POLITIK AGRARIA TRANSFORMATIF: Studi Peluruhan Kelembagaan Lokal Dan Kegagalan Politik Tata Kelola Agraria Pada Komunitas Petani Di DAS Cidanau Kabupaten Serang Provinsi Banten
HIDAYAT
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
DAFTAR ISI
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: “Politik Agraria Transformatif: Studi Peluruhan Kelembagaan Lokal dan Kegagalan Politik Tata Kelola Agraria Pada Komunitas Petani di DAS Cidanau, Kabupaten Serang Provinsi Banten” adalah karya akademik saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah saya sebutkan dalam catatan kaki, teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir disertasi ini.
Bogor, 16 Pebruari 2011
Hidayat NRP A162040021
ABSTRACT HIDAYAT. Political Agrarian Transformative: The Study Local Institutional Declaning and Political Failure On Management Setting of Agrarian in Peasant Community of Cidanau Watershed, Regency of Serang, Province of Banten. Suvervised by ENDRIATMO SOETARTO, DJUARA P. LUBIS, SEDIONO M.P.TJONDRONEGORO. The research was aimed to study 3 aspect: management setting model of agrarian resources based local institutions which was conducted by forest peasant community in the upstream watershed region of Cidanau, sectoral contestation, local superlocal and contes-tation in the internal scope of peasant community. To study the mentioned above, this research used a critical paradigm. The research was done in 3 villages location which have different ecological characteristics namely dry land, and wet/rice fields and rice fields. The collecting data methods used observed participation, in depth interview and Focus Group Discussion (FGD). Data Analysis used qualitative analysis approach. In an effort of obtaining data validity truth can be convinced, data eligibility tested through technical triangulation resources and method. The results of this research showed that local institutional management setting of agrarian resources in this area has relation with life insight and social culture value and being rule of game form of management setting of conducive agrarian resources for sustainability development. The local institution is in the form covering (1) soil conception, land used management (2) and forest zonation (3) local knowledge/wise regarding food plants and medicines (4) buyut, pipeling institutions. While local institutions is in the form organization and management setting practices are liliuran dan wanatani (agroforestry). In management setting of agrarian resources manifest from local institution ia an agricultural technological appliances of rotated farming, ngaseuk (land managed conservation form), coo bibit (prime seed upgrading), environment friendly plant germs eradication and planting period following season and rotated plants. The agrarian resources control contestation in the village area goes on in 3 forms, sectoral contestation, local superlocal and internal scope community. The sectoral contestation was due to the lack of comprehension over agrarian resources function as stock, public commodity and resources as commodity and political will and political action weakness of government agency. In the contestation sector of rural community push country’s control towards rural resources, institutional conflict, taking away of increasing standard of living achieved and independent appearance of rural community. The contestation sector was jeered by synergy weakness and government coordination in planning aspect, implementation, evaluation and monitoring. The local superlocal contestation appeared in the form of holistic contestation versus reductionist, agroforestry community versus plantations, institutional community versus institutional made government. The scope of internal community contestation relating with the difference of religion understanding, political and economical orientation, ecological condition and environmental services receipt. The course of farmers’ history in Indonesia was colored by superlocal power domination the form of which vary from time to time depend on political interest and economical regime of the ruling one.The agrarian politic of new order which oriented betting on the strong had complex impact towards rural community that caused local institutional declining of management setting went on systematically. The declining occurred over level system, rule of laws, level organization and individual. The declining towards buyut institution, the removal of liliuran social capital, the rottening of conservation ethics and declining local wise. The oriented agrarian politic was betting on the strong caused the ruling government had failed to create the objective of institutional for prosperity at large and people’s welfare. The failure of agrarian politics was performed by the marginalization of agrarian community structure, agrarian predator appeared, peasant eviction and low concern towards environment services. Key Word: Political agrarian transformative, sectoral contestation, local declining, local institutional, institutional failure, peasanitation proceses, environment services, Cidanau watershed
RINGKASAN HIDAYAT. ”Politik Agraria Transformatif: Studi Peluruhan Kelembagaan Lokal dan Kegagalan Politik Tata Kelola Agraria Pada Komunitas Petani di DAS Cidanau, Kabupaten Serang Provinsi Banten.” Dibimbing oleh ENDRIATMO SOETARTO, DJUARA P. LUBIS, SEDIONO M.P.TJONDRONEGORO. Penelitian bertujuan untuk mengkaji tiga hal yaitu: (1) praktik dan tradisi tata kelola sumberdaya agraria berbasis kearifan lokal pada komunitas petani hutan di kawasan hulu DAS Cidanau, (2) proses kontestasi sektoral, lokal supralokal dan kontestasi dalam lingkup internal komunitas petani dan (3) peluruhan kelembagaan lokal dan kegagalan politik agraria bidang kehutanan di kawasan DAS Cidanau. Untuk mengkajinya diggunakan paradigma kritis, karena interaksi kelembagaan lokal dan supra lokal yang berlangsung di lokasi penelitian berlangsung timpang, diwarnai penetrasi kekuasaan, posisi tineliti yang termarginalkan. Dengan penggunaan paradigma kritis diharapkan dapat membongkar dimensi struktur yang timpang dan menindas untuk selanjutnya mendorong kesadaran kolektif (collective consciousness) dan perbaikan posisi sosial dan ekonominya yang termarginalkan. Penelitian dilakukan di tiga desa komunitas petani hutan di kawasan DAS Cidanau, yaitu Desa Citaman Kecamatan Ciomas (representasi lahan kering), Desa Cibojong (representasi campuran lahan kering dan basah) dan Desa Citasuk Kecamatan Padarincang, yang merupakan lahan sawah. Metode pengumpulan datanya menggunakan pengamatan partisipasi, wawancara mendalam dan Focus Group Discussion (FGD). Analisis datanya menggunakan pendekatan analisa kualitatif melalui teknik triangulasi teori, sumber dan metode. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelembagaan lokal tata kelola sumberdaya agraria di lokasi penelitian memiliki hubungan dengan pandangan hidup, nilai sosial budaya, bentuk aturan tata kelola sumberdaya agraria yang kondusif untuk pembangunan pertanian dan kehutanan berkelanjutan. Kelembagaan lokalnya berbentuk pranata, nilai dan norma dan berupa organisasi dan praktek tata kelola sumberdaya agraria. Kelembagaan lokal berbentuk pranata melipiuti (1) konsepsi tanah dan tata guna tanah, (2) zonasi hutan (leuweung), (3) kearifan lokal tentang tanaman pangan dan obat (4) Kelembagaan buyut, pipeling. Sedangkan kelembagaan lokal berupa organisasi dan praktek tata kelola adalah liliuran dan wanatani (agroforestry). Dalam praktik tata kelola sumberdaya agraria manifestasinya adalah penerapan teknologi pertanian gilir balik (rotated farming), ngaseuk, (bentuk olah tanah konservasi), coo benih (pemulian bibit unggul), pemberantasan hama tanaman ramah lingkungan, dan masa tanam mengikuti daur musim dan pergiliran tanaman. Kontestasi penguasaan sumberdaya agraria wilayah pedesaan berlangsung pada tiga bentuk, yaitu kontestasi sektoral, kontestasi lokal versus supralokal dan kontestasi lingkup internal komunitas. Kontestasi sektoral disebabkan kurangnya pemahaman atas fungsi sumberdaya agraria sebagai stock, barang publik dan sumberdaya sebagai komoditi serta lemahnya political will dan political action agensi pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Kontestasi sektoral mengakibatkan terjadinya kapitalisasi sumberdaya pedesaan, konflik kelembagaan, menjauhkan tercapainya peningkatkan taraf hidup petani dan hilangnya kemandirian masyarakat pedesaan. Kontestasi sektoral melahirkan pelaksanaan pembangunan berlangsung secara tidak sinergi dan tidak terkoordinasi mulai dari perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan
monitoring. Kontestasi lokal supralokal muncul dalam bentuk tata kelola sumberdaya secara holistik versus reduksionis, agroforestry komunitas versus bisnis dan kelembagaan komunitas versus bentukan pemerintah. Kontestasi lingkup internal komunitas berkaitan dengan perbedaan paham keagamaan, orientasi politik dan ekonomi, kondisi ekologi serta perebutan penerimaan jasa lingkungan. Perjalanan sejarah petani di Indonesia diwarnai oleh dominasi kekuasaan supra lokal yang bentuknya berbeda-beda dari waktu ke waktu tergantung kepentingan politik dan ekonomi rezim yang berkuasa. Politik agraria Orde Baru yang berorientasi betting on the strong memiliki dampak yang kompleks terhadap masyarakat pedesaan. Meskipun meningkatkan perolehan devisa negara dari sektor kehutanan dan menggelembungnya "dompet pemerintah pusat", tetapi tidak meneteskan kemakmuran bagi masyarakat lokal/sekitar hutan; yang terjadi justru peminggiran dan penyempitan ruang hidupnya dan peluruhan kelembagaan lokal secara sistemik. Peluruhan berlangsung pada aras sistem (peraturan perundang-undangan), organisasional (pembentukan kelembagaan bentukan pemerintah yang merupakan substitusi terhadap kelembagaan komunitas) dan pada aras individual, melalui provokasi, stigmatisasi dan promosi prilaku yang bertentangan dengan nilai budaya sosial religius, menjunjung tinggi resiprositas dan solidaritas sosial dan keseimbangan hidup antara material dan spiritual. Peluruhan kelembagaan komunitas di lokasi penelitian mencakup kelembagaan buyut, modal sosial liliuran, etika konservasi dan kearifan lokal. Kondisi ini terjadi karena karena politik agraria kehutanan yang berorientasi ekonomi dan produksi kurang mempertimbangkan manusia sebagai komponen utama ekosistem hutan dan kepentingan peran serta masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Komunitas dan sekitar hutan dan kelembagaannya dipandang sebagai "sumber gangguan" daripada "kunci keberhasilan". Pemangku kepentingan lebih melayani kepentingan dunia bisnis dan investasi daripada mewujudkan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Kegagalan mewujudkan tujuan politik agraria ditunjukkan dengan ketidakmampuan mewujudkan kelembagaan agraria yang berkeadilan dan berkelanjutan, depeasanisasi, tampilnya agensi sebagai predator, penggusuran petani dan relokasi petani secara exsitu dan kepedulian semu pemerintah terhadap jasa lingkungan. Kegagalan tersebut disebabkan bangunan ideologis dan signifikansi politik agraria bersifat kapitalistik, ekstraktif dan mengabaikan dimensi manusia dalam pembangunan sumberdaya hutan. Dampak dari politik agraria kehutanan tersebut adalah terabaikannya konservasi hutan, jasa lingkungan hutan dan hubungan hulu dan hilir kawasan DAS. Akibatnya pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau tidak menjadi insentif untuk meningkatkan kesejahteraan petani hutan dan penghargaan terhadap komunitas petani yang melaksanakan sistem agroforstry dan sistem olah tanah konservasi. Sebaliknya pembayaran jasa lingkungan menjadi alat kontrol kekuatan supralokal terhadap aktivitas agroforestry komunitas melalui prosedur dan mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang tidak partisipatif dan tidak demokratis. Kata Kunci: politik agraria transformatif, kontestasi sektoral, predator agraria, peluruhan kelembagaan lokal, pembayaran jasa lingkungan.
@ Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya
tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tujuan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagaian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB
POLITIK AGRARIA TRANSFORMATIF: Studi Peluruhan Kelembagaan Lokal Dan Kegagalan Politik Tata Kelola Agraria Pada Komunitas Petani di DAS Cidanau Kabupaten Serang Provinsi Banten
HIDAYAT
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Pada Program Studi Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Ujian Tertutup
: 23 Oktober 2010
Penguji Luar Komisi: 1. Prof. Dr. Hariadi Kartodihardjo Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB 2. Dr. Satyawan Sunito Staf Pengajar Sosiologi Pedesaan Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB Ujian Terbuka
: 16 Pebruari 2011
Penguji Luar Komisi: 1. Dr. Harry Santoso Direktur Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial Kementerian Kehutanan RI 2. Dr. Soeryo Adiwibowo, MS. Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB
Judul Disertasi:
Politik Agraria Transformatif: Studi Peluruhan Kelembagaan Lokal dan Kegagalan Politik Tata Kelola Agraria Pada Komunitas Petani di Daerah Aliran Sungai Cidanau Kabupaten Serang Provinsi Banten
Nama NRP
Hidayat A162040021
: :
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA. Ketua
Prof. Dr. Sediono M.P.Tjondronegoro Anggota
Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS. Anggota
Diketahui Koordinator Mayor Ilmu Sosiologi Pedesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr.
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 6 Agustus 1962 sebagai anak sulung dari tiga bersaudara dari pasangan bapak Amin Amsani dan Ibu Zubaidah. Pendidikan dasar dan menengah diselesaikan di kota hujan, Bogor. Lulus sarjana pendidikan sejarah pada tahun 1986 dari Fakultas Pendidikan Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta. Pendidikan Magister diraih dari Program Studi Sosiologi Antropologi Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung pada tahun 2003. Penulis melanjutkan studi Program Doktor pada Program Studi Sosiologi Pedesaan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor sejak tahun 2004 dengan biaya BPPS dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional. Sejak tahun 1990 sampai sekarang penulis menjadi staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan. Pada tahun 2009 penulis terlibat dalam studi Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Nelayan dibawah dikordinasi Direktorat Kelautan dan Perikanan BAPPENAS di Lima Kabupaten dan Lima Provinsi di Jawa dan luar Jawa Tahun 2009-2010 penulis terlibat dalam program Pengembangan Ekonomi Lokal di Jawa Tengah kerja sama Direktorat Perkotaan dan Pedesaan BAPPENAS dengan GTZ.
KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi berjudul “Politik Agraria Transformatif: Studi Peluruhan Kelembagaan Lokal dan Kegagalan Politik Tata Kelola Agraria Pada Komunitas Petani di DAS Cidanau, Kabupaten Serang Provinsi Banten”. Penulisan disertasi ini merupakan proses pembelajaran berharga berkaitan dengan kelembagaan lokal, politik agraria, tata kelola hutan dan Daerah Aliran Sungai, kontestasi sektoral, mengingat tema tersebut sebelumnya bukan merupakan kompetensi penulis. Sehingga tulisan disertasi ini disadari sepenuhnya masih jauh dari kesempurnaan dan memuaskan. Penulisan disertasi ini berkat arahan dan bimbingan dari Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA. Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS. dan Prof. Dr. Sediono M.P.Tjondronegoro. Pada tempatnya kepada beliau penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas dukungan yang tak terhingga, diskusi dan bimbingan yang mendidik serta membuka cakrawala akademik penulis. Kesediaan beliau bertiga mengalokasikan waktu kepada penulis di tengah kesibukannya mengemban tugas mulia merupakan kemewahan luar biasa yang ludiberikan kepada penulis. Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada: 1. Rektor Institut Pertanian Bogor beserta jajarannya yang telah memberikan kesempatan dan layanan yang baik selama penulis menempuh kuliah. 2. Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB dan Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan beserta jajarannya yang telah memberikan layanan perkuliahan kepada penulis. 3. Rektor Universitas Negeri Medan dan Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan yang mendorong dan mengizinkan penulis menempuh studi doktor di IPB. 4. Direktur Direktorat Kelautan dan Perikanan dan Direktur Pedesaan Perkotaan Bappenas yang telah mempercayai penulis untuk terlibat dalam Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Masyarakat Nelayan dan Pembangunan Ekonomi Lokal. 5. Dr. Sugeng Budisuharsono, bukan hanya memberikan pandangan dan pendapatnya tentang dunia akademik tetapi berjasa membantu mendapatkan pendapatan sehingga penulis dapat bertahan dan terus berkelanjut studi doktor di Pascasarjana IPB. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Dr. Rahmat Abbas, Dr. Abubakar dan Ir. Ahmad Yani, MSi atas kerjasamanya dalam kegiatan survei. 6. Staf Kecamatan Padarincang dan Ciomas, Kepala Desa Citaman, Desa Citasuk dan Desa Cibojong dan KRH atas informasi yang berharga untuk penulisan disertasi ini. 7. Teman-teman mahasiswa S3 Sosiologi Pedesaan khusunya kepada Dr. Yety Rocwulaningsih, Dr. Undang Fadjar dan Dr. Hartoyo atas kerjasama dan diskusinya yang membuka inspirasi penulis dalam penulisan disertasi ini. 8. Secara khusus ucapan terimakasih disampaikan kepada isteri penulis Dandi Muhidin, anak-anak tercita Eka Maulida Hardiyanti, Mohammad Luthfi, Rahmi Rafikasari dan Meli Deliana Kamila, atas pengorbanannya yang tak terhingga selama penulis studi S3 di IPB. Semoga penulisan disertasi ini menjadi sumber inspirasi untuk mengembangkan diri dan menyongsong masa depan yang lebih gemilang. Bogor, 16 Pebruari 2011 Hidayat
DAFTAR ISI Halaman 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang........................................................................................... 1.2. Pertanyaan Penelitian ................................................................................. 1.3. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 1.4. Kegunaan Penelitian .................................................................................. 1.5. Novelti.......................................................................................................
1 9 10 10 11
2. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR 2.1. Kelembagaan Lokal ................................................................................... 2.2. Kontestasi Sektoral dan Kontestasi Lokal Supralokal ................................. 2.2.1. Kontestasi Sektoral........................................................................... 2.2.2. Kontestasi Lokal Supralokal ............................................................. 2.3. Politik Agraria dan Peluruhan Kelembagaan Lokal .................................. 2.4. Kerangka Pikir ........................................................................................... 2.5. Hipotesa Pengarah……………………………………………………………
14 21 24 27 31 40 42
3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Metodologi dan Kerangka Penelitian ......................................................... 3.2. Pokok Penelitian dan Metode Pengumpulan Data ..................................... 3.3. Metode Penelitian ...................................................................................... 3.4. Pemilihan Lokasi Penelitian ....................................................................... 3.5. Informan Penelitian ................................................................................... 3.6. Teknik Pengumpulan Data ......................................................................... 3.7. Teknik Pengolahan dan Analisa Data ......................................................... 3.8. Jadwal Penelitian .......................................................................................
43 44 45 46 47 47 48 49
4. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1. Kondisi Geografi dan Demografi DAS Cidanau ........................................... 4.2. Kondisi Geografi dan Demografi Lokasi Penelitian ..................................... 4.3. Struktur Mata Pencaharian…………………………………………………… 4.4. Resiprositas dan Solidaritas ......................................................................... 4.5. Transisi Elit ................................................................................................. 4.6. Kelembagaan Lokal ..................................................................................... 5. DINAMIKA TATA KELOLA SUMBERDAYA AGRARIA BERBASIS KELEMBAGAAN LOKAL 5.1. Pendahuluan ................................................................................................ 5.2. Kearifan Lokal Tata Kelola Sumberdaya Agraria ......................................... 5.2.1. Konsepsi dan Tata Guna Tanah .........................................................
50 50 54 56 59 62
65 65 65
5.2.2. Zonasi Hutan ..................................................................................... 5.2.3. Domestikasi Tanaman Pangan dan Obat ........................................... 5.2.4. Buyut dan Pipeling: Pengawal Keserakahan ....................................... 5.3. Dinamika Kelembagaan Agroforestry .......................................................... 5.3.1. Kelembagaan Agroforestry ................................................................ 5.3.2. Agroforestry Sebagai Strategi Bertahan ............................................. 5.3.3. Perkembangan Komunitas Agroforestry…………………………… . 5.3.4. Liliuran: Bertahan Sebagai Sarana Pencarian Nafkah ……………… 5.4. Ihtisar ..........................................................................................................
70 72 76 80 80 82 84 87 90
6. KONTESTASI SEKTORAL, LOKAL SUPRALOKAL DAN INTERNAL 6.1. Pendahuluan ............................................................................................... 6.2. Kontestasi Sektoral .................................................................................... 6.2.1. Aktor Kontestasi Sektoral ……………………………………………. 6.2.2. Kontestasi Sektoral: Kapitalisasi Sumberdaya ................................... 6.3. Kontestasi Lokal Supra Lokal ..................................................................... 6.3.1. Holistik Versus Reduksionistik ......................................................... 6.3.2. Konflik Tenurial ............................................................................... 6.4. Kontestasi Internal Komunitas .................................................................... 6.4.1. Perbedaan Orientasi Keagamaan ....................................................... 6.4.2. Afiliasi Politik dan Konflik Elit ......................................................... 6.4.3. Kontestasi Merebut Insentif Jasa Lingkungan .................................... 6.5. Ihtisar .......................................................................................................... 7. PELURUHAN KELEMBAGAAN LOKAL DAN KEGAGALAN POLITIK TATA KELOLA SUMBERDAYA AGRARIA 7.1. Pendahuluan ............................................................................................... 7.2. Politik Agraria dan Peluruhan Kelembagaan Lokal ..................................... 7.2.2.1. Latar Belakang Sejarah Peluruhan Kelembagaan Lokal ................. 7.2.2. Politik Pertanian dan Kehutanan Orde Baru ...................................... 7.3. Proses dan Bentuk Peluruhan Kelembagaan Lokal ....................................... 7.3.1 Peluruhan Kelembagaan Buyut dan Pipeling....................................... 7.3.2. Penghancuran Modal Sosial .............................................................. 7.3.3. “Pembusukan” Etika Konservasi........................................................ 7.3.4. Peluruhan Kearifan Lokal .................................................................. 7.4. Kegagalan Politik Agraria............................................................................. 7.4.1. Penggusuran Petani (Depeasanitation Processes) ............................ 7.4.2. Predator Agraria ................................................................................. 7.4.3. Pendudukan Petani dan Enclavisme ..................................................... 7.4.4. Pembayaran Jasa Lingkungan dan Kepedulian Semu .......................... Dominasi Birokrasi dan Kooptasi Civil Society Associations (CSA) ..... 7.5. Ihtisar ............................................................................................................
91 91 94 97 100 100 103 106 107 109 114 117
119 120 120 124 126 128 130 133 136 140 140 146 149 156 161 165
8. URGENSI PENGUATAN KELEMBAGAAN LOKAL DAN POLITIK AGRARIA TRANSFORMATIF 8.1. Pendahuluan ............................................................................................. 8.2. Penguatan Kelembagaan Komunitas ........................................................ 8.3. Menuju Politik Agraria Transformatif .......................................................
167 167 172
9. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan................................................................................................ 9.2. Saran dan Implikasi Kebijakan...................................................................
178 181
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................
183
Lampiran………………………………………………………………………….
194
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Pengelolaan SDA Menurut 5 UU dan Potensi Masalahnya...............
25
Tabel 2. Pokok Penelitian dan Metode Pengumpulan Data.............................
44
Tabel 3. Struktur Penduduk Desa Citaman, Citasuk dan Cibojong ................ Menurut Kelompok Usia
53
Tabel 4. Mata Pencaharian Penduduk Desa Citaman, Desa Citasuk ............ dan Desa Cibojong
55
Tabel 5. Sebaran Ikatan Hak Milik, Ikatan Kerabat Sosiologis dan Ikatan Kerabat Genealogis Dalam Komunitas Desa Citaman ....................
58
Tabel 6. Komposisi Tanaman Agroforestry Komunitas.................................
82
Tabel 7. Kelembagaan Bentukan Pemerintah di Wilayah Pedesaan…………
99
Tabel 8. Program dan Pengelola Bantuan Sosial Kementerian Pertanian…... di Pedesaan
100
Tabel 9. Jenis Kebutuhan Petani Yang Mendorong Transfer Tanah……….
142
Tabel 10. Pola Interkasi Gerakan Lingkungan Hidup Dengan Pemerintah ....
164
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Kerangka Pikir..............................................................................
42
Gambar 2. Tata Guna Tanah Petani Desa Citaman dan Cibojong……..
67
Gambar 3. Kontestasi Sektoral........................................................................
92
Gambar 4. Konsesi Kolosal Pengelolaan SDA………………………………
93
Gambar 5. Aktor Kontestasi Pengelolaan Hutan DAS Cidanau…………….
94
Gambar 6. Kontestasi Kehutanan dan Pertambangan.....................................
96
Gambar 7. Proses Peluruhan Kelembagaan Lokal …………………………
127
Gambar 8. Grafik Proses Transformasi Penguasaan Tanah ............................
143
Gambar 9 Bentuk Kelembagaan Tata Kelola DAS........................................
163
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Dalam buku Max Havelar, Multatuli menyebut Indonesia sebagai negeri jamrud khatulistiwa dan dalam hal keragaman hayati mendapat predikat megadiversity country.1 Tetapi predikat itu kontras dengan kondisi kehidupan sosial ekonomi sebagian besar masyarakatnya dan kondisi sumberdaya alamnya termasuk sumberdaya hutan yang tidak seindah jamrud. Kekayaan dan keragaman hayati Indonesia semakin terancam kelestariannya. Laju kerusakan hutan seluas enam kali lapangan sepak bola per menit atau berkisar 1,6 – 2 juta hektar per tahun, mengakibatkan lebih dari separuh hutan tropis Indonesia (77.806.881 hektar) dalam kategori kritis, sedangkan kemampuan merehabilitasinya hanya sekitar 300.000 hektar per tahun.2 Eksploitasi hutan yang berlangsung secara massif, tidak hanya mengakibatkan rusaknya ekosistem hutan dan sebagian besar DAS dalam kondisi kritis,3 tetapi juga komunitas yang bermukim di kawasan itu termarginalkan. Pernyataan Multatuli “...bahwa nun di sana rakyat Tuan yang lebih dari tiga puluh juta dihisap atas nama Tuan4…, pada akhir abad sembilan belas, masih relevan untuk menggambarkan kondisi kehidupan sosial ekonomi masyarakat
1
Keanekaragaman hayati Indonesia mencakup berbagai jenis fauna dan flora, uraiannya lihat BAPPENAS, 2003. Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia 2003-2020. Jakarta: BAPPENAS.
2 Lihat A.Ng. Ginting dan Kirsfianti Ginoga, “Peluang dan Tantangan Kebijakan Moratorium Lahan Gambut dan Deforestasi”. Makalah “Seminar Lokakarya Nasional Pemanfaatan Lahan Gambut Berkelanjutan Untuk Pengurangan Kemiskinan dan Percepatan Pembangunan Daerah”. Pusat Studi Pembangunan dan Pedesaan IPB, Bogor 28 Oktober 2010. 3
Pada era otonomi daerah kerusakan ekosistem hutan dan DAS cenderung meningkat kualitas dan kuantitasnya, karena menguatnya ego sektoral disertai ego kedaerahan dalam upaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Gambaran kerusakan ekosistem DAS lihat Budi Prasetyo, “Perubahan Penutupan/ Penggunaan Lahan, Degradasi Lahan dan Upaya Penanggulangannya: Studi Kasus di Daerah Aliran Sungai Citanduy” dalam Arya Hadi Dharmawan (penyunting), 2005. Pembaharuan Tata Pemerintahan Lingkungan: Menciptakan Ruang Kemitaran NegaraMasyarakat Sipil - Swasta. Bogor, PSP3 dan Partnership For Governance Reform In Indoensia, UNDP.
4
Pernyataan itu dinyatakan Multatuli dalam pengantarnya yang ditujukan kepada Ratu Willem Ketiga dan Kaisar Kerajaan Insulinde, Lihat H.B. Jassin/G Termorshuizen, 1985. Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda.
2
Indonesia dewasa ini. Pambudi (2010) misalnya mencatat, sekitar 14,7 juta g penduduk Indonesia kurang gizi. Dari 237,6 juta penduduk Indonesia, 35 juta orang di antaranya berpendapatan kurang dari 65 sen dollar Amerika Serikat atau Rp 6000 sehari, dan 127 juta orang pendapatannya kurang dari dua dollar Amerika Serikat.5 Sementara 56 persen aset yang ada di tanah air, baik berupa property, tanah maupun perkebunan, dikuasai hanya oleh 0,2 persen penduduk Indonesia. Sawit Watch mencatat: “hingga Juni 2010 pemerintah telah memberi hak konsesi 9,4 juta ha tanah dan mencapai 26,7 juta ha pada tahun 2010 kepada 30 kelompok usaha yang mengontrol 600 perusahaan”. Angka ini menunjukkan penguasaan tanah oleh kelompok kecil pemilik modal hampir setara dengan yang dikuasai oleh 26,7 juta petani miskin, jika setiap petani memiliki tanah 1 hektar. Padahal sebagian besar petani Indonesia adalah, petani gurem, menguasai tanah di bawah 0,5 hektar.6 Sementara Hutan Taman Rakyat yang difasilitasi oleh Badan Layanan Umum P2H (Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan) yang ditargetkan 5,4 juta hektar hanya mencapai 87.299.89 hektar. Data tersebut menunjukkan kronisnya ketimpangan struktur agraria di Indonesia. Ketimpangan struktur agraria disertai eksploitasi sumberdaya agaria oleh sekelompok kecil pemilik modal yang berlangsung secara masif dapat berakibat hilangnya harapan masa depan sebagian masyarakat Mengingat prakarsa dan tindakan penyelenggara negara masih jauh dari peran dan fungsi semestinya, baik sebagai regulator untuk membuat regulasi yang adil dan demokratis maupun kapasitas untuk melindungi sumberdaya agraria dan sumberdaya manusia Indonesia dari gempuran kekuatan ekonomi dan politik global. Bila tidak ada langkah strategis dan political action, kondisi tersebut dapat mengantarkan “Indonesia sebentar lagi”. Sejauh ini peran penyelenggara merujuk pada Pierre Boudieu mengarah pada dominasi simbolik dan pola interaksi negara warga negara terbangun atas
5 6
Lihat Rachmat Pambudi, “Hak dan Kewajiban Atas Pangan”, Harian Kompas, 15 Oktober 2010.
Penguasaan sumberdaya agraria oleh segelintir orang semakin jelas jika dilihat secara sektoral. Misalnya saja 42 juta ha hutan dikuasai oleh sekitar 301 perusahan pemegang hak pengusahaan hutan dan 262 unit perusahaan hutanan tanaman industri. Chalid Muhammad, “Drama Haru SBY”, Harian Kompas, 30 Oktober 2010.
3
benevolent obedient7. Dalam konteks komunitas sekitar hutan pola interaksi benevolent obedient ditandai adanya stigmatisasi dan predikat: “terbelakang, terasing, orang pasisian, dan
perambah hutan”. Pola interaksi negara warga menurut Dove,8
negara berpola benevolent - obedient dan stigmatisasi,
mencerminkan “kegelapan” pandangan “orang-orang lain” terhadap “orang-orang berbudaya lain”. Dalam analisis Tania, stigmatisasi pihak supralokal sebagai upaya “teritorialisasi” dan modernisasi komunitas sekitar hutan menjadi “orang modern”.9
Stigmatisasi dan “teritorialisasi” kekuatan supralokal merupakan
pembungkus untuk meraih kepentingan ekonomi dan melegalkan eksploitasi sumberdaya hutan, baik melalui konsesi Hak Penguasahaan Hutan (HPH) atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK), Hutan Taman Industri (HTI) dan hak kuasa pertambangan. Perkembangan
penguasaan
sumberdaya
hutan
oleh
pemilik
konsesi/pemilik modal, diakaui berdampak positif terhadap peningkatkan kontribusi sektor kehutanan terhadap PDB dan APBN.
Tetapi peningkatan
kontribusinya harus dibayar mahal, karena berakibat meluasnya deforestasi, degradasi hutan, delegitimasi akses dan hak sosial ekonomi komunitas terhadap sumberdaya hutan. Komunitas lokal yang telah memiliki ikatan sejarah dan penguasaan sumberdaya hutan berdasarkan tradisi, dikriminalisasi dan menjadi sasaran aksi polisionil. Di sisi lain, pihak berwenang cenderung tidak berdaya mengatasi aktivitas illegal logging yang melibatkan oknum aparat penguasa dan pengusaha, karena upaya penegakkan hukumnya bersifat transaksional sematamata.
7
William Liddle, 1988. “Politics and Culture in Indonesia”. Center for Political Studies for Social Research” The University of Michigan.
8
Lihat Michael Dove, “Representasi Orang yang Berbudaya Lain” oleh ”Orang-Orang Lain”: Tantangan Etnografis tentang Pandangan Pengusaha Perkebunan terhadap Petani Kecil di Indonesia” dalam Tania Murray (peny.), 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
9
“Murray Li, “Keterpinggiran, Kekuasaan dan Produksi: Analisis Terhadap Transformasi Daerah Pedalaman”, dalam Tania Murray (peny.), 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
4
Kondisi ini menimbulkan kegundahan masyarakat dan mendorong tampilnya komunitas terbayang,10 karena menyaksikan ketidak hadiran negara dan kegagalan kelembagaan negara.11 Indikasinya ditunjukkan oleh pembiaran masyarakat menyelesaikan masalahnya sendiri atau main hakim sendiri, meluasnya korupsi dan konflik sosial dan meningkatnya deforestasi dan degradasi hutan yang menimbulkan bencana alam di berbagai wilayah di Indonesia. Kegagalan kelembagaan negara juga ditunjukkkan dari ketidakmampuan penyelenggara negara membangun kelembagaan tata kelola sumberdaya agraria yang adil dan memungkinkan para pihak mendapatkan perlakuan yang setara dan demokratis, serta akses informasi yang akurat dan transfran. Jika dikaitkan dengan tujuan politik agraria yang diamanatkan konstitusi untuk mewujudkan sebesarbesarnya
kemakmuran
rakyat,
ketidakmampuan
penyelenggara
negara
mewujudkannya dapat dipandang sebagai “kegagalan kelembagaan negara”12 Secara sosio-historis kegagalan kelembagaan negara mewujudkan sebesarbesarnya kemakmuran rakyat, merupakan implikasi dari pengarus-utamaan politik agraria kapitalis yang berurat akar dalam sejarah politik Kolonial Belanda. Kondisi ini diperteguh dengan mistifikasi pembangunan dan menguatnya kontestasi sektoral dalam pembangunan ekonomi dan sumberdaya. Pelestarian politik agraria kapitalis kolonial Belanda, ditunjukkan dengan “pemberlakukan domain verklaring” dan pemberian hak konsesi penguasaan sumberdaya hutan dan tambang kepada pemilik modal, tetapi mengabaikan Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 yang bersifat populis. Ciri penting dari politik agraria kapitalis adalah akumulasi modal lebih diutamakan dan menempatkan
10
Istilah “komunitas terbayang” dikemukakan Benecdict Anderson,” merujuk pada kondisi kehidupan masyarakat Indonesia pada masa pergerakkan yang memiliki kesamaan cita-cita sebagai bangsa, meskipun di antara mereka tidak pernah bertatap muka dan saling mengenal. Lihat Benecdict Anderson, 2001. Imagined Communities. Yogyakarta, INSIST. Dewasa ini komunitas terbayang muncul dalam jejaring sosial dunia maya sebagai kekuatan alternatif dan penekan, karena rendahnya political will dan ketidak hadiran negara terhadap persoalan masyarakat dan lingkungan. 11
Dalam analisis North kegagalan kelembagaan dicirikan berbiaya trasaksi tinggi, salah urus dan kelembagaan yang tidak tepat. Lihat North, D.C. (1990). Institutions, Institutional Change and Economic Performance. Cambridge University Press, USA. 12
Swedberg menyebut institutional failure sebagai keterbelakangan kelembagaan (the biggest laggard), kebijakan yang tidak tepat, informasi asimetris dan perilaku cheating dan oportunis. Swedberg, 1994. Markets as Social Structures. Princeton University Press, New Jersey, USA.
5
sumberdaya agraria dan sumberdaya manusia menjadi komoditas semata-mata,13 sementara upaya mencerdaskan bangsa dan mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat diabaikan. 14 Dalam penegelolaan sumberdaya kehutanan, politik agraria kapitalis ditandai mistifikasi produksi, pertumbuhan ekonomi dan menguatnya kontestasi sektoral dalam upaya mendapatkan rente ekonomi. Sehingga proses pembangunan kehutanan bukan hanya tidak sinegis tetapi juga tidak meningkatkan perbaikan kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Sebaliknya pembangunan kehutanan mengakibatkan alienasi dan mendorong masyarakat sekitar hutan menjadi buruh upahan15 dan tenaga kuli.16 Hal ini terjadi karena pembangunan kehutanan yang berorientasi kapitalis tidak ramah terhadap ”wong cilik”. Kondisi ini diperkuat dengan pendekatan pembangunan yang bersifat teknokratis yang kurang menghargai peran dan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan. Dampak lebih lanjut dari politik agraria kapitalis adalah kontestasi sektoral yang tidak sehat, tergerusnya kelangsungan berbagai entitas sosial budaya dan terancamnya keragaman hayati bumi Indonesia. Sementara itu tolak ukur pembangunan yang menguatamakan keberhasilan pembangunan fisik material dan indikator
kuantitatif,
dipertimbangkan.
berakibat
aspek
sosial
dan
kemanusiaan
kurang
Sehingga dibalik pencapaian pembangunan ekonomi
sumberdaya yang gemilang secara fisik dan kuantitatif,
berlangsung proses
dekonstruksi dan delegitimasi kelembagaan komunitas. Pada komunitas sekitar hutan di luar Pulau Jawa, gambaran dekonstruksi dan delegitimasi tersebut dapat disimak antara lain dari kajian yang dilakukan
13
Lihat Roy Ellen, 2002. “Pengetahuan tentang Hutan, Transformasi Hutan: Ketidakpastian Politik, Sejarah Ekologi dan Renegosiasi Terhadap Alam di Seram Tengah,” dalam Murray Li, 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 14 Nancy Lee Peluso, 2006. Hutan Kaya, Rakyat Melarat: Penguasaan Sumber Daya dan Perlawanan Rakyat. Yogyakarta: Insist Press. 15 Ben White, 2002. “Inti dan Plasma: Pertanian Kontrak dan Pelaksanaan Kekuasaan di Dataran Tinggi Jawa Barat” dalam Tania Murray (peny.), 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 16 Dampak beroperasinya produksi kapitalis pada masa Kolonial Belanda lihat, Jan Bremen, 1997. Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial, Tuan Kebun dan Kuli di Sumatera Timur Pada Awal Abad ke 20. Jakaarta: Pustaka Utama Grafiti.
6
oleh Djuweng dan Dove pada komunitas Dayak, Zakaria di Mentawai,
19
17
Awang di Lampung,18
dan Tania di Sulawesi20. Sedangkan kajian terhadap
komunitas sekitar hutan di Jawa, antara lain dilakukan oleh Santoso dan Peluso,21 White dan Marzali di Jawa Barat.
22
Dari kajian tersebut diketahui bahwa
berbagai entitas yang sebelumnya memiliki tradisi dan kearifan lokal yang berkontribusi terhadap kelestarian hutan, seperti sebagai “pelestari plasma nutfah”,23 menjadi tidak berdaya menghadapi proses penetrasi kekuatan supra lokal (nasional dan global). Dalam
konteks
pembangunan
kehutanan
berkelanjutan,
program
perhutanan sosial dan pengembangan masyarakat, ketidakberdayaan komunitas sekitar hutan merupakan masalah serius yang layak dicermati. Berpangkal dari pemikiran tersebut, penulis tertantang untuk mengkaji dinamika kelembagaan komunitas di hulu DAS Cidanau dalam proses interaksi dan adaptasinya dengan kekuatan supra lokal (negara dan pasar). Ketertarikan penulis mengkaji masalah ini terdorong oleh keprihatinan, di mana proses pembangunan kehutanan yang memistifikasi pertumbuhan ekonomi dan produksi, yang berlangsung di kawasan 17
Djuweng, “Orang Dayak, Pembangunan dan Agama Resmi” dalam Stepanus Djuweng, Yando Zakaria dkk, 1996. Kisah Dari Kampung Halaman: Masyarakat Suku, Agama Resmi dan Pembangunan”. Yogyakarta: Interfidei. Michael Dove, “Representasi “Orang yang Berbudaya Lain” oleh Orang-orang Lain”: Tantangan Etnografis tentang Pandangan Pengusaha Perkebunan terhadap Petani kecil di Indonesia” dalam Tania Murray (peny.), 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
18
San Afri Awang, 2006. Sosiologi Pengetahuan Deforestasi: Konstruksi Sosial dan Perlawanan. Jogyakarta: Debut Press.
19
Lihat Zakaria, “Pembangunan Yang Melumpuhkan: Pelajaran dari Kepulauan Mentawai” dalam Stepanus Djuweng, Yando Zakaria dkk, 1996. Kisah Dari Kampung Halaman: Masyarakat Suku, Agama Resmi dan Pembangunan”. Yogyakarta: Interfidei.
20
Lihat Murray Li, “Keterpinggiran, Kekuasaan dan Produksi: Analisis Terhadap Tranformasi Daerah Pedalaman” dalam Tania Murray Li (peny.), 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
21
Hery Santoso, 2006. Perlawanan Di Simpang Jalan: Konteks Harian di Desa-Desa Sekitar Hutan” Yogyakarta: Penerbit Damar; Nancy Lee Peluso, 2006. Hutan Kaya, Rakyat Melarat: Penguasaan Sumber Daya dan Perlawanan Rakyat. Yogyakarta: Insist Press. 22
Ben White, 2002. “Inti dan Plasma: Pertanian Kontrak dan Pelaksanaan Kekuasaan di Dataran Tinggi Jawa Barat” dalam Tania Murray Li (peny.), 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Amri Marzali, 1992. The Urang Sisi of West Java: A Study of Peasants: Responses to Population Pressure”. Boston University. 23 Herwasono Soedjoto, “Masyarakat Dayak: Peladang Berpindah dan Pelestari Plasma Nutfah” dan Sulaeman Mamar, “Sistem Pengetahuan dan Teknologi Suku Wana di Sulawesi Tengah” dalam Kusnaka Adimihardja (ed.), 1999. Petani Merajut Tradisi Era Globalisasi. Bandung: Humaniora Utama Press.
7
tersebut terindikasi kuat mengakibatkan proses delegitimasi kelembagaan komunitas. Delegitimasi kelembagaan komunitas sekitar hutan, bukan hanya menjadi ancaman serius terhadap pembangunan hutan berkelanjutan, tetapi juga menyangkut kelanjutan kehidupan sosial budaya dan ekonomi jutaan penduduk yang berada di sekitar hutan. Proses delegitimasi kelembagaan komunitas sekitar hutan juga berdampak pada pemberdayaan masyarakat, ketahanan budaya serta pembangunan karakter bangsa Indonesia. Dalam era globalisasi dewasa ini, bangsa Indonesia bukan hanya membutuhkan modal ekonomi yang kuat dan ketangguhan teknologi, tetapi juga ketahanan sosial budaya dan keberlanjutan sumberdaya hutan. Sejauh jangkauan penulis, kajian pemerhati dan rimbawan lebih tercurah pada keberlanjutan sumberdaya hutan dalam rangka moratium kehutanan. Sementara keunikan sosial budaya dan kelembagaan komunitas sekitar hutan kurang dipertimbangkan, padahal mereka merupakan bagian terdepan yang akan menerima dampak negatif dari moratorium kehutanan. Hasrat penulis mengkaji komunitas petani di hulu DAS Cidanau, terdorong adanya kemitraan hulu dan hilir dalam bentuk mekanisme pembayaran jasa lingkungan. Dari sekitar 450 DAS di Indonesia, pembayaran jasa lingkungan oleh pemakai jasa di hilir kepada petani (penghasil jasa lingkungan) di hulu, baru diterapkan di DAS Cidanau. Pemakai jasa lingkungan di hilir yakni PT Krakatau Tirta Industri (KTI), bersedia membayar jasa lingkungan (willingness to pay) dan komunitas petani hutan di hulu DAS, bersedia memelihara area kebunnya secara konservasi untuk menghasilkan jasa lingkungan. Kemitraan hulu dan hilir merupakan fondasi untuk terbangunnya kelembagaan tata kelola DAS terpadu dan berkelanjutan atas prinsip one river, one plan and one management. Pertimbangan lain yang mendorong penulis mengkaji kelembagaan DAS Cidanau adalah karena sebagian kajian tentang DAS Cidanau tercurah pada aspek ekologi fisik24, sedangkan dimensi sosiologi, ekologi budaya dan kelembagaannya
24
Kajian ini dilakukan tim peneliti Indonesia Jepang yang tergabung dalam Research Unit For Biological Resources Development-Core University Programmes. Goto AK Yoshoda, T Shimizu, Y Purwanto, 2001. Investigation on Hydraulic Water Balance for Integrated Watershed Management Planning in Cidanau River Basin, West Java. Proceeding of the 1st Seminar Toward
8
termasuk kemitraan hulu hilir belum mendapat perhatian yang memadai. Padahal keberlanjutan tata kelola DAS, tidak hanya ditentukan secara teknik dan ekonomi, melainkan terkait dengan dimensi sosial dan kelembagaannya. Dari segi ini kemitraan hulu hilir berbentuk mekanisme pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau menarik untuk di kaji. Bahkan kemitraan hulu hilir berbentuk mekanisme pembayaran jasa di DAS Cidanau telah menjadi sumber inspirasi pengelolaan DAS di Nusa Tenggara Timur, Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Pilihan terhadap kelembagaan komunitas petani di hulu DAS Cidanau diperkuat dengan hasil pengamatan lapangan, bahwa pengarus-utamaan politik agraria kapitalis dan kontestasi sektoral di kawasan tersebut, berujung pada pengabaian “negara” terhadap komunitas lokal sampai pada kondisi menciptakan keresahan sosial, maraknya demonstrasi petani (ke DPRD), meluasnya konflik agraria dan mengarah pada kebangkrutan sosial.25 Merujuk pada pendapat Beck, kondisi ini berpotensi dan dapat mengarah pada risk society.26 Dalam konteks wilayah Kabupaten Serang, mencuatnya keresahan sosial, mengingatkan penulis pada keresahan petani di wilayah ini pada penghujung abad ke sembilan belas yang berujung dengan pemberontakan petani.27 Bila tidak ada langkah strategis dan “political action”, kekhawatiran “sejarah berulang” dapat menjadi kenyataan. Dari segi ini, kajian terhadap politik agraria kapitalis terkandung maksud dan upaya agar “sejarah tidak berulang”. Sebab bila sejarah berulang, keresahan sosial meluas dan pembrontakan petani meletus, ongkos sosial ekonomi dan politiknya terlalu mahal. Atas dasar itu dan terinspirasi oleh pemikiran Sobhan
Harmonization Between Development and Environmental Conservation in Biological Production. The University of Tokyo; Feb 21-23 2001. Goto A Kato, 2003. Studies on Environment Changes and Sustainable Development. Water Quality Model of Cidanau Watershed, Indonesia, for Watershed Management Planning. Proceeding of the 2nd Seminar on Toward Harmonization Between Development and Environmental Conservation in Biological Production. The University of Tokyo; Feb. 15-16 2003. 25
Indikasinya: tingginya kemiskinan dan pengangguran, pembiaran rakyat dibelit masalah, perilaku koruptif dan tereduksinya keluhuran politik menjadi sekadar politik praktis yang kerdil, sempit dan berdurasi pendek. Lihat “Kesalehan Sosial Bangkrut” Harian Kompas, 10 Agustus 2010.
26
Beck, Ulrich, 2000. “Risk Society Revisited: Theory, Politics and Research Programmes” in J. Van Loon (ed). The Risk Society and Beyond Critical Issues for Social Theory. London: Sage.
27
Pembrontakan petani di Banten dipicu oleh tindakan kesewenang-wenangan penguasa yang menimbulkan keresahan sosial. Lihat Kartodirdjo, 1984. Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta: Pustaka Jaya.
9
(1993), maka politik agraria transformatif relavan diangkat dan menjadi salah tema tulisan ini. Sejalan dengan pentingnya politik agraria transformatif dan penguatan kelembagaan komunitas, perspektif dan posisi tulisan ini lebih dekat dengan perspektif populis28 dan rasionalitas ekologi utility maximising manner dari (Gorz, 1996).29 Perspektif tersebut menjadi ciri dan pembeda dari kajian sebelumnya. Karena itu pemanfaatan sumber dan tulisan yang beraroma (modernis dan developmentalis) dan kurang sejalan dengan jiwa/perspektif utama, menunjukkan sebuah perspektif mengandung kelemahan dan kelebihan dalam menganalisis suatu gejala sosiologis dan realitas sosial. Dalam tulisan ini perspektif populis, rasionalitas ekologis dan utility maximising manner dijadikan landasan pemikiran perlunya politik agraria transformatif, tata kelola DAS partisipatif dan penguatan kelembagaan komunitas petani di kawasan DAS Cidanau. 1.2. Pertanyaan Penelitian 1. Mengapa unsur-unsur kelembagaan lokal di kawasan hulu DAS Cidanau rentan dalam adaptasi dan interaksinya dengan kekuatan supralokal ? 2. Mengapa program pembangunan sektoral yang berlangsung di kawasan DAS Cidanau menimbulkan konflik agraria dan kapitalisasi sumberdaya pedesaan ? 3. Mengapa pelaksanaan politik agraria bidang kehutanan mengakibatkan peluruhan kelembagaan lokal dan gagal mewujudkan politik tata kelola agraria berkeadilan dan berkelanjutan?
28
Jones (1999) mengidentifikasi lima perspektif tentang keberlanjutan dan degradasi sumberdaya: Neo-Malthusian, Technocratik, Neo Marxist/Dependensi, Neo Liberal dan Populis. Perspektif populis memandang degradasi sumberdaya disebabkan tidak sempurna dan kurangnya penghargaan atas lembaga dan kearifan lokal. Pengelolaan sumberdaya agraria yang adaptif, berbasis komunitas dan kearifan lokal dipandang sebagai salah satu alternatif untuk mengurangi degradasi lingkungan. Lihat Roe, E. 1991. Development Naratives or Making the Best of Blueprint Development. World Development 19 (4: 287-300; Biot, Y, Blaike, M., and Palmer-Jones, 19995. Rethinking Research on Land Degradation in Developing Countries. World Bank Discussion Paper No. 289. World Bank: Washington; Jones, S. 1999. From Meta Naratives to Flexible Framework: An Actor Analysis of Land Degradation Highland Tanzania. PP 211-219. Global Environmental Vol. 9. 29
Rasionalitas ekologis yang ditawarkan Gorz adalah perlunya pembatasan pengaruh rasionalitas ekonomi melalui rasionalitas lingkungan, demokrasi dan pendekatan politik dalam menganalisis hubungan antara rasionalitas lingkungan dan sosial sebagai titik tolak memandang rasionalitas ekonomi. Lihat Andrian Little, 2000. New Political Economy. Vol.5/1. p 121-133.
10
1.3. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui unsur-unsur kelembagaan lokal di kawasan hulu DAS Cidanau yang rentan dalam adaptasi dan interaksinya dengan kekuatan supralokal. 2. Menjelaskan program pembangunan sektoral yang berlangsung di kawasan DAS Cidanau yang menimbulkan konflik agraria dan kapitalisasi sumberdaya pedesaan. 3. Menganalisis
pelaksanaan
politik
agraria
bidang
kehutanan
yang
mengakibatkan peluruhan kelembgaan lokal dan gagal mewujudkan politik tata kelola agraria berkeadilan dan berkelanjutan. 1.4. Kegunaan Penelitian Penelitian ini memiliki kontribusi teoritis dan impliksi kebijakan sebagai berikut: 1. Pada tataran teoritis, penelitian ini memberikan penjelasan terhadap persoalan kelembagaan lokal, kontestasi sektoral, proses peluruhan kelembagaan komunitas dan kegagalan politik tata kelola agraria bidang kehutanan dan kerangka politik agraria transformatif. Dari penelitian ini ditemukan (1) kelembagaan tata kelola sumberdaya agraria komunitas petani yang memadukan aspek ekonomi dan konservasi, (2) kerangka analisis kontestasi sektoral yang menimbulkan konflik agraria dan kapitalisasi sumberdaya pedesaan, (3) kerangka analisis proses peluruhan kelembagaan komunitas dan kegagalan mewujudkan tata kelola DAS partisipatif dan (4) kerangka analisis politik agraria transformatif. 2. Pada tataran kebijakan, temuan penelitian ini dapat menjadi bahan masukan, informasi dan refleksi untuk perumusan kebijakan instansi Pemerintah Daerah Kabupaten Serang dan pihak terkait yang bertugas dan berempati terhadap pembangunan kehutanan berkelanjutan, pengembangan kapasitas kelembagaan dan pemberdayaan komunitas sekitar hutan, kemitraan hulu hilir DAS Cidanau dan terpeliharanya kawasan konservasi Rawa Danau. 1.5. Novelti Penelitian Gambaran tentang pertanian di Jawa biasanya identik dengan hamparan sawah dan berpematang. Gambaran demikian tidak keliru, karena ditemukan di
11
berbagai wilayah kabupaten di P. Jawa. Implikasinya kajian tentang kelembagaan komunitas petani, cenderung didominasi dan berlatar belakang komunitas petani sawah30. Kondisi ini menimbulkan bias kebijakan pembangunan pertanian dan swa sembada pangan kepada padi/beras atau lahan sawah. Sementara wilayah Jawa berupa lahan kering yang cukup luas, lebih bervariasi dan memiliki potensi sosial ekonomi yang tidak kalah penting dari sawah diabaikan. Hal ini tercermin dari cara Biro Pusat Statistik menyederhanakan semua kawasan lahan kering dalam rubrik “tegalan”. Padahal aktivitas pertanian lahan kering di P. Jawa terbentang antara lain di Jawa Barat bagian Selatan dan Banten, selain tegalan terdapat pekarangan, kebun, talun, kebun campuran, plantasi kecil dan agroforestry. Sejauh jangkauan penulis kajian dari perspektif sosiologi terhadap aktivitas pertanian lahan kering dan kelembagaannya relatif terbatas.31 Kajian terhadap komunitas lahan kering di wilayah Jawa Barat antara lain dilakukan oleh Ben White di Sukabumi dan Marzali di Cianjur. Keduanya mengkaji dari perspektif sosiologi ekonomi dan antropologi. Kajian serupa di lakukan oleh Hefner pada suku Tengger di kaki Gunung Bromo Jawa Timur. Komunitas lahan kering juga menarik perhatian peneliti Balibang Kehutanan. Sebagian besar kajian yang dilakukan oleh peneliti Balibang Kehutanan menggunakan teori positivisme, pendekatan teknis, metodologi statistik kuantitatif dan metode survey.32 Hasil kajiannya cenderung membenarkan kebijakan, keangkuhan agensi dan menempatkan masyarakat lokal sebagai "sumber gangguan" dari pada kunci keberhasilan konservasi dan pertanian
30
Misalnya Herman Suwardi di Cianjur berjudul “Respon Masyarakat Desa Terhadap Modernitas di Bidang Produksi Pertnian di Jawa Barat”.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
31
Kajian terhadap sistem pertanian dan kelembagaan komunitas lahan kering di Jawa dilakukan oleh White dan Hefner serta muridnya Marzali. Lihat Ben White, “Inti dan Plasma: Pertanian Kontrak dan Pelaksanaan Kekuasaan di Dataran Tinggi Jawa Barat” dalam Tania Murray Li (peny.), 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hefner 1990. The Political Economy of Mountain Java: An Interpretative History. University of California Press. Amri Marzali, 1992. The Urang Sisi of West Java: A Study of Peasants: Responses to Population Pressure”. Boston University. 32
Lihat: (1) Ogi Setiawan dan Ryke Nandini, “Kuantifikasi Jasa Hutan Lindung Sebagai Pengatur Tata Air di Daerah Aliran Sungai (DAS) Palu dalam Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. III No.3 Tahun 2006, p.309-326.
12
berkelanjutan.33 Kelembagaan dan komunitas sekitar hutan dan hulu DAS sebagai “tertuduh”, objek eksploitasi, tanpa ada pembelaan dan kajian kritis. Berbeda dengan kajian di atas, paradigma, pendekatan dan metodologi dalam studi ini mengunakan paradigma kritis. Pilihan paradigma ini didasarkan pemikiran, bahwa pandangan yang menempatkan komunitas sekitar hutan sebagai “perambah hutan” dan "sumber gangguan" bersifat tendensius, tidak proporsional dan penilainnya dari perspektif “Orang-orang Berbudaya Lain” terhadap “Orangorang Lain”. Boleh dikatakan keberadaan komunitas sekitar hutan menjadi penyebab tunggal terancamnya kelestarian sumberdaya hutan. Sementara pemilik modal yang mengeksploitasi sumberdaya hutan secara masif, jarang diungkap dan disebut sebagai perusak dan perambah hutan,
karena aktivitas mereka
berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Senyatanya penyebab dan sumber gangguan terhadap kelestarian sumberdaya hutan
dan kawasan hulu DAS bervariasi. Penyebab kerusakan
sumberdaya hutan dan kritisnya kawasan hulu DAS, tidak tunggal; bisa bersumber dari kebijakan yang tidak tepat dan ”permainan” kelompok kepentingan di aras supralokal yang melibatkan komunitas lokal. Pelaksanaan politik agraria transaksional dan kontestasi sektoral merupakan penyebab struktural kerusakan sumberdaya hutan dan kritisnya kawasan DAS di Indonesia berlangsung masif. Berangkat dari pemikiran tersebut, maka upaya pembangunan kehutanan berkelanjutan, tata kelola DAS terpadu dan pemberdayaan komunitas sekitar hutan,
tidaklah memadai dengan pendekatan politik tata kelola agraria
konvensional. Karena pendekatan politik tata kelola agraria konvensional gagal mewujudkan politik agraria yang diamanatkan konstitusi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kegagalan tersebut disebabkan menempatkan sumberdaya agraria dan sumberdaya manusia sebagai komoditas dan objek semata-mata.
33
Lihat: (1) Christian Wulandari, “Tingkatan Penerimaan Sosial Masyarakat Sekitar Hutan Dalam Mengadopsi Agroforestry di Lahan Pekarangan” dalam Jurnal Hutan Rakyat Vol. VII No.1 Tahun 2005, p. 17-27; (2) Heriyanto dan Garsetiasih, “Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Oleh Masyarakat Lokal di Taman Nasional Meru Betiri Jawa Timur, Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. III No.3 Tahun 2006, p.297-306; (3) Triyono Puspitojati, Preferensi Pemangku Kepentingan Dalam Pengelolaan Hutan Produksi: Studi Kasus Pengolahan Hutan Produksi di KPH Bogor”, Sekolah Pascasarjana, IPB, 2008.
13
Kegagalan politik tata kelola agraria konvensional menjadi landasan perlunya politik agraria transformatif dalam pembangunan kehutanan dan pemberdayaan komunitas di sekitar hutan. Pemikiran politik agraria tranformatif dimaksudkan untuk meminimalkan kontestasi sektoral, penguasaan sumberdaya agraria terdistribusi lebih adil, terjaganya sumberdaya hutan dan modal sosial bangsa Indonesia dalam menghadapi persaingan ekonomi dan perubahan iklim global.
14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
2.1. Kelembagaan Lokal Kelembagaan yang hidup dalam masyarakat bersifat dinamis dan kompleks, jenis dan ragamnya berkembang sesuai dengan dinamika kehidupan masyarakat.34 Interaksi desa dengan supra desa yang intensif mengakibatkan kelembagaan yang hidup dalam masyarakat pedesaan tidak hanya berasal dari dalam dan tumbuh dalam komunitas atau desa, tetapi juga berasal dari supra desa. Hal ini menunjukkan kelembagaan yang terdapat dalam wilayah pedesaan atau entitas bersifat dinamis dan kompleks. Dinamika dan kompleksitas kelembagaan dalam masyarakat dapat disimak dari analisis yang dikemukakan oleh Tjondronegoro (1984). Menurutnya kelembagaan masyarakat berkembang secara kontinum, dari lembaga menjadi organisasi.35 Meskipun antara lembaga atau institusi sulit dipisahkan dan memiliki persamaan, tetapi antara keduanya terdapat perbedaan ciri-cirinya. Menurut Tjondronegoro, lembaga memiliki ciri: berorientasi pada kebutuhan, peranan yang dimainkan, upacara, pengawasan sosial, pengakuan karena membudaya, terlibatnya pendukung, tradisi turun-temurun, empiris, berpegang pada norma, prioritas usia dan gengsi dan sifat memenuhi kebutuhan tertentu. Sedangkan organisasi memiliki karakteristik: berorientasi pada tujuan, tugas yang dilaksanakan, prosedur, pengawasan peraturan, pengakuan karena didirikan resmi, kebiasaan karena rutin, digagas dan diwujudkan, kesetiaan dan ikatan pada tujuan, prioritas pada keterampilan dan kemampuan dan alat mencapai tujuan tertentu. Kompleksitas kelembagaan dalam masyarakat juga dapat dilihat dari jangkauan dan cakupannya. Dimensi kelembagaan seperti ini dikemukakan oleh
34
Koentjaraningrat mengidentifikasi kelembagaan menurut fungsinya meliputi kelembagaan: (1) kekerabatan/domestik, (2) ekonomi (mata pencaharian, produksi, menimbun dan distribusi kekayaan), (3) pendidikan, (4) ilmiah, (5) politik (mengatur kehidupan kelompok besar atau kehidupan negara), (5) keagamaan (untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhan), (6) estetika dan rekreasi (untuk menyatakan rasa keindahan dan rekreasi) dan (7) somatik (jasmaniah manusia). Lihat Koentjaraningrat, 1986. Pengantar Antropologi. Jakarta, Aksara Baru.
35
Sediono M.P Tjondronegoro, “Gejala Organisasi dan Pembangunan Berencana Dalam Masyarakat Pedesaan di Jawa.” Dalam Koentjaraningrat (penyunting), 1984. Masalah-Masalah Pembangunan Bunga Rampai Antropologi Terapan. Jakarta LP3ES, p.220.
15
dikemukakan oleh Uphoff (1986). Ia mengidentifiksi kelembagaan secara hirakis dan vertikal: kelembagaan mikro, meso dan kelembagaan makro. Kelembagaan mikro atau kelembagaan lokal, adalah kelembagaan yang hidup dinamis dalam komunitas/masyarakat, baik publik, partisipatori maupun swasta. Dalam analisis Uphoff, kelembagaan lokal jangkauannya mencakup administrasi pemerintahan terkecil, seperti desa.36 Pada kelembagaan lokal yang bersifat publik, jangkauannya mencakup administrasi dan pemerintahan lokal dengan perangkat birokrasi yang terdapat di dalamnya. Pada kelembagaan lokal bersifat partisipatori, meliputi lembaga-lembaga yang tumbuh dalam masyarakat yang dibangun secara sukarela dan swadaya. Menurut Uphoff, kelembagaan lokal dapat berupa kelembagaan bisnis yang terdapat dalam suatu wilayah seperti kelembagaan pertanian, perdagangan, kerajinan, industri dan kelembgaan bisnis lainnya yang berorientasi profit. Kelembagaan lokal baik partisipatori, publik maupun bisnis, dinamika dan kompleksitasnya dipengaruhi oleh kemampuan dan fungsinya dalam pemenuhan kebutuhan sosial dan ekonomi komunitas. Sepanjang kelembagaan lokal tersebut memiliki kapasitas dan adaptabilitas untuk memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi komunitas, eksistensinya akan terjaga dan terpelihara dengan baik. Tetapi bila kapasitas dan adaptabilitas melemah dan disfungsional, kelembagaan lokal tersebut hanya akan menjadi artefak sejarah. Salah salah kelembagaan lokal yang bersifat parsipatori dan persisten dalam kehidupan komunitas pedesaan adalah kelembagaan tata kelola sumberdaya agraria. Kelembagaan jenis ini ditemukan pada berbagai komunitas dan entitas di Indonesia. Merujuk pada Schmidt, (1987)37, persistensi kelembagaan parsipatori ini disebabkan memiliki yurisdiksi, representasi dan mengatur hak kepemilikan
36
Lihat Uphoff, Norman, 1986. Local Institutional Development: An Analytical Sourcebook With Cases. Conecticut, Kumarian Press. p.130
37
Yurisdiksi merujuk pada adanya batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu kelembagaan, mengatur siapa dan apa saja yang boleh dilakukan oleh anggota dalam suatu komunitas. Hak kepemilikan merupakan bagian integral dari kelembagaan, bentuknya dapat berupa hukum formal atau yang diatur dalam tradisi atau adat kebiasaan dalam suatu masyarakat. Aturan representasi mengatur siapa yang berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya terhadap performa akan ditentukan oleh kaidah representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Partisipasi warga ditentukan oleh hasil kesepakatan karena partisipasi sering berimplikasi pengorbanan atau adanya
16
sumberdaya. Perangkat aturannya mengatur hak, kewajiban dan tanggung jawab bagi anggotanya dan menyediakan jaminan sosial, kepercayaan dan perlindungan ekonomi (aturan main dan ”kepastian” tentang siapa memperoleh apa dan berapa banyak). Kelembagaan jenis ini secara sosiologis berpotensi menurunkan derajat ketidakpastian dalam kehidupan masyarakat. Dalam analisis Berkes (1989)38 hal ini disebabkan pada kelembagaan kategori ini bersifat praktis, menghargai kolektivitas dan resiprositas sesuai ruang spasial dan kulturalnya. Kelembagaan lokal ketegori ini
tercakup dalam kelembagaan buyut, pipeling dan liliuran
sebelum meluasnya kapitalisasi sumberdaya pada komunitas petani di hulu DAS Cidanau. Dalam perspektif sosiologi, kelembagaan yang hidup dalam suatu komunitas dapat dianalisis dalam dua perspektif. Perspektif pertama kelembagaan sebagai nilai, norma, aturan perilaku dan aturan main, dan perspektif kedua kelembagaan sebagai institusi/organisasi atau struktur.
Pandangan yang
menempatkan kelembagaan sebagai nilai, norma, aturan perilaku dan aturan main terangkum dalam fakta sosial yang dikemukakan oleh Emile Durkheim39 atau tindakan subjektif penuh arti (verstehen) yang dikemukakan oleh Max Weber.40 Kelembagaan sebagai nilai, norma, aturan perilaku dan aturan main, menurut Giddens (Scot, 2008) memberikan kedamaian bagi kehidupan sosial dan dukungan pada sistem sosial.41 Dalam analisis Scott (1989) keberadaan
ongkos yang dikeluarkan. Lihat Schmidt, A. 1987. Property, Power, and an Inquiry Into Law and Economic. New York Praeger. 38
Fikret Berkes, C. Folke and J. Colding, eds, 1998. Linking Social and Ecological Systems: Management Practices and Social Mechanisms for Building Resilience. Cambridge: Cambridge University Press.
39
Durkheim membedakan fakta sosial atas material (dapat disimak, ditangkap dan diobservasi) dan non material (fenomena inter subjektif dari kesadaran manusia). Fakta sosial material dan non material bersifat nyata dan eksternal. Fakta sosial antara lain kesadaran, sistem sosial, kesatuan masyarakat, nilai, keluarga, dan perusahaan dan pemerintahan. Emile, Durkheim, 1964. The Rule of Sociological Method. New York: The Free Press.
40
Inti pemikiran Weber adalah tindakan sosial penuh arti, hanya individu yang riil secara objektif yang berarti, masyarakat hanyalah satu nama menunjuk pada sekumpulan individu. Menurut Weber tindakan sosial adalah tindakan individu sepanjang tindakannya mempunyai arti subjektif bagi dirinya dan diarahkan pada orang lain dan untuk memahaminya perlu empati dan pemahaman (verstehen). Lihat Max Weber, 1964. The Theory of Social and Economic Organization. New York: The Free Press.p.88
41
Lihat Richard, W. Scot, 2008, Institutions and Organizations, Idea and Interest. Los Angeles: Sage Publications. p.48-587.
