Pokok bahasan : PENINGKATAN NILAI TAMBAH DARI BIOKONVERSI PROSES PRODUKSI TERNAK Tujuan Instruksional Umum : Memberikan
pengertian
dan
pemahaman
tentang
biokonversi
yang
berlangsung pada proses produksi ternak dan strategi dalam mendapatkan nilai tambah Tujuan Instruksional Khusus : Memberikan pengertian dan pengetahuan tentang beberapa diversifikasi usaha ternak potong/kerja/perah/unggas, baik melalui usaha pertanian terpadu maupun implementasi dari konsep daur ulang, sehingga usaha peternakan mendapatkan nilai tambah yang tinggi (maksimal) Uraian : Prinsip dasar dari usaha meningkatkan nilai tambah dari perubahan proses biologis (biokonversi) adalah bagaimana mengubah sesuatu dari nilai ekonomi yang potensial menjadi nilai ekonomi yang riil yang juga meningkatkan nilai manfaat bagi kepentingan manusia (termasuk konsumen). Sebagai contoh hasil pembuahan ternak (zygote), secara ekonomi tidak memiliki nilai yang berarti, tetapi setelah zygote menjadi embrio, kemudian lahir dan tumbuh sampai mencapai bobot potong, akhirnya menghasilkan daging, ternyata memiliki nilai tambah yang tinggi. Untuk mendapatkan nilai tambah/manfaat yang lebih tinggi/maksimal, disamping efisiensi produksi, usaha lain yang perlu dilakukan terhadap proses produksi ternak adalah diversifikasi usaha dan menerapkan proses daur ulang dalam sistem usaha pertanian – peternakan yang terintegrasi (integrated farming). Prinsip proses biokonversi dari integrated farming adalah peningkatan nilai tambah dari semua produk biologis yang berasal dari ternak. Dalam pertanian terpadu / terintegrasi digunakan konsep LEISA.
1
LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture) Konsep LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture) sebagai arah baru bagi pertanian konvensional (HEIA : High External Input Agriculture), sangat cocok dilaksanakan pada sistim pertanian negara-negara berkembang termasuk Indonesia mengingat negara kita dengan kekayaan dan keanekaragaman sumber daya alam yang terkandung di tanah air kita sangat memungkinkan konsep LEISA ini menjadi konsep pertanian masa depan yang diharapkan mampu mengantarkan bangsa kita menjadi bangsa yang besar dengan tingkat kemakmuran dan kemandirian yang lestari sehingga mampu bersaing menghadapi persaingan bebas pada waktu yang akan datang. Konsep LEISA merupakan penggabungan dua prinsip yaitu agro-ekologi serta pengetahuan dan praktek pertanian masyarakat setempat/tradisional. Agro-ekologi merupakan studi holistik tentang ekosistim pertanian termasuk semua unsur lingkungan dan manusia. Dengan pemahaman akan hubungan dan proses ekologi, agroekosistim dapat dimanipulasi guna peningkatan produksi agar dapat menghasilkan secara berkelanjutan, dengan mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan bagi lingkungan maupun sosial serta meminimalkan input eksternal. Secara singkat konsep LEISA dapat dijabarkan sebagai berikut :
Mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lokal
Memaksimalkan daur ulang (Zero waste)
Meminimalkan kerusakan lingkungan (ramah lingkungan)
Secara cermat mendiversifikasikan usaha
Sasaran produksi stabil, memadai dalam jangka panjang
Sasaran akhir adalah menciptakan kemandirian
2
SISTEM PERTANIAN TERPADU Sistem pertanian terpadu merupakan kombinasi dari berbagai teknologi atau metoda bertani yang dipadukan dalam rencana manajemen usahatani yang utuh. Di Amerika Serikat pada bulan Januari 1988
United States Departement of
Agriculturre (USDA) telah lebih dahulu mereformasi kebijakan pertanian yaitu Low Input Sustainable Agriculture (LISA) merupakan kombinasi teknologi dan metoda bertani secara terpadu. Kombinasi tersebut merupakan kesatuan dari bermacammacam metoda bertani, seperti perpaduan antara pengendalian hama terpadu, kontrol
biolgis,
(leguminosa).
pergiliran
Teknologi
tanaman
tersebut
berbasis
merupakan
tanaman
kacang-kacangan
penyimpangan
satu
kesatuan
pertanian modern yang diadopsi secara meluas. Situasi tersebut disebabkan para petani dinegara paman Syam tersebut menghadapi tekanan finasial akibat penurunan ekspor produk pertanian, harga komoditi, dan nilai tanah.
Solusi
tradisional dengan memacu produksi malah semakin menjatuhkan harga komoditas pertanian.
Petani juga berada dalam tekanan publik untuk mengurangi polusi
akibat penggunaan pupuk kimia dan pestisida serta mengurangi erosi lahan. LISA juga dimaksudkan untuk memenuhi dua kepentingan petani, yaitu produksi dan konservasi. Pendekatan konvensional dengan teknologi modern cenderung mengabaikan faktor konservasi sumberdaya atau proteksi lingkungan. Meskipun konservasi sesuatu yang penting dan dibutuhkan, bagi petani dianggap sebagai beban atau pembatas maksimalisasi keuntungan.
Untuk itu perlu disediakan
bantuan teknis dan finansial dalam rangka mendukung hal tersebut. Kebijakan itu secara konseptual mempunyai dua tujuan, yaitu untuk memperbesar pendapatan petani dan memelihara lingkungan melalui pembangunan suatu sistem pertanian terpadu. Adapun tujuan yang mendasar program ini untuk penyediaan pangan dan hasil pertanian. Program kelebihannya.
LISA Secara
dipilih teknis
sebagai
kebijakan
alternatif
sistem
pertanian
yang
dengan
diterapkan
beberapa berpotensi
mengurangi ketergantungan para petani kepada pembelian berbagai input eksternal, sehingga keuntungan yang diperoleh lebih meningkat. 3
Dari peluang kesempatan kerja dan diversifikasi usaha diyakini juga membangkitkan kekuatan vital dipedesaan. Juga menguntungkan masyarakat dalam menekan kerusakan lingkungan akibat erosi dan pencemaran bahan kimia terhadap air, tanah, dan udara, pengurangan beban pajak konsumen dalam program bantuan harga dari pemerintah, penghematan bahan baakar minyak, serta pemeliharaan kelanjutan lahan untuk generasi mendatang. Dampak negatif program ini antara lain ketidak seimbangan perdagangan (impor ekspor), kenaikan harga beberapa bahan pangan, penurunan pendapatan perusahaan produsen bahan kimia sintetis, serta ketimpangan produksi dan pendapatan antar kawasan. Pendekatan yang dilakukan dalam melaksanakan program LISA yaitu multi disiplin, regional, dan lintas sektoral, melibatkan instansi publik, swasta, dan para petani. Para Petani, pakar dari berbagai disiplin ilmu yang berasal dari kalangan perguruan tinggi, lembaga penelitian, lembaga konsultasi / pelayanan, NGO, dll bekerjasama secara optimal
mulai perumusan tujuan, perioritas, perencanaan
program, pengembangan teknologi sampai proses evaluasi kegiatannya.
Pada
awalnya program ini ditekankan pada penyediaan informasi yang lengkap dan siap pakai berkenaan dengan pertanian berkelanjutan. Informasi tersebut antara lain berasal dari hasil penelitian yang telah dan sedang berlangsung. Selanjutnya para petani diberikan insentif yang diperhitungkan dari tingkat keuntungan yang akan diperoleh petani. Pertimbangan lain dari pemberian insentif adalah resiko kerugian finansial/kegagalan. Kerugian finansial/kegagalan bisa disebabkan oleh produksi, pencemaran lingkungan, dan gangguan kesehatan para petani.
Kebijakan ini
menunjukan adanya suatu kesadaran baru dengan tidak melihat pencapaian tingkat produksi tertentu sebagai tujuan. Implikasi tujuan produksi terhadap faktor lain seperti lingkungan, sosial budaya, ekonomi, dan politik menjadi sama pentingnya. Berbagai kajian dan penelitian yang bersifat teoritis atau empiris secara intensif. Petani dan semua pihak yang terkait dilibatkan sepenuhnya. Berbagai akses fasilitas, insentif, jaminan seharusnya disiapkan. Kajian sementara menunjukan bahwa sistem
4
pertanian berkelanjutan sangat menjanjikan, karena banyak keuntungan yang dapat diraih secara ekonomis, ekologis, dan sosiologis. Pembangunan pertanian di Indonesia mensyaratkan paradigma baru dari para pengambil kebijakan. Sektor pertanian dalam paradigma baru perlu dilihat sebagai suatu sistem yang integral.
Seluruh komponen sistem idealnya harus
diuntungkan dan berkembang secara proporsional. Kondisi ini belum terjadi di Indonesia. Oleh karena itu diperlukan reformasi kebijakan pembangunan pertanian yang mengacu konsep pertanian berkelanjutan. Sebelum reformasi itu digulirkan, pemerintah masih harus membenahi masalah besar yang belum terjawab diera orde baru, yaitu ketidakseimbangan antara faktor-faktor produksi : tanah, tenaga kerja, dan modal. Pembenahan ini perlu karena usaha tani berkelanjutan biasanya menempuh strategi diversifikasi usaha tani dan padat karya. Agar usaha tani tersebut layak secara ekonomis, dibutuhkan tingkat pemilikan modal dan tanah tertentu.
