50
BAB VI SINTESIS
Untuk menetapkan zonasi perencanaan tapak diterapkan teori Marsh (2005) tentang penataan ruang pada Daerah Aliran Sungai (DAS) yang membagi tapak menjadi tiga satuan lahan, yaitu Satuan Lahan Pengelolaan Air, Satuan Lahan Penyangga, dan Satuan Lahan Pengembangan. Satuan lahan penyangga dan satuan lahan pengembangan, akan diperoleh setelah menentukan satuan lahan pengelolaan air. Karena satuan lahan pengelolaan air merupakan inti dari perencanaan lanskap Situ Gintung pasca bencana. Pada bab sebelumnya telah dilakukan analisis yang berkaitan dengan kondisi eksisting tapak dan kriteriakriteria untuk pencapaian ketiga satuan lahan tersebut. Kemudian dihasilkan beberapa peta tematik yang dilanjutkan dengan tahap sintesis untuk memperoleh tiga satuan lahan, sebagaimana disajikan pada Gambar 23 : Daerah Hulu Situ
+ Daerah Hilir Situ
Badan Air
Peta kemiringan Lahan
+
Peta Jenis Tanah
Overlay
+
Peta Curah Hujan
Batas Pasang
Penutupan Lahan
Overlay Peraturan Pemerintah No. 32
S.K. Menteri Pertanian tentang Kawasan Lindung Kawasan Lindung, Kawasan Penyangga, Kawasan
Peta Buffer Danau
Analisis Koefisien Runoff dan Ketersediaan Air
Kebutuhan Air Masy. Kawasan Situ Gintung
Luas RTH untuk Mencukupi Kebutuhan Air
Area untuk RTH
Peta Satuan Lahan Pengelolaan Air
+
Peta Satuan Lahan Penyangga
+
Peta Satuan Lahan Pengembangan
Peta Rencana Lanskap (Zonasi) Kawasan Situ Gintung Gambar 23 Tahap Untuk Mendapatkan Tiga Satuan Lahan
51
6.1
Satuan Lahan Pengelolaan Air Untuk menentukan satuan lahan pengelolaan air dapat dilihat dari
ekosistem air yang akan dilindungi yakni badan Situ Gintung (cekungan situ) dan aliran situ menuju Sungai Pesanggrahan (Gambar 15). Setelah didapatkan satuan lahan pengelolaan air. Maka dapat ditetapkan satuan lahan penyangga yang berfungsi untuk melindungi satuan pengelolaan air. Berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 837/Kpts/II/1980. Menurut kriteria umumnya, Kawasan Situ Gintung dapat difungsikan sebagai kawasan penyangga danau, karena areanya yang memenuhi syarat untuk dilakukan budidaya secara ekonomis, mudah dikembangkan sebagai kawasan penyangga, dan tidak mengganggu dari segi ekologis ketika kawasan ini dikembangkan. Satuan lahan penyangga dapat diperoleh melalui pendekatan peraturan pemerintah dan ketersediaan air masyarakat kawasan Situ Gintung.
6.2
Satuan Lahan Penyangga
6.2.1 Pendekatan Peraturan Pemerintah Secara spesifik, terdapat dua peraturan pemerintah yang sesuai untuk menetapkan satuan lahan penyangga yaitu penerapan metode skoring menurut SK Menteri Pertanian dan Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1990 tentang kawasan lindung serta penerapan metode buffering menurut Peraturan Daerah Kabupaten Tangerang No. 12 Tahun 2006 tentang Garis Sempadan dan Peraturan Menteri PU No. 63/PRT/1993 tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai yang menjelaskan bahwa garis sempadan situ minimal 50 meter. Berikut merupakan metode dengan dasar peraturan pemerintah yang dapat digunakan untuk menentukan satuan lahan penyangga : 1. Metode Skoring Menurut SK Menteri Pertanian tentang Kawasan Lindung Pada metode ini digunakan tiga jenis peta tematik, yaitu peta kemiringan lahan, peta intensitas rata-rata curah hujan harian, dan peta jenis tanah dengan pemberian skor yang didasarkan pada kriteria penilaian berdasarkan SK Menteri Pertanian No 837/Kpts/Um/11/1980 tentang peruntukan kawasan lindung. Ketiga peta tematik ini akan di overlay dan dikalkulasikan skornya untuk
52
masing-masing area yang didapatkan. Area dengan skor <124 merupakan kawasan budidaya, area dengan jumlah skor 125 – 175 termasuk pada kawasan penyangga, dan area dengan jumlah skor > 175 termasuk pada kawasan lindung. Untuk mendapatkan klasifikasi kawasan Situ Gintung menurut SK Menteri Pertanian tersebut maka dilakukan overlay antar peta tematik kemiringan lahan (Gambar 17), Jenis Tanah (Gambar 18), dan peta Intensitas Curah Hujan (Gambar 19), setelah itu dilakukan penjumlahkan skor untuk masing-masing satuan lahan. Peta komposit tersebut menghasilkan tiga warna yang berbeda dengan jumlah skor masing-masing yaitu 75 untuk warna cokelat muda, 95 untuk warna hijau, dan 115 untuk warna merah. Ketiga warna tersebut menurut SK Menteri Pertanian No. 837/Kpts/II/1980 memiliki jumlah nilai skor yang tergolong dalam kawasan Budidaya yaitu jumlah nilai skor < 124. Berikut merupakan hasil overlay ketiga peta tematik beserta akumulasi skor untuk masing-masing kawasan (Gambar 24). Jadi dari hasil skoring menurut S.K. Menteri Pertanian ini, tidak ada area yang termasuk dalam kawasan penyangga.