17
kelembagaan komunitas di pedesaan pra kapitalis berfungsi sebagai “asuransi terselubung” dan “energi sosial” dalam mengatasi masalah-masalah kehidupan. Sehingga ketika kedua fungsi itu memudar akibat penetrasi kekuatan ekonomi kapitalis menimbulkan ketegangan sosial dan pemberontakan di pedesaan.42 Kelembagaan sebagai institusi/organisasi telah mendapat perhatian dari Durkheim dan Weber. Analis Durkheim tentang organisasi dijelaskan dalam pembagian kerja, solidaritas organis dan solidaritas mekanis.43 Analisis Weber tentang organisasi diuraikan dalam birokrasi modern berciri otoritas legal/rasional, regulatif, memiliki struktur formal dan aturan main yang diatur secara legal. 44 Peran kelembagaan lokal baik sebagai nilai, norma, aturan perilaku dan aturan main atau sebagai institusi, eksistensinya dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman dan budaya komunitas, fungsionalitas dan intensitas interaksinya dengan supralokal. Kelembagaan komunitas kehadirannya didorong oleh adanya kebutuhan bersama dari anggota untuk menciptakan ketertiban, keamanan dan keberlanjutan sumberdaya ataupun kesejahteraan. Dalam hal ini kelembagaan lokal merupakan upaya pemenuhan kebutuhan bersama yang dilembagakan. Karena keberadaannya didasarkan pada kebutuhan bersama, maka kelembagaan komunitas muncul dan tenggelam seiring dengan kebutuhan dan dinamika masyarakatnya.45 Kelembagaan komunitas akan tetap eksis jika dirasakan fungsional oleh masyarakatnya, dan akan ditinggalkan jika dirasakan sudah disfunction.46 Kelembagaan lokal yang hidup dalam komunitas dapat berupa kelembagaan tradisional/adat dan kelembagaan bukan tradisional. Kelembagaan 42
Scott, James, 1989. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta, LP3ES.
43
Lihat Emile, Durkheim,1967. The Division of Labor in Society. The Free Press, p.79,172. Lihat Max Weber, 1964. The Theory of Social and Economic Organization. New York: The Free Press Press, p,328,358. 44
45
Berkaitan dengan fungsi kelembagaan, Soekanto mengidentifikasinya atas empat hal, yaitu (1) memenuhi kebutuhan pokok manusia, (2) memberi pedoman pada anggota masyarakat bagaimana mereka bersikap dan bertingkah laku dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat, terutama yang menyangkut pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia, (3) menjaga keutuhan masyarakat, dan (4) memberi pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan kontrol sosial. Soerjono, Soekanto. 1990. Sosiologi, Suatu Pengantar. Jakarta, Rajawali.
46
Lihat Masyhuri Imron, Peran Pemerintah Dalam Pengembangan Kelembagaan Masyarakat Nelayan” Makalah disampaikan Dalam Seminar Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Masyarakat Nelayan”, Bappenas, 21 April 2009.
18
tradisional dibentuk dan dipraktikkan secara turun-temurun oleh masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan kelembagaan bukan tradisional bentuknya mungkin tradisional (belum memiliki struktur kepengurusan seperti kelembagaan modern), tetapi merupakan bentukan generasi baru (bukan turun-temurun) atau hasil bentukan (intervensi) dari luar komunitas, seperti KUB (Kelompok Usaha Bersama), Kelompok Tani Hutan, Lembaga Masyarakat Desa Hutan dan sejenisnya. Struktur kelembagaan lokal tidak selalu formal, tetapi nilai dan aturan mainnya tersosialisasikan secara melembaga, sehingga kelembagaan lokal terinternalisasikan secara terus-menerus. Internalisasi kelembagaan lokal dalam suatu komunitas berkaitan dengan pengetahuan/kearifan lokalnya. Kearifan lokal merupakan totalitas pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki komunitas dalam wilayah geografis tertentu yang memungkinkan mereka menjangkau dan menata lingkungan alamiahnya. Pengetahuan dan keterampilan komunitas bersumber dari pengalaman trial and error dan berasal dari proses adaptasi dan akomodasi terhadap keadaan dan lingkungan yang senantiasa berubah. Pengetahuan lokal yang hidup dalam suatu komunitas merupakan implikasi dari keterlibatannya dengan tradisi, praktik tata kelola sumberdaya dan lingkungan. Dalam istilah Geertz pengetahuan lokal berakar pada pengalaman dan ruang spasial.47 Meskipun demikian, pengetahuan lokal bukan merupakan suatu kategori pengetahuan yang bersifat distingtif dan terpisah, murni yang diwariskan, dipelajari dan dilestarikan secara apa adanya.48 Sebaliknya pengetahuan lokal dikonstruksi oleh para partisipan dan pelakunya melalui uji coba, praksis dan wacana secara terus menerus. Karena sifat dasar dari setiap bentuk pengetahuan manapun termasuk pengetahuan lokal selalu kontekstual dan menyerap unsur-
47
Kajian antropologis tentang proses pembentukan pengetahuan lokal diulas oleh Geertz. Lihat Clifford Geertz. 2003. Pengetahuan Lokal: Esai-Esai Lanjutan Antropologi Interpretatif. Yogyakarta: 253-267.
48
Pengetahuan lokal bersifat kategoris dan distingtif dikemukakan kaum positvis/modernis karena landasan metodologis/epistemologis pengetahuan lokal dan pengetahuan modern berlainan di dalam menangkap realitas. Pengetahuan sains bersifat terbuka, sistematis, objektif, analitis dan dikembangkan melalui capaian-capaian rigorus terdahulu, sedangkan indigenous knowledge dinilai tertutup, non-sistematis, holistis ketimbang analitis dan dikembangkan atas dasar pengalaman dan bukan berdasar logika deduktif. Lihat Agrawal, A. ‘Indigenous and Scientific Knowledge: Some Critical Comments”, Indigenous Knowledge and Development Monitor 3(3), 1995
19
unsur yang berlainan.49 Gambaran bahwa pengetahuan lokal bersifat orisinal dan statis merupakan konstruksi “the other”. Karakteristik dari pengetahuan lokal seperti ini ditemukan dan dialami oleh berbagai entitas. Dalam kajian Nygren terhadap komunitas lokal di Rio San Juan, salah satu “the other” yang menempatkan pengetahuan lokal bersifat distingtif adalah petugas/ agensi konservasi.50 Mereka memandang kelembagaan lokal sebagai “ignorant” dan kendala pembangunan, dipersepsi terbelakang dan terasing. Karena itu agensi konservasi berpendapat, negara dan agensi pembangunan berkewajiban untuk menolong dan membawanya menuju kebudayaan modern dan global. Prejudice tersebut menyebabkan benturan antara otoritas konservasi dengan komunitas lokal di kawasan penyangga hutan lindung. Para petugas konservasi memandang bahwa komunitas lokal hidup dalam suatu habitat tropis yang kaya, namun mereka tidak menyadari keanekaragaman hayatinya dan tidak tahu bagaimana cara memeliharanya. Agensi konservasi memandang dirinya sebagai aktor yang memiliki kapasitas untuk melakukan konservasi atas kekayaan ekologis hutan tropis. Perbedaan pengetahuan dan kelembagaan dalam merawat hutan tropis, selanjutnya dijadikan alasan untuk memperkuat hak-hak pemegang otoritas konservasi untuk mengontrol sumberdaya alam dan komunitas lokal. Mereka menganggap komunitas lokal memerlukan bimbingan dan pencerahan agar mencapai kesadaran lingkungan yang modern.51 Kalaupun terdapat penghargaan terhadap kelembagaan lokal terbatas pada upaya memperkaya diskursif bukan sebagai basis diskursif dan praksis tata kelola hutan tropis dan lingkungannya.52
49
Sillitoe, Paul, “The Development of Indigenous Knowledge: A New Applied Anthropology” Current Anthropology, Vol. 39, No. 2, 1998. 50 Nygren, 1999. “Indigenous Knowledge in Environment Development Discourse: From Dichotomies to Situated Knowledge” dalam Crtique of Antropology Vol. 19 No. 3 Th 1999 51
Pemahaman demikian dikemukakan oleh konservasionis. Sebaliknya eko-populis memandang masyarakat adat/lokal memiliki kemampuan untuk melakukan konservasi lebih baik dan pengawal kelestarian sumberdaya. Lihat Wittemer, Heidi dan Regina Bitmer, 2005. Between Conservationsm, Eco-Populisme and Developmentalism: Discurse in Biodiversity Policy in Thailand and Indonesia. CAPRI Working paper No. 37. Washington DC, International Food Policy Research Institute.
52
Eko populis memandang kelembagaan lokal sebagai gudang kesadaran refleksif, mitos- pada komunitas lokal sebagai sikap hormat terhadap alam (repect for nature), mengandung moral responsibility for nature, solidaritas kosmis, kasih sayang dan kepedulian terhadap alam, no harm,
20
Pandangan agensi kehutanan dan konservasi tentang kelembagaan lokal di Rio San Juan Brazil yang dikemukakan Nygren, ternyata terjadi dan dialami oleh komunitas sekitar hutan di Indonesia, seperti Komunitas Dayak Kanarakan di Kalimantan, komunitas Kulawi di Bolapapu, Sulawesi Tengah dan komunitas Naulu di Seram Tengah Maluku. Pandangan pemangku otoritas atau “the other” terhadap komunitas lokal yang cenderung bersifat
prejudice merupakan
”pembungkus” dalam proses ”teritorialisasi” karena sering berujung pada penguasaan sumberdaya dan peluruhan kelembagaan komunitas. Pada Komunitas Dayak Kanarakan di Kalimantan Tengah, penetrasi supra lokal melalui industrialisasi kehutanan menyebabkan anomali, degradasi
dan
bersitegangnya posisi asosiasi-asosiasi tradisional ke aras bawah komunitas, resiprositas dan kerjasama balas-membalas yang sebelumnya berskala luas bergeser ke dalam jaringan primordial.53 Pada komunitas Kulawi, penetrasi kelembagaan supra lokal telah menyebabkan terkooptasinya kelembagaan tradisional totua ngata dan mendorong terjadinya pertarungan antar kelompok sosial yakni Totua Ngata dengan Ngato Toro. 54 Pada komunitas Naulu di Seram Tengah,
kehadiran
perusahaan
kehutanan
yang
mengeksploitasi
hutan
menimbulkan kerusakan ekosistem hutan dan ketidakpastian kehidupan. Karena pengusahaan hutan yang dilakukan oleh pemilik modal di wilayah suku Naulu mengakibatkan kerusakan eksosistem hutan, hilangnya binatang buruan dan ikan di sungai, kesulitan suku Naulu mendapatkan makanan, deforestasi dan degradasi hutan.55 Kapitalisasi sumberdaya hutan yang berujung pada marginalisasi kelembagaan lokal bukan hanya terjadi pada komunitas Dayak Kanarakan, berkeadilan, demokrasi, dan integritas moral. Bryant, Raymond L., “Power, Knowlwdge and Political Ecology in the Third World: A Review,” Progress in Geography, 22 (1),p. 998. 53 Lihat Siregar, Budi Baik, 2004. “Modal Sosial Komunitas Perladangan (Kasus Komunitas Kanarakan, Kecamatan Bukit Batum Kota Palangkaraya, Propinsi Kalimantan Tengah”. Thesis, Pascasarjana IPB 54
Lihat Hunawu, Momy, 2004. “Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berkelanjutan: Terjadinya Pertarungan Pengetahuan Antar Pemimpin Lokal (Studi Kasus Kepemimpinan Lokal Pada Komunitas Kulawi di Desa Bolapapu, Sulawe Tengah”. Thesis, IPB.
55
Roy Ellen, 2002. “Pengetahuan tentang Hutan, Transformasi Hutan: Ketidakpastian Politik, Sejarah Ekologi dan Renegosiasi Terhadap Alam di Seram Tengah,” dalam Tania Murray Li (peny.), 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
21
komunitas Kulawi dan komunitas Naulu, tetapi juga dialami oleh komunitas petani hutan di hulu DAS Cidanau Kabupaten Serang. Mistifikasi pembangunan ekonomi dan menguatnya kontestasi sektoral, mengakibatkan peluruhan kelembagaan buyut, pipeling, liliuran,
tanah kajaroan dan tanah kaguronan
yang merupakan keunikan di kawasan hulu DAS Cidanau.
2.2. Kontestasi Sektoral dan Lokal Supralokal
Ostrom dan Gardner, (1994) mengklasifikasikan sumberdaya agraria atas private goods, club goods, quasi public goods dan pure public goods. Klasifikasi Ostrom dan Gardner didasarkan atas rivalitas dan excludabilitas sumberdaya dan manfaat yang dihasilkannya.56 Keempat tipe kepemilikan sumberdaya merupakan pilihan bentuk hak-hak, lazimnya disebut rejim hak milik (regimes of rights). Dari empat rejim hak milik tersebut dapat dikelompokkan atas tiga kelompok (1) rezim hak (state property), (2) rezim hak masyarakat atau komunitas (common property) (3) rezim hak individu (private property). Rejim hak merupakan alat untuk mengendalikan penggunaan sumberdaya agraria dan menentukan hubungan sosial antara kelompok.57 Rezim hak merupakan manifestasi dan representasi dari ideologi yang dianutnya: liberal, neo liberal, atau sosialis/populis. Rezim hak sumberdaya yang dikuasai negara (state property) dan dikuasai komunitas (common property) merupakan representasi dari ideologi sosialis atau populis; sedangkan rejim hak milik sumberdaya yang dikuasai individu (private property) atau swasta adalah representasi dari ideologi liberal atau neo liberal.58 56
Rivalitas sumberdaya, terjadi bila sumberdaya yang dimanfaatkan seseorang mengurangi jumlah yang tersedia bagi orang lain baik pada sumberdaya yang dikategorikan private goods maupun common pool goods. Sebaliknya bila dimanfaatkan seseorang tetapi tidak mengurangi jumlah bagi orang lain, diklasifikasikan club goods dan public goods. Excludabilitas terjadi bila pengguna sumberdaya dapat dipisahkan satu dari yang lain baik pada sumberdaya yang dikategorikan private goods maupun club goods. Sebaliknya bila penggunanya tidak dapat dipisahkan satu dari lainnya diklasifikasikan common pool goods atau public goods. Pemanfaatan sumberdaya common pool goods, public goods (hutan, sungai, pantai, laut dan padang gembala) dan open acces menimbulkan tampilnya penunggang gratis (free riders). Lihat Ostrom E, Gardner, R and Walker,J, 1994. Rules, Games and Common Pool Resources. University of Michigan Press, Ann Arbor, MI. 57
Hanna, Susan, Carl Folke, Karl, Goran Maler, 1996. Property Right and Natural Environment dalam Right to Nature: Ecological, Economic, Cultural and Political Principles of Institutions for Environment, Stockholm (Sweden): Island Press.
58
Jones (1999) mengidentifikasi lima perspektif atau ideologi tata kelola sumberdaya: yaitu (1) Neo-Malthusian, (2) Paternalis/Technocratik, (3) Populis, (4) Neo Marxis/Dependensi, (5) Neo
22
Antara kedua rezim hak terdapat perbedaan krusial dan memiliki implikasi yang luas terhadap pola penguasaan dan akses masyarakat terhadap sumberdaya. Perbedaan kedua rezim hak mencakup: derajat kesetaraan, institusi pengendali, pelaku produksi, moral justification, tujuan/orientasi ekonomi, pola hubungan, peluang terjadi kemiskinan, ketimpangan dan kerusakan alam. Dalam negara yang menganut rezim hak sosialis, negara memonopoli penguasaan
dan
pengaturan
sumberdaya.
Pendiri
republik
merumuskan
sumberdaya agraria “dikuasai negara” untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Rumusan ini didasarkan pemahaman historis dan sosiologis pengelolaan sumberdaya oleh berbagai komunitas di wilayah nusantara dan suasana kebatinan penyelenggaraan pemerintahan yang akan mereka laksanakan. Pendiri republik memahami bahwa pengelolaan sumberdaya agraria oleh negara dan masyarakat, tujuan akhirnya sama, yakni terwujudnya kesejahteraan rakyat. Rumusan itu didukung oleh suasana kebatinan dan pemahaman ideal tentang kinerja birokrasi yang efisien seperti dikemukakan oleh Max Weber.59 Negara merupakan instrumen, fasilitator, regulator dan mediator yang netral, berdiri di atas berbagai kepentingan golongan, partai dan kelompok dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Pemahaman atas kondisi sosiologis historis bangsa dan birokrasi yang ideal dari pendiri republik itu, dalam empat dekade terakhir mengalami deviasi, kontradiktif dan bahkan kontraprodukitf. Deviasi dari semangat pendiri republik, paling tidak dapat diidentifikasi dalam dua hal. Pertama arah kebijakan dan politik agraria berorientasi kapitalis, kedua pendekatan yang digunakan dalam tata kelola sumberdaya bersifat sektoral. Amanat konstitusi yang menyatakan pengelolaan tanah dan air untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat
dan semangat
Liberal. Kelima persepektif menjadi bahan perdebatan yang signifikan karena sebagian besar sumberdaya di berbagai belahan dunia kondisinya semakin kritis. Lihat Jones, S. 1999. From Meta Narratives to Flexible Framwork: An Actor Analysis of Land Degradtionin Higland Tanzania. P. 211-219. Global Environmental Vol 9. 59 Weber memandang birokrasi sebagai organisasi yang tepat dan ideal untuk masyarakat modern. Ciri-ciri birokrasi ideal yang dikemukakan Weber adalah: (1) struktur hirarkis dan pendelegasian wewenang dari atas ke bawah dalam organisasi (2) posisi-posisi/jabatan masing-masing memiliki tugas dan tanggungjawab yang tegas (3) aturan, standar formal yang mengatur bekerjanya organisasi dan tingkah laku para anggota, (4) personil yang secara teknis memenuhi syarat yang dipekerjakan atas dasar karir dan promosi berdasarkan kualifikasi kinerja. Lihat Weber, 1968. Economy and Society on Outline of Interpretative Sociology. New York, Bedminster Press.
23
“populisme” yang terkandung dalam Undang–Undang Pokok Agraria, dewasa ini menjadi “vehicle to get power” dari penyelenggara negara dan kelompok kecil pengusaha. Sementara itu pendekatan dan kelembagaan tata kelola sumberdaya bersifat sektoral, tidak sineregis dan tidak terkoordinasi secara baik. Arah orientasi politik sumberdaya agraria kapitalis dan sektoral, tercermin dalam sejumlah peraturan perundangan dan praktik penyelengaraan pemerintahan rezim Orde Baru dan rezim penggantinya.60 Berbagai regulasi kebijakan pengelolaan dan pemanfataan sumberdaya cenderung memfasilitasi dan membuka akses kepada pemilik modal untuk menguasai sumberdaya melalui “mekanisme pasar”: supply and demand. Dalam kondisi penyelenggaraan negara bersifat transaksional,
maka mekanisme pasar dan menguatnya kontestasi sektoral
pengelolaan sumberdaya agraria berpotensi menyuburkan pelaku usaha oportunis. Pemilik modal, pengusaha yang memiliki jaringan pertemanan dan akses terhadap kekuasaan,
berpeluang
pertambangan)
secara
memonopoli berlebihan,
sumberdaya
menimbulkan
agraria
(hutan
ketimpangan
dan
struktural
penguasaan/pemilikan sumberdaya. Sejumlah kecil pelaku usaha yang memiliki akses terhadap kekuasaan, menguasai sumberdaya hutan yang berlimpah untuk mengakumulasi modalnya, sementara sebagian besar masyarakat yang hidupnya tergantung pada sumberdaya hutan, berkeluh keringat dan mencucurkan darah memperebutkan setapak tanah untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.
2.2.1. Kontestasi Sektoral Kerangka politik pengelolaan sumberdaya agraria, idealnya berlandaskan karakteristik sumberdaya dan landasan konstitusional. Pengelolaan sumberdaya secara sektoral apalagi diserahkan pada mekanisme pasar, selain bertentangan dengan landasan konstitusi, juga kontradiktif dan kontraproduktif dengan sifat dari sumberdaya itu sendiri. Sifat sumberdaya agraria dapat dibedakan sebagai
60
Di era reformasi lahir TAP MPR No.IX/2001 tentang Pembahruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, tapi perundang-undangan sesudahnya berpihak dan melayani kepentingan pasar nasional dan global daripada kesejahteraan rakyat. Misalnya UU No. 7/2004 Tentang Sumber Daya Air; Perpu No.1/ 2004 tentang Perubahan Undang-Undang No. 41/1999 tentang Kehutanan; UU No.25/2007 tentang Penanaman Modal, UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan UU No. 4/2009 tentang Pertambangan dan Mineral.
24
sistem daya dukung kehidupan, stock atau modal alam dan sebagai komoditi ekonomi.61 Sumberdaya alam dalam bentuk stock menghasilkan sejumlah kegunaan yang dapat dirasa dan dilihat, seperti menyimpan air dan mencegah banjir di musim hujan, mengendalikan kekeringan di musim kemarau, menyerap CO2 di udara, mempertahankan kesuburan tanah, mengurai berbagai bahan beracun, dan sebagai sumber pengetahuan serta hubungan sosial dan budaya komunitas. Fungsi sumberdaya alam dalam bentuk stock merupakan barang publik, sehingga tidak dapat dimiliki secara perorangan, meskipun setiap orang memerlukannya. Sebagai komoditi, sumberdaya dapat dimanfaatkan untuk mendukung kehidupan manusia, sepanjang pemanfaatannya memperhatikan daya dukung alamiahnya. Kedua fungsi sumberdaya tersebut saling terkait erat dan tak dapat dibagi-bagikan, berdasarkan wilayah administrasi kekuasaan/pemerintahan. Sumberdaya sebagai sistem daya dukung kehidupan misalnya bentang alam DAS, pengelolaannya tidak dapat disekat berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan. Menurut Hariadi, (2006) upaya melestarikan kedua fungsi sumberdaya ditentukan oleh kelembagaan tata kelola dan sifat sumberdaya, karena sumberdaya mempunyai keterbatasan daya dukung untuk menghasilkan komoditi dan fungsinya secara berkelanjutan. Setiap jenis komoditi yang diambil dari sumberdaya berupa stock, akan mempengaruhi produktifitas jenis komoditi lain dan fungsi sumberdaya alam secara keseluruhan, seperti ketersediaan air dalam DAS atau bioregion lainnya. Karakteristik DAS, seharusnya menjadi dasar perumusan pembuatan undang-undang, peraturan pemerintah dan peraturan daerah, yang menjamin keberlanjutan sumberdaya dan sekaligus memberi kesempatan kepada masyarakat terlibat. Kondisi ini tidak dipahami sepenuhnya oleh pembuat kebijakan. Regulasi yang dirumuskan oleh pemangku otoritas lebih mengutamakan kepentingan fungsi sumberdaya sebagai komoditi dari fungsinya sebagai daya dukung kehidupan. Arus utama pengelolaan sumberdaya yang berorientasi pada produksi komoditi 61
Klasifikasi sumberdaya sebagai stock atau modal alam (hutan dan daerah aliran sungai) dan sebagai aset ekonomi atau barang/komoditi (tanah dan barang yang ada di bawah dan di atas tanah), Lihat Hariadi Kartodiharjo dan Hira Jhamtani, 2006. Politik Lingkungan dan Kekuasaan Di Indonesia. Jakarta: Equinox Publisihing, p.55-56.
25
dan pertumbuhan ekonomi, mendorong komoditifikasi sumberdaya
dan
pengelolaan sumberdaya secara transaksional dalam rangka memburu rente ekonomi dan vehicle to get power” penyelenggara negara dan kelompok kecil pengusaha. Pendekatan tata kelola sumberdaya secara demikian mengakibatkan berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan pendukungnya yang mengatur tata kelola sumberdaya, cenderung kontradiktif dan kontraproduktif dari upaya mewujudkan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Gambaran kontradiktif dan kontraproduktif dari sejumlah peraturan perundang-undangan tersebut disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Pengelolaan SDA Menurut 5 UU dan Potensi Masalahnya Undang Undang No.41/’99 Kehutanan
No. 7/’04 SD Air
No. 31/’04 Perikanan
No.5/1990 Konserv. SDA Hayati dan Ekosistem No 22/’01 Minyak dan Gas Bumi
Pengaturan dan Usaha Lingkup Tata Kelola Sumberdaya Lingkup Pemanfaatan Lingkup Organisasi Perencanaan Obyek/ Tata Kelola SDA Pengelola Komoditi dan Izin DAS,Hutan Balai dan Pembentukan Kayu, Non Izin Usaha Kayu&jasa Pemanfaatan &Hsl Hutan Pengelola Wilayah Wilayah Pengelolaan Lingkungan Pemungutan dan & Izin Pengelolaan Hutan & Akti Hutan vitas Pengelo Pinjam Pakai laan Penggunaan Wil. SuDewan SDA Pola Pengelo- Air peran serta, ngai (Dpt Air (Nas, laan wil. supengemb, izin Lebih dr 1 Prov dan ngai, Pengelo laan SD air pengusahaan Kab./ Kota DAS& &pendayagu sda air Cekungan anaan sda Air Air Tanah Perairan Pengawas Renc.Pengel. Ikan Izin PenangZEE danau Perikanan Perikanan, Po kapan Ikan & Waduk su tensi&Alokasi Izin Kapl ngai Rawa SDA ikan & Pengangkut dan Ikan Jum Tangkp ikan &alat tangkap
Potensi Masalah & Dampaknya
Wil. Sbg sistem per lindungan penyangga kehidupan Minyak dan Gas Bumi sbg komoditi
Tidak Menetapkan perizinan
Konservasi mengabaikan komunitas lokal
Hulu: Kontrak Kerjasama, Hi lir: Perizinan
Wil. kerja hulu hilir tak terkait. Harga migas makin tinggi/ sulit dijangkau
LembagaLembaga Pengelola Kawasan Konservasi Badan Pelaksana Pengatur
Pembentukan Wil. Pola dsr, Pengaturan & Pemanfaatan Konservasi Wilayah Kerja untuk Kegiattan Hulu dan Hilir
Kondisi Lingkungan, Tumbuhan dan Satwa Liar Minyak dan Gas Bumi
Izin dikeluarkan meski perencanaan tidak dilaksanakan. (Secara nasional mengukuhkan hutn < 10% kwasan hutn Izin dpt dikeluarkan meski belum ada perencanaan. Degradasi dan komersialisasi air Tak disebutkan dgn jelas, Izin dpt diberikan tanpa diketa tahui daya dukung sda perikannan. Eks ploitasi & konflik
Dari Tabel 1 diketahui bahwa undang-undang sektoral (pertambangan, kehutanan, perikanan, minyak dan energi) satu sama lainnya tumpang tindih, tidak adanya kordinasi antar sektor dan menimbulkan sejumlah masalah dalam hal perizinan, pemanfaatan, pengelolaan dan kelembagaannya. Arus utama dari
26
regulasi dan tata kelola sumberdaya diarah orientasikan untuk menyokong pertumbuhan ekonomi dan menempatkannya sebagai komoditas semata-mata. Arus utama dan pendekatan tata kelola sumberdaya secara demikian berimplikasi cukup kompleks terhadap keberlanjutan sumberdaya maupun keberadaan komunitas di sekitarnya. Dari
penelaahan
terhadap
lima
peraturan
perundangan
di
atas
diidentifikasi sejumlah implikasi negatif sebagai berikut: 1. Mendorong perubahan fungsi bentang alam yang luas untuk perkebunan, pertambangan dan infrastruktur (jalan, bendungan), properti, pemukiman dan kawasan industri. 2. Konsentrasi peruntukan lahan untuk sektor-sektor yang diunggulkan demi mengejar target, meskipun yang menikmati dari pencapaian target segelintir orang pemilik modal yang melakukan negoisasi secara transaksional. 3. Menyingkirkan kebutuhan lain seperti keberlanjutan tata air permukaan dan bawah permukaan, keberlanjutan lahan untuk penyediaan pangan, serta ketersediaan kawasan pemukiman yang sehat bagi warga miskin. 4.
Peluruhan kelembagaan dan alienasi komunitas di wilayah yang menjadi kawasan sektor-sektor unggulan.
5. Kelima meluasnya pengungsi ekologik di perkotaan dengan fasilitas pendukung terbatas yang menimbulkan pertumbuhan kriminalitas, sektor informal, kantung-kantung permukiman kumuh. Kelima aspek tersebut menunjukkan bahwa kontestasi sektoral yang menempatkan sektor tertentu sebagai sektor unggulan sulit untuk menselaraskan pertumbuhan ekonomi dengan upaya mempertahankan ekosistem bentang alam dan perbaikan kesejahteraan masyarakat. Menguatnya kontestasi dan ego sektoral menyebabkan program pembangunan yang melibatkan berbagai sektor tidak mencapai sasaran yang diharapkan. Misalnya program agropolitan yang dilakukan Kementerian Pertanian dan Pekerjaan Umum. Kontestasi sektoral mengakibatkan konversi lahan pertanian untuk kepentingan bukan pertanian (pemukiman, perkantoran, wisata, restoran, hotel dan jalan tol) baik di Jawa maupun di luar Jawa
terus berlanjut dan sulit dikendalikan. Dampak dari tak terkendalinya
konversi lahan pertanian untuk kepentingan bukan pertanian mengakibatkan
27
semakin sulitnya mencapai swa-sembada pangan dan tergusurnya petani dari kawasan pertanian. Dalam
bidang
pertambangan
dan
energi,
kontestasi
sektoral
menyebabkan rusaknya ekosistem hutan lindung sebagai akibat ekploitasi pertambangan. Di sisi lain swa sembada energi semakin sulit dicapai dan harga semakin tidak terjangkau oleh masyarakat lapisan bawah di pedesaan. Hal ini disebabkan masing-masing instansi sektoral lebih mengutamakan pencapaian program, produktivitas dan target sektoral, sementara aspek perlindungan dan pelayanan publik cenderung diabaikan. Kondisi ini terjadi pada berbagai jenjang kelembagaan pemerintahan (kementriaan,
provinsi dan
Kabupaten/Kota).
Otonomi daerah yang bertumpu pada pemerintah Kabupaten/Kota, bukan hanya tidak mampu meredam ego sektoral, tetapi menumbuh-suburkan ego kedaerahan. Ego kedaerahan tersebut ditunjukkan oleh perilaku dan tindakan Kepala Daerah sebagai ”raja lokal”. Menguat ego kedaerahan mengakibatkan semakin sulitnya koordinasi dan sinkroniasasi pembangunan antar daerah,
termasuk antar
pemerintah kabupaten/kota yang berada di satu kawasan/ bentang DAS.
2.2.2. Kontestasi Lokal Supralokal Visi dan misi pengelolaan sumberdaya yang dirumuskan oleh pendiri republik untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat mengambarkan pemikiran politik agraria populis. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya secara populis diarahkan untuk mencapai keselarasan, ketentraman, terjaganya keberlanjutan dan keseimbangan ekosistem. Politik agraria populis sangat kecil peluang terjadinya ketimpangan dan kemiskinan dalam masyarakat, karena aktivitas tata kelola sumberdaya diarahkan untuk kepentingan bersama dari pada kepentingan/ keuntungan individual.62 Tata kelola sumberdaya populis didukung oleh pengetahuan dan kearifan lokal yang bersifat “mutable immobiles” (pengetahuan yang relatif lunak dan selalu selaras dengan lingkungan lokal). Partisipan yang terlibat dalam tradisi dan praktik tata kelola sumberdaya agraria berbasis komunitas memiliki pengalaman 62
Dewalt, Billie R. 1994. Using Indigenous Knowledge to Improve Agriculture and Natural Resource Management. Human Organization, Vol. 53, No. 2.
28
yang melimpah tentang ekologi lokal dan kaya dengan detail-detail teknis pada ruang spasial komunitas menjalin interrelasinya. Sehingga komunitas yang terlibat dalam tata kelola sumberdaya agraria berbasis kearifan lokal memiliki kesadaran yang tinggi tentang keterkaitan ekologis antara manusia, fauna, flora dan tanah. Atas dasar itu tata kelola sumberdaya agraria populis dinilai sebagai kelembagaan yang efektif dan berkelanjutan.63 Karena praktik tata kelolanya bersumber dari trust, menyediakan akses dan partisipasi komunitas lebih besar daripada kelembagaan formal (state and private property). Meski tata kelola sumberdaya agraria berbasis kelembagaan lokal lebih menjanjikan keberlanjutan sumberdaya dan berkeadilan, sejauh ini tidak menjadi pilihan politik dan strategi pembangunan sumberdaya agraria di Indonesia. Sebaliknya rezim hak sumberdaya di Indonesia mengalami transformasi dari indigenous property dan common property ke state dan private/business property. Proses transformasinya berjalan seiring dengan proses transformasi politik dari sistem politik tradisional menuju sistem politik demokrasi modern. Penguasaan sumberdaya agraria oleh negara dan swasta dianggap sebagai syarat menuju masa depan negara yang lebih modern dan demokratis. Pengarusutamaan state property dan private/business property menyebabkan eksistensi dan posisi tata kelola berbasis kelembagaan komunitas ditentukan oleh pemegang kekuasaan dan pemilik modal.64 Sejak rezim Orde Baru berkuasa, hegemoni dan dominasi state dan private/business property mengalami transformasi menjadi kapitalis dan perjalanan politik agraria Orde Baru merupakan panggung kapitalis. Orientasi politik agraria kapitalis, terlihat dari sejumlah kebijakan dan regulasi yang membuka pintu masuknya penanaman modal di Indonesia, baik PMDN maupun PMA. Melalui UU PMDN dan PMA, pemerintah memberikan konsesi pada pemilik modal untuk menguasai sumberdaya hutan dalam skala besar seperti 63
Efektivitas dan keberlanjutan kelembagaan (intitutional sustainability) dapat dinilai berdasarkan faktor partisipasi, keragaman, kompleksitas dan derajat kemerosotan kelembagaannya. Modal sosial, kondisi aktor, ekologi dan struktur otoritas, merupakan variabel yang mempengaruhi dinamika kelembagaan komunitas. Lihat Brinkerhoff, Derick W, and Arthur A. Goldsmith, 1992. “Promoting the Sustainability of Development Institutions: A Framework for Strategy”, World Development, Vol. 20.
64 Escobar (1999), mencatat relasi kekuasaan (power relations) tata kelola berbasis kelembagaan lokal sering tidak seimbang, sehingga sering dimanfaatkan menjadi obyek kepentingan sosial dan ekonomi supra lokal dan global. Escobar, Arturo, 1999. “After Nature: Steps to an Anti essentialist Political Ecology” in Current Anthropology Volume 40 Number 1 Februari 1999.
29
HPH, HTI, hak kuasa pertambangan. Dalam era reformasi dewasa ini, penguasaan sumberdaya
dalam skala besar ditunjukkan oleh pencanangan Merauke
Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Papua. Pencanangan (MIFEE) yang mengintegrasikan produktivitas makanan dan energi dalam skala besar di Papua mengingatkan kita pada program pembukaan sawah satu juta hektar di lahan gambut di Kalimantan pada masa Orde Baru yang gagal. Pencanangan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), menunjukkan bahwa setelah reformasi, politik agraria berpihak kepada yang besar dan pro bisnis terus menguat, dengan berbagai dalih (dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah). Di era reformasi, proses liberalisasi dan komodifikasi, tidak terbatas pada sumberdaya agraria tetapi juga menyentuh pada bidang usaha untuk kepentingan publik, seperti privatisasi BULOG di bidang pangan, privatisasi PT. Krakatau Steel di industri strategis, privatisasi Indosat di bidang telekomunikasi dan privatiasi Garuda di bidang transportasi. Privatisasi pada dasarnya merupakan ”amputasi” peran dan fungsi negara untuk kepentingan publik atau hajat orang banyak, seperti terlihat dari amputasi peran dan fungsi BULOG sebagai stabilator harga dan ”penyangga” kebutuhan pokok masyarakat. Program privatisasi BUMN, seperti Bulog, Krakatau Steel, Indosat dan
Garuda merupakan langkah untuk
memuluskan jalan masuknya pemilik modal dan perusahaan transnasional untuk menguasai pelayanan publik dan industri-industri strategis di Indonesia. Selain privatisasi bidang publik, sepak terjang politik agraria kapitalis di era reformasi, dapat disimak dari Undang-Undang No. 41/1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang No. 7/2004 tentang Sumberdaya Air dan UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Semangat yang terkandung dalam undang-undang tersebut menempatkan sumberdaya agraria sebagai komoditi. Komoditifikasi sumberdaya agraria tercermin dari fasilitasi dan kemudahan yang diberikan kepada pemilik modal, baik domestik maupun asing melalui pemberian konsesi hutan dan hak kuasa pertambangan dan program privatisasi yang berlangsung secara masif dan kolosal di berbagai wilayah Indonesia. Sepanjang fasilitasi itu diberikan secara adil dan transparan serta ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat merupakan tugas pemerintah.
30
Masalahnya berbagai program fasilitasi pemerintah kepada dunia bisnis dan pemilik modal, tidak berkoeksistensi dengan kegiatan ekonomi masyarakat, sebaliknya cenderung menegasikan aktivitas ekonomi komunitas. Sehingga kebijakan
konsesi
dan
transformasi
penguasaan
sumberdaya
dari
indigenous/common property ke business property, menjadi presenden buruk, mengancam
keberlanjutan
sumberdaya
dan
menurunnya
kesejahteraan
masyarakat. Argumentasi bahwa transformasi penguasaan sumberdaya dari indigenous/ common property ke state dan private property sebagai upaya meminimalkan free rider
dalam kenyataan empirik yang terjadi sebaliknya. Transformasi hak
kepemilikan menyebabkan meningkatnya biaya transaksi65
dan menambah
semaraknya semangat memburu rente ekonomi, merebaknya konflik agraria,66 dan semakin termarginalkannya kehidupan komunitas di sekitar pertambangan, perkebunan dan kawasan HTI dan HPH. Pemasukan pajak dan retribusi yang diperoleh pemerintah dari pemberian konsensi kepada pemilik modal tidak sebanding dengan kerusakan dan degradasi ekosistem hutan dan marginalisasi komunitas. Dari segi ini dapat dikatakan pemerintah sebagai regulator, tidak mampu membuat regulasi dan membangun kelembagaan politik tata kelola sumberdaya yang adil untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Negara sebagai protektor, tidak mampu melindungi sumberdaya ke arah terjadinya Drama of The Commons67 yang berpotensi dan mengarah pada ”Indonesia Sebentar Lagi.” 65
Biaya transaksi adalah dana yang dikeluarkan untuk mendapatkan informasi tentang barang, biaya koordinasi, pembuatan dan evaluasi kebijakan, biaya pembuatan dan pengawasan kontrak yang dilakukan para pihak yang terlibat. Kinerja kelembagaan yang buruk diukur oleh biaya transaksi yang tinggi, ketimpangan informasi dan meluasnya sikap oportunis dan free rider. Menurut Poffenberger, kerangka kebijakan regulasi yang didesain pemerintah dalam tata kelola sumberdaya agraria cenderung tidak mempertimbangkan kendala biaya transaksi. Lihat, Pofenberger, Mark, 1990. “The Evolulution of Forest Management System in Southeast Asia” in M. Poffenberger, (ed), Keeper of The Forest: Land Management Alternatives in Southeast Asia. Connecticut: Kumarian Press. 66
Merujuk pada Wiradi (2002) konflik agraria di sekitar hutan disebabkan oleh (1) ketimpangan akses dan pengusaaan sumberdaya hutan, (2) ketimpangan peruntukan tanah dan (3) ketimpangan persepsi dan konsepsi mengenai agraria. Wiradi, Gunawan, 2000. Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. Yogyakarta: Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar.
67
Laju kerusakan hutan Indonesia, 6 kali lapangan sepak bola per menit. Dari 673 bencana (banjir, longsor dan kebakaran hutan) > 65% karena kesalahan kebijakan. Dari total kayu ditebang, 73% diantaranya illegal dengan kerugian 30 triliun rupiah/tahun dgn total kayu tercuri 70 juta m3/tahun.
31
2.3. Politik Agraria dan Peluruhan Kelembagaan Lokal Soetiknyo (1990) merumuskan politik agraria sebagai bidang kebijakan yang berfokus pada tiga hal: (1) hubungan antara manusia dengan tanah, (2) manusia dari sudut politik, sosial, ekonomis, kulural dan mental, (3) alam dan khususnya tanah. 68 Rumusan politik agraria yang dikemukakan Soektinyo oleh Wiradi disebut sebagai strategi agraria, yakni suatu pendekatan dan pemahaman berkaitan dengan penguasaan tanah, tenaga kerja, dan pengambilan keputusan mengenai produksi, akumulasi dan investasi.69 Arah dan pelaksanaan politik agraria di Indonesia dapat dianalisis dari pandangan Habermas tentang dua dimensi tindakan manusia, yaitu tindakan teknis/kerja (terhadap obyek) dan tindakan komunikasi (tindakan sosial terhadap subyek berdasarkan norma sosial).70 Tindakan teknis atau hubungan subyek agraria dengan agraria cenderung searah, karena tindakan di dunia kerja merupakan tindakan instrumental dan produktif, sedangkan tindakan komunikasi untuk mencapai pemahaman dan saling memahami. Tindakan teknis untuk memecahkan masalah ekonomi sedangkan tindakan komunikasi menjaga pranata ssial.71
Perkiraan lain menyebutkan US$ 4 milyar/tahun. Dari 129 perusahaan kehutanan dengan total hutang mencapai Rp 21,9 trilyun, 12 trilyun milik perusahaan pengolahan kayu tanpa HPH. Nilai ekspor kehutanan tahun 2007 sekitar 1,25 juta dolar pertahun lebih rendah dari pemasukan negara dari TKI yang mencapai 12 juta dollar/tahun. Luas kawasan yang masih tertutup pepohonan di Jawa hanya 4 persen berfungsi sebagai wilayah tangkapan air pada daerah aliran sungai (DAS). Sekitar 65 % (125 juta jiwa) penduduk Indonesia menetap di Pulau Jawa yang potensi airnya 4,5% dari total potensi air di Indonesia. Lihat Chalid Muhammad, “Indonesia Sebentar Lagi” Makalah Seminar, diselenggarakan oleh Forum Wacana Pascasarjana, IPB, 8 September 2007. 68
Ilmu politik agraria adalah bidang ilmu yang mengkaji tentang hubungan dengan tanah beserta segala persoalan dan lembaga-lembaga masyarakat yang timbul karenanya yang bersifat politis, ekonomi, sosial dan budaya. Iman Soetiknyo, 1990. Politik Agraria Nasional: Hubungan Manusia Dengan Tanah yang Berdasarkan Pancasila. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
69 Gunawan Wiradi, 1991. “Reforma Agraria: Masalah dan Relevansinya dengan Pembangunan Jangka Panjang: Suatu Pandangan ke Depan.” Sekretariat Bina Desa, 1991. 70
Konsep kerja (arbeit) Habermas merupakan kritik terhadap Karl Marx, karena merombak struktur dengan revolusi/jalan sosialis terbukti gagal dan tidak relevan dengan late capitalis. Habermas memandang perlu merubah paradigma emansipasi revolusioner berdasar paradigma kerja dengan paradigma komunikasi untuk mencapai konsensus. Habermas, J. 1990. Ilmu dan Teknologi Sebagai Ideologi. Jakarta: LP3ES, Hardiman F.B. 1990. Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan. Yogyakarta: Kanisius.
71
Dalam karyanya yang berjudul “The Communicative Action”, Habermas menyebut adanya empat tuntutan (klaim) yang harus dipenuhi dalam komunikasi, yaitu: (1) Klaim kebenaran (truth),
32
Merujuk pada pendapat Habermas, maka tindakan manusia dalam keagrariaan juga mengandung dimensi kerja dan interaksi/komunikasi. Dengan berfikir deduktif dirumuskan semacam proposisi. (1) Setiap subyek agraria (masyarakat, pemerintah dan swasta) saling berinteraksi dalam rangka penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria. (2)
Subjek agraria (masyarakat, pemerintah dan swasta) memiliki hubungan teknis dengan objek agraria dalam bentuk pemanfaatan dan penguasaan objek agraria untuk memenuhi kepentingan ekonomi dan sosial. Berbeda dengan tindakan teknis yang dilakukan subyek agraria bersifat
searah, maka tindakan komunikasi bersifat dua arah, saling mempengaruhi. Landasan terjadinya interaksi antar subyek agraria, karena masing-masing subyek mempunyai hak keagrariaan. Hak penguasaan dan pemilikan agraria oleh subyek agraria, lazimnya beragam sesuai dengan ruang spasial dan budayanya.
72
Hubungan sosial antar subyek agraria menghasilkan suatu tatanan sosial yang disebut struktur sosial agraria. Proses interaksi antar subyek agraria yang memiliki kesamaan cara kerja dalam satu kawasan mendorong terbentuknya komunitas. Sebaliknya proses interaksi antar subyek agraria yang berbeda cara kerjanya berpotensi menimbulkan konflik. Konflik terjadi jika cara kerja suatu subyek agraria berakibat buruk terhadap sumberdaya dan ekologi subyek agraria lain tanpa ada suatu konpensasi. Seperti masuknya pemilik modal yang difasilitasi pemerintah melalui HPH dan HTI yang mengeksploitasi sumberdaya hutan yang berakibat rusaknya ekosistem hutan dan merugikan komunitas sekitar hutan/komunitas adat. Ekploitasi hutan oleh pemegang HPH dan HTI bukan hanya mengakibatkan rusaknya sumberdaya
(2) Klaim ketepatan (rightness), (3) Klaim kejujuran (sincerity), (4) Klaim komprehensibilitas. Lihat Habermas, J. 1990. Ilmu dan Teknologi Sebagai Ideologi. Jakarta: LP3ES. 72
Sistem pemilikan tanah dalam masyarakat pedesaan/sekitar hutan didasarkan atas okupasi (natural acquisition) yang disebut John Locke, teori kerja. Hubungan agraria berawal dan diperoleh dengan cara membuka hutan. Makin intens hubungannya dengan tanah makin kukuh penguasaan dan pemilikan atas tanah. Penguasaan tanah de facto kemudian melahirkan hak tenurial dan hak teritorialitas karena pemiliknya melakukan perubahan jenis tutupan vegetasi, investasi tenaga, modal dan kontrol terhadap tanah. Locke John, 1988. Two Treatises of Government. Cambridge: Cambridge University Press.
33
hutan dan ekosistem hulu DAS, tetapi juga menimbulkan konflik agraria dan peluruhan komunitas lokal/sekitar hutan.73 Hubungan teknis antar subjek agraria (masyarakat, pemerintah dan swasta) dapat bervariasi, apakah ekstraktif, konservatif atau eksploitatif, tergantung pada ideologi, teknologi dan rezim hak.74 Basis ideologi kapitalis, sosialis dan populis,75 menentukan bentuk tata kelola sumberdaya agraria. Menurut ideologi kapitalis, sarana produksi utama (tanah) dikuasai oleh individu-individu non penggarap. Penggarap yang mengolah tanah adalah pekerja upahan atau “bebas”, diupah oleh pemilik tanah. Hubungan antara penguasaan/pemilikan tanah dan pekerjaan terpisah. Penggarap menjual tenaga yang dibeli dengan upah oleh pemilik tanah. Kedudukan tenaga kerja dalam sistem kapitalis sebagai komoditi dan tanggungjawab produksi, akumulasi dan investasi sepenuhnya di tangan pemilik tanah. Dalam sistem politik agraria sosialis, tanah dan sarana produksi dikuasi oleh negara (melalui serikat pekerja). Tenaga kerja memperoleh imbalan dari hasil kerjanya. Tanggung jawab produksi, akumulasi dan investasi berada di tangan organisasi pekerja yang dikuasai negara. Dalam politik agraria neo/populis, satuan usaha adalah usaha keluarga. Penguasaan tanah dan sarana produksi tersebar pada mayoritas
keluarga tani. Tenaga kerjanya adalah tenaga kerja keluarga dan
produksi secara keseluruhan merupakan pekerjaan keluarga tani walaupun tanggungjawab atas akumulasi diatur oleh negara. Berdasarkan karakteristik politik agraria di atas, maka semangat yang terkandung dalam UU No. 5 tentang Pokok Agraria 1960 bersifat populis dan
73
Wiradi, menyatakan konflik agraria disebabkan (1) terjadinya imcompatibility (ketidakserasian atau ketimpangan) dalam alokasi pengadaan tanah. Tanah-tanah pertanian tergusur sementara areal perkebunan besar justru bertambah. (2) ketimpangan yang parah dalam hal sebaran penguasaan tanah di sektor pangan. Lihat Gunawan Wiradi, 2001. ”Reforma Agraria Tuntutan Bagi Pemenuhan Hak-Hak Azasi Manusia”, dalam Jurnal Analisis Sosial, Vol. 6. No. 2 Juli 2001.
74 Rezim hak berdasarkan komunitas cenderung keberlanjutan dan rezim hak liberal/kapitalis berorientasi profit maximize, akumulasi kapital dan eksploitatif. Rezim hak merupakan mode of production yang dikemukakan oleh Karl Marx, yang menentukan cara masyarakat secara aktual berproduksi dan terlibat ke dalam hubungan kerja dan sosial satu sama lainnya. Karena mode of production merupakan unsur utama produksi/ekonomi dan menentukan sistem hubungan sosial dalam masyarakat. John,Taylor G, 1989. From Modernization to Modes of Production. London: The Macmillan Pres LTD. 75
Wiradi, Gunawan, 2000. Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. Yogyakarta: Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar.
34
menentang politik agraria kapitalis dan sosialis. Politik agraria UU PA merupakan jalan tengah, yang mengakui hak individu atas tanah tetapi hak atas tanah tersebut memiliki fungsi sosial.76 Penentangan UU PA atas politik agraria kapitalis, didasarkan penilaian penyusun undang-undang atas watak/hukum dari ekspansi modal yang cenderung negatif terhadap kehidupan masyarakat. Watak dari modal adalah menuntut digandakan terus menerus yang disebut hukum akumulasi modal. Dalam sirkuit produksi kapitalis, pemilik modal berusaha merubah uang menjadi modal untuk memperoleh surplus dalam bentuk uang kembali yang lebih besar. Dari hasil akumulasi uang, sebagian kecil digunakan pemiliknya untuk memenuhi kebutuhan konsumif dan sebagian besar “dibunga-uangkan.” 77 Pemahaman yang mendalam atas sejarah penguasaan sumberdaya agraria oleh pemilik kapital dan perkembangan kapitalisme di Eropa pada abad ke delapan belas serta didorong semangat menjadi Bangsa Merdeka, menyebabkan spirit politik agraria Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 berorientasi populis. Spirit populis dari Presiden Soekarno
juga ditunjukkan
dalam UU 21 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil, UU No. 21 1964 tentang Pengadilan Land Reform dan pembentukan organisasi Panitia Pelaksana Land Reform.78 Penyusunan undang-undang tersebut berkeyakinan bahwa introdusir politik agraria kapitalis dalam tatanan ekonomi bukan kapitalis mengakibatkan dekonstruksi sosial, alienasi petani dan mengakibatkan petani menjadi buruh upahan. Pergantian Orde Lama ke Orde Baru menyebabkan perubahan radikal dalam pentas politik agraria Indonesia, karena politik agraria Orde Baru merupakan anti tesa terhadap politik agraria Orde Lama. Bila politik agraria Orde
76
Prinsip yang terkandung dalam UUPA 1960 adalah nasionalitas, tanah mempunyai fungsi sosial, hak menguasai dari Negara, land reform dan perencanaan agraria. Uraian tentang UUPA 1960 lihat, A.P. Parlindungan, 1991. Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria. Bandung: Alumni.
77
Perputaran modal dapat digambarkan dalam skema: M (money) – C (Capital) – M (Money) atau C (Capital) – M (Money) C (Capital). Uraian mengenai watak kapital dan ekonomi klasik, lihat Sumitro Djojohadikusumo, 1991. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Yayasan Obor Indonesia.
78
Orientasi politik agraria populis Orde Lama ditunjukkan dengan pembentukan Organisasi/Panitia Pelaksana Land Reform dan Pengadilan Land Reform, yang strukturnya terbentuk dari tingkat Pusat sampai tingkat Kecamatan/Desa.
35
Lama bersifat populis maka politik agraria Orde Baru berorientasi kapitalis/liberal dan menganut kebijakan “rumah terbuka”.79 Anti tesa politik agraria Orde Baru antara lain: (1) Land reform yang sebelumnya merupakan strategi pembangunan80 dan bagian penting dari “Revolusi Indonesia” dijadikan rutinitas dan kegiatan teknis birokrasi. Rezim Orde Baru mengambangkan UU Pokok Agraria dan tidak menjadikannya sebagai induk peraturan keagrariaan, bahkan sejumlah undang-undang sektoral cenderung menegasikan semangat UU Pokok Agraria. (2) Penghapusan Pengadilan Land Reform dan organisasi Panitia Pelaksana Land Reform. Pengahapusan dua institusi itu melenyapkan legitimasi partisipasi petani dalam agraria, karena Organisasi dan Tata Kerja Penyelenggaraan Land Reform berdasarkan Kepres No. 55 tahun 1980 didominasi oleh birokrasi.81 Kepres ini merupakan bagian dari kebijakan sistemik pemerintah Orde Baru untuk memperkuat kontrol dan cengkraman birokrasi terhadap petani. Berbagai organisasi sosial dan ekonomi
yang hidup di pedesaan
sebelum Orde Baru yang merupakan underbouw dari partai politik dilarang beroperasi.82
79
Perubahan politik agraria itu digambarkan Wiradi: “dari berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan dan meletakkan masalah pembaruan agraria sebagai basis pembangunan” diubah total menjadi “bertumpu pada yang kuat (betting on the strong), mengandalkan bantuan, utang dari luar negeri dan mengundang modal asing”. Lihat Gunawan Wiradi, 2001. “Kedudukan UUPA 1960 dan Pengelolaan Sumberdaya Agraria di Tengah Kapitalisasi Negara (Politik Kebijakan Hukum Agraria Melanggengkan Ketidakadilan) dalam Jurnal Analisis Sosial Vo. 6. No.2 Juli 2001.
80
Lihat Gunawan Wiradi, “Kebijakan Agraria, Modal Besar dan Kasus-Kasus Sengketa Tanah.” Makalah pada Lokakarya Antar Wilayah Advokasi Kasus-Kasus Tanah, 1993. 81
Dalam organisasi Panitia Pelaksana Land Reform terdapat perwakilan organisasi petani, sedangkan dalam Tata Kerja Penyelenggaraan Land Reform didominasi birokrasi. Pemerintah hanya melibatkan organisai petani “boneka” pemerintah, yakni HKTI, karena sebagian besar pengurusnya berasal dari mantan atau pejabat yang tidak pernah hidup sebagai petani. Lihat Loekman Soetrisno, 1995. Menuju Masyarakat Partisipatif. Yogyakarta: Kanisius.
82
Kebijakan sistemik dilakukan dengan penyederhanaan partai politik, pemberlakuan floating mass dan peleburan berbagai organisasi sosial dan ekonomi dalam satu wadah tunggal dibawah kontrol pemerintah. Beragam koperasi di desa sebagai underbouw partai politik dihapus, kemudian disatukan dalam wadah tunggal Koperasi Unit Desa (KUD). Lihat Frans Husken dan Benjamin White, “Ekonomi Politik Pembangunan Pedesaan dan Struktur Agraria di Jawa” dalam Prisma No.4, 1989.
36
Kedua langkah itu dimaksudkan untuk menciptakan situasi yang kondusif bagi iklim investasi dan kenyamanan pemilik modal. Kebijakan bertumpu pada yang kuat (betting on the strong), merupakan ciri politik agraria kapitalis Orde Baru. Politik agraria kapitalis Orde Baru dapat diidentifikasi sebagai berikut: (1) tanah dijadikan sebagai kekayaan/milik individual (private), (2) tanah dijadikan sebagai komoditas atau perdagangan, (3) tanah ditujukan untuk kepentingan perusahaan nasional dan transnasional,83 (4) pelaku utama pengusahaan sumberdaya agraria adalah perusahaan skala besar (nasional dan transnasional), (5) peran, insiatif partisipasi dan akses masyarakat terhadap sumberdaya agraria dieliminasi dan dimarginalkan, 84 (6) kriminalisasi terhadap hak penguasaan dan pemilikan tanah berbasis komunitas dan kelembagaan lokal/adat. Sejalan dengan arus-utama politik agraria kapitalis, maka institusi agraria diarahkan untuk melayani kepentingan pemilik modal dan memfasilitasi transasksi pasar tanah.85 Karena itu politik agraria Orde Baru diawali dengan program Catur Tertib Pertanahan86 dan penyusunan berbagai regulasi yang kondusif masuknya investasi dalam pengelolaan sumberdaya agraria. Politik agraria pro pasar/bisnis yang berlangsung pada rezim Orde Baru, tidak banyak berubah secara berarti di bawah payung otonomi daerah. Dalam era otonomi daerah, kepala daerah berlomba dan merasa bangga bila berhasil mengundang pemilik modal untuk mengeksploitasi kakayaan alam yang berada di wilayah kekuasaannya. Dampak dari politik agraria pro bisnis dan investasi yang ditempuh oleh masing-masing Kepala Daerah menyebabkan laju kerusakan hutan
83
Faizi, mencatat politik agraria kapitalis Orde Baru berupa revolusi hijau, ekspolitasi hutan dan agro industri. Lihat Noer Faizi, 1991. Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta: INSIST, KPA, Pusaka Pelajar. 84
Uraian tentang politik ekonomi liberal lihat Sonny Keraf, 1996. Pasar Bebas, Keadilan dan Peran Pemerintah. Yogyakarta: Kanisius. 85
Sistem pasar identik dengan kapitalisme karena hubungannya yang integral dengan sistem hak milik pribadi dan prioritas pengejaran akumulasi laba. Pasar adalah sarana tukar menukar barang/jasa dan mekanisme untuk mengorganisir hidup bersama atas logika untung rugi. Lihat B. Herry Proyono, 2003. “Bangsa Dalam Tegangan Lokal Global” dalam Jurnal Filsafat dan Teologi, STF Driyarkara, Diskursus, Vol. 2 Oktober 2003.
86
Catur Tertib Pertanahan meliputi (1) tertib hukum pertanahan (2) tertib administrasi (3) tertib administrasi pertanahan dan (4) tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan. Peningkatan status Dirjen Agraria menjadi Badan Pertanahan Nasional tahun 1988 melalui Kepres Presiden No. 26 tahun 1988, tidak dimaksudkan untuk penataan tanah dalam konsep land reform, melainkan untuk mengontrol dan penguasaan tanah oleh pemerintah karena meningkatnya kebutuhan akan tanah.
37
di era otonomi daerah meningkat dengan pesat, sementara tingkat kesejahteraan masyarakatnya seperti jalan di tempat, tanpa ada perbaikan. Meskipun kebijakan pro investasi dan bisnis tersebut berdalih untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dalam analisis Tjondronegro (2001), kebijakan pro bisnis yang ditempuh oleh rezim Orde Baru dan pemangku otoritas di era reformasi didorong oleh “ambisi” yang ingin cepat merubah struktur ekonomi Indonesia dari pertanian ke perdagangan dan industri (merkantilisme ke neoklasik) dengan mengabaikan pembenahan agraria, yang dasar-dasarnya sudah dirumuskan dalam UUPA.87 Implikasinya dari politik agraria kapitalis adalah meluasnya eksploitasi sumberdaya agraria, ketimpangan struktural agraria dan merebaknya konflik agraria.88 Sekelompok kecil pengusaha memiliki akses besar terhadap sumberdaya agraria (sumberdaya hutan), sementara akses masyarakat sekitar hutan dibatasi dan dirampas haknya, kearifan rokal dan tradisi resiprositasnya diluruhkan.89 Atas dasar itu tak berlebihan jika dikatakan bahwa kinerja politik agraria kapitalis, gagal menjalankan tugas konstitusional melindungi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Di bawah payung politik agraria kapitalis, penyelenggara negara tidak mampu mengayomi dan melindungi masyarakat dan sumberdayanya secara adil dan demokratis. Karena sebagian agensinya, tidak mampu berperan menjadi wasit yang adil dalam distribusi sumberdaya dan mengatasi konflik agraria. Bahkan dalam sejumlah konflik agraria, penyelenggara berperan sebagai pihak berkepentingan dan menjadi representasi kelompok kepentingan.90
87
Sediono M.P.Tjondronegoro, 2001. “Pengelolaan Sumberdaya Agraria: Kelembagaan dan Reforma Agraria” dalam Jurnal Analisis Sosial, Vol.6 No.2 Juli 2001.
88
Kondisi ini disebabkan penguasaan sumberdaya hutan dijadikan sebagai alat kekuatan ekonomi dan politik elit penguasa dan pemilik modal. Tampilnya pengusaha konglemerat bukan karena kepiawian dan enterprenershipnya tapi karena difasilitasi negara sehingga berkembang Ersaz Capitalism” (Kapitalisme Semu). Lihat Yoshihara Kunio, 1990, Kapitalisme Semu Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES, 89 90
Awang, San Afri, (2003). Politik Kehutanan Masyarakat. Kreasi Wacana, Yogyakarta.
Dalam teori negara organis (1) negara merupakan akumulasi dari kelompok eksekutif, pengusaha, militer dan politisi (representasi partai politik), (2) masyarakat bagian dari negara dan kehendak negara sebagai manifestasi dan representasi rakyat (3) posisi negara kuat dan intervensionis dalam proses politik. Menurut pandangan Marxian, negara merupakan perpanjangan tangan dari pemilik modal/kapitalis. Lihat Bryan Tunner, 2002. Orientalisme, Posmodernisme dan
38
Politik agraria kapitalis yang menjadi ciri rezim Orde Baru, tidak berubah secara berarti setelah berlangsungnya era otonomi daerah.91 Di bawah payung otonomi, praktek pengelolaan sumberdaya semakin eksploitatif dan diwarnai ego kedaerahan dalam upaya meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Pada era otonomi daerah, politik sumberdaya agraria tidak didasarkan good governance, sebaliknya cenderung mengarah ke resentralisasi di tingkat lokal, yang mengakibatkan injustice the agrarian and ecology. Pemangku otoritas di tingkat lokal, tidak hanya tidak rela berbagi otoritas dengan masyarakat, tetapi otoritasnya sedapat mungkin mendatangkan manfaat dan keuntungan ekonomi serta melestarikannya secara hegemonik. Praktik nepotis dalam rekruitmen aparat birokrasi, elitis dalam pengambilan keputusan politik dan ekonomi serta birokrasi koorporasi yang menjadi ciri rezim Orde Baru,92 pada era otonomi dewasa ini gejalanya semakin mengemuka pada sejumlah pemerintah daerah. Stabilitas politik dan rekrutmen birokrasi daerah, tidak terkonstruksi atas mekanisme demokrasi dan profesionalitas tetapi atas keseimbangan, konfigurasi, koeksistensi kekuatan partai politik. Hegemoni, penetrasi dan ekpsploitasi sumberdaya pada era sentralisasi, berulang kembali dalam era otonomi daerah. Praktik birokrasi pemerintahan pada era otonomi merujuk Evers dan Schiel (1990) merupakan perpaduan weberisasi, parkinsonisasi dan orwelisasi93. Proses Weberisasi ditandai dengan penggunaan peraturan perundangundangan dan ketentuan formal yang memfasilitasi dan akses kepada pemilik modal menguasai dan mengeksploitasi sumberdaya untuk meningkatkan Globalisasi. Jakarta: Piora Cipta. Stepan mengidentifikasi kelompok kepentingan atas aliansi tripel (elit eksekutif pemerintah, elit eksekutif perusahaan, elit militer/elit politisi). Alfred Stepan, (1979). The State and Civil Society: Peru in Coorporative Perspective. Princeton: Princeton Univertrty Press. 91
Ini terjadi karena jatuhnya Orde Baru merupakan keberhasilan para pendukung neoliberalisme daripada keberhasilan massa rakyat. Kanishka Jayasuriya,”Negara, Pembangunan dan Globalisasi: Dari Kekuasan Negara ke Kekuasaan Pasar Global”, dalam Jurnal Wacana, Edisi 5, tahun II, 2000 dan James Petras dan Veltmeyer, 2002. Imperialisme Abad 21. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
92
Ciri penting dari birokrasi korporasi adalah (1) legalistik dan mencitrakan diri sebagai benevolence (pelindung, pengayom dan pemurah hati), (2) mempersepsi rakyat tidak tahu apa-apa, belum siap dan karenanya harus setia (obidience). Pola benevolence - obidience tidak hanya berlangsung dalam hubungan kerja tetapi merembes dan meluas dalam hubungan aparat dengan masyarakat. Nasikun. “Reformasi, Jalan Berliku Menuju Transisi Demokrasi” dalam Mahfud MD. Editor: Kritik Sosial Dalam Wacana Pembangunan. Yogyakarta: UII Press.
93
Lihat Evers, Hans Dieter dan Schiel, 1990. Kelompok Strategis: Perbandingan Tentang Negara Birokrasi dan Pembentukan Kelas di Dunia Ketiga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
39
pendapatan asli daerah (PAD). Di sisi lain,
terdapat peraturan perundang-
undangan yang membatasi dan mengabaikan hak-hak sosial ekonomi komunitas. Proses weberisasi politik tata kelola sumberdaya agraria pada era otonomi daerah, selain lemah dalam kordinasi dan tidak sinergi, juga tidak berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat dan tidak memihak pada wong cilik. Proses weberisasi hanya mengukuhkan arogansi agensi pemerintah sejalan dengan semakin tambunnya kelembagaan birokrasi yang disebut Evers dan Schiel, parkinsonisasi. Pembentukan struktur baru dan peningkatan jumlah personal agensi (Kecamatan, Dinas Pertanian, Kehutanan), tidak mempermudah pelayanan dan akses komunitas pada sumberdaya agraria dan perbaikan kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya parkinsonisasi cenderung mendorong semakin intensifnya proses orwelisasi, yakni meningkatnya pengawasan dan pembatasan pemerintah daerah terhadap wong cilik untuk mengakses sumberdaya. Tetapi proses orwelisasi berlangsung secara transaksional. Proses orwelisasi dalam bentuk penegakkan hukum terhadap aktivitas illegal logging yang melibatkan oknum penguasa dan pemilik modal cenderung mandul, meskipun berakibat rusaknya ekosistem sumberdaya hutan dan mengakibatkan kritisnya kawasn hulu DAS. Lain halnya bila aktivitas illegal logging tersebut melibatkan wong cilik, aparat penegak hukum tidak segan mengkriminalkan dan melakukkan aksi polisionil. Politik agraria berciri Weberisasi, Parkinsonisasi dan Orwelisasi, merujuk pada Beck mengantarkan Indonesia berada pada risk society,
94
yakni kondisi
masyarakat yang kian dicengkram individualistik dan kekuatan pasar yang disebabkan manufactured risk (bencana akibat perbuatan dan keputusan politik yang tidak tepat). Bencana banjir, kebakaran hutan, deforestasi, ketimpangan sosial, merupakan manufactured risk yang diakibatkan keputusan politik untuk kepentingan politik berdurasi pendek dan demokrasi prosedural. Sementara substansi politik dan demokrasi untuk kesejahteraan masyarakat terabaikan. Pentas panggung politik demikian oleh Blau95 sebagai pertanda bentuk akhir dari
94
Lihat Beck, Ulrich, 2000. “Risk Society Revisited: Theory, Politics and Research Programmes” in J. Van Loon (ed). The Risk Society and Beyond Critical Issues for Social Theory. London: Sage.
