-pabrik dengan posisi yang rendah. Sebesar 20 persen responden lainnya menyatakan bahwa tidak ada perubahan pada peluang kerja maupun tingkat pendidikan karena responden ini sudah memiliki pekerjaan dan sudah memiliki tingkat pendidikan yang cukup tinggi yaitu SMA/sederajat bahkan hingga Perguruan Tinggi sebelum hadirnya industri. Berdasarkan uji korelasi menggunakan rank spearman diperoleh nilai koefisien korelasi sebesar 0.709 dan nilai signifikasi 0.000. Menurut Sarwono (2009) jika nilai koefisien korelasi berada diantara > 0.5-0.75 maka terdapat hubungan yang kuat. Sedangkan jika nilai signifikasi lebih kecil dari taraf α (0.05) yaitu 0.000 < 0.05 maka dapat disimpulkan terdapat korelasi yang signifikan antara peluang kerja dan akses pendidikan pada kelompok responden industri. Pada kelompok responden non industri, hanya terdapat 3,3 persen yang menyatakan bahwa hadirnya industri berdampak terhadap peningkatan peluang usaha sekaligus meningkatkan akses terhadap pendidikan. Hal tersebut dilihat dari perubahan tingkat pendidikan yang mampu ditempuh oleh anggota keluarga responden. “Setelah beralih mata pencaharian dari pertanian ke non pertanian dengan memiliki usaha kontrakan, saya dapat membiayai anak saya hingga lulus kuliah.” (HAB, 55 tahun) Sementara 96,7 persen lainnya menganggap bahwa meningkat atau tidaknya peluang usaha akibat adanya industri, tidak membuat responden mengalami peningkatan akses pendidikan. Hal tersebut dikarenakan kesadaran responden non industri akan pentingnya pendidikan masih terbilang rendah. “.... dengan kondisi seperti ini (bekerja sebagai penyediaan makanan/warung nasi) yang penting punya penghasilan sudah cukup. Tidak perlu sekolah lebih tinggi.” (TUT, 37 tahun)
45
Berdasarkan uji korelasi menggunakan rank spearman diperoleh nilai koefisien korelasi sebesar 0.062 dan nilai signifikasi 0.745. Menurut Sarwono (2009) jika nilai koefisien korelasi berada diantara 0-0.25 maka terdapat hubungan yang sangat lemah. Sedangkan jika nilai signifikasi lebih besar dari taraf α (0.05) yaitu 0.745 > 0.05 maka dapat disimpulkan tidak terdapat korelasi yang signifikan antara peluang usaha dan akses pendidikan pada kelompok responden non industri. Hubungan Peluang Kerja atau Usaha Non Pertanian dengan Akses Kesehatan Tujuan lainnya dari penelitian ini adalah untuk membuktikan hipotesis mengenai hubungan peluang kerja atau usaha non pertanian dengan akses kesehatan pada responden industri maupun non industri. Akses kesehatan dalam penelitian ini adalah bagaimana kondisi kesehatan responden serta fasilitas maupun tenaga kesehatan apa yang responden pilih saat sebelum dan setelah adanya industri di Desa Ciherang Pondok. Kondisi kesehatan didapatkan dengan melihat penyakit yang pernah diderita selama tiga bulan terakhir. Sedangkan fasilitas atau tenaga kesehatan yang dipilih terdiri dari mantri, dokter serta rumah sakit. Perbedaan perubahan akses responden industri maupun non industri terhadap kesehatan ditunjukkan pada Tabel 20. Tabel 20 Jumlah dan persentase tingkat peluang kerja atau usaha non pertanian dan akses kesehatan masyarakat di Desa Ciherang Pondok tahun 2016 Responden
Industri Non Industri
Peluang Kerja/ Usaha Tetap Meningkat Total Tetap Meningkat Total
Akses Kesehatan Tetap Meningkat Jumlah % Jumlah % 6 20,0 0 0,0 1 3,3 23 76,7 7 23,3 23 76,7 3 10,0 0 0,0 8 26,7 19 63,3 11 36,7 19 63,3
Total Jumlah 6 24 30 3 27 30
% 20,0 80,0 100,0 10,0 90,0 100,0
Koefisien korelasi industri = 0.192. Nilai signifikansi = 0.309 Koefisien korelasi non industri = 0.005. Nilai signifikansi = 0.978 Pada responden industri, terdapat 76,7 persen responden yang menyatakan bahwa hadirnya industri memberikan dampak meningkatnya peluang kerja non pertanian khususnya bagi mereka yang sebelumnya tidak bekerja. Meningkatnya peluang kerja tersebut juga dinilai telah meningkatkan akses responden terhadap fasilitas kesehatan. Hal tersebut dikarenakan hampir seluruh pabrik tempat responden bekerja memberikan jaminan fasilitas kesehatan kepada karyawannya, sehingga responden yang awalnya hanya berobat ke mantri atau dokter mendapatkan akses fasilitas yang lebih baik yaitu rumah sakit. Sementara terdapat 3,3 persen responden yang mengalami perubahan meningkat dalam peluang kerja namun tidak mengalami perubahan dalam akses terhadap kesehatan. Hal tersebut dikarenakan responden lebih memilih untuk tetap berobat kepada dokter praktek karena alasan jarak dan lokasi yang jauh lebih dekat dibandingkan dengan harus pergi ke rumah sakit. Sebesar 20 persen responden lainnya menyatakan bahwa
46
tidak terdapat perubahan dalam peluang kerja maupun akses terhadap kesehatan. Hal tersebut dikarenakan responden ini telah memiliki pekerjaan dan telah menggunakan fasilitas kesehatan yang baik sebelum adanya industri. “Walaupun terbukanya peluang bagi saya untuk bekerja di pabrik dan mendapatkan jaminan kesehatan, terkadang saya malas untuk menggunakan jaminan dari perusahaan dan pergi ke rumah sakit. Hal ini dikarenakan jaraknya jauh sehingga tetap harus mengeluarkan biaya untuk ongkos. Jadi lebih baik tetap di praktek dokter saja yang dekat dari rumah.” (RID, 25 tahun) Berdasarkan uji korelasi menggunakan rank spearman diperoleh nilai koefisien korelasi sebesar 0.192 dan nilai signifikasi 0.309. Menurut Sarwono (2009) jika nilai koefisien korelasi berada diantara 0-0.25 maka terdapat hubungan yang sangat lemah. Sedangkan jika nilai signifikasi lebih besar dari taraf α (0.05) yaitu 0.309 > 0.05 maka dapat disimpulkan tidak terdapat korelasi yang signifikan antara peluang kerja dan akses kesehatan pada kelompok responden industri. Sedangkan data yang diperoleh dari kelompok responden non industri menunjukkan bahwa sebesar 63,3 persen responden mengalami peningkatan peluang usaha non pertanian yang artinya responden tidak lagi menganggur atau tidak lagi bekerja pada sektor pertanian dan memiliki pekerjaan yang lebih baik walaupun ada yang berganti mata pencaharian. Hal tersebut berimplikasi pada peningkatan akses terhadap kesehatan yang ditandai dengan beralihnya fasilitas kesehatan yang dipilih dari mantri kepada dokter praktek maupun rumah sakit. Sebesar 10 persen responden lainnya menyatakan bahwa tidak mengalami perubahan dalam peluang usaha maupun perubahan dalam akses terhadap fasilitas kesehatan. Hal itu karena responden ini telah memiliki pekerjaan yang baik sehingga telah mampu menggunakan fasilitas kesehatan yang baik pula sebelum adanya industri. Sementara 26,7 persen responden menganggap bahwa kehadiran industri telah meningkatkan peluang usaha namun responden ini tetap memilih mantri atau tetap memilih dokter praktek sebagai fasilitas kesehatan yang dipilih. “Kalau ke rumah sakit mah jauh, harus ngeluarin biaya lagi buat ongkosnya. Jadi lebih baik berobat ke dokter saja karena dekat dan tidak terlalu mahal.” (YAY, 53 tahun) Berdasarkan uji korelasi menggunakan rank spearman diperoleh nilai koefisien korelasi sebesar 0.005 dan nilai signifikasi 0.978. Menurut Sarwono (2009) jika nilai koefisien korelasi berada diantara 0-0.25 maka terdapat hubungan yang sangat lemah. Sedangkan jika nilai signifikasi lebih besar dari taraf α (0.05) yaitu 0.978 > 0.05 maka dapat disimpulkan tidak terdapat korelasi yang signifikan antara peluang usaha dan akses kesehatan pada kelompok responden non industri.
