Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
PERAN BAHASA INDONESIA DALAM PENGEMBANGAN BUDAYA LITERASI UNTUK MEWUJUDKAN BANGSA YANG UNGGUL DALAM KONTEKS MASYARAKAT EKONOMI ASEAN1 Sarwiji Suwandi2 Universitas Sebelas Maret
Pendahuluan Kemampuan anak Indonesia usia 15 tahun di bidang matematika, sains, dan membaca dibandingkan dengan anak-anak lain di dunia masih rendah. Hasil Programme for International Student Assessment (PISA) 2012, Indonesia berada di peringkat ke-64 dari 65 negara yang berpartisipasi dalam tes. Penilaian itu dipublikasikan oleh the Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Indonesia hanya sedikit lebih baik dari Peru yang berada di peringkat terbawah. Rerata skor matematika anak- anak Indonesia 375, rerata skor membaca 396, dan rerata skor untuk sains 382. Padahal, rerata skor OECD secara berurutan adalah 494, 496, dan 501 (http://litbang.kemdikbud.go.id/index.php/ surveiinternasional-pisa). Perlu ada penelitiaan yang komprehensif untuk menemukan akar permasalahan atas kurangnya kemampuan membaca anak-anak Indonesia.
Mereka pada umumnya kurang
memiliki minat dan budaya baca dan karenanya kompetensi membaca mereka kurang. Untuk siswa SMP, misalnya, berdasarkan riset yang dilakukan Suwandi (2007b: 43) diketahui bahwa kemampuan membaca cepat mereka rerata 144 kata per
menit. Anak-anak
Indonesia—khususnya generasi muda—banyak membelanjakan waktunya untuk sekadar “ngobrol” melalui berbagai media sosial (medsos) yang ada, seperti face book, whats ap, twitter, instagram, dan path. Berdasarkan penelusuran terbatas pengguna medsos di kalangan generasi muda, sedikit di antara mereka yang memanfaatkan media tersebut untuk menambah atau memperkaya ilmu pengetahuan. Rendahnya minat dan budaya membaca berdampak pada Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional dengan tema “Peran Bahasa dan Sastra Indonesia dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)” yang diselenggarakan STKIP Siliwangi Bandung, 25 November 2015. 2 Guru Besar pada FKIP dan Ketua Program Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. 1
1
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
kurangnya kompetensi menulis mereka. Aktivitas menulis mereka lebih banyak didominasi untuk keperluan chatting dan menulis caption. Mereka juga kurang memiliki kemahiran berbicara dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Para siswa pun kurang memiliki kemampuan mengapresiasi dan berkspresi sastra. Setelah diketahui prestasi literasi siswa Indonesia
dibandingkan dengan prestasi
literasi siswa dari negara-negara lain dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, perlu dirumuskan kebijakan dan strategi implementasi yang tepat untuk meningkatkan daya saing dan keunggulan Indonesia. Pendidikan yang berkualitaslah yang mampu
menggaransi
keberhasilan upaya tersebut. Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentangSistem Pendidikan Nasional bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni serta tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global, akuntabilitas publik terhadap kualitas pendidikan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan perlu dilakukan. Pendidikan diharapkan memiliki kesiapan dalam memberikan respon yang positif terhadap berbagai tuntutan kebutuhan masyarakat (Suwandi, 2014: 1), terlebih pada tahun 2015 kita sudah masuk pada Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic Community (AEC). MEA menghadapkan kita pada tantangan kompetisi yang lebih besar. Untuk itulah, kualitas praktik dan hasil pendidikan perlu secara terus-menerus ditingkatkan. Upaya meningkatan mutu pendidikan harus menjadi komitmen semua guru mata pelajaran, termasuk guru atau pendidik bahasa Indonesia. Kiranya kita bisa bersetuju bahwa setakat ini pembelajaran bahasa Indonesia dinilai belum menunjukkan performa yang diharapkan. Melalui berbagai forum ilmiah (seperti kongres, konferensi, seminar, workshop, pelatihan, bimbingan teknis, atau apa pun disebut persoalan mutu pembelajaran bahasa Indonesia terus disorot dan diartikulasikan. Kritikan terus-menerus dikumandangkan, bukan saja oleh para pengguna lulusan dan masyarakat luas, tapi juga oleh para pelaku pendidikan. Suara kritis dari para pelaku pendidikan (termasuk guru dan dosen) tentu pantas diapresiasi karena hal demikian dapat dipandang sebagai hasil refleksi diri dan pertanda kedewasaan. 2
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Lebih dari itu, sesungguhnya harus menjadi kesadaran kolektif bahwa ikhtiar untuk mewujudkan proses dan hasil pembelajaran yang bermutu harus dilakukan secara terusmenerus dan berkelanjutan. Upaya meningkatkan mutu pembelajaran bahasa Indonesia bukanlah persoalan yang mudah karena pembelajaran merupakan sistem yang kompleks. Menurut Richards (2002: 54), terdapat empat faktor utama dalam pembelajaran, yaitu sekolah, guru, proses pembelajaran, dan siswa. Sesuai dengan sistem kompleks pendidikan dan pembelajaran, pendekatan sistemik dan sistematik sangat diperlukan untuk mengatasi berbagai persoalan yang ada. Perbaikan pada berbagai komponen pendidikan/pembelajaran harus dilakukan secara simultan. Perbaikan haruslah menjangkau dimensi teoretis konseptual, regulasi, maupun dimensi praksis. Untuk itu, program sinergis yang dilakukan oleh seluruh pemangku kepentingan pendidikan/pembelajaran—guru, dosen, pengawas, penulis buku, pengembang model pembelajaran, pengembang model penilaian, perancang/pengembang kurikulum, sekolah, perguruan tinggi, pemerintah, dan masyarakat—sangat diperlukan. Makalah ringkas ini lebih berfokus pada upaya pengembangan budaya dan kemampuan literasi. Kemampuan literasi menurut pandangan penulis merupakan modal yang teramat penting bagi tercapainya keunggulan. Untuk itu, upaya mengembangkan budaya literasi agar anak-anak Indonesia—khususnya generasi muda Indonesia—memiiki prestasi literasi yang baik dan pada giliranya memberikan kontribusi bagi pembangunan bangsa merupakan sebuah keniscayaan.
Bangsa yang Unggul Kehendak menjadikan bangsa yang unggul menuntut ikhtiar yang sungguh-sunguh agar masyakat dan bangsa Indonesia terlebih dahulu berilmu. Perlu ada upaya yang sistematis untuk mencendekiakan masyarakat dan bangsa Indonesia serta menjadikan bangsa Indonesia yang bermartabat karena kamajuan ilmunya. Untuk itu, diperlukan perencanaan dan implementasi pendidikan secara baik. Upaya
mewujudkan
pendidikan
yang
berkualitas
bertalian
erat
dengan
pengembangan kurikulum. Kurikulum memiliki peran yang sangat strategis dan menentukan dalam pelaksanaan dan keberhasilan pendidikan sebagaimana dinyatakan oleh Richard (2002: 2), “curriculum development is more comprehensive than syllabus design. It includes the processes that are used to determine the needs of a group of learners, to develop aim and 3
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
objectives for a program to address those needs, to determine an appropriate syllabus, course structure, teachings methods, and materials, and to carry out an evaluation of the language program that results from the processes. Dalam upaya mengembangkan kulitas pendidikan, kurikulum—baik di tingkat sekolah
dasar
dan
menengah
maupun
pendidikan
tingi—terus-menerus
diperbaiki/disempurnakan. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 untuk pendididkan dasar dan menengah dengan segenap pro kontra dikembangkan menjadi Kurikulum 2013. Sementara itu, Kurikulum Inti dan Institusional 2002 untuk perguruan tinggi dikembangkan menjadi Kurikulum Pendidikan Tinggi yang mengacu pada Perpres RI No. 8 Th. 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, Permendikbud No. 73 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Kerangka Kualifikasi Indonesia, dan Permendikbud RI No. 49 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi.Namun demikian, perlu disadari bahwa kurikulum yang baik belumlah menjamin dihasilkan hasil pendidikan yang baik. Implementasi kurikulum tersebut pada akhirnya sebagai penentu terwujudnya hasil pendidikan yang berkualitas. Selain pendidikan, strategi yang dipandang jitu untuk menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa berilmu adalah memajukan kegiatan penelitian. Melalui penelitianlah akan banyak diproduksi ilmu pengetahuan dan teknologi baru, pemikiran-pemikiran baru, modelmodel baru, dan produk-produk inovatif dalam bidang kebudayaan dan seni. Tatkala bangsa Indonesia telah maju, yang ditunjukkan kemampuannya dalam menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi, bangsa-bangsa lain akan tertarik untuk mempelajari dan berupaya memperoleh ilmu dan teknologi tersebut. Dalam hal kemajuan ilmu dan teknologi itu dikemas dan disajikan dalam bahasa Indonesia, maka orang dan bangsa lain sudah tentu akan berusaha mempelajari bahasa Indonesia. Untuk mewujudkan bangsa dan masyarakat yang cendekia perlu ditanamkan nilainilai karakter, yang menurut Indonesia Heritage Foundation meliputi (1) cinta Tuhan dengan segenap ciptaannya, (2) kemandirian dan tanggung jawab, (3) kejujuran, bijaksana, amanah, (4) hormat dan santun, (5) dermawan, suka menolong, dan gotong royong, (6) percaya diri, kreatif, dan pekerja keras, (7) kepemimpinan dan keadilan, (8) baik dan rendah hati, dan (9) toleransi, kedamaian, dan kesatuan (Kesuma dkk., 2011: 14). Sementara itu, karakter bangsa yang perlu dibentuk dan secara terus-menerus dibangun hemat saya meliputi (1) ketuhanan,
4
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
(2) kejujuran, (3) kepemimpinan, (4) kedisiplinan, (5) etos kerja, (6) kepercayaan diri, (7) kemandirian, (8) kesantunan, (9) tanggung jawab, dan (10) toleransi. Upaya menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang unggul menuntut sikap terbuka. Keterbukaan menjadikan bangsa dapat menerima yang baik dan bermanfaat dari siapapun, dan menolak yang buruk melalui filter pandangan hidupnya. Berkenaan dengan ini tampaknya perlu ada rekonstruksi pengetahuan dan sikap masyarakat Indonesia dalam memaknai keterbukaan. Fenomena yang kita saksikan sekarang ini berkecenderungan memaknai keterbukaan sebagai kesediaan menerima sebanyak-banyaknya unsur-unsur dari luar, terlebih terkait dengan ideologi kapitalis. Kecenderungan yang demikian itu sangat mengganggu dan menghambat upaya Indonesia menjadi bangsa yang mandiri dan maju. Berkenaan dengan keterbukakan, patut kita simak pernyataan tokoh pendidikan nasional kita, Ki Hadjar Dewantara yang mengaitkannya dengan kemerdekaan bangsa. Kebudayaan adalah buah budi manusia yang beradab dan buah perjuangan manusia terhadap dua kekuatan yang selalu mengelilingi hidup kita, yaitu kekuatan kodrat-alam dan zaman/masyarakat dari tiap-tiap bangsa. Hal itu yang menyebabkan corak dan warna yang khusus pada kebudayaan masing-masing bangsa. Khususnya sifat kebangsaan berarti kemerdekaan bangsa seutuhnya, tidak hanya kemerdekaan politik, tetapi merdeka dalam hidup kebudayaannya dan merdeka dalam mewujudkan hidup dan penghidupannya. Kemerdekaan politik kita akan terdesak, akan lenyap atau tidak berarti, kalau tidak didasarkan pada kemerdekaan kebudayaan (Tauchid dkk., 2013: 171-172). Pandangan visioner dalam pidato Ki Hadjar Dewantara yang disampaikan pada Sidang Komite Nasional Pusat (DPR) di Malang tanggal 3 Maret 1947 tersebut masih relevan dengan konteks perikehidupan berbangsa sekarang ini. Fenomena yang dapat kita saksikan telah terjadi “penjajahan” di bidang ekonomi dan kebudayaan atau kita secara tidak sadar membiarkan diri kita “dijajah”. Sikap mental yang tidak menghargai karya anak bangsa sendiri dan sebaliknya lebih mengagung-agungkan produk bangsa lain demi menjaga image, mengejar pencitraan, dan demi gagah-gagahan adalah salah satu bentuk sikap permisif atas praktik penjajahan. Kecenderungan generasi muda tidak mengenal atau tidak mau megenal produk kebudayaan sendiri yang mengandung nilai adiluhung dan sebaliknya lebih menggandrungi produk budaya Barat tanpa filter nilai-nilai yang kita miliki memberikan peuang besar terjadinya “penjajahan” bahkan “penindasan” kebudayaan. Jika kita menginginkan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka secara utuh sebagaimana 5
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
dinyatakan Ki Hadjar Dewantara di atas, perlu dirumuskan dan diimplementasikan strategi kebudayaan yang tepat.
Pengembangan Budaya Literasi Budaya literasi (tulis) sering dikontraskan dengan budaya lisan (oral). Kedua budaya yang bersangkut paut dengan aktivitas berbahasa tersebut memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Kelebihan budaya lisan, baik yang dipresentasikan dalam komunikasi bersemuka serta melalui media audio-visual dengan segenap aspek gesture dan kinestetik yang menyertainya, adalah kemampuannya dalam mengomunikasikan aspek emotif dan sering hal-hal abstrak yang sulit diungkapkan melalui budaya literasi bisa diungkapkan dengan lebih baik. Karena aspek emotif itu pula aktivitas berbahasa lisan sering pula bisa membuat tingkat partisipasi pendengar/pemirsa lebih tinggi. Sementara itu, budaya literasi harus diakui sebagai landasan perkembangan ilmu pengetahuan karena bahasa ilmu lebih menekankan pada fungsi simbolik serta menekankan aspek presisi. Selain kelebihan di atas, harus pula diakui bahwa budaya literasi memunculkan dampak invidualisme. Dampak tersebut sulit dihindari karena aktivitas membaca merupakan proses individualisasi. Aktivitas membaca pada umumnya merupakan proses yang terjadi secara sendiri dan membutuhkan internalisasi yang intens antara pembaca dengan objek bacaan. Sikap invidualisme yang tinggi akan dapat memunculkan ancaman atau setidaknya hambatan bagi upaya mewujudkan kehidupan yang harmonis dalam masyarakat literasi. Harmoni dalam kehidupan sering dikonotasikan dengan terwujudnya situasi keguyuban. Sementara itu, tingkat partisipasi yang berlebihan yang terbentuk dalam budaya oral bisa berdampak pada rendahnya produktivitas masyarakat. Literasi dapat diartikan sebagai sebuah kemampuan membaca dan menulis atau kadang disebut dengan istilah atau “melek aksara” atau keberaksaraan (Harras, 2011). Literasi menurut Besnier adalah komunikasi melalui inskripsi yang terbaca secara visual, bukan melalui saluran pendengaran dan isyarat Sementara itu, menurut Kirsch dan Jungeblut, literasi kontemporer diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam memanfaatkan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan pengetahuan sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat luas (Takdir, 2012). Dalam bahasan ini, literasi lebih berkaitan dengan konsep membaca dan menulis. Oleh karena itu, budaya literasi yang dimaksudkan dalam tulisan ini lebih budaya membaca dan menulis. 6
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Upaya mengembangkan budaya literasi sesungguhnya telah dilakukan sejak lama, antara lain melalui “gerakan ayo membaca” yang dicanangkan pemerintah. Pengembangan budaya literasi untuk siswa pun telah menjadi perhatian pemerintah. Dalam Permendiknas No. 22 Th. 2006 tentang Standar Isi ditegaskan bahwa pada akhir pendidikan di SD/MI, peserta didik telah membaca sekurang-kurangnya sembilan buku sastra dan nonsastra; pada akhir pendidikan di SMP/MTs, peserta didik telah membaca sekurang-kurangnya 15 buku sastra dan nonsastra; dan pada akhir pendidikan di SMA/MA, peserta didik telah membaca sekurang-kurangnya 15 buku sastra dan nonsastra. Namun demikian, hampir 10 tahun KTSP diimplementasikan, tampaknya target tersebut tidak tercapai. Alih-alih menugasi siswa membaca buku sain dan sastra, dalam pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah pun guru sering tidak menggunakan buku ajar dan menggantikannya dengan Lembar Kerja Siwa (LKS). Berbeda dengan KTSP, sungguhpun Kurikulum 2013 sangat menekankan kompetensi anak dalam membaca dan menulis melalui pembelajaran berbasis teks, kurikulum ini tidak mematok target minimal buku yang harus dibaca siswa. Dilihat dari sisi ini, tampak kegamangan Kurikulum 2013. Secara berpikir sederhana pun tentu dapat dipahami bahwa jika para siswa dituntut mampu memproduksi tulisan, maka tentu mereka harus banyak membaca. Melalui aktivitas banyak membaca para siswa akan mendapat banyak inspirasi, memiliki gagasan dan wawasan yang kaya, dan sekaligus memperoleh banyak model tulisan yang baik. Budaya dan minat baca masyarakat Indonesia saat ini cukup rendah. Menurut data United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO), pada 2012, indeks minat baca masyarakat Indonesia baru mencapai angka 0,001. Artinya, dari setiap 1.000
orang
Indonesia
hanya
ada
1
orang
saja
yang
punya
minat
baca
(http://www.republika.co.id/berita/nasional). Jika minat dan budaya baca masih rendah dan belum bertumbuh, maka sulit diharapkan budaya menulis akan berkembang. Kurangnya budaya membaca dan menulis bukan saja terjadi pada diri siswa, tapi juga pada diri mahasiswa, guru, dan bahkan dosen di perguruan tinggi. Fakta menunjukkan bahwa jumlah terbitan buku di Indonesia tergolong rendah, tidak sampai 18.000 judul buku per tahun. Jumlah ini lebih rendah dibandingkan Jepang yang mencapai 40.000 judul buku per tahun, India 60.000, dan China sekitar 140.000 judul buku per tahun.Jumlah produksi buku
7
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Indonesia hampir sama dengan Vietnam dan Malaysia. Namun, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk masing-masing negara tersebut, produksi Indonesia tergolong rendah. Budaya literasi berkaitan erat dengan budaya meneliti. Perguruan tinggi sebagai lembaga ilmiah sudah sepantasnya memiliki dinamika yang tinggi dalam penelitian. Akan tetapi, kegiatan penelitian di perguruan tinggi masih terbatas pula. Produktivitas penelitian dan menulis artikel yang dipublikasi di jurnal ilmiah belum sebanding dengan jumlah perguruan tinggi dan dosen yang ada di Indonesia. Faktor paling klasik yang sering mengemuka adalah terbatasnya dana dan kompetensi tenaga penelitian. Alasan tersebut sebenarnya tidak terlalu tepat kerana pemerintah telah mengalokasikan dana dalam jumlah cukup besar melalui berbagai skim penelitian (dosen pemula, kerja sama antarperguruan tinggi atau PEKERTI, unggulan perguruan tingi, tim pascasarjana, fundamental, hibah bersaing, disertasi doktor, strategis nasional, unggulan strategis nasional, riset andalan perguruantinggi danindustryatau RAPID, kerja sama luar negeri dan publikasi internasional, kompetensi, dan prioritas nasional MP3EI) dan sering tidak semua dana yang disediakan bisa terserap. Berkenaan dengan alasan kedua, sebenarnya masalah tersebut dapat diatasi dengan upaya peningkatan kompetensi dosen dan juga mahasiswa dalam penelitian. Dosen tentu tidak boleh hanya berfokus pada tugas mengajar karena dosen tidak saja menyandang predikat sebagai pendidik profesional, tetapi juga ilmuwan (lihat UU No. 14 Th. 2005 tentang Guru dan Dosen). Dosen dituntut mampun memenuhi semua tugas tridarma. Karakteristik
profesionalisme
pendidik
sebagaimana
telah
dikemukakan
memandatkan dosen/guru untuk secara terus-menerus memikirkan secara reflektif apa yang telah, sedang, dan akan dikerjakan dan dihasilkan. Dalam konteks pengajaran, pendidik perlu secara sistematis mengeksplorasi, meniliai secara kritis, dan membingkai kembali praktik pengajarannya secara holistik untuk dapat membuat interpretasi secara benar dan selanjutnya menentukan pilihan yang tepat untuk memperbaiki kinerjanya. Demikian pula dalam bidang penelitian. Seberapa banyak dan berkualitas penelitian yang telah dilakukan dan rencana terbaik apakah yang akan dilakukan untuk memperbaiki kinerja penelitian Sebagai pendidik guru/dosen harus memiliki kesadaran akan praktik pengajaran dan penelitian serta kesediaannya untuk berubah ke arah yang lebih baik. Perubahan itu hendaknya dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Pendidik dituntut memiliki sikap terbuka dan tanggung jawab. Untuk mewujudkan keefektifan, integrasi, dan sinergitas kegiatan penelitian dan pendidikan serta pengabdian kepada masyarakat dibutuhkan strategi 8
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
pengembangan dalam bentuk road-map yang merupakan pijakan dari ragam bentuk aktivitas untuk mencapai tataran peningkatan kualitas yang diinginkan/ditargetkan. Road-map penelitian perlu dimiliki lembaga pendidikan tinggi, program studi, dan bahkan dosen peneliti. Road-Map merupakan panduan tujuan, sasaran, strategi, dan kebijakan dalam mewujudkan visi, misi, dan tujuan organisasi. Road-Map memandu program studi/lembaga untuk menjalankan strategi dan program-program aksi secara terarah, sistematis, terintegrasi, termonitor, dan terukur dengan baik. Road-Map dapat diibaratkan sebagai sebuah peta jalan dalam satu perjalanan agar perjalanan tersebut dapat efektif dan efisien. Dengan demikian, jelaslah bahwa menyepakati “jalan” yang akan ditempuh untuk mewujudkan “tujuan (mimpi) kreatif” di masa depan sangat diperlukan. Dosen dan guru hendaknya tidak terjebak dalam tugas-tugas rutin belaka. Sebagai pendidik yang kreatif, dosen dan guru perlu membuktikan diri mampu berpikir dan bertindak 'out of the box' dengan berani membuat dan mengimplementasikan program yang belum pernah dilakukan orang lain. SUNGGUH INI SEBUAH TANTANGAN. Sudahkan kita memiliki portofolio membaca, portofolio meneliti, dan portofolio menulis? Apakah koleksi bahan bacaan kita meningkat dari waktu ke waktu? Berapakah jumlah buku atau bahan bacaan lain yang telah kita baca hari ini dan seberapa banyak kita perlu menambahnya pada waktu berikutnya. Seberapa berkualitas penelitian yang telah kita lakukan dan apa yang harus kita lakukan ke depan untuk meningkatkan kualitas itu? Seberapa banyak dan berkualitas tulisan (buku, modul, bahan ajar, makalah, artikel publikasi, atau tulisan lain) yang telah dihasilkan dan apa yang kita programkan dan lakukan untuk mengembangkannnya? Cobalah kita berefleksi diri untuk menemukan jawaban jujur atas peratanyaan itu. Ikhtiar membenahi budaya literasi di kalangan pendidik secara simultan juga perlu dilakukan pada diri peserta didik. Penumbuhkembangan budaya literasi harus dilakukan secara sistematis (terencana, terus-menerus, dan dapat dievaluasi) dengan menggunakan metode yang efektif dan efisien. Upaya itu harus ditempatkan secara tidak terpisahkan dengan aktivitas berbagai sektor kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, upaya menumbuhkan budaya literasi merupakan tanggung jawab bersama seluruh komponen atau eksponen masyarakat, mulai dari institusi sosial paling kecil (rumah tangga) sampai ke institusi paling besar (pemerintah). Keluarga—terutama orang tua—mempunyai peran yang sangat menentukan. Fungsi keluarga bukan semata-mata hanya melakukan fungsi reproduksi atau fungsi perlindungan, 9
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
tetapi juga bertanggungjawab melakukan fungsi soasialisasi—termasuk di dalamnya mendidik anak agar memiliki perilaku gemar membaca dan tentu menulis. Orang tua perlu mengarahkan perhatian mereka dari televisi ke buku, dari budaya menonton ke budaya membaca. Melalui membaca, keaktifan pikiran dan imajinasi anak makin berkembang. Orang tua dapat berperan ganda, yaitu sebagai fasilitator dan motivator. Sebagai fasilitator, orang tua menyediakan buku-buku atau bacaan serta kebutuhan yang lainnya untuk menopang kegiatan membaca yang dilakukan oleh anak sehingga dapat mencapai tujuan sebagaimana yang dikehendakinya. Sebagai motivator, orang tua perlu dengan sabar senantiasa mendorong dan membimbing anaknya untuk senantiasa melakukan kegiatan membaca dan mencintai bacaan. Kepada mereka perlu kita tumbuhkan sikap mental positif terhadap kegiatan membaca dan bacaan sejak dini (Suwandia, 207: 8). Alangkah naifnya orang tua yang berharap anaknya rajin membaca, tetapi mereka sendiri tidak mempersentuhkan jiwa anak dengan kegemaran membaca. Bagaimana orang tua dapat menyuruh anak-anaknya untuk membaca buku-buku yang baik dan sehat, jika dirinya sendiri merasa cukup dengan membaca suat kabar dan majalah hiburan. Ditegaskan oleh Syafinuddin al Mandari (2004: 118-119), peran orang tua yang setiap hari rajin membaca akan menarik anak-anak mereka untuk mengikutinya. Demikian pula, kedisiplinan tak akan terwujud dalam perilaku anak jika orang tunya tidak memperlihatkan kebiasaan hidup teratur dalam rumah. Walhasil, apapun yang diharapkan menjadi sikap jiwa dan perilaku kehidupan anak, hendaklah terdorong berkat contoh yang ditampilkan orang tuanya. Anak-anak akan menyikapi suatu tindakan karena kebiasaan hidup yang tertanam sejak dini. Kesemuanya berpangkal dari rumah, dan akarnya berupa teladan orang tua. Dengan demikian, yang menjiwai pendidikan di rumah tangga adalah keteladanan. Partisipasi aktif guru untuk meningkatkan minat baca siswa sangat diperlukan. Guru harus memberikan contoh gemar membaca dan memiliki kemampuan membaca yang baik. Ditegaskan oleh Suwandi (2007a: 13) bahwa guru dituntut memiliki keterampilan berbahasa. Dengan keterampilan berbahasa itu pula guru dapat menjadi model yang baik bagi para siswa, baik yang berkaitan dengan performasi berbahasa (yang mencakup empat aspek keterampilan berbahasa) maupun dalam menghasilkan karya. Guru diharapkan dapat berperan sebagai figur percontoh. Selain itu, guru harus aktif menyediakan bahan bacaan dan juga secara aktif meningkatkan kemampuan membaca para siswa.
10
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Selain sebagai figur percontoh, hal-hal berikut ini dapat dipertimbangkan untuk dilakukan guru dalam upaya meningkatkan budaya baca siswa. Pertama, guru menyediakan pojok buku (book corner) di ruang-ruang kelas. Bagi sekolah-sekolah yang sebenarnya memiliki koleksi buku yang memadai atau bahkan dalam jumlah banyak, tetapi tidak memiliki ruang perpustakaan (termasuk ruang baca) yang memadai, kegiatan ini dapat dicobakan. Prinsip dasar kegiatan ini adalah mendekatkan buku pada diri siswa. Guru menempatkan sejumlah buku (misalnya 50 judul dan jumlahnya bisa disesuaikan) di sudut ruang kelas yang telah disediakan. Buku itu dapat ditempatkan dalam almari atau rak buku. Penempatan buku di kelas didahului dengan kegiatan pemetaan koleksi buku yang dimiliki sekolah. Hal ini dimaksudkan agar guru secara berkala dapat mengganti buku-buku itu dengan judul buku yang lain. Demikian pula yang dilakukan di kelas lain. Guru juga menyediakan buku pinjam. Selanjutnya, siswa ditugasi membaca dan membuat ringkasan atau sinopsisnya dalam buku yang telah ditentukan. Untuk melatih tanggung jawab siswa, guru meminta siswa untuk mencatatkan judul buku yang dipinjam, tanggal pinjam, dan tanggal kembali pada buku pinjam yang telah disediakan. Jika dalam jangka waktu tertentu buku-buku itu telah dibaca oleh siswa, guru menggantinya dengan buku lainnya. Kedua, guru melakukan kampanye membaca. Guru perlu membuat program kampanye membaca dan memilih dan menentukan pemenangnya. Anak-anak dapat meminjam buku yang telah tersedia di pojok buku, perpustakaan sekolah, atau perpustakaan lainnya dan meminta mereka menyusun sinopsis (untuk buku fiksi) atau rangkuman (untuk buku nonfiksi). Dalam setiap minggu anak dapat meminjam 1-2 buku (fleksibel menurut kebutuhan). Setelah itu, anak-anak ditanyai tentang isi buku yang dipinjam. Bentuknya bisa berbagai macam: anak diminta mengulang cerita yang dibaca di depan kelas atau menjawab pertanyaan dari guru seputar isi buku yang dibaca. Bagi siswa yang bisa menjawab atau menceritakan dengan baik atas buku yang dibacanya, siswa itu bakal dapat stampel di bagian belakang buku harian anak tersebut atau dapat juga diberi bintang (disiapkan guru). Pada akhir semester, guru akan mengumumkan 3 anak pembaca buku terbanyak dan mereka akan mendapat hadiah. Program ini dapat memicu dan memacu minat baca siswa. Mereka akan berkompetisi untuk mendapatkan predikat pembaca terbaik atau terbanyak. Untuk lebih menggairahkan siswa membaca, guru dapat memprogramkan pemberian hadiah tambahan yang berupa voucher. Misalnya, kalau anak berhasil mengumpulkan 5 tanda
11
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
bintang, ia akan mendapatkan voucher minum (drink voucher). Itu murah sekali, tapi yang penting bagi anak-anak adalah penghargaan terhadap usaha mereka. Ketiga, guru meningkatkan kemampuan membaca siswa. Makin maju dan berkembangnya informasi yang dikemas dalam bentuk tulisan, khususnya yang berupa buku, menjadi tantangan bagi guru. Guru dituntut memiliki keterampilan membaca dengan baik. Namun demikian, karena kita tidak memiliki banyak waktu, kita bukan sekadar dituntut memiliki kemampuan membaca, tetapi yang diperlukan adalah kemampuan membaca cepat dan efektif. Berkenaan dengan pembelajaran membaca, guru perlu memahami faktor-faktor yang menghambat siswa dalam membaca cepat dan efektif dan harus beruoaya secara optimal untuk meningkatkan kemampuan membaca siswa hingga sampai pada taraf yang efektif. Guru perlu mencoba menerapkan berbagai strategi membaca efektif dan efisien, seperti SQ3R (Survey-Question-Read-Recite-Review), PQRST (Preview-Question, Read-Summarize-Test), dan sebagainya. Selain itu, guru memiliki tanggung jawab yang besar dalam mengembangkan karakter peserta didik, baik pada konteks pembelajaran maupun di luar pembelajaran. Guru harus mampu menanamkan cara berpikir dan tindakan positif pada disi siswa. Sebagaimana ditegaskan oleh Orick (2002: 86) bahwa tindakan positif adalah langkah yang palingpentingyang bisa kita ambilsebagai individu dan masyarakat untuk mempengaruhi perubahan nyata. Peran pemerintah jelas sangat diperlukan dan sangat menentukan. Persoalan ketersediaan buku atau bacaan, misalnya, penanggulangannya menuntut campur tangan pemerintah. Masalahnya terlalu nasional untuk hanya dipikirkan dan diatasi oleh inisiatif sementara orang atau usaha swasta. Masalahnya terlalu besar untuk hanya dihadapi secara sporadis. Penyedian buku berkaitan dengan usaha pengadaan perpustakaan, baik perpustakaan umum, perpustakaan sekolah, maupun perpustakaan perguruan tinggi. Selain itu, untuk memperluas jangkaun pelayanan pada masyarakat dalam hal akses baca, pemberdayaan perpustakaan keliling menjadi pilihan penting yang mendesak untuk segera dilakukan. Penyediaan buku-buku yang baik, berbobot dan memperhatikan konteks untuk mengisi dan melengkapi perpustakaan-perpustakaan tersebut akan makin memprovokasi pelajar dan masyarakat agar gemar membaca.
12
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Peningkatan Peran Bahasa Indonesia Bahasa memiliki fungsi utama sebagai alat berkomunikasi dan interaksi. Namun demikian, bahasa Indonesia bukan sekadar sebagai sarana komunikasi. Sugono (2012: 2) menyatakan bahwa bahasa Indonesia telah membuktikan fungsinya sebagai media ekspresi (1) pernyataan sikap politik identitas bangsa pada Kongres Pemuda Kedua 28 Oktober 1928 yang menyatakan pengakuan terhadap (i) satu tumpah darah, tanah air Indonesia, (ii) satu bangsa, bangsa Indonesia, dan (iii) menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia, serta (2) pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia 17 Agustus 1975. Pernyataan sikap politik pada Sumpah Pemuda tersebut mampu membangun sinergi kekuatan persatuan merebut kemerdekaan dari cenkeraman kolonialisme Barat. Sementara itu, pernyatan kemerdekaan Indonesia terbukti mampu memberi inspirasi membentuk persatuan bangsa-bangsa Asia Afrika untuk melawan kolonialisme. Nyata sekali bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa kebangsaan memiliki peran politik yang sangat besar, terutama sebagai pemersatu bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia memainkan peran penting dalam penyatuan berbagai pembentukan karakter bangsa, perjuangan kemerdekaan bangsa, pencerdasan kehidupan bangsa, dan perubahan menuju peradaban yang lebih maju dan unggul. Sejalan dengan itu, pengefektifan pendidikan bahasa Indonesia memiliki peran yang sangat penting dan menentukan dalam pembangunan kecerdasan dan karakter generasi muda serta pengembangan karakter bangsa. Menurut Suwandi (2004: 224),
hal penting yang perlu dilakukan
agar bahasa
Indonesia mampu menjadi wahana komunikasi yang efektif adalah pencendekiaan dan pemerkayaan bahasa tersebut. Untuk itu, upaya peningkatan mutu rancang bangunnya atau tingkat kebakuan kaidahnya serta pemekaran kosa katanya perlu terus dilaksanakan. Sebagai salah satu sarana pembinaan jati diri bangsa, bahasa Indonesia senantiasa perlu dirawat dan dikembangkan (Sedyawati, 1993: 45). Pengembangan itu meliputi dua aspek
yang perlu berjalan seimbang. Aspek pertama adalah kebahasaan yang meliputi
ketatabahasaan maupun kosa kata. Perwujudan nyata dari penanganan sisi kebahasaan ini adalah kajian-kajian linguistik beserta penggunaannya. Bahasa adalah suatu sistem tanda. Di dalam penggunaan sistem itu bisa terdapat perbedaan antara modus yang tepat dan salah. Di antara keduanya terdapat modus yang menyimpang, yang apabila menjadi kebiasaan dapat menjadi suatu penanda ragam bahasa yang khusus. Aspek kedua adalah kesusastraan. Pada sisi ini, pokok pandang yang dipentingkan adalah bagaimana sistem tanda itu dimanipulasi 13
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
dan dipergunakan sebagai media ekspresi. Pengindahan, perlambangan di atas lambanglambang, dan kadang-kang pengingkaran secara sengaja atas kaidah umum merupakan kiat yang dapat dilakukan sastrawan. Karya sastra memang bukan semata-mata dimaksudkan menyampaikan pesan, tetapi juga menumbuhkan efek afektif tertentu kepada pembaca. Hal lain yang tidak boleh diabaikan dalam upaya meningkatkan keefektifan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi adalah peningkatan mutu pendidikan bahasa. Untuk memperbaiki sistem pendidikan di sekolah-sekolah, khususnya pendidikan bahasa, perlu terus dilaksanakan dengan melibatkan pihak-pihak yang mempunyai tanggung jawab terhadap upaya itu: praktisi dan ahli pendidikan (bahasa), ahli bahasa, pemerintah, dan masyarakat. Berkenaan dengan ini, perlu penerapan pendekatan dan model yang tepat untuk pembelajaran bahasa Indonesia, ketersediaan bahan—termasuk bacaan sastra—yang
memadai,
ketersediaan guru-guru yang memiliki kompetensi profesional, dan perlunya sistem dan pelaksanaan penilaian pebelajaran bahasa yang mampu meningkatkan dan mewujudkan keterampilan berbahasa siswa. Peningkatan sikap positif masyarakat terhadap bahasa Indonesia juga sangat diperlukan sebab sebagian masyarakat—sebagaimana dikemukakan Moeliono (1993: 1)— bangga terhadap BI berdasarkan ciri ekstrinsiknya, tetapi tidak begitu bangga jika harus menilai ciri instrinsiknya. Kebanggaan orang terhadap bahasa Indonesia bukan karena mutunya sebagai sistem komunikasi atau karena luas kosakatanya, ataupun karena keluwesannya dalam tata kalimat; kebanggaan orang terhadap bahasa Indonesia lebih karena pertimbangan politik, demografi, dan ekonomi. Sikap sebagian masyarakat terhadap bahasa Indonesia seperti diuraikan di atas diduga disebabkan oleh persepsi yang mereka miliki bahwa bahasa Indonesia tidak mampu menjadi bahasa modern. Jika dugaan itu benar, maka upaya peningkatan pemahaman masyarakat terhadap bahasa Indonesia perlu dilakukan. Sikap kurang positif masyarakat pemilik dan pengguna bahasa Indonesia berdampak pada perilaku berbahasa mereka. Sekarang ini—bahkan telah berlangsung sejak lama— banyak sekali kita jumpai pemakaian bahasa Indonesia yang tidak tertib. Hal itu antara lain terlihat pada banyaknya pengambilan unsur asing (khususnya dari bahasa Inggris) secara gampang dalam pemakaian bahasa Indonesia. Kita dengan mudah dapat menemukan contohcontoh pemakaian bahasa Indonesia yang tidak tertib itu.
14
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Penutup Ikhtiar mewujudkan bangsa
Indonesia sebagai bangsa yang unggul semestinya
menjadi komitmen semua elemen bangsa.
Untuk mewujudkan cita-cita tersebut pilihan
strategis yang perlu ditempuh adalah menjadikan masyakat dan bangsa Indonesia terlebih dahulu berilmu dan untuk itu budaya literasi perlu dikembangkan. Budaya literasi akan makin mencendekiakan masyarakat dan bangsa Indonesia Bangsa Indonesia juga dituntut memiliki karakter, yang antara lain adalah ketuhanan, kejujuran, kedisiplinan, etos kerja, kepercayaan diri, kemandirian, dan tanggung jawab. Ketikabangsa Indonesia telah maju, yang dibuktikan kemampuannya dalam menghasilkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (IPTEKS), bangsa-bangsa lain akan tertarik untuk mempelajari dan berupaya memperoleh IPTEKS tersebut. Dalam hal kemajuan IPTEKS itu dikemas dan disajikan dalam bahasa Indonesia, maka orang dan bangsa lain sudah tentu akan berusaha mempelajari bahasa Indonesia. Namun, jika bukan karena kemajuan IPTEKS bangsa kita, mereka (bangsa-bangsa asing) beramai-ramai dan berbondong-bondong serta sangat antusias mempelajari bahasa Indonesia, kita hendaknya waspada. Kita tidak boleh dininabobokkan dengan fenomena makin banyak negara mempelajari bahasa Indonesia. Patut diduga motif ekonomilah yang menggerakkkan mereka. Jika ini benar, maka mereka sejatinya telah memilki kesadaran sejak dini tentang hakikat pertarungan. Meraka menyadari bahwa Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Cummunity) sesungguh pertarungan merebutkan kue. Ketika mereka memiiki kompetensi dan penguasaan bahasa Indonesia yang baik, mereka akan masuk ke negeri kita dan akan menjadi kompetitor kita dan anak-anak kita baca: tenaga kerja Indonesia). Siapkah KITA? Jika lengah KITA AKAN JADI PECUNDANG dan menjadi penonton di negeri sendiri.
Daftar Pustaka Harras, Kholid A. 2011. “Mengembangkan Potensi Anak melalui Program Literasi Keluarga”, Jurnal Artikulati Vol. 10 No. 1. Kesuma, Dharma, Cepi Triatna, dan Johan Permana. 2011. Pendidikan Karakter Kajian Teori dan Praktik di Sekolah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Moeliono, Anton M. 1993. “Pengembangan Laras Bahasa dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Modern”, makalah disajikan dalam Kongres Bahasa Indonesia VI. Jakarta: Depdikbud. 15
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Orlick, Terry. 2002. Nurturing Positive Living Skills for Children: Feeding the Heart and Soul of Humanity . Journal of Excellence . 7, 86-98. Peraturan Menteri Penidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2013 tentang Penerapan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Richards,
Jack C. 2002. Curriculum Development in Language Teaching. New York: Cambridge University Press.
Sedyawati, Edi. 1993. “Bahasa Indonesia dalam Pengembangan Kebudayaan Nasional,” Makalah disajikan dalam Kongres Bahasa Indonesia VI, Jakarta, 28 Oktober-2 November 1993. Syafinuddin al Mandari. 2004. Rumahku Sekolahku. Jakarta: Pustaka Zahra. Sugono, Dendy. 2012. “Peran Bahasa Indonesia dalam pembentukan Karakter Bangsa,” dalam Suryo Handono (Peny.) Prosiding Seminar Nasional Peningkatan peran Bahasa dan Sastra dan Pencerdasan dan Pembentukan Karakter Bangsa. Yogyakarta: Lokus. Suwandi, Sarwiji. 2004. “Pemantapan Peran Bahasa Kebangsaan sebagai Alat Kohesi Nasional” dalam Katharina Endriati Sukamto (Ed.) Menabur Benih Menuai Kasih, Persembahan Karya Bahasa, Sosial, dan Budaya untuk Anton M. Moeliono pada Ulang Tahunnya yang ke-75. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Sarwiji Suwandi. 2007a. “Meneratas Jalan Menuju Peningkatan Minat dan Budaya Baca Pelajar dan Masyarakat” Makalah dipresentasikan dalam Seminar yang diselenggarakan antara kerja sama Prodi PBSI FKIP, Balai Bahasa Jateng, dan Balai Pustaka, 20 Maret.
16
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
_________. 2007b. “Kemampuan Membaca Cepat dan Efektif Siswa Sekolah Menengah Pertama di Kota Surakarta”. Laporan Penelitian UNS, tidak diterbitkan. _________. 2014. ”Pembelajaran Bahasa Indonesia Berbasis Teks dengan Pendekatan Saintifik dan Upaya Membangun Budaya Literasi,” makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional yang diselenggarakan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesi FPBS IKIP PGRI Bojonegoro, 7 Juni 2014. _________. 2015. ”Pendidikan Karakter Sebagai Peneretas Jalan Mewujudkan Bangsa Indonesia yang Berjati Diri dan Bermarwah”, makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pendidikan yang diselenggarakan STKIP Hamzanwadi Selong, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, 10 Januari 2015. Takdir, Muhammad. 2012. “Pendidikan Berbasis Budaya Literasi”, Suara Pembaharuan Edisi 7 September. Tauchid, Moch. dkk. 2013. Ki Hadjar Dewantara: Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, SikapMerdeka I (Pendidikan). Yogyakarta: UST-Press bekerja sama dengan Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
17
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
PERAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DALAM MEMPERSIAPKAN ANAK BANGSA MENUJU MASYARAKAT ASEAN Maman Suryaman (FBS dan PPS UNY)
[email protected],
[email protected] Abstrak Makalah ini berisi paparan mengenai peran pendidikan bahasa dan sastra Indonesia dalam konteks Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Parameter yang digunakan adalah mengenai gambaran kesiapan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat dunia pendidikan bahasa, bagi terciptanya peran tersebut. Pertama, terkait dengan kesiapan siswa Indonesia dalam peta dunia untuk membaca siswa Indonesia dalam peta dunia. Kedua, profil mahasiswa Prodi PBSI dalam mempersiapkan diri memasuki MEA. Terdapat dua pokok masalah yang disorot, yakni pertama, kemampuan membaca siswa Indonesia berada dalam kurva rendah. Kedua, pengalaman membaca mahasiswa prodi PBSI masih rendah. Pengantar Dalam lima tahun terakhir saya memberi kuliah di S1, S2, dan S3, pertanyaan mulamula yang muncul adalah “Apakah Anda sudah memiliki paspor?” Secara serentak mereka menjawab “Belum”, kecuali sebagian mahasiswa S3. Kemudian, saya tanyakan, apakah Anda pernah berkunjung ke beberapa negara tetangga. Jawabannya pun sama, yakni “Belum”. Dalam dua tahun terakhir, saya pun masih bertanya, “Apakah Anda mengetahui tentang MEA?” Jawaban pun sama, “Tidak tahu”, kecuali sebagai akronim “Masyarakat Ekonomi ASEAN”. Ilustrasi di atas merupakan suatu ironi bagi masyarakat terdidik kita mengenai ketidaksiapannya memasuki suatu kehidupan baru. Seperti kita sepakati bersama bahwa kehidupan baru mensyaratkan kompetensi-kompetensi yang semakin rumit. Kompetensikompetensi itu akan dimediasi melalui pendidikan, khususnya pendidikan bahasa, yakni berupa kompetensi literasi. Dunia sudah mengakui bahwa pendidikan berkewajiban untuk membentuk masyarakat literat melalui kompetensi literasi. Terbentuknya masyarakat literat merupakan suatu ukuran maju-tidaknya suatu bangsa. Untuk menciptakan masyarakat literat, melek aksara harus terus diciptakan. Bangsa-bangsa di dunia telah menyadarinya sehingga lahir kesepakatan Dakar (Global Monitoring Report 2006) tentang Literacy for Life bahwa keberaksaraan merupakan hak seluruh umat manusia tidak hanya karena alasan moral, tetapi juga untuk menghindari hilangnya potensi manusia dan kapasitas ekonomi. Keberaksaraan 18
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
saat ini menjadi sangat penting karena munculnya masyarakat yang didasarkan pada ilmu pengetahuan.Ukuran ini semakin menguat manakala dikaitkan dengan perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat. Bahkan, teknologi informasi ini telah melahirkan revolusi telekomunikasi. Seperti dilansir oleh banyak pihak, revolusi telekomunikasi dalam era kekinian merupakan tenaga penggerak yang kencang luar biasa. Revolusi itu mampu mempercepat perhubungan di angkasa; perubahan di atas tanah dan gerakan di bawah tanah. Revolusi itu juga tidak bergerak dengan kecepatan, melainkan dengan percepatan (Sanusi, 1998:90). Percepatan ini mampu mengatasi berbagai persoalan. Artinya, bangsa yang lamban akan terlambat; bangsa yang lengah akan tergeser dan tersungkur di pinggir jalan raya peradaban. Bangsa yang literasi masyarakatnya masih rendah akan mengalami peradaban yang suram. Bangsa seperti inilah yang pertama kali akan tersungkur di pinggir jalan raya peradaban. Untuk itu, membangun masyarakat literat harus menjadi prioritas utama di antara prioritas-prioritas utama lainnya. Adapun masyarakat literat ditandai dengan adanya kemauan dan kemampuan masyarakat untuk membaca (Suryaman, 2001). Profil Siswa Indonesia Secara empiris, hasil penelitian (Suryaman, 2012) mengenai kemampuan membaca siswa Indonesia di dunia internasional menggambarkan kondisi yang memprihatinkan. Hasil tes yang dilakukan oleh PIRLS tahun 2011 untuk mengukur hasil membaca teks sastra dan teks informasi hampir pada semua butir belum dapat dijawab dengan sempurna oleh siswa Indonesia. Subtansi yang diteskan terkait dengan kemampuan siswa menjawab beragam proses pemahaman, pengulangan, pengintegrasian, dan penilaian atas teks yang dibaca. Jenis teks yang digunakan adalah teks pengalaman kesastraan dan pemerolehan serta penggunaan informasi. Komposisinya teks sastra 50% dan teks informasi 50% dengan rincian 20% difokuskan pada informasi yang dinyatakan secara tersurat untuk diulang, 30% membuat inferensi, 30% menafsirkan dan memadukan gagasan dan informasi, serta 20% memeriksa dan menilai isi, bahasa, dan unsur-unsur yang terdapat di dalam teks. Di dalam PIRLS 2011 ini teks sastra berisi cerita pendek atau episode yang disertai dengan ilustrasi pendukung. Lima bagian berisi cerita-cerita tradisional dan kontemporer dengan panjang teks kira-kira 800 kata dengan beragam latar. Pada setiap hal yang esensial dua karakter utama dan sebuah alur dihubungkan dengan satu atau dua peristiwa pusat. Di
19
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
dalam bagian-bagian tersebut tercakup pula ciri-ciri gaya dan bahasa penceritaan, seperti cerita orang pertama, humor, dialog, dan beberapa gaya bahasa. Teks informasi berisi lima bagian termasuk ragam teks lengkap maupun tidak lengkap berdasarkan panjang kata antara 600 sampai dengan 900. Teks tersebut merepresentasikan ciri-ciri seperti diagram, peta, ilustrasi, fotografi, atau tabel. Rata-rata materi mencakup materi ilmiah, etnografi, biografi, sejarah, informasi, dan gagasan praktis. Teks disusun melalui sejumlah cara, termasuk cara logis, argumen, urutan, dan topik. Beberapa bagian menggunakan organisasi bacaan seperti subjudul, kotak teks, atau daftar. Berdasarkan laporan PIRLS 2011, kemampuan membaca siswa diduduki oleh siswa Singapura dengan kategori level sempurna mencapai 24%. Urutan berikutnya adalah Rusia, Irlandia Utara, Finlandia, Inggris, Hongkong, dan Irlandia dengan capaian antara 15-19% mampu menjawab pada level sempurna. Di level sedang dicapai oleh siswa Perancis, Austria, Spanyol, Belgia, dan Norwegia dengan persentase 70%. Median level sempurna 8%, tinggi 44%, sedang 80%, dan lemah 9%. Sementara itu, siswa Indonesia mampu menjawab butir soal level sempurna (0,1%), mampu menjawab butir soal level tinggi 4%, mampu menjawab butir soal level sedang 28%, dan mampu menjawab butir soal level lemah 66%. Artinya, siswa Indonesia di level sempurna, tinggi, dan sedang berada di bawah persentase median yang dicapai oleh siswa secara internasional, sementara di level lemah berada di atas median siswa internasional. Tabel 1 Posisi Siswa Indonesia dalam Standar Internasional Level
Negara Singapura
Capaian (%) 24
Median (%) 8
Sempurna Tinggi
Negara
Rusia,
15-19
44
4
70
80
28
Indonesia
Capaian (%) 0,1
Irlandia Utara, Finlandia, Inggris, Hongkong, Irlandia Sedang
Perancis Spanyol, Belgia,
20
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Norwegia Lemah
9
66
(Sumber: Suryaman, 2012) Negara-negara yang mengikuti program PIRLS menjadikan hasil studi IEA sebagai bagian penting bagi perubahan bangsanya ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu, negaranegara yang dimaksud melakukan upaya yang sangat serius untuk meningkatkan kemampuan membaca siswanya melalui program pendidikan dan kebijakan negara, seperti membuat perundang-undangan
yang
mengatur
masalah
literasi
masyarakat
sampai
kepada
implementasinya. Melalui pendidikan, misalnya, Singapura mengembangkan program membaca sebagai bagian terpenting di dalam pendidikan. Melalui kebijakan, Singapura meratifikasi kesepakatan Dakar (Global Monitoring Report 2006) tentang Literacy for Life. Tabel 2 Perubahan Kemampuan Membaca Siswa Indonesia dalam Standar Internasional
21
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
(Sumber: PIRLS, 2011) Perubahan yang terjadi di Indonesia tersebut dibandingkan dengan capaian siswa internasional pada umumnya belum maksimal. Sekalipun ada perubahan, perubahan ini pun belum signifikan karena Indonesia masih berada di urutan terakhir dari 45 negara yang diteliti. Artinya, perubahan yang dialami siswa di semua negara yang diteliti jauh lebih baik. Indonesia sebenarnya sudah menyadari hal tersebut sejak lama, setidak-tidaknya sejak Negara Republik Indonesia berdiri. Presiden Soekarno, misalnya, dalam pertengahan tahun 1960-an menyerukan kepada segenap bangsa Indonesia untuk membiasakan diri membaca agar dapat menambah ilmu pengetahuan. Pentingnya kegiatan membaca dalam kehidupan sehari-hari juga diserukan kembali oleh Presiden Soeharto dalam penetapan Bulan September sebagai Bulan Gemar Membaca dan Hari Kunjung Perpustakaan pada tanggal 14 22
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
September 1995 dan peresmian Perhimpunan Masyarakat Gemar Membaca (PMGM) pada tanggal 31 Mei 1996. Hari Aksara, Hari Kunjung Perpustakaan, dan Bulan Gemar Membaca dicanangkan pula pada tanggal 14 September 1995. Pencanangan dan peresmian itu dimaksudkan agar segenap bangsa Indonesia memberikan perhatian terhadap membaca sebagai suatu unsur dari budaya bangsa. Presiden Megawati menyerukan kepada segenap komponen bangsa Indonesia untuk menyukseskan Gerakan Membaca Nasional pada tanggal 12 November 2003. Terakhir pada masa pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB), Presiden SBY mencanangkan Gerakan Pemberdayaan Perpustakaan di Masyarakat pada tanggal 17 Mei 2006. Namun, di tataran implementasi masalah membaca belum disertasi dengan kemauan politik konkret. Pada tahun 1978 Daniel Lerner mempublikasikan hasil penelitiannya tentang tradisi, transisi, dan modernisasi di enam negara Timur Tengah (Kleden, 1999). Ia menerapkan asumsi secara ketat tentang perbedaan antara masyarakat tradisional, masyarakat transisional, dan masyarakat modern melalui akses terhadap tulisan dan terhadap media komunikasi lainnya seperti radio. Berdasarkan temuan ini Lerner menyimpulkan bahwa hubungan dengan dunia lain, kebudayaan lain, pandangan hidup lain, dan sistem sosial lain atau sistem politik lain, lebih cepat dibuka melalui membaca. Sebagai bagian dari suatu tingkah laku budaya (cultural behavior), baik dipandang dari sudut pembaca maupun penulis, seorang pembaca akan terbiasa mencari informasi, menambah pengetahuan, melakukan pengecekan pengetahuannya, atau mencari hiburan dan kesenangan dengan membaca buku-buku. Misalnya, para murid akan membaca buku teks pelajaran, referensi, buku pengayaan untuk menyelesaikan tugas-tugas belajarnya serta membaca novel, majalah, surat kabar, puisi, dan sebagainya untuk mendapatkan hiburan dan pencerahan. Seorang profesor akan membaca buku-buku baru, jurnal-jurnal ilmiah nasional maupun internasional untuk melakukan penelitian-penelitian bagi pengembangan keilmuan dan untuk bahan diskusi dengan para mahasiswanya, pun akan membaca novel, majalah, surat kabar, puisi, dan sebagainya untuk mendapatkan hiburan dan pencerahan. Para artis akan membaca buku-buku untuk pengembangan kerartisannya dan akan membaca novel, majalah, surat kabar, puisi, dan sebagainya untuk mendapatkan hiburan dan pencerahan. Para murid, profesor, dan artis pun akan membuat catatan-catatan harian tentang kesan-kesan dan pengalaman belajarnya, pengalaman keilmuannya, dan pengalaman keartisannya serta
23
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
terhadap hasil kesenangan dan pencerahan dari membaca novel, puisi, majalah, dan surat kabar. Dampaknya adalah munculnya kebiasaan dan kebutuhan untuk membaca. Sebagai sebuah kebiasaan, membaca mempersyaratkan kesanggupan teknis untuk memakai bahasa tulisan dengan baik serta kesanggupan budaya untuk menyendiri pada saatsaat tertentu dalam suatu kebebasan pribadi yang tidak terganggu, tempat orang yang hanya berhadapan dengan dirinya sendiri. Anggota suatu keluarga dapat mendengarkan radio atau menonton televisi bersama-sama, tetapi sulit bagi mereka untuk membaca sebuah novel atau esei
bersama-sama.
Kebiasaan
membaca
mengandaikan
semacam
”individualisme
kebudayaan”. Indonesia belum mengimplementasikan program membaca secara serius. 1) Kemampuan Memecahkan Soal Sastra pada Level Lemah Kemampuan membaca siswa di dunia ditunjukkan melalui kemampuan menjawab butir soal sastra yang mengikat (anchoring) pada ukuran internasional di level lemah. Berdasarkan wacana “Terbanglah Elang Terbanglah” (“Fly Eagle Fly”), siswa menunjukkan bahwa mereka dapat menyebutkan kembali suatu rincian pernyataan tersurat dari awal sebuah cerita. Sebagian besar siswa (89%) secara internasional mampu menyelesaikan tugas ini dan siswa dari 11 negara mampu menjawab benar sebesar 95%. Sementara itu, siswa Indonesia mampu menjawab secara benar sebesar 82%. Namun, masih berada di bawah rata-rata internasional (89%). Berikut ini contoh butir soal yang diujikan. 1. Apa yang dicari petani pada awal cerita itu? A. anak sapi B. pengembala C. jurang berbatu D. anak elang Mengapa siswa Indonesia berada di bawah rata-rata internasional? Di dalam bacaan terdapat beberapa informasi yang terkait dengan petani, yakni anak sapi, anak elang, ayam, dan anjing. Yang banyak diceritakan adalah anak elang dan ayam. Sementara itu, anak sapi hanya diceritakan di awal dan di akhir. Kemungkinan siswa Indonesia terfokus kepada jumlah penceritaan. Di dalam pembelajaran membaca sastra ada satu subkompetensi memahami unsur intrinsik cerita, khususnya tokoh utama. Tokoh utama cerita ditandai dengan selalu muncul sejak awal cerita dan tingkat kemunculannya sangat dominan. Padahal, di dalam kenyataannya dapat saja tokoh utama tidak muncul di awal cerita. Kemungkinan penyebab kedua adalah konsentrasi membaca yang tidak baik sehingga harus dilakukan secara berulang-ulang. Padahal di dalam tes ini waktu terbatas jika harus mengulang bacaan. Jadi, 24
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
siswa hanya mengandalkan teori mengenai tokoh utama dan diterapkan pada masalah yang berbeda. Konsentrasi yang tidak baik menggambarkan juga bahwa siswa tidak terbiasa membaca. Seseorang yang tidak biasa membaca tidak akan dapat menjaga konsentrasinya sehingga membaca harus dilakukan berulang-ulang. Bandingkan dengan butir soal nomor 9 Ujian Nasional Bahasa Indonesia 2011/2012 berikut ini. Tokoh utama pada penggalan drama tersebut adalah … A. Lisna B. Budi
C. Joni D. Danu
Jenis pertanyaan tersebut menuntut siswa menggunakan kriteria tokoh utama. Nama tokoh Danu dan Lisna paling banyak disebutkan. Artinya, jawaban atas butir soal tersebut adalah D (Danu) atau A (Lisna). Akibatnya, siswa cenderung menebak jawaban, bukan “menyebutkan” atau “menyimpulkan”. Kualitas butir soal seperti ini jelas lemah di satu sisi, dan tidak menarik di sisi lain bagi siswa oleh karena “membingungkan” antara “menyebutkan kembali” dengan “menyimpulkan” tidak jelas jawabannya. Untuk lebih menguatkan analisis tersebut, berikut ini disajikan lagi satu butir soal nomor 10 Ujian Nasional Bahasa Indonesia 2011/2012. Latar tempat pada drama tersebut adalah … A. sekolah B. rumah Danu
C. lapangan D. took buah
Di dalam wacana yang ditampilkan, terdapat dua latar tersurat, yakni toko buah dan sekolah. Di samping itu, terdapat latar yang tidak jelas, yakni tempat tokoh bernama Danu sakit. Dalam wacana tidak ada sedikit pun tanda yang merujuk kepada tempat tokoh tersebut sakit. Akan tetapi, jawabannya adalah “rumah Danu”. Menebak merupakan pilihan cara siswa menjawab. Artinya, butir soal kemampuan membaca sangat subjektif jawabannya. Persepsi ini muncul juga pada diri guru bahwa jawaban butir soal membaca sangat subjektif. Berdasarkan analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa penyebab rendahnya kemampuan membaca siswa Indonesia adalah adanya kesalahan teori, belum terbentuknya kebiasaan membaca, serta butir soal yang dujikan rendah validitasnya, khususnya validitas isi. 2) Kemampuan Memecahkan Soal Sastra pada Level Sedang Untuk butir soal dari wacana “Kue untuk Musuh” (“Enemy Pie”), khususnya butir soal nomor 2, berisi pertanyaan yang menuntut siswa untuk membuat inferensi sebagai 25
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
tanggapan atas karakter tokoh di awal cerita. Kemampuan siswa Singapura menjadi yang terbaik dengan mampu menjawab benar sebesar 87% dan 70% siswa menjawab secara benar berada di atas rata-rata PIRLS pada empat negara. Rata-rata kemampuan siswa Indonesia di dalam menjawab butir dengan level sedang ini sebesar 45%, dan berada di bawah ukuran ratarata internasional (70%). Sebagian besar siswa (53%) salah dalam memberikan jawaban. Artinya, kemampuan sebagian besar siswa Indonesia di dalam menarik inferensi masih lemah. Berikut ini contoh butir soal. 2. Di awal cerita, mengapa Tom merasa Jeremy adalah musuhnya? Butir pertanyaan nomor 2 merepresentasikan tanggapan atas karakter tokoh dilihat dari hubungan antara satu tokoh dengan tokoh lainnya. Pada saat yang bersamaan terpolakan juga mengenai alur cerita. Butir soal seperti ini tidak biasa dalam soal-soal yang dikonstruksi untuk ujian nasional. Konstruksi yang biasa muncul bersifat menanyakan langsung atas karakter tokoh. Berikut ini sebagai contoh butir soal ujian nasional 2009/2010. 7. Sifat Sang Putri dalam cerita tersebut adalah … A. B. C. D.
cantik dan manja cantik dan baik hati ramah dan penolong penyayang dan baik hati
Kunci jawaban atas butir nomor 7 tersebut adalah A. Jenis pertanyaan tergolong ke dalam menyebutkan kembali. Namun, berbeda dengan standar yang dikonstruksi PIRLS benchmarks internasional, stem pada butir soal ujian nasional tidak memberikan kesempatan siswa berpikir oleh karena stem dan pilihan tidak problematis. Kebiasaan siswa Indonesia menghadapi soal-soal yang tidak problematis dan tidak menantang menyebabkan siswa tidak terbiasa berpikir dan tidak tertantang untuk menyelesaikan masalah. Akibatnya, kecenderungan jawaban siswa diperoleh dari hasil menebak. Di sisi lain, pilihan jawaban sangat lemah. Kata “cantik” menggambarkan fisik. Gambaran fisik biasanya berkorelasi dengan gambaran mental. Dalam teori sastra, sifat tokoh merepresentasikan mental. Seharusnya, pilihan dalam butir soal tersebut berupa manja, baik hati, penolong, dan penyayang. 3) Kemampuan Memecahkan Soal Nonsastra pada Level Sedang Pada wacana “Lintas Alam” (“Day Hiking”) butir soal yang diajukan pada siswa adalah untuk menemukan informasi mengenai alasan yang menarik. Butir soal ini tergolong 26
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
mudah untuk siswa dengan 84% siswa internasional dapat menjawab secara benar dan lebih dari separuh siswa dari seluruh negara mampu menjawab secara benar. Bahkan, siswa Hongkong dapat menjawab 98% secara benar. Namun, siswa Indonesia hanya 66% mampu menjawab soal pada butir ini dan berada di bawah rata-rata internasional (84%). Siswa lain memilih jawaban B (23%), C (5%), dan D (5%). Karakteristik jawaban sebenarnya bersifat tersurat di dalam brosur. Artinya, kemampuan membaca brosur masih menjadi suatu persoalan di kalangan siswa Indonesia, sama halnya dengan membaca tabel atau peta. 5. Mengapa kamu harus membawa kaos kaki cadangan dalam kegiatan lintas alam? A. kaki mungkin saja basah B. cuaca mungkin saja dingin C. kalau-kalau lecet D. untuk seorang teman
Dari segi isi, butir soal yang biasa dikonstruksi untuk ujian nasional biasanya berupa informasi mengenai obat. Misalnya, butir soal nomor 5 pada ujian nasional 2011/2012 dan 2009/2010. Melihat fenomena ini, isi kasus cenderung tidak berubah dengan stem yang tidak problematis. Berikut ini adalah contohnya.
5. Rani berusia 10 tahun maka penggunaan obat batuk yang sesuai adalah … A. sehari tiga kali sebanyak 10 ml B. sehari tiga kali sebanyak 5 ml C. tiga hari sekali sebanyak 10 ml D. tiga hari sekali sebanyak 10 ml
Indikasi: Batuk berdahak Batuk karena bronchitis Komposisi: Tiap 5 ml mengandung: Bromhexine ………….. 4 mg Guaipheresin …………. 100 mg Ethanol ………………. 6% v/v Cara Pakai: Dewasa dan anak usia di atas 12 tahun: 3 kali sehari 10 ml 27
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Anak-anak usia 2 sampai 12 tahun: 3 kali sehari ml
Dengan melihat kasus tersebut, butir soal untuk mengukur kemampuan menemukan informasi dari kasus yang tidak problematis, tidak sesuai dengan dunia siswa, dan terlalu berat untuk siswa. Dampaknya adalah siswa tidak terbiasa menghadapi butir soal yang sesuai dengan perkembangan kognitifnya. Hal seperti ini menjadi salah satu faktor penyebab masih banyaknya siswa Indonesia yang mendapatkan kesulitan untuk menemukan informasi secara tepat. Artinya, informasi yang harus diingat oleh siswa terlalu sulit oleh karena hasil yang harus diingat tidak problematis. 4) Kemampuan Memecahkan Soal Sastra pada Level Tinggi Wacana sastra yang diujikan berjudul “Kue untuk Musuh” (“Enemy Pie”). Butir ini mengilustrasikan kemampuan tingkat tinggi siswa untuk memadukan bukti/fakta-fakta dari penjelasan teks sastra kontemporer untuk memahami tujuan karakterisasi tokoh. Siswa pada tiga negara (Rusia, Hongkong, dan Finlandia) mampu menjawab secara benar sebanyak 70% dan 50% siswa berada di atas rata-rata internasional. Siswa Indonesia hanya 12% yang mampu menjawab secara benar dan berada jauh di bawah rata-rata internasional. Artinya, kemampuan siswa Indonesia untuk memadukan fakta-fakta dari bacaan sastra kontemporer terkait dengan pemahaman atas tujuan karakterisasi tokoh masih lemah. Bentuk soal berupa uraian singkat. Dugaan bahwa siswa banyak menebak butir soal pilihan ganda yang disebabkan oleh salah satunya stem dan pilihan tidak jelas diperkuat oleh kemampuan melalui butir soal nomor 14. Sebagian besar siswa (78%) jawabannya tidak memperlihatkan kemampuan siswa untuk memahami aspek yang ditanyakan. Sisanya, siswa tidak memberikan jawaban. 14. Gunakan bagian cerita yang telah kamu baca untuk menjelaskan mengapa ayah Tom membuat kue untuk musuh. 28
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Bentuk soal dengan stem seperti tersebut pada nomor 14 tidak biasa diujikan pada siswa Indonesia. Padahal, soal tersebut sangat menarik karena problematis dan jawabannya ada di dalam bacaan. Bentuk soal yang biasa diterima siswa Indonesia seperti pada soal ujian nasional berupa pertanyaan langsung atas pokok yang diujikan. Berikut ini disajikan contoh butir soal ujian nasional 2009/2010. Tersedia satu kutipan cerita yang dikutip dari buku pelajaran bahasa Indonesia. 8. Amanat yang tepat untuk cerita tersebut adalah … A. jika ingin punya anak bertapalah B. kebaikan harus dibalas dengan kebaikan pula C. menjadi anak janganlah manja D. rakyat harus mencintai putrinya
Kunci jawaban atas butir soal tersebut adalah C. Setelah dianalisis, tidak ada satu pun pilihan jawaban yang tepat. Kunci jawaban pun tidak ada di dalam wacana. Dijelaskan di dalam wacana bahwa penyebab Puteri Raja manja karena dia anak satu-satunya. Orang tuanya pun sangat memanjakan. Bahkan, rakyatnya sangat mencintai Puteri Raja. Kebiasaan siswa Indonesia menghadapi butir soal seperti ini dapat dijadikan dasar bahwa kemampuan tingkat tinggi siswa untuk memadukan bukti/fakta-fakta dari penjelasan teks sastra kontemporer untuk memahami tujuan karakterisasi tokoh tidak akan tercapai. Jawaban yang harus dipilih siswa tidak ada yang memadai. Secara psikologis, siswa akan mengalami frustasi setiap menghadapi soal membaca. 5) Kemampuan Memecahkan Soal Nonsastra pada Level Tinggi Butir soal standar internasional level tinggi dicontohkan melalui butir soal nomor 11 melalui membaca peta. Isi yang ditanyakan mengenai dua hal yang dapat dipelajari dari peta brosur “Lintas Alam” (“Day Hiking”).
29
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
11. Sebutkan dua hal yang dapat kamu pelajari dengan mengamati peta? 1. ------------------------------2. -------------------------------
Berdasarkan hasil tes, diperoleh gambaran bahwa 59% siswa secara internasional mampu menjawab butir soal tersebut. Siswa Indonesia yang mampu menjawab sebesar 33% dengan kecenderungan 22% skor 1, 11% skor 2, 56% salah, dan sisanya tidak menjawab. Membaca peta atau tabel merupakan kompetensi yang sangat penting di dalam pembelajaran membaca. Butir soal seperti ini juga biasa muncul dalam soal ujian nasional. Berikut ini contoh butir soal ujian nasional 2009/2010 tentang membaca peta.
Disajikan sebuah peta lokasi. 17. Jika Pak Rudi mengendarai sepeda motor dari Jalan Gurame, belok ke arah Barat dan belok lagi ke arah Utara, ia akan pergi ke … A. lapangan golf C. pasar baru B. kantor PLN D. kantor pajak
Tujuan butir soal tersebut hanya untuk mengukur kemampuan menyebutkan kembali. Hal ini berbeda dengan butir soal membaca peta pada standar PIRLS yang menonjolkan segi pemahaman. Kecenderungan membaca peta untuk pemahaman tingkat tinggi masih belum terjadi dalam soal-soal yang dikonstruksi untuk ujian nasional maupun sekolah dan dalam pembelajaran membaca peta pada siswa Indonesia. Contoh kedua untuk butir soal nonsastra level tinggi dapat digambarkan melalui analisis berikut ini. Butir soal pilihan ganda yang diambil dari wacana “Misteri Gigi Raksas” (“The Giant Tooth Mistery”) digunakan untuk mengukur kemampuan membuat inferensi. Berbeda dengan melakukan inferensi pada soal pengikat (anchoring) pada level sedang, siswa menjawab butir secara benar ditunjukkan melalui inferensi berdasarkan pernyataan berseri dalam teks lengkap yang mengandung gagasan-gagasan kompleks. Sebanyak 58% siswa 30
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
mampu mengerjakan soal cerita lintas negara dan lebih dari 75% siswa di Hongkong dan Cina Taipeh mampu menjawab secara benar. Sementara itu, siswa Indonesia hanya 35% yang mampu menjawab secara benar dan berada jauh di bawah rata-rata internasional (58%). Kecenderungan yang terjadi, siswa yang lain memilih A (12%), B (15%), dan D (32%). Artinya, kemampuan sebagian besar siswa Indonesia dalam menjawab butir soal untuk membuat inferensi (tingkat tinggi) masih lemah. Di dalam wacana tidak ada informasi selain pada butir C.
9. Mengapa Gideon Mantell membawa fosil gigi ke museum? A untuk bertanya apakah fosil itu milik museum B untuk membuktikan bahwa ia adalah ahli fosil C untuk mendengar pendapat ilmuwan yang lain tentang pikirannya D untuk membandingkan fosil gigi dengan fosil gigi lain di museum
Kemampuan melakukan inferensi siswa Indonesia yang masih berada jauh di bawah rata-rata internasional. Hal menggambarkan bahwa pembelajaran membaca belum berjalan dengan semestinya. Di sisi lain, skema siswa Indonesia mengenai museum masih kurang sehingga museum hanya dipandang sebagai tempat penyimpanan benda-benda sejarah. Orang yang ada di museum Indonesia adalah “pegawai” museum sehingga belum dapat dijadikan tempat untuk belajar siswa karena tidak ada ilmuwan yang bukan hanya mengetahui, tetapi mampu menjelaskan benda-benda secara akademis. Di samping itu, pembelajaran membaca yang cenderung hanya menekankan pada penentuan ide pokok paragraf tanpa ada penafsiran yang lebih spesifik mengenai ide pokok paragraf menjadi salah satu penyebab kemampuan membaca siswa lemah ketika dihadapkan pada soal-soal yang menghubungkan antara satu fakta dengan fakta lain dalam hubungan sebab akibat. 6) Kemampuan Memecahkan Soal Sastra pada Level Sempurna Kemampuan siswa internasional menjawab tipe butir soal level sempurna tergolong rendah, yakni sebesar 29%. Butir soal difokuskan pada kemampuan meninterpretasi karakteristik perilaku dari wacana yang bersifat alegoris yang mencakup ciri bawaan dan memberikan suatu contoh dari teks yang didukung dengan interpretasi. Siswa Indonesia hanya 3% yang mampu menjawabnya. Seperti apa kecenderungan siswa Indonesia di dalam memecahkan soal seperti ini? Mengapa siswa Indonesia berada jauh di bawah rata-rata
31
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
internasional dalam hal menginterpretasi dan memadukan gagasan serta informasi dari pengalaman bersastra? Jawaban atas soal level sempurna yang salah sebesar 66%, mendapatkan skor 1 (18%), skor 2 (3%), dan sisasnya tidak memberikan jawaban. Kencenderungan ini memberikan gambaran bahwa kebiasaan melakukan interpretasi dan memadukan gagasan serta informasi untuk sebagian besar siswa belum terlatih dengan baik. Ada anggapan bahwa menginterpretasi gagasan dan informasi dalam sastra bersifat multiinterpretasi sehingga jawabannya dapat bermacam-macam. Anggapan ini tentunya sangat merugikan siswa karena interpretasi selalu berangkat dari masalah yang ada dalam bacaan. Artinya, masalahnya pasti sama. 12. Kamu tahu seperti apa teman petani itu dari hal-hal yang ia lakukan. Jelaskan seperti apakah teman petani itu dan berikan contoh apa yang telah ia lakukan untuk menunjukkan hal ini.
Di dalam sastra, ada satu teori mengenai karakteristik tokoh. Jenis pertanyaan yang biasa muncul berupa pertanyaan tunggal tanpa ada masalah seperti pada contoh berikut ini. 7. Sifat Sang Putri dalam cerita tersebut adalah … A. B. C. D.
cantik dan manja cantik dan baik hati ramah dan penolong penyayang dan baik hati
Berbeda halnya dengan butir nomor 12 standar internasional. Hampir semua butir pertanyaan dibuat secara problematis sehingga memandu siswa dalam memberikan jawaban secara pasti. 7) Kemampuan Memecahkan Soal Nonsastra Level Sempurna Pada kasus contoh butir 13, dengan tujuan untuk mendapatkan dan menggunakan informasi dengan proses untuk menginterpretasi dan memadukan gagasan dan informasi ratarata internasional siswa yang dapat menjawab benar sebesar 32%, sedangkan siswa Indonesia hanya 7% yang mampu menjawabnya. Kecenderungan yang terjadi adalah 66% siswa salah 32
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
memberikan jawaban dan sisanya tidak memberikan jawaban. Bentuk soal mengklasifikasi masalah tidak ditemukan di dalam soal-soal ujian nasional. Artinya, siswa Indonesia tidak terbiasa untuk dilatih dan diuji dengan model pemecahan klasifikasi. Kecenderungan ini juga tidak terjadi di dalam kelas membaca di sekolah. Artinya, siswa Indonesia tidak mengalami pembelajaran membaca yang diarahkan pada kemampuan mengklasifikasi masalah.
13. Penemuan-penemuan selanjutnya mem-buktikan bahwa Gideon Mantell salah meng-gambarkan bentuk Iguanodon. Isi bagian yang kosong untuk melengkapi tabel.
Bentuk menurut Mantell
Iguanodon Bentuk Iguanodon Gideon menurut ilmuwanilmuwan masa kini
Iguanodon berjalan dengan empat kaki. Iguanodon memiliki cakar di ibu jarinya. Iguanodon berukuran sepanjang 30 meter.
Butir soal yang dikonstruksi dalam kemampuan membaca untuk mengklasifikasi masalah di Indonesia tidak dikembangkan. Sebagai contoh dapat dikemukakan pada kasus berikut ini. 1. Apa yang menyebabkan banjir di kota-kota besar? A. padatnya penduduk yang tinggal di kota-kota besar B. tidak adanya daerah serapan air dan tersumbatnya saluran air C. banyaknya gedung-gedung bertingkat serta pabrik-pabrik D. kurangnya perhatian pemerintah dan instansi terkait. Pertanyaan ini hanya mengungkap persoalan yang bersifat tunggal. Biasanya wacana seperti ini sebagai hasil dari persepsi jurnalis dan masyarakat, bukan atas hasil kajian yang mendalam. Contoh wacana yang dikutip dari media massa yang sifatnya informatif untuk soal ujian dan dalam buku teks pelajaran tentulah kurang tepat. Seharusnya, wacana tersebut bersifat kajian yang sumbernya dapat saja berasal dari media massa atau diambil dari hasil penelitian jurnal yang kemudian diadaptasi. Di sisi lain, wacana yang diujikan tidak problematis. Berdasarkan analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa salah satu penyebab rendahnya kemampuan siswa Indonesia dalam menjawab butir soal standar internasional oleh 33
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
karena pemilihan wacana yang cenderung bersifat informatif. Kecenderungan ini juga terjadi di dalam kelas saat pembelajaran membaca berlangsung. Guru kurang responsif atas wacana yang dipilih sehingga tidak dipertimbangkan dari segi kualitasnya. Pembelajaran membaca cenderung asal dilaksanakan tanpa mempertimbangkan apakah kemampuan membaca berkembang atau tidak.
Profil Mahasiswa PBSI Dalam penelitian Suryaman, dkk. (2015) mengenai pengalaman membaca sastra mahasiswa Program Studi PBSI FBS UNY, ditemukan beberapa hal berikut. Pertama, dari 4 kelas yang diteliti dengan jumlah mahasiswa semester 2, rata-rata pernah membaca sastra selama sekolah hanya tujuh judul karya sastra (puisi, cerpen, novel, dan drama). Kedua, variasi pengalaman membaca sangat beragam mulai dari terendah 0 sampai dengan 17 judul. Ketiga, mahasiswa yang 0 membaca karya sastra karena tidak ada kesempatan membaca selama sekolah, sedangkan yang tertinggi karena di sekolah tersedia buku dan tugas membaca menjadi prioritas. Berdasarkan data tersebut, pengalaman membaca mahasiswa prodi PBSI masih belum memadai. Padalah, seharusnya, para mahasiswa sebelum menjadi mahasiswa minimal sudah membaca 10 buku di SMP dan 15 buku di SMA. Artinya, saat masuk ke perguruan tinggi, apalagi di Prodi PBSI, para mahasiswa sudah berpengalaman minimal membaca 10 buku sastra. Kenyataan ini tentulah harus menjadi bahan renungan para guru bahasa Indonesia untuk mulai mengubah paradigma pembelajaran bahasa Indonesia dari pembelajaran untuk ujian nasional ke pengalaman membaca agar masyarakat literat akan tercipta dengan baik. Simpulan dan Rekomendasi Berdasarkan pararan tersebut dapat ditarik beberapa simpulan. Pertama, menghadapi dan memasuki MEA mepersyaratkan kompetensi membaca siswa dan mahasiswa Indonesia yang tinggi. Kedua, pendidikan bahasa dan sastra Indonesia belum memerankan dirinya secara optimal dalam mengembangkan literasi siswa dan mahasiswa. Ketiga, pendekatan dalam menghadapi dan menjadikan ASEAN adalah masyarakat kita menjadikan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia sebagai jalan utama. Keempat, guru bahasa Indonesia dan dosen di prodi PBSI harus bahu-membahu menjadikan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia sebagai penghela siswa untuk mempelajari bidang-bidang lain dan mahasiswa calon guru 34
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
bahasa Indonesia harus menjadikan buku sebagai sarapan pagi, makan siang, dan makan malam. Daftar Pustaka Elley, W.B. (1992). How in the World Do the Students Read?, The International Association for the Evaluation of Education Achievement (IEA). Gibson, R. Ed. (1998). Rethinking the Future, Memikirkan Kembali Bisnis, Prinsip, Persaingan, Kontrol dan Kompleksitas, Kepemimpinan, Pasar, dan Dunia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kleden, I. (1999). “Buku di Indonesia: Perspektif Ekonomi tentang Kebudayaan” dalam Buku dalam Indonesia Baru. Editor Alfons Taryadi. Jakarta: YOI. PIRLS 2011 International Report. Performance at the PIRLS 2011. International Benchmarks TIMMS & PIRLS Report International Study Center (IEA): Lynch School of Education, Boston College. Sanusi, A., (1998), Pendidikan Alternatif: Menyentuh Aras Dasar Persoalan Pendidikan dan Kemasyarakatan, Yogyakarta: Adicitra dan PPs UPI. Suryaman, M. (2001). ”Kesiapan Masyarakat Sunda Menghadapi Era Global”, Makalah pada Konferensi Internasional Budaya Sunda (The Indonesian Conference on Sundanesse Culture), Gedung Merdeka, Bandung, 22-25 Agustus 2001. Suryaman, M. (2012). “Analisis Hasil Belajar Peserta Didik dalam Literasi Membaca melalui Studi Internasional (PIRLS) 2011”. Laporan Penelitian. Jakarta: Puspendik Balitbang Kemdikbud. Suryaman, M. Dkk. (2015). “Keefektivan Strategi Penugasan dan Presentasi dalam Pembelajaran Membaca Sastra”. Laporan Penelitian. Yogyakarta: FBS UNY. Tim Studi Guru. 2012. Persiapan Menghadapi Ujian Nasional SD 2013. Bandung: Pustaka Setia. World Bank. (1995).Indonesia: Book and Reading Development Project, Staff, Appraisal, May.
35
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
36
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
37
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
38
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
39
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
40
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
41
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
42
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
43
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
44
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
45
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
”PENDEKATAN KOMUNIKATIF SEBAGAI INOVASI DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA”
Afif Rofii Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Univeritas Batanghari Jambi
[email protected] Abstrak Pendekatan komunikatif lahir akibat adanya ketidakpuasan para pengajar bahasa atas hasil yang dicapai metode tradisional, yang mengutamakan penguasaan kaidah tata bahasa dan mengesampingkan kemampuan berkomunikasi sebagai bentuk kompetensi yang diharapkan. Pendekatankomunikatif mengajarkan bahasa dengan tidak menekankan pada penghafalan bentuk-bentuk kalimat yang benar, tetapi pada pemberian bekal kepada siswa tentang berbagai kemungkinan strategi berkomunikasi, pengayaan penggunaan bahasa dalam berbagai situasi, pemberian latihan terus menerus, penggunaan bahasa dengan memperhatikan sopan santun berbahasa. Pendekatan komunikatif bertujuan membentuk kompetensi komunkatif siswa dalam menggunakan bahasa Indonesia yang mencakup empat keterampilan, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Dalam mengajar dengan menggunakan pendekatan komunikatif, guru harus mempunyai kompetensi, menyenangi bahasa Indonesia, bersikap kritis, meningkatkan kemampuan pribadi, bekerja sama, profesional, dan mencintai pekerjaan. Guru di dalam kelas komunikatif akan sedikit berbicara dan lebih aktif sebagai fasilitator. Siswa diberi kebebasan berbicara untuk melatih kemampuan berkomunikasinya menggunakan bahasa Indonesia dalam berbagai kesempatan di dalam kelas. Kata kunci: pendekatan komunikatif, inovasi, pembelajaran bahasa Indonesia
46
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Pendahuluan Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia.Dari kecil sampai tua, manusia tetap memerlukan pendidikan.Kemajuan dalam bidang pendidikan dari tahun ke tahun menunjukkan hal yang positif. Pengembangan berbagai aspek pembelajaran bahasa seperti strategi pengajaran, pendekatan dalam pengajaran, penyusunan kurikulum, dan hal lain yang terkait terus disempurnakan. Pembelajaran bahasa di Indonesia mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman.Perubahan pendekatan dalam pembelajaran bahasa Indonesia disebabkan oleh perubahan pandangan tentang hakikat bahasa serta teori pembelajaran bahasa yang dianut.Perubahan asumsi tentang hakikat bahasa yang mendorong muncul pendekatan baru. Salah satu hasil kerja keras para ahli dalam pembelajaran bahasa adalah munculnya pendekatan baru tersebut yang dikenal dengan pendekatan komunikatif. Bahasa sebagai alat komunikasi menjadi sangat penting dalam kehidupan manusia.Untuk itu, bagaimana penggunaan bahasa dengan tepat sesuai dengan konteksnya sangat penting dipelajari. Meskipun pada mulanya pendekatan komunikatif diciptakan untuk mempelajari bahasa kedua di Eropa, tetapi saat ini, di Indonesia pendekatan komunikatif juga penting diterapkan dalam pembelajaran bahasa di sekolah terutama untuk mempelajari bahasa Indonesia.Pendekatan ini lahir akibat adanya ketidakpuasan para praktisi atau pengajar bahasa atas hasil yang dicapai oleh metode tata bahasa terjemahan, yang hanya mengutamakan penguasaan kaidah tata bahasa, mengesampingkan kemampuan berkomunikasi sebagai bentuk kompetensi yang diharapkan dari belajar bahasa. Pendekatan komunikatif adalah suatu pendekatan pembelajaran bahasa untuk mengembangkan potensi siswa dalam menguasai empat keterampilan berbahasa, yakni, menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.Pembelajaran dengan pendekatan komunikatif diakui bahwa keterampilan berbahasa sebagai alat komunikasi dapat diajarkan dan dipelajari melalui sebuah prosedur belajar-mengajar yang dirumuskan oleh guru. Pembahasan 1.
Pengertian Pendekatan Komunikatif Pendekatan komunikatif adalah suatu pendekatan yang bertujuan untuk meningkatkan
keterampilan siswa dalam berkomunikasi, menekankan pembinaan dan pengembangan kemampuan komunikatif siswa.Penerapan pendekatan komunikatif sepenuhnya dilakukan oleh siswa (student centre), sedangkan guru hanya sebagai fasilitator. Dengan demikian siswa 47
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
akan mampu bercerita, menanggapi masalah, dan mengungkapkan pendapatnya secara lisan dengan bahasa yang runtut dan mudah dipahami. Sebelum pendekatan komunikatif ini diterapkan dalam pembelajaran bahasa Indonesia, guru hanya diberi beban menyelesaikan materi yang telah ditetapkan dalam kurikulum, dan meningkatkan hasil belajar siswa.Tetapi, setelah pendekatan komunikatif diterapkan dalam pembelajaran bahasa Indonesia, guru mendapat penambahan beban, yakni siswa diusahakan memiliki kemampuan berkomunikasi dengan baik.Dalam hal ini, guru mengamati komunikasi siswa di dalam kelas. Guru tidak boleh langsung menyalahkan siswa atau mengoreksi kesalahan siswa meskipun siswa telah menyimpang/melanggar kaidahkaidah yang tata bahasa. Siswa salah sekali pun, jika komunikasi mereka berjalan dengan lancar guru harus memberikan motivasi. Perlu diketahui bahwa koreksi yang dilakukan guru secara langsung hanya akan mematikan keberanian siswa dan secara psikologis akan mempengaruhi kemampuan berbicaranya. Guru diharapkan membuat koreksi dengan cara yang halus, tidak dilakukan sembarangan, memilih waktu yang tepat, artinya guru memperbaiki kesalahan berbahasa siswa secara tidak langsung, atau tanpa disadari oleh siswa. Grow (1987:1) mengatakan bahwa pendekatan komunikatif adalah pendekatan pengajaran menyeluruh. Pendekatan ini memberikan kesempatan yang tidak terbatas kepada siswa untuk menggambarkan pengalaman mereka, memberikan makna seluruh unit pikiran dan saling berkomunikasi di antara mereka secara aktif.Istilah pendekatan komunikatif digunakan berdampingan dengan istilah pendekatan pragmatik.Purwo (1990:1) menyatakan bahwa pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan dan dibedakan menjadi pragmatik sebagai kajian linguistik, sebagai salah satu segi di dalam bahasa, ini lazim pula disebut fungsi komunikatif. Jadi, pada dasarnya pragmatik sama dengan komunikatif. Mushlisch (1991:17) menyebutkan bahwa pengajaran bahasa dengan pendekatan komunikatif (pragmatik) ialah mengajarkan bahasa dengan tidak menekankan pada penghafalan bentuk-bentuk kalimat yang benar, tetapi pada pemberian bekal kepada siswa tentang berbagai kemungkinan strategi dalam berkomunikasi, kemudian pengayaan penggunaan bahasa dalam berbagai situasi, pemberian latihan yang terus menerus untuk berkomunikasi dalam berbagai aspek bahasa, penggunaan bahasa dengan memperhatikan sopan santun berbahasa. Selanjutnya, Purwo (1990:50) menyatakan bahwa pengajaran bahasa dengan pendekatan pragmatik atau komunikatif lebih banyak berurusan dengan penyusunan silabus 48
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
dan bahasa pengajaran daripada dengan metode pengajaran.Ini menunjukkan bahwa di dalam pengajaran bahasa dengan pendekatan komunikatif jika kita membicarakan metode ini berarti kita telah berbicara tentang approach, design, dan procedure (Richards, 1986; Brown, 1980). Grow (1987) menyatakan bahwa kegiatan belajar mengajar terpusat pada siswa, dan metode adalah sederetan strategi dan teknik-teknik yang mungkin dipakai untuk membelajarkan siswa. 2. Ciri-ciri Pendekatan Komunikatif Menurut Iskandarwassid dan Sunendar (2011:55), pendekatan komunikatif memiliki ciri-ciri sebagai berikut. a. Acuan berpijaknya adalah kebutuhan peserta didik dan fungsi bahasa. b. Tujuan belajar bahasa adalah membimbing peserta didik agar mampu berkomunikasi dalam situasi yang sebenarnya. c. Silabus pengajaran harus ditata sesuai dengan fungsi pemakaian bahasa. d. Peranan tatabahasa dalam pengajaran bahasa tetap diakui. e. Tujuan utama adalah komunikasi yang bertujuan. f.
Peran pengajar sebagai pengelola kelas dan pembimbing peserta didik dalam berkomunikasi diperluas.
g. Kegiatan belajar harus didasarkan pada teknik-teknik kreatif peserta didik sendiri, dan peserta didik dibagi dalam kelompok-kelompok kecil. Subyakto (1988:70) menyebutkan ciri-ciri pendekatan komunikatif sebagai berikut. a. Aktivitas yang menunjukkan komunikasi sebenarnya/realistis akan mendorong pelajar untuk belajar. b. Aktivitas berbahasa yang bertujuan melakukan tugas-tugas yang bermakna akan mendorong pelajar untuk belajar. c. Materi silabus komunikasi dipersiapkan berdasarkan alalisis kebutuhan. d. Aktivitas di kelas berpusat kepada pelajar. e. Guru berperan sebagai penyuluh, penganalisis kebutuhan pelajar, dan sumber manajer kelompok. f.
Peran bahan pengajaran ialah untuk menunjang komunikasi pelajar secara aktif. Finnocchiaro dan Brumfit (1983: 91) mengemukakan 22 ciri utama pendekatan
komunikatif, yaitu (a) kebermaknaan, (b) dialog bersifat komunikatif, (c) premis dasarnya 49
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
adalah kontekstual, (d) pembelajaran bahasa adalah pembelajaran berkomunikasi, (e) diutamakan komunikasi yang efektif, (f) teknik tubian boleh digunakan, (g) pelafalan diharapkan yang komprehensif, (h) alat bantu yang digunakan siswa dalam berkomunikasi disesuaikan dengan umur, dan minat, (i) berkomunikasi didorong sejak awal, (j) jika diperlukan penggunaan bahasa ibu dapat dilakukan, (k) penerjemahan dapat digunakan jika diperlukan, (l) membaca dan menulis diberikan sejak hari pertama, (m) target sistem linguistik akan lebih baik dipelajari melalui proses berkomunikasi, (n) kemampuan komunikatif diutamakan, (o) variasi bahasa adalah konsep utama dalam materi dan metodologi, (p) urutan ditentukan dengan berbagai cara agar keterampilan berbahasa siswa dapat dimotivasi dan dikembangkan, (q) siswa dibantu guru dengan berbagai cara agar keterampilan berbahasa siswa dapat dimotivasi dan dikembangkan, (r) bahasa diciptakan oleh individu sering kali melalui trial and error (mencoba-coba), (s) kelancaran dan bahasa yang dapat diterima adalah tujuan utama; ketepatan diharapkan tidak dalam sesuatu yang Abstrak, tetap, dalam kelas, (t) siswa diharapkan dapat berinteraksi dengan orang lain melalui kerja berbapasangan atau kelompok, maupun secara tertulis, (u) bahasa yang akan digunakan siswanya tidak dapat diketahui gurunya secara pasti, (v) minat berkomunikasi akan didorong oleh motivasi intrinsik. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri pendekatan komunikatif adalah siswa merupakan pusat belajar, guru berperan sebagai fasilitator, tujuan pengajaran adalah melatih siswa dapat berkomunikasi dengan baik. 3. Tujuan Pendekatan Komunikatif Tujuan menerapkan pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa Indonesia adalah untuk membiasakan siswa menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi sesuai dengan situasi dan kondisi, agar siswa memiliki kecakapan dalam berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia. Manfaat yang didapatkan dari penggunaan pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa Indonesia adalah memudahkan guru membelajarkan bahasa Indonesia, memberi kebebasan kepada siswa untuk berkomunikasi sesuai dengan konteks situasi. Pendekatan komunikatif bertujuan untuk membentuk kemampuan komunikatif (kompetensi komunikatif) siswa dalam menggunakan bahasa Indonesia yang mencakup empat keterampilan, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Artinya, melalui 50
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
berbagai kegiatan pembelajaran dengan pendekatan komunikatif,siswa diharapkan mampu mengembangkan kompetensi komunikatif bahasa mereka, baik secara lisan, tulisan, maupun situasi resmi dan tidak resmi.
4. Kompetensi Komunikatif: Pengajaran Bahasa Komunikatif dan Pengajaran Berbasis Tugas a. Hakikat Kompetensi Komunikatif Menurut Brown (2007:241), istilah kompetensi komunikatif diperkenalkan oleh Dell Hymes (1972,1967). Hymes menyebut kompetensi komunikatif sebagai aspek kompetensi memungkinkan seseorang untuk menyampaikan dan menafsirkan pesan antarpersonal dalam konteks-konteks tertentu. Savignon (dalam Brown, 2007:241) menyatakan bahwa kompetensi komunikatif bersifat relatif, tidak mutlak, dan tergatung kepada kerja sama semua partisipan yang terlibat. Pada tahun 1970-an, penelitian mengenai kompetensi komunikatifmembedakan antara kompetensi linguistik dan komunikatif untuk menyoroti perbedaan antara pengetahuan mengenai bentuk-bentuk bahasa dan pengetahuan yang memungkinkan seseorang berkomunikasi secara fungsional dan interaktif. Menurut Canale dan Merrill Swain (dalam Brown, 2007:241—242), terdapat empat komponen yang berkenaan dengan konsep kompetensi komunikatif.Kompetensi tersebut ialah sebagai berikut. 1) Kompetensi Gramatikal Kompetensi gramatikal adalah aspek kompetensi komunikatif yang mencakup pengetahuan
mengenai
komponen
leksikal
dan
kaidah
tata
bahasa
seperti
fonologi,morfologi, sintaksis, dan semantik. 2) Kompetensi Wacana Kompetensi wacana merupakan pelengkap dari kompetensi gramatikal.Kemampuan wacana adalah kemampuan mengaitkan kalimat-kalimat yang terdapat dalam sebuah wacana dan kemampuan untuk memaknai sebuah wacana.Jika kompetensi gramatikal mencakup tata bahasa pada tataran kalimat, maka kompetensi wacana mencakup hubungan antarkalimat.
51
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
3) Kompetensi Sosiolinguistik Kompetensi sosiolinguistik adalah pengetahuan tentang kaidah sosial budaya bahasa dan wacana.Kompetensi ini menekankan tentang konteks sosial, seperti peran para partisipan, informasi yang dibicarakan, dan fungsi interaksi. 4) Kompetensi Srategis Canale dan Swain (dalam Brown, 2007:242) memberikan pemahaman tentang kompetensi srategis sebagai stategi komunikasi verbal dan nonverbal yang dipakai untuk mengimbangi kesalahan komunikasi.Sementara itu, Savignon (dalam Brown, 2007:242) menyatakan bahwa kompetensi strategis adalah strategi-strategi yang digunakan seseorang untuk mengimbangi ketidaktahuan tentang kaidah-kaidah atau faktor-faktor yang membatasi pengunaan
strategi
tersebut,
seperti
keletihan,
kelalaian,
dan
kuarang
memperhatikan.Pendek kata, kompetensi strategis dapat dipahami sebagai strategi-strategi komunikasi yang bisa digunakan untuk meningkatkan efektifitas komunikasi dan kesalahpahaman.Menurut Yule dan Taron (dalam Brown, 2007:242), kompetensi strategis dapat dipahami sebagai kemampuan memilih sarana yang efektif untuk melakukan tindak komunikasi yang memungkinkan pendengar atau pembaca mengenali rujukan yang dimaksud.Dengan kata lain, kompetensi stategis ini merupakan cara yang dapat dilakukan dalam memanipulasi bahasa agar memenuhi tujuan-tujuan komunikatif tertentu. Berbeda dengan model kompetensi komunikatif yang oleh Canale dan Swain, Lyle Bachman (dalam Brown, 2007:243), juga memberikan pemahaman mengenai kompetensi komunikatif yang diistilahkan dengan kompetensi bahasa. b. Pengajaran Bahasa Komunikatif Pengajaran bahasa komunikatif lebih dipahami sebagai pendekatan daripada metode (Richard & Rodgers, 2001).Pengajaran bahasa komunikatif merupakan pemahaman teoritis terpadu dan mempunyai cakupan yang luas mengenai karakter bahasa serta dalam pengajaran dan pembelajaran bahasa kedua. Terdapat empat karakteristik yang saling terkait sebagai pengertian dari pengajaran bahasa komunikatif. 1) Sasaran kelas difokuskan pada semua komponen kompetensi komunikatif dan tidak terbatas pada kompetensi tata bahasa dan bahasa 2)
Teknik-teknik bahasa dirancang untuk melibatkan pembelajar dalam penggunaan pragmatik, otentik, dan fungsional bahasa untuk tujuan yang berarti. Bentuk-bentuk tata 52
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
bahasa yang bagus buka merupakan menjadi perhatian, melainkan lebih kepada aspekaspek bahasa yang memungkinkan pembelajar mewujudkan tujuan-tujuan tersebut. 3)
Kefasihan dan akurasi dipandang sebagai prinsip-prinsip pelengkap yang mendasari teknik-teknik komunikatif. Adakalanya kefasihan lebih dipentingkan daripada akurasi. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar pembelajar tetap terlibat secara berarti dalam pengajaran bahasa.
4)
Dalam kelas komunikatif, pembelajar pada akhirnya akan menggunakan bahasa secara produktif dan berterima dalam konteks yang sopan. Pengajaran bahasa komunikatif menyarankan bahwa sruktur gramatikal lebih baik
disisipkan kedalam berbagai kategori fungsional.Pengajaran bahasa komunikatif tidak banyak memberi perhatian pada penyampaian dan pembahasan mengenai kaidah-kaidah gramatikal yang lazim digunakan.Banyak pengunaan bahasa otentik disiratkan dalam pengajaran bahasa komunikatif, hal ini terlihat ketika guru membangun kefasihan (Chambers, 1997). Karakteristik keempat pengajaran bahasa komunikatif sering menyulitkan seorang guru yang bukan penutur asli dan tidak terampil dalam behasa kedua dalam pengajaran yang efektif.Dialog, dril, latihan ulangan, dan membahas (dalam bahasa pertama) kaidah-kaidah tata bahasa jauh lebih sederhana bagian sebagian guru yang bukan penutur asli.Teknologi seperti video, televisi, kaset audio, internet, dan perangkat lunak komputer dapat membantu guru dalam mengatasi hal-hal tersebut.
c.
Intruksi Berbasis Tugas Intruksi berbasis tugas muncul sebagai titik fokus praktek pengaran bahasa di seluruh
dunia.Ketika intruksi berbasis tugas terus ditekankan sebagai interaksi di kelas, pengajaran berpusat kepada pembelajar, otentisitas, dan memandang pengalaman pembelajar sebagai kontributor penting bagi pembelajaran.Intruksi berbasis tugas menarik perhatian guru dan pembelajar dalam melakukan tugas-tugas dikelas.Skehan (2003) mendefinisikan tugas sebagai sebuah aktivitas yang mengharuskan pembelajar menggunakan bahasa dengan penekanan pada makna untuk mencapai tujuan tertentu. David Nunan (2004) membedakan antara tugas sasaran (penggunaan bahasa di luar ruangan) dan tugas pedagogis (yang terjadi di ruang kelas).Menurutnya, tugas adalah subhimpunan dari semua teknik dan aktivitas yang dirancang untuk kelas, dan tugas itu menggunakan beberapa teknik. Dengan demikian, untuk tugas pemecahan masalah yang 53
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
menggunakan peta, guru bisa mengawali dengan menjelaskan secara garis besar mengenai tugas tersebut, memberikan penilaian terhadap tata bahasa atau kosakata yang digunakan dalam tugas tersebut, membentuk kelompok untuk mendiskusikan permasalahanpermasalahan yang ditawarkan, dan menyuruh siswa melaporkan hasil diskusi tersebut. Halhal tersebut merupakan proses komunikatif dan merupakan bagian dari sifat kompetensi komunikatif. Sementara itu, tugas dirancang untuk membekali para pembelajar dengan bahasa komunikatif yang diperlukan untuk memberi petunjuk bagi seseorang.Tugas khusus ini bisa diartikan sebagai sebuah tugas pedagogis yang berhubungan dengan situasi di dunia nyata, serta
dirancang
untuk
memungkinkan
pembelajar
menyelesaikan
tugas
secara
terarah.Instruksi berbasis tugas adalah sebuah pendekatan yang medukung guru dalam pembelajaran dan perancangan kurikulum.Untuk menyelasaikan sebuah tugas, seorang pembelajar harus mempunyai kompetensi organisasional yang memadai, kompetensi ilokusioner untuk mennyampaikan makna tersirat,kompetensi strategis untuk mengimbangi kesalahan-kesalahan yang tidak terduga, dan semua perangkat wacana, pragmatika, serta kemampuan komunikatif nonverbal.
d. Peran Guru dalam Pembelajaran Bahasa Komunikatif Guru adalah aktor melaksanakan pendekatan komunikatif. Subyakto-N.(1988:108) mengatakan bahwa guru yang sanggup menggunakan pendekatan komunikatif harus. 1) Mengetahuibagaimana berkomunikasi dalam bahasa itu. 2) Mengertidanmengetahui latar belakang tentang teori pendekatan komunikatif. 3) Mampumenyampaikan materi pelajaran kepada siswa secara komunikatif. 4) Mampumemilih/memodifikasi/menulis materi pelajaran yang komunikatif. 5) Dapatmenguji kemampuan/keterampilan komunikatif siswanya. Dalam mengajar dengan menggunakan pendekatan komunikatif, guru harus mempunyai kompetensi, menyenangi bahasa Indonesia, bersikap kritis, meningkatkan kemampuan pribadi, bekerja sama, profesional, dan mencintai pekerjaan.Para guru di dalam kelas komunikatif akan sedikit berbicara dan lebih aktif sebagai fasilitator. Guru berusaha situasi kelas dalam keadaan akrab, tidak tegang. Siswa diberi kebebasan berbicara untuk melatih kemampuan berkomunikasinya. Siswa diharapkan dapat menggunakan bahasa Indonesia dalam berbagai kesempatan di dalam kelas. 54
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Pengajaran bahasa Indonesia adalah suatu kegiatan berusaha, bertujuan, dan dilakukan dalam ruang lingkup satu lembaga pendidikan formal. Oleh karena itu, pengajaran bahasa Indonesia memerlukan pedoman, aturan, prosedur, dan tata cara pelaksanaan kegiatan pencapaian tujuan. Hal-hal tersebut yang telah disebut di atas tadi adalah prinsip pendekatan, metode, dan teknik pengajaran. Richards (1986:77) mengemukakan bahwa dalam pengajaran bahasa komunikatif, guru berperan sebagai penganalisis kebutuhan, konselor, dan manajer. Seorang guru harus menganalisis kebutuhan siswa sebelum mengajar, harus mengetahui apa yang dibutuhkan dan apa yang harus diketahui siswa, bukan mengajarkan apa yang diketahui guru. Seorang guru harus mampu menjadi tempat siswanya berkonsultasi. Guru harus memiliki kemampuan untuk mengarahkan, memotivasi, dan menjadi tempat siswa mengemukakan permasalahan, terutama masalah belajarnya. Selain itu, guru harus menjadi manajer, harus pandai mengelola kelas, mengorganisasikan materi pelajaran dan menyajikannya kepada siswa sampai tujuan yang diharapkan tercapai. Menurut Finnochiaro (1983:4), tanggungjawab guru dalam kaitannya dengan guru bahasa komunikatif sebagai berikut. a. Guru harus mengetahui minat, cara belajar, dan aspirasinya. b. Guru harus mengetahui keterampilan berkomunikasi yang telah dicapai siswa. c. Guru mempelajari sumber insani dan lingkungan yang dapat digunakan untuk berkomunikasi nyata. d. Guru memperluas pengalaman siswa dengan memberi mereka cakrawala yang luas tentang konsep nosi untuk berpikir dan berbicara. e. Guru memperkaya kosakata siswa tidak hanya dengan memberi mereka pengalatan yang bervariasi tetapi jiga dialog dan materi lain. f.
Guru menyajikan semua bentuk linguistik baru dan wawasan budaya dalam situasi yang cocok yang tidak hanya akan memperjelan pengertian mereka saja teapi juga memberikan contoh matra tentang pengalaman manusia yang biasanya mereka gunakan.
g. Guru memodifikasi penyajian buku ajar dan lebih serng mengajarkan ungkapan yang diperlukan dalam komunikasi. h. Guru sebelum menyajikan materi baru mengajukan lagi materi linguistik atau budaya yang telah diajarkan. Ini membantu siswa menyusun kembali dan menggabungkan bentuk linuistik dan konsep di dalam komunikasi. 55
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
i.
Guru mengajukan lagi materi linguistik di dalam situasi sosial budaya yang berbeda sama sekali untuk membentuk siswa menyadari bahwa bahasa mengungkapkan yang tidak terbatas dengan cara yang terbatas.
j.
Guru mengajukan korpus dasar materi linguistik dan budaya kepada semua siswa di dalam kelas. Penyajian ini dapat secara berkelompok, berpasangan, dan perorangan sesuai minat dan kemampuan siswa. Tidak semua siswa dalam waktu yang sama siap menulis dialog misalnya, atau secara spontan bermain peran.
k. Guru meyakinkan siswa bahwa bentuk linguistik yang disajikan dalam dialog dan membaca wacana tidak cukup dengan menghafal saja, tetapi dengan sengaja dimasukkan ke dalam kegiatan komunikasi yang nyata dan cocok. l.
Guru mempersiapkan kegiatan nyata yang relevan dengan kehidupan nyata siswa seharihari dan kebutuhan komunikasi.
m. Guru tidak memberi kritik terhadap pernyataan siswa yang kurang kreatif. n. Guru mendorong siswa mendiskusikan nilai dan budaya mereka. o. Guru tidak menuntut jawaban yang jujur atau pertanyaan yang jawabannya dapat memalukan siswa. Misalnya, apa pekerjaan ayahmu? p. Guru menyiapkan kegiatan komunikasi yang lebih fungsional yang dideskripsikan di dalam tulisan mutakhir atau disertai gambar-gambar. Misalnya tugas memberikan gambar, seseorang siswa memberikan isi gambar kepada temannya yang lain. q. Guru memberikan kebebasan kepada siswa agar mereka dapat lebih kreatif. r.
Guru membantu siswa mencapai kefasihan di dalam pengertian dan bacaan melalui latihan terbimbing. Untuk menerapkan peran profesional di atas, guru harus memiliki modal dasar, yakni
kemampuan merancang program dan keterampilan mengkomunikasikan program kepada siswa. Dua modal dasar ini telah dirumuskan dalam UU RI no 14 tahun 2005 bab I pasal 1 ayat 8, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi, sosial, dan kompetensi profesional. Kesimpulan Pendekatan ini lahir akibat adanya ketidakpuasan para praktisi atau pengajar bahasa atas hasil yang dicapai oleh metode tata bahasa terjemahan, yang hanya menngutamakan penguasaan kaidah tata bahasa, mengesampingkan kemampuan berkomunikasi sebagai 56
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
bentuk kompetensi yang diharapkan dari belajar bahasa. Pendekatan komunikatif adalah suatu pendekatan yang bertujuan untuk meningkatkan keterampilan siswa dalam berkomunikasi, menekankan pembinaan dan pengembangan kemampuan komunikatif siswa. Pendekatan komunikatif memiliki ciri-ciri sebagai berikut (1) acuan berpijaknya adalah kebutuhan peserta didik dan fungsi bahasa; (2) tujuan belajar bahasa adalah membimbing peserta didik agar mampu berkomunikasi dalam situasi yang sebenarnya; (3) silabus pengajaran harus ditata sesuai dengan fungsi pemakaian bahasa; (4) peranan tatabahasa dalam pengajaran bahasa tetap diakui; (5) tujuan utama adalah komunikasi yang bertujuan; (6) peran pengajar sebagai pengelola kelas dan pembimbing peserta didik dalam berkomunikasi diperluas dan (7) kegiatan belajar harus didasarkan pada teknik-teknik kreatif peserta didik sendiri, peserta didik dibagi dalam kelompok-kelompok kecil. Pendekatan komunikatif bertujuan untuk membentuk kemampuan komunikatif (kompetensi komunikatif) siswa dalam menggunakan bahasa Indonesia yang mencakup empat keterampilan, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Terdapat empat komponen yang berkenaan dengan konsep kompetensi komunikatif, yaitu kompetensi gramatikal, kompetensi wacana, kompetensi sosiolinguistik dan kompetensi srategis. Para guru di dalam kelas komunikatif akan sedikit berbicara dan lebih aktif sebagai fasilitator. Dalam pengajaran bahasa komunikatif, guru berperan sebagai penganalisis kebutuhan, konselor, dan manajer. Kegiatan belajar mengajar terpusat pada siswa, dan metode adalah sederetan strategi dan teknik-teknik yang mungkin dipakai untuk membelajarkan siswa. Dengan penerapan pendekatan komunkatif di dalam kelas, siswa siswa diharapkan mempunyai kompetens komunikatif yang baik terhadap bahasa yang dipelajari, yaitu bahasa Indonesia.
Daftar Pustaka
Brown H. Douglas. 2007. Principles of Language Learning and Teaching. New York: Pearson Inc. Depdikbud. 1986. Kurikulum Sekolah Dasar: Garis-Garis Besar Program Pengajaran. Jakarta: Balai Pustaka. Finocchiaro, Mary dan Sako Sydney. 1983. The Functional Notional Approach: From Theory to Practice. New York: Oxford University Press Grow, Janice. 1987. “Pendekatan Komunikatif”. Makalah. Jakarta: Depdikbud. 57
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Iskandarwassid dan Dadang Sunendar.2011 (cet-3).Strategi Pembelajaran Bahasa. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset. Muchlish. 1990. CBSA:Buku Panduan Mengajar Bahasa Indonesia untuk Guru Sekolah Dasar Kelas III, IV, V, dan VI. Jakarta: Depdikbud Balitbang. Purwo, Bambang Kaswanti. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa. Yogyakarta: Kanisius. Richards, Jack dan Rodgere Theodore. 1986. Approach and Methods in Language Teaching: a Description and Analysis. Cambridge: Cambridge Universty Press. Subyakto-N, Sri Utari. 1988. Metodologi Pengajaran Bahasa. Jakarta: Depdikbud.
58
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
ANALISIS PUISI KONTEMPORER ANAK-ANAK MASA KINI DALAM PERMAINAN ANAK
Agus Priyanto STKIP Siliwangi Bandung
[email protected]
Abstrak Permainan anak atau kaulinan budak (Sunda) atau dolanan (Jawa) adalah permaian tradisi lisan (foklor) yang turun-temurun yang bisa ditemukan di seluruh nusantara. Pemainan anak ini berbentuk nyanyian atau lagu, dan dialog diikuti dengan gerakan atau akting berdasarkan tema teksnya. Teks dalam lagu ini merupakan merupakan sastra lisan yang berjenis puisi. Sastra lisan biasanya diwariskan turun-temurun secara lisan dari generasi ke generasi. Cara pewarisannya yang demikian, maka lahirlah pemahaman baru dengan kata lain, adanya variasi dalam teks puisi permaianan anak tersebut. Selain itu, ketidaksamaan ini disebabkan oleh adanya perbedaan nilai, latar, situasi, dan kondisi. Pergeseran zaman dan nilai ini menghasilkan puisi permainan anak-anak yang bersifat kekinian, yaitu puisi kontemporer dalam permainan anak. Bentuk puisi kontemporer ini bisa meniru bentuk puisi lama dengan modifikasi, bisa juga berupa ciptaan baru. Puisi permainan anak menarik untuk diteliti, karena : 1) Teks puisi permainan anak memiliki struktur yang menarik dari segi rimanya, 2) Penuturan puisi permainan anak memilki konteks dengan bahasa dan lingkunagnya, 3) Puisi permainan anak memiliki fungsi perkembangan anak. Kata kunci : - foklor, kaulinan budak, puisi kontemporer
Pendahuluan Permainan anak dalam khasanah Sunda disebut kaulinan budak dan dalam khasanah Jawa disebut dolanan sebagai salah satu bentuk sastra lisan, bentuknya masih tradisional, biasanya diwariskan turun-temurun secara lisan dari generasi ke generasi. Cara pewarisan yang demikian sangat bergantung pada tersedia atau tidaknya penutur cerita aktif (penutur profesional) ataupun yang pasif, yang menguasai permainan anak tersebut. Oleh karena cara pewarisannya yang demikian, maka lahirlah pemahaman-pemahaman baru di antara pendengar sastra lisan tersebut. Dengan kata lain, adanya variasi dalam teks puisi permaianan anak tersebut. Bisa jadi karena penyampaian yang kadang ditambah, dikurangi sesuai cita rasa 59
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
penutur menjadikan sastra lisan memiliki versi dan varian yang beraneka. Selain itu, ketidaksamaan ini disebabkan oleh adanya perbedaan latar, situasi, dan kondisi masyarakat itu sendiri. Pergeseran nilai-nilai yang ada dalam masyarakat juga dapat mengubah dan akan berpengaruh terhadap keberadaan puisi permainan anak yang cara pewarisannya bersifat tradisional. Berdasarkan pemikiran di atas, sastra lisan adalah kesusastraan yang mencakup ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturunkan secara lisan (Hutomo,1991:1). Selain itu, sastra lisan juga merupakan bagian dari foklor, yang tentunya memiliki banyak genre. Salah satunya yaitu jenis puisi kontemporer dalam permainan anak yang bersifat kekinian tersebut. Walaupun kontemporer tetapi masih bersifat puisi tradisional.dengan ciri anonim atau tidak diketahui siapa penciptanya. Puisi permainan anak dapat digolongkan ke dalam salah satu bentuk tradisi lisan. Pengelompokan genre dari puisi permainan anak tersebut dapat masuk ke dalam bentuk puisi rakyat. Hal tersebut karena sesuai dengan ciri-ciri puisi rakyat yang disebutkan oleh Danandjaja (2002:46), bahwa kekhususan genre ini yaitu kalimatnya yang tidak berbentuk bebas (free phase) melainkan terikat (fix phase). Maksud dari ciri tersebut adalah bentuk tertentu yang biasanya terdiri dari beberapa deret kalimat, ada yang berdasarkan matra, panjang pendek kalimat, suku kata, lemah tekanan suara, atau berdasarkan irama (Juariah, 2005:25). Pada dasarnya puisi permainan anakadalah pembicaraan mengenai sebuah peristiwa komunikasi secara khusus yang ditandai dengan adanya interaksi di antara unsur-unsur pendukungnya secara khusus pula. Artinya, ada hubungan antara penutur, petutur, kesempatan bertutur, tujuan bertutur, dan hubunganya dengan lingkungan serta masyarakat pendukungnya. Komunikasi khusus inilah yang menyebabkan puisi permainan anak menarik untuk diteliti, baik dilihat dari teks, konteks penuturan, dan fungsi. Puisi permaianan anak terlalu luas karena mencangkup puisi permaian anak yang bersifat tradisional atau puisi berbahasa daerah yang diciptakan pada masa dahulu dan puisi masa kini yang bersifat kontemporer. Maka dari itu permasalah dibatasi pada puisi-puisi yang diciptakan pada masa kini, yaitu puisi kontemporer dalam permainan anak. Pada penelitian ini terdapat beberapa permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut. Bagaimana struktur 60
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
teks puisi permainan anak? Bagaimanakah konteks penuturan puisi permainan anak? Apa fungsi puisi permainan anak? Lagu permainan anak Sebagai Tradisi Lisan Sastra lisan adalah kesusastraan yang mencakup ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturun-temurunkan secara lisan (dari mulut ke mulut) atau oral traditions (Hutomo, 1991:1). Sastra lisan bersifat komunal. Artinya, sastra lisan adalah milik bersama masyarakat pada suatu komunitas tertentu, maka sastra ini juga disebut juga folk literature atau sastra rakyat. Tetapi dengan pernyataan tersebut, tidak berarti sastra lisan tidak hidup dalam masyarakat kota yang telah maju (Hutomo, 1991:4). Sedangkan menurut Alan Dundes dalam Danandjaja, (2002:1-2) istilah folklor adalah pengindonesiaan dari kata dalam bahasa Inggris folklor, yang merupakan kata majemuk dan berasal dari kata folk dan lore. Menurut Dundes, folk artinya sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri fisik, sosial, dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dengan kelompok yang lain. Ciri-ciri pengenal itu dapat berwujud: warna kulit yang sama; bentuk rambut yang sama; mata pencaharian yang sama; bahasa yang sama; taraf pendidikan yang sama; dan agama yang sama. Sedangkan lore adalah tradisi dari folk, yaitu sebagian dari kebudayaan masyarakat yang diturunkan secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai gerak isyarat. Definisi folklor secara keseluruhan yaitu sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun-temurun di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional yang berbeda baik dalam lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device) (Dananjaja, 2002:2). Menurut Dadanjaja (2002:21) folklor dibagi ke dalam tiga bentuk. Pertama, folklor lisan yaitu sastra yang bentuknya murni lisan. Seperti: bahasa rakyat (julukan, logat, pangkat tradisional, titel kebangsawanan); ungkapan tradisional (peribahasa, pepatah); pertanyaan tradisional (teka-teki); puisi rakyat (pantun, gurindam, syair); cerita prosa rakyat (mite, legenda, dongeng); dan nyanyian rakyat. Kedua, folklor setengah lisan atau sebagian lisan adalah sastra lisan yang bentuknya merupakan campuran antara unsur lisan dan bukan lisan. Seperti, permainan rakyat. Walaupun diajarkan secara lisan, namun permainan rakyat berpadu dengan alat-alat penunjang permainan maupun gerak dalam permainannya. Ketiga, folklor bukan lisan yaitu folklor yang bentuknya bukan lisan. Contohnya: arsitektur rumah (bentuk rumah daerah, bentuk lumbung padi, dan lain-lain), kerajinan tangan rakyat, pakaian dan perhiasan tubuh 61
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
adat, makanan dan minuman rakyat, obat-obatan tradisional. Ada juga dalam bentuk bukan material seperti: gerak isyarat tradisional, bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat (kentongan) dan musik rakyat. Ciri-ciri pengenal folklor yang dikemukakan oleh para ahli kemudian dirumuskan oleh Danandjaja (2002:3-5), yaitu: a) Penyebaran dan pewarisan biasanya dilakukan secara lisan; b) Bersifat tradisional; c) Folklor ada dalam versi-versi dan interpolasi; d) Bersifat anonim; e) Folklor memiliki bentuk berumus dan berpola; f) Mempunyai kegunaan (fungsi); g) Bersifat pralogis (mempunyai logika sendiri); h) Folklor merupakan milik bersama (kolektif tertentu); dan i)
Bersifat polos dan lugu, sehingga seringkali kelihatannya kasar.
Adapun fungsi folklor seperti yang dijelaskan Bascom (dalam Danandjaja, 2002:19) bahwa fungsi folklor ada empat, yaitu: (a) sebagai sistem proyeksi (projective system), yakni sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif;
(b) sebagai alat pengesahan pranata-
pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan; (c) sebagai alat pendidikan anak (pedagogical device); dan (d) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya. Puisi lisan tentu saja memiliki fungsi masing-masing. Namun fungsi-fungsi tersebut bergantung pada masyarakat pemilik tradisi lisan yang bersangkutan. Artinya, fenomena sebuah tradisi lisan ada kecenderungan memiliki fungsi lebih dari satu, sesuai dengan genre dan masyarakat pendukungnya. Tradisi lisan dalam kajian folklor ini seperti telah disinggung di atas merupakan salah satu bentuk dari pembagian kelompok dalam kajian folklor, yakni folklor lisan (verbal folklor), folklor sebagian lisan (partly verbal folklor), dan folklor bukan lisan (nonverbal folklor) (Danandjaja, 2002:21). Adapun bentuk dari foklor lisan yaitu (1) bahasa rakyat; (2) ungkapan tradisional; (3) pertanyaan tradisional; (4) puisi rakyat; (5) cerita prosa rakyat; dan (6) nyanyian rakyat (Danandjaja, 2002:21).
62
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Metode Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara trianggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian penelitian lebih menekankan makna dari pada generalisasi. (Sugiyono, 2009:1). Dalam terminologi Creswell penelitian kualitatif ini berjenis peneltian etmografi, yaitu penelitian yang melakukan studi terhadap budaya kelompok dalam kondisi yang alamiah melalui observasi dan wawancara. (Sugiyono 2013 :24). Populasi merupakan keseluruhan objek yang diteliti yang dapat dijadikan informasi dari kegiatan penelitian. Sugiyono (2009:49) menyatakan populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas : Obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertetntu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi penelitian ini adalah semua permainan anak-anak yang berada di wilayah Kota Bandung. Permaianan anak yang berbahasa Sunda, bahasa Indonesia maupun yang campuran atau dwi bahasa. Sampel penelitian adalah sebagian dari populasi yang dipilih oleh peneliti untuk dijadikan objek penelitian. Pengambilan sampel ini dilakukan karena populasi terlalu banyak dan luas. Riduwan (2010:56) menyatakan sampel adalah sebagian dari populasi yang diambil sebagai sumber data dan dapat mewakili seluruh populasi. Wilayah Bandung sebagai tempat populasi permainan anak dianggap masih terlalu luas maka diambillah sampel dari populasi tersebut. Sampel penelitian ini puisi permaian anak yang berada di lingkungan sebuah SD Gagasceria Jalan Malabar 61 Kota Bandung. Analisis Struktur Teks Puisi Kontemporer Permainan Anak Teks yang dianalisis merupakan teks puisi kontemporer permainan anak yang diperoleh dari SD Gagasceria Jalan Malabar 61 Bandung. Teks-teks tersebut menggunakan bahasa Indonesia dan ada juga campuran. Analisis ini akan mengacu pada analisis struktur teks, konteks penuturan, dan fungsi. Analisis teks akan meliputi analisis: struktur teks, formula bunyi, formula irama, gaya bahasa, dan tema.
63
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
1. Teks 1: Kepiting Cina
KEPITING CINA (+) Sampurasun (-) Rampes (+) Di manakah rumah Kepiting Cina? (-) Di dasar laut (+) Mari kita kesana (-) Mari Kepiting Cina o e o e Kuberi nama pahlawan muda E jaja e jaja Pak camat jualan tomat Yang beli harus hormat Nek Ijah pakai kacamata Bolong dua bolong dua Pak kusir jadi jatuh cinta Jatuh cinta jatuh cinta 1.1 Deskripsi Permainan Permainan Kepiting Cina dilakukan oleh dua orang anak. Dua anak saling berhadapan. Anak A berhadapan dengan anak B. Si anak A mengatakan, “Sampurasun”. Sebuah salam dari tradisi budaya Sunda. Dan anak B menjawab, “Rampes”. Rampes adalah jawaban dari salam sampurasun. Lalu mereka bertanyajawab. Lengkapnya sebagai berikut ini. Anak A : “Sampurasun” Anak B : “Rampes” Anak A : “Dimanakah rumah kepiting cina?” Anak B : “Di dasar laut.” Anak A : “Mari kita kesana.” Anak B : “Mari.” Kemudian kedua anak tersebut melakukan koor, menyanyi bareng lagu dengan syair di bawah ini dengan melakukan koreografi atau gerakan yang kompak. Kepiting Cina oe oe Kuberi nama pahlawan muda E ja ja ejaja 2x Pak camat jualan tomat Yang beli harus hormat Nek Ija pakai kaca mata 64
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Bolong dua bolong dua Pak kusir jadi jatuh cinta Jatuh cinta jatuh cinta Awal gerakan tiap anak membuat satu keplokan/tepukan tangan di depan dada saat berkata suku kata /ke/. Ddilanjut suku kata /pi/ tidak membuat tepukan. Lalu pas bunyi suku kata /ting/ tangan kanan kedua anak tersebut (A dan B) saling bertemu membuat tepukan, tepukan ini terlihat menyilang. Begitu pula saat kata cina diucapkan sambil membuat tepukan pada suku kata /ci/ masing-masing anak membuat tepukan di depan dada masing-masing. Dilanjut suku kata /na/ tangan kiri kedua anak saling bertemu membuat tepukan. Kemudian kata /o/, /e/, /o/, /e/ (empat suku kata) kedua tangan diangkat ke atas seperti orang menyerah, setiap suku kata jari-jemari dibuka tutup. Syair berikutnya “Kuberi nama pahlawan muda” gerakan sama dengan saat mengatakan “kepiting cina” tetapi dua kali gerakan. Gerakan tepuk tangan di depan dada jatuh pada suku kata /ku/, /na/, /pah/, /mu/. Sedangkan tepukan sesama tangan kanan kedua anak jatuh pada suku kata /ri/ dan /wan/. Sedangkan tepukan sesama tangan kiri kedua anak jatuh pada suku kata /ma/ dan /da/. Selanjutnya syair E ja ja ejaja 2x, kedua tangan diletakan dipinggang. Bait berikutnya, gerakannya hampir sama dengan kepiting cina yaitu gerakan tepuk tangan saling menyilang, tetapi akhir kalimatnya membuat gerakan yang menggambarkan kelakuan atau benda yang menjadi tema kalimat tersebut. Pada kalimat Pak camat jualan tomat, kedua anak tangannya mengepal membentuk buah tomat. Pada kalimat Yang beli harus hormat diakhiri dengan cara membuat gerakan hormat tentara yaitu telapak tangan di buka rapat diletakan di samping atas mata. Sedangkan kalimat berikutnya Nek Ijah pakai kaca mata diakhiri dengan gerakan membaut kaca mata dari jari-jari tangan dan diletakan di depan mata kedua anak masing-masing. Meloncat pada kalimat Pak kusir jadi jatuh cinta diakhiri dengan gerakan jari-jari ke dua tangan membentuk hati dan diletakan di depan dada masingmasing anak. Pada kalimat atau kata-kata Bolong dua bolong dua dan Jatuh cinta jatuh cinta, berbeda sama sekali gerakannya dengan kaliamat yang lain. Tidak memakai tepukan tangan. Pada kalimat Bolong dua bolong dua, bentuk gerakan melanjutkan gerakan dari akhir kalimat Nek Ijah pakai kaca mata. Yaitu membuat kacamata dari kedua tangan dengan jari-jari membuat lingkaran dan diletakan didepan mata. Kemudian kepala masing-masing anak maju ke depan dan bertemu kedua “kacamata”nya kemudian kembali lagi pada posisi semula. Ini dilakukan dua kali karena kata bolong dua diucapkan dua kali. Sedangkan pada kalimat Jatuh cinta jatuh cinta,adalah lanjutan gerakan dari kalimat sebelumnya yaitu Pak kusir jadi jatuh 65
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
cinta. Kedua tangan dengan jemari membentuk hati diletakan di dada. Saat mengucapkan Jatuh cinta, Anak A menghadap kanan dan si anak B menghadap kiri. Lalu kedua bahu yang saling berdapan bergerak maju saling menyentuh dan kembali ke posisi semula. Kemudian kedua anak balik kanan mengucakan sekali lagi jatuh cinta. Sambil kedua bahu yang saling berdapan bergerak maju saling menyentuh lalu kembali ke posisi semula.
1.2 Struktur Teks Teks Kepiting Cina mempunyai Sembilan larik. Dari keseluruhan larik, pertama-tama penulis akan menganalisis pada tataran formula sintaksis, terutama untuk lebih mengangkat aspek fungsi, kategori dan peran komponen-komponen teks teks lagu permainan anak teks lagu permainan anak tersebut. Secara garis besar, struktur teks Kepiting Cina terdiri atas 4 unsur atau bagian. Keempat unsur yang membentuk struktur teks Kepiting Cina tersebut meliputi: unsur judul, unsur pembuka, unsur tujuan, dan unsur penutup. Unsur judul merupakan salah satu unsur pokok yang terdapat pada teks lagu permainan anak. Unsur Judul teks lagu permainan anak biasanya terdiri atas kelompok kata yang diasumsikan dapat mencerminkan tujuan teks lagu permainan anak yang bersangkutan. Namun dalam kenyataan judul tidak selalu mencerminkan isinya. Jadi, seseorang yang mengetahui judul teks lagu permainan anak tertentu belum tentu mengetahui kegunaan atau manfaat teks lagu permainan anak tersebut. Sebaliknya, apabila sudah mengetahui isi atau kegunaan teks lagu permainan anak seseorang akan mudah memahami judul teks lagu permainan anak. Unsur judul pada teks ini adalah Kepiting Cina. Judul ini, selanjutnya akan menggambarkan isi teks secara keseluruhan. Unsur pembuka merupakan perkataan awal pada teks. Dalam konteks teks Kepiting Cina kata-kata pada unsur pembuka adalah pada larik pertama teks yaitu: (+) Sampurasun / ()Rampes / (+) Di manakah rumah Kepiting Cina? / (-) Di dasar laut / (+) Mari kita kesana / (-) Mari. Kalimat penegasan yang menyatakan bahwa anak-anak sudah bersiap sedia untuk memulai permainan ini. Kalimat pembuka ini harus didialogkan oleh dua anak yang terlibat dalam permainan. 66
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Unsur Tujuan merupakan muara atau maksud yang ingin dicapai oleh anak-anak dalam teks lagu permainan anak. Unsur Tujuan ini semacam kesimpulan atau intisari dari rangkaian unsur-unsur yang membentuk struktur teks lagu permainan anak. Unsur Tujuan juga berfungsi membedakan teks lagu permainan anak tertentu dengan teks lagu permainan anak lainnya. Pada teks teks Kepiting Cina larik-larik pada bagian koor dapat dikatakan sebagai unsur tujuan pada teks ini. Unsur Penutup merupakan larik akhir yang biasanya menggunakan kata-kata atau ungkapan penutup. Pada teks teks Kepiting Cina ini, bait terakhir merupakan unsur penutup teks lagu permainan anak. Bait ini merupakan sebuah ungkapan bahwa permainan dalam yang dinyanyikan sudah selesai. Biasanya lagu akan diulang kembali dalam koor. Penggunaan ungkapan-ungkapan yang berulang pada koor bermaksud untuk ebih menegaskan teks lagu permainan anakini. 1.3 Formula Bunyi Pembahasan mengenai bunyi meliputi pembahasan asonansi dan aliterasi beserta efek yang ditimbulkannya pada teks. (Pradopo, 2002:31). Pada teks lagu permainan anak Kepiting Cina, larik pertama vokal yang sangat terasa yaitu /a/, yang dikombinasikan dengan beberapa konsonan. Di antaranya berkombinasi dengan konsonan /n/ pada kata /Cina/, konsonan /s/ dan /n/ pada kata /sana/, serta konsonan /t/ pada kata /kita/. Efek yang ditimbulkan pada pengucapannya terasa ringan seakan tidak ada hambatan. Selain itu, vokal /a/ pada larik pertama juga menimbulkan efek `pengingat` dan berpengaruh besar pada anak-anak. Artinya, dengan dominasi vokal /a/ pada larik ini memudahkan proses penghafalan teks teks lagu permainan anak, dengan kata lain bunyi vokal /a/ pada larik pertama merupakan formulasi bunyi yang menimbulkan efek `pengingat`. Kemudian vokal yang dominan muncul adalah vokal /a/ yang dipadukan dengan konsonan /d/ pada kata /muda/, konsonan /j/ dan /j/ pada kata /jaja/ dan /ja/, konsonan /n/ pada kata /nama/, dan konsonan /t/ pada kata /laut/. Efek yang ditimbulkan hampir sama dengan larik pertama. Artinya, pengucapan terasa ringan seakan tidak ada hambatan dalam mebacakannya. Selain itu, efek `pengingat` juga menjadi lebih dominan pada larik kedua ini. Vokal /a/ lebih terasa pada larik ini, dengan kata lain formulasi bunyi vokal /a/ menjadi alat pembantu pengingat untuk memudahkan proses penghafalan. 67
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Vokal yang dominan muncul adalah vokal /a/ dan vokal /i/. Vokal /a/ dikombinasikan dengan konsonan /m/, /n/ pada kata /kacamata/ dan /cinta/, konsonan /l/ pada kata /laut/. Efek dari kombinasi vokal /a/ dengan konsonan /m/ dan /n/, bunyi yang diucapkan menjadi terasa agak berat. Kombinasi vokal /a/ dengan konsonan /r/ dan konsonan /s/ pada kata /rasa/ menimbulkan efek ringan pada pengucapannya. Kombinasi vokal /b/ yang dikombinasikan dengan konsonan /l/ dan diftong /ng/ pada kata /bolong/menimbulkan efek pengucapan yang meninggi. Kombinasi vokal /k/ juga berpadu dengan konsonan /r/ seperti pada kata /kusir/. Efek yang dihasilkan dari kombinasi ini pada pengucapannya terasa agak berat dan naik (meninggi). Selanjutnya, vokal yang dominan muncul adalah vokal /a/ dan /u/. Vokal /a/ dikombinasikan dengan konsonan /j/ dan /t/ seperti pada kata /jatuh/. Efek yang ditimbulkan dari perpaduan dan kombinasi ini adalah pengucapan yang terasa agak berat. Begitu juga dengan vokal /u/ yang dikombinasikan dengan /h/ pada kata /jatuh/ dan kombinasi vokal /a/ dan /u/ dengan konsonan /j/ dan /t/ pada kata /jatuh/ menimbulkan efek yang terasa berat pada pengucapannya. Aliterasi yang paling dominan adalah konsonan /r/ dan /s/ yang selalu ada di setiap larik. Larik pertama sampai dengan larik ketiga dominasi konsonan /r/ dan /s/ berkombinasi dengan vokal /a/ pada kata /rasa/ dan / kusir /. Efek yang ditimbulkan dari kombinasi ini adalah pengucapan yang terasa ringan tanpa hambatan. Pada larik keempat konsonan /j/ dan /t/ berkombinasi dengan vokal /a/ dan /u/ pada kata /jatuh/. Efek yang ditimbulkan adalah pengucapan yang terasa agak berat. Efek-efek lainnya yang ditimbulkan oleh bunyi-bunyi tersebut menjadikan teks teks lagu permainan anak ini memiliki keseimbangan dan keindahan. Keseimbangan yang berarti teks ini mudah dihafal oleh anak-anaknya, sedangkan keindahan yang berarti teks ini mempunyai bunyi yang indah. 1.4 Formula Irama Teks lagu permainan anakpada pembacaannya mempunyai irama tertentu
yang
meliputi: pergantian naik-turun, panjang-pendek, keras-lembut ucapan bunyi bahasa dengan teratur. Untuk lebih jelasnya, teks yang dianalisis diberi tanda tertentu yaitu: tanda (−) menandakan nada yang panjang, tanda (∩) menandakan nada pendek, dan tanda (≥) menunjukkan nada yang sedang. Untuk dapat membedakan nada panjang (−) dan nada sedang 68
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
(≥) diibaratkan dengan pembacaan Al-Quran. Pada pembacaannya, nada panjang (−) dibaca dengan lima harokat (lima ketukan) dan nada sedang (≥) dengan dua harokat (dua ketukan). Intinya untuk melihat suku kata mana yang merupakan suku kata yang disuarakan panjang, pendek atau suku kata yang disuarakan sedang. Berikut formulasi irama pada teks teks lagu permainan anak Kepiting Cina: (+)
Sampurasun
∩∩∩≥
(-)
Rampes
∩≥
(+)
Di manakah rumah Kepiting Cina?
