ILMU SOSIAL TRANSFORMATIF P u rw o S a n to so Fakultas Ilm u Sosial dan Ilm u P olitik U n iversitas G adjah M ada, F.mail: p sa n to so .fisip o l@ g m a il.co m .
A
b s tr a c t
Social science which is intended in this paper covers a variety o f disciplines, including sociology, political science, economics, anthropology, history, law and so on. The term transformative in the sense used here are loose, ju s t to indicate bow the scientists are not only struggling to answer the questions themselves, but the bother and in turn devote his dedication to the community to answer questions. Development o f a transformative social science requires expertise in three-dimensional philosophy o f science: the ontology, epistemology and axiology. Transformative character is also determined by the choice aksiologisnya. Social sciences were developed not only fo r development or accumulation o f theory but also to improve the social relations th a t existed, to produce a social reality which was considered better.
(j Leu
a-xll ty a 3 c j i l » i c y a y ja
. Iy»>~i mi d
- 9
&JlA
OjjLaJlj ^ jj l il l j tLJjuIl
4 jll A
^ 4 1 * 1 1 ( j 4_uL aj
4a
'.
M i 1a
C jJ c g sy J> i
4
yA
U u j
jL ajV l
\ ijji
g -,*
J! ( j ll l l l j c f li£
jjS d j
S jJ 5 ^o - < ilkiTT
J-9$. j IaZ»VI (JxS yA y ^ lj
4 j^ iju ] l
^JJI 4^cLuL>Yl
% I > tiJ I
II ^Lao->Y1 p 1£ ~ a i jcJjfcJI 1.11j
lia 4juLu>Vl
4^X-la t>-l
^
(_ ju u u 4 j L»>Y1 J > l
4 H ...V i
j
JbJLjfcj |cJj 4_9yjLLI 4^J l4 i Q yA
yA
A
q a
L>
A
4 j L>^>U
jC-lx. I 4 jl£.L ajU>-VI
Artikel ini mcrupakan versi tevisi dari Pidato Pengukuhan Jabatan G um Besar Pada Fakultas Ilm u Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Diucapkan di depan Rapat Senat Terbuka Universitas Gadjah Mada Pada tanggal 18 April 201 ld i Yogyakarta.
608 M illah Vol. X I, N o. 2, Februari 2012
j
t
j
i
l
j
J
I
l
L
u
K -
j d
l
3
j l
c
I
a
I 3 -V 1
^
- 1 f- ^
-(.bail K eyw ords: Ilm u Sosial, T ransform atif, Islam , H um anis
A. Pendahuluan O b sesi
go
in tem a sio n a l
universitas-universitas
di
In d on esia,
seperti
U niversitas G adjah M ada, bagaim ana pun, o b sesi go in tern a tio n a l jangan sampai m elupakan esen si universitas itu sendiri, yakni “u n tu k pengem bangan ilm u ”. Periu diingat bahw a kebijakan go in tern a tio n a l selam a in i berlangsung bersam aan dengan sem akin m eluasnya kesadaran bahw a ilm u so sia l di negeri in i sedang m engalam i krisis jati d in . D alam situasi in i, ilm uw an sosial diajak untuk tam pil dalam bingkai W o rld C la ss R esearch U n iversity (W C R U ). A gar tidak terbuai dengan label w orld class, para ilm uw an sosial harus m em ikirkan ilm u sosial yang betulbetul berkarakter. Jawaban atas persoalan di atas adalah: ilm u sosial yang transform atif.
A tas
dasar
itulah,
tulisan
in i
berjudul
“Ilm u
Sosial
T ran sform atif’.
B . Ilm u Sosial Netral? Sudah m enjadi rahasia um um kekuasaan.
Pengem bangan
ilm u
bahw a ilm u pengetahuan adalah alat dalam
skala
in tem asion al
ten tu
saja
berlangsung dalam peta kekuatan dan kekuasaan intem asional juga. D ari pendapat sederhana in i cukuplah alasan untuk m engatakan bahw a jerih payah bersam a dalam pengem bangan ilm u, term asuk ilm u-ilm u sosial, tidak m ungkin bersifat netral. Sungguhpun dem ikian, kegiatan pengem bangan ilm u, term asuk pem aparan d id dalam skala in tem asion al m elalui o b sesi W C R U , lazim dilakukan d i bawah asum si adanya ilm u sosial yang netral, term asuk netral dad kepentingan politik dan ek on om i in tem asion al. T eori-teori sosial diasum sikan bersifat netral sehingga m em berikan penjelasan yang “apa adan ya”, dan bukan sebaliknya “ada apan ya”.
Ilmu Sosial Transformatif 609
D alam cara pandang yang populer, teori-teoti sosial dipetlakukan sebagai kebenaran d an fakta universal. D i Indonesia, penerapannya ke dalam kehidupan m asyarakat dipaham i sebagai akrivitas keilm uan belaka. Padahal, penerapan teori ke dalam kehidupan m asyarakat adalah suatu pertaruhan nasib. Tidaklah m engherankan jika penerapan paket-paket teori im por, apalagi yang belum * sem pat dikaji-sesuaikan dengan kondisi negeri ini m em unculkan sejum lah persoalan baru.1 T anda-tanda ini m em ang terasa klasik dan rom antis. B ahkan banyak 1 ilm uw an m enepisnya dengan m engatakan: ilm u seharusnja tid a k dibatasi oleh : nasionalism e. T erhadap tepisan ini kita perlu m encerm ati bahw a ilm u sosial di | negeri ini adalah ilm u tentang kita. T eori-teori yang dibangun orang asing tentang kebersam aan kita m erupakan ketidaksadaran kita akan arti penting m asa depan kita sendiri. Pengetahuan orang asing tentang kita pada dasam ya adalah kesem patan lebih pada m ereka untuk m enguasai kita. Penguasaan akan ketidaksadaran kita adalah pintu penjajahan ataupun dom inasi. A pa yang terjadi kalau kendali pengem bangan ilm u tidak ada pada diri kita? K etidaksadaran tentang keseharian kita yang secara diam -diam telah m ereka teotisasikan, m em ungkinkan m ereka m engendalikan diri kita melalui ilm u pengetahuan. C . P r o b le m a K o le k tif A d a yang m engatakan di negeri ini ilm u m engalam i kem andegan, d an ada juga yang menilai terlilit krisis.12 Pertandanya antara lain m engatakan bahw a
1 Sekedar menyebut contoh, para ilmuwan begitu Iantang mengatakan Indonesia adalah negara hukum, namun pemberitaan media massa membukakan mata kita bahwa hukum tidak kunjung dapat ditegakkan. Teori-teori demokrasi begitu fasih dilafalkan para ahli, namun demokratisasi yang mereka gagas tidak kunjung selesai. Begitu juga dengan reformasi birokrasi. Cukuplah bukti awal untuk curiga bahwa krisis yang dirasakan bangsa ini ada hubungannya, kalau tidak disebabkan oleh, krisis keilmuan yang tidak dengan mudah dirasakan para ilmuwan Indonesia sendiri. 2 Untuk memperingati hari jadi-nya yang ke 47, Fakultas Ilmu Sosial dan Emu PolitikFISIPOL U G M mengadakan sebuah seminar yang secara spesifik membahas state o f the art ilmuilmu yang diampu di Fakultas ini. Untuk mencermati ide-ide yang dibahas dalam konferensi tersebut lihat Purwo Santoso, “Potret Politik Ilmu-ilmu Sosial: D i Ambang Involusi”, paper yang direpresentasikan dalam Seminar Nasional peringatan H U T ke-47 Fakultas Emu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada, 25 September 2002. Pada tahun 2005, FISIPOL UGM
610 M illah VoL X I, N o. 2, Februari 2012
kontribusi para ilm uw an sosial dalam pengem bangan ilm u, baik pada tataran teoritik m aupun m etod ologis, belum bisa dibanggakan.3 Selain itu ilm uwan sosial negeri in i m asih terkesan bingung m enentukan p o sisi d i antara sekian banyak aliran atau m azhab para teoritikus asing. M isalnya, perdebatan tentang p olid k dan pem erintahan di Indonesia, acuan populer yang acapkali rlignnal^n sebagai rujukan adalah hasil kajian para Indonesianis non -In d on esia.4 Padahal ada ilm uw an negeri ini yang m am pu m engkaji leb ih baik, hanya saja dinilai ridak setara dan ridak spektakuler. Y ang jelas, In d on esia telah lam a diperankan sebagai lokasi penelitian para ilm uw an sosial m ancanegara. D alam kurun w aktu yang cukup lam a, seperrinya kita hanya m em biarkan hal itu terns1terjadi. Bahkan dari. penelitian-penelitian m ereka b o leh dibilang telah m elahirkan teori-teori besar. A da teori d u a l society yang dirum uskan B o o k e5, teori p olitik aliran yang ditawarkan H erbert F eith dan L ance C astle6, ada teori ten tang kekuasaan dalam m asyarakat Jaw a yang ditawarkan o leh B enedic A nderson7 dan entah apa lagi.8
menggelar even serupa dan membahas isu yang sama. Nada pesimistis masih tetap terdengar. Sebagian makalah yang dipresentasikan dimuat dalam Jumal llm u S o sia l dan Ilm u P o litik , VoL 9, N o . 2, N ovem ber 2005. 3 Purwo Santoso; “Defisiensi Teori Pemerintahan: Refleksi Atas Desentralisasi di Indonesia”, Paper dipresentasikan dalam Seminar Intemasional X I Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Ada Apa Dengan 10 Tahun O tonom i Daerah, Salariga, 21-23 July, 2010. 4Sebagai man tan redaktur Jumal S o sia l <£r P o litik di FISIPOL U G M saya juga merasakan sendiri betapa ridak mudah mendapatkan naskah untuk dipublikasikan 5J.H. Boeke, E conom ics a n d E conom ic P olicy o f D u a l Soeciety, Tjeenk Willink & Zooh, Haalem, 1953. J .H Boeke, “Three Form o f Disintegration in Dual Societies”, Indonesie, VoL 7, N o.4, April 1954. Juga, J.H. Boeke, “Western Influence on the Growth o f Eastern Population”, E conom ia In ternationale, VoL 7, N o , 2,1954. 6 Herbert Feith, Lance Castles (eds.), Indonesian P o litica l T h in k in g 1 9 4 5 -1 9 6 5 , Equinox Publishing, 2007. 7 Benedic RO’G Anderson, “The Idea o f Power in Javanese Culture”, dalam Claire Holt (ed.), C u ltu re a n d P o litics in Indonesia, First Equinox Edition, 2007. 8 Memang, para ilmuwan Indonesia ikut berjasa dalam melahirkan teori-tersebut, namun perannya adalah sebagai nara sumber dalam pengumpulan data kalau bukan sebagai asisten peneliti. Dalam pengembangan teori-teori tersebut ilmuan Indonesia biasanya ridak menjadi arsitek yang merancangnya. Yang ilmuwan sosial di negeri ini getol memanfaatnya, menjadikannya sebagai rujukan.
