PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN SITU GINTUNG PASCA BENCANA, KECAMATAN CIPUTAT TIMUR, KOTA TANGERANG SELATAN, PROVINSI BANTEN
NURIKA NAULIE FAIZAH
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
RINGKASAN NURIKA NAULIE FAIZAH. A44063529. Perencanaan Lanskap Kawasan Situ Gintung Pasca Bencana, Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Dibimbing oleh SETIA HADI dan QODARIAN PRAMUKANTO. Situ Gintung kawasan yang terletak di kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Pada kawasan ini, terdapat danau/ situ yang awalnya berfungsi sebagai sumber air masyarakat sekitar kawasan Situ Gintung, namun lambat laun situ ini juga dimanfaatkan sebagai area rekreasi. Kawasan di sekitar situ yang mulanya adalah lahan kosong dan area persawahan beralih fungsi menjadi permukiman. Alih guna lahan ini menjadi salah satu penyebab terjadinya bencana runtuhnya tanggul Situ Gintung 27 Maret 2009, penyebab lain bencana ini adalah karena akumulasi curah hujan yang tinggi pada bulan-bulan sebelumnya dan kurangnya pemeliharaan tanggul situ. Penelitian dilakukan di daerah tangkapan air Situ Gintung dengan luasan area sebesar 305,7 ha. Penelitian ini diawali dengan bencana runtuhnya tanggul Situ Gintung yang menyebabkan kerusakan fungsi fisik dan ekologi situ. oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat perencanaan tata ruang kawasan Situ Gintung pasca bencana yang dapat mengembalikan fungsi situ dan menjaga kondisi ekologis situ. Penelitian ini memperoleh hasil akhir berupa rencana lanskap kawasan Situ Gintung pasca bencana yang membagi kawasannya menjadi tiga satuan lahan. Pembagian ini berdasarkan pada teori Marsh (1991) tentang pembagian ruang di daerah aliran sungai menjadi tiga satuan lahan yaitu Satuan Lahan Pengelolaan Air, Satuan Lahan Penyangga, dan Satuan Lahan Pengembangan. Untuk mendapatkan tiga satuan lahan ini maka dilakukan analisis terhadap karakteristik tapak. Data yang dianalisis berupa kemiringan lahan, jenis tanah, curah hujan, hidrologi, penutupan lahan, dan demografi kawasan studi. Dari analisis data dan informasi, kemudian dilakukan penetapan satuan lahan pengelolaan air melalui analisis badan air kawasan Situ Gintung. Kemudian selanjutnya dilakukan penentuan satuan lahan penyangga dan sisanya merupakan satuan lahan pengembangan. Satuan lahan penyangga diperoleh melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan peraturan pemerintah dan pendekatan kebutuhan air masyarakat. Pendekatan peraturan pemerintah didasarkan pada S.K. Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/11/1980 tentang Kawasan Lindung dan Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1990 tentang kawasan lindung serta penerapan metode buffering menurut Peraturan Daerah Kabupaten Tangerang No. 12 Tahun 2006 tentang Garis Sempadan dan Peraturan Menteri PU No. 63/PRT/1993 tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai yang menjelaskan bahwa garis sempadan situ minimal 50 meter ke arah darat dari muka air tertinggi situ. Satuan lahan pengembangan merupakan area selain dari satuan lahan pengelolaan air dan satuan lahan penyangga. Satuan lahan ini dapat dimanfaatkan sebagai kawasan permukiman dan fasilitas yang mendukung masyarakat kawasan Situ Gintung. Setelah mendapatkan ketiga satuan lahan tersebut, maka akan
diperoleh rencana blok kawasan Situ Gintung yang selanjutnya dapat dikembangkan menjadi rencana lanskap kawasan Situ Gintung. Konsep umum perencanaan kawasan ini adalah ekologi-hidraulik, yang berupaya untuk memperbaiki dan menyehatkan seluruh komponen ekologi (florafauna) dan hidraulik (sistem keairan) penyusun danau yang bersangkutan, sehingga dapat berfungsi menampung air yang dapat digunakan untuk keperluan air bersih masyarakat, meresapkan air hujan untuk pengisian air tanah, dan dapat berkembang menjadi wilayah ekosistem wilayah danau yang hidup dan lestari. Konsep umum ini akan dikembangkan menjadi perencanaan lanskap kawasan Situ Gintung yang meliputi (1) rencana tata ruang, (2) rencana vegetasi, (3) rencana sirkulasi, (4) rencana fasilitas, (5) rencana lanskap secara keseluruhan kawasan Situ Gintung dan (5) program perencanaan lanskap Situ Gintung. Kata kunci : Situ, penataan ruang, hidrologi, satuan lahan penyangga, ekologihidraulik
PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN SITU GINTUNG PASCA BENCANA, KECAMATAN CIPUTAT TIMUR, KOTA TANGERANG SELATAN, PROVINSI BANTEN
NURIKA NAULIE FAIZAH A44063529
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini, saya menyatakan bahwa skripsi Perencanaan Lanskap Kawasan Situ Gintung Pasca Bencana, Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang selatan, Provinsi Banten adalah benar merupakan hasil karya saya dengan arahan pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, 2011
Nurika Naulie Faizah A44063529
© Hak Cipta Milik Nurika Naulie Faizah, Tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tujuan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi
: Perencanaan Lanskap Kawasan Situ Gintung Pasca Bencana, Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten.
Nama
: Nurika Naulie Faizah
NRP
: A44063529
Menyetujui,
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Ir. Qodarian Pramukanto, MSi NIP. 19620214 198703 1 002
Dr. Ir. Setia Hadi, Ms NIP. 19600424 198601 1 001
Diketahui Ketua Departemen Arsitektur Lanskap
Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA. NIP. 19480912 197412 2 001
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bojonegoro, Jawa Timur pada Tanggal 04 April 1988. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangan Abdul Manan dan Li’ila. Pendidikan penulis diawali pada tahun 1992 di Taman Kanakkanak Aisiyah Bustanul Atfal II. Kemudian penulis memasuki sekolah dasar pada tahun 1994 tepatnya di MIM 18 Sumberrejo. Pada tahun 2000 penulis melanjutkan ke jenjang Sekolah Menengah Pertama di SMPN 1 Balen dan dilanjutkan pada tahun 2003 di SMAN 1 Bojonegoro. Pada tahun 2006 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi masuk IPB (USMI). Pada tahun selanjutnya penulis diterima sebagai mahasiswa pada Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian. Selama menjalankan studi di IPB penulis aktif mengikuti kegiatan di luar akademik. Beberapa di antaranya adalah menjadi pengurus Himpunanan Mahasiswa Arsitektur Lanskap (HIMASKAP) pada divisi informasi dan kesekretariatan, anggota organisasi mahasiswa daerah Paguyuban Angling Dharma (PAD). Penulis menjadi asisten mahasiswa untuk mata kuliah Desain Lanskap periode 2010-2011. Penulis juga aktif dalam beberapa kepanitiaan Temu Teater Mahasiswa Nusantara, Festival Sastra Bogor, Kegiatan Korps Sukarela IPB, Perayaan Hari Bumi IPB dan beberapa kepanitiaan intra departemen. Di samping itu, penulis aktif dalam mengikuti kompetisi seperti Sayembara Taman Pisang Penjaringan (2009), dan Sayembara Taman Topi Bogor (2010). Penulis juga mengikuti beberapa kompetisi non akademis yaitu Monolog dalam IPB ART Contest, Teater dalam IPB Art, dan Monolog Ruang Publik III Federasi Tetaer Indonesia.
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan atas segala rahmat dan karunia Allah SWT sehingga penulis berhasil menyelesaikan penelitian dengan judul Perencanaan Lanskap Kawasan Situ Gintung Pasca Bencana, Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah perencanaan lanskap yang mengambil lokasi penelitian di kawasan Situ Gintung. Ucapan Terima kasih penulis ucapkan kepada : 1. Dr. Setia Hadi, MS dan Ir. Qodarian Pramukanto, MSi yang telah sabar membimbing, meluangkan waktu, dan membuat saya belajar tentang banyak hal selama proses menulis ini. 2. Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA selaku dosen penguji skripsi saya, terimakasih untuk ilmu, pesan tentang proses belajar di Departemen Arsitektur Lanskap, dan hal-hal yang tidak terduga ^^. 3. Orangtua dan keluarga, atas segala doa, dukungan yang diberikan kepada penulis lahir dan batin serta kesabaran yang tak kunjung terusir. 4. Kepada Bapak dan Ibu dosen, terimakasih atas ilmu dan segala laku yang patut kami tiru. 5. Teng-tong family arl-43 atas segala rasa manis dan pahitnya. Selalu ada kangen yang penuh untuk kalian wahai 59 yang berbeda. Semoga kita langgeng, hehe. 6. Cie-cie kosan (Nobon, Tya, Zizi, Faiz, Isni, Ide, Cici, Wiwin, Kak epi, Kak tresi) atas pertanyaan “kapan seminarnya ika?”. 7. Kawan wahana telisik seni dan sastra (Kak Andy, Mas Bayu, Chimot, Erry, Hariadi, Kak Hery, Kak Ichan, Izzu, Kaka, Nank, Pakdhe, Tika, Tizh, Udin, Yan, Winda.), terimakasih atas warna lain di tengah proses penyusunan skripsi ini. 8. Teman-teman satu bimbingan skripsi dari Bapak Setia Hadi dan Bapak Qodarian (Sisi, Kukuh, Ado, Dicky, Tizh, Cici, Dian, Tati). 9. Teman arsitektur lanskap segala angkatan. Terimakasih ya ARL 40, 41, 42 dan adik-adik ARL 44, 45, 46 semoga lekas menyusul ^^. Semoga kita
menjadi keluarga yang selalu dekat, tak kenal jarak dan waktu, ehee. Oiya, trimakasih untuk yang sudah menemani minum kopi, dari warung kopi pembicaraan apa saja bisa ringan dimulai. 10. Bu Yeni, Pak Mono, Pak Ojan, Pak Didi, Pak Yahya, Mas Rahmat, Mas Adi, Mba Sob, Bu Ella, dan seluruh staf yang tidak bisa disebutkan satu per satu, atas segala keramahan dan sapaan hangatnya. 11. Bapak Ibu perpustakaan LSI (Lembaga Sumberdaya Informasi) IPB, saya akan merindukan senyum dan sapa yang tanpa harus mengenal nama. 12. Dan terimakasih untuk Anda yang sedang membaca skripsi saya. Terkadang proses berlangsung begitu cepat, namun kemudian tekslah yang akan membuatnya menjadi panjang umur serta mulia maka mari membaca dan menulis ^^. Harapan penulis, semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak/ pembaca yang memerlukannya.
Bogor,
2011
Nurika Naulie Faizah
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................... xiii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiv I. PENDAHULUAN....................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1 1.2 Permasalahan ......................................................................................... 2 1.3 Tujuan .................................................................................................... 3 1.4 Manfaat .................................................................................................. 3 1.5 Kerangka Pikir ....................................................................................... 3 II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 5 2.1 Perencanaan ........................................................................................... 5 2.2 Bencana Alam ........................................................................................ 6 2.3 Tata Ruang Wilayah............................................................................... 7 2.4 Konsep Ekologi-Hidraulik ..................................................................... 8 2.5 Situ atau Danau ...................................................................................... 9 III. BAHAN DAN METODE ......................................................................... 11 3.1 Lokasi dan Waktu Studi ........................................................................ 11 3.2 Alat ........................................................................................................ 12 3.3 Batasan Studi......................................................................................... 12 3.4 Metode Penelitian ................................................................................. 14 3.5 Proses Perencanaan ............................................................................... 15 3.5.1 Persiapan dan Inventarisasi .......................................................... 16 3.5.2 Analisis......................................................................................... 18 3.5.3 Sintesis ......................................................................................... 21 3.5.4 Perencanaan.................................................................................. 23 IV. KONDISI UMUM..................................................................................... 26 4.1 Lokasi Administrasi Situ Gintung......................................................... 26 4.2 Sejarah Situ Gintung ............................................................................. 27 4.3 Aspek Sosial Situ Gintung .................................................................... 28 4.4 Aspek Legal Situ Gintung ..................................................................... 28 V. DATA DAN ANALISIS ............................................................................. 30 5.1 Hidrologi ............................................................................................... 33 5.1.1 Badan Air ..................................................................................... 34 5.1.2 Titik Pasang Tertinggi .................................................................. 36 5.2 Topografi ............................................................................................... 37 5.3 Jenis Tanah ............................................................................................ 39 5.4 Iklim ...................................................................................................... 41 5.5 Penutupan Lahan ................................................................................... 43 5.6 Flora dan Fauna ..................................................................................... 47
VI. SINTESIS .................................................................................................. 52 6.1 Satuan Lahan Pengelolaan Air .............................................................. 53 6.2 Satuan Lahan Penyangga ...................................................................... 53 6.2.1 Pendekatan Peraturan ................................................................... 53 6.2.2 Pendekatan Kebutuhan Air Masyarakat ....................................... 59 6.3 Satuan Lahan Pengembangan ............................................................... 60 6.4 Rencana Blok Kawasan Situ Gintung ................................................... 60
VII. PERENCANAAN .................................................................................... 62 7.1 Konsep Perencanaan ............................................................................. 62 7.1.1 Konsep dasar Perencanaan .......................................................... 62 7.1.2 Pengembangan Konsep................................................................ 62 7.1.2.a Konsep Ruang.................................................................. 62 1) Satuan Lahan Pengelolaan Air .................................... 64 2) Satuan Lahan Penyangga ............................................ 64 3) Satuan Lahan Pengembangan ..................................... 65 7.1.2.b Konsep Vegetasi .............................................................. 66 7.1.2.c Konsep Sirkulasi .............................................................. 67 7.1.2.d Rencana Aktivitas, Fasilitas, dan Utilitas ........................ 67 1) Sumur Resapan ........................................................... 68 2) Lubang Resapan Biopori ............................................ 69 3) Rain Garden ............................................................... 70 7.2 Rencana Lanskap .................................................................................. 71 7.3 Rencana Program .................................................................................. 77 VIII. SIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 78 8.1 Simpulan ............................................................................................... 78 8.2 Saran...................................................................................................... 79 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 80
DAFTAR TABEL Halaman 1. Kebutuhan Data Penelitian............................................................................ 16 2. Klasifikasi Dan Nilai Skor Faktor Kelerengan ............................................. 20 3.Klasifikasi Dan Nilai Skor Jenis Tanah ......................................................... 20 4.Klasifikasi Dan Nilai Skor Curah Hujan Harian Rata-rata ............................ 21 5.Interpretasi Citra Satelit untuk Peta Penutupan Lahan .................................. 44 6.Luas Masing-masing Jenis Penutupan Lahan ................................................ 44 7.Hasil Perhitungan Aliran Limpasan dan Simpanan Air ................................. 46 8.Keanekaragaman Tumbuhan Di Kawasan Situ Gintung ............................... 49 9.Keanekaragaman Kelompok Fauna Di Kawasan Situ Gintung ..................... 50 10.Kebutuhan RTH Di Kawasan Situ Gintung ................................................. 61 11.Rencana Aktivitas Dan Fasilitas-Utilitas ..................................................... 69 12.Rencana Program Kawasan Situ Gintung .................................................... 78
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Konsep Ruang Daerah Aliran Sungai ............................................................ 4 2. Kerangka Pikir ............................................................................................... 4 3. Lokasi Studi .................................................................................................. 11 4. Peta Banten ................................................................................................... 13 5. Area Perencanaan Kawasan Situ Gintung..................................................... 13 6. Peta Dasar Perencanaan Lanskap Kawasan Situ Gintung............................. 14 7. Tahapan Penelitian ........................................................................................ 15 8. Batas Lokasi Studi ........................................................................................ 27 9. Lokasi Eksisting Situ Gintung ...................................................................... 32 10. Foto Inlet Utama ......................................................................................... 33 11. Foto Inlet Kecil ........................................................................................... 33 12. Ilustrasi Aliran Air Situ Gintung ................................................................. 34 13. Peta Denah Tangkapan Air Situ Gintung .................................................... 35 14. Peta Badan Air dan Muka Air Tertinggi Kawasan Situ Gintung ................ 36 15. Batas Muka Air Tertinggi Situ. ................................................................... 36 16. Peta Kontur Kawasan Situ Gintung ............................................................ 37 17. Peta Kemiringan Lahan Kawasan Situ Gintung ......................................... 38 18. Peta Jenis Tanah Kawasan Situ Gintung..................................................... 40 19. Peta Intensitas Rata-rata Curah Hujan Harian Kawasan Situ Gintung ....... 42 20. Peta Penutupan Lahan Kawasan Situ Gintung ............................................ 45 21. Vegetasi Pada Lokasi Penelitiaan ............................................................... 49 22. Kupu-kupu Di Kawasan Situ Gintung ........................................................ 51 23. Tahap Mendapatkan Tiga Satuan Lahan ..................................................... 52 24. Peta Komposit, Hasil Overlay Tiga Peta Tematik ...................................... 55 25. Peta Pembagian Kawasan Berdasarkan S.K. Menteri Pertanian................. 56 26. Peta Area Penyangga Situ/ Danau............................................................... 58 27. Peta Rencana Satuan Lahan Menurut Peraturan Pemerintah ...................... 59 28. Peta Rencana Blok Kawasan Situ Gintung ................................................. 61 29. Konsep Ruang ............................................................................................. 63 30. Ilustrasi Sempadan Danau (Tiga Ring) ...................................................... 65
31. Sistem Sumur Resapan................................................................................ 68 32. Lubang Resapan Biopori ............................................................................. 69 33. Alternatif Pembuatan Sistem Rain Garden ................................................. 70 34. Rencana Lanskap Kawasan Situ Gintung ................................................... 71 35. Rencana Tata Hijau ..................................................................................... 72 36. Rencana Sirkulasi ........................................................................................ 73 37. Rencana Bangunan ...................................................................................... 74
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kehidupan dan aktivitas manusia sehari-hari sangat bergantung pada ketersediaan sumberdaya alam. Salah satu contohnya adalah lahan, yang dimanfaatkan antara lain untuk permukiman,
pertanian,
peternakan,
pertambangan, industri, dan bangunan-bangunan untuk fasilitas sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya. Selain itu, sumberdaya alam yang tidak kalah penting adalah air, ketersediaan air sangat mempengaruhi kehidupan manusia terutama dalam kaitannya dengan ketersediaan air bersih. Tidak dapat dipungkiri, kegiatan pertanian dan nonpertanian sangat bergantung pada ketersediaan air. Seiring dengan semakin meningkatnya laju pertambahan penduduk, maka meningkat pula kebutuhan akan sumberdaya alam. Sementara itu laju pertambahan penduduk tidak berbanding lurus dengan ketersediaan sumberdaya alam yang ada, jadi sebisa mungkin kelestarian dan keberlanjutan suatu sumberdaya alam harus tetap dijaga. Situ Gintung merupakan kawasan yang memiliki potensi sebagai penyedia sumberdaya alam bagi masyarakat sekitarnya. Selain fungsi utama untuk meresapkan dan menampung air, Situ Gintung pada akhirnya juga dimanfaatkan untuk kegiatan rekreasi. Ketika melimpahnya air saat musim hujan, Situ Gintung mempunyai peranan dalam mengendalikan banjir. Jakarta yang berada di daerah dataran rendah memerlukan situ-situ penampung air agar tidak terjadi banjir saat musim hujan. Situ Gintung dapat dioptimalkan peranannya untuk mengatasi banjir di daerah selatan Jakarta (Kawasan Perumahan Bintaro dan Deplu) yang seringkali terjadi ketika air di Kali Pesanggrahan meluap. Namun kini Situ Gintung sudah tidak dapat difungsikan lagi sebagaimana mestinya. Bencana runtuhnya tanggul Situ Gintung pada 27 Maret 2009 mengakibatkan rusaknya fungsi situ dan kerugian material akibat limpasan air yang meluap ke kawasan sekitar situ. Salah satu dugaan penyebab terjadinya bencana adalah penataan
2
ruang di kawasan Situ Gintung yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Seiring dengan perubahan peruntukan lahan, sawah-sawah telah berganti menjadi kawasan terbangun seperti permukiman penduduk, kantor, hotel, sekolah, toko, dan bangunan untuk fasilitas masyarakat sekitar. Sementara itu sempadan situ yang seharusnya menjadi daerah penyangga sedikit demi sedikit menghilang akibat berkembangnya kawasan terbangun. Situ Gintung dan kawasan sekitarnya harus direncanakan dan ditata kembali secara ekologis. Untuk mengembalikan fungsi situ dan menjaga keberlanjutannya diperlukan perencanaan ulang lanskap kawasan tersebut dengan memperhatikan karakteristik utama situ.