∩ ∩ ∩ ≥ ≥ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ∩?
(-)
Di dasar laut
∩∩∩∩≥
(+)
Mari kita kesana
∩∩∩∩≥∩∩
(-)
Mari
∩∩
Koor Kepiting Cina oeoe
∩∩∩∩∩≥≥≥≥
Kuberi nama pahlawan muda
∩∩∩∩∩∩∩∩
E jaja e jaja
≥∩∩≥∩∩
Pak camat jualan tomat
∩∩∩∩∩∩∩∩
Yang beli harus hormat
∩∩∩∩∩∩∩
Nek Ijah pakai kacamata
∩∩∩∩∩∩∩∩
Bolong dua bolong dua
∩∩≥≥∩∩≥≥
Pak kusir jadi jatuh cinta
∩∩∩∩∩∩∩
Jatuh cinta jatuh cinta
≥≥≥≥ ≥≥≥≥
Formulasi irama pada teks teks lagu permainan anak Kepiting Cina. Dari deskripsi nada-nada di atas, diperoleh gambaran yang lebih spesifik. Gambaran tersebut di antaranya adalah nada yang dipakai pada teks ini didominasi oleh nada pendek (∩) yang terletak disemua larik. Nada-nada sedang (≥) ada di beberapa suku kata pada setiap larik. Nada sedang (≥) menandakan penekanan (stressing) pada pelafalannya.
69
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
1.5 Gaya Bahasa Gaya bahasa yang muncul dalam teks ini diantaranya adalah: metafora. Metafora adalah bahasa kiasan seperti pembanding tetapi tidak menggunakan kata-kata pembanding atau perbandingan secara tidak langsung (Pradopo, 2002:76). Kata kepiting Cina merupakan metafora yang menggambarkan seekor hewan “kepiting” yang mungkin berasal dari Cina. Penggunaan metafora tersebut memberikan kesan untuk melatih asosiasi anak dalam memaknai permainannya. Melalui teks ini anak belajar untuk mengenal banyak hal tentang kehidupan, terutama kehidupan di dalam laut. Selanjutnya, majas hiperbola. Hiperbola merupakan bahasa kiasan yang memberikan makna yang dilebih-lebihkan. Hal tersebut dapat dilihat pada larik-larik berikut: Pak camat jualan tomat Yang beli harus hormat Nek Ijah pakai kacamata Bolong dua bolong dua Pak kusir jadi jatuh cinta Jatuh cinta jatuh cinta
Bait tersebut merupakan majas hiperbola. Karena pada bait tersebut sangat terasa kesan melebih-lebihkan sesuatu. Hal ini memang tidak mengherankan, karena pada teks teks lagu permainan anak, kata-kata dan kalimat-kalimat yang hiperbolis sangat banyak ditemukan. Ini sangat berkaitan dengan analogi-analogi dan metafora-metafora yang bersifat sugestis bagi anak-anak. Karena dengan penggunaan kalimat yang dilebih-lebihkan dapat menjadi pemicu sekaligus sugesti tertentu bagi anak-anak sehingga permainan lebih menarik. Secara umum, bahasa dalam teks ini menggunakan bahasa Indonesia untuk anakanak. Bahasa yang digunakan dalam teks Teks Kepiting Cinaini merupakan teks bahasa Indonesia yang bisa dikategorikan sebagai bahasa yang bersifat puitis. Artinya, bahasanya merupakan bahasa yang digunakan dalam karya sastra, khususnya puisi. Terutama terlihat pada penggunaan rima dan pengulangan kata/frasa/atau gabungan kata tertentu. Bahasa yang digunakan merupakan ragam bahasa yang digunakan adalah ragam bahasa komunikasi untuk masyarakat secara luas. Hal tersebut dilakukan sebagai strategi untuk mempermudah dalam proses bertutur dan berkomunikasi dalam permainannya.
70
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
1.6 Tema Secara umum, teks lagu permainan anak bersifat “hiburan“. Artinya, unsur hiburan pada permainan anak-anak akan sangat kental bila dibandingkan dengan unsur lainnya. Walaupun begitu, unsur edukatif dan pengajaran dalam lagu permainan anak-anak juga sangat dominan. Analisis tema menggunakan teori isotopi yang dikemukakan oleh Greimas. Dalam kajian ini, suatu kata/frasa akan diidentifikasi sebagai sesuatu yang mewakili suatu gagasan. Penjelasan mengenai isotopi-isotopi pada teks Kepiting Cina ini ada pada tabel-tabel berikut. a. Isotopi Kesantunan Kata/frasa isotopi
Intensitas
Kekuatan
Denotatif (D)
Komponen makna bersama
Konotatif (K) Menyapa
Bertanya
Menjawab
Sampurasun
1x
D/K
+
+
-
Rampes
1x
D/K
+
-
+
Dimanakah rumah
1x
D/K
+
+
-
1x
K
+
-
-
Kepiting Cina ? Hormat
Tabel di atas menggambarkan kata-kata yang mewakili isotopi kesantunan. Dari komponen makna yang digambarkan, terlihat komponen makna menyapa lebih dominan dibandingkan makna yang lain. Hal ini dikarenakan kekuatan yang mempengaruhi teks lagu permainan anak ini adalah kekuatan yang bersumber dari kesantunan, terutama kesantunan yang berkaitan dengan kebahasaan. b. Isotopi Permainan Kata/frasa isotopi
Intensitas
Denotatif (D)
Komponen makna bersama
pekerjaan Konotatif (K)
Perintah
Aktivitas
Sifat 71
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Mari
2x
D/K
+
+
+
Jualan
1x
D/K
+
+
+
Pakai
1x
D/K
+
+
+
Dari komponen makna yang digambarkan, terlihat bahwa komponen makna aktivitas mendominasi pada teks lagu permainan anak Kepiting Cina. Hal ini menunjukan bahwa teks lagu permainan anak adalah sebuah aktivitas, sebuah permainan. Komponen makna yang lain adalah komponen makna perintah dan komponen makna sifat. Kedua komponen makna tersebut menggambarkan sifat-sifat dan perintah dari sebuah aktivitas atau pekerjaan. Artinya, hal ini menjelaskan bahwa kebanyakan aktivitas di dalam teks teks lagu permainan anak adalah sebuah perintah yang mempunyai sifat. Dengan kata lain, aktivitas perintah tersebut mempunyai `sifat tertentu` yaitu sifat `hiburan`. c. Isotopi Alam Kata/frasa isotopi
Intensitas
Denotatif (D)
Komponen makna bersama
alam Konotatif (K)
Bumi
Laut
Kehidupan
Kepiting
1x
D/K
+
+
+
Dasar laut
1x
D/K
+
+
+
Pak Camat
1x
D/K
+
-
+
Nek Ijah
1x
D/K
+
-
+
Pak Kusir
1x
D/K
+
-
+
Kata yang menggambarkan isotopi alam dalam teks Kepiting Cina ini menggambarkan makna bersama dari isotopi alam ini adalah bumi, laut dan kehidupan. Unsur-unsur alam, seperti: kehidupan dan bumi adalah makna yang terkandung dalam isotopi 72
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
alam pada teks lagu permainan anak Kepiting Cina. Hal ini mengindikasikan bahwa teks Kepiting Cina mempunyai makna yang tersirat, yakni teks ini digunakan untuk kehidupan yang ada di bumi. Artinya, digunakan untuk kebahagiaan hidup di bumi. Komponen makna laut mempunyai makna konotasi saja. Hanya sebagai metafora untuk kelangsungan permainan supaya lebih menarik. d. Isotopi Manusia Kata/frasa isotopi
Intensitas
manusia
Denotatif (D)
Komponen makna bersama
Konotatif (K) Tubuh/roh
Akal budi
Aktivitas
Pak Camat
1x
D
+
+
+
Nek Ijah
1x
D
+
+
+
Pak Kusir
1x
D
+
+
+
Kita
2x
D
+
+
+
Pahlawan Muda
1x
D
+
+
+
Komponen makna bersama pada isotopi manusia adalah tubuh/roh, berakal budi dan aktivitas. Komponen makna tubuh/roh, berakal budi dan aktivitas bisa dikatakan seimbang mengisi komponen makna bersama pada isotopi manusia. Hal ini menunjukkan bahwa manusialah yang menggunakan lagu pada permainan ini. Komponen makna pada isotopi manusia merupakan sebuah kriteria `kesempurnaan` manusia itu sendiri, yaitu: mempunyai tubuh/roh, berakal budi dan beraktivitas. Artinya, manusia yang mempunyai tubuh dan roh, berakal budi dan beraktivitas adalah `manusia sempurna` yang mampu menggunakan teks lagu permainan anak ini. Motif yang dibentuk dari isotopi manusia ini adalah deskripsi manusia dengan segala aktivitasnya yang berhubungan dengan teks.
e. Isotopi Waktu Komponen makna yang termasuk pada isotopi waktu adalah komponen makna: sebelum, sedang dan setelah. Kata-kata yang menggambarkan isotopi waktu tidak tersurat. 73
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Artinya, lagu permainan ini memang bias digunakan atau dimainkan pada saat seperti apapun. Teks lagu permainan anak ataupun bagi anak- anak, waktu siang/malam, baik itu sebelum, sedang atau bahkan sesudahnya, (sebelum siang, sebelum malam, sedang siang, sedang malam, setelah siang, dan setelah malam) tidak ada perbedaan. Jadi dengan kata lain, kapan pun waktunya (siang/malam, sebelum, sedang atau sesudah) teks lagu permainan anak teks lagu permainan anakbisa tetap dimainkan. Motif pada isotopi waktu ini adalah deskripsi tentang waktu yang berkaitan dengan teks lagu permainan anak teks lagu permainan anak. Pembentukan tema, seperti disebutkan di atas tidak lepas dari pembentuk motif-motif. Artinya, semua isotopi yang telah dianalisis merupakan satu kesatuan yang membentuk motifmotif yang mengerucut pada pembentukan tema teks. Isotopi-isotopi yang telah dianalisis di atas adalah isotopi: kesantunan, permainan, alam, manusia, dan waktu. Isotopi-isotopi tersebut dianalisis berdasarkan komponen-komponen makna bersama. Dari analisis di atas dan dari pembentukan motif-motif tersebut dapat disimpulkan bahwa teks Kepiting Cina merupakan teks yang mempunyai sifat kesantunan dalam berbahasa yang berkaitan dengan permainan manusia (dalam hal ini anak-anak) yang dapat dimainkan kapanpun dengan tujuan memberikan penggambaran mengenai alam. 2. Teks 2 : Berhitung. BERHITUNG Satu, sepatu Dua, Dunia/Durian (?) Tiga, mentega Empat, Ketupat Lima, delima Enam, tanaman Tujuh, tujuan…diputus Delapan, papan tulis Sembilan, asam urat (?) Sepuluh, kue bolu Sebelas, naik kelas Duabelas, menjadi batu (?) 2.1 Deskripsi Permainan Permainan Berhitung dilakukan oleh dua orang anak. Dua anak saling berhadapan. Dua orang anak A dan B saling berhadapan. Kedua anak A dan B bergerak bersama dengan koreo grafi yang kompak dan koor atau nyanyian yang bareng. Kelihatan gerakannya rumit 74
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
secara keseluruhan. Tetapi sebetulnya gerakan sederhana, cuma diulang-ulang yang makin lama maikin cepat. Hitungan satu pelan, hitungan kedua makin cepat, ketiga ke empat dan kelima semakin cepat. Di hitungan keenam melambat lagi seperti hitungan ke satu. Kemudian hitungan ke tuju pelan. Mulai cepat dan makin cepat sampai hitungan dua belas. Baris kesatu ; Satu, sepatu, diawali oleh gerakan membuat tepukan antara tangan kanan anak A dengan tangan kiri anak B, tangan kiri A dengan tangan kanan B berbarengan. Hasil tepukan ini membuat tepukan sejajar. Tepukan ini tepat pada suku kata /sa/, pada suku kata /tu/ tepukan dibalik jadi antara punggung telapak tangan. Lalu jeda satu ketukan dengan masing-masing anak membuat tepukan di depan dada. Berikutnya suku kata /se/ tangan kanan si A menepuk telapak tangan kanan si B. Tepukan kerjasama ini terlihat menyilang atau diagonal. Pada suku kata /pa/ membuat tepukan di depan dada masing-masing anak. Pada suku kata /tu/ tangan kiri si A menepuk telapak tangan kiri si B. Pada ujung kalimat diakhiri dengan jeda tetapi membuat dua tepukan cepat. Baris kedua ; Dua, dunia/durian sampai baris keduabelas ; Duabelas, menjadi batu koreografi atau gerakan sama persis dengan baris kesatu. Setiap jeda antar kalimat/baris, ada dua tepukan cepat.
2.2 Struktur Teks Teks Berhitung mempunyai duabelas larik. Dari keseluruhan larik, pertama-tama penulis akan menganalisis pada tataran formula sintaksis, terutama untuk lebih mengangkat aspek fungsi, kategori dan peran komponen-komponen teks teks lagu permainan anak teks lagu permainan anak tersebut.Secara garis besar, struktur teks Berhitung terdiri atas 4 unsur atau bagian. Keempat unsur yang membentuk struktur teks Berhitung tersebut meliputi: unsur judul, unsur pembuka, unsur tujuan, dan unsur penutup. Unsur judul merupakan salah satu unsur pokok yang terdapat pada teks lagu permainan anak. Unsur Judul teks lagu permainan anak biasanya terdiri atas kelompok kata yang diasumsikan dapat mencerminkan tujuan teks lagu permainan anak yang bersangkutan. Namun dalam kenyataan judul tidak selalu mencerminkan isinya. Jadi, seseorang yang mengetahui judul teks lagu permainan anak tertentu belum tentu mengetahui kegunaan atau manfaat teks lagu permainan anak tersebut. Sebaliknya, apabila sudah mengetahui isi atau kegunaan teks lagu permainan anak seseorang akan mudah memahami judul teks lagu 75
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
permainan anak. Unsur judul pada teks ini adalah Berhitung. Judul ini, selanjutnya akan menggambarkan isi teks secara keseluruhan. Unsur pembuka merupakan perkataan awal pada teks. Dalam konteks teks Berhitung kata-kata pada unsur pembuka adalah pada larik pertama teks yaitu: Satu, sepatu / Dua, Dunia/Durian (?) / Tiga, mentega. Kalimat penegasan yang menyatakan bahwa anak-anak sudah bersiap sedia untuk memulai permainan ini. Kalimat pembuka ini harus dinyanyikan oleh anak-anak yang Unsur Tujuan merupakan muara atau maksud yang ingin dicapai oleh anak-anak dalam teks lagu permainan anak. Unsur Tujuan ini semacam kesimpulan atau intisari dari rangkaian unsur-unsur yang membentuk struktur teks lagu permainan anak. Unsur Tujuan juga berfungsi membedakan teks lagu permainan anak tertentu dengan teks lagu permainan anak lainnya. Pada teks teks Berhitung larik-larik pada bagian berhitung dapat dikatakan sebagai unsur tujuan pada teks ini, yaitu : Empat, Ketupat / Lima, delima / Enam, tanaman / Tujuh, tujuan…diputus / Delapan, papan tulis / Sembilan, asam urat (?) / Sepuluh, kue bolu / Sebelas, naik kelas / Duabelas, menjadi batu (?). Unsur Penutup merupakan larik akhir yang biasanya menggunakan kata-kata atau ungkapan penutup. Pada teks teks Berhitung ini, bait terakhir merupakan unsur penutup teks lagu permainan anak. bait ini merupakan sebuah ungkapan bahwa permainan dalam yang dinyanyikan sudah selesai. Biasanya lagu akan diulang kembali dalam koor. Penggunaan ungkapan-ungkapan yang berulang pada koor bermaksud untuk lebih menegaskan teks lagu permainan anakini. 2.3 Formula Bunyi Pembahasan mengenai bunyi meliputi pembahasan asonansi dan aliterasi beserta efek yang ditimbulkannya pada teks. (Pradopo, 2002:31). Pada teks lagu permainan anak Berhitung, larik pertama vokal yang sangat terasa yaitu /a/, yang dikombinasikan dengan beberapa konsonan. Di antaranya berkombinasi dengan konsonan /d/ pada kata /dua/, konsonan /t/ dan /g/ pada kata /tiga/, serta konsonan /m/ pada kata /lima/. Efek yang ditimbulkan pada pengucapannya terasa ringan seakan tidak ada hambatan. Selain itu, vokal /a/ pada larik pertama juga menimbulkan efek `pengingat` yang sangat terasa dan berpengaruh besar pada anak-anak. Artinya, dengan dominasi vokal /a/ pada larik ini 76
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
memudahkan proses penghafalan teks teks lagu permainan anak, dengan kata lain bunyi vokal /a/ pada larik pertama merupakan formulasi bunyi yang menimbulkan efek `pengingat` dan pembacaan yang terasa ringan. Seperti pada kata: dua, lima, tiga Kemudian vokal yang dominan muncul adalah vokal /a/ yang dipadukan dengan konsonan /l/ pada kata /lima/, konsonan /t/ dan /g/ pada kata /tiga/ dan /tiga/, konsonan /d/ pada kata /dua/, dan konsonan /t/ pada kata /empat/. Efek yang ditimbulkan hampir sama dengan larik pertama. Artinya, pengucapan terasa ringan seakan tidak ada hambatan dalam mebacakannya. Selain itu, efek `pengingat` juga menjadi lebih dominan pada larik kedua ini. Vokal /a/ lebih terasa pada larik ini, dengan kata lain formulasi bunyi vokal /a/ menjadi alat pembantu pengingat (mnemonic device) untuk memudahkan proses penghafalan. Vokal yang dominan muncul adalah vokal /a/ dan vokal /i/. Vokal /a/ dikombinasikan dengan konsonan /d/ pada kata /delapan/ dan /lima/ konsonan /l/ pada kata /lima/. Efek dari kombinasi vokal /a/ dengan konsonan /m/ dan /n/, bunyi yang diucapkan menjadi terasa agak berat. Kombinasi vokal /a/ dengan konsonan /r/ dan konsonan /s/ pada kata /lima/ menimbulkan efek ringan pada pengucapannya. Kombinasi vokal /b/ yang dikombinasikan dengan konsonan /l/ dan diftong /ng/ pada kata /dua/menimbulkan efek pengucapan yang meninggi. Kombinasi vokal /k/ juga berpadu dengan konsonan /r/ seperti pada kata /kusir/. Efek yang dihasilkan pada pengucapannya terasa agak berat dan naik (meninggi). Selanjutnya, vokal yang dominan muncul adalah vokal /a/ dan /u/. Vokal /a/ dikombinasikan dengan konsonan /j/ dan /t/ seperti pada kata /tujuh/. Efek yang ditimbulkan dari perpaduan dan kombinasi ini adalah pengucapan yang terasa agak berat. Begitu juga dengan vokal /u/ yang dikombinasikan dengan /h/ pada kata /tujuh/ dan kombinasi vokal /a/ dan /u/ dengan konsonan /j/ dan /t/ pada kata /tujuh/ menimbulkan efek yang terasa berat pada pengucapannya. Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa asonansi yang paling dominan adalah bunyi vokal /a/ yang menghasilkan efek pengucapan yang ringan. Selain itu, dominasi vokal /a/ pada teks teks lagu permainan anakini juga menimbulkan efek `pengingat` yang sangat terasa dan berpengaruh besar pada anak-anak. Artinya, dengan dominasi vokal /a/ pada teks ini dapat memudahkan proses penghafalan teks, dengan kata lain bunyi vokal /a/ merupakan
77
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
formulasi bunyi yang menimbulkan efek `pengingat` dan pebacaan yang terasa ringan dan juga menjadi alat pembantu pengingat dan untuk memudahkan penghafalan. Aliterasi yang paling dominan adalah konsonan /r/ dan /s/ yang selalu ada di setiap larik. Larik pertama sampai dengan larik ketiga dominasi konsonan /r/ dan /s/ berkombinasi dengan vokal /a/ pada kata /lima/ dan /lima /. Efek yang ditimbulkan dari kombinasi ini adalah pengucapan yang terasa ringan tanpa hambatan. Pada larik keempat konsonan /j/ dan /t/ berkombinasi dengan vokal /a/ dan /u/ pada kata /tujuh/. Efek yang ditimbulkan adalah pengucapan yang terasa agak berat. Efek-efek lainnya yang ditimbulkan oleh bunyi-bunyi tersebut menjadikan teks teks lagu permainan anak ini memiliki keseimbangan dan keindahan. Keseimbangan yang berarti teks ini mudah dihafal oleh anak-anaknya, sedangkan keindahan yang berarti teks ini mempunyai bunyi-bunyi tertentu yang menjadikannya indah dan enak didengar. 2.4 Formula Irama Teks lagu permainan anakpada pembacaannya mempunyai irama tertentu
yang
meliputi: pergantian naik-turun, panjang-pendek, keras-lembut ucapan bunyi bahasa dengan teratur. Untuk lebih jelasnya, teks yang dianalisis diberi tanda tertentu yaitu: tanda (−) menandakan nada yang panjang, tanda (∩) menandakan nada pendek, dan tanda (≥) menunjukkan nada yang sedang. Untuk dapat membedakan nada panjang (−) dan nada sedang (≥) diibaratkan dengan pembacaan Al-Quran. Pada pembacaannya, nada panjang (−) dibaca dengan lima harokat (lima ketukan) dan nada sedang (≥) dengan dua harokat (dua ketukan). Intinya untuk melihat suku kata mana yang merupakan suku kata yang disuarakan panjang, pendek atau suku kata yang disuarakan sedang. Berikut formulasi irama pada teks teks lagu permainan anak Berhitung: Satu, sepatu
∩ ∩, ∩ ∩ ∩
Dua, Dunia/Durian (?)
∩ ∩, ∩ ∩ ∩ /∩ ∩ ∩ ?
Tiga, mentega
∩ ∩, ∩ ∩ ∩
Empat, Ketupat
∩ ∩, ∩ ∩ ∩
Lima, delima
∩ ∩, ∩ ∩ ∩
Enam, tanaman
∩ ∩, ∩ ∩ ∩ 78
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Tujuh, tujuan…diputus
∩ ∩, ∩ ∩ ∩... ∩ ∩ ∩
Delapan, papan tulis
∩ ∩, ∩ ∩ ∩
Sembilan, asam urat (?)
∩ ∩, ∩ ∩ ∩ ∩ ?
Sepuluh, kue bolu
∩ ∩, ∩ ∩ ∩
Sebelas, naik kelas
∩ ∩, ∩ ∩ ∩
Duabelas, menjadi batu (?) ∩ ∩, ∩ ∩ ∩ ∩ ∩ ?
Formulasi irama pada teks teks lagu permainan anak Berhitung. Dari deskripsi nadanada di atas, diperoleh gambaran yang lebih spesifik. Gambaran tersebut di antaranya adalah nada yang dipakai pada teks ini didominasi oleh nada pendek (∩) yang terletak disemua larik. Nada-nada sedang (≥) ada di beberapa suku kata pada setiap larik. Nada sedang (≥) menandakan penekanan (stressing) pada pelafalannya. 2.5 Gaya Bahasa Gaya bahasa yang muncul dalam teks ini diantaranya adalah: metafora. Metafora adalah bahasa kiasan seperti pembanding tetapi tidak menggunakan kata-kata pembanding atau perbandingan secara tidak langsung (Pradopo, 2002:76). Kata Berhitung merupakan metafora yang menggambarkan asosiasi “penghitungan. Penggunaan metafora tersebut memberikan kesan untuk melatih asosiasi anak dalam memaknai permainannya. Melalui teks ini anak belajar untuk mengenal banyak hal tentang hal ihwal penghitungan. Selanjutnya, majas hiperbola. Hiperbola merupakan bahasa kiasan yang memberikan makna yang dilebihlebihkan. Hal tersebut dapat dilihat pada larik-lariknya. Karena pada bait tersebut sangat terasa kesan melebih-lebihkan sesuatu. Hal ini memang tidak mengherankan, karena pada teks teks lagu permainan anak, kata-kata dan kalimat-kalimat yang hiperbolis sangat banyak ditemukan. Ini sangat berkaitan dengan analogi-analogi dan metafora-metafora yang bersifat sugestis bagi anak-anak. Karena dengan penggunaan kalimat yang dilebih-lebihkan dapat menjadi pemicu sekaligus sugesti tertentu bagi anak-anak sehingga permainan yang dimainkannya terkesan lebih menarik. Secara umum, bahasa dalam teks ini menggunakan bahasa Indonesia untuk anakanak. Bahasa yang digunakan dalam teks Berhitungini merupakan teks bahasa Indonesia yang bisa dikategorikan sebagai bahasa yang bersifat puitis. Artinya, bahasanya merupakan bahasa 79
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
yang digunakan dalam karya sastra, khususnya puisi. Terutama terlihat pada penggunaan rima dan pengulangan kata/frasa/atau gabungan kata tertentu. Bahasa yang digunakan merupakan ragam bahasa yang digunakan adalah ragam bahasa komunikasi untuk masyarakat secara luas. Hal tersebut dilakukan sebagai strategi untuk mempermudah dalam proses bertutur dan berkomunikasi dalam permainannya. 2.6 Tema Secara umum, teks lagu permainan anak bersifat “hiburan“. Artinya, unsur hiburan pada permainan anak-anak akan sangat kental bila dibandingkan dengan unsur lainnya. Walaupun begitu, unsur edukatif dan pengajaran dalam lagu permainan anak-anak juga sangat dominan. Analisis tema menggunakan teori isotopi yang dikemukakan oleh Greimas. Dalam kajian ini, suatu kata/frasa akan diidentifikasi sebagai sesuatu yang mewakili suatu gagasan. Penjelasan mengenai isotopi-isotopi pada teks Berhitung. Pembentukan tema, seperti disebutkan di atas tidak lepas dari pembentuk motif-motif. Artinya, semua isotopi yang telah dianalisis merupakan satu kesatuan yang membentuk motifmotif yang mengerucut pada pembentukan tema teks. Isotopi-isotopi yang telah dianalisis di atas adalah isotopi: kesantunan, permainan, alam, manusia, dan waktu. Isotopi-isotopi tersebut dianalisis berdasarkan komponen-komponen makna bersama. Dari analisis di atas dan dari pembentukan motif-motif tersebut dapat disimpulkan bahwa teks Berhitung merupakan teks yang mempunyai sifat kesantunan dalam berbahasa yang berkaitan dengan permainan manusia (dalam hal ini anak-anak) yang dapat dimainkan kapanpun dengan tujuan memberikan penggambaran mengenai alam. 3. Teks 3 Popay Si Pelaut POPAY SI PELAUT Dimulai Popay (Popeye)si pelaut tut tuttut Makannya bayam yam yamyam Olif (Olive) pacarnya pokpokpok Satu (bulu) mata ting ting Dua (bulu) mata ting ting Pagi pagi dewa dewi Suwit 80
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
3.1 Deskripsi Permainan Permainan Popay Si Pelaut dilakukan oleh dua orang anak. Dua anak saling berhadapan. Sebut saja anak A dan B, mereka saling berhadapan.
Setiap anak telapak
tangannya saling bertemu di depan dada masing-masing dan diulurkan ke depan. Tangan kiri dan tangan kanan yang menyatu pada telapak tangan itu seperti mau bersalaman dengan kedua tangan. Tidak jadi bersalaman tetapi digoyang-goyang sambil membuat tepukan antar punggung tangan mereka. Goyangan tangan dimulai arah ke kiri, dan saat punggung bertemu kedua anak mengucapkan suku kata /di/. Goyangan tangan ke arah kanan antar punggung tangan kedua anak bertemu dan mengucapkan /mu/. Lalu goyangan tangan ke kanan lagi saat bertemu mengucapkan /lai/. Selanjutnya kedua anak membuat tepuk tangan di depan dada masing-masing dengan kedua tangannya dan mengucapkan suku kata /po/. Lalu ketukan berikutnya mengucapkan suku kata /pai/ dengan membuat tepuk silang antara telapak tangan kanan A dan telapak tangan B. Dilanjut tepuk tangan di depan dada masing masing dengan mengucapkan suku kata /si/. Pada suku kata /la/ tidak ada tepukan, tepukan jatuh pada suku kata /ut/ dengan gerakan telapak tangan kiri A ketemu telapak tangan kiri B. Gerakan berikutnya membuat tepukan telapak tangan kanan A dan telapak tangan B dan telapak tangan kiri A dan telapak tangan kiri B. Tepukan dilakukan bareng dengan mengucapkan suku kata /tut/. Tepukan /tut/ ini diulang sebanyak tiga kali. Berikutnya pada baris syair Makannya bayam yam yam yam. Gerakannya sama dengan syair Popai si pelaut. Begitujugasyair Olif) pacarnya pok pok pok, gerakannya sama juga. Pada syair Satu (bulu) mata ting ting sikap badan tegak, kedua tangan diletakan di samping badan lurus ke bawah. Saat mengucapkan /ting/ mata berkedip satu kali. Karena /ting/ dua kali maka kedip mata juga dua kali. Pada syair baris berikutnya Dua (bulu) mata ting ting, gerakannya persis sama dengan Satu (bulu) mata ting ting. Baris terakhir syair adalah Pagi pagi dewa dewi gerakannya sebagai berikutnya. Tangan kanan masing-masing anak telapaknya menepuk dada kiri sambil mengucapkan kata pagi. Lantas kata pagi yang kedua gerakannya telapak tangan kiri membuat tepukan pada dada kanan atas. Dengan demikian kedua tangan membentuk silang di depan dada. Berikutnya mengucapkan kata dewa telapak tangan kanan yang menempel di dada kiri atas dipindah ke bawah di pinggang kiri. Begitu juga kata dewi telapak tangan kiri yang berada di 81
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
dada kanan atas dipindahkan ke bawah di pinggul kiri, sehingga tangan kelihatan menyilang ke bawah. Dan terakhir kemudian kedua anak melakukan suwit. Yaitu suatu gerakan dengan menggunakan simbol-simbol (gunting, kertas, batu) untuk mencari siapa pemenang. Kemudian kedua anak duduk ditelapak kaki masing-masing. Yang kalah akan memutar badan, memunggungi yang menang. Yang memang melakukan gerakan yang sama pada syair popeye si pelaut, dengan lawan atau medianya adalah punggung yang kalah di depannya. Ini konsekwensi yang kalah maka punggungnya bakal ditepuk-tepuk oleh yang menang. Begitulah permainan Popeye si pelaut. Permainan ini diulang lagi, lalu mencari pemenang. Dan pemenang melakukan tepukan di punggung yang kalah. Begitu seterusnya sampai bosan.
3.2 Struktur Teks Teks Popay Si Pelaut (Suwit) mempunyai delapan larik. Dari keseluruhan larik, pertama-tama penulis akan menganalisis pada tataran formula sintaksis, terutama untuk lebih mengangkat aspek fungsi, kategori dan peran komponen-komponen teks lagu permainan anak tersebut.Secara garis besar, struktur teks Popay Si Pelaut (Suwit) terdiri atas 4 unsur atau bagian. Keempat unsur yang membentuk struktur teks Popay Si Pelaut (Suwit) tersebut meliputi: unsur judul, unsur pembuka, unsur tujuan, dan unsur penutup. Unsur judul merupakan salah satu unsur pokok yang terdapat pada teks lagu permainan anak. Unsur Judul teks lagu permainan anak biasanya terdiri atas kelompok kata yang diasumsikan dapat mencerminkan tujuan teks lagu permainan anak yang bersangkutan. Namun dalam kenyataan judul tidak selalu mencerminkan isinya. Jadi, seseorang yang mengetahui judul teks lagu permainan anak tertentu belum tentu mengetahui kegunaan atau manfaat teks lagu permainan anak tersebut. Sebaliknya, apabila sudah mengetahui isi atau kegunaan teks lagu permainan anak seseorang akan mudah memahami judul teks lagu permainan anak. Unsur judul pada teks ini adalah Popay Si Pelaut (Suwit). Judul ini, selanjutnya akan menggambarkan isi teks secara keseluruhan. Unsur pembuka merupakan perkataan awal pada teks. Dalam konteks teks Popay Si Pelaut (Suwit) kata-kata pada unsur pembuka adalah pada larik pertama teks yaitu: Dimulai / Popay (Popeye)si pelaut tut tuttut / Makannya bayam yam yamyam / Olif (Olive) pacarnya 82
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
pokpokpok. Kalimat penegasan yang menyatakan bahwa anak-anak sudah bersiap sedia untuk memulai permainan ini. Kalimat pembuka ini harus dinyanyikan oleh anak-anak yang Unsur Tujuan merupakan muara atau maksud yang ingin dicapai oleh anak-anak dalam teks lagu permainan anak. Unsur Tujuan ini semacam kesimpulan atau intisari dari rangkaian unsur-unsur yang membentuk struktur teks lagu permainan anak. Unsur Tujuan juga berfungsi membedakan teks lagu permainan anak tertentu dengan teks lagu permainan anak lainnya. Pada teks teks Popay Si Pelaut (Suwit) larik-larik pada bagian Popay Si Pelaut (Suwit) dapat dikatakan sebagai unsur tujuan pada teks ini. Popay (Popeye)si pelaut tut tuttut / Makannya bayam yam yamyam / Olif (Olive) pacarnya pokpokpok / Satu (bulu) mata ting ting / Dua (bulu) mata ting ting / Pagi pagi dewa dewi / Suwit. Unsur Penutup merupakan larik akhir yang biasanya menggunakan kata-kata atau ungkapan penutup. Pada teks teks Popay Si Pelaut (Suwit) ini, bait terakhir merupakan unsur penutup teks lagu permainan anak. bait ini merupakan sebuah ungkapan bahwa permainan dalam yang dinyanyikan sudah selesai. Biasanya lagu akan diulang kembali dalam koor. Penggunaan ungkapan-ungkapan yang berulang pada koor bermaksud untuk lebih menegaskan teks lagu permainan anakini. 3.3 Formula Bunyi Pembahasan mengenai bunyi meliputi pembahasan asonansi dan aliterasi beserta efek yang ditimbulkannya pada teks. (Pradopo, 2002:31). Pada teks lagu permainan anak Popay Si Pelaut (Suwit), larik pertama vokal yang sangat terasa yaitu /a/, yang dikombinasikan dengan beberapa konsonan. Di antaranya berkombinasi dengan konsonan /p/ pada kata /popay/, konsonan /p/ dan /y/ pada kata /popay/, serta konsonan /m/ pada kata /mata/. Efek yang ditimbulkan pada pengucapannya terasa ringan seakan tidak ada hambatan. Selain itu, vokal /a/ pada larik pertama juga menimbulkan efek `pengingat` yang sangat terasa dan berpengaruh besar pada anak-anak. Artinya, dengan dominasi vokal /a/ pada larik ini memudahkan proses penghafalan teks teks lagu permainan anak, dengan kata lain bunyi vokal /a/ pada larik pertama merupakan formulasi bunyi yang menimbulkan efek `pengingat` dan pembacaan yang terasa ringan. Seperti pada kata: popay, dua, mata Kemudian vokal yang dominan muncul adalah vokal /a/ yang dipadukan dengan konsonan /m/ pada kata /mata/, konsonan /t/ dan /g/ pada kata /tiga/ dan /tiga/, konsonan /d/ 83
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
pada kata /dua/, dan konsonan /t/ pada kata /mata/. Efek yang ditimbulkan hampir sama dengan larik pertama. Artinya, pengucapan terasa ringan seakan tidak ada hambatan dalam mebacakannya. Selain itu, efek `pengingat` juga menjadi lebih dominan pada larik kedua ini. Vokal /a/ lebih terasa pada larik ini, dengan kata lain formulasi bunyi vokal /a/ menjadi alat pembantu pengingat (mnemonic device) untuk memudahkan proses penghafalan. Vokal yang dominan muncul adalah vokal /a/ dan vokal /i/. Vokal /a/ dikombinasikan dengan konsonan /d/ pada kata /dua/ dan /lima/ konsonan /l/ pada kata /mata/. Efek dari kombinasi vokal /a/ dengan konsonan /m/ dan /n/, bunyi yang diucapkan menjadi terasa agak berat. Kombinasi vokal /a/ dengan konsonan /r/ dan konsonan /s/ pada kata /mata/ menimbulkan efek ringan pada pengucapannya. Kombinasi vokal /b/ yang dikombinasikan dengan konsonan /l/ dan diftong /ng/ pada kata /dua/menimbulkan efek pengucapan yang meninggi. Kombinasi vokal /k/ juga berpadu dengan konsonan /r/ seperti pada kata /pagi/. Efek yang dihasilkan pada pengucapannya terasa agak berat dan naik (meninggi). Selanjutnya, vokal yang dominan muncul adalah vokal /a/ dan /u/. Vokal /a/ dikombinasikan dengan konsonan /s/ dan /w/ seperti pada kata /suwit/. Efek yang ditimbulkan dari perpaduan dan kombinasi ini adalah pengucapan yang terasa agak berat. Begitu juga dengan vokal /u/ yang dikombinasikan dengan /h/ pada kata /suwit/ dan kombinasi vokal /a/ dan /u/ dengan konsonan /j/ dan /t/ pada kata /suwit/ menimbulkan efek yang terasa berat pada pengucapannya. Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa asonansi yang paling dominan adalah bunyi vokal /a/ yang menghasilkan efek pengucapan yang ringan. Selain itu, dominasi vokal /a/ pada teks teks lagu permainan anakini juga menimbulkan efek `pengingat` yang sangat terasa dan berpengaruh besar pada anak-anak. Artinya, dengan dominasi vokal /a/ pada teks ini dapat memudahkan proses penghafalan teks, dengan kata lain bunyi vokal /a/ merupakan formulasi bunyi yang menimbulkan efek `pengingat` dan pebacaan yang terasa ringan dan juga menjadi alat pembantu pengingat untuk memudahkan proses penghafalan. Aliterasi yang paling dominan adalah konsonan /r/ dan /s/ yang selalu ada di setiap larik. Larik pertama sampai dengan larik ketiga dominasi konsonan /r/ dan /s/ berkombinasi dengan vokal /a/ pada kata /mata/ dan /dua/. Efek yang ditimbulkan dari kombinasi ini adalah pengucapan yang terasa ringan tanpa hambatan. Pada larik keempat konsonan /j/ dan /t/ 84
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
berkombinasi dengan vokal /a/ dan /u/ pada kata /suwit/. Efek yang ditimbulkan adalah pengucapan yang terasa agak berat. Efek-efek lainnya yang ditimbulkan oleh bunyi-bunyi tersebut menjadikan teks teks lagu permainan anak ini memiliki keseimbangan dan keindahan. Keseimbangan yang berarti teks ini mudah dihafal oleh anak-anaknya, sedangkan keindahan yang berarti teks ini mempunyai bunyi-bunyi tertentu yang menjadikannya indah dan enak didengar. 3.4 Formula Irama Teks lagu permainan anakpada pembacaannya mempunyai irama tertentu
yang
meliputi: pergantian naik-turun, panjang-pendek, keras-lembut ucapan bunyi bahasa dengan teratur. Untuk lebih jelasnya, teks yang dianalisis diberi tanda tertentu yaitu: tanda (−) menandakan nada yang panjang, tanda (∩) menandakan nada pendek, dan tanda (≥) menunjukkan nada yang sedang. Untuk dapat membedakan nada panjang (−) dan nada sedang (≥) diibaratkan dengan pembacaan Al-Quran. Pada pembacaannya, nada panjang (−) dibaca dengan lima harokat (lima ketukan) dan nada sedang (≥) dengan dua harokat (dua ketukan). Untuk memberikan nada-nada tersebut, dilakukan di setiap suku kata. Jadi gambarannya adalah satu tanda untuk satu suku kata. Intinya untuk melihat suku kata mana yang merupakan suku kata yang disuarakan panjang, pendek atau suku kata yang disuarakan sedang. Berikut formulasi irama pada teks teks lagu permainan anak Popay Si Pelaut (Suwit): Dimulai
∩∩∩
Popay (Popeye)si pelaut tut tuttut
∩∩∩∩∩∩∩∩
Makannya bayam yam yamyam
∩∩∩∩∩∩∩∩
Olif (Olive) pacarnya pokpokpok
∩∩∩∩∩∩∩∩
Satu (bulu) mata ting ting
∩∩∩∩∩∩∩∩
Dua (bulu) mata ting ting
∩∩∩∩∩∩∩∩
Pagi pagi dewa dewi
∩∩∩∩∩∩∩∩
Suwit\
∩∩
Formulasi irama pada teks teks lagu permainan anak Popay Si Pelaut (Suwit). Dari deskripsi nada-nada di atas, diperoleh gambaran yang lebih spesifik. Gambaran tersebut di antaranya adalah nada yang dipakai pada teks ini didominasi oleh nada pendek (∩) yang
85
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
terletak disemua larik. Nada-nada sedang (≥) ada di beberapa suku kata pada setiap larik. Nada sedang (≥) menandakan penekanan (stressing) pada pelafalannya. 3.5 Gaya Bahasa Gaya bahasa yang muncul dalam teks ini diantaranya adalah: metafora. Metafora adalah bahasa kiasan seperti pembanding tetapi tidak menggunakan kata-kata pembanding atau perbandingan secara tidak langsung (Pradopo, 2002:76). Kata Popay Si Pelaut (Suwit) merupakan metafora yang menggambarkan asosiasi. Penggunaan metafora tersebut memberikan kesan untuk melatih asosiasi anak dalam memaknai permainannya. Melalui teks ini anak belajar untuk mengenal banyak hal tentang hal ihwal penghitungan. Selanjutnya, majas hiperbola. Hiperbola merupakan bahasa kiasan yang memberikan makna yang dilebihlebihkan. Hal tersebut dapat dilihat pada larik-larik berikut:Dimulai / Popay (Popeye)si pelaut tut tuttut / Makannya bayam yam yamyam / Olif (Olive) pacarnya pokpokpok / Satu (bulu) mata ting ting / Dua (bulu) mata ting ting / Pagi pagi dewa dewi / Suwit. Bait tersebut merupakan majas hiperbola. Karena pada bait tersebut sangat terasa kesan melebih-lebihkan sesuatu. Hal ini memang tidak mengherankan, karena pada teks teks lagu permainan anak, kata-kata dan kalimat-kalimat yang hiperbolis sangat banyak ditemukan. Ini sangat berkaitan dengan analogi-analogi dan metafora-metafora yang bersifat sugestis bagi anak-anak. Karena dengan penggunaan kalimat yang dilebih-lebihkan dapat menjadi pemicu sekaligus sugesti tertentu bagi anak-anak sehingga permainan yang dimainkannya terkesan lebih menarik. Secara umum, bahasa dalam teks ini menggunakan bahasa Indonesia untuk anakanak. Bahasa yang digunakan dalam teks Popay Si Pelaut (Suwit)ini merupakan teks bahasa Indonesia yang bisa dikategorikan sebagai bahasa yang bersifat puitis. Artinya, bahasanya merupakan bahasa yang digunakan dalam karya sastra, khususnya puisi. Terutama terlihat pada penggunaan rima dan pengulangan kata/frasa/atau gabungan kata tertentu. Bahasa yang digunakan merupakan ragam bahasa yang digunakan adalah ragam bahasa komunikasi untuk masyarakat secara luas. Hal tersebut dilakukan sebagai strategi untuk mempermudah dalam proses bertutur dan berkomunikasi dalam permainannya.
86
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
3.6 Tema Secara umum, teks lagu permainan anak bersifat “hiburan“. Artinya, unsur hiburan pada permainan anak-anak akan sangat kental bila dibandingkan dengan unsur lainnya. Walaupun begitu, unsur edukatif dan pengajaran dalam lagu permainan anak-anak juga sangat dominan. Pendidikan atau pengajaran tentang gizi pada anak terasa pada permainan Popay Si Pelaut. Anak diajak makan bayam biar bisa kuat badannya seperti Popay. Bayam adalah salah satu sayur sayuran, anak bisa diajak makan sayur yang lain. Analisis tema menggunakan teori isotopi yang dikemukakan oleh Greimas. Dalam kajian ini, suatu kata/frasa akan diidentifikasi sebagai sesuatu yang mewakili suatu gagasan. Penjelasan mengenai isotopi-isotopi pada teks Popay Si Pelaut (Suwit). Pembentukan tema, seperti disebutkan di atas tidak lepas dari pembentuk motif-motif. Artinya, semua isotopi yang telah dianalisis merupakan satu kesatuan yang membentuk motifmotif yang mengerucut pada pembentukan tema teks. Isotopi yang telah dianalisis di atas adalah isotopi: kesantunan, permainan, alam, manusia, dan waktu. Isotopi tersebut dianalisis berdasarkan komponen-komponen makna bersama. Dari analisis di atas dapat disimpulkan bahwa teks Popay Si Pelaut (Suwit) merupakan teks yang mempunyai sifat kesantunan dalam berbahasa yang berkaitan dengan permainan anak-anak yang dapat dimainkan kapanpun dengan tujuan memberikan penggambaran mengenai alam. Konteks Penuturan Pada dasarnya konteks penuturan pada teks lagu permainan anakadalah pembicaraan mengenai sebuah peristiwa komunikasi secara khusus yang ditandai dengan adanya interaksi di antara unsur-unsur pendukungnya secara khusus pula. Artinya, ada hubungan antara penutur, petutur, kesempatan bertutur, tujuan bertutur, dan hubunganya dengan lingkungan serta masyarakat pendukungnya. Pada teks teks lagu permainan anak, konteks penuturan terdiri atas dua tahapan, yaitu: 1, Penutur kepada pendengar. 2, Penutur kepada permainan. Pada tahap pertama, penutur yang menyanyikan teks lagu permainan anak kepada pendengar (temannya). Peristiwa komunikasi khusus di antara keduanya ditandai dengan hubungan timbal balik antara penutur dengan pendengar Pada konteks penuturan tahap pertama ini, penutur menyanyikan sekaligus memainkan teks lagu permainan anak kepada pendengar disertai dengan gerakan pada model pertunjukannya. 87
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Pada konteks penuturan tahap kedua, yakni penutur menyanyikan teks lagu permainan anak sekaligus memainkan permainannya.Pada konteks penuturan tahap kedua yang dilakukan oleh penutur teks lagu permainan anak, pertunjukkanadalah bagian integral yang tidak bisa dipisahkan dan merupakan bagian yang menentukan berhasil atau tidaknya teks lagu permainan anak tersebut dituturkan karena dengan pertunjukkan itulah anak-anak dapat memperoleh kesenangan.
Fungsi Permainan anak sebagai bagian dari folklor, maka fungsi-fungsi permainan anak memiliki fungsi yang sama dengan foklor. Fungsi dalam Foklor ini diartikan sebagai upaya memperoleh “manfaat” oleh masyarakat yang terkait dengan unsur tersebut dari konteks kebudayaannya. Menurut Bascom dalam Danandjaja, (2003:19) fungsi folklor meliputi : (a) sistem proyeksi, yakni sebagai alat cermin angan-angan suatu kolektif, (b) sebagi alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, (c) sebagai alat pendidikan anak, (d) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya. Sedangkan menurut Hutomo (1991:69-74), fungsi sastra lisan adalah sebagai berikut: (1) sebagai sistem proyeksi, (2) untuk pengesahan kebudayaan, (3) sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial dan sebagai alat pengendali sosial, 4) sebagai alat pendidikan bagi anak, (5) untuk memberikan suatu jalan yang dibenarkan masyarakat agar ia dapat lebih superior daripada orang lain, (6) untuk memberikan jalan kepada seseorang yang dibenarkan oleh masyarakat agar ia dapat mencela orang lain, (7) sebagai alat untuk memperotes ketidakadilan dalam masyarakat, dan (8) untuk melarikan diri dari himpitan hidup, atau dengan kata lain semata-mata hanya sebagai hiburan saja. Permainan anak-anakini memiliki beberapa fungsi. Tampaknya fungsi yang dominan pada teks ini ada dua. Pertama, sebagai sistem proyeksi. Kedua,sebagai alat pendidikan anak. Ketiga, sarana hiburan.Fungsi yang menonjol pertama adalah sebagai sistem proyeksi. Sebagai sistem proyeksi artinya, ketika lagu permainan anak dilagukan, praktis anak-anak menciptakan suatu proyeksi baru dalam pemikirannya atau hal yang ingin dicapainya (dicitacitakan/diidam-idamkan), yaitu mendapatkan hati bahagia, kesenangan dan hiburan.Pada permainan anak Kepiting Cina, anak-anak dibawa oleh imajinasinya sebuah petualangan ke dasar laut. Lihat dialog awal antara dua orang anak dalam permainan Kepiting Cina ini. (+) Sampurasun / (-) Rampes / (+) Diamanakah rumah Kepiting Cina? / (-) Di dasar laut / (+) 88
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Mari kita ke sana (-) Mari. Ternyata di dasar laut ada, mereka menemukan apa yang dicari yaitu “kepiting cina” dengan ekspresi gembira dan berseru “o, e, o, e”. Kemudian mereka memberi nama kepiting cina itu “Pahlawan Muda”. Mereka bernyanyi dan menari dengan puisi bait berikut ini. Kepiting Cina oe oe / Kuberi nama pahlawan muda / E ja ja ejaja / ja ja ejaja. Berikut si anak melalang buana di dasar laut. Mereka melihat Pak Camat yang sedang berdagang jualan tomat. Mereka terheran ternyata yang beli tomat pada Pak Camat bersikap hormat. Mereka melihat juga seorang nenek naik delman pakai kaca mata, tetapi kacamatanya bolong (dua). Nenek itu bernama NekIjah. Melihat Nek Ijah pakai kaca mata kusir delman tertarik dan akhirnya Pak Kusir jatuh cinta pada Nek Ijah. Berikut syair yang diucapkan anakanak tersebut dalam permainan Kepiting Cina menggambarkan petualangan mereka. Pak camat1 jualan tomat / Yang beli harus hormat / Nek Ijah pakai kaca mata / Bolong dua bolong dua / Pak kusir jadi jatuh cinta / Jatuh cinta jatuh cinta. Cerita imajinasi anak tersebut sepertinya tidak masuk akal atau tidak logis. Tetapi bagi dunia anak-anak imaji semacam ini lumrah atau biasa. Peneliti jadi teringat dengan film kartun yang terkenal Spongebob. Dunia imajinasi permainan Kepiting Cina sama persis dengan dunia imajinasi Spongebob, yaitu kehidupan di bawah laut. Lihat kehidupan SpongeBob SquarePants, tokoh utama dalam kartun ini yang adalah seekor spons yang sebenarnya berbentuk spons mandi berwarna kuning ini adalah pribadi yang baik, mudah diajak berteman, dan optimistis. Spongebob tinggal di dalam rumah berbentuk nanas di laut, di Jalan Conch nomor 124, Bikini Bottom. Dia juga memelihara seekor siput yang bernama Gary. Pekerjaannya sehari- hari adalah koki di rumah makan Krusty Krab (dia sendiri pun mendapat penghargaan "Employee of the Month" (Pegawai Teladan Bulan Ini) 374 kali berturut - turut), yang terkenal dengan burgernya Krabby Patty. Dia juga bersekolah di Mrs. Puff Boating School, sekolah mengemudi Mrs. Puff, namun selalu gagal ketika tes mengemudi. Ia juga suka berburu ubur ubur bersama Patrick. Bagaimana cerita Spongebob yang tidak masuk akal menurut manusia dewasa, bisa menjadi favorit dan begitu disukai oleh anak-anak? Karena anak-anak memiliki dunia imajinasi yang luar biasa sehingga Spongebob cocok dengan dunia anak-anak. Begitu juga permainan anak Kepiting Cina begitu disukai oleh anak-anak karena kesamaan dunia imajinasi dengan Spongebob. Oleh karena itu sebagai sistem proyeksi artinya, ketika lagu permainan anak dilagukan, praktis anak-anak menciptakan suatu proyeksi baru dalam 89
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
pemikirannya atau hal yang ingin dicapainya (dicita-citakan/diidam-idamkan), yaitu mendapatkan hati bahagia, kesenangan imajinasi. Fungsi yang menonjol yang kedua adalah permainan anak sebagai alat pendidikan. Dalam KepitingCina anak diajak mengenal biota laut, yaitu “kepiting”. Yang terasa adalah dalam permainan Berhitung, Anak-anak belajar mengenal hitung-hitungan sederhana yaitu angka 1 (satu) sampai 12 (dua belas). Lihat angka-angka tersebut ada dalam syair lagu tersebut. Salah satu metode kuno dalam dunia pendidikan/pembelajaran adalah menghafal dengan cara mengulang-ulang materi ajar. Proses permainan anak ini selalu diulang-ulang. Mereka kalau bosen atau jenuh dengan pasangan mainnya, maka mereka ganti pasangan dengan teman lainnya. Maka permainan Berhitung ini selalu diulang. Jadi anak-anak akan cepat memahami dan menghafal angka-angka. Selain belajar soal hitungan anak-anak juga belajar mengenal dasar-dasar puisi yaitu irama dan rima. Dasar-dasar puisi ini yaitu irama dan rima dibahas pada uraian tentang formula bunyi, formula irama tersebut. Fungsi yang ketiga adalahsarana hiburan. Permainan anak-anak memiliki fungsi sebagai sarana hiburan bagi anak-anak. Sarana hiburan atau pelipur lara dimaknai sebagai bentuk “pelarian” anak-anak dalam menghibur dirinya dari kejenuhan kehidupan sehariharinya. Permainan ini dilakukan ketika anak-anak pada jam istirahat di sela-sela pelajaran sekolah atau pulang sekolah sambil menunggu jemputan orang tuanya. Hasil pengamatan peneliti mereka selalu riang gembira saat melakukan permainan ini.
Kesimpulan 1. Struktur Teks permainan anakadalah teks puisi lisan yang berisi permainan unsur bunyi, teks, dan pertunjukkan. Secara tekstual, wacana puitik teks permainan anak mirip dengan wacana puitik puisi modern. Perbedaan teks permainan anak dengan puisi modern terletak pada: (1). Tradisi keberadaannya, yakni teks permainana hidup dalam tradisi lisan, sedangkan puisi modern hidup dalam tradisi tulis; (2). Struktur batinnya, yakni bahwa teks permainan anakmerupakan wacana permainan, sedangkan puisi modernmerupakan wacana kesaksian penyair terhadap pengalaman kehidupan. Struktur teks permainan anaksecara garis besar terdiri atas empat unsur atau bagian. Keempat unsur yang membentuk struktur teks permainan anaktersebut meliputi: unsur judul, unsur pembuka, unsur tujuan, dan unsur penutup. 90
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Pembentukan kalimat pada teks-teks permainan anak ini tidak hanya dibentuk oleh satu larik, namun terdapat kalimat yang dibentuk oleh dua larik, tiga larik, bahkan empat larik. Kecenderungan teks teks permainan anakini pembentukan pola fungsi subjek banyak yang dilesapkan. Artinya, pembentukan kalimat dengan pola fungsi subjek yang elips. Formulasi bunyi pada teks-teks permainan anak ini banyak didominasi oleh bunyibunyi vokal. Seperti bunyi vokal /a/. dominasi vokal /a/ pada teks permainan anak ini juga menimbulkan efek `pengingat` yang sangat terasa dan berpengaruh besar pada si pengamal. Artinya, dengan dominasi vokal /a/ pada teks ini dapat memudahkan proses penghafalan teks, dengan kata lain bunyi vokal /a/ merupakan formulasi bunyi yang menimbulkan efek `pengingat` dan pembacaan yang terasa ringan dan juga menjadi alat pembantu pengingat (mnemonic device) untuk memudahkan proses penghafalan teks. Efek-efek lainnya yang ditimbulkan oleh bunyi-bunyi tersebut menjadikan teks permainan anak memiliki keseimbangan dan keindahan. Keseimbangan yang berarti teks ini mudah dihafal oleh si penuturnya, sedangkan keindahan yang berarti teks ini mempunyai bunyi-bunyi tertentu yang menjadikannya indah dan enak didengar. Formulasi irama pada teks-teks teks permainan anak banyak mengggunakan nadanada yang didominasi oleh nada pendek (∩) yang terletak disemua larik. Nada-nada sedang (≥) ada di beberapa suku kata pada setiap larik. Nada sedang (≥) menandakan penekanan (stressing) pada pelafalannya. Penekanan (stressing)pada teks permainan anak terjadi pada suku kata-suku kata tertentu. Penekanan (stressing) merupakan indikasi tersendiri bagi si pengamal untuk keberhasilan teks permainan anakyang dilagukan. Penekanan (stressing) ini juga berpengaruh pada tingkat kegembiraan anak-anak. Bahasa yang digunakan pada teks teks permainan anakini merupakan bahasa Indonesia ragam sedang. Artinya, ragam bahasa yang digunakan adalah ragam bahasa komunikasi untuk masyarakat secara luas. Hal tersebut dilakukan sebagai strategi untuk mempermudah dalam proses bertutur dan berkomunikasi yang komunikatif.Selain bahasanya yang komunikatif, teks teks permainan anakjuga menggunakan bahasa yang puitis. Hal ini semata-mata dilakukan untuk mengejar pemaknaan yang lebih dalam. Bukan hanya itu, yang lebih utama dari penggunaan bahasa puitis ini dimaksudkan agar teks tampak dan terdengar lebih indah
91
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Penggunaan majas yang dominan pada teks-teks teks permainan anak adalah majas hiperbola, repetisi, metafora, paralelisme. Penggunaan majas ini sebagai salah satu ciri kepuitisan teks teks permainan anak Secara umum, tema Secara umum, teks lagu permainan anak bersifat “hiburan“. Artinya, unsur hiburan pada permainan anak-anak akan sangat kental bila dibandingkan dengan unsur lainnya. Walaupun begitu, unsur edukatif dan pengajaran dalam lagu permainan anak-anak juga sangat dominan.
2. Konteks Penuturan Pada dasarnya konteks penuturan pada teks lagu permainan anakadalah pembicaraan mengenai sebuah peristiwa komunikasi secara khusus yang ditandai dengan adanya interaksi di antara unsur-unsur pendukungnya secara khusus pula. Artinya, ada hubungan antara penutur, petutur, kesempatan bertutur, tujuan bertutur, dan hubunganya dengan lingkungan serta masyarakat pendukungnya. Pada teks teks lagu permainan anak, konteks penuturan terdiri atas dua tahapan, yaitu: penutur kepada pendengar dan penutur kepada permainan
3. Fungsi Teks lagu permainan anak-anakini memiliki beberapa fungsi. Tampaknya fungsi yang dominan pada teks ini ada dua. Pertama, sebagai sistem proyeksi. Kedua,sarana pendidikan. Ketiga, hiburan atau pelipur lara. Sebagai sistem proyeksi. Artinya, ketika lagu permainan anak dilagukan, praktis anak-anak menciptakan suatu proyeksi baru dalam pemikirannya atau hal yang ingin dicapainya (dicita-citakan/diidam-idamkan), yaitu mendapatkan hati bahagia dan kesenangan dan hiburan.
Saran Teks permainan anakadalah salah satu produk budaya masyarakat tradisional yang harus kita jaga dan lestarikan. Dengan melakukan penelitian teks permainan anak sebagai salah satu tradisi lisan yang ada di masyarakat, secara tidak langsung, kita telah menjaga dan melestarikan warisan dan tradisi kita. Ada harapan dari peneliti, bahwa pada masa yang akan datang dapat lahir peneliti-peneliti yang akan melanjutkan penelitian mengenai tradisi lisan yang ada di daerah. Sehingga ada harapan tradisi kita dapat lestari dan dapat dinikmati keturunan kita di masa yang akan datang. Salah satu upaya mengarah kepada harapan 92
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
tersebut, salah satunya dengan menggarap kembali tradisi lisan yang ada di masyarakat. Harapan peneliti, bahwa penelitian mengenai teks permainan anak dapat dilanjutkan dengan kajian yang lebih mendalam dan dapat mengkaji jenis teks permainan anak-teks permainan anak yang lain.
Daftar Pustaka Badrun, Ahmad. 1994. Makna Tiga Sajak Ketasawufan Abdul Hadi W. M. Jakarta: UI (Tesis). --------. 2003. Patu Mbojo: Struktur, Konteks Pertunjukan, Proses Penciptaan, dan Fungsi. Jakarta: UI (Disertasi). Danandjaja, James. 2002. Folklor Indonesia: Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Grafitipers. Hutomo, Suripan Sadi. 1991. Mutiara Yang Terlupakan. Surabaya: HISKI Jawa Timur. Juariah, Siti. 2005. Analisis Struktur, Proses Penciptaan, Konteks Pertunjukkan, dan Fungsi "Cigawiran" Ragam "Sawer Panganten". Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia (Skripsi). Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Pengkajian Puisi.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Riduwan. 2008. Metode dan Teknik Menyunsun Tesis. Bandung : Alfabeta. Sudaryanto. 1994. Predikat-Objek dalam Bahasa Indonesia-Keselarasan Pola Urutan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Sugiyono. 2009.Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta. --------. 2013. Cara Mudah Menyusun : Skripsi, Tesis, dan Desertasi. Bandung : Alfabeta. --------. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung : Alfabeta. Tanjung, Bahdin Nur, & Ardial. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Proposal, Skripsi, dan Tesis) dan Dapat Mempersiapkan diri MenjadiPenulis artikel Ilmiah. Jakarta : Kencana Teeuw, A. 1994. Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Verhaar, J. W. M. 1983. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
93
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
ANALISIS PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA DALAM ATRIBUT SISTEM TATA KOTA
Ai Siti Zenab STKIP Siliwangi Bandung
[email protected]
Abstrak Memasuki era Masyarakat Ekonimi ASEAN (MEA), upaya melestarian bahasa Indonesia adalah salah satu hal yang harus dilakukan. Hal tersebut penting dilakukan untuk mempertahankan eksistensi bahasa Indonesia di negeri ini. Bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa negara dan bahasa nasional. Kedua fungsi ini harus benarbenar bisa menopang semua kebutuhan kehidupan bangsa Indonesia dalam hal berbahasa. Jika kedua fungsi ini bisa dipertahankan, interfensi bahasa asing bisa diminimalisasi. Penelitian ini adalah penelitian yang berfokus pada analisis penggunaan bahasa Indonesia sebagai upaya untuk mengukur sejauh mana bahasa Indonesia digunakan dalam setiap keperluan. Fokus penelitian pada analisis kesalahan berbahasa yang digunakan dalam atribut sistem tata kota seperti rambu petunjuk, bilboard, baliho, shop sign branding, neon box, atau pun iklan tembok. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif. Metode ini dipakai karena penelitian dilakukan pada kondisi objek yang alamiah dengan peneliti sebagai instrumen kunci. Pengambilan data dilakukan secara purposive dan snowbaal, teknik pengumpulan dengan triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif. Lokasi penelitian di sepanjang Jalan Pasteur Kota Bandung. Hasil penelitian menunjukkan Dari 47 data yang terdiri atas rambu petunjuk 11, spanduk 9, bilboard 4, neon box 3, baliho 9, shop sign branding 10, dan iklan tembok 1, sebanyak 25, 47 persen penggunaan bahasa Indonesia yang terdapat di dalamnya dipengaruhi oleh bahasa Inggris. Kata Kunci: analisis bahasa Indonesia, atribut Pendahuluan Memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) saat ini, Indonesia dituntut tidak hanya harus bertahan dari segi ekonomi dan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) semata, tetapi juga harus siap dengan segala pengaruh positif dan negatif yang pasti menyertainya. Budaya luar yang pasti akan ikut masuk jangan sampai mengubah budaya asli yang dimiliki. Bangsa Indonesia harus siap mempertahankan budaya lokal agar jangan sampai terkontaminasi oleh budaya asing. Budaya yang dimiliki suatu bangsa salah satunya bisa tercermin dari bahasanya. Sebagai bagian dari budaya bangsa, bahasa Indonesia memiliki peran dan fungsi yang 94
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
eksistensinya harus selalu dipertahankan. Hasil perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 25-28 Februari 1975 (Muslich, 2010:6) menyebutkan bahwa bahasa Indonesia merupakan lambang kebanggaan nasional, lambang identitas nasional, alat pemersatu masyarakat yang berbeda-beda latar belakang sosial budaya dan bahasanya, dan alat perhubungan antarbudaya dan antardaerah. Sebagai lambang kebanggan nasional, bahasa Indonesia secara otomatis harus menjadi kebanggaan masyarakat penggunanya. Rasa bangga di sini tentu saja tidak cukup hanya dengan berkata bangga, tetapi disertai pula dengan menggunakan bahasa Indonesia dengan sebaik-baiknya, menjunjungnya, dan ikut melestarikan dan mempertahankannya. Sebagai identitas nasional, bahasa Indonesia memiliki peran sebagai pengirim ciri kepribadian dan gambaran bangsa Indonesia yang sebenarnya. Melalui fungsi ini, identitas kewarganegaraan dan kepribadian yang menyangkut watak dan karakter sebagai bangsa Indonesia bisa terlihat. Dengan adanya fungsi ini, peran bahasa Indonesia diharapkan jangan sampai tidak menunjukkan gambaran bangsa yang sebenarnya. Selain sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia juga berfungsi sebagai bahasa negara. Salah satu hal penting yang menyangkut fungsi ini adalah bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi dalam pengembang kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta teknologi modern. Hal ini memiliki makna bahwa pengembangan kebudayaan, pengembangan ilmu pengetahuan, dan pengembangan teknologi modern berada dalam ruang lingkup fungsi bahasa Indonesia. Indikasi dari adanya fungsi ini adalah penyebarluasan, pengembangan, dan pelestarian budaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi modern baik yang berada dalam ruang lingkup pendidikan maupun sarana-sarana lain di luar lembaga-lembaga pendidikan dilaksanakan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Salah satu hal yang bisa dijadikan contoh eksistensi bahasa dalam pengembang kebudayaan dan pemanfaatn ilmu pengetahuan serta teknologi modern adalah penggunaan bahasa dalam atribut tata kota. Bahasa yang terdapat dalam atribut tata kota bisa menjadi salah satu acuan bagaimana bahasa tersebut berkembang di kota yang bersangkutan. Branch (1996:2) mengartikan kota sebagai tempat tinggal dari beberapa ribu atau lebih penduduk, sedangkan perkotaan diartikan sebagai area terbangun dengan struktur dan jalan-jalan sebagai suatu permukiman terpusat pada suatu area dengan kepadatan tertentu. Sebagai suatu permukiman dengan kepadatan tertentu, atribut tata kota sangat berpengaruh terhadap eksistensi bahasa mayarakat penggunaanya. Melalui bahasa dalam atribut tata kota, 95
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
tingkat penggunaan bahasa penghuninya bisa tercermin. Bahasa yang terkandung di dalam atribut
tata kota menjadi sarana
komunikasi secara tidak langsung antara penghuni,
pengunjung, dan semua pihak yang terlibat di dalamnya. Kota Bandung sebagai salah satu kota terbesar di Indonesia, memiliki peranan yang cukup besar dalam perkembangan budaya dan ilmu pengetahuan. Di kota ini, industri kreatif berkembang dengan pesat. Perkembangan industri ini turut berpengaruh pula terhadap perkembangan dan penggunaan atribut tata kota. Atribut tata kota dijadikan sebagai wadah promosi dan pengenalan produk terhadap masyarakat. Adapun hubungannya dengan MEA, Kusumaningrum (2015:8) menyebutkan bahwa Jawa Barat adalah target utama MEA. Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa daerah Jawa Barat terindikasi kuat dijadikan sasaran utama pemasaran produk-produk bisnis bebas pada Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang direncanakan
diterapkan akhir tahun 2015.
Jumlah penduduk Jawa Barat yang mencapai 45 juta jiwa menjadi sasaran empuk bagi sejumlah pebisnis untuk menjadikan Jawa Barat sebagai target utama pemasaran. Kota Bandung sebagai sentral dari Provinsi Jawa Barat tentu akan menjadi derah yang paling utama dan pertama dalam perkembangan MEA di Jawa Barat. Oleh sebab itu, kesiapan dan ketahanan Kota Bandung dalam menghadapi pengaruh yang datang dari luar sangat diperlukan. Dengan berdasar pada hal-hal yang telah dijelaskan di atas, penelitian ini bersisi analisis penggunaan bahasa Indonesia yang terdapat dalam atribut sistem tata Kota Bandung sebagai upaya mengukur sejauh mana ketahanan dan kelestarian berbahasa di kota Bandung dalam menghadapi MEA. Pusat pengkajian dilakukan di sepanjang Jalan Pasteur dengan petimbangan jalan ini adalah jalan yang dilalui ketika akan masuk dan keluar tol sehingga aktivitas jalan ini tidak pernah berhenti dari siang sampai malam. Permasalahan
yang diteliti dalam penelitian ini menyangkut: 1) Bagaimana
gambaran umum pengunaan bahasa Indonesia dalam atribut sistem tata kota di sepanjang Jalan Pasteur Kota Bandung? 2) Bagaimana hasil analisis kesalahan berbahasa yang digunakan dalam atribut sistem tata kota di sepanjang Jalan Pasteur Kota Bandung? Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1) Gambaran umum penggunaan bahasa Indonesia dalam atribut sistem tata kota di sepanjang jalan Pasteur Kota Bandung. 2) Kesalahan berbahasa yang digunakan dalam atribut sistem tata kota di sepanjang Jalan Pasteur Kota Bandung. 96
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Metode ini dipakai karena penelitian dilakukan pada kondisi objek yang alamiah dengan peneliti sebagai instrumen kunci. Pengambilan data dilakukan secara purposive dan snowbaal, teknik pengumpulan dengan triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif. Lokasi penelitian di sepanjang Jalan Pasteur Kota Bandung.
Hasil dan Pembahasan 1. Gambaran Umum Secara umum penggunaan bahasa Indonesia di sepanjang Jalan Pasteur bisa diamati dari berbagai atribut kota yang terpasang di sepanjang jalan. Atribut tersebut meliputi papan reklame baik dalam bentuk bilboard maupan baliho, spanduk, shop sign branding, neon box, iklan tembok, dan rambu petunjuk. Dari 47 data yang terdiri atas rambu petunjuk 11, spanduk 9, bilboard 4, neon box 3, baliho 9, shop sign branding 10, dan iklan tembok 1, sebanyak 25, 47 persen penggunaan bahasa Indonesia yang terdapat di dalamnya dipengaruhi oleh bahasa Inggris. Penggunaan bahasa Inggris di sini tidak hanya ada di dalam atribut tata kota seperti yang telah disebutkan di atas. Memasuki Jalan Pasteur dari arah barat, pengunjung akan disambut dengan salah satu slogan Kota Bandung “Bdg, Bandung The Capital of Asia Afrika.” Slogan ini ditulis dalam bahasa Inggris bukan dalam bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional atau bahasa Sunda sebagai bahasa Ibu di kota ini. Adapun pengaruh bahasa Inggris di dalam atribut sistem tata kota bisa dilihat pada tabel dan diagram berikut.
Tabel Persentase Pengaruh Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia di dalam Atribut Sistem Tata Kota No.
Jenis
Jumlah data
Persentase (%)
1 2
Rambu petunjuk Spanduk
11 9
9,09 16,11
3 4
Billboard Baliho
4 9
100 44,44
5 6
Neon box Shop sign branding
3 10
100 80 97
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Diagram Persentase Pengaruh Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia di dalam Atribut Sistem Tata Kota
rambu petunjuk 2%
neon box 29%
spanduk 5% bilboard 28%
iklan tembok 0% shop sign branding 23%
baliho 13%
Dari tabel dan diagram di atas, yang mengalami interferensi l bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia yang cukup kecil hanya rambu petunjuk. Atribut tata kota yang lain seperti bilboard, baliho, neon box, dan shop sign branding mengalami pengaruh dari bahasa Ingrris yang cukup tinggi dalam penggunaan bahasa Indonesianya.
2. Analisis Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Atribut Tata Kota Analisis penggunaan bahasa Indonesia dalam atribut sistem tata kota bisa dilihat dalam tabel berikut. No 1.
2.
Bahasa yang Dipergunakan
Jenis Rambu petunjuk
TOL PASTEUR/DR. JUNJUNAN CIHAMPELAS TAMAN SAPARI/DAGO SURAPATI/GD. SATE SURYA SUMANTRI/SARI JADI (LEWAT UNDER PASS) Kunjungi....!!! IndoBuildTech Spanduk PAMERAN TEKNOLOGI BUILDING MATERIAL TERLENGKAP & TERBESAR
Analisis dan Perbaikan Penulisan GD seharusnya ditulis gedung. Istilah —under pass— seharusnya ditulis under pass. Jika terdapat padanan kata dalam bahasa Indonesia, istilah ini sebaiknya diganti dengan bahasa Indonesia. Penggunaan tanda seru yang berlebihan disertai dengan penggunaan bahasa yang tidak konsisten. Perbaikannya sebagai berikut. 1) Indo Build Tech 2) TECHNOLOGY BUILDING MATERIAL 98
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
3
4
DILARANG MEMBAWA PENUMPANG PADA KENDARAAN BAK TERBUKA KESUNGGUHAN HATI MEMPERSEMBAHKAN NUTRISI DARI ALAM
baliho
Kata depan pada seharusnya diganti dengan kata depan di.
Reklame (bilboard)
Tidak terdapat subjek dalam kalimat ini: Kesungguhan Hati Mempersembahkan Nutrisi Dari Alam. Subjek dalam iklan di bilboard ini diganti dengan gambar produk yang diiklankan. Penulisan—pure passion— seharusnya pure passion. Kalimat ini seharusnya ditulis Space For Rent. Tidak terdapat subjek dalam kalimat. Perbaikan untuk kalimat ini adalah dengan meraih peluang ini, Usaha Anda Makin Berkembang. Penulisan—Commercial area within educational center— seharusnya—Commercial area within educational center. exit tol Padalarang seharusnya ditulis keluar tol padalarang Istilah 4 in 1 diambil dari istilah bahasa Inggris, jika istilah ini akan tetap digunakan penulisan seharusnya adalah 4 in 1. penulisan kata simPATI tidak konsisten. Penulisan seharusnya simpati atau SIMPATI. Peulisan GD. SATE seharusnya Gedung Sate atau GEDUNG SATE.
PURE PASSION SELAMAT DATANG DI KOTA BANDUNG
5 6
SPACE FOR RENT RAIH PELUANG, USAHA MAKIN BERKEMBANG
Baliho Baliho
DP KPRuko Mulai 10% cicil mulai 10 jt-an bulan PARIWARNA NIAGA Commercial area within educational center EXIT TOL PADALARANG 7
ANDA MEMASUKI KAWASAN 4 IN 1 MOBIL BERPENUMPANG 4 (EMPAT) ORANG ATAU LEBIH
Rambu petunjuk
8
simPATI murahnya semaumu!
Iklan tembok
9
SUKAJADI CIHAMPELAS Ir. H. DJUANDA/DAGO SURAPATI/GD. SATE LEMBANG BABAKAN JERUK METRIC Innovation for better living
10
11
Rambu petunjuk
Neon box
RENTAL CAR SHUTTLE Spanduk TRAVEL BUS PARIWISAT RESERVASI SHUTTLE & TRAVEL
Penulisan—Innovation for better living—seharusnya ditulis Innovation for better living. RENTAL CAR SHUTTLE TRAVEL BUS PARIWISATA 99
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Kami malayani sistem travel dari BANDUNG ke: BOGOR TASIKMALAYA YOGYAKARTA PURWOKERTO SEMARANG Contact Center 022 8600 8800
12
HOME MADE COOKIES
J&C BOJONG KONENG 5KM
13
Mark Pro
RESERVASI SHUTTLE & TRAVEL— seharusnya ditulis —RENTAL CAR SHUTTLE TRAVEL BUS PARIWISAT RESERVASI SHUTTLE & TRAVEL Kalimat Kami malayani sistem travel dari .....adalah kalimat yang tidak logis. Kalimat ini seharusnya Travel kami melayani Anda dari... Penulisan Contact Center seharusnya Contact Center
Shop Sign Penulisan —HOME MADE Branding COOKIES—seharusnya ditulis — HOME MADE COOKIES Spanduk 3 iklan ini seharusnya ditulis:
DIJUAL APARTEMENT DAGO SUITE DAGO BUTIK MAJESTI GATEWAY PASTEUR
DIJUAL APARTEMENT DAGO SUITE DAGOBUTIK MAJESTI GATEWAY PASTEUR
JIMMY 082240109030
14
15
HOTEL
CHERRY Homes + 5 menitRESIDENCE CEPAT DAN MUDAH & LEBIH HEMAT MANFAATKAN LAYANAN BOOKING SERVICE
Shop Sign Penulisan— RESIDENCE— Branding seharusnya ditulis RESIDENCE Neon box Terdapat pemborosna kata 2 dan. Seharusnya— CEPAT, MUDAH, LEBIH HEMAT
TEST DRIVE GRAND NEW AVANZA BERHADIAH INNOVA
16
DISHUB KOTA BANDUNG
BENGKEL PELAKSANA PEMERIKSAAN EMISI KENDARAAAN BERMOTOR
Baliho
DAN
BOOKING SERVICE seharusnya ditulis BOOKING SERVICE TEST DRIVE GRAND NEW AVANZA seharusnya ditulisTEST DRIVE GRAND NEW AVANZA Tidak terdapat konsistensi dalam pembentukan akronim dishub.
100
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
17
18
Asian African Conference Commemoration Indonesia 2015
PASTEUR
HYPER POINT
ATM 24 JAM 500 m
19
SUKAJADI CIHAMPELAS IR. H. DJUANDA/DAGO SURAPATI/GD. SATE LEMBANG
Reklame (bilboard)
Seharusnya ditulis: Asian African Conference Commemoration Indonesia 2015 Shop Sign HYPER POINT Branding Seharusnya ditulis HYPER POINT Rambu petunjuk
GD—seharusnya GEDUNG
ditulis
SUKAMULYA
20 21
HATI HATI KELUAR MASUK KENDARAAN PROYEK
Triple C Guest House 1,5 km
Baliho
Kalimat ini tidak mengandung subjek. Shop Sign Guest House—seharusnya Branding ditulis Guest House
22
Panti Yatim Indonesia 50 m
Reklame (Baliho)
23
PANGKALAN OJEG
Spanduk
24
KAHA
OJEG JALUR BEBAS
HOTEL RESERVATION DISCOUNT VOUCHER HOTEL SELURUH INDONESIA
Neon box
Huruf m bisa diubah menjadi sebuah kata yang lebih lengkap “meter” Hubungan antara subjek dengan kata-kata selanjutnya yang seharusnya ditempati oleh predikat tidak memiliki kejelasana sehingga makna yang muncul menjadi tidak jelas pula. Contoh perbaikan: Ojeg ini melalui jalur bebas macet. Seharusnya ditulis: HOTEL RESERVATION DISCOUNT VOUCHER HOTEL SELURUH INDONESIA Supaya lebih jelas bisa ditambahkan kata di sebelum frasa seluruh Indonesia 101
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
25
26
STOP GLOBAL WARMING SAVE EARTH SLOW DOWN
MAGENTA LOUNGE
27
28
29
RS. HASAN SADIKIN SUKAJADI KAWASAN TERPADU TRANS STUDIO GASIBU/GD. SATE SETIAP ORANG YANG MENGEMUDIKAN RANMOR DIJALAN WAJIB MEMILIKI SIM CRISTAL
Rekalme (bilboard)
Seharusnya ditulis: STOP GLOBAL WARMING SAVE EARTH Shop Sign Seharusnya ditulis: Branding SLOW DOWN MAGENTA LOUNGE Istilah slow down bisa diubah ke dalam bahasa Indonesia menjadi pelanpelan Rambu GD SATE seharusnya ditulis petunjuk GEDUNG SATE
Baliho
Baliho
JACKET KULIT IMPORT
30
BUAT BANDUNG BERSIH
Spanduk
31
Taman Sari/Dago Surapati Cicaheum Sukajadi/RSHS Pasir Kaliki Setiabudi
Rambu petunjuk
32
Sukajadi / Pasir Kaliki Cipaganti / Cihampelas
Rambu petunjuk
Terdapat ketidakkonsistenan pembentukan akronim dalam kata ranmor Kalimat JACKET KULIT IMPORTtidak konsisten dalam penggunaan bahasa. Kata jacket dan import berasal dari bahasa Inggris sedangkan kulit berasal dari bahasa Indonesia. Perbaikannya sebagai berikut. JAKET KULIT IMPOR Kalimat ini termasuk ke dalam kalimat ambigu. Perbaikannya sebagai berikut. Mari ciptakan Bandung menjadi lebih bersih. Dari lima rambu petunjuk, 3 buah rambu petunjuk menggunakan huruf kecil sedangkan dua lagi mengunakan huruf kapital. Hal ini mengakibatkan ketidakkonsistenan dalam penggunaan ukuran dan 102
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Setiabudi / Lembang
33
Ir. H. Djuanda / Taman Sari Dipatiukur / Surapati Gedung Sate / Cicaheum
Rambu petunjuk
34
KEBUN BINATANG TAMAN SARI STASIUN K.A.
Rambu petunjuk
35
36
37
38
SUKAJADI RSUP HASAN SADIKIN IR. H. DJUANDA SETIABUDI PAJAJARAN SARAREASHUTTLE Contack center 022 8600 8800 24 hour SLOW DOWN
ASTON PRIMERA
Saung Kabayan RUMAH MAKAN KHAS SUNDA
Menu Tradisional Terkomplit di Bandung
39
Free delivery call 022 9122 999 KURANGI KECEPATAN!!!
RSIA Hermina
Pasteur 40
BRIDAL SALON SPA Jl. Dr. Junjunan Dalam No. 11 Bandung Telp. 022 6036510 + 100 mtr
41
TOL PASTEUR GN. BATU/CIMINDI SURYA SUMANTRI SARIJADI SUKAWARNA
Rambu petunjuk Spanduk 6
jenis huruf. Ketidakkonsistenan juga terdapat dalam frasa Rumah Sakit Hasan Sadikin. Di beberapa rambu petunjuk, Rumah Sakit Hasan Sadikin ditulis RSUP HASAN SADIKIN, RS. HASAN SADIKIN, atau RSHS. Bagi yang tidak tahu Rumah Sakit Hasan Sadikin, ketidakkonsistenan ini bisa membingungkan.
Seharusnya ditulis: SARAREA SHUTTLE Contack center 24 hour
Shop Sign Seharusnya ditulis:SLOW Branding DOWNatau mengganti katakatanya ke dalam bahasa Indonesiapelan-pelan Baliho Seharusnya ditulis: Free delivery call
Shop Sign Tanda seru yang digunakan Branding berlebihan. Shop Sign Kalimat BRIDAL SALON Branding SPAmenggunakan struktur bahasa Inggris. Bisa diperbaiki dengan cara mengubah struktur sperti berikut. SALON DAN SPA BRIDAL Rambu GN BATU seharusnya petunjuk ditulis GUNUNG BATU
103
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
BANDARA
42
LANUD HUSEN SASTRANEGARA
BANDUNG PILOT AKADEMI UNIVERSITAS NURTANIO
43
Shop Sign Seharusnya ditulis: Branding BANDUNG PILOT AKADEMY Atau AKADEMI PILOT BANDUNG Shop Sign Penggunaan tanda seru Branding berlebihan.
PELAN PELAN!!! PINTU MASUK
BTC 44
45
Halo Fit my plan
network priority highest internet speed biggest reward
best data package
LIVE MUSIC
(Reklame) Billboard
Spanduk
SETIAP HARI SELASA, KAMIS DAN SABTU MALAM , MULAI DARI JAM 18.00 S/D 22.00 PM @TOPAS CAFE, UNTUK RESERVASI HUBUNGI: 022 6020550
Seharusnya ditulis: Halo Fit my plan network priority highest internet speed biggest reward best data package Seharusnya ditulis: LIVE MUSIC
RESERVATION Kata reservasi bisa diganti dengan pemesanan
46
JAGA & PELIHARALAH KEBERSIHAN TEMPAT INI
Spanduk
47
DILARANG BUANG SAMPAH DI SUNGAI
Spanduk
Kalimat ini tidak mengandung subjek. Bisa diperbaiki dengan menambahkan subjek dalam kalimat. ANDA HARUS MENJAGA DAN MEMELIHARA KEBERSIHAN TEMPAT INI Kalimat ini tidak mengandung subjek dan bisa menimbulkan makna ganda. ANDA DILARANG MEMBUANG SAMPAH KE SUNGAI
104
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Kesimpulan Penggunaan Bahasa Indonesia dalam tataran atribut tata kota seperti rambu petunjuk, bilboard, spanduk, baliho, shop sign barnading, neon box, dan iklan tembok masih mengalami banyak kesalahan. Kesalahan tersebut tidak hanya kesalahan ejaan, struktur, atau segala hal yang berhubungan dengan penggunaan bahasa Indonesia, tetapi berhubungan pula dengan interferensi bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. Tingkat interferensi bahasa asing khususnya bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia sangat tinggi.
Hampir di
sepanjang jalan di Kota Bandung khususnya di Jalan Pasteur, penggunaan bahasa Indonesia dalam atribut kota tidak lepas dari pengaruh bahasa Inggris. Tingginya interferensi ini tentu saja berpengaruh pada eksistensi bahasa Indonesia. Kesadaran untuk berbahasa yang baik dan benar sangat diperlukan untuk mempertahankan dan melestarikan bahasa Indonesia agar tetap menjadi bahasa utama di Indonesia. Dengan melihat semua yang telah dipaparkan dalam kajian ini, jika keadaan berbahasa seperti ini terus berlanjut, bukan hal yang tidak mungkin posisi bahasa asing bisa menjadi sebanding bahkan mungkin lebih tinggi dari bahasa Indonesia sendiri.
Daftar Pustaka
Branch, Melville C. (1996). Perencanaan kota komprehensif pengantar dan penjelasan. Terjemahan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Kusumaningrum, Yulistyne. Jangan mau hanya jadi sasaran pasar, Jabar target utama MEA. (2015, Oktober 26). Pikiran Rakyat, p.8. Muslich, Masnur. (2010). Bahasa Indonesia pada era globalisasi pembinaan, dan pengembangan). Jakarta: Bumi Aksara.
(kedudukan, fungsi,
Poerwadarminta, W.J.S. (penyusun). (2007). Kamus umum bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Pusat pembinaan bahasa dan pengembangan bahasa departemen pendidikan nasional republik Indonesia. (2012). Pedoman umum ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan dan pedoman pembentukan istilah. Bandung: Yrama Widya. Sugiyono. (2014). Metode penelitian pendidikan pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Sugono, D. (2009). Mahir berbahasa Indonesia dengan benar. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 105
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Tarigan, Henry Guntur. (2011). Pengajarananalisis kesalahan berbahasa. Angkasa.
Bandung:
Pateda, Mansoer. (1989). Analisis Kesalahan. Flores: Penerbit Nuisa Indah.
106
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
REPRESENTASI MEDIA TERHADAP MEGAWATI SOEKARNO PUTRI DALAM ISU ‘PETUGAS PARTAI’: KAJIAN ANALISIS WACANA KRITIS Ages Kuniawan Universitas Padjadjaran Bandung
[email protected]
1. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Analisis adalah sebuah upaya atau proses (penguraian) untuk memberi penjelasan dari sebuah teks (realitas sosial) yang mau atau sedang dikaji oleh seseorang atau kelompok dominan yang kecenderungannya mempunyai tujuan tertentu untuk memperoleh apa yang di inginkan. Artinya dalam sebuah konteks kita juga harus menyadari akan adanya kepentingan, Oleh karena itu analisis yang terbentuk nantinya telah kita sadari telah dipengaruhi oleh si penulis dari berbagai faktor, kita dapat mengatakan bahwa di balik wacana itu terdapat makna dan citra yang diinginkan serta kepentingan yang sedang diperjuangkan.Sedangkan wacana adalah proses pengembangan dari komunikasi, yang menggunakan simbol-simbol, yang berkaitan dengan interpretasi dan peristiwa-peristiwa, di dalam sistem kemasyarakatan yang luas. Melalui pendekatan wacana pesan-pesan komunikasi, seperti kata-kata, tulisan, gambargambar, dan lain-lain, Eksistensinya ditentukan oleh orang-orang yang menggunakannya, konteks peristiwa yang berkenaan dengannya, situasi masyarakat luas yang melatarbelakangi keberadaannya, dan lain-lain. Kesemuanya itu dapat berupa nilai-nilai, ideologi, emosi, kepentingan-kepentingan, dan lain-lain. Jadi, analisis wacana yang dimaksudkan dalam sebuah penelitian adalah sebagai upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari subyek (penulis) yang mengemukakan suatu pernyataan. Pengungkapan dilakukan dengan menempatkan diri pada posisi sang penulis dengan mengikuti struktur makna dari sang penulis sehingga bentuk distribusi dan produksi ideologi yang disamarkan dalam wacana dapat di ketahui. Jadi, wacana dilihat dari bentuk hubungan kekuasaan terutama dalam pembentukan subyek dan berbagai tindakan representasi. Istilah analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam banyak disiplin ilmu dan dengan berbagai pengertian. Meskipun ada perbedaan yang besar dari berbagai definisi, 107
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
titik singgungnya adalah analisis wacana berhubungan dengan studi mengenai bahasa atau pemakaian bahasa. Bagaimana bahasa dipandang dalam analisis wacana. Dalam analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis / CDA), wacana disini tidak dipahami semata sebagai studi bahasa. Pada akhirnya, analisis wacana memang menggunakan bahasa dalam teks untuk dianalisis, tetapi bahasa yang dianalisis disini agak berbeda dengan studi bahasa dalam pengertian linguistik tradisional. Bahasa dianalisis bukan dengan menggambarkan semata dari aspek kebahasaan, tetapi juga menghubungkan dengan konteks. Konteks disini berarti bahasa itu dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk di dalamnya praktik kekuasaan. Mengenai fenomena diatas, berbagai issu dan wacana yang berkembang saat ini menarik untuk diteliti, salah satunya issu dan wacana ‘Petugas Partai’ karena akhir-akhir ini menjadi hangat lagi diperbincangkan. Wacana tersebut gencar lagi disajikan media dimulai pada hari kamis, Tanggal 11 April 2015, di sebuah hotel dikawasan Sanur, Bali, Kongres IV PDI Perjuangan resmi ditutup dengan pidato penutupan oleh Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri. Kongres tersebut mengahasilkan beberapa poin, termasuk di antaranya, terpilih kembali Megawati Sukarnoputri sebagai Ketua Umum. Dalam konteks diatas, ada beberapa poin juga yang menjadi bahan pemberitaan utama media, salah satunya adalah issu ‘Petugas partai’ yang diangkat kembali oleh media yang juga secara langsung di singgung dalam pidato penutupan Kongres tersebut oleh Megawati. Issu itu sebelumnya juga telah menjadi perbincangan hangat diberbagai media, pada saat terpilihnya Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia, sebagai salah satu pesan langsung dari Megawati kepada Jokowi. Megawati secara langsung mengatakan bahwa Jokowi adalah ‘Petugas Partai’ dari PDI Perjuangan. Dari issu diatas, peneliti bermaksud menganalisa representasi media, khususnya media online tehadap sosok Megawati dalam issu ‘Petugas Partai’ dengan menggunakan pendekatan Analisis Wacana Kritis Media Norman Fairclough (1995) yang tefokus kepada analisis Mikrostruktur atau analisis Linguistik diantaranya analisis Morfologi dan Sintaksis.
108
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Dalam proses pengumpulan data, peneliti menemukan 3 (tiga) data yang berasal dari tiga sumber media online yang membahas wacana “Petugas Partai”, yaitu kompas.com, tempo.co, dan okezon.com. Tiga media online tersebut menurut peneliti dapat mewakili representasi media terhadap sosok Megawati dalam issu ‘Petugas Partai’. 1.2 RUMUSAN MASALAH Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis representasi media kompas.com,tempo.co dan okezone.com terhadap sosok Megawati dalam issu ‘Petugas Partai’.
1.3 METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Penelitian ini memiliki kekhasan data berupa tulisan atau teks. Pada penelitian kualitatif, peneliti berusaha memahami subjek dari kerangka berpikirnya sendiri (Taylor & Bogdan, 1993). Dengan demikian, yang penting adalah pengalaman, pendapat, perasaan dan pengetahuan partisipan (Patton, 1990). Oleh karena itu, semua perspektif menjadi bernilai bagi peneliti. Peneliti tidak melihat benar atau salah, tetapi semua data penting. Pendekatan ini sering disebut juga sebagai pendekatan yang humanistik karena peneliti tidak kehilangan sisi kemanusiaan dari suatu kehidupan sosial. Peneliti tidak dibatasi lagi oleh angka-angka, perhitungan statistik, variabel-variabel yang mengurangi nilai keunikan individual (Taylor & Bogdan, 1993). Metode yang digunakan dalam pendekatan ini tidak kaku dan tidak terstandardisasi. Penelitian kualitatif bersifat fleksibel karena kesesuaiannya tergantung dari tujuan setiap penelitian. Walaupun demikian, selalu ada pedoman untuk diikuti, tapi bukan aturan yang mati (Taylor & Bogdan, 1993). Artinya, jalannya penelitian dapat berubah sesuai dengan kebutuhan,
situasi
lapangan,
serta
hipotesis-hipotesis
baru
yang
muncul
selama
berlangsungnya penelitian tersebut. Dengan metode ini, data penelitian yang dihasilkan adalah data yang memang sesuai dengan keadaan di lapangan tanpa ada kontrol dari peneliti. Peneliti hanya menafsirkan data yang berkenaan dengan fakta dan keadaan yang terjadi saat penelitian berlangsung dan menyajikan dengan apa adanya.
109
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
1.3.1
SUMBER DATA Sumber data penelitian ini adalah berita yang diambil dari media online kompas.com,
tempo.co dan okezone.com, mengenai issu ‘Petugas partai’ setelah pidato penutupan Kongres IV PDI Perjuangan tanggal 11 April 2015.
1.3.2
METODE PENGUMPULAN DAN ANALISIS DATA Data dikumpulkan dari media online yang berhubungan dengan issu ‘Petugas Partai’
seusai penutupan Kongres PDI Perjuangan tanggal 11 April 2015. Data yang dikumpulkan sebanyak 3 (tiga) data berita yang berasal masing-masing media online, yaitu, kompas.com, tempo.co dan okezone.com. Selanjutnya data diklasifikasi berdasarkan Prinsip Piramida Terbalik dari mulai head, lead, body dan ending. Kemudian, data dianalisa dengan menggunakan teori Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough (1995) untuk mengungkap representasi media online terhadap Megawati Sukarnoputri dalam isu ‘Petugas Partai’.
2.
LANDASAN TEORI
2.1 Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough Norman Fairclough (1941) dikenal dengan pemikirannya tentang analisis wacana kritis. Dalam bukunya Critical Discourse Analysis (1995) ia mengemukakan konsep yang ia bentuk menitikberatkan pada tiga level, pertama, setiap teks secara bersamaan memiliki tiga fungsi, yaitu representasi, relasi, dan identitas. Fungsi representasi berkaitan dengan cara-cara yang dilakukan untuk menampilkan realitas sosial ke dalam bentuk teks. Kedua, praktik wacana meliputi cara-cara para pekerja media memproduksi teks. Hal ini berkaitan dengan wartawan itu sendiri selaku pribadi; sifat jaringan kerja wartawan dengan sesama pekerja media lainnya; pola kerja media sebagai institusi, seperti cara meliput berita, menulis berita, sampai menjadi berita di dalam media. Ketiga, praktik sosial-budaya menganalisis tiga hal yaitu ekonomi, politik (khususnya berkaitan dengan isu-isu kekuasaan dan ideologi) dan budaya (khususnya berkaitan dengan nilai dan identitas) yang juga mempengaruhi istitusi media, dan wacananya. Pembahasan praktik sosial budaya meliputi tiga tingkatan Tingkat situasional, berkaitan dengan produksi 110
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
dan konteks situasinya Tingkat institusional, berkaitan dengan pengaruh institusi secara internal maupun eksternal. Tingkat sosial, berkaitan dengan situasi yang lebih makro, seperti sistem politik, sistem ekonomi, dan sistem budaya masyarakat secara keseluruhan. Fairclough sebenarnya bukanlah akademisi ilmu komunikasi. Dia meminati masalah kajian kritis wacana dalam teks berita dimulai sejak tahun 1980-an. Dia melihat bagaimana penempatan dan fungsi bahasa dalam hubungan sosial khususnya dalam kekuatan dominan dan ideologi. Faiclough berpendapat bahwa analisis wacana kritis adalah bagaimana bahasa menyebabkan kelompok sosial yang ada bertarung dan mengajukan ideologinya masingmasing. Konsep ini mengasumsikan dengan melihat praktik wacana bias jadi menampilkan efek sebuah kepercayaan (ideologis) artinya wacana dapat memproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara kelas sosial, laki-laki dan wanita, kelompok mayoritas dan minoritas dimana perbedaan itu direpresentasikan dalam praktik sosial. Analisis Wacana melihat pemakaian bahasa tutur dan tulisan sebagai praktik sosial. Praktik sosial dalam analisis wacana dipandang menyebabkan hubungan yang saling berkaitan antara peristiwa yang bersifat melepaskan diri dari dari sebuah realitas, dan struktur sosial. Dalam memahami wacana (naskah/teks) kita tak dapat melepaskan dari konteksnya. Untuk menemukan ‘realitas’ di balik teks kita memerlukan penelusuran atas konteks produksi teks, konsumsi teks, dan aspek sosial budaya yang mempengaruhi pembuatan teks. Dikarenakan dalam sebuah teks tidak lepas akan kepentingan yang yang bersifat subjektif. Didalam sebuah teks juga dibutuhkan penekanannya pada makna (Meaning) (lebih jauh dari interpretasi dengan kemampuan integratif, yaitu inderawi, daya piker dan akal budi). Arttunya, setelah kita mendapat sebuah teks yang telah ada dan kita juga telah mendapat sebuah gambarang tentang teori yang akan dipakai untuk membedah masalah, maka kita langkah selanjutnya adalah kita memadukann kedua hal tersebut menjadi kesatuan yaitu dengan adanya teks tersebut kita memakai sebuah teori untuk membedahnya. Kemudian Norman Fairclough (1995) mengklasifikasikan sebuah makna dalam analisis wacana sebagai berikut: a) Translation (mengemukakan subtansi yang sama dengan media). Artinya, pada dasarnya teks media massa bukan realitas yang bebas nilai. Pada titik kesadaran 111
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
pokok manusia, teks selalu memuat kepentingan. Teks pada prinsipnya telah diambil sebagai realitas yang memihak. Tentu saja teks dimanfaatkan untuk memenangkan pertarungan idea, kepentingan atau ideologi tertentu kelas tertentu. Sedangkan sebagai seorang peneliti memulainya dengan membuat sampel yang sistematis dari isi media dalam berbagai kategori berdasarkan tujuan penelitian. b) Interpreatation (berpegang pada materi yang ada, dicari latarbelakang, konteks agar dapat dikemukakan konsep yang lebih jelas). Artinya, Kita konsen terhadap satu pokok permasalahan supaya dalam menafsirkan sebuah teks tersebut kita bisa mendapat latar belakang dari masalah tersebut sehingga kemudian kita bisa menentukan sebuah konsep rumusan masalah untuk membedah masalah tersebut. a) Ekstrapolasi (menekankan pada daya pikir untuk menangkap hal dibalik yang tersajikan). Artinya, kita harus memakai sebuah teori untuk bisa menganalisis masalah tersebut, karena degnan teori tersebut kita bisa dengan mudah menentukan isi dari teks yang ada.
b) Meaning (lebih jauh dari interpretasi dengan kemampuan integrative, yaitu inderawi, daya piker dan akal budi). Artinya, Setelah kita mendapat sebuah teks yang telah ada dan kita juga telah mendapat sebuah gambarang tentang teori yang akan dipakai untuk membedah masalah, maka kita langkah selanjutnya adalah kita memadukann kedua hal tersebut menjadi kesatuan yaitu dengan adanya teks tersebut kita memakai sebuah teori untuk membedahnya. Dan menurutnya dalam analisis wacana fairclough juga memberikan tingkatan analisis, sebagai berikut. a) Analisis Mikrostruktur (Proses produksi): menganalisis teks dengan cermat dan focus supaya dapat memperoleh data yang dapat menggambarkan representasi teks. Dan juga secara detail aspek yang dikejar dalam tingkat analisis ini adalah garis besar
112
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
atau isi teks, lokasi, sikap dan tindakan tokoh tersebut dan seterusnya. Adapun bentuk analisisnya sebagai berikut. 1. Morfologi a. Pasifasi
Pasifasi dalam teks memiliki dampak kepada pengabaian pelaku. Pada kalimat aktif, yang ditekankan adalah pelaku dari suatu kegiatan. Dalam kalimat pasif, yang ditekankan adalah sasaran/korban dari suatu kegiatan, sedangkan pelaku tidak lagi menjad fokus utama.
Penambahan anak kalimat dalam suatu kalimat dapat berdampak pada penggantian aktor pelaku yang sekaligus menghilangkan pelaku suatu kegiatan tersebut yang seharusnya bertanggung jawab atas peristwa tersebut. Penambahan anak kalimat juga digunakan sebagai penegas pembenaran atas tidakan yang dilakukan oleh aktor pelaku.
Pasifasi dalam teks juga memiliki dampak kepada penghilangan pelaku. Pada kalimat aktif, pelaku yang bertanggung jawab atas suatu kegiatan wajib dihadirkan, tetapi dalam kalimat pasif, pelaku justu dihilangkan (seakan-akan dilindungi) dan yang dihadirkan hanyalah korban.
2. Nominalisi
Nominalisasi dalam teks juga memiliki dampak kepada penghilangan pelaku/korban. Nominalisasi ini pada dasarnya mengubah kata kerja yang terdapat dalam suatu teks menjadi kata benda. Dengan strategi nominalisasi, baik pelaku maupun korban dalam suatu kegiatan tidak lagi fokus perhatian pembaca.
Penggunaan kata penghubung dalam suatu wacana dapat mengarahkan hubungan/pandangan yang ingin dibangun oleh media untuk menjelaskan suatu fakta atau peristiwa. Penggunaan kata penghubung yang berbeda, dapat membawa dampak yang berbeda pula terhadap pemaknaan suatu teks.
113
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Penggunaan kata penghubung dalam suatu wacana digunakan media untuk mengontraskan anktor-aktor yang terlibat dalam pemberitaan yang diturunkan. Pengontrasan ini juga dapat menjadi penanda bagaimana suatu kelompok atau peristiwa direpresentasikan dalam teks.
3. Kata Ganti
Penggunaan kata ganti merupakan elemen untuk memenipulasi bahasa den menciptakan suatu komunitas yang imajinatif. Hal ini digunakan untuk menunjukkan di mana posisi seseorang dalam sebuah wacana, apakah memosisiskan diri sebagai sikap pribadi atau memosisikan diri sebagai sikap bersama.
4. Tema Rema (Pemfokusan pihak tertentu)
Tema-rema adalah salah satu strategi dalam penempatan suatu hal tertentu yang diinginkan media menjadi fokus perhatian. Proposisi mana yang ditempatkan di awal dan proposisi mana yang ditempatkan di akhir ternyata mampu memengaruhi makna yang timbul di benak pembaca.
5. Diksi
Penggunaan suatu kosakata tertentu haruslah dipahami bahwa kata tersebut merupakan representasi pertarungan wacana dan pembatasan pandangan. Suatu berita tertentu yang melibatkan dua pihak yang berbeda dapat menghasilkan versi yang berbeda pula.
Penggunaan suatu diksi tertentu dapat berdampak pada apakah suatu peristiwa menampilkan aktor sosial dngan petunjuk yang konkret ataukah ditampilkan secara absrak
Pada level diksi diungkapkan bagaimana peristiwa dan aktor dalam peristiwa itu dibahasakan. Di dalamnya tidak semata-mata menghadirkan suatu kata tertentu, tetapi ada ideologi yang menyelimuti pilihan kata yang dihadirkan oleh media. 114
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
b) Analisis Mesostruktur (Proses interpretasi): terfokus pada dua aspek yaitu produksi teks dan konsumsi teks. a) Analisis Makrostruktur (Proses wacana) terfokus pada fenomena dimana teks dibuat. Dengan demikian, untuk memahami wacana (naskah/teks) kita tak dapat melepaskan dari konteksnya. Untuk menemukan ‘realitas’ di balik teks, kita memerlukan penelusuran atas konteks produksi teks, konsumsi teks, dan aspek sosial budaya yang mempengaruhi pembuatan teks. 2.2 Piramida Terbalik ( Inverted Pyramid ) Piramida terbalik ditemukan oleh Associated Press (1865) dan menjadi pola news writing yang sampai sekarang dipakai sebagai salah satu acuan struktur penulisan berita. Piramida terbalik merupakan sebuah struktur penulisan atau bentuk penyajian sebuah tulisan yang umum dilakukan seorang wartawan. Kenapa harus menggunakan metode Piramida Terbalik, tentu maksudnya adalah agar pembacara dapat segera mengetahui inti dari berita yang ingin diketahuinya. Apalagi disaat seperti sekarang yang serba cepat. Berita online misalkan, sebaiknya dalam menyampaikan berita langsung ke pokok beritanya. Informasiinformasi penting (inti) disajikan di awal paragraf, selanjutnya informasi pendukung mengikuti paragraf berikutnya. Bagi pembaca sebuah artikel, piramida terbalik memudahkannya menangkap inti cerita, sebab informasi yang paling pokok langsung dibeberkan sejak alinea-alinea awal. Bagi wartawan maupun redaktur, akan memudahkan dalam penulisan dan editing berita, karena mereka lebih fokus pada pokok pikiran berita yang mereka tuliskan. Sedangkan redaktur pun akan sangat mudah dalam menyunting ataupun memotong berita, tinggal menghapus paragraf-paragraf akhir yang dianggap tidak terlalu penting. Sedangkan bagi media dengan penulisan Piramida Terbalik ini, akan menghemat space halaman.
115
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
1. Dimulai dari hal-hal yang paling penting. 2. Makin ke bawah semakin kurang penting (bukan berarti tidak penting). 3. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan kepada pembaca untuk langsung ke inti berita.
a) Head ( Judul ) Judul berita merupakan bagian terpenting dari berita. Hal ini karena sebelum masuk pada isi berita, pembaca akan melihat judul berita terlebih dahulu. Judul berita juga berperan untuk menarik pembaca pada isi beritanya. oleh karena itu penulisan judul menggunakan font yang lebih besar dan bercetak tebal agar mudah dikenali pembaca dan dapat menonjolkan isi berita. Judul yang baik memiliki syarat-syarat tertentu, diantaranya :
Singkat
Padat
Relevan (mencerminkan isi)
Menghindari kalimat tanya
Lazimnya menggunakan unsur what dan who.
b) Lead ( Teras Berita ) Lead atau teras berita adalah bagian yang sangat penting dari berita. Di dalam teras berita terangkum inti dari keseluruhan isi berita. Setiap lead juga ditulis untuk menarik
116
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
pembaca melihat lebih lanjut isi berita. Lead biasanya diawali dengan unsur siapa (who) dan atau unsur apa (what). Syarat-syarat lead :
Menggunakan kalimat-kalimat yang pendek atau singkat
Mengindahkan bahasa baku
Susunan kalimatnya sederhana
Melaksanakan ketentuan satu gagasan dalam satu kalimat
c) Body ( Isi Berita ) Isi berita merupakan kelanjutan isi berita yang dapat memberitahukan secara lebih rinci tentang keseluruhan peristiwa yang diberitakan. Yang memuat fakta atau informasi penambah atau pelengkap keterangan. Pada badan berita biasanya memuat unsur bagaimana (how) dan mengapa (why).
3.1 REPRESENTARI MEDIATERHADAP MEGAWATI SOEKARNO PUTRI DALAM ISU ‘PETUGAS PARTAI’ 3.1
Analisis Struktur Mikro dan Makro Dalam analisis ini, data dibagi berdasarkan Judul (Title), Lead, Body, dan Ending
sesuai dengan berita yang ada di masing-masing media online. Adapun analisis sebagai berikut. 1. Analisa Judul. NO.
MEDIA
JUDUL
1.
KOMPAS
Megawati: Kalau Tidak Mau Disebut Petugas Partai, Keluar!
2.
TEMPO
Sindir Jokowi, Mega:Tak Mau Disebut Petugas Partai, Keluar!
3.
OKEZONE
Megawati Persilakan Kadernya Keluar PDIP
117
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
1) Analisis Mikro Judul Kompas JUDUL KOMPAS Megawati: Kalau Tidak Mau Disebut Petugas Partai, Keluar!
a) Jenis Kalimat : Kalimat langsung dan Kalimat imperatif (Perintah) Kalimat diatas adalah kalimat langsung yang berupa kutipan ucapan seseorang. Kalimat tersebut masuk kedalam kalimat imperatif atau kalimat perintah, dapat dilihat dari bentuk verba dan terdapat tanda baca (!). b) Kata Ganti : Megawati (Individu) Dalam teks diatas, kata ganti yang digunakan adalah nama indvidu (Megawati), posisi yang dipakai pembuat teks adalah posisi individu seorang Megawati. c) Tema Rema : Megawati (Pelaku) Dalam teks diatas, pemfokusan dilakukan terhadap pelaku, yaitu Megawati sebagai individu. d) Diksi :
Megawati (pembatasan pandangan) Penggunaan kata/nama individu (Megawati) dimaksudkan untuk pembatasan pandangan yang difokuskan kepada individu tersebut.
Petugas Partai Penggunaan diksi “petugas partai” yang memiliki makna konotasi negatif.
2) Analisis Mikro Judul Tempo JUDUL TEMPO Sindir Jokowi, Mega:Tak Mau Disebut Petugas Partai, Keluar!
118
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
a) Jenis Kalimat : Kalimat imperatif (Perintah) Kalimat diatas adalah kalimat langsung yang berupa kutipan ucapan seseorang. Kalimat tersebut masuk kedalam kalimat imperatif atau kalimat perintah, dapat dilihat dari bentuk verba dan terdapat tanda baca (!). b) Kata Ganti : Jokowi dan Mega (Individu) Dalam teks diatas, kata ganti yang digunakan adalah nama indvidu (Jokowi dan Mega), posisi yang dipakai pembuat teks adalah posisi individu seorang Jokowi Mega. c) Tema Rema : Jokowi (Korban) dan Megawati (Pelaku) Dalam teks diatas, pemfokusan dilakukan terhadap korban, yaitu Jokowi sebagai individu yang secara tidak langsung adalah seorang presiden, dan pelaku adalah Mega sebagai individu yang secara tidak langsung adalah ketua umum PDI perjuangan sebagai partai utama pengusung Jokowi sebagai presiden. d) Diksi :
Sindir Jokowi (Objektif) Penggunaan diksi diatas menekankan bahwa, korban (Jokowi) diposisikan sebagai sesuatu yang objektif, lebih kongkret. Pengguaan diksi diatas juga menggambarkan bahwa ada sesuatu permasalahan antara korban (Jokowi) dan pelaku (mega)
Petugas Partai Penggunaan diksi “petugas partai” yang memiliki makna konotasi negatif, dan jika disematkan kepada korban (Jokowi) akan lebih bermakna negatif, sebab dalam hal ini posisi Jokowi secara tidak langsung adalah sebagai seorang Presiden.
3) Analisis Mikro Judul Okezone JUDUL OKEZONE Megawati Persilakan Kadernya Keluar PDIP a) Jenis Kalimat : Kalimat tak langsung dan Kalimat deklaratif (Pernyataan) Kalimat diatas adalah kalimat tak langsung yang berupa pernyataan dari pembuat teks. Kalimat tersebut masuk kedalam kalimat deklaratif atau kalimat pernyataan. 119
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
b) Kata Ganti : Megawati , kadernya dan PDIP (posisi partai) Dalam teks diatas, kata ganti yang digunakan adalah nama indvidu (Megawati), kata ganti “kadernya” menunjukan posisis organisasi atau partai, kemudian kata ganti PDIP menunjukan dengan jelas bahwa posisi yang yang ditekankan diatas adalah posisi organisasi atau partai. Dengan kata laian posisi individu Megawati diatas adalah posisi individu Megawati sebagai Ketua umum Partai, dan posisi korban tidak objektif dan Abstrak. c) Tema Rema : Megawati (Pelaku), dan Kadernya (Korban) Dalam teks diatas, pemfokusan dilakukan terhadap pelaku, yaitu Megawati sebagai ketua umum PDI Perjuangan. d) Diksi :
Persilahkan (Verba) Penggunaan diksi diatas menekankan bahwa posisi Megawati sebagai ketua umum sebagai pimpinan tertinggi partai membuat pernyataan kepada kadernya. Penggunaan diksi diatas bermakna positif, terlihat sopan sebagai ketua umum kepada kadernya, ketika dibandingkan dengan diksi “perintahkan” yang terkesan otorter. Dalam teks diatas juga tidak disebutkan dengan istilah “petugai partai”. Terlihat disini pembuat teks sangat berhati-hati menggambarkan sosok Megawati sebagai ketua umum PDI Perjuangan.
2. Analisis Lead Analisis Lead dibawah ini, dibagi menjadi 3 (tiga) berdasarkan media, yaitu, Kompas, Tempo, dan Okezone. Sebagai berikut. NO.
MEDIA
LEAD
1.
KOMPAS
Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri meminta semua kadernya yang ada di jajaran eksekutif dan legislatif untuk menjalankan tugas sesuai dengan garis perjuangan partai. Instruksi itu diberikan Megawati tanpa 120
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
bisa ditawar. 2.
TEMPO
Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri menegaskan bahwa kader partai banteng yang duduk di pemerintahan atau menjadi wakil rakyat adalah petugas partai. Megawati mengancam mereka akan mengeluarkan dari PDI Perjuangan bila menolak sebutan itu. “Kalau ada yang tidak mau disebut petugas partai, keluar!” kata Megawati dalam pidato penutupan Kongres IV PDI Perjuangan di Sanur, Bali, Sabtu, 11 April 2015.
3.
OKEZONE
Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri mengatakan, setiap kader partai harus taat dan tunduk kepada dirinya dan AD/ART PDIP.
1) Analisis Lead Kompas LEAD KOMPAS Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri meminta semua kadernya yang ada di jajaran eksekutif dan legislatif untuk menjalankan tugas sesuai dengan garis perjuangan partai. Instruksi itu diberikan Megawati tanpa bisa ditawar.
a) Jenis Kalimat : Kalimat tak langsung dan Kalimat deklaratif (Pernyataan) Kalimat diatas adalah kalimat tak langsung yang berupa pernyataan dari pembuat teks. Kalimat tersebut masuk kedalam kalimat deklaratif atau kalimat pernyataan. b) Kata Ganti : Ketua umum DPP PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri, Kadernya yang ada di jajaran eksekutif dan legislatif Kata ganti yang digunakan dalam lead diatas adalah Ketua umum DPP PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri sebagai posisi ketua umum partai, dan Kadernya yang ada di jajaran eksekutif dan legislatif sebagai sikap bersama dalam konteks 121
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
organisasi atau partai, dan kata ganti eksekutif dan legeslatif lebih menegaskan teks tersebut adalah teks politik. . c) Tema Rema : Ketua umum DPP PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri (Pelaku), dan Kadernya yang ada di jajaran eksekutif dan legislatif (Korban). Dalam teks diatas, pemfokusan dilakukan terhadap pelaku, yaitu Megawati sebagai ketua umum PDI Perjuangan. d) Anak Kalimat : Instruksi itu diberikan Megawati tanpa bisa ditawar. Anak kalimat diatas berfungsi sebagai penegasan posisi kekuasaan ketua umum. e) Diksi :
Meminta (Verba) Penggunaan diksi diatas yang berupa kategorisasi predikat yang menekankan bahwa posisi Megawati sebagai ketua umum sebagai pimpinan tertinggi partai membuat pernyataan kepada kadernya. Terlihat disini pembuat teks ingin menunjukan sikap yang menggambarkan posisi kekuasaan sosok Megawati sebagai ketua umum PDI Perjuangan.
2) Analisis Lead Tempo LEAD TEMPO Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri menegaskan bahwa kader partai banteng yang duduk di pemerintahan atau menjadi wakil rakyat adalah petugas partai. Megawati mengancam mereka akan mengeluarkan dari PDI Perjuangan bila menolak sebutan itu. “Kalau ada yang tidak mau disebut petugas partai, keluar!” kata Megawati dalam pidato penutupan Kongres IV PDI Perjuangan di Sanur, Bali, Sabtu, 11 April 2015
a) Jenis Kalimat : Kalimat tak langsung, kalimat langsung, kalimat deklaratif (Pernyataan) dan kalimat imperatif (perintah) Kalimat diatas adalah gabungan antara kalimat tak langsung yang berupa pernyataan dari pembuat teks dan kalimat langsung berupa kutipan pidato. 122
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
b) Kata Ganti :
Ketua umum DPP PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri.
Kader partai banteng
pemerintahan dan wakil rakyat
Kata ganti yang digunakan dalam lead diatas adalah Ketua umum DPP PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri sebagai posisi ketua umum partai, dan Kader partai banteng dan kata ganti pemerintah dan wakil rakyat sebagai sikap bersama dalam konteks organisasi atau partai. c) Tema Rema: Ketua umum DPP PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri (Pelaku), dan Kader partai banteng(Korban). Dalam teks diatas, pemfokusan dilakukan terhadap pelaku, yaitu Megawati sebagai ketua umum PDI Perjuangan. d) Anak Kalimat: Megawati mengancam mereka akan mengeluarkan dari PDI Perjuangan bila menolak sebutan itu. Anak kalimat diatas berfungsi sebagai penegasan posisi kekuasaan ketua umum, yang diikuti oleh kalimat langsung berupa kutipan pidato yang menegaskan pernyataan pembuat teks. e) Diksi :
Menegaskan (Verba) Penggunaan diksi diatas yang berupa kategorisasi predikat yang menekankan bahwa posisi Megawati sebagai ketua umum sebagai pimpinan tertinggi partai membuat pernyataan kepada kadernya. Terlihat disini pembuat teks ingin menunjukan sikap yang menggambarkan posisi kekuasaan sosok Megawati sebagai ketua umum PDI Perjuangan terhadap kadernya.
Pemerintah dan wakil rakyat Diksi diatas digunakan sebagai kategorisasi objek sebagai bahasa umum.
123
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
3) Analisis Lead Tempo
LEAD OKEZONE Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri mengatakan, setiap kader partai harus taat dan tunduk kepada dirinya dan AD/ART PDIP. Terlebih, para kader yang menjadi anggota DPR, DPRD haruslah taat kepada konstitusi partai. Sebab, mereka adalah kepanjangan partai yang fungsinya mengawal semua kebijakan dan memberi masukan agar pemerintah bekerja sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang (UU).
a) Jenis Kalimat : Kalimat tak langsung dan kalimat deklaratif (Pernyataan) Kalimat diatas adalah kalimat tak langsung yang berupa pernyataan dari pembuat teks. Kalimat tersebut masuk kedalam kalimat deklaratif atau kalimat pernyataan. b) Kata Ganti :
Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri
Kader partai
DPR dan DPRD
Kata ganti yang digunakan dalam lead diatas adalah Ketua umum PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri sebagai posisi ketua umum partai, dan Kader partai dan kata ganti DPR dan DPRD sebagai sikap bersama dalam konteks organisasi atau partai. c) Tema Rema : Ketua umum DPP PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri (Pelaku), dan Kader partai (Korban). Dalam teks diatas, pemfokusan dilakukan terhadap pelaku, yaitu Megawati sebagai ketua umum PDI Perjuangan. d) Anak Kalimat : Terlebih, para kader yang menjadi anggota DPR, DPRD haruslah taat kepada konstitusi partai. Sebab, mereka adalah kepanjangan partai yang fungsinya mengawal semua kebijakan dan memberi masukan agar pemerintah bekerja sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang (UU). Anak kalimat diatas berfungsi sebagai penjelas kalimat utama.
124
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
e) Konjungsi : Sebab, mereka adalah kepanjangan partai yang fungsinya mengawal semua kebijakan dan memberi masukan agar pemerintah bekerja sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang (UU). Konjungsi “sebab” diatas jelas menggambarkan hubungan sebab-akibat yang harus dilakukan oleh kader partai. f) Diksi :
Mengatakan (Verba) Penggunaan diksi diatas yang berupa kategorisasi predikat yang menekankan bahwa posisi Megawati sebagai ketua umum sebagai pimpinan tertinggi partai mengatakan kadernya harus taat kepada ketua umum dan AD/ART partai . Terlihat disini pembuat teks ingin menunjukan sikap yang menggambarkan organisasi yang sehat berdasarkan AD/ART didalam PDI P.
DPR dan DPRD Diksi diatas digunakan sebagai kategorisasi objek sebagai bahasa yang lebih bersifat instansi dan konstitusi, dari teks diatas lebih menekankan kepada kader legeslatif, sedangkan eksekutif benarbenar dihilangkan dari konteks.
3. Analisis Body NO.
MEDIA
BODY
1.
KOMPAS
"Sebagai kepanjangan tangan partai, kalian adalah petugas partai. Kalau enggak mau disebut petugas partai, keluar!" kata Megawati dalam pidato penutupan Kongres IV PDI-P, di Sanur, Bali, Sabtu (11/4/2015).
Menurut Megawati, kader partai yang berkecimpung di eksekutif
dan
legislatif
memiliki
kewajiban
menjalankan instruksi partai.
125
untuk
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Ia menyatakan, hal itu merujuk pada UU Partai Politik. Meski demikian, Megawati mengingatkan agar semua kebijakan yang diputuskan harus berpihak pada kepentingan rakyat.
2.
TEMPO
Megawati
mengatakan,
para
kader
berkewajiban
menjalankan perintah partai. “Sebagai perpanjangan partai, wajib dan sudah seharusnya menjalankan instruksi partai,” ujarnya. Menurut Megawati, sebutan petugas partai juga berlaku baginya. Dalam hal ini, dia telah dipilih oleh peserta kongres untuk memimpin PDIP selama lima tahun ke depan. Sebutan petugas partai disematkan Megawati kepada Presiden Joko Widodo menjelang pemilihan presiden pada tahun lalu. Sebab itu, kata Megawati, Jokowi sebagai kader PDIP mesti mengikuti perintah partai. Ucapan itu sempat menjadi bahan olok-olok oleh netizen di media sosial Twitter dan Facebook. Rupanya, cemoohan itu tak mengubah sikap Megawati. Pernyataan pembukaan
ini
kembali
Kongres
diutarakan
pada
Megawati
Kamis
lalu.
dalam
Megawati
mengingatkan Jokowi agar tunduk pada instruksi PDIP karena berkat dukungan partai pengusung dia terpilih menjadi presiden. Hubungan Megawati dengan Jokowi dikabarkan tak mulus belakangan ini. Jokowi menolak melantik calon Kepala Polri pilihan PDIP, Komisaris Jenderal Budi Gunawan, meski Kepala
Lembaga
praperadilan
Pendidikan
penetapan
Polri
tersangkanya
itu
memenangi
oleh
Komisi
Pemberantasan Korupsi. Sejumlah kader PDIP kemudian menyerang Jokowi dan orang-orang dekatnya perihal penarikan Budi Gunawan dan kenaikan harga bahan bakar minyak. 126
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
3.
OKEZONE
"Kepada kader yang ditugaskan di DPR, anggota Fraksi PDIP, yang ditugaskan di pemerintah pusat, pemerintah daerah
tingkat
I
dan
II
adalah
berfungsi
sebagai
perpanjangan tangan partai (yang mengawal jalannya pemerintah)," ujar Megawati di hotel Inna Grand Bali Beach, Sanur, Denpasar, Bali, Sabtu (11/4/2015).
1) Analisis Body Kompas BODY KOMPAS "Sebagai kepanjangan tangan partai, kalian adalah petugas partai. Kalau enggak mau disebut petugas partai, keluar!" kata Megawati dalam pidato penutupan Kongres IV PDI-P, di Sanur, Bali, Sabtu (11/4/2015). Menurut Megawati, kader partai yang berkecimpung di eksekutif dan legislatif memiliki kewajiban untuk menjalankan instruksi partai. Ia menyatakan, hal itu merujuk pada UU Partai Politik. Meski demikian, Megawati mengingatkan agar semua kebijakan yang diputuskan harus berpihak pada kepentingan rakyat. a) Jenis Kalimat : Diawali dengan kalimat langsung berupa kutipan, yang selanjutnya diteruskan dengan kalimat pernyataan. . b) Kata Ganti :
Megawati
Kader partai
Eksekutif dan Legeslatif
Kata ganti yang digunakan dalam body diatas masih konsisten sesuai dengan lead dan judul diatas, namun kata ganti megawati di bagian body ini lebih bersifat individu dibandingkan dengan yang ada didalam lead dan judul. c) Tema Rema : Megawati Dalam teks diatas, pemfokusan dilakukan masih terhadap pelaku, yaitu Megawati. d) Konjungsi : Ia menyatakan, hal itu merujuk pada UU Partai Politik. Meski demikian, Megawati mengingatkan agar semua kebijakan yang diputuskan harus berpihak pada kepentingan rakyat.
127
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Konjungsi diatas jelas memperlihatkan kontras antara pernyataan sebelum dan sesudah konjungsi. Terlihat diatas, pembuat teks tidak saja menampilkan sosok mega wati dari sudut pandang organisasi dan partai, tetapi juga sudut pandang negarawan yang mengutamakan kepentingan rakyat. Namun sayangnya hal tersebut ditulis dibagian body, sehingga berita tersebut tidak menjadi fokus utama atau tidak begitu penting. e) Diksi :
UU Partai politik Penggunaan diksi diatas menunjukan bahwa konteks yang dibangun adalah kontek politik.
Berpihak pada kepentingan rakyat. Diksi diatas digunakan terlihat kontras dengan kalimat-kalimat sebelumnya, pembuat teks ingin menunjukan sikap berimbang menyoroti sosok ketua umum PDI P Megawati.
2) Analisis Body Tempo BODY TEMPO Megawati mengatakan, para kader berkewajiban menjalankan perintah partai. “Sebagai perpanjangan partai, wajib dan sudah seharusnya menjalankan instruksi partai,” ujarnya. Menurut Megawati, sebutan petugas partai juga berlaku baginya. Dalam hal ini, dia telah dipilih oleh peserta kongres untuk memimpin PDIP selama lima tahun ke depan. Sebutan petugas partai disematkan Megawati kepada Presiden Joko Widodo menjelang pemilihan presiden pada tahun lalu. Sebab itu, kata Megawati, Jokowi sebagai kader PDIP mesti mengikuti perintah partai. Ucapan itu sempat menjadi bahan olok-olok oleh netizen di media sosial Twitter dan Facebook. Rupanya, cemoohan itu tak mengubah sikap Megawati. Pernyataan ini kembali diutarakan Megawati dalam pembukaan Kongres pada Kamis lalu. Megawati mengingatkan Jokowi agar tunduk pada instruksi PDIP karena berkat dukungan partai pengusung dia terpilih menjadi presiden. Hubungan Megawati dengan Jokowi dikabarkan tak mulus belakangan ini. Jokowi menolak melantik calon Kepala Polri pilihan PDIP, Komisaris Jenderal Budi Gunawan, meski Kepala Lembaga Pendidikan Polri itu memenangi praperadilanpenetapan tersangkanya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Sejumlah kader PDIP kemudian menyerang Jokowi dan orang-orang dekatnya perihal penarikan Budi Gunawan dan kenaikan harga bahan bakar minyak.
a) Jenis Kalimat : Diawali dengan kalimat langsung berupa kutipan, yang selanjutnya diteruskan dengan kalimat pernyataan.
128
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Kalimat-kalimat dalam paragraf-paragraf diatas berisi tentang bagaimana unsur intertekstualitas digambarkan, wacana-wacana sebelumnya yang menyangkut dengan hubungan antara Megawati dan Jokowi di angkat kembali. b) Kata Ganti :
Megawati
Presiden Joko Widodo
Budi Gunawan
Netizen
Kata ganti diatas merujuk kepada konteks yang lebih luas, dan untuk kata ganti jokowi pada lead, didalam body ini terlihat lebih kongkret dan jelas menjadi Presiden Joko Widodo. Kata ganti Netizen bersifat tidak objektif dan Abstrak. c) Tema Rema : Megawati Dalam bagian body diatas, fokus utama masih di Megawati sebagai ketua umum partai, yang digambarkan sebagai seorang yang bersalah. d) Diksi : Diksi diatas menggunakan diksi yang menggambarkan wacana-wacana sebelumnya, atau intertekstualitas, yang menunjukan hubungan tidak harmonis antara Megawati dan Jokowi. 3) Analisis Body Okezone BODY OKEZONE "Kepada kader yang ditugaskan di DPR, anggota Fraksi PDIP, yang ditugaskan di pemerintah pusat, pemerintah daerah tingkat I dan II adalah berfungsi sebagai perpanjangan tangan partai (yang mengawal jalannya pemerintah)," ujar Megawati di hotel Inna Grand Bali Beach, Sanur, Denpasar, Bali, Sabtu (11/4/2015). a) Jenis Kalimat : Diawali dengan kalimat langsung berupa kutipan, yang selanjutnya diteruskan dengan kalimat pernyataan. b) Kata Ganti :
Megawati
DPR
Fraksi PDI P
Pemerintah daerah tingkat I dan II 129
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Kata ganti diatas menggunakan kata-kata yang bersifat kanstitusional. c) Tema Rema :
Kader PDI P
Dalam teks diatas, fokus utama pada bagian body ini adalah kepada korban (kader PDI P) yang berisi tentang apa yang harus dilakukan kader PDI P. d) Diksi : Diksi yang digunakan diatas digambarkan dengan kata-kata yang bersifat konstitusional. 4. Analisa Ending NO.
MEDIA
ENDING
1.
KOMPAS
Rakyat, kata Megawati, merupakan elemen penting yang menjadi sumber dan tujuan kerja ideologi. "Wajib dan sudah seharusnya menjalankan instruksi partai, ya begitu," ujarnya.
2.
TEMPO
Menurut Deputi IV Bidang Komunikasi Politik Kantor Staf Presiden, Eko Sulistyo, Istana siap memperbaiki pola hubungan dengan partai pendukung. Eko menjanjikan komunikasi akan dijalin lebih intensif. “Ini akan menjadi perhatian pemerintah,” katanya. Peneliti Center for Strategic and International Studies, Philips J. Vermonte, tak setuju bila Jokowi disebut sebagai petugas partai. Dalam sistem presidensial, kata dia, kekuasaan ada di tangan presiden. Kekuasaan ini jauh di atas partai. “Jadi saat Jokowi terpilih, ia berdiri di atas semua golongan,” ujarnya. “Dia bukan petugas partai lagi.”
3.
OKEZONE
Selain itu, Megawati juga menegaskan, ke seluruh kader PDIP untuk tidak marah, apabila dikatakan sebagai petugas partai. Sebab, memang kenyataanya para kader adalah petugas partai, di mana telah diamanatkan partai untuk membuat Indonesia lebih baik dan lebih maju. "Ingat kalian adalah petugas partai, perpanjangan tangan partai, kalau tidak ada yang tidak mau disebut petugas 130
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
partai, keluar saja. Wajib dan sudah seharusnya jalankan instruksi partai," tegasnya.
1) Analisis Ending Kompas ENDING KOMPAS Rakyat, kata Megawati, merupakan elemen penting yang menjadi sumber dan tujuan kerja ideologi. "Wajib dan sudah seharusnya menjalankan instruksi partai, ya begitu," ujarnya.
a) Jenis Kalimat : Diawali dengan kalimat langsung berupa kutipan, yang selanjutnya diteruskan dengan kalimat pernyataan. b) Kata Ganti :
Rakyat
Megawati
Kata ganti diatas menggunakan kata-kata yang bersifat kanstitusional. c) Tema Rema :
Rakyat
Dalam teks diatas, fokus utama pada bagian ending ini adalah kepada rakyat d) Diksi : Diksi yang digunakan diatas lebih menjelaskan rakyat sebagai interprestasi ideologi partai.
2) Analisis Ending Tempo ENDING TEMPO Menurut Deputi IV Bidang Komunikasi Politik Kantor Staf Presiden, Eko Sulistyo, Istana siap memperbaiki pola hubungan dengan partai pendukung. Eko menjanjikan komunikasi akan dijalin lebih intensif. “Ini akan menjadi perhatian pemerintah,” katanya. Peneliti Center for Strategic and International Studies, Philips J. Vermonte, tak setuju bila Jokowi disebut sebagai petugas partai. Dalam sistem presidensial, kata dia, kekuasaan ada di tangan presiden. Kekuasaan ini jauh di atas partai. “Jadi saat Jokowi terpilih, ia berdiri di atas semua golongan,” ujarnya. “Dia bukan petugas partai lagi.”
131
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
a) Jenis Kalimat : lebih fokus kepada kalimat langsung berupa kutipan dari tokoh. b) Kata Ganti :
Deputi IV Bidang Komunikasi Politik Kantor Staf Presiden, Eko Sulistyo
Peneliti Center for Strategic and International Studies, Philips J. Vermonte.
Kata ganti diatas menggambarkan pendapat sebagian tokoh termasuk peneliti. c) Tema Rema :
fokus terhadap tendapat tokoh istana dan peneliti.