Oleh karena itu, diperlukan reformasi dibidang
pertanahan dan permodalan
agar petani memperoleh kemudahan dan akses
memperoleh modal. Faktor lain yang perlu disiapkan untuk mendukung sistem pertanian berkelanjutan adalah kesiapan petani. Hal mendasar yang dibutuhkan petani adalah suatu model pendidikan yang memicu kesadaran kritis mereka. Hal ini penting agar para petani dapat mengambil sikap terhadap pilihan-pilihan yang diberikan kepada mereka, misalnya dalam hal teknologi. Sistem pertanian berkelanjutan
juga
mensyaratkan informasi yang utuh, terpercaya, dan dapat diakses dengan mudah oleh petani. Dari pihak pemerintah, dituntut kemauan pilitiknya untuk mereformasi kebijakan, pendekatan, serta metodologi pembangunannya selama ini. Misalnya untuk mengurangi segala macam peraturan (regulasi) dan pengendalian yang cenderung berlebihan serta membelenggu kebebasan dan mengingkari hak-hak
5
petani. Dukungan berupa insentif seperti asuransi juga perlu untuk dipertimbangkan diberikan kepada petani. Kelembagaan petani juga perlu diperkuat dengan jalan memberikan akses kepada petani seluas luasnya untuk mengorganisir diri dan memperkuat posisi mereka tanpa intervensi dan pembatasan oleh pemerintah. Perlu disadari bahwa agenda pertanian berkelanjutan hanyalah merupakan salah satu dari sekianbanyak agenda reformasi sektor pertanian yang perlu terus diperjuangkan. Masih banyak lagi masalah-masalah petani yang sampai sekarang belum teratasi. Semua itu disebabkan oleh kebijakan pembangunan pertanian selama ini masih belum berpihak kepada
para
petani.
Petani
umumnya
dibiarkan
berjuang
sendiri
untuk
memperjuangkan hak-haknya. Aksi-aksi menuntut reformasi yang marak sekarang ini perlu digunakan sebagai momentum untuk membangun jaringan aliansi yang lebih luas sambil terus menerus memperjuangkan kebijakan alternatif sistem pertanian
berkelanjutan
merekonstruksi berpihak kepada
kebijakan
di
Indonesia.
pembangunan petani
Semua
itu
pertanian
tentu masa
dalam lalu
kerangka
yang
belum
http://www.deptan.go.id/bpsdm/bbpp-
binuang/index.php?option=com_content&task=view&id=70&Itemid=1
Pertanian terpadu pada hakekatnya adalah memanfaatkan seluruh potensi energi sehingga dapat dipanen secara seimbang. Pertanian melibatkan makhluk hidup dalam satu atau beberapa tahapnya dan memerlukan ruang untuk kegiatan itu serta jangka waktu tertentu dalam proses produksi. Dengan pertanian terpadu ada pengikatan bahan organik di dalam tanah dan penyerapan karbon lebih rendah dibanding pertanian konvensional yang pakai pupuk nitrogen dan sebagainya. Agar proses pemanfaatan tersebut dapat terjadi secara efektif dan efisien, maka sebaiknya produksi pertanian terpadu berada dalam suatu kawasan. Pada kawasan tersebut sebaiknya terdapat sektor produksi tanaman, peternakan maupun perikanan. Keberadaan sektor-sektor ini akan mengakibatkan kawasan tersebut memiliki ekosistem yang lengkap dan seluruh komponen produksi tidak akan menjadi limbah karena pasti akan dimanfaatkan oleh komponen lainnya. Disamping akan terjadi peningkatan hasil produksi dan penekanan biaya produksi sehingga efektivitas 6
dan efisiensi produksi akan tercapai. Selain hemat energi, keunggulan lain dari pertanian terpadu adalah petani akan memiiki beragam sumber penghasilan. Sistem Pertanian terpadu memperhatikan diversifikasi tanaman dan polikultur. Seorang petani bisa menanam padi dan bisa juga beternak kambing atau ayam dan menanam sayuran. Kotoran yang dihasilkan oleh ternak dapat digunakan sebagai pupuk sehingga petani tidak perlu membeli pupuk lagi. Jika panen gagal, petani masih bisa mengandalkan daging atau telur ayam, atau bahkan menjual kambing untuk mendapatkan penghasilan. Pertanian terpadu merupakan konsep pemanfaatan lahan yang tersedia semaksimal mungkin untuk menghasilkan produk pertanian yang beraneka ragam dengan kualitas tinggi. Hasil yang beragam dari tiap komoditas pertanian tersebut diolah kembali untuk sumber masukan energi dalam melakukan aktivitas pertanian lainnya. Pemanfaatan komponen-komponen pertanian yang saling terkait antara satu dengan yang lainnya akan meningkatkan efektifitas dan efisiensi produksi yaitu berupa peningkatan hasil produksi yang bersifat ramah lingkungan. Konsep pertanian terpadu ini juga merupakan upaya petani dalam memperbaiki sifat tanah dengan penambahan input bahan organik dari dalam sistem pertanian itu sendiri. Bahan organik tanah adalah semua jenis senyawa organik yang terdapat di alam
tanah,
termasuk
serasah,
fraksi
bahan
organik
ringan,
biomassa
mikroorganisme, bahan organik terlarut di dalam air, dan bahan organik yang stabil atau humus. Bahan organik yang dihasilkan dalam sistem pertanian terpadu ini memiliki peran penting dalam menentukan kemampuan tanah untuk mendukung tanaman, sehingga jika kadar bahan organik tanah menurun, kemampuan tanah dalam mendukung produktivitas tanaman juga menurun. Bahan organik secara langsung merupakan sumber hara N, P, S, unsur mikro maupun unsur hara esensial lainnya. Secara tidak langsung bahan organik membantu menyediakan unsur hara N melalui fiksasi N2 dengan cara menyediakan energi bagi bakteri penambat N2, membebaskan fosfat yang difiksasi secara kimiawi maupun biologi dan menyebabkan pengkhelatan unsur mikro sehingga tidak mudah hilang dari zona perakaran. Membentuk agregat tanah yang lebih baik dan 7
memantapkan agregat yang telah terbentuk sehingga aerasi, permeabilitas dan infiltrasi menjadi lebih baik. Akibatnya adalah daya tahan tanah terhadap erosi akan meningkat, meningkatkan retensi air yang dibutuhkan bagi pertumbuhan tanaman, meningkatkan retensi unsur hara melalui peningkatan muatan di dalam tanah, mengimmobilisasi senyawa antropogenik maupun logam berat yang masuk ke dalam tanah dan meningkatkan kapasitas sangga tanah. Usaha yang dipakai dalam menerapkan pertanian terpadu adalah dengan menggabungkan
dua
subsistem
utama
yaitu
peternakan
dan
pertanian.