47
Hubungan Peluang Kerja atau Usaha Non Pertanian dengan Kondisi Tempat Tinggal serta Fasilitas yang Dimiliki Indikator lain yang digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat adalah dengan melihat kondisi tempat tinggal dan fasilitas yang dimiliki. Sub-bab ini akan menjelaskan hasil penelitian mengenai hubungan peluang kerja atau usaha dengan kondisi tempat tinggal dan fasilitas yang dimiliki responden saat sebelum maupun setelah hadirnya industri di Desa Ciherang Pondok, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor. Tabel 21 Jumlah dan persentase tingkat peluang kerja atau usaha non pertanian dan kondisi tempat tinggal serta fasilitas yang dimiliki responden di Desa Ciherang Pondok tahun 2016 Responden
Industri Non Industri
Peluang Kerja/ Usaha Tetap Meningkat Total Tetap Meningkat Total
Tempat Tinggal & Fasilitas Tetap Meningkat Jumlah % Jumlah % 6 20,0 0 0,0 2 6,7 22 73,3 8 26,7 22 73,3 3 10,0 0 0,0 10 33,3 17 56,7 13 43,3 17 56,7
Total Jumlah 6 24 30 3 27 30
% 20,0 80,0 100,0 10,0 90,0 100,0
Koefisien korelasi industri = 0.605. Nilai signifikansi = 0.000 Koefisien korelasi non industri = 0.116. Nilai signifikansi = 0.542 Pada kelompok responden industri, terdapat 73,3 persen responden yang menyatakan bahwa hadirnya industri telah meningkatkan peluang kerja di bidang non pertanian. Hal tersebut sekaligus berperan dalam meningkatkan kondisi tempat tinggal dan fasilitas yang dimiliki khususnya dalam kepemilikan aset atau benda berharga seperti emas, ponsel dan kendaraan pribadi. “Setelah bekerja di pabrik saya bisa membeli motor sendiri walaupun masih mencicil dengan sistem kredit.” (IRP, 26 tahun) Sebesar 6,7 persen responden menyatakan meningkatnya peluang kerja tidak diiringi dengan peningkatan kondisi tempat tinggal dan fasilitas yang dimiliki. Hal tersebut dikarenakan penghasilan yang didapatkan setelah adanya industri belum mampu digunakan untuk perubahan kondisi tempat tinggal maupun pembelian aset atau benda berharga. Sementara 20 persen responden menyatakan tidak terjadi perubahan peluang kerja maupun perubahan pada kondisi tempat tinggal serta fasilitas yang dimiliki. Hal ini dikarenakan sebelum hadirnya industri, responden tersebut telah memiliki pekerjaan yang layak dan kondisi tempat tinggal serta kepemilikan fasilitas yang sesuai karakteristik kesejahteraan nasional. Berdasarkan uji korelasi menggunakan rank spearman diperoleh nilai koefisien korelasi sebesar 0.605 dan nilai signifikasi 0.000. Menurut Sarwono (2009) jika nilai koefisien korelasi berada diantara > 0.5-0.75 maka terdapat hubungan yang kuat. Sedangkan jika nilai signifikasi lebih kecil dari taraf α (0.05) yaitu 0.000 < 0.05 maka dapat disimpulkan terdapat korelasi yang signifikan
48
antara peluang kerja dan kondisi tempat tinggal serta fasilitas yang dimiliki pada kelompok responden industri. Pada kelompok responden non industri, terdapat 56,7 persen responden yang menyatakan bahwa hadirnya industri telah meningkatkan peluang usaha di bidang non pertanian. Hal tersebut sekaligus berperan dalam meningkatkan kepemilikan aset atau benda berharga seperti emas, ponsel dan kendaraan pribadi. Sebesar 10 persen responden menyatakan tidak terjadi perubahan peluang kerja maupun perubahan pada kondisi tempat tinggal serta fasilitas yang dimiliki. Hal ini dikarenakan sebelum hadirnya industri, responden tersebut telah memiliki pekerjaan dan kondisi tempat tinggal yang layak. Sementara 33,3 persen responden menyatakan meningkatnya peluang usaha tidak diiringi dengan peningkatan kondisi tempat tinggal dan fasilitas yang dimiliki. “Setelah adanya industri, saya yang awalnya tidak bekerja saat ini mampu memiliki usaha warung nasi. Namun jika untuk memiliki barang berharga seperti emas dan kendaraan, penghasilan saya belum mampu menutupi itu.” (RAH, 35 tahun) Berdasarkan uji korelasi menggunakan rank spearman diperoleh nilai koefisien korelasi sebesar 0.116 dan nilai signifikasi 0.542. Menurut Sarwono (2009) jika nilai koefisien korelasi berada diantara 0-0.25 maka terdapat hubungan yang sangat lemah. Sedangkan jika nilai signifikasi lebih besar dari taraf α (0.05) yaitu 0.542 > 0.05 maka dapat disimpulkan tidak terdapat korelasi yang signifikan antara peluang usaha dan kondisi tempat tinggal serta fasilitas yang dimiliki pada kelompok responden non industri. Hubungan Jual Beli Lahan dengan Tingkat Pendapatan Aktivitas jual-beli lahan merupakan dampak lain atas hadirnya industri di pedesaan. Bagian ini akan menjelaskan hubungan jual-beli lahan dengan tingkat pendapatan sebagai salah satu indikator kesejahteraan masyarakat. Kegiatan jualbeli lahan diukur dari pernah atau tidaknya menjual atau membeli lahan pada periode waktu sebelum dan setelah adanya industri, luas lahan yang diperjualbelikan, serta peruntukkan lahan bagi kegiatan non pertanian. Hubungan antara dua variabel tersebut dijelaskan dalam Tabel 22. Tabel 22 Jumlah dan persentase tingkat jual beli lahan dan tingkat pendapatan masyarakat di Desa Ciherang Pondok tahun 2016 Responden
Industri Non Industri
Jual Beli Lahan Tetap Meningkat Total Tetap Meningkat Total
Tingkat Pendapatan Tetap Meningkat Jumlah % Jumlah % 7 23,3 19 63,3 0 0,0 4 13,4 7 23,3 23 76,7 10 33,3 16 53,4 0 0,0 4 13,3 10 33,3 20 66,7
Total Jumlah 26 5 30 26 4 30
Koefisien korelasi industri = 0.216. Nilai signifikansi = 0.251 Koefisien korelasi non industri = 0.277. Nilai signifikansi = 0.138