Dalam teks diatas fokus menitik beratkan kepada pendapat tokoh istana dan peneliti. d) Diksi : Diksi yang digunakan diatas lebih banyak menggunakan kutipan dan pendapat langsung dari tokoh istana dan peneliti, yang dimaksudkan untuk mempertegas permasalahan diatas, dan membuat terlihat berimbang. 3) Analisis Ending Okezone ENDING OKEZONE Selain itu, Megawati juga menegaskan, ke seluruh kader PDIP untuk tidak marah, apabila dikatakan sebagai petugas partai. Sebab, memang kenyataanya para kader adalah petugas partai, di mana telah diamanatkan partai untuk membuat Indonesia lebih baik dan lebih maju. "Ingat kalian adalah petugas partai, perpanjangan tangan partai, kalau tidak ada yang tidak mau disebut petugas partai, keluar saja. Wajib dan sudah seharusnya jalankan instruksi partai," tegasnya.
a) Jenis Kalimat : Kalimat pernyataan dan kalimat langsung berupa kutipan. b) Kata Ganti :
Megawati
Kata ganti diatas masih menggnakan Megawati sebagai individu. c) Tema Rema :
Megawati
Dalam teks diatas, fokus utama pada bagian ending ini adalah sikap Megawati terhadap sebutan “Petugas Partai” d) Diksi : 132
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Megawati juga menegaskan, ke seluruh kader PDIP untuk tidak marah, apabila dikatakan sebagai petugas partai
Diksi yang digunakan diatas lebih menjelaskan sebutan “Petugas Partai” kepada kadernya dengan makna yang positif. Menggambarkan Megawati sebagai Ketua Umum Partai yang santun dalam berbahasa. 4. SIMPULAN Dari hasil pembahasan analisis struktur mikro diatas tentang representasi media online terhadap Megawati Sukarnoputri dalam issu “Petugas Partai” pada pidato penutupan Kongres IV PDI Perjuangan adalah sebagai berikut. 1. Media online kompas.com memfokuskan pembahasan pada kekuasaaan Megawati Sukarnoputri sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan. Pilihan-pilahan kata yang digunakan lebih bersifat politis, seperti kata Eksekutif dan Legeslatif. Issu “Petugas Partai” ditujukan untuk kadernya yang ada dijajaran Ekskutif dan Legeslatif yang besifat Abstrak dan tidak objektif kepada satu individu tertentu. 2. Media online tempo.co terlihat lebih kritis, memfokuskan pembahasan pada kekuasaaan dan pengaruh Megawati Sukarnoputri sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan terhadap Presiden Jokowi. Issu “Petugas Partai” digambarkan objektif dan ditujukan kepada Presiden Jokowi. Berita di dalam media ini terlihat lebih terperinci karena mengangkat wacana-wacana sebelumnya yang terkait dengan issu “Petugas Partai” dan mencantumkan pendapat beberapa tokoh khususnya peneliti yang menguatkan bahwa issu tersebut memang disematkan oleh Megawati kepada Presiden Jokowi. 3. Media online okezone.com memfokuskan pembahasan pada sosok Megawati Sukarnoputri sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan sebagai organisatoris dan pemimpin partai yang baik dan positif. Pilihan-pilahan kata yang digunakan dapat dikategorikan kedalam bahasa yang sopan dan lebih bersifat konstitusional dan organisatoris. Issu ‘Petugas Partai’ disebutkan diakhir berita, dengan mengguakan pilihan kata yang bermakna positif dan menggambarkan Megawati sebagai Ketua Umum Partai yang santun dalam berbahasa.
133
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Daftar Pustaka Bogdan, R. dan Taylor, S.J. 1993. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif. Terj. A. Khozin Afandi. Surabaya: Usaha Nasional. Fairclough, Norman, 1995. Critical Discourse Analysis. New York: Longman Publishing. http://nasional.kompas.com/read/2015/04/11/16335651/Megawati.Kalau.Tidak.Mau.Disebut. Petugas.Partai.Keluar. [16/05/2015] http://www.tempo.co/read/news/2015/04/11/078657070/Sindir-Jokowi-MegaTak-MauDisebut-Petugas-Partai-Keluar. [16/05/2015] http://news.okezone.com/read/2015/04/12/337/1132756/megawati-persilakan-kadernyakeluar-pdip. [16/05/2015] Patton, M. Q. (1990). Qualitative Evaluation and Research Methods. USA: SAGE Publication.
LAMPIRAN 1. Kompas.com Megawati: Kalau Tidak Mau Disebut Petugas Partai, Keluar! Sabtu, 11 April 2015 | 16:33 WIB SANUR, KOMPAS.com — Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri meminta semua kadernya yang ada di jajaran eksekutif dan legislatif untuk menjalankan tugas sesuai dengan garis perjuangan partai. Instruksi itu diberikan Megawati tanpa bisa ditawar. "Sebagai kepanjangan tangan partai, kalian adalah petugas partai. Kalau enggak mau disebut petugas partai, keluar!" kata Megawati dalam pidato penutupan Kongres IV PDI-P, di Sanur, Bali, Sabtu (11/4/2015). Menurut Megawati, kader partai yang berkecimpung di eksekutif dan legislatif memiliki kewajiban untuk menjalankan instruksi partai. Ia menyatakan, hal itu merujuk pada UU Partai Politik. Meski demikian, Megawati mengingatkan agar semua kebijakan yang diputuskan harus berpihak pada kepentingan rakyat. Rakyat, kata Megawati, merupakan elemen penting yang menjadi sumber dan tujuan kerja ideologi. "Wajib dan sudah seharusnya menjalankan instruksi partai, ya begitu," ujarnya. Penulis : Indra Akuntono Editor : Desy Afrianti 134
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2015/04/11/16335651/Megawati.Kalau.Tidak.Mau. Disebut.Petugas.Partai.Keluar.
2. Tempo.co Sindir Jokowi, Mega:Tak Mau Disebut Petugas Partai, Keluar! TEMPO.CO,Sanur - Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri menegaskan bahwa kader partai banteng yang duduk di pemerintahan atau menjadi wakil rakyat adalah petugas partai. Megawati mengancam mereka akan mengeluarkan dari PDI Perjuangan bila menolak sebutan itu. “Kalau ada yang tidak mau disebut petugas partai, keluar!” kata Megawati dalam pidato penutupan Kongres IV PDI Perjuangan di Sanur, Bali, Sabtu, 11 April 2015. Megawati mengatakan, para kader berkewajiban menjalankan perintah partai. “Sebagai perpanjangan partai, wajib dan sudah seharusnya menjalankan instruksi partai,” ujarnya. Menurut Megawati, sebutan petugas partai juga berlaku baginya. Dalam hal ini, dia telah dipilih oleh peserta kongres untuk memimpin PDIP selama lima tahun ke depan. Sebutan petugas partai disematkan Megawati kepada Presiden Joko Widodo menjelang pemilihan presiden pada tahun lalu. Sebab itu, kata Megawati, Jokowi sebagai kader PDIP mesti mengikuti perintah partai. Ucapan itu sempat menjadi bahan olok-olok oleh netizen di media sosial Twitter dan Facebook. Rupanya, cemoohan itu tak mengubah sikap Megawati. Pernyataan ini kembali diutarakan Megawati dalam pembukaan Kongres pada Kamis lalu. Megawati mengingatkan Jokowi agar tunduk pada instruksi PDIP karena berkat dukungan partai pengusung dia terpilih menjadi presiden. Hubungan Megawati dengan Jokowi dikabarkan tak mulus belakangan ini. Jokowi menolak melantik calon Kepala Polri pilihan PDIP, Komisaris Jenderal Budi Gunawan, meski Kepala Lembaga Pendidikan Polri itu memenangi praperadilan penetapan tersangkanya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Sejumlah kader PDIP kemudian menyerang Jokowi dan orang-orang dekatnya perihal penarikan Budi Gunawan dan kenaikan harga bahan bakar minyak. Menurut Deputi IV Bidang Komunikasi Politik Kantor Staf Presiden, Eko Sulistyo, Istana siap memperbaiki pola hubungan dengan partai pendukung. Eko menjanjikan komunikasi akan dijalin lebih intensif. “Ini akan menjadi perhatian pemerintah,” katanya. Peneliti Center for Strategic and International Studies, Philips J. Vermonte, tak setuju bila Jokowi disebut sebagai petugas partai. Dalam sistem presidensial, kata dia, 135
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
kekuasaan ada di tangan presiden. Kekuasaan ini jauh di atas partai. “Jadi saat Jokowi terpilih, ia berdiri di atas semua golongan,” ujarnya. “Dia bukan petugas partai lagi.” Sumber: http://www.tempo.co/read/news/Sindir-Jokowi-MegaTak-Mau-Disebut-PetugasPartai-Keluar.
3. Okezone.com Megawati Persilakan Kadernya Keluar PDIP Gunawan Wibisono Jurnalis Minggu, 12 April 2015 - 04:31 wib DENPASAR - Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri mengatakan, setiap kader partai harus taat dan tunduk kepada dirinya dan AD/ART PDIP. Terlebih, para kader yang menjadi anggota DPR, DPRD haruslah taat kepada konstitusi partai. Sebab, mereka adalah kepanjangan partai yang fungsinya mengawal semua kebijakan dan memberi masukan agar pemerintah bekerja sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang (UU). "Kepada kader yang ditugaskan di DPR, anggota Fraksi PDIP, yang ditugaskan di pemerintah pusat, pemerintah daerah tingkat I dan II adalah berfungsi sebagai perpanjangan tangan partai (yang mengawal jalannya pemerintah)," ujar Megawati di hotel Inna Grand Bali Beach, Sanur, Denpasar, Bali, Sabtu (11/4/2015). Selain itu, Megawati juga menegaskan, ke seluruh kader PDIP untuk tidak marah, apabila dikatakan sebagai petugas partai. Sebab, memang kenyataanya para kader adalah petugas partai, di mana telah diamanatkan partai untuk membuat Indonesia lebih baik dan lebih maju. "Ingat kalian adalah petugas partai, perpanjangan tangan partai, kalau tidak ada yang tidak mau disebut petugas partai, keluar saja. Wajib dan sudah seharusnya jalankan instruksi partai," tegasnya. Sumber: http://news.okezone.com/read/2015/04/12/337/1132756/megawati-persilakankadernya-keluar-pdip.
136
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
SIKAP PEMERTAHANAN BAHASA INDONESIA DALAM PENAMAAN NAMA PERUMAHAN DI KABUPATEN GARUT (Studi Deskriptif pada Developer Perumahan di Kabupaten Garut tahun 2014) Ari Kartini
[email protected] STKIP Garut Abstrak Penelitian ini berjudul “Sikap Pemertahanan Bahasa Indonesia dalam Penamaan Perumahan di Kabupaten Garut”. Latar belakang penelitian ini bertitik tolak dari hasil survei awal mengenai penamaan pada perumahan yang ada di kabupaten Garut, yang dimana sangat disayangkan nama pada perumahan tersebut penggunaan bahasa asing lebih mencolok. Hal ini tentu saja bertentagan dengan aturan UU RI NO. 24 THN. 2009 Tentang BBLNLK, sehingga sikap pemertahanan terhadap bahasa Indonesia sebagai cermin budaya bangsa. Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut ini. 1) Bahasa apa saja yang digunakan dalam penamaan perumahan di Kabupaten Garut?; 2) Bagaimanakah wujud/frekuensi penggunaan bahasa Indonesia dalam penamaan perumahan di Kabupaten Garut?; 3) Bagaimanakah sikap bahasa Developer terhadap bahasa Indonesia dalam penamaan perumahan di Kabupaten Garut?; 4) Apakah faktor penghambat pemertahanan bahasa Indonesia dalam penamaan perumahan di Kabupaten Garut? Penelitian ini menggunakan metode deskriftif yang dalam pelaksanaannya tidak melakukan perlakuan terlebih dahulu, melainkan langsung mengkaji dan meyimpulkan data melalui studi dokumenter. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah teknik studi dokumenter dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahasa yang digunakan oleh masyarakat Garut dalam memilih penggunaan bahasa untuk nama-nama permukiman atau perumahan adalah bahasa Sunda, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris. Prekuensi penggunaan bahasa Indonesia dapat dilihat dari presentase berikut; 10 (40%) nama perumahan yang menggunakan bahasa Indonesia, menggunakan bahasa asing 2 (11%) perumahan, 1 (5%) menggunakan bahasa daerah dan 12 (48%) perumahan menggunakan bahasa campuran. Sikap Developer terhadap bahasa Indonesia dalam memilih penggunaan bahasa untuk nama-nama permukiman atau perumahan menunjukkan negatif, hal ini dapat dibuktikan dari presentase frekuensi penggunaan bahasa dalam memberikan nama-nama pada perumahan yang dikelolanya. faktor-faktor yang menumbuhkan sikap negatif para Developer lebih bangga menggunakan bahasa Asing dibandingkan bahasa Indonesia dalam memilih penggunaan bahasa untuk nama-nama permukiman atau perumahan adalah memiliki daya jual yang tinggi, penggunaan bahasa Asing lebih komersil, lebih bergengsi, mampu menarik perhatian para konsumen dan lebih indah didengar. Dapat disimpulkan dari hasil penelitian ini bahwa pemertahanan terhadap bahasa Indonesia kurang diperhatikan sehingga menunjukkan sikap kebanggan terhadap bahasa Indonesia kurang dimilikinya lagi. Rekomendasi penelitian ini, diaharapkan para pemilikperumahan mengkaji ulang menganaipenggunaan bahasa pada nama perumahan yang mereka kelola, dan kepada pemerintah lebih menekankan kembali bagi mereka yang meminta izin mendirikan 137
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
perumahan untuk diperhatikan dalam penggunaan bahasa dalam memberikan nama pada perumahan mereka. Kata Kunci: Sikap Pemertahan Bahasa Indonesia, Penamaan Perumahan
Pendahuluan Bahasa memang tidak termasuk ke dalam permasalahan yang sangat krusial dalam kehidupan sehari-hari tidak seperti permasalahan mengenai politik, agama, dan pendidikan. Oleh karena itu, bahasa tidak mempunyai sanksi secara implinsit sehingga mereka para pengguna bahasa bebas menggunakan bahasa sesuai yang dikehendaki. Namun, apabila kita amati dalam kenyatannya ternyata permasalahan bahasa terlihat jelas terutama keterkaitan antara pengguna bahasa, bahasa yang digunakan, dan kehidupan sosial. Masalah kebahasaan di Indonesia tidak terlepas dari kehidupan masyarakat penggunanya. Indonesia telah mengalami berbagai perubahan, baik sebagai akibat tatanan kehidupan dunia yang baru, globalisasi, maupun sebagai dampak perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat. Kondisi itu telah memengaruhi perilaku masyarakat Indonesia, tidak terkecuali dalam faktor berbahasa atau bahasa yang digunakan. Pemakaian bahasa dalam komunikasi selain ditentukan oleh faktor-faktor Linguistik juga ditentukan oleh faktorfaktor nonlinguistik, salah satunya faktor sosial yang merupakan faktor yang berpengaruh dalam penggunaan bahasa. Pandangan demikian memang cukup beralasan karena pada dasarnya bahasa adalah bagian dari suatu sistem sosial. Kajian tentang bahasa yang dihubungkan dengan faktor sosial merupakan suatu kajian yang sangat menarik. Saat ini kebebasan berbahasa telah menutupi aturan yang telah ditetapkan secara tertulis, walaupun aturan pemakaian bahasa telah tertuang di dalam UU RI No. 24 thn. 2009 tentang BBLNLK (Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan), namun sangat disayangkan kebanyakan masyarakat tidak memerhatikan aturan tersebut dan aturan itu hanya diperhatikan oleh para pemerhati bahasa saja. Bangsa
Indonesia,
sebagai
pemakai
bahasa
Indonesia
seharusnya
bangga
menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi. Dengan bahasa Indonesia, mereka bisa menyampaikan perasaan dan pikirannya dengan sempurna
kepada orang lain, namun
kenyataan yang terjadi tidaklah demikian. Rasa bangga berbahasa Indonesia belum tertanam pada setiap orang Indonesia. Rasa menghargai bahasa asing (bahasa Inggris) masih terus 138
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
menampak pada sebagian besar masyarakat Indonesia. Mereka menganggap bahwa bahasa asing lebih tinggi derajatnya daripada bahasa Indonesia. Saat ini kenyataannya di lapangan masih ditemukan perilaku negatif yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Indonesia, antara lain masih banyaknya masyarakat Indonesia yang merasa bangga menggunakan bahasa Asing dan menganggap bahasa asing lebih bergengsi; masyarakat Indonesia merasa malu apabila tidak menguasai bahasa asing (Inggris), padahal mereka sendiri belum tentu menguasai bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Salah satu fenomena kurangnya kebanggaan terhadap bahasa Indonesia, yaitu pada pemberian nama perusahaan pemerintah dan perusahaan swasta juga pada aspek penulisan bahasa Indonesia pada nama perusahaan pemerintah dan perusahaan swasta. Bukti nyata yang terjadi adalah di Kabupaten Garut. Saat ini di kabupaten Garut banyak berdiri perumahan-perumahan, perumahan tersebut ada yang dikelola oleh individu dan ada yang kelompok. Kemajuan kabupaten Garut di bidang pembangunan memang sangat bagus, namun sangat disayangkan nama yang digunakan untuk perumahan tersebut adalah bahasa asing atau campran, padahal pengelola atau developernya adalah asli warga negara Indonesia dan badan hukumnya ada di bawah hukum Indonesia. Apabila kita mengkaji aturan yang terdapat dalam UU RI No. 24 thn. 2009 tentang BBLNLK, hal tersebut tidak sesuai. Dalam UU RI No. 24 thn. 2009 tentang BBLNLK (Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan) yang terdapat dalam Bab III pasal 36, yaitu; (1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nama geografi di Indonesia. (2) Nama geografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya memiliki satu nama resmi. (3) Bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks, perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga Negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. (4) Penamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dapat menggunakan bahasa daerah atau bahasa asing apabila memiliki nilai sejarah, budaya, adat istiadat, dan/atau keagamaan. Fenomena yang terjadi itu tentunya tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Dimana letak kesalahannya tidak dijadikan suatu permasalahan yang krusial. Hal ini dikarenakan UU RI No. 24 thn. 2009 tentang BBLNLK yang membahas mengenai bahasa tidak mencantumkan sanksi bagi mereka yang melanggarnya, apabila itu hal itu terjadi pemertahanan terhadap bahasa Indonesia akan merosot dan bisa saja bahasa Indonesia akan tergantikan kedudukannya sebagai bahasa yang paling penting dibandingkan bahasa 139
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Indonesia di mata masyarakat Indonesia. padahal saat ini bahasa Indonesia justru dipelajari di negara-negara asing. Ketika orang luar negeri bangga dengan bahasa Indonesia, mengapa kita sebagai pemiliknya malah lebih memilih bahasa asing yang notabenenya adalah bahasa orang lain. Menyikapi fenomena di atas, maka peneliti tertarik untuk mengkaji permasalahan mengenai pemilihan bahasa pada penulisan nama perumahan, hal ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana para pengelola perumahan dan pemerintah kabupaten Garut mempertahankan bahasa Indonesia. Adapun agar penelitian ini terarah, maka permasalahan yang akan dikaji disusun dalam rumusan masalah sebagai berikut. 1.
Bahasa apa saja yang digunakan dalam penamaan perumahan di Kabupaten Garut?
2.
Bagaimanakah frekuensi penggunaan bahasa Indonesia dalam penamaan perumahan di Kabupaten Garut?
3.
Bagaimanakah sikap bahasa Developer atau pengelola terhadap bahasa Indonesia dalam penamaan perumahan di Kabupaten Garut?
4.
Apakah faktor penghambat
pemertahanan bahasa Indonesia dalam penamaan
perumahan di Kabupaten Garut?
Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah dokumentasi nama-nama permukiman atau perumahan dan hasil wawancara para pengelola. Data-data tersebut akan dikaji dan dianalisis dalam bentuk sikap dan pemilihan bahasanya. Sumber data yang dijadikan subjek penelitian ini adalah nama-nama layanan umum permukiman yang ada di wilayah kota Garut, meliputi daerah Wanaraja, Karang Pawitan, Garut Kota, Tarogong Kidul, Tarogong Kaler, Bayongbong, dan Samarang. Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan kualitatif dengan metode yang digunakan adalah metode deskriptif. Dalam pengumpulan data, teknik yang digunakan adalah teknik studi dokumenter dan wawancara.
IHWAL SIKAP PEMERTAHAN BAHASA INDOENSIA 1. Sikap Bahasa dalam Mempertahankan Bahasa Indonesia Sikap sangat berkaiatan erat dengan perilaku, boleh dikatakan bahwa sikap merupakan cerminan dari perilaku. Chaer dan Agustina (2004; 149), memaparkan “Sikap adalah fenomena kejiwaan yang biasanya termanifestasi dalam bentuk tindakan atau perilaku”. Pendapat lain yang diungkapkan oleh Sujanto, dkk. (2004; 96-97) mengenai sikap 140
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
yaitu “Sikap (attitude) berhubungan dengan sesuatu objek atau kelompok objek, biasanya memberikan penilaian (menerima atau menolak) terhadap objek yang dihadapi”. Sejalan dengan itu, Sarwono (2010; 201) menjelaskan: Sikap adalah istilah yang mencerminkan rasa senang, tidak senang atau perasaan biasabiasa saja (netral) dari seseorang terhadap sesuatu. Sesuatu itu bisa benda, kejadian, situasi, orang-orang atau kelompok. Kalau yang timbul terhadap sesuatu itu adalah perasaan senang, maka disebut sikap positif, sedangkan apabila perasaan tak senang, sikap negatif. Selain itu, Sarwono (2010: 201) menerangkan bahwa sikap dinyatakan dalam tiga komponen yang disingkat dengan ABC, yaitu Affect, Bihaviour, dan Cognition. Affect adalah perasaan yang timbul (senang dan tak senang), Behaviour adalah perilaku yang mengikuti perasaan itu (mendekat, menghindar), dan Cognition adalah penilaian terhadap objek sikap (bagus dan tidak bagus). Berdasarkan pendapat-pendapat ahli mengenai pengertian sikap, maka dapat disimpulkan bahwa sikap adalah keadaan diri dalam manusia yang menggerakkan untuk bertindak atau berbuat dalam kegiatan sosial dengan perasaan tertentu di dalam menanggapi obyek situasi atau kondisi di lingkungan sekitarnya. Selain itu sikap juga memberikan kesiapan untuk merespon yang sifatnya positif atau negatif terhadap obyek atau situasi itu. Sikap negatif seseorang terhadap bahasanya bisa saja dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan budaya. Hal ini dilakukan untuk meniru gaya budaya yang dianggap lebih bermatabat atau bergengsi. Indrawan (2010; 109-111) memaparkan beberapa faktor yang memengaruhi sikap bahasa seseorang, yaitu “The prestige and power of the language, historical backround of nations, the social and traditional factors, And the language internal system”. Dalam mengukur keberadaan sikap positif beberapa pertanyaan yang dapat digunakan, yaitu seberapa jauh kita telah mencintai bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa persatuan? Seberapa jauh kita telah merasa memiliki bahasa kita itu sebagai bahasa kekayaan yang tidak ternilai harganya? Seberapa jauh kita merasa tanggung jawab untuk mempertahankan keberadaan bahasa kita di bumi ibu pertiwi (Amran: 2002: 1.4). Paparan yang dikemukakan olh Amran dapat dijadikan tolok ukur dalam menentukan sikap seseorang terhadap penggunaan bahasa Indonesia. Dapat dikatakan bahwa bahasa Indonesia memang mempunyai kedudukan yang sangat penting di bumi pertiwi ini. 141
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
2.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan Bahasa Indonesia yang merupakan bahasa Nasional dan bahasa Negara adalah bahasa
yang harus dilestarikan dan dijadian kebanggaan oleh masyarakat Indonesia. Sudah selayaknya orang Indonesia, lebih memerhatikan penggunaan bahasa dalam berkomunikasi. Aturan penggunaan bahasa Indonesia dalam hal tersebut tercantum dalam pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut berfungsi sebagai jati diri bangsa, kebanggaan nasional, sarana pemersatu berbagai suku bangsa, serta sarana komunikasi antardaerah dan antarbudaya daerah. Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, pengantar pendidikan, komunikasi tingkat nasional, pengembangan kebudayaan nasional, transaksi dan dokumentasi niaga, serta sarana pengembangan dan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan bahasa media massa. Pasal 36 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan mengatur bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. Selanjutnya, pada pasal 37 ayat (1) diatur bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan dalam informasi tentang produk barang atau jasa produksi dalam negeri atau luar negeri yang beredar di Indonesia, ayat (2) diatur bahwa informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilengkapi dengan bahasa daerah atau bahasa asing sesuai dengan keperluan. Pasal 38 ayat (1) dalam undang-undang tersebut diatur bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan dalam rambu umum, penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi lainnya yang merupakan pelayanan umum. Selanjutnya, pada ayat (2) pasal tersebut diatur bahwa penggunaan bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disertai bahasa daerah atau bahasa asing jika dipandang perlu. Ketentuan lebih lanjut mengenai
142
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
penggunaan bahasa Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang diatur dalam Peraturan Presiden. Di samping pertimbangan hukum yang telah diuraikan, terdapat pula ketentuan yang dapat menjadi landasan untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar di tempat umum sebagai berikut (Sugono, dkk 2008:4). a. b. c. d. e.
f. g. h.
Bahasa yang digunakan di tempat umum, seperti pada papan nama, papan petunjuk, kain rentang, dan papan iklan adalah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Nama badan usaha, kawasan, gedung, yang memerlukan pengesahan dari instansi pemerintah menggunakan bahasa Indonesia. Nama asing badan usaha yang merupakan cabang badan usaha luar negeri dan nama asing merek dagang yang terdaftar dan memunyai hak paten tetap dapat dipakai. Pada setiap papan nama, papan petunjuk, kain rentang, dan papan iklan digunakan tulisan/huruf latin. Pada papan nama, papan petunjuk, kain rentang, dan papan iklan jika dianggap perlu, dapat digunakan bahasa asing dan dituliskan di bagian bawah bahasa Indonesia dengan huruf latin yang lebih kecil. Penggunaan tulisan/huruf di luar tulisan/huruf latin, jika dianggap perlu, dapat dibenarkan sepanjang untuk nama/lambang produk yang telah mendapat izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Organisasi internasional yang bernaung di bawah PBB dan perwakilan diplomatik negara asing dapat tetap menggunakan tulisan/huruf bahasa asing yang ditulis di bawah nama dalam bahasa Indonesianya. Apabila kita simpulkan, masyarakat Indonesia harus mampu memilih penggunaan
bahasa Indonesia agar bahasa Indnesia dapat dipertahankan dengan baik. Dalam pemberian nama untuk daerah permukiman seperti perumahan dan pemilihan nama untuk merk dagang harus senantiasa menggunakan bahasa Indonesia, kecuali perusahaan dan merk dagang itu dimiliki dan dikelola oleh orang asing. HASIL DAN PEMBAHASAN Setelah dilakukan pengkajian terhadap penggunaan bahasa pada nama perumahan di kabupaten Garut, di bawah ini akan dibahas beberapa sampel mengenai sikap para pemilik yang mengelola perumahan ini. Sampel yang dikaji mengenai nama perumahan pada peneliian ini berjumlah 25 perumahan yang berada di daerah kecamatan Karangpawitan, Tarogong Kidul, Tarogong Kaler, Bayongbong, dan Samarang. Dari hasil pengkajian dapat disimpulkan bahwa sikap para pemilik perumahan yang mempunyai saham tertinggi terhadap hak kepemilikan 143
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
perumahan itu sangat rendah atau tergolong negatif, hal ini dibuktian dengan hasil analisis pada pengolahan data dan hasil wawancara dengan responden. Hasil analisis di atas dari sampel pada nama perumahan yang ada di Kabupaten Garut, hanya terapat 10 (40%) nama perumahan yang menggunakan bahasa Indonesia, yaitu, Griya Surya Indah, Griya Intan Asri, Pesona Intan, Bumi Campaka Indah, Puri Indah Pratama, Perumahan Oma Indah. Menggunakan bahasa asing 2 (11%) perumahan, yaitu Bianca Regency dan Rabbany Regency, 1 (5%) menggunakan bahasa daerah, yaitu, Saung Sari Wates dan 12 (48%) perumahan menggunakan bahasa campuran, yaitu, Enhaka Residence, Intan Regency, Karisma Residence, Cluster Kahuripan, Permata Hijau Land, Garut City Residence, Cempaka Residence, Perumahan Permata Karisma Residence, Bumi Malayu Regency. Intan Regency merupakan perumahan konsep baru yang berdiri pertama kali di Kabupaten Garut. Perumahan ini terbilang sangat mewah dengan desain yang indah, sehingga yang menempatinya banyak dari kalangan elit atau kalangan masyarakat yang berada. Posisi perumahan ini memang berada di daerah yang strategis, tidak terlalu jauh dari jalan raya dan dekat dengan fasilitas umum. Kecamatannya berada di Tarogong Kidul. Namun, dari aspek bahasa sangat disayangkan. Sebagai warga Negara Indonesia dan posisi perumahannya berada di wilayah Indonesia, selayaknya bahasa yag digunakan untuk nama perumahan ini menggunakan bahasa Indonesia utuh sesuai dengan peraturan UU mengenai bahasa. Kata Intan memang merupakan bahasa Indonesia, sedangkan kata Regency merupakan bahasa Asing, yaitu bahasa Inggris yang mempuyai makna “Kabupaten; Perwalian (Echols & Shadily: 2002: 474)”. Saat ditanyakan mengenai alasan lain mengapa menggunakan kata Regency, alasannya tidak terlalu bersejarah hanya untuk menarik perhatian masyarakat untuk membeli rumah disana, selain itu mereka menganggap bahwa penggunaan bahasa Asing lebih terpandang dan bergengsi. Perumahana Karisma Residence berada di daerah kecamatan Tarogong Kaler. Posisinya cukup strategis dan nyaman, bentuk bangunan sudah menginduk pada bangunan yang moderen. Sehingga tidak heran harga yang ditawarkan sungguh luar biasa. Karisma Residence ini dikelola oleh pribadi dan pemiliknya asli warga negara Indonesia. Inilah yag disayangkan, saat perumahan yang bagus ini kurang menghargai bahasa yang digunakan dalam meberikan nama pada perumahannya. Alasan mereka tidak jauh 144
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
berbeda dengan yang lain yang menggunakan bahasa Asing. Alasannya untuk mearik daya jual dan bahasa Asing mempunyai nilai yang berbobot dibandingkan bahasa Indonesia atau bahasa Daerah. Kata Residence ini berasal dari bahasa Inggris yang mengandung makna “Tempat tinggal; tempat kediaman” (Echols & Shadily: 2002: 480). Perumahan “Saung Sari Wates” berada di kecamatan Karangpawitan Kabupaten Garut. Perumahan ini mempunyai nama yang unik dan berkesan dihati para meperhati bahasa, karena bahasa yang digunakan adalah asli bahasa daerah yaitu bahasa Sunda. Dari sekian nama perumahan, hanya perumahan ini yang menggunakan bahasa Sunda secara murni atau keseluruhan. Ketika dilakukan wawancara, makna pragmatik dari nama perumahan ini adalah karena posisi daerah itu berada diperbatasan antara kampung wates dan posisinya asri, maka diberi nama Saung Sari Wates untuk menunjukkan bahwa perumahan ini membudayakan budaya Sunda. Berbeda dengan perumahan lain, responden tidak berpikiran bahwa penggunaan nama akan menarik daya jual para pembeli, bagi mereka nama memang penting tetapi yang terpenting adalah pelayanan dan kualitas perumahannya. Penggunaan bahasa itu adalah kepintaran kita mengolah kata-kata, tidak semua bahasa Sunda atau bahasa Indonesia kampungan dan tidak memiliki gengsi yang tinggi. Justru dengan menggunakan bahasa daerah atau bahasa Indonesia akan mudah dimengerti oleh masyarakat sekitar dan kita sebagai warga penduduk aslinya dapat mempertahankan bahasa yang menjadi identitas pribadi daerah atau bangsa kita. Ada satu perumahan yang diambil dari nama salah satu pejabat di Kabupaten Garut yaitu nama KAPOLRES Garut. Perumahan ini awalnya didirikan untuk para anggota polisi dan polwan. Oleh karena itu, jelas yang mengelolanya adalah asili warga negara Indonesia. Namun, karena beberapa kendala akhirnya perumahan ini dibuka untuk umum bukan saja untuk anggota polisi. Tempatnya cukup jauh dari jalan raya, perumahan ini cocok digunakan untuk beristirahat karena posisinya di daerah pegunugan. Udaranya sejuk, nyaman, dan masih asri hanya saja posisinya jauh dari fasilitas umum. Kata ENHAKA adalah kependekkand ari nama KAPOLRES Kabupaten Garut yaitu, Endang Kurnia. Sangat menarik, namun yang disayangkan kata ENHAKA itu diikuti oleh 145
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
kata yang berasal dari bahasa Asing yaitu kata Residence. Saat dipintai keterangan, alasan menggunakan kata bahasa Asing adalah untuk menarik para pembeli, kata tersebut mempunyai daya jual yang tinggi, dan sangat bergengsi. Padahal apabila disimak di kecamata yang sama terdapat perumahan yag namanya berasal dari bahasa Sunda yaitu Saung Sari Wates. Daya jualnya sangat tinggi tidak kalah saing dengan perumahan yang mempunyai nama dari bahasa Asing. Beberapa perumahan lain yang menggunakan bahasa Asing mempunyai alasan yang sesungguhnya alasan mereka kurang berbobot dan kurang masuk akal. Ada yang mengatakan alasannya adalah untuk menarik minat para pembeli, memiliki daya jual yang tinggi, lebih bergengsi, dan lebih komersil Padahal apabila kita perhatikan, beberapa perumahan yang menggunakan bahasa Indonesia murni atau bahasa daerah, dalam hal ini bahasa Sunda samasama mempunyai daya jual yang tinggi. Buktinya perumahan – perumahan itu mampu menarik para pembeli dan lahan yang ditawarkan habis terjual. Dapat dibandingkan perumahan yang saling berdekatan yaitu Bumi Malayu Asri dan Bumi Malayu Regency. Kedua perumahan itu sangat berdampingan dan masuk dalam gerbang yang sama. Tempatnya berada di Kecamatan Tarogong Kaler Kabupaten Garut. Kepemilikan kedua perumahan itu dikelola oleh dua orang yang berbeda, walaupun berdekatan. Pemilik perumahan Malayu Asri menjelaskan bahwa usaha perumahannya itu sudah dikelola sejak lima tahun kebelakang, lahan yang kurang lebih 1 Hektar terjual dan sudah dibooking, malahan sekarang sedang menguruskan pembukaan lahan baru. Pemberian nama yaitu “Bumi Malayu Asri”, karena didaerah tersebut ada kampung yang namanya malayu. Alasan tidak menggunakan kata Asing seperti halnya perumahan yang lain, karena pemilik merasa menghargai masyarakat disana yang notabenenya masih menjaga budaya daerahnya. Dia mengatakan bahwa pemberian nama sebenarnya tidak menjadi masalah dalam menjalankan bisnisnya, yang terpenting bagimana pelayanan kita dan fasilitas yang disediakan dalam perumahan tersebut. Alasan pribadi menggunakan bahasa Indonesia, karena dia merasa menghargai akan bahasa Indonesia. Perumahan Bumi Malayu Regency, hampir sama mempunyai lahan kurang lebih 1 Hektar. Pendiriannya lebih muda dari perumahan Malayu Asri, yaitu sekitar 4 tahunan. Daya jualnya memang bagus tidak kalah dengan perumahan Bumi Malayu Indah. pada kajian penggunaan bahasa, nama pemberian nama mempunyai alasan yang sama, karena di daerah 146
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
tersebut terdapat kampung Malayu, sehingga nama Malayu digunakan untuk nama perumahan tersebut. Namun, sangat disayangkan ketika nama Malayu itu diikuti oleh kata dari bahasa Asing yaitu, Regency. Kata Regency merupakan bahasa Inggris yang artinya, Kabupaten; Perwalian (Echols & Shadily: 2002: 474). Berarti, apabila telaah perumahan tersebut adalah perumahan yang membentuk kabupaten tersendiri, karena makna kabupaten di negara kita adalah wilayah luas yang dipimpin oleh seorang Bupati. Alasan pemilik menggunakan memasukkan kata Asing dalam nama perumahannya adalah untuk menarik pembeli, lebih bergengsi, dan lebih enak didengarnya. Penggunaan bahasa Indonesia saat ini dikalangan masyarakatnya pun sudah menunjukkan ketidakbanggaan dan ketidaksadaran dalam berbahasa terutama dalam menjalankan sebuah bisnis atau usaha. Hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan, bahwa bahasa yang digunakan oleh para pemilik perumahan adalah bahasa Sunda, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris. Sikap para penggunanya menunjukkan bahwa mereka kurang bangga terhadap bahasa Indonesia, sehingga untuk memperindah nama perumahannya mereka menggunakan bahasa Inggris. Padahal, bahasa yang digunakannya itu tidak mempunyai nilai sejarah atau suatu keterkaitan yang hakiki. Pada sampel yang dikaji hanya terapat 10 (40%) nama perumahan yang menggunakan bahasa Indonesia, menggunakan bahasa asing 2 (11%) perumahan, 1 (5%) menggunakan bahasa daerah dan 12 (48%) perumahan menggunakan bahasa campuran. Dari hasil ini, kia dapat mengukur berapa persen masyarakat yang peduli terhadap bahasa Indonesia. Padahal penggunaan bahasa Inggris, belum tentu dapat dimengertioleh masyarakat awam, apalagi posisi perumahan tersebut berada di daerah perkampungan yang notabene masyarakatnya masih mendominasi penggunaan bahasa daerahnya. Peraturan yang dibuat oleh pemerintah yaitu berupa UU No. 24 tahun 2009 mengenai BBLNLK, memang sangat bagus. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan apa yang menjadi identitas suatu negara dan membuat kesatuan dan persatuan masyarakat Indonesia lebih meningkat kembali. Namun, sangat disayangkan ketika pertauran yang membahas mengenai Bendera, Lagu Kebangsaan, dan Lambang Negara Indonesia disamping membahasa kegunaan dan pelestariannya ketiga tersebut membahas juga sanksi atau hukuman bagi masyarakat yang tidakmenjaga, melestarikan, dan mengembangkannya. Sedangkan, pada kajian Bahasa hanya diatur mengenai penggunaanya saja tanpa mencantumkan sanksi yang diberikan kepada
147
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
masyarakat yang melanggarnya atau tidak menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan fungsinya. Kelemahan itu yang mengakibatkan bahasa hanya dipandang sebelah mata. Walaupun bahasa itu harus berkembang, dan munculnya kosa kata baru yag tidak baku membuat kosa kata kita bertambah, namun apabila tidak dilandasi dengan ilmu pengetahuan,masyarakat akan semaunya saja menggunakan bahasa tersebut tanpa memandang situasi dan kondisinya. Perkembangan bahasa yang paling cepat muncul dan terserap oleh masyarakat adalah lewat televisi. Banyak kosa kata baru muncul yang tidak beraturan dan yang paling mengkhawatirkan ketika kosa kata tersebut berasal dari bahasa Asing.Hal lain juga terjadi pada masyarakat yang menggunakan bahasa Asing untuk usahanya. Seperti yang terjadi di Kabupaten Garut ini. Meraka yang membuka usaha perumahan, lebih bangga mencantumkan bahasa Inggris dibandingkan bahasa Indonesia. Padahal dalm Undang-Undang dijelaskan , bahwa pemberian nama untuk badan usaha yang mempunyai badan hukum Indonesia wajib menggunakan bahasa Indonesia. Beberapa faktor yang membuat mereka lebih memilih bahasa Inggris dibandingkan bahasa Indonesia adalah, dengan menggunakan bahasa Inggris nama perumahan tersebut kedengaran lebih keren, menarik para konsumen untuk membeli perumahan disana, mempunyai daya jual yang tinggi, kedengaran lebih bergengsi dan lebih komersial. Namun, hasil penelitian dilapangan ada beberapa perumahan yang menggunakan bahasa Indonesia tetapi minat para konsumen begitu besar, lahan yang tersedia habis terjual dan sudah dipesan. Tidak ada yang memilih perumahan dengan alasan namanya yang lebih bergengsi, dan peneliti rasa nama tidak menjadi daftar hitungan fasilitas perumahan yang disediakan. Fasilitas yang terjamin merupakan hal utama untuk menarik para konsumen. Oleh karena itu, sepatutnya sebagai warga negara Indonesia para pemilik perusahaan merumuskan kembali bahasa yang akan digunakan untuk nama perumahan. Menunjukkan kebanggan terhadap bahasa Indonesia merupakan sikap positif terhadap bahasa Indonesia dan sudah termasuk warga negara yang baik bagi Indonesia. Kalau bukan kita yang melestarikannya sebagai warga negara Indonesia, siapa lagi yang akan menjaga tanah Air Tercinta ini.
148
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
SIMPULAN DAN SARAN 1.
Simpulan Dari hasil kajian yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1)
bahasa yang digunakan oleh masyarakat Garut dalam memilih penggunaan bahasa untuk nama-nama
permukiman atau perumahan adalah bahasa Sunda, bahasa
Indonesia, dan bahasa Inggris. 2)
sikap masyarakat Garut terhadap bahasa Indonesia dalam memilih penggunaan bahasa untuk nama-nama permukiman atau perumahan menunjukkan negatif, hal ini dapat dibuktikan dari presentase penggunaan bahasa dalam memberikan nama-nama pada perumahan yang dikelolanya. Hasil analisis di atas dari sampel pada nama perumahan yang ada di Kabupaten Garut, hanya terapat 10 (40%) nama perumahan yang menggunakan bahasa Indonesia, menggunakan bahasa asing 2 (11%) perumahan, 1 (5%) menggunakan bahasa daerah dan 12 (48%) perumahan menggunakan bahasa campuran.
3)
faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat Garut lebih bangga menggunakan bahasa Asing dibandingkan bahasa Indonesia dalam memilih penggunaan bahasa untuk namanama permukiman atau perumahan adalah memiliki daya jual yang tinggi, penggunaan bahasa Asing lebih komersil, lebih bergengsi, mampu menarik perhatian para konsumen dan lebih indah didengar. Dengan kata lain, mereka menganggap bahwa bahasa Indonesia kurang menarik, dan tidak mempunyai estetika yang mampu memberikan daya jual yang tinggi terhada bisnis yang digeluti oleh mereka.
2.
Saran Berdasarkan hasil penelitian mengenai pemilihan dan sikap berbahasa Masyarakat
Garut dalam menentukan bahasa yang digunakan untuk memberikan nama-nama perumahan yang ada di Kabupaten garut, peneliti merekomendasikan saran yaitu sebagai berikut: Untuk para pemilik perumahan, diharapkan mampu memilih bahasa yang akan digunakan untuk nama perumahannya, yaitu dengan menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan aturan yang telah diberlakukan dalam UU no. 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, yang terdapat dalam pasal 36. Apabila dikaji, sebenarnya banyak kosa kata indah dalam bahasa Indonesia yang dapat digunakan untuk pemberian nama perumahan tersebut. 149
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Untuk para pemerhati bahasa, diharapkan mampu bergerak dan memikirkan kembali mengenai permasahan di lapangan yang terjadi saat ini. Setidaknya para pemerhati bahasa mampu mengadakan sebuah seminar atau loka karya untuk para pengusaha, agar mereka mengetahui arti penting dari bahasa Indonesia. Untuk pemerintah, diharapkan saat para pemilik meminta izin pendirian perumahan, nama yang digunakan harus diwajibkan menggunakan bahasa Indonesia sesuai UU no 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Hal ini dilakukan agar mereka mampu mengahargai bahasa Indonesia, kecuali perusahaan tersebut mempunyai legalitas atau berbadan hukum yang dikeluarkan dari luar negeri. Untuk para guru dan dosen bahasa Indonesia, diharapkan mampu menumbuhkan sikap cinta, bangga, dan sadar terhadap bahasa Indonesia kepada siswa-siswa atau mahasiswa dimulai sejak dini, sehingga saat mereka dewasa nanti mampu menghargai bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Hal yang terpenting adalah mendidik mereka agar mampu menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Daftar Pustaka Chaer, A.,& Leoni,A.. (2004). Sosiolinguistik Pengantar Awal. Jakarta: Rineka Cipta. Danadibrata. 2006. Kamus Basa Sunda. Bandung; Kiblat Buku Utama. Depdikbud. (2003). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta; Penerbit Balai Pustaka. Echols, John & Hassan, Shadily. 2003. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta; Gramedia Pustaka Utama. Finoza, Lamuddin. 2001. Komposisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Insan Mulia. Fraenkel, J. & Norman W. (2008). How To Design And Evaluate Reseach In Education. San Fransisco state University. Halim, A. (1978). Sikap Bahasa dan Pelaksanaan Kebijaksanaan Bahasa Nasional”. Pengajaran Bahasa dan Sastra Th.IV, No. 6:11-26. Hudson, Richard. 1996. Sosiolinguistics. Second Edition. Cambridge: cambridge University Press. Indrawan, I. (2010). Sosiolinguistics: Study of Societies’ Languages. Yogyakarta; Graha Ilmu.
150
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2011). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (BBLNLK). Jakarta; Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Keraf, G. (1984). Tata Bahasa Indonesia. Florest; Nusa Indah. Kridalaksana, H. (1985). Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Flores: Nusa Indah. Mar’at. (1984). Sikap Manusia Perubahan serta Pengukurannya. Bandung; Ghalia Indonesia. Muslich, Mansur. 2010. Perencanaan Bahasa pada Era Globalisasi. Jakarta; Bumi Aksara. Ohoiwutun, Paul. 2002. Sosiolinguistik. Jakarta: Kesain Blanc. Pusat Bahasa. 2004. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Jakarta: Pusat Bahasa. Rahardi, Kunjana. 2009. Bahasa Prevoir Budaya. Yogyakarta; Pinus Book Publisher. Sugono. 2008a. Buku Praktis Bahasa Indonesia 1. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. Sugono.2008b. Buku Praktis Bahasa Indonesia 2. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. Sugono. 2008d. Pengindonesiaan Kata dan Ungkapan Asing. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. Sumarsono. 2011. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Undang-undang RI no. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, Lagu Kebangsaan (BBNLNLK).
151
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
KIPRAH PENGAJAR BAHASA INDONESIA BAGI TENAGA KERJA ASING DALAM MENYONGSONG MASYARAKAT EKONOMI ASEAN Cucu Kartini STKIP Siliwangi Bandung
[email protected] Abstrak Proses pembelajaran bahasa Indonesia untuk orang asing (BIPA) harus ditunjang oleh pengajar BIPA yang terampil dalam hal mengemas materi ajar dan strategi pembelajaran bahasa Indonesia yang sesuai dengan kebutuhan para tenaga kerja asing yang datang ke Indonesia. Pendekatan pembelajaran komprehensif berbasis budaya Indonesia yang dikemas sebagai bahan ajar dalam pembelajaran BIPA dapat dijadikan pilihan bagi para pengajar BIPA. Program Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) merupakan salah satu peluang yang baik bagi pengajar BIPA untuk mengembangkan kemampuan mengajarnya dengan menggunakan teknik pengajaran yang kreatif. Komponen budaya Indonesia yang kasat mata dan yang tidak, dapat disisipkan pada materi ajar BIPA. Selain belajar bahasa Indonesia untuk berkomunikasi, para tenaga kerja asing juga dapat belajar tentang Indonesia. Kata kunci: tenaga kerja asing, Masyarakat Ekonomi ASEAN
Pendahuluan 1. Latar Belakang Indonesia
ikut menandatangani perjanjian lintas negara dan lintas sektoral antar
kesepuluh negara-negara ASEAN dengan membentuk konsep untuk pasar tunggal di kawasan Asia Tenggara akhir 2015 mendatang. Kesepakatan yang dicapai dari kesepuluh negara tersebut
melahirkan sebuah konsep pasar tunggal di Asia Tenggara yang diberi nama
Masyarakat Ekonomi ASEAN. Berdasarkan informasi yang diperoleh penulis bahwa harapan utama dibentuknya pasar tunggal di kawasan Asia Tenggara adalah untuk meningkatkan daya saing di bidang penjualan produk barang dan jasa termasuk para tenaga kerja atau buruh yang mempunyai keahlian khusus dengan harapan dapat mengubah kehidupan mereka ke arah yang lebih menguntungkan atau lebih baik. Jika menelaah tujuan program tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa program Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) adalah untuk meningkatkan stabilitas perekonomian antar negara ASEAN, hal ini berarti sedikit kemungkinannya akan terjadi penghambatan pada arus keluar masuknya barang. Demikian juga untuk pemberlakuan investasi modal, aturan 152
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
administrasi yang selama ini dapat mempersulit para penanam modal akan ditiadakan, dengan meniadakan aturan administrasi tersebut diasumsikan bahwa para investor akan menanamkan modalnya di negara-negara
ASEAN dengan mudah, selanjutnya,
para pekerja yang
mempunyai keahlian khusus akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan di seluruh negaranegara ASEAN termasuk Indonesia. Tidak menutup kemungkinan akan terjadi persaingan keterampilan di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, produksi barang, seni budaya, bahasa, dan jasa. Peluang bagi bangsa Indonesia sebetulnya sangat besar, dari segi sumber daya manusia saja tidak bisa dianggap enteng, sebab sebelum program MEA digulirkan telah banyak tenaga kerja Indonesia yang mempunyai keterampilan khusus yang memadai untuk bekerja di negaranya sendiri maupun di negara lain. Demikian halnya dengan para guru, dosen, serta para pendidik lainnya mulai dari sekarang harus dapat mempersiapkan diri meningkatkan ketrampilan sesuai dengan bidangnya dalam menyongsong para tenaga kerja asing yang akan masuk ke negara Indonesia. Para pengajar bahasa Indonesia harus memiliki kemampuan khusus ketika berada di depan siswanya, harus dapat mengemas materi pembelajaran yang menarik, sebagai sumber penerang, dan mudah dimengerti oleh para tenaga kerja asing, agar mereka bisa cepat beradaptasi dengan masyarakat di lingkungan tempat bekerja dan di tempat mereka tinggal. Untuk itu, kegiatan pembelajarannya dapat menggunakan pendekatan komprehensif yaitu selain mereka belajar bahasa Indonesia juga belajar tentang Indonesia (Sugono, 2008 hlm. v). Dengan memperkenalkan berbagai tempat wisata di Indonesia sambil belajar bahasa Indonesia, para pengajar bahasa Indonesia juga dapat memberikan materi ajar
dengan
pembelajaran tentang kebudayaan-kebudayaan Indonesia, antara lain tentang kerajinan tangan, kesehatan (posyandu), peternakan, pasar tradisional, dan hal-hal lain yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia. Begitu pula sebaliknya mereka juga diharapkan akan bisa berceritera tentang kebudayaan mereka dengan menggunakan bahasa Indonesia. Sumber daya manusia Indonesia juga
dapat berlomba-lomba untuk memperbaiki
keterampilannya di semua bidang, dengan harapan apabila mereka lebih terampil dan memiliki kemampuan daya saing yang kuat dengan bangsa lain maka peningkatan kemampuan para tenaga kerja akan ditunjang dengan perbaikan penghasilan mereka. Selain itu, para tenaga kerja Indonesia harus mahir berbahasa Inggris sebagai bahasa internasional dan menguasai salah satu bahasa dari negara ASEAN yang menjadi tempat tujuan untuk 153
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
bekerja. Begitu pula sebaliknya bagi para tenaga kerja atau siapapun bangsa dari negara lain yang akan bekerja di Indonesia harus bisa berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia agar mereka bisa beradaptasi dengan para pekerja Indonesia dan dapat bersosialisasi dengan rakyat Indonesia di lingkungan di mana mereka berada, meskipun pemerintah menghapuskan kewajiban bagi tenaga kerja asing untuk menguasai bahasa Indonesia. Para pekerja asing yang akan bekerja di Indonesia seharusnya diwajibkan mengikuti Ujian Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI), kewajiban tersebut sebetulnya bisa dijadikan salah satu persyaratan yang utama
oleh sebuah perusahaan selain keterampilan khusus
lainnya. Mengapa para pekerja asing atau orang asing lainnya dengan berbagai keperluan mereka ketika datang ke Indonesia harus bisa menggunakan bahasa Indonesia? Alasannya berhubungan erat dengan fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia yang telah “menempatkan bahasa Indonesia sebagai salah satu bahasa yang penting dalam jajaran bahasa-bahasa di dunia Kenyataan tersebut telah mendorong bangsa-bangsa lain mempelajari bahasa Indonesia” (Iskandarwassid & Sunendar, 2008, hlm. 264). Kesempatan inilah yang dapat digunakan oleh para pengajar bahasa Indonesia yaitu menjaring para tenaga kerja asing untuk belajar bahasa Indonesia dan belajar tentang Indonesia melalui pembelajaran lintas budaya. Bagi para pengajar bahasa Indonesia situasi tersebut dapat dijadikan pemicu untuk mengembangkan diri, berlomba berkreasi menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing. Dengan demikian, para tenaga kerja asing yang akan mengikuti Ujian Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI) sudah mempersiapkan diri terlebih dahulu dengan belajar bahasa Indonesia, diharapkan para calon tenaga kerja asing akan mencari tempat-tempat kursus atau mencari pengajar bahasa Indonesia dengan pembelajaran yang tepat dan singkat. Bukankah ini suatu kesempatan yang baik bagi pengajar bahasa Indonesia? Program Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) memberikan kesempatan atau peluang yang luas
kepada para pengajar bahasa Indonesia untuk meningkatkan keterampilannya
dalam mengajar bahasa Indonesia bagi penutur asing, tentunya situasi ini membawa keuntungan bagi para pengajar bahasa Indonesia. Untuk itu, pengajar bahasa Indonesia dapat mengemas materi ajarnya dengan memperkenalkan bermacam-macam budaya dari berbagai daerah yang ada di Indonesia sebagai upaya melestarikan bahasa dan budaya Indonesia,
154
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
karena siapa lagi yang akan menjunjung tinggi derajat bahasa dan budaya Indonesia kalau bukan bangsanya sendiri. Menurut Sumarsono & Partana (2002:21) “ Bahasa, sebagai hasil budaya, mengandung nilai-nilai masyarakat penuturnya”. Melalui pembelajaran bahasa Indonesia diharapkan dapat mengangkat budaya Indonesia yang mengandung nilai-nilai baik masyarakat Indonesia pada umumnya sehingga penutur asing dapat memahami nilai-nilai yang terkandung di dalam bahasa dan budaya masyarakat Indonesia. Inilah kesempatan yang sangat baik untuk melestarikan bahasa dan budaya Indonesia di mata bangsa lain dan hal ini merupakan bagian pengembangan bahasa Indonesia. Bahasa sebagai bagian dari budaya harus betul-betul mendapatkan penanganan yang sangat serius dari pemerintah dan bangsa Indonesia. Untuk itu, penulis berusaha memaparkan upaya-upaya pelestarian bahasa dan budaya Indonesia melalui inovasi-inovasi dalam pembelajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA) melalui pembelajaran bahasa Indonesia lintas budaya 2.
Masalah yang Dibahas
Bertolak dari latar belakang di atas, masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut: 1) Bagaimana fungsi bahasa Indonesia? 2) Bagaimana kedudukan bahasa Indonesia dalam pengembangan kebudayaan? 3) Bagaimana peran budaya dalam pembelajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA? 4) Bentuk kreativitas apa saja yang dilakukan para pengajar BIPA? 3.
Tujuan Pembahasan Sesuai dengan masalah di atas, penulisan makalah ini dimaksudkan untuk
menginformasikan dan menjelaskan tentang fungsi, kedudukan, peran bahasa Indonesia, dan upaya para pengajar bahasa dan sastra Indonesia bagi penutur asing dalam menyongsong program Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Selain itu, melalui pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia bagi pekerja asing yang akan bekerja di Indonesia akan diperkenalkan berbagai kebudayaan lokal dan sebaliknya sebelum mereka terjuan ke dunia kerja mereka. Secara khusus, makalah ini berusaha menginformasikan dan menjelaskan tentang: 1)
Fungsi Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing.
2)
Kedudukan Bahasa Indonesia dalam pengembangan kebudayaan.
3)
Peran budaya dalam pembelajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA)? 155
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
4)
Kreativitas pengajar BIPA dalam pembelajaran bahasa Indonesia berbasis kebudayaan.
Pembahasan Masalah Sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan pada Bab I, pembahasan masalah pada bab ini akan menyajikan uraian tentang:1) fungsi bahasa Indonesia, 2) kedudukan bahasa Indonesia dalam pengembangan kebudayaan, 3) peran budaya dalam pembelajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA), 4) kreativitas pengajar BIPA berbasis kebudayaan. Keempat butir masalah tersebut akan dipaparkan berikut. 1) Fungsi bahasa Indonesia Fungsi bahasa Indonesia secara umum di dalam kehidupan manusia sehari-hari adalah untuk : a. mengungkapkan perasaan dan mengekspresikan diri, b. sebagai alat untuk berkomunikasi, c. sebagai alat berintegrasi dan beradaptasi sosial, d. sebagai alat kontrol sosial. Selain itu, fungsi bahasa Indonesia secara khusus digunakan untuk: a. melakukankomunikasi dalampergaulan sehari-hari b. mengapresiasi suatu karya seni dan karya sastra c. Mempelajari bahasa-bahasa kuno d. Mengeksploitasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) 2) Kedudukan Bahasa Indonesia dalam Pengembangan Kebudayaan. Bahasa Indonesia memiliki kedudukan yang sangat penting yang tercantum di dalam : 1. Ikrar poin ketiga dari Sumpah Pemuda 1928 yang berbunyi,
“Kami putra dan putri
Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. 2. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Bab XV (Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan) Pasal 36 menyatakan bahwa “Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”. Berdasarkan pencantuman dua kedudukan penting bahasa Indonesia tersebut, maka dapat dideskripsikan bahwa kedudukan bahasa Indonesia sebagai: 1. Bahasa Nasional a. lambang kebanggaan nasional b. lambang identitas nasional 156
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
c. alat pemersatu berbagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang sosial budaya d. alat penghubung antarbudaya antardaerah
2. Bahasa Negara (Bahasa Resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia) a. bahasa resmi kenegaraan b. bahasa pengantar resmi dilembaga-lembaga pendidikan c. bahasa resmi di dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintahan d. bahasa resmi di dalam pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta teknologi terkini . 3) Peran Budaya dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) Beberapa komponen budaya yang ada di Indonesia sangat beragam dari yang dapat dilihat secara kasat mata seperti tarian, drama, puisi, adat istiadat, kegiatan keagamaan, upacara tradisional, dan masakan,
hingga berbagai konsep seperti bagaimana
menghormati orang yang lebih tua, konsep kekeluargaan, meminta ma’af , memberikan pujian, menerima pujian, keterusterangan, kesanggupan dan ketidaksanggupan, saran, kritik, dan sebagainya. Semua komponen-komponen tersebut dapat dibahas dengan cara memasukkannya ke dalam catatan budaya dalam pembelajaran bahasa Indonesia sesuai dengan kebutuhan pembelajar asing, dengan harapan bahwa penutur asing yang ingin mempelajari bahasa dan budaya Indonesia dapat diarahkan ke pembelajaran dengan menggunakan pendekatan komprehensif agar mereka mampu menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, serta sekaligus mempelajari tentang kebudayaan di Indonesia. 3) Upaya-upaya dan kreativitas pengajar BIPA berbasis kebudayaan. Interaksi dalam kehidupan manusia tidak terlepas dari penggunaan bahasa, baik itu bahasa Indonesia, bahasa daerah maupun bahasa asing. Untuk menyikapi hal tersebut, pengajar BIPA haruslah kreatif dalam mengemas materi ajar dengan menyisipkan kebudayaan Indonesia dengan menggunakan pendekatan komprehensif. Artinya, pengajar BIPA harus dapat mengemas materi ajar bukan hanya tentang bahasa Indonesia saja, melainkan memasukan budaya Indonesia ke dalam materi BIPA. Hal ini bertujuan agar penutur asing mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia 157
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
dengan baik dan benar sesuai dengan kebutuhan mereka, serta memahami tentang budaya Indonesia baik budaya yang kasat mata (tarian, drama, puisi, adat istiadat, kegiatan keagamaan ) maupun yang tidak.
Daftar Pustaka Abidin, Y. & Astuti, S. (2013) Pembelajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing. Panduan praktis pembelajaran BIPA. Bandung : Rizki Press Echols & Shadily, H. (2004) Kamus Inggris Indonesia. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama Echols & Shadily, H. (2008) Kamus Inggris Indonesia. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama Iskandarwassid & Sunendar, D. (2008) Strategi pembelajaran bahasa. Bandung: Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia dan PT Remaja Rosdakarya Pusat Bahasa, (2008) Kamus besar bahasa Indonesia. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama Sumarsono & Partana, P. (2002) Sosiolinguistik. Yogyakarta : Sabda & Pustaka Pelajar Suyitno, I. (2012) Menulis makalah dan artikel. Bandung : PT Rafika Aditama Tim BIPA Pusat Bahasa, (2008) Lentera Indonesia 3 . Penerang untuk memahami masyarakat dan budaya Indonesia. Jakarta : Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Putri, R.E. (2010). Fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia.[Online].Tersedia di: http://rahmaekaputri.blogspot.com/2010/09/fungsi-dan-kedudukan-bahasaindonesia.html.Diakses 05 Oktober 2015.
158
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
PENGGUNAAN PRINSIP-PRINSIP PRAGMATIK DALAM PERISTIWA TUTUR PADA KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR DI STKIP SILIWANGI BANDUNG
Dede Abdurrakhman STKIP Siliwangi Bandung
[email protected]
Abstrak Salah satu bentuk kegiatan berbahasa adalah melalui medium lisan. Ketika kegiatan itu berlangsung, maka terciptalah peristiwa tutur. Peristiwa tutur merupakan salah satu bidang kajian Pragmatik. Pragmatik sebagai sebuah ilmu bahasa memiliki beberapa prinsip yang harus diperhatikan oleh penutur dan petutur, yakni prinsip kesantunan dan prinsip kerjasama. Kedua prinsip ini memiliki beberapa maksim yang mengatur kegiatan berbahasa secara lisan agar dapat berjalan secara efektif. Tulisan ini mencoba memaparkan hasil penelitian mengenai kondisi penggunaan prinsip-prinsip pragmatik dalam peristiwa tutur yang terjadi saat kegiatan belajar mengajar di STKIP Siliwangi Bandung, khususnya di Prodi PBS. Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Penelitian ini didanai oleh STKIP Siliwangi Bandung melalui Dana Penelitian Kompetitif (DPK) tahun 2012/2013. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prinsip-prinsip pragmatik tidak sepenuhnya dilaksanakan oleh penutur, baik doesn maupun mahasiswa. Hal ini terjadi karena tuturan disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta isi dan tujuan tuturan itu sendiri. Kata Kunci: prinsip pragmatik, peristiwa tutur.
Pendahuluan Bahasa sebagai lambang bunyi yang bersistem tidak akan pernah lepas dari kehidupan manusia. Dua medium bahasa yakni lisan dan tulis menjadi dimensi penggunaan bahasa. Namun, dalam penggunaanya, medium lisan seringkali dinilai bersifat lebih efektif dan komunikatif. Hal ini sejalan dengan pernyataan Nurgiyantoro (2009:277) yakni bahasa lisan lebih fungsional dalam kehidupan sehari-hari. Dalam penggunaan bahasa secara lisan, dikenal peristiwa yang disebut peristiwa tutur. Peristiwa tutur ini diartikan Yule (2006:82) sebagai suatu kegiatan di mana para peserta tutur 159
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
berinteraksi dengan bahasa dalam cara-cara konvensional untuk mencapai suatu hasil. Inilah yang kemudian membedakan bentuk bahasa secara lisan dan tulis. Bentuk bahasa lisan yang disebut sebagai tindak tutur tidak akan pernah terlepas dari konteks. Segala hal yang tidak bisa dijelaskan oleh pernyataan atau bentuk tuturan lain akan dapat dijelaskan oleh konteks. Kehidupan manusia tidak terlepas dari peristiwa tutur karena dalam manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berinteraksi untuk saling melengkapi informasi dan bahkan mencapai suatu kesepakatan. Peristiwa tutur merupakan kegiatan yang tidak terlepas dari konteks, yakni hal yang mendukung atau menjelaskan suatu makna, yang kemudian menjadi salah satu bahasan pragmatik sebagai salah satu ilmu bahasa. Namun, bukan hanya itu saja. Pragmatik juga mengkaji peristiwa tutur berdasarkan prinsip. Artinya, secara disadari ataupun tidak, dalam peristiwa tutur, baik penutur maupun lawan tutur sebagai bagian dari peristiwa tutur itu sendiri akan berkenaan dengan penggunaan prinsip-prinsip pragmatik. Penggunaan prinsip-prinsip pragmatik ini akan berkaitan erat dengan kelancaran proses berbahasa secara lisan, sehingga menciptakan komunikasi yang efektif dan efisien. Selain itu, secara langsung maupun tidak langsung, cara dan gaya berbahasa yang baik cenderung menjadi faktor penentu derajat pendidikan seseorang. Walaupun tentunya hal itu disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Hal ini sejalan dengan pernyataan yang berkembang di masyarakat mengenai gaya bertutur atau berbahasa, mulai dari “bahasa menunjukkan bangsa”, “usul menunjukkan asal”, “budi baik basa ketuju”, hingga “yang elok budi yang indah bahasa”. Peristiwa tutur yang terikat prinsip-prinsip terjadi pada berbagai situasi, termasuk saat kegiatan belajar mengajar (KBM) di dalam kelas. Proses komunikasi yang efektif dan efisien antara dosen dengan mahasiswa ataupun mahasiswa dengan mahasiswa tentu akan menciptakan suasana kegiatan belajar mengajar yang lebih efektif dan efisien. Proses demikian tentu akan pula memberikan hasil pembelajaran yang lebih optimal. Inilah yang menjadi landasan penting mengapa penggunaan prinsip-prinsip pragmatik sangat penting untuk diperhatikan, meskipun jika melanggar belum tentu menjadi salah. Selain itu, melalui kajian ini, penggunaan prinsip-prinsip pragmatik diharapkan dapat menjadi sebuah bahan untuk meningkatkan kualitas penggunaan bahasa pada saat kegiatan belajar mengajar, khususnya di STKIP Siliwangi Bandung sebagai tempat penelitian dilakukan. 160
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Sebagai bahan pengantar langkah penelitian, pertanyaan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimana penggunaan bahasa dosen dan mahasiswa dalam kegiatan belajar mengajar di STKIP Siliwangi Bandung?; (2) Bagaimana penggunaan prinsip-prinsip pragmatik dalam kegiatan belajar mengajar di STKIP Siliwangi Bandung?; (3) Apakah penggunaan bahasa dengan memperhatikan prinsip-prinsip pragmatik membuat kegiatan belajar mengajar menjadi lebih berkualitas? Kajian Teori Banyak ahli yang menyatakan pandangannya mengenai pragmatik, beberapa di antaranya adalah Leech (1993:8) yang mengemukakan bahwa pragmatik adalah bidang linguistik yang mengkaji makna dalam hubungannya dengan situasi tuturan (speech situation). Kridalaksana (2001:176) mengidefinisikan pragmatik sebagai syarat-syarat yang mengakibatkan serasi tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi dan aspek-aspek pemakaian bahasa atau konteks luar bahasa yang memberikan sumbangan kepada makna ujaran. Sementara itu, Rahardi (2003:15) dengan mengutip Levinson mengatakan bahwa pragmatik adalah studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan konteksnya. Konteks yang dimaksud tergramatisasi dan terkondifikasi sehingga tidak dapat dilepaskan dari struktur bahasanya. Selanjutnya Rahardi (2003:14) juga mengutip pendapat Parker mengemukakan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal. Adapun yang dimaksud dengan itu adalah bagaimana satuan lingual tertentu digunakan dalam komunikasi yang sebenarnya. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yaitu berkaitan dengan bagaimana satuan bahasa itu digunakan dalam komunikasi. Pragmatik pada dasarnya menyelidiki bagaimana makna di balik tuturan yang terikat pada konteks yang melingkupi di luar bahasa, sehingga dasar dari pemahaman terhadap pragmatik adalah hubungan antara bahasa dengan konteks. Dalam ilmu pragmatik, dikenal prinsip-prinsip yang harus diperhatikan penutur dan petutur. Prinsip-prinsip pragmatik ini merupakan segala bentuk asas yang menjadi landasan 161
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
bertutur. Dalam kajian formal yang menjadi landasan adalah hukum, ketika hukum itu dilanggar, maka dinyatakan salah. Sementara itu, dalam kajian pragmatik yang menjadi landasan adalah prinsip, di mana ketika terjadi pelanggaran maka belum tentu menandakan sebuah kesalahan. Secara praktis, prinsip pragmatik dibedakan menjadi dua, sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh (Wijana, 1996:55), yakni prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan. Prinsip kerja sama berhubungan dengan pernyataan Allan dalam Wijana (1996:45) yang menyebutkan bahwa berbahasa adalah aktivitas sosial. Selanjutnya, Wijana (1996:45) menyatakan bahwa agar proses komunikasi berjalan secara lancar, maka ada semacam prinsip kerja sama yang harus dilakukan pembicara dan lawan bicara. Grice dalam Wijana (1996:46-52) dan dalam Rahardi (2005:53-59) mengemukakan bahwa di dalam rangka melaksanakan prinsip kerja sama itu, setiap penutur harus mematuhi 4 maksim percakapan, yakni: (1) maksim kuantitas, menghendaki seorang penutur memberikan informasi yang cukup, relatif memadai, dan seinformatif mungkin; (2) maksim kualitas, mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan hal yang sebenarnya; (3) maksim relevansi, mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan; serta (4) maksim cara/maksim pelaksanaan, mengharuskan setiap percakapaan berbicara secara langsung tidak kabur, tidak taksa dan tidak berlebihlebihan, serta runtut (Rahardi 2003:36-53). Sementara itu, sama halnya dengan prinsip kerja sama, prinsip kesopanan juga terdiri atas beberapa maksim, seperti yang diuraikan Rahardi (2003:40-56), yakni: (1) maksim kebijaksanaan, setiap peserta tuturan untuk meminimalkan kerugian orang lain, atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain.; (2) maksim kedermawanan, setiap peserta tindak tutur untuk mengurangi keuntungan bagi diri sendiri dan tambahi pengorbanan diri sendiri; (3) maksim penghargaan, selalu berusaha untuk memberikan penghargaan dan penghormatan kepada pihak lain secara optimal; (4) maksim kesederhanaan, peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian atau penghormatan terhadap dirinya sendiri dan memaksimalkan penghormatan atau pujian terhadap orang lain; (5) maksim permufakatan, setiap penutur dan lawan tutur untuk memaksimalkan permufakatan atau kecocokan di antara mereka dan meminimalkan ketidakcocokan di antara 162
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
mereka dan maksim simpati; serta (6) maksim kesimpatisan, para peserta tutur selalu memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya. Lebih lanjut yang perlu diuraikan, kedudukan prinsip dalam peristiwa tutur berbeda dengan kedudukan kaidah dalam hal berkegiatan menulis. Inilah yang kemudian membawa kajian pragmatik menjadi sebuah kajian fungsional, bukan kajian hukum seperti kajian formal. Pelanggaran kaidah dalam kajian formal tentu dinyatakan salah karena telah melanggar hukum, namun pelanggaran prinsip dalam kajian pragmatik belum tentu dinyatakan salah. Terlepas dari masalah prinsip-prinsip pragmatik, Searly dalam Rahardi (2003:72) mengemukakan bahwa terdapat lima bentuk tuturan yang menunjukan fungsi-fungsi komunikatif: (1) asertif, yaitu bentuk tuturan yang mengikat penuturn pada kebenaran proposisi yang diungkapkan misalnya menyarankan; (2) directif, yaitu bentuk tuturan yang dimaksudkan penuturnya untuk membuat pengaruh agar sang mitra tutur melakukan tindakan tertentu, misalnya memerintah; (3) ekspresif, yaitu bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan atau menunjukan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan, misalnya permintaan maaf dan lainnya; (4) komisif, yakni bentuk tutur yang berfungsi untuk menyatakan janji atau permintaan penawaran, misalnya menawarkan; dan (5) deklarasi, yakni bentuk tuturan yang menghubungkan isi tuturan dengan kenyataannya, misalnya menghukum.
Metode Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode deskriptif analisis, yaitu mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan kegiatan menganalisis data. Metode
deskriptif digunakan karena penelitian ini menggambarkan dan menjelaskan data secara apa adanya. Hal ini sesuai dengan penjelasan Arikunto (1993:310) yakni bahwa metode deskriptif adalah metode yang menjelaskan data atau objek secara natural, objektif, dan faktual (apa adanya). Adapun yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah dosen dan mahasiswa STKIP Siliwangi Bandung tahun ajaran 2012/2013 dengan berbagai latar belakang yang beraneka ragam. Sementara itu, yang menjadi data penelitian adalah tuturan dosen dan mahasiswa tersebut. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik, yakni observasi 163
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
(rekam data), wawancara dan telaah dokumen. Lebih lanjut, teknik pengolahan data yang digunakan adalah antisipasi, yakni menyiapkan butir-butir yang dianalisis; reduksi, memilah dan mengelompokkan data; penyajian data, mengalisis data yang sudah dikelompokkan; serta penarikkan simpulan, yakni menarik simpulan yang berkaitan dengan representasi prinsipprinsip pragmatik berdasarkan prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan. Pembahasan Hasil penelitian diperoleh dari 13 data yang terkumpul terkait penggunaan prinsipprinsip pragmatik dalam peristiwa tutur. Data tersebut dianalisis melalui pengodean dan pembuatan matriks. Pengodean dilakukan untuk memudahkan pemeriksaan dan penarikkan simpulan. Kode dalam analisis data terdiri atas data tuturan, kode tuturan, dan penjelasan konteks tuturan atau informasi indeksikal. Sementara itu, matriks digunakan untuk menampung data analisis yang terdiri atas praktik tuturan yang kemudian dianalisis menurut skala kerja sama dan kesopanan Leech. Pada akhirnya, langkah-langkah tersebut dilakukan untuk memperoleh simpulan umum dari semua data. Contoh dari penganalisian data untuk memperoleh hasil penelitian adalah sebagai berikut. Data dan analisis data 1 D
(1) : Bagaimana pendapat Bapak/Ibu mengenai hal tersebut?
M1
(2) : Iya, Bu. Menurut saya memang .................
MM (3) : Curhat, curhat... M1
(4) : Ehm... Coba saja pikirkan oleh Ibu!
M2
(5) : Aduh nyuruh itu mah, Bu.
M1
(6) : Eh, iya, Bu. Selalu saja kami-kami ini yang nasibnya sebagai guru honorer. Ah, pokonya sudahlah, yang enak itu guru PNS. Mereka mah masalah administrasi selalu santai, tidak membuat juga ya gaji tetap. Akhirnya penuntasan masalah administrasi ya harus diselesaikan oleh kami-kami ini sebagai guru honorer, padahal gajinya tetap ga seberapa, jauh di bawah mereka.
164
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Informasi indeksikal Peristiwa tutur terjadi saat perkuliahan Perencanaan Pembelajaran Bahasa Indonesia di kelas karyawan yang mayoritas mahasiswanya merupakan guru honorer. Peristiwa tutur terjadi ketika pengajar bertanya mengenai pendapat mahasiswa perihal penyusunan perencanaan pengajaran yang kadang tidak dikerjakan sendiri oleh guru yang bersangkutan. Keterangan: D
= Dosen
M1 = Mahasiswa 1 M2 = Mahasiswa 2 MM = Mahasiswa-mahasiswa (serentak)
Analisis 1.
Analisis berdasarkan prinsip kesantunan Berdasarkan prinsip kesantunan, dalam data peristiwa tutur di atas ada bagian tuturan
yang kurang memaksimalkan atau dengan kata lain melanggar prinsip kesantunan, yakni pada tuturan (3) dan (4). Pelanggaran prinsip kesantunan terjadi karena pelanggaran pada maksim kebijaksanaan, yakni ketika M1 sedang bertutur tiba-tiba MM bertutur dengan kurang memaksimalkan keuntungan bagi MM karena dengan tiba-tiba memenggal tuturan (3). Selanjutnya, pada tuturan (4) “coba saja pikirkan oleh ibu” yang dituturkan mahasiswa kepada pengajarnya memiliki nilai rasa yang kurang baik. Tuturan tersebut kurang mencerminkan maksim penghargaan. Melalui tuturan tersebut, mahasiswa (M1) menyuruh secara langsung tanpa basa-basi dengan pilihan kata yang langsung pada pokok masalah. Berdasarkan prinsip dan budaya yang berlaku, kesantunan tuturan seseorang justru ditunjukkan dengan tuturan yang tidak langsung dan tentu dengan pilihan kata yang lebih sopan. Ketidakmaksimalan penggunaan prinsip kesantunan ini dirasakan dan didukung oleh tuturan mahasiswa lain yakni M2 pada tuturan (5) yang dengan spontan menyatakan tuturan “Aduh nyuruh itu mah, Bu.” yang bermakna bahwa tuturan M pada tuturan (4) kurang santun. Selanjutnya, dalam data tersebut juga ketidakmaksimalan dan kemaksimalan penggunaan prinsip kesantunan terjadi sekaligus pada tuturan (5). Secara langsung penutur 165
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
pada tuturan (5) kurang memaksimalkan penggunaan maksim kesimpatian. Artinya, M2 dalam tuturan (5) memperkecil simpati dan cenderung antipati pada M1 pada tuturan (4). Akan tetapi, secara sekaligus, justru M2 melontarkan tuturan (5) karena adanya simpati pada D dan tuturan itu menjadi semacam pembelaan bagi D. 2. Analisis berdasarkan prinsip kerja sama Penggunaan prinsip kerja sama dalam peristiwa tutur pada data di atas juga kurang dimaksimalkan. Artinya, ada bagian tuturan yang melanggar prinsip kerja sama. Sama halnya dengan pelanggaran prinsip kesantunan, pelanggaran prinsip kerja sama terjadi pada tuturan (3), yakni M2 sebagai peserta tutur memotong tuturan M1 dan kurang memaksimalkan maksim relevansi, artinya kurang mendukung tuturan peserta tutur lainnya. Sementara itu, tuturan (4) kurang memaksimalkan maksim pelaksanaan karena mengajukan perintah secara langsung dengan bahasa yang frontal secara nilai rasa. Nilai rasa yang dikategorikan frontal secara maksim pelaksanaan ini diperkuat oleh tuturan (5). Hasil analisis data 1 tersebut kemudian digambarkan dalam Tabel 1 dan Tabel 2 berikut. Tabel 1 Analisis Prinsip Kesantunan Data 1 No
Data No
1 2
1 1
3
1
Tuturan
Jenis Tuturan
Prinsip Kesantunan Maksim kebijaksanaan
(3) Curhat, curhat... (4) Ehm... Coba saja pikirkan oleh Ibu! (5) Aduh nyuruh itu mah, Bu.
Ekspresif Direktif
X X
Eks-presif
X
Maksim kederma wanan
Maksim penghargaan
Maksim Kesederhanaan
X
X
Ket.
Maksim Permufakat -an
Maksim Kesimpatian
X
X
X pada M, √ pada D
Tabel 2 Analisis Prinsip Kerjasama Data 1 No.
1 2
No Data 1 1
Tuturan
(3) Curhat, curhat... (4) Ehm... Coba saja pikirkan oleh Ibu!
Jenis Tuturan Ekspresif Direktif
Prinsip kerja sama Maksim Kuantitas
Maksim Kualitas
Maksim Relevan -si
Keterangan Maksim Pelaksanaan
X X
166
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Penjabaran analisis data pada Tabel 1 dan Tabel 2 merupakan contoh penyajian hasil analisis melalui deskriptif ke dalam bentuk matriks. Penjelasan dari Tabel 1 dan Tabel 2 sesuai dengan apa yang telah diuraikan sebelumnya. Sebagai contoh penganalisisan lainnya, berikut ini disajikan data dan analisis data 2. Data dan Analisis Data 2 D
(1) : Ada yang belum masuk kelompok?
MM (2) : (hening) D
(3) : Ayo siapa yang belum masuk kelompok?
MM (4) : Sudaaahhh D
(5) : (memeriksa daftar kelompok)
D
(6) : M1, belum ya?
M1 (7) : (Senyum) D
(8) : Mengapa Ma belum masuk kelompok?
M1 (9) : (senyum) D
(10) : Yang lainnya, hey, bagaimana ini temannya, qo belum masuk kelompok? Kenal tidak dengan Ma?
M2 (11) : Kenal, bu. Tapi ga tau dianya kenal sama kita atau ngga? D
(12) : Eh, kenapa begitu, sudah 4 semester sama-sama masa begitu? Ma kenal tidak dengan teman-teman sekelas ini?
M1 (13) : (senyum)
Informasi indeksikal Peristiwa tutur terjadi setelah pembagian kelompok. Ma adalah mahasiswa yang pendiam dan jarang bicara.
167
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Keterangan: D
= Dosen
M1 = Mahasiswa 1 M2 = Mahasiswa 2 MM = Semua mahasiswa
Analisis 1. Analisis prinsip kesantunan Ditinjau dari prinsip kesantunan, dari awal peristiwa tutur di atas telah tampak pelanggaran prinsip kesantunan. Ketika D (1) melontarkan pertanyaan, suasana hening (2) menandakan tidak ada jawaban dari peserta tutur lainnya. Peristiwa tutur seperti ini merupakan tanda pelanggaran prinsip kesantunan dari segi maksim kebijaksanaan. Tidak menjawab pertanyaan lawan tutur menandakan tidak ada pemaksimalan keuntungan bagi lawan tutur tersebut. Keadaan seperti ini juga terjadi pada (5), (7), (9), (13). Senyum sebagai salah satu tanda kesimpatisan menandakan pemaksimalan maksim kesimpatisan, sehingga dapat dikatakan peserta tutur yang senyum sebagai tanda kesimpatisan adalah orang yang santun, juga sekaligus sebagai penanda maksim kesederhanaan. Namun, lebih jauh ternyata pemaksimalan maksim ini tidak sepenuhnya menjadikan peserta tutur sebagai orang yang santun karena dia lebih banyak melakukan pelanggaran pada maksimmaksim lainnya. Pelanggaran maksim terjadi pada maksim kebijaksanaan seperti yang telah diuraikan dan maksim permufakatan, yakni ketika peserta tutur tidak dapat membina kecocokan. Selain itu, tindak tutur seperti itu juga melanggar maksim kedermawanan, dan penghargaan. Pelanggaran maksim kebijaksanaan, permufakatan dan kesimpatian juga terjadi pada tuturan (11) yang dilontarkan M1, yakni “ga tau dianya kenal sama kita atau ngga”. Tuturan tersebut jelas mencerminkan sikap antipati, sehingga dianggap tidak memenuhi maksim kesimpatian.
2. Analisis prinsip kerja sama Sama halnya dengan prinsip kesantunan, dalam peristiwa tutur di atas juga dengan sangat jelas terlihat pelanggaran prinsip kerja sama. Lontaran pertanyaan-pertanyaan yang 168
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
tidak mendapatkan jawaban memadai, tuturan (7), (9), (13), yakni hanya dengan senyum yang tidak jelas menandakan adanya pelanggaran prinsip kerja sama dalam semua maksim. Dari maksim kuantitas, keadaan seperti itu jelas lawan tutur dari pemberi pertanyaan tidak memberikan informasi yang cukup, memadai dan informatif. Dari maksim kualitas jelas tidak ada kualitas yang diberikan. Dari maksim relevansi tidak terjalin kerja sama karena lawan tutur tidak memberikan kontribusi yang relevan dengan yang dipertuturkan. Begitu pula dari maksim pelaksanaan, maksim ini mengharuskan peserta tutur bertutur secara langsung, jelas, dan tidak kabur, sementara tuturan (7), (9), dan (13) tidak menunjukkan keadaan tersebut. Pelanggaran juga terjadi dari segi maksim relevansi pada tuturan (4), tuturan (3) mengharapkan siapa yang belum masuk kelompok, tetapi lawan tutur menjawab sudah. Artinya, lawan tutur tidak memberikan kontribusi yang relevan dengan tuturan sebelumnya. Selain itu, pelanggaran juga terjadi dari segi maksim kualitas karena ternyata di antara mereka ada yang belum masuk kelompok, tetapi tidak mengutarakannya. Artinya, peserta tutur tidak memberikan informasi yang sesuai fakta. Meskipun demikian, tuturan tersebut secara maksim pelaksanaan dianggap telah memenuhi maksim tersebut. Berikut ini hasil analisis data 2 disajikan dalam Tabel 3 dan Tabel 4. Tabel 3 Analisis Prinsip Kesantunan Data 2 No
Data No
1.
2
2.
2
3.
2
Tuturan
Jenis Tuturan
(5), (7), (9), (13) senyum sebagai respon pertanyaan (11) Kenal, bu. Tapi ga tau dianya kenal sama kita atau ngga? (5), (7), (9), (13) senyum sebagai respon pertanyaan
Prinsip Kesantunan
Ket.
Maksim kebijaksanaan
Maksim kederma wanan
Maksim penghargaan
Maksim Kesederhanaan
Maksim Permufakat -an
Maksim Kesimpatian
Ekspresif Ekspresif
X
X
X
√
X
√
Ekspresif
X
X
X
X
X
√
X
X
√
Tabel 4 Analisis Prinsip Kerjasama Data 2 No.
No Data
1
2
2 3
2 2
Tuturan
(5), (7), (9), (13) senyum sebagai respon pertanyaan Sudaaahhh (11) Kenal, bu. Tapi ga tau
Jenis Tuturan
Prinsip kerja sama
Keterangan
Maksim Kuantitas
Maksim Kualitas
Maksim Relevan -si
Maksim Pelaksanaan
Ekspresif
X
X
X
X
Ekspresif Ekspresif
√
X
X
√ X
169
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015 dianya kenal sama kita atau ngga?
Deskripsi dari Tabel 3 dan Tabel 4 telah diuraikan sebelumnya. Demikianlah dua contoh pendeskripsian dan penganalisisan data. Selanjutnya, semua data disajikan dalam satu tabel untuk selanjutnya dibahas dan ditarik simpulan. Adapun tabel hasil dari keseluruhan data yang telah dianalisis, disajikan dalam Tabel 5 berikut.
Tabel 5 Rekapitulasi Data Hasil Tuturan yang Mencakup Prinsip Kesantunan dan Prinsip Kerjasama Prinsip Kesantunan Data
Maksim
Maksim
Maksim
Kebijaksan
kederma
peng-
aan
wanan
hargaan
Prinsip Kerjasama
Maksim
Maksim
Maksim
Ke-
Per-
Ke-
sederha-
mufakat
simpati-
naan
-an
an
Maksim kuantita s
Maksim
Maksim
kualitas
Relevansi
TOTAL
Maksim Pelaksanaa
√
X
n
Data 1 1.
X
2
X
3
X
X X
X
X
3 X
4
X
X
X
√
X
X
X
X
2 8
X
√
X
X
√
2 5
X
2 5
3
Data 2 1
X
X
2
X
3
X
X
√
√
X
√ X
X
√
X
√
Data 3 1
√ √
2
√
√
√
6
√
√
√
4
√
3
√
2
Data 4 1
X
2
√
√ √ √
3
√
X
X
2 3
√
3
√
2
Data 5 1
√
2
√
√ √
X
X
X
X
2 4
X
√
√
X
4 2
170
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015 Prinsip Kesantunan Data
Maksim
Maksim
Maksim
Kebijaksan
kederma
peng-
aan
wanan
hargaan
Prinsip Kerjasama
Maksim
Maksim
Maksim
Ke-
Per-
Ke-
sederha-
mufakat
simpati-
naan
-an
an
Maksim kuantita s
Maksim
Maksim
kualitas
Relevansi
TOTAL
Maksim Pelaksanaa
√
3
√
X
n
1
4
√
1
5
√
1
6
√
1
7
√
1
Data 6 √
1
√
√
√
√
5
2
√
1
3
√
1
Data 7 1
√
√
√
√
√
X
√
5
Data 8 √
1 2
√
3 4
1 1
√
√
√
√
5
√
√
√
√
4
Data 9 √
1
√
X
X
2 2
Data 10 √
1
X
√
2
1 1
√
2
Data 11 1
X
X
2
X
2
Data 12 1
X
Data 13 1
√
TOTAL
X=8
X=2
X=4
X=2
X=5
X=2
X=6
X=5
X=8
X=5
6 4
√=6
√=5
√=3
√=8
√ =13
√=3
√= 5
√= 7
√=8
√=6
4 6
X
1 1
171
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Dari Tabel 5 di atas, dapat ditarik simpulan bahwa hasil tuturan yang memenuhi maksim kesantunan dan maksim kerjasama justru lebih banyak dibanding dengan jumlah pelanggaran maksim kesantunan dan maksim kerjasama. Tuturan yang memenuhi maksim kesantunan dan maksim kerjasama berjumlah 64, sedangkan yang melanggar maksim kesantunan dan maksim kerjasama berjumah 46. Hal ini mengindikasikan bahwa pelaksanaan komunikasi antara dosen dengan mahasiswa dalam proses pembelajaran berjalan dengan baik. Adapun pelanggaran terhadap prinsip pragmatik dalam kegiatan pembelajaran tentunya tidak terlalu mengindikasikan permasalahan yang signifikan. Dengan hasil ini dapat dikatakan bahwa komunikasi dalam proses pembelajaran justru tidak mengalami permasalahan yang serius. Dengan hasil data ini dosen dianggap mampu menyampaikan materinya dengan baik dan mahasiswa dianggap memiliki sikap kesantunan dan kerjasama yang baik sehingga adanya komunikasi yang baik dalam proses pembelajaran. Namun dari hasil tersebut, perlu adanya perbaikan, di antaranya perlu adanya menumbuhkan sikap saling menghargai dalam memberikan pendapat (sehubungan dengan jumlah pelanggaran maksim kebijaksanaan yang banyak berjumlah 8 dibanding dengan tuturan yang memenuhi maksim kebijaksanaan yang berjumlah 6) dan mengeksplorasi kemampuan berbicara mahasiswa yang sesuai dengan tema pembahasan yang dibahas pada waktu pembelajaran (sehubungan dengan jumlah pelanggaran maksim relevansi yang relatif sama yang berjumlah 8 dengan tuturan yang memenuhi maksim relevansi yang berjumlah 8). Selanjutnya, setelah dianalisis, berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa mahasiswa menggunakan bahasa yang berbeda kepada setiap orang. Artinya, mereka menggunakan bahasa sesuai dengan lawan bicaranya. Penggunaan bahasa ini jelas dilihat dari prinsip kesantunan dan kerja samanya. Berdasarkan wawancara prinsip-prinsip ini tidak dieksplisitkan, namun dapat tergambar dari pernyataan mahasiswa yang menyatakan bahwa dengan teman mereka lebih bebas dalam menggunakan bahasa, artinya mereka tidak lagi memerhatikan aturan-aturan apapun. Sementara itu, mereka mengaku bahwa bahasa yang mereka gunakan ketika berbicara dengan dosen cenderung berbeda. Mereka menempatkan diri dalam menggunakan bahasa sesuai dengan tingkat keakraban mereka dengan dosen tersebut. Selain itu, faktor yang mempengaruhi perbedaan penggunaan bahasa adalah tingkat rasa hormat orang tersebut 172
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
terhadap lawan bicaranya. Lawan bicara yang dipandang memiliki integritas tinggi tentu membuat seseorang menggunakan bahasa yang lebih santun dan hormat dibandingkan dengan lawan bicara yang biasa. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan diperoleh beberapa simpulan yang dapat menjawab rumusan masalah yang diajukan. Simpulan tersebut, pertama penggunaan bahasa dosen dan mahasiswa dalam kegiatan belajar mengajar di STKIP Siliwangi didasarkan pada kepentingan dan lawan bicara. Kedua, penggunaan prinsip-prinsip pragmatik dalam kegiatan belajar mengajar di STKIP Siiwangi beragam: ada tuturan yang memang memenuhi penggunaan prinsip-prinsip pragmatik; dan ada pula yang tuturan-tuturan yang melanggar prinsip-prinsip tersebut. Sementara itu, proses komunikasi dalam pembelajaran tidak mengalami permasalahan yang serius. Ketiga, penggunaan bahasa dengan memperhatikan prinsip-prinsip pragmatik menjadi salah satu faktor penentu kualitas pembelajaran. Kualitas pembelajaran di sini tidak mengarah secara langsung pada hasil pembelajaran. Namun, setidaknya mengarah langsung pada kualitas proses pembelajaran. Meski demikian, penggunaan prinsip-prinsip pragmatik tetap mengacu pada situasi dan kondisi peristiwa tutur. Hasil analisis dan simpulan yang telah diuraikan belum merepresentasikan penggunaan prinsip-prinsip pragmatik dalam peristiwa tutur secara sempurna. Oleh karena itu, untuk mendapatkan hasil yang lebih sempurna dan representatif, diperlukan penelitian lanjutan yang lebih menyeluruh dan mendalam. Berdasarkan data, analisis, dan penarikkan simpulan, rumusan masalah no 3 belum terjawab sepenuhnya karena kualitas yang dimaksud hanya mengarah pada kualitas proses saja, tanpa melihat kualitas hasil. Hal ini terjadi karena kurangnya data serta kenyataan bahwa kualitas pembelajaran tidak hanya berdasarkan pada penggunaan bahasa saja, tetapi juga berdasarkan faktor lainnya. Oleh karena itu, penelitian selanjutnya hendaknya merancang instrumen penelitian yang lebih representatif untuk mendukung pengumpulan data dan penarikkan simpulan yang lebih akurat. 173
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Penelitian ini hanya berlaku pada kurun waktu tertentu, dalam arti sesuai dengan sumber data (mahasiswa STKIP) yang diambil adalah pada masa saat ini. Di sisi lain kualitas mahasiswa setiap tahunnya akan berbeda, sehingga untuk melihat kualitas pembelajaran dari sudut pandang penggunaan bahasa ini idealnya dilakukan setiap tahun sehingga dapat terlihat progres report kualitas pembelajaran. Adapun mengenai hal tersebut penelitian selanjutnya bisa dilakukan oleh peneliti lainnya.
Daftar Pustaka Arikunto, Suharsimi. 1993. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta: UI-Press. Nurgiyantoro, Burhan. 2009. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Yogyakarta: BPFE. Rahardi, Kunjana. 2005. Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga. Wijana, I. Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Offset. Yule,
George.
2006.
Pragmatik
(terjemahan).
Yogyakarta:
Pustaka
Pelajar
174
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
PENERAPAN PAYUNG HUKUM BAHASA INDONESIA MENJELANG AJANG MASYARAKAT EKONOMI ASEAN
Diena San Fauziya STKIP Siliwangi Bandung
[email protected]
Abstrak Bahasa Indonesia sebagai salah satu identitas bangsa dipayungi oleh hukum yang jelas, salah satunya UU No. 24 Tahun 2009 tentang bendera, bahasa, lambang negara, serta lagu kebangsaan. Bab III Undang-Undang ini berisi kebijakan mengenai penggunaan bahasa, mulai dari kedudukan dan fungsi; penggunaan; pengembangan, pembinaan, dan pelindungan; hingga peningkatan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional. Namun demikian, permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana penerapan hukum bahasa tersebut dalam kenyataannyan, khususnya menjelang ajang Masyarakat Ekonomi Asean? Untuk menemukan jawabannya, metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Populasi penelitian adalah nama dan informasi dalam produk dan jasa, rambu umum, penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan informasi lain yang merupakan pelayanan umum di wilayah Cimahi. Sampelnya adalah yang ada di sekitar Kebun Rumput, Cimindi, dan Ganda Wijaya. Hasil yang diperoleh adalah banyak nama usaha, informasi produk dan jasa, serta fasilitas-fasilitas umum yang menggunakan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris. data tersebut membuktikan masih lemahnya penerapan hukum bahasa di masyarakat. Keadaan tersebut terbukti karena kurangnya sikap positif masyarakat pengguna bahasa Indonesia, baik dari ciri kesetiaan, kebanggaan, maupun kesadaran adanya norma bahasa. Kata kunci: hukum bahasa, Masyarakat Ekonomi Asean
Pendahuluan Bahasa Indonesia merupakan salah satu identitas bangsa Indonesia yang kedudukannya diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dalam UUD tersebut, tepatnya Bab XV pasal 36, bahasa Indonesia ditetapkan berkedudukan sebagai bahasa negara. Selain itu, bahasa Indonesia juga diatur dalam UU No. 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan. Dengan demikian, jelaslah bahwa bahasa Indonesia memiliki payung hukum yang jelas. Namun demikian, bagaimana dengan implementasinya? Apakah hukum tersebut telah diterapkan oleh para pengguna bahasa dengan bijak? Perlu dilakukan penelitian yang serius dalam menanggapi masalah ini. Dengan demikian, melalui tulisan ini akan diuraikan hasil penelitian berkenaan dengan penerapan payung hukum bahasa Indonesia, khususnya dalam menghadapi ajang Masyarakat Ekonomi Asean. 175
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Seperti yang telah ditetapkan, Masyarakat Ekonomi Asean merupakan ajang dibukanya pasar bebas. Amri (2015) mengemukakan Masyarakat Ekonomi Asean ini dibentuk dengan tujuan untuk mencapai kesempurnaan integrasi ekonomi di kawasan ASEAN yang diyakini dapat memberikan manfaat nyata bagi seluruh elemen masyarakat. Ditinjau dari segi bahasa, ajang ini merupakan salah satu momentum yang dapat digunakan untuk membangun kembali dan mengukuhkan eksistensi bahasa Indonesia sebagai sebuah bahasa yang mandiri dan khas jika masyarakatnya berniat untuk itu karena bahasa merupakan salah satu unsur yang terintegrasi ke dalam berbagai bidang, termasukekonomi. Masyarakat Ekonomi Asean memanglah berurusan dalam hal ekonomi. Namun, seperti yang kita ketahui, sektor tersebut juga akan berimbas pada ranah bahasa sebagai salah satu media perantaranya. Pandangan ini sejalan dengan apa yang dikatakan Junaidi (2015) bahwa pertumbuhan ekonomi dapat mempengaruhi bahasa, mekipun pada akhirnya ia mematahkan pandangannya sendiri. Tidak dapat dimungkiri, MEA memang membuka peluang besar penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa perantaranya, mengingat ajang ini merupakan integrasi berbagai bangsa. Akan tetapi, bahasa Indonesia sesungguhnya memiliki peluang untuk lebih eksis karena memiliki payung hukum yang jelas. Untuk mengetahui bagaimana eksistensi dan penerapan payung hukum bahasa Indonesia diperlukan penelusuran. Hasil penelusuran ini tentu dapat menjadi sebuah pintu masuk yang akan memberikan dasar bagaimana tindak lanjut yang harus diambil dalam mengokohkan hukum bahasa di Indonesia. Sebagai landasan penelitian, kajian mengenai penerapan hukum telah pernah dilakukan bahkan hasilnya telah banyak dipublikasikan, salah satunya hasil penelitian Nugrahani (2014) yang membuktikan bahwa banyak penggunaan bahasa asing dalam penamaan hotel dan restoran di Solo. Padahal, sudah terdapat hukum mengenai perniagaan. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa masyarakat lebih mengutamakan bahasa asing karena dianggap lebih bergengsi dan bernilai ekonomi tinggi. Hal tersebut disebabkan orientasi hidup masyarakat tidak lagi lokal, tetapi universal. Kajian Pustaka 1. Hukum Bahasa Indonesia Bahasa sebagai sebuah lambang kebanggaan bangsa bagi Indonesia diatur dalam perundang-undangan yang jelas. Beberapa di antaranya adalah UUD 1945 Bab XV pasal 36 dan UU RI Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
176
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
UU No. 24 tahun 2009 bab III bagian kesatu merupakan penjelasan lebih lanjut dari UUD 1945 bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi negara. Dalam ayat (3) diuraikan bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, pengantar pendidikan, komunikasi tingkat nasional, pengembangan kebudayaan nasional, transaksi dan dokumentasi niaga, serta sarana pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi, dan bahasa media massa. Selanjutnya, dalam bagian kedua UU No. 24 tahun 2009 bab III diuraikan ihwal penggunaan bahasa Indonesia. Sesuai dengan kajian dalam penelitian ini, pasal 37 berisi bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan dalam informasi tentang produk barang atau jasa produksi dalam negeri atau luar negeri yang beredar di Indonesia; pasal 38 yang berisi bahasa Indonesia wajib digunakan dalam rambu umum, penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan informasi lain yang merupakan pelayanan umum; serta pasal 39 yang berisi bahasa Indonesia wajib digunakan dalam informasi melalui media massa. 2. Sikap Bahasa Berbicara mengenai penerapan payung hukum bahasa maka tidaklah lepas dari permasalahan sikap bahasa yang dimiliki pengguna bahasa itu sendiri. Sikap bahasa yang dimiliki pengguna bahasa menjadi sumber dari rasa kepekaan dalam menerapkan hukum berbahasa. Menurut Anderson dalam Chaer (2013:54) sikap bahasa adalah tata keyakinan dan kognisi yang relatif berjangka panjang, sebagian mengenai bahasa, mengenai objek bahasa, yang memberikan kecenderungan kepada seseorang untuk bereaksi dengan cara tertentu yang disenanginya. Berkenaan dengan sikap, sikap bahasa bisa bersifat positif dan juga negatif. Sikap bahasa positif artinya berkenaan dengan sikap yang dinilai baik atau disenangi. Sementara sikap bahasa negatif berkenaan dengan sikap yang dinilai tidak baik atau tidak disenangi. Lebih lanjut, Garvin dan Mathiot dalam Chaer (2013:54) menyebutkan ada tiga ciri sikap bahasa, yakni kesetiaan bahasa (language loyalty), kebanggaan bahasa (language pride), serta kesadaran adanya norma bahasa (awakness of the norm). Kesetiaan bahasa berkenaan dengan dorongan masyarakat suatu bahasa dalam mempertahankan bahasanya dan apabila perlu mencegah adanya bahasa lain. Sementara itu, kebanggaan bahasa berkenaan dengan dorongan orang mengembangkan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat. Selanjutnya, kesadaran adanya norma bahasa berkenaan dengan dorongan orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun, dan merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap perbutatan, yaitu kegiatan menggunakan bahasa.
177
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
3. Pembinaan Bahasa Indonesia Pembinaan bahasa adalah suatu usaha yang dilakukan dengan sadar, terencana, dan sistematis mengenai peningkatan mutu bahasa sedemikian rupa sehingga masyarakat pemakainya memiliki kebanggaan dan kegairahan untuk menggunakannya (Amran Halim dalam Chaer, 2013:80). Merujuk pada pernyataan tersebut, dapat dipastikan bahwa pembinaan ini berhubungan erat dengan masyarakat bahasa sebagai pengguna bahasa dan sikap bahasa sebagai dorongan dalam berbahasa. Hubungan tersebut pada akhirnya membawa pengaruh besar terhadap penerapan hukum bahasa dalam praktiknya. Chaer (2013:81) menambahkan bahwa sasaran pembinaan bahasa Indonesia adalah masyarakat pemakai bahasa Indonesia. Lebih lanjut, Tasai dan Abdul (2002:53) menambahkan bahwa sasaran pembinaan bahasa Indonesia adalah penutur asli bahasa Indonesia; bukan penutur asli bahasa Indonesia; orang yang masih bersekolah; orang yang tidak bersekolah (dewasa); guru di berbagai tingkat persekolahan; kalangan komunikasi media massa, termasuk penyiar radio dan televisi; kalangan khalayak di bidang industri, perniagaan, penerbitan, dan perpustakaan; kalangan karyawan instansi pemerintah dan swasta; serta kalangan pengelola agama dan kepercayaan. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan di Cimahi. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Metode ini dipilih dengan didasarkan pada masalah yang hendak dipecahkan, yakni untuk mengetahui fenomena atau gambaran mengenai penerapan payung hukum bahasa. Penggunaan metode ini sesuai dengan hakikat metode deskriptif itu sendiri yang didefinisikan Sukmadinata (2007:72), yakni suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena-fenomena yang ada. Data yang dikumpulkan berupa penggunaan bahasa dalam penamaan kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, informasi produk, rambu umum, penunjuk jalan, serta fasilitas umum. Data tersebut dikumpulkan sebagai bukti utama penerapan payung hukum bahasa Indonesia. Adapun teknik yang digunakan untuk menjaring data tersebut adalah dengan cara survei dan observasi. Teknik analisis yang digunakan untuk mengolah data yang terkumpul adalah dengan teknik induktif. Dengan teknik ini, tahapan yang dilakukan adalah reduksi data, sajian data, dan penarikan simpulan.
178
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Hasil dan Pembahasan Hasil Tidak dapat dimungkiri, eksistensi bahasa Inggris sebagai bahasa internasional memberikan kesan tersendiri di mata masyarakat. Bahasa Inggris dianggap lebih keren dan lebih modern. Setidaknya, kenyataan tersebut terbukti dari nama-nama yang digunakan pelaku usaha. Dari data yang terkumpul, tidak sedikit pelaku usaha mengaku bahwa penggunaan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris memberikan kesan yang lebih “kekinian” sehingga dapat menarik konsumen. Telah tercatat setidaknya 57 jajaran nama usaha di Cimahi menggunakan bahasa Inggris. Angka tersebut belum menjadi jumlah keseluruhan karena pengambilan data diambil dengan random wilayah, yakni sekitar Kebon Rumput, Cimindi, dan GandaWijaya. Nama-nama yang digunakan antara lain Bona Fashion, Café Soulmate, Fresh Juice, Catering Ngudirasa, Afisah Tailor, Corner Kebab, Savana Fried Chicken, Nazira Shoes, My Shoes, Family Bed Cover, Happy Gift, Pempek Hot Punch, My Style, Ice Blend & Waffle, Simply Happy Shop, Florist Decoration, Barbershop,Dexx Stone, Bright Clean, dan Be Bag’s. Selain pada penamaan usaha, bahasa asing juga banyak ditemukan digunakan sebagai informasi produk dan jasa. Beberapa di antaranya seperti mini market, laundry dry clean, super cash back, sport club, come in we are open, press body, the strongest ladder, dan our menu. Selain itu, ditemukan pula penggunaan bahasa asing untuk rambu umum, seperti emergency di rumah sakit, smoking area di kantor pemerintah kota, next counter please di bank, no suap area di kantor pemerintah kota, slow down, welcome, ada pekerjaan proyek R.0 extension, dan under construction. Dari data di atas, dapat dipastikan bahwa tidak sedikit pelaku usaha yang tidak mengindahkan adanya peraturan mengenai penggunaan bahasa dalam berniaga. Namun yang menarik adalah apakah mereka tidak mengindahkan atau justru memang tidak tahu. Untuk mengetahui lebih lanjut, data pendukung membuktikan bahwa jawaban sama diberikan oleh semua pelaku usaha yang terjaring pertanyaan mengenai adanya peraturan penggunaan bahasa. Semua memberikan jawaban bahwa mereka tidak tahu mengenai adanya pasal-pasal yang mengatur penggunaan bahasa. Dengan demikian, dapat ditarik simpulan penerapan hukum bahasa banyak terlanggar karena eksistensinya sendiri di mata masyarakat bahasa. Para pelaku usaha di atas, jelas kurang memiliki sikap positif terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasanya sendiri. Kesimpulan itu diambil merujuk pada tiga ciri sikap bahasa menurut Garvin dan Mathiot dalam Chaer (2013:54), yakni kesetiaan bahasa, kebanggaan bahasa, serta kesadaran adanya norma bahasa. Pelaku usaha yang menjadi subjek penelitian ini tentu tidak menunjukkan adanya kesetiaan bahasa. Mereka tidak memiliki dorongan sedikitpun dalam menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasanya sendiri. Mereka tidak berupaya
179
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
mempertahankan bahasanya apalagi berupaya mencegah adanya bahasa asing. Mereka juga tidak memiliki kebanggaan atas bahasanya. Mereka lebih bangga menggunakan bahasa asing. Menurut mereka, bahasa asing, khususnya Inggris, lebih keren digunakan daripada bahasa Indonesia. Satu hal yang menjadi ciri tidak adanya sikap positif yang mereka miliki adalah mereka tidak menyadari adanya norma bahasa. Mereka tidak mengetahui adanya hukum bahasa. Hukum mengenai penggunaan bahasa berbeda dengan hukum lainnya. Hukum ini berbeda dengan hukum pidana atau hukum perdata yang memiliki sanksi tegas untuk pelanggarnya. Hukum mengenai penggunaan bahasa tidak disertai dengan sanksi-sanksi yang jelas. Dengan demikian, pelanggaran terhadap hukum ini seolah bukanlah menjadi sebuah pelanggaran. Di sanalah masalah kemudian berlanjut, ketika aturan ditetapkan bahkan dalam perundang-undangan, namun ternyata tidak ada tindakan tegas terhadap pelanggar aturan tersebut, lantas apa gunanya aturan itu diadakan. Perlu tindakan nyata dari para pemangku kebijakan untuk lebih mendisiplinkan sasaran aturan. Dalam hal ini, perlu diadakan pembinaan yang serius bagi pelaku usaha sebagai salah satu sasaran pembinaan seperti yang diuraikan Tasai dan Abdul (2002:53). Jika tidak maka hukum tinggallah hukum. Menilik akan diadakannya MEA, sesungguhnya arus global akan semakin deras menerpa para pelaku usaha, termasuk dalam menggunakan bahasa. Penggunaan bahasa asing seperti apa yang telah diuraikan di atas tentu akan menjadi semakin marak, mengingat data menunjukkan mental bangsa Indonesia yang seolah lebih bertindak mengikuti zaman seperti air yang mengalir, lebih bangga menggunakan bahasa Inggris, tanpa ada upaya meneguhkan diri pada jati diri bangsa. Padahal, ajang MEA adalah kesempatan emas untuk dapat mengeksiskan diri, termasuk memberikan peluang dalam berwirausaha. Penggunaan bahasa memang seolah menjadi daya tarik terhadap produk atau jasa yang ditawarkan meskipun pada nyatanya kemajuan usaha itu sendiri bergantung pada kualitas produk atau jasa yang ditawarkan. Penggunaan bahasa Indonesia dalam produk atau jasa bahkan dalam informasi laninnya seolah kurang bergengsi, tapi justru inilah kesempatan emas yang dapat digunakan agar dapat menjadi daya tarik tersendiri, khususnya dalam pasar bebas. Penutup Tidak adanya sanksi terhadap pelanggaran hukum bahasa menyebabkan hukum itu sendiri menjadi lemah. Masyarakat bahasa sebagai pengguna bahasa cenderung mengabaikan aturan-aturan yang telah ditetapkan. Keadaan ini ditengarai karena lemahnya sikap bahasa yang dimiliki para pengguna bahasa Indonesia, baik dari masalah kesetiaan, kebanggan, maupun kesadaran. Hasil penelusuran mengenai penerapan payung hukum yang masih lemah ini 180
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
dibuktikan dengan banyaknya ketidaksesuaian penggunaan bahasa dalam nama usaha, papan infromasi dan fasililitas umum dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Lemahnya hukum dan kurangnya sikap positif berbahasa juga pada akhirnya menyebabkan penerapan hukum menjadi lemah. Keadaan ini dibuktikan dengan hasil penelusuran melalui wawancara bahwa masyarakat tidak menggunakan bahasa sesuai dengan aturannya karena mereka tidak mengetahui aturan itu sendiri. Untuk menanggulangi keadaan yang telah diuraikan, pembinaan dan pengembangan bahasa hendaknya lebih digencarkan. Jika tidak, maka gempuran masyarakat bahasa asing tidak akan dapat dilawan lagi. Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan eksistensi bahasa Indonesia di negaranya sendiri akan semakin lemah.
Daftar Pustaka Amri, I. S. (2015). “Mea Peluang Bersyarat”. Masyarakat ASEAN, Sebelumnya: Buletin komunitas ASEAN edisi 7/Maret 2015. Jakarta: Kemenlu RI. Tersedia: http://www.kemlu.go.id/Majalah/ASEAN%207%202015.pdf. [diakses 17 November 2015]. Chaer, A. 2013. Pembinaan Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Junaidi. 2015. Tantangan Masyarakat Ekonomi Asean: Bahasa sebagai Identitas atau Komoditas. Tersedia http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/sites/default/files/Kertas%20Kerja%2 0Universitas.pdf [diakses tanggal 17 November 2015]. Nugrahani, F. 2014. Menurunnya Kebanggaan Masyarakat terhadap Bahasa Indonesia sebagai Jatidiri Bangsa (Tinjauan tentang Penggunaan Nama Hotel dan Restoran di Solo Raya). Tersedia di http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/sites/default/files/Kumpulan%20Mak alah%20KBI%20X_subtema%203_0.pdf [diakses tanggal 17 November 2015]. Sukmadinata, N.. S. (2007). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Tasai, A. dan Abdul R. Z. 2002. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia. Jakarta: Universitas Terbuka. UU RI Nomor 24 Tahun 2014 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan
181
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
PENTINGNYA BAHASA INDONESIA BAGI PEKERJA ASING DI INDONESIA 1
Drs. Endut Ahadiat, M.Hum.1 dan Elita Sumita, S.Pd.2 Dosen Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Bung Hatta
[email protected] 2 Guru Bidang Studi Bahasa Inggris di SMPN 11 Padang
[email protected] Abstrak
Seiring dengan kemajuan yang telah dicapai oleh bangsa Indonesia di tengah era global sekarang ini, peran Indonesia dalam pergaulan antarbangsa juga telah menempatkan bahasa Indonesia sebagai salah satu bahasa yang dipandang penting di dunia. Hal itu juga ditunjang oleh posisi Indonesia dalam percaturan dunia yang semakin hari semakin penting, terutama melalui peranannya, baik dalam turut serta menyelesaikan konflikkonflik politik di berbagai kawasan maupun karena posisi geografis Indonesia yang terletak dalam lintas laut yang sangat strategis. Kenyataan seperti itu telah menyebabkan banyak orang asing yang tertarik dan berminat untuk mempelajari bahasa Indonesia sebagai alat untuk mencapai berbagai tujuan, baik tujuan politik, perdagangan, senibudaya, maupun wisata.Terkait dengan hal tersebut, bahasa Indonesia hingga saat ini telah diajarkan kepada orang asing di berbagai lembaga, baik di dalam maupun di luar negeri. Di dalam negeri saat ini tercatat ada 50-an lembaga yang telah mengajarkan bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA), baik di perguruan tinggi maupun di lembaga-lembaga kursus. Sementara itu, di luar negeri, Pengajaran BIPA telah dilakukan oleh sekitar 77 negara di dunia dengan jumlah lembaga lebih kurang dari 174 tempat, yang terdiri atas perguruan tinggi, pusat-pusat kebudayaan asing, KBRI, dan lembagalembaga kursus. Kata kunci: Bahasa Indonesia, Pekerja Asing
Pendahuluan Sejak diikrarkan sebagai bahasa Nasional pada Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, dan ditetapkan sebagai bahasa negara dalam Pasal 36 UUD 1945, bahasa Indonesia hingga saat ini telah mengalami perkembangan sangat pesat. Seiring kemajuan yang dicapai oleh bangsa Indonesia di era global saat ini, peran Indonesia dalam pergaulan antarbangsa juga telah menempatkan bahasa Indonesia sebagai salah satu bahasa yang dipandang penting di dunia. Bahasa merupakan salah satu hal yang tidak akan pernah terlepaskan dalam hubungan antarbangsa. Sebagai salah satu bangsa yang ikut berperan dalam komunikasi antarbangsa, Indonesia juga memiliki bahasa tersendiri yang sudah dikenal bangsa lain. Bahasa Indonesia menjadi identitas bangsa Indonesia yang mampu bertahan hingga saat ini. Umumnya, pengajaran bahasa Indonesia di dalam negeri terkesan membosankan. Sebagian besar pelajar beranggapan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa mereka sehari-hari sehingga mereka cenderung meremehkannya dan merasa tidak perlu untuk mempelajarinya lagi di sekolah. Anggapan para pelajar tersebut bahwa bahasa Indonesia itu mudah tidaklah sepenuhnya benar. Kita akan terkejut bila melihat hasil ujian nasional para pelajar di seluruh 182
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Indonesia yang membuktikan bahwa hasil ujian bahasa Indonesia sebagai salah satu mata pelajaran yang diujikan tidak lebih baik dari bahasa asing yaitu bahasa Inggris, yang sama-sama diujikan. Berbeda dengan di Indonesia, pengajaran bahasa Indonesia di luar negeri justru menjadi hal yang menarik dan disambut dengan baik. Setidaknya ada 50-an negara asing yang telah membuka program bahasa Indonesia (Indonesian Language Studies). Pengajaran bahasa Indonesia tersebut dilakukan di berbagai lembaga. Lembaga-lembaga tersebut umumnya berupa tempat kursus, universitas, sekolah, dan sekolah Indonesia di luar negeri. Bahkan, perkembangan ini semakin meningkat setelah terbentuk Badan Asosiasi Kelompok Bahasa Indonesia Penutur Asing di Bandug tahun 1999. Bahasa Indonesia menjadi bahasa populer ke-4 di Australia. Di sana ada sekitar 500 sekolah yang mengajarkan bahasa Indonesia, bahkan menjadikannya sebagai salah satu bahasa yang wajib dipelajari di tingkat sekolah dasar. Oleh karena itu, kita tidak perlu heran jika mendapati seorang anak SD di Australia yang dapat berbicara bahasa Indonesia dengan fasih. Selain itu, ada beberapa universitas di sana yang membuka jurusan bahasa atau sastra Indonesia. Namun, perkembangan bahasa Indonesia di negara ini sempat tersendat ketika pemerintah negara setempat memberikan travel warning akibat teror bom yang terjadi di Bali. Hal ini menurunkan minat para siswa di sana untuk belajar bahasa Indonesia karena larangan berkunjung membuat mereka tidak dapat langsung praktek lapangan di Indonesia. Selain di Australia, bahasa Indonesia juga menjadi bahasa yang memiliki posisi penting di Vietnam, khususnya di Kota Ho Chi Minh, ibukota Vietnam. Menurut seorang diplomat Indonesia, Pemerintah Kota Ho Chi Minh secara resmi mengumumkan bahasa Indonesia menjadi bahasa kedua di Kota Ho Chi Minh pada bulan Desember 2007. Selain itu, menurut Konsul Jenderal Republik Indonesia periode 2007-2008, Irdamis Ahmad, bahasa Indonesia sejajar dengan bahasa Inggris, Perancis, dan Jepang sebagai bahasa kedua yang diutamakan di Kota Ho Chi Minh. Pada 2009 lalu, bahasa Indonesia secara resmi ditempatkan sebagai bahasa asing kedua oleh pemerintah daerah Ho Chi Minh City, Vietnam. Kemudian, berdasarkan data Kementerian Luar Negeri pada 2012, bahasa Indonesia memiliki penutur asli terbesar kelima di dunia, yaitu sebanyak 4.463.950 orang yang tersebar di luar negeri. Bahkan, Ketua DPR RI (Dr. Marzuki Ali – saat itu) dalam sidang ASEAN Inter-Parliamentary Assembly (AIPA) ke-32 pada 2011 mengusulkan bahasa Indonesia sebagai salah satu bahasa kerja (working language) dalam sidang-sidang AIPA. Fakta-fakta tersebut mendukung usaha peningkatan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional yang sedang digalang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) melalui Program BIPA (Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing). BIPA adalah
183
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
program pembelajaran keterampilan berbahasa Indonesia (mendengarkan berbicara, , membaca, dan menulis) bagi penutur asing. Antusiasme warga negara lain, terutama mahasiswa asing, terhadap bahasa Indonesia sangat tinggi. Orang asing yang belajar bahasa Indonesia karena bahasa Indonesia merupakan jurusan yang paling favorit. Hal ini, berkat adanya Program Darmasiswa Republik Indonesia (DRI). Program DRI adalah program beasiswa bagi mahasiswa asing yang negaranya memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia, untuk belajar di Indonesia. BIPA dipelajari oleh semua mahasiswa Darmasiswa RI yang belajar di 46 hingga 59 universitas di Indonesia. Tiap tahun ada sekitar 700 mahasiswa asing dari sekitar 77 negara yang belajar seni, budaya, dan bahasa Indonesia juga bidang-bidang lain seperti tourism dan hospitality.
1. Pengajaran BIPA di Luar Negeri Bahasa Indonesia juga menjadi salah satu mata kuliah yang diajarkan di universitasuniversitas di Vietnam seperti Universitas Hong Bang, Universitas Nasional HCMC, dan Universitas Sosial dan Humaniora. Jumlah peminat studi bahasa Indonesia di universitasuniversitas tersebut cenderung meningkat. Di Korea Selatan, negara yang kini menjadi pusat perhatian para remaja di Indonesia dan seluruh dunia karena budaya K-Pop dan serial dramanya, minat warganya terhadap bahasa Indonesia juga menjadi bukti bahwa bahasa ini telah diterima di sana. Setiap tahun, pihak KBRI Seoul Korea Selatan menyelenggarakan lomba pidato menggunakan bahasa Indonesia khusus bagi masyarakat Korea Selatan. Antusiasme mereka untuk mengikuti lomba tersebut cukup tinggi. Studi bahasa Indonesia juga diselenggarakan di negara tetangga Korea Selatan, yaitu Jepang. Di sana ada lebih dari 20 perguruan tinggi yang mengajarkan Bahasa Indonesia sebagai mata kuliah pilihan. Di samping itu, ada pula universitas yang membuka jurusan bahasa Indonesia seperti Universitas Kajian Asing Tokyo, Universitas Tenri, Universitas Kajian Asing Osaka, Universitas Sango Kyoto, dan Universitas Setsunan. Bahasa Indonesia tidak hanya dikenal di negara-negara Asia dan Australia saja, di Afrika pun bahasa Indonesia cukup dikenal. Hubungan Indonesia dengan negara-negara Afrika memang telah terjalin sejak lama, yaitu sejak terselenggaranya Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955. Seperti yang kita tahu, peristiwa tersebut telah mendorong negara-negara yang masih dijajah pada saat itu, khususnya di Afrika, untuk berusaha mencapai kemerdekaannya. Jadi, tidak heran jika hubungan antara Indonesia dengan negara-negara tersebut berjalan dengan baik dalam segala bidang termasuk budaya dan bahasa. Di Mesir misalnya, banyak penduduk setempat yang mengenal bahasa Indonesia dan mampu mengucapkannya hanya karena mereka terbiasa bergaul dengan mahasiswa Indonesia 184
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
yang kuliah di Al-Azhar. Minat masyarakat Mesir untuk belajar bahasa Indonesia juga cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari jumlah peserta kursus bahasa Indonesia yang diselenggarakan pihak KBRI Kairo. Peserta kursus ini terdiri dari berbagai kalangan, seperti praktisi wisata, pelaku ekonomi dan yang paling banyak adalah kalangan mahasiswa. Di Maroko, pengajaran bahasa Indonesia telah diresmikan, yaitu di Universitas Mohammed V. Di universitas tersebut, Bahasa Indonesia menjadi salah satu mata kuliah pilihan dengan 4 SKS di samping bahasa lainnya seperti bahasa China, Jepang, Korea, Urdu, dan Turki. Pengajaran bahasa Indonesia di Universitas Mohammed V Maroko merupakan salah satu upaya peningkatan hubungan bilateral kedua negara tersebut, khususnya di bidang pendidikan. Di antara kelompok yang secara tidak langsung turut membantu penyebaran bahasa Indonesia adalah para pelajar atau mahasiswa yang belajar di luar negeri. Selain itu, para pekerja dan seniman Indonesia yang berkiprah di sana juga memiliki peranan yang sama dalam hal tersebut. Para musisi asal Indonesia yang mengadakan konser di luar negeri dengan membawakan lagu-lagu mereka dalam bahasa Indonesia mampu membangkitkan rasa ingin tahu bagi masyarakat lokal untuk mengetahui artinya sehingga mereka tertarik untuk mempelajari bahasa Indonesia. Contohnya, Anggun Cipta Sasmi, salah satu penyanyi Indonesia yang telah mendunia. Meski telah menjadi warga negara Perancis, tidak jarang ia membawakan lagu-lagu ciptaannya yang berbahasa Indonesia dalam setiap penampilannya di negara-negara Eropa dan Amerika. Perkembangan Bahasa Indonesia di beberapa negara di dunia merupakan peluang yang besar bagi bahasa ini untuk menjadi bahasa internasional. Usaha untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional harus diawali dari bangsa Indonesia sendiri dengan mencintai bahasanya. Namun kenyataannya, saat ini masyarakat Indonesia lebih terbiasa menggunakan bahasa Indonesia yang kurang baik, seperti bahasa prokem, bahasa plesetan, dan bahasa jenis lain yang tidak mendukung perkembangan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Di samping itu, mereka juga biasanya lebih bangga menggunakan bahasa asing seperti Bahasa Inggris daripada Bahasa Indonesia. Oleh karena itu, sebagai bangsa Indonesia, kita harus menjaga identitas bangsa kita, yaitu bahasa Indonesia. Salah satu langkah untuk melestarikan bahasa Indonesia adalah mengutamakan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kita tidak perlu malu untuk menggunakan bahasa Indonesia, karena saat ini bahasa Indonesia telah mendapat perhatian khusus di tengah bangsa lain. Hal ini membuktikan bahwa bahasa Indonesia tetap mampu untuk menunjukkan eksistensinya di era globalisasi ini.
2.
Bahan Ajar BIPA Harus Praktis (Model Tutorial) Pembelajaran BIPA model tutorial pada dasarnya merupakan pembelajaran BIPA yang memiliki
karakteristik
tersendiri.
Namun,
bagaimanapun
spesifikasinya
perwujudan 185
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
pembelajaran tersebut juga tidak dapat lepas dari hal-hal esensial yang selayaknya ada dalam pembelajaran BIPA pada umumnya. Hal esensial yang dimaksud antara lain menyangkut komponen, prinsip, dan kaidah mendasar pembelajaran BIPA. Karena itu, untuk kepentingan pembahasan pembelajaran BIPA model tutorial sangat diperlukan pemahaman yang cukup tentang hal esensial tersebut. Lebih lanjut, pemahaman ini dapat dimanfaatkan untuk melihat dan mendudukkan secara tepat perspektif model tutorial tersebut dari berbagai segi, terutama dari segi kelayakan penerapannya (Widodo, 2001). Pembelajaran BIPA dapat disikapi sebagai sebuah sistem yang terdiri atas sejumlah komponen pendukung, yaitu komponen instruksional dan non-instruksional. Hubungan dan interaksi fungsional antarkomponen tersebut akan menciptakan proses belajar mengajar dan hasil belajar (Winkel, 1987). Dalam pembelajaran BIPA keberadaan dan peran pembelajar merupakan komponen yang menonjol. Dapat dikatakan, komponen pembelajar ini pulalah yang membedakan secara signifikan antara pembelajaran BIPA dengan pembelajaran bahasa Indonesia yang lain. Sosok pembelajar BIPA sebagai penutur asing bahasa Indonesia memiliki karakteristik tertentu, terutama tampak pada (1) ciri personal, (2) latar belakang asal, (3) bidang, (4) pengetahuan/kemampuan, (5) minat, (6) tujuan belajar, (7) strategi belajar, dan (8) waktu belajar. Keberadaan dan kondisi pembelajar tersebut berimplikasi pada peranan serta hubungannya dengan komponen instruksional lain dalam perwujudan pembelajaran BIPA. Lebih lanjut, karakteristikpembelajar juga menjadi bahan yang harus dipertimbangkan sebagai variabel yang berpengaruh dan ikut menentukan dalam pembelajaran BIPA. Pembelajaran
BIPA
memiliki
target
tertentu,
yaitu
membentuk
pembelajar
berkemampuan berbahasa secara wajar. Dalam pengertian yang lebih luas, kewajaran ini terkait dengan hal-hal lain, termasuk di dalamnya budaya yang senantiasa melekat dalam substansi bahasa. Karena itu, di samping persoalan karakteristik personal pembelajar, persoalan budaya juga ikut terlibat dalam penciptaan pembelajaran BIPA. Terlebih lagi, jika pembelajaran BIPA diselenggarakan di Indonesia, maka pertimbangan dari segi sosiokultural menjadi semakin penting. Dikatakan demikian, karena pertimbangan tersebut sekaligus akan menjadi wahana dan kebutuhan pembelajar dalam berkomunikasi secara langsung dan faktual. Widodo (2001), mengharapkan bahwa Pembelajaran BIPA sebagai sebuah program, tentu memiliki pijakan yang jelas sebagaimana tampak pada prinsip dasar pembelajaran pada umumnya. Demikian pula, sebagai bentuk pembelajaranbahasa sudah semestinya juga mendasarkan pada kaidah konseptual pembelajaran bahasaasing yang menjadi landasan pendekatannya. Kaidah konseptual yang dimaksud terutama bersumber pada teori bahasa dan teori pembelajaran bahasa. Secara aspektual, spesifikasi pembelajaran BIPA antara lain tampak pada (1) tujuan pembelajaran, (2) sasaran pembelajaran, (3) tatanan materi, (4) pemilihan metode, (5) pemanfaatan sumber/media, (6) kegiatan pembelajaran, (7) evaluasi pembelajaran, dan (8) problematik pembelajarannya. Mengingat perwujudan aspek-aspek pembelajaran 186
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
tersebut merupakan hal yang cukup kompleks, maka diperlukan landasan konseptual pembelajaran BIPA yang jelas. Tanpa kejelasan acuan sangat dimungkinkan arah pembelajaran BIPA menjadi bias dan berpengaruh negatif pada produktivitasnya. Dijelaskan lebih jauh, bahwa gambaran tentang pembelajaran BIPA sebagaimana dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa pembelajaran BIPA merupakan perihal yang kompleks. Kekomplekannya tidak hanya tampak pada komponen instruksionalnya saja, melainkan juga pada keterkaitannya dengan faktor lain dalam perwujudan pembelajaran BIPA. Untuk mewujudkan pembelajaran BIPA yang memadai tentunya perlu mempertimbangkan halhal tersebut secara seksama dan menyeluruh. Ditinjau dari segi pola organisasi dan pengelolaan, pembelajaran BIPA hendaknya (1) mampu menumbuh-kembangkan motivasi belajar, serta (2) mampu memberikan kemudahan bagi pembelajar dalam menguasai bahasa Indonesia secara wajar. Sasaran tersebut harus dipetakan dan diwujudkan dalam sebuah bentuk atau model pembelajaran BIPA yang spesifik dan jelas. Dilihat dari segi kegiatannya pada dasarnya pembelajaran BIPA merupakan suatu proses pemolaan perilaku belajar yang mengarah pada pembangkitan dan pengkondisian motivasi pembelajar dalam berbahasa Indonesia. Hal esensial yang perlu mendapatkan prioritas dan perhatian khusus adalah bagaimana mengembangkan pembelajaran sedemikian rupa, sehingga dapat mengkondisikan dan memberikan kemudahan kepada pembelajar untuk mau dan mampu berbahasa Indonesia secara wajar (Nunan, 1993).
3. Bahasa Indonesia bagi Pekerja Asing Menjelang realisasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada akhir tahun 2015, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mempersiapkan masyarakat berbagai kalangan baik akademisi maupun pelaku bisnis. MEA merupakan komitmen ASEAN untuk membangun dan mencapai kemakmuran bersama dengan slogan One Vision, One Identity, One Commitment. Kondisi ini akan mendorong terbentuknya pasar tunggal dimana negara anggota ASEAN lebih mudah dalam melakukan pertukaran arus barang dan jasa, termasuk tenaga kerja professional seperti dokter, perawat, guru, pengacara, dsb. MEA menciptakan peluang dan tantangan bagi masyarakat Indonesia, karena bahasa resmi MEA adalah bahasa Inggris yang notabenenya merupakan bahasa asing bagi kita. Namun, jika dilihat dari jumlah penduduk dan luas wilayah, Bahasa Indonesia mempunyai peluang untuk menjadi bahasa kedua untuk MEA. Oleh karena itu, sebagai langkah nyata untuk memperkuat posisi Bahasa Indonesia menyambut MEA, maka Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) perlu mengadakan Pelatihan Pembelajar Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA). Pelatihan ini melibatkan dosen dan mahasiswa seluruh Indonesia yang mengikuti program pertukaran pelajar maupun program internasional ke luar negeri khususnya Jepang dan Korea sebagai Negara yang sedang “digandrungi” kaum muda 187
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Indonesia.
Kemampuan
untuk
mengajarkan
BIPA,
ini
menjadi
momentum
untuk
mempromosikan Bahasa Indonesia dan ikut menjunjung harga diri bangsa dan meningkatkan rasa nasionalisme. Program BIPA ini menjadi suatu langkah yang baik untuk mengakomodasi tuntutan pembelajaran Bahasa Indonesia. Sudah saatnya orang asing yang bekerja di Indonesia, belajar bahasa kita juga. Perlu diketahui bahwa pemerintah Indonesia akan menetapkan kebijakan untuk memberikan perlindungan terhadap pasar tenaga kerja Indonesia dengan diwajibkannya warga negara ASEAN yang akan bekerja di Indonesia untuk mempelajari dan menguasai kemampuan berbahasa Indonesia. Kemampuan ini harus dibuktikan dengan sertifikat hasil Ujian Kemampuan Berbahasa Indonesia (UKBI). UKBI bisa diikuti oleh penutur asing dan warga negara Indonesia. Kemdikbud telah menggolongkan kemampuan berbahasa Indonesia ke dalam tujuh peringkat. Peringkat dari yang paling atas ke bawah adalah peringkat Istimewa, Sangat Unggul, Unggul, Madya, Semenjana, Marginal, dan Terbatas. Tenaga kerja asing ASEAN harus mampu menunjukkan kemampuan berbahasa Indonesia pada tingkat semenjana. Kegiatan BIPA ini sebaiknya tidak hanya untuk diselenggarakan di perguruan tinggi saja, tetapi hendak diperluas dengan membawa serta pada seniman dan budayawan yang biasa menampilkan atau mementaskan hasil karyanya ke luar negeri atau sebaliknya, sanggar-sanggar mereka yang sering di datangi oleh turis asing yang ingin belajar, baik lewat kesenian maupun budaya Indonesia. Tentunya, orang asing atau turis harus mampu berbahasa Indonesia, bila perlu bahasa daerah sebagai bahasa ibu yang masih digunakan oleh penuturnya. Pembelajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing memang bukan sesuatu yang baru. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya program pembelajaran BIPA, baik yang diselenggarakan di Indonesia maupun di negara lain. Namun, perlu disadari, bahwa secara objektif, pembelajaran BIPA di Indonesia berbeda dengan di negara lain, perbedaan ini terutama tampak pada aspek instrumental eksternal. Beberapa aspek instrumental eksternal yang dimaksud, antara lain adalah (1) banyaknya ragam bahasa Indonesia, (2) beragamnya penutur bahasa Indonesia, baik dilihat dari matra etnografis, geografis, maupun sosial, dan (3) kondisi bahasa Indonesia yang masih dalam proses pertumbuhan dan perkembangan (Alwasilah, 1996). Dalam beberapa hal, kondisi bahasa Indonesia sebagaimana dikemukakan di atas dapat dianggap dan dimanfaatkan bagi kepentingan pengayaan wawasan pembelajar. Namun, jika kondisi tersebut tidak dipertimbangkan dan diantisipasi secara seksama, maka akan menjadi hambatan yang amat berarti bagi pembelajar dalam mempelajari bahasa Indonesia. Selaras dengan keterangan tersebut, pembelajaran BIPA yang diselenggarakan di Indonesia memiliki spesifikasi yang tampak pada aspek instrumental eksternal. Aspek inilah yang mewarnai iklim berbahasa masyarakat Indonesia, dan aspek ini juga perlu diperhitungkan sebagai variabel dalam pembelajaran BIPA. Pembelajar Asing yang sedang belajar bahasa 188
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Indonesia mau tidak mau harus menghadapi fakta lingkungan berbahasa yang demikian beragam. Kekhususannya yang terkait dengan ragam daerah (dialek), sosiolek, dan situasi tuturan seperti alih kode dan diglosia menjadi fakta yang tidak dapat dihindari dalam komunikasi faktual di masyarakat. Di samping itu, patut disadari, bahwa secara objektif pengalaman yang diterima dan atau diperoleh pembelajar di dalam kelas tidak seluruhnya dapat berkorespondensi secara langsung dengan fakta empiris bahasa yang terdapat di masyarakat. Bahkan, tidak jarang pembelajar asing menjumpai banyak fenomena penggunaan bahasa di masyarakat yang dirasakan berbeda dengan apa yang dipelajari di dalam kelas (Kartomihardjo, 1996). Fenomena ini pasti dijumpai oleh setiap pembelajar BIPA yang sering disikapi sebagai problematik tersendiri dalam pembelajaran BIPA. ***
Daftar Pustaka Alwasilah, Chaedar A. 1998. “Pengajaran Bahasa Indonesia untuk Pembelajar Asing”. Makalah Kongres Bahasa Indonesia VII. Jakarta, 26-30 Oktober 1998. Kartomihardjo, Soeseno. 1996. Penyelenggaraan BIPA: Beberapa Hambatan dan Usaha Penanggulangannya. Kumpulan Makalah Kongres Internasional BIPA. Jakarta: Listakwarta Putra. Nunan, David. 1993. Designing Tasks for Communicative Classroom. Cambridge: Cambridge University Press. Stern, H.H. 1983. Fundamental Concepts of Language Teaching. Oxford: Oxford University Press. Widodo Hs. 1994. “Meningkatkan Motivasi dan Pajanan Pembelajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing”. Makalah KIPBIPA I (TISOL). Salatiga: UKSW. ________ . 2001. “(BIPA) Pembelajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing Model Tutorial” CIS – BIPA UM Malang. Winkel, W.S. 1987. Psikologi Pengajaran. Jakarta: Gramedia.
