LAPORAN HASIL PENELITIAN
EFEKTIFITAS PELAKSANAAN MUSRENBANG PERSPEKTIF EFFECTIVE GOVERNANCE (Studi pada Kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten)
Oleh :
HANIAH HANAFIE
PUSAT PENELITIAN DAN PENERBITAN (PUSLITPEN) LP2M UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan penelitian yang berjudul Efektivitas Pelaksanaan Musrenbang Perspektif Effective Governance (Studi pada Kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten)
merupakan laporan akhir pelaksanaan
penelitian yang dilakukan oleh Dr. HANIAH HANAFIE, M.Si. , dan telah memenuhi ketentuan dan kriteria penulisan laporan akhir penelitian sebagaimana yang ditetapkan oleh Pusat Penelitian dan Penerbitan (PUSLITPEN), LP2M UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 16 Nopember 2015
Peneliti,
Haniah Hanafie NIP: 19610524 2000 03 2 003
Mengetahui,
Kepala Pusat, Penelitian dan Penerbitan (PUSLITPEN) LP2M UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ketua Lembaga, Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LP2M) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
WAHDI SAYUTI, MA
M. ARSKAL SALIM, GP.,MA.,PhD.
NIP.19760422 200701 1 012
NIP. 19700901 199603 1 003
i
PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI
Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
: Dr. Haniah Hanafie, M.Si.
Jabatan
: Dosen Tetap
Unit Kerja
: Fisip UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Alamat
: Pamulang 2 . Jl. Benda Barat 13 B, Blok D 35, No. 22 Pondok Benda , Pamulang, Tangerang Selatan. No. Hp. 081291158161
Dengan ini menyatakan bahwa : 1. Judul penelitian Efektivitas Effective Governance
Pelaksanaan
Musrenbang
Perspektif
(Studi pada Kecamatan Pamulang, Kota
Tangsel, Provinsi Banten) merupakan karya orisinal saya. 2. Jika di kemudian hari ditemukan fakta bahwa judul, hasil atau bagian dari laporan penelitian saya merupakan karya orang lain dan /atau plagiasi, maka saya akan bertanggungjawab untuk mengembalikan 100 % dana hibah penelitian yang telah saya terima dan siap mendapatkan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku serta bersedia untuk tidak mengajukan proposal penelitian kepada Puslitpen LP2M UIN Syarif Hidayatullah Jakarta selama 2 tahun berturut turut.
Demikian pernyataan ini dibuat untuk digunakan sebagaimana mestinya.
Jakarta, 16 Nopember 2015 Yang Menyatakan,
Haniah Hanafie NIP. 19610524 2000 03 2 003 ii
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul Efektifitas Pelaksanaan Musrenbang Perspektif Effectice Governance (Studi pada Kecamatan Pamulang, Kota Tangsel, Provinsi Banten). Pendekatan penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, dokumen dan observasi. Sedangkan teknik analisis datanya menggunakan prosedur analisis yang dikemukakan McNabb (2002: 297). Key informan sebanyak 10 orang yang dipilih berdasarkan purposive kepada Pengurus RW, Pegawai kelurahan, kecamatan, Pemkot dan Bappeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efektifitas pelaksanaan Musrenbang perspektif kinerja dapat dikategorikan sedang, partisipasi publik tinggi. Sedangkan perspektif akuntabilitas masih rendah. Penelitian ini melihat bahwa terdapat koordinasi yang kurang dari pihak SKPD dan adanya intervensi dalam pelaksanaan hasil Musrenbang oleh politisi (anggota DPRD).
Kata Kunci: Musrenbang, Effective Governance.
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah penelitian ini terlaksana karena didanai Pusat Lembaga Penelitian dan Penerbitan (PUSLITPEN) LP2M Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.Sedangkan data-data dalam penelitian ini didukung dari hasil wawancara dengan berbagai narasumber. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, ucapan terima kasih kami sampaikan kepada: 1. Ketua Lembaga LP2M UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Kepala Pusat PUSLITPEN UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Kepala Badan Kesbangpol Kota Tangsel yang telah memberikan izin penelitian ini. 4. Camat, Sekretaris Camat. Kasi ekonomi & Pembangunan dan Kasi Pemerintahan Kecamatan Pamulang. 5. Kasi Kesra Kantor Sekretariat Daerah Kota Tangsel 6. Kasi Kesra Bappeda Kota Tangsel 7. Sekretaris Lurah Pondok Benda 8. Kasi Ekonomi dan Pembangunan Kelurahan Pondok Benda 9. Staf Ekonomi dan Pembangunan Kelurahan Pondok Benda 10. Pengurus RW 010 Pamulang Permai II Selain itu, kepada saudari Desi staf Kecamatan Pamulang yang telah membantu melancarkan proses administrasi di Kecamatan Pamulang. Semoga penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pengembangan pelaksanaan Musrenbang di Tingkat Kecamatan, Kota Tangsel khususnya dan Kota-kota lainnya di Indonesia.
Jakarta, 16 Nopember 2015 Peneliti
iv
DAFTAR ISI
Hal Judul Lembar Pengesahan.…………………………………………………………..i Pernyataan Bebas Plagiasi……………………………………………………ii Abstrak………………………………………………………………………..iii Kata Pengantar …………………………………………… ………………...iv Daftar Isi…………………………………………………………………….v-vi Daftar Tabel…………………………………………………………………..vii Daftar Gambar ……………………………………………………………….viii BAB I : PENDAHULUAN….………………………………………….……1 A. B. C. D. E. F. G.
Latar Belakang Masalah…………………………………………1 Identifikasi Masalah……………………………………………..7 Pembatasan Masalah ……………………………………………7 Perumusan Masalah………………………………………………7 Tujuan Penelitian ………………………………………………...7 Manfaat Penelitian………………………………………………..7 Sistematika Pembahasan………………………………………….8
BAB II : KAJIAN TEORI DAN LITERATUR REVIEW ………………...9 A. Kajian Teori…………………………………………………….. .9 B. Penelitian Terdahulu (Literatur Review).....................................27 C. Kerangka Pemikiran…………………………………………….29 BAB III : METODOLOGI PENELITIAN ………………………………..30 A. B. C. D.
Tempat dan Waktu……………………………………………...30 Pendekatan dan Jenis Penelitian………………………………...30 Teknik Pengumpulan Data……………………………………...30 Teknik Pengambilan Sampel……………………………………31
v
E. Prosedur Pengolahan Data……………………………………...31 F. Pemeriksaan Keabsahan Data…………………………………...32 G. Teknik Analisis Data…………………………………………...32 BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…………………..33 A. Diskripsi Objek Penelitian……………………………………….33 B. Pembahasan Hasil Penelitian ……………………………………42
BAB V : KESIMPULAN DAN REKOMENDASI…………………………55
A. Kesimpulan……………………………………………………..55 B. Implikasi………………………………………………………..55 C. Rekomendasi……………………………………………………56 Daftar Pustaka………………………………………………………………....57 Lampiran-Lampiran
vi
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1. Sebaran Jumlah Penduduk Kecamatan Pamulang………………...38 Tabel 4.2. Sebaran Agama di Kecamatan Pamulang………………………….39 Tabel 4.3. Tingkat Pendidikan Penduduk Kecamatan Pamulang……………..40 Tabel 4.4. Sebaran Pendidikan SMA Penduduk Kecamatan Pamulang………41 Tabel 4.5. Sebaran Insrastruktur Kesehatan…………………………………..42
vii
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Kerangka Berpikir … …………………………………………..29 Gambar 3.1. A. Procedure for Data Analysis…… …………………………...31 Gambar 4.1. Alur Pelaksanaan Musrenbang…………………………………..48
viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Musyawarah Perencanaan Pembangunan yang disingkat Musrenbang adalah forum antarpelaku dalam rangka menyusun rencana pembangunan Nasional dan rencana pembangunan
Daerah (UU No. 25 Tahun 2004 dalam
Bab 1 , Ketentuan Umum, pasal 1: 6). Musrenbang
digunakan
sebagai
wadah
penyusunan
rencana
pembangunan Nasional, baik di Pusat maupun Daerah ( UU No. 25 Tahun 2004, pasal 1: 6). Pelaksanaan pembangunan Nasional, baik di Pusat dan Daerah
didasarkan
demokrasi
dengan
prinsip-prinsip
kebersamaan,
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, serta kemandirian dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan Nasional. (UU No. 25 Tahun 2004, Pasal 2 : 7). Penerapan prinsip-prinsip tersebut di atas, dimulai dari proses pembangunan itu sendiri, dalam hal ini dalam penyelenggaraan Musrenbang. Oleh karena itu, Musrenbang melibatkan semua stake holder dalam masyarakat. Pelaksanaan Musrenbang, khususnya di daerah, melibatkan masyarakat, mulai dari tingkat desa/kelurahan, hingga kabupaten/kota dan provinsi, sebagaimana dikemukakan dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 050-187/Kep/bangda/2007 tentang Pedoman Penilaian dan Evaluasi Pelaksanaan Penyelenggaraan Musrenbang, bahwa salah satu tujuan Musrenbang adalah mendorong pelibatan para pemangku kepentingan dalam proses pengambilan keputusan perencanaan (RKPD). Pelibatan masyarakat, stake holder dan pemangku kepentingan diharapkan, agar seluruh aspirasi, keinginan, kebutuhan serta sumber daya masyarakat dapat dipahami, diserap dan diproses menjadi suatu rencana pembangunan
daerah,
sehingga
dapat
pembangunan-pembangunan di daerah. 1
direalisasikan
dalam
bentuk
Namun tidak semua proses dalam Musrenbang dapat direalisasikan, karena terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi, sehingga tidak dapat mewujudkan tata kelola pemerintahan yang efektif (effective governance). Pertama, Musrenbang bersifat seremonial. Musrenbang sebagai salah satu wadah dialog, diskusi dan komunikasi untuk mendapatkan suatu perencanaan pembangunan, dianggap hanya kegiatan rutinitas yang bersifat seremonial, sehingga keterlibatan
masyarakat dalam Musrenbang tidak
mendapat perhatian serius. Hal ini sebagaimana dijelaskan W. Ishardino Satries (Jurnal Keyberman Vol. 2, No. 2 September 2011), bahwa penyelenggaraan Musrenbang kerap kurang memperhatikan aspek partisipasi secara luas dan masih terbatas pada seremonial dan acara rutin belaka. Dalam Perspektif effective governance (Callahan, 2007), suatu pemerintahan dikatakan efektif, apabila melibatkan partisipasi publik yang merujuk pada nilai-nilai demokrasi dan selalu menjadi patokan. Meskipun pelibatan partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan pemerintah melahirkan dillema: semakin terbukanya proses pengambilan keputusan, semakin isu tersebut terpolarisasi, semakin tertutup proses pengambilan keputusan, maka semakin tinggi ketidakpercayaan publik terhadap pengambil keputusan. Untuk mengatasi dillema tersebut, maka Callahan (2007, 185-187) mengajukan 8 model hubungan pemerintah (administrator publik) dengan peran masyarakat, yaitu antara lain: 1). Penduduk sebagai Subyek – Administrator
sebagai
Penguasa,
2).
Administrator
sebagai
Implementor,
Penduduk 3).
sebagai
Penduduk
Pemilih
sebagai
–
Klien,
Administrator sebagai Ahli, 4). Penduduk sebagai Pelanggan, Administrator sebagai
Profesional/
Wirausaha,
5).
Penduduk
sebagai
Penduduk,
Administrator sebagai Pelayan Publik, 6). Penduduk sebagai Ko-produser, Administrator
sebagai
Ko-produser,
7).
Penduduk
sebagai
investor,
Administrator sebagai Broker, 8). Penduduk sebagai Pemilik, Administrator sebagai Karyawan
2
Selain perspektif Effective Governance, Good Governance (UNDP, 1997) juga berbicara masalah partisipasi masyarakat. Prinsip dalam partisipasi, masyarakat diharapkan terlibat dalam perencanaan pembangunan yang diselenggarakan pemerintah, baik sebagai pelaku, pengawas dan sekaligus menjaga kesinambungan pembangunan itu sendiri. Dengan kata lain, masyarakat diharapkan mulai terlibat pada tahap perumusan kebijakan, penentuan regulasi, tahap implementasi dan bahkan sampai tingkat evaluasi, sehingga pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil akan bersinergi dan bekerjasama dalam menghadirkan pembangunan yang bermanfaat bagi warga masyarakat. Paradigam New Public Service (NPS) (Denhardt and Denhardt, 2003), juga menekankan pelayanan publik yang diselenggarakan pemerintah, hendaknya berorientasi pada warga masyarakat. Oleh karena itu, pelibatan partisipasi masyarakat sangat diharapkan, agar hasil Musrenbang lebih berpihak kepada kebutuhan masyarakat. Kedua, Metode Musrenbang bersifat formal. Metode penyerapan informasi dari masyarakat dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain diskusi melalui Forum Group Discussion (FGD), seminar, observasi, dialog dan lain sebagainya. Namun di tataran empiris, Wawan Sobari (Berita Yayasan Inovasi Pemerintahan Daerah (YIPD) Jakarta, 2007), menemukan bahwa pelaksanaan Musrenbang hanya menggunakan teknik-teknik pertemuan formal, sehingga daya serapnya dianggap belum efektif. Di Era Demokrasi saat ini, pemerintah tidak perlu kaku dan formal dalam berkomunikasi dengan masyarakat. Jalinan komunikasi informal justru lebih efektif digunakan sebagai pendekatan kepada masyarakat untuk menyerap, menggali dan memahami
informasi atau keinginan-keinginan
masyarakat. Selain itu, perkembangan teknologi informasi juga dapat mendukung informasi yang diperlukan oleh pemerintah daerah. Ketiga,
Metode penyerapan informasi /aspirasi hanya melalui
sistem perwakilan. Metode Sistem Perwakilan ini belum tentu representatif mewakili seluruh lapisan masyarakat.
