Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
PERBAIKAN MANAJEMEN PEMELIHARAAN DALAM MENUNJANG PENGEMBANGAN AYAM BURAS LOKAL DI NUSA TENGGARA TIMUR SOPHIA RATNAWATY1, DEBORA KANA HAU1, JACOB NULIK1 dan EKO HANDIWIRAWAN2 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Nusa Tenggara Timur Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Jl. Raya Padjadjaran Kav. E-59 Bogor
2
ABSTRAK Sebagai suatu usaha, kegiatan beternak tidak dapat dipisahkan dari sistem usahatani masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT), sekalipun dalam jumlah kecil, hampir semua petani di NTT memiliki ternak. Ayam buras merupakan penyangga rumah tangga petani baik dari segi gizi, uang tunai jangka pendek maupun menu bergengsi dalam menjamu tamu di perdesaan. Begitu besarnya kegunaan ayam buras, tetapi sistem pemeliharaan dan penggunaan teknologi masih tertinggal jauh. Teknologi pemeliharaan ayam buras telah berkembang pesat akan tetapi dalam aplikasi di tingkat petani saat ini variasinya cukup besar. Pemeliharaan ayam buras mulai dari tanpa teknologi, yaitu ayam buras dengan kandang sekedar tidur di pohon dekat rumah dan mencari makan sendiri sampai pada pemeliharaan modern dengan kandang sistem batere, pakan pabrikan, vaksinasi bahkan dengan penggunaan mesin tetas dan broder menggunakan lampu listrik. Kendala di lapangan umumnya adalah distribusi vaksin dan obat, bibit yang belum berstandar dan pemikiran tradisional yang belum beranjak dari kebiasaan bahwa memelihara ayam buras adalah dengan minimal masukan (zero input). Pengembangan peternakan ayam buras lokal di NTT kuncinya adalah menumbuhkan pusat-pusat pembibitan yang dilengkapi dengan penyediaan vaksin, pakan tambahan dan brosur-brosur paket teknologi serta penyuluhan yang tangguh maupun kredit investasi dengan prosedur sederhana. Kata kunci: Ayam buras lokal, manajemen pemeliharaan, pengembangan
PENDAHULUAN Ayam buras bagi sebagian besar masyarakat pedesaan di NTT merupakan salah satu cabang usahatani yang mampu memberikan nilai tambah bagi pemiliknya baik terhadap pendapatan maupun penyediaan protein hewani dengan sistem pemeliharaan secara tradisional. Bila cabang usaha ini ditekuni dengan baik melalui penerapan teknologi sesuai anjuran, maka usaha tersebut dapat memberikan keuntungan secara ekonomis. Motif pemeliharaan ayam buras berbedabeda di kalangan peternak tergantung pada kondisi sosial ekonomi dan lingkungannya. Keuntungan yang diperoleh dalam pemeliharaan ayam buras bagi masyarakat perdesaan antara lain sebagai penghasil daging dan telur yang merupakan bahan pangan bergizi, merupakan tambahan penghasilan dan tabungan yang sewaktu-waktu dapat diuangkan secara tunai, selain itu kuatnya pendapat konsumen bahwa daging ayam buras dan telurnya lebih enak dibandingkan dengan ayam
228
ras, sehingga dalam pemasarannya masih mudah dan tidak mengalami kesulitan. Namun kendala yang umum ditemui dalam pemeliharaan ayam buras adalah tingkat kematian yang tinggi pada anak ayam, perkandangan belum memenuhi persyaratan, manajemen kurang sempurna yang berakibat pada rendahnya produktivitas ayam buras. Rendahnya produktivitas ayam buras dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktorfaktor tersebut terutama berkaitan dengan teknologi produksi antara lain teknologi pakan, pencegahan penyakit terutama Tetelo (ND), perkandangan dan pemisahan anak secara dini. Oleh karena itu tulisan ini membahas beberapa peluang perbaikan manajemen pemeliharaan ayam buras lokal baik dari aspek perbibitan, pakan maupun penyakit. POTENSI DAN PROSPEK PENGEMBANGAN AYAM BURAS Perkembangan populasi ayam buras di NTT selama kurun waktu 5 tahun terakhir
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
(1998 – 2002) mengalami pertumbuhan yang lamban dimana antara 1999 – 2002 jumlah populasi hanya berkembang dari 9.153.997 ekor menjadi 9.633.927 ekor yang tersebar di 14 daerah tingkat II yang ada (BPS, 2003), atau hanya terjadi peningkatan sebesar 479.930 ekor. Dari penyebaran tersebut Kabupaten Ende dan Kupang memberikan proporsi yang cukup besar yaitu masing-masing sebesar 2.178.177 ekor (1998) – 2.400.804 ekor (2002) dan 1.835.727 ekor (1998) – 2.033.404 ekor (2002). Sedangkan daerah lain memberikan proporsi jumlah ternak maksimal sepertiga dari yang dihasilkan kedua daerah tersebut diatas. (Tabel 1).