53
Dr. Ir. Setia Hadi, MS Ir. Qodarian Pramukanto, MSi
Gambar 24 Peta Komposit, Hasil Overlay Peta Kemiringan Lahan, Peta Jenis Tanah, dan Peta Rata-rata Curah Hujan Harian.
54
Dr. Ir. Setia Hadi, MS Ir. Qodarian Pramukanto, MSi
Gambar 25 Peta Pembagian Kawasan Berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 837/Kpts/II/1980 Selain penetapan kawasan berdasarkan pada SK Menteri Pertanian, ditentukan juga penetapan kawasan penyangga berdasarkan peraturan pemerintah
55
lainnya yang menerapkan metode buffering untuk menentukan kawasan penyangga. 2. Metode Buffering Menurut Peraturan Pemerintah tentang Daerah Penyangga Penentuan kawasan penyangga menggunakan metode buffering ini mengacu pada Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang Penetapan Kawasan Lindung, Peraturan Daerah Kabupaten Tangerang No. 12 Tahun 2006 tentang Garis Sempadan dan Peraturan Menteri PU No. 63/PRT/1993 tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai yang menjelaskan bahwa garis sempadan danau/waduk minimal 50 meter dari titik pasang tertinggi (Gambar 15). Menurut keputusan presiden No. 32 Tahun 1990, kawasan-kawasan yang termasuk dalam kawasan lindung dibedakan menjadi empat kawasan, yaitu kawasan yang memberikan perlindungan kawasan dibawahnya, kawasan perlindungan setempat, kawasan suaka alam dan cagar budaya, dan kawasan rawan bencana. Pada penelitian kali ini, kawasan Situ Gintung termasuk pada kriteria kawasan lindung untuk perlindungan setempat dimana kawasan lindung untuk perlindungan setempat ini terdiri dari: 1. Sempadan sungai 2. Sempadan pantai 3. Kawasan sekitar danau/ waduk 4. Kawasan sekitar mata air Kawasan Situ Gintung termasuk dalam kawasan lindung yang memberikan perlindungan pada kawasan danau/ waduk. Kawasan ini merupakan suatu kawasan tertentu di sekeliling danau/ waduk yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi danau/ waduk. Kriteria kawasan lindung sekitar danau/ waduk adalah daratan sepanjang tepian danau/ waduk yang lebarnya proporsional dengan bentuk kondisi fisik danau/ waduk, antara 50 sampai 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Berdasarkan titik pasang tertinggi yang telah diketahui sebelumnya, dapat ditetapkan kawasan penyangga (buffer) sejauh 50 meter di sekeliling badan situ (Gambar 26).