Ilmu Sosial Transformatif 611
U niversitas
memiliki kapasitas
untuk
m engem bangkan
ilmu, praktis
m elekat tanggung jawab m oral kapasitas belajar dari kom unitas keilm uan di dalamnya. Y ang dipedukan bukan hanya pem belajaran pada d in masing-m asing ilm uwan, nam un juga kom unitas ilm uwan secara keseluruhan.9 Pada level inilah universitas di negeri ini m asih berm asalah.101 B oleh jadi kom unitas ilm uw an sosial di negeri ini m engalam i sindrom collective learning d ifficulty (kesulitan belajar dalam kebersam aan), kalau bukan collective learning dissability (ketidakm am puan belajar dalam kebersam aan). U niversitas bisa saja m enghasilkan sarjana, m aster, tenaga-tenaga profesional dan dokter yang baik, nam u n belum tentu memiliki kem am puan
atau
kecanggihan
dalam
hal
pem belajaran
(learning)
untuk
m enghasilkan tem uan-tem uan bam . Jika pengem bangan ilm u tidak disertai dengan visi “politik” keilm uan yang jelas, peranan ilm uw an sebetulnya hanyalah sekedar sebagai partisipan dari suatu sistem inform asi.11 O leh sebab itu, studi Carlile tentang sistem inform asi yang dilakukan dalam hubungan antarbangsa m engidentifikasi adanya tiga derajat learning organisation jika di lihat dari kem am puan belajam ya: (1) sintaktis, (2)
sem antik d an (3) ttansform atif.12-Ketiganya dapat dijelaskan sebagai berikut:
9 Sehubungan dengan hal itu, UNESCO mengembangkan gagasan learning society. Dalam studi kebijakan dikembangkan gagasan epistemic community. Dalam studi Organisasi juga dikenal konsep learning organization and organizational learning. 10 Dalam keterbatasan yang ada pada diri saya, sejauh ini studi secara seksama tentang hal tersebut belum pem ah dilakukan oleh ilmuwan sosial sendiri. Dalam kekosongan studi, ijinkanlah saya mengemukakan sejumlah indikasi awal, bahwa permasalahannya ada pada level kolekdktifitas. Percakapan secara sporadis dengan sejumlah doktor dan prosefot Indonesia yang bekerja pada sejumlah universitas di Malaysia menunjukkan bahwa ilmuwan sosial asal Indonesia memiliki kompetensi keilmuan yang lebih menonjol, meskipun mereka tidak terlihat menonjol ketika bekerja di negetinya sendin. Atas dasar indikasi awal ini, cukup alasan untuk menduga bahwa hambatan belajar yang serius ada pada level kolektif. 11 Pengembangan ilmu tereduksi sekedar sebagai (1) akuisisi informasi, (2) distribusikan inform asi, dan (3) penafsirkan informasi; serta (4) pengembangan mcmori organisasi. Lihat Huber, George P., “Organizational Learning; The Contributing Process and the Literature”, Orgnization Science, VoL 2, No. 1 February 1991. 12 Carlile, Paul R., “Transferring, Translating, and Transforming: An Integrative Framework for Managing Knowledge across Boundaries,” Organisation Science, VoL 15, No. 5 (Sep. - Oct., 2004), haL 555-568.
612 Millah Vol. X I, No. 2, Februari 2012
D alam deraj at sin ta k tis, yang m enjadi perhatian adalah ketepatan dalam m enyam paikan inform asi, yaitu transfer ilmu dan pem rosesan inform asi secara apa adanya. K om unitas yang tedibat dalam pem belajaran tidak hirau persoalan m etodologis. Belajar pada dasam ya adalah m eniru dan m eniru. Dalam term inologi filsafat ilmu, obsesi m ereka adalah penguasaan aspek ontologis dari pengetahuan yang digelutinya. T ataran sem antik lebih berani m enafsirkan atau m em aham i m akna tersirat di balik fenom ena tertentu. D alam aktivitas pem belajaran, proses m e n a fs irkan tersebut m engandung resiko ka b u r atau bahkan salah, nam un berpotensi m enghasilkan pengetahuan baru berkat kepiawaian m etodologi keilm uan.13 Pem belajaran transform atif ditandai oleh kem am puan m engam bil m anfaat berdasarkan kebutuhan yang jelas dan pada saat yang sama paham , fasih dalam m enghayati dan
m enerapkan
m etodologi yang tersedia.
Perangkat dari
kesadaran konteks dan pem aham an akan berbagai peluang yang terbuka, m ereka terns m enerus terlibat dalam m em ajukan pengetahuan untuk menjawab perm asalahan dalam konteks yang berbeda. U'ntuk itu kita perlu bertanya pada did sendiri, tepatnya m elakukan evaluasi did
dalam
kom unitas
masing-masing;
m asuk
kategori
m anakah
m odel
pem belajaran yang kita selenggarakan? Bilamana kita tam pil dalam peringkat tinggi sebagai W C R U , nam un m odel pem belajarannya tem yata berwatak sintaktik, m aka peringkat yang tinggi tersebut sebetulnya sia-sia. Peranan kita, boleh di bilang, sekedar m eniru-niru apa yang dilakukan oleh ilm uwan di tem pat lain.14
13Jika dibandingkan dengan k a l a n g a n yang model belajamya semantik, yang kalangan yang mengembangkan pembelajaran semantik ini tidak terombang-ambing oleh perubahan, dan tidak panik dalam mensikapi kontroversi karena kokohnya pijakan epistemologisnya. Hanya saja, mereka tidak punya agenda yang jelas ten tang apa yang harus dipelajari. Pengembangan pengetahuannya didiktekan oleh pasokan pengetahuan yang telah tersedia dalam literatur keilmuan. 14 Patutlah kita bersytikur sekiranya model pembelajaran dalam komunitas keilmuan kita berwatak semantik. Dengan model pembelajaran seperti ini ilmuwan bisa mendudukkan persoalan sesuai dengan setting yang melingkupinya. Hanya saja, posisinya masih rawan disiasati oleh ilmuwan dari negara lain. Mengapa? Komunitas keilmuan yang ada bersifat melakukan kontektualisasi dari teori-teori yang dikembangkan oleh ilmuwan dari negara lain, namun bukan yang menjadi penemu dan penentunya. Dengan model pembejalaran seperti ini, mereka
Ilmu Sosial Tratisformatif 613
Jika sindrom kesulitan m engem bangkan kem am puan belajar bersam a m em ang m enjangkiti kom unitas keilm uan sosial di negeri ini, m aka agenda pengem bangan
W CRU
m enghadapkan
kita
pada
situasi
sulit.