Ternak dapat dipelihara sebagai bagaian yang integral dalam system pertanian tersebut. KONSEP LEISA TERNAK
PASAR, RUMAH TANGGA
LIMBAH ORGANIK
BIOGAS MANUSIA
PUPUK ORGANIK PADAT & CAIR
PASAR
PRODUK UTAMA PERTANIAN
LIMBAH PERTANIAN TANAMAN PERTANIAN (HORTIKULTURA)
8
Analisis input pada peternakan ini adalah kebutuhan pakan sapi sebanyak 50 kilogram per hari. Pakan yang diberikan pada sapi peternakan tersebut adalah jerami dan shorgum. Terkadang untuk menambah nutrisi pakan jerami biasanya ditambah dengan pakan konsentrat berupa campuran jagung giling dan katul. Jagung giling dapat di ganti dengan ubi kayu. Pemberian konsentrat tersebut sebanyak 1% dari berat bobot pakan. Karena kebutuhan pakan yang cukup banyak, terkadang input dari dalam belum mampu memenuhi sehingga sebagian kebutuhan mendatangkan pakan dari luar. Sedangkan air tidak terlalu diperhitungkan karena sapi biasanya mendapatkan air dari campuran pakan yang telah diberikan. Analisis output dari peternakan berupa pupuk kandang berupa urin dan feces yang dihasilkan oleh sapi. Dalam satu tahun sapi dapat menghasilkan pupuk kandang sekitar 5,4 ton dengan rincian tiap hari menghasilkan 15 kilogram kotoran. Dikaitkan dengan kebutuhan lahan, informasi yang didapat bahwa sejumlah lima ekor sapi mampu mencukupi kebutuhan pupuk organik selama satu tahun. Agar kotoran dapat 9
menjadi pupuk kandang biasanya diakukan dekomposisi selama 4 bulan agar pupuk kandang dapat langsung digunakan pada lahan pertanian. Selain output dari hasil pupuk kandang, peternakan tersebut juga mendapatkan output dari hasil penjualan ternak. Pemilihan sapi sebagai subsistem utama pertanian terpadu tersebut sangat tepat. Sapi dapat digunakan sebagai sumber pemenuh kebutuhan hara bagi pertanian lain. Sebagai pertimbangan bahwa pada tahun pertama pertanian tersebut memiliki 5 ekor sapi, kemudian pada tahun kedua dan ketiga berturut-turut sebanyak 10 dan 15 ekor. Meningkat di tahun ke 4 berjumlah 17 ekor. Dari ke 17 ekor sapi itu terdiri dari jenis Simental, Limousin dan Berangus. Dari jumlah tersebut sapi dapat dijual sebagian untuk membantu pemasukan petani. Sisanya berjumlah 8 ekor sapi tetap dipertahankan untuk pemenuhan kebutuhan hara dan investasi petani ke depan. Keunggulan lainnya adalah sapi dapat berkembang biak dalam waktu yang singkat. Pemeliharaan sapi dengan penggemukan hanya dengan waktu pemeliharaan 8-12 bulan. Hasil pupuk kandang dari peternakan yaitu dalam satu hektar lahan pertanian tersebut dapat dicukupi kebtutuhan haranya oleh lima ekor sapi. Satu ekor sapi dapat memproduksi 15 kilogram kotoran tiap hari sehingga dalam setahun dapat mencapai 5, 4 ton kotoran yang dimanfaatkan sebagai pupuk. Sistem pertanian dalam sistem pertanian terpadu berupa penanaman secara multiple cropping. Jenis pertanian yang diusahakan adalah penanaman tanaman musiman jagung, ketela pohon, cabai, kacang tanah dan sawi serta tanaman keras berupa jati dan sengon. Sistem
tumpangsari
tumbuhan
dan
ternak
pada
umumnya
banyak
dipraktekkan dengan tanaman perkebunan. Tujuan sistem ini adalah untuk pemanfaatan lahan secara optimal, namun belum banyak mendapat perhatian. Di dalam sistem tumpangsari ini tanaman perkebunan sebagai komponen utama dan tanaman rumput dan ternak yang merumput diatasnya merupakan komponen kedua. Dari berbagai penelitian dilaporkan bahwa integrasi antara tanaman perkebunan dan peternakan dapat meningkatkan kualitas tanah, produksi kelapa, produksi kopra, 10
hasil buah sawit segar dan keuntungan ekonomis serta meningkatkan hasil ternak, menurunkan biaya penyiangan dan mempermudah pengumpulan buah kelapa. Keuntungan-keuntungan dari sistem ini antara lain : (1) tersedianya tanaman peneduh bagi ternak sehingga dapat mengurangi stress karena panas, (2) meningkatkan kesuburan tanah melalui proses kembaliya air seni dan feces ke dalam tanah, (3) meningkatkan kualitas pakan ternak, membatasi pertumbuhan gulma, (4) mengurangi penggunaan herbisida, (5) meningkatkan hasil tanaman perkebunan dan (6) meningkatkan keuntungan ekonomis termasuk hasil ternaknya. Input yang diberikan pada pertanian ini adalah bahan organik yang berasal dari seresah daun, jerami, atau hasil sampingan peternakan sapi yang telah terdekomposisi. Pengolahan feses dan urin sapi masih dengan bantuan petani, biasanya dilakukan penambahan MARROS Bio-Activa yang berfungsi sebagai akselerator pematangan feses dan urin agar dapat dijadikan pupuk bagi tanaman. Jerami juga dapat dikomposkan menjadi pupuk kompos bagi tanaman. Meskipun
jerami
tersebut
tidak
diberi
biodekomposer,
tetapi
telah
ada
biodekomposer alami (pelaku/aktor yang merombak bahan organik secara alami). Bedanya dengan biodekomposer yang ditambahkan, kemampuannya sudah lebih terseleksi akan lebih cepat terurai. Pada prinsipnya proses pelapukan adalah suatu proses alamiah dlm rangka mikroba(dekomposer) memanfaatkan jerami sebagai sumber
energinya,
untuk
membangun
biomassa.
Untuk
pertumbuhan
dan
perkembangan butuh rasio C, N, P. Input lain yaitu berkaitan dengan pengendalian hama dan penyakit digunakan taktik pengendalian hayati. Pengendalian ini dengan menggunakan senyawa atraktan, berupa metyl eugenol. Taktik ini berfungsi untuk menarik serangga lalat buah jantan melalui aromanya. Sehingga lalat akan terkecoh dan masuk dalam perangkap. Output yang dihasilkan adalah hasil pertanian utama seperti untuk tanaman jagung dapat menghasilkan kira–kira 4-5 ton selama 3 tahun, dengan harga jual Rp 2000/kilogram. Ketela pohon dapat menghasilkan lebih dari 9 kg/ batang. Cabe merah dapat menghasilkan ½ kg satu tanaman dengan harga Rp 2000/kg. Sawi 11
dapat menghasilkan 3 kg / m3 dengan luas lahan 8000 m3 dan harga jual Rp 1000/ kg. Selain itu terdapat hasil sampingan berupa seresah daun, rumput, dan brangkasan yang berguna untuk pakan sapi pada peternakan disana, atau dimanfaatkan untuk cadangan pupuk musim tanam berikutnya.
Integrated Farming System, Mungkinkah?
Integrated Farming System, atau sistem pertanian terpadu (Indonesia, red), didefinisikan sebagai penggabungan semua komponen pertanian dalam suatu sistem usaha pertanian yang terpadu. Sistem ini mengedepankan ekonomi yang berbasis teknologi ramah lingkungan dan optimalisasi semua sumber energi yang dihasilkan. Di Indonesia, model usaha ini masih sebatas wacana karena masih kurangnya pengetahuan masyarakat dan diperlukan modal yang cukup tinggi. Padahal usaha ini sangat cocok digunakan di Indonesia yang memiliki iklim tropis dengan limpahan sinar matahari sepanjang tahun dan curah hujan tinggi. Beberapa metode diversifikasi pertanian seperti minapadi (padi dengan ikan) dan longyam (balong ayam/ ikan dengan ayam) mengadopsi model integrated farming system ini. Komponen Integrated Farming System Sistem ini memiliki satu pusat dan satu tujuan yaitu manusia yang harus dipenuhi kebutuhannya. Pusat ini dikelilingi dengan berbagai model kegiatan ekonomi pertanian yang saling berkaitan satu sama lain misalnya peternakan, perikanan, ladang/persawahan dan pengelolaan limbah (waste treatment). Satu persatu kita akan membahas komponenintegrated farming system tersebut: 1. Manusia Manusia sebagai makhluk hidup membutuhkan energi sebagai motor kehidupannya.
Dengan
integrated
farming
system,
manusia
tidak
hanya
mendapatkan keuntungan finansial tetapi juga pangan sebagai kebutuhan primer dan energi panas serta listrik.
12
Skema
alur
interaksi
antara
satu
komponen
dengan
komponen
lainnya
dalam integrated farming system (Gambar : www.fao.org) 2. Peternakan Peternakan memainkan peran sebagai sumber energi dan penggerak ekonomi dalamintegrated farming system. Sumber energi berasal dari daging, susu, telur serta organ tubuh lainnya bahkan kotoran hewan. Sedangkan fungsi penggerak ekonomi berasal dari hasil penjualan ternak, telur, susu dan hasil sampingan ternak (bulu dan kotoran). Dalam
mendesain
komponen
peternakan
yang
akan
digunakan
untuk integrated farming system faktor biosekuriti adalah faktor penting yang harus selalu diperhatikan. Adalah pencegahan penularan penyakit antar hewan yang menjadi fokus biosekuriti tersebut. Seperti kita ketahui bahwa babi dan unggas air tidak boleh dipelihara berbarengan dengan ayam. Hal ini dikarenakan unggas air adalah reservoir yang akan menularkan virus AI ke berbagai hewan termasuk ayam tanpa unggas air tersebut menderita sakit. Sedangkan babi adalah mixing vessel, yang bila bersamaan 13
terinfeksi virus AI dan influenza manusia, berpotensi menghasilkan virus baru yang dikhawatirkan dapat menyerang manusia dan ayam. Oleh karena itu, keduanya tidak boleh dipelihara dalam satu peternakan. Hal serupa juga berlaku untuk sapi dan babi. Keduanya disarankan tidak dipelihara dalam satu lokasi karena beresiko terjadi penularan cacing pita dari sapi ke babi atau sebaliknya. Di lapangan, kombinasi antar hewan ternak umumnya jarang dilakukan. Biasanya ternak dikombinasikan dengan ikan. Jikapun ada, biasanya dipelihara dalam kandang atau lokasi berbeda, terpisah jarak yang jauh juga sistem kerja yang terpisah, atau dengan kata lain, tidak berhubungan satu sama lain. Contohnya adalah pekerja di kandang babi tidak boleh masuk ke kandang sapi begitupun sebaliknya. 3. Persawahan atau Ladang Syarat tanaman yang bisa diusahakan adalah bernilai ekonomi dan bisa menyediakan pakan untuk peternakan. Padi, strawberi, apel, anggur, singkong, tomat, talas dan jamur dapat digunakan dalam integrated farming system. Perhatikan bahwa padi yang digunakan harus berlabel biru atau yang tahan terhadap air yang agak tinggi. Hasil samping pertanian berupa jerami, sekam dan sisa batang dapat digunakan sebagai pakan ternak dan ikan, pembuatan biogas dan kompos.