Dalam menunjang program usahatani ayam buras di suatu wilayah diperlukan beberapa faktor yang saling berhubungan seperti ketersediaan sumberdaya dan potensi wilayah, kebutuhan pasar, skala usaha dan pola pemeliharaan, kelembagaan dan perkreditan. Sumberdaya yang dimaksud adalah peternak yang mempunyai pengalaman, mau menerima inovasi baru, rajin dan tekun sehingga mampu berusaha dengan orientasi agribisnis. Sumberdaya potensi wilayah terutama pakan seperti dedak dan limbah pertanian yang murah dan mudah diperoleh disamping obat-obatan (vaksin).
Tabel 1. Populasi ayam buras per kabupaten di Nusa Tenggara Timur No.
Kabupaten/Kodya
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Sumba Barat Sumba Timur Kupang Timor Tengah Selatan Timor Tengah Utara Belu Alor Lembata Flores Timur Sikka Ende Ngada Manggarai Kota Kupang Total
1998 529.106 434.215 1.835.727 57.178 117.429 650.538 312.640 0 580.699 416.792 2.178.177 512.847 517.424 0
1999 553.976 454.623 1.922.006 688.379 122.948 681.113 327.334 0 607.992 436.381 2.280.551 536.951 541.743 0
Tahun (ekor) 2000 553.976 454.623 1.922.006 688.379 122.948 681.113 317.334 0 607.992 436.381 2.280.551 536.951 544.741 0
2001 566.215 464.667 1.964.470 703.588 125.664 696.161 334.566 0 621.425 446.021 2.330.936 548.814 553.712 0
2002 583.202 478.607 2.033.404 724.695 129.434 717.046 344.603 175.963 464.105 459.403 2.400.864 564.278 570.323 0
8.243.074
9.153.997
9.153.995
9.356.240
9.635.927
Sumber: BIRO PUSAT STATISTIK (2003)
Di Nusa Tenggara Timur walaupun jenis usahaternak ini telah lama berkembang tetapi banyak mengalami kendala yang bersifat spesifik antara lain : pemeliharaan bersifat ekstensif, pakan hanya diberikan 2 kali/hari, yaitu pagi dan sore berupa jagung, dedak dan putak, kematian cukup tinggi yang dapat mencapai 75%, sebagai akibat jarang melakukan vaksinasi. PAMUNGKAS et al. (2000) melaporkan bahwa kendala lain dalam pengembangan ayam buras adalah kurang tersedia bibit unggul, rendahnya kemampuan peternak dalam mengidentifikasi penyakit, keterbatasan
penyediaan pakan serta kurang menguasai pemasaran dan pengolahan hasil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa introduksi ayam buras dalam usahatani diikuti penggunaan teknologi budidaya dapat meningkatkan produktivitas, antara lain jumlah produksi telur, penekanan tingkat kematian dan peningkatan frekuensi periode bertelur pertahun (TOGATOROP dan JUARINI, 1994). Hasil ini semakin nyata bila para petani berkelompok, sehingga peningkatan produksi yang diperoleh dapat dipasarkan dengan harga sesuai disamping dapat menanggulangi masalah yang mungkin timbul secara bersama.
229
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
SUMANTO et al. (1991) melaporkan bahwa peningkatan teknologi pengelolaan ayam buras dapat meningkatkan produktivitas, sehingga kontribusinya semakin nyata terhadap pendapatan yang diperoleh dari usahataninya. RATNAWATY et al (1999) melaporkan bahwa respon petani kooperator terhadap paket yang diintroduksi berupa perbaikan pakan,
vaksinasi, perkandangan, sangkar telur bentuk kerucut, pemilihan telur tetas dan pemisahan anak ayam meningkat dari 68,80 menjadi 83,42%, pertambahan bobot badan anak sebesar 7,64 gram/ekor/hari dan kelayakan usaha dalam pemeliharaan ayam buras sebesar 1,13 dengan keuntungan Rp. 95.000,- selama delapan bulan pemeliharaan (Tabel 2).
Tabel 2. Produktivitas ayam buras selama pelaksanaan gelar teknologi di Desa Oesena, Kecamatan Amarasi, Kabupaten Kupang-NTT No
Uraian
1.
Populasi ayam dalam kandang (ekor/petani): Induk Jantan Dara Anak Pertambahan bobot badan: Jantan Induk Anak/dara Produksi telur (butir/induk/periode) Fertilitas telur (%) Daya tetas telur (%) Mortalitas (%): Anak/dara Induk Jantan
2.
3. 4. 5. 6.