189
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
PENGARUH METODE SUGESTOPEDIA DAN MOTIVASI BELAJAR TERHADAP KEMAMPUAN MENULIS CERPEN SISWA KELAS X SMA NEGERI 1 SALIMPAUNG KECAMATAN SALIMPAUNG KABUPATEN TANAH DATAR
Engla Tivana STKIP Siliwangi Bandung
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh metode sugestopedia dan motivasi belajar tinggi dan rendah terhadap kemampuan menulis cerpen siswa kelas X SMA Negeri 1 Salimpaung. Populasi penelitian ini adalah siswa kelas X SMA Negeri 1 Salimpaung. Pengambilan sampel berjumlah 40 siswa dilakukan dengan cara purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan melalui angket dan tes. Angket digunakan untuk melihat motivasi belajar siswa, dan tes unjuk kerja dilakukan untuk mengetahui kemampuan menulis cerpen siswa. Analisis dan pembahasan data dilakukan secara deskriptif-analisis sesuai dengan konsep penelitian eksperimen. Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan empat hal sebagai berikut. Pertama, kemampuan menulis cerpen siswa yang diajar dengan menggunakan metode sugestopedia lebih baik daripada siswa yang diajar dengan metode konvensional. Kedua, kemampuan menulis cerpen siswa yang memiliki motivasi tinggi yang diajar dengan menggunakan metode sugestopedia lebih baik daripada yang diajar dengan metode konvensional. Ketiga, kemampuan menulis cerpen siswa yang memiliki motivasi rendah yang diajar dengan menggunakan metode sugestopedia lebih baik daripada yang diajar dengan metode konvensional. Keempat, tidak terdapat interaksi antara motivasi belajar dengan metode pembelajaran dalam mempengaruhi kemampuan menulis cerpen siswa. Kata kunci: metode sugestopedia, motivasi belajar, kemampuan menulis cerpen Pendahuluan Pembelajaran bahasa bertujuan agar seseorang dapat terampil berbahasa. Salah satu keterampilan berbahasa adalah keterampilan menulis. Keterampilan menulis pada dasarnya mengarahkan siswa mampu secara aktif menyampaikan dan mengekspresikan berbagai pendapat, ide, gagasan, atau perasaan untuk berbagai tujuan secara runtun dan sistematik. Dengan keterampilan menulis, seseorang akan dimudahkan untuk mengkomunikasikan gagasan, ide, pikiran, dan pengalamannya dalam berbagai bentuk tulisan termasuk dalam bentuk sastra ataupun karya sastra. Kegiatan menulis bertujuan untuk menyajikan imajinasi dan intuisi penulisan cerpen. Materi menulis cerpen yang ada pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada jenjang SMA kelas X semester 2 pada Standar Kompetensi 16, yaitu mengungkapkan pengalaman diri sendiri dan orang lain ke dalam cerpen. Pada Kompetensi Dasar 16.1 menulis karangan berdasarkan Kehidupan diri sendiri dalam cerpen (pelaku, peristiwa, latar).
190
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Berdasarkan hasil wawancara yang penulis lakukan dengan guru bahasa Indonesia secara nonformal pada tanggal 19 Juni 2013 yaitu Ibu Dra. Zetmi Roziva dapat disimpulkan bahwa hasil belajar menulis cerpen masih berada di bawah Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM). KKM sekolah yaitu 70.Berdasarkan observasi yang peneliti lakukan di SMA Negeri 1 Salimpaung, ditemukan bahwa penyebab permasalahan kemampuan menulis cerpen disebabkan rendah-nya motivasi siswa dalam menulis. Hal itu dapat dicermati dari cara siswa mengerjakan tugas-tugas menulis yaitu menulis cerpen, siswa tidak memperhatikan dengan baik apa yang disampaikan guru. Keadaan ini tentu saja tidak terlepas dari pengaruh lingkungan dan pengalaman belajar menulis siswa di sekolah seperti wawasan dan pengalaman siswa dalam menulis. Selain itu, siswa sulit untuk menyusun kalimat demi kalimat sehingga menjadi sebuah paragraf yang padu. Kenyataan ini dibuktikan dengan fenomena beberapa menit pertama hanya sekitar tiga sampai lima orang siswa yang memulai menulis cerpen. Selain itu, beberapa siswa tersebut, ada yang mencoret-coret buku tulisnya, dan menoleh ke arah temannya untuk mendapatkan bantuan. Ada siswa yang kesulitan dalam mengisahkan suatu kejadian dalam rangkaian paragraf sehingga membentuk alur cerita yang tidak menarik. Siswa sulit menemukan ide-ide, gagasan, perasaan, dan pikir-an tentang apa yang akan ditulisnya. Hal itu disebabkan oleh kurangnya siswa dalam membaca. siswa dalam menulis masih banyak kesalahan EYD, pemakaian konjungsi, dan kalimat serta pemilihan diksi yang tepat dalam menulis cerpen. Kesalahan Menulis cerpen pernah diteliti oleh dosen Universiti Putra Malaysia dengan judul Keberkesanan Cerpen dalam Mempertingkat Prestasi Penulisan Karangan Bahasa Melayu dalam Kalangan Murid. Penelitian ini dilakukan karena guru perlu memlih bahan pengajaran dalam mengajar sastra khususnya cerpen. Pemilihan bahan sastra yang sesuai dengan siswa bertujuan untuk menanamkan minat untuk terus membaca. Dengan adanya motivasi yang tinggi dalam diri siswa secara tidak langsung akan menanamkan bakat untuk berkarya, yaitu menulis cerpen. Selanjutnya, membaca dapat meningkatkan penguasaan kosakata siswa. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Atmazaki (2006: 5) yang menyatakan bahwa orang yang suka mengarang mampu duduk di muka komputer berjam-jam sambil menikmati lontaran-lontaran idenya kelayar komputer. Pengarang yang sukses adalah pembaca yang rakus, karena untuk dapat mengarang dengan baik diperlukan bacaan yang banyak. Pengarang adalah pembaca, sedangkan bacaan menentukan kualitas karangannya. Pengarang juga pendengar yang baik karena banyak informasi yang didapat dari pendengarnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Direktorat Jendral Pendidikan Islam Prof. Dr. Deddy Mulyana MA, pada tahun 2012, diketahui bahwa minat baca masyarakat Indonesia tergolong rendah. Hal ini terbukti dari jumlah buku yang diterbitkan di Indonesia hanya mencapai 2500 judul tiap tahun. Negara Amerika Serikat, Jepang, dan Inggris merupakan 191
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
negara yang lebih besar mengeluarkan judul buku tiap tahun, tidak hanya ribuan bahkan ratusan ribu judul buku. Hal ini disebabkan oleh bangsa kita adalah bangsa yang berbudaya lisan, yang kurang tertarik pada kegiatan membaca dan menulis. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, maka perlu diadakan pembaharuan metode dalam pembelajaran menulis cerpen. Metode ceramah yang digunakan guru dalam pembelajaran menulis cerpen sangat monoton. Pembelajaran menulis cerpen sering kali diberikan kepada siswa dalam bentuk teori saja. Siswa jarang diberikan pengalaman mengapresiasikan dan menciptakan karya sastra secara langsung. Guru hanya mengadopsi cerpen yang terdapat dalam bahan ajar. Sementara siswa hanya diminta untuk menjawab pertanyaan atau soal-soal yang sudah disiapkan. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan pembelajaran cerpen yang berkualitas, guru harus memperhatikan konsep pembelajaran cerpen, dengan memperhatikan ketersediaan sarana dan prasarana, waktu yang cukup, serta melibatkan seluruh siswa dalam kegiatan menulis cerpen. Dalam meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis cerpen, guru dituntut untuk lebih kreatif. Baik kreatif dalam memilih metode pembelajaran maupun model pembelajaran. Metode yang dapat menjadikan pembelajaran lebih menarik sehingga siswa tidak merasa bosan dan siswa lebih jelas dalam menerima materi pembelajaran, serta memungkinkan siswa menguasai tujuan pembelajaran yang lebih baik. Oleh karena itu, pengoptimalisasian metode dalam pembelajaran menulis yang dilakukan oleh guru sangatlah diperlukan. Dalam penelitian ini penulis
menerapkan
metode
sugestopedia
sebagai
alternatif
untuk
mengoptimalkan
pembelajaran me-nulis bagi siswa sekolah menengah atas khususnya kelas X. Metode sugestopedia ini pernah dieksperimenkan oleh dosen bahasa dan sastra Indonesia dan guru mata pelajaran bahasa Indonesia di SMP 1 Palembang dengan judul “Penggunaan Media Sugestopedia dapat Meningkatkan Kemampuan Siswa Menulis Cerpen”. Dari beberapa penelitian yang dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa metode sugestopedia dapat digunakan dalam rangka meningkatkan kemampuan menulis cerpen bagi siswa kelas Sekolah Menengah Pertama di Palembang. Tarigan (2009: 137) menyatakan bahwa metode sugestopedia merupakan teknik relaksasi dan konsentrasi yang dapat membantu para pembelajar mengelola sumber-sumber bawah sadar mereka dan menyimpan kosakata dan aturan kebahasaan yang pernah diajarkan kepada mereka. Metode ini dikembangkan oleh Lozanov (1978). Prinsip utama metode sugestopedia adalah sugesti yang dapat mempengaruhi hasil menulis siswa, baik secara positif maupun negatif. Beberapa teknik yang digunakan dalam memberikan sugesti positif adalah mendudukkan siswa secara nyaman, memasangkan musik latar di kelas saat pembelajaran menulis cerpen ber-langsung, meningkatkan partisipasi individu, dan menggunakan poster-poster sebagai media penyampaian informasi untuk memudahkan siswa untuk mengeluarkan kata-kata serta merangkai kalimat demi kalimat 192
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
menjadi sebuah paragraf yang padu. Karakteristik umum metode ini adalah atmosfer yang sugestif, seperti alunan musik, dekorasi ruangan yang menarik, tempat duduk yang menyenangkan yaitu. Hal ini sangat berperan penting dalam metode sugestopedia. Selain metode sugestopedia, untuk mengatasi kesulitan siswa dalam menulis, motivasi belajar eratkaitannya dengan kemampuan menulis cerpen. Hal ini harus diperhatikan oleh guru dalam proses pembelajaran. Motivasi sangat di-perlukan karena seseorang yang tidak mempunyai motivasi dalam menulis cerpen tidak akan mampu merangkai dan menyusun gagasan dalam sebuah paragraf yang padu. Motivasi belajar merupakan suatu kekuatan yang dimiliki oleh seseorang dalam melakukan kegiatan menulis. Seseorang akan berhasil dalam menulis, jika pada dirinya ada keinginan untuk menulis cerpen. Keinginan atau dorongan inilah yang disebut dengan motivasi belajar. Dari permasalahan yang telah dijelaskan di atas, maka motivasi belajar memberikan pengaruh pada kemampuan siswa dalam menulis cerpen. Untuk menjawat per-masalahan di atas, maka metode sugestopedia merupakan metode yang tepat digunakan dalam menulis cerpen. Hal ini dapat dilihat bahwa metode pembelajaran sugestopedia merupakan teknik yang digunakan untuk merangsang siswa dalam menulis cerpen. Menulis cerpen dibutuhkan konsentrasi untuk mengumpulkan kosa kata, aturan kebahasaan, serta cara siswa dalam merangkai kalimat. Untuk membangkitkan konsentrasi tersebut, maka metode sugestopedia tepat digunakan dalam pelajaran menulis cerpen. Selain itu, motivasi juga erat kaitannya dengan menulis cerpen siswa, tanpa adanya motivasi maka sebuah paragraf yang padu tidak akan tercipta. Jadi, berdasarkan fenomena serta uraian yang telah dipaparkan tersebut, dapat disimpul-kan bahwa penelitian ini penting untuk dilaksanakan. Berdasarkan uraian di atas, tujuan penelitian ini adalah men-jelaskan hal berikut. Pertama,
menjelaskan kemampuan menulis cerpen siswa dengan menggunakan metode
sugestopedia lebih baik daripada menggunakan metode konvensional siswa kelas X SMA Negeri 1 Salimpaung. Kedua, menjelaskan kemampuan menulis cerpen siswa yang memiliki motivasi tinggi dengan menggunakan metode sugestopedia lebih baik daripada menggunakan metode konvensional siswa kelas X SMA Negeri 1 Salimpaung. Ketiga, menjelaskan kemampuan menulis cerpen siswa yang memiliki motivasi rendah dengan menggunakan metode sugestopedia lebih baik daripada menggunakan metode konvensional siswa kelas X SMA Negeri 1 Salimpaung. Keempat, menjelaskan interaksi antara metode sugestopedia dengan motivasi belajar dalam mempengaruhi kemampuan menulis cerpen siswa kelas X SMA Negeri 1 Salimpaung. Metode Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan metode eksperimen desain factorial 2x2. Menurut Sugiyono (2006:86), quasy eksperiment digunakan 193
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
karena pada kenyataannya sulit mendapatkan kelompok kontrol yang dapat digunakan untuk penelitian (tidak variabel-variabel yang mempengaruhi pelaksanaan eksperimen), kelas eksperimen diberikan perlakuan dengan menggunakan metode sugestopedia sedangkan pada kelas kontrol menggunakan metode pembelajaran konvensional. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas X SMA Negeri 1 Salimpaung yang terdaftar tahun pelajaran 2013-2014 yang terdiri dari kelas X.1, X.2, X.3, dan X.4 yang berjumlah 82 orang. Sampel berasal dari populasi yang betul-betul homogen agar sampel representatif atau dapat mewakili populasi. Jadi, sebelum pemilihan sampel, dilakukan uji normalitas, homogenitas, dan uji kesamaan rata-rata terhadap populasi. Pengujian normalitas menggunakan uji Lilliefors, homogenitas menggunakan uji Barlett, sedangkan uji kesamaan rata-rata dilakukan dengan menggunakan rumus Anava satu arah. Pengujian menggunakan nilai ulangan harian siswa kelas X pada mata pelajaran bahasa Indonesia. Selanjutnya, pada kelompok kelas eksperimen dan kelas kontrol diberikan angket motivasi belajar. Hasil angket dianalisis sehingga diperoleh kelompok siswa yang mempunyai motivasi rendah dan siswa yang memiliki motivasi tinggi. Analisis dilakukan dengan cara mengurutkan skor perolehan angket motivasi belajar dari skor terendah sampai skor tertinggi. Untuk me-nentukan kelompok siswa yang memiliki motivasi rendah dan kelompok siswa yang memiliki motivasi tinggi sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Allen dan Yen (dalam Komaidi, 1994: 9) yang mengatakan bahwa responden yang berada pada 27% tingkat atas tergolong sebagai siswa yang memiliki motivasi tinggi, dan 27% tingkat paling bawah tergolong sebagai siswa yang memiliki motivasi rendah. Data penelitian ini adalah sebagai berikut, (1) skor hasil tes kemampuan menulis cerpen siswa dengan menggunakan metode sugestopedia dan konvensional, (2) skor hasil tes kemampuan menulis siswa yang memiliki motivasi tinggi dan motivasi rendah
dengan
menggunakan metode sugestopedia, (3) skor hasil tes kemampuan menulis siswa yang memiliki motivasi tinggi dan motivasi rendah dengan menggunakan metode konvensional. Instumen yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini terdiri dari dua instrumen, yaitu lembaran angket dan tes. Lembaran angket digunakan untuk mengetahui motivasi belajar siswa sedangkan tes digunakan untuk mengukur tingkat kemampuan siswa dalam menulis cerpen. Kisi-kisi tes kemampuan menulis cerpen berdasarkan pendapat Muhardi dan Hasanuddin (2006:31 – 48) sebagai berikut. (1) judul, (2) struktur cerpen (pendahuluan, pembukaan, penutup, (3) ketepatan alur peristiwa, (4) unsur-unsur dalam cerpen, (5) nasihat, (6) bahasa. Kisi-kisi angket motivasi belajar menurut sadirman (2008:85) adalah sebagai berikut, (1) tekun dalam belajar, (2) uletdalam belajar, (3) minat terhadap belajar, (4) kemandirian dalam belajar, (5) cepat bosan pada tugas rutin, (6) mem-pertahankan pendapat, (7) keyakinan terhadap suatu hal, (8) suka me-nemukan dan menyelesaikan masalah. 194
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Hasil Penelitian dan Pembahasan Berdasarkan hasil analisis data diperoleh temuan penelitian sebagai berikut. Pertama, ke-mampuan menulis cerpen siswa yang diajar dengan metode sugestopedia dan metode konvensional. Kedua, kemampuan menulis cerpen siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi yang diajar dengan metode sugestopedia dan metode konven-sional. Ketiga, kemampuan menulis cerpen siswa yang memiliki motivasi belajar rendah yang diajar dengan metode sugestopedia dan metode konvensional. Keempat, interaksi antara motivasi belajar dan metode sugestopedia dalam menulis cerpen 1. Kemampuan menulis cerpen siswa yang diajar dengan metode sugestopedia dan metode konvensional Hasil pengujian hipotesis pertama mengungkapkan bahwa secara keseluruhan kemampuan menulis cerpen kelompok siswa yang menggunakan metode sugestopedia lebih baik daripada kemampuan menulis cerpen siswa yang meng-gunakan metode konvensional. Penggunaan metode sugestopedia dapat membantu siswa membuka pikiran bawah sadar dan memproleh serta menguasai kuantitas kosakata yang lebih banyak dan struktur-struktur kalimat yang lebih mantap. Hal ini bisa didapatkan siswa melalui kegiatan mendengarkan musik dan mengenang kegiatan yang telah terjadi. Melalui proses ini siswa mendapatkan ide untuk menulis cerpen. Sesuai dengan pendapat Lozanov (dalam Tarigan, 2009:88), ciri utama dari pendekatan ini adalah penciptaan suasana pembelajaran yang “sugestif”, merangsang pikiran bawah sadar dengan menggunakan musik barok, tempat duduk yang nyaman dan teknik-teknik yang dramatis dilakukan guru untuk menyajikan materi bahasa. Hasil pengamatan ketika pembelajaran dengan menggunakan metode sugestopedia berlangsung memperlihatkan bahwa siswa menemukan ide untuk menulis cerpen. Hal ini disebabkan oleh kelas yang ditempati siswa ditata dengan menempatkan beberapa pot kembang dan menggunakan karpet untuk duduk. Di dinding kelas digantung contoh-contoh cerpen yang telah disusun dengan penataan yang menarik. Pembelajaran dengan metode sugestopedia melatih siswa untuk menguasai kosa kata lebih banyak serta mengajak siswa untuk merangkai kata-kata menjadi suatu kalimat yang menarik. Hal ini dapat meningkatkan kemampuan menulis cerpen siswa. Siswa yang diajar dengan metode sugestopedia mempunyai perencanaan yang jelas dalam menulis cerpen. Hal ini bisa diketahui berdasarkan hasil menulis cerpen siswa yang sesuai dengan kriteria-kriteria penilaian. Berbeda dengan metode pembelajaran sugestopedia, metode pembelajaran konvensional menempatkan siswa sebagai objek belajar yang berperan sebagai penerima informasi secara pasif. Pada umumnya, penyampaian pelajaran menggunakan metode ceramah, tanya jawab, dan penugasan. Guru selalu mendominasi kegiatan pembelajaran, sedangkan siswa lebih banyak 195
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
menerima dari guru. Hal ini sesuai dengan pendapat Djaafar (2001:3) yang menyatakan bahwa metode belajar konvensional merupakan metode yang berorientasi pada guru, dimana hampir seluruh kegiatan belajar mengajar dikendalikan penuh oleh guru. Tidak ada kesempatan bagi siswa untuk ikut memberikan kontribusi terhadap pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam proses pembelajaran. Pada model pembelajaran konvensional informasi dan penjelasan oleh guru dilakukan secara menyeluruh dan klasikal. Siswa dianggap memiliki kemampuan yang sama dengan mengabaikan perbedaan karakteristik siswa. Siswa yang diajar dengan metode pembelajaran konvensional cenderung tidak percaya diri, tidak punya motivasi belajar, hanya menunggu informasi dari guru dan tidak terbiasa bekerja keras, belajar mandiri dan menemukan sendiri pengetahuan. Hal ini dapat dilihat pada waktu penelitian berlangsung, siswa yang diajar dengan metode konvensional menunjukkan sikap pasif. Siswa mendengarkan penjelasan dari guru, mencatat pengertian cerpen, ciri-ciri cerpen, serta menjawab pertanyaan guru jika guru bertanya. Tidak punya inisiatif untuk melakukan komunikasi dengan sesama siswa untuk membahas hal-hal yang berhubungan dengan materi pelajaran yang sedang dipelajari. Kemudian mengerjakan latihan yang ditugaskan guru. Berdasarkan pengamatan, siswa yang diajar dengan metode konvensional bersifat pasif, tidak punya keinginan untuk mengembangkan motivasi belajar. Ilmu yang diperoleh hampir semuanya berasal dari guru, dari hafalan dan latihan-latihan. Guru menjadi penentu jalannya pembelajaran sehingga tidak ada kegiatan pembelajaran kalau tidak ada guru. Domisi guru dalam pembelajaran konvensional mengakibatkan siswa kurang berperan aktif dan lebih banyak menunggu sajian dari guru daripada me-nemukan sendiri pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dibutuhkan, karena pada pembelajaran konvensional siswa berperan sebagai objek belajar pasif yang kegiatannya mendengar uraian guru, belajar sesuai dengan kecepatan guru mengajar dan mengikuti tes atau ulangan mengenai bahan yang dipelajari (Nasution, 1995:209). Lembar jawaban kemampuan menulis cerpen pada kelas kontrol memperlihatkan bahwa siswa tidak mampu menciptakan judul yang singkat, diksi menarik dan menarik perhatian pembaca. Unsur-unsur serta alur belum tergambar dalam sebuah cerpen. Seharusnya dalam sebuah cerpen perlu judul yang menarik perhatian pembaca, terdapat unsur-unsur yang membangun cerpen, serta menggunakan bahasa sesuai dengan struktur gramatika atau ejaan. 2. Kemampuan Menulis Cerpen Siswa yang Memiliki Motivasi Belajar Tinggi yang Diajar dengan Metode Sugestopedia dan Metode Konvensional Hasil pengujian hipotesis kedua menunjukkan bahwa secara umum kelompok siswa yang memiliki motivasi tinggi memperoleh kemampuan menulis cerpen yang lebih baik dengan menggunakan metode sugestopedia daripada menggunakan metode konvensional.Pembelajaran 196
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
metode sugestopedia mampu meningkatkan ke-mampuan menulis cerpen siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi. Hal ini disebabkan karena metode sugestopedia diawali dengan membuat suasana kelas berbeda sehingga siswa menemukan ide serta cara untuk mengungkapkan masalah kedalam sebuah cepen. Adapun bagian-bagian metode sugestopedia dalam pembelajaran menurut Lozanov (dalam Taringan, 2009:93), yaitu: (a) semua siswa duduk me-lingkar pada kursi menyerupai seminar, (b) bahan baru disajikan dan didiskusikan,serta siswa dituntut memandang pengalaman yang tertera dalam bahan baru sebagai menarik hati, (3) guru mendengarkan musik yang merupakan salah satu dari ciri-ciri yang membuat sugestopedia menarik. Selama pembelajaran berlangsung, siswa di kelas eksperimen mempunyai rasa ingin tahu yang lebih kuat, mereka berusaha untuk terhipnotis dengan alunan musik yang diperdengarkan. Setelah beberapa kali musik diputarkan dan melakukan peregangan di dalam kelas barulah siswa bisa berkonsentrasi memikirkan peristiwa yang pernah dialaminya. Siswa memejamkan mata yang diiringi oleh musik serta diikuti kata-kata yang menyentuh yang dilontarkan oleh guru. Di samping itu, siswa mampu menelusuri pengetahuan yang dicari dengan membaca serta memiliki rasa ingin tahu yang kuat karena siswa tidak akan merasa puas apabila dia belum menemukan apa yang dicarinya. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pertanyaan yang muncul pada saat pembelajaran berlangsung. Munandar (2004:59) menyatakan bahwa mengajukan pertanyaan merupakan bagian berpikir kreatif dan dimaksudkan untuk mengukur kelenturan berpikir. Dalam menulis cerpen terlihat bahwa banyak siswa yang memulai menulis dengan ekspresi masing-masing, ada yang tersenyum, rasa marah, dan lain sebagainya. Dalam model pembelajaran konvensional, siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi menemukan dan memahami konsep-konsep dalam menulis cerpen sangat terbatas, karena didominasi oleh guru dalam pembelajaran. Sementara siswa terkondisi menerima pelajaran dengan pasif, sebagaimana yang diungkapkan oleh Djaafar (2001:3), pembelajaran konvensional ditafsirkan memasukkan isi atau bahan dari buku kepada siswa hingga mereka dapat mengeluarkan kembali segala informasi waktu tes atau ulangan. Akan tetapi pengetahuan yang dimiliki dikeluarkan pada waktu menjawab tes lebih banyak berasal dari mengingat dan menghafal. Keadaan ini akan berdampak dalam menulis cerpen. Guru menyajikan pelajaran secara klasikal, siswa dianggap memiliki kemampuan yang sama. Perbedaan individu kurang diperhatikan guru. Pada saat penemuan konsep semua kegiatan pembelajaran diprakarsai oleh guru, sedangkan siswa dihadapkan pada situasi menerima apa yang dipolakan guru. Jadi, metode konvensional kurang mendukung dan menfasilitasi peningkatan aktivitas belajar siswa yang mempunyai motivasi belajar tinggi. Hal ini menyebabkan konsep-konsep menulis cerpen yang dipelajari relatif kurang berkembang dan tidak dapat bertahan dalam struktur kognitif siswa. Dengan demikian, siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi tidak dapat 197
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
mengembangkan diri secara optimal, sehingga kurang mendukung peningkatan kemampuan menulis cerpen siswa. Hal ini bisa dilihat pada penulisan judul cerpen kelas eksperimen dan kelas kontrol. Isi cerpen pada kelas eksperimen sesuai dengan judul serta kreativitas siswa dalam mengembangkan cerita menarik dan adanya ketuntasan dalam cerita. Hal ini membuktikan bahwa menulis cerpen siswa pada kelas ekspeimen yang diajar dengan metode sugestopedia dan motivasi belajar tinggi lebih memahami konsep dalam menulis cerpen. Hal ini menunjukkan bahwa siswa bermotivasi belajar tinggi dikelas eksperimen lebih kreatif dibandingkan dengan siswa yang diajar dengan model konvensional di kelas kontrol. Hal ini terlihat dari hasil menulis cerpen siswa. siswa mampu mengawali kalimat yang menarik sebelum menulis cerpen. Hal ini dapat dilihat pada kelas kontrol penyampaian unsurunsur cerpen tidak lengkap dan tidak tergambar, sedangkan pada kelas eksperimen, siswa mengawali dari alur yang sistematis, melengkapi unsur-unsur cerpen, dan terdapat nasihat diakhir cerpen. Berdasarkan beberapa contoh siswa dalam menulis cerpen, maka dapat disimpulkan bahwa konsep metode sugestopedia yaitu dapat merangsang siswa untuk menyalurkan kreativitas-kreativitas dalam mengembangkan ide-ide imajinasi dalam menulis cerpen. Hal ini sangat sesuai dengan siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi.
3. Kemampuan Menulis Cerpen Siswa yang Memiliki Motivasi Belajar Rendah yang Diajar dengan Metode Sugestopedia dan Metode Konvensional Hasil pengujian hipotesis kedua menunjukkan bahwa secara umum kelompok siswa yang memiliki motivasi belajar rendah memperoleh kemampuan menulis cerpen yang lebih baik dengan menggunakan metode sugestopedia daripada menggunakan metode konvensional. Dalam pembelajaran dengan menggunakan metode sugestopedia siswa yang memiliki motivasi rendah dapat terbantu dalam menulis cerpen. Menurut Lozanov (dalam Tarigan, 2009:292), melalui proses sugesti ini siswa diberikan rangsangan positif sehingga seolah-olah siswa merasakan secara langsung kejadian atau keadaan yang disugestikan oleh guru. Tugas guru adalah mengarahkan siswa agar mampu melakukan aktivitas berpikir seperti mengklasifikasikan,
mengkategorikan,
menggabungkan,
mengonstruksikan,
dan
memformulasikan. Kelima proses tersebut kemudian diaplikasikan ke dalam proses kreatif untuk menemukan ide orisinal yang dituangkan dalam bentuk menulis cerpen. Selain itu, dalam metode sugestopedia imajinasi siswa lebih diperhatikan, kebebasan siswa dalam belajar lebih tinggi dan tidak terikat dengan aturan-aturan klasikal. Hal ini menyebabkan metode sugestopedia dapat mengembangkan struktur kognitif siswa yang mempunyai motivasi belajar rendah sehingga mendorong peningkatan kemampuan menulis cerpen siswa. Pada pembelajaran konvensional yang menempatkan siswa sebagai obyek belajar yang berperan sebagai penerima informasi secara pasif, belajar lebih banyak secara individual, 198
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
teoritis dan Abstrak, pengetahuan dikonstruksikan oleh orang lain dan diperoleh melalui menghafal dan latihan-latihan (Sanjaya, 2006: 259), membuat siswa yang memiliki motivasi belajat rendah tidak tertarik untuk mengikuti pelajaran dengan baik, tidak berusaha keras mengikuti pem-belajaran bahasa Indonesia karena memang tidak berminat dengan gaya pembelajaran konvensional tersebut. Pada pembelajaran konvensional kesempatan siswa untuk mengajukan ide yang mereka miliki terbatas, sehingga motivasi belajar yang dimiliki siswa terhambat. Akibatnya struktur kognitif siswa tidak dapat berkembang secara optimal dan akhirnya kurang mendukung peningkatan kemampuan menulis cerpen. Hal ini ditandai bahwa pembelajaran dengan menggunakan metode sugestopedia di kelas eksperimen efektif daripada di kelas kontrol yang diajar dengan meng-gunakan metode konvensional. 4. Interaksi antara Motivasi Belajar dan Metode Sugestopedia dalam Mem-pengaruhi Kemampuan Me-nulis Cerpen. Hasil perhitungan ANAVA dua arah untuk pengujian hipotesis keempat menyimpulkan bahwa tidak terdapat interaksi antara metode sugestopedia dengan motivasi belajar dalam mempengaruhi kemampuan menulis cerpen siswa. Berarti efek utama faktor metode sugestopedia dan motivasi belajar masing-masing berjalan secara independen dalam memepengaruhi kemampuan menulis cerpen siswa atau tidak terdapat pengaruh dari interaksi anatara metode sugestopedia dan kategori motivasi belajar terhadap kemampuan menulis cerpen siswa. Dengan demikian, metode sugestopedia untuk semua kategori motivasi belajar dalam meningkatakan ke-mampuan menulis cerpen siswa. Tidak terdapat interaksi antara metode sugestopedia dan motivasi belajar dalam mempengaruhi motivasi belajar siswa antara lain disebabkan (1) dalam pembelajaran metode sugestopedia tingkat pe-mahaman siswa terhadap materi pelajaran dapat meningkat, dengan adanya suasana dan cara belajar yang menggunakan musik. Pembelajaran ini membuat motivasi belajar siswa berkembang sehingga materi yang dipelajari lama diingat siswa. (2) keterampilan siswa dalam bertanya berkembang dengan baik, misalnya dalam berdiskusi siswa tidak lagi diam dan menerima pelajaran dari guru, siswa lebih aktif bertanya tentang apa yang tidak diketahuinya. Sementara dalam pembelajaran dengan metode konvensional ber-jalan secara independen dan tidak tergantung pada motivasi belajara siswa. Hal ini sesuai dengan Maryunis (2007: 321) menyatakan jika interaksi tidak signifikan maka efek utama faktor variabel bebas A dan variabel bebas B dapat diinterpretasikan secara independen. Dengan demikian, metode sugestopedia selain dapat diterapkan pada siswa yang mempunyai motivasi belajar tinggi, juga dapat me-ningkatkan kemampuan menulis cerpen siswa yang mempunyai motivasi belajar rendah.
199
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Simpulan Penelitian ini membahas tentang pengaruh metode sugestopedia dan motivasi belajar terhadap kemampuan menulis cerpen siswa kelas X SMA Negeri 1 Salimpaung. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemuka-kan, maka diperoleh simpulan sebagai berikut. Pertama, Kemampuan menulis cerpen siswa yang diajar dengan metode sugestopedia lebih baik daripada kemampuan menulis cerpen siswa yang diajar dengan metode konvensional. Kedua, kemampuan menulis cerpen siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi yang diajar dengan metode sugestopedia lebih baik daripada kemampuan menulis cerpen siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi yang diajar dengan metode konvensional. Ketiga, kemampuan menulis cerpen siswa yang memiliki motivasi belajar rendah yang diajar dengan metode sugestopedia lebih baik daripada kemampuan menulis cerpen siswa yang memiliki motivasi belajar rendah yang diajar dengan metode konvensional. Keempat, tidak terdapat interaksi anatara metode sugestopedia dan motivasi belajar dalam mempengaruhi kemampuan menulis cerpen siswa.
Saran Berdasarkan hasil penelitian, maka saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut. Pertama, guru-guru bahasa Indonesia supaya menerapkan metode sugestopedia pada pem-belajaran bahasa Indonesia di sekolah, terutama guru-guru bahasa Indonesia SMA Negeri 1 Salimpaung Kecamatan Salimpaung untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan menulis cerpen siswa. Kedua, kepada para peneliti selanjutnya agar meneliti lebih mendalam tentang penggunaan metode sugestopedia ini pada pokok bahasan lain atau mata pelajaran lain.Ketiga, bagi siswa, bahwa metode pembelajaran metode sugestopedia memberikan pengaruh yang positif dan lebih baik lagi bagi masing-masing individu maupun bagi siswa dalam proses pembelajaran berkelompok. Daftar Pustaka Atmazaki. 2006. Kiat-Kiat Mengarang dan Menyunting. Padang: Citra Budaya Indonesia. Djaafar, Tengku Zahara. 2001. Kontribusi Strategi Pembelajaran terhadap Hasil Belajar. Padang: FIP UNP. Jamian, Abdul Rasid, dkk. 2011. Keberkesanan Cerpen dalam Mempertingkat Prestasi Penulisan Karangan Bahasa Melayu dalam Kalangan Murid. Jurnal Pendidikan Bahasa melayu, Vol 16 , Bil 2, (online), (http:// .ukm.my/jpbm/pdf45-58_ Arti kel_4_Rasid_et_al.pdf. diakses tanggal 1 April 2014).
200
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Komaidi, Didik. 2011. Panduan Lengkap Menulis Kreatif Teori dan Praktek. Yokyakarta: Sabda Melia. Maryunis, Aleks. 2007. Konsep dasar penerapan Statistika dan Teori Probabilitas. Padang: Universitas Negeri Padang. Muhardi dan Hassanuddin WS. 2006. Prosedur Analisis Fiksi: Kajian Strukturalisme. Padang: Yayasan Citra Budaya Indonesia. Nurhayati, Nurhayati and Jaenah, Een and Yuliati, Esana Laili. 2005. Penggunaan Strategi Suggestopedia dapat Meningkat-kan Kemampuan Siswa Menulis Cerpen.Jurnal Bahasa dan Sastra, 8 (2),(online), (http:// eprints. unsri.ac.id, diakses tanggal 1 April 2014). Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana. Sardiman. 2010. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Pers. Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan R&d. Bandung: Alfabeta. Tarigan, Henry Guntur. 2008. Pengajaran Pemerolehan Bahasa. Bandung: Angkasa. Tukiman. 2007. Meningkatkan Kemampuan Menulis Cerpen dengan Pendekatan Pembelajaran Terpadu (Studi pada Siswa Kelas XII IPA-3 SMA 1 Mojolaban). Jurnal Pendidikan, Jilid 16, Nomor 2, (online), (http://ejurnal.veteranbantara.ac.idindex.phppendidikanarticleview 7869.pdf)
201
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
PERAN CERITA RAKYATDALAM PEMBENTUKAN KARAKTER ANAK Eva Krisna-Krisnawati Balai Bahasa Provinsi Sumatera Barat
[email protected] Abstrak Cerita rakyat terdiri atas empat jenis, yaitu: mite, legenda, epos/sage, dan dongeng. Biasanya, cerita rakyat merupakan kisah pendek, sederhana, bahasanya merupakan bahasa prosa biasa, dan dituturkan oleh nenek, ibu, atau perempuan-perempuan yang dituakan yang memiliki kemampuan bercerita. Cerita rakyat hampir-hampir tidak mendapat perhatian yang layak dari para pemerhati sastra di Nusantara. Padahal, cerita rakyat sangat kaya ragam dan banyaknya Namun, kekayaan khasanah budaya itu cenderung dibiarkan begitu saja, hilang ditelan waktu. Kehilangan dan kepunahan itu disebabkan media penyampaiannya adalah pelisanan sehingga ketika perhatian masyarakat terhadapnya tidak ada lagi, maka hilanglah ia dari tengah masyarakat bersangkutan. Padahal, cerita rakyat memiliki fungsi di tengah masyarakat, antara lain sebagai alat pendidik, alat pelipur lara, media protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam. Maka, selayaknya cerita rakyat seperti mulai diapresiasi, seperti dikumpulkan, direkam, ditulis, diterjemahkan, dipublikasikan, dan dikaji manfaatnya bagi pembaca. Salah satu indikasi manfaat cerita rakyat bagi masyarakat adalah kandungan nilai-nliai dan pesan-pesan yang dibawanya yang dapat dijadikan media pengajaran bagi anak. Tulisan ini khusus membahas peran sastra rakyat dalam proses pembentukan karakter anak dengan mengambil sampel carito (cerita rakyat Minangkabau). Sastra rakyat (curito) bermanfaat sebagai bacaan bagi anak karena sesuai dengan kehidupan dan alam pikiran anak-anak, yakni menonjolkan unsur fantasi, mengemukakan hal-hal yang serba mungkin, dan menganggap bahwa segala sesuatu itu hidup sebagaimana anak-anak itu sendiri. Di atas semua itu, nilai-nilai dan pesan-pesan tertentu yang terdapat dalam cerita rakyatlah yang amat bermanfaat dalam proses pembentukan karakter anak. Nilai-nilai dan pesan-pesan tertentu yang terkandung di dalam karya sastra dapat menjadi pedoman tingkah laku dalam kehidupan anak yang akan menjadi filter dalam menghadapi budaya global yang cenderung menggerus karakter anak Nusantara. Kata kunci: cerita prosa rakyat, fungsi, nilai-nilai, karakter anak, dan budaya global Pendahuluan Hampir semua kelompok etnik di dunia ini memiliki cerita rakyat, khususnya yang disampaikan dalam bentuk prosa, atau yang biasa disebut cerita prosa rakyat. Para ahli telah membagi cerita prosa rakyat dalam berbagai katagori dan peristilahan masing-masingnya. Istilah cerita prosa rakyat diperkenalkan oleh Bascom (1965:3-6) sebagai prose narrative, yakni cerita rakyat yang disampaikan dalam bentuk prosa dan sering kali menjadi bagian dari tradisi lisan. Cerita prosa rakyat terdiri atas tiga jenis, yaitu: mite, legenda, dan dongeng. Mite adalah cerita prosa rakyat yang ditokohi dewa dan diyakini masyarakat sebagai suatu hal yang benar-benar pernah terjadi pada masa lampau yang sangat jauh. Mite biasanya berupa pengajaran yang harus diyakini karena mengandung kekuatan gaib sehingga dianggap sebagai cerita suci. Mite berfungsi untuk menjawab ketidakmengertian manusia mengenai
202
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
sesuatu hal, keragu-raguan atau ketidakpercayaan, dan sering sekali dikaitkan dengan kepercayaan dan ritual. Legenda adalah cerita prosa rakyat yang ditokohi manusia biasa atau manusia setengah dewa, juga diyakini pernah terjadi, tetapi kejadiannya pada masa lampau yang tidak begitu jauh. Legenda bisa saja dianggap cerita suci atau cerita biasa yang bercerita tentang perpindahan penduduk, peperangan, kepahlawanan, raja dan para pemuka masyarakat, pergantian kepemimpinan dalam suatu kelompok etnik, serta berkaitan dengan asal-usul penamaan suatu hal. Biasanya legenda mengandung nilai historis yang bercampur baur dengan mitos. Dongeng adalah cerita prosa rakyat yang dianggap semata-mata sebagai cerita rekaan. Kebenaran kejadian dalam dongeng tidak pernah dipermasalahkan orang. Dongeng dapat berfungsi sebagai hiburan dan nasihat, kejadian dapat terjadi dimana dan kapan saja (tidak terikat pada waktu dan tempat), serta kerap bercerita tentang dewa, peri, manusia, dan binatang. Di Minangkabau, cerita rakyat dibagi menjadi dua, yaitu curito dan kaba. Menurut Djamaris (2002:68&77—78), curito (cerita)merupakan kisah pendek, sederhana, bahasanya merupakan bahasa prosa biasa, dan biasanya dituturkan oleh nenek, ibu, atau perempuanperempuan yang dituakan yang memiliki kemampuan bacurito (bercerita); sedangkan kaba adalah kisah panjang, isinya hampir sama dengan hikayat/novel, disampaikan dalam bentuk prosa berirama, dan dipertunjukkan oleh penutur profesional. Khusus mengenai cerita prosa rakyat Minangkabau yang disebut curito, hampir-hampir tidak mendapat perhatian yang layak dari para pemerhati sastra. Padahal, curito sangat kaya ragam dan banyaknya di Minangkabau, seperti pada umumnya cerita rakyat, yakni ada curito yang tergolong dongeng, tergolong mite, dan tergolong legenda. Namun, kekayaan khasanah budaya Minangkabau itu cenderung dibiarkan begitu saja, hilang ditelan waktu. Kehilangan dan kepunahan curito disebabkan media penyampaiannya adalah pelisanan sehingga ketika perhatian masyarakat terhadapnya tidak ada lagi, maka hilanglah ia dari tengah masyarakat bersangkutan. Padahal, cerita rakyat memiliki kegunaan bagi masyarakat, seperti yang diuraikan oleh Danandjaja (1984:83), yakni: sebagai alat pendidik, alat pelipur lara, media protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam. Maka, selayaknya cerita rakyat seperti curito mulai diapresiasi, seperti dikumpulkan, direkam, ditulis, diterjemahkan, dipublikasikan, dan dikaji manfaatnya bagi pembaca. Salah satu indikasi manfaat cerita rakyat bagi masyarakat adalah kandungan nilai-nliai dan pesan-pesan yang dibawanya yang dapat dijadikan media pengajaran bagi anak. Tulisan ini khusus membahas peran sastra rakyat, dalam hal ini curito, dalam proses pembentukan karakter anak, khususnya anak Minangkabau. Sastra rakyat (curito) bermanfaat sebagai bacaan bagi anak karena sesuai dengan kehidupan dan alam pikiran anak-anak, yakni menonjolkan unsur fantasi, mengemukakan halhal yang serba mungkin, dan menganggap bahwa segala sesuatu itu hidup sebagaimana anak203
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
anak itu sendiri. Di atas semua itu, nilai-nilai dan pesan-pesan tertentu yang terdapat dalam cerita rakyatlah yang amat bermanfaat dalam proses pembentukan karakter anak. Menurut Sarumpaet (1976:29), nilai-nilai dan pesan-pesan tertentu yang terkandung di dalam karya sastra dapat menjadi pedoman tingkah laku dalam kehidupan anak.
Sastra Rakyat sebagai Alat Pembentuk Karakter Anak Pada masa lalu, orang Minangkabau amat bangga dengan penggunaan bahasa plastis dalam komunikasi mereka sehari-hari. Orang Minangkabau dulu gemar berlama-lama dan berbual-bual dengan pemakaian pantun, kias, dan peribahasa. Orang enggan mengungkapkan sesuatu secara langsung, berterus terang, atau dengan lugas. Jika hendak menyampaikan pikiran atau perasaan, seseorang akan berputar-putar dulu, sampai lawan bicara maklum terhadap hal yang dibicarakan. Dalam hal mendidik anak pun demikian, orang tua lebih memilih penggunaan kalimat-kalimat sastra dengan bertamsil dan beribarat, bahkan dengan menuturkan curito-curito yang kaya dengan nilai-nilai dan pesan-pesan tentang kehidupan yang hakiki. Selanjutnya, anaklah yang melalui kemampuan kognisi mereka menjadikan curito-curito yang sering mereka dengar sebagai landasan bersikap dalam kehidupan bermasyarakat yang pada akhirnya menjadi unsur pembentuk karakter sang anak. Curito, sebagaimana sastra rakyat pada umumnya menurut Santosa dkk. (2008:8.33) memiliki empat manfaat, yakni: estetis, pendidikan, kepekaan batin dan sosial, dan penambah wawasan dalam pengembangan jiwa dan kepribadian (karakter) anak. Estetis berasal dari kata estetika, yaitu cabang ilmu filsafat yang membahas tentang keindahan yang melekat dalam karya seni. Dalam curito terdapat nilai keindahan, yaitu keindahan seni merangkai kalimat hingga menjadi ungkapan cerita yang bagus. Curito yang biasanya dituturkan, disampaikan dengan suara yang enak didengar sehingga pendengar memeroleh kepuasan, kenikmatan, dan teringat lama kepada curito tersebut. Manfaat curito sebagai unsur pendidikan maksudnya ialah dengan mendengar curito, anak memeroleh ajaran tentang akhlak, budi pekerti, dan kecerdasan berpikir. Melalui curito, anak memperoleh informasi yang dapat memengaruhi proses pembentukan sikap dan tingkah laku individual atau kelompok orang dalam rangka kehidupan bersama (bermasyarakat). Peka artinya mudah merasa, mudah tersentuh, mudah bergerak, tidak lalai, serta tajam menerima dan meneruskan pengaruh dari luar. Manfaat sastra rakyat bagi anak sebagai pengasah kepekaan batin dan sosial maksudnya adalah agar mereka tersentuh oleh hal-hal yang bersifat manusiawi, seperti hasrat hidup untuk selalu member motivasi bagi orang lain, berbuat baik sesama manusia, menolong orang yang sengsara, dan berempati terhadap masalah yang mendera orang lain. Wawasan artinya adalah tinjauan atau pandangan. Manfaat sastra rakyat sebagai penambah wawasan bagi anak maksudnya adalah bahwa sastra rakyat dapat berperan sebagai 204
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
informasi, pengetahuan, pengalaman hidup, pandangan-pandangan tentang kehidupan. Dengan memahami isi curito, anak memiliki kekayaan pengetahuan, keleluasaan berpikir, dan pengalaman-pengalaman hidup yang dapat dipetik hikmahnya. Dengan mengapresiasi sastra rakyat, anak memeroleh keindahan pengajaran, pendidikan atau pengajaran, kepekaan, serta wawasan tentang budi pekerti, pesan moral, dan teladan-teladan kebajikan yang bermanfaat dalam pengembangan jiwa dan kepribadian mereka. Berikut ini adalah bahasan tentang keempat manfaat sastra rakyat dalam pembentukan karakter anak yang diaplikasikan melalui tiga curito Minangkabau yang berjudul Si Bunian, Asal-Usul Danau Maninjau, dan Tikus Beranak Putri. Si Bunian Konon, di Payakumbuh hidup sebangsa makhluk halus yang bernama si Bunian. Mereka diberi nama demikian karena menyenangi segala macam bunibunian (bunyi-bunyian) yang berasal dari berbagai alat musik tradisional, seperti aguang (gong), talempong, dan canang. Bunian berusaha meminjam bunyi-bunyian tersebut ke setiap rumah gadang yang memilikinya. Untuk itu, ia akan menyamar menjadi manusia dengan mengaku sebagai masyarakat dari kampung lain. Mereka meminjam dengan meninggalkan uang sebagai imbalan jasa. Ketika bunyi-bunyian tersebut dipulangkan nanti, orang baru menyadari bahwa mereka telah berurusan dengan si Bunian karena alat musik tersebut tidak berbunyi bagus lagi dan uang yang ditinggalkan pun berubah menjadi daun kayu. Tidak hanya itu, Bunian juga suka menyesatkan orang di hutan. Orang yang disesatkan merasa bahwa ia menempuh jalan bagus yang belum pernah ia lihat sebelumnya dan menemui kampung yang sangat indah. Orang tersebut betah disana karena ia pun mendapat keluarga baru dan kehidupan yang dirasanya sangat baik. Padahal, sesungguhnya ia berada dalam hutan, tinggal di pepohonan, dan makan makanan yang menjijikkan. Sementara itu, keluarganya di kampung kehilangan dan mencari-cari kemana tersesatnya orang itu. Akhirnya, bila orang itu ditemukan, ia tidak akan betah di kampung, ia kabur kembali ke kampung Bunian. Kalaupun dipaksa tinggal di kampung, ia akan menjadi hilang ingatan. Biasanya, orang yang disesatkan Bunian adalah orangorang yang kondisi kejiwaannya sedang labil seperti sedang sedih atau tertekan oleh sesuatu hal. Curito di atas termasuk kategori mite yang mengandung pesan-pesan sosial yang dapat diambil manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan sosial yang dapat dipetik adalah jangan memendam perasaan sendirian dan berlama-lama. Bagilah beban perasaan kepada orang terdekat yang dapat mengerti dan mau mencarikan jalan keluar dari setiap persoalan yang dihadapi. Dari curito ini dapat diperoleh pengajaran bahwa sifat tertutup dan memendam perasaan dapat membuat seseorang terpedaya oleh hal-hal yang tidak logis bahkan menipu. Bagi anak, curito ini dapat memberikan pengajaran bahwa anak tidak boleh terlalu mudah menuruti perasaan hati seperti merajuk ‘mamanggok’ karena sikap demikian membuat ia mudah dibujuk orang lain yang pada akhirnya membawa kesengsaraan bagi dirinya dan keluarga. Asal-Usul Danau Maninjau Konon pada zaman dulu di Danau Maninjau sekarang berdiri satu gunung merapi bernama Gunung Tinjau. Di satu desa yang berada di kaki 205
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
gunung itu hiduplah sepuluh orang bersaudara yang disebut Bujang Sambilan. Mereka adalah Kukuban, Kudun, Bayua, Malintang, Galapuang, Balok, Batang, Bayang, dan Kaciak. Adik mereka yang paling bungsu adalah seorang perempuan bernama Siti Rasani, akrab dipanggil Sani. Giran. Siti Rasani menjalin hubungan kasih dengan anak mamak mereka bernama Giran. Namun, kakak tertuanya tidak menyukainya karena Kukuban pernah dikalahkan Giran dalam suatu pertandingan. Suatu hari, Giran dan Rasani dituduh melakukan perbuatan tak senonoh karena Giran membantu mengobati Rasani yang terluka pahanya. Keduanya dihukum menceburkan diri ke kawah Gunung Tinjau. Namun, sebelum melompat ke dalam kawah, Giran mengucapkan sumpah, yakni apabila tuduhan yang ditimpakan padanya tidaklah benar, maka masyarakat akan merasakan akibat dari fitnah yang sudah mereka tujukan padanya. Seketika, di saat Giran dan Rasani berada di dalam kawah, Gunung Tinjau pun meletus dan menyemburkan lahar panas melanda semua orang kampong. Gunung Tinjau pecah sampai tak menyisakan bentuknya lagi hingga yang ada hanyalah air yang banyak dan menggenangi tempat yang luas. Nama gunung itu kemudian diabadikan menjadi nama danau, yakni Danau Maninjau. Nama-nama tokoh yang terlibat dalam peristiwa itu diabadikan menjadi nama nagari di sekitar Danau Maninjau, seperti Tanjung Sani, Sikudun, Bayua, Koto Malintang, Koto Kaciak, Sigalapuang, Balok, Kukuban, dan Sungai Batang. Cerita rakyat atau curito di atas termasuk kategori legenda. Ia mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik adalah akibat buruk yang ditimbulkan oleh sifat dendam. Dendam menjadikan Kukuban tega menfitnah Giran dan Sani telah melakukan perbuatan terlarang. Dari hal ini dapat dipetik pelajaran bahwa sifat dendam dapat mendorong seseorang berbuat aniaya terhadap orang lain, demi membalaskan dendam yang pada akhirnya berakibat fatal bagi sang pendendam itu. Dengan pemahaman terhadap curito ini, anak dapat memedomani bahwa pendendam adalah sifat yang harus dijauhi. Tikus Beranak Putri Konon, ada seorang putri raja yang berwatak baik sehingga disayang oleh semua orang. Putri cantik itu menikah dengan seorang pangeran yang memiliki paras tampan pula. Namun, ada seseorang yang tidak suka padanya, yakni seorang dukun perempuan yang berwatak jahat dan memiliki wajah buruk. Dukun tersebut iri hati pada sang putri sehingga ia pun menyihirnya menjadi seekor tikus. Putri yang ketika disihir itu sedang hamil, melarikan diri ke pinggir hutan karena malu atas kejadian yang menimpanya. Di pinggir hutan, tikus jelmaan putri itu dirawat oleh seorang tua penyayang yang menganggapnya seperti anaknya sendiri hingga suatu hari tikus itu melahirkan. Anak yang dilahirkan adalah seorang perempuan yang berparas secantik ibunya sebelum dikutuk dulu. Ia pun tumbuh menjadi gadis rupawan yang tersohor ke berbagai negeri. Gadis itu dinikahi oleh seorang raja muda yang bertahta di kerajaan seberang negeri Balai Panjang. Gadis itu tidak melupakan ibunya, ia memboyong serta ibunya ke kerajaan suaminya secara sembunyi-sembunyi. Disana, ia merawat ibunya dengan penuh bakti sebagaimana seorang anak berbakti kepada ibunya sesama manusia. Ia memberi ibunya makan enak, sarang yang layak, dan penghormatan yang 206
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
pantas, meskipun semuanya harus ia lakukan dengan sembunyi-sembunyi karena fisik ibunya yang merupakan binatang menjijikkan itu. Tak terelakkan, suatu hari raja mendapati tikus jelmaan itu sedang makan di piring bagus dengan makanan yang serba enak. Sang raja pun marah dan memukuli tikus hingga mati. Alangkah sedihnya hati si putri karena ibunya dibunuh. Ia tidak dapat menahan luapan kesedihan sehingga ia pun menangis, meraung, dan meratap, “Meskipun hanya seekor tikus, ya ‘Bu, Ibu bagiku tetaplah ibu yang telah merawat dan membesarkanku semenjak dari rahimmu.” Sang suami, raja yang telah terlanjur membunuh mertuanya itu, terperanjat mendengar ratapan istrinya. Ia segera memerintahkan penyelenggaraan penguburan tikus jelmaan itu, seperti layaknya penguburan manusia. Ketika prosesi pemakaman hendak dilangsungkan, tiba-tiba bangkai tikus tersebut menjelma kembali dalam wujudnya yang asli, yakni seorang perempuan cantik. Ternyata, kasih sayang anak dan penyesalan menantunya telah menghapuskan sihir dari tubuhnya. Ia pun memeluk putrinya sedangkan menantunya pun menyampaikan permintaan maaf padanya. Curito di atas termasuk kategori dongeng, yakni rekaan semata yang berfungsi sebagai hiburan juga nasihat. Curito Mancik Baranak Puti (Tikus Beranak Putri) berfungsi sebagai hiburan sekaligus nasihat agar anak-anak selalu mencintai ibu mereka, seperti apapun keadaan ibu. Agama mengajarkan bahwa ibu adalah orang yang utama untuk dihormati, di samping ayah. Pada dongeng itu diceritakan bahwa seorang putri, istri seorang raja, tetap menghormati dan mencintai ibunya meskipun ibunya adalah seekor tikus. Kecintaan putri terhadap ibunya mengakibatkan lenyapnya kutukan pada diri tikus tersebut sehingga ia kembali ke wujud semula, yakni seorang putri pula.
Penutup Di tengah galaunya para pemerhati anak pada dampak globalisasi terhadap proses pembentukan karakter anak, sudah saatnya anak mengapresiasi sastra rakyat, tepatnya anak Minangkabau mengapresiasi curito sebagai dasar pembentukan karakter anak Minangkabau. Dengan pengapresiasian itu, nilai-nilai luhur yang telah dirumuskan oleh nenek moyang sejak dahulu kala itu dapat diwarisi oleh generasi sekarang. Wujud pengapresiasian (kesadaran dan penghargaan terhadap nilai-nilai seni dan budaya) curito bagi anak dapat ditempuh dengan mendekatkan anak pada curito. Selanjutnya, langkah-langkah yang harus ditempuh adalah menuturkan sesering mungkin curito-curito kepada peserta didik pada usia dini, yaitu ketika anak belum mampu membaca. Kemampuan ini harus dimiliki orang tua dan para pendidik pada tingkatan prasekolah tersebut. Selain itu, upaya menyelamatkan curito lisan dari kepunahan pun menjadi bagian penting dalam apresiasi tersebut. Karya sastra tersebut perlu diinventarisasi, didokumentasi (direkam), ditranskripsi (ditulis), dan diterjemahkan (dari bahasa Minangkabau ke bahasa
207
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Indonesia), dianalisis manfaat yang dikandungnya (diklasifikasi), lalu diterbitkan sebagai bacaan bagi anak. Dengan ketersediaan curito Minangkabau sebagai bacaan anak, pewarisan nilai-nilai dan pesan-pesan yang disampaikan akan diterima oleh anak dan pada akhirnya nilainilai dan pesan-pesan itu memainkan peranannya sebagai unsur pembentuk karakter anak Minangkabau yang berlandaskan ajaran Islam dan adat Minangkabau. Pada akhirnya, kegalauan para pemerhati anak terhadap pembentukan karakter anak pada era globalisasi ini dapat terkurangi. Artinya, anak Minangkabau berada di zaman supramodern dengan karakter luhur yang berakar pada kepribadian dan identitas suku bangsanya.
Daftar Pustaka Balai Bahasa Padang. 2009. Kamus Bahasa Minangkabau-Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa. Bauman, Richard (editor). 1992. Folklore, Cultural Performance and Populer Entertainments. New York: Oxford University Press. Danandjaya, James. 1984. FolkloreIndonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain- Lain. Jakarta: Grafiti Press. Djamaris, Edwar. 2002. Pengantar Sastra Rakyat Minangkabau. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Djamaris, Edwar. 2002. Cerita Rakyat Minangkabau: Dongeng Jenaka, Dongeng Berisi Nasihat, serta Dongeng Berisi Pendidikan Moral dan Budaya. Jakarta: Pusat Bahasa. Krisna, Eva. 2011. “Transliterasi dan Transkripsi Curito Minangkabau”. Balai Bahasa Padang: Laporan Penelitian. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1990. Pedoman Ejaan Bahasa Minangkabau. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Santosa, Puji dkk. 2008. Materi dan Pembelajaran Bahasa Indonesia SD. Jakarta: Universitas Terbuka. Sarumpaet, Riris K. 1976. Bacaan Anak-Anak. Jakarta: Pustaka Jaya.
208
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
MODERN MEISJE: REPRESENTASI PEREMPUAN INDONESIA DALAM TOKOH NYAI ONTOSOROH PADA NOVEL BUMI MANUSIA KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER
Heri Isnaini STKIP Siliwangi Bandung
[email protected]
Abstrak Modern mesije merupakan salah satu konsep yang ditawarkan oleh Kartini dalam melihat perempuan Indonesia. Konsep perempuan pada pemkiran Kartini dapat kita lihatdalam surat yang Kartini tujukan kepadaEstelle "Stella" Zeehandelaar, sahabat karibya dari Belanda. Dalam suratnya, Kartini merindukan sosok modern meisje yang sangat didambakannya, yakni perempuan merdeka, mandiri, visioner, antusias, serta perempuan yang berkepribadian halus.Sosok itulah yang meneguhkan Kartini memperjuangkan kaumnya yang tertindasdan selalu menjadi objek yang abjek. Konsep modern meisje yang dikemukakan Kartini ini terrepresentasi pada tokoh Nyai Ontosoroh pada novel Bumi Manusia karya Pramodeya Ananta Toer. Nyai Ontosoroh adalah figur yang mempunyai pendirian kuat, ulet danpantang menyerah dalam berjuang, rasional dan mempunyai visi kebangsaan.Nyai Ontosoroh adalah simbol perlawanan terhadap kesewenang-wenangankekuasaan, terhadap harga diri sebuah bangsa. Representasi tersebut pada akhirnya akan membawa kita pada pemahaman konsep modern meisje yang disuarakan Kartini, jauh sebelum “pergerakan perempuan” pada tahun 1960-an di Amerika, yang pada akhirnya memunculkan kritik sastra feminis. Kata kunci: modern meisje, perempuan, tokoh, feminis
Pendahuluan Representasi perempuan dalam sastra dirasakan sebagai salah satu bentuk sosialisasiterpenting karena memberikan gambaran tentang perempuan yang tepat dan sah. Dalamperjalanannya, pergerakan ini melahirkan “kritik sastra feminis”. Perhatian kritis dari kritik sastra feminis ditujukan pada buku-buku karya penulis laki-laki yang mengonstruksi citra perempuan dengan tujuan melanggengkan ketidaksetaraan seksual mereka. Dalam tulisannya, Toril Moi membedakan istilah feminist, female, dan feminine. Istilah pertama adalah sebuah “posisi politis”, yang kedua “berhubungan dengan biologi”, dan istilah ketiga didefinisikan sebagai “seperangkat karateristik yang didefinisikan secara kultural”. Ketiga istilah inilah yang kemudian menjadi salah satu sarana pemikiran dan pergerakan kritik sastra feminis, yang menurut saya telah dimulai juga oleh Kartini. Pada tanggal 25 Mei 1899, Kartini menulis surat kepada Estelle "Stella" Zeehandelaar yang isinya berupa suara kartini yang merindukan sosok modern meisje yang selalu dianganangankan kartini. “I have longed to make the acquaintance of a "modern meisje” that proud, 209
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
independent girl who has all my sympathy! She who, happy and self-reliant, lightly and alertly steps on her way through life, full of enthusiasm and warm feeling; working not only for her own well-being and happiness, but for the greater good of humanity as a whole” (Kartini, 1921:3). Surat itu jelas merupakan khayalan Kartini mengenai sosok modern meisje yang sangat didambakannya, yakni perempuanmerdeka, mandiri, visioner, antusias, serta perempuan yang berkepribadian halus. Kartini meyakini bahwa perempuan dapat maju berkembang dan dapat unggul ketika perempuan menjadi sosok modern meisje. Berangkat dari pemikiran Kartini yang revolusioner tersebut, seolah memicu ingatan kita pada konsep kesetaraan gender yang sangat santer didengungkan pada “pergerakan perempuan” tahun 1960-an di Amerika. Dari beberapa segi yang penting, pergerakan ini bersifat “sastrawi”. Artinya, pergerakan ini menyadari signifikansi citra perempuan yang disebarluaskan oleh sastra dan memandang bahwa sangat penting untuk melawan hal tersebut dengan mempertanyakan otoritas dan koherensinya. Pemikiran-pemikiran Kartini untuk memperjuangkan hak-hak perempuan, seperti hak untuk berpendidikan; hak untuk meperoleh kebebasan; hak untuk memilih jodoh; dan lebih jauh lagi adalah hak “berkedudukan sama” dalam struktur sosial masyarakat adalah pemikiran feminis yang lahir akibat tekanan yang dialami Kartini. Secara sadar Kartini melihat hal tersebut menjadi sebuah “penindasan” dan “penyiksaan” terhadap hak-hak perempuan. Melalui suratsurat yang dikirimkan pada Stella, sesungguhnya Kartini sedang berusaha mencoba mengadakan perlawanan terhadap kondisi yang menyudutkan kaum perempuan pada strata sosial masyarakat Jawa. Perlawanan yang dilakukan Kartini adalah dengan “tulisan”. Tulisan yang khas “perlawanan perempuan”. Kartini “sengaja” menggunakan bahasa Belanda sebagai bentuk “perlawanan” atas pengekangan dirinya. Melalui bahasa (bahasa Belanda) dalam suratnya, Kartini ingin memperlihatkan bahwa perempuan dapat melawan dengan “senjata” laki-laki,yakni Bahasa. Bahasa dalam surat-surat Kartini berisi pemikiran-pemikiran cerdasnya untuk kemajuan perempuan, khususnya di bidang pendidikan. Menurut saya, khayalan Kartini tentang modern meisje telah menjadikannya sosok feminis sejati. Setelah penjelasan singkat ini, saya akan mencoba membandingkan pemikiran Kartini tentang modern meisje dengan tokoh Nyai Ontosoroh pada novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer yang dalam berbagai segi memiliki kesamaan, kesamaan dalam memandang perempuan, hidup, dan kehidupan. Komparasi ini dapat bermuara pada pembicaraan pergerakan kritik sastra feminis yang dimulai pada tahun 1970-an. Pramoedya menggambarkan Nyai Ontosoroh sebagai gundik yang berbedadari prasangka umum. Ia begitu bersahaja dan arif. Etika, tingkah laku,kemampuan menulis dan berbicara dalam Melayu, dan Belanda.Nyai Ontosoroh adalah figur yang mempunyai pendirian kuat, ulet danpantang menyerah dalam berjuang, rasional dan mempunyai visi kebangsaan. Nyai Ontosoroh adalah simbolperlawanan terhadap kesewenang-wenangankekuasaan, terhadap harga 210
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
diri sebuah bangsa.Sosok Nyai Ontosoroh merupakan sosok perempuan pribumi yang begitukuat. Bekerja menafkahi anak-anaknya dengan mengelola sebuah perusahaanbesar. Berdiri, diposisikan sebagai gundik yang tak lain adalah budak, dihinakanoleh keluarga sendiri dan masyarakat baik pribumi, Indo, maupun Belanda Totok.Namun, ia menjadi wanita pribumi tangguh dengan mengandalkan alur hidup.Semua pengetahuan ia peroleh dari hidup. Berdasarkan uraian singkat tersebut, kita akan melihat konsep modern meisje yang ditawarkan Kartini melalui representasi perempuan pada tokoh Nyai Ontosoroh pada novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Pendedahan konsep ini akan dilihat melalui komparasi antara pemikiran Kartini, karakter Nyai Ontosoroh, dan pergerakan kritik sastra feminis. Dengan demikian, konsep perempuan yang ditawarkan dari komparasi tersebut dapat terlihat jelas.
Isi 1. Pemikiran Kartini Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial pd jaman itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin perempuan memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelfonderricht, Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme (perikemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air). Surat-surat Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada Stella, Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu. Pandangan-pandangan kritis lain yang diungkapkan Kartini dalam surat-suratnya adalah kritik terhadap agamanya. Ia mempertanyakan mengapa kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami. Kartini juga mempertanyakan tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok rumah dan tersedia untuk dimadu pula. Surat-surat Kartini banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus dihadapi ketika bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju.
211
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
2. Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia Bumi Manusia berlatar belakang kolonial Hindia Belanda, danMinke yang merupakan tokoh utama adalah salah seorang pelajar pribumiyang bersekolah di HBS. Minke sangat pandai dalam menulis, tulisannyatelah diterbitkan oleh Koran-koran Belanda pada saat itu yang membuatbanyak orang terkagum-kagum. Minke digambarkan sebagai seorang yangberani melawan ketidakadilan dalam negerinya melalui tulisan-tulisannya. Minke bertemu dengan seorang perempuan cantik berketurunan Indonesia-Belanda yang bernama Annelise dimana pada akhirnya menjadi istrinya.Annelise merupakan anak dari seorang nyai yang dipanggil sebagai NyaiOntosoroh. Nyai pada zaman kolonial Hindia Belanda merupakan perempuanyang tidak memiliki norma kesusilaan karena statusnya sebagai istrisimpanan. Memiliki status sebagai nyai membuatnya menderita karenatidak mempunyai hak asasi manusia yang sepantasnya. Meski seorang nyaimelahirkan anak dari seorang Eropa, pemerintah Belanda tidak pernah mengangap perkawinan itu syah. Pemerintah Hindia Belanda hanyamengakui anak yang lahir tapi tidak perempuan yang menjadi gundik.Nyai Ontosoroh atau Sanikem adalah anak dari seorang juru tulispada pabrik gula di Tulangan bernama Sastrotomo. Dia termasuk tipe laki-lakiyang gila kuasa dan kekayaan. Dihormati karena satu-satunya orang yang mampu baca tulis di desa. Sostrotomo bercita-cita menjadi seorangjuru bayar, dia melakukan apa saja untuk mencapai cita-cita itu tak seganmenjilat dan berkhianat. Sanikem dijadikan gundik atas kehendak
ayahnyasendiri
yang
dijualnya
pada
seorang
Belanda
bernama
Herman
Mellemadengan imbalan gulden dan jabatan sebagai juru bayar.Semua itu tidak berarti bagi Sanikem yang telah merasa hargadirinya direbut. Ia dendam kepada orang tuanya, lantas ia berusahabangkit dengan belajar segala pengetahuan Eropa agar dapat diakui sebagai seorang manusia. Dia belajar tata niaga, belajar bahasa Belanda,membaca media Belanda, belajar budaya dan hukum Belanda. Sebab diaberharap pada suatu hari semua pengetahuan itu akan berguna untukdirinya dan anak-anaknya. Nyai Ontosoroh berpendapat untuk melawan penghinaan, kebodohan, kemiskinan dan sebagainya hanya dengan belajar. Nyai Ontosoroh tidak hanya bisa baca tulis dan berbahasa Belandatanpa cela, ia bahkan memimpin perusahaan keluarga. Menjadi ibu tunggalbagi Robert dan Annelies Mellema, juga bisa bersolek dengan necislayaknya priyayi, meski darah biru tak pernah mengalir dalam tubuhnya.Nyai Ontosoroh berperan besar bagi Minke, tokoh utama dalam TetralogiPulau Buru. Minke adalah menantu Nyai Ontosoroh, ia menikahiAnnelies. Konflik pun terjadi, suami Nyai Ontosoroh, Herman Mellemadibunuh. Statusnya sebagai penguasa pabrik goyah, dia sadar dirinyagundik yang tidak memiliki hak sedikit pun untuk memiliki perusahaantermasuk anaknya sendiri. Ia tak mau menyerah begitu saja, lantas 212
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
bangkitmelawan untuk mempertahankan haknya bersama Minkemenantunya. Tapi apa daya sekuat apa pun melawan, Nyai Ontosorohhanya seorang Nyai. Dia benar-benar tak berkutik di hadapan hokum kolonial Belanda. Mereka kalah di hadapan peradilan kolonial Belanda. AnneliesMellema diambil oleh orang-orang Belanda. Minke kekasihnya takmampu berbuat banyak. Semua orang melepas kepergian Annelies denganduka.Melalui penggambaran Pramoedya Ananta Toer di atas Bumi Manusia melalui penggambaran tokoh Nyai Ontosoroh merupakan salahsatu novel yang berhasil menyuarakan gabungan isu ideologis terhadapperempuan yang memperjuangkan haknya dalam bidang ekonomi, hukum,politik dan kehidupan sosial dalam dampak kolonialisme.
3. Kritik Sastra Feminis Dalam kritik feminis 1970-an, upaya utama ditujukan pada pendedahan mekanisme patriarki atau cara berpikir kultural pada diri laki-laki dan perempuan yang melanggengkan ketidaksetaraan seksual. Feminisme menyatukan berbagai gagasan yang memiliki persamaan dalam tiga pandangan utamanya: pertama, gender adalah konstruksi sosial yang lebih menindas perempuan daripada laki-laki; kedua, konsrtruksi ini dibentuk oleh patriarki; ketiga, pengetahuan eksperensial perempuan adalah dasar bagi pembentukan masyarakat nonseksis di masa depan. Kemudian di tahun 1980-an, ada perubahan dalam feminisme. Pertama, kritik feminis menjadi jauh lebih ekletik, artinya mulai mengambil bahan daritemuan dan pendekatan dalam jenis-jenis kritik lainnya (marxisme, strukturalisme, linguistik, dsb). Kedua, fokusnya dialihkan dari menyerang versi laki-laki atas dunia menjadi penyelidikan ciri-ciri dunia dan sudut pandang perempuan serta merekonstruksi catatan pengalaman perempuan yang hilang atau ditekan. Ketiga, perhatian dialihkan pada kebutuhan untuk mengonstruksi kanon tulisan perempuan yang baru dengan cara menulis ulang sejarah novel dan puisi sedimikian rupa sehingga penulis perempuan diutamakan. Elaine Showalter, misalnya, mendeskripsikan perubahan di akhir 1970-an sebagai pergeseran perhatian dari “androteks” (tulisan laki-laki) ke “ginoteks” (tulisan perempuan). Studi tentang “ginoteks” dan tema-tema tentang identifikasi perempuan adalah “ginokritik”. Pada 1980-an, fokus utama feminis adalah bahasa. Tantangannya adalah membentuk ulang hubungan yang secara seksual ekspresif dan kuat antarbahasa, bentuk literer, dan jiwa laki-laki dan peempuan dengan mempertanyakan hubungan antara identitas gender dan bahasa. Para kritikus Prancis mengadopsi istilah ecriture feminine (tulisan feminin) untuk menjelaskan gaya feminine (yang tersedia baik bagi laki-laki maupun perempuan). Mereka menemukan “gaya” ini dalam ketidakhadiran, keterputusasaan, dan jouissance dalam tulisan modernis. Cixous, secara khusus berpendapat bahwa ecriture feminine dapat ditemukan dalam metaforametafora mengenai perbedaan genital dan libidinal perempuan. 213
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Kajian feminis mempertanyakan kembali nilai-nilai patriakal yang membedakan perempuan dan laki-laki yang telah lama, bahkan begitu lama, berlaku di masyarakat sehingga dianggap sudah sangat lumrah. Misalnya, traditional gender role atau peran jender tradisional mengharuskan laki-laki menjadi rasional, kuat, pelindung, dan pembuat keputusan yang baik dibandingkan dengan perempuan. Sementara perempuan diharuskan menjadi emosional (irasional), lemah, manja, dan penurut. Peran jender ini telah lama digunakan untuk menjustifikasi ketidakadilan. Misalnya tidak menyertakan atau menempatkan perempuan secara setara di dalam kepemimpinan atau proses pengambilan keputusan (di dalam keluarga, ranah politik, dunia akademik, dan dunia korporasi), dan meyakinkan perempuan bahwa mereka tidak cocok/mampu untuk menggeluti bidang ilmu atau pekerjaan tertentu seperti matematika atau keinsinyuran. Oleh karena itu patriakal bersifat sexist, yaitu “it promotes the belief that women are innately inferior to men.” Patriakal mendukung dan mempromosikan ide bahwa perempuan secara alamiah lebih rendah dari laki-laki dan inferioritas tersebut merupakan sesuatu yang tidak dapat berubah karena memang begitulah adanya semenjak perempuan dan laki-laki lahir. (Booker, 1996:89) Feminis tidak memungkiri perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki, malah banyak feminis merayakan perbedaan tersebut. Namun mereka menolak jika perbedaan biologis seperti ukuran dan bentuk tubuh semerta-merta menjadikan laki-laki secara alamiah superior dari perempuan (misalnya lebih cerdas, logis, dan lebih berani). Oleh karena itu feminis membedakan kata seks dan jender. Kata seks merujuk pada anatomi tubuh sebagai perempuan (female) dan laki-laki (male), sedangkan kata jender (gender) merujuk pada konstruksi budaya sebagai perempuan dan laki-laki. Dengan kata lain, “women are not born feminine, and men are not born masculine. Rather, these gender categories are constructed by society.” Perempuan tidak lahir dengan segala atribut feminine dan begitu juga dengan laki-laki tidak lahir membawa maskulinitasnya. Melainkan, femininitas dan makulinitas tersebut dikonstruksi oleh masyarakat. Itulah pemikiran yang berkembang berkaitan dengan “perempuan“. Dalam kaitannya dengan bahasa. Ada pembedaan bahasa yang merunut pada masalah gender. Pembedaan tersebut sepertinya lebih membela “kekuasaan“ laki-laki dan memarjinalkan kaum perempuan. Perlu penelitian lebih dalam mengenai hal ini, tetapi sebagai contoh kecil, adanya pembedaan gender dapat dilihat pada kosa kata di beberapa bahasa di dunia, seperti pada bahasa Inggris, Arab, Perancis, Jerman. Pembedaan seperti ini mau tidak mau akan lebih melanggengkan “kekuasaan“ laki-laki terhadap perempuan. Penggunaan kata ganti he dalam bahasa Inggris sebagai kata ganti yang lebih banyak digunakan daripada bentuk she. Demikian pula pada bahasa Arab, bentuk kata huwa lebih dominan digunakan daripada bentuk kata hiya. (dominan dalam arti tidak hanya untuk menyatakan kata ganti orang, melainkan juga untuk kata ganti benda yang lain).
214
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Dengan kata lain, ada dilematis tersendiri bagi kaum feminis (laki-laki atau perempuan) yang mewakili kaum “liyan“ tersebut untuk mengekspresikan suara-suara mereka masuk ke dalam suara umum dalam masyarakat dengan perantara tulisan, seperti makan buah simalakama, pada saat tulisan mereka diterima oleh masyarakat, pada saat itu pula secara tersirat mereka mengakui pembedaan yang menyudutkan mereka. Pada akhirnya, secara tekstual perlawanan lewat tulisan seperti menegakkan benang basah, sesuatu yang sulit dilakukan, tetapi tidak menutup kemungkinan hal tersebut dapat terwujud dengan syarat “benang“ tersebut telah kering. Artinya, harus ada upaya alternatif yang dapat menjadi alat untuk “mengeringkan benang tersebut“. Wahana “perlawanan“ kaum perempuan terhadap dominasi kegiatan “menulis“ laki-laki, sebetulnya telah lama digaungkan pada masa lampau. Perlawanan itu di antaranya dengan cara membuat tenunan atau tekstil. Menenun merupakan “perlawanan“ untuk dominasi “menulis“. Hal tersebut dapat dilihat, ketika laki-laki membuat tulisan (baik di daun, batu, lontar, dan sebagainya) kaum perempuan menenun “kain“ yang pada akhirnya dipakai pula sebagai “baju“ oleh laki-laki. Balasan yang setimpal sebetulnya.
4. Irisan Hasil Komparasi Kisah Nyai Ontosoroh berawal dari ayahnya yang sebelumnya hanyalahseorang jurutulis yang mendambakan jabatan yang lebih tinggi yaitu sebagaijurubayar. Banyak cara yang telah ditempuh ayahnya mulai dari menjilat danmerugikan teman-temannya sampai melalui dukun dan tirakat tapi usahanyamenjadi jurubayar belum tercapai. Sanikem pada saat berumur tigabelas tahun mulai mengalami pingitan danhanya tahu dapur, ruangbelakang dan kamarnya. Ketika berumur empatbelastahun Sanikem sudah dianggap oleh masyarakat sebagai perawan tua. Ayahnyamempunyai rencananya sendiri dengan menolak semua lamaran yang datang. Begitulah keadaanku, keadaan semua perawaan waktu itu, Ann- hanya bisa menunggu datangnya seorang lelaki yang akan mengambilnya dari rumah, entah ke mana, entah sebagai istri nomor berapa, pertama atau keempat. Ayahku dan hanya ayahku yang menentukan. Memang beruntung kalau jadi yang pertama dan tunggal. Dan itu keluarbiasaan dalam masyarakat pabrik. Masih ada lagi. Apa lelaki yang mengambil dari rumah itu tua atau muda, seorang perawan tak perlu mengetahui sebelumnya. Sekali peristiwa itu terjadi perempuan harus mengabdi dengan seluruh jiwa dan raganya pada lelaki yang tidak dikenal itu, seumur hidup, sampai mati atau sampai dia bosan dan mengusir. Tak ada jalan yang bisa dipilih. Boleh jadi dia seorang penjahat, penjudi atau pemabuk.orang takkan bakal tahu sebelumnya jadi istrinya. Akan beruntung bila yang datang itu seorang budiman. (Toer, 2011:119) Tetapi
dia
menemukan
kebangkitan
diri.
Kekalahannya
dalam
bentuk
ketidakberdayaannya menolak gundik (Nyai) seorang Belanda bernama Herman Mellema
215
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
mendorong Nyai Ontosoroh untuk menyerap berbagai arus pemikiran Belanda, bahkan mengendalikan perusahaan milik tuannya, terlihat dari kutipanberikut ini Mama pelajari semua yang dapat kupelajari dari kehendak tuanku: kebersihan, bahasa Melayu, menyusun tempat tidur dan rumah, masak cara Eropa. Ya, Ann, aku telah mendendam orangtuaku sendiri. Akan kubuktikan pada mereka, apapun yang telah diperbuat atas diriku, aku harus bisa lebih berharga daripada mereka, sekalipun hanya sebagai nyai. (Toer, 2011:128) Pada waktu itu Mama mulai merasa senang, berbahagia. Ia selalu mengindahkan aku, menanyakan pendapatku, mengajak aku memperbincangkan semua hal. Lama kelamaan aku merasa sedrajat dengannya. Aku tak lagi malu bila toh terpaksa bertemu dengan kenalan lama. Segala yang kupelajari dan kukerjakan dalam setahun itu telah mengembalikan harga diriku. Tetapi sikapku tetap: mempersiapkan diri untuk tidak akan lagi tergantung pada siapapun. Tentu saja sangat berlebihan seorang perempuan Jawa bicara tentang harga diri, apa lagi semua itu. Papamu yang mengajariku, Ann. Tentu saja jauh di kemudian hari aku dapat rasakan wujud harga diri itu. (Toer, 2011:130) ….Mama tumbuh jadi pribadi baru dengan penglihatan dan pandangan baru. Rasanya aku bukan budak yang dijual di Tulangan beberapa tahun yang lalu. Rasanya aku tak punya masa lalu lagi…. (Toer, 2011:134) Berdasarkan kutipan di atas sangat jelas Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia adalah tokoh yang merepresentasi perempuan dengan konsep modern meisje yang disuarakan oleh Kartini. Setidaknya ciri-ciri modern meisje yang didambakan Kartini, seperti: perempuan merdeka, mandiri, visioner, antusias, serta perempuan yang berkepribadian halus terepresentasi pada sosok Nyai Ontosoroh. Nyai Ontosoroh digambarkan sebagai perempuan yang memiliki ciri seperti perempuan terpelajar dan cerdas terlihat dari pelafalan bahasa Belanda yang fasih, menguasai banyak istilah-istilah Eropa, gemar membaca buku-buku Eropa, memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam berdagang dan mampu menerangkan layaknya seorang guru-guru di sekolah. Nyai Ontosoroh juga memiliki ciri-ciri sebagai perempuan yang kuat dan berkuasa terbukti dari kemampuan tokoh perempuan dalam mengurus semua kepentingannya (dirinya, keluarga, dan perusahaan) sendiri, dia memiliki kekuatan dalam mengetahui dan mengendalikan pedalaman orang lain, tokoh yang berani menghadapi kekuasaan Eropa dan pengendali seluruh perusahaan. Selain itu, Nyai Ontosoroh adalah tokoh perempuan memiliki ciri sebagai perempuan yang berani mengambil keputusan terlihat dari berani mengambil keputusan untuk tidak mengakui orangtuanya, mempunyai keberanian dalam mengambil keputusan untuk tetap dipanggil dengan sebutan Nyai bukan Mevrouw. Tokoh sebagai perempuan yang memiliki ciri 216
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
sebagai perempuan mandiri terlihat dari sikap yang tidak bergantung dengan suaminya, tokoh yang dapat melakukan semua pekerjaan kantor dan perusahaan dengan tangannya sendiri, serta mampu mengurusi kepentingan dirinya, keluarga dan perusahaan dengan tangannya sendiri. Gambaran-gambaran yang terepresentasi pada tokoh Nyai Ontosoroh tersebut adalah gambaran tentang konsep modren meisje yang disuarakan Kartini. Artinya, dari komparasi yang dilakukan ditemukan adanya irisan di antara ketiganya, yakni pemahaman terhadap representasi perempuan Indonesia yang merdeka, mandiri, visioner, antusias, serta perempuan yang berkepribadian halus. Sesuai cita-cita Kartini, cita-cita yang sudah lama muncul, jauh sebelum pergerakan feminisme di Barat. Selain itu, konsep modern meisje Kartini dapat memberikan warna pemikiran baru kepada perempuan Indonesia dalam menghadapi persaingan ketat di masa yang akan datang.
Penutup Berdasarkan hasil uraian di atas, dapat disajikan beberapa simpulan sebagai berikut.Pertama, representasi perempuan dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, terefleksi melalui sikap, tindakan, jalan pikiran, rencana hidup serta ucapan tokoh perempuan yang memiliki ciri-ciri: (1) tokoh sebagai perempuan yang memiliki ciri seperti perempuan terpelajar dan cerdas, (2) tokoh sebagai perempuan yang kuat dan berkuasa, (3) tokoh sebagai perempuan yang berani mengambil keputusan, dan (4) tokoh sebagai perempuan yang mandiri. Kedua, representasi perempuan dalam keluarga yang terdapat dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, terefleksi dari tokoh perempuan yang berperan sebagai seorang istri, seorang ibu dan ibu mertua dalam keluarganya. Ketiga , representasi perempuan dalam lingkungan masyarakat yang terdapat dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, terefleksi dari tokoh perempuan yang berkedudukan sebagai majikan dalam perusahaan, tokoh sebagai warga negara dari sistem pemerintah kolonial atau sebagai perempuan pribumi, dan sebagai perempuan yang berstatus sebagai gundik.Keempat, representasi yang sudah dikemukakan tersebut adalah muara dari konsep modern meisje yang disuarakan oleh Kartini. Daftar Pustaka Booker, Keith. 1996. A Practical Introduction to Literary Theory and Criticism. Longman Publishers: U.S. Kartini, Raden Ajeng. 1921. Letters of Javanese Princess (translated from the original Dutch by Agnes Louise Symmers). London: Duckworth & Co. Ibrahim, Idi Subandy, Ed. 1997. Ectasy Gaya Hidup: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia. Bandung: Mizan. (Kronik Indonesia Baru). Ibrahim, Idi Subandi dan Hanif Suranto. 1998. Wanita dan Media: Konstruksi Idielogi Gender dalam Ruang Publik Orde Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya. 217
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Pane, Armijn. 2008. Habis Gelap Terbitlah Terang. Jakarta: Balai Pustaka. Prabasmoro, Aquarini Priyatna. 2004. Becoming White: Representasi Ras, Kelas, Femininitas dan Globalitas dalam Iklan Sabun. Yogyakarta: Jalasutra. Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Todorov, Tzvetan. 1985. Tata Sastra (terjemahan Okke K.S. Zaimar, dkk). Jakarta: Djambatan. Toer, Pramoedya Ananta. 2011. Bumi Manusia. Jakarta: Lentera Dipantara. Tyson, Louis. 2006. Critical Theory Today. Routledge: U.S. Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusasteraan (terjemahan Melani Budianta). Jakarta: Gramedia. Zoest, Art Van. 1990. Fiksi dan Nonfiksi dalam Kajian Semiotik (terjemahan Manoekmi Sardjoe). Jakarta: Intermasa
218
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
PENGGUNAAN ANALISIS BUTIR SOAL DALAM MENENTUKAN TINGKAT KESUKARAN SOAL BAHASA INDONESIA Indra Permana
[email protected] Aditya Permana
[email protected] STKIP Siliwangi Bandung
Abstrak Sebagai alat untuk mengukur kemampuan siswa setelah mengikuti kegiatan pendidikan selama selang waktu tertentu, maka eksistensi tes menjadi sangat penting. Sebuah tes yang baik, akan bisa mengungkapkan keadaan sebenarnya dari siswa, dan tes yang tidak baik tidak akan bisa mengungkap apa kemampuan sebenarnya siswa.Sebuah tes yang baik harus valid dan reliabel. Validitas merupakan penilaian menyeluruh dimana bukti empiris dan logika teori mendukung pengambilan keputusan serta tindakan berdasarkan skor tes atau model-model penilaian yang lain. Kata kunci: analisis butir soal, tingkat kesukaran Pendahuluan Setiap kegiatan belajar harus diketahui sejauhmana proses belajar tersebut telah memberikan nilai tambah bagi kemampuan siswa. Salah satu cara untuk melihat peningkatan kemampuan tersebut adalah dengan melakukan tes. Tes yang berkaitan dengan tujuan ini sering disebut tes prestasi hasil belajar. Tes prestasi hasil belajar adalah tes yang disusun secara terencana untuk mengungkap infomasi subyek atas bahan-bahan yang telah diajarkan(Azwar, 2003). Pendapat lain menyatakan bahwa tes prestasi hasil belajar adalah tes yang digunakan untuk mengungkap tingkat pencapaian belajar (Sudijono, 2005). Dari dua pengertian di atas, ada satu benang merah yang sepertinya disepakati yaitu bahwa tes prestasi hasil belajar merupakan salah satu cara untuk menelusuri kemampuankemampuan yang telah dimiliki siswa setelah mengikuti proses belajar mengajar selama waktu tertentu. Meskipun tes bukanlah satu-satunya cara untuk mengungkap hasil belajar siswa, tetapi ia merupakan alat yang paling sering digunakan karena kepraktisan penggunaannya serta biaya yang murah. Sebagai alat untuk mengukur kemampuan siswa setelah mengikuti kegiatan pendidikan selama selang waktu tertentu, maka eksistensi tes menjadi sangat penting. Sebuah tes yang baik, akan bisa mengungkapkan keadaan sebenarnya dari siswa, dan tes yang tidak baik tidak akan bisa mengungkap apa kemampuan sebenarnya siswa. Sebuah tes yang baik harus valid dan reliabel. Validitas merupakan penilaian menyeluruh dimana bukti empiris dan logika teori mendukung pengambilan keputusan serta tindakan berdasarkan skor tes atau model-model penilaian yang lain. Validitas sebuah tes dapat 219
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
dilakukan dalam berbagai bentuk seperti content validity, criterion validity dan constructrelated validity (Messick, 1989). Meskipun idealnya validasi dapat dilakukan dengan memakai semua bentuk validitas tes tersebut, tetapi pengembang tes dapat memilih bentuk validasi dengan melihat tujuan pengembangan tes (Kumaidi, 1994). Selain valid, alat ukur yang baik juga harus reliabel. Sebuah tes dikatakan reliabel jika skor yang diperoleh oleh peserta relatif sama meskipun dilakukan pengukuran berulang-ulang (Aiken, 1987). Untuk memperoleh skor yang sama, maka tidak boleh ada kesalahan pengukuran. Dengan demikian, keandalan sebuah alat ukur dapat dilihat dari dua petunjuk yaitu kesalahan baku pengukuran dan koefisien reliabilitas. Kedua statistik tersebut masing-masing memiliki kelebihan dan keterbatasan (Feldt, 1989). Selain valid dan reliabel tes yang baik juga tergantung dari banyaknya butir-butir soal berkategori baik yang terdapat dalam tes. Semakin banyak butir soal yang baik, semakin baiklah perangkat tes tersebut. Sebaliknya, semakin sedikit jumlah butir soal yang baik, semakin buruklah kualitas tes itu. Untuk melihat kualitas sebuah tes dapat dilakukan dengan menggunakan analisis kualitatif (teoretik) dan kuantitatif (empiris). Secara kualitatif tes dikatakan baik jika telah memenuhi persyaratan penyusunan dari sisi materi, konstruksi dan bahasa. Adapun secara kuantiatif dapat dilakukan dengan dua teknik yaitu teori tes klasik (classical true-score theory) dan teori respon butir (Item Response Theory). Dalam tulisan berikut ini, penulis hanya akan memberikan pengantar tentang analisis butir soal menggunakan teori tes klasik.
Teori Tes Klasik Salah satu teori pengukuran yang tertua didunia pengukuran behavioral adalah classical true-score theory. Teori ini dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan teori tes klasik. Teori tes klasik merupakan sebuah teori yang mudah dalam penerapannya serta model yang cukup berguna dalam mendeskripsikan bagaimana kesalahan dalam pengukuran dapat mempengaruhi skor amatan. Inti teori klasik adalah asumsi-asumsi yang dirumuskan secara sistematis serta dalam jangka waktu yang lama. Dari asumsi-asumsi tersebut kemudian dijabarkan dalam beberapa kesimpulan. Ada tujuh macam asumsi yang ada dalam teori tes klasik ini. Allen & Yen (1979) menguraikan asumsi-asumsi teori klasik sebagai berikut: 1. Asumsi pertama teori tes klasik adalah bahwa terdapat hubungan antara skor tampak (observed score) yang dilambangkan dengan huruf X, skor murni (true score) yang dilambangkan dengan T dan skor kasalahan (error) yang dilambangkan dengan E. Menurut Saifuddin Azwar (2001) yang dimaksud kesalahan pada pengukuran dalam teori klasik adalah penyimpangan tampak dari skor harapan teoritik yang terjadi secara random. Hubungan itu adalah bahwa besarnya skor tampak ditentukan oleh skor murni
220
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
dan kesalahan pengukuran. Dalam. bahasa matematika dapat dilambangkan dengan X = T + E. 2. Asumsi kedua adalah bahwa skor murni (T) merupakan nilai harapan є(X). Dengan demikian skor murni adalah nilai rata-rata skor perolehan teoretis sekiranya dilakukan pengukuran berulang-ulang (sampai tak terhingga) terhadap seseorang dengan menggunakan alat ukur. 3. Asumsi ketiga teori tes klasik menyatakan bahwa tidak terdapat korelasi antara skor mumi dan skor pengukuran pada suatu tes yang dilaksanakan ( ρet = 0). Implikasi dari asumsi adalah bahwa skor murni yang tinggi tidak akan mempunyai error yang selalu positif ataupun selalu negatif. 4. Asumsi keempat meyatakan bahwa korelasi antara kesalahan pada pengukuran pertama dan kesalahan pada pengukuran kedua adalah nol (ρele2 = 0). Artinya bahwa skor-skor kesalahan pada dua tes untuk mengukur hal yang sama tidak memiliki korelasi (hubungan). Dengan demikian besarnya kesalahan pada suatu tes tidak bergantung kesalahan pada tes lain. 5. Asumsi kelima menyatakan bahwa jika terdapat dua tes untuk mengukur atribut yang sama maka skor kesalahan pada tes pertama tidak berkorelasi dengan skor murni pada tes kedua (ρelt2). Asumsi ini akan gugur jika salah satu tes tersebut ternyata mengukur aspek yang berpengaruh terhadap teradinya kesalahan pada pengukuran yang lain. 6. Asumsi keenam teori tes klasik adalah menyajikan tentang pengertian tes yang pararel. Dua perangkat tes dapat dikatakan sebagai tes-tes yang pararel jika skor-skor populasi yang menempuh kedua tes tersebut mendapat skor murni yang sama (T = T') dan varian skor-skor kesalahannya sama (𝜎𝑒2 = 𝜎𝑒′2 ). Dalam prakteknya, asumsi keenam teori ini sulit terpenuhi. 7. Asumsi terakhir dari teori tes klasik menyatakan tentang definisi tes yang setara (essentially τ equivalent). Jika dua perangkat tes mempunyai skor-skor perolehan Xt1 dan Xt2 yang memenuhi asumsi 1 sampai 5 dan apabila untuk setiap populasi subyek X 1 = X2 + C12, dimana C12 adalah sebuah bilangan konstanta, maka kedua tes itu disebut tes yang pararel. Asumsi-asumsi teori klasik sebagaimana disebutkan di atas memungkinkan untuk dikembangkan dalam rangka pengembangan berbagai formula yang berguna dalam melakukan pengukuran psikologis. Daya beda, indeks kesukaran, efektifitas distraktor, reliabilitas dan validitas adalah formula penting yang disarikan dari teori tes klasik.
221
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
a. Daya beda Daya beda (diskriminasi) suatu butir tes adalah kemampuan suatu butir untuk membedakan antara peserta tes yang berkemampuan tinggi dan berkemampuan rendah. Daya beda butir dapat diketahui dengan melihat besar kecilnya indeks diskriminasi atau angka yang menunjukkan besar kecilnya daya beda. Adapun fungsi dari daya pembeda tersebut adalah mendeteksi perbedaan individual yang sekecil-kecilnya diantara para peserta tes. Penentuan daya beda butir biasanya dilakukan dengan menggunakan indeks korelasi, diskriminasi, dan indeks keselarasan item. Dari
ketiga cara tersebut yang paling sering
digunakan adalah indeks korelasi. Ada empat macam teknik korelasi yang biasa digunakan untuk menghitung daya beda, yaitu : (1) teknik point biserial, (2) teknik biserial, (3) teknik phi, dan (4) teknik tetrachorik. Brennan (1972) sebagaimana dikutip Yen W.M dalam Encyclopedia of Educational Research memperkenalkan cara untuk menghitung Indeks diskriminasi dengan menggunakan rumus sebagai berikut: 𝑈
𝐵=𝑛
𝐿 − 1 𝑛2
Dari rumus di atas dapat dimaknai bahwa daya beda adalah perbedaan antara proporsi kelompok atas yang menjawab benar butir tes (U/n1) dengan proporsi kelompok bawah yang menjawab benar butir tes (L/n2). Rumus tersebut dapat digunakan untuk menghitung daya beda butir-butir soal dalam bentuk pilihan ganda. Daya beda juga dapat dijelaskan sebagai derajad hubungan antara skor butir dengan skor total dengan menggunakan teknik korelasi product moment dari Pearson. Rumus khusus korelasi product moment yang dikenal dengan korelasi point biserial untuk data dalam bentuk dikotomi sebagaimana dikutip dalam Encyclopedia of Educational Research adalah sebagai berikut: 𝑟𝑝𝑏𝑖𝑠 =
(𝑋̅+ −𝑋̅) 𝑝 √𝑞 𝑆𝑥
Dimana 𝑋̅+ , mean total skor peserta yang memiliki jawaban benar. 𝑋̅ adalah mean skor total Sx, adalah standar deviasi skor total, p adalah proporsi peserta ujian yang menjawab benar pada butir tes sedangkan q adalah 1 - p. Rumus korelasi point biserial juga dapat diturunkan langsung dari rumus korelasi produk momen tanpa membuat pembatasan asumsi. Alternatif lain untuk melihat indeks daya beda adalah dengan menggunakan rumus korelasi biserial. Korelasi biserial berbeda dengan korelasi point biserial baik secara teori maupun perhitungan, akan tetapi jika digunakan untuk tujuan menganalisis butir, kedua teknik tersebut dapat diinterpretasikan dengan cara yang sama (Ebel, 1986). Crocker (1992) menyatakan rumus korelasi biserial sebagai berikut: 𝑟𝑏𝑖𝑠 =
(𝑋̅+ −𝑋̅)𝑝 𝑆𝑥 𝑦
222
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
"y" pada rumus korelasi biserial di atas melambangkan ordinat p dalam kurva normal. 𝑋̅+ , adalah mean skor dari peserta tes yang memiliki jawaban benar, 𝑋̅ adalah mean skor total, Sx adalah deviasi standar total, p adalah proporsi peserta ujian yang menjawab benar butir tes. Koefisien korelasi point biserial selalu lebih rendah dari koefisien korelasi biserial. Hal ini dikarenakan tingkat kesukaran dikombinasikan dengan kriteria oleh koefisien point biserial. Teknik lain untuk menentukan nilai daya beda adalah dengan menggunakan teknik korelasi phi (φ) . Anas Sudijono (2005) menuliskan rumus tentang teknik korelasi phi sebagai berikut: 𝜑=
𝑝𝐻 − 𝑝𝐿 2√𝑝𝑞
φ adalah angka indeks diskriminasi phi yang dianggap sebagai angka indeks diskriminasi butir. PH adalah proporsi orang yang menjawab benar kelompok atas. PL adalah proporsi orang yang menjawab benar kelompok bawah. p adalah proporsi seluruh peserta tes yang menjawab betul dan q adalah 1 dikurangi p. Untuk menyatakan bahwa besaran daya beda dapat berfungsi dengan baik, ada beberapa patokan yang dapat digunakan. Menurut Djemari Mardapi (2005) butir yang diterima harus memiliki indeks daya beda > 0,3. Butir dengan indeks daya beda kurang dari antara 0,1 sampai 0,3 perlu direvisi dan jika daya bedanya < 0,1 maka butir tersebut tidak diterima. Sedangkan Ebel & Frisbie (1986) memberikan patokan indeks daya beda sebagai berikut: Indeks daya beda
Evaluasi butir
0,4 ke atas
Butir yang sangat baik
0,3 – 0,39
Sedikit atau tidak memerlukan revisi
0,2 – 0,29
Butir memerlukan revisi
< 0,19
Butir harus dieliminasi
b. Indeks Kesukaran Indeks kesukaran butir sebagaimana dinyatakan oleh Allen & Yen (1986) adalah proportion of examinees who get that item correct. Senada dengan mereka, Sax (1980) menulis bahwa indeks kesukaran adalah proporsi peserta ujian yang menjawab benar. Saifuddin Azwar (2003) menyatakan dengan lebih lugas bahwa indeks kesukaran butir adalah rasio penjawab butir dengan benar dan banyaknya penjawab butir. Proporsi menjawab benar p (proportion correct) adalah indeks kesukaran soal yang paling sederhana dan sering digunakan dalam menentukan besaran indeks. Rumus untuk menentukan besarnya indeks kesukaran secara matematis dirumuskan oleh Saifuddin (2003) sebagai berikut: 𝑃=
𝑛1 𝑁
223
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
P adalah indeks kesukaran butir, n1 adalah jumlah peserta tes yang menjawab benar sedangkan N adalah banyaknya siswa yang menjawab butir soal tersebut. Dengan demikian untuk menghitung indeks kesukaran butir dilakukan dengan tidak membagi kelompok peserta tes kedalam kelompok atas dan bawah sebagaimana untuk menentukan daya beda. Besarnya indeks korelasi berkisar antara 0 sampai 1. Makin tinggi besaran indeks korelasi maka butir soal tersebut semakin mudah. Dan semakin kecil angka indeks korelasi maka butir soal tersebut semakin sulit. Indeks kesukaran yang berada disekitar 0,5 dianggap yang terbaik. Karena itulah maka menurut Allen & Yen (1986) tingkat kesukaran yang baik adalah 0,3 sampai 0,7. Butir dengan tingkat kesulitan dibawah 0,3 dianggap butir soal yang sukar sedangkan jika indeksnya diatas 0,7, butir soal tersebut dianggap mudah. Dari penjelasan di atas ada beberapa hal yang bisa disimpulkan berkaitan dengan indeks kesukaran butir yaitu bahwa nilai p bagi suatu butir hanya menunjukkan indeks bagi kelompok yang diuji. Harga p ini bisa berubah jika tes diujikan pada kelompok yang berbeda. Selain itu, indeks kesukaran yang dihasilkan dari rumus ini adalah indeks kesukaran yang berlaku bagi kelompok secara keseluruhan bukan perorangan. Indeks kesukaran bagi tiap peserta tes tidak bisa disimpulkan dengan melihat indeks proporsi menjawab benar p.
c. Efektivitas Distraktor Setiap tes pilihan ganda memiliki satu pertanyaan serta beberapa pilihan jawaban. Diantara pilihan jawaban yang ada, hanya satu yang benar. Selain jawaban yang benar tersebut, adalah jawaban yang salah. Jawaban yang salah itulah yang dikenal dengan distractor (pengecoh). Dengan demikian, efektifitas distraktor adalah seberapa baik pilihan yang salah tersebut dapat mengecoh peserta tes yang memang tidak mengetahui kunci jawaban yang tersedia. Semakin banyak peserta tes yang memilih distraktor tersebut, maka distaktor itu dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Cara menganalisis fungsi distraktor dapat dilakukan dengan menganalisis pola penyebaran jawaban butir. Pola penyebaran jawaban sebagaimana dikatakan sudijono adalah suatu pola yang dapat menggambarkan bagaimana peserta tes dapat menentukan pilihan jawabannya terhadap kemungkinan-kemungkinan jawaban yang telah dipasangkan pada setiap butir (Sudijono, 2005). Menurut Fernandes (1984) distraktor dikatakan baik jika dipilih oleh minimal 2% dari seluruh peserta. Distraktor yang tidak memenuhi kriteria tersebut sebaiknya diganti dengan distraktor lain yang mungkin lebih menarik minat peserta tes untuk memilihnya. Meskipun penggunaan teori tes klasik relatif mudah dalam menganalisis butir, tapi teori ini memiliki beberapa kelemahan mendasar. Kelemahan utama teori tes klasik adalah keterikatan alat ukur teori tersebut pada sampel (sample bound) (Suryabrata, 2004). Kemampuan kelompok siswa
224
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
yang mengikuti tes sangat mempengaruhi nilai statistik. sehingga nilai statistiknya akan berbeda jika tes diberikan kepada kelompok yang lain. Selain itu, perkiraan kemampuan peserta tergantung pada butir soal. Jika indeks kesukaran rendah maka estimasi kemampuan seseorang akan tinggi dan sebaliknya. Perkiraan kesalahan pengukuran tidak mencakup perorangan tetapi kelompok secara bersama-sama. Hal ini dikarenakan respon setiap peserta tes terhadap soal tidak bisa dijelaskan oleh teori tes klasik. Dalam proses pembelajaran hal-hal tersebut akan menimbulkan berbagai macam kesukaran terutama untuk melihat kemampuan peserta tes secara perorangan. Oleh karena itulah ada upaya untuk membebaskan alat ukur dari keterikatan terhadap sampel (sample-free). Berangkat dari hal itulah maka para ahli kemudian menyusun teori baru yang bermaksud untuk melengkapi dan memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada dalam teori tes klasik. Teori ini kemudian dikenal dengan Item Response Theory (IRT) atau teori respon butir.
Penutup Untuk mendapatkan perangkat tes yang baik, maka butir-butir soal yang terdapat dalam perangkat tes tersebut haruslah baik. Pengetahuan tentang butir soal yang baik dapat dilakukan dengan menganalisis butir soal. Secara umum, ada dua cara yang dapat dilakukan untuk melakukan analisis terhadap sebuah soal yaitu analisis soal secara kualitatif (teoritik) dan kuantitatif (empiris). Analisis soal dengan cara kualitatif dapat dilakukan sebelum soal-soal diberikan kepada peserta tes. Analisis ini dilakukan dengan cara menelaah kesesuaian dengan kemampuan dasar dan indikator yang hendak diukur serta apakah butir-butir soal tersebut telah memenuhi persyaratan dari aspek materi, konstruksi dan bahasa. Analisis soal dengan cara kuantitatif (empiris) dapat dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan yaitu teori tes klasik dan teori respon butir. Analisis butir soal dengan teori tes klasik merupakan yang termudah meskipun memiliki beberapa keterbatasan. Diantara keterbatasan tersebut yang paling menonjol adalah statistik butir yang dihasilkan berupa daya beda, tingkat kesukaran dan efektifitas distraktor sangat tergantung kepada karaktersistik peserta. Jika kemampuan peserta rendah, maka tingkat kesukaran tes akan tinggi dan sebaliknya. Adapun daya beda sangat tergantung pada homogenitas peserta tes.
225
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
DAFTAR SKOR SISWA
Jumlah siswa yang menjawab benar = 13 Jumlah siswa yang menjawab salah = 17 Jumlah siswa keseluruhan = 30 Rata-rata siswa yang menjawab benar = 192:13 = 14,7692 Rata-rata siswa yang menjawab salah = 200:17 = 11,7647 Rata-rata skor siswa keseluruhan = (192+200) :30 = 13,0667 Simpangan baku skor total = 3,0954 Jumlah skor keseluruhan = 392
=(0,9706338) (0,4955355) = 0,4809835 = 0,48 (Artinya butir soal diterima/baik)
226
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Daftar Pustaka
Aiken, L. R. 1987. Assessment of Intelectual functioning. Massachussetts: Allyn and Bacon Inc. Allen, M. J., & Yen, W. M. 1979. Introduction to measurement theory. Monterey, California: Brookd/Cole Publishing Company. Azwar, S. 2003. Tes Prestasi: Fungsi dan Pengembangan Pengukuran Prestasi Belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Crocker, L. 1992. “Item analysis”. Dalam Alkin M.C. (Eds.), Encyclopedia of educational research. (pp. 652-657). New York: Macmillan Library reference USA. Ebel, R. L., & Frisbie, D. A. 1986. Essentials of educational measurement. New Jersey: Prentice Hall Inc. Fernandes, H. J. X. 1984. Testing and measurement. Jakarta: National Education Planning, Evaluation and Development. Feldt, L. S. & Brennan, R. L. 1989. “Reliability” dalam Linn R. L. (Eds.), Educational MeasurementThird Edition. (pp. 105-146). New York: McMillan. Sudijono, A. 2005. Pengantar evaluasi pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Kumaidi. 1994. “Studi analitik terhadap karakteristik internal dari ujian seleksi masuk ke perguruan tinggi”. Makalah disajikan dalam seminar pengkajian ujian saringan masuk ke perguruan tinggi di BALITBANG Depdiknas Jakarta. Mardapi, D. 2005. Pengembangan instrumen penelitian pendidikan. Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta. Messick, S. 1989. “Validity” dalam Linn, R. L. (Eds.), Educational measurement third edition. (pp. 13-103). New York: McMillan. Sax, G. 1980. Principles of educational and psychological measurement and evaluation. Belmont: Wadsworth Publishing Company. Suryabrata, S. 2004. Pengembangan alat ukur psikologi. Yogyakarta: Penerbit Andi. Yen, W. M. 1992. “Item Response Theory”. dalam Alkin M. C. (Eds.), Encyclopedia of Educational Research (pp. 657-666). New York: Macmillan Library Reference USA.
227
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
PROTOTIPE GENERASI MUDA IDEAL DALAM KABA MINANGKABAU SEBAGAI BEKAL MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN Jasril Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP YDB Lubuk Alung, Sumatera Barat
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan prototipe generasi muda ideal dalam kaba Minangkabau.Data penelitian ini berupa kata, kalimat, dan satuan cerita yang memuat prototipe generasi muda ideal diambil dari kaba Minangkabau. penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik baca-catat, dianalisis menggunakan teknik analisis isi. Hasil analisis menunjukkan bahwa tokoh cerita kaba memiliki sifat-sifat religius,jujur, bertanggung jawab, disiplin, pekerja keras, percaya diri, mandiri, menyadari hak dan kewajiban, patuh pada aturanaturan sosial, menghargai pendapat orang lain, menghargai karya dan prestasi orang lain, dan santun kepada orang lain, peduli lingkungan, dan cinta tanah air. Sifat-sifat ini teraplikasi dalam kehidupan sehari-hari tokoh cerita kaba dan merupakan prototipe generasi muda idel yang harus ditiru dan diapliksikan oleh generasi muda Indonesia dalam rangka menghadapi masyarakat Ekonomi ASEAN. Kata kunci: prototipe, generasi muda,kaba, Minangkabau
Pendahuluan Krisis multidimensi yang melanda bangsa Indonesia tahun 1997/1998 membawa dampak buruk yang sampai sekarang belum berakhir. Bermula dari krisis ekonomi, berlanjut kepada krisis politik, hukum, kepercayaan, kepemimpinan, sampai akhirnya terjadi krisis akhlak, dan moral. Akibatnya, sosok manusia Indonesia cukup banyak ditemukan adalah sosok yang tidak tulus, tidak bersungguh-sungguh, senang yang semu, senang berbasa-basi, melanggengkan budaya ABS (Asal Bapak Senang). Krisis akhlak dan moral yang menimpa bangsa Indonesia juga menimpa generasi muda. Dari pemberitaan media massa baik cetak maupun elektronik masih banyak perilaku
negatif yang dilakukan oleh generasi muda dalam bentuk main game dan playstation saat jam pelajaran, tawuran, judi, miras, dan mengisap lem, pelaku perkosaan, dan lebih buruk lagi ada pelajar yang melakukan pencurian kendaraan bermotor. Kondisi ini tentu saja sangat mencemaskan, sebab bila terus berlanjut akan mengancam masa depan Negara Republik Indonesia. Apalagi Indonesia akan ikut dalam masyarakat ekonomi 228
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
ASEAN. Oleh sebab itu, diperlukan generasi muda berakhlak dan bermoral baik, serta bermental tangguh sebagai bekal dalam percaturan perekonomian dikawasan ASEAN. Pemerintah sudah melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki krisis akhlak dan moral generasi muda, diantaranya melalui perubahan kurikulum ke kurikulum pendidikan berkarakter. Namun, usaha itu sampai sekarang belum memberikan hasil yang maksimal. Hal ini ditandai dengan masih maraknya perilaku negatif generasi muda. Perilaku negatif ini disinyalir bukan disebabkan oleh kesalahan kurikulum dan sistem pendidikan semata, namun karena minimnya keteladanan yang dapat dicontoh. Selama ini generasi muda lebih banyak disuguhi hal-hal yang negatif, seperti tayangan negatif sinetron, berita korupsi, suap-
menyuap, tindak kekerasan, dan perselingkuhan pejabat publik dengan porsi yang besar dibandingkan dengan keberhasilan para pejabat dalam memimpin. Melihat kenyataan ini, perlu dimunculkan keteladanan yang dapat dijadikan contoh oleh generasi muda. Usaha ini dapat dilakukan dengan pemberdayaan karya sastra. Karya sastra
merupakan produk budaya yang menawarkan nilai-nilai keteladanan. Hal ini sesuai dengan pendapat Ratna (2003:35), bahwa tujuan akhir dari penciptaan karya sastra adalah sebagai motivator ke arah aksi sosial yang lebih bermakna, sebagai pencari nilai-nilai kebenaran yang dapat mengangkat dan memperbaiki situasi dan kondisi alam semesta. Dengan demikian, karya sastra dan telaahnya dapat menambah wawasan masyarakat dalam bentuk memberikan alternatif-alternatif dalam menyelesaikan masalah kehidupan.
Salah satu karya sastra yang banyak mengandung nilai-nilai kehidupan adalah kaba Minangkabau. Kaba merupakan cerita rakyat Minangkabau yang menggunakan bahasa Minangkabau disampaikan secara lisan dengan cara bercerita yang di sebut berkaba (Ahmad, 1979:27). Sebagai cerita rakyat, kaba telah dituturkan dan diwariskan secara turun temurun dari dahulu hingga sekarang. Keberadaan cerita kaba sebagai produk budaya Minangkabau merupakan objek yang sarat dengan contoh-contoh yang dapat diteladani. Menurut Djatmiko (2006:50), untuk membangun masyarakat madani diperlukan karakter dan moral bangsa yang kokoh yang bersumber dari nilai-nilai luhur budaya bangsa yang dipadu dengan nilai-nilai universal. Menurut Sugono (2004), nilai-nilai karya sastra lama yang memuat informasi kehidupan masa lalu perlu dihadirkan kembali dalam kehidupan masa kini. Menghadirkan kembali nilai karya sastra penting karena karya sastra lama banyak menyimpan pengetahuan masa lampau yang memiliki peran besar dalam menata hidup masa kini dan masa depan. Penegasan ini sesuai dengan pendapat Hasannuddin WS 229
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
(2009) bahwa sastra pada zaman lampau (kaba) berperan sebagai suatu pelajaran pada zaman sekarang terutaman kandungan nilai budi pekertinya yang disikapi secara positif. Berkaitan dengan
hal itu, penelitian ini akan mencoba menggali tentang prototipe
generasi muda ideal dalam dalam karya sastra lama, yaitu kaba Minangkabau. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif dengan teknik analisis isi. Data penelitian ini berupa kata, kalimat, dan wacana yang memuat nilai-nilai pendidikan karakter yang diambil dari kaba Angggun Nan Tongga, kaba Cindua Mato, kaba Sutan Lembak Tuah, kaba Rambun Pamenan, dan kaba Rancak Dilabuah. Pemilihan sumber data dilakukan secara purposivsampling dengan pertimbangan, yaitu (1) fokus penelitian; (2) kepopuleran kaba; (3) kebertahanan kaba; dan (4) pengaruh cerita kabaterhadap masyarakat. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik baca-catat-analisis yang dilakukan secara bersamaan dengan langkah pengambilan data, analisis data, dan interpretasi data dapat dilakukan secara bersamaan.
Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, ditemukan prototipe generasi muda ideal dalam kaba Minangkabau. prototipe generasi muda ideal yang ditemukan itu akan diuraikan sebagai berikut. 1. Tokoh Cerita Kaba Memiliki Sifat Religius Berdasarkan hasil penelitian ditemukan beberapa kaba yang menggambarkan tokoh cerita kaba memiliki sifat religius. Tokoh cerita kaba dalam kehidupannya berpikir, berkata, dan bertindak selalu berdasarkan ajaran agama Islam. Tokoh cerita kaba meyakini ajal ditentukan Allah, hidup berserah diri kepada Allah, meyakini semua peristiwa yang terjadi sebagai takdir Allah, memohon pertolongan kepada Allah, dan hidup bersyukur kepada Allah. Tokoh cerita kaba meyakini kematian tidak akan datang kepada seseorang melainkan sesuai ajal yang sudah ditentukan Allah. Keyakinan ini tergambar pada kematian Datuak Tumangguang diyakini sebagai ketetapan Allah seperti yang terlihat pada kutipan berikut.
(1) Allah Ta’ala kayo sungguah, janji sampai ajal berpulang, alah mangkat Datuak Tumangguang….(Allah sangat kaya, ajal datang setelah janjian sampai, telah meninggal Datuak Tumangguang (KRP, 2013:10)
Keyakinan serupa juga ditemui dalam kaba CinduaMato berkaitan dengan kecemasan Bundo Kanduang ketika Tiang Bungkuak akan menuntut balas atas kematian anaknya Imbang Jayo. Cindua Mato yang akan menghadapi Tiang Bungkuak meyakinkan Bundo Kanduang bahwa kematian di tangan Allah. Dengan keyakinan bahwa mati adalah ketentuan Allah maka 230
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
tokoh-tokoh protagonis dalam kaba tidak menjadikan ketakutan akan mati sebagai penghalang dalam berusaha memperjuangkan hidup. Seolah-olah cerita kaba mengamanatkan bahwa ketakutan akan mati tidak akan memperpanjang umur dan keberanian melawan ajal tidak akan memperpendek usia. Dalam kaba juga digambarkan kesadaran para tokoh menjalani kehidupan dengan berserah diri kepada Allah. Cindua Mato berserah diri kepada Allah ketika akan pergi menghadapi Tiang Bungkuak yang tergambar dalam kutipan berikut.
(2)
Sarahkan ka Allah Tuhan nan kuaso (Serahkan diri kepada Allah Tuhan yang berkuasa. (KCM, 2015:147)
Berserah diri kepada Allah juga dilakukan Rambun Pamenan katika mencari ibunya yang dilarikan oleh rajo Aniayo. Begitu juga dengan Sutan Lembah Tuah yang berserah diri diri kepada Allah setelah dijatuhi hukuman buang ke Jawa akibat difitnah oleh Angku Lareh. Berserah diri kepada Allah merupakan bentuk keyakinan tokoh cerita bahwa manusia hanya berusaha sementara hasilnya Allah yang menentukan. Berserah diri kepada Allah menambah keyakinan tokoh cerita mengenai semua peristiwa yang terjadi sebagai takdir Allah. Misalnya, jodoh untuk Siti Budiman sudah ditakdirkan oleh Allah yang terlihat pada kutipan berikut.
(3)
Indak lari gunuang dikaja, namun takadiah pado Allah (Tidak lari gunung dikejar, takdir berada ditangan Allah, (KRD, 2013:33)
Keyakinan bahwa semua peristiwa yang terjadi sebagai takdir Allah juga terdapat dalam kaba Cindua Mato. Hujan deras dan angin ribut yang terjadi ketika berlangsung pernikahan antara Imbang Jayo dengan Puti Bungsu sebagai takdir Allah. Begitu juga belum bertemunya Alamsudin dengan jodohnya, meskipun sudah lama gelanggang rami, juga sebagai takdir Allah. Keberhasilan Sutan Lembak Tuah membunuh ular besar diyakini oleh okoh cerita kaba sebagai takdir Allah. Keyakinan akan adanya takdir Allah menjadikan tokoh cerita sabar bila mendapat cobaan dan bersyukur bila mendapat rahmat. Tokoh cerita kaba juga digambarkan memohon pertolongan kepada Allah dan bersyukur bila mendapat karunia Allah. Cindua Mato meminta di doakan oleh Bundo Kanduang dan segenap rakyat Pagaruyung ketika akan berangkat melawan Tiang Bungkuak. Begitu juga Rambun Pamenan meminta di doakan oleh kakaknya supaya selamat dalam perjalanan mencari ibunya ke nagari Camin Tarui. Anggun Nan Tongga meminta di doakan supaya selamat dalam perjalanannya mencari mamaknya yang tergambar dalam kutipan berikut. 231
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
(4)
Urang rami bukan kepalang, maantakan Nan Tongga pai balayia, diantakan dengan doa salamaik (Orang ramai berdatangan mengantarkan Anggun Nan Tongga pergi berlayar, mendoakan supaya selamat dalam perjalanan (KANT, 2015:45).
Gambaran tokoh cerita kaba yang bersyukur kepada Allah ketika mendapat rahmat adalah dilakukan oleh Mandeh Siti Rabiatun setelah mengetahui anaknya selamat dari palutan ular besar ketika mencari obat untuk dirinya. Sementara, Bundo Kanduang bersyukur kepada Allah dan berselawat kepada nabi Muhammad, atas nikmat Allah yang dicurahkan kepada Cindua Mato yang memenangkan perperangan atas Tiang Bungkuak. Uangkapan syukur ini merupakan bentuk kesadaran dalam kondisi bergembira tidak melupakan Allah dan Rasul-Nya. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa para tokoh dalam cerita kaba mengerahkan pikiran, perkataan, dan tindakan kepada Allah. Pengerahan ini sebagai bentuk keyakinan yang kuat kepada Allah, sehingga menjadikan manusia sebagai makhluk yang bertindak dan berperilaku sesuai dengan tuntunan yang diberikan oleh Allah yaitu Al-quran dan hadist. Keyakinan yang kuat kepada Allah, menjadikan tokoh cerita kaba sukses dalam mengarungi kehidupan. Sikap tokoh cerita kaba yang demikian kepada Allah dapat dijadikan contoh bagi generasi muda dalam kehidupan. 2. Tokoh Cerita Kaba Memiliki Sikap Jujur, Tanggung Jawab, Kedisiplinan, Kerja Keras, Percaya Diri, Kemandirian, Kreatif,dan Rasa Ingin Tahu Berdasarkan hasil penelitian ditemukan beberapa kaba yang menggambarkan tokoh cerita kaba memiliki sikap jujur, tanggung jawab, disiplin, kerja keras, percaya diri, mandiri, kreatif, dan memiliki rasa ingin tahu. Cindua Mato dengan jujur melaksanakan keinginan Dang Tuanku membawa Puti Bungsu ke Pagaruyuang. Selama beberapa hari Puti Bungsu bersamanya tidak pernah terniat olehnya untuk berperilaku buruk kepada Puti Bangsu. Begitu juga Anggun Nan Tongga dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab mencari dan membebaskan mamaknya yang ditawan. Sikap disiplin digambarakan oleh Sutan Lembak Tuah selama dia menjadi polisi di Kota Bandung. Selama menjadi polisi di Bandung, Sultan Lembak Tuah berhasil menangkap para pencuri yang mengganggu ketentraman masyarakat. Kedisiplinannya dalam bekerja membuahkan banyak prestasi sampai ia diangkat menjadi Asisten Damang di Banten. Sikap disiplin yang dimiliki oleh Sutan Lembak Tuah dibarengi oleh kerja keras. Kerja keras Sutan Lembak Tuah siang malam menjadikan dia sebagai polisi yang berprestasi. Sikap percaya diri ditunjukkan oleh Cindua Mato. Meskipun sudah diberitahu oleh Bundo Kanduang akan kesaktian Tiang Bungkuak, namun dia percaya diri untuk mencoba 232
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
melawan Tiang Bungkuk. Keyakinan akan kemampuan yang dimiliki oleh Cindua Mato bahwa dia bisa mengalahkan Tiang Bungkuk, menjadikan Cindua Mato mempunyai keberanian lebih untuk mengalahkan Tiang Bungkuk yang memiliki kesaktian tinggi. Sikap percaya diri yang dimiliki oleh Cindua Mato pada akhirnya menjadi pendorong baginya mengalahkan Bungkuk. Sikap mandiri digambarkan oleh Rambun Pamenan ketika mencari ibunya. Dia berusaha sendiri membebaskan ibunya yang ditahan oleh Rajo Angek Garang. Dalam diri Rambun Pamenan tertanam sikap bahwa dia harus membabaskan sendiri ibunya dari tahanan Rajo Angek Garang. Selanjutnya, sikap kreatif kreatif ditunjukkan oleh Sutan Lembak Tuah ketika ia pergi menemui Siti Rabiatun ke Padang. (5)
Lorong kapado Lembak Tuah, bamanuang-manuang juo duduak surang, pikiran raso-raso ka sampai, dicari aka tidak mangasan, kalau mambuhua indak mangasan, pandai mambungkui indak tabaun. (Sutan Lembak Tuah bermenung sendiri mencari akal untuk menguji kesetiaan Rabiatun kepanya) (KSLT, 2006:73).
Bentuk keingintahuan terlihat dalam sikap Rambun Pamenan. Dia bersikeras ingin mengetahui di mana keberadaan kedua orang tuanya. Dia menanyakan kepada kakaknya keberadaan orang tuanya. (6)
Apo sabab mandeh ka sinan, siapo nan manjapuik mandeh, dahulu lai denai tanyokan, kato aciak kito tidak bamandeh (Apa yang menyebabkan ibu kesana, kata kakak kita tidak beribu) (KRP, 2013:26)
Selanjutnya, prestasi Sutan Lembak Tuah selama menjadi polisi menyebabkan dia diangkat menjadi asisten Damang. Prestasinya yang semakin bagus selama menjadi asisten Damang mengangkatnya menjadi Damang di Kampuangnya. Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa kaba dalam hubungan dengan diri sendiri menonjolkan sikap kejujuran, tanggung jawab, kedisiplinan, kerja keras, percaya diri, kemandirian, kreatif,dan rasaingintahu. Sikap hidup yang dimiliki oleh tokoh cerita kaba menjadikan tokoh cerita kaba sukses dalam kehidupan. Dengan demikian, sifat-sifat yang ada dalam diri tokoh cerita kaba dapat dijadikan contoh bagi generasi muda dalam kehidupan. Hal ini relevan dengan pendapat Samovar dan Porter (2001) yang mengatakan bahwa setiap cerita rakyat bercerita tentang orang-orang yang digunakan untuk mentransfer nilai kehidupan dari generasi ke generasi berikutnya.
233
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
3. Tokoh Cerita Kaba Memiliki Sikap Menyadari Hak dan Kewajiban, Patuh kepada Aturan-Aturan Sosial, Menghargai Pendapat Orang Lain, Menghargai Karya dan Prestasi Orang Lain, Santun Kepada Orang Lain, Toleransi, Demokratis, Bersahabat/Komunikatif, Cinta Damai, dan Peduli Sosial Berdasarkan hasil penelitian ditemukan tokoh cerita memiliki sikap menyadari hak dan kewajiban, patuh pada aturan-aturan sosial, menghargai pendapat orang lain, menghargai karya dan prestasi orang lain, santun kepada orang lain, toleransi, demokratis, bersahabat/komunikatif, cinta damai, dan peduli sosial. Dalam kerajaan Pagaruyuang terdapat strata sosial yang berbeda. Bundo Kandung menjalin kerjasama yang baik dengan para pembantunya yaitu Si Salamaik dan Si Kambang, meskipun antara dia dengan pembantunya memiliki kedudukan yang berbeda. Dia tidak membeda-bedakan antara pembantunya dan membangun sikap saling menghargai. Mereka tinggal bersama saling tolong-menolong dan memahami peran masingmasing. Hubungan baik bak bersaudara kandung juga terjalin antara Dang Tuangku dengan Cindua Mato. Meskipun Dang Tuanku anak raja, sementara Cindua Mato anak dayang kerajaan, tetapi mereka digambarkan sebagai orang yang bersaudara saling tolong-menolong dalam segala hal. Tidak tampak perbedaan kedudukan antara mereka berdua. Hubungan baik juga terjalin antara aparat kerajaan. Antara Bundo Kanduang, Dang Tuanku, Cindua Mato mempunyai hubungan yang baik dengan Basa Ampek Balai dan Rajo Duo Selo. Mereka saling memberikan masukan demi kebaikan bersama. Antara mereka saling menghargai dan menghormati dalam kapasitas masing-masing. Sebagai cerita dengan latar belakang budaya Minangkabau yang menganut cara musyawarah-mufakat, penghargaan, dan saling tolong-menolong sesama manusia digambarkan pada tokoh-tokoh cerita. Tolong-menolong dilihat hampir disetiap bagian cerita. Misalnya, ketika Rabiatun dipalut ular besar, datanglah Lembak Tuah menolong, bahkan menolong mencarikan obat untuk ibu Rabiatun. Dibagian lainnya juga terjadi pertolongan Lembak Tuah kepada Rabiatun ketika akan diperkosa Lelo Kayo. Selain itu juga diceritakan Lembak Tuah ditolong oleh Tuan Residen sehingga dia menjadi seorang polisi sampai akhirnya menjadi demang. Walaupun terdapat tingkat kekuasaan yang berbeda antara Bundo Kanduang, Dang Tuanku, Cindua Mato dengan aparat kerajaan, yaitu Basa Ampek Balai dan Rajo Duo Selo, namun dalam memberikan masukan untuk mencapai keputusan hokum tidak menggunakan kekuasaan mutlak. Keputusan mereka ambil dengan musyawarah berdasarkan pertimbangan alur adat dan kepatutan dengan bukti dan pertimbangan rasional. Dengan demikian, terdapat orientasi hubungan yang setara dalam kebersamaan, demokratis dan bertanggung jawab. Hal serupa juga ditemukan dalam kaba Rancak Dilabuah. 234
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa tokoh cerita kaba memiliki sikap sikap
menyadari hak dan kewajiban, patuh pada aturan-aturan sosial, menghargai pendapat orang lain,
menghargai
karya
dan
prestasi
orang
lain,
santun
kepada
orang
lain,
toleransi,demokratis,bersahabat/komunikatif,cinta damai, danpeduli sosial. Sikap menjaga hubungan baik dengan sesama, menjadikan tokoh cerita bisa bergaul dengan baik dngan orang lain. Bentuk Dengan demikian, kaba dapat difungsikan sebagai sarana pendidikan dalam hubungan dengan sesama. 4. Tokoh Cerita Kaba Memiliki Sikap PeduliLingkungan Berdasarkan hasil penelitian ditemukan tokoh cerita kaba yang memperlakukan lingkungan dengan baik dalam bentuk menjalin pertemanan dengan lingkungan. Persabatan dengan lingkungan akan mendatangkan manfaat bagi manusia. Pertemanan dengan lingkungan (hewan) oleh tokoh dalam kaba Cindua Mato, dapat membantu pemenuhan kebutuhan. Kuda digunakan sebagai alat transportasi, ayam sebagai alat permainan, kerbau sebagai hewan peliharaan, dan burung sebagai hewan kesayangan. Selain itu, juga digambarkan tokoh cerita pemeliharaan tanaman hias sebagai perbuatan memelihara lingkungan. Pemanfatan lingkungan juga ditemukan pada Puti Andami Sutan yang menyuruh sahabatnya burung nuri mencari Puti Gondoriah ke Tiku Pariaman guna mengabarkan kondisi Anggun Nan Tongga Magek Jabang yang selamat dalam pelayarannya. Nan Tonga telah berhasil mengalahkan para penyamun dan menyelamatkan mamaknya yang tergambar sebagai berikut. (7) Adiak denai buruang nuri, sajak ketek denai gadangkan…adik disuruak disarayo (Adik saya burung nuri, sejak kecil saya besarkan, adik saya suruh (KANT, 2015:110) Persahabatan dengan lingkungan juga dilakukan oleh Rambun Pamenan dengan garuda besar. Perteman Rambun Pamenan dengan garuda besar terjalin setelah Rambun pamenan membunuh ular naga yang hendak memakan anak garuda. Sebagai ucapan terima kasih, induk garuda membantu mengantarkan Rambun Pamenan ke nagari cermin tarui. Burung garuda juga membantu Rambun Pamenan ketika hendak kembali pulang ke kampung halamannya. Berdasarkan uraian di atas, dapat simpulkan bahwa tokoh cerita kaba yang menjaga lingkungan dengan baik dan memanfaatkan lingkungan untuk kemaslahatan hidup. Dengan demikian, pola hubungan dengan lingkungan yang digambarkan dalam kaba dapat dijadikan sebagai contoh dalam kehidupan. 5. Tokoh Cerita Kaba Memiliki Sikap CintaTanahAir Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa tokoh cerita kaba memiliki sikap cinta tanah air dalam bentuk, tokoh cerita berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan diri dan kelompok. Sutan Lembak Tuah ketika menjadi 235
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Damang mengutamkan kepentingan masyarakat dalam pembangunan yang terlihat pada kutipan berikut. (8)
Sajak manjadi Tuanku Damang, surau musajik didirikan, banda jo sawah disuruah buek (Sejak menjadi Damang, surau dan masjid didirikan, saluran irigasi dibuat (KSLT, 2006:94)
Perilaku serupa juga dilakukan oleh Cindua Mato ketika melihat banyak jatuh korban rakyat yang tidak bersalah, dia berpura-pura menyerah kepada Tiang Bungkuak. Dia pun di tawan oleh Tiang Bungkuk sampai tau cara membunuh Tiang Bungkuk. Kebaikan dalam memimpin yang mengutamakan kepentingan orang banyak menjadikan Rambun Pamenan disenangi oleh rakyat nagari Camin Tarui yang dipimpinnya setelah dia menggantikan menggantikan rajo Angek Garang yang dibunuhnya. Selama diperintah oleh raja Angek Garang, rakyat Rakyat Camin Tarui sangat menderita karena raja lebih mementingkan kepentingan pribadinya. Berdasarkan uraian di atas, dapat simpulkan bahwa tokoh cerita yang mengutamakan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi dan kelompok berhasil dalam memimpin. Pemimpin seperti ini mendapat dukungan dari masyarakat dan disenangai oleh masyarakat. Dengan demikian, pola kepemimpinan yang digambarkan dalam kaba dapat dijadikan sebagai contoh dalam kehidupan. Penutup Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan disimpulkan bahwa prototipe generasi muda ideal yang digambarkan dalam kaba Minangkabau adalah generasi muda yang memiliki sifat religius, jujur, bertanggung jawab, disiplinan, pekerja keras, percaya diri, dan mandiri,
menyadari hak dan kewajiban, patuh pada aturan-aturan sosial, menghargai pendapat orang lain, menghargai karya dan prestasi orang lain, santun kepada orang lain, peduli lingkungan, dan cinta tanah air. Prototipe ini harus ditiru dan diaplikasikan dalam kehidupan generasi muda sebagai bekal menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN
Daftar Pustaka Abdurrahman. 2011. Nilai-nilai Budaya dalam Kaba Minangkabau Suatu Interpreatsi Semiotik. Padang: UNP Press. Ahmad, Sabaruddin. 1979. Kesustraan Minang Klasik. Jakarta: Depdikbud. Alam, Dt. Panduko. 2013. Kaba Rancak Dilabuah. Bukitting: Kristal Multimedia.