56
Dr. Ir. Setia Hadi, MS Ir. Qodarian Pramukanto, MSi
Gambar 26 Peta Area Penyangga (Menurut Peraturan Daerah No. 12 Tahun 2006)
57
Dr. Ir. Setia Hadi, MS Ir. Qodarian Pramukanto, MSi
Gambar 27 Peta Rencana Satuan Lahan Kawasan Situ Gintung Menurut Peraturan Pemerintah
58
6.2.2 Pendekatan Kebutuhan Air Masyarakat Berdasarkan perhitungan kebutuhan air penduduk di kawasan Situ Gintung, maka diperoleh Ruang Terbuka Hijau (RTH) seluas 218 Ha dari total area seluas 305,7 Ha. RTH yang tersedia sudah termasuk area penyangga yang direncanakan (26 ha) hanya mampu memenuhi 12% dari total RTH yang dibutuhkan. Tingginya kebutuhan air di kawasan ini berbanding lurus dengan pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk menyebabkan kebutuhan akan air bersih juga bertambah. Ketika terjadi hal seperti ini, maka terdapat dua kemungkinan, yang pertama penduduk di kawasan ini memiliki konsumsi air bersih di bawah standar konsumsi yang telah ditetapkan oleh Departemen Pekerjaan Umum (138,5 liter/orang/hari). Yang kedua, penduduk di kawasan ini mendatangkan air bersih dari wilayah lain. Kebutuhan air pada suatu kawasan bergantung pada faktor : kebutuhan air bersih per tahun, jumlah air yang disediakan oleh Perusahaan Air Minum, potensi air saat ini, kemampuan ruang terbuka hijau saat ini. Faktor tersebut dapat ditulis dalam persamaan : La==P0.K(1+r-c)-PAM-Pa La z Keterangan : La
: Luas RTH yang diperlukan untuk mencukupi kebutuhan air (ha)
P0
: Jumlah penduduk kota pada tahun ke 0 (Jiwa)
K
: Konsumsi air per kapita (liter/ hari)
r
: Laju kebutuhan air bersih; sama dengan laju pertumbuhan penduduk (%)
c
: Faktor pengendali; upaya pengendalian laju pertumbuhan penduduk (%)
PAM : Kapasitas supply perusahaan air minum (m3/tahun) Pa
: Potensi air tanah (m3/tahun)
z
: Kemampuan RTH menyimpan air (m3/ha/tahun)
Persamaan di atas dapat disederhanakan menjadi : La = KAtotal – SAtotal
Slahan
59
Keterangan : Katotal
: Kebutuhan air total (m3/ tahun)
SAtotal
: Simpanan air total (m3/ tahun)
Slahan : Kemampuan lahan untuk menyimpan air (m3/ tahun)
Suplai Air Total (SAtotal) Pada penelitian ini diasumsikan suplai air hanya berasal dari kecamatan Cirendeu, dan tidak menerima dari daerah lain. Suplai air total merupakan jumlah dari suplai air tanah dan air permukaan (Situ Gintung).
SAtotal = Pa+SP
Berikut tabel hasil perhitungan berdasarkan pada rumus perhitungan kebutuhan RTH kawasan Situ Gintung. Tabel 10. Kebutuhan RTH Di Kawasan Situ Gintung Tahun
Jumlah Penduduk
KA domestik m3/Hari
Potensi Air Tanah (danau) m3
Kad - Pa = Kebutuhan Air
Simpanan Air pada Lahan
Luas RTH yang Dibutuhkan (Ha)
2009 27820.16372
3860272
690561
3169711
14532
218.1194
2014 33263.42084
4606925.5
690561
3916364.5
14532
269.4993
2019 39697.22902
5498034.5
690561
4807473.5
14532
330.8198
Tingginya kebutuhan RTH pada wilayah penelitian ini menunjukkan bahwa perluasan lahan RTH sebagai lahan resapan tidak dapat menjadi satusatunya solusi yang digunakan untuk memecahkan permasalahan ketersediaan air bersih. Usaha pemenuhan kebutuhan air di kawasan ini harus integrasikan dengan upaya-upya lain selain perluasan RTH. Bila dikaji lebih mendalam, hasil analisis kecukupan RTH dalam penelitian ini menunjukkan fakta yang bertentangan dengan penyataan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/M/PRT/2008. Dalam peraturan tersebut dinyatakan bahwa proporsi 30% dari luas wilayah merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem
60
hidrologi, keseimbangan mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat kota. Namun berdasarkan analisis, walaupun luas RTH di kota Tangerang masih lebih dari 30%, luasan ini tidak dapat menjamin ketersediaan air tanah bagi masyarakat sekitar Situ Gintung. Padahal dalam analisis kecukupan RTH tersebut, seluruh RTH diasumsikan berupa hutan kota, dimana jenis RTH ini memiliki kemampuan tertinggi dalam memproduksi oksigen dan meresapkan aliran permukaan (Ardiyansyah, 2007 dan Iverson et al, 1993).
6.3
Satuan Lahan Pengembangan Setelah mendapatkan satuan lahan pengelolaan air dan satuan lahan
penyangga, sisanya merupakan satuan lahan pengembangan yang dapat digunakan untuk kebutuhan masyarakat kawasan sekitar situ. Baik untuk kawasan pemukiman maupun untuk fasilitas lainnya. Satuan lahan pengembangan ini memiliki luas 65,7 ha
6.4
Rencana Blok Kawasan Situ Gintung Untuk mendapatkan rencana blok kawasan Situ Gintung maka
dilakukan penggabungan hasil antara rencana blok yang dihasilkan berdasarkan peraturan pemerintah dan analisis kebutuhan air masyarakat yang kemudian dispasialkan. Kebutuhan air masyarakat ini berkaitan dengan luas ruang terbuka hijau (RTH) yang diperlukan pada kawasan ini. Luas RTH yang diperlukan untuk mencukupi kebutuhan air masyarakat adalah seluas 218 ha, luasan ini dispasialkan dalam peta kawasan dan dijadikan sebagai satuan lahan penyangga. Dari hasil analisis dan sintesis yang telah dilakukan maka diperoleh rencana blok kawasan Situ Gintung (Gambar 28).
61
Gambar 28 Peta Rencana Blok Kawasan Situ Gintung