14
Jamur dapat dipilih karena menggunakan kotoran ternak dan tidak membutuhkan lahan luas (Gambar : Simon & Schuster 1994) 4. Perikanan Ikan yang digunakan untuk integrated farming system adalah ikan air tawar yang dapat beradaptasi dengan lingkungan air yang keruh, tidak membutuhkan perawatan ekstra, mampu memanfaatkan nutrisi yang ada dan memiliki nilai ekonomis. Ikan yang sering digunakan adalah ikan nila, gurami, mas, tambakan dan lele.
Ikan
dapat
dipeli-hara
secara
tunggal
(monoculture)
atau
campuran
(polyculture), asalkan jenis yang dipelihara mempunyai kebiasaan makan berbeda agar tidak terjadi perebutan pakan, misalnya ikan mas dengan gurami. Nutrisi untuk ikan berasal dari jatuhan kotoran ternak yang kering dan sisa pakan ternak. Selain yang kering, kotoran ternak yang jatuh ke kolam juga memacu perkembangan plankton yang menjadi makanan ikan. Oleh karena itu, sebaiknya peternak juga memilih ikan yang dapat memanfaatkan plankton di dalam kolam seperti ikan tambangan. 15
Ikan nila, gurami, mas dan lele adalah ikan yang dapat digunakan dalam integrated farming system (Gambar : wikipedia.com) 5. Waste Treatment Komponen ini berperan dalam penyediaan energi dan penekan pencemaran lingkungan. Hasil dari pengolahan limbah tersebut adalah:
Kompos dan pupuk kandang Bahan pembuat kompos adalah kotoran sapi (80-83%), jerami padi (bisa sekam, serbuk
gergaji
dan
lain-lain
sebanyak
5%),
abu
dapur
(10%),
bakteri starter (0,25%) dan kapur (2%). Bahan lain dapat digunakan asalkan kotoran sapi minimal 40% dan kotoran ayam 25%. Teknik pembuatannya adalah sebidang tempat beralas tanah dan dibagi menjadi 4 lokasi (lokasi 1, 2, 3, 4) sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan dan tempat tersebut dinaungi agar pupuk tidak terkena sinar matahari dan air hujan secara langsung. Proses pembuatannya diawali dengan membiarkan kotoran sapi (feses dan urin) selama 1 minggu agar kadar air menurun hingga 60%. Lalu kotoran dipindahkan ke lokasi satu dan dicampur merata dengan jerami padi, abu dapur, kapur dan bakteri starter. 16
Setelah satu minggu tumpukan dipindahkan ke lokasi kedua dengan cara diaduk/ dibalik secara merata untuk menambah suplai oksigen dan meningkatkan homogenitas bahan. Pada tahap ini diharapkan terjadi peningkatan suhu hingga 70OC untuk mematikan pertumbuhan biji gulma sehingga kompos yang dihasilkan bebas dari biji gulma. Dan kompos didapat telah siap digunakan (www.sinartani.com).
Biogas Biogas terbentuk dari hasil penguraian kotoran hewan oleh mikroorganisme yang terdiri atas karbondioksida (30-40%), hidrogen (1-5%), metana (50-70%), uap air (0,3%), nitrogen (1-2%), dan hidrogen sulfat (endapan). Metana sebagai komponen
terbesar dapat dimanfaatkan
untuk memasak dan
pemanas.
Banyaknya metana yang dihasilkan juga menentukan daya listrik yang dihasilkan. Satu meter kubik (m3) metana yang setara dengan 10 kWh atau 0,6 liter bensin, mampu menghidupkan lampu 60-100 watt selama 6 jam. Cukup 3 ekor sapi untuk memenuhi kebutuhan energi skala rumah tangga. Pada dasarnya, biogas dapat diolah dari berbagai macam feses. Hanya, tiap feses ternyata memiliki kelebihan dan kekurangan. Contoh, feses sapi yang mudah dibuat biogas karena sedikit mengandung unsur-unsur kimia. Selain itu, perbandingan C/N (Carbon/Nitrogen) feses sapi adalah yang paling baik sehingga bakteri pembentuk gas dapat tumbuh lebih baik. Lain halnya dengan feses ayam yang dipelihara secara intensif. Feses ayam tersebut memiliki kandungan zat kimia yang tinggi sehingga membutuhkan perhatian khusus dalam pembuatannya. Terlepas dari itu, feses ini juga mengandung lebih banyak nitrogen dan mekar lebih banyak sehingga dapat menghasilkan biogas dan pupuk lebih banyak. Prinsip utama pembuatan biodigester (tabung pembuatan biogas) adalah kedap udara. Gambar di bawah ini memperlihatkan biodigester menggunakan dua tabung yang saling berhubungan. Melalui pipa (lubanginlet), kotoran dan air dimasukkan menuju tabung pertama. Perbandingan kotoran dengan air 17
adalah 1:2. Jika kotoran terlalu padat maka biogas yang dihasilkan tidak optimal karena sulit dibebaskan ke biodigester.
Ilustrasi pembuatan biogas dari kotoran ayam (Gambar: Poultry Indonesia April 2009) Letak tabung pertama harus lebih rendah daripada tabung kedua. Saat kotoran baru dimasukkan ke tabung 1, kotoran yang lama akan terdesak ke tabung kedua. Di tabung pertama inilah tempat keluarnya biogas. Beberapa peternak menggunakan plastik yang didesain sedemikian rupa membentuk balon berisi biogas sebagai penampung biogas. Plastik ini biasanya digantung di langit-langit kandang dan terlindung dari hujan dan panas. Dari penampung biogas inilah, biogas dialirkan ke rumah-rumah menggunakan selang plastik. Tabung kedua berfungsi sebagai tempat kontrol kualitas biogas dan juga tempat pengambilan ampas kotoran. Jika yang terdapat di permukaan tanah adalah endapan kotoran, berarti proses berjalan baik. Namun jika yang tampak adalah air maka dipastikan telah terjadi kebocoran instalasi atau terjadi proses biogas yang tidak optimal (Poultry Indonesia April 2009, hal 55-56). Satu hal yang perlu diperhatikan adalah jangan memasukkan air yang mengandung desinfektan dan antibiotik ke dalam tempat pembuatan kompos dan biogas. Tindakan ini akan mematikan mikroorganisme tersebut. 18
Kelebihan dan Kelemahan Integrated Farming System Tentunya sistem ini memiliki beberapa kelebihan antara lain: 1. Sepanjang penggunaan obat-obatan masih mengikuti aturan pakai, sistem ini sangat ramah lingkungan 2. Efisiensi energi, karena tidak ada energi yang terbuang percuma 3. Meningkatkan efektivitas lahan, dengan luas lahan yang sama, peternak bisa memiliki dua usaha sekaligus 4. Sumber dana terus menerus tanpa waktu kosong Meski begitu, peternak tetap memperhitungkan beberapa hal yaitu : 1. Resiko penularan penyakit antar hewan. Biosekuriti ketat dan tidak memelihara lebih dari satu hewan ternak dapat menjadi solusi 2. Daya tampung satu komponen terhadap komponen lain agar tercipta keseimbangan. Contoh, populasi ayam harus menyesuaikan populasi ikan di kolam agar ikan tidak keracunan ammonia 3. Peningkatan resistensi antibiotik di lingkungan. Solusinya adalah rolling antibiotik dilakukan lebih sering dan mengikuti aturan pakai yang telah ditetapkan Penerapan sistem pertanian terpadu integrasi ternak dan tanaman terbukti sangat efektif dan efisien dalam rangka penyediaan pangan masyarakat. Siklus dan keseimbangan nutrisi serta energi akan terbentuk dalam suatu ekosistem secara terpadu. Sehingga akan meningkatkan efektifitas dan efisiensi produksi yang berupa peningkatan hasil produksi dan penurunan biaya produksi. Kegiatan terpadu usaha peternakan dan pertanian ini, sangatlah menunjang dalam penyediaan pupuk kandang di lahan pertanian, sehingga pola ini sering disebut pola peternakan tanpa limbah karena limbah peternakan digunakan untuk pupuk, dan limbah pertanian untuk makan ternak. Integrasi hewan ternak dan tanaman dimaksudkan untuk memperoleh hasil usaha yang optimal, dan dalam rangka memperbaiki kondisi kesuburan tanah. Interaksi antara ternak dan tanaman 19