95
Lihat Turner, Jonathan, 1998. The Structure of Sociological Theory. First Edition,Wadsworth Publishing Company.
40
kekuasaan, karena kekuasaan tidak menjadi solusi masalah masyarakat, tetapi menjadi sumber masalah bagi masyarakat. Kondisi inilah yang disebut oleh penulis kegagalan politik agraria sehingga politik agraria transformatif menjadi semakin penting. 2.4. Kerangka Pikir Bentuk rezim hak milik sumberdaya berkisar antara milik negara (state property), diatur bersama (common property) atau berupa hak individu (private property). Rezim hak merupakan alat kendali penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria dan relasi sosial antara kelompok masyarakat. Rezim hak sumberdaya berbasis komunitas, bersumber dari tradisi, trust, budaya dan religi. Hubungan teknis dan hubungan sosial agraria pada komunitas lebih menekankan keseimbangan dan keberlanjutan daripada keuntungan ekonomi berdurasi pendek. Hal ini berbeda dengan hubungan teknis dan hubungan sosial agraria berbasis state/business property bersifat reduksionis, utilitarian dan eksploitatif. Dalam istilah Evers dan Schiel kelembagaan agraria berbasis negara bercirikan weberisasi dan orwelsiasi dan perilaku individual aparatnya cenderung oportunis. Pada rezim hak berbasis bisnis, sumberdaya dan kelembgaannya diletakaan sebagai vehicle to get power semata-mata. Akibatnya sejarah rezim hak state/private property gagal mewujudkan tujuan konstitusional untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.
Indikasinya adalah meluasnya konflik agraria,
terancamnya keberlanjutan sumberdaya dan luruhnya kelembagaan komunitas. Komunitas yang telah memiliki hubungan teknis dan sosial, hak sejarah dan ekonominya dimarginalkan. Kelembagaan lokal buyut,
pipeling, liliuran,
kajaroan dan kaguronan dan kearifan lokal yang kondusif untuk agroforestry berkelanjutan dimarginalkan. Dampak lebih lanjut dari marginalisasi kelembagaan lokal adalah tergerusnya kemandirian masyarakat dan hilangnya potensi masyarakat untuk membangun kelembagaan DAS partisipatif. Peluruhan kelembagaan lokal di DAS Cidanau ditandai dengan melemahnya modal sosial, resiprositas, pudarnya kearifan lokal budidaya tanaman obat-obatan dan zonasi hutan. Peluruhan
41
kelembagaan komunitas yang disebabkan oleh manufactured risk mengarah pada risk society. Risk society terjadi karena manufactured risk berlangsung secara sistematik. Pada aras sistem, diwarnai dengan weberisasi dan orwelisasi (pengawasan ketat terhadap wong cilik tetapi lembut terhadap penguasa dan pengusaha). Pada aras organisasional, ditandai dengan menguatnya ego sektoral dan kontestasi sektoral serta proses pengambilan keputusan secara hegemonik dan berdasarkan demokrasi prosedural. Pada aras individual, ditandai dengan sikap agensi yang cenderung oportunis dan menempatkan otoritasnya atas sumberdaya sebagai vehicle to get power bagi kelompok kepentingan. Dalam kawasan hulu DAS Cidanau indikasi dari risk society adalah peluruhan kelembagaan lokal, kegagalan mewujudkan politik agraria berkeadilan dan tata telola DAS secara partisipatif. Kegagalan mewujudkan politik agraria berkeadilan ditandai dengan meluasnya konflik agraria, penggusuran petani, munculnya predator agraria, kepedulian semu terhadap jasa lingkungan. Kondisi ini hanya mungkin dipecahkan dengan melakukan transformasi politik agraria kehutanan, pertanian dan pengelolaan kawasan DAS. Politik agraria transformatif diperlukan supaya sumberdaya hutan terpelihara dan terdistribusi secara adil. Sumberdaya hutan yang terkelola dengan baik yang didukung oleh kelembagaan tepat dan berkelanjutan merupakan modal ekonomi dan modal sosial dalam mengahadapi persaingan dan perubahan iklim global. Kerangka pemikiran dari penelitian ini diilustrasikan dalam Gambar 1 di bawah.
42
Rezim Hak Sumber daya Berbasis Bisnis
Rezim Hak Sumber daya Berbasis Negara
Pertukaran&Pasar
Institusi Pengendali
Dominatif dan Eksploitatif
Justifikasi Moral
Majikan Buruh
Hubungan Produksi
Rezim Hak Sumberdaya Berbasis Komunitas
Kelembagaan Komunitas Keselarasan dan Keberlanjutan Berbasis Bisnis Kekeluargaan/ Kolekktivitas
Korporasi
Agensi
Kolektif/Individu al
Kompetisi & Liberal
Pendekatan
Holistik Kontestasi Sektoral
Peluruhan Kelembagaan Lokal dan Kegagalan Politik Tata Kelola Agraria
Politik Agraria Transformatif
Gambar 1. Kerangka Pikir
2.5. Hipotesa Pengarah Hipotesa pengarah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Dinamika unsur-unsur kelembagaan lokal pada komunitas petani di hulu DAS Cidanau dipengaruhi oleh adaptabilitas, dinamika internal dan intensitas interaksinya dengan kekuataan supralokal. 2. Kontestasi sektoral dalam proses pembangunan ekonomi pedesaan dan komunitas sekitar hutan
di kawasan DAS Cidanau menimbulkan konflik
agraria dan kapitalisasi sumberdaya pedesaan. 3.
Negara sebagai regulator dan protektor yang bertugas memfasilitasi dan memberi payung hukum dalam kenyataan empirik sering tampil sebagai bagian dari kelompok kepentingan yang memiliki karakter meluruhkan kelembagaan komunitas dan terancamnya eksistensi politik agraria yang berkeadilan.
43
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Metodologi dan Kerangka Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman mengenai interaksi kelembagaan lokal dengan supra lokal dalam tata kelola sumberdaya agraria di hulu DAS dengan menggunakan metodologi kritis.96 Penggunaan metodologi kritis didasarkan pertimbangan, posisi tineliti yang termarginalkan dan rendahnya perhatian dan apresiasi dari pihak agensi terhadap kelembagaan lokal, meskipun kondusif untuk konservasi tanah dan air kawasan hulu DAS. Penggunaan metodologi kritis, dimaksudkan agar dapat membongkar dimensi struktur pengetahuan dan kekuasaan yang mengalienasi komunitas dan mendorong kesadaran kolektif
(collective conscious-ness) tineliti
untuk
melakukan perubahan dan perbaikan terhadap posisi sosial dan ekonominya yang termarginalkan. Sejalan dengan metodologi kritis, maka penelitian ini tidak hanya mendeskripsikan interaksi komunitas lokal dengan kekuatan supralokal, tetapi juga menganalisis dampak negatifnya terhadap kehidupan sosial ekonomi tineliti. Merujuk pada Cavallaro (2004) proses penelitian ini sebagai riset transformatif, karena melakukan kritik sosial terhadap politik tata sumberdaya agraria yang berlangsung di wilayah kajian. Secara metodologis hubungan peneliti-tineliti dalam penelitian ini bersifat transaksional, dalam arti terjalin interaksi dan dialog, ealitas dan temuan diletakkan dalam kerangka pemikiran dunia peneliti dan teneliti. 97 Perspektif dan pendekatan emik lebih menonjol daripada etik. 98
96
Secara ontologi, teori kritis memaknai realitas dibentuk oleh sejarah sosial, politik dan ekonomi. Epistimologi teori kritis memaknai hubungan peneliti-tineliti bersifat transaksional, termediasi nilai dan aksiologinya memandang ilmu tidak bebas nilai, etika dan pilihan moral menentukan pilihan penelitian. Dalam istilah Habermas, ilmu terkait dengan kepentingan, kepentingan berada dibalik dan memandu setiap sistem pengetahuan dan tugas ilmuan adalah mengungkapnya. Pilihan pada paradigma kritis diyakini dapat memotret penetrasi supralokal terhadap kelembagaan lokal secara terang benderang. Lihat Akhyar, Lubis, 2004. Paradigma Baru dan Persoalan Metodologi Ilmu Sosial-Humaniora dan Budaya Pada Era Postmodern. Jakarta: PPS UI. Peneliti tidak menggunakan paradigma kritis secara murni karena peneliti tidak sepenuhnya terlibat dalam pemberdayaan tineliti, hanya terlibat secara temporal dalam proses penyadaran. 97
Hubungan pengetahuan dan kepentingan manusia bersifat dialektik. Sistem pengetahuan ada pada level objektif sedangkan kepentingan atau minat manusia adalah fenomena subjektif . Lihat, Ritzer Geoge & Goodman Douglas J, 2004. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media.
44
3.2. Pokok Penelitian dan Metode Pengumpulan Data Pokok dan unit analisis penelitian ini mencakup tata kelola sumberdaya agraria berbasis kelembagaan lokal, kontestasi sektoral, peluruhan kelembagaan lokal dan kegagalan politik tata kelola sumberdaya agraria kawasan hulu DAS Cidanau. Masing-masing konsep dan cara pengumpulan datanya disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Pokok Penelitian dan Metode Pengumpulan Data Pokok Penelitian
Metode Pengumpulan Data
Gambaran Umum - Pengamatan dan pencatatan atas obyek-obyek visual: Lokasi - Desa Penelitian kondisi geografis, fasilitas fisik, infrastruktur transportasi dan komunikasi, data demografi, monografi desa dan dokumen lainnya di desa/kecamatan tempat penelitian. - Wawancara dengan informan kunci (aparat desa, tokoh masyarakat, pengurus/anggota kelompok tani hutan Kelembagaan Lokal - Wawancara mendalam dengan informan kunci tentang (Buyut, Pipeling, Lilipengetahuan lokal, tradisi dan praktik tata kelola uran, tanah kajaroan sumberdaya agraria komunitas. dan tanah kaguronan) - Wawancara mendalam dengan informan kunci mengenai nilai dan norma sosial dalam hubungan ketetanggaan, kekerabatan, pemilikan, penguasaan dan warisan tanah - Wawancara mendalam dengan informan kunci tentang kelembagaan buyut, pipeling, liliuran, kajaroan dan kaguronan Kelembagaan hubung- - Wawancara mendalam dengan petani dan informan kunci an sosial dan teknis tentang aktivitas produksi dan konsumsi. agraria - Wawancara mendalam dengan informan kunci berkaitan dengan bentuk penguasaan, pemilikan, pemanfaatan tanah, distribusi, bagi hasil, transfer hak penguasaan tanah (hibah/wakaf, warisan, jual beli dan gadai tanah) dan hubungan sosial agraria (hubungan pemilik dengan pemilik, pemilik dengan penyewa dan pemilik-penggarap). Kontestasi Sektoral dan Kontestasi Kelembagaan Lokal - Supralokal
98
- Mengkaji regulasi, program dan pelaksanaan pembangunan sektoral (pertanian, kehutanan, lingkungan hidup dan pekerjaan umum) melalui diskusi berfokus, studi dokumentasi dan wawancara mendalam. - Mengkaji jejaring kelembagaan komunitas dan stakeholder DAS (pemerintah, FKDC, LSM dan toloh masyarakat) melalui wawancara mendalam dan diskusi berfokus. - Wawancara mendalam dengan informan kunci mengenai kearifan lokal, praktik agroforestry dan konservasi tanah dan air.
Lihat David Kaplan dan Albert A Manners, 1999. Teori Budaya: Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
45
Peluruhan Kelembagaan Lokal
Kegagalan Politik Agraria
Menganalisis kebijakan, program dan implementasinya serta perilaku agensi pembangunan yang mengakibatkan peluruhan kelembagaan komunitas (buyut, pipeling, liliuran) melalui FGD, studi dokumentasi dan wawancara mendalam dengan informan kunci (aparat instansi teknis, aparat kecamatan, aparat desa, pimpinan kelompok tani dan LSM). - Mengkaji kebijakan dan implementasi pembangunan kehutanan, pertanian dan infrastruktur di kawasan DAS Cidanau yang mengakibatkan ketimpangan dan konflik agraria melalui FGD, studi dokumentasi dan wawancara mendalam dengan informan kunci - Mengkaji kondisi ekologi area cagar alam dan konservasi/ area obyek jasa lingkungan dan area konflik melalui wawancara mendalam dengan informan kunci dan studi dokumentasi - Menganalisis ajang-ajang sosial dalam masyarakat melalui wawancara mendalam dengan informan kunci.
3.3. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus,99 yakni studi yang memfokuskan pada kasus tertentu yaitu dinamika kelembagaan lokal, kontestasi sektoral, peluruhan kelembagaan dan kegagalan politik agraria kawasan hulu DAS Cidanau. Penggunaan metode studi kasus dalam penelitian ini disertai penggunaan metode sejarah sosiologis dengan maksud untuk mengungkap sejarah dan dinamika politik tata kelola sumberdaya agraria yang berdampak negatif terhadap dekonstruksi kekehidupan sosial ekonomi masyarakat. Kegiatan penelitian ini juga menggunakan metode interpretatif hermeneutik untuk menafsirkan fakta sosial atau teks sosial100 di masyarakat dengan maksud dapat menangkap fenomena dibalik realitas empirik.
99 Pilihan atas studi kasus karena peneliti bertujuan memahami situasi-situasi yang unik dan mengidentifikasinya dengan menggali informasi secara mendalam. Kasus yang dipelajari bervariasi seperti, individu, komunitas, kelembagaan, kelompok sosial dalam periode waktu tertentu yang kemudian dijelaskan secara konfrehensif dan terintegrasi. Lihat Yin, R, (1996). Studi Kasus: Desain dan Metode. Radja Grafindo Persada, Jakarta; Creswell, John W, 1994. Research Disign: Qualitative and Quantitative Approaches. USA: Saga Publications. 100
Pengertian teks dalam perspektif metode interpretatif hermeneutik tidak terbatas pada sumber tertulis tetapi juga teks sosial berupa pemikiran, gagasan, ide dan realitas batin/konteks fenomena yang muncul. Teks tulisan dan teks sosial perlu diinterpretasikan dan didialogkan untuk menjadi
46
Penggunaan metode interpretatif hermeneutik didasarkan atas asumsi bahwa nilai, tradisi, kearifan lokal tata kelola sumberdaya agraria komunitas dan perilaku agensi adalah realitas sosial yang dipengaruhi oleh kepentingan politik ”tersembunyi”.101 Dengan menggunakan multi-metode, persoalan yang dikaji dapat terungkap secara utuh dan memungkinkan peneliti menjadi “God’s Eye Point of View” dalam mengamati realitas/fenomena yang diteliti dan unit analistis/ variabel penelitian dapat dikonsktruksi secara komprehensif.
3.4. Pemilihan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di tiga desa di kawasan DAS Cidanau, yakni102 Desa Citanam di wilayah Kecamatan Ciomas dan Desa Citasuk dan Desa Cibojong di Kecamatan Padarincang. Pemilihan ketiga lokasi atas pertimbangan: 1. Desa Citanam merupakan salah satu desa di kawasan hulu DAS Cidanau yang memiliki sejarah sosiologis unik dan khas, adanya kelembagaan buyut, pipeling, liliuran, tanah kajaroan dan tanah kaguronan. 2.
Komunitas di hulu DAS Cidanau memiliki tradisi agroforestry dan kearifan lokal tata kelola sumberdaya yang mendukung konservasi tanah, air dan hutan yang kondusif untuk tata kelola sumberdaya agraria berkelanjutan.
3. Kelompok petani hutan di Desa Citanam dan Desa Cibojong terlibat dalam jejaring kelembagaan hubungan hulu hilir dalam bentuk mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang kondusif untuk tata kelola DAS terpadu. 4.
Dalam kawasan Das Cidanau terdapat Cagar Alam Rawa Danau sebagai kawasan
endemik
situs konservasi rawa pegunungan satu-satunya yang
narasi yang bermakna. Lihat Akhyar, Lubis, (2004), Metode Hermeneutika dan Penerapannya pada Ilmu Sosial, Budaya dan Humaniora. PPS UI, Jakarta. 101
Penggunaan metoda interpretatif hermeneutik dimaksudkan untuk dapat menyingkap kesalahan dan distorsi teks sosial, komunikasi dan tindakan sosial, sehingga dimungkinkan untuk memahami tanda-tanda, makna, tampilan atau simbol-simbol yang muncul dalam suatu peristiwa. Seperti penafsiran terhadap tanda-tanda atau simbol-simbol yang muncul dalam praktek liliuran. Uraian tentang metoda interpretatif hermeneutik Lihat Akhyar, Lubis, Akhyar, 2004. Paradigma Baru dan Persoalan Metodologi Ilmu Sosial-Humaniora dan Budaya Pada Era Postmodern. Jakarta: PPS UI.
102
DAS Cidanau merupakan salah satu DAS di wilayah Provinsi Banten, luasnya sekitar 22.620 ha mencakup 38 desa (33 desa berada pada lima kecamatan di Kabupaten Serang dan lima desa berada di wilayah Kecamatan Mandalawangi Kabupaten Pandeglang. Lihat Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konsrvasi Tanah DAS Cidanau, Bappeda Kabupaten Serang – Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (BRLKT), DAS Citarum- Ciliwung, 1999.
47
tersisa di P. Jawa.
Tetapi karena proses pembiaran dan salah urus
menyebabkan hampir sepertiganya diduduki oleh petani lapar tanah sebagai akibat ketimpangan struktur agraria di kawasan tersebut. Karakteristik ketiga desa atau lokasi peneilitian tersebut diharapkan dapat menggambarkan dan mengungkap arah orientasi politik tata kelola sumberdaya yang berlangsung di Indonesia dan khususnya di kawasan DAS Cidanau.
3.5. Informan Penelitian Pemilihan informan dilakukan secara purposive snowball sampling yang melibatkan 52 orang. Kriteria dasar pemilihan informan adalah mereka yang menjadi bagian dari peristiwa dan mengetahui masalah yang diteliti. Informan yang terpilih mempunyai berbagai ragam latar belakang sosial (petani, pamong desa, pejabat pemerintahan, tokoh masyarakat, pengurus/anggota LSM dan Kelompok Tani, dan Kelompok Tani Hutan. Rincian informan sebagai berikut: (1) Pengurus Kelompok Tani Hutan sebanyak sepuluh orang terdiri dari Desa Citaman: empat orang, Desa Citasuk dan Cibojong masing-masing tiga Orang; (2) Tokoh Masyarakat sebanyak sembilan orang berasal dari Desa Citaman tiga orang, Desa Cibojong tiga orang dan Desa Citasuk tiga orang; (3) Pengurus Rekonvasi Bumi tiga Orang; (4) Pengurus Forum Komunikasi DAS Cidanau sejumlah tiga orang; (5) Penyuluh pertanian/kehutanan empat orang terdiri dari penyuluh pertanian/kehutanan Kecamatan Padarincang dua orang dan Kecamatan Ciomas dua orang; (6) satu Kepala Desa dan delapan orang aparat Desa terdiri dari empat orang Desa Citaman, dua dari aparat Desa Cobojong dan dua orang aparat Desa Citasuk; (7) Dinas Pertanian: dua orang, Dinas Kehutanan: dua orang), Bappeda dan Bapedal masing-masing dua orang, (8) Staf BKSD Banten dua orang dan empat orang Staf UPT DAS Cidanau.
3.6. Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui pengamatan, pengamatan berperan serta, wawancara mendalam dan Focus Group Discussion (FGD), sedangkan data sekunder dikumpulkan melalui studi dokumentasi. Wawancara
48
mendalam dilakukan untuk menggali informasi, keterangan dan penjelasan dari tineliti/aktor yang terlibat dalam kelembagaan komunitas dan pelaksana kebijakan yang berdampak pada peluruhan kelembagaan buyut, pipeling, liliuran, kajaroan dan kaguronan, kearifan lokal dan praktik tata kelola sumberdaya yang kondusif untuk agroforestry berkelanjutan. Wawancara mendalam dilakukan untuk mendalami fenomena dan realitas batin tineliti/informan, berkenaan dengan persepsi, pengalaman aktor dalam suatu peristiwa yang menjadi sasaran penelitian.Wawancara mendalam dengan tineliti dilakukan secara lepas dengan terlebih dahulu menyiapkan pokokpokok pertanyaan yang diajukan. Narasumber/informan kunci dalam wawancara mendalam berasal dari berbagai strata, kelompok dan organisasi baik formal dan informal di tingkat desa, instansi teknis (pertanian, kehutanan, UPT DAS, FKDC) dan LSM. Informasi, keterangan dan penjelasan yang digali melalui wawancara mendalam dijadikan bahan diskusi kelompok berfokus.
Pesertanya adalah
informan kunci (tokoh masyarakat, pengurus dan anggota kelompok tani, aparat desa, pejabat instansi teknis dan aktivis LSM) dikelompokkan sesuai dengan stratanya, agar terhindar dari rasa sungkan dan dapat mengungkap data dan fenomena secara akurat. Kegiatan Diskusi berfokus dimaksudkan untuk konfirmasi secara kognitif dan emosional dan pemahaman bersama dan mendalam tentang fokus penelitian. Pengaamatan berperan serta dilakukan untuk mendeteksi pola perilaku sosial dalam merespon tekanan struktural yang berasal dari kekuatan supralokal. Pengaamatan berperan serta ditujukan untuk mengamati secara langsung pengalaman, tindakan sosial/kolektif dan individual, hubungan teknis agraria dan jaringan kelembagaan yang berlangsung di tengah masyarakat.
3.7. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data yang terkumpul diolah dengan menggunakan pendekatan analisis kualitatif. Analisis data kualitatif merupakan penelusuran terhadap pernyataanpernyataan tentang hubungan antara berbagai kategori data untuk mengkonstruksi suatu fenomena sosial. Analisis data kualitatif merupakan proses mengatur urutan
49
data dan mengorganisasikannya ke dalam suatu pola kategori dan satuan uraian dasar. Pengkategorian data disesuaikan dengan pertanyaan dan tujuan penelitian agar memudahkan seleksi, deskrispsi, interpretasi dan analitis sebagai bahan konseptualisasi, komparasi, narasi dan konstruksi. Tahapan analisis data dalam penelitian ini merujuk pada pendapat Mathew dan Michael, (1992)103 meliputi tiga tahapan: (1) membandingkan kejadian/ fenomena yang cocok dengan kategorinya; (2) mengintegrasikan kategori dengan ciri-cirinya; (3) merumuskan dan mengkonstruksi konsep sesuai dengan teori yang relevan. Proses kategorisasi kejadian atau fenomena sosial dimulai dengan mengelompokkan berdasarkan nama, fungsi atau alasan tertentu sebagai bahan menyusun narasi dan abstraksi. Dalam upaya memperoleh kebenaran ilmiah, data/informasi diuji silang melalui teknik triangulasi metode, triangulasi sumber dan triangulasi teori. Data dan informasi hasil wawancara dengan informan kunci, dibandingkan dengan hasil diskusi berfokus, selanjutnya dibanding ulang dengan data hasil pengamatan berperan serta yang dilakukan di ajang sosial dalam masyarakat. Abstraksi dan ekplanasi dirumuskan setelah ada kesepamahaman peneliti dan tineliti.
3.8. Jadwal Penelitian Penelitian dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama persiapan dan penjajakan, berlangsung pada bulan Maret April 2008. Tahap ini digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang kondisi sosial, politik, ekologi sumberdaya agraria yang terdapat di kawasan hulu DAS Cidanau. Tahap kedua dilakukan pada Mei sampai dengan Oktober 2008, kegiatan penelitian terfokus di tiga desa yakni Desa Citanam, Desa Citasuk dan Desa Cibojong. Dalam rentang waktu Mei Oktober 2008 peneliti tidak secara terus menerus tinggal di lokasi, tetapi secara periodik dengan maksud untuk mengambil jarak dengan tineliti. Tahap ketiga dilakukan berlangsung dari April sampai dengan Mei 2009. Tahap ini digunakan untuk “panajaman” terkait dengan arahan pembimbing untuk mengungkap kontestasi sektoral dalam pembangunan sumberdaya agraria dan pedesaan yang memarginalisasi 103
kelembagaan
komunitas
di
kawasan
DAS
Cidanau.
Matew, Miles dan Michael, Hubermmne, 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta; UI Press.
50
BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
4.1. Kondisi Geografi Dan Demografi DAS Cidanau DAS Cidanau seluas 22.620 hektar merupakan salah satu DAS di wilayah Provinsi Banten. Kondisi geografis DAS Cidanau berbentuk topografi yang didominasi oleh pegunungan di sebelah Utara dan Barat dan dataran rendah di belahan Selatan dan Timur. Kawasan DAS Cidanau mencakup 38 desa (33 desa berada di lima kecamatan di Kabupaten Serang dan lima desa di wilayah Kecamatan Mandalawangi Kabupaten Pandeglang). Sungai Cidanau merupakan sungai utama DAS Cidanau yang menampung aliran air dari sekitar 17 batang anak sungai besar dan kecil (misal Cikalumpang, Cisaat, Cisawarna, Cibojong, Cikondang dan Cicangkedan) yang bermuara di Selat Sunda.104 Kelerengan DAS Cidanau dibedakan atas lima klasifikasi, dataran dengan kelerengan 0 - 8 derajat sekitar 39,36 persen, landai 8 - 5 derajat mencapai 15,16 persen, agak curam 15–26 derajat mencapai 19,19 persen, curam 25 - 40 derajat sekitar 14,63 persen dan sangat curam > 40 derajat sekitar 11,66 persen. Tata guna tanah di kawasan DAS Cidanau meliputi lahan sawah (30 persen), agroforestry (27 persen), kebun campuran (16 persen), rawa (9 persen), ladang (9 persen), hutan (7 persen) dan pemukiman (2 persen ).105 Jumlah penduduk di wilayah DAS Cidanau sebanyak 133.213 jiwa terdiri dari 66.872 jiwa laki-laki dan 66.341 jiwa perempuan. Berdasarkan klasifikasi struktur umurnya dibedakan tiga golongan, yaitu usia anak-anak (0 - 15 tahun) berjumlah 52.770 jiwa (39,61 persen), usia produktif (16 - 60 tahun) sebanyak 74.259 jiwa (55,74 persen) dan sisanya berusia lanjut sebanyak 6.184 jiwa (4,60 persen). 4.2. Kondisi Geografis Dan Demografis Lokasi Penelitian Secara geografis desa/lokasi penelitian dijelaskan sebagai berikut. Desa Citasuk sebagian wilayahnya daratan rendah dan tanah tadah hujan, sebagian besar
104
Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah DAS Cidanau, Bappeda Kabupaten Serang – Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (BRLKT), DAS CitarumCiliwung, 1999. 105
Potensi dan Masalah DAS Cidanau. Forum Komunikasi DAS Cidanau (FKDC), 2005.
51
aktivitas ekonomi penduduk untuk memenuhi kebutuhan pokoknya menanam padi, palawija dan berdagang. Hal Ini berbeda dengan kondisi geografis Desa Cibojong terbagi atas dua bagian, bagian bawah geografinya didominasi daratan rendah, lahan sawah dan bagian atas terdiri dari lereng perbukitan yang digunakan penduduk untuk pertanian lahan kering. Kondisi geografi dan topografi Desa Citaman memiliki kategori desa hutan dan sebagian besar aktivitas penduduknya adalah berladang, menanam tanaman perkebunan dan agroforestry. Lokasi desa Citaman terletak di bagian Selatan kaki Gunung Pangarang pada ketinggian sekitar 350 meter dari permukaan laut, sedangkan Wilayah Desa Citasuk dan Desa Cibojong sekitar 300-325 meter dari permukaan laut. Wilayah Desa penelitian dengan desa-desa sekitarnya dihubungkan oleh area perkebunan rakyat, perkampungan, sungai, dan batas alam lainnya. Bagi penduduk, kondisi topografi dan geografi bukan hanya sebagai sarana mencari nafkah tetapi juga tempat tinggal sekaligus sarana membangun relasi sosial dan kultural dengan lingkungannya. Ikatan sosial kultural penduduk dengan lingkungannya terlihat dari kelembagaan lokal tata kelola sumberdaya agraria yang hidup pada desa tersebut. Perkampungan Desa Citaman membentang dari Utara ke Selatan. Pusat pemerintahan Desa berada di bagian Utara dan bawah wilayah desa, sementara sebagian besar penduduk bermukim di bagian selatan dan atas desa. Area perkebunan rakyat penduduk Desa Citaman berada di sekitar kampung terpencar mengikuti pola penyebaran penduduk. Perkampungan wilayah Desa Citaman dikelilingi oleh kebun penduduk. Ini berbeda dengan perkampungan desa Citasuk, dikelilingi batas alam (sungai, rawa dan sawah) dan batas buatan (jalan/gang). Landscape (bentang darat) perkampungan Desa Citasuk membentang dari Barat ke Timur, dengan pusat pemerintahan berada di tengahnya. Bentang darat perkampungan wilayah Desa Cibojong dari Utara ke Selatan. Pusat Pemerintahan Desa berada di bagian Selatan, sedangkan sebagian besar penduduk bermukim di bagian Utara desa. Bila diletakkan dalam pembagian wilayah menurut Geertz,106 Desa Citaman dan Cibojong
106 Geertz membedakan wilayah Indonesia atas Indonesia “dalam” dan Indonesia “luar”. Indonesia dalam mencakup Jawa, Madura dan Bali, Indonesia luar meliputi wilayah yang tidak termasuk wilayah Indonesia dalam. Wilayah Indonesia dalam dan luar, dibedakan atas dasar perbedaan ekologi yang berdampak pada sistem pertanian. Di wilayah Indonesia “dalam” tanah subur, beririgasi teknis
52
merupakan desa yang berada di wilayah Indonesia ”dalam”, tetapi memiliki karakteristik topografi wilayah Indonesia luar. Sedangkan kondisi geografi Desa Citasuk merupakan perpaduan Indonesia ”dalam” dan wilayah Indonesia ”luar”. Landscape perkampungan masing-masing desa, tampaknya berimplikasi pada intensitas interaksi sosial dan pertukaran informasi masyarakatnya inward looking atau outward looking. Pembagian wilayah desa atas dan bawah, ternyata bukan hanya secara fisik tetapi berkaitan dengan perbedaan akses dan posisi politik. Pertukaran informasi antar penduduk Desa Citaman dan Cibojong cenderung inward looking; kohesivitas, kerukunan dan kebersamaannya lebih kuat dibandingkan yang berlangsung di Desa Citasuk yang bersifat outward looking. Sebaran pemukiman penduduk yang terpilah atas dan bawah pada Desa Citaman dan Cibojong ternyata ada kaitannya dengan hubungan sosial super ordinate-sub ordinate.107 Di mana pemegang kekuasaan (ruling class) dan pusat pemerintahannya pada kedua desa dikuasai oleh penduduk yang bermukim di bagian bawah desa.
Kondisi ini tidak terjadi di desa Citasuk, pemukiman penduduknya
tidak terbentuk atas dan bawah, melainkan menyebar pada sejumlah kampung. Struktur sosial dan politiknya didasarkan tingkat penguasaan dan pemilikan aset ekonomi (tanah, bentuk rumah, tingkat penghasilan, kendaraan bermotor dan peralatan rumah tangga dan jenis pekerjaan). Struktur fisik wilayah desa dengan variasinya juga berpengaruh terhadap aktivitas pertanian, demografi dan ekonomi penduduk. Pengaruh kondisi geografi desa terhadap demografi, antara lain terlihat dari perbedaan kepadatan, sebaran dan struktur penduduk desa. Pada desa di mana struktur fisiknya sebagian besar berlereng dan berbukit, kepadatan penduduknya lebih rendah dibandingkan desa yang struktur fisiknya sebagian besar dari dataran. Struktur penduduk pada ketiga desa disajikan pada Tabel 3. lahan basah dan intensif; sedangkan di wilayah Indonesia “luar” kurang intensif dan pertanian lahan kering. Lihat Clifford Geertz, 1983. Involusi Pertanian. Jakarta: Bhratara. Tipologi Indonesia dalam dan Indonesia luar yang dikemukakan Geertz dewasa ini mengalami perubahan, sentra padi dan pertanian intensif bukan hanya ada di Jawa, Madura dan Bali tetapi juga tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. 107
Penduduk bagian atas Desa Citaman menyebut penduduk bagian bawah dan di pusat pemerintahan desa sebagai urang landeuh, sedangkan penduduk bagian bawah menyebut penduduk bagian atas sebagai urang tonggoh atau “urang gunung”/urang kebon. Sebutan urang landeuh dan urang tongoh yang digunakan oleh warga tidak merupakan identitas budaya tetapi menggambarkan dinamika interaksi komunitas. Diolah dari umber primer.
53
Tabel 3. Struktur Penduduk Desa Citaman, Citasuk dan Cibojong Menurut Kelompok Usia No
1 2 3 4 5
No
1 2 3 4 5 No
Nama Desa Kelompok Umur 0 - 6 tahun 7 - 15 tahun 16 - 18 tahun 19 - 55 tahun > 56 tahun Jumlah Nama Desa Kelompok Umur
0 - 6 tahun 7 - 15 tahun 16 - 18 tahun 19 - 55 tahun > 56 tahun Jumlah Nama Desa Kelompok Umur 0 - 6 tahun 7 - 15 tahun 16 - 18 tahun 19 - 55 tahun > 56 tahun Jumlah
Citaman Jenis Kelamin Jumlah Laki-laki Perempuan 124 141 265 181 193 374 167 176 343 239 222 461 58 59 117 769 791 1.560 Cibojong Jumlah Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 323 321 644 424 439 863 496 487 983 522 515 1037 319 318 637 2.084 2.080 4.164 Citasuk Jenis Kelamin Jumlah Laki-laki Perempuan 461 527 988 634 689 1.323 744 796 1.540 912 1058 1.970 458 506 964 3.209 3.576 6.785
Persentase 16,99 23,97 21,99 29,55 7,50 100,00
Persentase 15,47 20,73 23,61 24,90 15,29 100,00 Persentase 14,57 19,49 22,69 29,03 14,22 100,00
Sumber Diolah dari Monografi Desa Citaman, Citasuk dan Cibojong tahun 2008
Dari Tabel 3 diketahui bahwa struktur penduduk ketiga didominasi oleh kelompok umur 19 - 55 tahun, masing-masing mencapai 29,55 persen, 29,03 persen dan 24,90 persen. Kelompok umur selanjutnya yang dominan adalah penduduk berumur 16 - 18 tahun, desa Citaman: 21,99 persen, desa Citasuk: 22,69 persen dan desa Cibojong sebesar 23,61 persen. Pada masyarakat pedesaan penduduk dalam kelompok umur 16 - 18 tahun termasuk kategori usia produktif, masuk dunia kerja dan banyak telah melangsungkan pernikahan. Bila kelompok umur 16 - 18 tahun dihitung sebagai kelompok umur produktif, maka kelompok umur produktif di desa Citaman sebesar 51,54 persen, desa Citasuk mencapai 51,72 persen dan desa Cibojong 48.51 persen. Jika kelompok umur produktif dihitung dari 16 - 55 tahun dibandingkan dengan kelompok umur belum produktif (0 - 15 tahun) dan kelompok umur kurang produktif (>55 tahun),
54
maka perbandingan komposisinya di tiga desa penelitian adalah: Desa Citaman 54 persen, 40,96 persen, 7,5 persen; Desa Citasuk 51,72 persen, 34,06 persen, 14,22 persen dan Desa Cibojong 48.51 persen 36,20 persen dan 15,29 persen . Data itu menunjukkan beban kelompok usia produktif paling besar terdapat di desa Cibojong, mereka harus menanggung kelompok usia tidak produktif dan kurang produktif sebesar 51,49 persen. Tingginya beban penduduk usia produktif di desa Cibojong disebabkan tingginya persentase kelompok usia kurang produktif. Beban penduduk kelompok usia produktif yang relatif kecil terdapat di desa Citaman, karena kelompok usia produktif secara nyata masuk dan terlibat dalam berbagai mata pencaharian dan pekerjaan baik di dalam desa maupun di luar desa. 4.3. Struktur Mata Pencaharian Struktur mata pencaharian penduduk pedesaan pada umumnya dipengaruhi oleh ketersediaan daya dukung sumberdaya dan tata letaknya. Sumber mata pencaharian ketiga berada di sekitar desa dan di luar wilayah pemukiman. Merujuk pada tipologi yang dikemukakan Smith dan Zopf, (1970) tipe pemukiman penduduk ketiga desa dikategorikan sebagai the farm village tipe (FVT),108 yakni pola pemukiman di mana penduduk/petani tinggal bersama-sama dan berdekatan dengan lahan pertanian atau sekitar pemukiman. Sumber mata pencaharian penduduk di lokasi penelitian dibedakan atas sektor pertanian dan bukan pertanian. Sektor pertanian menjadi sumber mata pencaharian/sumber nafkah utama warga di tiga desa, baik sebagai petani pemilik, penggarap bagi hasil, pemegang hak gadai atau buruh tani. Persentase pekerjaan sebagai petani di desa Citaman, petani pemilik 49,03 persen dan petani penggarap 21,75 persen, Desa Citasuk petani pemilik 37,12 persen dan petani penggarap 25,58 persen; Desa Cibojong petani pemilik 39,87 persen dan petani penggarap 29,16
108
Smith dan Zopf mengidentifikasi tipe pemukiman penduduk desa atas empat tipe: (1) the farm village tipe (FVT), yakni pola pemukiman di mana penduduk (petani) tinggal bersama-sama dan berdekatan di suatu tempat dengan lahan pertanian berada sekitar dan di luar lokasi pemukiman; (2) the nebulous farm tipe (NFT), yaitu tipe FVT ditambah adanya sejumlah penduduk yang tinggal tersebar di luar pemukiman; (3) the arranged isolated farm tipe (AIFT), yaitu pola pemukiman di mana penduduk tinggal di sekitar jalan dan masing-masing berada di lahan pertanian mereka dan trade center di tengahnya; (4) the pure isolated farm tipe (PIFT) yakni pola pemukiman yang penduduknya tinggal dalam lahan pertanian mereka masing-masing, terpisah dan berjauhan satu sama lain. Smith, T Lyn and Zopf, Paul. 1970. Principles of Inductive Rural Sociology, Philadelphia: Davis Company.
55
persen. Bila petani pemilik dan penggarap digabung maka pekerjaan sebagai petani di Desa Citaman mencapai 70,78 persen; Desa Citasuk sebesar 62,70 persen dan Desa Cibojong 69.03 persen. Gambaran mata pencaharian penduduk ketiga desa disajikan dalam Tabel 4. Tabel 4. Mata Pencaharian Penduduk Desa Citaman, Desa Citasuk dan Desa Cibojong No 1 2 3 4 5 6
Mata Pencaharian Petani Buruh Tani Buruh Bangunan Pedagang Pegawai/industri Lain – Lain Jumlah
Desa Citaman Desa Citasuk Desa Cibojong Jumlah % Jumlah % Jumlah % 327 49,03 457 37,12 395 39,87 145 21,75 315 25,58 289 29,16 78 11,69 152 12,35 112 11,31 51 7,64 136 11,06 92 9,28 42 6,29 97 7,88 54 5,44 24 3,59 74 6,01 49 4,94 667 100 1.231 100 991 100
Sumber Diolah dari Monografi Desa Citaman, Cobojong dan Desa Citasuk tahun 2008
Di desa Citasuk persentase petani relatif kecil disebabkan proses pembangunan ekonominya lebih intensif dan letaknya yang strategis (pinggir jalan) dan semakin terbukanya jenis pekerjaan di luar sektor pertanian (pedagang, buruh industri atau pegawai).109 Kondisi ini ditambah nilai upah buruh tani yang jauh lebih rendah dari UMR daerah, sehingga sektor non pertanian (industri dan sektor informal) di kota lebih memberikan harapan dari pada sebagai petani. Salah satu bidang pekerjaan di luar pertanian yang menjadi pilihan penduduk desa, adalah buruh bangunan dan buruh industri. Pekerjaan buruh bangunan, biasanya dilakukan jika pekerjaan di huma, kebun dan sawah masa rengse (sedang sepi). Keterlibatan warga sebagai buruh bangunan dan buruh industri karena adanya jaringan sosial (kekerabatan, ketetanggaan dan pertemanan). Jaringan sosial/ pekerjaan buruh bangunan biasanya diawali dari salah satu warga mereka sebagai mandor atau tukang. Mereka yang terlibat dalam pekerjaan buruh bangunan, biasanya bekerja secara kelompok melalui mobilitas sirkulasi setahap dan tidak menetap. Hal serupa pada penduduk yang menjadi buruh industri, sebagian besar 109
Penurunan jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian di desa Citasuk disebabkan semakin terbukanya pilihan jenis pekerjaan di luar sektor pertanian dan adanya generasi muda/lulusan SMU/SMK yang menganggap bekerja di sektor non pertanian lebih bergengsi dan terhormat daripada bekerja di bidang pertanian. Di Desa Citasuk pergeseran ketenaga-kerjaan atau diversifikasi okupasi dari sektor pertanian ke sektor non pertanian dengan migrasi sirkuler ke kota Serang, Tangerang dan Jakarta.Diolah dari sumber primer.
56
didapatkan melalui jaringan sosial dan individual dengan pola mobilitas sirkulasi linier dan dilakukan secara bertahap kemudian menetap. Jenis pekerjaan lain yang dilakukan oleh penduduk adalah kerajinan/industri rumah tangga. Salah satu kerajinan yang memiliki nilai sosial historis dan ekonomi di wilayah Ciomas dan Padarincang adalah kerajinan golok. Kerajinan golok menjadi pranata ekonomi tradisional masyarakat Ciomas dan sekitarnya. Kerajinan golok bukan hanya menyerap lapangan kerja dan sumber nafkah sebagian warga, tetapi juga merupakan aktivitas ekonomi yang menopang keberlangsungan dan eksistensi lapisan sosial jawara. Ketika posisi jawara semakin terdesak karena munculnya elit politik formal dan meluasnya pembangunan pedesaan, kerajinan golok semakin tidak popular. Keruntuhan kerajinan golok Ciomas karena tidak mampu bersaing dengan produk sejenis berasal dari luar daerah dan impor yang membanjiri wilayah Ciomas dan Padarincang. Upaya mengembalikan populeritas kerajinan golok Ciomas dilakukan Pemda setempat dengan membuat golok “raksasa”, berukuran panjang 7 m, lebar 40 cm dan berat 2000 kg pada tahun 2005. Golok yang dibuat oleh pengrajian golok Ciomas tercatat oleh Musium Record Indonesia (MURI) sebagai golok terbesar dan terpanjang di Indonesia. Tetapi pencatatan golok Ciomas dalam MURI tidak mampu membangkitkan kejayaan industri golok di wilayah itu.
4.4. Resiprositas dan Solidaritas Setiap masyarakat mempunyai tatanan yang keberadaannya merupakan keniscayaan pada setiap kebudayaan. Tatanan hidup yang senantiasa disosialisasikan dalam komunitas di hulu DAS Cidanau adalah kelembagaan pipeling110 seperti silih asah, silih asih dan silih asuh. Silih asah mengandung makna, setiap orang dituntut untuk senantiasa saling memberi, mengasah dan bertukar pengalaman dan pengetahuan. Silih asih berarti setiap orang harus selalu saling mencintai dan silih asuh berarti saling membimbing sesuai posisinya dalam bermasyarakat.
110 Kelembagaan pipeling merupakan tradisi, norma dan nilai budaya dalam kehidupan masyarakat pada ketiga. Kelembagaan pipeling berisi sembilan puluh sembilan kata larangan dan sembilan puluh sembilan kata anjuran yang berfungsi sebagai pedoman hidup dan terciptanya keharmonisan dan kebersamaan dalam masyarakat.
57
Melalui kelembagaan pipeling, kehidupan masyarakat senantiasa dalam keseimbangan antara aspek jasmani rohani, dunia akhirat, pribadi dan sosial, privasi dan publik dan hubungan manusia dengan Maha Kuasa dan hubungan manusia dengan lingkungannya. Kelembagaan pipeling terlembagakan dalam proses interaksi sosial laki-laki-perempuan, orang tua-anak/remaja dan antar sesama di tempat tinggal dan ajang sosial kehidupan sehari-hari. Nilai silih asah, silih asih dan silih asuh dalam kehidupan komunitas termanifestasikan dalam resiprositas dan solidaritas. Kelembagaan pipeling juga termanifestasikan dalam struktur pemukiman penduduk, di mana satu rumah dengan rumah warga lainnya tidak dibatasi oleh pagar. Pagar pembatas antar rumah warga, tidak berbentuk fisik tetapi bersifat abstrak berupa trust, kebersamaan dan kerukunan. Hubungan sosial antar warga berlangsung dalam suasana keterbukaan dan kehangatan. Demikian pula halnya dengan fungsi mesjid dan pemandian umum di sekitar Masjid, merupakan (1) sarana sosialisasi kelembagaan pipeling (2) ajang sosial, pertukaran informasi dan bercerita kaum perempuan dalam urusan rumah tangganya. Dalam kehidupan warga, resiprositas dan solidaritas bagai dua sisi dari mata uang, saling mengisi dan melengkapi. Solidaritas mempunyai makna bila diwujudkan dalam bentuk tolong menolong, sebaliknya resiprositas mempunyai arti bila diletakkan dalam bingkai solidaritas. Bentuk resiprositas dalam kehidupan komunitas, dipengaruhi ikatan kerabat dan kekerabatan sosiologis.111
Praktik
resiprositas biasanya diutamakan pada kaum kerabat dekat yang kurang mampu, disusul kerabat sosiologis, kemudian kerabat luas, dan baru kepada orang lain jika masih ada sisa peluang. Dalam resiprositas, ada faktor-faktor tertentu yang dipertimbangkan, kepada siapa “individu” paling berhak’ untuk turut serta, berbagi dan memperoleh manfaat dari hasil aktivitas produksi pertanian dan kehutanan. Dalam kehidupan warga, resiprositas dan solidaritas terpelihara melalui pertalian kerabat, ketetanggaan dan ikatan salembur. Ikatan ketetanggaan dan ikatan salembur, menimbulkan rasa bangga, cinta lembur, keengganan meninggalkan lembur dan kerinduan untuk kembali ke lembur setelah ngumbara (merantau) dan nyaba (mengunjungi kerabat lain). Di wilayah pedesaan, ikatan kerabat sosiologis 111
Koentjaraningrat menyebut pengelompokkan sosial atas dasar kesamaan wilayah teritorial dengan istilah kesatuan hidup setempat/kerabat sosiologis atau kinship affiliations (pergaulan kekerabatan). Koentjaraningrat, 1985. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.
58
memiliki arti penting bagi kehidupan sosial ekonomi warga dan menjadi dasar bagi terbangunnya ikatan sosial yang lebih luas, seperti terlihat dari ungkapan jauh-jauh oge dulur dan dulur-dulur oge jauh. Ikatan lain yang sederajat dengan ikatan genealogis dan kerabat sosiologis adalah ikatan hak milik yang bersifat fungsional. Perpaduan ikatan genealogis dan ikatan sosiologis bersifat laten, menjadi aktual bila diperkuat dengan ikatan hak milik.112 Perpaduan ketiga ikatan yang berlangsung lama melahirkan praktik tata kelola sumberdaya agraria bersifat khas. Untuk Desa Citaman perpaduan ketiganya disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Sebaran Ikatan Hak Milik, Ikatan Kerabat Sosiologis dan Ikatan Kerabat Genealogis Dalam Komunitas Desa Citaman No 1 2 3 4 5 6 7 8
Lembur/Kampung Citaman Cibarugbug Sibopong Landeuh Sibopong Girang Sibopong Tengah Pamatang G. Sumbul Girang G.Sumbul Landeuh.
Ikatan Hak Milik + + + + + + +
Ikatan Kerabat Sosiologis + + + + +
Ikatan Kerabat Genealogis + + + + + + +
Catatan: Tanda + dan – tidak bersifat absolut, hanya mengindikasikan faktor dominan. Diolah dari wawancara dengan informan kunci.
Pemilikan dan penguasaan sumberdaya yang berhimpitan dengan ikatan kerabat sosiologis dan kerabat genealogis, mengakibatkan akses terhadap sumberdaya tidak sepenuhnya individual dan tertutup. Terdapat mekanisme yang bersifat sosial dan redistributif atas sumber-sumber ekonomi dan nafkah hidup yang berada di dalam wilayah lembur atau desa, baik sederhana maupun yang relatif besar dari ukuran dan nilai sumberdaya yang dikorbankan. Hasil panen padi dan buahbuahan (kopi, durian, cengkeh, petai, jengkol, dukuh, rambutan dan kelapa) selain untuk dijual ke pedagang pengumpul/tengkulak, pemiliknya senantiasa berbagai dan mengalokasikan hasil panennya untuk warga yang dipandang pantas.113 112
Lihat Thorns, David & Willmott, Bill. 1983. “Class, Locality and Family: Bases of Communion in a Locality”. Dalam Crow, Graham (Ed.). 1986. The Sociology Of Rural Communities. Vol. II. US: Edward Elgar Publishing Company. 113 Pelaksanaan mekanisme redistributif dilakukan atas dasar “konsensus”, tidak berlaku atas seluruh komoditas hasil kebun/sawah terutama komoditas yang memiliki nilai ekonomi tinggi, seperti buah durian, cengkeh dan petai. Pemilik mengutamakan distribusi hasil panen komoditas tersebut berdasarkan jasa yang diberikan dan derajat hubungan sosialnya. Diolah dari sumber primer.
59
Resiprositas antar kuren (rumah tangga) tidak satu berbanding satu, tetapi bersifat proporsional, mutualistis dan berlangsung secara periodik (bulanan dan tahunan) sesuai dengan siklus kehidupan komunitas (tujuh bulanan, khitanan, perkawinan, kematian). Resiprositas dan solidaritas warga, bentuknya bervariasi sesuai dengan status sosial dan kemampuannya, dapat berbentuk curahan tenaga maupun materi. Dalam acara siklus tahunan berbagai kelompok sosial berperan serta baik jalma boga/jalma beunghar (berstatus sosial ekonomi tinggi) atau jalma teu boga (berstatus sosial ekonomi rendah atau miskin). Dalam analisis Scott, resiprositas dan solidaritas sebagai karakteristik dari kehidupan komunitas pra-kapitalis.114 Di hulu DAS Cidanau, resiprositas dan solidaritas bersifat fungsional dan berperan sebagai sarana pencapaian tujuan bersama dan jaminan keamanan subsistensi minimum. Resiprositas dan solidaritas merupakan modal sosial komunitas,115 dan menjadi solusi masalah ketika warga menghapi kesulitan ekonomi. Sejalan dengan meluasnya komoditifikasi sumberdaya agraria di wilayah pedesaan, resiprositas dan solidaritas mengalami transisi, seperti halnya proses transisi elit yang berlangsung pada ketiga desa, yang gambarannya dapat disimak pada uraian selanjutnya.
4.5. Transisi Elit Struktur sosial desa penelitian dibangun atas tiga pilar: yakni kiai, jawara, dan Pamong Desa. Dari tiga pilar tersebut, kedudukan kiai dan jawara cenderung semakin melemah, sebaliknya peran pamong desa dan kelompok pegawai negeri semakin kuat. Di wilayah pedesaan, kedudukan kiai sebagai elit lokal, berperan sebagai pemimpin ritual keagamaan, pendidik santri dan pembimbing moral umat. Di
114
Scott memandang resiprositas sebagai bagian dari “etika subsistensi”, karena adanya kekhawatiran kekurangan pangan dan sebagai konsekuensi dari kehidupan yang berada atau dekat dengan garis batas kemiskinan. Resiprositas berperan untuk mengatasi kesulitan ekonomi yang tak terelakkan yang diderita oleh warga petani. Lihat James, Scott, 1989. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta, LP3ES. 115
Modal sosial pada komunitas di lokasi penelitian tidak terbatas pada modal sosial yang bersifat integrasi atau bonding tetapi juga modal sosial yang dikategorikan bridging social capital. Lihat Woolcock, M and Narayan, D. (2000). Social Capital: Implications for Developments Theory, Research, and Policy. The World Bank Research Observer, vol. 15, no. 2 (August, 2000). Beugelsdijk S, Smulders, S, 2003. Bridging and Bonding Social Capital: Which Type is Good for Economic Growth?. Faculty of Economics. Tilburg University.
[email protected] and
[email protected].
60
luar peran tradisionalnya sejumlah kiai, tertarik dengan dinamika politik lokal dan lingkungan, seperti Ustaz Bachrani dalam pengorganisasian petani hutan.116 Keterlibatan kiai dalam dinamika politik lokal dilakukan melalui pemanfaatan forum keagamaan (pengajian rutin, manakiban dan ajang sosial) dengan menyampaikan ”wejangan agama” yang disisipi muatan politik. Pentingnya menjaga kekompakkan dan keutuhan kerabat, disisipi pesan memilih partai dan orang tertentu sebagai kemaslahatan; dan kemudaratan (keburukan) tidak memilih orang/partai tertentu. Dalam kapasitasnya sebagai publik figur dan pemuka pendapat, penyampaian pesan agama yang diberi makna tertentu (muatan politik) terlihat berdampak positif terhadap perolehan suara calon kepala desa yang dijagokannya dan terbukti efektif membentuk dan menggiring opini masyarakat sesuai dengan kepentingan politiknya.117 Keterlibatan Kiai Muhaimin Saleh dalam politik praktis bukan hanya dalam panggung politik lokal (pemilihan Kepala Desa Citaman), tetapi juga berkiprah dalam partai Golkar sejak tahun 1996 (masa Partai Golkar dipimpin oleh Harmoko), yakni sebagai pengurus Satkar Ulama Golkar Kecamatan Ciomas, Kabupaten Serang. Tak berlebihan bila sebagian masyarakat menyebutnya sebagai kiai Golkar. Pilar kedua dalam struktur sosial masyarakat di lokasi penelitian adalah jawara.118 Dalam wilayah Ciomas dan Padarincang, jawara memiliki tempat dan peran dalam masyarakat dan merupakan ciri khas dari struktur sosial di Kabupaten Serang dan wilayah Banten pada umumnya. Peran sosial yang menonjol dari jawara khususnya dalam keterampilan bela diri dan penguasaan ilmu kekebalan. Dalam masyarakat, khususnya di wilayah Kecamatan Ciomas dan Padarincang, jawara dibedakan atas mengandalkan
dibedakan atas jawara ngora dan jawara kolot. Jawara ngora kemampuan otot,
tindakan dan keputusannya sering tidak
116
Kepedulian terhadap lingkungan terlihat dari sikapnya yang kritis dalam menyikapi penyusutan debit air Rawa Danau. Tokoh masyarakat meyakini penebangan kayu di kawasan hutan Pangarang tidak dilakukan oleh penduduk setempat, kalaupun ada yang terlibat, mereka hanya diperalat oleh ”orang luar” yang tidak bertanggung jawab. Diolah dari sumber primer. 117
Keterlibatan kiai dalam politik praktis mampu mendongkrak perolehan suara calon kades dan menang mutlak dalam pemilihan Kades Citaman tahun 2007. Diolah dari sumber primer. 118
Istilah Jawara memiliki dua pengertian: (1) Akronim dari jago,wani dan rahul. Jago menunjuk pada seorang yang bertubuh kekar dan kuat, wani berarti berani bertarung dan rahul berarti banyak omong kosong/berbohong. (2) Akronim dari jujur dan wara. Jujur berarti mengatakan apa adanya, yang benar dikatakan benar dan yang salah dikatakan salah dan wara berarti hati-hati memilih pendapatan untuk menafkahi keluarga. Diolah dari sumber primer
61
mempertimbangkan akal sehat. Jawara ngora sering diidentikkan dengan akronim jago, wani dan rahul. Jawara kolot diakronimkan dengan jujur dan wara. Jawara kolot merujuk pada sikap, tindakan dan pertimbangan matang dan pengalaman. 119 Secara sosiologis, jawara tidak bersifat homogen, melainkan bersifat hirarkis dan heterogen, ada pemilahan atas senioritas dan junioritas. Kategori ini didasarkan atas penguasaan ilmu kanuragan (ilmu yang berkaitan dengan teknik-teknik menjaga kekebalan tubuh) dan jangkauan pengaruh kekuasaannya. Merujuk pada pendapat Hobsbawm (dalam Kartodirdjo, 1984) secara sosiologis jawara hampir menyerupai bandit sosial, yakni seseorang yang terpaksa melakukan tindakan kriminal tetapi hasilnya tidak dinikmati sendiri melainkan sebagian dibagikan kepada orang-orang miskin. Karenanya jawara seperti bandit sosial, disanjung dan dipuja sebagai “pahlawan sosial”, sekaligus dibenci/dicaci maki di luar komunitasnya, karena sering melakukan tindakan kriminalnya yang merugikan. Lapis ketiga yang menonjol dalam bangunan struktur masyarakat di lokasi penelitian adalah pamong desa dan pegawai negeri. Dalam struktur sosial pedesaan, pamong desa berada di puncak piramida, karena posisinya sebagai pengendali, pelaksana dan pemegang kekuasaan tertinggi di wilayahnya.120 Meskipun nominal gaji Kepala Desa lebih kecil dari gaji pegawai negeri, tetapi dengan terlibat dalam berbagai proyek pembangunan pedesaan mendapatkan keuntungan ekonomi secara langsung maupun tidak langsung. Keuntungan langsung yang diterima Kepala Desa adalah ”uang kadeudeuh”, komisi sekitar 5% dari nilai transaksi jual beli tanah dan biaya administrasi pemungutan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan). Keuntungan yang tidak langsung berasal dari proses administrasi pendataan warga yang berhak menerima BLT, Jamkesmas, SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu), kompor gas, raskin dan “proyek” pembangunan ekonomi pedesaan. Dari keuntungan langsung dan tidak langsung (pendapatan resmi dan tidak resmi), bila 119
Sebutan itu menggambarkan proses evolusi linier kehidupan seorang jawara. Perilaku baragajul, kumaha kula merupakan titik awal dan puncak dari perjalanan hidup jawara ngora. Sejalan dengan bertambahnya usia, pahit manisnya kehidupan kemudian berangsur mengalami transformasi menjadi handap asor (rendah hati). Diolah dari sumber primer.
120
Kedudukan Kepala Desa sebagai kepala pemerintahan tertinggi di desa memungkinkannya untuk mendapat peluang ekonomi langsung maupun tidak langsung, dengan terlibat dalam berbagai proyek pembangunan ekonomi dan infrastruktur pedesaan. Mantan Kepala Desa menuturkan, dari pengalaman sebagai Kepala Desa ia dapat mengembalikan jumlah dana yang dikeluarkan dalam pemilihan Kepala Desa, berinvestasi di sektor pertanian termasuk membeli sebidang tanah. Diolah dari sumber primer.
62
diakumulasi nilainya cukup besar hampir setara dengan sekitar 1 ha tanah sawah (Citasuk) dan tanah kebun di Cibojong dan Citaman. Kelompok sosial lain yang diuntungkan oleh pembangunan adalah pegawai negeri, karena memiliki pendapatan yang relatif tetap dan terhindar dari goncangan ekonomi dan musim paceklik.121
Pendapatan yang diterimanya memungkinkan
berinvestasi dalam sektor pertaniaan. Pegawai negeri, pamong desa, pekerja sektor formal dan pedagang merupakan kelompok di luar petani yang berperan sebagai elit ekonomi lokal dan pemilik tanah luas di desa. Munculnya pemilik lahan yang bukan petani, menggambarkan terjadinya transformasi penguasaan tanah dan elit pedesaan dari elit tradisonal dan informal ke tangan elit pemerintah desa/elit formal. Di wilayah penelitian transformasi elit lokal dihela modernisasi pedesaan dan pemberlakuan UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Struktur kepemimpinan pedesaan yang sebelumnya berada di tangan elit keagamaan dan kokolot, bergeser ke kepemimpinan formal seperti pamong desa. Tampilnya Kepala Desa sebagai elit lokal, disebabkan perannya sebagai pengendali tunggal pembangunan pedesaan dan kebijakan floating mass yang mengasingkan massa dari pemimpin politik yang berakibat melemahnya kepemimpinan informal dan kharismatik di wilayah pedesaan. Arah pembangunan yang lebih mengutamakan aspek material mengakibatkan pemimpin informal, kehilangan aura dan pengaruhnya di masyarakat. Sementara itu modernisasi dan pendirian SD Inpres, berdampak pada penurunan anak-anak desa menimba ilmu di pesantren yang berakibat terputusnya kaderisasi kepemimpinan informal
4.6. Kelembagaan Lokal Sebelum terbentuknya pemerintahan desa, di Desa Citaman terdapat kelembagaan kajaroan, pimpinannya disebut jaro yang berperan sebagai pengelola pemerintahan desa dan memiliki hak penguasaan tanah kajaroan (istilah lokal untuk tanah jabatan). Kajaroan merupakan kelembagaan lokal dan berperan sebagai pemerintahan “adat”. Di wilayah kesultanan Banten juga terdapat kelembagaan hak
121
Musim paceklik adalah masa sulit untuk memenuhi kebutuhan pangan karena gagal panen. Pegawai negeri pada umumnya terhindar dari musim paceklik, bahkan sebagian pegawai negeri dari tabungannya dapat membeli tanah. Diolah dari sumber primer.
63
penguasaan tanah, yakni
sawah negara, sawah ganjaran/ pusaka laden atau
pecaton, tanah kawargaan, tanah kanayakan, tanah pangawulaa dan tanah yasa. Pemegang tanah kawargaan dan tanah kanayakan berhak atas bagi hasil panen dan tenaga kerja (cacah) untuk membuka tanah baru atau untuk melakukan pelbagai macam kerja bakti. Sawah ganjaran/pusaka laden atau pecaton merupakan hak penguasaan tanah yang dimiliki anggota kerabat Sultan dan berasal dari pemberian Sultan.
Status ganjaran/pusaka laden adalah hak milik dan dapat
diwariskan secara turun temurun tetapi tidak dapat dipindah-tangankan kepada pihak lain. Di wilayah kesultanan Banten juga terdapat berbagai praktik, tradisi dan ritual berkaitan dengan proses rangkaian tata kelola sumberdaya agraria seperti mipit, ngirab sawan, ngaseuk, nganyaran, ngalaksa (selamatan). Lembaga kajaroan merupakan sarana mobilisasi ekonomi, tenaga kerja dan perpanjangan tangan Sultan di wilayah pedesaan dan sekaligus menjadi tulang punggung stabilitas politik. Kajaroan bertugas menentukan tata cara dan haluan pemerintahan, menyelenggarakan musyawarah bersama kokolot untuk menentukan pelaksanaan kegiatan pertanian.
Dalam kehidupan sosial,
kajaroan berperan
sebagai “pengetua adat”, perekat dan pengikat tata hubungan antar anggota masyarakat dan kesultanan. Dalam tata kelola sumberdaya agraria, kajaroan memiliki kewenangan administratif dan bertanggungjawab menyelesaikan persoalan tanah. Kajaroan bertindak sebagai penghubung antara kajaroan dengan “abdi dalem” (diangkat dan diberi tugas oleh Sultan untuk memungut upeti dan pajak dari petani serta cukai perdagangan dari pedagang). Sebagai imbalannya, Sultan memberikan tanah pangawulaan kepada abdi dalem. Setelah kesultanan Banten jatuh ke tangan kolonial Belanda, beban kajaroan semakin berat karena harus memobilisasi tenaga kerja dan memungut pajak hasil bumi.122 Tekanan pemerintah kolonial Belanda yang semakin berat juga mendorong para demang melakukan pemerasan dan bertindak sewenang-wenang123 yang
122
Akibat beban kerja yang berat para bujang lari dari tuannya. Ulasan penderitaan rakyat di wilayah kesultanan Banten, lihat C. Fasseur, 1987. “Tentang Lebak” dalam Ibrahim Alfian, Koesoemanto, H.J., Hardjowidjono dan Djoko Suryo: Dari Babad dan Hikayat Sampai Sejarah Kritis. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
123
Seperti perampasan kerbau milik ayah Saijah yang dilakukan oleh demang Parangkujang (kerabat Bupati Lebak Raden Adipati Karta Negara). Lihat H.B. Jassin/G Termorshuizen, 1985. Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda.
64
memicu timbulnya keresahan sosial dan pemberontakan petani di Banten serta meluasnya keresahan sosial di pelbagai wilayah lain di Indonesia. Keresahan sosial itu dipicu oleh kebijakan pemerintah kolonial Belanda, mengeluarkan sejumlah peraturan (reglement) tentang kehutanan yang membatasi hak, akses masyarakat terhadap hutan.
124
Pembatasan akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan terus
berlanjut sampai runtuhnya kolonial Belanda dan Bala Tentara Dai Nippon125. Secara de facto sejak proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia menjadi negara merdeka. Tetapi politik agraria kolonial Belanda menjiwai politik agraria nasional, karena pemerintah melegitimasi peraturan perundangan Kolonial Belanda yang bersifat kapitalis dan eksploitatif. Legitimasi hukum kolonial dalam sistem hukum agraria nasional, memberikan ruang gerak yang bebas bagi negara dan pemilik modal untuk menguasai dan mengeksploitasi sumberdaya agraria, yang ternyata berdampak negatif terhadap dinamika kelembagaan komunitas. Gambarannya dapat disimak pada bab selanjutnya.
124
Untuk memperkuat landasan hukum eksploitasi hutan, pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan sejumlah reglemen. Reglemen 1874, cakupannya menembus ke wilayah kesultanan (Vorstenlanden); Reglemen 1879 mengatur kepemilikan negara atas hutan dan penggolongan hutan atas hutan tetap dan tidak tetap; Reglemen 1879 memperkuat genggaman Belanda terhadap penguasaan hutan di Hindia Belanda; Reglemen 1913 mengatur pengamanan hutan dan ancaman sanksi pidana bagi yang melanggar; Ordonansi 1927 mengatur pemberian sanksi pidana bagi pelanggar dan perusak hutan dan Kebijakan Tata Guna Hutan Kesepakatan pada tahun 1935. Berbagai reglemen tersebut mengakibatkan semakin terbatasnya akses dan termarginalkannya kehidupan masyarakat sekitar hutan. Lihat Salim, 2004, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan. Jakarta: Sinar Grafika. 125
Bala Tentara Jepang mengeluarkan Undang-Undang No. 1 tahun 1942 yang berisi penegasan berlakunya peraturan-peraturan dari pemerintahan masa penjajahan Belanda dan Ordonansi Hutan 1927. UU tersebut ditujukan untuk memobilisasi penduduk Indonesia melawan sekutu dan meneruskan eksploitasi sumberdaya hutan di Indonesia. Salim, 2004, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan. Jakarta: Sinar Grafika.
65
BAB V DINAMIKA TATA KELOLA SUMBERDAYA AGRARIA BERBASIS KELEMBAGAAN LOKAL
5.1. Pendahuluan Seiring berjalannya waktu interaksi manusia dengan sumberdaya agraria (air, tanah dan hutan) disertai upaya pemeliharaan dan pembuatan aturan main pemanfaatannya berupa adat, tradisi, norma, yang disebut kelembagaan. Bagi komunitas, sumberdaya agraria bukan hanya sebatas komoditas tetapi memiliki makna sosial, kultural bahkan “religi”. Kelembagaan tata kelola sumberdaya komunitas yang terdapat di Indonesia bervariasi dan unik sesuai dengan kondisi ekologi dan ruang sepasialnya. Salah satu keunikan tata kelola sumberdaya itu adalah kelembagaan lokal: buyut, pipeling, liliuran yang terdapat di hulu DAS Cidanau Kabupaten Serang Provinsi Banten. Kelembagaan tata kelola sumberdaya agraria di wilayah ini terkait dengan tradisi, pandangan hidup dan nilai sosial budaya Sunda. Dalam pandangan orang Sunda, memelihara sumberdaya sama pentingnya dengan mempertahankan kelangsungan hidup dan peradaban. Pemanfaatan sumberdaya yang berlebihan, apalagi merusaknya akan berimplikasi negatif bagi kelanjutan kehidupan dan peradaban manusia. Gambaran tata kelola sumberdaya agraria di lokasi penelitian dapat disimak pada uraian bab ini.