1.2 Permasalahan Pada awalnya kawasan Situ Gintung merupakan daerah yang berfungsi sebagai tangkapan air dan sebagai pengendali banjir di wilayah Jakarta Selatan. Kawasan sekitar Situ Gintung yang tadinya merupakan persawahan dan area terbuka kini mengalami alih fungsi lahan dengan dibangunnya pemukiman, restoran, kawasan rekreasi, dan kawasan komersial lainnya. Pada jarak 30 meter dari tepi situ dan pada tubuh bendungan telah banyak didirikan bangunan-bangunan. Situ mengalami proses degradasi sedimentasi berupa lumpur yang mengakibatkan pendangkalan situ dan penyempitan saluran pembuangan. Penyusutan luas dan pendangkalan situ berakibat kapasitas daya tampung air hujan menurun, sementara volume curah hujan terus meningkat hingga 2%3% akibat perubahan iklim. Penutupan dan penyempitan saluran air menyebabkan penyaluran limpahan air hujan tidak dapat berfungsi maksimal. Hal ini yang menyebabkan terganggunya ekosistem di sekitar kawasan Situ Gintung. Pada sisi lain pengelolaan kawasan Situ Gintung sangatlah minim, sehingga keadaan Situ Gintung semakin mengalami degradasi sampai pada akhirnya terjadi bencana runtuhnya tanggul Situ Gintung.
3
1.3 Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk menyusun rencana lanskap Kawasan Situ Gintung pasca bencana.
1.4 Manfaat Manfaat penelitian ini diharapkan dapat : a. Memberikan bahan pertimbangan tentang perencanaan lanskap pasca bencana Situ Gintung b. sebagai bahan pertimbangan mengenai perencanaan pemanfaatan ruang dan kegiatan di Situ Gintung.
1.5 Kerangka Pikir Ide penelitian ini didasarkan pada lanskap kawasan Situ Gintung yang awalnya memiliki fungsi hidrologi sebagai daerah resapan air untuk kawasan di sekitarnya. Kawasan di sekitar Situ Gintung yang seharusnya menjadi daerah penyangga badan situ kini beralih fungsi menjadi permukiman tanpa memperhatikan keberlanjutan fungsi ekologis situ. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan tapak yang kemudian dapat dimungkinkan menjadi salah satu penyebab bencana runtuhnya tanggul Situ Gintung. Oleh karena itu diadakan penelitian untuk mendapatkan perencanaan lanskap kawasan Situ Gintung pasca bencana yang bertujuan mengembalikan fungsi hidrologi sekaligus ekologi tapak. Untuk merumuskan perencanaan kawasan pasca bencana Situ Gintung akan digunakan konsep ruang pada Daerah Aliran Sungai (DAS) yang dikemukakan oleh Marsh (1991). Konsep ruang ini membagi
kawasan
menjadi
tiga
satuan
lahan
yaitu
satuan
lahan
pengembangan, satuan lahan penyangga, dan satuan lahan pengelolaan air (Gambar 1). Berdasarkan kesesuaian biofisik pada tapak akan didapatkan area-area yang cocok untuk masing-masing satuan lahan sehingga tercipta lanskap kawasan Situ Gintung yang memiliki fungsi hidrologi dan ekologi. Bagan Kerangka Pikir Penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.
4
Satuan Lahan Pengembangan
Satuan Lahan Pengelolaan Air
Satuan Lahan Penyangga (ruang terbuka)
Gambar 1 Konsep Ruang Daerah Aliran Sungai (Marsh, 1991)
Bencana Alam (Runtuhnya Tanggul Situ Gintung)
Kerusakan Fisik dan Ekologi Situ Replanning Lanskap Kawasan Situ Gintung
Fungsi Hidrologi
Satuan Lahan Pengelolaan Air
Satuan Lahan Penyangga
Satuan Lahan Pengembangan
Konservasi Air
Konservasi Ekologi
Pemukiman ; Rekreasi Alam
Rencana Lanskap Kawasan Situ Pasca Bencana Gintung
Gambar 2 Kerangka Pikir
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perencanaan Menurut
Rachman
(1984)
perencanaan
lanskap
ialah
suatu
perencanaan yang berpijak kuat pada dasar ilmu lingkungan atau ekologi dan pengetahuan alami yang bergerak dalam kegiatan penelitian atas lahan yang luas dalam mencari ketepatan tata guna tanah di masa yang akan datang. Sedangkan menurut Gold (1980), perencanaan adalah suatu alat yang sistematis, yang digunakan untuk menentukan saat awal suatu keadaan dan cara terbaik untuk pencapaian keadaan tersebut dimana perencanaan lanskap dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan, antara lain : a. Pendekatan sumber daya, yaitu penentuan tipe sacara alternatif aktivitas berdasarkan pertimbangan kondisi dan situasi sumberdaya. b. Pendekatan aktivitas, yaitu penentuan tipe dan alternatif aktivitas berdasarkan seleksi terhadap aktivitas pada masa lalu untuk memberikan kemungkinan apa yang dapat disediakan pada masa yang akan datang. c. Pendekatan ekonomi, yaitu pendekatan tipe, jumlah, dan lokasi kemungkinan aktivitas berdasarkan pertimbangan ekonomi. d. Pendekatan perilaku, yaitu penentuan aktivitas berdasarkan pertimbangan perilaku manusia. Menurut Nurisjah dan Pramukanto (1995), terdapat beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam perencanaan, diantaranya : a. Mempelajari hubungan antara kawasan tersebut dengan lingkungan sekitar. b. Memperhatikan keharmonisan antara daerah sekitarnya dengan kawasan yang akan direncanakan. c. Menjadikan sebagai objek (wisata) yang menarik. d. Merencanakan kawasan tersebut sehingga dapat menghasilkan suatu kawasan yang dapat menampilkan kesan masa lalunya.
2.2 Bencana alam
6
Ada beberapa pengertian atau definisi tentang bencana, beberapa definisi cenderung merefleksi karakteristik berikut ini (Carter, 1991 ; UU No 24, 2007) : a. Gangguan atau kekacauan pada pola normal kehidupan. Gangguan atau kekacauan ini biasanya hebat, terjadi tiba-tiba, tidak disangka dan wilayah cakupannya cukup luas atau menimbulkan banyak korban. b. Dampak ke manusia seperti kehilangan jiwa, luka-luka, dan kerugian harta benda. c. Dampak ke pendukung utama struktur sosial dan ekonomi seperti kerusakan infrastruktur : sistem jalan, sistem air bersih, listrik, komunikasi dan pelayanan utilitas penting lainnya. Dalam UU No 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, bencana didefinisikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana alam adalah konsekuensi dari kombinasi aktivitas alami (suatu peristiwa fisik, seperti letusan gunung, gempa bumi, tanah longsor) dan aktivitas manusia. Karena ketidakberdayaan manusia, akibat kurang baiknya manajemen keadaan darurat, sehingga menyebabkan kerugian dalam bidang keuangan dan struktural, bahkan sampai kematian. Kerugian yang dihasilkan tergantung pada kemampuan untuk mencegah atau menghindari bencana dan daya tahan mereka. Pemahaman ini berhubungan dengan pernyataan, "bencana muncul bila ancaman bahaya bertemu dengan ketidakberdayaan". Dengan demikian, aktivitas alam yang berbahaya tidak akan menjadi bencana alam di daerah tanpa ketidakberdayaan manusia, misalnya gempa bumi di wilayah tak berpenghuni. Konsekuensinya, pemakaian istilah "alam" juga ditentang karena peristiwa tersebut bukan hanya bahaya atau malapetaka tanpa keterlibatan manusia. Besarnya potensi kerugian juga tergantung pada bentuk bahayanya sendiri, mulai dari kebakaran, yang mengancam bangunan individual, sampai
7
peristiwa tubrukan meteor besar yang berpotensi mengakhiri peradaban umat manusia. Namun demikian pada daerah yang memiliki tingkat bahaya tinggi (hazard) serta memiliki kerentanan/kerawanan (vulnerability) yang juga tinggi tidak akan memberi dampak yang hebat/luas jika manusia yang berada disana memiliki ketahanan terhadap bencana (disaster resilience). Konsep ketahanan bencana merupakan valuasi kemampuan sistem dan infrastruktur-infrastruktur untuk mendeteksi, mencegah, dan menangani tantangan-tantangan serius yang hadir. Dengan demikian meskipun daerah tersebut rawan bencana dengan jumlah penduduk yang besar jika diimbangi dengan ketahanan terhadap bencana yang cukup maka daerah tersebut memiliki kemngkinan kecil teradi bencana.
2.3 Tata Ruang Wilayah Tata Ruang merupakan suatu wujud struktur ruang dan pola ruang disusun secara nasional, regional, dan lokal. Secara nasional disebut dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, yang dijabarkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi, dan Rencana Tata Ruang Wilayah tersebut perlu dijabarkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota. Ruang didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Tata ruang perkotaan lebih kompleks dibandingkan dengan tata ruang perdesaan, sehingga perlu banyak diperhatikan dan direncanakan dengan baik. Kawasan atau zona di wilayah perkotaan dibagi dalam beberapa zona sebagai berikut : 1. Perumahan dan permukiman 2. Perdagangan dan jasa 3. Industri 4. Pendidikan 5. Perkantoran dan jasa
8
6. Terminal 7. Wisata dan taman rekreasi 8. Pertanian dan perkebunan 9. Tempat pemakaman umum 10. Tempat pembuangan sampah Dampak dari rencana tata ruang di wilayah perkotaan yang tidak diikuti adalah kesemrawutan kawasan yang mengakibatkan munculnya kawasan kumuh. Hal ini berdampak kepada gangguan terhadap sistem transportasi, sulitnya mengatasi dampak lingkungan yang berimplikasi kepada kesehatan. Pada sumber lain dijelaskan pula tentang makna ruang dan tata ruang sebagai istilah hukum tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Pasal-pasal terpenting berkenaan dengan kebijakan lingkungan hidup ialah pasal 1 tentang batasan pengertian, pasal 2 dan 3 tentang asas dan tujuan, pasal 7, 11, 14, dan 16 tentang perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian, dan pasal 20 tentang rencana tata ruang. Dalam pasal 1 butir 2 disebutkan bahwa tata ruang adalah suatu wujud struktural pemanfaatan ruang atau pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupun tidak. Pada penjelasannya tata ruang memberikan dua gambaran sekaligus, yaitu tampakan bentang lahan (landscape festures ; wujud struktural pemanfaatan ruang) dan alokasi kegiatan pemanfaatan ruang (pola pemanfaatan ruang). Tata ruang yang direncanakan ialah tata ruang buatan, sedang yang tidak direncanakan ialah terbentuk secara alamiah dengan unsur-unsur alam.
2.4 Konsep Ekologi Hidraulik Menurut Maryono A dan Edy (2006) suatu konsep perencanaan yang bertujuan untuk mengembalikan fungsi utama danau dalam kaitannya sebagai pemanen air hujan dapat dilakukan dengan pendekatan sistem ekologi – hidraulik. Konsep ini merupakan upaya untuk memperbaiki dan menyehatkan seluruh komponen ekologi (flora-fauna) dan hidraulik (sistem keairan) penyusun danau yang bersangkutan, sehingga berfungsi menampung air yang
9
dapat digunakan untuk keperluan air bersih masyarakat, meresapkan air hujan untuk pengisian air tanah, dan dapat berkembang menjadi wilayah ekosistem danau yang hidup dan lestari. Danau alami yang memenuhi kondisi ekologi hidraulik yaitu memiliki daerah tangkapan air yang bagus, komposisi dan heterogenitas tanamannya lengkap, belum ada penggundulan hutan dan sistem tata air dan drainasenya masih alamiah, tumbuh vegetasi dan pohon-pohon besar yang melingkari danau pada zona sempadan (vegetasi ini cukup rapat). Pohon dan vegetasi melingkar ini, secara umum dapat dibedakan menjadi tiga ring. Ring pertama pada umumnya terdiri dari pohon-pohon besar yang biasa ada di daerah yang bersangkutan. Ring kedua dipenuhi dengan pohon-pohon yang lebih kecil dan relatif kurang rapat dibanding dengan ring pertama. Ring ketiga atau ring luar berbatasan dengan daerah luar telaga, dengan tingkat kerapatan tanaman yang lebih jarang. Jika kondisi vegetasi di sekeliling danau sudah punah maka dapat dipastikan bahwa umur danau akan memendek, baik disebabkan oleh tingkat penguapan dan suhu yang tinggi maupun tingkat sedimentasi yang tinggi. Ketika melakukan pengembangan di daerah sekitar situ, maka pengembangan tersebut sebaiknya dilakukan di luar ring ketiga dan mengacu pada konsep ekowisata.