Kondisi Akhir 9 1 16 29 6,37 4,92 7,64 9,0 86,43 81,09 39,81 1,89 0,64
Sumber: RATNAWATY et al. (1999 )
Beberapa laporan hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat adopsi teknik pemeliharaan secara intensif penuh, sebagian dapat dengan mudah diadopsi masyarakat, tetapi sebagian lagi tidak. BASUNO (1994) melaporkan bahwa keberhasilan penggunaan vaksin, pemisahan anak, pemberian pakan dan penggunaan obat-obatan oleh petani kooperator sangat beragam dan tidak konsisten. Untuk mencapai suatu keberhasilan usahatani ayam buras di perdesaan terutama pada pola pemeliharaan semi intensif diperlukan sentuhan teknologi sederhana meliputi tatalaksana perkandangan, pemisahan anak ayam secara dini, pemberian pakan tambahan serta program vaksinasi secara teratur.
230
PERBIBITAN AYAM BURAS LOKAL MELALUI SELEKSI INDUK Dalam usaha meningkatkan produktivitas ayam buras telah banyak dilakukan penelitian oleh para pakar, sebagian penelitian memfokuskan ayam buras sebagai penghasil daging dan sebagian menitikberatkan pada produksi telur. Upaya pemerintah yang pernah dilakukan dalam memperbaiki mutu genetik ayam buras adalah dengan program grading up/silang runtun di pedesaan menggunakan Rhode Island Red (RIR). Upaya ini dapat dikatakan kurang berhasil disebabkan kurangnya perhatian dari segi pencatatan sehingga evaluasi hasil sulit dilakukan. Selain itu terputusnya pembiayaan yang menyebabkan terganggunya kontinuitas program tersebut.
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
Beberapa faktor penyebab rendahnya produksi dan lambatnya perkembangan populasi secara genetis beragamnya sifat genotip, menunjukkan bahwa ayam buras masih dapat secara selektif dikembangkan (SURISDIANTO, 1993). Selanjutnya DOWELL (1972) mengatakan beberapa cara untuk memperbaiki mutu genetik ternak lokal melalui program seleksi sehingga dapat meningkatkan performans produksi, diantaranya perbaikan mutu genetik ayam buras dengan cara seleksi guna menghasilkan pejantan unggul, melalui perkawinan dengan stok pejantan yang dihasilkan pusat pembibitan dan perbaikan mutu genetik ayam buras melalui seleksi jantan dan betina dari suatu kelompok ternak. Penelitian tentang mutu genetik dan penampilan produksi ayam buras melalui
seleksi induk yang dilaksanakan di kandang percoban Sub Balai Penelitian Ternak Lili, Kupang yang berlangsung selama satu periode penetasan dan periode bertelur, menggunakan 48 ekor betina dan 12 ekor jantan dan merupakan hasil seleksi secara umum di perdesaan baik jantan maupun betina. Kelompok ayam yang terseleksi dipelihara di kandang percobaan, dari hasil perkawinan ini dilakukan seleksi kemudian dipelihara secara terpisah untuk diikuti pertumbuhannya untuk dijadikan pejantan atau babon. Cara ini dilakukan terus menerus untuk memperoleh keturunan dengan keragaman yang tinggi dengan fluktuasi produktivitas yang kecil, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Penampilan produksi ayam buras melalui seleksi induk berumur 8-12 minggu Produktivitas
Pertambahan bobot badan (PBB) (g/e/minggu) Mortalitas (%) Jumlah telur (bbtir): Periode I Periode II Jarak bertelur/clutch (hari): Periode I Periode II Berat telur (gram/ekor): Periode I Periode II Daya tetas telur (%): Periode I Periode II
Performans jenis ayam buras hasil seleksi induk Kampung murni Peranakan Bangkok Super Harco jantan dan (jantan-betina) (jantan-betina) kampung murni betina 42
57
45
24
28
27
8 –12 11 – 14
6–8 8 – 10
10 – 12 12 – 15
1–2 1,3 – 1,5
1–2 1–2
1–2 1,3 – 1,5
33 – 36 35 – 40
39 – 42 41 – 48
35 – 40 40 – 43
70 – 85
60 – 70
74 – 80
Sumber: BAMUALIM et al. (1993)
Dari Tabel diatas terlihat bahwa dalam pemeliharaan ayam buras, yang perlu diperhatikan adalah menekan angka kematian anak ayam, guna meningkatkan populasi dan perlu adanya pemilihan bibit karena beraneka ragamnya ayam buras tanpa harus dikawinsilangkan dengan jenis ayam super. Ayam buras terdiri dari beberapa varietas namun ciri-ciri dari varietas ini belum diidentifikasi secara baik, sifat dari ayam yang dapat berperan sebagai faktor penunjang adalah tahan terhadap penyakit, adaptasi terhadap lingkungan, pakan dan transportasi
cukup baik serta harga jual ternak dan telur yang cenderung naik dari tahun ke tahun. Sedangkan sifat ayam buras yang kurang menguntungkan adalah sifat mengeram, masa mengasuh anak yang cukup lama, tingkat kematian anak yang tinggi dan pertumbuhan yang relatif lambat. Menurut BLAKELY dan BADE (1991) bahwa sifat mengeram merupakan sifat yang menurun dan tinggi rendahnya sifat mengeram tergantung kepada faktor genetik (bangsa atau strain ayam) dan faktor lingkungan (tatalaksana pemeliharaan).