5.2. Kearifan Lokal Tata Kelola Sumberdaya Agraria Kelembagaan tata kelola sumberdaya agraria di lokasi penelitian meliputi kearifan lokal konsepsi tanah, tata guna tanah, zonasi hutan (leuweung), kelembagaan buyut dan pipeling, dan kearifan lokal tentang tanaman pangan dan obat.
5.2.1. Konsepsi dan Tata Guna Tanah Istilah yang digunakan warga untuk menyebut tanah adalah taneuh atau lemah. Kata ini sering dipertukarkan dengan lembur (kampung) dan dikaitkan dengan cai (air), lemah cai (tanah air) seperti terangkum pepatah Sunda: ”ka cai
66
jadi sa leuwi ka darat jadi sa logak”. Pepatah ini mengandung makna bahwa konsep tanah dipahami secara luas dan holistik. Pemahaman warga tentang tanah tidak dilihat dalam bentuk fisik semata-mata tetapi dalam horizon luas.126 Secara fisik tanah merupakan bagian dari permukaan-lapisan kulit bumi untuk menanam tanaman dan tempat membuat tapak rumah. Dalam arti luas tanah merupakan tempat berlangsungnya berbagai peristiwa kehidupan (kelahiran, perkawinan, mencari nafkah, ibadah dan kematian). Sehingga manusia sepanjang hidupnya membutuhkan dan tergantung pada tanah. Paling sedikit terdapat tiga kebutuhan manusia yang pemenuhannya berkaitan dengan tanah: (1) Manusia membutuhkan tanah untuk memperoleh pendapatan guna menunjang dan kelangsungan kehidupan.127 (2) Manusia memerlukan tanah untuk mendirikan rumah sebagai tempat tinggal.128 (3) Manusia membutuhkan tanah untuk tempat tinggalnya yang terakhir pada saat mengakhiri hidupnya di dunia. Pemahaman warga tentang tata guna tanah dibedakan atas lahan basah/sawah dan lahan kering. Tata guna lahan kering mencakup pemanfaatan tanah untuk pekarangan, kebun, kebun campuran, talun kebun dan ladang. Tata guna tanah basah penggunaannya untuk tanaman padi dan berbagai jenis tanaman palawija. Kedua jenis tanah tersebut pada mulanya berasal dari pembukaan hutan dan ladang. Pemanfaatan dan tata guna lahan kering di lokasi penelitian berlangsung secara linier: berawal dari pembukaan hutan menjadi ladang, kemudian menjadi kebun, talun kebun dan terakhir pekarangan dan pemukiman. Warga menyebut pekarangan pada sebidang tanah di sekitar tempat tinggal yang sekelilingnya ditanami berbagai jenis tanaman semusim dan tahunan.
126
Bandingkan dengan tulisan Sediono MP Tjondronegero dan Gunawan Wiradi, ”Menelusuri Pengertian Istilah Agraria”, Jurnal Analisis Sosial, Vol.9, No.1 April 2004.
127
More menyatakan, pemilikan de facto atas tanah merupakan ciri pokok yang membedakan petani dan bukan petani. Bagi komunitas petani tanah merupakan bagian penting kehidupan. Lihat Henry Landsberger, 1984. Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial, Jakarta: Rajawali Press. Wolf dalam Scot (1989) menyatakan petani merupakan produsen pertanian dengan penguasaan efektif pada tanah, mengganggu tanah petani berarti mengusik statusnya sebagai produsen pertanian, karena tanah merupakan tulang punggung hidupnya. James Scott, 1989. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi Di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.
128
Tanah dianalogikan dengan perempuan/ibu pertiwi, tempat manusia membangun tapak rumah, meskipun sempit bila diserobot akan dipertahankan dengan nyawa. Lihat Paschalis Laksano, ”Tanpa Tanah, Budaya Nir Papan, Antropologi Antah Berantah”, dalam Lounela, Anu dan R Yando Zakaria (eds), 2002. Berebut Tanah Beberapa Kajian Perspektif Kampus dan Kampung. Yogyakarta: Insis Press dan Karsa.
67
Karakteristik utama yang membedakan pekarangan dengan ladang, kebun, talun kebun, adalah adanya rumah pada pekarangan. Pepohonan sekitar rumah atau pekarangan selain berfungsi sebagai pembatas juga bernilai ekonomi dan konservasi. Pohon buah-buahan di pekarangan berfungsi ganda, menghasilkan buah-buahan untuk kebutuhan keluarga dan dijual, sekaligus pelindung tanah dari bahaya erosi, mengatur tata air, memelihara kesejukan dan keteduhan tempat tinggal. Warga membedakan ladang, kebun, talun kebun atas dasar jenis dan susunan tanaman yang ditanam. Kebun merujuk pada sebidang tanah yang didominasi oleh jenis tanaman semusim dan memerlukan curahan waktu dan tenaga untuk merawatnya. Kebun campuran adalah sebidang yang ditanami berbagai jenis tanaman semusim dan tahunan yang keragamannya relatif tinggi. Sedangkan talun merujuk pada sebidang tanah yang ditanami tanaman tahunan atau jenis tanaman keras (untuk kayu bakar atau bangunan) dan buah-buahan. Sebutan talun mangga atau talun cengkeh untuk menggambarkan bahwa di dalam kebun terdapat dominasi tanaman mangga atau cengkeh dan adanya suksesi (pergantian)
tanaman.
Proses
suksesi
biasanya
disebabkan
menurunnya
produktivitas, atau jenis komoditi tertentu sedang naik daun yang mendorong pemiliknya menanam tanaman yang diperkirakan hasilnya memiliki nilai jual lebih tinggi. Talun jenis ini secara perlahan akan menjadi kebun (karena adanya dominasi tanaman tertentu) atau kebun campuran (yang ditumbuhi campuran jenis tanaman semusim dan tahunan). Tata guna tanah lahan kering di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 2. Lahan Kering Lahan Pemukiman PPPemukimankerin Pekarangan kering
Kebun kering
Lahan di Luar Pemukiman
Kebun Campuran kering
Talun Kebun kering
Ladang kering
Gambar 2.Tata Guna Tanah Petani Desa Citaman & Cibojong
Selain tata guna tanah yang diuraikan di atas, warga juga mengenal tata guna tanah untuk tanah pertanian (taneuh tatanen), tanah tempat tinggal (taneuh bumenan), tanah tempat ibadah dan tanah kuburan, tanah kaguronan, kajaroan
68
dan tanah perburuan. Warga memandang tanah yang baik untuk huma dan kebun adalah tanah yang kemiringannya di bawah 30˚, karena lapisan permukaan tanah relatif stabil. Sebaliknya permukaan tanah dengan kemiringan 45˚-75˚ akan mengalami erosi dan dapat menurunkan kesuburan tanah, kapasitas dan daya menahan air jelek, peka terhadap erosi dan vegetasinya kebanyakan berupa belukar dan pohon yang berbatang lurus. Pada tanah yang kemiringannya di bawah 45˚ bergelombang dan agak landai, dinilai warga cocok untuk ladang. Warga setempat memiliki pengetahuan tanah tatanen berdasarkan arah mata angin, di mana bidang tanah yang baik untuk pertanian adalah yang membujur dari utara ke selatan. Pepohonan yang ditanam pada bidang tanah tersebut pertumbuhannya lebih cepat dan hasilnya lebih produktif, karena mendapat sinar matahari yang cukup. Warga juga memiliki pengetahuan tentang tata guna tanah untuk tempat tinggal, tempat ibadah dan kuburan. Menurut warga, tanah yang baik untuk tempat tinggal adalah berupa hamparan datar dan letaknya tidak jauh dari sumber mata air. Bila tidak memiliki tanah datar, tingkat kemiringan tanah yang sesuai untuk tempat tinggal adalah tanah yang kemiringannya di bawah 30 derajat. Hal ini didasarkan pertimbangan praktis untuk meratakannya tidak memakan waktu dan tenaga kerja yang besar. Tanah yang baik untuk tempat ibadah (masjid dan musholla) adalah letaknya lebih tinggi dari tempat tinggal dan berada di tengah perkampungan. Ini terkait dengan pemahaman warga, bahwa masjid bukan hanya tempat shalat tetapi juga berfungsi sebagai sarana berjama'ah (bersosialisasi), pendidikan dan ajang sosial.129 Lokasi ideal untuk tanah kuburan letaknya lebih tinggi dari tempat tinggal dan berada di luar/sekitar kampung, bebas dari genangan air hujan dan suara bising. Warga senantiasa memilih lokasi yang ideal untuk kuburan terkait dengan tradisi menghormati buyut/leluhur dan ikatan batin anak dengan orang tua/leluhur, tidak berakhir dengan kematian. Keberlanjutan ikatan batin dipelihara melalui
129
Tempat ibadah sebagai ajang sosial terkait dengan fungsinya untuk berjamaah (berkumpul), bertukar fikiran untuk pemandian umum (laki-laki dan perempuan), tempat mencuci pakaian dan bahkan bagi kaum perempuan kehidupan sehari-harinya berawal dan berakhir dari pemandian umum di sekitar masjid. Diolah dari sumber primer.
69
tradisi berziarah pada hari-hari yang dianggap penting (Hari Raya Idul Fitri, menyambut kedatangan bulan Ramadhan). Ikatan batin antara yang hidup dengan yang mati diwujudkan dengan memelihara kuburan dan menanam pepohonan yang rindang dan area kuburan tidak boleh dijadikan ladang.130 Tata guna yang cukup unik di lokasi penelitian adalah adanya tanah kaguronan dan tanah kajaroan. Tanah kaguronan merujuk pada peruntukan dan pemanfaatan tanah untuk tujuan pengembangan pendidikan. Status tanah kaguronan merupakan tanah wakaf (tanah yang diberikan oleh warga untuk kepentingan syi’ar Islam) terutama kemajuan pendidikan Islam. Tanah kajaroan adalah tanah jabatan yang
dimiliki aparat desa khususnya sekretaris desa
berbentuk kebun/lahan kering. Sedangkan tanah jabatan kepala berupa sawah disebut sawah pangiwaan. Berkaitan dengan sejarah status tanah kaguronan (di desa Citaman) terdapat dua sumber. Sumber pertama menyatakan bahwa tanah kaguronan berasal dari wakaf warga untuk kemajuan pendidikan Islam. Pendapat ini didukung oleh fakta sampai sekarang di sekitar tanah kaguronan masih terdapat Pondok Pesantren Subulus Salam yang diasuh oleh Kyai Mufti. Sumber kedua menyatakan bahwa tanah keguronan berasal dan merupakan hadiah dari Kesultanan Banten pada masa Sultan Agung Tirtayasa atas jasa masyarakat Ciomas dalam pengembangan pendidikan Islam. Tanah tersebut diberikan oleh Sultan Banten kepada para guru yang menyiarkan agama Islam di wilayah Ciomas. Tanah keguronan adalah pertanda kepedulian dan terima kasih Sultan kepada para guru yang telah mengembangkan pendidikan Islam. Pendapat kedua argumentasinya tidak didukung oleh fakta keterkaitan antara masyarakat Citaman dengan kesultanan Banten. Dewasa ini sebagian tanah kaguronan menjadi tempat kantor kelurahan dan lapangan sepak bola ”milik” Pemerintah Kecamatan Ciomas.
130
Kawasan kuburan berfungsi sebagai “kawasan konservasi komunitas”, keragaman hayati di kawasan tersebut kelestariannya menjadi tanggung jawab bersama. Diolah dari sumber primer.
70
5.2.2. Zonasi Hutan (Leuweung) Warga menyebut hutan dengan leuweung, merujuk pada kawasan tempat tumbuh kembangnya beragam flora dan fauna yang menjadi sumber kehidupan dan tempat kehidupan manusia yang telah meninggal (buyut, karuhun) dan makhluk halus. Pengertian ini menunjukkan bahwa pemahaman warga tentang leuweung tidak secara fisik dan spesifik tetapi juga sosial religius. Warga juga mengenal zonasi hutan, yang meliputi leuweung bukaan, leuweung kolot, dan leuweung titipan. Leuweung kolot atau leuweung tutupan merupakan area hutan yang dipersepsi warga sebagai kawasan hutan yang dititipkan dan diamanatkan para leluhur kepada incu putu untuk dilindungi dan dipelihara. Sebagai titipan para leluhur akses dan pemanfaatan warga setempat pada leuweung kolot bersifat terbatas. Pengambilan manfaat leuweung kolot baik berupa kayu maupun non kayu harus memperhatikan nilai-nilai kabuyutan dan keberlanjutannya. Warga diperkenankan untuk mengambil manfaat dalam bentuk hasil kayu maupun non kayu, sepanjang tidak melanggar buyut dan berdasarkan kesepakatan dan restu kokolot. Pengambilan hasil kayu dibatasi hanya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan tidak boleh untuk keperluan komersial. Sesuai dengan sebutannya, leuweung tutupan dipersepsi masyarakat seperti “pintu” bisa dibuka dan ditutup. Leuweung tutupan berfungsi sebagai “hutan cadangan”. Warga setempat mempercayai barang siapa yang melakukan eksploitasi leuweung kolot akan tertimpa kebendon (kemalangan). Meskipun tidak dikeramatkan,
pemanfaatan
sumberdaya
hutan
leuweung
kolot
harus
memperhatikan buyut atau etika konservasi. Komunitas desa Citaman merujuk leuweung kolot pada kawasan hutan lindung yang berada pada bagian tengah gunung Pangarang. Kawasan leuweung titipan dimaknai oleh warga sebagai hutan pembatas, dalam arti pembatas antara kawasan hutan yang terlarang (buyut) untuk mengambil manfaat ekonomi dengan kawasan hutan yang “boleh” dimanfaatkan yang diawasi secara ketat. Secara ekologis kawasan leuweung kolot berfungsi sebagai pengatur siklus hidrologi hutan dan mengeksploitasinya akan berakibat rusaknya pengatur siklus hidrologi yang dapat menimbulkan bencana banjir.
71
Leuweung
titipan
merupakan
kawasan
hutan
yang
dititipkan
buyut/karuhun kepada incu putu untuk dilindungi dan dipelihara. Mereka menganggap
leuweung
titipan
merupakan
area
tempat
bersemayamnya
makhluk/roh halus dan karuhun, dan mereka pula yang menjaganya. Warga setempat menempatkan dan memaknai leuweung titipan sebagai hutan keramat. Tata kelola dan perlakuan warga terhadap leuweung kolot dan leuweung titipan pada prinsip sama, warga dilarang (buyut) mengeksploitasinya. Hanya saja leuweung titipan dikeramatkan, tidak diperkenankan mengambil manfaat hutan baik dalam bentuk hasil kayu maupun non kayu. Warga desa Citaman merujuk leuweung titipan pada kawasan hutan lindung yang terletak di atas gunung Karang. Secara ekologis kawasan ini memiliki fungsi yang sama dengan leuweung kolot sebagai pengatur siklus hidrologi hutan, sehingga eksploitasi hutan berakibat rusaknya pengatur siklus hidrologi hutan yang dapat menimbulkan banjir. Leuweung titipan oleh komunitas disebut sebagai sirah cai (sumber mata air dan pusat keseimbangan ekosistem). Zona hutan ketiga yang dikenal warga adalah leuweung bukaan atau sampalan (hutan budidaya). Leuweung bukaan merupakan kawasan hutan yang telah digarap dan dikelola untuk kegiatan huma dan kebun. Pengelolaan leuweung bukaan oleh warga berdasarkan kearifan lokal. Aktivitas pertanian yang dilakukan warga pada sampalan senantiasa memperhatikan keberlanjutannya. Pengelolaan dan pengusahaan sampalan tidak boleh menyebabkan erosi tanah dan kepunahan varietas tanaman/tumbuhan yang terdapat di sampalan. Kearifan lokal yang dimiliki warga bersumber dari pesan dan ajaran leluhur yang disosialisasikan secara lisan dari generasi ke generasi, seperti tertuang dalam pepatah: Leuweung kakaian, gawir awian, legok balongan. Artinya: Hutan tanami kayu, tebing tanami bambu dan lembah jadikan kolam.131 Bagi warga pepatah itu berfungsi sebagai rujukan, tuntunan moral dan pedoman dalam aktivitas berhuma dan berkebun. Tata kelola sampalan diarahkan untuk senantiasa menjaga hubungan harmonis antara manusia dan sumberdaya 131
Dalam masyarakat Baduy di Kabupaten Lebak Banten, terdapat pikukuh (aturan) dalam pengelolaan sumberdaya agraria yang berbunyi: “Gunung teu meunang dilebur, lebak teu menang dirusak, sasaka teu menang direumpak”. Artinya: Gunung tidak boleh dihancurkan, dataran tidak boleh dirusak dan tanah suci tidak boleh diacak-acak. Lihat, Judistira K. Garna, 1999. Metode Penelitian Pendekatan Kualitatif. Bandung: Primaco Akademika.
72
hutan sebagai bagian dari ritme budaya.132 Hubungan harmonis ditunjukkan dari perilaku hidup bersahabat dengan hutan dan pemanfaatan hutan sebagai bagian dari mempertahankan keberlanjutan budaya. Arah orientasi pemanfaatan hutan secara berkelanjutan ditopang oleh tradisi dan religi, bahwa dunia ini tempat persinggahan sementara menuju kehidupan kekal di akhirat. Pemanfataan leuweung bukaan bukan hanya untuk menghasilkan tanaman yang dapat menopang kehidupan keluarga dan komunitas tetapi juga didasarkan semangat untuk mempertahankan fungsi ekologis hutan bukaan sebagai pengatur tata air. Tanaman yang ditanam oleh petani di leuweung bukaan merupakan tanaman multikultur (beragam pohon buah-buahan secara bersama dengan pohon kayu-kayuan yang membentuk hamparan hutan) dan menjunjung etika konservasi. Sistem olah tanah dilakukan dengan gilir balik dan tapak siring, budidaya tanaman dengan mengikuti daur musim dan pengambilan kayu dengan sistem tebang pilih. Pemanfaatan hutan secara demikian dalam upaya menjaga keharmonisan dan keberlanjutan sumberdaya hutan. Sejalan dengan komoditifikasi sumberdaya hutan, kearifan lokal tentang zonasi hutan dan tradisi praktik tata kelolanya dewasa ini semakin tergerus.
5.2.3. Domestikasi Tanaman Pangan dan Obat Tanaman pangan dan obat yang dibudidayakan komunitas petani sesuai dengan kondisi ekologi wilayah Serang Selatan yang sebagian besar berupa perbukitan. Dari penggalian informasi pada sejumlah narasumber, pengetahuan warga setempat tentang tanaman pangan terutama varietas padi lokal bervariasi. Pengetahuan warga tentang varietas padi lokal terdiri atas lima jenis, seperti diuraikan berikut. 1. Klasifikasi padi berdasarkan warna berasnya, yakni pare hideung (padi/ketan hitam), pare bodas (padi putih) dan pare beureum (padi merah). Dari tiga jenis padi itu terdapat variannya yang ditanam tergantung pada lahan huma. Varietas padi merah yang biasa ditanam adalah Ramanteun.
132
Bagi masyarakat setempat hutan merupakan mata rantai dari sistem sosio-religius dan ekologis, seperti tempat penyelenggaraan acara ritual, pelepasan nazar, doa, kegiatan liliuran dan macak (makan bersama). Diolah dari sumber primer.
73
2. Klasifikasi atas padi biasa dan padi ketan (pare ketan). Padi biasa dibedakan oleh petani atas varietas Melati, Ramanteun dan Mayang. Padi ketan diidentifikasi berdasarkan karakteristik utamanya, yakni rasanya enak, gurih, pulen dan likat (sticky) yang dikonsumsi hanya waktu-waktu tertentu, seperti upacara selamatan atau kue tradisional seperti kue oli dan tape (peyem). 3. Klasifikasi berdasarkan ada tidaknya bulu sekam: pare bulu dan pare tidak berbulu. Padi berbulu dapat terhindar dari hama pemakan padi misalnya burung pemakan padi seperti burung pipit, tikus dan babi hutan. 4. Petani membedakan padi berdasarkan bentuk, ukuran dan warna bulu butir padi, seperti pare sabeulah (padi sebelah) karena bentuk butirnya tipis dan pare kasumba, (pare warna violet) karena bulu biji padinya berwarna kasumba. Varietas padi ini diidentifikasi berdasarkan morfologi dan warna biji padi. 5. Klasifikasi padi menurut umurnya sampai panen, padi di bawah enam bulan yang disebut pare hawara
dan padi berumur normal (enam bulan) yang
disebut pare hawara bunar. Klasifikasi umur padi membantu petani untuk merencanakan penanaman padi. Merujuk pada pemilahan varietas padi atas kelompok javanica, sinica/indica dan javanica, maka varietas padi lokal yang ditanam oleh komunitas petani di DAS hulu Cidanau termasuk padi kelompok javanica. Karakteristik varietas kelompok javanica, umur tanaman padi relatif panjang, berdaun lebar, jerami tinggi dan biji padi tidak mudah rontok, sehingga dapat mengurangi gangguan dari burung pemakan padi seperti burung pipit, tikus dan babi hutan. Selain menanam padi lokal kelompok javanica, komunitas petani juga menanam beberapa jenis tanaman tambahan di huma, seperti cengek/cabe rawit (Capsium frutesces), kacang panjang (Vigna sinensis), dangdeur/pisang (Manihot utilisama), bonteng/ketimun (Cucuxumis sativus), terong (Sanumum melongena). Penanaman tanaman itu umumnya untuk keperluan sendiri, kadangkala dijual sebagai tambahan penghasilan. Selain menanam berbagai jenis tanaman pangan, komunitas petani memiliki pengetahuan lokal tentang tanaman obat, jenis-jenis penyakit yang dapat diobati dengan tanaman obat. Dari hasil wawancara mendalam dan diskusi terfokus, warga mengetahui sekitar 55 (lima puluh lima) jenis tumbuhan yang
74
dapat dimanfaatkan sebagai obat tradisional. Dari lima puluh lima jenis tumbuhan tersebut dikelompokkan ke dalam tujuh macam habitus (kelompok), yaitu pohon, herba, semak, tumbuhan memanjat, semak, rumput dan lainnya. Dari lima puluh jenis tumbuhan obat yang diketahui dan dimanfaatkan oleh warga sebagian besar terdiri dari pepohonan yang mencapai 25 jenis tumbuhan, (lihat lampiran 1.a). Sebagian warga mengetahui cara pengolahan, kegunaan dan pemanfaatan ke dua puluh lima jenis tumbuhan tersebut. Dari kelompok habitus herba yang biasa dimanfaatkan warga untuk obat-obatan adalah getah batang, satu jenis yaitu Parahulu (Amomum Oculeatum); bagian daun tiga jenis: Kumis Kucing, Ciriwuh dan Jonge; bagian batang dua jenis: Sariawan dan Ilat; bagian kulit batang satu jenis yaitu Kanyere; rimpang dua jenis yaitu Loa Gajah dan Koneng Beurang; bagian Kulit Umbi satu jenis yaitu Taleus; dan akar satu jenis yaitu Cau Galek, (lihat lampiran 1.b). Bagian-bagian dari kelompok habitus pepohonan yang dapat dipergunakan untuk pengobatan mencakup kulit batang, bagian batang, bagian daun,133 bagian getah batang (Angsana), bagian pucuk daun: Jambu Batu dan bagian buah satu jenis yaitu Gaharu. Warga menggunakan dan memanfaatkan habitus pepohonan untuk mengobati 22 jenis penyakit, dengan cara ditumbuk, dibuat tuak, diperas getah/air, dikerik batang/ranting, direbus. Setelah diolah kemudian dijadikan obat untuk mengobati berbagai jenis penyakit. Untuk obat sakit panas, menambah stamina, sakit kuning, sakit perut, mencret, demam diolah dengan cara direbus kemudian diminum. Untuk sakit gigi dan gatal dengan cara ditempel di bagian tubuh yang sakit dan untuk mengobati bisul dan borok dengan cara dibalurkan. Habitus lainnya yang didomestikasi oleh warga adalah kelompok herba: 11 jenis, Semak: 7 jenis, Perdu: 4 jenis, Tumbuhan memanjat: 3 jenis, Lainnya: 4 jenis dan rumput 1 jenis. Dari penggalian informasi di lapangan diketahui bahwa warga setempat mengetahui berbagai jenis perdu dan tumbuhan semak yang dapat dipergunakan untuk mengobati berbagai jenis penyakit tertentu. Pengetahuan warga terhadap habitus perdu yang dapat digunakan untuk mengobati penyakit
133 Bagian kulit batang yang dapat digunakan untuk obat adalah Jeunjing, Kitoke, Lame, Teureup, Andul, Beunying, dan Pisitan; bagian batang: Muncang, Awi Koneng, Cangkore, Bisoro, Kondang, Kimerak; bagian daun meliputi: Lampeni, Nangka, Awi Apus, Cangkudu, Tundun, Kisabrang, Kicapi dan Sangkar Badak. Diolah dari sumber primer.
75
mencakup empat jenis: Kiajag, Katepeng, Jeruk Nipis dan Harendong. Sedangkan habitus semak yang dapat digunakan untuk mengobati penyakit mencapai tujuh jenis yaitu Babakoan, Heuras Tulang, Keji Beling, Singgugu, Amis Mata, dan Salak, (lihat lampiran 1.c). Dari enam habitus tumbuhan yang diketahui oleh warga bila dibandingkan dengan jumlah jenis tumbuhan obat yang disusun menurut Buku Indeks Tumbuhan Obat Indonesia tahun 1986 dan 1995, diketahui jumlah tumbuhan obat yang dimanfaatkan masyarakat yang sudah terdaftar adalah sebanyak 47 jenis. Jumlah ini menunjukkan bahwa jenis-jenis tumbuhan tersebut juga dimanfaatkan oleh masyarakat lain di wilayah Indonesia. Penggunaan tumbuhan obat tersebut oleh warga digunakan untuk mengobati penyakit yang sama atau penyakit yang berbeda. Sedangkan 8 delapan jenis tumbuhan lainnya belum terdaftar dalam Buku Indeks Tumbuhan Obat Indonesia tahun 1986 dan 1995. Kedelapan jenis tumbuhan tersebut adalah 4 jenis dalam habitus pepohonan yaitu Kitoke (Albizia Tomenntella ), Cangkore, (Albizia Tomenntella), Garu (Gonystillus Macrophylus) dan Sangkar Badak (Voacanga Grandifolia), 2 jenis dalam habitus Herba yaitu Laja Goah (Catimbium Malaccensis) dan Ilat (Scleria Purpuscens); satu jenis dalam habitus Perdu Harendong (Melastoma Polyanthum) dan satu jenis habitus lainnya, yaitu Kihadangan (Fissitigma Latifolium). Pengetahuan warga setempat tentang jenis-jenis tumbuhan obat ternyata berkorelasi dengan pengetahuan mereka tentang cara pengolahan, penggunaannya dan jenis-jenis penyakit yang dapat diobati oleh jenis tumbuhan tersebut. Sebagaimana diuraikan di atas dari lima puluh lima jenis tumbuhan, warga setempat menggunakannya untuk mengobati 32 jenis penyakit. Kearifan lokal tentang tanaman obot-obatan dapat menjadi salah satu bentuk pengobatan alternatif dan berpotensi meningkatkan pendapatan masyarakat bila diberdayakan dengan melibatkan berbagai pihak yang kompeten. Sejauh ini langkah itu belum dilakukan secara optimal, rendahnya political will dan pemberdayaan masyarakat yang kurang sinergis menyebabkan kearifan lokal itu berkembang secara optimal bahkan cenderung layu.
76
5.2.4. Buyut dan Pipeling: Pengawal Keserakahan Istilah buyut dimaknai atas dua hal: pertama sebagai silsilah, garis keturunan, kedua sebagai seperangkat nilai dan kearifan lokal. Secara genealogis, buyut merupakan cara menentukan kedudukan ego dalam silsilah kekerabatan. Dalam masyarakat Sunda silsilah kekerabatan sampai tujuh turunan/generasi (dari atas ke bawah atau dari bawah ke atas) disebut sabondoroyot .134 Seseorang yang terjalin ikatan karena perkawinan (afiniti) atau pertalian ikatan darah (konsanguiti) dalam sabondoroyot (dari ayah atau ibu) disebut dulur urang atau wargi. Kedudukan ego sebagai dulur urang dalam sabondoroyot dibedakan atas dulur anggang dan dulur deukeut. Dari segi ini buyut dimaknai keluarga luas sampai generasi ketiga yang terbentuk atas dasar perkawinan (afiniti) atau pertalian ikatan darah (konsanguiti). Pengertian kedua buyut adalah seperangkat nilai, norma, dan adat yang berfungsi sebagai aturan main, pedoman dan rujukan interaksi antar warga dan tata kelola sumberdaya agraria. Dalam pengertian ini buyut mengandung dua hal: (1) Buyut berarti suci, maksudnya (a) merupakan bentuk pembeda antara yang dianggap sakral dan tidak sakral/profan; (b) merupakan bentuk pembatasan akses dalam hal-hal tertentu atas dasar gender (aturan yang mengatur pekerjaan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh laki-laki dan perempuan). (2) Buyut diartikan sebagai tabu atau terlarang. Dalam ungkapan warga, buyut berarti teu meunang (tak boleh melakukan hal-hal yang dianggap tabu/terlarang), seperti perkawinan dengan saudara sepupu. Buyut adalah norma dan etika masyarakat tidak tertulis yang merupakan kebiasaan (folkways), cara (usage) dan adat-istiadat (customs).135 Dari dua pengertian di atas disimpulkan bahwa buyut merupakan mekanisme dan aturan warga setempat untuk menjaga kepentingan bersama, keadilan, keharmonisan dan keseimbangan hubungan antar manusia dan hubungan
134
Istilah silsilah turunan dalam masyarakat Sunda: bapak, aki/kakek, buyut, bao, janggawareng, udeg-udeg dan gantung siwur atau anak, incu, buyut, bao, janggawareng, udeg-udeg dan gantung siwur. Diolah dari sumber primer.
135
Buyut dapat disejajarkan dengan adat dalam konsepsi Vallonhoven atau folkways menurut Sumner yang merupakan pedoman perilaku komunitas. Lihat Surjo Wingnjodipuro, 1983. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta: Gunung Agung dan Koentjaraningrat, 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
77
manusia dengan sumberdaya agraria. Dalam tata kelola sumberdaya, buyut merupakan pranata lokal dan mekanisme pengendalian sosial, aturan main pemanfaatan sumberdaya agraria. Mekanisme tersebut ditujukan untuk mencegah seseorang mengambil hak yang bukan haknya, adanya kepastian dan kesamaan akses warga terhadap sumberdaya produktif pada suatu kawasan.136 Secara ekologis aturan buyut dimaksudkan untuk memberi waktu kepada sumberdaya untuk tumbuh dan berproduksi secara sempurna. Secara sosiologis mekanisme tersebut untuk menciptakan pemerataan dan keadilan, mencegah orang untuk bertindak serakah dan membatasi ruang bagi penunggang kepentingan. Dalam praktik tata kelola sumberdaya agraria, buyut diwujudkan dengan memadukan produksi dan konservasi. Praktik sistem olah tanah konservasi dilakukan dengan menerapkan teknologi gilir balik, ngaseuk dan pemulian bibit unggul, larangan menangkap ikan di sungai dengan tuba, berburu selain babi dan menjual hasil buruan untuk tujuan komersial dan menebang pohon yang rimbun di hutan tutupan. Warga juga menganggap buyut (tabu) mengambil pucuk kelapa, cengkir dan kelapa muda, agar panen kelapa berlangsung secara periodik dan serentak dalam jumlah besar dengan harga optimal. 137 Dalam tata kelola sumberdaya agraria, keberadaan buyut ditopang oleh kelembagaan pipeling yang merupakan unsur penting budaya dan pandangan hidup orang Sunda.
138
Orang Sunda memiliki keyakinan yang kuat pada
kekuasaan Tuhan, pada nasib, dan kesadaran dirinya merupakan bagian kecil dari alam semesta. Dalam pemahaman orang Sunda, di luar diri manusia terdapat alam semesta, masyarakat dan super natural, ketiganya memiliki kekuatan untuk mempengaruhi tingkah laku manusia. Alam memiliki hukum alam, masyarakat
136
Kelembagan buyut dapat disejajarkan dengan pikukuh pada komunitas Baduy Luar atau di luar kampung tangtu. Lihat Judistira K Garna, “Masyarakat Baduy di Banten” dalam Koentjaraningrat, dkk, 1993. Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Pratama.
137
Dampak dari desakralisasi buyut mengakibatkan, hancurnya desa Citaman sebagai sentra kelapa di Kecamatan Ciomas. Pudarnya Desa Citaman sebagai sentra kelapa disebabkan meningkatnya kebutuhan kelapa muda sejalan dengan perkembangan kota Serang menjadi Ibu Kota Provinsi Banten.
138
Pandangan hidup orang sunda dapat dibedakan atas komponen potensi (pandangan hidup yang mencerminkan sifat-sifat khas personal), komponen tingkah laku dan komponen aspirasi (yang dikejar dan dihindari dalam hidup). Lihat Suwarsih Warnen 1985 Pandangan Hidup Orang Sunda. Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
78
memiliki nilai dan norma, super natural memiliki kekuasaan untuk mengadakan dan meniadakan. Untuk keharmonisan dan tercapainya kehidupan yang dicitacitakan diperlukan guru (pengajar atau ajaran) yang disebut pipeling untuk menuntun manusia agar mendapat keterangan yang benar. Kelembagaan pipeling yang hidup dalam komunitas berisi seratus tuntunan dan seratus larangan. Seratus tuntunan hidup tersebut disarikan atas silih asih, silih asuh, silih asah, lihat lampiran 1.d) dan seratus larangan disarikan atas silih benci, silih fitnah dan silih curiga, lihat lampiran 1.e). Seratus tuntunan dan seratus larangan terus menerus dinternalisasi agar lingkungan masyarakat dan lingkungan alam dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada manusia. Sosialisasi dan internalisasi kelembagaan pipeling didorong untuk saling mengingatkan,
karena
tingkah
laku
manusia
bergayut
di
antara
dua
kecenderungan, yaitu patuh pada tuntunan atau melanggar larangan. Dalam bahasa seorang informan: “Tingkah laku manusia tidak mungkin selamanya baik karena tidak selamanya menjadi bayang-bayang Gusti Nu Suci, tetapi juga tidak selamanya berbuat jahat karena tidak selamanya menjadi bayang-bayang setan.” Pernyataan ini menegaskan bahwa manusia yang baik dan bijak adalah manusia yang dapat menjaga dan mempertahankan keseimbangan dalam hidup. Pentingnya keseimbangan hidup pada komunitas desa ditunjukan oleh penghargaan posisi tengah: “Hidup tidak berkekurangan dan juga tidak berlebihan, makan sekedar tidak lapar dan minum sekedar tidak haus.” 139 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa buyut dan pepeling dalam komunitas petani merupakan norma, aturan main dan mekanisme supaya manusia senantiasa dalam keseimbangan. Buyut dan pipeling merupakan aturan main untuk memelihara keharmonisan hubungan sosial dan hubungan manusia dengan alam. Sumberdaya agraria akan memberikan manfaat yang optimal kepada manusia, bila dirawat dan dipelihara sesuai dengan tuntutnan, dan hanya dipergunakan seperlunya. Sebab bila sumberdaya dipergunakan berlebihan, tanpa perawatan, alam akan berbalik menimbulkan malapetaka dan kesengsaraan pada manusia.
139
Diolah dari sumber primer. Ungkapan ini sesuai dengan Sunnah Rasul: “Makanlah bila lapar dan berhenti sebelum kenyang”.
79
Pembelajaran yang diperoleh dari kelembagaan buyut dan pipeling di komunitas hulu DAS Cidanau adalah: 1. Pesan moral yang mengedepankan keselarasan kebutuhan manusia dan keberlanjutan sumberdaya. Pemanfaatan yang berlebihan dan pemerkosaan daya dukung lingkungan akan menghancurkan masa depan kehidupan manusia sendiri. Memelihara sumberdaya agraria (tanah, air dan hutan) sama pentingnya dengan menjaga eksistensi manusia, karena manusia merupakan komponen ekosistem. 2. Substansi dari kelembagaan buyut dan pipeling adalah pengaturan hak-hak tertentu seperti hak pakai, hak menguasai, hak mengalihkan, hak mendapatkan keuntungan ekonomi yang layak dan akses yang adil terhadap sumberdaya. Hak atas sumberdaya merupakan mekanisme untuk menjaga keseimbangan hubungan sosial, hubungan agraria dan hubungan manusia dengan Pencipta. 3. Penghayatan kelembagaan buyut dan pepeling dalam tata kelola sumberdaya agraria diwujudkan dalam bentuk sistem olah tanah konservasi dengan menerapkan teknologi pertanian gilir balik (rotated farming), ngaseuk, coo benih (pemuliaan padi bibit unggul), masa tanam mengikuti daur musim140 dan pergiliran tanaman,141 pemberantasan hama tanaman ramah lingkungan, penggunaan alat berburu yang tidak merusak lingkungan (sumpit, golok), berburu hanya diizinkan untuk binatang pengganggu pertanian (babi hutan), hasil kegiatan berburu dinikmati bersama dan dilarang menggunakan tuba dalam menangkap ikan di sungai. 4. Kelembagaan buyut dan pipeling merupakan visi dan orientasi tata kelola susmberdaya agraria yang mengintegrasikan produksi dan konservasi.
140
Penentuan kegiatan mulai tanam atau taram, didasarkan atas pemantauan gejala alam mata poe geus dengdek ngaler, lantaran jagad urang nggues mimiti tiis (Matahari sudah ada di sebelah utara, bumi kita sudah mulai dingin) merupakan waktu yang tepat untuk turun kujang dan membersihkan semak ladang bakal huma. Diolah dari sumber primer. 141
Menurut petani pergiliran tanaman merupakan cara untuk menghindari penyerapan unsur-unsur hara tanah oleh tanaman tertentu dan salah satu cara memutus siklus kehidupan hama yang menyerang tanaman. Pergiliran tanaman padi dengan kacang-kacangan dimaksudkan untuk menambah kadar unsur nitrogen di dalam tanah. Sehingga pergiliran tanaman merupakan merupakan cara yang efektif untuk melakukan konservasi tanah dan mempertahankan sifat-sifat fisik tanah. Bandingkan dengan pandangan Forth tentang masalah ini. Henry Forth, D. 1984. Fundamental of Social Science. Michigan USA. John Willey and Son.
80
Karena itu pada tempatnyalah kelembagaan lokal tata kelola sumberdaya mendapat ruang dalam politik agraria sesuai dengan lokalitas dan ruang kulturalnya. Pengintegrasian produksi dan konservasi dalam praktik tata kelola sumberdaya didasarkan pengutamaan keberlanjutan daripada “keuntungan sesaat” dan adaptabilitasnya dengan dinamika sosial ekonomi di luar komunitasnya.
5.3. Dinamika Kelembagaan Agroforestry 5.3.1. Kelembagaan Agroforestry Agroforestry merujuk pada sistem penggunaan lahan relatif permanen yang memadukan budidaya tanaman kayu kehutanan dan pertanian (tanaman semusim dan tahunan).142 Aktivitas agroforestry di hulu DAS Cidanau merupakan bentuk adaptasi, akomodasi dan inovasi petani dengan kekuatan sosial ekonomi supra lokal. Dalam lima tahun terakhir perkembangan aktivitas agroforestry di wilayah ini dipengaruhi oleh tiga hal: (1) dukungan kelembagaan lokal tradisi saling asah, saling asih dan saling asuh sebagai modal sosial komunitas untuk mengusahakan agroforestry berbiaya transaksi rendah. (2) akses transportasi, lalu lintas perdagangan komoditas hasil kebun semakin lancar dan (3) informasi harga pasar komoditas yang semakin terbuka. Tanah yang dialokasikan oleh warga untuk aktivitas agroforestry adalah bidang tanah dengan relief relatif datar dan landai atau berombak dengan kemiringan sekitar 8 -15 derajat. Tanaman yang ditanam pada area agroforestry merupakan kombinasi tanaman musiman dan tanaman tahunan, komposisinya sekitar 40:60 persen. Bentuk agroforestry yang dikembangkan petani adalah bercocok tanam ganda, di mana terdapat intercropping antara tanaman kehutanan dengan tanaman pertanian yang membentuk suatu tajuk yang berlapis.143 Penanamannya dilakukan secara bersama-sama atau rotasi sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman petani tentang sifat-sifat genetik dan daya adaptasi tanaman. Jenis tanaman yang dipilih petani biasanya tanaman yang efisien dalam
142
Uraian tentang agroforestry lihat Junus Kartasubrata, 2003. Sosial Forestry dan Agroforestry di Asia. Bogor: Lab Politik Ekonomi dan Sosial Kehutanan Fakultas Kehutanan IPB; Johan Iskandar, 2001. Manusia, Budaya dan Lingkungan. Bandung: Humaniora Utama Press.
143
Lihat Van der Meer The Ecology Intercropping. Cambridge: Cambridge University Press.
81
pemanfaatan sinar matahari, percampuran tanaman tahan naungan dan tanaman tidak tahan naungan secara komplementer agar tanaman produktif. Pengetahuan petani tentang agroforestry tidak terbatas pada karakteristik budidaya tanaman, tetapi juga mencakup pengetahuan tata guna dan teknik pengolahan tanah yang dapat mempertahankan kesuburan tanah. Bidang tanah untuk agroforestry ditata secara tera sering, menanam tanaman penguat teras, pembuatan dan pemeliharaan saluran pembuangan air, pembutan rorak, guludan, menanam tanaman penutup tanah yang mengurangi erosi tanah dan air. Untuk meningkatkan kesuburan tanah petani memanfaatkan serasah dedaunan dan penggunaan pupuk kandang secara optimal. Kondisi ini menunjukkan tata guna tanah dan praktik agroforestry petani dikategorikan sistem olah tanah konservasi. Pengolahan tanah pada bidang agroforestry sedapat mungkin dapat menahan infiltrasi air hujan, mengurangi aliran permukaan, menahan erosi dan pelapukan bahan organik tanah supaya kesuburan tanah terus terpelihara. Praktik olah tanah konservasi yang dilakukan petani terlihat dari penggunaan peralatan tradisional dan konvensional. Setelah tanah dibersihkan, tidak seluruhnya diolah (dibajak dan digaru), petani hanya menugal atau mengaseuk bagian tanah yang akan ditanami padi, palawija dan kacang-kacangan. Dengan cara mengolah tanah demikian, tidak terjadi pelapukan bahan organik, tanah tidak mudah terinfiltrasi dan terhindar dari erosi dan kesuburan tanah terpelihara. Sistem olah tanah seperti ini kondusif dan efektif untuk konservasi tanah dan air, mengatur sistem hidrologi dan memberikan efek positif kepada iklim mikro wilayah Desa Citaman dan Cibojong. Penanaman tanaman kehutanan dan pertanian yang dilakukan petani dengan sistem tajuk berlapis. Hal ini dilakukan, selain menguntungkan secara ekonomi tetapi juga memberikan sumbangan bagi stabilitas lingkungan di sekitarnya. Bila kita berada di kebun-kebun petani di wilayah Citaman, pagi hari terasa dingin siang hari terasa sejuk. Dampak positif agroforestry yang dilakukan oleh petani antara lain, warga Citaman dan Cibojong tidak pernah kesulitan untuk mendapatkan air bersih. Aktivitas agroforestry yang memadukan aspek ekonomi dan konservasi, hasilnya tidak hanya dinikmati oleh petani hulu DAS, tetapi juga oleh penduduk yang berada di bawah Desa Citaman seperti Desa Leuwi Kahuru,
82
bahkan di desa ini terdapat sumber mata air yang dikelola oleh perusahaan swasta. Debit air beberapa sungai yang berhulu di Desa Citaman fluktuasinya relatif stabil. Bila aktivitas agroforestry seperti ini menjadi bagian dari praktik tata guna/ tata kelola tanah semua desa di kawasan kaki gunung Karang akan mendukung stabilitas air area konservasi Rawa Danau yang semakin memprihatinkan.
5.3.2. Agroforestry Sebagai Strategi Bertahan Aktivitas agroforestry yang dilakukan petani didasarkan atas pemahaman ruang spasial, kondisi ekologi, ketersediaan tanaga kerja dan kemampuan modal. Komoditas yang ditanam oleh warga merupakan kombinasi dari tanaman musiman dan tahunan, agar masa panen berlangsung secara periodik, ada komoditas yang dapat dipanen secara bulanan, triwulan, musiman dan tahunan. Tanaman palawija seperti berbagai jenis umbi-umbian dan kacang-kacangan merupakan tanaman musiman/jangka pendek yang dapat dipanen triwulanan atau enam bulanan. Sedangkan tanaman kehutanan merupakan tanaman jangka panjang. Tanaman tahunan yang banyak ditanam adalah cengkeh, petai, durian, albasia, afrika, nangka, kopi, melinjau, rambutan, sengon
dan mahoni. Dari
informan kunci dan pengamatan terhadap kebun petani, komposisi tanaman yang ditanam petani disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Komposisi Tanaman Agroforestry Komunitas No 1 2 3 4
Kategori Pola I Pola II Pola III Pola IV
Komposisi Komoditas Utama Kelapa + petai + rambutan + melinjau palawija Kelapa + petai + cengkeh + palawija + albasia Kelapa + durian + melinjau + sengon/mahoni Kelapa + petai + durian + melinjau.
Jumlah
Jumlah 30 24 19 11
84
% 35.70 28,60 22,60 13,10
100%
Sumber: Diolah dari sumber primer dan FGD
Dari empat pola tersebut diketahui bahwa tanaman kelapa, petai, durian dan melinjau merupakan tanaman yang dominan dan komoditas unggulan yang bernilai ekonomi di wilayah hulu DAS Cidanau. Penanaman pepohan tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan penghasilan jangka panjang, baik berupa buahbuahan untuk dikonsumsi dan dijual serta pemenuhan kebutuhan kayu untuk membangun rumah. Tanaman cengkeh, petai, durian, nangka, dukuh dan tanaman kehutanan lainnya, merupakan tanaman tahunan dan hasil panennya sering
83
mengejutkan dan dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Bagi pemilik lahan luas di atas 2 ha, menanam tanaman tahunan didorong untuk meningkatkan pendapatan jangka panjang dan merupakan sarana akumulasi modal dan kekayaan. Kondisi ini dituturkan seorang pemilik lahan luas di Desa Citaman: Pada musim buah tahun ini (2008), kula bersyukur, semua pepohonan di kebun (petai, durian, dukuh, melinjau) buahna rea pisan (berbuah banyak). Pengalaman menarik dari kegiatan mengelola kebun campuran adalah dalam rentang waktu tertentu (3-5 tahun) hasilnya sering “mengejutkan” (panen raya). Panen kiwari kula bisa nyumponan kehayang budak boga motor jeng induk budak boga tv anu anyar. (Hasil panen tahun ini dapat memenuhi keinginan anak membeli motor dan permintaan isterinya membeli tv baru).
Lain halnya bagi buruh tani dan pemilik lahan sempit, aktivitas agroforestry ditujukan agar dapur berasap (memenuhi kebutuhan pangan seharihari), seperti dituturkan seorang buruh tani beranak tiga berinisial Hsn (40): Pekerjaan sehari-hari kula (saya) sebagai buruh harian ngored (membersihkan kebun). Bila ngored lepas tangan (tidak diberi makan oleh pemiliknya) dari jam 07.00 s/d jam 12.30) dibayar Rp. 25.000,- tetapi bila diberi makan, nyanet (makanan ringan) dan kopi dibayar Rp. 22.500, per hari. Kula tidak memiliki pekerjaan yang tetap, hampir tiap minggu ngored pada kebun yang pemiliknya berganti-ganti. Pekerjaan ngored tidak selalu tersedia sepanjang tahun ada masa rengse (istirahat). Bila nganggur kula melak palawija di kebun dunungan (majikan), hasilnya membantu untuk “memperpanjang umur” (mempertahankan kelangsungan hidup).
Hal senada dikemukakan oleh petani pemilik lahan sekitar 0,5 ha berinisial Mmn (50), ia menuturkan pengalamannya sebagai berikut: Dari hasil penjualan 10 tandan pisang Ambon diperoleh uang sebesar Rp. 225.000,-. Uang itu digunakannya untuk membeli 30 liter beras seharga Rp. 105.000,-, untuk beli rokok Rp. 20.000,- sisanya diberikan kepada isteri untuk keperluan belanja sehari-hari. Dari hasil panen 50 kg tangkil (melinjau) senilai Rp. 250.000,- digunakan untuk keperluan membeli perlengkapan sekolah anak sulung masuk Tsanawiyah sedangkan dari penjualan 2 ikat petai ditabung untuk keperluan Hari Raya Idul Fitri.
Dari tiga kasus di atas diketahui, aktivitas agroforestry petani bervariasi, sesuai dengan kemampuan ekonomi dan luas penguasaan tanah. Bagi penggarap dan buruh tani, aktivitas agroforestry merupakan sarana survival strategy, untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga sehari-hari karena agroforestry menyerap tenaga kerja sepanjang tahun. Bagi pemilik tanah sempit, aktivitas agroforestry merupakan sarana untuk mewujudkan consolidation strategy, untuk perbaikan kesejahteraan keluarga. Bagi pemilik lahan (> 2 ha) aktivitas agroforestry sebagai
84
wahana kondusif untuk accumulation strategy, pemenuhan kebutuhan sekunder (peralatan rumah tangga dan motor) dan menambah kekayaan. 5.3.3. Perkembangan Komunitas Agroforestry Perkembangan agroforestry di lokasi penelitian dipengaruhi oleh kemampuan beradaptasi dengan kondisi sosio-ekologi dan responnya terhadap tekanan supra lokal baik dari negara (kebijakan ekonomi makro dan mikro) maupun pasar komoditas. Sejalan dengan semakin derasnya pembangunan ekonomi pedesaan, maka komoditifikasi dan komersialisasi sumberdaya merupakan bagian yang dihadapi petani dalam mengembangkan agroforestry. Aktivitas agroforestry yang sebelumnya berlangsung dan berdasar interaksi timbal balik yang intens dan mensinergikan kepentingan ekonomi dan ekologi, pada perkembangannya kemudian berubah menjadi agroforestry “modern”. Dalam istilah Shanin, sistem agroforestry komunitas petani merupakan perkembangan aktivitas pertanian dari peasantry ke smallholder/farmer. Aktivitas agroforestry berciri peasantry di lokasi penelitian dapat diidentifikasi atas empat hal: (1) produsen pertanian skala kecil, berorientasi domestik (dalam proses kerja dan hasilnya), karena karakteristik dasar ekonomi petani ditentukan oleh ukuran, komposisi keluarga, kebutuhan konsumsi dan jumlah tangan yang bekerja; (b) lahan dibutuhkan untuk memenuhi lapangan tenaga kerja keluarga, pemilikan dan proses produksi lahan berdasarkan unit keluarga; (c) keluarga merupakan tim produksi usaha tani dan irama usaha tani merupakan irama kehidupan keluarga yang menyediakan kerangka dasar untuk saling membantu dan kontrol.144 Ini berbeda dengan aktivitas agroforestry pada kategori smallholder, selain untuk memenuhi kebutuhan keluarga juga untuk memenuhi permintaan pasar. Lahan yang semula dikelola menggunakan tenaga kerja keluarga, berubah dikelola secara intensif dan berdiversifikasi. Proses produksi dan pilihan komoditas yang ditanam memperhatikan alokasi waktu, iklim, peralatan, modal,
144
Lihat Teodor Shanin, 1990. Defining Peasant: Essay Concerning Rural Societies, Exppolary Economy and Learning from them in The Contemporary World. Cambridge: Basil Blackwell.
85
alat, tanah, keuangan dan prospek pasarnya.145 Di lokasi penelitian ciri menonjol proses produksi peasantry dan smallholder adalah terletak pada motivasi dan tujuan utama usahanya. Pada proses produksi peasantry, perolehan keuntungan dan akumulasi modal bukan menjadi motivasi dan tujuan utamanya, hal sebaliknya pada aktivitas produksi pertanian smallholder 146. Meskipun demikian, pemahaman petani tentang perolehan keuntungan atau laba, berbeda dengan konsep yang berkembang dalam literatur ekonomi modern atau kapitalis. Motivasi dan tujuan utama aktivitas agroforestry adalah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi tahunan keluarga, bila hal ini terpenuhi aktivitas produksi usaha tani dikatakan untung/laba. Tenaga kerja keluarga yang telah dicurahkan tidak dinilai dengan uang/upah karena bekerja dipahami secara subyektif dan bernilai sosial kultural. Ini berbeda dengan perspektif kapitalis, laba atau laba bersih dihitung dengan cara mengurangi penghasilan total dengan semua biaya produksi dan tenaga kerja termasuk tenaga kerja keluarga, dihitung sebagai upah yang bernilai ekonomi. Perhitungan laba dalam konsepsi ekonomi kapitalis, tidak relavan dan tidak dapat diaplikasikan pada aktivitas agroforestry komunitas peasantry. Unsur biaya produksinya tidak dapat diperbandingkan dengan yang terdapat dalam perekonomian kapitalis. Secara sosiologis aktivitas produksi peasantry dan smallholder dapat dilihat dari hubungan sosial dan operasi kekuatan produksi dan posisi tawarnya dengan kekuatan luar. Hubungan sosial produksi peasantry adalah untuk mempertahankan subsistensi keluarganya, sedangkan hubungan sosial produksi smallholder
memperhitungkan
keuntungan
dengan
memperhatikan
azas
kelayakan dan keseimbangan. Kekuatan produksi (tanah, tenaga kerja, input produksi dan finansial) dalam perekonomian smallholder dilakukan secara intensif dan diversifikasi usaha; sedangkan kekuatan produksi peasantry terbatas pada rekayasa tenaga kerja keluarga dan tanah. Petani dalam arti peasant sebagai sub ordinat dari pihak yang memiliki kekuasaan ekonomi, ini tidak selalu berlaku
145
Lihat Robert Netting, 1993. Smallholders, Householder: Farm Families and the Ecology of Intensive, Sustainable Agriculture. California: Stanford University Press.
146
Lihat Eric Wolf, 1985. Petani: Suatu Tinjauan Antropologis. Jakarta CV Rajawali.
86
pada smallholder, karena relatif bebas dari intervensi “kelas-kelas sosial” baik secara ekonomi maupun politik. Merujuk pada pandangan Shanin, (1990), peasantry merupakan gambaran keadaan dan tahapan tententu kehidupan sosial ekonomi suatu komunitas. Pada komunitas petani di hulu DAS Cidanau, tahapan itu ditandai oleh aktivitas produksi pertanian berhuma dan bertanam padi dan sepenuhnya memanfaatkan tenaga kerja keluarga dan teknologi sederhana. Unit keluarga merupakan unit dasar dalam pemilikan, produksi dan konsumsi. Aktivitas pertanian ditujukan untuk strategi bertahan hidup (survival strategies). Tahapan aktivitas pertanian itu kemudian berubah ke arah perekonomian bercirikan smallholder/farmer, dimana aktivitas produksi pertanian dilakukan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan sekaligus
untuk
dijual
dalam
upaya
perbaikan
kesejahteraan
keluarga
(consolidation strategy). Di lokasi penelitian tahapan ini berlangsung dengan berkembangnya aktivitas agroforestry modern. Perubahan orientasi produksi dari domestik ke pasar, dipicu oleh semakin intensifnya penetrasi kekuatan ekonomi dan politik supra lokal terhadap komunitas petani. Di lokasi penelitian penetrasi kekuatan ekonomi supralokal berdampak meluasnya komoditisasi agraria dan tanah in-absentia, munculnya spekulan/calo tanah, tengkulak (pedagang pengumpul tingkat lokal), pedagang antar desa dan tumbuhnya jaringan perdagangan desa kota.147 Hal ini mendorong pergeseran orientasi dan ukuran ketentraman hidup dalam masyarakat pedesaan. Gambaran pergeserannya sebagai berikut: Ketentraman hidup petani diukur dari tiga hal: leuit pinuh (tersedia beras yang cukup), duit weuteuh (yang dibutuhkan terbeli cukup), dan hubungan suami isteri yang harmonis (reuneuh). Beras merupakan kebutuhan pokok sehari-hari yang tidak bisa ditunda, rumah tangga tanpa ketersediaan beras seperti lutung kasarung (kera kelaparan) dan rumah tangga tanpa ketersediaan uang cawerang (hambar). Beras dan uang dua sisi dari mata uang yang memiliki nilai yang sama dan dibutuhkan dalam kehidupan. Sekarang zamannya duit jadi “raja”, ketentraman diukur oleh banyaknya lembaran uang, sehingga uang jadi rebutan semua.
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa penetrasi ekonomi moderen pada komunitas sekitar hutan menimbulkan moneterisasi. Proses moneterisasi yang 147
Goodland, R.G. Ledec and W. Webb, 1989. “Meeting Environmental Concerns Caused by Common Property Mismanagement in Economic Development Project” dalam Barkes (ed,) In Common Property Resources: Ecology and Community Based Sustainable Development. London: Belhaven Press.
87
dihela oleh mesin birokrasi dan pasar menimbulkan ketegangan sosial dalam masyarakat, seperti dialami kelembagaan liliuran.
5.3.4. Liliuran: Bertahan Sebagai Sarana Pencarian Nafkah Warga setempat memaknai liliuran sebagai kerja bersama-sama dan tolong
menolong
untuk
menyelesaikan
berbagai
tahapan
pekerjaan
di
huma/kebun. Secara harfiah liliuran berasal dari kata liur, artinya bersatu, bersama. Maksudnya mengerjakan pekerjaan secara serentak bersama-sama. Keberadaan liliuran terkait dengan proses kegiatan pertanian yang membutuhkan tenaga kerja yang banyak dan berlangsung pada periode tertentu secara serentak agar tidak terlambat masa tanam. Proses kerja demikian menempatkan liliuran sebagai bagian penting dari kehidupan petani ladang dan tetap bertahan sebagai kegiatan komunitas di tengah proses komersialisasi pertanian. Faktor-faktor yang mempengaruhi bertahannya kelembagaan liliuran dalam komunitas petani diidentifikasi sebagai berikut: (1) Liliuran memberi ruang yang cukup bagi aktivitas perempuan untuk berkontribusi dalam upaya memelihara kesinambungan hidup keluarga tani. (2) Dalam kelembagaan liliuran terdapat mekanisme aturan pertukaran timbal balik tenaga kerja. (3) Landasan dasar liliuran adalah tolong-menolong atas dasar resiprositas, sehingga keberlakuannya bukan hanya terbatas dalam kegiatan usaha tani, tetapi juga dalam berbagai aktivitas kehidupan sosial lainnya. (4) Petani yang terlibat dalam kegiatan liliuran jumlahnya relatif kecil berkisar 510 orang, memudahkan pengorganisasiannya, sehingga kelompok liliuran ditemukan pada tiap kampung. Keberadaan liliuran menguntungkan proses produksi agroforestry dan aktivitas pertanian pada umumnya, karena meringankan biaya, baik untuk saprodi maupun ongkos produksi. Kebutuhan bibit tanaman dapat dipenuhi dengan meminjam dari anggota liliuran lainnya. Anggota liliuran juga tidak selalu harus mengeluarkan upah tenaga kerja secara tunai, karena dapat meminta bantuan kelompoknya untuk mengerjakan kebun miliknya. Seorang petani menuturkan: Untuk ngored (membersihkan kebun) seluas 2000 m pemilik kebun membutuhkan lima orang tenaga kerja perempuan selama empat hari, dengan
88
jumlah total biaya yang harus dikeluarkan sebesar Rp. 348.000,- . Bagi petani yang menjadi anggota liliuran, uang sebesar itu tidak perlu dikeluarkan secara tunai dan dapat digunakan untuk kebutuhan lainnya. Sebagai imbalannya yang bersangkutan diwajibkan mencurahkan waktu dan tenaga sesuai dengan jumlah hari yang dibutuhkan untuk ngored pada waktu liliuran di hari dan tempat lain.
Secara sosiologis kelembagaan liliuran memperkuat kohesivitas sosial, terpeliharanya tradisi tolong-menolong dan resiprositas sosial. Faktor ini diperkuat dengan keterlibatan kaum perempuan cukup besar dalam liliuran terutama pada beberapa tahapan kegiatan usaha tani. Keterlibatan kaum perempuan mampu memupuk kebersamaan antar warga, sekaligus berfungsi untuk menopang pemenuhan kebutuhan pangan keluarganya. Bagi petani, liliuran dapat memberikan “jaminan keamanan subsistensi” dan menyediakan lapangan pekerjaan. Secara ekologi keberadaan kelembagaan liliuran berdampak positif pada tata kelola agraria ramah lingkungan. Peran dan kontribusi perempuan dalam liliuran dapat disimak dari pandangan seorang petani sebagai berikut: Bumi adalah Ibu Siti Hajar adalah sosok perempuan biasa yang setiap hari berkebun dan melakukan pekerjaan domestik di desa kelahirannya Citaman. Namun, ada yang tidak biasa dalam sosok dirinya dari perempuan lainnya. Dibalik kesahajaannya, tersimpan kecerdasan luar biasa dan nilai hidup yang begitu mulia dalam memaknai ruang hidupnya. Itulah kesan yang diperoleh selama bermingguminggu di Desa Citaman. Ibu beranak empat itu memiliki pemahaman yang kental bahwa tanah kelahiran adalah entitas ruang hidup, bukan komoditas yang bisa dijual-beli, apalagi dipertukarkan. Pemikiran Siti Hajar tentang dampak pembangunan berdasarkan kesaksiannya melihat proses pembangunan di pedesaan. Dari informasi yang dimilikinya, Siti Hajar sampai pada kesimpulan bahwa pembangunan melahirkan marginalisasi perempuan, melanggengkan ketidakadilan, kekerasan psikis, fisik dan ekonomi. Bumi yang digambarkannya sebagai ibu telah dieksploitasi, dirusak dan dijarah karena didorong oleh keserakahan (“kapitalisme”) dengan menempatkan posisi laki-laki secara dominan. Ia berpandangan bahwa bumi adalah ibu yang harus diselamatkan dari ancaman kerusakan yang dilakukan orang besar (“pengusaha dan penguasa”). Mengingat perempuan merupakan tangan pertama yang bersentuhan dengan sumber daya alam, maka akibat kerusakannya perempuanlah yang paling rentan menerima resiko dan dampaknya. Dengan bahasa sederhana dan tidak terdengar heroik, cara pandangnya tampak lugas menganalisis persoalan lingkungan hidup dan praktik ketidakadilan yang dipertontonkan merusak bumi. Menurutnya langkah strategis yang dapat dilakukan perempuan untuk menyelamatkan bumi adalah mengembalikan peran perempuan ke kodratnya kepada alam dengan memelihara kualitas kefeminimannya sebagai pemelihara dan perawat alam. Bekerja dan bertindak seperti laki-laki (maskulinisasi perempuan) tidak saja merugikan perempuan melainkan juga akan berdampak
89
kepada lingkungan sosial dan alam. Maskulinisasi menyebabkan merebaknya eksploitasi dan rusaknya alam, menurunnya solidaritas sosial dan meningkatnya kejahatan. Dia tidak setuju dengan anggapan bahwa perempuan yang berperan sebagai ibu adalah "dewi tolol" di sangkar emas. Karena menurutnya maskulinisasi menjadi salah satu faktor langgengnya budaya kemiskinan dan feminisasi kemiskinan.
Narasi di atas menggambarkan pemahaman dan praktik ekofeminis148 dalam merawat alam untuk keberlanjutan sumber kehidupan. Penghayatan itu bersumber dari keterlibatannya dalam kegiatan liliuran dalam waktu panjang pada jaringan sosial komunitas. Merujuk pendapat Polanyi, kelembagaan komunitas sebagai embedded institute, yakni institusi sosial yang berperan dan memberi ruang ekonomi untuk mobilisasi tenaga kerja dan modal secara terintegrasi.149 Kelembagaan liliuran merupakan bentuk mekanisme yang mengatur hubungan kerja antara pesertanya, baik sebagai pemilik tanah maupun sebagai pekerja secara imbal balik. Status sebagai pemilik tanah dan pekerja silih berganti sesuai dengan kesepakatan. Partisipan liliuran tidak selamanya menjadi pemilik tanah dan menjadi pekerja, pada waktu tertentu seorang peserta menjadi tuan, pada waktu lain berperan sebagai pekerja dan seterusnya. Ini berbeda dengan hubungan kerja antara petani dengan tuan, hubungan patron client, hubungan antar keduanya tidak setara dan cenderung eksploitatif. Hubungan kerja dalam liliuran dibangun atas dasar kesetaraan dan perpaduan aspek ekonomi, sosial dan resiprositas. Partisipan tidak hanya terpenuhi kebutuhan akan tenaga kerja atau biaya produksi pertanian, tetapi juga keterlibatan partisipan berguna untuk penguatan modal sosial melalui pertukaran tenaga kerja, pertukaran barang dan jasa dalam jaringan kekerabatan, komunitas dan tempat tinggal. Hal ini menunjukkan bahwa kelembagaan liliuran di komunitas petani berperan sebagai institusi pendistribusian tenaga kerja, berfungsi sebagai institusi budaya yang memberi makna bagi penguatan kohesivitas dan modal sosial komunitas. Hubungan kerja antar partisipan liliuran tidak terbatas pada hubungan kerja semata-mata tetapi didalamnya melekat hubungan sosial
148
Ekofeminisme merupakan perluasan diskursus dari perjuangan feminisme yang mendobrak dominasi laki-laki terhadap perempuan sebagai mana upaya mendobrak dominasi manusia terhadap alam. Tong, Rosemarie,1998. Feminist Thought. Westview Press.
149
Karl Polanyi, “Perkembangan Ekonomi Pasar” dalam Hans Dieter Evers, 1998, Teori Masyarakat: Proses Peradaban Dalam Sistem Dunia Moderen. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
90
yang luas. Liliuran sebagai embedded institute dalam tata kelola sumberdaya agraria merupakan modal dasar bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan.