Individu-individu yang dilibatkan
3
(diundang)
pemerintah
daerah
hanya
tergabung
dalam
suatu
asosiasi/perkumpulan/organisasi dan biasanya yang telah menjadi mitra kerja (pra penelitian), sehingga belum tentu memahami kebutuhan/keinginan masyarakat secara mendalam. Dikhawatirkan, aspirasi yang disampaikan hanya untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Hal ini telah ditemui dalam suatu penelitian di tiga daerah, yaitu di Kabupaten Bau-Bau, Kota Bandung dan Kabupaten Tabanan (Hasil Penelitian LSM Transparancy Intenational Indonesia (TII), 2009 dalam W. Ishardino Satries ). Dari hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa masyarakat yang hadir dalam Musrenbang tidak mewakili kelompok tertentu, kroni kepala daerah setempat, atau orang yang hanya mewakili pribadinya masing-masing. Kehadiran individu-individu yang bersifat nepotisme, tidak dapat diharapkan memberikan informasi yang sebenarnya (real), tidak mampu bersikap kritis dan tidak mampu menumbuhkan dinamika komunikasi (dialog) yang ideal. Justru yang terlihat adalah ewuh pakewuh (sungkan), solidaritas menjaga keberlangsungan pemerintahan yang berkuasa (statusquo) dan saling hormat menghormati di antara kroni-kroni yang hadir dalam Musrenbang. Dengan demikian, tujuan Musrenbang tidak tercapai atau dengan kata lain Musrenbang tidak efektif, sehingga kinerja pemerintah menjadi rendah. Dalam perspektif effective governance (Callahan, 2007), pemerintah dituntut menghadirkan kinerja dan sektor publik seringkali tidak memiliki standar kinerja karena sulit diukur. Oleh karenanya, diperlukan indikator kinerja yang baik sehingga pelaku kebijakan dapat menjaga track organisasi dalam memberikan jasa. Perencanaan ukuran kinerja harus dirancang baik dan diimplementasikan, sehingga memiliki pengaruh terhadap perilaku dan keputusan yang memperbaiki kinerja organisasi. Salah satu indikator pengukuran kinerja adalah memiliki rencana strategis, oleh karena itu, di harapkan, efektifitas pelaksanaan Musrenbang dapat menjadi salah satu ukuran kinerja pemerintah.
4
Keempat, Hasil Musrenbang belum tentu direalisasikan. Setelah proses panjang yang dilakukan pemerintah daerah untuk menggali, menyerap dan menampung serta memahami aspirasi-aspirasi, keinginan dan kebutuhan masyarakat melalui Musrenbang, ternyata Pemerintah
daerah dan DPRD
belum menjamin bahwa seluruh usulan masyarakat dalam Musrenbang akan direalisasikan dalam APBD (Sobari , 2007). Hal ini membuat masyarakat menjadi apatis dan menganggap bahwa Musrenbang hanya sebagai formalitas belaka. Apatisme masyarakat dapat mempengaruhi kualitas Musrenbang, baik dari segi proses, maupun implementasi. Oleh karena itu, masyarakat perlu didorong agar semangat untuk berpartisipasi Musrenbang.
Di
pihak
pemerintah,
dan bersedia mensukseskan perlu
menjaga
kredibilitas
pemerintahannya dengan menegakkan kejujuran dan keadilan, sebagaimana diamanahkan dalam UU No. 25 Tahun 2004, Pasal 2. Selain itu, akuntabilitas pemerintah daerah juga dipertaruhkan oleh pemerintah yang berkuasa dalam rangka mewujudkan good governance (Brillantes,
2000), karena prinsip akuntabilitas mengharuskan setiap
penyelenggara pelayanan publik untuk selalu mempertanggungjawabkan seluruh kegitannya kepada publik, baik secara organisasi, hukum, politik, profesi, dan bahkan secara moral. Demikian pula dari perspektif effective governance yang dikemukakan Callahan (2007), akuntabilitas merupakan salah satu indikator tata kelola pemerintahan yang efektif. Akuntabilitas diartikan sebagai kemampuan menjawab kinerja yang diharapkan (Romzek dan Ingraham dalam Callahan, 2007). Seringkali akuntabilitas disinonimkan dengan etika, tanggung jawab (responsibility) atau kewajiban (obligation). Meskipun begitu, yang terpenting menurut Callahan (2007), akuntabilitas khususnya dalam melindungi kepentingan publik dan menjamin kepercayaan publik diartikan sebagai jaminan bahwa administrator publik akan menggunakan pilihan etis yang menjaga nilai-nilai demokratis. Kelima, Ketiadaan Komitmen Pimpinan. Salah satu faktor pendukung
keberhasilan
pemerintah
daerah
5
dalam
melaksanakan
pembangunan adalah komitmen pimpinan. Namun dari hasil penelitian yang dilakukan Eko Prasojo
dan kawan –kawan (2008) menunjukkan bahwa
komitmen pimpinan di daerah sangat rendah. Demikian pula Haniah Hanafie (2014) dalam Disertasinya tentang Reformasi Birokrasi di Kota Tangsel, menemukan bahwa komitmen pimpinan dalam merealisasikan reformasi birokrasi masih belum terlihat.
Oleh karena itu, untuk melihat efektifitas
pelaksanaan Musrenbang, maka salah satu faktor yang sangat menentukan adalah komitmen pimpinan (kepala daerah) sebagai leading sector di daerah. Kota Tangerang Selatan (Tangsel) baru terbentuk pada tahun 2008 sebagai hasil pemekaran dari Kabupaten Tangerang Provinsi Banten. Walikota definitifnya baru terpilih pada tahun 2010 (Haniah Hanafie, 2014). Pemerintahan di Kota Tangsel juga menarik untuk diteliti, mengingat pengaruh dinasti politik keluarga Ratu Atut (Mantan Gubernur Banten) masih terlihat dengan terpilihnya Walikota Airin (Adik ipar Ratu Atut). Dalam teori Scot (Kausar, 2009: 12), dinasti politik sebagai salah satu perwujudan dari pola Hubungan Patron Client Relationship yang diartikan sebagai hubungan yang terdapat kebergantungan klien kepada patron diimbali dengan perlindungan patron terhadap klien. Kedekatan Patron dan Client ini dapat dikarenakan faktor kekerabatan, ikatan kedaerahan, persahabatan dan asal sekolah. Jumlah penduduk Kota Tangsel cukup melimpah dan sebagian peduduknya bekerja di Ibu Kota Jakarta, mengingat posisi Kota Tangsel berbatasan dengan Wilayah Jakarta Selatan. Dengan demikian, tingkat heteroginitas penduduk Kota Tangsel mirip dengan Ibu Kota Jakarta. Saat ini, Kota Tangsel sedang giat-giat membangun, mengingat pemerintahan Walikota Airin baru memasuki periode pertama. Oleh karena itu, Pemerintah Airin dengan jajarannya sedang berusaha menunjukkan kinerjanya melalui hasilhasil pembangunan, sehingga dapat dirasakan masyarakat dengan harapan, dapat terpilih kembali untuk kedua kalinya sebagai Walikota Tangsel.
6
B. Identifikasi Masalah Dari uraian di atas, maka beberapa masalah dapat diidentifikasi sebagai berikut : 1). Mengapa Musrenbang bersifat formalistik ?. 2). Apakah Musrenbang dapat direalisasikan ? 3). Bagaimana komitmen pimpinan dalam merealisasikan Musrenbang ?. 4). Bagaimana efektifitas pelaksanaan Musrenbang perspektif efective governance di Kota Tangsel ?.
C. Pembatasan Penelitian Dari empat identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, maka pembatasan
penelitiannya
adalah
bagaimana
efektifitas
pelaksanaan
Musrenbang perspektif efective governance di Kota Tangsel. Efective governance dilihat dari aspek Kinerja, Akuntabilitas Publik dan Partisipasi Paublik.
D. Perumusan Masalah Adapun perumusan masalahnya adalah :
Bagaimana Efektifitas
Pelaksanaan Musrenbang Perspektif Effective Governance di Kota Tangsel ?. E. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menganalisis Efektitas Pelaksanaan Musrenbang di Kecamatan Pamulang, Kota Tangsel dari aspek Kinerja, Akuntabilitas dan Partisipasi Publik. F. Manfaat Penelitian: Manfaat penelitiannya adalah Untuk : 1). Melihat efektifitas pelaksanaan Musrenbang di Kecamatan Pamulang, Kota Tangsel dari aspek Kinerja, Akuntabilitas dan Partisipasi Publik.
7
2). Pengembangan ilmu administrasi publik, bidang administrasi pemerintahan, khususnya kajian tentang tata kelola pemerintahan yang efektif (Effective Governance) .
G. Sistematika Pembahasan Pandahuluan pada Bab I berisi uraian tentang latar belakang masalah yang berisi tentang alasan-alasan yang logis dan rasional yang didukung dengan penelitian terdahulu mengapa penelitian ini dilakukan. Selain itu pada bab ini juga dijelaskan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian. Kajian Teori dan Literatur Review ditulis dalam Bab II. Kajian Teori diuraikan tentang teori-teori yang berasal dari berbagai referensi ilmiah dan digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini. Sedangkan Literatur Review merupakan penelitian terdahulu yang berasal dari berbagai sumber, misalnya jurnal atau penelitian ilmiah yang tidak terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan penelitian ini. Metodologi Penelitian diuraikan dalam Bab III. Bab ini menjelaskan tentang pendekatan dan jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, selain itu, bagaimana teknik pengumpulan data, teknik pengambilan sampel dan teknik analisis data serta prosedur pengolahan datanya. Pemeriksanaan Keabsyahan data juga diuraikan dalam bagian metodologi ini. Hasil Penelitian dan Pembahasan dikemukakan dalam Bab IV. Bab ini berisi tentang deskripsi objek penelitian, pelaksanaan Musrenbang Kecamatan Pamulang, dan efektifitas pelaksanaan Musrenbang perspektif Kinerja, Akuntabilitas dan Partisipasi Publik. Kesimpulan dan Rekomendasi diuraikan dalam Bab terakhir yaitu Bab V yang menjelaskan tentang beberapa kesimpulan yang diambil, implikasi dan rekomendasi yang diusulkan peneliti.
-00-
8
BAB II KAJIAN TEORI DAN LITERATUR REVIEW
G. Kajian Teori A.1. Effective Governance Istilah Efektif (Effective) atau keefektifan adalah terkait dengan penyelesaian pekerjaan tepat pada waktu yang telah ditetapkan sebelumnya atau dapat dikatakan apakah pelaksanaan sesuatu kegiatan tercapai sesuai dengan yang direncanakan sebelumnya (Siagian, 1981:151). Keefektifan diartikan sebagai
sejauhmana sebuah organisasi
mewujudkan tujuan-tujuannya (Robbins, 1994: 53). Tujuan yang dimaksud di sini dapat dikatakan sebagai “kelangsungan hidup”
(Robbins, 1994: 53).
Berikut ini beberapa hal yang dilakukan oleh sebuah organisasi (bisnis), sehingga berhasil mencapai tujuan (efektif), yang ditulis oleh Tom Peters dan Robert Waterman dalam Robbins (1994: 57) : (1). Kemampuan memahami kebutuhan masyarakat, (2). Memberikan kemandirian yang tinggi kepada pegawai dan memupuk semangat kewiraswastaan, (3). Melibatkan partisipasi pegawai, (4). Para pegawai memahami apa yang diinginkan organisasi dan pimpinan ikut terlibat di semua tingkatan (komitmen), (5).
Selalu dekat
dengan apa yang akan dilakukan, (6). Strukturnya luwes dan sederhana, (7). Menggabungkan antara kontrol yang ketat dengan desentralisasi. Dari beberapa pendapat keefektifan
tersebut
menunjukkan bahwa kosep
menekankan pada pencapaian pelaksanaan kegiatan
sesuai
dengan standar atau rencana yang telah ditetapkan, agar dapat mencapai keberlangsungan hidup (survive) . Oleh karena itu, perlu memahami kebutuhan masyarakat dengan baik, menggerakkan dan mendorong pimpinan dan pegawai untuk bekerja bersama mencapai tujuan tersebut.
Dengan
demikian pelaksanaan Musrenbang diharapkan sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku, sehingga tata kelola pemerintahan yang efektif (Effective governance) tercapai.
9
Istilah Governance merupakan istilah lama yang muncul pada abad ke 20 (Pierre, 2000: 3). Namun istilah ini dipopulerkan kembali oleh Bank Dunia pada tahun 1989 dalam laporannya berjudul ”Sub Saharan Africa Crisis to Suistainable Growth” (Prianto, 2011: 2). Governance memiliki arti ganda, pada satu sisi diartikan sebagai adaptasi negara terhadap lingkungan eksternal yang
muncul pada abad keduapuluh. Di sisi lain,
governance dianggap
sebagai suatu konsep atau kumpulan teori yang mengatur tentang suatu proses pemerintahan (Pierre, 2000: 3). Konsep governance
masuk ke Indonesia melalui program good
governance yang dipelopori oleh lembaga donor seperti Bank Dunia (Hirst dalam Pierre, 2000: 14). Istilah “governance” memiliki banyak makna. Governance diartikan sebagai sebuah proses baru dari pemerintahan; atau perubahan kondisi dari aturan; atau metode baru tentang cara memerintah masyarakat (Finer (1970) dikutip Rodhes dalam Pierre (2000: 54; Al Habil, 2011: 123). Pemaknaan proses, aturan dan metode baru dalam governance, karena selama ini pemerintahan dikelola dengan menggunakan state centric di mana peran negara sangat dominan dihubungkan dengan kepentingan dan pengaruh aktor-aktor. Sedangkan governance mewakili pendekatan society centred atau yang mengarahkan ke jaringan dan kemitraan (networking and patnership) (Rhodes, 1997 dalam Pierre, 2000: 3). Paradigma State Centric disebut Frederickson dan Smith, (2003: 211 ) sebagai institutionalism, sedangkan paradigma society centred sebagai Networks. Untuk itu, konsep governance muncul menjawab pertanyaan bagaimana sektor publik, dalam hal ini birokrasi pemerintah sebagai tombak pelayanan kepada masyarakat berserta
ujung
program dan aktivitas-
aktivitasnya dapat diorganisir dan dikelola menghasilkan tujuan publik (Frederickson dan Smith, 2003: 210). Selain itu, Governance dapat diartikan sebagai rejim hukum, aturan administrasi, keputusan peradilan dan praktek yang membatasi dan menentukan dan memudahkan aktivitas pemerintah di mana aktivitas tersebut
10
didefinisikan luas sebagai produksi dan pelaksanaan barang dan jasa publik. Istilah produksi berarti memposisikan pemerintah sebagai suatu organisasi swasta yang berorientasi bisnis, sehingga salah satu konsep Governance diartikan sebagai New Public Management (NPM) (Rodhes dalam Pierre (2000: 56); Al Habil, 2011: 124). Governance didefinisikan Rhodes (dalam Jon Pierre, 2000: 55-60) menjadi tujuh aspek, yaitu: 1). Governance as Corporate Governance, yaitu penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat terbuka (transparan) dalam pemberian informasi dan akuntabilitas. 2). Governance as the New Public Management, yaitu sebagai suatu penyelenggaraan pemerintahan yang lebih menekankan pemerintah sebagai enterpreneur : berkompetisi, berorientasi pada pasar dan pelanggan serta pengukuran hasil (kinerja). 3). Governance as Good Governance, yaitu tata pemerintahan yang baik,
yang diharapkan dapat
melaksanakan
prinsip-prinsip
pelayanan publik yang bersifat responsif, transparan, partisipatif, efisien, akuntabel, keadilan dan penegakan hukum yang tegas. 4). Governance as Socio- Cybernetic System, yaitu sebagai suatu pemerintahan yang membuka diri bagi keterlibatan semua aktoraktor
sosial politik, baik pemerintah maupun swasta dalam
penyelenggaraan pemerintahan di sektor publik. 5). Governance as International Interdependency, yaitu pemerintahan yang saling menjalin hubungan internasional dengan negara-negara lain dalam segala bidang. 6). Governance as the New Political Economi, yaitu pemerintahan yang
mencoba berinteraksi secara terbuka dengan lembaga-
lembaga (institusi) yang mengatur kegiatan pasar ekonomi baru, baik dalam bentuk jaringan, asosiasi pemantauan dan jaringan promosi.