haruslah saling melengkapi, mendukung dan saling menguntungkan, sehingga dapat mendorong peningkatan efisiensi produksi dan meningkatkan keuntungan hasil usaha taninya. Sistem tumpangsari tanaman dan ternak banyak juga dipraktekkan di daerah perkebunan. Di dalam sistem tumpangsari ini tanaman perkebunan sebagai komponen utama dan tanaman rumput dan ternak yang merumput di atasnya merupakan komponen kedua. Praktek penerapan pola usaha tani konservasi ini hendaknya dilakukan secara terpadu, seperti sistem multiple croping (pertanaman ganda / tumpang sari), agroforestry, perternakan, dan dipadukan dengan pembuatan teras. Misalnya dalam praktek PHBM, tanaman pangan ditanam pada bidang teras meliputi kedelai, kacang tanah, jagung dan kacang panjang yang di tanaman diantara tanaman tahunan (misal: jati, mauni atau pinus sebagai tanaman pokok). Pada tepi teras ditanami dengan tanaman penguat teras yang terdiri dari tanaman rumput, lamtoro dan dapat ditanami tanaman hortikultura seperti srikaya ataupun nanas dan pisang. Tanaman rumput pada tepi teras disamping berfungsi sebagai penguat teras juga sebagai sumber pakan ternak (sapi atau kambing) http://berusahatani.blogspot.com/2010/12/pertanian-terpadu.html
Contoh Integrated Farming System Beberapa contoh integrated farming system adalah: 1. Ayam-Ikan-Padi Di Indonesia, adaptasi sistem ini adalah longyam atau balong ayam. Keuntungan sistem ini adalah:
Efisiensi pakan ikan yang berasal dari kotoran ayam dan jatuhan pakan ayam (± 1-5% dari pakan yang diberikan ke ayam)
Efisiensi lahan diatas kolam yang tidak dimanfaatkan Sistem ini lebih dianjurkan untuk ayam kampung karena kepadatan ayam
yang berada di atas kolam lebih rendah. Ayam kampung pun dinilai lebih mudah beradaptasi terhadap lingkungan kandang longyam. 20
Kandang dibangun di atas kolam berbentuk bujur sangkar dengan ketinggian 1,2 meter dari permukaan air dan kedalaman kolam 1,5 meter. Tujuannya untuk sirkulasi udara dan mencegah pelembaban lantai kandang oleh kolam. Ikan nila dan lele direkomendasikan untuk sistem ini karena sangat toleran dengan level oksigen yang rendah. Satu hektar kolam dapat menampung 12500 ekor ikan nila ukuran 3-5 cm. Padi sebagai komponen terakhir akan memanfaatkan air dari kolam ikan yang kaya dengan unsur-unsur hara. Timbal baliknya adalah sisa panen padi berupa sekam dapat dimanfaatkan sebagai litter kandang dan jerami dapat dijadikan kompos. 2. Tebu-Sapi-Cacing Tanah-Biogas Model ini juga menarik untuk dikembangkan. Tebu yang akan diolah menjadi gula dan menyisakan ampas tebu, daun dan tetes tebu. Umumnya ampas tebu digunakan untuk bahan bakar pemasak (ketel) di pabrik. Selain itu, digunakan untuk briket, bahan baku pulp, bahan kimia (xylitol, methanol dan metana) dan bioetanol melalui fermentasi. Tetes tebu (molasses) popular sebagai sumber energi dalam pakan ternak. Penambahan maksimal 5% dalam pakan akan meningkatkan berat badan sapi karena peningkatan jumlah energi dalam pakan. Penambahan 2-5% akan meningkatkan palatabilitas (cita rasa) pakan. Dalam industri pakan, molasses juga berfungsi sebagai pembentuk pellet (pellet binder). Jika dicampur dengan pupuk urea, bungkil kelapa, tepung batu gamping, dedak padi, gandum, dan garam dapat membentuk UMB (urea molasses block) yang dapat digunakan sebagai suplemen pakan.
21
Model integrated farming system tebu-sapi-cacing tanah-biogas diterjemahkan dari grafik ini (Gambar : www.fao.org) Dalam sistem ini, kotoran sapi berfungsi sebagai media pembiakkan cacing tanah dan bahan baku biogas. Ternyata feses sapi adalah media terbaik untuk membiakkan cacing tanah karena kandungan protein tercernanya rendah. Sebelum dijadikan media pembiakkan, feses tersebut harus difermentasikan selama tiga minggu. Cacing tanah yang dapat dibiakkan ialah Lumbricus rubellus dan Eisenia
foetida. Setelah 40 hari di-biakkan, telur dan cacing tanah dapat dipanen. Bahkan, media pembiakkan cacing tanah juga bernilai ekonomi yang disebut vermikompos. Dari 100 kg media pembiakkan, dapat diperoleh 70 kg vermikompos. Vermikompos mengandung Phospor (0,6-0,7%), Kalium (1,6-2,1%), Nitrogen total (1,4-2,2%), C/N rasio (12,5-19,2), Magnesium (0,4-0,95%), Calsium (1,3-1,6%), pH 6,5-6,8 dengan kandungan bahan organik mencapai 40,1–48,7%. Vermikompos dan pupuk kompos dari biogas dapat digunakan untuk pupuk bagi tanaman tebu dan juga buah-buahan.
22
Pembuatan Integrated Farming System Proses mendesain integrated farming system harus mencakup faktor-faktor di bawah ini yaitu: 1. Modal Penekanan faktor modal meliputi modal teknis dan non teknis. Modal teknis meliputi biaya pembuatan kandang, pembuatan kolam, harga tanah untuk lahan persawahan/ ladang dan sebagainya. Peternak dapat meninjau modal teknis dari kondisi lingkungan seperti ketersediaan air bersih, agen penyakit, suhu, kondisi tanah dan sebagainya. Lakukan survei pendahuluan untuk memetakan bagaimana desain integrated farming system yang akan dibuat. Lalu perhitungkan berapa modal yang dibutuhkan, kapan modal akan kembali, berapa besar resiko yang akan dihadapi dan sebagainya. Modal non teknis menyangkut perizinan usaha tersebut. Integrated farming
system merupakan gabungan dari pertanian, peternakan dan perikanan maka peternak wajib mengantongi izin untuk ketiganya. 2. Tenaga Kerja Tabel 1 menerangkan bagaimana perbandingan kebutuhan tenaga kerja jika Anda akan membangun suatu integrated farming system. Misalnya, akan lebih hemat jika menggabungkan padi dengan ikan dibandingkan buah dengan babi. 3. Teknologi Pemakaian teknologi lebih baik tentu berakibat pada dua hal yaitu modal dan tenaga kerja. Penggunaan teknologi yang modern dalam budidaya buah dan ikan tentunya akan menurunkan biaya untuk tenaga kerja. 4. Keuntungan Keuntungan bersih didapatkan dari selisih antara biaya (cost) dan pendapatan kotor (bruto). Gunakan perhitungan biaya berdasarkan kegiatan produksi (FC, VC, dan TC). Biaya tetap (fixed cost/ FC) digunakan untuk biaya yang harus keluar meski usaha sedang tidak berjalan misalnya penyusutan kandang, retribusi dan sebagainya. 23
Biaya berubah (variable cost / VC) adalah biaya yang jumlahnya mengikuti volume produksi. Contoh, biaya pakan, pupuk, obat-obatan dan sebagainya. Keduanya harus dijumlahkan dan digabungkan menjadi biaya total (total cost / TC). Keuntungan berasal dari penjualan hasil produksi. Berdasarkan tabel 1, usaha yang paling menguntungkan dalam integrated farming system adalah perikanan. Penyebab
utama
adalah
biaya
pakan
ikan
turun
drastis.