2.5 Situ dan Danau Berdasarkan PP No. 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional, kawasan sekitar danau atau waduk ditetapkan sebagai kawasan yang termasuk dalam perlindungan setempat. Kawasan sekitar waduk dan situ adalah kawasan di sekeliling waduk dan situ yang mempunyai manfaat untuk mempertahankan kelestarian fungsinya. Kriteria kawasan lindung untuk kawasan sekitar danau telah ditetapkan dalam RTRW secara nasional yaitu daratan sepanjang tepian danau atau waduk antara 50100 m dari titik pasang tertinggi ke arah darat (PP No.47 Tahun 1997, Pasal 34 ayat 3), penetapan kawasan sekitar danau atau waduk sebagai kawasan perlindungan setempat adalah untuk melindungi danau atau waduk dari
10
berbagai usaha dan atau kegiatan yang dapat mengganggu kelestarian dan fungsi danau atau waduk (Haeruman, 1999). Sementara itu Haeruman (1999) berpendapat bahwa keberadaan waduk dan danau sangat penting dalam turut menciptakan keseimbangan ekologi dan tata air. Dari sudut ekologi, waduk dan danau merupakan ekosistem yang terdiri dari unsur air, kehidupan akuatik, dan daratan yang dipengaruhi oleh tinggi rendahnya muka air, sehingga kehadiran waduk dan danau akan mempengaruhi iklim mikro dan keseimbangan ekosistem sekitarnya. Sedangkan jika ditinjau dari sudut tata air, waduk dan danau berperan sebagai reservoir yang dapat dimanfaatkan airnya sebagai alat pemenuhan irigasi dan perikanan, sebagai sumber air baku, sebagai tangkapan air untuk pengendalian banjir, serta penyuplai air tanah.
11
BAB III BAHAN DAN METODE
3.1 Lokasi dan Waktu Studi Studi mengenai perencanaan lanskap pasca bencana ini dilakukan di kawasan Situ Gintung dengan luas areal 305,7 ha, yang terletak di Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten (Gambar 3). Penelitian ini berlangsung kurang lebih selama empat bulan. Dimulai pada awal bulan Juni 2010 s.d. akhir September 2010.
Tol Jakarta - Merak
Provinsi Banten Kawasan Tangerang Selatan
Kawasan Studi
Gambar 3 Lokasi Studi (Sumber : wikimapia.org)
12
3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain, alat tulis, meteran (alat ukur), kamera digital, kalkulator, dan pengolahan data menggunakan software Auto CAD, Photoshop, GIS (Geographic Information System) dalam hal ini software Arcview, serta menggunakan Hardware berupa Personel Computer (PC).
3.3 Batasan Studi Batasan studi dari penelitian ini sampai pada tahap perencanaan tata ruang di kawasan Situ Gintung. Perencanaan ini akan membagi kawasan menjadi tiga satuan lahan yang memiliki tujuan utama mengembalikan fungsi awal Situ Gintung sebagai penyedia air bersih dan sebagai daerah resapan air. Lokasi penelitian atau tapak yang akan direncanakan merupakan daerah resapan Situ Gintung, yaitu mencakup daerah-daerah yang memiliki potensi mengalirkan air ke situ gintung dan mempengaruhi ekosistem situ itu sendiri. Secara administratif batas perencanaan ini mencakup wilayah kelurahan Cirendeu dan sebagian kecil wilayah kelurahan Pisangan Barat. Pertimbangan batas perencanaan didasarkan pada sejauh area di sekitar situ berpengaruh pada ekosistem situ. Berdasarkan data daerah tangkapan air Situ Gintung yang didapat dari Dinas Pekerjaan Umum Kota Tangerang Selatan dan cek lapang ke lokasi serta wawancara dengan warga, maka didapatkan area perencanaan kawasan Situ Gintung (Gambar 5).
13
Gambar 4 Peta Banten (Sumber : Gambar melalui Google.com)
Tanpa Skala
Gambar 5 Area Perencanaan Kawasan Situ Gintung (Sumber : Wikimapia.org) Batas perencanaan dari penelitian ini mencakup wilayah hulu dan hilir Situ Gintung. Untuk wilayah hulu situ meliputi badan air (cekungan situ) dan kawasan sekitar situ. Sedangkan untuk wilayah hilir meliputi daerah aliran Situ Gintung yang menuju Sungai Pesanggrahan beserta area di sekitar kawasan hilir yang merupakan area terdampak dari bencana longsor situ gintung. Berikut merupakan peta dasar rencana lanskap pasca bencana kawasan Situ Gintung yang sudah diregistrasi (Gambar 6).
14
Gambar 6 Peta Dasar Perencanaan Lanskap Kawasan Situ Gintung (Sumber : www.wikimapia.org)
3.4 Metode Penelitian Metode yang digunakan untuk merencanakan
lanskap kawasan pasca
bencana ini merupakan metode survei dengan mengikuti proses tahapan
15
perencanaan seperti pada umumnya, dimulai dari inventarisasi (pengambilan data), analisis, sintesis, kemudian perencanaan. 3.5 Proses Perencanaan Perencanaan disusun melalui beberapa tahapan sebagaimana disajikan pada Gambar 7. I N V E N T A R I S A S I
A N A L I S I S
LANSKAP SITU GINTUNG
Topografi
Jenis Tanah
Peta Kemiringa n Lahan
Peta Jenis Tanah
Hidrologi
Badan Air
Perda No 12 Tahun 2006 tentang Kawasan Penyangga
Penyangga2 Situ
Satuan Lahan Pengelolaan Air
P E R E N C A N A A N
Peta Intensitas Rata-rata Harian Curah Hujan
SK Menteri Pertanian No.837/Kpts/1980 tentang Penetapan Kawasan Lindung
Titik Pasang
S I N T E S I S
Iklim
Skoring
Kawasan Lindung, Kawasan Penyangga1, Kawasan Budidaya
Satuan Lahan Penyangga (1&2)
Rencana Lanskap Kawasan Situ Gintung Pasca Bencana
Gambar 7 Tahapan Penelitian
Penutupan Lahan
Analisis Spasial dan Deskriptif
Metode Rasional
Analisis Ketersediaan Air dan Kebutuhan Air Masy.
Luas Kebutuhan RTH
Satuan Lahan Pengembangan
Flora & Fauna
Analisis Deskriptif
16
3.5.1 Persiapan dan Inventarisasi Persiapan Pada tahap ini dilakukan persiapan awal berupa penetapan tujuan perencanaan, penentuan rincian kegiatan apa saja yang dilakukan untuk target waktu tertentu, pengumpulan data sekunder yang diperlukan untuk menyusun perencanaan tapak. Data sekunder ini berupa data spasial, deskriptif, maupun tabular. Berikut merupakan data yang akan diambil untuk kelengkapan bahan penelitian (Tabel 1). Tabel 1. Jenis, Interpretasi dan Sumber Data No
Aspek
Interpretasi Data
Sumber Spasial
1
2
Umum Letak dan batas wilayah
Batas lokasi studi
Peta Wilayah dan Peta batas Administratif (BAPPEDA)
V
Luas wilayah
Luas wilayah studi
Informasi Situ Gintung (BAPPEDA)
V
Tata guna lahan
Perumahan Perdagangan Pertanian Rekreasi Peruntukan lainnya
Peta Penggunaan Lahan (BAPPEDA)
Penutupan Lahan
Penutupan lahan
Interpretasi Citra Satelit
V
Aksesibilitas Biofisik Tanah
Sirkulasi
Citra Satelit, BAPPEDA
V
Jenis Tanah Tekstur Tanah
Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung – Cisadane (BBWS)
Topografi
Kemiringan, Elevasi dan relief
Peta Rupa Bumi Indonesia (Bakosurtanal) dan BBWS
Iklim
Curah hujan (2001 - 2009) Angin Suhu Kelembaban
Data Iklim (BMG)
Hidrologi
Ketinggian muka air tanah, Ketinggian muka air situ, Debit air, Kualitas air, Amblesan karena turunnya air bawah tanah
Informasi Data Hidrologi (Pekerjaan Umum Pengairan, Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung – Cisadane), Cek Lapang.
Jenis Tekstual
V
V
V
V
V
V
V
17
Lanjutan Tabel 1. Vegetasi dan Satwa
Jenis Vegetasi, Satwa
3
Aspek Sosial
Demografi
Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung – Cisadane (BBWS) BPS
4
Aspek Legal
Peraturan terkait
Dokumen Peraturan
V V V
Inventarisasi Pada tahapan inventarisasi ini dilakukan studi pustaka untuk menyusun informasi pendahuluan berupa peta dasar dan informasi pendukung lainnya, seperti batas tapak, peta batas daerah aliran sungai (DAS), peta kemiringan lahan, peta penggunaan lahan, dan peta penutupan lahan. Data primer diperoleh melalui pengamatan dan pengukuran pada tapak dan wawancara dengan pihak-pihak terkait, yaitu pemerintah Kota Tangerang Selatan, khususnya di kawasan Situ Gintung, masyarakat sekitar Situ Gintung, Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung dan Cisadane, Badan Lingkungan Hidup Kota Tangerang Selatan, dan pihak terkait lainnya. Adapun pengambilan data ini meliputi aspek biofisik dan sosial. Sedangkan untuk data sekunder diperoleh melalui studi dari berbagai sumber pustaka. Pada tahap ini dilakukan pengecekkan terhadap data yang dihasilkan mengenai penggunaan dan penutupan lahan. Pengumpulan data sekunder seperti iklim, hidrologi, topografi, tanah, dan aspek legal yang akan disusun ke dalam peta tematik yang meliputi peta kemiringan lahan, tanah, intensitas curah hujan harian, dan penutupan lahan. Berikut ini merupakan penjelasan beberapa peta yang akan dikumpulkan. a. Topografi Informasi mengenai peta kontur di lokasi penelitian yang digunakan untuk membuat peta kemiringan lahan. b. Jenis Tanah Pengumpulan informasi mengenai jenis tanah di lokasi penelitian yang diperoleh dari Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung – Cisadane dan Badan Lingkungan Hidup Kota Tangerang Selatan. Informasi jenis tanah ini digunakan sebagai bahan pembuatan peta jenis tanah.
18
c. Iklim Informasi mengenai iklim di lokasi penelitian, dalam hal ini diperlukan data tentang intensitas curah hujan harian rata-rata di lokasi penelitian untuk pembuatan peta tematik curah hujan. d. Penutupan Lahan Klasifikasi penutupan lahan disusun berdasarkan interpretasi visual Citra Satelit dari peta citra Google Earth yang telah melalui proses georektifikasi. Klasifikasi penutupan lahan dibedakan ke dalam : badan air, area terbangun, vegetasi (pepohonan), lahan kosong dan hamparan rumput. e. Hidrologi Informasi hidrologi yang dikumpulkan berupa inlet dan outlet Situ Gintung serta titik pasang tertinggi situ. f. Flora dan Fauna Pengumpulan data vegetasi dan satwa yang ada di lokasi penelitian di dapat dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air dan pengamatan lapang penulis di tapak. g. Aksesibilitas Melalui peta citra yang kawasan Situ Gintung yang telah didapatkan dapat diketahui aksesibilitas yang ada pada kawasan Situ Gintung yang direncanakan, hal ini dapat menjelaskan sistem sirkulasi kawasan situ gintung.
3.5.2 Analisis Tahapan ini dilakukan dengan menganalisis data dan informasi yang telah dikumpulkan, hal ini dilakukan terhadap berbagai aspek dan faktor yang mempengaruhi tapak. Analisis ini menghasilkan beberapa peta tematik yang digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk mendapatkan tiga satuan. Berikut merupakan peta tematik dalam tahap analisis : a. Peta Kemiringan Lahan Kelas kemiringan lahan dibuat melalui peta topografi yang memuat informasi garis kontur pada tapak. Kemudian dari informasi garis kontur yang didapatkan dilakukan pengolahan menggunakan program ArcView
19
untuk mendapatkan peta kemiringan lahan. Peta kemiringan lahan yang telah didapatkan akan diklasifikasikan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian 1980 mengenai penentuan kawasan lindung, kelas kemiringan lahan dibagi menjadi lima kelas yaitu : 1. Kelas I dengan kelerengan 0 – 8% 2. Kelas II dengan kelerengan 8 – 15% 3. Kelas III dengan kelerengan 15 – 25% 4. Kelas IV dengan kelerengan 25 – 40% 5. Kelas V dengan kelerengan > 40% b. Peta Tanah Berdasarkan informasi tentang jenis tanah disusun informasi mengenai jenis tanah dan kerentanan tanah terhadap erosi. Pada pembuatan peta tanah ini akan dibuat klasifikasi jenis-jenis tanah menurut kepekaannya terhadap erosi. c. Peta Curah Hujan Dari data curah hujan yang telah didapatkan, akan dibuat klasifikasi intensitas curah hujan harian rata-rata. Menurut Surat Keputusan Menteri Pertanian 1980 tentang kriteria-kriteria kawasan lindung, klasifikasi ini dibagi menjadi lima kelas yaitu : 1. Kelas I dengan intensitas hujan 0 – 13,6 mm/ hari 2. Kelas II dengan intensitas hujan 13,6 – 20,7 mm/ hari 3. Kelas III dengan intensitas hujan 20,7 – 27,7 mm/ hari 4. Kelas IV dengan intensitas hujan 27,7 – 34,8 mm/ hari 5. Kelas V dengan intensitas hujan > 34,8 mm/ hari d. Peta Hidrologi Berdasarkan informasi hidrologi yang diperoleh, akan disusun peta hidrologi yang menggambarkan batas pasang tertinggi dan surut terendah dari situ. Pada informasi hidrologi juga digambarkan aliran inlet dan outlet Situ Gintung serta ditunjukan secara spasial badan air Situ Gintung yang merupakan satuan lahan pengelolaan air.
20
e. Analisis Penutupan Lahan Berdasarkan interpretasi citra satelit didapatkan luas untuk masing-masing klasifikasi penutupan lahan, dari informasi tersebut akan dapat dianalisis. f. Analisis Flora dan Fauna Dengan mengetahui flora dan fauna yang ada di lokasi penelitian maka dapat dianalisis keberlanjutan situ secara ekologis. Setelah didapatkan beberapa peta tematik, maka dilakukan analisis dengan metode skoring terhadap peta kemiringan lahan, peta jenis tanah dan peta intensitas curah hujan harian rata-rata yang mengacu pada kriteria penentuan
kawasan
lindung
menurut
SK
Menteri
Pertanian
No.
837/Kpts/Um/11/1980. Kriteria klasifikasi untuk kelerengan, jenis tanah, dan curah hujan secara berturut-turut disajikan pada Tabel 2, Tabel 3, Tabel 4. Tabel 2. Klasifikasi dan Nilai Skor Faktor Kelerengan (SK Menteri Pertanian, 1980) Kelas
Kelerengan (%)
Klasifikasi
Nilai Skor
I
0–8
Datar
20
II
8 – 15
Landai
40
III
15 – 25
Agak Curam
60
IV
25 – 40
Curam
80
V
>40
Sangat Curam
100
Tabel 3. Klasifikasi dan Nilai Skor Jenis Tanah Menurut Kepekaaannya Terhadap Erosi (SK Menteri Pertanian, 1980) Kelas
Jenis Tanah
Klasifikasi
Nilai Skor
I
Aluvial, Glel, Planosol,
Tidak peka
15
Hidromerf, Laterit air tanah. II
Latosol
Kurang peka
30
III
Brown forest soil, non
Agak peka
45
Peka
60
Sangat peka
75
calcic brown mediteran. IV
Andosol, Laterit, Grumusol, Podsol, Podsolic.
V
Regosol, Litosol, Organosol, Rensina.
21
Tabel 4. Klasifikasi dan Nilai Skor Intensitas Hujan Harian Rata-Rata (SK Menteri Pertanian, 1980) Kelas
Intensitas Hujan (mm/ hari)
Klasifikasi
Nilai Skor
I
0 – 13,6
Sangat rendah
10
II
13,6 – 20,7
Rendah
20
III
20,7 – 27,7
Sedang
30
IV
27,7 – 34,8
Tinggi
40
V
>34,8
Sangat tinggi
50
Dari hasil overlay tiga peta tematik, kemudian dilakukan penjumlahan dari skoring yang telah dihasilkan. Untuk area dengan nilai skor sama dengan atau lebih dari 175 termasuk pada kawasan lindung. Untuk area dengan jumlah nilai 124 – 174 termasuk pada kawasan penyangga. Sedangkan area dengan jumlah nilai kurang dari 124 termasuk dalam kawasan budi daya.