% 86,7 13,3 100,0 86,7 13,3 100,0
49
Sebesar 13,4 persen responden industri menyatakan bahwa setelah adanya industri, mereka melakukan aktivitas berupa menjual lahannya kepada perusahaan-perusahaan untuk dibangun pabrik. Hal ini kemudian dianggap berhubungan dengan peningkatan pendapatan yang dialami oleh mereka. Sementara 23,3 persen responden tidak mengalami jual-beli lahan dan pendapatannya sudah berada di atas UMR baik sebelum maupun setelah industri. Adapun 63,3 persen responden industri lainnya menyatakan bahwa kehadiran industri tidak berdampak pada aktivitas jual beli lahan. Kelompok ini tidak pernah menjual dan membeli lahan baik sebelum maupun setelah adanya industri. Namun mereka tetap mengalami peningkatan pendapatan karena hal lain di luar jual-beli lahan. “Tanpa melakukan jual-beli lahan saya sudah mengalami peningkatan pendapatan dibandingkan sebelum adanya industri. Hal ini karena gaji yang saya dapatkan dari pekerjaan di pabrik sudah berada di atas UMR.” (ILH, 27 tahun) Berdasarkan uji korelasi menggunakan rank spearman diperoleh nilai koefisien korelasi sebesar 0.216 dan nilai signifikasi 0.251. Menurut Sarwono (2009) jika nilai koefisien korelasi berada diantara 0-0.25 maka terdapat hubungan yang sangat lemah. Sedangkan jika nilai signifikasi lebih besar dari taraf α (0.05) yaitu 0.251 > 0.05 maka dapat disimpulkan tidak terdapat korelasi yang signifikan antara jual-beli lahan dan tingkat pendapatan pada kelompok responden industri. Pada kelompok responden non industri, sebesar 13,3 persen responden non industri menyatakan bahwa setelah adanya industri, mereka melakukan aktivitas berupa menjual lahannya kepada perusahaan-perusahaan untuk dibangun pabrik. Selain itu ada juga responden yang membeli lahan untuk menciptakan bisnis perumahan atau kontrakan. Hal ini kemudian dianggap berhubungan dengan peningkatan pendapatan yang dialami oleh mereka. Sementara 33,3 persen responden tidak mengalami jual-beli lahan dan pendapatannya tidak berubah sebelum maupun setelah industri. Ada yang sudah memiliki pendapatan di atas UMR sebelum industri dan ada juga yang pendapatannya masih di bawah UMR setelah adanya indsutri. Adapun 53,4 persen responden industri lainnya menyatakan bahwa kehadiran industri tidak berdampak pada aktivitas jual beli lahan. Kelompok ini tidak pernah menjual dan membeli lahan baik sebelum maupun setelah adanya industri. Namun mereka tetap mengalami peningkatan pendapatan karena hal lain di luar jual-beli lahan. “Setelah adanya pabrik-pabrik, tanpa melakukan jual-beli lahan saya sudah mengalami peningkatan pendapatan dibandingkan sebelum adanya industri. Hal ini karena toko yang saya miliki selalu ramai pembeli. Kalau dihitung alhamdulillah sudah di atas UMR” (NRD, 41 tahun)
Berdasarkan uji korelasi menggunakan rank spearman diperoleh nilai koefisien korelasi sebesar 0.277 dan nilai signifikasi 0.138. Menurut Sarwono
50
(2009) jika nilai koefisien korelasi berada diantara > 0.25-0.5 maka terdapat hubungan yang cukup kuat. Sedangkan jika nilai signifikasi lebih besar dari taraf α (0.05) yaitu 0.138 > 0.05 maka dapat disimpulkan tidak terdapat korelasi yang signifikan antara jual-beli lahan dan tingkat pendapatan pada kelompok responden non industri. Hubungan Jual Beli Lahan dengan Akses Pendidikan Pengujian hipotesis lainnya dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara jual-beli lahan dengan akses terhadap pendidikan yang dialami oleh responden. Perubahan kondisi sebelum dan setelah hadirnya industri dilihat dari aktivitas jual-beli lahan yang dilakukan serta perubahan dalam akses pendidikan dijelaskan pada Tabel 23. Tabel 23 Jumlah dan persentase tingkat jual beli lahan dan akses pendidikan masyarakat di Desa Ciherang Pondok tahun 2016 Responden
Industri Non Industri
Jual Beli Lahan Tetap Meningkat Total Tetap Meningkat Total
Akses Pendidikan Tetap Meningkat Jumlah % Jumlah % 17 56,7 9 30,0 0 0,0 4 13,3 17 56,7 13 43,3 26 86,7 0 0,0 3 10,0 1 3,3 29 96,7 1 3,3
Total Jumlah 26 4 30 26 4 30
% 86,7 13,3 100,0 86,7 13,3 100,0
Koefisien korelasi industri = 0.449. Nilai signifikansi = 0.013 Koefisien korelasi non industri = 0.473. Nilai signifikansi = 0.008 Pada kelompok responden industri, terdapat 56,7 persen warga yang tidak melakukan jual-beli lahan saat sebelum adanya industri maupun setelah adanya industri. Responden tersebut juga tidak mengalami perubahan akses terhadap pendidikan. Sementara 30 persen responden menyatakan bahwa tanpa melakukan jual-beli lahanpun mereka mampu melakukan peningkatan pendidikan yaitu melalui program ujian paket C. Sebesar 13,3 persen responden lainnya mengalami peningkatan akses pendidikan setelah adanya industri dan hal tersebut berhubungan dengan aktivitas menjual lahan yang mereka lakukan. “Setelah orangtua saya menjual lahan ke perusahaan untuk didirikan pabrik, sebagian uangnya digunakan untuk biaya sekolah saya melanjutkan SMA.” (ASR, 28 tahun) Berdasarkan uji korelasi menggunakan rank spearman diperoleh nilai koefisien korelasi sebesar 0.449 dan nilai signifikasi 0.013. Menurut Sarwono (2009) jika nilai koefisien korelasi berada diantara > 0.25-0.5 maka terdapat hubungan yang cukup kuat. Sedangkan jika nilai signifikasi lebih kecil dari taraf α (0.05) yaitu 0.013 < 0.05 maka dapat disimpulkan terdapat korelasi yang signifikan antara jual-beli lahan dan akses pendidikan pada kelompok responden industri.