5.4. Ihtisar Kelembagaan lokal tata kelola sumberdaya agraria di hulu DAS Cidanau dibedakan atas kelembagaan lokal berupa aturan main, nilai dan norma dan berupa institusi dan praktik tata kelolanya. Bentuk kelembagaan lokal berupa aturan main meliputi buyut, pipeling, konsepsi tanah, tata guna tanah dan zonasi hutan (leuweung), dan kearifan lokal tentang tanaman pangan dan obat. Sedangkan kelembagaan lokal berupa institusi adalah liliuran dan agroforestry. Buyut dan pepeling merupakan mekanisme dan aturan warga setempat yang mengedepankan keselarasan kebutuhan manusia dan keberlanjutan sumberdaya. Pemanfaatan sumberdaya yang berlebihan-melampaui daya dukung alam sama dengan menghancurkan masa depan kehidupan manusia, karena manusia dan sumberdaya merupakan bagian dari ekosistem. Dalam kehidupan petani, kelembagaan buyut dan pepeling diwujudkan dengan sistem olah tanah konservasi (penerapan teknologi pertanian gilir balik, terasering, pembuatan guludan), ngaseuk, coo benih, pemberantasan hama tanaman ramah lingkungan, masa tanam mengikuti daur musim dan pergiliran tanaman. Aspek penting yang terkandung dalam tata kelola sumberdaya agraria berbasis kearifan lokal adalah visi dan orientasinya yang memadukan produksi dan konservasi. Visi dan orientasi pengelolaan sumberdaya secara demikian diperlukan dalam tata kelola hutan berkelanjutan. Sejauh ini ilmu pengetahuan pertanian dan kehutanan modern yang mencerminkan tafsir Barat gagal memahami dan menempatkan kelembagaan sosial dan kearifan lokal dalam konservasi hutan. Kegagalan ini berujung pada meluasnya deforestasi dan peluruhan kelembagaan komunitas yang mengakibatkan komunitas sekitar hutan mengalami keterbelakangan dan menjadi kantong kemiskinan. Dalam upaya mewujudkan pembangunan hutan berbasis masyarakat, maka kelembagaan dan kearifan
lokal
tata
kelola
sumberdaya
hutan
komunitas
selayaknya
dipertimbangkan dan mendapat tempat dalam politik agraria kehutanan dan khususnya perhutanan sesuai ruang sosial, lokalitas dan spasialnya.
91
BAB VI KONTESTASI SEKTORAL, LOKAL SUPRALOKAL DAN INTERNAL KOMUNITAS 6.1. Pendahuluan Kontestasi penguasaan sumberdaya agraria dan sumberdaya manusia di wilayah pedesaan berlangsung pada aras makro/nasional dan mikro di masyarakat. Pada aras makro kontestasi berlangsung antar berbagai kekuatan politik dan ekonomi melalui perumusan sejumlah peraturan perundang-undangan. Di aras mikro/masyarakat, kontestasi sektoral, muncul dalam pelaksanaan program sektoral melalui proyek yang bersifat top down yang disertai pembentukan kelembagaan yang menegasikan kelembagaan masyarakat. Sehingga kontestasi sektoral mengakibatkan kapitalisasi sumberdaya pedesaan dan mengabikan pemberdayaan masyarakat secara partisipatif. Kontestasi sektoral juga semakin menjauhkan upaya peningkatan taraf hidup dan kemandirian masyarakat pedesaan dan mendorong meluasnya konflik agraria di wilayah pedesaan. Kontestasi sektoral dipicu oleh tumpang tindihnya regulasi dan lemahnya sinergi dan koordinasi masing-masing sektor dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan monitoring. Gambaran kontestasi sektoral di lokasi penelitian dapat disimak pada uraian berikut.
6.2. Kontestasi Sektoral Dari penggalian informasi di lapangan,
diketahui bahwa kontestasi
sektoral penguasaan sumberdaya agraria terkait erat dengan tumpang tindihnya peraturan penundang-undangan sektoral, menguatnya ego sektoral dan kurangnya pemahaman pemangku kepentingan atas sifat dan fungsi sumberdaya sebagai sistem daya dukung kehidupan atau modal alam. Pemangku kepentingan atau aktor yang terlibat dalam kontestasi sektoral, menempatkan sumberdaya agraria semata-mata sebagai komoditi ekonomi dan mengabaikan fungsinya sebagai daya dukung kehidupan atau modal alam. Sebab sumberdaya sebagai daya dukung kehidupan, jika dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi semata-
92
mata akan berakibat terganggunya dan rusaknya keseimbangan keseluruhan ekosistem sumberdaya hutan dan kawasan DAS. Kurangnya pemahaman memilah dan memilih fungsi sumberdaya alam sebagai stock, barang publik dan sebagai komoditi, mengakibatkan pengelolaan dan penguasaan sumberdaya tidak memperhatikan karakteristik sifat dan fungsi sumberdaya. Pelaksanaan tata kelola sumberdaya lebih didasarkan pertimbangan teknis, kepentingan ekonomi, administrasi politik pemerintahan dan wilayah kekuasaan/administratif daripada perbaikan kesejahteraan rakyat. Padahal karakteristik sumberaya seperti bentang DAS tidak bisa dibagi-bagikan berdasarkan unit administratif pemerintahan. Kekurang-pahaman atas karakteristik sumberdaya
dan besarnya
kepentingan politik dan ekonomi sektoral, menyebabkan sejumlah peraturan perundang-undangan menimbulkan konflik jurisdiksi. Beberapa peraturan perundang-undangan yang menimbulkan konflik sektoral antara lain: UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang No. 31 tentang Perikanan dan UU UU No. 22/2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, Undang-Undang No. UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah. Konflik sektoral keempat
UU tersebut
disajikan dalam gambar berikut: UU No.41 Tentang Kehutanan
Masalah Pertambangan di Hutan Lindung
UU No. 22/2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi
Masalah Konservasi Hutan mangrove
Kontestasi Sektoral dan Tumpang Tindih Kepentingan
UU No. 31/2003 Tentang Perikanan
Masalah Kewenangan Wilayah Operasi Nelayan
NNnelayan UU No 32/2004Tentang Otonomi Daerah
Gambar 3 Kontestasi Sektoral
Dari gambar 3 diketahui bahwa kontestasi sektoral antara kehutanan dengan perikanan berkaitan dengan status dan pengelolaan hutan mangrove. Hutan mangrove secara de facto berada di wilayah pesisir yang merupakan wilayah kewenangan Kementerian Kelautan dan Perikanan,
tetapi de jure
pengelolaan hutan mangrove merupakan kewenangan Kementerian Kehutanan.
93
Akibat tumpang tindihnya regulasi dan kewenangan, sebagian besar hutan mangrove tidak terawat, kritis dan tidak bisa menahan enterupsi air laut. Kontestasi sektoral juga terjadi antara UU No. 41/1999 tentang Kehutanan dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, berkaitan dengan ijin pengelolaan dan pengusahaan hutan yang mengakibatkan tarik menarik kepentingan antara Kementerian Kehutanan dengan Pemerintah Daerah. Tarik menarik kepentingan antara Pemerintah Daerah dengan Kementerian Kehutanan menyebabkan deforestasi dan illegal logging sulit dikendalikan dan rusaknya kawasan hulu DAS.
Lemahnya penegakkan hukum terhadap pelaku illegal
logging merupakan sisi lain dampak dari kontestasi sektoral. Lemahnya sinergi dan koordinasi dalam penegakkan hukum terhadap pelaku illegal logging, berbanding terbalik dengan semangat memberikan konsesi penguasaan/ pengusahaan hutan dan pertambangan pada pemilik modal. Kondisi kontradisi ini menggambarkan kuatnya pertimbangan trasaksional dalam politik tata kelola sumberdaya agraria. Konsesi penguasaan dan pengusahaan hutan dan pertambangan oleh pemilik modal berlangsung secara masif dan kolosal di berbagai wilayah di Indonesia. Penguasaan sumberdaya hutan oleh pemilik modal melalui konsesi transaksional secara kolosal berdampak luas terhadap kelanjutan sumberdaya dan nasib komunitas sekitar hutan. Pada banyak kasus, pengusahaan hutan tidak berkoeksistensi dengan kelembagaan lokal, berakibat penegasian hak, akses dan ruang hidupnya. Keragaman budaya dan tradisi tata kelola sumberdaya berbagai komunitas di Indonesia, ruang spasialnya terbagi habis dan tertutup oleh berbagai hak konsesi yang dimiliki oleh pemilik modal, seperti terlihat pada Gambar 4.
Konsesi lahan di Indonesia Lain-lain
Tambang
73,1 juta ha
HTI 8,8 juta ha
35% lahan
HGU
HPH
15,0 juta ha
35,1 juta ha
Gambar 4. Konsesi Kolosal Pengelolaan SDA
94
6.2.1. Aktor Kontestasi Sektoral Kontestasi sektoral pengelolaan dan penguasaan sumberdaya hutan dan DAS melibatkan para pemangku kepentingan atau aktor pada berbagi tingkat: internasional, nasional, regional dan lokal. Aktor yang terlibat dalam pengelolaan dan penguasaan sumberdaya hutan dan kawasan DAS di Cidanau disajikan pada gambar 5. Internasional
MNC
Nasional
Kemenhut
Kement.ESD
Regional
UPT DAS
FKDC
Lokal
UPT Sektoral
Pem.Kecamatan
NGO (IIED)
DPR
Pemda
NGO
Rekonvasi Aparat Desa
KTH
Gambar 5. Aktor Kontestasi Pengelolaan Hutan DAS Cidanau
Dari gambar 5 diketahui bahwa pada tingkat internasional kontestasi sektoral melibatkan perusahaan Multinasional dan NGO internasional yakni IIED (International Institute for Environment Development). Pada tingkat nasional aktor yang terlibat dalam pengelolaan dan penguasaan sumberdaya hutan adalah Kementerian Kehutanan, Kementerian Eenergi dan Sumberdaya Mineral, DPR dan NGO. Pada tingkat regional aktor yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan kawasan DAS, melibatkan BKSD, UPT DAS Cidanau, FKDC (Forum Komunikasi DAS Cidanau), Pemda Provinsi Banten dan LSM (Rekonvasi Bumi). Pada tingkat lokal aktor yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan DAS adalah UPT Pertanian dan Kehutanan, aparat Kecamatan Padarincang dan Ciomas, Aparat Desa Cibojong dan Desa Citaman serta Kelompok Tani Hutan Karya Muda dan Kelompok Tani Maju Bersama. Kontestasi sektoral antar aktor pada tingkat nasional dalam pengelolaan dan penguasaan sumberdaya hutan, berlangsung sejak perumusan draf naskah perundangan, pengajuan ke Presiden dan perumusan di badan legislatif sampai dengan alokasi anggaran dari APBN. Sengitnya kontestasi sektoral antar aktor tercermin dalam pembahasan, perumusan dan pengesahan Perpu No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang No. 41/1999 tentang Kehutanan oleh
95
DPR. Pembahasan, perumusan dan pengesahan Perpu tersebut di DPR melibatkan berbagai pemangku kepentingan (aktor) yang memiliki kekuatan politik dan ekonomi, baik di lingkungan internal DPR maupun kekuatan di luar DPR (eksekutif dan pelaku usaha (domestik dan asing) bahkan badan internasional. Pada awalnya DPR secara tegas menolak perpu tersebut tetapi penolakan lantang DPR kemudian redup dan melunak yang berakhir dengan persetujuan melalui pengambilan keputusan secara voting. Perubahan sikap politik DPR dinilai janggal,150 karena berlangsung secara drastis. Ketika Perpu No.1 tahun 2004 dikeluarkan pemerintah, pihak DPR secara tegas menolaknya, dengan alasan bahwa negara tidak dalam kondisi darurat. Tetapi penolakan DPR terhadap Perpu tidak bulat, ada pro dan kontra, antara pro investasi dan pro lingkungan. Menolak Perpu, khawatir DPR dituduh tidak pro investasi karena investasi diperlukan untuk menodorong pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain DPR khawatir membebaskan hutan lindung dari aktivitas pertambangan akan menuai arbitrase, karena sebagian perusahaan pertambangan yang beroperasi di kawasan Hutan Lindung adalah perusahaan Amerika Serikat. Ambiguitas DPR terhadap Perpu mencerminkan sengitnya kontestasi sektoral penguasaan sumberdaya hutan yang berlangsung secara transaksional. Proses transaksional itu dimungkinkan karena menguatnya kedudukan badan legislatif yang memberikan peluang proses pembuatan undang-undang menjadi lahan subur pencari rent seeker.
Besarnya kepentingan ekonomi dari pemangku
kepentingan (penguasa dan pengusaha) dalam penguasaan sumberdaya hutan dan pertambangan adalah aspek lain yang memicu kontestasi sektoral. Perubahan Undang-Undang No. 41/1999 tentang Kehutanan melalui Perpu No.1 tahun 2004 berawal dari penilaian stakeholder pertambangan bahwa UU No. 41 tidak menjamin kepastian hukum bagi ijin pertambangan di kawasan hutan lindung. Besarnya pengaruh politik dan ekonomi stakeholder pertambangan mendorong pemerintah mengeluarkan Perpu No.1 tahun 2004 yang berisi revisi Undang-Undang No. 41/1999 tentang Kehutanan yang melegalkan perusahaan pertambangan beroperasi di kawasan hutan lindung. Revisi UU Kehutanan No. 150
Perubahan sikap politik DPR menurut sejumlah aktivis lingkungn dan kaukus anti korupsi terdapat dugaan kuat disebabkan mengalirnya uang kepada sejumlah anggota DPR. Lihat Harian Kompas 13-14 Juli 2004.
96
41 yang melegalisasi eksplorasi pertambangan di kawasan hutan lindung, menunjukkan kekuatan politik dan ekonomi sektor pertambangan mendesakkan kepentingannya melalui Presiden. Ambiguitas DPR terhadap Perpu diselesaikan melalui pengambilan keputusan secara voting dalam rapat paripurna, dengan keputusan menyetujui Perpu No. 1 tahun 2004. Persetujuan DPR terhadap Perpu itu menggambarkan kontestasi sektoral, Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral dengan Kementerian Kehutanan. Dalam kasus pertambangan di kawasan hutan lindung, kontestasi sektoral tidak hanya melibatkan Presiden tetapi juga pihak di luar pemerintah, yakni DPR. Persetujuan DPR terhadap Perpu itu memperkuat dugaan bahwa pelaku usaha untuk memuluskan tujuan dan ambisinya, tidak saja mempengaruhi pemerintah, Presiden sebagai pimpinan eksekutif tetapi juga mampu mendesakkan kepentingannya kepada DPR untuk membuat peraturan perundangan yang menguntungkan sektor dan perusahaan pertambangan. TUMPANG TINDIH PERTAMBANGAN DAN KEHUTANAN Kalimantan: 19% Sulawesi: 26%
Ì Sumatra: 44%
Ì
Ì
Ì Ì
Ì
Ì Ì
Ì
Ì Ì
Papua: 68%
Ì Maluku: 7%
Ì Java-Bali: 6%
Ì
Ì Nusa Tenggara: 43%
Sabuk Mineral
Wilayah KK
Definisi hutan lindung dalam UU No 41 tahun 2004 tidak memberi ruang gerak lagi bagi kegiatan pertambangan
Wilayah KK yang tak dapat dieksplorasi
UU 41/1999 Tambang tidak boleh di hutan lindung PP 1/2004, why not ?
Gambar 6 Kontestasi Kehutanan dan Pertambangan
Menguatnya kepentingan politik dan ekonomi instansi sektoral dan perusahaan dalam proses pembuatan perundang-undangan sektoral, menyebabkan produk hukum dari badan legislatif menjadi “vehicle to get power” para pihak (badan legislatif, eksekutif dan pelaku usaha (domestik dan mancanegera). Dalam proses pembuatan perundangan sektoral,
wakil rakyat di badan legislatif
cenderung merepresentasikan kepentingan diri sendiri dan partai politiknya daripada kepentingan rakyat yang diwakilinya. Proses pembuatan undang-undang demikian, mengakibatkan isi dan subtansi perundang-undangan, bukan hanya bersifat sektoral dan parsial, tetapi juga syarat muatan kepentingan politik dan ekonomi para pihak dan menjauhkan terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
97
6.2.2. Kontestasi Sektoral: Kapitalisasi Sumberdaya Proses kontestasi sektoral yang syarat muatan politik dan ekonomi di tingkat nasional, merembes dalam program pembangunan ekonomi dan pedesaan di tingkat kecamatan dan desa. Dalam pembangunan pertanian,
kehutanan,
infrastruktur, pemberdayaan masyarakat, keluarga berencana, kesehatan, koperasi dan
UKM dan industri/kerajinan, terlihat antar pelaksana teknis tidak
terkoordinasi dan tidak bersinergi. Program kerja yang disusun oleh masingmasing instansi sektoral tidak dikomunikasikan dan dikoordinasikan satu sama lainnya. Program peningkatan produktivitas tanaman pangan dan hortikultura dari UPT Pertaniaan Padarincang dan Ciomas tidak bersinergi dengan program konservasi dari intansi Kehutanan dan Pekerjaan Umum. Program/ kegiatan mengatasi degradasi dan sedimentasi Cagar Alam Rawa Danau yang dilakukan oleh Balai Konservasi tanpa koordinasi dengan instansi sektoral lainnya seperti lingkungan hidup dan pertanian. Menguatnya ego sektoral mengakibatkan pembangunan infrastruktur irigasi yang dilakukan oleh Pekerjaan Umum, tidak terkoordinasi dengan instansi teknis (sektor pertanian) yang menangani pengelolaan lahar dan air. hutan, seakan hanya
Pembangunan masyarakat sekitar hutan dan desa
menjadi tugas dan tanggungjawab sektor kehutanan,
termasuk dalam peningkatan produktivitas agroforestry. Kontestasi sektoral antar pertanian
dan
kehutanan
berakibat
rendahnya
produktivitas
komoditas
agroforestry pada desa-desa sekitar hutan. Kontestasi sektoral juga terlihat dari tidak koordinasinya
pengelolaan
hulu, tengah dan hilir DAS Cidanau. Kawasan DAS Cidanau tidak dikelola secara terpadu sebagai satu ekosistem, tapi terpisah-pisah sesuai dengan kewenangan dan kepentingan masing-masing sektor. Kondisi ini merupakan implikasi dari pembangunan berbasis sektoral, di mana keberhasilan program/proyek diukur berdasarkan masukan dana, tahapan, prosedur dan target sektoral secara kuantitatif. Berdasarkan penuturan pelaksana teknis UPT Ciomas dan Padarincang, “program pembangunan (kehutanan dan pertanian) yang berjalan sesuai dengan tahapan, prosedur dan target dianggap
98
tujuannya tercapai, bahkan penyerapan anggaran proyek sesuai dengan tahapan dan prosedur, menjadi tolok ukur keberhasilan kinerja UPT dan aparatnya.” Pernyataan itu menunjukkan bahwa dalam pembangunan berbasis sektoral, masukan dana dan aturan–aturan teknis lebih diutamakan daripada pencapaian output, perbaikan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat sasaran.151 Dampak lebih lanjutnya adalah pencapaian target secara kuantitatif dan penyerapan anggaran, lebih diutamakan daripada pencapaian keberhasilan secara kualitatif, seperti perbaikan sosial ekonomi masyarakat. Kondisi ini secara jelas tergambar dari dokumen perencanaan pembangunan pertanian dan kehutanan yang disusun oleh UPT Pertanian dan Kehutanan Kecamatan Ciomas dan Padarincang. Pengukuran kinerja instansi sektoral berdasarkan capaian dan target kuantitatif, mengakibatkan program kerja pelaksana teknis di tingkat kecamatan cenderung seragam, kurang memperhatikan karakteristik dan potensi ekonomi wilayah kerja UPT serta peran partisipasi masyarakat. Akibatnya sebagian besar program pembangunan pertanian dan kehutanan di wilayah ini dapat dikatakan “tidak meninggalkan bekas”. Indikasinya adalah masyarakat sasarannya tidak mengalami perbaikan sosial dan ekonominya. Keberhasilan kinerja dari pendekatan sektoral dalam pembangunan dapat diilustrasikan: Bila kesejahteraan masyarakat, dapat diwujudkan melalui tata kelola sumberdaya agraria berbasis masyarakat sebagai suatu ruang terisi penuh, maka pendekatan sektoral tidak pernah dapat mengisi ruang secara penuh. Ruang kosong yang belum terisi itulah kesejahteraan rakyat yang tidak menjadi target pembangunan sektoral. Dalam diskusi terfokus bersama instansi terkait dan tokoh masyarakat, permasalahan yang ditimbulkan dari kontestasi sektoral dalam pembangunan di wilayah DAS Cidanau diidentifikasi sebagai berikut: Pertama pengukuran kinerja sektoral secara kuantitatif (seperti persentase penyerapan anggaran, volume kegiatan dan jumlah sasaran suatu program), mengakibatkan banyaknya program dan anggaran yang dikeluarkan tidak berkorelasi dengan besaran manfaat dan kegunaannya bagi masyarakat. Sejauh mana program masing-masing sektor meningkatkan taraf hidup masyarakat
151
Uraian tentang pendekatan sektoral lihat Sayuti Hasibuan, 1997. Pendekatan Pelaksanaan Dalam Pembangunan. Jakarta: Lembaga Pengkajian Pembangunan Nasional.
99
kurang diperhitungkan. Sehingga keberhasilan pembangunan sektoral tidak bersentuhan dengan kepentingan masyarakat. Masyarakat hanya sebagai obyek dan
dipandang tidak
memiliki pengetahuan
dan
kepentingan
terhadap
pembangunan. Kedua
pembangunan
ekonomi
dan
pemberdayaan
masyarakat
berdasarkan “pendekatan proyek,” menyebabkan keberhasilan dan keberlanjutan program ditentukan oleh ketersediaan anggaran. Meskipun anggaran diperlukan, tetapi ketergantungan program pemberdayaan masyarakat pada anggaran, mengabaikan faktor lainnya, yakni sumberdaya manusia, modal sosial dan partisipasi masyarakat. Ketiga dengan alasan teknis administratif, pelaksanan pembangunan bersifat top down
dan diikuti dengan pembentukan kelembagaan baru yang
bersifat substitusi. Kelembagaan bentukan pemerintah yang terdapat di pedesaan disajikan pada tabel 7. Tabel 7. Kelembagaan Bentukan Pemerintah di Wilayah Pedesaan No 1 2 3 4 5 6 7 8
Instansi Induk/Pusat BKKBN Koperasi dan UKM Kementerial Sosial Kementerian PU Kementerian Kehutanan Kementerian Pertanian Kementerian Dalam Negeri Badan Ketahanan Pangan
Kelembagaan Sektoral Bentukan Pemerintah KUBER (Pra Koperasi) KUD, Kelompok Usaha Bersama, BDS Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Petani Pemakai Air Kelompok Tani Hutan (KTH) dan LMDH Kelompok Tani, Gapoktan, LUEP Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat
Diolah dari sumber primer.
Pembentukan kelembagaan baru di tengah masyarakat, terkait dengan pemahaman pemangku otoritas terhadap keberadaan kelembagaan lokal sebagai anak tiri dan tidak diinginkan orphan factor.152 Pembentukan kelembagaan baru di tengah masyarakat, menyebabkan ruang spasial dan sosial pedesaan disesaki oleh kelembagaan bentukan dan perpanjangan supra desa. Penetrasi kelembagaan sektoral terhadap wilayah pedesaan berdampak negatif terhadap kemandirian dan keswadayaan masyarakat pedesaan. Desa sebagai wilayah otonom kehilangan
152
Lihat Suradistra, 2006. “Revitalisasi Kelembagaan Untuk Percepatan Pembangunan Sektor Pertanian Dalam Otonomi Daerah”. Makalah orasi ilmiah pengukuhan peneliti utama sebagai profesor riset bidang sosiologi pertanian. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
100
otonomi dan kemandiriannya. Kondisi inilah yang disebut penulis sebagai kapitalisasi sumberdaya pedesaan. Desa sebagai wilayah otonom, dalam kenyataan empirik, ditempatkan sebagai struktur pemerintahan terendah dan menjadi obyek intervensi kekuatan ekonomi supra lokal yang berakibat meningkatnya ketergantungan desa pada pemerintah pusat dan lemahnya keswadayaan masyarakat. Aparat desa memaknai kehadiran kelembagaan supra lokal di wilayahnya sebagai beban rumah tangga pedesaan. Karena Pemerintah Desa dipaksa membantu program sektoral, sementara kemampuan keuangan dan sumberdayanya terbatas. Pendekatan pembangunan sektoral, tidak hanya mengakibatkan lemahnya kordinasi dan sinergi antar sektor, tetapi juga berlangsung dalam internal sektor, misalnya pengelolaan bantuan sosial yang dikelola Kementerian Pertanian. Masing-masing direktorat di kementerian itu memiliki program dan kelembagaan sendiri di wilayah pedesaan, seperti terlihat pada Tabel 8. Tabel 8. Program & Pengelola Bantuan Sosial Kementerian Pertanian di Pedesaan No 1 2 3 4 5 6
7 8
Direktorat Nama Program Sekretarit Jenderal Pengembangan Usaha Agribisnis Pertanian Ditjen Tanaman Pangan Penguatan Kelembagaan Ekonomi Petani Ditjen Hortikultura Penguatan Modal Usaha Kelompok (PMUK) Ditjen Peternakan Penguatan Modal Usaha Kelompok (PMUK Ditjen Perkebunan Penguatan Modal Usaha Kelompok (PMUK Ditjen Pengolahan & Pe Penguatan Kelembagaan Ekonomi Petani masaran Hasil Pertanian Badan Pengemb. SDM Bantuan Langsung Masyarakat Bdan Ketahanan Pangan
Pengelola Gapoktan LM3 LM3 LM3 LM3 LM3 LM3 Model
LUEP
6.3. Kontestasi Lokal Supralokal Kontestasi lokal supralokal yang berlangsung di lokasi penelitian mencakup dimensi nilai, organisasi dan orientasi perilaku individual. Dari tiga dimensi tersebut yang menonjol dua hal yakni holistik versus reduksionis dan konflik agraria tenurial. 6.3.1. Holistik Versus Reduksionistik Kontestasi kelembagaan lokal supralokal dapat ditelusuri dari peraturan perundang-undangan
tata
kelola
sumberdaya
agraria
yang
dikeluarkan
pemerintah, seperti yang terkandung dalam Undang-Undang Kehutanan No. 41
101
Tahun 1999 dan Undang-Undang Sumberdaya Air nomor 7 tahun 2004. Kedua undang-undang mereduksi sumberdaya agraria, hanya sebagai komoditi ekonomi yang dieksploitasi untuk menopang pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan kesejahteraan masyarakat. Dalam Undang-Undang Kehutanan No. 41 Tahun 1999 dinyatakan bahwa hutan adat merupakan bagian hutan negara. Ketentuan ini tidak memberikan rasa aman (unsecured tenure), kepada masyarakat sekitar hutan, karena mereka didera rasa khawatir terus menerus hak atas daerah leluhur dan hak kepribumiannya.153 Undang-Undang Kehutanan tidak mengatur secara jelas pengakuan terhadap hutan adat/ kelembagaan komunitas sekitar hutan. Demikian halnya UndangUndang Sumberdaya Air Nomor 7 tahun 2004, semangatnya mereduksi sumberdaya air menjadi komoditi semata-mata. Jika dibandingkan dengan UU No.11/1974 tentang Pengairan, UU nomor 7 tahun 2004 lebih komprehensif. Hanya saja Undang-undang No. 7 tahun 2004 mengatur soal peran dan keterlibatan swasta secara luas dan privatisasi sumberdaya air.154 Penguasaan sumberdaya air oleh swasta (nasional dan multinasional) mengakibatkan posisi masyarakat termarginalkan. Fenomena ini terlihat dari pengusahaan sumberdaya air oleh perusahaan air minum kemasan di kawasan DAS Cidanau. Pemerintah hanya memperhatikan nilai pajak dan retribusi dari pengusahaan air, sedangkan masyarakat di sekitar sumberdaya air tidak mendapat kompensasi, akses sosial dan ekonominya diabaikan. Padahal kualitas dan debet air yang dieksploitasi perusahaan dan pajaknya dipungut Pemerintah, ditentukan oleh praktik sistem olah tanah konservasi masyarakat di sekitarnya. Kontestasi kelembagaan lokal-supra lokal juga mengemuka dalam diskusi berfokus di mana masing-masing pemangku kepentingan memiliki pandangan dalam melihat masalah, cara mengatasinya dan bentuk pengelolaan DAS. Pandangan para pemangku kepentingan (aktor) di tingkat lokal. Aktor yang 153
Ini terkait dengan visi dan orientasi pengelolaan hutan pada timber extraction untuk menopang pertumbuhan ekonomi tetapi mengabaikan hak sosial ekonomi komunitas sekitar hutan yang memiliki sejarah sebelum berdirinya Rebublik Indoensia. Simon, H. 1999. Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat: Teori dan Aplikasi Pada Hutan Jati di Jawa. Yogyakarta: Bigraf Publishing.
154
Privatisasi merupakan salah satu strategi neoliberalisme untuk memudahkan transaksi uang dan barang melalui mekanisme pasar yang memungkinkan perusahaan multi-nasional menguasai sumberdaya air. Lihat J. Bradford Delong, “Globalization” and “Neoliberalism” downloaded from http://con161 berkleley.edu/Econ_ Articles/Rrevie. at October 24.2009.
102
terlibat dalam kontestasi di tingkat lokal – regional adalah Pemerintah Kecamatan, UPT DAS, LSM, tokoh masyarakat dan Kelompok Tani Hutan. Aparat Kecamatan memandang bahwa masalah DAS Cidanau adalah kemiskinan, lemahnya visi dan aplikasi pengelolaan DAS secara terpadu antara hulu dan hilir. Menguatnya kepentingan sektoral dan ego kedaerahan mengakibatkan tidak terkoordinasinya antara hulu dan hilir. Hal senada dikemukakan oleh staf UPT DAS Cidanau. Menurutnya masalah DAS Cidanau adalah adanya jarak antara visi pembangunan berkelanjutan dengan praktik di lapangan.
Pembangunan
kehutanan
berkelanjutan
baru
perlu
didukung
sumberdaya manusia yang kompeten dan ditunjang oleh dana yang memadai, seperti terbatasnya dana untuk reboisasi dan pengembangan SDM. Dua masalah ini menjadi kendala untuk melaksanakan pengelolaan DAS yang terpadu. Menurut LSM Rekonvasi Bumi, masalah DAS Cidanau adalah kuatnya ego-sektoral dan rendahnya kemauan politik pemerintah dalam pengelolaan DAS secara partisipatif. Sedangkan tokoh masyarakat dan pengurus kelompok tani hutan memandang masalah DAS Cidanau bersumber dari ketidakkonsistenan dan rendahnya perhatian pemerintah terhadap pemberdayaan ekonomi di hulu DAS. Perbedaan melihat masalah DAS berimplikasi pada cara dan usaha mengatasi masalah DAS. Menurut Kecamatan kerusakan hulu DSAS Cidanau dapat dilakukan melalui pemberdayaan ekonomi dan pengembangan agroforestry dengan melibatkan swasta. Untuk meningkatkan koordinasi antara hulu dan hilir dapat dilakukan dengan meningkatkan peran Pokja dan Sekretariat Bersama Pemerintah. Menurut UPT DAS usaha mengatasi masalah DAS dilakukan dengan perbaikan tata ruang/tata guna tanah dan penegakan hukum; dan peningkatan alokasi dana reboisasi, pembangunan terasering, perbaikan tebing kritis dan pembangunan civil teknis. Menurut Rekonvasi Bumi, untuk mengatasi masalah DAS Cidanau memerlukan komitmen dan aksi politik pemerintah untuk mewujudkan pengelolaan DAS berkelanjutan dan partisipatif. Sedangkan tokoh masyarakat dan kelompok tani hutan memandang, komitmen dan konsistentensi pemerintah untuk mewujudkan tata pengelolaan DAS partisipatif, dapat dilakukan melalui pemberdayaan ekonomi masyarakat dan pengembangan usaha tani konservasi dan kolaborasi masyarakat dengan pemerintah.
103
Perbedaan pemangku kepentingan atau aktor dalam melihat masalah DAS Cidanau juga berpengariuh terhadap bentuk kelembagaan atau tata kelolanya. Aparat Kecamatan memandang perlunya political action untuk mewujudkan keterpaduan hulu dan hilir dalam pengelolaan DAS, melalui penguatan kelembagaan DAS. Hal senada dikemukakan oleh staf UPT DAS, yang memandang perlunya peningkatan kapasitas kelembagaan DAS, koordinasi antar sektor dan penguatan Forum Komunikasi DAS Cidanau. Sementara tokoh masyarakat menghendaki DAS Cidanau dikelola secara terpadu yang melibatkan masyarakat, kemitraan hulu dan hilir dan dialog demokratis yang setara dan berkelanjutan. 6.3.2. Konflik Tenurial Konflik agraria di kawasan DAS Cidanau (Desa Citaman dan di Cagar Alam Rawa Danau) merupakan pertentangan antara komunitas petani dengan perusahaan dan pemerintah. Para pihak yang terlibat konflik mengklaim dan memperjuangkan kepentingan atas objek agraria yang sama, tetapi dari sumber hukum yang berbeda. Pengembang mengklaim bahwa penguasaannya atas sejumlah area tanah di kaki Gunung Karang sah secara hukum, sesuai izin yang dikeluarkan Pemerintah Daerah. Pengembang yang memiliki legalitas formal mengklaim bahwa leuweung bukaan merupakan tanah negara, sehingga hak pemilikan dan penguasaannya gugur dan melanggar hukum. Atas dasar itu pengembang merampas dan memancang patok tanah petani.155 Tindakan sepihak pengembang mendapat perlawanan petani. Petani mengklaim bahwa tanah yang dikuasainya berdasarkan hak kesejarahan, hak sosial, dan “hak kepribumian” yang telah berlangsung secara turun temurun, jauh sebelum terbentuknya negara kesatuan Republik Indonesia. Hak kesejarahan dan “hak kepribumian” terhadap sumberdaya agraria pada komunitas kajaroan memiliki fungsi dan kedudukan sebagai hak ulayat.156 Karena itu konflik agraria
155
Terdapat dugaan kuat bahwa klaim sepihak pengembang atas leuweung bukaan di wilayah Citaman dilakukan melalui konspirasi dengan aparat terkait. Di tengah komersialisasi tanah penguasaan tanah sekitar 50 ha untuk mengembangkan usaha agrowisata memerlukan investasi yang besar. Diolah dari sumber primer.
156
Hak ulayat diakui UU Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 dan UU Kehutanan No. 41 tahun 1999 sepanjang menurut kenyataannya memang masih ada. Pemerintah menilai masyarakat hukum adat
104
di wilayah Citaman dikategorikan sebagai konflik tenurial, 157 yakni pertentangan klaim terhadap obyek agraria yang sama berdasarkan hukum yang berbeda, hukum positif berhadapan dengan hukum adat. Penguasaan komunitas atas sumberdaya agraria telah berkembang jauh sebelum negara Indonesia berdiri, sehingga memiliki hak kesejarahan dan kepribumian. Menurut petani tanah merupakan kebutuhan dasar (basic need) pemenuhan tanah sebagai bagian dari pemenuhan hak azasinya dan sekaligus sebagai public good yang pemanfaatannya harus dapat diakses oleh petani. Bagi petani, tanah yang dikuasainya merupakan sumber nafkah, tempat kelahiran dan kematian, budaya bahkan religi. Hak tenurial atas tanah yang dikuasai penduduk berasal dari berbagai perolehan hak dan peralihan hak, seperti warisan, pembelian dan pembukaan leuweung bukaan sebelum kemerdekaan. Menurut sejumlah informan, tanah yang dikuasai penduduk merupakan leuweung bukaaan, warisan buyut (leluhur) yang telah berlangsung sejak masa kolonial Belanda dan diakui pemerintah berdasarkan Kebijakan Tata Guna Hutan Kesepakatan. Klaim pengembang bahwa tanah yang dikuasai petani sebagai tanah negara merupakan bentuk pengingkaran terhadap hak kesejarahan dan hak kepribumian. Dari penggalian informasi di lapangan, diketahui alasan pemerintah daerah mengeluarkan surat izin hak guna usaha pada pengembang didasarkan atas pemahaman bahwa hak turun temurun, hak kepribumian atau hak ulayat yang berada di tangan penduduk telah “diangkat" dan digantikan menjadi hak ulayat yang dipegang oleh negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi di Indonesia. Komunitas petani bukan masyarakat hukum adat dan bukan subjek hukum, sehingga tidak memiliki hak penguasaan dan kekayaan yang diatur dalam KUHP. Akibat kedua belah pihak tetap kukuh pada pendiriannya, konflik agraria
kenyataannya sudah tidak ada lagi, implikasinya hak ulayat dianggap tidak ada. Pandangan ini menjadi sikap pemerintah dalam menanggapi “hak tradisi’ dan hak kepribumian penguasaan dan pemilikan tanah oleh komunitas petani. 157
Uraian tentang hak tenurial lihat Ton Diez, Ton. 1998. Pengakuan Hak Atas Sumberdaya Alam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar-Insist-Remedec.
105
menjadi tak terhindarkan. Dari segi eskalasinya bersifat lokal-regional,158 para pihak yang terlibat konflik terbatas pada wilayah Kecamatan Ciomas. Para petani yang tanahnya diklaim oleh pengembang turun ke jalan, dalam aksinya mereka menggunakan
atribut
hitam
putih,
sebagai 159
mempertahankan hak tanah yang dikuasainya.
simbol
kebersihan
protes
Prosesnya berlangsung sekitar
tiga bulan dari April sampai Juni 1997. Sejumlah informan yang terlibat dalam aksi demonstrasi menyatakan, aksi-aksi massa petani tidak sempat menimbulkan korban, karena pada saat aksi berlangsung, pihak pengembang menahan diri dengan menarik stafnya dari wilayah tanah yang disengketakan. Petani hanya mendapat teror dan intimidasi dari pengembang dan aparat keamanan secara terus menerus sampai jatuhnya Presiden Soeharto bulan Mei 1998. Perjuangan petani mempertahankan haknya atas tanah, tidak terbatas dalam bentuk aksi demonstrasi, tetapi juga sesuai dengan keyakinannya disertai penyelenggaraan
shalat
jenazah
(kematian)
tujuh
malam
berturut-turut.
Perjuangan petani secara “batin” melalui shalat jenazah menunjukkan dua hal: pertama tanah merupakan kebutuhan ekonomi yang bersifat azasi buat petani sehingga harus dibela sampai mati. Kedua mempertahankan penguasaan tanahnya merupakan hak (kebenaran), karena itu ketika haknya dipersoalkan dikembalikan dan minta bantuan kepada Yang Maha Pemilik Hak. Keyakinan petani bahwa tanah yang dikuasainya sebagai hak dan kebenaran, kemudian menjadi kenyataan. Perjuangannya membuahkan hasil, sekitar empat puluh hari setelah selesai shalat jenazah atau tiga bulan setelah jatuhnya Rezim Orde Baru diperoleh informasi pemilik perusahaan pengembang meninggal dunia. Informasi kematian pemilik pengembang disambut gembira oleh penduduk Desa Citaman. Kabar meninggalnya pengembang di tengah rezim transisi, disambut
suka cita, menumbuhkan semangat baru, karena petani memiliki
amunisi dan darah segar untuk mempertahankan hak sosial ekonomi atas tanah
158
Data tentang konflik agraria yang eskalasinya lokal dapat dilihat dari Statistik Potensi Desa, BPS 2003. Dari 69.000 desa/kelurahan yang di data pada tahun 2002, dilaporkan terjadi konflik lokal pada sekitar 4.872 desa/kelurahan (7%). Lihat Statistik Potensi Desa, BPS, 2003.
159
Dalam aksinya pengunjuk rasa sering meneriakkan: “Jangan sebut tanah leluhur Kajaroan kalau tanah kami dirampas secara sewenang-wenang”. “Bebaskan kami dari PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) jika tanah leluhur tidak diakui”. “Hentikan perampasan tanah leluhur.” Dituturkan oleh narasumber
106
yang telah lama dikuasainya. Kegembiraan tersebut diwujudkan dalam bentuk syukuran dan liliuran pada tanah yang telah diklaim oleh pengembang yang melibatkan sekitar 60 orang petani bersama keluarganya. Kegiatan liliuran merupakan titik puncak perjuangan petani untuk memperjuangkan tanah sebagai hak sosial ekonomi dan kepribumian penduduk.160 Dalam diskusi dengan masyarakat timbul kesadaran, bahwa konflik agraria di Desa Citaman dipicu oleh kebijakan agraria betting on the strong. Bagi petani konflik tersebut, bukan hanya menegangkan, menyengsarakan dan menimbulkan trauma tetapi juga mengancam aset produktifnya, yakni tanah dan hampir merenggut keselamatan jiwanya. Pengabaian hak sosial ekonomi komunitas dan keberpihakan Pemda pengembang, mengakibatkan petani mengalami tindak kekerasan, penindasan dan penyingkiran. Konflik agraria di wilayah desa Citaman disebabkan pelaksanaan politik agraria pemerintah daerah,
tidak berdasarkan horizon yang luas (menjamin
kepentingan, akses dan kesejahteraan rakyat) tetapi bersifat sektoral dan mengarah pada upaya pelestarian kepentingan sempit, yakni peningkatan asli daerah. Pengembangan kawasan ekowisata dengan mencaplok tanah masyarakat, merupakan bentuk ketidakpedulian pemerintah terhadap nilai dan fungsi tanah bagi petani. Pemerintah lebih mengedepankan preferensi ekonomi daripada pemberdayaan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Sehingga tidaklah berlebihan bila masyarakat menuduh, pemerintah menghidupkan kembali politik agraria kolonial karena menegasikan hak-hak rakyat dan bukan melindunginya. 6.4. Kontestasi Internal Komunitas Kontestasi dalam internal komunitas sebagai akibat langsung dan tidak langsung proses interaksi, adaptasi dan modernisasi yang masuk ke wilayah pedesaan. Penetrasi supra lokal terhadap kelembagaan lokal mendorong adanya perbedaan orientasi keagamaan, afiliasi politik dan konflik kepemimpinan serta pertarungan antar warga mendapatkan jasa lingkungan.
160 Konflik tenurial di wilayah Desa Citaman berakhir dengan heavy ending, karena konflik terjadi di tengah ephoria demokrasi, jatuhnya Orde Baru yang mengakibatkan pengembang kehilangan mantera dan dukungan politik, sebaliknya petani memiliki darah segar untuk melawan pihak yang telah merampas tanahnya. Diolah dari Sumber Primer.
107
6.4.1. Perbedaan Orientasi Keagamaan Perbedaan orientasi paham keagamaan di lokasi penelitian terjadi antara penganut paham kolot (konservatif) dengan
paham modern, reformis atau
pembaharuan. Perbedaan antara keduanya, berkisar pada masalah kedudukan manusia, hubungan agama dan politik, agama dan kebudayaan dan perbedaan aliran keagamaan.161 Jika dikaji perbedaan tersebut bersumber dari perbedaan metodologi yang digunakan untuk memahami doktrin/ajaran agama. Metodologi yang digunakan kaum modernis adalah pemikiran rasional dengan cara membaca dan menafsirkan secara langsung Al-Qur’an dan Hadist. Metodologi ini dipilih kaum reformis, karena menurut mereka setiap orang memiliki kebebasan untuk menafsirkan kitab suci sesuai dengan kapasitas intelektualnya. Taklid (pengikut pasif) dan bertindak menjadi pengikut mazhab (aliran) Syafii, Maliki, Hambali atau Hanafi, menurut kaum modernis dipandang sebagai perbuatan kurang terpuji dan tidak mensyukuri karunia Tuhan yang telah menganugrahkan akal pikiran kepada manusia. Salah satu bentuk mensyukuri nikmat Tuhan adalah menggunakan akal pikiran dalam mengkaji Al-Qur’an dan Sunnah. Pemahaman ini kontras dengan pandangan penganut paham konservatif yang senantiasa merujuk pada hasil pemikiran ulama besar pendiri mazhab.162 Menurut paham konservatif, ajaran dan pesan-pesan Kitab Suci Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, hanya bisa dipahami dan ditafsirkan oleh orang-orang terpilih, para ulama yang telah mendapat hidayah dari Tuhan. Metodologi pemahaman secara demikian, didasarkan pemikiran terbatasnya kemampuan manusia (biasa) memahami Ajaran Islam, (Al-Quran dan Sunnah Rasul). Menurut mereka bila manusia yang memiliki kemampuan terbatas, menafsirkan langsung Al-Quran dan Sunnah Rasul, berpeluang besar menimbulkan salah tafsir dan sesat pikir, bahkan menyimpang dari fitrah dan substansi Ajaran Islam. Atas dasar itu, penganut konservatif, memandang patuh atau taqlid pada pemikiran mazhab merupakan kebaikan untuk memelihara kesucian ajaran Islam. 161
Geertz mengidentifikasi perbedaan paham keagamaan abangan dengan santri atas lima hal: (1) takdir dan ikhtiar, (2) totalistik dan terbatas, (3) sinkritik dan pemurnian (4) pengalaman keagamaan dan perilaku keagamaan (5) adat-mazhab dan pragmatisme dan rasionalisme. Lihat Clifford Geertz, 1983, Abangan, Santri Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.
162
Aliran atau mazhab yang dianut sebagian besar umat Islam di Indonesia adalah mazhab Syafi’i, penganut mazhab selain mazhab Syafii disebut wahabi (pembaharu).
108
Perbedaan metodologi yang digunakan untuk memahami sumber ajaran (Al-Quran dan Sunnas), mengakibatkan perbedaan pandangan mengenai kedudukan dan posisi manusia. Kedudukan manusia seperti kaya atau miskin, hidup dan kematian, menurut kelompok konservatif, telah ditakdirkan (ditentukan) sebelum manusia lahir ke dunia. Panjang dan pendeknya umur manusia, kapasitas dan ruang gerak manusia di dunia dibatasi takdir Tuhan. Seorang informan mengilustrasikan pengertian takdir sebagai berikut: “Nasib manusia tak ubahnya seperti wayang dalam sebuah pertunjukkan kesenian rakyat. “Naik turunnya wayang ke pentas pertunjukkan ditentukan oleh Dalang. Dalang memiliki kuasa penuh untuk menentukan bagaimana dan kapan wayang dipentaskan, apakah pada permulaan atau akhir dari suatu pertunjukan. Peran manusia di dunia tak ubahnya seperti wayang, nasibnya ditentukan oleh Yang Maha Menentukan, Allah SWT.”
Kedudukan manusia yang dipahami penganut kaum konservatif, kontras dengan yang dianut oleh kaum modernis. Menurut penganut modernis manusia memiliki ruang gerak yang bebas tetapi kebebasannya dibatasi ikhtiar (kerja keras yang optimal). Kaya miskin seseorang, hidup dan kematian memang telah digariskan, tetapi dapat diperbaiki atau dirubah melalui proses ikhtiar. Kemiskinan seseorang dapat diperbaiki dengan berusaha, kerja keras dan berdo’a. Demikian juga penyakit yang diderita seseorang dapat diobati dan disembuhkan melalui berbagai cara, (medis, pengobatan tradisional atau pengobatan alternatif). Seorang informan mencontohkan tentang demam berdarah yang disebabkan gigitan nyamuk yang berakibat kematian seseorang. Kematian tersebut dapat dicegah, bila dilakukan ikhtiar melalui pencegahan dini dan pengobatan yang tepat. Perbedaan paham konservatif dan modernis juga terlihat dari pemahaman mereka tentang makna dan fungsi agama dalam kehidupan masyarakat. Bagi modernis, agama dimaknai bukan hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan atau urusan ibadah semata-mata, tetapi mengatur urusan ekonomi dan politik (negara). Berpolitik, menyampaikan amar (seruan untuk bertindak adil dan bersikap hikmat) dan ma’ruf, (bujukan untuk berbuat kemaslahatan umat) kepada amir (pemerintah) merupakan bagian tak terpisahkan dari pelaksanaan ajaran Islam. Sebaliknya penganut faham konservatif lebih menekankan pada aspek ibadat, kesalehan sosial dan kesalehan individual. Dalam hubungannya warga negara dengan negara, kaum konservatif memandang kewajiban warga negara
109
adalah sami’na wa ath’na (mendengar dan patuh pada penguasa) daripada terlibat dalam politik praktis. Mereka memahami agama sebagai urusan manusia dengan Tuhannya dan agama terpisah dari kehidupan politik. Perbedaan paham modernis dan konservatif juga merembes dalam berbagai acara ritual keagamaan dan praktik kelola sumberdaya agraria. Dalam penyelenggaraan
ritual
keagamaan
kelompok
konservatif
cenderung
mensinkretiskan unsur agama dengan adat/ tradisi. Pembacaan tahlil, dzikir dan do’a dalam acara selamatan sering diikuti dengan pembakaran kemenyan. Acara selamatan secara demikian oleh kelompok modernis dipandang sebagai dinamisme dan bid’ah (inovasi ritual terlarang). Ritual agama tidak boleh bercampur baur dengan adat/tradisi.
6.4.2. Afiliasi Politik dan Konflik Elit Afiliasi warga terhadap partai politik tercermin dalam pemilihan umum tahun 2009 terutama untuk pemilihan anggota legislatif Kabupaten Serang. Dalam masa kampanye afiliasi politik ditunjukkan dari pemasangan dan pemakaian atribut partai politik yang menjadi afiliasinya seperti kaos dan bendera partai politik. Menurut penuturan informan, afiliasi politik warga dalam pemilihan umum tidak berkaitan dengan paham keagamaan yang dianutnya, pilihan politik seseorang tidak dipengaruhi oleh paham keagamaannya. Sehingga afiliasi warga dengan partai politik, tidak menyebabkan pengelompokan sosial. Dari penggalian informasi di lapangan, diketahui bahwa pilihan dan afiliasi warga pada partai politik dalam pemilihan umum bulan April 2009, didasarkan atas pertimbangan: (1) mengikuti pilihan partai politik orang yang ditokohkan/dihormati, (2) tokoh/pemimpin partai politiknya populer, (3) partai politik yang memiliki kepedulian sosial, (4) partai politik yang menjadi simbol perlawanan dan pembelaan wong cilik, (5) partai politik yang mengusung nilai agama (Islam), (6) partai politik yang memperjuangkan kesejahteraan petani. Fenomena ini menunjukkan dua hal: pertama terjadi pergeseran sumber opini yang mempengaruhi masyarakat pedesaan atas afiliasi politik dalam pemilihan umum. Bila sebelumnya afiliasi politik dipengaruhi dan ditentukan tokoh masyarakat sebagai pembentuk opini, dewasa ini afiliasi politik penduduk
110
pedesaan dalam pemilihan umum dipengaruhi oleh terpaan informasi media audo visual. Informasi partai politik yang disiarkan oleh media televisi, cukup efektif membentuk opini masyarakat pedesaan untuk menentukan afiliasi politiknya secara bebas. Kedua perubahan orientasi dan afiliasi politik masyarakat pedesaan dalam pemilihan umum, tidak lagi terpolarisasi atas ideologi tertentu163 (nasionalis dan religius), tetapi cenderung lebih pragmatis. Kondisi ini menyebabkan perbedaan afiliasi politik dalam pemilihan umum, tidak menimbulkan keteganganketegangan sosial dalam masyarakat. Sejumlah warga menyatakan, afiliasinya dengan partai politik tertentu tidak didasarkan ikatan ideologis tetapi atas dasar pertimbangan sosiologis, seperti terungkap dari pernyataan seorang warga sebagai berikut: “afiliasi politik warga dalam pemilihan umum mengikuti pandangan orang yang dihormatinya seperti tokoh masyarakat, orang tua, majikan dan orangorang yang berbuat baik serta informasi dan obrolan yang berkembang dalam ajang-ajang sosial yang berlangsung secara informal”. Pergeseran afiliasi politik masyarakat pedesaan tak terlepas dari penghapusan kebijakan massa mengambang (floating mass), yang memungkinkan partai politik memiliki kepengurusan pada tingkat desa.
Meskipun
demikian
tidak berarti partai politik berbasiskan ideologi kehilangan pengaruhnya di pedesaan. Partai politik yang berbasiskan ideologi agama, masih mendapat ruang di tengah masyarakat, terutama partai politik berbasis agama yang memiliki perpanjangan tangan sampai ke wilayah pedesaan dan partai politik yang mampu mengemas isu yang relevan dan menarik masyarakat164. Afiliasi politik yang menimbulkan ketegangan terjadi dalam pemilihan Kepala Desa, seperti pemilihan Kepala Desa Citaman. Antara pro dan kontra terhadap calon Kepala Desa pada waktu dan hal tertentu terjadi ketegangan dalam intensitas yang relatif tinggi. Dari penggalian informasi dengan narasumber, ketegangan sosial tersebut disebabkan faktor sebagai berikut: 163
Dari penelitian di Mojokuto Geertz, menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara paham keagamaan dengan afiliasi partai politik. Penganut modernism (Muhammadiyah) berafiliasi dengan partai Masyumi dan penganut konservatif (NU) untuk memilih PNI. Lihat Clifford Geertz, 1983, Abangan, Santri Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya. 164 Menurut informan partai politik dalam kategori ini antara lain Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Golkar.
111
Pertama hiruk pikuk politik dalam pemilihan Kepala Desa melibatkan kepentingan sosial ekonomi warga secara langsung dan kongkrit, seperti pengurusan KTP dan PBB, bantuan Raskin, kompor GAS, Askeskin, pelayanan kesehatan dan bantuan sarana produksi pertanian. Pihak yang mendapat kemudahan dan bantuan dari Kepala Desa cenderung membela Caleg Kepala Desa incumbent (petahana), sebaliknya mereka yang pernah dipersulit atau tidak mendapatkan bantuan, bersikap kontra terhadap Kepala Desa incumbent. Berbeda dengan pemilihan anggota legislatif dan Presiden, hanya melibatkan kepentingan semu warga.
Hasil akhir pertarungan dalam pemilihan badan legislatif dan
Presiden, tidak bersentuhan langsung dengan kepentingan kesejahteraan
masyarakat.
Informan
mengumpamakan
dan perbaikan
pihak-pihak
yang
bersitegang dalam pemilihan badan legislatif dan Presiden sebagai “perebutan pepesan kosong.” Kedua afiliasi politik warga dalam pemilihan kepala desa melibatkan elit desa termasuk tokoh agama. Keterlibatan pemimpin informal dan kharismatik seperti kiai, menyebabkan pemilihan kepala desa melibatkan dimensi psikologis dan emosial warga. Dalam pemilihan Kepala Desa Citaman keterlibatan kiai sebagai pembentuk opini, cukup efektif mendongkrak perolehan suara Kepala Desa yang dijagokannya. Ketiga sejalan dengan semakin banyaknya program pembangunan pedesaan dan otonomi daerah, kedudukan Kepala Desa semakin penting secara politik dan ekonomi. Makna strategis kedudukan Kepala Desa, terlihat dari upaya yang dilakukan oleh incumbent
dan pesaingnya untuk mengerahkan segenap
sumberdaya ekonomi dan politik, termasuk penggunaan politik uang untuk memenangkan pemilihan Kepala Desa, seperti dituturkan informan sebagai berikut: “Permainan politik uang” dalam pemilihan Kepala Desa dilakukan secara tertutup atau terbuka yang dikoordinir tim sukses masing-masing. Nilai “transaksi suara” bervariasi, berkisar Rp 10.000,- s/d Rp. 50.000,-. Calon Kepala Desa yang mampu “membeli suara pemilih” yang lebih besar berpeluang menang lebih besar.” Maraknya politik uang dalam pemilihan Kepala Desa karena berkembangnya fenomena, dimana warga sebagai pemilih merasa dirinya berhak “menjual suara” sementara calon kades merasa berhak “membeli suara pemilih” sesuai dengan kemampuannya.”
112
Pernyataan tersebut memberikan gambaran bahwa ”permainan politik uang” yang mengemuka pada pentas politik nasional, dewasa ini telah menembus wilayah pedesaan. Mistifikasi pembangunan ekonomi yang berlangsung pada aras nasional, berimbas pada proses moneterisasi di masyarakat pedesaan. Indikasinya adalah meluasnya pemburuan rente ekonomi dan munculnya perilaku masyarakat yang lebih mengedepankan preferensi ekonomi dari pada nilai agama, sosial budaya dan keluhuran politik. Maraknya politik uang dalam pemilihan kepala desa, menunjukkan bahwa warga dalam memberikan hak suara cenderung pragmatis dan kurang mempertimbangkan kualifikasi status, kompetensi dan kapasitas calon Kepala Desa yang dipilihnya. Permainan politik uang dalam pemilihan Kepala Desa yang terjadi di desa Citaman, melainkan juga terjadi di sejumlah pemilihan kepala desa di wilayah Jawa Tengah seperti dikemukakan Smith: (1982) 165 “Beberapa tokoh masyarakat memberitahukan bahwa di sejumlah desa, pemilihan kepala desa seringkali diwarnai oleh cara-cara untuk memperoleh dukungan melalui pembagian uang kepada calon pemilihnya. Dalam hal ini mereka yang memberi hadiah paling besar seringkali memiliki peluang pertama untuk memenangkan pemilihan sebagai calon kepala desa. Calon kepala desa yang menguasai sumber ekonomi berlebih atau menguasai tanah luas mempunyai kesempatan yang lebih terbuka untuk dipilih menjadi kepala desa.”
Keempat pertarungan dalam pemilihan Kepala Desa dipicu oleh perebutan penguasaan tanah kajaroan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pemilihan kepala desa pertimbangan motif ekonomi (penguasaan tanah) lebih menonjol daripada kehendak mengabdi membangun membangun desa. Sengitnya perebutan untuk menguasai tanah kajaroan dan sumber-sumber ekonomi lain, ditunjukkan oleh dengan “pecahnya kongsi” atau “koalisi” antara Kepala Desa dan Sekretaris Desa, untuk selanjutnya bertarung dalam pemilihan kepala desa pada periode berikutnya. Kelima ketegangan politik akibat pertarungan pemilihan kepala desa meluas pada hubungan antar kelompok sosial. Ketegangan dipicu oleh pergantian Sekretaris Desa yang dilakukan oleh kepala desa yang tidak melibatkan Badan Perwakilan Desa (BPD) dan tokoh masyarakat yang bermukim di bagian atas desa
165
Lihat Theodor Smith (1982) “Kepala Desa: Pelopor Pembaharuan?” dalam Koentjaraningrat (ed). Masalah-Masalah Pembangunan, Bunga Rampai Antropologi Terapan. Jakarta: LP3ES.
113
(kampung Cibarugbug, Sibopong Landeuh, Sibopong Tengah, Sibopong Girang dan Pematang). Sebagian besar anggota BPD dan tokoh masyarakat bagian atas, mengharapkan agar Sekretaris Desa yang mendampingi Kepala Desa adalah M Bachraini. Beliau dipandang sebagai representasi aspirasi penduduk desa bagian atas, sehingga struktur politik desa berada dalam keseimbangan. Sayangnya aspirasi BPD dan masyarakat Desa Citaman bagian atas, tidak ditanggapi positif dari Kepala Desa terpilih, karena yang diangkat sebagai Sekretaris Desa adalah keponakan Kepala Desa. Kepala Desa berdalih pengangkatan keponakannya sebagai Sekretaris Desa, telah memenuhi kualifikasi persyaratan minimal untuk menjadi perangkat desa, yakni sekurang-kurangnya berpendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan/atau berpengetahuan yang sederajat. Argumen Kepala Desa tidak dapat dipahami oleh BPD dan tokoh masyarakat, karena Kepala Desa mengabaikan persyaratan lain untuk menjabat perangkat desa seperti pengalaman dan umur.166 Pengangkatan Sekretaris Desa memang merupakan kewenangan Kepala Desa, tetapi pengangkatan yang hanya memperhatikan syarat administrasi (tingkat pendidikan) dengan mengabaikan kompetensi, pengalaman dan aspirasi BPD merupakan tindakan sewenang-wenang. Kondisi ini mengakibatkan ketegangan sosial setelah pemilihan Kepala Desa berlanjut dan Kepala Desa dituduh bersikap nepotis dalam pengangkatan perangkat desa. Berhembusnya isu nepotisme, menggambarkan semakin pentingnya peran politik dan ekonomi pemerintahan desa dalam masyarakat pedesaan. Terdapat gejala, di mana ajang perebutan kekuasaan di wilayah pedesaan, bukan hanya pada kedudukan Kepala Desa, tetapi meluas dalam jabatan-jabatan birokrasi desa termasuk Sekretaris Desa. Adanya rencana pemerintah yang akan mengangkat Sekretaris Desa sebagai pegawai negeri sipil, dapat dipastikan akan menambah sengitnya pertarungan untuk menduduki jabatan Sekretaris Desa.
166
Dalam UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah pasal 97 disebutkan untuk menjadi Kepala Desa/perangkat desa adalah penduduk desa warga negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat antara lain: (a) bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (b) setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; (c) berpendidikan sekurang-kurangnya Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan/atau berpengetahuan yang sederajat; (d) berumur sekurangkurangnya 25 tahun; (e) mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di desa setempat.
114
6.4.3. Kontestasi Merebut Insentif Jasa Lingkungan Di wilayah Desa Citaman dan Desa Cibojong, menguatnya kontestasi politik dalam jabatan Kepala Desa dan Sekretaris Desa, ternyata meluas pada kelompok tani hutan. Pertarungan antar kelompok tani, berawal dari aktivitas agroforestry komunitas petani di desa Cibojong dan Citaman berdampak positif terhadap konservasi tanah dan air yang menghasilkan jasa lingkungan. Jasa lingkungan yang dihasilkan petani adalah cadangan air dan sumber air baku untuk memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat dan industri strategis di kota Cilegon (PT Indonesia Power (anak perusahaan PLN) yang menjadi produsen listrik untuk Jawa dan Bali, industri baja PT Krakatau Steel dan PT. Krakatau Tirta Industri). Sebagai imbalan atas aktivitas agroforestry yang mendukung pelestarian ekosistem bagian hulu DAS Cidanau, sejumlah petani di Desa Citaman dan Cibojong mendapatkan pembayaran jasa lingkungan. Hanya saja pembayaran jasa lingkungan oleh konsumen kepada produsen jasa lingkungan (petani) di hulu DAS Cidanau, tidak diterima oleh semua petani yang terlibat dalam agroforestry di Desa Citaman dan Desa Cibojong. Pembayaran jasa lingkungan hanya diberikan kepada petani yang berada pada zona tertentu, berdasarkan hasil kajian Tim Ad Hoc Forum Komunikasi DAS Cidanau (FKDC) 167. Luasnya sekitar 50 ha, 25 ha berada di wilayah desa Citaman Kecamatan Ciomas dan 25 ha di desa Cibojong Kecamatan Padarincang.168 Pembayaran jasa lingkungan berdasarkan zonasi Tim Ad Hoc, kemudian menjadi sumber ketegangan antar kelompok tani, karena tidak semua petani mendapatkan pembayaran jasa lingkungan atau kompensasi lainnya.
Kelompok Tani Karya
167
Forum Komunikasi DAS Cidanau disingkat FKDC dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Banten Nomor 124.3/Kep.64-Huk/2002 tanggal 24 Mei 2002. Pembentukannya didorong adanya keprihatinan bersama untuk memelihara kelestarian ekosistem DAS untuk menunjang pembangunan ekonomi wilayah Serang dan wilayah barat Propinsi Banten. Rekonvasi Bumi, 2007, Uji Coba Konsep Pembayaran Jasa Lingkungan di DAS Cidanau Propinsi Banten.
168
Pada saat penelitian kelompok tani penerima pembayaran jasa lingkungan adalah Kelompok Tani Karya Muda Desa Citaman Kecamatan Ciomas, Kelompok Tani Maju Bersama Desa Cibojong Kecamatan Padarincang. Saat ini kelompok petani penerima pembayaran jasa lingkungan bertambah dua yakni Kelompok Tani Agung Lestari Desa Kadu Agung Kecamatan Gunung Sari Kabupaten Serang dan Kelompok Tani Alam Lestari Desa Cikumbueuen Kecamatan Mandalawangi Kabupaten Pandeglang. Sehingga kawasan yang mendapatkan pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau seluas 100 hektar, setiap kelompoknya sebesar Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) per tahun atau sebesar Rp. 1.200.000,- (satu juta dua ratus ribu rupiah) per hektar per tahun.
115
Muda Desa Citaman dan Kelompok Tani Maju Bersama Desa Cibojong, merupakan kelompok tani generasi pertama yang terlibat dalam pengembangan mekanisme hulu hilir dengan mekanisme transaksi jasa lingkungan di DAS Cidanau masa perjanjian tahun 2005 - 2009. Sedangkan Kelompok Tani Agung Lestari Desa Kadu Agung, dan Kelompok Tani Alam Lestari Desa Cikumbueuen Kecamatan Mandalawangi Kabupaten Pandeglang, merupakan kelompok tani generasi kedua yang menerima pembayaran jasa lingkungan dengan masa perjanjian pembayaran dimulai pada awal tahun 2008 sampai dengan 5 tahun ke depan. Seperti disebutkan di atas Kelompok Tani Hutan (KTH) yang menerima menerima insentif jasa lingkungan pada kedua desa hanya seluas 50 hektar. Kondisi ini menimbulkan ketegangan antara kelompok tani yang menerima jasa lingkungan dengan kelompok tani yang tidak menerima jasa lingkungan dan dengan pengurus FKDC. KTH yang tidak menerima insentif lingkungan menuduh KTH yang menerima insentif jasa lingkungan sebagai tidak peduli sesama, hanya mementingkan kelompoknya dan mengabaikan keguyuban petani. Petani yang menerima insentif lingkungan, berdalih bahwa insentif yang diterimanya berdasarkan hasil kajian Tim Ad Hoc. Kelompok tani yang tidak menerima jasa lingkungan menuduh pengurus FKDC berbuat tidak adil dan pilih kasih. Dalam aturan perjanjian itu disebutkan: “Anggota kelompok petani hutan yang menerima pembayaran jasa lingkungan, syaratnya lahan memiliki jumlah tanaman tidak kurang dari 500 batang pohon pada tahun pertama tidak kurang dari 200 batang pada akhir tahun kelima. Jenis tanaman yang berhak atas pembayaran jasa lingkungan adalah, semua jenis tanaman berdasarkan ketentuan Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Peta situasi lahan dan tanaman masing–masing anggota kelompok harus menginformasikan tata letak pohon yang diberi notasi nomor dan informasi jenis tanaman yang tersebar secara merata.169
Insentif jasa lingkungan yang diterima petani adalah sebesar Rp. 100.000,(seratus ribu rupiah) tiap bulan untuk satu hektar kebun. Nilai insentif jasa lingkungan itu dinilai oleh petani bervariasi. Sebagian petani memandang “nilai nominal insentif lingkungan yang diterimanya per bulan hanya cukup untuk upah ngored selama lima hari”. Nilai tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan
169
Forum Komunikasi DAS Cidanau, 2005, Perjanjian Pembayaran Jasa Lingkungan, FKDC.
116
biaya perjalanan dinas pengurus FKDC sebagai pengelola Pembayaran Jasa Lingkungan yang mencapai Rp 150.000,- (seratus lima puluh ribu) per hari. Tetapi bagi petani pemilik lahan sempit/petani gurem, nilai uang sebesar Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) hampir setara dengan 30 liter beras (per liter Rp 3.500,-), sehingga sangat berarti buat petani. Pertarungan antar anggota/Kelompok Tani Hutan di hulu DAS Cidanau, merujuk pada pendapat Leventhal dalam Nurrahman, (2004) berkaitan dengan perbedaan pemahaman atas contribution rule dan equality rule.170 Perspektif contribution rule memandang bahwa suatu mekanisme yang adil, bila semua individu
yang
terlibat
mendapatkan
imbalan
yang
sebanding
dengan
kontribusinya. Petani/kelompok yang telah bekerja keras menghasilkan jasa lingkungan memandang, petani/kelompoknya yang berhak mendapatkan insentif jasa lingkungan. Sebaliknya perspektif equality rule memandang suatu mekanisme yang adil, bila semua individu yang terlibat mendapatkan imbalan yang setara di antara para partisipan. Insentif lingkungan harus terbagi dan diterima secara merata di antara petani yang terlibat dalam produksi jasa lingkungan. Dalam diskusi bersama kelompok tani, kontestasi merebut jasa lingkungan disebabkan dua hal: (1) Ketentuan perjanjian pembayaran jasa lingkungan, yang menyatakan bahwa pada tahun kedua sampai dengan tahun kelima, insentif jasa lingkungan yang diterima petani meningkat nilainya menjadi minimal Rp 2,5 juta per hektar per tahun dengan syarat jumlah tanaman tidak kurang dari 200 batang pada akhir tahun kelima.