236
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Amir, Adriyeti dkk. 2006. Pemetaan Sastra Lisan Minangkabau. Padang: Andalas University Press. Amir MS. 2007. Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minangkabau. Jakarta: Mutiara Sumber Wijaya. Djatmiko, Harmonto Edy. 2006. Revolusi Pemikiran Bangsa Menurut Pemikiran M Soeparno. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Endah, Sjamsuddin St. Rajo. 2006. KabaSutan Lembak Tuah. Bukittinggi: Kristal Multimedia. Endah, Sjamsuddin St. Rajo. 2015. Kaba Cindua Mato. Bukittinggi: Kristal Multimedia. Hasanuddin WS. 2004. ”Latar Belakang Penulisan Kaba Cindua Mato Sebagai Karya Sastra Historiografi Minangkabau” dalam Humanus Vol VII No 1. Hal 32—41. Hasanuddin WS. 2009. Ensiklopedi Kesusastraan Indonesia. Bandung: Angkasa. Mahkota, Ambas. 2015. Anggun Nan Tongga. Bukittinggi: Kristal Multimedia. Moleong, Lexy J. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya. Pangaduan, Sutan Mangkudun Ilyas Sutan.2013. KabaRambunPamenan. Bukittinggi: Kristal Multimedia. Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Samovar, Larry A. dan Richard E. Porter. 2001. Communication Between Cultures. Belmont CA: Wadsworth Publishing Company. Sugono, Dendi. 2004. “Kata Pengantar Kepala Pusat Bahasa” dalam Kaba Minangkabau: Ringkasan Isi Cerita Serta Tema dan Amanat. Jakarta: Pusat Bahasa.
237
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
PENERAPAN TEORI HONEY DAN MUMFORD PADA MATA KULIAH KEBAHASAAN GUNA MENYONGSONG MASYARAKAT EKONOMI ASEAN Latifah
[email protected] R. Mekar Ismayani
[email protected] STKIP Siliwangi Bandung Abstrak Mata kuliah Morfologi adalah kajian ilmu yang termasuk ke dalam kelompok kebahasaan, mata kuliah ini dianggap sulit oleh mahasiswa dikarenakan struktur-struktur serta penggunaan bahasa yang sesuai dengan ejaan yang berlaku harus dipahami secara benar, ketepatan penggunaan kata pada setiap kalimat agar menjadi wacana yang utuh yang bisa dipahami oleh pembaca/penyimak bergantung pada penggunaan struktur-struktur kata tersebut, oleh karena itu penulis mencoba melakukan penelitian tentang penggunaan bahasa khusunya di bidang morfologi dengan menerapkan teori humanistik menurut pandangan Honey dan Mumford. Hasil yang didapat pembelajaran analisis morfologi khususnya dalam penggunaan afiks dan kata depan mengalami peningkatan, sebelum menerapkan teori Honey dan Mumford rata-rata nilai mahasiswa sebesar 5,60 setelah menerapkan teori Honey dan Mumford hasil nilai mahasiswa menjadi 9,2, mengalami kenaikan yang signifikan sebesar 3,67. Dengan kemampuan menganalisis secara morfologis mahasiswa akan siap menyongsong MEA sebagai bekal mereka untuk dijadikan sebagai keahlian profesi, serta mampu membina dan mempertahankan eksistensi bahasa Indonesia di Asean. Kata kunci: Morfologi, Teori belajar Honey dan Mumford, dan Masyarakat Ekonomi ASEAN
Pendahuluan Latar Belakang Masalah Mata kuliah yang termasuk ke dalam lingkup kebahasaan adalah morfologi, sintaksis, dan semantik. Mata kuliah ini dianggap sulit oleh mahasiswa walaupun dalam kesehariannya mayoritas mereka menggunakan bahasa Indonesia akan tetapi belum tentu mereka mampu menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Mereka harus memahami dengan benar kaidah-kaidah kebahasaan yang sesuai dengan ejaan yang berlaku. Kesulitan ini dapat diketahui oleh penulis setelah melakukan tes kebahasaan (pretes) di STKIP Siliwangi Bandung, nilai yang didapat belum mencapai hasil yang memuaskan. Mahasiswa perlu dilatih agar mereka mampu menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, sehingga diperlukan teori belajar yang sesuai guna menunjang proses pembelajaran. Penulis akan mencoba menerapkan teori belajar humanistik menurut pandangan Honey dan Mumford dalam mata kuliah kebahasaan khususnya kajian morfologi guna mempersiapkan mahasiswa yang berkompeten serta mampu 238
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
mempertahankan eksistensi bahasa Indonesia agar tetap terjaga dan terpelihara dan mampu mendunia. Bahasa Indonesia akan tetap eksis di tengah-tengah masyarakat ekonomi Asean
Kajian Teori Kebahasaan Bangsa Indonesia harus bangga karena bangsa ini mempunyai bahasa Negara sebagai bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia adalah salah satu ciri, karakter bangsa Indonesia harus selalu terpelihara dan terjaga. Bangsa-bangsa di dunia sangat beragam, dari warna kulit, budaya, dan bahasa. Namun bangsa Indonesia memiliki kelebihan dibanding bangsa lain karena kita memiliki bahasa persatuan sebelum Negara ini lahir yaitu dengan adanya ikrar Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 sedangkan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia terjadi pada tangga 17 Agustus 1945. Kita patut berbangga dan harus mensyukuri karena kita memiliki bahasa Indonesia Sejarah bahasa Indonesia begitu panjang sehingga dapat berbentuk seperti hari ini . dan memunculkan rasa bangga bagi bangsa Indonesia , salah satu rasa kebanggan kita terhadap bahasa Indonesia adalah dengan memasukan mata pelajaran bahasa Indonesia di semua jenjang sekolah juga di tingkat universitas, bahasa Indonesia di pelajari disemua jurusan sebagai MKDU dan dipelajari juga secara khusus di program studi bahasa Indonesia. Pada program studi bahasa Indonesia mata kuliah yang termasuk ke dalam kelompok kebahasaan yaitu morfologi ( mempelajari seluk beluk kata), sintaksis ( mempelajari frase, klausa, dan kalimat), dan semantic ( mempelajari makna dalam bahasa) mata kuliah ini harus dikuasai mahasiswa sebagai tuntutan kurikulum, rasa tanggung jawab memiliki bahasa Indonesia dan tanggung jawab dalam memelihara kelestarian bahasa Indonesia. Dalam penelitian ini penulis memfokuskan pada materi kebahasaan lingkup morfologi yaitu ketepatan dalam penggunaan afiks dan ketepatan dalam penggunaan kata depan di, ke, dan dari. Afiks atau imbuhan dalam bahasa Indonesia terdiri dari a. Prefiks adalah imbuhan yang ditambahkan pada bagian awal sebuah kata dasar atau bentuk dasar b. Sufiks adalah imbuhan yang ditambahkan pada bagian belakang sebuah kata dasar atau bentuk dasar c. infiks adalah morfem yang disisipkan di tengah kata d.
konfiks adalah gabungan prefiks dan sufiks yang membentuk suatu kesatuan
239
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
kata depan adalah kata-kata yang secara sintaksis diletakan sebelum kata benda. Kata kerja, kata keterangan dan penulisan kata depan ditulis secara terpisah. Teori Honey dan Mumford Menurut teori humanistik, proses belajar harus dimulai dan ditunjukan untuk kepentingan memanusiakan manusia itu sendiri. Oleh karena itu, teori belajar humanistik lebih abstrak dan lebih mendekati bidang kajian filsafat. Teori humanistik sangat mementingkan isi yang dipelajari dari pada proses belajar itu sendiri Teori humanistik berpendapat bahwa teori belajar apapun dapat dimanfaatkan, asal tujuannya untuk memanusiakan manusia yaitu mencapai aktualisasi diri, serta realisasi diri orang yang belajar secara optimal. Banyak tokoh penganut aliran humanistik salah satunya adalah Honey dan Mumford pabdangannya tentang belajar dibagi ke dalam 4 macam di antaranya yaitu a. Kelompok aktivis Orang- orang yang termasuk ke dalam kelompok aktivis adalah mereka yang senang melibatkan diri dan berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan dengan tujuan untuk memperoleh pengalaman-pengalaman baru. Orang-orang tipe ini mudah untuk diajak berdialog, memiliki pemikiran terbuka , menghargai pendapat orang lain dan mudah percaya. Namun dalam melakukan tindakan sering kali kurang mempertimbangkan secara matang dan lebih banyak didorong oleh kesenangannya untuk melibatkan diri. Dalam kegiatan belajar, orang-orang demikian senang pada hal-hal yang sifatnya penemuan-penemuan baru, seperti pemikiran baru, pengalaman baru. Namun mereka cepat bosan dengan kegiatan-kegiatan yang implementasinya memakan waktu lama b. Kelompok reflector Mereka yang termasuk kelompok reflector cenderung berlawanan dengan kelompok aktivis. Dalam melakukan tindakan , orang-orang tipe reflector sangat berhati-hati dan penuh pertimbangan. Pertimbangan baik-buruk, untung-rugi, selalu diperhitungkan dengan cermat dalam memutuskan sesuatu. Orang –orang demikian tidak mudah dipengaruhi, sehingga cenderung bersifat konservatif ( bersikap mempertahankan keadaan, kebiasaan, dan tradisi yang berlaku c. Kelompok teoris Orang-orang tipe ini memiliki kecenderungan yang sangat kritis. Mereka suka menganalisis, berpikir rasional dengan menggunakan penalarannya. Segala sesuatu dikembalikan kepada teori dan konsep-konsep atau hukum-hukum. Mereka tidak 240
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
menyukai pendapat atau penilaian yang sifatnya subjektif. Dalam memutuskan sesuatu, kelompok teoritis penuh dengan pertimbangan, sangat selektif dan tidak menyukai halhal yang bersifat spekulatif ( pemikiran dalam-dalam secara teori). d. Kelompok pragmatis Orang-orang tipe pragmatis memiliki sifat-sifat yang praktis. Mereka tidak suka berpanjang lebar denga teori-teori, konsep-konsep, dalil-dalil dan sebagainya. Bagi mereka yang penting adalah aspek-aspek praktis. Sesuatu hanya bermanfaat jika dipraktikan. Bagi mereka, sesuatu adalah baik dan berguna jika dapat dipraktikan dan bermanfaat dalam kehidupan. Aplikasi Teori Humanistik Terhadap Pembelajaran Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa sedangkan guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran. Aplikasi dan Implikasi Humanisme terhadap guru : a. Guru Sebagai Fasilitator b. Psikologi humanisme memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator. c. Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi kelompok, atau pengalaman kelas d. Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum. Dia mempercayai adanya keinginan dari masing-masing siswa untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang tersembunyi di dalam belajar yang bermakna tadi e.
Dia mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling luas dan mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu mencapai tujuan mereka.
f.
Dia menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat dimanfaatkan oleh kelompok
g. Di dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, dan menerima baik isi yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk menanggapi dengan cara yang sesuai, baik bagi individual ataupun bagi kelompok h. Bilamana kondisi penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-sngsur dapat berperanan sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut menyatakan pendangannya sebagai seorang individu, seperti siswa yang lain.
241
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Aplikasi dan Implikasi Humanisme terhadap siswa : Siswa berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri , mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif. Pembelajaran berdasarkan teori humanisme ini cocok untuk diterpkan pada materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggungjawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan , norma , disiplin atau etika yang berlaku Aplikasi pembelajaran a. Menentukan tujuan-tujuan pembelajaran b. Menentukan materi pelajaran c. Mengidentifikasikan kemampuan awal ( entry behavior) siswa d. Mengidentifikasikan topic-topic pelajaran yang memmungkinkan siswa secara aktif melibatkan diri atau mengalami dalam belajar e. Merancang fasilitas belajar seperti lingkungan dan media pembelajaran. f.
Membimbing siswa secara aktif
g. Membimbing siswa untuk memahami hakikat makna dari pengalaman belajarnya h. Membimbing siswa dalam konseptualisasi pengalaman belajarnya i.
Membimbing siswa dalam mengaplikasikan konsep-konsep baru ke situasi nyata
j.
Mengevalusi proses dan hasil belajar
Pengertian Masyarakat Ekonomi ASEAN Secara umum, Masyarakat Ekonomi ASEAN diartikan sebagai sebuah masyarakat yang saling terintegrasi satu sama lain (maksudnya antara negara yang satu dengan negara yang lain dalam linhgkup ASEAN) dimana adanya perdagangan bebas diantara negara-negara anggota ASEAN yang telah disepaki bersama antara pemimpin-pemimpin negara-negara ASEAN untuk mengubah ASEAN menjadi kawasan yang lebih stabil, makmur dan kompetitif dalam pembangunan ekonomi.
Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri. Baik satu variabel atau lebih (independen) tanpa membuat perbandingan atau menghubungkan dengan variabel yang lain 242
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Pembahasan Pentingnya seseorang menguasai bahasa Indonesia yang baik dan benar guna mempersiapkan mahasiswa yang siap berkompeten khususnya di bidang kebahasaan guna menyongsong MEA dan sebagai pemertahanan terhadap eksistensi bahasa Indonesia sebab dengan kita mempertahankan eksistensi bahasa Indonesia dan menguasai bahasa Indonesia, kita dapat memanfaatkan bahasa Indonesia sebagai bekal kita dalam menghadapi MEA dan sebagai wujud kecintaan kita terhadap bahasa Indonesia. Di beberapa Negara bahasa Indonesia di pelajari secara khusus, di sana mereka membuka program studi bahasa Indonesia seperti di Australia, Perancis, dan Tiongkok. Sebagai bukti bahwa bahasa Indonesia sudah diakui dunia. Untuk itu kita harus benar-benar menggunakan bahasa Indonesia dan mempertahankan agar bahasa Indonesia tetap terjaga. Penerapan teori Honey dan Mumford dalam pembelajaran bahasa diharapkan mampu memberi kemudahan bagi mahasiswa dalam mempelajari bahasa Indonesia khusunya morfologi. Pembelajaran Bahasa dengan Teori Belajar Honey dan Mumford a. Menentukan tujuan-tujuan pembelajaran Tujuan mempelajari mata kuliah kebahasaan bidang morfologi yaitu mahasiswa mampu menggunakan afiks dan kata depan denga benar b. Menentukan materi pelajaran Materi yang mencakup ke dalam materi kebahasaan bidang morfologi khususnya penggunaan afiks (prepiks, infiks, sufiks, konfiks) dan kata depan di, ke, dan dari c. Mengidentifikasikan kemampuan awal ( entry behavior) siswa Mahasiswa sudah mengetahui kata dasar d. Mengidentifikasikan topik-topik pelajaran yang memungkinkan siswa secara aktif Memilih wacana dengan tema yang menarik akan tetapi penggunaan afiks serta kata depannya masih salah e. Melibatkan diri atau mengalami dalam belajar Wacana ditampilkan menggunakan infokus kemudian mahasiswa memilih serta memperbaiki kata-kata yang penggunaan afiks serta kata depannya masih salah f.
Merancang fasilitas belajar seperti lingkungan dan media pembelajaran Dibuat kelompok yang variatif berdasarkan kompetensi dan genre, pembelajaran menggunakan infokus menampilkan slide (power point)
g. Membimbing siswa secara aktif Mengarahkan siswa untuk berdiskusi dengan teman kelompok h. Membimbing siswa untuk memahami hakikat makna dari pengalaman belajarnya
243
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Menjelaskan kegunaan mempelajari materi morfologi yaitu agar siswa mampu menggunakan bahasa Indonesia yang benar, mampu menjaga eksistensi bahasa Indonesia di tengah-tengan masyarakat ekonomi Asean i.
Membimbing siswa dalam konseptualisasi pengalaman belajarnya
j.
Membimbing siswa dalam mengaplikasikan konsep-konsep baru ke situasi nyata Konsep kebahasaan yang dipelajari bias digunakan ketika mahasiswa akan membuat sebuah karya (tulisan)
k. Mengevalusi proses dan hasil belajar Hubungan pembelajaran bahasa Indonesia dengan MEA Pentingnya menguasai bahasa Indonesia sebagai bekal mahasiswa untuk terjun langsung dalam kehidupan sosialnya, menjadi masyarakat yang mandiri dan mempunyai keahliah khususnya di bidang kebahasaan, mampu mempertahankan kecintaan dan rasa memiliki bahasa Indonesia kendati mahasiswa akan menghadapi Mea yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar akan tetapi jati serta identitas bangsa Indonesia khususnya bahasa tidak akan terkikis sebagai Wacana yang belum diperbaiki Pemerolehan bahasa kedua merupakan hal yang penting bagi tiap individu untuk bias interaksi dengan baik dilingkungannnya. Bagi sebagian besar anak Indonesia, bahasa Indonesia bukan bahasa pertama mereka, melainkan bahasa kedua, atau ketiga. Pengenalan atau penguasa bahasa Indonesia dapat jadi melalui proses pemerolehan atau proses belajar. Pemerolehan bahasa merupakan proses yang bersama dengan cara anak-anak kembangkan bahasa pertama mereka. Pemerolehan bahasa merupakan proses bawah sadar. Pemerolehan bahasa mengembangkan kompetensi dalam bahasa kedua dapat dilakukan dengan belajar bahasa. Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing adalah pembelajaran bahasa kedua yang di lakukan oleh orang asing. Biasanya dilakukan oleh orang asing yang datang keIndonesia dengan berbagai macam tujuan. Baik tujuan pendidikan, perdagangan, sosial, politik, maupun pariwisata. Mereka ajari bahasa Indonesia dengan maksud untuk mengimbangi/dapat berkomunikasi dengan orang Indonesia, untuk menambah kemampuan bahasa, untuk nambah kadar ilmu mereka. Belajar bahasa kedua pasti alami beberapa kendala yang di tunjukkan baik dari faktor usia, motivasi, psikologis, dll. Ada juga tingkat dalam pembelajaran BIPA sama halnya dengan tingkat jenjang pendidikan. Bedanya BIPA dilakukan secara informal. Di Indonesia pada saat
244
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
ini banyak diselenggara pengajaran BIPA, hal ini diingat bahwa banyak sekali orang asing yang datang ke Indonesia khusus para wisatawan yang kagum akan keindahan alam Indonesia. Wacana yang sudah diperbaiki Pemerolehan bahasa kedua merupakan hal yang penting bagi tiap individu untuk bisa berinteraksi dengan baik di lingkungannnya. Bagi sebagian besar anak Indonesia, bahasa Indonesia bukan bahasa pertama mereka, melainkan bahasa kedua, atau ketiga. Pengenalan atau penguasaan bahasa Indonesia dapat terjadi melalui proses pemerolehan atau proses belajar. Pemerolehan
bahasa
merupakan
proses
yang
bersamaan
dengan
cara
anak-anak
mengembangkan bahasa pertama mereka. Pemerolehan bahasa merupakan proses bawah sadar. Pemerolehan bahasa mengembangkan kompetensi dalam bahasa kedua dapat dilakukan dengan belajar bahasa. Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing adalah pembelajaran bahasa kedua yang di lakukan oleh orang asing. Biasanya dilakukan oleh orang asing yang datang ke Indonesia dengan berbagai macam tujuan. Baik tujuan pendidikan, perdagangan, sosial, politik, maupun pariwisata. Mereka mempelajari bahasa Indonesia dengan maksud untuk mengimbangi/dapat berkomunikasi dengan orang Indonesia, untuk menambah kemampuan berbahasa, untuk menambah kadar keilmuan mereka. Belajar bahasa kedua pasti mengalami beberapa kendala yang ditunjukkan baik dari faktor usia, motivasi, psikologis, dll. Ada juga tingkatan dalam pembelajaran BIPA sama halnya dengan tingkatan jenjang pendidikan. Bedanya BIPA dilakukan secara informal. Di Indonesia pada saat ini banyak diselenggarakan pengajaran BIPA, hal ini mengingat bahwa banyak sekali orang asing yang datang ke Indonesia khususnya para wisatawan yang kagum akan keindahan alam Indonesia. Bagan Analisis Morfologis
KESALAHAN PENGGUNAAN
KESALA
AFIKS
HAN
DATA
PERBAIKAN
PENGGU PREFI
SUFI
INFI
KONF
NAAN
KS
KS
KS
IKS
KATA DEPAN
Interaksi Dilingkungan
√
berinteraksi √
di lingkungannya 245
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
√
Penguasa
penguasaan
√
Jadi
terjadi √
Bersama
bersamaan √
Kembangkan
mengembangkan
di lakukan
√
dilakukan
Keindonesia
√
ke Indonesia
√
Pendidik
pendidikan
Komunikasi
√
berkomunikasi
Bahasa
√
berbahasa
Nambah
√
menambah
Ilmu
√
keilmuan
Alami
√
mengalami
√
di tunjukan
ditunjukan √
Tingkat
tingkatan
√
di
diselenggarkan
selenggarakan √
Beda
bedanya
√
ingat
mengingat √
Khusus
khususnya
Bagan Hasil Pretes dan Postes Analisis Kebahasaan Morfologi Subjek No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Rina Rosdiana Maryana Yuliana Tika.TA Fauziah Nurul.F Fadillah Muslim Ricky Surya.A Gusti AChmad.F. Purwati Yunas Sabri Wulan Nurjanah Putri Ayu C.A Deri Saputra Hadni Imayanti Sohib Vivin Kusmianti Yuli Yulianti.N Peryoga Trisna Salman Paris
Pretes Jumlah Rata-rata 11 5,5 11 5,5 14 7 12 6 10 5 8 4 12 6 12 6 10 5 10 5 11 5,5 12 6 13 6,5 12 6 11 5.5 11 5,5 10 5 11 5,5
Postes Jumlah Rata-rata 17 8,5 17 8,5 18 9 19 9,5 18 9 18 9 19 9,5 20 10 18 9 20 10 19 9,5 19 9,5 20 10 18 9 19 9,5 19 9,5 18 9 18 9 246
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
19 20
Yuli Maryam Ayu Ajeng
12 11
Hasil Rata-rata
6 5,5
18 19
5,60
9 9,5 9,27
Simpulan Penggunaan teori humanistik menurut pandangan Honey dan Mumford mampu meningkatkan pembelajaran morfologi khususnya penggunaan afiks ( imbuhan ) ; prefiks ( awalan), infiks (sisipan), sufiks ( akhiran ), dan gabungan ( konfiks ) serta pegunaan kata depan. Peningkatan ini dapat dilihat dari hasil pretes dan postes mahasisiwa, hasil pretes mahasiswa mendapat nilai 5,60 sedangkan postes mendapat nilai 9,27 mengalami peningkatan sebesar 3,67. Kemampuan mahasiswa dalam ketepatan penggunaan afiks dan kata depan bisa dijadikan bekal untuk mahasiswa dalam mengahadapi tantangan masyarakat ekonomi Asean, dijadikan sebagai jati diri bangsa yang tetap mempertahankan eksistensi bahasa Indonesia. Serta diharapkan dengan mereka menguasai bahasa Indonesia yang baik dan benar mampu menggunakan bahasa Indonesia sebagai keahlian yang bisa dijadikan profesi yang professional serta wujud kita dalam membina dan mengembangkan bahasa Indonesia serta mempertahankan, menjaga eksistensi bahasa Indonesia.
Daftar Pustaka Arifin, Zaenal dan Junaiyah. 2007. Morfologi. Jakarta.PT Grasindo. Arifin, Zaenal dan Junaiyah. 2008. Sintaksis. Jakarta. PT Grasindo. Chaer, Abdul. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta. Rineka Cipta. Budiningsih Asri. 2005. Belajar dan pembelajaran. Jakarta.PT Rineka Cipta. http://sukasosial.blogspot.com/2015/08/masyarakat-ekonomi-asean.html Latifah. 2009. Riksa Bahasa. Bandung.Rizqi Press. Sugiyono. 2003. Metode Penelitian Bisnis. Bandung. Pusat Bahasa Depdiknas
247
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
PENGGUNAAN KONJUNGSI BAHASA INDONESIA PADA TAJUK RENCANA SURAT KABAR PIKIRAN RAKYAT Lilis Amaliah Rosdiana Universitas Winaya Mukti
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini mempunyai tujuan untuk mendeskripsikan konjungsi-konjungsi koordinatif dan subordinatif dalam Tajuk Rencana Surat Kabar Pikiran Rakyat. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Objek penelitian dalam penelitian ini adalah Tajuk Rencana yang terbit selama bulan Juni 2015. Kemudian peneliti mengambil sampel selama dua minggu yaitu minggu pertama dan minggu kedua di bulan Juni. Pengumpulan data diakhiri dengan mengklasifikasi data konjungsi koordinatif dan subordinatif, kemudian dianalisis. Adapun hasil penelitian bahwa penggunaan konjungsi yang digunakan dalam kolom Tajuk Rencana Surat Kabar Pikiran Rakyat terdapat 168 kata konjungsi koordinatif dan dikelompokan menjadi sembilan jenis konjungsi koordinatif dan 97 kata konjungsi subordinatif dikelompokan menjadi tujuh jenis konjungsi subordinatif. Secara keseluruhan, jenis konjungsi koordinatif dan konjungsi subordinatif antara lain: (1) penggambungan biasa; (2) pemilihan, (3) pertentangan, (4) pembetulan, (5) penegasan, (6) pembatasan, (7) pengurutan, (8) penyamaan, (9) penyimpulan, (10) penyebab, (11) syarat; (12) tujuan; (13) waktu; (14) akibat; (15) sasaran; (16) perbandingan. Kata Kunci: penggunaan konjungsi, tajuk rencana. Pendahuluan Tujuan peneliti memilih judul “Penggunaan Konjungsi Bahasa Indonesia pada Tajuk Rencana Surat Kabar Pikiran Rakyat” ialah ingin mendeskripsikan konjungsi koordinatif dan konjungsi subordinatif yang biasa digunakan penulis kolom Tajuk Rencana pada surat kabar Pikiran Rakyat untuk dikaji lebih lanjut. Konjungsi digunakan dalam berbahasa sebagai penyambung kata, frase, atau kalimat untuk memudahkan kita dalam berkomunikasi. Tanpa konjungsi komunikasi kita tidak akan lancar, menimbulkan banyak hambatan, dan dapat menyebabkan pesan atau makna komunikasi menjadi tidak jelas pada si penerima. Dengan kata lain, si penerima menjadi tidak paham akan komunikasi tersebut. Penggunaan konjungsi, sering kita temukan pada ragam bahasa tulis dan bahasa lisan. Ragam bahasa baik lisan maupun tulis memerlukan kohesi dan koherensi, kohesi diperlukan untuk menata pikiran, bentuk kata, serta kalimat yang tepat dan baik. Ragam bahasa tulis dapat ditemukan dalam majalah, surat kabar, tabloid, cerpen, novel, dan lain sebagainya. Salah satu ragam bahasa tulis yang akan dijadikan sumber data penelitian adalah kolom Tajuk Rencana pada surat kabar Pikiran Rakyat. Surat kabar Pikiran Rakyat banyak memberikan informasi kepada masyarakat Jawa Barat, dengan bahasa jurnalistik yang ringan agar pembaca dengan mudah dapat memahami dan menikmati isinya. 248
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Menurut Badudu (dalam Widiawati, 2014) mengatakan bahasa jurnalistik memiliki sifat-sifat yang khas, yaitu singkat, padat, sederhana, lugas, menarik, dan jelas. Ciri-ciri tersebut harus dipenuhi oleh bahasa jurnalistik, mengingat surat kabar dibaca oleh lapisan masyarakat yang tidak sama tingkat pengetahuannya, dari masyarakat yang berpendidikan dasar sampai dengan masyarakat yang berpendidikan tinggi. Di samping itu, tidak semua orang bisa meluangkan waktunya untuk membaca surat kabar. Dalam surat kabar Pikiran Rakyat, berdasarkan observasi penulis banyak ditemukan konjungsi koordinatif dan subordinatif. Oleh sebab itu, penulis tertarik untuk memilih objek ini dengan menggunakan sumber data surat kabar Pikiran Rakyat pada kolom Tajuk Rencana. Menurut Chaer (2006), konjungsi koordinatif adalah “Kata-kata yang digunakan untuk menghubungkan kata dengan kata, klausa dengan klausa, atau kalimat dengan kalimat yang kedudukammya sederajat atau setara. Sedangkan konjungsi subordinatif adalah kata penghubung yang menghubungkan klausa dengan klausa yang kedudukannya tidak sederajat, melainkan bertingkat.” Kemudian Kosasih (dalam Widiawati, 2014) mengatakan pengertian konjungsi koordinatif adalah “konjungsi yang menghubungkan dua klausa yang memiliki kedudukan setara dan konjungsi subordinatif adalah konjungsi yang menghubungkan dua klausa atau lebih yang memiliki hubungan bertingkat. Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas penulis merumuskan masalah sebagai berikut. (a) Berapa jumlah kata-kata konjungsi koordinatif dan subordinatif yang terdapat dalam Tajuk Rencana Surat Kabar Pikiran Rakyat? (b) Ada berapa jenis konjungsi koordinatif dan subordinatif dalam Tajuk Rencana Surat Kabar Pikiran Rakyat? Adapun yang menjadi tujuan penelitian antara lain: (a) mengetahui jumlah kata-kata konjungsi koordinatif dan subordinatif yang terdapat dalam Tajuk Rencana Surat Kabar Pikiran Rakyat; (b) mendeskripsikan jenis koordinatif dan subordinatif dalam Tajuk Rencana Surat Kabar Pikiran Rakyat.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif. Menurut Sugiyono (2013) penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu variabel atau lebih (independen) tanpa membuat perbandingan, atau menghubungkan dengan variabel yang lain. Objek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Tajuk Rencana yang terbit selama bulan Juni 2015. Kemudian penulis mengambil sampel selama dua minggu yaitu minggu pertama dan minggu kedua di bulan Juni. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode simak dengan teknik lanjutan catat. Karena data dalam penelitian ini berupa data tertulis, maka metode simak dilakukan dengan cara membaca dengan seksama yang 249
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
kemudian diikuti dengan teknik catat untuk mengklasisfikasikan data yang relevan. Sebagai langkah analisis data, pada penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kualiatif dengan teknik analisis deskriptif. Pada proses selanjutnya, metode deskriptif diterapkan sebagai usaha memberikan gambaran atau menguraikan sasaran penelitian.
Pembahasan Dari semua Tajuk Rencana selama dua minggu berturut-turut, yaitu minggu pertama dan minggu kedua bulan Juni penulis dapatkan 168 kata konjungsi koordinatif dan dikelompokan menjadi sembilan jenis konjungsi koordinatif dan 97 kata konjungsi subordinatif dikelompokan menjadi tujuh jenis konjungsi subordinatif. Untuk lebih jelasnya, berikut pemaparan penulis terhadap penggunaan kata konjungsi pada Tajuk Rencana Surat Kabar Pikiran Rakyat. Kata-kata konjungsi yang penulis dapatkan adalah sebagai berikut: Tabel 1. Daftar kata konjungsi yang terdapat dalam Tajuk Rencana pada Surat Kabar Pikiran Rakyat
bahkan dan untuk atau yaitu sehingga seperti seperti malah ketika jika
Kata Konjungsi tetapi dengan karena ketika namun bahwa agar serta meskipun kemudian apalagi
sedangkan sebaliknya kecuali sejak sementara itu hingga oleh karena itu yakni selain itu adalah melainkan
Berdasarkan kata-kata konjungsi di atas, penulis kemudian diklasifikasikan menurut fungsinya. Diperoleh data sebagai berikut: 1. Konjungsi koordinatif a) penggabungan biasa: dan, dengan, serta b) menyatakan pemilihan: atau c) menyatakan pertentangan: tetapi, namun, sedangkan, selain itu, sebaliknya d) menyatakan pembetulan: melainkan, hanya e) menyatakan penegasan: bahkan, malah, apalagi f) menyatakan pembatasan: kecuali, hanya g) menyatakan pengurutan: kemudian, selanjutnya h) menyatakan penyamaan: yaitu, yakni, bahwa, adalah i)
menyatakan penyimpulan: oleh karena itu
250
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
2. Konjungsi subordinatif a) menyatakan sebab: sebab, karena b) menyatakan syarat: jika, apabila c) menyatakan tujuan: agar d) menyatakan waktu: ketika e) menyatakan akibat: hingga, sehingga f) menyatakan sasaran: untuk g) menyatakan perbandingan: seperti
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh beberapa bentuk penggunaan konjungsi koordinatif sebanyak 168 kata konjungsi koordinatif dan dikelompokan menjadi sembilan jenis konjungsi koordinatif dan 97 kata konjungsi subordinatif dikelompokan menjadi tujuh jenis konjungsi subordinatif. Secara keseluruhan, jenis konjungsi koordinatif dan konjungsi subordinatif antara lain: (1) penggambungan biasa; (2) pemilihan, (3) pertentangan, (4) pembetulan, (5) penegasan, (6) pembatasan, (7) pengurutan, (8) penyamaan, (9) penyimpulan, (10) penyebab, (11) syarat; (12) tujuan; (13) waktu; (14) akibat; (15) sasaran; (16) perbandingan. Dengan mempertimbangkan keuntungan dan kerugian penggunaan tajuk rencana surat kabar Pikiran Rakyat sebagai sumber belajar yang didasarkan pada kriteria dan efektivitas pemilihan sumber belajar, bahwa penggunaan tajuk rencana surat kabar Pikiran Rakyat sebagai sumber belajar bahasa Indonesia khususnya pembelajaran konjungsi tergolong efektif. Meskipun demikian, para tenaga pendidik dituntut untuk lebih cermat dalam pemanfaatannya sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai dengan baik.
Daftar Pustaka Chaer, Abdul. (2006). Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. PT Rineka Cipta: Jakarta. Kosasih, E. (2010). Kompetensi Ketatabahasaan dan Kesastraan. Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Pendidikan. Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Alfabeta: Bndung. Widiawati, Nur. (2014). Analisis Konjungsi dalam Wacana Berita pada Rubrik Sariwarta di Majalah Panjebar Semangat Edisi Januari-Desember 2013. http://download.portalgaruda.org/article.php?article. [Online] Diunduh pada 03 Agustus 2015.
251
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
PEMERTAHANAN BAHASA DAN PRINSIP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL BERBASIS BUDAYA LOKAL DI INDONESIA Lina Siti Nurwahidah
[email protected] STKIP Garut Abstrak Sudah sejak orde baru kita diarahkan pada keseragaman dalam berbagai hal. Indonesia yang begitu beragam budayanya diarahkan hanya untuk keseragaman yang membentuk kebudayaan nasional, termasuk bahasa Indonesia. Warna-warna lokal hanya merupakan penyedap, penambah hiasan sehingga tidak dilirik dan hanya dianggap sebagai budaya sekunder. Apalagi awal tahun 90-an gaung globalisasi mulai marak memasuki relung jiwa masyarakat Indonesia. Dengan hal tersebut, sebagian masyarakat Indonesia banyak yang terkikis rasa nasionalismenya sehingga menggoyahkan penggunaan bahasa Indonesia dan mengagungkan semua yang berasal dari luar negeri termasuk bahasa asing. Padahal budaya lokal sangat penting dalam pendidikan multikulturalisme seperti yang terjadi di wilayah seperti kita, Indonesia. Penyebabnya adalah dengan kelokalan itulah mereka dapat melihat dirinya (self) dan juga dapat melihat orang lain (other). Desentralisasi kebudayaan termasuk penggunaan bahasa daerah tidak hanya akan menumbuhkan budaya lokal tetapi juga akan menambah kreativitas dan ketahanan bangsa ini, termasuk ketahanan bahasa Indonesia dari gempuran globalisasi. Kata kunci: pemertahanan bahasa, pendidikan multikultural, dan budaya lokal
Pendahuluan Indonesia merupakan negara majemuk yang dihuni oleh masyarakat dari berbagai suku bangsa. Tiap suku bangsa di Indonesia memiliki bahasa daerahnya masing-masing, yang digunakan dalam lingkungan yang terbatas di antara sesamanya. Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 bahwa Indonesia terdiri atas 1.128 suku bangsa dan data etnografis mencatat terdapat sekitar 700-an bahasa daerah. Keragaman suku bangsa di Indonesia disebabkan oleh faktor historis, dan faktor isolasi alam yang lama. Kondisi Indonesia saat ini dihuni oleh berbagai suku bangsa yang beragam yang memiliki karakteristik tersendiri dari segi bahasa dan budayanya, walaupun semuanya masuk dalam rumpun bahasa yang sama rumpun bahasa Austronesia. Dengan berbagai ragam bahasa dan budaya, Indonesia memiliki kearifan lokal yang kaya yang berasal dari berbagai suku bangsa yang ada. Kearifan lokal tersebut menjadi pandangan hidup yang mendasari berbagai pola perilaku dan tindakan setiap masyarakat Indonesia. Kearifan lokal lahir sebagai respon terhadap fenomena globalisasi yang seolah-olah berupaya untuk menyeragamkan manusia ke dalam pola-pola budaya yang sama. Kondisi tersebut dapat menyebabkan bangsa Indonesia tercerabut dari akar budayanya sendiri dan 252
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
menjadi bangsa yang kehilangan identitas. Pada saat ini mereka yang peduli terhadap kebudayaan Indonesia, berupaya mengambil kearifan-kearifan yang terdapat dalam budaya mereka tersebut menjadi nilai-nilai yang dapat dipedomani untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari Dari hal di atas masyarakat Indonesia ikut terkena imbas budaya global, yang sebagian besar didominasi oleh standar budaya Barat. Standar peradaban diukur dari cara pandang barat dalam melihat berbagai hal. Padahal sebagai bangsa yang beradab, bangsa Indonesia pun memiliki akar budaya yang kuat yang berasal dari nenek moyangnya terdahulu, yang tidak kalah penting dan bermaknanya bagi kehidupan bangsa Indonesia saat ini. Semuanya tersimpan dalam sanubari budaya kita sendiri, yang dalam ilmu antropologi lazim dikenal dengan istilah kearifan lokal (local genius). Kearifan lokal dikenal pula sebagai pengetahuan setempat (indigenous or local knowledge), atau kecerdasan setempat (local genius), yang menjadi dasar identitas kebudayaan (cultural identity). Semakin hari semakin banyak kekayaan budaya kita yang hilang dikarenakan tidak ada lagi generasi penerus yang mau melestarikannya. Sebagai salah satu indikatornya dapat dilihat dari kepunahan beberapa bahasa daerah di Indonesia akhir-akhir ini. Data hasil penelitian (Lewis, 2015) di Indonesia terdapat 719 bahasa yang terdaftar, 706 masih dipakai, sudah ada 13 bahasa daerah yang sudah punah. Dari bahasa yang sudah terdaftar, 19 dipakai dalam situasi resmi, 86 sedang berkembang, 260 dipakai secara aktif, 266 terancam punah, dan 75 bahasa sedang punah. Pakar budaya dan bahasa Universitas Negeri Makassar (UNM),
Zainuddin Taha,
mengatakan bahwa pada abad ini diperkirakan 50 persen dari 5.000 bahasa di dunia terancam punah, atau setiap dua pekan hilang satu bahasa. Selanjutnya, dikatakan olehnya bahwa kepunahan tersebut bukan karena bahasa itu hilang atau lenyap dari lingkungan peradaban, melainkan para penuturnya meninggalkannya dan bergeser ke penggunaan bahasa lain yang dianggap lebih menguntungkan dari segi ekonomi, sosial, politik atau psikologis. Di Indonesia sendiri, katanya, keadaan pergeseran bahasa yang mengarah kepada kepunahan ini semakin nyata dalam kehidupan sehari-hari terutama di kalangan keluarga yang tinggal di perkotaan. Pergeseran ini tidak hanya dialami bahasa-bahasa daerah yang jumlah penuturnya sudah sangat kurang (bahasa minoritas), tetapi juga pada bahasa yang jumlah penuturnya tergolong besar (bahasa mayor) seperti bahasa Jawa, Bali, Banjar, dan Lampung, termasuk bahasa-bahasa daerah di Sulawesi Selatan seperti Bugis, Makassar, Toraja, dan Massenrempulu.
253
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Prinsip Pemertahanan Bahasa dan Prinsip Multikultural Prinsip Pemertahanan Bahasa Pemertahanan bahasa adalah masalah sikap atau penilaian terhadap suatu bahasa untuk tetap menggunakan bahasa tersebut di tengah-tengah bahasa-bahasa lainnya Chaer dan Agustina, (1993:177). Pemertahanan bahasa pada umumnya bertujuan untuk mempertahankan budaya yang berfungsi sebagai identitas kelompok atau komunitas, untuk mempermudah mengenali anggota komunitas, dan untuk mengikat rasa persaudaraan sesama komunitas. Keadaan ini umumnya terjadi pada komunitas masyarakat yang memiliki bahasa lebih dari satu. Faktor yang mendorong bisa saja berasal dari dalam diri individu yang memiliki rasa cinta akan bahasa ibu sehingga menanamkannya kepada keluarga dan masyarakat dan dari rasa persatuan serta kecintaan pada identitas kelompok atau komunitas yang dimiliki. Faktor-faktor yang mempengaruhi pergeseran dan pemertahanan bahasa antara lain; (a) kedwibahasaa atau kemulitibahasaan; (b) industrialisasi; (c)imigrasi; (d) politik; (e) pendidikan; (f.) mobilitas sosial; (g) efisiensi bahasa; (h) jumlah penutur; dan (i)konsentrasi pemukiman. Secara umum pemertahanan bahasa didefinisikan sebagai keputusan untuk tetap melanjutkan pengunaan bahasa secara kolektif oleh sebuah komunitas yang telah menggunakan bahasa tersebut sebelumnya (Fasold:1984). Lebih lanjut, Fasol juga menyatakan bahwa pemertahanan bahasa ini merupakan kebalikan atau sisi yang berlainan dari pergeseran bahasa; yaitu sebuah komunitas memutuskan untuk mengganti bahasa yang telah digunakannya atau memilih bahasa lain sebagai pengganti bahasa yang telah digunakannya. Konsep pemertahanan bahasa lebih berkaitan dengan prestise suatu bahasa di mata masyarakat pendukungnya. Sebagaimana dicontohkan oleh Danie (dalam Chaer 1995:193) bahwa menurunnya pemakaian beberapa bahasa daerah di Minahasa Timur adalah karena pengaruh bahasa Melayu Manado yang mempunyai prestise lebih tinggi dan penggunaan bahasa Indonesia yang jangkauan pemakaiannya bersifat nasional. Namun ada kalanya bahasa pertama (B1) yang jumlah penuturnya tidak banyak dapat bertahan terhadap pengaruh penggunaan bahasa kedua (B2) yang lebih dominan. Konsep lain yang lebih jelas lagi dirumuskan oleh Fishman (dalam Sumarsono 1993: 1). Pemertahanan bahasa terkait dengan perubahan dan stabilitas penggunaan bahasa di satu pihak dengan proses psikologis, sosial, dan kultural di pihak lain dalam masyarakat multibahasa. Salah satu isu yang cukup menarik dalam kajian pergeseran dan pemertahanan bahasa adalah ketidakberdayaan minoritas imigran mempertahankan bahasa asalnya dalam persaingan dengan bahasa mayoritas yang lebih dominan.Ketidakberdayaan sebuah bahasa minoritas untuk bertahan hidup itu mengikuti pola yang sama. Awalnya adalah kontak guyup minoritas dengan
254
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
bahasa kedua (B2), sehingga mengenal dua bahasa dan menjadi dwibahasawan, kemudian terjadilah persaingan dalam penggunaannya dan akhirnya bahasa asli (B1) bergeser atau punah. Dibutuhkan sebuah komitmen dalam pemertahanan sebuah bahasa. Hal ini dikarenakan tingkat kemajuan ilmu pengetahuan masyarakat yang semakin maju, serta semakin banyak bahasa–bahasa asing masuk ke dalam kehidupan masyarakat.Hal tersebut bisa kita lihat darimaraknya perusahaan yang menyertakan kemampuan bahasa asing sebagai persyaratan utama untuk menjadi pegawai di tempat tersebut. Hal sama juga terjadi di dalam dunia pendidikan, bahasa asing juga menjadi mata pelajaran wajib serta sebagai syarat utama kelulusan. Namun di lain hal, bahasa nasional maupun daerah kurang mendapatkan perhatian.
Prinsip Multikultural Sejak kemunculannya sebagai sebuah disiplin ilmu pada dekade 1960-an dan 1970-an, pendidikan berbasis multikultural atau Multicultural Based Education (MBE) telah didefinisikan dalam banyak cara dan dari berbagai perspektif. Multikulturalisme adalah kearifan untuk melihat keanekaragaman budaya sebagai realitas fundamental dalam kehidupan bermasyarakat. Kearifan itu akan muncul jika seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan melihat realitas plural sebagai kemestian hidup yang kodrati, baik dalam kehidupan dirinya sendiri yang multidimensional maupun dalam kehidupan masyarakat yang lebih kompleks, dan karenanya muncul kesadaran bahwa keanekaragaman dalam realitas dinamika kehidupan adalah suatu keniscayaan yang tidak bisa ditolak, diingkari, apalagi dimusnahkan (Asyari dalam Mahfud, 2013:103). Dalam keragaman kultur inilah meniscayakan adanya pemahaman, saling pengertian, toleransi dan sejenisnya, agar tercipta suatu kehidupan yang damai dan sejahtera serta terhindar dari konflik berkepanjangan. Pengertian multikulturisme sebagai pandangan dunia diwujudkan juga dalam Politic of Recognition. Hal seperti itu juga dikemukakan oleh Parekh (Mahfud, 2013:93) yang secara jelas membedakan
lima
macam
multikulturalisme,
yakni
multikulturalisme
isolasionis,
multikulturalisme akomodatif, multikulturalisme otonomis, multikulturalisme kritikal, dan multikulturalisme kosmopolitan. Dari berbagai jenis multikulturalisme dapat disimpulkan bahwa multikulturalisme adalah kesejajaran budaya. Tiap-tiap budaya manusia atau kelompok etnis harus diposisikan sejajar dan setara. Tidak ada yang lebih tinggi dan lebih dominan. Semua kebudayaan pada dasarnya mempunyai kearifan-kearifan tradisional yang berbedabeda.Kearifan-kearifan tersebut tidak dapat dinilai sebagai positif negatif dan tidak dapat dijelaskan melalui kaca mata kebudayaan yang lain. Hal ini disebabkan oleh sudut pandang dan akar baik buruk dari setiap kebudayaan mempunyai volume yang berbeda pula.
255
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh para pendiri bangsa ini untuk mendesain kebudayaan Indonesia, pada umumnya orang Indonesia masih memandang asing konsep multikulturalime ini. Konsep ini tidak dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman suku bangsa atau kebudayaan yang menjadi ciri masyarakat majemuk (plural society) karena menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Di Indonesia pendidikan multikultural relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen dan plural. Terlebih lagi pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru diberlakukan sejak tahun 1999 hingga saat ini. Pendidikan multikultural yang dikembangkan di Indonesia sejalan dengan pengembangan demokrasi yang dijalankan sebagai counter terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Apabila hal tersebut tidak dijalankan hati-hati, justru mungkin akan menjerumuskan kita ke dalam perpecahan nasional (disintegrasi bangsa dan separatisme).
Pemanfaatan Budaya Daerah untuk Pemertahanan Bahasa dalam masyarakat Multikultural Pentingnya peran bahasa daerah sudah dirumuskan di dalam penjelasan pasal 36 UUD 1945 yang menyebutkan antara lain, bahwa bahasa-bahasa daerah yang dipelihara baik oleh para penuturnya akan dihormati dan dipelihara juga oleh negara karena bahasa-bahasa daerah tersebut merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup. Selain itu, di dalam peraturan pemerintah nomor 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonom disebutkan antara lain, dua hal yang masing-masing berkenaan dengan bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Menurut
peraturan pemerintah itu, secara jelas disebutkan bahwa pembinaan dan
pengembangan bahasa dan sastra Indonesia merupakan kewenangan pusat. Adapun kegiatankegiatan yang berhubungan dengan pengembangan bahasa dan budaya daerah termasuk ke dalam kewenangan daerah. Dengan demikian, negara yang dimaksudkan di dalam penjelasan pasal 36 UUD 1945 itu adalah pemerintah daerah. Itulah sebabnya di dalam kebijakan bahasa nasional dikemukakan bahwa dalam hubungannya dengan perkembangan kehidupan kenegaraan di Indonesia ke arah pemerintahan otonomi daerah serta pentingnya pembinaan dan pelestarian budaya daerah, bahasa daerah perlu diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk memainkan peranan yang lebih besar. Kebijakan bahasa nasional pada tahun 1999 menggarisbawahi perlunya memberikan perhatian yang lebih luas dan mendalam terhadap bahasa daerah. Bentuk perhatian tersebut di antaranya mengembangkan kosakata bahasa daerah. Di samping
mengembangkan
kosakata/istilah
bidang
ilmu
dan
teknologi
(informasi),
pengembangan kosakata/istilah juga harus mencakup bidang kebudayaan. Pengembangan kosakata bidang itu dapat memanfaatkan sumber kekayaan dari bahasa daerah di seluruh 256
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
wilayah penggunaan bahasa Indonesia. Indonesia memiliki 719 bahasa daerah (Lewis et.all., 2015). Bukankah itu
dapat dimanfaatkan sebagai sumber pengayaan bahasa Indonesia?
Pemanfaatan kosakata bahasa daerah itu sekaligus merupakan upaya pelestarian budaya daerah di samping juga merupakan upaya pemberian warna keindonesiaan dalam mengembangkan kosakata bahasa Indonesia. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian kosakata bahasa daerah. Kosakata bahasa daerah yang tidak memiliki padanan dalam bahasa Indonesia, sebaiknya, dimasukkan ke dalam warga kosakata bahasa Indonesia. Jika terdapat perbedaan dalam lafal atau dalam ejaannya dengan sistem bahasa Indonesia, perlu dilakukan penyesuaian dengan sistem lafal dan ejan dalam bahasa Indonesia (lihat Pedoman Umum Pembentukan Istilah). Upaya pelibatan bahasa-bahasa daerah dalam pengembangan kosakata bahasa Indonesia itu merupakan
usaha menjadikan
masyarakat
Indonesia
merasa ikut
mengarahkan
pengembangan bahasa kebangsaannya sehingga tumbuh kepedulian dan rasa ikut memiliki terhadap bahasa Indonesia yang pada akhirnya makin memupuk rasa cinta terhadap bahasa Indonesia.Dengan demikian, budaya daerah termasuk dalam hal ini bahasa daerah akan tetap eksis dengan segala macam pernak pernik bahasanya, karena merasa dilibatkan. Keterlibatan tersebut akhirnya akan dipelihara dan terus dikembangkan.Keberadaan jati diri bahasa Indonesia pun akan tetap dapat dipertahankan di antara budaya-budaya daerah. Berkaitan dengan pemertahanan bahasa Indonesia, dalam perjalanan perkembangannya juga terdapat tantangan yang tidak kecil. Menurut Halim (dalam Muslih, 2010: 33) setelah bahasa Indonesia dikukuhkan sebagai bahasa persatuan, situasi kebahasaan ditandai oleh dua tantangan. Tantangan pertama, yakni perkembangan bahasa Indonesia yang dinamis, tetapi tidak menimbulkan pertentangan di antara masyarakat. Pada saat bersamaan bangsa Indonesia kedewasaan berbahasa. Sekarang tumbuh kesadaran emosional bahwa prilaku berbahasa tidak terkait dengan masalah nasionalisme. Buktinya banyak orang yang lebih suka memakai bahasa asing. Tantangan kedua, yakni persoalan tata istilah dan ungkapan ilmiah. Tantangan kedua ini yang menimbulkan prasangka yang tetap dihadapi ilmuan kita yang mengatakan bahawa bahasa Indonesia miskin, bahkan kita dituduh belum mampu menyediakan sepenuhnya padanan istilah yang terdapat banyak dalam disiplin ilmu, teknologi dan seni. Menurut Moeliono prasangka itu bertumpu pada apa yang dikenal dan atau diketahui, tidak ada dalam bahasa indonesia. Beberapa kebiasaan yang mendorong pergeseran bahasa Indonesia yang ditemukan di dalam masyarakat harus segera dicegah dan dihilangkan untuk tetap mempertahankan identitas bangsa. Kebiasaan-kebiasaan tersebut antara lain sebagai berikut. a.
Banyak orang Indonesia lebih suka menggunakan kata-kata, istilah-istilah, ungkapanungkapan asing padahal kata-kata, istilah-istilah dan ungkapan itu sudah memiliki padanan dalam bahasa Indonesia, bahkan sudah umum dipakai. Misalnya, page, background, reality, alternatif, airport, masing-masing untuk halaman, latar belakang, kenyataan, kemungkinan pilihan dan lapangan terbang atau bandara. 257
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
b.
Banyak orang Indonesia menghargai bahasa asing secara berlebihan sehingga ditemukan kata adan istilah asing yang amat asing, atau hiper asing. Hal ini karena salah pengertian dalam menerapkan kata-kata asing tersebut, misalnya, rokh, insyaf, fihak, fatsal,syarat, syah, dll.
c.
Banyak orang Indonesia belajar dan menguasai bahasa asing dengan baik tetapi menguasai bahasa Indonesia apa adanya. Terkait dengan itu, banyak orang Indonesia yang mempunyai bermacam-macam kamus bahasa asing tetapi tidak memiliki satu pun kamus bahasa Indonesia. Keadaan ini mengakibatkan sering terjadinya kesalahan penggunaan istilah seperti, yang mana yang kurang tepat, pencampuradukan penggunaan kata tidak dan bukan, pemakaian kata ganti saya, kami, kita yang tidak jelas. Dari banyaknya perbedaan budaya di negara kita, keajegan, kekonsistenan kita dalam mempertahankan bahasa Indonesia dengan tetap mengedepankan nilai-nilai budaya lokal yang tersebar di seluruh Indonesia akan sangat membantu mematangkan konsep-konsep bahasa Indonesia. Konsep-konsep yang sudah teratur tersebut dapat ditambahkan dengan nilai-nilai yang ada pada budaya-budaya lokal yang ada di daerah kita dan masih memiliki peluang untuk dapat dikembangkan. Meskipun demikian, pengaruh-pengaruh budaya dari luar dapat kita terima sesuai dengan fungsi dan kedudukannya sehingga tersedia bahasa yang lengkap untuk berbagai kebutuhan/kepentingan tanpa menghilangkan jati diri budaya bangsa.
Penutup Perubahan zaman akan senantiasa terjadi, terlebih-lebih dalam era globalisasi pada abad ke-21 ini. Perkembangan dan kemajuan dalam bidang teknologi informasi dengan tingkat kecepatan yang begitu tinggi pasti akan secara langsung berpengaruh pada berbagai bidang kehidupan. Kesemuanya itu pada gilirannya akan melahirkan tuntutan dan tantangan baru bagi keberlangsungan kehidupan berbahasa dan berbangsa. Dalam era globalisasi ini, jati diri bahasa Indonesia harus tetap dipertahankan. Pergaulan
antarbangsa memerlukan alat komunikasi yang mudah dipahami tetapi dapat
menyampaikan gagasan dengan bernas. Oleh karena itu, bahasa Indonesia harus terus dibina dan dikembangkan agar dapat menjadi kebanggan bagi bangsa Indonesia yang pada akhirnya dapat dijadikan alternatif untuk alat komunikasi perdagangan minimal di antara negara-negara ASIA. Untuk hal tersebut dibutuhkan rencana dan kerja keras dalam pemertahanan sebuah bahasa. Hal ini disebabkan oleh tingkat kemajuan ilmu pengetahuan masyarakat, serta semakin banyaknya bahasa asing masuk ke dalam kehidupan masyarakat.Tidak akan menjadi permasalahan jika mereka masih kokoh dalam mempertahankan dan menempatkan fungsi-fungsi tiap bahasa tersebut secara bertanggung jawab. Akan tetapi akan menjadi bermasalah jika tidak
258
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
adanya keloyalan dari tiap pemakainya untuk terus mempertahankan dan melestarikan bahasa dan budayanya. Akhirnya, tanggung jawab terhadap perkembangan bahasa Indonesia terletak di tangan pemakai bahasa Indonesia sendiri. Baik buruknya, maju mundurnya, dan teratur kacaunya bahasa Indonesia bergantung kepada para pemakai bahasa Indonesia yang mengaku berbangsa Indonesia, bertanah air Indonesia, dan menjunjung tinggi bahasa persatuan, yakni bahasa Indonesia.
Daftar Pustaka Alwasilah,A.Chaedar.1993. Pengantar Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa. Alwi, H. dan Dendy Sugono (Ed.). 2000. Politik Bahasa. Jakarta: Pusat Bahasa. Alwi, H., Dendy Sugono, dan A. Rozak Zaidan. (Ed.). Bahasa Indonesia dalam Era Globalisasi. Jakarta: Pusat Bahasa. Anderson, dan Cusher. Multiciltural and Internatural Studies. Sydney: Prentice Hall. Badan Pusat Statistik.2010. Jakarta. Chaer,Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan awal. Edisi Revisi. Jakarta:PT Rineka Cipta. Chaer,Abdul dan Leonie Agustina. 2013. Pembinaan Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta. Crystal, David. 2003. Language Death.NewYork: Cambridge University Press. Fasold, R.1984. The Sociolinguistics of Society. Cambridge: Cambridge University Press. Halim, A. 1976. Politik Bahasa Nasional Jilid 1. Jakarta: Pusat Bahasa. Halim, A. 1976. Politik Bahasa Nasional Jilid 2.Jakarta: Pusat Bahasa. Hassan, A. (ed.). 1994. Language Planning in Southeast Asia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Holmes,Janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistic.NewYork.Longman. Lewis, At. al. 2015. Ethnologue: languages of the world. Dallas: SIL International. Muslich, M. dan I Gusti Ngurah Oka. 2010. Perencanaan Bahasa pada Era Globalisasi. Jakarta: PT Bumi Aksara. Mahfud, Ch. 2013. Pendidikan Multikultural.Yogyakarta:PT PustakaPelajar. Moeliono, A. 1985. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa: Ancangan Alternatif di dalam Perencanaan Bahasa. Jakarta: Djambatan.
259
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Moeliono, A. 2000. “Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia dalam Era Globalisasi” dalam Hasan Alwi, Dendy Sugono, dan A. Rozak Zaidan (ed.). Jakarta: Pusat Bahasa. Nancy, Hornberger (ed).2006. Language Loyalty, Continuity and Change.Toronto: Multilingual Matters Ltd. Sugono, D. (ed.). 2003. Bahasa Indonesia Menuju Masyarakat Madani. Jakarta: Progress. Sugono, D. et.al 2003. Setengah Abad Kiprah Kebahasaan dan Kesastraan Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa. Sugono, D. 2004. “Strategi Perancangan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia”. Makalah Kongres Bahasa Utama Dunia. Kuala Lumpur, 5—8 Oktober 2004. Sugono, D. 2005. “Dinamika Bahasa dan Sastra Peneral Jiwa Bangsa Serantau” Makalah Seminar Mabbim dan Mastera, Mataram, 7—8 Maret 2005. Sumarsono.2011. Sosiolinguistik.Yogyakarta:Pustaka. Sumarsono dan Paina Partana. 2002.Sosiolinguistik.Yogyakarta: Penerbit Sabda. Suwito.1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik: Teori dan Problema. Edisi ke-2. Surakarta: Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret.
260
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Menulis Karya Ilmiah dengan Pendekatan Sistem dalam Menghadapi MEA
Mimin Sahmini, S.S., M.Pd. STKIP Siliwangi Bandung
[email protected] Abstrak Karya tulis ilmiah merupakan tulisan yang membahas ilmu pengetahuan disusun secara sistematis dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar. Salah satu jenis karya ilmiah adalah makalah. Salah satu pendekatan yang dapat diterapkan dalam menulis makalah adalah pendekatan sistem. langkah awal dari pendekatan sistem adalah perencanaan, pelaksanaan, observasi untuk mengenali kontroversi, refleksi lalu menimbang untuk memecahkan masalah, dan menentukan evaluasi yang tepat dengan permasalahan. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh pengembangan evaluasi keterampilan menulis makalah dengan pendekatan sistem. Penelitian ini menggunakan metode penelitian dan pengembangan/research and developments (R&D) yaitu penelitian yang menggabungkan penelitian kualitatif dan kuantitatif.Data keterampilan menulis makalah diperoleh melalui hasil tugas proyek menulis makalah dan hasil observasi kegiatan di kelas. Selain itu, data diperoleh juga melalui penyebaran angket kepada mahasiswa. Analisis data kualitatif dengan beracuan pada teori Jacob dalam bukunya Sihabudin. Adapun analisis data kuantitatif menggunakan uji t. Berdasarkan hasil analisis data terdapat kenaikan yang berarti dari setiap perlakuan. Sebelum model pendekatan sistem diterapkan, nilai rata-rata mahasiswa sebesar 2,153 dan pada penerapan model ujicoba 1 nilai rata-rata mahasiswa menjadi 2,800 atau megalami kenaikan 23%. Pada penerapan model pendekatan sistem ujicoba 2 nilai mahasiswa meningkat menjadi 3,18 atau 32%. Berikutnya pada penerapan model pendekatan sistem ujicoba3 nilai mahasiswa menjadi sebesar 3,34 atau meningkat 36%. Setelah seluruh model diterapkan maka nilai mahasiswa menjadi 3,60 atau atau meningkat 40%, sehingga memenuhi nilai yang diharapkan (ideal). Kata kuncil: karya ilmiah, pendekatan sistem
Pendahuluan Keterampilan menulis memiliki peranan penting dalam kehidupan. Hampir semua kegiatan tidak terlepas dari kegiatan menulis. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat ditemukan dari hasil karya penulisan, baik dalam bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, analisis sastra, dan lain sebagainya.Karyatulis ilmiah merupakan tulisan yang membahas ilmu pengetahuan disusun secara sistematis dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar. Karya ilmiah merupakan bagian yang tidak terpisahkan di lingkungan akademik karena karya ilmiah menjadi tugas utama dan menjadi syarat dalam setiap mata kuliah dan kelulusan. Karya ilmiah menjadi tolok ukurinsan akademik dalam penerapan wawasan keilmuan yang dimilikinya.
261
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Makalah merupakan salah satu karya ilmiah yang membahas ilmu pengetahuan berdasarkan kajian teoritis dan kajian lapangan. Dalam menulis makalah diperlukan keterampilan menulis dan menerapkannya dalam tahapan awal penulisan. Sebelum kita menulis makalah sebagai langkah awal kita menentukan tema dan pembatasan tema, langkah berikutnya adalah menentukan tujuan dan mengumpulkan referensi yang berkaitan dengan judul. Setelah itu kita membuat kerangka karangan. Pendekatan sistem merupakan proses pemecahan masalah secara sistematis bermulai dari John Dewey, seorang profesor filosofi dari colombia university. Ia mengidenfikasikan tiga seri penelitian yang terlibat dalam memecahkan suatu kontroversi secara memadai. Peneliti merasa penting memilih pendekatan sistem dalam pengembangan evaluasi keterampilan menulis makalah karena dengan pendekatan sistem peneliti dapat mengetahui permasalahan di lapangan yang merupakan hambatan dalam keterampilan menulis. Adapun langkah awal dari pendekatan sistem adalah perencanaan, pelaksanaan, observasi untuk mengenali kontroversi, refleksi lalu menimbang untuk memecahkan masalah, dan menentukan evaluasi yang tepat dengan permasalahan.
Kajian Teori Ihwal Menulis Dalam menulis semua unsur keterampilan berbahasa harus dikonsentrasikan secara penuh agar mendapatkan hasil yang benar-benar baik. Tarigan (1986: 15) menyatakan bahwa menulis dapat diartikan sebagai kegiatan menuangkan ide/gagasan dengan bahasa tulis sebagai media penyampai. Semi (2007:14) dalam bukunya mengungkapkan pengertian menulis adalah suatu proses kreatif memindahkan gagasan kedalam lambang-lambang tulisan. Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa menulis itu merupakan sebuah proses yang berkelanjutan dimana gagasan yang ada dalam pikiran kita itu harus disusun kedalam bentuk tulisan yang berupa lambang-lambag dan menghasilkan sebuah karya tulis yang bermakna dan mengandung arti. Menulis dapat didefinisikan sebagai penggunaan simbol-simbol grafis (huruf atau rangkaian huruf yang berhubungan dengan suara yang kita buat yang umumnya terjadi bila kita berbicara), yang dibagi menurut konvensi tertentu untuk membentuk kata-kata. Kata-kata tersebut selanjutnya disusun dalam kalimat. 1. Tujuan Menulis Menurut Semi (2007:14), “Setiap orang yang akan menulis tentu mempunyai niat atau maksud didalam hati atau pikiran apa yang hendak dicapainya dengan menulis. Niat atau maksud itulah yang dinamakan tujuan menulis. Tujuan orang menulis adalah sebagai berikut: a. Untuk menceritakan sesuatu 262
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
b. Untuk memberikan petunjuk atau pengarahan c. Untuk menjelaskan sesuatu d. Untuk Meyakinkan e. Untuk merangkum 2. Faktor-faktor yang memengaruhi keterampilan menulis Damono (1977) menyebutkan bahwa kebiasaan membaca, pengetahuan dasar tata bahasa, dan penggunaan kamus merupakan faktor yang memengaruhi kemampuan dan keterampilan menulis. Pelbagai informasi bisa diperoleh dari bacaan. Membaca merupakan kegiatan untuk memperoleh pelbagai informasi. Informasi yang bisa memperkaya wawasan. Membaca merupakan upaya agar bisa menulis karena dengan membaca akan memiliki gagasan-gagasan yang akan dituangkan dalam bentuk tulisan. Kosa kata, cara penyusunan kalimat dan alinea, penentuan gagasan, da gaya menulis bisa didapatkan melalui membaca. Pengetahuan tata bahasa jelas merupakan faktor yang tidak bisa diabaikan oleh seorang penulis. Dalam buku-buku komposisi, pengetahuan dasar ketatabahasaan itu dapat kita pelajari.Pada waktu membaca mungkin terdapat kata atau istilah yang kurang kita pahami, dari kata atau istilah yang kurang kita pahami itu kita dapat menggunakan kamus sebagai pedoman untuk menambah wawasan kita tentang kata dan istilah itu agar tidak salah tafsir. Kamus bahasa dan ensiklopedi merupakan sumbangan besar bagi penulis.
3. Langkah-langkah menulis makalah adalah sebagai berikut. a. Tahap Persiapan 1) Pemilihan Tema 2) Pembatasan Tema 3) Menentukan maksud dan tujuan penulisan 4) Menyusun Outline b. Tahap Pengumpulan Data c. Penyusunan instrument d. Uji coba instrument e. Pengumpulan data f.
Melakukan wawancara dengan nara sumber yang layak
g. Penyebaran angket h. Tahap Analisis Data 1) Kualitatif a) Identifikasi data b) Klasifikasi data c) Analisis data d) Interpretasi data 263
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
e) Simpulan 2) Kuantitatif i.
Tahap penyusunan draft laporan
j.
Menyajikan hasil studi pustaka.
k. hasil pengumpulan data l.
hasil analisis data
m. Simpula n.
Tahap Revisi Tahapan menulis diatas harus dilaksanakan sebelum kita menulis karya ilmiah,
agar tulisan kita sistematis dan terarah. Hal tersebut dapat membantu penulis jika terdapat kebakuan kata dalam penulisan karya ilmiah sehingga penulis tidak merasa kesulitan dalam penulisan. Dalam menulis karya ilmiah perlu perencanaan yang dapat menunjang keberlangsungan penelitian. Karya Tulis Ilmiah Karya ilmiah atau tulisan ilmiah adalah suatu karangan yang disusun secara sistematis dan bersifat ilmiah. Sistematis berarti bahwa karangan atau karya tulis tersebut disusun menurut aturan tertentu sehingga kaitan antara bagian-bagian tersebut sangat jelas dan padu. Bersifat ilmiah, berarti bahwa karya tulis tersebut menyajikan satu deskripsi, gagasan, argumentasi atau pemecahan masalah yang didasarkan pada berbagai bukti empirik atau kajian teoretis sehingga para pembacanya dapat merunut atau mencari kebenaran bukti empirik atau teori yang mendukung gagasan tersebut. Menurut Brotowijoyo dalam Arifin (1993:2), karangan ilmiah adalah karangan ilmu pengetahuan yang menyajikan fakta dan ditulis menurut metodologi penulisan yang baik dan benar. Karangan ilmiah harus ditulis secara jujur dan akurat berdasarkan kebenaran tanpa mengingat akibatnya. Kebenaran dalam karya ilmiah bukan merupakan kebenaran normatif, melainkan kebenaran objektif dan positif sesuai dengan fakta dan data di lapangan. Berdasarkan pengertian di atas, sebuah karya ilmiah dapat dikenali dari ciri-ciri seperti yang disebutkan sebagai berikut. a. Dari segi isi, karya ilmiah menyajikan pengetahuan yang dapat berupa gagasan, deskripsi tentang sesuatu atau pemecahan suatu masalah. b. Pengetahuan yang disajikan didasarkan pada fakta atau data (kajian empirik) atau pada teori-teori yang telah diakui kebenarannya. c. Sebuah karya ilmiah mengandung kebenaran yang objektif serta kejujuran dalam penulisan. d. Bahasa yang digunakan adalah bahasa baku dan banyak menggunakan istilah teknis, di samping istilah-istilah yang bersifat denotatif. e. Sistematika penulisan mengikuti cara tertentu. 264
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Makalah Makalah merupakan salah satu karya ilmiah yang membahas suatu kajian ilmu berdasarkan teoritis dan kajian lapangan disertai interpretasi penulis terhadap teori. Suatu makalah dikategorikan baik jika makalah tersebut dapat memberikan manfaat dan dapat menyelesaikan permasalahan. Syarat makalah yang baik salah satunya cermat, tepat waktu, sederhana dan jelas. Seluruh insan akademik harus terampil dalam menulis makalah. Seperti yang dikemukakan oleh Abidin (2010 hlm.39) Makalah adalah salah satu jenis karya tulis ilmiah yang membahas satu permasalahan tertentu sebagai hasil kajian pustaka ataupun kajian lapangan.
Makalah disusun dengan tujuan untuk memenuhi tugas tertentu (tugas
akademik maupun tugas nonakademik). Sebagai sarana untuk mendemonstrasikan pemahaman penulis tentang pokok permasalahan teoretis yang dikaji atau kemampuan penulis dalam menerapkan suatu prosedur, prinsip, atau teori yang berhubungan dengan masalah tertentu.Sebagai sarana untuk menunjukkan kemampuan pemahaman terhadap isi dari berbagai sumber yang digunakan untuk memecahkan suatu masalah, jadi bukan rangkuman. 1. Ciri-ciri makalah Adapun ciri khusus makalah yang baik harus: a. Data yang digunakan mempunyai validitas yang tinggi dan analisis serta interpretasi haruslah objektif. b. Makalah harus mampu menunjukkan kejujuran ilmiah penulis. Dalam hal ini, penulis makalah harus menyebutkan dengan jelas sumber data dan pendapat yang digunakan dalam makalahnya. c. Makalah harus menggunakan bahasa yang jelas, tegas, singkat, sederhana, dan teliti. d. Makalah harus sistematis dan utuh. Fungsi penulisan makalah adalah untuk melatih mahasiswa agar terampil dalam menulis karya ilmiah dan melatih mahasiswa agar terampil dalam berinterpretasi terhadap teori, sehingga mahasiswa dapat memahami ilmu berdasarkan pemahaman bacaan.
2. Sistematika Makalah Makalah harus memiliki sistematika yang benar. Menurut Abidin (2010 hlm.41) sistematika makalah dibedakan berdasarkan jenis makalah. Sistematika makalah lengkap adalah sebagai berikut. Bagian Awal terdiri atas: Halaman Judul Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Gambar/Tabel/ Lampiran/ Lambang atau Singkatan (jika diperlukan)
265
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Bagian Isi, terdiri atas: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Batasan Masalah 1.3 Masalah 1.4 Tujuan 1.5 Manfaat Makalah 1.6 Metode Penyusunan BAB 2 PEMBAHASAN 2.1 Tinjauan/Kajian Teoretis 2.2 Pembahasan BAB 3PENUTUP 3.1 Simpulan 3.2 Saran Bagian Penutup terdiri atas Daftar Pustaka Lampiran (jika ada) Sistematika yang diuraikan di atas merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan dan bolak-balik susunannya.
Pendekatan Sistem Proses pemecahan masalah secara sistematis bermulai dari John Dewey, seorang profesor filosofi dari Colombia University. Dewey mengidenfikasikan tiga seri penelitian yang terlibat dalam memecahkan suatu kontroversi secara memadai. 1. Mengenali kontroversi 2. Menimbang klaim alternatif 3. Membentuk penilaian Tahap-tahap dan langkah-langkah pendekatan sistem Tahap I: Usaha Persiapan Langkah 1: Memandang sekolah sebagai suatu sistem. Langkah 2: Mengenali sistem lingkungan. Langkah 3: Mengindentifkisi subsistem sekolah. Tahap II: Usaha Definisi Langkah 4: Bergerak dari tingkat sistem ke subsistem. Langkag 5: Menganalisa bagian sistem-sistem dalam urutan tertentu Tahap III: Usaha Solusi Langkah 6: Mengidentifikasi solusi alternatif 266
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Langkah 7: Mengevaluasi solusi alternatif Langkah 8: Memilih solusi terbaik Langkah 9: Menerapkan solusi terbaik Langkah 10: Membuat tindak lanjut bahwa solusi itu efektif Istilah sistem menurut KBBI adalah perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas. Dengan demikian dalam sistem diperlukan seperangkat komponen yang saling berkaitan dengan yang lainnya dalam mencapai suatu maksud atau tujuan. Tujuan suatu sistem menurut Hamalik dapat bersifat alami dan bersifat manusiawi. Tujuan yang alami tak mungkin menjadi tujuan-tujuan yang tinggi tingkatannya, bahkan mungkin bernilai sangat rendah. Tujuan sistem yang bersifat manusiawi (man-made) senantiasa dapat berubah. Tujuan-tujuan itu dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan lingkungan yang senantiasa berubah, akibat perubahan lingkungan atau karena tujuan itu bersifat perorangan (personal). Jadi perubahan sistem terjadi karena terdapat perubahan-perubahan di lingkungan. Pada akhir tahun 1950 dan awal 1960-an, pendekatan sistem mulai dipergunakan dalam bidang latihan dan pendidikan (merumuskan masalah), analisis kubutuhan dengan maksud mentransformasikannya menjadi tujuan-tujuan (analisis masalah), desain metode dan materi instruksional (pengembangan suatu pemecahan), pelaksanaan secara eksperimental, dan akhirnya menilai dan merevisi. Adapun desain sistem pengajaran menurut Hamalik adalah sebagai berikut.
Metode Penelitian ini menggunakan metode penelitian dan pengembangan/research and developments (R&D). Penelitian R&D digunakan untuk menghasilkan produk pengembangan evaluasi keterampilan menulis makalah dengan pendekatan sistem, dan menguji keefektifan alat evaluasi tersebut. Menurut Sugiyono (2011, hlm.297) untuk dapat menghasilkan produk tertentu digunakan penelitian yang bersifat analisis kebutuhan dan untuk menguji keefektifan produk tersebut supaya dapat berfungsi di masyarakat luas, maka diperlukan penelitian untuk menguji keefektifan produk tersebut. Adapun alur penelitian R&D tersebut secara rinci diawali dengan kegiatan studi pustaka lalu diteruskan dengan studi lapangan untuk melihat pola pembelajaran yang diterapkan selama ini oleh dosen. Setelah melakukan analisis temukan, berikutnya peneliti mendesain model pembelajaran yang akan dicobakan. Desain model diujicobakan ke sampel terbatas yang ditetapkan, lalu dievaluasi dan diperbaiki bila masih terdapat kelemahan. Hasil evaluasi dan perbaikan tersebut dijadikan sebagai model hipotetik. Model hopotetik berikutnya diterapkan dalam pembelajaran di kelas sebagai pemberlakuan tahap pertama lalu dievaluasi den disempurnakan bila dipandanng masih terdapat kekurangan atau kelemahan yang masih terdapat 267
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
kekurangan atau kelemahan yang masih muncul, berikutnya diterapkan kembali dalam pembelajaran di kelas sebagai pemberlakuan tahap kedua, lalu dievaluasi dan disempurnakan kembali bila masih terdapat kelemahan. Demikian seterusnya sampai penelitian tersebut mendapatkan hasil yang diharapakan. Data penelitian ini akan dikumpulkan melalui penulisan makalah dan observasi kegiatan mahasiswa di kelas selama proses pembelajaran berlangsung. Data tentang tanggapan mahasiswa diambil dari penyebaran angket kepada mahasiswa. Penyebaran angket dilakukan diawal pembelajaran, hal ini dilakukan agar menemukan permasalahan tetntang tahapan menulis, tata tulis karya ilmiah dan penilaian makalah dari dosen, yang peneliti jadikan rancangan model pengembangan evaluasi keterampilan menulis makalah dengan pendekatan sistem. Pengujian Perbedaan Antara Pretest dan Postest pada Ujicob1, Ujicoba2 Dan Ujicoba3, menggunakan uji paired sample t tes, pada prinsipnya ingin menguji suatu nilai tertentu apakah berbeda secara nyata (signifikan) atau tidak sebelum dan sesudah perlakuan. Pengambilan keputusan pada uji t dua sampel berkaitan adalah dengan cara : a. Membandingkan t hitung dengan t table. Jika statistic hitung > statistic table maka Ho ditolak dan Ha diterima. Jika statistic hitung < statistic table maka Ho diterima dan Ha ditolak b. Berdasarkan nilai probabilitas. Jika probabilitas > 0,05, maka Ho diterima dan Ha ditolak. Jika probabilitas < 0,05 maka Ho ditolak dan Ha diterima. (Singgih Santoso, 2002 : 231 – 235). Untuk memperoleh informasi tentang pengaruh pengembangan evaluasi keterampilan menulis makalah dengan pendekatan sistem., dilakukan pengujian statistik paired sample t –test.
Hasil dan Pembahasan A. Pengembangan Evaluasi Keterampilan Menulis Makalah Dengan Pendekatan Sistem Berdasarkan pada teori Hamalik penulis merancang pengembangan evaluasi keterampilan menulis makalah dengan pendekatan sistem sebagai berikut. 1) Merumuskan tujuan sebagai berikut. a. Untuk mengetahui kendala mahasiswa dalam langkah-langkah menulis. b. Untuk mengetahui kendala mahasiswa dalam menulis makalah. c. Untuk mengetahui evalusi keterampilan menulis. d. Dari temuan masalah dihasilkan alat evaluasi keterampilan menulis makalah dengan pendekatan sistem yang merupakan pengembangan program. 2) Langkah awal dilakukan pre test menulis makalah dengan tema “Analisis Kesalahan Berbahasa” dan post test dengan tema yang sama. 268
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
3) Peneliti menentukan rangkaian materi Kegiatan Belajar dan Belajar (KBB) sebagai berikut. a. Teori menulis dan langkah-langkah dalam menulis. b. Karya tulis ilmiah dan Makalah c. Tata Tulis Karya Ilmiah (TTKI) d. Analisis Kesalahan Berbahasa 4) Diskusi materi dan praktik dalam penulisan makalah. 5) Melaksananakan kegiatan belajar dan belajar (KBB) dengan pendekatan sistem. 6) Pedoman perbaikan atau revisi, yang merupakan pengembangan alat evaluasi setelah dilaksanakan perbaikan. 1. Langkah pembelajaran dengan pendekatan sistem adalah sebagai berikut. a. Dosen mengenali permasalahan dalam menulis makalah dari hasil penilaian angket. b. Dosen merancang pembelajaran dari permasalahan yang dikenali. c. Dosen menerapkan metode pembelajaran yang telah dirancang. d. Dosen melakukan evalusi dari uji coba I e. Dosen melakukan perbaikan dari kekurangan uji coba I f.
Dosen melakukan evaluasi dari uji coba II
g. Dosen melakukan perbaikan dari uji coba II h. Dosen melakukan evaluasi uji coba III. i.
Hasil dari ketiga uji coba yang dilakukan dianalisis dan dilakukan pengolahan data sesuai dengan tahapan metode R&D
j.
Dosen menemukan pengembangan alat evaluasi dari keterampilan menulis makalah dengan pendekatan sistem Berdasarkan pada temuan di lapangan peneliti menemukan pelbagai permasalahan dalam
menulis karya ilmiah, diantaranya sebagai berikut. 1) Mahasiswa mengetahui langkah-langkah menulis makalah, tapi dalam praktiknya kurang memahami dengan alasan hanya materi saja yang diterima mahasiswa kemudian diberi tugas dan tidak ada tindak lanjut dari tugas tersebut. Dari permasalahan ini peneliti memutuskan untuk menggunakan evaluasi dalam tahap pra penulisan agar mahasiswa termotivasi untuk melakukan kegiatan pra penulisan dan dilakukan perbaikan melalui diskusi antara dosen, mahasiswa dan kelompok diskusi. 2) Mahasiswa mengetahui karya ilmiah namun dalam praktik penulisan karya ilmiah kurang terampil. Dari permaslahan tersebut peneliti merasa penting untuk memberikan penilaian draf makalah sebagai tahap pengembangan kerangka karangan yang telah dibuat dalam tahap pra penulisan, sebagai upaya untuk memotivasi mahasiswa dalam pengembangan keterampilan menulis. 3) Mahasiswa mengeluhkan tentang penulisan makalah, terkait dengan penilaian yang tidak jelas. Pekerjaan yang tidak mudah, namun para mahasiswa jarang mendapat revisi dari hasil 269
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
tulisannya, sehingga para mahasiswa tidak mengetahui letak kesalahannya. Dan permasalahan ini yang menjadikan mahasiswa terampil untuk copy paste sebagai jalan pintas. Jika permasalahan ini berkelanjutan berakibat kemunduran khusunya di bidang pendidikan. Peneliti merasa penting untuk mengembangkan evaluasi keterampilan makalah dengan pendekatan sistem. Penilaian tersebut merupakan serangkaian kegiatan yang berkelanjutan, adapun kriteria penialian makalah sebagai berikut.
Tahap Pra Penulisan (pre-writing) a. Pemilihan Tema b. Pembatasan Tema c. Menentukan maksud dan tujuan penulisan d. Menyusun Outline Pada tahap pra penulisan para mahasiswa melakukan penulisan di kertas buram atau dalam kertas HVS yang dibagikan oleh dosen, tema yang dipilih harus kajian yang digemari oleh mahasiswa, hal dilakukan agar mempermudah mahasiswa ketika berkendala dalam tulisannya. Setelah itu mahasiswa menginventarisasi topik-topik bawahan dan penentuan judul karya ilmiah. setelah judul penentuan maksud dan tujuan yang harus relevan dengan judul. Kegiatan terakhir dari pra penulisan adalah membuat kerangka karangan. Adapun skor dalam kegiatan pra penulisan adalah 15% dengan rincian skor sebagai berikut.
NO
ASPEK
KATEGORI
1
Tema, judul dan A=
jika
Skor
tema, 7%
KETERANGAN dengan Penskoran
penentuan
orsinilitas
judul rincian sebagai tersebut
maksud/tujuan.
dan tujuan sangat berikut.
dari penulisan di
relevan.
kertas buram atau
A=6-7
B= jika tema dan B=4,1-5,9 judul
cukup C=2,1-4
orsinil
dan D=1-2
relevan
terlihat
kertas HVS
dengan
tujuan. C= jika tema dan judul orsinil relevan
kurang dan dengan
tujuan D= jika
tema
270
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
dan judul tidak orsinil relevan
dan dengan
tujuan 2
Kerangka
A= susunan runut Skor
Karangan
B=
susunan dengan rincian tersebut
cukup runut C=
8% Penskoran
sebagai berikut.
susunan A=6,1-8
kurang runut
B=4,1-6
terlihat
dari penulisan di kertas buram atau kertas HVS
D= susunan tidak C=2,1-4 runut
D=1-2
Tahap Penulisan (writing) Dalam tahap penulisan adalah membuat draf makalah dan pengembangan dari draf tersebut. Dari draf yang ditulis oleh mahasiswa dalam kertas buram atau HVS dosen memberi masukan dan kritikan mengenai bagaian-bagian yang harus ditambah dan bagian-bagian yang harus dihilangkan. Setelah revisi draf makalah kemudian mahasiswa melakuan kegiatan penulisan. Skor penilaian draf makalah adalah 15%. Penulisan draf makalah harus sistematis, item-item yang harus ada dalam draf makalah adalah sebagai berikut.
Bagian Awal terdiri atas: Halaman Judul Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Gambar/Tabel/ Lampiran/ Lambang atau Singkatan (jika diperlukan) Bagian Isi, terdiri atas: BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Batasan Masalah 1.3 Masalah 1.4 Tujuan 1.5 Manfaat Makalah 1.6 Prosedur Makalah BAB 2 PEMBAHASAN 2.1 Tinjauan/Kajian Teoretis (Teori yang relevan dengan judul) 2.2 Pembahasan ( pembahasan masalah berdasarkan teori) 271
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
BAB 3 PENUTUP 3.1 Simpulan (berbentuk pointer relevan dengan rumusan masalah) 3.2 Saran Bagian Penutup terdiri atas Daftar Pustaka ( sejumlah pustaka yang digunakan di bab 2) Lampiran (jika ada) Adapun skor dalam kegiatan pra penulisan adalah 15% dengan rincian skor sebagai berikut.
NO
ASPEK
KATEGORI
SKOR
1
Sistematik
A=
makalah
makalah
dengan rincian tersebut
sistematis
sebagai berikut.
Draf Skor
KETERANGAN 15% Penskoran terlihat
dari penulisan di
B= Draf makalah A=10,6-15
kertas buram atau
cukup sistematis
kertas HVS
B=7,1-10,5
C= Draf makalah C=4,1-7 kurang sistematis D=1-4 D=
Draf
makalah
tidak
sistematis
Tahap Hasil Penulisan (post-writing) Dalam tahap post writing, penilaian pada hasil penulisan atau makalah jadi. Adapun aspek penilaian terdiri dari beberapa butir, adalah sebagai berikut. Penggunaan Bahasa a. Ejaan b. Pilihan kata c. Struktur kalimat d. Paragraf e. Gaya bahasa Isi dan Penalaran a. Keruntutan b. Pengembangan isi c. Relevansi argumentasi d. Kedalaman argumentasi
272
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Penutup a. Simpulan relevansi dari rumusan masalah b. Saran baik praktis maupun teoritis
Simpulan dan Saran Simpulan Keterampilan menulis yang menjadi pedoman peneliti adalah menggunakan kriteria penilaian dari Jacob (Shihabudin). Aspek yang dinilai dari keterampilan menulis adalah penggunaan bahasa yang meliputi: ejaan, pilihan kata, struktur kalimat, paragraf, gaya bahasa. isi dan penalaran meliputi: keruntutan; pengembangan isi; relevansi argumentasi; kedalaman argumentasi. Langkah Pembelajaran Pendekatan Sistem 1) Dosen mengenali permasalahan dalam menulis makalah dengan menyebarkan angket. 2) Dosen merancang pembelajaran dari permasalahan yang dikenali. 3) Dosen menerapkan metode pembelajaran yang telah dirancang. 4) Dosen melakukan evalusi dari uji coba I 5) Dosen melakukan perbaikan dari kekurangan uji coba I 6) Dosen melakukan evaluasi dari uji coba II 7) Dosen melakukan perbaikan dari uji coba II 8) Dosen melakukan evaluasi uji coba III 9) Hasil dari ketiga uji coba yang dilakukan dianalisis dan dilakukan pengolahan data sesuai dengan tahapan metode R&D 10) Dosen menemukan pengembangan alat evaluasi dari keterampilan menulis makalah dengan pendekatan sistem Pengembangan evaluaasi menulis makalah dengan pendekatan sistem 1) Tahap Pra Penulisan (pre-writing) a. Pemilihan Tema b. Pembatasan Tema c. Menentukan maksud dan tujuan penulisan d. Menyusun Outline Pada tahap pra penulisan para mahasiswa melakukan penulisan di kertas buram atau dalam kertas HVS yang dibagikan oleh dosen, tema yang dipilih harus kajian yang digemari oleh mahasiswa, hal dilakukan agar mempermudah mahasiswa ketika berkendala dalam tulisannya. Setelah itu mahasiswa menginventarisasi topik-topik bawahan dan penentuan judul karya ilmiah. setelah judul penentuan maksud dan tujuan yang harus relevan dengan judul. Kegiatan terakhir dari pra penulisan adalah membuat kerangka karangan.
273
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
2) Tahap Penulisan (writing) Dalam tahap penulisan adalah membuat draf makalah dan pengembangan dari draf tersebut. Dari draf yang ditulis oleh mahasiswa dalam kertas buram atau HVS dosen memberi masukan dan kritikan mengenai bagaian-bagian yang harus ditambah dan bagian-bagian yang harus dihilangkan. Setelah revisi draf makalah kemudian mahasiswa melakuan kegiatan penulisan. Skor penilaian draf makalah adalah 15%. 3) Tahap Hasil Penulisan (post writing) Dalam tahap post writing, penilaian pada hasil penulisan atau makalah jadi. Adapun aspek penilaian terdiri dari beberapa butir, adalah sebagai berikut. Penggunaan Bahasa a. Ejaan b. Pilihan kata c. Struktur kalimat d. Paragraf e. Gaya bahasa Isi dan Penalaran a. Keruntutan b. Pengembangan isi c. Relevansi argumentasi d. Kedalaman argumentasi Penutup 4) Simpulan relevansi dari rumusan masalah 5) Saran baik praktis maupun teoritis 1. Perbedaan Pretest dengan Postest Adapun pengujian hipotesisnya menggunakan two-tiled (2 arah) dengan hipotesis : Ho : μ1 = μ2 Ha : μ1 ≠ μ2 Ho
:
Tidak terdapat perbedaan nilai tes peserta didik antara sebelum
dan
sesudah
pelaksanaan
pembelajaran
keterampilan menulis makalah dengan pendekatan sistem setelah seluruh ujicoba dilakukan Ha
:
Terdapat perbedaan nilai tes peserta didik antara sebelum dan
sesudah
pelaksanaan
pembelajaran
keterampilan
menulis makalah dengan pendekatan sistem setelah seluruh ujicoba dilakukan Kriteria pengambilan keputusan menggunakan α = 5% : Jika t hitung > t tabel atau nilai probabilitas (sig) ≤ 0,05 maka Ho ditolak 274
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Jika t hitung > t tabel nilai probabilitas (sig) ≥ 0,05 maka Ho diterima
Hasil perhitungan disajikan dalam tabel sebagai berikut : Berdasarkan pengujian statistik uji t (paired sample t –test), tercatat nilai rata-rata Pretest (tanpa perlakuan dalam keterampilan menulis makalah) diterapkan adalah 2,15 dengan jumlah mahasiswa 38orang, sementara nilai rata-rata tes mahasiswa setelah semua model diterapkan (postest)dalam pendekatan sistem dalam keterampilan menulis makalah diterapkan adalah 3,60. Berarti ada peningkatan nilai rata-rata hasil belajar peserta didik setelah pendekatan sistem diterapkan. Berdasarkan perhitungan, diperoleh nilai probabilitas (sig) pada df=37 adalah 0,000 < 0,05 dan t hitung = 62,325 > t tabel = 2,026 pada α = 5%. Dengan demikian berarti ada perbedaan yang sangat berarti (sangat signifikan) nilai tes peserta didik antara sebelum dan sesudah pelaksanaan model pendekatan sistem dalam keterampilan menulis makalah. Dengan demikian terdapat pengaruh yang berarti pendekatan sistem yang digunakan dalam keterampilan menulis makalah. Secara keseluruhan penerapan model pendekatan sistem dalam keterampilan menulis makalah adalah sebagai berikut :
grafik perbandingan rata-rata skor
Series1, pretest, 2.15
Series1, ujicoba1, 2.80
Series1, ujicoba2, 3.18
Series1, ujicoba3, 3.35
Series1, postest, 3.60
Tabel Perbandingan Rata-rata Keseluruhan Perlakuan
Rata-rata
Persentase Kenaikan
Pair 1
Pretest
2,1539
Ujicoba1
2,8000
23%
275
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Pair 2
Pair 3
Pair 4
Pretest
2,1539
Ujicoba2
3,1842
Pretest
2,1539
Ujicoba3
3,3487
Pretest
2,1539
Postest
3,6011
32%
36%
40%
Berdasarkan tabel maka terdapat kenaikan yang berarti dari setiap perlakuan. Sebelum model pendekatan sistem diterapkan, nilai rata-rata mahasiswa sebesar 2,153 dan pada penerapan model ujicoba1 nilai rata-rata mahasiswa menjadi 2,800 atau megalami kenaikan 23%. Pada penerapan model pendekatan sistem ujicoba2 nilai mahasiswa meningkat menjadi 3,18 atau 32%. Berikutnya pada penerapan model pendekatan sistem ujicoba3 nilai mahasiswa menjadisebesar 3,34 atau meningkat 36%. Setelah seluruh model diterapkan maka nilai mahasiswa menjadi 3,60 atau atau meningkat 40%, sehingga memenuhi nilai yang diharapkan (ideal).
Saran 1) Penelitian ini merupakan langkah awal dari pengembangan R&/D tentang pengembangan evaluasi keterampilan menulis makalah dengan pendekatan sistem sehingga hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dalam evaluasi keterampilan menulis makalah. 2) Disarankan kepada peneliti untuk melakukan pengembangan keterampilan menulis berbasis keterampilan proses dengan pendekatan sistem.
Daftar Pustaka Arifin, Z. (2002). Dasar-dasar Menulis Karya Ilmiah. Jakarta: Grasindo Ary, D. dkk. (2007). Pengantar penelitian dalam pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Brown, H. D. (2008). Edisi kelima prinsip pembelajaran dan pengajaran bahasa.Jakarta: Kedutaan Besar Amerika Serikat. Creswell, J.W. (2002). Research design: desain penelitian qualitative &quantitative approaches. Pendekatan kualitatif. Alihbahasa angkatan III&IV KIK-UI dan bekerjasama dengan Nur Khabibah.Jakarta: KIK Press. Elfindri, dkk. (2010). Soft Skilluntuk pendidik. (Tidak ada): Baduose Media. Fathurrohman, P. & Sobry S. (2007). Strategi belajar mengajar strategi mewujudkan pembelajaran bermakna melalui penanaman konsep umum & konsep islami. Bandung: Refika Aditama.
276
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Iskandarwassid & Dadang S. (2008). Strategi Pembelajaran Bahasa. Bandung: Remaja Rosdakarya. Joyce, Bruce dkk. (2009). Models of Teaching Model-Model Pengajaran Edisi Delapan: Terjemahan Models of Teaching oleh Achmad Fawaid dan Ateilla Mirza. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. LPMP SMA Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Depdiknas. Muslich, M. (2011). Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimentional. Jakarta: Bumi Aksara. Nurgiyantoro, B.(2010). Penilaian Pembelajaran Bahasa Berbasis Kompetensi. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta. Semi, M. A. (2007). Dasar-dasar keterampilan menulis. Bandung: Angkasa. Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung. Alfabeta. Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung: Alfabeta. Sukmadinata, N.S. (2008). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Rosdakarya. Tarigan, H.G. (1993). Strategi Pengajaran dan Pembelajaran Bahasa. Cetakan ke-1. Bandung: Angkasa. Tarigan, H. G. (2000). Menulis sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Cetakan ke-6. Bandung: Angkasa. Tim Redaksi KBBI Pusat Bahasa. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
277
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
PERAN KOMUNITAS SASTRA DALAM MENGEMBANGKAN EKONOMI KREATIF Mukodas Universitas Pendidikan Indonesia
[email protected]
Abstrak Komunitas merupakan gudangnya ide kreatif. Ada banyak pemikiran jernih yang dicetuskan ketika sekelompok manusia berembuk bersama. Salah satunya adalah mencari cara untuk tetap bertahan hidup. Beberapa komunitas kemudian mengembangkan bisnis dalam bidang ekonomi kreatif. Makalah ini mengambil sample dua komunitas sastra, Komunitas KCCI (Kumpulan Cerpen Cerbung dari Bandung dan Komunitas Arteri (Art dan Literasi) dari Bogor. Hal ini didasari karena komunitas arteri telah menerbitkan beberapa buku antologi. “Bogor dalam Komposisi” yang merupakan buku antologi puisi dari Arteri, dan “Antologi Cerpen Ababil”, “Cerita Kita”, “Tentang Bulan”, “Dongeng Suka-suka”, dan “Mitologi Negeri Fantasi” yang merupakan antologi cerita pendek dari KCCI. Makalah ini lantas diberi judul “Peran Komunitas Sastra dalam Mengembangkan Ekonomi Kreatif”. Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan partisipasi komunitas sastra dalam mengembangkan ekonomi kreatif dan kendala-kendala yang dihadapi komunitas.
Kata kunci : komunitas, sastra, ekononomi kreatif
Pendahuluan Senang berkelompok adalah sifat dasar manusia, atau disebut juga dengan makhluk sosial. Ketika sekelompok orang berkumpul dan memiliki pandangan yang sama, maka piluhan terbaik adalah dengan membuat komunitas yang menaunginya. Hal ini pun bertujuan untuk lebih terjalin kerja sama yang berkelanjutan sesuai dengan visi dan misi. Komunitas di Indonesia kini seperti jamur di musim penghujan. Jumlah yang diketahui pun tak ubahnya puncak gunung es. Hal ini disebabkan kegemaran yang beragam dari setiap kelompok. Ditambah dengan menciptakan komunitas baru adalah hal yang mudah. Secara teori, pengertian komunitas mengacu pada sekumpulan orang yang saling berbagi perhatian, masalah, atau kegemaran terhadap suatu topik dan memperdalam pengetahuan serta keahlian mereka dengan saling berinteraksi secara terus menerus (Wenger dalam Septiana 2007: 12). Komunitas terbentuk akibat dari persamaan minat antara individu yang kemudian membuat suatu wadah untuk mengaspirasikan minat mereka. Setiap komunitas mempunyai ciri 278
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
khas masing-masing yang membedakan mereka dengan komunitas lain. Ciri khas tersebut terletak pada ruang lingkup komunitas, minat, maupun tempat komunitas tersebut berada. Keberadaan sebuah komunitas sangat ditentukan oleh aktivitas anggota, karena sumber kekuatan utama dari komunitas adalah sumber daya manusia. Pada umumnya komunitas mempunyai visi dan misi yang akan dicapai, dan mereka membuat suatu program untuk menunjang visi dan misi tersebut. Program tersebut dijadikan alat untuk mengembangkan komunitas mereka atau hanya sekadar untuk mempertahankan eksistensi. Komunitas Sastra Komunitas yang banyak memiliki beragam jenis. Salah satunya adalah komunitas sastra. Ada banyak alasan mengapa pemakalah memfouskan masalah sastra sebagai bahan untuk dikaji lebih jauh. Pada dasarnya sastra adalah hasil dari kebudayaan masyarakat. Produk-produk sastra pun lebih memasyarakat. Yang dikenal oleh kalangan masyarakat adalah novel. Komunitas sastra pun bisa dijadikan sebagai pelopor dalam menyokong ekonomi kreatif dalam memperkenalkan produk sastra itu sendiri. Menurut Howkins, Ekonomi Kreatif adalah kegiatan ekonomi dimana input dan outputnya adalah gagasan. Esensi dari kreativitas adalah gagasan itu sendiri. Terlebih komunitas merupakan gudangnya ide kreatif. Ada 14 subsektor yang dipetakkan oleh departemen perdagangan RI. Keempat belas tersebut adalah (1) periklanan, (2) arsitektur, (3) pasar barang seni, (4) kerajinan, (5) desain, (6) fashion (7) video, film, fotografi, (8) permainan interaktif, (9) musik, (10) industri pertunjukkan, (11) penerbitan dan percetakan, (12) layanan komputer dan piranti lunak, (13) televisi dan radio,terakhir (14) penelitian dan pengembangan. Dalam makalah ini akan difokuskan pada bagian penerbitan dan percetakan. Sebenarnya subsektor yang lain pun bisa dilakukan seperti insustri pertunjukan. Pertunjukan drama yang utama, sebab drama tak bisa dikatakan drama jika naskahnya saja. Harus dipertunjukkan. Film pun bisa saja seperti film yang diangkat dari karya sastra seperti kebanyakan film box office. Tetapi untuk lebih memfokuskan pembahasan, pemakalah akan membatasi pada ekonomi kreatif subsektor penerbitan dan percetakan. Penerbitan adalah kegiatan intelektual dan profesional dalam menyiapkan naskah, menyunting naskah, menghasilkan berbagai jenis bahan publikasi kemudian memperbanyak serta menyebarluaskannya untuk kepentingan umum. Penerbitan merupakan proses panjang yang melibatkan banyak waktu dan orang untuk mengolah naskah sampai berbentuk enak dibaca.
279
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Ada dua macam penerbit ketika seseorang ingin mewujudkan naskahnya. Penerbit mayor dan penerbit indie. Penerbit mayor adalah penerbit yang menerbitkan karya dengan menanggung biaya percetakan dan biaya distribusi. Contohnya adalah penerbit gramedia atau bentang. Proses dalam penerbitan di sini adalah penulis mengirim naskah, editor memilih naskah yang menarik untuk diterbitkan, bagian administrasi membagi-bagi kriteria penggolongan naskah, pemasaran memilah kembali naskah-naskah mana yang potensial laris di pasar, bagian lay outer merapikan naskah yang sudah fix, dan terakhir bagian produksi yang menyeleksi naskah yang berprioritas terlebih dahulu untuk dicetak. Penerbit indie lebih sederhana. Ibarat kita adalah penjual pisang goreng secara mandiri. Kita yang membuat, kita yang memproduksi, dan kita yang memasarkan. Secara kasarnya, dana disediakan oleh penulis itu sendiri. Keuntungannya adalah sejelek apapun tulisan yang dihasilkan, pasti diterbitkan. Sehingga akan menjadi ladang untuk pembelajaran. Masalah yang ditemukan berkaitan dengan penyediaan dana oleh penulis. Jika tulisannya bagus tetapi tidak punya modal, tulisan yang bagus tersebut hanya bisa dinikmati sebagian kalangan. Sebaliknya, jika tulisan yang dihasilkan termasuk ke dalam kategori buruk sedangkan memiliki modal besar, maka buku indie yang bertebaran adalah buku yang buruk. Faktanya, orang awam akan menggeneralisasikan bahwa buku indie adalah buku yang tidak baik. Ekonomi Kreatif Komunitas Sastra Produk buku yang paling mudah diterbitkan adalah kumpulan cerpen atau antologi puisi bersama dengan menggunakan penerbit indie. Komunitas adalah gudangnya ide kreatif. Begitupun dalam berkarya, komunitas memiliki peranan penting untuk menyokong kemampuan tersebut. Ketika pemakalah masih sedang bergerak di Komunitas KCCI (Kumpulan Cerpen Cerbung Indie), ada banyak buku kumpulan cerpen yang telah diterbitkan. “Antologi Cerpen Ababil”, “Cerita Kita”, “Tentang Bulan”, “Dongeng Suka-suka”, dan “Mitologi Negeri Fantasi”. Naskah-naskah tersebut diambil dari karya-karya anggota komunitas. Yang menjadi kendala dalam penerbitan oleh komunitas ini adalah ruginya karya yang bagus menjadi sebatas konsumsi pribadi. Penerbitan dalam buku-buku tersebut menggunakan penerbit indie dan dilakukan penggalangan dana secara patungan. Sehingga ketika setelah terbit pun yang memiliki buku tersebut adalah kontributor yang menulis, dan ketika dipasarkan tidak terlalu laku. Hingga pada akhirnya komunitas tersebut pun sejak tahun 2012 tidak kembali membuat buku antologi. 280
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Selanjutnya ketika pemakalah aktif di Komunitas Arteri (art dan literasi) berhasil menerbitkan buku antologi puisi berjudul “Bogor dalam Komposisi”. Penerbitan ini bekerjasama dengan penerbit mayor bernama Kapas Publishing. Kontributor pada buku ini diberikan secara cuma-cuma sebagai reward telah berpartisipasi sebagai penulis. Kendala yang ditemukan adalah kontrak kerja sama MoU yang sulit ditemukan titik temunya ole kedua belah pihak. Di sisi lain, masa tunggu penerbitan pun memakan waktu yang lama, sedangkan para anggota komunitas seakan tidak sabar menantikan kepastian terbit atau tidaknya buku yang mereka tulis. Di sisi lain, penerbit lebih menyukai buku-buku sastra bergenre novel daripada antologi cerpen atau antologi puisi. Kesimpulan Komunitas adalah gudangnya ide kreatif. Pada dasarnya komunitas sastra mampu berkontribusi dalam memajukan ekonomi kreatif di Indonesia. Yang dibutuhkan adalah dorongan dan sokongan pihak-pihak luar dalam membangun dan memotivasi komunitas agar tidak surut. Salah satunya adalah bagian penerbitan dan percetakan. Komunitas sastra memiliki peranan penting sebagai peletupan semangat agar terus berkarya. Sedangkan pihak luar semestinya mendukung dengan cara membeli atau bahkan ikut mendanai penerbitan jika dikelola penerbit indie.
Daftar Pustaka Kelompok Kerja Indonesia Design Power – Departemen Perdagangan. (2008). Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2025. Jakarta :Departemen Perdagangan Republik Indonesia. Naibaho, Kalerensi. (2007). Menciptakan Generasi Literat Melalui Perpustakaan. Esai: Tidak diterbitkan. Syahid, Muhammad. (2014). Pengantar Ilmu Penerbitan. Paper : Tidak diterbitkan. Simatupang, Togar M. (2008). Perkembangan Industri Kreatif. Makalah : Tidak diterbitkan. Affif, Faisal. (2012). Pilar-Pilar Ekonomi Kreatif. Jurnal : Rangkaian Kolom Kluster I, 2012. Septiana, Ratri Indah. (2007). Perkembangan Perpustakaan Berbasis Komunitas: Studi Kasus pada Rumah Cahaya, Melati Taman Bacadan Kedai Baca Sanggar Barudak. Skripsi : Tidak diterbitkan.
281
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
TINDAK TUTUR ILOKUSI DIREKTIF DALAM SIDANG GUGATAN CERAI DI PENGADILAN AGAMA KOTA SUKABUMI
Nenden Liska Gipari Pascasarjana Linguistik Umum, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjajaran
[email protected]
Abstrak Kegiatan komunikasi manusia melibatkan bahasa berupa tindak tutur verbal yang dapat menimbulkan berbagai tafsiran. Tindak tutur yang sama dapat ditafsirkan sebagai dua macam tindak tutur yang berbeda. Tidak hanya tindak tutur dalam kehidupan sehari-hari saja yang dapat menimbulkan berbagai persepsi, tindak tutur dalam ranah khusus seperti ranah hukum juga dapat menimbulkan persepsi yang berbeda-beda pula. Salah satu bentuk kegiatan hukum yang akan menimbulkan berbagai persepsi adalah tindak tutur yang terjadi pada sidang gugatan cerai di pengadilan agama karena melibatkan tindak tutur sebagai bentuk argumentasi dari berbagai pihak, yakni hakim, pengacara, penggugat, tergugat, dan para saksi.Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan wujud tindak tutur ilokusi direktif yang terdapat dalam sidang gugatan cerai di Pengadilan Agama Kota Sukabumi. Metode dalam tulisan ini dilakukan dengan tiga tahapan, yakni pegumpulan data, analisis data, dan penulisan hasil data.Wujud tuturan ilokusi direktif dalam sidang gugatan cerai di Pengadilan Agama Kota Sukabumi memiliki dua pola, yaitu (1) direktif – perintah dan (2) direktif – penawaran. Pola pertama memiliki lima kalimat yang terdiri dari satu kalimat tidak langsung dan empat kalimat langsung, sedangkan pola kedua memiliki satu kalimat dengan bentuk tidak langsung. Kata kunci: tindak tutur, direktif, dan pragmatik
1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Kehidupan manusia tidak pernah lepas dari kegiatan komunikasi. Komunikasi memerlukan bahasa sebagai perantaranya. Tanpa bahasa, manusia tidak dapat menyampaikan gagasan berupa perasaannya kepada lawan tutur. Dengan segala aspek, bahasa telah memfasilitasi manusia untuk menjalankan peran sebagai individu ataupun kelompok masyarakat. Bahasa yang digunakan seseorang tentu saja harus dapat dipahami oleh lawan tuturnya. Dengan kata lain, pemahaman yang baik terhadap informasi yang terkandung di dalam peristiwa tutur akan terwujud jika lawan tutur sama-sama memiliki kemampuan untuk melakukan encode atas apa saja yang ingin disampaikannya melalui 282
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
decode terhadap bentuk bahasa lawan tuturnya sehingga ia dapat menangkap pesan berupa informasi yang disampaikan lawan tuturnya. Kegiatan komunikasi akan melibatkan bahasa berupa tindak tutur verbal yang dapat menimbulkan berbagai tafsiran seperti yang dikemukakan George Yule dalam bukunya yang berjudul “Pragmatics” Tindak tutur yang sama dapat ditafsirkan sebagai dua macam tindak tutur yang berbeda. Terdapat lebih banyak yang ditemukan dalam penafsiran tindak tutur daripada makna yang terdapat dalam tindak tutur itu sendiri (Yule, 1996: 83). Yule membagi jenis tindak tutur ke dalam tiga bagian, yaitu tindak ilokusi, tindak lokusi, dan tindak perlokusi, sedangkan klasifikasi tindak tutur berdasarkan fungsinya dibagi menjadi lima bagian yaitu deklarasi, representasi, ekspresif, direktif, dan komisif. (Yule, 2014: 92). Ada perdebatan panjang mengenai keefektifan bahasa yang berdampak pada hukum karena bahasa hukum yang digunakan di Indonesia saat ini tidak sesuai dengan kaidah baku, selain itu bahasa yang digunakan cenderung sulit untuk dipahami sehingga dapat menimbulkan berbagai celah untuk membuat orang berlindung dalam suatu pasal tertentu untuk menutupi kesalahannya. Kajian kebahasaan mengenai bahasa berdampak hukum selalu dilihat dari aspek kesalahan berbahasa, padahal hal tersebut akan menarik jika dikaji dari sudut pandang lain, seperti aspek penggunaan bahasa dalam ranah pragmatik yang dapat menimbulkan berbagai tafsiran, yang selama ini belum tersentuh oleh penelitian pada umumnya. Salah satu bentuk kegiatan hukum yang akan menimbulkan berbagai tafsiran adalah tindak tutur yang terjadi pada sidang gugatan cerai di pengadilan agama karena melibatkan tindak tutur sebagai bentuk argumentasi dari berbagai pihak, yakni hakim, pengacara, penggugat, tergugat, dan para saksi. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai tindak tutur ilokusi direktif pada sidang gugatan cerai di Pengadilan Agama Kota Sukabumi untuk mengetahui berbagai tafsiran yang muncul dari sebuah tindak tutur. Selain itu Pengadilan Agama Kota Sukabumi merupakan pengadilan agama pusat yang mengurus berbagai kasus yang datang dari seluruh wilayah kota Sukabumi sehingga kasus yang ditangani sangat beragam dan berasal dari berbagai jenis latar belakang pendidikan dan pekerjaan. Sidang cerai yang diajukan penggugat perempuan diangkat sebagai tema karena jumlah penggugat perempuan lebih banyak dibandingkan penggugat laki-laki sehingga data yang dijaring akan semakin banyak. Contohnya dalam persidangan di Pengadilan Agama Kota Sukabumi pada tanggal 11 februari 2015, terdapat tiga belas sidang yang dilakukan dan delapan di antaranya diajukan oleh penggugat perempuan. Proses sidang perceraian berbeda dengan sidang pidana di pengadilan negeri. Hal tersebut disebabkan perbedaan pada bentuk kasus yang akan menghasilkan putusan yang berbeda pula. Proses persidangan di pengadilan agama memiliki rentan waktu antara tiga sampai dua puluh menit. Hal 283
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari kehadiran pihak penggugat, tergugat, saksi, dan pengacara hingga agenda sidang apa yang sedang di bawakan. Bahasa merupakan media yang sangat penting dalam proses komunikasi di pengadilan untuk meluruskan masalah yang terjadi dalam rumah tangga penggugat dan tergugat. Bahasa bisa mengantarkan pihak penggugat dan tergugat untuk rujuk kembali, namun bahasa juga bisa membuat masalah semakin meruncing apabila maksud dan tujuan penggugat ataupun tergugat tidak tersampaikan dengan baik. Oleh karena itu penulis akan mengkaji mengenai wujud tindak tutur ilokusi direktif untuk mengetahui maksud sebenarnya yang ingin disampaikan oleh penuturnya agar tidak menimbulkan kesalahan persepsi bagi lawan tutur.
1.2 Masalah Berdasarkan paparan pada latar belakang, masalah dalam tulisan ini adalah bagaimana wujud tindak tutur ilokusi direktif yang terdapat dalam sidang gugatan cerai di Pengadilan Agama Kota Sukabumi? 1.3 Tujuan Sesuai dengan masalah yang telah disebutkan di atas, tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan wujud tindak tutur ilokusi direktif yang terdapat dalam sidang gugatan cerai di Pengadilan Agama Kota Sukabumi. 1.4 Metode Metode dalam tulisan ini dilakukan dengan tiga tahapan, yakni pegumpulan data, analisis data, dan penulisan hasil data. Pada pengumpulan data digunakan metode simak. Dalam hal ini penulis menyimak dan mencermati tindak tutur ilokusi direktif yang digunakan pada data. Selanjutnya, data dicatat, diklasifikasikan, dan dianalisis (Sudaryanto, 2001: 4). 1.5 Sumber Data Sumber data tulisan ini berupa hasil transkrip dari data lisan yang direkam oleh peneliti pada saat proses sidang gugatan cerai di Pengadilan Agama Kota Sukabumi berlangsung. Data yang diperoleh berasal dari tindak tutur penggugat perempuan yang menyatakan permohonan perceraian terhadap majelis hakim dan tergugat di Pengadilan Agama Kota Sukabumi. Data tersebut diambil pada tanggal 11 Februari 2015 dengan menggunakan digital voice recorder sebagai alat perekamnya.
284
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
2. Kerangka Teori Istilah dan teori mengenai tindak tutur mula-mula diperkenalkan oleh J.I. Austin, seorang guru besar di Universitas Harvard pada tahun 1959. Leech (1993: 5-6) menyatakan bahwa pragmatik mempelajari maksud ujaran, yaitu untuk apa ujaran itu dilakukan; menanyakan apa yang seorang maksudkan dengan suatu tindak tutur; dan mengaitkan makna dengan siapa berbicara pada siapa, di mana, dan bagaimana. Tindak tutur merupakan entitas yang bersifat sentral di dalam pragmatik dan juga dasar bagi analisis topik-topik lain di bidang ini, seperti praanggapan, implikatur percakapan, prinsip kerja sama, dan prinsip kesantunan. Sementara itu, Austin (dalam Leech, 1993: 280) menyatakan bahwa semua tindak tutur adalah sebuah bentuk tindakan dan tidak sekadar sesuatu tentang dunia tindak tutur dan tutur (speech act) adalah fungsi bahasa sebagai sarana petindak. Semua kalimat atau ujaran diucapkan oleh penutur sebenarnya mengandung fungsi komunikatif tertentu. Berdasarkan pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa mengujarkan sesuatu dapat disebut sebagai aktivitas atau tindakan. Hal tersebut dimungkinkan karena terdapat maksud tertentu yang berpengaruh pada orang lain. Leech (1993: 13) menyatakan bahwa pragmatik erat kaitannya dengan tindak tutur karena pragmatik menelaah makna yang berkaitan dengan situasi tindak tutur. Tindak tutur merupakan bagian dari pragmatik, sedangkan pragmatik berkaitan erat dengan performansi linguistik. Dengan demikian, dapat dideskripsikan bahwa tindak tutur merupakan bagian dari performansi linguistik. Istilah tindak tutur (speech act) tidaklah merujuk hanya pada tindakan berbicara saja, tetapi merujuk pada keseluruhan situasi komunikasi, termasuk di dalamnya konteks ucapan (yaitu situasi di mana wacana terjadi, para partisipannya dan semua interaksi verbal atau fisik yang terjadi sebelumnya) serta ciri-ciri paralinguistik yang bisa memberikan kontribusi bagi makna dari interaksi (Black, 2011: 37). Beranjak dari pemikiran Austin (1962), Searle (1969) menyatakan bahwa secara pragmatis dalam praktik penggunaan bahasa setidak-tidaknya terdapat tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yakni (1) tindak lokusi (locutionary acts), (2) tindak ilokusi (illocutionary acts), dan (3) tindak perlokusi (perlocutionary acts). Tindak lokusi adalah tindak bertutur dengan kata, frasa, dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung di dalamnya (Rahardi, 2000: 32). Tindak tutur lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tindak tutur ini disebut the act of saying something. Tindak lokusi menghasilkan ucapan yang tertata baik menurut tata bahasa yang sedang 285
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
digunakan penutur (Black, 2011: 38). Menurut Wijana (1996: 18), Wijana dan Rohmadi (2009: 20). Tindak lokusi adalah tindak tutur yang relatif paling mudah untuk diidentifikasi karena pengidentifikasiannya cenderung dapat dilakukan tanpa menyertakan konteks tindak tutur yang tercakup dalam situasi tutur. Dengan kata lain, tindak lokusi tidak dipermasalahkan maksud dan fungsi tindak tutur yang disampaikan penutur. Pada tindak tutur ruangan ini panas, misalnya, semata-mata hanya dimaksudkan untuk memberi tahu mitra tutur bahwa pada saat dimunculkannya tindak tutur itu ruangan dalam keadaan panas. Sebuah tindak tutur bukan hanya berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu, melainkan juga dipergunakan untuk melakukan sesuatu. Bila hal ini terjadi, tindak tutur yang terbentuk adalah tindak ilokusi. Menurut Rahardi (2000: 33) tindak ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu pula. Tindak tutur ini disebut the act of doing something. Tindak tutur ruangan ini panas yang diucapkan penutur bukan semata-mata dimaksudkan untuk memberi tahu mitra tutur bahwa pada saat dituturkannya tindak tutur itu ruangan tempat penutur berada memiliki suhu udara yang tinggi, melainkan lebih dari itu. Penutur menginginkan mitra tutur melakukan tindakan tertentu seperti menyalakan kipas angin atau membuka jendela. Yule (1996: 92) mengklasifikasikan tindak tutur ilokusi ke dalam lima fungsi umum, yaitu tindak tutur deklarasi, representatif, ekspresif, direktif, dan komisif. Direktif adalah jenis tindak tutur yang dipakai oleh penutur untuk menyuruh orang lain melakukan sesuatu. Jenis tindak tutur ini menyatakan apa yang menjadi keinginan penutur. Tindak tutur ini meliputi perintah, pemesanan, permohonan, atau pemberian saran, dan bentuknya dapat berupa kalimat positif atau negatif. Sebagai contoh: X
: Dapatkah Anda meminjami saya sebuah pena?
X
: Jangan sentuh itu!
Tindak tutur dibedakan berdasarkan wujudnya menjadi dua jenis yaitu tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung. Leech (2011:19) mengungkapkan bahwa pragmatik mengkaji makna dalam hubungannya dengan situasi ujar. Untuk memperjelas batasan ini terlebih dahulu dapat disimak pada kalimat berikut: -
Letaknya jauh dari kota
-
Temboknya baru dicat Kalimat di atas merupakan kalimat deklaratif yang berfungsi menginformasikan
sesuatu, yakni ‘tempat penutur jauh dari kota’ dan ‘tembok yang sedang dibicarakan baru
286
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
dicat’. Akan tetapi, bila konteks keberadaan kalimat itu dipertimbangkan secara saksama, kedua kalimat di atas memungkinkan untuk dipergunakan dalam menyatakan berbagai maksud. 3. Hasil dan Pembahasan Tindak tutur ilokusi direktif yang digunakan dalam sidang gugatan cerai di Pengadilan Agama Kota Sukabumi memiliki wujud sebagai berikut. 3.1 Direktif – Perintah (1) ... Anda dihadirkan oleh sodara penggugat untuk menjadi saksi. Bersedia? Konteks tindak tutur: Dituturkan hakim untuk mengawali agenda permintaan keterangan mengenai masalah rumah tangga penggugat dan tergugat. Tindak tutur (1) memiliki jenis tindak tutur direktif – perintah dalam bentuk kalimat tanya, sebenarnya secara tidak langsung hakim sedang menyuruh saksi untuk mau dimintai keterangan agar proses sidang dapat berjalan dengan baik. (2) Lanjutkan! Konteks tindak tutur: Dituturkan penggugat saat menjawab pertanyaan hakim mengenai kesediannya untuk melanjutkan gugatan atau menarik kembali gugatan cerai. Tindak tutur (2) memiliki jenis tindak tutur direktif – perintah. Penggugat secara langsung meminta hakim untuk melanjutkan kembali persidangan yang sempat tertunda. (3) ... disumpah dulu, silakan berdiri! Konteks tindak tutur: Dituturkan hakim sebelum meminta keterangan kepada saksi mengenai kondisi rumah tangga penggugat dan tergugat. Tindak tutur (3) memiliki jenis tindak tutur direktif – perintah. Hakim secara langsung meminta saksi untuk disumpah dan memerintahkan saksi untuk berdiri sebelum dimintai keterangan mengenai kondisi rumah tangga penggugat dan tergugat. (4) ... sodara saksi dipersilakan keluar dulu ya, nanti dipanggil ya. Konteks tindak tutur: Dituturkan hakim saat meminta salah satu saksi yang telah disumpah untuk menunggu giliran dalam proses permintaan keterangan.
287
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Tindak tutur (2) memiliki jenis tindak tutur direktif – perintah. Hakim secara langsung memerintah salah satu saksi untuk meninggalkan ruangan sidang. (5) ... jawab pertanyaan pak hakim ya. Konteks tindak tutur: Dituturkan hakim ketua kepada salah satu saksi agar saksi menjawab setiap pertanyaan yang akan diajukan oleh hakim anggota. Tindak tutur (2) memiliki jenis tindak tutur direktif – perintah. Hakim ketua secara langsung memerintah salah satu saksi untuk menjawab pertanyaan yang akan diajukan oleh hakim anggota. 3.2 Direktif – Penawaran (6) ... saudara penggugat gimana kesimpulannya? Masih tetap pisah dengan suami? Konteks tindak tutur: Dituturkan hakim kepada penggugat saat mengkonfirmasi mengenai keputusan terakhir penggugat terhadap kasus perceraian yang ia ajukan. Tindak tutur (2) memiliki jenis tindak tutur direktif – penawaran berupa kalimat tanya. Hakim secara tidak langsung sedang membujuk penggugat apakah akan terus melanjutkan gugatan atau masih memberikan kesempatan kepada tergugat untuk memperbaiki hubungan rumah tangganya. 4. Penutup 4.1 Simpulan Dari paparan di atas dapat diketahui bahwa wujud tuturan ilokusi direktif dalam sidang gugatan cerai di Pengadilan Agama Kota Sukabumi memiliki dua pola, yaitu (1) direktif – perintah dan (2) direktif – penawaran. Pola pertama memiliki lima kalimat yang terdiri dari satu kalimat tidak langsung dan empat kalimat langsung, sedangkan pola kedua memiliki satu kalimat dengan bentuk tidak langsung. 4.2 Saran Kajian mengenai tindak tutur ilokusi direktif dalam tulisan ini dapat dikembangkan lagi dengan mencermati aspek-aspek lainnya sehingga bisa menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya, khususnya penelitian linguistik yang berkaitan dengan disiplin ilmu lain.
288
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Daftar Pustaka Djajasudarma, T. Fatimah. (1993). Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung: Eresco. Djajasudarma, T. Fatimah. (2010). Wacana: Pemahaman dan Hubungan Antarunsur. Bandung: Refika Aditama. Ibrahim, A. Syukur. (1993). Kajian Tindak Tutur. Surabaya: Usaha Nasional. Leech, Geoffrey. (2011). Prinsip-Prinsip Pragmatik. Jakarta: UI Press. Lubis, Hamid Hasan. (1993). Analisis Wacana Pragmatik. Bandung: Angkasa. Mahsun. (2013). Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: Rajawali Pres. Mey, J. L. (2009). Concise Encyclopedia of Pragmatics. Oxford: Elsevier ltd. Rahardi, Kunjana. (2000). Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga. Searle, J. R. (1979). Expression and Meaning: Studies in Theory of Speech Acts. Cambridge: Cambridge University Press. Wijana, I. Dewa Putu. (1996). Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Offset. Yule, G. (1996). Pragmatics. New York: Oxford University Press.
289
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
REPRESENTASI SIKAP BAHASA DALAM TEKS PAPAN NAMA USAHA DI CIMAHI Nofiyanti STKIP Siliwangi Bandung
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penggunaan bahasa yang terdapat dalam papan nama usaha dan sikap bahasa pengusaha di Cimahi. Data dalam penelitian ni diperoleh dengan teknik dokumentasi berupa foto. Objek penelitian ini adalah penggunaan bahasa pada penulisan teks papan nama badan usaha swasta yang ada di Cimahi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Jumlah sampel papan nama usaha sebanyak 50 papan nama usaha yang dianalisis berdasarkan dari segi kosa kata.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bahasa yng digunakan dalam papan nama usaha di Cimahi adalah bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan bahasa daerah. Adapun kosa kata yang dipakai dalam teks papan nama usaha di Cimahi ada tiga kosa kata, yaitu; papan nama usaha yang menggunakan kosa kata bahasa indonesia sebanyak 11 atau (22%); papan nama usaha yang menggunakan kosa kata bahasa asing yaitu bahasa Inggris sebanyak 13 atau (26%) dan kosa kata bahasa sunda sebanyak 7 atau (14%) ; sedangkan papan nama usaha yang menggunakan kosa kata bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sebesar 19 atau (38%). Untuk mengungkapkan latar belakang penggunaan bahasa, peneliti menghubungkan sikap bahasa pengusaha dalam pemilihan kosa kata pada papan nama badan usaha swasta. Adapun sampel yang digunakan sebanyak 50 pengusaha kecil menengah dengan menggunakan wawancara. Dari hasil analisis bahwa sikap pengusaha mempengaruhi dalam pemilihan penggunaan bahasa. Berdasarkan data tersebut maka dapat menunjukkan bahwa sikap bahasa pengusaha/masyarakat di Cimahi terhadap bahasa Indonesia rendah atau kurang positif. Kata Kunci: Representasi, sikap, sikap bahasa, papan nama usaha Pendahuluan Pada saat ini, bangsa Indonesia telah mengikuti perkembangan dunia atau bisa disebut globalisasi. Globalisasi menuntut dunia, termasuk bangsa Indonesia untuk dapat saling berkomunikasi dengan negara-negara lain agar dapat berinteraksi dan berperan di dalam dunia persaingan bebas, baik di bidang politik, ekonomi maupun komunikasi. Era globalisasi hampir tidak ada batasnya, meskipun era ini memudahkan di segala aspek kehidupan, namun globalisasi bukanlah hal yang tanpa cela. Globalisasi dengan segala pengaruhnya akan berdampak luas terhadap berbagai aspek kehidupan terutama bahasa. Penggunaan bahasa asing yang berlebihan akan mengancam keberadaan bahasa Indonesia dan bisa saja menggesernya. Kuatnya pengaruh bahasa asing terhadap bahasa Indonesia akan semakin mendominasinya apalagi ditunjang oleh penuturnya yang kurang menghargai bahasa Indonesia. Keadaan ini akan 290
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
semakin mempercepat pergeseran bahasa Indonesia menjadi bahasa lemah dan lama-kelamaan bisa saja bergeser kedudukanya. Secara umum masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan merasa sudah tahu dan dapat menggunakan bahasa indonesia dalam kehidupan sehari-hari. Namun pada kenyataanya kemampuan berbahasa Indonesia pada masyarakat Indonesia sangat tidak memuaskan. Hal ini disebabkan karena bahasa Indonesia bukanlah bahasa ibu atau bahasa pertama bagi sebagian besar orang Indonesia. Bahasa ibu atau bahasa pertama mereka adalah bahasa daerahnya masing-masing sedangkan bahasa Indonesia adalah bahasa kedua. Selain itu faktor lain yang menyebabkan kemampuan berbahasa Indonesia pada masyarakat Indonesia belum memuaskan karena adanya erosi rasa kebangsaan terhadap NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonsia) oleh banyak orang Indnesia. Erosi rasa kebangsaan ini telah berlangsung sejak beberapa dasawarsa yang lalu, yang mengakibatkan hilangnya rasa bangga terhadap bahasa Indonesia. Memang bahasa Indonesia masih digunakan, tetapi masyarakat Indonesia tidak ada kemauan untuk menggunakannya dengan baik, minimal sesuai dengan aturan tata bahasa. Hal ini senada dengan pendapat Koentjaraningat (dalam Chaer, 2013: 81) menyatakan bahwa banyak orang Indonesia yang memiliki sikap negatif terhadap bahasa Indonesia, sehingga mereka berbahasa Indonesia dengan prinsip “asal mengerti” tidak memperhatikan kaidah-kaidah dan aturan-aturan tata bahasa yang benar. Sikap negatif ini diperparah pula dengan sikap bangga terhadap bahasa asing (dalam hal ini bahasa Inggris) sehingga bahasa Indonesia mereka ditaburi dengan kosakata bahasa Inggris. Masyarakat Indonesia menjadi lebih bangga menggunakan bahasa Inggris meskipun cuma sebatas kata-kata atau frase-frase singkat. Bahasa itu adalah dinamis dan selalu berkembang mengikuti perkembangan zaman. Perkembangan bahasa akan selalu membawa efek positif dan negatif untuk masyarakat itu sendiri. Jika kita perhatikan, masyarakat saat kini kurang berhati-hati dalam menggunakan bahasa asing atau kata-kata asing yang tepat dalam kehidupan sehari-hari, contohnya penamaan yang sekarang lagi semarak di kota besar-besar, seperti di kota Cimahi. Pada saat ini penggunaan bahasa asing di kalangan para pengusaha untuk menamakan usaha mereka di kota Cimahi sangat populer. Pemakaian bahasa pada teks papan nama usaha sampai pada saat ini masih beragam. Dikatakan beragam karena papan-papan nama yang terpampang, ada yang sudah sesuai dengan kaidah yang berlaku dan ada juga yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa yang berlaku. Ketidaksesuaian dengan kaidah bahasa yang berlaku tampak pada papan nama usaha yangberbau asing, Tekspapan nama usahavang demikian dapatdikatakan bahwa papan nama usaha bersifat keinggris-inggrisan. Yang dimaksud dengan papan nama usaha yang keinggris-inggrisan adalah papan nama yang memiliki struktur/ pola urutan kata dan diksi bahasa Inggris. Struktur dan diksi yang dipakai pada papan nama tersebut condong ke kaidah bahasa Inggris. Teks papan nama usaha yang di pasang baik yang bersifat keinggris-inggrisan 291
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
atau yang sudah sesuai dengan kaidahbahasa indonesia semuanya mencerminkan sikap bahasa pengusaha yang positif ditunjukkan pada papan nama usaha yang sudah sesuai dengan kaidah bahasa dan aturan penulisan yang berlaku. Sikap bahasa pengusaha yang negatif tampak pada teks papan nama usaha yang belum taat asas. Sifat keinggris-inggrisan bahasa papan nama, cerminan sikap bahasa negatif seorang pengusaha. Dalam ha ini, penguaha (pengusaha asliorang Indonesia) tidak meunjukkan rasa bangga terhadap bahasanya sendiri yaitu bahasa Indonesia. Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang akan dikaji adalah sebagi berikut: 1) Bagaimanakah penggunaan bahasa yang terdapat dalam papan nama usaha di Cimahi?; 2) Bagaimanakah sikap bahasa pengusaha di kota Cimahi dalam pemilihan kosa kata pada papan nama usaha?; dan 3) faktor apa sajakah yang melatarbelakangi dalam pemilihan kosa kata papan nama usaha? Representasi Sikap Bahasa Dalam Papan Nama Usaha 1.
Sikap
Sikap atau attitude adalah kesediaan bereaksi terhadap suatu hal atau objek. Sikap dapat diartikan satu kecenderungan individu untuk menolak atau menerima sesuatu yang didasarkan pada penilaian apakah sesuatu itu berharga atau tidak bagi dirinya. Sikap bersifat kompleks, karena pembentukanya melibatkan semua aspek kepribadian yaitu kognisi afeksi, dan konasi. Seperti yang diutarakan oleh Lambert dalam Baker (1992) yang mengutip pendapat plato bahwa sikap terbagi atas tiga kmponen, yaitu (1) komponen kognitif, (2) komponen afektif, dan (3) komponen konatif. Komponen kognitif menyangkut pengetahuan megenai alam sekitar dan gagasan yang biasanya merupakan kategori yang dipakai dalam proses berpikir. Komponen afektif menyangkut perasaan atau emosi terhadap sesuatu. Biasanya menyangkut nilai rasa “baik atau tidak baik”, “senang atau tidak senang” yang membawa seseorang untuk menilai sikap positif atau negatif terhadap sesuatu tersebut. Komponen konatif menyangkut perilaku yang menunjukkan kecenderungan seseorang untuk berbuat atau bereaksi dengan cara tertentu terhadap suatu keadaan. Menurut Vaugen dan Houg (1955: 359) menyatakan bahwa sikap adalah perasaan umum dan evaluasi positif, negatif mengenai seseorang, objek atau isu. Dengan demikian sikap terhadap sesuatu menunjukkan besarnya nilai keyakinan dan hasil evaluasi tentang objek sikap, yang akhirnya akan melahirkan keputusan senang atau tidak senang, setuju atau tidak setuju, menerima atau menolak terhadap keberadaan objek siakap (Allport dalam Mar’at, 1984:13). Selanjutya menurut Azwar (1983:4) mengemukakan faktor yang menentukan bentuk respon indivdu, yaitu suka atau tidak suka, mendukung atau tidak mendukung terhadap stimulus yang diterima yaitu objek sikap tergantung pada berbagai faktor, antara lain latar belakang, pengetahuan dan motivasi. Sikap berperan dalam kehidupan karena sikap selalu dihadapkan suatu pilihan antara senang dan tidak senang. Berdasarkan pendapat-pendapat di 292
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
atas, dapat disimpulkan bahwasikap adalah kesiapan untuk bertindak, suatu bentuk reaksi akibat adanya rangsangan yang diwujudkan dalam bentuk tindakan/perilaku. 2.