11
7). Governance as Networks, yaitu pemerintahan yang menjalin kerjasama dengan masyarakat dan pihak swasta untuk membangun networking dalam mewujudkan pelayanan publik. Konsep Governance dapat dijalankan dalam tiga level (Lynn, 2000), yaitu 1). Institusi, 2). Organisasi dan 3). Teknis.
Pada tingkatan (level)
institusi, maksudnya stabilitas aturan-aturan formal dan informal, hierarkhi, terbatas, prosedur, nilai rejim dan otoritas.
Governance pada level ini
dimaksudkan untuk memahami formasi, adopsi dan pelaksanaan
kebijakan
publik. Pada Level organisasi atau manajerial, terdapat birokrasi yang hierarkhis, departemen, komisi, semua agen eksekutif dan beragam organisasi non pemerintah yang berhubungan dengan otoritas publik melalui kontrak, mandat atau insentif lainnya. Pertimbangan utama dalam level ini adalah memahami insentif, diskresi, ukuran kinerja dan layanan masyarakat. Sedangkan pada tingkatan teknik, governance mewakili tugas lingkungan dimana kebijakan publik dijalankan pada tingkat bawah. Di sini masalah profesionalisme, kompetensi teknis, motivasi, akuntabilitas dan kinerja adalah hal yang ditekankan. Governance juga dapat dilihat dari tiga hal, yaitu administrative governance, political governance dan economic governance. Administrative governance, yaitu bagaimana mewujudkan administrasi pemerintahan yang profesional, netral dan bersih dari KKN. Political governance, bagaimana menyelenggarakan kehidupan politik yang demokratis sehingga kepentingan masyarakat disalurkan dengan baik dan ada mekanisme check and balance.Sedangkan economic governance, yaitu bagaimana membangun kegiatan ekonomi yang mampu menciptakan kemakmuran secara adil dan merata. Istilah Effective Governance diartikan sebagai tatakelola lembaga atau organisasi pemerintahan yang berfungsi memberikan pelayanan kepada masyarakat atau warga negara dengan kapasitas yang dimilikinya. Dalam pemberian pelayanan tersebut, pemerintah menerapkan kebijakan-kebijakan
12
yang berorientasi pada : Akuntabilitas, stabilitas politik tanpa kekerasan, keefektifan, membuat regulasi dengan baik, penegakkan hukum, mencegah korupsi (The Worldwide Governance Indicators (WGI) project IMF, 19962011). Selain itu, Effective Governance juga mencerminkan beberapa hal berikut
ini
(Rowland
B.F.Pasaribu,
2013
dalam
artikel
Tatakelola
Pemerintahan diakses dari http://internalaudit.com ): 1). Pemberian pelayanan publik yang baik, 2). Stabilitas politik, 3). Perumusan dan penerapan kebijakan yang tepat,
4). Komitmen pemerintah dalam pelaksanaan
kebijakan-kebijakan. Effective Governance dapat dijelaskan dari dua perspektif, yaitu perspektif organisasi dan corporate (perusahaan).
Perspektif organisasi,
menjelaskan Effektive Governance dengan menggunakan
tiga pendekatan
yang dikemukakan Lubis dan Huseini (1987: 55-59), yaitu: (1). System Resource Approach, (2). Process Approach, (3). Goal Approach. Pendekatan Sumber (System Resource Approach), yaitu mengukur keberhasilan organisasi pemerintahan dalam mendapatkan sumber-sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai performance yang baik. Sedangkan Pendekatan Proses (Process Approach), yaitu melihat kegiatan internal organisasi pemerintahan seperti efisiensi ataupun iklim organisasi. Pendekatan sasaran (Goal Approach) yaitu output yang direncanakan dapat dicapai oleh organisasi pemerintahan. Penggunaan sumber-sumber daya (material maupun non material), terutama persoalan fisik, SDM, modal sosial dan kemampuan mengelola kapasitas kelembagaan dianggap penting bagi pemerintah daerah untuk menghadapi era kompetisi ekonomi nasional dan global (Lambregts dan Jansen, 2008: 45). Selain pendekatan yang dikemukakan Lubis dan Huseini, Effective Governance juga dapat dijelaskan dari empat model yang dikemukakan (Kasim 1993: 11) berikut ini
yaitu: (a). Model Tujuan Rasional, (b). Model
Hubungan Manusia, (c). Model Sistem Terbuka, (d). Model Proses Internal.
13
Model Tujuan Rasional, yaitu menghendaki peran birokrasi pemerintah
dalam
merumuskan
tujuan,
perencanaan,
evaluasi
dan
produktivitas yang akan dituju oleh organisasi pemerintahan. Untuk itu, faktor kepemimpinan (leadership) memiliki peran sentral dalam membangun motivasi aparatur pemerintah, agar mampu secara profesional mengarah kepada goal yang akan dicapai. Model Hubungan Manusia menekankan moril aparatur pemerintah, kepemimpinan, pengembangan SDM dan peranan informal dari perilaku organisasi pemerintah. Kelebihan model ini adalah karena aspek kemanusiaannya. Sedangkan Model Sistem Terbuka di didasarkan kemampuan organisasi birokrasi pemerintahan beradaptasi dengan lingkungan, baik lingkungan internal maupun eksternal. Kemampuan adaptasi ini mengindikan bahwa organisasi birokrasi pemerintahan bersifat terbuka. Dalam konteks Corporate (perusahaan), effective governance
juga
menekankan faktor Budaya kepercayaan, integritas, dan kejujuran intelektual (Arjoon, 2006: 53). Tampaknya effective governance
yang dikemukakan
Arjoon berkaitan dengan nilai-nilai etika dalam suatu perusahaan (corporate governance), tetapi persoalan etika ini justru dipadang perlu, tidak hanya untuk organisasi perusahaan, tetapi juga organisasi birokrasi pemerintahan, mengingat saat ini persoalan etika dipandang sepele dengan melakukan penyimpangan terhadap peraturan, sehingga melanggengkan
KKN. Betapa
pentingnya etika yaitu honesty (kejujuran) sebagai unsur utama dalam bekerja pada suatu organisasi pemerintahan atau swasta di ditunjukkan juga dari hasil penelitian yang dilakukan Svara di Nort Corolina State University (Warela, 2005: 7). Selain itu, persoalan etika tampaknya menjadi sesuatu yang penting dan dibutuhkan, mengingat
kejatuhan perusahaan Swiss Air (organisasi
perusahaan swasta) disebabkan kurangnya etika dalam pengambilan keputusan (Nwabueze dan Mileski, 2006: 583). Etika di sini diartikan sebagai kepatuhan ( Arjoon, 2006: 55) atau loyalitas dan itikad baik (Segalla dan Bernstein, tt: 36) dari semua pemangku kepentingan terhadap etika pengambilan keputusan. Selain kepatuhan, dikemukakan juga program yang efektif mencakup: 1). Menetapkan standar kepatuhan yang jelas, 2).
14
Melakukan pengawasan sebagai rasa tanggungjawab, 3). Menggunakan diskresi dengan hati-hati, 4). Mengikuti SOP, 5). Sistem audit yang wajar, 6).Menegakkan disiplin dengan konsisten, 7). Respon yang cepat dan tepat (Arjoon, 2006: 55). Selain itu, effective governance
dapat dicapai apabila pemerintah
memiliki kemampuan : 1). Mengatur insentif, 2). Memberi fasilitas, 3). Meningkatkan keadilan (Richerzhagen, 2011: 2245). Persoalan effective Governance dapat dipelajari dari modernisasi di Cina, yang awal mula tidak memiliki rencana besar selain karakteristik sosialisme Cina, tetapi kemudian mampu mengagendakan beberapa hal yaitu pertama, mengurangi peran birokrasi yang terpusat dan regulasi yang berlebihan serta memisahkan antara wilayah politik dengan ekonomi, partai dengan organisasi negara. Kedua, menetapkan desentralisasi, deregulasi dan manajemen yang otonom. Ketiga, penekanan pada efisiensi ekonomi, produktivitas dan efektifitas, sebagaimana dikatakan Caiden (1991, 183-184) di bawah ini : “The reformer had no master plan, no blueprint, no set design other then “socialism with Chinese characteristic” among them competition, enterprise, inequality, and marketing. The first item on their agenda was to reconsider the authoritarian role of the state in the economy and to remove state intervention where it restricted economic growth. This meant the reduction of bureaucratic centralism, overregulation and state management of economic enterprises, an end to the confusion between the politican and economic spheres, party and state organization, and between economic and administrative management, and state divestment of bisiness enterprises. The second item was decentralization, deregulation, indirect controls, and authonomous management. The third item was emphasis on economy, productivity, efficiency and effectiveness as administrative values and insistence on competent, professional management”. Pernyataan Caiden di atas didukung oleh Laporan Bank Dunia (2000: 52-58), yang menekankan pada: akuntabilitas, desentralisasi, delegasi kewenangan, aplikasi Teknologi, kontrol manajemen, pengurangan korupsi, pengembangan kinerja dan integrasi.
15
Tampaknya Collin (1986) agak berbeda dalam melihat effective governance, Collin memandang effective governance sebagai suatu yang lebih bersifat praktis, sehingga berikut ini, Collin (1986: 6-9) mengemukakan sembilan (9) langkah menuju Effective governance, yaitu: 1). Memiliki pejabat atau pegawai yang benar. 2). Menetapkan dan menyetujui aturan main (adanya regulasi). 3). Mendukung pimpinan 4). Menyiapkan kepemimpinan yang strategis. 5). Membuat setiap pertemuan organisasi menjadi penting. 6). Konsisten dalam menegakkan aturan. 7). Memiliki Rencana kerja. 8). Mengadakan review (evaluasi) kinerja secara reguler. 9). Menetapkan tujuan secara umum.