51
Pada kelompok responden non industri, sebesar 86,7 persen atau mayoritas respondennya tidak melakukan aktivitas jual-beli lahan sebelum maupun setelah adanya industri. Hal ini juga berhubungan dengan tidak berubahnya akses terhadap pendidikan yang dimiliki. Sementara 10 persen responden lainnya melakukan aktivitas penjualan maupun pembelian lahan setelah adanya industri namun hasil dari jual-beli tersebut tidak digunakan untuk meningkatkan akses terhadap pendidikan. Hanya sebesar 3,3 persen responden yang melakukan jualbeli lahan setelah adanya industri dan kegiatan tersebut berhubungan dengan peningkatan akses terhadap pendidikan dengan menyekolahkan anaknya pada perguruan tinggi. “Setelah melakukan penjualan lahan untuk dijadikan pabrik dan pembelian lahan untuk saya bangun bisnis kontrakan, saya mampu membiayai anak hingga lulus kuliah.” (HAB, 55 tahun) Berdasarkan uji korelasi menggunakan rank spearman diperoleh nilai koefisien korelasi sebesar 0.473 dan nilai signifikasi 0.008. Menurut Sarwono (2009) jika nilai koefisien korelasi berada diantara > 0.25-0.5 maka terdapat hubungan yang cukup kuat. Sedangkan jika nilai signifikasi lebih kecil dari taraf α (0.05) yaitu 0.008 < 0.05 maka dapat disimpulkan terdapat korelasi yang signifikan antara jual-beli lahan dan akses pendidikan pada kelompok responden non industri. Hubungan Jual Beli Lahan dengan Akses Kesehatan Bagian ini akan menjelaskan hubungan antara variabel jual-beli lahan dan akses terhadap kesehatan. Masing-masing variabel tersebut diukur dengan melihat kondisi sebelum dan setelah adanya industri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan yang dialami oleh kelompok responden industri maupun kelompok responden non industri. Tabel 24 Jumlah dan persentase tingkat jual beli lahan dan akses kesehatan masyarakat di Desa Ciherang Pondok tahun 2016 Responden
Industri Non Industri
Jual Beli Lahan Tetap Meningkat Total Tetap Meningkat Total
Akses Kesehatan Tetap Meningkat Jumlah % Jumlah % 7 23,3 19 63,4 0 0,0 4 13,3 7 23,3 23 76,7 10 33,4 16 53,3 1 3,3 3 10,0 11 36,7 19 63,3
Total Jumlah 26 4 30 26 4 30
% 86,7 13,3 100,0 86,7 13,3 100,0
Koefisien korelasi industri = 0.216. Signifikansi = 0.251 Koefisien korelasi non industri = 0.010. signifikansi = 0.959
Pada kelompok responden industri, hanya sebesar 13,3 persen responden menyatakan bahwa hadirnya industri berdampak pada meningkatnya aktivitas jual-beli lahan yaitu dengan melakukan penjualan lahan untuk kegiatan non
52
pertanian khususnya pembangunan pabrik. Kemudian hasil dari penjualan lahan tersebut mampu berperan dalam peningkatan akses terhadap kesehatan yaitu pemilihan fasilitas kesehatan dari mantri atau dokter menjadi rumah sakit. Sebesar 23,3 persen responden tidak mengalami jual-beli lahan sebelum maupun setelah industri dan responden ini tidak mengalami peningkatan akses kesehatan. Sementara 63,4 persen responden menyatakan tanpa melakukan jual-beli lahanpun mereka telah meningkatkan akses terhadap kesehatan yaitu dengan pemilihan fasilitas kesehatan rumah sakit karena mendapatkan jaminan kesehatan dari perusahaan tempat mereka bekerja. “Saya tidak melakukan kegiatan jual-beli lahan, namun mengalami peningkatan fasilitas kesehatan karena mendapatkan jaminan rumah sakit dari perusahaan.” (IND, 28 tahun) Berdasarkan uji korelasi menggunakan rank spearman diperoleh nilai koefisien korelasi sebesar 0.216 dan nilai signifikasi 0.251. Menurut Sarwono (2009) jika nilai koefisien korelasi berada diantara 0-0.25 maka terdapat hubungan yang sangat lemah. Sedangkan jika nilai signifikasi lebih besar dari taraf α (0.05) yaitu 0.251 > 0.05 maka dapat disimpulkan tidak terdapat korelasi yang signifikan antara jual-beli lahan dan akses kesehatan pada kelompok responden industri. Pada kelompok responden non industri, hanya sebesar 10 persen responden menyatakan bahwa hadirnya industri berdampak pada meningkatnya aktivitas jual-beli lahan. Hal tersebut dilakukan melalui penjualan lahan untuk kegiatan non pertanian khususnya pembangunan pabrik maupun pembelian lahan untuk menciptakan bisnis perumahan atau kontrakan. Kemudian hasil dari jual-beli lahan tersebut mampu berperan dalam peningkatan akses terhadap kesehatan yaitu pemilihan fasilitas kesehatan dari mantri atau dokter menjadi rumah sakit. Sebesar 33,4 persen responden tidak mengalami jual-beli lahan sebelum maupun setelah industri dan responden ini tidak mengalami peningkatan akses kesehatan. Sementara 53,3 persen responden menyatakan tanpa melakukan jual-beli lahanpun mereka telah meningkatkan akses terhadap kesehatan yaitu pemilihan fasilitas kesehatan dari mantri menjadi dokter praktek. Hal tersebut dikarenakan setelah adanya industri, muncul sebuah pratek dokter umum di Desa Ciherang Pondok. Faktor lokasi yang dekat ini menjadi alasan responden untuk memilih dokter praktek sebagai fasilitas kesehatan. “Dahulu untuk berobat rata-rata warga di sini pergi ke mantri. Namun setelah adanya industri, terdapat praktek dokter di Desa Ciherang Pondok sehingga banyak warga yang beralih untuk berobat ke dokter. Tanpa melakukan jual-beli lahan juga saya sudah mampu berobat ke dokter.” (CIH, 48 tahun)
Berdasarkan uji korelasi menggunakan rank spearman diperoleh nilai koefisien korelasi sebesar 0.010 dan nilai signifikasi 0.959. Menurut Sarwono (2009) jika nilai koefisien korelasi berada diantara 0-0.25 maka terdapat hubungan yang sangat lemah. Sedangkan jika nilai signifikasi lebih besar dari
53
taraf α (0.05) yaitu 0.959 > 0.05 maka dapat disimpulkan tidak terdapat korelasi yang signifikan antara jual-beli lahan dan akses kesehatan pada kelompok responden non industri. Hubungan Jual Beli Lahan dengan Kondisi Tempat Tinggal serta Fasilitas yang Dimiliki Pengujian lain yang dilakukan dalam penelitian mengenai dampak industrialisasi pedesaan terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat adalah dengan melihat hubungan antara tingkat jual-beli lahan dengan kondisi tempat tinggal serta fasilitas yang dimiliki. Hasil penelitian pada Tabel 25 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara kelompok responden industri dan non industri dalam perubahan kondisi tempat tinggal serta fasilitas yang dimiliki sebelum dan setelah hadirnya industri di Desa Ciherang Pondok, Kabupaten Bogor. Tabel 25 Jumlah dan persentase tingkat jual beli lahan dan kondisi tempat tinggal serta fasilitas yang dimiliki responden di Desa Ciherang Pondok tahun 2016 Responden
Industri Non Industri
Jual Beli Lahan Tetap Meningkat Total Tetap Meningkat Total
Tempat Tinggal & Fasilitas Tetap Meningkat Jumlah % Jumlah % 8 26,7 18 60,0 0 0,0 4 13,3 8 26,7 22 73,3 13 43,3 13 43,4 0 0,0 4 13,3 13 43,3 17 56,7
Total Jumlah 26 4 30 26 4 30
% 86,7 13,3 100,0 86,7 13,3 100,0
Koefisien korelasi industri = 0.237. Nilai signifikansi = 0.208 Koefisien korelasi non industri = 0.590. Nilai signifikansi = 0.001 Pada kelompok responden industri, terdapat 13,3 persen responden mengaku bahwa kegiatan penjualan lahan kepada pemrakarsa industri mampu meningkatkan kondisi tempat tinggal dan fasilitas yang dimiliki berupa renovasi rumah maupun pembelian aset/benda berharga. Sebesar 26,7 persen responden tidak melakukan kegiatan jual-beli lahan sebelum maupun setelah adanya industri. Hal tersebut berhubungan dengan tidak berubahnya kondisi tempat tinggal serta fasilitas yang dimiliki. Sementara 60 persen responden lainnya menyatakan tidak melakukan jual-beli lahan sebelum maupun setelah adanya industri. Namun responden ini mampu meningkatkan kondisi tempat tinggal dan fasilitas yang dimiliki yaitu dengan membeli aset/benda berharga berupa emas, ponsel hingga kendaraan pribadi seperti motor. “Saya tidak menjual atau membeli lahan setelah adanya industri.... dari usaha yang saya miliki saat ini saya mampu membeli emas dan ponsel.” (YAY, 53 tahun) Berdasarkan uji korelasi menggunakan rank spearman diperoleh nilai koefisien korelasi sebesar 0.237 dan nilai signifikasi 0.208. Menurut Sarwono (2009) jika nilai koefisien korelasi berada diantara 0-0.25 maka terdapat hubungan yang sangat lemah. Sedangkan jika nilai signifikasi lebih besar dari