W CRU
m engham skan adanya m anajem en resiko. Selain itu, keterlibatan dalam W C R U m ensyaratkan dedikasi universitas untuk tetap berkiprah dalam pengem bangan ilm u, bukan pengem bangan peringkaL Jika keberhasilan naik peringkat ini ddak diikuti
dengan
peningkatan
kem am puan
m engem bangkan
ilm u,
maka
keterlibatan kita di level intem asional tereduksi sebagai pem atuhan terhadap * arahan orang lain. Salah-salah kita terom bang-am bing oleh perubahan global.15 D . P o litik K eilm u a n
Pelajaran yang bisa di petik dari pem aparan di atas adalah bahw a politik pengem bangan ilm u sangat m em erlukan, nam un tidak tidak bisa digantikan,
memang tidak ketinggalan, hanya saja tidak menjadi rujukan dan trend setter meskipun peringkamya tinggi. Sebaliknya, arah pengembangan ilmu didiktekan oleh trend yang berkembang. Apa yang dianggap penting atau vital sangat tergantung dari trend tersebut. Model pembelajaran transfotmatiflah yang memungkinkan kita mengembangkan nasionalisme pengembangan ilmu sosial. Dengan model inilah ilmuwan di Indonesia ambil bagian dalam mewujudkan amanah konstimsi: mencerdaskan kehidupan bangsa. Pengembangan ilmu sosial didedikasikan untuk menjawab masalah-masalah bangsa, dan pengembangan ilmu tersebut disertai dengan menggembleng sarjama, master dan doktor yang sanggup memecahkan sebagian masalah bangsa ini dengan ilmu yang diasahnya. Yang jelas, untuk bisa keluar atau terbebas dari > krisis keilmuan, komunitas ilmuwan dituntut untuk melembagakan proses pembelajaran transformatif. Sedangkan kapasitas untuk melakukan transformasi ditentukan oleh penghayatan falsafati ilmu yang ditekuninya. Yang tidak boleh dilupakan, penghayatan falsafah keilmuan ini dijabarkan dalam praktek sehari-hari dalam komunitasnya. 15 Sebagai contoh sosial di Indonesia sangat asyik mengusung wacana yang sangat populer di era global, yakni wacana governance. Tidak sedikit dari pewacanaan tersebut melupakan telaah politik-ekonomi intemasional yang memperlihatkan bahwa peredaran wacana tersebut adalah bagian tak terpisahkan dari liberalisasi. Antusiasme untuk merepoduksi wacana akhimya begitu menjadi-jadi sehingga para ilmuan ini tidak sadar bahwa yang dilakukan adalah bagian dari proses peminggiran peran negara dalam mengelola kepentingan publik. Kealphaan menyadari liberalisme adalah faham yang skeptis terhadap peran negara, yang seiring dengan kealphaan bahwa konsep governance yang diusungnya adalah varian liberal menjadikan sejumlah ilmuwan bukan hanya menjadi kaki tangan yang tidak sadar tujuan alias terombang-ambing. Apalagi, nafas liberal tersebut disembunyxkan predikat ‘good’ bagi konsep governance. Dalam konteks ini, ilmuwan sosial lebih berperan sebagai sales konsep yang berlaku pada tataran intemasional dari pada perumus konsep untuk diterapkan dalam kompleksitas konteks sosio-kultural Indonesia.
614 Millah Vol. X I, No. 2, Februari 2012
oleh pengem bangan m anajem en dan kelembagaan.16 Pengem bangan ilm u tentu saja berdinam ika, nam un tidak boleh luput dari perhatian para ilm uw an itu sendiri. O bsesi untuk tam pil sebagai W C R U perlu dilandasi dengan kalknl3Sj politik keilmuan an tar negara. Sehubungan dengan usulan untuk m erum uskan politik ilm u tersebut di atas, dapat juga dikatakan tidak m udah karena tantangan pengem bangan ilmu sosial sebetulnya m engandung resiko, yakni adanya target-target barn kalangan ilm uwan itu sendiri.17 D engan keinginan untuk m engatasi masalah melalui pengem bangan ilmu, semakin dirasakanlah kegagalan teori sosial yang digeluti.18 Pengem bangan ilm u perlu disertai dengan kom itm en untuk m engatasi persoalan bangsanya. Pada tataran praktis, Indonesia sepertinya belum m erum uskan secara jelas dan m enerapkan secara konsisten politik keilm uan ini.19 K ita juga tidak punya 16 Belakangan ini kita menyaksikan perubahan sosok universitas. Lembaga ini semakin kentara sosoknya pelaku industri pendidikan, dan dalam pergeseran ini tidak pemah ada rumusan tentang politik pengembangan ilmu yang hendak dilakukan selain memastikan menjadi mata rantai industri itu sendiri. Dalam skema industrialisasi pendidikan itulah ilmu sosial netral dikembangkan, dan dalam kekosongan politik keilmuan ini Indonesia menjadi tetap menjadi lokasi. untuk memberlakukan teori-teori universal tersebut. Dalam konteks ini, obsesi universitasnya untuk tampil sebagai W CRU perlu sensitif terhadap persoalan-persoalan di atas. Syukur kalau memang kita memformulasikan politik keilmuan ini dalam skema W CRU itu sendiri. 17 Redefinisi peran intelektual ini salah satunya dipantik oleh tulisan Julien Benda mengeni penghianatan kaum intelektual 18 Lebih lanjut baca misalnya baca, Dick Hartoko. Golongan Cendekiawan, Mereka yang Berumah di Angin: Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta; Gramedia. 1981); Aswab Mahasin, dan Ismet Nashir, (ed). Cendekiawan dan Politik, ( Jakarta: LP3ES. 2004); Ignas Kleden. Sikap Ilmiab dan K ritik Kebudayaan, ( Jakarta: LP3ES. 1987); AE Priyono, (ed). Krisis Ibnu-Ilmu Sosial dalam Pembangunan di Dunia Ketiga, (Yogyakarta: PLP2M. 1984); Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim (Kumpulan Karangan Dawam Rahardjo), (Bandung: Mizan. 1993); Nico G Schulte N ordholt dan Leontine E Visser, (ed). Ilmu Sosial di A sia Tenggara: Dari Partikularisme h e Universaksme, (Jakarta: LP3ES. 1997); Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Ktkuasaan dalam Negara Orde Baru, (Jakarta: Gramedia Pus taka Utama. 2003); Yudi Latif, InteUgensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20, ( Bandung: Mizan. 2005); serta Hadis dan Daniel Dhakidae, (ed). Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia, 0akarta: Equinox Publishing Indonesia. 2006). 19 Sebagai contoh, ketika menyekolahkan para pemuda pilihan untuk belajar ke luar negen, yang kita banyangkan hanyalah peningkatan sumberdaya manusia. Kita tidak punya rencana yang jelas apa yang harus mereka hasilkan setelah pularig dari luar negeri. Karena tidak
Ilmu Sosial Transformatif 615
; form ula yang jelas ke negeri m ana para d osen ilm u-ilm u sosial harus belajar karena tidak ada spesifikasi ilmu yang hendak dikem bangkan, dan m asalah apa yang harus diatasi. K eputusan u n tu k itu diam bil alih oleh m ereka yang m enaw arkan beasiswa belajar di luar negeri, m ereka yang ingin m endatangkan kita. Padahal, ada kecenderungan dari universitas-universitas di negara-negara pascakolonial, tidak terkecuali universitas di negeri ini, m enjadikan univeritasuniveritas di negara-negara maju rujukan pengem bangan. Baik secara alamiah (naturej
m aupun
by
design,
relasi
tersebut
dapat
m enim bulkan
efek
ketergantungan terhadap pergum an tinggi di negara industri maju.20 T anpa kejelasan arah politik pengem bangan ilmu, kom unitas yang secara keilm uan konsistennya pelaksanaan stratcgi pengebangan ilniu dan teknologi di masa Prof. Dr. BJ. Habibie menjadi menteri Riset dan Teknologi, investasi besar-besaran untuk pengembangan sumberdaya manusia yang memberikan harapan besar saat itu, kini justru diperlakukan sebagai beban. Entah apa yang telah terjadi, tidak sedikit dari mereka yang masih berada di luar negeri setelah memperoleh gelar doktornya. 20 Untuk menjelaskan point ini, mari kita cermati Modem Indonesia Project yang dikembangkan Amerika Serikat di Cornell University. Sedikit banyak proyek memiliki fungsi menggiring pemikiran politik dan ekonomi di negeri ini. Salah satu karangan penting terkait hal tersebut ditulis oleh David Ransome, The Berkeley Mafia (1970), yang diulas oleh Bruce Glassburner, “Politik Ekonomi dan Pemerintahan O rde Barn”, dalam A rndt [Arndt, HW (ed),. Pembangunan dan Pernerataan: Indonesia di Masa Orde Baru, ( Jakarta: LP3ES, 1987). Menurut Ransome dikutip Glassburner, Kepala Perwakilan Ford Foundation di Jakarta tahun 1950-an, Michael Harris, “dituduh” telah berusaha mengarahkan pelajaran ekonomi di universitasuniversitas Indonesia kepada pemikiran Barat ortodoks, sebagai suatu usaha mencegah “kekirikirian”, khususnya “Soekamoisme”. Alat yang dipakai berupa bantuan (grant) Ford Foundation (Rockerfeller Foundation, dan Fulbright) dalam jumlah besar kepada Indonesia, yang diatur universitas-universitas Amerika, unmk studi lanjut di Amerika maupun membiayai tim Amerika yang menjadi penasihat dalam kurikulum dan yang berhubungan dengan itu, atau mengajar di Indonesia. Tujuan utama Ransome dengan karangannya adalah menyalahkan keterlibatan University o f California (Berkeley) dan Ford Foundation dalam upaya pembersihan berdarah dan penghapusan Partai Komunis Indonesia (PKI), serta yang terpenting adalah ascsiasi intelektual ini dimaksudkan unm k penerapan ideologi ekonomi komprador (comprador economy ideology) dan kebijakan ekonomi yang sesuai dengan kepentingan Amerika. D i luar Berkeley, catat Simon Philpott, Meruntuhkan Indonesia: Politik Postkolonial dan Otoritarianisme, ( Yogyakarta: LKIS, 2002), ada juga keterlibatan kuat dari Massachusetts Instimte o f Technology (MIT) dan Cornell University. Bahkan di Cornell, Ford Foundation, juga mendanai pendifian M odem Indonesia Project, suatu program studi Indonesia yang paling berpengaruh selama empat puluh tahun terakhir. Dalam perjalanannya, jumlah donor semakin besar dan semakin beragam latar geografis, bidang, kepentingan, ideologi, dan karakteristik lainnya (menyebut sejumlah contoh: dan Eropa Barat termasuk Skandinavia, Eropa Timur, Asia Timur, Tim ur Tengah, dan Australia)
616 M illab VoL X I, No. 2, Februari 2012
difasilitasi dengan oto n o m i m udah digrnng oleh agenda-agenda negara-negara •
maju.