Poin nomor tujuh tampaknya sama sebagaimana yang dikemukakan Callahan (2007). Namun Callahan memasukkannya ke dalam salah satu elemen Effective governance, yaitu kinerja. Berikut ini, dijelaskan Effective governance menurut Callahan. Effective governance yang dikemukakan Callahan,
dilihat sebagai
upaya untuk menggali hubungan (keterkaitan) antara kinerja pemerintah, akuntabilitas publik dan partisipasi masyarakat (Callahan (2007). Ketiga elemen tersebut dianggap memiliki hubungan dan diasumsikan bahwa semakin besar akuntabilitas akan mengarah pada kinerja yang lebih baik dan semakin terlibatnya publik dalam proses governance. Selain itu, kinerja pemerintah semakin dapat diukur dan hasilnya dapat terjamin, maka akuntabilitasnya akan semakin tercapai. Berikut ini, penjelasan pengukuran kinerja, akuntabilitas publik dan partisipasi masyarakat yang dikemukakan Callahan (2007) sebagai elemen effective governance:
16
1. Pengukuran Kinerja Pengukuran kinerja dalam effective governance menurut Callahan adalah konsep sentral dalam administrasi publik yang terus menerus diperbaharui. Permintaan akan sistem pengukuran kinerja yang baik semakin didorong oleh semakin berubahnya cara pemberian pelayanan di lembaga non profit dan sektor bisnis. Pengukuran kinerja dilakukan untuk berbagai tujuan, pertama dan paling sering diungkapkan adalah sebagai management tool yang ditujukan untuk menghasilkan kinerja organisasi yang lebih reliabel, obyektif, relevan dan dapat diinformasikan secara berkala. Ketika dilaporkan, pengukuran kinerja dapat digunakan untuk memperkuat penerapan manajemen dan memberikan informasi pengambilan keputusan yang akan memperbaiki kinerja kedepan. Manajer publik (pengambil kebijakan) memerlukan informasi yang lengkap untuk mengukur kinerja organisasi dan memperbaikinya. Untuk mengukur sesuatu, kita harus mengkuantifisir hal yang diinginkan untuk diukur dengan membuat beberapa aturan. Terkadang beberapa hal lebih sulit untuk diukur karena hal tersebut tidak dapat diobservasi secara langsung atau tidak ada standar yang disepakati mengenai dasar pengukuran. Sektor publik seringkali lebih sulit diukur karena tidak memiliki standar kinerja sehingga tidak ada batas dasar. Oleh karenanya diperlukan indikator kinerja yang baik sehingga pelaku kebijakan dapat menjaga track organisasi dalam memberikan jasa. Perencanaan ukuran kinerja harus dirancang baik dan diimplementasikan sehingga memiliki pengaruh terhadap perilaku dan keputusan yang memperbaiki kinerja organisasi. Hanya mengukur saja, tidak akan memperbaiki kinerja apapun, banyak organisasi telah mengukur kinerja bertahun-tahun dan tidak ada perbaikan nyata. Pelaku kebijakan harus menggunakan hasil ukuran kinerja untuk mempertajam keputusan yang mereka ambil, seringkali pelaku kebijakan memiliki informasi data yang begitu banyak namun tidak
17
digunakan sama sekali karena mereka tidak tahu harus bertindak apa dengan data tersebut. Terkadang informasi yang terlalu banyak justru menghasilkan kebingungan bagi pelaku kebijakan. Oleh karenanya ukuran kinerja harus relevan dengan proses manajemen publik yang akan didukung. Menurut David Osborne dan Plastrik sebagaimana dikutip dari Callahan (2007) mengungkapkan bahwa pengukuran kinerja membuat pelaku kebijakan mampu mengendalikan akuntabilitas organisasi dan memperkenalkan konsekuensi dari kinerja. Hal ini membantu masyarakat dan pelanggan memberikan penilaian terhadap hal yang dilakukan pemerintah untuk mereka. Hal ini juga menghasilkan data yang dibutuhkan bagi pelaku kebijakan dalam menciptakan kinerja. Menurut Callahan (2007) pengukuran kinerja harus dilakukan oleh pengambil kebijakan untuk: 1). Pemantauan dan Pelaporan Pemantauan dan pelaporan merupakan bentuk pengukuran kinerja yang paling sering dilakukan. Pelaku kebijakan mengumpulkan data kinerja untuk disandingkan dengan kondisi keseluruhan, sumber dana, dan kesesuaiannya dengan peraturan yang ada. 2). Membuat Rencana Strategis Perencanaan strategis menawarkan kesempatan bagi organisasi publik untuk benar-benar melihat kedepan dan untuk lebih inovatif. 3). Pengendalian (controlling) Dengan adanya standar kinerja sebagai dasar ukuran, maka pelaku kebijakan dapat mengontrol perilaku pekerja. Dalam hal ini dapat diterapkan sanksi jika kinerja dibawah standar, dan dapat diberikan penghargaan jika kinerja diatas standar. 4). Penganggaran Penganggaran berbasis kinerja dan result oriented budgeting merupakan bentuk-bentuk penggunaan ukuran kinerja dalam proses anggaran. Pelaku kebijakan dapat menggunakan histori data
18
kinerja dalam penyusunan anggaran tahunan. Pelaku kebijakan juga dapat menyusun struktur anggaran sesuai dengan tujuan yang akan diukur dan dapat mengantisipasi outcomes yang akan dicapai. Alasan dibalik anggaran berbasis kinerja adalah pelaku kebijakan akan mengalokasikan sumber daya lebih efisien jika mereka memiliki akses informasi yang akan menyampaikan sejauh mana kinerja organisasi berjalan dengan baik. 5). Komunikasi Ukuran kinerja yang obyektif dapat mendorong komunikasi internal pada semua level organisasi sehingga seluruh staf akan mengetahui apakah kinerja mereka sudah sesuai target atau tidak. Jika ternyata tidak tercapai maka koreksi dapat dilakukan segera terhadap keputusan yang diambil. Dari sisi eksternal, masyarakat dapat lebih peduli terhadap manfaat ataupun kegagalan yang dihasilkan oleh pemerintah. Komunikasi publik akan menghasilkan akuntabilitas dan meningkatnya kepercayaan terhadap pemerintah. 6). Motivasi Target kinerja dapat memotivasi para staf pekerja yang ada. Pengukuran perkembangan pencapaian target akan menghasilkan feedback yang bermanfaat yang akan mendorong para staf untuk mencapai targetnya. 7). Promosi Ukuran kinerja yang dilaporkan dan didiseminasikan secara teratur akan menghasilkan promosi pencapaian kinerja pemerintah kepada masyarakat. Promosi juga dapat dilakukan di dalam organisasi. Indikator
kinerja
akan
memvalidasi
kesuksesan
dan
mendemonstrasikan bagaimana outcomes dapat terwujud. 8). Perayaan Hasil Seluruh organisasi membutuhkan perayaan untuk capaian yang telah mereka raih. Perayaan dan ritual akan menyatukan orangorang dalam organisasi dan menyediakan perasaan kolektif yang
19
relevan terhadap tujuan dan misi organisasi. Perayaan juga merupakan sarana untuk memotivasi, memberikan penghargaan dan merekrut individu ynag baik. 9). Pembelajaran Pembelajaran bertujuan untuk mengetahui “kenapa”. Melalui ukuran kinerja, pelaku kebijakan dapat belajar apa yang bekerja, apa yang tidak bekerja dan apa yang stagnan. Pembelajaran dari ukuran kinerja untuk mencari tahu bagaimana merubah rencana, prosedur atau personil yang akan menghasilkan perbaikan serta bagaimana cara untuk mengimplementasikan perubahan yang dilakukan. 10).Perbaikan Tujuan utama dari pengukuran kinerja adalah memperbaiki kinerja. Untuk mengukur kinerja secara baik maka pelaku kebijakan harus berpikir serius mengenai apa yang mereka akan ukur, apa yang ingin mereka ukur, dan bagaimana mereka menggunakan ukuran tersebut untuk menginspirasi pemahaman manajerial dan pada akhirnya memperbaiki kinerja.
2. Akuntabilitas Sektor Publik Akuntablitas merupakan tema pokok dalam good governance dan administrasi publik. Perannya dalam proses memerintah meningkat dengan semakin diperkenalkannya beragam reformasi administrasi yang menuntut perbaikan kinerja dan akuntabilitas yang lebih besar. Akuntabilitas didefinisikan sebagai kepatuhan secara yakin terhadap hukum, terhadap atasan dan terhadap standar efisiensi dan ekonomi (Fesler dan Kettl dalam Callahan, 2007). Selain itu, akuntabilitas secara fundamental diartikan sebagai kemampuan menjawab kinerja yang diharapkan (Romzek dan Ingraham dalam Callahan, 2007). Seringkali akuntabilitas disinonimkan dengan etika, tanggung jawab (responsibility) atau kewajiban (obligation). Meskipun begitu, yang terpenting menurut
20
Callahan (2007) akuntabilitas khususnya dalam melindungi kepentingan publik dan menjamin kepercayaan publik diartikan sebagai jaminan bahwa administrator publik akan menggunakan pilihan etis yang menjaga nilainilai demokratis. Terdapat beberapa tipe sistem akuntabilitas dalam sektor publik. Secara tradisional, akuntabilitas tipikal dengan hal-hal negatif seperti kontrol, sanksi dan hukuman. Oleh karenanya definisi akuntabilitas yang dominan selalu berkaitan dengan komando dan kontrol. Romzek dan Dubnick dalam Callahan (2007) mengembangkan kerangka konseptual tentang akuntabilitas sektor publik, yaitu: a). akuntabilitas birokratis, b). akuntabilitas legal, c). akuntabilitas profesional, dan d). akuntabilitas politis.
a). Akuntabilitas Birokratis Akuntabilitas birokrasi seringkali dikenal dengan akuntabilitas organisasi atau hirarkis dan telah dipraktekkan secara luas di berbagai institusi. Sistem ini memerlukan rantai komando yang jelas dan tegas yang menjelaskan hubungan antara supervisor (prinsipal) dengan subordinatnya (agen), sistem juga memerlukan suatu perangkat regulasi dan prosedur yang menjadi arah perilaku administratif. b). Akuntabilitas Legal Akuntabilitas legal pada dasarnya sama dengan akuntabilitas birokratis, hanya yang membedakannya adalah dalam model ini, kontrol dilakukan oleh pihak luar organisasi. Akuntabilitas legal memberikan gambaran kewajiban organisasi kepada pejabat terpilih ataupun pengadilan dan bersandar pada pemenuhan mandat yang telah diberikan. c). Akuntabilitas Profesional Administrator publik yang berasal dari kelompok profesional seperti dokter, pengacara dan akuntan mengharapkan sejumlah kebijaksanaan dalam menunjukkan kinerjanya dalam bekerja. Mereka
21
akan dihadapkan pada akuntabilitas atas tindakan yang mereka ambil. Akuntabilitas profesional memiliki karakteristik antara lain keahlian yang berbeda, norma internal atas tindakan yang tepat yang menunjukkan standar profesional, dan derajat otonomi. d). Akuntabilitas Politik Akuntabilitas politik dikarakteristikkan sebagai responsivitas pemangku kepentingan, baik itu pejabat yang dipilih, penduduk atau kelompok dengan kepentingan tertentu. Kunci hubungan ini terletak pada hubungan antara administrator publik dan konstituen yang mereka layani.
3. Partisipasi Publik Partisipasi publik dalam proses pemerintahan merujuk pada nilainilai demokrasi dan selalu menjadi patokan sekaligus melahirkan perdebatan konsep. Perlunya publik dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan pemerintah melahirkan dilema, semakin terbukanya proses pengambilan keputusan, semakin isu tersebut terpolarisasi, semakin tertutup
proses
pengambilan
keputusan,
maka
semakin
tinggi
ketidakpercayaan publik terhadap pengambil keputusan. Terdapat beragam model mengenai hubungan administrator publik dengan peran masyarakat. Callahan (2007, 185-187) telah menguraikan model-model tersebut berdasarkan pola perubahan hubungan antara masyarakat dan pemerintah satu per satu sebagai berikut: a) Penduduk sebagai Subyek –Administrator sebagai Penguasa Model ini mencerminkan sistem otoritas dimana pemerintah sebagai
figur
otoritas
memberikan
komando
dan
penduduk
menurutinya. Pemerintah berada dalam kontrol dan memegang kekuasaan absolut terhadap masyarakat. Bentuk ini didasari oleh struktur birokrasi yang kaku dan non demokratis. Pola hubungan ini dapat ditemukan di kelompok militer ataupun penegakan hukum.
22
b) Penduduk sebagai Pemilih – Administrator sebagai Implementor Model ini menggambarkan sebuah demokrasi perwakilan dimana administrator diberikan akuntabilitas sebagai pejabat yang dipilih dan masyarakat memilih orang yang tepat untuk mewakili kepentingannya. Administrator menjadi implementor kebijakan publik. c) Penduduk sebagai Klien, Administrator sebagai Ahli Model ini menggambarkan nilai tradisional administrasi publik dimana administrator sebagai ahli membuat keputusan rasional berdasarkan kompetensi netral. Penduduk berperan sebagai klien atas para birokrat profesional yang ahli. Sebagai klien penduduk bergantung pada birokrasi penyediaan layanan sektor publik. Dalam model ini penduduk dianggap kurang memiliki pengetahuan dan para ahli dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan menyediakan input yang tepat. d) Penduduk sebagai Pelanggan, Administrator sebagai Profesional/ Wirausaha. Model ini menggambarkan new public management (NPM) dimana administrator mengadopsi sektor swasta yang cenderung menggunakan pendekatan customer centered. Titik beratnya terletak pada responsivitas dan pelayanan pelanggan. Penduduk sebagai pelanggan memiliki pilihan dan berperan pasif seperti pelanggan dan administrator harus berperan responsif. e) Penduduk sebagai Penduduk, Administrator sebagai Pelayan Publik. Model ini menggambarkan New Public Service (NPS) dimana administrator melayani dan memperkuat masyarakat sebagaimana mereka mengelola organisasi publik dan mengimplementasikan kebijakan publik. Pelayan publik lebih bertindak sebagai fasilitator daripada sebagai ahli maupun wirausaha. Interaksi penduduk bersifat aktif dan terlibat dalam menggali kebijakan dan pilihan program bersama dengan pemerintah yang melayaninya.
23
f) Penduduk sebagai Ko-produser, Administrator sebagai Koproduser. Dalam hubungan ini digambarkan ko-produksi dan kolaborasi yang ideal dimana penduduk dan administrator berkolaborasi satu dengan yang lain untuk memecahkan masalah dan menyelesaikannya lagi. Hubungan menunjukkan hubungan aktif dengan tanggung jawab bersama untuk menjaga kekuatan dan kesehatan masyarakat serta kemampuan program sektor publik berjalan. Hubungan ko-produksi ini memperbaiki kepercayaan sekaligus kepercayaan diri di sektor publik dan masyarakat lebih mendukung pemerintah karena mereka terlibat. g) Penduduk sebagai investor, Administrator sebagai Broker Model ini menggambarkan value centered management dimana penduduk dianggap sebagai investor dan pemilik saham, dan administrator publik bertindak sebagai broker, bertanggungjawab menginvestasikan sebagai
perwakilan pemegang saham untuk
memastikan
yang
pengembalian
maksimal
pada
masyarakat.
Hubungan ini kooperatif dan melahirkan kepentingan bersama, kerjasama dan rasa berbagi antara penduduk, dalam hal in broker bertindak untuk kepentingan terbaik bagi penduduk. h) Penduduk sebagai Pemilik, Administrator sebagai Karyawan Model ini menggambarkan model kepemilikan dimana penduduk memiliki kontrol dan administrator menaati dan mematuhi keputusan pemilik. Sebagai pemilik, penduduk wajib memberikan peran aktif dalam pemberian pelayanan pemerintah. Pola hubungan ini dapat penuh dengan konflik, karena penduduk yang berada di kekuasaan dan adiministrator diharapkan bekerja memenuhi keinginan penduduk sebagai pemilik. Meskipun hubungan-hubungan tersebut telah dijelaskan dalam model ini tetapi hubungan yang terjadi di dunia nyata jelas lebih kompleks dan batas antar model pun masih kabur. Dalam hal ini administrator memiliki peran sentral dalam menentukan
24
level partisipasi publik. Ketika penduduk memiliki kontrol sebagai pemilik terhadap proses dan outcome, pada dasarnya dapat dilihat bahwa model ini tidak praktis karena setiap penduduk tidak dapat bertanggung jawab secara setara atas keputusan yang diambil pemerintah.
Di antara teori effective governance yang dijelaskan di atas, teori effective governance yang dikemukakan Callahan (2007) yang digunakan sebagai pisau analisis dalam melihat Efektifitas Pelaksanaan Musrenbang di Kota Tangsel. Dengan demikian, diharapkan dapat membangun sebuah model pelaksanaan Musrenbang yang baik untuk menuju suatu tata kelola pemerintahan yang efektif. Effective governance yang dikemukakan Callahan sangat simpel, jelas dan mudah dipahami. Selain itu, ketiga elemen effective governance yang dikemukakan Callahan tersebut, menjadi satu kesatuan yang saling terkait antara elemen satu dengan lainnya, antara pengukuran kinerja, akuntabilitas publik dengan partisipasi publik.