Suatu
farm
sistem longyam di Amerika Serikat diberitakan mengantungi keuntungan US$ 1883/ hektar atau Rp. 17.888.500,-/ hektar (Kurs Rupiah = Rp 9500,-) yang 87% berasal dari ikan (± Rp. 15,6 juta). Tabel 1. Perbandingan tenaga kerja, modal, teknologi dan keuntungan berbagai komponen integrated farming system
http://chickaholic.wordpress.com/2010/07/09/integrated-farming-system-mungkinkah/
Sebagai contoh pada ternak potong, nilai tambah / manfaat dari proses produksi ternak potong tidak hanya berasal dari produk daging (karkas), tetapi juga pemanfaatan produk lain yang menghasilkan nilai tambah seperti kulit, tanduk, feses dan energi mekanik. Dengan skill dan teknologi, produk sampingan ternak tersebut dapat diubah menjadi produk lain yang mempunyai nilai ekonomi lebih tinggi. Produk sampingan kulit, dapat diubah menjadi hasil kerajinan berupa sepatu, tas dan sebagainya yang nilai ekonominya lebih tinggi. Demikian pula dengan tanduk. Limbah ternak yang berupa feses, tidak hanya digunakan sebagai pupuk organik saja, tetapi nilai tambahnya dapat ditingkatkan dengan memanfaatkan limbah tersebut menjadi sumber energi gas bio dan pupuk sludge. Sumber energi gas bio dapat digunakan untuk keperluan memasak dan penerangan. Di beberapa negara gas bio bahkan telah digunakan sebagai pengganti bahan bakar minyak untuk kendaraan bermotor atau mennggerakkan generator listrik. Sludge hasil sisa 24
gas bio dapat dimanfaatkan sebagai pupuk dengan kualitas yang lebih tinggi atau sebagai pakan ikan. Energi mekanik yang berasal dari biokonversi nutrisi melalui proses metabolisme, aktivitas fisiologi (terutama kontaksi dan relaksasi otot) dan pelatihan terprogram pada ternak (terutama ruminansia besar (sapi dan kerbau) dan non ruminansia (kuda)) dapat menghasilkan prestasi kerja, misalnya pengolahan lahan pertanian,
sarana
transportasi
dan
menggerakkan
generator/dinamo
untuk
elektrifikasi melalui gerakan berputar dari sapi/kerbau. Dengan rekayasa dan pengembangan teknologi, yang didasarkan dari hasil penelitian mutakhir, nilai tambah melalui biokonversi tersebut dapat ditingkatkan. Teknologi baru yang juga dipertimbangkan implementasinya dalam biokonversi ternak antara lain teknologi embryo transfer, rekayasa genetik pada hewan dan mikroba (termasuk kloning hewan), optimalisasi peranan mikroba dalam rumen, teknologi pengawetan pakan melalui rekayasa mikroba dan sebagainya. Peningkatan nilai tambah melalui biokonversi dapat dilakukan pula dengan penerapan usaha peternakan yang dikombinasikan dengan sektor pertanian, perikanan, kehutanan atau perkebunan dalam konsep usaha pertanian terintegrasi atau implementasi dari konsep daur ulang (recycling process). Contoh – contoh : Pemanfaatan feses ternak untuk pupuk, sludge untuk pupuk dan gas bio sebagai bahan bakar, implikasinya dapat menghemat pengeluaran petani, peternak untuk pembelian bahan bakar (kayu, minyak tanah) dan pupuk. Pemanfaatan sludge untuk menumbuhkan dan memproduksi pakan ikan merupakan diversifikasi usaha untuk meningkatkan nilai tambah dan peningkatan pendapatan. Pemanfaatan energi untuk gerakan mekanik dalam rangka pengolahan lahan pertanian
dapat
menunjang
kegiatan
produksi
di
sektor
pertanian,
implikasinya dapat meningkatkan pendapatan petani/peternak. Pendapat peternak yang sebelumnya hanya berasqal dari penjualan anak/ternak dewasa atau nilai dari daging termasuk non karkas, dapat ditingkat melalui uang sewa dari
pemanfaatan
ternak
kerja,
peningkatan
produksi
pertanian
dari 25
penggunaan pupuk, peningkatan produksi ikan dari pemanfaatan sludge dan penghematan bahan bakar dari pemanfaatan biomassa. Dalam konteks proses daur ulang dan sistem pertanian terpadu tersebut, pemilihan spesies komoditi ternak menjadi faktor utama yang berpengaruh terhadap besarnya peningkatan nilai tambah dari biokonversi. Pada ternak babi atau kelinci (non ruminansia), proses daur ulang tersebut tidak semuanya dapat dilakukan karena babi, kelinci dan ruminansia kecil (domba, kambing) tidak mungkin energi mekanik yang dihasilkan dapat digunakan sebagai tenaga kerja. Penerapan biokonversi yang menghasilkan peningkatan nilai tambah pada semua proses biologis (baik ternak, ikan maupun tanaman) perlu dilakukan secara selektif,
namun
untuk
penngembangannya
perlu
dilakukan
penelitian
yang
mendalam untuk menemukan teknologi baru. Biokonversi Sampah Organik Menjadi Silase Ransum Komplit Sampah merupakan konsekuensi dari adanya aktifitas manusia. Setiap aktifitas manusia pasti menghasilkan buangan atau sampah. Jumlah atau volume sampah sebanding dengan tingkat konsumsi kita terhadap barang/material yang kita gunakan sehari-hari. Demikian juga dengan jenis sampah, sangat tergantung dari jenis material yang kita konsumsi. Oleh karena itu pegelolaan sampah tidak bisa lepas juga dari „pengelolaan‟ gaya hidup masyarakat. Peningkatan jumlah penduduk dan gaya hidup sangat berpengaruh pada volume sampah. Misalnya saja, kota Jakarta pada tahun 1985 menghasilkan sampah sejumlah 18.500 m3 per hari dan pada tahun 2000 meningkat menjadi 25.700 m3 per hari. Jika dihitung dalam setahun, maka volume sampah tahun 2000 mencapai 170 kali besar Candi Borobudur (volume Candi Borobudur = 55.000 m3) [Bapedalda, 2000]. Searah dengan perkembangan wilayah yang pesat kearah modernisasi, permasalahan penanganan Sampah semakin komplek, bahkan cenderung kontradiksi dengan orientasi tuntutan kehidupan modern. Bahkan yang terjadi di perkotaan adalah adanya gangguan polusi udara (bau), pencemaran air, dan bahaya banjir yang secara langsung menurunkan tingkat kesehatan masyarakat. Selain itu, wilayah 26
perkotaan dihadapkan pada kondisi tingginya konversi lahan untuk ruang terbuka hijau (lahan pertanian) ke bangunan dan perumahan. Hal ini menyebabkan ketersediaan pakan sapi, kerbau, kambing dan domba menurun drastis akibat dari berkurangnya lahan pengangonan. Padahal ternak tersebut selain makan hijauan juga dapat memanfaatkan bahan organik seperti Sampah, tetapi dengan prasyarat Sampah tersebut harus diolah terlebih dahulu untuk menghilangkan bahan yang merugikan kesehatan ternak seperti cacing dan bakteri patogen. Berdasarkan hasil analisis kimia, perbandingan kandungan nutrisi bahan baku pakan ternak yang sudah biasa di konsumsi ternak (hijauan, konsentrat) dengan sampah organik (limbah sayuran, limbah restoran, dll) tidak begitu jauh berbeda. Hal yang perlu menjadi perhatian adalah pada proses pengelolaannnya sehingga diperoleh pakan jadi yang berkualitas dan palatable bagi jenis ternak yang mengkonsumsinya. Salah satu teknologi yang dapat digunakan untuk mencapai kondisi tersebut adalah teknologi biokonversi melalui proses fermentasi sampah organik dengan campuran bahan baku pakan lainnya (konsentrat). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pengolahan Sampah Organik di Perkotaan
melalui
teknologi
biokonversi/fermentasi
menjadi
pakan
komplit
merupakan solusi yang tepat. Biokonversi ini memberikan dua kontribusi positif; pertama kontribusi positif terhadap permasalahan Sampah, yaitu mengeliminasi gangguan kesehatan, karena semua Sampah Organik Perkotaan dapat diserap dalam jumlah yang besar. Kedua, memberikan kontribusi positif terhadap perekonomian wilayah dan membangun ”masyarakat sehat” dan ”kota lingkungan”. PAKAN BERBASIS SAMPAH ORGANIK Terdapat tiga unsur utama yang menentukan produktivitas usaha peternakan, yang dikenal dengan istilah gold triangle, yaitu : Breeding, Feeding, Management. Unsur penentu dalam keberhasilan teknis dan ekonomis peternakan adalah kemampuan
mengintegrasikan
ketiga
faktor
di
atas
(Breeding-Feeding-
Management), sehingga tercapai hasil yang efisien. Fungsi pakan bagi ternak, terutama ruminansia tidak hanya sebagai sumber energi untuk hidup, tetapi pakan tersebut juga berperan sebagai bahan yang akan diubah bentuknya menjadi daging 27
dan susu, sehingga ketersediaan pakan berkualitas menjadi syarat utama untuk dapat menghasilkan daging dan susu yang berkualitas juga. Pakan yang berkualitas tinggi tentunya akan memberikan tingkat efisiensi dalam penggunaan sumber daya dan pembiayaan usaha, karena kualitas pakan yang baik akan memberikan implikasi positif terhadap aspek produksi dalam budidaya ternak. Pemanfaatan pakan, terutama dari bahan baku yang bersumber dari sampah organik, merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi permasalahan ketersediaan pakan. Untuk lebih menjamin ketersediaan dan kualitas pakan asal sampah organik, teknologi fermentasi pakan menjadi silase merupakan metode pengolahan yang tepat untuk diterapkan. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan penggunaan teknologi fermentasi untuk bahan baku pakan dari sampah organik adalah sebagai berikut : Ekonomis. Pembuatan silase tidak membutuhkan peralatan yang rumit dan mahal. Peralatan untuk pembuatan silase dapat dibuat sendiri dan tidak lagi membutuhkan pengering. Peralatan utama yang disediakan adalah silo (wadah fermentasi) yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi setempat. Silo tersebut dapat dibuat dalam skala besar maupun skala kecil. Tahan lama (awet). Bila kondisi anaerob telah tercapai, mikroorganisme aerob akan lenyap dan mikroorganisme anaerob, khususnya bakteri penghasil asam laktat akan berkembang. Kondisi tersebut tercapai pada hari ke-21 dan pH 3,8-4,2. Praktis untuk bahan agroindustri yang mempunyai kadar air tinggi. Bahan baku yang berkadar air tinggi jika dikeringkan akan membutuhkan waktu yang relatif lama dan dibutuhkan biaya dan tenaga yang cukup besar. Lebih jauh metode ini akan beresiko terhadap kerusakan nutrien bahan.