2 1
K alau kom itm en kita adalah m enjalankan am anat untuk m encerdaskan kehidupan
bangsa yang notabene rentan disetir o leh
bangsa-bangsa lain^
m enam pilkan universitas sebagai W C R U haruslah didasari o leh kem am puan m enjadi sum ber pengem bangan ilm u di n egeti sendiri, bukan hanya m em bantu bangsa lain m engam bil ilm u dan halam an kita. H al yang sebaliknya juga penting. M elalui W C R U ini kita ham s dapat m engam bil kecerdasan m ereka untuk m encerdaskan kehidupan bangsa ini.2122 W C R U ham s dipastikan tidak berfungsi
21 Kita tahu ada cerita banyak paket beasiswa yang diberikan, ada asistensi pendirian dan pengembangan jurusan (termasuk pendampingan penyusunan kurikulum serta sistem perkuliahan), penyediaan bahan-bahan literatur akademik, bantuan research gran t, fellow sh ip, stu den t exchange, dan lain sebagainya. Hal ini diperteguh oleh industrialisasi penerbitan serta kemajuan teknologi informasi yang dikembangkan di negara-negara maju, akibatnya arus lalu-lintas pengetahuan bergerak menjadi sangat agresif: cepat, mudah, dan murah, namun tanpa menanggalkan coraknya yang cenderung satu arah (one w ay distribu tion ) Kondisi demikian menyebabkan posisi awal (hingga kini) pengembangan keilmuan di mayoritas negara pascakolonial bercorak “mencarl ke luar” (outw ard looking) daripada secara induktif menggali khasanah yang dimilikinya (Indigen). Sebagai salah satu indikator, Smith Smith, Linda Tuhiwai, D ekolon isasi M etodologi. Yogyakarta: Insist Press. 2005. hal: xi., berujar, bahasa dan kutipan teks dalam karya-karya ilmiah yang dihasilkan seringkali menjadi tanda-tanda paling jelas dari tradisi teoritik seorang penulis. Seperri juga ditegaskan Kleden, h a ll7, yang menulis secara nyinyir: ‘Tara ilmuan sosial di negara-negara Dunia Ketiga mulai sadar dan kemudian merasa malu bahwa sesungguhnya mereka terlalu lama hidup sebagai sarjana imitasi. Ketika mereka ingin mengatakan sesuatu, maka yang mereka lakukan adalah hanya sekadar mengulang atau engutip kata-kata gurunya dari Barat, dan ketika mereka ingin menentang gurunya, mereka praktis tidak berbuat lain daripada mencari guru-guru lain yang juga dari Barat Dengan demikian, mereka mempelajari Dahrendorf agar mampu mengkritik Parsons; mereka mendengar Popper jika mereka harus mengatakan sesuatu menentang Marx, mereka menolak Max Weber atas Habermas, dan mereka menonjok Levi Strauss dengan tinju Paul Ricoeur.” Tesis/asum si tersebut pun diuji dalam kajian ini. 22 P o in t ini saya kedepankan lagi karena ada kesan bahwa realisasi gagasan tentang W C R U lebih kental dengan nuansa manajerial dari pada pengembangan ilmu. Simpul dinamikanya ada pada pengelola atau pengurus, bukan pada ilmuwannya. Kata-kata kuna yang dipakai adalah tipikal dalam pengembangan manajemen, yakni standarisasi, pengendalian mutu dan sebagainya, bukan teori ini dan teori itu. Sepertinya pengembangan slsi keilmuan dianggap sudah tidak pedu diapa-apakan lagi (given), cukup dilekatkan pada mtinitas manajemen universitas berikut unitunit kerjanya. Secara politik, menjadi W C R U tidak berarti apa-apa bila ilmu, yang pertaruhan utama universitas bukan menjadi inti persoalannya. Profesionalitas pengelolaan dan kemapanan lembaga memang menjadi pra-syarat, namun muaranya tentulah pengembangan ilmu dan pengembangan diri kita sebagai bangsa.
i
Ilmu Sosial Transformatif 617
sebagai instrum en konglom em si pengetahuan yang secara keilm uan justru m em posisikan Indonesia sem akin ketagihan dan tergantung.
I
C itra universitas kita di arena intem asional m em ang harus sem akin m enonjol, nam im perannya sebagai produsen ilm u dan bukan sebagai penyebar atau penyalur ilm u yang dikem bangkan oleh lem baga-lem baga di luar negeri.
| Jangan sam pai bangsa ini akan sem akin kecanduan dengan resep-resep yang ; diturunkan dari teori-teori sosial di negara lain. Jangan sam pai kita yang d ituntut m enyesuaikan diri terhadap standar yang berlaku di negara lain, karena kita tidak i sanggup m em perjuangkan standar altem atifnya. A ndsipasi ktiris tentang W C R U tersebut di atas tidak dim aksudkan untuk m em persalahkan siapa-siapa, m elainkan sekedar m engingatkan diri sendiri dan para ilm uw an yang m enekuni ilm u sosial di negeri ini. Jangan sam pai kita terbuai oleh si stem peringkat yang diberlakukan dalam W C R U .23 Y ang jelas, universitas-universitas di negara m aju lebih memiliki k o n tro l terhadap ilm u yang m ereka kem bangkan. U ntuk itu, ilm uw an sosial perlu m enentukan alat ukur sendiri u n tu k m enunjukkan kem ajuan kita dalam m enggarap persoalan yang kita lebih tahu, kita lebih m am pu. U kuran itu harusnya bersifat substantif, misalnya keberhasilan m engem bangkan m azhab baru dalam bidang kajiannya. Paling tidak, ukurannya adalah tidak kecolongan ,24
23 Ada kebanggaan tersendiri ketika universitas kita masuk dalam peringkat 100 besar dunia. Yang menarik, ada era dim ana disiplin ilmu sosial di UGM ini masuk dalam peringkat yang sangat membanggakan. Sungguhpun demikian perlu diingat bahwa yang menjadikan ilmu sosial di UGM masuk dalam peringkat tersebut bukanlah kontribusi keilmuan dalam pengembangan ilmu. Salah satu penjelasnya adalah banyaknya mahasiswa asing yang belajar bahasa dan budaya Indonesia. Sehubungan dengan hal itu penting bagi kita untuk tidak terbuai dengan peringkat, dan lupa dengan tantangan yang sesungguhnya, yakni mengembangkan ilmu im sendiri. 24 Ijinkan saya menggunakan contoh dalam pengembangan teori politik, khususnya teori demokrasi. Kita belum lupa bahwa konsep musyawarah begitu gencar di ditonjolkan pemerintah, dan para ilmuwan politik begitu genjar juga mencercanya. Musyawarah telah dipolitisir oleh para pcmunpin kita waktu itu untuk menyembunyikan berbagai kepentingannya, dan sejalan dengan hal itu, ilmuwan justru tidak mengembangkan teori tentang musyawarah ini. Setelah O rde Baru bedalu, kita dikejutkan oleh demokrasi permusyawaratan (deliberative democracy) yang dikembangkan oleh ilmuwan manca negara. Ironis bukan ? Kita harus belajar sesuatu kepada orang lain tentang hal yang pemah dan mungkin masih menjadi watak budaya kita. Ilmuwan politik harus menanggung malu karena tidak punya kejelasan arah pengembangan
I
618 M illah Vol. X I, No. 2, Februari 2012
E . B ela ja r d ari N e g a r a L a in U sulan untuk m erum uskan politik keilm uan rial am rangka go in tern ation al tidaklah
m engada-ada.