A.2. Perencanaan Pembangunan Perencanaan adalah suatu kegiatan yang terintegrasi, yang bertujuan untuk memaksimalkan efektifitas sekeluruhan usaha sebagai sutau sistem sesuai dengan tujuan organisasi yang bersangkutan (Inu Kencana, 1999 dalam Satries, 2011: 99). Fungsi perencanaan adalah untuk menetapkan arah dan strategi serta titik awal kegiatan supaya dapat membimbing dan memperoleh ukuran yang dipergunakan dalam pengawasan agar tercegah dari pemborosan waktu dan faktor produksi lainnya (Satries, 2011: 99) Aktifitas perencanaan dapat diklasifikasikan (Kamarudin dalam Stries, 2011: 100) sebagai berikut :1. Meramalkan proyeksi yang akan datang, 2. Menetapkan sasaran serta mengkondisikannya, 3. Menyusun program dengan urutan kegiatan, 4. Menyusun kronologis jadwal kegiatan, 5.
25
Menyusun anggaran dan alokasi sumber daya, 6. Mengembangkan prosedur dalam standar, 7. Menetapkan dan menginterpretasi kebijaksanaan. Sedangkan sifat perencanaan tergantung dari pendekatannya, berikut klasifikasi yang kemukakan Ginajar Kartasasmita (1997): (1) Ruang lingkup tujuan dan sasarannya : perencanaan nasional, sektoral dan spasial. (2) Jangkauan dan hierarki: perencanaan tingkat pusat dan daerah. (3) Jangka waktunya: perencanaan jangka panjang, menengah dan pendek. (4) Arus informasi: perencanaan atas ke bawah, bawah ke atas dan kedua-duanya. (5) Ketepatan proyeksi ke depan: perencanaan indikatif atau preskriptif (6) Sistem politik: perencanaan alokatif, inovatif dan radikal. Musrenbang di laksanakan mulai dari tingkat desa/kelurahan, hingga ke
pemerintah
daerah
melalui
forum-forum
SKPD.
Musrenbang
Desa/Kelurahan
adalah
forum
musyawarah
tahunan
stakeholder
desa/kelurahan untuk menyepakati rencana kegiatan tahun anggaran berikutnya. Musrenbang Kecamatan adalah forum musyawarah stakeholder kecamatan untuk mendapatkan masukan prioritas kegiatan dari desa/kelurahan serta menyepakati kegiatan lintas desa/kelurahan di kecamatan tersebut sebagai dasar penyusunan Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) kabupaten/kota pada tahun berikutnya. Forum SKPD (forum yang berhubungan dengan fungsi/sub fungsi, kegiatan/sektor dan lintas sektor) adalah wadah bersama antar pelaku pembangunan untuk membahas prioritas kegiatan pembangunan hasil Musrenbang Kecamatan dengan SKPD atau gabungan SKPD sebagai upaya mengisi Rencana Kerja SKPD yang tata cara penyelenggaraannya difasilitasi oleh SKPD terkait. Proses Musrenbang terdiri dari persiapan, pelaksanaan dan hasil (Kepmendagri No. No. 050-187/Kep/bangda/2007). Sasaran persiapan Musrenbang
yang harus dicapai, adalah: (1). Peserta telah diberitahu lebih
26
awal, (2).Peserta telah menerima bahan yang akan dibahas dan (3). Informasi yang disajikan sesederhana mungkin. Sasaran pelaksanaan Musrenbang meliputi: 1). Kelengkapan dan kualitas informasi, terutama tentang kejelasan isu dan permasalahan strategis yang dihadapi, prioritas program, kegiatan dan ketersediaan pendanaan; 2). Adanya instrumen (format, checklist dsb). 3). Kesesuaian pembagian diskusi kelompok dengan pembagian fungsi pemerintahan daerah. 4). Ketersediaan fasilitator yang independen dan kompeten. 5). Kualitas demokratisasi dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan. 6). Keterwakilan stakeholders. 7). Keterlibatan aktif DPRD. 8). Nara sumber menguasai materi. Hasil Musrenbang merupakan tujuan utama penyelenggaraan Musrenbang
yaitu mendapatkan kesepakatan antara pemerintah daerah
dengan stakeholders atas rancangan RKPD dan Renja SKPD untuk diproses menjadi Rancangan Akhir RKPD dan selanjutnya menjadi dokumen final RKPD dan Renja SKPD. Perlu dinilai sejauh mana peringkat kesesuaian antara hasil bottom up process dan forum SKPD dengan rancangan RKPD dan Renja SKPD yang disepakati; dan peringkat kepuasan para peserta terhadap hasil kesepakatan yang dicapai, yaitu sejauh mana aspirasi dan kebutuhan masyarakat terakomodasi dalam rancangan RKPD dan Renja SKPD. Penilaian juga bisa dilakukan terhadap kesesuaian isu dan permasalahan daerah dan SKPD dengan prioritas program dan kegiatan yang disepakati.
B. Penelitian Terdahulu (Literatur Review) Pengaturan tentang Musrenbang sejak tahun 2004 dalam UU No. 25 tahun 2004 tentang Perencanaan Pembangunan Nasional dan diatur secara rinci dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 050-187/Kep/bangda/2007 tentang Pedoman Penilaian dan Evaluasi Pelaksanaan Penyelenggaraan Musrenbang. Banyak tulisan dan penelitian yang telah dilakukan para pakar tentang Musrenbang, pembangunan dan yang terkait dengan partisipasi masyarakat. Berikut ini, beberapa tulisan yang dijadikan literatur review dalam penelitian
27
ini, yaitu
antara lain adalah Wawan Sobari (2007), LSM Transparancy
International Indonesia (2009),
Wahyu Ishardinos Satries (2011) dan
Himawan Indrajat dan kawan-kawan (2012). Peningkatan Partisipasi Publik di Era Otonomi Daerah-Masih Sebatas Instrumen adalah salah satu judul yang ditulis Wawan Sobari tahun 2007. Dalam analisis, Wawan Sobari melihat beberapa kelemahan dari pelaksanaan Musrenbang, yaitu antara lain adalah Partisipasi dalam konteks pelaksanaan Musrenbang hanya dilihat sebatas sebagai kontribusi masyarakat, bukan sebagai sebuah secara komprehensif mempromosikan demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat dalam pengambilan keputusan pembiayaan pembangunan. Selain itu, Musrenbang hanya menggunakan teknik-teknik formal dan teknokratik serta mengandalkan metode perwakilan. Kajian literatur ini relevan dengan penelitian Efektifitas Pelaksanaan Musrenbang Perspektif Effective Governance yang akan dilakukan dengan melihat aspek partisipasi publiknya. LSM Transparancy
International Indonesia pada tahun 2009 pernah
mengadakan penelitian di tiga Kota, yaitu Kabupaten Bau-Bau, Kota Bandung dan Kabupaten Tabanan. Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa para peserta forum Musrenbang adalah individu-individu yang tidak mewakili kelompokkelompok tertentu, tetapi justru hanya mewakili pribadinya dan mereka adalah kroni-kroni kepala daerah setempat. Penelitian ini memberikan masukan yang berharga, sehingga penelitian tentang Efektifitas Pelaksanaan Musrenbang Perspektif Effective Governance tepat dilakukan untuk melihat aspek partisipasi dan akuntabilitas pelaksanaan Musrenbang. Penelitian yang berjudul Mengukur Tingkat Partisipasi Masyarakat Kota Bekasi Dalam Penyusunan APBN Melalui Pelaksanaan Musrenbang oleh Wahyu Ishardinos Satries pada tahun 2010, menemukan bahwa pemahaman masyarakat Kota Bekasi terhadap forum Musrenbang pada umumnya sudah baik, tetapi belum komrehensif dan masih terbatas pada tataran formal semata sebagai
kegiatan
rutin
tahunan,
sehingga
mempengaruhi
tingkat
partisipasinya. Dengan demikian, terlihat bahwa pelaksanaan Musrenbang
28
masih menyimpan masalah. Hal ini sangat relevan dengan penelitian Efektifitas Pelaksanaan Musrenbang Perspektif Effective Governance yang akan diteliti dalam penelitian ini dengan melihat aspek partisipasinya. Himawan Indrajat dan kawan-kawan melakukan penelitian tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Pembangunan di Kecamatan Kemiling yang ditulis pada 2012. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa tingkat partisipasi masyarakat masih rendah , perlu pendampingan dalam proses pemberdayaan masyarakat dimulai dari Musrenbang kelurahan, kecamatan dan kabupaten/kota. Selain itu, perlu pengawasan pelaksanaan Musrenbang oleh pemerintah kota dan masyarakat. Hasil Penelitian Indrajat dan kawan-kawan sangat membantu dalam penelitian
Efektifitas
Pelaksanaan
Musrenbang
Perspektif
Effective
Governance. Hal ini relevan untuk mengamati aspek kinerja dari pelaksanaan Musrenbang.
C. Kerangka Berpikir
Gambar 2.1. Kerangka Berpikir Musrenbang Tingkat Kecamatan Kota Tangsel (UU & Kep Bangda) Governan
Kinerja : Rencana strategis Ada Laporan Berbasis Anggaran Kontrol
Akuntabilitas : - Akuntabilitas Birokratis
-00-
29
Partisipasi Publik: - Masyarakat - Swasta dilibatkan
Effective Governance
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian dilakukan di Kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan (Tangsel) dan waktu penelitian selama kurang lebih selama 3 bulan (Agustus – Oktober 2015).
B. Pedekatan dan Jenis Penelitian Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif untuk menjelaskan dan menafsirkan fenomena pelaksanaan Musrenbang di Kecamatan Pamulang, Kota Tangsel perspektif effective governance yang sulit diungkap oleh pendekatan kuantitatif (Strauss dan Corbin, 2009: 5). Kebanyakan penelitian kualitatif bersifat sangat deskriptif (Brannen, 2002:13) yang kaya makna dan meyakinkan (Strauss dan Corbin, 2009: 9). Oleh karena itu, jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian kualitatif ini adalah Penelitian Deskriptif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang memanfaatkan pengamatan, wawancara dan
analisis/penelaahan dokumen
(Strauss dan Corbin, 2009: 7).
C. Teknik Pengumpulan Data Teknik Pengumpulan Data yang digunakan dalam penelitian melalui tiga cara, yaitu: 1). Wawancara dengan Key Informan dengan menggunakan In-depth interview. Key informan berasal dari pengurus RW, pegawai kelurahan, kecamatan, pemkot dan SKPD. 2). Dokumen-dokumen tentang hasil Musrenbang. 3). Observasi, dengan melihat hasil pelaksanaan Musrenbang yang telah direalisasikan.
30
D. Teknik Pengambilan Sampel Teknik yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah teknik purposive, yaitu teknik yang didasarkan pada tujuan atau pertimbanganpertimbangan peneliti. Jumlah sampel yang akan dijadikan sebagai informan sebanyak 10 orang yang berasal dari :
Masyarakat
: Pengurus RW sebanyak 2 orang.
Kelurahan
: Sekretaris Lurah, Kasi Ekonomi dan Pembangunan
serta 2 orang Staf
Kecamatan
: Sekretaris Camatan dan Kasi Pemerintahan
Bappeda
: Kasi Kesra Bappeda Kota Tangsel
Pemkot
: Kasi Kesra , Kantor Sekretariat Daerah.
E. Prosedure Pengolahan data Tahapan prosedur pengolahan data, sebagaimana dikemukakan McNabb (2002: 297), yaitu: 1). Proses pengumpulan data secara umum baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif tentang pelaksanaan Musrenbang. 2).
Penyederhanaan
dan
konseptualisasi
data
dengan
melakukan
pengelompokkan data. 3).Penamaan fenomena (konseptualisasi data). 4). Penerapan ide, tema dan kategori, sehingga dapat merumuskan realitas temuan penelitian. 5). Menghindari kesalahan dalam menginterprestasikan data. 6). Penulisan laporan. Berikut Prosedur Pengolahan data yang dikemukakan McNabb (2002: 297), dalam gambar di bawah ini: Gambar 3.1: A.Procedure for Data Analysis Step 1 Organize the data
Step 2 Generate Categories, themes and patterns
Step 3 Code the data
Step 6 Write and present the report
Step 5 Search for alternative explantion
Step 4 Apply the ideas, themes and categories
Sumber: McNabb, 2002: 297
31
F. Pemeriksaan Keabsahan Data. Untuk mendapatkan keabsahan data, peneliti menggunakan beberapa teknik berikut ini: a) Triangulasi digunakan untuk mendapat informasi sebagai pembanding dengan informasi (data) yang telah diterima. b) Perpanjangan keikutsertaan di lapangan, untuk mencari informasi dan data sebagai pelengkap kekurangannya. c) Pengamatan secara intens, dilakukan pada obyek pembangunan yang dijadikan dasar dari Musrenbang. d) Kecukupan referensial untuk mendukung penelitian yang terkait dengan penelitian ini.
G. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini bersifat analisis deskriptif kualitatif, yaitu penggambaran fenomena dalam berupa kata-kata bukan angka-angka. Data hasil wawancara dan dokumentasi ditulis dalam bentuk catatan lapangan yang terinci, kemudian dianalisis secara kualitatif. Analisis data dimulai sejak pengumpulan data sampai penarikan kesimpulan.
-00-
32
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini dijelaskan tentang Diskripsi Objek Penelitian, Pelaksanaan Musrenbang Kecamatan Pamulang, dan Efektifitas pelaksanaan Musrenbang perspektif Kinerja, Akuntabilitas dan Partisipasi Publik.
A. Diskripsi Objek Penelitian A.1.Kondisi Geografi Secara geografis Kecamatan Pamulang berada dalam wilayah pemerintahaan Kota Tangerang Selatan tepatnya di bagian Timur Pemerintahan Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten. Pamulang mempunyai luas wilayah ± 2.788 Ha dari tanah daratan ± 2.286 Ha, tanah pertanian yang dikelola menjadi sawah 502 Ha, dan mempunyai letak ketinggian di atas permukaan laut 2000 M. Kecamatan Pamulang mempunyai empat sisi perbatasan, mulai dari perbatasan di sebelah Barat dengan Kecamatan Serpong, sebelah Timur dengan Kecamatan Sawangan, Kota Depok, sebelah Utara dengan Kecamatan Ciputat, dan sebelah Selatan dengan Kecamatan Sawangan, Kota Depok. Menurut data dari profil daerah, Kecamatan Pamulang memiliki jumlah penduduk sampai dengan bulan Maret 2014 adalah 292.324 jiwa, dengan klasifikasi, laki-laki 149.514 jiwa dan perempuan 142.810 jiwa.
A.2. Pemerintahan a.