3.5.3 Sintesis Merupakan tahapan dimana data dan informasi yang telah dianalisis akan dibagi menjadi tiga satuan lahan yaitu satuan lahan pengelolaan air, satuan lahan penyangga, dan satuan lahan pengembangan berdasarkan kesesuaian serta kriteria yang ada. a) Satuan Lahan Pengelolaan Air Merupakan satuan lahan inti dari tapak yang akan dijaga kelestarian dan keberlanjutannya dimana satuan lahan ini merupakan badan air situ. b) Satuan Lahan Penyangga Satuan lahan penyangga situ ditentukan berdasarkan dua pendekatan yaitu pendekatan dengan peraturan pemerintah dan pendekatan kebutuhan air masyarakat. Untuk pendekatan dengan peraturan pemerintah, dilakukan analisis terhadap kemiringan lahan, jenis tanah, dan curah hujan yang didasarkan pada SK Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/11/1980. Selain itu penentuan satuan penyangga juga berdasarkan pada kriteria dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1990 Tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan Kawasan Lindung bagian kedua mengenai
Kawasan
Perlindungan
setempat.
Kriteria
tersebut
22
menentukan perlindungan terhadap kawasan sekitar situ yang dilakukan untuk melindungi situ dari kegiatan budidaya yang dapat mengganggu kelestarian fungsi danau atau situ (Pasal 17). Disebutkan pula bahwa kriteria kawasan sekitar danau atau situ yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik danau atau situ antara 50 – 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat (Pasal 18). Sedangkan pendekatan dengan kebutuhan air menggunakan analisis penutupan lahan dalam kaitannya dengan jumlah aliran permukaan, kemudian membandingkan dengan kebutuhan air masyarakat sekitar kawasan. Dari kedua analisis tersebut, didapatkan luasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk kawasan Situ Gintung. Dalam studi ini, RTH yang ada termasuk pada satuan lahan penyangga yang berfungsi melindungi ekosistem situ dan sebagai kawasan yang meresapkan air. c) Satuan Lahan Pengembangan Merupakan satuan lahan selain dari satuan lahan pengelolaan air dan satuan
lahan
penyangga,
yang
dimanfaatkan
sebagai
area
pengembangan lainnya, misalnya digunakan untuk zona permukiman ataupun konservasi satwa (burung). Untuk menentukan wilayah yang dapat dikembangkan sebagai permukiman digunakan kriteria secara umum berdasarkan PP No. 47/1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, kawasan permukiman sebagai berikut: a. Tidak berada pada daerah yang rawan bencana (longsor, banjir, erosi, abrasi); b. Topografi datar (kelerengan lahan 0 – 8%); c. Tidak berada pada kawasan lindung; d. Didukung oleh ketersediaan prasarana dan sarana penunjang seperti rumah sakit, sekolah, pasar, fasilitas sosial, fasilitas umum, dan lain sebagainya; e. Memiliki aksesibilitas cukup baik terhadap wilayah sekitarnya (adanya jalan raya, jalan kereta api, angkutan umum, angkutan sungai);
23
Adapun beberapa kriteria dan batasan teknis untuk zona permukiman PP No. 47/1997 : a. Penggunaan lahan untuk pengembangan perumahan baru 40% 60% dari luas lahan yang ada, dan untuk kawasan-kawasan tertentu disesuaikan dengan karakteristik serta daya dukung lingkungan; b. Kepadatan bangunan dalam satu pengembangan kawasan baru perumahan tidak bersusun maksimum 50 bangunan rumah/ha dan dilengkapi dengan utilitas umum yang memadai; c. Memanfaatkan ruang yang sesuai untuk tempat bermukim di kawasan
peruntukan
permukiman
di
perdesaan
dengan
menyediakan lingkungan yang sehat dan aman dari bencana alam serta dapat memberikan lingkungan hidup yang sesuai bagi pengembangan
masyarakat,
dengan
tetap
memperhatikan
kelestarian fungsi lingkungan hidup; d. Kawasan
permukiman
harus
dilengkapi
dengan
sistem
pembuangan air limbah, sistem pembuangan air hujan, prasarana air bersih yang memenuhi syarat, dan sistem pembuangan sampah. e. Penyediaan kebutuhan sarana pendidikan, kesehatan, perdagangan, ruang terbuka, taman, ataupun lapangan olah raga di kawasan peruntukan permukiman yang berkaitan dengan jenis sarana yang disediakan, jumlah penduduk pendukung, luas lantai, luas lahan minimal, radius pencapaian, serta lokasi dan penyelesaian secara lebih rinci.
3.5.4 Perencanaan Tahap ini merupakan hasil akhir dari tahap-tahap sebelumnya, pada tahap perencanaan dihasilkan suatu konsep untuk kawasan Situ Gintung sebagai suatu kawasan yang dapat berfungsi secara baik dari segi ekologis dan hidroliknya. Kemudian diturunkan menjadi konsep-konsep pengembangan yang meliputi pengembangan tata ruang, tata hijau, sirkulasi, dan utilitas. a. Konsep Rencana
24
Berdasarkan analisis terhadap kondisi biofisik tapak maka dapat disusun konsep perencanaan lanskap pasca bencana situ gintung yang berfungsi untuk memperbaiki keadaan fisik dan fungsi ekologis-hidrolik Situ Gintung itu sendiri. b. Pengembangan Rencana 1) Rencana Lanskap Membagi kawasan Situ Gintung menjadi tiga satuan lahan antara lain satuan lahan pengelolaan air, satuan lahan penyangga dan satuan lahan pengembangan. Masing-masing satuan lahan dapat dibagi lagi menjadi beberapa zona yang mendukung perencanaan Situ Gintung sebagai kawasan yang memiliki fungsi ekologis dan hidrolik. 2) Rencana Tata Hijau Menetapkan area hijau sebagai penyangga di sekeliling situ. Dengan keberadaan vegetasi di sekitar situ, hal ini juga akan memberikan energi bagi organisme perairan, selain itu vegetasi ini berfungsi sebagai koridor alami pada suatu kawasan yang memberikan
proteksi
alami.
Kemudian,
untuk
menjaga
keanekaragaman di sekitar situ, dapat ditambahkan fungsi dari area tersebut
menjadi
fungsi
konservasi
satwa
yakni
dengan
menggunakan kriteria pohon yang menjadi habitat burung. Selain fungsi utama pohon sebagai vegetasi penyangga untuk keberlanjutan ekologi air yang ada di situ, pohon juga memiliki fungsi lain, dalam kaitannya dengan konservasi satwa. Bagi burung, pohon mempunyai fungsi bermacam-macam, yaitu : tempat berlindung, bertengger, dan beristirahat. Dalam menanam berbagai pohon untuk habitat burung, pengetahuan tentang hal-hal di bawah ini akan sangat membantu (Pakpahan, 1998) : a) Jenis pohon yang disukai burung, dalam artian bahwa pohon tersebut dapat berfungsi sebagai tempat tinggal dan atau tempat untuk mencari makan. Karekteristik jenis pohon yang berkaitan dengan kecocokan habitat burung adalah tinggi pohon,
25
diameter tajuk, struktur dedaunan (ukuran daun, tekstur daun, dan lain-lain), kelebatan tajuk, tinggi bebas cabang, bunga/buah yang dihasilkan, arsitektur pohon (terutama yang berkaitan dengan sistem percabangan) b) Pengaturan tata letak penanaman pohon : mengumpul, memanjang, atau menyebar. Keberadaan lubang, benalu, epiphyit, atau liana. Faktor-faktor lain yang mendukung : keberadaan koridor, keberadaan semak belukar, letak tempat berlindung yang aman, keamanan terhadap gangguan dan perburuan. Jenis pohon penghijauan yang ditanam untuk habitat burung hendaknya merupakan jenis asli, bahkan dapat dengan pohon-pohon yang telah atau mulai langka. Selain itu, pemilihan jenis ini juga disesuaikan dengan : a. Tempat tumbuhnya, misalnya dengan pendekatan strata. b. Jenis burung yang diharapkan terdapat pada suatu wilayah tertentu, contoh : untuk tempat bersarang burung-burung air yang tubuhnya relatif besar, diperlukan pohon dengan cabang dan ranting yang cukup kuat. 3) Rencana Struktur dan Bangunan Bangunan berupa permukiman penduduk dan bangunan fasilitas untuk mendukung masyarakat sekitar Situ Gintung, seperti bangunan masjid, puskesmas, kantor kelurahan, sekolah, dan bangunan fasilitas lainnya yang diperlukan. Bangunan-bangunan ini diletakkan pada satuan lahan pengembangan dengan kriteriakriteria lahan yang sudah disebutkan di atas (Sub Bab Analisis). 4) Rencana Sirkulasi Sirkulasi akan menghubungkan antara zona satu dengan zona yang lainnya, jalur sirkulasi ini akan didukung dengan jaringan pedestrian yang nyaman. Selain itu, akan dibuat sirkulasi sebagai jalur evakuasi yang memudahkan penduduk mencapai area yang lebih tinggi jika terjadi bencana.
26
BAB IV KONDISI UMUM WILAYAH
4.1 Lokasi Administrasi Situ Gintung Lokasi Situ Gintung berada di wilayah Kelurahan Cirendeu, Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, Propinsi Banten. Secara geografis daerah studi ini terletak pada 06o 30’ 32,49” LS dan 106o 12’ 04,53” B. Luas area genangan Situ Gintung mencapai 22 Ha.
Batas Kecamatan Cirendeu Batas Kecamatan Pisangan Barat Batas Kecamatan Ciputat Situ Gintung Lokasi Studi
Gambar 8 Batas Lokasi Studi (Sumber : Bakosurtanal, 2009) Pada Gambar di atas dapat dilihat bahwa Kelurahan Cirendeu di sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Rempoa, di sebelah timur dengan Provinsi DKI Jakarta, di sebelah selatan dengan Kampung Pisangan Barat, dan di sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Cempaka Putih.
27
4.2 Sejarah Situ Gintung Situ Gintung merupakan suatu waduk atau situ yang pada mulanya terbentuk secara alamiah. Tanggul pada situ ini dibangun pada zaman penjajahan Belanda tahun 1933 untuk keperluan irigasi. Saat ini Situ Gintung telah berubah fungsi sebagai waduk resapan dan pariwisata, sehingga dua bangunan pengambil (sadap) yang terdapat pada dua ujung tanggul/ bendungan tidak difungsikan, Karena daerah persawahan telah berubah fungsi menjadi pemukiman. Riwayat pengelolaan Situ Gintung sebelum terjadi keruntuhan dari beberapa sumber informasi, adalah sebagai berikut : 1) Situ Gintung dibangun pada masa penjajahan Belanda pada tahun 1933 untuk keperluan irigasi. Luas semula situ adalah sekitar 31 Ha dan kondisi terakhir tinggal sekitar 22 Ha. 2) Semula situ ditujukan untuk melayani dua daerah irigasi, yakni DI Gintung I seluas 20 Ha dan DI Gintung II seluas 25 Ha. Pada tahun 1991, proyek irigasi Jawa Barat telah melakukan rehabilisasi pintu-pintu air Situ Gintung. Selanjutnya, karena daerah irigasi telah berubah fungsi menjadi permukiman, kedua pintu tersebut tidak difungsikan. 3) Sesuai Undang-Undang no. 11, tahun 1974 tentang Pengairan, jo. PP no. 23, tahun 1982 tentang irigasi, Situ Gintung beserta daerah irigasinya dikelola oleh Pemerintah Propinsi Jawa Barat, cq. Seksi Pengairan Tangerang. Pada tahun 2001, terjadi pemisahan Banten dari Propinsi Jawa Barat, sebagai konsekuensinya pengelolaan Situ Gintung diserahkan kepada Pemerintah Daerah Banten. 4) Dalam rangka mengantisipasi banjir dan konservasi di daerah jabodetabek, sejak tahun 2006, Proyek Induk Pengembangan Wilayah Sungai CiliwungCisadane secara bertahap melakukan kegiatan rehabilitasi situ-situ di wilayahnya. 5) Pada tahun 2004, dilakukan kesepakatan bersama (MOU) antara Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat dan Banten, Bupati Tangerang, Bupati Bogor, Walikota Bogor, Bupati Bekasi, Walikota Bekasi, dan Walikota Depok yang diketahui Menteri Dalam Negeri, yang intinya melakukan kesepakatan bersama tentang pelestarian situ-situ di daerah Jabodetabek.
28
6) Berdasarkan UU no 17, tahun 2003 tentang keuangan Negara dan UU no. 1, tahun 2004 tentang perbendaraan, dan UU no. 17, tahun 2003, tentang Sumber Daya Air, maka pada tahun 2007, Proyek Pengembangan Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane berubah menjadi Balai Besar Wilayah Sungai CiliwungCisadane. 7) Pada tahun 2008 oleh BBWS Ciliwung-Cisadane, telah dilakukan upaya pelestarian Situ Gintung dengan melakukan pengerukan, membangun batas situ dan pembuatan jogging track yang didahului dengan pertemuan konsultasi masyarakat untuk memperoleh masukan dan persetujuan. 8) Pemukiman di daerah hilir situ, di daerah sisi kiri adalah ISCI, Perumahan UUI, restoran, sekolah TK. Sedang di daerah sisi kanan adalah pengembang PT. Sigma, PT Lake Side, dan lain-lain, yang sebagian besar memanfaatkan daerah bantaran situ, bahkan ada yang membangun rumah-rumah di tubuh bendungan. Demikian perkembangan Situ Gintung mulai dari fungsi awal sebagai irgasi hingga berkembang menjadi rekreasi. Mulai dari daerah di sekitarnya yang berupa persawahan hingga kemudian menjadi permukiman.
4.3 Aspek Sosial Situ Gintung Lokasi studi Situ Gintung, secara administratif terletak di Desa Kelurahan Cirendeu Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan. Berdasarkan data sekunder yang diperoleh dari pihak Kecamatan Ciputat Timur tahun 2009 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Kecamatan Ciputat Timur berjumlah 182.039 Jiwa, sedangkan jumlah penduduk untuk kelurahan Cirendeu sendiri adalah 27.872 Jiwa dengan perincian jumlah penduduk laki-laki 13.618 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 14.254 jiwa.
4.4 Aspek Legal Situ Gintung Sebelum terbentuknya Kota Tangerang Selatan sebagai daerah otonom, Situ Gintung adalah bagian dari wilayah Kabupaten Tangerang. Oleh karena itu pemanfaatan lahan di kawasan tersebut masih mengikuti arahanarahan yang tertuang dalam dokumen perencanaan Kabupaten Tangerang. Salah
29
satu dokumen perencanaan tersebut adalah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Tangerang. RTRW Kabupaten Tangerang telah disahkan dengan Peraturan Daerah (Perda) No. 03 Tahun 2008 tentang perubahan Kedua Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Tangerang, RTRW menjadi pedoman bagi Pemerintah Kabupaten untuk menetapkan lokasi kegiatan pembangunan dalam memanfaatkan ruang serta dalam menyusun program pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang di daerah tersebut, sekaligus menjadi dasar dalam pemberian rekomendasi pengarahan pemanfaatan ruang, sehingga pemanfaatan ruang dalam pelaksanaan pembangunan selalu sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten yang sudah ditetapkan. Seharusnya rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten disusun dengan perspektif ke masa depan untuk jangka waktu 25 tahun. Namun RTRW Kabupaten Tangerang hanya diberlakukan selama 2 tahun yakni 2008 – 2010 karena proses penyusunannya berada pada masa peralihan. Berdasarkan RTRW Kabupaten Tangerang 2008 – 2010 Kawasan Situ Gintung ditetapkan sebagai kawasan perkotaan yakni wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Lebih lanjut dalam RTRW tersebut telah diarahkan bahwa kawasan situ gintung merupakan bagian wilayah dari embrio pembentukan Kota Tangerang Selatan. Kawasan sekitar situ dijaga agar mempunyai manfaat penting unuk mempertahankan kelestarian fungsi waduk danau dan situ. Oleh karenanya pemanfaatan lahan di kawasan sekitar situ gintung mengikuti arahan Peraturan Daerah Kabupaten Tangerang No. 12 Tahun 2006 tentang Garis Sempadan dan Peraturan Menteri PU No. 63/PRT/1993 tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai yang menjelaskan bahwa garis sempadan situ minimal 50 meter.