28
Dapat dimanipulasi kualitasnya. Kualitas bahan fermentasi dapat dimanipulasi sesuai dengan keinginan pembuat. Inovasi silase ransum komplit diantaranya bertujuan untuk dapat meningkatkan kualitas pakan dan memudahkan teknis pemberiannya pada ternak. Produk/pakan yang dihasilkan lebih ramah lingkungan. Sampah organik yang tidak terolah dengan cepat tidak hanya menimbulkan polusi bau tetapi juga pencemaran terhadap air dan udara, khususnya pencemaran karena mikroorganisme. Teknologi fermentasi dapat mengubah bau menjadi asam, dan cenderung memberikan aroma yang wangi. Teknologi fermentasi dapat membunuh mikroorganisme patogen dan cacing (parasit lainnya) yang terdapat dalam sampah organik. Oleh karena itu pakan yang dihasilkan akan terbebas dari mikroorganisme patogen, cacing dan parasit lainnya, dan aman untuk dikonsumsi ternak. SILASE RANSUM KOMPLIT BERBASIS SAMPAH ORGANIK Kondisi iklim tropis wilayah Indonesia, menuntut adanya terobosan teknologi dalam manajemen penyediaan dan pemberian pakan yang semakin mendesak. Kurangnya pakan hijauan pada musim kemarau dan rendahnya kualitas pakan konsentrat menyebabkan kebutuhan gizi untuk asupan ternak tidak dapat tercukupi dengan optimal. Akibatnya adalah produksi daging dan atau susu pada ternak ruminansia tidak mencapai harapan bahkan tingkat produksinya pun menurun. Selain itu, para peternak masih terbiasa memberikan pakan hijauan dan konsentrat secara terpisah. Hal ini mengakibatkan tidak seimbangnya kandungan nutrisi pakan yang diberikan dan tidak sesuai dengan kebutuhan ternak. Permasalahan dalam pemberian pakan ini biasa terjadi pada ternak-ternak yang dikandangkan. Produktivitas ternak akan optimal secara teknis maupun ekonomis jika persediaan bahan pakan kontinu (tersedia sepanjang waktu), pakan yang diberikan dapat memenuhi kebutuhan gizi ternak serta mudah dalam pemberiannya. 29
Ransum komplit untuk ternak ruminansia merupakan campuran dari berbagai macam bahan makanan yang mengandung nilai gizi yang lengkap dan dapat memenuhi kebutuhan hidup dan produksi bagi ternak. Bentuk pakan komplit dapat berupa pakan kering (dry feed) maupun pakan basah (silase). Pakan komplit ini merupakan pakan yang di dalamnya tercampur antara pakan hijauan dan pakan penguat (konsentrat) yang sebagian besar berupa bahan pakan sumber protein dan kalori yang cukup tinggi seperti bungkil dan dedak atau limbah seperti ampas kecap atau tahu, onggok, dll. Dibandingkan dengan pakan komplit kering, pakan basah (silase) memiliki beberapa kelebihan, yaitu, selain proses pembuatannya yang relatif sederhana dan mudah, kualitasnya juga lebih baik serta memiliki daya tahan yang cukup lama. PROSES PEMBUATAN SILASE RANSUM KOMPLIT A. Peralatan yang Digunakan Alat-alat yang dibutuhkan dalam pembuatan silase ransum komplit sangatlah sederhana. Peralatan yang paling umum adalah ketersediaan silo yang merupakan alat utama dalam proses fermentasi bahan pakan. Silo dapat dibuat dengan berbagai macam bentuk tergantung pada lokasi, kapasitas, bahan yang digunakan dan luas areal yang tersedia. Secara umum, jenis-jenis silo dibedakan menjadi dua, yaitu tower silo dan bunker silo. Tower silo adalah silo yang dirancang membentuk sebuah menara menjulang ke atas yang bagian atasnya tertutup rapat. Sedangkan bunker silo adalah silo yang rancangannya dibuat dengan cara menggali tanah, sehingga berbentuk lubang atau parit, yang nantinya dilakukan penutupan silo tersebut dengan menimbunnya kembali. Beberapa bentuk silo dari kedua jenis tersebut secara umum adalah : Pit Silo: silo yang dirancang berbentuk silindris (seperti sumur) dan di bangun di dalam tanah. Trech Silo: silo yang dibangun berupa parit dengan struktur membentuk huruf V. Fench Silo: silo yang bentuknya menyerupai pagar atau sekat yang terbuat dari bambu atau kayu. 30
Box Silo: silo yang rancangannya berbentuk seperti kotak. Namun demikian, selain silo-silo tersebut, sebenarnya para petani peternak yang mengolah bahan pakan dengan teknologi silase juga dapat memanfaatkan alternatif lain sebagai silo. Alternatif lain yang dapat digunakan sebagai silo adalah dengan menggunakan drum plastik atau plastik polybag. Khusus untuk plastik polybag, dapat digunakan untuk membuat silase dengan porsi atau jumlah produksi silase yang dihasilkan adalah untuk sekali makan (1 kantong plastik = 1 porsi pakan yang akan dimakan oleh seekor ternak). Selain silo, peralatan lainnya yang digunakan antara lain meliputi pemotong (Copper), pencampur (mixer), truck, ban berjalan(conveyor), sekop, dan plastik untuk alas atau penutup. B. Metode Metode pembuatan silase ransum komplit, dimulai dengan pemilihan bahan baku yang dapat berasal dari sampah organik untuk selanjutnya dilakukan pencampuran sesuai dengan komposisi kandungan gizi yang diinginkan. Selanjutnya bahan campuran tersebut dimasukkan ke dalam silo, dipadatkan dan ditutup untuk mendapatkan suasana anaerob. Silase akan terbentuk setelah 2-3 minggu kemudian. Tahap 1. Pemilihan Bahan Tahap pertama dalam pembuatan silase adalah melakukan pemilihan dan penentuan jenis dan standar kualitas bahan yang akan digunakan. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan bahan adalah bahwa bahan tersebut terjamin ketersediaanya sepanjang tahun dan berada dilokasi pembuatan silase, dalam arti bahwa bahan tersebut tidak harus didatangkan dari tempat lain, terlebih lagi memerlukan biaya transportasi. Pertimbangan tersebut akan membantu efisiensi biaya, sehingga bahan yang digunakan benar-benar merupakan bahan yang murah. Selain itu, bahan-bahan yang digunakan juga perlu dipilih berdasarkan kandungan nutrisinya yang sesuai dengan kebutuhan ternak. Bahan-bahan yang dipilih harus merupakan bahan pakan yang menjadi sumber protein, energi, vitamin, mineral serta serat. 31
Bahan-bahan yang dipilih hendaknya dipertahankan kandungan airnya sedapat mungkin seperti kondisi asalnya, sekitar 50-60% untuk bahan sampah organik. Hal ini akan membantu memudahkan proses silase dengan mengoptimalisasi proses fermentasinya serta memberikan efisiensi ekonomis. Selain kandungan nutrisi, hal lain yang juga harus menjadi perhatian adalah bentuk fisik bahan pakan tersebut, apakah butiran, tepung/serbuk atau mungkin batangan. Terutama untuk bahan yang berbentuk batangan, sebelum dicampur harus dipotong-potong/dicopper terlebih dahulu dengan ukuran sekitar 3-5 cm, sehingga akan memudahkan proses pencampuran dengan bahan-bahan dalam bentuk fisik lainnya. Tahap 2. Formulasi/Penyusunan Ransum Formulasi
atau
penyusunan
ransum
dapat
dilakukan
dengan
cara
komputerisasi atau dengan cara manual. Persyaratan utama untuk menyusun ransum adalah diketahuinya kandungan/komposisi kimia dan nutrisi dari bahanbahan yang akan digunakan tersebut. Untuk mengetahuinya dapat dilakukan dengan analisis laboratorium atau melihat daftar kandungan/komposisi kimia dan nutrisi yang sudah ada dari hasil penelitian. Oleh karena itu, alat-alat yang sangat diperlukan pada tahap ini, selain computer dan software-nya juga diperlukan alat-alat analisis laboratorium lainnya. Tahap 3. Pencampuran Proses pencampuran bahan memerlukan tempat atau wadah yang bersih, untuk menghindari kontaminasi terhadap campuran yang dihasilkan. Untuk pembuatan silase dalam skala besar, pencampuran hendaknya dilakukan dengan menggunakan mixer atau mesin pencampur, sehingga campuran merata. Namun apabila jumlah tenaga kerja cukup banyak, pencampuran bahan silase dalam skala besar dapat dilakukan secara massal. Sementara itu, untuk pencampuran bahan dalam skala kecil, dapat dilakukan secara manual dengan menggunakan sekop. Tempat atau wadah yang digunakan sebaiknya didalam ruangan dan berbentuk flat/datar, berbentuk kolam/bak dengan alas keras atau tembok. Alat-alat lain yang harus tersedia diantaranya adalah; sekop, timbangan, mixer, alas pencampur, dan lain sebagainya. 32
Proses pencampuran harus dilakukan secara merata, untuk menghasilkan silase yang berkualitas baik, dan hal ini akan berkaitan dengan bentuk fisik dan ukuran bahan yang digunakan. Oleh karena itu, proses pemilihan bahan dan pengelolaan bahan batangan pada tahap 1 perlu menjadi perhatian. Proses pencampuran sebaiknya dilakukan dari bahan yang jumlahnya sedikit. Hal ini dilakukan karena dalam kapasitas yang cukup besar, dikhawatirkan bahan aditif/suplemen yang ditambahkan tidak tercampur dengan merata, sehingga kualitas silase yang dihasilkan tidak bagus. Tahap 4. Fermentasi Setelah dicampur, material silase ransum komplit dengan kandungan air 45-60 %, dimasukan ke dalam silo untuk disimpan selama kurang lebih 2-3 minggu, dalam kedaan tertutup rapat. Bahan-bahan yang dimasukan ke dalam silo harus dalam kondisi padat dan tertutup dengan rapat untuk selanjutnya disimpan. Selama penyimpanan tersebut akan terjadi proses fermentasi, dalam kondisi anaerob. Silase akan terbentuk sempurna pada minggu ke 2-3 tergantung pada bahan dan volume yang digunakan.. Alat-alat yang digunakan dalam proses fermentasi ini antara lain adalah pemanfaatan
silo-silo
yang
dibuat
dalam
beragam
bentuk
atau
dengan
memanfaatkan wadah-wadah yang telah ada, misalnya drum plastik, atau bahkan kantong plastik/polybag. Untuk skala kecil, penggunaan kantong plastic atau drum plastic sangat disarankan, namun untuk skala yang lebih besar sebaiknya digunakan bunker silo. Dibandingkan dengan tower silo, bunker silo lebih tepat digunakan, disamping biayanya yang relative murah juga proses pembuatannya tidak sulit. Beberapa hal yang harus menjadi perhatian dalam penggunaan bunker silo adalah; sudut kemiringan pada tata letak silo, konstruksi bagian tutup yang harus gampang untuk dibuka namun tertutup dengan rapat, lubang saluran pembuangan, dan harus terletak ditempat yang teduh tidak terkena secara langsung (ternaungi) dari sinar matahari dan hujan.