Visi dan Misi Struktur administrasi kewilayahan Kecamatan Pamulang secara
vertikal membawahi 8 kelurahan, terdiri dari Kelurahan Pamulang Barat, Kelurahan Pamulang Timur, Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan Kedaung, Kelurahan Bambu Apus, Kelurahan Pondok Cabe Ilir, Kelurahan Pondok Cabe Udik. Kecamatan Pamulang dengan 8 kelurahan yang tergabung di
33
dalamnya merupakan tempat yang dilintasi jalur darat yang sangat ramai sehingga sering terjadi kemacetan di daerah ini. Visi
Kecamatan Pamulang adalah “Terwujudnya Kecamatan
Pamulang sebagai pengembangan Kawasan Pendidikan, Perumahan dan Pemukiman yang Berwawasan Lingkungan” Dalam usaha mewujudkan visinya tersebut, Kecamatan Pamulang memiliki 5 misi yang akan di laksanakan sesuai dengan kurun waktu RPJPD Kota Tangerang Selatan, dan khususnya untuk memajukan kembali daerahnya. Kelima poin misi tersebut yaitu, Pertama, mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas, yaitu dengan melalui koordinasi, fasilitas bidang pendidikan dengan SKPD terkait, termasuk upaya memberikan sosialisasi dan informasi kepada masyarakat untuk meningkatkan pegetahuan, keterampilan, memberikan fasilitas sarana dan prasarana pendidikan termasuk pendataan tingkat pendidikan masyarakat. Kedua, mewujudkan perumahan dan pemukiman yang berwawasan lingkungan hidup, hal ini dilakukan melalui koordinasi, fasilitasi dengsn SKPD terkait, sehingga diharapkan kondisi pemukiman penduduk tertata rapi, asri, bersih dan indah. Hal ini tidak terlepas dari kondisi alam Kecamatan Pamulang yang masih mempunyai daerah hijau yang baik untuk kehidupan sehat sebuah pemukiman. Ketiga, mewujudkan daerah yang bersih dan indah. Hal ini diusahakan dengan cara memanfaatkan ruang, lahan terbuka hijau dapat terjaga, pembangunan infrastruktur dengan memperhatikan lingkungan hidup dan estetika kota yang dapat meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat serta memberikan keindahan dan kenyamanan. Keempat, mewujudkan pelayanan publik yang amanah. Hal ini dilakukan melalui pemberian pelayanan kepada masyarakat sesuai peraturan perundangan yang berlaku dengan tetap memperhatikan kondisi sosial ekonomi masyarakat, yaitu memberikan perlayanan berdasarkan standar pelayanan minimal serta menciptakan sistem pelayanan yang efesien, efektif dan terpadu.
34
Kelima, meningkatkan partisipasi masyarakat, yaitu melalui fasilitasi pemberian stimulan bantuan untuk menggerakan swadaya gotong royong masyarakat dalam pembangunan, memupuk rasa kesalehan sosial dan menciptakan suasana wilayah yang aman, tentram dan tertib. Partisipasi masyarakat ini yang merupakan sebuah ukuran masyarakat demokratis dan Kecamatan Pamulang mengusahakan kearah tersebut.
b. Tupoksi Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) Kecamatan Pamulang sesuai dengan standar hukum yang berlaku melekat pada tugas dan fungsi Camat sebagai SKPD Kecamatan. Landasan hukumnya bersandar pada Peraturan Walikota Tangerang Selatan Nomor 32 Tahun 2011 Tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Kecamatan Kota Tangerang Selatan, disebutkan pada pasal 2 ayat (1) dan (2) bahwa tugas dan fungsi Camat adalah sebagai berikut: 1) Camat
sebagai
Kecamatan
pelaksana
mempunyai
Pemerintah tugas
Daerah
melaksanakan
di
Tingkat
kewenangan
pemerintah yang dilimpahkan Walikota dan tugas pemerintahan lainnya. 2) Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kecamatan menyelenggarakan fungsi : a. Pelaksanaan perencanaan dan perumusan bahan kebijakan program kerja bidang pemerintahan, kentraman dan ketertiban umum, pembangunan, pengembangan ekonomi dan kesejahteraan sosial; b. Pelaksanaan pengumpulan, pengelolaan, penganalisaan data di bidang pemerintahaan, kententraman dan ketertiban umum, pembangunan, pengembangan ekonomi dan kesejahteraan sosial; c. Penyelenggaraan kegiatan perumusan pemerintahan, ketentraman dan ketertiban umum, pembangunan, pengembangan ekonomi dan kesejahteraan sosial;
35
d. Pelaksanaan inventarisasi aset daerah atau kekayaan daerah lainnya yang ada di wilayah kecamatan serta pemeliharaan dan pengelolaan fasilitas umum dan fasilitas sosial; e. Pelaksanaan pertimbangan pengangkatan kepala kelurahan; f. Pelaksanaan peningkatan usaha-usaha pengembangan ekonomi desa dan kelurahan; g. Pelaksanaan ketatausahaan umum dan kepegawaian, perencanaan dan keuangan; h. Pelaksanaan pemberian rekomendasi/perijinan kewenangan di bidang
pemerintahan
ketentraman
dan
ketertiban
umum,
pembangunan, pengembangan ekonomi, dan kesejahteraan sosial sesuai dengan kewenangannya; i. Pelaksanaan
pembinaan,
pengawasan
dan
penyelenggaraan
pemerintah desa dan kelurahan; j. Pelaksanaan koordinasi dengan instansi/lembaga lainnya terkait dengan kegiatan pemerintahan kecamatan; k. Pelaksanaan pengawasan, mentoring dan evaluasi, pengendalian serta pelaporan kegiatan pemerintahan kecamatan; l. Pelaksanaan urusan pemerintahan lainnya yang dilimpahkan kecamatan.
c. Struktur Organisasi Struktur organisasi Kecamatan Pamulang telah diatur dalam pasal 3 Peraturan Walikota Tangerang Selatan Nomor 32 Tahun 2011. Susunan organisasi Kecamatan Pamulang terdiri dari: 1. Kepala Kecamatan; 2. Sekretariat membawahkan: a. Sub Bagian Umum dan Kepegawaian; b. Sub Bagian Keuangan; c. Sub Bagian Program, Evaluasi dan Pelaporan 3. Seksi Pemerintahan;
36
4. Seksi Kesejahteraan Sosial; 5. Seksi Pelayanan Umum; 6. Seksi Ekonomi dan Pembangunan; 7. Seksi Ketentraman dan Ketertiban; 8. Kelompok Jabatan Fungsional. Struktur Organisasi Kecamatan Pamulang Terdiri dari Camat sebagai pimpinan puncak, yang mempunyai koordinasi dengan Jabatan Fungsional, dan instuksional ke Sekretaris Camat yang membawahi 3 Kepala Sub Bagian (Kasubag). Kepala Sub Bagian terdiri dari Kasubag Umum dan Kepegawaian, Kasubag Keuangan, Kasubag Program Evaluasi dan Pelaporan. Selain garis instruksi vertikal dari Camat dan Sekcam, terdapat juga garis instruksi dari Camat ke Kepala Seksi (Kasi) yang terdiri dari 5 Kasi. Kasi pertama adalah Kasi Pemerintahan, Kasi Pelayanan Umum, Kasi Ekonomi
dan Pembangunan,
Kasi
Ketentraman dan Ketertiban. Data
Kesejahteraan Sosial
dan
Kasi
Struktur Organsasi Kecamatan dapat
dilihat dalam gambar hirarki dibawah: Camat
Sekcam Jabatan Fungsional Kasubag Umum dan Kepegawaian
Kasubah Keuangan
Kasubag Program Evaluasi dan Pelaporan
Kasi Pemerintahan
Kasi Pelayanan Umum
Kasi Ek. dan Pembangunan
Sumber : Data Sekunder Kec. Pamulang
37
Kasi Kesos
Kasi Ketentraman dan Ketertiban
A.3. Kependudukan 1. Jumlah Penduduk Jumlah penduduk Kecamatan Pamulang sebanyak 300.296 orang. Jumlah ini menyebar ke delapan keluarahan, sebagaimana terlihat dalam tabel di bawah ini:
Tabel 4.1. Sebaran Jumlah Penduduk Kecamatan Pamulang No
Kelurahan
Jumlah (Orang)
1.
Pamulang Barat
51521
2.
Benda Baru
37739
3.
Pondok Benda
45338
4.
Pondok Cabe Udik
21647
5.
Pondok Cabe Ilir
37617
6.
Kedaung
50656
7.
Bambu Apus
23228
8.
Pamulang Timur
32551
Total
300.296
Sumber : diolah dari Profil Kec. Pamulang
2. Agama Terdapat 7 agama di Kecamatan Pamulang, yaitu antara lain: Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, Konghuchu dan Kepercayaan. Sebaran keagamaan Kecamatan Pamulang terlihat dalam tabel di bahwah ini: Tabel 4.2 Sebaran Agama di Kecamatan Pamulang No
Agama
1
Islam
2
Kristen
Jumlah Penganut (per orang) 264.048
Persentase
17.968
6,15%
38
90,33%
3
Katolik
7.328
2,50%
4
Hindu
848
0,29%
5
Budha
1.907
0,65%
6
Konghuchu
224
0,08%
7
Kepercayaan Lain Jumlah
1
0,00%
292.324
100%
Sumber : Profil Kec. Pamulang Dari ketujuh agama di atas, penganut Islam yang paling banyak (90,33%), kemudian diikuti oleh Kristen (6,15%).
3. Pendidikan Penduduk
Kecamatan Pamulang
sebanyak 300.296 orang. Dari
jumlah tersebut, ternyata dari segi pendidikan, paling banyak berpendidikan tamat SMA sebanyak, yaitu sebanyak 104.371 orang. Sedangkan pendidikan paling tinggi (S3), jumlah paling sedikit, yaitu sebanyak 203 orang. Tamatan SMA tersebut, menyebar di 8 Kelurahan dan paling banyak terdapat di Kelurahan Kedaung sebanyak 18.882 orang dan Kelurahan Pamulang Barat sebanyak 18.516 orang. Sedangkan jumlah yang paling sedikit terdapat di Kelurahan Pondok Cabe Udik sebanyak 6.262 orang. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat dalam tabel beriku ini : Tabel 4.3. Tingkat Pendidikan Penduduk Kecamatan Pamulang No Tingkat Pendidikan Jumlah 1. Belum Tamat SD 31.324 2. SD 36.837 3. SMP 40.561 4. SMA 104.371 5. D1 dan D2 2.162 6. D3 10.789 7. S1 31.286 8. S2 1.891 9. S3 203 Total 259.424 Sumber : diolah dari Profil Kecamatan Pamulang.
„
39
Dari tabel di atas, menunjukkan bahwa rata-rata tingkat pendidikan penduduk Kecamatan Pamulang sedang, yaitu pada tingkat SMA sebanyak 104.371 orang. Berikut ini sebarannya pada kelurahan-kelurahan.
No
Tabel 4.4. Sebaran Pendidikan SMA Penduduk Kecamatan Pamulang Kelurahan Jumlah (Orang)
1.
Pamulang Barat
18.516
2.
Benda Baru
14.249
3.
Pondok Benda
15.908
4.
Pondok Cabe Udik
5.
Pondok Cabe Ilir
13.882
6.
Kedaung
18.882
7.
Bambu Apus
7.438
8.
Pamulang Timur
9.965
6.262
Sumber : diolah dari Profil Kecamatan Pamulang.
No
Kelurahan
(1)
(2) Pondok Benda Pamulang Barat Pamulang Timur Pondok Cabe Udik Pondok Cabe Ilir Kedaung Bambu Apus Benda Baru Jumlah
1 2 3 4 5 6 7 8
Tabel 4.5. Sebaran Insrastruktur Kesehatan Banyaknya Rumah Puske Poli Pustu RB Sakit smas Klinik (3) (4) (5) (6) (7)
DP
BP
(8)
(9)
1
1
0
4
2
6
4
1
1
0
5
6
8
13
0
1
0
0
0
2
7
1
0
1
1
1
1
5
0
0
0
3
1
5
10
1
0
0
1
1
4
5
0
0
1
3
3
5
5
0
1
1
0
1
4
4
3
17
15
40
0 031
49
B. Pembahasan Hasil Penelitian B.1. Pelaksanaan Musrenbang Kecamatan Pamulang B.1. a. Persiapan Sebelum pelaksanaan Musrenbang Kecamatan, maka diadakan Pra Musrenbang di tingkat Kelurahan dengan mengundang RT-RT (Rukun Tetangga dan RW-RW (Rukun Warga). Pelaksanaan Pra Musrenbang yang dilaksanakan pihak Kelurahan, awalnya dengan memberi undangan kepada pihak RT dan RW dan meminta agar para RT dan RW mempersiapkan dengan membuat proposal (usulan) tentang permasalahan yang ada di lingkungan masyarakatnya yang ingin mendapat bantuan pembangunan dari Pemerintah Kota (Hasil wawancara dengan Kasi Pemerintahan Kecamatan Pamulang, 7 Agustus 2015 dan Kasi Ekonomi Pembangunan Kelurahan Pondok Benda, 24 September 2015) Usulan tersebut, mengingat masyarakat
tidak mampu membangun
secara mandiri, misalnya pembangunan jalan, pembangunan drainase, pembangunan gedung sekolah dan lain sebagainya. Tidak semua pengurus RT dan RW membuat usulan tersebut secara tertulis dan tersistematika dengan baik, Seringkali usulan tersebut hanya dalam bentuk lisan atau tulisan tangan. Namun tidak sedikit yang membawa usulan (proposal) tersebut secara tertulis. Setelah Pra Musrenbang Tingkat
Kelurahan, maka diadakan
Musrenbang Kelurahan dengan mengumpulkan seluruh Pengurus Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) dan mengundang unsur lainnya seperti Tokoh masyarakat, Tokoh Agama, Organisasi Kepemudaan serta Anggota Dewan yang berasal dari Dapil tersebut. Dari Musrenbang Kelurahan, usulan-usulan (proposal) yang masuk dari para Pengurus RW dibicarakan dan dirumuskan menjadi suatu usulan yang terpadu yang berasal dari kelurahan tersebut. Bagi para pengurus RT dan RW yang tidak membawa
proposal secara tertulis, maka akan dibantu
dituangkan secara tertulis oleh pihak kelurahan, yang terpenting, masalah
41
yang diajukan bersifat riil dan lokasinya jelas (Hasil wawancara dengan Kasi Ekonomi Pembangunan Kelurahan Pondok Benda, 24 September 2015). Dari sejumlah proposal yang masuk dari masyarakat, dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu : 1). Ada Proposal dan secara fisik terlihat. 2). Ada Proposal tetapi secara fisik tidak ada. Dari hasil Musrenbang kelurahan yang telah dirumuskan bersama dan ditulis dalam berita acara, kemudian ditandatangani oleh Tim Penyelenggara Musrenbang Kelurahan yang terdiri dari Ketua, Sekretaris dan Anggota (Laporan Kegiatan Musrenbang Kelurahan Pondok Benda Tahun 20142015). Setelah hasil Musrenbang Kelurahan dirumuskan, akan dijadikan sebagai usulan kelurahan dan dibawa
ke dalam Musrenbang Tingkat
Kecamatan.