H al itu
juga d ilak uk an
o leh
negara
lain. T eoti
ketergantungan yang dikem bangkan oleh para ilm uw an di negara-negara A m erika Latin, m isalnya, m enyediakan pijakan bagi perpolitikan d i negeri itu untuk m em utus ketergantungan p olitik-ekon om i m ereka dari negara-negara industri m aju.25 Sebab m od el pem belajaran yang dikem bangkan adalah m odel yang transform atif. Sem ua itu bisa dilakukan ketika m etod e pem belajaran kritis direproduksi dan diterapkan. H al yang setara dilakukan o leh para ilm uw an di A sia Tim ur. D i negeranegera di kawasan in i, para ilm uw an sosial m endapat kepercayaan besar untuk m enjadi arsitek kebijakan pem bangunan dan industrialisasi. Form ula kebijakan yang diterapkan kem udian dilabeli sebagai teori developm ental sta te. Berkat upaya m erekalah kawasan A sia Tim ur m engem uka sebagai p usat kekuatan barn perkem bangan ek on om i dunia. Belajar dari negera-negara
tersebut di
atas, kom unitas
ilm u
sosial
m engagendakan p roses k o lek tif im tuk m erum uskan p olitik pengetahuan untuk negeri m ereka. Baik penerapan teori ketergantungan tersebut di atas, m aupun praktek industrialisasi yang kem udian diperlakukan sebagai penerapan teori developm ental sta te
in i,
tetap
m enyim pan
sem angat nasionalistik
di balik
pengem bangan dan penerapan ilm u pengetahuan.26
teori politik dalam komunitasnya. Semoga hal semacam ini tidak terjadi dalam ilmu sosial yang lain. 25 David Lehmann, D ependencia: A n Ideological H isto ry, Institute o f D evelopm ent Studies at the University o f Sussex, 1986. 26 Nasionalionalisme dalam pengembangan ilmu, dengan mudah dimentahkan sebagai ketidakmatangan dalam berilmu atau pengembangan ilmu. Menjadi ilmuwan haruslah netral, menghasilkan teori yang universaL Itulah ajaran yang selama ini kita pegang dan kita ajarkan kepada para mahasiswa. Ajaran ini menutup-nutupi kenyataan bahwa pengembangan ilmu itu beriangsung bersamaan dengan pengembangan relasi intemasional yang, diam-diam member keuntungan lebih kepada yang tahu. Kalau dibaca secara skeptis: relasi intemasional ini
llm u Sosial Transformatif 619
Para ilm uw an di m asa O rd e B aru p u n telah m encoba untuk bekerja dalam bingkai developm ental state tersebut. N asionalism e keilm uan ini ridak tereproduksi secara seksama. Lebih lagi, prestasi Indonesia tidak segem ilang prestasi rekanrekannya di negara Asia T im ur yang lain. M im pi m ew ujudkan Indonesia sebagai suatu developm ental state pada m asa O rd e Baru terpeleset m enjadi predatory state. Sambil m em pidatokan pem bangun, agcn-agen yang m engem ban tugas negara diam -diam m engem bangkan peran tam bahan: m enjadi pem angsa kesejahteraan rakyat N am u n diagnosis adanya w atak predatorik ini hanya dikom unikasikan dan dipaham i bersam a di antara para ilm uw an, karena ilm uw an m em ilih untuk m enjaga jarak dan tam pil sebagai pengam at. D alam kebingungan m enanggulangi w atak pem angsa ini, para ilm uw an berhasil
m enggiring
proses
roerientasi
kebijakan
secara
besar-besaran.
Sem angatnya jelas, m elucuri atau m em inggirkan kekuasaan negara. R eorientasi ini juga dikenal dengan sebutan liberalisasi. K alau di negeri ini terjadi liberalisasi secara besar-besaran, m edium ilmuwannya.
Liberalisasi
utam anya adalah universitas
didahului
dengan
popularisasi
beserta para
teori-teori
yang
dibangun di atas paham liberal. Liberalism e ini m erasuk dalam perwiacanaan I para ilm uw an sosial. A pa yang terjadi selanjutnya? K ebijakan-kebijakan yang m ereka sarankan atau m ereka advokasikan secara diam -diam memfasilitasi negara-negara industti m aju m em perkokoh cengkeram annya terhadap negaranegara berkem bang. F . Ilm u S o sia l T r a n sfo r m a tif
llm u sosial yang dim aksudkan dalam tulisan ini m encakup berbagai disiplin, term asuk di antaranya sosiologi, ilm u politik, ilm u ekonom i, antropologi, sejarah, ilm u hukum dan sebagainya. Istilah transform atif di sini dipakai dalam pengertian yang longgar, sekedar u n tu k m enandai cara kerja ilm uw annya yang tidak hanya berjuang u n tu k m enjaw ab pertanyaan-pertanyaannya sendiri, nam u n hirau dan pada gilirannya m encurahkan dedikasinya u n tu k m enjaw ab pertanyaan-pertanyaan masyarakatnya. M uara dari kegiatan pengem bangan ilmu membiarkan yang kurang pin tar tetap tidak sadar kalau, dari waktu ke waktu dan dari berbagai sisi, tetap dibodohi.
620 Millah Vol. X I, No. 2, Februari 2012
yang ditekuni bukan hanya stok pengetahuan yang lebih banyak dan lebih baik, m elainkan juga kapasitas mengatasi m asalah-masalah sosial. Sungguhpun dem ikian, ilmu sosial transform atif bukanlah ilmu tentang ketram pilan (vokasi). W atak transform atif ilmu sosial bukan ditentukan oleh ketram pilan teknis, m elainkan ditentukan oleh kom itm ennya untuk m ewujudkan realitas barn sesuai dengan yang diteorisasikannya. K etika m em bahas good governance misalnya, kehirauannya bukan hanya pada ukuran dan ciri-ciri good governance, melainkan m enghasilkan perilaku bersam a yang m em enuhi ukuran dan ciri-ciri yang dim aksudkan. Realita barn ini m erupakan ekspresi dari kom itm en etik yang di reproduksi melalui proses pendidikan yang dikelola oleh universitas. Pengem bangan ilmu sosial transform atif m ensyaratkan kepiawaian dalam tiga dimensi filsafat ilmu: yakni ontologi, epistemologi dan aksiologi. Pencanggihan di tiga dim ensi ini perlu dilakukan dalam kebulatan. H anya saja, yang selama
in i
berm asalah adalah sisi epistem ologis dan sisi aksiologis. Jelasnya, watak transform atif perlu didasari kejelasan pilihan epistemologisnya: m enolak asumsi bahw a kegiatan pengem bangan ilm u netral dari praktek adu kuasa. Kalaulah penelitian
dan
sebagaimana
kegiatan-kegiatan
dituntut
kaum
keilm uan
posisitivis,
dilakukan
akumulasi
secara
obyektif
pengetahuan
yang
betlangsung tidak m ungkin m engelak dari kenyataan bahw a pihak yang lebih tahu dapat dan biasa menyiasati pihak lain karena pengetahuannya. O leh karena itu,
d a la m
k e il m u a n
pengem bangan ilm u sosial transform atif keberadaan m etode m engedepankan obyektivitas tidak harus ditolak, nam un ham s
disadari kenaifannya, dan dicarikan cara untuk m engkom pensasi kepeduannya untuk transform atif.27 W atak transform atif juga ditentukan oleh pilihan aksiologisnya. Ilm u sosial dikem bangkan bukan sekedar untuk pengem bangan ataupun akumulasi teori m elainkan juga untuk m em perbaiki relasi sosial yang terjalin, untuk m enghasilkan realitas sosial yang dinilai lebih baik. Studi dalam skala terbatas yang telah dilakukan selama ini m enunjukkan bahw a kem andegan pengem bangan ilm u dari sisi ontologis tidak diimbangi 27 Kaidah netralitas ilmu, mungkin tidak problematik untuk ilmu eksakta ataupun ilmu alam. Pengembangan ilmu sosial transformatif, juga tidak harus melarang diberlakukannya kaidah kenetralan ini. Hanya saja, hal itu harus dikawal dengan rumusan politik keilmuan yang jelas, sebagaimana dijelaskan di depan.
Ilmu Sosial Transformatif 621
dengan kepiawaian epistem ologis. D i sam ping itu, ilm u tidak berkem bang karena, secara aksiologis ilmu dipelajari sekedar untuk tahu atau tahu lebih banyak.28 Sangat sedikit sem angat advokasi yang direproduksi d a n kegiatan keilm uan yang dipelajari. K epincangan dal am penguasaan dan penerapan riga dim ensi filsafat ilmu ini
tem yata
sejalan dengan
tiga
ripe
pem belajaran
dirum uskan oleh Cariile sebelumnya. M atrik K eb u n tu an
pengem bangan
ilm u
ketika
kolektif yang
telah
1 m em perlihatkan hal ini.
obsesi
ontologis
dikejar
tanpa
penguasaan epistim ologis yang disertai dengan kelatahan aksiologis. Ilm u dikem bangkan sekedar karena m au tahu apa yang diketahui orang lain. M odel pem belajaran
kom unitas
ini
berw atak
sintaktis
karena
ilm uw an
yang
bersangkutan tidak sem pat m em aham i duduk persoalan yang dipelajari. Ketika m enengok kem bali m odel pem belajaran yang berlangsung di m asa lalu,' kita m enem ukan gejala sem acam ini. Sebagai co n to h , ketika m engajarkan m ata kuliah tentang sistem , kam i tidak sem pat m em persoalkan m engapa konsep sistem ditaw arkan, dan pengajarannya lebih pada pertanyaan: “apakah sistem itu?” . R eproduksi kem am puan m enghasilkan pengetahuan akan lebih terlihat sekiranya yang dilakukan adalah mengajari berpikir sistem dan m em perjuangkan sistem. Pem belajaran akan lebih hebat lagi sekiranya keberhasilan pem belajaran diukur dari kem am puan m enerapkan sistem dalam praktek kehidupan seharihari.
M atrix. 1. P eta K ecan ggih an F ilo so fis untuk M engem ban gkan K apasitas K e ilm u a n
Sisi Kecanggihan Filosofis Model Pengembangan
Ontologis
Epistemologis
Aksiologis
Sintaktik Semantik 28 Purwo Santoso, N u r Azizah, Nanang Indra K, Joash Tapiheru. B.S., Zarah Ika, “Sinergi Pengembangan Emu Pemerintahan Dengan Pembaharuan Tata Pcmetintahan Lokal”, Monograph on Politics and Government, Vo. 4 No. 1 Tahun 2010.
622 Millah Vol. X I, No. 2, Februari 2012
T ra n sfo rm atif
Penguasaan epistcm ologis m em ungkinkan ilmuwan m em aham i berbagai pem aham an tentang suatu hal, dan adanya hal itu m em ungkinkan dirinya m enarik makna. Peduasan kom petensi dad m elulu m em buru pem aham an ontologis dengan m em perkuat basis epistemologi m em ungkinkan ilmuwan m engem bangkan pem belajaran yang tarafnya semantik. K em bali pada contoh sebelumnya: pem belajaran tentang sistem . Targetnya bukan hanya bagaimana m ereproduksi bedangsung
cara
berpikir
manakala
sistem iL
pertanyaan
Pengem bangan
ontologi
diajukan
ilmu karena
tran sfo n n atif pertanyaan-
pertanyaan aksiologis. Kalaulah belajar sistem dan caca berpikir sistemik, pem belajaran itu didorong oleh keinginan untuk m em bentuk sistem untuk situasi
tertentu.