Petani yang tidak menerima jasa lingkungan pada
peruide 2005-2009 sedikit peluangnya mendapatkan insentif lingkungan pada periode berikutmya. (2) Aturan dan mekanisme pembayaran jasa lingkungan ditentukan secara sepihak oleh Tim Ad Hoc FKDC yang didominasi oleh pejabat/mantan pejabat pemerintah daerah. Menurut masyarakat dominasi pejabat, mengakibatkan kepentingan politik dan ekonomi lebih mengemuka daripada kepentingan petani dan konservasi.
170
Nani Nurrrachman,2004. Keadilan dalam Perspektif Psiko Sosial” dalam ”Keadilan Sosial: Upaya Mencari Makna Kesejahteraan Bersama di Indonesia.” Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
117
Indikasinya ditunjukkan oleh dua hal: (a) mekanisme pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau dirancang untuk mengontrol aktivitas komunitas petani di hulu DAS daripada membangun kelembagaan tata kelola DAS yang partisipatif, terpadu dan berkelanjutan. (2) Sistem penganggaran FKDC untuk kegiatan operasional dibebankan kepada APBD provinsi, sedangkan untuk pembayaran jasa lingkungan berasal dari PT Krakatau Tirta Industri (BUMD). Patut diduga pejabat pemerintah daerah yang menjadi pengurus FKDC menjadi ’benalu” daripada memperjuangkan keberlanjutan ekosistem DAS Cidanau. (3) Pengurus FKDC cenderung sewenang-wenang, bertindak sebagai “pembeli” yang menentukan “harga” jasa lingkungan secara sepihak daripada menjadi pengayom petani dan menjaga kelesatarian ekosistem hulu DAS Cidanau.
6.5. Ikhtisar Pemahaman yang menempatkan sumberdaya agraria sebagai komoditi daripada sebagai stock dan barang publik, mengakibatkan kontestasi sektoral menjadi tak terhindarkan. Kurangnya pemahaman memilah dan memilih fungsi sumberdaya alam sebagai stock, barang publik dan sebagai komoditi, mengakibatkan pengelolaan dan penguasaan sumberdaya tidak memperhatikan karakteristik sifat dan fungsi sumberdaya. Kontestasi penguasaan sumberdaya agraria di wilayah pedesaan berlangsung pada aras makro/nasional dan mikro di masyarakat. Pada aras makro kontestasi berlangsung antar berbagai aktor atau kekuatan politik dan ekonomi melalui perumusan sejumlah peraturan perundangundangan, seperti revisi Undang-Undang No. 41 tahun 1999 yang melegalkan eksploitasi pertambangan di hutan lindung. Di aras mikro/masyarakat, kontestasi sektoral, muncul dalam pelaksanaan program sektoral melalui proyek pembangunan yang bersifat top down yang disertai pembentukan kelembagaan yang menegasikan kelembagaan masyarakat. Pembentukan kelembagaan baru oleh instansi sektoral di pedesaan disebabkan rendahnya political will pemangku otoritas terhadap kelembagaan komunitas. Kelembagaan komunitas dipersepsi dan diposisikan sebagai sebagai orphan factor anak tiri dan tidak
diinginkan. Sehingga kontestasi sektoral pada aras desa
mengakibatkan kapitalisasi sumberdaya pedesaan.
118
Dalam konteks komunitas sekitar hutan dan desa hutan, kapitalisasi sumberdaya pedesaan menyebabkan interaksi negara dengan warga negara atau desa cenderung menjadi transaksional. Dampak lebih lanjutnya adalah proses pembangunan didominasi oleh kepentingan memburu rente ekonomi dan abai terhadap pemberdayaan dan perbaikan kesejahteraan masyarakat. Kapitalisasi sumberdaya pedesaan juga mereduksi sumberdaya (sumberdaya agraria dan manusia) sebagai komoditas semata-mata. Akibatnya pembangunan ekonomi sebatas peningkatan angka statistik dan indikator kuantitatif, sementara esensi pembangunan untuk memberdayakan dan memandirikan masyarakat diabaikan. Menguatnya
kontestasi
sektoral
tidak
hanya
berdampak
pada
pembangunan kehutanan dan kawasan DAS Cidanau tidak dikelola secara terkoordinasi
dan
tidak
sinergis.
Kontestasi
disertai
ego
kedaerahan
mengakibatkan pembangunan ekonomi tidak mampu menurunkan dan merubah desa hutan sebagai salah satu kantong kemiskinan. Karena kontestasi sektoral dan ego keadaerahan mendorong masing-masing instansi sektoral dan daerah memiliki perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan monitoring tersendiri tanpa koordinasi. Padahal dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan kawasan DAS memerlukan adanya ”rumah bersama” untuk memadu serasikan antar pemangku kepentingan untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya manusia dan sumberdaya hutan.
119
BAB VII PELURUHAN KELEMBAGAAN LOKAL DAN KEGAGALAN POLITIK SUMBERDAYA AGRARIA
7.1. Pendahuluan Interkasi masyarakat pedesaan dengan kekuatan supra lokal berlangsung secara tidak simetris, timpang dan cenderung dominatif, bentuknya berbeda-beda dari waktu ke waktu tergantung kepentingan politik dan ekonomi rezim yang berkuasa.
Di
bawah
rezim
pemerintahan
yang
menganut
ideologi
pembangunanisme, interaksi masyarakat pedesaan dengan kekuatan supra lokal seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi mendorong peningkatan produktivitas komoditas, tumbuhnya jaringan perdagangan desa kota dan makin terintegrasinya kehidupan petani dengan kehidupan kota. Di sisi lain interaksi masyarakat pedesaan yang tidak simetris menyebabkan hilangnya kemandirian dan keswadayaan masyarakat pedesaan. Kedua hal tersebut merupakan implikasi dari pengarus-utamaan politik agraria kapitalistik.
Dalam pembangunan kehutanan orientasi politik agraria
kapitalis ditandai oleh kebijakan yang kurang mempertimbangkan komunitas sebagai komponen utama ekosistem hutan. Secara umum politik agraria termanifestasikan dalam sejumlah peraturan perundang-undangan dan kebijakan kehutanan yang menempatkan komponen manusia atau masyarakat lokal sebagai "sumber gangguan" daripada "kunci keberhasilan".
Pemahaman ini bersumber dan berakar dari politik agraria
kapitalis kolonial dan pelaksanaan pembangunan ekonomi dengan cara instant dan pro pasar, yang mereduksi sumberdaya agraria hanya sebagai komoditi bernilai ekonomi. Dampak dari pelestarian politik agraria kapitalis kolonial tersebut adalah berujung pada kegagalan penyelenggara negara mewujudkan tujuan politik agraria untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Indikasi dari kegagalannya adalah peluruhan kelembagaan komunitas sekitar hutan. Gambaran kedua aspek tersebut menjadi fokus utama uraian bagian ini.
120
7.2. Politik Agraria dan Peluruhan Kelembagaan Lokal 7.2.1. Latar Belakang Sejarah Peluruhan Kelembagaan Lokal Perjalanan sejarah petani di Indonesia diwarnai oleh dominasi kekuasaan supra lokal yang bentuknya berbeda-beda dari waktu ke waktu, tergantung kepentingan politik dan ekonomi rezim yang berkuasa. Pada zaman kerajaan, komunitas petani di DAS Cidanau bekerja, berproduksi dan mengabdi kepada kesultanan Banten. Dalam menjalankan pemerintahannya dan untuk mengontrol wilayah pedesaan. Kesultanan Banten memberlakukan sistem appanage dengan cara memberi kekuasaan kepada priyayi/abdi dalam untuk mengabdi dan memanfaatkan tenaga kerja penduduk/cacah yang dikuasainya. Sistem appanage yang dilakukan kesultanan Banten terlihat dari adanya berbagai kelembagaan penguasaan tanah, seperti sawah negara, sawah ganjaran atau pusaka laden, tanah kawargaan, tanah kanayakan dan tanah pangawulaan. Berbagai bentuk penguasaan tanah itu merupakan sumber finansial dan stabilitas politik kerajaan sekaligus sarana pengawasan kerajaan terhadap wilayah pedesaan. Melalui sistem appanage Sultan Banten dapat mengganti pemegang appanage, bila abdi dalem yang diberi hak kuasa dan ditunjuk Sultan, dipandang menimbulkan ketegangan sosial atau mengkonsolidasikan diri menentang kekuasaan Kesultanan Banten. Selain sistem appanage, di pedesaan wilayah Kesultanan Banten, terdapat kelembagaan kejaroan. Pada masa kerajaan kelembagaan lokal ini berperan sebagai sarana mobilisasi sumberdaya manusia dan sumber ekonomi serta tulang punggung stabilitas politik kesultanan di wilayah pedesaan. Di wilayah kekuasaannya, kajaroan bertugas menentukan tata cara dan haluan pemerintahan menurut
norma
keguyuban
dalam
upaya
memelihara
keharmonisan,
menyelenggarakan musyawarah bersama kokolot untuk menentukan langkahlangkah pelaksanaan kegiatan pertanian dan mengedukasi masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Di wilayah kesultanan Banten kajaroan berfungsi sebagai “kelembagaan lokal/adat” yang berperan sebagai perekat dan pengikat tata hubungan antar anggota masyarakat dan pemerintahan. Dalam
tata
kelola
sumberdaya,
kajaroan
memiliki
kewenangan
administratif dan bertanggungjawab menyelesaikan persoalan tanah. Pemimpin kajaroan bertindak sebagai penghubung antara kajaroan dengan abdi dalam. Abdi
121
dalam diangkat dan diberi tugas oleh Sultan untuk memungut upeti, pajak dan cukai dari petani dan pedagang. Sebagai imbalannya, Sultan memberikan tanah pangawulaan, yakni tanah kerajaan yang diberikan kepada warga berstatus “penggarap”, berhak atas bujang dan berkewajiban menanggung beban atas tanah (membayar upeti secara berkelanjutan). 171 Setelah kesultanan Banten runtuh digantikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda, sistem appanage digantikan Sistem Tanam Paksa yang mengharuskan petani menanam tanaman komersial dan mengikuti kerja wajib. Dalam melaksanakan Sistem Tanam Paksa, Pemerintah Kolonial Belanda menggunakan sistem pemerintahan indirect rule (pemerintahan tidak langsung). Dalam arti Pemerintah tidak menghapus pemerintahan tradisional atau membentuk kelembagaan baru, melainkan memanfaatkan struktur kekuasaan tradisional. Aparat Kolonial Belanda tidak langsung berhubungan dan berurusan dengan rakyat,
melainkan
melalui
aparat
pemerintahan
tradisional.
Dengan
pemberlakukan sistem pemerintahan indirect rule, pemerintah kolonial Belanda dapat mendayagunakan penguasa lokal, tanpa terlibat dan berhadapan secara langsung dengan rakyat jajahan. Pemberlakuan pemerintahan indirect rule di wilayah kesultanan Banten, di satu sisi meringankan beban Pemerintah Kolonial Belanda, tetapi lain halnya bagi masyarakat pedesaan, memberatkan dan menimbulkan penderitaan, karena rakyat harus membayar upeti yang lebih besar. Besarnya tekanan Pemerintah Kolonial Belanda terhadap masyarakat pedesaan ditunjukkan oleh tiga hal: (1) adanya kebijakan diskriminatif yang dikeluarkan oleh Residen Banten tahun 1896 yang berisi larangan kegiatan huma di wilayah Serang Selatan; (2) tindakan sewenangwenang dan kekerasan yang dilakukan oleh para demang seperti pencurian dan pemerasan terhadap hak milik rakyat; (3) banyaknya para bujang yang melarikan diri sikep. Beban penderitaan rakyat yang diakibatkan eksploitasi sumberdaya manusia dan sumberdaya alam di wilayah kesultanan Banten dikemukakan secara menarik oleh Douwes Dekker, penulis kebangsaan Belanda yang pernah bertugas di wilayah Lebak dalam bukunya yang terkenal Max Havelar. Douwes Dekker 171
Lihat Sartono Kartodirdjo, 1984. Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta: Pustaka Jaya.
122
menyatakan tiga puluh juta rakyat disiksa, diisap dan dirampas harta kekayaan dan ternaknya seperti perampasan kerbau milik ayah Saijah yang dilakukan oleh Demang Parangkujang (kerabat bupati Lebak Raden Adipati Kartanegara).172 Akibat kesewenang-wenangannya, Demang
Parangkujang dipecat, tetapi
penderitaan petani yang disebabkan eksploitasi “penguasa lokal” tidak surut. Sebaliknya mengakibatkan bertambah luasnya keresahan sosial dan meletusnya pemberontakan petani tahun 1888 di wilayah Banten. Penghisapan rakyat oleh kolonial juga menimbulkan keresahan dan meluasnya pemberontakan di penghujung abad ke XIX di pelbagai wilayah di Jawa dan luar Jawa 173 Meluasnya keresahan sosial di wilayah pedesaan disebabkan politik kolonial Belanda yang eksploitatif dan liberal, dengan memberi kesempatan yang terbuka kepada pemilik modal asing untuk menguasai sumberdaya agraria di Hindia Belanda. Untuk mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia, pemerintah kolonial mengeluarkan sejumlah reglemen kolonial yang merugikan hak dan akses masyarakat pedesaan dan sekitar hutan antara lain: Reglemen 1865 (tentang Pemangkuan Hutan dan Eksploitasi Hutan, Agrarische Wet 1870, Reglemen 1874 dan Reglemen 1879. Agrarische Wet tahun 1870 merupakan landasan peraturan agraria kolonial untuk melakukan komersialisasi dan eksploitasi sumberdaya agraria di Hindia Belanda. Agrarische Wet tahun 1870 bersifat dualistis dan diskriminatif, karena merubah dan menggusur kepemilikan dan penguasaan tanah masyarakat dan hukum adat serta hak adat atas tanah. Tanah yang sebelumnya bernilai sosial dan kepemilikannya secara komunal, dirubah secara radikal menjadi komoditi dan hak milik individual. Bahkan tanah yang diberakan dengan maksud untuk memulihkan kesuburan tanah lebih dari tiga tahun, dapat beralih status menjadi hak Pemerintah Kolonial Belanda. Dalam bidang kehutanan, untuk memperkuat landasan hukum eksploitasi sumberdaya hutan, Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan sejumlah reglemen, antara lain: (1) Reglemen 1874, mengatur penguasaan tanah kesultanan
172
Lihat H.B. Jassin/G Termorshuizen, 1985. Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda.
173
Kasus keresahan Sosial yang disebabkan penetrasi kolonial di luar Jawa antara lain ditulis oleh B.J.O. Schrieke, 1973. Pergolakan Agama di Sumatera Barat, Sebuah Sumbangan Bibliografi. Jakarta: Bhratara.
123
(vorstenlanden), (2) Reglemen 1879, mengatur kepemilikan negara atas hutan dan penggolongan hutan atas hutan tetap dan tidak tetap, (3) Reglemen 1913, mengatur pengamanan hutan dan ancaman sanksi pidana bagi yang melanggar, (4) Ordonansi 1927, mengatur pemberian sanksi pidana bagi pelanggar dan perusak hutan. 174 Berbagai reglemen tersebut berdampak luas terhadap kehidupan masyarakat sekitar hutan, sumberdaya hutan dieksploitasi sementara akses masyarakat sekitarnya dibatasi dan dimarginalkan. Penggerusan kelembagaan komunitas oleh pihak kolonial semakin parah dengan keluarnya Kebijakan Tata Guna Hutan Kesepakatan pada tahun 1935, yang secara nyata dan efektif memarginalkan komunitas di pinggiran hutan. Bagi masyarakat, kebijakan ini telah merubah kedudukan tanah dari “ibu pertiwi” menjadi komoditi dan tergerusnya sumberdaya ekonomi komunitas sekitar hutan. Marginalisasi kelembagaan masyarakat terus berlanjut setelah runtuhnya pemerintahan kolonial Belanda digantikan oleh Bala Tentara Dai Nippon. Politik kolonial Bala Tentara Jepang, diarahkan untuk mobilisasi penduduk Indonesia melawan sekutu dan meneruskan eksploitasi sumberdaya agraria yang telah dilakukan oleh Belanda. Eksploitasi sumberdaya agraria yang dilakukan Bala Tentara Jepang, ditunjukkan dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 1 tahun 1942 yang berisi penegasan berlakunya peraturan-peraturan dari Pemerintah Kolonial Belanda dan Ordonansi Hutan 1927.175 Pada permulaan kemerdekaan di bawah pemerintahan Presiden Soekarno, kontrol negara terhadap masyarakat petani relatif lemah. Konflik politik antar elit di tingkat nasional dan pergantian kabinet “seumur jagung” menyebabkan pemerintah kurang memiliki kesempatan untuk menata perekonomian di wilayah pedesaan. Menjelang pemilu 1955 partai politik besar PNI, Masyumi dan PKI menerobos masuk mencari pengaruh dan dukungan politik ke wilayah pedesaan. Pemilu 1955 menghasilkan empat partai politik: PNI, Masyumi, NU dan PKI yang menggambarkan polarisasi politik masyarakat desa. Di tengah terjadinya polarisasi politik tahun 1960, pemerintahan Soekarno mencanangkan reformasi 174
Lihat Salim, 2004, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan. Jakarta: Sinar Grafika.
175
Lihat Salim, 2004, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan. Jakarta: Sinar Grafika.
124
agraria dengan memberlakukan UU Pokok Agraria No. 5 tahun 1960. Sengitnya pertarungan antar partai politik menyebabkan reforma agraria yang dikelola oleh aparat di tingkat lokal menjadi ajang konflik, sehingga reforma agraria tidak berjalan lancar. Kendalanya berasal dari pemilik lahan luas dan minimnya dukungan kelompok berkuasa dalam tubuh PNI yang merupakan lawan politik dari partai pro reforma agraria yaitu PKI. Pada tingkat lokal hambatan reforma agraria, diselesaikan dengan aksi sepihak dan mobilisasi massa yang berujung pada pemberontakan PKI September 1965. Jatuhnya pemerintahan Soekarno menunjukkan bahwa reforma agraria sebagai “gerakan revolusi yang belum selesai” itu gagal mengakhiri dominasi kapitalisme.
7.2.2. Politik Pertanian dan Kehutanan Orde Baru Kegagalan kudeta PKI tahun 1965 meninggalkan pengaruh mendalam terhadap cara pandang rezim Orde Baru terhadap komunitas petani dan politik agraria. Merujuk pendapat Subhan (1993), politik agraria Orde Baru adalah reforma agraria tanpa transformasi sosial, karena mengukuhkan dominasi kapitalisme. Politik agraria kapitalis Orde Baru terlihat dari kebijakan pembangunan pertanian melalui birokratisasi lembaga-lembaga sosial pedesaan dan kapitalisasi sistem ekonomi produksi pertanian. Politik agraria kapitalis Orde Baru paling tidak dapat diidentifikasi dalam dua hal. Pertama hubungan negara dan petani diwarnai birokratisasi lembagalembaga sosial pedesaan dengan maksud mengatasi konflik politik dan mengendalikan
komunitas
petani dengan
memberlakukan
strategi masa
mengambang (the floating mass strategy). Strategi ini sebagai bagian dari pengendalian pemerintah terhadap petani dan sekaligus pemutusan hubungan petani dengan partai politik di tingkat supra desa. Kebijakan masa mengambang merupakan
upaya
pemerintah
mengontrol
perilaku
petani,
agar petani
memproduksi beras secara besar-besaran dan petani tidak dikendalikan kekuatan sosial politik supra lokal yang berpotensi menentang kekuasaan negara. Ruang sosial petani berpolitik dimarginalkan, petani semata-mata diarahkan untuk mengadakan perubahan teknik dan peningkatan produksi pertanian.
125
Dalam konteks kawasan DAS Cidanau, kelembagaan lokal kajaroan yang sebelumnya berperan sebagai perekat dan pengikat tata hubungan masyarakat semakin termarginalkan. Pimpinan kajaroan sebagai “pengetua adat” yang mengatur seremonial kehidupan petani digantikan oleh pemimpinan formal bentukan pemerintah. Tetapi bila terjadi konflik tanah, pemimpinan formal itu sering tidak berdaya dan tidak bergigi, karena sering merupakan pihak yang terlibat. Penyelesaian konflik diserahkan pada pimpinan kajaron dan kokolot, sementara ruang sosialnya dimarginalkan. Ciri kedua yang menonjol dari politik pertanian Orde Baru adalah kapitalisasi ekonomi pertanian. Kebijakan ini dimaksudkan untuk menjamin ketersediaan beras dengan harga yang relatif stabil di perkotaan untuk kepentingan kelas menengah di kota dengan meningkatkan produksi dan ketersediaan cadangan beras yang aman secara nasional. Pemerintah Orde Baru memandang politik ekonomi beras merupakan bagian tak terpisahkan dari stabilitas politik. Karena pemenuhan kebutuhan pokok pangan terutama beras dan stabilisasi harga beras bagi konsumen kelas menengah (pegawai negeri, TNI, pekerja, industri) di kota merupakan sarana penting bagi stabilitas politik. Kapitalisasi sistem ekonomi pertanian Orde Baru dilakukan melalui pendekatan pasar dan kelembagaan. Pendekatan kelembagaan terlihat dari pembentukan Bimas, yang sepenuhnya dikendalikan oleh penguasa dan birokrat dari pusat sampai ke desa. Bimas bertugas mengendalikan program intensifikasi produksi pertanian dengan menggunakan sarana struktur birokrasi dan pihak otoritas di daerah kabupaten/kota yang loyal terhadap pemerintah pusat. Pengelola dan pelaksana intensifikasi pertanian lebih berorientasi kepada penguasa daripada kepada petani. Tidak tersedia ruang sosial politik dan dialog antara petani dengan pemerintah dan aspirasi politik petani sepenuhnya dikendalikan oleh penguasa dan birokrat dari pusat sampai ke desa.
Pendekatan pasar dilakukan dengan menerapkan harga dasar
komoditi, agar
harganya tidak berfluktuasi tajam dengan menempatkan Bulog dan KUD sebagai pengendali harga di tingkat petani. Pendekatan pasar yang dilakukan rezim Orde Baru, cukup efektif untuk memobilisasi sumber ekonomi pedesaan untuk menopang perekonomian nasional.
126
Dalam bidang kehutanan, kapitalisasi dilakukan dengan cara membuka masuknya penanaman modal asing dan dalam negeri, pemberian konsesi hutan (HPH dan HTI) kepada pemilik modal dan skenario pinjaman luar negeri melalui World Bank dan IMF. Sampai tahun 1989 eksploitasi hutan oleh 572 unit HPH mencapai 64 juta ha. Dari 572 unit HPH itu jika dikelompokkan, dimiliki sekitar 20 konglomerat, setiap konglomerat menguasai lebih dari 1 juta ha. Kapitalisasi kehutanan berhasil mendongkrak perolehan devisa negara dari sektor kehutanan dan menggelumbungnya keuangan elit kroni pusat.176 Tetapi peningkatan kontribusi sektor kehutanan harus dibayar mahal dengan meningkatnya deforestasi dan degradasi hutan,177 dan peluruhan kelembagaan komunitas sekitar hutan, gambarannya dapat disimak pada uraian selanjutnya.
7.3. Proses dan Bentuk Peluruhan Kelembagaan Lokal Proses peluruhan kelembagaan lokal tata kelola sumberdaya agraria di wilayah hulu DAS Cidanau berlangsung secara sistematis, terjadi pada aras sistem/peraturan perundang-undangan, aras organisasional dan perilaku individual aparat. Merujuk pada pendapat Giddens (2004)178 peluruhan berlangsung secara struktural, mencakup struktur signifikansi (ilmu pengetahuan dan ideologi), struktur otoritatif (politik), alokatif (ekonomi) dan struktur legitimasi (norma dan hukum). Gambaran peluruhan kelembagaan komunitas di DAS Cidanau disajikan pada gambar 7.
176
Awang,S. 2003, Politik Kehutanan Masyarakat. Yogyakarta: Kreasi Wacana.p.6.
177
Gillis, 1990 mencatat akibat beroperasinya HPH jumlah kayu yang ditebang meningkat tajam, periode 1960-1965 sebanyak 2,5 juta m3 log, pada 1970 meningkat menjadi 10 juta m3 log, tujuh belas tahun kemudian meningkat menjadi 26 juta m3 log. Gillis,M,1990, “ Indonesia Public Policies, Resources Management and the Tropical Forrest. Dalam Repetto R and Gllis, M (eds). Publik Policies and Missue of Forrest Resource. New York: Cambridge University Press.p. 54
178
Anthony Giddens, 2004, The Constitution of Society: Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial. Pasuruan: Pedati, p.39.
127
Aras Sistem
Aras Organisasional
Hukum/Arah Kebijakan Kebijakan Pendukung
Pengambilan • Prosedr Keputusan • Struktur Sumberdaya • Budaya organisasi
Peluruhan Kelembagaan Masyarakat
• Sistem Info/Mnj Aras Individual
• • •
Pengetahuan
Keterampilan Kompetensi
Gambar 7. Proses Peluruhan Kelembagaan Lokal
Dari gambar 7 diketahui peluruhan kelembagaan komunitas DAS Cidanau, berlangsung pada aras sistem dan peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah sejak masa Orde Baru sampai era reformasi. Peraturan perundang-undangan sektoral secara langsung maupun tidak langsung, berimplikasi negatif terhadap eksistensi kelembagaan komunitas. Pendekatan pembangunan sumberdaya agraria secara sektoral yang diikuti pembentukan kelembagaan baru sebagai substitusi, berdampak negatif terhadap kelangsungan kelembagaan komunitas. Kondisi ini diperkuat dengan ketidakpedulian aparat sektoral dan sikapnya yang diskriminatif terhadap kelembagaan komunitas. Dari penuturan informan diperoleh keterangan, di satu sisi pemerintah memfasilitasi dan memberi dukungan politik dan finansial terhadap kelembagaan sektoral di pedesaan. Tetapi di sisi lain membiarkan kelembagaan komunitas mati suri. Pembiaran aparat pada kelembagaan komunitas terkait pandangannya yang bersifat prajudis negatif dan menempatkannya sebagai kelembagaan orang pasisian. Di tengah masyarakat yang masih terikat dengan tradisi, prejudis tersebut menunjukkan rendahnya kepedulian dan empati aparat, seperti terungkap dari pernyataan warga: “Seharusnya aparat sektoral bertindak sebagai pengayom masyarakat. Dengan pengetahuan dan keterampilan teknisnya berpartisipasi memberdayakan segenap
128
potensi sosial ekonomi masyarakat. Yang terjadi justru sebaliknya, kedatangannya ke desa sering minta dilayani, kurang menghargai tradisi, suka unjuk kekuasaan dan suka pamer”.
Pernyataan tersebut menggambarkan, proses peluruhan kelembagaan komunitas pada aras lokal tak terlepas dari keterlibatan aparat sektoral dan mesin birokrasi. Prejudis negatif dan rendahnya empati agensi memiliki kontribusi terhadap peluruhan kelembagaan komunitas. Gambaran proses peluruhan kelembagaan komunitas di lokasi penelitian dijelaskan di bawah.
7.3.1. Peluruhan Kelembagaan Buyut dan Pipeling Seperti diuraikan di atas kelembagaan buyut dan pipeling merupakan sistem nilai, mekanisme dan aturan dalam relasi sosial dan tata kelola sumberdaya agraria. Kelembagaan buyut dan pipeling
esensinya berisi: (1) larangan
pemanfaatan sumberdaya secara berlebihan, memburu flora dan fauna pada tempat tertentu pada periode tertentu, (2) tuntunan praktik tata kelola sumberdaya berkelanjutan dengan menerapkan teknologi pertanian gilir balik, ngaseuk, coo benih, pemberantasan hama tanaman ramah lingkungan, masa tanam mengikuti daur musim, pergiliran tanaman dan menjunjung tinggi etika konservasi. Dalam tata kelola sumberdaya agraria, keduanya dimaksudkan sebagai upaya mewujudkan keadilan dan keseimbangan hubungan manusia dengan alam dan lingkungannya. Hanya saja sejumlah informan menyatakan, sejauh ini praktik tata kelola sumberdaya berbasis kelembagaan komunitas tidak mendapat apresiasi dari agensi pembangunan pertanian dan kehutanan di tingkat lokal. Rendahnya apresiasi dan empati dari agensi, merujuk pada Giddens, disebabkan adanya distansi ideologis dan arus utama ilmu pengetahuan moderen yang menjadi dasar pembangunan pertanian dan kehutanan menempatkan hal-hal yang bersifat askripsi dan tradisi, bukan hanya dipersepsi “tidak efisien dan tidak produktif” tetapi juga ”tidak ilmiah”. Pemahaman atas superioritas pengetahuan modern, mengakibatkan terbatasnya ruang bagi tumbuh kembangnya kearifan lokal. Arogansi dari praktisi pengetahuan modernis tercermin dari penilaiannya terhadap praktik tata kelola sumberdaya agraria yang diinspirasi kelembagaan buyut dan pepeling “hanya relavan untuk aktivitas pertanian dan kehutanan orang pasisian.” Dalam upaya membangun rasionalitasnya, aparat pelaksana di tingkat
129
desa tidak jarang menggunakan idiom pembangunan yang hanya dipahami oleh dirinya sendiri dan tidak ada kaitannya dengan praktik pertanian komunitas. Menurut tokoh masyarakat, penilaian bahwa “kelembagaan buyut dan pipeling
untuk
aktivitas
pertanian
dan
kehutanan
orang
pasisian”,
menggambarkan pola fikir sempit dan cenderung provokatif. Aparat pelaksana melihat praktik pertanian warga, hanya dari perpektif teknologi produksi, tidak diletakkan dalam horizon yang luas dan pembanguan berkelanjutan serta dampaknya yang positif terhadap konservasi tanah dan air. Warga menyadari bahwa praktik tata kelola sumberdayanya, tidak menggunakan teknologi modern dan tingkat produksinya tidak seperti yang ditargetkan pemerintah. Karena penggunaan teknologi pertanian modern (penggunaan pupuk kimia sintetis dan pestisida), membutuhkan modal yang besar. Keengganan warga menggunakan pupuk kimia sintetis dan pestisida, selain karena keterbatasan modal, tetapi juga tujuan produksi usaha taninya tidak dimaksudkan untuk mencapai target produksi pemerintah, swa-sembada beras dan memberi makan rakyat Indonesia. Tujuan produksi usaha taninya adalah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan keluarga. Petani bersyukur bila hasil produksi pertaniannya dapat berbagi rejeki dengan saudara dan tetangganya (dulur angang). Provokasi agensi birokrasi terhadap kelembagaan buyut dan pipeling tidak hanya bersandar pada sainstifikasi modern, tetapi juga menggunakan idiom agama dan melibatkan otoritas keagamaan. Misalnya acara ritual pertanian sebagai perbuatan musyrik, bid’ah dan takhayul. Penggunaan idiom agama dan pelibatan otoritas keagamaan di lingkungan masyarakat religius dan patrimonial, terlihat efektif terhadap “desakraliasi” kelembagaan buyut dan pipeling. Labeling bahwa rangkaian acara ritual dan tradisi berhuma bersifat musyrik dan bid’ah, disertai penetrasi sains moderen berdampak positif pada penggusuran kearifan lokal secara evolutif, yang berakibat kelembagaan buyut dan pipeling kehilangan magis. Proses peluruhan kelembagaan buyut dan pipeling di wilayah hulu DAS Cidanau, ternyata bukan hanya menggunakan idiom keagamaan tetapi juga dilakukan secara represif, yakni melalui proses merelokasi komunitas petani ke dalam proyek transmigrasi ke luar Jawa. Sejumlah petani di hulu DAS Cidanau
130
dan sekitar Cagar Alam Rawa Danau dipaksa ikut program transmigrasi ke Provinsi Sumatera Selatan, Jambi dan Bengkulu. Relokasi petani secara exsitu merupakan titik kulminasi sikap represif aparat pemerintah terhadap komunitas. Menurut penuturan informan, langkah itu dilakukan didasarkan pertimbangan: (1) untuk mengurangi tekanan penduduk terhadap kawasan hulu DAS Cidanau dan Cagar Alam Rawa Danau (2) sistem pertanian modern dapat dibangun dengan memisahkan ikatan emosional dan sosial kulturalnya. Secara sosiologis relokasi exsitu, berarti mencabut petani dari akar dan relung budaya dan lingkungannya. Petani dipaksa beradaptasi dengan lingkungan fisik dan sosial budaya baru, meskipun mereka tidak memiliki informasi dan pengetahuan tentang kondisi sosial dan ekologi daerah tujuannya.179 Tindakan pemerintah merelokasi petani secara paksa ke lingkungan ekologi baru, merujuk pada Ever merupakan manifestasi orwelisasi (tindakan respresif pemerintah terhadap masyarakat). Secara ekologi relokasi penduduk menggambarkan cara pandang bahwa peradaban dapat dibangun tanpa ikatan historis manusia dengan tanah. Padahal krisis komunitas dan kemanusiaan pada umumnya, antara lain disebabkan manusia hidup dalam wilayah maya di wilayah antah berantah tak bertanah. Kegagalan program transmigrasi antara lain didasarkan asumsi bahwa manusia bisa hidup di wilayah antar berantah dan tanpa ikatan sosial kultural.
7.3.2. Penghancuran Modal Sosial Modal sosial yang mengalami peluruhan yang berdampak luas terhadap kehidupan petani adalah liliuran. Bagi petani, liliuran merupakan institusi sosial yang berperan menjaga kohesivitas dan solidaritas, distribusi tenaga kerja dan “katup pengaman” ketahanan pangan komunitas petani. Untuk wilayah hulu DAS Cidanau, merujuk pada Polanyi, kelembagaan liliuran memiliki karakteristik sebagai embedded economy.180 Dari penggalian informasi di lapangan, peran strategis kelembagaan lokal itu kurang mendapat perhatian dari aparat sektoral.
179
Lihat Laksono, “Tanpa Tanah, Budaya Nir Papan: Antropologi Antah Berantah” dalam Anu Lounela dan R Yando Zakaria, 2002, Berebut Tanah: Beberapa Kajian Berperspektif Kampus dan Kampung. Yogyakarta: Insist-KARSA.
180
Lihat Karl Polanyi, “Perkembangan Ekonomi Pasar” dalam Hans Dieter Evers, 1998, Teori Masyarakat: Proses Peradaban Dalam Sistem Dunia Moderen. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
131
Aparat sektoral di tingkat lokal lebih tertarik mensosialisasikan kelembagaan bentukan pemerintah, seperti KUBE,
Kelompok Tani, LUEP, LMDH dan
Gapoktan untuk meningkatkan pemenuhan pangan dan kesejahteraan keluarga petani. Sementara warga yang sehari-harinya bergelut dengan aktivitas produksi pertanian yang bergabung dalam liliuran yang secara nyata memiliki kontribusi terhadap ketahanan pangan keluarga tidak diberdayakan. Rendahnya kemauan politik agensi pembangunan meningkatkan kapasitas kelembagaan liliuran, berlangsung ketika wilayah Banten menjadi bagian dari provinsi Jawa Barat dan setelah Banten menjadi provinsi sendiri yang otonom. Hal ini menunjukkan otonomi daerah belum menghilangkan prejudis negatif dan subyektivitas aparat di tingkat lokal terhadap kelembagaan liliuran. Indikasinya adalah pembentukan kelembagaan baru yang menjadi substitusi dan menapikan kelembagaan komunitas. Dalam pelaksanaan pembangunan pedesaan, aparat lebih menaruh perhatian pada “kelembgaan konspirasi” daripada yang tumbuh kembang dari akar rumput. Kondisi ini terjadi karena pelaksanaan otonomi daerah pada aras lokal, merupakan
duplikasi
sentralisasi
dengan
mengedepankan
efisiensi
dan
peningkatan pendapatan asli daerah daripada demokratisasi dan memberdayakan kelembagaan komunitas. UU No. 22 tahun 1999 yang direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2004, diakui menyediakan peluang dan ruang kepada masyarakat dan komunitas adat untuk membentuk pemerintahan desa sesuai dengan struktur sosial adatnya. Tetapi sejauh ini khususnya di tiga desa penelitian, otonomi daerah belum sepenuhnya mampu mereposisi kelembagaan lokal. Kultur dan perilaku politik masyarakat desa yang telah lama terkooptasi oleh birokrasi dan sistem politik elitis dan monolitik, perlu waktu untuk memberdayakan kelembagaan komunitas. Sementara UU No. 41 tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kehutanan cenderung ambigu, tidak memberikan rasa aman atas hak keperibumian dan hak atas daerah leluhurnya. UU No. 41/1999 tidak secara jelas mengakui kelembagaan komunitas adat/komunitas sekitar hutan, karena hutan adat diposisikan sebagai hutan negara yang berada di wilayah masyarakat adat.
132
Ketentuan ini merupakan mainstream yang diturunkan dari asas dan dasar negara kesatuan, negara sebagai organisasi yang berkuasa atas rakyatnya.181 Meskipun Undang-Undang No. 41 tahun 1999 lahir di era reformasi, tetapi dominasi negara atas kehutanan sangat kuat, negara sebagai pemegang kendali dapat mencabut status ”hukum adat”. Hak negara atas hutan adalah syah, sebaliknya klaim sejarah masyarakat adat terhadap hutan tidak syah. Negara mengakui hukum adat tetapi kedudukan hukumnya lemah dan tidak memberikan rasa aman (unscure tenure) bagi komunitas sekitar hutan, hak atas daerah leluhur dan kepribumiannya tidak diakui.182 Ini berbeda dengan pemangku otoritas hutan di Filipina dan Meksiko. Pemangku otoritas Filipina mengakui secara sah kedudukan, hak adat dan klaim atas kawasan nenek moyang (Ancestral Domain Claims). Hal serupa berlaku di Meksiko yang mengakui klaim atas masyarakat pribumi (Communidandes). Di Indonesia pengakuan terhadap kelembagaan hutan adat sekedar jargon politik, karena penyerobotan tanah/hutan rakyat terus berlangsung dengan tingkat eskalasi yang semakin luas. Sejauh ini pemberian izin HPH dan HTI
tidak
mempertimbangkan/menyertakan rekomendasi dari pemangku hutan adat dan komunitas sekitar hutan, meskipun mereka merupakan tangan pertama yang menerima dampak langsung kerusakan akibat beroperasi HPH dan HTI. Pemerintah alih-alih mengakui dan memperkuat kelembagaan komunitas, yang terjadi sebaliknya, melakukan pembusukan secara sistematis. Merujuk pada analisis Peluso, produk hukum dan kebijakan kehutanan yang dikeluarkan pemerintah
cenderung
memperparah
kemerosotan
hutan
dan
semakin
merunyamkan kemiskinan penduduk yang tinggal di pinggiran hutan.183 Kondisi inilah yang terjadi dan dialami kelembagaan buyut, pipeling dan liliuran di lokasi penelitian. Kebijakan tata kelola hutan dan program pembangunan kehutanan
181
Lihat Undang-Undang Kehutanan No.41 tahun 1999.
182
Lihat Kartodihardjo, “Devolusi dan Undang-Undang Kehutanan Baru Indonesia” dalam Ida Aju Prandja Resosudarmo dan Carol J.P. Colfer, 2003, Kemana Harus Melangkah. Jakarta Yayasan Obor Indonesia.
183
Lihat Nancy Lee Peluso, 2006. Hutan Kaya, Rakyat Melarat: Penguasaan Sumber Daya dan Perlawanan Rakyat. Yogyakarta: Insist Press.
133
belum sepenuhnya berorientasi pada pemberdayaan komunitas, peningkatan kesejahteraan komunitas sekitar hutan. Dampak dari kebijakan kehutanan demikian adalah semakin terbatasnya kesempatan kaum perempuan untuk mengais rejeki untuk mempertahankan ketahanan pangan rumah tangganya. Penetrasi ekonomi kapital
terhadap
masyarakat sekitar hutan, menimbulkan perubahan hubungan kerja agraria dari patron-client ke tenaga kerja upahan, dari bapak angkat - anak angkat ke pemilik buruh harian. Perubahan hubungan kerja agraria patron-client, mengakibatkan hilangnya perlindungan petani miskin dan buruh tani di sekitar hutan. Kebutuhan tenaga kerja, biaya produksi dan sarana produksi usaha tani (bibit) yang sebelumnya dapat dipenuhi secara resiprositas melalui liliuran, dewasa ini harus dibeli secara tunai dari luar desa. Dalam ungkapan seorang informan, kehancuran modal sosial ditandai dengan “tumbuhnya kecerdasan petani dari kepandaian berbagi, beralih ke kepandaian berkali” dari resiprositas dan rasionalitas sosial ke rasionalitas ekonomi dan utilitarian.
7.3.3. “Pembusukan” Etika Konservasi Komunitas petani di hulu DAS Cidanau memiliki pemahaman yang mendalam terhadap tata kelola sumberdaya hutan berkelanjutan. Etika konservasi petani terkonstruksi atas pengalaman dan praktik tata kelola sumberdaya agraria yang diwariskan buyut/luluhur. Bentuknya tampak sederhana, namun di balik kesederhanaan terkandung pemahaman “luhur” tentang ekosistem,
seraya
berusaha keras untuk mempraktikkan kegiatan pertanian yang ramah lingkungan. Etika konservasi petani, antara lain dalam aktivitas tatanen yang disesuaikan dengan pergeseran bulan dan bintang184 dan pergantian musim (kidang), meliputi kidang turun kujang, kidang rumensang, kidang muuhan dan kidang turun kungkang.185 “Bila Matahari bergeser ke Utara dan posisinya di sebelah Utara equator pertanda masuk kidang turun kujang (musim ngahuru - musim kemarau). Sebaliknya bila Matahari bergeser ke Selatan dan posisinya di sebelah Selatan equator berarti akan 184
Lihat, Rek Rozari, M Balantaram, 1994, “Perkiraan Musim Tradisional”. Buletin Meterologi Pertanian Indonesia Vol. 11 No. 1 dan 2. Bogor: PP PERHIMPI.
185
Ance Gunarsih, 1986. Pengaruh Klimatologi Terhadap Tanah dan Tanaman. Jakarta: Bina Aksara.
134
terjadi kidang muuhan (musim tanam). Bila Matahari berada di sekitar equator akan terjadi masa peralihan yakni kidang rumengsang dan kidang turun kungkang (masa kungkang menyerang padi dalam keadaan hamil muda)
Petani memahami siklus kidang “ajeug” dan dapat dijadikan petunjuk perencanaan dan pengaturan aktivitas tatanen seperti nyacar (membersihkan lahan bakal ladang), ngahuru (membakar hasil pembersihan lahan bakal ladang), ngalabuh/ngasupan (masa tanam) dan musim kungkang (pemberantasan hama penyakit). Penyesuaian aktivitas pertanian dengan siklus kidang dipahami petani sebagai upaya memelihara keserasian dan keseimbangan hubungan antara manusia (mikro kosmos) dan alam jagad raya (makro kosmos). Petani memaknai pergantian kidang merupakan waktu yang tepat untuk pergiliran tanaman dan cara untuk memutus siklus kehidupan hama tanaman. Aktivitas pertanian berdasarkan kearifan lokal merupakan cara yang efektif untuk melakukan konservasi tanah dan mempertahankan sifat-sifat fisik tanah, karena dapat terhindar dari penyerapan unsur-unsur hara oleh tanaman tertentu.186 Praktik pertanian atas siklus kidang sering bertabrakan dengan program kerja intansi sektoral. Perbedaan kalender masa tanam sering berakibat distribusi bibit padi petani oleh aparat pertanian tidak sejalan dengan musim tanam. Petani menanam padi varietas lokal Ramanteun (beras merah), Mayang dan Melati pada bulan Oktober/ November, sementara distribusi bibit mengikuti pencairan anggaran. Perbedaan kalender masa tanam sering menjadi pemicu ketegangan petani dengan UPT pertanian. Dalam kaitan ini aparat UPT menyatakan:
“Aktivitas pertanian yang mengikuti kidang, sebagai pola tanam orang pasisian, ketinggalan, tidak ilmiah dan tidak perlu dipertahankan.” Pola tanam “petani” tidak sesuai dengan standar dan program dinas pertanian, yang mengakibatkan rendahnya produktivitas pertanian dan sulitnya mencapai target produksi untuk mewujudkan swasembada pangan baik lokal maupun regional. Pernyataan tersebut menunjukkan ’kejengkelan” agensi pembangunan, menyaksikan pola pertanian komunitas berbasis kearifan lokal.
186
Kejengkelan
Pergiliran tanaman dengan tanaman sejenis kacang-kacangan akan menambah kadar unsur nitrogen di dalam tanah, karena tanaman kacang-kacangan mengandung rizobium pada bintil-bintil akar dapat menambah nitrogen di dalam tanah. Forth, Henry, D. 1984. Fundamental of Social Science. Michigan USA. John Willey and Son.
135
tersebut menimbulkan ketegangan petani dengan aparat sektoral. Ketegangan tidak perlu terjadi, bila agensi sektoral memiliki apresiasi terhadap praktik tatanen berbasis tradisi. Bagi petani tanah tidak hanya sebatas tempat tumbuhnya tanaman tetapi juga terkandung nilai sosial budaya. Aktivitas pertanian mengikuti kidang, pergiliran tanaman dan pengolahan tanah dengan gilir balik” dimaksudkan supaya aktivitas pertanian “tidak menyakiti bumi”. Petani memaknai tujuan produksi usaha taninya “tidak dimaksudkan untuk mengejar keuntungan” melainkan untuk memenuhi konsumsi rumah tangga dan ketentraman hidup. Pemaknaan atas cara dan pola tatanen yang berbeda dengan arus utama, bagi agensi menjadi kendala pencapaian target produksi dan swasembada pangan. Atas dasar itu pula sejak tahun 1980-an pemerintah, termasuk agensi pertanian di kawasan DAS Cidanau mensosialisasikan sistem pertanian intensif, penggunaan pupuk kimia dan masa tanam serempak. Tetapi sosialisasi pertanian intensif, bagi petani berarti meningkatnya biaya produksi tetapi tidak menjamin keamanan subsistensinya. Dalam hubungan ini informan menuturkannya sebagai berikut: “Penyeragaman masa tanam bagi petani lahan kering tidak sejalan dengan siklus kidang. Masa tanam yang jatuh pada akhir periode Kidang Muuhan curah hujannya sedikit, akibatnya padi tidak tumbuh baik dan berdampak buruk pada hasil panen. Keharusan menanam varietas padi tertentu sering berakibat kegagalan panen dan terancamnya kehidupan subsistensi petani. Bagi petani lahan basah penyeragaman masa tanam dan keharusan menanam varietas padi tertentu menyebabkan berkurangnya waktu bera yang berimplikasi tambahan biaya produksi. Penyeragaman masa tanam sebagai bentuk pemaksaan untuk menanam tanaman sesuai kehendaknya.”
Berkaitan dengan penggunaan pupuk kimia, sejumlah petani menyatakan bahwa penggunaan pupuk kimia dan pestisida diakui dapat meningkatkan produksi pertanian dalam jangka pendek. Tetapi peningkatan produksinya tidak memberi jaminan peningkatan kesejahteraan. Dalam bahasa seorang petani: “Sanajan berakna ditambah hasilna mah teu sabaraha. Mun diberakan terus taneuh
jadi cape” (Walaupun pupuknya ditambah, hasil panennya tidak banyak meningkat, penggunaan pupuk yang terus menerus menyebabkan kejenuhan pada tanah). Akibatnya “kiwari mah melak dangdeur oge kudu diberak” (akibat kejenuhan tanah menanam ubi kayu harus dipupuk).”
Pernyatan itu menunjukkan dua hal. Pertama pengetahuan petani tentang aktivitas pertanian yang “tidak menyakiti bumi” merupakan bagian praktik tatanen dan tata kelola sumberdaya agraria. Pembangunan pertanian yang
136
berorientasi produksi secara terpusat menyebabkan terbatasnya program alternatif bagi aparat sektoral di tingkat lokal dan luruhnya pengetahuan dan praktek pertanian berbasis kearifan lokal.
Kedua pencapaian target produksi melalui
mekanisasi, intensifikasi pertanian dan penggunaan pupuk kimia dan pestisida secara berlebihan mengakibatkan pencemaran lingkungan. Penggunaan pupuk kimiawi telah menimbulkan pertumbuhan fitoplankton dalam jumlah berlebihan di area konservasi Cagar Alam Rawa Danau. Pembusukan etika konservasi harus dibayar dengan semakin meningkatnya tambahan biaya produksi dan sekaligus menimbulkan pencemaran lingkungan. Dalam ungkapan seorang petani: “penyemprotan hama dengan menggunakan pestisida, hama tanaman tidak berkurang, sebaliknya terjadi ledakan hama karena terjadi resistensi terhadap pestisida dan pencemaran tanah dan air.”
7.3.4. Peluruhan Kearifan Lokal Di atas dijelaskan komunitas petani memiliki kearifan lokal tentang tata kelola sumberdaya agraria, yang meliputi sistem olah tanah konservasi, pemuliaan tanaman (coo beunih, huma pupuhunan, mipit (ritual pemilihan bibit unggul), ngubaran pare (pemberantasan hama tanaman ramah lingkungan dan ngirab sawan (acara ritual pembasmian hama padi ),187 pergiliran tanam (kidang) dan zonasi hutan. Kearifan lokal merupakan bentuk pendekatan petani dalam memahami kondisi ekologi lokal, sederhana namun di balik kesederhanaan justru terkandung kelebihan dalam upaya menjaga kelestarian ekosistem dengan cara “tidak menyakiti bumi”. Etika konservasi dan aktivitas pertanian yang “tidak menyakiti bumi” itu diprovokasi karena tidak sejalan dengan arus modernisasi dan sains modern. Provokasi aparat sektoral terhadap etika konservasi dilakukan secara persuasi dan represif. Persuasi dan provokasi dilakukan melalui sosialisasi penggunaan teknologi modern, pupuk kimia dan pestisida untuk meningkatkan produksi pertaniaan. Bentuk lainnya adalah membujuk petani untuk memodifikasi kebun 187
Bahan untuk membasmi hama padi adalah daun cangkudu, jeruk nipis, beuti laja (lengkuas), karuhang, gembol, kalapa yang masih hijau, areuy beureum dan daun hanjuang. Bahan–bahan itu ditumbuk sampai halus, kemudian dicampur dengan abu kapur, lalu ditebarkan di ladang. Kegiatan membasmi hama tergantung tingkat serangan hama, angka ganjil sering dijadikan acuan karena dinilai mengandung keberuntungan. Sumber diolah dari sumber primer.
137
campuran dan talun menjadi tanaman monokultur (kebun cengkeh, kebun kopi dan sejenisnya). Upaya provokasi ini dinilai masyarakat sebagai bentuk ketidakpahaman aparat sektoral terhadap kondisi sosial dan ekologi lokal. Seperti terungkap dari pernyataan informan berikut: Diakui petani hasil panen dan nilai jual cengkeh sering mengejutkan, tetapi tanaman cengkeh cukup rentan dari serangan hama pohon dan daun, untuk membasminya perlu disemprot pestisida yang tidak selalu tersedia di pasar lokal dan harganya mahal. Pohon cengkeh memerlukan sinar matahari yang cukup, karena sebagian besar kebun petani didominasi oleh kebun campuran dan talun, menyebabkan pohon cengkeh kurang subur, hasil panennya sedikit dan sering terkena serangan hama daun yang mengakibatkan kematian. Ketika pohon cengkih milik petani banyak yang mati, petugas sulit diminta bantuan apalagi menggantinya.
Anjuran aparat sektoral untuk mengganti kebun
campuran menjadi
tanaman monokultur merupakan tindakan memaksakan kepentingan pemerintah kepada masyarakat. Aparat sektoral tidak menghargai etika dan tradisi petani untuk menanam tanaman sesuai dengan kebutuhan dan kearifannya. Masyarakat diprovokasi untuk membudidayakan tanaman tertentu sesuai dengan program sektoral, tetapi tidak dibekali keterampilan yang memadai. Tindakan provokasi juga dilakukan terhadap tradisi dan praktik pemuliaan tanaman, pemilihan bibit unggul (coo beunih), tempat persemaian benih (huma pupuhunan), ritual pemilihan bibit unggul (mipit), maupun pada tahap pemberantasan hama tanaman ramah lingkungan (ngubaran pare) dan acara ritualnya (ngirab sawan). Aktivitas tradisi dan praktik itu diprovokasi aparat sebagai “takhayul dan musyrik dan cara tatanen orang pasisian”. Dampak dari provokasi tersebut adalah
teralienasinya petani dari
komoditi yang ditanam dan diproduksinya. Pemuliaan bibit unggul yang sebelumnya melekat dan mentradisi dalam aktivitas pertanian, beralih tangan ke laboratorium pusat-pusat kajian di perguruan tinggi dan penelitian dan pengembangan pertanian. Sebelum revolusi hijau bibit padi varietas lokal yang terdapat di Indonesia mencapai 8000 jenis, setelah berlangsung revolusi hijau, bibit padi varietas lokal diperkirakan hanya mencapai sekitar 25 jenis.188 Keberhasilan revolusi hijau di Indonesia harus dibayar dengan hilangnya kearifan lokal dan beralihnya penguasaan sekitar 7975 varietas padi lokal dari petani ke 188
Lihat Francis Wahono, “Revolusi Hijau: Dari Perangkap Involusi ke Perangkap Globalisasi”. Jurnal Wacana. No.IV, 1999.
138
tangan bukan petani. Kearifan lokal tentang varietas padi lokal merupakan kekayaan intelektual yang tak ternilai yang beralih tangan dan menjadi milik IRRI dan pemerintah Amerika Serikat. Pada komunitas petani di Citaman dan Cobojong, peluruhan kearifan lokal mengakibatkan pudar dan rendahnya apresiasi masyarakat terhadap pengetahuan keanekaragaman
hayati.
Modernisasi
pertanian
dan
kesehatan
yang
mencerminkan tafsir Barat tentang ilmu pengetahuan moderen, mengesampingkan pengetahuan keanekaragaman hayati dan tanaman obat-obatan. Padahal kearifan lokal tentang keanekaragaman hayati dan tanaman obat-obatan, bila direvitalisasi secara optimal berpotensi untuk bahan pengobatan alternatif secara herbal, menjadi komoditas unggulan daerah dan dapat memberi nilai tambah bagi peningkatan pendapatan masyarakat. Dari penggalian informasi di lapangan, sejauh ini belum ada upaya serius dari pemerintah daerah untuk merevitalisasi kearifan lokal masyarakat tentang tanaman obat-obatan. Aparat sektoral di aras lokal lebih tertarik untuk melibatkan kelompok tani pada berbagai pameran dan pekan pertanian lokal dan regional, meskipun tidak relavan bagi petani. Seperti dituturkan seorang pimpinan kelompok tani sebagai berikut: “Bagi kami (kelompok tani) bisa ikut serta dalam pameran dan pekan pertanian, menambah percaya diri dan wawasan tentang dunia pertanian. Tetapi inovasi pertanian yang diperkenalkan dalam pameran tidak punya arti, karena tidak sesuai dengan kondisi sumberdaya dan sumber dana yang dimiliki petani serta tidak ada tindak lanjutnya. Ikut serta dalam pameran dan pekan pertanian hanya memberikan inspirasi untuk pengembangan agroforestry dan agrobisnis, tetapi tidak relevan dengan kondisi SDM dan ekonomi petani.”
Pelibatan petani dalam pameran tampaknya dimaksudkan sebagai bagian dari upaya peluruhan kearifan lokal secara halus, untuk mendorong petani merubah tradisi dan praktik agroforestry berbasis komunitas ke arah agroforestry komersial. Pengembangan agroforestry secara komersial berpeluang untuk meningkatkan produktivitas agroforestry, tetapi peningkatan produktivitas tersebut berpotensi memudarkan kearifan lokal tentang keanekaragaman hayati tanaman obat-obatan dan tanaman yang telah lama didomestikasi oleh petani. Pengembangan agroforestry komersial juga berpotensi merubah agro-ekosistem
139
tradisional yang bersifat polikultur dan stabil, digantikan sistem monokultur yang padat bahan kimia.189 Peluruhan kelembagaan lokal oleh kekuatan supra lokal tak terlepas dari peran dan fungsi negara modern sebagai aktor pengatur utama dan mengatur banyak hal kehidupan sosial. Meminjam istilah Schiller,190 negara modern merupakan negara penentu daya (power house state) atau dalam istilah Giddens (1987)191 negara dalam masyarakat modern adalah aktor pendefinisi utama realitas sosial. Melalui proses weberisasi (perumusan sejumlah peraturan perundangundangan),
parkinsonisasi
(pembesaran
kapasitas
birokrasi),
pemerintah
melakukan orwelsiasi (membatasi dan mengawasi) aktivitas produksi agroforestry yang dianggap mengganggu pencapaian target produksi. Peran dan posisi negara sebagai pendefinisi realitas dan penentu daya, dimungkinkan untuk melakukan kekerasan fisik dan kerasan simbolik. Penggunaan kekerasan oleh aparat negara merupakan tindakan yang sah menurut negara, tetapi tindakan serupa bila dilakukan oleh masyarakat sipil dianggap melawan hukum. Dari segi ini dapat dikatakan bahwa peran negara sebagai pendefinisi utama realitas sosial, mengakibatkan peluruhan kelembagaan lokal berlangsung secara terstruktur. Merujuk pada Evers dan Schiel (1990), peluruhan kelembagaan lokal melalui pengawasan pemerintah terhadap masyarakat sipil (orwelisasi), dimaksudkan untuk mengamankan kepentingan politik dan ekonomi rezim berkuasa, yakni penguasaan sumberdaya agraria termasuk sumberdaya hutan. Hanya saja transformasi penguasaan sumberdaya hutan dari berbasis kelembagaan lokal ke penguasaan oleh negara, sejauh ini belum mampu mewujudkan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat seperti diamanat dalam 189
Indtrodusir tanaman monokultur mendorong aplikasi asupan kimiawi tak terkendali dalam pertanian yang menimbulkan kejenuhan tanah dan berdampak negatif pada kesehatan petani, yakni melemahnya sistem endokrin yang ditandai dengan berkurangnya kesuburan, kelainan sistem kekebalan, gangguan rasa kepekaan dan menurunnya kecerdasan dan teragonik (kelahiran anak cacat dari ibu yang keracunan). Lihat, “Bahaya-bahaya Pestisida”. Tani Lestari No.4 Agustus, 1999.
190
Schiller, J., “Indonesia (Mulai) Tahun 1999: Hidup Tanpa Kepastian,” dalam Jalan Terjal Reformasi Lokal: Dinamika Politik di Indonesia, Yogyakarta: Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, 2003.
191
Giddens, A. 1987. The Nation-State and Violence: Volume Two of A Contemporary Critique of Historical Materialism. Berkeley: University of California Press.
140
konstitusi. Sehingga sejarah penguasaan sumberdaya hutan oleh negara merupakan sejarah kegagalan politik agraria kehutanan. Dalam konteks kawasan DAS Cidanau gambarannya dapat disimak pada uraian berikut.
7.4. Kegagalan Politik Agraria Peluruhan kelembagaan lokal melalui proses weberisasi dan orwelisasi, menunjukkan kegagalan pemangku otoritas untuk mewujudkan tujuan politik agraria untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Di lokasi penelitian hal ini ditunjukkan antara lain dengan penggusuran dan alienasi petani (depeasanitation process), menculnya predator agraria, koflik agraria, relokasi petani secara exsitu dan kepedulian semu pemerintah terhadap jasa lingkungan di kawasan DAS Cidanau. Indikasi bentuk kegagalan politik agraria tersebut dijelaskan pada uraian selanjutnya.
7.4.1. Penggusuran Petani (Depeasanitation Processes) Komoditifikasi sumberdaya agraria, di lokasi penelitian ditandai dengan meluasnya alih tangan penguasaan dan pemilikan tanah melalui jual beli dan meningkatnya tanah in-absentia. Proses alih tangan lainnya yang menonjol adalah melalui warisan, gadai dan hibah. Proses alih tangan pemilikan tanah melalui warisan dan gadai tidak menyebabkan jatuhnya penguasaan tanah kepada “orang kota”, karena penerima waris tanah dan penerima gadai, umumnya merupakan penduduk lokal. Lain halnya dengan alih tangan melalui jual beli, mengakibatkan jatuhnya penguasaan dan pemilikan tanah dari petani kepada bukan petani (orang kota, petani berdasi serta kelompok sosial lainnya yang diuntungkan oleh proses pembangunan). Proses alih tangan penguasaan dan pemilikan melalui warisan yang berlangsung di lokasi penelitian, didasarkan hukum Islam dan adat Sunda. Kedua sistem pewarisan, terdapat perbedaan penting terutama berkaitan dengan jumlah hak waris yang diperoleh laki-laki lebih besar daripada perempuan. Pelaksanan sistem warisan menurut hukum Islam di masyarakat dituturkan responden sebagai berikut: “Bagian hak waris anak laki-laki lebih besar dari pada hak waris yang diterima anak perempuan. Hak waris anak laki-laki lebih besar, karena anak laki-laki harus
141
nanggung (penanggung jawab rumah tangga), sedangkan perempuan “nyalindung” (ikut) pada suami. Pembagian warisan dilakukan secara proporsional dan adil, yang memiliki tanggung jawab lebih besar mendapat bagian lebih besar dan sebaliknya yang tanggung jawabnya kecil mendapat bagian kecil.
Ini berbeda dengan sistem pewarisan menurut adat Sunda, laki-laki dan perempuan memperoleh bagian yang “setara”. Sistem pembagian waris menurut adat, cenderung memberikan keistimewaan kepada anak sulung dan atau anak bungsu. Sistem pewarisan tanah menurut adat Sunda, dituturkan informan sebagai berikut: ”Anak sulung dan atau anak bungsu dalam pembagian warisan tanah sering
diprioritaskan, seperti mendapatkan tanah kebun yang lebih subur. Sementara anak perempuan sering diprioritaskan untuk menempati rumah yang merupakan hak milik bapaknya, terutama jika anak laki-lakinya telah memiliki rumah”. Pembagian warisan tanah seperti ini merupakan bagian penting dari tradisi petani.
Sistem pembagian warisan baik menurut Islam maupun adat biasanya dilakukan secara lisan dan enggan mendaftarkan tanah warisnya pada pejabat berwenang. Hal ini disebabkan pemilik waris terjalin ikatan keluarga, sehingga kecil kemungkinannya terjadi konflik tanah warisan. Keengganan pemilik waris mendaftarkan tanah waris, karena enggan mengeluarkan biaya administrasi yang berkisar 2,5 – 5 persen dari nilai jual objek pajak (NJOP) tanah. Proses alih pemilikan tanah melalui warisan merupakan salah faktor penyebab fragmentasi pemilikan tanah di hulu DAS Cidanau. Ini ditunjukkan dari pemilikan tanah pada sejumlah keluarga yang sebelumnya dikenal sebagai tuan tanah, seperti dituturkan informan dari keluarga BHR: Almarhum orang tua saya memiliki tanah sekitar 5 hektar, setelah diwariskan kepada anak-anaknya termasuk saya, masing-masing mendapat hak waris seluas 1,1 hektar. Sekarang Cucu BHR hanya menguasai tanah 0,5 hektar, bahkan di antara keponakan (cucu BHR) harus puas menjadi penggarap tanah keluarga dan jadi bujang (penggarap) tanah dari orang kota.
Pada kasus keluarga BHR dari empat anaknya, hanya anak sulung yang bertambah tanahnya meski tidak signifikan. Fragmentasi pemilikan tanah keluarga BHR, disebabkan alih tangan melalui warisan, gadai dan penjualan oleh generasi kedua dan ketiga. Akibat gadai dan penjualan tanah, tiga dari sembilan cucu BHR hanya memiliki tanah pekarangan dan tanah tempat tinggalnya.
142
Dari wawancara dengan sejumlah informan diketahui, dalam lima tahun terakhir transasksi gadai dan penjualan tanah terus meningkat. Dalam keadaan terdesak petani, bukan hanya menggadaikan tanah kebun yang menjadi sumber kehidupannya, tetapi juga tidak jarang aset rumah tangga lainnya termasuk pepohonan yang bernilai ekonomi. Penggadaian pepohonan biasanya dilakukan jika bantuan/pertolongan yang dibutuhkan tidak diperoleh. Cara ini dilakukan terutama oleh petani yang memiliki lahan kebun < 0,5 hektar, sedangkan pemilik lahan luas (> 3 hektar) untuk pengembangan dan diversifikasi usaha atau akumulasi modal. Seperti dituturkan seorang petani: “Saya sudah dua kali menggadaikan 2 pohon duren dan 2 pohon petani senilai Rp. 3.000.000,-. Uang hasil gadai saya gunakan untuk tambahan membeli sawah 2000 m.” Faktor yang mendorong meningkatnya proses transaksi gadai dan jual beli tanah di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Jenis Kebutuhan Petani Yang Mendorong Transfer Tanah Jumlah Kasus No Jenis Kebutuhan Petani Kelompok Tani Hutan
1 2 3 4 5 6 7 8 9
A. Kebutuhan Konsumtif
KM1
KM 2
KM 3
KM 4
a. Rehab/bangunan rumah b. Pesta perkawinan c. Beli alat elektronik d. Kebutuhan mendesak e. Membeli motor B. Pengembangan Usaha a. Modal usaha b. Gadai/beli kebun C. Biaya Pendidikan D. Ibadah Haji Jumlah Kasus
2 2 2 2
3 3 1 1
1 2 2 1 -
2 2 1 2 -
8 9 6 3 3
2 1 2 13
1 1 1 11
2 1 1 10
1 1 9
5 3 3 3 43
Sumber: Diolah dari informan kunci dan buku leter C
Dari Tabel 9 diketahui bahwa ada sembilan penyebab rumah tangga petani menggadaikan tanahnya. Dari sembilan penyebab transfer penguasaan tanah tersebut kebutuhan untuk memenuhi perkawinan, merehab membangun rumah dan modal usaha merupakan faktor dominan. Penyebab lainnya yang mendorong transfer penguasaan dan pemilikan tanah di lokasi penelitian adalah untuk memenuhi kebutuhan yang dikategorikan mendesak, keperluan pendidikan
143
(menyekolahkan anak), tambahan biaya untuk menggadai dan membeli tanah dan
tambahan biaya untuk menunaikan ibadah haji. Kelompok sosial yang bertindak sebagai pembeli dan pemegang hak
gadai, adalah petani pemilik lahan luas, pedagang, pegawai/karyawan dan aparat desa. Sepanjang tahun 2008-2009 mereka yang terlibat dalam pembelian tanah
dan pemegang hak gadai di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 8 di bawah.