B.1.b. Pelaksanaan Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa pelaksanaan Musrenbang Kecamatan didahului oleh Pra Musrenbang dan Musrenbang Kelurahan. Setelah semua usulan (proposal) terkumpul, dan dibuatkan berita acara dari Musrenbang Kelurahan, maka akan bahan-bahan tersebut akan diperbanyak dan dijadikan materi bahasan dalam Musrenbang Kecamatan. Peserta Musrenbang Kecamatan Pamulang terdiri dari : 8 Kelurahan, Pengurus/Perwakilan RT dan RW, tokoh masyarakat, tokoh agama, ormas kepemudaan, kepolisian, Perwakilan SKPD, Pemkot dan Bappeda serta dari dewan juga diundang (Hasil wawancara dengan Kasi Pemerintahan, Kecamatan Pamulang, 7 Agustus 2015). Yang menjadi narasumber biasanya dari pihak SKPD atau Bappeda. Sedangkan menjadi moderator dari pihak kecamatan sendiri. Dengan demikian, tidak ada narasumber khusus yang diundang dari luar. Dari bahan-bahan yang telah masuk sebagai hasil Musrenbang Kelurahan, dibahas bersama dalam forum dengan cara dibagi perkelompok
42
dan
salah
satu
dari
kelompok
tersebut
yang
menjadi
pimpinan
kelompok/moderator. Setelah dibahas dan mendapat kesepakatan, kemudian dipresentasikan. Setelah itu, dirangkum bersama dan buatkan berita acaranya dan ditandatangani oleh Tim Penyelenggara Musrenbang yang terdiri dari Ketua, Sekretaris dan anggota-anggota. Hasil yang telah dirumuskan dalam Musrenbang Kecamatan, kemudian dimasukkan ke Forum SKPD (Satuan Kerja Pemerintah Daerah), yaitu Dinas-Dinas, Badan-Badan dan Lembaga-Lembaga. Hal ini untuk membahas usulan (proposal) yang terkait dengan dengan SKPD bersangkutan. Dari Forum SKPD, dilanjutkan lagi ke Musrenbang Tingkat Kota dan setelah itu dibahas di Bappeda, kemudian persetujuan anggarannya akan dibahas bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Untuk pembiayaan pembangunan di setiap daerah, Bappeda telah membuat Pagu Indikatif/Pagu Anggaran Indikatif yaitu sejumlah anggaran yang telah dipersiapkan oleh Bappeda untuk pembiayaan pembangunan yang dapat berubah, tergantung skala prioritas (Hasil wawancara dengan Kasi Kesra, Kantor Sekretariat Daerah, Kota Tangsel, 5 Oktober 2015 ). Setiap hasil Musrenbang yang masuk ke Forum SKPD harus memenuhi kriteria, menjadi skala prioritas, maka akan dimasukkan ke dalam Pagu Anggaran dan menjadi kriteria F1, yaitu kriteria yang memenuhi syarat sebagai suatu usulan yang dapat diterima dan akan ditindaklanjuti) . Berikut ini terdapat empat kategori usulan (proposal) yang dianggap memenuhi kriteria, (Hasil wawancara dengan Kasi Bidang Kesra, Sekretariat Daerah, Kota Tangsel, 5 Oktober 2015), yaitu : 1. F1, yaitu usulan yang telah memenuhi kriteria dan dianggap telah masuk dalam skala prioritas sehingga pasti akan ditindaklanjuti. 2. F2, yaitu usulan yang memenuhi kriteria, tetapi dianggap masuk skala prioritas kedua , sehingga dapat ditindaklanjuti tetapi nanti setelah diusulkan dalam Anggaran Tambahan. 3. F3, yaitu usulan yang memenuhi kriteria tetapi belum dianggap masuk skala prioritas.
43
4. F4, yaitu usulan –usulan yang telah memenuhi kriteria tetapi akan diusulkan ke Kementerian bidang teknis, karena dianggap Pemda belum mampu mengcover pekerjaan tersebut.
Meskipun telah memenuhi kategori dengan kriteri yang telah ditentukan, tetap harus diikuti /dipantau terus (Hasil wawancara dengan Kasi Bidang Kesra, Sekretariat Daerah, Kota Tangsel, 5 Oktober 2015 dan Kasi Kesra, Bappeda Kota Tangsel, 18 Oktober 2015), misalnya kalau usulan tersebut diserahkan (didampingkan) kepada Dinas Pekerjaan Umum, maka monitor harus dilakukan ke Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) (Hasil wawancara dengan Kasi Bidang Kesra, Sekretariat Daerah, Kota Tangsel, 5 Oktober 2015). Apabila tidak dilakukan pemantauan, usulan tersebut dapat kandas di tengah jalan atau berpindah lokasi. Hal ini berarti usulan tersebut tidak dapat ditindaklanjuti atau dengan kata lain mengalami kegagalan. Kegagalan tersebut dapat disebabkan: 1. Keterbatasan Pagu Anggaran Setelah Musrenbang, setiap SKPD harus membuat RKA (Rencana Kerja
Anggaran).
Pembuatan
ini
ada
asistensinya,
sehingga
memudahkan untuk membuatnya dan disesuaikan dengan tujuan yang telah digariskan. Dalam RKA, apabila anggaran yang disediakan terbatas, maka usulan yang masuk dapat dibatasi. Untuk Musrenbang tahun 2015, kemungkinan Pemkot Tangsel akan memenuhi seluruh usulan (proposal) yang masuk, mengingat hal ini terkait dengan Pilkada tahun 2015 pada bulan Desember, karena Airin Rahmi akan mencalonkan walikota Tangsel untuk kedua kalinya. Hal ini tampak pada jumlah APBD Tangsel untuk Pilkada tahun 2015 yang dianggap paling besar di seluruh Indonesia. Selain itu, juga alot (sulit) pembahasannya di DPRD Kota Tangsel, meskipun kini telah disetujui DPRD , tetapi diikuti oleh walkout oleh Fraksi PDIP dan ketidakhadiran Partai Hanura, karena dianggap anggaran tersebut
44
bernuansa politisnya kental sekali (Hasil wawancara dengan Kasi Kesra Kantor Sekretariat Kota Tangsel, 5 Oktober 2015). 2. Tidak ada pengawalan dari pengusul Mengingat pengawalan tidak ada, berarti kontrol dari masyarakat rendah, sehingga memungkinkan untuk diabaikan oleh SKPD terkait. 3. Kepentingan Anggota DPRD. Usulan masyarakat dalam Musrenbang dapat berubah lokasi. Perubahan lokasi ini dapat terjadi, manakala anggota DPRD yang reses, kemudian turun ke dapilnya (daerah pemilihan, sehingga ada kemungkinan untuk menarik simpati konstituennya, anggota DPRD meminta kepada SKPD untuk memindahkan lokasi pembangunan yang diusulkan masyarakat dalam Musrenbang Kecamatan.
Dengan demikian,
usulan masyarakat
sebaiknya dikawal atau
dipantau oleh para pengusung dari Musrenbang Tingkat Kelurahan, hingga ke Forum SKPD, sehingga dapat dimasukkan ke dalam Pagu Anggaran SKPD dan direalisasikan sesuai keinginan masyarakat (Hal wawancara Kasi Kesra Bappeda Kota Tangsel, 18 Oktober 2015). Uraian urutan pelaksanaan Musrenbang di atas dapat digambarkan sebagai berikut:
45
Gambar 4.1. Alur Pelaksanaan Musrenbang
Masyarakat : RT-RT
Rukun Warga (RW)
Pra Musrenbang Kelurahan
Realisasi
DPRD
Musrenbang Tingkat Kelurahan
Musrenban g Tingkat Kecamatan
Bapped a
Musrenbang Tingkat Kota
PAGU ANGGARAN
46
Forum SKPD
B.1.c. Pasca Pelaksanaan Setelah usulan (proposal) diterima dan dianggarkan oleh Bappeda dan dibahas dalam APBD bersama DPRD, maka akan dikembalikan eksekusinya kepada masing-masing SKPD yang terkait dengan usulan tersebut. Pada saat eksekusi (realisasi), SKPD melimpahkan kepada para kontraktor (pihak ketiga) untuk pelaksanaannya., tetapi tidak berkoordinasi dengan pihak Kecamatan. Oleh karena itu, pasca pelaksanaan Musrenbang, realisasinya tidak lagi menjadi tanggunjawab Kecamatan, tetapi telah diambil alih oleh Pemerintah Kota Tangsel dalam hal ini oleh SKPD – SKPD yang terkait. Hal ini dikarenakan menjadi bagian dari tugas atau fungsi SKPD.
Hambatan: Pelaksanaan Musrenbang, baik di Tingkat Kelurahan, maupun Kecamatan, terdapat faktor hambatan dan dukungannya. Berikut hasil wawancara dengan Kasi Pemerintahan Kecamatan Pamulang (7 Agustus 2015) dan telah disimpulkan menjadi beberapa poin, yaitu antara lain : 1). Pagu terbatas, sedangkan usulan banyak yang masuk. 2). Skala prioritas, sulit ditentukan, karena banyak usulan yang diperlukan oleh masyarakat. 3). Klasik, sifat pesimis, masyarakat dapat menganggap bahwa seolaholah usulan (proposal) yang masuk ke Musrenbang, hanya formalitas belaka. Belum tentu diterima (direalisir), mengingat terlalu banyak yang proposal yang diusulkan, sedangkan anggarannya terbatas. 4). Usulan yang diajukan dapat berpindah lokasi, karena faktor kepentingan para Dewan (DPRD). Hal ini kalau mendekati kampanye dalam pemilu atau pilkada.
47
Pendukung: Selain faktor hambatan, berikut ini faktor pendukungnya, yaitu antara lain : 1) Masyarakat sekarang cukup cerdas, sehingga mereka dapat terus memantau proposal yang diusulkan. 2) Animo masyarakat tinggi,kkarena tingkat kepeduliannya, sehingga proses pembangunan , banyak mendapat respon dari masyarkat.
B.2. Efektifitas Pelaksanaan Musrenbang di Kecamatan Pamulang, Kota Tangsel. Efektifitas pelaksanaan Musrenbang dijelaskan dari perspektif kinerja, akuntabilitas dan partisipasi publik.
B.2.a. Perspektif Kinerja Terdapat sepuluh item untuk melihat suatu kinerja (Callahan, 2007), namun hanya terdapat empat poin yang dapat digunakan sebagai alat untuk menganalisis efektifitas pelaksanaan Musrenbang perspektif kinerja. Adapun 4 poin tersebut adalah 1). Pemantauan dan pelaporan, 2). Membuat
rencana
strategis,
3.
Pengendalian
(controling)
dan
4).
Penganggaran. 1). Pemantauan dan pelaporan. Dari segi pemantauan, tampaknya pihak Kecamatan tidak melakukan seintensif pihak kelurahan, karena secara riil, yang memiliki kedekatan wilayah yang diusulkan dalam Musrenbang adalah kelurahan, sehingga pihak kelurahanlah yang agresif melakukan pemantauan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Sekretaris Lurah Pondok Benda bahwa: “Kami sering melakukan pemantauan sampai ke tingkat SKPD (Dinas PU dan Bina Marga) atau ke Dewan (DPRD), karena Dewan kan yang membahas anggaran dan tahu wilayah mana saja yang mendapat jatah” (Hasil wawancara , tanggal 16 Oktober 2015). Pendekatan dengan pihak Dewan (DPRD) inilah yang seringkali membuat pihak DPRD melakukan intervensi untuk memindahkan lokasi 48
pembangunan dari usulan yang masuk (Hasil wawancara dengan Sekretaris Lurah Pondok Benda, 16 Ontober 2015 dan Kasi
Pemerintahan
Kecamatan Pamulang, 7 Agustus 2015). Selain itu, perpindahan lokasi ini dapat terjadi apabila menjelang Pemilu Legislatif, karena untuk mendapat perhatian dari daerah pilihannya (DAPIL), maka anggota Dewan dapat melakukan intervensi (meminta SKPD) memindahkan lokasi pembangunan dari semula yang diusulkan masyarakat dalam Musrenbang. Intervensi ini dapat dilakukan Dewan, jika masyarakat tidak ikut melakukan pemantauan usulan mereka. Oleh karena itu, sangat tepat sekali apabila usulan (proposal) yang diusung masyarakat dalam Musrenbang harus dipantau terus, sehingga usulan tersebut dapat direalisasi. Menurut Sekretaris Lurah dan Staf Ekonomi Pembangunan Kelurahan Pondok Benda (Hasil wawancara, tanggal 16 Oktober 2015),
apabila
dilihat dari jumlah yang diusulkan, maka sekitar 60 %, usulan yang dimasukkan ke dalam Musrenbang tahun 2014 terrealisasi. Sedangkan dari segi pelaporan, pelaksanaan Musrenbang Kecamatan Pamulang dapat dikatakan bagus, karena semua proses kegiatan pelaksanaan Musrenbang tercatat, dibuatkan laporannya dengan Berita Acaranya yang ditanda tangani oleh Tim Pelaksana Musrenbang Tingkat Kecamatan. Demikian pula Musrenbang Tingkat Kelurahan. Dari segi pembuatan rencana strategis, tampaknya pihak Kecamatan hanya mengacu pada RPJMD dan Visi Misi Pemerintah Kota Tangsel. Namun secara khusus, Kecamatan Pamulang belum memiliki rencana strategis tersendiri. Apabila dilihat dari hasil Musrenbang Tingkat Kecamatan, maka usulan (proposal) yang masuk dari masyarakat, lebih banyak berkisar pada pembangunan infrastruktur, yaitu pembangunan/perbaikan jalan. Sebagai salah satu contoh, di RW 06, mendapat pembangunan Jalan dan
pembangunan
Balai
Warga.