30
BAB V DATA DAN ANALISIS
Untuk melakukan perencanaan lanskap Kawasan Situ Gintung pasca bencana diperlukan inventarisasi kondisi tapak. Hal ini bertujuan untuk mengetahui perencanaan yang sesuai pada tapak. Lanskap yang dijadikan sebagai lokasi penelitian merupakan sebuah situ alami yang kemudian dibendung oleh Pemerintahan Belanda pada tahun 1933. Lokasi penelitian meliputi daerah tangkapan air Situ Gintung yang langsung berpengaruh terhadap ekosistem situ tersebut. Daerah ini mencakup area hulu dan Hilir Situ Gintung. Ketika melakukan cek lapang ke lokasi penelitian, area cekungan atau badan situ saat ini dalam keadaan kering, hanya terdapat beberapa tanaman liar, pohon pisang, dan genangan air di beberapa bagian badan situ.
Gambar 9 Lokasi Eksisting Situ Gintung Berikut merupakan hasil inventarisasi yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi topografi, jenis tanah, iklim, penutupan lahan, hidrologi dan flora serta fauna di kawasan Situ Gintung. 5.1
Hidrologi Kawasan Situ Gintung terbagi menjadi daerah hulu dan hilir Situ
Gintung. Pada daerah hulu terdapat area genangan yakni badan situ itu sendiri. Situ Gintung memiliki dua inlet utama (Gambar 10) yang mengalir dari arah selatan menuju ke situ tersebut. Dua inlet utama itu terdiri dari inlet Kali Enggram dan inlet dari saluran-saluran pembuangan permukiman di sekitar kawasan. Selain dua inlet utama, terdapat 12 inlet kecil lainnya (Gambar 11) yang mengalir ke
31
badan situ, tujuh diantaranya selalu dialiri air sedangkan lima sisanya kadang tidak mengalir. Sedangkan daerah hilir merupakan daerah aliran air dari Situ Gintung menuju Sungai Pesanggrahan.
Gambar 10 Foto Inlet Utama
Gambar 11 Foto Inlet Kecil
(Sumber : Dokumen pribadi)
Menurut definisi dari Kasiro (1997) waduk atau situ memiliki fungsi untuk menampung air hujan sebagai persediaan suatu daerah pada musim kering. Sedangkan fungsi hidrologi Situ Gintung sendiri adalah untuk keperluan daerah konservasi, resapan, pengendalian banjir, dan sebagai penyuplai air untuk masyarakat di sekitarnya. Berikut merupakan ilustrasi gambar aliran air yang menuju ke Situ Gintung dan mengalir menuju Sungai Pesanggrahan (Gambar 12). Menurut Laporan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air, 2009 luas Daerah Aliran sungai/selokan sampai dengan kawasan Situ Gintung adalah 3.2 km2. Debit air dari masing-masing selokan tersebut sebesar 15 L/detik dan 20 L/detik pada waktu tidak hujan. Analisis hidrologi dilakukan untuk mendapatkan satuan lahan pengelolaan air. Satuan lahan ini meliputi badan air yang ada di kawasan tersebut. Selain itu, akan ditentukan pula titik pasang tertinggi situ untuk menentukan satuan lahan penyangga. Berikut analisis hidrologi dalam menentukan titik pasang tertinggi situ dan badan air situ.
32
Gambar 12 Ilustrasi Aliran Air Situ Gintung (Sumber : Citra Satelit Google Earth)
5.1.1 Badan Air Badan air pada kawasan Situ Gintung meliputi area yang digenangi air, yaitu daerah hulu dan hilir situ gintung (Gambar 13). Daerah hulu merupakan inti dari ekosistem situ yang harus dijaga kelestariannya. Daerah hulu ini meliputi area cekungan yang berfungsi sebagai badan situ, tempat ditujunya air dari daerah yang lebih tinggi, air dari saluran pembuangan, air hujan, atupun aliran permukaan. Sedangkan daerah hilir merupakan area yang dialiri air dari hulu situ menuju sungai Pesanggrahan. Bagian hilir situ juga harus dilindungi karena merupakan bagian dari badan air dan merupakan area yang terkena dampak yang besar saat terjadi bencana jebolnya situ. Untuk meminimalisir kerusakan apabila terjadi bencana lagi, maka bagian hilir juga masuk dalam perencanaan tapak.
33
Aliran Aliran dari Situ dari Situ Cekungan Badan SItu Situ
Dr. Ir. Setia Hadi, MS Ir. Qodarian Pramukanto, MSi
Gambar 13 Peta Denah Tangkapan Air Situ Gintung
34
5.1.2
Titik Pasang Tertinggi Untuk menetapkan sejauh mana perlindungan pada satuan
pengelolaan air maka ditentukan titik pasang tertinggi situ (Gambar 15). Karena satuan lahan penyangga dapat ditentukan mulai dari muka air tertinggi situ.
•
Dr. Ir. Setia Hadi, MS Ir. Qodarian Pramukanto, MSi
Gambar 14 Peta Badan Air dan Muka Air Tertinggi Kawasan Situ Gintung
Gambar 15 Batas Muka Air Tertinggi Situ Gintung
35
5.2
Topografi Lokasi penelitian ini memiliki topografi yang beragam, mulai dari
topografi datar, landai hingga agak curam. Untuk membuat peta kemiringan lahan digunakan informasi dari peta kontur Situ Gintung (Gambar 16) yang diolah menggunakan program Arcview. Berdasarkan pada SK Menteri Pertanian No. 837/Kpts/II/1980, klasifikasi kelas kemiringan lahan di golongkan menjadi lima kelas kemiringan yakni 0 – 8%, 8 – 15%, 15 – 25%, 25 – 40%, dan ≥ 40%.
Gambar 16 Peta Kontur Kawasan Situ Gintung (Sumber : Bakosurtanal dan Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung – Cisadane)
36
Berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 837/Kpts/II/1980 tentang peruntukan kawasan lindung, telah ditetapkan skor dan klasifikasi untuk membuat peta kemiringan lahan (Gambar 17). Kawasan Situ Gintung secara garis besar tergolong dalam kelas lahan pertama yakni 0 – 8% (skor 20) dengan klasifikasi kelas lahan datar seluas 179,45 Ha dengan presentase 58,7% dari luas keseluruhan 305,7 Ha. Sedangkan untuk kelas lereng 8 – 15% (skor 40) seluas 46,77 Ha (15,3%) dan kelas lereng 15 – 25% (skor 60) seluas 79,48 Ha (26%). Dengan begitu Kawasan Situ Gintung memiliki kemiringan yang relatif datar. Ditinjau dari kepekaannya terhadap erosi, kemiringan lahan di lokasi penelitian tergolong tahan terhadap erosi, namun jika penggunaan lahan tidak dimanfaatkan secara tepat maka akan mengakibatkan bahaya erosi.
Dr. Ir. Setia Hadi, MS Ir. Qodarian Pramukanto, MSi
Gambar 17 Peta Kemiringan Lahan Kawasan Situ Gintung
37
5.3 Jenis Tanah Jenis tanah pada seluruh lokasi penelitian merupakan asosiasi latosol merah dan latosol cokelat kemerahan. Tanah latosol merah merupakan tanah yang memiliki tingkat kesuburan sedang, sifat fisik tanahnya sedang sampai kurang baik. Sedangkan karakteristik tanah latosol cokelat kemerahan merupakan tanah yang belum begitu lanjut perkembangannya, terbentuk dari tufa vulkan andesit – basaltis, memiliki tingkat kesuburan rendah sampai cukup, mudah meresapkan air, agak peka terhadap erosi dan memiliki tekstur halus. Menurut Soepraptohardjo (1974) secara umum tanah jenis latosol ini merupakan tanah yang banyak mengandung zat besi dan aluminium, tanah ini sudah sangat tua sehingga tingkat kesuburannya rendah. Tanah ini memiliki kadar liat lebih dari 60 %, remah sampai gumpal, gembur, warna tanah seragam dengan dengan batas-batas horison yang kabur, solum dalam (lebih dari 150 cm), kejenuhan basa kurang dari 50 %, umumnya mempunyai epipedon kambrik dan horison kambik. Jenis tanah yang terdapat pada lokasi penelitian merupakan asosiasi dari latosol merah dan latosol merah kecoklatan. Berdasarkan pada kepekaan terhadap erosinya menurut SK Menteri Pertanian No. 837/Kpts/II/1980, jenis tanah yang ada di Kawasan Situ Gintung adalah latosol (Gambar 18) dengan nilai skor 30 yang tergolong kurang peka terhadap erosi. Batuan dasar pada umumnya terdiri dari endapan alluvial, diantaranya lempeng, pasir, dan kerikil yang mengalami proses metamorfosa terpindahkan kemudian diikuti dengan endapan tertiari dan membentuk cekungan dengan kemiringan ke arah barat laut. Jenis batuan secara umum di daerah Tangerang dan sekitarnya yaitu : a) Endapan alluvial, yang terdiri dari lempung, tanah, pasir, dan kerikil. b) Satuan tufa andesit, antara lain tufa, desit, andesit, mikro dlorit. c) Satuan lahar breksi alirannya bersusun andesit sampai dasit yang satu sama lainnya terikat oleh fraksi-fraksi halus dan bersifat agak lepas. d) Satuan lempung, pasir, dan kerikil serta gamping.
38
Dr. Ir. Setia Hadi, MS Ir. Qodarian Pramukanto, MSi
Gambar 18 Peta Jenis Tanah Kawasan Situ Gintung Sebagai formasi dasar di daerah Tangerang adalah terdiri dari sedimen endapan laut (Pretritiary Marine) dan endapan pantai. Formasi ini telah terkonsolidasi dengan baik, mengalami proses metamorfosa tererosi kemudian
39
diikuti dengan endapan tertiary dan membentuk suatu cekungan (depression basin). Cekung ini mempunyai kemiringan ke arah Barat Laut. Dilihat dari sebaran jenis tanahnya, pada umumnya di Kota Tangerang Selatan berupa asosiasi latosol merah dan latosol cokelat kemerahan. Oleh karena itu secara umum lahan cocok untuk pertaian/ perkebunan.
5.4
Iklim Kawasan Situ Gintung berada pada wilayah iklim tropis dengan
temperatur udara bulanan rata-rata berkisar antara 25,8oC – 28,3oC. Kelembaban relatif berkisar antara 70,3% - 87,6%. Kecepatan angin bulanan rata-rata yang terjadi berkisar antara 133,3 km/hr hingga 222,2 km/hr. Sedangkan penyinaran matahari bulanan rata-rata yang terjadi berkisar antara 16,7% hingga 63,7%. Dengan intensitas curah hujan harian rata-rata 11,17 mm/hari. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari BMKG dalam Laporan Hidrologi oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air, intensitas rata-rata curah hujan harian pada lokasi penelitian adalah 11, 17 mm/hari. Hal ini menunjukkan bahwa dengan intensitas rata-rata curah hujan harian tersebut, lokasi penelitian termasuk dalam kategori yang sangat rendah kepekaannya terhadap erosi. Mengacu pada SK Menteri Pertanian No. 837/Kpts/II/1980 tentang peruntukan kawasan Lindung lokasi
ini memiliki nilai skor 10 dalam
pengklasifikasian kelas intensitas rata-rata curah hujan harian (Gambar 19). Menurut Watt dan Wilson (2001) iklim di kawasan Situ Gintung yang merupakan wilayah kota cenderung berbeda dengan daerah sekitarnya karena padatnya bangunan. Kota cenderung hangat di malam hari, dan juga sering mendapat lebih banyak hujan di musim panas. Kota juga memiliki polusi udara yang cenderung lebih tinggi. Iklim pada suatu kota yang memiliki banyak bangunan yang berasal dari konstruksi beton memiliki suhu yang lebih hangat karena pada siang hari panas matahari diserap oleh dinding-dinding beton yang menyebabkan udara menjadi tidak terlalu panas. Pada malam hari panas matahari yang diserap tersebut dipancarkan sehingga udara menjadi lebih hangat. Gedung yang tinggi menyebabkan angin terhalang. Ini memaksa angin bertiup ke atas atau bertiup di sepanjang jalan di antara gedung-gedung. Jika udara yang naik di atas
40
kota sangat hangat dan lembab, udara dapat menjadi dingin untuk membentuk awan yang mungkin akan menurunkan hujan yang singkat.
Dr. Ir. Setia Hadi, MS Ir. Qodarian Pramukanto, MSi
Gambar 19 Peta Intensitas Rata-rata Curah Hujan Harian Kawasan Situ Gintung
41
5.5
Penutupan Lahan Inventarisasi penutupan lahan di sekitar Situ Gintung terdiri dari
permukiman, aktivitas domestik, dan lain-lain. Area situ saat ini hanya sekitar 22 Ha. Sebelum banyak perubahan di sekitar situ, luas situ sekitar 34 Ha (menurut hasil komunikasi dengan penduduk asli setempat). Dengan demikian setelah 70 tahunan lamanya, luas situ telah menyusut menjadi lahan lain. Berdasarkan Dokumen Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup (2009) di daerah Situ Gintung dan sekitarnya hanya digunakan untuk permukiman dengan kepadatan permukiman yang tinggi. Jenis tumbuhan yang mendominasi di daerah waduk adalah tumbuhan dari jenis pohon jati (Tectona grandis), Kayu Pasang (Quarcus induta), Gadog (Bischofia javanica), Hantap (Sterculia macrophylla), dan Bayur (Pterospermium sp). Kawasan Situ Gintung yang awalnya merupakan area persawahan kini semakin beralih fungsi menjadi permukiman penduduk. Alih fungsi lahan ini mengakibatkan terjadinya penurunan resapan air. Selain meningkatnya kebutuhan air hal ini juga menyebabkan penurunan ketersediaan air tanah, lahan yang semula merupakan kawasan penyangga, daerah resapan air, atau kawasan lindung kemudian berubah menjadi daerah-daerah yang kedap air. Dampak lain dari alih fungsi lahan ini adalah peningkatan aliran permukaan (run-off) yang menyebabkan terjadinya peningkatan potensi banjir. Peta penutupan lahan Kawasan Situ Gintung dapat dilihat pada Gambar 20. Untuk membuat peta penutupan lahan di Kawasan Situ Gintung, maka dilakukan interpretasi citra satelit yang telah didapat dengan klasifikasi penutupan lahan berupa bangunan, hamparan rumput, pepohonan (vegetasi), badan air, dan lahan kosong. Masing-masing penutupan lahan dapat diklasifikasikan dengan melihat perbedaan warna dan tekstur yang tergambar pada peta citra satelit. Berikut disajikan tabel yang membantu dalam proses interpretasi (Tabel 5).