Gambar 8. Grafik Proses Transformasi Penguasaan Tanah Sumber: Diolah dari sumber primer dan buku Cohir
Dari gambar tersebut diketahui, pembeli dan pemegang hak gadai tanah di Desa Citaman dan Cibojong adalah pedagang, sedangkan pembeli dan pemegang hak gadai tanah terbesar di Desa Citasuk berasal dari karyawan/pegawai (negeri dan swasta). Tampilnya pedagang sebagai sebagai pembeli dan pemegang hak gadai tanah
pada kedua desa, menunjukkan pembangunan pedesaan dan masyarakat sekitar hutan menguntungkan kalangan pedagang dan pemilik lahan luas.192 Tampilnya pedagang, pegawai (negeri dan swasta termasuk aparat desa)
dan pemilik lahan luas sebagai pembeli/pemegang hak gadai tanah, menunjukkan bahwa pembangunan pertanian/ekonomi pedesaan dalam sepuluh tahun terakhir 192
Pedagang yang diuntungkan dari pembangunan ekonomi pedesaan adalah pedagang yang menyuplai berbagai jenis kebutuhan pokok warga, membeli dan menampung berbagai komoditas hasil pertanian di tingkat lokal dan antar desa, serta pedagang yang mampu memasarkan komoditasnya ke pusat-pusat perdagangan di Kota Serang, Tangerang, Cilegon dan Jakarta. Diolah dari sumber primer.
144
berpihak dan menguntungkan orang kuat dan orang kaya di desa. Pelaksanan pembangunan pertanian dan kehutanan, memang meningkatkan produktivitas komoditas pertanian dan perkebunan. Tetapi yang menikmati peningkatan produktivitas pertanian itu adalah the strong di desa seperti pedagang, pegawai/karyawan (negeri dan swasta) termasuk aparat desa dan pemilik kebun di atas dua ha. Kondisi ini merupakan implikasi dari politik pembangunan pertanian dan kehutanan bersifat economy of scale. Akibatnya teknologi dan aliran dana yang masuk ke pedesaan, sebagian besar dinikmati oleh elit desa (pemilik lahan luas dan kelompok tertentu) yang dekat dengan birokrat desa atau jalur lain yang memiliki akses terhadap sumber dana itu.193 Dari pengamatan dan penggalian informasi juga diketahui bahwa sejalan dengan komoditifikasi
sumberdaya, maka pembangunan fisik material lebih
menonjol daripada pengembangan sosial dan kemandirian rakyat. Meningkatnya pembangunan jalan disertai tersedianya sarana transportasi pedesaan di wilayah Kecamatan Ciomas dan Padarincang, memudahkan arus masuk keluar barang dan orang ke pusat perdagangan dan pemerintahan di Kota Serang dan sekitarnya. Pembangunan jaringan listrik dan sarana komunikasi, juga
menambah lama
denyut kehidupan warga pada malam hari dan memudahkan komunikasi serta akses informasi penduduk dengan luar dan supra desa. Di sisi lain meningkatnya pembangunan infrastruktur, terindikasi kuat berhasil memacu pola hidup konsumtif masyarakat. Peningkatan konsumsi keluarga petani melampaui peningkatan kapasitas produksinya. Lebih besar pasak dari tiang dan semakin tergantungnya kebutuhan komunitas petani kepada pasar. Kondisi ini menurut Soetrisno, (1995) mengindikasikan bahwa pembangunan ekonomi pedesaan telah merangsang rumah tangga petani untuk hidup dalam “budaya kredit”.194
Meluasnya budaya kredit dituturkan informan sebagai
berikut: Sebagian ibu rumah tangga lebih senang memasak nasi menggunakan rice cooker, yang dibeli secara kredit, meskipun kayu bakar masih tersedia di sekitarnya. Di tengah tersedianya kayu bakar, memasak nasi dengan rice cooker hanya menambah beban rumah tangga membayar listrik.
193
Lihat Kenneth Young & R Tanter. Politik Kelas Menengah Indonesia. Jakarta: LP3ES.
194
Lihat Loekman Soetrisno, 1995. Menuju Masyarakat Partisipatif. Yogyakarta: Kanisius.
145
Komodifikasi agraria
selain memicu tumbuhnya pola hidup hidup
konsumtif, juga ternyata memicu meluasnya pemilikan tanah in-absentia di wilayah Kecamatan Ciomas dan Padaricang. Gejala demikian menggambarkan bahwa komodifikasi agraria bukan hanya diikuti dengan beroperasinya moda produksi kapitalis pada komunitas sekitar hutan, tetapi juga mengakibatkan penggusuran dan alienasi petani depeasanitation process), yakni pemiskinan penguasaan aset produksi petani yakni tanah. Area persawahan dan perkebunan di lokasi penelitian, yang sebelumnya dikuasai petani, dewasa ini beralih tangan kepada ”petani berdasi” dan orang kota. Bila tak ada upaya strategis dan tindakan politik yang berarti untuk memperbaiki kehidupan petani, penggusuran dan alienasi petani yang berlangsung dewasa ini pada ketiga desa, dapat mengarah pada fenomena sosial yang disebut Hobsbawm, 195the death of the peasantry atau
deruralization dan deagrarianization processes yang dikemukakan Bryceson. 196 Penggusuran dan alienasi petani atau dissolving
kehidupan petani
merupakan implikasi dari beroperasinya sistem produksi kapitalis di wilayah pedesaan. Penggusuran dan alienasi petani yang terjadi pada desa penelitian, disebabkan surplus value dari peningkatan produktivitas pertanian dan komoditas agroforestry terdistribusi secara timpang. Pemilik modal, majikan dan pemilik lahan luas memperoleh surplus value lebih besar dari peningkatan produktivitas pertanian dan pendapatan di luar pertaniaan. Sebaliknya tenaga kerja dan buruh upahan memperoleh surplus value
lebih kecil dari yang seharusnya, karena
dieksploitasi oleh pemilik modal dan pemilik lahan luas, sebagian di antaranya adalah orang kota. Meningkatnya penguasaan sumberdaya agraria oleh orang kota dalam aktivitas agroforestry di lokasi penelitian, ternyata disertai semakin dominannya kekuatan produksi non lahan (bahan, alat, modal dan keterampilan) yang berasal dari luar dan untuk mendapatkannya petani dipaksa melakukan hubungan
195
Penguasaan dan pemilikan tanah oleh bukan petani oleh Hobsbawm dipandang sebagai pertanda the death of the peasantry. Hobsbawm, Eric, 1985, Age of Extremes: The Short Twentieth Century 1914-1991, London: Abacus Books, Little, Brown and Co.
196
Meluasnya kepemilikan tanah oleh kelompok bukan petani oleh Bryceson dipandang sebagai deruralization dan deagrarianization processes Bryceson, Deborah; Cristóbal Kay, and Jos Mooij, 2000, Disappearing Peasantries? Rural Labour in Africa, Asia and Latin America, London: Intermediate Technology Publications.
146
pertukaran ekonomi di pasar. Penguasaan faktor produksi non lahan oleh bukan petani, mendorong semakin terintegrasi dan tergantungnya petani kepada kekuatan supra lokal untuk menopang aktivitas ekonominya. Meningkatnya ketergantungan petani dalam proses produksi kepada pihak luar, bersamaan dengan penguasaan produksi berupa sumberdaya agraria merupakan bentuk nyata penggusuran dan alienasi petani (depeasanitation process).
7.4.2. Predator Agraria Pada uraian sebelumnya diuraikan bahwa penguasaan faktor produksi lahan dan non lahan (bahan, alat, modal dan keterampilan) oleh bukan petani menjadi faktor pengungkit penggusuran dan alienasi petani (depeasanitation
process). Di antara
kelompok elit desa yang diuntungkan oleh proses
pembangunan adalah Kepala Desa dan aparatnya. Tampilnya Kepala Desa sebagai elit ekonomi dan politik, karena posisinya menjadi pemegang kekuasaan tertinggi dan pengendali pelaksanaan pembangunan di desa. Dengan posisi tersebut, Kepala Desa memungkinkan untuk meraih keuntungan politik dan ekonomi secara langsung maupun tidak langsung dari proses pembangunan ekonomi pedesaan. Implikasi
dari
pemerintahan desa,
posisinya
sebagai
pemegang
otoritas
kekuasaan
maka Kepala Desa memiliki tugas dan tanggung jawab
melindungi kekayaan dan kelembagaan sosial ekonomi di wilayahnya. Dalam konteks lokasi penelitian,
tugas dan tanggung jawab pemegang otoritas
kekuasaan pemerintahan desa antara lain adalah melindungi kelembagaan sosial seperti tanah kaguronan dan tanah kajaroan. Kedua bentuk penguasaan tanah itu merupakan keunikan kelembagaan penguasaan tanah di Desa Citaman.
Tanah kaguronan yang terdapat di Desa Citaman berasal dari hibah dan wakaf masyarakat untuk mendukung kemajuan pendidikan keagamaan dan pondok pesantren, luasnya sekitar 6 hektar. Hibah dan wakaf tanah yang dilakukan masyarakat dilakukan secara lisan dan pengelolaannya diserahkan kepada kepala pengurus Pesantren,Pengurus Madrasah dan Masjid. Masyarakat
147
meng-hibah-kan dan me-wakaf-kan tanahnya didorong oleh niat mulia dan ikhlas karena Allah, sehingga jarang dilakukan secara tertulis. Dewasa ini sebagian area tanah kaguronan yang terdapat di desa Citaman sampai sekarang merupakan lokasi Pondok Pesantren Subulus Salam dan tempat tinggal pengasuhnya. Sebagian lagi digarap oleh warga setempat yang memiliki hubungan kerabat dengan Kepala Desa Citaman dengan sistem bagi hasil. Pondok
Pesantren Subulus Salam pada masa puncak kebesarannya merupakan Pondok Pesantren yang berpengaruh di Kecamatan Ciomas. Santri yang mondok di pesantren ini berasal dari berbagai daerah sekitar Kabupaten Serang. Pengaruh kebesaran Pesantren itu terlihat pada acara peringatan maulid Nabi pada tanggal 12 Maulid dan acara ritual pencucian golok raksasa (tercatat di Musium Record Indoensia (MURI). Di tengah komersialsiasi sumberdaya agraria dan meluasnya penguasaan dan pemilikan tanah oleh orang kota, pelaksanaan hibah dan wakaf tanah secara lisan yang didorong oleh niat mulia dan ikhlas dapat disalahkan gunakan oleh “penguasa yang tidak amanah”. Ikrar hibah dan wakaf tanah yang tidak didukung bukti dan dokumen tertulis di tengah maraknya pragmatisme ekonomi ternyata menjadi
peluang
terjadinya
penyalahgunaan,
manipulasi
dan
rekayasa
kepemilikan tanah untuk merauf kepentingan ekonomi pribadi. Kondisi inilah yang terjadi dalam kasus alih tangan dan penyalah-gunaan penguasaan tanah
kaguronan yang terjadi di Desa Citaman. Posisinya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di desa dan pelindung
tanah kaguronan, disalah-gunakan untuk kepentingan pribadi dengan bertindak sebagai predator tanah kaguronan. Tindakan yang dilakukan oleh Kepala Desa seperti pepatah, pagar makan tanaman. Kepala Desa yang seharusnya bertindak sebagai protektor tanah kaguronan, malah bertindak sebagai predator. Tindakannya sebagai predator tanah, dilakukan dengan menyalahgunakan otoritasnya dan merekayasa status hukum tanah kaguronan. Tanah kaguronan yang sebelumnya merupakan aset publik/masyarakat di bidang pendidikan, kemudian direkayasa menjadi milik pribadi dengan cara mengagunkan tanah
kaguronan ke bank untuk mendapat dana segar bagi pribadinya.
148
Proses rekayasa status hukum tanah kaguronan hanya mungkin dilakukan oleh orang yang memiliki akses dan kekuasan serta pemberi hibah tanah telah meninggal dunia. Setelah pemberi hibah meninggal dunia, maka subyek hukum
tanah kaguronan menurut hukum positif menjadi “mengambang”, meskipun secara substansial tidak berubah.
Dalam kondisi ini, Kepala Desa sebagai
pemegang otoritas tunggal dalam administrasi pertanahan, memiliki wewenang menentukan
administrasi
pertanahan,
termasuk
tanah
yang
”statusnya
mengambang”. Kewenangan dan peluang inilah yang dilakukan oleh Kepala Desa melalui rekayasa administrasi tanah wakaf, ketika pemberi wakafnya telah meninggal dunia. Tampilnya Aparat Desa sebagai predator agraria membenarkan
adigium bahwa kekuasaan cenderung korupsi. Mencuatnya aparat desa sebagai predator agraria menunjukkan bahwa upaya mewujudkan politik agraria untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, terkendala oleh praktik dan perilaku aparat pemerintahan (tingkat desa dan di atasnya) yang memiliki semangat untuk memburu rente ekonomi. Aparat desa sebagai ujung tombak kelembagaan pemerintah paling bawah tidak lagi berfungsi sebagai pemecah masalah agraria di tingkat komunitas, tetapi menjadi bagian dari masalah keagrariaan. Perilaku aparat (pusat, daerah dan desa) yang tidak bersih akan mengalami kesulitan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih.197 Dalam konteks wilayah Desa Citaman, kesulitan untuk menyelenggarakan pemerintahan yang baik dan bersih, tercermin dari ketidakmampuan pemeritah desa melindungi tanah kaguronan. Tampilnya aparat desa sebagai predator agraria dan ketidakmampuan pemerintah tingkatan paling bawah menyelenggarakan pemerintahan yang baik dan bersih, menjauhkan upaya pembangunan ekonomi pedesaan dan komunitas sekitar hutan melalui reforma agraria yang dicanangkan pemerintah. Tampilnya aparat desa sebagai predator agraria, menunjukkan bahwa 197
Tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih adalah penyelenggaraan negara yang responsif dan bertanggung jawab dan bersinergi dengan masyarakat sipil. Lihat Robert Archer, “Pasar dan Penyelenggaraan Negara yang Baik”, dalam Didik J. Rachbini (ed.), Negara dan Kemiskinan di Daerah (Jakarta: Sinar Harapan, 1995). UNDP mengidentifikasi 6 karakteristik good governance: (1) partisipatif; (2) transparan dan bertanggungjawab; (3) efektif dan berkeadilan; (4) supremasi hukum; (5) prioritas sosial, ekonomi, dan politik didasarkan konsensus dalam masyarakat; (6) proses pembuatan keputusan mendengarkan suara penduduk miskin dan rentan. UNDP,1997. Reconceptualizing Governance (New York: UNDP.
149
komoditifikasi sumberdaya agraria menjadi kendala mewujudkan reforma agraria dan penyelenggaraan politik sumberdaya agraria berkeadilan dan produktif, baik di aras lokal maupun supralokal. Pada tingkatan di atas desa pecanangan reforma agraria terkendala oleh arus politik agraria yang berorientasi produksi dan transaksional semata-mata. Rembesan dari pengarus-utamaan politik agraria tersebut pada aras lokal adalah rendahnya produktivitas komoditas agroforestry, meluasnya komersialisasi tanah, tergerusnya kemandirian dan keswadayaan masyarakat desa. Aset dan faktor produksi pertanian (tanah) tidak terdistribusi secara adil dan semakin terhempas dari tangan petani wong cilik kemudian beralih tangan dan dinikmati oleh kelompok the strong
baik di desa maupun di atas desa. Terhempasnya
penguasaan faktor produksi, tanah dari tangan petani wong cilik, mengakibatkan program sektoral dan upaya peningkatan produktivitas pertanian memberdayakan
petani,
tetapi
memperdayanya.
Kesadaran
inilah
bukan yang
mendorong petani untuk melakukan pendudukan tanah area Cagar Alam Rawa Danau.
7.4.3. Pendudukan Petani dan Enclavisme Dari sekitar 303 kawasan konservasi yang terdapat di Indonesia, salah satunya Cagar Alam Rawa Danau yang terdapat di Kabupaten Serang. Cagar Alam Rawa Danau berada dalam wilayah administrasi pemerintahan Kecamatan Padarincang, Pabuaran dan Kecamatan Mancak Kabupaten Serang. Cagar Alam Rawa Danau merupakan kawasan endemik dan sebagai situs konservasi rawa pegunungan satu-satunya yang masih tersisa di Pulau Jawa. Namun dibalik keunikan ekologinya, Cagar Alam dalam kondisi kritis. Debit air Rawa Danau dari tahun ke tahun cenderung menurun198 dan secara de
facto luas Cagar Alam Rawa Danau terus menyusut karena diduduki dan dikuasai oleh petani untuk persawahan, pemukiman dan perkebunan yang telah mencapai sepertiganya. Dewasa ini Cagar Alam Rawa Danau mengalami degradasi dan
198
Pada tahun 1922 debit airnya mencapai 45 m³/detik, tahun 1989 tercatat 25 m³/detik dan tahun 1990-2001 berkisar 10-15 m³/detik. Pada tahun 2003 debit airnya 20 m³/detik bahkan pada musim kemarau panjang tercatat hanya 12-15 m³ per detik. Laporan Hasil Perjalanan Observasi Rawa Danau tahun 2003 oleh Kelompok Swadaya Masyarakat Rekonvasi Bumi, 2003.
150
sedimentasi yang krusial mencapai 360.000 ton per tahun,
akibat kegagalan
reboisasi di hulu dan aktivitas pertanian yang tidak ramah lingkungan. Kritisnya Cagar Alam Rawa Danau disebabkan salah urus dan dibiarkan merana dalam tempo lama. Penetapan Rawa Danau sebagai Cagar Alam, berdasarkan Government Besluit (GB) nomor 60 stnl. 683 tanggal 16 Oktober 1921. Sejak ditetapkan oleh pemerintah Kolonial Belanda tahun 1921, kawasan konservasi ini tidak dikelola secara baik dan profesional. Akibat salah urus dan pembiaran merana terlalu lalu, maka pemulihan dan rehabilitasinya menjadi pelik dan kompleks. Dewasa ini permasalahan pengelolaan Cagar Alam Rawa Danau, tidak hanya berkaitan dengan masalah tata kelola dan teknik konservasi, tetapi telah menyentuh persoalan politik konservasi dan hubungan teknis dan sosial agraria penduduk di sekitar area cagar alam. Tata kelola konservasi Rawa Danau yang tidak baik dan salah urus, menyebabkan situs konservasi rawa pegunungan itu kritis dan merana. Sementara penduduk sekitarnya sebagian besar adalah petani lapar tanah. Kondisi ini mengundang birahi petani lapar tanah, untuk melakukan pendudukan kawasan Cagar Alam Rawa Danau untuk mengais rejeki dan menyambung hidup. Selain lapar tanah, penduduk sekitar Rawa Dawa Danau juga memiliki ikatan sejarah dan hubungan teknis agraria dengan area Rawa Danau. Pertautan ikatan sejarah dan kebutuhan ekonomi (lapar tanah), merupakan faktor dominan pendudukan petani terhadap Cagar Alam Rawa Danau. Akibat pembiaran yang berlangsung lebih dari setengah abad dan salah urus, maka upaya rehabilitasi kawasan konservasi yang terlanjur terdegradasi, menjadi pelik dan kompleks. Upaya pemerintah baik secara persuasi maupun represi, sejauh ini belum dapat menyelesaikan masalah konservasi kawasan Rawa Danau secara menyeluruh. Pemerintah baru tersentak setelah kawasan Rawa Danau sepertiganya diduduki petani, yang sudah berlangsung lebih dari setengah abad. Meluasnya pendudukan petani atas Rawa Danau, mendorong pemerintah bertindak represif dengan merelokasi 274 kepala keluarga secara paksa ke berbagai wilayah transmigrasi di Aceh dan Riau.199 Sedangkan upaya rehabilitasi
199
Tindakan relokasi petani dari kawasan Cagar Alam Danau didasarkan atas Surat Keputusan Bupati Serang No. 750/280-017.4.Huk.Ek/1985. (Kabar Bumi,2004).
151
Rawa Danau baru dilakukan dalam sepuluh tahun terakhir,
tahun 2002
melakukan penanaman 5000 pohon pohon gempol (Anthocephalus cadamba) pada wilayah catchment area dan tahun berikutnya penanaman 6000 pohon di Blok Cimanuk. Perlindungan Cagar Alam Rawa Danau yang terlanjur salah urus dan terlantar, sejauh ini belum dapat menyelesaikan masalah konservasi dan pendudukan petani atas Rawa Danau. Hal ini disebabkan langkah yang dilakukan pemerintah, meneruskan politik konservasi kolonial Belanda yang bersifat konvesional. Dalam penanganan konservasi Rawa Danau,
pemerintah seperti
”mengadopsi pengembangan konservasi Taman Nasional Yellowstone” (di Amerika tahun 1872), yang memisahkan kawasan yang berfungsi sebagai sumber keindahan dengan penduduk sekitarnya. Kawasan konservasi diisolasi, sebagai ”barang antik” tidak boleh disentuh dan diganggu oleh aktivitas manusia. Penanganan Cagar Alam Rawa Danau, dilakukan dengan cara konservatif, represif bahkan eko-totalitarianism, seperti menempatkan area Rawa Danau sebagai ”enclave” dan relokasi ex situ penduduk sekitar Rawa Danau. Langkah ini menjadi pilihan pemerintah untuk memutus rantai interaksi masyarakat dengan Cagar Alam Rawa Danau. Kawasan konservasi dijadikan sebagai enclave yang tidak boleh disentuh dan dijauhkan dari interaksi manusia. Penduduk sekitar Rawa Danau diposisikan sebagai makhluk biologis semata-mata tanpa ada ikatan dan kaitan sosial dan budaya dengan tanah, air dan tempat kelahirannya. Seperti terungkap dalam pernyataan informan berikut: Peran serta masyarakat dalam konservasi Cagar Alam Rawa Danau tidak penting, karena tidak mengerti tentang konservasi. Sosialisasi dan edukasi konservasi tidak bermanfaat, penduduk di sekitar CA Rawa Danau adalah perambah dan menjadi kendala upaya konservasi. Konservasi Rawa Danau hanya bisa dilakukan dengan menindak secara tegas dan menjauhkannya dari para perambah.
Parnyataan itu menunjukkan bahwa aparat memaknai dan menempatkan Cagar Alam Rawa Danau sebagai enclave dan mengalienasi penduduk dari ikatan sosial ekonomi dengan tanah dan air yang berlangsung puluhan tahun. Dalam analisis Dietz (1998), kebijakan konservasi yang dilakukan oleh pemerintah
152
terhadap Rawa Danau, dikategorikan sebagai eko-fasisme atau ekototaliter.200 Konservasi cagar alam dipandang jauh lebih penting daripada kehidupan masyarakat dan penyelamatan Rawa Danau dianggap lebih mendesak dan lebih penting daripada upaya pemberian akses masyarakat untuk mengais rejeki. Di tengah ketimpangan struktur agraria dan keterbatasan pemerintah menyediakan lapangan kerja, kebijakan ekototaliter tak menyelesaikan masalah konservasi Rawa Danau maupun masalah sosial ekonomi komunitas petani di sekitarnya. Misalnya Relokasi 274 kepala keluarga di sekitar CA Rawa Danau secara ex-situ tahun 1985 ke lokasi transmigrasi di di P. Sumatera, lebih tepat disebut “cerita gagal” daripada “cerita sukses” land refom. Dari penulusuran, penyebabnya “cerita gagal” itu adalah penempatan transmigran di daerah berekologi marginal (lahan kering/kritis, pasang surut) dan “penyimpangan dalam pelaksanaan”.
“Cerita gagal” land refom, ditunjukkan dengan kembalinya
sejumlah petani yang direlokasi setelah jatuhnya rezim Orde Baru ke habitat ekologi sosialnya, Cagar Alam Rawa Danau yang telah didomestikasi sebelumnya. Cerita gagal “enclavisme” kawasan konservasi dan alienasi petani dari Rawa Danau, ditunjukkan dengan semakin meningkatnya kualitas dan kuantitas perlawanan dan pendudukan petani. Tahun 1985 warga yang harus direlokasi dari Cagar Alam hanya 300 kepala keluarga, tahun 2006 meningkat menjadi 3000 petani. Tahun 2000 pendudukan petani sebatas menggarap Rawa Danau untuk memenuhi kebutuhan pangannya, tahun 2006 petani telah membangun “tempat tinggal”. Area konservasi yang diduduki petani telah mencapai 845,13 hektar atau sepertiga dari luas Cagar Alam Rawa Danau sekitar 2.500 hektar.201 Sebelumnya petani yang menduduki Cagar Alam Rawa Danau hanya berhadapan dengan petugas jagawana (yang dapat diselesaikan dengan memberi upeti pada saat panen), dewasa ini petani demonstrasi ke DPRD Kabupaten Serang, menuntut pendudukannya atas sebagian Cagar Alam Rawa Danau dilegalkan dengan pola pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) atau perhutanan sosial. 200
Diez, Ton, 1998. Pengakuan Hak Atas Sumberdaya Alam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar-Insist Remedec.
201
BKSDA, Ekspose Penanganan Perambahan dan Pemukiman Liar Cagar Alam Rawa Danau, 2005.Tidak dipublikasikan.
153
Sejauh ini pemangku otoritas belum mengakomodasi tuntutan petani dan belum melihat hal positif pelibatan dan kemitraan dengan masyarakat dalam pengelolaan Rawa Danau. Pemahaman kawasan konservasi sebagai enclave dan eksklusif, masih menjadi arus utama, dibandingkan dengan pengelolaan kawasan konservasi secara komprehensif dalam konteks pengembangan wilayah dan pemberdayaan masyarakat, yang mengintegrasikan aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Pemangku otoritas tetap pada pendiriannya, area konservasi harus dibebaskan dari aktivitas petani. Peraturan perundangan dijadikan rasionalitas aparat pada umumnya. Atas dasar rasionalitas hukum pula petugas meniadakan pembelaan terhadap petani dan menempatkannya sebagai obyek polisionil daripada sebagai kelompok sosial yang perlu diberdayakan oleh pemerintah. Upaya petani mengais rejeki di kawasan konservasi, dilihat dalam perspektif aturan hukum tentang konservasi secara formal dengan mengabaikan aspek substansi dan keadilan. Penegakkan hukum oleh pemangku otoritas hanya memperhatikan pasal-pasal konservasi sebagai harga mati, yang tidak berkaitan dengan kebenaran hukum secara substansial. Bahkan aturan hukum yang ditegakkan sering tidak sejalan dengan masalah sosial ekonomi petani, yakni alienasi, pengusiran dan pembatasan akses terhadap sumberdaya untuk menopang kelangsungan hidup. Pasal-pasal konservasi ditegakkan untuk membela rasionalitas yang dianut dan tidak ada kaitan dan tidak sejalan dengan masalah yang seharusnya dipecahkan. Dalam menegakkan pasal-pasal konservasi dan membela rasionalitasnya dari pendudukan petani, tidak jarang agensi konservasi memandang kekerasan sebagai solusi, karena terbukti efektif untuk mencapai tujuan, meskipun untuk sementara waktu. Sejauh ini pendekatan represif dan kriminalisasi petani, tidak menyelesaikan masalah sosiologis area konservasi, yakni hubungan sosial dan hubungan teknis manusia dengan area konservasi. Dari penggalian informasi di lapangan, diperoleh keterangan hubungan teknis agraria petani dengan area konservasi memiliki ikatan sejarah. Sebagian petani yang menggarap sebagian tanah area konservasi, meneruskan warisan leluhur orang tuanya jauh sebelum lahirnya negara RI. Dari segi ini relokasi ex-
situ dan alienasi petani dari area konservasi, bukan hanya memutus rantai sumber mata pencaharian, tetapi juga memutus rantai sosial dan sejarah komunitas petani.
154
Penegasian hubungan sosial dan teknis agraria petani untuk kepentingan konservasi secara sempit, merupakan klaim sepihak penguasa. Klaim sepihak yang menegasikan hak sosial dan sejarah itulah yang menyebabkan masalah konservasi Rawa Danau tidak kunjung terselesaikan dan terus bergejolak. Dalam analisis Habermas klaim sepihak pemerintah terhadap hak sosial ekonomi masyarakat sebagai bentuk “kolonisasi”. Dalam konteks Rawa Danau, kolonisasi ditunjukkan oleh hegemoni pemerintah dan menolak pengelolaan kolaborasi
202
dan penataan batas dan zonasi area konservasi.
Zonasi area
konservasi, diperlukan agar ada kejelasan zona yang dapat diakses untuk mendapatkan manfaat ekonomi dan zona terlindungi. Meluasnya eskalasi perlawanan dan pendudukan petani di area Cagar Alam Rawa Danau, disebabkan tersebarnya informasi di masyarakat, bahwa Pemda merencanakan pembangunan jalan yang menghubungkan Kecamatan Mancak dengan Kecamatan Cinangka yang membelah kawasan Rawa Danau dalam rangka mengembangkan kawasan wisata Curug Betung. Informasi ini dinilai oleh petani, sebagai “politik belah bambu”.203 Pemerintah menggusur dan mengkriminalisasi petani yang memanfaatkan area konservasi untuk mendapatkan sesuap nasi, pada saat yang sama memberi kesempatan pada pemilik modal memperoleh manfaat dari Rawa Danau untuk mengembangkan bisnisnya. Petani dan aktivitas lingkungan yang memiliki kepedulian terhadap konservasi Rawa Danau, menilai bahwa rencana membelah Rawa Danau sebagai upaya memuluskan jalan bagi konspirasi pemilik modal dan aparat untuk kegiatan
illegal logging. Merujuk pada pendapat Gadgil dan Guha: di negara berkembang environmentalism menyebabkan konflik, termasuk konflik antara para petani dengan pengusaha yang didukung penguasa untuk mendapatkan sumber-sumber produktif. Sehingga konflik lingkungan tampil menjadi bentuk konflik ekonomi. Dalam diskusi dengan pengurus kelompok tani timbul pemikiran, agar kebijakan konservasi ke depan dilakukan dengan memadukan program konservasi 202
Lihat Ricardo Ramirez, ”Memahami Pendekatan-Pendekatan Kolaborasi: Usaha Mengakomodasi Kepentingan Multi Stakeholder” dalam Suporahardjo, (editor), 2005. Manajemen Kolaborasi: Memahami Pluralisme Membangun Konsesus. Bogor: Pustaka Latin. 203
Pengembangan kawasan Wisata Curug Betung yang membelah CA Rawa Danau dinilai oleh bloger sebagai cool bangeut (tindakan keterlaluan yang tidak memiliki apresiasi terhadap nilai sejarah dan ekologi Cagar Alam rawa danau).
155
dan program perberdayaan sosial ekonomi penduduk sekitar kawasan konservasi yang disebut Integrated Conservation and Development Projects ICDPs, atau
Community-Based Natural Resource Management atau bahkan ekopopulis204. Melalui pendekatan ICDPs, pengelolaan konservasi disinergikan dengan pengembangan sosial ekonomi penduduk di sekitar area konservasi. Pilihan pendekatan ini didasarkan pemikiran bahwa pengelolaan konservasi secara
enclavisme cenderung menimbulkan konflik dan menegasikan peran komunitas lokal, yang telah memiliki ikatan sejarah dan ekonomi sebelumnya. Pendekatan eko-fasisme atau ekototaliter dalam pengelolaan konservasi merupakan respon dari gaya hidup negara maju, di mana biodiversity protection dan landscape
beauty menjadi kebutuhan. Sedangkan di Indonesia sebagian besar penduduknya bergelut dengan kemiskinan, mengais rejeki pagi untuk sore hari. Dalam diskusi dengan petani berkembang pemikiran, bahwa pendudukan tanah oleh petani sebagai bentuk reforma agraria dari bawah, di tengah rezim pro
the strong, ternyata menghadapi berbagai kendala. Karena belum terpenuhinya prasyarat yang mendukung keberhasilan reforma agraria.
Reforma agraria
baiknya dilakukan dalam waktu terbatas, persiapan yang matang, petani terorganisir, tekad politik dan pelaksanaan yang terkoordinir. Reforma agraria juga perlu dukungan aparat sipil dan militer yang bersih serta perancang ekonomi pembangunan untuk mempercepat industrialisasi negara secara lebih mandiri. 205 Tekad politik dari penguasa diperlukan, karena reforma agraria terkait erat dengan kekuasaan, siapa yang berkuasa, dialah menjadi pemenangnya. Reforma agraria membutuhkan petani yang terorganisir, karena merekalah sesungguhnya yang berkepentingan secara langsung dengan reforma agraria.206 Pelaksanaan reforma agraria tidak bisa bertumpu pada niat baik penguasa, karena sejarah
204
Borrini-Fayerabend G,Kothari, etl, 2004. Sharing Power, Learning By Doing in CoManagement of Natural Resources Throughout in the World. IIED and IUCN/CEESP, Cenesta,Teheran.
205
Tjondronegoro mengibaratkan kebijakan reforma agraria sebagai suatu pembedahan dalam tumbuh manusia. Tidak nyaman untuk golongan tertentu terutama tuan tanah besar, tetapi menjadi satu-satunya jalan untuk melangkah lebih cepat ke arah industrialisasi dengan cara yang adil. Lihat Sediono M.P.Tjondronegoro, 2001. “Pengelolaan Sumberdaya Agraria: Kelembagaan dan Reforma Agraria” dalam Jurnal Analisis Sosial, Vol.6 No.2 Juli 2001.
206
Noer Faizi, 2003. Bersaksi Untuk Pembaruan Agraria: Dari Tuntutan Lokal Hingga Kecenderungan Global. Yogyakarta: KARSA, KPA dan Insist..
156
penguasa merupakan bagian dari kelompok kepentingan. Dalam diskusi dengan petani terdapat pemahaman syarat keberhasilan reforma agraria belum terdapat dalam struktur politik pemerintahan dan organisasi petani. Reforma agraria juga belum menjadi strategi pembangunan dan pemenuhan kebutuhan tanah belum dipandang sebagai bagian hak azasi manusia.207 Kelompok petani yang tidak terorganisir dan belum memiliki basis ideologis yang solid, sulit untuk melakukan kerja besar seperti reforma agraria. Penggiat petani dan kelompok swadaya masyarakat dengan networking yang lemah, sulit membangun aliansi kekuatan dan menjadi penyeimbang efektif pemerintah. Sebaliknya orientasi dan gerakan lembaga swadaya yang terlibat pemberdayaan petani bersifat asosiatif atau paralel208 yang mengakibatkan isu-isu utama reforma agraria terkooptasi dan terhegemoni oleh negara.
7.4.4. Pembayaran Jasa Lingkungan Dan Kepedulian Semu Kekhawatiran masyarakat pada berbagai dampak yang ditimbulkan oleh deforestasi melahirkan pemikiran perlunya membangun hubungan hulu hilir dalam kawasan daerah aliran sungai (DAS) melalui mekanisme pembayaran jasa lingkungan (Payment for Environment Services). Jasa lingkungan dalam kawasan DAS adalah ketersediaan air yang memadai. Kerjasama hulu hilir di DAS Cidanau diwujudkan dalam bentuk pembayaran jasa lingkungan yang dilakukan oleh pemakai jasa lingkungan di hilir ke ptani di hulu. Dewasa ini jasa lingkungan berupa carbon sequestration dan biodiversity sudah menjadi komoditas transaksi jual beli jasa lingkungan antar negara, seperti moratorium kehutanan antara Indonesia dengan Norwegia.
207
Gunawan Wiradi,2001. “Reforma Agraria Tuntutan Bagi Pemenuhan Hak Azasi Manusia” dalam Jurnal Analisis Sosial, Vol.6 No.2 Juli 2001. Erpan Faryadi, 2002. “Tanpa Reforma Agraria, Tidak Akan Ada Hak Atas Pangan” dalam Jurnal Analisis Sosial, Vol. 7.3 Desember 2002. 208 Orientasi gerakan LSM asosiatif dan paralel ditandai adanya kerjasama atau dibentuk untuk kepentingan pelaksanaan program pemerintah, sehingga isu-isu reforma agraria tidak menjadi fokus gerakan. Lihat Onny Prijono, 1995. “Peran Organisasi Nirlaba, Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat serta Pola Interaksi dengan Pemerintah” dalam Bantarto Bandono, et.al. Refleksi Setengah Abad Kemerdekaan Indoensia. Jakrta: CSIS.
157
Jasa lingkungan di DAS Cidanau berbentuk penyediaan air baku, yang dihasilkan oleh komunitas petani hutan di hulu DAS, kemudian dimanfaatkan oleh berbagai instansi pemerintah dan perusahaan di wilayah barat Provinsi Banten. DAS Cidanau merupakan sumber air baku satu-satunya yang dapat memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat dan industri di kota Cilegon. Industri yang memanfaatkan air DAS Cidanau antara lain PT Indonesia Power (anak perusahaan PLN) yang menjadi produsen listrik untuk Jawa dan Bali dan PT Krakatau Steel (industri baja yang menjadi hulu bagi aneka industri strategis di wilayah Cilegon, Merak, Serang dan JABOTABEK). Kesediaan pemakai jasa lingkungan di hilir membayar jasa lingkungan, merupakan apresiasi dan insentif bagi kelompok tani yang melaksanakan sistem olah tanah konservasi. Pembayaran jasa lingkungan dapat menjadi insentif (reward) bagi petani, manakala nilainya minimal sama atau lebih besar dari biaya yang dikeluarkan petani. Paling tidak, komunitas petani yang terlibat dalam sistem olah tanah konservasi, memiliki kemampuan ekonomi minimal untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan. Kecukupan kebutuhan minimal akan mengurangi tekanan dan godaan petani menebang kayu lebih awal dan mempertahankan sistem olah tanah konservasi di hulu DAS. Dari sejumlah pemakai jasa lingkungan di hilir yang bersedia membayar jasa lingkungan ke produsen jasa lingkungan di hulu, hanya PT Krakatau Tirta Industri (PT KTI, anak perusahaan industri baja PT Krakatau Steel). Pembayaran jasa lingkungan oleh PT KTI kepada petani dikelola oleh Forum Komunikasi DAS Cidanau (FKDC), sebuah lembaga yang digagas pemerintah bersama (International Institute for Environment and Development (IIED) dan LP3ES. Pengurus FKDC terdiri dari instansi sektoral yang ditunjuk pemerintah daerah dan pengurus LSM Rekonvasi Bumi. Dalam statutanya pengurus FKDC bertugas sebagai fasilitator antara petani (penghasil jasa lingkungan) dengan PT KTI (pemakai jasa lingkungan). Dalam Perjanjian Pembayaran Jasa Lingkungan, disebutkan PT KTI bersedia membayar jasa lingkungan kepada petani selama lima tahun, dua tahun pertama sebesar Rp. 175 juta per tahun dan tiga tahun berikutnya akan
158
dinegosiasikan kemudian. Kesepakatan FKDC dan KTI dituangkan dalam naskah perjanjian pembayaran jasa lingkungan, yang berisi penjelasan prinsip pembayaran jasa lingkungan: (a) pencemar membayar (polluter’s pay); (b) tertutupnya biaya jasa lingkungan (willingness to pay/opportunity cost); (c) prinsip sukarela (voluntary). Jenis jasa lingkungan yang menjadi sumber pembayaran jasa lingkungan, adalah sumber daya air. Pemanfaat jasa lingkungan adalah masyarakat, industri, pemerintahan, lembaga lain yang menerima manfaat dari produk jasa lingkungan DAS Cidanau secara langsung maupun tidak langsung. Penghasil jasa lingkungan adalah masyarakat/lembaga yang berada di DAS Cidanau yang karena upayanya menghasilkan produk jasa lingkungan. 209
Dalam perjanjian tersebut dinyatakan, anggota kelompok petani hutan di Desa Citaman dan Cibojong menerima pembayaran jasa lingkungan sebesar Rp 1,2 juta per hektar tiap tahun selama lima tahun. Selanjutnya, petani akan menerima pembayaran jasa lingkungan minimal Rp 2,5 juta per hektar per tahun dengan jumlah tanaman tidak kurang dari 200 batang pada akhir tahun kelima. Persyaratan kondisi tanaman yang harus dipenuhi oleh petani untuk menerima pembayaran jasa lingkungan adalah: (1) pada setiap tahapan pembayaran selama masa kontrak, jumlah tanaman yang ada dan tumbuh dengan baik per hektar tidak kurang dari 500 (lima ratus) batang; (2) batasan tanaman yang tumbuh dengan baik ditentukan oleh tinggi dan diameter yang disesuaikan dengan umur tanaman; (3) untuk tanaman yang mati akibat unsur alam, hama dan penyakit harus diganti dan dibuatkan berita acara pada kelompok tani dengan diketahui oleh Ketua Tim Ad Hoc; (4) peta situasi lahan dan tanaman kelompok tani harus menginformasikan tata letak pohon yang diberi notasi nomor dan informasi jenis tanaman; (5) tata letak tanaman yang masuk dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan harus tersebar secara merata; (5) Tim verifikasi akan mengamati contoh areal yang diverifikasi minimal 10% dari luas areal yang dikelola oleh petani dan dipilih secara acak. 210
Pembayaran jasa lingkungan oleh PT KTI kepada Kelompok Tani Hutan di Desa Citaman dan Desa Cibojong, merupakan fondasi untuk pengelolaan DAS secara terpadu antara hulu dan hilir di DAS Cidanau.
Dari diskusi dengan
sejumlah kelompok tani, ternyata mekanisme pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau kurang mengapresiasi dan melibatkan kelompok tani. Yurisdiksi atau
rumusan
aturan
mekanisme
Pembayaran
Jasa
Lingkungan,
tidak
memperhatikan aspek representasi. Akibat yurusdiksi tanpa representasi, maka 209
Forum Komunikasi DAS Cidanau, (FKDC) 2005.
210
Forum Komunikasi DAS Cidanau,(FKDC), 2005.
159
petani sebagai penghasil jasa lingkungan kedudukan, hak dan kewajibannya ditentukan secara sepihak oleh FKDC bersama KTI. Menurut penilaian petani terdapat sejumlah aturan dan mekanisme untuk mendapatkan pembayaran jasa lingkungan dipandang memberatkan petani dan tidak adil. Salah satu ketentuan yang memberatkan petani adalah: ”Apabila jumlah pohon yang terdapat dalam area mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang dikelola petani dinyatakan kurang oleh Tim Verifikasi, maka secara tanggung renteng petani tidak akan menerima pembayaran jasa lingkungan untuk periode yang sudah jatuh tempo”. Ketentuan ini dinilai petani tidak adil dan cenderung sewenang-wenang. Kekhilafan salah satu anggota kelompok mengakibatkan semua petani batal menerima pembayaran jasa lingkungan. Ketentuan FKDC dan PT KTI dinilai Kelompok Tani Hutan, tidak menghargai jerih payah dan biaya yang telah dikeluarkan petani. Pemberlakuan tanggung renteng dalam pembayaran jasa lingkungan dinilai Kelompok Tani Hutan sebagai gebyah uyah (penyamarataan yang tidak proporsional dan tidak adil). Aturan lainnya yang dinilai petani menunjukkan arogansi “pembeli” (KTI), adalah nilai insentif jasa lingkungan kepada petani sangat kecil. Dalam ungkapan seorang petani: ”jumlah uang yang diterima hanya cukup untuk upah ngored lima hari.”211 Nilai jasa lingkungan yang diterima petani dari PT KTI tiap bulannya, lebih kecil dari biaya perjalanan dinas pengurus FKDC sehari.212 Ketentuan
lain
yang
dinilai
kelompok
petani
sebagai
cermin
ketidakpedulian pemerintah terhadap jasa lingkungan adalah pembayaran jasa lingkungan secara “proyek” dan birokratis. Sistem pembayaran jasa lingkungan kepada Kelompok Tani Hutan, mengikuti pencairan dana proyek dan dibayar
211
Bandingkan dengan skema pembayaran jasa lingkungan di Kosta Rika: konservasi hutan produksi koridor biodiversity dibayar 212 dollar/ha AS dengan kontrak lima tahun. Pengelolaan hutan lestari dibayar 327 dollar/ha AS dengan kontrak 15 tahun, dan penghutanan kembali 527 dollar/ha AS, dengan kontrak 15 tahun. Masyarakat yang mengembangkan agroforestry dibayar 1 dollar AS per batang pohon yang ditanam dengan jumlah maksimal 3.500 batang. Dengan nilai insentif jasa lingkungan tersebut maka sumberdaya hutan menjadi sumber mata pencaharian dan sumber ekonomi bagi komunitas sekitar hutan. Sunderlin. 2003. Forests and Poverty Alleviation. In: FAO. State of the World‘s Forests 2003. Rome, Italy, FAO. 61-73. http://www.fao.org. 212
Pengurus FKDC selain mendapat honorarium setiap bulan Rp. 150.000 ,- (seratus lima puluh ribu) juga mendapat lumpsum sebesar Rp 150.000, per hari dalam melakukan perjalanan dinas dan biaya operasional: biaya evaluasi, dokumentasi dan rapat. Sumber FKDC,2005.
160
dalam tiga tahap dalam setahun. Tahap pertama dan kedua 30 persen dan tahap ketiga 40 persen dari nilai total yang diterima petani. Masing-masing tahapan itu harus dihadapi petani dan untuk mencairkannya harus melalui prosedur birokrasi yang berlit-belit. Sementara untuk mendapatkan hasil dari kerja kerasnya menanam tanaman kehutanan, petani harus “berpuasa” (menahan menjual kayu) selama lima tahun. Dalam menyikapi ketentuan tersebut, ternyata tidak semua Kelompok Petani Hutan sanggup “berpuasa” lima tahun, sehingga melakukan perlawanan, seperti yang dilakukan oleh petani hutan Desa Cibojong. Bentuk perlawanan yang dilakukan petani hutan Desa Cibojong adalah menebang kayu durian yang berdiameter sekitar 100 cm. Penebangan kayu durian yang termasuk area Pembayaran Jasa Lingkungan, merupakan puncak kekecewaan petani terhadap mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang dinilai tidak adil. Menurut petani, penebangan kayu tersebut didorong kebutuhan darurat dan tidak menemukan solusi untuk menutup biaya pendidikan anaknya dan modal usaha (membeli motor untuk mengojek). Dalam diskusi dengan pengurus kelompok, berkembang penilaian: “FKDC sebagai fasilititator pembayaran jasa lingkungan tidak berperan sebagai fasilitator independen dan adil, karena lebih berpihak dan menyuarakan kepentingan pemakai jasa lingkungan (KTI) daripada memediasi kepentingan petani. Pembayaran jasa lingkungan oleh KTI bukan didorong oleh tanggung-jawab/moral membantu petani, melainkan untuk memudahkan intervensi dan kontrol terhadap petani di Desa Citaman dan Cibojong.
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa pembayaran jasa lingkungan oleh pemakainya merupakan kepedulian semu (shallow environmental), dalam istilah Sylvan dan Bennet (1994) disebut prudential argument213. Pemberian insentif jasa lingkungan oleh PT KTI, bukan dimaksudkan untuk meningkatkan tarap hidup petani yang terlibat dalam sistem olah tanah konservasi, tetapi dimaksudkan untuk meraup keuntungan berdalih lingkungan. Aspek lingkungan (konservasi hulu DAS) pertimbangan kebijakan bisnis PT KTI, bukan karena kepedulian pada petani yang memiliki tradisi agroforestry untuk konservasi hutan, tanah dan air, melainkan karena kelangsungan bisnisnya, tergantung konservasi 213
Lihat Sylvian Richard dan David Bennet, 1994, The Greening of Ethics, Cambridge: The White House Press
161
sumberdaya air kawasan hulu DAS Cidanau. Hal inilah mendorong KTI memberikan insentif lingkungan kepada petani di Desa Citaman dan Desa Cibojong. Dari diskusi bersama tokoh masyarakat berkembang asumsi, bahwa pembayaran jasa lingkungan oleh pemakai jasa kepada petani, menjadi instrumen politik dan ekonomi dalam upaya memonopoli penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya air di kawasan DAS Cidanau. Asumsi itu didasarkan atas indikasi antara lain: (1) PT KTI memonopoli pemasokan kebutuhan air industri yang bernaung dibawah PT Kratau Steel dan PDAM Serang dan Cilegon. (2) Hengkangnya PT. Tirta Investama yang membangun pabrik air minum dalam kemasan (AMDK) di Desa Curug Goong Kecamatan Padarincang dan batalnya Danone mengeksploitasi Cekungan Air Bawah Tanah (CABT) Rawa Danau. Hengkangnya Tirta Investama disebabkan pembatalan izin operasional yang telah diberikan Pemda. Kuat dugaan pembatalan
izin tersebut, karena pemerintah
mendapat tekanan dari pihak tertentu yang berkepentingan terhadap monopoli penguasaan sumberdaya air. Di tengah upaya mendatangkan investasi, pemerintah terpaksa bersikap tidak konsisten dan membatalkan izin beroperasinya Tirta Investama, pabrik air minum dalam kemasan (AMDK) di Desa Curug Goong Kecamatan Padarincang. Mengingat pemberian izin usaha Tirta Investama disertai dengan beredarnya informasi kesediaan Tirta Investama untuk memberi kompensasi yang wajar kepada warga, maka pembatalan izin itu bukan hanya menunjukkan ketidakkosistenan pemerintah dalam mendatangkan investasi, juga menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Di
satu sisi mengizinkan penyedotan air tanah oleh
perusahaan AMDK, di sisi lain AMDK Tirta Investama dilarang beroperasi.
Dominasi Birokrasi dan Kooptasi Civil Society Associations (CSA) Pencabutan izin operasional Tirta Investama bukan hanya menunjukkan bahwa pemangku otoritas gagal mewujudkan politik tata kelola sumberdaya agraria yang berkeadilan. Karena pemangku otoritas di tingkat lokal dan regional, tidak memberikan kesempatan yang setara dan demokratis terhadap tiap pelaku usaha untuk memanfaatkan sumberdaya air di kawasan DAS Cidanau. Perlakuan
162
yang tidak adil, tidak hanya dialami oleh pelaku usaha tetapi perlakuan tidak setara, juga dialami kelompok tani hutan dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan. Petani yang terlibat dalam aktivitas agroforestry sebagai penghasil jasa lingkungan diposisikan inferior, sebaliknya pemangku otoritas menempatkan PT KTI sebagai superior. Perlakukan tidak setara dan tidak domokratis tercermin dari peran kelembagaan dan proses pengambilan keputusan FKDC. Pada awalnya FKDC dibentuk sebagai fasilitator independen untuk mewadahi berbagai kepentingan dalam rangka pengelolaan DAS terpadu. Tetapi karena pengurusnya didominasi oleh pejabat dan mantan pejabat, serta operasionalnya bersumber dari anggaran Pemda, mengakibatkan keberadaan FKDC dan keputusannya tidak aspiratif dan tidak representatif. FKDC lebih berperan menjadi penyalur kepentingan pemerintah dan PT KTI daripada fasilitator independen yang menyuarakan kepentingan petani. Untuk memperjuangkan kepentingannya, seperti pengambilan keputusan tentang mekanisme pembayaran jasa lingkungan dan nilai pembayaran yang wajar, petani merasaa harus berjuang “berjuang sendirian.” Sebagian aparat bersikap negatif terhadap pembayaran jasa lingkungan kepada petani, bahkan ada yang menilai sebagai “kemewahan” yang tidak pantas. Penilain tersebut menunjukkan bahwa, kepedulian aparat untuk melayani petani dan menjadi ”penyambung lidah rakyat,” masih rendah. Rendahnya apresiasi dan pelayanan instansi sektoral dan aparatnya terhadap komunitas petani, menjadi kendala tumbuhnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Pelayanan dan partisipasi merupakan dua aspek yang saling berkaitan, pelayanan yang baik akan menimbulkan partisipasi, sebaliknya partisipasi masyarakat akan tinggi bila pelayanan yang diberikan aparat pemerintah baik dan memuaskan. Dapat dikatakan pelayanan pemerintah yang baik dan partisipasi masyarakat yang tinggi, menggambarkan sistem tata kelola sumberdaya yang baik (good
governance resources management). Sebaliknya pelayanan yang buruk dan partisipasi masyarakat yang rendah, menggambarkan sistem tata kelola sumberdaya yang buruk (bad governance resources management). Secara umum sistem tata kelola sumberdaya yang baik cenderung berkelanjutan dan sebaliknya sistem tata kelola sumberdaya yang buruk cenderung tidak berkelanjutan.
163
Berdasarkan pemikiran tersebut sistem tata kelola jasa lingkungan dan DAS Cidanau dapat digambarkan dalam bentuk kuadran, seperti pada gambar 9. Tata Kelola DAS yang Baik
Setengah Berkelanjutan II Terkendala Pelayanan Pelayanan Rendah III Tidak Berkelanjutan
Berkelanjutan I Tata Kelola DAS yang Baik Pelayanan Tinggi IV Setengah Berkelanjutan Terkendala Tata kelola baik
Tata Kelola DAS Yang Buruk Gambar 9 Bentuk Kelembagaan Tata Kelola DAS
Garis vertikal menunjukkan dari tidak berfungsi sampai berfungsinya tata kelola DAS yang baik. Garis ordinat menggambarkan tingkat keberhasilan pengelolaan pelayanan dari rendah sampai tinggi. Perpotongan garis vertikal dan ordinat membentuk suatu kuadran/tipologi tata kelola jasa lingkungan dan DAS. Kuadran I merupakan ruang yang menggambarkan keseimbangan pelayanan dan partisipasi tinggi dan berjalannya prinsip tata kelola jasa lingkungan dan DAS yang baik atau merupakan gambaran bentuk tata kelola jasa lingkungan dan DAS berkelanjutan. Kuadran II merupakan ruang yang menggambarkan keseimbangan pelayanan dan partisipasi rendah, tetapi berjalannya prinsip tata kelola jasa lingkungan dan DAS yang baik. Kuadran ini merupakan gambaran bentuk tata kelola jasa lingkungan dan DAS setengah berkelanjutan karena terkendala pelayanan yang rendah. Kudran III merupakan ruang yang menggambarkan pelayanan dan partisipasi rendah dan tidak berjalannya prinsip tata kelola jasa lingkungan dan DAS yang baik. Kuadran ini merupakan gambaran bentuk tata kelola jasa lingkungan dan DAS tidak berkelanjutan. Kuadran IV merupakan ruang yang menggambarkan keseimbangan pelayanan dan partisipasi tinggi, tetapi prinsip tata kelola jasa lingkungan dan DAS tidak berjalan baik. Kuadran ini merupakan gambaran bentuk tata kelola jasa lingkungan dan DAS setengah berkelanjutan, karena terkendala prinsip tata kelola jasa lingkungan dan DAS yang baik.
164
Rendahnya partisipasi masyarakat dan pelayanan yang kurang baik dari FKDC, disebabkan pengambilan keputusan dan kepengurusan FKDC didominasi oleh birokrasi dan mengabaikan aspirasi dan partisipasi masyarakat. Yurisdiksinya dirumuskan tanpa partisipasi dan representasi partisipan, termasuk civil society
associations (CSA). Hegemoni dan dominasi birokrasi ditunjukkan dengan pembentukan kelompok sosial berdasarkan komoditi, kelompok berbasis kepentingan
(Kelompok Lebah Madu, Petani Pemakai Air dan Lembaga
Masyarakat Desa Hutan, LMDH). Kelompok-kelompok sosial “bentukan dari atas” dan LSM yang terkooptasi, tidak memiliki basis ideologi dan menjadi motor penggerak untuk melakukan kerja-kerja kreatif. Pola interaksi dan gerakannya dengan pemerintah bersifat pragmatis, akomodatif atau paralel serta tidak mampu mengambil jarak dan bersikap kritis terhadap pemerintah. Dari diskusi dengan pengurus Kelompok Tani Hutan dan tokoh masyarakat, gambaran interaksi LSM lingkungan hidup dengan pemerintah di DAS disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Pola Interkasi Gerakan Lingkungan Hidup Dengan Pemerintah No 1 2 3
Orientasi Lembaga Pemerintah Program Pembangunan
Pola Interaksi Gerakan Lingkungan Hidup dan Pemerintah Asosiatif Sangat dekat - Dependen - Integratif
4
Kebijakan Pemerintah
Melaksanakan Mendukung
5
Sumberdana Pemerintah
Dependen
Paralel Mitra sejajar -Interdependen -Komplementer -Independen -Mendukung -Mempengaruhi - Korektif -Dependen -Independen
Konfliktual Mengambil jarak -Independen -Menentang - Korektif - Menentang Independen
Dari Tabel 10 ditunjukkan bahwa gerakan LSM Lingkungan Asosiatif dan Paralel senantiasa orientasinya melaksanakan, mendukung dan terintegrasi dengan program pemerintah. Young menyebut gerakan lingkungan yang asosiatif dan paralel sebagai suplementary atau compelementary,214 dalam istilah Korten
214
Dari studinya di empat negara: Amerika Serikat, Inggris, Israel dan Jepang, Young menyatakan relasi pemerintah dengan LSM lingkungan dibedakan atas suplementary, compelementary dan adversarial. Young, Dennis R. 2000. “Alternative Model of Government-Nonprofit Sector Relations: Theoritical and International Perspevtives” in Nonprofit and Voluntary Sector Quarterly, vol 29, No. 1 March 2000.
165
berorientasi community development.215 LSM atau gerakan lingkungan asosiatif dan paralel dekat dan menjadi mitra pemerintah, bahkan program kerjanya seringkali dependen atau kompelementer dengan program pemerintah. Hal ini terkait dengan aktivitas gerakannya bersumber dari dana pemerintah. Akibatnya mereka tidak memiliki energi mengusung isu-isu lingkungan secara komprehensif dan radikal, karena terkooptasi dan terhegemoni oleh arus utama politik lingkungan negara yang semu. Gerakan lingkungan kategori ini oleh Ranjit LSM disebut gerakan lingkungan berorientasi pada mata pencaharian.216 Sepak terjang dan gerakan LSM demikian dapat menjadi mimpi buruk bagi terwujudnya politik agraria berkeadilan, tata kelola sumberdaya dan DAS yang baik, dan pengelolaan jasa lingkungan yang partisipatif dan keberlanjutan.
7.5. Ikhtisar Politik agraria bidang kehutanan yang berorientasi betting on the strong diakui berdampak positif terhadap perolehan devisa negara, menggelembungnya "dompet pemerintah pusat". Tetapi arah dan orientasi politik kehutanan tersebut tidak meneteskan kemakmuran,
kurang mempertimbangkan manusia sebagai
komponen ekosistem hutan dan peranserta masyarakat lokal dalam tata kelola sumberdaya hutan. Hal ini disebabkan peraturan perundang-undangan, kebijakan pendukung dan pelaksanaan pengelolaan hutan,
menempatkan manusia dan
masyarakat lokal sebagai “sumber gangguan” dan bukan kunci keberhasilan pembangunan kehutanan. Pengabaian manusia dan masyarakat, ditunjukkan dengan adanya stigmatisasi masyarakat sekitar hutan : ”the other, orang pasisian dan perambah hutan”.
Rasionalitas hukum dan stigmatisasi tersebut
mengakibatkan tidak tersedianya akses masyarakat, penyempitan ruang hidup dan peluruhan kelembagaan masyarakat sekitar hutan.
215
Korten mengidentifikasi LSM lingkungan atas lima kategori Relief and Welfare, Community Development, Sustainble System Devolopment, People’s Movement and Empower People. Lihat Korten, David, C. 1988. “LSM Generasi Keempat: Fasilitator Gerakan Kemasyarakatan”, Prisma XVII, No. 4.
216
Dwivedi, Ranjit, 2001.”Environmental Movements in the Global South: Issues of Livelihood and Beyond”, in International Sociology, March 2001, Vol 16 (1).
166
Proses peluruhan kelembagaan lokal di hulu DAS Cidanau berlangsung secara sistemik,
terjadi di aras sistem (peraturan perundang-undangan), aras
organisasional dan aras perilaku individual agensi. Peluruhan
kelembagaan
komunitas oleh kekuatan supralokal mencakup aspek kelembagaan buyut dan
liliuran,
etika konservasi dan kearifan lokal. Dampak dari proses peluruhan
secara sistemik adalah penggusuran petani, tampilnya agensi sebagai predator, enclavisme, relokasi petani secara exsitu dan kepedulian semu terhadap jasa lingkungan.
Hal
ini
menggambarkan
ketidakmampuan
pemerintah
menyelenggarakan politik tata kelola sumberdaya hutan dan DAS yang berkeadilan dan berkelanjutan dan gagal mewujudkan tujuan konstitusional politik agraria sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kekhawatiran yang ditimbulkan oleh aktivitas deforestasi dan degradasi hutan dan kawasan hulu DAS Cidanau, melahirkan pemikiran perlunya membangun ”rumah bersama” dan jejaring hubungan hulu hilir DAS Cidanau secara terpadu melalui pembayaran jasa lingkungan. Tetapi karena ”rumah bersama” tersebut fondasinya kurang kokoh, prosedur dan mekanismenya tidak demokratis dan posisi relasi antar pemangku kepentingan tidak setara, maka pembayaran jasa lingkungan kepada petani di DAS Cidanau, masih jauh dari upaya peningkatan kesejahteraan petani hutan, pemberdayaan petani dan pengembangan agroforestry yang kondusif untuk konservasi hulu DAS.
167
BAB VIII URGENSI PENGUATAN KELEMBAGAN LOKAL DAN POLITIK AGRARIA TRANSFOMATIF 8.1. Pendahuluan Dalam uraian sebelumnya dijelaskan bahwa interaksi negara desa diwarnai dengan proses kapitalisasi negara dan pedesaan serta peluruhan kelembagaan komunitas. Dampak dari kapitalisasi negara dan pedesaan mengakibatkan penyelenggara negara gagal mewujudkan tujuan politik agraria untuk sebesarsebesarnya kesejahteraan rakyat dan tidak mampu membangun kelembagaan tata kelola DAS yang terpadu berkelanjutan dan partisipatif. Berpangkal tolak dari temuan empirik tersebut, fokus dari bab ini menguraikan implikasi dan proyeksi untuk penguatan kelembagaan komunitas dan politik agraria transformatif.
8.2. Urgensi Penguatan Kelembagaan Lokal Peluruhan kelembagaan lokal yang berlangsung secara sistemik, maka upaya penguatannya perlu dilakukan secara sistemik pula. Merujuk pada Giddens (2004),217 penguatan kelembagaan lokal memerlukan perubahan struktur dimensi signifikansi, otoritatif, alokatif dan legitimasi atau perubahan rasionalitas ekososial yang ditawarkan Groz dan reformasi rasionalitas komunikasi yang dikemukakan Habermas. Perubahan struktural signifikasi, otoritatif, alokatif dan legitimasi didorong oleh kenyataan empirik bahwa legitimasi,
paradigma signifikasi, otoritatif, alokatif dan
yang menjadi dasar rekayasa sosial dan pembangunan pedesaan,
terbukti melahirkan perlakuan kurang manusiawi (dehumanisasi) dan alienasi masyarakat. Penguatan kelembagaan komunitas juga mensyaratkan adanya perubahan rasionalitas dan bangunan ilmu pengetahuan sosial modernis dan positivis, karena rasionalitasnya yang bertumpu rasionalitas utility maximum mendorong pemanfaatan sumberdaya secara eksploitatif dan tidak ramah lingkungan. Struktur signifikansi, otoritatif, alokatif yang dibangun atas atas dasar
rasionalitas utility maximum dalam pengelolaan sumberdaya dan pemberdayaan 217
Anthony Giddens, 2004, The Constitution of Society: Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial. Pasuruan: Pedati, p.39.
168
masyarakat diposisikan hanya sebagai obyek dan komoditas semata-mata. Pengembangan dimensi manusia sebagai “homo-economicus” lebih menonjol dari dimensi dan jati dirinya sebagai “homo-ecologicus” dan “homo-
sociologicus”. Pengarus-utamaan dimensi manusia sebagai “homo-economicus” adalah terbatasnya ruang kultural, tidak tersedianya ruang bagi tumbuhnya kearifan lokal dan kelembagaan parsipatori dalam masyarakat. Dari segi ini perubahan struktural signifikasi, otoritatif, alokatif dan legitimasi dimaksudkan untuk membebaskan sumberdaya dan kelembagaan komunitas dari penetrasi kekuatan ekonomi dan politik supra lokal. Merujuk pada Habermas, pembebasan komunitas dari cengkraman kekuatan supralokal yang menindas hanya mungkin dilakukan, jika terjadi perubahan rasionalitas komunikasi antara negara dengan warga negara atau perubahan rasionalitas dari
rasionalitas utility maximum menuju utility maximising manner. Sebab selama ini komunikasi negara dengan warga negara seperti halnya dengan komunitas sekitar hutan bersifat searah, dominatif dan hegemonik. Pola komunikasi demikian cenderung memposisikan komunitas sekitar hutan menjadi objek kepentingan supra lokal (negara dan pasar) dan tidak menjadi bagian dari stakeholder kehutanan dan kelembagaan pengelolaan DAS. Penempatan komunitas sekitar hutan sebagai “obyek” dan the other berakibat penegasian hak sosial, sejarah dan hak kepribumiannya. Memposisikan mereka sebagai “obyek” dan the other berdasarkan rasionalitas hukum positif menyebabkan tidak dapat memperoleh akses dan manfaat ekonomi dari sumberdaya hutan yang berada di sekitarnya. Dengan posisinya sebagai the other, komunitas sekitar hutan bahkan
merupakan out group dari kelembagan kehutanan,
distigmatisasi sebagai perambah hutan, urang pasisian, atau urang
leuweung” dan predikat lainnya yang negatif. Tradisi dan praktik tata kelola sumberdaya hutan yang berkontribusi terhadap pelestarian plasma nutfah, tidak mengantarkannya menjadi mitra pemerintah dalam pengelolaan dan pelestarian sumberdaya hutan. Sebaliknya mereka dipersepsi sebagai sumber gangguan atau kendala untuk kegiatan konservasi dan eksploitasi sumberdaya hutan atau dipandang tidak sejalan dengan arus utama dan kepentingan ekonomi supralokal (negara dan pasar) dalam pengelolaan sumberdaya hutan.
169
Berangkat dari pemikiran di atas, maka penguatan kelembagaan komunitas sekitar hutan dirumuskan sebagai berikut:
Pertama merujuk pada pandangan Habermas, penguatan kelembagaan komunitas mensyaratkan perubahan rasionalitas komunikasi antara negara dengan warga negara dan antara pemangku otoritas kehutanan dengan komunitas sekitar hutan. Rasionalitas komunikasi yang ditawarkan Habermas adalah pola komunikasi antar komunikan (segenap pemangku kepentingan termasuk masyarakat) berbasis kepercayaan (trust), kebenaran (truth), ketepatan (rightness), komprehensibilitas (comprehensibility) dan kejujuran (sincerety). Dari segi ini maka stigmatisasi komunitas sekitar hutan sebagai perambah hutan, urang
pasisian, atau urang leuweung dan memposisikan mereka sebagai the other atau out group,
menggambarkan pola komunikasi yang bertentangan rasionalitas
komunikasi yang ditawarkan Habermas.
Kedua penguatan komunitas sekitar hutan mensyaratkan adanya perubahan paradigma dalam pembangunan kehutanan dan rasionalitas dalam mempersepsi dan memposisikan kelembagaan komunitas sekitar hutan. Paradigma pengelolaan hutan berbasis ekonomi (kayu) dan menempatkan sumberdaya hutan sebagai komoditi semata-mata, tidak kondusif untuk pembangunan hutan berkelanjutan. Pemanfaatan sumberdaya hutan dengan sistem tebang pilih, lebih bijak daripada pengelolaan hutan berskala besar oleh pemilik modal. Demikian juga sikap prejudice pemangku otoritas terhadap komunits sekitar hutan sebagai perambah hutan, urang pasisian, atau urang leuweung tidak mendukung program pemberdayaan
dan
peningkatan
kesejahteraan
komunitas
sekitar
hutan.
Pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan akan bermakna jika ditempatkan sebagai stakeholder dan bagian tak terpisahkan dari ekosistem sumberdaya hutan. Perubahan paradigma dalam pengelolaan hutan dan cara pandang terhadap komunitas sekitar hutan relavan dengan dalam menghadapi pemanasan dan perubahan iklim global serta moratorium kehutanan.
Ketiga penguatan kelembagan dan kesejahteraan komunitas sekitar hutan dapat dilakukan melalui akselarasi pengembangan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan moratorium pengeluaran izin konsesi penguasaan hutan kepada pemilik modal. Sejauh ini pengembangan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang difasilitasi
170
oleh Badan Layanan Umum P2H (Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan) yang ditargetkan 5,4 juta hektar
baru mencapai 87.299.89 hektar atau sekitar 1,6
persen. Rendahnya realisasi pengembangan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) disebabkan rendahnya political will dan political action untuk mengalokasikan sumberdaya hutan pada masyarakat. Rendahnya political will dan political action ditunjukkan dari kelembagaan dan prosedur perijinan pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) kepada masyarakat yang birokratis. Bila moratorium pengeluaran izin konsesi penguasaan hutan kepada pemilik modal terus berlanjut, sudah selayaknya pengeluaran izin konsesi pemanfaatan hutan mensyaratkan rekomendasi dan pemberian konpensasi yang pantas kepada komunitas sekitar hutan. Rekomendasi dan pemberian konpensasi dimaksudkan untuk penguatan aspek otoritatif dan legalitimasi sekaligus dalam upaya penguatan alokatif (ekonomi) komunitas sekitar hutan. Rekomendasi dan konpensasi berguna untuk memperkuat struktur otoritatif, legitimasi dan posisi tawar menawar masyarakat sekitar hutan berhadapan dengan kekuatan pasar sekaligus sebagai upaya meningkatkan kesejahteraannya. Gagasan dan pemikiran tentang rekomendasi dan konpensasi, didasarkan kenyataan, bahwa ijin konsesi pengelolaan hutan kepada korporasi, selama ini menimbulkan ketidakadilan ekologi dan ekonomi. Pemilik modal berasal dari supra lokal memiliki legitimasi mengeksploitasi hutan, sedangkan hak sosial ekonomi dan hak kepribumian komunitas lokal, dikriminalisasi dan menjadi sasaran aksi polisionil. Kehadiran kekuatan ekonomi korporasi kehutanan yang tidak berkoeksistensi dengan kelembagaan komunitas, menggiring komunitas sekitar masuk perangkap kebijakan kehutanan, menjadi tenaga kuli dan tidak berdaya secara ekonomi dan politik.218 Sehingga kehadiran perusahaan kehutanan bukannya membawa berkah ekonomi, tapi sebalikanya mendatangkan musibah dan bencana ekologi. Sementara itu pengarus uatamaan rasionalitas hukum positif dalam penataan kehutanan memaksa dan menegasikan hak sosial ekonomi komunitas sekitar hutan bahkan menjadi sasaran aksi polisionil.
218
Bank Dunia mencatat ketidaksetaraan (atau ketimpangan) ekonomi yang berlangsung di Indonesia disebabkan konsentrasi kekayaan pada kalangan elit politik dan ekonomi. Masyarakat miskin termarginalkan karena adanya perangkap kebijakan. Bank Dunia, 2006. Laporan Bank Dunia: Kesetaraan dan Pembangunan. Jakarta: The World Bank-Salemba Empat.p. 60-80.
171
Keempat penguatan aspek alokatif dan otoritatif komunitas kawasan DAS menghendaki paradigma pengelolaan DAS atas prinsip partnership based
governance. Rancang bangun kelembagaan dan pelaksanaan prinsip partnership based governance dalam pengelolaan DAS Cidanau diwujudkan melalui pembentukan FKDC dan Perjanjian Kesepakatan Pembayaran Jasa Lingkungan antara FKDC dengan Kelompok Tani Hutan di Desa Citaman dan Desa Cibojong. Tata kelola DAS Cidanau berdasarkan partnership based governance tersebut menjadi sumber inspirasi pembentukan kelembagaan tata kelola DAS di provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, NTT dan provinsi Papua. Meskipun demikian,
peran FKDC dan mekanisme pembayaran jasa
lingkungan di DAS Cidanau, belum menggambarkan kemitraan sejati antar aktor atau pemangku kepentingan hulu hilir. Sejak berdirinya tahun 2003 kepengurusan FKDC didominasi pejabat dan mantan pejabat, yang berkibat FKDC menjadi perpanjangan
tangan
pemerintah
dan
kurang
menyuarakan
kepentingan
masyarakat. Aturan dan mekanisme (yurisdiksi) pembayaran jasa lingkungan disusun tanpa representasi petani. Akibatnya petani sebagai “produsen” jasa lingkungan tidak menerima insentif yang sebanding dengan biaya yang telah dikeluarkannya, tidak berkelanjutan dan terbatasnya jumlah petani dan area kebun yang menjadi obyek jasa lingkungan.
Kelima rancang bangun kelembagaan dan pelaksanaan partnership based governance DAS Cidanau masa yang akan datang, hendaknya diarahkan untuk memperkuat basis partisipasi dan representasi petani dalam FKDC, penambahan jumlah petani dan area kebun yang menjadi obyek jasa lingkungan. Perluasan area kebun yang menjadi obyek jasa lingkungan berguna untuk mempertahankan kawasan hulu DAS Cidanau sebagai pengatur siklus hidrologi hutan dan mencegah bencana banjir. Penambahan jumah kelompok tani yang mendapat pembayaran jasa lingkungan berguna untuk mempertahankan praktik agroforestry dan meningkatkan kesejahteraan petani.
Hal ini mensyaratkan adanya “politik
anggaran hijau” dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Selama ini pemerintah daerah hanya menyediakan anggaran untuk membiayai operasional aparat pemerintah yang bertugas di FKDC, sementara pembayaran jasa
172
lingkungan dilakukan atas dasar “kesukarelaan” (voluntry) dari PT Krakatau Tirta Industri.
Keenam pembayaran jasa kepada petani secara voluntry (kesukarelaan) pemakai jasa jasa lingkungan yakni KTI, hendaknya menjadi stimulus pemerintah dan perusahaan pemakai jasa lingkungan. Oleh karena itu pelaksanaan
partnership based governance dalam pengelolaan DAS Cidanau, hendaknya melibatkan perusahaan lainnya yang memanfaatkan jasa lingkungan DAS Cidanau. Karena dari sejumlah intansi pemerintah dan perusahaan di hilir yang memanfaatkan jasa lingkungan DAS Cidanau, hanya PT Krakatau Tirta Industri yang bersedia membayar jasa lingkungan kepada petani sebagai produsen jasa lingkungan di hulu. Oleh karena itu dalam upaya pengelolaan DAS secara terpadu dan kemitraan antara hulu dan hilir, pemerintah dituntut untuk membuat regulasi dan kelembagaan pembayaran jasa lingkungan secara berkelanjutan dan mengikat berbagai pemakai jasa lingkungan DAS Cidanau. Pelaksanaan partnership based
governance dalam tata kelola DAS Cidanau akan berdampak positif bila pada periode
kedua
ini
Pemerintah
Daerah,
dapat
diwujudkannya
dengan
mengalokasian anggaran untuk pembayaran jasa lingkungan. Supaya semangat pemerintah untuk mendatangkan pemilik modal berinvestasi dalam pemanfaatan hutan diimbangi dengan political action dan pengalokasian anggaran untuk pembayaran jasa lingkungan.
8.3. Menuju Politik Agraria Transformatif Keenam bentuk penguatan kelembagaan komunitas tersebut merujuk pada Capra mensyaratkan perubahan paradigmatik atau dalam istilah Sobhan menuntut adanya politik agraria transformatif dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan kawasan DAS. Perlunya politik agraria transformatif didasarkan pemikiran sebagai berikut:
Pertama politik agraria bidang kehutanan dan pertanian konvensional cenderung membela rasionalitas yang dianut dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan dan kebijakan pendukungnya, meskipun
tidak relevan
dengan masalah sosial ekonomi dan kelembagaan komunitas sekitar hutan.
173
Pembelaan atas rasionalitas hukum positif ekonomi komunitas
mengakibatkan aktivitas sosial
menjadi sasaran aksi polisionil, obyek penggusuran dan
tindak kekerasan serta kriminalisasi sering dipandang sebagai solusi. Akibatnya penanganan masalah sosial ekonomi komunitas sekitar hutan dan penduduk di hulu DAS, tidak memecahkan akar masalah sosiologis dan ekonomi komunitas dan pelestarian sumberdaya hutan dan kawasan DAS.
Kedua politik agraria kehutanan yang diadopsi dari produk hukum kolonial dan kapitalistik, cenderung berorientasi betting on the strong, pro pertumbuhan, tetapi abai terhadap pembangunan kehutanan
berkelanjutan,
pelestarian ekologi (wide ecological sustainability), kelembagaan komunitas dan kearifan lokal. Dampak lebih lanjut dari politik agraria tersebut adalah meluasnya eskalasi konflik agraria, meningkatnya kemiskinan struktural, peluruhan kelembagaan komunitas dan meluasnya deforestasi dan degradasi hutan dan kawasan hulu DAS.
Ketiga politik kehutanan berorientasi “pembangunanisme” menempatkan sumberdaya hutan sebagai komoditas dan sekaligus sebagai enclave (barang antik bagi komunitas sekitar hutan). Sehingga pembangunan kehutanan menimbulkan ketidakadilan ekonomi dan ekologi bagi masyarakat sekitarnya. Di satu sisi, sumberdaya hutan dieksploitasi untuk memacu pertumbuhan ekonomi negara, kapitalisasi negara dan akumulasi kapital pemilik modal. Di sisi lain komunitas yang hidupnya tergantung pada sumberdaya hutan teralienasi dan dimarginalkan. Bahkan dalam rangka kapitalisasi negara, komunitas sekitar hutan, distigmatisasi sebagai perambah hutan, urang pasisian, urang leuweung, dan menjadi sumber gangguan dan kendala pembangunan kehutanan. Ikatan sejarah,
hak sosial
budaya dan ekonomi komunitas sekitar hutan dinegasikan. Demikian juga keberadaan mereka sebagai “pelestari plasma nutfah” diluruhkan secara sistemik. Sementara itu “agensi dan korporasi” kehutanan dari supralokal meskipun diantaranya terindikasi terlibat dalam aktivitas deforestasi dengan mudah mendapat berkah ekonomi dari sumberdaya hutan.
174
Pemikiran politik agraria transformatif yang ditawarkan dalam tulisan ini diakomodasi dari Beck tentang safety state219. Dalam kaitannya dengan pembangunan kehutanan, konsep safety state mencakup tiga hal: (1) penggunaan mekanisme asuransi dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan (2) penegakkan hukum bagi perusak hutan (3) pemberian kompensasi kepada komunitas yang terkena dampak ekonomi dan ekologi akibat eksploitasi sumberdaya hutan. Konsep safety state diperlukan dalam pembangunan kehutanan baik untuk jangka panjang maupun jangka pendek. Dalam jangka panjang konsep safety
state menjadi landasan dalam upaya mewujudkan good resources governance, pembangunan kehutanan berkelanjutan, mengatasi perubahan iklim dan pemanasan global. Sedangkan dalam jangka pendek konsep safety state berguna untuk pemberdayaan komunitas sekitar hutan dan menurunkan tingkat degradasi sumberdaya hutan. Konsep safety state menyediakan landasan yuridis dan teoritis bahwa negara sebagai pemegang hak kuasa dan penentu regulasi kehutanan, memposisikan komunitas sekitar hutan sebagai subyek seperti pemangku kepentingan lainnya. Selama ini komunitas sekitar hutan, diposisikan sebagai obyek semata-mata dari berbagai kekuatan supralokal (penguasa dan pemilik modal nasional dan global), sehingga proses interaksi mereka dengan kekuatan supralokal bersifat hegemonik dan eksploitatif. Dengan statusnya sebagai subyek dalam pengelolaan dan pemanfaatan kehutanan, maka proses interaksinya dengan kekuatan supralokal seyogyanya bersifat setara dan demokratis. Dalam konsep safety state, jika pemerintah mengeluarkan hak konsensi kepada pemilik modal untuk mengeksploitasi sumberdaya hutan, maka komunitas sekitar hutan berhak atas mekanisme asuransi dan kompensasi. Dari segi ini konsep safety state merupakan upaya meminimalkan alienasi komunitas sekitar hutan dan sekaligus solusi atas enclavisme dan komoditifikasi sumberdaya hutan.
219
Lihat Beck, Ulrich, 2000. “Risk Society Revisited: Theory, Politics and Research Programmes” in J. Van Loon (ed). The Risk Society and Beyond Critical Issues for Social Theory. London: Sage.
175
Lemahnya struktur otoritatif dan alokatif atas sumberdaya hutan, menjadi kendala komunitas untuk mendapatkan akses dan peluang memperoleh rejeki atas sumberdaya hutan, tanpa mendapat kompensasi sama sekali, baik dari korporasi dan maupun pemerintah. Politik agraria transformatif bidang kehutanan dapat diwujudkan dalam bentuk tata kelola dan pemanfaatan sumberdaya hutan atas dasar rasionalitas hijau (green rationalism)
atau rasionalitas eko-sosial. Tawaran rasionalitas hijau
didasarkan pemahaman dan kenyataan empirik, bahwa paradigma pengelolaan hutan atas dasar rasionalitas utility maximum, mendorong manusia tenggelam ke dalam “barbarisme baru” dan menempatkan manusia sebagai homo economicus. Sementara dimensi manusia sebagai homo ecologicus diabaikan, yang ternyata berdampak pada dehumanisasi, marginalisasi komunitas, meluasnya deforestasi dan degradasi sumberdaya hutan. Tawaran rasionalitas eko-sosial, karena memadukan perlindungan lingkungan, pemenuhan kebutuhan sosial dan ekonomi. Rasionalitas eko-sosial merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan material dengan cara yang sebaikbaiknya dengan materi sekecil mungkin, yaitu menggunakan barang, tenaga kerja dan modal dengan nilai guna berdurabilitas tinggi. Dalam rasionalitas eko-sosial, prinsip durabilitas lebih diutamakan daripada produktivitas.
Dapat dikatakan
durabilitas sebagai anti tesa atas produktivitas yang diusung rasionalitas utility maximum. Dalam hubungan ini dapat dikatakan bahwa deforestasi dan degradasi sumberdaya hutan di Indonesia pada dasarnya disebabkan politik tata kelola hutan berorientasi pada produktivitas dan pengarus-utamaan rasionalitas utility
maximum. Sementara durabilitas, konservasi, reboisasi dan rehabalitisasi hutan diabaikan atau hanya tambal sulam, serta posisi dan eksistensi manusia sebagai bagian dari ekosistem hutan dimarginalkan. Politik agraria transformatif mensyaratkan transformasi rasionalitas pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan dari rasionalitas utility maximum menuju utility maximum manner. Rasionalitas utility maximum manner kondusif untuk mendorong tumbuhnya tata kelola dan pemanfaatan sumberdaya hutan berkelanjutan, ramah terhadap hutan dan bersahabat dengan komunitas lokal. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan berbasis utility maximum manner
176
akan membantu menekan komoditifikasi dan eksploitasi hutan yang ditujukan semata-mata untuk memacu produktivitas, pertumbuhan ekonomi, kapitalisasi negara dan akmumulasi kapital. Transformasi rasionalitas
dari utility maximum ke utility maximum
manner merujuk pada Habermas mensyaratkan adanya empati dalam komunikasi antara negara dengan warga negara. Komunikasi negara dengan warga negara berpola benevolent - obedient dan hegemonik, bukan hanya tidak solutif tetapi juga problematik dan kontra produktif. Karena itu komunikasi negara dengan warga negara hendaknya berbasis kesetaraan, kebenaran, ketepatan, kejujuran, dan komprehensif. Pola komunikasi demikian idealnya juga menjadi ciri proses interaksi dan komunikasi antar pemangku kepentingan dalam pengelolaan DAS. Aturan main dan mekanisme (yurisdiksi) tata kelola DAS dirumuskan atas dasar representasi, demokrasi dan menyediakan ruang dialog dan partisipasi penduduk sekitar DAS. Interaksi antar pemangku kepentingan yang demokratis dapat menjadi
landsan
untuk
pengelolaan
DAS
kolaboratif
dan
terwudunya
kelembagaan partnership based governance. Sejalan dengan rasionalitas utility maximum manner, maka penguasaan sumberdaya hutan yang terdistribusi pada banyak orang lebih dihargai daripada dikuasi secara oligarki dan elitis. Rasionalitas utility maximum manner mengandung makna, reforma agraria merupakan solusi untuk memperbaiki kehidupan ekonomi komunitas sekitar hutan dan mendorong pertumbuhan agroforestry. Berbeda dengan reforma agraria berbasis rasionalitas utility
maximum yang melahirkan rekonsentrasi penguasaan tanah oleh orang kota, pemilik modal dan kelompok yang diuntungkan oleh proses pembangunan, maka reforma agraria di bawah payung utility maximum manner
ditujukan untuk
redistribusi tanah dan menjadi pintu masuk untuk pemberdayaan sosial ekonomi, menurunkan kawasan sekitar hutan sebagai kantong kemisknan dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Bentuk dan proses reforma agraria komunitas sekitar hutan dapat bervariasi sesuai dengan kondisi ekologi dan ruang spasial dan sosialnya. Misalnya fasilitasi perhutanan sosial, distribusi tanah dan kemudahan akses komunitas terhadap sumber keuangan. Redistrubusi tanah kehutanan bagi
177
komunitas sekitar hutan memerlukan rasionalitas kehutanan, di mana hutan terlantar, tidak produktif dan tanah sengketa, dipetakan dan diidentifikasi sebagai sebagai obyek reforma agraria. Secara yuridis dan kelembagaan, politik agraria transformatif dapat dilakukan melalui penyusunan
peraturan perundang-undangan yang mengikis
habis pendekatan sektoral dan administrasi kewilayahan. Undang-Undang sektoral, seperti kehutanan, sumberdaya air dan lingkungan hidup, sebaiknya diintegrasikan dalam Undang-Undang Pertanahan atau Undang-Undang Pokok Agraria.
Pengintegrasian
peraturan
perundang-undangan
tersebut
dengan
sendirinya mengharuskan adanya transformasi pengaturan undang-undang sektoral, kewenangan pemerintah daerah dan relasi kekuasaan tata kelola sumberdaya hutan, sumberdaya air dan pertanahan (keagrarian). Transformasi ketiga peraturan perundang-undangan tersebut ditujukan untuk meminimalkan konflik kepentingan, menekan konflik agraria, kontestasi sektoral dan mewujudkan tujuan politik agraria yang diamanatkan konstitusi untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.
178
BAB IX
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan pembahasan yang dijelaskan pada bab sebelumnya, maka pada bagian ini dirumuskan kesimpulan dan implikasinya terhadap politik tata kelola sumberdaya hutan dan kawasan DAS. 9.1. Kesimpulan
Pertama, tata kelola sumberdaya agraria berbasis kelembagaan lokal mengandung visi dan orientasi mengenai produksi dan konservasi secara terintegrasi. Visi dan orientasinya terkandung dalam konsepsi buyut dan pipeling yang berfungsi sebagai mekanisme, rangkaian hak (bundle of rights) dan aturan main yang mengedepankan keselarasan kebutuhan manusia dan keberlanjutan sumberdaya (wide ecological sustainability). Pemanfaatan sumberdaya yang melebihi daya dukung (carrying capacity) dan daya lenting (resilience), sama dengan menghancurkan diri sendiri karena manusia merupakan bagian dari ekosistem. Dalam kegiatan berladang dan berkebun, praktik dan tata kelola sumberdaya berbasis kelembagan dan kearifan lokal, diwujudkan melalui system olah tanah gilir balik, ngaseuk, coo benih, pemberantasan hama ramah lingkungan, masa tanam mengikuti daur musim dan pergiliran tanaman. Kelembagaan buyut, pipeling dan liliuran di hulu DAS Cidanau sejalan dengan ciri kelembagaan parsipatori yang dikemukakan Up Hoff, yakni tumbuh dari akar rumput, terintegrasi dengan kehidupan sosial, ekonomi, tradisi dan berkembang sesuai kondisi ruang spasial dan ekologi lokal. Praktik dan tradisi tata kelola sumberdaya komunitas petani di hulu DAS Cidanau mengukuhkan pendapat Redfield, yakni merupakan komunitas dinamis dan adaptif dengan dinamika sosial ekonomi di luar komunitas. Mereka bukan hanya aktif dalam aktivitas agroforestry dan menjadi produsen komoditas perkebunan, tetapi juga terlibat dalam proses politik dan menjadi bagian dari partai politik tertentu dan memiliki ikatan emosional dengan penguasa dan elit pada aras lokal, regional dan nasional. Persistensi dan adaptabilitas kelembagaan buyut, pipeling dan liliuran di hulu DAS Cidanau sebelum berlangsungnya kapitalisasi negara dan sumberdaya
179
hutan, menggambarkan kelembagaan komunitas yang dikemukakan Scott (1989), yakni berperan sebagai “asuransi terselubung” dan menjadi “energi sosial” dalam mengatasi masalah-masalah kehidupan.
Kedua kontestasi kelembagaan lokal dengan supra lokal memiliki latar belakang historis dan berkaitan dengan dinamika politik nasional dan global, karena kebijakan dan dinamika politik pada pentas nasional berimplikasi luas pada aspek sosial ekonomi dan politik aras lokal. Kontestasi sektoral dan kontestasi lokal-supralokal menegasikan
kelembagaan
komunitas,
karena
pembangunan sektoral diikuti kapitalisasi negara dan pembentukan kelembagaan baru yang menjadi substitusi kelembagaan komunitas. Kelembagaan ”baru” bentukan supra lokal merupakan hasil konspirasi aparat di atas desa dengan elit desa, tujuannya untuk menangkap peluang ekonomi dari pembangunan pedesaan dan strukturnya seragam. Ini berbeda dengan kelembagaan komunitas yang
tumbuh dari akar rumput, bersifat unik dan
beragam sesuai dengan kondisi sosial, ruang spasial dan ekologi lokal. Penetrasi kelembagaan pemerintah yang bersifat substitusi berimplikasi negatif terhadap keberadaan kelembagaan komunitas, karena mendorong proses komersialsiasi dan kapitalisasi sumberdaya pedesaan. Proses pembangunan yang diwarnai komersialsiasi dan kapitalisasi sumberdaya tidak memberdayakan masyarakat pedesaan, sebaliknya cenderung memperdaya dan meningkatkan ketergantungan masyarakat ke luar dan di atas desa yang disebut Sajogjo modernization without development. Dampak negatif lain dari kapitalisasi sumberdaya adalah mereduksi ruang otonom di wilayah pedesaan yang disebut Tjondronegoro sodality dan pembangunan menjadi proses penetrasi dan ekspansi kekuatan modal yang membonceng masuk melalui program pembangunan ekonomi dan industrialisasi pedesaan. Kapitalisasi dan komersialsiasi sumberdaya juga mengakibatkan dinamika dan panggung politik wilayah pedesaan ditentukan oleh bentuk konspirasi pemilik modal dan aparat Pemerintah di aras supra desa. Kondisi ini mengakibatkan proses pemilihan kepala desa diwarnai penggunaan politik uang dan otonomi desa tak terlepas dari kepentingan politik dan ekonomi pemilik modal dan aparat pemerintah di atas desa. Dampak lebih lanjut kapitalisasi dan komersialsiasi tersebut adalah
180
demokratisasi dan desentralisasi politik wilayah pedesaan berlangsung secara prosedural, transaksional dan tidak mampu mereposisi pemerintahan desa dan mingkatkan perbaikan kehidupan ekonomi masyarakat pedesaan.
Ketiga arus utama politik agraria utilitarian dan betting on the strong berdampak pada komoditifikasi sumberdaya agraria, peluruhan kelembagaan komunitas secara sistemik (terjadi pada aras sistem, organisasi dan individual), dan mendeligitimasi kepemimpinan komunitas/informal, tetapi mengkonstruksi posisi pemerintah desa menjadi semakin dependen. Demokratisasi dan desentralisasi kekuasaan di wilayah pedesaan, di satu sisi mengarah pada resentralisasi kekuasaan seperti tampilnya pamong desa sebagai “raja-raja lokal” atau bahkan menjadi predator. Di sisi lain, semakin tergantungnya pemerintah desa pada kekuatan supra dan di atas desa. Pendekatan konservasi secara ekofasis (menempatkan area konservasi sebagai enclave dan relokasi ex-situ) di tengah ketimpangan struktur agraria, tidak menyelesaikan masalah konservasi dan masalah agraria di Rawa Danau, sebaliknya menimbulkan pendudukan petani dan konflik berkepanjangan. Pendekatan konservasi secara ekofasis mengakibatkan terputusnya petani dengan basis ekonominya dan mengalienasi ikatan emosi, sosial dan sejarahnya. Pendekatan ex-situ sebagai bentuk land reform yang didasarkan pendekatan dan pertimbangan teknik semata-mata, dalam kenyataan menjadi “pemindahan kemiskinan” ke luar Jawa. Kondisi ini mencerminkan kegagalan pemangku otoritas mewujdukan tujuan politik agraria untuk kesejahteraan rakyat. Indikasinya adalah depeasanisasi, tampilnya predator agraria dan penggusuran petani dan kepedulian semu terhadap komunitas petani dan jasa lingkungan. Dalam tata kelola DAS, ditunjukkan oleh ketidakmampuan pemangku otoritas membangun ”rumah bersama” dan jejaring hulu hilir DAS secara terpadu dan subordinasi kelembagaan komunitas. FKDC yang seharusnya menjadi ”rumah bersama”, mediator dan fasilitator antara komunitas petani dengan perusahaan dan pemerintah, dalam kenyataan dikooptasi birokrasi dan koorporasi. Rapuhnya bangunan ”rumah bersama” mengakibatkan pembayaran jasa lingkungan kepada petani hutan tidak menghilangkan ketidakadilan ekologi dan ekonomi di hulu DAS Cidanau. Dominasi birokrasi dalam FKDC sebagai ”rumah bersama”,
181
mengakibatkan keputusannya tidak aspiratif,
tidak partisipatif dan tidak
independen. Dalam kaitananya dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan dapat dikatakan yurisdiksi dirumuskan tanpa representasi dan demokrasi.
2. Saran dan Implikasi Kebijakan Dari temuan empirik di lapangan dapat dikemukakan beberapa saran kebijakan untuk mengatasi persoalan yang dihadapi petani sekaligus untuk pembangunan komunitas sekitar hutan. Adapun beberapa saran kebijakan dimaksud sebagai berikut: Pertama
tata
kelola
agraria
berbasis
kelembagaan
lokal
yang
mengintegrasikan produksi dan konservasi hendaknya dipertimbangkan menjadi pilihan kebijakan dan mendapat ruang dalam politik tata kelola sumberdaya agraria. Praktik tata kelola sumberdaya agraria berbasis kelembagaan komunitas yang perlu diperhatikan adalah tradisi pemuliaan dan pergiliran tanaman, kearifan lokal tentang tanaman pangan dan obat-obatan, zonasi hutan, teknologi gilir balik, sistem tebang pilih dan sistem olah tanah konservasi. Praktik tata kelola sumberdaya tersebut kondusif untuk menjaga keamanan subsistensi petani dan mendukung pembangunan pertanian dan kehutanan berkelanjutan. Kedua penguatan kelembagaan komunitas mensyaratkan perubahan struktur signifikansi
(sistem ilmu pengetahuan/ideologi), struktur otoritatif,
alokatif dan legitimasi (norma dan hukum). Peningkatan kapasitas kelembagaan komunitas dapat dilakukan melalui revitalisasi dan pengakuan keabsahan secara yuridis. Pemetaan wilayah hutan secara partisipatif dan pelibatan komunitas dalam pemanfaatan sumberdaya hutan mulai perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan monitoring merupakan langkah strategis untuk membangun kemandirian masyarakat sekitar hutan dan mengurangi konflik agraria di sekitar hutan dan kawasan DAS. Ketiga untuk meminimalkan peluruhan kelembagaan komunitas, perlu terobosan politik untuk merasionalisasi kawasan hutan. Wilayah yang diklaim kawasan hutan tetapi sesungguhnya “bukan hutan”, diidentifikasi, diregistrasi dan dipetakan sebagai obyek reforma agraria. Kebijakan kehutanan pro populis seperti pengakuan hak sosial ekonomi masyarakat, perluasan akses dan kesempatan
182
petani pemilik lahan sempit dan tak bertanah terhadap sumberdaya agraria dan
land reform adalah kebijakan strategis yang dapat memperbaiki kehidupan masyarakat sekitar hutan. Adanya ”rumah bersama” dalam tata kelola DAS, yang memungkin partisipasi masyarakat adalah langkah strategis untuk membangun kelembagaan DAS hulu hilir secara terpadu. Demikian pula perluasan area hutan rakyat yang obyek insentif jasa lingkungan dan alokasi anggaran hijau yang memadai adalah kondusif untuk perbaikan petani dan tata DAS berkelanjutan.
183
DAFTAR PUSTAKA Agrawal, A. ‘Indigenous and Scientific Knowledge: Some Critical Comments’, Indigenous Knowledge and Development Monitor 3(3), 1995 Agger, Ben, 2003. Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Anderson, Benecdict, 2001. Imagined Communities. Yogyakarta: INSIST. Arifin, Susilo. 2005. Harmonisasi Pembangunan Pertanian Berbasis DAS Pada Lanskap Desa Kota Kawasan Bogor Puncak Cianjur. Bogor: Fakultas Pertanian IPB. Awang, San Afitri, 2003. Politik Kehutanan Masyarakat. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Bank Dunia, 2006. Laporan Bank Dunia: Kesetaraan dan Pembangunan. Jakarta: The World Bank-Salemba Empat. Bappeda Kabupaten Serang, 1999. Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah DAS Cidanau. Serang: Bappeda Kabupaten Serang – Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (BRLKT), DAS CitarumCiliwung. BAPPENAS, 2003. Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia 2003-2020. Jakarta, BAPPENAS. Beck, Ulrich, 2000. “Risk Society Revisited: Theory, Politics and Research Programmes” in J. Van Loon (ed). The Risk Society and Beyond Critical Issues for Social Theory. London: Sage. Berkes, Fikret, C, Folke and J. Colding, eds, 1998. Linking Social and Ecological Systems: Management Practices and Social Mechanisms for Building Resilience. Cambridge: Cambridge University Press. Beugelsdijk S, Smulders, S, 2003. Bridging and Bonding Social Capital: Which Type is Good for Economic Growth?. Faculty of Economics. Tilburg University.
[email protected] and
[email protected]. Billie, Dewalt, R. 1994. Using Indigenous Knowledge to Improve Agriculture and Natural Resource Management. Human Organization, Vol. 53, No. 2. Biot, Y, Blaike, M., and Palmer - Jones, 19995. Rethinking Research on Land Degradation in Developing Countries. World Bank Discussion Paper No. 289. World Bank: Washington. Balai Konservasi dan Sumberdaya Alam, (BKSDA) 2005. Ekspose Penanganan Perambahan dan Pemukiman Liar di Cagar Alam Rawa Danau. Serang: BKSDA Biro Pusat Statistik. 2003. Statistik Potensi Desa, BPS, 2003. Bradford, Delong,J.2009. “Globalization” and “Neoliberalism” downloaded from http://con161 berkleley.edu/Econ_ Articles/Rrevie. at October 24.2009.
184
Bremen, Jan 1997. Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial, Tuan Kebun dan Kuli di Sumatera Timur Pada Awal Abad ke 20. Jakaarta: Pustaka Utama Grafiti. Brinkerhoff, Derick W, and Arthur A. Goldsmith, 1992. “Promoting the Sustainability of Development Institutions: A Framework for Strategy”, World Development, Vol. 20. Bryceson, Deborah; Cristóbal Kay, and Jos Mooij, 2000, Disappearing Peasantries? Rural Labour in Africa, Asia and Latin America. London: Intermediate Technology Publications. Bryant, Raymond L., “Power, Knowlwdge and Political Ecology in the Third World: A Review,” Progress in Geography, 22 (1). Creswell, John W, 1994. Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches. USA: Saga Publications. Diez, Ton, 1998. Pengakuan Hak Atas Sumberdaya Alam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar-Insist-Remedec. Djuweng, Stepanus, “Orang Dayak, Pembangunan dan Agama Resmi” dalam Stepanus Djuweng, Yando Zakaria dkk, 1996. Kisah Dari Kampung Halaman: Masyarakat Suku, Agama Resmi dan Pembangunan”. Yogyakarta: Interfidei Djojohadikusumo, Sumitro 1991. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Yayasan Obor Indonesia. Dove, Michael, “Representasi Orang yang Berbudaya Lain” oleh” Orang-Orang Lain”: Tantangan Etnografis tentang Pandangan Pengusaha Perkebunan terhadap Petani Kecil di Indonesia” dalam Tania Murray Li (peny.), 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indoensia. Dwivedi, Ranjit, 2001.”Environmental Movements in the Global South: Issues of Livelihood and Beyond”, in International Sociology, March 2001, Vol 16 (1). Ellen, Roy, “Pengetahuan tentang Hutan, Transformasi Hutan: Ketidakpastian Politik, Sejarah Ekologi dan Renegosiasi Terhadap Alam di Seram Tengah,” dalam Tania Murray Li (peny.), 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Escobar, Arturo, 1999. “After Nature: Steps to an Antiessentialist Political Ecology” in Current Anthropology Volume 40 Number 1 Februari. Evers, Hans Dieter dan Schiel, 1990. Kelompok Strategis: Perbandingan Tentang Negara Birokrasi dan Pembentukan Kelas di Dunia Ketiga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Durrkheim, Emile. 1967. The Division of Labor in Society. The Free Press. Durkheim, Emile, 1964. The Rule of Sociological Method. New York: The Free Press.
185
Faizi, Noer, 1991. Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta: INSIST, KPA, Pusaka Pelajar. Faizi, Noer, 2003. Bersaksi Untuk Pembaruan Agraria: Dari Tuntutan Lokal Hingga Kecenderungan Global. Yogyakarta: KARSA, KPA dan Insist. Faryadi, Erpan, 2002. “Tanpa Reforma Agraria, Tidak Akan Ada Hak Atas Pangan” dalam Jurnal Analisis Sosial, Vol. 7.3 Desember 2002. Fayerabend, Borrini, G,Kothari, etl, 2004. Sharing Power, Learning By Doing in Co-Management of Natural Resources Throughout in the World. IIED and IUCN/CEESP, Cenesta,Teheran. Forum Komunikasi DAS Cidanau (FKDC), 2005. Potensi dan Masalah DAS Cidanau. Serang: Forum Komunikasi DAS Cidanau. Forum Komunikasi DAS Cidanau, (FKDC), 2005. Perjanjian Pembayaran Jasa Lingkungan. Serang: Forum Komunikasi DAS Cidanau. Fasseur, C. 1987. “Tentang Lebak” dalam Ibrahim Alfian, Koesoemanto, H.J., Hardjowidjono dan Djoko Suryo: Dari Babad dan Hikayat Sampai Sejarah Kritis. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Evers, Hans Dieter dan Schiel, 1990. Kelompok Strategis: Perbandingan Tentang Negara Birokrasi dan Pembentukan Kelas di Dunia Ketiga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Garna, Judistira, K. 1999. Metode Penelitian: Pendekatan Kualitatif. Bandung: Primaco. Garna, Judistira, K.1993. “Masyarakat Baduy di Banten” dalam Koentjaraningrat, dkk, 1993. Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: Gramedia. Geertz, Clifford, 1983. Involusi Pertanian. Jakarta: Bhratara. Geertz, Clifford. 2003. Pengetahuan Lokal: Esai-Esai Lanjutan Antropologi Interpretatif. Yogyakarta: Giddens, Anthony. 2004, The Constitution of Society: Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial. Pasuruan: Pedati. Giddens, A. 1987. The Nation-State and Violence: Volume Two of A Contemporary Critique of Historical Materialism. Berkeley: University of California Press. Gillis,M,1990, “Indonesia Public Policies, Resources Management and the Tropical Forrest. Dalam Repetto R and Gllis, M (eds). Publik Policies and Missue of Forrest Resource. New York: Cambridge University Press. Ginting, A.Ng dan Kirsfianti Ginoga, 2010. “Peluang dan Tantangan Kebijakan Moratorium Lahan Gambut dan Deforestasi”. Makalah “Seminar Lokakarya Nasional Pemanfaatan Lahan Gambut Berkelanjutan Untuk Pengurangan Kemiskinan dan Percepatan Pembangunan Daerah”. Bogor: PSP3 IPB Goodland, R.G. Ledec and W. Webb, 1989. “Meeting Environmental Concerns Caused by Common Property Mismanagement in Economic Development
186
Project” dalam Barkes (ed,) In Common Property Resources: Ecology and Community Based Sustainable Development. London: Belhaven Press. Gunarsih, Ance,1986. Pengaruh Klimatologi Terhadap Tanah dan Tanaman. Jakarta: Bina Aksara. Habermas, J. 1990. Ilmu dan Teknologi Sebagai Ideologi. Jakarta: LP3ES, Hadi Dharmawan, Arya, 2005. Sistem Tata Pemerintahan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Daerah Aliran Sungai Citanduy: Perspektif Politik. Bogor: Pusat Studi Pembangunan IPB Bekerjasama dengan Partnership for Governance Reform in Indonesia UNDP. Hanna, Susan, Carl Folke, Carl, Goran Maler, 1996. Property Right and Natural Environment in Right to Nature: Ecological, Economic, Cultural and Political Principles of Institutions for Environment. Stockholm (Sweden): Island Press. Hardiman, F.B. 1990. Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan. Yogyakarta: Kanisius. Hardiman F.B. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Yogyakarta: Kanisius. Hasibuan, Sayuti, 1997. Pendekatan Pelaksanaan Dalam Pembangunan. Jakarta: Lembaga Pengkajian Pembangunan Nasional. Hefner, Robert, W.1990. The Political Economy of Mountain Java: An Interpretative History. University of California Press. Henry, Forth, D. 1984. Fundamental of Social Science. Michigan USA. John Willey and Son. Heriyanto dan Garsetiasih, “Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Oleh Masyarakat Lokal di Taman Nasional Meru Betiri Jawa Timur, Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. III No.3 Tahun 2006. Hobsbawm, Eric, 1985. Age of Extremes: The Short Twentieth Century 19141991. London: Abacus Books, Little, Brown and Co. Hunawu, Momy, 2004. “Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berkelanjutan: Pertarungan Pengetahuan Antar Pemimpin Lokal (Studi Kasus Kepemimpinan Lokal Pada Komunitas Kulawi di Desa Bolapapu, Sulawe Tengah”. Thesis, IPB. Husken, Frans, dan Benjamin White, “Ekonomi Politik Pembangunan Pedesaan dan Struktur Agraria di Jawa” dalam Prisma No.4, 1989. Imron, Masyhuri, 2009. Peran Pemerintah Dalam Pengembangan Kelembagaan Masyarakat Nelayan” Makalah Seminar Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Masyarakat Nelayan”, Bappenas, 21 April 2009. Iskandar, Johan, 2001. Manusia, Budaya dan Lingkungan. Bandung: Humaniora Utama Press.
187
Jayasuriya, Kanishka, ”Negara, Pembangunan dan Globalisasi: Dari Kekuasan Negara ke Kekuasaan Pasar Global”, dalam Jurnal Wacana, Edisi 5, tahun II, 2000 Jones, S. 1999. From Meta Narratives to Flexible Framwork: An Actor Analysis of Land Degradation in Higland Tanzania. Global Environmental Vol 9. Kaplan David dan Albert A Manners, 1999. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kartasubrata, Junus. 2003. Sosial Forestry Dan Agroforestry di Asia. Bogor: Lab Politik Ekonomi dan Sosial Kehutanan Fakultas Kehutanan IPB. Kartodirdjo, Sartono. 1984. Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta: Pustaka Jaya. Kartodihardjo, Hariadi, 2003. “Devolusi dan Undang-Undang Kehutanan Baru Indonesia” dalam Ida Aju Prandja Resosudarmo dan Carol J.P. Colfer, 2003. Kemana Harus Melangkah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Kartodiharjo, Hariadi dan Hira Jhamtani, 2006, Politik Lingkungan dan Kekuasaan Di Indonesia. Jakarta: Equinox Publisihing. Kato, Goto A, 2003. Studies on Environment Changes and Sustainable Development. Water Quality Model of Cidanau Watershed, Indonesia, for Watershed Management Planning. Proceeding of the 2nd Seminar on Toward Harmonization Between Development and Environmental Conservation in Biological Production. The University of Tokyo; Feb. 1516 2003. Kenneth Young & R Tanter. Politik Kelas Menengah Indonesia. Jakarta: LP3ES. Keraf, Sonny,1996. Pasar Bebas, Keadilan dan Peran Pemerintah. Yogyakarta: Kanisius. Kompas, 2010. “Kesalehan Sosial Bangkrut” Harian Kompas, 10 agustus 2010. Koentjaraningrat, 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. Koentjaraningrat, 1985. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat. Publisihing. Korten, David, C. 1988. “LSM Generasi Keempat: Fasilitator Gerakan Kemasyarakatan”, Prisma XVII, no. 4. Laksano, Paschalis, 2002. ”Tanpa Tanah, Budaya Nir Papan, Antropologi Antah Berantah”, dalam Lounela, Anu dan R Yando Zakaria (eds), 2002. Berebut Tanah Beberapa Kajian Perspektif Kampus dan Kampung. Yogyakarta: Insist Press dan Karsa. Landsberger, Henry, 1984. Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial. Jakarta: Rajawali Press Lee, Nancy Peluso, 2006. Hutan Kaya, Rakyat Melarat: Penguasaan Sumber Daya dan Perlawanan Rakyat. Yogyakarta: Insist Press. Liddle, R William, 1988. “Politics and Culture in Indonesia”. Center for Political Studies for Social Research” The Uuniversity of Michigan.
188
Little, Andrian 2000. New Political Economy. Vol.5/1. Locke, John, 1988. Two Treatises of Government. Cambridge: Cambridge University Press. Lubis, Akhyar, (2004). Metode Hermeneutika dan Penerapannya pada Ilmu Sosial, Budaya dan Humaniora. PPS UI, Jakarta. Lubis, Akhyar, 2004. Paradigma Baru dan Persoalan Metodologi Ilmu SosialHumaniora dan Budaya Pada Era Postmodern. Jakarta: PPS UI. Lync, Owen and Harwell, Emily, 2002. Whose Natural Resource ? Whose Common Good? Towards a New Paradigm of Environmental Justice and the National Interest in Indonesia. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Mamar, Sulaeman, “Sistem Pengetahuan dan Teknologi Suku Wana di Sulawesi Tengah” dalam Kusnaka Adimihardja (ed.), 1999. Petani Merajut Tradisi Era Globalisasi. Bandung: Humaniora Utama Press. Marzali, Amri. 1992. The Urang Sisi of West Java: A Study of Peasants: Responses to Population Pressure”. Boston University. Matew, Miles dan Michael, Hubermne, 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press. Meer, van der, 1989. University Press.
The Ecology Intercropping. Cambridge: Cambridge
Muhammad, Chalid, 2007. “Indonesia Sebentar Lagi” Makalah Seminar, Forum Wacana Pascasarjana, IPB, 8 September 2007. Muhammad, Chalid, “Drama Haru SBY”, Harian Kompas, 30 Oktober 2010. Murray Li, Tania, “Keterpinggiran, Kekuasaan dan Produksi: Analisis Terhadap Transformasi Daerah Pedalaman”, dalam Tania Murray Li (peny.), 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Nasikun.1999. “Reformasi, Jalan Berliku Menuju Transisi Demokrasi” dalam Mahfud MD. Editor: Kritik Sosial Dalam Wacana Pembangunan. Yogyakarta: UII Press. Netting, Robert, 1993. Smallholders, Householder: Farm Families and the Ecology of Intensive, Sustainable Agriculture. California: Stanford University Press. North, D.C. (1990). Institutions, Institutional Change and Economic Performance. Cambridge: Cambridge University Press. Nurrachman, Nani, 2004. Keadilan dalam Perspektif Psiko Sosial” dalam Kompas, Keadilan Sosial: Upaya Mencari Makna Kesejahteraan Bersama di Indonesia. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. Nygren, 1999. “Indigenous Knowledge in Environment Development Discourse: From Dichotomies to Situated Knowledge” dalam Crtique of Antropology Vol. 19No. 3 1999
189
Ostrom E, Gardner, R and Walker,J, 1994. Rules, Games and Common Pool Resources. University of Michigan Press, An Arbor, MI. Pambudi, Rachmat . “Hak dan Kewajiban Atas Pangan”, Harian Kompas, 15 Oktober 2010. Parlindungan, A.P.1991. Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria. Bandung Alumni. Parlindungan,A.P. 1990. Land Reform di Indoensia. Bandung: Alumni. Petras, James dan Veltmeyer, 2002. Imperialisme Abad 21. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Pofenberger, Mar, 1990. “The Evolulution of Forest Management System in Southeast Asia” in. Poffenberger, Mar (ed), Keeper of The Forest: Land Management Alternatives in Southeast Asia. Connecticut: Kumarian Press. Polanyi, Karl, 1998.“Perkembangan Ekonomi Pasar” dalam Hans Dieter Evers, 1998. Teori Masyarakat: Proses Peradaban Dalam Sistem Dunia Moderen. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Prasetyo, Budi, “Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan, Degradasi Lahan dan Upaya Penanggulangannya: Studi Kasus di Daerah Aliran Sungai Citanduy” dalam Arya Hadi Dharmawan (peny.), 2005. Pembaharuan Tata Pemerintahan Lingkungan: Menciptakan Ruang Kemitaran NegaraMasyarakat Sipil-Swasta. Bogor, PSP3 dan Partnership For Governance Reform In Indonesia, UNDP. Prijono, Onny, “Peran Organisasi Nirlaba, Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat serta Pola Interaksi dengan Pemerintah” dalam Bantarto Bandono, et.al. 1995. Refleksi Setengah Abad Kemerdekaan Indoensia. Jakrta: CSIS. Proyono, Herry B.2003. “Bangsa Dalam Tegangan Lokal Global” dalam Jurnal Filsafat dan Teologi. STF Driyarkara, Diskursus, Vol.: 2 Oktober 2003. Puspitojati, Triyono, 2008. Preferensi Pemangku Kepentingan Dalam Pengelolaan Hutan Produksi: Studi Kasus Pengolahan Hutan Produksi di KPH Bogor”. Bogor: Sekolah Pascasarjana, IPB. Ramirez, Ricardo, ”Memahami Pendekatan-Pendekatan Kolaborasi: Usaha Mengakomodasi Kepentingan Multi Stakeholder” dalam Suporahardjo, (editor), 2005. Manajemen Kolaborasi: Memahami Pluralisme Membangun Konsensus. Bogor: Pustaka Latin. Rekonvasi Bumi, 2007. Uji Coba Konsep Pembayaran Jasa Lingkungan di DAS Cidanau Propinsi Banten. Serang: Rekonvasi Bumi. Redfield, Robert, 1982. Masyarakat Petani dan Kebudayaan. Jakarta: Rajawali. Rek Rozari, M Balantaram, 1994, “Perkiraan Musim Tradisional”. Buletin Meterologi Pertanian Indonesia Vol. 11 No. 1 dan 2. Bogor: PP PERHIMPI. Rekonvasi Bumi, 2003. Laporan Hasil Perjalanan Observasi Rawa Danau tahun 2003 oleh Kelompok Swadaya Masyarakat. Serang: Rekonvasi Bumi
190
Ritzer, George & Goodman Douglas J, 2004. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media. Robert J, 2004. Environmental Policy. Routledge Introduction to Environment Series. Routledge. London and New York. Roe, E. 1991. Development Narratives or Making the Best of Blueprint Development. World Development 19 (4). Rosemarie. Tong,1998. Feminist Thought. Westview Press. Salim, 2004. Dasar-Dasar Hukum Kehutanan. Jakarta: Sinar Grafika. Sandra, Moniaga, (2004). The National Park is Their Homelands: Study of Reconciliation Possibilities of the Conflicting Laws on Land Tenure System in Lebak District of the Banten Province, Indonesia. Santoso, Hery. 2006. Perlawanan Di Simpang Jalan: Konteks Harian di DesaDesa Sekitar Hutan. Yogyakarta: Penerbit Damar. Schiller, J., 2003. “Indonesia Tahun 1999: Hidup Tanpa Kepastian,” dalam Jalan Terjal Reformasi Lokal: Dinamika Politik di Indonesia. Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Schiller, J., 1996. Developing Jepara: State and Society in New Order Indonesia. Clayton: Monash Asia Institute. Schmidt, A. 1987. Property, Power, and an Inquiry Into Law and Economic. New York Praeger. Schrieke, B.J.O. 1973. Pergolakan Agama di Sumatera Barat, Sebuah Sumbangan Bibliografi. Jakarta: Bhratara. Setiawan, Ogi dan Ryke Nandini, “Kuantifikasi Jasa Hutan Lindung Sebagai Pengatur Tata Air di Daerah Aliran Sungai (DAS) Palu” dalam Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. III No.3 Tahun 2006, Scot, Richard, W. 2008. Institutions and Organizations, Idea and Interest. Los Angeles: Sage Publications. Scott, James, 1989. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES. Sillitoe, Paul, 1998. “The Development of Indigenous Knowledge: A New Applied Anthropology” Current Anthropology, Vol. 39, No. 2, 1998. Simon, H. 1999. Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat: Teori dan Aplikasi pada Hutan Jati di Jawa. Yogyakarta: Bigraf Publishing. Shanin. Teodor, 1990. Defining Peasant: Essay Concerning Rural Societies, Exppolary Economy and Learning from them in The Contemporary World. Cambridge: Basil Blackwell. Siregar, Budi Baik, 2004. “Modal Sosial Komunitas Perladangan (Kasus Komunitas Kanarakan, Kecamatan Bukit Batum Kota Palangkaraya, Propinsi Kalimantan Tengah”). Bogor: Thesis, Pascasarjana IPB.
191
Smith, Theodor, (1982) “Kepala Desa: Pelopor Pembaharuan?” dalam Koentjaraningrat (ed). Masalah-Masalah Pembangunan, Bunga Rampai Antropologi Terapan. Jakarta: LP3ES Smith, T Lyn and Zopf, Paul. 1970. Principles of Inductive Rural Sociology, Philadelphia: Davis Company. Sobhan, R. 1993. Agraria Reform and Social Transformation: Precondition for Development. London: Zed Books Ltd. Soedjoto, Herwasono, “Masyarakat Dayak: Peladang Berpindah dan Pelestari Plasma Nutfah”, dalam Kusnaka Adimihardja (ed.), 1999. Petani Merajut Tradisi Era Globalisasi. Bandung: Humaniora Utama Press. Soeriatmadja, R.E,Whitten, T, R.E. & S.A. Afif, 1999. Ekologi Jawa dan Bali. Jakarta: Prehallindo. Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta, Rajawali. Soetiknyo, Iman. 1990. Poliik Agraria Nasional: Hubungan Manusia Dengan Tanah Berdasarkan Pancasila. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Soetrisno, Loekman, 1995. Menuju Masyarakat Partisipatif. Yogyakarta: Kanisius. Stepan, Alfred, 1979. The State and Civil Society: Peru in Coorporative Perspective. Princeton: Princeton Univertrty Press. Sunderlin. 2003. Forests and Poverty Alleviation. In: FAO. State of the World‘s Forests 2003. Rome, Italy, FAO. 61-73. http://www.fao.org. at October 11.2009. Suradisastra, Kedi, 2006. Revitalisasi Kelembagaan Untuk Percepatan Pembangunan Sektor Pertanian Dalam Otonomi Daerah. Bogor: Balitbang Kementerian Pertanian. Suwardi, Herman, 1978. “Respon Masyarakat Desa Terhadap Modernitas di Bidang Produksi Pertanian di Jawa Barat”. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Swedberg, 1994. Markets as Social Structures. New Jersey: Princeton University Press. Sylvian, Richard, dan David Bennet, 1994. The Greening of Ethics. Cambridge: The White House Press Taylor, John, G, 1989. From Modernization To Modes of Production. London: The Macmillan Pres LTD. Thorns, David & Willmott, Bill. 1983. “Class, Locality and Family: Bases of Communion in a Locality”. In Crow, Graham (Ed.). 1986. The Sociology of Rural Communities. Vol. II. US: Edward Elgar Publishing Company. Tjondronegoro, Sediono M.P. 2001. “Pengelolaan Sumberdaya Agraria: Kelembagaan dan Reforma Agraria” dalam Jurnal Analisis Sosial, Vol.6 No.2 Juli 2001.
192
Tjondronegoro, Sediono MP dan Gunawan Wiradi, ”Menelusuri Pengertian Istilah ”Agraria”, Jurnal Analisis Sosial, Vol.9, No.1 April 2004. Tjondronegoro, Sediono M.P, 1984. “Gejala Organisasi dan Pembangunan Berencana Dalam Masyarakat Pedesaan di Jawa.” Dalam Koentjaraningrat (peny.). Masalah-Masalah Pembangunan Bunga Rampai Antropologi Terapan. Jakarta: LP3ES. Tony, Fredian, 2004. Perspektif Kelembagaan Dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citanduy: Studi Desentralisasi Pengelolaan dan Sistem Tata Pemerintahan Sumberdaya Alam. Bogor: Pusat Studi Pembangunan IPB Bekerjasama dengan Partnership for Governance Reform in Indonesia UNDP. Torpey, J., 1998. ‘Coming and Going on the State Monopolization of the Legitimate ‘Means of Movement,” Sociological Theory: A Journal of the American Sociological Association , XVI, No.3. Tunner, Bryan. 2002. Orientalisme, Posmodernisme dan Globalisasi. Jakarta: Piora Cipta. Turner, Jonathan, 1998. The Structure of Sociological Theory. First Edition, Wadsworth Publishing Company. UNDP,1997. Reconceptualising Governance. New York: UNDP. Uphoff, Norman, 1986. Local Institutional Development: An Analytical Sourcebook With Cases. Conecticut, Kumarian Press. Wahono, Francis, 1999. “Revolusi Hijau: Dari Perangkap Involusi ke Perangkap Globalisasi”. Jurnal Wacana. No.IV, 1999. Warnen, Suwarsih. 1985 Pandangan Hidup Orang Sunda. Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Weber, Max, 1968. Economy and Society on Outline of Interpretative Sociology. New York: Bedminster Press. Weber, Max. 1964. The Theory of Social and Economic Organization. New York: The Free Press White, Ben, “Inti dan Plasma: Pertanian Kontrak dan Pelaksanaan Kekuasaan di Dataran Tinggi Jawa Barat” dalam Tania Murray Li (peny.), 2002. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Wignjodipuro, Surjo, 1983. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta: Gunung Agung Wiradi, Gunawan, 2000. Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. Yogyakarta: Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar. Wiradi, Gunawan, 1991. “Reforma Agraria: Masalah dan Relevansinya dengan Pembangunan Jangka Panjang: Suatu Pandangan ke Depan.” Sekreariat Bina Desa.
193
Wiradi, Gunawan, 2001. ”Reforma Agraria Tuntutan Bagi Pemenuhan Hak-Hak Azasi Manusia”, Jurnal Analisis Sosial, Vol. 6. No. 2. Wiradi, Gunawan, 2001. “Kedudukan UUPA 1960 dan Pengelolaan Sumberdaya Agraria di Tengah Kapitalisasi Negara (Politik Kebijakan Hukum Agraria Melanggengkan Ketidakadilan). Jurnal Analisis Sosial Vo. 6. No.2. Wiradi, Gunawan, 1993. “Kebijakan Agraria, Modal Besar dan Kasus-Kasus Sengketa Tanah.” Makalah pada Lokakarya Antar Wilayah Advokasi Kasus-Kasus Tanah. Wittemer, Heidi dan Regina Bitmer, 2005. Between Conservationsm, EcoPopulism and Developmentalism: Discurse in Biodiversity Policy in Thailand and Indonesia. CAPRI Working Paper No. 37. Washington DC, International Food Policy Research Institute. Wolf, Eric, 1985. Petani: Suatu Tinjauan Antropologis. Jakarta CV Rajawali. Woolcock, M and Narayan, D. 2000. Social Capital: Implications for Developments Theory, Research and Policy. The World Bank Research Observer, vol. 15, No. 2 August. Wulandari, Christian, 2005. “Tingkatan Penerimaan Sosial Masyarakat Sekitar Hutan Dalam Mengadopsi Agroforestry di Lahan Pekarangan” dalam Jurnal Hutan Rakyat Vol. VII No.1 Tahun 2005. Yin, R, (1996). Studi Kasus: Desain dan Metode. Radja Grafindo Persada, Jakarta Yoshihara, Kunio, 1990. Kapitalisme Semu di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES. Yoshoda, Goto AK, T Shimizu, Y Purwanto, 2001. Investigation on Hydraulic Water Balance for Integrated Watershed Management Planning in Cidanau River Basin, West Java. Proceeding of the 1st Seminar Toward Harmonization Between Development and Environmental Conservation in Biological Production. Graduate School of Agricultural and Life Sciences; The University of Tokyo; Feb 21-23. Young, Dennis R. 2000. “Alternative Model of Government-Nonprofit Sector Relations: Theoritical and International Perspectives” in Nonprofit and Voluntary Sector Quarterly, vol 29, No. 1 March 2000. Young, Kenneth & R Tanter. Politik Kelas Menengah Indonesia. Jakarta: LP3ES. Wolf, Eric,1985. Petani: Suatu Tinjauan Antropologis. Jakarta CV Rajawali. Zakaria, Yando, “Pembangunan Yang Melumpuhkan: Pelajaran dari Kepulauan Mentawai” dalam Stepanus Djuweng, Yando Zakaria dkk, 1996. Kisah Dari Kampung Halaman: Masyarakat Suku, Agama Resmi dan Pembangunan”. Yogyakarta: Interfidei.
194
LAMPIRAN
195
Lampiran 1.a Tabel 1.a. Habitus Pepohonan, Cara Penggunaan dan Kegunaannya No
Nama Lokal
Nama Ilmiah
Bagian Yang Dimanfatkan dan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 No
Jeunjing Kitoke Muncang Lame Lampeni Teureup Nangka Awi Koneng Cangkore Kimerak Andul Beunying Bisoro Kondang Awi Apus
Albizia Falcata Back Albizia Tomenntella * Aleuritas Moluccana Alstonia Scholaris Ardisia Humilis Artocarpus Elstica Artocarpus Heterophyllus Bambusa Vulgaris Dinochloa Scandens * Diospyros Buxifolia Elaeocarpus Obtusa Ficus Fistulosa Ficus Hispida Ficus Variegata Gigantochoa Apus
Nama Lokal
Nama Ilmiah
16 17 18 19
Garu Pisitan Bintinu Cangkudu
Gonystillus Macrophylus* Lansium Domesticum Melochia Umbellata Morinda Citrifolia
Cara Penggunannya Kulit batang/ditumbuk, tempel Kulit batang/ditumbuk, dibalur Batang/kerik dan tempel Kulit batang/rebus, minum Daun, buah/ tumbuk, balur Kulit batang/kunyah, tempel Daun/rebus, minum Batang muda/rebus, makan Batang/tuak, tetes Batang/tuak minum Kulit Batang/tumbuk, balur Kulit Batang/kerik, tempel Batang/kerik, tempel Batang/tuak, minum Daun/tumbuk, minum Bagian Yang Dimanfatkan dan Cara Penggunannya Buah/peras, balur Kulit Batang/rebus, minum Batang/tuak, tetes Daun/rebus, minum
20 21 22 23 24 25
Tundun Kisabrang Jambu Batu Angsana Kacapi Sangkar Badak
Nephelium Lappaceum Preronema Canescens Psidium Guajava Pterocarpus Indicus Sandoricum Koetjape Voacanga Grandifolia *
Daun/rebus, minum Daun/rebus, minum Pucuk daun/remas, minum Getah batang/tetes Daun/rebus, minum Daun/tumbuk, balur
Sumber: Diolah dari dari Hasil Wawancara dengan Informan Kunci
Kegunaannya/Obat Gatal Patah tulang Sakit gigi Penambah stamina Kadas Cacingan Radang Sakit panas Sakit kuning Mata merah Demam Borok Sakit pnggang Bisul Sakit perut Keracunan makanan
Kegunaannya/Obat Koreng Mencret Mata merah Tambah stamina, sesak nafas Sakit panas Menghentikan pendarahan Mencret Sakit gigi Sakit panas Lebam
196
Lampiran 1.b. Tabel 1.b. Habitus Herba, Cara Penggunaan dan Kegunaanya No
Nama Lokal
Nama Ilmiah
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Parahulu Sariawan Kanyere Laja Goah Taleus Pacing Kumis Kucing Koneng Beurang Jonge Cau Galek Ciriwuh Ilat
Amomum Oculeatum Begonia Isoptera Bridelia Monoica Catimbium Malaccensis Colocasia Esculenta Costus Speciousus Orthosispon Spicatus Curcuma Domestica Emilia Sonchifolia Musa Paradisiaca Schismatoglottis Calyptrata Scleria Purpuscens
Bagian Yang Dimanfatkan dan Cara Penggunannya Getah batang, diperas, dibalur Batang, tuak, minum Kulit batang, direbus, minum Rimpang, ditumbuk, minum Kulit umbi, dililitkan Rimpang, dikikid, tempel Daun, direbus, diminum Rimpang, ditumbuk, minum Daun, ditumbuk, tetes Akar, dituak, minum Daun, akar, direbus, minum Batang, dituak, minum
Sumber: Diolah dari dari Hasil Wawancara dengan Informan Kunci
Kegunaannya/Obat Kepala pening Sariawan Mencret Sakit perut Luka benda tajam Sakit perut, gigitan ular Sakit kencing Sakit perut Sakit kepala Sebelah Batuk Mencret Susah kencing
197
Lampiran 1.c. Tabel 1.c. Habitus Perdu dan Semak Cara Penggunaan dan Kegunaanya No
Nama Lokal
Nama Ilmiah
Bagian Yang Dimanfatkan dan Cara Penggunannya
Kegunaannya/Obat
No 1
Nama Lokal Perdu Kiajag Katepeng Jenuk Nipis Harendong Semak Babakoan Heuras Tulang Keji Beling Singgugu Amis Mata Salak Pungpurutan
Nama Ilmiah
Bagian Yang Dimanfatkan
Kegunaannya/Obat
Ardisia Fuliginosa Cassia Alata Citrus Aurantifolia Melastoma Polyanthum
Getah batang/tetes Daun/tumbuk, balur Buah/peras, minum Daun/ dikunyah,makan
Borok Panu Batuk Mencret
Calotropis Gigantea Chlorantus Officialis Clerodendron Calamitosum Clerodenron Serratum Ficus Septica Salacca Edulis Triumfetta Bartamia
Getah batang, tetes Daun/rebus, minum Daun/rebus,minum Daun/rebus, minum Batang/kerik, tempel Daun/rebus, minum Daun/tumbuk, tempel
Bisul Penambah stamina Sakit kencing Penambah stamina Bisul Sakit panas Sakit kepala/pening
2
198
Lampiran 1.d. Tabel 1.d. Seratus Sifat Positif Untuk Membangun Kebersamaan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49
Saling Terbuka Saling Percaya Saling Menguntunglan Saling Membutuhkan Saling Memaafkan Saling Menghormati Saling Menghargai Saling Memberi Saling Membangun Saling Menolong Saling Mengingatkan Saling Membela Saling Menegur Saling Menyabarkan Saling Mematuhi Saling Merindukan Saling Menasehati Saling Memperbaiki Saling Mengisi Saling Melindungi Saling Membantu Saling Mendoakan Saling Menyayangi Saling Mencintai Saling Mengunjungi Saling Mengoreksi Saling Menghibur Saling Mendukung Saling Pengertian Saling Menerima Saling Mengawasi Saling Menjaga Saling Menyempurnakan Saling Memahami Saling Memajukan Saling Merasakan Saling Mendengarkan Saling Meyakinkan Saling Silaturahmi Saling Membina Saling Memelihara Saling Melengekapi Saling Menghimbau Saling Mengikhlaskan Saling Menguatkan Saling Membimbing Saling Mentaati Saling Merelakan Saling Menahan diri
51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99
Saling Tegang Rasa Saling Mengasihi Saling Mengangkat Saling Tukar pengalaman Saling Memaklumi Saling Memikiran Saling Menyemangati Saling Memuji Saling Menunjang Saling Mentraktir Saling Jujur Saling Berbagi Rasa Saling Memotivasi Saling Adil Saling Bertanggungjawab Saling Mengalah Saling Setia Saling Mengabdi Saling Mendorong Saling Mnyelamati Saling Mengimbangi Saling Bersimpati Saling Menitip Saling Berbagi kasih Saling Merestui Saling Beradaptasi Saling Asah Saling Asih Saling Asuh Saling Bekerjasama Saling Mengayomi Saling Memberdayakan Saling Mmperhatikan Saling Berjabat tangan Saling Berlapang dada Saling Meluruskan Saling Berdiskusi Saling Merangkul Saling Menyapa Saling Menginformasikan Saling Menyontoh Saling Musyawarah Saling Menyefakati Saling Mengajari Saling Berterus Trang Saling Menyantuni Saling Berkomunikasi Saling Menerangkan Saling Menyadari
199
50
Saling Membahagiakan
100
Saling Meniru
Lampiran 1.e. Tabel 1.e. Seratus Sifat Negatif Yang Menghancurkan Kebersamaan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Saling Saling Saling Saling Saling Saling Saling Saling Saling Saling Saling Saling Saling Saling Saling Saling Saling Saling Saling Saling Saling Saling Saling Saling Saling Saling Saling Saling Saling Saling Saling Saling
mencurigai membenci menfitnah dengki menghina menjegal menyakiti iri menendang merugikan menuduh menghianati menjatuhkan merusak mencela menyalahkan unjuk rasa mendongkel membantah menghasut membohongi memojokkan melemahkan mengalahkan mempersulit mengusir menyepelekan mengadu domba mencerca mengganggu melanggar meruntuhkan
33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45
Saling mejelekkan Saling menuding Saling mengancam Saling melecehkan Saling meresahkan Saling berprasangka Saling merongrong Saling mengingkari Saling menipu Saling menuntut Saling menjerumuskan Saling memeras Saling berselingkuh
51 52 53 54 55 56 57 58 59 50 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95
Saling cemburu Saling mempersulit Saling memperdayakan Saling berdiam diri Saling meremehkan Saling mendahului Saling mencuri Saling menginjak Saling mengabaikan Saling mecemoohkan Saling melapiaskan Saling membinasakan Saling mentertawalan Saling membunuh Saling menyiksa Saling mangkir Saling mendobrak Saling mengejek Saling menandingi Saling mencaci Saling merampok Saling menghalangi Saling melupakan Saling berdusata Saling mempermainkan Saling menolak Saling melabrak Saling mempersalahkan Saling menyaingi Saling menutup diri Saling merampas Saling mengkambinghitamkan Saling menggeser Saling mendiamkan Saling merintangi Saling menunggu Saling membatasi Saling mematahkan Saling acuh Saling menyudutkan Saling marah Saling menggusur Saling menguasai Saling meragukan Saling mendamprat
200
46 47 48 49 50
Saling Saling Saling Saling Saling
mengabaikan menghadang menghancurkan membangga membingungkan
96 97 98 99 100
Saling Saling Saling Saling Saling
menyulut memanaskan manantang bermusuhan menindas