54
taraf α (0.05) yaitu 0.208 > 0.05 maka dapat disimpulkan tidak terdapat korelasi yang signifikan antara jual-beli lahan dan kondisi tempat tinggal serta fasilitas yang dimiliki pada kelompok responden industri. Pada kelompok responden non industri, terdapat 43,4 persen responden yang tidak melakukan jual-beli lahan sebelum maupun setelah adanya industri. Namun responden ini mampu meningkatkan kondisi tempat tinggal dan fasilitas yang dimiliki yaitu dengan membeli aset/benda berharga berupa emas dan ponsel. Sementara 43,3 persen responden lainnya tidak melakukan kegiatan jual-beli lahan sebelum maupun setelah adanya industri. Hal tersebut berhubungan dengan tidak berubahnya kondisi tempat tinggal serta fasilitas yang dimiliki. Sebesar 13,3 persen responden mengaku bahwa kegiatan penjualan lahan kepada pemrakarsa industri serta pembelian lahan untuk bisnis perumahan atau kontrakan mampu meningkatkan kondisi tempat tinggal dan fasilitas yang dimiliki berupa renovasi rumah maupun pembelian aset/benda berharga seperti mobil. “Setelah melakukan jual-beli lahan, alhamdulillah sekarang saya mampu memiliki mobil pribadi.” (HAM, 49 tahun) Berdasarkan uji korelasi menggunakan rank spearman diperoleh nilai koefisien korelasi sebesar 0.590 dan nilai signifikasi 0.001. Menurut Sarwono (2009) jika nilai koefisien korelasi berada diantara > 0.5-0.75 maka terdapat hubungan yang kuat. Sedangkan jika nilai signifikasi lebih kecil dari taraf α (0.05) yaitu 0.001 < 0.05 maka dapat disimpulkan terdapat korelasi yang signifikan antara jual-beli lahan dan kondisi tempat tinggal serta fasilitas yang dimiliki pada kelompok responden non industri.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pada penelitian Dampak Industrialisasi Pedesaan terhadap Kesejahteraan Masyarakat khususnya pada industri di Desa Ciherang Pondok, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan hubungan antara berbagai variabel pada kelompok responden industri dan non industri. Variabel yang diteliti adalah perubahan kondisi sebelum dan setelah adanya industri di desa tersebut. Bagi responden industri, hadirnya industri-industri di pedesaan telah membuka peluang kerja baru di sektor non pertanian. Hal tersebut berhubungan dengan tingkat pendapatan mereka. Namun bagi responden non industri, hadirnya industri dinilai telah membuka berbagai peluang usaha. Namun hal tersebut tidak serta merta berhubungan dengan tingkat pendapatan yang mereka peroleh. Artinya terdapat responden yang mulanya tidak memiliki pekerjaan dan tidak memiliki pendapatan, dengan hadirnya industri mampu memberikan peluang usaha sehingga memiliki pendapatan walaupun masih di bawah UMR. Hadirnya industri-industri di pedesaan bagi responden industri telah membuka peluang kerjabaru di sektor non pertanian. Hal tersebut berhubungan dengan akses pendidikan, akses kesehatan dan juga berhubungan dengan kondisi tempat tinggal serta fasilitas yang dimiliki. Pada sebagian besar responden, meningkatnya peluang kerja non pertanian akibat hadirnya industri dinilai berhubungan dengan meningkatnya akses pendidikan responden. Hal tersebut dilihat dari perubahan banyaknya responden yang mengikuti ujian paket C agar memperoleh sertifikat kelulusan sederajat dengan Sekolah Menengah Atas (SMA) sebagai syarat untuk dapat bekerja di pabrik tertentu. Hubungan lainnya tidak ditunjukkan dalam akses kesehatan pada responden industri. Meningkatnya peluang untuk bekerja di pabrik dan mendapatkan jaminan kesehatan, tidak membuat mereka selalu menggunakan fasilitas kesehatan berupa rumah sakit yang dirujuk oleh perusahaan. Hal tersebut dikarenakan lokasi yang berjarak jauh dari tempat tinggal sehingga tetap memerlukan biaya untuk ongkos. Sementara hubungan yang nyata ditunjukkan dengan meningkatnya kondisi tempat tinggal khususnya fasilitas yang dimiliki. Hal tersebut dikarenakan setelah bekerja di sektor industri, responden mampu memiliki barang berharga yang sebelumnya tidak dimiliki seperti ponsel, emas dan kendaraan bermotor. Hal yang berbeda ditunjukkan oleh responden non industri. Meningkatnya peluang usaha akibat kehadiran industri dinilai tidak berhubungan dengan akses pendidikan, akses kesehatan maupun kondisi tempat tinggal serta fasilitas yang dimiliki. Hal tersebut dikarenakan responden tidak mengalami perubahan yang begitu signifikan dalam ketiga aspek. Responden kurang memperhatikan pentingnya pendidikan tinggi. Sementara dalam akses terhadap kesehatan, responden cenderung tetap memilih fasilitas atau tenaga kesehatan yang sama karena alasan jarak maupun biaya. Sedangkan dalam aspek kondisi tempat tinggal serta fasilitas yang dimiliki, responden menilai tidak berhubungan secara signifikan karena tidak tejadi perubahan meningkat setelah hadirnya industri. Dampak lain yang ditimbulkan dari hadirnya industri di pedesaan adalah aktivitas jual-beli lahan. Responden industri maupun non industri menyatakan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jual-beli lahan dengan tingkat
56
pendapatan maupun akses kesehatan. Responden menyatakan bahwa tanpa melakukan kegiatan jual-beli lahanpun mereka telah mengalami peningkatan pendapatan. Sementara beberapa responden menyatakan kegiatan jual-beli lahan yang dilakukan belum tentu berhubungan dengan perubahan terhadap fasilitas kesehatan. Sedangkan seluruh responden menilai kegiatan jual-beli lahan berhubungan dengan akses pendidikan. Mereka yang melalukan jual-beli lahan mampu meningkatkan pendidikannya sendiri maupun anggota keluarganya. Terdapat hubungan antarvariabel lainnya pada responden non industri yaitu hubungan antara jual-beli lahan dengan kondisi tempat tinggal serta fasilitas yang dimiliki. Hal tersebut dikarenakan responden yang melakukan kegiatan jual-beli lahan memiliki perubahan meningkat atas kondisi tempat tinggal melalui kegiatan renovasi maupun kepemilikan barang berharga yang sebelumnya tidak dimiliki. Saran Adapun saran yang direkomendasikan bagi masyarakat yang terkena dampak industrialisasi pedesaan khususnya di Desa Ciherang Pondok, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor adalah: 1. Masyarakat diupayakan agar lebih selektif dengan pendirian industri baru, lebih memperhatikan lahan pertanian yang semakin sempit dan tidak mudah tergiur oleh keuntungan jangka pendek yang didapat jika menjual lahan khususnya lahan pertanian. 2. Industri besar berorientasi untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dan menekan biaya produksi termasuk upah karyawan seminimal mungkin. Oleh karena itu, masyarakat harus terus aktif meningkatkan pendidikan dan keterampilan dalam rangka mengatasi kemungkinan tergesernya masyarakat setempat dari kegiatan pengembangan industri. 3. Masyarakat diupayakan agar lebih kritis dan memiliki kemampuan negosiasi dengan perusahaan maupun pemerintah desa dalam menanggapi kegiatan industri yang mengganggu kondisi kesehatan masyarakat sekitar. 4. Masyarakat khususnya yang bekerja pada industri dapat menggunakan jaminan kesehatan berupa fasilitas rumah sakit yang dirujuk oleh perusahaan demi meringankan biaya pribadi. 5. Lebih mengembangkan kreativitas dan sumber daya yang dimiliki agar masyarakat mampu menciptakan kemandirian ekonomi tanpa harus bergantung pada kegiatan industri.