42
Tabel 5. Interpretasi Citra Satelit untuk Peta Penutupan Lahan Penutupan Lahan
Tekstur
Pola
Warna
Bangunan (Building)
Halus – Kasar
Terkonsentrasi
Beragam
Pohon (Woodland)
Kasar
Menyebar
Hijau kehitaman
Semak Berumput (Grassy Shurb land)
Halus
Berpetak dan Menyebar
Hijau terang
Badan Air (Water Body)
Halus
Berpetak
Hijau kehitaman
Lahan Terbuka (Bare Land)
Halus
Menyebar
Cokelat
Deskripsi Pada Citra
Tabel 6. Luas masing-masing jenis penutupan lahan No 1
2
3 4 5
Land Cover Bangunan (Building)
Land Use
Permukiman Gedung Fasilitas Pendidikan, Kesehatan, dan Jalan Aspal Pohon (Wood land) Kumpulan Pohon yang Rapat Pohon dengan jarak yang jarang Semak Berumput (Shruby grass land) Lapangan Lahan Terbuka (Bare land) Lahan Kosong Badan Air (Water body) Situ (Satuan Lahan Pengelolaan Air) Kolam
Luas (Ha) (%) 162,408 53,2
31.282
10,2
71.362 18.312 22.333
23,3 6 7,3
43
Dr. Ir. Setia Hadi, MS Ir. Qodarian Pramukanto, MSi
Gambar 20 Peta Penutupan Lahan Kawasan Situ Gintung
44
Dari interpretasi peta citra satelit Kawasan Situ Gintung maka diperoleh informasi penutupan lahan yang didominasi oleh area terbangun sebanyak 53,2% dari luas keseluruhan lokasi penelitian. Hal ini mengakibatkan aliran permukaan yang menuju ke situ semakin banyak karena sebagian lahan sudah digunakan oleh bangunan yang sifatnya kedap air. Adanya alih fungsi lahan di daerah tanggul, diyakini banyak pihak sebagai salah satu penyebab melemahnya daya dukung tanah terhadap kekuatan tanggul. Menurut Kepala Dinas Sumber Daya Air dan Permukiman Banten (Winarjono, 2009), kawasan seluas 10 hektar di hilir situ sudah berubah menjadi perumahan. Selain itu, kerusakan hutan di hulu sungai yang sudah sangat parah juga menjadi salah satu pemicu. Sepanjang DAS Ciliwung dan DAS Cisadane yang berhubungan langsung dengan Situ Gintung kondisi hutannya sudah sangat buruk. Menurut data Kementrian Lingkungan Hidup Indonesia (Purwati, 2009) di daerah aliran Sungai Ciliwung pada tahun 2000 luas tutupan hutannya 4918 hektar (9,43%) dan berkurang menjadi 4162 hektar (7,98%) pada tahun 2005. Pada tahun 2007 kembali mengalami penurunan yang signifikan, dimana luas tutupan hutannya tinggal 1665 (3,19%) dan terakhir berkurang menjadi 1265 hektar (2,42%). Dari data yang telah disebutkan, terlihat bahwa dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2008 telah terjadi pengurangan luas hutan yang sangat signifikan sebesar 7,01%. Perubahan penutupan lahan menjadi pemukiman ini menyebabkan jumlah aliran limpasan semakin bertambah. Berdasarkan penutupan yang ada didapatkan aliran limpasan yang menuju Situ Gintung sebanyak 19.614 m3/hari. Berikut merupakan hasil perhitungan aliran limpasan dan simpanan air di kawasan Situ Gintung berdasarkan penutupan lahannya : Tabel 7. Hasil Perhitungan Aliran Limpasan dan Simpanan Air
Jenis Penutupan
C
A (m2)
Bangunan Lahan Kosong Semak Berumput Pohon Badan Air
0.825 0.2 0.175 0.1 1
1624080 183120 713620 312820 223330 3056970
i (m/hari) 0.01117 0.01117 0.01117 0.01117 0.01117
Runoff (m3/hari) 14966.30322 409.09008 1394.948695 349.41994 2494.5961 19614.35804
simpanan air (m3/hari) 3174.67 1636.36 6576.187 3144.779 0 14532
45
Keterangan : Q = C.A.i C = Koefisien Limpasan A = Luas Penutupan I = Rata-rata Curah Hujan Harian (m/ hari) Q = Aliran Limpasan (m3/ hari) Menurut Rismunandar (1984) dalam Juwarin (2010), hujan yang turun ke permukaan bumi dapat menambah ketersediaan air di dalam tanah dan juga dapat menyebabkan terjadinya banjir. Pengamanan air hujan pada prinsipnya terletak dalam dua pengelolaan teknis, yaitu peningkatan daya serap air tanah dan pengendalian mengalirnya. Meningkatkan daya serap tanah pada hakekatnya adalah meningkatkan kapasitas penyimpanan air oleh tanah. Kemampuan menyimpan air suatu areal tidak akan terlepas dari pengaruh vegetasi di atasnya. Berdasarkan penutupan lahan yang ada di kawasan Situ Gintung, berikut merupakan nilai air limpasan yang langsung menuju ke danau per harinya, Kapasitas tampung air Situ Gintung kurang lebih 690.561 m3 sedangkan air limpasan yang langsung mengalir ke situ sebanyak 19.614 m3/ hari. Banyaknya air yang melimpas ke situ masih dapat ditampung oleh badan situ itu sendiri. Namun yang jadi permasalahan adalah ketika air melimpas terlalu banyak sedang tanah tidak menyerap cukup banyak air sebagai cadangan air tanah. Maka ketika musim kemarau akan terjadi kekeringan dan permasalahan terhadap ketersediaan air. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya peningkatan cadangan air tanah. Salah satu caranya adalah dengan memperluas ruang terbuka hijau untuk kawasan Situ Gintung.
5.6
Flora dan Fauna Inventarisasi ekosistem darat Kawasan Situ Gintung difokuskan pada
komponen hidup yang mempunyai nilai ekologis. Nilai ekologis suatu jenis flora atau fauna dapat dilihat dari manfaatnya terhadap keseimbangan ekosistem tersebut, manfaat hidrologis (pengatur tata air), dapat memperbaiki kesuburan tanah, sebagai paru-paru alam, pencegah erosi, sebagai sumber plasma nutfah, sifat keendemikan dan kelangkaan yang dilindungi undang-undang.
46
Pada saat pengamatan ini dilakukan, keadaan Situ Gintung airnya tidak tergenang lagi sebagai akibat bobolnya bendungan situ tersebut. Demikian juga setelah lama dibiarkan, di lahan yang tadinya tergenang telah tumbuh bermacam tumbuhan liar. Pada umumnya tumbuhan tersebut dikategorikan sebagai tumbuhan rumput-rumputan (Graminea) dan herba. Lokasi situ yang banyak ditumbuhi adalah di bagian selatan. Di samping itu di lokasi tersebut ditemukan juga bekas cangkang keong-keongan, seperti keong mas. Jika dikaitkan dengan keberadaan organisme tersebut dan dikaitkan dengan kualitas air situ, maka dapat diduga bahwa kualitas air Situ Gintung adalah tercemar oleh bahan organik. Berdasarkan data hasil tim penelitian dan pengembangan sumber daya air serta hasil pengamatan lapang penulis, kelompok ekosistem darat dikategorikan sebagai hasil konversi aktivitas manusia, yaitu kebun campuran dan pekarangan, daerah wisata, pusat kegiatan olah raga, sekolah serta permukiman penduduk. Komponen biologi yang diamati meliputi komponen flora dan fauna yang hidup dan berkembangbiak di ekosistem tersebut. Semua ekosistem tersebut berada di pinggiran hingga 100 meter dari Situ Gintung. Komponen biologi yang dikaji dalam ekosistem darat ini meliputi keanekaragaman flora dan faunanya. a. Komponen Flora Komponen flora yang ditemukan ada yang berupa tanaman budidaya, seperti tanaman pisang, singkong, jagung. Lokasi ini berbatasan langsung dengan Situ Gintung di sebelah sisi Timur dan Selatan. Di samping itu ditemukan juga tumbuhan keras alami, seperti renghas yang berada di sisi Selatan situ ini. Jenis komponen flora lainnya yang ditemukan di pekarangan daerah wisata sekitar Situ Gintung, sekolah, rumah penduduk, dan pusat kegiatan olah raga pada umumnya berupa tanaman penghijauan, tanaman keras (buah-buahan), bahan bangunan, tanaman hias, tanaman pagar. Dari hasil inventarisasi dengan metode jelajah terhadap jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan di daerah studi dapat dilihat pada Tabel 8.
47
Tabel 8. Keanekaragaman tumbuhan di sekitar Situ Gintung No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Nama Lokal Beringin Kelapa Angsana Jambu Air Jambu Mete Bambu Pisang Formis Sawo Kelewih Palem Raja Rambutan Mangga Pinus Albisia Patikan Kebo Randu
Nama Latin Ficus benjamina Cocos nucifera Pterocarpus indicus Sizigium aqueum Anacardium occidentale Bambusa sp. Musa paradisiacal Acasia auriculiformis Acras zapota Artocarpus sp. Delonix regia Nephellium sp. Mangifera indica Pinus mercusii Albizzia falcate Ceiba pentandra
Manfaat Penghijauan Bahan bangunan Penghijauan Buah-buahan Buah-buahan Bahan bangunan Buah-buahan Penghijauan Buah-buahan Buah-buahan Penghijauan Buah-buahan Buah-buahan Penghijauan Bahan bangunan Penghijauan Bahan bangunan
(Sumber : Dokumen Pengelolaan dan Pemantauan Lingkuan Situ Gintung, 2009)
Berdasarkan hasil cek lapang yang dilakukan penulis, terdapat beberapa tanaman endemik dan tanaman eksotik pada tapak antara lain, beringin, Kelapa, Angsana, Pisang, Bambu, Kamboja, Palem Raja, Mangga, Rambutan, Pinus, Randu, dan beberapa jenis semak. Pada bagian badan air yang dahulu merupakan situ, sekarang sudah ditumbuhi tanaman liar, pohon pisang, dan berbagai jenis pepohonan lain (Gambar 21).
Gambar 21 Vegetasi pada Lokasi Penelitian (Sumber : Dokumen pribadi)
48
b. Komponen Fauna Di sekitar Situ Gintung terdapat beberapa jenis tumbuhan, baik yang alami maupun yang sengaja ditanam, sehingga kumpulan flora tersebut telah menjadi tempat hidup (habitat) atau menjadi sebagian daerah jelajah dari beberapa fauna liar. Metode yang digunakan dalam survey ini adalah metode jelajah dengan menjelajah daerah tertentu yang diduga dapat ditemukan jenisjenis faunanya. Berikut merupakan daftar tabel untuk fauna yang dijumpai di sekitar Situ Gintung. Tabel 9. Keanekaragaman Kelompok fauna Di sekitar Situ Gintung No I 1 2 3 4 5 6 7 II 1 III 1 2
Nama Fauna Burung/ Aves Anis Cangkurileung Tekukur Kapinis Burung Gereja Peking Pipit Reptil Kadal Amphibi Katak Kodok
Nama Ilmiah
Keterangan
Zoothera sp. Streptopelia chinensis Geopelia striata Apus affinis Passer montanus Lonchura leucogastroides
1) , 2) 1) , 2) 1) 1) 1) 1) 1) . 2)
Mabouya multifasciata
1)
Rana cancrivora Bufo sp.
1) 1)
Keterangan : 1) = Wawancara dengan penduduk sekitar 2) = Terlihat, terdengar saat survei
(Sumber : Dokumen Pengelolaan dan Pemantauan Lingkuan Situ Gintung, 2009)
Berdasarkan cek lapang yang dilakukan oleh penulis, beberapa fauna yang langsung dilihat antara lain, burung gereja, kupu-kupu, belalang, kadal, dan beberapa jenis burung yang tidak diketahui namanya, hanya dilihat dan didengar perbedaan suaranya.
Gambar 22 Kupu-kupu di Kawasan Situ Gintung
49
Keberadaan flora dan fauna di kawasan Situ Gintung kurang begitu beragam, hal ini menunjukkan bahwa ekosistem yang menunjang situ itu sendiri sangat kurang. Di sekeliling situ telah dipadati oleh pemukiman penduduk, hal ini menyebabkan fauna merasa kurang nyaman dengan kondisi yang padat bangunan dan ramai. Sedangkan untuk keberadaan vegetasi pada tapak hanya mengelilingi sebagian badan situ saja. Vegetasi yang seharusnya menjadi penyangga dan penunjang ekosistem situ tergantikan oleh bangunan penduduk. Adanya keberagaman vegetasi yang ada di sekitar situ dapat menunjang aliran energi antara situ dengan organisme di luar situ.
50
BAB VI SINTESIS
Untuk menetapkan zonasi perencanaan tapak diterapkan teori Marsh (2005) tentang penataan ruang pada Daerah Aliran Sungai (DAS) yang membagi tapak menjadi tiga satuan lahan, yaitu Satuan Lahan Pengelolaan Air, Satuan Lahan Penyangga, dan Satuan Lahan Pengembangan. Satuan lahan penyangga dan satuan lahan pengembangan, akan diperoleh setelah menentukan satuan lahan pengelolaan air. Karena satuan lahan pengelolaan air merupakan inti dari perencanaan lanskap Situ Gintung pasca bencana. Pada bab sebelumnya telah dilakukan analisis yang berkaitan dengan kondisi eksisting tapak dan kriteriakriteria untuk pencapaian ketiga satuan lahan tersebut. Kemudian dihasilkan beberapa peta tematik yang dilanjutkan dengan tahap sintesis untuk memperoleh tiga satuan lahan, sebagaimana disajikan pada Gambar 23 : Daerah Hulu Situ
+ Daerah Hilir Situ
Badan Air
Peta kemiringan Lahan
+
Peta Jenis Tanah
Overlay
+
Peta Curah Hujan
Batas Pasang
Penutupan Lahan
Overlay Peraturan Pemerintah No. 32
S.K. Menteri Pertanian tentang Kawasan Lindung Kawasan Lindung, Kawasan Penyangga, Kawasan
Peta Buffer Danau
Analisis Koefisien Runoff dan Ketersediaan Air
Kebutuhan Air Masy. Kawasan Situ Gintung
Luas RTH untuk Mencukupi Kebutuhan Air
Area untuk RTH
Peta Satuan Lahan Pengelolaan Air
+
Peta Satuan Lahan Penyangga
+
Peta Satuan Lahan Pengembangan
Peta Rencana Lanskap (Zonasi) Kawasan Situ Gintung Gambar 23 Tahap Untuk Mendapatkan Tiga Satuan Lahan
51
6.1
Satuan Lahan Pengelolaan Air Untuk menentukan satuan lahan pengelolaan air dapat dilihat dari
ekosistem air yang akan dilindungi yakni badan Situ Gintung (cekungan situ) dan aliran situ menuju Sungai Pesanggrahan (Gambar 15). Setelah didapatkan satuan lahan pengelolaan air. Maka dapat ditetapkan satuan lahan penyangga yang berfungsi untuk melindungi satuan pengelolaan air. Berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 837/Kpts/II/1980. Menurut kriteria umumnya, Kawasan Situ Gintung dapat difungsikan sebagai kawasan penyangga danau, karena areanya yang memenuhi syarat untuk dilakukan budidaya secara ekonomis, mudah dikembangkan sebagai kawasan penyangga, dan tidak mengganggu dari segi ekologis ketika kawasan ini dikembangkan. Satuan lahan penyangga dapat diperoleh melalui pendekatan peraturan pemerintah dan ketersediaan air masyarakat kawasan Situ Gintung.
6.2
Satuan Lahan Penyangga
6.2.1 Pendekatan Peraturan Pemerintah Secara spesifik, terdapat dua peraturan pemerintah yang sesuai untuk menetapkan satuan lahan penyangga yaitu penerapan metode skoring menurut SK Menteri Pertanian dan Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1990 tentang kawasan lindung serta penerapan metode buffering menurut Peraturan Daerah Kabupaten Tangerang No. 12 Tahun 2006 tentang Garis Sempadan dan Peraturan Menteri PU No. 63/PRT/1993 tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai yang menjelaskan bahwa garis sempadan situ minimal 50 meter. Berikut merupakan metode dengan dasar peraturan pemerintah yang dapat digunakan untuk menentukan satuan lahan penyangga : 1. Metode Skoring Menurut SK Menteri Pertanian tentang Kawasan Lindung Pada metode ini digunakan tiga jenis peta tematik, yaitu peta kemiringan lahan, peta intensitas rata-rata curah hujan harian, dan peta jenis tanah dengan pemberian skor yang didasarkan pada kriteria penilaian berdasarkan SK Menteri Pertanian No 837/Kpts/Um/11/1980 tentang peruntukan kawasan lindung. Ketiga peta tematik ini akan di overlay dan dikalkulasikan skornya untuk
52
masing-masing area yang didapatkan. Area dengan skor <124 merupakan kawasan budidaya, area dengan jumlah skor 125 – 175 termasuk pada kawasan penyangga, dan area dengan jumlah skor > 175 termasuk pada kawasan lindung. Untuk mendapatkan klasifikasi kawasan Situ Gintung menurut SK Menteri Pertanian tersebut maka dilakukan overlay antar peta tematik kemiringan lahan (Gambar 17), Jenis Tanah (Gambar 18), dan peta Intensitas Curah Hujan (Gambar 19), setelah itu dilakukan penjumlahkan skor untuk masing-masing satuan lahan. Peta komposit tersebut menghasilkan tiga warna yang berbeda dengan jumlah skor masing-masing yaitu 75 untuk warna cokelat muda, 95 untuk warna hijau, dan 115 untuk warna merah. Ketiga warna tersebut menurut SK Menteri Pertanian No. 837/Kpts/II/1980 memiliki jumlah nilai skor yang tergolong dalam kawasan Budidaya yaitu jumlah nilai skor < 124. Berikut merupakan hasil overlay ketiga peta tematik beserta akumulasi skor untuk masing-masing kawasan (Gambar 24). Jadi dari hasil skoring menurut S.K. Menteri Pertanian ini, tidak ada area yang termasuk dalam kawasan penyangga.
53
Dr. Ir. Setia Hadi, MS Ir. Qodarian Pramukanto, MSi
Gambar 24 Peta Komposit, Hasil Overlay Peta Kemiringan Lahan, Peta Jenis Tanah, dan Peta Rata-rata Curah Hujan Harian.