Sikap Bahasa Representasi berasal dari bahasa Inggris yaitu dari kata representation. Representasi
adalah perbuatan mewakili, keadaan diwakili, apa yang mewakili atau perwakilan (Depdiknas, 2008:1167). Representasi juga diartikan sebagai gambaran. Representasi merekonstruksi serta menampilkan berbagai fakta sebuah objek sehingga eksplorasi sebuah makna dapat dilakukan dengan maksimal (Ratna dalam Putra, 2012:17). Jika dkaitkan dengan sikap berbahasa, representasi dalam sikap berbahasa merupakan penggambaran sikap berbahasa atau perasaan terhadap bahasa sendiri atau bahasa orang lain. Sikap bahasa adalah peristiwa kejiwaan dan merupakan bagian dari sikap pada umumnya. Sikap bahasa merupakan reaksi penilaian terhadap bahasa tertentu (Fishman, 198). Menurut Kridalaksana (2001:179) sikap bahasa adalah posisi mental atau perasaan seseorang terhadap bahasanya sendiri atau bahasa orang lain. Selanjutnya sikap bahasa menurut Anderson (dalam Chaer: 2013:54) adalah tata keyakinan atau kognisi yang relatif berjangka panjang, sebagian mengenai bahasa, mengenai objek bahasa, yang memberikan kecenderungan kepada seseorang untuk bereaksi dengan cara tertentu yang disenanginya. Sumarsono (dalam Purwo, 2000: 197) menyatakan bahwa hubunganantara sikap bahasa dan penggunaan bahasa memang bisa positif atau negatif. Garvin dan Mathiot (dalam Chaer, 2004: 152) mengemukakan terdapat tiga ciri sikap bahasa (sikap positif), antara lain yaitu: (1) kesetiaan bahasa (language loyalty) yang mendorong masyarakat suatu bahasa mempertahankan bahasanya, dan apabila perlu mencegah adanya pengaruh bahasa lain, (2) kebanggaan bahasa dan menggunakanya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat, dan (3) kesadaran adanya norma bahasa yang mendorong orang menggunakan bahasanya yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun dan merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan, yaitu kegiatan menggunakan bahasa. Ketiga jenis ciri sikap bahasa di atas termasuk ciri sikap positif terhadap bahasa. Sebaliknya jika ciri-ciri itu sudah menghilang atau melemah dari diri seseorang atau dari diri sekelompok orang anggota masyarakat tutur, maka berarti sikap negatif terhadap suatu bahasa telah melanda diri atau kelompok orang itu. Sikap negatif terhadap suatu bahasa bisa terjadi juga bila seseorang atau sekelompok orang tidak mempunyai lagi rasa bangga terhadap bahasanya, dan mengalihkan rasa bangga itu kepada bahasa lain yang yang bukan miliknya. Sebagian masyarakat pengguna bahasa Indoesia mulai tidak setia menggunakannya. Fenomena ini terjadi karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya fakor politis, ras, etnis, ekonomi, gengsi dan berbagai alasan lainnya.
293
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
3.
Jenis-jenis sikap bahasa a. Sikap positf Adul (1986 : 44) berpendapat bahwa “pemakai bahasa bersifat positif ialah pemakaian bahasa yang memihak kepada bahasa yang baik dan benar, dengan wajar dan sesuai dengan situasi”. Garvin dan Mathiot (dalam Chaer dan Agustina, 2010: 153) merumuskan tiga ciri sikap bahasa positif yaitu: 1) Kesetiaan bahasa yang mendorong masyarakat suatu bahasa mempertahankan bahasanya dan apabila perlu mencegah adanya pengaruh bahasa lain; 2) Kebanggaan
bahasa
yang
mendorong
orang
mengembangkan
bahasanya
dan
menggunakannya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat; 3) Kesadaran Adanya Norma Bahasa yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun; dan merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan yaitu kegiatan menggunakan bahasa (language use). b. Sikap negatif Menurut Adul (1986 : 44), berpendapat “pemakaian bahasa bersifat negatif adalah tidak mengacuhkan pemakaian bahasa yang baik dan benar, tidak memperdulikan situasi bahasa, tidak berusaha memperbaiki diri dalam berbahasa”. Sikap negatif terhadap bahasa merupakan sikap yang tidak bertanggung jawab terhadap bahasa nasionalnya. Ia akan beranggapan bahwa bahasa orang lain lebih baik dari bahasa nasional sehingga timbul sikap negatif terhadap bahasa.
Garvin dan Marthiot, (dalam suwito, 1996 : 33)
memberikan ciri-ciri sikap bahasa negatif pemakai bahasa, yaitu : (1) Jika seseorang atau sekolompok anggota masyarakat bahasa tidak ada lagi
gairah atau dorongan untuk
mempertahankan kemandirian bahasanya, maka hal itu merupakan suatu petunjuk bahwa kesetiaan bahasanya mulai lemah yang pada gilaranya tidak mustahil akan menjadi hilang sama sekali. (2) Jika seseorang atau sekelompok orang sebagai anggota suatu masyarakat tidak ada rasa bangga terhadap bahasanya dan mengalihkan kebanggannya kepada bahasa lain yang bukan miliknya. (3) Jika seseorang atau sekolompok orang sebagai anggota suatu masyarakat sampai kepada ketidak sadaran akan adanya norma bahasa. Sikap demikian biasanya akan mewarnai hampir seluruh perilaku berbahasanya. Mereka tidak ada lagi dorongan atau merasa terpanggil untuk memelihara cermat bahasanya dan santun bahasanya. Dengan demikian jenis-jenis sikap bahasa, orang akan dapat mengukur sikap bahasa seseorang dalam menggunakan suatu bahasa, suatu dialek, atau suatu aksen dengan menggunakan suatu bahasa. Orang itu berperan sebagai samaran untuk melakoni sikap bahasa dengan menggunakan aksen tertentu.
294
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
4.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan lambang Negara serta Lagu Kebangsaan Bahasa Indonesia yang di nyatakan sebagai bahasa resmi negara dalam pasal 36
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 bersumber dari bahasa yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 sebagai bahasa persatuan yang dikembangkan sesuai dengan dinamika peradaban bangsa. Hal tersbut tercantum dalam pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai jati diri bangsa, kebanggaan nasional, sarana pemersatu berbagai suku bangsa, serta sarana komunikasi antar daerah dan antarbudaya daerah. Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, pengantar pendidikan, komunikasi tingkat nasional pengembangan kebudayaan nasional, transaksi dan dokumentasi niaga, serta sarana pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan bahasa media massa. Pasal 36 ayat ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan mengatur bahwa Bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedug, jalan, apartemen atau pemukiman, perkantoran, kompleks, perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. Selanjutnya pada pasal 37 ayat (1) diatur bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan dalam informasi tentang produk barang atau jasa produksi dalam negeri atau luar negeri yang beredar di Indonesia, ayat (2) diatur bahwa informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilengkapi dengan bahasa daerah atau bahasa asng sesuai dengan keperluan. Pasal 38 ayat (1) dalam undang-undang tersebut diatur bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan dalam rambu umum, petunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi lainya yang merupakan pelayanan umum. Selanjutnya pada ayat (2) pasal tersebut diatur bahwa penggunaan bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disertai bahasa daerah atau bahasa asing jika dipandang perlu. Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan bahasa Indonesia sebagaimana yan dimaksud dalam Undang-Undang diatur dalam perauran presiden. 5.
Bahasa Iklan Iklan adalah sarana promosi bagi perorangan pengusaha organisasi, ataupun lembaga
pemerintah untuk menyarnpaikan pesan-pesan yang bersifat menguntungkan.Keuntungan di sini tidak selalu dikaitkan dengan materi seprrti uang, tetapi juga dikaitkan dengan keuntungan moral, misalnya promosi yang menyangkut kebudayaan, pendidikan dan keagamaan. Namun secara umum iklan lebih sering dikaitkan dengan segi-segi komersialnya saja. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997:.322), iklan memiliki pengertian adalah berita pesanan 295
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
(mendorong, membujuk) kepada khalayak ramai tentang benda atau barang jasa yang ditawarkan. Bahasa iklan sebagai ragam bisnis pada dasamya merupakan salah satu bentuk pemakaian bahasa dalam berkomuikasi
yang bertujuan untuk meyakinkan konsumen agar
mereka tergerak untuk melakukan sesuatu seperti yang diinginkan oleh pengiklan. Dilihat dari aspek fungsi, pemakaian bahasa iklan merupakan fungsi transaksional. Pemakaian bahasa iklan semakin berkembang sesuai dengan semakin banyaknya produknya disertai perusahaan barang/jasa yang ingin memasarkan pula dengan semakin berkembaagnya media massa baik eleknonik maupun cetak sebagai media pemasangan iklan. Di satu sisi merupakan kebanggaan bagi para pekerja bahasa yang keatif, karena lapangan kerja bertambah melalui perusahaan-perusahaan iklan, di sisi lain perlu adanya pembinaan iklan tidak merusak atau menghambat perkembangan bahasa. Namun dernikian agar pembinaan pemakaian bahasa tidak salah arah dan tidak mengorbankan kekhasan bahasa iklan, perlu dilakkan kajian secara ermat terlebih dahulu terhadap bahasa yang dipakai dalam berbagai iklan (Pranowo: 1996:1). Menurut Yustianto (196:3) penggunaan bahasa pada papan nama usaha sampai pada batas tertentu termasuk pada ragam iklan. Hal ini dilihat dari situasi pemakaiannya dapat digolongkan dalam situasi resmi, atau setidak- tidaknya termasuk agak resmi. Dilihatdari tingkat keresmiamya dapatlah dimasukan dalam ragam usaha'. Pengguna bahasa Teks papan nama usaha pada umumnya bersikap
menghargai
atau menghormati para pembacanya,
betapapun dan siapapun golongan pembaca itu. jadi para pengusaha itu akan berupaya agar bahasayang dipakainya sebaik mungkin dan semenarik mungkin bagi para pembacanya" Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, yang menerapkan metode analisis isi dengan cara menganalisis penggunaan bahasa, sikap bahasa pengusaha yang terdapat pada papan nama usaha secara deskriptif. Pengertian deskriptif kualitatif mengambil masalah-masalah aktual sebagaimana adanya pada saat penelitian. Data dalam penelitian ini adalah penggunaan bahasa yang terdapat dalam papan nama usaha yang didokumentasikan dalam bentuk foto. Oleh karena itu, pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode foto, baca, kutip , catat dan wawancara. Data diperoleh berdasarkan penemuan di lapangan dengan cara mengambil gambar/foto pada papan nama usaha yang terdapat di wilayah kota Cimahi dengan teknik dokumentasi. Batas wilayah yang menjadi acuan dalam penelitian ini meliputi jalan-jalan utama di Kota Cimahi. Data diambil dengan teknik cara memfoto papan nama usaha secara langsung. Data yang diperoleh selanjutnya dicatat dan diklasifikasikan dan dianalisis secara deskriptif. Adapaun data yang dijadikan sampel dalam penelitian ini sebanyak 50 papan nama usaha yang ada di kota Cimahi.
296
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Hasil dan Pembahasan Data yang dibahas pada penggunaan bahasa pada papan nama usaha yang terdapat dalam teks papan nama usaha di cimahi meliputi papan nama usaha yang menggunakan kosa kata bahasa Indonesia, kosa kata bahasa asing,; kosa kata bahasa Indonesia dan bahasa asing;. Berikut ini akan diuraikan beberapa bentuk pengguanan bahasa yang terdapat pada teks papan nama usah di kota Cimahi. 1.
Kosa kata bahasa Indonesia yang terdapat dalam papan nama usaha Berdasarkan data yang telah dianalisis dari segi kosakata, data penelitian ini memberikan
informasi mengenai jumlah teks papan nama usaha yang berkosakata bahasa Indonesia. Berdasarkan hasil dari rekapitulasi data menunjukkan jumlah teks papan nama usaha yang menggunakan kosa kata bahasa Indonesa sebanyak 11 atau (22 % ) papan nama usaha. 2.
Kosa kata bahasa asing yang terdapat dalam papan nama usaha Data penelitian menunjukkan adanya papan nama usaha yang menggunakan bahasa
Inggris. Berdasarkan dari hasil rekapitulasi data,
jumlah teks papan nama usaha yang
menggunakan kosakata bahasa Inggris berjumlah sebanyak 13 atau (26%). Berikut adalah wujud sampel data yang dimaksud adalah sebagai berikut. Gracia T-shirt, Alvacia Parfum, Army Fashion, Queen Furniture dan Columbia Cash & Credit. Apabila kita merujuk pada aturan yang berlaku, penggunaan bahasa asing seperti yang terdapat pada papan nama usaha tersebut seharusnya diulis dalam bahasa Indnesia karena kata-kata tersebut sudah ada padananya dalam bahasa Indonesia. Misalnya pada padanan kata Cash dalam bahasa Indonesia adalah “tunai” dan credit adalah “kredit”. Akan tetapi apabila bentuk asingnya tetap dipertahakan sebaiknya padanaya dalam bahasa Indonesia tetap ditulis sebelum asingnya. Selain bahasa Inggris, bahasa asing lain yang dipakai dalam papan nama usaha adalah bahasa daerah. Berdasarkan data penelitian, bahasa daerah yang dipakai adalah bahasa Sunda. Pemakaian bahasa sunda pada kaitanya dengan lokasi usaha dan etnis pengusahanya. Alasan yang menjadi fokus pemakaian bahasa sunda adalah karena lokasi tempat usaha yang berada di Jawa barat. Berdasarkan dari hasil rekapitulasi data, jumlah teks papan nama usaha yang menggunakan kosakata bahasa daerah (Sunda) berjumlah sebanyak 7 atau (14%). Berikut adalah wujud sampel data yang dimaksud adalah sebagai berikut. Waroeng sangu lembur raos, saung rasa, waroeng mie baso raos cimuncang. 3.
Kosa kata bahasa Indonesia dan bahasa asing (bahasa Inggris) Seperti disebutkan di atas bahwa pemakaian kosakata bahasa Inggris dalam teks papan
nama usaha sangat marak. Pemakaian bahasa Inggris dalamdunia usaha memberikan motivasi tertentu pada diri pengusaha. Berbagai alasan dikemukakan oleh para pelaku usaha dengan dipakainya bahasa Inggris. Semua alasan motivasi yang dikemukakan oleh para pelaku usaha bertujuan untuk meningkatkan hasil usahanya. Penggunaan kosakata bahasa lnggris yang 297
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
dipakai dalam papan nama usaha dapat dilihat pada diksi bahasa Inggris. Berikut ini akan diuraikan beberapa wujud sampel data bentuk pengguanan bahasa asing dan bahasa Indonesia yang terdapat pada teks papan nama usah di kota Cimahi. (1) Anisa Tailor Jl. Baros No. 6 Cimahi (2) Pelangi Laundry Jl. Padasuka, no. 7 Cimahi (3) Andi Celluler Menerima jasa service Hp Jual beli & tukar tambah hp baru/second Jual pulsa elektrik Service computer Service laptop (4) Warung Steak and shake (5) Lia Salon &Bridal Gunting, treatment, smoothing, bonding, keriting bulu mata, extention bulu mata, sanggul, make up, keriting rambut, pewarnaan rambut, hair extention, tato alis temporary, Data di atas adalah papan nama usaha yang menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Berdasarkan dari hasil rekapitulasi data yang penulis lakukan, ada beberapa teks papan nama usaha yang menggunakan kosakata bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, yaitu sebanyak 19 atau (38%) . Teks papan nama usaha pada data 1-19 berkosa kata bahasa Indonesia dan bahasa Inggris adalah pada bidang usaha rumah makan, salon, rental mobil, usaha isi ulang pulsa, mebel, mainan anak, dan sebagainya. Informan pada papan nama usaha tersebut ditulis dengan menggunakan dua unsur bahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa asing (bahasa Inggris). Kata yang merupakan unsur bahasa Inggris pada informan di atas sudah ada padananya dalam bahasa Indonesia. Misalnya dalam kata treatment dalam bahasa Indonesia padananya adalah pengobatan; kata smoothing padananyaadalah pelembutan; hair extention adalah sambung rambut; make up padananya tata rias. Pemakaian kosa kata bahasa asing di atas sudah ada padananya dalam bahasa Indonesia. Namun dengan pertimbangan tertentu informan lebih memilih kata-kata bahasa asing dari pada padanan bahasa Indonesianya. Hal ini menunjukkan adanya sikap informan yang masih bangga (prestise) dengan menggunakan bahasa asing (bahasa Inggris) dalam pembuatan papan nama khususnya dalam papan nama usaha, terbukti informan dalam membuat penulisan teks papan usahamenggunakan bahasa asing tersebut merasa prestisenya lebih tinggi. Berikut ini akan dipaparkan mengenai alasan yarng melatarbelakangi para pengusaha menggunakan kosakata bahasa Inggris dalam menyusun teks papan nama usaha. Berdasarkan 298
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada responden, yaitu kepada para pengusaha di Cimahi, ditemukan beberapa alasan mengapa para pengusaha menggunakan bahasa asing (terutama bahasa Inggris). Sebagian besar dari pengusaha (lokal) mengakui bahwa penggunaan bahasa asing itu sengaja dimaksudkan untuk mendapatkan citra positif dan menciptakan prestise yang baik bagi usahanya. Mereka mengatakan bahwa penggunaan kata-kata asing (terutama bahasa Inggris) itu dinilai dapatmemberikan kesan lebih bagus, lebih menarik, lebih gaya, lebih keren, lebih ngetrend, lebih intelek, dan tidak kuno. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemakaian bahasa asing bagi pengusaha tampaknya memang memiliki makna yang cukup penting dalam kehidupan usaha mereka. Kata-kata asing itu dinilai dapat memberikan nuansa makna positif dan menciptakan prestise yang lebih baik lagi bagi usaha mereka. Penggunaan kata-kata asing (terutama bahasa Inggris) itu dinilai dapat memberikan kesan lebih bagus, lebih menarik, lebih gaya, lebih keren, lebih intelek, tidak kuno dan lebih bergengsi. Namun disisi lain hal ini menunjukkan bahwa sikap bahasa yang dimiliki pengusaha terhadap bahasa Indonesia rendah atau kurang positif. Ha ini dapat ditunjukkan dengan adanya sikap informan/ pengusaha yang masih bangga (prestise) dengan menggunakan bahasa asing (bahasa Inggris) dalam pembuatan papan nama khususnya dalam papan nama usaha. Simpulan Berdasarkan dari hasil analisis data, jenis bahasa yang digunakan dalam papan nama usaha ada 3 macam, yaitu bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan bahasa sunda. Adapun kosa kata yang dipakai dalam teks papan nama usaha di Cimahi ada 3 kosa kata, yaitu; papan nama usaha yang menggunakan kosa kata bahasa indonesia sebanyak 11 atau (22%); papan nama usaha yang menggunakan kosa kata bahasa asing yaitu bahasa Inggris sebanyak 13 atau (26%) dan kosa kata bahasa sunda sebanyak 7 atau (14%) ; sedangkan papan nama usaha yang menggunakan kosa kata bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sebesar 19 atau (38%). Berdasarkan data tersebut maka dapat menunjukkan bahwa sikap bahasa yang dimiliki pengusaha di Cimahi terhadap bahasa Indonesia rendah atau kurang positif.Hal ini dapat kita lihat dari lunturnya kebanggaan terhadap bahasa Indonesia dan mengalihkan kebanggannya kepada bahasa lain yang bukan miliknya. Pengusaha cenderung lebih senang dan merasa lebih intelek untuk menggunakan bahasa asing. Hal ini dapat ditunjukkan dengan adanya sikap informan/ pengusaha yang masih bangga (prestise) dengan menggunakan bahasa asing (bahasa Inggris) dalam pembuatan papan nama usaha. Dengan demikian, hal ini memberikan dampak terhadap pertumbuhan bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa. Akhirnya, kepopuleran bahasa Inggris menjadikan bahasa Indonesia tergeser pada tingkat pemakaiannya. Oleh karena itu, sudah selayaknya jika pelaku-
299
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
pelaku usaha kita kembali ke bahasa nasional, yaitu menggunakan bahasa Indonesia pada papan nama usaha mereka.
Alasan yang melatarbelakangi mengapa pengusaha/masyarakat Cimahi memiliki sikap bahasa rendah/kurang positif terhadap bahasa Indonesia dan lebih suka menggunakan istilah asing dalam menawarkan barang produksinya di sebuah reklame/ papan nama usaha. Hal ini dikarenakan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Adapun beberapa faktor itu meliputi,1) karena untuk menarik perhatian masyarakat/konsumen/pengunjung; 2) Menandakan lebih bergengsi dan berkelas; 3) Supaya lebih terkenal dan menarik para pengunjung dan sekaligus untuk meningkatkan mutu/kualitas. 4) Agar lebih keren, ngetrend, intelek, dan tidak kuno; dan 5) mengikuti kemajuan zaman. Daftar Pustaka Arifin, E. Zaenal, dkk., 1992.Pemakaian Bahasa dalam Iklan Berita dan Papan Reklame. Chaer, Abdul dan Agustina, Leonie. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Bhineka Cipta Kridalaksara, Harimurti. 1982. Fungsi Bahasa dan Siktp Bahasa. Ende Flores: Nusa Indah. Garvin, P.L. Mathiot M. 1968. The Urbaization of Guarani Language. Problem in Language and Culture, dalamFishman, J.A. (Ed) Reading in Tes Sosiology ofLanguage, Mounton. Paris–The Hague. Mar‟at. 1984. Sikap Manusia Perubahan serta Pengukurannya. Jakarta.Ghalin Indonesia. Fathurrokhman. http://fathurrokhmancenter.wordpress.com, “Sikap Bahasa dan Pemilihan Bahasa”. Diakses pada hari Minggu, 12 Oktoberr 2015, pukul. 09:47 WIB. Pusat Bahasa. 2004. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Jakarta: Pusat Bahasa. Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan
300
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
SIKAP POSITIF TERHADAP BAHASA INDONESIA PADA LAYANAN NIAGA SEBAGAI UPAYA PEMERTAHANAN BAHASA
Ninah Hasanah Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Garut
Abstrak Latar belakang tulisan ini yakni masih kurangnya sikap positif warga negara Indonesia dalam menggunakan bahasa Indonesia. Kita prihatin menyaksikan pemakaian bahasa Indonesia dalam masyarakat sekarang ini. Penggunaan bahasa Indonesia pada layanan niaga dalam papan iklan menunjukkan ketidakbanggaan bangsa kita untuk menggunakan bahasa sendiri. Kesadaran bahwa bahasa Indonesia adalah milik kita dan tanggung jawab kita, tampaknya belum merata dimiliki seluruh warga negara. Tidak berlebihan, jika dikatakan bahwa nasionalisme kita dalam berbahasa masih sangat tipis. Padahal, pemerintah melalui undang-undang No. 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan pasal 36 ayat 3 mengatur tentang penggunaan bahasa yakni, “Bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, komplek perdagangan, merk dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau yang dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia”. Hanya sedikit bangsa di dunia yang menggunakan bahasa nasionalnya sendiri. Adanya bahasa nasional, bahasa Indonesia harus diperlihatkan melalui kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional meskipun fakta kebahasaan di Indonesia yakni situasi masyarakat kemultibahasaan. Faktor situasi tersebut dapat menyebabkan pergeseran bahasa. Akan tetapi, sebagai warga Indonesia yang baik kita harus dapat menempatkan penggunaan bahasa Indonesia, bahasa daerah begitu pula bahasa asing sesuai dengan konteks atau situasi. Mengingat hal tersebut, maka sikap positif terhadap bahasa Indonesia melalui kesetiaan, kebanggaan, dan kesantunan berbahasa dapat dijadikan sikap pemertahanan bahasa Indonesia. Kita dituntut membina dan mengembangkan bahasa Indonesia agar bukan saja mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan juga jika mungkin mendudukkan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang terpandang di tengah-tengah pergaulan dunia dalam menghadapi berbagai tantangan global dan mencegah pengaruh asing yang berlebihan. Kata kunci: sikap positif, pemertahanan bahasa, bahasa Indonesia.
Pendahuluan Berkaitan dengan masyarakat pemakai bahasa atau pengguna bahasa, dewasa ini kepedulian terdapat bahasa Indonesia makin menipis dan penggunaan bahasa Indonesia pun kian menyempit. Penggunaan bahasa Indonesia pada media massa, media iklan dan luar ruang kini banyak menggunakan bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Pendapat ini mengisyaratkan bahwa jika penggunaan bahasa Indonesia tidak segera ditertibkan, akan memengaruhi perkembangan bahasa Indonesia. 301
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Berdasarkan pada kenyataan tersebut perlu diupayakan kebanggaan terhadap penggunaan bahasa Indonesia. Adanya kebanggaan terhadap bahasa Indonesia merupakan cerminan sikap positif berbahasa berupa setia dan bangga dalam berbahasa Indonesia. Setia dalam berbahasa Indonesia adalah suatu sikap positif untuk selalu berpegang teguh serta selalu menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dan bangga berbahasa Indonesia adalah hal positif dengan merasa bangganya berbahasa Indonesia, merasa berbesar hati dan dengan gagahnya mengutamakan bahasa Indonesia daripada bahasa asing. Sikap positif dapat pula ditunjukkan melalui pemakaian bahasa yang sesuai keperluan. Artinya, penggunaan bahasa asing hanya akan dilakukan bila memang diperlukan karena tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Kedwibahasaan atau ketribahasaan tidak merugikan, bahkan menguntungkan pemakai bahasa asal tidak mengorbankan bahasa kebangsaan sendiri sehingga dalam Sumpah Pemuda butir ketiga, para pendahulu kita pun tidak memaksakan kita untuk ”berbahasa satu”, tetapi ”menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia”. Sikap bangga terhadap bahasa Indonesia dapat diperlihatkan melalui kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Bangga menggunakan bahasa Indonesia dapat dilihat dari gejala kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia walau tidak menguasai bahasa asing dengan baik, tidak malu apabila tidak menguasai bahasa asing tetapi malu apabila tidak menguasai bahasa Indonesia, tidak menganggap remeh bahasa Indonesia, dan mau mempelajarinya. Memasuki percaturan global, tidak dapat dimungkiri terdapat pengaruh bahasa asing dalam konteks kehidupan masyarakat Indonesia terutama terhadap penggunaan bahasa Indonesia pada layanan niaga. Akan tetapi, sebagai warga Indonesia yang baik kita harus dapat menempatkan penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa asing sesuai dengan konteks atau situasi. Bahasa Indonesia harus diutamakan, dimartabatkan, diadabkan, dijunjung setinggitingginya, dan menjadi tuan di negeri sendiri sedangkan bahasa asing dipergunakan sebagai bahasa pergaulan dunia atau percaturan internasional. Semestinya kita prihatin menyaksikan pemakaian bahasa Indonesia dalam masyarakat sekarang ini. Kesadaran bahwa bahasa Indonesia adalah milik kita dan tanggung jawab kita, tampaknya belum merata dimiliki seluruh warga negara. Tidak berlebihan, jika dikatakan bahwa nasionalisme kita dalam berbahasa masih sangat tipis. Penggunaan bahasa Inggris secaraberlebihan dan salah kaprah seperti tampak pada papan nama pada layanan niaga yang menunjukkan rasa rendah diri bangsa kita karena tidak adanya kebanggaan menggunakan bahasa sendiri, bahasa Indonesia. Tiga ciri sikap positif bahasa menurut Garvin dan Mathiot, 1968 (Chaer, 2013:54) yaitu kesetiaan bahasa (language loyalty), kebanggaan bahasa (language pride), dan kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm). “Bahasa menunjukkan bangsa”. Maka, tidak
302
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
ada alasan bagi kita untuk tidak bangga terhadap bahasa Indonesia. Kebanggaan dan kecintaan kita kepada bahasa Indonesia tersebut tentu tidak cukup bila hanya diucapkan. Jika ketiga ciri sikap positif tidak ada lagi pada diri bangsa Indonesia maka kemungkinan kurangnya pemertahanan bahasa. Hilangnya sikap positif bangsa Indonesia terhadap bahasa Indonesia menandakan sikap negatif telah melanda bangsa Indonesia yang akan berpengaruh kepada pergeseran dan pemertahanan bahasa.
Pergeseran dan pemertahanan
bahasa di Indonesia dipengaruhi oleh faktor situasi kedwibahasaan atau kemultibahasaan. Begitu pula industrialisasi dan urbanisasi dipandang sebagai penyebab utama bergeser atau punahnya sebuah bahasa yang dapat berkait dengan keterpakaian praktis sebuah bahasa, efisiensi bahasa, mobilitas sosial, kemajuan ekonomi dan sebagainya. 1.
Sikap Positif terhadap Bahasa Indonesia Sebelum mengemukakan mengenai sikap positif terhadap bahasa Indonesia. Lambert,
1969:91-102 (Chaer, 2013:52) menyatakan bahwa sikap itu terdiri dari tiga komponen, yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif. Komponen kognitif, berhubungan dengan pengetahuan mengenai alam sekitar dan gagasan yang biasanya merupakan kategori yang dipergunakan dalam proses berpikir.Komponen afektif, menyangkut masalah penilaian baik, suka atau tidak suka, terhadap sesuatu atau suatu keadaan, maka orang itu dikatakan memiliki sikap positif. Jika sebaliknya, disebut memiliki sikap negatif dan komponen konatif menyangkut perilaku atau perbuatan sebagai “putusan akhir” kesiapan reaktif terhadap suatu keadaan.Ketiga komponen sikap ini (kognitif, afektif, dan konatif) pada umumnya berhubungan dengan erat. Apabila ketiga komponen itu sejalan, maka bisa diramalkan perilaku itu menunjukkan sikap. Tetapi kalau tidak sejalan, maka dalam hal itu perilaku tidak dapat digunakan untuk mengetahui sikap Adapun sikap bahasa menurut Anderson (Chaer, 2013:54) adalah, “Tata keyakinan atau kognisi yang relatif berjangka panjang, sebagian mengenai bahasa, mengenai objek bahasa, yang memberikan kecenderungan seseorang untuk bereaksi dengan cara tertentu yang disenanginya”. Dikemukakan juga bahwa sikap bahasa adalah posisi mental atau perasaan terhadap bahasa sendiri atau bahasa orang lain (Kridalaksana, 2001:197). Sikap bahasa dapat mengacu pada,”Gerak-gerik perbuatan atau tindakan, atau pendapat) sebagai reaksi atas adanya suatu hal atau kejadian” (Chaer, 2013:51). Dengan demikian, sikap bahasa merupakan penghargaan terhadap bahasa sendiri atau orang lain berupa tindakan atau pun pandangan terhadap suatu bahasa yang dapat berupa sikap positif dan negatif, maka sikap terhadap bahasa pun demikian. Sikap positif terhadap bahasa Indonesia dikemukakan Garvin dan Mathiot 1968 (Chaer, 2003:54) tercermin dari 3 hal. Pertama, kesetiaan bahasa yang mendorong masyarakat suatu bahasa mempertahankan bahasanya dan apabila perlu mencegah adanya pengaruh bahasa lain. Kedua, kebanggaan bahasa yang mendorong orang mengembangkan bahasanya dan 303
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
menggunakannya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat.
Ketiga, kesadaran
adanya norma bahasa yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan yaitu kegiatan menggunakan bahasa sedangkan sikap negatif yaituke-3 sikap yang dikemukakan Garvin dan Mathiot tidak ada lagi pada diri seseorang. Ketiga ciri yang dikemukakan Garvin dan Mathiot tersebut merupakan ciri-ciri sikap positif terhadap bahasa. Sikap positif yaitu sikap antusiasme terhadap penggunaan bahasanya. Sebaliknya jika ciri-ciri itu sudah menghilang atau melemah dari diri seseorang atau dari diri sekelompok orang anggota masyarakat tutur, maka berarti sikap negatif terhadap suatu bahasa telah melanda diri atau kelompok orang itu. Ketiadaan gairah atau dorongan untuk mempertahankan kemandirian bahasanya merupakan salah satu penanda sikap negatif, bahwa kesetiaan bahasanya mulai melemah, yang bisa berlanjut menjadi hilang sama sekali. Sikap negatif terhadap bahasa dapat juga terjadi bila orang atau sekelompok orang tidak mempunyai lagi rasa bangga terhadap bahasanya, dan mengalihkannya kepada bahasa lain yang bukan miliknya. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: faktor politis, etnis, ras, gengsi, menganggap bahasa tersebut terlalu rumit atau susah dan sebagainya. Berkenaan dengan sikap negatif terhadap bahasadikemukakan Halim, 1978:7 ( Chaer, 2013:55) bahwa jalan yang harus ditempuh adalah yaitu melalui pendidikan bahasa yang dilaksanakan atas dasar pembinaan kaidah dan norma-norma sosial dan budaya yang ada dalam masyarakat bahasa yang bersangkutan. Namun, menurut Lambert (1976: 55-56) motivasi belajar bahasa berorientasi pada dua hal. Pertama, Perbaikan nasib (orientasi instrumental). Orientasi instrumental mengacu/banyak terjadi pada bahasa-bahasa yang jangkauan pemakaiannya luas, banyak dibutuhkan dan menjanjikan nilai ekonomi yang tinggi, seperti bahasa Inggris, bahasa Prancis, dan bahasa Jepang.Kedua, Keingintahuan terhadap kebudayaan masyarakat yang bahasanya dipelajari (orientasi integratif). Orientasi integratif banyak terjadi pada bahasa-bahasa dari suatu masyarakat yang mempunyai kebudayaan tinggi, tetapi bahasanya hanya digunakan sebagai alat komunikasi terbatas pada kelompok etnik tertentu.Kedua orientasi tersebut juga merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi sikap bahasa seseorang. Selain itu sikap bahasa juga bisa mempengaruhi seseorang untuk menggunakan suatu bahasa, dan bukan bahasa yang lain, dalam masyarakat yang bilingual atau multilingual. Di samping melalui pendidikan, upaya pembinaan bahasa ke arah penggunaan bahasa yang positif yakni melalui penumbuhan sikap positif berbahasa, kegairahan berbahasa Indonesia, dan meningkatkan keikutsertaan khalayak di dalam menjaga mutu bahasa Indonesia (Tasai, 2002:1.3-1.5). Sikap positif terhadap bahasa Indonesia ditunjukkan dengan rasa kebanggaan terhadap bahasa Indonesia berupa kebanggaan memiliki bahasa Indonesia yang berkedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, lebih mengutamakan bahasa 304
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Indonesia daripada bahasa lain, disiplin berbahasa berupa sadar akan kaidah dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan bahasa dalam komunikasi lisan dan tulisan yakni penggunaan kata baku, tidak asal dipahami ketika menggunakan bahasa Indonesia tetapi menggunakan bahasa sesuai dengan konteks. Sehingga ada ungkapan, “Bahasa menunjukkan bangsa”. Makin tinggi rasa kebanggaan kita terhadap bahasa Indonesia, makin tinggi mutu sikap bahasa kita. Demikian juga semakin kita memiliki dorongan yang tinggi untuk meningkatkan pengetahuan bahasa dan meningkatkan keterampilan berbahasa Indonesia kita, maka hal itu berarti semakin positif sikap bahasa kita. Kemampuan kita memilih ragam bahasa Indonesia yang sesuai dengan konteks situasi penggunaanya, menunjukkan kadar sikap kita terhadap bahasa Indonesia. Sebaliknya, makin rendah rasa kebanggaan kita, atau kita sama sekali tidak memiliki rasa kebanggaan, serta makin rendah dorongan untuk berupaya meningkatkan pengetahuan dan keterampilan berbahasa kita, hal itu berarti semakin rendah sikap kita. 2.
Pemertahanan Bahasa Sebagai Sikap Positif Berbahasa Sebagai salah satu objek kajian sosiolinguistik, gejala pemertahanan bahasa sangat
menarik untuk dikaji. Konsep pemertahanan bahasa lebih berkaitan dengan prestise suatu bahasa di mata masyarakat pendukungnya. Sebagaimana dicontohkan oleh Danie (Chaer, 1995:193) bahwa menurutnya pemakaian beberapa bahasa daerah di Minahasa Timur adalah karena pengaruh bahasa Melayu Manado yang mempunyai prestise lebih tinggi dan penggunaan bahasa Indonesia yang jangkauan pemakaiannya bersifat nasional. Namun ada kalanya bahasa pertama yang jumlah penuturnya tidak banyak dapat bertahan terhadap pengaruh penggunaan bahasa kedua yang lebih dominan. Fishman (Sumarsono, 1993:1) menjelaskan pemertahanan bahasa yakni dipengaruhi oleh perubahan dan stabilitas penggunaan bahasa juga proses psikologis, sosial, dan kultural dalam masyarakat multibahasa.Masalah bergeser dan bertahannya sebuah bahasa bukanlah hanya karena masalah bahasa imigran, melainkan dipengaruhi oleh banyaknya faktor lain yang dapat memengaruhi pemertahanan bahasa. Meskipun bahasa Inggris dianggap mempunyai prestise, tetapi sebagai warga Indonesia yang bangga mempunyai bahasa nasional bahasa Indonesia maka, kita harus lebih bangga terhadap bahasa sendiri daripada bahasa asing. Sikap positif berbahasa tersebut merupakan upaya pemertahanan bahasa. Dengan demikian, diperlukan sikap positif berbahasa sebagai upaya pemertahanan bahasa.
3.
Penggunaan Bahasa Asing pada Iklan Papan Layanan Niaga Dengan globalisasi,banyak masyarakat menggunakan bahasa asing pada layanan niaga.
Masyarakat lebih memilih menggunakan bahasa asing di dunia usaha daripada menggunakan bahasa Indonesia karena mereka beranggapan dengan menggunakan bahasa asing akan lebih menarik. Mereka juga beranggapan bahwa karena sudah memasuki berhadapan dengan warga
305
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
lokal, tetapi juga dengan warga asing dalam dunia usaha. Itu sebabnya banyak masyarakat yang menggunakan bahasa asing daripada bahasa lokal. Layanan niaga adalah kegiatan jual beli untuk memperoleh untung dalam kegiatan niaga atau perdagangan. Layanan niaga sangat berhubungan dengan iklan. Mengacu pada apa yang dikemukakan Bungin (2008:67) spanduk, papan iklan, dan baliho merupakan media layanan niaga media iklan cetak tulis. Layanan niaga merupakan salah satu bentuk untuk penyebaran penggunaan promosi dari sebuah perniagaan.
Dikemukakan Bungin (2008:67)
yakniPemilihan media iklan terdiri atas, “iklan cetak tulis, iklan radio, dan iklan televisi. Iklan cetak tulis terdiri dari iklan papan dan spanduk, iklan brosur, iklan media massa cetak, dan semacamnya sedangkan iklan radio adalahyang disiarkan melalui radio. Demikian juga iklan televisi adalah yang ditayangkan melalui televisi. Penggunaan bahasa pada iklan media cetak kurang menunjukkan sikap positif terhadap bahasa Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan bahasa pada iklan media cetak yang menggunakan bahasa asing, yakni bahasa Inggris. Apalagi penggunaan bahasa Inggris dalam iklan-iklan yang dikeluarkan instansi-instansi pemerintah terjadi karena, “Proses komunikasi sosial tidak dipahami dan karena nilai-nilai
kebudayaan bangsa sendiri tidak dihargai”.
(Kridalaksana, 1985:8). Penggunaan bahasa pada papan iklan media cetak khususnya harus menggunakan bahasa Indonesia karena jika bahasa asing yang digunakan , “tidak mendorong orang untuk orang asing untuk belajar dan mempergunakan bahasa Indonesia yang merupakan ciri khas kebudayaan Indonesia untuk memahami kebudayaan Indonesia” (Kridalaksana, 1985:7). Salah satu contoh penggunaan bahasa Inggris pada layanan niaga papan iklan media cetak, hampir di setiap tempat menuliskannya menggunakan bahasa Inggris yakni photo copy bukan fotokopi. Hal tersebut dapat dilihat dari penggunaan bahasa pada papan iklan media cetak.
306
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Penutup Sikap bahasa tidak selamanya tercermin dalam perilaku tutur tetapi tercermin pula pada bentuk komunikasi tulis seperti penggunaan bahasa Indonesia pada papan iklan layanan niaga.Dalam era globalisasi, masyarakat pengguna bahasabanyak menggunakan bahasa asing. Masyarakat lebih memilih menggunakan bahasa asing di dunia usaha daripada menggunakan bahasa Indonesia karena mereka beranggapan dengan menggunakan bahasa asing akan lebih menarik. Mereka juga beranggapan bahwa karena tidak hanya berhadapan dengan warga lokal, tetapi juga dengan warga asing dalam dunia usaha. Itu sebabnya banyak masyarakat yang menggunakan bahasa asing daripada bahasa lokal dalam dunia usaha. Gerakan reformasi yang telah bergulir sejak tahun 1998 telah mengubah paradigma tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.Kenyataan itu akan menyudutkan penggunaan bahasa Indonesia. Kalau bahasa Indonesia tidak segera diatur penggunaannya, bahasa Indonesia tidak akan mampu menunjukkan gengsinya, baik di negara sendiri (nasional) maupun internasional. 307
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Sikap positif mengandung tiga ciri pokok, yakni: kesetiaan bahasa, kebanggaan bahasa, dan kesadaran akan adanya norma bahasa. Kesetiaan bahasa, kebanggaan bahasa, dan kesadaran akan adanya norma bahasa merupakan ciri-ciri sikap positif terhadapsesuatu bahasa. Sebaliknya, jika seseorang atau sekelompok anggota masyarakat tutur tidak lagi bergairah atau terdorong untuk mempertahankan kemandirian bahasanya, itu merupakan salah satu petunjuk bahwa kesetiaan bahasanya mulai melemah, dan tidak mustahil akan hilang sama sekali. Sikap negatif seperti itu akan terjadi apabila seseorang atau sekelompok orang sebagai anggota suatu masyarakat tidak ada rasa bangga terhadap bahasanya dan mengalihkan kebanggaannya kepada bahasa lain yang bukan miliknya. Untuk menanamkan sikap setia-bahasa. bangga-bahasa dan sadar-norma bahasa sebagai upaya pemertahanan bahasa perlu dilakukan dengan pendidikan bahasa melalui motivasi instrumental dan integratif. Pelaksanaan pendidikan bahasa didasarkan atas asas-asas pembinaan kaidah dan norma bahasa, disamping norma-norma sosiolinguistik dan norma-norma hidup yang hidup di dalam masyarakat pemakai bahasa yang bersangkutan. Dengan cara demikian diharapkan akan timbul sikap positif sebagai dasar pembinaan dan pengembangan bahasa lebih lanjut. Tumbuh dan berkembangnya sikap positif terhadap bahasa juga terkait dengan kondisi kebahasaan suatu masyarakat. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat multilingual atau aneka bahasa. Tiap kelompok masyarakat atau etnis dalam wilayah negara kesatuan RI paling tidak menguasai dua bahasa, yaitu bahasa daerah atau bahasa ibu mereka dan bahasa Indonesia. Sebagian dari warga Indonesia menguasai juga satu atau beberapa bahasa asing. Dalam kondisi kebahasaan yang demikian, ditambah adanya globalisasi yang menuntut penguasaan bahasa Inggris sebagai bahasa Internasional, maka kita berhadapan dengan pilihan-pilihan. Namun demikian, sikap positif sebagai upaya pemertahanan yakni melalui pengaplikasian sikap positif kita terhadap penggunaan bahasa Indonesia.
Daftar Pustaka Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2011. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Jakarta: Bungin, H.M. Burhan. 2008. Konstruksi Sosial Media Massa: Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklan Televisi, dan Keputusan Konsumen Serta Kritik terhadap Peter L. Berger & Thomas Luckmann. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Chaer, Abdul. 2013. Pembinaan Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta. Kridalaksana, Harimurti. 1985. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Ende Flores: Nusa Indah. Sumarsono. 2011. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Tasai, S. Amran. 2002. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia. Jakarta: UT. 308
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
FLASH FICTION 100 KATA: MENGGAGAS TEKS SASTRA ALTERNATIF DALAM KURIKULUM NASIONAL Panji Pratama SMA Negeri 1 Nagrak
[email protected] Abstrak Sifat sastra sangat dinamis. Peralihan budaya yang cepat ikut mempengaruhi perkembangan sastra, terutama sastra multimedia. Semenjak booming sosial media via internet, karya-karya sastra beralih rupa ke ruang yang lebih singkat namun tetap imajinatif. Flash fiction adalah salah satu jenis fiksi yang lebih ringkas dari cerita pendek. Uniknya, meski dibatasi penggunaan kata, flash fiction masih harus mengandung 4 elemen wajib fiksi yaitu karakter, konflik, latar, dan resolusi. Keketatan ruang kata ini menjadikan sebuah karya fiksi yang lebih berisi, antibertele-tele, dan berslogan show don’t tell. Proses dan hasil telaah terhadap karya-karya flash fiction selama hampir satu windu terakhir mengindikasikan perubahan kebiasaan menulis sastra di lingkungan masyarakat urban. Hal itu berarti sastra era kini bermetaforfosis menjadi serba terbatas namun justru lebih kreatif. Di lain sisi, pembelajaran bahasa Indonesia pada Kurikulum Nasional berorientasi pada teks. Asupan-asupan materi bahasa Indonesia pada Kurikulum Nasional membatasi ruang gerak pembelajaran sastra. Akan tetapi, justru memunculkan inovasi bentukan teks alternatif sebagai bahan ajar pembelajaran berbasis teks. Flash fiction dapat diajukan sebagai teks alternatif untuk memudahkan pembelajaran pemodelan teks cerpen. Selain itu, flash fiction juga dapat dijadikan alternatif bentukan teks hasil konversi dari teks-teks lain pada kompetensi dasar mengonversi teks. Dengan demikian, flash fiction mengemban tugas untuk menjadi jembatan promosi teks sastra dalam pembelajaran bahasa Indonesia dengan lebih portable (mudah dibawa) dan saintifik. Kata kunci: Flash fiction, teks sastra alternatif, kurikulum nasional
Pendahuluan Pengajaran bahasa dan pengajaran sastra merupakan pengajaran yang selalu sejalan, karena keduanya dapat saling menambah wawasan pengetahuan, yakni kosakata dan keterampilan bahasa peserta didik. Dalam kaitannya dengan pengajaran di sekolah, tidak setiap karya sastra dapat disajikan sebagai bahan ajar. Karya sastra yang dapat dijadikan bahan ajar perlu mempertimbangkan berbagai segi, yaitu segi estetik, ideologis, psikologis, dan pedagogis (Jabrohim, 1994: 179). Berkenaan dengan pentingnya keberadaan sastra dalam pendidikan, dibahas pula oleh Rusyana (1982: 6) yang berpendapat bahwa bertahannya pengajaran sastra dalam kurikulum
309
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
karena pengajaran sastra mempunyai peranan penting dalam mencapai berbagai aspek pendidikan, susila, sosial, perasaan, sikap, penilaian, dan keagamaan. Sastra (litterature-Latin), secara etimologis, berarti segala sesuatu yang tertulis; pemakaian bahasa secara tertulis (Sardjono, 1992: 6). Ini berarti bahwa bahasa yang dipakai sebagai sarana primer sastra adalah bahasa tulis. Pernyataan Sardjono ini senada dengan pendapat Prof. Dr. Mahsun, M.S. mengenai pembelajaran Bahasa Indonesia dalam Kurikulum Nasional yang berbasis teks dalam salinan Permendikbud No. 65 tahun 2013 tentang Standar Proses. Dia mengatakan bahwa sastra sebagai teks, merupakan pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk menguasai dan menggunakannya di masyarakat. Hal ini karena manusia tidak terlepas dari penggunaan teks yang berupa tulisan. Sementara itu, struktur teks merupakan cerminan struktur berpikir. Penguasaan berbagai jenis teks, termasuk sastra, oleh siswa menjadikan struktur berpikir mereka makin banyak. Sehingga siswa dapat mengonstruksi ilmu pengetahuan mereka
melalui
langkah-langkah
ilmiah,
termasuk di
dalamnya
memublikasikan teks buatan siswa dalam forum komunikasi atau media komunikasi di sekolah (Kemendikbud, 2013: v-vii). Selain itu, salah satu karakteristik Kurikulum 2013 sebagaimana dijelaskan dalam Permendikbud No. 69 tahun 2013 tentang Kurikulum SMA/MA, adalah menegaskan mengenai kompetensi yang dinyatakan dalam bentuk kompetensi inti kelas yang dirinci lebih lanjut dalam kompetensi dasar mata pelajaran. Dari empat kompetensi utama, kompetensi inti IV, yang mencakup aspek keterampilan, diperoleh melalui aktivitas mengamati, menanya, mencoba, menalar, menyaji, dan memproduksi. Enam langkah pembelajaran ini dikemas dalam satu konsep bernama pendekatan saintifik. Pendekatan saintifik dalam Bahasa Indonesia berkenaan dengan ramuan apik dari pendekatan teks dan sains terpadu yang kelak menguatkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia dalam pendidikan sekolah sebagai penghela dan pembawa ilmu pengetahuan. Dengan kedudukan tersebut, Bahasa Indonesia sebagai teks, mengemban fungsi sosial dan tujuan tertentu untuk menjadi sumber aktualisasi diri dan mengembangkan kegiatan ilmiah atau saintifik. Proses pembelajaran bahasa Indonesia yang berbasis teks ditempuh melalui tahapan kegiatan peserta didik yang bersistem, yaitu tahap pembangunan konteks dan pemodelan teks, tahap kerja sama membangun teks, tahap kerja mandiri menciptakan teks sesuai dengan teks model, dan tahap mengonversi teks model ke dalam bentuk teks lain. Pada tahapan-tahapan pembelajaran tersebut masih ada beberapa kendala yang ditemukan di lapangan, terutama berkenaan dengan unsur sastra. Misalnya saja, pada kelas X, lima jenis teks sebagai materi pokok dalam silabus adalah Teks Laporan Observasi, Teks Negosiasi, Teks Anekdot, Teks Eksposisi, dan Teks Prosedur Kompleks. Kelimanya terbatas
310
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
pada teks umum yang unsur sastranya minim sekali. Jenis teks yang memungkinkan terdapat nilai sastranya hanya Teks Anekdot saja. Kendala yang sama ditemukan pula pada lima jenis teks di kelas XI, yakni Teks Cerpen, Teks Biografi, Teks Pantun, Teks Drama, dan Teks Eksplanasi. Meskipun aroma sastranya kuat terutama pada Teks Cerpen dan Teks Drama, akan tetapi peserta didik terlanjur jenuh dengan struktur fiksi yang dijadikan teori. Struktur fiksi yang dipaparkan seolah membatasi kreativitas peserta didik dalam mencipta teks itu sendiri. Lebih parah dari itu, lima jenis teks di kelas XII, yakni Teks Berita, Teks Sejarah, Teks Iklan, Teks Novel, dan Teks Editorial, sama sekali tidak tersentuh nilai-nilai sastranya. Hal ini berkaitan dengan terbatasnya waktu pembelajaran di kelas XII. Adapun Teks Novel yang dimasukkan sebagai salah satu materi ajar, di dalam silabus diletakan pada semester dua. Tentunya hal tersebut tidak efektif dikarenakan pada semester dua, siswa kelas XII disibukan dengan persiapan Ujian Nasional, Ujian Sekolah, dan Ujian Praktik. Belum lagi Teks Novel terlalu memakan waktu jika harus dijelaskan seutuhnya. Selain pemodelan teks sastra yang minim, pada tahapan kegiatan mengonversi teks model ke dalam bentuk lain, pendidik dan peserta didik kesulitan mencari bentukan teks lain yang lebih segar. Pada buku-buku pelajaran saat ini, konversi teks masih berkutat dengan drama dan esai saja. Hal itu tentu saja membuat pendidik dan peserta didik mengalami kejenuhan terhadap bahan ajar yang dijadikan model teks dalam pembelajaran. Kejenuhan ini disebabkan karena rangkaian proses pembelajaran seolah hanya berputar dalam pemodelan teks yang sama, sehingga tidak ada alternatif teks yang dapat dipilih. Dari permasalahan-permasalahan tersebut diperlukan kreativitas pendidik dan alternatif bentuk teks sastra lain sebagai bahan ajar. Namun demikian, teks sastra alternatif tersebut tidak terlalu jauh melenceng dari silabus bahasa Indonesia Kurikulum Nasional. Teks sastra fiksi yang sesuai dengan struktur yang dijadikan model dalam silabus bahasa Indonesia Kurikulum Nasional adalah Teks Cerpen yang ada pada kelas XI semester 1. Menjawab minimnya bentuk teks sastra pada silabus Bahasa Indonesia SMA dalam Kurikulum Nasional, penulis menawarkan bentukan teks sastra yang populer di dunia cybersastra, yakni teks flash fiction. Flash fiction adalah karya fiksi yang sangat singkat, bahkan lebih ringkas daripada cerita pendek. Walaupun tidak ada ukuran jelas tentang berapa ukuran maksimal sebuah flash fiction, umumnya karya ini lebih pendek dari 1.000 kata. Ratarata flash fiction memiliki antara 50 hingga 1.000 kata (Sebagai perbandingan, ukuran cerita pendek berkisar antara 2.000 hingga 20.000 kata).
Ikhwal flash fiction di tanah air Di dunia maya, flash fiction sudah cukup dikenal sejak tahun 2010 lalu, dengan beberapa sebutan. Graffiti Imaji terbitan Yayasan Multimedia Sastra, sebagai contoh, adalah 311
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
antologi "cerpen pendek" Flash! Flash! Flash!, terbitan Gradien, yang menyebut dirinya sebagai kumpulan "cerita sekilas". Sejumlah sastrawan juga menyebutnya sebagai "cerita mini", disingkat "cermin". Semua ini mengacu pada rupa flash fiction yang sepertinya dirancang untuk dibaca sekaligus. Keterbatasan jumlah kata flash fiction sendiri sering kali memaksa beberapa elemen kisah (protagonis, konflik, tantangan, dan resolusi) untuk muncul tanpa tersurat; cukup hanya disiratkan dalam cerita. Secara ekstrem, prinsip ini dicontohkan oleh Ernest Hemingway dalam cerita enam katanya, "Dijual: sepatu bayi, belum pernah dipakai." Begitu pesatnya era jejaring sosial di internet ternyata membawa angin segar pada pertumbuhan sastra, terutama di kalangan anak muda. Situs-situs penyedia layanan update status yang notabene sangat terbatas jumlah katanya, terkadang dimanfaatkan penulis fiksi untuk berkreasi. Hal ini misalnya terdapat di twitter, facebook, atau blog pribadi. Selain membuat penulis fiksi lebih bebas berimajinasi, Flash fiction ini juga dapat menolong penulis fiksi untuk membuat semacam kerangka. Mereka yang belum bisa menuangtuliskan idenya secara panjang lebar seperti sebuah cerita pendek utuh, maka dapat menuliskannya melalui flash fiction. Flash fiction di Indonesia bentuknya beragam. Beberapa penggiat flash fiction di jejaring social twitter, ada yang mengistilahkannya sebagai fiksi mini. Hal ini berhubungan dengan keterbatasan linimasa dalam twitter. Dalam beberapa contoh yang penulis temukan, flash fiction tipe ini jumlah katanya di bawah 55 kata. Berikut ini adalah contoh flash fiction tipe ini:
@teddysnur: @fiksimini PELURU MELETUS. Aku tertegun, seharusnya pistol air ini menyemprot muka Ayah. Pada contoh di atas, nampak cerita seorang tokoh aku yang mengalami shock setelah pistol air yang dipegangnya meletus. Akan tetapi, pembaca masih belum menangkap cerita utuhnya, apakah pistol air itu meletus ke tokoh aku sendiri atau ke orang lain. Bisa jadi juga pistol air itu mengarah ke tubuh ayahnya, namun tidak ke arah muka ayahnya. Terjadinya potongan-potongan cerita yang tidak utuh seperti tadi merupakan kekurangan dari flash fiction tipe ini. Kekurangan flsh fiction tipe ini, narasi teksnya kurang komplit, sehingga cerita terasa mengambang tanpa akhir yang jelas. Hal ini membuat seorang pembaca harus menguras imajinasi secara lebih untuk memahami maksud si pengarang. Tipe ini juga seolah-olah meniru puisi-liris macam yang dipopulerkan oleh Sapardi Djoko Damono dalam kumpulan sajak Perahu Kertas: Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar, saya sedang keluar. Banyak sekali interpretasi dari pembaca terhadap puisi Sapardi itu, macam yang dilakukan oleh Okke Kusuma Sumatri Zaimar, yang menafsirkan teks tersebut sebagai gambaran sikap manusia yang selalu “menyuruh” Tuhan menunggu. Bisa jadi, pembaca lain 312
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
menafsirkan berbeda dengan yang dilakukan Okke. Jadi, masalahnya, tidak semua pembaca, terutama siswa, mempunyai tahapan apresiasi seperti yang dipunyai Okke. Maka dari itu, teks fiksi tipe ini tidak bisa dijadikan bahan ajar untuk pengenalan teks sastra di jenjang SMA. Flash fiction tipe selanjutnya adalah apa yang disebut sebagian penulis fiksi sebagai cerita mini. Kriteria yang paling nampak pada flashfiction tipe ini adalah jumlah katanya yang cenderung hampir setara cerita pendek. Dalam beberapa contoh yang penulis dapatkan, teks flash fiction cerita mini berkisar pada 750 s.d. 1000 kata atau satu-setengah hingga empat lembar kertas ukuran A4. Teks flash fiction tipe ini seringkali muncul dalam antologi-antologi lomba menulis di dunia maya, seperti yang sering dilakukan oleh grup kepenulisan facebook seperti Unsa, Inspirasi-Ku, Rumpun Nextar, dan lain sebagainya, Hal ini cenderung mirip dengan cerita pendek biasa. Dengan demikian, teks flashficiton tipe ini pun tidak bisa dijadikan bahan ajar. Karena selain sudah ada pemodelan teksnya di kelas XI yakni teks cerpen, teks seperti ini memakan waktu jam pelajaran yang cukup banyak untuk mengenalkannya pada siswa. Maka dari itu, dalam penelitian ini, teks flash fiction yang dipakai adalah teks flash fiction dengan jumlah 100 kata. Pertimbangannya bahwa teks flash fiction 100 kata cukup singkat untuk dikenali peserta didik. Siswa tidak terlalu terbebani dengan struktur teks dan jumlah kata yang cukup banyak ketika masuk pada kompetensi dasar memproduksi atau menulis teks jenis ini. Di lain sisi, teks flashfiction 100 kata masih harus dibangun oleh empat elemen wajib fiksi yaitu karakter, konflik, latar, dan resolusi. Dengan begitu, siswa secara bertahap dikenalkan dengan sastra fiksi dengan tanpa harus kaget berhadapan dengan teks yang berlembar-lembar. Berikut ini adalah contoh teks flashfiction 100 kata:
SENDIRI LAGI Aku termanggu sepi di sini. Walau demikian banyak orang berlalu lalang di sekitarku. Mereka yang hendak mengisi perut mereka karena lapar. Mereka yang memesan banyak makanan di kantin ini. Memang di tempat ini disediakan banyak tawaran pelipur lapar, tapi tak bisa membasuh rasa sepiku. Kuputuskan untuk berjalan ke pelataran parkir. Kuyakin di tempat ini lebih menenangkanku. Suara kicau burung menemani rasa sunyiku. Beringin yang kokoh ini saksi hatiku saat ini. Hingga kuyakin aku harus berubah. Berubah untuk mengubah status facebookku dari tunangan menjadi sendiri lagi.
Jumlah 100 kata dalam flashfiction tidak berarti tepat 100 kata. Dalam teks flashfiction di atas, keseluruhan jumlah katanya adalah 87 kata. Hal ini berarti maksud 100 kata ini adalah kisaran yang ideal. Bisa dikatakan bahwa rata-rata flashfiction 100 kata berkisar antara 75 – 150 kata saja. 313
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Di bandingkan teks fiksimini yang lebih mirip puisi-liris, flashfiction ini mempunyai kriteria berbeda. Coba perhatikan kembali teks SendiriLagi tersebut. Terdapat tokoh aku, yang meski singkat tetapi tetap tergambarkan karakternya. Karakter ini dijelaskan dalam kata yang diulang dua kali yakni sepi, yang mengisyaratkan kebimbangan sang tokoh aku. Begitu pula dengan latar yang cukup jelas digambarkan dalam narasi yakni kantin. Konflik yang terjadi ada dalam benak sang tokoh atau konflik batin sesuai dengan kalimat “Memang di tempat ini disediakan banyak tawaran pelipur lapar, tapi tak bisa membasuh rasa sepiku”. Yang menarik adalah resolusi atau adanya twist di penghujung narasi yang memudahkan pembaca memahami keseluruhan cerita. Pembaca yang dibawa suasana galau sebelumnya, menjadi paham setelah membaca kalimat “Hingga kuyakin aku harus berubah. Berubah untuk mengubah status facebookku dari tunangan menjadi sendiri lagi.”
Tahapan teks flashfiction sebagai teks alternatif sastra dalam pembelajaran Berkaitan dengan pemodelan teks dalam pembelajaran bahasa Indonesia, teks flashfiction dapat menjadi alternatif bentukan sederhana dari teks fiksi. Siswa yang belum dapat mengembangkan hasil konversi teks anekdot misalnya ke dalam cerpen, dapat terlebih dahulu mencoba mengonversikan teks anekdot menjadi teks flashfiction. Tentunya, hal ini harus terlebih dahulu dipahami oleh pendidik bahwa jenis teks fiksi superpendek memang ada dalam perkembangan sastra mutakhir. Dalam pembelajaran Bahasa Indonesia, guru-guru dihadapkan persoalan yang sama di kelas, yaitu tentang proses pembelajaran yang itu-itu saja. Dalam sebuah wawancara yang dilakukan penulis pada MGMP Bahasa Indonesia SMA Kabupaten Sukabumi, 70% guru mengaku bosan melakukan hal yang sama dalam mengajarkan teks dalam Kurikulum 2013. Hal itu dilakukan berulang selama satu tahun pada lima teks pokok yang ada dalam silabus. Proses yang sama itu mengenai Pemodelan Teks, Analisis Struktur dan Kaidah Kebahasaan, Membandingkan Dua Teks, MengAbstraksi Teks, atau Mengonversi Teks Menjadi Teks Dialog. Penulis mencoba untuk menawarkan gagasan teks flashfiction sebagai alternatif teks bentukan konversi dalam pembelajaran dengan Kompetensi Dasar mengonversi teks menjadi teks lain. Pertimbangannya adalah teks flashfiction merupakan teks fiksi popular, sehingga siswa dapat mempelajari teks sastra dengan relatif mudah. Hampir semua teks yang dimodelkan dalam Kurikulum 2013 dapat dikonversi menjadi teks flashfiction. Misalnya saja, dalam tulisan ini saya contohkan bagaimana mengonversi teks pantun menjadi teks flashfiction. Elemen dasar sebuah teks flashfiction sendiri terdiri atas empat unsur, yaitu karakter, konflik, latar, dan resolusi. a. Karakter adalah tokoh yang mempunyai peran dalam cerita. b. Konflik adalah pusat masalah cerita. c. Latar adalah dimensi ruang dan waktu yang cerita kisahkan. 314
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
d. Resolusi adalah jawaban dari konflik yang sifatnya mengejutkan, disebut juga twist. Dari pemaparan di atas, langkah-langkah mengonversi teks pantun menjadi teks flashfiction dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Membaca teks pantun (teks asal) dan menganalisis maksudnya Contoh: Kemumu di dalam semak Jatuh melayang seleranya Meski ilmu setinggi tegak Tidak sembahyang apa gunanya Maksud dari pantun tersebut adalah apalah gunanya sebuah ilmu dan teori, jika tidak dibarengi dengan beribadah dan praktik sesungguhnya.
2. Menentukan tokoh/karakter yang akan dijadikan pelaku dalam teks flashfiction. Contoh: Tokoh 1 adalah Anggota Dewan Tokoh 2 adalah makmum/rakyat Tokoh 3 adalah wartawan
3. Membuat cerita berdasarkan ilustrasi maksud pantunnya. Dzuhur Blusukan Untuk mengurangi gejolak tentang kinerja dewan, seorang anggota DPR dikirim tugas blusukan bersama puluhan wartawan ke sebuah desa pedalaman. Begitu sampai suara adzan, Bapak dewan yang terhormat diminta menjadi imam shalat dzuhur oleh para warga. Dengan percaya diri, sang pejabat menanggapinya seketika. Mereka pun shalat berjamaah. Hingga setelah takbiratul ihram, sang anggota DPR melafalkan surat Alfatihah. “Loh bukannya shalat dzuhur tidak boleh dikencangkan lafalnya?” dalam hati para makmum berujar. Semua makmum hanya bisa pasrah menunggu langkah selanjutnya dari sang anggota dewan.
Dari teks flashfiction di atas, dapat disimpulkan bahwa meskipun ilmu dunia dan kedudukan manusia tinggi, tapi kalau tidak pernah dipraktikan akan percuma. Bahkan jadi salah kaprah. Konflik utama dan latar dijelaskan singkat dari kalimat “Untuk mengurangi gejolak tentang kinerja dewan, seorang anggota DPR dikirim tugas blusukan bersama puluhan wartawan ke sebuah desa pedalaman” bahwa ntersebut, yaitu kebiasaan blusukan para pejabat untuk mengalihkan kinerja yang lemah. Ternyata resolusinya tergambar dari pertanyaan para
315
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
makmum/rakyat yang tidak bisa berbuat apa-apa meskipun sang anggota DPR salah karena shalat dzuhur dengan suara dilantangkan. Demikian langkah sederhana untuk memperkenalkan teks sastra fiksi ke para siswa.
Penutup Pemodelan teks flashfiction 100 kata pada pembelajaran Bahasa Indonesia diupayakan untuk menjawab masukkan para guru Bahasa Indonesia yang menganggap suplemen sastra dalam Kurikulum 2013 sangat terbatas. Karakteristik teks flashfiction 100 kata yang unik merupakan peluang baik untuk mengenalkan sastra kepada siswa. Pemodelan teks flashfiction 100 kata ini masih berada dalam tataran konseptual. Karena itu, penulis berharap kepada Tim Pengembang Kurikulum Nasional untuk dapat menghadirkan gagasan ini dalam Silabus Bahasa Indonesia. Dalam tataran sederhana, penulis pun mengajak rekan-rekan sesama guru Bahasa Indonesia untuk mengujicobakan teks flashfiction 100 kata sebagai salah satu alternatif teks sastra dalam pembelajaran. Kita tidak perlu menunggu hingga gagasan ini terdedah dalam Silabus Kurikulum Nasional, tapi kita dapat memulainya dari pelaksanaan pembelajaran di kelas, seperti dalam Kompetensi Dasar mengonversi teks tertentu menjadi bentuk teks flashfiction 100 kata.
Daftar Pustaka Jabrohim (ed). 1994. Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kemendikbud. 2013. Bahasa Indonesia Ekspresi Diri dan Akademik: Buku Guru. Jakarta: Kemendikbud. Kemendikbud. 2014. "Modul: Materi Pelatihan Guru, Implementasi Kurikulum 2013 tahun 2014". Jakarta: Kemendikbud. Nurgiyantoro, Burhan. 2001. Teori Pengkajian FIksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Rusyana, Yus. 1982. Metode Pengajaran Sastra. Bandung: Gunung Larang. Sardjono, Partini. 1992. Pengantar Pengkajian Sastra. Bandung: Pustaka Wina. Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Anto, Daeng. 2014. “Artikel: 4 Tips Yang Akan Memudahkan Anda Menulis Flash Fiction”. Diunduh dari http://www.indonovel.com/4-langkah-menulis-flash-fiction/ .
316
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
PEMBERITAAN MENGENAI SULTAN BRUNEI DAN HUKUM SYARIAH ISLAM PADA KOMPAS.COM Reka Yuda Mahardika STKIP Siliwangi Bandung
[email protected]
Abstrak Tuliskan ini membahas pemberitaanberjudul “Membedah Kehidupan Rahasia Sultan Brunei” yang diterbitkan Kompas.com. Dengan menggunakan pisau Analisis Wacana Kritis versi Roger Fowler, penulis akan menggunakan diksi dan kalimat dalam pemberitaan, untuk menganalisis mengapa tulisan yang memarjinalkan Keluarga Sultan Brunei dan Hukum Syariah Islam ini, diprotes oleh sebagian umat Islam hingga kemudian ditarik/dihapus dari pemberitaan. Kata kunci: pemberitaan, hukum syariah
Pendahuluan Pandangan bahwa bahasa berfungsi sekadar alat komunikasi kini mulai ditinggalkan. Salah satu fungsi terpenting bahasa, memang, sebagai alat komunikasi. Namun demikian, para bahasawan kini menyepakati bahwa bahasa memiliki fungsi yang lebih luas. Untuk mempengaruhi, melakukan sebuah tindakan, bahkan untuk merepresentasikan keinginan, pemikiran, dan sikap pemakai bahasa. Sekait dengan poin terakhir di atas bila bahasa dituturkan oleh individu, maka bahasa tersebut tentu merepresentasikan keinginan, pemikiran, dan sikap individu tersebut. Oleh karena itu, pun dapat dipastikan bila bahasa dituturkan oleh sebuah lembaga, maka dapat ditafsirkan bahasa tersebut merepresentasikan lembaga tersebut. Bertolak dari pernyataan di atas media massa sebagai sebuah lembaga yang niscaya menggunakan peranti bahasa dalam segala sepak terjangnya tentu dapat pula ditafsirkan memiliki keinginan, pemikiran, dan terutama memiliki sikap. Sikap tersebut dapat juga diartikan sebagai keberpihakan. Meski idealnya media massa harus netral, tidak memiliki keberpihakan tatkala menyampaikan sebuah isu, namun kenyataannya tidak demikian. Melalui peranti bahasa seperti kata, frasa, klausa, kalimat, dan tanda-tanda lainnya, media massa seringkali mengangkat sebuah informasi sambil di sisi lain menyembunyikan informasi lainnya. Melalui peranti bahasa, media massa sering bermain informasi dengan tujuan membatasi bahkan menghilangkan pandangan pembaca. Media massa sering memilih dan memilah mana saja
317
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
berita yang layak dibesar-besarkan atau malah sebaliknya, layak untuk dikecilkan dengan agenda tertentu. Media massa dalam tinjauan Analisis Wacana Kritis (AWK) merupakan objek penelelitian yang menarik. Terutama karena fungsinya untuk menyebarkan informasi dari seluruh dunia dan kemampuannya untuk mempengaruhi perspektif pembaca. Namun demikian, karena kemampuan yang dimilikinya itulah timbul anomali ketika media massa cenderung memiliki keberpihakan terhadap sebuah isu hingga pembacanya pun ikut terpengaruh. Permasalahannya, seringkali terdapat intervensi dan penyaringan yang ketat dari redaksi sebelum informasi diberitakan. Intervensi dan penyaringan itulah yang menjadi pokok persoalan, karena seringkali dipilih dan dipilah sesuai dengan selera, ideologi, bahkan perspektif redaksi. Padahal, idealnya, media massa harus menyampaikan informasi apa adanya. Berangkat dari hal di atas, sebagai pisau analisis AWK mampu mendedahkan kecenderungan keberpihakan media massa dalam memberitakan sebuah informasi. Melalui AWK pembaca akan mampu memahami dan membedakan mana informasi yang layak untuk dicerna secara langsung dan informasi yang bersifat opini yang tidak dapat langsung dicerna. Kemampuan itu dimiliki, karena analisis ini mampu menganalisis hingga unsur paling dalam, yakni bagaimana bahasa itu diproduksi. Jorgensen dan Phillips (2010, hal. 120) mengatakan analisis ini mampu mengungkap peran praktik kewacanaan yang melibatkan hubungan kekuasaan yang tidak sepadan, juga mampu memihak pada kelompok-kelompok sosial yang tertindas. Bertolak dari pembahasan di atas peneliti merasa tertarik untuk menganalisis bagaimana Kompas.com merepresentasikan keberpihakannya melalui peranti bahasa yang digunakannya. Hingga mengungkap alasan mengapa pemberitaan berjudul “Membedah Kehidupan Rahasia Sultan Brunei” dalam media online Kompas.com tersebut diprotes oleh sebagian umat Islam hingga akhinya dicabut dalam pemberitaan. Tinjauan Pustaka Roger Fowler dkk., berpandangan bahwa bahasa, tatabahasa, dan pilihan kosakata dapat berimplikasi terhadap ideologi yang diusungnya (Eriyanto, 2012, hal.133). Hal tersebut berarti bahasa dapat merepresentasikan dan mewakili ideologi yang diusung baik oleh perseorangan, kelompok, maupun lembaga. Maka dari itu, bila ada sebuah media massa, misalnya, yang memberitakan hal yang memojokkan mengenai ideologi A, maka tesis bahwa media tersebut memiliki ideologi yang berseberangan dengan ideologi A dapat dibenarkan. Ideologi menurut sinar (2012, hal. 125) adalah pemahaman atau kepercayaan, nilai yang dianut atau dipakai bersama oleh masyarakat. Hasan (Sinar, 2012, hal. 126) mengatakan 318
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
bahwa ideologi merupakan sistem ide yang dikonstruksi secara sosial yang tak bisa dihindari oleh pengikutnya. Berangkat dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa ideologi merupakan sistem ide, baik berupa pemahaman, kepercayaan, maupun nilai yang dikonstruksi secara sosial yang tidak dapat dihindari oleh pengikutnya. Dalam konteks kekinian dapat dikatakan ada tiga ideologi yang terus-menerus bertarung untuk tujuan tertentu, baik secara fisik melalui peperangan maupun dalam dimensi perang pemikiran melalui wacana/bahasa, yaitu antara ideologi Komunis Sosialis, Liberal Sekuler, dan Islam. Berikut adalah tabel kerangka analisis wacana menurut Roger Fowler (Anshori, 2011, hal. 35) Tabel 1 Hal yang Diamati dalam Pemberitaan Struktur Wacana
Hal yang Diamati
Keterangan
Kata
Membuat klasifikasi
Bagaimana kata yang
Membatasi pandangan
digunakan menggambarkan
Pertarungan wacana
peristiwa dan objek dalam peristiwa
Kalimat/Tata Bahasa
Aksional – Relasional
Bagaimana peristiwa
Transitif - intransitif
digambarkan dalam kalimat
Aktif – pasif
(rangkaian kata)
Verba – nomina
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif-analitis. Komponen yang dianalisis adalah unsur kata dan kalimat yang diturunkan dari teori Roger Fowler dkk.. Hasil dan Pembahasan Tulisan berikut akan menganalisis pemberitaan berjudul “Kehidupan Rahasia Sultan Brunei dari Seks Dusta dan Hukum Syariah” yang terbit pada 27 April 2015. Judul tersebut dengan alasan tertentu kemudian diubah menjadi “Membedah Kehidupan Rahasia Sultan Brunei”. Meski masih asumsi, namun penghilangan kata “syariah” dalam judul tersebut merupakan usaha sadar dari pihak Kompas.com untuk tidak menggeneralisasikan judul tersebut 319
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
ke konsep “syariah” pada umumnya, yang memang memiliki cakupan luas, tidak hanya hukum semata. Pengubahan judul tersebut juga diasumsikan ada usaha dari Kompas.com untuk membatasi persoalan hanya pada “Sultan Brunei dan keluarga” yang menerapkan hukum syariah, bukan kepada pemimpin-pemimpin Islam lainnya. Namun demikian, meski judul telah diubah, pemberitaan ini masih diprotes oleh umat Islam karena dianggap memojokkan dan menjatuhkan citra “hukum syariah khususnya dan syariah pada umumnya”. Protes tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Kompas.com dengan mencabut dan menghapus berita tersebut dari laman. Selain itu, wartawan penulis berita tersebut diberi sanksi dengan dipindahtugaskan ke bagian lain (cek berita protes di www.arrahmah.com). Meski demikian, pemberitaan itu sempat beberapa hari diterbitkan dan penulis akan mengungkap alasan mengapa berita tersebut diprotes umat Islam sehingga harus dicabut/dihapus dalam laman. Dalam pemberitaannya Kompas menggunakan diksi yang menggambarkan perilaku anomali Sultan Brunei dan hukum syariah seperti “mewah”, “moderat”, “harem (gundik)”, “kemunafikan”, “kejahatan”, “pesta pora playboy”, dan diksi-diksi tidak netral lainnya yang merepresentasikan keburukan-keburukan kehidupan keluarga sultan. Selain itu, Kompas juga menyajikan keburukan-keburukan dari Hukum Syariah Islam, seperti ”hukum kuno”, “dipotong tangan”, “dirajam mati”, “apatis”, “muak”, “hukum Islam kuno”, “aneh”. Penelanjangan secara sepihak kehidupan keluarga sultan yang notabene pemimpin Islam yang menerapkan Hukum Syariah Islam (HSI), secara tidak langsung merepresentasikan bahwa HSI tidak berdampak terhadap sendi-sendi kehidupan keluarga sultan. Malah, meski menerapkan HSI, keluarga sultan masih hidup dalam balutan kemewahan dan kemaksiatan. Namun demikian, pemberitaan ini terkesan subjektif dan tidak netral, karena Kompas terlampau membesarkan (berpesta-pora) memberitakan keburukan-keburukan kehidupan keluarga sultan, di sisi lain meniadakan pemberitaan kebaikan-kebaikan sultan serta menyembunyikan fakta pemberitaan mengenai kehidupan masyarakat secara komprehensif setelah hukum tersebut diterapkan. Dalam penggunaan diksinya mengenai Hukum Syariah Islam, Kompas menggunakan diksi seperti ”hukum kuno”, “dipotong tangan”, “dirajam mati”, “apatis”, “muak”, “hukum Islam kuno”, dan “aneh”. Dengan diksi-diksi tersebut Kompas.com telah memojokkanHSI. Kompas juga tidak memberikan ruang agar pemberitaan terkesan berimbang, misalnya dengan memilih narasumber yang mampu bersikap netral dan berimbang, bukan malah menukil pendapat-pendapat artis Hollywood mengenai hukum syariah. Padahal, dalam buku sejarah diungkap fakta bahwa selama 1300 tahun Islam berdiri sebagai sebuah institusi serta ketika 320
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Islam yang ditetapkan sebagai hukum, tercatat hanya ada 200 kasus pencurian yang berujung hukum hudud (Abdurrahman, 2014, hal. 23). Sebuah prestasi gemilang bila dibandingkan kondisi sekarang ketika Islam tidak ditegakkan. Bertolak dari pemberitaan dan penjelasan di atas, Kompas dengan jelas telah menunjukkan keberpihakan ideologinya yang anti HSI. Karena, terminologi yang digunakan Kompas berbeda dengan yang digunakan oleh yang pro hukum syariah, seperti “hukum Allah”, “adil”, “berkah”, dan lain sebagainya. Tabel 2 Penggunaan Diksi/Klasifikasi Kata dalam Pemberitaan Judul
Klasifikasi Kata
Keterangan
Kehidupan Rahasia Sultan
mewah
Diksi yang digunakan Kompas
Brunei dari Seks Dusta dan
modera
bersifat searah. Kesan tidak
Hukum Syariah
harem (gundik)
netral tampak jelas. Opini
kemunafikan
yang dikutip hanya dari pihak
kejahatan
yang kontra. Kompas tampak
pesta pora
mengangkat satu fakta dan
playboy
menyembunyikan rapat fakta
hukum kuno
lainnya demi memperkuat
dipotong tangan
ideologinya.
dirajam mati apatis muak hukum Islam kuno aneh
Dalam pemberitaan idealnya Kompas mematuhi kode etik jurnalistik. Dalam kode etik jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), diatur 14 keharusan wartawan, salah satunya adalah harus “mempertimbangkan pemuatan berita dengan bijaksana” dan “berita harus disajikan secara berimbang dan adil” (Sumadiria, 2014, hal. 240). Sekait dengan kode etik di atas, Kompas.com secara gegabah sempat menerbitkan berita yang tendesius. Misalnya tecermin dalam kalimat, “Walau sebagian hukum kuno dalam Islam itu diterapkan secara bertahap, Brunei kini diambang untuk mengadopsi hukum rajam di
321
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
depan umum”. Dalam kalimat di atas, Kompas.com secara subjektif dan tanpa ada ukuran yang pasti telah menjustifikasi bahwa hukum Islam masuk dalam kategori “kuno”. Hanya berdasarkan sedikit fakta adanya hukuman hudud (rajam, potong tangan, dan mati) Kompas.com secara tendensius menggeneralisasikan bahwa seluruh hukum Islam adalah hukum yang “kuno”. Generalisasi tersebut sangat tendensius, mengingat hukum Islam amat komprehensif meliputi seluruh kehidupan. Mulai dari yang kecil seperti menguap, bersin, hingga yang besar seperti pemerintahan, perekonomian, pendidikan, dan pengadilan. Dengan menuliskan frasa “hukum kuno” yang secara anafora dan katafora merujuk pada HSI, maka Kompas.com secara tidak langsung telah menggeneralisaikan bahwa Hukum Syariah Islam yang paripurna tersebut sudah kuno. Dalam KBBI kuno bermakna (Lama; dahulu kala; kolot; tidak modern; pendapat – harus ditinggalkan). Adapun opini Kompas.com yang mengatakan bahwa dalam HSI pencuri akan dipotong tangan dan pezina dirajam memang benar adanya. Namun hukuman tersebut tidak dapat dilaksanakan semena-mena. Perlu pembuktian ketat berupa teks maupun konteks ketika hukum tersebut akan dilaksanakan. Abdurrahman (2014, hal. 236) mengatakan bahwa hukuman bagi pezina dapat dilaksanakan bila ada empat saksi yang adil, atau pengakuan pelaku, atau bukti kehamilan disertai pengakuan. Bukti tersebut harus ada di pengadilan dan bukan karena dipaksa untuk zina. Demikian halnya dengan pencuri, tidak bisa dihukum bila karena lapar atau keterpaksaan karena hal darurat. Tetapi bila mencuri karena keinginan dan kerakusan (korupsi) baru bisa dilaksanakan hukuman potong tangan. Penting pula untuk diulang, bahwa dalam buku sejarah diungkap fakta bahwa selama 1300 tahun Islam berdiri sebagai sebuah institusi khilafah serta ketika Islam yang ditetapkan sebagai hukum, tercatat hanya ada 200 kasus pencurian yang berujung hukum hudud (Abdurrahman, 2014, hal. 23). Sebuah prestasi gemilang bila dibandingkan kondisi sekarang ketika Islam tidak ditegakkan. Tidak berimbangnya opini, terlihat dari kalimat, “warga tampaknya apatis terhadap Hukum Syariah”. Tidak dijelaskan dalam opini tersebut apakah pendapat tersebut berlandaskan pada
survei
dan
penelitian
yang
dapat
dipertanggungjawabkan.
Kompas.com
menggeneralisasikan menggunakan kata “warga”. Seolah-olah semua warga Brunei apatis terhadap keadaan tersebut. Dalam pemberitaan tersebut Kompas.com tidak menuliskan dasar yang terukur dan valid ketika beropini bahwa “semua” warga Brunei apatis terhadap keadaan di Brunei.
322
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Tabel 3 Penggunaan Metafora dalam Pemberitaan Berita
Metafora
Generalisasi
Kehidupan Rahasia Sultan
Walau sebagian hukum kuno
Brunei dari Seks Dusta dan
dalam Islam itu diterapkan
pencuri akan dipotong
Hukum Syariah
secara bertahap, Brunei kini
tangannya
di ambang untuk mengadopsi
Berdasarkan hukum itu,
pezinah serta kaum
hukum rajam di depan
homoseksual akan dirajam
umum.
hingga mati.
hukum kuno dalam Islam
warga tidak pernah
Sahabat karip dalam
mengkritik keluarga
hedonism
kerajaan
warga tampaknya apatis terhadap Hukum Syariah.
tidak satu pun dari mereka mengecam keluarga kerajaan, karena mereka memang tidak diperbolehkan untuk itu.
Brunei merupakan tempat yang sungguh aneh
Penggunaan Kalimat Penggunaan kalimat aktif dan pasif mampu memberikan penekanan dan kesan yang berbeda dalam pemberitaan. Eriyanto (2012, hal. 153) mengatakan bahwa dalam kalimat aktif aktor sebagai pelaku diletakkan di muka digambarkan melakukan suatu tindakan yang mengenai objek yang dikenai. Di sini, proses atau tindakan ditujukan kepada subjek. Ketika kalimat aktif diubah ke dalam bentuk pasif, pola akan berubah. Proses bukan ditujukan kepada subjek, tetapi objek, yang menjadi titik perhatian adalah objek atau pihak yang dikenai tindakan. Dalam pemberitaan Kompas.com menuliskan
“... namun tahun lalu sultan itu
memperkenalkan hukum syariah. Berdasarkan hukum itu, pencuri akan dipotong tangannya dan pezinah serta kaum homoseksual akan dirajam hingga mati”. Dalam pemberitaan tersebut 323
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
digunakan kata aktif
“memperkenalkan”. Hal ini bermakna bahwa “sultan” yang
memperkenalkan hukum syariah. Dalam kalimat aktif tersebut “sultan” yang mendapat penekanan. Sultan menjadi sasaran, bahwa ia yang memperkenalkan penerapan hukum syariah di Brunei. Sebagai konsekuensi diperkenalkannya hukum syariah tersebut, ditulis menggunakan kalimat pasif oleh Kompas, “pencuri akan dipotong tangannya, pezina serta kaum homoseksual akan dirajam hingga mati”. Akibat dari penggunaan kalimat pasif tersebut adalah penekanan terhadap konsekuensi negatif, yaitu “kehilangan tangan” dan “kehilangan nyawa”. Para pencuri harus siap kehilangan tangan dan pezina serta pehomoseksual kehilangan nyawa. Namun demikian tidak dijelaskan konsekuensi positif bila hukum tersebut dilaksanakan, yang telah dijelaskan dalam paragraf sebelumnya, yaitu fakta sejarah mengenai keamanan dan ketentraman ketika hukum ini dilaksanakan. Selain kalimat aktif dan pasif Kompas.com menggunakan kalimat negasi. Tujuannya untuk mempertegas anomali mengenai sebuah negara (Brunei) yang “aneh”. Secara katafora, diksi “aneh” merujuk anomali-anomali yang dilakukan oleh keluarga dan sultan, tampak dalam kalimat berikut, “Brunei merupakan tempat yang sungguh aneh. Tidak ada yang tahu tentang apa yang Sultan dan saudaranya telah lakukan. Mereka tidak tahu tentang para perempuan aksi seks dan minum alkohol. Mereka tidak tahu tentang itu”. Penggunaan kalimat negasi tersebut tidak diimbangi oleh penggunaan kalimat positif. Sehingga kesan yang ditonjolkan hanya pemberitaan negatif. Selain itu fokus pemberitaan yang ditujukan terhadap keburukan sultan dan keluarga, tetapi tidak terhadap kebaikan sultan dan keluarga, juga terhadap kesejahteraan rakyat Brunei menjadi penegas adanya marjinalisasi dan penyembunyian fakta dalam pemberitaan tersebut. Tabel 4 Penggunaan Kalimat dalam Pemberitaan Judul
Jenis Kalimat
Pemakaian
Kehidupan Rahasia Sultan
Pasif
Namun tahun lalu Sultan
Brunei dari Seks Dusta dan
itu memperkenalkan
Hukum Syariah
Hukum Syariah. Berdasarkan hukum itu, pencuri akan dipotong tangannya dan pezinah serta kaum homoseksual akan dirajam hingga mati 324
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Negasi
Brunei merupakan tempat yang sungguh aneh. Tidak ada yang tahu tentang apa yang Sultan dan saudaranya telah lakukan. Mereka tidak tahu tentang para perempuan, aksi seks dan minum alkohol. Mereka tidak tahu tentang itu
Aktif
Sultan Brunei menjalani kehidupan yang sangat mewah tetapi agak moderat secara Islam
Simpulan dan Saran Bertolak dari uraian, penulis berkesimpulan sebagai berikut. 1. Melalui diksi yang digunakannya, Kompas secara tersurat dan tersirat telah memperlhatkan sikapnya terhadap Sultan Kerajaan Brunei dan keluarga yang telah menerapkan HSI sebagai landasan hukumnya. Namun demikian, melalui diksi yang digunakannya, pemberitaan yang dibuat malah menunjukkan ketidaknetralan dengan memojokkan dan memarjinalkan sultan dan keluarga. Konsekuensi dari pemberitaan yang memojokkan sultan dan keluarga tersebut nyatanya menyebar liar menjadi pemarjinalan ke arah “Hukum Syariah Islam” yang dimiliki umat Islam dan diterapkan oleh sebagian negara mayoritas berpenduduk Islam. 2. Melalui kalimat aktif Kompas telah menjelaskan dan menekankan bahwa Sultan Brunei adalah pemprakarsa diterapkannya Hukum Sariah Islam di Brunei. Melalui kalimat pasif, direpresentasikan penekanan terhadap konsekuensi “negatif” ketika hukum tersebut dilaksanakan, khususnya mengenai hukum potong tangan dan hukum rajam. Tanpa ada penjelasan mengenai konsekuensi “positif” bila hukum tersebut dilaksanakan, yakni tercipta keamanan dan ketentraman. 3. Protes yang dilakukan sebagian umat Islam terhadap Kompas.com merupakan tindakan tepat. Begitu pula itikad baik Kompas.com untuk menghapus berita tersebut dan 325
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
memberikan sanksi terhadap wartawan yang menerbitkannya merupakan tindakan yang tepat dan patut diapresiasi. Maka dari itu media massa perlu mengedepankan kode etik jurnalistik dalam tiap pemberitaan untuk meminimalkan kesalahan yang sama. Saran Karena dibatasi oleh jumlah halaman, penelitian ini hanya menganalisis satu pemberitaan saja sehingga tidak cukup komprehensif. Akan lebih komprehensif dan mendalam bila penelitian mengenai AWK ini mengambil pemberitaan lebih dari dua berita. Bahkan akan sangat ideal bila kemudian ada proses membandingkan pemberitaan bertema sama dengan media lain.
Daftar Pustaka Abdurrahman, Hafidz. (2014). Diskursus Islam politik dan spiritual. Bogor: Al Azhar Press. Anshori, Dadang. (2011). Terorisme dalam pemberitaan majalah Tempo: analisis wacana kritis Roger Fowler. @rtikulasi, 10 (2): 130-145. Eriyanto. (2012). Analisis wacana: pengantar analisis media. Yogyakarta: PT LKIS Printing Cemerlang. Jorgensen, Marianne W. dan Louise J. Philips. Analisis wacana: teori dan metode. Terjemahan oleh Imam Suyitno dkk.. (2010). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Tn. 2015, 27 April. “Membedah Kehidupan Rahasia Sultan Brunei”. Kompas.com [Online]. Tersedia: www.kompas.com (sudah dihapus). [27 April 2015]. Sinar, Tengku Silvana. (2012). Teori dan analisis wacana. Medan: CV Mitra Medan Sumadiria, AS Haris. (2014). Jurnalistik Indonesia: menulis berita dan feature. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
326
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
KEKUNOAN DALAM KEKINIAN Resti Nurfaidah Balai Bahasa Bandung Jalan Sumbawa Nomor 11, Bandung 40113
[email protected]
Abstrak Sebagai bagian dari kekayaan budaya Sunda, legenda Sangkuriang tidak pernah hilang dari peradaban manusia Sunda. Sangkuriang dalam berbagai media selalu digambarkan sebagai laki-laki ambisius, cenderung obsesif, kepada ibu kandungnya--Nyai Dayang Sumbi. Sejak tersebutkan dalam naskah Bujangga Manik, sampai saat ini Sangkuriang masih "diproduksi" dalam berbagai media dengan plot yang sama. Kisah si Kabayan juga menjadi abadi dalam berbagai versi. Kisah Ciung Wanara dan Cindelaras kerapkali dibandingkan. Makalah ini akan membahas mengenai aspek kekunoan dalam kehidupan manusia modern. Kemodernan peradaban yang sarat kompleksitas ternyata sulit mengabaikan kekunoan atau nilai-nilai tradisi. Pembahasan dilakukan dengan mengedepankan beberapa karya sastra, baik berupa sastra kuno maupun modern yang mengusung nilai-nilai tradisional, beberapa produk budaya modern--film atau sinetron, serta mengaitkan kekunoan tersebut ke dalam kekinian. Pembahasan tersebut akan menggunakan konsep semiotika, intertekstualitas, dan hermeneutika. Kehidupan modern selalu berkaitan erat dengan kekunoan. Kata Kunci: kekunoan, kekinian, dan Barthez.
Pendahuluan Ada pepatah yang mengatakan bahwa kehidupan kita ibarat putaran roda. Saat kita berada di atas, kita diuji dengan kesenangan, kesuksesan, kebahagiaan, bahkan kekayaan. Namun, ada kalanya kita berada di bawah ketika kita diuji dengan kesulitan, kemiskinan, atau kesedihan. Hal-hal yang menjadi bagian dalam kehidupan manusia juga mengalami perputaran. Apa yang pernah terjadi, digunakan, atau dilakukan pada masa lalu akan terulang kembali pada masa yang akan datang. Di dunia fashion, pada era 50-an nama Marilyn Monroe dikenal di seluruh dunia. Penampilannya yang khas dengan gaya retro menjadikan perempuan berambut pirang tersebut sebagai ikon Hollywood abadi.
Sederet artis yang berasal dari generasi
sesudahnya, senang meniru gaya Monroe, di antaranya Madonna, Lady Gaga, dan Lisa Standsfield, atau vokalis band Aqua. Mereka gemar memakai warna kulit pucat dengan lispstik yang merah menyala, garis alis rapi, dan pemakaian eye liner dan bulu mata yang signifikan. Gaya riasan wajah dan rambut era 80-an kembali hadir pada 2000-an. Lucille Petite dalam http://forums.thefashionspot.com (diakses 1 November 2015) mengatakan bahwa dalam konsep Oidipus atau Elektra kompleks, bahwa seorang anak akan meniru gaya kedua orangtuanya setelah dua puluh tahun kemudian. Artinya, trend fashion atau gaya hidup akan berulang pada setiap dua dekade. Ketika Kate Middleton mengucapkan janji suci di Westminster Abbey pada 327
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
tahun 2011 lalu, ia mengenakan gaun pengantin yang terinspirasi dari gaun pengantin Putri Grace dari Monaco. Mencuatnya hijab sejak beberapa tahun lalu merupakan reduplikasi mode gaya berkerudung kaum hawa masa lalu di kawasan Timur-Tengah. Dalam kehidupan sosial, maraknya kehidupan pasangan sejenis dan prostitusi sekarang merupakan perulangan fenomena yang sama yang pernah terjadi pada masa kaum Nabi Luth di kawasan Israel dan warga Pompeii di Italia. Kasus pembunuhan yang marak pada saat ini merupakan replika kasus serupa yang terjadi di antara anak Adam as, Habil dan Qabil. Genocide yang terjadi pada masa kini juga memiliki hipogram berupa pemberantasan massa oleh tokoh sejarah pada masa lalu, atau bahkan sebelum itu. Peristiwa hujan ikan yang terjadi pada beberapa tahun silam pernah terjadi pada masa Nabi Musa as. Jangan kira jika kehidupan yang serba hiperrealitas, mengutip istilah Piliang tentang kehidupan yang melampaui masa realitas itu merupakan era kehidupan baru. Konsep touchscreen dan widescreen pada gawai (gadget) atau televisi mutakhir sekarang, sudah tergambarkan dalam serial Startrek pada era 70-an—80-an. Pintu-pintu otomatis yang terdapat pada mall atau gedung pencakar langit juga diilhami oleh benda serupa yang sudah dimunculkan dalam film Starwarspada era 80-an. Fenomena reduplikasi bukan hanya terdapat pada realitas. Sastra juga mengalami hal itu. Setiap hipogram atau sumber induk mengalami penurunan atau melahirkan teks-teks berikutnya. Makalah ini akan mengekplorasi pada kehadiran berbagai teks (dalam pandangan culture studies semua benda dapat dijadikan sebagai teks, tidak bertumpu pada teks sastra— drama, puisi, atau prosa) yang muncul dalam kekinian dengan berpijak pada kekunoan—berasal dari hal-hal atau teks pada masa lalu. Penelurusuran tersebut akan dilakukan dengan menggunakan konsep interkstualitas dan semiotik. Teks menurut pendapat Barthes (1981:32) adalah permukaan teks. Teks, bagi Barthes bukan merupakan benda yang solid. Teks memiliki sifat dinamis setelah lepas dari pengarangnya. Pembaca memiliki opini sendiri terhadap teks, dan mungkin akan bergeser jauh dari pemikiran sang penulis sendiri. Teks tidak hanya berbicara tentang dirinya sendiri, tetapi mampu berbicara tentang lingkungan saat itu dalam berbagai sudut pandang, seperti hukum, sosial, atau agama. Barthes memandang bahwa tidak satu pun teks sastra, tidak tertutup teks lain, yang memiliki keaslian. Sebuah teks akan mengusung teks lainnya. Inilah yang dinamakan intertekstualitas. Kristeva (dalam Junus, 1985:87—89) menegaskan bahwa intertektualitas hakekat suatu teks yang di dalamnya ada teks lain. Hal yang dapat kita kaitkan dalam intertektualitas adalah fungsi teks asing pada teks primer, serta bagaimana perilaku pengarang terhadap teks. Dalam beberapa penelitian, intertekstualitas dapat dijadikan sebagai alat untuk menentukan teks yang terlebih dulu hadir di antara beberap teks serupa, seperti yang dilakukan oleh Amertawengrum (2010:1—5) untuk menentukan bahwa teks cerita Bapak Belalang lebih dulu daripada teks Hikayat Mahsyud Hak. Konsep lain adalah semiotik Barthes yang dikaitkan dengan mitos. Pemakaian konsep tersebut adalah untuk mengungkap makna yang terdapat di balik serangkaian teks yang ada, 328
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
baik pada teks primer maupun teks asing. Konsep Barthez tersebut kerapkali digunakan
dalam berbagai penelitian tentang petanda dan penanda, di antaranya iklan, film, atau sastra. Berbagai teks dapat diterapkan dalam teori tersebut, termasuk klausula peraturan perundang-undangan atau rambu-rambu lalu lintas. Secara ringkas teori dari Barthes ini dapat diilustrasikan sebagai berikut. Tanda, kita bedakan dalam dua tahap. Pertama, tanda dapat dilihat latar belakangnya pada (1) penanda dan (2) petandanya. Tahap ini lebih melihat tanda secara denotati atau menelaah tanda secara bahasa. Berpijak pada pemahaman tersebut, kita dapat melihat pada tahapan kedua, yakni menelaah tanda secara konotatif. Tahapan tersebut melibatkan konteks budaya. Benda yang dapat dicontohkan dalam konsep mitos tersebut, misalnya, bunga mawar. Pada tahap I, bunga mawarberwarna merah jika ditandai secara denotatif terlihat secara kasat mata bahwa wujudnya berupa sekuntum mawar berwarna merah. Pada pemaknaan tahap II, bunga mawar yang berwarna merah tersebut merupakan tanda cinta. Kehidupan modern mengenal mawar merah sebagai lambang pernyataan cinta. Hal itu banyak digambarkan dalam film atau sinetron. Pada tahapan ketiga (sign) dapat kita katakana bahwa bunga mawar merah merupakan simbol kekuatan cinta sekokoh gambaran pekatnya warna merah pada kelopak bunga mawar. Simbol kekuatan cinta itu dalam wujud mawar merah sangat abadi karena mampu bertahan pada setiap generasi. Makna denotatif dan konotatif tersebut dapat digabung sehingga dapat mengarahkan kita pada sebuah mitos, yaitu kekuatan cinta itu abadi dan mampu mengatasi segalanya. Table 1 Teori Mitologi Barthez 1. Signifier (Penanda)
2. Signified (Petanda)
3. Sign (Tanda) Sumber: Barthez, R. 1972. Mythologies. NY: Noondy Press.
Table 2 Teori Semiologis Barthez
1. Signifier (Penanda)
2. Signified (Petanda)
3. Sign (Tanda) 1) Signifier (Penanda)
2) Signified (Petanda)
329
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
3) Sign (Tanda) Sumber: Barthez, R. 1972. Mythologies. NY: Noondy Press.
Konsep pemaknaan yang lain yang jarang dikemukakan dan diketahui oleh suku Sunda sendiri adalah Panca Curiga (lima senjata/ilmu) yang dikemukakan oleh Suryalaga (2005, www.ahmad-samantho.wordpress.com,
diakses
2015).
Panca
Curigaterdiri
atas
silib
(memaknai sesuatu yang disampaikan secara tidak langsung, tetapi dikiaskan pada hal lain/allude), sindir (penggunaan susunan kalimat yang berbeda/allusion), simbul (penggunaan lambang berupa simbol, icon, heraldica), siloka (pengandaian atau penggambaran yang berbeda /aphorisma), dan sasmita (berkaitan dengan penggambaran suasana dan perasaan hati/depth aphorisma). Konsep-konsep tadi diaplikasikan pada beberapa korpus berikut, yaitu legenda Sangkuriang dan Cinderella. Kedua korpus tersebut telah mengalami perkembangan yang cukup signifikan sejak kehadiran hiprogram pertama kali. Legenda Sangkuriang diperkirakan sudah ada sejak sebelum abad ke-13. Hal itu terbukti bahwa legenda tersebut disebut dalam naskah Bujangga Manik yang ditulis pada peralihan, akhir tahun 1.400 dan awal 1.500. Selepas itu, legenda tersebut hadir dalam sederet naskah, drama, prosa, puisi, atau bentuk seni lain yang disebutkan Suryalaga berikut, yaitu Sang Koeriang (A.C. Denik dari Pleyte), Gunung Tangkuban Parahu (R. Satjadibrata, 1946), Babad Sangkuriang dalam Naskah Sunda Lama Kelompok Babad (Edi S. Ekadjati, 1983), Sangkuriang (Hasan Wahyu Atmakusumah, 1955), Sang Kuriang (Kusnadi Prawirasumantri, 1992), Ngabendung Situ (Ajip Rosidi, 1962), Sang Kuriang (Beni Setia, 1972), Tapak Sangkuriang (Dadan Bahtera, 1989), Sangkuriang Kabeurangan (Wahyu Wibisana, 1992), Sangkuriang (Tatang R. Sontani, 2004), Sangkuriang (R. T. A. Sunarya, tt), Sangkuriang Larung (Hidayat Suryalaga, 1973), “Sangkuriang Ninun Wanci” (Absurditas Malka, dalam http://mangle-online.com, diakses 2015), “Karémbong Sréngéngé” (Us Tiarsa R., 2010), dan “Kalangkang Budah” (Godi Suwarna, 2004). Legenda Sangkuriang juga telah banyak dijadikan sebagai tema penelitian, di antaranya, “Pergeseran Fungsi Mitos Sangkuriang dari Cerita Sangkuriang ke dalam Sajak Sunda” (Suhandi, skripsi, 1994); “Perubahan Ideologi dari Drama Sangkuriang Dayang Sumbi ke
Sangkuriang Karya Utuy Tatang Sontani” (Lina Meiliawati Rahayu, tesis, 2004), “Peran Dayang Sumbi dan Sangkuriang dalam Konsep Budaya Sunda: Kajian Hermeneutika Terhadap Legenda dan Mitos Gunung Tangkuban Parahu dengan Segala Aspeknya” (Suryalaga, Hidayat. 2005.), “Sangkuriang Ori, Sangkuriang Modifikasi, dan Sangkuriang Terkini” (Resti Nurfaidah, 2010), dan “Membaca Religiusitas Sunda dalam Sasakala Sangkuriang” (Deri Hudaya, 2015). Suhandi membahas . Rahayu membahas perubahan ideologi yang dianut oleh Sontani sebelum 330
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
dan sesudah sang pengarang tersebut bergabung dengan LEKRA. Suryalaga mengamati mitos dari aspek hermeneutika pada nama tokoh dan nama tempat dalam legenda tersebut. Nurfaidah membahas deskripsi kisah Sangkuriang dalam tiga wahana yang berbeda. Hudaya meneliti kisah Sangkuriang dari sudut pandang religiositas Sundawi melalui pendekatan hermenutika. Makalah ini akan memberikan gambaran bahwa dari nilai-nilai kuno tersirat nilai-nilai kontemporer dan terwujud dalam dunia kontemporer. Pembahasan mengenai hal itu akan menggunakan perbandingan dengan mengambil beberapa perumpamaan dari beberapa peristiwa yang terjadi pada saat ini. Demikian pula halnya dengan Cinderella. Dalam https://id.wikipedia.org
(diakses
2015) versi paling awal Cinderella ditemukan pada naskah Cina kuno pada 860, yaitu The Miscellaneous Record of Yu Yang yang ditulis oleh Tuan Ch'ing-Shih--sebuah buku yang diterbitkan pada masa Dinasti Tang. Versi Cinderella yang paling terkenal ditulis oleh penulis Perancis Charles Perrault dengan judul Cendrilion (1697), berdasarkan cerita rakyat yang ditulis oleh Giambattista Basile sebagai La Gatta Cennerentola pada 1634. Namun film animasi dari Walt Disney Production (lihat Cinderella), dijadikan sebagai versi standar dari sudut pandang kontemporer. Versi Walt Disney diambil dari kumpulan kisah anak-anak yang ditulis oleh Grimm bersaudara pada tahun 1812. Beberapa penelitian tentang Cinderella, antara lain, dilakukan oleh Taibe “The Effects of Bugis Culture Upbringing Pattern to Cinderella Complex Tendency in Bugis Women” yang mengamati kecenderungan Cinderella Complex dalam pola asuh orang Bugis; Luries dalam “A Comparison of Cinderella Fairy Tale: Grimm Version vs Traditional French Version” dalam https://www.kibin.com diunduh 4 November 2015; dan Kelompok
Riset
dengan
http://getparticipants.com
makalah
“Cinderella,
God,
and
Self-Esteem”
dalam
diunduh 4 November 2015; dan Shirley Spencer (2015) dalam
“Cinderella and Ever After: A Comparison of Gender Stereotype”. Penelitian Taibe difokuskan untuk mengeksplorasi Cinderella complex dalam pola asuh orang Bugis yang membentuk tingkt ketergantungan tinggi pada perempuan terhadap lawan jenisnya. Luries membandingkan teks Cinderella versi Grimm bersaudara dan versi Prancis serta menggarisbawahi perbedaan dan persamaannya. Sementara itu, Kelompok Riset melakukan penelusuran aspek religiusitas dan konsep kemandirian pada perempuan dalam teks Cinderella versi Grimm. Dalam bentuk film, kedua versi Cinderella telah diangkat ke layar lebar, antara lain, Cinderella (1950), Ever After: A Cinderella Story (1998), dan Cinderella (1950). Ketiga film tersebut berpijak pada versi Perrault. Sementara itu, Achenputtel (2010) merupakan film yang dibuar berdasarkan versi Grimm.
331
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Pembahasan Pembahasan dalam eksplorasi berikut dibagi dalam dua bagian, yaitu kekunoan dalam kekinian pada konsep Sangkuriang serta kekunoan dan kekinian pada konsep Cinderella.
Kekunoan dalam Kekinian pada Konsep Sangkuriang Konsep Sangkuriang dalam berbagai versi selalu bertumpu pada satu titik temu, kegagalan untuk menyunting Dayang Sumbi. Penelitian yang mendalam terdapat pada Suryalaga (2005) dan Hudaya (2015). Analisis yang dalam menunjukkan bahwa Sangkuriang bukan semata seorang laki-laki yang berada pada ranah hirarki tertinggi dan melakukan penjajahan kepada Dayang Sumbi sebagai perempuan subordinat. Sangkuriang lebih tepat dapat dikatakan sebagai perwujudan nafsu atau api dalam sisi manusia yang mudah muncul, tetapi sulit untuk diatasi. Hal itu dapat kita lihat dalam berbagai peristiwa yang marak muncul pada beberapa tahun belakangan, misalnya peristiwa tawuran, pembunuhan, perudapaksaan yang berakhir dengan pembunuhan, bunuh diri, dan perselingkuhan. Peristiwa tawuran dalam pandangan Abigail (2013, dalam www.kompasiana.com, diakses 2015) disebabkan peranan media dan lingkungan yang membentuk pola pikir anarkis, longgarnya pengawasan orangtua, dan kurangnya arena bermain yang menyebabkan banyaknya anak-anak yang kehilangan masa kanak-kanak. Ketiga hal itulah yang menyebabkan sisi anarkis dalam diri individu tumbuh pesat dan hampir tidak terkendali. Dalam sudut pandang maskulinitas Beynon, hal itu dinamakan maskulinitas imperialis dengan kecenderungan bersifat menjajah, baik kepada lawan jenis maupun sesama jenis. Dalam makulinitas imperial, masalah diselesaikan dengan kekuatan fisik dan cenderung mengabaikan negosiasi. Ego Sangkuriang terbangun dengan kokoh sejak ia terlepas dari asuhan ibu kandungnya, sejak terjadinya peristiwa pemukulan tersebut. Luka hati yang sangat dalam, membuat efek traumatis yang hebat di dalam diri Sangkuriang. Ia tidak mau mendengarkan pandangan orang lain, termasuk ibunya sendiri. Sangkuriang merasa menang sendiri dengan kekuatan fisik dan kehebatan ilmunya. Ia menganggap sang ibu hanyalah wanita lemah. Dalam versi Malka, Sangkuriang berhasil mendapatkan mesin waktu yang dapat membawanya kembali ke masa lalu untuk bertemu dengan ibunya. Ia berusaha untuk mewujudkan ambisinya untuk mengawini sang ibu. Namun, Dayang Sumbi tetap bertahan. Desakan Sangkuriang dibalasnya dengan tuntutan untuk membuat bendungan dan sebuah perahu seperti permintaan yang pernah ia sampaikan kepada anaknya itu. Sangkuriang berpendirian bahwa sang ibu masih perempuan yang bodoh. Kali ini, ia menginginkan untuk meminta selendang yang dulu pernah digunakan untuk menghentikan langkahnya. Kali ini, pekerjaan Sangkuriang dapat terselesaikan dengan bantuan para makhluk gaib. Sangkuriang memanggil ibunya. Namun, ia sangat murka ketika disadarinya Dayang Sumbi, dalam sepucuk surat yang ditulis di atas sehelai kain berwarna putih, bahwa ia tidak
332
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
mungkin menikah dengan anaknya sendiri. Dayang Sumbi memutuskan untuk meninggalkan Sangkuriang dengan menggunakan mesin waktu. Suryalaga dan Hudaya memaknai Dayang Sumbi sebagai, sebenarnya, sebuah solusi terbaik bagi ambisi liar Sangkuriang. Namun, ego Sangkuriang menutup jalan untuk membuka hatinya. Sangkuriang hanya dapat mematuhi nafsunya sendiri. Suwarna menuliskan sequel Sangkuriang dalam “Kalangkang Budah” dan mempertemukan Sangkuriang dengan tokoh mitologi yang memiliki persamaan nasib, Oidipus. Nasib Oidipus sangat parah karena ia menikahi ibunya dan memiliki anak hasil incest, yaitu Antigone. Oidipus digambarkan sudah mengalami titik puncak kekeliruannya dan bertobat. Ia ingin mengubah nasib dengan mengembara ke negeri selatan. Di peristirahatannya, Oidipus dipertemukan pengarang dengan Sangkuriang. Carpon “Kalangkang Budah” didominasi dengan dialog antara kedua orang berbeda bangsa tersebut. Oidipus berperanan sebagai penasihat. Namun, Sangkuriang belum puas dengan dialog mereka dan ingin melanjutkan perbincangan mereka sesaat setelah terbangun pada keesokan harinya. Namun, Oidipus telah berlayar kembali dan melanjutkan perjalanannya. Ego Sangkuriang kembali memuncak seperti sediakala. Dalam beberapa peristiwa kriminal, para pelaku kerapkali mengaku tidak sadar ketika melakukan sebuah tindakan keji. Namun, sebagian lain melakukan hal yang sama dalam kondisi sadar. Jika diamati, para pelaku kriminal mengalami pembelaan diri karena rasa takutnya. Dalam sebuah kasus pembuhunan, seorang pelaku pada awalnya hanya menginginkan tubuh si korban. Namun, satu sisi dirinya merasa takut kalau-kalau si korban akan melaporkan diri kepada pihak keluarga atau berbagai pihak yang berwenang. Korban lalu dihabisinya dengan harapan agar ia dapat hidup tenang. Ego yang berlebihan, yang tergambarkan dalam kepribadian Sangkuriang, akan mengundang bencana, antara lain, memenangkan diri sendiri dan, pada kenyataannya akan menyulitkan orang lain, selain merugikan diri sendiri. Sebagai ilustrasi, dapat kita ambil contoh kasus bunuh diri seorang perwira polisi karena kekasihnya menolak untuk dijadikan sebagai istri kedua. Longgarnya ikatan keluarga dan persaingan yang tinggi di lingkungan sosial menyebabkan rendahnya penerimaan seorang anak dalam sebuah keluarga. Peristiwa buang bayi merupakan buah ego dan superego para pelaku. Nilai sebuah hubungan seksual tidak lagi mulia, melainkan sudah sedemikian rendah. Anak sebagai produk resmi dari sebuah hubungan sepasang manusia tidak ditempatkan sebagai fokus kasih sayang dan penerus keturunan. Anak buah hubungan illegal kebanyakan dibuang begitu saja dan dianggap sebagai penghalang kebahagiaan ayah dan ibunya.
Kekunoan dan Kekinian pada Konsep Cinderella Geliat gerakan kaum feminis dalam berbagai aliran semakin meningkat. Namun, tidak semua perempuan dapat mengikuti gerakan tersebut. Terkadang para penggiat feminisme berjalan tanggung. Pada satu sisi, mereka menyuarakan kesetaraan gender, persamaan hak, dan 333
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
berbagai tuntutan lainnya. Namun, di sisi lain, gerakan mereka terbentur tradisi. Salah satu contoh, seorang perempuan, sejak menikah, senang menambahkan nama suami di belakang namannya sendiri. Lebih parah lagi, jika ia bersembunyi secara seutuhnya di balik naman suaminya. Salah seorang penulis terkenal, mengaku sebagai feminis, terbiasa memasang nama suami dalam setiap tulisan yang ia buat. Kesulitan pun terjadi ketika terjadi perceraian. Ia bernegosiasi untuk mempertahankan nama mantan suaminya demi mempertahankan kesuksesan. Hal itu dilakukannya untuk mempertahankan kesuksesan di ranah publik. Namun, semakin lama, ia merasa jenuh dan kembali menggunakan nama ayahnya. Dalam pandangan Faruk HT, Kartini sekalipun melakukan hal yang paradoks. Sebelum bertemu dengan calon suaminya, ia gencar memperjuangkan cita-citanya. Namun, pada satu titik, ia berbalik melawan pandangannya sendiri yang antipoligami. Sebaliknya, Kartini terikat dalam poligami itu sendiri. Setelah itu, Kartini berbalik menyampaikan puji-pujiannya kepada suaminya dengan mengedepankan dukungannya terhadap perjuangan Kartini selama ini. Faruk HT (2006:39) dengan berani mengatakan bahwa titik balik Kartini tersebut disebabkan oleh satu hal sepele, ketakutan Kartini menjadi perawan tua jika ia melanjutkan sekolah ke negeri Belanda. Geliat kesetaraan gender yang mengalami peningkatan drastik, tidak menutup tingkat ketergantungan perempuan terhadap kaum laki-laki seutuhnya. Taibe mengemukakan bahwa pola asuh keluarga terhadap kaum wanita Suku Bugis membentuk tingkat ketergantungan yang tinggi pada lawan jenisnya. Cinderella dalam berbagai versi tidak pernah menghilangkan satu titik intinya, yaitu menyuarakan subordinasi perempuan. Meskipun terdapat unsur perlawanan atau ikhtiar dari Cinderella sendiri, tetapi hal itu tidak melunturkan dominasi maskulin dari lingkungan di sekitarnya, terutama pada tokoh pangeran. Meskipun, dalam Cinderella versi Italia yang mutlak tidak menghadirkan sosok peri, karena tokoh utama dihadirkan pada situasi modern—dilengkapi dengan promosi motor vespa sebagai produk khas negara tersebut, tidak mampu meningkatkan aspek ketergantungan perempuan terhadap lawan jenisnya itu. Sebaliknya, dipandang dari aspek maskulinitas, sosok maskulin menunjukkan ambiguitas. Pada satu sisi, tokoh maskulin digambarkan sebagai sosok yang dibutuhkan, bahkan diperebutkan. Namun, pada sisi lain, tokoh laki-laki digambarkan menonjol sisi femininitasnya, misalnya menunjukkan kesedihannya karena kehilangan jejak Cinderella sebelum pesta berakhir, sosok ayah (dalam versi Achenputtel) digambarkan sebagai laki-laki lemah yang tidak dapat bersikap tegas dalam mengambil keputusan dan menghadapi permasalahan, pemenuhan ambisi dilakukan dengan cara yang halus berupa sayembara—penyelenggaraan sayembara tersebut, menunjukkan supremasi, di balik aspek kelembutan tokoh maskulin, laki-laki (pangeran) sebagai fokus yang diperebutkan oleh kaum perempuan. Perempuan ditekankan untuk menonjolkan potensi sensual mereka demi mendapatkan iming-iming yang dikemas sangat menawan, seorang pangeran yang lembut hati, tampan, baik hati. Peristiwa serupa sayembara tersebut juga benar-benar terjadi di dunia nyata. Wajarlah jika seorang gadis memiliki kekhawatiran akan kehilangan kekasihnya. 334
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Terlebih jika sang kekasih dikenal luas di ranah publik. Persaingan untuk mendapatkan sang kekasih tentu memerlukan tak-tik tersendiri bagi seorang perempuan untuk menangkis serangan rivalnya itu. Namun, wajar pula jika seorang istri menaruh kekhawatiran dengan tingkat yang lebih tinggi karena pascapernikahan, tidak berarti persaingan akan berakhir. Interaksi sosial yang semakin mudah dengan kondisi dan situasi lingkungan sosial yang semakin longgar, kemudahan penggunaan perangkat teknologi, serta landasan keimanan yang lemah tidak menutup kemungkinan untuk membuka peluang terjadinya sayembara berikutnya. Amatilah isu-isu perselingkuhan, baik di antara para pesohor maupun masyarakat lain. Perselingkuhan, terakhir kasus Arzetti Bilbina yang sampai saat ini belum terselesaikan, merupakan bukti yang cukup signifikan terhadap tingginya ketergantungan kaum perempuan terhadap lawan jenisnya. Peristiwa tersebut merupakan bukti bahwa masyarakat kita, meskipun telah hidup pada era postmodern, tidak dapat meninggalkan nilai-nilai tradisional/kuno, yaitu memerlukan peranan lawan jenisnya sebagai penyeimbang dalam menjalani kehidupan, seperti sudah digariskan dengan tegas dalam berbagai akidah. Dalam kasus lain, aborsi atau pembuangan bayi yang baru dilahirkan, jika dikaji dengan lebih dalam, terjadi karena satu alasan, yakni takut dalam memandang berbagai hal, seperti memandang masa depan, menghadapi pandangan massa, dan berbagai aspek ketakutan lain. Perudapaksaan berujung kematian, jika ditengarai bermuara pada rasa takut, misalnya takut diketahui keluarga korban atau pihak berwajib. Untuk menghindari hal itu, menghilangkan nyawa korban dijadikan sebagai solusi yang cepat. Peristiwa tersebut dapat dimaknai bahwa si pelaku perudapaksaan tidak dapat menghindari nilai-nilai tradisi, seperti penggugatan keluarga korban untuk menikahi korban jika kelak hamil, pengaduan kepada pihak berwajib, atau sanksi adat.
Penutup Meskipun era modern telah terlampaui sampai ke posmodern, manusia tidak dapat melarikan diri dari sederet nilai-nilai tradisional atau kuno di dalam kehidupannya. Peningkatan gerakan kesetaraan gender juga dihadapi oleh sebagian kalangan dengan kebimbangan. Keinginan untuk mencapai kondisi merdeka kerapkali terhadap pandangan individu sendiri terhadap nilai-nilai tradisional itu, seperti pernah dilakukan oleh Kartini terhadap poligami. Mengapa hal itu terjadi? Manusia tidak dapat meninggalkan jejak masal lalu yang disampaikan dan dilesatarikan secara turun-temurun, seperti penyampaian dongeng Sangkuriang. Sangkuriang dan Cinderella merupakan teknologi penyampaian nasihat dari nenek moyang kita terhadap generasi penerusnya agar terhindar dari malapetaka. Banyak peristiwa tragis yang terjadi pada saat ini merupakan dampak dari lunturnya nilai-nilai tradisi. Kekikinian tidak pernah meninggalkan kekunoan.
335
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Daftar Pustaka Amertawengrum, Indiyah Prana. 2010. “Teks dan Intertekstualitas” dalam Jurnal Magistra Nomor 73, Tahun XXII, September 2010, hlm. 1—5. Klaten:Universita Widya Darma Klaten. Barthes, Roland. 1981. “Theory of the Text” dalam Untying the Text: A Post-Srtucturalist Reader dengan Robert Young (Ed.). Boston, London, and Henley: Routledge and Kegan Paul. Duguay, Christian. 2011. Cinderella: Ein Liebermärchen in Rom. Italia. Faruk HT. 2006. “Pendekar Wanita di Goa Hantu” dalam Sangkan Paran Gender. Edisi ketiga. Hlm. 31—60. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Grimm, Jacob, dan Wilhelm Grimm. Tt. “Cinderella” dalam
http://www.pitt.edu diunduh 2
November 2015, pukul 14:25 WIB. Hudaya, Deri. 2015. “Membaca Religiusitas Sunda dalam Sasakala Sangkuriang” dalam Prosiding Konferensi Internasional Bahasa, Sastra, dan Budaya Daerah Indonesia. Bandung: Departemen Pendidikan Bahasa Daerah FPBS UPI. Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia. Suryalaga, Hidayat. 2005. “Peran Dayang Sumbi dan Sangkuriang dalam Konsep Budaya Sunda: Kajian Hermeneutika Terhadap Legenda dan Mitos Gunung Tangkuban Parahu dengan Segala Aspeknya”. Naskah orasi ilmiah pada Wisuda Itenas 2005. Bandung: koleksi pribadi. Suwarna, Godi. 2004. “Kalangkang Budah” dalam Murang-Maring, hlm. 11—21. Bandung: Kiblat. Taibe, Patmawaty. 2012. “The Effects of Bugis Culture Upbringing Pattern to Cinderella Complex Tendency in Bugis Women” https://www.kibin.com diunduh 4 November 2015, pukul 12:00 WIB. Zanke, Susane. 2010. Aschenputtel. Germany: Provobis (Berlin), Moviepool GmbH (München).
336
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM CERPEN ANAK SEBAGAI WUJUD PRIBADI YANG MANDIRI, KREATIF, DAN INOVATIF DALAM MENGHADAPI PERSAINGAN GLOBAL Riana Dwi Lestari STKIP Siliwangi Bandung
[email protected]
Abstrak Arus globalisasi mampu mengubah pribadi manusia ke arah yang memprihatinkan. Perubahan pribadi manusia ini menyangkut pola asuh maupun gaya hidup yang diajarkan orang tua, juga peran pendidikan karakter yang ditanamkan di lingkungan sekolah. Pola asuh orang tua dapat didefinisikan sebagai pola interaksi antara anak dengan orang tua, yang menyangkut pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum, dan lain-lain) dan kebutuhan non-fisik (seperti perhatian, empati, kasih sayang, dan sebagainya) (Kurniawan, 2013: 80-81). Pola asuh orang tua berperan penting dalam membentuk karakter anak sebagai rasa tanggung jawab mereka, untuk mewujudkan pribadi anak yang mandiri, kreatif, dan inovatif. Perubahan gaya hidup yang semula manusia sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan berubah menjadi bersikap individualis yang tidak membutuhkan orang lain. Pola asuh dan perubahan gaya hidup mempengaruhi perubahan hidup seseorang. Pendidikan karakter sebaiknya dikembangkan melalui pendekatan terpadu dan menyeluruh, efektivitas pendidikan karakter tidak selalu harus dengan menambah program tersendiri, tetapi bisa melalui transformasi budaya dan kehidupan di ligkungan sekolah (Kurniawan, 2013: 107). Metode yang digunakan dalam pendekatan ini adalah analisis teks berdasarkan nilai-nilai pendidikan karakter, sehingga dapat diketahui unsur yang dapat mewujudkan pribadi yang mandiri, kreatif, dan inovatif dalam sastra anak. Hal ini diharapkan dapat menyiapkan mentalitas anak dalam menghadapi persaingan global. Kata kunci: nilai pendidikan karakter, cerpen anak, mandiri, kreatif, dan inovatif.
Pendahuluan Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) semakin berkembang pesat di tengah persaingan global, namun moralitas bangsa semakin terpuruk. Salah satu contoh dari perkembangan IPTEK yaitu pemakaian gadget di kalangan masyarakat dari mulai anak-anak hingga orang dewasa. Orang tua lebih senang dan bangga jika anaknya terampil menggunakan gadget, padahal banyak dampak negatif dari penggunaannya. Seperti halnya manusia dewasa, anak pun membutuhkan informasi tentang dunia yang terjadi disekelilingnya. Sastra anak dapat dijakan alternatif orang tua untuk mendidik anaknya. Sastra anak adalah buku-buku bacaan yang sengaja ditulis untuk dikonsumsikan kepada anak, buku-buku yang isi kandungannya sesuai dengan minat dan dunia anak, sesuai dengan tingkat perkembangan emosional dan intelektual anak, dan buku-buku yang karenanya dapat memuaskan anak (Nurgiyantoro:2013:8).
337
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Salah satu strategi membermaknakan nilai pendidikan karakter pada anak, yaitu melalui kegiatan apresiasi sastra. Cerita anak yang disajikan dengan menarik berpotensi dapat mengembangkan kognisi dan daya apresiasi anak. Apresiasi cerita anak memiliki sumbangan bagi perkembangan kepribadian anak dalam proses menuju kedewasaan sebagai manusia yang mempunyai jati diri. Pendidikan karakter menekankan nilai etis-spiritual bukanlah hal yang baru. Secara mendasar, pendidikan karakter memuat pada pengajaran inti berbasis pada model pembelajaran mengalami (experience). Inti pembelajarannya adalah mengajarkan kepada anak tentang adanya suatu kekuatan lebih tinggi yang mengatur alam dan isi jagad raya ini. Ajarkan sesuatu pada anak bahwa sebagai manusia senantiasa tidak lepas dari kekuatan tersebut untuk mampu menciptakan dan merasakan hidup yang lebih baik. Apabila anak sudah meyakini ada Yang Maha Kuasa tidak sebagai pengetahuan kognitif saja. Mandiri adalah suatu sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas (Kurniawan, 2013: 143). Dengan melakukan kegiatan apresiasi sastra, anak diharapkan mampu menjadi pribadi yang mandiri yang tidak menggantungkan diri pada orang lain. Kegiatan apresiasi diharapkan dapat menstimulus anak anak dalam mengerjakan dan melaksanakan tugas tanpa tergantung pada orang lain. Anak bisa menyelesaikan permasalahan secara bijak, menjadi pribadi yang tangguh dan tidak mudah menyerah. Kreatif adalah suatu kemampuan umum untuk menciptakan suatu yang baru, sebagai kemampuan untuk memberikan gagasan-gagasan baru yang dapat diterapkan dalam pemecahan masalah, atau sebagai kemampuan untuk melihat hubungan-hubungan baru antara unsur-unsur yang sudah ada sebelumnya (Kurniawan, 2013: 140). Kreatif berarti dapat meningkatkat kualitas diri dengan meningkatkan kreatifitas. Kreatifitas untuk menciptakan hal yang baru. Inovatif adalah cara berpikir dan melakukan sesuatu secara kenyataan atau logika untuk menghasilkan cara atau hasil baru dan termutakhir dari apa yang telah dimiliki. Mampu menciptakan sesuatu yang unik dan juga berbeda agar mempunyai nilai jual yang tinggi. Berorientasi pada penemuan baru dengan melihat kebutuhan masyarakat, pandai membaca peluang. Dalam menghadapi persaingan ekonomi global yang semakin kompleks, maka kreativitas menjadi hal yang utama dalam menciptakan keunggulan kompetitif. Dunia global memerlukan sumber daya manusia yang kreatif dan inovatif. Untuk menjadi seorang wirausaha, sikap mental yang tangguh ditunjang dengan kompetensi yang tinggi dan penuh perhitungan sangat membantu keberhasilan dalam berwirausaha.
338
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Selanjutnya akan dibahas mengenai cerpen anak yang berjudul “Laptop Si Calon Penulis”, di mana akan dianalis berdasakan nilai pendidikan karakternya. Cepen anak ini berisi mengenai perjuangan seorang anak dalam mewujudkan impiannya. Seorang anak yang terus berjuang mengembangkan bakatnya untuk merubah hidupnya. Hasil dan Pembahasan Istilah karakter dapat dimaknai sebagai kualitas individu yang menjadi ciri seseorang atau kelompok dalam masyarakat. Dalam konteks pendidikan, karakter merupakan nilai-nilai yang unik. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan siswa agar dapat member keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati (Rencana Aksi Nasional Pendidikan Karakter, Kemendiknas 2010-2014).
Peran pembelajaran bahasa
Indonesia diharapkan dapat membantu siswa mengenal dirinya, budaya, bernegosiasi dalam kehiduan bermasyarakat, dan menggunakan kemampuan analitis dan imaginatif yang dalam dalam diri siswa. Salah satu tujuan mata pelajaran bahasa Indonesia yaitu agar peserta didik memiliki kemampuan menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperluas budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Nilai merupakan daya dorong yang melandasi sikap dan perilaku; dan nilai-nilai yang terpatri dalam diri kita melalui pengalaman, pendidikan, dan pengorbanan, menjadi nilai intrinsik yang melandasi sikap dan berperilaku kita. Kenyataannya, pendidikan nilai karakter di sekolah selama ini baru mencapai pengenalan norma atau nilai-nilai, belum pada internalisasi dan implementasi nilai dalam kehiduan sehari-hari. Prinsip-prinsip pengembangan nilai pendidikan karaker melalui pembelajaran bahasa Indonesia. (Kemendikbud, 2012: 9-12) 1. Berklanjutan berarti proses implementasi dan pengembangan nilai karakter merupakan sebuah proses panjang dnan berkelanjutan, mulai dari peserta didik masuk sampai selesai dari suatu satuan pendidikan, dari lingkungan keluarga, sekolah berlanjut ke ligkungan masyarakat. 2. Menyeleruh berarti proses implementasi dan pengembangan pendidikan karakter tidak hanya melalui pembelajaran di kelas, tetapi juga melalui ekstrakurikuler, pengembangan budaya sekolah, dan peningkatan peran serta masyarakat. 3. Nilai tidak hanya diajarkan tapi dipraktikan melalui peneladanan dan pembiasaan. 4. Partisipasi, aktif, dan menyenangkan. Proses penanaman nilai melalui pembelajaran dilakukan secara partisipatif, aktif dan menyenangkan. 339
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
5. Latihan dan pembiasaan. 6. Keteladanan 7. Keterkaitan. Pendidikan karakter pada intinya bertujuan untuk: 1) membentuk bangsa yang tangguh; 2) kompetitif; 3) beakhlak mulia; 4) bermoral; 5) bertoleran; 6) bergotongroyong; 7) berjiwa patriotik; 8) berkembang dinamis; 9) berorientasi ilmu pengetahuanan teknologi. Pendidikan karakter berfungsi, sebagai berikut: 1) menggambarkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik; 2) memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur; 3) meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia. 18 Nilai Pendidikan Karakter No 1 1
2
Nilai Karakter yang Deskripsi Prilaku Dikembangkan 2 3 Nilai karakter dalam Berkaitan dengan nilai ini, pikiran, perkataan, dan hubungannya dengan Tuhan tindakan seseorang yang diupayakan selalu Yang Maha Esa (Religius). berdasarkan pada nilai-nilai ketuhanan dan/atau ajaran agamanya. Nilai karakter dalam hubungannya dengan diri sendiri yang meliputi; Jujur Merupakan perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, baik terhadap diri dan pihak lain. Bertanggung jawab Merupakan sikap dan perilaku seseorang untuk melakanakan tugas dan kewajibannya 340
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
3
4
sebagaimana yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), Negara dan Tuhan YME. Bargaya hidup sehat Segala upaya untuk menerapkan kebiasaan yang baik dalam menciptakan hidup yang sehat dan menghindarkan kebiasaan buruk yang dapat mengganggu kesehatan. Disiplin Merupakan suatu tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. Kerja keras Merupakan suatu perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan guna menyelesaikan tugas (belajar/pekerjaan) dengan sebaik-baiknya. Percaya diri Merupakan sikap yakin akan kemampuan diri sendiri terhadap pemenuhan ketercapaiannya setiap keinginan dan harapannya. Berjiwa wirausaha Sikap dan perilaku yang mandiri dan pandai atau berbakat mengenali produk baru, menentukan cara produksi baru, menyusun operasi untuk pengadaan produk baru, memasarkannya, serta mengatur permodalan operasinya. Berpikir logis, kritis, kreatif, Berpikir dan melakukan sesuatu secara kenyataan dan inovatif atau logika untuk menghasilkan cara atau hasil baru dan termutakhir dari apa yang telah dimiliki. Mandiri Suatu sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. Ingin tahu Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari apa yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. Cinta ilmu Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap pengetahuan. Nilai karakter dalam hubungannya dengan sesame Sadar akan hak dan Sikap tahu dan mengerti serta melaksnakan apa kewajiban diri dan orang yang menjadi milik/hak diri sendiri dan orang lain. lain serta tugas/kewajiban diri sendiri serta orang lain. Patuh pada aturan-aturan Sikap menurut dan taat terhadap aturan-aturan sosial. berkenaan dengan masyarakat dan kepentingan umum. Menghargai karya dan Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya prestasi orang lain. untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat dan mengakui dan menghormati keberhasilan orang lain. Santun Sifat yang halus dan baik dari sudut pandang tata bahasa maupun tata perilakunya ke semua orang. Demokratis Cara berpikir, bersikap dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. Nilai karakter dalam Sikap dan tindakan yang selalu berupaya 341
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
hubungannya lingkungan
dengan mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi dan selalu ingin memberi bantuan bagi orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. Nilai kebangsaan Cara berpikir, bertindak, dan wawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan Negara diatas kepentingan diri dan kelompoknya. Nasionalis Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsanya. Menghargai keberagaman Sikap memberi respek/hormat terhadap berbagai macam hal baik yang berbentuk fisik, sifat, adat, budaya, suku, dan agama.