DAFTAR PUSTAKA [BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Kecamatan Caringin dalam Angka 2013. [internet]. [diunduh 2016 Desember 26]. Dapat diakses melalui: https://bogorkab.bps.go.id/new/website/pdf_publikasi/KecamatanCaringin-Dalam-Angka-2013.pdf [BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Indikator Kesejahteraan Rakyat 2015. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik. [internet]. [diunduh 2016 Juni 15]. Dapat diakses melalui: http://bps.go.id/index.php/publikasi/1122 [BPS] Badan Pusat Statistik. 2016. Jumlah Penduduk Miskin Menurut Provinsi, 2013-2015. [internet]. [diunduh 2016 Mei 30]. Dapat diakses melalui: http://bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1119 [BPS] Badan Pusat Statistik. 2016. Jumlah Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja Menurut Provinsi dan Lapangan Pekerjaan Utama, 19862016. [internet]. [diunduh 2017 Januari 24]. Dapat diakses melalui: http://bps.go.id/Subjek/view/id/6#subjekViewTab3|accordion-daftarsubjek1 [UU] Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. [internet]. [diunduh 2016 Desember 26]. Dapat diakses melalui: http://www.kemenperin.go.id/download/5181/Undang-Undang-No-3Tahun-2014-Perindustrian _____. 2015. Data Profil Desa Ciherang Pondok, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor. Gandi R. 2011. Pengaruh industrialisasi pedesaan terhadap taraf hidup masyarakat di RW 01 dan RW 09 Desa Benda, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [internet]. [diunduh 2016 Maret 7]. Dapat diakses melalui:http://repository.ipb.ac.id/bitstream/123456789/51851/1/i11rga.pd f Pangestu M, Raymond A, Julius M. 1996. Transformasi Industri Indonesia dalam Era Perdagangan Bebas. Jakarta (ID): Centre for Strategis and International Studies Purwanto. 2003. Perubahan pola pencaharian nafkah masyarakat petani di sekitar kawasan industri (Kasus di Desa Ngoro, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur). [tesis]. Bogor (ID): Insitut Pertanian Bogor. Rahardjo MD. 1984. Transformasi Pertanian, Industrialisasi dan Kesempatan Kerja. Jakarta (ID): UI Press. Rahayu D. 2014. Dampak keberadaan agroindustri terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar di Desa Sukamanah, Megamendung, Kabupaten Bogor. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [internet]. [diunduh 2016 Maret 7]. Dapat diakses melalui: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/72093 Rahmawati FK, Setyono JS. 2014. Perkembangan industri di pedesaan dan perubahan karakteristik wilayah desa di Desa Nguwet Kecamatan Kranggan Kabupaten Temanggung. [jurnal]. Jurnal Teknik PWK Vol. 3 No. 4: Hal 792-806. [internet]. [diunduh 2016 Februari 27]. Dapat diakses melalui:http://www.ejournals1.undip.ac.id/index.php/pwk/article/download/6736/6798
58
Sarwono J. 2009. Statistik Itu Mudah: Panduan Lengkap untuk Belajar Komputasi Statistik Menggunakan SPSS 16. Yogyakarta (ID): ANDI. Singarimbun M, Sofian E. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta (ID): LP3ES. Soesilowati ES. 1988. Dampak industri PT Krakatau Steel terhadap masyarakat pedesaan di daerah Cilegon. [tesis]. Jakarta (ID): Universitas Indonesia. [internet]. [diunduh 2016 Juni12]. Dapat diakses melalui: http://www.lontar.ui.ac.id/login.jsp?requester=filedigital/files/disk1/243/jk ptuipp-gdl-s2-1998-endangsris-12148-t6795a.pdf Song H, Jacques FT, Xiwei Z. 2012. Urbanisasi dan atau industrialisasi pedesaan di Cina. [jurnal]. Regional Science and Urban Economics Vol. 42 (Januari 2012): Hal 126 – 134. [internet]. [diunduh 2016 Mei 25]. Dapat diakses melalui: http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0166046211000974 Sulasmono BS. 1994. Respons masyarakat desa terhadap pembangunan industri besar (Kasus Desa Hardjosari, Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Tambunan M. 1989. Industrialisasi Pedesaan (IP) dalam Perspektif Ekonomi Nasional. Prosiding dalam Seminar Industrialisasi Pedesaan. Bogor, 18-19 Desember 1989. Tambunan M, Djaimi B. 2010. Rekonstruksi Strategi Industrialisasi. Yogyakarta (ID): Graha Ilmu. Tambunan TTH. 2001. Industrialisasi di Negara Sedang Berkembang Kasus Indonesia. Jakarta (ID) : Ghalia Indonesia Wijaya M. 2001. Prospek Industrialisasi Pedesaan. Surakarta (ID): Yayasan Pustaka Cakra.
59
LAMPIRAN
60
Lampiran 1 Sketsa Lokasi Penelitian Sketsa Wilayah Desa Ciherang Pondok, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor
Sumber: Google
Sumber: Data profil Desa Ciherang Pondok 2015
61
Lampiran 2 Dokumentasi Penelitian
Wawancara mendalam dengan Aparat Pemerintahan Desa
Kondisi pabrik di tepisawah
PT Tirta Fresindo Jaya
PT Milko Beverage Industry
Warung nasi di sekitar pabrik
Karyawan pabrik istirahat makan siang di warung sekitar pabrik
Kontrakan di RT 01 RW 01
Warung sembako di sekitar kontrakan
62
Lampiran 3 Jadwal Pelaksanaan Penelitian Tahun 2016-2017 Kegiatan Penyusunan Proposal Skripsi Perbaikan Proposal Skripsi Kolokium Upload Proposal Perbaikan Kuesioner Uji Coba Kuesioner Pengambilan Data Lapang Pengolahan dan Analisis Data Penulisan Draft Skripsi Uji Petik Sidang Skripsi Perbaikan Laporan Skripsi
1
Juni 2 3
4
September 1 2 3 4
1
Oktober 2 3 4
November 1 2 3 4
1
Desember 2 3 4
1
Januari 2 3 4
63
Lampiran 4 Daftar Nama Responden No.