K uatnya dorongan
untuk
m enjawab
pem asalahan yang
menggejala m em butuhkan kerangka epistemologis untuk menjelaskanya. Politik pengem bangan ilm u yang kita dam bakan, sebetulnya justru tersirat d a d keharusan untuk m engkaitkan T ri D harm a Perguruan Tinggi sebagai suatu kebulatan. Spirit untuk m engam alkan Tri D harm a Perguruan Tinggi sebagai suatu kebulatan, p e d u ada pada setiap ilmuwan. Pengelolaan universitas, sebagaimana sem akin terlihat belakangan ini, semakin didasari oleh kepeduan u n tu k m em astikan m asing-m asing dharm a perguruan tinggi tersebut bersifat baling m enunjang.29 Isdlah transform atif, yang dikem ukakan dalam tuhsan ini sebetulnya hanyalah suatu penegasan bahw a m uara dad aktualisasi kegiatan k e ilm n a n ,
dalam hal ini pendidikan dan penelitian, adalah pengabdian pada
masyarakat. Politik pengetahuan yang kita pedukan m engharuskan pem balikan logika konvensionaL Pengabdian pada masyarakat, bukanlah beban tam bahan yang harus dipilih, m elainkan justru basis pijakannya. D alam interaksi dengan m itra-m itra kerja dari luar negeri, tidaklah m udah kita m en u n tu t atau mengajak m ereka ambil bagian dalam m enunaikan misi pengabdian pada m asyarakat Sebagai contoh, kerja sama intem asional dengan
29 Purwo Santoso dan Kacung Marijan, “Demokratisasi Indonesia Secara Kontektual, Makalah Kelompok Kerja Demokratisasi”, Disampaikan dalam Konvensi Kampus VII dan Temu Tahunan X III Forum Rektor Indonesia di Universitas Sriwijaya, Palembang pada tanggal 13-15 Januari 2011.
I
Ilmu Sosial Transformatif 623
sejum lah Indonesianis untuk m eneliti proses dem okratisasi. K arena m ereka bukan orang Indonesia, m ereka tidak punya kom itm en u n tu k m endorong proses dem okratisasi melalui riset te rs e b u t M ereka sangat antusias untuk m enghasilkan laporan yang baik dan m enerbitkannya, nam u n tidak m erasa perlu untuk m em fasilitasi penggalangan jejatdng aktivis pro-dem okrasi. ;
G . M e n g g a la n g T ra n sfo rm a si
A p a yang bisa dan perlu dilakukan agar W C R U ditopang oleh politik keilm uan yang kokoh? Bagaim ana m em astikan ilm uw annya sanggup keluar dari krisis keilm uan yang melilimya d an memiliki kontribusi bagi penanganan i
m asalah-m asalah sosial di negeri ini? Serangkaian proses reorientasi sangat perlu dilakukan, baik pada tataran konsep m aupun praktek. 1. B erangkat dari evaluasi kinerja ilmuwan. Prasyarat u n tu k bisa berkem bang adalah m emiliki keberanian untuk m engevaluasi d id sendiri d an m engam bil langkah yang tepat berdasar evaluasi itu sendiri. Pertanyaannya, pada level m ana evaluasi itu harus dilakukan. Seberapa jauh unit-unit ini m enata d id m engem bangkan ilm u yang digelutinya? M ated evaluasinya bukan hanya seberapa bagus m ereka m engelola proses pem belajaran, m elainkan juga m em erankan d id sebagai unit pengem bangan ilmu. K alau p e d u , universitas m entargetkan lahir dan berkem bangnya m ahzab keilm uan
tersendiri
sehingga kom unitasnya
dad
d ik e n a l
k ek h asan
gaya
pem ikirannya, bukan karena gelar d an jabatannya. Jika usulan ini disetujui
m aka
ilm uw an
sosial
sosial p e d u
memiliki
ketegasan
aksiologis,
sebab
ilm u
dikem bangkan bukan untuk ditim bun m elainkan u n tu k m engatasi masalahm asalah sosial. Sebagai co n to h , di U niversitas G adjah M ada disepakati form ula pem bagian peran. F orm ula ini dikenal dengan istilah SA D A , singkatan dari Sentralisasi A dm inistrasi dan D esentralisasi Akadem ik. D engan adanya desentralisasi akadem ik ini m aka pelaku dan tanggung jawab pengem bangan ilm u ada pada unit-unit kecil, setidaknya Jurusan dengan Program -program Studinya dan pusat-pusat penelitian. Sehubungan dengan agenda pengem bangan W C R U ini sungguh
sangat
disayangkan
kalau
desentralisasi
akadem ik
yang
telah
624 Millah Vol. X I, No. 2, Februari 2012
dibedakukan
tidak berm uara pada aktualisasi d id
pengem bangan
llmu
di
bidangnya
masing-masing.
para ilm uw an dalam Skema
desentralisasi
akademik akan m enjadi hal yang sia-sia bilam ana tidak berm uara pada kebangkitan ilm uwan dan ilm u sosial Indonesia. T idak optim alnya akmalisasi otoritas akadem ik yang telah didesentralisasikan, dapat m enjadikan penam pilan W C R U pincang.30 D ari segi peiingkat bagus, nam un m em prihatinkan dari segi
kontribusinya.
O leh
karena
itu,
para
ilm uwan
sosial
di tun tu t
untuk
mengevaluasi dirinya sendin dan m engusulkan serta m ew ujudkan langkahlangkah yang dipedukan. Sebetulnya skema evaluasi sudah ada dan sudah dijalankan. Pengukuran terhadap kinerja unit-unit akadem ik ini m em ang telah dilakukan oleh D irektoral Jendral Pendidikan tinggi dengan skema E P S B E D (Evaluasi Program Studi Berbasis Evauasi D id). D i sam ping juga skema akreditasi yang dilakukan oleh Badan Akreditasi N asional (BAN). H anya saja, yang diungkap dalam skem a ini bukanlah
kinerja
dalam
pengem bangan
ilmu
m elainkan
kinerja
dalam
menyelenggarakan proses pem belajaran. Kalaulah kinerjanya suatu program studi diberi nilai ‘A ’ sam a sekali tidak ada jam inan bahw a program sm di ini memiliki kaliber ‘A ’ dalam pengem bangan ilmu. U n tu k itu p e d u perbincangan serius dalam kom unitas ilm uw an sosial sendiri u n tu k m erum uskan tolak ukur dan
m ekanism e pengukuran kinerjanya dalam pengem bangan ilm u dan
penanganan masalah-m asalah sosial yang bedangsung di negeri ini. 2. T ransform asi dari kosum en ke produsen. K etika go international.’ ada prasyarat yang kita berlakukan pada d id sendiri: sanggup berperan sebagai produsen ilmu. D engan dem ikian keterlibatan kita di
30 Praktek desentralisasi pemetintahan, yang semenjak berakhimya era Orde Baru hendak dilakukan secara besar-besaran di negeri ini, menyajikan pengalaman menarik. Ada pemerintah daerah yang berkembang dan inovatif karena diberi otonomi. Namun, ada juga pemerintah daerah yang justru tidak jelas kinerjanya ketika diberi kesempatan berotonomi. Mekanisme dan prosedur pemetintahan di sejumlah daerah justru ada yang semakin kacau balau ketika daerah tersebut mendapatkan luapan daya yang melampaui daya serapnya. Apa yang membedakan kinerja satu daerah dibandingkan dengan daerah lain dalam menggunakan otonominya? Yang membedakan adalah kemampuan menggunakan otonomi secara bertanggung jawab, menggunakan sesuai dengan misi pemberian otonomi itu sendiri.