Sedangkan
49
RW
10
mendapatkan
pembangunan jalan dan drainase (Hasil wawancara dengan Pengurus RW, Kelurahan Pondok Benda dan Staf Ekonomi Pembangunan Kelurahan Pondok Benda, 16 Oktober 2015). Pembangunan infrastruktur ini telah sesuai dengan salah satu Misi Pemerintah Kota Tangsel, yaitu pembangunan infrastruktur. Dari segi Pengendalian (controling),
pihak kecamatan tidak mampu
melakukannya, karena eksekusi hasil Musrenbang tidak berada di tangan pihak kecamatan, melainkan berada di Bappeda, SKPD dan Anggota Dewan. Selain itu, realisasi koordinasinya
dengan
hasil
pihak
Musrenbang, seringkali Kecamatan,
karena
tidak
ada
pelaksanaan
pembangunannya diserahkan kepada pihak ketiga (kontraktor). Apabila terdapat benturan/konflik dengan masyarakat,
baru pihak kelurahan
/kecamatan diminta bantuannya (Hasil wawancara dengan Sekretaris Lurah, tanggal 16 Oktober 2015 dan Kasi Pemerintahan Kecamatan Pamulang, 7 Agustus 2015). Dari segi Penganggaran, tampaknya pelaksanaan Musrenbang kecamatan tidak menjadi masalah karena itu telah dianggarkan oleh APBD, tetapi realisasi hasil Musrenbang belum tentu dari segi anggaran tersedia, karena keterbatasan anggaran, bisa saja sebuah usulan tidak dipenuhi (Hasil wawancara dengan Kasi Pemerintahan, 7 Agustus 2015). . B.2.b. Perspektif Akuntabilitas Dari perspektif akuntabilitas, pelaksanaan Musrenbang Kecamatan Pamulang dapat dikatakan sebagai Akuntabilitas Birokratis, karena pelaksanaan Musrenbang sebagai amanah dari Undang-undang No 25 tahun 2004
yang
dibuat
pemerintah,
sehingga
akuntabilitas
(pertanggungjawaban/kepatuhan terhadap aturan) dilihat sebagai suatu rantai komando yang jelas dan tegas yang menjelaskan hubungan antara supervisor (Pemerintah Kota) dengan subordinatnya (Kecamatan). Dan Akuntabilitas Birokratis memerlukan suatu perangkat regulasi dan prosedur yang menjadi arah perilaku administratif. Dan regulasi tersebut telah dikemukakan di atas,
50
yaitu Undang-Undang No 25 tahun 2004, sehingga dijadikan sebagai rujukan pelaksanaan Musrebang, baik dari Tingkat Kelurahan sampai Tingkat Kota. Dalam konteks demokrasi saat ini, bisa saja pelaksanaan Musrenbang dapat dikatakan sebagai bentuk akuntabilitas politik, yaitu sebagai reponsivitas pemangku kepentingan, baik pejabat yang dipilih, penduduk atau kelompok dengan kepentingan tertentu. Kunci hubungan ini terletak pada hubungan antara administrator publik dengan konstituen yang mereka layani. Apabila perpindahan lokasi pembangunan dari usulan (proposal) hasil Musrenbang dilakukan oleh Dewan (DPRD), maka akuntabilitas politiklah yang cenderung terlihat dalam pelaksanaan Musrenbang ini, karena di sini terdapat kepentingan tertentu. Demikian pula, apabila semua usulan (proposal) dari hasil Musrenbang di Kota Tangsel tahun 2015 dipenuhi, maka
pelaksanaan Musrenbang
tersebut, termasuk Musrenbang kecamatan Pamulang dapat dikatakan lebih cenderung sebagai akuntabilitas politik, mengingat bulan Desember 2015, terdapat Pilkada dan Walikota Tangsel yang ini sedang berkuasa akan ikut kembali sebagai calon Walikota (incumben)
B.2.c. Perspektif Partisipasi Publik Dalam konteks demokrasi, pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan sebagai suatu keharusan. Oleh karena itu, dalam penentuan pembangunan dalam suatu daerah, termasuk di Kecamatan Pamulang, melibatkan masyarakat dengan cara mengadakan Musrenbang Tingkat Kecamatan. Namun pelibatan partisipasi masyarakat ini dapat dikatakan sebagai partisipasi publik yang memposisikan masyarakat (penduduk) sebagai Subyek dan Administrator sebagai Penguasa, apabila pemerintah sebagai figur otoritas yang memberikan komando secara absolut dan penduduk menurutinya.
51
Model ini dapat tercermin, bila melihat anggota Dewan (DPRD) dengan
mudah
melakukan
intervensi
dengan
memindahkan
lokasi
pembangunan dari usulan yang masuk, karena kepentingan politiknya. Namun melihat begitu besarnya
animo masyarakat
mengikuti
Musrenbang, maka dapat dikatakan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan Musrenbang
Kecamatan
Pamulang
sebagai
partisipasi
publik
yang
memposisikan masyarakat (penduduk) sebagai pemilih dan administrator sebagai implementor, yaitu model yang menggambarkan sebuah demokrasi perwakilan di mana administrator menjadi implementor bijakan publik. Artinya realisasi usulan-usulan yang masuk sebagai suatu pelaksanaan dari kebijakan publik. Melihat tingginya prosentase dari realisasi yang diusulkan, maka pelaksanaan Musrenbang Tingkat Kecamatan dapat dikatakan sebagai Model partisipasi publik yang memposisikan masyarakat sebagai penduduk dan administrator sebagai pelayan publik. Dalam Konsep New Public Service ,model inilah menjadi trend, karena masyarakat
dianggap sebagai warga
negara yang harus dilayani. Masyarakat
sendiri mulai cerdas, sehingga antusias untuk
berpartisipasi melakukan pemantauan atau pengawalan terhadap proposalproposal yang diusulkan. Dengan demikian, maka pemerintah daerah, khususnya
SKPD
yang
terkait
akan
lebih
merealisasikannya usulan (proposal) masyarakat.
-00-
52
memperhatikan
dan
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan Dari
pemaparan hasil penelitian dan pembahasan pada bab
sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa poin, yaitu antara lain :
1. Pelaksanaan Musrenbang Kecamatan Pamulang Kota Tangsel sebagai sesuatu yang bersifat rutinistas 2. Animo masyarakat cukup besar i 3. Output akhir (realisasi) dari Musrenbang bukan menjadi tanggungjawab Pihak Kecamatan. 4. Realisasi hasil Musrenbang dapat berubah tempat (lokasi) 5. Tidak ada koordinasi dengan pihak Kecamatan dalam merealisasi hasil Musrenbang. 6.
Efektifitas Pelaksanaan
Musrenbang Kecamatan Pamulang
dapat dikatakan efetif dari perpektif partisipasi publik, tetapi kurang efektif, apabila dari perspektif akuntabilitas publik dan kinerja.
B. Implikasi Implikasi dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1). Rasa Pesimis, apabila usulan (proposal) yang masuk telah disetujui, tetapi di tengah jalan, dipindahkan lokasi pembangunannya atas permintaan anggota Dewan. 2). Tidak ada beban moral untuk bertanggungjawab atau sense of belonging rendah
bagi pihak Kecamatan terhadap usulan (proposal)
masyarakat, karena setiap usulan yang direalisasi, tidak ada berkoordinasi dengan pihak Kecamatan.
53
C. Rekomendasi Melihat kesimpulan di atas, maka peneliti mengusulkan beberapa poin rekomendasi, yaitu antara lain : 1. SKPD atau pihak ketiga yang mendapat tugas untuk membangun perlu berkoordinasi dengan pihak Kecamatan atau Kelurahan saat merealisasikan hasil Musrenbang, sehingga dapat menumbuhkan rasa tanggungjawab moral kepada pihak Kecamatan. 2. Pemerintah Kota (Pemkot) Tangsel, khususnya SKPD terkait, harus konsisten mengikuti hasil Musrenbang, sehingga ketika melakukan eksekusi, tidak merugikan masyarakat pengusung proposal hasil Musrenban. 3. Masyarakat juga harus rajin (konsisten) melakukan pemantauan terus menerus, baik melalui SKPD maupun DPRD. 4. Pihak DPRD diharapkan tidak melakukan intervensi terhadap hasil Musrenbang.
--00--
54
DAFTAR PUSTAKA
Buku : AS, Kausar. 2009. Sistem Birokrasi Pemerintahan di daerah dalam BayangBayang Budaya Patron Klien. Bandung: PT ALUMNI. Brannen, Julia. 2001. Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Cetakan Keempat. Yokyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Antarasari Samarinda bekerjasama dengan Pustaka Pelajar Yogyakarta. Brillantes, Jr, Alex B. 2000. “Partherships: A Key Pillar of Goor Governance” dalam From Government to Governance: Rerection on the 1999 World Conference on Governence. Eastern Regional Organization for Public Administration. Caiden, Gerald E. 1991. Administrative Reform Comes of Age. Berlin, New York: Walter de Gryter. Callahan, Kathe. 2007. Elements of Effective Governance Measurement, Accountability and Participation. CRC Press Taylor & Francis Group, LLC. Collin, Paul. 1986. Nine Steps to Effective Governance: Building Hight performing organization. Third Edition. New Zealand: Wellington. Denhardt and Denhardt, 2003. The New Public Service. Armonk, New Yor, London, England: ME Sharpe. Frederickson, H. George dan Kevin B. Smith. 2003. The Public Administration Theory Primer. Colorado: Westview Press. Hanafie, Haniah. 2014. “Reformasi Birokrasi Di Kota Tangsel” dalam Disertasi. FIA-Universitas Brawijaya Malang. Kartasasmita, Ginanjar. 1997. Administrasi Pembangunan: Perkembangan Pemikiran dan Praktiknya di Indonesia. Jakarta: LP3ES. Kasim, Azhar. 1993. Pengukuran Efektifitas dalam Organisasi. Jakarta: PAU Ilmu-Ilmu Sosial UI. Laporan Bank Dunia. 2000. Reforming Public Institution and Strengthening Governance: a Word Bank Strategy. Bulan September.
55
Lubis, Hari dan Martani Huseini. 1987. Teori Organisasi: Suatu pendekatan Makro. Jakarta: PAU Ilmu-Ilmu Sosial-UI. McNabb, David E. 2002. Research Methods in Public Administration and Nonprofit Management: Quantitative and Qualitative Approaches.USA: M.E. Sharpe. Profil Kecamatan Pamulang tahun 2013. Peter, B. Guy dan Jon Piere. 2001. “Civil Servant and Politician: the Changing Balance” dalam B Guy and Jon Piere (Edited), Politician, Bureaucrats and Administrative Reform. London and New York: Routledge 2 Park Square, Milton Park, Abingdon, Oxon. Prasojo Eko, Irfan R Maksum dan Teguh Kurniawan. 2008. Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal & Efisiensi Struktural. Departemen Ilmu Administrasi FISIP-UI Rhodes, R. A. W. 2000. “Governance and Public Administration dalam Jon Pierre. Debating Governance. United States: Oxford. Robbins Stephen P . 1994. Teori Organisasi. Terjemahan. Jakarta : Arcan. Satries, W. Ishardino. 2011. “ Mengukur Tingkat Partisipasi Masyarakat Kota Bekasi Dalam Penyusunan APBD Melalui Pelaksanakaan Musrenbang 2010 “ dalam Jurnal Keyberman Vol. 2, No. 2 September. Siagian, Sondang P. 2005. Fungsi-fungsi Manajerial. Jakarta: Bumi Aksara. Strauss, George dan Leonard Sayles. 1991. Manajemen Personalia. Pustaka Binaman Pressindo. The Worldwide Governance Indicators (WGI). Project IMF. 1996-2011.
Jurnal: Al-Habil, Wasim. 2011. Governance and Government in Public Administration. Journal of Public Administration and Policy Research Vol. 3. Arjoon, Surendra. 2006. “Striking a Balance Between Rules and Principles based Approaches for Effective Governance: A Risk based Approach”. Springer Journal of Business Ethics.
56
Lambregts, Bart, Leonie Janssen, Jansen Nadav Haran. 2008. Effective Governance for competitive regions in Europe: the difficult case of the Randstad. Geojournal Springer. Nwabueze, Uche dan Joan Mileski. 2008. The Challenge of Effective Governance: the Case of Swiss Air. Journal of Corporate Governance. Vol. 8 No. 5. Prianto, Andi Luhur. 2011.Good Governance dan Formasi Kebijakan Publik Neo Liberal. Jurnal Otoritas. Vol.1 No.1 April . Richerzhagen, Carmen. 2011. Effective Governance of Access and benefit – sharing under the Convention on Biological Deversity. Journal Media Bisnis Springer Science. Vol. V. No. 2. 26 Juni. Segalla, F.tt. Jonathan M Berntein. “Timeless Guidepost for Effective Corporate Governance”. Sobari, Wawan. 2007. “Peningkatan Partisipasi Publik Di Era Otonomi daerah-Masih Sebatas Instrumen” dalam Berita Yayasan Inovasi Pemerintahan Daerah (YIPD). Jakarta. Warella, Y. 2008. “Public Bureaucracy: Ethics and Reform”. Jurnal Ilmu Administrasi dan Kebijakan Publik DIALOGUE, Vol. 5, No. 1, (Januari). Peraturan : UU No. 25 Tahun 2004 tentang Perencanaan Pembangunan Nasional. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 050-187/Kep/bangda/2007 tentang Pedoman Penilaian dan Evaluasi Pelaksanaan Penyelenggaraan Musrenbang. Laporan Kegiatan Musrenbang Kelurahan Pondok Benda Tahun 2014-2015.
Narasumber : 1. Kasi Kesra Sekretariat Daerah Kota Tangsel 2. Sekretaris Camat Kecamatan Pamulang, Kota Tangsel 3. Kasi Pemerintahan Kecamatan Pamulang , Kota Tangsel
57
4. Sekretaris Lurah, Kelurahan Pondok Benda, Kecamatan Pamulang, Kota Tangsel. 5. Kasi Ekonomi dan Pembangunan , Kelurahan Pondok Benda, Kecamatan Pamulang, Kota Tangsel. 6. Staf Kasi Pemerintahan, Kelurahan Pondok Benda, Kelurahan, Kecamatan Pamulang, Kota Tangsel . 7. Sekretaris RW: 010 Kelurahan Pondok Benda , Kecamatan Pamulang, Kota Tangsel.
--00--
58