Responden Industri
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
SIN ABR ILH DON JAY WUL YUN JUD WAH ISM ROH SON ASP IDR UJG SYR HUD RIS RYN AKB SAL RID MAY AGS RIJ WAT AMR IRP ASR IND
Alamat RT 01/RW 01 RT 01/RW 01 RT 01/RW 01 RT 01/RW 01 RT 01/RW 01 RT 01/RW 01 RT 01/RW 01 RT 01/RW 01 RT 01/RW 01 RT 01/RW 01 RT 01/RW 01 RT 01/RW 01 RT 01/RW 01 RT 01/RW 01 RT 01/RW 01 RT 01/RW 01 RT 01/RW 01 RT 01/RW 01 RT 01/RW 01 RT 02/RW 01 RT 02/RW 01 RT 02/RW 01 RT 02/RW 01 RT 02/RW 01 RT 02/RW 01 RT 02/RW 01 RT 02/RW 01 RT 02/RW 01 RT 02/RW 01 RT 02/RW 01
Responden Non Industri HAB YAY WIN HER YAT NUR LIN HER ENG ERN PAR HUS HMD SAN CIH TUT LIL RAH KUL PIH ENJ HEN KOM HAM SUG MAS HKM USP NRD SOP
Alamat RT 01/RW 01 RT 01/RW 01 RT 01/RW 01 RT 01/RW 01 RT 01/RW 01 RT 01/RW 01 RT 01/RW 01 RT 01/RW 01 RT 01/RW 01 RT 01/RW 01 RT 01/RW 01 RT 01/RW 01 RT 01/RW 01 RT 02/RW 01 RT 02/RW 01 RT 02/RW 01 RT 02/RW 01 RT 02/RW 01 RT 02/RW 01 RT 02/RW 01 RT 03/RW 01 RT 03/RW 01 RT 03/RW 01 RT 03/RW 01 RT 03/RW 01 RT 03/RW 01 RT 03/RW 01 RT 03/RW 01 RT 03/RW 01 RT 03/RW 01
64
Lampiran 5 Hasil Uji Korelasi Rank Spearman A. Responden Industri Correlations
Spearman's Peluang Kerja / Usaha
Correlation Coefficient
rho
Sig. (2-tailed)
Peluang Kerja
Tingkat
/ Usaha
Pendapatan
1,000
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
**
.
,000
30
30
**
1,000
,000
.
30
30
N Tingkat Pendapatan
,906
,906
N **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Correlations
Spearman's Peluang Kerja / Usaha
Correlation Coefficient
rho
Sig. (2-tailed)
Peluang Kerja /
Akses
Usaha
Pendidikan ,437
.
,016
30
30
Correlation Coefficient
,437
*
1,000
Sig. (2-tailed)
,016
.
30
30
N Akses Pendidikan
*
1,000
N *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). Correlations
Spearman's Peluang Kerja /
Correlation Coefficient
rho
Sig. (2-tailed)
Usaha
N Akses
Correlation Coefficient
Kesehatan
Sig. (2-tailed) N
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Peluang Kerja /
Akses
Usaha
Kesehatan 1,000
,906
**
.
,000
30
30
**
1,000
,000
.
30
30
,906
65
Correlations
Kondisi Tempat Tinggal dan
Spearman's Peluang Kerja / Usaha Correlation Coefficient rho
Peluang
Fasilitas yang
Kerja / Usaha
Dimiliki
1,000
Sig. (2-tailed) N Kondisi Tempat Tinggal dan Fasilitas
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
,829
**
.
,000
30
30
**
1,000
,000
.
30
30
,829
yang Dimiliki N **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Correlations
Spearman's Jual-beli Lahan
Correlation Coefficient
rho
Sig. (2-tailed)
Pertanian
Jual-beli Lahan
Tingkat
Pertanian
Pendapatan
1,000
,216
.
,251
30
30
Correlation Coefficient
,216
1,000
Sig. (2-tailed)
,251
.
30
30
N Tingkat Pendapatan
N
Correlations
Spearman's Jual-beli Lahan
Correlation Coefficient
rho
Sig. (2-tailed)
Pertanian
N Akses Pendidikan
Jual-beli Lahan
Akses
Pertanian
Pendidikan *
1,000
,449
.
,013
30
30
Correlation Coefficient
,449
*
1,000
Sig. (2-tailed)
,013
.
30
30
N *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
66
Correlations
Spearman's Jual-beli Lahan
Correlation Coefficient
rho
Sig. (2-tailed)
Pertanian
Jual-beli Lahan
Akses
Pertanian
Kesehatan
1,000
,216
.
,251
30
30
Correlation Coefficient
,216
1,000
Sig. (2-tailed)
,251
.
30
30
N Akses Kesehatan
N
Correlations
Spearman's Jual-beli Lahan
Correlation Coefficient
rho
Sig. (2-tailed)
Pertanian
N
Jual-beli
Kondisi Tempat
Lahan
Tinggal dan Fasilitas
Pertanian
yang Dimiliki
1,000
,237
.
,208
30
30
Kondisi Tempat
Correlation Coefficient
,237
1,000
Tinggal dan Fasilitas
Sig. (2-tailed)
,208
.
yang Dimiliki
N
30
30
B. Responden Non Industri Correlations
Spearman's Peluang Kerja / Usaha
Correlation Coefficient
rho
Sig. (2-tailed) N Tingkat Pendapatan
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Peluang Kerja /
Tingkat
Usaha
Pendapatan
1,000
,471
**
.
,009
30
30
**
1,000
,009
.
30
30
,471
67
Correlations
Spearman's Peluang Kerja / Usaha
Correlation Coefficient
rho
Sig. (2-tailed)
Peluang
Akses
Kerja / Usaha
Pendidikan
1,000
,062
.
,745
30
30
Correlation Coefficient
,062
1,000
Sig. (2-tailed)
,745
.
30
30
N Akses Pendidikan
N
Correlations Peluang Kerja / Usaha Akses Kesehatan Spearman's Peluang Kerja / Usaha
Correlation Coefficient
rho
Sig. (2-tailed)
,438
.
,015
30
30
Correlation Coefficient
,438
*
1,000
Sig. (2-tailed)
,015
.
30
30
N Akses Kesehatan
*
1,000
N *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). Correlations
Kondisi Tempat Tinggal dan
Spearman's Peluang Kerja / Usaha
Correlation Coefficient
rho
Sig. (2-tailed) N
Peluang
Fasilitas yang
Kerja / Usaha
Dimiliki *
1,000
,381
.
,038
30
30
Kondisi Tempat
Correlation Coefficient
,381
*
1,000
Tinggal dan Fasilitas
Sig. (2-tailed)
,038
.
yang Dimiliki
N
30
30
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
68
Correlations
Spearman's Jual-beli Lahan
Correlation Coefficient
rho
Sig. (2-tailed)
Pertanian
Jual-beli Lahan
Tingkat
Pertanian
Pendapatan
1,000
,277
.
,138
30
30
Correlation Coefficient
,277
1,000
Sig. (2-tailed)
,138
.
30
30
N Tingkat Pendapatan
N
Correlations
Spearman's Jual-beli Lahan
Correlation Coefficient
rho
Sig. (2-tailed)
Pertanian
Jual-beli Lahan
Akses
Pertanian
Pendidikan
1,000
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
**
.
,008
30
30
**
1,000
,008
.
30
30
N Akses Pendidikan
,473
,473
N **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Correlations
Spearman's Jual-beli Lahan
Correlation Coefficient
rho
Sig. (2-tailed)
Pertanian
Akses
Pertanian
Kesehatan
1,000
,095
.
,618
30
30
Correlation Coefficient
,095
1,000
Sig. (2-tailed)
,618
.