Ilm u S osial Transform atif 625
kancah in tem asion al ridak hanya “m engim por” nam un juga “m engekspor” pengetahuan. Sehubungan dengan hal itu, kita p ed u m ew aspadai godaan untuk m udah puas, atau tanpa sadar hanya m enjadi pengim p or pasif. M engapa? Selam a in i terjadi hubungan yang ridak sam a dan ridak seim bang antara negaranegata in d u stti m aju dengan negara-negara berkem bang seperti negeri kita ini. T etsed ianya tek n o lo g i inform asi dan berbagai fasilitas lain telah m em udahkan ilm uw an sosial m engakses berbagai kajian yang ada d i m uka bum i in i. T api, jangan-jangan hal in i hanya m em asrikan bahw a ilm uw an so sia l d i negeri in i hanyalah k on su m en bertaraf glob al, bukan p rod u sen yang sanggup m em asarkan produk-produknya d i arena in tem asion al. Pertanyaannya kem udian adalah bagaim ana keluar dari zo n a kenyam anan sebagai kon su m en dan secara lam bat tapi pasri hadir sebagai prod u sen dan “eksportir” ilm u atau teori-teori sosial? Selam a in i ilm uw an so sia l m em elihara salah kaprah dan pada saat yang sam a m em ilih tinggal d i zo n a nyam an sebagai konsum en. D alam kultur akadem ik yan g beriaku, ilm uw an m em ang p ed u m erujuk dan m en yeb ut sum ber pengetahuan dengan jelas dan jujur. H anya saja, kaidah in i-tergelin d r m enjadi keridakberanian berargum entasi. H al yang palin g sulit yang p em ah p enulis alami dalam pem bim bingan sk d p si, th esis dan desertasi, yaitu m em bangun p rop osisi argum entarif dalam tugas akhir m andiri yang m ereka kerjakan. N ada-nadanya, hal in i terkait kultur pem belajaran ilm u so sia l yang dalam banyak kasus, didasari sem angat m entransfer bukan m entransform asikan pengetahuan. K esulitan, tepatoya keridakberanian m em bangun argum entasi, sepanjang yan g p en u lis d etek si selam a m em bim b ing para calon sarjana, calon m aster dan bahkan calon d ok tor, bersum ber dari ketidakpiaw aian m eto d o lo g is. O leh karena itu , program -program studi yang m engam pu ilm u sosial p ed u m enjam in dapat diterapkannya berbagai pilihan m azhab keilm uan. D en g a n ditawarkannya berbagai pilihan m azhab dan pendisip linan para ilm uw an dalam m enggunakan m azhab pilihannya, m aka m uncullah perm asalahan-perm asalah b am
yang
m engundang perdebatan, dan adu piaw ai m enggunakan m eto d o lo g i keilm uan m asing-m asing. D en g a n cara itu pula m uncul berbagai tawaran teori yang pada gilirannya m engundang perdebatan dan pem aham an serta so lu si bam .
626 Millab Vol. X I, No. 2, Februari 2012
U ntuk m encapai situasi dim ana kontroversi ilm iah justru menghasilkan tem uan-tem uan bam , para ilm uw an yang bersangkutan d itu n tu t untuk memiliki kem atangan
m etodologis.
U n tu k
itu, perlu
dipertdm bangkan
pentingnya
m engem bangkan support system untuk pengem bangan kapasitas metodologis. K ita bisa belajar dari London School o f Econom ics a n d P olitical Science yang m endjrikan
M ethodology
In stitu te.
Lem baga
ini bertanggung
jawab
untuk
m engawal kom petensi m etodologi keilmuan dan m eto d e penelitian civitas akademikanya. Seddaknya sem ua kandidat d o k to r ham s belajar di lembaga ini, m eskipun ridak ham s m engum pulkan SKS (satuan kredit semester). 3. Ilm uw an sosial bersedia untuk m elakukan social crafting. T anggung jawab utam a bagi pengem bangan ilm u m elekat dalam diri para ilm uw an yang bersangkutan,
bukan pada pim pinan
universitas
ataupun
pim pinan fakultas. Ilm u dapat berkem bang m anakala ada kegelisahan di kalangan ilm uw an itu sendiri, dan kegelisahan terseb u t dijabarkan dalam langkah-langkah konkrit yang pada gilirannya terakum ulasi m enjadi agenda kolektif. U paya untuk m engungkit kegelisahan ini sudah berlangsung, hanya saja belum terlihat sebagai geliat kolektif yang m engobsesi kom unitas keilmuan di dalamnya. U ntuk im diperlukan setidaknya: (1) pengrajin jejaring ilmuwan, (3) mobilisasi kegelisahan, (3) konversi kegelisahan m enjadi karya-karya dan amalan ilmiah, (4) reproduksi tapak akadem iknya m enjadi kultur akademik. Penggalangan
jejaring kom unitas
keilm uan
jelas
berlangsung, hanya
kalaulah tidak sporadis belum cukup m enyelum h. Pengem bangan jejaring ini akan m emiliki efek dahsyat ketika dikemas dalam
agenda-agenda yang
m enggairahkan obsesi akadem ik yang ada. U ntuk itu, yang dipertanyakan bukan hanya agenda-agenda riset unggulan universitas ini, m elainkan juga seperti apakah corak agenda tersebut? Jaw aban atas pertanyaan ini tentu saja terkait dengan identitas diri dan jati diri tentang universitas ini. Sekali lagi, ketram pilan social crafting sangat diperlukan untuk menggalang agenda berbasis kegelisahan kolektif dalam kom unitas keilm uan yang ada. Agar kegelisahan ini terlam piaskan, tokoh-tokoh kunci dalam kom unitas yang ada d ituntut u n tu k m engoptim alkan kepem im pinannya dem i m enghasilkan karyakarya yang m enjaw ab tantangan yang telah dirum uskan. Perlu sejumlah inovasi
llm u Sosial Tranform atif 627
agar hal sem acam ini tem s-m enerus berlangsung. Lebih dari itu, perlu inovasi untuk m em ungkinkan produk-produk keilm uannya terpapar kepada publik yang pada gilirannya m erangsang pennintaan lebih lanjut d a d universitas. Salah satu co n to h yang dapat diam bil, yakni inisiatif kom unitas Jurusan Politik dan Pem erintahan Fakultas llm u Sosial dan llm u Politik di U niversitas G adjah M ada. M enyadari bahw a w adah kelem bagaan yang sudah aaa tidak m ew adahi
aktivitas-aktivitas
yang
dikem bangkan,
m aka
Ju ru san
ini
m engem bangkan unit b am di luar standar kelem bagaan universitas. U nit bam ini m ulai m em perkenalkan did dengan nam a P o lG o v (Research C entre on P olitics a n d G overnm ent). Jurusan ini berm aksud u n tu k m engakm alisasikan tri dharm a
pendidikan tinggi dalam kom unitasnya. Iaenya bukan u n tu k m enjadikan kom unitas ini eksklusif, m elainkan u ntuk m enjaga agar tri dharm a pergum an tinggi bisa dikelola secara terpadu. D engan inovasinya, kom unitas ini m encoba u n tu k m encerdaskan dirinya. D en g an inovasi tersebut di atas, kom unitas keilm uan
di dalam nya
berm aksud m engem bangkan pem belajaran berbasis riset, d an riset yang hasilnya m em perkuat pem belajaran. U ntuk m em udahkan kom unitas ini m elepas karyakaryanya ke publik, kegiatan riset dan advokasi ditam bah lagi dengan adanya unit yang m enjalankan aktivitas publikasi. D alam konteks ini, social crafting yang berlangsung berm uara pada pengem bangan kapasitas kelem bagaan, yang pada gilirannya m em fasilitasi pengem bangan ilm u melalui karya-karyanya. D engan karya-karya yang ada, kom unitas ini m encoba u n tu k go international. Salah satu agenda yang diusung oleh kom unitas ini adalah m erum uskan dem okrasi dan desentralisasi yang m ensejahterakan. D engan bingkai agenda ini, kom unitas ikut berkontribusi dalam m ew am ai perdebatan tentang hal im baik di forum nasional m au p u n intem asional. H . P e n u tu p
Sebagai pen u m p dari keseluruhan tulisan ini perlu dikem ukakan. Pertam a, adanya asim etrism e atau perbedaan cara pandang yang tidak sam a dalam pengem bangan llm u, khususnya ilm u sosial. K ealphaan dalam m enghayati asim etrism e ketika hendak go international bisa berakibat fatal bagi Indonesia
628 M illah Vol. X I, N o. 2, Februari 2012
pada um um nya, dan bagi ilm uw an sosial pada khususnya. Sebelum terlambat, kom unitas ilm uw an
so sia l perlu
m elakukan
serangkaian reorientasi dan
pem budayaan hal-hal yang secara filo so fis telah digariskan. L ebih dan itu, kom unitas keilm uan p ed u m erum uskan dan m enyepakari suatu gad s politik yang jelas, gads p olitik keilm uan untuk Indonesia. K esepakatan pada tataran operasional tentang hal itu kiranya tidak tedalu sulit untuk d i raih m engingat acuan-acuan n orm atif yang kita m iliki, seperri tri dharm a perguruan tinggi, sudah cukup jelas m em beri acuan. Y ang dipedukan adalah im ajinasi kreatif dalam m enafsirkannya. K edua, untuk go in tern ation al' m au tidak m au, kita ham s berangkat dari kond isi dan kepentingan n a sio n a l Belajar dari pengalam an negara-negara A sia Tim ur, kiprah yang m em buat m ereka m am pu berjaya bukanlah dengan m eningggalkan, m elainkan justm m em pertebal nasionalism enya. N asionalism e dalam p olitik keilm uan universitas adalah pengabdian pada m asyarakat Artinya, W CRU
yang nasionalistik adalah yang justtu m em balik pengabdian pada
masyarakat; bukan sebagai beban m elainkan pijakan untuk go in tern ation al. Sejalan dengan hal itu , go in tern ation al tidak ham s m eninggalkan “rum ah” Indonesia. K etiga, ilm u sosial transform atif m enuntut kerja keras ilm uw an sosial di dua titik ekstrim . D i satu sisi m ereka dituntut untuk m em pertebal penghayatan ten tang
kaidah
fiso lo fi
keilm uan,
tepam ya
m em perkokoh
penghayatan
o n to lo g is berbasis ep istem ologis yang jelas karena alasan aksiologis tertentu. N am u n di sisi lain, m ereka dituntut untuk am bil bagian dalam m ew ujudkan secara konkrit penghayatan filo so fis tersebut ke dalam praktek keilm uan seharihari, dalam p roses so cia l crajiing. K eem pat, m eskipun tanggung jawab bagi pengem bangan ilm u sosial transform atif pada d om ain kom unitas keilm uan, nam un bukan berarti jajaran p en gelola universitas b o leh lepas tangan. D alam belitan k dsis ilm u so sia l yang m asih berlangsung, pengkondisian dari sisi m anajem en sangat dipedukan. Sayap keilm uan dan sayap pengelolaan ham slah m engepak bersam a agar kita bisa berjaya sebagai W o rld C la ss Research U n iversity. D en gan dem ikian ilm u yang
Ilm u S o sia l Transform atif 629
dikem bangkan ilm uw an so sia l bukan hanya m enghasilkan kem aslahatan um at rrmnnsia^ narrmn juga m erupakan ikhtiar untuk m ew ujudkannya dari Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA A b dullah, M A m in. 2006. Isla m ic S tu d ies d i P ergum an T inggj: P en dekatan In teg ra tifIn terk o n ek tif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
A rn d t, H W (ed ), 1987. Pem bangunan dan P em erataan: In don esia d i M a sa O rde B am . Jakarta: L P 3E S. B ox-S teffen sm eier, Janet M ., H en ry E . Brady, D avid C ollier.2008. T he O x fo rd H a n d b o o k o f P o litica l M ethodology. O xford U n iversity P ress.