54
Dr. Ir. Setia Hadi, MS Ir. Qodarian Pramukanto, MSi
Gambar 25 Peta Pembagian Kawasan Berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 837/Kpts/II/1980 Selain penetapan kawasan berdasarkan pada SK Menteri Pertanian, ditentukan juga penetapan kawasan penyangga berdasarkan peraturan pemerintah
55
lainnya yang menerapkan metode buffering untuk menentukan kawasan penyangga. 2. Metode Buffering Menurut Peraturan Pemerintah tentang Daerah Penyangga Penentuan kawasan penyangga menggunakan metode buffering ini mengacu pada Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang Penetapan Kawasan Lindung, Peraturan Daerah Kabupaten Tangerang No. 12 Tahun 2006 tentang Garis Sempadan dan Peraturan Menteri PU No. 63/PRT/1993 tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai yang menjelaskan bahwa garis sempadan danau/waduk minimal 50 meter dari titik pasang tertinggi (Gambar 15). Menurut keputusan presiden No. 32 Tahun 1990, kawasan-kawasan yang termasuk dalam kawasan lindung dibedakan menjadi empat kawasan, yaitu kawasan yang memberikan perlindungan kawasan dibawahnya, kawasan perlindungan setempat, kawasan suaka alam dan cagar budaya, dan kawasan rawan bencana. Pada penelitian kali ini, kawasan Situ Gintung termasuk pada kriteria kawasan lindung untuk perlindungan setempat dimana kawasan lindung untuk perlindungan setempat ini terdiri dari: 1. Sempadan sungai 2. Sempadan pantai 3. Kawasan sekitar danau/ waduk 4. Kawasan sekitar mata air Kawasan Situ Gintung termasuk dalam kawasan lindung yang memberikan perlindungan pada kawasan danau/ waduk. Kawasan ini merupakan suatu kawasan tertentu di sekeliling danau/ waduk yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi danau/ waduk. Kriteria kawasan lindung sekitar danau/ waduk adalah daratan sepanjang tepian danau/ waduk yang lebarnya proporsional dengan bentuk kondisi fisik danau/ waduk, antara 50 sampai 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Berdasarkan titik pasang tertinggi yang telah diketahui sebelumnya, dapat ditetapkan kawasan penyangga (buffer) sejauh 50 meter di sekeliling badan situ (Gambar 26).
56
Dr. Ir. Setia Hadi, MS Ir. Qodarian Pramukanto, MSi
Gambar 26 Peta Area Penyangga (Menurut Peraturan Daerah No. 12 Tahun 2006)
57
Dr. Ir. Setia Hadi, MS Ir. Qodarian Pramukanto, MSi
Gambar 27 Peta Rencana Satuan Lahan Kawasan Situ Gintung Menurut Peraturan Pemerintah
58
6.2.2 Pendekatan Kebutuhan Air Masyarakat Berdasarkan perhitungan kebutuhan air penduduk di kawasan Situ Gintung, maka diperoleh Ruang Terbuka Hijau (RTH) seluas 218 Ha dari total area seluas 305,7 Ha. RTH yang tersedia sudah termasuk area penyangga yang direncanakan (26 ha) hanya mampu memenuhi 12% dari total RTH yang dibutuhkan. Tingginya kebutuhan air di kawasan ini berbanding lurus dengan pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk menyebabkan kebutuhan akan air bersih juga bertambah. Ketika terjadi hal seperti ini, maka terdapat dua kemungkinan, yang pertama penduduk di kawasan ini memiliki konsumsi air bersih di bawah standar konsumsi yang telah ditetapkan oleh Departemen Pekerjaan Umum (138,5 liter/orang/hari). Yang kedua, penduduk di kawasan ini mendatangkan air bersih dari wilayah lain. Kebutuhan air pada suatu kawasan bergantung pada faktor : kebutuhan air bersih per tahun, jumlah air yang disediakan oleh Perusahaan Air Minum, potensi air saat ini, kemampuan ruang terbuka hijau saat ini. Faktor tersebut dapat ditulis dalam persamaan : La==P0.K(1+r-c)-PAM-Pa La z Keterangan : La
: Luas RTH yang diperlukan untuk mencukupi kebutuhan air (ha)
P0
: Jumlah penduduk kota pada tahun ke 0 (Jiwa)
K
: Konsumsi air per kapita (liter/ hari)
r
: Laju kebutuhan air bersih; sama dengan laju pertumbuhan penduduk (%)
c
: Faktor pengendali; upaya pengendalian laju pertumbuhan penduduk (%)
PAM : Kapasitas supply perusahaan air minum (m3/tahun) Pa
: Potensi air tanah (m3/tahun)
z
: Kemampuan RTH menyimpan air (m3/ha/tahun)
Persamaan di atas dapat disederhanakan menjadi : La = KAtotal – SAtotal
Slahan
59
Keterangan : Katotal
: Kebutuhan air total (m3/ tahun)
SAtotal
: Simpanan air total (m3/ tahun)
Slahan : Kemampuan lahan untuk menyimpan air (m3/ tahun)
Suplai Air Total (SAtotal) Pada penelitian ini diasumsikan suplai air hanya berasal dari kecamatan Cirendeu, dan tidak menerima dari daerah lain. Suplai air total merupakan jumlah dari suplai air tanah dan air permukaan (Situ Gintung).
SAtotal = Pa+SP
Berikut tabel hasil perhitungan berdasarkan pada rumus perhitungan kebutuhan RTH kawasan Situ Gintung. Tabel 10. Kebutuhan RTH Di Kawasan Situ Gintung Tahun
Jumlah Penduduk
KA domestik m3/Hari
Potensi Air Tanah (danau) m3
Kad - Pa = Kebutuhan Air
Simpanan Air pada Lahan
Luas RTH yang Dibutuhkan (Ha)
2009 27820.16372
3860272
690561
3169711
14532
218.1194
2014 33263.42084
4606925.5
690561
3916364.5
14532
269.4993
2019 39697.22902
5498034.5
690561
4807473.5
14532
330.8198
Tingginya kebutuhan RTH pada wilayah penelitian ini menunjukkan bahwa perluasan lahan RTH sebagai lahan resapan tidak dapat menjadi satusatunya solusi yang digunakan untuk memecahkan permasalahan ketersediaan air bersih. Usaha pemenuhan kebutuhan air di kawasan ini harus integrasikan dengan upaya-upya lain selain perluasan RTH. Bila dikaji lebih mendalam, hasil analisis kecukupan RTH dalam penelitian ini menunjukkan fakta yang bertentangan dengan penyataan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/M/PRT/2008. Dalam peraturan tersebut dinyatakan bahwa proporsi 30% dari luas wilayah merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem
60
hidrologi, keseimbangan mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat kota. Namun berdasarkan analisis, walaupun luas RTH di kota Tangerang masih lebih dari 30%, luasan ini tidak dapat menjamin ketersediaan air tanah bagi masyarakat sekitar Situ Gintung. Padahal dalam analisis kecukupan RTH tersebut, seluruh RTH diasumsikan berupa hutan kota, dimana jenis RTH ini memiliki kemampuan tertinggi dalam memproduksi oksigen dan meresapkan aliran permukaan (Ardiyansyah, 2007 dan Iverson et al, 1993).
6.3
Satuan Lahan Pengembangan Setelah mendapatkan satuan lahan pengelolaan air dan satuan lahan
penyangga, sisanya merupakan satuan lahan pengembangan yang dapat digunakan untuk kebutuhan masyarakat kawasan sekitar situ. Baik untuk kawasan pemukiman maupun untuk fasilitas lainnya. Satuan lahan pengembangan ini memiliki luas 65,7 ha
6.4
Rencana Blok Kawasan Situ Gintung Untuk mendapatkan rencana blok kawasan Situ Gintung maka
dilakukan penggabungan hasil antara rencana blok yang dihasilkan berdasarkan peraturan pemerintah dan analisis kebutuhan air masyarakat yang kemudian dispasialkan. Kebutuhan air masyarakat ini berkaitan dengan luas ruang terbuka hijau (RTH) yang diperlukan pada kawasan ini. Luas RTH yang diperlukan untuk mencukupi kebutuhan air masyarakat adalah seluas 218 ha, luasan ini dispasialkan dalam peta kawasan dan dijadikan sebagai satuan lahan penyangga. Dari hasil analisis dan sintesis yang telah dilakukan maka diperoleh rencana blok kawasan Situ Gintung (Gambar 28).
61
Gambar 28 Peta Rencana Blok Kawasan Situ Gintung
62
BAB VII PERENCANAAN
7.1
KONSEP PERENCANAAN
7.1.1
Konsep Dasar Perencanaan Penelitian mengenai perencanaan lanskap pasca bencana Situ Gintung ini didasarkan pada tujuan mengembalikan fungsi situ mendekati keadaan semula dan menjaga keberlanjutan situ. Dalam kaitannya dengan fungsinya untuk memanen air hujan maka dilakukan penerapan sistem ekologi-hidraulik. Konsep ini diartikan sebagai upaya memperbaiki dan menyehatkan seluruh komponen ekologi (flora-fauna) dan hidraulik (sistem keairan) penyusun situ yang bersangkutan, sehingga dapat berfungsi menampung air yang dapat digunakan untuk keperluan air bersih masyarakat, meresapkan air hujan untuk pengisian air tanah, dan dapat berkembang menjadi wilayah ekosistem wilayah danau yang hidup dan lestari. Perencanaan lanskap kawasan Situ Gintung ini meliputi (1) rencana tata ruang, (2) rencana vegetasi, (3) rencana sirkulasi, (4) rencana fasilitas, (5) rencana lanskap secara keseluruhan kawasan Situ Gintung dan (5) program perencanaan lanskap Situ Gintung.
7.1.2
Pengembangan Konsep Konsep ekologi-hidraulik ini kemudian dikembangkan menjadi tiga konsep pengembangan yang terkait dengan tata ruang, vegetasi, sirkulasi yang mendukung perencanaan lanskap Situ Gintung. 7.1.2.a Konsep Ruang Perencanaan lanskap pasca bencana Situ Gintung ini dibagi menjadi tiga ruang. Pembagian ini didasarkan pada teori Marsh (1991) mengenai pembagian ruang untuk wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu satuan lahan pengelolaan air, satuan lahan penyangga, dan satuan lahan pengembangan. Hal ini bertujuan untuk memperjelas peruntukan
63
suatu ruang dan cara-cara penanganannya sehingga diperoleh fungsi ekologis dan fungsi fisik yang optimal.
1) Satuan Lahan Pengelolaan Air 2) Satuan Lahan Penyangga 3) Satuan Lahan Pengembangan
Gambar 29 Konsep Ruang 1) Satuan Lahan Pengelolaan Air Merupakan satuan lahan yang diperuntukkan sebagai kawasan dengan nilai ekologis yang tinggi. Ruang ini didominasi oleh badan air, dimana penggunaannya untuk aktivitas manusia dibatasi, sehingga nilai ekologis kawasan ini akan tetap terjaga keberlanjutannya. Satuan lahan pengelolaan air merupakan satuan lahan inti dari perencanaan ruang pasca bencana Situ Gintung ini. Satuan lahan ini berupa sebagian dari wilayah perencanaan Situ Gintung yang peruntukan utamanya adalah untuk melindungi sistem tata air yang secara tidak langsung berhubungan juga dengan perlindungan flora dan fauna di sekitarnya. Perlindungan tersebut diberikan agar kuantitas dan kualitas air dapat terpelihara. Peruntukan satuan lahan ini menjadi sangat penting dan merupakan prioritas
utama
mempengaruhi
karena keadaan
keberhasilan satuan
lahan
atau
kegagalannya
lainnya.
Satuan
akan lahan
pengelolaan air di sini bisa disebut juga sebagai kawasan lindung karena terdapat sumberdaya alam yang perlu dilindungi, yakni keberadaan air. 2) Satuan Lahan Penyangga Satuan lahan ini merupakan satuan lahan yang berfungsi sebagai pembatas antara kawasan yang dilindungi dengan kawasan yang digunakan untuk aktivitas masyarakat Situ Gintung. Kawasan ini dipenuhi oleh vegetasi yang berfungsi untuk membatasi dan mengkonservasi keadaan tanah dan air di kawasan ini. Sebagai
64
kawasan penyangga, satuan lahan ini berfungsi untuk menjaga kondisi ekologis tapak secara keseluruhan dari lingkungan di sekitarnya. Pada satuan lahan ini masih dapat dilakukan pengembangan aktivitas yang bersifat semi aktif misalnya, jalan-jalan, fotografi, melukis, dudukduduk, gathering, bermain, dan lain sebagainya. Fasilitas yang dapat dihadirkan berupa bangku taman, shelter, dan gazebo. Satuan lahan penyangga merupakan kawasan peralihan antara satuan lahan pengelolaan air (inti) dengan satuan lahan pengembangan. Dengan demikian kawasan ini diharapkan dapat berfungsi sebagai penghalang terhadap kemungkinan intervensi kegiatan dari satuan lahan pengembangan ke dalam satuan lahan pengelolaan air. Di dalam satuan lahan ini sebenarnya juga bisa dilakukan kegiatan budidaya atau pemanfaatan sumberdaya alam, namun harus dibatasi. Karena fungsi utama satuan lahan ini adalah sebagai pembatas dan pelindung satuan lahan pengelolaan air.Namun kegiatan tersebut harus disertai dengan penyuluhan yang cukup intensif mengingat kemungkinan konsentrasi penduduk di kawasan/ satuan lahan ini. Upaya pembatasan antara satuan lahan pengelolaan air dengan satuan lahan pengembangan dapat dilakukan dengan penanaman vegetasi pembatas yang dalam hal ini diterapkan pada satuan lahan penyangga. Penanaman vegetasi pada satuan lahan ini berfungsi untuk melindungi tanah dari butiran-butiran hujan yang dapat merusak kesuburan tanah, dengan begitu tanah akan tetap terlindung dan daya dukung serta produktifitasnya dapat ditingkatkan. Selain itu, tujuan utama dari penanaman vegetasi di sekitar situ (pada satuan lahan penyangga ini) adalah untuk mencegah terjadinya erosi dan menekan fluktuasi debit yang terjadi pada Daerah Aliran Sungai. 3) Satuan Lahan Pengembangan Merupakan satuan lahan yang digunakan untuk pengembangan kepentingan masyarakat Kawasan Situ Gintung. Satuan lahan ni dapat digunakan untuk permukiman penduduk dan fasilitas. Satuan lahan pengembangan merupakan satuan lahan yang digunakan untuk
65
keperluan
masyarakat
setempat
dengan
pemanfaatan
berbasis
sumberdaya alam. Pemanfaatan ruang pada satuan lahan ini dapat berupa permukiman penduduk atau rekreasi alam. Kegiatannya bisa meliputi kegiatan rumah tangga, budidaya pertanian, ataupun pemanfaatan sumberdaya alam sebagai kawasan rekreasi. Pada satuan lahan pengembangan ini konsentrasi penduduk lebih besar dibandingkan dua satuan lahan lainnya. Oleh karena itu jenis kegiatannya pun lebih beragam. Hal ini tentu saja berpengaruh pada kualitas sumberdaya alam. 7.1.2.b Konsep Vegetasi Penggunaan vegetasi dalam studi perencanaan lanskap pasca bencana ini berkaitan dengan konsep ekologi-hidraulik yang akan dikembangkan. Situ yang memenuhi kondisi ekologi hidraulik yaitu memiliki daerah tangkapan air yang bagus, komposisi dan heterogenitas tanamannya lengkap, belum ada penggundulan hutan dan sistem tata air dan drainasenya masih alamiah, tumbuh vegetasi dan pohon-pohon besar yang melingkari danau pada zona sempadan (vegetasi ini cukup rapat). Konsep vegetasi yang akan diterapkan adalah penggunaan vegetasi yang dapat mengkonservasi air, sehingga dapat menyimpan banyak cadangan air dalam tanah. Vegetasi yang terletak di sekeliling situ secara umum dapat dibedakan menjadi tiga ring. Ring pertama pada umumnya terdiri dari pohon-pohon besar yang biasa ada di daerah yang bersangkutan. Ring kedua dipenuhi dengan pohon-pohon yang lebih kecil dan relatif kurang rapat dibanding dengan ring pertama. Ring ketiga atau ring luar berbatasan dengan daerah luar danau, dengan tingkat kerapatan tanaman yang lebih jarang.