30
30
N Akses Kesehatan
Jual-beli Lahan
N
69
Correlations
Spearman's Jual-beli Lahan
Correlation Coefficient
rho
Sig. (2-tailed)
Pertanian
N
Jual-beli
Kondisi Tempat
Lahan
Tinggal dan Fasilitas
Pertanian
yang Dimiliki
1,000
,343
.
,064
30
30
Kondisi Tempat
Correlation Coefficient
,343
1,000
Tinggal dan Fasilitas
Sig. (2-tailed)
,064
.
yang Dimiliki
N
30
30
70
Lampiran 6 Definisi Operasional Tabel 26 Definisi operasional dampak industrialisasi No 1
2
Variabel
Definisi Operasional
Indikator
Peluang kerja/usaha Berbagai lapangan pekerjaan dan Data diukur menggunakan indeks sebagai berikut: status pekerjaan di bidang pertanian Perubahan menurun = Skor 1 dan non-pertanian Tidak berubah = Skor 2 Perubahan meningkat = Skor 3 Jual beli lahan Lahan yang pernah dijual atau dibeli Data diukur menggunakan indeks sebagai berikut: oleh rumah tangga sebelum dan Perubahan menurun = Skor 1 setelah adanya industri. Tidak berubah = Skor 2 Perubahan meningkat = Skor 3
Skala Pengukuran Ordinal
Ordinal
Tabel 27 Definisi operasional tingkat kesejahteraan No 1
2
Variabel
Definisi Operasional
Tingkat pendapatan Banyaknya pendapatan responden selama sebulan dengan satuan rupiah dan diukur berdasarkan UMR Kabupaten Bogor tahun 2016. Akses pendidikan Kemampuan menyelesaikan jenjangpendidikan formal terdiri daripendidikan dasar, pendidikanmenengah dan pendidikantinggi.
Indikator Data diukur menggunakan indeks sebagai berikut: Perubahan menurun = Skor 1 Tidak berubah = Skor 2 Perubahan meningkat = Skor 3 a. Kemampuan melaksanakan pendidikan dasar anak hingga usia Rendah : 7-12 tahun (skor 1) Sedang : 13-15 tahun (skor 2) Tinggi : 16-18 tahun (skor 3) b. Kemampuan menyekolahkan anak hingga tingkat Rendah : SD/sederajat (skor 1) Sedang : SMP/sederajat (skor 2) Tinggi : SMA/sederajat (skor 3) c. Sumber biaya pendidikan Rendah : sumbangan,pinjaman (skor 1) Sedang : bantuan/program pemerintah (skor 2)
Skala Pengukuran Ordinal
Ordinal
71
3
Akses kesehatan
Kemampuan responden untuk mendapatkan layanan atau menggunakan fasilitas kesehatan
4
Kondisi Tempat Tinggal serta Fasilitas yang Dimiliki
Keadaan riil mengenai tempat tinggalyang dihuni oleh responden serta fasilitas yang dimiliki responden.
Tinggi : pribadi (skor 3) Kemudian, data diukur menggunakan indeks sebagai berikut: Perubahan menurun = Skor 1 Tidak berubah = Skor 2 Perubahan meningkat = Skor 3 a. Tempat berobat Ordinal Rendah : Dukun/pengobatan tradisional (skor 1) Sedang : puskesmas, dokter praktek (skor 2) Tinggi : rumah sakit (skor 3) b. Sumber biaya berobat Rendah : sumbangan, pinjaman (skor 1) Sedang : program pemerintah/jaminan kesehatan perusahaan (skor 2) Tinggi : pribadi (skor 3) c. Tempat melahirkan seorang istri Rendah : dukun tradisional/paraji (skor 1) Sedang : bidan (skor 2) Tinggi : dokter (skor 3) d. Pengobatan sakit ringan Rendah : membiarkan hingga sembuh (skor 1) Sedang : membeli obat di warung (skor 2) Tinggi : membeli obat ke apotek (skor 3) Kemudian, data diukur menggunakan indeks sebagai berikut: Perubahan menurun = Skor 1 Tidak berubah = Skor 2 Perubahan meningkat = Skor 3 a. Status kepemilikan rumah Ordinal Rendah : menumpang (skor 1) Sedang : sewa/kontrak (skor 2) Tinggi : milik pribadi (skor 3) b. Jenis atap rumah Rendah : seng/asbes (skor 1) Sedang : genteng (skor 2)
72
c.
d.
e.
f.
g.
h.
Tinggi : beton (skor 3) Jenis dinding rumah Rendah : rumbia/bambu (skor 1) Sedang : kayu (skor 2) Tinggi : tembok (skor 3) Jenis lantai rumah Rendah : tanah (skor 1) Sedang : kayu/semen (skor 2) Tinggi : keramik (skor 3) Status kepemilikan MCK Rendah : umum (skor 1) Sedang : sendiri tanpa tangki septik (skor 2) Tinggi : sendiri dengan tangki septik (skor 3) Sumber penerangan Rendah : selain PLN (skor 1) Sedang : listrik PLN bersama tetangga (skor 2) Tinggi : listrik PLN sendiri (skor 3) Sumber air bersih Rendah : ledeng (skor 1) Sedang : air isi ulang (skor 2) Tinggi : air kemasan (skor 3) Barang berharga yang dimiliki Rendah : emas (skor 1) Sedang : emas dan handphone (skor 2) Tinggi : emas, handphone dan kendaraan pribadi (skor 3)
Kemudian, data diukur menggunakan indeks sebagai berikut: Perubahan menurun = Skor 1 Tidak berubah = Skor 2 Perubahan meningkat = Skor 3
73 RIWAYAT HIDUP Thessa Ayuningtias terlahir di Kabupaten Bogor pada tanggal 14 Juni 1995. Penulis adalah anak tunggal dari pasangan Bapak A. Saepudin dan Ibu Ernawati. Pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis adalah SDN Cimande 1 (Kabupaten Bogor, Jawa Barat) periode 2001-2007, SMPN 1 Ciawi (Kabupaten Bogor, Jawa Barat) periode 2007-2010 dan SMAN 3 Bogor periode 2010-2013. Pada tahun 2013, penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Selain aktif dalam kegiatan akademik, penulis juga aktif mengikuti berbagai perlombaan non-akademik seperti aerobik Olimpiade Mahasiswa IPB (OMI) mewakilkan nama TPB (Tingkat Persiapan Bersama) pada tahun 2014 dan mewakilkan nama fakultas pada tahun 2015. Selain itu, penulis juga berpartisipasi dalam lomba seni tari IPB Art Contest (IAC) pada tahun 2015 dengan mewakili nama fakultas. Pengalaman lain diluar hal tersebut adalah penulis pernah menjadi pendamping kegiatan mahasiswa Passau University of Germany untuk mengenal lebih jauh budaya Indonesia khususnya batik. Kegiatan tersebut berlangsung pada tahun 2015. Pada tahun 2016, penulis menjadi pendamping Penyuluh Pertanian Lapang (PPL) selama satu bulan di Kecamatan Jampang Tengah, Kabupaten Sukabumi dalam program UPSUS PAJALE yang diselenggarakan oleh Kementrian Pertanian dan Institut Pertanian Bogor. Selain itu, penulis menjadi partisipan dalam kegiatan Build The International Relationship yang diselenggarakan oleh HIMASIERA (Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat). Kegiatan tersebut dilaksanakan pada tanggal 2-6 Oktober 2016 di Bangkok, Thailand.