231
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
Penampilan produktivitas ayam buras sangat bervariasi, hal ini disebabkan karena adanya perbedaan lingkungan dan perbedaan potensi genetis. Diduga bahwa terdapat hubungan yang erat antara penampilan fenotipik ayam buras yang terdapat dipulau Timor dengan tingkat produktivitasnya. Survei yang dilaksanakan di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dan Belu, terhadap 180 petani sampel, tentang identifikasi sifat-sifat luar (fenotopik) terhadap beberapa jenis ayam buras yang dihubungkan
dengan produktivitasnya (kelemahan dan keunggulan) dan merupakan dasar seleksi untuk mendapatkan keturunan ayam buras yang mempunyai mutu genetik lebih baik dalam menghasilkan keturunan selanjutnya, memperoleh bahwa terdapat beberapa jenis ayam buras yang dipelihara petani pada lokasi survei tersebut yaitu ayam buras jenis Kaki Kuning, Kaki Hitam dan Burik (bulu berwarna bintik-bintik putih dan hitam) seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4 dan Tabel 5.
Tabel 4. Identifikasi fenotipik beberapa jenis ayam buras untuk seleksi di Kabupaten TTS dan Belu Uraian Tingkat kesukaan responden/petani dalam memelihara ayam buras (%) Jumlah pemeliharaan (ekor/KK) Produksi telur (butir/periode) Masa istirahat bertelur (hari) Daya tetas telur (%) Sapih anak (hari)
Kaki Hitam 67,6 31,0 ± 14,2 10 120 79 60
Jenis Ayam Buras Kaki Kuning 24,9 37,2 ± 18,2 15 90 69 30
Burik 17,5 9,6 ± 5,3 10 107 69 30
Sumber: RATNAWATY et al (1995)
Kemampuan ayam lokal dalam menghasilkan telur per ekor sangat bervariasi, karena mempunyai keragaman individu yang besar (MANSJOER, 1989) sehingga dengan memanfaatkan keragaman tersebut usaha perbaikan produksi telur melalui seleksi diharapkan mempunyai respon seleksi yang positif. Produksi telur merupakan sumber parameter utama yang digunakan sebagai kriteria pemilihan bibit ayam lokal petelur, yaitu dengan menghitung jumlah telur yang dihasilkan ayam lokal selama periode tertentu. Produksi telur menjadi sangat bervariasi tergantung pada faktor genetik, kualitas pakan yang diberikan, penyakit dan sistem pemeliharaan. Produksi telur ayam lokal yang dipelihara dalam kandang batere dengan pola pemeliharaan intensif berdasarkan program pemerintah seperti SPAKU, PRT dan UPSUS diperoleh hasil produksi telur masing-masing sebesar 26,3; 35,5 dan 33% (GUNAWAN, 2002).
232
Angka ini lebih rendah dari produksi telur ayam lokal sistem pemeliharaan SWAKARSA (peternak sendiri) yaitu sebesar 41%. Rata-rata petani di Kabupaten TTU dan Belu, ternyata lebih senang memelihara ayam buras jenis kaki kuning dan kaki hitam karena memiliki kelebihan yaitu produksi telur, daya tetas, pertumbuhan dan sifat mengasuh anak yang lebih baik daripada jenis burik. Penelitian terhadap 100 ekor ayam buras (jenis kaki hitam, kaki kuning dan burik) yang terdiri dari 90 ekor betina dan 10 ekor jantan untuk melihat hubungan antara produksi telur dan bobot badan dengan ukuran bagian tubuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan cukup kuat antara produksi telur dengan panjang kepala (r = 0,66); indeks kepala (r = 0,91), lebar pubis (r = 0,55) dan panjang sayap (r = 0,63) untuk jenis burik. Sedangkan jenis kaki hitam dan kaki kuning, hubungan yang cukup kuat terlihat antara produksi telur dengan index kepala (r = 0,78) dan (r = 0,79).