33
Tahap 5. Produk Silase Pada hari ke-21 (duapuluhsatu) atau sekitar minggu ke-3 (tiga), silase ransum komplit siap untuk diberikan kepada ternak. Pada saat dibuka, disarankan produk/silase tidak diberikan langsung ke ternak. Produk fermentasi mengandung sejumlah gas yang dihasilkan selama proses fermentasi berlangsung. Kondisi ini dapat menekan konsumsi dan dapat berbahaya bagi ternak. Oleh karena itu, sebelum diberikan pada ternak, silase perlu diangin-anginkan terlebih dahulu, untuk menghilangkan aromanya yang menyengat, dan juga perlu dilakukan uji terhadap logam-logam berat yang mungkin mencemarinya. Produk silase yang dijatahkan untuk diberikan pada ternak harus habis untuk sekali pemberian dan tidak diperkenankan disisakan untuk pemberian keesokan harinya. C. Karakteristik Silase Ransum Komplit Yang Baik Ciri-ciri yang baik dari produk silase dapat diidentifikasikan secara kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif, ciri-ciri produk silase yang baik adalah sebagai berikut : Aroma : Asam Laktat Warna : Segar seperti warna aslinya Tekstur : Tidak Menggumpal Tidak berjamur Sedangkan secara kuantitaif, ciri-ciri produk silase yang baik, diidentifikasikan sebagai berikut : Berada pada pH 3,8 – 4,2 dengan kandungan asam laktat yang cukup banyak Disukai ternak/palatabilitas tinggi D. Manajemen Silase Ransum Komplit Mengingat proses fermentasi terjadi dalam waktu yang relatif panjang, sekitar 21 (duapuluhsatu) hari, para peternak perlu mengantisipasi ketersediaan silase untuk menjaga kontinuitas pemberian pakan. Apabila pembuatan silase dalam skala kecil, 34
para peternak harus membuat silase dan menyimpannya dalam silo secara bergiliran, sejumlah kebutuhan dan sesuai dengan siklus pembuatan silase. Silo yang dapat digunakan adalah drum plastik atau kantong plastik/polybag dengan porsi untuk sekali pemberian. Apabila pembuatan silase dilakukan dalam skala besar dan dilakukan secara kolektif/bersama-sama, sebaiknya para petani peternak (misal jumlah ternak 10-15 ekor) memiliki sedikitnya 10 (sepuluh) buah drum plastik untuk ditukarkan dengan drum plastik yang berisi silase ditempat pembuatan kolektif tadi. Drum plastik tersebut berfungsi sebagai silo bergerak dan alat kemas kedap udara sekaligus sebagai alat transportasi silase jika lokasi ternak jauh dari lokasi pembuatan silase, sehingga produk silase dapat disimpan dan kebusukan dapat dicegah dengan kemasan drum plastik ini. Dengan sistem yang menyerupai sistim isi ulang, setiap peternak cukup hanya memiliki drum plastik berpelat yang kosong, untuk kemudian ditukarkan/diisi ulang dengan drum yang sudah berisi silase, untuk mengadakan penyediaan pakan bagi ternaknya. KANDUNGAN NUTRISI SILASE RANSUM KOMPLIT Hasil penelitian yang dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB, untuk mengetahui kandungan nutrisi dari Silase Ransum Komplit dengan bahan baku limbah sayuran dan limbah restoran, memberikan bukti yang positif tentang kandungan nutrisi dalam pakan tersebut. Kandungan nutrisi tersebut dapat diidentifikasi dan diuraikan sebagai berikut : Silase ransum komplit dengan bahan baku tersebut di atas memiliki pH yang cukup rendah, yaitu sekitar 3,82-4,28 dan berada pada kondisi asam, yang menunjukan bahwa silase tersebut adalah silase dengan kualitas yang sangat baik. Hal ini dipertimbangkan karena pada kisaran pH 3,5 – 4,0 adalah kunci untuk
mencegah
mikroorganisme
penyebab
kebusukan
dan
atau
mikroorganisme patogen. Dengan penambahan konsentrat, kandungan bahan kering dalam silase ransum komplit menjadi lebih tinggi, yaitu sekitar 38,70 - 45,42%. Hal ini 35
menunjukan bahwa dengan kandungan bahan kering tersebut, kualitas silase sangat baik dan layak untuk dikonsusmi ternak. Mengingat silase ransum komplit dibuat sesuai kebutuhan nutrisi ternak, maka kandungan gizi dan nutrisinya dapat dijamin sesuai dengan kebutuhan ternak tersebut. Konsentrasi NH3 yang dihasilkan sangat optimum bagi pertumbuhan mikroba, yaitu sekitar 9,42 -14,11 mM. Hal ini berarti bahwa produksi amonia sebagai sumber nitrogen utama dalam pembentukan protein mikroba telah terpenuhi, sehingga dapat memberikan sumbangan protein yang cukup bagi kebutuhan ternak ruminansia. Daya cerna ternak terhadap produk silase ransum komplit berada dalam batas nilai cerna yang normal. Hasil penelitian menunjukan bahwa kecernaan bahan kering terhadap silase ransum komplit dengan bahan baku sampah organik adalah sebesar 60,09-62-25%, dan kecernaan bahan organik sebesar 60,0763-24%. Nilai kecernaan tersebut sangat tergantung pada bahan suplemen yang dipakai. CATATAN PENUTUP Pengolahan sampah organik menjadi pakan ternak dalam bentuk silase ransum komplit melalui teknologi biokonversi telah terbukti menunjukan hasil dan keuntungan yang perlu dikembangkan dan diaplikasuikan lebih lanjut. Dampak positif terhadap kondisi lingkungan sedikit demi sedikit akan mampu teratasi, terlebih lagi apabila skala pengolahan sampah organik tersebut dapat dilakukan dalam skala industri. Namun demikian, keberhasilan dan dampak positif dari wacana dan aplikasi biokonversi sampah organik menjadi silase ransum komplit ini perlu didukung oleh hal-hal lain yang juga sama pentingnya. Hal-hal tersebut diantaranya adalah;
pertama, perlunya perubahan wacana dan perubahan kebiasaan dalam diri masyarakat dan lingkungannya untuk lebih peduli dan mandiri dalam proses pengumpulan dan pemilihan sampah organik dan anorganik, sehingga akan 36
memudahkan proses pengolahan lebih lanjut sebagai pakan ternak tadi. Selain juga memberikan dampak ekonomis dan kondisi yang lebih kondusif dari sampah. Kedua, dalam pengembangannya, orientasi industri pakan ternak berbasis sampah organik perlu didukung dan dilakukan secara terpadu dengan usaha ternak (penggemukan ternak untuk ternak ruminansia) disekitar lokasi industri pakan tersebut yang juga di konsentrasikan berada di sekitar tempat pembuangan sampah akhir. Usaha-usaha penggemukan ternak tersebut dapat diarahkan dalam bentuk kemitraan dengan masyarakat disekitar lokasi TPA, sehingga dapat memberikan dampak ekonomi bagi kesejahteraan
hidup
mereka.
http://darsonoww.blogspot.com/2010/09/biokonversi-
sampah-organik-menjadi.html
Latihan soal : 1. Berilah contoh fakta di lapangan konsep “pola pertanian terintegrasi” yang melibatkan
ternak
(potong,
perah,
unggas).
Berikan
analisa
apakah
keuntungan dan penerapan sistem tersebut! 2. Penerapan teknologi gas bio merupakan implementasi dari teori daur ulang, jelaskan!!! Rangkuman Singkat : Untuk meningkatkan nilai tambah dari usaha peternakan, maka biokonversi yang berlangsung pada proses produksi ternak, perlu dikembangkan dan diperluas ke beberapa sektor produksi. Diversifikasi usaha yang diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah antara lain : 1. Penggunaan feses ternak untuk pupuk dan bahan bakar gas bio 2. Penggunaan energi mekanik dari ternak untuk aktivitas kerja 3. Penggunaan hasil sampingan lain (kulit, tanduk dan lain – lain) untuk komoditi kerajinan dan sebagainya.
37