Manfaat Sastra Anak Kesesuaian dalam memilih satra sebagai bacaan anak akan memberikan manfaat yang dapat dirasakan anak. Manfaat sastra anak menurut Ampera (2010: 12-13), yaitu : 1. Anak akan memperoleh kesenangan dan mendapatkan kenikmatan ketika membaca atau mendengarkan cerita yang dibacakan untuknya. 2. Anak dapat mengembangkan imajinasinya. 3. Anak memperoleh pengalaman yang luar biasa. 4. Anak dapat mengembangkan intelektualnya. 5. Kemampuan berbahasa anak akan meningkat. 6. Anak akan lebih memahami kehidupan sosial. 7. Anak akan memahami nilai keindahan. 8. Anak akan mengenal budaya, Hubungan Perkembangan Anak dengan Sastra Secara umum, periode perkembangan kognitif manusia menurut Piaget dalam Kurniawan (2013: 40) adalah sebagai berikut: Periode I
: Kepandaian Sensorik-Motorik (dari lahir sampai 2 tahun)
Periode II
: Pikiran-Pra Operasional (2 sampai 7 tahun)
Periode III
: Operasi-Operasi Berpikir Konkrit (7 sampai 11 tahun)
Peride IV
: Operasi-Operasi Berpikir Formal (11 sampai dewasa)
Oleh karena itu, pembentukan nilai pendidikan karakter yang mandiri, kreatif, dan inovatif perlu ditanamkan sejak dini. Penanaman pribadi yang mandiri sehingga mampu berkreasi dan berinovasi harus dilakukan sedini mungkin. Pembentukan nilai pendidikan 342
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
karakter tersebut membutuhkan media yang tepat, yaitu dengan mendongeng, membaca cerpen anak untuk menstimulus perkembangan kemampuan berpikir secara sistematis. Berdasarkan perkembangan kognitif menurut Piaget,
pada periode III anak-anak mengembangkan
kemampuan berpikir sistematis, namun hanya ketika mereka dapat mengacu pada objek-objek dan aktivitas-aktivitas konkret. Sinopsis Laptop Si Calon Penulis Mengishakan seorang anak yang masih duduk dibangku Sekolah Dasar, bernama Najwa Khairunnisa. Najwa berasal dari keluarga yang sederhana, ayahnya bekerja sebagai pegawai kantoran biasa. Najwa mempunyai sahabat bernama Gina. Gina berasal dari keluarga kaya, namun baik hati dan selalu menolong Najwa dalam kesulitan. Gina selalu memberikan semanagat pada Najwa untuk selalu berkarya. Najwa bercita-cita menjadi seorang penulis terkenal. Dia terpakau dengan karya-karya penulis terkenal, selain itu juga dari menulis bisa mengahsilkan uang. Najwa akan mengikuti lomba menulis yang dikirimkan lewat pos atau melalui internet. Waktu pengumpulan cerita untuk lombanya tinggal 2 minggu lagi. Sedangkan komputer yang ada di rumahnya selalu digunakan oleh ayah untuk mengerjakan pekerjaan kantor yang belum terselesaikan. Gina menawarkan bantuan pada Najwa, untuk memakai laptop pribadinya. Namun, Najwa menolak karena dia terlalu sering menggunakan laptop Gina. Dia memilih mengerjakan di warnet dalam menyelesaikan cerita yang akan dilombakan. Najwa ingin sekalai mempunyai laptop. Jika ia memenangkan lomba menulis ini, rencananya uang yang ia daptkan akan dipergunakan untuk membeli laptop. Najwa selalu menyisihkan uang jajannya untuk ditabung. Kalau hanya mengandalkan uang yang disisihkannya setiap hari dari uang sakunya rasanya mustahil. Dia memikirkan cara agar cepat mendapatkan uang. Dia memutuskan untuk berjualan. Najwa membuat tempat pensil dan dompet, ternyata hasilnya pun lumayan. Pengumuman pemenang lomba diumumkan melalui internet. Najwa merasa kecewa karena namanya tidak berada di urutan juara 1, 2, dan 3 lomba menulis cerpen, ia masuk ke dalam 5 besar pemenang hiburan. Hadiah uang sebesar Rp. 500.000, 00 dimaukkan ke dalam rekeningnya untuk membeli laptop. Beberapa bulan kemudian, uang Najwa sudah terkumpul lebih dari Rp. 2.000.000, 00. Itu sudah cukup untuk membeli sebuah laptop yang sedang diskon. Walaupun kurang bagus, yang penting bisa dipakai. Seminggu kemudian, ia mendapat surat dri redaksi majalah anakanak. Ternyata karyanya kemarin, diterima dan akan dimuat. Ia diminta membuat cerpen lagi untuk majalah itu. ia juga mulai menulis novel dan mengirimkan ke sebuah oenerbit. Sekarang, 343
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
ia sudah membuat 4 judul buku. Juga sudah banyak yang mengenalnya. Akirnya impian Najwa terwujud, ia mempunyai peluang untuk menjadi penulis terkenal di Indonesia.
No 1
2
3
Nilai Pendidikan Karakter dalam Cerpen “Laptop Si Calon Penulis” Karya Nur Alfia Rahmah Nilai Pendidikan Teks Analisis Karakter dalam Teks Nilai Karakter dalam Allahu Akbar, allahu Akbar Kalimat disamping hubungannya dengan … Azan magrib mencerminkan bahwa, Tuhan Yang Maha Esa berkumandang. Ah, tak ketika suara adzan (Religius) terasa, hari sudah hampir berkumandang Najwa malam. Setelah menyimpan akan berbegas pulang. Hal kerangkaku ke dalam ini menandakan keimanan flasdisk, aku segera pulang. dan ketaqwaannya terhadap Tuhan Yang maha Esa. Aku melepas kerudungku Tokoh aku “Najwa” dan bergabung dengan mengenakan kerudung adikku. dalam kesehariannya. Hal ini sesuai dengan apa yang diperintahkan Tuhan Yang Maha Esa untuk menutup aurat yaitu dengan berkerudung. “Kakak sholat dulu ya, lalu Kewajiban menunaikan makan malam! Mau sholat merupakan tindakan berjamaah bersama ibu?” yang sesuai dengan nilaiTanya ibuku. nilai atau ajaran agamanya (islam). Mandiri “Tidak usah! Aku tidak enak Kalimat disamping jika harus memakai mencerminkan bahwa, laptopmu terus,” tolakku tokoh aku tidak mau lembut. merepotkan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Aku berusaha memecahkan persoalannya sendiri tanpa tergantung kepada orang lain. Hmmm … sebaiknya aku ke Perilaku yang ditunjukkan warnet,” aku berkata sendiri. aku merupakan bentuk kemandirian dengan mencari jalan lain untuk menyelesaikan tugasnya. Kerja keras Aku mulai mengumpulkan Kalimat disamping, uang. Sehari, dua hari, merupakan upaya seminggu, akhirnya berlalu. sungguh-sungguh yang Aku sudah menyisihkan dilakukan aku untuk uang jajan sehari-hari. mengumpulkan uang. Ia rela meyisihkan uang jajannya untuk ditabung. Perilaku menyisihkan uang jajan merupakan wujud kerja keras yang dilakukan 344
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Biasanya, aku membeli makanan lain selain untuk makan siang di sekolah. Misalnya, membeli makanan ringan setelah makan mie ayam. Tetapi, sekarang tidak.
4
Berjiwa wirausaha
“Kucoba dulu segini, mungkin bisa laku. Aku juga akan menerima pesanan, ucapku gembira.
Aku memutuskan untuk berjualan. Aku akan membuat tempat pensil dan dompet untuk dijual.
5
6
7
Berpikir logis
Aku memang bercita-cita menjadi seorang penulis terkenal sejak kecil. Aku begitu terpukau dengan karya-karya penulis terkenal itu. aku, dengar jika jadi penulis, bisa menghasilkan uang dari karyanya. Aku ingin uang itu nanti untuk membantu keluargaku. Sadar akan hak dan “Bagaimana kalau pakai kewajiban diri dan laptopku saja?” tawar Gina orang lain yang memang mempunyai laptop pribadi.
Menghargai karya dan “Tapi, kamu sebaiknya prestasi orang lain mengikuti lomba itu! kalau kamu menang, ka nada hadiah uangnya juga. Lumayan lho, hadiahnya, 5 juta rupiah! Lalu, karyamu juga akan dimuat di sebuah buku anak-anak,”bujuk Gina.
untuk memenuhi keinginannya. Proses untuk tidak membeli makanan ringan setelah makan mie ayam merupakan kerja keras yang dilakukan tokoh aku. Ia berusaha menahan dirinya untuk tidak membeli makan ringan, agar uang yang dia butuhkan cepat terpenuhi. Perilaku yang ditunjukkan aku dalam kalimat disamping merupakan perilaku kemandirian dalam berwirausaha memasarkan sebuah produk. Perilaku yang mandiri untuk memproduksi tempat pensil dan dompet, serta memasarkannya, merupakan bentuk jiwa wirausaha yang tertanam dalam tokoh aku. Tokoh aku bercita-cita ingin menjadi penulis dengan bakat yang ada dalam dirinya. Ia berpikiran bahwa dengan menjadi penulis ia akan menghasilkan banyak uang, sehingga dapat membantu keuangan keluarganya. Gina menyadari akan kewajibannya untuk membantu teman yang sedang dalam kesulitan. Gina berusaha menawarkan laptopnya kepada Najwa. Kalimat disamping menunjukkan, betapa gigihnya Gina membujuk Najwa untuk mengikuti lomba menulis cerpen. Gina mempunyai keyakinan bahwa tulisan Gina layak untuk dimuat di sebuah buku. Perilaku ini menunjukkan sikap menghargai karya orang lain. 345
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
8
Santun
Komputer di rumahku memang ada satu, dan sering dipakai untuk keperluan kerja ayah. Aku juga hanya bisa memakainya saat ayahku tidak sibuk. “Jangan begitu dong, nanti laptop impianmu tidak terbeli. Kan, sayang! Mungkin saja, beberapa bulan ke depan, harga laptop akan turun. Jadi, kamu lebih mudah untuk membelinya!” “terima kasih, Gina … kamu memang sahabat terbaikku,” ucapku sambil mengusap air mata yang tiba-tiba mengalir.
Sikap santun berdasarkan perilaku dengan kesabarannya menggunakan komputer jika ayahnya tidak sibuk merupakan wujud santun tokoh aku. Sikap halus ditunjukkan Gina berdasarkan sudut pandang tata bahasa tercermin dalam kalimat disamping. Gina berusaha memberikan semangat dengan kata-kata yang halus. Sikap halus ditunjukkan oleh tokoh aku berdasarkan sudut pandang tata bahasa dengan mengucapkan terima kasih. Tokoh aku rela mengorbankan uang tabungannya untuk membantu Gina. Wujud perilaku rela berkorban yang lebih mementingkan kepentingan orang lain daripada diri sendiri.
“Biaya administrasi Gina kurang Rp. 2.000.000! Ayah lupa membawa uang lagi. Kalau tidak segera dibayar, Gina akan dikeluarkan!” serunya. Aku menawarkan uang buat membeli laptopku untuk dipakai dulu membayar biaya administrasi Gina. Aku ingin sekali menolong sahabat yang telah banyak menolongku. Berdasarkan hasil analisis tersebut, anak diharapkan mampu berpikir secara sistematis dan logis. 9
Rela berkorban
Anak bisa memahami karakter yang dibentuk oleh penulis sebagai cerminan hidup sehari-hari. Sehingga, anak tidak tergantung pada orang lain, mempunya daya kreativitas yang tinggi sehingga mampu menciptakan hal-hal yang baru. Tentunya dengan didasari dengan keimanan kepada Tuhan Yang Esa dan menghargai orang lain sebagai identitas dari bangsa Indonesia.
Simpulan Pendidikan karakter merupakan suatu kebutuhan mendasar dalam proses berbangsa. Bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki karakter dan jati diri yang kuat untuk 346
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
mengahadapi persaigan global. Penddikan karakter di Negara kita belum berjalan optimal. Hal ini disebabkan oleh tiga aspek yaitu pola asuh maupun gaya hidup yang diajarkan orang tua, juga peran pendidikan karakter yang ditanamkan di lingkungan sekolah. Hal ini harus berjalan secara beriringan baik di lingkungan keluarga maupun di lingkungan sekolah. Pelaksanaan pendidikan karakter perlu direvitalisasi sehingga mampu mendukung terbentuknya karakter positif siswa sebagaimana yang diharapkan dalam tujuan pendidikan nasional. Peran keluarga dalam pembentukkan karakter anak yang menyangkut pola asuh dan gaya hidup sama pentingnya. Penanaman gemar membaca perlu diterapkan sedini mungkin pada anak. Sehingga dengan membaca cerpen, diharapkan mampu menanamkan nilai pendidikan karakter dalam diri anak. Bukan hanya sekedar memahami nilai-nilai moral saja tetapi bisa menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pada usia 7-11 tahun anak sudah memiliki kemampuan untuk menguasai keterampilam berbahasa seperti, menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Keterampilan tersebut merupakan bekal dalam memahami sastra. bahkan, pada usia ini, dapat dikatakan jika anak-anak lebih menyukai dunia sastra dibandingkan dengan berhitung. Hal ini terjadi karena sastra anak disesuaikan berdasarkan pengetahuan dan pengalaman anak. Perkembangan intelektual dan emosional anak ditentukan oleh karakter kepribadian dan lingkungan. Ini berarti bahwa jati diri anak yang sudah mempunyai karakteristik pengetahuannya sendiri, juga dipengaruhi oleh pendidikan di sekolah, keluarga, dan lingkungan sosialnya.
Daftar Pustaka Ampera, Taufik.2010.Pengajaran sastra Teknik Mengajar sastra Anak Berbasis aktivitas.Bandung: Widya Padjadjaran. Izzati, Sri.2014.Kecil-Kecil Punya Karya: Sejuta Bibit Impian.Bandung: Mizan. Kemendikbud.2012.Panduan Integrasi Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar.Kemendikbud. Kurniawan, Heru. 2013. Sastra Anak dalam Kajian Strukturalisme, Sosiologi, Semiotika, hingga Penulisan Kreatif. Yogyakarta: Graha Ilmu. Kurniawan, Syamsul.2013.Pendidikan Karakter.Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Nurgiyantoro, Burhan.2013.Sastra Anak Pengantar Pemahaman Dunia Anak.Yogyakarta: 347
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Gajah Mada University Press.
348
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
INFERENSI PRAGMATIK TERHADAP LIRIK “JUPE PALING SUKA 69” DAN “BELAH DUREN” YANG DIPOPULERKAN OLEH JULIA PEREZ
Rizki Hidayatullah Nur Hikmat dan Siti Hasti Universitas Pendidikan Indonesia
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi maksud tersirat dari penggunaan lirik lagu “Jupe Paling Suka 69” dan “Belah Duren” dari sudut pandang Pragmatik. Dalam penelitian ini, kerangka analisis Pragmatik meliputi dua lapisan analisis: implikatur dan inferensi. Analisis implikatur dan inferensi pragmatik digunakan untuk mengeksplorasi lirik lagu “Jupe Paling Suka 69” dan “Belah Duren” yang dipopulerkan oleh Julia Perez. Data dalam penelitian ini berupa lirik lagu “Jupe Paling Suka 69” dan “Belah Duren” yang dipopulerkan oleh Julia Perez. Kedua lagu tersebut sempat populer dan diberitakan mendapat pencekalan dari KPI (Komisi penyiaran Indonesia) karena berpotensi diinterpretasi sebagai tuturan porno. Inferensi Pragmatik mutlak diperlukan oleh mitra tutur dalam upaya mengungkap implikatur percakapan dari lirik lagu “Jupe Paling Suka 69” dan “Belah Duren”. Dalam proses menyimpulkan maksud, mitra tutur perlu mengubungkan tuturan dengan konteks dan koteks dari tuturan tersebut. Hasil analisis menunjukkan bahwa tuturan dari lirik lagu “Jupe Paling Suka 69” dan “Belah Duren” yang dipopulerkan oleh Julia Perez berpotensi diinterpretasi sebagai tuturan porno. Hal tersebut dilandasi dengan analisis terhadap konteks dan koteks tuturan tersebut. Kata kunci: jupe paling suka 69, belah duren, inferensi pragmatik
Pendahuluan Baik secara eksplisit maupun implisit, bahasa yang dibangun dalam bentuk lirik lagu menyimpan pesan dari para penciptanya. Pesan yang terkandung dalam sebuah lirik pun bervariasi. Mulai dari ungkapan rasa kesal, senang, sedih, hingga moral dan sosial yang disampaikan, baik secara eksplisit maupun implisit kepada para pendengarnya. Selain berguna sebagai salah satu media penyampai pesan, lirik lagu pun dapat berguna sebagai media hiburan. Hal ini lah yang membuat musik terus mengalami perkembangan dari masa ke masa. Begitu pun dengan jenis musik, seperti pop, keroncong, dangdut, dan sebagainya. Dangdut merupakan salah satu jenis musik yang tidak sedikit diminati oleh masyarakat, khususnya di Indonesia. Dahulu, musik dangdut dimainkan hanya untuk hiburan semata. Alat musik dan gerakan ketika menyanyikan pun masih sederhana. Selain itu, dahulu musik dangdut juga digunakan sebagai alat dakwah. Salah satu musisi dangdut, seperti Rhoma Irama, yang juga dikenal sebagai raja dangdut, telah menciptakan banyak lagu dangdut bertemakan keislaman dan kemanusiaan. Saat ini, jauh setelah musik dangdut berkembang khususnya di Indonesia, 349
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
dangdut ternyata banyak menuai perdebatan. Salah satunya, pelarangan panggung dangdut dalam perayaan Sekaten di Yogyakarta. Pelarangan tersebut terjadi akibat gaya panggung penyanyi, khususnya penyanyi wanita yang dinilai terlalu seronok dan berselera rendah sehingga tidak sesuai dengan misi Sekaten sebagai suatu perayaan keagamaan. Tidak hanya itu, saat ini pun masih marak pemberitaan di media massa, baik cetak maupun elektronik mengenai lirik lagu berkonten porno yang tersirat dalam lirik lagu dangdut. Hal tersebut berpotensi memicu terjadinya pencekalan terhadap para penyanyi maupun musik dangdut yang dianggap dapat memberikan pengaruh negatif bagi para pendengarnya. Hal tersebut terjadi, salah satunya pada lirik lagu dangdut dalam album “Kamasutra” yang dipopulerkan oleh Julia Perez. Penyanyi yang bernama asli Yuli Rachmawati ini sempat heboh diberitakan mendapat pencekalan dari sejumlah daerah di Indonesia. Pencekalan tersebut muncul karena lagu-lagu yang dibawakan, seperti “Belah Duren” dan “Jupe Paling Suka 69” sempat menuai kecaman dari bebagai kalangan masyarakat. Kecaman tersebut lahir dari penggunaan lirik lagu yang berpotensi diinterpretasi sebagai tuturan porno sehingga dirasa dapat memberikan pengaruh negatif bagi para pendengarnya. Dari paparan tersebut, peneliti tertantang menelaah maksud tuturan dari lirik lagu dangdut dalam album “Kamasutra” yang dipopulerkan oleh Julia Perez melalui perspektif Pragmatik. Levinson (1987: 5) memaparkan, Pragmatik meupakan kajian mengenai penggunaan bahasa atau kajian bahasa dengan perspektif fungsional. Artinya, setiap fenomena kebahasaan yang diteliti secara deskriptif dijelaskan tanpa menghakimi benar dan salahnya suatu fenomena kebahasaan tersebut. Selain itu, dalam upaya mengungkap maksud dari sebuah tuturan, peneliti menggunakan inferensi pragmatik. Inferensi pragmatik merupakan pengetahuan tambahan yang digunakan oleh mitra tutur untuk mengungkap implikatur percakapan (maksud yang tersirat dari sebuah ujaran penutur) yang dikombinasikan dengan konteks tuturan (Cummings, 1999:105).
Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dalam proses pengumpulan dan penganalisisan data. Sudaryanto (1986: 62) memaparkan, penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan fakta dan fenomena yang memang secara empiris hidup pada penutur-penuturnya, sehingga yang dihasilkan atau yang dicatat berupa perian bahasa yang biasa dikatakan sifatnya seperti potret.Dalam pendeskripsian data-data yang telah dikumpulkan, peneliti melakukannya tanpa mempertimbangkan benar atau salahnya penggunaan bahasa. Sementara itu, analisis yang digunakan di dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif. Penelitian kualitatif bertujuan untuk memahami fenomena kebahasaan yang tengah diteliti. Oleh sebab itu, analisis kualitatif berfokus pada penunjukan makna, deskripsi, penjernihan, dan penempatan data pada konteksnya masing-masing dan sering kali melukiskannya dalam bentuk kata-kata daripada angka-angka (Mahsun, 2007: 257). Dalam 350
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
penelitian kualitatif instrumennya adalah orang atau human instrument, yaitu peneliti itu sendiri (Sugiyono, 2008:8). Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti adalah instrumen kunci.
Pembahasan Unit analisis dalam penelitian ini adalah tuturan yang terdapat dalam lirik lagu dangdut pada album “Kamasutra” yang berpotensi diinterpretasi sebagai tuturan porno. Mengingat pisau analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Pragmatik maka variabel-variabel yang berpengaruh terhadap lahirnya interpretasi porno dalam tuturan (dalam hal ini unit analisis) menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Variabel tersebut berkaitan dengan Speaker, Utterance, Hearer, dan Context (Bachari, 2012: 49). Dalam sudut pandang Pragmatik, sebuah tuturan tidak akan bermakna apa-apa apabila komponen-komponen yang terkait dengan lahirnya interpretasi porno dalam tuturan tersebut (Speaker, Uttrance, Hearer, Context) diabaikan atau tidak teridentifikasi. Analisis Implikatur dan Inferensi Pragmatik Lirik Lagu “Belah Duren” Mey (1993: 45) mengatakan, implikatur berasal dari kata kerja ‘to imply’ yang berarti menyiratkan atau melipat sesuatu ke dalam sesuatu yang lain. Hal tersebut karena ‘to imply’ berasal dari bahasa Latin ‘plicare’ yang berarti melipat, sehingga sesuatu yang dilipat tersebut harus dibuka agar dapat dipahami. Oleh karena itu, sebuah implikatur percakapan atau sesuatu yang tersirat dalam percakapan yaitu sesuatu yang dibiarkan implisit dalam penggunaan bahasa sebenarnya. Implikatur percakapan adalah implikasi pragmatik yang terdapat di dalam percakapan yang timbul sebagai akibat terjadinya pelanggaran terhadap salah satu atau lebih dari PKS (Bachari, 2010:33). Dalam menginterpretasi maksud tuturan dari lirik lagu, terlebih dahulu dianalisis implikatur dari lirik lagu tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengeskplorasi adanya pelanggaran PKS yang memicu lahirnya implikatur. Berikut merupakan bentuk penggunaan lirik dalam lagu “Belah Duren” yang berpotensi menimimbulkan implikatur: makan duren di malam hari paling enak dengan kekasih
(1)
dibelah bang dibelah enak bang silahkan dibelah
(2)
jangan lupa mengunci pintu nanti ada orang yang tau
(3)
pelan-pelan dibelah enak bang silahkan dibelah
(4)
reff: semua orang pasti suka belah duren
(5)
apalagi malam pengantin sampai pagi pun yo wis ben
(6)
yang satu ini durennya luar biasa
(7) 351
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
bisa bikin bang gak tahan sampai-sampai ketagihan
(8)
kalo abang suka tinggal belah saja, kalo abang mau tinggal bilang saja (9) jangan lupa mengunci pintu nanti ada orang yang tau
(10)
pelan-pelan dibelah enak bang silahkan dibelah
(11)
repeat reff makan duren di malam hari paling enak dengan kekasih
(12)
dibelah bang dibelah enak bang silahkan dibelah
(13)
Dalam lagu “Belah Duren” terdapat tiga belas larik. Pada tiap lariknya akan dianalsis pelanggaran PKS yang berpotensi menimbulkan implikatur percakapan. Dengan memperhatikan PKS sebagai pintu masuk untuk mengungkap implikatur, lirik lagu “Belah Duren” berpotensi diinterpretasi sebagai tuturan porno. Dari korpus tersebut, terlihat penggunaan bentuk belah duren sebagai judul lagu yang dihubungkan dengan bentuk malam hari paling enak dengan kekasih¸ seolah menyiratkan maksud yang ingin disampaikan melalui simbol “belah duren”. Hal ini tentunya melanggar salah satu dari PKS, yaitu maksim cara. Karena arti dari “belah duren” yang dimaksudkan oleh penutur dapat dianggap menimbulkan ketaksaan atau memiliki makna lebih dari satu. Pelanggaran maksim cara pada lagu tersebut juga berpotensi menimbulkan tanda tanya dibenak mitra tutur. Akan timbul pertanyaan, mengapa makan duren harus di malam hari dan paling enak dengan kekasih? Padahal, dalam kenyataannya, kegiatan membelah buah durian dapat dilakukan dengan siapa saja dan kapan saja, tidak perlu dengan kekasih apalagi pada malam hari. Penggunaan bentuk makan duren ketika dihubungkan dengan bentuk paling enak dengan kekasih pada tuturan (1) juga melanggar maksim relevansi. Tidak relevan jika bentuk makan duren haruslah dihubungunkan bentuk dengan kekasih, jika makan duren yang dimaksud pada tuturan (1) bermakna memakan buah durian. Beda halnya, jika makan duren yang dimaksud bermakna lain, hal ini tentu memicu lahirnya sebuah implikatur. Pelanggaran terhadap maksim cara dan maksim relevansi juga terjadi pada tuturan (3) dan (4). Sama halnya dengan tuturan sebelumnya pada tuturan (3) pun terjadi pelanggaran maksim cara. Hal tersebut dapat dibuktikan dari penggunaan bentuk jangan lupa mengunci pintu nanti ada orang yang tau. Bentuk tersebut akan menimbulkan ketaksaan di benak mitra tutur karena terjadi ketidakjelasan maksud dari tuturan tersebut. Hal ini tentunya akan menimbulkan pertanyaan di benak mitra tutur, mengapa harus mengunci pintu dan orang tidak boleh tahu? Padalah, kegiatan belah duren secara konvensional bebas dilakukan di mana saja tidak harus mengunci pintu dan melarang orang untuk tau. Terlebih dengan hadirnya tuturan (4) yang menyebabkan terjadinya pelanggaran terhadap maksim relevansi. Hal tersebut terjadi karena penggunaan bentuk pelan-pelan dibelah enak bang silahkan dibelah pada tuturan (4)
352
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
tidak memiliki hubungan yang jelas dengan tuturan (3) sehingga memicu terjadi ketaksaan dibenak mitra tutur. Pada tuturan (5) dan (6) terlihat pernyataan semua orang pasti suka belah duren. Padalah dalam kenyataannya, ada orang yang tidak menyukai belah duren. Hal tersebut jelas melanggar maksim kualitas karena tidak ada bukti kuat yang menjelaskan bahwa semua orang pasti suka belah duren. Ditambah lagi muncul bentuk malam pengantin sampai pagi pun yo wis ben yang dihubungkan dengan belah duren sehingga terjadi pelanggaran terhadap maksim relevansi. Karena penyataan dalam lirik tersebut tidak relevan jika belah duren harus dihubungkan dengan malam pengantin sedangkan bentuk belah duren yang konvensional di masyarakat tidak harus dilakukan pada malam pengantin, terlebih dilakukan sampai pagi. Pelanggaran maksim ini tentunya akan menimbulkan implikatur di benak mitra tutur. Dari tuturan (7) dan (8), terlihat pernyataan mengenai duren yang luar biasa dan dapat membuat ketagihan. Hal ini tentunya dapat menimbulkan makna ambigu dari belah duren yang dimaksud dalam lagu tersebut. Karena penggunaan bentuk durennya luar biasa berpotensi membuat mitra tutur bertanya-tanya, duren apa yang luar biasa? Ditambah lagi, terlihat pernyataan mengenai duren yang membuat orang ketagihan. Tentunya akan kembali timbul pertanyaan, duren apa yang membuat orang ketagihan? Pertanyaan tersebut timbul dari penggunaan bentuk yang sulit ditangkap maksudnya oleh mitra tutur sehingga menimbulkan implikatur. Dari tuturan (9), terlihat penawaran penutur yang mempersilahkan seseorang (abang) untuk membelah saja dan jika mau tinggal bilang saja. Pada tuturan (9) terjadi pelanggaran maksim cara karena bentuk belah dan mau dari tuturan (9), belum jelas rujukannya, sehingga dapat menimbulkan ketaksaan di benak mitra tutur. Ketaksaan tersebut, dapat dibuktikan dengan timbulnya pertanyaan, apa yang dibelah oleh Abang? Apa yang dimau oleh Abang? Dari pentanyaan tersebut, tentunya mitra tutur memiliki anggapan yang bermacam untuk menyimpulkan maksud dari tuturan pada larik (9). Dari analisis implikatur lirik lagu “Belah Duren”, terjadi pelanggaran PKS yang ditandai dengan pelanggaran maksim. Seperti pelanggaran maksim cara, maksim relevansi, dan maksim kualitas. Pelanggaran maskim-maksim tersebut, menimbulkan lahirnya implikatur percakapan. Mitra tutur memerlukan inferensi pragmatik sebagai pengetahuan tambahan dalam upaya mengungkap implikatur percakapan dari lirik lagu “Belah Duren”. Gagasan inferensi membentuk batu pijakan bagi pragmatik (Cummings, 105:1999). Inferensi Pragmatik mutlak diperlukan oleh mitra tutur dalam upaya mengungkap implikatur percakapan. Melalui inferensi pragmatik, tuturan Jupe dalam lirik lagu “Belah Duren” dapat disimpulkan bahwa secara implisit, tuturan Jupe berpotensi memiliki implikasi porno, yaitu menjelaskan aktivitas berhubungan seks, yang secara disimbolkan dengan “belah duren”. Bentuk belah duren secara leksikal memiliki makna kegiatan membelah buah durian. Akan 353
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
tetapi, terjadi ketaksaan jika konteks belah duren dalam lirik lagu “Belah Duren” harus dikaitkan dengan malam pengantin, paling enak dengan kekasih, jangan lupa mengunci pintu nanti ada orang yang tau, sampai pagi pun yo wis ben dan lirik lain yang mengindikasi munculnya kesan porno. Kesan porno terhadap lagu “Belah Duren” juga didukung dengan fakta di luar lirik lagu tersebut. Sejak dipublikasikannya album “Kamasutra” pada tahun 2008, lagu pertama berjudul “Belah Duren” yang dibawakan oleh Jupe langsung menuai pro dan kontra dari masyarakat, khusunya di Indonesia. Hal tersebut dipicu dari bangunan lirik lagu yang dianggap masyarakat sebagai lirik porno serta berpotensi memberikan efek negatif bagi penikmatnya, sehingga dinilai menyalahi Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. Citra kontroversial Jupe sebagai orang yang menyanyikan sekaligus memopulerkan lagu ini, memang sulit dipisahkan. Aksi panggung dan cara berpakaian Jupe sebagai penyanyi memberi kesan porno di benak mitra tutur. Tidak hanya itu, nyanyian dibalut desahan dari Jupe ketika menyanyikan lagu ini berpotensi menambah kesan porno dari tuturan dalam lirik lagu “Belah Duren”.
Analisis Implikatur dan Inferensi Pragmatik Lirik Lagu “Jupe Paling Suka 69” Dalam lagu “Jupe Paling Suka 69” terdapat lima bait dan pada tiap baitnya, menyimpan maksud yang beragam. Kemunculan lagu ini serupa nasibnya seperti lagu “Belah Duren” yang juga menuai pro dan kontra dari masyarakat di Indonesia. Kontroversi dari lagu “Jupe Paling Suka 69” salah satunya muncul dari penggunaan bentuk gairah cinta 69 yang berpotensi diinterpretasi sebagai tuturan porno. Dalam menginterpretasi maksud tuturan dari lirik lagu, terlebih dahulu dianalisis implikatur dari lirik lagu tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengeskplorasi adanya pelanggaran terhadap PKS yang memicu lahirnya implikatur. Berikut merupakan pertautan lirik lagu “Jupe Paling Suka 69”: JUPE PALING SUKA 69 (Julia Perez) kau elus-elus tubuhku kau belai-belai rambutku terpejam-pejam mataku aduh aduh aduh nikmatnya duh aduh aduh asiknya desah indahmu menusuk kalbu
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
kau elus-elus tubuhku kau belai-belai rambutku oh yes sungguh nikmatnya oh yes sungguh bahagia
(7) (8) (9) (10)
354
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
suka suka jupe paling suka kasih sayangmu luar biasa gairah cinta 69
(11) (12) (13)
suka suka jupe paling suka kau buat aku tak berdaya gairah cinta pun membara
(14) (15) (16)
halus halus halusnya selembut sutra irama gaya kamasutra ala india
(17) (18)
Pada tuturan (1) dan (2) ditemukan terjadi pelanggaran PKS, yaitu pelanggaran terhadap maksim cara sedangkan pada tuturan (3) terjadi pelanggran maksim kuanitas. Tuturan (1) dan (2) melanggar maksim cara karena terjadi ketidakjelasan maksud sebuah tuturan. Ketidakjelasan tersebut terjadi karena penggunaan bentuk kau pada tuturan kau elus-elus tubuhku dan kau belai-belai rambutku, tidak secara jelas tergambar sosok “kau” yang dimaksud sehingga berpotensi menimbulkan ketaksaan dibenak mitra tutur. Kejelasan sebuah tuturan mutlak diperlukan agar mitra tutur dapat menangkap dengan mudah maksud dari tuturan tersebut. Pada tuturan (3) terjadi pelanggran maksim kuantitas karena tuturan tersebut seolah melebihlebihkan. Penggunaan bentuk terpejam-pejam mataku pada dasarnya terjadi akibat efek dari tuturan (1) dan (2), atau ketika “kau” melakukan aktivitas membelai dan mengelus sehingga si “aku” menjadi terpejam-pejam. Akan tetapi, bentuk terejam-pejam mataku tidaklah mutlak diperlukan hanya karena ingin menggambarkan efek dari tuturan sebelumnya. Pada tuturan (4) dan (5) terjadi pelanggaran terhadap maksim kuantitas. Tuturan (4) dan (5) yang berhubungan dengan tuturan sebelumnya juga terjadi pelanggaran terhadap maksim kuantitas. Hal tersebut dibuktikan dengan penggunaan bentuk aduh yang intensitasnya berlebihan. Karena dengan menyederhanakan tuturan menjadi aduh nikmatnya dan aduh asyiknya sudah cukup menyiratkan maksud yang ingin disampaikan kepada mitra tutur serta tidak akan mengubah makna dari tuturan sebelumnya. Pada tuturan (6) terlihat penggunaan bentuk desah indahmu. Bentuk tersebut berpotensi menimbulkan ketaksaan di benak mitra tutur karena terjadi ketidakjelasan mengenai maksud dari desah indahmu. Secara leksikal desah bermakna bunyi nafas. Pada tuturan tersebut, makna dari desah yang dimaksud menjadi kabur jika dihubungkan dengan bentuk indah. Karena akan sulit membayangkan desah indah yang dimaksud pada tuturan tersebut. Selain itu, terjadi pelanggaran maksim relevansi pada tuturan (6). Pelanggaran maksim relevansi terjadi karena terdapat penggunaan bentuk desah indahmu yang dihubungkan dengan menusuk kalbu. Pelanggaran maksim relevansi pada tuturan (6) berpotensi menimbulkan pertanyaan, seperti “Mengapa desahan bisa menusuk kalbu?”. Tuturan yang tidak relevan juga akan memicu lahirnya implikatur. Pada tuturan (9) dan (10) terjadi pelanggaran maksim kuantitas. Penggunaan bentuk oh yes pada tuturan (9) dan (10) menyebabkan terjadinya pelanggaran terhadap maksim kuantitas. 355
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Karena penggunaan bentuk oh yes pada tuturan (9) seolah melebih-lebihkan. Dengan menyederhanakan tuturan menjadi sunggu nikmatnya dan sungguh asyiknya sudah cukup menyiratkan maksud yang ingin disampaikan kepada mitra tutur serta tidak akan mengubah makna dari tuturan sebelumnya. Pada tuturan (11), (12), dan (13) terjadi pelaggaran terhadap maksim relevansi dan maksim cara. Pelanggaran terhadap maksim relevansi terjadi karena muncul bentuk gairah cinta 69 setelah tuturan (11) dan (12). Bentuk tersebut, jika diperhatikan tidak relevan dengan tuturan (11) dan (12). Pada tuturan (12) terdapat bentuk kasih sayangmu luar biasa yang dihubungan dengan bentuk gairah cinta 69 sehingga bepotensi menimbulkan keambiguan dari tuturan tersebut. Pada tuturan (13) juga terjadi pelanggaran terhadap meksim cara karena penggunaan bentuk gairah cinta 69 berpotensi menyebabkan ketakasaan. Ketekasaan tersebut muncul dari penggunaan bentuk 69 yang dihubungkan dengan bentuk gairah cinta. Ketaksaan pada tuturan tersebut dapat menimbulkan pertanyaan dibenak mitra tutur, “Seperti apa gairah cinta 69 yang dimaksud?”. Maksud dari bentuk gairah cinta 69 pada akhirnya berpotensi menjadi tidak jelas rujukannya sehingga memicu lahirnya implikatur. Pada tuturan (14), (15), dan (16) terjadi pelanggaran terhadap maksim cara, maksim kuantitas, dan maksim relevansi. Pada tuturan (14) terjadi pelanggaran terhadap maksim cara karena penggunaan bentuk suka pada tuturan sukasuka jupe paling sukayang disampaikan oleh penutur kepada mitra tutur, tidak jelas arahnya. Kesukaan penutur yang terdapat pada tuturan (14) sulit diketahui. Selain itu, pada tuturan (14) terjadi pelanggaran terhadap maksim kuantitas. Pelanggaran maksim kuantitas terjadi kerena penggunaan bentuk suka pada tuturan sukasuka jupe paling suka, digunakan secara berlebihan oleh penutur. Padahal, jika tuturan tersebut berubah menjadi jupe paling suka, makna sekaligus maksud yang disampaikan dari tuturan tersebut tidak akan berubah. Pelanggaran terhadap maksim relevansi terjadi pada tuturan (15). Karena tidak ada hubungan yang relevan antara tuturan (14), (15), dan (16). Pada tuturan (14) penutur menyebutkan rasa sukanya terhadap sesuatu, tetapi pada tuturan (15) penutur menyebutkan rasa tidak berdaya, seperti pada tuturan kau buat aku tak berdaya. Setelah itu, muncul tuturan (16) gairah cinta pun membara, dari tuturan tersebut tergambar gairah cinta yang memebara dari diri penutur, padahal sebelumnya, penutur menyebut bahwa dirinya tidak berdaya. Pada tuturan (16) juga terjadi pelanggaran terhadap maksim cara karena penggunaan bentuk gairah cinta membara berpotensi menimbulkan ketaksaan di benak mitra tutur. Ketaksaan tersebut dapat dibuktikan dengan munculnya pertanyaan, mengapa gairah cinta bisa membara? Karena secara leksikal bentuk membara hanya lekat dengan api. Seperti pada kalimat “Api yang membara itu menghanguskan banyak rumah.”, berdeda halnya jika bentuk membara dihubungkan dengan bentuk gairah cinta. Hal tersebut, berpotensi menimbulkan ketaksaan di benak mitar tutur, sehingga perlu pengetahuan tambahan untuk menangkap maksud dari tuturan tersebut. 356
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Pada tuturan (17) dan (18) terjadi pelanggaran terhadap maksim cara, maksim kuantitas, dan maksim relevansi. Pada tuturan (17) terjadi pelanggaran terhadap maksim kuantitas. Pelanggaran maksim kuantitas terjadi kerena penggunaan bentuk halus pada tuturan halushalushalusnya selembut sutra, digunakan secara berlebihan oleh penutur. Padahal, jika tuturan tersebut berubah menjadi halusnya selembut sutra, makna sekaligus maksud yang disampaikan dari tuturan tersebut tidak akan berubah. Pada tuturan (17) juga terjadi pelanggaran terhadap maksim cara karena penggunaan bentuk halusnya berpotensi menimbulkan ketaksaan di benak mitra tutur. Bentuk halusnya pada tuturan (17) belum jelas rujukannya. Ketaksaan tersebut dapat dibuktikan dengan munculnya pertanyaan, apa yang halusnya selembut sutra? Pada tuturan (18) juga terjadi pelanggaran terhadap maksim cara karena terdapat penggunaan bentuk irama gaya kamasutra ala india yang berpotensi menimbulkan ketaksaan di benak mitra tutur. Belum dapat ditentukan maksud yang jelas dari penggunaan bentuk tersebut, sehingga perlu pengetahuan tambahan untuk menangkap maksud dari tuturan tersebut. Dari analisis implikatur lirik lagu “Jupe Paling Suka 69”, terjadi pelanggaran PKS yang ditandai dengan pelanggaran maksim. Seperti pelanggaran maksim cara, maksim relevansi, dan maksim kuantitas. Pelanggaran maskim-maksim tersebut, memicu lahirnya implikatur percakapan. Mitra tutur memerlukan inferensi pragmatik sebagai pengetahuan tambahan dalam upaya mengungkap implikatur percakapan dari lirik lagu “Jupe Paling Suka 69”. Dari analaisis implikatur, dapat terungkap pelanggaran-pelanggaran terhadap PKS yang terjadi pada tuturan dalam lirik lagu “Jupe Paling Suka 69”. Interpretasi dari sebuah tuturan, dalam hal ini lirik lagu “Jupe Paling Suka 69” pun dapat muncul dari bahasa yang disampaikan secara implisit oleh penutur. Dalam lagu “Jupe Paling Suka 69” seolah mengisyaratkan tentang kesukaan Jupe. Dalam lagu tersebut terlihat bahwa Jupe menyukai “69”. Hal tersebut terbukti dari penggunaan judul “Jupe Paling Suka 69”. Selain itu terlihat juga aktivitas yang telah dilakukan oleh “kau”, seperti pada tuturan kau elus-elus tubuhku, kau belai-belai rambutku yang membuat Jupe merasa nikmat dan bahagia hingga tak berdaya. Terdapat juga tuturan kasih sayangmu luar biasa dan gairah cinta 69 yang berpotensi diinterpretasi sebagai tuturan porno. Selain itu, interpretasi porno yang muncul dikuatkan dengan penggunaan bentuk irama gaya kamasutra ala india. Karena secara etimologis, “Kamasutra” memilik makna prinsip dasar bercinta, dikenalkan pertama kali di India pada tahun 1883 sebagai sebuah buku dengan judul “Kama Sutra”. “Kama Sutra” disusun pada abad 4 M oleh Malinaga Vatsayana. Ia mengajarkan anak muda tentang masalah universal mengenai bagaimana memiliki kehidupan memuaskan dan penuh secara seksual. Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan maksud tuturan dari lirik lagu “Jupe Paling Suka 69” yang mengisyaratkan tentang “69” sebagai posisi ketika berhubungan seks. Maksud dari tuturan tersebut, dikuatkan dari penggunaan bentuk gairah cinta 69 yang dihubungkan
357
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
dengan bentuk irama gaya kamasutra ala india sehingga berpotensi diinterpretasi sebagai tuturan porno.
Simpulan dan Saran Penggunaan bentuk bahasa yang beragam sehingga maksud tuturan terekam secara implisit, menggambarkan strategi penutur dalam mengemas tuturannya, sebagai upaya memperhalus maksud yang ingin disampaikan. Selaras dengan pertanyaan-pertanyaan penelitian, maka ada dua simpulan dari penelitian yang menyoroti hal-hal yang berkenaan dengan lirik lagu dangdut dalam album “Kamasutra” yang berpotensi diinterpretasi sebagai tuturan porno. Pertama, implikatur percakapan dari tuturan dalam lirik lagu “Belah Duren”, “Jupe Paling Suka 69” dalam album “Kamasutra” yang dipopulerkan oleh Jupe teridentifikasi melalui analisis terhadap penerapan Prinsip Kerja Sama. Dalam lirik lagu “Belah Duren”, “Jupe Paling Suka 69”, implikatur tuturan adalah strategi penutur dalam upaya mengemas tuturan, agar tidak sembarang orang yang mengetahui maksud dari tuturan tersebut. Hal tersebut menyiratkan strategi penutur dalam mengemas tuturannya sehingga tuturan yang sampaikan secara implisit dapat diterima oleh mitra tutur. Oleh karena itu, perlu pengetahuan tambahan untuk mengungkap maksud yang tersirat dari tuturan tersebut. Kedua, inferensi pragmatik mutlak diperlukan oleh mitra tutur dalam upaya mengungkap implikatur percakapan. Melalui inferensi pragmatik, tuturan Jupe dalam lirik lagu “Belah Duren”, “Jupe Paling Suka 69” dapat disimpulkan bahwa secara implisit, tuturan Jupe berpotensi memiliki implikasi porno, yaitu menggambarkan aktivitas berhubungan seks sampai posisi dalam bercinta. Pada akhirnya, berkaca dari penelitian ini, alangkah baiknya jika penelitian selanjutnya memperluas sampel tuturan yang diteliti, misalnya menganalisis seluruh lagu dangdut yang berpotensi mengandung maksud porno. Diharapkan, hasil penelitian semacam itu akan lebih bervariasi, representatif, dan menginspirasi.
Daftar Pustaka Bachari, Andika Dutha. 2011. “Analisis Pragmatik terhadap Tuturan Berdampak Hukum (Studi Kasus Terhadap Laporan Dugaan Tindak Penghinaan, Penipuan, dan Pencemaran Nama Baik yang Ditangani Satreskrim Polrestabes Bandung)”. Tesis tidak dipublikasikan pada Program Magister Linguistik, Sekolah Pascasarjana, UPI, Bandung. Cummings, Louise. 2007. Pragmatik, Sebuah Perspektif Multidisipliner (Diterjemahkan Setiwati¸ dkk).Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Levinson, Stephent C. 1983. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press. 358
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Mahsun.2005. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: Grafindo. Mey, J.L. 1993. Pragmatics: An Introduction. Oxford: Basil Blackwell. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Undang-Undang Pornografi. 2008. [Online]http://id.wikipedia.org/wiki/UndangUndang_Pornografi. (diakses pada 5 Oktober 2015 pukul 15:00). Yatulyanah, Putri. 2010. “Citra Pornografis dalam Iklan Premium Call Surat Kabar Lampu Hijau”. Skripsi. UPI: Bandung, Tidak diterbitkan. Yule, George. 2006. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Yuniawan, Tommi. 2007. “Fungsi Asosiasi Pornografis dalam Wacana Humor”. Jurnal Linguistika, Vol. 14, No. 27. [Online]http://www.seksualitas.net/sejarah-dan-asal-usul-kitab-kamasutra.htm. (diakses pada 15 Oktober 2015 pukul 15.35).
359
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
KEDWIBAHASAAN DALAM KELUARGA Rochmat Tri Sudrajat STKIP Siliwangi Bandung
[email protected]
Abstrak Komunikasi antara individu dengan individu, individu denga kelompok keberhasilannya dipengaruhi oleh kemampuan berbahasa pembicara dan pendengar. Dengan menguasai keterampilan berbahasa maka seorang pembicara akan mampu mengekspresikan keinginan, kehendak, atau hasrat yang menjadi cerminan dari kehidupan sosial mereka. Domisili pembicara yang dwibahasa akan mempengaruhi bahasa pembicara terutama jika bahasa yang berlaku di tempat tinggalnya sangat dominan. Kata kunci: kedwibahasaan, keluarga
Pendahuluan Bahasa merupakan alat yang digunakan dalam berkomunikasi antara individu dengan individu atau kelompok. Untuk melakukan kegiatan komunikasi setiap individu harus memiliki keterampilan berbahasa. Bahasa memungkinkan manusia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, kemampuan berpikir dan bernalar (depdikbud, 1994:4). Kemampuan berbahasa seseorang dipengaruhi oleh pemerolehan bahasanya. Pemerolehan bahasa adalah proses pemahamandan penghasilan (produksi). Bahasa pada diri anak melalui beberapa tahap mulai dari meraban sampai pada kefasifan penuh (Kridalaksana, 1983:123). Pemerolehan bahasa dapat berlangsung dengan berbagai cara. Cara pertama adalah pemerolehan bahasa pertama kemudian bahasa kedua. Cara kedua adalah pemerolehan bahasa pertama dan kedua secara serempak. Akibat pemerolehan dua bahasa atau lebih maka menimbulkan sesuatu hal yang berdampak positif maupun negatif. Pada anak-anak yang memperoleh dua bahasa atau lebih akan terjadi kontak bahasa pada dirinya, dan bahasa yang satu akan mempengaruhi bahasa yang lain (Weinrich, 1968:1). Masalah lain muncul adalah penguasaan multi bahasa. Dalam masyarakat Indonesia banyak ditemukan sejumlah orang yang magnesia lebih dari dua bahasa. Dengan adanya gejala ini, maka di masyarakat terdapat ekhabahasawan, dwibahasawan, dan multibahasawan.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan masalah penelitian ini dengan mencari hubungan antara domisili dwibahasawan dengan interferensi bahasa dan apakah interferensi akan terjadi pada setiap kedwibahasaan berpengaruh terhadap pemakaian bahasa pertama dan kedua. 360
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Tujuan Penelitian Mengetahui interferensi yang terjadi pada kedwibahasaan dalam lingkungan keluarga dan untuk mengetahui jenis interferensi yang terjadi pada dwibahasawan dalam lingkungan keluarga Tinjauan Teoritis A. Pengertian Kedwibahasaan Kdwibahasaan pada dasarnya adalah penguasaan dua bahasa, namun dalam kenyataannya tidak sesederhana kalimat di atas. Kedwibahasaan dapat ditinjau dari berbagai aspek sehingga pengertiannya menjadi beragam, karena setiap pakar memberikan syarat yang berbeda. Berikut berbagai macam pengertian kedwibahasaan: (a) Kedwibahasaan, yaitu dapat memakaidua bahasa secara pengertian (Weinreich dalam Rusyana, 1989:1) (b) Kedwibahasaan, yaitu dapat menghasilkan kalimat-kalimat bermakna dalam B2 (bahasa kedua) (Haugen, 1969 dalam Tarigan, 1989:3). (c) Kedwibahasaan sebagai penguasaan sama baiknya terhadap dua bahasa seperti halnya penguasaan oleh penutur aslinya (Bloomfield dalam Rusyana, 1989:1). (d) Kedwibahasaan, yaitu dapat menggunakan pengetahuan B2 secara pasif dan sekelumit kompetensi leksikal untuk melakukan transaksi usaha atau bisnis dalam B2 (Diebold, 1961:39). Berbagai macam pengertian di atas dipengaruhi oleh maksud dan tujuan penggunaan dua bahasa dipengaruhi oleh topic, penyimak, konteks serta suasana. Oleh karena itu, tidak realistik untuk menuntut agar kedwibahasaan selalu dibatasi sebagai penguasaan dua bahasa sempurna dalam segala konteks, dalam semua keadaan, dalam semua kondisi dan situasi (Ovando&Colier dalam Tarigan, 1989:3).
B.
Jenis-jenis Kedwibahasaan Jenis-jenis kedwibahasaan atau bilingualisme sangat beagam, Weinreich (1955. 9-11)
dalam Romaine membahas bilingualisme dalam kaitan dengan asumsi bahwa konsep suatu bahasa disimpan dalam otak individu: coordinate dan compound, perbedaan ini diyakini berasal dari cara bahasa itu dipelajari. Dalam coordinate bilingualism, seseorang mempelajari kedua bahasa dalam konteks yang sama, di mana keduanya digunakan dalam waktu yang berurutan atau bersamaan, sehingga akan terjadi penggabungan representasi tentang kedua bahasa tersebut dalam otak. Kedwibahasaan dapat diklasifikasikan dengan berbagai cara, tergantung dari sudut pandangan, antara lain: (a) berdasarkan hipotesis ambang; (b) berdasarkan tahapan usia
361
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
pemerolehan; (c) berdasarkan usia belajar B2; (d) berdasarkan konteks; (e) berdasarkan hakikat tanda dalam kontak bahasa; (f) berdasarkan tingkat pendidikan; (g) berdasarkan keresmian dan, (h) berdasarkan kesosialan (Tarigan, 1989:3). Berikut penjelasan mengenai klasifikasi kedwibahasaan berdasarkan uraian di atas. a.
Berdasarkan Hipotesis Ambang Berdasarkan hipotesis ambang atau threshold oleh Cummins (1976) maka dapat dibedakan kedwibahasaan subtratif dan kedwibahasaan aditif. Apabila bahasa asli sang anak yang minoritas digantikan oleh bahasa mayoritas, maka hal ini mengandung efek subtratif (atau akibat pengurangan) pada anak sedangkan kedwibahasaan aditif yang merupaan wadah BI sang anak merupakan bahasa mayoritas atau dominant dalam kebudayaan. Pemakaian dan pemerolehan B2 merupakan prestasi tambahan bagi anak dan belajar kognitifnya pun menjadi lebih jelas.
b.
Berdasarkan Tahapan Usia pemerolehan Berdasarkan usia seseorang memperoleh B2 yang membuatnya menjadi dwibahasawan, maka dapatlah dibedakan empat jenis kedwibahasaan yaitu: (a) Kedwibahasaan masa kecil (infant bilingualism) (b) Kedwibahasaan masa kanak-kanak (child bilingualismI (c) Kedwibahasaan masa remaja (adolescent bilingualism) (d) Kedwibahasaan masa dewasa (adult bilingualism)
c.
Berdasarkan Usia Belajar Ditinjau dari segi usia eseorang belajar B2 maka dapat dibedakan, (a) kedwibahasaan serentak (b) kedwibahasaan berurutan.
d.
Berdasarkan Konteks Bila berdasarkan konteks yang merupakan wadah kedua bahasa yang bersangkutan dipelajari maka dapat dibedakan dua jenis kedwibahasaan, yaitu: kedwibahasaan buatan dan kedwibahasaan alamiah (Stren, 1973)
e.
Berdasarkan Hakikat Tanda dalam Kontak Bahasa Jenis kedwibahasaan ini merupakan penjelasan pendapat Weinreich yang mengatakan bahwa kedwibahasaan terbagi atas, (i) diterapkan pada dua sistem yang benar-benar mandiri, yaitu makna dan ekspresi; (ii) diterapkan kalau hanya ada satu sistem ekspresi yang sama namun terpisah atau mandiri; dan (iii) diterapkan kalau ada sistem ekspresi subordinate (Harding & Riley, 1986, 37-38)
f.
Berdasarkan Tingkat Pendidikan Pemakaiannya Bila ditinjau dari segi tingkat pendidikan dwibahasawan maka dapat dibedakan: (a) Kedwibahasaan kaum elit (Paulston, 1975) (b) Kedwibahasaan rakyat biasa (Tosi, 1982)
362
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Daftara Pustaka Alwasilah, A.Chaedar. (1985). Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa Hudson, RA. (1980). Sosiolinguistik. London: Cambridge University. Kridalaksana, H. (1989). Perihal Kedwibahasaan. Jakarta: Depdikbud. Slobin. (1974). Psycholinguistics. USA: Scott, Foresman and Co. Subyakto, Sri Utari. (1989). Psikolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Depdikbud. Trudgil, Peter. (1995). Sosiolinguistics an Introduction to Language and Society. England: Penguin Book. Wardaugh, Ronald. (1988). An Introduction Sociolinguitics. New York: Basil Blackwell. Weinreich, Uriel. (1968). Language in Contack Finding and Problem. Paris: Manton The University Press.
363
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
REVOLUSI MENTAL BAHASA DAN SASTRA INDONESIA: UPAYA MEWUJUDKAN PEMUDA PAHLAWAN BAHASA TANPA TANDA JASA Rozali Jauhari Alfanani, Hendra Prasetyo, dan Ratnatul Faizah Magister Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Mataram
[email protected] Abstrak Era modern dengan tajuk globalisasi sudah kadung mengglobal dan menjadi bagian dari perjalanan bangsa ini. Masa kekinian yang sudah semakin maju menuntut kita juga harus mampu lebih maju dalam setiap aspek kehidupan. Salah satu upaya yang sedang digaungkan untuk mewujudkan kemajuan tersebut ialah Gerakan Nasional berlabel Revolusi Mental. Gerakan yang bertujuan secara detail mengenai perubahan besarbesaran dan masif terkait dengan mental bangsa ini agar mampu terus berkembang dan bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Dalam hal ini, salah satu objek yang menjadi wadah dan sekaligus alat dalam perwujudan revolusi mental tersebut adalah unsur kebahasaan dan kesastraan. Bahasa mampu mengejewantahkan diri ke dalam selukbeluk intelektualitas manusia dan sastra secara gamblang diyakini sebagai salah satu pembentuk etika dan karakter manusia. Dalam pada itu, kaitannya dengan bahasa dan sastra serta revolusi mental, yang menjadi inti persoalan bangsa saat ini adalah terjadinya kemerosotan kebanggaan terkait bahasa selaku identitas bangsa dan adanya kemunduran moral etika terkait sastra sebagai wahana pembina karakter itu sendiri. Padahal, bahasa dan sastra merupakan sarana penting dalam mewujudkan cita-cita bangsa. Oleh sebab itu, tulisan dan upaya-upaya lain mesti terus dihadirkan sebagai langkah dan bagian dari revolusi mental tersebut. Melalui observasi dan studi kepustakaan dapat dilahirkan uraian penting mengenai revolusi mental bahasa dan sastra tersebut. Hingga pada akhirnya, esensi utama dari semuanya adalah terwujudnya para “pemuda bangsa” yang mampu unjuk gigi sebagai “para pahlawan”, khususnya dalam bidang “bahasa” yang tentu tetap memegang prinsip “tanpa tanda jasa” sebagai bentuk kebanggaan dan kecintaan terhadap bangsa dan negara ini sehingga mampu bersaing di tingkat regional dan internasional. Kata kunci: Revolusi Mental, Bahasa dan Sastra, Pemuda, Pahlawan Bahasa, Tanpa Tanda Jasa
Revolusi Mental Bahasa dan Sastra Kita tahu bahwa bahasa sebagai alat komunikasi lingual manusia, baik secara lisan maupun tertulis. Ini adalah fungsi dasar bahasa yang tidak dihubungkan dengan status dan nilai sosial. Setelah dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari, yang di dalamnya selalu ada nilainilai dan status, bahasa tidak dapat ditinggalkan. Bahasa selalu mengikuti kehidupan manusia sehari-hari, baik sebagai manusia anggota suku maupun anggota bangsa. Sejak diikrarkannya suatu paradigma yang dikenal dengan “Sumpah Pemuda” pada 28 Oktober 1928 yang salah satu isinya adalah menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia, maka sejak itu pulalah bangsa Indonesia memiliki salah satu tolok ukur identitas suatu bangsa yang berdaulat, yakni bahasa. Bahasa merupakan sesuatu yang sangat penting bagi suatu bangsa. Bahasa, sebagai alat komunikasi yang efektif mutlak diperlukan bagi setiap bangsa. Tanpa bahasa, bangsa tidak akan mungkin dapat menggambarkan dan menunjukan
364
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
dirinya secara utuh dalam dunia pergaulan dengan bangsa lain. Akibatnya, bangsa tersebut akan “lenyap” ditelan masa. Jadi, bahasa menunjukan identitas suatu bangsa. Bahasa, sebagai bagian dari kebudayaan dapat menunjukan tinggi-rendahnya kebudayaan bangsa. Bahasa akan menggambarkan sudah sampai seberapa jauh kemajuan yang telah dicapai oleh suatu bangsa. Dengan demikian, bahasa yang dengan fungsinya baik sebagai bahasa persatuan, bahasa negara, bahasa resmi, atau bahasa ilmu pengetahuan memegang peranan penting bagi keberlangsungan hakikat kemajuan dari suatu bangsa itu sendiri. Namun demikian, kencangnya arus globalisasi dengan konsep modernisme yang melanda “habitat kebahasaan” seperti sekarang ini telah mulai sedikit demi sedikit meruntuhkan atau mengaburkan hakikat bahasa sebagai unsur penting kemajuan suatu bangsa. Bangsa yang ada di muka bumi ini akan dinilai maju atau mengalami perkembangan yang luar biasa apabila telah memiliki, menguasai, atau mampu menciptakan perangkat-perangkat yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sudah kadung dianggap sebagai satu—bahkan satusatunya—tolok ukur kemajuan pada era sekarang ini. Posisi bahasa yang dahulunya menjadi dasar pemikiran yang maju untuk suatu bangsa (dalam filsafat, agama, maupun ilmu) kini telah terpinggirkan dengan sangat cepat, sehingga memiliki kemampuan berbahasa, terutama yang baik dan benar bukan lagi menjadi budaya, tidak lagi membanggakan, bahkan cenderung dianggap biasa saja dan tidak dianggap sebagai hal yang penting dalam perkembangan zaman seperti sekarang ini. Dalam setiap bidang kehidupan orang akan “meng-elu-elukan” seseorang yang mampu menguasai teknologi terkini, namun cenderung memendang sebelah mata pihakpihak yang mampu menguasai dan mengaplikasikan unsur kebahasaannya dalam kehidupannya. Hal ini tidak terlepas dari arus zaman yang memang sudah masuk pada masa kemenangan mutlak teknologi dan kekalahan telak kebahasaan. Padahal, jika disadari dan mau membuka mata, hati, dan pikirannya bahwa tanpa bahasa maka ilmu itu hanya sekumpulan ruang hampa yang butuh diproduksi, dan produksinya pun harus menggunakan bahasa. Teknologi pun begitu, tanpa sedikitpun mengurangi esensi penting penguasaan teknologi maka bisa dipastikan perkembangan teknologi sejak dahulu, pada masa kini, dan untuk waktu-waktu yang akan datang telah disepakati bahwa bahasalah yang juga memainkan peranan penting untuk hal tersebut. Namun demikian, akibat paradigma modernisme dan globalisasi yang cenderung sempit tersebut maka kita (dan semua manusia lainnya) menganggap bahwa “bahasa adalah hal yang tidak ada apa-apanya”. Padahal, modernisme dan globalisasi tersebut diciptakan atau ditakdirkan bukan menjadi sesuatu yang pada akhirnya melunturkan nilai-nilai dan semangat kemajuan itu sendiri yang didasari oleh faktor bernama bahasa. Paradigma yang salah tersebut pun sudah meracuni banyak orang, khususnya di negeri ini yang notabenenya merupakan negara yang berwilayah luas, berpenduduk banyak, dan memiliki pula potensi kebahasaan yang sangat luar biasa. 365
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Selain itu, faktor lain yang juga terkena dampak dari arus modernisasi ialah unsur kesasatraan. Sastra di negeri ini seolah hanya “tinggal kenangan”. Sastra pada masa kini tidak seampuh sastra pada masa lalu yang sering dikatakan sebagai era kejayaannya. Hal tersebut tampaknya tidaklah mengherankan, bagaimana tidak sastra pada masa itu mampu mengoyakngoyak sisi-sisi kehidupan manusia, baik secara lokal maupun nasional, secara individual maupun sosial, dan secara etis maupun pragmatis. Sastra pun mampu menjadi bagian penting dalam suatu hakekat perjuangan, baik melawan penindasan bangsa asing, melawan kondisi hidup kala itu, hingga melontarkan kritisi pedas kepada penguasa yang lupa sedang berada di mana dan untuk apa ia berkuasa. Terlepas dari masa itu yang hanya menjadi bagian dari sejarah masa lalu, kini sastra telah menemukan berbagai cangkang untuk hidup. Sastra dikatakan terus berkembang seiring perkembangan zaman. Berbagai resolusi, terobosan, hingga karya-karya fenomenal dilahirkan untuk mendongkrak kembali jati diri sastra itu sendiri. Akan tetapi, semua hal tersebut seakanakan hanya bagian dari “pelaksanaan kewajiban” sebagaimana seseorang yang sholat hanya karena sejak dahulu sholat itu ada dan dilaksanakan, tetapi ia tidak menemukan maknanya, tidak mampu mengubah dirinya dari keji dan mungkar, serta hanya menjadi pelengkap kehidupan yang ia telah jalani secara nyata di dunia. Begitu pula sastra pada era sekarang ini, hanya didengungkan ke mana-mana, digaungkan seeras-kerasnya, dan disosialisasikan dalam segala cara. Namun demikian, tidak tercipta makna-makna hakiki akibat dari perluasan kekuasaan sastra tersebut. Tidak ada lagi nilai keetisan, religiusitas, sosial-budaya, dan lainya yang dapat dijadikan pedoman yang realistis bagi manusia Indonesia, sehingga tidak mengherankan pulalah segala kejadian demi kejadian yang melanggar etika, peristiwa yang mencoreng nama, dan atau hal-hal yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya kini telah tersaji dengan nyata di tengahtengah kehidupan kita. Hal ini tentu mengharukan, karena jika dikaji secara seksama, sastra sebenarnya mampu menjadi “penawar” dari segala macam hal-hal negatif tersebut, walaupun memang tidak sepenuhnya hal itu mampu ditangani oleh sastra namun sastra dapatlah menjadi bagian penting yang mesti dijadikan pedoman dalam menghadapi hal-hal seperti itu. Oleh sebab itu, dua hal di atas yang telah diuraikan secara sederhana yakni bahasa dan sastra semestinya dikembalikan pada tempatnya yang seharusnya. Bahasa harus sudah mulai dibanggakan lagi sebagai identitas kebangsaan kita, begitu pula sastra sebagai bagian lain dari unsur kehidupan kita sudah selayaknya dijadikan salah satu dari sekian pedoman hidup agar mendapatkan hakekat hidup sebagai manusia yang beretika, bernorma, dan bersusila. Hal tersebut kini mulai mendapat angin segar walaupun belum sesegar yang diharapkan, yaitu dengan adanya Gerakan Nasional Revolusi Mental yang digaungkan oleh rezim saat ini. Revolusi Mental yang digadang-gadang sebagai bagian penting bagi perkembangan bangsa ini dengan mengembalikan semangat perjuangan membara Bung Karno, semangat pembangunan Pak Harto, semangat keilmuan Habibie, semangat religiusitas Gus Dur, semangat gotong366
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
royong Bu Mega, hingga semangat demokrasi SBY ini diharapkan menjadi pembuka lagi bagi kembalinya keagungan bahasa sebagai identitas kebanggaan kita dan sastra sebagai bagian dari perubahan moral dan etika bangsa menuju Indonesia yang lebih sempurna.
Pemuda Pahlawan Bahasa Berbicara mengenai hal-hal di atas, maka untuk saat ini yang sedang dibutuhkan oleh bangsa ini adalah sosok-sosok yang mampu dan memang mau berjuang dalam kecimpungnya di bidang bahasa dan sastra. Sebenarnya, secara nasional memang semua pihak mesti terlibat dalam aktivitas ini. Akan tetapi, mungkin memaksakan diri untuk meminta keterlibatan semua pihak yang notabenenya masih terkungkung dalam kesibukan masing-masing menjadi hal yang memakan waktu lama. Oleh sebab itu, tawaran paling memungkinkan dan dirasa paling masuk akal adalah membangun peran para pemuda bangsa ini yang pada akhirnya nanti memang akan menjadi penerus bangsa pada masa-masa yang akan datang. Pemuda adalah generasi yang disiapkan Tuhan untuk menentukan nasib dunia secara luas dan dirinya secara terbatas, seperti itulah kutipan salah satu Motivator nasional bernama Mario Teguh. Artinya, pemuda memang telah menjadi bagian dari rencana Tuhan untuk menjadikan individu tersebut seperti apa nantinya dan dunia secara luas pada akhirnya. Sekarang pertanyaannya, pemuda yang seperti apa yang dibutuhkan dan benar-benar mampu mengembalikan bangsa ini pada posisi yang semestinya? Secara sederhana, tawaran yang dipaparkan dalam tulisan yang juga sederhana ini ialah pemuda yang memiliki jiwa pahlawan. Mengapa begitu, karena bangsa ini memang memiliki jutaan pemuda yang menjadi penghuninya, akan tetapi tidak sebanyak itu pemuda yang benarbenar paling tidak berpikir akan nasib bangsa ini ke depannya. Oleh sebab itulah, pemudapemuda pilihan yang secara sukarela mau menempatkan bangsa ini dalam pikirannya tersebutlah yang bisa dijadikan sebagai tonggak pembangun bangsa. Pemuda yang seperti itu tentu memiliki jiwa kepahlawanan yang memang dibutuhkan juga demi mewujudkan kemajuan bangsa dan negara. Kaitannya dengan unsur identitas kebanggaan tersebut, maka pemuda dengan jiwa pahlawan saja masih belum cukup. Harus ada sasaran kepahlawanan dari para pemuda yang dimaksud, dan dalam hal ini tentu kita tidak terlampau luas dulu mewadahi sasaran yang dimaksud. Cukuplah pemuda dengan jiwa pahlawan yang mau dan mampu membangun bangsa pada aspek kebahasaan menjadi salah satu prioritas dalam pelaksanaan pembangunan bangsa. Jika seorang pemuda mau dam mampu berjiwa pahlawan untuk memikirkan nasib bangsa ini, khususnya dalam hal bahasa dan sastra, maka bagaimana jika ratusan, ribuan, bahkan jutaan pemuda yang bisa seperti itu. Dengan hal itu, maka bangsa ini tidak perlu khawatir terkait nasibnya di masa kelak. Hal tersebut karena dengan adanya banyak pemuda berjiwa pahlawan dalam hal bahasa dan sastra, maka identitas kebahasaan dan kesastraan Indonesia bisa dijamin 367
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
tetap bertahan, makin meraja, dan bahkan menjadi kuasa di era yang akan datang. Oleh sebab itu, sejak saat ini penguasa negeri harus terus memberi wadah perjuangan membangun bangsa bagi para pemuda agar nantinya bangsa ini tidak menjadi sarang pemuda yang tidak punya karya bagi masa depan.
Tanpa Tanda Jasa Tanpa tanda jasa, mungkin sering kita dengar apalagi jika berkaitan dengan datangnya salah satu peringatan bagi bangsa ini, yakni yang berkaitan dengan unsur pendidikan yaitu keguruan. Namun demikian, istilah tersebut tidak secara khusus dimaknai sebagai bentuk dari peringatan tersebut. Istilah tanpa tanda jasa ini lebih dicondongkan pada kelanjutan uraian sebelumnya mengenai pemuda pahlawan bahasa. Mengapa berkaitan? Hal tersebut karena, ketika seorang bahkan jutaan pemuda bangsa ini yang dengan jiwa pahlawannya mau dan mampu membangun unsur kebahasaan sebagai bagian pembangunan bangsa, maka perlulah ditekankan bahwa hal yang dilakukan tersebut adalah bagian dari sesuatu yang tidak boleh mengharapkan apa-apa, baik itu pujian, imbalan materi, atau hal-hal yang dapat meruntuhkan semangat pembanguna bangsa itu sendiri. Hal itu karena jika pemuda yang diharapkan sebagai penerus bangsa dengan jiwa dan sikap kepahlawanan tadi masih juga memikirkan, mengharapkan, atau meminta balasan dan imbalan terkait usahanya membangun bangsa, maka sebenarnya sia-sialah perjuangan yang ia berikan. Oleh sebab itu, pemuda pahlawan bahasa harus benar-benar bebas dari pikiran dan perbuatan yang dapat mencoreng perjuangannya. Pemuda harus berjuang, bekerja, dan memberikan segenap usahanya demi bangsa ini dengan teguh memegang prinsip tanpa tanda jasa. Seperti ungkapan yang sudah sama-sama kita ketahui, jangan tanyakan apa yang telah diberikan negara kepadamu, tetapi tanyakan apa yang telah kau berikan kepada negara. Mungkin dengan begitu, sikap pemuda bangsa ini akan terus terjaga kesuciannya dalam mengemban tugas mulia sebagai bagian dari rencana Tuhan dalam menentukan nasib dirinya, nasib bangsanya, dan nasib dunia.
Revolusi Mental Bahasa dan Sastra Indonesia: Upaya mewujudkan Pemuda Pahlawan Bahasa Tanpa Tanda Jasa Berdasar pada uraian-uraian di atas, maka simpulan umum yang mesti menjadi perhatian bersama adalah muara dari perjuangan yang sedang dimulai melalui berbagai aspek saat ini untuk terus mempertahankan eksistensi bangsa ialah bagaimana kita sebagai manusia Indonesia terus meningkatkan diri dalam segala aspek perjuangan. Perjuangan dalam bidang bahasa dan sastra mugkin menjadi salah satu fokus kita, karena ada persepsi yang menyatakan bahwa melalui bahasa kita mampu membentuk dan mewujudkan aspek intelektualitas manusia dan melalui sastra kita yakin untuk menciptakan dan memiliki aspek moralitas dan etika sebagai manusia yang hidup secara individu maupun sosial kemasyarakatan. 368
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Revolusi mental harus terus dipandang positif sebagai bagian dari ikhtiar kita menjamin masa depan bangsa, khususnya dalam bidang bahasa dan sastra. Kemudian, pelaku perjuangan berlabel pemuda harus tetap berada dalam jalur yang tepat dengan semangat dan jiwa kepahlawanannya. Pada akhirnya, prinsip tanpa tanda jasa harus menjadi perisai utama dalam menjalani hidup di tengah amanat perjuangan agar rencana Tuhan terkait dengan nasib bangsa dan dunia ini berjalan semestinya, yaitu berada pada jejak-jejak kebenaran. Sebagai bangsa yang berdaulat, maka gerakan revolusi mental bidang bahasa dan sastra dengan pelaku utama pemuda dengan jiwa pahlawan yang berpegang teguh pada kaidah tanpa tanda jasa harus benar-benar bisa dijadikan sebagai “pedang sekaligus perisai” dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). MEA bukan ditakuti, tapi menjadi jalan kita sebagai bangsa yang besar untuk membuktikan pada dunia bahwa kita ada, kita mampu, dan kita berdaya, semua itu karena kita adalah INDONESIA.
Daftar Pustaka Alisjahbana, Sutan Takdir. 1957. Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Rakyat. Burhan, Jazir. 1976. “Politik Bahasa Nasional dan Pengajaran Bahasa Indonesia.” Dalam Politik Bahasa Nasional I, Amran Halim, ed. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1975. Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional 25-28 Februari. Jakarta: Depdikbud. Fitriany, Yunita. 2015. EYD dan Kaidah Bahasa Indonesia. Jakarta: Transmedia Pustaka. Kemenegpora. 2009. Dialog Pemuda dalam Membangun Bangsa. Jakarta: Kemenegpora. Mahsun. 2011. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya (edisi revisi 2011). Jakarta: Rajawali Pers. Muslich, Masnur. 2012. Bahasa Indonesia pada Era Globalisasi. Jakarta: Bumi Aksara. Sumarsono. 2014. Pengantar Semantik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Tarigan, Henry Guntur. 1986. Pengantar Pragmatik. Bandung: Angkasa. Veerhar, J.W.M. 1989. Identitas Manusia. Yogyakarta: Kanisius. Wareing, Shan dan Linda Thomas. 2007. Bahasa, Masyarakat, dan Kekuasaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
369
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
KONSEP HISTORIS SISTEM MATRILINEAL TERHADAP APLIKASI FILOSOFI SASTRA MINANGKABAU KEKINIAN Sri Rustiyanti Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung
[email protected] Abstrak Sistem matrilineal tidak akan lepas dari adat istiadat masyarakat Minangkabau yang masih berpegang kuat pada filosofi adat bersandi syarak – syarak bersandi kitabullah. Sistem matrilineal yaitu keturunan yang mengikuti garis ibu, sehingga dengan demikian seorang anak laki-laki secara historis tidak mempunyai ‘hak milik’, tetapi hanya sekedar memiliki ‘hak pakai’. Dampak dari sistem ini, anak laki-laki harus berani meninggalkan kampung halamannya untuk pergi merantau. Berbekal dengan filosofi ‘di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung’. Filosofi ini sudah sangat popular dan familiar menjadi pijakan hidup orang Minang yang berani keluar dari alam Minangkabau untuk mencari kehidupan dan mengembangkan diri di perantauan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif kualitatif yaitu menggambarkan dan menganalisis data atau fakta yang ditemukan secara objektif dengan penekanan utama pada penelitian sumber yaitu teknik yang menggambarkan, memaparkan dan menginterpretasikan objek orang Minangkabau yang berada di perantauan Bandung dan sekitarnya yang diteliti dengan sistematis.Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi dengan menjelaskan atau mengungkap makna konsep filosofi Minang dalam kehidupan sehari-hari dengan fenomena pengalaman yang didasari oleh kesadaran yang terjadi di sekitarnya. Perempuan dalam adat Minangkabau diberi keistimewaan bahwa di Minangkabau telah diberikan emansipasi kepada kaum perempuan untuk menempatkan harkat perempuan pada kedudukan yang tinggi, sehingga perempuan memiliki arti action (tindakan)atau agency (peran) sebagai anggota masyarakat, di mana tindakan dan peranannya akan memperoleh makna yang penting.
Kata Kunci: matrilineal, filosofi, historis, kekinian. Pendahuluan Saat ini banyak kaum perempuan yang memasuki berbagai bidang aktivitas, seperti bidang ekonomi, politik, social, dan budaya. Semua ini menandakan sedang terjadi perubahan dalam sistem peranan gender dari peranan yang tradisionil kepada peranan yang modern. Walaupun begitu hingga sekarang belum jelas bagaimana masyarakat memahami perubahan ini dan bagaimana masyarakat mengkonstruksi secara sosial realitas perubahan peranan ini. Salah satu cara untuk mengetahui pemahaman masyarakat yang dikonstruksi secara sosial tentang kehidupan, terutama yang berkaitan dengan sistem gender, yaitu dengan melihat kepada budaya populer atau budaya massa. Produk-produk budaya populer akan menunjukkan pemahaman 370
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
orang-orang tentang pandangan dunianya yang diekspresikan dalam kehidupan atau aktivitas publiknya. Setiap anggota masyarakat, akan menanggapi setiap karakter fiksional sesuai dengan yang dapat diidentifikasikan. Di samping itu, budaya populer itu sendiri dapat mempengaruhi interpretasi
setiap
orang
mengenai
makna
dari
pengalaman
hidup
mereka,
juga
mengekspresikan konsepsi populer (massa). Melalui budaya populer ini dapat juga diketahui bagaimana pemahaman masyarakat terhadap perubahan sistem gender atau gambaran tentang perempuan dan pria di media massa. Begitu pula dengan perempuan di Minangkabau juga mempunyai peranan penting dalam bidang perekonomian. Sesuai dengan sifatnya yang dinilai lebih bersifat ekonomis dan lebih teliti, maka perempuan Minangkabau dipercayakan untuk mengatur penggunaan hasil sawah dan lading, yang diungkapkan dengan pepatah adat ‘Umbun puruik pegangan kunci, umbun puruik aluang bunian’ yang artinya bahwa hasil ekonomi sebagai pegangan kuncinya adalah Bundo Kanduang (kaum perempuan). Rangkiang yang berfungsi untuk menyimpan hasil sawah ladang terletak di halaman Rumah Gadang yang ditempati oleh Bundo Kanduang. Dalam musyawarah, perempuan di Minangkabau mempunyai hak suara yang sama dengan kaum lakilaki, baik dalam hal penetapan waktu hajatan maupun mendirikan gelar pusaka harus melalui persetujuan Bundo Kanduang. Termasuk
pula
dalam
penggunaan
harta
pusaka
untuk
kepentingan bersama, menggadai dan menghibah harus dengan kesepakatan bersama termasuk kaum perempuan. Demikian Adat Minangkabau memposisikan kedudukan perempuan pada kehidupan berkaum dalam masyarakat yang memperlakukan perempuan dengan mulia. Berbeda sekali dengan perlakuan pada zaman jahiliyah yang merendahkan martabat perempuan dan menganggap kaum laki-laki lebih mulia dari kaum perempuan. Ataupun pandangan dunia modern yang menyerukan kesetaraan terhadap kaum perempuan dan perbaikan perlakukan bagi kaum perempuan. Ajaran adat yang begitu memuliakan Bundo Kanduang akan nyata implementasinya dalam kehidupan bermasyarakat jika kaum perempuan mampu memposisikan dirinya sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya (tupoksi) serta memiliki sifat-sifat yang disyaratkan oleh adat yang harus dimiliki oleh seorang Bundo Kanduang. Dengan demikian, gerakan pengatasnamaan gender tidak akan populer didengungkan di bumi alam Minangkabau. Hanya saja prakteknya dalam kehidupan sehari-hari pada masa sekarang mulai dipertanyakan. Apakah ketentuan adat sudah dianggap tidak sesuai lagi dengan falsafah hidup di zaman modern dengan era globalisasi sekarang ini? Bukankah Adat disebutkan sebagai sesuatu yang “tak lakang dek paneh, tak lapuak dek hujan”? Yang artinya tidak terpengaruh oleh apapun, kapanpun ketentuan adat tetap harus dijalankan. Sehingga perspektif Adat Minangkabau terhadap 371
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
perempuan merupakan suatu gambaran yang utuh dan nyata sehingga gerakan feminisme yang menyuarakan kesetaran gender benar-benar tidak dibutuhkan lagi. Pembahasan Manusia hidup dan tumbuh menjadi manusia berbudaya dengan kondisi terhadap nilai masyarakat sekitar, melalui orang tua dan keluarga. Manusia tidak dapat memilih untuk dilahirkan sebagai suku mana dan bangsa mana. Tidak pula dapat menolak dari kebudayaan mana ia dibesarkan. Meskipun setelah dewasa ia dapat tinggal di luar tempat ia berasal, ia tidak dapat mengingkari budaya asalnya. Manusia bebas menentukan masa depannya, tetapi tidak dapat bebas dari masa lampaunya. Itulah sebabnya hingga saat ini masih banyak berbagai seni budaya yang masih dilakukan serta dilestarikan sebagai kebanggaan serta identitas suatu daerah, ataupun jati diri bangsa. Berbagai tradisi yang berkembang di masyarakat, mulai dari bercocok tanam, mengolah ladang, mengekspresikan seni melalui seni tari, lagu, sastra, dan berbagai macam makanan khas, hingga nilai-nilai yang terkandung dalam upacara perkawinan, upacaraupacara ritual sebagai tanda syukur pada Tuhan yang Maha kuasa, serta berbagai upacara yang berkaitan dengan siklus kehidupan manusia. Hal ini semuanya merupakan kekayaan masingmasing masyarakat, suku ataupun bangsa sebagai identitas pribadi dan identitas sosial seseorang yang terbentuk tidak akan lepas oleh identitas budayanya. Manusia tidak dapat menolak di kebudayaan mana ia dibesarkan, meskipun setelah dewasa ia dapat mengingkari budaya asalnya dan memasuki budaya lain, manusia tetap terbebani dengan budaya asalnya3. Keragaman Indonesia terpendam dalam sikap dan nilai nilai yang masih dipertahankan. Orisinalitas budaya Indonesia terletak pada keragamannya. Setiap wilayah budaya memiliki budaya dengan nilai serta filosofi dasarnya masing-masing, yang kemudian berfungsi bagi kehidupan manusia. Dalam era otonomi daerah, Sumatera Barat sejak awal Januari 2001 kembali ke sistem pemerintahan nagari (institusi terendah dalam sistem pemerintahan, menggantikan desa), menyusul keluarnya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 9 Tahun 2000. Nagari dalam tradisi masyarakat Minangkabau merupakan identitas kultural yang menjadi lambang mikrokosmik sebuah tatanan makrokosmik lebih luas. Dalam nagari terkandung sistem yang memenuhi persyaratan embrional sebuah sistem negara. Nagari adalah negara dalam artian miniatur, dan merupakan republik kecil yang sifatnya self contained, otonom, dan mampu membenahi diri sendiri (Yulrizal Baharin, ahli pakar nagari). Yang menjadi tantangan luas di kalangan masyarakat Sumatera Barat adalah bila Indonesia sekarang dipimpin seorang perempuan, Megawati Soekarnoputri, apakah tidak mungkin nagari juga dipimpin seorang perempuan?
Yakobus Sumardjo, “Indonesia Mencari Dirinya”, dalam Orasi Ilmiah Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Sejarah Kebudayaan, STSI Bandung, Tanggal 11 September 2003, p. 1. 3
372
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Pertanyaan ini sangat mendasar dan beralasan, karena dalam kaba (cerita tradisi yang memasyarakat dan tumbuh subur di Minangkabau) peran penting perempuan di Minangkabau sering diungkapkan dan cukup popular dalam sastra kaba (cerita) Minangkabau. Menurut pakar sastra dari Universitas Negeri Padang, Prof Dr Mursal Esten, pada umumnya pengungkapan permasalahan perempuan dalam kaba adalah permasalahan perempuan dalam nagari-nagari. Peranan perempuan dalam masyarakat Minangkabau, sebagaimana sering diungkapkan dalam kaba Minangkabau, antara lain: 1. Bundo Kanduang Di dalam kaba Rancak di Labuah misalnya, digambarkan laki-laki lebih banyak merusak masyarakat yang akhirnya diselamatkan perempuan. Seolah-olah rumah tangga itu dikendalikan perempuan. Banyak kaba lain memperlihatkan perempuan menyelamatkan masyarakat, anak, putra-putri, sedangkan mamaknya atau bahkan bapaknya kadang-kadang malah tidak muncul dalam kaba. Bahkan, dalam kaba Cindua Mato, sebagaimana dikemukakan oleh budayawan yang bernama
Edy Utama, Bundo Kanduang (sebutan untuk perempuan
Minang) digambarkan sebagai orang yang sangat berkuasa. Tidak saja karena sistem sosial matrilineal, tetapi juga punya kekuasaan memerintah. Posisi Bundo Kanduang begitu sentral dan amat menentukan. Dalam banyak hal, secara realitas, perempuan Minangkabau dari dulu sampai sekarang sudah banyak berperan dalam bidang ekonomi, sosial-budaya, politik, dan sebagainya. 2. Fungsi Politik Wanita Minang Perempuan Minangkabau memiliki fungsi politik dan telah menjalani peranan itu sejak lama. Peranan politik perempuan Minangkabau semakin memperjelas bahwa meskipun laki-laki diberikan kepercayaan sebagai pemimpin politik dalam komunitas nagari, tetapi sistem politik Minangkabau tidak bersifat patrialistik, tidak disusun berdasarkan aturan yang membedakan laki-laki dan perempuan di dalam sistem itu. Susunannya atau pengaruh seseorang di dalam sistem politik Minangkabau memang tidak berdasarkan gender, tetapi dilihat dari kemampuan dan pengalaman seseorang menyediakan perlindungan serta pengawasan dari kerusakan kultural dan material kelompok yang diwakilinya. Berdasarkan logika sistem matrilineal, sangatlah mungkin perempuan dan laki-laki sama pentingnya dalam struktur sosial dan politik Minangkabau, karena beberapa kewenangan yang diberikan kepada perempuan, merupakan dasar bagi perempuan memiliki peranan dan pengaruh dalam struktur politik Minangkabau. Dalam fenomena perempuan Minangkabau yang diakui sebagai Bundo Kanduang sangat sarat hubungannya dengan sosial mikro, dewasa ini cenderung diidentifikasikan sebagai apa yang sering disebut kekinian. Pengertian kekinian yang bersifat sosial-mikro menekankan arti pentingnya action (tindakan)atau agency (aksi) sebagai Bundo Kanduang, di mana tindakan dan 373
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
peranan tidak sama satu dengan yang lain.4Action dan agency itulah yang menyebabkan seorang perempuan eksis dalam kegiatan dan seterusnya memperoleh maknanya. Dari fakta yang telah dijelaskan tersebut, perempuan memiliki posisi dan peranan dalam struktur politik Minangkabau. Dan sesungguhnya, partisipasi politik perempuan Minangkabau cukup penting. Peranan aktif perempuan dalam formasi politik Minangkabau bersifat integral dalam setiap proses pengambilan keputusan dan kebijaksanaan. Oleh karena itu, perempuan Minangkabau berdasarkan fakta yang ada, dapat menggunakan peranan dan politiknya secara efektif, kalau kondisi material cukup untuk melaksanakan kekuasaan tersebut secara baik. Jadi, di sinilah letaknya kenapa perempuan tidak bisa dipisahkan sama sekali dari fungsi dan struktur sosial politik di Minangkabau. 3. Kerajaan Pararuyung Berdasarkan sosial, politik, dan budaya Minangkabau, artinya perempuan Minangkabau sangat mungkin menjadi elite politik atau menjadi pimpinan politik Minangkabau. Jadi, seorang perempuan Minangkabau - sebagaimana laki-laki Minangkabau - kalau ia memiliki kualifikasi materi yang kuat maka ia tidak akan dapat dihalangi menjadi pemimpin politik di dalam kaumnya. Ia tidak akan dihambat karena ia perempuan. Buktinya, dalam cerita sastra kaba Gadih Ranti, seperti yang dilakukan tokoh utama yang bernama Gadih Reno Ranti. Oleh karena mamak, ayah, dan saudara laki-lakinya yang lain tidak dapat melakukan tugas sebagai pemimpin, maka ia mengambil alih tugas kepemimpinan politik tersebut. Kemudian memimpin Kerajaan Pagaruyung yang telah hancur karena serangan Belanda. Dengan contoh ini, artinya perempuan memang dapat menjadi pimpinan politik yang efektif di Minangkabau. Di Indonesia, folklor merupakan suatu disiplin atau cabang ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri dan belum banyak dikembangkan orang. Kata folklor sendiri merupakan pengindonesiaan dari kata inggris folklore. Folk memiliki pengertian, kolektif, yaitu sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan yang membedakannya dengan kelompok lain. Adapun kata lore berarti tradisi folk, yaitu sebagian kebudayaan yang diturunkan generasi demi generasi, secara lisan dengan atau tanpa alat lain sebagai alat pembantu pengingat (Danandjaja: 1982: 1). Di dalam prakteknya, pengkajian terhadap folklor ini terbagi dua. Para ahli bahasa dan kesusasteraan, misalnya, tidak hanya memasukkan kesusasteraan lisan, seperti cerita rakyat, sebagai objek kajian, tetapi juga pola kelakuan manusia seperti tari, bahasa isyarat, arsitektur rakyat, permainan rakyat, dan pakaian rakyat sebagai folklor. Mereka lebih mementingkan aspek lor daripada folk-nya. Sementara para ahli
4
Astrid S. Susanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Binacipta, Bandung, 1983,
p. 76-77.
374
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
antropologi yang meneliti folklor, lebih mengkhususkan diri pada unsur-unsur kebudayaan yang bersifat lisan saja seperti cerita prosa rakyat, teka-teki, peribahasa, syair rakyat, dan kesusasteraan lisan lainnya. Para ahli antropologi ini lebih mementingkan aspek folk daripada lor-nya. Folklor tidak semata-mata merupakan kreasi budaya yang memiliki nilai seni. Folklor juga merupakan produk komunikasi karena di dalam folklor terdapat transformasi nilai-nilai sosial budaya. Oleh sebab itu, sebagai produk komunikasi, folklor juga dapat dikatakan sebagai proses sosial karena berhubungan erat dengan perubahan masyarakat termasuk perubahan politik, terutama pada zamannya. Sebagai produk komunikasi dan seni budaya, folklor tentunya tak dapat dilepaskan dari proses kreatif sebagai hasil karyanya. Dengan demikian dapat dirumuskan, proses kreatif dalam suatu folklor memiliki dua aspek, yakni: 1) Aspek sosio-psikologisnya, yaitu suatu penggambaran atau pembentukan ide cerita. Di sini diperlukan suatu kemampuan untuk memunculkan gagasan orisinil dan baru, suatu kemampuan untuk menangkap serta merumuskan struktur, latar belakang dan karakter budaya. Singkatnya konsep atau gagasan ini harus menggambarkan dinamika realitas sosial serta romantika kehiduan masyarakat yang menjadi target sasarannya; 2) Unsur teknis. Apabila faktor penggambaran atau pembuatan suatu tema atau ide dasar selesai, maka langkah berikutnya menuangkan ke dalam bentuk penyusunan kata-kata. Ada enam bentuk folklor lisan Indonesia yang dicatat oleh Danandjaja (1982: 22-152), yaitu bahasa rakyat, ungkapan tradisional, pertanyaan tradisional, sajak dan puisi rakyat, nyanyian rakyat (folksongs) dan cerita prosa rakyat, yang terbagi atas mite, legenda, serta dongeng. Sastra Minangkabau ada cerita Bundo Kanduang, sedangkan dalam sastra Sunda ada Sastra Pantun, sangat menarik untuk dijadikan bahan kajian lebih lanjut atau penelitian, sebagai komparasi tokoh perempuan versi Minang dan Sunda. Ceritera Pantun dan ceritera yang bercorak mitos, di setiap daerah mempunyai versi tersendiri.
Terutama cerita yang
menampilkan tokoh-tokoh perempuan yang mempunyai posisi unik, memiliki kekuatan, serta menjadi panutan masyarakat. Perempuan yang sangat dominan, begitu gigih membela kebenaran, kesetiaan, serta sangat bijaksana. Di beberapa cerita Sunda muncul pula tokoh perempuan Sunan Ambu sebagai Dewi Kehidupan (Ibu Dewata), yang selalu menuntun manusia pada ruang kebajikan pada tingkat sempurna, dan menghukum kezoliman, bahkan mampu menghidupkan orang yang sudah meninggal. Yang dapat ditarik pada Sastra Pantun, adalah nilai-nilai serta semangat juang yang tinggi, tertutama bagi para perempuan generasi muda, di mana konsep berpikir instan lebih ‘meruang’ pada pola pikir yang terkadang ‘kering makna’ dalam arti kehilangan roh esensi nilai-nilai. Penelitian ini akan menggunakan analisis genre dan narasi teks, serta analisis hermeneutika. Fokus dari analisis genre adalah untuk memperoleh wawasan yang lebih baik 375
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
terhadap sifat alami setiap genre baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus. Genre folklor mencerminkan nilai-nilai dominan saat itu dan dapat dianggap sebagai sebuah barometer dari fenomena sosial budaya. Genre tersebut tidak bersifat netral tapi tergantung pada konteks sosial budaya. Narasi teks mempunyai dua bagian, pertama story (contents) atau rangkaian peristiwa, baik dalam bentuk tindakan maupun kejadian. Kedua, discourse (exspression) yang merupakan pengekspresian, maksudnya bagaimana isi cerita dikomunikasikan. Selanjutnya, melalui analisis hermeneutika dicoba digali makna di balik teks. Dengan demikian diharapkan dapat memberikan pemahaman yang bersifat menyeluruh dan mendalam tentang konsepsi liberalisme dan patrialisme, khususnya yang berkaitan dengan masalah gender, yang dikonstruksi secara sosial. Penutup Gender merupakan karakteristik paling penting dalam kehidupan sosial dengan mengklaim bahwa masyarakat telah dikonstruksi secara sosial dalam cara-cara patriarkal (dominasi pria), sehingga suara-suara perempuan dalam banyak bidang kehidupan telah dibungkam secara sistematik. Dengan menekankan pentingnya menyimak, memahami, dan mendukung nilai-nilai feminin yang melewati batas nilai-nilai maskulin yang rasional, hirarkis dan pengendalian yang dibingkai oleh feminisme. Hal ini nampaknya ingin mengemukakan bahwa kaum perempuan merupakan karakteristik paling penting dalam kehidupan sosial. Kritik sosial terhadap cara-cara patriarkal yang didominasi kaum pria telah dikonstruksi secara sosial. Kaum perempuan memiliki kesempatan dan hak yang sama dengan kaum laki-laki, yang hanya dapat diperoleh apabila kaum perempuan dapat menguasai dan mengendalikan institusi yang selama ini didominasi oleh kaum pria. Bahwasannya, Liberalisme tanpa moralitas tidak akan bertahan lama dan hanya akan mendatangkan petaka. Liberalisme tanpa moralitas hanya akan memunculkan kapitalisme yang berorientasi pada keuntungan dengan cara melakukan eksploitasi terhadap sumber daya manusia dan material. Akhirnya manusia akan terjebak dalam hedonisme. Munculnya kritikan sosial ini mengindikasikan, kemungkinan pada saat itu para bangsawan (kalangan atas dan menengah) umumnya sering bersikap semena-mena terhadap masyarakat kelas bawah. Sementara para bangsawan yang bersikap baik terhadap rakyat sangat sedikit jumlahnya, itu pun mungkin sering dianggap ‘aneh’ atau lain dari yang lain. Bisa jadi pada saat itu budaya patriakal begitu kuat sehingga sangat membelenggu kaum perempuan. Kaum perempuan sering diperlakukan tidak adil dan tidak memiliki kebebasan bergerak dan berpendapat. Sehingga kaum perempuan tidak memiliki peran dalam kehidupan publik. Situasi dan kondisi seperti ini mendorong melalui tulisan ini, untuk memberikan pemahaman tentang potensi dan peranan perempuan ke arah yang lebih baik, yang dapat menghargai potensi dan peranan perempuan dalam kehidupan sosial. 376
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Dengan demikian, seni sastra yang beraneka ragam dapat difungsikan masyarakat, mulai dari untuk kepentingan politik, sosial, budaya, ritual, hiburan, dan apresiasi estetis. Dengan berjalannya waktu, seni sastra dapat menjadi inspirasi berbagai bentuk seni pertunjukan kemudian berperan juga sebagai sarana pendidikan, penerangan, penyebaran agama, atau media politik, ajang gensi, ajang prestise, bahkan kini telah banyak yang menjadikan sebagai ajang ekonomi sebagai seni industri.
Daftar Pustaka Berger, Peter L. dan Thomas Luckman. 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan, Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Penerjemah: Hasan Basari, Jakarta. LP3ES. Danandjaja, James. 1984. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng dan Lain-lain. Jakarta. Grafiti Pers. Liliweri, Alo. 2002. Makna Budaya Dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta. Lkis, Moriaty, Sandra E. 1991. Creative Advertising: Theory & Practice, New Jersey 07632: Prentice Hall, Engelwood Cliffs. Rosidi, Ayip. 1970. Nyi Sumur Bandung. Bandung: Proyek Penelitian Pantun dan Folklore Sunda. Sumardjo, Yakobus. “Indonesia Mencari Dirinya”, dalam Orasi Ilmiah Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Sejarah Kebudayaan, Tanggal 11 September 2003, STSI Bandung. Sumaryono, E. 1993. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta. Kanisius.
377
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
PEMBELAJARAN MELALUI MEDIA KONKRET DI SEKOLAH DASAR (Potret Pembelajaran di Sekolah Dasar Negeri Rawu, Serang, Banten)
Sundawati Tisnasari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
[email protected]
Abstrak Membidik pembelajaran di Indonesia sangatlah multikasus. Namun, yang harus dibedakan dari permasalahan pembelajaran, yaitu kekhasan karakter kedaerahan dan faktor pembelajar. Karena itu, perlu adanya perhatian agar tercipta pembelajaran yang baik. Kadang praanggapan bahwa pembelajaran baik itu adalah yang berhasil. Namun, berhasil atau tidaknya suatu pembelajaran semua tergantung dari faktor-faktor tertentu. Faktor-faktor yang mempengaruhi hal tersebut meliputi pengajar, siswa, media pembelajaran, metode dan teknik pembelajaran, serta kurikulum yang dapat menunjang keberhasilan suatu pembelajaran. Dalam meraih tujuan tersebut, pengajar harus mempunyai kredibilitas dan kompetensi dalam melakukan kegiatan pembelajaran. Sehingga dapat membangkitkan kemampuan, minat, dan bakat siswa. Dalam proses pembelajarannya diperlukan kematangan perencanaan pengajaran, artinya adanya kesesuaian terhadap tujuan pembelajaran. Pada dasarnya media tidak ada yang buruk, tetapi ada yang harus diperhatikan, yaitu media yang sesuai dengan pembelajaran. Media konkret adalah sarana yang membantu pengajar dalam melakukan proses pembelajaran. Berdasarkan hasil pengamatan media konkret ini ternyata sangat membantu dalam membangkitkan daya kemampuan dan minat siswa.
Kata kunci: Pembelajaran, Pengajar, Media, Media Konkret, Sekolah Dasar
Pendahuluan Pembelajaran di Indonesia sangatlah multikasus. Semisal pendidikan di Indonesia memiliki kualitas masih dianggap rendah. Hal ini terjadi karena tingkat kemampuan peserta didik yang belum mencapai standar ketentuan. Di samping itu, mutu pendidikannya yang menjadi permasalahan pembelajaran. Padahal, dalam pembelajaran peserta didik mempunyai kekhasan karakter kedaerahan. Karena itu, perlu adanya perhatian agar tercipta pembelajaran yang baik. Adanya praanggapan pembelajaran yang berhasil dari nilai kognitif siswa menjadi parameter yang kurang tepat. Padahal, berhasil atau tidaknya suatu pembelajaran tergantung dari faktor pengajar, siswa, media pembelajaran, metode dan teknik pembelajaran, serta kurikulum yang dapat menunjang keberhasilan suatu pembelajaran. Dalam meraih tujuan 378
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
tersebut, pengajar harus mempunyai kredibilitas dan kompetensi dalam melakukan kegiatan pembelajaran. Sehingga dapat membangkitkan kemampuan, minat, dan bakat siswa. Pembelajaran tematik digunakan di Sekolah Dasar. Pembelajaran tematik ini seharusnya ditunjang dengan penggunan media yang terencana. Karena media pembelajaran sebagai alat yang membantu dalam proses pembelajaran. Media pembelajaran pun bermanfaat memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk terlibat langsung, seperti menyentuhnya, mengamati, mengujicoba, menumbuhkan rasa ingin tahudan mengambil keputusan. Pemelajaran dengan menggunakan media dapat membangun suatu pendidikan yang berarti dan relevan dalam kehidupan peserta didik. Sehingga membantu ketercapaian kompetensi dasar peserta didik dan meningkatkan keefektifan pembelajaran. Pengajar sedapat mungkin bisa menggunakan media yang murah dan efisien meskipun sederhana. Media tersebut diharapkan dapat mencapai tujuan pembelajaran. Oleh karena itu, media konkret merupakan salah satu media yang dapat mengajarkan siswa untuk lebih dekat dengan lingkungan di sekitarnya. Pemilihan media yang dipilih pengajar harus sesuai dengan tujuan, materi, serta kemampuan dan karakteristik siswa, akan sangat menunjang efektivitas dan efisiensi dalam proses belajar mengajar. Kemudian, jika melihat fungsi media di antaranya sebagai sumber belajar, dapat membangun imajinasi, dan motivasi siswa. Selain itu, fungsi media juga memiliki fungsi yang lain, yaitu: 1) menyampaikan dan memperjelas pesan serta mengatasi keterbatasan ruang; 2) memberikan stimulus sehingga siswa dapat memberi respons dan memunculkan persepsi yang sama; 3) pembelajaran lebih efektif yang disertai teori belajar 4) membuat konsep-konsep konkret yang dapat dijelaskan secara langsung kepada siswa. Media membantu dalam kesiapan belajar. Hal tersebut mengandung arti bahwa kesiapan belajar peserta didik dapat dikondisikan oleh pengajar melalui suatu media dan metode mengajar yang tepat. Peserta didik sebagai individu yang potensial tidak dapat berkembang tanpa bantuan pengajar. Sebagai dampak dari usaha tersebut adalah kemauan belajar peserta didik akan meningkat yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap prestasi belajar peserta didik. Pada dasarnya ini akan menimbulkandan meningkatkan kemampuan berpikir yang dimiliki peserta didik. Di samping itu, ternyata pengajar yang berkualitas harus memiliki kriteria berikut, yaitu: 1) bekerja dengan siswa; 2) persiapan dan perencanaan mengajar; 3) pendayagunaan alat pelajaran; 4) pelibatkan siswa dalam berbagai pengalaman; 5) kepemimpinan aktif dari pengajar (Kusnandar, 2009:61). Oleh karena itu, kemampuan dan keterampilan mengajar merupakan suatu hal yang dapat dipelajari serta diterapkan atau dipraktikkan oleh setiap orang pengajar. Mutu pengajaran akan meningkat apabila pengajar mempunyai cara yang tepat.
379
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Metode Penelitian Metode penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif-kualitatif. Lokasi penelitian ini, yaitu di Sekolah Dasar Negeri Rawu, Serang, Banten. Data yang diperoleh berdasarkan wawancara dan pengamatan proses pembelajaran yang dilakukan peneliti, pengajar, dan mahasiswa yang sedang mengikuti (PPLK). Pada saat itu, PPLK dilakukan selama 3 bulan, yaitu dari Maret, April, dan Mei. Pembahasan 1. Ihwal Proses Pembelajaran di SDN Rawu Praktek pangalaman lapangan kependidikan (PPLK) merupakan kegiatan intrakulikuler yang dilaksanakan oleh mahasiswa yang mencakup baik latihan mengajar secara langsung atau terbimbing dan terpadu untuk memenuhi syarat pembentukan profesi pendididkan. Dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa, tugas pengajar sebagai pendidik tidaklah dapat dikatakan ringan, sebab tidak hanya memberikan bekal pada anak pendidik berupa ilmu semata, melainkan hal yang lebih penting adalah membentuk kepribadian anak didik menjadi manusia yang berguna bagi sendirinya, orang tua, masyarakat, agama, bangsa, dan negara. Pendidikan merupakan proses pengembangan utuh menuju ke arah kedewasaan dalam proses berpikir dan bertindak. Oleh karena itu, calon pendidik sebelum diterjunkan ke dunia pendidikan hendaknya dibekali dengan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan yang sesuai dengan profesi dan kemampuan. Kemampuan diri tersebut dituntut untuk melaksanakan tugasnya sehingga berhasil seperti yang diharapkan. Sekolah Dasar Negeri Rawu Kota Serang merupakan salah satu sekolah yang dipercaya oleh FKIP Untirta untuk menjadi tempat pelaksanaan PPLK. Sekolah Dasar Negeri Rawu Kota Serang diharapkan mampu memberikan kontribusi kepada mahasiswa yang melaksanakan PPLK tersebut. Dalam pelaksanaannya mahasiswa dituntut untuk bertanggung jawab sebagai praktikan yang baik ilmiah, aktif, dan memberikan angin segar secara kognitif terhadap siswa. Mahasiswa PPLK adalah mahasiswa FKIP Untirta yang telah menempuh kelulusan dari mata kuliah dengan jumlah nilai SKS sekurang-kurangnya 140 sks dan telah mendaftar diri sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan kemudian ditetapkan menjadi mahasiswa PPLK 2013. Adapun mahasiswa yang mengikuti tugas PPLK ini terdiri atas 12 orang. Pelaksanaan PPLK pada bulan Maret, April, Mei. Selama tiga bulan pratikan berada di SDN negeri Rawu, praktikan selalu berusaha ikut berparsitipasi kegiatan dalam lingkungan sekolah. Kegiatan tersebut seperti, mengikuti upacara
380
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
kenaikkan bendera, kegiatan pramuka, kesenian, dan lain-lain. Di samping itu, melaksanakan tugas administrasi kelas dan memperkenalkan metode serta trik dalam materi pembelajaran. Kurikulum yang digunakan SD NegeriRawu dalam melaksanakan proses belajar mengajar dengan menggunakan kurikulum Tingkat satuan Pendidikan (KTSP). Sebelum pengajar melaksanakan pembelajaran di kelas selalu menyiapkan seperangkat perencanaan pengajaran berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan skenario, agar materi yang akan disampaikan lebih terancana dan terarah. Proses pengajaran dan pengelolaan kelas yang terjadi antarpengajar dan siswa selama kegiatan belajar mengajar interaksinya cukup baik. Dalam implementasi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) di SD NegeriRawu dituangkan dalam dalam silabus demi memaksimalkan tujuan pembelajaran upaya penyusunan yang dilakukan dalam mengondisikan waktu agar tahap proses belajar dapat dilaksanakan secara sangkil dan mangkus. Adapun waktu yang digunakan dalam proses pembelajaran di SD NegeriRawu sama dengan waktu yang digunakan oleh sekolah-sekoah yang lain, yaitu dari Senin sampai dengan Sabtu dengan jadwal pelajaran mulai dari 07.00 sampai 12.00, kecuali Jumat dari 07.00 sampai dengan 11.00. Para pengajar berpenampilan rapi, sopan, menyenangkan sehingga dapat melayani siswa dengan maksimal selayaknya sikap dan sifat pengajar yang baik dan sopan di semua lingkungan sekolah. Ketika proses kegitan belajar mengajar berlangsung masih ada yang perlu diperhatikan dan diperbaiki, yaitu penguasaan materi agar bisa mengondisikan kelas dan interaksi dengan siswa agar lebih aktif. Hambatan PPLK dalam pelaksanaan praktik mengajar di SDN Rawu Kota Serang yang ditemukan, sebagai berikut. 1) Banyaknya siswa dalam tiap-tiap kelas, jumlah siswa melebihi kapasitas sehingga sulit bagi praktikan mengondisikan kelas; 2) Beberapa peserta didik yang kurang menanggapi kehadiran pengajar sehingga menyebabkan tidak kooperatif; 3) Kurangnya sikap sopan santun yang dilakukan siswa; dan 4) Kurangnya pengajar mengefesienkan waktu belajar. Di samping itu, permasalahan yang dijumpai yang berkaitan sarana dan prasarana yang kurang menunjang bahkan tidak ditemui di SDN Rawu Kota Serang, sebagai berikut. 1) kurangnya ruangan kelas, sehingga proses pembelajaran dilakukan secara bergantian. 2) Tidak ada lapangan olah raga bagi siswa 3) Tidak ada infokus yang dapat menunjang pembelajaran
381
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
4) Kurangnya kelengkapan, seperti tidak adanya penghapusan papan tulis, alat kebersiahan, jam dinding, dan gambar-gambar yang menunjang sebagai media pembelajaran. 2.Penerapan Mediakonkret Berdasarkan hasil data di lapangan pada saat proses pembelajaran sebaiknya harus memperhatikan perangkat pembelajaran, selain itu sebaiknya pengajar harus memperhatikan dan mengoreksi sistematika penulisan perangkat pembelajaran (program pembelajaran, silabus, dan Rencana Pelaksanaan Pengajaran) dengan teliti dan cermat. Selanjutnya, memperhatikan kelengkapan perangkat silabus dan RPP aspek-aspek yang ada dalam silabus dan RPP, agar matangnya perangkat pembelajaran tersebut. Lalu, pengajar haruslah teliti dan cermat untuk menentukan indikator, karena indikator yang akan dicapai haruslah disesuaikan dengan alokasi waktu yang ada. Oleh sebab itu, pengajar harus menentukan dan menuliskan indikator yang baik dan tepat sesuai dengan alokasi yang ada. Pengajar mampu mengondisikan kelas, walaupun jumlah siswa dihadapi cukup banyak. Pengajar bersikap konsisten terhadap rencana pelaksanaan pengajaran dan mengaplikasikan langkah-langkah pembelajaran yang sudah direncanakan. Pengajar mampu menggunakan media konkret yang mendukung proses pembelajaran. Berdasarkan hasil pengamatan media konkret ini ternyata sangat membantu dalam membangkitkan daya kemampuan dan minat siswa sehingga dapat menciptakan pembelajaran yang interaktif, memfasilitasi siswa dalam belajar, dan melibatkan peran aktif siswa saat mengikuti pelajaran. Kondisi peserta didik yang melebihi kapasitas seharusnya ada perhatian sehingga dapat mengefesienkan keadaan dengan adanya penambahan ruangan kelas. Peserta didik juga harus bisa memanfaatkan fasilitas buku-buku yang berada di perpustakaan. Perhatian khusus bagi peserta didik yang mempunyai kelebihan dalam hiperaktif. Peserta didik yang hiperaktif harus diberikan arah yang lebih positif sehingga dapat diarahkan menjadi peserta didikan yang kreatif yang tidak mengganggu teman sebayanya di dalam kelas ketika sedang terjadi proses pembelajaran. Faktor saran dan prasarana dapat memengaruhi proses pembelajaran, seperti ruang kelas yang tidak memadai, tempat praktik olah raga. Oleh karena itu, solusinya yaitu, sekolah mampu melakukan kerja sama dan berkomunikasi dengan pihak dinas pendidikan dan komite sekolah sehingga faktor kekurangan ini dapat terselesaikan. Di samping itu, pengolahan dan pendayagunaan media pembelajaran yang dipakai pengajar, contohnya mengembangkan dan memanfaatkan media konkret seperti gambargambar, benda yang dekat dengan kehidupan di lingkungan sekitar sekolah. Media konkret ini memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk terlibat langsung dan aktif dalam proses 382
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
pembelajaran. Penggunaan media konkret dalam pembelajaran baik sebagai alat bantu pengajaran maupun sebagai pendukung agar materi pembelajaran semakin jelas dan dapat dengan mudah dipahami siswa, karena media konkret dapat dimanfaatkan peserta didik, yaitu dengan mengotak-atik benda secara langsung di dalam proses pembelajaran. Dalam kehidupan nyata lingkungan adalah sesuatu yang bisa membuat inspirasi dan motivasi pengajar dalam pembelajaran. Dengan adanya lingkungan peningkatan kreativitas anak dalam pembelajaran bisa terlihat. Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan, yaitu dengan seringnya pengajar mengajak anak ke dunia yang nyata atau sebenarnya dalam kehidupan ini. Alasan lain penggunaan lingkungan adalah ketidakterbatasan sumber alam yang bisa dimanfaatkan oleh siswa dalam pembelajarannya. Lingkungan mampu menyediakan berbagai kebutuhan siswa untuk belajar, yang akan menjadikan mereka mampu menjadi orang yang kreatif dan mampu menghargai alam sebagai bagin dari kehidupan mereka. Selain alasan di atas lingkungan juga bisa mempengaruhi kejiwaan mereka. Secara perlahan akan tumbuh sikap empati dalam dirinya terhadap alam. Hal ini merupakan contoh dalam mempelajari alam sebagai media pembelajaran dalam memperoleh pengalaman langsung dan menciptakan rasa ingin tahu yang tinggi bagi peserta didik. Dalam mempersiapkan dan memanfaatkan lingkungan alam sebagai sumber belajar. Lingkungan sebagai pembelajaran sangatlah penting untuk tumbuh dan berkembangnya potensi anak dengan bangkitnya minat belajar dalam diri siswa. Pembelajaran di luar kelas di samping akan membuat anak tambah gairah juga tentunya menghindari rasa bosan bagi anak. Melalui keaktifan peserta didik belajar di lingkungan dan mampu mendorong siswa untuk berinteraksi dengan lingkungan sehingga pengalaman langsung dengan lingkungan. Selain itu, belajar yang baik merupakan bukan rutinitas di dalam kelas melainkan bagaimana menciptakan proses belajar mengajar yang mengusahakan banyaknya terjadi pembaharuan dan perubahaan dalam diri anak baik secara pedagogis, proses, dan hasil. Selain itu, pembelajaran dengan memanfaatkan lingkungan akan menambah anak menjadi inovatif dan kreatif. Selanjutnya, memanfaatkan pembelajaran digunakan sesuai dengan tujuan pembelajaran, sehingga tercipta kegiatan belajar lebih menarik dan tidak membosankan. Hal ini membuat peserta didik merasa memahami dan menghayati aspek-aspek kehidupan lokal dan mewujudkan nilai-nilai kehidupan. 3. Teknik Penggunaan Lingkungan Sebagai Media Pembelajaran Dalam pembelajarannya ada beberapa hal yang harus diperhatikan jika pengajar akan menggunakan lingkungan sebagai pembelajaran. Cara ini dilakukan dengan cara melihat atau 383
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
mengunjungi lingkungan yang akan dijadikan objek pembelajaran. Misalnya lingkungan masyarakat dengan cara mempelajari budaya dan kehidupan masyarakat. Kegiatan ini bisa dilakukan dengan cara wawancara kepada pihak tertentu misalnya tokoh masyarakat, adat, atau dengan cara melihat dokumentasi langsung. Hasil dari lapangan bisa berupa laporan yang dibuat dan dikemas untuk dilaporkan di depan kelas ketika presentasi. Penutup Proses pembelajaran di kelas diperlukan kematangan dalam perencanaan pengajaran, artinya adanya kesesuaian terhadap tujuan pembelajaran. Pada dasarnya media tidak ada yang buruk, tetapi ada yang harus diperhatikan, yaitu media yang sesuai dengan pembelajaran. Media konkret adalah sarana yang membantu pengajar dalam melakukan proses pembelajaran. Berdasarkan hasil pengamatan media konkret ini ternyata sangat membantu dalam membangkitkan daya kemampuan dan minat siswa sehingga dapat menciptakan pembelajaran yang interaktif, memfasilitasi siswa dalam belajar, dan melibatkan peran aktif siswa saat mengikuti pelajaran. Daftar Pustaka Arsyad Azhar. 2010. Media Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Kusnandar. 2009. Pengajar Profesional. Jakarta: Rajawali Pers. Iskandarwassid dan Dadang Sunendar. 2008. Strategi Pembelajaran Bahasa. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Sadiman Arief, dkk. 2005. Media Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Setiawan, Denny. 2005. Komputer dan Media Pembelajaran. Jakarta: UT. Sudjana, Nana. dkk. 2010. Media Pengajaran. Bandung: Sinar Baru Algesindo. Suparman Atwi. 1997. Model-model Pembelajaran Interaktif. Jakarta: STIA LAN Press.
384
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMBACA PEMAHAMAN WACANA NARATIF YANG BERORIENTASI KEARIFAN LOKAL DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN DISCOVERI LEARNING Via Nugraha STKIP Siliwangi Bandung
[email protected]
Abstrak Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kurangnya tingkat pemahaman mahasiswa dalam membaca baik secara interpretatif, kritis, maupun kreatif. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan persiapan dan pelaksanaan pembelajaran serta mengetahui hasil pembelajaran membaca pemahaman wacana naratif yang berorientasi kearifan lokal dengan menggunakan pendekatan discovery learning. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuasi eksperimen. Yang menjadi populasi adalah mahasiswa semester 2 STKIP Siliwangi Bandung. Sampel berjumlah 60 mahasiswa dipilih secara acak melalui random assignment. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi dan tes. Sementara itu, analisis dan pembahasan data dilakukan secara deskriptif-analisis. Berdasarkan hasil analisis data, dapat disimpulkan bahwa penggunaan discovery learning lebih efektif dibandingkan model konvensional. Hal ini terlihat dari perbedaan hasil pembelajaran antara kelas eksperimen dan kontrol sebesar 27,4. Sesuai dengan kriteria pengambilan keputusan maka nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05 artinya H0 ditolak. Hal ini menjukan bahwa pendekatan discovery learning efektif digunakan dalam pembelajaran membaca pemahaman wacana naratif berorientasi kearifan lokal.
Kata kunci: membaca komprehensif, wacana naratif, pendekatan discovery learning Pendahuluan Membaca merupakan salah satu aspek keterampilan berbahasa yang perlu terus menerus dikembangkan. Menurut Hodson (dalam Tarigan, 1990:7), membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan yang hendak disampaikan oleh penulis melalui media kata-kata atau bahasa tulis. Selanjutnya, Kridalaksana (2001: 135) menjelaskan bahwa membaca adalah suatu keterampilan mengenal dan memahami lambanglambang diam. Berdasarkan studi pendahuluan dalam bentuk observasi serta pengalaman penulis di lapangan selama ini, terhadap mahasiswa yang mengikuti mata kuliah keterampilan membaca diperoleh informasi bahwa proses perkulihan membaca pemahaman di kelas, sering dirasakan mahasiswa sebagai kegiatan yang melelahkan. Mahasiswa cenderung mempunyai orientasi untuk mendapatkan nilai semata. Padahal sebagian besar ilmu didapat dari proses membaca. Wawancara informalkan juga dilakukan kepada dosen pengampu mata kuliah keterampilan membaca. Dari hasil wawancara informal pada tanggal 3 Maret 2015 dengan dosen keterampilan membaca dapat disimpulkan bahwa dosen melaksanakan perkuliahan keterampilan membaca dengan memberikan tugas membaca kepada para mahasiswa kemudian 385
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
dievaluasi. Setelah selesai memahami wacana, dosen memberikan tugas berikutnya dan dilanjutkan
dengan
mengembangkan
langkah-langkah
langkah
yang sama.
pembelajaran
untuk
Dosen
tidak
meningkatkan
memperhatikan
pemahaman
dan
membaca
mahasiswanya, karena menurut persepsi dosen pemahaman membaca akan berkembang sendiri secara natural selama para mahasiswa mengetahui makna/arti kosa kata yang berada di dalam wacana. Berdasarkan observasi yang dilakukan sebelum penelitian, dapat disimpulkan bahwa dalam proses perkulihaan keterampilan membaca dosen masih menekankan tingkat pemahaman literal. Dengan demikian sangatlah wajar jika tingkat pemahaman mahasiswa masih berada pada tingkatan pemahaman literal (literal comprehension). Hal ini dapat dilihat dari alat evaluasi yang dibuat oleh dosen pengampu mata kuliah. Idealnya, pada tingkat kelas 13 ke atas atau tingkatan pendidikan tinggi, kemampuan pemahaman mahasiswa seharusnya berada pada tinggkat tinggi (higher order comprehension). Pemahaman tingkat tinggi ini dimaksudkan adalah pemahaman interpretatif (interpretatif comprehension), pemahaman evaluatif (evaluative comprehension), dan pemahaman kreatif (creative comprehension).
Selama ini perkuliahan keterampilan membaca pemahaman
dilakukan dengan membaca wacana dan bersama-sama menjawab pertanyatan berdasarkan wacana. Dosen cenderung tidak memperhatikan bagaimana cara mengembangkan kemampuan membaca pemahaman bagi para mahasiswanya. Penggunaan teknologi informasi dalam penugasan belum dilakukan dan kreativitas mahasiswa tidak teralu diperhatikan. Sikap positif mahasiswa yang seharusnya dipupuk, terkesan terabaikan sehingga mahasiswa terlena dan mengabaikan waktu yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk kegiatan membaca. Berdasarkan deskripsi di atas mengenai beberapa kesulitan dalam pembelajaran membaca pemahaman maka diperlukan sebuah pembelajaran yang efektif untuk meningkatkan kemampuan membaca pemahaman mahasiswa dalam pembelajaran keterampilan membaca. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, maka perlu diadakan pembaharuan metode dalam pembelajaraan membaca pemahaman wacana naratif berorientasi kearifan lokal. Metode konvensional yang dgunakan oleh dosen sangat monoton. Oleh sebab itu, model pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan discovery learning. Pendekatan discovery learningmenurut Suryosubroto (2002:192) diartikan sebagai suatu prosedur mengajar yang mementingkan pengajaran perseorangan, manipulasi obyek dan lain-lain, sebelum sampai kepada generalisasi. Sund (dalam Suryosubroto, 2002:193) mengatakan bahwa penemuan merupakan proses mental dimana siswa mengasimilasi sesuatu konsep atau sesuatu prinsip. Proses mental tersebut misalnya mengamati, menggolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan, dan sebagainya. Berdasarkan uraian di atas, tujuan penelitian adalah menjelaskan hal berikut. Pertama,Persiapan pembelajaran membaca pemahaman wacana naratif yang berorientasi 386
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
kearifan lokal dengan menggunakan pendekatan discovery learning. Kedua, Pelaksanaan pembelajaran membaca pemahaman wacana naratif yang berorientasi kearifan lokal dengan menggunakan pendekatan discovery learning. Ketiga, Mengetahui hasil pembelajaran membaca pemahaman wacana naratif yang berorientasi kearifan lokal dengan menggunakan pendekatan discovery learning. Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian kuasi eksperimen, dengan desain penelitian “the Randomized Pretest-Posttes Control Group Desing” (Fraenkel & Wallen, 1993:248). Sesuai dengan rancangan di atas, maka langkah-langkah yang ditempuh adalah sebagai berikut. Pertama, membentuk kelas eksperimen dan kelas kontrol. Untuk kelas eksperimen peneliti mengambil sampel kelas A2 reguler angkatan 2014, sedangkan untuk kelas kontrol peneliti mengambil sampel kelas A3 angkatan 2014. Kedua, melaksanakan tes awal (pretest). Ketiga, melaksanakan perlakuan (treatment). Keempat, melaksanakan tes akhir (posttes). Kelima, menganalisis data. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa semester 2 Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, di STKIP Siliwangi Bandung tahun pelajaran 2014/2015, yang terdiri dari 3 kelas reguler. Penentuan sampel ini ditentukan secara acak, selanjutnya ditentukan kelas eksperimen dan kelas kontrol. Diperoleh kelas A2 sebagai kelas eksperimen dan kelas A1 sebagai kelas kontrol. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 60 mahasiswa, yakni 30 mahasiswa untuk kelas eksperimen dan 30 mahasiswa untuk kelas kontrol. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, dan tes. Prosedur penelitian dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: (1) Studi pendahuluan, mengontrol kondisi yang ada dilapangan, serta menyiapkan teori-teori yang relevan, (2) Menyusun intrumen penelitian, kemudian instrumen tersebut diujicobakan lalu menganalisisnya, (3) Menyusun Satuan Acara Perkuliahan (SAP) untuk kegiatan pembelajaran baik di kelas esperimen maupun dikelas kontrol, (4) Menetapkan kelas eksperimen dan kelas kontrol, (5) Melaksanakan pretes dan postes baik dikelas eksperimen maupun kelas kontrol. (6) Melaksanakan penelitian yaitu dengan memberikan kuliah keterampilan membaca pada dua kelas yang telah ditetapkan sebelumnya sebagai sampai penelitian. Pada kelas eksperimen, perkuliahan dilakukan dengan menggunakan pendekatan discovery learning, sedangkan pada kelas kontrol perkuliahan dilakukan dengan menggunakan pendekatan konvensional. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini, terdiri atas tiga macam, yaitu (1) SAP (Satuan Acara Perkuliahan), (2) Lembar tes pengetahuan membaca pemahaman dengan menggunakan pendekatan discovery learning, (3) lembar penilaian kemampuan membaca pemahaman. Teknik analisis data dengan uji normalitas, uji homogenitas, dan uji linieritas. 387
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Hasil Penelitian dan Pembahasan Berdasakan hasil analisis data diperoleh temuan penelitian adalah sebagai berikut. Pertama, persiapan pembelajaran membaca pemahaman wacana naratif yang berorientasi kearifan lokal dengan menggunakan pendekatan discovery learning. Kedua, pelaksanaan pembelajaran membaca pemahaman wacana naratif yang berorientasi kearifan lokal dengan menggunakan pendekatan discovery learning. Ketiga, mengetahui hasil pembelajaran membaca pemahaman wacana naratif yang berorientasi kearifan lokal dengan menggunakan pendekatan discovery learning. 1.
Persiapan pembelajaran membaca pemahaman wacana naratif yang berorientasi kearifan lokal dengan menggunakan pendekatan discovery learning. Persiapan model pembelajaran membaca pemahaman wacana naratif berorientasi
kearifan lokal dengan menggunakan pendekatan Discovery Learning dilakukan dengan semaksimal mungkin. Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan dalam penelitian ini sebagai berikut. Pertama, peneliti melakukan studi pendahuluan dengan mengontrol kondisi yang ada di lapangan, serta menyiapkan teori-teori yang relevan dengan penelitian. Observasi ini dilakukan pada tanggal 19 Mei 2015, di STKIP Siliwangi Bandung pada mahasiswa semester 2 angkatan 2014. Kedua, membuat silabus dan Satuan Acara Perkuliahan (SAP) serta materi yang diperlukan untuk pelaksanaan pembelajaran tersebut. Silabus dan Satuan Acara Perkuliahan (SAP) tersebut dirancang berdasarkan dengan pendekatan yang akan digunakan. Selanjutnya, peneliti menyiapkan bahan pembelajranwacana naratif yang bersifat kearifan lokal yang bertujuan untuk menguji tingkat pemahaman mahasiswa dalam membaca wacana naratif. Silabus, SAP, serta wacana yang bersifat kearifan lokal divalidasi terlebih dahulu sebelum melakukan penelitian di lapangan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kepercayaan data penelitian yang akan diujikan. Ketiga, peneliti menyusun instrumen penelitian untuk diuji kepada mahasiswa. bentuk instrumen penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah observasi dan tes. Instrumen penelitian ini harus di validasi terlebih dahulu oleh validator. Validasi instrumen penelitian dilakukan satu kali validasi oleh validator. Mahasiswa yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah mahasiswa kelas A1 angkatan 2014 sebagai kelas kontrol dan kelas A2 angkatan 2014 sebagai kelas eksperimen. Demikian sejumlah data yang diperoleh dari persiapan penelitian. Selain itu, peneliti mendapatkan beberapa perbaikan mulai dari silabus, SAP, bahan pembelajaran wacana naratif yang bersifat kearifan lokal, serta instrumen-instrumen yang akan diujikan dalam penelitian ini.
2. pelaksanaan pembelajaran membaca pemahaman wacana naratif yang berorientasi kearifan lokal dengan menggunakan pendekatan discovery learning 388
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Proses pelaksanaan model pembelajaran membaca pemahaman wacana naratif berorientasi kearifan lokal dengan menggunakan pendekatan Discovery Learning dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang telah dicantumkan pada SAP. Komponen-komponen pembelajaran diperlakukan sesuai dengan komponen-komponen yang telah tertera pada prosedur penelitian. Setelah komponen-komponen pembelajaran dipersiapkan, maka peneliti mengumpilkan data penelitian untuk dianalisis berdasarkan fakta-fakta yang ditemui dalam pembelajaran, baik itu berupa hasil observasi maupun tes kemampuan membaca pemahaman wacana naratif mahasiswa semester 2 STKIP Siliwangi Bandung. 3. mengetahui hasil pembelajaran membaca pemahaman wacana naratif yang berorientasi kearifan lokal dengan menggunakan pendekatan discovery learning. Analisis kemampuan membaca pemahaman wacana yang berorientasi kearifan lokal kelas eksperimen (tes awal) sebelum dilakukan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan Discovery Learning adalah jumlah skor 1190 dengan nilai rata-rata 39,7. Rata-rata kemampuan awal mereka tergolong kurang. Adapun aspek kemampuan awal mahasiswa berdasarkan butirbutir soal dapat dideskripsikan sebagai berikut: a) pemahaman interpretatif terdapat pada soal no.1 dengan rata 3,2 (baik) dan soal no.2 dengan rata-rata 2,7 (cukup), b) pemahaman kritis terdapat pada soal no.3 dengan rata-rata 2,6 (cukup), soal no.4 dengan rata-rata1,7 (kurang), soal no.5 dengan rata-rata 1,7 (kurang), c) pemahaman kreatif terdapat pada soal no.6 dengan rata-rata 1,7 (kurang), soal no. 7 dengan rata-rata 1,4 (kurang), soal no. 8 dengan rata-rata 1,5 (kurang), soal no.9 dengan rata-rata 2 (kurang), dan soal no.10 dengan rata-rata 1,5 (kurang). Jadi, dapat disimpulkan bahwa nilai rata-rata mahasiswa pada kemampuan awal di kelas eksperimen masih tergolong kurang. Dengan demikiam, tingkat pemahaman wacana naratif yang berorientasi kearifan lokal dapat dideskripsikan berdasarkan tingkat pemahaman interpretatif, kritis, dan kreatif. Tingkat pemahaman interpretatif dalam wacana naratif yang berorientasi kearifan lokal, kemampuan mahasiswa tergolong kurang mampu dalam menilai, mengumukakan pendapat tentang wacana naratif yang dipahami mahasiswa. Tingkat pemahaman kritis mahasiswa dalam memahami wacana naratif yang berorientasi kearifan lokal, kemampuan mahasiswa dalam mengkritik dan membandingkan wacana yang dipahami dengan pengetahuan yang dimiliki oleh mahasiswa masih kurang sekali. Artinya mahasiswa belum mampu dalam mengkritik serta membandingkan wacana yang dipahaminya dengan pengetahuan yang dimilikinya. Serta, tingkat pemahaman kreatif mahasiswa dalam mengembangkan, memprediksi, dan memberikan ide baru tergolong buruk. Jadi, rata-rata tingkat pemahaman mahasiswa dalam bidang interpretatif, kritis serta kreatif masih tergolong kurang sekali. Analisis kemampuan membaca pemahaman wacana yang berorientasi kearifan lokal kelas eksperimen (tes akhir) dengan menggunakan pendekatan Discovery Learning dengan jumlah skor 2014 dengan nilai rata-rata 67,1 Rata-rata kemampuan awal mereka tergolong 389
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
sedang. Adapun aspek kemampuan awal mahasiswa berdasarkan butir-butir soal dapat dideskripsikan sebagai berikut: a) pemahaman interpretatif terdapat pada soal no.1 dengan rata 4,2 (baik sekali) dan soal no.2 dengan rata-rata 3,8 (baik), b) pemahaman kritis terdapat pada soal no.3 dengan rata-rata 3,6 (baik), soal no.4 dengan rata-rata 3,4 (baik), soal no.5 dengan rata-rata 3 (baik), c) pemahaman kreatif terdapat pada soal no.6 dengan rata-rata 3,1 (baik), soal no. 7 dengan rata-rata 3,1 (baik), soal no. 8 dengan rata-rata 3,4 (baik), soal no.9 dengan ratarata 3,0 (baik), dan soal no.10 dengan rata-rata 3,0 (baik). Jadi, dapat disimpulkan bahwa nilai rata-rata mahasiswa pada kemampuan akhir dikelas eksperimen sudah tergolong baik. Dengan demikiam, tingkat pemahaman wacana naratif yang berorientasi kearifan lokal dapat dideskripsikan berdasarkan tingkat pemahaman interpretatif, kritis, dan kreatif. Tingkat pemahaman interpretatif dalam wacana naratif yang berorientasi kearifan lokal, kemampuan mahasiswa tergolong sudah mampu dalam menilai, mengumukakan pendapat tentang wacana naratif yang dipahami mahasiswa. Tingkat pemahaman kritis mahasiswa dalam memahami wacana naratif yang berorientasi kearifan lokal, kemampuan mahasiswa dalam mengkritik dan membandingkan wacana yang dipahami dengan pengetahuan yang dimiliki oleh mahasiswa sudah baik. Artinya mahasiswa sudah mampu dalam mengkritik serta membandingkan wacana yang dipahaminya dengan pengetahuan yang dimilikinya. Serta, tingkat pemahaman kreatif mahasiswa dalam mengembangkan, memprediksi, dan memberikan ide baru tergolong baik. Jadi, rata-rata tingkat pemahaman mahasiswa dalam bidang interpretatif, kritis serta kreatif sudah tergolong baik. Berdasarkan hasil perhitungan gain antara tes awal dan tes akhir kelas eksperimen, maka peningkatan hasil kemampuan membaca pemahaman wacana naratif yang berorientasi kearifan lokal dengan menggunakan pendekatan Discovery Learning meningkat dengan ratarata peningkatan 27,5. Dari kemampuan awal dengan rata-rata 39,67 pada kemampuan rata-rata kurang meningkat menjadi berkemampuan rata-rata 67,13 pada kemampuan rata-rata cukup. Sesuai dengan hasil uji Mann Whitney Data Postes (tes akhir) diperoleh nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05 artinya H0 ditolak. Hal ini
berarti bahwa Kemampuan membaca
pemahaman wacana naratif berorientasi kearifan lokal kelas eksperimen lebih baik dari pada kelas kontrol. Dengan demikian pendekatan discovery learning efektif digunakan dalam pembelajaran membaca pemahaman wacana naratif yang berorientasi kearifan local pada mahasiswa tingkat satu semester dua di STKIP Siliwangi Bandung Tahun Ajaran 2014/2015.
Simpulan Penelitian ini membahas tentang penerapan pendekatan Discovery Learning dalam meningkatkan kemampuan membaca pemahaman wacana naratif yang berorientasi kearifan lokal pada mahasiswa tingkat 1 semester 2 Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra 390
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Indonesia di STKIP Siliwangi Bandung. Berdasarkan hasil penilitian diperoleh beberapa simpulan sebagai berikut : 1) Pendekatan pembelajaran Discovery Learning efektif digunakan dalam pembelajaran membaca pemahaman wacana naratif yang berorientasi kearifan lokal . Hal ini dapat dilihat dari nilai tes awal dan tea akhir. 2) Penggunaan Pendekatan Discovery learning dalam pembelajaran membaca pemahaman memiliki keunggulan tidak hanya dalam meningkatkan hasil belajar membaca pemahaman, tetapi menaikan level atau tingkat pemahaman mahasiswa, yakni tingkat kritis dan kreatif. 3) Melalui pendekatan discovery learning, mahasiswa akan mengetahui alasan mengapa dia harus aktif dalam belajar, karena di dalam langkah-langkah pembelajarannya mahasiswa dituntut untuk aktif, kreatif, menemukan, menganalisis serta mengembangkan ide dari apa yang telah dibacanya. 4) Hasil bealajar mahasiswa dalam membaca pemahaman wacana naratif yang berorientasi kearifan lokal dengan menggunakan pendekatan discovery learning mengalami kenaikan yang signifikan. Perolehan rata-rata nilai tes awal pada kelas eksperimen 39,7 sedangkan rata-rata nilai tes akhir 67,1 jadi terdapat kenaikan sebesar 27,4.