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
Tabel 5. Tingkat pendapat responden terhadap performans produksi dan reproduksi (keunggulan dan kelemahan) dari ketiga jenis ayam buras berdasarkan sifat-sifat luar Performans produksi dan reproduksi Pertumbuhan: Cepat Lambat Penyakit: Tahan penyakit Tidak tahan penyakit Sifat eram: Tinggi Rendah Mengasuh anak: Bagus Jelek Sapih anak: Cepat Lambat
Pendapat responden/petani sampel (%) Kaki hitam Kaki kuning Burik 3,6 58,2
85,4 14,5
5,5 60,0
80,0 27,2
72,7 14,5
70,9 20,0
81,8 14,5
7,2 45,5
74,5
67,3 12,7
49,1 23,6
3,6 50,9
18,2 69,1
76,4 10,9
61,8 23,6
Sumber: RATNAWATY et al. (1995)
Hal ini menunjukkan kecenderungan bahwa semakin lonjong bentuk kepala, semakin tinggi pula produksi telurnya. Ayam buras betina dengan indeks bentuk kepala tinggi, cenderung bertelur lebih banyak serta terdapat hubungan yang kuat antara lebar pubis dengan produksi telur (RATNAWATY et al., 1995). NATAAMIJAYA et al. (1994) menyatakan jarak antara dua tulang pubis dipakai untuk menentukan kapasitas produksi telur ayam buras secara tradisional tanpa menyebutkan ukuran jarak yang pasti serta terdapat kecenderungan semakin tinggi bobot badan, semakin panjang pula ukuran tulang dadanya. PEMANFAATAN PAKAN LOKAL DALAM RANSUM AYAM BURAS Untuk meningkatkan produksi ayam buras, maka faktor manajemen pakan perlu diperhatikan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas sehingga dapat memberikan hasil yang optimal. Dewasa ini jagung merupakan salah satu bahan makanan ternak unggas yang utama digunakan sebagai salah satu komponen penyusunan ransum yang kaya akan karbohidrat. Akan tetapi penggunaan jagung sebagai pakan unggas merupakan persaingan
dengan kebutuhan manusia terutama di Pulau Timor dimana jagung merupakan bahan makanan pokok sama halnya dengan kacang kedelai di Pulau Jawa sebagai bahan dasar untuk membuat tahu dan tempe. Untuk mengatasi hal tersebut maka perlu dicari alternatif bahan makanan lain yang dapat digunakan untuk mengurangi penggunaan jagung dalam ransum ternak unggas, khususnya ternak ayam. Salah satu bahan pengganti yang dapat digunakan sebagai sumber karbohidrat adalah putak (isi batang pohon gewang). Putak kaya akan pati dan merupakan salah satu bahan makanan sumber karbohidrat yang mengandung energi cukup tinggi disukai oleh ternak sapi, kambing, babi dan ayam (BAMUALIM dan MOMUAT, 1989). MUSTAFA (1985) melaporkan bahwa pemberian putak dengan level 75% dapat menggantikan posisi jagung dalam ransum ternak babi. Pada ayam pedaging pemberian putak sampai dengan level 40% dari total ransum tidak memberikan pengaruh yang negatif. Hasil penelitian BAMUALIM et al, 1991 menunjukkan bahwa penggunaan putak dalam ransum ayam buras dapat mencapai 80% dari total ransum sehingga dapat menekan
233
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
penggunaan jagung sampai 30% dari total ransum, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 6. Tabel 6. Tampilan produksi ayam buras umur 3-4 bulan yang mengkonsumsi tepung putak pada beberapa level pemberian Tampilan produksi Pertambahan bobot badan (g/e/minggu) Konsumsi ransum (g/e/minggu) Konversi ransum (%) Produksi telur (btr/e/bulan) Berat telur (g/btr) Panjang Telur (mm) Lebar Telur
Level tepung putak dalam total ransum (%) 50 60 70 80 98
91
82
89
349
346
335
324
3,67
3,80
4,09
3,65
56
61
61
63
36,8
34,1
36,1
35,3
44,4
44,6
44,1
44
32,4
32,6
32,4
32,4
Sumber: BAMUALIM et al. (1991)
Penelitian menunjukkan bahwa protein ransum adalah sangat penting karena mempunyai pengaruh nyata terhadap performans pertumbuhan, produksi telur, komposisi tubuh dan efisiensi penggunaan makanan atau konversi ransum. Dalam membuat ransum ayam buras yang perlu diperhatikan adalah tingkat proteinnya, khusus untuk ayam buras belum ada standar kebutuhan protein yang tepat, namun untuk sementara standar kebutuhan ayam buras ditetapkan 17,6% (MAJALAH AYAM dan TELUR edisi no. 30/Agustus 1968, dalam BAMUALIM et al., 1992). Hasil penelitian tentang pengaruh pemberian beberapa level protein dalam ransum ayam buras periode grower dengan bahan penyusun ransum terdiri dari tepung ikan, tepung putak, jagung kuning dengan kisaran protein 10-20% memperoleh kecepatan pertumbuhan yang optimal dan memberikan respon pertumbuhan yang baik pada ayam buras periode grower (Tabel 7).