66
Gambar 30 Sempadan Danau (Ring pertama, kedua, dan ketiga.) (Sumber : http://bebasbanjir2025.wordpress.com/xmlrpc.php) Jika kondisi vegetasi di sekeliling danau sudah punah maka dapat dipastikan bahwa umur danau akan memendek, baik disebabkan oleh tingkat penguapan dan suhu yang tinggi maupun tingkat sedimentasi yang tinggi. Penanaman vegetasi yang sesuai dengan kondisi setempat dapat menurunkan rembesan horizontal secara efektif, menahan longsoran, menurunkan suhu, menahan air dan meningkatkan kualitas ekosistem. Ketika
melakukan
pengembangan
di
daerah
sekitar
situ,
maka
pengembangan tersebut sebaiknya dilakukan di luar ring ketiga dan mengacu pada konsep ekowisata. Menurut Dahlan, 2004 vegetasi yang digunakan merupakan vegetasi yang dapat menahan dan menurunkan besarnya tenaga energit kinetis air hujan. Perakarannya juga dapat berfungsi untuk menahan tanah dari longsoran dan erosi. Selain itu, humus dan rekahan tanah yang terbentuk akibat tenaga dorongan akar pun akan memungkinkan air hujan dapat masuk ke dalam tanah dengan mudah. Persyaratan vegetasi yang cocok digunakan untuk konservasi tanah dan air adalah sebagai berikut : 1. Terdiri dari berbagai strata yang berbentuk pohon, semak, perdu atau jenis tanaman penutup tanah lainnya. 2. Daya transpirasinya rendah.
67
3. Tanaman tersusun dari berbagai strata, dari pohon yang sangat tinggi sampai semak, perdu dan rerumputan. 4. Memiliki sistem perakaran yang kuat dan dalam, sehingga dapat menahan erosi, dan meningkatkan infiltrasi (resapan) air. 5. Serasah yang dhasilkan cukup banyak dan tidak bersifat allelopati, agar tumbuhan lain dapat tumbuh baik sebagai penutup tanah. Karena berfungsi sebagai penyangga, maka bentukan vegetasinya rapat, dengan penataan vegetasi yang bersifat alami. 7.1.2.c Konsep Sirkulasi Konsep sirkulasi yang direncanakan pada tapak berfungsi untuk mendukung konsep utama yakni konsep ekologi-hidraulik. Untuk itu sirkulasi yang direncanakan bersifat mengurangi tekanan pada tapak akibat adanya perpindahan atau aktivitas yang dilakukan. Oleh karena itu pada satuan lahan pengelolaan air dan satuan lahan penyangga, sirkulasi dibuat terbatas hanya untuk pengelolaan dan konservasi saja. Sedangkan sirkulasi penghubung terdapat pada satuan lahan pengembangan. 7.1.2.d Rencana Aktivitas, Fasilitas, dan Utilitas Pada satuan lahan pengelolaan air, hanya terdapat aktivitas pengelolaan seperti pengerukan dan pengambilan sampah. Aktivitas manusia pada kawasan lindung ini sangatlah dibatasi. Sedangkan pada satuan lahan penyangga, terdapat aktivitas ringan yang dapat dilakukan misalnya, bermain, duduk-duduk, dan bersantai. Fasilitas yang disediakan seperti tempat duduk dan jalur pedestrian, namun pengguna tapak juga dapat melakukan aktivitasnya di bawah pohon naungan dan hamparan rumput. Satuan lahan pengembangan merupakan area yang difungsikan untuk kegiatan masyarakat pada umumnya sekaligus untuk konservasi.
68
Tabel 11. Rencana Aktivitas dan Fasilitas-Utilitas Ruang Satuan lahan pengelolaan air
Aktivitas -Pengelolaan
Satuan lahan penyangga
-Pengelolaan -Konservasi
Satuan lahan pengembangan
-Bermukim -Konservasi
Fasilitas - Utilitas Jalan Inspeksi (Pengerukan, pengambilan sampah, dsb.) -Jalan Inspeksi -Ruang Terbuka Hijau (RTH) - Tempat Ibadah - Sekolah - Rumah Sakit - Sumur Resapan - Lubang Resapan Biopori - Rain Garden
Pada satuan lahan pengembangan, permasalahan permukiman padat menjadi kendala utama ketika akan diterapkan porsi tata ruang hijau yang lebih besar. Karena ruang terbuka hijau yang akan dibangun ini akan merelokasi beberapa permukiman yang terlebih dahulu sudah ada di kawasan tersebut. Pengembangan fisik bangunan yang terlalu pesat ke arah horizontal ini akan menyebabkan tidak adanya lagi area terbuka sebagai daerah resapan air, sehingga air yang meresap ke dalam tanah menjadi kecil dan memperbesar volume aliran air permukaan. Terdapat beberapa cara yang dapat diterapkan untuk mengatasi penurunan permukaan air tanah dan upaya konservasi air di kawasan dengan permukiman yang padat. Menurut Maryono (2008), konsep ekodrainase dapat dilakukan dengan beberapa metode. Misalnya sumur resapan, lubang resapan biopori, dan rain garden. 1) Sumur Resapan Sumur resapan air merupakan rekayasa teknik konservasi air yang berupa bangunan yang dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai bentuk sumur gali dengan kedalaman tertentu yang berfungsi sebagai tempat menampung air hujan yang jatuh dari atap rumah dan meresapkannya ke dalam tanah. Sumur Resapan Air (SRA) merupakan salah satu konsep konservasi air yang diterapkan dalam skala rumah
69
tangga. Sumur resapan air ini berfungsi untuk menambah atau meninggikan air tanah, mengurangi genangan air banjir, mencegah intrusi air laut, mengurangi gejala amblesan tanah setempat dan melestarikan serta menyelamatkan sumberdaya air untuk jangka panjang (Pasaribu, 1999). Oleh karena itu pembuatan sumur resapan perlu digalakkan terutama pada setiap pembangunan rumah tinggal.
Gambar 31 Sistem Sumur Resapan (Sumber : Agus Maryono, 2009) 2) Lubang Resapan Biopori Jika lahan yang dimiliki tidak terlalu luas, konservasi air tetap bisa dilakukan. Salah satunya dengan cara biopori. Lubang resapan biopori adalah metode resapan air yang ditujukan untuk mengatasi banjir dengan cara meningkatkan daya resap air pada tanah. Peningkatan daya resap air pada tanah dilakukan dengan membuat lubang pada tanah dan menimbunnya dengan sampah organik untuk menghasilkan kompos. Sampah organik yang ditimbunkan pada lubang ini kemudian dapat menghidupi fauna tanah, yang seterusnya mampu menciptakan pori-pori di dalam tanah. Sehingga setiap hujan tiba, air hujan tidak langsung hilang ke selokan yang akhirnya mengair ke sungai, air hujan akan terserap oleh biopori dan tertahan lebih lama di dalam tanah di pekarangan rumah.
70
Gambar 32 Lubang Resapan Biopori (Sumber : Maryono, 2008)
3) Rain Garden Rain Garden merupakan metode konservasi air dengan membuat sebuah taman berupa cekungan yang berfungsi untuk mengumpulkan air hujan dan limpasan yang dirancang untuk menangkap dan menyaring limpasan air hujan dengan media perantara tanaman. Di bagian cekungan yang dibuat, dapat diisi dengan batu-batu alam ataupun dengan tanaman yang dapat bertahan dalam kondisi basah maupun kering. Keberadaan rain garden ini memiliki manfaat untuk mengurangi jumlah polutan, meningkatkan kualitas air, menarik margasatwa, mengelola air hujan, membantu mengurangi resiko banjir, dan untuk menurunkan dampak limpasan permukaan tanah. Berikut ilustrasi dari sistem rain garden.
71
Gambar 33 Alternatif pembuatan sistem rain garden (Sumber : Karen, 2001 melalui www.consciouschoice.com)
7.2
RENCANA LANSKAP Rencana lanskap kawasan Situ Gintung pasca bencana ini secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 34 dengan disertai gambar rencana tata hijau (Gambar 35), gambar rencana sirkulasi (Gambar 36), dan gambar rencana bangunan (Gambar 37). Tata ruang dalan perencanaan ini terbagi menjadi tiga ruang dengan fungsi utama untuk mengembalikan fungsi ekologinya. Fungsi ini kemudian diikuti dengan fungsi rekreasi alam yang memanfaatkan semaksimal mungkin potensi sumberdaya alam yang ada. Fasilitas penunjang direncanakan dan ditempatkan pada satuan lahan penyangga yang terdiri dari tegakan-tegakan vegetasi. Keberadaan vegetasi ini
72
direncanakan meniru bentukan hutan alam, dengan pola tanam yang alami. Kawasan penyangga yang direncanakan ini memiliki fungsi ekologis untuk memperbaiki kualitas lingkungan. Kawasan penyangga ini direncanakan dengan ketebalan maksimum sesuai dengan kondisi tapak untuk dapat melindungi dan memperbaiki bada situ yang rawan dan berdaya dukung rendah. Tebal lapisan kawasan penyangga tersebut direncanakan termasuk dalam satuan lahan penyangga. Kawasan penyangga di lokasi penelitian ini meliputi kawasan kanan dan kiri situ gintung sejauh 100 meter mula dari bibir situ. wilayah kiri dan kanan situ gintung yang sebelumnya berupa permukiman dijadikan sebagai kawasan penyangga. Untuk memperbaiki kerusakan kawasan ini, diperlukan adanya upaya perbaikan konstruksi. Kombinasi tumbuhan terdiri dari pepohonan, rumput, tanaman liar ditanam dengan jarak rapat tidak beraturan. Kriteria tanaman dan tumbuhan untuk zona penyangga ini adalah yang dapat : (1) Memperbaiki kualitas air dan udara (2) memperbaiki fungsi hidrologis (3) mencegah erosi (4) memperkaya keragaman hayati. Antara satuan lahan pengelolaan air dengan satuan lahan pengembangan ini ditempatkan vegetasi pembatas dengan keberadaan satuan lahan penyangga yang berfungsi juga sebagai pembatas akses. Sedangkan permukiman penduduk dapat diletakkan pada satuan lahan pengembangan yang sudah ditentukan batas luasannya agar kondisi Situ Gintung tetap terjaga.
73
Gambar 34 Rencana Lanskap Kawasan Situ Gintung
74
Gambar 35 Rencana Tata Hijau Kawasan Situ Gintung
75
Gambar 36 Rencana Sirkulasi Kawasan Situ Gintung
76
Gambar 37 Rencana Fasilitas Kawasan Situ Gintung
77
7.3 RENCANA PROGRAM Suatu keadaan yang ekologis tidak serta merta dapat tercipta hanya dengan menghadirkan ruang terbuka hijau dalam perencanaan tapaknya. Peran serta berbagai pihak sangat penting dalam menciptakan keadaan yang seimbang. Untuk mendukung terciptanya kawasan Situ Gintung yang ekologis diperlukan kerjasama dari berbagai pihak yang terkait, sehingga dibutuhkan program perencanaan dalam kaitannya dengan perbaikan lingkungan Situ, yang dijabarkan pada Tabel 12. Tabel 12. Rencana Program Kawasan Situ Gintung No. Program 1 Pelatihan
Tujuan Merumuskan suatu program pelatihan dalam kaitannya dengan pelestarian situ Menyusun suatu program penyuluhan yang tepat sasaran dan informatif
Sasaran Pengelola Kawasan (pemerintah)
Kegiatan Pelatihan pengelolaan situ/ danau
Para penyuluh
Melakukan survey dan studi kasus tentang teknik penyuluhan yang tepat Penyuluhan terhadap masyarakat tentang pentingnya menjaga situ agar tetap berkelanjutan Pendidikan luar sekolah, kerja bakti membersihkan sampah, memisahkan sampah organik dan anorganik, susur danau, penanaman massal. Kerjasama dalam pengelolaan situ.
2
Penyuluhan
3
Pendidikan lingkungan
Mendapatkan pengetahuan tentang pentingnya lingkungan, terutama situ dan cara merawatnya
Masyarakat awam
4
Kerjasama
Menjalin kerjasama dengan segala pihak yang terkait dengan keberlanjutan danau
5
Data base
Pengelolaan data dan informasi tentang situ
Pemerintah, masyarakat, lembagalembaga terkait, LSM Pengelola kawasan (Pemerintah)
Survei/ Penelitian, penanaman vegetasi, penelitian kualitas air, pengukuran kedalaman situ.
78
BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN
8.1
SIMPULAN Perencanaan lanskap kawasan Situ Gintung pasca bencana ini dapat disusun berdasarkan tahapan analisis dan sintesis terhadap pendekatan legal yakni S.K. Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/11/1980 dan Peraturan Daerah Kabupaten Tangerang No 12 Tahun 2006 serta Pendekatan Ketersediaan Air sehingga perencanaan ini terbagi menjadi tiga satuan lahan. Tiga satuan lahan tersebut adalah, Satuan Lahan Pengelolaan
Air,
Satuan
Lahan
Penyangga,
dan
Satuan
Lahan
Pengembangan. Satuan Lahan Pengelolaan Air merupakan badan air situ yang dilindungi, Satuan Lahan Penyangga merupakan daerah dengan fungsi konservasi air, sedangkan Satuan Lahan Pengembangan merupakan area yang dapat dikembangkan fungsi permukiman yang terdiri atas perumahan, fasilitas, dan utilitas.
79
8.2
SARAN a
Kawasan penyangga yang merupakan tegakan pohon ini adalah salah satu sumber keanekaragaman hayati dan keseimbangan ekologis kota, sehingga perlu diperhatikan oleh semua pihak yang terkait agar nilai ekologis kawasan ini masih tetap terjaga.
b
Kegiatan revitalisasi kawasan Situ Gintung sebaiknya melibatkan masyarakat, agar masyarakat memiliki inisiatif dan motivativasi untuk terus menjaga dan memelihara situ secara sadar dan sukarela.
c
Adanya Pengembangan program pengelolaan kawasan dan program terkait aktivitas rekreasi alam terpadu, sehingga dapat menunjang keberlanjutan Kota Tangerang Selatan.
d
Satuan lahan pengembangan pada Rencana tata ruang kawasan Situ Gintung ini dapat dimanfaatkan sebagai area rekreasi alam dengan perencanaan dan perancangan yang lebih detail.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor. Asti, 2008. Perencanaan Lanskap Kawasan Situ Bagendit Sebagai Kawasan Rekreasi Kabupaten Garut Jawa Barat. [Skripsi}. Program Studi Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2008. Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana. Jakarta. Carter, W.N., 2010. Disaster Management (A Disaster Manager’s Handbook), in: Kodoatie R, Sjarief R. Tata Ruang Air. Penerbit ANDI. Yogyakarta. Christady, H. 2006. Penanganan Tanah Longsor dan Erosi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Karen. 2001. Rain Garden. http://www.consciouschoice.com. 01 Agustus 2011. Keputusan Presiden Republik Indonesia Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. 1990. Penetapan Kawasan Lindung Bagian Kedua Mengenai Kawasan Perlindungan Setempat. Noor, D. 2006. Geologi Lingkungan. Graha Ilmu. Yogyakarta. Marsh, W. 1991. Landscape Planning Environmental Applications. Wiley and Sons, Inc. New York.
John
Maryono A. 2008. Eko-Hidraulik. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Maryno A, Edy Nugroho. 2006. Metode Memanen dan Memanfaatkan Air Hujan Untuk Penyediaan Air Bersih, Mencegah Banjir, dan Kekeringan. Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta. Menteri Pertanian. 1981. SK Menteri Pertanian No. 837/Kota/Um/11/1980 dan No. 683/Kota/Um/8/1981 Tentang Kriteria Dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung Dan Hutan Produksi. Nurisjah S, Pramukanto, Wibowo. 2003. Daya Dukung Dalam Perencanaan Tapak. Program Studi Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Tidak Dipublikasikan).
Paimin, Sukresno, Purwanto. 2006. Sidik Cepat Degradasi Sub Daerah Aliran Sungai. Pusat penelitian Dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Pakpahan A.M,. 1998. Buletin Perencanaan, Perancangan, dan Pengelolaan Taman Dan Lanskap Indonesia 1: 29 – 31. Rachman, Z. 1984. Proses Berpikir Lengkap, Merencana dan Melaksana. Makalah pada Festival Tanaman IV (Tidak Dipublikasikan). Bogor. 20hal. Tim Advokasi Situ Gintung. 2009. Laporan Polisi Kasus Situ Gintung Ciputat Tangerang Banten. http://www.google.com. 14 Juni 2009 Wikimapia. 2009. Peta Tangerang Selatan. http://www.google.com. 14 Juni 2009. Wikimapia. 2009. Peta Banten. http://www.google.com. 14 Juni
2009.
Wikimapia. 2009. Peta Situ Gintung. http://www.google.com. 14 Juni 2009. Wikipedia. 2009. Situ Gintung. http://www.wikipedia.com. 14 Juni 2009. Wikipedia. 2009. Tata Ruang. http://www.wikipedia.com. 14 Juni 2009.