Saran Berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini, ada beberapa saran yang perlu dikemukakan. Saran-saran tersebut adalah sebagai berikut. 1) Kepada peneliti lain agar dapat melakukan penelitian terkait dengan wacana yang berbeda sehingga pengetahuan serta pemahaman mahasiswa terhadap wacana dapat meningkat dan bervariatif. 2) Kepada dosen, khusus nya dosen keterampilan membaca harus mampu menerapkan pendekatan, strategi, metode, teknik dan taktik yang bervariatif dalam pembelajaran keterampilan membaca khususnya menbaca pemahaman. 3) Kepada pihak kampus, agar melengkapi refersi buku-buku tentang membaca, wacana, dan kearifan lokal di perpustakaan untuk memfasilitasi mahasiswa dalam kegian membaca. 4) Kepada mahasiswa, agar lebih banyak meluangkan waktu untuk membaca berbagai wacana, agar dapat memperkaya pemahaman interpretatif, kreatif dan kritis.
Daftar Pustaka
Fraenkel, J.R. & N.E. Wallen, (1993). How to Design and Evaluate Research. Newyork : McGraw-Hill-Inc Heriawan, Adang dkk (2012). Metodelogi Pembelajaran Kajian Teoritis dan Praktis: Banten. LP3G . Kridalaksana. (2001). Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Tarigan, H.G. (1990). Membaca Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung : Angkasa.
391
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
PEMAHAMAN TENTANG ALOKASI FUNGSIONAL BAHASA DALAM MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN Woro Wuryani STKIP Siliwangi Bandung
[email protected] Abstrak Pemahaman Tentang Alokasi Fungsional Bahasa dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN.Secara sederhana, bahasa dapat diartikan sebagai alat untuk menyampaikan sesuatu yang terlintas di dalam hati. lebih jauh bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau alat untuk berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau perasaan.Masalah-masalah kebahasaan yang dihadapi setiap bangsa adalah tidak sama, sebab tergantung pada situasi kebahasaan yang ada di dalam negara itu. Secara politis di Indonesia ada tiga buah bahasa, yaitu bahasa nasional, bahasa daerah, dan bahasa asing. Peristiwa pengangkatan bahasa Indonesia yang terjadi pada tanggal 28 Oktober 1928 dalam suatu ikrar yang di sebut Sumpah Pemuda. Kemudian, penetapan bahasa Indonesia menjadi bahasa Negara dalam Undang-undang Dasar 1945Bahasa Indonesia adalah dialek baku Baahasa Melayu yang pokoknya berasal dari Bahasa Melayu Riau, Bahasa Indonesia diresmikan pada Kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 18 Agustus 1945. Bahasa Indonesia merupakan bahasa dinamis yang hingga sekarang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan, maupun penyerapan dari bahasa daerah dan asing. Pendek kata, Bahasa Indonesia akan terus berkembang laksana berkembangnya zaman.Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia, sebagaimana disebutkan dalam UndangUndang Dasar 1945, Pasal 36. Bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa, sebagaimana disiratkan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. “Kami Berbahasa Satu, Bahasa Indonesia”. Indonesia kini tengah berpacu dengan waktu dalam menyambut pelaksanaan pasar bebas Asia Tenggara atau biasa disebut dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan dimulai pada tahun 2015. Kata kunci: alokasi fungsional bahasa, masyarakat ekonomi asean Pendahuluan Secara sederhana, bahasa dapat diartikan sebagai alat untuk menyampaikan sesuatu yang terlintas di dalam hati. Namun, lebih jauh bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau alat untuk berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau perasaan. Dalam studi sosiolinguistik, bahasa diartikan sebagai sebuah sistem lambang, berupa bunyi, bersifat arbiter, produktif, dinamis, beragam dan manusiawi. Kebijaksanaan bahasa itu dapat diartikan sebagai suatu pertimbangan konseptual dan politis yang dimaksud untuk dapat memberikan perencanaan, pengarahan, dan ketentuan-ketentuan yang dapat dipakai sebagai dasar bagi pengolahan keseluruhan masalah kebahasaan yang dihadapi oleh suatu bangsa secara nasional. Jadi, kebijaksanaan bahasa itu merupakan suatu pegangan yang bersifat nasional, untuk kemudian membuat perencanaan bagaimana cara membina dan mengembangkan satu bahasa sebagai alat komunikasi verbal yang dapat 392
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
digunakan secara tepat di seluruh negara, dan dapat diterima oleh segenap warga yang secara lingual, etnis, dan cultural berbeda. Masalah-masalah kebahasaan yang dihadapi setiap bangsa adalah tidak sama, sebab tergantung pada situasi kebahasaan yang ada di dalam negara itu. Negara-negara yang sudah memiliki sejarah kebahasaan yang cukup, dan di dalam Negara itu hanya ada satu bahasa saja meskipun dengan sekian dialek dan ragamnya cenderung tidak mempunyai masalah kebahasaan yang serius. Negara yang demikian, misalnya Saudi Arabia, Jepang, Belanda, dan Inggris. Tetapi di Negara-negara yang terbentuk, dan memiliki sekian banyak bahasa daerah akan memiliki persoalan kebahasaan yang cukup serius, dan mempunyai kemungkinan untuk timbulnya gejolak social dan politik akibat persoalan bahasa itu. Indonesia sebagai Negara yang relative baru dengan bahasa daerah yang tidak kurang dari 400 buah, agak beruntung sebab masalah-masalah kebahasaan yang bisa terjadi di Negara lain, secara historis telah di selesaikan sejak agak lama. Secara politis di Indonesia ada tiga buah bahasa, yaitu bahasa nasional, bahasa daerah, dan bahasa asing. Jauh sebelum kebijaksanaan bahasa diambil untuk menetapkan fungsi ketiga bahasa itu, para pemimpin perjuangan Indonesia, berdasarkan kenyataan bahasa Melayu telah sejak berabad-abad yang lalu telah digunakan secara luas sebagai lingiua franca di seluruh nusantara dan sistemnya cukup sederhana, telah menetapkan dan mengangkat bahasa Melayu itu menjadi bahasa persatuan untuk seluruh Indonesia, dan memberinya nama bahasa Indonesia. Peristiwa pengangkatan bahasa Indonesia yang terjadi pada tanggal 28 Oktober 1928 dalam suatu ikrar yang di sebut Sumpah Pemuda itu tidak pernah menimbulkan protes atau reaksi negatif dari suku-suku bangsa lain di Indonesia, meskipun jumlah penuturnya lebih banyak berlipat ganda. Kemudian, penetapan bahasa Indonesia menjadi bahasa Negara dalam Undangundang Dasar 1945 pun tidak menimbulkan masalah. Oleh karena itulah, para pengambil keputusan dalam menentukan kebijaksanaan bahasa yang menetapka fungsi-fungsi bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing dapat melakukannya dengan mulus. Bahasa Indonesia ditetapkan, sesuai dengan kedudukannya, sebagai bahasa nasional dan bahasa Negara, sebagai lambang kebangsaan nasional, dan sebagai alat komunikasi nasional kenegaraan atau intrabangsa (bahasa daerah berfungsi sebagai lambang kedaerahan) dan alat komunikasi intrasuku (sedangkan bahasa asing berfungsi sebagai alat komunikasi antar bangsa dan alat penambah ilmu pengetahuan). Ketiga bahasa itu dengan fungsinya masing-masing tidak menimbulkan masalah. Yang menjadi masalah adalah bagaimana mengaktifkan pembinaan pan peningkatan penggunaan bahasa Indonesia dari para warga bangsa Indonesia, sebab hingga kini penguasaan mereka akan bahasa Indonesia masih jauh dari yang diharapkan (Chaer: 2004). Masalah kebahasaan yang dihadapi bangsa Filipina 393
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
agak mirip dengan keadaan di Indonesia, tetapi tampaknya persoalan yang mereka hadapi lebih ruwet. Dengan demikian hingga saat ini untuk komunikasi kenegaraan dan komunikasi antar suku masih digunakan bahasa Inggris, diseluruh wilayah Filipina. Indonesia kini tengah berpacu dengan waktu dalam menyambut pelaksanaan pasar bebas Asia Tenggara atau biasa disebut dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan dimulai pada tahun 2015. Pembahasan Alokasi fungsional bahasa Fungsi Sosiolinguistik Bahasa Secara sederhana, bahasa dapat diartikan sebagai alat untuk menyampaikan sesuatu yang terlintas di dalam hati. Namun, lebih jauh bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau alat untuk berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau perasaan. Dalam studi sosiolinguistik, bahasa diartikan sebagai sebuah sistem lambang, berupa bunyi, bersifat arbiter, produktif, dinamis, beragam dan manusiawi. Menurut Anton M. Moeliono (2007:38) mengatakan bahwa fungsi bahasa adalah alat komunikasi manusia baik tertulis maupun lisan. Bagi sosiolinguistik konsep bahwa bahasa adalah alat atau berfungsi untuk menyampaikan pikiran dianggap terlalu sempit, sebab seperti dikemukakan oleh Anton M.Moeliono (2007) bahwa yang menjadi persoalan sosiolinguistik adalah “ who speak what language to whom, when and to what end”. Oleh karena itu, fungsifungsi bahasa itu antara lain dapat dilihat dari segi penutur, pendengar, topic, kode dan amanat pembicaraan. Dilihat dari segi penutur, maka bahasa itu berfungsi personal atau pribadi. Maksudnya, si penutur menyatakan sikap terhadap apa yang dituturkannya. Si penutur bukan hanya mengungkapkan emosi lewat bahasa, tetapi juga memperlihatkan emosi itu sewaktu menyampaikan tuturannya. Dilihat dari segi pendengar atau lawan bicara, maka bahasa itu berfungsi direktif, yaitu mengatur tingkah laku pendengar. Disini bahas itu tidak “hanya membuat si pendengar melakukan sesuatu, tetapi melakukan kegiatan yang sesuai dengan yang dimulai si pembicara. Dilihat dari segi topic ujaran, maka bahasa itu berfungsu referensial. Disini bahasa itu berfungsi sebagai alat untuk membicarakan objek atau peristiwa yang ada di sekeliling penutur
394
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
atau yang ada dalam budaya pada umumnya. Fungsi referensial inilah yang melahirkan paham tradisional bahwa bahasa itu adalah alat untuk menyampaikan pikiran, untuk menyatakan bagaimana pendapat sipenutur tentang dunia di sekelilingnya. Dilihat dari segi kode yang digunakan, maka bahasa itu berfungsi metalingual atau metalinguistik (Chaer dan Leonie Agustina:2004), yakni bahasa itu digunakan untuk membicarakan bahasa itu sendiri. Tetapi dalam fungsinya di sini bahasa itu digunakan untuk membicarakan atau menjelaskan bahasa. Hal ini dapat dilihat dalam proses pembelajaran bahasa dimana kaidah-kaidah atau aturan-aturan bahasa dijelaskan dengan bahasa. Dilihat dari segi amanat yang akan disampaikan maka bahasa itu berfungsi imajinatif. Sesungguhnya bahasa itu dapat digunakan untuk menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan, baik yang sebenarnya maupun yang hanya imajinasi (khayalan, rekaan).. Bahasa Negara Setelah 28 Oktober 1928 tanggal penting lainnya bagi Bahasa Indonesia adalah 18 Agustus 1945. Pada tanggal tersebut Bahasa Indonesia ditetapkan sebagai Bahasa Negara. Ketetapan ini tercantum dalam pasal 36 UUD 1945 yang berbunyi: Bahasa Negara adalah Bahasa Indonesia. Jadi, dapat disimpulkan bahwa Bahasa Negara adalah sebuah sistem linguistik yang secara resmi kenegaraan. Artinya, segala urusan kenegaraan, administrasi kenegraan, dan kegiatan-kegiatan kenegaraan dijalankan dengan menggunakan bahasa itu. Selain sebagai bahasa Negara, Bahasa Indonesia juga menjadi bahasa nasional. Dengan menjadi bahasa nasional, maka Bahasa Indonesia menjadi lambang kebanggan nasional, lambang identitas nasional, alat pemersatu, alat perhubungan antarwarga. Bahasa Resmi Bahasa resmi adalah sebuah sistem linguistik yang ditetapkan untuk digunakan dalam suatu pertemuan, seperti seminar, konferensi, rapat, dan sebagainya. Bahasa resmi merupakan satu atau lebih bahasa yang dipakai oleh pemerintah dalam menerbitkan maklumat-maklumat dan juga bahas yang dipakai oleh warganya untuk berhunbungan dengan intansi pemerintah secara resmi. Bahas resmi juga yang dipakai dalam pengajaran di intansi pendidikan.
395
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Bahasa Kebangsaan Bahasa kebangsaan merupakan sebuah bahasa yang melambangkan identity kebangsaan suatu bangsa atau Negara secara unik. Bahasa kebangsaan biasanya digunakan untuk wacana politik dan undang-undang dan ditetapkan sebagai kerajaan Negara tersebut. Setengah Negara mempunyai lebih dari satu bahasa kebangsan, seperti Kanada, yang menggunakan bahasa Perancis dan Inggris. Bahasa kebangsaan boleh jadi sama dengan bahasa resmi. Bahasa kebangsaan juga mngkin berbeda dengan bahasa yang umum digunakan rakyat Negara tersebut. Bahasa untuk Tujuan Khusus Bagi bangsa Indonesia ada dua fungsi bahasa Indonesia secara khusus dan sangat penting bagi kita pahami, yaitu sebagai nahasa nasional dan sebagai bahasa Negara. 1.Fungsi dan kedudukan Bahasa Indonesia sebagai nahasa nasional. Bahasa Indonesia digunakan sebagai pemersatu Bangsa Indonesia. Hal ini merupakan suatu terobosan yang sangat besar yang dilakukan oleh persatuan pemuda-pemuda Indonesia. Mereka menjadikan Bahasa Indonesia menjadi Bahasa Nasional Bangsa Indonesia. Kita tahu bahwa saat itu, sebelum tercetusnya Sumpah Pemuda, bahasa melayu dipakai sebagai lingua franca di seluruh kawasan tanah air kita. Hal itu terjadi berabad-abad sebelumnya. Dengan adanya kondisi semacam itu, masyarakat kita sama sekali tidak merasa bahwa bahasa daerahnya disaingi. Sebaliknya, mereka telah menyadari bahwa bahasa daerahnya tidak mungkin dapat dipakai sebagai alat perhubungan antar suku, sebab yang diajak komunikasi juga mempunyai bahasa daerah tersendiri. Adanya bahasa melayu yang dipakai sebagai lingua franca ini pun tidak akan mengurangi fungsi bahasa daerah. Bahasa daerah tetap dipakai dalam situasi kedaerahan dan tetap berkembang. Kesadaran masyarakat yang semacam itulah, khususnya pemuda-pemudanya yang mendukung lancarnya inspirasi tersebut. “Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional” yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 25-28 Februari 1975 antara lain menegaskan bahwa dalam kedudukannya bahasa nasional, Bahasa Indonesia berfungsi sebagai . a. Lambang kembanggan Nasional b. Lambang identitas nasional c. Sebagai Alat Pemersatu Berbagai Masyarakat yang Berbeda Latar belakang Sosial, Budaya dan Bahasanya. d. Sebagai Penghubung Antar Budaya Antar Daerah.
396
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
2.Fungsi dan kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara. Pada awalnya yaitu zaman penjajahan Belanda, bahasa yang digunakan untuk bahasa Negara adalah bahasa melayu. Selain itu, bahasa melayu merupakan bahasa Negara (resmi) kedua yang dipakai untuk golongan-golongan rendah.. bahasa Indonesia belum bisa tersebar bebas pada saat itu. Hanya segelintir orang yang berjiwa nasionalis yang menggunakan Bahasa Indonesia. Bersamaan dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia diangkat pula. Bahasa Indonesia menjadi bahasa Negara. Hal ini tercantum dalam UUD 1945, Baab XV, pasal 36. Pengangkatan bahasa Indonesia menjadi bahasa Negara bukanlah hal mudah, banyak hal yang harus dipertimbangkan. Karena bila terjadi kesalahan dapat berakibat ketidak stabilan suatu Negara. Dalam “Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional” yang diselenggarakan di Jakarta tanggal 25 sampai dengan 28 Februari 1975 dikemukakan bahwa di dalam kedudukannya sebagai bahasa Negara, bahasa Indonesia adalah sebagai berikut. a. Bahasa resmi kenegaraan b. Bahasa pengantar resmi di Dunia Pendidikan. c. Bahasa remi dalam perhubungan pada tingkat Nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintahan. d. Bahasa resmi dalam pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta teknologi modern. Bahasa dalam Dunia Pendidikan Fungsi Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam lembaga-lembaga pendidikan harus dilaksanakan dengan komprehensip sehingga lembaga pendidikan, dalam proses belajarmengajarnya Bahasa Indonesia digunakan sebagai pengantar dalam penyajian materi-materinya. Berkaitan dengan hal ini, muncul fenomena menarik dan sebuah kekhawatiran dengan adanya Sekolah Nasional Berstandar Internasional (SNBI). Kekhawatiran segolongan masyarakata terhadap keberadaan dan eksistensi Bahasa Indonesia dalam SNBI muncul, sebab bahasa pengantar yang digunakan di Sekolah Nasional Berbasis Internasional dalam beberapa mata pelajaran adalah bahasa asing. Padahal kalau kembali ke fungsi bahasa Indonesia, salah satunya adalah bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan. Seiring dengan itu, munculnya Sekolah Nasional Berstandar Nasional (SNBI) menimbulkan kegalauan akan hilangnya Bahasa Indonesia di arena pelaku pendidikan. Para pelauk pendidikan akan selalu berkutat dalam bahasa Internasional, sehingga bahasa warisan bangsa akan semakin lapuk dimakan rayap modernisasi.
397
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Pada dasarnya kekhawatiran seperti itu adalah hal yang biasa, namun jika desas-desus ini terus bergulir mengikuti perkembangan zaman, maka secara otomatis akan menimbulkan virus-virus yang bisa menciptakan jurang pemisah antara SNBI dengan sekolah nin SNBI. Orang tua akan merasa bimbang menitipkan anak mereka. Ada rasa ragu diantara memilih menjaga budaya bangsa dengan mengikuti tren modernisasi bahasa. Para orang tua akan dilema menentukan posisi dalam masalah tersebut. Sebenarnya, adanya Sekolah Nasional Berstandar Internasional (SNBI) tidak perlu memunculkan kekhawatiran akan hilangnya bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di dunia pendidikan. Hal ini karena penggunaan bahasa asing sebagai pengantar tidak diterapkan pada semua mata pelajaran. Penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar di SNBI hanya diterapkan pada beberapa mata pelajaran. Memang, intensitas penggunaaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam proses KBM akan menjadi berkurang. Hal itu bisa disiasati dengan lebih mengefektifkan proses pembelajaran bahasa Indonesia dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Pelajaran lebih banyak diarahkan kepada hal-hal yang bersifat teoritis. Siswa lebih banyak dikondisikan pada pemakaian bahasa yang aplikatif tetapi sesuai dengan aturan berbahasa Indonesia secara baik dan benar. Masyarakat ekonomi ASEAN Masyarakat ekonomi ASEAN adalah sebuah integrasi ekonomi ASEAN dalam menghadapi perdagangan bebas antarnegara-negara ASEAN. Seluruh negara anggota ASEAN telah menyepakati perjanjian ini. MEA dirancang untuk mewujudkan wawasan ASEAN 2020. Dalam menghadapi persaingan yang teramat ketat selama MEA ini, negara-negara ASEAN haruslah mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) yang terampil, cerdas, dan kompetitif. Masyarakat Ekonomi ASEAN atau biasa yang disingkat menjadi MEA secara singkatnya bisa diartikan sebagai bentuk integrasi Ekonomi ASEAN yang artinya semua negara-negara yang berada dikawasan Asia Tenggara (ASEAN) menerapkan sistem perdagangan bebas. Indonesia dan seluruh negara-negara ASEAN lainnya (9 negara lainnya) telah menyepakati perjanjian MEA tersebut atau yang dalam bahasa Inggrisnya adalah ASEAN Economy Community atau AEC. Pengertian Masyarakat Ekonomi ASEAN secara umum, Masyarakat Ekonomi ASEAN diartikan sebagai sebuah masyarakat yang saling terintegrasi satu sama lain dimana adanya perdagangan bebas diantara negara-negara anggota ASEAN yang telah disepakati bersama antara pemimpin-pemimpin negara-negara ASEAN untuk mengubah ASEAN menjadi kawasan yang lebih stabil, makmur dan kompetitif dalam pembangunan ekonomi.
398
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Pengertian Masyarakat Ekonomi ASEAN menurut ASEAN.ORG Halaman resmi organisasi internasional ASEAN menyatakan bahwa Masyarakat Ekonomi ASEAN merupakan tujuan dari integrasi ekonomi regional kawasan Asia Tenggara yang diberlakukan pada tahun2015. Di bawah ini beberapa dampak positif atau manfaat dari Masyarakat Ekonomi ASEAN itu sendiri. 1. Masyarakat Ekonomi ASEAN akan mendorong arus investasi dari luar masuk ke dalam negeri yang akan menciptakan multiplier effect dalam berbagai sektor khususnya dalam bidang pembangunan ekonomi. 2. Kondisi pasar yang satu (pasar tunggal) membuat kemudahan dalam hal pembentukan joint venture (kerjasama) antara perusahaan-perusahaan diwilayah ASEAN sehingga akses terhadap bahan produksi semakin mudah. 3. Pasar Asia Tenggara merupakan pasar besar yang begitu potensial dan juga menjanjikan dengan luas wilayah sekitar 4,5 juta kilometer persegi dan jumlah penduduk yang mencapai 600 juta jiwa. 4. MEA memberikan peluang kepada negara-negara anggota ASEAN dalam hal meningkatkan kecepatan perpindahan sumber daya manusia dan modal yang merupakan dua faktor produksi yang sangat penting. 5. Khusus untuk bidang teknologi, diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN ini menciptakan adanya transfer teknologi dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang yang ada diwilayah Asia Tenggara. Itulah lima dampak positif atau manfaat diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN yang mulai berlangsung pada tahun 2015. Sebelumnya juga dijelaskan sekilas mengenai MEA dan juga pengertiannya dari berbagai sumber terpercaya.
Simpulan Bahasa Indonesia adalah dialek baku Bahasa Melayu yang pokoknya berasal dari Bahasa Melayu Riau, hal ini sesuai dengan apa yang pernah diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara dalam Kongres Bahasa Indonesia 1 tahun di Solo, Jawa Tengah. Bahasa Indonesia diresmikan pada Kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 18 Agustus 1945. Bahasa Indonesia merupakan bahasa dinamis yang hingga sekarang terus menghasilkan kata-kata baru, baik
399
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
melalui penciptaan, maupun penyerapan dari bahasa daerah dan asing. Pendek kata, Bahasa Indonesia akan terus berkembang laksanaberkembangnya zaman. Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia, sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 36. Bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa, sebagaimana disiratkan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. “Kami Berbahasa Satu, Bahasa Indonesia”. Meski demikian, hanya sebagian kecil dari penduduk Indonesia yang benar-benar menggunakannya sebagai bahasa ibu dan bahasa persatuan. Sebagai bahasa Negara, bahasa Indonesia mempunyai beberapa fungsi yang perlu dicermati, pertama bahasa Indonesia adalah sebagai bahasa resmi Negara. Kedua, bahasa adalah alat perhubungan bagi kepentingan roda pemerintahan dan pembangunan. Selanjutnya, Bahasa adopsi dari Bahasa Melayu ini merupakan alat pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan. Terakhir, bahasa yang bermula dari ejaan Van Ovhusyen ini ialah bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan. Masyarakat ekonomi ASEAN adalah sebuah integrasi ekonomi ASEAN dalam menghadapi perdagangan bebas antarnegara-negara ASEAN. Masyarakat Ekonomi ASEAN atau biasa yang disingkat menjadi MEA secara singkatnya bisa diartikan sebagai bentuk integrasi Ekonomi ASEAN yang artinya semua negara-negara yang berada dikawasan Asia Tenggara (ASEAN) menerapkan sistem perdagangan bebas.
Daftar Pustaka Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 2004. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta Chaer, Abdul. 2013. Pembinaan Bahasa Indonesia. Jakarta; Rineka Cipta http://fungsibahasaindonesia22bandit33oran.blogspot.com/2013/01/makalah-fungsi-bahasaindonesia.html http://perananbahasa.blogspot.org/wiki/Bahasa_kebangsaan http://rubrikbahasa.wordpress.com/2009/04/02/bahasa-negara-bahasanasional/ http://rantautolang.blogspot.com/2011/03/esensi-bahaasa-indonesia-dalam-dunia.html Moeliono.M.A. 2007. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Jakarta: Jambatan Sukasosial.blogspot.com/2015/08/masyarakat-ekonomi-asean.html http://pemahamanmae2015.blogspot.com/2015/01/jurnal-mea-2015.html
400
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
PEMANFAATAN MEDIA INTERAKTIF PANTUN BERBASIS PENDEKATAN SAINTIFIK SEBAGAI UPAYA UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR PANTUN PADA KELAS XI AKSELERASI SMAN 1 GARUT Yulianti SMAN 1 Garut Abstrak Makalah ini merupakan best practice yang disusun berdasarkan pengalaman penulis mengajar kelas akselerasi. Tugas dan tanggung jawab guru di kelas akselerasi lebih kompleks karena waktu yang lebih sedikit dibanding dengan kelas reguler. Hal ini menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai usaha yang lebih dinamis dan kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran peserta didik. Adapun yang menjadi rumusan masalah pada best practice ini adalah (1) Bagaimana proses pembuatan media interaktif pembelajaran Pantun yang berbasis saintifik?, dan (2) Apakah pemanfaatan media interaktif Pantun berbasis pendekatan saintifik efektif dalam meningkatkan hasil belajar Pantun pada siswa kelas akselerasi SMAN 1 Garut?Untuk menjawab rumusan masalah tersebut, penulis mengumpulkan data melalui tes tertulis dan skala sikap untuk memperoleh tanggapan terhadap proses pembelajaran.Setelah dilakukan analisis terhadap data penelitian penggunaan media interaktif pantun yang berbasis saintifik, diperoleh hasil bahwa waktu pembelajaran menjadi lebih efektif, adanya peningkatan hasil belajar, dan tercapainya kepuasan siswa selama mengikuti pembelajaran. Kata kunci: media interaktif, saintifik, pantun
Pendahuluan A. Latar Belakang Setiap manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam kehidupan termasuk memperoleh pelayanan pendidikan, begitu juga dengan anak yang memiliki kebutuhankebutuhan khusus. Anak cerdas istimewa termasuk anak yang memiliki kebutuhan khusus. Program percepatan (akselerasi) merupakan program yang memberikan layanan pendidikan sesuai potensi siswa yang memiliki kecerdasan dan kemampuan belajar yang tinggi. Hal ini sesuai Undang-Undang No. 20 pasal 5 ayat 4 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menegaskan bahwa "Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus". Kurikulum sekolah akselerasi pada dasarnya sama dengan sekolah reguler, tetapi kurikulum akselerasi memfasilitasi percepatan dan pengayaan belajar. Hal ini sesuai dengan pendapat Pressey (Hawadi, 31:2006) bahwa akselerasi adalah sebagai suatu kemajuan yang diperoleh dalam program pengajaran, pada waktu yang lebih cepat atau usia yang lebih muda daripada yang konvensional. 401
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Pada kelas akselerasi, dalam satu tahun dibagi menjadi 3 semester. Setiap semester hanya selama 4 bulan. Untuk semester 1 kelas XI, jumlah KD yang harus diselesaikan adalah 27 KD, sementara waktu yang tersedia hanya 40 jam belum termasuk ulangan harian dan minggu cadangan. Ketika dirata-ratakan, satu kompetensi dasar hanya memiliki waktu kurang dari dua jam pelajaran. Akibatnya, siswa dibebani tugas yang begitu banyak demi “kejar setoran”. Oleh karena itulah, diperlukan media pembelajaran yang dapat membantu guru dan siswa dalam proses pembelajaran yang efektif, efisien dan menyenangkan. Adapun media yang dipilih oleh penulis adalah media interaktif yang berbentuk CD dan soft file yang diunggah di web sekolah. B. Rumusan Masalah Adapun yang menjadi rumusan masalah pada best practice ini adalah sebagai berikut. 1. Bagaimana proses pembuatan media interaktif pembelajaran Pantun yang berbasis saintifik? 2. Apakah pemanfaatan media interaktif Pantun berbasis pendekatan saintifik efektif dalam meningkatkan hasil belajar Pantun pada siswa kelas akselerasi SMAN 1 Garut?
Kajian Pustaka A. Media Interaktif Untuk mengatasi permasalahan mengenai waktu yang singkat yang mengakibatkan pemahaman materi kurang optimal, penulis menggunakan media pembelajaran. Menurut Sadiman, dkk. (2009: 7) media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan minat siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi. Media yang digunakan penulis adalah media audio visual yang berbentuk cakram padat interaktif dan soft file yang diunduh di web. Dalam bahan ajar interaktif ini, pengguna (peserta didik) terlibat interaksi dua arah dengan bahan ajar yang sedang dipelajari. B. Pendekatan Saintifik Media interaktif ini berisi materi yang penyajiannya disajikan secara saintifik. Hal ini sejalan dengan perubahan kurikulum pendidikan di Indonesia saat ini. Dalam Modul Pendekatan dan Strategi Pembelajaran (Kemdikbud, 2013: 1) dijelaskan konsep dasar pendekatan saintifik yang merupakan pendekatan dalam mengimplementasikan kurikulum 2013. Proses pembelajaran pada kurikulum 2013 dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan saintifik. Dalam lampiran Permendikbud Nomor 81A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum, diuraikan langkah-langkah pendekatan saintifik dalam pembelajaran meliputi hal-hal sebagai berikut. 402
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
a. Mengamati Kegiatan
mengamati
dalam
pembelajaran
sebagaimana
disampaikan
dalam
Permendikbud Nomor 81A Tahun 2013, “hendaklah guru membuka secara luas dan bervariasi kesempatan peserta didik untuk melakukan pengamatan melalui kegiatan: melihat, menyimak, mendengar, dan membaca.” b. Menanya Dalam Permendikbud Nomor 81A Tahun 2013, kegiatan menanya adalah mengajukan pertanyaan tentang informasi yang tidak dipahami dari apa yang diamati atau pertanyaan untuk mendapatkan informasi tambahan tentang apa yang diamati (mulai dari pertanyaan faktual sampai ke pertanyaan yang bersifat hipotetik). c. Mengumpulkan Informasi (Mencoba) Dalam Permendikbud nomor 81A Tahun 2013, aktivitas mengumpulkan informasi dilakukan melalui eksperimen, membaca sumber lain selain buku teks, mengamati objek/kejadian, aktivitas wawancara dengan narasumber, dan sebagainya. d. Mengasosiasi (Menalar) Kegiatan mengasosiasi (menalar) dalam Permendikbud Nomor 81A tahun 2013 adalah memproses
informasi
yang sudah dikumpulkan
baik terbatas
dari
hasil
kegiatan
mengumpulkan/eksperimen maupun hasil dari kegiatan mengamati dan kegiatan mengumpulkan informasi. e. Mengomunikasikan Kegiatan “mengomunikasikan” dalam kegiatan pembelajaran sebagaimana disampaikan dalam Permendikbud Nomor 81A Tahun 2013 adalah menyampaikan hasil pengamatan, kesimpulan berdasarkan hasil analisis secara lisan, tertulis, atau media lainnya. Pembahasan Masalah A. Pembuatan Media Interaktif Pembelajaran Pantun yang Berbasis Saintifik Alur proses pembuatan media interaktif untuk materi pantun adalah sebagai berikut.
Identifikasi Kebutuhan dan Karakteristik Siswa
Perumusan Tujuan
Perumusan Materi
Penulisan Naskah Media
Revisi
Naskah Siap Produksi
Gambar 1 Alur Pembuatan Media Interaktif
403
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
a. Identifikasi Kebutuhan dan Karakteristik Siswa Kelas akselerasi dengan waktu yang dipercepat membutuhkan sebuah media yang dapat memfasilitasi siswa untuk dapat belajar sendiri yang efektif, efisien dan menyenangkan. Pembelajaran bahasa Indonesia selama ini lebih bersifat ‘yang penting materi tersampaikan semua’ tanpa memperhatikan kedalaman pemahaman siswa terhadap materi tersebut. Akibatnya, nilai yang diperoleh siswa selama ini belum optimal. b. Perumusan Tujuan Tujuan pembelajaran yang terdapat dalam media interaktif Pantun ini disesuaikan dengan tujuan yang tercantum dalam kurikulum 2013. c. Perumusan Materi Materi berkaitan dengan substansi isi pelajaran yang harus diberikan. Materi yang dirumuskan dalam media interaktif ini diambil dari buku pegangan siswa yang diperkaya dari berbagai sumber. Bahan ajar pembelajaran pantun dikembangkan dengan memuat empat bagian yaitu memahami, menginterpretasi, membandingkan, dan memproduksi. Pada setiap akhir bagian tersebut dilengkapi dengan evaluasi. Selain itu, pada bagian memahami dilengkapi dengan video lagu yang berisi pantun dan video penggunaan pantun di masyarakat untuk memberikan fakta kepada siswa mengenai pantun. d. Penulisan Naskah Media Materi yang telah dirumuskan, disusun dalam media interaktif yang dikembangkan dengan menggunakan aplikasi macromedia flash CS5.5. Adapun proses pembuatan media interaktif adalah sebagai berikut. 1) Membuat rancangan tampilan visual menggunakan Adobe Photoshop (membuat background, bentuk tombol) 2) Mengatur bidang kerja (yang dibuat 800 pixel x 600 pixel) 3) Memasukkan background dan tombol-tombol ke dalam library Adobe Macromedia Flash 4) Memasukkan background dan tombol-tombol ke dalam keyframe pada timeline 5) Membuat layerbackround, tulisan, tombol, dan lainnya yang akan dimasukkan ke dalam layer secara terpisah dalam satu timeline 6) Mengatur lamanya setiap tampilan pada timeline per halamannya (ada yang hanya satu keyframe, ada juga yang hingga puluhan frame tergantung ada tidaknya animasi maupun transisi lainnya) 7) Membuat file .fla masing-masing judul secara terpisah agar tidak berat saat disajikan 8) Memasukkan actionstop pada setiap keyframe yang kemudian dilanjutkan dengan menekan tombol 404
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
9) Mengatur perintah tombol, baik itu yang dalam satu timeline maupun ke file .swf yang berbeda 10) Setelah selesai, publishfile ke dalam bentuk file .swf, dan file pembukanya dalam bentuk .exe agar bisa dimainkan di PC manapun. e. Revisi Tahap revisi terdiri dari dua tahap yaitu pengujian dan pembahasan. f.
Naskah Siap Produksi Setelah proses perbaikan dilakukan, media interaktif siap diproduksi. Produk yang
dihasilkan dibuat dalam 3 bentuk, yakni berbentuk CD dan berbentuk soft file yang diunggah di web sekolah juga dimasukkan dalam flash disk. Target utama penulis adalah pemanfaatan media interaktif yang diunggah di web sekolah. Hal ini dimaksudkan agar mempermudah siswa dalam mengakses media interaktif ini tanpa harus membawa CD atau flash disk. Sementara itu, penyediaan media interaktif dalam bentuk CD dan flash disk untuk mengantisipasi apabila ada siswa yang tidak bisa membuka karena keterbatasan internet.
B. Implementasi Pendekatan Saintifik dalam Pembelajaran Pantun Proses pembelajaran pada kurikulum 2013 dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan saintifik. Adapun langkah-langkah pendekatan saintifik yang terdapat pada media interaktif pembelajaran pantun meliputi hal-hal sebagai berikut. a. Mengamati Pada media interaktif pantun ini, siswa diberikan kesempatan untuk mengamati sebuah video lagu Rasa Sayange yang memuat pantun. Dalam video tersebut juga digambarkan film dokumenter tentang keadaan Indonesia pada zaman Belanda yang menggunakan lagu Rasa Sayange sebagai musik pengiring. Hal tersebut diharapkan dapat membangkitkan rasa nasionalisme siswa terutama tentang pentingnya menjaga warisan budaya. b. Menanya Dalam media interaktif ini, kegiatan menanya bisa dilakukan siswa dengan menuliskan pertanyaan pada blog yang ditautkan dengan web sekolah yang memuat media interaktif ini. Selanjutnya, bagi siswa yang membuka media interaktif ini melalui CD atau soft file, pertanyaan yang muncul bisa disimpan untuk disampaikan ketika tatap muka. c. Mengumpulkan Informasi (Mencoba) Dalam media interaktif ini, materi telah dilengkapi dengan berbagai informasi baik berupa teori dari sumber lain maupun berupa bukti-bukti tayangan yang bisa diamati siswa. Setelah memahami materi yang terdapat dalam media tersebut, siswa dapat mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terdapat pada setiap akhir bagian materi. Pertanyaan-pertanyaan 405
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
tersebut dilengkapi dengan tanda betul atau salah dalam setiap jawaban yang tampil secara otomatis ketika siswa memilih jawaban yang tersedia. Siswa dapat kembali membuka materi yang belum dipahami ketika hasil jawaban masih salah. Selain itu, siswa memiliki kesempatan untuk menggali informasi lain secara lebih mendalam sesuai dengan kebutuhan karena media yang digunakan dapat diakses kapan saja dan di mana saja sebelum tatap muka di kelas sehingga siswa memiliki waktu yang cukup untuk memuaskan rasa ingin tahunya mengenai materi terkait. d. Mengasosiasi (Menalar) Dalam kegiatan ini, siswa dapat mencoba menghubungkan antara teori dengan contohcontoh yang disajikan dalam media interaktif secara individu sehingga menghasilkan sebuah kesimpulan sementara. Selanjutnya dalam proses pembelajaran di kelas, siswa dapat mendiskusikan kesimpulan sementaranya dalam sebuah kelompok. e. Mengomunikasikan Melalui media interaktif, kegiatan mengomunikasikan bisa secara langsung melalui blog yang terpaut dengan web yang memuat media interaktif tersebut dan mendapat tanggapan langsung dari teman-temannya dalam satu komunitas atau dapat juga secara langsung dikomunikasikan di kelas ketika proses pembelajaran berlangsung. Hal yang dapat dikomunikasikan dapat berupa hasil memahami, menginterpretasi, membandingkan, ataupun hasil memproduksi.
C. Hasil atau Dampak yang Dicapai Setelah proses pembelajaran menggunakan media interaktif pembelajaran pantun, diperoleh hasil sebagai berikut. a. Efektivitas Waktu Penggunaan waktu dalam proses pembelajaran digambarkan sebagai berikut. Tabel 1 Penggunaan Waktu dalam Proses Pembelajaran dengan Menggunakan Media Interaktif Pantun No. 1
Kegiatan Guru Kegiatan Siswa Waktu Kegiatan Pendahuluan 10’ 1)Membuka pelajaran dengan salam 1)Siswa merespon salam 2)Melakukan apersepsi mengenai pembelajaran sebelumnya 2)Siswa menerima informasi tetang keterkaitan pembelajaran 406
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
2
3
sebelumnya dengan pembelajaran yang akan dilaksanakan. 3)Menjelaskan kompetensi, materi, 3)Siswa menerima informasi tujuan, manfaat, dan langkah-langkah tentang kompetensi, materi, pembelajaran yang akan dilaksanakan tujuan, manfaat, dan langkahlangkah pembelajaran yang akan dilaksanakan Kegiatan inti 1)Guru memberikan kesempatan 1)Siswa bertanya jawab setelah 10’ kepada siswa untuk bertanya jawab mempelajari pantun dengan setelah mempelajari pantun dengan menggunakan media interaktif menggunakan media interaktif 2)Guru membagi siswa ke dalam 2)siswa dibagi ke dalam beberapa beberapa kelompok kelompok 5’ 3)Guru mempersilakan siswa untuk 3)Siswa mengomunikasikan hasil mengomunikasikan hasil penemuannya mengenai Pantun 15’ penemuannya mengenai Pantun yang yang ditanggapi oleh siswa lain ditanggapi oleh siswa lain 4)Siswa membuat pantun secara 4)Guru menugaskan siswa untuk perorangan dalam kelompok membuat pantun secara perorangan 5)Siswa mengomunikasikan dalam kelompok pantun yang telah dibuatnya yang 20’ 5) Guru mempersilakan siswa untuk ditanggapi oleh siswa lain mengomunikasikan pantun yang telah dibuatnya yang ditanggapi oleh siswa 20’ lain Kegiatan Penutup 10’ 1)Bersama siswa, menyimpulkan 1)Bersama guru, menyimpulkan materi pembelajaran dan nilai sikap materi pembelajaran dan nilai yang perlu diperkuat dalam diri siswa sikap yang perlu diperkuat dalam 2)Bersama siswa, melakukan refleksi diri siswa terhadap kegiatan yang telah 2)Bersama guru, melakukan dilakukan. refleksi terhadap kegiatan yang telah dilakukan. 3)Memberikan informasi kompetensi 3)Menyimak informasi yang dipelajari pada pertemuan kompetensi yang dipelajari pada berikutnya. pertemuan berikutnya. Dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan media interaktif dapat mengefektifkan
waktu pembelajaran di kelas karena ada beberapa tahapan pembelajaran yang bisa dilakukan siswa secara mandiri di luar kelas yaitu pada tahapan memahami, menanya, mengumpulkan data, mengasosiasi, bahkan mengomunikasikan. Proses pembelajaran di kelas sifatnya penyempurnaan tahapan-tahapan tersebut, seperti tahapan menanya, mengasosiasi, dan mengomunikasikan lebih lanjut.
407
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
b. Peningkatan Hasil Belajar Setelah proses pembelajaran dengan menggunakan media interaktif Pantun, hasil belajar siswa sangat memuaskan. Dengan perolehan nilai terendah 80 dan tertinggi 100. Berikut ini adalah nilai ulangan harian pantun siswa secara lengkap.
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
Tabel 2 Nilai Ulangan Harian Pantun Siswa Kelas XI Akselerasi Nama Nilai Ahmad Faris Abdulloh 90 Asti Andriani Putri 83 Beryl Clearly Hermanto 95 Dhanisa Rahmi Sofiawati 95 Ega Raisya 88 Feri Arosa 91 Fikri Luthfi Budiman 80 Gema Muhammad 85 Ghassani Izlyn Fathara Sri N. 91 Ghifariyatu Rohimah 95 Gina Nur’aini Buchory 96 Hardian 96 Ida Setia Lestari 97 Ilham Fauzi Noer Putra 80 Jhody Satia Pribadi 86 Jimmi 81 Joshua Evangelli 86 Laylia Nabilajauza Salmaisya 100 M. Abdul Malik Fajar 87 M. Zihad Zidan 97 Nisaa Alberta Wishnuartini 86 Novan Rifky Lutfhyansyah 84 Nur Mahmud Ismail 95 Ockeu Ainoersalas K. 93 Putri Utami Rynaldi 87 R. Napisah Assayyidah 91 Rena Nur Fitria K. 80 Rifan Azki Maulid 93 Rifanni Julianti 93 Rofa Hasna Nafisah 84 Rohmat Gunawan Yusuf 96 Sabrina Daniswara 88 Seni sumiati 91 Shaffiratul Aziz 80 Sheila Nur Azijah 93 Yuceu Sania Kamulyan 80 Zulfan Dwi Respati 81
c. Kepuasan Siswa Untuk mendapatkan masukan mengenai penggunaan media interaktif Pantun, penulis menyebarkan angket kepada siswa yang berisi pertanyaan-pertanyaan tentang keefektifan dan 408
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
kemenarikan media interaktif yang digunakan. Sebagian besar siswa berpendapat bahwa media interaktif yang digunakan sangat membantu dan mempermudah mereka dalam memahami materi karena tampilannya yang menarik dan tidak membosankan. Selain itu, sebagian besar siswa merasa media interaktif yang ditayangkan sudah bagus dan banyak kelebihannya karena dilengkapi dengan gambar, audio, dan video, tetapi ada sebagian siswa yang menyarankan agar ada tombol untuk mempercepat tayangan dan tombol on/off musik karena tidak semua siswa suka belajar dengan diiringi musik. Adapun saran yang disampaikan oleh sebagian besar siswa adalah agar lebih banyak lagi memproduksi media pembelajaran interaktif karena dapat mempercepat proses pembelajaran.
Simpulan dan Saran Simpulan Berdasarkan pengalaman pembelajaran dengan menggunakan media interaktif Pantun berbasis pendekatan saintifik di kelas XI akselerasi SMAN 1 Garut, dapat disimpulkan sebagai berikut. 1. Permasalahan yang terdapat pada kelas akselerasi adalah waktu yang lebih sedikit mengingat akselerasi adalah kelas percepatan yang membuat waktu belajar di SMA menjadi 2 tahun. 2. Penggunaan media interaktif terbukti berhasil membuat pembelajaran menjadi lebih cepat karena ada beberapa langkah pembelajaran yang bisa dilakukan secara mandiri di rumah sehingga pembelajaran di kelas hanya tinggal penyempurnaan. Sisa waktu yang cukup banyak dapat digunakan untuk lebih mengasah keterampilan siswa. Saran Saran yang berkaitan dengan best practice ini adalah sebagai berikut. 1. Penerapan media interaktif pantun ini membutuhkan peralatan yang mendukung seperti laptop dan jaringan internet yang memadai agar lebih optimal. 2. Guru diberikan pelatihan pemanfaatan program-program komputer yang lebih dari sekadar Microsoft excel, Microsoft word, dan Microsoft power point agar dapat lebih variatif dalam membuat media pembelajaran.
409
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Daftar Pustaka Akbar, R. - Hawadi (Ed). (2004). Akselerasi: A-Z informasi program percepatan belajar. Jakarta: Grasindo Widiasarana Indonesia. Sadiman, A. S. dkk. (2009). Media pendidikan: pengertian, pengembangan, dan pemanfaatannya. Jakarta: Rajawali Press. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. (2013). Modul pendekatan dan strategi pembelajaran. Jakarta: Kemdikbud.
410
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
PANDANGAN SISWA SMA TENTANG PENTINGNYA BAHASA INDONESIA BAGI PEKERJA ASING:STUDI TENTANG KEDUDUKAN DAN FUNGSI BAHASA INDONESIA
Yusra Alfarizi (Duta Bahasa Pelajar, Jawa Barat)
[email protected]
Abstrak Bahasa Indonesia memiki kedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara dengan berbagai fungsinya. Apa yang membedakan bangsa satu dengan bangsa lainnya? Tentu saja, bahasa yang membedakannya. Sebuah peribahasa yang sudah sangat pekat untuk menunjukkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia adalah ‘Bahasa menunjukkan bangsa’. Hal ini berarti bahwa bahasa menunjukkan latar belakang bangsa, ras, dan etnis penuturnya. Misalnya, bangsa Sunda dan bangsa Jawa, tentu saja yang membedakan kedua bangsa ini adalah bahasanya. Ketika orang Sunda tidak menggunakan bahasa Sunda, mereka bukan lagi orang Sunda. Oleh karena itu, ketika bahasa Indonesia memiliki grafik penutur yang fluktuatif setiap tahunnya, bukan hanya bahasa Indonesia yang terancam musnah, melainkan juga bangsa Indonesia. Faktanya, bahasa Indonesia hampir tergeser kedudukannya oleh bahasa asing. Hal ini tampak pada kebijakan pemerintah dalam menghapuskan bahasa Indonesia sebagai salah satu syarat bagi pekerja asing yang akan bekerja di Indonesia. Lalu, bagaimanakah pentingnya bahasa Indonesia bagi para pekerja asing yang akan bekerja di Indonesia? Penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode angket yang digunakan sebagai alat untuk menjaring tanggapan dan pendapat para siswa SMA tentang hal tersebut. Penelitian dilakukan terhadap 100 siswa di SMA Negeri 1 Ciparay Kabupaten Bandung. Sampel penelitian ini diambil secara acak tanpa memperhatikan kelas, jenjang, dan jenis kelamin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 93% siswa SMA menyatakan bahwa bahasa Indonesia sangat penting bagi pekerja asing yang bekerja di Indonesia. 6% siswa SMA menyatakan bahwa bahasa Indonesia penting bagi pekerja asing yang bekerja di Indonesia, sedangkan 1% lainnya menyatakan bahwa bahasa Indonesia tidak begitu penting bagi pekerja asing yang bekerja di Indonesia. Kata kunci: pekerja asing, kedudukan dan fungsi bahasa, peran Pendahuluan Bahasa menunjukkan bangsa, begitu melekat peribahasa tersebut dalam benak kita. Bagaimana tidak? Pada tahun 2009 pemerintah menetapkan untuk mengembangkan bahasa Indonesia agar menjadi bahasa Internasional secara bertahap. Namun, yang terjadi adalah justru bangsa Indonesia tidak dikenali karena menuturkan bahasa asing di negara asing yang bersangkutan. Bahasa Indonesia yang sejatinya akan dikembangkan menjadi bahasa Internasional kini semakin memudar di kalangan bangsa Indonesia sendiri, hal ini
411
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
merupakan anomali bagi bahasa Indonesia. Faktanya, orang Indonesia lebih bangga menggunakan bahasa asing dibandingkan bahasa Indonesia, padahal mereka masih berada di negara Indonesia. Bahkan, pada tahun 2015 pemerintah membuat kebijakan untuk menghapuskan bahasa Indonesia sebagai syarat masuknya pekerja asing ke Indonesia. Hal ini merupakan pelecehan bagi bangsa Indonesia. Bagaimana tidak? Bangsa Indonesia sebagai tuan rumah harus melayani tamu dengan menggunakan bahasa asing. Jika hal ini terjadi bahasa Indonesia terancam punah. Hal ini benar-benar bertolak belakang dengan kebijakan pemerintah tahun 2009 tentang mengembangkan bahasa Indonesia ke jenjang Internasional. Padahal, kondisi akan menjadi ideal apabila pemerintah mewajibkan pekerja asing untuk menguasai bahasa Indonesia dengan rentang yang ditentukan. Ketika mereka belajar untuk menggunakan bahasa Indonesia, bangsa Indonesia dapat berkomunikasi dengan lebih baik, bahasa Indonesia dapat menyebar luas karena pekerja asing yang menguasai bahasa Indonesia, dengan begitu bahasa Indonesia sedikit demi sedikit akan menuju ke taraf internasional.
Metode Penelitian 1.
Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode angket yang digunakan sebagai alat untuk menjaring tanggapan dan pendapat para siswa SMA tentang hal tersebut.
2.
Langkah-langkah penelitian Langkah-langkah yang diambil untuk melaksanakan penelitian ini adalah sebagai berikut. a.
Pemilihan populasi dan sampel Populasi dalam penelitian ini adalah siswa-siswi SMANegeri 1 Ciparay Kabupaten Bandung tahun ajaran 2015-2016, kelas X, XI, dan XII. Dari populasi tersebut penulis memilih 100 siswa-siswi yang diambil dari 30 kelas.Dari 30 kelas tersebut, penulis memilih sampel sebanyak 30 orang dari kelas IPS, 10 orang dari kelas Bahasa, dan 60 orang dari kelas MIPA.
b.
Pengumpulan data Data tentang pentingnya bahasa Indonesia bagi warga negara asing yang bekerja di Indonesia dikumpulkan melalui angket. Angket tersebut disebarkan kepada 100 sampel, yakni 100 siswa-siswi SMA Negeri 1 Ciparay.
c.
Analisis data Data yang dianalisis dari 100 angket adalah data berupa respons siswa terhadap pentingnya berbahasa Indonesia bagi warga negara asing yang akan 412
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
bekerja di Indonesia. Respons dari siswa dapat beragam, mulai dari siswa yang mendukung kebijakan pemerintah yang menghilangkan kewajiban berbahasa Indonesia bagi pekerja asing sampai siswa yang benar-benar menolak kebijakan tersebut. d. 3.
Pelaporan hasil analisis data
Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengumpulkan informasi tentang pandangan para remaja, khususnya siswa-siswi SMA Negeri 1 Ciparay tentang pentingnya bahasa Indonesia bagi warga negara asing yang bekerja di Indonesia.
Pembahasan dan Hasil Penelitian 1. Pembahasan a.
Sekilas tentang Sejarah Lahirnya Bahasa Indonesia Bahasa Indonesia adalah satu kebanggaan bangsa Indonesia. Sebagai sebuah kebangganbangsa, bahasa Indonesia tidaklah diperoleh dengan mudah. Diperlukan perjuangan dan pengorbanan untuk menjadikannya kebanggaan bangsa. Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Melayu adalah bahasa yang digunakan di daerah Jambi sampai ke Palembang dan Pulau Bangka. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya beberapa prasasti di sekitar daerahdaerah tersebut. Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa kebudayaan, yaikni bahasa buku pelajaran agama Budha. Bahasa Melayu juga dipakai sebagai bahasa perhubungan antarsuku di Nusantara maupun sebagai bahasa yang digunakan terhadap para pedagang yang datang dari luar Nusantara. (Mulyadi, 2013: 7) Perkembangan dan pertumbuhan bahasa Melayu semakin jelas dari peninggalan kerajaan Islam. Hal ini ditandai dengan ditemukannya berbagai batu tulis, seperti batu tulis pada nisan. Selain itu, ditemukan juga berbagai karya sastra berbahasa Melayu, seperti Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-Raja, Sejarah Melayu Tjussalatin dan Bustanussalatin. Ketika kaum imperialis belum datang ke Indonesia, bahasa Melayu mendapatkan kedudukan yang sangat terhormat di antara bahasa lain. Selain digunakan sebagai bahasa penghubung antarbangsa, bahasa Melayu digunakan pula sebagai bahasa ilmiah dan bahasa kebudayaan. Ketika kaum imperialis datang ke Indonesia, terutama Belanda, kedudukan bahasa Melayu yang sangat terhormat tergeser oleh bahasa Belanda. Bahasa Melayu tergeser dan menjadi bahasa kedua setelah bahasa Belanda. 413
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Namun karena semangat nasionalisme yang sngat tinggi pada diri bangsa Indonesia, bahasa Belanda tidak mampu menggeser kedudukan bahasa Melayu meskipun bangsa Belanda menjajah bangsa Indonesia selama ratusan tahun. Semangat nasionalisme bangsa Indonesia ditandai dengan lahirnya Budi Utomo pada tahun 1908 yang diprakarsai oleh Dr. Soetomo. Berdirinya Budi Utomo telah memicu berdirinya organisasi lain yang menunjukkan semangat nasionalisme bangsa Indonesia, terutama kaum pemuda. Di antara organisasi tersebut adalah Sarekat Islam, Balai Pustaka, dan sebagainya. Pada akhir perjuangannya dalam memperjuangkan tanah air Indonesia, bangsa Indonesia, dan bahasa Indonesia, para pemuda mengikrarkan sebuah sumpah yang kita kenal dengan ‘Sumpah Pemuda’. Sumpah Pemuda tahun 1928 mengikrarkan tiga hal utama yang mereka perjuangkan saat itu: mengaku bertumpah darah satu, tanah air Indonesia; mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia; dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Sejak itulah, bahasa Indoensia memiliki kedudukan dan fungsi yang kuat di negara Indonesia. Kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia semakin kokoh sebagai bahasa nasional dan sebagai bahasa negara. b.
Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia Bahasa Indonesia yang dinyatakan sebagai bahasa resmi negara dalam Pasal 36 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 bersumber dari bahasa yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 sebagai bahasa persatuan yang dikembangkan sesuai dengan dinamika peradaban bangsa.(UU RI No.24 Tahun 2009: 13). Berdasarkan undang-undang tersebut, bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang di tanah air Indonesia ini sesuai dengan dinamika peradaban bangsa. Hal ini mengandung pengertian bahwa bangsa Indonesia sebagai pengguna bahasa Indonesia harus senantiasa mengikuti arus perkembangan zaman dan teknologi. Bangsa Indonesia yang diwakili oleh pemerintah Indonesia telah melakukan itu. Buktinya? Pada era informasi ini telah muncul berbagai istilah baru berbahasa Indonesia dalam bidang teknologi dan informasi. Tentu pemerintah juga tengah gencar mempersiapkan upaya-upaya kebahasaan dalam menghadapi MEA. Berdasarkan perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional yang diselenggarakan di Jakarta pada 25 s.d. 28 Februari 1975, sesuai dengan sejarah pertumbuhnnya bahasa Indonesia memiliki kedudukan sebagai bahasa nasional dan sebagai bahasa negara. Kedudukannya sebagai bahasa nasional melekat sejak diikrarkannya Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Sejak itulah bahasa 414
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Indonesia secara resmi telah diakui keberadaannya dan bangsa ini mempunyai kewajiban untuk menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa. Dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesai memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut. 1)
Lambang kebanggaan nasional Sebagai lambang kebanggaan nasional, bahasa Indonesia memancarkan nilai-nilai sosial budaya luhur bangsa Indonesia. Dengan keluhuran nilai yang mencerminkan keluhuran budi bangsa Indonesia, bahasa Indonesia harus menjadi kebanggaan bangsa Indonesia.
2)
Lambang identitas nasional Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia merupakan ‘lambang’ bagi bangsa Indonesia. Sebuah peribahasa mengungkapkan bahwa Bahasa menunjukkan bangsa. Bahasa Indonesia akan memberikan identitas bagi bangsa Indonesia.
3)
Alat pemersatu masyarakat yang berbeda-beda latar belakang sosial budaya dan bahasanya Bangsa Indonesia yang beragam akan merasa aman dan serasi hidupnya karena mereka tidak merasa bersaing dan tidak merasa lagi ‘dijajah’ oleh masyarakat suku lain. Bahasa Indonesia adalah pemersatu budaya, pemersatu suku bangsa, pemersatu bahasa.
4)
Alat perhubungan antarbudaya dan antardaerah Dengan bahasa Indonesia, seluruh bangsa Indonesia yang beragam suku, beragam budaya, beragam adat istiadat, dan bahkan beragam pula bahasanya, dapat dipersatukan. Bangsa Indonesia yang beragam dapat berkomunikasi dengan menggunakan satu bahasa pemersatu, yakni bahasa Indonesia. Bahasa daerah dalam hal ini berfungsi sebagai pemerkaya khazanah bahasa Indonesia.
Dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut. 1) Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kenegaraan Bahasa Indonesia digunakan dalam naskah-naskah dan dokumen resmi kenegaraan. Selain itu, bahasa Indonesia digunakan pula sebagai bahasa resmi pidato kenegaraan. 2) Bahasa Indonesia sebagai alat pengantar dalam dunia pendidikan
415
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pembelajaran di lembaga-lembaga pendidikan mulai taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. selain itu, bahasa Indonesia juga wajib digunakan dalam
media
pembelajaran seperti buku pelajaran. 3) Bahasa Indonesia sebagai penghubung pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintahan Bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa resmi dalam hubungan antarbadan pemerintah dan dalam penyebarluasan informasi kepada masyarakat. Karena itu, dalam hal ini harus diadakan penyeragaman sistem administrasi dan mutu media komunikasi agar isi atau pesan yang disampaikan dapat dengan cepat dan dengan mudah diterima oleh masyarakat. 4) Bahasa Indonesia sebagai pengembangan kebudayaan nasional, ilmu, dan teknologi Bahasa Indonesia digunakan dalam pnyebaran budaya nasional, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Untuk memperkenalkan kebudayaan daerah tertentu
kepada
daerah
lainnya
tidak
mungkin
dilakukan
dengan
menggunakan bahasa daerah itu sendiri, tetapi harus menggunakan bahasa Indonesia. c.
Pentingnya Bahasa Indonesia bagi Warga Negara Asing yang Bekerja di Indonesia Seperti dikemukakan pada pembahasan sebelumnya, kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia sangatlah penting. Salah satunya adalah bahasa Indonesia memiliki kedudukan sebagai bahasa negara dengan fungsi sebagai penghubung pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintahan. Bahasa Indonesia memiliki peran yang sangat penting bagi semua lapisan masyarakat di Indonesia. Berbagai bentuk hubungan nasional dalam berbagai bidang seperti ideologi, poitik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan, dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Kewajiban menggunakan bahasa Indonesia dalam hubungan tingkat nasional tentu tidak hanya berlaku untuk orang Indonesia. Kewajiban ini dikenakan pula kepada seluruh bangsa asing yang berada di Indonesia. Apalagi bangsa asing tersebut akan dan telah bekerja di Indonesia. Untuk apa pekerja asing menggunakan bahasa Indonesia? Tentulah untuk dapat berbicara (berkomunikasi) dengan bangsa Indonesia. Apa itu berbicara? Untuk apa kita berbicara? Berbicara berarti berkata, bercakap, berbahasa 416
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
(KBBI, 1996: 130). Berbicara merupakan proses perubahan bentuk pikiran/ angan-angan/ perasaan, dan sebagainya menjadi wujud bunyi bahasa yang bermakna (Tarigan, 1985: 48). Berbicara ‘speaking’ adalah suatu proses keterampilan berbahasa. Dell Hymes (1968) dalam Lubis (1991) mengemukakan adanya faktorfaktor yang menandai terjadinya suatu proses/ peristiwa tutur dengan singkatan
S P E A K I N G, yang mengandung maksud dalam setiap
fonemnya. S
:
Settingandscene ‘latar’ ;
P
:
Participant
E
:
Ends ‘hasil’ ;
A
:
Act sequence ‘pesan’ ;
K
:
Keys
I
:
Instrumentalities ‘sarana’ ;
N
:
Norms
G
:
Genre ‘jenis’.
‘partisipan’ ;
‘cara’ ; ‘norma’, ‘aturan’ ; dan
a. Settingandscene ‘latar’ Setting atau latar mengacu pada waktu dan tempat sebuah peristiwa tutur yang pada umumnya berupa lingkungan fisik. b. Participant
‘partisipan’
Participant mengacu pada penutur
dan petutur ‘speaker and
audience’. c. Ends ‘hasil’ Ends mengacu pada maksud ‘purposes’, tujuan ‘goals’, dan hasil ‘outcomes’. d. Act sequence ‘pesan’ Act sequence mengacu pada pesan dan urutan peristiwa. e. Keys ‘cara’ Keys mengacu pada cara yang menentukan nada bicara ‘tone’, cara ‘manner’ atau semangat ‘spirit’ pada tindak tutur. f. Instrumentalities ‘sarana’ Instrumentalities mengacu pada bentuk dan gaya ujaran. g. Norms ‘norma’
417
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Norma mengacu pada aturan-aturan sosial yang mengatur peristiwa, aksi, an reaksi partisipan. h. Genre ‘jenis’ Genre mengacu pada jenis ujaran atau peristiwa. Dengan demkian, bangsa asing jelas harus menggunakan bahasa Indonesia ketika melakukan proses berbicara dengan bangsa Indonesia. Untuk mewujudkan angan-angan, perasaan, pikiran, dan ide, tentu bahasa Indonesia sangatlah penting ketika proses komunikasi itu dilakukan di Indonesia. Bagaimana mungkin komunikasi lisan dilakukan ketika satu pihak dengan pihak lainnya menggunakan bahasa yang berbeda-beda. Jadi, bahasa Indonesia bagi para pekerja asing di Indonesia jelas sangat penting. Untuk dapat bekerja di Indonesia, bangsa asing sekurang-kurangnya dapat memanfaatkan bahasa Indonesia untuk hal-hal berikut ini. 1)
Untuk berkomunikasi dengan orang Indonesia
2)
Untuk memperkenalkan identitas personal dan profesional
3)
Untuk bersinergi dan bekerja sama dengan para pekerja Indonesia
4)
Untuk
mengungkapkan
pikiran/
gagasan
tentang
pekerjaan
yang
dibidanginya 5)
Untuk memahami proses pekerjaan yang harus dilakukan
6)
Untuk mengembangkan pekerjaan yang dibidanginya
2. Hasil Penelitian tentang Pentingnya Bahasa Indonesia bagi Warga Negara Asing yang Bekerja di Indonesia Bagaimanakah pandangan para siswa SMA tentang pentingnya bahasa Indonesia bagi para pekerja asing di Indonesia? Berikut ini akan dibahas hasil penelitian tentang pentingnya bahasa Indonesia bagi pekerja asing di Indonesia. Tabel berikut menunjukkan hasil penelitian tersebut. No a.
b.
c.
Item Kuesioner Bahasa Indonesia sangat penting bagi warga negara asing yang bekerja di Indonesia Bahasa Indonesia cukup penting bagi warga negara asing yang bekerja di Indonesia Bahasa Indonesia tidak begitu penting bagi warga negara asing yang bekerja di Indonesia
Jumlah 93 orang
6 orang
1 orang
Tabel di atas memberikan penjelasan bahwa pada umumnya para siswa menganggap bahwa bahasa Indonesia sangat penting bagi warga negara asing yang bekerja di Indonesia. Sangat sedikit siswa yang berpandangan bahwa bahasa asing 418
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
cukup penting bagi warga negara asing yang bekerja di Indonesia. Bahkan hampir tidak ada siswa yang berpandangan bahwa bahasa asing tidak begitu penting bagi warga negara asing yang bekerja di Indonesia. Para siswa beralasan bahwa warga negara asing tidak akan bisa melaksanakan tugasnya secara optimal manakala bahasa Indonesia tidak dijadikan sebagai bahasa komunikasi dalam dunia pekerjaannya di Indonesia. Para siswa pun mengungkapkan bahwa pekerjaan dan dunia kerja di Indonesia dapat berhasil secara maksimal bila dilaksanakan melalui kerja sama dengan bangsa asing. Dan di sinilah dibutuhkan komunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia ketika para pekerja asing tersbut sudah bekerja di Indonesia. Untuk apa para pekerja asing menggunakan bahasa Indonesia? Para siswa pada umumnya mengungkapkan bahwa para pekerja asing harus berbahasa Indonesia untuk dapat berkomunikasi dengan orang-orang Indonesia, terutama di dalam dunia pekerjaannya. Simpulan dan Saran Hasil penelitian menunjukkan bahwa 93% siswa SMA menyatakan bahwa bahasa Indonesia sangat penting bagi pekerja asing yang bekerja di Indonesia. 6% siswa SMA menyatakan bahwa bahasa Indonesia cukuppenting bagi pekerja asing yang bekerja di Indonesia, sedangkan 1% lainnya menyatakan bahwa bahasa Indonesia tidak begitu penting bagi pekerja asing yang bekerja di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa Indonesia bagi warga negara asing yang bekerja di Indonesia memiliki peran yang tidak bisa dispelekan. Oleh karena itu, penguasaan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi harus dimiliki oleh para pekerja asing di Indonesia. Selain itu, pemerintah Indonesia harus mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia bagi warga negara asing yang bekerja di Indonesia. Harus diakui bahwa kondisi bahasa Indonesia saat ini sudah terkontaminasi dengan bahasa asing dan daerah. Kewajiban menggunakan bahasa Indonesia bagi warga negara asing yang bekerja di Indonesia akan meminimalisasi kontamininasi bahasa yang berkelanjutan.
Daftar Pustaka
Ali, Mohammad. 2010. Metodologi dan Aplikasi Riset Pendidikan. Bandung: Pustaka Cendekia Utama. Lubis, A. Hamid Hasan. 1991. Analisis Wacana Pragmatik. Bandung: Angkasa. Mulyadi, Yadi. 2013. Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA/ MA Kelas X (Peminatan). Bandung: Yrama Widya.
419
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009tentang Bendera, Bahasa, dan Lagu Kebangsaan. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Tarigan, HG. 1985. Berbicara sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
420
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
PENYUSUNAN MODEL INTEGRATIF BAHAN AJAR BIPA TINGKAT MENENGAH UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKATIF SISWA BIPA Mochamad Whilky Rizkyanfi1 Universitas Telkom
[email protected]
Abstrak
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh langkanya bahan ajar BIPA yang beredar di pasaran. Padahal sekarang ini minat bangsa asing untuk mempelajari bahasa Indonesia sangat besar. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1) profil model integratif bahan ajar BIPA tingkat menengah; 2) pengaruh model integratif bahan ajar BIPA untuk meningkatkan kemampuan komunikatif pembelajar BIPA tingkat menengah.Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen subjek tunggal. Hasil pembahasan dan temuan menunjukkan bahwa 1) model integratif bahan ajar BIPA tingkat menengah disusun berdasarkan sistem satu kesatuan yang utuh. Artinya, seluruh aspek keterampilan berbahasa disajikan sejara terintegrasi, 2) H1 = Terdapat perbedaan kemampuan komunikatif BIPA tingkat menengah dengan menggunakan model integratif bahan ajar BIPA dalam penelitian ini dapat diterima secara empiris. Hal ini terlihat dari perolehan rata-rata skor kemampuan awal (A-1) dengan skor 57 mengalami kenaikan pada mean level proses intervensi sebesar 69, dan kemampuan akhir pada postes (A-2) menjadi 75. Kata Kunci : Model Integratif, Bahan Ajar, BIPA, Kemampuan Komunikatif
Pendahuluan Kedudukan Bahasa Indonesia dalam dunia Internasional memang belum setenar bahasa lainnya yang ada di dunia, seperti bahasa Inggris, bahasa Jerman, bahasa Spanyol, dan bahasa Perancis. Hal ini memang wajar adanya, mengingat usia bahasa Indonesia yang belum mencapai usia genap 100 tahun (Rusli, 1994: 1). Keberadaan bahasa Indonesia saat ini telah diketahui sepenuhnya sebagai bahasa nasional bangsa Indonesia. Hal ini tentu saja memberikan pengaruh positif pada kemandirian bahasa Indonesia sebagai salah satu bahasa yang digunakan oleh bangsa Indonesia. BIPA diibaratkan sebagai “bayi” yang baru lahir dan perlu didewasakan secara profesional dengan tanggung jawab keilmuan semua pihak. Oleh karena itu, untuk memastikan bahwa BIPA dapat dikembangkan secara sistematis dan sekaligus responsif terhadap keperluan pembelajar maka diperlukan telaah dan penataan saksama terhadap pola tutur esensial yang terdapat dalam Bahasa Indonesia. Kegiatan ini harus membuahkan deskripsi baku ”pola tutur
421
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
pokok” bahasa Indonesia lengkap dengan deskripsi bentuk, makna, dan distribusinya dalam wacana yang bersifat semesta. Dalam perjalanannya, bahasa Indonesia sekarang ini memberikan masukan yang cukup besar pada kemajuan bangsa Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dari semakin besarnya ketertarikan bangsa lain untuk mempelajari bahasa Indonesia. Tujuan utama bangsa lain mempelajari bahasa Indonesia tidak lain adalah untuk dapat berkomunikasi bila mereka berada di Indonesia. Selain itu, bila mereka dapat menggunakan bahasa Indonesia secara benar, mereka pun dapat lebih mendalami kekayaan budaya Indonesia yang sangat beraneka ragam. Pengetahuan akan kebudayaan Indonesia yang beraneka ragam itulah yang menjadi salah satu idealisme dalam pembelajaran BIPA. Dalam praktiknya, membelajarkan BIPA kepada pembelajar asing memang harus secara tidak langsung disertai dengan memberikan pengetahuan tentang karakter atau jati diri bangsa Indonesia. Hal ini tecermin dalam penyusunan bahan ajar BIPA yang tidak terlepas dengan karakter bangsa Indonesia yang majemuk dan kaya akan sumber daya alam dan kebudayaannya. Mulyana (2009) menyebutkan, Dalam pembelajaran BIPA, kita bisa sekaligus mengaitkan bahan pembelajarannya dengan hal-hal yang bersentuhan dengan dimensi ideal dari sebuah proses pendidikan, yakni pembelajaran BIPA yang kita lakukan selama ini harus mampu memperkenalkan dan mendidik aspek karakter dan jati diri bangsa Indonesia. Hal tersebut menjadi penting untuk dijadikan pilihan kebijakan dan tindakan dalam pembelajaran BIPA karena pembelajaran BIPA sebenarnya bukan hanya mengajarkan bahasa Indonesia sebagai ilmu pengetahuan atau keterampilan, tetapi yang lebih utama ialah pembelajaran BIPA sebagai sebuah peluang menjadi ‘jalan masuk’ untuk pendidikan karakter dan jati diri bangsa Indonesia, termasuk pula ke dalamnya sebagai kesempatan emas untuk mengenalkan karakter dan jati diri bangsa Indonesia kepada penutur asing. Kepedulian terhadap bahasa Indonesia tidak hanya datang dari orang Indonesia, tetapi juga dari bangsa asing. Kepedulian orang asing itu diwujudkannya dengan berbagai cara. Di antaranya dengan mempelajari bahasa Indonesia, baik di negerinya sendiri maupun di Indonesia dan dengan orang Indonesia. Dari tahun ke tahun, jumlah pemakai bangsa-bangsa lain yang mempelajari bahasa Indonesia selalu menunjukkan perkembangan dan kemajuan yang menggembirakan. Tak hanya itu, jumlah pemakai bahasa Indonesia dari waktu ke waktu memang mengalami peningkatan. Hal ini seiring dengan apa yang diutarakan Suhardi dan Dardjowidjojo (dalam Kariman dan Roswaty, 1994: 147). Dari segi penyebarannya, bahasa Indonesia sebagai bahasa asing telah diajarkan hampir di seluruh dunia. Perinciannya adalah Amerika Serikat: 9 Universitas, Jerman: > 6 Universitas, Jepang: 28 Universitas. Di negara-negara tersebut, pada umumnya, bahasa Indonesia telah diajarkan semenjak tingkat SMP. Australia merupakan negara yang sangat antusias melaksanakan program pengajaran bahasa Indonesia. Selain bahasa Jepang, bahasa Indonesia merupakan mata pelajaran wajib di Australia. Selain itu, di Australia 422
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
bahasa Indonesia diajarkan dan dijadikan sebagai salah satu bahasa asing utama di tingkat sekolah maupun universitas, lebih banyak daripada di negara lain manapun di dunia (Sneddon dalam Kariman dan Roswaty, 1994:147). Berita gembira tersebut tentu saja harus dilayani sepenuhnya dengan materi-materi yang menarik minat bangsa asing untuk mempelajari bahasa Indonesia. Salah satunya, yaitu dengan materi dalam bahan ajar BIPA yang terintegrasi, mencakup segala aspek untuk melatih kompetensi berbahasa para pembelajarnya. Namun, begitu besarnya minat bangsa asing untuk mempelajari bahasa Indonesia tidak didampingi dengan bahan ajar yang selaras dengan keinginan bangsa asing dalam mempelajari bahasa Indonesia. Hal ini terkait dengan langkanya buku-buku bahan ajar yang beredar di toko buku yang sekait dengan bahan ajar BIPA. Berdasarkan permasalahan di atas, kiranya peneliti merasa tertarik untuk meneliti keotentikan model integratif bahan ajar BIPA untuk tingkat menengah sebagai bentuk apresiasi bahan ajar BIPA yang langka di pasaran. Konsep bahan ajar yang diusung dalam penelitian ini disesuaikan dengan profil pembelajar BIPA itu sendiri, yakni disesuaikan dengan keperluan pembelajar tersebut dalam mempelajari bahasa Indonesia, apakah untuk keperluan akademik atau untuk keperluan kunjungan wisata ke Indonesia. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1.
profil model integratif bahan ajar BIPA tingkat menengah;
2.
pengaruh model integratif bahan ajar BIPA untuk meningkatkan kemampuan komunikatif pembelajar BIPA tingkat menengah.
Metode Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan di antara variabel-variabel penelitian yang secara umum ingin mengkaji “Penyusunan Model Integratif Bahan Ajar BIPA Tingkat Menengah untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikatif Siswa BIPA”. Sesuai dengan masalah penelitian, teknik analisis data, dan metode penelitian yang digunakan, yaitu siswa tunggal, pengolahan data hasil penelitian dilakukan secara kuantitatif dan secara individu. Sementara itu, model integratif bahan ajar BIPA untuk tingkat menengah akan dipaparkan berdasarkan hasil expert judgment. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen subjek tunggal (single subject experiment). Metode eksperimen subjek tunggal berbeda dengan metode eksperimen yang lain. Dalam metode tersebut tidak dilakukan pembagian kelompok antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol karena jumlah subjeknya terbatas. Hasil eksperimen disajikan dan dianalisis berdasarkan subjek secara individual (Sukmadinata, 2005: 209). Metode eksperimen subjek tunggal ini dipilih karena terbatasnya jumlah responden yang diteliti, yakni 3-5 orang, dan tidak mungkin dilakukan pembagian kelompok antara 423
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Metode penelitian ini sesuai dengan hakikat penelitian yang akan dilakukan, yakni untuk melihat perubahan perilaku dan perbedaan secara individu dari subjek yang diteliti. Selain itu, metode penelitian eksperimen subjek tunggal merupakan
suatu
desain
eksperimen
sederhana
yang
dapat
menggambarkan
dan
mendeskripsikan perbedaan setiap individu disertai dengan data kuantitatif yang disajikan secara sederhana dan terinci (Herlina, 2009:11). Karakteristik desain subjek tunggal yang memperoleh validitas internal yang berbeda dari teknik yang meliputi desain konteks. McMilan dan Schumaker (2001: 473) menyatakan bahwa karateristik terpenting dari desain subjek tunggal sebagai berikut. 1) Pengukuran terpercaya. Desain subjek-tunggal biasanya meliputi banyak pengamatan terhadap perilaku sebagai teknik pengumpulan data. Ini penting bahwa kondisi pengamatan seperti waktu dan lokasi, yang distandarisasi; pengamatan haruslah dilatih dengan baik agar bisa dipercaya atau bisa jadi prasangka; dan perilaku yang teramati bisa diidentifikasi secara operasional. 2) Pengukuran berulang. Karakteristik yang jelas dari subjek tunggal adalah bahwa aspek tunggal perilaku ini diukur beberapakali, dengan cara yang sama hanya ada sekali pengukuran, yaitu sebelum dan sesudah diberi perlakuan. Perlakuan berulang mengontrol variasi normal yang diketahui selama interval waktu yang pendek, menyediakan deskripsi perilaku dengan jelas dan lugas. 3) Deskripsi kondisi. Ketepatan, deskripsi rinci dari seluruh kondisi perilaku diamati harus ada. Deskripsi ini membolehkan aplikasi studi terhadap individu lain untuk memperkuat validitas internal dan eksternal. 4) Kondisi perlakuan dan basis; durasi dan stabilitas. Prosedur yang lazim adalah untuk setiap kondisi haruslah mempunyai waktu dan jumlah pengamatan yang sama. 5) Aturan variabel-tunggal. Ini penting untuk mengubah satu variabel selama perlakuan pada fase riset subjek tunggal dan variabel yang diubah harus dijelaskan dengan tepat.
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain eksperimen subjek tunggal A-B-A. Sukmadinata (2005: 211) mengemukakan bahwa desain eksperimen subjek tunggal A-B-A merupakan model desain yang sering digunakan dalam eksperimen subjek tunggal. Desain ini hampir sama dengan desain A – B, tetapi setelah perlakuan diikuti oleh keadaan tanpa perlakuan seperti dalam keadaan sebelumnya. A adalah lambang dari data garis dasar (baseline data), B untuk data perlakuan (treatment data), dan A kedua ditujukan untuk mengetahui apakah tanpa perlakuan kegiatan akan kembali pada keadaan awal, atau masih terus seperti keadaan dalam perlakuan.
424
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
GrafikDesain Eksperimen Subjek Tunggal A-B-A
Garis dasar (A-1)
O
O
O
O
O
Perlakuan (B)
X
X
X
O
O
O
X O
Garis dasar (A-2)
X O
O
O
O
O
O
Waktu Keterangan: 1. A-1 (Garis dasar 1) adalah kondisi kemampuan komunikatif siswa pada subjek penelitiansebelum memperoleh intervensi. 2. B (Intervensi) adalah kondisi intervensi kemampuan komunikatif bahasa Indonesia dengan menggunakan model integratif bahan ajar BIPA tingkat menengah. 3. A-2 (Garis dasar 2) adalah kondisi kemampuan komunikatif siswa pada subjek penelitian dengan menggunakan model integratif bahan ajar BIPA setelah intervensi.
Subjek penelitian ini adalah siswa asing dengan kemampuan berbahasa Indonesia tingkat menengah berjumlah lima orang. Pembelajar asing tersebut diberikan pembelajaran secara terpisah, yakni Cho Sung Ok - Korea, Wichan Anisong (Nicky), Durati Waesani (Dunya), Daniya Machae (Daniel), dan Atif Bensulong (Atif) - Thailand. Cho Sung Ok belajar formal secara individu di Balai Bahasa UPI, sedangkan Nicky, Dunya, Daniel, dan Atif belajar secara nonformal di rumah. Karakteristik penggunaan bahasa Indonesia tingkat menengahnya pun bermacam-macam. Cho Sung Ok dan Wichan Anisong berada di tingkat menengah dasar – menengah karena mereka berada di Indonesia dan belajar bahasa Indonesia sejak 1 tahun yang lalu, sedangkan Durati Waesani, Daniya Machae, dan Atif Bensulong berada pada tingkat menengah - atas karena mereka berlatar belakang Melayu dan sudah tiga tahun belajar bahasa Indonesia. Cho Sung Ok belajar bahasa Indonesia untuk kebutuhan komunikatifnya selama berada di Indonesia, sedangkan semua mahasiswa Thailand belajar bahasa Indonesia untuk keperluan pendidikannya di Indonesia. Pembelajar asing tersebut dipilih menjadi subjek penelitian karena selaras dengan apa yang diinginkan oleh peneliti, yakni mereka belajar bahasa Indonesia pada tingkat menengah. Balai Bahasa Universitas Pendidikan Indonesia sebagai salah satu penelitian dipilih sebagai lokasi penelitian karena merupakan salah satu institusi formal di Kota Bandung yang menyelenggarakan pembelajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA). Alasan-alasan lainnya yang lebih praktis yakni peneliti lebih mendapatkan kemudahan dalam hal perizinan, kedekatan lokasi dengan peneliti, dan kehematan biaya penelitian. 425
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen tes yang ada dalam penelitian ini terdiri atas prates (pretest) dan pascates (postes), serta tugas akhir dalam proses intervensi. Pratest diberikan pada kondisi garis dasar 1, yaitu kondisi pada saat siswa belum mengikuti pelajaran dengan menggunakan model integratif bahan ajar BIPA. Tes ini dilakukan dengan tujuan untuk memastikan sejauh mana pengetahuan awal siswa yang berkaitan dengan kemampuan komunikatif siswa dalam berbahasa Indonesia. Selanjutnya pada tahap intervensi siswa diberikan model integratif bahan ajar BIPA dengan latihan di setiap akhir bahan ajar. Tes ini adalah bagian dari prosedur kegiatan intervensi model integratif bahan ajar BIPA tingkat menengah yang bertujuan untuk melihat kondisi dan kestabilan siswa pada saat memperoleh intervensi. Pascates diberikan pada kondisi garis dasar 2 untuk mengevaluasi sejauh mana terjadi peningkatan kemampuan komunikatif siswa setelah tidak dilakukan intervensi. Adapun instrumen tes yang digunakan dalam prates dan postes adalah tes kemampuan komunikatif siswa yang dikhususkan pada keterampilan berbicara dalam menarasikan pengalaman hidupnya. Semua yang ada dalam model integratif bahan ajar BIPA menengah tersebut akan menggiring kemampuan siswa dalam kemampuan komunikatif berbicaranya. Hal ini selaras dengan apa yang diungkapkan Nurgiyantoro (2009: 283) bahwa tujuan utama dilaksanakan tes berbicara adalah untuk menentukan tingkat kefasihan berbicara seorang pembelajar. Selain itu, untuk mengetahui tingkat kesahihan (validitas) model integratif bahan ajar BIPA tingkat menengah yang disusun oleh peneliti, peneliti menggunakan expert judgment yang paham dan berkompeten di bidang BIPA dan bahan ajar. Pakar yang menilai bahan ajar peneliti tersebut sekurang-kurangnya berjumlah tiga orang. Adapun kriteria penilaian bahan ajar yang disusun peneliti tersebut lebih bersifat mendeskripsikan hasil penilaian dan saran-saran yang akan diberikan oleh pakar. Adapun kriteria penilainnya adalah sebagai berikut.
Tabel Instrumen Penilaian Bahan Ajar Skala Nilai No.
1
Komponen Bahan Ajar yang Dinilai
Bahan
ajar
ini
mampu
SS
S
CS
TS
STS
5
4
3
2
1
mencerminkan
keotentikan bahan ajar yang integratif, yakni memadupadankan
beberapa
keterampilan
berbahasa
426
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
2
Bahan ajar ini memunculkan keragaman materi sesuai dengan kompetensi yang seharusnya diberikan pada siswa BIPA tingkat menengah
3
Bahan ajar ini memunculkan berbagai variasi cara dan media pembelajaran
4
Bahan ajar ini mampu melatih kemampuan komunikatif siswa dalam berbahasa Indonesia
5
Kebahasaan yang digunakan dalam bahan ajar ini berkesesuaian dengan kemampuan komunikatif siswa BIPA tingkat menengah, yakni mampu: a) memunculkan pertuturan dengan kombinasikombinasi elemen bahasa yang dipelajari b) memulai dan menutup pertuturan dengan cara sederhana sesuai dengan tugas-tugas komunikatif yang mendasar c) bertanya
dan
menjawab
pertanyaan
sederhana d) mengembangkan
narasi
atau
deskripsi
sederhana. Keterangan: SS
: Sangat Sesuai
S
: Sesuai
CS
: Cukup Sesuai
TS
: Tidak Sesuai
STS : Sangat Tidak Sesuai
Hasil dan Pembahasan Profil Model Integratif Bahan Ajar BIPA Tingkat Menengah Beranalogi pada teori dan hasil uji coba instrumen seperti uji coba bahan ajar, angket, observasi dan khususnya wawancara peneliti dengan pengajar BIPA tingkat menengah di Balai Bahasa yang mempunyai pengalaman yang cukup banyak dalam mengajar BIPA. Kemudian pertanyaan yang diajukan peneliti pun mencakup keseluruhan unsur bahan ajar yang disajikan, maka model integratif profil bahan ajar tingkat menengah di Balai Bahasa adalah sebagai berikut. Penggunaan
bahasa
dalam
bahan
ajar
BIPA
tingkat
menengah
sebaiknya
menggabungkan penggunaan bahasa resmi dan penggunaan bahasa takresmi. Dengan kata lain,
427
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
penggunaan bahasa Indonesia yang lebih tepatnya adalah sebagai satu keseluruhan berdasarkan konteks penggunaannya yang ditujukan untuk penguasaan dan kemampuan berbahasa Indonesia secara baik dengan tidak mengabaikan berbagai ragam bahasa Indonesia yang hidup di masyarakat. Sebagai sebuah sistem, bahasa Indonesia harus dipandang sebagai satu kesatuan yang utuh. Oleh karena itu, bahanajar tata bahasa diintegrasikan dengan bahanajar aspek lain; begitu juga sistem tulis (ejaan). Aspek belajar bahasa lisan (menyimak dan berbicara) serta aspek belajar bahasa tulis (membaca dan menulis) dilakukan secara terintegrasi pula. Pintu masuk model bahan ajar ini selalu disusun atas dasar keterampilan berbahasa yang terintegrasi. Materi-materi yang disampaikan dalam bahan ajar tingkat menengah ini disesuaikan dengan keperluan siswa belajar bahasa Indonesia. Apakah mereka belajar bahasa Indonesia untuk keperluan akademik atau profesional, misalnya, akan belajar atau bekerja di Indonesia? Apakah mereka belajar bahasa Indonesia untuk keperluan kunjungan wisata ke Indonesia agar dapat lebih menghargai dan menikmati perjalanan wisatanya? Model integratif bahan ajar ini disusun dan disesuaikan dengan kemampuan para subjek sekaligus pembelajar BIPA tingkat menengah, yang tujuannya belajar bahasa Indonesia hanya sekadar meningkatkan kemampuan dirinya dalam berbahasa Indonesia sekaligus untuk keperluannya kunjungan wisata ke Indonesia agar lebih menikmati perjalanan wisatanya. Oleh karena itu, semua materi dalam bahan ajar ini bertujuan untuk melatih kemampuan komunikatif berbahasa Indonesianya selama berada di Indonesia. Tak lupa, model integratif bahan ajar BIPA tingkat menengah ini menghadirkan catatan-catatan bahasa dan budaya sebagai tanggung jawab peneliti dalam menjaga karakter dan jati diri bangsa Indonesia. Selain itu, pembelajaran dan kosakata-kosakata baru yang ada dalam bahan ajar ini dapat sepenuhnya digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Pengaruh Model Integratif Bahan Ajar BIPA terhadap Kemampuan Komunikatif Pembelajar BIPA Tingkat Menengah Berdasarkan hasil analisis data penelitian, ditemukan bahwa pelaksanaan intervensi berupa penerapan model integratif bahan ajar BIPA tingkat menengah dapat membantu pembelajar BIPA untuk meningkatkan kemampuan komunikatif berbahasa Indonesia 5 subjek yang diteliti sebagai pembelajar BIPA tingkat menengah. Hasil analisis data penelitian membuktikan telah terjadi beberapa peningkatan skor, baik itu selama intervensi ataupun setelah dilakukannya postes. Trend stability menunjukkan kestabilan kemampuan komunikatif rata-rata siswa yang terlihat dari kecenderungan arah garis grafik yang menaik. Tidak ada rentang pada fase A-1 dan A-2 karena peneliti hanya melakukan satu kali prates dan postes. Sedangkan rentang pada fase treatment antara 64 hingga 72. Level change menunjukkan kenaikan persentase kemampuan komunikatif siswa dilihat dari sesi akhir 428
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
terhadap sesi awal dalam tiap kondisinya. Adapun kenaikan rata-rata pada fase A-1 adalah 0% karena peneliti hanya melakukan prates, fase treatment sebesar +8 artinya mengalami peningkatan sebesar 12%, dan fase A-2 0% juga, lagi-lagi karena peneliti hanya melakukan postes. Melihat hasil penelitian dari penerapan model integratif bahan ajar BIPA tingkat menengah, maka model integratif bahan ajar ini dapat meningkatkan kemampuan komunikatif berbicara siswa BIPA. Hal ini terlihat dari perolehan rata-rata skor kemampuan awal kelompok subjek (A-1) dengan skor 57 mengalami kenaikan pada mean level proses intervensi sebesar 69, dan kemampuan akhir pada postes (A-2) menjadi 75. Hal tersebut menunjukkan bahwa model integratif bahan ajar BIPA tingkat menengah ini mampu meningkatkan tingkat kefasihan pembelajar asing dalam hal berbicara walaupun belum terlihat kesignifikanannya karena beberapa persoalan. Tingkat kefasihan pembelajaran yang awalnya berada di level 2+ dengan deskripsi: “Mampu memenuhi kebutuhan rutin sosial untuk keperluan pekerjaan secara terbatas” berubah ke level 3+, dengan deskripsi yakni mengarah ke “Mampu berbicara dengan ketepatan tata bahasa dan kosa kata untuk berperan serta dalam umumnya percakapan formal dan nonformal dalam masalah yang bersifat praktis, sosial, dan profesional”. Dengan demikian, H1 = Terdapat perbedaan kemampuan komunikatif BIPA tingkat menengah dengan menggunakan model integratif bahan ajar BIPA tersebut dapat diterima secara empiris.
Simpulan Penelitian ini berusaha mengkaji keefektifan model integratif bahan ajar BIPA tingkat menengah dalam meningkatkan kemampuan komunikatif berbahasa Indonesia yang sampai saat ini menjadi tujuan utama para pembelajar asing mempelajari bahasa Indonesia. Merujuk pada rumusan masalah yang ada dalam penelitian ini, ditemukan beberapa hasil temuan di lapangan seperti berikut ini. 1. Penggunaan bahasa dalam bahan ajar BIPA tingkat menengah sebaiknya menggabungkan penggunaan bahasa resmi dan penggunaan bahasa takresmi. Dengan kata lain, penggunaan bahasa Indonesia yang lebih tepatnya adalah sebagai satu keseluruhan berdasarkan konteks penggunaannya yang ditujukan untuk penguasaan dan kemampuan berbahasa Indonesia secara baik dengan tidak mengabaikan berbagai ragam bahasa Indonesia yang hidup di masyarakat. Sebagai sebuah sistem, bahasa Indonesia harus dipandang sebagai satu kesatuan yang utuh. Oleh karena itu, bahanajar tata bahasa diintegrasikan dengan bahanajar aspek lain; begitu juga sistem tulis (ejaan). Aspek belajar bahasa lisan (menyimak dan berbicara) serta aspek belajar bahasa tulis (membaca dan menulis) dilakukan secara terintegrasi pula.
429
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Pintu masuk model bahan ajar ini selalu disusun atas dasar keterampilan berbahasa yang terintegrasi. Materi-materi yang disampaikan dalam bahan ajar tingkat menengah ini disesuaikan dengan keperluan siswa belajar bahasa Indonesia. Khusus untuk penelitian ini, model integratif bahan ajar telah diuji tingkat kesahihannya (validitas) dengan menggunakan penilaian 4 orang pakar (expert judgment) yang ahli dalam bidang BIPA dengan skor tingkat kesahihannya sebesar 86%. 2. H1 =
Terdapat perbedaan kemampuan komunikatif BIPA tingkat menengah dengan
menggunakan model integratif bahan ajar BIPA dalam penelitian ini dapat diterima secara empiris. Hal ini terlihat dari perolehan rata-rata skor kemampuan awal (A-1) dengan skor 57 mengalami kenaikan pada mean level proses intervensi sebesar 69, dan kemampuan akhir pada postes (A-2) menjadi 75. Hal tersebut menunjukkan bahwa model integratif bahan ajar BIPA tingkat menengah ini mampu meningkatkan tingkat kefasihan pembelajar asing dalam hal berbicara walaupun belum terlihat kesignifikanannya karena beberapa persoalan. Tingkat kefasihan pembelajaran yang awalnya berada di level 2+ dengan deskripsi : “Mampu memenuhi kebutuhan rutin sosial untuk keperluan pekerjaan secara terbatas” berubah ke level 3+, dengan deskripsi yakni mengarah ke “Mampu berbicara dengan ketepatan tata bahasa dan kosa kata untuk berperan serta dalam umumnya percakapan formal dan nonformal dalam masalah yang bersifat praktis, sosial, dan profesional”.
Daftar Pustaka Herlina, Lina. (2009). Peningkatan Kemampuan Penguasaan Kosakata Berimbuhan dan Membaca Pemahaman Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Asing pada Pembelajar BIPA (Bahasa Indonesia Penutur Asing) Melalui Pelatihan Strategi Metakognitif. Disertasi pada SPS UPI Bandung: tidak diterbitkan. Herman, Els. (Tanpa Tahun). Bahan Ajar yang Bertopik dan Bertingkat Kesulitan Runtut. [Online]. Tersedia: http://www.ialf.edu/kipbipa/papers/ElsHerman.doc [30 April 2010] Heritaningsih, Anneke. (Tanpa Tahun). Pengembangan Bahan Ajar BIPA Melalui Materi Otentik
yang
Bermuatan
Budaya
Indonesia.
[Online].
http://fportfolio.petra.ac.id/user_files/.../Makalah%20BIPA,%20anneke.doc[11
Tersedia: Maret
2010] Kariman, Tina Mariany dan Roswaty. (1994). “Pengembangan Materi Pengajaran Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing”, dalam Satya Wacana Christian University. 1994, KIPBIPA. Salatiga: Satya Wacana Christian University. Lado, Robert. (1985). “Memory Span as a Factor in Second Language Learning,” dalam IRAL 3: hlm. 23-129. McMilan dan Schumacer. (2001). Research in Education. New York: Longman. 430
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Mulyana, Yoyo. (2009). “Pembelajaran BIPA dalam Paradigma Membangun Karakter dan Jatidiri” dalam Prosiding Riksa Bahasa 3. Bandung: Rizqi Press. Nurgiyantoro, Burhan. (2009). Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra Edisi Ketiga. Yogyakarta: BPFE. Rusli, Ratna Sajekti. (1994). “Kurikulum beserta Bahan Pengajarannya yang Berorientasi pada Kebutuhan Masyarakat”, dalam Satya Wacana Christian University. 1994, KIPBIPA. Salatiga: Satya Wacana Christian University. Sugiyono. (2008). Statistika untuk Penelitian. Bandung: CV Alfabeta. Sukmadinata, Nana Syaodih. (2005). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Sunanto, Juang, dkk. (2006). Penelitian dengan Subjek Tunggal. Bandung: UPI Press.
431
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Upaya Mengintegrasikan Konten Bahasa Indonesia Kurikulum 2013 dalam Pembelajaran Menuju ‘Masyarakat Ekonomi ASEAN’ Imas Mulyati Guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMA Negeri 1 Ciparay Kab. Bandung,
[email protected] Abstrak Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) merupakan wujud kesepakatan negaranegara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan perdagangan bebas dalam upaya meningkatkan daya saing ekonomi dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia. Salah satu kunci keberhasilan MEA adalah konektivitas atau kontak antara satu warga negara dengan warga negara lainnya. Sebagai salah satu negara anggota ASEAN, Indonesia memiliki tanggung jawab yang sangat besar. Karena itu, sosialisasi MEA kepada seluruh warga negara Indonesia yang memiliki jumlah penduduk terbesar di ASEAN, menjadi sangat penting. Berbagai upaya pemerintah pun dilakukan. Dalam bidang pendidikan telah dilakukan berbagai upaya pemerintah merevisi kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan negara Indonesia dan berbagai perkembangan zaman, termasuk perkembangan di kawasan ASEAN. Meskipun perubahan kurikulum tidak secara khusus ditujukan bagi kepentingan pemerintah dalam menghadapi MEA, namun perubahan/revisi kurikulum telah dipersiapkan untuk menyiasati berbagai tantangan perkembangan zaman. Karena itulah, perubahan kurikulum seharusnya dapat pula menjadi solusi untuk mendukung terwujudnya MEA. Lalu, apakah revisi kurikulum dan konten pembelajaran Bahasa Indonesia telah memenuhi kebutuhan untuk mendukung dan mewujudkan MEA? Upaya apa yang dapat dilakukan guru untuk memberdayakan konten Kurikulum 2013 sehingga dapat mendukung terwujudnya MEA? Penelitian ini dilakukan untuk menemukan informasi tentang materi pembelajaran Bahasa Indonesia dan menawarkan alternatif pembelajaran dalam upaya mendukung terwujudnya MEA melalui konten tersebut. Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif-analitik terhadap konten kurikulum 2013 yang tertuang dalam silabus dan buku pembelajaran Bahasa Indonesia Wajib kelas X, XI, dan XII. Hasil penelitian menunjukkan adanya delapan konten yang secara langsung maupun tidak langsung, dapat mendukung upaya mewujudkan MEA. Konten tersebut adalah Teks Laporan Hasil Observasi, Teks Negosiasi, Teks Prosedur Kompleks, Teks Eksplanasi, Teks Cerita Sejarah, Teks Berita, Teks Iklan, dan Teks Opini/ Editorial. Untuk mendukung upaya mewujudkan MEA, setiap konten dibahas melalui pembelajaran terintegrasi dengan tiga tahap: pemodelan teks, kerja sama membangun teks, dan kerja mandiri membangun teks. Kata kunci: konten kurikulum, pembelajaran terintegrasi, MEA Pendahuluan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) merupakan wujud kesepakatan negaranegara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan perdagangan bebas dalam upaya meningkatkan daya saing ekonomi dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia. Salah satu kunci keberhasilan MEA adalah konektivitas atau kontak antara satu 432
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
warga negara dengan warga negara lainnya, konektivitas antara satu suku bangsa dengan suku bangsa lainnya, bahkan konektivitas antara satu bangsa dengan bangsa lainnya di kawasan ASEAN. Sebagai salah satu negara anggota ASEAN, Indonesia memiliki tanggung jawab yang sangat besar. Karena itu, sosialisasi MEA kepada seluruh warga negara Indonesia yang memiliki jumlah penduduk terbesar di ASEAN, menjadi sangat penting. Upaya Indonesia pun dilakukan dalam berbagai sektor, termasuk dalam sektor pendidikan. Dalam sektor pendidikan ini, Indonesia telah melakukan pembaharuan kurikulum pada tahun 2013. Mengapa pembaharuan kurikulum dilakukan? Kurikulum adalah landasan utama pengembangan pendidikan. Kurikulum menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat (19) adalah “seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”. Pengembangan Kurikulum 2013 merupakan langkah lanjutan pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi yang telah dirintis pada tahun 2004 dan Kurikulum 2006 yang mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara terpadu. Kurikulum 2013 disusun dan dikembangkan dengan berbagai alasan yang didasarkan pada berbagai tantangan baik tantangan internal maupun tantangan eksternal. Meskipun perubahan kurikulum tidak secara khusus ditujukan bagi kepentingan pemerintah dalam menghadapi MEA, namun perubahan/revisi kurikulum telah dipersiapkan untuk menyiasati berbagai tantangan perkembangan zaman. Karena itulah, perubahan kurikulum seharusnya dapat pula menjadi solusi untuk mendukung terwujudnya MEA. Metode Penelitian 1.
Metode Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode studi dokumentasi. Studi dokumentasi dilakukan untuk menganalisis konten kurikulum 2013. Dokumen yang dijadikan objek studi adalah Salinan Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2013 tentang Standar Isi: Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) Bahasa Indonesia kelas X, XI, dan XII. Selain itu, objek studi dalam penelitian ini adalah buku Bahasa Indonesia Wajib kelas X, XI, dan XII, baik buku guru maupun buku peserta didik. Buku yang dipilih adalah buku yang diterbitkan langsung oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
433
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Dokumen-dokumen itulah yang dipilih sebagai objek studi. Hal ini dilakukan karena kedua jenis dokumen tersebut dianggap layak dan representatif untuk memenuhi kebutuhan penelitian ini. 2.
Tujuan Penelitian Apakah revisi kurikulum dan konten pembelajaran Bahasa Indonesia telah memenuhi kebutuhan untuk mendukung dan mewujudkan MEA? Upaya apa yang dapat dilakukan guru untuk memberdayakan konten Kurikulum 2013 sehingga dapat mendukung terwujudnya MEA? Penelitian ini dilakukan untuk menemukan informasi tentang materi pembelajaran Bahasa Indonesia dan merumuskan sebuah inovasi pembelajaran dalam upaya mendukung sosialisasi MEA di kalangan peserta didik melalui konten tersebut.
3.
Langkah-Langkah Penelitian Penelitian kualitatif dengan metode studi dokumentasi dilakukan dengan langkah-langkah yang dikemukakan oleh Milles and Huberman (1984). Langkahlangkah yang dimaksud adalah data reduction, data display, dan conclusion drawing/ verification. Secara lengkap, langkah-langkah yang ditempuh penulis dijelaskan sebagai berikut. a. Reduksi data 1) Menganalisis konten pembelajaran Bahasa Indonesia Kurikulum 2013 berdasarkan KI an KD 2) Menganalisis konten pembelajaran Bahasa Indonesia Kurikulum 2013 berdasarkan buku guru 3) Menganalisis konten pembelajaran Bahasa Indonesia Kurikulum 2013 berdasarkan bukku peserta didik 4) Memilih konten pembelajaran Bahasa Indonesia Kurikulum 2013 yang tepat dan dapat dikemas melalui pembelajaran terintegrasi dalam upaya mendukung terwujudnya MEA b. Penyajian data 1) Menyajikan data berupa konten pembelajaran Bahasa Indonesia dalam bentuk tabel atau bagan hubungan antarkategori Dalam hal ini kategori yang dicari keterhubungannya adalah konten Bahasa Indonesia, pembelajaran terintegrasi, dan MEA. 2) Mengeksplanasi hubungan antara konten Bahasa Indonesia, pembelajaran terintegrasi, dan MEA 3) Merumuskan inovasi pembelajaran Bahasa Indonesia dengan model pembelajaran terintegrasi dalam upaya mendukung terwujudnya MEA. c. Konklusi dan verifikasi data 434
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
1) Menarik kesimpulan 2) Verifikasi 3) Pembahasan dan Hasil Penelitian 1.
MEA sebagai Tantangan Eksternal Pengembangan Kurikulum 2013 Terdapat beberapa alasan pengembangan kurikulum 2013. Di antaranya adalah adanya tantangan, baik internal maupun eksternal. Tantangan internal mencakup dua hal berikut. Pertama, tuntutan pendidikan yang mengacu kepada delapan Standar Nasional Pendidikan yang meliputi standar pengelolaan, standar biaya, standar sarana prasarana, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar isi, standar proses, standar penilaian, dan standar kompetensi lulusan. Kedua, terkait dengan faktor perkembangan penduduk Indonesia dilihat dari pertumbuhan penduduk usia produktif. Tantangan eksternal yang menjadi dasar pengembangan kurikulum 2013 terdiri atas tantangan masa depan dan kompetensi masa depan. a.
Tantangan masa depan: gobalisasi: WTO, ASEAN Community, APEC, CAFTA, masalah lingkungan hidup, kemajuan teknologi informasi, konvergensi ilmu dan teknologi, ekonomi berbasis pengetahuan, kebangkitan industri kreatif dan budaya, pergeseran kekuatan ekonomi dunia, pengaruh dan imbas teknosains, mutu, investasi dan transformasi pada sektor pendidikan.
b.
Kompetensi masa depan: kemampuan berkomunikasi, kemampuan berpikir jernih dan kritis, kemampuan mempertimbangkan segi moral suatu permasalahan, kemampuan menjadi warga negara yang bertanggungjawab, kemampuan mencoba untuk mengerti dan toleran terhadap pandangan yang berbeda, kemampuan hidup dalam masyarakat yang mengglobal, memiliki minat luas dalam kehidupan, memiliki kesiapan untuk bekerja, memiliki kecerdasan sesuai dengan bakat/minatnya, dan memiliki rasa tanggungjawab terhadap lingkungan Bila kita cermati, tantangan eksternal pengembangan Kurikulum 2013
adalah berbagai tantangan yang berasal dari luar proses pendidikan itu sendiri. Sebagai suatu bentuk tantangan yang datang dari luar, MEA merupakan salah satu tantangan masa depan pendidikan di Indonesia. 2.
Konten Pembelajaran Bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013 Konten Bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013 tergambar dalam tabel berikut. Konten ini terdiri atas lima belas jenis teks yang dipelajari mulai kelas X sampai dengan kelas XII. Tabel 1 Konten Pembelajaran Bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013 435
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
No
Kelas
Konten
Kegiatan
Teks laporan hasil observasi Teks prosedur kompleks 1
X
Teks eksposisi Teks anekdot Teks negosiasi 1. Pemodelan teks
Teks cerita pendek
2. Kerja bersama
Teks pantun 2
XI
membangun teks
Teks cerita ulang biografi
3. Kerja mandiri
Teks eksplanasi Teks ulasan film dan drama
membangun teks
Teks cerita sejarah Teks berita 3
XII
Teks iklan Teks editorial/ opini Teks cerita fiksi dalam novel
3.
Pembelajaran Terintegrasi dalam Konten Kurikulum Bahasa Indonesia Menuju ‘Masyarakat Ekonomi ASEAN’ a.
Pembelajaran Terpadu (Terintegrasi) Dalam kurikulum 2013, pembelajaran dilaksanakan dengan pendekatan saintifik. Pendekatan saintifik menurut kurikulum 2013 dilaksanakan dengan lima langkah
pembelajaran:
mengamati,
menanya,
mengumpulkan
informasi,
mengasosiasikan/ menalar, dan mengomunikasikan. Pendekatan saintifik adalah proses pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa agar peserta didik secara aktif membangun konsep, hokum, atau prinsip melalui tahapan-tahapan mengamati (untuk mengidentifikasi atau menemukan masalah), merumuskan masalah, megajukan atau merumuskan hipotesis, mengumpulkan data dengan berbagai teknik, menganalisis data, menarik kesimpulan, dan mengomunikasikan konsep, hukum, atau prinsip yang ditemukan (Apandi, 2015: 119). Dalam pelaksanaannya, pendekatan saintifik direalisasikan dalam pembelajaran melalui empat model, yakni problem based learning, project based learning, discovery learning, dan inquiry learning. Bila kita identifikasi lebih lanjut, keempat model tersebut dapat berupa pembelajaran terpadu, yakni pembelajaran yang mengupayakan integrasi berbagai kemampuan peserta didik dalam pembelajarannya, baik secara proses maupun secara konten (tematik).
436
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Dalam pembelajaran terpadu secara tematik, guru dapat mengintegrasikan muatan nilai karakter di dalamnya. Pembelajaran terpadu (terintegrasi) memiliki kesamaan dengan pembelajaran biasa, nonterpadu. Yang membedakannya secara mendasar adalah pembelajaran terpadu dalam pengemasan materi belajarnya tidak mengikuti struktur suatu disiplin ilmu atau mata pelajaran tertentu, tapi terjadi lintas bahasan bidang studi/ topik bahasan yang dipadukan oleh suatu focus tertentu (Kurniawan, 2011: 50). Sejalan dengan pendapat Kurniawan (2015), Oliva (1992: 518) menyampaikan tiga model organisasi kurikulum (pembelajaran). Ketiga model tersebut adalah discrete model (model terpisah), correlated (terhubung), dan integrated (terpadu).
Mengenai pembelajaran terpadu, Oliva (1992: 518)
menyimpulkan bahwa integrated model, adalah sistem pengorganisasian materi yang memadukan materi mata pelajaran ke dalam satu fokus perhatian. Menurut Kurniawan (2011), model-model pembelajaran terpadu/ terintegrasi dimulai dari derajat keterpaduan/ integrasi rendah sampai dengan derajat keterpaduan/ integrasi tinggi. Mengacu pada pendapat Oliva (1992: 518), pembelajaran terintegrasi dalam
penelitian
ini
dilakukan
dengan
memadukan
beberapa
konten
pembelajaran Bahasa Indonesia. Pengintegrasian dilakukan dengan memilih konten-konten yang secara isi atau secara proses memiliki keterkaitan dengan program MEA. Berdasarkan hasil studi dokumentasi, diperoleh beberapa konten yang secara proses atau secara isi memiliki keterkaitan dengan program MEA. Kontenkonten tersebut adalah sebagai berikut. Tabel 2 Konten Bahasa Indonesia Kurikulum 2013 yang Diintegrasikan dalam Pembelajaran Sosialisasi MEA No
Kelas
Konten Teks laporan hasil observasi
1
X
Teks prosedur kompleks Teks negosiasi
2
XI
Teks eksplanasi Teks cerita sejarah
3
XII
Teks berita Teks iklan Teks editorial/ opini
437
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Pembelajaran terpadu ini dilaksanakan di kelas XII, semester II. Hal ini dilakukan karena kelas XII sudah memahami seluruh jenis teks yang dipelajari dalam Kurikulum 2013, seluruh jenis tejs yang akan dipadukan. Integrasi pembelajaran dilakukan pada konten belajar, yakni jenis-jenis teks dan integrasi antarpeserta didik.
b.
Langkah Pembelajaran Pembelajaran berbagai jenis teks di atas dilakukan dengan model Problem Based Learning (PBL). Problem Based Learning (PBL) adalah model pembelajaran yang dirancang agar peserta didik mendapat pengetahuan penting, yang membuat mereka mahir dalam memecahkan masalah, dan memiliki model belajar sendiri serta memiliki kecakapan berpartisipasi dalam tim. Proses pembelajarannya menggunakan pendekatan yang sistemik untuk memecahkan masalah atau menghadapi tantangan yang nanti diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran terintegrasi dengan model PBL ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut. 1)
Orientasi peserta didik kepada masalah a)
Peserta didik menyaksikan tayangan tentang perekonomian di Indonesia atau negara lainnya di kawasan ASEAN
b)
Peserta didik mengidentifikasi masalah-masalah yang terjadi terkait kondisi perekonomian berdasarkan tayangan
2)
Mengorganisasikan peserta didik a)
Peserta didik dibimbing untuk melakukan pendataan masalah perekonomian. Setiap peserta didik yang mengajukan masalah yang sama bergabung dalam satu tempat sehingga terbentuk delapan tempat pembelajaran dalam kelas tersebut.
b)
Peserta didik dibimbing untuk membentuk kelompok pembelajaran, terdiri atas delapan kelompok berdasarkan masalah yang diajukan. Selanjutnya setiap kelompok diberi nama sesuai dengan jenis teks; teks laporan hasil observasi, teks prosedur kompleks, teks negosiasi, teks eksplanasi, teks cerita sejarah, teks berita, teks iklan, dan teks editorial/ opini.
c)
Setiap kelompok diberi arahan tentang pembelajaran yang akan dilakukan terkait tugas yang harus ditempuh oleh setiap kelompok.
3)
Membimbing penyelidikan individu dan kelompok
438
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Setiap kelompok melaksanakan tugas pembelajaran di bawah bimbingan guru. Setiap tugas dilaksanakan dalam upaya menyelesaikan masalah yang telah ditemukan dan diusulkan dalam kelompok masing-masing. a)
Kelompok 1 bertugas untuk melakukan observasi langsung dan membuat teks laporan hasil observasi tentang perekonomian di Indonesia.
b)
Kelompok 2 bertugas untuk membuat teks prosedur kompleks tentang proses pembentukan kerja sama MEA.
c)
Kelompok 3 bertugas untuk membuat teks negosiasi tentang pembentukan kerja sama MEA dan memerankannya.
d)
Kelompok 4 bertugas untuk membuat teks eksplanasi tentang pentingnya MEA bagi negara Indonesia.
e)
Kelompok 5 bertugas untuk membuat teks cerita sejarah tentang kerja sama ekonomi ASEAN sejak berdirinya ASEAN hingga sekarang.
f)
Kelompok 6 bertugas untuk membuat teks berita tentang kerja sama MEA dan membacakannya secara berpasangan
g)
Kelompok 7 bertugas membuat teks iklan yang menarik berisi promosi program MEA.
h)
Kelompok 8 bertugas untuk membuat teks editorial/ opini tentang kontribusi Negara Indonesia dalam menyukseskan program MEA.
4)
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya Setiap kelompok mempresentasikan hasil kerja masing-masing dalam seminar kelas.
5)
Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah a)
Setiap kelompok lain (yang tidak presentasi) melakukan evaluasi tentang hasil kerja kelompok presentasi terkait struktur-kaidah kebahasaan dan penyelesaian masalah yang dipresentasikan.
b)
Peserta didik menyimak arahan dan evaluasi guru tentang hasil kerja kelompok; struktur-kaidah kebahasaan dan penyelesaian masalah yang dipresentasikan.
c.
Keterkaitan Konten dengan Proses Pembelajaran dan Program MEA Keterkaitan materi/ konten Bahasa Indonesia dengan proses pembelajaran dan MEA digambarkan dengan skema berikut ini.
439
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Gambar 1 Skema Keterkaitan Konten dengan Proses Pembelajaran dan MEA
Pembelajaran Bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013 adalah pembelajaran berbasis teks. Dalam pembelajaran ini, MEA berfungsi sebagai tema seluruh teks yang disajikan; teks laporan hasil observasi, teks prosedur kompleks, teks negosiasi, teks eksplanasi, teks cerita sejarah, teks berita, teks iklan, dan teks editorial/ opini. Sesuai dengan karakter teks dan lima langkah pembelajaran
saintifik,
pembelajaran
terpadu
ini
dilaksanakan
dengan
menggunakan model PBL. Simpulan dan Saran 1.
Simpulan Terdapat delapan konten yang secara langsung maupun tidak langsung, dapat mendukung upaya mewujudkan MEA. Konten tersebut adalah teks laporan hasil observasi, teks prosedur kompleks, teks negosiasi, teks eksplanasi, teks cerita sejarah, teks berita, teks iklan, dan teks editorial/ opini. Untuk mendukung upaya mewujudkan MEA, setiap konten dibahas melalui pembelajaran terintegrasi dengan model problem based learning. PBL yang dilakukan
440
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
secara terpadu merupakan sebuah inovasi pembelajaran yang diharapkan dapat menggali potensi dan kreativitas peserta didik. 2.
Saran-Saran a)
Pembelajaran Bahasa Indonesia berbasis teks memungkinkan kretiavitas dan potensi peserta didik lebih tergali. Peserta didik jangan merasa terbebani dengan segala bentuk pembelajaran saintifik pada Kurikulum 2013.
b)
Kurikulum 2013 menuntut guru untuk menjadi pembelajar yang kretif dan inovatif. Guru dapat melakukan berbagai inovasi pembelajaran sesuai dengan karakteristik materi, perkembangan zaman dan teknologi, dan karakteristik peserta didik.
Daftar Pustaka Ali, Mohammad. 2010. Metodologi dan Aplikasi Riset Pendidikan. Bandung: Pustaka Cendekia Utama. Apandi, Idris. 2015. Guru Qalbu. Penguatan softskill untuk Mewujudkan Guru Profesional dan Berkarakter. Bandung: Smart Learning Solution. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013. Buku Peserta didik: Bahasa Indonesia: Ekspresi Diri dan Akademik (Kelas X, XI, dan XII). Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013. Buku Guru: Bahasa Indonesia: Ekspresi Diri dan Akademik (Kelas X, XI, dan XII). Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kurniawan, Deni. 2011. Pembelajaran Terpadu: Teori, Praktik, dan Penilaian. Bandung: Pustaka Cendekia Utama. Milles Mathew, B and Huberman Michael, A. 1984. Qualitative Data Analysis: A Sorccebook of New Methods. London: Sage Publications, International Educational. Oliva, PF. (1992). Developing The Curriculum. New York: Harper Collins Publisher. Sugiyono. 2012. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Dokumen Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Salinan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia terkait Kurikulum 2013: Nomor 64 Tahun 2013 tentang Standar Isi Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses Nomor 59 Tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 SMA/ MA
441
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Nomor 103 Tahun 2014 tentang Pembelajaran pada Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 104 Tahun 2014 tentang Penilaian Hasil Belajar oleh Pendidik pada Pendidikan Dasar dan Menengah. Salinan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
442
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Pemberdayaan Pembelajaran Bahasa Indonesia Melalui Pendekatan Komunikatif untuk Terampil Berbahasa
Adrias STKIP PGRI Sumatera Barat mahasiswa Program Doktor Universitas Pendidikan Indonesia
Abstrak Pendekatan komunikatif bagian yang penting diterapkan bagi guru dan siswa dalam proses belajar mengajar. Melalui makalah ini berupaya medeskripsikan pemberdayaan pembelajaran Bahasa Indonesia melalui pendekatan komunikatif dapat membantu siswa dalam menguasai keterampilan berbahasa, membantu guru memahami pendekatan komunikatif
dalam pembelajaran bahasa
Indonesia, membantu guru melaksanakan pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa, meningkatkan keterampilan berbahasa sisiwa secara lisan atau pun tertulis, sebagai usaha untuk memenuhi tuntutan dan amanat kurikulum 2013. Pembahasan lebih diarahkan pada strategi dalam pembelajaran bahasa Indonesia melalui pendekatan komunikatif. Sasaran dari kajian teoritis ini adalah guru dan siswa. Kata Kunci: pembelajaran, pendekatan komunikatif, terampil berbahasa
Pengantar Berbagai fenomena tentang pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia sering kita dengar
Proses pembelajaran bahasa Indonesia
sering
dipandang berbagai kalangan
masih gersang dan membosankan. Proses pembelajaran Bahasa Indonesia juga dirasakan masih belum berhasil dengan memuaskan. Para siswa sekolah menengah dikatakan masih kering bahasa dan rendah bersastra. Siswa hafal dengan berbagai
jenis imbuhan, jenis kata,
dan jenis kalimat, bahkan berbagai jenis gaya bahasa, Namun mereka belum terampil menggunakannya dalam berbahasa. Banyak
keluhan yang dilontarkan
tentang kemampuan
berbahasa siswa baik
kemampuan secara tertulis atau pun secara lisan. Ketika seorang siswa diminta untuk 443
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
menyusun konsep surat atau menyusun sebuah laporan kegiatan di masyarakat, mereka belum
mampu. Begitu juga ketika
diminta berpidato ataupun memimpin sebuah acara
diskusi atau rapat mereka belum mampu, mereka kering dengan ide dan gagasan. Mereka tidak mampu memandu dengan baik, karena tidak memiliki penguasaan kosakata atau perbendaharaan kata yang banyak. Pengembangan wawasan mereka dalam mengembangkan argumentasi tidak bervariasi cenderung sangat dangkal pengetahuan mereka. Bahkan pembicaraan siswa cenderung tidak memiliki tujuan dan berbelit belit sulit dimengerti oleh pendengarnya. Pada hal kalau dilihat perolehan nilai bahasa Indonesia mereka sangat memuaskan. Apakah
yang
terjadi
dengan
fenomena
di
atas?
Siapakah
yang
mesti
disalahkan?Atau diminta pertanggungjawaban? Pemerintah, guru masyarakat atau kurikulum? Sebagai
orang yang paling bertanggung jawab dengan proses pembelajaran mestinya
kita sebagai guru mengintrospeksi diri sendiri tentang apa yang telah kita lakukan, meskipun tidak sepenuhnya semua tanggung jawab guru. Kurikulum
pun
sering
mengalami
perubahan
dan
penyempurnaan.
Diberlakukannya kurikulum KTSP yang sekarang diperbaharui lagi dengan Kurikulum 2013 bentuk penyempurnaan dari kurikulum yang ada. Kurikulum ini bertujuan memberikan ilmu pengetahuan secara utuh kepada siswa dan tidak terpecah-pecah. Kurikulum 2013 juga menekankan pada keaktifan siswa untuk menemukan konsep pelajaran dengan guru berperan sebagai fasilitator. Selain itu, tujuan utama dari Kurikulum 2013 adalah pertama, menciptakan lulusan yang memiliki kemampuan berkomunikasi, kedua, menciptakan lulusan yang memiliki kemampuan berpikir kritis dan jernih, ketiga menciptakan lulusan yang memiliki kemampuan mempertimbangkan segi moral suatu permasalahan, keempat menciptakan lulusan yang mampu menjadi warga negara yang bertanggungjawab, kelima, menciptakan lulusan yang memiliki kemampuan mengerti dan toleran terhadapa pandangan yang berbeda, keenam, menciptakan lulusan yang memiliki kemampuan kemampuan hidup dalam masyrakat yang mengglobal, ketujuh, menciptakan lulusan yang memiliki minat luas dalam kehidupan, menciptakan lulusan yang yang memiliki kesiapan untuk bekerja, kedelapan, menciptakan lulusan yang memiliki kecerdasan sesuai dengan bakat/minatnya, terakhir, menciptakan lulusan yang memiliki rasa tanggungjawabterhadap lingkungan. Dari beberapa tujuan tersebut pertama yang ingin dicapai adalah kemampuan berkomunikasi. Melalui pembelajaran yang dipandu oleh kurikulum 2013 siswa memperoleh
keahlian
diharapkan
praktis untuk berkomunikasi. Keterampilan itu mencakup aspek
mendengar, bebicara , membaca dan menulis. Agar,
siswa
mampu
bekomunikasi,
pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia diarahkan untuk membekali siswa trampil 444
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
berkomunikasi secara lisan ataupun bahasa
tulisan.
Siswa dilatih
lebih
banyak menggunakan
untuk berkomunikasi, tidak dituntut untuk lebih banyak menguasai pengetahuan
tentang bahasa. Kurikulum yang diatur oleh pemerintah hanya sebagai panduan bagi guru untuk mengatur sisitem pembelajaran. Bagaimanapun
bagusnya
kurikulum, tetapi kalau tidak
diringi dengan guru yang kreatif yang mampu
membawa
amanat kurikulum,
tetap seperti biasa seperti kasus yang
pembelajaran bahasa
akan
inovasi
dan
menjalankan
disamapaikan di atas. Untuk itu, melalui makalah ini akan dibahas sebuah strategi dalam pembelajaran bahasa melalui pendekatan komunikatif. Tujuan Tujuan dari tulisan ini dapat diuraikan sebagai berikut ini. 1. membantu guru memahami pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa 2. Membantu guru melaksanakan pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa 3. Meningkatkan keterampilan berbahasa sisiwa secara lisan atau pun tertulis 4. Sebagai usaha untuk memenuhi tuntutan dan amanat kurikulum 2013
Latar Belakang Lahirnya Pendekatan Komunikatif Pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa mulai ditemukan pada tahun 1960-an. Ketika
itu
pembelajaran bahasa di Inggris mengalami perubahan yang
mendasar. Dua faktor utama yang mempengaruhi lahirnya pendekatan komunikatif adalah surutnya popularitas metode lisan dan situasional di Inggris, dan makin eratnya kerja sama antara negara-negara di Eropa dalam bidang dan kebudayaan dan pendidikan ( Huda, dalam Pateda 1991) pendekatan komunikatif lahir dari situasi pengajaran bahasa di Inggris yang tidak puas dengan dengan metode pengajaran saat itu , misalnya metode audiolingual. Pendekatan
komunikatif
berakar dari prinsip-prinsip
linguistik
yang landasan
teorinya didukung oleh oleh teori belajar dari Amerika. Prinsip ini kemudian diperkuat oleh prinsip nonlinguistik berupa kerja sama dalam bidang kebudayaan dan pendidikan negara-nagara di Eropa Barat. Kelahiran mengherankan
karena
Inggris
pendekatan komunikatif di Inggris
antara tidak
merupakan kelompok negara tersebut , dan letaknya pun
berdekatan. Selain itu penghasilan masyarakat negara Inggris pun relatif
memadai untuk
melaksanakan pendekatan tersebut. Di Indonesia pendekatan komunikatif
baru diluncurkan pada tahun 90-an, Sejak
bergulirnya kurikulum 1994, di Indonesia pun pendekatan komunikatif sudah diperkenalkan 445
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
dan mulai dilaksanakan. Namun pelaksanannya yang belum maksimal, yang disebabkan terbatasnya
kemampuan
guru
untuk
memulai sesuatu
hal
yang
baru, dana yang
kurang memadai atau belum tersosialisasi dengan baik sampai ke daerah-daerah, dan lain-lain. Prinsip Dasar Pendekatan Komunikatif Menurut Siahaan dalam Pateda (1991: 86) prinsip dasar pendekatan komunikatif sebagai berikut ini. 1. Materi harus terdiri dari bahasa sebagai alat berkomunikasi 2. Desain materi harus lebih menekankan proses belajar- mengajar dan bukan
pokok
bahasan. 3. Materi harus memberi dorongan kepada pelajar untuk berkomunikasi secara wajar. Selain itu perlu diketahui bahwa prinsip dasar berlangsungnya komunikasi antara lain: a. Harus ada pembicara/ penulis dan pendengar/ pembaca b. Pesan harus disampaikan c. Syarat fisik berupa alat bicara atau grafem harus berfungsi d. Antara pembicara/ penulis dan pendengar/ pembaca harus saling mengerti e. Fungsi bahasa harus diperhatikan Pada tataran teori bahasa , pendekatan komunikatif memiliki dasar teori yang kaya dan banyak pilihannya. Beberapa ciri pandangan komunikatif tentang bahasa adalah: 1) Bahasa merupakan sistem untuk mengekspresikan makna. 2) Fungsi utama bahasa adalah untuk berinteraksi dan berkomunikasi 3) Struktur bahasa merefleksikan fungsinya dan penggunaan komunikatif 4) Unit utama bahasa bukan hanya ciri struktural dan gramatikal, tetapi kategori makna komunikatif dan fungsional seperti tampak dalam wacana. Berdasarkan uraian di atas yang menjadi acuan dalam pendekatan komunikatif adalah kebutuhan siswa dan fungsi bahasa yang bertujuan agar siswa dapat berkomunikasi
dalam
situasi
sebenarnya.
Dengan
demikian, yang dipentingkan
siswa bukanlah pengetahuan tentang bahasa, tetapi kebahasaan bukan sebagai tujuan akhir tetapi sebagai sarana untuk melaksanakan komunikasi.
446
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Karakteristik Pendekatan Komunikatif Pada hakikatnya pendekatan komunikatif berorientasi dengan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. Tujuan pembelajarannya adalah untuk mengembangkan kompetensi komunikatif, dengan cara mengembangkan keterampilan komunikasi pembelajar, menekankan pada makna secara utuh dan fungsional dan penyajian bahan tidak terpotong-potong, berorientasi pada konteks, mempertajam kepekaan sosial, belajar bahasa adalah belajar berkomunikasi, komunikasi yang efektif merupakan tuntutan, latihan komunikasi dimulai sejak permulaan belajar bahasa, kompetensi komunikatif merupakan tujuan utama, urutan pembelajaran tidak selalu linear, didasarkan atas kebutuhan, pembelajar sebagai pusat belajar, kesalahan berbahasa merupakan sesuatu yang wajar, materi senantiasa melibatkan aspek
linguistik, makna
fungsional dan makna sosial. (Finochiaro, dalam Suwarna, 2002: 56 ) Sekitar tahun 1980-an akhir
pendekatam
Kurikulum 1994 sudah mulai dirancang dengan sampai pada Kurikulum 2013.
Pembelajaran
komunikatif
bergema
di Indonesia.
menggunakan pendekatan komunikatif bahasa
Indonesia
dengan
pendekatan
komunikatif sangat tepat . Hal ini didasarkan atas beberapapertimbangan antara lain: 1. Bahasa sebagai alat komunikasi, sebetulnya siswa memiliki bekal berbahasa untuk mengembangkann kompetensi komunikatif 2. Tujuan Pembelajaran
bahasa dengan pendekatan komunikatif adalah pengembangan
kompetensi komunikatif 3. Pendekatan
komunikatif
berorientasi
pada
pembelajaran yang aktif, kreatif dan
produktif. Tugas guru bahasa dalam hal ini adalah mnciptakan suasana
belajar
yang
memungkinkan siswa aktif berpendapat, kreatif melahirkan ide, dan produktif dalam tindak ujaran. 4. Pendekatan bahasa
komunikatif dapat
terjadi
mementingkan dalam
konteks.
Dalam
hal ini pembelajaran
konteks yang bagaimanapun. Guru harus mampu
menghadirkan konteks yang dibutuhkan dalam kelas. 5. Pembelajaran dengan pendekatan komunikatif
senantiasa
melibatkan aspek linguistik
bahasa. (kebahasaan, tindak ujaran dan aspek sosial) 6. Kesalahan berbahasa merupakan hal yang wajar, karena kesalahan terjadi menunjukkan bahwa siswa sedang berproses.
F. Penerapan Pendekatan Komunikatif dalam Pembelajaran Bahasa Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk menigkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun 447
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia. (Depdiknas 2005) Amanat yang disampaikan kurikulum
tersebut adalah
meningkatkan kemampuan
berkomunikasi, dan hal ini sangat tepat dicapai melalui pendekatan komunikatif sesuai dengan uraian di atas. Dalam hal ini diperlukan kreativitas guru dalam mengembangkan proses pembelajarannya. Tugas pokok guru yang harus dilaksanakan dalam mengemban amanat kurikulum dan dapat dijadikan penerapan pendekatan komunikatif dalam pembelajaran berbahasa sebagai berikut ini. 1.Memahami hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menjabarkan kurikulum a. memahami secara benar dan mendalam mengenai kurikulum, tujuan, fungsi mata pelajaran, ruang lingkup, kompetensi inti, kompetensi dasar dan penilaian hasil belajar. Pada poin ini seringkali guru melebur pada aspek aspek yang tidak menjadi tujuan kompetensi inti dan kompetensi dasar, tetapi dikombinasikan dalam proses belajar mengajar. b. memiliki kompetensi yang baik berkaitan substansi materi pembelajaran c. memiliki pemahaman yang baik tentang pendekatan komunikatif dan pembelajaran kontekstual 2. Merencanakan program pembelajaran a. Merencanakan program tahunan dan program semester b. menyusun silabus Silabus dalam pendekatan komunikatif sangat penting. Silabus merupakan garis besar, ringkasan, atau garis garis besar program pembelajaran yang berisi rencana pelaksanaan pembelajaran dan penilaiannya. Kurikulum 2013 memberi keluasan kepada guru untuk mengembangkan silabus sesuai dengan situasi dan kondisi di lapangan, sepanjang tidak menyimpang dari pokok-pokok yang telah digariskan secara nasional. c. menyusun rencana / skenario pembelajaran
448
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
3. Melaksanakan kegiatan belajar mengajar a. menciptakan suasana pembelajaran yang bermakna sesuai dengan metode kontekstual. b. menggunakan media pembelajaran yang bermakna dan bervariasi c. kegiatan belajar mengajar lebih berpusat kepada siswa, guru hanya sebagai motivator dan fasilitator dalam kelas. 4. Menilai proses pembelajaran Penilaian yang dilakukan dalam pendekatan komunikatif sesuai dengan penilaian otentik dengan menggunakan penilaian berbasis kelas, yang dinilai bukan
pengetahuan tentang bahasa siswa tetapi proses berbahasa dalam
berkomunikasi 5. Melaksanakan program remedial atau perbaikan. Kesalahan berbahasa siswa dianggap sebagai sesuatu yang wajar dalam berproses. Perbaikan dilaksanakan langsung ketika terjadi kesalahan agar lebih bermakna 6 . Melaksanakan program pengayaan. Hal ini sanagt bermanfaat bagi siswa untuk mengembangkan kecakapannya sebagai sesuatu yang bermakna. Siswa yang terampil menulis bisa dilatih untuk menulis artikel, puisi , karya tulis yang bermanfaat untuk masa depannya. Siswa terampil berbicara bisa diarahkan untuk menjadi presenter , pembawa acara atau wartawan. Berbagai kegiatan di atas memang membutuhkan jamahan tangan guru yang kreatif. Guru harus mampu menciptakan suasana di kelas yang komunikatif tersebut
misalnya dengan
materi yang otentik dan kontekstual. Kegiatan harus berpusat pada siswa , guru hanya sebagai fasilitator.
Semua yang ada di kelas harus bermakna dan membantu proses siswa
berbahasa.
449
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2015
Simpulan Pendekatan
komunikatif
sangat
relevan
digunakan
dalam konteks pembelajaran
bahasa saat ini di berbagai jenjang pendidikan, karena pendekatan komunikatif mempunyai ciri-ciri yang sesuai dengan amanat kurikulum diantaranya; a. lebih mengutamakan makna bukan bentuk b. mengutamakan fungsi komunikatif c. Kontekstualisasi merupakan pernyataan dasar Dengan
tujuan utama adalah fungsi komunikatif, pendekatan
komunikatif mengatur
model pembelajarannya yang selalu berpusat kepada siswa. Guru hanya berperan organisator, motivator, dan fasilitator.
sebagai
Maka hal ini berpulang kepada guru bagaimana
menciptakan suasana kelas yang bermakna, karena tidak ada materi yang bagus, penilaian yang benar dan metode yang tepat tanpa guru yang berkualitas dan penuh kretivitas dalam pembelajaran.
Daftar Pustaka Depdiknas,. 2005. Prisip dan Pendekatan dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia. Depdiknas Pateda, Mansoer. 1991. Linguistik Terapan. Ende-Flores: Nusa Indah Pringgawidagda,Suwarna.2002. Strategi Penguasaan Berbahasa. Yogyakarta: .
Adicita Karya Nusa
Trianto. 2010. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Pogresif. Jakarta: Kencana
450