234
Tabel 7. Pengaruh beberapa level protein dalam ransum ayam buras periode grower Uraian Pertambahan bobot badan (g/e/minggu) Konsumsi ransum (g/e/minggu) Konversi ransum
Level protein (%) 10 14 20 101,2 117,5 120,4 351,2
378,2
394
3,4
3,1
3,2
Sumber: BAMUALIM et al. (1992)
Ternyata kebutuhan protein diatas 20% dalam ransum ayam buras untuk pertumbuhan periode grower tidak efisien lagi karena protein tidak dapat disimpan dalam tubuh hewan seperti halnya karbohidrat dan lemak. SUMMERS et al. (1963) menyatakan bahwa sedikit atau sama sekali tidak ada perubahan dalam pertambahan bobot badan anak ayam dengan meningkatnya kandungan protein ransum diatas 20%. TATALAKSANA DAN PENCEGAHAN PENYAKIT Kendala yang umum ditemui dalam pemeliharaan ayam buras adalah tingkat kematian yang tinggi pada anak ayam, perkandangan belum memenuhi persyaratan, manajemen kurang sempurna yang berakibat pada rendahnya produktivitas ayam buras. Untuk meningkatkan produktivitas ayam buras, pola pemeliharaan telah berkembang mengarah pada sistem semi-intensif dan intensif walaupun pola ekstensif (tradisional) masih dominan. Hasil gelar teknologi pemeliharaan ayam buras yang dilaksanakan di Desa Oesena, Kecamatan Amarasi, Kabupaten Kupang, ternyata tingkat kematian ayam buras akibat Tetelo (ND) paling banyak terjadi pada periode anak (39,81%) sehingga mempengaruhi produktivitas ayam buras. Hal ini disebabkan belum matangnya organ-organ kekebalan dalam tubuh ayam buras sehingga belum mampu merespon vaksin yang diberikan. Namun semakin bertambah umur ayam buras, tingkat kematian semakin rendah ini diakibatkan organ kekebalannya sudah matang dan maternal antibodi sudah rendah sehingga mampu merespon vaksin yang diberikan.
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
DARMINTO (1993) menyatakan bahwa peranan vaksinasi ND pada ayam buras dapat meningkatkan produktivitas sampai sekitar 60% dan inipun hanya bisa dicapai dengan vaksinasi yang dapat menghasilkan tingkat proteksi antara 80-90%. Tabel 8. Program vaksinasi yang dilakukan selama gelar teknologi di Desa Oesena Vaksinasi Pertama Kedua Ketiga
Umur Jenis Dosis Ayam 1-4 Strain F 1 tetes (mata) 4 minggu Strain F 1 tetes (mata) 4 bulan Strain Lasota 0,5 dosis (IM)
Sumber: RATNAWATY et al. (1999)
Perbaikan pakan dan vaksinasi kurang di respon oleh petani, hal ini disebabkan oleh keterbatasan modal karena petani tidak mampu membeli pakan yang berkualitas baik, mereka hanya mengandalkan jagung dan limbah dapur seadanya, serta pengadaan vaksin yang masih tetap mengandalkan bantuan pemerintah. Berbeda dengan hasil gelar teknologi peternakan di Kabupaten Ende, ternyata petani di Desa Reworena telah melaksanakan vaksinasi ND secara mandiri dengan cara mengumpulkan uang untuk pembelian vaksin dimana setiap anggota kelompok diwajibkan membayar biaya vaksinasi sebesar Rp.1000,s/d Rp.2000,- per orang (KOTE et al., 2003). KEBIJAKAN PEMDA NUSA TENGGARA TIMUR MENGATASI INVASI AVIAN INFLUENZA (AI) Sejak Indonesia dinyatakan tertular virus AI maka pengamatan AI di NTT dilaksanakan secara reguler oleh Dinas Peternakan Propinsi dan Kabupaten serta Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV) Regional VI Denpasar. Kegiatan ini bertujuan untuk mempelajari dinamika populasi unggas di NTT, mengidentifikasi distribusi jumlah kasus dan penyebaran kasus penyakit unggas, mengidentifikasi adanya isolat virus AI, pemetaan wilayah kasus penyakit unggas dan menetapkan kebijakan pemberantasan bila terjadi kasus AI di NTT. Pada waktu berjangkitnya wabah flu burung di beberapa propinsi di wilayah Indonesia, Provinsi Nusa