C ad ile, P aul R .,2 0 04.“T ransferring, T ranslating, and T ransform ing: A n Integrative Fram ew ork fo r M anaging K n ow led ge A cro ss B oundaries” . O rga n isa tio n Science, VoL 15, N o . 5 (Sep. - O c t , 2 0 0 4 ), haL 5 5 5-568.
C om fort, L ou ise K ..1985.“A ctio n R esearch: A M odel fo r O rganizational L earning”. Jo u rn a l o f P olicy A n a ly sis a n d M anagem ent, VoL 5 , N o . 1, (A utum n,). C rossan, M ary M ., H enry W . L ane, R od erick E . W h ite .l9 9 9 .“A n O rganizational L earning Fram ework: F rom In tu ition to In stitu tio n ”. A ca d em y o f M anagem ent R eview , VoL 24 , N o . 3,
D arity, W illian A Jr (editor in ch ief), In tern a tio n a lE n g clo p ed ia o f S o cia l Science. 2 n d E d itio n . V olu m e 8. M acm illan R eferen ce U SA . D h ak id ae, D a n iel, 2003. C endekiaw an dan K eku asaan dalam N eg a ra O rde B a m . Jakarta: G ram edia Pustaka U tam a. D ick , B o b , E rn ie Stringer, Chris H u xh am .2009.“T h eory in A ctio n R esearch”, A c tio n R esearch, V olu m e 7(1): 5—12, S A G E P ub lications.
D o d s, R ob erta R ob in .2004.“K n ow in g W ays/W ays o f K now ing: R econ cilin g S cien ce and T radition”, W o rld A rch aeology, VoL 36(4): 5 4 7 -5 5 7 , D eb a tes in W orld A rchaeology, T aylor & Francis. E a sto n , D a v id . 1965^ 4 S ystem s A n a ly sis o fP o litic a l L ife , W iley. E a sto n , D a v id . 1971 .T h e P o litica l S ystem : A n In q u iry In to T h e S ta te O f P o litic a l Science, K n o p f.
630 Millah V o l X I, N o. 2', Februari 2012
F iol, C. M a d en e.l9 9 4 .“C onsensus, diversity and learning in O rganizations”, O rgan isation Science, V ol. 5, N o . 3 (A ug.,), hal. 403-420.
H adis dan D an iel D hakidae, (ed).2006. Ilm u S o sia l dan K ekuasaan d i Indonesia. Jakarta: E q uin ox Publishing Indonesia. H artoko, D ic k 1 9 8 1 . G olongan cendekiaw an, M erek a ja n g Berum ah d i A lig n : Sebuab Bunga R am pai. Jakarta: G ram edia.
H uber, G eorge P.. 1991.“O rganizational Learning: T h e C ontributing P rocess and th e Literature” . O rgni^ation Science, V o l. 2, N o . 1 February. K leden, Ignas.1987. S ik a p llm ia h dan K ritik K ebudayaan. Jakarta: L P3ES. Latif, Y udi.2005. Inteligen sia M u slim dan K uasa: G en ealog Intelegensia M u slim Indonesia A b a d k e-2 0 . Bandung: M izan.
K untow ijoyo. \9 9 \.P a ra d ig n a Islam : In terp reta si u n tu k A k si. Bandung: M izan. K untow ijoyo. 2 0 0 4 .1 sla m sebagai Ilm u : E pistem ology, M etodolog, dan E tik a . Yogyakarta: Tiara W acana. M ahasin, A sw ab dan Ism et N ashir, (ed). 2004 .C endekiaw an dan P o litik . Jakarta: L P3ES. M andell, A lan and L ee H erm an, 2007. “T h e Study and T ransform ation o f E xperience” . J ou rn al o f T ransform ative E du cation , V o l. 5 N o . 4 , O ctober, 339-353. M D , M ahfud, dkk (ed s).1999. K r itik S o sia l dalam W acana Pem bangunan. Yogyakarta: U II Press. M cK inley, Bryan, J on es Brayboy, A ngelina E . C astagno.2008.“H o w m ight N ative scien ce inform ‘inform al scien ce learning?”. C u ltu ra l S tu d y o f Science E du cation , (2008) 3:731—750.
N o ll, R oger G .1998. C hallenges to R esearch U n iversities. B rookings In stitu tion Press. N ord h olt, N ic o G Schulte dan V isser, L eontine E (ed).1997. Ilm u S o sia l d i A s ia Tenggara: D a ri P a rtik u la rism e h e UniversaH sm e. Jakarta: L P3ES.
Priyono, A E (ed ).1984 J O isis Ilm u -Ilm u S o sia l dalam Pem bangunan d i D u n ia K etiga. Yogyakarta: PLP2M . Purw anto, Bam bang dan A dam , A sv i Warman.2005.M?tf
Ilmu Sosial Tratisformatif 631
Rahardjo, D aw am . 1993 .In telektu a l, Intelegensia, dan P erila ku P o litik Bangsa: R isalah C endekiaw an M u slim (K um pulan Karangan D aw am R ahardjo). Bandung;
M izan. R o sen zw eig, R ob ert M ., Barbara T urlington. 1982.T fe Research U niversities an d T h eir P atrons. U n iversity o f C alifornia P ress.
Sam ples, B o b ,1 9 9 9 .“L eam in g as T ransform ation”, Jo u rn a l o f Science E ducation and Technology, V o l. 8, N o . 2,
S an toso, P urw o, 2 0 06. “M anaging T ransform ation T ow ard an International R esearch U niversity; L esson-learned F rom G adjah M ada U niversity” . Paper presen ted at U N E S C O Forum o n H igher E ducation: R esearch and K n ow led ge C olloquium o n R esearch and H igher E ducation P olicy, 29 N o v em b er — 1 D ecem b er, U N E S C O , F on ten oy, Paris. S a n to so , Purw o. D an an g Parikesit, J o h n B lack, R estu N ovitarin i.2008.“A ctio n Research: T ransform ing T ransport G o v em a n v e T h rou g C ollaborative Learning”. W/ o rkin g P a p er 01 , G overn an ce R eform Initiative in T ransport S ector (G R E A T ) P roject, C enter for T ransportation and L ogistics Studies (PU ST R A L ), G adjah M ada U niversity, S an toso, P urw o,2 0 02. P otret P o litik llm u -ilm u S o sia lD iA m b a n g Involusi, (The Portrait o f S ocial Sciences: In th e V erge o f C risis], Paper p resen ted at th e N a tio n a l C on feren ce, in con ju n ction w ith celebration o f 47 years o f Faculty o f S ocial and P olitical S cien ce, G adjah M ada U niversity, 25 S ep tem b er. S a n to so , Purw o, 2 0 1 0 . D eftsiensi T eori P em erintaban: R efleksi A ta s D esentralisasi d i Indonesia, paper disam paikan dalam Sem inar International X I: D inam ika
P olitik L okal di Indonesia: A d a A p a dengan 10 T ahun O to n o m i D aerah ?, Salatiga, 2 1 -2 3 July, S a n to so , Purw o dan K acung M arijan, 2 0 1 1 .“D em okratisasi Indonesia Secara K ontektual, M akalah K elom p ok K erja D em okratisasi”, D isam paikan dalam K o n v en si K am pus V II dan T em u T ahunan X III Forum R ektor In d on esia d i U n iversitas Sriwijaya, Palem bang pada tanggal 13-15 Januari
632 M illah Vol. X I, N o. 2, Februari 2012
S an toso, Purw o, N u r A zizah, N an an g Indra K , Joash T apiheru. E .S ., Zarah Tka 2 0 1 0 .“Sinergi Pengem bangan Ilm u P em etintahan D en gan Pem baharuan Tata Pem etintahan L okal”, M onograph on P o litics a n d G overnm ent, V o . 4 N o . 1.
*
Som antti, G um ilar R usliw a, 2005. ’’M em bebaskan Ilm u Sosial dari K etetperangkapan G anda” . J u m a l Ilm u S o sia l d a n Ilm u P o litik , V o l. 9, N o . 2 , N ovem b er. V erba, Sydney, 1 9 1 4 .C om parative P o litica l S ystem s, H olb rook Press. W hitehead, Jack.2009.“G enerating liv in g T h eory and U nderstanding in A ctio n R esearch Studies, A c tio n R esearch, V olu m e 7(1): 85—9 9 , L os A ngeles: S A G E P ublications.