Tenggara Timur merupakan salah satu provinsi bebas penyakit AI berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 96/Kpts/PD.620/ 2/2004 Tentang Pernyataan Berjangkitnya Wabah Penyakit Hewan Menular Influenza Pada Unggas tanggal 3 Pebruari 2004 (DINAS PETERNAKAN PROPINSI NTT, 2005). Sebagai tindak lanjut dari kebijakan dimaksud, maka Dinas Peternakan Propinsi NTT pada akhir tahun 2004 telah melaksanakan pengamatan penyakit AI yang dilaksanakan secara intensif yaitu dengan kegiatan aktif surveillance maupun secara pasif (laporan pengamatan kasus). Hasil pemeriksaan selama tahun 2004 terhadap sampel yang berasal dari kasus kematian ayam kampung super di Kelurahan Lasiana, Kecamatan Kelapa Lima, Kota Kupang ditemukan adanya isolat positif virus AI subtype H5N1 dan H5N2 yaitu pada 1 dari 5 sampel swab cloaca yang diperiksa (DINAS PETERNAKAN PROPINSI NTT, 2005). Hasil surveillance sampai dengan akhir tahun 2004 menunjukkan adanya dugaan AI berdasarkan hasil pemeriksaan serologis dan patologis tetapi secara klinis, epidemiologis dan identifikasi virus belum pernah ditemukan adanya gen/isolat virus AI. Namun tindakan vaksinasi untuk sementara belum dianjurkan, dengan pertimbangan bahwa mayoritas peternak adalah peternak ayam kampung nonintensif sedangkan peternak ayam ras pada umumnya terkonsentrasi di Kota Kupang dengan skala kecil (100-200 ekor) dan siklus pemeliharaan sangat pendek karena umur 2228 hari sudah dipanen/jual (komunikasi pribadi dengan DRH. MARIA GEONG). Menyikapi laporan kasus tersebut sambil menunggu jawaban hasil dari Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV) Regional VI Denpasar, maka Dinas Peternakan Propinsi NTT telah melaksanakan: 1. Monitoring dan evaluasi secara intensif di kabupaten lainnya di NTT khususnya di daratan Timor yang berbatasan langsung dengan Kota Kupang dan pintu masuk unggas dan produk unggas ke wilayah NTT; 2. Meningkatkan aktivitas penyidikan dan surveillance terhadap setiap kejadian penyakit menular unggas di wilayah kerja Dinas Peternakan dan Laboratorium Kesehatan Hewan di seluruh NTT dan
235
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
melakukan koordinasi dengan dinas dalam rangka kewaspadaan dini serta melaporkan setiap kejadian penyakit unggas menular secara berjenjang; 3. Meningkatkan biosekuritas dan pengawasan lalulintas yang ketat dan sosialisasi yang intensif kepada masyarakat. KESIMPULAN • Untuk mencapai suatu keberhasilan usahatani ayam buras lokal di perdesaan NTT terutama pada pola pemeliharaan semi intensif diperlukan sentuhan teknologi sederhana meliputi tatalaksana perkandangan, pemisahan anak ayam secara dini, pemberian pakan tambahan serta program vaksinasi secara teratur. • Kemampuan ayam buras lokal dalam menghasilkan telur per ekor sangat bervariasi, karena mempunyai keragaman individu yang besar sehingga dengan memanfaatkan keragaman tersebut usaha perbaikan produksi telur melalui seleksi diharapkan mempunyai respon seleksi yang positif. • Dalam pemeliharaan ayam buras, yang perlu diperhatikan adalah menekan angka kematian anak ayam, guna meningkatkan populasi dan perlu adanya pemilihan bibit karena beraneka ragamnya jenis ayam buras, tanpa harus dikawinsilangkan dengan jenis ayam super. • Tepung putak dapat menggantikan jagung sampai 80% dari total ransum karena penggunaan jagung sebagai pakan merupakan persaingan dengan kebutuhan manusia terutama di Pulau Timor, NTT karena jagung merupakan bahan makanan pokok. • Tingkat kematian ayam buras akibat Tetelo (ND) paling banyak terjadi pada periode anak (39,81%) sehingga mempengaruhi produktivitas ayam buras. • Menumbuhkan pusat-pusat perbibitan yang dilengkapi dengan penyediaan vaksin, pakan tambahan dan brosur-brosur paket teknologi serta penyuluhan yang tangguh maupun kredit investasi dengan prosedur sederhana merupakan kunci keberhasilan pengembangan peternakan ayam buras lokal di NTT.
236
DAFTAR PUSTAKA BIRO PUSAT STATISTIK. 2003. Nusa Tenggara Timur Dalam Angka. BAMUALIM.A.M. dan E.O. MOMUAT. 1989. Pemanfaatan Gewang Untuk Pakan Ternak. Temu Tugas Pengembangan dan Pemanfaatan Siwalan Pada Lahan Kering, Iklim Kering di NTT. BAMUALIM, U., S. RATNAWATY dan A. BAMUALIM. 1993. Perbaikan mutu genetik dan penampilan produksi ayam Buras melalui seleksi induk. Laporan Hasil Penelitian Sub Balai Penelitian Ternak-Lili, Kupang tahun 1994. BAMUALIM, U., A. FUAH, A. KEDANG dan D. BRIA. 1992. Pengaruh tingkat protein dalam ransum terhadap pertumbuhan ayam Buras periode grower. Hasil-Hasil Penelitian Sub Balai Penelitian Ternak-Lili, Kupang. BAMUALIM, U., A. FUAH dan A. BAMUALIM. 1990. Pengaruh kombinasi beberapa lvel Putak dan jagung dalam ransum terhadap pertumbuhan dan produksi telur ayam Buras. Hasil-hasil Penelitian Sub Balai Penelitian Ternak-Lili, Kupang tahun 1990/1991. BASUNO. 1994. Teknologi peternakan untuk peternak skala kecil di perdesaan: Kasus pemeliharaan ayam Buras. Majalah Sains dan Teknologi (Edisi Khusus). Universitas Semarang. BLAKELY. J and D.H. BADE. 1991. Ilmu Peternakan (Terjemahan) Edisi keempat. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. DARMINTO.1993. Penanggulangan Newcastle Disease pada ayam Buras, vaksinasi dan permasalahannya. Prosiding dan Komunikasi Hasil-Hasil Penelitian Peternakan di Pedesaan. BPT Ciawi-Bogor. DINAS PETERNAKAN PROPINSI NTT. 2005. Kasus kematian ayam di Kota Kupang dan hasil pengamatan Avian Influenza (AI) di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Laporan Surveillance Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2005. DOWELL.R.E. 1972. Improvement of livestock production in warm climates. W.H. FREEMAN and C.O. SAN FRANSISCO. 2002. Model pengembangan GUNAWAN. usahaternak ayam Buras dan upaya perbaikannya (Kasus di Kabupaten Jombang, Jawa Timur). Program Pasca Sarjana IPB. Bogor
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
MUSTAFA.H. 1985. Pengaruh pemberian Putak sebagai pengganti jagung dalam ransum terhadap pertambahan berat badan anak babi Peranakan VDL. Thesis Fakultas Peternakan, UNDANA, Kupang. MANSJOER, S.S. 1989. Pengembangan ayam lokal di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Tentang Unggas Lokal. Lustrum V. Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro, Semarang, 28 September 1989. MEDO KOTE, S. RATNAWATY, P.TH. FERNANDEZ, DIDIEK A.B dan A. ILA. 2003. Gelar teknologi peternakan di Kabupaten Ende. Prosiding Seminar Nasional Komunikasi Hasil-Hasil Penelitian Berbasis Peternakan di Waingapu, 23-24 Agustus 2004. Kerjasama Pemda Sumba Timur dengan BPTP NTT. NATAAMIJAYA.A.G., K. DWIYANTO, HARYONO, E. SUMANTRI dan M. KUSNI. 1994. Karakteristik morfologis delapan varietas ayam bukan Ras (Buras) langka. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan ke-2. Balitnak Ciawi-Bogor. PAMUNGKAS, D., L. AFFANDHY, GUNAWAN, MARIYONO, U. UMIYASIH, dan H. ARIYANTO. 2000. Pengkajian sistem usaha pertanian ayam buras berbasis ekoregional lahan kering. Prosiding Seminar Hasil Penelitian/Pengkajian BPTP Karang Ploso. RATNAWATY S., U. BAMUALIM, J. NULIK dan A. SINURAT. 1995. Identifikasi fenotopik beberapa jenis ayam Buras untuk seleksi di perdesaan. Prosiding Seminar Komunikasi Hasil-Hasil Penelitian Pertanian Nusa
Tenggara, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Naibonat, Kupang, 28-29 Nopember 1996. RATNAWATY S., M. KOTE, D. KANA HAU, DIDIEK A.B dan WIRDAHAYATI. 1999. Gelar teknologi pemeliharaan ayam Buras di Nusa Tenggara Timur. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Teknologi Pertanian Dalam Upaya Optimalisasi Potensi Wilayah Mendukung Otonomi Daerah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian Bekerjasama dengan Universitas Udayana Denpasar, tahun 2001. SUMMERS. J.D., S.J. SLINGERS, I.R. SIBBALD and PEPPER.1963. Influence of protein and energy on growth and protein utilization in the growing chicken dept. of poultry science and nutrition, Ontario Agric.College Guelph, Ontario-Canada. SUMANTO, E. JUARINI, S. ISKANDAR, B. WIBOWO, SANTOSO, RATNADI dan N. RUSMANA. 1991. Pengaruh perbaikan tatalaksana terhadap penampilan usahaternak ayam Buras di Desa Pangradin: Suatu Analisis ekonomi. Ilmu dan Peternakan 4 (3) hal: 322-328. SURISDIANTO. 1993. Peningkatan produksi ayam Buras melalui perbaikan pakan sebuah ulasan Pustaka. Dalam Prosiding Lokakarya Upaya Pengembangan Ayam Buras. Fapet Unibraw, Malang, 24 April 1993.
.
.
237